Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 06

Baca Cersil Mandarin Online: Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 06
Bagian 06
kemudian engkau pasti tiba di gunung itu."

"Terimakasih, Paman!" ucap Tio Cie Hiong.

"Cie Hiong!" Sam Gan Sin Kay menatapnya. "Jadi engkau meninggalkan Ekspedisi Harimau Terbang cuma ingin mencari Ku Tok Lojin?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Bocah!" Mendadak Siauw Suseng menatapnya dalam-dalam. "Maukah engkau menjadi muridku?"

"Huaha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak.

"Sialan Kau !!! ...Pengemis bau! Kenapa tiap aku bicara engkau selalu tertawa?" tanya Kim Siauw Suseng dengan kening berkerut.

"Aku pun pernah ingin mengangkatnya sebagai murid, tapi dia langsung menolak," sahut Sam Gan Sin Kay.

"Kenapa?" tanya Kim Siauw Suseng.

"Sebab dia tidak mau belajar ilmu silat." Sam Gan Sin Kay memberitahukan.

"Bocah!" Kim Siauw Suseng menatapnya heran. "Betulkah engkau tidak mau belajar ilmu silat?"

"Betul, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk. "Tapi engkau belajar Iweekang?!" ujar Kim Siauw Suseng.

"Itu untuk menyehatkan tubuh saja." Tio Cie Hiong tersenyum.

"Sayang sekali!" gumam Kim Siauw Suseng. "Seandainya engkau mau belajar ilmu silat, kelak engkau pasti menjadi seorang pendekar hebat."

"Benar-benar..." Sam Gan Sin Kay manggut-mangut.

"Kakek Pengemis, Paman! Aku mau pamit untuk melanjutkan perjalanan," ujar Tio Cie Hiong sambil bangkit berdiri, lalu berjalan pergi. Sedangkan Sam

Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng hanya bisa saling memandang saja sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Tio Cie Hiong terus melakukan perjalanan menuju arah timur. Ketika hari mulai senja, ia duduk di bawah pohon, lalu mengeluarkan beberapa buah

bakpao yang dibelinya di sebuah kota kecil. Di saat ia baru mau makan, mendadak ia melihat seorang pengemis muda yang dekil sedang berjalan sambil

menendang-nendang ini dan itu. Begitu melihat pengemis muda yang dekil itu, Tio Cie Hiong langsung berseru sambil berlari menghampirinya.

"Adik Im! Adik Im...."

Pengemis muda yang dekil itu menolehkan kepalanya. Begitu melihat Tio Cie Hiong, ia pun terbelalak dengan mulut ternganga lebar.

"Kakak Hiong..." panggilnya.

"Adik Im!" Tio Cie Hiong menggenggam tangannya erat-erat.

"Kakak Hiong!" Pengemis muda yang dekil itu ternyata Lim Ceng Im. Ia memandang Tio Cie Hiong dengan mata tak berkedip. "Engkau... engkau bertambah

tampan."

"Engkau malah bertambah dekil dan bau," sahut Tio Cie Hiong sambil tertawa-tawa. "Adik Im, sungguh tak terduga kita akan bertemu di sini, hanya

saja....."

"Kenapa?"

"Aku tidak telanjang mandi di sungai."

"Dasar....." Wajah Lim Ceng Im langsung memerah, kemudian menundukkan kepala dalam-

dalam.

"Adik Im!" Tio Cie Hiong menatapnya heran. "Kenapa setiap kali bertemu denganku engkau pasti bersikap malu-malu?"

"Aku...."

"Adik Im! Mari kita duduk di bawah pohon saja!" ajak Tio Cie Hiong.

Lim Ceng Im mengangguk. Mereka berdua lalu duduk di bawah pohon. Tio Cie Hiong tampak gembira sekali bertemu lagi dengan Lim Ceng Im. Ia

mengeluarkan bakpaonya dan dibagikan kepadanya.

"Adik Im, mari kita makan bakpao dulu!"

"Terimakasih, Kakak Hiong!" Lim Ceng Im menerima bakpao itu, kemudian memakannya sambil tersenyum-senyum.

"Adik Im, kok engkau berada di sini?" tanya Tio Cie Hiong.

"Aku tidak betah tinggal di rumah, maka aku keluar berjalan-jalan sejenak," jawab Lim Ceng Im sambil meliriknya. "Aku tak menduga sama sekali akan

bertemu denganmu di sini."

"Kenapa engkau tidak betah tinggal di rumah?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Karena ayahku selalu menyuruhku belajar ilmu silat, sedangkan aku...." Lim Ceng Im

menundukkan kepala.

"Adik Im, engkau harus menuruti perkataan ayahmu, tidak baik sering berkeluyuran di luar." Ujar Tio Cie Hiong sambil memandangnya. "Eh?

Kok kelihatannya engkau agak kurusan? Engkau sakit ya?"

"Tidak." Lim Ceng Im menggelengkan kepala.

"Kakak Hiong, bagaimana keadaanmu selama ini?"

"Aku baik-baik saja," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku bekerja di Ekspedisi Harimau Terbang."

"Oooh!" Lim Ceng Im manggut-manggut. "Pemimpin Ekspedisi itu Cit Pou Tui Hun-Gouw Han Tiong kan?"

"Benar." Tio Cie Hiong mengangguk. "Kok engkau tahu?"

"Ekspedisi itu sangat terkenal, tentu saja aku tahu." Tiba-tiba Lim Ceng Im menatapnya tajam. "Ohya! Bukankah Gouw Han Tiong mempunyai seorang

putri?"

"Betul. Namanya Gouw Sian Eng."

"Kalau tidak salah, dia merupakan anak gadis yang cantik sekali, bukan?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Dia memang cantik sekali, dan lemah lembut." "Dia baik sekali terhadapmu?" tanya Lim Ceng Im dengan wajah agak berubah.. "Dia memang baik sekali terhadapku," jawab Tio Cie Hiong jujur.

"Engkau pun sangat baik terhadapnya?" tanya Lim Ceng Im bernada agak tidak senang. "Karena dia baik, aku pun baik terhadapnya."

"Kakak Hiong!" Lim Ceng Im menatapnya tajam. "Pernahkah engkau mandi telanjang di hadapannya?"

"Eeeh?" Tio Cie Hiong terbelalak. "Memangnya aku sudah gila?"

"Engkau kan hobby mandi telanjang...." Mendadak wajah Lim Ceng Im berubah kemerah-

merahan.

"Itu karena aku mandi di sungai, lagi pula engkau pun tidak sengaja memunculkan diri." ujar Tio Cie Hiong. "Di Ekspedisi Harimau Terbang, aku mandi

di dalam kamar mandi, tidak pernah mandi di sungai."

"Oooh!" Lim Ceng Im manggut-manggut, kemudian bertanya dengan suara rendah. "Engkau suka pada anak gadis itu?"

"Suka sekali." Tio Cie Hiong mengangguk. Seketika juga wajah Lim Ceng Im berubah pucat. "Ohya!" Tio Cie Hiong mengeluarkan sesuatu dari dalam

bajunya. "Lihat apa ini?"

"Itu kantong pemberianku," sahut Lim Ceng Im.

"Aku selalu menyimpannya baik-baik," ujar Tio Cie Hiong, lalu memasukkan lagi kantong kain itu ke dalam bajunya.

"Kakak Hiong, apakah selama setahun ini, engkau sering memikirkan aku?" tanya Lim Ceng Im dengan suara rendah.

"Sering." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Aku pun sering memikirkanmu, bahkan siang malam...."

"Ha ha!" Tio Cie Hiong tertawa mendadak. "Pantas badanmu menjadi kurus, tidak tahunya gara-gara memikirkan aku siang malam!"

"Kakak Hiong...." Lim Ceng Im cemberut.

"Tuh! Cemberut lagi!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Adik Im, engkau lebih pantas menjadi anak gadis."

"Kenapa?"

"Engkau sering bersikap malu-malu dan suka cemberut, itulah ciri khas anak gadis."

"Tapi aku...."

"Aku tahu engkau anak lelaki seperti aku," potong Tio Cie Hiong. Tapi engkau justru...."

"Anak lelaki juga boleh bersikap malu-malu dan cemberut, tidak ada salahnya kan?" Lim Ceng Im tersenyum.

"Memang tidak ada salahnya, namun itu sepertinya jadi sedikit aneh." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.

"Ohya, Kakak Hiong! Engkau mau ke mana?" tanya Lim Ceng Im mendadak mengalihkan percakapan.

"Aku mau pergi menemui Tok Pie Sin Wan," jawab Tio Cie Hiong memberitahukan. "Dia berada di Goa Angin Puyuh di gunung Cing San."

"Siapa yang memberitahukanmu tentang Tok Pie Sin Wan?"

"Kim Siauw Suseng."

"Apa?" Lim Ceng Im terbelalak. "Engkau bertemu Kim Siauw Suseng itu?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Di Ekspedisi Harimau Terbang, aku pun bertemu kakek pengemis sakti."

"Kakek pengemis sakti? Maksudmu Sam Gan Sin Kay?"

"Ya," sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Di lembah itu aku pun bertemu kakek pengemis sakti. Kemudian aku menyaksikan pertandingan yang sangat

seru sekali."

"Sam Gan Sin Kay bertanding dengan Kim Siauw Suseng?"

"Ya."

"Mereka pasti bertanding seri lagi."

"Benar, tapi Sam Gan Sin Kay berhasil melubangi lengan baju Kim Siauw Suseng dengan tongkat bambunya."

"Oh, ya?" Lim Ceng Im tampak kurang percaya, sebab setahunya, Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng selalu bertanding seri, bagaimana mungkin kali

ini Sam Gan Sin Kay bisa berhasil melubangi lengan baju Kim Siauw Suseng? Namun ia tidak banyak bertanya lagi tentang itu, cuma menjelaskan. "Kakak

Hiong, Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng sangat tersohor dalam rimba persilatan, mereka berdua adalah Bu Lim Ji Khie."

Tio Cie Hiong mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Rimba persilatan masa kini terdapat It Ceng, Ji Khie dan Sam Mo." Lanjut Lim Ceng Im memberitahukan. "It Ceng adalah Lam Hai Sin Ceng (Padri Sakti

Laut Selatan), Ji Khie adalah Sam Gan Sin Kay (Pengemis Sakti Mata Tiga) dan Kim Siauw Suseng (Sastrawan Suling Emas). Sam Mo (Tiga Iblis) adalah

Tang Hai Lo Mo (Iblis Tua Laut Timur), Thian Mo (Iblis Langit) dan Te Mo (Iblis Neraka) yang sangat kejam."

"Siapa yang berkepandaian paling tinggi?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.

"Selama puluhan tahun, Ji Khie dan Sam Mo tidak pernah bertanding lagi dengan Lam Hai Sin Ceng, sebab Lam Hai Sin Ceng selalu mengalah. Namun Ji

Khie pernah bertanding dengan Sam Mo, kepandaian mereka boleh dikatakan seimbang." "Kalau begitu, Lam Hai Sin Ceng berkepandaian paling tinggi?!" ujar Tio Cie Hiong. "Kenapa engkau mengatakan begitu?" Lim Ceng Im heran.

"Sebab Lam Hai Sin Ceng mau mengalah dan bersabar, maka aku yakin Lam Hai Sin Ceng berkepandaian paling tinggi."

Lim Ceng Im manggut-manggut.

"Adik Im!" Tio Cie Hiong menatapnya seraya bertanya. "Kenapa engkau mau jadi pengemis?"

"Aku memang pengemis," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum. "Sebab ayahku ketua Partai Pengemis!"

"Ayahmu ketua Kay Pang?" Tio Cie Hiong terbelalak.

"Karena itu...." Lim Ceng Im menghela nafas. "Aku harus menjadi pengemis."

"Apakah tidak boleh berpakaian biasa?"

"Boleh. Tapi..... Lim Ceng Im menggelenggelengkan kepala. "Belum waktunya aku berpakaian

biasa."

"Kenapa?" Tio Cie Hiong tercengang.

"Itu peraturan Kay Pang, maka aku harus menuruti peraturan itu," sahut Lim Ceng Im, kemudian menatap Tio Cie Hiong dalam-dalam. "Ohya, engkau...

sering berduaan dengan anak gadis itu?"

"Maksudmu Gouw Sian Eng?"

"Ya."

"Tidak begitu sering, namun tiap malam hari, aku pasti mengajarinya ilmu sastra," ujar Tio Cie Hiong jujur. "Bahkan aku pun sering melihat dia

berlatih."

"Wah! Asyik sekali dong!" Wajah Lim Ceng Im tampak berubah.

"Asyik bagaimana?" tanya Tio Cie Hiong.

"Itu berarti kalian sering berduaan. Bukankah asyik sekali?" sahut Lim Ceng Im sambil mencibir.

"Ya, bisa dibilang begitu... lagi pula dia yang sering minta petunjuk padaku." Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Anak gadis itu sering minta petunjuk kepadamu?" Lim Ceng Im mengerutkan kening. "Petunjuk mengenai apa?"

"Ilmu pukulan dan ilmu pedang!"

"Apa?" Lim Ceng Im terbeliak. "Katanya engkau tidak pernah belajar ilmu silat, tapi bisa memberi petunjuk padanya. Itu sungguh membingungkan!"

"Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Terus terang, aku pernah belajar semacam Iweekang yang menyehatkan tubuh dari sebuah kitab tipis. Di dalam

kitab tipis itu juga terdapat urai-uraian mengenai ilmu pukulan, pedang dan lain sebagainya."

Lim Ceng Im menatapnya dalam-dalam, kemudian tersenyum. "Kakak Hiong, tentunya engkau juga tidak berkeberatan memberi petunjuk padaku kan?"

"Engkau anak ketua Kay Pang, bagaimana mungkin.... "

"Engkau sering memberi petunjuk kepada gadis itu, kenapa tidak mau memberi petunjuk kepadaku?" tanya Lim Ceng Im tidak senang sambil cemberut.

"Eh?" Tio Cie Hiong tertawa kecil. "Engkau mulai cemberut lagi!"

"Kenapa engkau tidak mau memberi petunjuk kepadaku?"

"Ayahmu ketua Kay Pang, sudah pasti berkepandaian tinggi, maka aku mana berani memberi petunjuk kepadamu?"

"Kakak Hiong, pokoknya engkau harus memberi petunjuk kepadaku." desak Lim Ceng Im, kemudian ia mengambil sebatang ranting. "Kakak Hiong, aku akan

memperlihatkan Tah Kauw Kun Hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Anjing). Ilmu tongkat itu sangat lihay dan hebat, merupakan ilmu tongkat andalan ayahku."

Tio Cie Hiong manggut-manggut sambil tersenyum, sedangkan Lim Ceng Im sudah mulai memperlihatkan Tah Kauw Kun Hoat. Berselang beberapa saat, Lim

Ceng Im berhenti lalu memandang Tio Cie Hiong.

"Bagaimana, Kakak Hiong?" tanyanya sambil tersenyum. "Aku telah usai memperlihatkan tujuh belas jurus Tah Kauw Kun Hoat."

"Memang lihay sekali," sahut Tio Cie Hiong. "Tujuh belas jurus Tah Kauw Kun Hoat itu bersifat menyerang, tapi apabila bertarung dengan orang

berkepandaian tinggi, engkau justru akan celaka."

"Oh? Apa sebabnya?"

"Sebab dalam jurus-jurus itu terdapat celah yang dapat diserang, dan engkau tidak bisa menangkis maupun berkelit, karena engkau terus menyerang,"

Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Oh, ya?" Lim Ceng Im kurang percaya. "Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Jurus pertama yang kau perlihatkan itu terdapat celah bagi pihak lawan

untuk balas menyerang secara mendadak. Anggaplah aku lawanmu, engkau menyerangku dengan jurus pertama, aku bergerak dengan cara demikian...." Tio

Cie Hiong menggerakkan kaki dan tangannya. "Nah! Bukankah kaki kananmu yang di depan terkunci oleh kaki kananku, sedangkan tanganmu yang kanan

terkunci oleh tangan kiriku? Kalau aku menjulurkan sepasang tanganku, bukankah dadamu akan terpukul?"

"Haaah?" Mendengar itu, Lim Ceng Im terkejut bukan main, sebab gerakan Tio Cie Hiong itu dapat memecahkan jurus pertama Tah Kauw Kun Hoatnya.

"Jurus kedua... jurus ketujuh belas...." Tio Cie Hiong terus menjelaskan, sekaligus

memperlihatkan gerakannya.

Lim Ceng Im mendengarkan dan menyaksikan gerakan-gerakan itu dengan mata terbelalak.

"Kakak Hiong...," ujarnya kemudian sambil menatapnya kagum.

"Engkau kok begitu luar biasa? Padahal selama puluhan tahun ini, tiada seorang pun yang mampu memecahkan Tah Kauw Kun Hoat. KUrasa engkau dapat

memperbaiki jurus-jurus Tah Kauw Kun Hoatku."

"Adik Im!" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Itu merupakan ilmu tongkat andalan ayahmu, aku mana berani sembarangan memperbaikinya?"

"Itu urusan ayahku, ini urusanku," sahut Lim Ceng Im. "Kakak Hiong! Ayolah... Perbaiki jurus-jurus Tah Kauw Kun Hoatku."

"Adik Im...." Tio Cie Hiong memandangnya, lama sekali barulah ia mengangguk.

"Kakak Hiong, terimakasih!" ucap Lim Ceng Im dengan wajah berseri. Sedangkan Tio Cie Hiong mulai memberi petunjuk kepadanya dengan menambah

beberapa gerakan dalam jurus-jurus Tah Kauw Kun Hoat.

"Adik Im!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Kini Tah Kauw Kun Hoatmu sudah lebih lihay lagi."

"Kakak Hiong...." Lim Ceng Im menatapnya takjub. "Kok engkau begitu luar biasa sih?"

Tio Cie Hiong tidak menyahut, melainkan cuma tersenyum-senyum. Berselang sesaat, barulah berkata sungguh-sungguh.

"Adik Im, janganlah engkau takabur karena ilmu tongkat bertambah lihay, sebab takabur akan membuatmu lupa daratan."

"Kakak Hiong, percayalah!" Lim Ceng Im tertawa kecil. "Aku tidak akan begitu."

"Syukurlah!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Ohya, Kakak Hiong!" Lim Ceng Im menatapnya dengan penuh harap. "Bolehkah aku mengikutimu ke gunung Cing San?"

"Tidak boleh." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.

"Kenapa?" Lim Ceng Im cemberut.

"Tiada persetujuan dari ayahmu, engkau tidak boleh ikut aku ke gunung Cing San," sahut Tio Cie Hiong.

"Itu tidak apa-apa. Ayahku tidak akan tahu."

"Justru ayahmu tidak tahu, maka engkau tidak boleh ikut." "Kakak Hiong...." Lim Ceng Im membanting-bantingkan kaki.

Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara dehem dari kejauhan di belakang mereka. Begitu mereka menoleh, tampak seorang pengemis telah berdiri di

situ.

"Ayah...." Wajah Lim Ceng Im langsung berubah.

"Bagus! Bagus!" sahut pengemis itu, yang tidak lain Lim Peng Hang, Si Tongkat Maut ketua Kay Pang. "Engkau mau minggat ya?"

"Ayah, aku tidak minggat." ujar Lim Ceng Im dengan wajah memerah. "Melainkan ingin ikut dia ke gunung Ciang San."

"Tidak boleh." Lim Peng Hang menggelengkan kepala.

"Oooh!" Tiba-tiba Tio Cie Hiong teringat akan pengemis itu. "Ternyata Paman pengemis yang waktu itu ya, kebetulan sekali."

"Apa yang kebetulan?" tanya Lim Peng Hang heran.

"Aku sudah mempunyai uang, kita bagi dua saja, ya,"sahut Tio Cie Hiong. "Jadi Paman tidak usah menahan lapar."

"Eeeh?" Lim Peng Hang melotot. "Engkau berani menghinaku?"

"Paman!" Tio Cie Hiong tercengang. "Bukankah dua tahun lalu Paman pernah minta uang kepadaku? Sekarang aku akan membagikan uangku kepada Paman, kok

Paman malah berkata begitu?"

"Bagus! Bagus!" Lim Peng Hang tertawa gelak. "Mana uangmu?"

Tio Cie Hiong mengeluarkan uangnya, kemudian dibagikannya kepada Lim Peng Hang. "Paman!" ujar Tio Cie Hiong. "Tolong bagikan juga kepada pengemis

lain, agar mereka pun tidak kelaparan."

"Kalau begitu...." Lim Peng Hang tersenyum. "Uangmu harus dibagikan kepadaku lagi separuh,

sebab aku harus mewakilimu membagikan kepada pengemis lain."

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Ayah kok begitu serakah?" tegur Lim Ceng Im.

"Siapa bilang ayah serakah?" Lim Peng Hang melotot. "Bukankah ayah harus membagikan lagi kepada pengemis lain?"

"Tapi dia masih harus melanjutkan perjalanan,dan membutuhkan uang," sahut Lim Ceng Im.

"Adik Im!" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Itu tidak apa-apa, sebab sisa uang ini masih cukup untukku."

"Benar! Benar!" Lim Peng Hang tertawa gelak, kemudian menarik Lim Ceng Im. "Terima kasih ya, Mari kita pergi!" Tanpa basa-basi lagi.

"Tidak mau!" Lim Ceng Im tidak mau beranjak dari tempatnya.

"Adik Im!" ujar Tio Cie Hiong. "Tidak baik melawan orang tua, ikutlah ayahmu pulang!" "Tapi... kita akan berpisah lagi." Wajah Lim Ceng Im tampak murung. "Kita akan berjumpa kembali kelak, percayalah..." sahut Tio Cie Hiong.

"Kakak Hiong...." Mata Lim Ceng Im bersimbah air. "Sampai jumpa!"

"Sampai jumpa, Adik Im!" Tio Cie Hiong memandangnya sambil tersenyum lembut. Setelah Lim Ceng Im dan ketua Kay Pang itu lenyap dari pandangannya,

barulah Tio Cie Hiong meninggalkan tempat itu melanjutkan perjalanannya ke gunung Cing San.

Begitu sampai di halaman markas, pusat Kay Pang. Lim Ceng Im membanting-bantingkan kakinya, kemudian menggerutu.

"Ayah jahat! Setiap kali aku bertemu dia, ayah pasti menyuruhku pulang!"

"Nak!" Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau masih kecil, tunggulah beberapa tahun lagi, aku pasti melepaskanmu berkelana dalam rimba

persilatan."

"Aku hanya mau ikut dia ke gunung Cing San, tapi ayah melarangku. Aku... benci ayah!"

"Nak!" Lim Peng Hang menarik nafas. "Ayah setuju engkau bergaul dengannya, tapi harus tunggu beberapa tahun lagi. Sekarang ini engkau harus giat

belajar."

"Ayah!" Mendadak sepasang mata Lim Ceng Im berbinar-binar. "Kelak bolehkah aku selalu bersamanya?"

"Tentu boleh." Lim Peng Hang mengangguk. "Tapi sekarang engkau harus menyerahkan segenap perhatianmu belajar ilmu silat."

Wajah Lim Ceng Im berseri.

"Ohya! Apakah tujuh belas jurus Tah Kauw Kun Hoat yang kuajarkan kepadamu itu telah kau kuasai?" tanya Lim Peng Hang mendadak.

"Ayah!" Lim Ceng Im tersenyum. "Aku sudah dapat menguasai semua jurus itu."

"Kalau begitu, coba perlihatkan pada ayah!" ujar Lim Peng Hang sambil menyerahkan tongkat bambunya kepada Lim Ceng Im.

Lim Ceng Im mengangguk. Setelah menerima tongkat bambu itu, ia pun mulai bergerak, dan seketika tongkat bambu itu berkelebatan laksana kilat.

Lim Peng Hang menyaksikannya dengan mata terbeliak lebar, sebab Tah Kauw Kun Hoat yang diperlihatkan Lim Ceng Im agak berbeda, jauh lebih lihay

dari Tah Kauw Kun Hoat yang diajarkannya.

"Ceng Im!" Lim Peng Hang menatapnya dengan mata tak berkedip. "Tah Kauw Kun Hoat yang kau perlihatkan itu kok agak lain?"

"Bagaimana menurut Ayah?" tanya Lim Ceng Im sambil tersenyum.

"Bertambah lihay," sahut Lim Peng Hang dan bertanya. "Lo cianpwee mana yang menambahkan gerakan-gerakan itu?"

"Bukan lo cianpwee, melainkan siauw cianpwee," sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum geli. "Maksudmu?" Lim Peng Hang terheran-heran. "Cianpwee kecil yang mana?" "Itu... anak lelaki tuh!" Lim Ceng Im memberitahukan.

"Apa?" Mulut Lim Peng Hang ternganga lebar. "Dia... dia yang menambahkan gerakan-gerakan itu dalam jurus Tah Kauw Kun Hoat?"

"Ya." Lim Ceng Im mengangguk. "Memang dia. Aku sendiri pun tidak habis pikir, kenapa dia mampu menciptakan gerakan-gerakan untuk menyempurnakan Tah

Kauw Kun Hoat itu."

"Ceng Im! Siapa dia?"

"Namanya Tio Cie Hiong."

"Dia... dia anak sakti yang dimaksudkan kakekmu!" ujar Lim Peng Hang sambil menarik nafas dalam-dalam. "Dia pula yang menyempurnakan Sam Ciat Kun

Hoat!"

"Oh?" Mendengar ucapan itu, Lim Ceng Im semakin kagum pada Tio Cie Hiong. "Dia memang sangat luar biasa sekali. Dia tidak mau belajar

ilmu silat, tapi justru mampu menciptakan gerakan-gerakan ilmu silat yang begitu lihay. Dia juga memberitahukan, bahwa dia pernah belajar semacam

ilmu lweekang dari sebuah kitab tipis. Dalam kitab tipis itu juga terdapat berbagai uraian tentang pukulan, pedang dan lain sebagainya."

"Nak!" Mendadak Lim Peng Hang tertawa.

"Kenapa Ayah tertawa?" Lim Ceng Im heran.

"Kakekmu bilang...." Lim Peng Hang menatapnya lagi dan tertawa lagi.

"Ayah kenapa sih?" Lim Ceng Im cemberut. "Misterius amat! Sebetulnya ada apa?"

"Kakekmu pernah bilang, dia akan menjodohkanmu dengan Tio Cie Hiong kelak." Lim Peng Hang memberitahukan.

"Kakek jahat!" Wajah Lim Ceng Im langsung memerah.

"Ooo... Jadi engkau tidak suka dijodohkan dengan Tio Cie Hiong? Baiklah! Ayah akan memberitahukan kepada kakekmu!"

"Ayah...." Kalutlah Lim Ceng Im. "Jangan begitu...."

"Maksudmu bersedia dijodohkan dengannya?" tanya Lim Peng Hang sambil tersenyum-senyum.

"Ayah...." Lim Ceng Im langsung berlari ke dalam.

Lim Peng Hang, ketua Kay Pang itu tertawa gelak sambil memandang punggung Lim Ceng Im, lalu berjalan ke dalam dengan wajah berseri-seri.

Dua hari kemudian, Tio Cie Hiong telah tiba di sebuah desa kecil. Dari desa kecil dia dapat melihat Gunung Cing San yang menjulang tinggi. Dia

bertanya kepada penduduk desa mengenai Suan Hong Tong (Gua Angin Puyuh) itu, agar tidak tersesat di Gunung Cing San.

"Apa?!" Salah seorang penduduk desa yang berusia lanjut tampak terkejut. "Anak muda, engkau mau ke Goa Angin Puyuh itu?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Aku ingin menemui seseorang di sana."

"Anak muda!" Orang tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala. "Lebih baik engkau jangan ke sana!"

Dua hari kemudian, Tio Cie Hiong telah tiba di sebuah desa kecil. Dari desa kecil dia dapat melihat Gunung Cing San yang menjulang tinggi. Dia

bertanya kepada penduduk desa mengenai Suan Hong Tong (Gua Angin Puyuh) itu, agar tidak tersesat di Gunung Cing San.

"Apa?!" Salah seorang penduduk desa yang berusia lanjut tampak terkejut. "Anak muda, engkau mau ke Goa Angin Puyuh itu?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Aku ingin menemui seseorang di sana."

"Anak muda!" Orang tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala. "Lebih baik engkau jangan ke sana!"

"Kenapa, Paman tua?" Tio Cie Hiong tercengang.

"Sebab ada siluman di dalam goa itu. Tiga hari sekali kami harus membawa puluhan ekor ayam ke sana. Kalau tidak, siluman itu pasti membunuh kami."

Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Paman tua, beritahukan saja kepadaku di mana goa itu!"

"Anak muda...." Orang tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala, tapi akhirnya

memberitahukan juga berada di mana Goa Angin Puyuh itu.

"Terimakasih, Paman tua!" ucap Tio Cie Hiong, lalu melanjutkan perjalanannya ke goa tersebut.

Setelah hari mulai malam, barulah Tio Cie Hiong sampai di depan goa itu. Tak lama kemudian terdengar suara desiran di dalam goa.

"Cianpwee, aku ingin bertemu...!!" seru Tio Cie Hiong.

"Siapa engkau anak muda? Mau apa engkau ke mari?" Terdengar suara sahutan dari dalam goa.

"Namaku Tio Cie Hiong. Apakah cianpwee Tok Pie Sin Wan?" tanya Tio Cie Hiong.

Tiada suara sahutan, namun mendadak berkelebat sosok bayangan dari dalam goa. Seorang tua berlengan satu, rambutnya awut-awutan berdiri di hadapan

Tio Cie Hiong, dan menatapnya tajam. "Siapa yang memberitahukan kepadamu bahwa aku Tok Pie Sin Wan?" tanya orang tua itu.

"Kim Siauw Suseng." jawab Tio Cie Hiong.

Kening Tok Pie Sin Wan berkerut. "Kenapa dia memberitahukan tentang diriku?"

"Sebab cianpwee teman baik Ku Tok Lojin. Aku ingin bertanya kepada cianpwee di manakah Ku Tok Lojin berada?"

"Ada hubungan apa engkau dengan Ku Tok Lojin?"

"Tiada hubungan apa-apa. Tapi..., Ku Tok Lojin tahu siapa kedua orang tuaku, maka aku harus bertanya kepadanya."

Tok Pie Sin Wan menatapnya, kemudian mengajak Tio Cie Hiong masuk ke goa. "Mari ikut aku ke dalam!"

Tio Cie Hiong mengangguk, lalu mengikuti Tok Pie Sin Wan ke dalam goa. Ruangan goa itu cukup terang karena ada beberapa buah lampu minyak

bergantung di dinding goa. Di sana tampak pula belasan ekor ayam di dalam kurungan.

"Duduklah!" ujar Tok Pie Sin Wan.

"Terimakasih!" ucap Tio Cie Hiong lalu duduk di hadapannya.

"Anak muda!" Tok Pie Sin Wan menatapnya dalam-dalam. "Jadi engkau tidak tahu siapa kedua orang tuamu?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Benarkah Ku Tok Lojin tahu siapa kedua orang tuamu?" tanya Tok Pie Sin Wan.

"Benar atau tidak, aku tidak tahu. Namun sebelum pamanku meninggal, dia berpesan kepadaku harus menemui Ku Tok Lojin, karena Ku Tok Lojin akan

memberitahukan siapa kedua orang tuaku."

"Ooooh!" Tok Pie Sin Wan manggut-manggut. "Cianpwee, beritahukanlah padaku di mana Ku Tok Lojin berada?" ujar Tio Cie Hiong penuh harap.

"Kalau begitu, engkau harus ke Gunung Heng San Lembah Kesepian, sebab dia tinggal di sana." Tok Pie Lojin memberitahukan.

"Aku sudah ke sana, tapi Ku Tok Lojin telah meninggalkan lembah itu." ujar Tio Cie Hiong. "Maka aku ke mari bertanya kepada Cianpwee."

Tok Pie Sin Wan menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau begitu, aku pun tidak tahu di mana dia berada."

"Bukankah Cianpwee teman baiknya?"

"Benar." Tok Pie Sin Wan mengangguk. "Maka aku tahu dia tinggal di lembah itu. Namun kalau dia telah meninggalkan lembah itu, aku pun tidak bisa

tahu kemana dia pergi."

"Aaakh...!" keluh Tio Cie Hiong.

"Puluhan tahun lalu, kami memang merupakan teman akrab." Tok Pie Sin Wan memberitahukan. "Tapi sejak isterinya meninggalkannya, sifatnya berubah

aneh dan Sering marah-marah, akhirnya kedua putrinya meninggalkannya. Sejak itulah dia hidup kesepian."

"Cianpwee, siapa kedua putrinya?"

"Lie Hui Hong dan Lie Mei Hong. Kemudian Lio Hui Hong menikah dengan Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng, namun Lie Mei Hong tiada kabar beritanya." ujar

Tok Pie Sin Wan dan menambahkan. "Sedangkan aku sudah hampir lima belas tahun tinggal di dalam goa ini. Aaaakh...!"

"Cianpwee!" Tio Cie Hiong menatapnya heran. "Kenapa cianpwee menarik nafas panjang?"

"Selama lima belas tahun, aku sama sekali tidak berani keluar pada siang hari."

"Kenapa?"

"Lima belas tahun lampau, aku telah salah mempelajari semacam ilmu Iweekang, sehingga membuat tubuhku tidak tahan akan sinar mata hari, rasanya

seperti terbakar." Tok Pie Sin Wan menghela nafas lagi. "Dan juga dua tiga hari sekali aku pasti merasa dingin sekali, karena itu, aku sudah

menghisap darah ayam, anjing dan kelinci agar tidak merasa dingin."

"Pantas penduduk di desa itu harus menyediakan ayam untuk cianpwee, ternyata begitu!" ujar Tio Cie Hiong dan menatapnya. "Cianpwee, betulkah

cianpwee akan membunuh mereka, kalau mereka tidak menyediakan ayam?"

"Tentu tidak." Tok Pie Sin Wan menggelengkan kepala. "Aku terpaksa mengancam mereka, agar mereka mau menyediakan ayam untukku."

Tio Cie Hiong menarik nafas lega.

"Anak muda! Apakah engkau murid Kim Siauw Suseng?" tanya Tok Pie Sin Wan mendadak. "Bukan."

"Kalau begitu, engkau murid siapa?"

"Aku bukan murid siapa-siapa." Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku tidak tertarik akan ilmu silat. Kalau aku sudah berhasil mencari Ku Tok Lojin dan tahu

siapa kedua orang tuaku, aku malah akan tinggal di tempat yang sepi, Cianpwee, maaf! Aku mohon berpamit!" ujar Tio Cie Hiong sambil bangkit

berdiri.

"Lebih baik engkau berangkat esok pagi saja. Sekarang hari sudah malam." ujar Tok Pie Sin Wan mengusulkan. "Engkau boleh tinggal di dalam goa ini."

"Terimakasih, Cianpwee!" Tio Cie Hiong duduk kembali.

"Anak muda, kalau engkau mau tidur sekarang, tidurlah di atas jerami itu agar engkau tidak kedinginan!" ujar Tok Pie Sin Wan.

"Terima kasih, Cianpwee!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Aku cukup duduk bersemadi di sini saja!"

"Duduk bersemadi?" Tok Pie Sin Wan tampak tercengang. "Engkau bisa tidur dalam keadaan bersemadi?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk, lalu memejamkan matanya dan mulai bersemadi.

Tok Pie Sin Wan memandangnya dengan mulut ternganga lebar. Tak seberapa lama kemudian, Tio Cie Hiong kelihatan telah pulas dalam keadaan bersemadi.

Tok Pie Sin Wan terkejut bukan main, sebab Tio Cie Hiong bisa menarik nafasnya begitu dalam, dan menghembuskannya begitu lama. Itu pertanda Tio Cie

Hiong telah memiliki semacam Iweekang yang amat tinggi.

Itu sungguh di luar dugaan Tok Pie Sin Wan. Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil bangkit berdiri.

"Cianpwee mau ke mana?" tanya Tio Cie Hiong sambil membuka matanya.

"Hah...?" Tok Pie Sin Wan tersentak, sebab tadi ia bangkit tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, tapi Tio Cie Hiong bisa mendengarnya walau dalam

keadaan tidur. Itu sungguh mengejutkannya.

"Cianpwee mau pergi tidur ya?" tanya Tio Cie Hiong.

Tok Pie Sin Wan tidak menjawab, namun malah balik bertanya sambil menatapnya dengan mata terbeliak lebar.

"Engkau bisa mendengar suaraku dalam keadaan tidur?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Kenapa bisa begitu?" Tanya Top pie sin wan heran

"Entahlah" Jawab Tio Cie Hiong sambil tersenyum kemudian matanya kembali menutup dan tertidur lagi.

Esok harinya Ketika hari sudah terang, Tio Cie Hiong berpamit.

"Cianpwee, aku mohon diri!"

"Anak muda! Hati-hatilah engkau menjaga diri!" pesan Tok Pie Sin Wan.

"Ya, Cianpwee!" Tio Cie Hiong mengangguk, kemudian meninggalkan goa itu. Tok Pie Sin Wan tidak berani mengantar keluar, karena takut akan sinar

matahari.

Setelah meninggalkan Goa Angin Puyuh, Tio Cie Hiong melanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan. Beberapa hari kemudian, ia memasuki sebuah rimba yang

penuh pohon bambu.

Mendadak terdengar suara tawa yang sangat menyeramkan, maka Tio Cie Hiong segera berhenti. Setelah suara tawa seram itu sirna, muncullah dua orang,

yang masing-masing berwajah hitam dan putih.

"Bocah, kemarilah dan katakan siapa namamu?" tanya orang berwajah hitam.

"Namaku Tio Cie Hiong," jawabnya dan bertanya. "Siapa Cianpwee berdua?"

"Kami adalah Hek Pek Siang Koay," sahut Siluman Putih sambil tertawa seram melengking. "Kebetulan engkau ke mari, maka engkau harus menjadi pelayan

kami."

"Maaf, Cianpwee!" sahut Tio Cie Hiong. "Aku tidak mau menjadi pelayan kalian." "Harus mau!" bentak Hek Pek Siang Koay (Sepasang Siluman Hitam Putih) serentak. "Maaf, Cianpwee...."

"Siluman Hitam, mari kita tangkap dia!" ujar Siluman Putih.

"Baik!" Siluman Hitam menangguk.

Kedua siluman itu langsung menangkap Tio Cie Hiong. Sepasang lengannya tercengkeram oleh kedua siluman itu.

Akan tetapi, mendadak Tio Cie Hiong meronta, sehingga terlepas dari cengkeraman mereka, lalu berlari kabur.

"He he he!" Hek Pek Siang Koay tertawa terkekeh. "Bocah, engkau mau lari ke mana?" Kedua siluman itu melesat ke hadapan Tio Cie Hiong, maka Tio Cie

Hiong terhadang.

"Bocah! Lebih baik engkau menjadi pelayan kami!" ujar Siluman Hitam. "Kalau engkau melawan, kami pasti membunuhmu!"

Kedua siluman itu langsung menangkap Tio Cie Hiong. Sepasang lengannya tercengkeram oleh kedua siluman itu.

Akan tetapi, mendadak Tio Cie Hiong meronta, sehingga terlepas dari cengkeraman mereka, lalu berlari kabur.

"He he he!" Hek Pek Siang Koay tertawa terkekeh. "Bocah, engkau mau lari ke mana?" Kedua siluman itu melesat ke hadapan Tio Cie Hiong, maka Tio Cie Hiong terhadang.

"Bocah! Lebih baik engkau menjadi pelayan kami!" ujar Siluman Hitam. "Kalau engkau melawan, kami pasti membunuhmu!"

"Cianpwee! Kita tidak bermusuhan, kenapa Cianpwee berniat membunuhKu?" tanya Tio Cie Hiong dengan kening berkerut.

"Itu kalau engkau tidak mau menjadi pelayan kami!" sahut Siluman Putih.

"Bocah, kami memang membutuhkan seorang pelayan, kebetulan engkau ke mari, maka engkau harus menjadi pelayan kami! Apabila engkau menolak, kami pasti membunuhmu"

"Cianpwee...." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.

"Engkau menolak?" bentak Siluman Hitam.

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Siluman Putih! Dia tidak mau menurut, mari kita bunuh saja dia!" ujar Siluman Hitam. "Ha ha ha!" Siluman Putih tertawa. "Itu sudah pasti!"

Tio Cie Hiong terkejut bukan main. Ia tidak tahu harus berbuat apa, sehingga berdiri mematung di tempat. Sedangkan Hek Pek Siang Koay telah mengayunkan tangan mereka.

Buk! Buk!

"Aaaakh...!" jerit Tio Cie Hiong. Dadanya telah terpukul dengan amat keras.

Tio Cie Hiong terkapar dalam keadaan pingsan, sedangkan Hek Pek Siang Koay tertawa terkekeh-kekeh.

"Hek Pek Slang Koay!" Mendadak terdengar bentakan nyaring. "Kalian berdua begitu kejam, maka hari ini kalian berdua harus mampus!"

Hek Pek Siang Koay terkejut. Sekonyong-konyong melayang turun sosok bayangan putih, yang ternyata Pek ih Mo Li.

Siluman Hitam tertawa terkekeh-kekeh. "Ada wanita cantik datang!"

"Siluman Hitam, kita sungguh beruntung hari ini!" sahut Siluman Putih sambil menatap Pek Ih Mo Li. "Dia begitu cantik, mari kita tangkap dia, lalu kita telanjangi agar kita bisa menyaksikan tubuhnya yang indah itu!"

"Hek Pek Siang Koay" bentak Pek ih Mo Li gusar. "Ajal kalian hampir tiba, tapi kalian masih berani berbicara kurang ajar!"

Siluman Hitam tertawa melengking. "Jangan galak-galak! Ohya, bagaimana kalau engkau menjadi pelayan kami?"

"Hek Pek Siang Koay!" Mata Pek Ih Mo Li berapi-api. "Kalian berdua bersiap-siaplah untuk mampus!"

Siluman Hitam mengerutkan kening. "Siapa engkau? berani omong besar di hadapan kami?" "Aku Pek Ih Mo Li!" sahutnya sepatah demi sepatah sambil menghunus pedangnya.

"Pek Ih Mo Li?" Hek Pek Siang Koay saling memandang. Ternyata mereka berdua tidak pernah mendengar nama itu.

"He he he!" Siluman Putih tertawa terkekeh. "Siluman Hitam, mari kita bunuh dia!"

Siluman Hitam mengangguk, lalu dengan mendadak kedua siluman itu menyerang Pek Ih Mo Li.

Pek Ih Mo Li tertawa dingin sambil berkelit, kemudian menggerakkan pedangnya membentuk beberapa buah lingkaran mengarah ke Hek Pek Siang Koay.

Bukan main terkejutnya Hek Pek Siang Koay. Secepat kilat mereka mengelak, sekaligus balas menyerang lagi.

Sekonyong-konyong Pek Ih Mo Li melesat ke atas, dan berjungkir balik sambil menggerakkan pedangnya membentuk puluhan lingkaran kecil.

"Aaaakh...!" jerit Hek Pek Siang Koay. Ternyata bahu mereka telah terluka oleh pedang Pek Ih Mo Li sehingga mengucurkan darah.

Pek Ih Mo Li sudah melayang turun. Ia memandang Hek Pek Siang Koay dengan wajah dingin.

"Satu jurus lagi kalian berdua pasti mati di ujung pedangku!" bentak Pek Ih Mo Li.

Hek Pek Siang Koay segera mengeluarkan senjata masing-masing. Tadi mereka berdua terlampau meremehkan lawan, maka hanya cuma menggunakan sepasang tangan kosong saja.

Oleh karena itu, bahu mereka terluka oleh pedang Pek ih Mo Li. Betapa gusarnya Hek Pek Siang Koay. Setelah mengeluarkan senjata, mereka berdua langsung menyerang Pek Ih Mo Li. Terjadilah pertempuran yang amat sengit dan dahsyat. Tampak kedua senjata Hek Pek Siang Koay berkelebatan mengarah ke Pek Ih Mo Li. Akan tetapi pedang Pek Ih Mo Li mulai membentuk lingkaran besar dan lingkaran kecil.

Beberapa jurus kemudian, terdengarlah suara jeritan Hek Pek Siang Koay yang menyayatkan hati.

"Aaaakh...! "Aaaakh...!"

Hek Pek Siang Koay terkapar dengan dada berlumuran darah. Ternyata dada mereka telah tertembus pedang Pek Ih Mo Li, dan nyawa mereka pun melayang seketika.


Setelah membunuh Hek Pek Siang Koay, Pek Ih Mo Li mendekati Tio Cie Hiong yang dalam keadaan pingsan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar