Bab 19
Maaf, saya tidak sengaja
menyusahkan para Locianpwe,! kata Ouw-pangcu. Diam-diam dia merasa kasihan
sekali karena maklum bahwa penyakit kusta yang hebat itu ternyata membuat
orang-orang lembah ini tidak mungkin lagi dapat menyimpan tenaga Jit-goat-sin-kang
di tubuh mereka. Hal ini pun dapat diduga oleh Siauw Bwee dan Yu Goan ketika
menyaksikan serangan dan akibatnya tadi.
Si Lengan Buntung, orang
pertama tadi, kini sudah mengeluarkan sebuah bendera kecil berwarna hitam dan
menggerak-gerakkan bendera kecil itu di atas kepalanya. Melihat bendera kecil
itu, Ouw-pangcu terkejut sekali, berlutut dan memberi hormat ke arah bendera
sambil berkata,
Teecu Ouw Teng telah berdosa.
Kalau Locianpwe tadi mengatakan bahwa Pangcu memerintahkan saya turun ke lembah
dan mengeluarkan benda pusaka itu, tentu saya tidak berani banyak membantah.!
Si Tangan Buntung itu bicara
lagi. Ouw-pangcu bangkit berdiri, kemudian membalikkan tubuh berkata kepada
anak buahnya yang masih berlutut ketakutan.
Kalian kembalilah dan bekerja
seperti biasa. Aku dipanggil menghadap oleh Pangcu di lembah maka jangan kalian
memikirkan aku lagi. Kalau sampai aku tidak kembali untuk selamanya, kalian
boleh mengangkat seorang ketua baru. Tunggu sampai seratus hari, kalau aku
tidak kembali berarti aku berhenti menjadi ketua. Nah, aku pergi. Marilah
Sam-wi Locianpwe.! Berkata demikian, Ouw-pangcu mengikuti tiga orang penderita
kusta itu memasuki lubang sumur yang ternyata merupakan lorong di bawah tanah
yang menuju ke lembah jauh di bawah!
Setelah empat orang itu
memasuki sumur, batu besar itu tergeser kembali dan menutupi lubang. Keadaan
menjadi sunyi senyap dan kini orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu baru berani
bergerak. Mereka bicara dengan muka penuh ketakutan dan kedukaan, akan tetapi
tak seorang pun berani mencela tiga orang lembah tadi.
Setelah anak buah Ouw-pangcu
meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee dan Yu Goan muncul dari tempat sembunyi
mereka.
Setan-setan itu! Mengapa kau
tadi mencegah aku turun tangan membela ayah angkat kita, Bwee-moi?!
Gi-hu ikut dengan mereka
secara sukarela, dan menurut ceritanya sendiri, orang-orang lembah itu memang
mempunyai kekuatan lebih besar dan Gi-hu harus tunduk kepada ketua orang
lembah. Kalau kita turun tangan tadi, berarti kita bertindak berlawanan dengan
isi hati Gi-hu sendiri.!
Akan tetapi Gi-hu dibawa
mereka. Apakah kita harus membiarkannya saja? Siapa tahu dia akan mengalami
bencana di bawah sana?!
Tidak, kita tidak akan
membiarkan saja. Kita harus menyelidiki ke bawah dan melihat apa yang terjadi.!
Bagus! Mari kita kejar mereka,
biar kugeser batu ini!! Yu Goan meloncat akan tetapi baru saja ia menyentuh
batu besar itu Siauw Bwee sudah melarangnya.
Jangan, Twako. Kalau kita
masuk atau turun melalui jalan ini, tentu kita akan menghadapi perlawanan dan
bahaya. Aku tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi membayangkan betapa aku
harus bertanding dengan orang-orang seperti itu.... hiiiihhhh, aku bisa mati
karena jijik! Pula, kalau kita turun melalui lorong ini, mungkin kita malah
menambah kesalahan Gi-hu dalam pandangan mereka. Mereka itu menjijikkan, akan
tetapi juga lihai sekali sehingga kita mungkin akan menemui kegagalan di tengah
jalan sebelum sampai di lembah. Lorong yang merupakan jalan satu-satunya ini
pasti terjaga kuat oleh mereka.!
Yu Goan mengangguk-angguk dan
kagum sekali. Habis, bagaimana kita bisa turun kembali ke lembah?!
Perkampungan mereka di bawah
itu kelihatan dari atas tebing. Biarpun curam dan sukar, kalau kita menggunakan
besi pengait, pedang dan tambang yang kuat, masa kita tidak dapat turun ke
bawah?!
Yu Goan setuju dan mereka
segera mencari alat-alat yang mereka butuhkan itu.
Kemudian mulailah kedua orang
itu menuruni tebing yang amat curam. Namun dengan kepandaian mereka yang
tinggi, dibantu alat-alat itu, dapat juga mereka merayap turun perlahan,
menggunakan pedang ditancapkan pada dinding batu karang, melorot turun dengan
bergantung kepada tambang. Biarpun sukar sekali, dan tidak dapat cepat karena
mereka harus amat berhati-hati, sekali jatuh berarti nyawa melayang, mereka
dapat merayap ke bawah.
Akan tetapi ternyata oleh
mereka bahwa jalan itu benar-benar tidak mudah sama sekali. Biarpun mereka
mempergunakan alat-alat, terpaksa mereka harus mencari jalan memutar beberapa
kali kalau menghadapi jalan buntu, di mana tebing itu berakhir dengan jurang
yang tak mungkin dapat dilalui, batunya pecah di bagian bawah. Terpaksa mereka
mencari jalan baru untuk turun dan adakalanya mereka terpaksa merayap ke atas
lagi untuk mencari jalan lain. Sampai malam tiba, mereka baru dapat mencapai
sepertiganya saja dalam jarak dari puncak tebing ke lembah dan terpaksa mereka
harus melewatkan malam di dalam guha yang terdapat di dinding batu karang yang
licin!
Pada keesokan harinya, setelah
cuaca terang, barulah kedua orang muda itu berani melanjutkan perjalanan.
Ketika mereka mengambil jalan memutar ke selatan, mereka melihat dataran di
tengah-tengah antara puncak dan lembah. Dinding di bagian ini ternyata menembus
ke sebuah dataran yang merupakan dataran ke dua di bawah puncak tebing, sungguh
merupakan keadaan yang ajaib! Dataran yang berada di perut gunung, luasnya
paling banyak seribu meter persegi, akan tetapi tanahnya penuh dengan
tetumbuhan, seperti sebuah kampung kecil di puncak, dikelilingi tebing curam,
merupakan keadaan yang amat berlawanan dengan lembah itu yang di kelilingi
tebing tinggi!
Mari kita ke sana, siapa tahu
dari dataran itu terdapat jalan yang lebih mudah,! kata Siauw Bwee.
Baik.... heiii, ada rumahnya
di sana!! Yu Goan yang merayap di sebelah depan tiba-tiba menuding.
Benar saja, dari lereng tebing
itu mereka melihat dua pondok kecil sederhana di dataran itu, tanda bahwa di
sana ada manusianya! Hal ini mendorong seman gat mereka dan mereka merayap ke
arah dataran itu, kemudian meloncat turun di atas tanah yang rata. Dengan
hati-hati mereka berjalan ke tengah menghampiri dua buah pondok sederhana yang
modelnya sama dengan pondok-pondok tempat kediaman Ouw-pangcu dan anak buahnya,
bahkan dua pondok itu lebih sederhana lagi.
Setelah dekat dan menghampiri
pondok dari depan, tiba-tiba mereka berhenti dan cepat menyelinap di balik
pohon. Mereka melihat seorang laki-laki tua sedang keluar dari pondok membawa
setumpuk tampah berisi benda-benda kecil seperti daun-daun kering, akar-akar
dan buah-buahan kering. Laki-laki itu usianya sebaya dengan Ouw-pangcu, hanya
rambut dan kumis jenggotnya masih banyak hitamnya. Bajunya ringkas dan sangat
sederhana, tanpa lengan sehingga lengan dan sebagian pundaknya tampak.
Celananya hitam dan digulung di bagian bawahnya, sampai ke lutut.
Tiba-tiba kakek itu berhenti
di depan pondoknya, kemudian dengan tangan kiri menyangga tumpukan tampah yang
jumlahnya belasan buah itu, dia mengambil tampah teratas dengan tangan kanan
dan sekaligus menggerakkan tangan, tampah itu terlempar ke udara dan
berputar-putar seperti hidup tanpa menumpahkan isinya sedikit pun!
Tampah pertama masih
melayang-layang ketika tampah ke dua, ke tiga dan ke empat menyusul sehingga
dalam beberapa detik saja belasan buah tampah melayang-layang di udara seperti
sekumpulan burung-burung mencari tempat bertengger. Kemudian tampah-tampah itu
meluncur turun dan tiba di atas depan dipan yang dipasang di depan pondok
sebagai tempat penjemuran, jatuh dengan lunak tanpa ada isinya yang terlempar
keluar dan dalam keadaan berderet-deret rapi seperti diatur dan diletakkan oleh
tangan yang tidak kelihatan!
Bukan main....!! Yu Goan
berbisik dan Siauw Bwee diam-diam kagum sekali, dan maklum bahwa kakek itu
memiliki tenaga sin-kang yang sudah dapat diatur sedemikian rupa sehingga tenaga
loncatan tampah-tampah tadi pun di kendalikan! oleh tenaga sin-kang! Dan dia
pun menduga bahwa tentu kakek itu sudah tahu akan kedatangan meceka, karena
demonstrasi tenaga sin-kang tadi, tentu dikeluarkan hanya dengan satu tujuan,
yaitu sengaja diperlihatkan orang untuk menggertak. Kalau kakek itu tidak tahu
bahwa mereka datang dan hendak menggertak orang asing yang datang, perlu apa
main-main dengan tenaga sin-kang seperti itu?
Maka ia bersikap waspada dan
memandang kakek itu penuh perhatian. Kini di tangan kakek itu tinggal dua
tampah lagi. Tiba-tiba kakek itu mengambil sebuah tampah, mengeluarkan suara
bentakan nyaring dan tampah itu melayang! berputaran menuju ke arah Siauw Bwee
dan Yu Goan dengan kecepatan kilat seperti seekor burung garuda menyambar dua
ekor domba!
Celaka!! Yu Goan berseru dan
pemuda itu sudah mencabut pedangnya, akan tetapi Siauw Bwee menyentuh lengan
pemuda itu, kemudian dara sakti ini menggerakkan kedua lengan mendorongkan
kedua telapak tangan ke atas, ke arah tampah yang meluncur turun. Dia tidak
berani mempergunakan Jit-goat-sin-kang yang belum dilatih sempurna itu, maka
dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kang yang ia latih di Pulau Es sesuai dengan
ajaran Bu Kek Siansu dan petunjuk suhengnya. Tampah yang sudah meluncur turun
itu tiba-tiba terhenti, kemudian bergerak lagi, bukan ke arah Siauw Bwee,
melainkan berputaran turun dan hinggap dengan lunaknya ke atas dipan yang masih
kosong, persis seperti lontaran kakek itu tadi, hanya kini tampah itu agak
tergetar karena ada dua tenaga sin-kang raksasa yang mengemudikannya dari arah
berlawanan!
Tahan dulu, Locianpwe!! Siauw
Bwee sudah berseru dan melompat keluar dari tempat sembunyinya, lompatannya
seperti kilat karena dia mempergunakan gerakan kaki kilat sehingga tahu-tahu
tubuhnya sudah muncul di depan kakek itu dalam jarak enam meter terhalang dipan
penjemur obat-obatan di atas tampah-tampah.
Sejenak kakek itu memandang
dengan alis berkerut, matanya terbelalak penuh keheranan dan agaknya dia masih
tidak mau percaya bahwa yang tadi menahan tampahnya, yang memaksa tampahnya itu
melayang turun, hanyalah seorang dara remaja.
Bagus! Coba engkau tahan ini!!
serunya dan tampah terakhir yang berada di tangannya itu ia lemparkan ke udara,
kini bukan dengan sebelah tangan, melainkan dengan kedua tangan. Kedua
tangannya itu tetap terpentang karena dari kedua telapak tangannya meluncur
hawa sin-kang yang mengemudikan! tampah berisi bahan obat itu.
Siauw Bwee maklum bahwa kakek
itu kini mengerahkan tenaga sin-kang yang besar sekali karena tidak hanya
tampah itu berputaran di udara, akan tetapi juga isinya ikut berputaran di atas
tampah. Dan dengan menggunakan tampah menyerangnya, dia dapat menduga bahwa
kakek itu menganggap dia dan Yu Goan sebagai orang luar yang lancang masuk,
maka kini hendak mengujinya, bukan hendak menyerang dengan niat jahat, maka ia
pun lalu mengerahkan kedua tangan diulur dan dikembangkan ke depan. Hawa
sin-kang yang kuat meniup keluar dari kedua tangannya, membubung ke atas
menerima tampah itu.
Tampah yang berpusing di udara
itu tiba-tiba berhenti dan mengambang di udara seolah-olah terpegang tangan
yang kuat lalu perlahan-lahan tampah itu melayang kembali ke arah pelemparnya.
Kakek itu terkejut sekali, lalu membusungkan dadanya, mengerahkan seluruh
tenaga dan Siauw Bwee merasa betapa dari tubuh kakek itu keluar hawa yang panas
sekali. Ia cepat mengerahkan Im-kang yang dingin untuk melawannya. Tiba-tiba
hawa dari kakek itu berubah dingin pula, dan Siauw Bwee yang sengaja hendak
menguji pula, segera merobah sin-kangnya menjadi Yang-kang.
Tampah itu seperti hidup.
Sebentar bergerak ke arah Siauw Bwee, akan tetapi hanya sdbentar karena kembali
terdorong ke arah Si Kakek. Dorong-mendorong ini terjadi beberapa menit lamanya
dan akhirnya tampah itu terus bergerak perlahan, sedikit demi sedikit menuju ke
arah Si Kakek yang makin terkejut dan memandang terbelalak. Akhirnya ia berseru
keras melompat ke kiri dan menurunkan kedua lengannya. Tampah itu jatuh ke
bawah, hancur dan isinya berantakan, akan tetapi seperti tampah yang hancur
bagaikan diremas-remas itu, isinya juga remuk pecah-pecah dan ada yang gosong
seperti terbakar!
Hebat! Wanita muda, dari mana
engkau mempelajari Jit-goat-sin-kang?! Per tanyaan ini mengandung penasaran
besar, seolah-olah menuduh Siauw Bwee mencuri ilmu itu.
Siauw Bwee yang kini sudah
dapat menduga bahwa kakek ini tentu memiliki Ilmu Jit-goat-sin-kang seperti
yang dimiliki Ouw-pangcu, malah lebih kuat, segera menjura dan menjawab, Untuk
menghadapi Jit-goat-sin-kangmu tadi, aku tidak menggunakan sin-kang yang sama,
orang tua!!
Tidak mungkin! Sin-kang biasa
mana mampu menghadapi Jit-goat-sin-kang seperti itu?!
Yu Goan kini sudah muncul dan
meloncat dekat Siauw Bwee. Dia tadi menyaksikan adu tenaga sin-kang itu dan
kekagumannya terhadap Siauw Bwee meningkat. Dengan sabar ia menjura dan
mendahului Siauw Bwee.
Locianpwe, sesungguhnya kami
pernah mempelajari Jit-goat-sin-kang dari Ouw-pangcu.!
Ahh, tidak mungkin! Selain
Ouw-pangcu tidak akan berani lancang menurunkan ilmunya kepada orang luar, juga
tidak mungkin kalau hanya murid-muridnya mampu mengalahkan kekuatanku. Dia
sendiri masih jauh di bawahku, ataukah.... dia telah memperoleh kemajuan yang
luar biasa sehingga muridnya saja mampu mengalahkan aku? Betapapun juga, dia
melanggar dan harus dihukum!!
Yu Goan terkejut dan cepat
membela, Locianpwe, harap jangan menyalahkan dia karena Ouw-pangcu adalah gi-hu
kami. Tiada salahnya menurunkan ilmu kepada anak-anak angkatnya sendiri.!
Wajah yang penasaran dan marah
itu berubah. Aihhhh! Dia menjadi ayah angkat kalian? Betapa anehnya! Akan
tetapi.... tenaga sin-kang Nona muda ini amat luar biasa, betapa mungkin....!
Harap Locianpwe tidak menjadi
heran karena sesungguhnya, kepandaian Nona Khu ini amat tinggi, jauh lebih
tinggi daripada kepandaian gi-hu sendiri. Dan kalau benar Locianpwe adalah
suheng dari gi-hu, harap kauketahui bahwa kami berdua sedang berusaha
menyelamatkan gi-hu yang terancam bahaya besar di lembah di bawah sana.!
Apa? Apa yang terjadi? Orang
muda, duduklah. Dan kau juga, Nona yang amat lihai. Duduklah dan ceritakan
semua. Apa yang telah terjadi di atas tebing, dan di bawah lembah sana?!
Yu Goan dan Siauw Bwee duduk
di atas dipan bambu, berhadapan dengan kakek itu lalu Yu Goan menceritakan
semua pengalaman mereka sejak bertemu dengan Ouw-pangcu, mengobati luka ketua
itu, dan tentang pemberontakan di atas tebing yang dipimpin oleh Ang-siucai.
Setelah mendengar penuturan itu sampai habis, kakek tadi menarik napas panjang.
Hemm, memang banyak resikonya
menjadi ketua, tidak sebebas aku yang hidup seorang diri tanpa dibebani
peraturan. Sute telah lancang menerima seorang asing seperti sastrawan she Ang
itu, maka dia memetik buah dari tanamannya sendiri. Akan tetapi siapakah engkau
orang muda yang pandai ilmu pengobatan? Aku sendiri senang dengan ilmu itu,
maka kepandaianmu menarik hatiku, dan siapa pula Nona yang amat lihai ini?
Sukakah kalian memperkenalkan diri setelah mengetahui bahwa aku adalah suheng
dari gi-humu?!
Yu Goan tidak berani lancang,
maka dia menoleh dan mernandang Siauw Bwee. Bagi dia sendiri, dia tidak akan
ragu memperkenalkan diri kepada siapapun juga. Akan tetapi Siauw Bwee adalah
penghuni Istana Pulau Es, dan biarpun dara itu tidak pernah memperingatkannya,
dia tahu bahwa gadis itu tentu akan merahasiakan Pulau Es dan keadaan dirinya.
Akan tetapi Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk, maka Yu Goan lalu berkata,
Karena Locianpwe adalah suheng
dari gi-hu, maka sepatutnya kalau kami menyebut supek kepadamu. Harap Supek
ketahui bahwa sahabatku ini bernama Khu Siauw Bwee dan sebelum dia menjadi anak
angkat gi-hu dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi karena Bwee-moi ini
adalah.... seorang di antara penghuni-penghuni Istana Pulau Es.!
Seperti telah diduganya, kakek
itu mencelat dari tempat duduknya, memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak
kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menjura,
Aihhh.... mataku seperti buta
tidak mengetahui orang pandai. Maaf....!!
Siauw Bwee cepat berdiri
membalas penghormatan itu dan berkata sederhana,
Supek, mengapa begini sungkan?
Yu-twako hanya pandai memuji setinggi langit padahal aku hanyalah seorang muda
yang masih perlu menerima bimbingan orang pandai seperti Supek. Dalam melatih
diri dengan Jit-goat-sin-kang saja, dibandingkan dengan tingkat Supek, aku
belum ada persepuluhnya!!
Aihhh! Sudah lihai masih
pandai merendah pula. Sungguh menakjubkan! Nona Khu, tanpa Jit-goat-sin-kang
sekalipun sin-kangmu sudah amat luar biasa dan aku tidak menjadi heran
mengingat bahwa engkau adalah penghuni Istana Pulau Es, murid langsung dari Bu
Kek Siansu. Hebat.... hebat....! Dan engkau sendiri, orang muda, siapakah
engkau?!
Aku bernama Yu Goan, ilmu
silatku yang kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian Khu-siauwmoi
kudapatkan dari ayahku sendiri yang bernama Yu Siang Ki, sedangkan sedikit ilmu
pengobatan kudapatkan dari kakekku, Yok-san-jin Song Hai.!
Kembali kakek itu
mengangguk-angguk kagum. Aku pernah mendengar nama besar ayahmu itu, bukankah
dia putera Ketua Khong-sim Kai-pang? Dan Yok-san-jin....! Hemmm, siapa yang
belum mendengar namanya? Ahh, sungguh menggembirakan sekali bertemu dengan
orang-orang muda keturunan orang-orang pandai, lebih-lebih lagi menggembirakan
mendengar bahwa kalian adalah anak-anak angkat suteku. Aihhhh, bukan main
beruntungnya Ouw-sute!!
Akan tetapi sekarang gi-hu
terancam bahaya, Supek,! kata Siauw Bwee.
Kakek itu mengerutkan alisnya.
Aku heran sekali. Biasanya suheng kami, yaitu ketua lembah, adalah orang yang
amat sabar. Ketahuilah bahwa dahulu, ketika Suhu Bu-tek Lo-jin datang ke tempat
ini, dia mengangkat tiga orang murid. Pertama adalah Lie Soan Hu yang kini
menjadi ketua orang lembah setelah dia terkena pula penyakit kusta yang
mengerikan itu. Murid ke dua adalah aku sendiri. Namaku adalah Coa Leng Bu, dan
berbeda dengan suheng dan sute, aku lebih senang hidup bersunyi diri di tempat
ini, mengumpulkan obat-obat untuk kuberikan kepada anak buah suheng di lembah
dan anak buah sute di atas tebing. Murid ke tiga adalah Ouw-sute sendiri.
Setelah Lie-suheng menderita penyakit kusta, dia menjadi penyabar sekali,
bahkan tidak pernah keluar dari lembah. Sungguhpun amat mengherankan kalau
sekarang dia menyuruh pembantu-pembantunya menangkap Ouw-sute. Apalagi semua
itu dilakukan tanpa memberi tahu kepadaku. Hemm, benar-benar peristiwa itu
mencurigakan sekali dan agaknya perlu kuselidiki sendiri. Kalian jangan
khawatir. Biarlah aku menyertai kalian turun ke lembah dan dari tempat ini
memang ada jalan rahasia ke lembah yang lebih mudah dilalui. Tentu saja dengan
kepandaian yang kalian miliki, tanpa melalui jalan rahasia itu pun kalian akan
dapat mencapai lembah, akan tetapi selain hal itu akan makan waktu lama dan
perjalanan yang sukar sekali, juga berarti kalian akan menjadi seorang yang
melanggar larangan. Mari kita pergi sekarang sebelum terlambat, karena aku
menduga bahwa seperti halnya di atas tebing, di lembah sana terjadi sesuatu
yang tidak wajar. Sudah terlalu lama aku tidak pernah datang ke lembah atau ke
tebing, obat-obat itu hanya diambil saja oleh anak buah yang disuruh Sute atau
Suheng.!
Girang sekali hati kedua orang
muda itu. Mereka segera mengikuti Coa Leng Bu pergi meninggalkan pondok dan
menuruni tebing melalui jalan turun yang bukan merupakan jalan, melainkan
rangkaian akar-akar dan batu-batu yang sengaja dibuat untuk jalan naik turun.
Karena jalan! ini tertutup oleh tetumbuhan, maka kalau tidak bersama kakek itu,
tentu Siauw Bwee dan Yu Goan tak mungkin akan dapat menemukannya. Jalan ini
bukanlah jalan mudah bagi orang biasa, akan tetapi bagi mereka bertiga
merupakan jalan yang amat mudah, bergantung sana-sini melompati sana-sini dan
mereka dapat turun dengan cepat sekali. Dua orang muda itu merasa girang karena
perjalanan kali ini jauh lebih mudah dan cepat daripada yang mereka lakukan
kemarin. Tak lama kemudian mereka sudah mencapai lembah.
Akan tetapi, begitu ketiganya
melompat turun, mereka diserbu oleh belasan orang penderita kusta dan
orang-orang penghuni tebing yang tadinya memberontak, juga tampak beberapa
orang berpakaian Han yang ikut menyerbu Merekalah yang memberontak di atas tebing!!
seru Yu Goan.
Coa Leng Bu menjadi marah
sekali. Ia melompat maju dan membentak, Mundur semua! Apakah kalian tidak
mengenal aku lagi?!
Akan tetapi orang-orang itu
tidak menjawab dan terus menyerangnya! Keparat! Setan busuk, mana Suheng? Suruh
dia keluar sebelum aku membunuh kalian semua, keparat!!
Akan tetapi orang-orang itu
telah menyerbunya dan Coa Leng Bu cepat menggerakkan kaki tangannya merobohkan
dua orang penderita kusta. Akan tetapi mereka tidak mundur bahkan kini
menerjang dengan senjata-senjata mereka.
Twako, kita berpencar, mencari
Gi-hu!! Siauw Bwee berseru sambil melawan pengeroyokan orang yang menjijikkan
itu. Karena tidak tahan harus bertanding melawan orang-orang yang begitu
mengerikan, setelah mengelak ke sana-sini, Siauw Bwee melesat jauh dan mulai
mencari gi-hunya yang tertawan. Yu Goan mencabut pedangnya dan mengamuk bersama
Coa Leng Bu. Betapapun juga, melihat bahwa tukang obat itu tidak mau menurunkan
tangan membunuh orang-orang yang masih murid keponakannya sendiri, Yu Goan juga
menggerakkan pedang secara hati-hati agar tidak sampai membunuh orang. Namun,
tingkat kepandaian orang-orang lembah itu tinggi dan dia pun seperti Siauw
Bwee, merasa jijik disamping rasa kasihan, maka kini melihat Siauw Bwee telah
pergi, dia pun memutar pedang mencari jalan keluar dari kepungan lalu melarikan
diri ke depan meninggalkan Coa Leng Bu yang masih dikeroyok murid-murid
keponakannya sendiri.
Beberapa orang penderita
penyakit kusta mengejarnya, termasuk seorang berpakaian Han yang menjadi kawan
Ang-siucai. Yu Goan marah sekali terhadap orang ini karena dia tahu bahwa biang
keladi semua keributan di tebing maupun di lembah ini tentulah Ang-siucai dan
kawan-kawannya. Dia dapat menduga bahwa setelah gagal di atas tebing,
Ang-siucai membawa kaki tangannya dan orang-orang tebing yang dipengaruhinya
melarikan diri ke lembah. Hanya dia merasa heran mengapa sastrawan itu dapat
pula menguasai lembah!
Karena marahnya, tiba-tiba dia
membalik dan pedangnya menyambar ke arah orang Han yang ikut mengejarnya. Orang
itu menangkis akan tetapi tiba-tiba ia menjerit keras ketika tangan kiri Yu
Goan berhasil menotoknya, kemudian mengempit lehernya.
Suruh mereka mundur sebelum
kupatahkan batang lehermu!! Yu Goan mengancam dan memperkuat jepitan lengannya
pada leher orang itu.
Orang itu ternyata takut mati
dan cepat membentak orang-orang penderita kusta untuk mundur. Di samping sifat
pengecutnya, orang itu pun cerdik sekali. Agaknya semua kawan Ang-siucai
cerdik-cerdik belaka. Orang ini maklum akan kelihaian Siauw Bwee dan Si Tukang
Obat, maka dia ingin memancing agar mereka itu berpencar sehingga lebih mudah
dikuasai kawannya.
Setelah semua orang penderita
kusta mundur dan mereka membantu pengeroyokan kawan-kawan mereka terhadap Coa
Leng Bu dan sebagian mengejar dan mencari Siauw Bwee yang melarikan diri, orang
itu berkata,
Ampunkan saya, Taihiap....!
Hemm, manusia busuk! Karena
engkau menuruti permintaanku, aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi kau harus
memberi tahu kepadaku di mana Ouw-pangcu ditahan!!
Diam-diam orang itu menjadi
girang. Ahhh, kalau begitu cepat, Taihiap. Engkau bisa terlambat. Mereka....
mereka tadi sedang menggiring Ouw-pangcu ke tempat pembakaran mayat, hendak
membakarnya!!
Apa?! Yu Goan terkejut sekali.
Dia.... dia.... sudah mati....?!
Tidak, Taihiap. Belum, akan
tetapi tentu akan mati kalau kau terlambat. Mereka hendak membakarnya
hidup-hidup!!
Keparat! Di mana tempat itu?!
Mari kutunjukkan padamu.!
Awas kalau kau menjebakku, aku
akan menyayat-nyayat tubuhmu menjadi lebih rusak daripada orang-orang yang
dimakan kusta itu!! Yu Goan mengancam.
Aku tidak menipumu, Taihiap.!
Yu Goan mengikuti tawanan itu
sambil memegang lengannya. Mereka menuju ke bagian belakang lembah dan tiba di
sebuah pintu di mana tampak anak tangga menurun ke bawah. Orang tawanan itu
menuruni anak tangga, terus diikuti oleh Yu Goan dari belakang. Ketika tiba di
sebuah tikungan, dengan kaget Yu Goan melihat pemandangan mengerikan di bawah
anak tangga, belasan meter di bawah tempat itu berdiri, Ouw-pangcu berdiri
bersandar tiang, kedua tangannya dibelenggu rantai baja yang panjang dan yang
tergantung pada tiang itu. Kayu-kayu kering ditumpuk di sekitar tubuhnya dan
beberapa orang penderita kusta telah memegang obor, agaknya mereka sudah siap
untuk membakar kayu-kayu kering itu, membakar Ouw-pangcu hidup-hidup!
Cepat tangan Yu Goan bergerak
dan tawanan itu berteriak, roboh dengan tulang pundak putus terbabat pedang. Yu
Goan tidak mau melanggar janjinya. Dia tidak membunuh orang itu, hanya
merobohkannya saja dengan mematahkan tulang pundaknya. Andaikata orang itu
tidak menunjukkan tempat ini, dan andaikata tadi dia tidak berjanji tentu dia
dan kawan-kawannya telah mendatangkan kekacauan di tempat yang tenteram seperti
di atas tebing dan di lembah ini.
Lepaskan Ouw-pangcu!! Dengan
suara nyaring Yu Goan membentak sambil melangkah turun melalui anak tangga.
Enam orang penderita kusta itu
menengok dan menjadi kaget. Juga Ouw-pangcu menengok dan melihat Yu Goan, dia
berteriak, Yu-sicu.... pergilah tinggalkan tempat berbahaya ini. Jangan
memikirkan diriku!!
Tenanglah, Gi-hu. Aku dan
Bwee-moi, juga Supek Coa Leng Bu telah turun ke lembah untuk menolongmu dan
menghajar pemberontak-pemberontak laknat ini!!
Mendengar bahwa suhengnya dan
kedua orang anak angkatnya datang dan mereka telah tahu akan pemberontakan yang
terjadi pula di lembah, wajah Ouw-pangcu menjadi girang sekali. Ia berteriak
keras, kakinya bergerak dan tumpukan kayu bakar di depannya itu terlempar ke
kanan kiri. Tiga orang penderita kusta yang memegang obor di tangan menyerang
Ouw-pangcu yang masih terbelenggu.
Akan tetapi pada saat itu Yu
Goan telah meloncat maju dan pedangnya berkelebat cepat membuat tiga orang itu
terpaksa meloncat mundur dan membatalkan niatnya menyerang Ouw-pangcu dengan
api obor. Yu Goam kembali memutar pedangnya, mendesak orang-orang mengerikan
itu mundur, kemudian secepat kilat pedangnya membacok rantai panjang yang
membelenggu kedua tangan Ouw Teng. Terdengar suara nyaring dan belenggu itu
putus, rantai panjang ini tergantung dari kedua tangan kakek itu yang segera
meloncat ke depan dan membantu anak angkatnya menghadapi pengeroyokan enam
orang penderita kusta, Kakek itu mengamuk dan memutar-mutar rantai yang
tergantung dari kedua tangannya, sedangkan Yu Goan menggerakkan pedangnya
menghadap enam orang yang bersenjata golok.
Biarpun enam orang penderita
kusta itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan ringannya, namun mereka
itu tidak dapat lagi mengerahkan sin-kang terlalu kuat karena tulang-tulang
mereka sudah rusak dan rapuh. Maka amukan Ouw-pangcu dan Yu Goan membuat dua di
antara mereka roboh, sedangkan empat orang lain terdesak hebat.
Gi-hu, kita harus cepat keluar
dari sini membantu Supek dan Bwee-moi!!
Baik, akan tetapi kita
robohkan dulu empat orang pengkhianat ini. Mereka ini termasuk orang-orangnya
Sastrawan Ang, yang berhasil mempengaruhi lembah dan mengobarkan
pemberontakan,! kata Ouw-pangcu.
Akan tetapi sebelum mereka
berhasil merobohkan empat orang itu, dari atas muncul belasan orang lain,
terdiri dari penderita kusta, beberapa orang bekas anak buah Ouw-pangcu sendiri
dan tiga orang Han. Mereka itu datang dengan cepat lalu langsung mengeroyok Yu
Goan dan Ouw Teng. Kakek ketua tebing itu menjadi marah sekali melihat bekas
anak buahnya, sambil memaki-maki dia lalu mengarahkan dua potong rantai itu ke
arah bekas-bekas anak buahnya sehingga biarpun dia dikeroyok banyak lawan, dia
berhasil merobohkan dua orang bekas anak buah dan juga muridnya itu dengan
sambaran dua potong rantai baja, membikin pecah kepala mereka!
Namun pengeroyokan itu
benar-benar membuat Yu Goan dan Ouw-pangcu terdesak hebat. Kepandaian
orang-orang penderita kusta itu tinggi, gerakan mereka cepat, dan tiga orang
Han itu pun lihai sekali ilmu pedangnya. Mereka berdua dikeroyok di tempat yang
sempit oleh belasan orang dan betapapun mereka mengamuk, dan berhasil
merobohkan tiga orang lain, namun Yu Goan terkena tusukan pedang di paha
kirinya sedangkan Ouw-pangcu juga terluka oleh bacokan pedang yang dilawan
dengan sin-kangnya, namun tetap saja membuat kulit punggungnya terluka dan
mengeluarkan darah.
Gi-hu, kita keluar!! Yu Goan
berteriak sambil merobohkan seorang pengeroyok lagi dengan sebuah tendangan
yang mengenai pusar.
Tidak sudi lari sebelum
membunuh iblis-iblis ini!! Ouw-pangcu menjawab dan mengamuk lebih hebat.
Bukan melarikan diri,
melainkan mencari tempat luas!!
Hemm, baiklah!! Sambil berkata
demikian, Ouw-pangcu mencontoh perbuatan anak angkatnya, membuka jalan sambil
memutar kedua rantai baja yang sudah berlepotan darah lawan, kemudian bersama
Yu Goan dia lari menaiki anak tangga itu, dikejar oleh sebelas orang lawan,
sisa para pengeroyok tadi. Akan tetapi, baru tiba di tengah-tengah, dari atas
muncul pula banyak orang musuh! Kini mereka berada di tengah-tengah, dikepung
dari atas dan bawah sehingga keadaan Ouw-pangcu dan Yu Goan menjadi repot!
Sementara itu, Siauw Bwee yang
pergi lebih dulu mencari Ouw-pangcu, di mana-mana bertemu dengan orang-orang
penderita kusta yang mengeroyoknya. Diam-diam Siauw Bwee terkejut juga karena
tidak mengira bahwa hampir semua anggauta lembah itu agaknya telah dikuasai
oleh Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia tidak tahu bahwa di antara mereka ada
yang belum dapat dibujuk oleh Ang-siucai, akan tetapi mereka yang masih setia
kepada ketuanya juga mengeroyoknya karena kedatangannya sebagai orang luar
ternyata merupakan pelanggaran bagi para penghuni tempat itu, pelanggaran yang
harus dihukum dengan kematian.
Akhirnya Siauw Bwee yang
selalu dapat menghindarkan para pengeroyok itu tiba di depan sebuah pondok
terbesar. Dia menduga bahwa tentu itu pondok ketua orang lembah. Ia pikir lebih
baik menemui ketuanya untuk bicara secara terbuka mengenai hal ini dan minta
kepada Si Ketua untuk membebaskan Ouw-pangcu yang dia masih belum temukan
ditawan di mana. Kalau ketua lembah menolak, dia akan memaksanya! Ia pikir
bahwa jika dia dapat menawan ketua lembah, tentu dia akan memaksanya
menghentikan perlawanan anak buahnya, memaksanya membebaskan Ouw-pangcu.
Akan tetapi, ketika ia tiba di
depan pondok, dia segera dikepung oleh belasan orang penderita kusta. Siauw
Bwee merasa ngeri sekali dan jijik bukan main menyaksikan keadaan para
pengeroyoknya. Juga dia tidak sampai hati kalau harus membunuh orang yang tidak
karuan bentuk tubuhnya ini, maka dia hanya mempergunakan kelincahannya untuk mengelak
dan hanya kalau terpaksa saja dia menggunakan pedangnya mendesak mundur mereka.
Dia takut kalau-kalau dia akan bersentuhan dengan mereka dan takut kalau
ketularan!
Karena rasa jijik, rasa
kasihan dan keraguannya ini maka Siauw Bwee tidak dapat segera membebaskan diri
dari kepungan. Kiranya yang mengepungnya kali ini adalah pembantu-pembantu
ketua yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada anggauta biasa.
Lihiap, tahan mereka!!
tiba-tiba terdengar suara bentakan dan kiranya Coa Leng Bu sudah muncul di
tempat itu. Dia pun disambut serangan oleh empat orang penderita kusta. Seorang
di antara mereka menggerakkan sebatang cambuk panjang. Cambuk itu mengeluarkan
suara meledak, bagaikan seekor ular hitam yang panjang tahu-tahu telah melibat leher
kakek itu.
Kalian manusia-manusia gila!!
Coa Leng Bu membentak, menangkap cambuk dan mengerahkan tenaga membetot. Orang
yang memegang cambuk berteriak kaget, tubuhnya terbawa oleh sentakan itu dan
terbanting ke atas tanah. Begitu terbanting, tulang-tulangnya yang rapuh tak
dapat bertahan maka dengan mengeluarkan suara berkeretek mengerikan, lengan
kanannya putus, sambungan pundaknya terlepas dan lengan itu terpisah dari
tubuhnya, tangan kanannya masih mencengkeram gagang cambuk! Coa Leng Bu menendang
lengan itu dan kini cambuk itu berada di tangannya. Dia memutar cambuk,
merobohkan tiga pengeroyok lain lalu ia berlari memasuki pondok.
Siauw Bwee merasa ngeri dan
jijik sekali menyaksikan peristiwa itu. Ia lalu meloncat tinggi melampaui
kepala para pengeroyoknya dan berlari cepat memasuki pondok mengejar Coa Leng
Bu. Ketika dia dapat menyusul kakek tukang obat itu, mereka menuruni anak-anak
tangga di sebelah dalam pondok dan tampaklah oleh mereka pemandangan yang amat
aneh. Ketua orang lembah berbaring di atas dipan, memegangi sebatang bambu
berbentuk suling dengan tempat tembakau di ujungnya.
Kiranya kakek ketua lembah
yang keadaannya mengerikan itu sedang menghisap madat! Bau yang tidak enak
menyambut hidung Siauw Bwee, membuat dara ini berbangkis, muak dan hendak
muntah. Ketua lembah itu sudah tua sekali, rambutnya jarang dan kepalanya
botak, matanya cacat karena pelupuk matanya habis dimakan kusta. Hidungnya
tidak berdaging lagi, hanya tampak dua lubang hitam, bibirnya pletat-pletot.
Tubuhnya yang tidak berbaju, hanya bercelana hitam itu kelihatan kurus kering
dan tangan kirinya yang membantu lengan kanan memegangi pipa madat itu hanya
tinggal dua buah jarinya! Di dekat dipan berdiri seorang laki-laki yang bukan
lain adalah Si Sastrawan Ang Hok Ci! Ang-siucai yang menjadi biang keladi
segala kekacauan di atas tebing dan di lembah itu. Ang Hok Ci memegang sebatang
golok dan dia membalik cepat ketika mendengar suara Siauw Bwee berbangkis tadi.
Tarr....!! Cambuk di tangan
Coa Leng Bu meledak dan cambuk itu meluncur ke depan, ujungnya membelit tangan
Ang-siucai yang berteriak kaget dan goloknya terlepas dari pegangan.
Keparat she Ang, mampuslah!!
Coa Leng Bu membentak.
Sute, jangan kurang ajar!!
Kakek yang mengisap madat itu berseru, mulutnya menyemburkan asap putih ke arah
muka Coa Leng Bu. Jarak antara dia berbaring dan tempat Coa Leng Bu berdiri
cukup jauh, ada lima meter, akan tetapi asap itu bergulung-gulung cepat sekali
menyambar muka Coa Leng Bu yang menjadi gelagapan dan terbatuk. Saat itu dipergunakan
oleh Ang-siucai untuk menyambar goloknya karena tangannya yang terbelit ujung
cambuk sudah terlepas ketika Coa Leng Bu diserang asap madat yang baunya
memuakkan itu.
Setan tua, kau melindungi
pengacau?! Siauw Bwee marah sekali dan sudah akan meloncat maju menghadapi
ketua lembah yang amat lihai itu.
Lihiap, jangan!! Coa Leng Bu
berseru sehingga Siauw Bwee menahan gerakan kakinya.
Dia.... Suheng.... telah
terbujuk penjahat....! Ia lalu berpaling kepada suhengnya yang masih rebah di
atas dipan. Suheng, insyaflah. Dia ini bukan manusia baik-baik. Dia telah
mengacau tebing, kini dia mengacau lembah bahkan tentu dia yang membujukmu
untuk mengisap racun itu!!
Coa Leng Bu, pergilah sebelum
kubunuh engkau!! Kakek itu berseru. Jangan kurang ajar terhadap tamu dan
sahabat baikku. Hayo pergi!!
Supek, kuhadapi manusia she
Ang itu, biar aku yang menundukkan ketua lembah....! bisik Siauw Bwee.
Coa Leng Bu, tidak pergi juga
engkau?! Kakek itu kini bangkit duduk dan tangannya memegang sebuah bendera
hitam kecil, bendera yang dahulu dilihat oleh Siauw Bwee dipegang penderita
kusta untuk menundukkan Ouw-pangcu. Melihat bendera itu, tiba-tiba Coa Leng Bu
menjatuhkan diri berlutut.
Teecu tidak berani
membantah....!!
Tiba-tiba Ang-siucai yang
melihat kakek tukang obat itu berlutut dan sama sekali lenyap sikapnya melawan,
menggerakkan goloknya membacok sambil melompat ke depan.
Trangggg!! Pedang Siauw Bwee
menangkis dan golok itu terpental, sedangkan tubuh siucai itu terhuyung.
Tolong, Lie-pangcu....
perempuan siluman itu lihai sekali!! Ang-siucai berseru minta bantuan ketua
lembah. Akan tetapi Siauw Bwee sudah menyambar lengan Coa Leng Bu dan dibawa
lari keluar dari pondok itu.
Supek, mengapa kau selemah itu
melihat bendera itu?!
Bendera itu adalah peninggalan
Suhu. Siapa yang memegangnya mempunyai kekuasaan seperti Suhu sendiri.
Bagaimana aku berani melawan?!
Hemm, kalau Twa-supek sudah
terpengaruh racun dan bujukan manusia she Ang, sebaiknya kita lekas menolong
Gi-hu dan keluar dari neraka ini.!
Usulmu baik sekali, Lihiap.!
Biarpun menjawab demikian, namun sikap kakek tukang obat itu jelas membayangkan
kedukaan hebat. Ketika mereka tiba di luar pondok, kembali mereka dikepung oleh
para penderita kusta dan kawan-kawan Ang-siucai. Mereka berdua melawan sambil
melarikan diri untuk mencari Ouw-pangcu.
Tentu dia ditahan dalam
ruangan tahanan atau di tempat hukuman! Mari ikut aku!! Coa Leng Bu berkata
sambil melawan para pengeroyok yang selalu menghadang, mereka mencari-cari di
seluruh perkampungan lembah itu tanpa hasil. Banyak sudah pengeroyok mereka
robohkan, namun diam-diam hati Siauw Bwee khawatir sekali karena selain tidak
dapat menemukan gi-hunya, juga tidak kelihatan bayangan Yu Goan!
Sute benar-benar kurang ajar.
Aaahh, tidak kusangka dua orang suteku semua menentangku!! Ketua lembah yang
sudah kekenyangan menghisap madat itu duduk sambil memijit-mijit kedua
pelipisnya, tubuhnya bergoyang-goyang seperti orang mabok.
Pangcu, orang-orang yang
memberontak itu harus dihukum. Aku khawatir sekali kalau mereka berhasil
mengacau kemudian merampas kitab-kitab yang amat penting itu. Pangcu berjanji
untuk memperlihatkan kitab-kitab itu kepadaku. Bolehkah sekarang aku
melihatnya?! Ang-siucai melangkah menuju ke sebuah kamar yang daun pintunya
tertutup.
Nanti dulu, Sicu. Tidak boleh
orang lain masuk ke kamar itu kecuali aku!! Ketua lembah sudah bangkit berdiri
dan berjalan terpincang-pincang ke kamar itu, diikuti oleh Ang-siucai yang
sudah memegang goloknya lagi.
Selain kitab-kitab kuno
simpananku yang tidak begitu penting bagiku, di sini kusimpan sebuah kitab yang
amat penting dan yang kuanggap sebagai benda pusaka. Kitab itu adalah
peninggalan Suhu kepada kami....!
Kitab pelajaran
Jit-goat-sin-kang?! tanya Ang-siucai dan matanya berapi-api penuh gairah.
Jit-goat-sin-kang termasuk
ilmu yang berada di dalam kitab itu. Masih ada ilmu-ilmu silat lain yang tidak
dapat diturunkan kepada siapapun juga. Engkau amat baik kepadaku, Sicu. Maka
aku tidak keberatan kalau engkau melihat kitab itu, akan tetapi tidak boleh
dibaca atau dibawa pergi. Karena engkau seorang sastrawan, maka aku maklum
bahwa engkau suka sekali melihat kitab-kitab kuno, mari masuk....!
Ketika memasuki kamar, ketua
lembah itu terhuyung-huyung, kelihatannya lemas sekali. Diam-diam Ang-siucai
menjadi girang karena dia tahu bahwa kakek ini telah mabok madat dan sebentar
lagi, seperti biasanya, tentu akan tidak kuat menahan dan jatuh tertidur
nyenyak!
Yang manakah kitab peninggalan
Locianpwe Bu-tek Lo-jin itu, Pangcu?!
Kakek itu kini sudah
lenggat-lenggut dan beberapa kali menguap, kemudian ia hanya dapat menuding ke
arah sebuah kitab yang dibungkus kain kuning, terletak di atas meja di sudut
kamar, kemudian ia merebahkan tubuhnya begitu saja di lantai terus tidur
mendengkur!
Ang-siucai girang sekali. Cepat
ia menghampiri meja di sudut itu, mengambil bungkusan kain kuning, membukanya
dan setelah mendapat kenyataan bahwa kitab itulah yang dimaksudkan Lie-pangcu,
dia cepat melangkah hendak keluar dari kamar itu. Akan tetapi ketika ia harus
melangkahi tubuh Lie-pangcu yang tidur mendengkur di atas lantai, dia berhenti
dan melirik dengan sinar mata tajam. Dia tahu bahwa kakek ini amat lihai, jauh
lebih lihai daripada Ouw-pangcu, maka kalau nanti terbangun dan melihat
lenyapnya kitab dan mengejarnya, berarti dia akan menambah seorang musuh yang
amat berat. Dia sedang tidur, mengapa tak kubunuh saja? Setelah berpikir
demikian, secepat kilat Ang Hok Ci melangkah mundur, memegang goloknya
erat-erat lalu mengayun goloknya itu ke arah leher kakek yang tidur pulas. Saking
gugupnya, bacokannya meleset dan mengenai pundak Lie Soan Hu, ketua lembah.
