Bab 25
Hati Han Ki menjadi terharu
sekali, akan tetapi ketika ia merasa betapa dari kedua telapak tangan yang
berkulit halus itu, yang tadinya hangat dan lembut kini menjadi dingin,
mengalir hawa yang dingin sekali, ia cepat menyatukan semua perasaannya,
bersamadhi dan memusatkan perhatian kepada hawa dingin yang mengalir masuk
melalui kedua lengannya. Dia menerima hawa itu, menyatukan dengan hawa Im-kang
yang ia kerahkan dari pusar, kemudian dengan perhatian penuh ia mengendalikan
hawa itu, perlahan-lahan seperti uap yang meraba-raba dan mencari-cari, mulai
menyalurkannya ke atas.
Mula-mula hawa Im-kang yang
tergabung itu terkumpul di pusarnya, kemudian perlahan-lahan naik melalui
dadanya, terus ke leher dan dari situ naik dengan amat perlahan dan hati-hati.
Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan samadhi karena dia tidak menghendaki
pengerahan Im-kangnya tercampur dengan tenaga lain atau pikiran-pikiran yang
akan mengotorkan penyalurannya. Kedua orang itu duduk besila, saling berhadapan
dan saling mengadu telapak tangan, sama sekali tidak bergerak seperti sepasang
arca, akan tetapi tanpa terlihat oleh mata, terjadilah kemukjizatan karena dua
tenaga Im-kang yang amat dahsyat sedang bekerja dan bahwa benar seperti apa
yang dikhawatirkan oleh Coa Leng Bu, usaha yang dilakukan oleh kedua orang ini
amatlah berbahaya.
Terguncang atau meleset
sedikit saja akan mendatangkan akibat yang mengerikan bagi diri Han Ki.
Karena maklum bahwa dia
sendiri masih jauh berada di tingkat rendah untuk dapat membantu mereka, dan
diam-diam masih kagum dan terheran-heran mendapat kenyataan bahwa kedua orang
itu adalah orang-orang sakti, Coa Leng Bu duduk bersila di atas bangku depan
pondok. Dia pun prihatin, dan mengharapkan gadis sakti itu berhasil
menyembuhkan suhengnya.
Melihat kekuatan Im-kang
mereka yang sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin bahwa kalau mereka
tidak terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat itu, mereka tentu akan
mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni Han Ki, yang telah menggelapkan
ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk perbuatan orang yang telah meracuni
Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai, koksu negara yang hendak menggunakan
kepandaian Si Pemuda untuk menjadi pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih
heran bagaimana seorang yang sedemikian saktinya dapat dipedaya dan diminumi
racun perampas ingatan.
Tiba-tiba Coa Leng Bu
tersentak kaget. Sudah ada empat jam lebih dia duduk menjaga, matahari sudah
naik tinggi dan kini dia melihat bayangan empat orang datang ke tempat itu.
Karena tidak ingin dua orang muda di dalam pondok terganggu, cepat dia turun
dari bangku dan berjalan menyambut empat orang itu. Dapat dibayangkan betapa
kaget hatinya ketika ia mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu, Pat-jiu
Sin-kauw, Thian Ek Cinjin, dan Ang Hok Ci!
Celaka....!! keluhnya dalam
hati namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan dengan mereka.
Coa Leng Bu menjura dengan
hormat kepada mereka lalu berkata, Selamat datang, Bu-koksu. Apakah engkau
hendak menangkap aku? Silakan, aku menyerah karena aku memang merasa telah
membikin kacau di Sian-yang dahulu.!
Bu-koksu tertawa, Ha-ha-ha,
siapa butuh orang macam engkau? Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam
pondok itu!!
Bu-koksu, di sana terdapat
seorang yang sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!!
Orang sakit?! Bu-koksu
mengerutkan alisnya yang tebal. Hemm, beranikah engkau membohongiku bahwa di
sana terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw Bwee?!
Coa Leng Bu maklum bahwa
membohong pun tiada gunanya. Benar, akan tetapi Kam-taihiap sedang sakit,
sedangkan Khu-lihiap sedang merawatnya.!
Ha-ha-ha, kaumaksudkan sedang
berusaha memulihkan ingatan Kam Han Ki? Orang she Coa, aku sudah tahu siapa
engkau. Engkau adalah seorang ahli pengobatan yang tentu berusaha menyembuhkan
Kam Han Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!!
Bu-koksu, apakah kesalahan
mereka?! Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk mengulur waktu,
untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan pengobatan. Kalau
belum selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam bahaya maut.
Engkau mau tahu? Kam Han Ki
telah menjadi pengkhianat dan harus ditangkap. Sedangkan gadis itu adalah
puteri mendiang Khu Tek San, seorang panglima yang memberontak. Dia harus
ditawan dan dihukum pula!!
Bu-koksu, harap kautunggu
sebentar sampai mereka selesai dengan pengobatan mereka. Kalau terganggu,
keadaan Kam-taihiap berbahaya sekali. Bukankah dia itu adalah adik angkatmu
sendiri yang sudah banyak berjasa terhadapmu? Apakah engkau tega untuk mencelakainya?!
Jangan banyak cakap!
Minggirlah!!
Bu-koksu, harap engkau orang
tua yang sudah banyak pengalaman hidup, menaruh kasihan kepada dua orang muda
yang tidak berdosa. Biarlah aku yang menanggung semua kesalahan mereka. Biar
aku yang kautangkap dan kauseret untuk dihukum. Biarkan mereka, karena aku tahu
bahwa mereka bukanlah pengkhianat, apalagi pemberontak. Kau tahu, mereka adalah
murid-murid manusia dewa Bu Kek Siansu!!
Wajah Bu-koksu seketika pucat
mendengar ini, karena sesungguhnya berita ini tak pernah disangka-sangkanya dan
membuatnya terkejut bukan main. Akan tetapi segera dia dapat mengatasi rasa
kagetnya dan tertawa,
Siapa pun mereka, harus kami
tawan!! Diam-diam dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab peninggalan
Bu Kek Siansu kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia maklum bahwa
kalau Kam Han Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka. Akan tetapi
melihat bahwa pemuda itu masih dalam pengobatan, dia mempunyai harapan untuk
dapat menguasai pemuda itu yang telah hilang ingatannya dan kalau hal ini
benar, dengan bantuan Kam Han Ki, tidak sukar baginya untuk menundukkan gadis
yang sakti itu.
Jangan bergerak!! Coa Leng Bu
berseru marah. Kalian takkan dapat pergi memasuki pondok itu kecuali melalui
mayatku!!
Manusia sombong, kalau begitu
mampuslah engkau!! Bu Kok Tai yang sudah marah sekali itu membentak, tubuhnya
menerjang ke depan, tangan kanannya yang besar mencengkeram. Mendengar bunyi
tulang-tulang jari tangan itu berkerotokan, maklumlah Co!a Leng Bu bahwa Koksu
ini memiliki tenaga yang hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil
memukul dari bawah menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang.
Desss!! Tubuh Coa Leng Bu
terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan tenaga sin-kang yang
jauh lebih lihai dan kuat.
Engkau bosan hidup!! Tiba-tiba
Ang Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan kakinya menginjak ke
arah perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.
Injakan maut ini tentu akan
menghancurkan isi perut. Akan tetapi Coa Leng Bu dalam usahanya menghalangi
mereka mengganggu kedua orang muda di dalam pondok, tidak mau menyerah begitu
saja. Cepat ia miringkan tubuhnya yang telentang, lalu menggunakan tangan
menangkap kaki yang menginjak sambil mengerahkan tenaga dan sekali dia membentak,
tubuh Ang Hok Ci terlempar ke atas dan tentu akan jatuh terbanting kalau tidak
disambar jubahnya oleh Bu-koksu.
Coa Leng Bu sudah meloncat
bangun lagi. Dia tidak memegang senjata karena tadi tidak menyangka sama sekali
akan kedatangan musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan cepat meloncat lagi
menghadang mereka.
Terimalah ini!! Pat-jiu
Sin-kauw sudah menerjangnya dengan ilmu silatnya yang amat hebat, yaitu
Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Badai), tubuhnya berputaran, jubahnya
berkibar dan kedua tangannya seperti kitiran angin menyambar-nyambar. Coa Leng
Bu pernah melawan orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat lihai,
maka dia pun cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya,
mengelak dan menangkis.
Dia tahu bahwa betapapun dia
berusaha, takkan mungkin dia akan menang menghadapi empat orang ini, apalagi
menghadapi Bu-koksu yang amat lihai. Dia pun tidak mengharapkan kemenangan yang
tak mungkin, hanya ingin mempertahankan diri selama mungkin untuk mengulur
waktu penyerbuan mereka ke dalam pondok.
Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kauw
yang tubuhnya berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara dalam, dan
kedua tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah Thai-lek-kang yang
amat dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa terkena hawa dorongan ini, dia tentu
akan roboh, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga sekuatnya.
Dessss!!
Tenaga Pat-jiu Sin-kauw
berimbang dengan tenaga Jit-goat-sin-kang yang dimiliki Coa Leng Bu, akan
tetapi karena pada saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan mati-matian hendak
melindungi kedua orang muda itu, tenaganya bertambah dan tubuh Pat-jiu Sin-kauw
terpental ke belakang dan terguling-guling. Akan tetapi Coa Leng Bu sendiri
terhuyung ke belakang.
Cring-cring.... singggg....!!
Sinar gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu. Kakek ahli obat ini terkejut
sekali, berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar di tangan
Bu-koksu, akan tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.
Crakk!! Pundak Coa Leng Bu
terbabat putus!
Namun Coa Leng Bu seolah-olah
tidak merasakan nyeri pada pundaknya yang sudah buntung itu, dia meloncat
bangun lagi dan menerjang Thian Ek Cinjin yang sudah lari hendak menghampiri
pondok. Thian Ek Cinjin menjadi ngeri melihat orang yang lengan kanannya
buntung sepundak dan dari lukanya muncrat-muncrat darah itu masih menubruknya.
Cepat ia meloncat ke samping dan memukul ke arah pusar. Namun, Coa Leng Bu
tidak mempedulikan pukulan itu, bahkan membarengi dengan hantaman ke arah
kepala Thian Ek Cinjin dengan tangan kirinya!
Thian Ek Cinjin terkejut dan
kepalanya tentu akan terkena hantaman yang dapat mengakibatkan maut kalau saja
pada saat itu tidak datang sinar gemerlapan golok besar Bu-koksu yang menyambar
dari belakang.
Crott!! Lengan kiri Coa Leng
Bu kembali terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya masih terkena hantaman
Thian Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.
Biarpun kedua lengannya telah
buntung, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari mulut kakek yang gagah
perkasa ini. Bahkan kini dia sudah meloncat bangun lagi, dengan mata terbelalak
penuh keberanian dia sudah menyerbu ke depan Bu-koksu yang menyambutnya dengan
sambaran goloknya, sekali ini mengenai leher Coa Leng Bu. Robohlah tubuh kakek
gagah perkasa itu dengan kedua lengan dan kepala terpisah dari badan, tewas seketika
dalam keadaan mengerikan.
Bu-koksu menyarungkan
goloknya, memandang ke arah Coa Leng Bu, menghela napas dan berkata,
Seorang yang gagah perkasa!
Sayang orang seperti ini tidak pernah menjadi pembantuku.! Ia lalu membalikkan
tubuhnya dan memberi isyarat kepada para pembantunya untuk berjaga di luar.
Biarkan aku sendiri yang
menghadapi mereka,! katanya karena dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki masih
hilang ingatan, pemuda itu hanya dapat dikuasai olehnya. Sebaliknya kalau
keadaan menjadi berubah, hanya dia seoranglah yang akan dapat mengimbangi
mereka yang amat lihai, sedangkan tiga orang pembantunya itu takkan ada
gunanya.
Dia melangkah ke depan pintu
pondok, berhenti dan berseru nyaring,
Kam-siauwte, aku datang!!
Tidak ada jawaban dari dalam pondok.
Tentu saja suaranya yang nyaring itu terdengar oleh Siauw Bwee yang menjadi
tekejut bukan main. Akan tetapi gadis ini menekan perasaannya. Dia maklum bahwa
mereka berdua sudah hampir berhasil. Ada hawa panas keluar dari kepala
suhengnya. Akan tetapi kalau sekarang dihentikan atau terganggu, akan
berbahalah bagi suhengnya. Dia memejamkan matanya, tidak peduli lagi. Kalau
harus mati, dia rela mati bersama suhengnya yang tercinta!
Pintu pondok terdorong terbuka
dari luar. Ketika Bu-koksu melihat dua orang muda itu duduk berhadapan dengan
mengadu telapak tangan dan keadaan dalam pondok terasa amat dingin, dia maklum
bahwa kedua orang itu sedang mengerahkan Im-kang yang amat luar biasa untuk
melawan hawa panas beracun yang menggelapkan ingatan Han Ki sebagai akibat dari
obat yang ia minumkan kepada pemuda itu. Terkejutlah pembesar ini melihat uap
panas keluar dari kepala Han Ki, tanda bahwa cara pengobatan yang radikal itu
hampir berhasil. Ia lalu melangkah maju dengan cepat, dan menggerakkan
tangannya untuk menotok tengkuk Han Ki.
Aihhh....!! Bu-koksu menggigil
seluruh tubuhnya dan ia tentu roboh kalau saja pengalamannya yang luas tidak
membuat dia cepat menarik kembali tangannya sebelum terlambat. Ternyata dari
tubuh pemuda itu keluar hawa dingin yang takkan kuat ia lawan, sungguhpun dia
sendiri memiliki sin-kang yang kuat dan kalau tadi totokannya ia lanjutkan
sampai tangannya bertemu dengan kulit tengkuk Han Ki, tentu dia akan terkena
serangan hebat yang membahayakan isi dadanya!
Sementara itu, Siauw Bwee yang
maklum akan kehadiran Koksu, terguncang hatinya penuh kekhawatiran, maka
seluruh Im-kang dari kedua tengannya menjadi kacau sehingga tubuh Han Ki
bergoyang-goyang. Tiba-tiba Han Ki membuka matanya, memandang Siauw Bwee dan
matanya terbelalak, mulutnya berteriak heran dan kaget, Engkau.... Siauw
Bwee.... Khu-sumoi....!! Dan begitu Siauw Bwee melepaskan kedua tangannya,
pemuda itu roboh terguling dan pingsan!
Mendengar teriakan suhengnya
itu hati Siauw Bwee girang bukan main karena teriakan itu menunjukkan bahwa
suhengnya telah ingat lagi, akan tetapi dia sendiri sudah kehabisan tenaga,
maka ketika dia merasa ada angin menyambarnya, biarpun dia sudah cepat membuang
tubuh, tetap saja pundaknya terkena totokan jari tangan Bu-koksu dan tubuhnya
terguling di samping tubuh Han Ki dalam keadaan lemas!
Bu-koksu cepat menghampiri Han
Ki dan menotok jalan darah di punggung pemuda yang masih pingsan itu, kemudian
sambil tertawa girang dia memanggil para pembantunya. Tiga orang pembantunya
yang tidak melihat apa yang telah terjadi, merasa kagum dan mengira bahwa Koksu
itu berhasil merobohkan dua orang muda yang lihai itu.
Cepat belenggu kaki tangan
mereka, kita bawa mereka sebagai tawanan ke Siang-tan,! katanya dan tiga orang
itu bergegas membelenggu Han Ki dan Siauw Bwee. Kemudian mereka mengempit tubuh
kedua orang itu keluar dari pondok. Siauw Bwee yang tertotok lemas namun masih
sadar itu ketika melihat mayat supeknya yang tewas dalam keadaan mengerikan,
mengeluarkan jerit tertahan dan ia menggigit bibir tidak mengeluarkan kata,
hanya sepasang matanya saja yang mengeluarkan sinar berapi.
Nona Khu,! Bu-koksu berkata
dengan suaranya yang besar, Kam Han Ki adalah seorang buruan, engkau pun puteri
seorang panglima pemberontak. Akan tetapi, mengingat keadaan regara dalam
bahaya, aku yang akan tanggung bahwa kalian tidak akan menerima hukuman asal
saja kalian berdua suka menyumbangkan tenaga untuk negara. Kalian adalah
orang-orang gagah perkasa, murid dari Bu Kek Siansu, Penghuni Istana Pulau Es.
Setelah mempelajari ilmu kesaktian, untuk apa kalau tidak untuk membela negara
dan bangsa? Dengan keadaan negara terancam musuh-musuhnya, semua urusan pribadi
harus dikesampingkan lebih dulu, seperti bunyi ujar-ujar kuno yang tentu telah
menjadi pegangan mendiang ayahmu pula, ialah Wi-bin-wi-kok, Hiap-ci-tai-cia
(Demi Rakyat dan Negara Yang Pertama). Kuharap engkau dapat mengerti dan dapat
menyadarkan suhengmu.!
Dengan mata masih mendelik
Siauw Bwee berkata, Kalian orang-orang kasar memang selalu curang dan keji.
Dalam keadaan kedudukanmu terancam, kalian mempergunakan rakyat untuk
membantumu dengan alasan demi rakyat dan negara, akan tetapi setelah keadaan
aman dan kedudukanmu terjamin, kalian merupakan penindas-penindas rakyat,
penjilat Kaisar lalim dan memusuhi pemimpin-pemimpin jujur!!
Bu Kok Tai menghela napas
panjang. Aku selalu kagum kepada mendiang Menteri Kam dan Panglima Khu. Aku
tidak pernah mernusuhi mereka secara pribadi, akan tetapi sebagai seorang
petugas, bagaimana mungkin tidak hendak menaati perintah atasan? Sudahlah! Hayo
bawa mereka ke Siang-tan, cepat-cepat jangan sampai kemalaman di jalan!!
katanya kemudian kepada pembantu-pembantunya. Pat-jiu Sin-kauw mengempit tubuh
Han Ki, sedangkan Siauw Bwee dipanggul oleh Thian Ek Cinjin.
Mereka melanjutkan perjalanan
menuju ke Siang-tan dengan cepat, karena sesungguhnya hanya terpaksa saja Koksu
melakukan perjalanan menyusul Han Ki sendiri setelah mendengar pelaporan para
penyelidik. Tenaganya amat dibutuhkan di kota itu, dan dalam keadaan terancam
oleh pasukan-pasukan Mancu, kalau tidak terpaksa sekali, tidak nanti dia mau
meninggalkan kota. Betapapun juga, hatinya gembira karena tanpa banyak
kesukaran dia berhasil membawa Han Ki dan Siauw Bwee yang diharapkannya akan
suka membantunya. Kalau dia bisa menarik kedua orang itu sebagai
pembantu-pembantunya, kedudukannya akan makin kuat dan tenaga kedua orang muda
yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu amat dibutuhkan untuk menghadapi
penyerbuan pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin banyak orang pandai.
Ketika rombongan empat orang
yang membawa dua orang tawanan itu tiba di luar hutan pohon pek, memasuki hutan
kecil di mana terdapat jalan yang menuju ke Siang-tan, tiba-tiba terdengar
suara ketawa dan dari balik pohon besar muncullah lima orang laki-laki. Yang
tertawa adalah seorang kakek beru sia tujuh puluh tahun lebih, berambut dan
berjenggot panjang, sudah putih semua, pakaiannya terbuat dari sutera mahal
akan tetapi bentuknya sederhana seperti pakaian pendeta, tangannya memegang
sebatang tongkat kayu cendana berselaput emas dan sikapnya agung seperti sikap
orang yang biasa memerintah.
Adapun empat orang yang
berdiri di belakangnya adalah orang-orang yang berpakaian mewah. Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Bu-koksu ketika mengenal kakek itu yang bukan
lain adalah Pek-mau Seng-jin, Koksu dari Kerajaan Yucen, sedangkan para
pengikutnya itu adalah Suma Hoat, Panglima Dailuba yang brewok bermata lebar
dan bertubuh tinggi besar, Thai-lek Siauw-hud yang gendut pendek dan
tertawa-tawa, dan seorang Yucen yang berpakaian indah dan berwajah tampan,
yaitu Pangeran Dhanu yang memiliki kedudukan penting di Kerajaan Yucen!
Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu dan
aneh! Bu-koksu sebagai pimpinan tertinggi pada saat ini dalam benteng
pertahanan di Siang-tan, kiranya masih sempat berkeliaran di dalam hutan!!
Pek-mau Seng-jin mengejek sungguhpun dia mengangkat kedua tangan di depan dada
sebagai penghormatan.
Pada waktu itu Kerajaan Yucen
sedang berkembang dan sudah menguasai sebagian besar Tiongkok Utara, bahkan
terpaksa Kerajaan Sung pindah ke selatan dan mengakui Kerajaan Yucen ini. Untuk
ikatan persahabatan, bahkan Puteri Sung Hong Kwi telah diserahkan untuk menjadi
isteri Pangeran Dhanu sebagaimana telah diceritakan di bagian depan cerita ini.
Akan tetapi, hanya pada lahirnya saja kedua kerajaan ini bersahabat, sebetulnya
di dalam hatinya saling menganggap musuh besar.
Bu-koksu cepat membalas dengan
penghormatan selayaknya, kemudian menjawab dengan suara halus namun mengandung
ejekan balasan pula, Selamat berjumpa, Pek-mau Seng-jin! Tempat ini termasuk
wilayah kerajaan kami, maka tidaklah mengherankan apabila sebagai Koksu negara
mengadakan pemeriksaan sendiri di sini. Barulah aneh namanya kalau Koksu Negara
Yucen bersama panglima dan pangeran berada di sini, bukan sebagai tamu negara
yang resmi. Karena pertemuan ini tidak diduga-duga lebih dulu, maka biarlah
saya mewakili negara untuk mengundang Cu-wi sekalian sebagai tamu terhormat
kami di Siang-tan.!
Ha-ha-ha! Saya mendengar bahwa
Bu-koksu amat lihai kepandaiannya kiranya sekarang lihai juga bicaranya! Terima
kasih, Bu-koksu. Akan tetapi, ada sebuah hal yang memaksa pertemuan antara kita
ini menimbulkan rasa tidak enak kepada kedua pihak. Sungguh menyesal sekali.!
Hati Bu-koksu berdebar dan dia
sudah menduga bahwa persoalan itu tentu menyangkut kedua orang tawanannya, akan
tetapi ia tetap bersikap tenang dan bertanya,
Di pihak kami, tidak ada
persoalan dan sungguhpun jelas bahwa Cu-wi melanggar wilayah kami bukan sebagai
tamu, kami masih bersikap ramah dengan mengundang Cu-wi sebagai tamu kami. Hal
ini agaknya juga diketahui dengan jelas oleh Suma-kongcu, yang entah bagaimana
bisa menemani Koksu dan Pangeran.!
Mendengar ini dan melihat
pandang mata Bu-koksu ditujukan kepadanya dengan sinar tajam menyelidik, Suma
Hoat tersenyum saja dan matanya memandang ke arah Siauw Bwee yang tubuhnya
dibelenggu dan dipanggul di atas pundak Thian Ek Cinjin. Dia tidak mau menjawab
dan hanya mengandalkan kepada jawaban Pek-mau Seng-jin sekutu ayahnya.
Maafkan, kalau kami melanggar
wilayahmu, Bu-koksu. Hanya kami rasa bahwa sebagai sahabat-sahabat, tiada
salahnya kalau kami melihat-lihat keadaan wilayah selatan ini. Kebetulan sekali
kita bertemu, akan tetapi tidak kebetulan bahwa kami melihat kalian
memperlakukan sahabat kami sebagai tawanan, sungguh amat tidak enak bagi kami.
Maka, mengingat akan hubungan antara kita, saya harap sukalah Bu-koksu
memandang muka kami dan membebaskan kedua orang tawanan ini.!
Berkerut alis Bu-koksu. Dia
sudah menduga bahwa tentu kedua orang tawanan itu yang akan dipersoalkan, akan
tetapi dia masih penasaran dan cepat berkata, Maaf, Pek-mau Seng-jin! Kedua
orang ini adalah orang-orang Han, dan urusan kami dengan mereka tidak ada
sangkut-pautnya dengan Koksu dan Kerajaan Yucen. Harap Koksu suka
mempertimbangkan dan tidak mencampuri urusan pribadi sendiri.!
Ha-ha-ha, melihat
sahabat-sahabat baik diperlakukan tidak hormat, bagaimana kami dapat tinggal
diam saja? Ingatkah Koksu akan peribahasa yang mengatakan bahwa sahabat lebih
berat daripada tangan kiri? Mereka adalah sahabat-sahabat kami, tentu saja kami
tidak suka melihat mereka mengalami penghinaan seperti itu.!
Pek-mau Seng-jin!! Bu-koksu
berkata marah. Saya tidak melihat hubungan antara mereka ini dengan kalian!
Saya rasa kalian tidak mengenal kedua orang ini, apalagi bersahabat!!
Bukan sahabat saya pribadi,
akan tetapi sahabat baik Pangeran Dhanu. Silakan menjawab Pangeran.! Pek-mau
Seng-jin berkata dan Pangeran Dhanu melangkah ke depan sambil berkata,
Bu-koksu, ketahuilah bahwa Kam
Han Ki itu adalah seorang sahabatku, sahabat pribadi yang amat baik. Bahkan dia
pernah memukul mundur pasukan-pasukan Mancu untuk menolong kami, bagaimana aku
dapat membiarkan dia kauperlakukan seperti itu? Oleh karena itu, aku sebagai
mantu dari kaisarmu, kuminta supaya kau suka memandang mukaku dan membebaskan
Kam Han Ki sahabatku.!
Dan gadis ini?! Bu-koksu yang
diam-diam merasa terkejut dan gelisah itu bertanya penasaran.
Gadis ini adalah Khu Siauw
Bwee, sahabat baik sekali dari Suma-kongcu. Karena Suma-kongcu merasa sungkan mengajukan
permintaan dan menentang Koksu sebagai rekan sendiri, maka biarlah saya yang
mewakilinya dan mintakan agar Nona Khu kauberi kebebasan pula.!
Merah muka Bu-koksu mendengar
ini. Kedua orang ini adalah orang-orang tangkapan kami karena mereka merupakan
pemberontak-pemberontak, betapa mungkin kami membebaskannya? Kalau Koksu dan
Pangeran ingin membelanya dan mohon pembebasannya, harap suka mengajukan
permintaan resmi agar diputuskan oleh Kaisar sendiri. Saya tidak berani lancang
mengambil keputusan dan menyerahkan dua orang tawanan penting di tengah jalan
begitu saja kepada Cu-wi!!
Hemm, jawaban itu berarti
bahwa Bu-koksu tidak memandang kami sebagai sahabat!! Pek-mau Seng-jin berkata
dengan suara getir.
Saya cukup menghargai
persahabatan antara kita, akan tetapi tentu saja saya lebih menghargai tugas
dan kedudukan saya.!
Kalau kami memaksa?!
Terserah, kami akan
mempertahankan!!
Ha-ha-ha! Bu-koksu sungguh tak
tahu diri. Keadaan kota Siang-tan sedang terancam pasukan Mancu, siapa lagi
yang akan dapat menolong kalau bukan pasukan kami? Akan tetapi Bu-koksu lebih
mementingkan urusan pribadi. Baiklah, urusan pribadi kita selesaikan secara
pribadi pula. Sudah lama aku mendengar bahwa Bu-koksu memiliki ilmu kepandaian
yang amat hebat, terutama sekali ilmu goloknya yang belum pernah bertemu
tanding. Kesempatan ini hendak kugunakan untuk mengenal ilmu golok Bu-koksu!
Kalian berempat, kami pun akan maju berempat dan siapa menang dalam
pertandingan ini berhak atas kedua orang tawanan itu!!
Bukan kami yang memancing
permusuhan, kami hanya mempertahankan diri. Silakan, Pek-mau Seng-jin, jangan
mengira bahwa aku takut kepadamu!! Bu-koksu yang sudah marah sekali lalu
mencabut goloknya sehingga terdengar bunyi berkerincingan nyaring.
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek
Cinjin juga sudah menurunkan tubuh tawanan yang mereka panggul tadi, siap
menghadapi lawan, sedangkan Ang Hok Cu cepat mendekati kedua orang tawanan
untuk menjaga agar mereka tidak dirampas orang.
Thian Ek Cinjin dan Pat-jiu
Sin-kauw sebetulnya adalah dua orang anak buah Pek-mau Seng-jin sendiri!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, kedua orang ini yang bergabung
dengan Coa-bengcu di pantai Po-hai, diam-diam telah mengadakan hubungan dengan
Kerajaan Yucen, dan atas permintaan Pek-mau Seng-jin, kedua orang ini berhasil
menyelundup dengan membawa Kam Han Ki yang pingsan, menyerahkannya kepada
Bu-koksu sehingga mereka berdua diangkat menjadi pengawal! Karena inilah maka
Pek-mau Seng-jin girang sekali melihat kedua orang sekutunya itu kini mengawal
Bu-koksu dan diam-diam ia memberi tanda dengan kejapan mata kepada mereka.
Thian Ek Cinjin meloncat ke
depan, berhadapan dengan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee Si Gendut Pendek yang
tertawa-tawa, yang sebetulnya adalah temannya sendiri. Tanpa banyak cakap lagi
mereka sudah bertanding, Thai-lek Siauw hud menggunakan sebatang golok besar
sedangkan Thian Ek Cinjin menggunakan sebatang pedang.
Juga Pat-jiu Sin-kauw sudah
saling berkedip dengan Panglima Dailuba yang menyambutnya. Mereka pun tanpa
banyak cakap sudah saling bertanding, menggunakan tangan kosong karena kedua
orang ini merupakan ahli-ahli silat tangan kosong. Pertempuran terjadi dengan
seru dan karena pandainya mereka berempat bersandiwara, Bu-koksu sendiri tidak
pernah menyangka bahwa mereka itu tidaklah bertanding sungguh-sungguh.
Ha-ha-ha, dua orangmu telah
bertempur melawan dua orang pembantuku. Tinggal kita berdua. Marilah kita
coba-coba, Bu-koksu!! kata Pek-mau Seng-jin sambil menggerakkan tongkatnya
menusuk.
Cring-cring-tranggg!! Keduanya
terpental ke belakang ketika tongkat itu tertangkis oleh golok bergelang.
Kemudian keduanya maju lagi saling serang dengan dahsyat. Gerakan Bu-koksu amat
dahsyat dan kuat, goloknya mengeluarkan bunyi mengerikan dan golok yang berat
itu diputar sampai berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata. Namun
gerakan tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin lebih cepat lagi, tampak sinar
keemasan bergulung-gulung menyelubungi gulungan sinar golok, bahkan dalam hal
tenaga sin-kang, tingkat Pek-mau Seng-jin masih lebih tinggi sehingga lewat
empat puluh jurus, Bu-koksu selalu terdesak dan terhimpit!
Ang Hok Ci yang sedang gelisah
menyaksikan betapa Bu-koksu dan dua orang pengawalnya terdesak, mengambil
keputusan untuk membunuh saja dua orang tawanan yang berbahaya itu. Dia sudah mencabut
goloknya, langsung dia bacokkan ke arah leher Kam Han Ki.
Trangggg!!
Ang Hok Ci terkejut dan
melompat mundur, memandang Suma Hoat yang sudah menangkis goloknya dengan
pedang.
Suma-kongcu! Apa yang
kaulakukan ini? Apakah engkau hendak memberontak dan membela musuh?!
Suma Hoat tecsenyum. Hemm,
orang she Ang, ini bukan urusan negara, melainkan urusan pribadi! Sudah
dijanjikan bahwa siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak atas diri kedua
orang tawanan ini. Mengapa engkau bendak bersikap curang dan membunuh tawanan?!
Bagus! Ayahmu tentu akan
senang sekali mendengar akan pengkhianatanmu ini!! Ang Hok Ci memaki dan
menyerang dengan golok menyambar ke arah leher Suma Hoat, sedangkan tangan
kirinya melancarkan pululan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang ke arah dada Suma
Hoat.
Cringggg.... dukkkk!! Tubuh
Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma
Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang tadi ditangkis pula
oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini
dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sin-kang dari
hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat
menerima gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid
terpandai! Dengan pedangnya, Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki
tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.
Terima kasih, ternyata engkau
seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!! Siauw Bwee berkata singkat lalu melQncat
mendekati suhengnya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki
dan membebaskan totokan. Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan
melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw
Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan
ia menyalur tawanan yang berbahaya itu. Dia sudah mencabut goloknya, langsung
dia bacokkan ke arah leher Kam Han Ki.
Trangggg!!
Ang Hok Ci terkejut dan
melompat mundur, memandang Suma Hoat yang sudah menangkis goloknya dengan
pedang.
Suma-kongcu! Apa yang
kaulakukan ini? Apakah engkau hendak memberontak dan membela musuh?!
Suma Hoat tecsenyum. Hemm,
orang she Ang, ini bukan urusan negara, melainkan urusan pribadi! Sudah
dijanjikan bahwa siapa yang keluar sebagai pemenang, berhak atas diri kedua
orang tawanan ini. Mengapa engkau bendak bersikap curang dan membunuh tawanan?!
Bagus! Ayahmu tentu akan
senang sekali mendengar akan pengkhianatanmu ini!! Ang Hok Ci memaki dan
menyerang dengan golok menyambar ke arah leher Suma Hoat, sedangkan tangan
kirinya melancarkan pululan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang ke arah dada Suma
Hoat.
Cringggg.... dukkkk!! Tubuh
Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma
Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang tadi ditangkis pula
oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini
dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sin-kang dari
hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat
menerima gemblengan langsung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid
terpandai! Dengan pedangnya, Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki
tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.
Terima kasih, ternyata engkau
seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!! Siauw Bwee berkata singkat lalu melQncat
mendekati suhengnya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki
dan membebaskan totokan. Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan
melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw
Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan
ia menyalur kan hawa sin-kang ke dalam tubuh suhengnya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci sudah menerjang
lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian
ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia
mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.
Suma-kongsu, bunuh saja tikus
itu!! Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. Dan aku yang akan membunuh
tikus besar ini!!
Suma Hoat terkejut dan
ragu-ragu. Biarpun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan
Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada
Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat
betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang
kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang
tawanan, melainkan berniat membunuh Bu-koksu. Ini hebat, pikir Suma Hoat yang
menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan
serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek
Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat
kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung seru! dan bahwa mereka itu
ternyata hanya seperti sedang berlatih saja! Suma Hoat amat cerdik, maka
mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata
adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu.
Betapapun juga, dia tahu betul bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia
kepada negara, seorang pahlawan sejati yang menjuruskan segala perbuatannya
demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus mempermainkan
Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana perkembangan
pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah karena
untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak
akan disetujui ayahnya. Sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati
nuraninya tidak mengijinkan, selain itu, dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian
Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi daripada kepandaian
Bu-koksu, juga lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat
bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud,
dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia
tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci
seenaknya.
Bu-koksu juga tahu akan
perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan
serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan
merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu
Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja
Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia
berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan tetapi,
kalau dia dan semua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang tahu
bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan
mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.
Betapapun juga, tongkat di
tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar
dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga
sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi
pada detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga
golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu
telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
Tahan! Jangan bunuh dia!!
Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental
ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu girang sekali dan
cepat menyambar kembali goloknya. Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat
kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!!
Akan tetapi betapa kagetnya
ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api
kepadanya. Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya!
Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kaupengaruhi
dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!!
Kam-siauwte....!!
Sudahlah, dan jangan menyebut
siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan
mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan
segalanya!!
Bu-koksu maklum bahwa tidak
ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas
panjang dan berkata, Betapapun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu
dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan
semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin,
apakah perbuatanmu tadi bahwa engkau hendak memancing perang antara kedua
kerajaan kita?!
Ha-ha-ha! Sudah kukatakan
bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa
kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan
Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih
kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha.!
Mari kita pergi!! Bu-koksu
berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek
Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.
Di tengah perjalanan menuju ke
Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, Aku tadi melihat
betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!!
Cringggg.... dukkkk!! Tubuh
Ang Hok Ci terlempar ke belakang, ketika goloknya tertangkis oleh pedang Suma
Hoat, sedangkan pukulan dengan tenaga Jit-goat-sin-kang tadi ditangkis pula
oleh Suma Hoat dengan ilmu yang sama, akan tetapi jauh lebih kuat. Hal ini
dapat dimengerti karena kalau Ang Hok Ci memperoleh Ilmu Jit-goat-sin-kang dari
hasil curian ketika dia menyelundup ke lembah orang kusta, adalah Suma Hoat
menerima gemblengan lang sung dari Bu-tek Lo-jin, bahkan dia merupakan murid
terpandai! Dengan pedangnya, Suma Hoat mematahkan belenggu yang mengikat kaki
tangan Siauw Bwee dan membebaskan totokannya.
Terima kasih, ternyata engkau
seorang sahabat yang baik, Suma Hoat!! Siauw Bwee berkata singkat lalu melQncat
mendekati suhengnya yang masih pingsan, membukakan belenggu kaki tangan Han Ki
dan membebaskan totokan. Akan tetapi Han Ki masih pingsan, bukan karena totokan
melainkan karena guncangan ketika pengobatan hampir berakhir tadi. Cepat Siauw
Bwee menempelkan kedua telapak tangannya ke dada pemuda itu dan perlahan-lahan
ia menyalurkan hawa sin-kang ke dalam tubuh suhengnya dengan amat hati-hati.
Ang Hok Ci sudah menerjang
lagi, disambut oleh pedang Suma Hoat. Karena pemuda yang berjuluk Jai-hwa-sian
ini memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi, dengan mudah ia
mempermainkan Ang Hok Ci sambil tertawa-tawa.
Suma-kongsu, bunuh saja tikus
itu!! Tiba-tiba terdengar suara Pek-mau Seng-jin. Dan aku yang akan membunuh
tikus besar ini!!
Suma Hoat terkejut dan
ragu-ragu. Biarpun dia harus mentaati perintah ayahnya yang bersekutu dengan
Kerajaan Yucen, akan tetapi kalau harus membunuh seorang yang setia kepada
Kerajaan Sung, hatinya masih merasa berat. Dan ketika ia menoleh, ia melihat
betapa Bu-koksu terhimpit bahaya oleh tongkat di tangan Pek-mau Seng-jin yang
kini jelas bukan hanya memperoleh kemenangan untuk memperebutkan kedua orang
tawanan, melainkan berniat membunuh Bu-koksu. Ini hebat, pikir Suma Hoat yang
menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ketika ia memutar pedang menahan
serangan-serangan golok lawan dan menoleh ke arah Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek
Cinjin yang melawan Panglima Dailuba dan Thai-lek Siauw-hud, dia mendapat
kenyataan bahwa pertempuran masih berlangsung seru! dan bahwa mereka itu
ternyata hanya seperti sedang berlatih saja! Suma Hoat amat cerdik, maka
mengertilah dia bahwa dua orang pengawal dan pembantu Bu-koksu itu ternyata
adalah anak buah Yucen pula! Diam-diam ia mengkhawatirkan keselamatan Bu-koksu.
Betapapun juga, dia tahu betul
bahwa Bu-koksu adalah seorang yang amat setia kepada negara, seorang pahlawan
sejati yang menjuruskan segala perbuatannya demi kepentingan Kerajaan Sung!
Dia masih terus mempermainkan
Ang Hok Ci, tidak mau membunuhnya karena hendak melihat bagaimana perkembangan
pertandingan antara kedua orang guru negara itu. Dia merasa serba salah karena
untuk membantu Bu-koksu, berarti dia menentang Yucen dan hal ini tentu tidak
akan disetujui ayahnya. Sebaliknya, untuk membantu Pek-mau Seng-jin, hati
nuraninya tidak mengijinkan, selain itu, dia maklum pula bahwa ilmu kepandaian
Pek-mau Seng-jin amat tinggi, tidak hanya lebih tinggi daripada kepandaian
Bu-koksu, juga lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya. Belum lagi diingat
bahwa di situ terdapat panglima Dailuba, Pat-jiu Sin-kauw, Thai-lek Siauw-hud,
dan Thian Ek Cinjin yang ternyata adalah kaki tangan Pek-mau Seng-jin. Dia
tidak berdaya dan hanya menonton sambil menahan serangan golok Ang Hok Ci seenaknya.
Bu-koksu juga tahu akan
perubahan gerakan tongkat lawan yang kini menjadi cepat sekali dan melancarkan
serangan-serangan maut. Dia tidak menjadi gentar dan maklum bahwa persoalan
merampas tawanan itu hanya sebagai pancingan saja, sedangkan niat di hati Koksu
Negara Yucen itu untuk membunuhnya! Kalau berada di tempat ramai, tentu saja
Pek-mau Seng-jin tidak akan berani melakukan hal ini, karena membunuh dia
berarti pecah perang terbuka antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Yucen. Akan
tetapi, kalau dia dan semua pembantunya terbunuh di situ, tidak akan ada yang
tahu bahwa pembunuhnya adalah Koksu Yucen! Maka dia memutar goloknya melawan
mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan segala kepandaiannya.
Betapapun juga, tongkat di
tangan Pek-mau Seng-jin terlalu kuat baginya dan ketika goloknya menyambar
dahsyat ke arah kepala lawan, Pek-mau Seng-jin hanya miringkan kepala sehingga
sebagian rambutnya yang putih terbabat putus oleh golok besar itu, akan tetapi
pada detik yang sama, ujung tongkat telah mengenai pundak kanannya sehingga
golok besar itu terlepas dari tangan Bu-koksu. Cepat seperti kilat, tongkat itu
telah menyambar turun, siap melakukan tusukan maut!
Tahan! Jangan bunuh dia!!
Teriakan ini disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu tongkat itu terpental
ke belakang oleh desiran hawa pukulan yang amat panas!
Bu-koksu girang sekali dan
cepat menyambar kembali goloknya. Kam-siauwte, syukur engkau masih ingat
kepadaku dan menolongku. Mari kita habiskan anjing-anjing Yucen ini!!
Akan tetapi betapa kagetnya
ketika ia melihat sinar mata Kam Han Ki yang menyambar seperti dua titik api
kepadanya. Bu-koksu, aku memang teringat kepadamu, dan teringat akan segalanya!
Engkau memang telah menolongku, merawatku, akan tetapi hanya untuk kaupengaruhi
dengan racun sehingga di luar kesadaranku aku menjadi pengawalmu!!
Kam-siauwte....!!
Sudahlah, dan jangan menyebut
siauwte kepadaku. Harap kau suka membawa semua anak buahmu pergi dari sini dan
mudah-mudahan saja kita tidak akan saling bertemu kembali! Aku memaafkan
segalanya!!
Bu-koksu maklum bahwa tidak
ada gunanya lagi membujuk pemuda yang sudah sadar itu, maka dia menarik napas
panjang dan berkata, Betapapun juga, Kam-siauwte, aku telah menyelamatkanmu
dari hukuman sebagai seorang pemberontak. Aku hanya ingin membangkitkan
semangatmu membela negara. Selamat tinggal! Dan engkau, Pek-mau Seng-jin,
apakah perbuatanmu tadi bahwa engkau hendak memancing perang antara kedua
kerajaan kita?!
Ha-ha-ha! Sudah kukatakan
bahwa urusan ini adalah persoalan pribadi, kalau engkau hendak membawa-bawa
kerajaan, terserah. Kerajaan Yucen tidak pernah takut terhadap ancaman Kerajaan
Sung. Kurasa Kerajaan Sung tidak begitu bodoh untuk menambah musuh yang lebih
kuat lagi di samping pasukan-pasukan Mancu, ha-ha-ha.!
Mari kita pergi!! Bu-koksu
berkata kepada para pembantunya dan Ang Hok Ci, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek
Cinjin segera meninggalkan tempat itu mengikuti Bu-koksu.
Di tengah perjalanan menuju ke
Siang-tan, Ang Hok Ci berkata kepada kedua orang rekannya, Aku tadi melihat
betapa Ji-wi tidak bertanding sungguh-sungguh dengan kedua lawan Ji-wi!!
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek
Cinjin terkejut, akan tetapi sambil tertawa Pat-jiu Sin-kauw berkata, Kami
sendiri tidak mengerti, Ang-siucai. Jelas bahwa kalau mereka menghendaki, kami
tidak akan menang. Kepandaian Panglima Dailuba itu amat tinggi, terus terang
saja aku tidak mampu menandinginya, sedangkan tingkat kepandaian Thai-lek
Siauw-hud masih menang sedikit dibandingkan dengan tingkat Thian Ek Cinjin.
Akan tetapi karena kami anggap pertandingan itu hanya untuk menguji kepandaian,
maka tidaklah mengherankan kalau mereka tidak berniat membunuh kami.!
Hemmm, akan tetapi Si Rambut
Putih itu jelas berniat buruk terhadap diriku.! Bu-koksu mengomel dan hatinya
yang mengkal dan kesal itu membuat dia tidak memperhatikan lagi ucapan Ang Hok
Ci yang penuh tuduhan dan kecurigaan.
Sementara itu, Kam Han Ki
memandang sumoinya yang kini berdiri di sampingnya, berkata, Sekarang aku ingat
semua, Sumoi. Kalau tidak ada engkau yang membantu, entah bagaimana jadinya
dengan aku. Terima kasih, Sumoi dan.... dan....! tiba-tiba mukanya berubah
merah sekali karena dia teringat akan sikap sumoinya yang berkali-kali
menyatakan cinta kasihnya dan teringat betapa, dalam keadaan lupa diri! dia pun
membalas cinta sumoinya itu. Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang,
tentu saja dia tidak berani melanjutkan kata-katanya dan hanya pandang mata
mereka yang saling bicara banyak.
Saling pandang yang penuh arti
dan amat mesra itu tidak terluput dari pandang mata Suma Hoat. Begitu melihat
Siauw Bwee, sudah timbul kembali cintanya yang tak mungkin dapat padam di
hatinya, maka tentu saja kemesraan antara pandang mata kedua orang itu
merupakan ujung pedang yang menembus jantungnya. Namun, karena maklum bahwa dia
tidak akan mampu menghalangi atau bersaing terhadap pendekar yang sakti,
penghuni Istana Pulau Es, murid Bu Kek Siansu itu, dia menekan perasaannya dan
menjura kepada Kam Han Ki sambil berkata,
Saya menghaturkan selamat atas
pulihnya kesehatan Kam-taihiap dan atas berkumpulnya kembali Taihiap dengan
sumoi Taihiap, Nona Khu Siauw Bwee.!
Kam Han Ki memandang kepada
pemuda tampan itu. Hemm, siapakah engkau?!
Suheng, dia adalah seorang....
sahabat yang telah menolongku, dia juga sute dari.... dari.... ahhh,
Coa-supek....!! Siauw Bwee teringat akan supeknya dan menangis tersedu-sedu.
Heiii.... ada apakah, Sumoi?!
Han Ki bertanya.
Khu-lihiap.... apa yang
terjadi dengan Coa-suheng?!
Dia mati terbunuh.... tentu
oleh Bu-koksu! Saudara Suma Hoat, harap kau suka mengurus jenazahnya, di hutan
pohon pek....!
Suma Hoat?! Kam Han Ki berseru
kaget dan memandang pemuda tampan itu.
Suma Hoat menjura ke arah Han
Ki dan berkata, Benar, Kam-taihiap. Saya adalah Suma Hoat, seorang yang....
hemmm, tidak baik dan putera dari seorang yang.... tidak baik pula.!
Kam Han Ki mengerutkan
alisnya. Pemuda ini adalah putera musuhnya, akan tetapi juga sute dari Coa Leng
Bu yang telah menolongnya, bahkan menurut Siauw Bwee pemuda ini pernah menolong
sumoinya itu, maka dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia mengalihkan
perhatian, menjura kepada Pangeran Dhanu dan berkata, Saya merasa berterima
kasih atas pertolonganmu, Pangeran. Biarpun aku tidak melihat sendiri, aku
dapat menduga bahwa tentu engkau yang telah menolongku dari tangan Bu-koksu.!
Ah, di antara orang sendiri
perlu apa menyebut-nyebut tentang pertolongan, Taihiap? Kebetulan sekali kami
lewat di sini dan menyaksikan engkau dan Khu-lihiap ditawan Bu-koksu, maka kami
turun tangan menentangnya,! kata Pek-mau Seng-jin.
Kam Han Ki memandang kakek
berambut putih itu dan berkata, Agaknya semua orang telah mengenal aku, akan
tetapi aku sendiri tidak mengenal orang, kecuali Pangeran Dhanu. Siapakah
Locianpwe?!
Kam-taihiap, dia adalah
Pek-mau Seng-jin, koksu kerajaan kami.! Pangeran Dhanu memperkenalkan. Kam Han
Ki mengangguk-angguk, memandang tajam kemudian berkata, Sudah lama saya
mendengar nama Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang terkenal.!
Pek-mau Seng-jin cepat
mengangkat kedua tangan ke depan sebagai penghormatan sambil berkata,
Kam-taihiap terlalu memuji! Sebaliknya kami yang telah lama mendengar nama
besar Taihiap semenjak Taihiap membantu mendiang Menteri Kam yang sakti. Sayang
sekali, baru sekarang kita dapat saling berjumpa. Betapa banyaknya penderitaan
yang dialami oleh Taihiap dan keluarga Kam yang gagah perkasa. Betapa
menyedihkan sekali nasib keluarga Kam, keluarga pendekar sakti Suling Emas yang
sejak dahulu berdarah pahlawan, selalu dikecewakan oleh sikap pemerintah Sung
yang makin tampak kelalimannya. Dalam kesempatan ini, biarlah kami berlaku
lancang mewakili pemerintah Yucen untuk mengundang Taihiap agar sudi membantu
pemerintah kami yang lebih dapat menghargai jasa orang-orang gagah.!
Kam Han Ki tersenyum pahit dan
menggeleng kepala, menjawab dengan suara tenang, Banyak terima kasih atas
perhatianmu, Pek-mau Seng-jin. Akan tetapi, apa pun yang terjadi kepadaku, dan
apa pun yang telah dilakukan oleh negaraku terhadap diriku, tak mungkin
menjadikan aku seorang pengkhianat bangsa dan negara.!
Pek-mau Seng-jin mengerutkan
alisnya dan menarik napas panjang, kemudian berkata perlahan seperti kepada
dirinya sendiri, Kalau negara sudah ditakdirkan akan berkembang menjadi negara
besar, kaisarnya tentu pandai menghargai orang. Akan tetapi kalau kaisarnya
lalim, hanya di waktu negara terancam bahaya mengandalkan tenaga bantuan rakyat
akan tetapi di waktu negara makmur sibuk menggendutkan perut sendiri dan
bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat, itulah tanda-tanda bahwa negara akan
hancur. Kam-taihiap telah menderita penghinaan di waktu negara tidak
membutuhkan tenaga Taihiap, sekarang, di waktu tenaga Taihiap dibutuhkan,
Koksunya tidak segan-segan untuk menggunakan siasat keji untuk memperoleh
tenaga bantuan Taihiap.!
Dibakar dengan kata-kata demikian,
Han Ki tak dapat menjawab, karena memang demikianlah keadaannya. Biarpun dia
sama sekali tidak menaruh dendam terhadap kerajaan yang pada waktu itu memegang
tampuk pemerintahan, namun hatinya mendongkol juga diingatkan akan kepincangan
ketidakadilan itu.
Pek-mau Seng-jin, apa engkau
kira akan mampu mempengaruhi hati seorang gagah perkasa dengan kata-kata manis
menyembunyikan racun? Kam-suheng adalah seorang laki-laki sejati, mana mungkin
tunduk menghadapi bujukan palsu dari kaki tangan negara asing yang memusuhi
bangsa sendiri? Pek-mau Seng-jin, apakah engkau lupa betapa dahulu engkau telah
menculik aku dan Suci Maya, kemudian engkau menghadiahkan kami dua orang anak
perempuan yang tak berdaya kepada Coa Sin Cu sehingga kami dipakai berebutan di
antara orang-orang kang-ouw?! Siauw Bwee membentak.
Pek-mau Seng-jin terkejut
sekali. Tentu saja dia tidak mengenal lagi Siauw Bwee yang kini telah menjadi
seorang dara remaja yang telah dewasa dan jelita. Bahkan ucapan Siauw Bwee tadi
pun masih belum menyadarkannya.
Maafkan saya yang telah tua
dan pandang mataku tidak tajam lagi sehingga tidak mengenal Nona. Siapakah Nona
yang telah mengenal saya?!
Pek-mau Seng-jin, lupakah
engkau ketika dahulu berkunjung sebagai utusan Yucen membicarakan tentang
perjodohan antara Pangeran Dhanu dan puteri Kaisar, dan pada malam hari itu
engkau telah menculik dua orang anak perempuan? Seorang adalah Suci Maya puteri
Raja Talibu dari Khitan, sedangkan anak ke dua adalah aku sendiri, anak dari
Panglima Khu Tek San.!
Sekarang teringatlah Pek-mau
Seng-jin, bahkan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee dan Panglima Dailuba mengeluarkan
suara tertahan. Mereka teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu,
peristiwa amat hebat bagi dunia kang-ouw, yaitu munculnya manusia dewa Bu Kek
Siansu yang menolong kedua anak perempuan itu!
Aaahhhh....!! Pek-mau Seng-jin
tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, wajahnya berubah dan dia merasa tidak
enak sekali, terutama terhadap Kam Han Ki yang disebut suheng oleh dara itu.
Pek-mau Seng-jin, mengingat bahwa
engkau tadi telah menolong Suheng, biarlah aku melupakan urusan lama karena
betapapun juga harus diakui bahwa engkau telah berjasa dengan perbuatanmu yang
tidak pantas itu, yaitu memungkinkan kami bertemu dengan Suhu. Nah,
pertolonganmu tadi berarti telah menebus kesalahanmu dan urusan lama itu telah
beres hari ini. Harap engkau jangan tidak tahu diri, hendak menciptakan urusan
baru dengan membujuk Kam-suheng menjadi pengkhianat. Di antara kita tidak ada
sangkut-paut lagi!!
Lega sekali hati Pek-mau Seng-jin.
Setelah kini dia mendengar bahwa gadis itu adalah sumoi Kam Han Ki dan mereka
itu murid-murid Bu Kek Siansu, tentu saja dia tidak berani untuk menentang
mereka. Hawa pukulan dari Han Ki tadi ketika menyelamatkan nyawa Bu-koksu dan
membuat senjatanya terpental, sudah cukup membuktikan betapa hebat sin-kang
pemuda itu. Maka dia lalu memberi isyarat dengan pandang mata kepada Pangeran
Dhanu yang menjura kepada Han Ki sambil berkata,
Kalau begitu, kita berpisah di
sini saja, Kam-taihiap. Aku hanya dapat menyatakan sayang bahwa di antara kita
yang senasib sependeritaan ini tidak dapat bekerja sama.!
Han Ki menggigit bibirnya,
tidak mau menjawab, hanya balas memberi hormat kepada rombongan Pangeran itu,
dan memang benarlah kalau Pangeran itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah
senasib sependeritaan, karena keduanya mencinta Sung Hong Kwi, dan keduanya
menderita oleh cinta kasih mereka itu! Dia kini hanya memandang dengan tenang
sambil menekan segala macam perasaan mengenai urusan pribadinya, memandang kepada
rombongan yang pergi, meninggalkan tempat itu dipimpin oleh Koksu Negara Yucen.
Dapat dibayangkan betapa malu
rasa hati Suma Hoat ketika ia melihat dan mendengar semua itu. Biarpun tidak
ada orang yang langsung menuduhnya, namun melihat sikap Kam Han Ki dan Khu
Siauw Bwee sebagai orang-orang gagah yang biarpun telah diperlakukan penuh
penghinaan sehingga mengalami penderitaan oleh Kerajaan Sung, namun masih
menunjukkan kesetiaan terhadap negara dan bangsa. Adapun dia, karena terpaksa
oleh ayahnya, biarpun keluarga Suma sejak dahulu mendapatkan banyak kemuliaan
dalam Kerajaan Sung, kini telah menjadi pengkhianat dan diam-diam mengadakan
persekutuan dengan Kerajaan Yucen untuk menggulingkan Kerajaan Sung! Dia merasa
rendah sekali, rendah dan kotor kalau dibandingkan dengan Kam Han Ki dan Khu
Siauw Bwee. Dan orang seperti dia telah berani jatuh cinta kepada Khu Siauw
Bwee!
Biarlah aku pergi lebih dulu
mengurus jenazah Coa-suheng.! Suma Hoat berkata sambil pergi meninggalkan
sepasang orang muda yang sakti itu. Kam Han Ki tidak mempedulikan pemuda itu,
sedangkan Siauw Bwee hanya balas memandang dan mengangguk singkat. Setelah kini
melihat suhengnya sembuh sama sekali dari pengaruh racun perampas ingatan,
hatinya girang bukan main, kegirangan yang amat besar dan yang menutupi semua
urusan lain, termasuk kedukaan karena kematian Coa Leng Bu.
Kini mereka berdiri
berhadapan, saling pandang dan untuk beberapa lama mereka tidak mengeluarkan
kata-kata. Teringat akan cinta kasih di antara mereka pada waktu Han Ki belum
sembuh dan masih belum terbuka kembali ingatannya, wajah Siauw Bwee menjadi
merah sekali, akan tetapi ada rasa khawatir dan tegang di hatinya melihat
betapa sinar mata pemuda itu kini berbeda dari sebelum pemuda itu sembuh. Sinar
mata itu masih tajam, bahkan lebih tajam dari sebelumnya, mengandung wibawa
yang amat kuat, masih penuh dengan kasih sayang. Akan tetapi bukankah sejak
dahulu di Pulau Es, Han Ki menaruh kasih sayang kepada kedua orang sumoinya?
Sekarang ada sesuatu yang lenyap dari sinar mata itu. Kemesraan! Sebelum
sembuh, suhengnya yang terang-terangan menyatakan cinta kasih kepadanya itu
kalau memandangnya, tampak jelas kemesraan di dalam sinar matanya dan kini dia
seolah-olah tidak menemukan lagi kemesraan itu.
Han Ki menghela napas panjang.
Khu-sumoi, betapa banyaknya orang-orang yang telah melepas budi kebaikan
kepadaku. Terutama sekali Coa-lo-enghiong yang telah mengorbankan nyawa untukku
dan yang terutama adalah engkau sendiri. Betapa engkau sudah banyak menderita,
semua untuk menolongku belaka.!
Aihh, Suheng. Di antara kita,
mana bisa disebut tolong-menolong? Apa artinya semua yang telah kulakukan kalau
dibandingkan dengan budimu terhadap aku semenjak dahulu? Biar kupertaruhkan
jiwa ragaku untukmu masih belum cukup untuk membalas semua budi kebaikanmu
terhadapku, Suheng. Suheng, sudah terlalu lama kita berpisah, sudah terlalu
lama kita merantau dan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Di dunia
ramai ini banyak sekali kepalsuan dan kejahatan sehingga ke mana pun kita
pergi, selalu kita bertemu dengan orang jahat dan mengalami kesulitan. Karena
itu, marilah Suheng, marilah kita berdua kembali ke Pulau Es. Aku rindu sekali
kepada tempat kita itu, rindu akan ketenangan, ketenteraman yang penuh damai di
sana.!
Sumoi, setelah segala peristiwa
yang kualami, engkau tidak dapat membayangkan betapa rinduku kepada Pulau Es.
Bahkan, kembali dan tinggal di sana seumur hidupku menjadi cita-cita dan
harapanku satu-satunya. Akan tetapi, tinggal di sana seorang diri dengan
membiarkan engkau dan Maya-sumoi pergi, merupakan siksa yang tertahankan
olehku. Tentu saja aku girang sekali untuk pulang ke Pulau Es bersamamu dan
Maya-sumoi, akan tetapi dia....!
Berkerut alis Siauw Bwee
mendengar ini. Sudah dikhawatirkannya akan demikianlah pendapat suhengnya kalau
suhengnya sudah pulih kembali ingatannya! Hampir saja timbul pikiran bahwa dia
akan merasa senang sekali kalau suhengnya tidak pernah mendapatkan kembali
ingatannya sehingga hanya mencinta dia seorang, tidak teringat lagi kepada
Maya! Akan tetapi cepat-cepat ditekannya perasaan yang dia tahu amat tidak baik
ini, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi tanpa mempedulikan keadaan
orang lain!
Kam-suheng, apakah Suheng lupa
akan sikap Maya-suci kepadaku? Kalau kita mengajak dia kembali ke Pulau Es,
apakah dia tidak hanya akan menimbulkan keributan belaka? Suheng, Maya-suci
membenciku....!
Han Ki menggeleng kepala dan
tersenyum pahit. Tidak membencimu Khu-sumoi, hanya....! dia tidak dapat
melanjutkan kata-katanya.
Hanya karena dia mencintaimu
maka dia cemburu kepadaku dan ingin membunuhku, ingin melenyapkan aku agar
tidak menjadi penghalang bagi cintanya?!
Sumoi, engkau tentu maklum
betapa tersiksa hatiku kalau teringat akan kalian berdua. Akan tetapi,
celakanya, aku pun tidak dapat membiarkan kalian berdua meninggalkan aku tanpa
kuketahui bahwa kalian berdua dalam keadaan selamat. Baru akan tenang hidupku
kalau kalian sudah kembali bersamaku ke Pulau Es. Sekarang aku akan berusaha
agar kalian berdua hidup dengan rukun, sebagai saudara seperguruan yang saling
mencinta.!
Kam-suheng, katakanlah
sesungguhnya, apakah pernyataan cintamu terhadap aku hanya palsu belaka dan
engkau menyatakannya untuk membalas budi pertolonganku, saja?!
Han Ki memandang dengan mata
terbelalak dan muka berubah pucat. Kemudian ia menarik napas panjang dan
menjawab, Sumoi, sampai hati benar engkau menuduh aku seperti itu. Engkau tentu
sudah yakin akan cintaku kepadamu, akan tetapi.... harap engkau jangan besikap
seperti Maya-sumoi yang hanya mementingkan diri sendiri saja. Kalau aku hanya
menurutkan hati cinta dan ingin hidup senang sendiri saja, betapa mungkin
hatiku akan tenteram dan tenang? Tidak, Khu-sumoi. Aku baru akan dapat bicara
tentang cinta, dapat bicara tentang masa depan kalau kita bertiga sudah kembali
ke Pulau Es. Aku tidak akan menentang perpisahan di antara kita bertiga karena
hidup memang selalu berubah, ada waktu berkumpul tentu ada waktu berpisah, akan
tetapi hendaknya perpisahan itu terjadi dalam keadaan baik dan tidak seperti
yang lalu, saling berpisah dalam keadaan permusuhan.!
Suheng, kita sama mengetahui
bahwa Maya-suci mencintamu seperti aku mencintamu pula. Betapapun beratnya
bagimu, engkau harus mengambil keputusan siapa di antara kami berdua yang
kaucinta. Tanpa keputusan itu, engkau hanya akan menciptakan permusuhan di
antara kami berdua.!
Sumoi, kita tunda dahulu
urusan cinta ini. Yang penting sekarang kita bertiga harus kembali ke Pulau Es.
Maya-sumoi adalah saudara kita. Sekarang dia telah menyeleweng demi pembalasan
dendamnya dan rela menjadi seorang Panglima Mancu. Apakah mungkin aku
mendiamkannya saja? Tidak, Sumoi. Aku harus menginsyafkannya dan harus
mengajaknya pulang ke Pulau Es. Dengan demikian, barulah aku tidak merasa
berdosa kepada Suhu dan tidak menyia-nyiakan pesan Suhu.!
Siauw Bwee merasa terdesak.
Dara jelita ini menarik napas panjang dan berkata, Hemmm, agaknya engkau yang
lebih benar, Suheng, dan agaknya akulah yang buta oleh cemburu. Baiklah, engkau
boleh mencoba untuk membujuknya pulang ke Pulau Es, akan tetapi engkau harus
lebih dulu mengantarku ke Pulau Es, baru kau pergi mencari Suci. Kalau sekarang
engkau mencarinya dan mengajaknya kembali ke Pulau Es, dia tentu akan menolak
kalau dia melihat aku bersamamu.!
Han Ki mengangguk-angguk.
Memang tepat kata-kata sumoinya ini. Watak Maya amat keras. Dia masih dapat
membujuk dan membikin lunak hati Siauw Bwee, akan tetapi sukar sekali baginya
untuk membujuk Maya kalau sumoinya itu melihat Siauw Bwee bersama dia.
Baiklah, Sumoi. Mari kita
segera berangkat.!
Dua orang itu segera
mempergunakan ilmu kepandaian mereka berlari cepat menuju ke pantai untuk
melanjutkan perjalanan melalui laut, menggunakan sebuah perahu kecil
menyeberang ke Pulau Es.
Di dalam perjalanan yang
dilakukan dengan cepat ini, Siauw Bwee tidak dapat menahan keinginan tahunya
akan dendam dan sakit hati mereka terhadap musuh-musuh yang telah mencelakakan
keluarga mereka. Dia mengajukan pertanyaan kepada suhengnya dengan suara
bersungguh-sungguh dan pandang mata tajam menyelidik.
Suheng, engkau agaknya berkeinginan
keras untuk mengajak aku dan Suci kembali ke Pulau Es, dan kalau aku tidak
salah menduga, engkau ingin sekali melihat kita bertiga kembali tinggal di
Pulau Es dan tidak meninggalkan tempat itu lagi. Benarkah dugaanku itu?!
Wajah Han Ki berseri mendengar
ini, kemudian dia mengangguk. Memang demikianlah, Sumoi. Alangkah bahagia rasa
hatiku kalau kalian berdua mau berbaik kembali dan kita bertiga hidup tenang
dan tenteram penuh kebahagiaan seperti dahulu di Istana Pulau Es.!
Siauw Bwee mengerutkan
alisnya. Akan tetapi, Suheng. Apakah engkau telah lupa akan dendam di hati
kita? Apakah engkau telah melupakan musuh-musuh besar kita? Apakah semangat
membalas dendam telah padam di hatimu?!
Sumoi, kita tidak boleh
melupakan ajaran Suhu yang banyak disebut dalam kitab-kitabnya. Dendam adalah
nafsu yang paling buruk dan jahat, sumber dari segala pertentangan dan
permusuhan antara manusia. Dendam adalah sifat yang paling menonjol dari iba
diri dan kalau kita dimabokkan olehnya, hati dan pikiran kita akan menjadi
gelap karena dendam menimbulkan benci dan kebencian menimbulkan kekejaman.
Khu-sumoi, katakanlah, siapakah yang kauanggap musuh besarmu, yang mendatangkan
dendam sakit hati padamu?!
Siapa lagi kalau bukan manusia
jahat Suma Kiat? Dia telah menyebabkan kehancuran keluarga ayahku! Manusia itu
harus kubunuh untuk membalas dendam keluargaku!!
Han Ki menarik napas panjang.
Sumoi, engkau telah dapat bersikap baik kepada puteranya, Suma Hoat, mengapa
engkau tidak dapat bersikap sama baiknya kepada ayahnya?!
Suma Hoat seorang yang baik
dan dia bersikap baik kepadaku, sedangkan ayahnya adalah musuh besarmu!!
Hemmm, betapa tepat wejangan
Suhu dahulu! Hutang budi dan dendam hanya merupakan bunga dari sifat sayang
diri belaka. Sumoi, andaikata Suma Kiat tidak berbuat yang merugikan
keluargamu, andaikata dia melakukan hal yang baik seperti yang dilakukan
puteranya, tentu dia takkan kauanggap musuh. Jadi, sama sekali bukan pribadinya
yang membuat engkau mendendam, melainkan perbuatannya terhadap dirimu! Kalau perbuatan
itu baik dan menguntungkan dirimu, maka engkau merasa berhutang budi! Kalau
perbuatannya buruk bagimu dan merugikan dirimu, tentu akan kauanggap sebagai
dendam sakit hati yang harus dibalas. Dengan demikian, maka terciptalah rantai
yang tiada putusnya berupa balas membalas, baik membalas budi maupun membalas
dendam!!
Bukankah itu sudah seharusnya
demikian, Suheng? Sudah adil kalau budi dendam dibalas sehingga menjadi adil
namanya? Bukankah sudah demikian pada umumnya hukum karma?!
Han Ki menggeleng kepalanya.
Memang demikianlah pendapat umum yang telah menjadi tradisi usang. Karena
kepercayaan dan pendapat turun-temurun seperti inilah membuat kita terseret ke
dalam arus yang dibuat manusia sendiri dan dinamakan karma. Mata rantai itu
terbentuk dari perbuatan-perbuatan yang menghendaki akhiran yang menyenangkan,
perbuatan-perbuatan yang bertujuan, berpamrih. Apakah artinya perbuatan baik
maupun buruk kalau didasari tujuan tertentu, berpamrih yang bukan lain hanya
pencetusan dari rasa sayang diri belaka? Perbuatan demikian itu, baik maupun
buruk, adalah perbuatan yang tidak wajar, yang palsu dan karenanya selalu
berkelanjutan dan berekor tiada kunjung putus dan menjadi hukum karma. Layaknya
kalau hidup kita ini hanya kita isi dengan perbuatan-perbuatan palsu yang lebih
patut disebut hutang-pihutang? Tiada kebebasan, tiada kewajaran sama sekali?!
Mendengar pendapat yang baru
sama sekali ini, yang belum pernah dia mendengarnya, Siauw Bwee terkejut dan
juga terheran, memandang suhengnya dengan alis berkerut dan dia membantah. Akan
tetapi, Suheng! Apakah engkau hendak menganjurkan agar kita tidak usah mengenal
dan membalas budi? Suheng! Orang yang tidak mengenal budi
adalah orang yang rendah dan
tidak baik!!
Kembali Han Ki menggeleng
kepalanya, memandang sumoinya dengan tajam lalu berkata, suaranya
bersungguh-sungguh. Ucapanmu itu mencerminkan pandangan umum, namun
sesungguhnya pandangan seperti itu adalah tidak tepat, Sumoi.!
Mengapa tidak tepat? Orang
harus selalu mengingat budi orang lain yang dilimpahkan kepadanya dan berusaha
untuk membalas budi itu!!
Cobalah renungkan dalam-dalam
dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini, Sumoi. Orang yang mengingat dan
membalas budi orang lain adalah orang yang menghendaki agar budinya diingat dan
dibalas orang lain pula!!
Apa salahnya dengan itu?
Saling membalas budi adalah perbuatan orang sopan dan baik!!
Kalau sudah dijadikan
keharusan balas-membalas, berarti bayar-membayar dan perbuatan itu tidak patut
disebut budi lagi, melainkan semacam hutang-pihutang! Dengan mengingat dan
membalas budi orang lain berarti merendahkan orang itu, merendahkan pula nilai
perbuatannya yang hanya disamakan dengan hutang! Renungkan baik-baik, Sumoi.
Bukan begitu?!
Siauw Bwee tercengang,
kemudian menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. Wahh, kebenaran
pendapatmu tak dapat dibantah memang, Suheng. Akan tetapi sungguh janggal,
sungguh aneh dan menyimpang dari pendapat umum.!
Bukan pendapatku, Sumoi.
Setiap pendapat dari siapapun juga datangnya, tidak dapat dibenarkan, karena pendapat
hanya memancing pertentangan. Kalau yang kaudengar tadi kausebut sebagai
pendapaku dan kauanggap benar, tentu akan muncul orang lain yang menganggapnya
tidak benar maka terjadilah pertentangan. Aku hanya mengajak engkau bersamaku
mempelajari hal itu dan bersama mencari tahu apa artinya membalas dendam. Sudah
jelas sekarang bahwa budi dan dendam hanyalah pencetusan dari sayang diri yang
menciptakan karma, menciptakan sebab dan akibat. Kalau kita tersesat, takkan
pernah kita dapat membebaskan diri dan hidup ini menjadi sia-sia, menjadi
permainan sebab akibat. Karena Si Akibat sendiri pun berekor dan menjadi sebab
dari akibat yang lain lagi. Sedangkan si sebab pun menjadi akibat dari sebab
yang terdahulu. Bukankah seyogianya kalau kita membebaskan diri dari ikatan
mata rantai yang tiada kunjung putus itu?!
Akan tetapi, Suheng! Manusia
jahat macam Suma Kiat telah mengakibatkan kematian ayahku, kehancuran keluarga
Ayah. Mana mungkin aku tinggal diam saja tidak membalas dendam yang hebat ini?!
Membalas dendam dengan cara
bagaimana, Sumoi?!
Tentu saja dengan membunuh
manusia laknat itu!!
Hemmm, Sumoi. Engkau bilang
bahwa Suma Kiat jahat karena menyebabkan kematian ayahmu, dan engkau hendak
membalas dengan membunuhnya! Kalau dia membunuh ayahmu kemudian engkau
membunuhnya, lalu siapakah di antara kalian berdua yang baik dan jahat? Mana
mungkin melenyapkan kejahatan dengan kejahatan pula? Mana bisa merubah
kekerasan dengan kekerasan pula? Engkau bilang bahwa putera orang yang
kauanggap musuh besarmu itu, adalah seorang yang baik dan bersikap baik
kepadamu. Kalau engkau membunuh ayahnya, biarpun engkau menganggapnya sebagai
akibat perbuatan Suma Kiat, bukankah perbuatanmu itu berubah menjadi sebab
dendam baru, yaitu dendam di hati puteranya, Suma Hoat yang akan membalas
kematian ayahnya?!
Aku tidak takut!!
Bukan soal takut atau tidak
takut yang kita selidiki, Sumoi. Melainkan soal tepat tidaknya terseret ke
dalam mata rantai dendam-mendendam.!
Siauw Bwee menundukkan
mukanya. Tak dapat ia membantah kebenaran baru dan aneh yang dikemukakan
suhengnya ini. Kematian ayahnya, kehancuran rumah tangga ayahnya, memang akibat
perbuatan Suma Kiat. Akan tetapi, Suma Kiat tidak akan semata-mata melakukan
hal itu tanpa sebab-sebab tertentu! Dia telah mendengar betapa Suma Kiat amat
membenci keluarga Suling Emas, amat membenci Menteri Kam Liong putera Suling
Emas. Dan karena ayahnya, Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong, tentu
saja terlibat dalam urusan dendam-mendendam itu dan menjadi korban dalam
membela gurunya.
Aku tidak dapat menyangkal
kebenaran ucapanmu, Suheng. Aku menurut saja apa yang akan kaulakukan asal saja
engkau....!
Melihat keraguan sumoinya, Han
Ki bertanya, Asal saja aku mengapa, Sumoi?!
Asal engkau tidak
melupakan.... cinta kasih di antara kita....!
Han Ki tersenyum, akan tetapi
hatinya perih. Dia mencinta Siauw Bwee, bukan hanya cinta seorang suheng
terhadap sumoinya, melainkan terutama sekali cinta seorang pria terhadap
seorang wanita dan tidak ada cita-cita yang lebih nikmat dan akan membahagiakan
hatinya daripada hidup sebagai suami isteri untuk selamanya dengan sumoinya
ini. Akan tetapi, di sana masih ada Maya! Sebelum urusan dengan Maya dapat
diatasi, bagaimana mungkin cita-cita itu dapat terlaksana tanpa gangguan?
Mana mungkin manusia melupakan
cintanya, Sumoi? Yang dapat dilupakan adalah cinta palsu, cinta berahi belaka
yang sama sekali tidak ada harganya untuk dibicarakan. Nah, kau tinggallah di
istana Pulau Es lebih dahulu, Sumoi. Aku akan kembali ke darat dan mengajak
pulang Maya-sumoi.! Mereka telah tiba di tepi Pulau Es.
Siauw Bwee meloncat ke darat,
memandang suhengnya yang masih tinggal di dalam perahu, berkata penuh keraguan,
Bagaimana kalau dia tidak mau, Suheng? Dia mau atau tidak, engkau.... tentu
akan kembali secepatnya ke sini, bukan?!
Dia tentu dan harus mau!!
jawab Han Ki sambil mendayung perahunya ke tengah laut dengan cepat menuju ke
barat, diikuti pandang mata Siauw Bwee yang penuh dengan keraguan dan
kegelisahan. Dia maklum akan perasaan hati suhengnya. Dia tahu bahwa suhengnya
mencintanya, akan tetapi tahu pula bahwa suhengnya tidak mungkin dapat
berbahagia, tidak dapat hidup tenteram sebelum membereskan urusan Maya! Dia
bertambah gelisah karena Siauw Bwee juga maklum bahwa sucinya itu pun mencinta
Han Ki. Betapapun juga, dia telah menang dalam perebutan cinta kasih itu!
Suhengnya mencintanya! Pikiran ini melegakan hati Siauw Bwee dan dia
membalikkan tubuh perlahan-lahan berjalan ke tengah pulau, menuju ke Istana
Pulau Es yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya itu.
***
Heeii, berhenti dulu! Kalian
mau apa menerobos masuk tanpa permisi?! para pengawal penjaga gedung Panglima
Suma Kiat membentak dan mereka sudah memalangkan tombak menodong pasukan
pengawal berseragam biru yang masuk ke halaman gedung seenaknya itu.
Minggir kalian dan biarkan
kami masuk!! Komandan pasukan itu balas membentak sambil meraba gagang
pedangnya.
Apa? Kalian pun hanya pasukan
pengawal, sama dengan kami. Biarpun engkau komandan pasukan, akan tetapi kau
bukan komandan kami. Siapapun tidak boleh masuk sebelum ada perkenan dari
Suma-tai-ciangkun!!
Wuuuuttt.... ciattt!! Komandan
pasukan pengawal istana Suma-tai-ciangkun itu roboh dengan leher hampir putus
disambar sinar yang tiba-tiba menyerangnya dan tampaklah seorang laki-laki
tinggi besar yang berpakaian mewah telah muncul di situ. Ketika para pengawal
melihat laki-laki ini, mereka lebih kaget dari ketika melihat komandan mereka
tewas tadi. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut karena laki-laki itu
bukan lain adalah Bu-koksu! Kini bermunculan pembantu-pembantu Koksu, para
panglima tinggi, dan perwira yang memimpin banyak sekali pasukan pengawal yang
telah mengurung gedung itu.
Biarpun para pengawal telah
menjadi ketakutan ketika melihat Koksu dengan banyak pasukannya, namun ada di
antara para pengawal yang berhasil menyelinap masuk ke dalam gedung dan dengan
muka pucat, melaporkan kepada Suma Kiat.
Celaka.... Koksu dengan
pasukan besar datang menyerbu....!!
Pada sore hari itu, Suma Kiat
yang ditemani oleh selirnya yang terkasih, Bu Ci Goat dan muridnya, Siangkoan
Lee, sedang menjamu seorang tamu yang tiba di siang hari Itu. Tamu ini bukan
lain adalah Coa Sin Cu, bengcu (pemimpin rakyat) yang bermarkas di hutan
pegunungan sekitar Pantai Po-hai. Kakek ini mempunyai hubungan dengan Suma Kiat
karena mereka berdua sama-sama bersekutu dengan pemerintah Yucen. Akan tetapi,
sekali ini Coa Sin Cu datang dengan wajah keruh dan hatinya berat bukan oleh
urusan politik, melainkan oleh urusan pribadinya. Dia meninggalkan markasnya
dengan hati berat setelah membunuh puteranya sendiri dan isterinya! Beberapa
hari yang lalu, ketika dia pulang malam hari dari perjalanan, pulang secara
tidak terduga-duga dan belum waktunya, dia menyaksikan dengan mata kepala
sendiri betapa isterinya berjina dengan puteranya! Liem Cun, isterinya, adalah
seorang wanita cantik dan masih muda, sebaya dengan Coa Kiong puteranya yang
tampan dan gagah. Menyaksikan adegan yang tak disangka-sangkanya itu naiklah
darah ke dalam kepala Coa Sin Cu, membuat matanya gelap dan dalam kemarahan meluap-luap
dia langsung mencabut senjata dan membunuh mereka!