kemudian engkau pasti tiba di
gunung itu."
"Terimakasih,
Paman!" ucap Tio Cie Hiong.
"Cie Hiong!" Sam Gan
Sin Kay menatapnya. "Jadi engkau meninggalkan Ekspedisi Harimau Terbang
cuma ingin mencari Ku Tok Lojin?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Bocah!" Mendadak
Siauw Suseng menatapnya dalam-dalam. "Maukah engkau menjadi muridku?"
"Huaha ha ha!" Sam
Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak.
"Sialan Kau !!!
...Pengemis bau! Kenapa tiap aku bicara engkau selalu tertawa?" tanya Kim
Siauw Suseng dengan kening berkerut.
"Aku pun pernah ingin
mengangkatnya sebagai murid, tapi dia langsung menolak," sahut Sam Gan Sin
Kay.
"Kenapa?" tanya Kim
Siauw Suseng.
"Sebab dia tidak mau
belajar ilmu silat." Sam Gan Sin Kay memberitahukan.
"Bocah!" Kim Siauw
Suseng menatapnya heran. "Betulkah engkau tidak mau belajar ilmu
silat?"
"Betul, Paman." Tio
Cie Hiong mengangguk. "Tapi engkau belajar Iweekang?!" ujar Kim Siauw
Suseng.
"Itu untuk menyehatkan
tubuh saja." Tio Cie Hiong tersenyum.
"Sayang sekali!"
gumam Kim Siauw Suseng. "Seandainya engkau mau belajar ilmu silat, kelak engkau
pasti menjadi seorang pendekar hebat."
"Benar-benar..." Sam
Gan Sin Kay manggut-mangut.
"Kakek Pengemis, Paman!
Aku mau pamit untuk melanjutkan perjalanan," ujar Tio Cie Hiong sambil
bangkit berdiri, lalu berjalan pergi. Sedangkan Sam
Gan Sin Kay dan Kim Siauw
Suseng hanya bisa saling memandang saja sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tio Cie Hiong terus melakukan
perjalanan menuju arah timur. Ketika hari mulai senja, ia duduk di bawah pohon,
lalu mengeluarkan beberapa buah
bakpao yang dibelinya di
sebuah kota kecil. Di saat ia baru mau makan, mendadak ia melihat seorang
pengemis muda yang dekil sedang berjalan sambil
menendang-nendang ini dan itu.
Begitu melihat pengemis muda yang dekil itu, Tio Cie Hiong langsung berseru
sambil berlari menghampirinya.
"Adik Im! Adik
Im...."
Pengemis muda yang dekil itu
menolehkan kepalanya. Begitu melihat Tio Cie Hiong, ia pun terbelalak dengan
mulut ternganga lebar.
"Kakak Hiong..."
panggilnya.
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong menggenggam tangannya erat-erat.
"Kakak Hiong!"
Pengemis muda yang dekil itu ternyata Lim Ceng Im. Ia memandang Tio Cie Hiong
dengan mata tak berkedip. "Engkau... engkau bertambah
tampan."
"Engkau malah bertambah
dekil dan bau," sahut Tio Cie Hiong sambil tertawa-tawa. "Adik Im,
sungguh tak terduga kita akan bertemu di sini, hanya
saja....."
"Kenapa?"
"Aku tidak telanjang
mandi di sungai."
"Dasar....." Wajah
Lim Ceng Im langsung memerah, kemudian menundukkan kepala dalam-
dalam.
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong menatapnya heran. "Kenapa setiap kali bertemu denganku engkau pasti
bersikap malu-malu?"
"Aku...."
"Adik Im! Mari kita duduk
di bawah pohon saja!" ajak Tio Cie Hiong.
Lim Ceng Im mengangguk. Mereka
berdua lalu duduk di bawah pohon. Tio Cie Hiong tampak gembira sekali bertemu
lagi dengan Lim Ceng Im. Ia
mengeluarkan bakpaonya dan
dibagikan kepadanya.
"Adik Im, mari kita makan
bakpao dulu!"
"Terimakasih, Kakak
Hiong!" Lim Ceng Im menerima bakpao itu, kemudian memakannya sambil
tersenyum-senyum.
"Adik Im, kok engkau
berada di sini?" tanya Tio Cie Hiong.
"Aku tidak betah tinggal
di rumah, maka aku keluar berjalan-jalan sejenak," jawab Lim Ceng Im
sambil meliriknya. "Aku tak menduga sama sekali akan
bertemu denganmu di
sini."
"Kenapa engkau tidak
betah tinggal di rumah?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Karena ayahku selalu
menyuruhku belajar ilmu silat, sedangkan aku...." Lim Ceng Im
menundukkan kepala.
"Adik Im, engkau harus
menuruti perkataan ayahmu, tidak baik sering berkeluyuran di luar." Ujar
Tio Cie Hiong sambil memandangnya. "Eh?
Kok kelihatannya engkau agak
kurusan? Engkau sakit ya?"
"Tidak." Lim Ceng Im
menggelengkan kepala.
"Kakak Hiong, bagaimana
keadaanmu selama ini?"
"Aku baik-baik
saja," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku bekerja di Ekspedisi
Harimau Terbang."
"Oooh!" Lim Ceng Im
manggut-manggut. "Pemimpin Ekspedisi itu Cit Pou Tui Hun-Gouw Han Tiong
kan?"
"Benar." Tio Cie
Hiong mengangguk. "Kok engkau tahu?"
"Ekspedisi itu sangat
terkenal, tentu saja aku tahu." Tiba-tiba Lim Ceng Im menatapnya tajam. "Ohya!
Bukankah Gouw Han Tiong mempunyai seorang
putri?"
"Betul. Namanya Gouw Sian
Eng."
"Kalau tidak salah, dia
merupakan anak gadis yang cantik sekali, bukan?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Dia memang cantik sekali, dan lemah lembut." "Dia
baik sekali terhadapmu?" tanya Lim Ceng Im dengan wajah agak berubah..
"Dia memang baik sekali terhadapku," jawab Tio Cie Hiong jujur.
"Engkau pun sangat baik
terhadapnya?" tanya Lim Ceng Im bernada agak tidak senang. "Karena
dia baik, aku pun baik terhadapnya."
"Kakak Hiong!" Lim
Ceng Im menatapnya tajam. "Pernahkah engkau mandi telanjang di
hadapannya?"
"Eeeh?" Tio Cie
Hiong terbelalak. "Memangnya aku sudah gila?"
"Engkau kan hobby mandi
telanjang...." Mendadak wajah Lim Ceng Im berubah kemerah-
merahan.
"Itu karena aku mandi di
sungai, lagi pula engkau pun tidak sengaja memunculkan diri." ujar Tio Cie
Hiong. "Di Ekspedisi Harimau Terbang, aku mandi
di dalam kamar mandi, tidak
pernah mandi di sungai."
"Oooh!" Lim Ceng Im
manggut-manggut, kemudian bertanya dengan suara rendah. "Engkau suka pada
anak gadis itu?"
"Suka sekali." Tio
Cie Hiong mengangguk. Seketika juga wajah Lim Ceng Im berubah pucat.
"Ohya!" Tio Cie Hiong mengeluarkan sesuatu dari dalam
bajunya. "Lihat apa
ini?"
"Itu kantong
pemberianku," sahut Lim Ceng Im.
"Aku selalu menyimpannya
baik-baik," ujar Tio Cie Hiong, lalu memasukkan lagi kantong kain itu ke
dalam bajunya.
"Kakak Hiong, apakah
selama setahun ini, engkau sering memikirkan aku?" tanya Lim Ceng Im
dengan suara rendah.
"Sering." Tio Cie
Hiong mengangguk.
"Aku pun sering
memikirkanmu, bahkan siang malam...."
"Ha ha!" Tio Cie
Hiong tertawa mendadak. "Pantas badanmu menjadi kurus, tidak tahunya
gara-gara memikirkan aku siang malam!"
"Kakak Hiong...."
Lim Ceng Im cemberut.
"Tuh! Cemberut
lagi!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Adik Im, engkau lebih pantas menjadi
anak gadis."
"Kenapa?"
"Engkau sering bersikap
malu-malu dan suka cemberut, itulah ciri khas anak gadis."
"Tapi aku...."
"Aku tahu engkau anak
lelaki seperti aku," potong Tio Cie Hiong. Tapi engkau justru...."
"Anak lelaki juga boleh
bersikap malu-malu dan cemberut, tidak ada salahnya kan?" Lim Ceng Im
tersenyum.
"Memang tidak ada
salahnya, namun itu sepertinya jadi sedikit aneh." Tio Cie Hiong
menggelengkan kepala.
"Ohya, Kakak Hiong!
Engkau mau ke mana?" tanya Lim Ceng Im mendadak mengalihkan percakapan.
"Aku mau pergi menemui
Tok Pie Sin Wan," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Dia berada di
Goa Angin Puyuh di gunung Cing San."
"Siapa yang
memberitahukanmu tentang Tok Pie Sin Wan?"
"Kim Siauw Suseng."
"Apa?" Lim Ceng Im
terbelalak. "Engkau bertemu Kim Siauw Suseng itu?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Di Ekspedisi Harimau Terbang, aku pun bertemu kakek pengemis
sakti."
"Kakek pengemis sakti?
Maksudmu Sam Gan Sin Kay?"
"Ya," sahut Tio Cie
Hiong dan menambahkan. "Di lembah itu aku pun bertemu kakek pengemis
sakti. Kemudian aku menyaksikan pertandingan yang sangat
seru sekali."
"Sam Gan Sin Kay
bertanding dengan Kim Siauw Suseng?"
"Ya."
"Mereka pasti bertanding
seri lagi."
"Benar, tapi Sam Gan Sin
Kay berhasil melubangi lengan baju Kim Siauw Suseng dengan tongkat
bambunya."
"Oh, ya?" Lim Ceng
Im tampak kurang percaya, sebab setahunya, Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng
selalu bertanding seri, bagaimana mungkin kali
ini Sam Gan Sin Kay bisa
berhasil melubangi lengan baju Kim Siauw Suseng? Namun ia tidak banyak bertanya
lagi tentang itu, cuma menjelaskan. "Kakak
Hiong, Sam Gan Sin Kay dan Kim
Siauw Suseng sangat tersohor dalam rimba persilatan, mereka berdua adalah Bu
Lim Ji Khie."
Tio Cie Hiong mendengarkan
dengan penuh perhatian.
"Rimba persilatan masa
kini terdapat It Ceng, Ji Khie dan Sam Mo." Lanjut Lim Ceng Im
memberitahukan. "It Ceng adalah Lam Hai Sin Ceng (Padri Sakti
Laut Selatan), Ji Khie adalah
Sam Gan Sin Kay (Pengemis Sakti Mata Tiga) dan Kim Siauw Suseng (Sastrawan
Suling Emas). Sam Mo (Tiga Iblis) adalah
Tang Hai Lo Mo (Iblis Tua Laut
Timur), Thian Mo (Iblis Langit) dan Te Mo (Iblis Neraka) yang sangat
kejam."
"Siapa yang berkepandaian
paling tinggi?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.
"Selama puluhan tahun, Ji
Khie dan Sam Mo tidak pernah bertanding lagi dengan Lam Hai Sin Ceng, sebab Lam
Hai Sin Ceng selalu mengalah. Namun Ji
Khie pernah bertanding dengan
Sam Mo, kepandaian mereka boleh dikatakan seimbang." "Kalau begitu,
Lam Hai Sin Ceng berkepandaian paling tinggi?!" ujar Tio Cie Hiong.
"Kenapa engkau mengatakan begitu?" Lim Ceng Im heran.
"Sebab Lam Hai Sin Ceng
mau mengalah dan bersabar, maka aku yakin Lam Hai Sin Ceng berkepandaian paling
tinggi."
Lim Ceng Im manggut-manggut.
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong menatapnya seraya bertanya. "Kenapa engkau mau jadi pengemis?"
"Aku memang
pengemis," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum. "Sebab ayahku ketua
Partai Pengemis!"
"Ayahmu ketua Kay
Pang?" Tio Cie Hiong terbelalak.
"Karena itu...." Lim
Ceng Im menghela nafas. "Aku harus menjadi pengemis."
"Apakah tidak boleh
berpakaian biasa?"
"Boleh. Tapi..... Lim
Ceng Im menggelenggelengkan kepala. "Belum waktunya aku berpakaian
biasa."
"Kenapa?" Tio Cie
Hiong tercengang.
"Itu peraturan Kay Pang,
maka aku harus menuruti peraturan itu," sahut Lim Ceng Im, kemudian
menatap Tio Cie Hiong dalam-dalam. "Ohya, engkau...
sering berduaan dengan anak
gadis itu?"
"Maksudmu Gouw Sian
Eng?"
"Ya."
"Tidak begitu sering,
namun tiap malam hari, aku pasti mengajarinya ilmu sastra," ujar Tio Cie
Hiong jujur. "Bahkan aku pun sering melihat dia
berlatih."
"Wah! Asyik sekali
dong!" Wajah Lim Ceng Im tampak berubah.
"Asyik bagaimana?"
tanya Tio Cie Hiong.
"Itu berarti kalian
sering berduaan. Bukankah asyik sekali?" sahut Lim Ceng Im sambil
mencibir.
"Ya, bisa dibilang
begitu... lagi pula dia yang sering minta petunjuk padaku." Tio Cie Hiong
memberitahukan.
"Anak gadis itu sering
minta petunjuk kepadamu?" Lim Ceng Im mengerutkan kening. "Petunjuk
mengenai apa?"
"Ilmu pukulan dan ilmu
pedang!"
"Apa?" Lim Ceng Im
terbeliak. "Katanya engkau tidak pernah belajar ilmu silat, tapi bisa
memberi petunjuk padanya. Itu sungguh membingungkan!"
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Terus terang, aku pernah belajar semacam Iweekang yang
menyehatkan tubuh dari sebuah kitab tipis. Di dalam
kitab tipis itu juga terdapat
urai-uraian mengenai ilmu pukulan, pedang dan lain sebagainya."
Lim Ceng Im menatapnya
dalam-dalam, kemudian tersenyum. "Kakak Hiong, tentunya engkau juga tidak
berkeberatan memberi petunjuk padaku kan?"
"Engkau anak ketua Kay
Pang, bagaimana mungkin.... "
"Engkau sering memberi
petunjuk kepada gadis itu, kenapa tidak mau memberi petunjuk kepadaku?"
tanya Lim Ceng Im tidak senang sambil cemberut.
"Eh?" Tio Cie Hiong
tertawa kecil. "Engkau mulai cemberut lagi!"
"Kenapa engkau tidak mau
memberi petunjuk kepadaku?"
"Ayahmu ketua Kay Pang,
sudah pasti berkepandaian tinggi, maka aku mana berani memberi petunjuk
kepadamu?"
"Kakak Hiong, pokoknya
engkau harus memberi petunjuk kepadaku." desak Lim Ceng Im, kemudian ia
mengambil sebatang ranting. "Kakak Hiong, aku akan
memperlihatkan Tah Kauw Kun
Hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Anjing). Ilmu tongkat itu sangat lihay dan hebat,
merupakan ilmu tongkat andalan ayahku."
Tio Cie Hiong manggut-manggut
sambil tersenyum, sedangkan Lim Ceng Im sudah mulai memperlihatkan Tah Kauw Kun
Hoat. Berselang beberapa saat, Lim
Ceng Im berhenti lalu
memandang Tio Cie Hiong.
"Bagaimana, Kakak
Hiong?" tanyanya sambil tersenyum. "Aku telah usai memperlihatkan
tujuh belas jurus Tah Kauw Kun Hoat."
"Memang lihay
sekali," sahut Tio Cie Hiong. "Tujuh belas jurus Tah Kauw Kun Hoat
itu bersifat menyerang, tapi apabila bertarung dengan orang
berkepandaian tinggi, engkau
justru akan celaka."
"Oh? Apa sebabnya?"
"Sebab dalam jurus-jurus
itu terdapat celah yang dapat diserang, dan engkau tidak bisa menangkis maupun
berkelit, karena engkau terus menyerang,"
Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Oh, ya?" Lim Ceng
Im kurang percaya. "Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Jurus
pertama yang kau perlihatkan itu terdapat celah bagi pihak lawan
untuk balas menyerang secara
mendadak. Anggaplah aku lawanmu, engkau menyerangku dengan jurus pertama, aku
bergerak dengan cara demikian...." Tio
Cie Hiong menggerakkan kaki
dan tangannya. "Nah! Bukankah kaki kananmu yang di depan terkunci oleh
kaki kananku, sedangkan tanganmu yang kanan
terkunci oleh tangan kiriku?
Kalau aku menjulurkan sepasang tanganku, bukankah dadamu akan terpukul?"
"Haaah?" Mendengar
itu, Lim Ceng Im terkejut bukan main, sebab gerakan Tio Cie Hiong itu dapat
memecahkan jurus pertama Tah Kauw Kun Hoatnya.
"Jurus kedua... jurus
ketujuh belas...." Tio Cie Hiong terus menjelaskan, sekaligus
memperlihatkan gerakannya.
Lim Ceng Im mendengarkan dan
menyaksikan gerakan-gerakan itu dengan mata terbelalak.
"Kakak Hiong...," ujarnya
kemudian sambil menatapnya kagum.
"Engkau kok begitu luar
biasa? Padahal selama puluhan tahun ini, tiada seorang pun yang mampu
memecahkan Tah Kauw Kun Hoat. KUrasa engkau dapat
memperbaiki jurus-jurus Tah
Kauw Kun Hoatku."
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Itu merupakan ilmu tongkat andalan
ayahmu, aku mana berani sembarangan memperbaikinya?"
"Itu urusan ayahku, ini
urusanku," sahut Lim Ceng Im. "Kakak Hiong! Ayolah... Perbaiki
jurus-jurus Tah Kauw Kun Hoatku."
"Adik Im...." Tio
Cie Hiong memandangnya, lama sekali barulah ia mengangguk.
"Kakak Hiong,
terimakasih!" ucap Lim Ceng Im dengan wajah berseri. Sedangkan Tio Cie
Hiong mulai memberi petunjuk kepadanya dengan menambah
beberapa gerakan dalam
jurus-jurus Tah Kauw Kun Hoat.
"Adik Im!" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Kini Tah Kauw Kun Hoatmu sudah lebih lihay lagi."
"Kakak Hiong...."
Lim Ceng Im menatapnya takjub. "Kok engkau begitu luar biasa sih?"
Tio Cie Hiong tidak menyahut,
melainkan cuma tersenyum-senyum. Berselang sesaat, barulah berkata
sungguh-sungguh.
"Adik Im, janganlah
engkau takabur karena ilmu tongkat bertambah lihay, sebab takabur akan
membuatmu lupa daratan."
"Kakak Hiong, percayalah!"
Lim Ceng Im tertawa kecil. "Aku tidak akan begitu."
"Syukurlah!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut.
"Ohya, Kakak Hiong!"
Lim Ceng Im menatapnya dengan penuh harap. "Bolehkah aku mengikutimu ke
gunung Cing San?"
"Tidak boleh." Tio
Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Kenapa?" Lim Ceng
Im cemberut.
"Tiada persetujuan dari
ayahmu, engkau tidak boleh ikut aku ke gunung Cing San," sahut Tio Cie
Hiong.
"Itu tidak apa-apa.
Ayahku tidak akan tahu."
"Justru ayahmu tidak
tahu, maka engkau tidak boleh ikut." "Kakak Hiong...." Lim Ceng
Im membanting-bantingkan kaki.
Pada waktu bersamaan,
terdengarlah suara dehem dari kejauhan di belakang mereka. Begitu mereka
menoleh, tampak seorang pengemis telah berdiri di
situ.
"Ayah...." Wajah Lim
Ceng Im langsung berubah.
"Bagus! Bagus!"
sahut pengemis itu, yang tidak lain Lim Peng Hang, Si Tongkat Maut ketua Kay
Pang. "Engkau mau minggat ya?"
"Ayah, aku tidak
minggat." ujar Lim Ceng Im dengan wajah memerah. "Melainkan ingin
ikut dia ke gunung Ciang San."
"Tidak boleh." Lim
Peng Hang menggelengkan kepala.
"Oooh!" Tiba-tiba
Tio Cie Hiong teringat akan pengemis itu. "Ternyata Paman pengemis yang
waktu itu ya, kebetulan sekali."
"Apa yang
kebetulan?" tanya Lim Peng Hang heran.
"Aku sudah mempunyai
uang, kita bagi dua saja, ya,"sahut Tio Cie Hiong. "Jadi Paman tidak
usah menahan lapar."
"Eeeh?" Lim Peng
Hang melotot. "Engkau berani menghinaku?"
"Paman!" Tio Cie
Hiong tercengang. "Bukankah dua tahun lalu Paman pernah minta uang
kepadaku? Sekarang aku akan membagikan uangku kepada Paman, kok
Paman malah berkata
begitu?"
"Bagus! Bagus!" Lim
Peng Hang tertawa gelak. "Mana uangmu?"
Tio Cie Hiong mengeluarkan
uangnya, kemudian dibagikannya kepada Lim Peng Hang. "Paman!" ujar
Tio Cie Hiong. "Tolong bagikan juga kepada pengemis
lain, agar mereka pun tidak
kelaparan."
"Kalau begitu...."
Lim Peng Hang tersenyum. "Uangmu harus dibagikan kepadaku lagi separuh,
sebab aku harus mewakilimu
membagikan kepada pengemis lain."
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Ayah kok begitu
serakah?" tegur Lim Ceng Im.
"Siapa bilang ayah
serakah?" Lim Peng Hang melotot. "Bukankah ayah harus membagikan lagi
kepada pengemis lain?"
"Tapi dia masih harus
melanjutkan perjalanan,dan membutuhkan uang," sahut Lim Ceng Im.
"Adik Im!" ujar Tio
Cie Hiong sambil tersenyum. "Itu tidak apa-apa, sebab sisa uang ini masih
cukup untukku."
"Benar! Benar!" Lim
Peng Hang tertawa gelak, kemudian menarik Lim Ceng Im. "Terima kasih ya,
Mari kita pergi!" Tanpa basa-basi lagi.
"Tidak mau!" Lim
Ceng Im tidak mau beranjak dari tempatnya.
"Adik Im!" ujar Tio
Cie Hiong. "Tidak baik melawan orang tua, ikutlah ayahmu pulang!"
"Tapi... kita akan berpisah lagi." Wajah Lim Ceng Im tampak murung.
"Kita akan berjumpa kembali kelak, percayalah..." sahut Tio Cie
Hiong.
"Kakak Hiong...."
Mata Lim Ceng Im bersimbah air. "Sampai jumpa!"
"Sampai jumpa, Adik
Im!" Tio Cie Hiong memandangnya sambil tersenyum lembut. Setelah Lim Ceng
Im dan ketua Kay Pang itu lenyap dari pandangannya,
barulah Tio Cie Hiong
meninggalkan tempat itu melanjutkan perjalanannya ke gunung Cing San.
Begitu sampai di halaman
markas, pusat Kay Pang. Lim Ceng Im membanting-bantingkan kakinya, kemudian
menggerutu.
"Ayah jahat! Setiap kali
aku bertemu dia, ayah pasti menyuruhku pulang!"
"Nak!" Lim Peng Hang
menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau masih kecil, tunggulah beberapa tahun
lagi, aku pasti melepaskanmu berkelana dalam rimba
persilatan."
"Aku hanya mau ikut dia
ke gunung Cing San, tapi ayah melarangku. Aku... benci ayah!"
"Nak!" Lim Peng Hang
menarik nafas. "Ayah setuju engkau bergaul dengannya, tapi harus tunggu
beberapa tahun lagi. Sekarang ini engkau harus giat
belajar."
"Ayah!" Mendadak
sepasang mata Lim Ceng Im berbinar-binar. "Kelak bolehkah aku selalu
bersamanya?"
"Tentu boleh." Lim
Peng Hang mengangguk. "Tapi sekarang engkau harus menyerahkan segenap
perhatianmu belajar ilmu silat."
Wajah Lim Ceng Im berseri.
"Ohya! Apakah tujuh belas
jurus Tah Kauw Kun Hoat yang kuajarkan kepadamu itu telah kau kuasai?"
tanya Lim Peng Hang mendadak.
"Ayah!" Lim Ceng Im
tersenyum. "Aku sudah dapat menguasai semua jurus itu."
"Kalau begitu, coba
perlihatkan pada ayah!" ujar Lim Peng Hang sambil menyerahkan tongkat
bambunya kepada Lim Ceng Im.
Lim Ceng Im mengangguk.
Setelah menerima tongkat bambu itu, ia pun mulai bergerak, dan seketika tongkat
bambu itu berkelebatan laksana kilat.
Lim Peng Hang menyaksikannya
dengan mata terbeliak lebar, sebab Tah Kauw Kun Hoat yang diperlihatkan Lim
Ceng Im agak berbeda, jauh lebih lihay
dari Tah Kauw Kun Hoat yang
diajarkannya.
"Ceng Im!" Lim Peng
Hang menatapnya dengan mata tak berkedip. "Tah Kauw Kun Hoat yang kau
perlihatkan itu kok agak lain?"
"Bagaimana menurut
Ayah?" tanya Lim Ceng Im sambil tersenyum.
"Bertambah lihay,"
sahut Lim Peng Hang dan bertanya. "Lo cianpwee mana yang menambahkan
gerakan-gerakan itu?"
"Bukan lo cianpwee,
melainkan siauw cianpwee," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum geli.
"Maksudmu?" Lim Peng Hang terheran-heran. "Cianpwee kecil yang
mana?" "Itu... anak lelaki tuh!" Lim Ceng Im memberitahukan.
"Apa?" Mulut Lim
Peng Hang ternganga lebar. "Dia... dia yang menambahkan gerakan-gerakan
itu dalam jurus Tah Kauw Kun Hoat?"
"Ya." Lim Ceng Im
mengangguk. "Memang dia. Aku sendiri pun tidak habis pikir, kenapa dia
mampu menciptakan gerakan-gerakan untuk menyempurnakan Tah
Kauw Kun Hoat itu."
"Ceng Im! Siapa
dia?"
"Namanya Tio Cie
Hiong."
"Dia... dia anak sakti
yang dimaksudkan kakekmu!" ujar Lim Peng Hang sambil menarik nafas
dalam-dalam. "Dia pula yang menyempurnakan Sam Ciat Kun
Hoat!"
"Oh?" Mendengar
ucapan itu, Lim Ceng Im semakin kagum pada Tio Cie Hiong. "Dia memang
sangat luar biasa sekali. Dia tidak mau belajar
ilmu silat, tapi justru mampu
menciptakan gerakan-gerakan ilmu silat yang begitu lihay. Dia juga
memberitahukan, bahwa dia pernah belajar semacam
ilmu lweekang dari sebuah
kitab tipis. Dalam kitab tipis itu juga terdapat berbagai uraian tentang
pukulan, pedang dan lain sebagainya."
"Nak!" Mendadak Lim
Peng Hang tertawa.
"Kenapa Ayah
tertawa?" Lim Ceng Im heran.
"Kakekmu bilang...."
Lim Peng Hang menatapnya lagi dan tertawa lagi.
"Ayah kenapa sih?"
Lim Ceng Im cemberut. "Misterius amat! Sebetulnya ada apa?"
"Kakekmu pernah bilang,
dia akan menjodohkanmu dengan Tio Cie Hiong kelak." Lim Peng Hang
memberitahukan.
"Kakek jahat!" Wajah
Lim Ceng Im langsung memerah.
"Ooo... Jadi engkau tidak
suka dijodohkan dengan Tio Cie Hiong? Baiklah! Ayah akan memberitahukan kepada
kakekmu!"
"Ayah...." Kalutlah
Lim Ceng Im. "Jangan begitu...."
"Maksudmu bersedia
dijodohkan dengannya?" tanya Lim Peng Hang sambil tersenyum-senyum.
"Ayah...." Lim Ceng
Im langsung berlari ke dalam.
Lim Peng Hang, ketua Kay Pang
itu tertawa gelak sambil memandang punggung Lim Ceng Im, lalu berjalan ke dalam
dengan wajah berseri-seri.
Dua hari kemudian, Tio Cie
Hiong telah tiba di sebuah desa kecil. Dari desa kecil dia dapat melihat Gunung
Cing San yang menjulang tinggi. Dia
bertanya kepada penduduk desa
mengenai Suan Hong Tong (Gua Angin Puyuh) itu, agar tidak tersesat di Gunung
Cing San.
"Apa?!" Salah
seorang penduduk desa yang berusia lanjut tampak terkejut. "Anak muda,
engkau mau ke Goa Angin Puyuh itu?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Aku ingin menemui seseorang di sana."
"Anak muda!" Orang
tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala. "Lebih baik engkau
jangan ke sana!"
Dua hari kemudian, Tio Cie
Hiong telah tiba di sebuah desa kecil. Dari desa kecil dia dapat melihat Gunung
Cing San yang menjulang tinggi. Dia
bertanya kepada penduduk desa
mengenai Suan Hong Tong (Gua Angin Puyuh) itu, agar tidak tersesat di Gunung
Cing San.
"Apa?!" Salah
seorang penduduk desa yang berusia lanjut tampak terkejut. "Anak muda,
engkau mau ke Goa Angin Puyuh itu?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Aku ingin menemui seseorang di sana."
"Anak muda!" Orang
tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala. "Lebih baik engkau
jangan ke sana!"
"Kenapa, Paman tua?"
Tio Cie Hiong tercengang.
"Sebab ada siluman di
dalam goa itu. Tiga hari sekali kami harus membawa puluhan ekor ayam ke sana.
Kalau tidak, siluman itu pasti membunuh kami."
Tio Cie Hiong mengerutkan
kening. "Paman tua, beritahukan saja kepadaku di mana goa itu!"
"Anak muda...."
Orang tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala, tapi akhirnya
memberitahukan juga berada di
mana Goa Angin Puyuh itu.
"Terimakasih, Paman
tua!" ucap Tio Cie Hiong, lalu melanjutkan perjalanannya ke goa tersebut.
Setelah hari mulai malam,
barulah Tio Cie Hiong sampai di depan goa itu. Tak lama kemudian terdengar
suara desiran di dalam goa.
"Cianpwee, aku ingin
bertemu...!!" seru Tio Cie Hiong.
"Siapa engkau anak muda?
Mau apa engkau ke mari?" Terdengar suara sahutan dari dalam goa.
"Namaku Tio Cie Hiong.
Apakah cianpwee Tok Pie Sin Wan?" tanya Tio Cie Hiong.
Tiada suara sahutan, namun
mendadak berkelebat sosok bayangan dari dalam goa. Seorang tua berlengan satu,
rambutnya awut-awutan berdiri di hadapan
Tio Cie Hiong, dan menatapnya
tajam. "Siapa yang memberitahukan kepadamu bahwa aku Tok Pie Sin
Wan?" tanya orang tua itu.
"Kim Siauw Suseng."
jawab Tio Cie Hiong.
Kening Tok Pie Sin Wan
berkerut. "Kenapa dia memberitahukan tentang diriku?"
"Sebab cianpwee teman
baik Ku Tok Lojin. Aku ingin bertanya kepada cianpwee di manakah Ku Tok Lojin
berada?"
"Ada hubungan apa engkau
dengan Ku Tok Lojin?"
"Tiada hubungan apa-apa.
Tapi..., Ku Tok Lojin tahu siapa kedua orang tuaku, maka aku harus bertanya
kepadanya."
Tok Pie Sin Wan menatapnya,
kemudian mengajak Tio Cie Hiong masuk ke goa. "Mari ikut aku ke
dalam!"
Tio Cie Hiong mengangguk, lalu
mengikuti Tok Pie Sin Wan ke dalam goa. Ruangan goa itu cukup terang karena ada
beberapa buah lampu minyak
bergantung di dinding goa. Di
sana tampak pula belasan ekor ayam di dalam kurungan.
"Duduklah!" ujar Tok
Pie Sin Wan.
"Terimakasih!" ucap
Tio Cie Hiong lalu duduk di hadapannya.
"Anak muda!" Tok Pie
Sin Wan menatapnya dalam-dalam. "Jadi engkau tidak tahu siapa kedua orang
tuamu?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Benarkah Ku Tok Lojin
tahu siapa kedua orang tuamu?" tanya Tok Pie Sin Wan.
"Benar atau tidak, aku
tidak tahu. Namun sebelum pamanku meninggal, dia berpesan kepadaku harus
menemui Ku Tok Lojin, karena Ku Tok Lojin akan
memberitahukan siapa kedua
orang tuaku."
"Ooooh!" Tok Pie Sin
Wan manggut-manggut. "Cianpwee, beritahukanlah padaku di mana Ku Tok Lojin
berada?" ujar Tio Cie Hiong penuh harap.
"Kalau begitu, engkau
harus ke Gunung Heng San Lembah Kesepian, sebab dia tinggal di sana." Tok
Pie Lojin memberitahukan.
"Aku sudah ke sana, tapi
Ku Tok Lojin telah meninggalkan lembah itu." ujar Tio Cie Hiong.
"Maka aku ke mari bertanya kepada Cianpwee."
Tok Pie Sin Wan
menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau begitu, aku pun tidak tahu di mana dia
berada."
"Bukankah Cianpwee teman
baiknya?"
"Benar." Tok Pie Sin
Wan mengangguk. "Maka aku tahu dia tinggal di lembah itu. Namun kalau dia
telah meninggalkan lembah itu, aku pun tidak bisa
tahu kemana dia pergi."
"Aaakh...!" keluh
Tio Cie Hiong.
"Puluhan tahun lalu, kami
memang merupakan teman akrab." Tok Pie Sin Wan memberitahukan. "Tapi
sejak isterinya meninggalkannya, sifatnya berubah
aneh dan Sering marah-marah,
akhirnya kedua putrinya meninggalkannya. Sejak itulah dia hidup kesepian."
"Cianpwee, siapa kedua
putrinya?"
"Lie Hui Hong dan Lie Mei
Hong. Kemudian Lio Hui Hong menikah dengan Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng, namun
Lie Mei Hong tiada kabar beritanya." ujar
Tok Pie Sin Wan dan
menambahkan. "Sedangkan aku sudah hampir lima belas tahun tinggal di dalam
goa ini. Aaaakh...!"
"Cianpwee!" Tio Cie
Hiong menatapnya heran. "Kenapa cianpwee menarik nafas panjang?"
"Selama lima belas tahun,
aku sama sekali tidak berani keluar pada siang hari."
"Kenapa?"
"Lima belas tahun lampau,
aku telah salah mempelajari semacam ilmu Iweekang, sehingga membuat tubuhku
tidak tahan akan sinar mata hari, rasanya
seperti terbakar." Tok
Pie Sin Wan menghela nafas lagi. "Dan juga dua tiga hari sekali aku pasti
merasa dingin sekali, karena itu, aku sudah
menghisap darah ayam, anjing
dan kelinci agar tidak merasa dingin."
"Pantas penduduk di desa
itu harus menyediakan ayam untuk cianpwee, ternyata begitu!" ujar Tio Cie
Hiong dan menatapnya. "Cianpwee, betulkah
cianpwee akan membunuh mereka,
kalau mereka tidak menyediakan ayam?"
"Tentu tidak." Tok
Pie Sin Wan menggelengkan kepala. "Aku terpaksa mengancam mereka, agar
mereka mau menyediakan ayam untukku."
Tio Cie Hiong menarik nafas
lega.
"Anak muda! Apakah engkau
murid Kim Siauw Suseng?" tanya Tok Pie Sin Wan mendadak.
"Bukan."
"Kalau begitu, engkau
murid siapa?"
"Aku bukan murid
siapa-siapa." Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku tidak tertarik akan ilmu
silat. Kalau aku sudah berhasil mencari Ku Tok Lojin dan tahu
siapa kedua orang tuaku, aku
malah akan tinggal di tempat yang sepi, Cianpwee, maaf! Aku mohon
berpamit!" ujar Tio Cie Hiong sambil bangkit
berdiri.
"Lebih baik engkau
berangkat esok pagi saja. Sekarang hari sudah malam." ujar Tok Pie Sin Wan
mengusulkan. "Engkau boleh tinggal di dalam goa ini."
"Terimakasih,
Cianpwee!" Tio Cie Hiong duduk kembali.
"Anak muda, kalau engkau
mau tidur sekarang, tidurlah di atas jerami itu agar engkau tidak
kedinginan!" ujar Tok Pie Sin Wan.
"Terima kasih, Cianpwee!"
Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku cukup duduk bersemadi di sini saja!"
"Duduk bersemadi?"
Tok Pie Sin Wan tampak tercengang. "Engkau bisa tidur dalam keadaan
bersemadi?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk, lalu memejamkan matanya dan mulai bersemadi.
Tok Pie Sin Wan memandangnya
dengan mulut ternganga lebar. Tak seberapa lama kemudian, Tio Cie Hiong
kelihatan telah pulas dalam keadaan bersemadi.
Tok Pie Sin Wan terkejut bukan
main, sebab Tio Cie Hiong bisa menarik nafasnya begitu dalam, dan menghembuskannya
begitu lama. Itu pertanda Tio Cie
Hiong telah memiliki semacam
Iweekang yang amat tinggi.
Itu sungguh di luar dugaan Tok
Pie Sin Wan. Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil bangkit berdiri.
"Cianpwee mau ke
mana?" tanya Tio Cie Hiong sambil membuka matanya.
"Hah...?" Tok Pie
Sin Wan tersentak, sebab tadi ia bangkit tanpa mengeluarkan suara sedikit pun,
tapi Tio Cie Hiong bisa mendengarnya walau dalam
keadaan tidur. Itu sungguh
mengejutkannya.
"Cianpwee mau pergi tidur
ya?" tanya Tio Cie Hiong.
Tok Pie Sin Wan tidak
menjawab, namun malah balik bertanya sambil menatapnya dengan mata terbeliak
lebar.
"Engkau bisa mendengar
suaraku dalam keadaan tidur?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Kenapa bisa
begitu?" Tanya Top pie sin wan heran
"Entahlah" Jawab Tio
Cie Hiong sambil tersenyum kemudian matanya kembali menutup dan tertidur lagi.
Esok harinya Ketika hari sudah
terang, Tio Cie Hiong berpamit.
"Cianpwee, aku mohon
diri!"
"Anak muda! Hati-hatilah
engkau menjaga diri!" pesan Tok Pie Sin Wan.
"Ya, Cianpwee!" Tio
Cie Hiong mengangguk, kemudian meninggalkan goa itu. Tok Pie Sin Wan tidak
berani mengantar keluar, karena takut akan sinar
matahari.
Setelah meninggalkan Goa Angin
Puyuh, Tio Cie Hiong melanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan. Beberapa hari
kemudian, ia memasuki sebuah rimba yang
penuh pohon bambu.
Mendadak terdengar suara tawa
yang sangat menyeramkan, maka Tio Cie Hiong segera berhenti. Setelah suara tawa
seram itu sirna, muncullah dua orang,
yang masing-masing berwajah
hitam dan putih.
"Bocah, kemarilah dan
katakan siapa namamu?" tanya orang berwajah hitam.
"Namaku Tio Cie
Hiong," jawabnya dan bertanya. "Siapa Cianpwee berdua?"
"Kami adalah Hek Pek
Siang Koay," sahut Siluman Putih sambil tertawa seram melengking.
"Kebetulan engkau ke mari, maka engkau harus menjadi pelayan
kami."
"Maaf, Cianpwee!"
sahut Tio Cie Hiong. "Aku tidak mau menjadi pelayan kalian."
"Harus mau!" bentak Hek Pek Siang Koay (Sepasang Siluman Hitam Putih)
serentak. "Maaf, Cianpwee...."
"Siluman Hitam, mari kita
tangkap dia!" ujar Siluman Putih.
"Baik!" Siluman
Hitam menangguk.
Kedua siluman itu langsung
menangkap Tio Cie Hiong. Sepasang lengannya tercengkeram oleh kedua siluman
itu.
Akan tetapi, mendadak Tio Cie
Hiong meronta, sehingga terlepas dari cengkeraman mereka, lalu berlari kabur.
"He he he!" Hek Pek
Siang Koay tertawa terkekeh. "Bocah, engkau mau lari ke mana?" Kedua
siluman itu melesat ke hadapan Tio Cie Hiong, maka Tio Cie
Hiong terhadang.
"Bocah! Lebih baik engkau
menjadi pelayan kami!" ujar Siluman Hitam. "Kalau engkau melawan,
kami pasti membunuhmu!"
Kedua siluman itu langsung
menangkap Tio Cie Hiong. Sepasang lengannya tercengkeram oleh kedua siluman
itu.
Akan tetapi, mendadak Tio Cie
Hiong meronta, sehingga terlepas dari cengkeraman mereka, lalu berlari kabur.
"He he he!" Hek Pek
Siang Koay tertawa terkekeh. "Bocah, engkau mau lari ke mana?" Kedua
siluman itu melesat ke hadapan Tio Cie Hiong, maka Tio Cie Hiong terhadang.
"Bocah! Lebih baik engkau
menjadi pelayan kami!" ujar Siluman Hitam. "Kalau engkau melawan,
kami pasti membunuhmu!"
"Cianpwee! Kita tidak
bermusuhan, kenapa Cianpwee berniat membunuhKu?" tanya Tio Cie Hiong
dengan kening berkerut.
"Itu kalau engkau tidak
mau menjadi pelayan kami!" sahut Siluman Putih.
"Bocah, kami memang
membutuhkan seorang pelayan, kebetulan engkau ke mari, maka engkau harus
menjadi pelayan kami! Apabila engkau menolak, kami pasti membunuhmu"
"Cianpwee...." Tio
Cie Hiong menggelengkan kepala.
"Engkau menolak?"
bentak Siluman Hitam.
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Siluman Putih! Dia tidak
mau menurut, mari kita bunuh saja dia!" ujar Siluman Hitam. "Ha ha
ha!" Siluman Putih tertawa. "Itu sudah pasti!"
Tio Cie Hiong terkejut bukan
main. Ia tidak tahu harus berbuat apa, sehingga berdiri mematung di tempat.
Sedangkan Hek Pek Siang Koay telah mengayunkan tangan mereka.
Buk! Buk!
"Aaaakh...!" jerit
Tio Cie Hiong. Dadanya telah terpukul dengan amat keras.
Tio Cie Hiong terkapar dalam
keadaan pingsan, sedangkan Hek Pek Siang Koay tertawa terkekeh-kekeh.
"Hek Pek Slang
Koay!" Mendadak terdengar bentakan nyaring. "Kalian berdua begitu
kejam, maka hari ini kalian berdua harus mampus!"
Hek Pek Siang Koay terkejut.
Sekonyong-konyong melayang turun sosok bayangan putih, yang ternyata Pek ih Mo
Li.
Siluman Hitam tertawa
terkekeh-kekeh. "Ada wanita cantik datang!"
"Siluman Hitam, kita
sungguh beruntung hari ini!" sahut Siluman Putih sambil menatap Pek Ih Mo
Li. "Dia begitu cantik, mari kita tangkap dia, lalu kita telanjangi agar
kita bisa menyaksikan tubuhnya yang indah itu!"
"Hek Pek Siang Koay"
bentak Pek ih Mo Li gusar. "Ajal kalian hampir tiba, tapi kalian masih
berani berbicara kurang ajar!"
Siluman Hitam tertawa
melengking. "Jangan galak-galak! Ohya, bagaimana kalau engkau menjadi
pelayan kami?"
"Hek Pek Siang
Koay!" Mata Pek Ih Mo Li berapi-api. "Kalian berdua bersiap-siaplah
untuk mampus!"
Siluman Hitam mengerutkan
kening. "Siapa engkau? berani omong besar di hadapan kami?" "Aku
Pek Ih Mo Li!" sahutnya sepatah demi sepatah sambil menghunus pedangnya.
"Pek Ih Mo Li?" Hek
Pek Siang Koay saling memandang. Ternyata mereka berdua tidak pernah mendengar
nama itu.
"He he he!" Siluman
Putih tertawa terkekeh. "Siluman Hitam, mari kita bunuh dia!"
Siluman Hitam mengangguk, lalu
dengan mendadak kedua siluman itu menyerang Pek Ih Mo Li.
Pek Ih Mo Li tertawa dingin
sambil berkelit, kemudian menggerakkan pedangnya membentuk beberapa buah
lingkaran mengarah ke Hek Pek Siang Koay.
Bukan main terkejutnya Hek Pek
Siang Koay. Secepat kilat mereka mengelak, sekaligus balas menyerang lagi.
Sekonyong-konyong Pek Ih Mo Li
melesat ke atas, dan berjungkir balik sambil menggerakkan pedangnya membentuk
puluhan lingkaran kecil.
"Aaaakh...!" jerit
Hek Pek Siang Koay. Ternyata bahu mereka telah terluka oleh pedang Pek Ih Mo Li
sehingga mengucurkan darah.
Pek Ih Mo Li sudah melayang
turun. Ia memandang Hek Pek Siang Koay dengan wajah dingin.
"Satu jurus lagi kalian
berdua pasti mati di ujung pedangku!" bentak Pek Ih Mo Li.
Hek Pek Siang Koay segera
mengeluarkan senjata masing-masing. Tadi mereka berdua terlampau meremehkan
lawan, maka hanya cuma menggunakan sepasang tangan kosong saja.
Oleh karena itu, bahu mereka
terluka oleh pedang Pek ih Mo Li. Betapa gusarnya Hek Pek Siang Koay. Setelah
mengeluarkan senjata, mereka berdua langsung menyerang Pek Ih Mo Li. Terjadilah
pertempuran yang amat sengit dan dahsyat. Tampak kedua senjata Hek Pek Siang
Koay berkelebatan mengarah ke Pek Ih Mo Li. Akan tetapi pedang Pek Ih Mo Li
mulai membentuk lingkaran besar dan lingkaran kecil.
Beberapa jurus kemudian,
terdengarlah suara jeritan Hek Pek Siang Koay yang menyayatkan hati.
"Aaaakh...!
"Aaaakh...!"
Hek Pek Siang Koay terkapar
dengan dada berlumuran darah. Ternyata dada mereka telah tertembus pedang Pek
Ih Mo Li, dan nyawa mereka pun melayang seketika.
Setelah membunuh Hek Pek Siang
Koay, Pek Ih Mo Li mendekati Tio Cie Hiong yang dalam keadaan pingsan.