Crookk!! Pundak itu putus
berikut lengan kanan Si Kakek yang pulas. Akan tetapi, mata Ang-siucai
terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika ia melihat betapa luka di pundak itu
tidak mengeluarkan darah dan Si Kakek masih enak-enak tidur mendengkur! Hal ini
tentu saja membuat dia terkejut dan ketakutan, disangkanya kakek itu
mempermainkannya, maka segera ia meloncat keluar kamar dan memasuki pintu
rahasia di sebelah belakang pondok yang sudah dikenalnya, kemudian dia lari
dari tempat itu, tidak mempedulikan lagi Siauw Bwee dan kakek obat yang masih
mengamuk di luar.
Pada saat itu, keadaan Yu Goan
dan Ouw-pangcu sudah payah. Tubuh mereka sudah penuh luka dan mereka tahu bahwa
dikeroyok dari atas dan bawah anak tangga, mereka tidak dapat melarikan diri
lagi. Biarpun banyak pula pengeroyok yang mereka robohkan, namun karena jumlah
mereka amat banyak, kedua orang yang sudah luka-luka ini mulai kehabisan
tenaga.
Jangan bunuh mereka, tangkap
hidup-hidup!! Teriakan ini keluar dari mulut Ang-siucai yang sudah tiba di
tempat itu. Dia tadi menyaksikan betapa Siauw Bwee dan Coa Leng Bu nengamuk
dengan hebat, maka ia menjadi khawatir sekali. Kalau tadinya dia dapat
mengharapkan bantuan kakek ketua lembah yang lihai, kini tidak mungkin lagi.
Pula, benda yang dicarinya, yang membuat dia mengadakan pengacauan sampai
berbulan-bulan di tebing dan lembah, kini telah tersimpan di balik jubahnya.
Tugasnya telah selesai, kini tinggal mencari jalan untuk keluar dengan selamat.
Melihat Ouw-pangcu dan Yu Goan terkepung rapat, dia melihat jalan keluar itu,
maka segera ia berseru agar menawan dua orang itu hidup-hidup.
Betapapun juga, seruan ini
menyelamatkan nyawa Ouw-pangcu dan Yu Goan. Para pengeroyok menubruk dengan
nekat dan akhirnya mereka ditangkap dan ditotok sehingga lumpuh. Ang Hok Ci
lalu mengumpulkan kawan-kawannya, yaitu orang-orang Han yang datang bersamanya.
Dia datang ke daerah itu dan diam-diam kemudian disusul oleh dua puluh orang
temannya, akan tetapi sekarang teman-temannya itu hanya tinggal lima orang
saja. Selebihnya sudah tewas, sebagaian besar tewas di tangan Siauw Bwee dan
Coa Leng Bu.
Dengan cepat Ang-siucai
mengempit tubuh Yu Goan dan seorang temannya membawa tubuh Ouw Teng, kemudian
mereka berenam meninggalkan tempat itu melarikan diri melalui terowongan yang
menembus di puncak tebing di daerah orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu
masih mengamuk, tidak tahu bahwa Ouw Teng dan Yu Goan sudah ditawan dan dibawa
lari. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring,
Tahan semua senjata! Hentikan
semua pertempuran!!
Mereka semua menoleh dan
seketika pertandingan berhenti. Tak jauh dari mereka telah berdiri kakek Lie
Soan Hu, ketua lembah yang buntung pundak kanannya. Dengan tangan kiri
mengangkat bendera hitam tinggi-tinggi, kakek itu ternyata tidak kehilangan
suaranya seperti para penderita lain, berkata,
Ang Hok Ci manusia jahat....
kitab peninggalan Suhu dirampas dan dilarikan....! Sute.... lekas kejar....!!
Setelah berkata demikian, kakek itu roboh pingsan. Biarpun luka di pundaknya
tidak mengeluarkan darah, akan tetapi tentu saja dia menderita hebat sekali.
Pucat wajah Si Tukang Obat
mendengar itu. Dia tahu kitab apa yang dimaksudkan, maka cepat dia berteriak,
Hai, kalian orang-orang yang
telah berdosa! Baru sekarang kalian tahu bahwa kalian telah ditipu oleh manusia
she Ang itu! Siapa di antara kalian yang mengetahui di mana adanya bangsat
itu?!
Beberapa orang penderita kusta
menjawab sehingga terdengar suara gaduh tidak karuan yang tak dimengerti oleh
Siauw Bwee. Akan tetapi dara ini melihat wajah Si Tukang Obat menjadi terkejut,
alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan kekhawatiran hebat.
Lekas kejar, Lihiap.!
Apa sih artinya keterangan
mereka?!
Si keparat itu telah merampas
kitab peninggalan Suhu, telah menawan Ouw-sute dan Yu-sicu dan mereka melarikan
diri melalui terowongan yang menembus ke atas tebing.!
Celaka! Mari kita kejar!!
Siauw Bwee berseru dan dia cepat meloncat mengikuti Coa Leng Bu yang sudah lari
menuju ke terowongan rahasia yang merupakan satu-satunya jalan yang
menghubungkan daerah lembah terpencil ini ke dunia luar melalui puncak tebing
tempat tinggal Ouw-pangcu dan anak buahnya.
***
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu
terus melakukan pengejaran. Biarpun mereka berdua sudah tertinggal jauh, namun
mereka dapat mengikuti jejak enam orang yang melarikan diri dan menawan Yu Goan
dan Ouw Teng itu. Jejak mereka menuju ke kota Sian-yang. Ketika mereka tiba di
luar tembok kota Sian-yang, mereka melihat Yu Goan duduk termenung menghadapi
sebuah kuburan baru!
Yu-twako....!!
Yu Goan melompat bangun dan
memandang Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dengan girang. Akan tetapi segera wajahnya
men jadi muram ketika ia berkata, Bwee-moi, Gi-hu telah meninggal dunia dan
inilah kuburannya,! ia menunjuk ke arah kuburan baru.
Keparat! Mereka membunuhnya?!
Siauw Bwee berteriak marah.
Yu Goan menggeleng kepala.
Tidak, Bwee-moi, Gi-hu tewas karena luka-lukanya, terutama sekali karena
penyakitnya yang lama kambuh kembali.!
Di mana penjahat itu?
Bagaimana engkau dapat lolos, Twako?!
Bwee-moi, Supek, mereka itu
ternyata bukanlah penjahat-penjahat, melainkan utusan-utusan rahasia dari
pemerintah. Mereka membebaskan aku di sini untuk mengurus jenazah Gi-hu, dan
mereka tadinya menawan kami berdua hanya untuk dapat mempergunakan kami sebagai
perisai ketika mereka keluar dari lembah. Mereka adalah orang-orang pemerintah
dan aku sendiri telah melihat surat kuasa dan surat perintah mereka. Bahkan Ang
Hok Ci itu adalah murid dari Bu Kok Tai, koksu negara yang sengaja mengutusnya
ke lembah untuk mengambil kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin.!
Siapa pun dia, jelas dia
adalah seorang penipu, pencuri, pembunuh dan pengacau terkutuk!! kata Coa Leng
Bu.
Yu-twako, di mana mereka?!
Mereka memasuki kota Sian-yang
untuk menghadap Bu-koksu yang kebetulan berada di kota itu. Aku ditinggalkan di
sini untuk mengurus jenazah Gi-hu. Bwee-moi, setelah kita ketahui bahwa mereka
itu adalah utusan-utusan pemerintah, perlukah kita melibatkan diri?!
Yu-twako! Aku tidak peduli
mereka itu utusan pemerintah atau utusan raja sorga maupun raja neraka! Yang
jelas, mereka adalah pengacau-pengacau busuk yang telah menimbulkan malapetaka
di atas tebing dan di lembah, dan mereka telah menyebabkan kematian Gi-hu,
bahkan telah mencuri kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin! Perbuatan mereka itu
cukup bagiku untuk memusuhi mereka, tidak peduli mereka itu orang macam apa!
Bagaimana dengan pendapatmu, Twako?!
Yu Goan mengerutkan alisnya
dan menarik napas panjang. Bwee-moi, maafkan aku. Ayah bundaku dan kakekku
telah memesan dengan sungguh-sungguh sebelum aku pergi merantau agar aku tidak
melakukan perbuatan yang melawan dan menentang pemerintah, bahkan menganjurkan
agar aku membantu pemerintah, menjadi pahlawan dan patriot demi kepentingan
tanah air dan bangsa. Karena itu, mana mungkin aku menentang mereka yang
ternyata tidak membunuhku, malah membebaskan aku dan memberi surat perkenalan
kepada komandan pasukan di Sian-yang? Bwee-moi, harap engkau sadar bahwa mereka
itu pun hanya petugas-petugas belaka, dan kalau kita memusuhi mereka sama
artinya dengan memusuhi pemerintah. Mungkinkan kita memusuhi pemerintah yang
berarti memusuhi bangsa sendiri?!
Siauw Bwee tersenyum pahit.
Twako, banyak orang yang tidak tahu bahwa pemerintah tidaklah sama dengan
bangsa! Jalannya pemerintahan berada di tangan raja dan semua pembantunya, dan
justeru pembantu-pembantunya yang menjadi pelaksana banyak sekali yang tidak
benar dan jahat! Demikian jahat dan liciknya mereka ini sehingga orang-orang
yang benar-benar berjiwa pahlawan dapat dianggap pengkhianat, sedangkan
pengkhianat-pengkhianat dan penjahat-penjahat macam orang she Ang itu bisa saja
dianggap pahlawan!!
Aku akan mengejar ke
Sian-yang, harus mendapatkan kembali kitab pusaka, dan membunuh orang she Ang.
Apakah Ji-wi mau ikut?! Coa Leng Bu yang merasa tidak sabar mendengar
perdebatan itu, berkata dan meloncat ke depan meninggalkan mereka.
Aku ikut, Supek! Twako, apakah
engkau mau pergi juga?!
Yu Goan menggeleng kepala.
Maaf, Bwee-moi, aku tidak boleh melanggar pesan orang tuaku.!
Sayang sekali, Twako. Nah,
selamat berpisah!! Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Siauw Bwee telah
lenyap dari situ, pergi menyusul Coa Leng Bu yang sudah lari menuju ke pintu
gerbang kota Sian-yang. Yu Goan duduk termenung dan berkali-kali menarik napas
panjang. Ia merasa seolah-olah semangatnya terbawa terbang melayang bersama
Siauw Bwee. Akan tetapi dia mengerahkan kekuatan batinnya dan akhirnya dia
dapat melihat bahwa memang sebaiknyalah demikian. Dengan perbedaan paham ini,
yaitu tentang pengabdian terhadap pemerintah maka tercipta jarak antara mereka
yang akan meringankan penderitaan hatinya akibat cinta gagal.
Seperginya Siauw Bwee, dia
merasa hatinya kosong dan seperti dalam mimpi, Yu Goan mengeluarkan sebuah
sampul surat yang ia terima dari Ang-siucai. Surat perkenalan untuk komandan
pasukan pengawal kota Sian-yang, di mana dia akan bekerja dan mendapat
kesempatan membuktikan dirinya untuk pemerintah seperti yang dianjurkan oleh
orang tuanya. Dengan adanya pekerjaan itu, dia akan lebih sibuk setiap harinya
sehingga akan terhibur dari luka hati karena berpisah dari Siauw Bwee.
Setelah hari hampir gelap,
barulah pemuda yang patah hati ini bangkit meninggalkan kuburan mendiang
Ouw-pangcu dan melangkah perlahan-lahan menuju ke tembok kota Sian-yang yang
sudah tampak dari situ.
Kota Sian-yang adalah kota
yang besar dan ramai, bukan saja merupakan kota dagang, akan tetapi juga
menjadi kota pertahanan yang dikelilingi sebuah benteng yang amat kuat. Dalam
keadaan negara kalut seperti pada waktu itu, musuh mengancam dari pelbagai
jurusan, setiap kota besar menjadi benteng pasukan yang kuat dan Sian-yang
tidak terkecuali. Bahkan Sian-yang dijadikan kota benteng yang menjadi pusat
dari daerah di sekitarnya, menjadi sebuah di antara benteng pertahanan jalan
yang menuju ke kota raja.
Penduduk kota Sian-yang yang
padat itu setiap hari masih melakukan pekerjaan seperti biasa, pasar-pasar
tetap ramai, tontonan-tontonan masih terus men gadakan pertunjukan, restoran-restoran
dan penginapan-penginapan selalu penuh. Pendeknya, seperti biasa, rakyat tidak
mau memusingkan pikiran mengenai perang dan pertempuran. Kalau mereka itu tanpa
dikehendaki terlanda perang, rakyat mawut seperti rombongan semut diusir, namun
begitu mereka dapat menetap di suatu tempat dan perang telah lewat melalui atas
kepala mereka yang terinjak-injak, rakyat kembali membiasakan diri dan hidup
seperti biasa, tenang dan tenteram
Di kota ini banyak terdapat
tentara pemerintah yang berkumpul di dalam markas dekat tembok benteng yang
mengelilingi kota. Setiap hari tampak perwira-perwira pasukan berkeliaran di
kota, namun rakyat yang sudah biasa dengan pemandangan ini menganggap biasa
saja dan bekerja terus. Karena ini, penghuni kota itu pun tidak merasa heran
ketika dalam beberapa hari ini datang kereta-kereta yang terisi
pembesar-pembesar militer dan sipil memasuki kota Sian-yang. Bahkan dikabarkan
orang bahwa Koksu sendiri berkenan datang ke Sianyang untuk memeriksa keadaan
dan memperkuat pertahanan, di samping beberapa orang jenderal yang memegang
kedudukan penting.
Biarpun kedatangan orang-orang
besar itu tidak mengejutkan penduduk kota, namun seperti biasa, orang-orang
suka melebih-lebihkan cerita mengenai jagoan-jagoan yang turut datang ke kota. Maka
ramailah orang membicarakan kehebatan Koksu Negara yang dikabarkan memiliki
ilmu kepandaian seperti dewa berkepala tiga berlengan enam! Masih ada lagi
beberapa orang jagoan negara yang kabarnya juga berkumpul di kota itu, yang
memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah manusia.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu
memasuki kota dan lenyap dalam arus manusia di dalam kota. Mereka menyewa kamar
di sebuah rumah penginapan dan ketika pada sore hari itu mereka makan di
restoran, mereka mendengar percakapan antara pelayan restoran dan beberapa
orang tamu. Dari percakapan inilah Siauw Bwee dan supeknya mendengar bahwa
Koksu telah tiba di kota itu membawa jago-jagonya yang berkepandaian tinggi, di
antaranya yang dipuji-puji oleh pelayan itu adalah sepasang setan dampit yang kabarnya
belum per nah terkalahkan oleh siapapun juga! Dan mereka mendengar bahwa pada
malam hari itu di dalam gedung kepala daerah akan diadakan pesta menyambut
kedatangan Koksu dan para pembantunya.
Setelah selesai makan dan
kembali ke kamar masing-masing, Siauw Bwee berkata kepada Coa Leng Bu, Supek,
amat sukarlah untuk mencari orang macam Ang Hok Ci itu di dalam kota sebesar
ini di antara puluhan ribu orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah
murid Koksu seperti yang diceritakan oleh Yu-twako, maka setelah Koksu sendiri
kini datang, tentu mereka akan menghadap Koksu dan si manusia she Ang tentu
akan menyerahkan kitab itu kepada gurunya, karena itu, kurasa sebaiknya kalau
kita pergi menyelidiki ke gedung pertemuan itu. Kalau benar manusia she Ang itu
berada di sana, aku akan menyergapnya!!
Coa Leng Bu mengerutkan
alisnya. Lihiap, ilmu kepandaianmu amat tinggi dan aku percaya bahwa engkau
akan kuat melawan siapapun juga. Akan tetapi, aku telah mendengar akan
kelihaian Bu-koksu dan para pembantunya. Mereka adalah orang-orang selain
berkedudukan tinggi, menguasai laksaan tentara, juga memiliki kepandaian yang
luar biasa tingginya. Karena itu, kita harus hati-hati sekali dan kuharap
engkau suka menahan sabar, tidak melakukan tindakan sembrono. Kita mengintai
dan mengikuti gerak-gerik Ang-siucai itu saja tanpa melibatkan diri dalam
pertentangan melawan para pembesar pemerintah. Karena hal itu hanya akan
mencelakakan diri saja.!
Baiklah, Supek. Memang tujuan
kita ini hanya merampas kembali kitab dan membunuh manusia she Ang itu, bukan?!
Malam hari ini dengan pakaian
ringkas dan membawa pedang yang digantung di punggung, Siauw Bwee bersama Coa
Leng Bu keluar dari rumah penginapan untuk pergi menyelidiki ke gedung kepala
daerah yang menjadi temnpat pertemuan para pembesar pada malam hari itu.
Seperti biasa, Coa Leng Bu yang berjiwa sederhana itu hanya mengenakan pakaian
yang amat bersahaja, bahkan kedua kakinya tetap telanjang tak bersepatu!
Dengan gerakan ringan dan
lincah bagaikan dua ekor burung, mereka setelah tiba di dekat gedung itu
meloncat ke atas genteng dan berindap-indap mendekati ruangan pertemuan yang
terang benderang dan sekelilingnya terjaga oleh pasukan itu. Untung bahwa malam
itu gelap sehingga Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dapat bergerak tanpa ada yang
melihat mereka. Mereka merayap di atas genteng dengan hati-hati tanpa
meninggalkan suara dan akhirnya tiba di atas ruangan itu, menggeser genteng dan
mengintai ke bawah.
Siauw Bwee menyentuh lengan
supeknya di dalam gelap ketika ia melihat bahwa orang yang mereka cari-cari, Si
Sastrawan she Ang yang telah berhasil menimbulkan pemberontakan dan kekacauan
di atas tebing dan lembah, kemudian berhasil merampas kitab pusaka peninggalan
Bu-tek Lo-jin, ternyata berada di dalam ruangan itu, duduk berhadapan dengan
seorang tinggi besar yang berpakaian panglima tinggi dan beberapa orang
jenderal lain.
Di ruangan itu terdapat
belasan orang panglima dan pembesar setempat yang agaknya sedang merundingkan
siasat-siasat pertahanan dan perang menghadapi musuh yang banyak. Di samping
itu, mereka pun saling beramah tamah dan menyambut kedatangan Koksu dengan
pesta yang meriah.
Agak janggal memang kehadiran
Ang-siucai di meja pembesar tinggi itu. Akan tetapi Siauw Bwee mengangguk
maklum ketika supeknya berbisik, Di depannya itulah Bu-koksu....! Ah, kiranya
sastrawan licik itu telah bertemu dengan gurunya dan tentu kitab itu telah
diserahkan kepada koksu itu! Menurut kata hatinya, ingin Siauw Bwee segera
meloncat turun membekuk siucai itu dan memaksanya menyerahkan kembali kitab
yang dicurinya. Akan tetapi dia bukanlah seorang yang begitu bodoh dan lancang
karena tanpa peringatan Coa Leng Bu yang pada saat itu menyentuh lengannva
sekalipun, dia tidak akan sembrono melakukan hal itu.
Siauw Bwee cukup maklum bahwa
orang-orang di bawah itu tidak boleh dipandang ringan, apalagi mereka yang
duduk di ujung ruangan, yang tak salah lagi tentulah rombongan jago-jago dari
Koksu. Yang amat menarik hatinya adalah sepasang laki-laki dampit yang duduk
bersanding. Sepasang manusia dampit ini benar-benar menyeramkan, dan mereka
kelihatan saling membenci, saling bersungut dan pandang mata yang saling mereka
tujukan satu kepada yang lain memandang nafsu membunuh!
Kalau apa yang ia dengar di
restoran itu benar bahwa sepasang manusia dampit ini belum pernah terkalahkan,
tentulah mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Karena
inilah maka Siauw Bwee merasa gatal-gatal tangannya untuk mencoba sampai di
mana gerangan kehebatan sepasang orang dampit yang tentu akan canggung gerakan
mereka, saling merintangi itu. Manusia-manusia dampit itu tidak memakai pakaian
militer, juga dua orang kakek yang duduk bersama mereka, akan tetapi dua orang
laki-laki tinggi besar dan kelihatan seperti raksasa yang duduk dalam rombongan
ini, mengenakan pakaian perang dari baja, membuat gerakan mereka tampak kaku
dan berat.
Tiba-tiba Koksu yang tadinya
bercakap-cakap dengan Ang-siucai dengan wajah membayangkan kepuasan hati
menoleh ke kanan dan berkata, Hemm, kau baru muncul? Benar-benar manusia
malas!!
Siauw Bwee menoleh ke arah
pembesar itu memandang dan hampir saja ia mengeluarkan jerit kalau tidak
cepat-cepat tangan kirinya menutup mulutnya sendiri. Ia membelalakkan mata,
napasnya terengah dan setelah menggosok-gosok kedua mata dan berkejap-kejap
beberapa kali, barulah ia merasa yakin bahwa orang yang yang tahu-tahu telah
duduk di jendela dengan sikap sembarangan, lengan kiri menopang dagu dengan
siku ditunjang paha kiri, kaki kanan menginjak lemari, duduk melamun seenaknya
di lubang jendela, orang yang baru saja datang dan ditegur oleh Koksu, bukan
lain adalah Kam Han Ki, suhengnya yang amat dirindukannya selama ini!
Sejenak Siauw Bwee hampir
tidak percaya akan pandang matanya dan menduga bahwa tentu ada orang lain yang
mirip suhengnya, yaitu seorang di antara pengawal dan jagoan Koksu. Akan tetapi
ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Sikap orang ini benar-benar luar biasa.
Kalau menjadi pengawal Koksu, mengapa sikapnya begitu kurang ajar? Dan bukan
hanya Koksu, bahkan semua orang yang menyaksikan sikapnya duduk di jendela
seperti itu, seenaknya seolah-olah di situ tidak ada manusia lainnya, agaknya
tidak mempedulikan orang ini! Ketidakwajaran yang cocok dengan ketidakwajaran
kalau Kam Han Ki sekarang membantu Koksu Negara!
Kam Han Ki suhengnya itu
adalah seorang pelarian, seorang buruan, mana mungkin sekarang menjadi pengawal
Koksu dan pembantu pemerintah yang telah membunuh kakaknya, Menteri Kam Liong,
dan yang telah mengejar-ngejarnya dahulu? Tidak salah lagi, orang itu tentulah Kam
Han Ki, dan sikapnya yang luar biasa itu menunjukkan bahwa biarpun orangnya Kam
Han Ki, akan tetapi pikirannya bukan! Agaknya telah terjadi sesuatu yang
menimpa diri suhengnya itu sehingga kehilangan ingatannya!
Kam-taihiap! Duduklah di
sini!! Bu-koksu berkata dengan suara halus mempersilakan.
Akan tetapi pemuda tampan yang
duduk di jendela itu, acuh tak acuh menjawab, Bu-loheng, engkau dan
teman-temanmu enak saja duduk di sini sedangkan di sana itu terdapat dua orang
mengintai kalian!!
Mendengar ini, semua orang
terkejut, akan tetapi Siauw Bwee dan Coa Leng Bu lebih kaget lagi. Lari....!!
kata Coa Leng Bu yang merasa kaget bahwa pemuda aneh itu tahu akan kehadiran
mereka. Akan tetapi, ia menjadi lebih kaget lagi ketika Siauw Bwee bukan hanya tidak
menuruti kata-katanya, bahkan dara perkasa itu kini meloncat ke depan, tepat di
atas ruangan itu sambil berseru,
Suheng....!!
Siauw Bwee menjadi gelisah
sekali. Jelas bahwa orang itu adalah Kam Han Ki, dan Si Koksu menyebutnya juga
Kam-taihiap, dan dia tidak heran kalau suhengnya yang lihai sekali itu dapat
mengetahui kehadirannya bersama Coa Leng Bu, akan tetapi mengapa suhengnya
tidak mengenalnya?
Pemuda itu masih bertopang
dagu, hanya miringkan mukanya dan mengomel, Siapa menyebutku suheng?!
Suheng! Ini aku, Khu Siauw
Bwee....!! Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang yang berada di ruangan itu
terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang suaranya terdengar di atas itu
adalah adik seperguruan pemuda aneh yang mereka semua mengenalnya sebagai pengawal
nomor satu dari Koksu!
Tangkap pengacau itu!!
Tiba-tiba Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para pengawalnya, yang duduk
di sudut ruangan. Seorang di antara dua pengawal tinggi besar seperti raksasa
yang memakai pakaian perang meloncat bangun sambil mencabut goloknya, sebatang
golok besar yang tajam mengkilap dan kelihatan berat sekali.
Siauw Bwee yang menjadi makin
gelisah melihat suhengnya masih duduk enak-enak dan sama sekali tidak
memperhatikannya itu tak dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat turun dan
berjungkir-balik, tubuhnya meluncur masuk ke ruangan itu melalui pintu
belakang.
Begitu kedua kakinya menyentuh
lantai, pengawal raksasa itu sudah menerjang maju dan goloknya menyambar ke
arah pinggang Siauw Bwee. Dara perkasa ini menjadi marah sekali dan dia tidak
ingat lagi akan bahaya. Dia merasa gelisah penasaran dan marah menyaksikan
keadaan suhengnya, marah melihat Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak ketika
tiba-tiba saja ia disambut serangan. Bagaikan seekor burung terbang, tubuhnya mencelat
ke atas sedemikian cepatnya sehingga sambaran golok itu kalah cepat dan golok
menyambar di sebelah bawah kakinya. Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan
kilat, maka tubuhnya seolah-olah lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga
ketika pengawal raksasa itu luput menyerang dan cepat hendak membalikkan
goloknya, tiba-tiba kaki Siauw Bwee yang berada di udara itu bergerak ke depan.
Crot!!
Pengawal raksasa itu mengaduh
dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya mengusap darah yang muncrat keluar
dari hidungnya yang pecah dicium telapak sepatu Siauw Bwee. Dia menjadi marah
sekali, lalu menerjang seperti seekor badak terluka, membabi-buta, goloknya
yang besar dan berat itu lenyap menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata.
Biarpun hatinya marah sekali bercampur
gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada di guha macan, bahkan
keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia melakukan pembunuhan. Maka,
mengingat bahwa seorang koksu yang suka menggunakan tenaga orang pandai tentu
akan menghargai ilmu silat tinggi, dia mengambil keputusan untuk mengalahkan
para jagoan koksu itu, kemudian atas nama kegagahan yang dihargai oleh dunia
kang-ouw, minta kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan selanjutnya
berurusan dengan suhengnya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai.
Keputusan hati ini membuat dia
tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal raksasa itu dengan
kecepatan gerakan tubuhnya. Betapapun cepatnya sambaran sinar golok yang
bergulung-gulung, gerakan tubuh dan kaki tangan Siauw Bwee lebih cepat lagi.
Sambaran-sambaran golok itu seperti menyambar asap saja, jangankan mengenai
tubuh Siauw Bwee, mencium ujung baju pun tidak pernah!
Siauw Bwee seperti menari-nari
di atas lantai, berputaran dan selalu sambaran golok mengenai tempat kosong. Indah
dan aneh sekali gerakan kakinya karena memang dia mempergunakan ilmu gerak kaki
kilat yang dimilikinya berkat ajaran Kakek Lu Gan. Dalam menghadapi
serangan-serangan golok ini, Siauw Bwee masih sempat mengerling ke arah
suhengnya yang masih duduk di jendela, dan betapa gelisah dan mendongkol
hatinya melihat suhengnya itu masih bertopang dagu dan menundukkan muka, sama
sekali tidak tertarik dan tidak menonton seolah-olah tidak terjadi sesuatu di
depan hidungnya!
Pertandingan itu membuat
mereka yang hadir di ruangan itu melongo. Pengawal raksasa itu adalah seorang
yang terkenal amat kuat dan amat lihai ilmu goloknya, namun dalam segebrakan
saja hidungnya telah pecah oleh tendangan Si Dara Perkasa, bahkan kini
serangannya yang bertubi-tubi itu dihadapi dara itu seenaknya saja, selalu
mengelak tanpa membalas namun belum pernah golok itu menyerempet sasarannya.
Bu-koksu tentu saja dapat
mengenal orang pandai. Ia memandang dengan mata berkilat dan wajah berseri. Dia
merasa beruntung sekali bisa mendapatkan seorang pembantu seperti Kam Han Ki,
kajau kini gadis jelita yang mengaku adik seperguruan Kam Han Ki itu suka
menjadi pembantunya, ahhh, betapa akan senang hatinya, betapa akan aman dirinya
dikawal oleh kakak beradik selihai itu.
Diam-diam ia memberi tanda dan
pengawal raksasa ke dua yang juga berpakaian perang itu meloncat maju sambil
menyeret tombaknya, tombak gagang panjang yang beratnya tidak kurang dari
seratus lima puluh kati! Begitu sampai di tempat pertempuran, pengawal ini
sudah menggerakkan tombak panjangnya dengan lagak seperti Kwan Kong (tokoh
sakti dalam cerita Samkok) membantu kawannya menusuk ke arah pusar Siauw Bwee.
Dara itu tadi memang sengaja
mempertontonkan kelincahannya, bukan hanya untuk menarik hati koksu agar dapat
menghargai kepandaiannya, akan tetapi juga untuk menarik perhatian suhengnya
yang ternyata disambut dengan sikap tak acuh itu. Dia menjadi marah, apalagi
kini melihat pengawal ke dua sudah maju. Dengan suara melengking panjang dia
sudah mencelat tinggi dan tahu-tahu telah berada di belakang pengawal ke dua
ini. Pengawal itu cepat menyodokkan gagang tombaknya ke belakang, menggunakan
pendengarannya untuk mengikuti gerakan lawan tadi karena matanya kalah cepat,
akan tetapi kembali Siauw Bwee sudah mencelat ke kiri dan melihat golok
menyambar, secepat kilat tangannya mengejar punggung golok lawan dan mendorong
punggung golok itu sehingga senjata ini menyeleweng ke arah pengawal ke dua
yang memegang tombak panjang.
Tranggg! Heiii, lihat golokmu,
jangan ngawur!! Si Pengawal Bertombak mencela kawannya dan dia menggerakkan
tombaknya menyerang Siauw Bwee setelah tadi menangkis golok kawannya.
Kini Siauw Bwee tidak mau
menyia-nyiakan waktu lagi dengan main kelit dan mempertontonkan kelincahannya.
Tusukan tombak itu yang menuju ke ulu hati, diterimanya begitu saja dan hanya
setelah ujung tombak tinggal sejengkal dari dadanya ia mendoyongkan tubuh ke
kiri sehingga tombak itu menembus melalui celah-celah di antara dada dan lengan
kanannya. Ia menurunkan lengan menjepit leher tombak, memegang gagang tombak
dengan tangan kanan dan menarik sambil mengerahkan sin-kang. Pengawal itu
terkejut sekali, khawatir kalau tombaknya terampas maka dengan kedua tangannya
ia membetot gagang tombaknya. Tenaganya memang besar sekali, tenaga gwa-kang (luar)
yang mengandalkan kekuatan otot.
Hekkk!! Tiba-tiba tubuhnya
terjengkang karena Siauw Bwee memperguna kan kesempatan selagi lawan membetot
tombak, dia membarengi mendorong dan gagang tombak yang tidak runcing itu tepat
menotok dada pemiliknya sehingga seketika napasnya sesak dan perutnya mulas,
terjengkang ke belakang dan bergulingan mengaduh-aduh.
Tanpa membalikkan tubuhnya,
Siauw Bwee menggunakan tombak rampasan itu menangkis golok yang menerjangnya
dari belakang.
Trangggg!! Bunga api muncrat
menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas dari tangan pengawal itu
yang kini tubuhnya menggigil kedinginan. Ternyata Siauw Bwee ingin menyudahi
pertandingan dengan cepat maka ketika ia menangkis tadi, ia membarengi dengan
dorongan tenaga Im-kang yang ia latih di Pulau Es, tidak terlalu kuat karena
dia tidak ingin membunuh lawan, namun cukup membuat lawan itu menggigil
kedinginan dan lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya terlepas dan orangnya
pun terguling roboh!
Setelah melempar tombak itu ke
atas lantai, Siauw Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu lalu berkata nyaring,
Koksu, aku mau bicara tentang suhengku Kam Han Ki!! Setelah berjumpa dengan Han
Ki, lain urusan tidak ada artinya lagi bagi Siauw Bwee sehingga ia sudah lupa
akan maksud kedatangannya semula.
Tidak! Kami datang
pertama-tama untuk bicara tentang manusia she Ang yang curang!! Tiba-tiba Coa
Leng Bu berteriak dan tubuhnya melayang turun di samping Siauw Bwee.
Dia itulah Coa Leng Bu, sute
ketua lembah, Suhu,! bisik Ang Hok Ci kepada Koksu yang menjadi gurunya.
Biarpun tidak sesakti gadis ini, akan tetapi dia pun amat lihai!!
Koksu memberi isyarat dengan
gerak kepala dan pandang mata kepada dua orang jagonya yang lain setelah
melihat dua orang jagonya yang pertama keok dan kini dengan muka merah kembali
ke kursi masing-masing. Dua orang jagonya yang lebih tinggi tingkatnya itu
adalah dua orang pendeta yang aneh.
Yang seorang berpakaian jubah
pendeta dengan rambut dipelihara panjang riap-riapan, jubahnya berwarna hitam
dan sikapnya angkuh sekali, seolah-olah dia memandang semua orang dan keadaan
di sekitarnya itu kecil tiada arti. Usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih
namun gerakannya ketika ia bangkit dari kursinya membayangkan kegesitan
melebihi seorang muda. Adapun orang ke dua, berjubah kuning seperti seorang
tosu, mukanya kelihatan sabar dan sikapnya tenang, namun sinar matanya
membayangkan kecerdikan, usianya sudah mendekati lima puluh tahun.
Khu-lihiap, minggirlah. Mana
ada aturan orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita muda? Biarlah aku yang
menghadapi orang-orang berjubah pendeta ini, tua sama tua!! Coa Leng Bu berseru
dan melangkah maju.
Satu lawan satu!! terdengar
Bu-koksu berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu mulai gembira sekali
akan menyaksikan jago-jagonya bertanding. Mendengar perintah ini, tosu baju
kuning berkata kepada kawannya,
Biarlah pinto menghadapi
petani kotor itu!! Kawannya yang berambut panjang tertawa mengejek dan
melangkah mundur, berdiri di pinggiran seperti halnya Siauw Bwee yang menuruti
permintaan supeknya.
Kini dua orang itu saling
berhadapan tidak segera saling serang karena mereka saling pandang dengan sinar
mata tajam, seolah-olah hendak mengukur tingkat lawan dengan pandang mata, dan
hendak saling mengenal siapa yang menjadi lawannya.
Majulah, petani busuk!! Tosu
itu membentak dan sudah siap dengan pasangan kuda-kuda kakinya. Karena dia
melihat lawannya yang berpakaian sederhana itu bertangan kosong, maka tosu ini
pun tidak mau mengeluarkan senjatanya, namun diam-diam ia membuka gulungan
ujung lengan bajunya sehingga menjadi longgar dan panjang karena kedua ujung
lengan bajunya itu baginya merupakan senjata yang cukup ampuh.
Taijin, kami datang bukan
untuk bertanding, akan tetapi kalau Taijin memaksa dan menghendaki kami memperlihatkan
kepandaian, apa boleh buat!! kata Coa Leng Bu dengan suara tenang.
Tak perlu mencari muka, sambut
tanganku!! Tosu itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang maju, kepalan tangan
kirinya menampar muka lawan, dis usul dengan tusukan jari tangan kiri ke arah
perut.
Plak-plakk!! Coa Leng Bu
menangkis dengan gerakan tangkas dan kuat sehingga kedua tangan lawan itu
terpental, kemudian ia melangkahkan kaki telanjang ke depan, langsung
menggunakan tangan kirinya yang menangkis tadi untuk balas memukul dada lawan
dengan telapak tangan terbuka. Tosu itu tadi sudah terkejut sekali karena
mendapat kenyataan betapa tangkisan lawan yang dipandang rendah sebagai petani
busuk itu ternyata mengandung sin-kang yang amat hebat dan yang membuat kedua
lengannya tergetar. Maka kini dia tidak berani memandang rendah, ketika
dorongan telapak tangan lawan tiba, ia cepat mengelak dan balas menyerang
mengandalkan kecepatan ilmu silatnya. Coa Leng Bu menghadapi lawan dengan sikap
tenang karena ia maklum bahwa dia akan mampu mengalahkan lawan ini, hanya dia
harus dapat menang tanpa membunuh lawan.
Siauw Bwee yang merasa lega
karena dalam beberapa gebrakan saja dia pun maklum bahwa supeknya itu tidak
akan kalah, kini mencurahkan perhatiannya kepada Kam Han Ki yang masih duduk termenung
di jendela. Dia terheran-heran dan hatinya gelisah bukan main. Tidak mungkin
kalau suhengnya sengaja bersikap seperti itu! Dia sudah mengenal betul
suhengnya, sudah bertahun-tahun tinggal bersama suhengnya di Pulau Es.
Suhengnya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki sejati,
seorang yang berhati mulia. Andaikata suhengnya itu marah kepadanya sekalipun
karena dia melarikan diri dari Pulau Es, tidak mungkin sekarang suhengnya
mengambil sikap seperti tidak kenal padanya. Ah, tidak mungkin! Pasti terjadi
sesuatu yang amat hebat atas diri suhengnya dan agaknya hanya koksu itu saja
yang mengetahuinya!
Dugaan yang dikhawatirkan
Siauw Bwee memang benar. Laki-laki itu bukan lain adalah Kam Han Ki. Mengapa ia
bersikap seperti itu dan seperti tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya dan
hanya ada reaksi kalau ditegur oleh Koksu? Hal ini sebetulnya sudah terjadi
sejak beberapa bulan yang lalu dan untuk mengetahui sebab-sebabnya marilah kita
mengikuti pengalaman Kam Han Ki semenjak dia menderita siksa batin melihat
bekas kekasihnya, Puteri Sung Hong Kwi, meninggal dunia dalam keadaan sengsara.
Seperti telah diketahui,
tekanan batin membuat Han Ki menjadi seperti gila dan dia mengamuk dan menyebar
maut pada pasukan-pasukan Mancu yang dianggap sebagai biang keladi kematian
bekas kekasihnya itu. Kemudian ia mengalami pukulan batin ke dua ketika dalam
pasukan Mancu itu dia berjumpa dengan dua orang murid Mutiara Hitam, bahkan
makin hebat lagi pukulan batin ini ketika ia bertemu dengan sumoinya, Maya
sebagai seorang Panglima Mancu! Hatinya berduka sekali karena dia tidak
berhasil membujuk Maya untuk meninggalkan kedudukannya sebagai Panglima Mancu.
Memang benar bahwa dia dapat
menyelami isi hati Maya yang karena kematian orang tuanya, Raja dan Ratu
Khitan, menaruh dendam yang hebat terhadap Kerajaan Yucen dan Kerajaan Sung,
dan bahwa tindakannya menjadi Panglima Mancu semata-mata untuk dapat membalas
dendam itu. Akan tetapi, sakit hatinya kalau dia memikirkan betapa sumoinya
yang tadinya hidup tenang dan tenteram jauh daripada segala keruwetan dunia,
apalagi perang besar, bersama dia dan Siauw Bwee di Istana Pulau Es, kini
menjadi seorang panglima perang!
Harapan satu-satunya hanyalah
Siauw Bwee. Kalau dia dapat bertemu dengan sumoinya yang ke dua itu, agaknya
mereka berdua akan mampu membujuk Maya. Dia pun masih bingung sekali mendengar
jawaban Maya yang terang-terangan menyatakan cinta kasihnya kepadanya, tanpa
mau dibagi dengan orang lain! Maya hanya suka ikut dengan dia kembali ke Istana
Pulau Es, meninggalkan semua urusan duniawi, akan tetapi harus hanya mereka
berdua, tanpa Siauw Bwee!
Betapa mungkin dia memenuhi
permintaan itu? Betapa mungkin dia mendapatkan Maya dengan membuang Siauw Bwee?
Dia mencinta kedua orang sumoinya itu, mencinta dengan kasih sayang besar,
seperti seorang saudara tua, bahkan seperti pengganti guru dan orang tua!
Memang, kadang-kadang dia merasa bahwa ada cinta kasih yang lain dari itu,
seperti cinta kasihnya terhadap mendiang Sung Hong Kwi, cinta kasih yang
membuat ia rindu akan kemesraan dengan wanita, akan tetapi dia sendiri tidak
jatuh cinta kepada keduanya seba gai pengganti Sung Hong Kwi! Ah, dia tidak
berani membayangkan hal ini yang dianggapnya terlalu jahat!
Karena tidak dapat memenuhi
permintaan Maya, maka sumoinya itu pergi membawa pasukannya dan dia sendiri
tidak tahu harus mencari Siauw Bwee ke mana? Kemudian timbul keinginan hatinya
untuk mencari kedua orang encinya, kedua orang kakak kandungnya yang semenjak
dia dibawa pergi gurunya, Bu Kek Siansu, belum pernah ia jumpai. Maka pergilah
Han Ki ke pegunungan Ta-liang-san, di mana ia dahulu mendengar bahwa kedua
orang encinya itu belajar ilmu di bawah pimpinan paman kakek mereka sendiri,
yaitu Kauw Bian Cinjin.
Dengan penuh harapan untuk
dapat bertemu dengan kedua orang encinya, Han Ki melakukan perjalanan cepat ke
Ta-liang-san, luka-lukanya yang ia derita ketika mengamuk barisan Mancu
hanyalah luka luar yang biarpun banyak akan tetapi ringan saja, maka sambil
melakukan perjalanan dia mengobati luka-lukanya dan ketika tiba di
Ta-liang-san, ia sudah sembuh sama sekali, akan tetapi batinnya tetap tertindih
penuh duka dan kecewa. Betapapun ia berusaha melupakannya, selalu wajah Hong
Kwi yang telah meninggal dan wajah Maya yang tidak mau ikut dengannya
menggodanya dan setiap kali teringat kepada Hong Kwi, Maya dan juga Siauw Bwee
yang belum dapat ditemukannya itu, jantungnya seperti ditusuk karena duka dan
kecewa.
Dapat dibayangkan betapa
terkejut hatinya ketika di lereng pegunungan itu, seorang petani menjawab
pertanyaannya tentang tokoh-tokoh Beng-kauw, Di puncak sana sudah tidak ada
orang lagi, yang ada hanya kuburan-kuburan!!
Mendengar ini, Han Ki cepat
berlari mendaki puncak dan tak lama kemudian ia berdiri termangu-mangu di depan
pondok yang sudah rusak dan di depan sebaris kuburan yang tidak terawat lagi.
Dengan hati kosong ia melihat nama tokoh-tokoh Beng-kauw di situ, dan di
antaranya terdapat nama Kauw Bian Cinjin! Ia menjatuhkan diri berlutut di depan
kuburan paman kakeknya dan membayangkan wajah paman kakek ini yang dulu pernah
dilihatnya di waktu ia masih kecil. Kemudian ia meneliti dan memeriksa dengan
hati tidak karuan mencari kuburan kedua encinya. Akan tetapi harapannya timbul
kembali ketika ia tidak melihat nama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui di antara
mereka yang terkubur di situ. Kenyataan ini membesarkan hatinya karena berarti
bahwa kedua orang encinya itu tidak ikut mati! Semua kuburan, di bawah nama
masing-masing yang terkubur terdapat tulisan Gugur dalam mempertahankan
Beng-kauw!. Dia makin bingung karena tidak tahu apakah yang telah terjadi
dengan Beng-kauw? Ia teringat akan petani tadi, maka kini tanpa mempedulikan
kelelahan tubuhnya ia lari lagi menuruni puncak untuk mencari petani tadi.
Paman, mohon tanya di mana
adanya kedua orang wanita yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, yang
dahulu tinggal di puncak bersama Kakek Kauw Bian Cinjin?!
Kakek petani itu menghela
napas panjang sebelum menjawab. Kaumaksudkan Ji-wi Kam-kouwnio? Aihhhh....
sungguh kasihan mereka. Bagaimana aku tahu di mana mereka itu berada? Semenjak
Beng-kauw jatuh ke tangan orang lain, kedua orang kouwnio itu sajalah yang
masih hidup, lalu mereka pergi entah ke mana....! Suara orang itu penuh duka
dan keharuan. Aihh, mereka sungguh orang-orang yang amat mulia, sungguh aku
heran sekali mengapa kadang-kadang Thian tidak memberkahi orang-orang yang baik
hati?!
Paman, siapakah yang telah
menjatuhkan Beng-kauw? Dan di mana sekarang pusat Beng-kauw?!
Kini petani memandang Han Ki
penuh kecurigaan. Engkau ini siapakah, orang muda? Aku mana tahu tentang
Beng-kauw?!
Kam Han Ki yang maklum bahwa
orang ini mencurigainya, cepat mengaku terus terang.
Namaku Kam Han Ki, adapun
kedua orang Kam-kouwnio itu adalah enciku.!
Tiba-tiba petani itu
menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis, Han Ki cepat
membangunkan orang itu yang segera menyusut air matanya dan bercerita,
Saya dahulu juga seorang
anggauta Beng-kauw. Ketika itu muncul seorang bernama Hoat Bhok Lama yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Dialah orangnya yang menjatuhkan Beng-kauw, merobohkan
semua tokoh-tokohnya kecuali kedua Kam-kouwnio yang berhasil melarikan diri.
Anak buah Beng-kauw dipaksa untuk menjadi pengikutnya, dan hanya beberapa orang
saja termasuk saya sendiri yang dapat melarikan diri karena tidak sudi menjadi
anggauta Beng-kauw baru yang dipimpin oleh pendeta Lama itu. Ji-wi Kam-kouwnio
dan beberapa orang anggauta yang setia menguburkan semua jenazah di puncak itu,
kemudian berkali-kali kami mencoba untuk membalas dendam dan merampas kembali
Beng-kauw. Namun, pendeta Lama itu terlalu lihai sehingga makin banyak korban.
Akhirnya Ji-wi Kouw-nio pergi entah ke mana, mungkin mencari bala bantuan dan
habislah riwayat Beng-kauw yang sejati. Beng-kauw yang sekarang berpusat di
pegunungan Heng-toan-san adalah Beng-kauw palsu yang dipimpin oleh Hoat Bhok
Lama.!
Han Ki menjadi makin berduka,
akan tetapi juga marah sekali. Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku akan
mencari Hoat Bhok Lama dan menghancurkan kepala penjahat berkedok pendeta itu!!
Sekali berkelebat Han Ki lenyap dari depan petani itu yang melongo dan mencari
dengan pandang matanya. Ketika tidak dapat menemukan bayangan Han Ki, dia lalu
berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas.
Terima kasih kepada Thian yang
agaknya menurunkan cahaya terang untuk mengusir kegelapan ini. Semoga dia
berhasil!!
Tanpa mempedulikan kelelahan,
Han Ki terus langsung menuju ke Heng-toan-san, melakukan perjalanan cepat siang
malam dengan hati penuh kemarahan. Ia mengambil keputusan untuk membasmi Hoat
Bhok Lama dan kaki tangannya, membebaskan para anggauta Beng-kauw dan baru
kemudian mencari kedua orang encinya yang tidak ada kabar beritanya lagi,
biarpun di sepanjang jalan ia bertanya-tanya orang. Agaknya penduduk di
sepanjang jalan sungkan untuk bicara sesuatu yang menyangkut Beng-kauw yang
kini berubah menjadi perkumpulan agama yang ditakuti orang.
Akan tetapi ketika Han Ki
akhirnya tiba di puncak Heng-toan-san, di lembah Sungai Cin-sha yang dahulu
menjadi markas besar Beng-kauw yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama, kembali ia
mendapatkan tempat yang amat sunyi, hanya tinggal bekas-bekasnya saja, yaitu
bangunan-bangunan yang sudah tak terawat. Beberapa orang yang masih tinggal di
situ hidup sebagai petani dan kepada mereka inilah Han Ki bertanya.
Saudara sekalian, harap suka
memberi keterangan kepadaku, di mana aku dapat bertemu dengan Hoat Bhok Lama?!