Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 08

Baca Cersil Mandarin Online: Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 08
Bagian 08

Ia segera mengeluarkan semacam obat bubuk, kemudian ditaburkan di telapak kaki monyet putih sekaligus membalutnya.

"Kauw heng!" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Esok pagi telapak kakimu pasti sembuh."

Monyet putih bercuit-cuit, kelihatannya seperti mengucapkan terimakasih kepada Tio Cie Hiong.

Setelah itu, mendadak ia menarik tangannya.

"Eh?" Tio Cie Hiong tercengang. "Engkau ingin mengajakku ke mana?"

Monyet putih manggut-manggut.

"Baiklah! Engkau boleh mengajakku ke sana," ujar Tio Cie Hiong.

Monyet putih berjalan perlahan, dan Tio Cie Hiong mengikutinya dari belakang. Tak seberapa lama kemudian mereka sampai di tebing yang tertutup oleh salju.

Tio Cie Hiong terheran-heran, kenapa monyet putih mengajaknya ke tebing itu.

Monyet putih bercuit-cuitan, lalu memutar sebuah batu, dan seketika terdengarlah suara 'Kreeek'

Tio Cie Hiong terbelalak, karena melihat dinding tebing itu bergerak. Ternyata di situ terdapat sebuah pintu rahasia.

Setelah pintu rahasia itu terbuka, monyet putih menarik Tio Cie Hiong ke dalam. Setelah melangkah ke dalam, terbeliaklah Tio Cie Hiong karena tempat itu berupa sebuah goa yang sangat besar dan tinggi. Ruangan goa itu terang benderang, karena pada dindingnya terdapat dua butir mutiara sebesar telor ayam yang memancarkan sinar.

Monyet putih menutup kembali pintu goa itu, lalu mendekati Tio Cie Hiong sambil bercuit-cuit dan menunjuk ke sudut kiri yang menonjol.

"Kauw heng! Apa maksudmu?"Tio Cie Hiong tidak mengerti.

Mendadak monyet putih meloncat ke hadapan tempat yang menonjol itu, kemudian berlutut di situ.

"Kauw heng!" Tio Cie Hiong tercengang. "Apakah itu makam majikanmu?"

Tio Cie Hiong terbelalak, karena melihat dinding tebing itu bergerak. Ternyata di situ terdapat sebuah pintu rahasia.

Setelah pintu rahasia itu terbuka, monyet putih menarik Tio Cie Hiong ke dalam. Setelah melangkah ke dalam, terbeliaklah Tio Cie Hiong karena tempat itu berupa sebuah goa yang sangat besar dan tinggi. Ruangan goa itu terang benderang, karena pada dindingnya terdapat dua butir mutiara sebesar telor ayam yang memancarkan sinar.

Monyet putih menutup kembali pintu goa itu, lalu mendekati Tio Cie Hiong sambil bercuit-cuit dan menunjuk ke sudut kiri yang menonjol.

"Kauw heng! Apa maksudmu?"Tio Cie Hiong tidak mengerti.

Mendadak monyet putih meloncat ke hadapan tempat yang menonjol itu, kemudian berlutut di situ.

"Kauw heng!" Tio Cie Hiong tercengang. "Apakah itu makam majikanmu?"

Monyet putih itu manggut-manggut. Tio Cie Hiong segera mendekati makam itu, lalu berlutut. Setelah monyet putih itu bangkit berdiri, barulah Tio Cie Hiong berdiri. Ada satu hal yang membuat Tio Cie Hiong tidak habis pikir, yakni udara di luar dingin sekali, namun di dalam goa ini malah terasa hangat.

Tio Cie Hiong mulai menengok ke sana ke mari. Dilihatnya pada dinding sebelah kanan terukur puluhan gambar manusia dengan berbagai macam gerakan aneh. Pada setiap gambar itu pun

terukir huruf-huruf Han kuno. Walau sejak kecil Tio Cie Hiong sudah belajar ilmu sastra, namun sama sekali tidak mengerti huruf-huruf tersebut.

Monyet putih meloncat ke dalam tetapi tak lama sudah keluar lagi dengan membawa berbagai buah-buahan, kemudian ditaruhnya di atas sebuah batu, lalu menarik tangan Tio Cie Hiong.

"Kauw heng!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Engkau menyimpan buah-buahan di dalam?" Monyet putih manggut-manggut.

"Engkau menyuruhku makan buah-buahan itu?" tanya Tio Cie Hiong.

Monyet putih bercuit-cuit sambil manggut-manggut.

"Terimakasih, Kauw heng!" ucap pemuda itu sambil tersenyum. "Aku memang sudah lapar sekali."

Tio Cie Hiong mulai makan buah-buahan itu. Monyet putih itu pun ikut makan dengan asyiknya. Seusai makan buah-buahan itu, mendadak monyet putih menarik Tio Cie Hiong mendekati sebuah batu berbentuk bulat. Batu itu berwarna hijau mirip sebuah kaca tembus pandang. Kemudian monyet putih menepuk batu itu.

"Kauw heng, engkau menyuruhku duduk diatas batu hijau itu?" tanya Tio Cie Hiong heran.

Monyet putih itu mengangguk.

"Kauw heng, apakah majikanmu sering duduk di atas batu itu?"

Monyet putih mengangguk lagi.

"Baik!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku akan duduk di atas batu itu."

Tio Cie Hiong naik ke atas, tapi segera meloncat turun dengan wajah penuh keheranan.

Ternyata batu itu dingin sekali. Mana tahan Tio Cie Hiong duduk di atasnya?.

Ketika melihat Tio Cie Hiong meloncat turun, monyet putih mendorongnya.

"Kauw heng! Batu itu dingin sekali, bagaimana mungkin aku tahan duduk di atasnya?" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.

Monyet putih bercuit-cuitan, bahkan tampak tidak senang.

Tio Cie Hiong tersenyum, kemudian naik ke atas batu itu lagi. Ia duduk bersemadi dan mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang, maka hawa hangat dalam tubuhnya dapat melawan hawa dingin yang menerobos ke dalam tubuhnya.

Akan tetapi, hanya sebenatar saja hawa hangat dalam tubuhnya tidak dapat menahan hawa dingin itu, maka Tio Cie Hiong meloncat turun lagi.

Kali ini monyet putih tidak bercuit-cuitan lagi, melainkan menatapnya sambil manggut-manggut.

"Kauw heng! Aku tahu engkau menghendaki aku duduk bersemadi di atas batu hijau itu, tapi engkau jangan terlampau mendesakku, sebab batu hijau itu dingin sekali."

Monyet putih mengangguk.

Tio Cie Hiong memandang monyet putih, dan tiba-tiba teringat sesuatu.

"Kauw heng, engkau tahu Kiu Yap Ling Che (Ling Che Berdaun Sembilan) tumbuh di mana?" tanyanya segera.

Monyet putih diam seakan sedang berpikir, kemudian bercuit-cuitan.

"Engkau tahu Kiu Yap Ling Che itu tumbuh di mana?" tanya Tio Cie Hiong dan girang bukan main.

Monyet putih manggut-manggut.

"Kauw heng!" Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku ke mari justru ingin mencari Kiu Yap Ling Che, maka maukah engkau menunjukkan tempat Kiu Yap Ling Che itu?"

Monyet putih mengangguk.

"Kauw heng! Mari kita ke sana!" ujar Tio Cie Hiong girang.

Akan tetapi, monyet putih menggelengkan kepala. Hal itu sungguh mencengangkan Tio Cie Hiong.

"Engkau tidak mau mengajakku ke sana?"

Monyet putih segera meloncat ke arah pintu goa, lalu membukanya. Ternyata di luar telah gelap sekali.

Tio Cie Hiong tersenyum. "Sudah malam, maka engkau tidak mau mengajakku ke sana..."

Monyet putih manggut-manggut.

"Kalau begitu, besok pagi saja."

Monyet putih itu manggut-manggut lagi, kemudian menunjuk batu hijau.

"Engkau menyuruhku bersemadi lagi di atas batu hijau yang dingin itu?" tanya Tio Cie Hiong.

Monyet itu bercuit beberapa kali.

Bahu Tio Cie Hiong terangkat sedikit, lalu naik ke batu hijau itu dan duduk bersemadi. Akan tetapi, berselang beberapa saat ia turun lagi, sebab tidak tahan akan hawa dingin batu itu. Ketika turun, ia masih tampak menggigil.

Beberapa saat kemudian setelah tidak menggigil, Tio Cie Hiong naik lagi ke batu itu, lalu duduk bersemadi. Namun berselang beberapa saat, ia terpaksa turun lagi, karena tidak menahan dinginnya batu itu. Setelah beberapa kali mencoba barulah ia tidur di tempat lain

Monyet putih membuka pintu goa, ternyata hari sudah terang.

Tio Cie Hiong mendekatinya, lalu memandang kaki monyet putih seraya berkata.

"Kauw heng, coba kulihat telapak kakimu!"

Monyet putih segera duduk, sekaligus mengangkat kaki kanannya. Tio Cie Hiong membuka pembalut di telapak kaki monyet itu. Ternyata luka itu telah sembuh.

"Kauw heng!" Tio Cie Hiong memberitahukan sambil tersenyum. "Telapak kakimu telah sembuh."

Monyet putih itu bercuit-cuit gembira, lalu berloncat-loncatan.

Tio Cie Hiong tertawa-tawa menyaksikannya. "Kauw heng! Mari kita ke tempat Kiu Yap Ling Che!" katanya.

Monyet putih mengangguk, kemudian menarik tangan Tio Cie Hiong. Pemuda itu mengikutinya. Tak seberapa lama kemudian, monyet putih telah membawa Tio Cie Hiong ke sebuah tebing yang penuh salju.

Monyet itu menunjuk ke bawah. Tio Cie Hiong segera memandang ke sana. Tampak sebuah tumbuhan yang tumbuh di dinding tebing. Daunnya hanya sembilan helai, dan buahnya bergemerlapan. Tidak salah, itulah Kiu Yap Ling Che. Namun Tio Cie Hiong tidak kelihatan gembira, melainkan malah menarik nafas panjang. Itu dikarenakan dia tidak mungkin memperoleh buah Ling Che, karena pohon buah itu tumbuh di dinding tebing yang amat licin.

"Kauw heng!" ujar Tio Cie Hiong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak mampu mengambil buah Ling Che. Tolong antar aku kembali ke goa saja!"

Monyet putih mengangguk, lalu menarik tangan Tio Cie Hiong. Ketika hampir sampai di goa itu, mendadak monyet itu melesat pergi.

"Kauw heng! Engkau mau ke mana?" seru Tio Cie Hiong. Namun monyet itu sudah tidak tampak lagi.

Tio Cie Hiong melangkah ke dalam goa dengan kepala tertunduk. Ia bersusah payah ke puncak Gunung Thian San ini, namun sia-sia karena tidak bisa mengambil buah Ling Che.

Ia duduk bersandar di dinding goa. Berselang beberapa saat kemudian, tampak sosok bayangan putih melesat ke dalam. Ternyata monyet putih, tangannya membawa buah yang bergemerlapan.

"Haah?" Tio Cie Hiong terbelalak ketika melihat buah itu, sebab buah itu tak lain buah Ling Che. "Kauw heng, engkau berhasil memetik buah Ling Che?"

Monyet putih mengangguk sambil menyodorkan buah tersebut ke mulut Tio Cie Hiong.

"Engkau menyuruhku makan buah ini?" tanya Tio Cie Hiong girang.

Monyet putih manggut-manggut. "Terimakasih, Kauw heng" ucap Tio Cie Hiong lalu menyantap buah itu.

Kemudian monyet putih itupun menariknya mendekati batu hijau yang dingin.

Tio Cie Hiong tersenyum. "Engkau menyuruhku bersemadi lagi di atas batu hijau itu?"

Monyet putih mengangguk. Tio Cie Hiong langsung mrnuju ke atas batu hijau itu, kemudian duduk bersemadi. Hawa dingin batu hijau itu menerobos ke dalam tubuhnya, tapi mendadak Tio Cie Hiong merasa ada hawa hangat bergejolak dalam tubuhnya. Ia segera memejamkan matanya sambil mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang.

Hawa batu hijau itu semakin dingin, namun dalam sekujur badan Tio Cie Hiong mengalir hawa hangat yang melawan hawa dingin itu.

Sementara monyet putih berdiri diam sambil memandang Tio Cie Hiong dan hanya sekali-sekali bercuit.

Entah berapa lama kemudian, barulah Tio Cie Hiong membuka matanya, dan ia girang sekali karena tidak kedingingan lagi. Ia pun tidak menyadari satu hal, yakni Iweekangnya telah bertambah tinggi karena makan buah Ling Che dan duduk bersemadi di atas batu hijau yang amat dingin itu, merupakan suatu latihan yang sangat luar biasa bagi tubuhnya.

Ketika Tio Cie Hiong membuka matanya, monyet putih berjingkrak-jingkrakan kegirangan.

Setelah itu, dia menunjuk Tio Cie Hiong lalu menunjuk dirinya sendiri.

"Kauw heng! Engkau menyuruhku memperhatikanmu?" tanya Tio Cie Hiong heran, sementara masih duduk di atas batu hijau.

Monyet putih mengangguk, kemudian sepasang kakinya mulai bergerak ke depan, ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Makin lama gerakannya makin cepat sehingga mata Tio Cie Hiong menjadi silau karenanya.

Ia tidak bisa melihat jelas gerakan kaki monyet itu. Padahal ketika menyaksikan Bu Lim Ji Khie bertanding, ia masih mampu melihat jelas semua gerakan jurus-jurus mereka. Akan tetapi, ia tidak mampu melihat jelas gerakan-gerakan kaki monyet putih, sebab gerakan-gerakan kaki monyet itu bukan main cepatnya.

Tio Cie Hiong tidak tahu, bahwa sebenarnya gerakan kaki monyet putih adalah gerakan Siu Kiong San Tian. Berselang beberapa saat kemudian, barulah monyet putih berhenti menggerakkan kakinya sambil bercuit-cuit.

"Kauw heng! Aku belum melihat jelas gerakanmu, coba diulang lagi!" ujar Tio Cie Hiong.

Monyet putih kembali menggerakkan kakinya, dan kali ini Tio Cie Hiong memperhatikan dengan seksama. Ketika monyet itu berhenti, Tio Cie Hiong menyuruhnya mengulangi lagi.

Tio Cie Hiong mencurahkan segenap perhatiannya untuk memperhatikan gerakan-gerakan monyet putih, maka kali ini barulah ia dapat melihat dengan jelas.

Monyet putih berhenti, dan Tio Cie Hiong tersenyum seraya berkata.

"Kauw heng, aku sudah melibat jelas gerakan-gerakanmu."

Monyet putih bercuit-cuit sambil melambai-lambaikan tangannya. Tio Cie Hiong tercengang melihatnya.

"Engkau menyuruhku meniru gerakan-gerakanmu itu?"

Monyet putih mengangguk.

"Baik!" Tio Cie Hiong turun dari batu hijau lalu mendekati monyet putih. Monyet putih bercuit lagi. Tio Cie Hiong tersenyum dan mulai bergerak sesuai dengan gerakan-gerakan monyet putih. Semula gerakannya agak lamban, namun makin lama makin cepat. Monyet putih bercuit-cuit gembira, kemudian ikut bergerak, sehingga tampak dua sosok bayangan berkelebatan.

Berselang beberapa saat, Tio Cie Hiong berhenti dan monyet putih pun ikut berhenti.

"Kauw heng! Aku sudah bisa!" ujar Tio Cie Hiong girang.

Monyet putih bercuit-cuit lagi, kemudian meloncat ke atas setinggi lima enam depa, berjungkir balik di situ dan tubuhnya melambung ke atas lagi lima enam depa, lalu berjungkir balik lagi sehingga tubuhnya melambung ke atas lima enam depa.

Bukan main kagumnya Tio Cie Hiong menyaksikannnya. Namun dia tidak tahu bawwa itu adalah ilmu ginkang tingkat tinggi. Setelah itu, tubuh monyet putih melayang turun dengan ringan sekali. Setelah sepasang kakinya menyentuh tanah, monyet itu pun bercuit-cuit.

"Engkau menyuruhku meniru gerakanmu itu?" tanya Tio Cie Hiong.

Monyet putih mengangguk.

Tio Cie Hiong meloncat ke atas. Ternyata ia pun meloncat setinggi lima enam depa, lalu berjungkir balik meniru gerakan monyet putih. Akan tetapi, badan Tio Cie Hiong tidak melambung ke atas, sebaliknya malah merosot ke bawah. Buuuk! Tio Cie Hiong jatuh tertelentang. Monyet putih bercuit-cuit dan berloncat-loncatan, seakan mentertawakannya.

"Kauw heng!" Tio Cie Hiong penasaran. "Engkau mentertawakan aku ya?"

Monyet putih menganguk sambil bertepuk-tepuk tangan. Tio Cie Hiong melotot. Ia meloncat ke atas lagi, juga berjungkir balik. Tapi badannya tetap tidak bisa melambung ke atas, melainkan merosot ke bawah.

Buuuk! Tio Cie Hiong jatuh lagi.

Monyet putih bertepuk-tepuk tangan. Tio Cie Hiong mengerutkan kening sambil bangkit berdiri.

"Kauw heng! Kenapa bisa begitu?" tanya Tio Cie Hiong heran.

Monyet putih mengangkat-angkat dadanya menarik-narik nafasnya, seperti sedang memberi petunjuk pada Tio Cie Hiong.

"Maksudmu aku harus menarik nafas di saat berjungkir balik?" tanya Tio Cie Hiong.

Monyet putih mengangguk.

Tio Cie Hiong meloncat ke atas lagi. Ketika berjungkir balik, is segera menarik nafasnya dalam-dalam.

Akan tetapi, badannya tetap tidak bisa melambung ke atas, melainkan merosot ke bawah.

Hanya kali ini badannya merosot dengan ringan sekali, tidak jatuh seperti tadi.

"Kauw heng! Kenapa badanku tetap tidak bisa melambung ke atas?" tanya Tio Cie Hiong heran sambil memandang monyet putih.

Monyet putih menggeleng-gelengkan kepala, kelihatannya tidak mengerti akan hal itu.

Tio Cie Hiong tidak begitu memusingkan tentang itu, seminggu kemudian, Tio Cie Hiong berpamit kepada monyet putih. Seketika mata monyet itu tampak basah.

"Kauw heng, janganlah engkau berduka!" ujar Tio Cie Hiong sambil membelainya. "Kita akan berjumpa lagi kelak."

Monyet putih manggut-manggut. Tio Cie Hiong membelainya lagi seraya berkata.

"Kauw heng! Selamat tinggal!" Tio Cie Hiong melangkah pergi meninggalkan goa itu. Monyet putih mengantarkan sampai di depan goa.

Ketika Tio Cie Hiong sampai di kaki Gunung itu, mendadak ia mendengar suara ringkikan kuda. "Haah...." Tio Cie Hiong terperangah. Ia sama sekali tidak menduga kalau kuda tunggangnya masih

menunggu di situ.

"Kuda yang setia kawan, engkau tidak ke mana-mana selama seminggu ini?" Kuda itu meringkik lagi. Tio Cie Hiong membelai kepalanya lalu meloncat ke atas punggungnya.

"Mari kita ke Gunung Wu San, aku ingin menengok Sok Beng Yok Ong!" ujar Tio Cie Hiang.

Kuda itu meringkik kemudian berlari kencang meninggalkan Gunung Thian San. Tio Cie Hiong yang duduk di atas punggung kuda itu tertawa riang gembira. Ia sama sekali tidak tahu bahwa dirinya telah memiliki Iweekang yang amat tinggi, bahkan juga memiliki Kiu Kiong San Tian Pou, ginkang yang memang belum sempurna tapi sudah bisa membuat gerakannya menjadi cepat dan rinagn juga tubuhnya pun kebal terhadap racun apapun.

Sepuluh hari kemudian, ia sudah sampai di lembah Persik di Gunung Wu San. Bukan main gembiranya karena akan bertemu kembali dengan Sok Beng Yok Ong.

"Paman Tua! Paman Tua..." serunya sambil meloncat turun dari kuda. "Paman Tua! Paman tua, aku datang!"

Tiada sahutan dan tidak tampak Sok Beng Yok Ong keluar dari gubuk itu. Hal itu membuat Tio Cie Hiong tercengang dan bertanya dalam hati, apakah Sok Beng Yok Ong telah meninggalkan gubuk itu, ataukah pergi mencari akar obat?

Akan tetapi, pintu gubuk itu terbuka lebar. Tio Cie Hiong mengerutkan kening sambil berjalan ke pintu. Ketika melongok ke dalam, ia terbelalak dan wajahnya berubah pucat pias.

Keadaan di dalam gubuk itu porak poranda. Tampak Sok Beng Yok Ong tergeletak di lantai tak bergerak sama sekali, pakaiannya penuh noda darah.

"Paman Tua!" teriak Tio Cie Hiong sambil berlari mendekatinya. "Paman Tua!"

Tio Cie Hiong membungkukkan badannya. Pada waktu bersamaan badan Sok Beng Yok Ong bergerak sedikit sambil matanya terbuka.

"Cie Hiong...." panggil Sok Beng Yok Ong dengan suara lemah.

"Paman Tua...." Mata Tio Cie Hiong bersimbah air. Ia tahu, Sok Beng Yok Ong sudah tidak bisa

bertahan lama lagi.

"Nak... engkau sudah... kembali...."

"Paman Tua, aku sudah makan buah Ling Che." Tio Cie Hiong memberitahukan dengan air mata bercucuran.

"Bagus... bagus ...."

"Paman Tua, siapa yang melakukan semua ini?" tanya Tio Cie Hiong terisak-isak.

"Cie Hiong, sejak kecil... aku menekuni obat-obatan. Tujuanku... hanya untuk... menolong...

orang, tapi... akhirnya... aku... aku malah... disiksa... oleh orang yang... kutolong itu."

"Paman Tua, siapa orang itu?"

"Cie Hiong, dengarkanlah baik-baik... engkau harus... harus belajar ilmu silat. Cie Hiong... berjanjilah!"

Keadaan di dalam gubuk itu porak poranda. Tampak Sok Beng Yok Ong tergeletak di lantai tak bergerak sama sekali, pakaiannya penuh noda darah.

"Paman Tua!" teriak Tio Cie Hiong sambil berlari mendekatinya. "Paman Tua!"

Tio Cie Hiong membungkukkan badannya. Pada waktu bersamaan badan Sok Beng Yok Ong bergerak sedikit sambil matanya terbuka.

              

"Cie Hiong....      " panggil Sok Beng Yok Ong dengan suara lemah.

"Paman Tua....  " Mata Tio Cie Hiong bersimbah air. Ia tahu, Sok Beng Yok Ong sudah tidak bisa

bertahan lama lagi.

"Nak... engkau sudah... kembali...."

"Paman Tua, aku sudah makan buah Ling Che." Tio Cie Hiong memberitahukan dengan air mata bercucuran.

"Bagus... bagus ...."

"Paman Tua, siapa yang melakukan semua ini?" tanya Tio Cie Hiong terisak-isak.

"Cie Hiong, sejak kecil... aku menekuni obat-obatan. Tujuanku... hanya untuk... menolong...

orang, tapi... akhirnya... aku... aku malah... disiksa... oleh orang yang... kutolong itu."

"Paman Tua, siapa orang itu?"

"Cie Hiong, dengarkanlah baik-baik... engkau harus... harus belajar ilmu silat. Cie Hiong... berjanjilah!"

"Ya," sahut Tio Cie Hiong dengan air mata berderai-derai. "Paman Tua, beritahukanlah! Siapa yang turun tangan jahat terhadap Paman?"

"Aku... aku tidak sia-sia bertahan, akhirnya... akhirnya engkau ke mari...." Suara Sok Beng Yok

Ong semakin lemah.

"Paman Tua, siapa orang itu?" tanya Tio Cie Hiong lagi.

"Mereka... mereka adalah...." Mendadak kepala Sok Beng Yok Ong terkulai, orang tua itu telah mati.

"Paman Tua! Paman Tua....!!!!!" teriak Tio Cie Hiong dengan air mata berlinang-linang.

Setelah menguburkan mayat Sok Beng Yok Ong, barulah Tio Cie Hiong mendekati kudanya.

"Kuda yang baik!" ujarnya sambil membelai-belai kepala kuda itu. "Engkau dan monyet putih itu

adalah binatang, namun kalian lebih berperasaan dan lebih setia kawan dari pada manusia.

Aaakh... kenapa hati manusia begitu kejam? Haruskah saling membunuh? Katanya binatang sangat

kejam, buktinya manusia malah lebih kejam dari pada binatang!"

Kuda itu meringkik dan memanggut-manggutkan kepalanya. Apakah kuda itu mengerti apa yang dikatakan Tio Cie Hiong? Tentu tidak. Hanya saja kuda tersebut mempunyai perasaan yang amat dekat dengan pemuda itu.

"Ma heng (Saudara kuda)!" ujar Tio Cie Hiong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Paman Tua itu selalu menolong orang, hidupnya dicurahkan pada obat-obatan, sehingga tidak mempunyai anak isteri. Tapi... akhirnya dia malah mati ditangan penjahat. Kenapa orang-orang rimba persilatan begitu kejam? Aaakh? Ma heng, setelah aku berhasil mencari Ku Tok Lojin, alangkah baiknya kita hidup tenang di puncak Gunung Thian San bersama monyet putih itu!"

Kuda itu meringkik lagi.

Tio Cie Hiong meloncat ke punggung kudanya kemudian memegang tali les seraya berkata. "Aku tidak tahu harus ke mana, terserah engkau mau membawaku ke mana."

Kuda itu meringkik nyaring, lalu berlari pergi meninggalkan Lembah Persik.

Sepanjang jalan, Tio Cie Hiong selalu menolong orang-orang sakit tanpa menerima pembayaran. Dari desa ke desa, dari kota ke kota ia selalu mengobati orang-orang sakit dan tetap tidak

menerima upah. Namun ada beberapa hartawan mendesak memberinya uang, membuat Tio Cie Hiong terpaksa menerimanya. Bahkan jika orang miskin yang diobatinya tidak punya uang untuk membeli obat, Tio Cie Hiong lah yang memberi mereka uang untuk membeli obat.

Oleh karena itu, para orang miskin menganggapnya sebagai dewa penolong. Para gadis cantik berusaha mendekatinya, namun ia hanya bersikap biasa saja dan mau bergaul dengan siapapun. Perlu diketahui, kini Tio Cie Hiong telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang amat tampan. Tutur bahasanya halus sekali, maka gadis mana yang akan tidak tertarik kepadanya?

Suatu hari mulai senja, kuda itu membawanya ke dalam sebuah rimba. Mendadak ia melihat seorang berpakaian putih berjalan terhuyung-huyung, tak lama orang itu terkulai.

Tio Cie Hiong segera meloncat turun dari kudanya, dan cepat-cepat mendekati orang itu. Setelah melihat jelas, terbelalaklah Tio Cie Hiong, karena orang itu adalah Pek Ih Mo Li, seperti telah diceritakan Sok Beng Yok Ong bahwa Pek Ih Mo Li lah yang menolongnya ketika ia terpukul oleh Ngo Tok Ciang.

Segeralah Tio Cie Hiong memeriksanya, namun. kemudian menggeleng-geleng kepala, karena urat nadi Pek Ih Mo Li telah putus tergempur oleh Iweekang yang amat dahsyat. Pek Ih Mo Li masih bisa bertahan, karena ia pun memiliki Iweekang tinggi.

Tio Cie Hiong mengeluarkan dua butir pil warna merah, yaitu Sok Beng Tan. Kedua butir pil tersebut dapat menyambung nyawa Pek Ih Mo Li beberapa saat.

Setelah menelan dua butir pil Sok Beng Tan, sesaat kemudian Pek Ih Mo Li membuka matanya.

Begitu melihat Tio Cie Hiong, ia tersenyum.

"Adik kecil..." panggilnya dengan suara lemah.

"Terimakasih atas pertolongan Nona yang telah membawaku ke Lembah Persik, sehingga nyawaku dapat diselamatkan," ucap Tio Cie Hiong.

"Adik kecil...." Pek Ih Mo Li menatapnya.

"Waktu Nona tidak begitu banyak lagi, mau berpesan apa pesanlah kepadaku? Aku pasti melaksanakannya," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.

"Adik kecil, aku... aku mempunyai seorang adik. Usianya sudah tujuh belas, tolong cari dial" pesan Pek Ih Mo Li.

"Nama Adikmu?" tanya Tio Cie Hiong. "Namanya... Tio Cie Hiong," jawab Pek Ih Mo Li. "Apa?!" terbelalak Tio Cie Hiong mendengarnya. "Adikmu bernama Tio Cie Hiong?" "Benar... Kenapa?"

"Aku... akulah Tio Cie Hiong," Air matanya mulai mengucur. "Kalau begitu, engkau pasti...."

"Haaah...!" Pek Ih Mo Li tertegun, kemudian tersenyum dengan air mata berderai-derai. "Cie Hiong, adikku...."

"Kakak! Kakak!" panggil Tio Cie Hiong sambil memeluknya erat-erat. "Kakak...."

"Adik..., aku... aku gembira sekali. Akhirnya kita dapat bertemu." Pek Ih Mo Li juga memeluk Tio Cie Hiong erat-erat.

"Kakak, siapa ayah dan ibu?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.

"Ayah adalah Hui Kiam Tek-Tio It Seng, sedangkan ibu adalah Sin Pian Bijin-Lie Hui Hong." jawab Pek Ih Mo Li memberitahukan. "Belasan tahun lampau, tanpa sengaja ayah memperoleh Kotak Pusaka yang berisi kitab ilmu silat Pak Kek Siang Ong. Tapi... ayah dan ibu mati dibunuh oleh Bu Lim Sam Mo. Aku tergelincir ke dalam jurang. Untung tertolong oleh seorang biarawati sakti, lalu beliau menerimaku sebagai murid. Pada waktu itu, Paman Tio Sam membawamu pergi...."

"Ayah! Ibu..." gumam Tio Cie Hiong terisak-isak. "Kakak, kenapa Bu Lim Sam Mo membunuh kedua orang tua kita?"

"Karena ingin memperoleh Kotak Pusaka itu."

"Aaakh...!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala dengan air mata bercucuran.

"Adik, engkau harus membalas dendam kedua orang tua kita dan membalas dendamku!" pesan Pek Ih Mo Li. "Adik, berjanjilah!"

"Ya, Kak." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Omitohud!" Tiba-tiba terdengar suara pujian kepada Sang Budha, kemudian muncul seorang padri tua di hadapan mereka.

"Sin Ceng!" Panggil Pek Ih Mo Li.

"Omitohud! Ternyata engkau Pek Ih Mo Li!" Padri tua itu adalah Lam Hai Sin Ceng.

"Dua tahun lalu, Sin Ceng pernah bilang, semuanya itu telah merupakan takdir. Pada waktu itu, Sin Ceng pun berpesan kepadaku harus ber hati-hati, aku bilang kalau sudah merupakan takdir, berhati-hati pun pasti terjadi. Buktinya aku tidak terlepas dari takdir ini" ujar Pek Ih Mo Li sambil tersenyum getir, kemudian wajahnya meringis.

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng menarik nafas panjang.

"Adik...." Suara Pek Ih Mo Li mulai melemah. Ia menggenggam tangan Tio Cie Hiong erat-erat.

"Belasan tahun lampau, kaum golongan hitam mengeroyok kedua orang tua kita sampai kedua orang tua kita terluka. Engkau... engkau harus menumpas golongan hitam!"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk dan mulai terisak-isak lagi.

"Adik...." Pek Ih Mo Li menatap Tio Cie Hiong dengan mata redup. "Engkau harus membunuh Bu

Lim Sam Mo dan....."

"Pek Ih Mo Li!" tanya Lam Hai Sin Ceng mendadak. "Siapa yang melukaimu sampai begini?"

"Mereka... mereka adalah..." jawab Pek Ih Mo Li terputus-putus. "Mereka adalah Empat Dhalai Lhama Tibet...."

"Omitohud! Bu Lim Sam Mo belum muncul, kini malah muncul Empat Dhalai Lhama Tibet!" gumam Lam Hai Sin Ceng sambil menghela nafas. "Pasti akan banjir darah dalam rimba

persilatan...."

"Adik......" Pek Ih Mo Li mengeluarkan sebuah kitab dari dalam bajunya, lalu diberikan kepada

Tio Cie Hiong. "Kitab ini... pemberian guruku, sekarang... kuberikan kepadamu...."

"Kakak!" Tio Cie Hiong menerima kitab itu dengan air mata berderai. Ia tahu, bahwa ajal kakaknya telah tiba. "Kakak...."

"Adik..." ujar Pek Ih Mo Li. "Kenapa gelap sekali...?"

"Omitohud! Dosamu tidak berat, akan muncul cahaya untuk menuntunmu. Omitohud..." ucap Lam Hai Sin Ceng.

"Terimakasih, Sin Ceng!" Wajah Pek Ih Mo Li mulai berseri. "Adikku...."

Tiba-tiba kepala Pek Ih Mo Li terkulai, dan seketika juga Tio Cie Hiong berteriak.

"Kakak! Kakak! Kakak...." Tio Cie Hiong menangis sedih.

"Omitohud! Dia pergi dengan tenang, janganlah memberatkannya dengan tangisanmu!" ucap Lam Hai Sin Ceng.

"Kakak...." Tio Cie Hiong berhenti menangis, namun air matanya tetap berderai-derai. Belasan

tahun ia berpisah dengan kakaknya, kini telah berjumpa tapi kakaknya justru menemui ajalnya dalam pelukannya.

Kemudian Tio Cie Hiong mengubur mayat kakaknya, setelah itu barulah ia mendekati Lam Hai Sin Ceng, sekaligus memberi hormat.

"Maaf, Sin Ceng!" ucapnya. "Tadi aku lama sekali tidak mengacuhkan Sin Ceng, sebab kakakku...."

"Omitohud! Aku tahu itu." Lam Hai Sin Ceng tersenyum lembut, lalu memberitahukan. "Dua tahun lampau, engkau terluka karena terpukul oleh Ngo Tok Ciang hingga pingsan. Kemudian muncullah Pek Ih Mo Li. Dia telah membunuh Hek Pek Siang Koay yang kejam itu. Kebetulan aku

lewat di tempat itu, maka aku menyuruhnya membawamu ke Lembah Persik, sebab hanya Sok Beng Yok Ong yang dapat menolongmu."

"Terimakasih, Sin Ceng!" ucap Tio Cie Hiong, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Sok Beng Yok Ong telah mati di bunuh penjahat...."

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Ohya, dua tahun lalu aku pernah memeriksamu. Dalam tubuhmu mengalir hawa hangat melindungi jantungmu, maka engkau tidak mati terpukul oleh Ngo Tok Ciang. Apakah engkau pernah belajar Iweekang?"

"Pernah." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Maukah engkau memberitahukanku Iwekang apa itu?" tanya Lam Hai Sin Ceng.

"Maaf, Sin Ceng! aku tidak boleh memberitahukan kepada siapa pun tentang Iwekang itu"

"Omitohud! Itu tidak apa-apa." Lam Hai Sin Ceng tersenyum lembut. "Sekarang aku ingin memeriksa tubuhmu, engkau tidak berkeberatan kan?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

Lam Hai Sin Ceng memegang nadi Tio Cie Hiong. Seketika wajah padri sakti itu tampak tercengang.

"Bukan main!" gumam Lam Hai Sin Ceng sambil melepaskan tangannya. "Sungguh luar biasa!" "Kenapa, Sin Ceng?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Mari kita duduk di bawah pohon, aku ingin bercakap-cakap denganmu sejenak!" ujar Lam Hai Sin Ceng.

Mereka berdua berjalan ke bawah sebuah pohon rindang, lalu duduk. Tio Cie Hiong terheran-heran, karena padri sakti itu ingin bercakap-cakap dengan dirinya.

"Sin Ceng ingin bercakap-cakap tentang apa?" tanyanya.

"Omitohud! Kini telah muncul Empat Dhalai Lhama Tibet, dan tidak lama lagi akan muncul Bu Lim Sam Mo." Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Sudah barang tentu akan terjadi banjir darah dalam dunia persilatan."

"Sin Ceng, aku bukan kaum rimba persilatan," ujar Tio Cie Hiang. "Jadi aku tidak perlu mengetahui hal itu."

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum penuh rasa kasih. "Apakah belum lama ini engkau mengalami sesuatu?"

"Maksud Sin Ceng?"

"Berapa usiamu sekarang?" tanya Lam Hai Sin Ceng mendadak.

"Tujuh belas."

"Karena itu, tidak mungkin engkau memiliki Iweekang yang begitu hebat dan luar biasa. Apakah belum lama ini engkau pernah makan semacam obat?"

"Sin Ceng, belum lama ini aku memang telah makan buah Kiu Yap Ling Che, yang tumbuh di puncak Gunung Thian San." Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng manggut-manggut. "Engkau seorang diri datang ke puncak Gunung Thian San?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Sok Beng Yok Ong yang menyuruhku ke sana. Katanya tubuhku akan kebal terhadap racun apa pun setelah makan buah itu, maka aku ke puncak Gunung Thian San."

"Omitohud! Itu memang sudah takdir!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum, kemudian wajahnya berubah serius. "Sekarang aku ingin memberi tahukan, tidak lama lagi Bu Lim Sam Mo akan muncul dalam rimba persilatan. Tentunya engkau sudah tahu, merekalah yang memperoleh Kotak Pusaka

itu sebelum membunuh Hui Kiam Bu Tek dan isterinya. Kotak Pusaka itu berisi kitab ilmu silat peninggalan Pak Kek Siang Ong yang sangat tersohor dua ratusan tahun lampau...."

Tio Cie Hiong terus mendengarkan. Kelihatannya ia mulai tertarik akan penuturan Lam Hai Sin Ceng.

"Dua ratus tahun lampau, dalam rimba persilatan muncul empat orang berkepandaian amat tinggi." lanjut Lam Hai Sin Ceng. "Salah seorang dari mereka adalah wanita yang sangat cantik, julukannya Cian Ciu Kwan Im. Sedangkan tiga orang lainnya adalah Lam Hai Sianjin, Pak Kek Siang Ong dan Im Sie Hong Jin.

Pada masa itu, mereka bertiga sama-sama jatuh cinta pada Cian Ciu Kwan Im, tapi pilihan Cian Kiu Kwan Im jatuh pada Lam Hai Sianjin. Betapa gusarnya Pak Kek Siang Ong, kemudian menantang Lam Hai Sianjin, sehingga terjadilah pertarungan yang sangat dahsyat. Namun akhirnya Pak Kek Siang Ong harus mengakui keunggulan Lam Hai Sianjin, sebab kepandaiannya Pak Kek Siang Ong masih setingkat di bawah kepandaian Lam Hai Sianjin. Karena itu, Pak Kek Siang Ong pergi dengan kecewa. Im Sie Hong Jin yang tergila-gila pada Cian Ciu Kwan Im, mulai menyusun suatu rencana busuk. Secara diam-diam ia mengundang Cian Ciu Kwan Im ke suatu tempat, lalu mengajaknya minum. Ternyata minuman yang Im Sie Hong Jin berikan kepadanya telah dicampur semacam obat perangsang, sehingga terjadilah hubungan intim di antara mereka. Saking malunya, Cian Ciu Kwan Im tidak berani memberitahukan hal itu kepada Lam Hai Sianjin. Namun akhirnya Lam Hai Sianjin tahu juga. Dia tidak mempersalahkan Cian Ciu Kwan Im, melainkan seorang diri pergi mencari Im Sie Hong Jin. Cian Ciu Kwan Im mengetahuinya, lalu dengan diam-diam mengikuti Lam Hai Sianjin...."

"Kemudian bagaimana?" tanya Tio Cie Hiong. "Setelah Lam Hai Sianjin bertemu Im Sie Hong Jin...." Lam Hai Sin Ceng melanjutkan penuturannya. "Mereka berdua pun bertarung. ternyata Im

Sie Hong Jin berkepandaian tinggi sekali, sehingga Lam Hai Sianjin kewalahan menghadapinya. Mendadak muncul Cian Ciu Kwan Im membantu Lam Hai Sianjin, maka Im Sie Hong Jin dikeroyok...."

"Im Sie Hong Jin pasti kalah, bukan?" tanya Tio Cie Hiong.

"Dugaanmu meleset." ujar Lam Hai Sin Ceng melanjutkan. "Walau dikeroyok berdua, Im Sie Hong Jin masih mampu melawan mereka, bahkan tampak di atas angin."

"Kalau begitu, kepandaian Im Sie Hong Jin tinggi sekali." ujar Tio Cie Hiong semakin tertarik akan penuturan Lam Hai Sin Ceng.

"Ya." Lam Hai Sin Ceng mengangguk. "Kepandaian Im Sie Hong Jin memang tinggi sekali. Pada saat pertarungan sedang berlangsung, mendadak...."

"Apa yang terjadi?" tanya Tio Cie Hiong karena Lam Hai Sin Ceng tidak melanjutkan penuturannya.

"Mendadak Im Sie Hong Jin tertawa terbahak-bahak, lalu tertawa terkekeh-kekeh," jawab Lam Hai Sin Ceng. "Setelah itu, suara tawanya berubah seram sekali...."

"Lho?" Tio Cie Hiong heran. "Kenapa begitu?"

"Im Sie Hong Jin telah mengeluarkan jurus-jurus yang sangat aneh dan luar biasa."

"Bagaimana sesudah itu?"

"Lam Hai Sianjin dan Cian Ciu Kwan Im dilukainya, tapi Im Sie Hong Jin pun berlari pergi entah kemana. Sejak itu tiada kabar beritanya lagi."

"Kemudian bagaimana dengan Lam Hai Sianjin dan Cian Ciu Kwan Im?"

"Cian Ciu Kwan Im meninggalkan Lam Hai Sianjin, karena merasa dirinya sudah tidak bersih." Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Lam Hai Sianjin patah hati, lalu pulang ke Lam Hai, dan sejak itu dia tidak pernah meninggalkan Lam Hai lagi."

"Kok Sin Ceng begitu jelas tentang kejadian rimba persilatan dua ratusan tahun lampau itu?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Omitohud!" ucap Lam Hai Sin Ceng dan memberitahukan. "Lam Hai Sianjin adalah kakek guruku."

Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Kakek guru mewariskan sebuah kitab kepada guruku, namun guruku tak mampu mempelajarinya, maka diberikan kepada adik seperguruanku," ujar Lam Hai Sin Ceng sambil menghela nafas. "Pada waktu itu, aku sedang pergi berkelana. sehingga kitab itu...."

"Kenapa kitab itu?"

"Entahlah sepertinya hilang bersama adik seperguruanku... Sedangkan Kotak pusaka yang diperebutkan itu pasti berisi kitab ilmu silat Pak Kek Siang Ong. Pak Kek Sing Kang mengandung hawa yang amat dingin, siapa yang terpukul Pak Kek Ciang Hoat, pasti menggigil dan akhirnya mati beku!"

Tio Cie Hiong terbelalak. "Begitu lihay pukulan itu!"

"Ya." Lam Hai Sin Ceng mengangguk. "Karena itu, kiranya hanya ilmu Iweekang yang ada di dalam kitab warisan gurulah yang dapat mengatasi Pak Kek Sin Kang. Tapi... sudah puluhan tahun adik seperguruanku itu tiada kabar beritanya."

"Sin Ceng, sebetulnya kitab itu kitab apa?" tanya Tio Cie Hiong.

,

"Kitab Pan Yok Hian Thian Sin Kang." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan.

"Apa?!" Tio Cie Hiong tertegun. "Kitab Pan Yok Hian Thian Sin Kang?"

"Ya." Lam Hai Sin Ceng menatapnya tajam. "Kenapa engkau tampak tertegun?"

"Sin Ceng!" jawab Tio Cie Hiong jujur. "Terus terang, yang kupelajari itu adalah Pan Yok Hian Thian Sin Kang."

Lam Hai Sin Ceng terbelalak. "Omitohud! Memang sudah merupakan takdir!"

"Tapi...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Aku tidak mau belajar ilmu silat, sebab aku tahu,

siapa yang mengerti ilmu silat, pasti saling membunuh. Buktinya kedua orang tuaku dan kakakku."

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum. "Kakakmu pernah bilang, kalau sudah merupakan takdir, apapun pasti terjadi!"

"Sin Ceng, tiada seorang pun yang dapat memaksaku untuk belajar ilmu silat," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.

"Sejak kecil engkau belajar ilmu sastra, kemudian tanpa sengaja engkau belajar Pan Yok Hian Thian Sin Kang, setelah itu engkau pun berhasil dengan ilmu pengobatan. Sungguh luar biasa!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum lagi dan bertanya, "Tadi kakakmu memberikanmu kitab apa?"

"Entahlah." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala, lalu memperlihatkan kitab pemberian kakaknya kepada Lam Hai Sin Ceng.

"Itu adalah huruf-huruf Thian Tok (India). Entah kakakmu memperoleh kitab ini dari mana?" ujar Lam Hai Sin Ceng setelah melihat kitab itu.

"Katanya dari gurunya."

"Dari gurunya..." gumam Lam Hai Sin Ceng. "Ciat Lun Sin Ni...."

Tio Cie Hiong tertegun, karena ketika Lam Hai Sin Ceng mengguman nama tersebut, wajahnya berubah agak aneh.

"Sin Ceng mengerti huruf Thian Tok?" tanya Tio Cie Hiong.

"Tidak mengerti," jawab Lam Hai Sin Ceng. "Dia memberikan kitab ini kepadamu, tentunya berharap engkau mempelajarinya."

"Tapi...." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Bagaimana mungkin aku mempelajari kitab ini?

Aku sama sekali tidak mengerti tulisan Thian Tok."

"Cie Hiong!" ujar Lam Hai Sin Ceng. "Sebelum ajal, kakakmu menyerahkan kitab ini kepadamu. Maka engkau tidak boleh mengecewakan orang yang sudah tiada!"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Tapi...."

"Ada seorang mengerti tulisan Thian Tok, engkau harus pergi menemuinya, mohon padanya untuk menterjemahkan kitab ini!" ujar Lam Hai Sin Ceng

"Sin Ceng, siapa orang itu?"

"Beliau adalah Thian Thay Siansu." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan. "Beliau bermukim di Gunung Thian Thay, engkau bisa kesana menemuinya! Tapi engkau harus sabar, sebab kadang-kadang Siansu itu tidak mau menemui siapa pun!"

"Sin Ceng kenal Thian Thay Siansu?"

"Aku pernah bertemu satu kali, itu sudah puluhan tahun lampau. Kini usia Thian Thay Siansu mungkin sudah mencapai seratus tiga puluh tahun."

"Haah...?" Mulut Tio Cie Hiong ternganga lebar. "Sudah begitu tua?"

"Ya." Lam Hai Sin Ceng mengangguk, "Engkau harus tahu, kakakmu memberimu kitab ini agar engkau mempelajarinya, maka engkau tidak boleh mengecewakannya yang telah tiada."

Tio Cie Hiong mengangguk.

"Pembicaraan kita cukup sampai di sini," ujar Lam Hai Sin Ceng sambil bangkit berdiri.

"Sin Ceng mau kemana?" tanya Tio Cie Hiong dan bangkit berdiri juga.

"Aku akan ke jurang di Pek In Nia menemui Ciat Lun Sin Ni untuk memberitahu tentang kematian Pek Ih Mo Li" jawab Lam Hai Sin Ceng.

"Sin Ceng! Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Tio Cie Hiong menatapnya.

"Tanyalah!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum.

"Apakah padri boleh berbohong?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.

"Maksudmu?" Lam Hai Sin Ceng tertegun.

"Sin Ceng telah berbohong" sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.

"Apa?" Lam Hai Sin Ceng terbelalak. "Kapan aku berbohong?"

"Sesungguhnya Sin Ceng mau ke jurang di Pek In Nia, hanya ingin menemui Ciat Lun Sin Ni.

Namun Sin Ceng mengganti alasan untuk memberitahukannya tentang kematian kakakku, bukan?" Tio Cie Hiong tersenyum lagi.

"Omitohud! Aku memang telah berbohong," ucap Lam Hai Sin Ceng sambil menghela nafas. "Cie Hiong, kenapa engkau bisa menduga itu?"

"Ketika Sin Ceng bergumam menyebut Ciat Lun Sin Ni, wajah Sin Ceng berubah agak aneh." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Boleh dikatakan penuh mengandung cinta kasih."

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng menghela nafas lagi. "Sudah puluhan tahun aku menjadi padri, namun masih tidak dapat menghapus cinta kasih itu. Engkau memang luar biasa, dapat melihat itu."

"Sin Ceng!" ucap Tio Cie Hiong. "Semoga Sin Ceng bertemu Sin Ni itu!"

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum, lalu melesat pergi seraya berkata. "Engkau harus segera berangkat ke Gunung Thian Thay!"

"Ya, Sin Ceng," sahut Tio Cie Hiong, kemudian mendekati kudanya. "Ma heng, kita akan berangkat ke Gunung Thian Thay."

Kuda itu meringkik dan manggut-manggut.

Tio Cie Hiong meloncat ke punggungnya. Kemudian kuda itu berlari meninggalkan tempat tersebut.

Bab 16 Hok Mo Cin Keng (Kitab Suci Penakluk iblis)

Tio Cie Hiong terus memacu kudanya menuju Gunung Thian Thay. Beberapa hari kemudian, tibalah dia di sebuah lembah, dan kuda itu berlari agak perlahan. Mendadak muncul tiga orang menghadang di depannya, maka Tio Cie Hiong cepat-cepat menghentikan kudanya.

"Ayo, turun-" bentak salah seorang.

"Kalian...." Tio Cie Hiong menatap mereka. Kemudian keningnya berkerut karena ia merasa

kenal mereka, yang tidak lain oey San Sam Hiong. Dua tahun lalu oey San Sam Hiong (Tiga orang Ganas oey San) membunuh seseorang di depan gubuk Sok Beng yok ong.

"Bukankah kalian oey San Sam Hiong?"

"Anak muda" oey San Sam Hiong menatapnya tajam.

"Engkau kenal kami?"

"Dua tahun lalu, kalian bertiga pernah membunuh seseorang di Lembah Persik di Gunung ,Wu San. Tentunya kalian belum lupa kan?"

"Engkau...." Salah seorang memperhatikannya,

"oooh Ternyata engkau anak lelaki itu Sungguh kebetulan kita bertemu di sini, maka engkau harus menyerahkan kuda itu dan lainnya pada kami Kalau tidak...."

"oey San Sam Hiong Kenapa kalian selalu melakukan kejahatan?" tanya Tio Cie Hiong.

"Melakukan kejahatan memang pekerjaan kami" sahut oey San Sam Hiong sambil tertawa terkekeh.

"oey San Sam Hiong, lebih baik kalian kembali kejalan yang benar" ujar Tio Cie Hiong menasehati mereka.

"Kalian harus ingat, bahwa perbuatan yang jahat pasti akan mendapat ganjaran...."

"Diam" bentak oey san sam Hiong.

"Engkau berani banyak omong di hadapan kami?"

"Aku banyak omong adalah demi kebaikan kalian" sahut Tio Cie Hiong.

"Hm" dengus oey san sam Hiong.

"Cepatlah serahkan kuda itu dan segala apa yang kau bawa Kalau tidak, nyawamu pasti melayang di ujung golok kami"

"Aku masih harus melanjutkan perjalanan, bagaimana mungkin kuserahkan kudaku kepada kalian." Tio Cie Hiong memandang mereka.

"Aku masih mempunyai belasan tael perak, akan kuberikan pada kalian, tapi aku harap kalian jangan mengganggu kudaku"

"Tidak bisa" sahut oey san sam Hiong.

"Biar bagaimana pun engkau harus menyerahkan kuda itu kepada kami"

"Maaf" ucap Tio Cie Hiong sambil menggelengkan kepala.

"Aku tidak bisa menyerahkan kudaku"

oey san sam Hiong saling memandang sekaligus saling memberi isyarat kemudian dua orang mendekati Tio Cie Hiong, sedangkan seorang lagi menghampiri kudanya.

Tio Cie Hiong mengerutkan kening ketika melihat dua orang itu mendekatinya. Dua orang itu langsung menyerangnya dengan golok- Pada waktu bersamaan, badan Tio Cie Hiong bergerak, tahu-tahu sudah hilang dari hadapan kedua orang itu.

Bukan main terkejutnya mereka berdua, sebab Tio Cie Hiong sudah berdiri di belakang mereka.

Kedua orang itu membalikkan badannya, lalu menyerang Tio Cie Hiong lagi, tapi Tio cie Hiong tetap berkelit dengan ilmu langkah kilat.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar