Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 13

Baca Cersil Mandarin Online: Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 13
Bagian 13
"Maaf, Kakak Li Cu" ucap yap In Nio.

"Engkau...." Mulut Tan Li cu ternganga lebar, sebab yap In Nio telah mengalahkannya pada jurus ketiga.

"In Nio, ilmu pedang apa yang kau keluarkan itu?" "ToatBeng Kiam Hoat." yap In Nio memberitahukan.

"In Nio, bukan main lihaynya ilmu pedang itu Aku— aku mengaku kalah-" ujar Tan Li Cu-"ohya, apakah dia yang mengajarkan kepadamu?" "Benar." yap In Nio tersenyum-

" Kakak Hiong yang mengajarkan ilmu pedang itu kepadaku-"

"ooooh" Tan Li Cu manggut-manggut.

"Pantas begitu lihay"

"Memang lihay sekali ilmu pedang itu," ujar Lim Hay Beng kagum.

"In Nio, engkau pasti menjadi seorang pendekar wanita kelak-"

"Itu masih harus menunggu tiga tahun lagi-" yap In Nio memberitahukan. "Kok masih harus menunggu tiga tahun lagi?" Tan Li cu terbelalak-"Padahal ilmu pedang itu begitu lihay"

"sebab aku masih harus melatih ilmu Iwee-kang," sahut Yap In Nio.

"Dia— dia juga mengajarmu ilmu Iweekang?" tanya Tan Li Cu sambil memandang Tio Cie Hiong dengan mimik seakan minta diajari juga.

"Hi hi" yap In Nio tertawa geli. Gadis itu telah melihat mimik Tan Li cu.

"Aku tahu. Kakak Li Cu juga ingin minta diajari ilmu pedang"

"Bagaimana mungkin dia akan mengajarku ilmu pedang?" Tan Li Cu menggeleng-gelengkan kepala.

"Kakak Hiong, agar Kakak Li Cu tidak merasa iri kepadaku, ajari lah dia semacam ilmu pedang" ujar Yap In Nio.

"Ngmm" Tio Cie Hiong mengangguk.

"Baik-lah-"

"Terima kasih, Pek Ih sin Hiap" ucap Tan Li cu.

"Eeeh?" Yap In Nio tertawa.

"Kakak Li Cu menyebut dia Pek Ih sin Hiap? Lebih baik menyebutnya adik Hiong saja Kakak Li Cu lebih besar, kan?"

"Tapi—" Tan Li Cu tampak ragu.

"Kakak Li cu" Tio cie Hiong tersenyum.

"Memang lebih baik panggil aku adik saja."

"Adik Hiong...."Tan Li cu langsung memanggilnya dengan wajah berseri, Itu merupakan suatu

kebanggaan bagi gadis itu.

"Terima kasih"

"Kakak Li Cu, aku akan mengajarkan kepadamu semacam ilmu pedang, Ilmu pedang itu

tergolong ilmu pedang yang lihay dan hebat. Aku harap Kakak Li cu terus melatih ilmu pedang tersebut" ujar Tio Cie Hiong memberitahukan. Ternyata ia teringat akan Hong Lul Kiam Hoat (Ilmu Pedang Angin Halilintar) yang dilihatnya dari Puri Angin Halilintar.

"Terima kasih. Adik Hiong" ucap Tan Li cu girang.

Tio cie Hiong segera mengajarkan ilmu pedang tersebut kepada Tan Li cu, setelah itu, gadis tersebut mulai berlatih.

sementara Lim Hay Beng hanya berdiri ter-mangu-mangu. sesungguhnya pemuda itu juga ingin minta diajari ilmu pedang, tapi merasa tidak enak membuka mulut.

"saudara Lim" Tio Cie Hiong tersenyum.

Engkau pernah belajar ilmu pedang?" "Pernah." Lim Hay Beng mengangguk-

Kalau begitu, perlihatkaniah kepadaku" ujar Tio Cie Hiong.

"ya." Lim Hay Beng menurut, dan langsung memperlihatkan ilmu pedang yang dimilikinya.

Tio Cie Hiong memperhatikannya sambil manggut-manggut. setelah Lim Hay Beng berhenti, ia berkata.

" Ilmu pedangmu cukup lihay, hanya saja kurang sempurna." Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Aku akan memberi petunjuk dan sekaligus menambah beberapa gerakan dalam ilmu pedangmu, agar ilmu pedangmu bertambah lihay. Kalaupun Liu siauw Kun belum kumusnahkan kepandaiannya, engkau pun sudah dapat mengalahkannya."

"oh?" Lim Hay Beng kelihatan kurang percaya.

Tio Cie Hiong tersenyum, lalu memberi petunjuk dan menambah beberapa gerakan dalam ilmu pedang Lim Hay Beng. Bukan main girangnya pemuda itu, dan ia segera berlatih dengan sungguh-sungguh.

"saudara Lim" ujar Tio Cie Hiong setelah Lim Hay Beng berhenti.

"Aku harap engkau terus menerus berlatih, agar dapat menghadapi penjahat tangguh-"

"Bagaimana dibandingkan dengan ilmu pedang yang engkau ajarkan kepada yap In Nio dan Tan Li cu?" tanya Lim Hay Beng mendadak-

"Ilmu tiada dasarnya, makin digali makin dalam," sahut Tio Cie Hiong memberitahukan-

"Kita harus ingat, di atas gunung masih ada langit, di luar langit pun masih ada langit. Terus terang, ilmu pedangmu itu masih di bawah tingkat ilmu pedang yang kuajarkan kepada Yap In sian dan Tan Li cu, tapi engkau boleh berlatih bersama mereka."

"Terima kasih, saudara. Tio" ucap Lim Hay Beng setulus hati.

"Nah Kalian bertiga boleh berlatih sekarang, aku masih akan memberi petunjuk kepada kalian," ujar Tio Cie Hiong.

Lim Hay Beng, Tan Li cu dan Yap In Nio mulai berlatih- Tio Cie Hiong menyaksikan latihan mereka dengan penuh perhatian, dan apabila mereka melakukan gerakan yang salah, ia pasti memberi petunjuk lagi kepada mereka-

-ooo00000ooo-

seusai makan pagi, Yap In Nio langsung menarik Tio Cie Hiong, namun pemuda itu menggelengkan kepala-

"Kakak Hiong—?" Gadis itu tercengang.

"Adik In, hari ini aku tidak akan menemanimu berlatih- Aku harus menemui ibumu," ujar Tio Cie Hiong-

"Aku tahu-—" Yap In Nio menatapnya dengan wajah muram-

"Engkau mau berpamit kan?"

"Ya.." Tio Cie Hiong mengangguk-

"Nak" Muncul ibu Yap In Nio sambil menghampirinya-"Engkau mau berpamitan hari ini?" "Ya, Bibi-" Tio cie Hiong mengangguk,-

"Kok begitu cepat sudah maupamit?" Ibu yap In Nio menghela nafas.

"Bagaimana kalau engkau tinggal di sini beberapa hari lagi?"

"Bibi, masih banyak urusan yang harus ku-setesaikan, jadi aku harus pamit hari ini," jawab Tio Cie Hiong.

"Nak—" Ibu yap In Nio menggeleng-geleng-kan kepala- Diam-diam ia merasa iba terhadap putrinya yang kelihatan begitu suka pada Tio cie Hiong,

"Kakak Hiong-—" yap In Nio tersenyum, tapi sepasang matanya telah basah-"Kita akan bertemu lagi kan?"

"Tentu-" Tio cie Hiong mengangguk sambil tersenyum-"Kelak aku pasti datang menengokmu-"

"Kakak Hiong" ujar yap In Nio sungguh-sungguh.

"Apabila kelak engkau tidak datang, aku akan pergi mencarimu, setelah berhasil melatih ilmu Iweekang yang engkau ajarkan itu, aku akan mengembara di rimba persilatan...."

"Adik In" Tio Cie Hiong menggeleng-geleng-kan kepala.

"Lebih baik engkau jangan mengembara di rimba persilatan, sebab dalam rimba persilatan penuh kelicikan, kejahatan dan kaum Bu Lim sering saling membunuh pula. Maka kuanjurkan, sebaiknya engkau jangan mengembara di rimba persilatan."

"Kalau engkau tidak datang menengokku, maka aku akan mengembara dalam rimba persilatan untuk mencarimu," sahut yap In Nio sambil tersenyum.

sementara ibunya hanya diam saja, sedangkan Tio Cie Hiong menghela nafas sambil meng-geleng-gelengkan kepala-

"Adik In...."

"Aku tahu-" yap In Nio menatapnya dalam-dalam

"Engkau ingin mengucapkan selamat berpisah padaku, kan?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.-

"Baik-" Yap In Nio manggut-manggut.

Kelak kita pasti akan berjumpa kembali. Walau engkau tidak datang menjumpaiku, aku pasti pergi mencarimu."

"Adik In...." Tio Cie Hiong memandangnya sambil tersenyum.

"Sampai jumpa Bibi, sampai jumpa"

"Hati-hati, Nak" pesan ibu Yap In Nio.

Tio Cie Hiong mengangguk, lalu ia berjalan keluar. Yap In Nio mengikutinya dengan kepala tertunduk-

"Kakak Hiong" ujar gadis itu ketika sampai di pintu halaman.

"Terus terang, aku... aku sangat suka padamu."

"selama ini...," sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.

"Aku menganggapmu sebagai adikku sendiri, ohya, tolong sampaikan salamku kepada guru silat Tan dan lainnya"

"Ya-" Yap In Nio manggut-manggut. Wajah-nya tampak murung sekali, namun masih berusaha tersenyum.

"Kakak Hiong, engkau jangan melupakan aku"

"Adik In, aku selalu ingat kepadamu."

"Terima kasih. Kakak Hiong" ucap Yap In Nio sambil senyum. "Adik In" Tio Cie Hiong membelainya bagaikan seorang kakak-

"Hati-hatilah engkau menjaga diri dan menjaga ibumu"

"ya."

"Adik In, sampai jumpa"

"sampaijumpa. Kakak Hiong"

selangkah demi selangkah Tio Cie Hiong berjalan pergi, yap In Nio terus memandang punggungnya. Tio Cie Hiong tahu itu, maka ia tidak berani menoleh.

Usia Tio Cie Hiong sudah hampir mencapai delapan belas, akan tetapi, sungguh mengherankan, sebab ia tidak pernah tertarik pada gadis yang menyukainya Padahal ada beberapa gadis sangat menyukainya, namun ia selalu menganggap gadis-gadis itu sebagai adik atau teman baik saja.

Tio Cie Hiong terus berjalan. Berselang beberapa saat kemudian ia sudah sampai di luar kota. Ketika ia berada dijalan yang sepi, mendadak muncul seorang telaki tua berusia enam puluhan, tetapi masih tampak gagah.

"Apakah Pek Ih sin Hiap Tio Cie Hiong?" tanya orang tua itu sambil menatapnya.

"Benar-" Tio Cie Hiong mengangguk.

"Boleh-kah aku tahu siapa tanyanya.

"Aku adalah Bu In sin Liong (Naga sakti Tanpa Bayangan), kakak seperguruan Tok Gan sin coa (ular sakti Mata satu)

"oooh" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"jadi apakah Paman akan menuntut balas kepadaku?"

"Dia adik seperguruanku, aku kakak seperguruannya. Sudah tentu aku harus membuat perhitungan denganmu," sahut Bu In sin Liong.

"Paman" Tio Cie Hiong menghela nafas.

"Tok Gan sin coa dan muridnya itu sering membunuh orang, maka aku memusnahkan kepandaian mereka, agar mereka tidak melakukan kejahatan lagi. Apakah Paman juga seperti Tok Gan Sin Coa?"

"Anak muda" Bu In Sin Liong tampak tidak senang.

"Selama ini aku selalu menolong orang, tidak pernah melakukan kejahatan."

"Kalau begitu...." Tio Cie Hiong menatapnya.

"Kenapa Paman membiarkan Tek Gan sin Coa melakukan kejahatan?"

"Aku sering menasehatinya, namun dia tidak mau dengar." Bu In Sin Liong menarik nafas.

"Kini kepandaiannya telah musnah, maka aku harus membuat perhitungan denganmu. Kalau tidak, aku merasa berdosa terhadap almarhum guruku."

"Paman" Tio Cie Hiong tersenyum.

"Tok Gan Sin coa harus bersyukur, sebab dia hanya kehilangan kepandaiannya, tapi masih tetap hidup."

"Engkau harus tahu, bagi seorang yang berkepandaian, dia lebih baik dibunuh daripada dia kepandaiannya dimusnahkan." Bu In Sin Liong memberitahukan.

"Paman" Tio Cie Hiong tersenyum lagi.

"Me-nurut aku, nyawa lebih berharga dari pada kepandaian, oleh karena itu, lebih baik kehilangan kepandaian daripada kehilangan nyawa."

"Anak muda, aku mencarimu bukan untuk berdebat. Cepatlah keluarkan senjatamu" bentak Bu In Sin Liong.

"Aku tidak pernah bersenjata," sahut Tio Cie Hiong jujur.

"Baik" Bu In Sin Liong manggut-manggut, orang tua itu menghunus pedangnya perlahan-lahan. "Mari kita bertarung-"

Usai berkata begitu. Bu In Sin Liong menyerang Tio Cie Hiong denganjurus Sin Liong yu Hai (Naga sakti Main Di Laut).

Tio Cie Hiong segera meloncat ke belakang, namun Bu In sin Liong menyerangnya bertubi-tubi denganjurus Hai Liong seng Thian (Naga Laut Naik Ke Langit), sin Liong Pah Bwe (Naga sakti Mengibaskan Ekor) dan sin Liong jip Hai (Naga sakti Ma"uk. Ke Laut). Jurus-jurus itu merupakan jurus-jurus andalan Bu In sin Liong. Karena dahsyatnya jurus-jurus tersebut, maka ia memperoleh julukan naga sakti Tanpa bayangan.

Akan tetapi, setelah menyerang dengan tiga jurus beruntun itu. Bu In sin Liong tertegun karena tidak melihat Tio cie Hiong. orang itu itu menengok ke sana ke mari, ternyata pemuda itu berdiri di belakangnya sambil tersenyum.

"Ginkangmu cukup tinggi" ujar Bu In sin Liong.

"Engkau mampu berkelit, tapi coba sambutlah seranganku ini"

Bu In sin Liong langsung menyerang Tio Cie Hiong dengan jurus yang paling lihay, yakni jurus Thian Liong soh Te (Naga Langit Menyapu Bumi) Jarang sekali ia mengeluarkan jurus tersebut, kecuali dalam keadaan terpaksa.

Pedangnya tampak berkelebatan mengarah ke Tio Cie Hiong, namun pemuda itu tetap berdiri diam di tempat, membuat Bu In sin Liong ter-heran-heran. la ingin menarik kembali serangannya, tapi sudah tidak keburu, hanya dapat memperlambat serangannya.

Justru pada saat bersamaan, Tio Cie Hiong mengibaskan lengan bajunya ke arah Bu In sin Liong.

"Trang Trang Trang...." Pedang di tangan Bu In sin Liong patah menjadi beberapa potong,

sedangkan badan In Sin Liong terhuyung-huyung ke belakang beberapa depa.

Betapa terkejutnya Bu In Sin Liong, la segera menghimpun Iweekangnya, maka tidak terjadi apa-apa. Itu membuatnya tidak habis berpikir, namun melegakan hatinya.

"Kenapa engkau tidak memusnahkan kepandaianku?" tanya Bu In sin Liong terheran-heran.

"Paman bukan orang jahat, kenapa aku harus memusnahkan kepandaian Paman?" sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.

"Bagaimana engkau tahu aku bukan orang jahat?" Bu In Sin Liong menatapnya.

"Ketika melihat aku berdiri diam di tempat, Paman- memperlambat serangan-. Aku tahu Paman khawatir akan melukaiku, Itu pertanda Paman- bukan orang jahat." Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Aaaahh..." Bu In Sin Liong menghela nafas.

"Engkau telah mengalahkanku, berarti tugasku membela adik seperguruanku itu telah selesai. Anak muda, engkau memang Pek Ih sin Hlap yang bijaksana."

"Paman pun pendekar yang bijaksana," ucap Tio Cie Hiong, kemudian mendadak melesat pergi. "Sampai jumpa, Paman"

"Ha a h..." Bu In Sin Liong terbelalak, la sama sekali tidak menyangka kalau Tio Cie Hiong memiliki ginkang yang begitu tinggi. Setelah itu. Bu Insin Liong juga memandang gagang pedang yang di tangannya, lalu menghela nafas seraya bergumam.

"Aaaahhhh.... Sin Liong Kiam (Pedang Naga Sakti) ku telah patah, pertanda sudah waktunya aku

mengundurkan diri dari rlmba persilatan."

-ooo00000ooo-

Sebuah gunung menjulang tinggi di depan, puncaknya diselimuti awan putih. Bukan main indahnya gunung itu. Tio Cie Hiong berdiri termangu- mangu sambil memandangnya. Mungkinkah

itu gunung Pek In san? Tanyanya dalam hati. Ternyata ia telah sampai di tempat yang sepi ini-Kebetulan muncul seorang petani. Tio Cie Hiong menghampirinya dan bertanya.

"Paman Apakah itu gunung Pek In san?"

"Betul." Petani itu menatapnya-

"Anak muda, kenapa engkau menanyakah gunung itu?" "Cuma ingin tahu saja-" Tio Cie Hiong tersenyum-"ohya Puncak gunung itu disebut Pek In Nia?" "ya-" Petani itu manggut-manggut.

"Pek In Nia Pek In Nia—" gumam Tio Cie Hiong. la teringat akan penuturan kakaknya tentang kematian kedua orang tuanya di Pek In Nia. sebab itu timbullah niatnya untuk ke Pek In Nia, kemudian bertanya kepada petani itu.

"Paman sudah lama tinggal di daerah ini?"

"Sudah puluhan tahun aku tinggal di sini. Anak muda, kenapa engkau menanyakan ini?" "Karena.—" Tio Cie Hiong menggeleng-ge-lengkan kepala,

"ohya, Paman tahu akan kejadian belasan tahun lampau di Pek In Nia?"

"Tahu." Petani itu mengangguk-

"Belasan tahun lampau telah terjadi pertempuran dahsyat di sana-"

"Terima kasih, Paman" ucap Tio Cie Hiong yang kemudian melesat pergi menuju gunung Pek In san.

"Sungguh tak terduga-—" Petani itu menghela nafas.

"Ternyata pemuda itu kaum rimba persilatan."

sementara Tio Cie Hiong telah tiba di gunung itu, ia pun langsung menuju Pek In Nia. sesampainya di tempat itu, ia menengok ke sana ke mari dan kemudian melihat sebuah makam di bawah sebuah pohon.

Tio Cie Hiong mendekati makam itu, dan setelah membaca tulisan di batu nisan, ia segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan makam itu dengan mata basah-

"Ayah Ibu—" ujarnya terisak-isak-

"Cie Hiong sudah datang, cie Hiong bersumpah akan membuat perhitungan dengan Bu Lim sam Mo dan Empat Dhalai LNama Tibet."

Pada waktu bersamaan, tampak sosok bayangan melayang turun di belakang Tio Cie Hiong. Walau sangat ringan, Tio Cie Hiong telah mendengarnya. Namun ia tetap berlutut di hadapan makam itu, yang ternyata makam kedua orang tuanya.

Berselang beberapa saat, barulah ia bangkit berdiri lalu membalikkan badannya, la terbelalak karena melihat seorang padri tua berdiri di situ, yang tidak lain Lam Hai sin Ceng.

"sin ceng—?"

"omitohud" Lam Hai sin ceng tersenyum lembut. "cie Hiong, kini engkau telah berkepandaian tinggi."

"Terima kasih atas petunjuk sin Ceng, sehingga aku berhasil menemui Thian Thay siansu" ucap Tio Cie Hiong memberitahukan.

"omitohud Itu memang sudah merupakan takdir-" Lam Hai sin ceng tersenyum lagi. "Itu memang makam kedua orang tuamu."

"Sin Ceng tahu siapa yang mengubur kedua orang tuaku?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.

"omitohud Aku tidak tahu itu."

"ohya" Tio cie Hiong menatap Lam Hai sin ceng.

"Kek sin ceng berada di sini?"

Lam Hai sin ceng menghela nafas, dan wajahnya tampak murung. Berselang sesaat, barulah membuka mulut.

"omitohud Aku memang berada di bawah jurang itu" Lam Hai sin ceng memberitahukan, "oh?" Tio cie Hiong tertegun.

"ciat Lun sin Ni, guru kakakmu berada di dalam sebuah goa di dasar jurang itu, aku... aku menemaninya," ujar Lam Hai sin ceng.

"ohi?" Tio Cie Hiong terbelalak-

"Kalau beo itu, aku harus ke sana memberi hormat kepadanya." "Tidak usah" Lam Hai sin ceng menggelengkan kepala, "Kenapa?" Tio Cie Hiong heran.

"Karena aku hanya menemani tulang belulangnya di dalam makam," jawab Lam Hai sin Ceng sambil menghela nafas.

"oooh" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"sin Ceng..,."

"cie Hiong Aku sudah tidak mencampuri urusan rimba persilatan, juga tidak akan muncul lagi, sebab aku harus menemani makam Ciat Lun sinni dengan sisa hidupku."

"sin ceng...."

"Ketika Ciat Lun sinni masih hidup, aku tidak menemaninya- Kini dia telah mati, aku harus menemaninya."

"sin Ceng... begitu cinta padanya?"

"ya, namun semua itu telah berlalu." Lam Hai sin ceng menatapnya dalam-dalam.

"Engkau harus berhati-hati, jangan sampai terjerat oleh cinta"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk-

"Kini...," lanjut Lam Hai sin ceng.

"Engkaulah yang berkewajiban menyelamatkan rimba persilatan."

"ya, sin Ceng" Tio Cie Hiong mengangguk lagi-

"Dan ingat" tambah Lam Hai sin ceng.

"janganlah engkau beritahukan kepada siapa pun tentang diriku, termasuk Bu Lim Ji Khie"

"Aku berjanji, sin ceng"

"omitohud" ucap Lam Hai sin Ceng, yang kemudian melesat pergi.

Tio cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. Lam Hai sin ceng adalah padri sakti dalam rimba persilatan, namun masih tidak dapat melepaskan diri dari persoalan cinta, itu membuat Tio cie Hiong tidak habis pikir.

-ooo00000ooo-

Tio Cie Hiong terbelalak ketika menyaksikan Puri Angin Halilintar yang sudah tidak karuan. Hong Liu Po yang begitu megah telah berubah menjadi reruntuhan. Apa yang telah terjadi di Puri Angin Halilintar? Hong Lui Kiam Khek, Ku Tek Cun, Phang Ling Hiang dan Paman Tan hilang ke mana?.

Tio Cie Hiong berdiri mematung di depan Hong Lui Po. la sangat merindukan Paman Tan dan Phang Ling Hiang yang baik hati itu, tapi mereka tidak kelihatan. Apa sebenarnya yang telah terjadi

di Hong Lui Po? Tio cie Hiong sungguh tidak habis pikir. Di saat ia berdiri termangu-mangu, tiba-tiba muncul seorang tua menghampirinya.

"Anak muda, kenapa engkau berdiri di situ?"

Begitu mendengar suara itu, hati Tio Cie Hiong tersentak dan langsung membalikkan badannya-"haaahhhh Paman Tan" seru Tio Cie Hiong ketika melihat orang tua itu.

"Engkau... engkau adalah Tio Cie Hiong?" sahut orang tua itu. la memang Paman Tan, kepala pengurus di Hong Lui Po.

"Paman Tan...." Tio Cie Hiong merangkul orang tua itu dengan air mata bercucuran.

"Aku Cie Hiong."

"Nak" Paman Tan membelainya sambil tersenyum dengan air mata berderai.

"Kini engkau telah besar, aku... girang sekali."

"Paman Tan, Hong Lui Po...."

"Nak Mari ikut aku ke rumah" ujar Pamna Tan

"Tidak leluasa kita bicara di sini."

Tio Cie Hiong mengangguk, ia mengikuti Paman Tan ke rumahnya. Rumah Paman Tan sangat sederhana dan kecil, setelah masuk, mereka berdua lalu duduk berhadapan.

"Nak" Paman Tan menatapnya dengan wajah berseri.

"Aku yakin kini engkau telah berkepandaian tinggi, ya, kan?"

"Semua itu berkat jasa Paman" ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan.

"Kalau Paman tidak berikan aku kitab tipis itu, tentunya aku pun tidak bisa memiliki kepandaian tinggi,."

"Ha ha" Paman Tan tertawa gembira.

"Aku tahu engkau berhati bajik, maka aku berani memberikan kitab tipis itu kepadamu."

"Paman Tan Apa gerangan yang telah terjadi di Hong Lui Po?" tanya Tio Cie Hiong ingin mengetahuinya.

"Aaakh—" Paman Tan menghela nafas.

Kira-kira tujuh delapan bulan lalu, mendadak muncul puluhan orang berpakaian hitam, dan memakai kain hitam penutup kepala pula, menyerbu ke Hong Lui Po. Hong Lui Kiam Khek- Phang Ling Hiang dan para pelayan terbunuh semua...."

"Bagaimana Ku Tek Cun?"

"Entahlah-" Paman Tan menggelengkan kepala-

"Tiada jejaknya sebab tidak terdapat mayatnya."

"Paman Tan...." Tio Cie Hiong memandangnya heran.

"Tentunya engkau merasa heran, kenapa aku tidak mati kan?" ujar Paman Tan.

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk- la merasa heran kenapa Paman Tan tidak terbunuh-Namun ia bersyukur dalam hati, karena orang tua yang baik hati itu masih hidup,

"Mungkin umurku masih panjang,"jawab Paman Tan memberitahukan.

"Hari sebelum kejadian itu, Hong Lui Kiam Khek mengutusku ke kota lain. Karena itu, aku selamat."

"oooh" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Terus terang, aku pun masih merasa heran...." Paman Tan mengerutkan kening.

"Heran kenapa?"

"Sebetulnya itu merupakan suatu rahasia, namun kini aku harus memberitahukan kepadamu." Wajah Paman Tan tampak serius.

"Rahasia apa?"

"sesungguhnya Ku Tek Cun bukan anak kandung Hong Lui Kiam Khek-Ku TiokBeng." Paman Tan memberitahukan.

Aku tahu jelas tentang itu, tapi Ku TiokBeng yang membesarkannya." "Jadi— siapa orang tua Ku Tek Cun?"

"Aku tidak tahu tentang itu, aku hanya tahu Ku Tiok Beng membawanya ke dalam Hong Lui Po ketika Ku Tek Cun masih bayi."

"Kalau begitu—"

"Sebelum kejadian itu. Ku Tek Cun tampak agak aneh" ujar Pamna Tan sambil mengerutkan kening.

"Dan juga mendadak Ku TiokBeng kelihatan lemah, sepertinya mengidap suatu penyakit.—" "oh?" Tio Cie Hiong juga mengerutkan kening setelah mendengar itu. "Aku curiga—" lanjut Paman Tan.

"Jangan-jangan Ku Tek Cun tersangkut dalam hal pembunuhan itu."

"Maksud Paman dia bersekongkol dengan para penjahat untuk membunuh Hong Lui Kiam Khek, Phang Ling Hiang dan sekaligus memusnahkan Hong Lui Po?" ujar Tio Cie Hiong.

"Aku memang bercuriga begitu, tapi tiada bukti." Paman Tan menggeleng-gelengkan kepala. "Hingga kini masih tiada kabar beritanya Ku Tek Cun?"

"sama sekali tiada kabar beritanya. Nak, dia berhati licik dan jahat. Kalau bertemu dia, engkau harus berhati-hati"

"Ya." Tio cie Hiong mengangguk-

"Nak" Paman Tan memandangnya dengan wajah berseri.

"Dugaanku tidak meleset, engkau pasti akan menjadi pendekar yang gagah dan bijaksana. Kini telah terbukti."

"Paman Tan, semua itu berkat jasa dan kebaikan Paman" ujar Tio Cie Hiong setulus hati.

"Nak, jadi kini engkau sudah mulai berkecimpung dalam rimba persilatan?» tanya Paman Tan.

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Kalau begitu, engkau harus membela kebenaran dan menegakkan keadilan dalam rimba persilatan" pesan Paman Tan.

"Ya, "Ppyar^ Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku pasti menuruti apa yang Paman pesankan."

"Bagus." Paman Tan tertawa gembira. ,o\f\\^c».,^rv"OjRV" lupa ke mari lagi kelak"

"Setelah urusanku usai, aku pasti datang menengok Paman" ujar Tio Cie Hiong berjanji. "Danjuga jangan lupa—." Pesan Paman Tan sambil tertawa terbahak-bahak- "Harus membawa calon isterimu ke mari"

"Paman...." Wajah Tio Cie Hiong kemerah-merahan.

-ooo00000ooo-

Bab 21 Kejadian di luar dugaan

setelah berpamitpada Paman Tan, Tio Cie Hiong melanjutkan perjalanannya. Kali ini tujuannya ke Ekspedisi Harimau Terbang, sebab timbul rasa rindunya pada gouw sian Eng. Namun rindunya

itu merupakan kerinduan seorang kakak terhadap adik, lagi pula ia sudah rindu pada Tui Hun Lojin dan cit Pou Tui Hun-Gouw Han Tiong yang baik hati itu.

Maka ia melanjutkan perjalanannya menuju kota Po Teng. Dalam perjalanan ia selalu menumpas berbagai kejahatan, oleh karena itu, julukannya makin dikenal dalam, rimba persilatan, menciutkan nyali para penjahat maupun kaum golongan hitam, sehingga menyebabkan kaum golongan hitam harus mencari tempat untuk bernaung.

Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong memasuki sebuah rimba. Ketika ia baru mau mengerahkan ginkangnya, sekonyong-konyong muncul belasan orang berpakaian hitam dengan kain penutup kepala.

"Engkau adalah Pek Ih Sin Hiap?" tanya salah seorang berpakaian hitam.

"ya," sahut Tio Cie Hiong sambil memandang mereka.

"Kenapa kalian menghadangku?"

"Pek Ih Sin Hiap" ujar orang berpakaian hitam itu.

"Engkau sering memusnahkan ilmu silat kaum golongan hitam, maka hari ini ajalmu telah tiba"

"oh?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening,

"jadi kalian ingin membunuhku?"

"Tidak salah" sahut orang berpakaian hitam itu sekaligus berseru.

"Bunuh dia"

Seketika juga berbagai macam senjata mengarah kepadanya, belasan orang berpakaian hitam langsung menyerangnya.

Tio Cie Hiong segera berkelit dengan Kiu Kiong San Tian Pou (Ilmu Langkah Kilat), kemudian mengibaskan lengan bajunya ke sana ke mari.

"Aaaakh..." terdengar suara jeritan di sana sini. Tampak belasan orang berpakaian hitam telah roboh terkapar, dan kepandaian mereka pun telah dimusnahkan Tio Cie Hiong.

Pemuda itu mendekati salah seorang berpakaian hitam, lalu menyambar kain hitam penutup kepalanya.

"Kalian yang mengadakan pembunuhan di Hong Lui Po?" tanya Tio Cie Hiong. orang berpakaian hitam itu diam saja.

"siapa kalian?" bentak Tio Cie Hiong.

orang berpakaian hitam itu tetap diam, namun mendadak matanya mendelik, dari mulutnya mengalir ke luar darah hitam dan nyawanya pun putus.

Tio Cie Hiong tercengang, namun ia tahu mereka semua pasti menaruh pil yang sangat beracun di bawah lidah. Apabila terdesak, mereka pasti bunuh diri dengan menelan pil itu demi menjaga rahasia organisasi mereka.

Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala, dan karena itu ia tidak mau mendesak mereka dengan pertanyaan-pertanyaan lagi. la tahu bahwa mereka pasti tidak akan memberitahukan, sebaliknya malah akan membuat mereka bunuh diri la memandang mereka sejenak, kemudian melesat pergi.

Tergolong organisasi apa orang-orang berpakaian hitam itu? Kenapa mereka begitu nekat bunuh diri demi menjaga rahasia organisasi? Tio Cie Hiong betul-betul tidak habis pikir, dan ia terus melanjutkan perjalanannya menuju kota PoTeng-

Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong sudah sampai di kota tersebut, dan langsung menuju Ekspedisi Harimau Terbang.

Akan tetapi, ia sangat tercengang karena bangunan itu kelihatan begitu sepi. la mendorong pintu halaman dan berjalan ke dalam, namun tidak tampak seorang pun di situ.

Tio Cie Hiong mengerutkan kening. Di saat bersamaan muncul seorang tua, yang tangannya membawa sebuah sapu.

"Paman tua" Tio Cie Hiong mendekatinya.

"Apakah Cit Pou TUi Hun-Gouw Han Tiong berada di rumah?"

"Eh?" orang tua itu menatapnya heran.

"Siapa engkau, anak muda? Mau apa menanyakan majikanku?"

"namaku Tio Cie Hiong. Aku ke mari ingin bertemu Paman- Gouw." Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Maaf, anak muda" sahut orang tua itu.

"Majikanku tidak mau bertemu siapa pun."

"Kenapa?" tanya Tio Cie Hiong heran.

orang tua itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Tio Cie Hiong memandangnya seraya bertanya.

"Paman tua baru bekerja di sini?"

"Sudah hampir setahun."

"Pantas Paman tua tidak mengenalku" Tio Cie Hiong tersenyum.

"Aku keponakannya."

"oh?" orang tua itu terkejut.

"Maaf, Tuan muda. Aku tidak tahu Kalau begitu silakan masuk saja. Di dalam ada beberapa piauwsu."

"Terima kasih Paman tua" ucap Tio Cie Hiong dan segera memasuki rumah itu.

Tampak beberapa piauwsu sedang duduk di ruang depan. Ketika melihat Tio Cie Tiong mereka terbelalak-

"Engkau... engkau Tio Cie Hiong?" tanya salah seorang piauwsu.

"Betul." Tio Cie Hiong mengangguk-

"Aku ingin bertemu Paman Gouw."

"TUnggu sebentar" Piauwsu itu segera masuk ke dalam, tapi tak seberapa lama ia sudah keluar bersama Cit Pou TUi Hun-Gouw Han Tiong.

"Paman.. Paman..." seru Tio Cie Hiong sekaligus memberi hormat.

"Engkau...." Gouw Han Tiong tertegun ketika melihatnya, sebab kini Tio Cie Hiong telah besar

dan sangat tampan.

"Tio Cie Hiong?"

"Benar, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk-

"Nak—"" Gouw Han Tiong menatapnya lembut.

"Mari kita ke ruang dalam saja"

Tio Cie Hiong mengangguk, kemudian mengikuti Gouw Han Tiong ke ruang dalam, sesampainya di ruang itu mereka lalu duduk berhadapan.

"Paman, kenapa begitu sepi? Apakah para piauwsu sedang pergi?"

"Aaakh—" Gouw Han Tiong menghela nafas panjang.

"Akan kuceritakan nanti. sekarang aku ingin bertanya, apakah engkau sudah memiliki kepandaian tinggi?"

"Cukup tinggi,"jawab Tio Cie Hiong merendahkan diri-"Bagus." Gouw Han Tiong tersenyum sambil memandangnya. "Kini engkau sudah besar dan tampan, aku gembira sekali." "Paman, di mana kakek?"

"Setengah tahun lalu ayahku pergi, hingga kini masih belum pulang."

" Kakek ke mana?"

"Ayahku pergi...." Wajah Gouw Han Tiong tampak murung.

"Pergi mencari Sian Eng."

"Kakek pergi mencari sian Eng?" Tio Cie Hiong tertegun.

"Ya." Gouw Han Tiong mengangguk sambil menarik nafas.

"Adik Eng ke mana?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Kira-kira tujuh delapan bulan lalu, dia— dia diculik orang." Gouw Han Tiong memberitahukan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Maka ayahku pergi mencarinya."

"Adik Eng diculik oleh siapa?" tanya Tio Cie Hiong cemas.

"Entahlah, Pagi itu dia sedang duduk melamun di halaman, salah seorang piauwsu melihat dia bersama dua wanita muda. Piauwsu itu segera melapor kepadaku dan ayahku, maka segeralah kami ke sana. Namun.... sian Eng sudah tidak kelihatan lagi, karena itu, ayahku langsung pergi

mengejar kedua wanita tersebut, sehingga kini ayahku belum pulang."

"siapa kedua wanita itu?"

"Entahlah-" Gouw Han Tiong menghela nafas.

"Paman tidak minta bantuan pihak Kay pang untuk mencari sian Eng?" tanya Tio Cie Hiong. "Sudah-" Gouw Han Tiong mengangguk-

"Tapi pihak Kay Pang pun tidak berhasil mencarinya. Aaaakh--."

"Paman jangan putus asa dan cemas, aku yakin sian Eng tidak akan terjadi apa-apa."

"Tapi— sudah sekian bulan tiada kabar beritanya. Aku khawatir... kedua wanita muda itu telah membunuh sian Eng."

"Tidak mungkin."

"Kenapa engkau katakan tidak mungkin?"

Tio Cie Hiong tersenyum, setelah itu barulah menjawab.

Kalau kedua wanita itu mau membunuh sian Eng, tentunya Sian Eng telah terbunuh di halaman. Aku yakin kedua wanita muda itu membawa sian Eng pergi dengan suatu tujuan tertentu."

"Ngmm" Gouw Han Tiong manggut.

"Mudah-mudahan begitu oh ya, engkau sudah berhasil mencari Ku Tok Lojin?"

"Tidak, tapi aku malah bertemu Pek Ih Mo Li" Tio cie Hiong memberitahukan dengan wajah murung.

"Pek Ih .Mo Li?"

"ya." Tio Cie Hiong mengangguk-

"Ternyata dia kakak kandungku...."

"Apa?" Gouw Han Tiong terbelalak-

"Jadi engkau sudah tahu siapa kedua orang tuamu?"

"ya-" Tio Cie Hiong memberitahukan dengan wajah murung.

"Ayahku adalah Hui Kiam Bu Tek-Tio It seng, ibuku adalah sin Pian Bi jin-Lie Hui Hong dan Ku Tok Lojin adalah kakekku...."

"Haaahhh—" Gouw Han Tiong memandangnya dengan mulut ternganga lebar-"Tidak disangka engkau putra almarhum Hui Kiam BuTek" "Paman kenal kedua orang tuaku?"

" Kenal." Gouw Han Tiong mengangguk.

"Ayahmu pernah menolongku ketika aku diserang Hek Pek siang Koay, maka aku berhutang budi pada almarhum ayahmu."

"Hek Pek siang Keay sudah mati di tangan kakakku"

"Hek Pek siang Keay sangat jahat dan kejam, mereka memang pantas mati" ujar Gouw Han Tiong.

"ohya, di mana kakakmu sekarang?"

"Dia..-." Mata Tio Cie Hiong mulai basah-

"Dia telah mati."

"Apa?" Gouw Han Tiong terperanjat.

"Bagai mana kakakmu bisa mati?"

"Empat Dhalai Lhama melukainya, akhirnya dia mati dalam pelukanku." Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Aaakh—" Gouw Han Tiong menghela nafas.

"Tak disangka kakakmu mati di tangan Empat Dhalai Lhama Tibet itu Bahkan mereka pun sering membunuh para murid tujuh partai besar...."

"oh ya Paman tahu siapa orang-orang berpakaian hitam?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.

"Tidak tahu." Gouw Han Tiong menggelengkan kepala.

"Tapi orang-orang berpakaian hitam itu telah memusnahkan Puri Angin Halilintar."

Aku justru dari Hong Lui Po itu." Tio Cie Hiong memberitahukan.

Ketika aku menuju ke mari, muncul belasan orang-orang berpakaian hitam ingin bunuh aku."

"oh?" Gouw Han Tiong menatapnya. Tiba-tiba mulutnya ternganga lebar karena teringat akan sesuatu.

"cie Hiong, engkau adalah—. Pek Ih sin Hiap?"

"ya, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk dengan wajah agak kemerah-merahan lantaran merasa malu.

"Nak" Gouw Han Tiong tertawa gelak-

Engkau memang hebat, tidak membunuh tapi memusnahkan kepandaian para penjahat dan kaum golongan hitam, julukanmu itu telah terkenal dalam rimba persilatan."

"Paman Aku merasa malu akan julukan itu." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.

"Engkau memang merupakan pendekar muda yang gagah dan bijaksana, maka pantas memperoleh julukan itu," ujar Gouw Han Tiong sung-guh-sungguh-

"Paman" Tio Cie Hiong memandangnya seraya bertanya.

"Tahukah Paman, siapa yang mengubur kedua orang tuaku di Pek In hia?"

"Engkau telah ke sana?" Gouw Han Tiong balik bertanya-

"ya-" Tio Cie Hiong mengangguk-

"yang mengubur kedua orang tuamu adalah ayahku, Hui Khong Taysu ketua partai siauw Lim dan It Hian Tejin ketua partai Butong." Gouw Han Tiong memberitahukan.

"oh?" Tio Cie Hiong menatap Gouw Han Tiong dengan penuh rasa terima kasih-"Ternyata kakek dan kedua ketua itu yang mengubur orang tuaku"

"Nak. almarhum ayahmu pernah menyelamatkan nyawaku, namun aku masih belum membalas budinya itu—" Gouw Han Tiong menarik nafas.

"Sesungguhnya Paman telah membalas budi itu," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.

"Maksudmu?" Gouw Han Tiong tercengang.

Kakek- Paman dan Sian Eng sangat baik terhadapku, itu berarti Paman telah membalas budi tersebut," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan.

"Paman, aku pasti mencari Sian Eng."

"Nak" Gouw Han Tiong tersenyum.

"Kasihan dia- sejak engkau pergi, dia terus memikirkanmu. "

"Adik Eng memang baik sekali terhadapku, maka akupun sayang kepadanya," ujar Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Aku menganggapnya sebagai adik sendiri"

"oh?" Gouw Han Tiong tersenyum lagi.

"Tapi engkau harus tahu, sian Eng sangat menyukaimu lho"

"Aku tahu itu." Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"ohya, aku ingin ke markas pusat Kay Pang, bagaimana menurut Paman? "

"Itu ada baiknya juga, sebab engkau akan bertemu Bu Lim Ji Khie, mungkin mereka berada di sana," sahut Gouw Han Tiong.

"Kalau begitu..." Tio Cie Hiong bangkit berdiri-

"Paman, aku mohon diri"

"Kok cepat?"

"ya. sebab akupun harus mencari Sian Eng."

"Baiklah" Gouw Han Tiong manggut-manggut dan berpesan.

"Cie Hiong, apabila engkau berhasil memperoleh kabar tentang sian Eng, aku harap engkau bersedia ke mari memberitahukan kepadaku."

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk-

"Terima kasih, Cie Hiong" ucap Gouw Han Tiong sambil memandangnya lembut.

"sama-sama, Paman" Tio Cie Hiong tersenyum-

"sampaijumpa"

"sampai jumpa, aku menunggu kabar baik darimu." Gouw Han Tiong memegang bahu Tio Cie Hiong dan memandangnya dengan penuh kasih sayang.

setelah meninggalkan Ekspedisi Harimau Terbang, Tio cie Hiong langsung berangkat ke markas pusat Kay Pang (Partai Pengemis). Dua hari kemudian, ia telah tiba di sebuah kota kecil.

Tio cie Hiong mampir di sebuah kedai untuk mengisi perut, namun ketika ia sedang bersantap, mendadak muncul seorang pemuda tampan berusia dua puluhan menghampirinya.

"cie Hiong Apakah engkau masih ingat kepadaku?" tanya pemuda tampan itu. "saudara-—" Tio Cie Hiong memandangnya, lama sekali barulah ia berseru girang. "Tek Cun"

Ternyata pemuda tampan itu Ku Tek Cun, putra almarhum Hong Lui Kiam Khek-Ku Tiok Beng.

Tio cie Hiong sama sekali tidak menduga kalau ia akan bertemu Ku Tek Cun di kedai ini.

"cie Hiong" Ku Tek Cun tersenyum.

"Boleh-kah aku duduk?"

"silakan silakan" ucap Tio Cie Hiong cepat.

"Terima kasih" Ku Tek Cun duduk dan kemudian menarik nafas panjang.

"cie Hiong, tentunya engkau sudah tahu tentang Hong Lui Po, bukan?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk-

"Itu tak terduga sama sekali."

"Ayahku...." sepasang mata Ku Tek Cun tampak basah-

"Dan Phang Ling Hiang—."

"Aku sudah tahu, mereka dibunuh oleh orang-orang berpakaian hitam, oh ya, pada malam kejadian itu, engkau di mana?" tanya Tio cie Hiong mendadak-

"Pagi harinya, ayahku suruh aku pergi menemui seseorang," jawab Ku Tek Cun menutur. "Aku menginap di rumah orang itu, maka aku selamat...." "oooh" Tio Cie Hiong mengangguk-

"Kalau tidak salah, ayahmu mengidap suatu penyakit. Benarkah itu?"

"Benar." Ku Tek Cun manggut-manggut.

"Tentunya engkau dengar dari penduduk setempat, bukan?"

"Ya." Tio Cie Hiong tidak berani memberitahukan bahwa "Paman Tan yang menceritakannya, "ohya, Tek Cun Apakah engkau anak kandung Ku Tiok Beng?" "Cie Hiong" Air muka Ku Tek Cun tampak berubah.

"Kenapa engkau bertanya begitu?"

"Itu.... Nona Phang pernah mengatakan bahwa...." sebetulnya Tio Cie Hiong adalah pemuda jujur yang tak bisa berbohong, namun kali ini ia terpaksa berbohong karena demi kebaikan Paman Tan. la mengatas namakan Phang Ling Hiang, sebab gadis itu telah mati, jadi Ku Tek Cun tidak akan mencurigai Paman Tan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar