Ia segera mengeluarkan semacam
obat bubuk, kemudian ditaburkan di telapak kaki monyet putih sekaligus
membalutnya.
"Kauw heng!" ujar
Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Esok pagi telapak kakimu pasti
sembuh."
Monyet putih bercuit-cuit,
kelihatannya seperti mengucapkan terimakasih kepada Tio Cie Hiong.
Setelah itu, mendadak ia
menarik tangannya.
"Eh?" Tio Cie Hiong
tercengang. "Engkau ingin mengajakku ke mana?"
Monyet putih manggut-manggut.
"Baiklah! Engkau boleh
mengajakku ke sana," ujar Tio Cie Hiong.
Monyet putih berjalan
perlahan, dan Tio Cie Hiong mengikutinya dari belakang. Tak seberapa lama
kemudian mereka sampai di tebing yang tertutup oleh salju.
Tio Cie Hiong terheran-heran,
kenapa monyet putih mengajaknya ke tebing itu.
Monyet putih bercuit-cuitan,
lalu memutar sebuah batu, dan seketika terdengarlah suara 'Kreeek'
Tio Cie Hiong terbelalak,
karena melihat dinding tebing itu bergerak. Ternyata di situ terdapat sebuah
pintu rahasia.
Setelah pintu rahasia itu
terbuka, monyet putih menarik Tio Cie Hiong ke dalam. Setelah melangkah ke
dalam, terbeliaklah Tio Cie Hiong karena tempat itu berupa sebuah goa yang
sangat besar dan tinggi. Ruangan goa itu terang benderang, karena pada
dindingnya terdapat dua butir mutiara sebesar telor ayam yang memancarkan
sinar.
Monyet putih menutup kembali
pintu goa itu, lalu mendekati Tio Cie Hiong sambil bercuit-cuit dan menunjuk ke
sudut kiri yang menonjol.
"Kauw heng! Apa
maksudmu?"Tio Cie Hiong tidak mengerti.
Mendadak monyet putih meloncat
ke hadapan tempat yang menonjol itu, kemudian berlutut di situ.
"Kauw heng!" Tio Cie
Hiong tercengang. "Apakah itu makam majikanmu?"
Tio Cie Hiong terbelalak,
karena melihat dinding tebing itu bergerak. Ternyata di situ terdapat sebuah
pintu rahasia.
Setelah pintu rahasia itu
terbuka, monyet putih menarik Tio Cie Hiong ke dalam. Setelah melangkah ke
dalam, terbeliaklah Tio Cie Hiong karena tempat itu berupa sebuah goa yang
sangat besar dan tinggi. Ruangan goa itu terang benderang, karena pada
dindingnya terdapat dua butir mutiara sebesar telor ayam yang memancarkan
sinar.
Monyet putih menutup kembali
pintu goa itu, lalu mendekati Tio Cie Hiong sambil bercuit-cuit dan menunjuk ke
sudut kiri yang menonjol.
"Kauw heng! Apa
maksudmu?"Tio Cie Hiong tidak mengerti.
Mendadak monyet putih meloncat
ke hadapan tempat yang menonjol itu, kemudian berlutut di situ.
"Kauw heng!" Tio Cie
Hiong tercengang. "Apakah itu makam majikanmu?"
Monyet putih itu
manggut-manggut. Tio Cie Hiong segera mendekati makam itu, lalu berlutut.
Setelah monyet putih itu bangkit berdiri, barulah Tio Cie Hiong berdiri. Ada
satu hal yang membuat Tio Cie Hiong tidak habis pikir, yakni udara di luar
dingin sekali, namun di dalam goa ini malah terasa hangat.
Tio Cie Hiong mulai menengok
ke sana ke mari. Dilihatnya pada dinding sebelah kanan terukur puluhan gambar
manusia dengan berbagai macam gerakan aneh. Pada setiap gambar itu pun
terukir huruf-huruf Han kuno.
Walau sejak kecil Tio Cie Hiong sudah belajar ilmu sastra, namun sama sekali
tidak mengerti huruf-huruf tersebut.
Monyet putih meloncat ke dalam
tetapi tak lama sudah keluar lagi dengan membawa berbagai buah-buahan, kemudian
ditaruhnya di atas sebuah batu, lalu menarik tangan Tio Cie Hiong.
"Kauw heng!" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Engkau menyimpan buah-buahan di dalam?" Monyet
putih manggut-manggut.
"Engkau menyuruhku makan
buah-buahan itu?" tanya Tio Cie Hiong.
Monyet putih bercuit-cuit
sambil manggut-manggut.
"Terimakasih, Kauw
heng!" ucap pemuda itu sambil tersenyum. "Aku memang sudah lapar
sekali."
Tio Cie Hiong mulai makan
buah-buahan itu. Monyet putih itu pun ikut makan dengan asyiknya. Seusai makan
buah-buahan itu, mendadak monyet putih menarik Tio Cie Hiong mendekati sebuah
batu berbentuk bulat. Batu itu berwarna hijau mirip sebuah kaca tembus pandang.
Kemudian monyet putih menepuk batu itu.
"Kauw heng, engkau
menyuruhku duduk diatas batu hijau itu?" tanya Tio Cie Hiong heran.
Monyet putih itu mengangguk.
"Kauw heng, apakah
majikanmu sering duduk di atas batu itu?"
Monyet putih mengangguk lagi.
"Baik!" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Aku akan duduk di atas batu itu."
Tio Cie Hiong naik ke atas,
tapi segera meloncat turun dengan wajah penuh keheranan.
Ternyata batu itu dingin
sekali. Mana tahan Tio Cie Hiong duduk di atasnya?.
Ketika melihat Tio Cie Hiong
meloncat turun, monyet putih mendorongnya.
"Kauw heng! Batu itu
dingin sekali, bagaimana mungkin aku tahan duduk di atasnya?" Tio Cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
Monyet putih bercuit-cuitan,
bahkan tampak tidak senang.
Tio Cie Hiong tersenyum,
kemudian naik ke atas batu itu lagi. Ia duduk bersemadi dan mengerahkan Pan Yok
Hian Thian Sin Kang, maka hawa hangat dalam tubuhnya dapat melawan hawa dingin
yang menerobos ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi, hanya sebenatar
saja hawa hangat dalam tubuhnya tidak dapat menahan hawa dingin itu, maka Tio
Cie Hiong meloncat turun lagi.
Kali ini monyet putih tidak
bercuit-cuitan lagi, melainkan menatapnya sambil manggut-manggut.
"Kauw heng! Aku tahu
engkau menghendaki aku duduk bersemadi di atas batu hijau itu, tapi engkau
jangan terlampau mendesakku, sebab batu hijau itu dingin sekali."
Monyet putih mengangguk.
Tio Cie Hiong memandang monyet
putih, dan tiba-tiba teringat sesuatu.
"Kauw heng, engkau tahu
Kiu Yap Ling Che (Ling Che Berdaun Sembilan) tumbuh di mana?" tanyanya
segera.
Monyet putih diam seakan
sedang berpikir, kemudian bercuit-cuitan.
"Engkau tahu Kiu Yap Ling
Che itu tumbuh di mana?" tanya Tio Cie Hiong dan girang bukan main.
Monyet putih manggut-manggut.
"Kauw heng!" Tio Cie
Hiong memberitahukan. "Aku ke mari justru ingin mencari Kiu Yap Ling Che,
maka maukah engkau menunjukkan tempat Kiu Yap Ling Che itu?"
Monyet putih mengangguk.
"Kauw heng! Mari kita ke
sana!" ujar Tio Cie Hiong girang.
Akan tetapi, monyet putih
menggelengkan kepala. Hal itu sungguh mencengangkan Tio Cie Hiong.
"Engkau tidak mau
mengajakku ke sana?"
Monyet putih segera meloncat
ke arah pintu goa, lalu membukanya. Ternyata di luar telah gelap sekali.
Tio Cie Hiong tersenyum.
"Sudah malam, maka engkau tidak mau mengajakku ke sana..."
Monyet putih manggut-manggut.
"Kalau begitu, besok pagi
saja."
Monyet putih itu
manggut-manggut lagi, kemudian menunjuk batu hijau.
"Engkau menyuruhku
bersemadi lagi di atas batu hijau yang dingin itu?" tanya Tio Cie Hiong.
Monyet itu bercuit beberapa
kali.
Bahu Tio Cie Hiong terangkat
sedikit, lalu naik ke batu hijau itu dan duduk bersemadi. Akan tetapi,
berselang beberapa saat ia turun lagi, sebab tidak tahan akan hawa dingin batu
itu. Ketika turun, ia masih tampak menggigil.
Beberapa saat kemudian setelah
tidak menggigil, Tio Cie Hiong naik lagi ke batu itu, lalu duduk bersemadi.
Namun berselang beberapa saat, ia terpaksa turun lagi, karena tidak menahan
dinginnya batu itu. Setelah beberapa kali mencoba barulah ia tidur di tempat
lain
Monyet putih membuka pintu
goa, ternyata hari sudah terang.
Tio Cie Hiong mendekatinya,
lalu memandang kaki monyet putih seraya berkata.
"Kauw heng, coba kulihat
telapak kakimu!"
Monyet putih segera duduk,
sekaligus mengangkat kaki kanannya. Tio Cie Hiong membuka pembalut di telapak
kaki monyet itu. Ternyata luka itu telah sembuh.
"Kauw heng!" Tio Cie
Hiong memberitahukan sambil tersenyum. "Telapak kakimu telah sembuh."
Monyet putih itu bercuit-cuit
gembira, lalu berloncat-loncatan.
Tio Cie Hiong tertawa-tawa
menyaksikannya. "Kauw heng! Mari kita ke tempat Kiu Yap Ling Che!"
katanya.
Monyet putih mengangguk,
kemudian menarik tangan Tio Cie Hiong. Pemuda itu mengikutinya. Tak seberapa
lama kemudian, monyet putih telah membawa Tio Cie Hiong ke sebuah tebing yang
penuh salju.
Monyet itu menunjuk ke bawah.
Tio Cie Hiong segera memandang ke sana. Tampak sebuah tumbuhan yang tumbuh di
dinding tebing. Daunnya hanya sembilan helai, dan buahnya bergemerlapan. Tidak
salah, itulah Kiu Yap Ling Che. Namun Tio Cie Hiong tidak kelihatan gembira,
melainkan malah menarik nafas panjang. Itu dikarenakan dia tidak mungkin
memperoleh buah Ling Che, karena pohon buah itu tumbuh di dinding tebing yang
amat licin.
"Kauw heng!" ujar
Tio Cie Hiong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak mampu
mengambil buah Ling Che. Tolong antar aku kembali ke goa saja!"
Monyet putih mengangguk, lalu
menarik tangan Tio Cie Hiong. Ketika hampir sampai di goa itu, mendadak monyet
itu melesat pergi.
"Kauw heng! Engkau mau ke
mana?" seru Tio Cie Hiong. Namun monyet itu sudah tidak tampak lagi.
Tio Cie Hiong melangkah ke
dalam goa dengan kepala tertunduk. Ia bersusah payah ke puncak Gunung Thian San
ini, namun sia-sia karena tidak bisa mengambil buah Ling Che.
Ia duduk bersandar di dinding
goa. Berselang beberapa saat kemudian, tampak sosok bayangan putih melesat ke
dalam. Ternyata monyet putih, tangannya membawa buah yang bergemerlapan.
"Haah?" Tio Cie
Hiong terbelalak ketika melihat buah itu, sebab buah itu tak lain buah Ling
Che. "Kauw heng, engkau berhasil memetik buah Ling Che?"
Monyet putih mengangguk sambil
menyodorkan buah tersebut ke mulut Tio Cie Hiong.
"Engkau menyuruhku makan
buah ini?" tanya Tio Cie Hiong girang.
Monyet putih manggut-manggut.
"Terimakasih, Kauw heng" ucap Tio Cie Hiong lalu menyantap buah itu.
Kemudian monyet putih itupun
menariknya mendekati batu hijau yang dingin.
Tio Cie Hiong tersenyum.
"Engkau menyuruhku bersemadi lagi di atas batu hijau itu?"
Monyet putih mengangguk. Tio
Cie Hiong langsung mrnuju ke atas batu hijau itu, kemudian duduk bersemadi.
Hawa dingin batu hijau itu menerobos ke dalam tubuhnya, tapi mendadak Tio Cie
Hiong merasa ada hawa hangat bergejolak dalam tubuhnya. Ia segera memejamkan
matanya sambil mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang.
Hawa batu hijau itu semakin
dingin, namun dalam sekujur badan Tio Cie Hiong mengalir hawa hangat yang
melawan hawa dingin itu.
Sementara monyet putih berdiri
diam sambil memandang Tio Cie Hiong dan hanya sekali-sekali bercuit.
Entah berapa lama kemudian,
barulah Tio Cie Hiong membuka matanya, dan ia girang sekali karena tidak
kedingingan lagi. Ia pun tidak menyadari satu hal, yakni Iweekangnya telah
bertambah tinggi karena makan buah Ling Che dan duduk bersemadi di atas batu
hijau yang amat dingin itu, merupakan suatu latihan yang sangat luar biasa bagi
tubuhnya.
Ketika Tio Cie Hiong membuka
matanya, monyet putih berjingkrak-jingkrakan kegirangan.
Setelah itu, dia menunjuk Tio
Cie Hiong lalu menunjuk dirinya sendiri.
"Kauw heng! Engkau
menyuruhku memperhatikanmu?" tanya Tio Cie Hiong heran, sementara masih
duduk di atas batu hijau.
Monyet putih mengangguk,
kemudian sepasang kakinya mulai bergerak ke depan, ke belakang, ke kiri dan ke
kanan. Makin lama gerakannya makin cepat sehingga mata Tio Cie Hiong menjadi
silau karenanya.
Ia tidak bisa melihat jelas
gerakan kaki monyet itu. Padahal ketika menyaksikan Bu Lim Ji Khie bertanding,
ia masih mampu melihat jelas semua gerakan jurus-jurus mereka. Akan tetapi, ia
tidak mampu melihat jelas gerakan-gerakan kaki monyet putih, sebab
gerakan-gerakan kaki monyet itu bukan main cepatnya.
Tio Cie Hiong tidak tahu,
bahwa sebenarnya gerakan kaki monyet putih adalah gerakan Siu Kiong San Tian.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah monyet putih berhenti menggerakkan
kakinya sambil bercuit-cuit.
"Kauw heng! Aku belum
melihat jelas gerakanmu, coba diulang lagi!" ujar Tio Cie Hiong.
Monyet putih kembali
menggerakkan kakinya, dan kali ini Tio Cie Hiong memperhatikan dengan seksama.
Ketika monyet itu berhenti, Tio Cie Hiong menyuruhnya mengulangi lagi.
Tio Cie Hiong mencurahkan
segenap perhatiannya untuk memperhatikan gerakan-gerakan monyet putih, maka
kali ini barulah ia dapat melihat dengan jelas.
Monyet putih berhenti, dan Tio
Cie Hiong tersenyum seraya berkata.
"Kauw heng, aku sudah
melibat jelas gerakan-gerakanmu."
Monyet putih bercuit-cuit
sambil melambai-lambaikan tangannya. Tio Cie Hiong tercengang melihatnya.
"Engkau menyuruhku meniru
gerakan-gerakanmu itu?"
Monyet putih mengangguk.
"Baik!" Tio Cie
Hiong turun dari batu hijau lalu mendekati monyet putih. Monyet putih bercuit
lagi. Tio Cie Hiong tersenyum dan mulai bergerak sesuai dengan gerakan-gerakan
monyet putih. Semula gerakannya agak lamban, namun makin lama makin cepat.
Monyet putih bercuit-cuit gembira, kemudian ikut bergerak, sehingga tampak dua
sosok bayangan berkelebatan.
Berselang beberapa saat, Tio
Cie Hiong berhenti dan monyet putih pun ikut berhenti.
"Kauw heng! Aku sudah
bisa!" ujar Tio Cie Hiong girang.
Monyet putih bercuit-cuit
lagi, kemudian meloncat ke atas setinggi lima enam depa, berjungkir balik di
situ dan tubuhnya melambung ke atas lagi lima enam depa, lalu berjungkir balik
lagi sehingga tubuhnya melambung ke atas lima enam depa.
Bukan main kagumnya Tio Cie
Hiong menyaksikannnya. Namun dia tidak tahu bawwa itu adalah ilmu ginkang
tingkat tinggi. Setelah itu, tubuh monyet putih melayang turun dengan ringan
sekali. Setelah sepasang kakinya menyentuh tanah, monyet itu pun bercuit-cuit.
"Engkau menyuruhku meniru
gerakanmu itu?" tanya Tio Cie Hiong.
Monyet putih mengangguk.
Tio Cie Hiong meloncat ke
atas. Ternyata ia pun meloncat setinggi lima enam depa, lalu berjungkir balik
meniru gerakan monyet putih. Akan tetapi, badan Tio Cie Hiong tidak melambung
ke atas, sebaliknya malah merosot ke bawah. Buuuk! Tio Cie Hiong jatuh
tertelentang. Monyet putih bercuit-cuit dan berloncat-loncatan, seakan
mentertawakannya.
"Kauw heng!" Tio Cie
Hiong penasaran. "Engkau mentertawakan aku ya?"
Monyet putih menganguk sambil
bertepuk-tepuk tangan. Tio Cie Hiong melotot. Ia meloncat ke atas lagi, juga
berjungkir balik. Tapi badannya tetap tidak bisa melambung ke atas, melainkan
merosot ke bawah.
Buuuk! Tio Cie Hiong jatuh
lagi.
Monyet putih bertepuk-tepuk
tangan. Tio Cie Hiong mengerutkan kening sambil bangkit berdiri.
"Kauw heng! Kenapa bisa
begitu?" tanya Tio Cie Hiong heran.
Monyet putih mengangkat-angkat
dadanya menarik-narik nafasnya, seperti sedang memberi petunjuk pada Tio Cie
Hiong.
"Maksudmu aku harus
menarik nafas di saat berjungkir balik?" tanya Tio Cie Hiong.
Monyet putih mengangguk.
Tio Cie Hiong meloncat ke atas
lagi. Ketika berjungkir balik, is segera menarik nafasnya dalam-dalam.
Akan tetapi, badannya tetap
tidak bisa melambung ke atas, melainkan merosot ke bawah.
Hanya kali ini badannya
merosot dengan ringan sekali, tidak jatuh seperti tadi.
"Kauw heng! Kenapa
badanku tetap tidak bisa melambung ke atas?" tanya Tio Cie Hiong heran
sambil memandang monyet putih.
Monyet putih
menggeleng-gelengkan kepala, kelihatannya tidak mengerti akan hal itu.
Tio Cie Hiong tidak begitu
memusingkan tentang itu, seminggu kemudian, Tio Cie Hiong berpamit kepada
monyet putih. Seketika mata monyet itu tampak basah.
"Kauw heng, janganlah
engkau berduka!" ujar Tio Cie Hiong sambil membelainya. "Kita akan
berjumpa lagi kelak."
Monyet putih manggut-manggut. Tio
Cie Hiong membelainya lagi seraya berkata.
"Kauw heng! Selamat
tinggal!" Tio Cie Hiong melangkah pergi meninggalkan goa itu. Monyet putih
mengantarkan sampai di depan goa.
Ketika Tio Cie Hiong sampai di
kaki Gunung itu, mendadak ia mendengar suara ringkikan kuda.
"Haah...." Tio Cie Hiong terperangah. Ia sama sekali tidak menduga
kalau kuda tunggangnya masih
menunggu di situ.
"Kuda yang setia kawan,
engkau tidak ke mana-mana selama seminggu ini?" Kuda itu meringkik lagi.
Tio Cie Hiong membelai kepalanya lalu meloncat ke atas punggungnya.
"Mari kita ke Gunung Wu
San, aku ingin menengok Sok Beng Yok Ong!" ujar Tio Cie Hiang.
Kuda itu meringkik kemudian
berlari kencang meninggalkan Gunung Thian San. Tio Cie Hiong yang duduk di atas
punggung kuda itu tertawa riang gembira. Ia sama sekali tidak tahu bahwa
dirinya telah memiliki Iweekang yang amat tinggi, bahkan juga memiliki Kiu
Kiong San Tian Pou, ginkang yang memang belum sempurna tapi sudah bisa membuat
gerakannya menjadi cepat dan rinagn juga tubuhnya pun kebal terhadap racun
apapun.
Sepuluh hari kemudian, ia
sudah sampai di lembah Persik di Gunung Wu San. Bukan main gembiranya karena
akan bertemu kembali dengan Sok Beng Yok Ong.
"Paman Tua! Paman
Tua..." serunya sambil meloncat turun dari kuda. "Paman Tua! Paman
tua, aku datang!"
Tiada sahutan dan tidak tampak
Sok Beng Yok Ong keluar dari gubuk itu. Hal itu membuat Tio Cie Hiong
tercengang dan bertanya dalam hati, apakah Sok Beng Yok Ong telah meninggalkan
gubuk itu, ataukah pergi mencari akar obat?
Akan tetapi, pintu gubuk itu
terbuka lebar. Tio Cie Hiong mengerutkan kening sambil berjalan ke pintu.
Ketika melongok ke dalam, ia terbelalak dan wajahnya berubah pucat pias.
Keadaan di dalam gubuk itu
porak poranda. Tampak Sok Beng Yok Ong tergeletak di lantai tak bergerak sama
sekali, pakaiannya penuh noda darah.
"Paman Tua!" teriak
Tio Cie Hiong sambil berlari mendekatinya. "Paman Tua!"
Tio Cie Hiong membungkukkan
badannya. Pada waktu bersamaan badan Sok Beng Yok Ong bergerak sedikit sambil
matanya terbuka.
"Cie Hiong...."
panggil Sok Beng Yok Ong dengan suara lemah.
"Paman Tua...." Mata
Tio Cie Hiong bersimbah air. Ia tahu, Sok Beng Yok Ong sudah tidak bisa
bertahan lama lagi.
"Nak... engkau sudah...
kembali...."
"Paman Tua, aku sudah
makan buah Ling Che." Tio Cie Hiong memberitahukan dengan air mata
bercucuran.
"Bagus... bagus
...."
"Paman Tua, siapa yang
melakukan semua ini?" tanya Tio Cie Hiong terisak-isak.
"Cie Hiong, sejak
kecil... aku menekuni obat-obatan. Tujuanku... hanya untuk... menolong...
orang, tapi... akhirnya...
aku... aku malah... disiksa... oleh orang yang... kutolong itu."
"Paman Tua, siapa orang
itu?"
"Cie Hiong, dengarkanlah
baik-baik... engkau harus... harus belajar ilmu silat. Cie Hiong...
berjanjilah!"
Keadaan di dalam gubuk itu
porak poranda. Tampak Sok Beng Yok Ong tergeletak di lantai tak bergerak sama
sekali, pakaiannya penuh noda darah.
"Paman Tua!" teriak
Tio Cie Hiong sambil berlari mendekatinya. "Paman Tua!"
Tio Cie Hiong membungkukkan
badannya. Pada waktu bersamaan badan Sok Beng Yok Ong bergerak sedikit sambil
matanya terbuka.
"Cie Hiong.... " panggil Sok Beng Yok Ong dengan
suara lemah.
"Paman Tua.... " Mata Tio Cie Hiong bersimbah air. Ia
tahu, Sok Beng Yok Ong sudah tidak bisa
bertahan lama lagi.
"Nak... engkau sudah...
kembali...."
"Paman Tua, aku sudah
makan buah Ling Che." Tio Cie Hiong memberitahukan dengan air mata
bercucuran.
"Bagus... bagus
...."
"Paman Tua, siapa yang
melakukan semua ini?" tanya Tio Cie Hiong terisak-isak.
"Cie Hiong, sejak
kecil... aku menekuni obat-obatan. Tujuanku... hanya untuk... menolong...
orang, tapi... akhirnya...
aku... aku malah... disiksa... oleh orang yang... kutolong itu."
"Paman Tua, siapa orang
itu?"
"Cie Hiong, dengarkanlah
baik-baik... engkau harus... harus belajar ilmu silat. Cie Hiong...
berjanjilah!"
"Ya," sahut Tio Cie
Hiong dengan air mata berderai-derai. "Paman Tua, beritahukanlah! Siapa
yang turun tangan jahat terhadap Paman?"
"Aku... aku tidak sia-sia
bertahan, akhirnya... akhirnya engkau ke mari...." Suara Sok Beng Yok
Ong semakin lemah.
"Paman Tua, siapa orang
itu?" tanya Tio Cie Hiong lagi.
"Mereka... mereka
adalah...." Mendadak kepala Sok Beng Yok Ong terkulai, orang tua itu telah
mati.
"Paman Tua! Paman
Tua....!!!!!" teriak Tio Cie Hiong dengan air mata berlinang-linang.
Setelah menguburkan mayat Sok
Beng Yok Ong, barulah Tio Cie Hiong mendekati kudanya.
"Kuda yang baik!"
ujarnya sambil membelai-belai kepala kuda itu. "Engkau dan monyet putih
itu
adalah binatang, namun kalian
lebih berperasaan dan lebih setia kawan dari pada manusia.
Aaakh... kenapa hati manusia
begitu kejam? Haruskah saling membunuh? Katanya binatang sangat
kejam, buktinya manusia malah
lebih kejam dari pada binatang!"
Kuda itu meringkik dan
memanggut-manggutkan kepalanya. Apakah kuda itu mengerti apa yang dikatakan Tio
Cie Hiong? Tentu tidak. Hanya saja kuda tersebut mempunyai perasaan yang amat
dekat dengan pemuda itu.
"Ma heng (Saudara
kuda)!" ujar Tio Cie Hiong sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Paman
Tua itu selalu menolong orang, hidupnya dicurahkan pada obat-obatan, sehingga
tidak mempunyai anak isteri. Tapi... akhirnya dia malah mati ditangan penjahat.
Kenapa orang-orang rimba persilatan begitu kejam? Aaakh? Ma heng, setelah aku
berhasil mencari Ku Tok Lojin, alangkah baiknya kita hidup tenang di puncak
Gunung Thian San bersama monyet putih itu!"
Kuda itu meringkik lagi.
Tio Cie Hiong meloncat ke
punggung kudanya kemudian memegang tali les seraya berkata. "Aku tidak
tahu harus ke mana, terserah engkau mau membawaku ke mana."
Kuda itu meringkik nyaring,
lalu berlari pergi meninggalkan Lembah Persik.
Sepanjang jalan, Tio Cie Hiong
selalu menolong orang-orang sakit tanpa menerima pembayaran. Dari desa ke desa,
dari kota ke kota ia selalu mengobati orang-orang sakit dan tetap tidak
menerima upah. Namun ada
beberapa hartawan mendesak memberinya uang, membuat Tio Cie Hiong terpaksa
menerimanya. Bahkan jika orang miskin yang diobatinya tidak punya uang untuk
membeli obat, Tio Cie Hiong lah yang memberi mereka uang untuk membeli obat.
Oleh karena itu, para orang
miskin menganggapnya sebagai dewa penolong. Para gadis cantik berusaha
mendekatinya, namun ia hanya bersikap biasa saja dan mau bergaul dengan
siapapun. Perlu diketahui, kini Tio Cie Hiong telah tumbuh menjadi seorang
pemuda yang amat tampan. Tutur bahasanya halus sekali, maka gadis mana yang akan
tidak tertarik kepadanya?
Suatu hari mulai senja, kuda
itu membawanya ke dalam sebuah rimba. Mendadak ia melihat seorang berpakaian
putih berjalan terhuyung-huyung, tak lama orang itu terkulai.
Tio Cie Hiong segera meloncat
turun dari kudanya, dan cepat-cepat mendekati orang itu. Setelah melihat jelas,
terbelalaklah Tio Cie Hiong, karena orang itu adalah Pek Ih Mo Li, seperti
telah diceritakan Sok Beng Yok Ong bahwa Pek Ih Mo Li lah yang menolongnya
ketika ia terpukul oleh Ngo Tok Ciang.
Segeralah Tio Cie Hiong
memeriksanya, namun. kemudian menggeleng-geleng kepala, karena urat nadi Pek Ih
Mo Li telah putus tergempur oleh Iweekang yang amat dahsyat. Pek Ih Mo Li masih
bisa bertahan, karena ia pun memiliki Iweekang tinggi.
Tio Cie Hiong mengeluarkan dua
butir pil warna merah, yaitu Sok Beng Tan. Kedua butir pil tersebut dapat
menyambung nyawa Pek Ih Mo Li beberapa saat.
Setelah menelan dua butir pil
Sok Beng Tan, sesaat kemudian Pek Ih Mo Li membuka matanya.
Begitu melihat Tio Cie Hiong,
ia tersenyum.
"Adik kecil..."
panggilnya dengan suara lemah.
"Terimakasih atas
pertolongan Nona yang telah membawaku ke Lembah Persik, sehingga nyawaku dapat
diselamatkan," ucap Tio Cie Hiong.
"Adik kecil...." Pek
Ih Mo Li menatapnya.
"Waktu Nona tidak begitu
banyak lagi, mau berpesan apa pesanlah kepadaku? Aku pasti
melaksanakannya," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.
"Adik kecil, aku... aku
mempunyai seorang adik. Usianya sudah tujuh belas, tolong cari dial" pesan
Pek Ih Mo Li.
"Nama Adikmu?" tanya
Tio Cie Hiong. "Namanya... Tio Cie Hiong," jawab Pek Ih Mo Li.
"Apa?!" terbelalak Tio Cie Hiong mendengarnya. "Adikmu bernama
Tio Cie Hiong?" "Benar... Kenapa?"
"Aku... akulah Tio Cie
Hiong," Air matanya mulai mengucur. "Kalau begitu, engkau
pasti...."
"Haaah...!" Pek Ih
Mo Li tertegun, kemudian tersenyum dengan air mata berderai-derai. "Cie
Hiong, adikku...."
"Kakak! Kakak!"
panggil Tio Cie Hiong sambil memeluknya erat-erat. "Kakak...."
"Adik..., aku... aku
gembira sekali. Akhirnya kita dapat bertemu." Pek Ih Mo Li juga memeluk
Tio Cie Hiong erat-erat.
"Kakak, siapa ayah dan
ibu?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Ayah adalah Hui Kiam
Tek-Tio It Seng, sedangkan ibu adalah Sin Pian Bijin-Lie Hui Hong." jawab
Pek Ih Mo Li memberitahukan. "Belasan tahun lampau, tanpa sengaja ayah
memperoleh Kotak Pusaka yang berisi kitab ilmu silat Pak Kek Siang Ong. Tapi...
ayah dan ibu mati dibunuh oleh Bu Lim Sam Mo. Aku tergelincir ke dalam jurang.
Untung tertolong oleh seorang biarawati sakti, lalu beliau menerimaku sebagai
murid. Pada waktu itu, Paman Tio Sam membawamu pergi...."
"Ayah! Ibu..." gumam
Tio Cie Hiong terisak-isak. "Kakak, kenapa Bu Lim Sam Mo membunuh kedua
orang tua kita?"
"Karena ingin memperoleh
Kotak Pusaka itu."
"Aaakh...!" Tio Cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala dengan air mata bercucuran.
"Adik, engkau harus
membalas dendam kedua orang tua kita dan membalas dendamku!" pesan Pek Ih
Mo Li. "Adik, berjanjilah!"
"Ya, Kak." Tio Cie
Hiong mengangguk.
"Omitohud!"
Tiba-tiba terdengar suara pujian kepada Sang Budha, kemudian muncul seorang padri
tua di hadapan mereka.
"Sin Ceng!" Panggil
Pek Ih Mo Li.
"Omitohud! Ternyata
engkau Pek Ih Mo Li!" Padri tua itu adalah Lam Hai Sin Ceng.
"Dua tahun lalu, Sin Ceng
pernah bilang, semuanya itu telah merupakan takdir. Pada waktu itu, Sin Ceng
pun berpesan kepadaku harus ber hati-hati, aku bilang kalau sudah merupakan
takdir, berhati-hati pun pasti terjadi. Buktinya aku tidak terlepas dari takdir
ini" ujar Pek Ih Mo Li sambil tersenyum getir, kemudian wajahnya meringis.
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng menarik nafas panjang.
"Adik...." Suara Pek
Ih Mo Li mulai melemah. Ia menggenggam tangan Tio Cie Hiong erat-erat.
"Belasan tahun lampau,
kaum golongan hitam mengeroyok kedua orang tua kita sampai kedua orang tua kita
terluka. Engkau... engkau harus menumpas golongan hitam!"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk dan mulai terisak-isak lagi.
"Adik...." Pek Ih Mo
Li menatap Tio Cie Hiong dengan mata redup. "Engkau harus membunuh Bu
Lim Sam Mo dan....."
"Pek Ih Mo Li!" tanya
Lam Hai Sin Ceng mendadak. "Siapa yang melukaimu sampai begini?"
"Mereka... mereka
adalah..." jawab Pek Ih Mo Li terputus-putus. "Mereka adalah Empat
Dhalai Lhama Tibet...."
"Omitohud! Bu Lim Sam Mo
belum muncul, kini malah muncul Empat Dhalai Lhama Tibet!" gumam Lam Hai
Sin Ceng sambil menghela nafas. "Pasti akan banjir darah dalam rimba
persilatan...."
"Adik......" Pek Ih
Mo Li mengeluarkan sebuah kitab dari dalam bajunya, lalu diberikan kepada
Tio Cie Hiong. "Kitab
ini... pemberian guruku, sekarang... kuberikan kepadamu...."
"Kakak!" Tio Cie
Hiong menerima kitab itu dengan air mata berderai. Ia tahu, bahwa ajal kakaknya
telah tiba. "Kakak...."
"Adik..." ujar Pek
Ih Mo Li. "Kenapa gelap sekali...?"
"Omitohud! Dosamu tidak
berat, akan muncul cahaya untuk menuntunmu. Omitohud..." ucap Lam Hai Sin
Ceng.
"Terimakasih, Sin
Ceng!" Wajah Pek Ih Mo Li mulai berseri. "Adikku...."
Tiba-tiba kepala Pek Ih Mo Li
terkulai, dan seketika juga Tio Cie Hiong berteriak.
"Kakak! Kakak!
Kakak...." Tio Cie Hiong menangis sedih.
"Omitohud! Dia pergi
dengan tenang, janganlah memberatkannya dengan tangisanmu!" ucap Lam Hai
Sin Ceng.
"Kakak...." Tio Cie
Hiong berhenti menangis, namun air matanya tetap berderai-derai. Belasan
tahun ia berpisah dengan
kakaknya, kini telah berjumpa tapi kakaknya justru menemui ajalnya dalam
pelukannya.
Kemudian Tio Cie Hiong
mengubur mayat kakaknya, setelah itu barulah ia mendekati Lam Hai Sin Ceng,
sekaligus memberi hormat.
"Maaf, Sin Ceng!"
ucapnya. "Tadi aku lama sekali tidak mengacuhkan Sin Ceng, sebab
kakakku...."
"Omitohud! Aku tahu
itu." Lam Hai Sin Ceng tersenyum lembut, lalu memberitahukan. "Dua
tahun lampau, engkau terluka karena terpukul oleh Ngo Tok Ciang hingga pingsan.
Kemudian muncullah Pek Ih Mo Li. Dia telah membunuh Hek Pek Siang Koay yang
kejam itu. Kebetulan aku
lewat di tempat itu, maka aku
menyuruhnya membawamu ke Lembah Persik, sebab hanya Sok Beng Yok Ong yang dapat
menolongmu."
"Terimakasih, Sin
Ceng!" ucap Tio Cie Hiong, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "Sok
Beng Yok Ong telah mati di bunuh penjahat...."
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng menghela nafas. "Ohya, dua tahun lalu aku pernah memeriksamu.
Dalam tubuhmu mengalir hawa hangat melindungi jantungmu, maka engkau tidak mati
terpukul oleh Ngo Tok Ciang. Apakah engkau pernah belajar Iweekang?"
"Pernah." Tio Cie
Hiong mengangguk.
"Maukah engkau
memberitahukanku Iwekang apa itu?" tanya Lam Hai Sin Ceng.
"Maaf, Sin Ceng! aku
tidak boleh memberitahukan kepada siapa pun tentang Iwekang itu"
"Omitohud! Itu tidak
apa-apa." Lam Hai Sin Ceng tersenyum lembut. "Sekarang aku ingin
memeriksa tubuhmu, engkau tidak berkeberatan kan?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
Lam Hai Sin Ceng memegang nadi
Tio Cie Hiong. Seketika wajah padri sakti itu tampak tercengang.
"Bukan main!" gumam
Lam Hai Sin Ceng sambil melepaskan tangannya. "Sungguh luar biasa!"
"Kenapa, Sin Ceng?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Mari kita duduk di bawah
pohon, aku ingin bercakap-cakap denganmu sejenak!" ujar Lam Hai Sin Ceng.
Mereka berdua berjalan ke
bawah sebuah pohon rindang, lalu duduk. Tio Cie Hiong terheran-heran, karena
padri sakti itu ingin bercakap-cakap dengan dirinya.
"Sin Ceng ingin
bercakap-cakap tentang apa?" tanyanya.
"Omitohud! Kini telah
muncul Empat Dhalai Lhama Tibet, dan tidak lama lagi akan muncul Bu Lim Sam
Mo." Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Sudah barang tentu akan
terjadi banjir darah dalam dunia persilatan."
"Sin Ceng, aku bukan kaum
rimba persilatan," ujar Tio Cie Hiang. "Jadi aku tidak perlu
mengetahui hal itu."
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng tersenyum penuh rasa kasih. "Apakah belum lama ini engkau
mengalami sesuatu?"
"Maksud Sin Ceng?"
"Berapa usiamu
sekarang?" tanya Lam Hai Sin Ceng mendadak.
"Tujuh belas."
"Karena itu, tidak
mungkin engkau memiliki Iweekang yang begitu hebat dan luar biasa. Apakah belum
lama ini engkau pernah makan semacam obat?"
"Sin Ceng, belum lama ini
aku memang telah makan buah Kiu Yap Ling Che, yang tumbuh di puncak Gunung
Thian San." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng manggut-manggut. "Engkau seorang diri datang ke puncak Gunung
Thian San?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Sok Beng Yok Ong yang menyuruhku ke sana. Katanya tubuhku
akan kebal terhadap racun apa pun setelah makan buah itu, maka aku ke puncak
Gunung Thian San."
"Omitohud! Itu memang
sudah takdir!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum, kemudian wajahnya berubah
serius. "Sekarang aku ingin memberi tahukan, tidak lama lagi Bu Lim Sam Mo
akan muncul dalam rimba persilatan. Tentunya engkau sudah tahu, merekalah yang
memperoleh Kotak Pusaka
itu sebelum membunuh Hui Kiam
Bu Tek dan isterinya. Kotak Pusaka itu berisi kitab ilmu silat peninggalan Pak
Kek Siang Ong yang sangat tersohor dua ratusan tahun lampau...."
Tio Cie Hiong terus
mendengarkan. Kelihatannya ia mulai tertarik akan penuturan Lam Hai Sin Ceng.
"Dua ratus tahun lampau,
dalam rimba persilatan muncul empat orang berkepandaian amat tinggi."
lanjut Lam Hai Sin Ceng. "Salah seorang dari mereka adalah wanita yang
sangat cantik, julukannya Cian Ciu Kwan Im. Sedangkan tiga orang lainnya adalah
Lam Hai Sianjin, Pak Kek Siang Ong dan Im Sie Hong Jin.
Pada masa itu, mereka bertiga
sama-sama jatuh cinta pada Cian Ciu Kwan Im, tapi pilihan Cian Kiu Kwan Im
jatuh pada Lam Hai Sianjin. Betapa gusarnya Pak Kek Siang Ong, kemudian
menantang Lam Hai Sianjin, sehingga terjadilah pertarungan yang sangat dahsyat.
Namun akhirnya Pak Kek Siang Ong harus mengakui keunggulan Lam Hai Sianjin,
sebab kepandaiannya Pak Kek Siang Ong masih setingkat di bawah kepandaian Lam
Hai Sianjin. Karena itu, Pak Kek Siang Ong pergi dengan kecewa. Im Sie Hong Jin
yang tergila-gila pada Cian Ciu Kwan Im, mulai menyusun suatu rencana busuk.
Secara diam-diam ia mengundang Cian Ciu Kwan Im ke suatu tempat, lalu
mengajaknya minum. Ternyata minuman yang Im Sie Hong Jin berikan kepadanya
telah dicampur semacam obat perangsang, sehingga terjadilah hubungan intim di
antara mereka. Saking malunya, Cian Ciu Kwan Im tidak berani memberitahukan hal
itu kepada Lam Hai Sianjin. Namun akhirnya Lam Hai Sianjin tahu juga. Dia tidak
mempersalahkan Cian Ciu Kwan Im, melainkan seorang diri pergi mencari Im Sie
Hong Jin. Cian Ciu Kwan Im mengetahuinya, lalu dengan diam-diam mengikuti Lam
Hai Sianjin...."
"Kemudian
bagaimana?" tanya Tio Cie Hiong. "Setelah Lam Hai Sianjin bertemu Im
Sie Hong Jin...." Lam Hai Sin Ceng melanjutkan penuturannya. "Mereka
berdua pun bertarung. ternyata Im
Sie Hong Jin berkepandaian
tinggi sekali, sehingga Lam Hai Sianjin kewalahan menghadapinya. Mendadak
muncul Cian Ciu Kwan Im membantu Lam Hai Sianjin, maka Im Sie Hong Jin
dikeroyok...."
"Im Sie Hong Jin pasti
kalah, bukan?" tanya Tio Cie Hiong.
"Dugaanmu meleset."
ujar Lam Hai Sin Ceng melanjutkan. "Walau dikeroyok berdua, Im Sie Hong
Jin masih mampu melawan mereka, bahkan tampak di atas angin."
"Kalau begitu, kepandaian
Im Sie Hong Jin tinggi sekali." ujar Tio Cie Hiong semakin tertarik akan
penuturan Lam Hai Sin Ceng.
"Ya." Lam Hai Sin
Ceng mengangguk. "Kepandaian Im Sie Hong Jin memang tinggi sekali. Pada
saat pertarungan sedang berlangsung, mendadak...."
"Apa yang terjadi?"
tanya Tio Cie Hiong karena Lam Hai Sin Ceng tidak melanjutkan penuturannya.
"Mendadak Im Sie Hong Jin
tertawa terbahak-bahak, lalu tertawa terkekeh-kekeh," jawab Lam Hai Sin
Ceng. "Setelah itu, suara tawanya berubah seram sekali...."
"Lho?" Tio Cie Hiong
heran. "Kenapa begitu?"
"Im Sie Hong Jin telah
mengeluarkan jurus-jurus yang sangat aneh dan luar biasa."
"Bagaimana sesudah
itu?"
"Lam Hai Sianjin dan Cian
Ciu Kwan Im dilukainya, tapi Im Sie Hong Jin pun berlari pergi entah kemana.
Sejak itu tiada kabar beritanya lagi."
"Kemudian bagaimana
dengan Lam Hai Sianjin dan Cian Ciu Kwan Im?"
"Cian Ciu Kwan Im
meninggalkan Lam Hai Sianjin, karena merasa dirinya sudah tidak bersih."
Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Lam Hai Sianjin patah hati, lalu pulang
ke Lam Hai, dan sejak itu dia tidak pernah meninggalkan Lam Hai lagi."
"Kok Sin Ceng begitu
jelas tentang kejadian rimba persilatan dua ratusan tahun lampau itu?"
tanya Tio Cie Hiong heran.
"Omitohud!" ucap Lam
Hai Sin Ceng dan memberitahukan. "Lam Hai Sianjin adalah kakek
guruku."
Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Kakek guru mewariskan
sebuah kitab kepada guruku, namun guruku tak mampu mempelajarinya, maka
diberikan kepada adik seperguruanku," ujar Lam Hai Sin Ceng sambil
menghela nafas. "Pada waktu itu, aku sedang pergi berkelana. sehingga
kitab itu...."
"Kenapa kitab itu?"
"Entahlah sepertinya
hilang bersama adik seperguruanku... Sedangkan Kotak pusaka yang diperebutkan
itu pasti berisi kitab ilmu silat Pak Kek Siang Ong. Pak Kek Sing Kang
mengandung hawa yang amat dingin, siapa yang terpukul Pak Kek Ciang Hoat, pasti
menggigil dan akhirnya mati beku!"
Tio Cie Hiong terbelalak.
"Begitu lihay pukulan itu!"
"Ya." Lam Hai Sin
Ceng mengangguk. "Karena itu, kiranya hanya ilmu Iweekang yang ada di
dalam kitab warisan gurulah yang dapat mengatasi Pak Kek Sin Kang. Tapi...
sudah puluhan tahun adik seperguruanku itu tiada kabar beritanya."
"Sin Ceng, sebetulnya kitab
itu kitab apa?" tanya Tio Cie Hiong.
,
"Kitab Pan Yok Hian Thian
Sin Kang." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan.
"Apa?!" Tio Cie
Hiong tertegun. "Kitab Pan Yok Hian Thian Sin Kang?"
"Ya." Lam Hai Sin
Ceng menatapnya tajam. "Kenapa engkau tampak tertegun?"
"Sin Ceng!" jawab
Tio Cie Hiong jujur. "Terus terang, yang kupelajari itu adalah Pan Yok
Hian Thian Sin Kang."
Lam Hai Sin Ceng terbelalak.
"Omitohud! Memang sudah merupakan takdir!"
"Tapi...." Tio Cie
Hiong mengerutkan kening. "Aku tidak mau belajar ilmu silat, sebab aku
tahu,
siapa yang mengerti ilmu
silat, pasti saling membunuh. Buktinya kedua orang tuaku dan kakakku."
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng tersenyum. "Kakakmu pernah bilang, kalau sudah merupakan takdir,
apapun pasti terjadi!"
"Sin Ceng, tiada seorang
pun yang dapat memaksaku untuk belajar ilmu silat," ujar Tio Cie Hiong
sungguh-sungguh.
"Sejak kecil engkau
belajar ilmu sastra, kemudian tanpa sengaja engkau belajar Pan Yok Hian Thian
Sin Kang, setelah itu engkau pun berhasil dengan ilmu pengobatan. Sungguh luar
biasa!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum lagi dan bertanya, "Tadi kakakmu
memberikanmu kitab apa?"
"Entahlah." Tio Cie
Hiong menggelengkan kepala, lalu memperlihatkan kitab pemberian kakaknya kepada
Lam Hai Sin Ceng.
"Itu adalah huruf-huruf
Thian Tok (India). Entah kakakmu memperoleh kitab ini dari mana?" ujar Lam
Hai Sin Ceng setelah melihat kitab itu.
"Katanya dari
gurunya."
"Dari gurunya..."
gumam Lam Hai Sin Ceng. "Ciat Lun Sin Ni...."
Tio Cie Hiong tertegun, karena
ketika Lam Hai Sin Ceng mengguman nama tersebut, wajahnya berubah agak aneh.
"Sin Ceng mengerti huruf
Thian Tok?" tanya Tio Cie Hiong.
"Tidak mengerti,"
jawab Lam Hai Sin Ceng. "Dia memberikan kitab ini kepadamu, tentunya
berharap engkau mempelajarinya."
"Tapi...." Tio Cie
Hiong menggelengkan kepala. "Bagaimana mungkin aku mempelajari kitab ini?
Aku sama sekali tidak mengerti
tulisan Thian Tok."
"Cie Hiong!" ujar
Lam Hai Sin Ceng. "Sebelum ajal, kakakmu menyerahkan kitab ini kepadamu.
Maka engkau tidak boleh mengecewakan orang yang sudah tiada!"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Tapi...."
"Ada seorang mengerti
tulisan Thian Tok, engkau harus pergi menemuinya, mohon padanya untuk
menterjemahkan kitab ini!" ujar Lam Hai Sin Ceng
"Sin Ceng, siapa orang
itu?"
"Beliau adalah Thian Thay
Siansu." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan. "Beliau bermukim di Gunung
Thian Thay, engkau bisa kesana menemuinya! Tapi engkau harus sabar, sebab
kadang-kadang Siansu itu tidak mau menemui siapa pun!"
"Sin Ceng kenal Thian
Thay Siansu?"
"Aku pernah bertemu satu
kali, itu sudah puluhan tahun lampau. Kini usia Thian Thay Siansu mungkin sudah
mencapai seratus tiga puluh tahun."
"Haah...?" Mulut Tio
Cie Hiong ternganga lebar. "Sudah begitu tua?"
"Ya." Lam Hai Sin
Ceng mengangguk, "Engkau harus tahu, kakakmu memberimu kitab ini agar
engkau mempelajarinya, maka engkau tidak boleh mengecewakannya yang telah
tiada."
Tio Cie Hiong mengangguk.
"Pembicaraan kita cukup
sampai di sini," ujar Lam Hai Sin Ceng sambil bangkit berdiri.
"Sin Ceng mau
kemana?" tanya Tio Cie Hiong dan bangkit berdiri juga.
"Aku akan ke jurang di
Pek In Nia menemui Ciat Lun Sin Ni untuk memberitahu tentang kematian Pek Ih Mo
Li" jawab Lam Hai Sin Ceng.
"Sin Ceng! Bolehkah aku
bertanya sesuatu?" Tio Cie Hiong menatapnya.
"Tanyalah!" Lam Hai
Sin Ceng tersenyum.
"Apakah padri boleh
berbohong?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Maksudmu?" Lam Hai
Sin Ceng tertegun.
"Sin Ceng telah
berbohong" sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Apa?" Lam Hai Sin
Ceng terbelalak. "Kapan aku berbohong?"
"Sesungguhnya Sin Ceng
mau ke jurang di Pek In Nia, hanya ingin menemui Ciat Lun Sin Ni.
Namun Sin Ceng mengganti
alasan untuk memberitahukannya tentang kematian kakakku, bukan?" Tio Cie
Hiong tersenyum lagi.
"Omitohud! Aku memang
telah berbohong," ucap Lam Hai Sin Ceng sambil menghela nafas. "Cie
Hiong, kenapa engkau bisa menduga itu?"
"Ketika Sin Ceng bergumam
menyebut Ciat Lun Sin Ni, wajah Sin Ceng berubah agak aneh." Tio Cie Hiong
memberitahukan. "Boleh dikatakan penuh mengandung cinta kasih."
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng menghela nafas lagi. "Sudah puluhan tahun aku menjadi padri,
namun masih tidak dapat menghapus cinta kasih itu. Engkau memang luar biasa,
dapat melihat itu."
"Sin Ceng!" ucap Tio
Cie Hiong. "Semoga Sin Ceng bertemu Sin Ni itu!"
"Omitohud!" Lam Hai
Sin Ceng tersenyum, lalu melesat pergi seraya berkata. "Engkau harus
segera berangkat ke Gunung Thian Thay!"
"Ya, Sin Ceng,"
sahut Tio Cie Hiong, kemudian mendekati kudanya. "Ma heng, kita akan
berangkat ke Gunung Thian Thay."
Kuda itu meringkik dan
manggut-manggut.
Tio Cie Hiong meloncat ke
punggungnya. Kemudian kuda itu berlari meninggalkan tempat tersebut.
Bab 16 Hok Mo Cin Keng (Kitab
Suci Penakluk iblis)
Tio Cie Hiong terus memacu
kudanya menuju Gunung Thian Thay. Beberapa hari kemudian, tibalah dia di sebuah
lembah, dan kuda itu berlari agak perlahan. Mendadak muncul tiga orang
menghadang di depannya, maka Tio Cie Hiong cepat-cepat menghentikan kudanya.
"Ayo, turun-" bentak
salah seorang.
"Kalian...." Tio Cie
Hiong menatap mereka. Kemudian keningnya berkerut karena ia merasa
kenal mereka, yang tidak lain
oey San Sam Hiong. Dua tahun lalu oey San Sam Hiong (Tiga orang Ganas oey San)
membunuh seseorang di depan gubuk Sok Beng yok ong.
"Bukankah kalian oey San
Sam Hiong?"
"Anak muda" oey San
Sam Hiong menatapnya tajam.
"Engkau kenal kami?"
"Dua tahun lalu, kalian
bertiga pernah membunuh seseorang di Lembah Persik di Gunung ,Wu San. Tentunya
kalian belum lupa kan?"
"Engkau...." Salah
seorang memperhatikannya,
"oooh Ternyata engkau
anak lelaki itu Sungguh kebetulan kita bertemu di sini, maka engkau harus
menyerahkan kuda itu dan lainnya pada kami Kalau tidak...."
"oey San Sam Hiong Kenapa
kalian selalu melakukan kejahatan?" tanya Tio Cie Hiong.
"Melakukan kejahatan
memang pekerjaan kami" sahut oey San Sam Hiong sambil tertawa terkekeh.
"oey San Sam Hiong, lebih
baik kalian kembali kejalan yang benar" ujar Tio Cie Hiong menasehati
mereka.
"Kalian harus ingat,
bahwa perbuatan yang jahat pasti akan mendapat ganjaran...."
"Diam" bentak oey
san sam Hiong.
"Engkau berani banyak
omong di hadapan kami?"
"Aku banyak omong adalah
demi kebaikan kalian" sahut Tio Cie Hiong.
"Hm" dengus oey san
sam Hiong.
"Cepatlah serahkan kuda
itu dan segala apa yang kau bawa Kalau tidak, nyawamu pasti melayang di ujung
golok kami"
"Aku masih harus
melanjutkan perjalanan, bagaimana mungkin kuserahkan kudaku kepada
kalian." Tio Cie Hiong memandang mereka.
"Aku masih mempunyai
belasan tael perak, akan kuberikan pada kalian, tapi aku harap kalian jangan
mengganggu kudaku"
"Tidak bisa" sahut
oey san sam Hiong.
"Biar bagaimana pun
engkau harus menyerahkan kuda itu kepada kami"
"Maaf" ucap Tio Cie
Hiong sambil menggelengkan kepala.
"Aku tidak bisa
menyerahkan kudaku"
oey san sam Hiong saling
memandang sekaligus saling memberi isyarat kemudian dua orang mendekati Tio Cie
Hiong, sedangkan seorang lagi menghampiri kudanya.
Tio Cie Hiong mengerutkan
kening ketika melihat dua orang itu mendekatinya. Dua orang itu langsung
menyerangnya dengan golok- Pada waktu bersamaan, badan Tio Cie Hiong bergerak,
tahu-tahu sudah hilang dari hadapan kedua orang itu.
Bukan main terkejutnya mereka
berdua, sebab Tio Cie Hiong sudah berdiri di belakang mereka.
Kedua orang itu membalikkan
badannya, lalu menyerang Tio Cie Hiong lagi, tapi Tio cie Hiong tetap berkelit
dengan ilmu langkah kilat.