Bab 11
Lepaskan dia....!! Maya
membentak dan mengirim serangan bertubi-tubi. Selama berada di Pulau Es, dia
dan sumoinya paling tekun mempelajari ilmu pedang dan ilmu pedang yang mereka
latih baersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan
main. Baru slnar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan lawan,
apalagi kini ia mendesak dari jarak dekat! Sepasang manusia dampit itu tadinya
memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan mereka, karena yang sebuah
mengempit tubuh Si Panglima Muda, untuk melawan Maya. Namun, sepasang senjata
di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedangnya, amatlah hebat
gerakannya, selain aneh gerakannya juga cepat bukan main dan mengandung tenaga
sin-kang yang dingin menusuk tulang. Setiap kali senjata kedua orang dampit itu
bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan terdengar seorang
di antara mereka yang kepalanya botak, berseru,
Gadis siluman!!
Orang ke dua yang berambut
riap-riapan berseru, Loncat turun, bawa dia lari!!
Si Kepala Botak yang mengempit
tubuh panglima muda dengan tangan kanannya, membuat gerakan maut, dibantu oleh
kaki Si Rambut Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka
digerakkan oleh enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang cepat keluar
dari perahu besar. Mereka meloncat ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus
melompat dari situ ke perahu lain, agaknya hendak membawa tawanan mereka ke
perahu dari mana tadi terdengar suara perintah pemimpin mereka.
Akan tetapi, Maya juga
meloncat, gerakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan pengejaran.
Ke mana kau hendak lari, setan dampit?! bentaknya, pedangnya berkelebat
menyambar dari belakang. Si Rambut Panjang yang berada di sebelah belakang,
menangkis dengan pedangnya, kemudian sisihannya sudah melompat lagi, kini tidak
melompat ke perahu, melainkan melompat ke.... air! Maya terkejut, mengira bahwa
Si Dampit hendak terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena
biarpun dia pandai berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh
diandalkan untuk melawan lawan lihai seperti Si Dampit itu.
Akan tetapi ternyata bahwa Si
Dampit itu tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di atas mayat
seorang tentara yang sudah mati, yang mengapung di air dengan menelungkup! Maya
menyambar cepat, hinggap di atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyambar,
akan tetapi Si Dampit sudah melompat lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat
loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa lihai Si Dampit ini
dan betapa tinggi gin-kangnya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat
mengejar, bahkan menyusul dan selagi tubuh mereka di udara, ujung pedangnya
yang menyambar dengan cepat menusuk lengan Si Botak yang mengempit tubuh
perwira yang melawan itu.
Aduhhh....!! Si Botak
berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas. Maya yang menangkis serangan
pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedangnya, berjungkir balik di udara,
menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti seekor burung
elang menyambar kelinci, sudah mencengkeram leher baju Si Panglima Muda dan
kembali berjungkir balik tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu. Dari situ
kembali ia berloncatan menggunakan pecahan perahu, mayat-mayat tentara, dan
atap-atap perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar. Dia masih
sempat membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya itu ke
atas dek perahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang
mengeroyok, berkata,
Tai-ciangkun, lekas putar
perahu dan tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi anjing-anjing Sung
ini!! Panglima tinggi yang merasa bersyukur melhat pembantunya selamat, dan
kagum bukan main, berkata, Li-hiap.... harap memperkenalkan nama yang
mulia....!
Cepat putar perahu!! Maya
menjawab tanpa memperkenalkan nama dan dia mengamuk amat hebat sehingga para
pengeroyok menjadi gentar dan mereka berlompatan meninggalkan perahu besar yang
mulai diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat dipadamkan dari bahaya
kebakaran dan pasukan musuh yang berloncatan itu ada yang meloncat ke air!
Mereka tak memperhitungkan lagi, pokoknya mereka dapat lari dari dara perkasa
yang seperti setan itu!
Kegembiraan besar karena dia
dapat membunuhi tentara-tentara Sung membuat Maya seperti seekor harimau haus
darah. Dia meloncat pula meninggalkan perahu besar, mengejar dan mengamuk dari
perahu ke perahu sehingga pasukan Sung menjadi kacau-balau dan terdengarlah
perintah menyuruh perahu-perahu kecil mundur!
Akhirnya tempat itu menjadi
sunyi. Perahu besar panglima yang memberontak sudah pergi jauh, perahu-perahu
kecil pasukan Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya perahu-perahu terbakar,
pecahan-pecahan perahu, mayat-mayat manusia yang mulai bergoyang-goyang karena
kakinya disambari ikan hiu, dan rintih tangis mereka yang terluka dan masih
belum mati, ada yang meronta-ronta di air berusaha berenang menyelamatkan diri,
ada yang terapung di pecahan-pecahan perahu.
Maya berdiri di atas sebuah
balok pecahan tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak, dengan wajah
berseri, dadanya turun naik, napasnya agak memburu karena dia telah
mengeluarkan banyak tenaga. Baru sekarang terasa betapa lelahnya tubuhnya, dan
betapa perih kaki di paha kirinya karena serempetan golokp para pengeroyok yang
tadi ketika ia mengamuk tidak dirasakannya.
Tiba-tiba dara perkasa itu
menjerit kaget, balok yang diinjaknya terbalik dan terseret ke bawah dan tentu
saja tubuhnya terlempar ke air! Ia gelagapan dan pedang serta sarung pedang
terpaksa dibuangnya karena ia membutuhkan kedua tangannya untuk berenang. Akan
tetapi, tiba-tiba kakinya terpegang atau tergigit sesuatu, lalu tubuhnya
diseret ke dalam air. Ia berusaha meronta, akan tetapi karena memang bukan ahli
di air, ia gelagapan, minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya tenggelam!
***
Kita tinggalkan dulu Maya yang
terancam bahaya maut tanpa ia ketahui sebabnya dan kita tengok keadaan
Pek-kong-to Tang Hauw Lam Si Golok Sinar Putih, suami Mutiara Hitam yang tekun
menggembleng kedua orang muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Pekerjaan
ini dilakukan dengan amat tekun oleh Tang Hauw Lam yang seolah-olah sudah mati
perasaan dan kemauannya akan hal lain. Memang sejak ditinggal mati isterinya
yang tercinta, Mutiara Hitam yang gugur ketika berusaha membalas kematian kakak
kembarnya, Raja Talibu dari Kerajaan Khitan, dan menyerbu Kerajaan Mongol.
Tang Hauw Lam kehilangan
gairah hidup. Kalau saja tidak ada dua orang muridnya dan tidak hendak memenuhi
pesan terakhir isterinya tercinta agaknya pendekar ini lebih baik memilih mati
menyusul isterinya. Kini ia mencurahkan seluruh kepandaiannya mengajar kedua
orang muridnya yang dilatih sesuai dengan kitab-kitab peninggalan isterinya
sehingga dalam waktu lima tahun saja kedua orang murid itu telah memperoleh
kemajuan hebat dan telah dapat mewarisi hampir semua kepandaian Mutiara Hitam!
Tentu saja mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan mendiang subo mereka,
kalah latihan dan kalah pengalaman. Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan
kalau dikatakan bahwa pada masa itu, sukarlah. dlcarl pemuda-pemudi remaja yang
memiliki ilmu kepandaian setinggi kedua orang murid Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi dalam keadaan
tiada semangat dan selalu terbenam kedukaan dan kerinduan terhadap isterinya
seperti itu sehingga tubuh Tang Hauw Lam kurus kering dan, wajahnya selalu
muram dan pucat, bekas pendekar besar ini tiada bersemangat pula untuk
memperhatikan kedua muridnya kecuali dalam pelajaran ilmu silat yang ia
turunkan, sama sekali tidak memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak
memperhatikan soal pendidikan. Bekas pendekar besar yang sekarang seperti pohon
layu kekeringan itu lupa bahwa kedua orang muridnya. telah mulai dewasa, dan
bahwa dalam usia seperti itu mereka bukan lagi kanakkanak dan perlu pembatasan
di dalam pergaulan mereka.
Setelah mendapat kenyataan
bahwa tingkat kepandaian kedua orang muridnya itu telah cukup tinggi, mulailah
dia menurunkan ilmu pedang yang dahulu membuat Mutiara Hitam terkenal sekali,
yaitu Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Ilmu pedang
yang diturunkannya kepada murid perempuannya Ok Yan Hwa ini telah ia pelajari
dari kitab peninggalan Mutiara Hitam, dan dalam melatih ilmu pedang ini Tang
Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang Iblis yang betina kepada Yan Hwa. Pada
waktu yang sama, ia menyerahkan Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan
mengajarkan Ilmu pedang yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu
membuatnya amat terkenal, yaitu Ilmu Golok Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar
Putih). Dengan tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas pendekar besar ini
mampu mengubah Ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan menurunkan ilmu pedang ini
kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk mem perlengkap ilmu kedua orang
muridnya, dia mengajarkan kedua ilmu pedang itu kepada mereka, hanya berpesan
agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok Kiam-sut, sedangkan Ji Kun memperdalam
Pek-kong Kiam-sut.
Setahun lamanya kedua orang
muda itu menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat menguasai ilmu pedang
masing-masing dan sepasang pedang yang kini diserahkan kepada mereka itu
benar-benar amat luar biasa. Kalau mereka berlatih, terdengar bunyi berdesingan
dan tampaklah kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata.
Karena sikapnya yang tidak
peduli sama sekali akan pendidikan moral murid-muridnya, dan di samping
mengajarkan ilmu silat, Tang Hauw Lam hanya selalu tekun besamadhi, bekas
pendekar ini tidak tahu akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam perhubungan
kedua orang muridnya. Kekuasaan alam menguasai dua orang yang telah dewasa itu
dan mulailah mereka itu saling tertarik. Masa kanak-kanak mereka lewat sudah
dan menjelang kedewasaan mereka, masing-masing merupakan daya tarik yang luar
biasa dan karena mereka hidup terasing, maka tanpa pengawasan terjadilah hal
yang tidak aneh, yaitu kedua orang suheng dan sumoi ini mulai bermain dengan
asmara!
Barulah Tang Hauw Lam terkejut
bukan main ketika pada suatu malam, secara tidak sengaja ia mendapatkan kedua
orang muridnya itu sedang saling bermain cinta, saling bercumbu seperti
kelakuan dua orang suami isteri!
Ji Kun! Yan Hwa!! bentaknya
dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak lebar penuh kemarahan.
Kedua orang muda itu terkejut,
saling melepaskan pelukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan suhu mereka
yang marah. Sampai lama Tang Hauw Lam tak dapat berkata-kata, kemudian
kemarahannya mereda dan jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya karena apa
yang dilakukan kedua orang muridnya itu menimbulkan rindu yang makin hebat,
mengingatkan ia akan isterinya yang telah tiada.
Ahhh.... dua orang
muridku....? Ahhh, betapa isteriku akan kecewa sekali.... aku...., aku telah
gagal mendidik kalian....! Ia tak dapat melanjutkan kata katanya, dengan
terhuyung ia memasuki kamar di pondoknya dan bersila, memejamkan mata melawan
kehancuran hatinya.
Pada keesokan harinya, Tang
Hauw Lam dikejutkan suara ribut-ribut, beradunya pedang dan angin pukulan yang
berdesir-desir. Ia menjadi kaget. Kalau berlatih, bukan seperti itu gerakan
pedang kedua orang muridnya. Sekali ini, kedua pedang itu bergerak dengan
pengerahan tenaga sepenuhnya, gerakan orang bertempur mati-matian ia meloncat,
tubuhnya terhuyung lemah karena pukulan batin yang diterimanya selama ini
membuat tubuh bekas pendekar yang sudah lemah itu menjadl makin lemah.
Ketika ia tiba di luar pondok,
Tang Hauw Lam terkejut bukan main melihat kedua orang muridnya itu telah
bertanding mati-matian dengan pedang di tangan. Sepasang pedang iblis itu
mereka pergunakan untuk saling serang dengan hebat! Apakah yang telah terjadi
dengan sepasang orang muda yang semalam saling melimpahkan kasih sayangnya satu
sama lain? Ternyata bahwa ketika gurunya mempergoki perbuatan mereka dan
mengundurkan diri dengan penuh kemarahan dan kedukaan, dua orang ini lalu
saling menyalahkan. Semalam suntuk mereka bercekcok, saling menuduh telah mulai
dengan permainan cinta mereka, menuduh masing-masing lebih dulu mulai merayu
dan memikat.
Percekcokan menjadi makin
sengit ketika masing-masing menyatakan bahwa ilmu pedangnya lebih lihai, pedang
masing-masing lebih ampuh. Karena pertengkaran itu makin memuncak sehingga
kemarahan mereka melampaui besarnya cinta kasih mereka, tak dapat dicegah lagi
kedua orang muda yang masih berdarah panas ini lalu saling membuktikan
keunggulan masing-masing dengan jalan mengadu ilmu secara matimatian! Baru
sekali ini. mereka bertanding sungguh-sungguh, dan anehnya, begitu kedua pedang
mereka saling bentrok, seolah-olah ada kekuasaan gaib yang membuat mereka
menjadi makin penasaran dan tidak akan merasa puas sebelum memperoleh
kemenangan. Seolah-olah mereka menjadi lebih marah dan lebih panas hatlnya,
timbul keinginan untuk keluar sebagai pemenang tanpa memperhitungkan lagi
bagaimana harus mengalahkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Anehnya, setelah
bertanding, seo lah-olah lenyap semua cinta kasih di antara mereka, bahkan
lenyap pula semua persoalan saling menyalahkan sehingga malam tadi mereka
kepergok suhu mereka. Kini yang ada hanyalah ingin menang! Ingin membuktikan
bahwa ilmu pedangnya lebih tinggi dan pedang di tangannya, lebih ampuh!
Sebagai seorang ahli, sekali
pandang saja Tang Hauw Lam maklum bahwa kedua orang muridnya itu tidaklah sedang
berlatih atau main-main, melainkan saling serang dengan dahsyat dan
mati-matian. Pandang matanya berkunang, kepalanya pening karena apa yang di
saksikannya ini merupakan pukulan batin ke dua yang hebat, yang menimbulkan
kemarahan, kedukaan, penasaran dan kekecewaan. Juga dia terkejut bukan main
karena dia seolah-olah tidak melihat kedua orang muridnya yang bertanding,
melainkan Mahendra dan Nila Dewi, dua orang tokoh India yang membuat Sepasang
Pedang Iblis itu! Wajah kedua orang muridnya itu mengeluarkan sinar yang sama,
sinar mengerikan yang haus darah!
Ji Kun! Yan Hwa! Berhenti
bertanding....!! Ia berseru sambil lari cepat menghampiri kedua orang muridnya.
Akan tetapi, seruannya itu sekali ini tidak seperti biasa pengaruhnya.
Biasanya, setiap seruannya tentu akan diperhatikan dan ditaati oleh kedua orang
muridnya itu. Akan tetapi seruan dan perintahnya sekali ini sama sekali tidak
dlgubris, tidak ditaati, bahkan kedua orang muridnya saling menyerang semakin
dahsyat.
Ji Kun! Yan Hwa! Kalian masih
tidak mau berhenti?! Tang Hauw Lam yang menjadi marah sekali ini meloncat ke
depen dan menerjang maju. Ia melihat betapa kedua pedang muridnya itu membuat
gerakan saling menusuk. Ia tidak peduli dan cepat menerjang di tengahtengah
antara mereka sambil mendorongkan kedua tangannya ke kanan kiri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa
mengeluarkan pekik tertahan. Tubuh mereka terlempar ke belakang dan
masing-masing memandang suhu mereka yang berdiri tegak, kedua tangan mendekap
lambung kanan kiri yang masih menyemburkan darah melalui celah-celah jari
tangan yang menutup kedua luka itu!
Suhu....!! Kedua orang muda
yang agaknya seperti baru sadar dari mimpi itu menjerit berbareng dan keduanya
menangis terisak-isak.
Suhu.... harap Suhu bunuh saja
teecu....! Can Ji Kun meratap.
Suhu, bunuhlah teecu yang
berdosa....!! Ok Yan Hwa juga berkata dengan suara merintih.
Sepasang mata Tang Hauw Lam
melotot memandang ke arah sepasang pedang di atas tanah. Pedang itu dilepas
oleh kedua orang muridnya setengah dilempar seolah-olah mereka jijik
menyaksikan pedang yang berlumuran darah suhu mereka dan sepasang pedang yang
terjatuh dalam jarak berpisahan satu meter itu tiba-tiba sudah bergerak seperti
saling tarik dan kini bagian gagang mereka saling melekat! Dia memang tahu akan
sifat pedang-pedang itu, yaitu baglan mata pedang saling tolak akan tetapi
bagian gagang saling tarik!
Sepasang Pedang iblis!
Pedang-pedang terkutuk.... aaahhhh....!!
Suhu.... teecu berdosa....!!
Ji Kun berkata pula, penuh penyesalan.
Suhu, bunuh saja teecu....!!
Yan Hwa juga meratap lagi.
Tang Hauw Lam menunduk,
memandang kedua muridnya. Kemarahannya lenyap dan kini ia tersenyum! Tidak,
kalian tidak sengaja.... dan.... dan terima kasih.... aku girang sekali....
akan dapat berjumpa dengan subo kalian.... akan tetapi kalian.... ahh,
hati-hatilah.... pedang-pedang itu terkutuk.... aaaahhhh!! Wajah yang berseri
itu memucat, matanya memandang ke atas, lalu ia tersenyum lebar, Kwi Lan....
isteriku, engkau masih menunggu aku....? Ha-ha, tunggulah, kekasihku, aku
datang....!! Tubuhnya terguling.
Kedua orang muridnya menubruk
dan ternyata Tang Hauw Lam telah tewas, matanya terbuka mulutnya tersenyum dan
tarikan wajahnya berseri penuh bahagia!
Suhu....!! Ok Yan Hwa
terguling roboh pingsan dan Can Ji Kun hanya dapat menangis, sebentar memeluk
mayat suhunya, kemudian bingung hendak menyadarkan sumoinya.
Tiga hari kemudian setelah
mengubur jenazah suhu mereka yang mereka bawa ke Bukit Merak di Khitan dan
dikuburkan di sebuah makam Mutiara Hitam, kedua orang ini berpamit dari Gu Toan
si bongkok yang menjaga kuburan keluarga itu dan yang membantu mereka mengubur
jenazah Tang Hauw Lam sam bil menghela napas penuh duka. Ji Kun dan Yan Hwa
lalu berpisah, membawa pedang masing-masing.
Sumoi, mengapa kita harus
berpisah? Engkau tahu bahwa kalau kita berpisah, kita berdua akan menderita,
akan saling merindukan....! Can Ji Kun mencoba untuk membujuk sumoinya setelah
berhari-hari ia membujuk dengan sia-sia.
Yan Hwa menggeleng kepala
dengan duka. Tidak, kita telah berdosa. Dosa yang timbul karena kita berkumpul
menjadi satu. Kalau dekat denganmu, aku akan selalu teringat akan dosaku
terhadap Suhu, Suheng. Sebaliknya kita berpisah.! Ucapan itu dikeluarkan dengan
suara tegas, namun mengandung kedukaan.
Sumoi, bukankah engkau cinta
padaku seperti besarnya cintaku kepadamu?!
Yan Hwa mengangguk. Tidak
kusangkal, akan tetapi cinta kita baru bersih dan membawa bahagia kalau engkau
sudah mengakui keunggulan ilmu pedang dan po-kiamku (pedang pusakaku).!
Tiba-tiba sinar mata penuh
kasih sayang lenyap dari mata pemuda itu, terganti sinar penasaran. Akan
tetapi, Sumoi. Mana bisa itu? Jelas bahwa ilmuku lebih tinggi darimu, pedangku
juga tidak kalah. Ingat, aku suhengmu, sudah semestinya lebih lihai darimu!!
Hemm, kita lihat saja! Ingin
bukti? Mau melanjutkan yang dahulu?!
Ji Kun bergidik, teringat
betapa pertemuan di antara mereka mengorbankan nyawa suhu mereka. Sungguhpun
hal itu tarjadi tanpa mereka sengaja karena keduanya sedang diamuk penasaran
dan kemarahan den mereka juga tidak mengira bahwa suhu mereka demikian lemah
dan lambat gerakannya sehingga termakan pedang mereka, namun peristiwa ini
takkan pernah terlupa dan tetap akan menjadi tekanan batin dan perasaan
berdosa.
Cukuplah, Sumoi. Kalau engkau
menghendaki perpisahan di antara kita, baiklah. Akan tetapi, kita akan
menderita....!
Aku akan kembali kepadamu
setelah kuperdalam ilmuku, kembali untuk mengalahkan engkau dan setelah kau
mengakui keunggulanku, baru aku suka menyambung kembali hubungan cinta kita.!
Gila....!! Ji Kun berseru akan
tetapi ia pun merasa betapa yang gila dan berpeda pendapat seperti itu bukan
hanya sumoinya, melainkan dia sendiri juga! Dia baru akan merasa puas dan
cintanya takkan terganggu apabila sumoinya mau tunduk dan mengaku kalah
terhadapnya.
Maka berpisahlah kedua orang
muda yang saling mencinta itu, sama sakali mereka tidak sadar bahwa mereka
telah berada dalam cengkeraman kekuasaan gaib dari Sepasang Pedang Iblis yang
seolah-olah telah kemasukan roh deri Mahendra dan Nila Dewi. Dan pada waktu
itu, kembali dunia kang-ouw kemasukan dua orang muda yang berilmu tinggi, yang
mengambli jalan masing-masing, namun yang keduanya memiliki pedang pusaka yang
haus darah, memiliki sebatang Pedang Iblis!
***
Agar tidak tertinggal terlalu
lama dan jauh, marilah kita ikuti perjalanan Khu Siauw Bwee, seorang dara lain
yang melakukan perjalanan seorang diri, meninggalkan Istana Pulau Es dan
meninggalkan hatinya pula yang seolah-olah tertinggal di pulau itu menemani
suhengnya yang diam-diam ia cinta sepenuh hatinya, Kam Han Ki! Dengan hati
merana dan kosong, Siauw Bwee melayarkan perahu buatannya, menuju ke selatan.
Seperti juga sucinya ia ingin mengobati sakit hatinya dengan pelaksanaan
cita-citanya. Pertama, dia ingin mencari ibunya yang dahulu mengungsi ketika
ayahnya, mendiang Panglima Khu Tek San yang gagah perkasa, bersama suhunya,
Menteri Kam Liong yang sakti, melakukan usaha nekat, yaitu membebaskan Kam Han
Ki dari dalam penjara istana. Kemudian ia akan menuntut balas atas kematian ayahnya.
Akan tetapi dia tidak berpemandangan sepicik sucinya, tidak mendendam kepada
Kerajaan Sung, melainkan kepada Suma Kiat, jenderal yang lalim itu bersama
semua kaki tangannya.
Setelah melakukan palayaran
selama belasan hari, barulah ia melihat daratan luas membentang di sebelah
barat, maka ia lalu mendayung perahunya ke pantai. Dia berniat memasuki dunia
ramai di daratan yang luas itu, maka perahunya sedianya akan ia tinggalkan
begitu saja. Akan tetapi, ketika perahunya tiba di pantai, ia melihat banyak nelayan
di pantai, maka berkatalah ia kepada para nelayan yang datang menyambutnya
dengan heran melihat seorang dara remaja dan jelita mendarat seorang diri,
Paman sekalian tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan perahu ini. Aku suka
menukarnya dengan seekor kuda yang baik. Siapa suka?!
Para nelayan membelalakkan
mata. Sebuah perahu yang biarpun amat sederhana namun kuat buatannya itu
ditukar dengan kuda? Tentu saja banyak yang mau, maka berlarianlah mereka yang
memiliki kuda dan tak lama kemudian di situ telah terdapat belasan ekor kuda
yang dituntun oleh pemiliknya masing-masing.
Siauw Bwee memilih seekor kuda
berbulu hitam yang besar. Aku memilih kuda ini. Pemiliknya boleh mendapatkan
perahuku.!
Pemilik kuda itu seorang
petani tua. Dengan wajah berseri ia menyerahkan kudanya kepada Siauw Bwee.
Nona, banyak terima kasih. Penukaran ini amat menguntungkan aku. Akan tetapi,
hati seorang tua seperti aku akan selalu merasa tidak enak kalau tidak berterus
terang. Nona, apakah Nona pandai menunggang kuda?!
Nelayan itu jujur sekali
tampaknya dan Siauw Bwee juga menjawab secara jujur, Aku tidak pandai, Lopek.
Akan tetapi ketika masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku pernah belajar
menunggang kuda.!
Nelayan tua itu menggeleng
kepala. Kalau begitu, biarpun hatiku amat menyesal karena tidak jadi mendapat
keuntungan, aku tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona. Silakan memilih lain
kuda saja.!
Siauw Bwee memandang heran.
Mengapa, Lopek?!
Kudaku ini adalah kuda liar,
Nona. Belum lama kutangkap dari hutan. Amat sukar ditunggangi karena belum
jinak. Aku sendiri, dan semua teman yang di sini belum ada yang mampu
menundukkan dan menjinakkannya. Aku khawatir kalau Nona dilemparkan jatuh.!
Siauw Bwee mengangguk-angguk
dan diam-diam ia memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia bahwa watak
orang-orang pantai seperti juga orang-orang dusun di pegunungan yang sederhana
dan dianggap bodoh ternyata jauh lebih baik dari watak orang-orang kota yang
menganggap diri pintar! Ia tersernyum manis dan berkata, Lopek, aku memerima
kudamu ini dan aku tidak akan menyesal andaikata aku sampai dilemparkan dan
mati sekalipun.!
Nona....!! Beberapa mulut para
nelayan berseru mencegah.
Biarlah kucoba keliarannya!!
Siauw Bwree berkata, memegang kendali kuda dan bagaikan seekor burung, tubuhnya
sudah meloncat naik ke punggung kuda hitam besar itu. Benar saja kata-kata Si
Nelayan. Kuda itu meringkik, lalu meloncat tinggi, melengkungkan punggungnya
mengipat-ngipatkan tubuh dan ketika nona itu masih tetap duduk di atas
punggungyya, ia lalu berdiri di atas kedua kaki belakang menggoyang-goyang
tubuh dan meringkik-ringkik, berusaha menoleh untuk menggigit orang yang
menduduki punggungnya. Para nelayan berlari menjauhi, takut tergigit atau
tertendang.
Akan tetapi, mereka melongo
menyaksikan betapa nona jelita itu masih tetap di atas punggung kuda dengan
tegak duduk menggunakan kedua kaki menjepit perut kuda. Ketika kepala kuda
menoleh hendak menggigit, tangan Siauw Bwee bergerak menamparnya, setiap kali
menoleh ditampar dan dia mengerahkan sin-kangnya, menekan tubuhnya sehingga
kuda itu tidak kuat menahan dan roboh mendeprok dengan penunggangnya masih
tetap di atas punggung!
Dia jinak, Lopek,! kata Siauw
Bwee sambil melompat turun dan kini kuda itu dapat berdiri lagi, empat buah
kakinya gemetaran, akan tetapi dia menundukkan kepala dengan mata melirlk takut
ketika Siauw Bwee mengelus bulu di kepalanya.
Hebat.... bukan main....
siapakah.... siapakah Nona....?! tanya nelayan itu, kini mukanya, seperti muka
teman-temannya, memperlihatkan sikap hormat dan takut.
Selamat tinggal Lopek!! Siauw
Bwee meloncat ke atas punggung kudanya yang meringkik perlahan dan melambaikan
tangan. Lupakan aku, aku hanya seorang gadis pengembara biasa!! Ia menyepak
perut kudanya dan kuda itu meringkik lagi lebih keras lalu meloncat ke depan
dan lari cepat sekali, diikuti pandang mata para nelayan yang melongo.
Hati Siauw Bwee girang sekali.
Kuda itu ternyata kuat dan tangkas dapat berlari cepat dan tidak pernah mogok
atau rewel, tidak berhenti sebelum ia hentikan, biarpun melalui padang rumput
yang hijau dan gemuk. Berhari-hari Siauw Bwee menunggang kuda, naik turun
gunung dan masuk keluar hutan lebat. Pada suatu hari ia melihat seorang
laki-laki berlari di sebelah depan. Ia heran dan juga girang. Heran melihat di
tempat sunyi itu, di dalam hutan, ada seorang yang memiliki ilmu berlari cepat
cukup lumayan, dan girang karena dia yang mulai merasa bingung karena tidak
mengenal jalan dan sudah berhari-hari tidak pernah bertemu manusia atau dusun
kini bertemu orang yang tentu akan dapat ia tanyai arah ke kota raja Kerajaan
Sung. Ia mempercepat larinya kuda untuk mengejar orang itu. Akan tetapi
tiba-tiba orang itu menghilang di sebuah tikungan yang penuh pohon. Siauw Bwee
mengejar sampai ke tempat itu dan menghentikan kudanya. Orang itu hilang tanpa
meninggalkan jejak! Ia memandang ke kanan kiri, kemudian mendengar makian
nyaring dari atas!
Setan! Siluman! Keluarlah
kalau memang kalian memiliki kegagahan dan lawanlah aku, Hui-eng Liem Hok Sun!!
Siauw Bwee mengangkat muka memandang
dan ia terheran-heran. Orang yang dikejarnya tadi kini telah terjerat dalam
sebuah jala dan tergantung di dahan pohon besar, meronta-ronta dan memaki-maki
kalang-kabut. Diam-diam Siauw Bwee merasa geli hatinya melihat orang yang
berjuluk Hui-eng (Garuda Terbang) itu kini seperti seekor garuda dalan sebuah
sangkar!
Orang yang terjerat itu
melihat Siauw Bwee melotot dan siap memaki-maki, akan tetapi ia melongo ketika
melihat bahwa yang datang menunggang kuda adalah seorang dara remaja yang
cantik jelita! Akhirnya Siauw Bwee yang membuka mulut lebih dulu, bertanya
sambil tersenyum,
Sobat, kau sedang apa di situ?
Mengapa terjala seperti ikan? Ataukah engkau memang seekor burung dalam
kurungan?! Godaan Siauw Bwee ini timbul ketika mendengar julukan orang itu dan
melihat bahwa orang itu adalah seo rang pemuda berusia dua puluh lima tahun
kurang lebih, mukanya memperlihatkan kekasaran seorang yang jujur dan penuh
keberanian.
Mendengar ucapan yang bernada
mengejek ini, pemuda itu makin membelalakkan mata saking marahnya. Tangannya
keluar dari celah-celah jala menuding ke arah muka Siauw Bwee, mulutnya terbuka
lebar mengeluarkan kata-kata keras.
Eh, bocah, cilik nakal! Apakah
ini perbuatanmu? Jangan main-main kau! Aku bukan harimau atau biruang yang boleh
kaujeret seperti ini. Hayo lepaskan aku, kalau tidak aku akan....!
Kau akan apa? Melepaskan diri
sendiri pun tidak mampu, masih banyak lagak hendak mengancam orang!! Siauw Bwee
makin suka menggoda menyaksikan orang kasar itu.
Dan biarpun engkau bukan harimau
atau monyet, akan tetapi engkau adalah seekor burung tolol yang mudah dijerat,
hi-hik!!
Eh, bocah! Lepaskan aku!
Jangan main-main kau. Apakah engkau ini bocah yang baru turun di dunia kang-ouw
sehingga tidak mengenal julukanku Hui-eng yang sudah terkenal di seluruh
jagad?!
Siauw Bwee tidak membenci
orang itu. Sebaliknya malah, dia suka kepada orang yang kasar, jujur dan
agaknya memiliki kepandaian lumayan ini dan berniat menolongnya. Kalau tadi ia
menggodanya adalah karena tertarik melihat sikap orang itu. Akan tetapi, ketika
ia berniat meloncat turun dan menolong membebaskan orang yang meronta-ronta dan
berteriak-teriak itu, tiba-tiba telinganya mendengar gerakan banyak orang
mendatangi dari jauh. Ia cepat memutar kudanya dan pergi dari situ.
Heee! Siluman betina! Kau
hendak pergi ke mana? Lepaskan dulu aku, baru boleh pergi. Kalau pergi dulu,
siapa yang akan membebaskan aku? Aku.... aku ngeri melihat ke bawah....!! Akan
tetapi Siauw Bwee tidak peduli dan cepat membawa kudanya bersembunyi, lalu ia kembali
ke tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan mengintai.
Tak lama kemudian, di tempat
itu telah datang serombongan orang yang membuat Siauw Bwee bengong keheranan
memandang mereka. Mereka itu terdiri dari dua belas orang, sembilan laki-laki dan
tiga orang wanita. Melihat sikap mereka membayangkan bahwa mereka memiliki
kepandaian tinggi, dan pakaian mereka pun biasa saja. Akan tetapi yang amat
luar biasa adalah bahwa mereka semua hanya berkaki satu, alias buntung kaki
kanan mereka! Sebagai pengganti kaki, mereka itu memakai tongkat bercagak yang
mereka kempit di ketiak kanan. Biarpun mereka itu semua berkaki satu, namun
mereka dapat melangkah cepat dan gerakan mereka sigap sekali, bahkan ketika
mereka berdiri di bawah Hui-eng Liem Hok Sun yang tergantun di pohon, mereka
bardiri tegak dengan sikap penuh wibawa.
Liem Hok Sun Si Garuda Terbang
juga memandang ke bawah dan kini mulailah dia mengerti bahwa agaknya bukan Si
Dara Jelita tadi yang menjeratnya, melainkan orang-orang berkaki buntung ini. Dia
memang kasar, akan tetapi tidak bodoh dan dia pun maklum bahwa orang-orang
buntung itu lihai sekali. Karena tidak mempunyai permusuhan dengan mereka
bahkan tidak mengenal mereka, dia diam menutup mulut dan menanti perkembangan
selanjutnya.
Susiok, kita kesalahan
menjerat orang lain!! Seorang di antara tiga wanita itu berkata kepada seorang
kakek berusia lima puluh tahun yang agaknya menjadi pimpinan rombongan.
Kakek itu memandang tajam
penuh perhatian kepada Liem Hok Sun, kemudian mpngangguk-angguk dan menarik
napas panjang. Sayang sekali bukan seorang anggauta mereka yang terjerat. Akan
tetapi karena dia sudah berkeliaran di sini sampai terjerat, siapa tahu dia
adalah bala bantuan dan mata-mata yang dikirim kaum tangan satu. Kita bawa dia
menghadap Suhu.!
Mendengar percakapan itu, Hok
Sun berteriak-teriak, Hei, saudara-saudara yang di bawah, dengarlah! Aku
Hui-eng Liem Hok Sun, selamanya tidak ada permusuhan dengan kalian, juga tidak
tahu-menahu siapa itu golongan lengan satu dan kaki satu! Lepaskan aku dan
biarkan aku pergi!!
Pergilah kalau bisa!! Seorang
berkaki buntung yang kelihatannya juga kasar dan berwatak dogol berkata. Dalam
persembunyiannya, Siauw Bwee menahan ketawanya. Nah ketemu batunya kau, orang
kasar, pikirnya.
Hok Sun melotot. Sudah terang
terjerat, mana bisa pergi? Totol amat kau! Coba lepaskan jerat ini, tentu aku
akan dapat pergi!!
Orang kasar berkaki satu itu
tertawa bergelak, Benarkah? Baru ada aku seorang saja di sini, engkau si goblok
ini mana bisa pergi, apalagi di sini sekarang terdapat Sam-susiok! Coba kita
lihat, bagaimana engkau akan pergi!! Setelah berkata demikian, tubuh yang
berkaki satu mencelat ke atas, tongkatnya membabat dan brettt!! Tali yang
menggantung tubuh Hok Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh ke bawah.
Akan tetapi, ternyata gin-kang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak
terbanting jatuh, melainkan turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh tanah.
Setelah membuang jerat dari tubuhnya, Hok Sun menggerakkan tubuh hendak
meloncat pergi karena dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang ia
tahu lihai itu. Akan tetapi, begitu meloncat, tampak sinar berkelebat dan
tongkat kakek kaki buntung bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersungkur!
Si Kaki Buntung yang kasar tertawa bergelak.
Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah,
hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!!
Liem Hok Sun meloncat bangun,
mukanya merah saking marahnya. Eh kalian ini orang-orang buntung kaki mengapa
begini tidak tahu aturan? Apakah kalian mau menantang berkelahi?!
Kakek yang menjadi susiok
rombongan itu manjawab, suaranya halus namun nadanya keren. Kami tidak ingin
berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk sementara menjadi
tawanan kami sebelum menerima keputusan ketua kami.!
Aku tidak peduli keputusan ketua
kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?! bantah Hok Sun.
Kau sudah melanggar wilayah
kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi kerbau?!
Kalian sungguh tidak memandang
aku Si Garuda Terbang!! bentak Hok Sun dan ia sudah menerjang Si Kaki Buntung
yang kasar. Dari tempat persembunyiannya, Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa
julukan si kasar itu bukanlah kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga
dan terjangannya memang seperti seekor garuda terbang, menyerang lawan dari
atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang murid
pertapa di Go-bi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi
ilmu kepandaiannya juga tinggi.
Menghadapi serangan ini, Si
Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan lengan kiri ke
arah kaki Hok Sun yang menendang sedangkan tongkatnya sudah menotok ke arah
leher. Namun Hok Sun benar-benar memiliki gin-kang yang hebat. Biarpun tubuhnya
masih terapung di udara dan sekaligus lawannya menangkis sambil menyerang,
namun dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan dengan
gerakan tangkas dia telah berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok
lehernya, kemudian sambil meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik
sehingga lawannya roboh tersungkur!
Hemm, manusia bandel!! Kakek
yang menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan. Siauw Bwee yang
menyaksikan kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali
gerakannya, dan sekaligus, kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya,
jarijari tangannya sudah mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan
kecepatan yang membingungkan Hok Sun. Biarpun murid dari Go-bi-san ini berusaha
menangkis dan mengelak namun ia kalah cepat, apalagi memang gerakan kedua
tangan kakek yang menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya
sehingga tahu-tahu Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!
Curang! Kalian manusia-manusia
curang. Main keroyokan!! Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi rombongan
itu tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang
meraung-raung, dibawa pergi dari tempat itu.
Ada yang menarik dalam
gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan
keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para orang
buntung itu bukan seperti sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan seperti
sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin. Pula, dia tertarik menyaksikan
gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat yang amat aneh sehingga ingin dia
lebih banyak mengetahui tentang orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda
Terbang. Maka ia tidak tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan
yang menggotong tubuh Hok Sun itu dari jauh. Mereka menyeberangi hutan yang
besar dan lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang menyambung hutan itu
di kaki bukit.
Di tengah hutan kecil itu
terdapat bangunan yang bentuknya aneh sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu
besar dan dari jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar. Ke arah
bangunan inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh
perhatian, melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian
melompat dan lenyap! Kakek pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat
lebih dulu dan lenyap pula. Setelah semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee
berindap menghampiri bangunan itu dan ia terheran-heran. Bangunan itu merupakan
dinding batu yang amat tebal dan kuat, berbentuk bundar dan sama sekali tidak
ada lubangnya! Namun, semua orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee
merasa penasaran sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke
puncak, memeriksa seluruh permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap
saja dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun! Ke manakah perginya rombongan
orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee. Akan
tetapi, andaikata ada pintu rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat
masuk semua ke bangunan kecil ini!
Tiba-tiba Siauw Bwee melayang
turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas puncak bangunan itu
dia tadi melihat serombongan orang berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia
menyelinap dan mengintai dan sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat
menahan keheranan hatinya.
Ohh...., tidak....! Mimpi
burukkah aku....?! Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak
mimpi.
Akan tetapi, adakah yang lebih
aneh daripada semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang buntung sebelah kaki
kanan, semua buntung dan begitu sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka
merupakan keseragaman! Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat
yang begini aneh, begitu kecil tanpa lubang pintu atau jendela, namun dapat
menampung begitu banyak orang! Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya,
kini ia menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan seorang wanita, yang
kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri buntung
sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis tergantung lepas.
Mengerikan! Seorang di antara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang
tongkat yang biasa dipakai anak buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya
menjadi pemimpin rombongan, karena selain dia paling tua berjenggot panjang dan
bersikap angker, juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Adapun di
belakang kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung
lengan kirinya, menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggauta
rombongan kaki buntung!
Diam-diam Siauw Bwee memandang
penuh perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki lima orang itu
luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap, begitu kuat
dan kokoh, namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main!
Pemimpin rombongan itu, kakek
yang berjenggot dan memegang tongkat Si Kaki Buntung, menggunakan ujung tongkat
itu mengetuk tujuh kali ke atas dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke
belakang. Tak lama kemudian, terbukalah lubang di sebelah atas depan bangunan
itu dan dari dalam lubang melayang keluar tiga orang berkaki buntung, yang
paling depan adalah kakek yang memimpin rombongan penawan Liem Hok Sun tadi.
Kemudian, dari belakang bangunan itu keluar pula beberapa orang berkaki
buntung, agaknya keluar dari lubang rahasia lain di sebelah belakang. Suasana
menjadi tegang dan Siauw Bwee memandang penuh perhatian.
Laki-laki tangan buntung yang
tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang dikempitnya sehingga
Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat kilat pimpinan rombongan
lengan buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang
tertawan, ke jalan darah di punggung orang berkaki buntung itu yang jauh
berlutut dan tidak berani berkutik. Keadaan masih hening, tidak ada seorang pun
dari kedua pihak orang-orang bercacad itu yang mengeluarkan suara. Yang paling
merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu dari
tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba wanita berkaki
buntung yang ikut meloncat keluar, menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata
bahwa dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur, suaranya
penuh kebencian, keras dan dingin,
Apakah kaum lengan buntung
kini sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak mematuhi janji? Hari
pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan
memancing keributan dengan menawan seorang anggauta kami?!
Kakek yang menodong punggung
orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu tersenyum
mengejek, lalu menjawab, suaranya tidak kalah keras dan dinginnya, mengandung
kebencian yang sama, Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk tidak terdapat
cermin sehingga kalian orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang
berlengan buntung. Memang mudah melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacad orang
tanpa melihat akan besarnya cacad sendiri, semudah menggoyang lidah yang tidak
bertulang, kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina yang suka
melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji sendiri. Memang
tepat sekali, hari pertandingan masih tiga bulan lagi, akan tetapi mengapa
seorang anggauta kalian yang tidak terhormat ini melanggar wilayah kami dan
melakukan penyelidikan?!
Alis empat orang berkaki
buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang kepada anak buah
mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan ketakutan dan
diam-diam Siauw Bwee merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi tawanan kaum
lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan begitu takut. Dia dapat menduga
bahwa tentu kaum kaki buntung itu mempunyai peraturan dan hukum yang keras
sekali terhadap anak buahnya yang melanggar peraturan.
Tidak.... tidak.... Suci....
dan Suheng.... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan
penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan seperti
biasa. Aku berhasil melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka aku
melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini merobohkan aku dengan jalan
mengeroyok dan menawanku!! Si Tawanan membantah.
Kakek berlengan satu tertawa
mengejek, Hemm, mana ada maling mau mengaku?!
Si Wanita Berkaki Satu
menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap dan berwibawa,
Menghadapi perkara, tidak boleh mendengar keterangan sepihak saja. Kalau
keterangan dua pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!!
Baik!! kata kakek lengan satu.
Mari kita lihat buktinya di mana kami menawan anak buahmu!! Tanpa banyak cakap
lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan rombongan kaki buntung
yang bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang sudah pergi
meninggalkan tempat itu memasuki hutan!
Siauw Bwee tertarik sekali dan
ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu, akan tetapi mengingat akan nasib Si
Garuda Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan bundar, dan melihat kesempatan
baik selagi lubang itu belum tertutup, cepat meloncat dan sekaligus menerobos
masuk ke dalam lubang itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan
berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak tangga yang menurun ke bawah.
Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya merupakan pintu
gerbang! saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang agaknya luas sekali, yang
tersembunyi di sebelah bawah! Ia menjadi bingung. Tangga batu yang manakah yang
akan membawanya ke tempat Si Kasar itu ditahan? Karena tidak ada jalan lain,
Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang sebelah kiri. Tak lama kemudian ia
mendapat kenyataan bahwa tepat seperti diduganya, bagian bawah terdapat
ruangan-ruangan yang luas sekali, lorong-lorong yang terbuat daripada batu dan
keadaan di bawah itu merupakan bangunan di bawah tanah seperti istana!
Siauw Bwee menuruni tangga
dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak mendengar gerakan apa-apa, juga
tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat rombongan yang
menawan Liem Hok Sun tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar
hanyalah empat orang. Di manakah adanya orang-orang lain? Apakah mereka telah
keluar lagi dari pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong? Dengan
sikap hati-hati ia melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas
dan bersih sekali, lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat sebuah arca
yang melukiskan seorang laki-laki tua bermuka kasar, berdiri dengan tegak akan
tetapi kakinya hanya satu karena kaki kanan arca ini pun buntung.
Melihat arca ini, Siauw Bwee
menduga bahwa agaknya arca inilah arca nenek moyang kaum kaki buntung yang
lihai ini. Tiba-tiba terdengar gerakan halus, Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap
waspada dan ternyata dari sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih,
laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki kanannya, akan tetapi mereka itu
hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masing-masing dan
sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang
kakek buntung pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya
berwibawa sekali. Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang
menjadi ketua mereka, maka ia cepat mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata,
Apakah Locianpwe ketua dari
kaum.... eh, kaki buntung ini?!
Kakek itu memandang tajam,
mengerutkan keningnya dan menjawab singkat, Benar. Aku adalah Liong Ki Bok,
ketua kaum kaki buntung.!
Maaf, Liong-locianpwe, kalau
aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini. Kedatanganku tidak bermaksud
buruk, hanya ingin minta per timbanganmu agar kalian suka membebaskan si kasar
Hui-eng Liem Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa.!
Tidak mempunyai kesalahan?
Hemm.... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari pertandingan. Kalau kelak
ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa dia bukan mata-mata mereka,
kami pun tidak akan mengganggu orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama
ini, sampai hari pertandingan tiba di mana persoalan dibikin terang, dia akan
menjadi tawanan kami. Juga engkau, Nona.!
Siauw Bwee mengerutkan
alisnya, Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?!
Terpaksa, begitulah. Sekarang
kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu mereka atau bukan. Dia
sudah kami tawan dan tak seorang pun dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya
menyerah menjadi tawanan kami.!
Eh, nanti dulu!
Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga
tidak mengenal siapa adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau
membebaskan orang yang tidak bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku,
hemmm.... kurasa tidak akan begitu mudah.!
Terdengar seruan-seruan marah
dari semua kaum kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar
tajam, Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Go-bi-san seperti orang she
Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan
partai lain, akan tetapi kami harus berhati-hati terhadap para pembantu kaum
lengan buntung.!
Aku bukan dari aliran atau
partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee.!
Bagus! Kalau begitu, harap kau
suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh merasa tidak enak
kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda.!
Orang she Liong, kau terlalu
sombong, tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak kulihat
engkau dapat berbuat apakah?!
Suhu, biarkan teecu
menawannya!! kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan
agaknya dia adalah murid kepala. Kakek itu mengang guk dan berkata,
Hati-hatilah, jangan sampai membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang
bocah yang masih amat muda.!
Nenek itu mengangguk, kemudian
tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee. Nona, kami
tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan
kami dan menyerahlah. Biarpun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami
perlakukan dengan baik, sebaliknya, hendaknya kauketahui bahwa entah sudah
beberapa ratus orang tewas di tangan kami.!
Panas rasa hati Siauw Bwee.
Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat memandang rendah
kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab, Bagus sekali kalau kalian mempunyai
pikiran tidak ingin menghina yang muda. Akan tetapi sebaliknya aku pun sama
sekali tidak ingin menghina kaum tua, apalagi yang bercacat. Maka sebaiknya
kalau engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi dari sini agar hatiku
tidak menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja.!
Bocah sombong!! Nenek itu
berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan mencengkeram ke arah
pundak kiri Siauw Bwee. Cepat bukan main gerakan itu, akan tetapi Siauw Bwee,
murid ke tiga dari Bu Kek Siansu yang telah mempelajari ilmu yang tinggi
tingkatnya, cepat miringkan tubuh dan dari bawah jari tangan menyambar dengan
totokan ke arah telapak tangan nenek itu.
Aihhh....!! Nenek itu berseru
kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw Bwee.
Gerakan nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok
ke arah lutut kiri Siauw Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat
gadis itu bertekuk lutut. Namun Siauw Bwee yang sudah melihat betapa
gerakan-gerakan nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya memiliki
gerak tangan yang hebat dalam bersilat, maka ia berlaku hati-hati dan cepat
menggeser kakinya. Ketika kembali tangan kirinya menusuk dengan jari-jari
tangan terbuka ke arah lambungnya, disusul tongkat yang menyambar dengan
totokan ke arah pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja menggunakan telapak
tangannya menerima tongkat yang menyambar.
Plakk!!
Aihhh....!! Nenek itu kembali
berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya sudah
mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan dilakukan
dengan kemarahan karena tongkat itu menyerang leher!
Diam-diam Siauw Bwee kagum
sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang kakinya hanya satu
ini masih mampu mengirim serangan dua kali berturut-turut, sungguh merupakan
hal yang luar biasa dan dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki buntung ini
memiliki ilmu silat yang amat aneh, cepat dan kuat sehingga ilmu silat tangan
kiri dan tongkat ini dapat menutup kekurangan karena cacad kaki mereka! Dia
juga mengeluarkan kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biarpun dia
agak bingung menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena
dia menang dalam tenaga sin-kang, pula dalam hal gin-kang dia pun lebih unggul,
maka dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan cepat atau tangkisan
kuat. Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan
orang-orang jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah
yang telah mulai lebih dulu, Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan
hanya ingin merobohkan atau mengalahkannya tanpa melukai.
Hebat....! Luar biasa....!
Sukar dipercaya!! Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu
memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee. Siauw Bwee
adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan
sungguh-sungguh yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan
Maya, sucinya. Maka kini mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki
buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin dia memperlihatkan
kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar
dan kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan
keras, tubuhnya melay ang ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan!
Perbuatan ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran gin-kang yang
istimewa, juga amat berbahaya maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan
kagum dari pada penonton termasuk ketuanya. Nenek itu penasaran sekali, merasa
seperti dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung tongkatnya
dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas
dari ujung tongkat.
Wuuuutttt!! Tubuh dara itu
memang terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah langit-langit
batu ruangan itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia. Semua orang
berdongak memandang terbelalak, melihat betapa dara itu mencapai langit-langit,
punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di punggungnya terdapat
perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit, Siauw Bwee
tertawa-tawa mengejek
Ah, kasihan engkau, nenek
cacad. Lebih baik sudahilah saja, untuk apa susah payah melawan orang muda yang
lebih panjang napasnya dan lebih kuat tubuhnya?!
Muka nenek itu menjadi merah
sekali. Dia adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat
tinggi, hanya selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia
belasan tahun yang tidak ternama, dia dipermainkan, seperti itu.
Bocah sombong keparat!! Ia berseru
dan sekali kaki tunggalnya mengenjot lantai, tubuhnya sudah melayang ke atas
dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel di langit-langit itu.
Jangan....!! Sang Ketua
berteriak ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah menyaksikan
kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali karena kalau seorang dara
remaja sudah berkepandalan seperti itu, tentu dapat dibayangkan betapa hebat
orang tua atau guru yang berdiri di belakangnya! Akan tetapi seruannya
terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang saat
inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia
melepaskan punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului kedua
tangannya yang melakukan gerakan mendorong. Dari kedua telapak tangannya itu
menyambar angin pukulan yang amat dingin!
Aihhh....!! Nenek itu
menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke bawah. Untung
tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya
menyambut tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil
dan kedua kakinya tidak dapat menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan.
Betapapun juga, karena telah ditahan oleh kedua tangan sutenya, tubuh nenek itu
tidak terbanting keras.
Baru saja Siauw Bwee turun ia
mendengar suara mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu keluar dari
sepasang tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya,
tanpa menggunakan tongkat dan dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini telah
menyerangnya dengan kedua tangan, gerakannya luar biasa anehnya sehingga
repotlah Siauw Bwee mengelak. Dara ini makin terdesak dan dia maklum bahwa
dalam hal ilmu silat, dia kalah pengalaman, apapula harus menghadapi gerakan sepasang
tangan yang begitu aneh.
Maka dia lalu mengerahkan
tenaga di tangan kiri menangkis. Tubuh kakek itu sampai berputaran ketika
lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat sin-kangnya oleh dara
penghuni Pulau Es yang hebat ini. Akan tetapi, dalam perputaran ini, kedua
tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa, membingungkan Siauw Bwee
sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di belakang pusar dara itu kena
tertotok dengan tepat sekali.
Celaka....!! Ketua kaki
buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan
penyesalan besar.
Totokan yang dilakukan dalam
keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai jalan darah yang bagi lawan
lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee yang telah
digembleng dengan latihan-latihan sin-kang dan besamadhi secara istimewa oleh
Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek Siansu, ketika tertotok hanya menjadi gemetar
beberapa detik lamanya.
Tadinya dia sudah menjadi
marah sekali karena dianggapnya kakek itu kejam, telah mengirim totokan para
jalan darah yang menyebabkan kematian sehingga dia sudah mengerahkan sin-kang
istimewa memulihkan jalan darahnya kemudian dia hendak membalas dengan serangan
hebat. Akan tetapi setelah mendengar seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek
itu tidak sengaja hendak membunuhnya. Timbullah pikirannya untuk menyelidiki,
keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah
berpura-pura mati.
Ketika berlatih sin-kang di
Istana Pulau Es, suhengnya telah membikin rahasia ilmu mematikan raga! yang
luar biasa, maka kini dia mengeluarkan kepandaiannya ini dan tubuhnya menjadi
lemas, napasnya dan detik pada nadi tangannya berhenti, tubuhnya seperti dalam
keadaan tak bernyawa lagi!
Kakek itu berlutut dengan satu
kakinya dan memeriksa pergelangan tangan Siauw Bwee. Aihh, celaka. Aku telah
kesalahan tangan membunuhnya. Gadis ini luar biasa sekali, kepandaiannya sudah
mencapai tingkat lebih tinggi daripada kepandaianku sendiri! Kalau aku tidak
memiliki ilmu silat gerak tangan kilat, agaknya aku sendiri belum tentu akan
dapat mengalahkannya. Celaka, aku telah membunuhnya! Biar aku sendiri yang
menyimpannya di dalam ruangan jenazah. Dia harus mendapatkan tempat terhormat.!
Setelah menghela napas berulang-ulang, kakek itu lalu memondong tubuh Siauw
Bwee lalu dibawanya masuk melalui lorong yang panjang dan agak gelap. Anak
buahnya hanya berdiri menonton, tak seorang pun mengeluarkan suara seperti ikut
merasa berduka bersama pimpinan mereka.
Siauw Bwee yang berlagak mati
itu diam-diam siap. Kalau sampai tubuhnya akan mengalami bahaya, tentu saja ia
akan sadar kembali dan akan melawan untuk menyelamatkan diri. Tadinya dia sudah
khawatir kalau-kalau ketua kaum kaki buntung ini membawa jenazahnya! keluar
dari bangunan di bawah tanah, akan tetapi hatinya menjadi lega dan girang
ketika kakek itu membawanya ke bagian dalam. Ketua yang bernama Liong Ki Bok
itu memasuki sebuah ruangan yang mendapat penerangan dari lubang yang merupakan
celah-celah batu yang menjadi langit-langit ruangan itu dan terdengarlah
gerengan menye ramkan. Siauw Bwee terkejut dan hampir dia lupa bahwa dia
beraksi mati ketika melihat seekor biruang hitam yang besar menyambut
kedatangan Sang Ketua. Akan tetapi ternyata binatang besar itu tidak menyerang,
bahkan Liong Ki Bok berkata,
Aku membawa mayat baru,
Hek-mo. Mayat seorang yang terhormat dan sama sekali bukan musuh kita. Sayang
aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Bawa dan letakkan dia di peti teratas,
tempat terhormat, peti yang disediakan untuk tubuhku sendiri.!
Biruang yang bernama Hek-mo
(Setan Hitam) itu mengeluarkan suara gerengan, bagaikan mengerti akan ucapan
Sang Ketua, ia menerima tubuh Siauw Bwee dan memondongnya. Tiba-tiba dia
mendengar dan merintih dan diam-diam Siauw Bwee terkejut. Manusia mengenal
kematiannya hanya dari panas dan darah yang berhenti, akan tetapi binatang
memiliki indera ke enam yang luar biasa. Jangan-jangan binatang ini tahu bahwa
dia sebetulnya belum mati!
Memang kasihan sekali dia,
Hek-mo, dan aku akan menyesal selama hidupku hari ini telah kesalahan tangan
membunuh seorang seperti dia. Cepatlah bawa dia, Hek-mo, aku tidak ingin
lama-lama berada di situ melihat korban tanganku yang berdarah!!
Biruang itu lalu berjalan ke
dalam diikuti kakek berkaki satu. Diam-diam Siauw Bwee bergidik ketika melihat
ruangan sebelah dalam yang diterangi sebuah lampu. Siapa takkan menjadi ngeri
dan merasa seram kalau melihat ruangan yang penuh mayat? Di sekelilingnya
terdapat lubang-lubang pada dinding dan di setiap lubang berisi sebuah mayat
yang sudah kering. Ada puluhan banyaknya lubang-lubang itu, ada yang sudah
terisi dan ada pula yang masih kosong.
Biruang itu membawanya naik ke
anak tangga batu, kemudian meletakkan tubuhnya ke dalam sebuah peti kaca yang
indah, sebuah peti mati terindah yang berada di situ. Peti mati yang disediakan
untuk Sang Ketua kalau kelak ketua itu mati! Sambil rebah di dalam peti, Siauw
Bwee mengerling dan meli hat ketua itu membalikkan tubuh memandang sesosok
mayat orang tinggi besar yang berdiri menyeramkan di sebalik lubang dekat anak
tangga. Bibir Sang Ketua bergerak-gerak seperti orang bicara, akan tetapi
suaranya perlahan sekali, berbisik-bisik. Dengan pengerahan kepandaiannya,
Siauw Bwee dapat menangkap bisikan-bisikan itu.
Orang she Cia, tadinya
kusangka bahwa engkaulah orang yang paling pandai yang pernah kutandingi.
Kiranya hari ini sangkaanku ini terbantah dan gadis yang baru kubawa masuk ini
jauh melampauimu. Ahhh, dan penyesalanku lebih besar daripada ketika terpaksa
membunuhmu.! Setelah kakek itu melihat bahwa tubuh Siauw Bwee rebah di dalam
peti mati kaca dengan baik, dia mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi
botol berupa benda cair berwarna kuning berbau harum ke atas tubuh Siauw Bwee.
Jenazah orang seperti engkau
patut diawetkan, Nona yang bernasib malang....!
Kemudian kakek itu
meninggalkan ruangan jenazah setelah mengelus kepala biruang sambil berkata,
Hek-mo, kaujagalah baik-baik pintu gerbang ruangan jenazah.!
Mereka keluar dari ruangan itu
dan menutupkan pintu besi. Agaknya biruang itu bertugas menjaga ruangan di luar
pintu gerbang. Penjaga yang kuat! Siauw Bwee tidak segera bergerak karena
khawatir kalau kakek itu kembali lagi. Dia rebah dan diam memperhatikan keadaan
ruangan jenazah yang cukup luas itu. Ketika matanya mengerling ke arah mayat tinggi
besar yang tubuhnya juga tidak rusak, hanya memakai cawat dan kepalanya gundul,
dia bergidik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya gemetar, semua bulu di tubuhnya
meremang dan matanya terbelalak ketika ia melihat mayat orang she Cia itu
bergerak!
Tadinya dia tidak percaya
ketika melihat mata mayat itu berkedip-kedip, akan tetapi hampir saja ia lupa
bahwa dia telah mati! dan tidak semestinya bergerak dan hampir meloncat saking
kaget dan ngerinya ketika melihat mayat itu menggerakkan kaki tangannya dan
melangkah keluar dari dalam lubangnya! Mayat itu hidup kembali! Di dalam kamar
jenazah yang penuh jenazah-jenazah tengkorak dan mayat-mayat kering melihat
seorang mayat hidup!, tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang terlalu
berat menguji hati seorang gadis remaja, biarpun memiliki kesaktian seperti
Siauw Bwee maka dara yang tadinya berpura-pura mati itu kini benar-benar
menjadi pingsan!
Setelah siuman kembali, hal
pertama yang dilakukan Siauw Bwee adalah melirik ke arah lubang mayat she Cia
itu dengan harapan akan melihat mayat itu masih di situ dan tak bergerak, dan
bahwa yang dialaminya tadi hanyalah dalam mimpi. Akan tetapi lubang itu kosong!
Dengan napas terengah saking ngeri dan takut, Siauw Bwee gadis perkasa yang
kini ketakutan seperti kanakkanak melihat setan itu mengintai dari balik peti
mati di mana ia direbahkan dan matanya melotot lebar ketika melihat mayat hidup
itu bergerak cepat sekali, berkelebat datang dari sebelah belakang ruangan itu,
tangan kanannya membawa sebuah panci besar terisi makanan.
Setelah tiba di ruangan itu,
dia makan dengan lahapnya sambil berdiri saja, akan tetapi, tiba-tiba ia
mengeluarkan suara gerengan seperti terkekeh, lalu ia menggerakkan kaki
tangannya. Siauw Bwee menjadi makin ngeri, juga heran sekali menyaksikan bahwa
mayat hidup itu memiliki kepandaian yang hebat. Ilmu silatnya luar biasa
sekali, kedua tangan bergerak cepat dan tiba-tiba kedua tangan itu menyerang
dengan gerakan menggunting dari atas kanan kiri disusul gerakan kaki menyapu
dari bawah. Agaknya jurus ini merupakan jurus terakhir dan mayat hidup itu kini
kelihatan girang bukan main.
Begitu girangnya sampai
terkekeh-kekeh dan berjingkrak-jingkrak menari, tangannya mengambil makanan
dari panci yang tadi ia taruh di atas lantai ketika dia bersilat. Ketika ia
mengambil makanan itu dimasukkan ke mulut, Siauw Bwee memandang jelas dan
tiba-tiba Siauw Bwee merasa hendak muntah karena melihat bahwa yang dimakan
oleh mayat hidup itu adalah tikus-tikus kecil yang berkulit merah!
Karena ingin muntah ini, Siauw
Bwee mengeluarkan suara dari tenggorokannya dan tiba-tiba mayat hidup itu
melesat seperti anak panah cepatnya dan tahu-tahu telah berdiri lagi di
lubangnya seperti tadi. Akan tetapi, mungkin karena tergesa-gesa dan lupa, dia
berdiri di tempatnya dengan panci di tangan kiri dan mulutnya masih menggigit
seekor anak tikus yang buntutnya melambai ke bawah melalui bibirnya!
Aksi Si Mayat Hidup ini
mengusir semua rasa takut dari hati Siauw Bwee. Tidak mungkin di dunia ini ada
setan atau mayat hidup yang bersikap seperti itu! Begitu panik dan kembali ke
lubangnya secara menggelikan. Hal seperti itu hanya dapat dilakukan orang hidup
yang sedang ketakutan atau panik. Siauw Bwee tertawa dan ia melangkah keluar
dari dalam peti kaca. Ketika ia langsung melangkah menghampiri Si Mayat Hidup,
dia menjadi makin geli hatinya melihat betapa mayat hidup! itu matanya melotot
memandang kepadanya kedua kaki mayat hidup itu menggigil. Siauw Bwee makin geli
hatinya, maklum bahwa tentulah mayat hidup yang sebenarnya seorang manusia yang
masih hidup itu kini menderita kengerian seperti dia tadi. Tentu orang ini
mengira bahwa dialah yang kini menjadi mayat hidup! Terdorong oleh rasa geli
dan kelegaan hatinya mendapat kenyataan bahwa mayat hidup itu hanyalah seorang
manusia hidup, timbul kenakalan Siauw Bwee. Dia sengaja menyeringai untuk
menakut-nakuti, setelah tiba di depan mayat hidup itu ia tertawa dengan suara
mengerikan, He-he-hi-hi-hiiik! Bangkai ini masih baik, enak diganyang
jantungnya!!
Dengan gerakan dibuat-buat,
Siauw Bwee membentuk kedua tangannya seperti cakar setan dan melangkah maju.
Hiiiihh!! Kini mayat hidup!
itu tidak dapat menahan kengerian hatinya dan ia meloncat meninggalkan
lubangnya, menjauhi Siauw Bwee dan berdiri dengan kedua kaki menggigil.
Siauw Bwee tak dapat bersandiwara
terus dan ia tertawa terpingkal-pingkal. Nah, kau tahu sekarang rasanya orang
yang ketakutan menghadapi mayat hidup!! katanya. Orang she Cia, mengapa engkau
pura-pura mati dan berada di tempat ini?!
Orang yang tadinya berdiri
menggigil itu menjadi begitu lega hatinya sehingga jatuh terduduk. Aahhh...,
sungguh mati. Aku hampir pingsan ketakutan!! katanya, suaranya besar dan agak
parau, agaknya karena sudah lama tidak bicara.
Aku sendiri tadi sampai
pingsan saking takutku melihat engkau sebagai mayat hidup,! Siauw Bwee berkata
sambil tertawa geli.
Orang itu meloncat bangun,
gerakannya cepat sekali. Eh, engkau tadi dibawa si ketua Liong Ki Bok itu ke
sini dalam keadaan mati. Orang mati mana bisa pingsan dan mana mungkin sekarang
engkau hidup lagi?!
Siauw Bwee menjebirkan
bibirnya. Tidak meraba kepalamu sendiri! Engkau pun masih hidup, mengapa berada
di sini dan beraksi sebagai mayat?!
Sejenak laki-laki tinggi besar
gundul itu memandang Siauw Bwee, kemudian menggeleng kepala dan menghela napas.
Sukar dipercaya.... akan tetapi.... Liong Ki Bok tadi sudah mengatakan sendiri
bahwa kepandaianmu melebihi aku. Hemm, Nona, dengan cara bagaimanakah engkau
dapat mengakali Liong Ki Bok yang lihai sehingga engkau disangka mati dan
dibawa ke sini?!
Mudah saja. Dengan
Pi-ki-hoan-hiat (Menutupi Hawa Memindahkan Jalan Darah) aku bisa menghentikan
napas dan nemindahkan denyut perjalanan darah.!
Mata orang itu terbelalak.
Engkau? Semuda ini sudah pandai melakukan hal itu?!
Jangan terlalu memuji, Sobat.!
Siauw Bwee segera merasa suka kepada orang ini karena merasa senasib!. Engkau
sendiri pun telah dapat mengakali Liong Ki Bok dan berpura-pura mati.!
Aku lain lagi. Aku memang
hampir mati ketika dibawa ke sini.... eh, nanti dulu, Nona. Sebelum aku
menceritakan rahasiaku, aku harus mengetahui lebih dulu siapakah Nona dan
mengapa Nona menyelundup masuk seperti ini?!
Siauw Bwee maklum bahwa tentu
orang ini mempunyai rahasia besar dan mungkin ia akan dapat menyelidiki keadaan
kaum kaki buntung dengan mendengar keterangan orang ini tanpa melakukan
penyelidikan sendiri. Namaku Khu Siauw Bwee dan aku menyelundup ke sini karena
hendak menolong seorang bernama Liem Hok Sun yang ditawan oleh orang-orang kaki
buntung itu karena dianggap melanggar wilayah mereka.!
Orang itu mengangguk-angguk.
Engkau benar-benar memiliki keberanian luar biasa, Nona. Nah, dengarlah
ceritaku. Seratus tahun lebih yang lalu, nenek moyang tiga empat keturunan dari
kaum kaki satu dan lengan satu adalah dua orang saudara seperguruan yang
berilmu tinggi. Entah mengapa, kedua saudara seperguruan itu bercekcok sehingga
terjadilah pertempuran antara mereka berdua. Pertempuran hebat yang
mengakibatkan seorang buntung kaki kanannya dan yang seorang lagi buntung
lengan kirinya. Dendam antara kedua orang ini amat hebat. Mereka lalu
mengasingkan diri melatih ilmu, juga masing-masing mengambil murid-murid,
kemudian mereka berjanji untuk mengadu ilmu setiap tahun, untuk menentukan
siapa yang lebih unggul di antara mereka. Karena makin lama jumlah mereka makin
banyak, maka permusuhan itu menjadi berlarut-larut dan setiap tahun tentu
diadakan pertandingan mengadu ilmu. Demikianlah, keturunan kedua orang itu
melanjutkan permusuhan aneh ini dan terbentuklah kaum kaki buntung dan kaum
lengan buntung yang saling bermusuhan.!
Akan tetapi, mengapa mereka
itu masing-masing dapat mengumpulkan orang-orang kaki buntung dan orang-orang
lengan buntung sebanyak itu? Siauw Bwee bertanya heran.
Bukan dikumpulkan, Nona.
Melainkan dibuat, sengaja dibikin buntung!!
Mata Siauw Bwee terbelalak
lebar. Apa? Murid-murid mereka dibuntungi sebelah kaki atau lengannya?!
Orang itu mengangguk.
Begitulah. Syarat pertama menjadi murid kedua kaum ini haruslah dibuntungi kaki
atau lengannya.!
Apakah mereka gila? Mengapa
mau saja dibuntungi kaki atau lengan agar bisa menjadi murid mereka?!
Memang banyak orang gila di
dunia ini, Nona. Ilmu kaum kaki buntung dan lengan buntung amat terkenal, maka
banyak yang tergila-gila dan rela menjadi seorang berkaki buntung atau
berlengan buntung asal diterima menjadi murid mereka. Kaum berkaki buntung
tinggal di dalam istana bawah tanah ini sedangkan kaum lengan buntung tinggal
di balik gunung, di dalam guha-guha batu karang. Kaum kaki buntung ini diketuai
oleh Liong Ki Bok, keturunan ke tiga atau empat dari seorang di antara kedua
saudara seperguruan yang bermusuhan itu, tentu saja yang menjadi buntung
kakinya dalam pertandingan itu. Adapun kaum lengan buntung diketuai oleh The
Bian Le, seorang kakek yang sama lihainya dengan Liong Ki Bok dan juga keturunan
dari tokoh yang seorang lagi. Sampai sekarang mereka tetap bermusuhan dan
setiap tahun selalu diadakan pertandingan antara mereka.!
Siauw Bwee mengangguk-angguk,
kemudian memandang orang itu. Dan engkau sendiri, kulihat kaki dan tanganmu
lengkap, tidak ada yang buntung.
Mengapa engkau sampai
bermusuhan dengan kaum kaki buntung dan berada di sini?!
Aku bernama Cia Cen Thok, dan
aku adalah kakak ipar ketua kaum lengan buntung. Isteri The Bian Le adalah adik
perempuanku. Karena percaya akan kepandaianku, iparku minta tolong kepadaku
untuk menyelidiki dan mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat kaum kaki
buntung. Karena hanya dengan mengetahui rahasia ilmu silat gerak tangan kilat,
maka kaum lengan buntung akan dapat menundukkan musuh keturunan mereka ini.!
Hemm, apakah kaum lengan
buntung kalah lihai oleh kaum kaki buntung?!
Cia Cen Thok menghela napas
panjang. Kalah lihai sih tidak. Engkau harus ingat bahwa nenek moyang mereka
adalah saudara seperguruan, maka tentu saja dasar ilmu silat juga sesumber dan
kepandaian para keturunan ini pun seimbang. Justeru karena keseimbangan ilmu
inilah yang membuat pembunuhan tiada habisnya. Tahun ini pihak yang satu kalah,
tahun kemudian pihak yang lain kalah dan begitu seterusnya. Kaum lengan buntung
yang hanya mempunyai sebuah lengan telah menciptakan ilmu gerak kaki kilat yang
luar biasa. Di lain pihak, kaum kaki buntung, untuk mengimbangi, karena kaki
mereka hanya sebuah, telah menciptakan ilmu gerak tangan kilat. Ilmu silat
tangan mereka yang diperpadukan dengan tongkat, benar-benar amat hebat.!
Siauw Bwee mengangguk-angguk.
Memang hebat gerakan tangan mereka, cepat dan aneh.!
Itulah sebabnya, tiga tahun
yang lalu aku memenuhi permintaan adik iparku, The Bian Le ketua kaum lengan
buntung, untuk menyelundup ke sini dan mempelajari rahasia gerak tangan kilat
pihak musuh. Akan tetapi aku kepergok dan dalam perkelahian mati-matian aku
roboh dan dihajar habis-habisan, disangka mati lalu ditaruh di ruangan jenazah
ini.!
Tiga tahun?! Siauw Bwee
bergidik.
Ya, tiga tahun kurang lebih.!
Akan tetapi engkau telah
berhasil kulihat tadi. Engkau telah mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat
mereka!!
Cia Cen Thok memandang kagum.
Engkau awas sekali, Nona. Akan tetapi, biarpun aku percaya bahwa engkau tentu
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan aku pun telah mulai dapat
mempelajari rahasia gerak tangan kilat mereka, aku masih sangsi apakah kita
berdua akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Jumlah mereka banyak,
dan di samping Liong Ki Bok yang lihai juga mereka mempunyai jago-jago
berkepandaian tinggi, yaitu beberapa orang murid kepala yang kepandaiannya
sudah hampir setingkat dengan kepandaian Si Ketua sendiri.!
Berapakah jumlah mereka?!
Kalau tidak salah, ada tiga
puluh enam orang. Sedangkan pihak kaum lengan satu berjumlah tiga puluh orang.!
Aku tidak takut! Aku tentu
akan dapat membebaskan orang kasar Huieng Liem Hok Sun itu.!
Apamukah dia itu, Nona?!
Hemm.... bukan apa-apa. Kenal
pun tidak. Akan tetapi aku melihat sifat baik di balik sikapnya yang kasar,
juga dia murid Go-bi-san yang ilmunya lumayan. Aku percaya bahwa dia pun tentu
akan menolong orang yang menjadi tawanan di sini.!
Aahhh, hatimu terlalu baik,
Nona. Aku sendiri tidak percaya bahwa dia itu akan suka mempertaruhkan nyawa
untuk menolong orang yang belum dikenalnya seperti yang telah kaulakukan ini.!
Tiba-tiba terdengar gerengan
keras, gerengan biruang yang menjaga di luar pintu, disusul suara gedebukan dan
tak lama kemudian pintu itu terbuka dari luar dan muncullah orang yang mereka
bicarakan, yaitu Hok Sun sendiri yang memegang sebatang pedang di tangannya.
Melihat Siauw Bwee, dia segera menyerahkan pedangnya sambil berkata,
Nona, kaupergunakan pedang
ini. Mari kita menerjang keluar. Kesempatan baik sekali selagi ketuanya dan
pembantu-pembantunya tidak berada di dalam!! Tiba-tiba ia menoleh, melihat Cia
Cen Thok dan meloncat ke belakang seperti diserang ular. Dia.... eh, dia....
siapa ini....?!
Dia seorang sahabat senasib.
Apakah engkau datang sengaja hendak menolongku? Bagaimana kau bisa bebas?!
Liem Hok Sun hilang kagetnya
dan ia tertawa, Aku akali Si Buntung Kaki itu! Ha-ha! Aku pura-pura lemah,
ketika mereka memberi makan, aku memberontak dan berhasil merobohkan Si
Pengantar Makanan, kemudian aku lari dan mendapatkan pedang ini di jalan. Dari
percakapan mereka aku mendengar bahwa mereka telah membunuh seorang dara muda.
Aku penasaran, ingin melihat sendiri ke sini dan kiranya engkaulah orang yang
mereka bunuh itu, dan masih hidup. Syukurlah. Mari kita cepat menerjang keluar
sebelum terlambat!!
Siauw Bwee tersenyum dan
memandang kepada Cia Cen Thok dengan penuh arti. Kakek bekas mayat hidup itu
mengangguk-angguk mengerti. Saudara Liem Hok Sun, engkau seorang gagah sejati!!
Eh, kau mengenal aku?!
Aku yang memberitahukan namamu
kepadanya,! kata Siauw Bwee.
Engkau? Engkau Nona penunggang
kuda itu. Aku belum pernah memperkenalkan diri...., ohhh, sekarang aku ingat!
Aku pernah mengakui namaku ketika kau kusangka pemasang jerat. Hayo, lekaslah
kita keluar. Eh, sahabat aneh, apakah engkau pun akan lari keluar?!
Cia Cen Thok mengangguk.
Keluarlah kalian lebih dulu, aku menyusul belakangan.!
Siauw Bwee dan Liem Hok Sun
berlari keluar dan Siauw Bwee melihat biruang itu sudah menggeletak dengan
kepala pecah, tentu kena pukulan tangan Si Garuda Terbang. Dia merasa kasihan
karena menganggap biruang itu bukan binatang jahat, akan tetapi dalam keadaan
seperti itu, dia diam saja dan terus berlari keluar didahului Liem Hok Sun
sebagai pembuka jalan.
Ketika mereka sudah tiba di
ruangan paling depan, dari kanan kiri meloncat keluar empat orang berkaki
buntung dan mereka ini menyerang Hok Sun dan Siauw Bwee tanpa banyak tanya
lagi.
Siauw Bwee menggerakkan
kakinya menangkis dan tangan kirinya memukul dengan dorongan penuh tenaga
sin-kang. Dua orang di antara mereka berteriak dan roboh terjengkang, berusaha
merayap bangun kembali. Hok Sun melawan dengan kedua tangan kosong. Ia berhasil
menangkap tongkat seorang penyerang, membetot dan mematahkan tongkat itu,
kemudian kakinya menendang. Lawannya menangkis dan orang ke dua sudah
menotokkan tongkatnya ke arah lambung Hok Sun.
Trakk!! Tongkat itu patah
ketika tertangkis pedang Siauw Bwee yang sudah cepat membantu. Kemudian,
pukulan tangan Hok Sun merobohkan orang yang tongkatnya patah itu.
Wah, kepandaianmu hebat
sekali, Nona!! Ia memuji, kagum dan juga kaget karena tidak menyangka bahwa
nona yang disangkanya hanya berkepandaian silat biasa itu ternyata telah
merobohkan dua orang pengeroyok dengan cepat, bahkan telah menolongnya!
Hayo cepat keluar!! Siauw Bwee
berkata dan kini dialah yang mendahului lari ke depan karena ia tahu bahwa
kalau mereka berdua dikeroyok di sebelah dalam, keadaan mereka berbahaya
sekali. Dengan gerakan ringan dan indah tubuh Siauw Bwee melayang naik dan
menerobos keluar dari lubang kecil yang merupakan pintu kamar! bangunan
setengah bundar di atas tanah itu. Kembali Hok Sun memuji. Gerakan nona itu
benar amat ringan dan tahulah dia bahwa nona itu memiliki ilmu kepandaian yang
jauh melampaui tingkatnya sendiri.
Begitu Siauw Bwee dan Hok Sun
tiba di luar, mereka segera dikepung oleh para anak buah kaum kaki buntung yang
sudah berjaga di luar dan yang menge jar dari dalam. Tetapi seperti yang
diceritakan oleh Cia Cen Thok, biarpun Siauw Bwee dapat menangkan mereka dalam
hal sinkang, gin-kang, maupun ilmu silat, namun gerakan tangan mereka
benar-benar amat lihai, cepat bagaikan kilat dan tidak tersangka-sangka.
Untuk dapat mengatasi lawan
yang seperti ini mernang jalan satu-satunya hanya mempelajari dan membuka
rahasia ilmu tangan kilat mereka itu. Siauw Bwee tidak ingin melakukan
pembunuhan, maka gerakan pedangnya hanya untuk menghalau tongkat-tongkat mereka
yang lihai, dan ia hanya berusaha merobohkan mereka dengan dorongan-dorongan
tangan dengan tenaga sin-kang. Karena inilah maka dia segera dikurung dan
didesak hebat. Adapun Hok Sun keadaannya lebih terdesak lagi. Beberapa kali
terdengar suara bak-bik-buk dan tubuhnya sudah terkena hantaman-hantaman
tongkat pada bahu, pinggul dan pahanya. Untung bahwa Si Garuda Terbang ini
memiliki tubuh yang kebal sehingga hantaman-hantaman itu tidak sampai
meremukkan tulang dan tertahan oleh daging dan urat-uratnya yang kokoh kuat
sungguhpun cukup mendatangkan rasa nyeri membuatnya berkaok-kaok kesakitan.