Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 07

Baca Cersil Mandarin Online: Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 07
Bagian 07

Pek Ih Mo Li tertegun. Ia ingat pernah melihatnya di Ekspedisi Harimau Terbang. Betapa terkejutnya Pek Ih Mo Li ketika menyaksikan wajahnya yang pucat pias. Ia segera membuka bajunya. Tampak bekas dua telapak tangan kehijau-hijauan di dadanya. "Ngo Tok Ciang...."

Ia telah tahu, Siapa yang terkena pukulan Ngo Tok Ciang, dalam waktu beberapa jam kemudian pasti mati. Itu sungguh membuat Pek Ih Mo Li kacau dan resah, sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara yang sangat halus.

"Omitohud!"

Pek Ih Mo Li terkejut bukan main dan segera menoleh. Dilihatnya seorang padri tua berwajah pengasih dan berjenggot sebatas dada berdiri di situ. Begitu melihat padri tua itu, Pek Ih Mo Li tersentak.

"Apakah aku berhadapan dengan Lam Hai Sin Ceng?"

"Omitohud! Engkau tentu Pek Ih Mo Li," sahut padri tua. Memang tidak salah, padri tua itu adalah Bu Lim It Ceng.

"Sin Ceng, tolonglah anak itu!" ujar Pek Ih Mo Li memohon.

"Engkau kenal dia?" tanya Lam Hai Sin Ceng. "Aku pernah melihatnya di Ekspedisi Harimau Terbang." Pek Ih Mo Li memberitahukan. "Dia anak baik, maka aku mohon Sin Ceng sudi menolongnya!"

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng mendekati Tio Cie Hiong yang masih dalam keadaan pingsan. Ketika melihat bekas sepasang telapak tangan di dada Tio Cie Hiong, kening padri tua berkerut. "Ngo Tok Ciang!"

Lam Hai Sin Ceng membungkukkan badannya, lalu menjulurkan tangannya untuk menotok jalan darah di dada Tio Cie Hiong, agar racun tidak menjalar ke jantung.

Akan tetapi, ketika jari tangannya menyentuh dada Tio Cie Hiong, padri tua itu tampak tertegun.

"Sin Ceng! Bagaimana? Apakah dia masih bisa ditolong?" tanya Pek- Ih Mo Li tegang.

"Omitohud! Ini sungguh di luar dugaan dan luar biasa sekali." sahut Lam Hai Sin Ceng.

"Kenapa, Sin Ceng?" Pek Ih Mo Li heran. "Anak ini telah memiliki semacam Iweekang yang amat tinggi, maka jantungnya terlindung oleh Iweekang itu." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan. "Tapi dia tetap harus diobati."

"Sin Ceng bisa mengobatinya?"

"Tidak bisa. Namun ada satu orang bisa mengobatinya."

"Siapa orang itu?"

"Sok Beng Yok Ong, Hanya dia yang bisa memusnahkan racun Ngo Tok itu."

"Yok Ong itu tinggal di mana?"

"Di kaki Gunung Wu San." Lam Hai Sin Ceng memberitahukan. "Lembah Persik, engkau harus segera membawa anak itu ke sana! Tapi...."

"Kenapa?"

"Sok Beng Yok Ong bersifat sangat aneh. Kalau dia tidak senang, jangan harap dia akan mengobati orang."

"Bolehkah aku bilang Sin Ceng yang menyuruhku ke sana?" tanya Pek Ih Mo Li mendadak.

"Tidak boleh." Lam Hai Sin Ceng menggelengkan kepala.

"Kenapa?" Pek Ih Mo Li heran.

"Dia pasti tersinggung karena mengira engkau menggunakan namaku untuk menemukannya, maka urusan akan runyam karenanya."

"Kalau begitu...." Pek Ih Mo Li mengerutkan kening.

"Apabila engkau bersungguh hati ingin menolong anak itu, tentunya Sok Beng Yok Ong pun akan mengobatinya. Percayalah!" ujar Lam Hai Sin Ceng sambil tersenyum.

Pek Ih Mo Li mengangguk, lalu menggendong Tio Cie Hiong di punggungnya.

"Pek Ih Mo Li!" Lam Hai Sin Ceng menatapnya dalam-dalam seraya berkata, "Segala sesuatu memang telah merupakan takdir, maka aku harap engkau berhati-hati dalam tiga tahun ini, sebab menyangkut keselamatanmu."

Pek Ih Mo Li tersenyum. "Terimakasih atas pesan Sin Ceng. Kalau itu telah merupakan takdir, berhati-hati pun akan terjadi."

"Omitohud!" ucap Lam Hai Sin Ceng, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

"Sin Ceng, sampai jumpa!" ucap Pek Ih Mo Li lalu melesat pergi.

"Pek Ih Mo Li, siapa gurumu?" tanya Lam Hai Sin Ceng dengan menggunakan Iweekang.

"Sin Ceng, guruku adalah Ciat Lun Sin Ni," sahut Pek Ih Mo Li.

"Omitohud!" ucap Lam Hai Sin Ceng lagi. Padri tua itu berdiri termangu-mangu di tempat, bahkan kemudian juga menghela nafas dan bergumam. "Ciat Lun Sin Ni, ternyata Pek Ih Mo Li adalah muridnya. Ciat Lun Sin Ni...."

Lembah itu penuh batu curam. Namun sungguh mengherankan, di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang sangat besar dan indah. Para kaum Bu Lim mengetahui bahwa itu Thian Mo Kiong. Selama puluhan tahun, tiada seorang kaum Bu Lim pun yang berani mendatangi lembah itu. Sebab siapa yang masuk ke lembah itu, pasti tidak bisa keluar dengan selamat.

Di ruang tengah Istana Thian Mo Kiong, tampak tiga orang tua duduk bersila mengelilingi meja pendek. Di atas meja pendek itu terdapat sebuah kotak putih yang bergemerlapan. Sungguh indah kotak itu!

Siapa ketiga orang tua yang berwajah bengis dan kotak apa yang di atas meja pendek itu?

Ketiga orang tua itu adalah Bu Lim Sam Mo, sedangkan kotak putih yang bergemerlapan itu adalah Kotak Pusaka yang diperebutkan pada kaum Bu Lim.

"Telah belasan tahun kita bertanding untuk memperoleh Kotak Pusaka ini, Namun selama itu kita bertiga selalu bertanding seri," ujar Tang Hai Lo Mo "Itu berarti kita telah membuang waktu dengan sia-sia!"

"Tang Hai Lo Mo!" sahut Thian Mo. "Kita bertiga membunuh Hui Kiam Bu Tek dan isterinya, untuk memperoleh Kotak Pusaka ini. Tentunya kita bertiga harus bertanding pula, siapa yang menang, dialah yang berhak memperoleh Kotak Pusaka ini."

"Tidak salah" sambung Te Mo dengan suara parau. "Kita harus terus bertanding hingga ada yang menang!"

Lembah itu penuh batu curam. Namun sungguh mengherankan, di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang sangat besar dan indah. Para kaum Bu Lim

mengetahui bahwa itu Thian Mo Kiong. Selama puluhan tahun, tiada seorang kaum Bu Lim pun yang berani mendatangi lembah itu. Sebab siapa yang masuk

ke lembah itu, pasti tidak bisa keluar dengan selamat.

Di ruang tengah Istana Thian Mo Kiong, tampak tiga orang tua duduk bersila mengelilingi meja pendek. Di atas meja pendek itu terdapat sebuah kotak

putih yang bergemerlapan. Sungguh indah kotak itu!

Siapa ketiga orang tua yang berwajah bengis dan kotak apa yang di atas meja pendek itu?

Ketiga orang tua itu adalah Bu Lim Sam Mo, sedangkan kotak putih yang bergemerlapan itu adalah Kotak Pusaka yang diperebutkan pada kaum Bu Lim.

"Telah belasan tahun kita bertanding untuk memperoleh Kotak Pusaka ini, Namun selama itu kita bertiga selalu bertanding seri," ujar Tang Hai Lo Mo

"Itu berarti kita telah membuang waktu dengan sia-sia!"

"Tang Hai Lo Mo!" sahut Thian Mo. "Kita bertiga membunuh Hui Kiam Bu Tek dan isterinya, untuk memperoleh Kotak Pusaka ini. Tentunya kita bertiga

harus bertanding pula, siapa yang menang, dialah yang berhak memperoleh Kotak Pusaka ini."

"Tidak salah" sambung Te Mo dengan suara parau. "Kita harus terus bertanding hingga ada yang menang!"

"Kalau begitu, selamanya tiada seorang pun diantara kita yang akan memperoleh Kotak Pusaka ini" ujar Tang Hai Lo Mo sambil menggeleng-geleng

kepala.

"Kenapa?" tanya Thian Mo dan Te Mo serentak.

"Karena kepandaian kita seimbang, maka selamanya kita bertiga pasti bertanding seri" jawab Tang Hai Lo Mo dan menambahkan. "Kita bertiga beruntung

telah memperoleh Kotak Pusaka peninggalan Pak Kek Siang Ong yang berisi kitab ilmu silatnya, tapi kita justru telah membuang-buang waktu belasan

tahun."

"Ha ha ha!" Thian Mo tertawa gelak. "Pada waktu itu kita turun tangan duluan. Kalau tidak, It Ceng dan Ji Khie pasti menghalangi kita."

"It Ceng dan Ji Khie!" dengus Tang Hai Lo Mo dingin. "Kita bertiga pasti dapat mengalahkan mereka."

"Benar." Te Mo tertawa gelak.

"Tapi...." Thian Mo menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau kita terus bertanding dan selalu seri,

siapa diantara kita yang akan mempelajari ilmu silat peninggalan Pak Kek Siang Ong?"

Tang Hai Lo Mo manggut-manggut. "Itulah yang kupikirkan dalam beberapa hari ini."

"Tang Hai Lo Mo! Bagaimana menurut pendapatmu setelah berpikir sekian lama?" tanya Thian Mo.

"Kita bertiga disebut Bu Lim Sam Mo, karena kita memiliki sifat yang sama. Oleh karena itu, alangkah baiknya....." Tang Hai Lo Mo tidak

melanjutkan, melainkan memandang Thian Mo dan Te Mo.

"Engkau punya usul?" tanya Thian Mo dan Te Mo serentak.

"Ya." Tang Hai Lo Mo mengangguk.

"Kalau usulmu saling menguntungkan, tentu kami setuju," ujar Thian Mo sungguh-sungguh.

"Menurut pendapatku, alangkah baiknya kita bersatu mempelajari ilmu silat itu. Jadi kita tidak usah menyia-nyiakan waktu lagi." Tang Hai Lo Mo

menatap mereka tajam.

Thian Mo dan Te Mo saling memandang. Kelihatannya mereka berdua sedang memikirkan usul tersebut. Setelah itu barulah mereka mengangguk.

"Usul itu memang tepat, maka kami setuju," ujar Thian Mo.

"Bagus." Tang Hai Lo Mo tertawa gembira. "Setelah kita bertiga berhasil mempelajari ilmu silat itu, kita bertiga pun harus tetap bergabung."

"Betul." Te Mo tertawa gelak. "Pada waktu itu, Bu Lim Sam Mo sudah pasti diatas It Ceng dan Ji Khie."

"Tidak salah." Te Mo tertawa terkekeh-kekeh. "Kita pasti dapat menguasai rimba persilatan. Setelah kita merobohkan It Ceng dan Ji Khie, tujuh

partai besar dalam rimba persilatan pun harus menuruti perintah kita. Partai mana yang berani membangkang, harus kita basmi."

"Itulah tujuanku, dan kini telah menjadi tujuan kita bersama." Tang Hai Lo Mo tertawa keras, sehingga badannya bergoyang-goyang."Oleh karena itu,

setelah berhasil mempelajari ilmu silat peninggalkan Pak Kek Siang Ong, kita harus mendirikan Sam Mo Kauw (Agama Tiga lblis). Kita undang semua

golongan hitam dan golongan sesat untuk bergabung, agar Sam Mo Kauw bertambah kuat. Kalian berdua setuju?"

"Setuju" sahut Thian Mo dan Te Mo serentak sambil tertawa gembira.

"Nah! Sekarang mari kita buka Kotak Pusaka itu!" ujar Tang Hai Lo Mo.

Thian Mo dan Te Mo segera mendekati Kotak Pusaka, tapi Tang Hai Lo Mo justru mencegah mereka.

"Jangan mendekati Kotak Pusaka itu!"

"Kenapa?" Thian Mo dan Te Mo heran.

"Kita harus menjaga segala sesuatu!" Tang Hai Lo Mo memberitahukan. "Lebih baik kita buka dari jarak jauh"

"Betul." Thian Mo dan Te Mo mengangguk. Mereka berdua segera melangkah ke belakang lalu duduk kembali.

"Kita menggunakan tenaga dalam membuka Kotak Pusaka itu, namun harus hati-hati," pesan Tang Hai Lo Mo. "Jangan sampai merusak kitab yang ada di

dalamnya."

Thian Mo dan Te Mo manggut-manggut. Mereka bertiga lalu menghimpun Iweekang masing-masing.

"Mulai!" seru Tang Hai Lo Mo.

Seketika juga telapak tangan mereka di arahkan ke Kotak Pusaka yang berada di atas meja, dan terdengarlah suara pletak. Kotak Pusaka itu terbuka,

dan sama sekali tidak ada senjata rahasia yang menyambar keluar. Bu Lim Sam Mo menarik nafas lega, lalu bangkit berdiri sambil memandang ke dalam

Kotak Pusaka itu. Ternyata, Kotak Pusaka itu berisi tiga buah kitab.

Mereka bertiga segera melangkah maju, kemudian mengambil kitab-kitab tersebut.

"Pak Kek Sin Kang !" seru Tang Hai Lo Mo lalu tertawa gelak.

"Pak Kek Ciang Hoat !" Thian Mo memberitahukan dengan wajah berseri-seri.

"Pak Kek Kiam Hoat !" seru Te Mo lalu tertawa girang.

"Pertama-tama, kita bertiga harus mempelajari Pak Kek Sin Kang." ujar Tang Hai Lo Mo sungguh-sungguh. "Setelah itu, barulah kita mempelajari ilmu

pukulan dan ilmu pedang."

"Benar." Thian Mo dan Te Mo manggut-manggut.

"Luar biasa!" seru Tang Hai Lo Mo setelah membaca sejenak kitab yang di tangannya. "Pak Kek Sin Kang mengandung hawa dingin, bisa memukul mati

orang sekali pukul sampai beku !".

"Ha ha ha!" Thian Mo tertawa terbahak-bahak. "Kita bertiga pasti dapat merobohkan It Ceng dan Ji Khie dengan ilmu Pak Kek Sin Kang."

"Benar." Tang Hai Lo Mo dan Te Mo juga tertawa gelak.

Lam Hai Sin Ceng duduk bersila di atas sebuah batu besar. Berselang beberapa saat, berkelebat dua sosok bayangan ke hadapannya. Siapakah dua sosok

bayangan itu? Mereka ternyata Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng.

"Huaha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Hei! Padri keparat! Kenapa engkau mengundang kami berdua ke mari? Apakah engkau mau mengajak kami

berunding?"

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum. "Pengemis tua, sifatmu masih belum berubah!"

"Sifatku memang begini, bagaimana mungkin berubah?" sahut Sam Gan Sin Kay dan tertawa gelak lagi.

"Padri tua! Ada urusan apa engkau mengundang kami berdua ke mari?" tanya Kim Siauw Suseng.

"Sastrawan awet muda!" sahut Lam Hai Sin Ceng. "Tentunya ada sesuatu yang teramat penting."

"Padri tua!" Kim Siauw Suseng menatapnya tajam. "Bukankah engkau telah bersumpah tidak mau mencampuri urusan apa pun lagi? Kok sekarang malah

bilang ada sesuatu yang teramat penting?"

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Kaum pertapa kalau tahu sesuatu yang menyangkut keselamatan umat manusia, namun tidak mau

memberitahukan, itu adalah dosa!"

"Padri keparat! Apakah engkau mengetahui sesuatu yang menyangkut keselamatan rimba persilatan?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil menatapnya.

"Omitohud! Itu hanya merupakan suatu firasat belaka." jawab Lam Hai Sin Ceng "Tapi.. sepertinya akan terjadi."

"Padri tua!" Kim Siauw Suseng mengerutkan kening. "Engkau berfirasat apa?"

"Aku harap dalam tiga tahun ini kalian berdua harus memperdalam kepandaian masing-masing." jawab Lam Hai Sin Ceng.

Sam Gan Sin Kay terbelalak. "Apakah agar kita bertiga bisa bertanding?"

"Bukan." Lam Hai Sin Ceng menggelengkan kepala "Aku menghendaki kalian berdua memperdalam kepandaian masing-masing, karena kemungkinan besar tiga

tahun kemudian kalian berdua harus menghadapi Sam Mo."

"Apa?" Sam Gan Sin Kay tampak terkejut. "Tiga tahun kemudian aku dan Kim Siauw Suseng harus menghadapi Sam Mo?"

"Ya." Lam Hai Sin Ceng mengangguk. "Aku berfirasat, tiga atau empat tahun lagi Sam Mo akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan, jadi kalian

berdua harus menghadapinya."

"Hei! Padri keparat!" Sam Gan Sin Kay melotot. "Kami berdua menghadapi Sam Mo, lalu engkau cuma menonton saja ?"

"Omitohud! Aku sudah tidak mau mencampuri urusan persilatan lagi." Lam Hai Sin Ceng menghela nafas.

"Padri! Kenapa kami berdua harus memperdalam kepandaian kami?" tanya Kim Siauw Suseng mendadak.

"Karena...." Lam Hai Sin Ceng menghela nafas lagi. "Saat itu kalian berdua jika tidak

memperdalam kepandaian kalian masing-masing, sudah pasti bukan lawan mereka."

Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng saling memandang, kemudian Sam Gan Sin Kay berkata. "Sudah belasan tahun Sam Mo tiada kabar beritanya, belum

tentu mereka bisa mengalahkan kita?"

"Karena mereka bertiga telah berhasil mempelajari ilmu silat yang ada di dalam Kotak Pusaka itu" ujar Lam Hai Sin Ceng.

"Kalau begitu...." Kim Siauw Suseng mengerutkan kening.

"Semua itu telah merupakan takdir, namun kalian berdua tetap harus berusaha memperdalam kepandaian yang kalian miliki, agar masih dapat bertahan

bahkan harus pula mencari kesempatan untuk kabur. Kalau tidak, kalian berdua pasti akan mati di tangan mereka."

"Padri keparat!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Tidak apa aku mati ditangan mereka, asal tidak jadi seorang pengecut saja !" Sindirnya

"Omitohud!" Lam Hai Sin Ceng tersenyum. "Aku bukannya ingin jadi pengecut, melainkan percuma juga keberadaanku diantara kalian, sebab aku tidak

bisa berbuat apa-apa. Namun berdasarkan firasat dan ramalan di saat kalian berdua dalam bahaya, pasti akan muncul dewa penolong."

"Muncul dewa penolong?" Kim Siauw Suseng melongo. "Tentunya penolong itu berkepandaian lebih tinggi dari Sam Mo!"

"Penolong itu masih mampu melawan Sam Mo." sahut Lam Hai Sin Ceng.

"Padri keparat!" Sam Gan Sin Kay menatapnya. "Engkau jangan ngawur! Dalam rimba persilatan sekarang ini, kepandaian siapa yang lebih tinggi dari

kita bertiga?"

"Untuk sekarang ini memang tidak ada, tapi kelak akan muncul seseorang yang berkepandaian lebih tinggi dari kita." sahut Lam Hai Sin Ceng.

"Eeeh!" Tiba-tiba Kim Siauw Suseng teringat sesuatu. "Apakah dia?"

Sam Gan Sin Kay manggut-manggut, keduanya saling menatap sambil tersenyum.

"Kalian berdua harus mencari suatu tempat yang sepi untuk memperdalam kepandaian kalian, jangan melalaikan itu!" pesan Lam Hai Sin Ceng, kemudian

mendadak melesat pergi.

"Padri keparat!" seru Sam Gan Sin Kay. Namun Lam Hai Sin Ceng sudah tidak kelihatan lagi. Pengemis sakti itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu

memandang Kim Siauw Suseng. "Sastrawan sialan! Kita harus bagaimana?"

"Aku yakin firasat padri tua itu tidak akan meleset, maka alangkah baiknya kita mencari tempat yang sepi untuk memperdalam kepandaian kita."

"Sastrawan sialan!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Bagaimana kalau kita ke markas pusat Kay Pang?"

"Bukankah akan merepotkan putramu?"

"Tidak menjadi masalah." Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak. "Aku berani menjamin engkau pasti akan betah di sana."

"Kalau begitu..." Kim Siauw Suseng berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Baiklah."

Bu Lim Ji Khie itu lalu melesat pergi menuju markas Kay Pang. Selama puluhan tahun, mereka berdua bagaikan kucing dan anjing. Kalau mereka bertemu

pasti bertanding dan saling mencaci. Akan tetapi, kali ini mereka berdua tampak begitu akrab.

Lim Peng Hang, si Tongkat Maut, ketua Kay Pang terbelalak menyambut kedatangan Sam Gan Sin Kay bersama Kim Siauw Suseng. Biasanya mereka berdua

pasti saling mencaci, namun kali ini keduanya malah muncul di markas Kay Pang sambil tertawa-tawa. Hal itu tentunya sangat mencengangkan Lim Peng

Hang.

"Ayah, Cianpwee!" panggil ketua Kay Pang.

"Lim Pangcu (Ketua Lim)!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Aku datang untuk makan dan tidur selama beberapa tahun. Apakah engkau tidak

berkeberatan?"

"Tentu tidak," sahut Lim Peng Hang sambil tersenyum. "Sebaliknya aku malah merasa senang sekali."

"Bukankah engkau akan bersungut-sungut dalam hati?" ujar Kim Siauw Suseng sambil tertawa gelak.

"Sama sekali tidak, Cianpwee," sahut Lim Peng Hang sungguh-sungguh.

"Bagus!" Kim Siauw Suseng manggut-manggut.

"Silahkan duduk, Cianpwee!" ucap Lim Peng Hang.

"Peng Hang, cepat suruh seseorang menyediakan arak yang paling bagus!" ujar Sam Gan Sin Kay.

Lim Peng Hang segera menyuruh seseorang untuk mengambil arak istimewa, lalu duduk dengan wajah penuh keheranan.

"Peng Hang!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Engkau merasa heran kenapa aku pulang bersama Kim Siauw Suseng kan?"

"Ya, Ayah." Lim Peng Hang mengangguk. "Kami berdua telah menemui Lam Hai Sin Ceng..." ujar Sam Gan Sin Kay memberitahukan tentang itu.

Lim Peng Hang mengerutkan kening.

"Sin Ceng itu berfirasat bahwa Sam Mo akan muncul dalam rimba persilatan kelak?"

Kim Siauw Suseng mengangguk. "Oleh karena itu, aku dan ayahmu harus memperdalam kepandaian masing-masing."

"Pengemis bau, kapan kita akan mulai memperdalam kepandaian kita?" tanya Kim Siauw Suseng serius.

"Mulai besok." sahut Sam Gan Sin Kay. "Bagaimana?"

"Baik."Kim Siauw Suseng mengangguk. "Besok kita harus mulai...."

Pek Ih Mo Li yang menggendong Tio Cie Hiong telah tiba di lembah Persik di Gunung Wu San.

"Yok Ong! Yok Ong!" serunya di depan gubuk Sok Beng Yok Ong, lalu menaruh Tio Cie Hiong yang masih dalam keadaan pingsan.

Pintu gubuk itu terbuka. Tampak seorang tua berusia tujuh puluhan berjalan ke luar dengan wajah penuh kegusaran.

"Hei! Gadis tak tahu diri! Kenapa engkau berteriak-teriak di depan gubukku?" bentaknya.

"Aku ingin menemui Sok Beng Yok Ong," sahut Pek Ih Mo Li.

"Akulah Sok Beng Yok Ong!" Orang tua itu melirik Tio Cie Hiong yang tergeletak di tanah. "Ayoh, cepat pergi! Jangan menggangguku!"

"Yok Ong, tolonglah dia!" Pek Ih Mo Li menunjuk Tio Cie Hiong. "Dia terkena pukulan Ngo Tok Ciang."

"Ada urusan apa denganku?" dengus Sok Beng Yok Ong. "Ayoh, cepat bawa dia pergi!"

"Yok Ong, tolong obati dia! Kalau tidak, dia akan mati," ujar Pek Ih Mo Li memohon. "Apakah dia adikmu?"

"Bukan."

"Familimu?" "Juga bukan."

"Kalau begitu...." Sok Beng Yok Ong tertawa. "Kenapa kau bawa dia ke mari! Jangan-Jangan dia

kekasihmu!"

"Yok Ong!" Wajah Pek Ih Mo Li langsung berubah dingin. "Jangan omong sembarangan!"

"He he he!" Sok Beng Yok Ong tertawa terkekeh. "Kalau dia bukan kekasihmu, kenapa engkau mau capek-capek membawa ke mari?"

"Aku kasihan padanya, maka kubawa dia ke mari," sahut Pek Ih Mo Li. "Yok Ong, tolonglah dia!"

"Adik bukan, famili bukan dan kekasih pun bukan! Sudahlahl Biar dia mati saja! Lagi pula aku pun tidak punya waktu untuk menolongnya!" ujar Sok

Beng Yok Ong sambil membalikkan badannya.

"Yok Ong!" bentak Pek Ih Mo Li sambil melesat ke hadapannya. "Mau tidak menolongnya?" "Tidak ada urusan denganku!" sahut Sok Beng Yok Ong sambil tersenyum dingin.

"Yok Ong, aku Pek Ih Mo Li. Kalau engkau tidak mau menolongnya...." Pek Ih Mo Li mulai

menghunus pedangnya.

"Yok Ong...." Mendadak Pek Ih Mo Li menghela nafas, kemudian menjatuhkan diri berlutut di

hadapan Sok Beng Yok Ong."Aku mohon, tolonglah dia!"

"Pek Ih Mo Li, engkau tiada hubungan apa-apa dengannya, kenapa engkau mau berlutut di hadapanku bermohon agar aku bersedia menolongnya?" tanya Sok

Beng Yok Ong.

"Yok Ong! Entah apa sebabnya aku merasa sangat kasihan kepadanya, dan merasa tidak tega menyaksikan kematiannya," sahut Pek lh Mo Li dan

melanjutkan. "Yok Ong, tolonglah dia!"

"Baik!" Sok Beng Yok Ong manggut-manggut. "Tapi engkau harus memenuhi satu syaratku!"

"Apa syarat itu?"

Pek Ih Mo Li yang menggendong Tio Cie Hiong telah tiba di lembah Persik di Gunung Wu San.

"Yok Ong! Yok Ong!" serunya di depan gubuk Sok Beng Yok Ong, lalu menaruh Tio Cie Hiong yang masih dalam keadaan pingsan.

Pintu gubuk itu terbuka. Tampak seorang tua berusia tujuh puluhan berjalan ke luar dengan wajah penuh kegusaran.

"Hei! Gadis tak tahu diri! Kenapa engkau berteriak-teriak di depan gubukku?" bentaknya.

"Aku ingin menemui Sok Beng Yok Ong," sahut Pek Ih Mo Li.

"Akulah Sok Beng Yok Ong!" Orang tua itu melirik Tio Cie Hiong yang tergeletak di tanah.

"Ayoh, cepat pergi! Jangan menggangguku!"

"Yok Ong, tolonglah dia!" Pek Ih Mo Li menunjuk Tio Cie Hiong. "Dia terkena pukulan Ngo Tok Ciang."

"Ada urusan apa denganku?" dengus Sok Beng Yok Ong. "Ayoh, cepat bawa dia pergi!"

"Yok Ong, tolong obati dia! Kalau tidak, dia akan mati," ujar Pek Ih Mo Li memohon. "Apakah dia adikmu?"

"Bukan."

"Familimu?" "Juga bukan."

"Kalau begitu...." Sok Beng Yok Ong tertawa. "Kenapa kau bawa dia ke mari! Jangan-Jangan dia

kekasihmu!"

"Yok Ong!" Wajah Pek Ih Mo Li langsung berubah dingin. "Jangan omong sembarangan!"

"He he he!" Sok Beng Yok Ong tertawa terkekeh. "Kalau dia bukan kekasihmu, kenapa engkau mau capek-capek membawa ke mari?"

"Aku kasihan padanya, maka kubawa dia ke mari," sahut Pek Ih Mo Li. "Yok Ong, tolonglah dia!"

"Adik bukan, famili bukan dan kekasih pun bukan! Sudahlahl Biar dia mati saja! Lagi pula aku pun tidak punya waktu untuk menolongnya!" ujar Sok Beng Yok Ong sambil membalikkan badannya.

"Yok Ong!" bentak Pek Ih Mo Li sambil melesat ke hadapannya. "Mau tidak menolongnya?" "Tidak ada urusan denganku!" sahut Sok Beng Yok Ong sambil tersenyum dingin.

"Yok Ong, aku Pek Ih Mo Li. Kalau engkau tidak mau menolongnya...." Pek Ih Mo Li mulai

menghunus pedangnya.

"Yok Ong...." Mendadak Pek Ih Mo Li menghela nafas, kemudian menjatuhkan diri berlutut di

hadapan Sok Beng Yok Ong."Aku mohon, tolonglah dia!"

"Pek Ih Mo Li, engkau tiada hubungan apa-apa dengannya, kenapa engkau mau berlutut di hadapanku bermohon agar aku bersedia menolongnya?" tanya Sok Beng Yok Ong.

"Yok Ong! Entah apa sebabnya aku merasa sangat kasihan kepadanya, dan merasa tidak tega menyaksikan kematiannya," sahut Pek lh Mo Li dan melanjutkan. "Yok Ong, tolonglah dia!"

"Baik!" Sok Beng Yok Ong manggut-manggut. "Tapi engkau harus memenuhi satu syaratku!"

"Apa syarat itu?"

"Engkau harus membenturkan kepalamu sembilan kali, barulah aku bersedia menolong anak itu!"

"Terima kasih, Yok Ong!" ucap Pek Ih Mo Li, kemudian membenturkan kepalanya ke tanah sembilan kali.

"Ha ha ha!" Sok Beng Yok Ong tertawa gelak. "Pek Ih Mo Li, bangunlah!"

Pek Ih Mo Li bangkit berdiri.

Sok Beng Yok Ong manggut-manggut seraya berkata. "Engkau bermohon dengan bersungguh hati, maka aku menolong anak itu dengan bersungguh-sungguh pula."

"Terimakasih, Yok Ong!"

"Tapi setelah sembuh, dia harus membantuku di sini selama dua tahun. Bagaimana?"

"Aku setuju, namun entah bagaimana dengan dia?"

"Kalau engkau setuju, dia pun harus menurut." Sok Beng Yok Ong tersenyum. "Sebab engkau yang membawanya ke mari, maka dia harus menurut."

"Baik! Aku setuju dia membantu di sini dua tahun," ujar Pek Ih Mo Li. "Yok Ong, terima kasih!"

Pek Ih Mo Li melesat pergi, Sok Beng Yok Ong termangu-mangu lalu kemudian bergumam. "Dia dipanggil Pek Ih Mo Li, tapi hatinya malah begitu... ,Mo li apanya.???" Usai bergumam, Sok Beng Yok Ong mendekati Tio Cie Hiong. Ia membungkukkan badannya, lalu memeriksa nadi dan denyut jantung Tio Cie Hiong. "Eeeh? Kok bisa begini?"

Ternyata Sok Beng Yok Ong merasakan adanya hawa hangat melindungi jantung Tio Cie Hiong.

Oleh karena itu ia memeriksanya lagi.

"Wuah! Sungguh luar biasa! Ternyata dia tidak mati terkena pukulan Ngo Tok Ciang, karena jantungnya terlindung oleh semacam Iwee kang yang mengandung hawa hangat.

Perlahan-lahan Tio Cie Hiong membuka matanya. Ia terheran-heran karena dirinya terbaring di atas ranjang kayu di dalam sebuah kamar. Ia segera bangun dan di saat bersamaan, terdengarlah suara seseorang.

"Engkau sudah sadar?"

Tio Cie Hiong memandang ke arah pintu. Tampak seorang tua berdiri di situ sambil tersenyum.

"Paman Tua, tempat ini... ?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Cobalah engkau ingat, apa yang telah terjadi atas dirimu!" sahut orang tua itu, yang tidak lain Sok Beng Yok Ong.

"Aku hanya ingat. Ketika memasuki sebuah rimba, aku bertemu dua orang tua berwajah hitam dan putih, kemudian mereka memukulku...."

"Mereka berdua adalah Hek Pek Siang Koay yang berhati kejam." Sok Beng Yok Ong memberitahukan. "Dadamu terkena pukulan mereka yang mengandung racun. Engkau tidak mati karena terlindung oleh hawa hangat yang ada di dalam tubuhmu."

"Kalau begitu, Paman Tua yang menyelamatkan nyawaku?" tanya Tio Cie Hiong.

"Pek Ih Mo Li yang menolongmu ke mari, dan aku yang menyelamatkan nyawamu," sahut Sok Beng Yok Ong.

"Pek Ih Mo Li ?" Tio Cie Hiong tercengang.

"Engkau mengenalnya?" Sok Beng Yok Ong menatapnya.

"Tidak kenal, tapi aku pernah bertemu dengannya di Ekspedisi Harimau Terbang," jawab Tio Cie Hiong jujur.

"Kalian tidak punya hubungan apa pun?"

"Tidak."

"Kalau begitu, Pek Ih Mo Li betul-betul berhati baik." Sok Beng Yok Ong manggut-manggut.

"Terimakasih, Paman telah menyelamatkan nyawaku." ucap Tio Cie Hiong.

"Engkau tidak perlu berterimakasih, sebab sebelum aku mengobatimu, aku telah mengajukan sebuah syarat kepada Pek Ih Mo Li. Dia setuju maka engkau harus menurut."

"Aku pasti menurut."

"Tidak akan menyesal?"

"Paman Tua telah menyelamatkan nyawaku, bagaimana aku akan menyesal karena syarat itu? Beritahukanlah! Apa syarat itu, aku pasti menurut!"

"Engkau harus membantuku di sini selama dua tahun, setelah itu, barulah engkau bebas."

Tio Cie Hiong mengangguk. "Terimakasih, Paman Tua!"

"Ha ha-Ha" Sok Beng Yok Ong tertawa gelak.

Sejak itu Tio Cie Hiong membantu Sok Beng Yok Ong meramu berbagai macam obat. Namun ada satu hal yang tidak dimengerti Tio Cie Hiong. Kadang-kadang ada orang minta pertolongan

pada Sok Beng Yok Ong, namun dengan alasan tertentu Sok Beng Yok Ong menyuruh mereka harus mengutungkan sebelah lengan atau sebelah kaki mereka. Hal itu sungguh membuat Tio Cie Hiong tidak habis pikir. Kebetulan malam ini mereka berdua duduk beristirahat di depan rumah.

"Paman Tua, ada satu hal membuat aku tidak habis pikir," ujar Tio Cie Hiong.

"Mengenai hal apa?" tanya Sok Beng Yok Ong sambil menatapnya.

"Kenapa kadang-kadang Paman Tua menyuruh mereka mengutungkan sebelah lengan atau sebelah kaki mereka?" sahut Tio Cie Hiong. "Alasan Paman Tua kalau mereka tidak mengutungkan sebelah lengan atau sebelah kaki mereka, nyawa mereka tidak dapat tertolong. Padahal itu hanya merupakan alasan yang dibuat-buat...."

"Benar." Sok Beng Yok Ong mengangguk sambil tersenyum.

"Paman Tua, kenapa harus begitu?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.

"Cie Hiong! Tentunya engkau tahu, mereka adalah para penjahat yang berhati kejam. Aku menyuruh mereka mengutungkan sebelah lengan atau sebelah kaki mereka, agar selanjutnya mereka tidak bisa membunuh atau mencelakai orang lagi. Nah, engkau mengerti?"

Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Namun seharusnya tidak perlu begitu, cukup memberi mereka nasehat saja."

"Memberi mereka nasehat?" Sok Beng Yok Ong tertawa gelak. "Engkau masih ingat kan? Hek Pek Siang Koay pernah memukulmu. Kalau tidak muncul Pek Ih Mo Li yang kemudian membawamu ke mari, apakah engkau masih bisa hidup?"

Tio Cie Hiong terdiam. Sok Beng Yok Ong menatapnya, dan tiba-tiba teringat sesuatu. "Ohya.

Cie Hiong! Kenapa engkau ingin mencari Ku Tok Lojin?" tanya Sok Beng Yok Ong heran.

"Ingin bertanya kepadanya tentang kedua orang tuaku," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Sebab dia tahu siapa kedua orang tuaku."

"Jadi...." Sok Beng Yok Ong menatapnya dalam-dalam. "Kini engkau masih belum tahu siapa

kedua orang tuamu?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk dengan wajah murung.

"Cie Hiong!" ujar Sok Beng Yok Ong. "Aku yakin, kedua orang tuamu pasti orang rimba persilatan, sebab Ku Tok Lojin termasuk orang rimba persilatan yang cukup terkenal."

"Paman Tua kenal Ku Tok Lojin?" tanya Tio Cie Hiong girang.

"Tiga puluh tahun lalu, dia pernah ke mari minta semacam obat kepadaku. Tapi setelah itu, dia tidak pernah datang lagi." Sok Beng Yok Ong memberitahukan.

'Paman Tua tidak tahu dia berada di mana?"

"Pada waktu itu, dia pernah bilang tinggal di Gunung Heng San, Lembah Kesepian."

"Aku sudah ke sana, namun dia telah meninggalkan lembah itu."

"Ku Tok Lojin...." Ucapan Sok Beng Yok Ong terputus, karena mendadak tampak sosok

bayangan berlari terhuyung-huyung ke tempat mereka, kemudian terkulai.

"Yok Ong! Tolong..." ujar orang itu lemah. Tio Cie Hiong segera mendekatinya. Ternyata seorang lelaki berusia empat puluhan, bahunya berlumuran darah. Setelah itu Tio Cie Hiong cepat-cepat berlari ke dalam gubuk untuk mengambil obat.

Akan tetapi, mendadak muncul tiga orang berwajah seram. Maka Tio Cie Hiong berhenti. Ketiga orang itu tertawa seram dan membentak.

"Yok Ong! Kami Oey San Sam Hiong (Tiga Orang Ganas Gunung Oey San)! Engkau dan anak itu jangan coba-coba menolong orang ini!"

Tio Cie Hiong mengerutkan kening. Sok Beng Yok Ong cepat-cepat menariknya untuk diajak menyingkir.

Sedangkan Oey San Sam Hiong menghampiri lelaki yang terluka itu. Mereka bertiga tertawa seram, lalu membacok lelaki itu.

"Paman Tua!" bisik Tio Cie Hiong. "Kita harus menolong lelaki itu."

"Diam!" sahut Sok Beng Yok Ong sambil memegang tangan Tio Cie Hiong erat-erat. Orang tua itu khawatir Tio Cie Hiong akan mendekati Oey San Sam Hiong

"Ha ha ha!" ketiga orang itu tertawa, kemudian melesat pergi.

"Aaaakh.. " Sok Beng Yok Ong menghela nafas panjarg

Tio Cie Hiong segera berlari mendekati lelaki yang terbacok tidak karuan itu. Ternyata lelaki itu telah mati. Tio Cie Hiong memandang mayat lelaki itu dengan mata terbelalak. Sungguh mengenaskan kematian lelaki itu.

Berselang sesaat, barulah Tio Cie Hiong mengubur mayat itu di bawah sebuah pohon. Sementara Sok Beng Yok Ong hanya berdiri mematung, lalu duduk sambil menatap Tio Cie Hiong yang sedang mengubur mayat lelaki itu.

Seusai mengubur mayat lelaki itu, Tio Cie Hiong menghampiri Sok Beng Yok Ong, lalu duduk di hadapannya.

"Kenapa Paman Tua tidak mau menolong lelaki itu?" tanya Tio Cie Hiong.

"Kalau Oey San Sam Hiong tidak muncul, aku pasti menolongnya," sahut Sok Beng Yok Ong.

"Ketika mereka membacok laki-laki itu, kenapa Paman Tua diam saja?" Tio Cie Hiong menatapnya.

"Aku harus bagaimana kalau tidak diam?"

"Seharusnya Paman Tua berusaha menolongnya.

"Cie Hiong!" Sok Beng Yok Ong menggelenggelengkan kepala. "Oey San Sam Hiong memiliki ilmu silat tinggi, bagaimana mungkin aku dapat menolong lelaki yang bernasib malang itu? Kalau kita berusaha menolongnya, sama juga kita cari mati, sebab Oey San Sam Hiong berhati kejam sekali."

"Paman Tua...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Kita hanya menyaksikan kematian lelaki itu,

tanpa memberi sedikit pertolongan".

"Cie Hiong!" Sok Beng Yok Ong tersenyum getir. "Sejak kecil aku belajar tentang obat-obatan, tujuanku ingin menolong orang. Tapi aku justru telah salah."

"Kenapa?" Tio Cie Hiong heran.

"Karena aku tidak belajar ilmu silat," sahut Sok Beng Yok Ong. "Kalau aku belajar ilmu silat, bukankah tadi aku bisa menolongnya?"

Tio Cie Hiong diam. Sok Beng Yok Ong menatapnya, kemudian berkata sungguh-sungguh. "Oleh karena itu, engkau harus belajar ilmu silat."

"Paman Tua, aku semakin ngeri menyaksikan kaum persilatan. Mereka terus-menerus saling membunuh, maka membuatku semakin tidak mau belajar ilmu silat."

"Cie Hiong...." Sok Beng Yok Ong menggeleng-gelengkan kepala lalu menarik nafas panjang.

"Aaakh...!"

Sudah dua tahun Tio Cie Hiong membantu Sok Beng Yok Ong. Kini usianya sudah tujuh belas tahun dan makin tampan pula. Selama dua tahun itu, Sok Beng Yok Ong sangat menyayanginya, dan sekaligus mengajarnya tentang obat-obatan.

"Cie Hiong!" panggil Sok Beng Yok Ong.

"Ya, Paman Tua," sahut Tio Cie Hiong sambil menghampirinya.

"Cie Hiong!" Sok Beng Yok Ong menatapnya sambil tersenyum lembut. "Duduklah!"

Tio Cie Hiong duduk di hadapan Sok Beng Yok Ong. Ia merasa heran, kenapa hari ini Sok Beng Yok Ong tampak begitu serius.

"Sudah dua tahun engkau membantuku di sini. Kenapa dua tahun lalu aku menghendakimu membantuku?" ujar Sok Beng Yok Ong.

"Itu merupakan syarat Paman Tua," jawab Tio Cie Hiong. "Karena Paman Tua telah menyelamatkan jiwaku."

"Sebetulnya itu bukan merupakan syarat." Sok Beng Yok Ong tersenyum. "Aku memang sengaja menahanmu di sini dua tahun."

"Apa sebabnya?" Tio Cie Hiong heran. "Aku menghendakimu mengerti obat-obatan. Kini tentunya engkau telah menguasai semuanya. Aku ingin sekali punya penerus" jawab Sok Beng Yok Ong memberitahukan. "Jadi engkau pun bisa menolong orang seperti aku."

Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Terimakasih atas bimbingan Paman Tua selama ini!"

"Aku tahu, engkau telah memiliki semacam Iweekang menyehatkan tubuh. Akan tetapi, itu masih belum cukup," ucap Sok Beng Yok Ong.

"Maksud Paman Tua?" Tio Cie Hiong kebingungan.

"Sebab Iweekangmu masih belum membuat tubuhmu kebal terhadap segala macam racun. Karena itu, engkau harus makan buah Ling Che, agar tubuhmu kebal terhadap segala macam racun."

"Buah Ling Che?" Tio Cie Hiong melongo.

"Ya." Sok Beng Yok Ong mengangguk lalu menjelaskan. Buah itu buah langka, setiap lima ratus tahun berbuah sekali. Pohon Ling Che hanya berdaun sembilan, maka disebut Kiu Yap Ling Che (Ling Che Berdaun Sembilan). Setelah engkau makan buah itu, tubuhmu pasti kebal terhadap racun apa pun."

"Buah itu berada di mana?" tanya Tio Cie Hiong tertarik.

"Di puncak Gunung Thian San." Sok Beng Yok Ong memberitahukan. "Karena di dalam tubuhmu mengalir semacam hawa hangat, maka engkau tidak perlu begitu khawatir terhadap hawa dingin di puncak gunung itu."

"Tapi... untuk apa tubuhku harus kebal terhadap racun?" tanya Tio Cie Hiong sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Kini engkau sudah mengerti tentang obat-obatan, tentunya engkau harus menolong orang, maka tubuhmu sendiri harus sehat," sahut Sok Beng Yok Ong. "Jadi engkau harus makan buah itu".

Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Cie Hiong!" Sok Beng Yok Ong menatapnya. "Setelah engkau berhasil makan buah itu, aku harap engkau mau datang nengokku."

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Cie Hiong!" Sok Beng Yok Ong menatapnya lembut. "Engkau boleh berangkat esok pagi, aku akan menyiapkan bekalmu. Untuk mempersingkat waktu, engkau harus membeli seekor kuda."

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk lagi.

Tampak seekor kuda berlari kencang menuju gunung Thian San. Penunggangnya adalah seorang pemuda yang amat tampan. Siapa pemuda itu? Dialah Tio Cie Hiong. Sungguh dingin hawa tempat itu. Dia menengok ke sana ke mari, kemudian melompat tubuhnya dari kudanya.

"Kuda yang baik!" Tio Cie Hiong membelai kudanya. "Sepuluh hari lebih engkau mengikutiku, dan kini saatnya engkau bebas. Terserah engkau mau ke mana."

Kuda itu meringkik, lalu berlari pergi. Tio Cie Hiong tersenyum, lalu mulailah mendaki Gunung Thian San dengan berjalan kaki. Ia mendaki dengan hati-hati sekali, sebab harus melalui salju beku

dan batu-batu curam sangat berbahaya. Hawa pun semakin dingin, namun ia tidak kedinginan karena hawa hangat di dalam tubuhnya.

Ketika ia hampir mencapai puncak, tampak sosok bayangan berjalan terpincang-pincang di hadapannya. Tio Cie Hiong tercengang, kemudian mempercepat langkahnya mendekati sosok bayangan itu. Setelah agak dekat, barulah ia melihat jelas bahwa sosok bayangan itu ternyata seekor monyet berbulu putih.

Ketika Tio Cie Hiong sudah dekat dengannya, monyet itu berhenti lalu membalikkan badannya dan menatap Tio Cie Hiong.

Tio Cie Hiong tidak tahu, bahwa monyet itu adalah monyet salju yang langka, yang berusia tiga ratusan tahun.

"Kauw heng (Saudara Monyet)!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku melihat engkau berjalan terpincang-pincang, pasti kakimu terluka. Aku mengerti tentang pengobatan, bolehkah aku memeriksa kakimu?"

Monyet itu diam, namun tetap menatap Tio Cie Hiong dengan tajam. Tio Cie Hiong tersenyum lagi, lalu maju dua langkah.

Akan tetapi, mendadak monyet itu bergerak, tampak tubuhnya berkelebat dan dalam sekejap telah menghilang dari hadapan Tio Cie Hiong. Betapa terkejutnya pemuda itu, sebab gerakan monyet putih tersebut laksana kilat.

Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. Tiba-tiba ia mendengar suara cuit-cuitan di belakangnya. Ia segera menoleh, ternyata monyet putih itu telah berdiri di situ.

"Kauw heng, gerakanmu sungguh cepat, membuatku kagum," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Tapi aku melihat engkau tadi ber jalan terpincang-pincang. Apakah kakimu terluka?"

Monyet putih menatap Tio Cie Hiong dengan mata tak berkedip, kemudian manggut-manggut seakan mengerti apa yang ditanyakan pemuda itu.

"Kauw heng!" Tio Cie Hiong girang bukan main, sebab kelihatannya monyet itu mengerti bahasa manusia. "Engkau mengerti apa yang kukatakan?"

Monyet putih manggut-manggut lagi, bahkan bercuit-cuitan.

Tio Cie Hiong tersenyum, dan perlahan-lahan ia mendekatinya. Monyet putih diam saja. Tio Cie Hiong membungkukkan badannya seraya berkata. "Kauw heng! Mana kakimu yang terluka?"

Monyet putih segera mengangkat kaki kanannya. Tio Cie Hiong memperhatikannya. Ternyata telapak kaki monyet itu membengkak memar dan kehitam-hitaman.

Tio Cie Hiong memeriksanya dengan teliti sekali. Berselang beberapa saat, ia manggut-manggut.

"Kauw heng, telapak kakimu tertusuk semacam duri beracun." ujar Tio Cie Hiong. "Engkau kuat sekali dan punya daya tahan tubuh yang luar biasa, tidak mati meskipun tubuhmu terkena racun.

Monyet putih itu bercuit-cuit seakan mengatakan sesuatu, namun Tio Cie Hiong sama sekali tidak mengerti.

"Engkau tidak usah cemas!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku bisa mengobati kakimu. Tapi engkau harus tahan sakit sebentar, sebab aku harus membedah sedikit telapak kakimu, agar darah yang mengandung racun mengalir ke luar."

Monyet putih menatap Tio Cie Hiong, kemudian manggut-manggut. Tio Cie Hiong sungguh tak habis pikir, sebab monyet itu tinggal di puncak Gunung Thian San yang tidak terdapat seorang manusia pun, namun monyet itu kok bisa mengerti bahasa manusia?

"Kauw heng, engkau harus duduk!" ujar Tio Cie Hiong.

Setelah monyet putih duduk, Tio Cie Hiong mengeluarkan sebilah belati perak, lalu membedah sedikit telapak kaki monyet itu. Seketika juga dari telapak kaki monyet itu mengalir ke luar darah hitam.

Tio Cie Hiong memijit-mijit telapak kaki monyet putih, agar darah hitam itu terus mengalir. Berselang sesaat, darah hitam itu telah berubah merah, barulah Tio Cie Hiong berhenti memijit telapak kaki monyet itu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar