Istana Pulau Es Bab 22

Baca Cersil Mandarin Online: Istana Pulau Es Bab 22
Bab 22

Baik, kalau begitu harap kau suka menyusulnya. Biarkan dia memilih, lang sung membantuku atau membantu ayahmu. Dengan tenaga-tenaga lihai seperti dia, perjuangan kita akan makin berhasil. Kami akan kembali dan mempersiapkan pasukan untuk memberi pukulan-pukulan terakhir setelah Mancu dan Sung berhantam sendiri di selatan.!

Mereka berpisah dan Suma Hoat cepat pergi mengejar Ji-suhengnya dan gadis jelita yang telah memikat hatinya. Mendengar betapa dara itu dipuji-puji Pek-mau Seng-jin, dia menjadi makin tertarik. Benar-benar seorang dara pilihan, pikirnya. Dahulu, dia tergila-gila kepada Ciok Kim Hwa, seorang gadis lemah. Sekarang dara yang datang bersama ji-suhengnya itu, selain memiliki daya tarik lebih hebat daripada Ciok Kim Hwa juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Pantas menjadi kawan hidupnya. Untuk mendapatkan gadis seperti itu sebagai isterinya, dia siap meninggalkan cara hidupnya yang lalu, yang penuh petualangan dan dosa!

Demikianlah, dapat dibayangkan betapa girang hati Suma Hoat ketika dia bertemu dengan Coa Leng Bu dan Khu Siauw Bwee yang memang menantinya di kota kecil itu. Kedua orang itu sedang makan pagi di sebuah warung ketika Suma Hoat datang.

Ahhh, Ji-suheng! Untung sekali aku dapat menyusul kalian di sini!! katanya sambil menatap wajah Siauw Bwee dengan jantung berdebar. Bukan main! Pagi ini gadis itu tampak makin cantik mempesonakan. Biarpun mulut Suma Hoat mengeluarkan kata-kata gembira seperti itu, namun dia berdiri terpesona memandang Siauw Bwee, seolah-olah kedua kakinya tidak kuat menaiki anak tangga rumah makan itu!

Menyaksikan sikap pemuda itu, Siauw Bwee mengerutkan alisnya dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah. Pandang mata pemuda itu dengan jelasnya memancarkan isi hatinya kepadanya! Siauw Bwee tidak mampu melawan pandang mata seperti itu lebih lama lagi dan ia menunduk. Sedangkan Coa Leng Bu yang melihat sikap sutenya ini lalu menegur,

Sute, mari duduklah. Kenapa berdiri saja di situ?!

Suma Hoat sadar, kedua pipinya menjadi merah, jantungnya berdenyut aneh dan ia merasa heran sekali. Dia yang sudah bermain cinta dengan banyak gadis cantik dari segala golongan, kenapa sekarang sama sekali tidak berdaya menghadapi gadis ini? Ia lalu menaiki anak tangga, dan duduk di atas bangku berhadapan dengan Siauw Bwee, di sebelah kiri suhengnya.

Ji-suheng, aku mendengar bahwa kau terluka pundakmu. Bagaimana lukamu? Apakah sudah sembuh?!

Hanya luka daging, tidak berbahaya, Sute.!

suheng, Nona ini adalah yang kausuruh aku bantu di Sian-yang tempo hari. Siapakah dia? Harap Suheng memperkenalkan.!

Siauw Bwee mengangkat muka dan kini dia menatap wajah orang muda itu penuh perhatian. Wajah yang tampan, pikirnya, dan sikap yang gagah sekali. Dia sudah hampir lupa lagi bagaimana wajah Panglima Suma Kiat, akan tetapi dia mendengar bahwa panglima tua itu pun dahulunya seorang yang tampan. Orang muda di depannya ini memiliki sikap yang gagah perkasa, agaknya tidak patut menjadi seorang jahat, akan tetapi pandang matanya begitu tajam, seolah-olah pandang mata itu menjenguk ke dalam hatinya, bahkan seolah-olah pandang mata itu menelanjanginya! Diam-diam Siauw Bwee bergidik. Laki-laki yang jantan dan berbahaya sekali! Kalau saja cinta kasih di hatinya tidak sebulatnya tertuju kepada suhengnya, pria di depannya ini memiliki daya tarik luar biasa dan tidak anehlah kalau dia tertarik!

Mendengar ucapan sutenya, Coa Leng Bu tertawa, Ahhh, aku sampai lupa memperkenalkan. Sute, Khu-lihiap ini adalah puteri angkat dari mendiang Ouw-sute, jadi masih terhitung murid keponakanmu sendiri. Khu-lihiap, ini adalah Suma-sute, masih susiokmu sendiri.!

Siauw Bwee bangkit berdiri dan memberi hormat. Susiok....!! katanya perlahan dan sederhana.

Suma Hoat cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan dara itu sambil berkata, Aihh, Nona. Harap jangan menyebut Susiok kepadaku. Kepandaian Nona begitu tinggi, kalau menyebut Susiok kepadaku hanya membuat aku menjadi malu saja. Nona, namaku adalah Suma Hoat dan kuharap Nona tidak menyebut Susiok, sebut saja Twako karena kita telah menjadi sahabat, bukan?! Ucapan dan sikap Suma Hoat demikian ramah dan wajar, sama sekali tidak memperlihatkan sikap kurang ajar sehingga Siauw Bwee tersenyum. Senyum yang membuat Suma Hoat hampir terjengkang saking kagum dan girangnya.

Baiklah, Suma-twako.!

Mereka duduk kembali dan Leng Bu cepat memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah hidangan dan minuman.

Nona, engkau she Khu akan tetapi belum memperkenalkan diri.!

Sambil tersenyum memandang orang muda yang polos itu, Siauw Bwee menjawab,. Namaku Khu Siauw Bwee.! Berkata demikian, ia memandang tajam untuk melihat apakah orang muda she Suma itu mengenal namanya. Kalau dia keluarga Suma Kiat, tentu akan mengenal bahwa dia adalah puteri mendiang Panglima Khu Tek San! Akan tetapi tidak tampak perubahan sesuatu pada wajah yang tampan itu dan memang sesungguhnya Suma Hoat tidak mengenal nama ini. Peristiwa yang menimpa Khu Tek San dan Menteri Kam Liong terjadi ketika dia sudah meninggalkan kota raja.

Sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Beberapa kali Suma Hoat memancing untuk mengetahui keadaan Khu Siauw Bwee, namun gadis itu seolah-olah hendak menyembunyikan keadaannya.

Nona, kepandaianmu begitu hebat. Siapakah sebetulnya gurumu?! Akhirnya dia bertanya secara langsung.

Aku sendiri tidak tahu dan tidak dapat memberi tahu tentang itu, Suma-twako. Aku hanya belajar sedikit-sedikit di sana-sini, dan mula-mula aku belajar di bawah bimbingan suheng dan suciku sendiri.! Siauw Bwee tetap saja mengelak.

Ahh, kalau begitu, suheng dan sucimu tentu sakti bukan main! Bolehkah aku mengenal mereka?!

Maaf, Twako. Suheng dan suci merahasiakan diri mereka sehingga aku tidak boleh menyebut nama mereka. Harap kau suka memaklumi watak orang-orang aneh seperti mereka itu.!

Suma Hoat kecewa akan tetapi dia mengangguk. Heran sekali gadis ini sikapnya penuh rahasia, akan tetapi biarpun kecewa, dia tidak merasa menyesal! Padahal biasanya dia merasa paling benci kalau menghadapi gadis yang angkuh.

Aku mengerti, Nona, dan maafkan kelancanganku bertanya tadi. Bukan maksudku untuk mengetahui rahasia orang lain, akan tetapi.... aku kagum sekali kepadamu, maka timbul keinginanku untuk mengenalmu lebih baik dengan mengetahui riwayatmu. Maafkan aku.!

Tidak apa, Twako, akulah yang minta maaf,! kata Siauw Bwee, tidak enak juga hatinya menyaksikan sikap yang amat ramah, sopan dan baik dari orang muda itu.

Sute, sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu. Sesungguhnya karena hal inilah maka aku menantimu di sini. Bagaimana engkau dapat mengenal Koksu Negara Yucen dan rombongannya?!

Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini mengejutkan hati Suma Hoat. Tak disangkanya bahwa suhengnya tahu akan hal itu. Suhengnya sudah lama mengasingkan diri, tak mungkin mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai Koksu Kerajaan Yucen. Tak salah lagi, tentulah Khu Siauw Bwee yang mengenal kakek berambut putih itu, maka dia menjadi makin kagum dan heran. Dara ini selain berilmu tinggi, juga agaknya berpemandangan luas dan berpengalaman dalam dunia kang-ouw.

Jadi Suheng sudah mengenal Koksu Yucen? Terus terang saja, Suheng. Aku bekerja sama dengan Kerajaan Yucen dan bersekutu dengan Pek-mau Seng-jin.!

Diam-diam Coa Leng Bu kagum akan ketepatan pandangan Siauw Bwee. Dia melirik gadis itu yang bersikap tidak mengacuhkan, kemudian berkata, Sute, aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi selagi negara dalam keadaan terancam mengadakan persekutuan dengan bangsa lain, bukanlah hal itu dipantang oleh orang-orang gagah?!

Suma Hoat tersenyum. Untuk memberi pandangan tentang perjuangan bangsa, harus lebih dulu mengetahui keadaan sesungguhnya. Suheng melihat sendiri betapa kerajaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu yang kuat sekali. Biar pun semua orang gagah membantu Kerajaan Sung, kiranya kerajaan itu takkan dapat dipertahankan lagi. Jalan satu-satunya yang tepat adalah mengharapkan bantuan bala tentara Yucen dengan maksud menghadapi Mancu, bukanlah hal itu demi keselamatan negara kita?!

Diam-diam Siauw Bwee dapat mengerti kebenaran ini, dan Coa Leng Bu hanya menarik napas panjang. Aku tidak tahu tentang politik negara, Sute, hanya kuharap Sute tidak akan menyimpang daripada garis yang dilalui orang-orang gagah, jangan sampai kelak dikenal sebagai seorang pengkhianat bangsa.!

Tidak mungkin, Suheng. Sampai mati pun aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Kalau sekarang aku berbaik dengan Koksu Negara Yucen, hal itu semata-mata untuk menarik pihak Yucen menolong Kerajaan Sung yang terancam oleh pihak Mancu.!

Keterangan ini memuaskan hati Leng Bu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Hoat untuk mengajak mereka mencontoh sikapnya. Kuharap Suheng dan Nona Khu dapat melihat kenyataan itu dan marilah kalian ikut bersamaku membantu kerajaan dengan bekerja sama dengan Koksu Yucen. Dengan jalan ini kita akan dapat menyelamatkan negara dari ancaman Mancu.!

Aku tidak mempunyai hasrat untuk melibatkan diri dengan perang, Sute,! jawab Leng Bu dengan suara dingin.

Dan bagaimana dengan pendapatmu, Nona?!

Aku juga tidak suka mencampuri urusan negara, aku benci akan perang! Dan selain itu, aku mempunyai urusan pribadi yang lebih penting. Biarlah kita mengambil jalan kita masing-masing, Suma-twako. Supek, marilah kita melanjutkan perjalanan ke selatan.! Siauw Bwee ingin sekali segera dapat bertemu dengan Kam Han Ki dan Leng Bu yang maklum akan hal hati dara itu berkata,

Sebaiknya besok pagi-pagi saja kita berangkat. Kota Sian-tan merupakan benteng kuat dan menjadi pertahanan pasukan Sung, kurasa ke sanalah kita harus menuju. Akan tetapi, mengingat akan peristiwa di Sian-yang, kita harus berhati-hati memasuki kota itu.!

Siauw Bwee maklum bahwa setelah mereka berdua mengacau di Sian-yang sebelum pasukan Mancu tiba di sana, tentu mereka akan dimusuhi oleh tentara Sung, dan akan ditangkap oleh Bu-koksu karena dia telah membunuh panglima dampit. Maka ia mengangguk dan menyatakan setuju.

Suheng dan Nona Khu. Aku telah mendengar akan sepak terjang kalian di Sian-yang. Bukankah engkau yang telah membunuh panglima dampit dan menimbulkan kekacauan di sana? Kalau benar demikian, amat berbahaya kalau kalian memasuki kota Siang-tan. Pula, bolehkah aku bertanya apa tujuan Nona pergi ke sana?!

Aku ingin mencari seseorang, urusan pribadi, Twako. Maaf, aku tidak dapat memberi penjelasan kepadamu.!

Suma Hoat mengangguk, kembali merasa kecewa akan tetapi tidak menyesal. Bahkan dia ingin sekali membantu Nona ini karena dia dapat merasa bahwa tentu ada rahasia yang mengganggu hati nona ini. Dia akan diam-diam menyelidiki dan kalau perlu melindungi dan membantu Nona yang telah menjatuhkan hatinya ini.

Kalau begitu aku setuju dengan pendapat Ji-suheng. Lebih baik berangkat besok pagi, dan sedapat mungkin memasuki kota di waktu malam, menyelinap di antara kaum pengungsi sehingga tidak akan mudah dikenal.!

Siauw Bwee makin suka kepada pemuda ini. Seorang yang jujur, ramah, sopan dan tahu diri sehingga tidak terus bertekad mengetahui rahasia orang bahkan dapat menghargai dan memaklumi rahasia orang.

Suma-twako, aku pernah mendengar nama besar seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat. Tidak tahu apakah persamaan she antara Twako dan dia berarti ada hubungan keluarga?!

Kembali Suma Hoat terkejut, akan tetapi dia dapat menekan hatinya dan tidak memperlihatkan pada wajahnya. Dia tersenyum dan berkata, Kebetulan sekali aku adalah puteranya, Nona.!

Ohhh....!! Siauw Bwee tak dapat menyembunyikan kekagetannya. Untung dia dapat menahan kemarahannya dengan pendapat bahwa pemuda ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan Suma Kiat. Buktinya, pemuda ini tidak mengenalnya dan agaknya tidak tahu menahu tentang perbuatan jahat ayahnya yang telah mengakibatkan kematian Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Betapapun juga, sukar baginya untuk dapat duduk semeja lagi dengan putera musuh besarnya, maka ia lalu bangkit dan berkata,

Supek, aku ingin mengaso dulu. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan.! Kepada Suma Hoat dia hanya menjura tanpa memandang wajahnya, kemudian meninggalkan mereka dan pergi memasuki kamarnya di mana dia duduk dan mengatur pernapasan untuk menekan hatinya yang menggelora karena marah. Dia dapat menyabarkan hatinya ketika mengingat betapa Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang baik, tidak seperti ayahnya. Dia tidak akan mencontoh sucinya, yang membawa-bawa dendam kepada seluruh keluarga, bahkan bangsa! Tidak, dendamnya hanya tertuju kepada Suma Kiat, dia tidak akan memusuhi Suma Hoat yang sedikit banyak telah menarik hatinya.

Suma Hoat merasa heran akan sikap gadis itu, akan tetapi dia tidak menduga sama sekali akan isi hati Siauw Bwee. Dia melanjutkan bercakap-cakap dengan suhengnya, dan di pihak Coa Leng Bu, dia sama sekali tidak mengenal siapa adanya sutenya ini. Puluhan tahun dia menyembunyikan diri, mengasingkan diri dan tidak pernah tahu akan keadaan dunia ramai. Tentu saja dia tidak tahu akan sepak terjang Suma Kiat, bahkan dia tidak tahu bahwa sutenya ini adalah Jai-hwa-sian, karena nama Jai-hwa-sian pun belum pernah didengarnya. Dia hanya merasa kagum kepada sutenya yang selain memiliki kepandaian lebih tinggi daripadanya, juga ternyata putera seorang Panglima Sung! Dia malah merasa malu sendiri bahwa tadi dia telah menegur sutenya, siapa kira sutenya adalah putera panglima yang tentu saja lebih tahu akan keadaan negara.

Karena Suma Hoat juga hendak melanjutkan perjalanan besok, maka pemuda ini menyewa kamar di rumah penginapan yang didiami Leng Bu dan Siauw Bwee. Melihat Siauw Bwee tidak pernah keluar lagi dari kamarnya, Suma Hoat juga siang-siang sudah memasuki kamar, berusaha melupakan Siauw Bwee namun tak berhasil. Makin dilupa, wajah gadis itu makin jelas kelihatan di depan mata. Setiap gerak-gerik gadis itu, lirikan mata, gerak bibirnya, kalau bicara, kejapan matanya, senyum dikulum, aihh, dia benar tergila-gila! Harus kunyatakan sekarang, pikirnya. Tidak akan ada kesempatan, lagi. Berhasil atau gagal, sekarang, malam ini!

***

Malam ini amat sunyi. Suara penduduk kota kecil yang biasanya memecahkan kesunyian, malam itu tidak terdengar lagi. Dan sudah beberapa malam yang lalu, semenjak pasukan-pasukan Mancu menyerbu ke selatan, kota kecil ini menjadi sunyi sekali di waktu malam. Sebagian besar penduduknya sudah mengungsi ke selatan, mencari tempat yang jauh dari kemungkinan dilanda perang, dan sebagian kecil yang tertinggal, sore-sore sudah masuk tidur, tidur yang tidak pulas karena sedikit suara saja cukup membuat mereka terbangun dan bersiap-siap melarikan diri jika ada bahaya perang mengancam.

Bulan sepotong yang menciptakan keindahan ajaib, pemandangan remang-remang antara terang dan gelap, seakan-akan menambah kesunyian karena tiada yang menikmati dan mengaguminya. Hanya belalang, jengkerik, kutu-kutu dan burung malam yang dapat menikmati malam sunyi itu. Makin sunyi, makin menyenangkan bagi mereka. Mereka dapat bebas mengeluarkan suara, mungkin suara rindu si jantan mengundang si betina, suara untuk melindungi telur atau anak-anak mereka dari bahaya, namun bagi telinga manusia, suara binatang-binatang itu seolah-olah bernyanyi. Aneh akan tetapi demikianlah kenyataannya bahwa suara-suara berirama ini bahkan menambah rasa sunyi dan hening sang malam yang menciptakan rasa takut dalam hati manusia-manusia yang sudah gelisah oleh bayangan mereka sendiri itu.

Kesunyian terasa benar oleh Siauw Bwee yang berada di dalam kamarnya. Dia rebah sambil termenung, gelisah memikirkan suhengnya. Bagaimanakah kalau benar pendapat Coa Leng Bu bahwa suhengnya menjadi korban racun perampas semangat? Bagaimana kalau sampai tak dapat disembuhkan? Ngeri dia memikirkan bahwa suhengnya takkan dapat mengenalnya selamanya!

Berkali-kali Siauw Bwee menarik napas panjang dan dia merasa kesunyian, perasaan yang selalu menggoda hatinya semenjak dia meninggalkan Pulau Es. Keg elisahan dan kesunyian hatinya membuat dia dapat mendengarkan suara binatang malam dengan jelas dan dalam pendengarannya, suara malam itu seperti keluh-kesah yang menggema dari lubuk hatinya.

Tiba-tiba dia bangun duduk di atas pembaringannya. Suara binatang malam terhenti ketika terdengar suara tiupan suling melengking. Mula-mula suara suling itu rendah seperti keluhan seekor binatang yang terluka, kemudian makin meninggi dan melagu. Lengking suling yang merdu mengalun, naik turun dengan lika-liku yang halus, suaranya menggetar seolah-olah hawa yang keluar dari mulut peniupnya mengandung hati yang merana.

Siauw Bwee terpesona. Seperti juga semua belalang, jengkerik, dan kutu-kutu malam yang semua diam terpesona, dia pun diam tak bergerak, seluruh semangatnya seperti terbetot, terbawa melayang-layang di angkasa, memasuki dunia lamunan. Suara itu mendatangkan perasaan aneh dan penuh rahasia, seperti perasaan orang kalau mendengarkan dengan penuh perhatian suara angin bersilir mempermainkan daun-daun pohon, seperti dendang anak sungai dengan airnya yang bercanda dengan batu-batu sungai, suara air hujan rincik-rincik menimpa permukaan bumi, suara guntur di angkasa di musim hujan, suara air laut bergemuruh menghantam karang. Sejenak membuat perasaan pikiran menjadi hampa, sunyi, penuh damai, bebas daripada permainan suka duka.

Namun, suara tiupan suling yang melagu itu menghanyutkannya ke lembah keharuan, mengingatkan dia akan segala kesunyian dan kegelisahannya, membuat Siauw Bwee tanpa disadarinya sendiri berlinang air mata. Ketika merasa dua titik air hangat mengalir turun di atas pipinya, barulah dia tersadar. Cepat dihapusnya air matanya, dan ia terheran-heran. Siapakah yang meniup suling seperti itu? Seolah-olah dia mendengar keluh kesah, rintihan dan ratap tangis bersembunyi di dalam lengking merdu itu.

Siauw Bwee turun dari pembaringan, membereskan pakaian tanpa mempedulikan rambutnya yang awut-awutan, kemudian dia keluar dari kamarnya, terus keluar dari rumah penginapan, menuju ke belakang dari mana terdengar suara suling itu. Bulan sepotong masih mengambang tinggi di atas kepala, sinarnya menciptakan cahaya remang-remang, agak kebiruan, agak kekuningan, mendatangkan hawa yang sejuk dan menimbulkan suasana yang penuh rahasia dan keajaiban. Pohon-pohon yang menjadi permainan cahaya redup dan kegelapan, seolah-olah kehilangan bentuk aselinya dan berubah menjadi bentuk yang penuh rahasia.

Siauw Bwee terus melangkah memasuki sebuah kebun yang kosong, dan tiba-tiba tampaklah olehnya seorang yang duduk membelakanginya, duduk di atas sebuah batu, meniup suling. Dia adalah seorang laki-laki, akan tetapi sukar dikenal siapa karena selain membelakanginya, juga laki-laki itu duduk terlindung dalam bayangan sebatang pohon. Kedua tangan memegang suling, kepalanya agak miring ketika meniup lubang suling, kedua pundaknya bidang.

Siauw Bwee berhenti melangkah. Setelah keluar dari dalam kamar, kini suara suling terdengar makin merdu, seolah-olah melayang-layang di angkasa, bermain-main dengan bayangan, membubung tinggi melalui sinar bulan redup, seperti hendak mencapai bulan. Teringatlah dia kini dan dia mengenal lagu yang dimainkan suling itu. Ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya di kota raja, Siauw Bwee pernah mempelajari seni suara dan dia mengenal lagu itu, sebuah lagu kuno yang berjudul Merindukan Bulan!. Bahkan dia masih teringat akan kata-kata nyanyian lagu itu. Bagaikan dalam mimpi, ketika tiupan suling itu mengulangi lagi nyanyian itu, dia bernyanyi, perlahan, akan tetapi karena dia memiliki tenaga khi-kang yang hebat, suara nyanyian menggetar dan bergelombang sampai jauh, merdu seperti bisikan bulan sendiri melalui cahaya yang kebiruan.

Bulan....
tunggulah aku wahai bulan
jangan kautinggalkan aku sendiri!
Bulan....
hanya engkaulah pengganti dia
hanya engkaulah pencermin wajahnya
Bulan....
ke mana engkau lari?
ke mana engkau sembunyi?
Bulan....
kasihanilah aku wahai bulan
jangan kau pergi.... jangan....!

Tak terasa lagi, kembali dua titik air mata membasahi pipi Siauw Bwee. Dia berhenti bernyanyi, dan suara suling itu pun melambat, menurun, akhirnya berhenti sama sekali. Sejenak sunyi, tiada sedikit pun suara menyusul penghentian lengking suling, kemudian, tiba-tiba, suara binatang malam saling sahut lagi, seolah-olah mereka itu berseru memuji.
Seperti dalam mimpi, Siauw Bwee melihat penyuling itu bangkit, menghampirinya dan tiba-tiba orang itu menjatuhkan diri berlutut di depannya.

Nona.... engkau benar-benar datang.... terima kasih kepada Thian....! Betapa hatiku menggetarkan suara merindumu, memanggilmu.... dan ternyata engkau dapat menangkap getaran ini.... ahhh, Nona, adakah.... adakah harapan di hatiku yang kering ini?!

Siauw Bwee terbelalak memandang ketika sadar kembali dan terbebas dari hikmat keajaiban malam dan mengenal orang itu yang bukan lain adalah Suma Hoat. Hampir dia menjerit kalau saja tidak cepat-cepat dia mendekap mulut sendiri dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mendekap dada kiri seolah-olah menahan debaran jantungnya.

Ihhh.... engkau.... engkau.... apa maksudmu? Apa artinya semua ini....?!

Suma Hoat yang sudah tergila-gila itu menjatuhkan diri menelungkup dan mencium ujung sepatu Siauw Bwee. Gadis itu menjadi makin sadar dan cepat melompat ke belakang.

Suma Hoat! Apakah engkau sudah gila?! bentaknya.

Nona Khu Siauw Bwee, memang aku sudah gila. Tidak dapatkah engkau menangkap kegilaanku dari suara sulingku, dari sinar mataku kalau memandangmu, dan debar jantungku kalau mendengar suaramu, dari....!

Kau.... kau gila....!! Siauw Bwee membentak, wajahnya menjadi merah sekali.

Benar, aku gila, aku tergila-gila kepadamu, Nona. Aku cinta padamu.... biarlah kaubunuh aku kalau kau merasa terhina, aku rela mati di tanganmu, aku cinta padamu, Khu Siauw Bwee,! Suma Hoat berkata sambil berlutut, sekali ini, tidaklah seperti kalau dia merayu wanita. Belum pernah dia merendahkan diri seperti itu, biasanya dia malah angkuh sekali berhadapan dengan wanita. Dan baru dua kali ini selama hidupnya dia mengaku cinta dengan setulus hatinya.

Melihat sikap ini, lenyaplah kemarahan dari hati Siauw Bwee. Dia terharu karena sikap laki-laki ini jelas bukanlah rayuan kosong belaka! Timbul pertentangan di hatinya, antara kasihan yang menimbulkan keharuan dan kebencian karena mengingat bahwa pria ini adalah putera musuh besarnya.

Suma Hoat, cukuplah sikapmu yang gila ini. Aku tidak mau menerima cintamu, tidak bisa menerima cinta siapapun juga.!

Suma Hoat memejamkan matanya. Aihh, tidak.... tidak....! Apakah dia harus kembali mengalami kegagalan cinta! Cinta yang tulus ihklas, cinta yang bukan terdorong berahi semata, melainkan cinta karena daya tarik dari seluruh pribadi wanita itu?

Kau.... kau.... sudah mencinta orang lainkah....?! tanyanya lemah.

Bukan urusanmu itu, Suma Hoat, dengarlah, kalau aku tidak melihat sikapmu yang baik, tentu sudah sejak kemarin aku mencarimu dan membunuhmu!!

Suma Hoat terkejut bukan main. Dia melompat bangun, memandang gadis itu dengan mata terbelalak lebar. Nona, demikian besarkah dosaku? Demikian besarkah dosa seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita seperti Nona? Sehingga timbul kebencianmu dan keinginanmu untuk membunuhku?!

Bukan karena itu, melainkan karena kenyataan bahwa engkau adalah putera musuh besarku, putera si keparat Suma Kiat.!

Ya Tuhan....! Mengapa, Nona? Mengapa engkau memusuhi ayahku?!

Buka telingamu baik-baik. Suma Hoat! Aku adalah puteri tunggal dari mendiang Khu Tek San! Dan engkau tahu bahwa ayahku dan Menteri Kam Liong, guru ayahku, tewas gara-gara kekejian ayahmu!!

Suma Hoat makin kaget. Dia tidak melihat peristiwa itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia sudah mendengar akan hal itu. Dengan muka pucat dia memandang gadis itu, kemudian berkata lemah,

Sungguh buruk nasibku.... Tuhan mengutukku karena perbuatan ayah.... dan.... dari perbuatanku sendiri. Nona, kalau begitu, kaubunuhlah aku, aku takkan melawanmu....!

Hemmm, kalau aku hendak membunuhmu, apa kaukira engkau mampu melawanku?!

Khu Siauw Bwee, aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi harap jangan memandang rendah orang laln. Dan jangan engkau mencari ayahku, karena selain ayahku berilmu tinggi dan mempunyai benyak pasukan, juga aku bersedia menebus kesalahan ayah kepadamu. Aku cinta padamu, Nona. Sungguh, aku bersumpah, aku cinta padamu. Lebih baik engkau membalas dendammu kepadaku dan aku rela mati di tangan wanita yang kucinta dengan seluruh tubuh dan nyawaku.!

Engkau gila! Siapa percaya omonganmu? Engkau perayu. Mana mungkin orang baru berjumpa dua kali sudah menyatakan cinta seperti engkau? Selain itu, aku tidak akan membunuhmu, aku bukan orang yang membabi buta dalam pembalasan dendamnya. Hanya ayahmu yang bersalah dan ke mana pun dia bersembunyi, aku akan dapat mencari dan membunuhnya. Kalau tidak, percuma saja aku bertahun-tahun belajar ilmu di Pulau Es!! Saking marahnya, Siauw Bwee lupa diri dan menyebut Pulau Es.

Suma Hoat makin kaget. Apa....? Engkau.... engkau.... penghuni Istana Pulau Es....?!

Benar! Dan kalau engkau hendak membela ayahmu, majulah agar aku mempunyai alasan untuk menghajarmu!!

Lemas rasa seluruh tubuh Suma Hoat. Bukan lemas karena takut, melainkan lemas karena maklum bahwa harapan cintanya musnah sama sekali. Gadis jelita ini adalah penghuni Istana Pulau Es, selain memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, juga agaknya mencintai orang lain, bahkan menjadi musuh ayahnya. Tak mungkin dara ini sudi membalas cintanya.

Aku.... aku tidak akan melawanmu, Nona. Betapapun juga, aku tetap mencintamu.... dan agaknya sudah menjadi nasibku untuk selalu kecewa dalam cinta kasih murni, dan hanya dapat mengecap kenikmatan cinta palsu yang hampa. Maafkan aku, Nona. Hanya sebuah hal yang kumohon kepadamu untuk mengaku. Benarkah dugaanku bahwa Nona telah mencinta orang lain?!

Menyaksikan sikap yang begitu menderita dan suara yang menggetar seperti hendak menangis, Siauw Bwee, yang berperasaan halus itu kembali merasa kasihan

Benar dugaanmu, karena itu aku tidak mungkin dapat mendengar pernyataan cinta kasih dari pria lain yang manapun juga!!

Suma Hoat menunduk, jari-jari tangannya meremas. Krekkk!! Sulingnya hancur berkeping-keping. Selamat tinggal, Nona. Betapapun juga, cintaku takkan pernah padam dan harapanku takkan pernah musnah. Aku akan menanti, siapa tahu...., Thian akan menaruh iba kepadaku.... dan kelak.... kelak kita masih akan dipertemukan kembali dengan harapan baik bagiku.... selamat tinggal.!

Tubuh Suma Hoat melesat cepat meninggalkan tempat itu, dan Siauw Bwee berdiri termangu-mangu, menghela napas panjang. Teringat ia kepada Yu Goan, pemuda tampan gagah perkasa yang juga jatuh cinta kepadanya dan terpaksa ditolaknya pula. Akan tetapi, hatinya tidak seberat ketika menghadapi pernyataan cinta kasih Suma Hoat. Diam-diam dia harus mengaku di dalam hatinya bahwa andaikata Suma Hoat bukan putera Suma Kiat, agaknya tidak sukar baginya untuk memperhatikan pernyataan cinta kasih pemuda itu! Andaikata....!

Khu-lihiap, apa yang kaulakukan malam-malam di sini? Hawanya begini dingin....!
Siauw Bwee sadar dari lamunannya dan membalikkan tubuh. Ah, aku tak dapat tidur, Supek.!

Sebaiknya tidur sekarang, besok kita berangkat pagi-pagi. Aku akan membi carakan rencana kita dengan Sute karena dia agaknya lebih mengenal keadaan kota Siang-tan agar lebih mudah kita memasuki kota yang menjadi benteng pertahanan pasukan Sung itu.!
Dia sudah pergi, Supek.!

Apa? Siapa maksudmu?!

Suma-twako, dia sudah pergi.! Setelah berkata demikian, Siauw Bwee kembali ke penginapan dan memasuki kamarnya.

Coa Leng Bu masih tidak percaya dan membuka pintu kamar sutenya. Ternyata kamar itu telah kosong. Dia hanya melongo dan tidak mengerti. Diam-diam ia menghela napas dan menduga bahwa tentu terjadi sesuatu antara Siauw Bwee dan sutenya itu, akan tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi dan tidak berani bertanya. Ia pun lalu memasuki kamarnya dan tidur.

Pasukan Mancu yang menduduki kota Sian-yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, dan tentu saja karena jasa Pasukan Maut yang dipimpin oleh Panglima Wanita Maya maka benteng itu dapat direbut dengan mudah. Setelah berhasil menduduki kota dan mengamankan keadaan, Pangeran Bharigan mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan Pasukan Mancu. Jasa Maya dan pembantu-pembantunya, terutama kedua orang murid Mutiara Hitam, dipuji-puji oleh Pangeran Bharigan yang biarpun cintanya ditolak Maya, masih selalu mengharapkan perubahan hati dara itu.

Biarpun keadaan mengharuskan dia bergembira, namun Maya merasa masih belum puas, apalagi kalau dia mengingat akan suhengnya yang tempo hari membantu pasukan Yucen. Dia tidak akan merasa puas kalau belum menumpas Kerajaan Sung untuk membalas dendam kematian Menteri Kam Liong, kemudian menumpas bangsa Mongol dan Yucen untuk membalas kematian ayah bundanya, Raja dan Ratu Khitan. Maka untuk menghentikan puji-pujian itu, dia menjawab,

Kemenangan kita adalah jasa para perajurit dan kemenangan ini belum ada artinya karena benteng yang berada di depan jauh lebih kuat. Saya mendengar bahwa benteng musuh di kota Siang-tan amat kuatnya.!

Menurut para penyelidik memang benar demikian, Li-ciangkun,! kata Pangeran Bharigan. Oleh karena itu, kita pun jangan tergesa-gesa melakukan penyerangan. Sambil memberi waktu kepada para anak buah pasukan untuk mengaso, sebaiknya kalau kita mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka. Kita harus mengetahui kelemahan-kelemahan mereka di samping kekuatan mereka agar pukulan kita tidak akan gagal.!

Sebaiknya demikian, Pangeran. Akan tetapi, untuk menyelidiki kota besar yang merupakan benteng kuat itu, tidaklah mudah. Oleh karena itu, saya mohon perkenan Pangeran untuk pergi menyelidiki sendiri, dengan beberapa orang pembantu yang berkepandalan cukup tinggi.!

Pangeran Bharigan mengangguk-angguk. Memang sebaiknya begitu dan kalau panglima wanita yang sakti itu pergi menyelidiki sendiri, tentu hasilnya akan jauh lebih baik daripada mengirim penyelidik biasa. Biarpun hatinya khawatir kalau-kalau wanita perkasa yang menarik hatinya dan diharapkan dapat menjadi calon isterinya itu mengalami malapetaka, namun dia tahu bahwa merupakan pantangan bagi Maya untuk bersikap penakut.

Saya tidak dapat menolak permintaanmu, Li-ciangkun. Kalau memang kauanggap penting bahwa engkau sendiri yang pergi, terserah. Silakan memilih pembantu-pembantumu, dan apakah perlu dengan pasukan?!

Maya menggeleng kepala. Saya hanya memerlukan bantuan Ok Yan Hwa, Can Ji Kun, Kwa-huciang dan Theng-ciangkun. Kami berlima akan menyamar sebagai pengungsi dan memasuki kota Siang-tan. Besok pagi-pagi kita berangkat. Kalau Pangeran setuju, kuharap kalian berempat suka bersiap-siap malam ini.!

Pangeran Bharigan menyetujui dan bersiaplah lima orang itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di waktu cuaca makin gelap, mereka menyelundup keluar dan berpakaian sebagai penduduk biasa, membawa buntalan pakaian, kemudian menyelinap di antara rombongan pengungsi yang berbondong-bondong menuju ke Siang-tan. Tidak begitu banyak yang memasuki kota Siang-tan, karena sebagian pengungsi ada yang berhenti di dusun-dusun dan kota-kota sebelum mencapai Siang-tan.

Perjalanan jauh membuat pakaian dan rambut mereka kusut sehingga kecantikan Ok Yan Hwa, terutama sekali Maya, tidaklah begitu menonjol, apalagi mereka sengaja membiarkan sinar matahari membakar kulit muka dan tangan mereka yang biasanya halus dan putih kuning itu. Kulit mereka menjadi kecoklatan seperti kulit para wanita petani. Pula, di antara para pengungsi terdapat pula wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang dalam perjalanan mengungsi itu tak pernah lupa untuk bersolek, sehingga dipandang sepintas lalu, Yan Hwa dan Maya yang membiarkan kulit mereka dihanguskan matahari, membiarkan pakaian dan rambut mereka kusut, tidak kelihatan cantik luar biasa.

Ketika memasuki pintu gerbang sebelah utara bersama rombongan pengungsi, Maya dan empat orang pembantunya melihat betapa penjagaan di sepanjang tembok kota amat kuat dan rapi. Para penjaga berbaris dengan lapisan yang ketat, sedangkan setiap orang pengungsi diawasi dengan cermat, bahkan kereta-kereta yang masuk diperiksa dan pengungsi yang membawa senjata dirampas.

Diam-diam Maya harus mengakui bahwa penjagaan bagian pintu gerbang di kota Siang-tan ini jauh lebih kuat daripada penjagaan di kota Sian-yang dan di atas tembok kota penuh pula dengan pasukan penjaga yang selalu siap dengan busur dan anak panah mereka. Juga di sekeliling tembok dipasangi jebakan-jebakan dengan barisan-barisan pendam yang tidak tampak dari jauh. Semua ini dicatat dalam hati oleh Maya. Setelah memasuki kota, Maya dan teman-temannya menyaksikan barisan Sung telah memasang persiapan membentuk pasukan-pasukan peronda, sedangkan induk pasukan yang berada di markas, yang tampak dari luar, kelihatan segar-segar dan penuh semangat.

Banyak sekali rombongan pengungsi yang membanjiri kota ini semenjak beberapa hari yang lalu sehingga semua rumah penginapan penuh oleh para pengungsi yang beruang. Karena kehabisan kamar, terpaksa Maya dan teman-temannya bermalam di dalam sebuah gedung besar rumah perkumpulan yang oleh para dermawan kota itu disediakan untuk menampung para pengungsi yang tidak dapat menyewa kamar, yang tidak berkeluarga di kota itu dan yang tidak kebagian kamar penginapan lagi. Saking banyaknya orang yang memasuki gedung ini, sebagiaan besar mereka terpaksa berjubel di dalam ruangan terbuka yang luas.

Di tempat ini mereka, laki-laki wanita, tua muda, kanak-kanak, beristirahat, ada yang duduk mengobrol, ada yang tidur di lantai. Di sana-sini terdengar suara anak-anak kecil menangis diiringi suara makian atau hiburan orang tuanya, ada pula suara keluh-kesah wanita yang teringat akan rumah dan segala miliknya yang terpaksa ditinggalkan. Di dalam ruangan ini Maya dan empat orang temannya duduk di sudut, memperhatikan percakapan-percakapan antara para pengungsi karena percakapan-percakapan itu pun merupakan sumber keterangan yang amat penting bagi mereka.

Menyaksikan sikap para pengungsi, melihat wajah mereka tidaklah sekeruh tadi ketika melakukan perjalanan, bahkan kini setelah bercakap-cakap mereka tersenyum-senyum dan sama sekali tidak tampak berduka, diam-diam Maya teringat akan penuturan suhengnya yang seringkali ketika mereka berada di Pulau Es membicarakan filsafat yang banyak diketahui suhengnya itu. Diam-diam dia dapat melihat kenyataan akan watak manusia pada umumnya seperti yang pernah ia dengar dari suhengnya. Di dalam segala macam hal, dalam susah maupun senang, manusia selalu bergerak dan bersikap di atas dorongan sifat sayang diri.

Betapapun dukanya hati seseorang karena mengalami derita tertimpa kemalangan, hatinya yang duka itu akan terhibur apabila melihat manusia lain menderita pula, apalagi kalau penderitaan manusia lain itu lebih besar daripada penderitaannya sendiri. Dia dapat membayangkan betapa akan hancur dan sengsara hati setiap orang diri para pengungsi ini andaikata dia seorang yang mengalami nasib buruk seperti itu! Akan tetapi, bertemu dan berkumpul dengan banyak orang lain yang senasib, maka mereka itu merasa terhibur!

Sebaliknya, setiap kesenangan dan keuntungan yang datang selalu ingin dikuasai oleh seorang saja sehingga dijadikan perebutan! Sifat sayang diri dan iba diri inilah yang mengusir cinta kasih antara manusia jauh-jauh dari hati manusia sehingga di mana-mana, bahkan di dalam hati masing-masing manusia, timbul pertentangan-pertentangan. Padahal, dengan cinta kasih yang mendalam, setiap kedukaan akan terasa ringan apabila dipikul bersama, sebaliknya di setiap kesukaan akan terasa lebih nikmat apabila dinikmati bersama. Hal ini akan dapat dirasakan oleh setiap orang dalam sebuah keluarga yang penuh cinta kasih, di mana setiap kedukaan menjadi ringan dan setiap kesukaan menjadi besar karena selalu dirasakan oleh seluruh keluarga yang mengandung cinta kasih di dalam hati masing-masing.

Percakapan antara tiga orang laki-laki tua di sebelah kirinya amat menarik hati Maya dan empat orang kawannya. Mereka itu bercerita tentang keributan di dalam gedung kepala daerah kota Sian-yang, di mana Koksu Negara menjadi tamu. Keributan yang ditimbulkan oleh seorang dara perkasa yang bertanding melawan pengawal-pengawal Koksu, bahkan yang berhasil membunuh pengawal Koksu yang paling terkenal, yaitu Panglima Dampit.

Maya saling pandang dengan teman-temannya, dan berbisiklah Ok Yan Hwa,
Tentu dia itu orangnya....!

Maya dan yang lain-lain mengangguk. Mereka sudah mendengar penuturan Ok Yan Hwa betapa ada seorang gadis lihai bukan main yang hendak kabur keluar dari kota Sian-yang di malam hari dan dalam pengepungan terhadap dara lihai itu, Yan Hwa sendiri tidak berhasil mengalahkannya. Tadinya Maya juga terheran, akan tetapi ketika mendengar bahwa Yan Hwa baru bertanding beberapa gebrakan saja melawan pelarian itu, dia masih belum yakin benar akan ada seorang gadis yang dapat menandingi Yan Hwa.

Akan tetapi ketika sekarang mendengar bahwa gadis itu dapat membunuh Panglima Dampit dalam pertandingan, Maya benar-benar terkejut bukan main. Dia maklum akan kelihaian Panglima Dampit, yang amat terkenal dan sukar dikalahkan itu, dan kini dua orang dampit yang lihai itu tewas di tangan gadis itu. Diam-diam terbayanglah wajah sumoinya, Khu Siauw Bwee di dalam mata Maya, Yan Hwa melihat dara itu di dalam gelap sehingga tidak dapat menceritakan dengan jelas bagaimana wajah gadis itu. Akan tetapi, melihat keadaannya, seorang gadis cantik yang mampu mengalahkan Panglima Dampit, di dunia ini sukar sekali didapat bahkan Yan Hwa sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan dua orang dampit itu, dan kalaupun ada agaknya hanya dia sendiri atau Siauw Bwee! Dia lalu berbisik kepada Ji Kun. Pemuda ini mengangguk lalu mendekati orang-orang yang sedang bicara tentang peristiwa di gedung yang ditinggali Bu-ciangkun itu, kemudian bertanya,

Lopek, benarkah Panglima Dampit terbunuh oleh seorang gadis? Betapa anehnya dan sukar dipercaya. Siapa yang tidak mengenal kelihaian Panglima Dampit?!

Kakek itu memandang Ji Kun dan mengerutkan alisnya. Memang benar dia lihai sekali akan tetapi menurut penuturan keponakanku yang menjadi pengawal dan pada waktu itu menyaksikan sendiri pertandingan itu, Panglima Dampit benar-benar tewas dalam keadaan mengerikan di tangan gadis yang mempunyai kepandaian seperti dewi itu.!

Aih, sungguh hebat dan menarik sekali. Lopek, untuk melupakan kesengsaraan kita, sukakah kau menceritakan kejadian itu? Si Dampit adalah panglima betapa mungkin sampai terbunuh, dan bagaimana dengan Koksu dan panglima-panglima lainnya?!

Dengan wajah gembira karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa penting yang tidak sembarangan orang dapat mengetahuinya, kakek itu menghisap huncwe (pipa tembakau) sampai paru-parunya penuh asap, kemudian dengan uluran napas panjang ia mengeluarkan asap tambahan yang hilang sarinya itu melalui hidungnya, menikmati pandang mata semua orang di sekelilingnya yang bergantung kepada bibirnya. Barulah dia menjawab,

Engkau tidak tahu, orang muda. Pertandingan itu memang disengaja oleh Koksu yang hendak menguji kepandaian gadis perkasa itu. Gadis itu bersama seorang laki-laki tua memasuki ruangan dan entah mengapa, para pengawal tidak ada yang mengerti, dia mengamuk. Menyaksikan kelihaian gadis itu, Koksu menyuruh panglimanya maju bergantian, akan tetapi apa yang terjadi? Benar keponakanku yang mengatakan bahwa gadis itu agaknya bukan manusia biasa melainkan seorang dewi, baik karena kecantikannya yang luar biasa, tubuhnya yang berbentuk menggairahkan, maupun kepandaiannya yang sukar dipercaya. Kalian tahu? Seorang demi seorang para panglima pengawal itu roboh olehnya!!

Aihhhh....!!

Ayaaaaaa.... lihai sekali!!

Tsk-tsk-tskk....!!

Melihat semua panglimanya roboh, Bu-koksu lalu menyuruh adik angkatnya sendiri, pengawal pribadinya yang penuh rahasia, yang hanya dikenal sebagai Kam-busu untuk maju menghadapi gadis itu!!

Aihhhh....!! Sekali ini teriakan kaget keluar dari mulut Maya. Disebutnya nama Kam-busu yang katanya paling lihai di antara para panglima, membuat hatinya berdebar tegang. Seorang she Kam menjadi adik angkat Koksu dan paling lihai di antara para panglima pengawal? Siapa lagi kalau bukan Kam Han Ki? Ah, akan tetapi sungguh tidak mungkin hal itu terjadi. Suhengnya menjadi pengawal pribadi Koksu? Tak masuk akal! Suhengnya adalah seorang buruan, seorang pelarian yang dimusuhi Kerajaan Sung, mana bisa sekarang menjadi pengawal pribadi Koksu? Pula kalau betul dugaannya bahwa dara yang lihai sekali itu adalah sumoinya, Khu Siauw Bwee, mana mungkin bertanding melawan Kam Han Ki? Tentu seorang di antara keduanya itu yang bukan sumoinya atau suhengnya. Kalau gadis itu betul Siauw Bwee, tentu pengawal itu bukan Han Ki. Sebaliknya, kalau pengawal itu Han Ki, pasti gadis itu bukan Siauw Bwee. Betapapun juga, dia hampir yakin bahwa tentu gadis itu sumoinya, sedangkan pengawal itu bukan suhengnya, biarpun mempunyai she Kam.

Kakek itu melanjutkan ceritanya setelah melotot kepada Maya sebagai teguran karena teriakannya tadi. Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa, mengejutkan semua orang dan agaknya sukar ditentukan siapa di antara mereka itu yang akan menang kalau pertandingan itu dilanjutkan. Sayang, pada saat itu, kota mulai dikacau musuh sehingga Koksu terpaksa meninggalkan ruangan itu dikawal oleh Kam-busu, dan Koksu memerintahkan Panglima Dampit bersama para panglima lain dan para pengawal untuk menangkap atau membunuh gadis ini bersama temannya. Dalam pertempuran inilah, gadis jelita yang lihai itu membunuh Panglima Dampit dan banyak pengawal lain. Untung keponakanku hanya mengalami kepala benjol saja dan tidak mati. Gadis itu yang sepak terjangnya seperti seekor naga betina, berhasil lolos dari kepungan para pengawal, bahkan menolong pula temannya.!

Semua orang tercengang dan cara Si Kakek bercerita yang disertai gerakan kedua tangannya mendatangkan kesan mendalam terhadap para pendengarnya, terutama sekali kepada Maya dan temantemannya, tentu saja. Maya merasa yakin kini bahwa gadis itu tentulah Siauw Bwee. Gadis mana lagi di dunia ini yang memiliki ilmu kepandaian selihai itu? Dia maklum bahwa kepandaian sumoinya amat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan dia sendiri, bahkan dia tidak berani memastikan bahwa dia akan dapat memenangkan sumoinya itu! Selagi dia hendak bertanya kepada kakek itu lebih jelas tentang diri Kam-busu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar gedung itu. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi! Mendengar ini, otomatis para pengungsi menjadi pucat wajahnya dan mereka bergegas menyiapkan barang-barang bawaan, ada yang segera menggendong anaknya. Tak seorang pun berani membuka suara sehingga keadaan yang sunyi itu membuat suara gaduh di luar makin terdengar jelas. Tak salah lagi, ada dua orang tengah berkelahi sambil saling memaki.

Hendak lari ke mana kau, keparat?! terdengar bentakan disusul gedebak-gedebuknya kaki berlari memasuki gedung. Kembali terdengar suara perkelahian, di dalam gedung, dekat dengan ruangan itu.

Mendengar suara perkelahian ini makin dekat dengan ruangan itu, seorang kakek yang pucat ketakutan cepat menutupkan daun pintu yang menembus ruangan itu kemudian bergegas ia duduk kembali. Semua mata terbelalak memandang kepada pintu yang tertutup itu dan dari balik pintu terdengar suara perkelahian, kini berdesingnya senjata. Jantung mereka menjadi makin tegang dan berdebar.

Brakkkkk!! Daun pintu pecah, berantakan dan tubuh seorang laki-laki tinggi besar yang tadi terlempar menubruk daun pintu, jatuh terjengkang di atas daun pintu di sebelah dalam ruangan. Anak-anak menjerit, juga para wanita, dan semua orang terbelalak memandang, akan tetapi menjadi agak lega ketika melihat bahwa yang berkelahi bukanlah tentara, berarti bahwa di luar tidak terjadi perang. Yang berkelahi hanyalah dua orang laki-laki setengah tua. Akan tetapi kini orang yang jatuh cepat mencelat ke samping ketika lawannya, seorang kakek ber jenggot pendek, menubruknya.

Kakek berjenggot pendek itu ternyata lihai sekali. Biarpun dia bertangan kosong, ternyata lawannya yang memegang sebatang golok telah terlempar sampai tubuhnya membobol daun pintu. Kini kakinya melayang menyusul tubrukannya yang tak berhasil tadi. Lawannya berseru marah, tangannya tertendang sehingga goloknya terlepas. Dengan gerengan seperti seekor biruang terluka, orang yang memakai topi bulu domba ini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat dan bertandinglah kedua orang itu di tempat yang amat sesak dengan para pengungsi itu!

Maya dan teman-temannya tetap duduk dengan sikap tenang. Mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang yang berkelahi itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Gerakan mereka tangkas sekali dan biarpun tempat itu penuh sesak dengan pengungsi, mereka dapat bertanding dengan berloncatan ke sana-sini, melewati kepala orang, bahkan kadang-kadang menggunakan kaki mereka meloncat dari pundak dan kepala para pengungsi lalu melesat ke kanan kiri! Tentu saja para pengungsi menjadi geger dan melihat bahwa yang berkelahi hanya dua orang biasa, mereka yang kena injak dan yang memiliki kepandaian, melawan dan memukul. Namun, dua orang itu lihai sekali sehingga setiap serangan dari para pengungsi yang marah karena dikacau dua orang itu, dalam dua tiga gebrakan saja sudah terpukul roboh dan mereka berdua melanjutkan perkelahian mereka!

Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa sudah marah sekali, hendak meraba pedang yang mereka sembunyikan di balik baju. Akan tetapi Maya menyentuh lengan mereka, berkedip dan menggoyang kepala sehingga mereka terpaksa menelan kemarahan mereka terhadap dua orang yang benar-benar tidak men genal tempat dan keadaan, berkelahi di antara bagitu banyak orang sehingga menimbulkan kepanikan.

Tiba-tiba orang yang bertopi bulu domba itu mengelak sambil meloncat ke tempat rombongan Maya. Seperti tidak disengaja, dia turun dan hendak menginjak pundak Can Ji Kun untuk dipergunakan sebagai landasan! Tentu saja Ji Kun tidak sudi pundaknya diinjak. Dia miringkan tubuh, tangannya menyambar ke atas menotok lutut orang dan sambil berteriak kaget orang itu roboh terguling!

Lawannya yang berjenggot pendek menerjang maju, melampaui kepala Yan Hwa, dan gadis itu pun menampar ke atas, mengenai tulang betis Si Jenggot Pendek yang terjungkal pula menimpa tubuh lawannya. Mereka berdua sudah cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri pada lutut dan tulang betis, kemudian keduanya tiba-tiba bersuit keras sambil meloncat ke pintu.

Tangkap mereka!! Kedua orang itu berseru dan dari luar masuklah puluhan orang tentara yang bersenjata lengkap, sedangkan di luar pintu masih tampak banyak sekali anggauta tentara. Jumlah mereka ada seratus orang lebih!

Berpencar! Lari....!! Maya berbisik. Maklumlah dia bahwa perkelahian antara dua orang tadi hanyalah sandiwara belaka. Agaknya mereka adalah panglima-panglima yang menyamar dan melakukan penyelidikan. Karena kota Sian-yang di utara telah kebobolan karena adanya penyelundupan mata-mata musuh yang lihai, maka kini Koksu Bu Kok Tai tidak mau membiarkan hal itu terulang di kota Siang-tan. Dia maklum bahwa mata-mata musuh hanya dapat menyelinap masuk di antara pengungsi, maka dia mengatur rencana itu untuk mengetahui siapa di antara pengungsi-pengungsi yang berkepandaian tinggi dan mereka itu harus ditangkap untuk diperiksa.

Kalau ternyata mata-mata, tentu akan dihukum mati, sebaliknya kalau bukan mata-mata, akan dapat dipergunakan untuk membantu mempertahankan kota. Siasat ini dilakukan pada saat yang sama dan bukan hanya di tempat Maya dan teman-temannya berkumpul saja terjadi perkelahian sandiwara itu, akan tetapi juga di tempat-tempat lain di mana para pengungsi berkumpul. Dan pada saat pasukan-pasukan men yerbu ke ruangan itu, di lain tempat juga terjadi hal yang sama, yaitu penangkapan-penangkapan atas diri orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, yang terkena pancingan perkelahian palsu tadi!

Maya dan empat orang temannya cepat meloncat dan menyerbu keluar. Dua orang yang tadi bersandiwara, cepat memerintahkan pasukan mengurung lima orang ini dan terjadilah pertandingan yang jauh berbeda dengan perkelahian antara dua orang tadi. Pertandingan sekali ini adalah pertempuran sesungguhnya, bahkan mati-matian karena kalau Maya berlima tidak akan menyerah sampai mati, adalah para pimpinan pasukan itu ketika menyaksikan kelihaian lima orang itu menjadi makin curiga bahkan hampir yakin bahwa lima orang itu tentulah mata-mata musuh.

Pengepungan dilakukan ketat sekali, namun Maya, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa melayang naik, membobol langit-langit dengan kepandaian mereka dan dari atas mereka melempar-lemparkan genteng ke bawah untuk membantu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang menerjang keluar melalui pintu. Kepandaian kedua orang panglima pembantu Maya ini hebat sekali, terutama Kwa-huciang yang hanya tinggal sebelah lengannya. Panglima yang setia ini semenjak lengannya buntung, menerima gemblengan ilmu dari Maya sehingga dia malah lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung sebelah.

Kacau-balaulah pihak tentara Sung. Dari atas ada hujan genteng yang dilepas dengan sambitan keras sekali, siapa yang terkena pasti roboh dengan kepala pecah atau tubuh terluka parah, sedangkan dua orang laki-laki itu mengamuk seperti dua ekor singa. Akhirnya kedua orang itu berhasil membobol keluar dari gedung itu dan ternyata malam hari itu, di seluruh kota terjadi geger karena penyergapan di tempat-tempat pengungsi yang dilakukan serentak. Kepanikan penduduk dan kegelapan malam membuka kesempatan baik bagi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun sehingga dengan berpencar mereka akhirnya dapat melarikan diri dari para pegejarnya.

Maya, Yan Hwa dan Ji Kun yang berada di atas genteng, segera diserbu oleh anak panah yang dilepas oleh para anggauta pasukan panah dari bawah. Kita berpencar,! Maya cepat berkata setelah meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arahnya seperti yang dilakukan oleh dua orang pembantunya pula, Jangan lupa, pada hari yang ditentukan berkumpul di kuil tua itu!! Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melesat, Maya telah lenyap dari situ ditelan kegelapan malam.

Ji Kun dan Yan Hwa juga cepat menggunakan gin-kang mereka, berloncatan di atas rumah-rumah penduduk kota dan menghilang. Maka gegerlah keadaan kota, pasukan-pasukan dikerahkan untuk mencari lima orang mata-mata musuh itu.

Dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, Maya lari seorang diri ke arah timur. Selama dia menjadi panglima, dara perkasa itu tiada henti-hentinya melatih diri dengan ilmu silatnya, bahkan kecerdasannya membuat dia mampu mengembangkan dan memperbaiki jurus-jurus simpanannya sehingga dari jurus-jurus ilmu silatnya dia dapat menciptakan banyak sekali jurus silat yang aneh dan juga amat lihai. Dari banyak pertandingan yang dialaminya ketika berperang melawan musuh, dia dapat menemukan banyak gerakan-gerakan aneh dari macam-macam lawan dan semua ini ditampungnya, diolah dan karena dia berbakat mencipta, maka tanpa disadari, Maya telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya. Apalagi ketika ia menerima buah sian-tho dari Pangeran Bharigan, semacam buah yang langka, yang didapat jauh dari utara dekat kutub dan merupakan barang pusaka dari Kerajaan Mancu, maka dara ini memperoleh tenaga sin-kang yang dahsyat. Buah sian-tho ini bagi orang biasa, mengandung khasiat daya pengobatan yang lebih mujarab daripada jin-som, akan tetapi bagi seorang ahli sin-kang seperti Maya, dapat membangkitkan hawa sakti yang membuat sin-kangnya yang dilatih secara istimewa di Pulau Es itu menjadi lebih kuat lagi.

Maya tidak berani berhenti dan berputaran mencari tempat yang baik untuk memulai dengan penyelidikannya. Dia harus dapat menemukan markas di mana tinggal Koksu dan para panglima agar dia dapat mengintai dan mendengarkan rencana siasat mereka. Hanya inilah jalan yang paling baik, karena untuk men yelidiki sendiri keadaan pertahanan musuh, selain berbahaya juga akan memakan waktu lama sekali. Kota itu amat besar, dan dia tidak tahu di antara gedung-gedung yang banyak sekali itu, yang mana menjadi tempat tinggal Koksu dan para panglimanya. Dia harus bekerja dengan hati-hati sekali. Koksu Bu Kok Tai bukanlah orang sembarangan, dan dia maklum akan kelihaian para panglima pengawalnya, sungguhpun Panglima Dampit telah tewas.

Menjelang pagi, Maya menuju ke pinggir tembok kota sebelah timur ketika ia mendengar suara ribut-ribut di sana. Disangkanya bahwa seorang di antara anak buahnya menghadapi bahaya, maka dia cepat menuju ke tempat itu dan siap untuk menolong kalau benar seperti yang dikhawatirkannya. Dia mendekam di atas sebuah wuwungan dan melihat seorang laki-laki sedang dikeroyok oleh banyak tentara. Laki-laki itu tidak tampak jelas mukanya di dalam cuaca yang gelap, akan tetapi gerakannya hebat sekali! Bukan Kwa-huciang, juga bukan Theng-ciangkun, akan tetapi gerakannya malah lebih lihai daripada kedua orang pembantunya. Bahkan mungkin tidak di sebelah bawah kelihaian Can Ji Kun sendiri! Diam-diam Maya menjadi heran sekali. Orang itu lihai, pikirnya, dan kenyataannya bahwa dia dikeroyok tentara-tentara Sung membuktikan bahwa orang itu tentulah seorang penyelundup dari luar pula. Akan tetapi dari mana?
Mundur kalian semua! Orang-orang tolol tidak mengenal orang! Aku adalah putera seorang panglima!! Laki-laki itu mengamuk, merobohkan para pengeroyok sambil membentak-bentak.

Ha-ha-ha, di kota berkeliaran mata-mata dan biar kau mengaku putera raja sekalipun, siapa mau percaya? Kami tidak pernah bertemu denganmu!! Pimpinan pasukan yang mengeroyok tertawa dan pengeroyokan menjadi makin ketat.

Mendengar bahwa orang lihai itu mengaku sebagai putera Panglima, Maya mendapatkan sebuah akal yang cerdik dan berani. Kalau dia bisa menolong dan mengikat persahabatan dengan orang itu, tentu amat berguna bagi penyelidikannya, pikirnya dan dia lalu melompat turun langsung menyerbu para tentara yang mengurung pria itu.

Heiii.... kau.... ehhh.... !! Pria itu bukan lain adalah Suma Hoat! Ketika dia menyusul ayahnya di kota Siang-tan dan menyaksikan kekacauan malam itu dia sengaja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dalam penyelidikannya inilah dia dicurigai dan dikepung oleh pasukan yang memang belum pernah melihat pemuda yang belum lama kembali ke tempat asalnya itu.

Maya tidak mempedulikan seruan pemuda itu. Seorang panglima yang berpakaian preman, pada waktu itu banyak panglima berpakaian preman untuk menjadi penyelidik dan menangkapi mata-mata, menyerangnya dari belakang dengan sebatang pedang. Dengan mudah saja Maya membalikkan tubuh, membiarkan pedang lawan dan sekali tangan kanannya bergerak, pedang itu telah dirampasnya dan sebuah tamparan tangan kirinya membuat Panglima Sung itu terpelanting dan roboh telentang di depannya.

Heiiii.... kau.... Nona.... siapa dan mengapa....?! Suma Hoat mengelak dari sebuah tusukan tombak dan menoleh kepada Maya, tergagap saking herannya ketika melihat seorang dara yang demikian cantik jelita tahu-tahu datang membantunya! Melihat wajah Maya ia tepesona dan terbelalak. Dia telah gila! Mengapa sekarang dia pun terpesona, jantungnya berdebar tidak karuan menyaksikan wajah dara ini? Sungguh mati dia harus mengakui bahwa getaran jantungnya ketika melihat wajah itu sama sekali berbeda dengan getaran nafsu kalau dia melihat wanita-wanita cantik! Wajah ini.... luar biasa sekali, lebih cantik daripada mendiang Ciok Kim Hwa, lebih jelita daripapada wajah Khu Siauw Bwee! Mungkinkah dia begitu mudah jatuh cinta sekarang?

Apakah setelah beberapa bulan ini dia menghentikan petualangannya sebagai Jai-hwa-sian, dia lalu mudah tergila-gila dan jatuh cinta dalam arti kata yang murni terhadap setiap gadis cantik yang dijumpainya?

Akan tetapi, kalau tadi dia terpesona oleh wajah itu, oleh kecantikannya, kini dia terpesona menyaksikan betapa pedang rampasan di tangan dara jelita itu berkelebatan merupakan gulungan sinar yang luar biasa sekali dan semua senjata para pengurungnya patah disambar sinar yang bergulung-gulung. Hebat bukan main! Mengapa dia selalu bertemu dengan dara-dara yang seperti bida dari namun memiliki kepandaian seperti iblis!

Biarpun Maya mengamuk, namun dia berhati-hati sekali, tidak mau membunuh seorang pun tentara yang kalau dalam perang tentu akan dibasminya sebanyak mungkin itu. Dia tidak mau menghadapi kesulitan yang tentu timbul kalau sampai dia melakukan pembunuhan.

Bunuh mata-mata.... !! Terdengar teriakan keras dan seorang panglima lain yang mukanya seperti tengkorak, berpakaian preman, melayang turun dari atas genteng, terjun ke dalam medan pertempuran itu. Setelah dekat, ternyata muka seperti tengkorak itu lebih mirip muka kuda.

Suma Hoat membalikkan tubuhnya dan orang bermuka kuda itu terbelalak. berseru, Kongcu....!!

Eh, Siangkoan Lee! Engkau di sini....?! Suma Hoat juga berseru.

Saya mengawal kereta Taijin, itu di sana....! Siangkoan Lee pelayan dan juga murid Suma Kiat itu cepat membentak, Tahan senjata! Apakah kalian sudah buta? Kongcu ini adalah putera Suma-goanswe (Jenderal Suma)!!

Para komandan pasukan mengenal Siangkoan Lee, maka tentu saja mereka terkejut mendengar ini dan mengeluarkan aba-aba untuk menghentikan pengeroyokan. Sementara itu, ketika Maya melihat munculnya Siangkoan Lee, dan mendengar bahwa pemuda tampan yang dibantu itu adalah putera Suma Kiat, menjadi kaget setengah mati. Celaka, pikirnya. Dia talah salah pilih! Tanpa berkata sesuatu dia sudah meloncat ke atas genteng dan menghilang di dalam gelap.

Heiiii, Nona....! Tunggu....!! Melihat dara perkasa yang telah mengguncang jantungnya itu melompat pergi, Suma Hoat cepat meloncat pula mengejar.

Apakah dia mata-mata?! tanya Siangkoan Lee.

Mata-mata hidungmu!! Suma Hoat memaki. Dia sahabatku! Katakan kepada Ayah nanti aku datang menghadap!! Tanpa menoleh Suma Hoat melanjutkan pengejarannya terhadap bayangan hitam yang meloncat-loncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk itu.

Heii, Nona! Tunggu, aku mau bicara....!!

Maya mengerutkan kening. Kalau dia menggunakan gin-kangnya, biar pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, tak mungkin pemuda itu dapat menyusulnya. Juga kalau dia menghadapi pemuda itu, biarpun dia tahu bahwa pemuda itu cukup lihai namun dia percaya akan dapat membunuhnya. Akan tetapi, kalau hal itu terjadi, Si Pemuda tentu akan mengejar dan berteriak-teriak, dan kalau sampai dia kedapatan oleh para penjaga, padahal malam telah hampir pagi, dia bisa celaka. Maya mengigit bibir menahan kesabaran hatinya, demi keselamatannya sendiri. Mengingat bahwa pemuda ini adalah putera Suma Kiat yang amat dibencinya, ingin dia menggerakkan pedang membunuhnya!
Dia terpaksa berhenti dan membalikkan tubuh. Engkau mau bicara apakah?!

Kebetulan sekali mereka berhenti di atas genteng rumah yang terkena sorotan sinar dari bawah sehingga wajah dara itu tampak jelas di bawah sinar remang-remang. Sekali lagi jantung di dalam dada Suma Hoat seperti jungkir-balik. Wajah ini.... luar biasa cantiknya. Kecantik jelitaan yang aneh, asing dan belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang gadis berwajah seperti ini.

Nona, maafkan aku.... setelah Nona tadi menolongku, bagaimana aku dapat membiarkan kau pergi begitu saja sebelum aku menghaturkan terima kasih?!

Aku tidak mengharapkan terima kasih,! jawab Maya singkat.

Akan tetapi, setelah Nona menolongku, tidak mungkin aku bersikap begitu tak kenal budi. Setidaknya, harap Nona sudi berkenalan. Namaku Suma Hoat, dan siapakah Nona yang cantik jelita seperti bidadari namun berkepandaian setinggi langit?!

Berkerut alis Maya. Laki-laki ceriwis, pikirnya, sungguhpun dia harus mengakui bahwa putera Jenderal Suma Kiat ini ternyata amat tampan, suaranya halus gerak-geriknya menarik.

Aku melihat seorang dikeroyok, lalu datang membantu. Hal itu biasa saja, aku melakukannya bukan untuk memancing terima kasih, bukan pula mengharapkan perkenalan. Sudahlah....!!

Melihat gadis itu sekali mencelat melayang ke wuwungan di depan, Suma Hoat terkejut dan takut kalau-kalau takkan dapat bertemu lagi, maka dia pun cepat mengejar sambil berseru, Nona, tunggu....!!

Maya berhenti dan membalikkan tubuh, membentak, Engkau mau apa lagi?!

Suma Hoat kini sudah tergila-gila benar menyaksikan sikap yang demikian keras, sifat yang liar dan penuh kewibawaan, namun juga amat manis. Maka dia mengambil keputusan untuk dapat berkenalan dengan dara ini. Cinta kasihnya yang pertama terhadap Ciok Kim Hwa putus, kemudian cinta kasihnya yang kedua, cinta kasih murni terhadap Khu Siauw Bwee, juga gagal karena gadis itu telah mencinta orang lain dan dia tidak berani bermain gila terhadap gadis yang ternyata adalah penghuni Istana Pulau Es itu, dan kini dia merasa jatuh cinta untuk ke tiga kalinya, bukan cinta berahi seperti terhadap semua wanita yang pernah dipermainkannya, melainkan cinta sungguh-sungguh! Dia tidak mau gagal lagi sekarang.

Nona, aku berniat baik, mengapa Nona menolak perkenalan? Kalau aku tidak berniat baik terhadap dirimu, tentu aku sudah berteriak bahwa Nona adalah seorang mata-mata dan Nona akan dikepung oleh ribuan orang tentara!!

Hemm, begitukah? Kalau begitu mampuslah engkau!! Pedang rampasan di tangan Maya menyambar ganas merupakan sinar kilat menyambar ke arah leher Suma Kiat.

Pemuda ini terkejut bukan main, Aahhhh....!! Ia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik dengan cepat. Kembali sinar pedang menyambar dan keringat dingin keluar membasahi dahi Suma Hoat ketika dengan pengerahan gin-kang sekuatnya kembali dia melempar diri ke kiri sambil mengebutkan ujung lengan bajunya ke belakang.

Brettt!! Ujung lengan baju itu buntung karena benar seperti dugaannya, sinar pedang itu kembali telah menerjangnya untuk ketiga kalinya dengan gerakan yang bukan main cepatnya.

Tahan, Nona....!! Ia meloncat ke belakang, loncatan yang indah sekali karena tubuhnya masih menghadap kepada Maya. Aku sudah memperlihatkan niat baik dengan tidak membuka rahasiamu, apakah engkau seorang yang begitu kejam dan tidak mengenal budi, membalas iktikad baik orang dengan serangan maut?!

Maya diam-diam kagum juga. Tiga kali dia menyerang, sungguh-sungguh, dengan jurus-jurus maut, namun pemuda itu masih mampu menyelamatkan diri, hal itu berarti bahwa pemuda itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Can Ji Kun. Dan ucapan yang halus penuh teguran itu, betapapun juga membuat kedua pipinya merah. Ingin dia memperkenalkan diri dan terus menyerang, membunuh pemuda ini karena bagi dia, seluruh keluarga Suma Kiat harus dibunuh! Akan tetapi dia teringat akan pekerjaannya sebagai penyelidik, maka dia berkata angkuh,

Aku tidak membutuhkan iktikad baikmu, dan aku pun tidak takut kalau engkau hendak membuka rahasia!!

Bukan main, pikir Suma Hoat. Gadis ini benar-benar angkuh, seperti seorang puteri kaisar saja! Seorang dara yang ilmu kepandaiannya amat tinggi, wajahnya amat cantik jelita, dan wataknya amat tinggi pula!

Dengarlah dulu, Nona. Nona adalah seorang mata-mata, berarti Nona memusuhi Kerajaan Sung, dan aku pun adalah seorang yang tidak memihak Kerajaan Sung. Dengan demikian, kita berada di satu pihak. Dan penjagaan di sini amat ketat dan kuat. Nona tidak dapat bergerak leluasa, apa yang akan dapat Nona selidiki? Bahkan banyak bahayanya Nona akan terkepung dan celaka. Akan tetapi aku dapat bergerak leluasa dan aku dapat menyelidiki dan memberi tahu kepadamu apa yang kau ingin ketahui. Aku suka membantumu, Nona. Nah, apakah Nona masih hendak membunuhku?!

Maya memutar otaknya. Pemuda putera musuh besar ini harus dibunuh, akan tetapi apa yang dikatakannya mengandung kebenaran. Dia harus bersikap cerdik. Sebagai seorang panglima perang yang sudah biasa menahan perasaan pribadi demi siasat dan keuntungan pihaknya, Maya lalu berkata,

Begitukah? Ucapanmu harus dibuktikan lebih dulu. Sekarang apa yang hendak kaulakukan dengan aku, setelah engkau tahu bahwa aku adalah seorang mata-mata?!
Wajah Suma Hoat girang bukan main. Pertama-tama, Nona harus mempunyai tempat persembunyian yang baik dan aku mempunyai sebuah rumah kecil yang kosong dan yang takkan ada yang berani mengganggu atau memasukinya. Nona boleh mempergunakan rumahku itu sebagai tempat bersembunyi. Hanya di waktu malam saja Nona dapat melakukan penyelidikan dan di waktu siangnya Nona boleh bersembunyi di situ. Kemudian, aku dapat membantu mencari keterangan yang sekiranya tak dapat Nona peroleh sendiri. Bagaimana?!

Maya kembali terdiam dan berpikir, kemudian dia berkata sambil menurunkan pedangnya, Kalau aku tidak dengar tadi bahwa engkau adalah putera Jenderal Suma Kiat yang kutahu bukanlah seorang pembesar yang setia terhadap Kerajaan Sung, tentu aku tidak percaya omonganmu. Betapapun juga, ketahuilah bahwa disamping aku menerima penawaranmu, aku tetap tidak percaya kepadamu dan sedikit saja engkau memperlihatkan sikap mencurigakan, aku pasti akan membunuhmu. Jangan engkau kira bahwa aku tidak dapat melakukannya! Nah, tunjukkan di mana rumah itu!!

Mari, Nona! Aku tak perlu bersumpah, akan tetapi Suma Hoat bukanlah seorang yang biasa mengeluarkan kata-kata yang berlainan dengan isi hati! Bukan seorang pengecut yang untuk menolong nyawa sendiri melakukan penipuan-penipuan rendah!! Dia meloncat dan dara perkasa itu pun meloncat di belakangnya. Untuk menguji nona itu, Suma Hoat mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat, namun betapapun cepatnya dia berloncatan dan berlari, bayangan gadis itu tetap berada di belakangnya! Diam-diam dia makin kagum, dan di lain pihak, Maya juga kagum karena pemuda ini benar-benar lihai sekali.

Rumah kecil itu memang milik Jenderal Suma Kiat yang mempunyai banyak rumah di kota Siang-tan. Rumah itu kosong dan sebagai rumah pembesar itu, tentu saja tidak akan ada yang berani mengganggunya. Setelah mereka memasuki rumah itu dan duduk berhadapan di ruangan dalam, Suma Hoat berkata,

Siang ini harap Nona bersembunyi di sini. Nona sudah mengenalku, harap Nona suka memperkenalkan diri dan menceritakan kedudukan Nona agar aku dapat mencarikan keterangan yang Nona kehendaki.!

Maya mengerutkan alisnya. Malam telah berganti pagi dan sinar matahari yang mulai menyinari ruangan itu membuat ia dapat melihat wajah Suma Hoat dengan jelas. Wajah yang tampan dan sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan wajah yang akan menarik hati wanita mana pun! Akan tetapi pertanyaan itu tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak mungkin mengakui dirinya sebagai Panglima Pasukan Maut, hal ini terlalu berbahaya karena kalau Suma Hoat mengetahui, belum tentu dia mau memegang janji. Dia terlalu penting bagi Kerajaan Sung yang akan mempertaruhkan apa saja untuk menangkap panglima wanita yang telah banyak merugikan Kerajaan Sung itu.

Suma Hoat, ingatlah bahwa bukan aku yang menghendaki kerja sama ini, melainkan engkau! Aku hanya berjanji bahwa kelak aku akan memperkenalkan diri kepadamu, akan tetapi untuk saat ini, cukup untuk kauketahui bahwa aku adalah seorang mata-mata dari barisan Mancu, tanpa nama! Masih belum terlambat bagimu untuk kau menarik diri, aku pun tidak terlalu mengharapkan bantuanmu!!

Suma Hoat terbelalak, bukan hanya oleh kata-kata yang keras dan penuh keangkuhan ini melainkan juga karena terpesona oleh wajah yang kini tampak jelas olehnya. Kulit muka itu agak kecoklatan karena tertimpa sinar matahari, namun wajah itu benar-benar luar biasa cantiknya, terutama sekali matanya yang bersinar-sinar seperti bintang pagi, mulutnya yang manis dalam gerakan apapun juga, dan dari seluruh kepribadian gadis ini mengakibatkan getaran di hatinya, getaran yang dirasainya ketika ia bertemu dengan Khu Siauw Bwee. Tak salah lagi, dia jatuh cinta untuk ketiga kalinya, dan mungkin yang terakhir ini paling parah! Rasanya dia rela berkorban apapun juga untuk dapat menjadi suami gadis ini!

Baiklah, aku tidak boleh terlalu banyak mengharap sebelum memperlihatkan kemauan baikku, Nona. Hanya aku yakin bahwa Nona bukanlah seorang berbangsa Mancu, dan juga bukan seorang gadis Han....!

Cukup semua ini. Kalau kau memang hendak membantuku, aku ingin mengetahui kekuatan yang menjaga benteng Siang-tan ini, berapa besar bala tenta ranya, siapa komandan-komandannya, dari mana akan didatangkan bala tentara kalau benteng terdesak, dan apa macamnya jebakan-jebakan dan barisan pendam di luar tembok benteng, dari mana datangnya pasukan inti kalau musuh datang, di mana ditempatkannya barisan panah.!

Suma Hoat melongo. Benar-benar seorang mata-mata yang hebat, pikirnya, dan agaknya menguasai benar pekerjaan perang!
Aku akan berusaha mendapatkan keterangan-keterangan itu, Nona. Di kamar belakang sebelah kanan terdapat bahan-bahan makan dan minum untukmu. Aku akan pergi mencari keterangan untukmu, malam nanti aku akan datang. Harap Nona jangan meninggalkan tempat ini sebelum gelap.!

Maya mengangguk, akan tetapi sebelum Suma Hoat tiba di pintu dia memanggil.
Tunggu dulu!!

Suma Hoat membalik dan menatap wajah itu, beberapa kali menelan ludah. Bibir itu! Mata itu! Ingin dia berlutut dan menyatakan cinta kasihnya di saat itu juga! Akan tetapi, menghadapi seorang wanita seperti ini, dia tidak boleh lancang dan sembrono. Dan sekali ini dia tidak boleh gagal, cinta kasihnya harus mendapat sambutan, kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan betapa akan jadinya kalau kembali cintanya berantakan!

Ada pesan apakah, Nona?!

Hanya sebuah pertanyaan yang kuminta kaujawab dengan sebenarnya, karena kalau kau membohong tiada gunanya. Kenapa engkau melakukan ini semua? Kenapa engkau membantu aku, padahal aku tahu pasti bahwa engkau bukanlah seorang sekutu Kerajaan Mancu?! Setelah bertanya demikian, sambil menanti jawaban Maya memandang dengan sinar mata tajam yang seolah-olah menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. Suma Hoat merasa silau dan karena memang dia tidak menyembunyikan sesuatu, memang perasaannya terhadap gadis itu sudah jelas dan wajar, maka dia menentang sinar mata tajam itu sambil menjawab dengan hati terbuka sehingga suaranya tenang dan jujur.

Aku sengaja membantumu bukan karena engkau mata-mata Mancu, Nona, juga bukan karena dalih dan pamrih apapun juga, melainkan semata-mata karena aku ingin membantumu, karena aku kagum kepadamu, dan karena ada dorongan di hatiku yang membuat aku ingin berkorban apa juga demi untukmu. Nah, sampai jumpa!! Suma Hoat membalikkan tubuhnya tanpa menanti reaksi dari pertanyaannya yang hampir membuka rahasia hatinya itu. Dia sudah nekat dan pasrah andaikata gadis itu menjadi marah dan menyerangnya. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu sehingga ketika tiba di luar rumah, hati Suma Hoat lega bukan main, bukan lega karena dia tidak diserang atau dibunuh, melainkan lega penuh harapan karena kalau gadis itu tidak marah, berarti dia sudah menang separuh!

Memang Maya tidak berbuat sesuatu. Gadis itu telalu heran mendengar jawaban yang ia yakin bukan bohong itu. Terlalu heran dan terlalu kaget sehingga dia hanya duduk melongo sampai pemuda itu lenyap dari depannya. Barulah ia sadar dan menarik napas panjang. Gila! Putera Suma Kiat menaruh hati cinta kepadanya! Hemmm, berkali-kali dia digoda cinta kasih pria, dari Can Ji Kun yang masih harus diragukan cintanya yang mungkin palsu, sampai Pangeran Bharigan yang tak dapat diragukan lagi cinta kasihnya. Namun, mana mungkin dia memperhatikan, apalagi membalas, cinta kasih pria lain kalau hatinya sudah dia serahkan sebulatnya kepada suhengnya, Kam Han Ki?

Hampir Maya menitikkan air mata ketika ia teringat akan suhengnya, teringat betapa pertemuannya dengan suhengnya amat menyakitkan hati. Dia sudah mengaku cinta, sudah rela meninggalkan semua ini, melupakan semua dendamnya, tidak lagi mencampuri urusan dunia, ikut sehidup semati dengan suhengnya di Pulau Es, memadu cinta sampai hayat meninggalkan raga, asal saja suhengnya tidak membagi kehidupan mereka berdua dengan kehadiran Siauw Bwee.

Akan tetapi, suhengnya tidak mau! Sungguh menyakitkan hatinya dan menurut patut, tidak seharusnya dia mati-matian mencinta orang yang begitu tak tahu dicinta! Sudah sepatutnya kalau dia memperhatikan, mungkin membalas cinta kasih yang murni dari Pangeran Bharigan, atau memperhatikan sinar mata men gandung kasih yang begitu mesra dan menggairahkan, yang terpancar dari mata Suma Hoat!

Alhh, Suheng...., Suheng....!! Ia mengeluh, hatinya merintih, namun kekerasan hatinya membuat dia pantang menitikkan air mata dan ia melupakan kedukaan hatinya dengan mencurahkan pikiran kepada tugasnya sebagai mata-mata. Apa pun yang akan terjadi dengan gejolak hatinya, yang terang saja pekerjaannya akan berhasil baik dengan bantuan seorang putera jenderal! Bahkan kalau dia bisa mempengaruhi Suma Hoat untuk membujuk Jenderal Suma Kiat membantu penyerbuan pasukan Mancu dari dalam kota Siang-tan! Tentu akan mudah menalukkan kota benteng yang amat kuat ini!

***

Kedua orang panglima pembantu Maya yaitu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, berhasil menyelamatkan diri dari kepungan dan dengan menyamar sebagai pengemis, mereka dapat menyelinap di antara banyak pengemis yang berkeliaran di kota itu, yang berkelompok di emper-emper kuil, di bawah jembatan, di pasar-pasar.

Berbeda dengan dua orang ini, Ji Kun dan Yan Hwa tidak sudi untuk menyamar sebagai ngemis dan bercampur dengan orang-orang yang berbaju kotor, berbadan kotor dan berbau apek itu. Di dalam keadaan terancam ini, timbul cinta kasih antara Ji Kun dan Yan Hwa sehingga ke manapun mereka lari bersama, saling melindungi dan tak mau saling berpisah. Memang demikianlah sifat dan watak kedua orang ini. Di waktu ada bahaya saling menolong dan saling melindungi tanpa mengingat akan keselamatan diri sendiri, namun dalam keadaan bebas dan damai, keduanya selalu bertengkar dan tak mau saling mengalah. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang berada di tangan mereka itu mengeluarkan pengaruh mukjizat dan jahat sekali, yang menambah persaingan di antara mereka karena dengan mengandalkan pedang masing-masing, mereka tidak mau mengalah dan hal inilah yang merupakan penghalang rasa cinta kasih mereka yang sebetulnya amat mendalam itu.

Ketika kedua orang murid Mutiara Hitam ini berhasil lolos dari kepungan para perajurit, mereka bersembunyi di wuwungan rumah lalu berunding sebentar. Tak lama kemudian, mereka berhasil menyambar dua orang perajurit yang berada di tempat terpisah, melucuti pakaian mereka dan dengan mengenakan pakaian perajurit mereka menyelinap di dalam kegelapan malam kemudian berhasil lolos keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah selatan, yaitu pada saat diadakan penggantian penjaga. Barulah para penjaga tahu bahwa dua orang di antara mereka adalah palsu ketika Ji Kun dan Yan Hwa berlari cepat meninggalkan pintu gerbang. Pengejaran dilakukan, akan tetapi tak mungkin pasukan itu dapat menandingi ilmu lari cepat dua orang murid Mutiara Hitam ini. Apalagi malam yang gelap menelan bayangan mereka.

Setelah berlari jauh, dua orang muda itu meninggalkan pakaian perajurit dan duduk mengaso dalam sebuah hutan, di atas akar pohon menonjol. Yan Hwa agak terengah-engah dan gadis ini membereskan rambutnya yang tadi awut-awutan karena tadi disembunyikan dalam topi perajurit. Melihat rambut sumoinya terurai, Ji Kun segera memeluknya dan menciumnya. Yan Hwa tertawa dan balas mencium dengan mesra. Pengalaman berbahaya tadi mendekatkan hati mereka dan ciuman-ciuman mereka menambah mesra perasaan hati. Akan tetapi ketika Ji Kun hendak berbuat lebih jauh lagi, Yan Hwa mendorong dadanya dengan halus.

Ihhh....! Tugas belum selesai ingin yang bukan-bukan!!

Ji Kun tertawa. Buyarlah hasrat hatinya. Sambil mempermainkan rambut kekasihnya yang panjang hitam dan gemuk, dia berkata,

Kita telah bebas. Sungguh berbahaya sekali!!

Malu kita melarikan diri terbirit-birit seperti dua ekor tikus. Enci Maya dan yang lain-lain tentu sedang sibuk melakukan penyelidikan di dalam kota, sedangkan kita berada jauh di luar kota, enak-enakan. Sungguh harus malu!! Yan Hwa mencela.
Aihh, bukankah kita sudah bersepakat untuk lari keluar kota? Engkau tidak mau menyamar sebagai pengemis.!

Ihh, jijik!!

Kita terpaksa lari keluar, karena keadaan amat berbahaya. Dengan keributan seperti itu, dan penjagaan amat ketat di dalam kota, biarpun kita berada di sana juga tak mungkin dapat bekerja. Pula, apakah hanya di dalam kota saja yang perlu diselidiki? Kurasa menyelidiki di luar tembok benteng tidak kalah pentingnya, menyelidiki barisan pendam mereka, dan pertahanan pertama mereka. Selain itu, kalau keadaan di kota sudah mereda, masuk lagi ke sana apa sukarnya bagi kita?!

Habis, sekarang kita mau apa?! Yan Hwa bertanya.

Ji Kun tertawa, Menanti sampai matahari terbit, baru nanti mencari jalan menyelidiki ke dekat tembok benteng. Sekarang, sambil menanti, mau apalagi, Sumoi yang manis?! Dia memeluk lagi dan sekali ini Yan Hwa juga timbul kasih sayangnya, melayani cumbu rayu suhengnya. Keduanya tenggelam dalam gelombang asmara, akan tetapi Yan Hwa yang rebah dengan telinga menempel tanah, tiba-tiba mendorong dada kekasihnya.

Ada barisan datang....!!

Ji Kun terkejut. Keduanya melompat bangun, lalu dengan cekatan seperti dua ekor burung, mereka melompat ke atas, menyambar dahan pohon dan dalam beberapa detik saja dua orang yang lihai itu telah berada di puncak pohon tertinggi, mengintai ke sana-sini. Akhirnya mereka melihat lampu bergerak-gerak di selatan, dan akhirnya beberapa pasang lampu itu berhenti.

Apakah itu?! Yan Hwa bertanya.

Menurut suaranya tentu derap kaki kuda, dan lampu-lampu itu tak salah lagi tentu lampu kendaraan kereta. Mereka berhenti di sana, hayo kita menyelidiki!!

Dengan cepat sekali, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu mendekati tempat itu dan melihat bahwa rombongan yang berhenti itu adalah rombongan terdiri dari empat buah kereta yang dikawal ketat oleh pasukan pengawal sejumlah lima puluh orang. Ketika tenda-tenda kereta yang berkumpul itu tersingkap, dengan heran sekali Yan Hwa dan Ji Kun melihat gadis-gadis cantik yang duduk di dalam joli kereta, setiap kereta terisi enam orang gadis cantik. Mereka itu kelihatan berduka, ada pula yang menangis terisak.
Ji Kun dan Yan Hwa menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati komandan dan para pembantunya yang duduk mengelilingl api unggun, mendengarkan percakapan mereka.
Dalam keadaan terancam penyerbuan barisan Mancu, mengumpulkan siuli (gadis cantik calon selir pangeran atau raja), sungguh mementingkan kesenangan sendiri saja.! Seorang perwira mengeluh.

Hati-hati dengan mulutmu!! Komandan pasukan yang berpakaian panglima membentak bawahannya, Bukan tidak ada gunanya kalau Suma-goanswe menyuruh kita mengumpulkan gadis-gadis cantik untuk Pangeran Ci Hok Ong di Siang-tan. Kita hanyalah pelaksana, perlu apa memusingkan sebab-sebabnya?!

Akan tetapi, mengapa kita bermalam di sini, tidak langsung terus ke Siang-tan?! tanya seorang perwira lain.

Hemm, orang-orang kang-ouw tentu tidak membiarkan perampasan wanita-wanita cantik ini, dan hutan-hutan di depan amat besar, lebih aman melewatkan malam di sini, besok pagi baru melewatkan perjalanan. Kalau kita disergap di dalam hutan, tentu akan sulit mempertahankan penumpang-penumpang itu. Jumlah mereka sudah dihitung, dan kita akan celaka kalau sampai hilang seorang saja. Suma-goanswe tentu akan menghukum kita!!

Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang di dalam gelap, kemudian Ji Kun mendekatkan mulutnya di telinga kekasihnya dan berbisik, Kesempatan baik untuk kita!! Ia lalu berbisik-bisik mengatur rencana. Sumoinya mengangguk-angguk, sehingga pipinya yang halus itu menyentuh dan mengusap hidung dan mulutnya, membuat Ji Kun tidak tahan untuk tidak mencium pipi itu. Sebuah cubitan dari Yan Hwa memperingatkannya dan mereka lalu berpencar, siap melaksanakan rencana yang dibisikkan Ji Kun tadi.

Tak lama kemudian terdengar pekik kesakitan dan seorang di antara pengawal yang sedang berdiri menjaga di sebelah kanan roboh. Keadaan menjadi kacau dan semua pengawal lari ke tempat itu di mana terdapat Ji Kun mengamuk di dalam gelap. Para perwira cepat menghunus golok dan mengepung, akan tetapi sekali melompat, Ji Kun telah lenyap ke dalam kegelapan hutan kecil itu karena dia melihat bayangan sumoinya yang berkelebat dan ternyata sumoinya yang memang seperti direncanakan semula, telah berhasil menculik seorang di antara gadis siuli dari kereta terdepan. Terdengar jerit para siuli lainnya dan ketika para pengawal melihat bahwa yang terculik adalah gadis yang paling cantik, mereka menjadi bingung, marah dan khawatir bukan main. Panglima pasukan marah-marah dan terdengar bentakan-bentakannya,

Hayo cari dia! Kalau tidak dapat terampas kembali, nyawa kita menjadi taruhan!!

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar