Istana Pulau Es Bab 23

Baca Cersil Mandarin Online: Istana Pulau Es Bab 23
Bab 23

Akan tetapi para pengawal sudah dibikin gentar oleh ketangkasan Ji Kun tadi dan mereka menyaksikan bayangan yang melarikan siuli tadi pun seperti iblis saja. Pula, mereka berada di hutan yang gelap, ke mana harus mencari? Betapapun juga karena takut kepada komandan mereka, takut pula kalau kehilangan itu akan dilimpahkan kepada mereka, dengan obor di tangan para pengawal itu mencari di sekitar tempat itu.

Namun, Yan Hwa dan Ji Kun sudah berada jauh di tengah hutan besar dan gadis cantik itu kini tidak takut lagi. Bahkan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yan Hwa dan Ji Kun sambil berkata,

Terima kasih atas pertolongan Ji-wi, entah bagaimana saya dapat membalas budi pertolongan Ji-wi yang membebaskan saya dari malapetaka ini.!

Cuaca pagi kemerahan membuat Ji Kun dapat meneliti wajah gadis itu yang sesungguhnya cantik manis. Dia lalu memegang kedua pundak gadis itu, diangkatnya bangun sambil tersenyum. Manis, kami tidak mengharapkan balasan dan aku akan cukup puas kalau engkau membalasnya dengan sebuah ciuman!! Berkata demikian, dia memeluk dan mengecup bibir gadis itu yang tentu saja menjadi tersipu-sipu, dan ketika Ji Kun melepaskan pelukannya, gadis itu terhuyung ke belakang dan menangis.

Suheng! Engkau.... engkau....!! Yan Hwa membentak marah tangannya meraba gagang pedang.

Eiiitt, Sumoi. Engkau cemburu?!

Tentu saja! Hanya sebegitukah cintamu kepadaku? Engkau pernah tergila-gila kepada Enci Maya dan sekarang.... katakan, siapa yang kaucinta? Gadis ini?!

Wah-wah, apakah engkau anak kecil? Tentu saja hanya engkau yang kucinta, sedangkan yang lain-lain termasuk gadis ini, hanya tubuhku saja yang tertarik, bukan hatiku. Apakah engkau tidak mernbolehkan suhengmu bersenang-senang sedikit?!

Hemmm.... laki-laki ceriwis mata keranjang! Lihat saja nanti pembalasanku kalau ada kesempatan. Eh, bocah, kami telah menyelamatkanmu dan sekarang bersembunyilah di sini. Jangan pergi ke mana-mana sebelum lewat hari ini atau engkau akan tertawan lagi dan mendapat hukuman. Kami pergi!!

Yan Hwa dan Ji Kun meloncat dan berkelebat pergi meninggalkan gadis itu yang menjadi ketakutan sekali dan menangis di antara semak-semak belukar di mana dia ditinggalkan seorang diri. Dia seorang gadis yang lemah, dan biarpun dia kini telah dibebaskan, namun ditinggalkan seorang diri di tempat itu, tentu saja dia ketakutan dan tidak tahu ke mana harus pergi. Untuk kembali ke kampungnya, dia tidak mengenal jalan.

Ketika beberapa orang anak buah pasukan pengawal mencari-cari sampai pagi dan tiba di pinggir hutan besar, tiba-tiba mereka melihat seorang wanita muda yang cantik sedang sibuk mengumpulkan kayu kering. Wanita ini bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang sengaja memperlihatkan sikap terkejut dan takut melihat datangnya tujuh orang pengawal berikut seorang perwira pengawal itu. Dia menjerit, melepaskan kayu-kayu kering yang dikumpulkannya lalu melarikan diri. Tentu saja dia berlari biasa seperti lari seorang gadis lemah dan sebentar saja ia telah tertangkap, kedua lengannya dipegang dari kanan kiri oleh dua orang pengawal.

Ha-ha-ha-ha, engkau hendak lari ke mana?! Seorang di antara mereka berkata.
Ehhh....! Ini bukan dia!! Perwica pengawal berseru kaget setelah melihat Yan Hwa. Dia hanya seorang gadis dusun, akan tetapi.... hemmm, aku berani bertaruh dia tidak kalah cantik menarik daripada siuli yang lenyap tadi!!

Benar, dia jelita sekali!! Para anak buahnya berkata dan semua mata memandang Yan Hwa dengan kagum.

Kedua pipi Yan Hwa menjadi merah dan dia pura-pura meronta sambil berteriak, Kalian siapakah? Mengapa aku ditangkap?!

Anak baik, engkau tinggal di mana?! Perwira itu bertanya.

Aku tinggal di sebuah dusun di luar hutan di seberang sana. Aku mencari kayu bakar untuk di jual....! Yan Hwa menjawab ketakutan, matanya yang indah bening terbelalak.
Apakah engkau melihat orang-orang di dalam hutan besar ini?!

Yan Hwa menggeleng kepala.

Hemmm....! Sang Perwira menggosok-gosok jenggot pendeknya, Bawa dia kepada Ciangkun, kurasa jalan satu-satunya hanyalah menggantikan yang hilang dengan dia ini.!
Yan Hwa menjerit-jerit ketika dipaksa ikut bersama mereka menuju ke rombongan kereta dan di situ dia menjadi tontonan semua pengawal. Panglima yang memimpin pasukan pengawal mendengarkan laporan perwira dan mengangguk-angguk. Memang tidak ada jalan lain yang lebih baik lagi. Eh, Nona muda. Siapa namamu?!

Nama saya Yan Hwa, she Ok,! jawab Yan Hwa yang tidak khawatir memperkenalkan nama aselinya karena namanya memang tidak terkenal.

Dengar, Ok Yan Hwa. Engkau ingin mati atau hidup?! Suara panglima itu terdengar keren dan penuh ancaman.

Dengan sin-kangnya yang sudah tinggi tingkatnya Yan Hwa dapat membuat jalan darahnya terhenti sehingga mukanya menjadi pucat. Saya.... saya ingin hidup, Tai-ongya....!

Hushh! Aku bukan kepala perampok!! bentak Si Panglima yang disebut tai-ong (raja besar), sebutan yang biasa dipergunakan orang terhadap kepala perampok. Sebut aku Tai-ciangkun, mengerti?!

Baik, Tai-ciangkun....!

Kalau engkau ingin hidup, mulai sekarang engkau harus menjadi seorang di antara gadis-gadis cantik di dalam kereta ini untuk dipersembahkan kepada Pangeran Ciu Hok Ong di Siang-tan. Engkau tidak boleh menceritakan tentang peristiwa malam ini kepada siapapun juga. Katakan bahwa engkau adalah seorang di antara mereka yang kami pilih. Kalau engkau menurut, engkau akan hidup mewah dan mulia di istana Pangeran, mungkin menjadi selir Pangeran yang terkasih, sedikitnya menjadi pelayan istana. Kalau menolak, sekarang juga kusembelih lehermu sampai putus!!

Iihhh.... ampun.... ampun, Tai-ciangkun.... hamba tidak berani menolak, hanya.... hamba harus memberi tahu ayah ibu dulu di dusun....!

Tidak usah! Tinggal pilih, sekarang juga, ingin mati atau hidup?!

Yan Hwa menangis akan tetapi mengangguk-angguk. Baik, Tai-ciangkun.... hamba.... hamba menurut....!

Yan Hwa disuruh memasuki kereta terdepan dan dipaksa berganti pakaian yang indah. Semua siuli memang diharuskan berpakaian indah dan panglima itu masih mempunyai beberapa potong pakaian untuk perlengkapan. Setelah itu, komandan pasukan mempersiapkan orang-orangnya untuk memberangkatkan rombongan kereta itu. Akan tetapi, kembali terjadi kekacauan ketika rombongan itu baru saja berangkat, tiba-tiba dua ekor kuda yang menacik kereta terdepan, meringkik keras lalu membedal ke depan seperti dikejar setan. Sia-sia saja kusirnya berusaha menahan kedua kuda yang kabur itu, bahkan kini panglima itu sendiri bersama beberapa orang pembantunya membalapkan kuda untuk mengejar dan menyelamatkan kereta itu. Kalau sampai kereta terguling dan lima orang siuli di dalamnya celaka, benar-benar mereka menghadapi kesulitan besar!

Dua ekor kuda penarik kereta yang kabur itu, melihat panglima itu dan pembantu-pembantunya mengejar, menjadi makin binal. Kusirnya berteriak-teriak dengan panik, menarik-narik kendali kuda namun tetap tidak berhasil menghentikan kaburnya dua ekor kuda itu.

Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bukan lain adalah Ji Kun. Dia lari dari samping menangkap kendali kuda, meloncat ke atas punggung kuda dan diam-diam dia mencabut dan membuang dua buah duri yang tadi menancap di dekat ekor kuda, kemudian dia menarik kembali kuda dan menggunakan kekuatan tangan, diam-diam mengerahkan sin-kangnya, kakinya menjapit perut kuda. Semua ini dilakukan oleh Ji Kun dengan mengurangi ketangkasannya sehingga dia tidak kelihatan sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, melainkan sebagai seorang ahli mengatasi kuda-kuda kabur. Setelah dua ekor kuda itu berhenti, dia pura-pura lemas dan ketika melompat turun, dia terhuyung dan hampir jatuh. Sambil mengusap keringatnya dia berkata,

Wah, bahaya sekali....! Dua ekor kuda ini malam tadi tentu makan rumput merah dan menjadi binal!!

Panglima dan para perwira sudah tiba di situ dan melihat mereka, Ji Kun cepat menjatuhkan diri berlutut. Dengan pandang mata penuh kecurigaan panglima itu bertanya, Engkau siapa?!

Nama hamba Can Ji Kun, pekerjaan hamba sebagai ahli kuda. Dahulu di utara hamba pernah bekerja kepada seorang peternak kuda yang besar, kemudian karena perang hamba lari ke selatan dengan maksud mencari pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian hamba. Kebetulan hamba melahat kereta dikaburkan kuda dan mengandalkan keahlian hamba, hamba lupa diri dan menolong. Harap Tai-ciangkun sudah memaafkan kelancangan hamba.!

Hilanglah kecurigaan panglima itu dan dia mengangguk-angguk. Bagus, kami berterima kasih, Ji Kun. Kalau engkau mencari pekerjaan, mulai sekarang kau boleh mengurus kuda dan mengusiri kereta ini. He kau turun!! Bentak Sang Panglima kepada kusir yang masih pucat wajahnya. Dengan tubuh gemetar kusir itu turun dari atas kereta dan sekali mengulur tangan panglima itu telah merampas cambuk, kemudian mencambuki kusir itu sambil memaki-maki,

Manusia tolol! Goblok! Hampir saja engkau mencelakakan kita semua!!

Cambuk itu menari-nari di atas tubuh kusir yang berlutut dan minta-minta ampun. Pakaiannya robek-robek dan kulit tubuhnya babak-belur dan berdarah. Setelah puas, panglima itu berkata, Kau harus jalan di belakang kereta, pengadilan akan menjatuhkan hukuman nanti di kota!!

Rombongan itu berangkat lagi dan kini Can Ji Kun duduk di tempat kusir, msmegang cambuk dan mengendalikan kuda menarik kereta di mana duduk pula Ok Yan Hwa yang menjadi girang sekali melihat betapa siasat mereka berjalan lancar dan berhasil baik. Tentu saja dua ekor kuda itu tadi kabur ketika diam-diam Yan Hwa menyerangnya dari belakang dengan dua buah duri yang sudah dipersiapkannya sebelumnya, menyambitkan duri-duri itu mengenai pantat kuda yang menjadi kaget dan kesakitan lalu kabur!

Tak lama kemudian, rombongan memasuki hutan besar yang ditakuti Sang Komandan. Tiba-tiba komandan ini berteriak, Awas, di depan ada orang!!

Ji Kun yang berada di depan kereta pertama, sudah melihat orang-orang itu dan dia mengerutkan alisnya. Jelas tampak olehnya bahwa yang menghadang di depan itu tentulah orang-orang kang-ouw. Sikap mereka gagah dan bukanlah kasar seperti sikap perampok. Ada tujuh orang laki-laki yang menghadang di depan, berjajar memenuhi jalan.

Komandan dan para perwira memberi aba-aba menghentikan kereta, kemudian memerintahkan pasukan mengurung kereta-kereta itu, dan dia sendiri bersama sisa pasukan lalu melarikan kuda menghampiri orang-orang yang menghadang itu. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, dengan sebatang golok besar di punggung, berjenggot panjang dan bersikap gagah perkasa, memimpin para penghadang itu, berdiri bertolak pinggang dan sinar matanya tajam menatap Sang Panglima yang duduk dengan angkuhnya di atas kuda sambil membentak,

Kalian mau apakah menghadang di sini? Minggirlah! Apakah tidak melihat bahwa kami pasukan pengawal dari kerajaan? Apakah kalian ini pemberontak-pemberontak atau pengkhianat-pengkhianat yang hendak melawan pasukan kerajaan?!

Laki-laki berjenggot panjang itu mengelus jenggotnya dengan tangan kiri, kemudian menjawab, Ciangkun, kami adalah orang-orang gagah yang sama sekali tidak berjiwa pengkhianat atau pemberontak. Bahkan sebaliknya, kami adalah patriot-patriot negara yang menjadi pelindung rakyat yang tertindas! Negara dalam keadaan perang. Mengapa para pembesar hanya mementingkan kesenangan diri pribadi dan menambah beban rakyat dengan menculik dan memaksa gadis-gadis orang untuk dijadikan korban kebuasan nafsu pembesar? Kami tidak akan melawan pasukan kerajaan, akan tetapi kami menuntut agar para gadis yang ditawan dalam kereta itu dibebaskan!!

Hemm, enak saja kau bicara! Para gadis ini adalah calon-calon dayang atau selir pangeran, nasib mereka sudah pasti akan jauh lebih baik daripada kalau mereka berada di rumah. Mereka akan menjadi orang-orang terhormat dan hidup mewah, bahkan keluarga mereka akan ikut pula menjadi orang terhormat. Kalian bilang bukan pemberontak, akan tetapi hendak menentang kehendak pangeran dan hendak melawan pasukan pemerintah. Pergilah sebelum kami basmi kalian kaum petualang pemberontak!!

Ciangkun, alasan kuno yang kaukemukakan itu memuakkan! Kau sendiri tahu betapa gadis-gadis itu pergi dengan paksaan. Dengar mereka terisak-isak, menangis. Kalau mereka pergi dengan sukarela, kami pun bukan orang-orang yang lancang mencampuri urusan orang. Akan tetapi karena melihat gadis-gadis itu dipaksa yang berarti penindasan kejam, kami tak mungkin berpeluk tangan saja. Kalau kau tidak mau membebaskan mereka sekarang juga, terpaksa kami menggunakan kekerasan.!

Si pemberontak keparat! Serbu!! Panglima itu mengeluarkan aba-aba dan para pengawal yang berjalan kaki sudah bersorak sambil maju menyerbu tujuh orang itu. Mereka ini pun sudah mencabut senjata masing-masing dan terjadilah pertandingan yang seru antara tujuh orang gagah itu melawan tiga puluh orang pasukan pengawal, sedangkan yang lain bertugas menjaga kereta-kereta dengan mengurungnya.

Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa merasa serba salah. Orang-orang kang-ouw itu ternyata cukup lihai sehingga banyak anak buah pengawal yang roboh, sedangkan panglima dan para perwira juga terdesak. Terutama sekali Si Jenggot Panjang amat lihai mainkan goloknya. Dua orang murid Mutiara Hitam menjadi bingung. Tentu saja di dalam hati mereka, mereka berpihak kepada tujuh orang itu dan andaikata mereka tidak sedang bertugas, tentu mereka membantu tujuh orang itu dan membasmi pasukan pengawal. Akan tetapi, dalam keadaan mereka sekarang, andaikata mereka turun tangan mereka seharusnya membantu pasukan pengawal dan merobohkan penghalang itu agar mereka dapat cepat masuk kota dan dapat memulai dengan tugas mereka! Karena serba salah, baik Ji Kun maupun Yan Hwa hanya duduk menonton saja dan dari permainan golok dan pedang para orang gagah itu, mereka dapat menduga bahwa mereka itu tentulah anak-anak murid Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai.

Agaknya, pihak pasukan pengawal takkan kuat menghadapi tujuh orang gagah itu kalau pertandingan dilanjutkan seperti itu tanpa campur tangan lain. Selagi Ji Kun dan Yan Hwa saling lirik ketika Ji Kun menyingkap tenda dan menjenguk ke dalam, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah sebuah pasukan kecil terdiri dari selosin perajurit berkuda, dikepalai oleh seorang laki-laki bermuka panjang seperti kuda! Ketika melihat pertempuran itu, laki-laki bermuka kuda itu yang bukan lain adalah Siangkoan Lee, cepat membawa pasukannya menyerbu dan terkejutiah tujuh orang itu karena orang bermuka kuda ini benar-benar hebat sekali kepandaiannya.

Dengan sebuah golok melengkung Siangkoan Lee sudah meloncat turun dari atas kudanya dan mengamuk. Orang gagah berjenggot panjang yang menandinginya, dirobohkannya dalam waktu belasan jurus saja. Juga pasukannya ternyata adalah pasukan istimewa yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Orang-orang gagah itu melakukan perlawanan mati-matian, namun akhirnya mereka semua roboh dan tewas jadi sasaran hujan senjata para pasukan pengawal!

Pertempuran berhenti dan berakhir dengan matinya tujuh orang gagah itu dan belasan orang perajurit pengawal. Siangkoan Lee segera berkata kepada panglima pengawal yang terluka pundaknya dalam pertempuran tadi.

Atas perintah Goanswe, seluruh siuli supaya langsung dibawa ke istana pangeran dan harap bergerak cepat karena Pangeran sudah tidak sabar menanti. Mengapa baru sekarang tiba di sini?!

Maaf, Siangkoan-taihiap, kami terpaksa bermalam di luar hutan besar karena kami khawatir akan penyergapan di tengah malam dalam hutan itu.!

Hemm, disergap di pagi hari pun kau tak mampu melindungi kereta-kereta itu!! kata Si Muka Kuda dengan suara menghina. Kalian sudah terlambat, hayo cepat berangkat!!

Karena takut kalau murid dan orang kepercayaan Jenderal Suma Kiat yang galak dan lihai itu akan menjadi marah dan menyalahkan mereka, maka para pengawal tidak berani bercerita tentang hilangnya seorang gadis yang diganti gadis lain dan seorang kusir baru yang mereka terima untuk jasanya menolong mereka terlepas dari bencana ketika kereta kabur. Hal ini menguntungkan dua orang murid Mutiara Hitam, karena kalau diketahui Siangkoan Lee, tentu orang yang lihai dan cerdik ini akan menjadi curiga dan menyelidiki mereka.

Demikianlah, tanpa menimbulkan kecurigaan, Yan Hwa bersama para gadis lain ditempatkan di dalam istana pangeran dan berkat kepandaiannya mengurangi riasan muka dan membuat mukanya pucat seperti orang berpenyakitan kalau dihadapkan Pangeran sehingga Pangeran kehilangan seleranya, akan tetapi amat rajin dan pandai melayani, Yan Hwa tidak diambil selir melainkan diberi pekerjaan sebagai dayang pelayan, sedangkan Ji Kun menjadi seorang tukang mengurus kuda. Tentu saja dua orang muda yang lihai ini mendapatkan kesempatan baik untuk melakukan penyelidikan, dan terutama sekali Yan Hwa, yang selalu dekat dengan Pangeran dan mengetahui apabila ada tamu-tamu penting yang datang bertemu dengan Pangeran.

***

Maya duduk termenung di dalam pondok di mana dia bersembunyi. Hari telah hampir malam dan dia menanti kedatangan Suma Hoat. Telah empat hari dia berada di tempat persembunyiannya ini dan selama empat hari itu, dia mendengar banyak dari Suma Hoat. Dia sendiri pun setiap malam keluar melakukan penyelidikan, namun harus dia akui bahwa tanpa bantuan keterangan-keterangan yang amat penting dari pemuda itu, akan sukarlah baginya menyelidiki keadaan musuh. Penjagaan amat ketatnya dan kini dia mendengar dari Suma Hoat bahwa benteng kota Siang-tan ini benar-benar amatlah kuatnya, jauh berbeda dengan kota Sian-yang. Bahkan dia mendengar dari Suma Hoat bahwa benteng itu sedang mendatangkan barisan bantuan dari selatan untuk menghadapi ancaman pasukan-pasukan Mancu yang telah menduduki Sian-yang. Dengan barisan bantuan itu, jumlah pasukan Sung menjadi lebih besar daripada pasukan Mancu dan Maya berpikir bahwa untuk menyerbu ke Siang-tan, pasukan Mancu harus mendatangkan bala bantuan juga.

Suma Hoat banyak membantunya dan diam-diam dia merasa berterima kasih kepada pemuda itu. Pemuda musuh besarnya karena bukankah pemuda itu putera Suma Kiat? Namun, harus dia akui bahwa di dalam hatinya, dia tidak membenci Suma Hoat. Bahkan sebaliknya, dia merasa kagum dan suka kepada pemuda itu yang jelas menaruh hati cinta kepadanya. Hal ini mudah saja dia lihat dari pandang matanya, dari sikap dan gerak-geriknya, dari suara dan dari senyumnya.

Teringat akan hal ini, Maya menarik napas panjang karena terbayanglah wajah satu-satunya orang yang dicintanya, wajah Kam Han Ki. Aihhh, Suheng. Banyak pria yang jatuh cinta kepadaku, akan tetapi mengapa engkau seorang yang kuharapkan, bahkan mengecewakan hatiku?!

Teringat akan suhengnya, Maya menundukkan mukanya dan perasaan rindu dendam mencekam hatinya, membuatnya menggigit bibir menahan tangis.

Gerakan orang memasuki rumah itu menyadarkannya dan ia cepat meloncat bangun. Bukan Suma Hoat, pikirnya. Pemuda itu memiliki gerakan yang ringan, akan tetapi pendatang ini langkah kakinya berat! Langkah itu terdengar makin berat dan akhirnya terdengar suara orang roboh. Maya cepat meloncat ke ruangan depan dan betapa kagetnya melihat Suma Hoat rebah di lantai dalam keadaan pingsan!

Maya cepat berlutut memeriksa dan segera melihat bahwa pernuda ini telah menderita luka oleh pukulan yang hebat, yang membuat tubuhnya dingin sekali dan dada kanannya membiru. Cepat ia memondong tubuh pemuda itu, membawanya ke dalam kamar tidur dan merebahkannya di atas pembaringan. Sekali renggut robeklah baju yang menutup dada Suma Hoat dan setelah memeriksa sebentar, tahulah Maya bahwa pemuda itu terkena pukulan yang men gandung hawa Im-kang kuat sekali dan tentu nyawanya akan terancam maut kalau tidak cepat ditolong.

Maka dia lalu duduk bersila di atas pembaringan, menempelkan telapak kanannya di dada kanan pemuda itu sambil mengerahkan hawa sin-kang dari pusarnya melalui lengan. Untuk melawan luka akibat pukulan Im-kang itu, dia mengobatinya dengan pengerahan Yang-kang. Mula-mula hawa yang hangat memasuki tubuh Suma Hoat, kehangatan yang makin lama menjadi makin panas mengusir hawa dingin yang dideritanya semenjak dia terkena pukulan itu.

Setelah lewat dua jam lebih, barulah wajah Suma Hoat yang pucat menjadi kemerahan dan napasnya menjadi normal kembali. Ketika dia membuka matanya perlahan dan melihat tangan Maya menempel di dadanya, merasakan betapa hawa yang panas memasuki dadanya, mendatangkan rasa hangat mengusir rasa dingin yang hampir merenggut nyawanya tadi, Suma Hoat menjadi terharu sekali. Dia menggerakkan tangan, meraba lengan Maya, membelai lengan itu dan berbisik, Aku.... aku cinta padamu....!

Maya yang sedang rindu kepada suhengnya, selama mengobati tadi dia mendapatkan kesempatan untuk mengamati wajah pemuda ini dan jantungnya berdebar, menggelora. Wajah pemuda itu tampan sekali membuat hatinya amat tertarik. Di antara pemuda yang pernah menyatakan cinta kasih kepadanya, harus ia akui bahwa Suma Hoat merupakan pria yang paling tampan. Gejolak darah masa dewasa membuat muka Maya merah sekali, apalagi ketika mendengar bisikan Suma Hoat mengaku cinta begitu pemuda itu siuman, membuat jantungnya berdebar keras dan dia menarik kembali tangannya yang tadi dipakai mengobati dada pemuda itu agar belaian pada lengan yang membuat lengannya gemetar itu tidak sampai diketahui Suma Hoat.

Suma Hoat, apa yang kaulakukan ini?! Maya membentak, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas sekali, bukan hanya karena dia tadi lama mengerahkan tenaga untuk mengobati pemuda itu, melainkan terutama sekali karena debar jantungnya membuat dia merasa aneh dan lemas, seperti dilolosi seluruh urat dari tubuhnya.

Nona.... engkau telah menolong nyawaku, dan karena aku tidak tahan untuk menyimpan perasaan hatiku lebih lama, biarlah sekarang aku mengaku dan aku akan rela andaikata engkau marah dan membunuhku. Nona, semenjak pertama kali aku memandangmu, aku telah jatuh cinta ketpadamu. Aku membantumu karena cinta....!

Maya seperti terkena pesona. Seluruh tubuhnya gemetar dan kedua matanya basah ketika pemuda itu kembali memegang lengannya yang dahaga akan cinta kasih, rindu dendamnya yang selalu ditahan-tahannya terhadap suhengnya, membuat hatinya seolah-olah menjadi sebatang tanaman kering. Kini sikap dan bisikan Suma Hoat yang penuh getaran cinta kasih, seolah-olah merupakan embun pagi bagi hatinya, sejuk dan menyenangkan.

Nona, aku cinta padamu.... aku bersumpah, aku mencintamu dengan hati tulus dan murni....!

Maya memejamkan matanya, tubuhnya yang lemas itu menurut saja ketika ditarik dan terdengar rintih perlahan dari dadanya ketika ia merasa betapa tubuhnya dipeluk erat-erat, kemudian napasnya berhenti menjadi sedu-sedan ketika ia merasa betapa mulutnya dicium penuh kemesraan oleh Suma Hoat. Seperti dalam mimpi, kedua lengannya bergerak, membalas rangkulan pemuda itu dan pada saat itu Maya yang rindu akan cinta kasih itu seperti tidak ingat bahwa yang memeluk dan menciuminya bukanlah pemuda yang dicintanya dan dirindukannya, bukanlah Kam Han Ki suhengnya, melainkan Suma Hoat, putera Suma Kiat musuh besarnya!

Selama ini, hanya kepada tiga orang wanita saja Suma Hoat benar-benar jatuh cinta. Pertama-tama adalah cinta kasihnya kepada Ciok Kim Hwa yang juga merupakan cinta pertamanya. Kedua kalinya adalah ketika dia berjumpa dengan Khu Siauw Bwee, dan ke tiga kalinya adalah kepada Maya inilah. Kecuali tiga orang wanita itu, tidak ada lagi wanita yang benar-benar dicinta secara mendalam, bukan hanya cinta berahi belaka, seperti yang telah dia jatuhkan kepada banyak sekali wanita sehingga dia dijuluki Jai-hwa-sian.

Dapat dibayangkan betapa bahagia hati Suma Hoat setelah dapat mendekap dan mencium mulut Maya. Dia merasa bahagia, mendapatkan pengganti Ciok Kim Hwa, pengganti Khu Siauw Bwee.

Maya.... bidadariku, kekasih pujaan hatiku.... bumi dan langit menjadi saksi akan cinta kasihku kepadamu, Maya....!

Maya tersentak kaget. Tadi sebelum mendengar namanya disebut, dia hanyalah seorang gadis dewasa, seorang wanita yang haus akan cinta, yang menderita karena rindu sehingga dia terlena dalam dekapan Suma Hoat, pria tampan yang pandai merayu hati wanita itu. Akan tetapi, begitu mendengar namanya disebut, dia sadar! Dia adalah Maya, panglima wanita pemimpin Pasukan Maut. Dia adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu Khitan yang sedang berjuang membalaskan kematian ayah bunda dan keluarganya! Dia adalah Maya, penghuni Istana Pulau Es, sumoi dari Kam Han Ki!

Sekali meronta, Maya telah merenggutkan tubuhnya dari pangkuan dan dekapan Suma Hoat dan dia sudah meloncat turun dari atas pembaringan. Mukanya berubah pucat, sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia memandang Suma Hoat yang menjadi kaget dan khawatir menyaksikan perubahan sikap ini.

Maya.... kekasihku, kenapa....?!

Suma Hoat! Bagaimana engkau bisa mengenal namaku?! Tiba-tiba Maya bertanya, suaranya penuh kecurigaan dan pandang matanya tajam menyelidik. Sejenak Suma Hoat kagum dan bengong, diam-diam ia harus mengakui bahwa belum pernah dia melihat gadis secantik Maya sehingga dalam keadaan seperti itu masih saja tampak cantik jelita, kecantikan yang aneh namun pada saat itu menguasai seluruh hatinya.

Ahhh, kekasih pujaan hatiku, jadi itukah yang mengejutkan hatimu?! Suma Hoat tersenyum lebar. Tentu saja aku dapat menduga. Pertama karena aku melihat bahwa wajahmu yang cantik seperti bidadari itu bukan wajah seorang gadis Han dan mengingat engkau bekerja untuk orang Mancu, tentulah engkau seorang gadis Mancu pula. Dan ilmu kepandaianmu demikian hebat. Siapa lagikah gadis secantik dan terlihai di Mancu kalau bukan Panglima Wanita Maya? Akan tetapi, kenyataan itu bahkan menggirangkan hatiku, Maya dewiku. Engkau seorang Panglima Mancu, aku seorang putera jenderal. Kita akan menjadi sepasang suami isteri yang cocok dan....!

Cukup!! Tiba-tiba Maya membentak dan melihat pandang mata gadis itu, Suma Hoat baru merasa terkejut sekali karena gadis itu benar-benar telah menjadi marah sekali.

Maya.... ada apakah....? Mengapa engkau marah-marah....?! Suma Hoat turun pula dari pembaringan dan melihat perubahan yang amat menggelisahkan ini, dia yang cerdik cepat menceritakan jasanya untuk menyenangkan hati Maya. Tidak cukupkah bukti yang kuperlihatkan dalam membantumu? Bukankah engkau sendiri yang tadi mengobati aku yang terluka hebat dan hampir tewas? Maya.... aku rela berkorban nyawa untukmu.

Untuk memenuhi permintaanmu dan membantumu, aku tadi menyelidiki ke dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong yang sedang mengadakan perundingan dengan Bu-koksu, dan aku mendapatkan sebuah rahasia rencana mereka yang amat penting bagimu!! Suma Hoat memandang wajah Maya dengan hati gelisah karena gadis itu seolah-olah tidak mendengarnya, bahkan kini tampak penyesalan dan kemarahan membayang di wajah yang cantik itu. Maya merasa menyesal sekali, menyesalkan diri sendiri yang telah menjadi lemah dan membiarkan pemuda itu memeluk dan menciuminya. Betapa mungkin hal itu terjadi! Dia masih nanar kalau memikirkan kembali dekapan dan ciuman yang membuat darahnya menggelora tadi!

Maya, dengarlah,! Suma Hoat menyambung cepat, Pangeran Ciu dan Koksu berunding dan mengambil keputusan untuk memancing pasukan Mancu meninggalkan Sian-yang menyerbu Siang-tan menggunakan saat itu untuk menyerbu dan merampas kembali Sian-yang dan mengurung pasukan antara kedua kota itu. Sial bagiku, dalam persembunyianku itu, aku ketahuan oleh seorang panglima pengawal Koksu yang amat lihai dan dalam beberapa gebrakan saja aku telah terpukul. Untung keadaan yang kacau memungkinkan aku melarikan diri dan ke sini.... eh, Maya, bukankah sudah terbukti betapa aku rela mengorbankan apa saja untukmu?!

Maya menarik napas panjang. Terima kasih atas bantuanmu, Suma Hoat. Akan tetapi jangan kau mengira bahwa semua jasamu itu harus kubalas dengan cinta! Engkau telah mengetahui siapa aku. Aku adalah Puteri Maya, juga Panglima Maya, dan aku adalah penghuni Istana Pulau Es! Tak mungkin aku mencinta orang seperti engkau yang seharusnya kubunuh, karena engkau adalah putera Suma Kiat musuh besarku! Untuk bantuanmu itu, aku membalas dengan mengampunimu, tidak membunuhmu. Nah, selamat tinggal!!

Maya....!! Suma Hoat berteriak, kaget bukan main mendengar bahwa Maya adalah penghuni Istana Pulau Es! Dia mengejar, akan tetapi sekali berkelebat saja Maya telah lenyap dari situ.

Ahhhh.... tidak.... tidak mungkin....!! Suma Hoat menjatuhkan diri ke atas pembaringan setelah dia kembali ke kamar itu, hatinya seperti diremas, semua harapannya membuyar. Mengapa nasibnya seburuk itu dalam cinta kasih? Setelah gagal memperisteri Ciok Kim Hwa, setelah gagal meraih cinta kasih Khu Siauw Bwee, setelah semua harapannya tercurah kepada Maya dan melihat Maya berada dalam dekapannya mandah diciuminya, kini Maya terlepas dan terbang pula dari tangannya! Kembali dia gagal! Tidak ada harapan lagi karena Maya ternyata adalah penghuni Istana Pulau Es yang tentu saja memiliki kepandaian yang amat luar biasa! Mengapa nasibnya bagitu buruk sehingga dia dipertemukan dengan dua orang dara penghuni Istana Pulau Es? Apakah seperti Siauw Bwee, Maya juga telah mencinta laki-laki lain? Ah, nasib!

Ketika Suma Hoat bangkit lagi, rambutnya awut-awutan karena dijambakinya, wajahnya pucat dan sepasang matanya kembali mengandung sinar yang keji, sinar yang telah lama meninggalkan matanya semenjak dia melukai Ketua Siauw-lim-pai, semenjak dia sadar akan kesesatannya. Hatinya yang berkali-kali mengalami pukulan, kegagalan cinta, membuat perasaannya menjadi kecut dan kambuh kembalilah penyakitnya, penyakit yang membuat dia menjadi Jai-hwa-sian, penyakit yang membuat dia membenci wanita, ingin mempermainkan semua wanita, terutama mempermainkan cinta kasih mereka!

Kalau dia menjadi sakit hati karena cintanya terhadap wanita, dia akan mempermainkan cinta kasih wanita. Mulai detik itu juga, iblis mulai menguasai hati Suma Hoat lagi, seolah-olah Jai-hwa-sian yang beberapa bulan lamanya telah mati itu kini bangkit dan hidup kembali. Dan dengan beringas pemuda itu meloncat keluar meninggalkan rumah itu, kemudian di malam hari itu, di sebuah rumah besar, terdengarlah rintihan dari seorang gadis yang dipermainkannya, kemudian menjelang pagi terdengar jerit gadis itu yang mengantar nyawanya terbang meninggalkan tubuhnya yang setelah diperkosa lalu dibunuh oleh tangan Jai-hwa-sian!

***

Suma Hoat tidak membohong ketika dia bercerita kepada Maya. Memang sore hari itu dia telah menyelidik ke istana Pangeran Ciu Hok Ong. Sayang bahwa ketika dia sudah mendengar sebagian dari percakapan antara Pangeran Ciu dan Koksu negara bersama panglima-panglima tinggi, tiba-tiba dia diserang seorang pengawal berpakaian preman yang amar lihai. Tentu saja Suma Hoat tidak mampu menandingi pengawal itu dan terpaksa melarikan diri dengan membawa luka karena pengawal itu bukan lain adalah Kam Han Ki!

Akan tetapi, pada waktu Pangeran Ciu bersama Bu-koksu mengadakan perundingan di pondok taman yang didirikan di atas telaga buatan itu, ada seorang manusia lain yang juga diam-diam mengintai dan mencuri dengar percakapan orang-orang besar ini. Dia bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang bekerja sebagai dayang dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong. Bedanya, kalau Suma Hoat mengintai dengan bersembunyi di atas wuwungan pondok sehingga dia terlihat dan diserang oleh Kam Han Ki, dara perkasa ini lebih cerdik dan dia bersembunyi di bawah pondok, menyelam ke dalam air, berpegang pada tiang pondok dan hanya menyembulkan kepalanya sambil bersembunyi di balik tiang, mendengar percakapan orang-orang yang duduk di atas papan pondok. Karena keadaan di kolong pondok itu gelap, tentu saja tempat persembunyian Yan Hwa ini lebih aman sehingga Kam Han Ki yang amat lihai itu sendiri pun tidak dapat melihatnya.

Seperti juga Suma Hoat, Yan Hwa dapat menangkap percakapan antara Pangeran Ciu dan Bu-koksu tentang rencana mereka untuk menjebaknya dan men ghancurkan pasukan Mancu. Dia menjadi girang sekali karena hari itu adalah hari terakhir dan besok pagi-pagi dia sudah harus meninggalkan tempat ini untuk mengadakan pertemuan dengan kawan-kawannya, maka hasil pengintaiannya itu dapat mendengarkan rahasia yang amat penting bagi pasukan Mancu. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika ia melihat bayangan berkelebat dan seorang laki-laki tampan berdiri di depan Bu-koksu sambil berkata tenang,
Bu-loheng, aku telah mengusir seorang mata-mata yang tadi mengintai di sini.!

Eh, mengapa kauusir dan tidak kautangkap atau bunuh?! Koksu Bu Kok Tai bertanya, tidak puas.

Dia lihai sekali, Loheng. Akan tetapi dia sudah terluka oleh sebuah pukulanku.!

Siapakah dia? Apakah kau mengenal dia?!

Tempatnya gelap, dia bersembunyi di belakang wuwungan, Loheng. Aku hanya melihat dia dalam cuaca remang-remang, dia masih muda dan tampan, akan tetapi aku tidak mengenalnya.!

Kam-siauwte, engkau telah berjasa. Harap kau suka melakukan penyelidikan ke kota, jangan sampai ada mata-mata musuh dapat menyelundup masuk ke kota Siang-tan ini.!

Baiklah, Loheng.! Setelah berkata demikian, pemuda itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Ok Yang Hwa masih memeluk tiang di bawah pondok itu, wajahnya pucat dan dia menggigil. Bukan menggigil karena kedinginan yang dapat dilawannya dengan pengerahan sin-kangnya, melainkan menggigil karena ketakutan! Ok Yan Hwa murid Mutiara Hitam, menggigil ketakutan? Memang benar demikian dan hal ini tidaklah aneh karena dara perkasa itu tadi mengenal Si Pemuda yang menghadap Bu-koksu sebagai Kam Han Ki! Perasaan terheran-heran melihat adik sepupu gurunya itu kini membantu Koksu Negara Sung, bercampur dengan rasa ngeri dan takut karena kalau sampai Kam Han Ki melihatnya, tentu dia celaka. Paman gurunya lebih lihai daripada Maya, pernah menundukkan dia dan suhengnya di medan pertempuran, bahkan memperin gatkan mereka berdua agar meninggalkan barisan Mancu.

Karena telah mendengar rahasia penting dan hatinya gentar setelah melihat Kam Han Ki, Yan Hwa lalu menyelam, berenang di bawah permukaan air tanpa menimbulkan suara, meninggalkan tempat itu dan langsung dia menghubungi suhengnya, Can Ji Kun yang menyelundup dan bekerja sebagai tukang kuda.

Isyarat suitan yang dikeluarkan Yan Hwa segera mendapat balasan dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik seperguruan, juga sepasang kekasih ini, sudah saling berhadapan di belakang kandang kuda yang gelap. Ji Kun segera merangkul Yan Hwa dan dia berbisik kaget,

Aihhh.... kenapa pakaianmu basah semua?!

Aku baru saja menyelidiki perundingan di pondok telaga dengan hasil baik,! Yan Hwa balas berbisik.

Engkau tentu kedinginan. Hayo masuk ke kamarku, tanggalkan pakaian basah ini dan kuhangatkan....!

Hushhh, itu saja yang kaupikirkan, suheng. Dengarlah, kita harus pergi dari sini, sekarang juga!!

Kenapa? Kau kelihatan ketakutan, sumoi.!
Memang aku takut setengah mati. Kau tahu.... Kam-susiok berada di sini, dia menjadi pengawal Bu-koksu!!

Can Ji Kun membelalakkan matanya. Apa? Kam-susiok? Kaumaksudkan dia.... Kam Han Ki penghuni Istana Pulau Es?!

Yan Hwa mengangguk dan dengan singkat menceritakan semua pengalamannya ketika dia mengintai tadi. Karena itulah, kita harus sekarang juga meninggalkan tempat ini. Besok adalah hari yang menentukan bagi kita untuk berkumpul di dalam kuil tua di luar kota. Aku telah mendengar rahasia yang amat penting itu, terutama sekali kehadiran Kam-susiok di sini tentu akan menarik perhatian Maya. Dan kau sendiri tentu sudah mendapatkan banyak keterangan. Selagi gelap begini, akan berkuranglah bahayanya untuk melarikan diri. Mudah-mudahan saja jangan sampai bertemu dengan Kam-susiok!! Yan Hwa bergidik ngeri karena dia takut sekali kepada adik gurunya itu.

Baiklah kalau begitu, Sumoi. Nih pedangmu, simpanlah!! Yan Hwa menerima pedangnya yang ia titipkan kepada suhengnya ketika mereka menjalankan siasat menyelundup kota bersama rombongan siuli, Akan tetapi, engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Pakaianmu basah kuyup begini.!

Tidak ada waktu untuk kembali ke istana. Kalau ada yang melihat pakaianku tentu akan menimbulkan kecurigaan. Sudahlah, basah begini pun tidak apa-apa, Suheng.!

Bagimu tidak apa-apa, akan tetapi kalau engkau sakit, akulah yang akan kehilangan!! Ji Kun berkata, Tidak, engkau harus berganti pakaian kering. Biarlah engkau memakai pakaianku saja.!
Yan Hwa tidak membantah lagi dan dengan belaian-belaian mesra, Ji Kun membantunya menanggalkan pakaian basah dan mengenakan pakaian kering yang tentu saja terlalu besar bagi Yan Hwa. Dalam keadaan seperti itu, mereka tiada ubahnya sepasang suami isteri muda yang saling mencinta. Kalau Yan Hwa yang masih ketakutan mengingat kehadiran Kam Han Ki tidak menolaknya, tentu Ji Kun akan melepas rindunya terhadap sumoinya atau kekasihnya itu.

Mereka lalu menyelundup keluar dari lingkungan istana, melalui tembok belakang yang tidak jauh dari kandang-kandang kuda di mana Ji Kun bekerja. Dengan kepandaian mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini berhasli meloncat keluar tanpa dilihat para peronda dan penjaga. Mereka meloncat dan berlarian di atas genteng rumah rumah penduduk kota dengan hati-hati sekali dan legalah hati mereka melihat bahwa di atas rumah-rumah itu tidak nampak penjaga-penjaga.

Kita harus menghubungi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun lebih dulu,! kata Ji Kun. Kemarin aku telah berhasil menghubungi mereka.!

Apakah mereka masih menyamar sebagai pengemis?!

Benar, dan mereka bersembunyi di kolong jembatan Ayam Besi di sebelah utara, bersama para pengemis lainnya. Kita harus membantu mereka keluar dari kota. Marilah!!
Akan tetapi ketika mereka melompat ke atas genteng sebuah rumah besar, tiba-tiba muncul empat bayangan orang-orang yang tadinya bersembunyi dengan mendekam di balik wuwungan. Mereka adalah empat orang pengawal yang memegang pedang dan seorang di antaranya membentak,

Berhenti! Siapa kalian berdua?!

Kedua orang murid Mutiara Hitam itu menjawab dengan gerakan pedang yang telah mereka cabut dari sarungnya. Gerakan mereka cepat bukah main dan keduanya seperti berlumba, tampak sinar kilat berkelebat dan empat orang pengawal itu telah roboh dan tewas seketika. Kakak beradik seperguruan ini masing-masing merobohkan dua orang!

Tangkap penjahat....!!

Kini muncullah belasan orang pengawal yang berloncatan dari empat penjuru, dan kedua orang muda perkasa itu sudah dikurung. Terjadilah pertempuran seru di atas genteng.
Cepat, kita harus pergi dari sini!! Ji Kun berkata sambil mengelebatkan pedangnya.

Para pengawal yang datang mengeroyok ini memiliki kepandaian lumayan sehingga terdengarlah bunyi berdencing nyaring ketika Sepasang Pedang Iblis di tangan Ji Kun dan Yan Hwa mengamuk, mematahkan senjata-senjata lawan yang menghujani mereka dengan serangan dahsyat. Dua orang pengawal roboh lagi, akan tetapi kini tampak banyak sekali pengawal berloncatan.

Ji Kun dan Yan Hwa maklum bahwa kalau pasukan pengawal dikerahkan, mereka akan menghadapi bahaya besar dan akan sukar sekali untuk dapat meloloskan diri. Apalagi kalau mereka teringat kepada Kam Han Ki, mereka merasa ngeri. Maka sambil memutar pedang yang mengeluarkan hawa menyeramkan dan sinar kilat sehingga para pengeroyok menjadi gentar, keduanya meloncat ke depan, berdiri di atas genteng dan dikejar oleh para pengawal. Terdengar bunyi suitan-suitan dari para pengawal yang memberi tanda bahaya sehingga dari mana-mana muncullah para penjaga yang tadinya melakukan penjagaan sambil bersembunyi. Melihat betapa dari depan, kanan, kiri muncul pula banyak pengawal, Ji Kun dan Yan Hwa lalu meloncat turun. Seperti juga di atas, di bawah sudah terdapat banyak pengawal yang segera menyambut dan mengurung mereka. Ji Kun dan Yan Hwa mengamuk dan seperti biasa, pedang mereka seolah-olah berubah menjadi naga kilat, sepasang naga yang amat dahsyat dan mereka berlumba membunuhi para musuh yang mengeroyok mereka.

Sing-sing.... crat-crat....! Delapan orang, Suheng!! Yan Hwa berseru ketika tubuhnya mencelat ke atas dan pedangnya menyambar ke bawah, merobohkan dua orang pengeroyok yang hampir putus leher mereka terbabat pedang Li-mo-kiam di tangannya. Ucapannya itu berarti bahwa sudah delapan orang yang dirobohkannya.

Ji Kun menggulingkan tubuhnya, pedangnya membabat ke sekelilingnya. Wuuuttt, crok-crok....! Sembilan orang Sumoi!! katanya gembira karena dia menang satu orang.

Yan Hwa penasaran dan pedangnya diputar makin hebat. Kedua orang itu kini telah lupa akan bahaya, lupa akan menyelamatkan diri, bahkan lupa bahwa mereka tadi khawatir sekali akan munculnya Kam Han Ki. Mereka telah berubah menjadi dua orang yang haus darah, ingin berlumba berbanyak-banyaknya dalam membunuh musuh!

Tiba-tiba terjadi kekacauan di antara para pengeroyok dan ternyata tiga puluh orang lebih yang berpakaian pengemis, mengamuk dan menyerang para pengawal itu. Keadaan menjadi kacau-balau dan tiba-tiba Ji Kun dan Yan Hwa melihat Kwa-huciang dan Theng-ciangkun muncul dekat mereka.

Cepat, ikut kami....!! bisik Kwa-huciang memberi isyarat dengan tangannya.

Ji Kun dan Yan Hwa maklum bahwa kalau mereka menuruti nafsu hati berlumba membunuhi musuh, akhirnya mereka akan terjebak dan sukar sekali meloloskan diri, maka mereka segera menyelinap dan mengikuti Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang agaknya memang sudah merencanakan pelarian ini. Menggunakan kekacauan karena para pengemis menyerbu para pengawal, empat orang mata-mata ini berlari dan melalui lorong-lorong gelap, akhirnya mereka itu dapat lolos dari kota dengan jalan merobohkan beberapa orang penjaga tembok kota yang sunyi dan kurang kuat penjagaannya, meloncat ke atas tembok dan menggunakan tali yang sudah disediakan untuk keluar.

Setelah mereka terbebas dari kejaran para pengawal dan penjaga, Ji Kun memuji kawannya dan berkata, Eh, Kwa-huciang, untung engkau datang, kalau tidak tentu kami akan repot menghadapi kepungan pasukan-pasukan musuh. Bagaimana kalian berdua dapat menggerakkan para pengemis itu?!

Mereka itu sebagian besar adalah pengemis-pengemis anggauta Hek-tung Kai-pang yang bergabung dengan Coa-bengcu. Telah kita ketahui bahwa diam-diam Coa-bengcu menjadi sekutu pemerintah Yucen, maka kami berdua lalu mengaku sebagai mata-mata dari Yucen dan mendengar ini, tentu saja mereka siap membantu kami berdua untuk meloloskan diri dari dalam kota.!

Hemm, bagus sekali siasatmu, Kwa-huciang. Sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat! Para pengemis itu adalah kaki tangan Yucen, musuh kita juga, dan tentu mereka akan terbasmi oleh para penjaga Sung. Sungguh bagus, ha-ha-ha!! Ji Kun memuji.
Kwa-huciang mengerutkan alisnya dan dia menarik napas panjang. Yaaah, begitulah perang! Demi kemenangan pihak sendiri, orang tidak segan-segan melakukan segala macam hal yang dalam keadaan biasa akan membuatnya malu sekali karena perbuatan semacam yang kami lakukan adalah keji dan curang. Sudahlah, mari kita cepat menuju ke kuil tua di mana tentu Li-ciangkun telah menanti kita.!

Benar saja dugaan pembantu utama Maya ini, ketika mereka berempat memasuki kuil tua yang sudah tidak digunakan, di luar kota yang sunyi itu, Maya sudah berada di situ. Wajah Maya yang tadinya agak keruh karena masih teringat akan peristiwa antara dia dengan Suma Hoat, kini menjadi berseri. Girang hatinya bahwa empat orang pembantunya ternyata dapat lolos pula dan berkumpul kembali di tempat itu dalam keadaan selamat.

Empat orang itu segera melaporkan hasil penyelidikan mereka kepada Maya. Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, dengan bantuan para pengemis, telah berhasil menyelidiki keadaan di kota Siang-tan, bahkan telah berhasil membuat gambar peta keadaan kota itu dan sekitarnya.

Hasil penyelidikan mereka ini amat besar artinya bagi Maya, akan memudahkan mengatur siasat penyerbuan ke kota itu. Setelah memuji hasil mereka, Maya lalu menanyakan hasil penyelidikan kedua orang murid Mutiara Hitam.

Kami berdua berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong,! Yan Hwa berkata dan dengan singkat dia menceritakan pengalamannya bersama Ji Kun ketika mereka berdua menyamar sebagai pengganti siuli dan tukang kuda. Maya kagum bukan main akan kecerdikan kedua orang muda itu, juga merasa geli karena dapat membayangkan betapa lucunya pengahaman mereka itu.

Dan apa saja yang kalian dapatkan dalam penyelidikan kalian?! tanyanya setelah dia memuji.

Hasil-hasil lainnya tidak begitu penting, akan tetapi ada dua buah berita yang tentu akan kauanggap hebat sekali,! kata Yan Hwa.

Maya mengerutkan alisnya, hatinya tidak enak. Lekas katakan, berita apa itu?!

Pertama, dari perundingan antara Pangeran Ciu, Bu-koksu dan para panglimanya, mereka merencanakan untuk menjebak kita! Mereka akan membiarkan pasukan-pasukan kita meninggalkan Sian-yang menyerbu Siang-tan, diam-diam mereka akan memotong jalan dan mengurung pasukan kita di antara kedua kota itu dengan pengerahan bala tentara yang jauh lebih besar daripada pasukan kita,! Kwa-huciang dan Theng-ciangkun terkejut sekali mendengarkan berita yang amat penting itu. Akan tetapi Maya mengangguk dan menjawab,

Memang hebat berita itu, dan amat penting, perlu segera kita hadapi dengan siasat lain, akan tetapi aku telah mendengarnya juga, Yan Wwa. Biarpun dari sumber lain, aku pun telah tahu akan rencana siasat mereka itu. Berita ke dua apa lagi?!

Berita ke dua ini lebih hebat lagi. Aku telah melihat.... Kam-susiok sebagai pengawal Bu-koksu!!

Apa....? Siapa....?! Maya yang tadinya duduk di atas lantai, meloncat bangun dan mukanya berubah pucat.

Yan Hwa maklum bahwa tentu Maya terkejut mendengar bahwa suhengnya berada di kota itu, bahkan menjadi pengawal Koksu musuh. Aku melihatnya sendiri, dan untung bahwa aku mengintai dari bawah, di dalam air, karena kalau sampai Kam Han Ki-susiok melihatku, tentu aku akan celaka.!

Maya termenung dan teringat akan keadaan Suma Hoat. Melihat betapa pemuda lihai itu terkena pukulan yang amat hebat, dia percaya bahwa penglihatan Yan Hwa tentu tidak keliru dan yang melukai Suma Hoat tentulah suhengnya sendiri, Kam Han Ki! Yang membuat dia terheran-heran adalah kenyataan bahwa suhengnya itu dahulunya jelas membantu pasukan Yucen, sungguhpun bukan sebagai petugas resmi, mengapa sekarang tahu-tahu menjadi pengawal Bu-koksu dari Kerajaan Sung? Apakah yang telah terjadi dengan suhengnya?

Kita harus kembali ke Sian-yang sekarang juga!! Tiba-tiba ia berkata, suaranya agak tergetar. Betapa hatinya takkan gelisah kalau mendengar bahwa suhengnya berada di pihak musuh? Bagaimana kalau Kam Han Ki maju sebagai Panglima Sung? Dapatkah dia berhadapan dengan suhengnya yang dicintanya itu sebagai musuh?

Lima orang itu berjalan menuju ke depan kuil tua akan tetapi baru saja mereka melalui ambang pintu depan yang sudah rusak, tiba-tiba terdengar suara berdesir sambung-menyambung dan belasan batang anak panah dan senjata piauw menyambar ke arah mereka dari depan, kanan dan kiri.

Mundur!! Maya berkata setelah mereka berhasil mematahkan semua senjata rahasia itu dengan pukulan dan kibasan tangan ke kanan kiri. Mereka meloncat mundur lagi dan Maya berkata perlahan,

Hati-hati, kita terkepung musuh. Jangan bergerak sebelum aku melihat keadaan.! Biarpun keadaan mereka terkepung dan cuaca di luar masih gelap sehingga mereka terancam bahaya, namun sikap Maya tetap tenang.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari luar, Heiiiii! Kalian mata-mata Mancu! Menyerahlah, kalian telah terkepung dan tidak akan dapat lolos lagi!!

Maya sudah menyelinap dan tanpa mengeluarkan suara dia mengintai dari empat penjuru, kemudian dia kembali menghampiri empat orang pembantunya dan berkata,

Banyak sekali pasukan mengepung kita. Kita harus menggunakan cuaca gelap ini untuk menerjang keluar dan melawan mati-matian. Kalau sudah terang, harapan kita tipis sekali untuk dapat lolos. Kita akan berhadapan dengan perlawanan yang kuat, akan tetapi betapa pun juga, seorang di antara kita harus dapat lolos dan menyampaikan berita-berita penting itu kepada Pangeran. Oleh karena itu, tidak boleh kita gagal semua, maka harus berpencar agar seorang di antara kita sedikitnya, dapat lolos dan sampai ke Sian-yang. Ji-wi Ciangkun harap menyerbu dari pintu belakang dan aku sendiri akan menyerbu dari pintu depan. Ji Kun, kau menerobos dari jendela kiri, sedangkan Yan Hwa dari jendela kanan. Dengan dipecah menjadi empat bagian, tentu kepungan mereka tidak begitu rapat lagi dan kalau untung kita baik, mudah-mudahan kita semua akan dapat lolos dengan selamat. Mengertikah semua?!

Mereka mengangguk. Memang, di antara mereka berlima, yang dapat dikatakan paling rendah kepandaiannya, sungguhpun sama sekali bukanlah rendah menurut ukuran umum, adalah Theng-ciangkun dan Kwa-huciang. Oleh karena itu, kedua orang ini disuruh menyerbu bersama.

Sekarang, aku akan menyerbu lebih dulu ke depan. Kalau mereka sudah menyambutku, Ji Kun harus cepat menerjang ke kiri untuk mengacaukan mereka, kemudian Yan Hwa menyusul menyerbu ke kanan, sedangkan Ji-wi Ciangkun menyerbu paling akhir ke belakang.!

Setelah para pembantunya mengangguk tanda mengerti dan setuju, Maya melangkah keluar dengan sikap tenang. Dia tidak membawa senjata. Kalau dia berpakaian sebagai panglima, tentu saja pinggangnya selalu terhias sebatang pedang panjang. Akan tetapi kalau dara ini berpakaian preman, tidak pernah memegang senjata dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian seperti dia, tidak lagi membutuhkan senjata. Begitu tubuhnya muncul keluar, kembali ada belasan anak panah menyambar, namun sekali meraih, beberapa batang anak panah dapat ditangkisnya dan sebagian lagi runtuh terkena sambaran hawa pukulan tangannya yang dikibaskan. Sambil tersenyum mengejek Maya lalu melontarkan anak-anak panah yang dapat ditangkapnya itu ke arah asalnya. Terdengarlah pekik-pekik kesakitan disusul robohnya tubuh orang di dalam gelap ketika senjata-senjata itu makan tuannya sendiri!

Tangkap mata-mata!!

Bunuh dia!!

Teriakan-teriakan ini disusul serbuan banyak sekali pasukan yang menyerang Maya dengan macam-macam senjata, seperti hujan datangnya. Namun Maya bersikap tenang, tubuhnya berkelebat ke kiri dan berbareng dengan robohnya dua orang oleh tamparan-tamparannya, tangannya sudah merampas sebatang pedang lawan. Mulailah pendekar wanita yang sakti ini mengamuk, memutar pedang rampasannya dan terdengar suara nyaring berdentang ketika pedangnya menangkis banyak senjata, disusul pukulan-pukulannya dengan tangan kiri dan tendangan-tendangan kedua kakinya yang merobohkan banyak pengeroyok.

Tiba-tiba terjadi kegaduhan di sebelah kiri kuil tua dan tampak sinar kilat menyambar-nyambar. Itulah Can Ji Kun yang sudah menerjang keluar dan juga seperti Maya, pemuda ini telah disambut oleh pengeroyokan puluhan orang tentara musuh. Keadaan menjadi ramai dan kacau, apalagi ketika Yan Hwa juga cepat menyusul keluar di sebelah kanan kuil dan mengamuk dengan Pedang Iblis di tangannya. Pasukan yang mengurung mereka itu ternyata juga telah dibagi-bagi sehingga tidaklah terjadi kepanikan di pihak mereka seperti diharapkan Maya karena yang mengepung mereka berjumlah seratus enam puluh orang, dan kini dibagi menjadi empat regu, masing-masing dipimpin oleh perwira-perwira pengawal yang berkepandaian tinggi.

Sambutan pasukan yang besar jumlahnya ini mengejutkan Maya. Diam-diam ia merasa khawatir sekali kalau-kalau di antara para pengepung itu terdapat suhengnya. Akan tetapi dia tidak mempedulikan lagi hal itu dan terus mengamuk sambil berusaha mencari lowongan untuk melarikan diri. Dia maklum dengan penuh penyesalan bahwa dalam keadaan seperti itu di mana terdapat rahasia besar yang harus disampaikan kepada Pangeran Bharigan di Sian-yang yang agar pasukan Mancu tidak masuk dalam perangkap yang dipasang oleh pimpinan Sung, dia atau seorang di antara mereka harus dapat lolos dan terpaksa mereka tidak dapat saling menolong. Kalau saja tidak ada hal yang harus disampaikan ke Sian-yang itu, tentu dia akan mengamuk dan akan menolong anak buahnya, kalau perlu tewas bersama semua pembantunya.

Kwa-huciang dan Theng-ciangkun juga mengamuk sekuat mereka. Namun jumlah pengeroyok terlalu banyak, bahkan di antara para perwira pengawal terdapat orang-orang pandai, di antaranya terdapat Siangkoan Lee yang lihai. Biarpun kedua orang perwira pembantu Maya itu mengamuk dan berhasli merobohkan belasan orang pengeroyok, namun akhirnya mereka berdua roboh juga dan tewas di bawah hujan senjata pasukan Sung yang marah melihat betapa teman-teman mereka banyak yang tewas.

Di lain bagian dari pertempuran sebelah itu, Ji Kun mengamuk dengan pedang iblis di tangannya. Dia seperti harimau yang haus darah, pedangnya berubah menjadi sinar kilat menyambar-nyambar yang mematahkan banyak senjata lawan dan merobohkan banyak orang. Sudah ada dua puluh orang roboh dan tewas oleh pedangnya, namun dia sendiri juga terluka di pahanya, keserempet golok. Betapapun juga, pemuda yang perkasa ini tidak menjadi gentar dan dia mengamuk terus, merasa kecewa bahwa dia terpaksa harus bertanding jauh dari Yan Hwa sehingga dia tidak dapat membuktikan kepada sumoinya itu bahwa dia lebih banyak merobohkan lawan daripada sumoinya!

Tiba-tiba para pengeroyok bertambah dan muncullah Siangkoan Lee bersama beberapa orang perwira tinggi yang lihai. Murid Jenderal Suma Kiat ini bersenjatakan sebatang golok melengkung dan dia memimpin pengeroyokan dengan serangan-serangannya yang amat dahsyat. Sekali ini, Ji Kun benar-benar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi sukarlah bagi Siangkoan Lee dan kawan-kawannya untuk merobohkan pemuda ini, terutama sekali karena di tangan Ji Kun terdapat Pedang Ibiis yang amat ampuh itu.

Jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup dan rampas pedangnya!! Tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah Suma Hoat yang langsung mengirim tusukan dengan pedangnya ke arah punggung Ji Kun.

Ji Kun maklum bahwa lawan ini amat lihai, terbukti dari gerakan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar putih. Dia memutar tubuh, mengelebatkan pedang Lam-mo-kiam untuk merusak pedang lawan. Namun Suma Hoat yang sudah maklum akan kelihaian pedang itu ketika tadi datang dan menonton, cepat menarik pedangnya dan dia bersuit nyaring. Suitan ini merupakan tanda rahasia bagi seregu pasukan yang sudah ia persiapkan lebih dulu dan dua belas orang anggauta pasukan ini serentak melemparkan sebuah jaring ke arah tubuh Ji Kun! Pemuda ini terkejut sekali. Cuaca pada saat itu masih gelap dan dia tak dapat melihat jelas benda apa yang menyambarnya dari sekelilingnya itu. Tiba-tiba pandang matanya menjadi gelap, tertutup oleh benda-benda yang lebar itu. Karena tidak tahu senjata apa yang dipergunakan lawan untuk menyerangnya, dia hanya memutar pedangnya.

Teriakan-teriakan mengerikan terdengar ketika pedang Lam-mo-kiam membabat jaring-jaring itu, terus membabat lengan dan tubuh para pemegangnya. Biarpun jaring-jaring itu terbuat dari kawat-kawat baja yang kuat, namun sekali terkena babatan Lam-mo-kiam, menjadi putus semua, bahkan pedang mukjizat itu masih terus membabat orang orang yang memegang jaring. Sekali putaran saja lima orang di antara selosin anggauta regu ini roboh. Akan tetapi, Ji Kun terkejut sekali karena pedangnya terlibat jaring dan selagi dia berusaha melepaskan jaring-jaring yang melibat pedang dan tengannya, tujuh orang pengeroyoknya melepas pula jaring-jaringnya dengan berbareng!

Keparat!! Ji Kun berteriak marah dan biarpun tubuhnya sudah tertutup jaring-jaring itu, pedangnya masih mampu merobek jaring dan sekali bacok, tubuh dua orang lawan terbabat buntung di bagian pinggangnya!

Hebat....!! Suma Hoat berseru lalu menubruk dari belakang, tangannya berge rak dan tiga buah totokan kilat membuat Ji Kun mengeluh dan terguling roboh dalam keadaan pingsan! Suma Hoat cepat merampas pedang yang mukjizat itu, bergidik memandang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat, kemudian dia memimpin sisa pasukan untuk mengeroyok Yan Hwa.

Gadis itu pun mengamuk dengan hebat, pedangnya membuat para pengeroyok menjadi gentar karena pedang-pedang pusaka yang terkenal ampuh di tangan beberapa orang perwira menjadi patah semua ketika bertemu dengan pedang di tangan gadis itu. Ketika Suma Hoat menyaksikan kehebatan gadis itu, juga menyaksikan kecantikannya di bawah sinar obor yang dipegangi oleh beberapa orang tentara, dia kagum bukan main. Semenjak dia terpukul untuk ke tiga kalinya, terpukul hatinya karena penolakan Maya, timbul pula penyakit lamanya dan tadi dia melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya dengan mempermainkan seorang gadis kemudian membunuhnya.

Namun ia masih merasa berduka, menyesal dan kecewa. Ternyata perbuatannya yang keji itu tidak mampu memuaskan hatinya, bahkan menimbulkan penyesalan yang lebih besar lagi. Ketika lewat tengah hari itu dia meninggalkan kamar gadis yang kini telah tewas di atas pembaringannya, dia melihat pasukan yang tergesa-gesa lari ke arah utara. Dia cepat bertanya kepada Siangkoan Lee yang memimpin pasukan itu, dan mendengar bahwa kini di luar kota, di kuil tua, pasukan-pasukan penjaga sedang berusaha menangkap lima orang mata-mata yang lihai.

Suma Hoat terkejut, lalu dia ikut pula berlari ke luar kota di sebelah utara. Dia menyangka bahwa tentu Maya dan kawan-kawannya. Sangkaannya ternyata tepat, akan tetapi, melihat Maya mengamuk dengan hebat itu, selain dia merasa tidak akan mampu menandingi wanita penghuni Istana Pulau Es itu, juga dia merasa tidak tega untuk mengeroyok Maya yang dicintanya. Diam-diam dia merasa heran sekali kepada diri sendiri. Mengapa dia tidak dapat membenci Maya yang terang-terangan telah menolak cintanya? Mengapa dia tidak pernah pula dapat melupakan Khu Siauw Bwee yang juga tidak dapat membalas cinta kasihnya? Benar-benar dia telah menjadi gila!

Dia, Jai-hwa-sian yang dapat memperoleh gadis-gadis cantik yang mana saja, baik dengan rayuan maupun dengan kekerasan, kini tergila-gila kepada dua orang gadis yang tidak mungkin didapatkannya! Mengapa hatinya jatuh cinta kepada dua orang gadis yang jelas menolaknya, sedangkan banyak gadis-gadis cantik hanya ingin ia dapatkan untuk memenuhi nafsu birahi dan sebagai balas dendam belaka?

Karena tidak sampai hati menyaksikan Maya dikeroyok, pula dia juga tidak berdaya menolongnya karena hal ini selain akan membahayakan dia sendiri, juga akan membahayakan kedudukan ayahnya dan membocorkan rahasia mereka bahwa sesungguhnya mereka itu memusuhi Kerajaan Sung Selatan dan bersekutu dengan Yucen, maka Suma Hoat tidak mau mendekati Maya, sebaliknya dia membantu Siangkoan Lee untuk menangkap pemuda yang lihai itu. Kini, menghadapi Yan Hwa, timbul gairah di hatinya.

Dia tertarik dan ingin mendapatkan gadis ini. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis cantik yang lemah, yang hanya menangis kalau diperkosanya tanpa mampu melawan, yang tersenyum-senyum malu dan penuh pura-pura kalau gadis itu kebetulan suka kepadanya. Kini, gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan gadis itu, apalagi gadis itu memiliki sebatang pedang yang hebat bukan main, pedang yang bentuk dan sinarnya serupa benar dengan pedang yang dirampasnya dari tangan pemuda tadi. Aku harus mendapatkan gadis ini pikirnya, maka dia lalu melompat maju sambil menghunus pedang Lam-mo-kiam yang telah dirampasnya.

Tranggg....!! Semua orang yang berdekatan dengan pertemuan sepasang pedang itu, menjadi silau matanya dan banyak yang terhuyung mundur karena sepasang pedang yang bertemu dengan dahsyatnya itu mengandung getaran yang mukjizat.

Aihhhh...., Lam-mo-kiam....!! Yan Hwa menjerit kaget ketika pedangnya bertemu dengan pedang pegangan suhengnya itu. Dia memandang wajah pemuda tampan yang memegang pedang itu, kemudian bertanya dengan suara membentak, Bagaimana pedang Lam-mo-kiam bisa berada di tanganmu? Siapa engkau dan di mana suhengku?!

Suma Hoat memandang dengan senyum lebar, Ah, kiranya dia itu suhengmu, Nona? Dia sudah tertawan....!

Bohong! Tak mungkin suheng tertawan oleh kalian!!

Hemm, kalau belum tertawan, mana mungkin pedangnya dapat kurampas? Dan semua temanmu sudah kalah, tinggal engkau seorang. Kalau engkau suka menyerah, aku menanggung bahwa engkau tidak akan diganggu, bahkan soal suhengmu.... hemmm, marilah kita bicarakan. Melawan pun takkan ada gunanya, Nona.!

Yan Hwa terkejut dan memandang ke sekeliling. Benar saja dia tidak melihat lagi Maya yang tadi mengamuk, dan tidak melihat lagi yang lain-lain. Bahkan kini semua pasukan sudah mengurungnya sehingga kalau dia melawan, biarpun dia akan dapat membunuh banyak lawan, akhirnya dia tidak akan dapat meloloskan dirinya. Dia memandang tajam. Pemuda ini amat tampan dan gagah, dan tidak memiliki sifat kejam.

Aku minta bukti lebih dulu bahwa suhengku benar-benar telah kautawan!! katanya sambil melintangkan pedangnya.

Suma Hoat tertawa dan memanggil Siangkoan Lee. Bawalah tawanan itu agar nona ini dapat melihatnya!!

Siangkoan Lee mengerutkan alisnya. Dia tidak setuju dengan sikap putera gurunya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. Dia mengangguk lalu pergi lagi, tak lama kemudian dia mengawal empat orang anak buahnya yang menggotong tubuh Ji Kun yang masih pingsan dan yang terbelenggu kuat-kuat.

Suheng....!! Yang Hwa berseru dan pedangnya bergerak, hendak mengamuk.

Tranggg!! Pedang Suma Hoat menangkis pedangnya dan pemuda ini berkata, Nona, lebih baik menyerah. Percayalah, aku akan mengusahakan agar engkau dan suhengmu dibebaskan.!

Yan Hwa memandang dan melihat sinar mata pemuda tampan itu memandangnya penuh gairah, jantungnya berdebar. Kalau di sana ada jalan keluar untuk membebaskan diri bersama suhengnya, agaknya jalan satu-satunya hanyalah menuruti kehendak pemuda tampan ini.

Di mana teman-temanku yang lain?! Ia bertanya, masih belum mau tunduk dan menyerah begitu saja.

Dua orang temanmu yang menyerbu dari belakang kuil telah tewas, sedangkan yang seorang lagi.... eh, wanita sakti itu, telah melarikan diri,! kata Suma Hoat, di dalam hatinya girang sekali, ketika tadi mendapat kenyataan bahwa Maya telah berhasil melarikan diri.

Tidak ada jalan lain lagi, pikir Yan Hwa. Maya telah berhasil melarikan diri membawa berita rahasia itu untuk disampaikan ke Sian-yang, sedangkan kedua orang perwira pembantu Maya telah tewas. Sekarang yang terpenting adalah menyelamatkan diri sendiri dan suhengnya.

Engkau siapakah?! tanyanya.

Suma Hoat menjura. Aku Suma Hoat....!

Suma Hoat....?! Yan Hwa terkejut karena tentu saja dia telah mendengar akan nama Jenderal Suma Kiat.

Suma Hoat maklum akan isi hati gadis itu, maka dia melanjutkan, Benar, aku adalah putera Suma-goanswe yang terkenal. Kaulihat, aku bukan orang sembarangan, Nona dan kata-kataku boleh engkau percaya sepenuhnya.! Kemudian dengan berbisik ia menyambung, Berikan pedangmu dan menyerahlah, engkau dan suhengmu akan selamat.!

Mendengar bisikan ini dan melihat sinar mata pemuda itu mengandung kesungguhan, Yan Hwa memutar pikirannya cepat sekali. Kalau dia melawan dan sampai tertawan seperti suhengnya, tidak ada harapan lagi bagi mereka berdua. Sebaliknya kalau dia menyerah, dia masih dapat melihat keadaan dan mungkin dapat menyelamatkan diri bersama suhengnya. Semua harapan sudah buntu, kenapa tidak berpegang kepada satu harapan ini, betapapun tipisnya? Ia mengangguk dan tanpa berkata sesuatu dia menyerahkan pedangnya.

Suma Hoat girang sekali, menerima pedang mukjizat itu lalu berkata kepada Siangkoan Lee dan para perwira, Aku yang telah menawan pemuda itu, dan gadis ini menyerah kepadaku. Mereka adalah tawanan-tawananku. Siangkoan Lee, bawa pemuda itu ke rumah dan masukkan ke dalam tahanan di bawah tanah, jaga yang kuat.!

Siangkoan Lee mengangguk dan kini dia mentaati perintah putera majikan atau gurunya karena dia menyangka bahwa tentu ada apa-apanya! dengan kedua orang mata-mata itu sehingga putera gurunya sengaja menawan mereka. Agaknya ada hubungannya dengan persekutuan antara majikannya dengan Kerajaan Yucen. Apakah dua orang muda itu mata-mata Yucen? Maka dia lalu menggunakan pengaruhnya untuk menekan para pengawal dan menyuruh mereka melaporkan bahwa dua orang mata-mata telah terbunuh, seorang berhasil melarikan diri, sedangkan dua orang lagi yang tertawan oleh putera Jenderal Suma sedang diselidiki oleh karena keadaan dua orang itu masih disangsikan apakah mereka benar-benar rnata-mata ataukah hanya terlibat saja dalam keributan yang digerakkan oleh para pengemis pemberontak itu.

***

Usul yang gila, dan engkau seorang manusia yang mata keranjang! Siapa yang percaya bahwa engkau akan memegang janji?! Yan Hwa dengan muka berubah merah sekali bangkit dari ternpat duduknya, memandang Suma Hoat dengan mata bersinar penuh kemarahan dan keheranan setelah mendengar usul yang diajukan pemuda itu kepadanya. Mereka berada di sebuah kamar yang mewah dan serba indah, kamar tidur pemuda itu sendiri.

Suma Hoat tersenyum dan tetap duduk di atas pembaringan menghadapi gadis itu. Tenanglah, Nona dan duduklah. Mungkin sekali aku sudah gila, dan tidak kusangkal bahwa aku adalah seorang yang mata keranjang. Hati siapakah yang takkan terpesona oleh kecantikan seperti yang kaumiliki? Akan tetapi, penukaran yang kuajukan cukup adil, dan engkau harus percaya kepadaku karena banyak hal yang mengharuskan aku membebaskan engkau dan suhengmu.!

Hemm, hal-hal apakah yang menjadi alasanmu?!

Pertama, engkau dan suhengmu bukanlah musuh-musuhku, bahkan tidak kukenal. Untuk apa aku mencelakakan kalian? Ke dua, kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi, bermusuhan dengan kalian sungguh bukan perbuatan yang cerdik. Ke tiga, kalian mengganggu Kerajaan Sung yang bukan menjadi negara yang kami bela. Nah, kalau di antara kita terikat persahabatan baik, bukankah hal itu sangat menguntungkan? Begitu melihatmu, hatiku tertarik dan timbul gairah di hatiku, Nona. Aku tidak akan memaksamu, akan tetapi kiranya engkau tidak akan menganggap aku seorang laki-laki biasa apalagi buruk rupa. Tidak kurang banyaknya gadis yang suka kepadaku, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang menarik hatiku. Nah, bagaimana jawabanmu, Nona?!

Muka gadis itu tidak semerah tadi, namun jantungnya masih berdebar keras. Pemuda ini memang tampan sekali, akan tetapi usul dan permintaan pemuda itu benar-benar merupakan hal yang selama hidupnya belum pernah ia dengar, maka tentu saja dia merasa tegang dan malu.

Coba ulangi lagi usulmu, agar aku tidak salah tangkap,! katanya menekan hatinya agar suaranya tidak gemetar.

Suma Hoat tersenyum, diam-diam merasa geli karena dia sudah tahu betapa hati nona itu berdebar penuh ketegangan. Hal ini menyenangkan hatinya karena berarti bahwa dara kang-ouw ini tidak biasa melakukan perbuatan seperti dimintanya. Tidak jarang terdapat wanita-wanita kang-ouw yang mengumbar nafsunya mengandalkan kepandaiannya, bersenang-senang dan memuaskan nafsu birahi dengan pria-pria tampan. Namun gadis ini agaknya bukan semacam wanita pengejar nafsu.

Begini, Nona. Aku akan membebaskan engkau dan suhengmu keluar dari kota ini asal engkau mau melayani aku sebagai kekasih sampai besok pagi, jadi sehari semalam.!
Kembali wajah Yan Hwa menjadi merah sekali. Usul gila!! Kembali ia mengulang karena hampir dia tidak percaya akan ada orang yang berani mengajukan usul segila ini kepadanya. Kalau sekarang aku menyerangmu, apakah engkau kira akan dapat hidup lebih lama lagi? Betapa berani engkau!!

Suma Hoat tersenyum. Aku sama sekali tidak berani memandang rendah kepa damu, Nona. Aku sudah cukup menyaksikan kelihaianmu dan belum tentu aku akan dapat bertahan kalau engkau menyerangku sekarang. Akan tetapi, hal itu sudah kuperhitungkan masak-masak. Aku boleh saja kaubunuh, akan tetapi apakah engkau dan suhengmu akan dapat meloloskan diri dari sini? Dan sepasang pedang kalian yang ampuh itu, tidak sayangkah engkau?!

Sepasang Pedang Iblis milik kami itu kaukembalikan pula kalau kami kaubebaskan?!
Tentu saja! Aku bukan seorang pencuri pedang yang hina! Aku hanyalah seorang pencuri hati, pencuri wanita-wanita cantik seperti Nona....!

Engkau laki-laki cabul!!

Aku hanyalah seorang laki-laki cabul yang berterus terang, tidak seperti semua laki-laki cabul yang menyembunyikan kecabulannya di balik kemunafikan mereka. Nona, aku tergila-gila kepadamu, akan tetapi aku tidak memaksamu. Aku seperti seekor kumbang yang tertarik akan madu manis yang terkandung dalam setangkai kembang. Engkaulah kembang itu dan aku hanya mengharapkan engkau membukakan kelopak bungamu kepadaku. Aku mengharapkan sari madu cintamu, kubeli dengan kebebasan engkau dan suhengmu. Bukankah ini sudah adil namanya?!

Kalau engkau melanggar janji?!

Suma Hoat mengangkat muka, alisnya berkerut dan matanya bersinar. Aku adalah seorang laki-laki, seorang jantan! Melanggar janji, apalagi terhadap seorang wanita cantik seperti Nona, merupakan pantangan besar bagiku!!

Yan Hwa merasa terjepit, tidak ada jalan keluar yang lebih baik. Kalau dia marah-marah dan menyerang orang ini, bahkan andaikata dia berhasil membunuhnya, hal yang masih harus diragukan karena Suma Hoat ini memiliki kepandaian yang tinggi pula, apakah untungnya bagi dia dan suhengnya? Dia tentu akan dikepung, dan tanpa Li-mo-kiam di tangan, apalagi suhengnya masih ditawan, akhirnya mereka berdua hanya akan membuang nyawa sia-sia. Kalau dia menurut.... ah, pemuda itu tampan dan gagah sekali, tidak kalah oleh Ji Kun. Teringat akan Ji Kun, dia membayangkan watak Ji Kun yang kadang-ka dang juga mata keranjang. Ketika mereka menawan seorang di antara gadis-gadis cantik dari kereta para siuli, bukanlah Ji Kun juga memperlihatkan kenakalannya? Apa kata suhengnya itu? Hanya kulit yang bersentuhan, namun hati dan cintanya adalah miliknya! Hemm, kalau dia melayani permainan Suma Hoat, bukankah dia pun hanya mengorbankan kulit dan daging belaka, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan hatinya yang mencinta Ji Kun seorang? Apalagi kalau diingat bahwa pengorbanannya! itu untuk menyelamatkan nyawa Ji Kun pula!

Bagaimana, Nona?! Suma Hoat mendesak.

Kalau aku menolak?!

Tidak ada lain jalan kecuali memanggil para pengawal agar engkau ditawan pula dan bersama suhengmu diseret ke depan pengadilan. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak menakut-nakutimu kalau kuberi tahu bahwa hukuman bagi mata-mata adalah penggal kepala.!

Kalau sekarang aku membunuhmu?!

Sama saja, engkau dan suhengmu juga akan mati konyol. Bagiku mati di tanganmu yang halus itu merupakan mati yang terhormat dan menyenangkan. Silakan pilih, aku siap mendengar pilihanmu.!

Yan Hwa merasa betapa jantungnya makin berdebar. Kamar ini begini indah, perabot-perabotnya serba mewah dan mahal, tempat tidur itu kelihatan amat menyenangkan dan tentu enak dipakai tidur, dan bau harum dari pembaringan itu menyentuh hidungnya. Seperti kamar seorang puteri istana saja! Dan pemuda di depannya yang memandang dengan mata bersinar-sinar, dengan bibir tersenyum, merupakan calon teman yang menyenangkan.

Dengan jantung berdebar dan suara lirih hampir tidak terdengar, Yan Hwa mengangguk dan berkata, Baiklah, aku menerima usulmu. Akan tetapi, kalau sampai engkau melanggar janji, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu dan menyayat-nyayat tubuhmu!!
Terima kasih, engkau sungguh seorang dara yang cerdik dan menyenangkan sekali! Ahh, Nona, betapa keputusanmu itu mendatangkan rasa gembira yang hebat di hatiku. Terima kasih!! Suma Hoat melompat turun, merangkul Yan Hwa dan mencium dara itu dengan kemesraan yang membuat Yan Hwa menjadi nanar. Belum pernah dia dicium orang seperti itu. Ji Kun pun belum pernah menciumnya semesra itu! Dia tidak tahu bahwa yang mendekap dan menciuminya adalah Jai-hwa-sian, seorang yang tentu saja amat ahli dalam permainan cinta!

Kebaikanmu harus dirayakan, Nona!! Suma Hoat menghampiri pintu, membuka daun pintu dan memanggil pelayan, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi, dan hidangan yang mewah, masakan-masakan termahal dan terlezat bersama arak yang paling baik!

Kalau tadinya Yan Hwa masih merasa berat, malu-malu, dan merasa bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan maksiat yang hina dan kotor, lambat laun perasaan itu lenyap sama sekali terganti perasaan girang dan senang yang luar biasa berkat kepandaian Suma Hoat merayunya. Kalau masih ada awan tipis menyelubunginya, segera awan itu tertiup pergi oleh hiburan paksaan berupa pendapat bahwa dia melakukan hal itu demi menyelamatkan nyawa suhengnya!

Manusia adalah makhluk yang amat lemah terhadap nafsunya sendiri. Kelemahan ini ditambah lagi dengan bermacam perasaan bersalah karena larangan-larangan yang mereka ciptakan sendiri sehingga setiap perbuatan mereka adalah tidak wajar dalam usaha mereka menghindarkan diri dari pelanggaran larangan itu. Demikian pula dengan Yan Hwa. Kalau memang dia tidak bersikap palsu, maka baginya hanya tinggal memilih apa yang akan dilakukannya sesuai dengan kehendak hatinya, tanpa penyesalan tanpa pura-pura dan tanpa mencari kambing hitam sebagai alasan pendorong perbuatannya. Dia seorang wanita yang lemah, mudah jatuh di bawah rayuan pria tampan seperti Suma Hoat. Akan tetapi, dia hendak menutupi kelemahannya ini dengan alasan yang dicari-cari sehingga semua perbuatannya adalah tidak wajar dan karenanya menjadi kotor.

Sehari semalam kedua orang itu mandi dalam telaga asmara, tiada bosan-bosannya dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum sinar matahari mengu sir kegelapan malam, keduanya mengakhiri permainan cinta mereka karena sudah tiba saatnya dalam perjanjian mereka untuk membebaskan Yan Hwa dan Ji Kun.

Dengan hati penuh kagum dan puas, Suma Hoat mencium Yan Hwa sambil berkata,
Ah, engkau dan aku cocok sekali, Yan Hwa.!

Sejenak Yan Hwa membalas ciuman itu, kemudian didorongnya dada Suma Hoat sambil berkata, Cukup, Suma Hoat. Kau tahu bahwa aku melakukan semua itu untuk menebus keselamatan aku dan suheng.!

Ha-ha-ha, tak usah kau berpura-pura, manis. Beranikah engkau menyangkal bahwa engkaupun, seperti aku, menikmati hubungan kita yang pendek ini?!

Tak perlu kusangkal. Engkau memang seorang laki-laki yang hebat. Akan tetapi aku tidak cinta kepadamu seperti juga engkau tidak mencintaku. Aku telah mencinta orang lain.!

Suhengmu sendiri?!

Bagaimana kau bisa tahu?!

Ha-ha, apa sukarnya menduga? Engkau telah rela mengorbankan diri untuk menyelamatkannya. Aku tidak menyalahkan engkau. Suhengmu seorang laki-laki yang tampan dan gagah perkasa. Kalian berdua memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat, memiliki Sepasang Pedang Iblis yang mukjizat. Yan Hwa, sebelum kita berpisah dan mungkin kita tidak akan saling berjumpa kembali, mengingat akan kemesraan yang sudah sama-sama kita nikmati, maukah engkau sekarang mengaku, sebetulnya engkau dan suhengmu itu dari perguruan mana?!

Sudah kukatakan bahwa keadaan kami adalah rahasia kami. Harap kembalikan dulu pedang kami.!

Suma Hoat menarik napas panjang, lalu mengambil Sepasang Pedang Iblis dari balik jubahnya yang digantung di sudut. Kaulihat, hanya kutaruh di sini, tidak kusembunyikan, untuk membuktikan betapa aku telah percaya penuh kepadamu.!

Yan Hwa menerima sepasang pedang itu, mengikat sarung Li-mo-kiam di pinggang sedangkan Lam-mo-kiam ia gantungkan di punggung. Ia memandang Suma Hoat dan berkata dengan senyum, Baiklah, Suma Hoat. Di antara kita sebetulnya masih ada hubungan, biarpun hubungan di antara kita penuh dendam permusuhan. Kulihat engkau, biarpun.... mata keranjang dan tukang perayu wanita, tidak jahat seperti ayahmu. Aku dan suheng adalah murid mendiang subo kami, Mutiara Hitam.!

Wajah Suma Kiat menjadi pucat. Apa....? Murid Bibi.... Kam Kwi Lan Si Mutiara Hitam.... dan engkau sudah tahu bahwa aku masih keponakannya?!

Yan Hwa mengangguk. Ayahmu, Jenderal Suma Kiat amat jahat dan curang. Dia mengakibatkan kematian Supek Kam Liong, dan muridnya, dan agaknya semenjak dahulu, antara keturunan Suma dan keturunan Kam selalu timbul permusuhan karena kejahatan keluarga Suma. Akan tetapi, kulihat engkau tidak jahat hanya.... mata keranjang!!

Suma Hoat tersenyum kecut. Tidak perlu kau ulangi lagi, Yan Hwa. Aku tidak akan menyangkal akan sifatku yang suka merayu dan bermain cinta dengan wanita cantik. Untuk itulah maka aku dijuluki Jai-hwa-sian.!

Engkau Jai-hwa-sian? Hemm, pantas! Sudahlah, mari antar aku kepada Suheng dan biarkan kami pergi. Mudah-mudahan saja jalan hidup antara kita akan bersimpangan karena aku tidak ingin merusak kenangan manis kemarin dan malam tadi dengan bentrokan karena sekali kita saling bentrok, aku takkan suka mengampunimu, Suma Hoat.!

Suma Hoat mengangguk lalu mengajak Yan Hwa mengambil jalan rahasia menuju ke tempat tahanan di bawah tanah. Kau tunggu di sini. Kalau terjadi keributan dan teriakan kebakaran sehingga semua penjaga lari meninggalkan pintu di sana itu, barulah kau masuk, bebaskan suhengmu dan lari, melalui jalan ini.! Suma Hoat menerangkan jalan rahasia keluar dari tempat itu. Setelah Yan Hwa mengerti betul, dia lalu merangkul Yan Hwa, mencium bibirnya dan berbisik, Selamat berpisah, Yan Hwa, aku tidak cinta padamu akan tetapi aku takkan pernah dapat melupakanmu. Kau bersembunyi di sini dan tunggu sampai ada teriakan kebakaran.!

Yan Hwa mengangguk dan melihat bayangan pemuda itu berkelebat lenyap. Tak lama kemudian, benar saja seperti yang dipesankan Suma Hoat, tampak sinar api dan asap membubung tinggi dan terdengar teriakan-teriakan,

Kebakaran....! Kebakaran....! Tolong.... padamkan api....!!
Ributlah keadaan di situ dan setelah Yan Hwa melihat para penjaga yang tadinya berkumpul di pintu, berlari-lari membawa ember dan lain-lain alat pemadam kebakaran, dia cepat menyelinap memasuki pintu dan menuruni anak tangga ke bawah. Dilihatnya Ji Kun meringkuk rebah miring di atas bangku di dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi. Pintu dan jendelanya kuat sekali, akan tetapi beberapa kali bacokan dengan pedang Li-mo-kiam, Yan Hwa sudah berhasil membuka pintu.

Sumoi....! Bagaimana kau bisa bebas....?!

Sstt, bukan waktunya bicara.! Yan Hwa menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan Ji Kun, kemudian ia menyerahkan Lam-mo-kiam kepada suhengnya dan menarik tangannya, mengajak keluar dari tempat itu.

Bagus, agaknya engkau telah memancing mereka dengan kebakaran, Sumoi! Mari kita amuk dan binasakan mereka sebelum pergi dari sini!! Ji Kun berkata setelah mereka keluar dari tempat tahanan di bawah tanah dan dia menyaksikan api yang berkobar tinggi dan orang-orang yang sibuk memadamkan api.

Hushhh, jangan, Suheng. Setelah susah payah aku berhasil membebaskan kita berdua, apakah akan kaurusak dengan memasuki bahaya tertawan lagi? Hayo kita pergi, ikut dengan aku!!

Dengan mengikuti petunjuk yang diterimanya dari Suma Hoat, akhirnya Yan Hwa berhasil membawa suhengnya keluar dari istana dan tembok kota Siang-tan, kemudian melarikan diri secepatnya di dalam cuaca remang-remang karena pagi telah tiba. Baru setelah lewat tengah hari dan mereka sudah jauh sekali di sebelah utara kota Siang-tan dan napas mereka mulai memburu, tubuh penuh keringat, kedua orang ini berhenti mengaso di sebuah hutan kecil. Bah kan Yan Hwa yang amat lelah dan semalam suntuk berenang dalam lautan cinta bersama Suma Hoat sehingga tubuhnya terasa lemas, segera tertidur pulas di bawah pohon, dihembus angin semilir sejuk. Ji Kun memandang sumoinya yang tidur nyenyak dan diam-diam ia merasa terheran-heran melihat wajah sumoinya mangar-mangar, bibirnya tersenyum dalam tidurnya.

Sumoinya kelihatan seperti orang yang bergembira, penuh kepuasan, sama sekali bukan seperti orang yang habis tertawan. Dan bagaimanakah sumoinya dapat menolongnya sedang pihak musuh demikian banyak dan lihai? Bagaimana pula dapat merampas kembali Lam-mo-kiam? Apa yang terjadi dengan Maya dan kedua orang perwira pembantunya? Dia tadi tidak sempat bicara karena mereka harus melarikan diri secepatnya dan begitu mereka berhenti mengaso, Yang Hwa sudah merebahkan diri dan tidur nyenyak!

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar