"Saudara Patoho" Tio
Cie Hiong memegang bahunya. "Aku percaya kepadamu, selamanya kita sebagai
sahabat"
"Benar. Ha ha"
Patoho tertawa gembira. "Selamanya kita sebagai sahabat"
"Baiklah." Tio cie
Hiong bangkit berdiri "Saudara Patoho, aku mau mohon pamit"
"Tunggu" cegah
Patoho, kemudian ia melepaskan kalungnya yang berbandulkan sebuah medali emas.
"Kalung ini kuhadiahkan kepadamu, simpan baik-baik"
"Saudara Patoho...."
Tio cie Hiong menggelengkan kepala.
"Saudara Tio" Patoho
tersenyum. "Terimalah Kalau tidak, berarti engkau tidak menganggapku
sebagai sahabatmu."
"Saudara Patoho...."
Tio Cie Hiong terpaksa menerimanya. "Terima kasih Terima kasih"
"Ohya Kalau engkau punya
anak kelak. kalung ini berikan kepadanya" pesan Patoho.
"Baik" Tio Cie Hiong
mengangguk sekaligus memakai kalung itu di lehernya. "Saudara Patoho,
sampaijumpa"
"Saudara Tio..."
seru Patoho, namum Tio Cie Hiong telah melesat pergi laksana kilat.
"Sungguh tinggi
ginkangnya" gumam Patoho kagum, kemudian menghela nafas panjang sambil
bergumam. "Apabila adikku yang menjadi raja kelak. itu..."
Bab 81 Menyelamatkan nyawa
seorang Menteri Pensiunan
Tio Cie Hiong terus mencari
kabar berita tentang Bu Lim Sam Mo. akan tetapi, Bu Lim sam Mo dan lainnya
seakan tenggelam ke dasar laut, sama sekali tiada kabar berita maupun jejak
mereka. Itu sungguh mencemaskan Tio Cie Hiong, namun ia tetap berusaha untuk tenang
dan tabah.
Malam ini ketika Tio Cie Hiong
memasuki sebuah kota, mendadak ia melihat beberapa sosok bayangan berkelebatan,
membuat keningnya berkerut. Sebetulnya ia tidak mau mencampuri urusan orang
lain, tapi bayangan-bayangan itu sangat mencurigakan, sehingga ia menguntit
mereka.
Beberapa sosok bayangan itu
berhenti di depan sebuah rumah tua tapi besar sekali. Mereka tampak
berkasak-kusuk, setelah itu barulah mereka beriompatan ke dalam. Berselang
beberapa saat, terdengariah suara bentrokan senjata di halaman rumah itu.
Tio cie Hiong segera melesat
ke atas sebuah pohon di halaman itu, lalu memandang ke bawah.
Tampak seorang pemuda tampan
sedang bertarung dengan tamu-tamu tak diundang itu.
Di depan pintu berdiri seorang
lelaki berusia enam puluhan, tampak tenang dan berwibawa. "Siapa
kalian?" bentak pemuda tampan itu "Mau apa kalian ke mari
malam-malam?"
Tio Cie Hiong tercengang,
karena suara pemuda itu sangat merdu. sementara salah seorang dari mereka
menyahut, kemudian tertawa gelak. "Kami ke mari untuk membunuh kalian ayah
dan anak Ha ha ha..."
"oh?" Pemuda tampan
itu mengerutkan kening. "Siapa yang menyuruh kalian ke mari?"
"Engkau tidak usah tahu,
pokoknya malam ini kalian harus mampus" bentak orang itu sambil memberi
isyarat kepada dua temannya.
Itu tidak terlepas dari mata
Tio Cie Hiong, dan ia tahu bahwa orang itu memberi isyarat agar kedua temannya
segera membunuh orang tua yang berdiri di depan pintu. Karena itu, Tio cie
Hiong segera melesat laksana kilat ke hadapan orang tua tersebut.
Di saat bersamaan, kedua orang
itu juga sudah sampai di hadapan orang tua tersebut, sekaligus mengayunkan
pedang masing-masing. "Ayah..." jerit pemuda tampan itu dengan wajah
pucat pias.
Trang Mendadak pedang mereka
patah menjadi beberapa potong, kemudian terdengar pula suara jeritan.
"Aaakh..." Kedua
orang itu menjerit dan terpental beberapa depa dengan mulut mengeluarkan darah.
"Siapa engkau?"
bentak salah seorang dari mereka yang menyerang pemuda tampan itu. "
Kenapa engkau mencampuri
urusan kami?"
"Hm" dengus Tio cie
Hiong dingin. "Cepatlah kalian enyah, kalau tidak...."
Sementara pemuda tampan itu
telah berlari menghampiri ayahnya, kemudian memandang Tio cie Hiong dengan mata
terbelalak.
"Ini urusan kerajaan,
kami harap engkau tidak turut campur" sahut orang itu.
"Aku memang tidak mau
mencampuri urusan kerajaan, namun berkewajiban menyelamatkan nyawa orang Kalau
kalian masih tidak mau pergi, berarti kalian cari penyakit"
"Hm" dengus orang
itu, lalu berseru. "serang dia"
orang itu dan kedua temannya
langsung menyerang Tio Cle Hiong.
"Tuan, hati-hati"
seru si pemuda tampan.
Tio Cie Hiong tersenyum, lalu
mendadak mengibaskan lengan bajunya. seketika ketiga orang itu terpental
beberapa depa, dengan mulut mengeluarkan darah.
"Kalian harus
mampus" bentak sipemuda tampan, yang sudah siap menghabiskan nyawa mereka.
"Jangan bunuh
mereka" cegah Tio Cie Hiong. "Biar mereka pergi"
"Tapi...."
"Hiang ji Turutilah
perkataan tayhiap itu" ujar orang tua tersebut.
"Ya, Ayah." Pemuda
tampan itu mengangguk.
"Kalian cepatlah
pergi" bentak Tio Cie Hiong dingin.
Mereka berlima menatap Tio Cie
Hiong, lalu berjalan pergi dengan sempoyongan.
"Ha ha ha" orang tua
itu tertawa gembira. "Terimakasih Tayhiap"
"Maaf" sahut Tio Cie
Hiong. "Aku mohon pamit"
"Tunggu" seru orang
tua itu berwibawa. "Mari kita masuk untuk bercakap-cakap sejenak Aku
sangat kagum padamu."
"Tapi...." Tio Cie
Hiong tampak ragu-ragu.
"Tayhiap" orang tua
itu tersenyum lembut. "Mari kita masuk. jangan menolak"
Orang tua itu melangkah masuk
rumah, sedangkan Tio Cie Hiong masih berdiri di tempat. "Tuan, jangan
mengecewakan ayahku" ujar pemuda tampan itu. "Ayolah, mari kita
masuk"
Pemuda tampan itu menarik Tio
Cie Hiong untuk diajak masuk. menghampiri ayahnya yang sudah duduk.
"Tayhiap. silakan
duduk" ucap orang tua itu ramah.
"Terimakasih, Tuan
besar" sahut Tio Cie Hiong sambil duduk.
"Ha ha ha" orang tua
itu tertawa gelak. "Jangan memanggilku tuan besar, panggil saja aku
paman"
"Ya, Paman." Tio Cie
Hiong mengangguk.
"Hiang ji, ambilkan arak
istimewa" ujar orang tua itu. "Ayah ingin minum bersama dengan. Tay
hiap"
"Ya, Ayah." Pemuda
tampan itu segera menyuguhkan arak istimewa, dan menaruh dua buah cangkir ke
atas meja.
Orang tua itu segera menuang
arak ke dalam cangkir, kemudian disodorkan ke hadapan Tio cie Hiong.
"Tayhiap mari kita
bersulang" ajak orang tua itu.
"Mari" Tio cie Hiong
meneguk. Namun monyet bulu putih yang duduk di bahunya bercuit-cuit maka
segeralah Tio cie Hiong menyodorkan cangkir itu kepada monyet itu.
"Eh?" orang tua itu
terbelalak. "Monyet itu bisa minum arak?"
"Ya." Tio cie Hiong
mengangguk.
"Hiang ji cepat ambilkan
sebuah cangkir lagi" seru orang tua itu sambil tersenyum.
Si pemuda tampan cepat-cepat
mengambil sebuah cangkir lalu ditaruhnya di atas meja. Orang tua itu segera
menuang arak ke dalam cangkir tersebut, lalu disodorkan ke hadapan Tio cie
Hiong.
"Terimakasih" ucap
Tio cie Hiong, lalu mengangkat cangkir itu untuk monyet bulu putih.
"Monyet putih Mari kita
bersulang" ucap orang tua itu sambil tertawa gembira.
Monyet bulu putih bercuit-cuit
lalu meneguk habis arak itu.
"Ha ha ha" Orang tua
itu tertawa lagi. "Monyet putih, mari kita tambah lagi"
"Kauw heng, cukup Jangan
minum lagi Engkau akan mabuk nanti." ujar Tio cie Hiong.
Monyet bulu putih manggut-manggut.
Sudah barang tentu membuat orang tua dan pemuda tampan itu terbelalak.
"Tay hiap Monyet putih
itu mengerti bahasa manusia?" tanya orang tua itu heran.
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"ohya" orang tua itu
memperkenalkan diri "Aku bernama Yo Huai An, dia putriku, bernama Yo suan
Hiang."
"oh?" Tio Cie Hiong
memandang pemuda tampan itu "Jadi... dia anak gadis?,"
"Ya." Yo Huai An
tertawa gelak. "Hiang ji, cepatlah engkau ganti pakaian"
"Ya, Ayah." Yo suan
Hiang mengangguk. lalu melangkah ke dalam. Tak lama kemudian ia sudah kembali
dengan mengenakan pakaian wanita.
"Ha ha ha" Yo Huai
An tertawa gembira. "Bagaimana Tayhiap? Putriku cukup cantik, kan?"
"Cantik sekali,"
sahut Tio Cie Hiong. "Tapi kenapa dia suka berpakaian lelaki?"
"Agar tidak diganggu
orang," ujar Yo Huai An sambil menatap Tio Cie Hiong. "Tayhiap
berkepandaian begitu tinggi, bagaimana kalau Tayhiap menerima putriku sebagai
murid?"
"Maaf, tidak bisa"
ucap Tio Cie Hiong.
"Tayhiap" Yo Huai An
tampak kecewa. "Apakah putriku kurang berbakat, maka Tayhiap menolak"
"Sesungguhnya putri Paman
cukup berbakat, tapi... aku tidak bisa menerimanya sebagai murid."
"Kenapa?" "sebab aku masih muda.
"Apa?" Yo Huai An
tertegun. "Tayhiap sudah berusia empat puluhan, kok masih bilang
muda?"
"Paman, sebenarnya usiaku
baru dua puluhan."
"Tayhiap" Yo Huai An
menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan membohongi orang tua, itu tidak
baik"
"Tuan" sela Yo suan
Hiang mendadak. "Aku ingin menjadi murid Tuan."
"Tidak bisa. Tidak
bisa...." Tio Cie Hiong menggoyang-goyangkan sepasang tangannya. "Aku
tidak bisa menjadi gurumu,
tidak bisa...."
"Apa alasan Tuan?"
Yo suan Hiang penasaran. "Karena aku masih muda."
"Usia Tuan sudah empat
puluhan, kok masih bilang muda?" Yosuan Hiang tertawa geli. "Kalau
begitu, Tuan keburu tua."
"Aku...." Tio Cie
Hiong menghela nafas panjang, kemudian melepaskan kedoknya perlahan-lahan.
"Haah...?" Yo Huai
An dan putrinya terbelalak. "Engkau...."
"Paman aku masih muda,
kan? Nah, bagaimana mungkin aku menerima putri Paman sebagai murid?" ujar
Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Tayhiap... eh
siauwhiap...."
"Paman namaku Tio Cie
Hiong. panggil saja namaku"
"cie Hiong, aku... aku
tidak menyangka kalau engkau masih sedemikian muda dan amat tampan.
Ha ha ha" Yo Huai An
tertawa gelak.
Sedangkan wajah Yo suan Hiang
kemerah-merahan. Hatinya pun kebat-kebit ketika menyaksikan ketampanan wajah
Tio Cie Hiong. "Tuan...."
"Jangan panggil Tuan,
panggil saja...."
"Hiang ji" sela Yo
Huai An. "Engkau harus panggil dia Kakak Cie Hiong."
"Ya." Yo suan Hiang
mengangguk. kemudian memanggil Tio Cie Hiong sambil menundukkan kepala.
"Kakak Cie Hiong...."
"Adik Hiang" Tio Cie
Hiong tersenyum.
"Bagus, bagus Ha ha
ha" Yo Huai An tertawa gembira. "ohya, kok engkau bisa begitu
kebetulan menyelamatkan nyawaku?"
"Aku baru memasuki kota
ini, tiba-tiba melihat beberapa sosok bayangan yang mencurigakan, maka aku
menguntit mereka." Tio Cie Hiong memberitahukan dan bertanya. "Paman,
siapa mereka?"
"Aku tidak kenal mereka,
tapi yakin mereka para anak buah Lu Kong Kong," jawab Yo Huai An sambil
menghela nafas panjang.
"Lu Kong Kong? siapa Lu
Kong Kong?"
"Dia Lu Thay Kam
(sida-sida), biasanya dipanggil Lu Kong Kong." Yo Huai An menjelaskan.
"Dia sangat berkuasa di dalam istana, bahkan kaisar pun sangat menuruti
perkataannya . "
"oooh" Tio Cie Hiong
manggut-manggut. "Pantas mereka mengatakan ini adalah urusan
kerajaan"
"Aaakh..." keluh Yo
Huai An. "Sesungguhnya aku seorang menteri. Karena menasehati kaisar agar
memperhatikan kesejahteraan rakyat, akhirnya aku malah dipensiunkan."
"Kenapa bisa
begitu?"
"Semula kaisar masih mau
mendengar nasehatku, tapi...." Yo Huai An menggeleng-gelengkan
kepala. "Kemudian
terpengaruh oleh Lu Thay Kam, sehingga kaisar mengeluarkan surat perintah
mempensiunkan aku. Karena itu, kami pulang ke rumah ini. Tak disangka, Lu Thay
Kam masih menyuruh anak buahnya untuk membunuhku."
"Kenapa Lu Thay Kam ingin
membunuh Paman?"
"Karena aku sering
menentangnya."
"Sudah berapa lama Paman
dipensiunkan?"
"Sudah dua tahun."
Yo Huai An, memberitahukan. "Lu Thay Kam punya rencana bersekongkol dengan
Bangsa Manchuria untuk menggulingkan Dinasti Beng. setelah itu, dia ingin jadi
kaisar."
"oh?" Tio Cie Hiong
teringat pada Patoho yang berangkat ke ibukota untuk menemui Thay Kam itu.
"Paman, apakah pihak Manchuria akan bekerja sama dengan Lu Thay Kam?"
"Betum dapat dipastikan.
Kalau pihak Manchuria mengajukan syarat yang memberatkan, mungkin Lu Thay Kam
tidak akan bekerja sama. Tapi Lu Thay Kam sangat licik, kemungkinan besardia
akan memperalat pasukan Manchuria untuk menyerang ibukota. Apabila pasukan itu
berhasil, dia pun akan membunuh pasukan tersebut."
"oooh" Tio Cie Hiong
manggut-manggut.
"cie Hiong" Yo Huai
An menatapnya tajam. "Wan Gwan swee (Jenderal) adalah kawan baikku,
bagaimana engkau bekerja padanya?"
"Maaf, Paman" Tio
Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku tidak mau mencampuri urusan
kerajaan."
"Sayang sekali" Yo
Huai An menghela nafas. "Padahal saat ini kerajaan sangat membutuhkan orang
seperti engkau, tapi...."
"Kakak cie Hiong, engkau
berkepandaian begitu tinggi, seharusnya engkau ikut membela tanah air,"
ujar Yo suan Hiang mendadak.
"Adik Hiang" Tio Cie
Hiong tersenyum getir. "Aku tidak mau mencampuri urusan kerajaan, karena
aku tidak mau pusing."
"Bagaimana kalau sejarah
Han terulang lagi?"
"Maksudmu?"
"Negeri kita ini pernah
dijajah oleh Bangsa Mongol. sejak itu berdirilah Dinasti Goan. setelah Dinasti
Goan diruntuhkan oleh Beng Kauw, maka berdirilah Dinasti Beng hingga kini. Akan
tetapi, kini Dinasti Beng telah bobrok, Bangsa Manchuria pun menyorot kemari.
Celakanya, Lu Thay Kam berniat bekerja sama dengan mangsa Manchuria, itu
pertanda Dinasti Beng berada di ambang keruntuhan."
"Benar," sambung Yo
Huai An. "Kini kaisar cuma merupakan sebuah boneka, yang berkuasa Lu Thay
Kam. Belum lama ini, Lu Thay Kam mengeluarkan surat perintah atas nama kaisar
untuk menangkap kaum gadis untuk dijadikan selir atau dayang. Coba bayangkan,
betapa cemasnya rakyat jelata Yang punya uang masih bisa menyogok agar putri
mereka tidak dibawa. Namun bagaimana yang miskin? Tentunya tidak bisa berbuat
apa-apa. oleh karena itu, rakyat pun mulai bersatu untuk memberontak."
"Bahkan...." tambah
Yo suan Hiang. "Para menteri dan Jenderal yang setia, mulai disingkirkan
oleh Lu Thay Kam. Kelihatannya
Dinasti Beng tidak akan tertolong lagi, sebab harus menghadapi para
pemberontak. bahkan mungkin tidak lama lagi harus menghadapi serbuan pasukan
Manchuria pula."
"Maaf" ucap Tio Cie
Hiong sambil menghela nafas panjang. "Aku sama sekali tidak mengerti
persoalan kerajaan, lagi pula aku pun tidak mau turut campur"
"Sayang sekali? Yo, Huai
An menggeleng-gelengkan kepala.
"ohya, Kakak Cie
Hiong" Yo suan Hiang menatapnya. "Kenapa tadi engkau melarangku
membunuh para pembunuh itu?"
"Sebah aku telah
memusnahkan kepandaian mereka, maka mereka telah berubah menjadi orang
biasa." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Kakak Hiong" Yo
suan Hiang menatapnya penuh harap. "Sudikah engkau mengajarku ilmu
silat?"
"Itu tidak menjadi masalah.
Tapi...." Tio cie Hiong. menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak
bisa lama-lama di sini."
"Cie Hiong" Yo Huai
An tersenyum. "Biar bagaimana pun engkau harus tinggal di sini beberapa
hari"
"Itu...."
"Jangan menolak. Kakak
Cie Hiong" ujar Yo suan Hiang. "Sebab engkau juga boleh mengajarku
ilmu silat."
Tio cie Hiong berpikir
sejenak. kemudian mengangguk. "Baiklah."
"Terima kasih, Kakak Cie
Hiong" Yo suan Hiang girang bukan main. "Terimakasih..."
"ohya Adik Hiang, di mana
ibumu?"
"Sudah lama ibuku
meninggal."
"Oh"
"Hiang ji sudah larut
malam," ujar Yo Huai An. "Ajak Cie Hiong ke kamar tamu itu"
"Ya, Ayah." Yo suan
Hiang mengangguk. "Kakak Cie Hiong, mari ikut aku ke dalam"
Tio Cie Hiong mengangguk. lalu
mengikuti gadis itu ke dalam. Yo Huai An memandang punggung Tio Cie Hiong
sambil manggut-manggut, namun kemudian menghela nafas panjang.
Kenapa Yo Huai An menghela
nafas panjang? Ternyata sejak kecil putrinya telah ditunangkan dengan putra
seorang Jenderal. Kalau tidak, kemungkinan besar Yo Huai An akan menjodohkan
putrinya dengan Tio Cie Hiong, karena ia sangat kagum dan suka padanya.
Sementara Yo suan Hiang telah
mengantar Tio Cie Hiong sampai di depan kamar tamu, sekaligus membukakan pintu
kamar itu.
"Engkau tidur di kamar
ini Kalau merasa tidak cocok, akan kutunjukkan kamar lain," katanya.
"Terima kasih," sahut Tio Cie Hiong "Aku merasa cocok dengan
kamar ini."
"Kalau begitu, sampai
jumpa esok" ucap Yo suan Hiang lalu melangkah pergi dengan wajah cerah
ceria.
Tio Cie Hiong melangkah
memasuki kamar itu, kemudian membaringkan dirinya ke tempat tidur. Namun sampai
larut malam dia tidak dapat tidur karena dalam pikirannya terus terbayang wajah
Lim Ceng Im.
Pagi harinya, Tio Cie Hiong
pergi ke halaman belakang untuk menghirup udara segar. Di situ ia melihat Yo
suan Hiang sedang melatih ilmu pedang. Begitu melihat kemunculan Tio cie Hiong,
gadis itu segera berhenti berlatih. "Selamat pagi, Kak" ucapnya.
"Selamat pagi" sahut
Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Sedang melatih ilmu pedang?"
"Ya." Yo suan Hiang
mengangguk. "Ohya, bukankah engkau telah berjanji...."
"Aku ingat." Tio Cie
Hiong tersenyum lagi. "Maka pagi ini aku akan mulai mengajarmu ilmu
pedang."
"oh?" Wajah Yo suan
Hiang berseri. "Terima-kasih, Kak"
"Aku akan mengajarkan
Ilmu Pedang Hong Li Kiam Hoat." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Ilmu pedang andalan
Paman Ku Tiok Beng, namun beliau telah meninggal, bahkan Hong Lui Po pun telah
musnah."
"oh?" Yosuan Hiang
menatapnya. "Ilmu pedang itu hebat sekali?"
"Cukup hebat dan
lihay." sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan. "setelah itu, akupun
akan mengajarkan Kiu Kiong San Tian Pou."
"Terima kasih, Kak"
ucap Yo suan Hiang.
Tio Cie Hiong tersenyum,
kemudian menyuruh monyet bulu putih turun dari bahunya. setelah monyet itu
turun, dia lalu berjalan ke tengah-tengah halaman.
"Adik Hiang,
perhatikanlah" Tio Cie Hiong mulai memainkan Hong Lui Kiam Hoat.
Yo suan Hiang menyaksikannya
dengan mata terbelalak. Berselang beberapa saat barulah Tio cie Hiong berhenti.
"Kakak Cie Hiong"
seru Yo suan Hiang. "Hebat sekali Hong Li Kiam Hoat itu, tapi... bagaimana
mungkin aku belajar...."
"Aku akan mengajarmu
sejurus demi sejurus," sahut Tio Cie Hiong lalu mulai mengajarkan ilmu
pedang tersebut.
Yo suan Hiang terus belajar
hingga lupa makan. Maka, Yo Huai An menyuruh pelayan untuk menyiapkan makanan
di atas meja di dekat halaman itu.
"Hiang ji" seru Yo
Huai An sambil tersenyum. "Cie Hiong, kalian makanlah dulu"
"Ayah" sahut Yo suan
Hiang. "Aku belum lapar."
"Makan dulu, Hiang
ji" seru Yo Huai An lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Seusai
makan, barulah berlatih lagi."
"Aku belum lapar,
Ayah," sahut Yo suan Hiang dan terus berlatih.
"Adik Hiang" ujar
Tio Cie Hiong lembut. "Lebih baik makan dulu, jangan melawan orang
tua"
"Ya." Yo suan Hiang
mengangguk. "Kakak Cie Hiong, mari kita makan bersama"
Tio cie Hiong tersenyum.
Kemudian mereka berdua mendekati meja itu dan duduk. Yo Huai An memandang
mereka, kemudian menegur putrinya seraya tersenyum.
"Dua kali ayah menyuruhmu
makan, tetapi engkau menyahut belum lapar. Begitu Cie Hiong yang menyuruh,
engkau langsung mengangguk. Dasar...."
"Eh?" Wajah Yo suan
Hiang langsung memerah. "Ayah..."
"Ha ha ha" Yo Huai
An tertawa gelak dan menambahkan, "Kalau engkau belum ditunangkan dengan
putra Jenderal itu, pasti Ayah jodohkan dengan cie Hiong."
"Ayah..." Wajah Yo
suan Hiang bertambah merah. "Kok Ayah mulai bicara ngawur sih?"
"Paman" ujar Tio Cie
Hiong sambil menarik nafas lega. "Jadi Adik Hiang sudah ditunangkan dengan
putra seorang Jenderal?"
"Ya." Yo Huai An
mengangguk. "sejak kecil mereka telah ditunangkan Jenderal dan putranya
itu tinggal di ibukota."
"oooh" Tio Cie Hiong
manggut-manggut.
"Sayang sekali putriku
telah ditunangkan" Yo Huai An menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau
tidak...."
"Paman" potong Tio
Cie Hiong sekaligus memberitahukan. "Aku pun sudah punya tunangan."
"oh?" Yo Huai An
menatapnya "Siapa tunanganmu?"
"Lim Ceng Im." Tio
Cie Hiong memberitahukan. "Putri Lim Peng Hang, ketua Kay Pang"
"oooh" Yo Huai An
manggut-manggut. "Kay Pang memang sangat tersohor dalam rimba persilatan,
tidak berada di bawah siauw Lim Pay."
"Paman tahu juga mengenai
tujuh partai besar di rimba persilatan?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Padahal paman adalah mantan menteri di ibukota."
"Tentu tahu." Yo
Huai An menghela nafas panjang. "Banyak sekali pengawal istana berasal
dari rimba persilatan, namun mereka telah dikuasai oleh Lu Thay Kam. oleh
karena itu, tiada seorang menteri pun berani menentangnya. Aaakh Kelihatannya
Dinasti Beng sudah berada di ambang keruntuhan"
"Ayah," ujar Yo suan
Hiang mendadak. "Bukankah Wan Goan swee masih berani menentang Lu Thay
Kam?"
"Benar .Justru
itu.." Yo Huai An menghela nafas. "Dia pun dalam bahaya, sebab Lu
Thay Kam
tidak akan tinggal diam. Dia
pasti akan mencari akal busuk untuk memfitnahnya di hadapan kaisar."
"Kalau begitu..." yo suan Hiang mengerutkan kening.
"cie Hiong" Yo Huai
An menatapnya. "Alangkah baiknya engkau pergi bergabung dengan Jenderal
Wan"
"Maaf, Paman" Tio
Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku tidak mau mencampuri urusan
kerajaan."
"Sayang sayang
sekali," Yo Huai An menghela nafas panjang. "Padahal saat
ini...."
"Ayah," ujar Yo suan
Hiang. "Kakak Cie Hiong tidak mau mencampuri urusan kerajaan, percuma Ayah
mendesaknya."
"Yaah" Yo Huai An
menghela nafas panjang lagi, kemudian menengadahkan kepalanya ke langit sambil
bergumam. "Apakah Dinasti Beng akan berakhir dengan begini saja?
Aaaakh..."
"Ayah, sudahlah, jangan
terus memikirkan itu Lagi pula Ayah telah dipensiunkan oleh kaisar."
"Itu gara-gara Lu Thay
Kam," sahut Yo Huai An dan menambahkan. "Lu Thay Kam memiliki
kepandaian sangat tinggi, berasal dari sebuah kitab."
"Kitab apa?" tanya
Tio Cie Hiong tertarik.
"Di dalam istana terdapat
sebuah perpustakaan," jawab Yo Huai An memberitahukan. "Suatu hari,
Lu Thay Kam memeriksa perpustakaan, tanpa sengaja ia melihat sebuah kitab Ie
Hoa Ciap Bok Cin Keng (Kitab Memindahkan Bunga Dan Menyambung Pohon). Karena
tertarik. maka Lu Thay Kam membacanya. Ternyata kitab itu merupakan kitab
pelajaran ilmu silat yang sangat tinggi dan dahsyat. oleh karena itu, Lu Thay
Kam pun mengambilnya dan mempelajarinya secara diam-diam."
"Ie Hoa CiapBok?"
gumam Tio Cie Hiong. "Ie Hoa CiapBok? Rasanya aku pernah mendengar itu,
tapi lupa."
"Ayah, apakah kaisar
tidak tahu bahwa Lu Thay Kam mengambil kitab itu?" tanya Yo suan Hiang.
"Kaisar tahu, namun
langsung menghadiahkan kitab itu kepada Lu Thay Kam," sahut Yo Huai An.
"Paman Lu Thay Kam telah
berhasil mempelajari kitab itu?" tanya Tio Cie Hiong.
"Dia memang telah
berhasil, maka kepandaiannya bertambah tinggi," sahut Yo Huai An sambil
menggeleng-gelengkan kepala. "Dia boleh dibilang tiada tanding di dalam
istana, bahkan warga di ibukota pun sangat takut kepadanya."
"Ayah Aku yakin Kakak Cie
Hiong pasti dapat mengalahkannya" ujar Yo suan Hiang mendadak.
"Kalaupun Cie Hiong dapat
mengalahkannya, juga percuma." Yo Huai An tersenyum getir. "Sebab Cie
Hiong tidak mau mencampuri urusan kerajaan."
"Benar." Tio Cie
Hiong mengangguk. "Aku memang tidak mau mencampuri urusan kerajaan.
setelah mengajarkan Km Kiong san Tian Pou kepada Adik Hiang, aku pun mau mohon
pamit."
"Kakak Cie Hiong Apa
kegunaan Kiu Kiong san Tian Pou itu?"
"Apabila menghadapi lawan
tangguh, engkau bisa berkelit sekaligus kabur dengan ilmu itu"
"Oooh" Yo suan Hiang manggut-manggut. "Kapan engkau akan
mengajarkan ilmu itu?" "Setelah engkau dapat menguasai Hong Lui Kiam
Hoat," jawab Tio Cie Hiong. "Terima kasih, Kak" ucap Yo suan
Hiang.
Seusai makan, Yo suan Hiang
mulai berlatih lagi. Tio Cie Hiong menyaksikannya dengan penuh perhatian. Kalau
gadis itu melakukan gerakan yang salah, Tio Cie Hiong pasti segera memberi
petunjuk. sementara Yo Huai An tersenyum-senyum dan mengurut-ngurut jenggotnya
pula sambil manggut-manggut.
Beberapa hari kemudian, Yo
suan Hiang telah menguasai ilmu tersebut, maka Tio Cie Hiong mulai mengajarnya
Kiu Kiong san Tian Pou. Ketika mempelajari ilmu langkah kilat itu, gadis
tersebut memang mengalami kesulitan, namun Tio Cie Hiong mengajarnya dengan
penuh kesabaran.
Setelah Yo suan Hiang berhasil
mempelajari Kiu Kiong san Tian Pou, Tio Cie Hiong berpamit kepada mereka.
"Nak" Yo Huai An
memegang bahunya seraya berkata sungguh-sungguh. "Pintu rumah ini selalu
terbuka untukmu, ingat, engkau tidak boleh melupakan kami"
"Aku pasti ingat selalu,
Paman" Tio Cie Hiong tersenyum dan berpesan. "ohya, kalau ada
sesuatu, langsung saja ke markas pusat Kay Pang"
"Baik," Yo Huai An
mengangguk.
"Paman, Adik Hiang sampai
jumpa" ucap Tio Cie Hiong lalu melesat pergi laksana kilat. "Kakak
Cie Hiong" seru Yo suan Hiang dengan mata berkaca-kaca. "Kakak Cie
Hiong..."
Namun Tio Cie Hiong telah
lenyap dari pandangannya. seketika itu juga Yo suan Hiang terisak-isak.
"Hiang ji, jangan
berduka" Yo Huai An membelainya. "Kalian pasti berjumpa lagi
kelak."
"Aku... aku telah
menganggapnya sebagai kakak sendiri, tapi dia..." Air mata Yo suan Hiang
berderai-derai. "Dia begitu cepat pergi."
"Yaaaah" Yo Huai An
menghela nafas panjang. "seandainya dia mau bekerja pada Jenderal Wan,
mungkin Dinasti Beng masih dapat diselamatkan. Namun dia...."
Bab 82 Hiat Ih Hwe
(Perkumpulan Baju Berdarah)
Sudah satu bulan lebih Tio Cie
Hiong mencari jejak Bu Lim sam Mo, tapi tiada hasilnya sama sekali. Akhirnya ia
mengambil keputusan untuk kembali ke Gunung Hong Lay san.
Dalam perjalanan kembali ke
Gunung Hong Lay san, Tio Cie Hiong melihat pasukan kerajaan menggiring puluhan
kaum gadis.
Sebetulnya ia tidak mau turut
campur urusan itu, tapi merasa tidak tega ketika mendengar suara jerit tangis
para gadis tersebut.
"Berhenti" bentak
Tio Cie Hiong sambil melayang turun di hadapan pasukan kerajaan itu.
Pasukan kerajaan langsung
berhenti saking terkejut, sebab suara bentakan Tio Cie Hiong bagaikan bunyi
guntur membelah bumi.
Komandan pasukan kerajaan
terbelalak ketika melihat seorang lelaki berusia empat puluhan, yang di bahunya
terdapat seekor monyet bulu putih melayang turun di situ.
"Siapa engkau? sungguh
berani engkau menghadang pasukan kerajaan" bentak komandan
"Maaf" ucap Tio Cie
Hiong sambil memberi hormat. "Harap Anda jangan memaksa gadis-gadis itu ke
ibukota, sebab mereka masih mempunyai orang tua"
"Sobat" ujar
komandan itu dengan kening berkerut. "Lebih baik engkau jangan turut
campur urusan ini"
"Kenapa?" tanya Tio
Cie Hiong sambil tersenyum.
"Ini perintah kaisar, aku
hanya melaksanakan perintah" sahut komandan itu memberitahukan, la berlaku
sabar karena tahu bahwa orang yang berdiri di hadapannya memiliki kepandaian
tinggi. "Kalau engkau berani menghalangi berarti engkau pemberontak"
"oh?" Tio Cie Hiong
tertawa. "Terus terang, kalian semua bukan lawanku"
"Sobat Engkau ingin
menyulitkan kami?"
"Tentu tidak. hanya
saja...." Tio Cie Hiong memandang ke arah para gadis itu seraya bertanya,
"Apakah kalian secara
rela ikut ke ibukota, untuk dijadikan selir atau dayang di istana?"
"Tidak"
"Rela"
Tio Cie Hiong manggut-manggut,
kemudian berseru lantang.
"Yang tidak rela harap
berdiri di sebelah kanan, dan yang rela di sebelah kiri"
Seketika para gadis itu
terbagi menjadi dua kelompok. Mereka yang tidak rela berjumlah dua puluh lima,
yang rela berjumlah lima belas.
"Ngmm" Tio Cie Hiong
manggut-manggut, lalu berkata kepada komandan pasukan. "Engkau boleh
membawa pergi mereka yang rela ikut, namun mereka yang tidak rela ikut harus
ditinggalkan di sini"
"Sobat" Komandan itu
mengerutkan kening. "Betulkah engkau ingin menjadi pemberontak?"
"Tentu tidak," sahut
Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Sebab apabila kalian tidak menurut, yang
akan menghajar kalian bukanlah aku, melainkan monyetku ini."
"oh?" Komandan itu
tertawa gelak. "Monyet jelek itu mampu melawanku?"
"Bagaimana kalau kita
bertaruh?"
Caranya?"
"Monyetku akan
melawanmu." Tio Cie Hiong memberitahukan. " Kalau engkau menang, aku
tidak akan turut campur urusan ini. Tapi kalau engkau kalah, engkau harus
meninggalkan gadis-gadis yang tidak rela ikut ke ibukota. Bagaimana?"
"Baik" Komandan itu
mengangguk. "Tapi...."
"Kenapa?"
"Aku sudah biasa
menggunakan pedang"
"Tidak apa-apa. silakan
menggunakan pedangmu bertarung dengan monyetku."
"Kalau begitu, suruh
monyetmu turun" ujar komandan itu sambil menghunuskan pedangnya.
"Kauw heng, turunlah
bertarung dengan orang itu Tapi engkau tidak boleh melukainya," pesan Tio
Cie Hiong.
Monyet bulu putih bercuit-cuit
sambil manggut-manggut, lalu meloncat turun sekaligus bertolak pinggang
menantang komandan itu.
"Dasar monyet jelek"
caci komandan itu sambil mengayunkan pedangnya ke arah monyet bulu putih.
Pada saat bersamaan, monyet
bulu putih bergerak cepat laksana kilat, tahu-tahu pedang komandan itu telah
berpindah ke tangan monyet bulu putih.
"Haah?" Komandan itu
terkejut bukan main. la berdiri mematung sambil menatap monyet bulu putih
dengan mata terbelalak lebar.
"Engkau sudah kalah"
ujar Tio cie Hiong.
"Yaah" Komandan itu
menghela nafas. "Monyetmu sungguh lihay Aku... aku memang telah
dipecundangnya. "
"Kalau begitu, engkau
harus menepati janji"
"Ya." Komandan itu
mengangguk lalu berseru. "Bagi yang tidak rela ikut kami ke ibukota, boleh
pulang ke rumah masing-masing"
Para gadis yang tidak rela
ikut langsung bersorak kegirangan. sedangkan komandan itu memberi hormat kepada
Tio Cie Hiong, lalu melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi, ketika mereka
baru mau berangkat, mendadak muncul puluhan orang sambil berteriak-teriak.
"Mari kita habiskan
anjing-anjing kerajaan itu Habiskan mereka"
Mereka ternyata para
pemberontak, dan langsung mengurung pasukan kerajaan itu. "Hmm"
dengus komandan pasukan. "Pemberontak, cepatlah kalian menyerah"
"Ha ha ha" salah
seorang melangkah ke depan. orang tersebut ternyata pemimpin pemberontak.
"Anjing-anjing kerajaan, kalian harus mampus hari ini"
Suasana mulai mencekam,
kelihatannya pertempuran besar-besaran akan segera terjadi.
"Serang " teriak
pemimpin pemberontak.
Para pemberontak mulai
menyerang pasukan kerajaan, dan seketika terjadilah pertempuran yang kacau
balau. Para gadis-gadis terus-menerus menjerit ketakutan.
"Berhenti" bentak
Tio cie Hiong mengguntur.
Pertempuran itu langsung
berhenti. Ternyata Tio Cie Hiong mengerahkan tenaga dalamnya ketika membentak.
sehingga membuat para pemberontak dan pasukan kerajaan terkejut bukan main, dan
berhentilah mereka bertempur.
"Siapa Anda?"
Pemimpin pemberontak menatap Tio Cie Hiong dengan tajam sekali. "Apakah
Anda teman anjing-anjing kerajaan ini?"
"Bukan," sahut Tio
Cie Hiong memberitahukan. "Aku kebetulan lewat, sekalian membebaskan para
gadis yang tidak rela dibawa ke ibukota." Pemimpin pemberontak itu kurang
percaya.
"Betulkah apa yang
dikatakan orang itu?" tanyanya.
"Betul," sahut para
gadis itu.
"Kalau begitu...."
Pemimpin pemberontak menatap Tio Cie Hiong lagi. "Kenapa Anda menyuruh
kami berhenti bertempur?"
"Untuk apa kalian harus
bertempur?" Tio Cie Hiong balik bertanya.
"Kami ingin membebaskan
penderitaan rakyat," sahut pemimpin pemberontak itu sungguh-sungguh.
"sebab banyak pembesar yang korupsi, sedangkan kaisar cuma tahu bersenang-senang"
"Tujuan kalian sangat
mulia." Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Tapi kenapa kalian ingin
membunuh pasukan kerajaan ini?"
"Mereka telah memaksa
para gadis untuk dijadikan selir atau dayang di istana, karena itu kami
terpaksa membunuh mereka" sahut pemimpin pemberontak dengan mata
berapi-api.
"Engkau harus tahu, bahwa
mereka hanya melaksanakan perintah." Tio Cie Hiong menjelaskan.
"Lagipula urusan ini telah kuselesaikan dengan damai. Diantara gadis-gadis
itu ternyata ada pula yang secara rela mau ikut ke ibukota.Jadi kuharap kalian
jangan bertempur dengan mereka Biar mereka membawa pergi gadis-gadis yang rela
ikut ke ibukota, tidak perlu bertempur"
"Eh?" Pemimpin
pemberontak itu melotot. "Anda berpihak pada mereka?"
"Aku tidak berpihak pada
siapa pun. Aku berdiri di atas keadilan dan mencegah pertumpahan darah yang tak
perlu," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Karena itu, lebih baik
kalian antar para gadis yang tak rela ikut ke ibukota itu kembali ke rumah
masing-masing "
"Tidak bisa"
Pemimpin pemberontak menggelengkan kepala. "Pokoknya mereka harus kami
bunuh"
"Sobat" Tio Cie
Hiong mengerutkan kening. "Engkau tidak sudi mendengar nasehatku?"
"Maaf" sahut
pemimpin pemberontak. "Kami membela rakyat yang tertindas, lagi pula
pasukan kerajaan telah banyak membunuh rakyat yang tak berdosa, maka kami harus
membunuh mereka"
"Aku tidak mau mencampuri
urusan kerajaan dan urusan pemberontak. namun kutegaskan di sini,
perbolehkanlah pasukan kerajaan kembali ke ibukota"
"Jadi...." Pemimpin
pemberontak tampak gusar sekali. "Engkau ingin melawan kami?"
"Aku hanya ingin mencegah
pertumpahan darah yang tiada artinya," sahut Tio Cie Hiong dan
menambahkan, "Terus terang, walau kalian berjumlah puluhan orang, aku masih
sanggup merobohkan kalian semua."
"Omong besar" bentak
pemimpin pemberontak. "Kalau begitu, mari kita bertanding Kalau engkau
kalah, jangan mencampuri urusan ini sebaliknya kalau aku kalah, aku pasti
menuruti perkataanmu."
"Baik." Tio Cie
Hiong mengangguk. "silakan menyerang"
"Aku menggunakan pedang,
engkaupun harus menggunakan senjata" ujar pemimpin pemberontak.
"Aku cukup dengan tangan
kosong," sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Kalau begitu... baiklah
Hati-hati" Pemimpin pemberontak itu langsung menyerang Tio Cie Hiong
dengan pedang.
Tio Cie Hiong tetap berdiri di
tempat, namun kemudian mendadak ia mengibaskan lengan baju-nya ke arah pedang
lawan. Trang Trang Pedang itu patah menjadi beberapa potong.
"Haaah?" Pemimpin
pemberontak itu terbelalak, bahkan mulutnya ternganga lebar.
"Sobat" Tio cie
Hiong tersenyum. "Engkau telah kalah"
"Kepandaianmu memang
tinggi Aku mengaku kalah dan akan menuruti perkataanmu" Pemimpin
pemberontak itu menundukkan kepala.
"Ngmm" Tio Cie Hiong
manggut-manggut "Nah, sekarang kalian boleh membawa gadis-gadis itu pergi,
ingat, jangan sembarangan membunuh pasukan kerajaan Belum tentu mereka jahat
semua, mungkin di antara mereka ada pula yang berhati baik."
"Ya." Pemimpin
pemberontak itu mengangguk. kemudian mengajak teman-temannya dan para gadis
yang tidak mau ke ibukota meninggalkan tempat itu.
"Sekarang kalian juga
boleh meneruskan perjalanan ke ibukota," ujar Tio Cie Hiong kepada
komandan pasukan kerajaan.
"Ya." Komandan itu
memberi hormat. Terima kasih atas bantuan Anda, mudah-mudahan kita akan
berjumpa lagi kelak"
"Ingat" pesan Tio
Cie Hiong. “Jangan sembarangan membunuh rakyat, dan laksanakan tugas sesuai
dengan keadilan"
Usai berpesan begitu, Tio Cie
Hiong pun melesat pergi. Dalam waktu sekejap bayangannya telah lenyap dari
pandangan komandan. sudah barang tentu komandan itu terbelalak saking kagumnya.
Namun, kemudian ia berkeluh.
"Aaakh Kalau aku tidak
mencapai target mengumpulkan para gadis, aku pula yang akan dihukum. Sungguh
celaka"
"Komandan" ujar
salah seorang anak buah-nya. "Kalau atasan tahu kejadian ini, kita semua
pasti dihukum."
"Mungkin...," sela
yang lain dengan wajah agak pucat. "Kita akan dihukum mati. sebab kita
telah melepaskan sebagian besar para gadis itu, bahkan telah melepaskan
pemberontak-pemberontak. "
"Bagaimana menurut
kalian?" tanya komandan yang tidak menemukan jalan keluarnya.
"Menurut kami, lebih baik
kita melepaskan seragam pasukan kerajaan." sahut salah seorang anak
buahnya. "Maksudmu kita kabur saja?"
"Ya. Daripada kita
dihukum mati."
"Kalau begitu,..."
Komandan itu berpikir lama sekali, kemudian mengangguk seraya berkata.
"Baiklah. Mari kita lepaskan seragam pasukan kerajaan, lalu kita kabur ke
hutan"
"Horeee" sorak para
anak buahnya. "Kita akan bebas Kita akan bebas"
Ketika hari mulai gelap, Tio
Cie Hiong memasuki sebuah rimba, mendadak ia mendengar suara desiran. la
langsung meloncat ke atas pohon. Tak lama kemudian tampak beberapa sosok
bayangan berkelebatan menuju depan. Tio Cie Hiong mengerutkan kening karena
melihat mereka berpakaian merah dengan ikat kepala kain merah pula.
"Siapa mereka itu?"
tanyanya dalam hati. Ka-rena ingin tahu, maka ia menguntit mereka.
Berselang sesaat sampailah ia
di suatu tempat. Tampak puluhan orang berkumpul di situ, semuanya berpakaian
merah dan berikat kepala kain merah.
Tio Cie Hiong meloncat ke atas
pohon, lalu memandang ke tempat itu. Terlihat seorang berjubah merah, namun
mukanya memakai topeng yang dibuat dari tembaga. orang tersebut berdiri di atas
sebuah batu besar, dan semua orang-orang berpakaian merah itu memberi hormat
kepadanya sambil berseru, "Hidup Hwecu (Ketua Perkumpulan) Hidup
Hwecu"
"Ha ha ha" Hwecu itu
tertawa gelak. "Bagus, bagus Kalian telah berkumpul di sini semua malam
ini Ha ha ha"
"Ada perintah apa,
Hwecu?"
"sudah hampir setengah
tahun aku membimbing kalian, tentunya kalian tahu apa tujuan Hiat Ih Hwe
(Perkumpulan Baju Berdarah) yang kudirikan ini. oleh karena itu, kuharap kalian
harus melaksanakan setiap perintah ku"
"Ya, Hwecu."
"Ingat siapa berani
berkhianat, pasti kubunuh dengan cara yang mengerikan sekali Maka janganlah
kalian coba-coba mengkhianatiku"
"Kami pasti setia kepada
Hwecu."
"Tahukah kalian, mengapa
perkumpulanku ini disebut Hiat Ih Hwe?"
"Sebab di mana kami
muncul, di situ pasti banjir darah."
"Bagus, bagus" Hwecu
itu manggut-manggut sambil tertawa cuas. "Ha ha ha Tidak percuma aku
membimbing kalian Nah, kini kalian boleh menyaksikan kepandaianku"
Hwecu itu mengerahkan
lweekangnya, kemudian mengangkat sepasang tangannya perlahan-lahan, sekaligus
membentak keras. seketika terdengar suara gemuruh, ternyata beberapa pohon yang
ada di situ tumbang langsung, dan daun-daunnya pun rontok semua. Betapa terkejutnya
Tio Cie Hiong melihat kedahsyatan lweekang Hwecu itu.
"Kini kalian telah
menyaksikan kepandaianku, maka kalian jangan coba-coba mengkhianatiku"
"Kami tidak berani
berkhianat, pasti setia selama-lamanya kepada Hwecu."
"Bagus, bagus" Hwecu
itu manggut-manggut, kemudian menunjuk sepuluh orang berpakaian merah seraya
berkata, " Kalian yang kutunjuk.. harus segera pergi membunuh Jenderal Wan
Kebetulan hari ini dia sedang menjenguk ibunya yang sakit. Bunuhlah dia di
tengah jalan"
"Ya," sahut sepuluh
orang itu serentak.
"Yang lain boleh kembali
ke tempat masing-masing," ujar Hwecu itu dan menambahkan, "Besok
malam kita berkumpul di sini lagi"
Usai berkata begitu, Hwecu itu
melesat pergi, begitu pula dengan yang lain. Sedangkan Tio Cie Hiong
termangu-mangu di atas pohon, sepertinya sedang mempertimbangkan sesuatu,
akhirnya menguntit sepuluh orang Hiat Ih Hwe itu.
Sesungguhnya Tio Cie Hiong tidak
habis pikir. siapa Hwecu tersebut dan kenapa ingin membunuh Jenderal Wan? Lagi
pula ia pun tidak tahu jelas perkumpulan apa Hiat Ih Hwe itu. Karena pernah
mendengar nama Jenderal Wan dari Yo Huai An, maka ia mengambil keputusan untuk
menolong Jenderal tersebut.
Tampak belasan ekor kuda
berlari agak kencang di sebuah jalan, ternyata rombongan Jenderal Wan, yang
sedang menuju suatu tempat Jenderal Wan berusia lima puluhan, gagah dan
berwibawa.
Dua ekor kuda mendamping
Jenderal Wan.
Tampak pula dua lelaki berusia
tiga puluhan duduk di punggung kuda-kuda itu. Mereka berdua adalah pengawal
pribadi Jenderal wan. "Berhenti" seru salah seorang pengawal itu.
Semuanya langsung berhenti.
Hal itu mencengangkan Jenderal Wan, yang juga menghentikan kudanya.
"Ada apa, Ek Liong?"
tanya Jenderal Wan dengan kening berkerut.
"Jenderal Wan, barusan
aku melihat beberapa sosok bayangan merah berkelebatan di depan. Maka, lebih
baik kita berhenti di sini dulu" jawab Ek Liong memberitahukan. "Aku
khawatir...."
"oh? " Jenderal Wan
memandang ke depan, kemudian tertawa gelak. "Mungkinkah mereka ingin
membunuhku?"
"Kita harus
berhati-hati," ujar Ek Liong lalu berseru. "Kalian semua harus siap
menghadapi segala kemungkinan"
"Ya," sahut para
pengawal lain lalu meloncat turun untuk melindungi Jenderal Wan. Pada waktu
bersamaan, terdengarlah suara seruan lantang kemudian muncul sepuluh orang
berpakaian merah.
"Hiat Ih Hwe muncul,
harus banjir darah"
"Siapa kalian? Kenapa
menghadang perjalanan kami?" tanya Ek Liong sambil menghunus pedangnya. Ek
Houw, adiknya juga ikut menghunus pedangnya.
"Kami ke mari untuk
membunuh Jenderal Wan" sahut mereka serentak.
"Siapa yang menyuruh
kalian?" tanya Jenderal Wan sambil menatap mereka dengan tajam.
"Jenderal Wan tidak perlu
tahu, yang jelas hari ini engkau harus mati" sahut mereka dan mulai
menyerang.
Seketika terjadilah
pertarungan sengit, dan tak seberapa lama kemudian para pengawal itu roboh
dengan tubuh berlumuran darah.
"Jenderal Wan," ujar
Ek Liong cemas. "Mereka rata-rata berkepandaian tinggi. Kalau aku dan
adikku tidak dapat melawan mereka, lebih baik Jenderal Wan kabur saja."
"Ha ha ha Pernahkah aku
gentar menghadapi bahaya?" sahut Jenderal Wan sambil tertawa
terbahak-bahak.
"Tapi..." ucapan Ek
Liong terputus, karena orang-orang berpakaian merah itu telah menyerangnya .
Ek Liong dan Ek Houw bertarung
mati-matian melindungi Jenderal Wan. Belasan jurus kemudian, mereka berdua
mulai kewalahan, bahkan bahu Ek Houw telah terluka.
"Jenderal Wan, cepat
kabur" seru Ek Liong cemas.
Akan tetapi Jenderal wan tetap
duduk di punggung kudanya kelihatannya tidak mau kabur.
"Jenderal Wan...
aaaakh" jerit Ek Liong. Ternyata bahunya tersabet pedang lawan.
"Berhenti" Mendadak
terdengar suara bentakan yang mengguntur, kemudian tampak sosok bayangan putih
melayang turun di depan Jenderal Wan.
Orang-orang Hiat Ih Hwe
terkejut bukan main, karena suara bentakan itu membuat telinga mereka seakan
mau pecah.
"Siapa engkau?"
tanya salah seorang Hiat Ih Hwe.
"Hwecukah yang menyuruh
kalian ke mari untuk membunuh Jenderal Wan, kan?" tanya orang itu, yang
tidak lain adalah Tio Cie Hiong bersama monyet bulu putih yang duduk di
bahunya.
"Engkau...
engkau...." mereka tersentak.
"Hm" Dengus Tio Cie
Hiong. "Cepatlah kalian enyah, jangan cari penyakit di sini"
"Kami sudah ke mari, biar
bagaimana pun harus membunuh Jenderal Wan" sahut salah seorang Hiat Ih
Hwe. "Kalau engkau menghadang, kami pun akan membunuhmu"
"oh?" Tio Cie Hiong
tertawa dingin sambil melangkah maju. "Kalau begitu, cepatlah kalian turun
tangan"
"Baik" orang itu
manggut-manggut sambil memberi isyarat kepada teman-temannya. "Mari serang
dia"
Seketika juga mereka menyerang
Tio cie Hiong dengan pedang. Tio cie Hiong bersiul panjang, dan mendadak
bergerak sambil mengibas-ngibaskan lengan bajunya.
Trang Trang Traaaang Semua
pedang yang di tangan mereka patah berpotong-potong, lalu terdengar suara
jeritan mereka. "Aaaakh Aaaakh Aaaaakh..."
Sepuluh orang Hiat Ih Hwe itu
terhuyung-huyung dengan mulut mengeluarkan darah. Mereka semua telah terluka
dalam bahkan musnah pula kepandaian mereka.
Sementara Jenderal Wan dan
kedua pengawal pribadinya menyaksikan kejadian itu dengan mata terbeliak lebar,
sepertinya tidak percaya akan apa yang mereka saksikan itu.
"Siapa engkau?
Beritahukanlah agar kami bisa melaporkan kepada Hwecu" ujar salah seorang
dari mereka.
"Kalian tidak perlu tahu
aku siapa, begitu pula Hwecu kalian" sahut Tio Cie Hiong dingin.
"Lebih baik kalian jangan kembali ke tempat itu, sebab kepandaian kalian
telah kumusnahkan"
"Sampai jumpa" ucap
orang itu. Mereka lalu berjalan pergi dengan langkah sempoyongan.
"Ha ha h a” Jenderal Wan
tertawa terbahak-bahak. "Terimakasih Tayhiap, engkau telah menyelamatkan
nyawaku"
"Jangan sungkan-sungkan,
Jenderal" sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Bukankah Jenderal
mau pergi menjenguk orang tua?"
"Kok Tayhiap tahu"
Jenderal Wan tercengang.
"Kebetulan aku mendengar
Hwecu Hiat Ih Hwe memberi perintah kepada orang-orang itu," jawab Tio cie
Hiong dan memberitahukan tentang itu.
"oooh” Jenderal Wan
manggut-manggut. "Ternyata begitu Kalau Tayhiap tidak muncul, nyawa kedua
pengawal pribadiku dan nyawaku sendiri pun pasti melayang."
"Tapi aku tetap terlambat
selangkah, sehingga tidak dapat menyelamatkan yang lain." Tio Cie Hiong
menghela nafas. "Aku mohon maaf Jenderal Wan"
"Jangan berkata begitu,
Tayhiap" Jenderal Wan menggeleng-gelengkan kepala.
"Tayhiap" Ek Liong
dan Ek Houw memberi hormat. "Terima kasih"
"sama-sama" sahut
Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Jangan berlaku sungkan-sungkan"
"Kepandaian Tayhiap
sungguh tinggi, sehingga kami kagum sekali," ujar Ek Liong sambil
memandang Tio Cie Hiong dengan penuh kekaguman.
"Kepandaianku tidak
begitu tinggi, biasa saja," sahut Tio Cie Hiong merendah. "ohya, mari
bantu aku mengubur mayat-mayat itu"
"Ya." Ek Liong dan
Ek Houw mengangguk.
Mereka bertiga lalu menggali
sebuah lubang besar, kemudian menguburkan semua mayat itu di dalamnya.
sementara Jenderal Wan manggut-manggut menyaksikannya. la tidak menyangka bahwa
penolongnya itu berhati begitu baik, mau mengubur mayat-mayat para pengawalnya.
"Tayhiap" ujarnya
memuji. "Engkau sungguh berhati baik, bagaimana kalau kita mengangkat
saudara?"
"Maaf, Jenderal Wan"
Tlo cie Hiong menggelengkan kepala. "Kita tidak bisa mengangkat
saudara."
"Lho? " Jenderal Wan
heran. "Kenapa?"
"Sebab aku masih muda,
maka tidak pantas mengangkat saudara dengan Jenderal,"jawab Tio Cie Hiong
jujur.
"Ha ha ha Jenderal Wan
tertawa gelak. " Usia ku lima puluhan, usiamu empat puluhan. Pantas bagi
kita untuk menjadi saudara angkat"
"Jenderal Wan, aku... aku
memakai kedok kulit." Tio cie Hiong memberitahukan. "sesung-guhnya
usiaku baru dua puluhan, maka lebih baik aku memanggil Jenderal, paman
saja."
"Apa?" Jenderal Wan
terbelalak. "Engkau memakai kedok kulit?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"ohya Bolehkah aku tahu
namamu?" tanya Jenderal Wan mendadak sambil menatapnya dalam-dalam.
"Namaku Tio Cie
Hiong." Kemudian menambahkan. "Aku telah bertemu Paman Yo Huai
An...."
"Apa? Jenderal Wan
menatapnya tajam. "Engkau telah bertemu kawan akrabku itu? Bagaimana
keadaannya?"
"Beliau baik-baik
saja."
"Bagaimana engkau bertemu
dia?"
"Malam itu...."
tutur Tio Cie Hiong. "secara tidak langsung aku telah menyelamatkan
mereka."
"oooh” Jenderal Wan
manggut-manggut. "Ia memang tahu aturan, karena tidak menyuruh Tio cie
Hiong melepaskan kedok kulitnya.
"Maaf, Jenderal Wan"
ucap Tio Cie Hiong. "Aku mohon diri"
"Tayhiap...."
Jenderal Wan ingin menahannya, namun merasa tidak enak. "Mudah-mudahan
kita
akan berjumpa kembali"
"sampai jumpa, Jenderal
Wan"
"Tunggu" seru Ek
Liong sambil menggenggam tangannya. "Tayhiap mau ke mana?" "Aku
mau pergi ke Gunung Hong Lay san," sahut Tio Cie Hiong jujur.
"Sungguh kebetulan"
ujar Ek Liong girang. "Kita menuju arah yang sama, maka bagaimana kalau
kita melakukan perjalanan bersama?"
"Bukankah aku akan
mengganggu perjalanan kalian?" ujar Tio Cie Hiong.
"Tentu tidak." sahut
Jenderal Wan sambil tertawa. "Kami akan merasa gembira sekali apabila
Tayhiap bersedia melakukan perjalanan bersama kami"
"Baiklah." Tio Cie
Hiong mengangguk.
Betapa girangnya Ek Liong dan
Ek Houw. Ternyata mereka mempunyai pikiran yang sama, yakni ingin mohon
petunjuk kepada Tio Cie Hiong mengenai ilmu silat.
Ek Liong segera menuntun
kudanya ke hadapan Tio Cie Hiong, sedangkan ia satu kuda dengan Ek Houw. Mereka
lalu melakukan perjalanan bersama. Kettka hari sudah gelap. mereka terpaksa
menginap di rumah seorang petani. Ek Liong dan Ek Houw tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Mereka berterus terang kepada Tio Cie Hiong ingin mohon
petunjuk.
"Tugas kalian berdua
memang berat sekali, karena harus melindungi Jenderal Wan," ujar Tio Cie
Hiong sungguh-sungguh. "Kalau hanya mengandalkan kepandaian yang kalian
miliki sekarang, memang sulit menghadapi orang-orang Hiat Ih Hwe itu."
"Ha ha h a Jenderal Wan
tertawa. "Kalian berdua ingin mohon petunjuk, tapi kenapa tidak segera
berlutut di hadapannya?"
"Ya, ya." Ek Liong
dan Ek Houw mengangguk. Namun ketika mereka berdua baru mau berlutut, mendadak
Tio cie Hiong mengangkat sebelah tangannya, sehingga membuat kedua orang itu
tidak jadi berlutut, lantaran tertahan oleh tenaga yang sangat kuat.
"Kalian berdua tidak usah
berlutut, aku tidak berani menerimanya" ujar Tio cie Hiong sambil
tersenyum.
"Tayhiap...." Ek
Liong dan Ek Houw semakin kagum. "Kami ingin mohon petunjuk mengenai ilniu
silat, harap Tayhiap terima
hormat kami"
"Aku pasti memberi
petunjuk kepada kalian, namun kalian jangan berlutut Kalau kalian tetap
berkeras ingin berlutut, aku malah tidak akan memberi petunjuk kepada kalian,
lho"
"Tayhiap...." Ek
Liong dan Ek Houw saling memandang, lalu mengangguk seraya berkata. "Kami
menurut perkataan
Tayhiap."
"Tayhiap," sela
Jenderal Wan sambil tertawa. "Akupun ingin mohon petunjuk. agar bisa
menjaga diri pula."
"Maaf" ucap Tio Cie
Hiong. "Bagaimana mungkin aku berani memberi petunjuk kepada
Jenderal?"
"Kenapa tidak? Jenderal
Wan tertawa lagi. "Pokoknya Tayhiap juga harus memberi petunjuk
kepadaku"
"Baiklah." Tio cie
Hiong mengangguk. "Kebetulan bulan purnama, mari kita ke pekarangan
saja"