Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 05

Baca Cersil Mandarin Online: Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 05
Bagian 05

"Ada urusan apa Nona ingin menemui ayahku?" tanyanya sambil menatap gadis itu.

"Ada urusan penting! Engkau pasti Cit Pou Tui Hun-Gouw Han Tiong, Cepat panggil ayahmu ke mari!" sahut gadis itu dingin.

"Nona siapa?" Gouw Han Tiong tampak tidak senang.

"Engkau tidak perlu tahu aku siapa, pokoknya engkau harus segera masuk ke dalam panggil ayahmu!" Gadis itu tertawa dingin.

"Kalau tidak, aku akan menerjang ke dalam!"

Gouw Han Tiong juga tertawa dingin. "Nona mampu menerjang ke dalam?"

"Kenapa tidak?" Gadis itu menghunus pedangnya. "Cepatlah engkau ambil pedang, aku tidak akan menyerang orang yang tak bersenjata!"

"Beng Sam! Ambilkan pedangku!" Ujar Gouw Han Tiong pada piauwsu itu.

"Ya, Tuan." Piauwsu itu segera berlari ke dalam, tak lama ia sudah keluar dengan membawa sebilah pedang, lalu diserahkannya kepada Gouw Han Tiong.

"Kini aku sudah bersenjata!" ujar Gouw Han Tiong kepada gadis itu sambil menghunus pedangnya. "Nona boleh mulai menyerang!"

"Baik!" Gadis itu mengangguk, lalu dengan pedangnya mulai menyerang Gouw Han Tiong. Sungguh aneh gerakan pedangnya, sehingga membuat Gouw Han Tiong tersentak. Cepat-cepatlah is menangkis.

Trang! Terdengar suara benturan pedang, dan seketika tampak bunga-bunga api berpijar. Bukan main terkejutnya Gouw Han Tiong, karena ia merasa telapak tangannya yang menggenggam pedang sakit sekali. Kini is baru tahu bahwa gadis itu berkepandaian amat tinggi.

"Hm!" dengus gadis itu dingin. "Cuma begitu saja kepandaian Cit Pou Tui Hun?"

Ucapan yang menyindir itu tentunya menggusarkan Gouw Han Tiong. Ia segera menghimpun Iweekangnya seraya membentak.

"Lihat serangan!" Gouw Han Tiong menyerang gadis itu.

Ia mengeluarkan salah satu jurus dari Tui Hun Kiam Hoat (llmu Pedang Pengejar Roh). Itu lah jurus Dalam Awan Menempur Naga.

Gadis itu tertawa panjang, badannya melesat kesamping. Pada waktu bersamaan, Gouw Han Tiong menyerangnya lagi dengan jurus Menyapu Melintang Gunung Laut.

Bukan main dahsyatnya jurus tersebut, sebab mengandung tiga perubahan yang tak terduga.

Akan tetapi, mendadak gadis itu menggerakkan pedangnya membuat beberapa buah lingkaran.

Lingkaran-lingkaran begitu saja dapat mematahkan serangan Gouw Han Tiong.

Dapat dibayangkan, betapa terperanjatnya Gouw Han Tiong, karena gadis itu Dapat mematahkan serangannya dengan gampang sekali.

"Hiyaaat!" Pekik Gouw Han Tiong sambii menyerangnya. Ia mengeluarkan jurus Bayangan Pedang Memenuhi Langit, yaitu jurus yang paling lihay dari Tui Hun Kiam Hoat. Dalam tujuh langkah, pihak lawan tidak akan terluput dari bayangan pedangnya.

Tapi mendadak badan gadis itu berputar-putar melesat ke atas. Seketika itu pula pedangnya menciptakan puluhan lingkaran kecil.

Trang! Trang! Trang! Terdengar suara benturan nyaring, sekaligus terdengar pula uara jeritan Gouw Han Tiong.

"Aaaakh...!" Ternyata bahunya telah berlumuran darah, dan pedangnya telah terpental entah ke mana.

"Kita tidak bermusuhan, maka aku tidak membunuhmu!" ujar gadis itu dingin. "Karena engkau mengeluarkan jurus yang mematikan, aku pun terpaksa melukai bahumu!"

"Perempuan jahat! Kenapa engkau melukai ayahku?" Terdengar suara bentakan nyaring. Ternyata Gouw Sian Eng telah muncul di situ, dan langsung menyerang gadis berbaju putih dengan pedang mengeluarkan ilmu Pedang Pencabut Nyawa.

Gadis berbaju putih terperanjat menyaksikan serangan-serangan Gouw Sian Eng. Ia cepat-cepat berkelit, tapi tidak balas menyerang.

"Perempuan jahat! Kenapa engkau datang melukai ayahku?" bentak Gouw Sian Eng dan terus menyerang gadis berbaju putih.

Beberapa jurus kemudian, mendadak gadis berbaju putih menggerakkan pedangnya. Gerakan pedang itu membuat Gouw Sian Eng terhuyung-huyung ke belakang, pedangnya pun terpental.

"Jangan lukai dia!" Terdengar suara bentakan nyaring, sehingga membuat telinga gadis berbaju putih terasa sakit, dan segera membalikkan badannya.

Tio Cie Hiong sudah berdiri di situ dengan wajah gusar sambil menatap gadis berbaju putih.

Gadis itu tampak tertegun ketika menyaksikan tatapan yang tidak asing baginya itu.

"Engkau masih muda dan cantik, tapi kenapa hatimu begitu kejam?" tanya Tio Cie Hiong. "Tengah malam datang melukai orang, sungguh keterlaluan!"

"Eh? Adik kecil..." Gadis itu menatapnya dengan kening berkerut.

"Engkau jahat sekali, malah masih ingin melukai gadis kecil itu! Percuma engkau berkepandaian tinggi hanya untuk melukai orang!"

"Adik kecil!" Gadis berbaju putih tersenyum lembut. "Siapa engkau? Apakah engkau putra Gouw Han Tiong?"

"Bukan!" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku bekerja di sini!"

"Kalau begitu, siapa orang tuamu?" tanya gadis itu lagi.

"Aku tidak punya orang tua!" sahut Tio Cie Hiong. "Sudahlah! Engkau tidak usah banyak bertanya, cepatlah pergi!"

"Adik kecil, bolehkah aku tahu namamu?" Gadis berbaju putih menatapnya dalam-dalam.

"Aku..." Ketika Tio Cie Hiong ingin memberitahukan, mendadak terdengar suara bentakan keras. Ternyata Tui Hun Lojin sudah muncul di situ, maka Tio Cie Hiong diam, tidak jadi memberitahukan namanya pada gadis itu.

"Siapa engkau, Nona? Kenapa datang tengah malam dan melukai putraku?" Bentak Tui Hun Lojin.

"Apakah engkau Tui Hun Lojin?" tanya gadis itu dingin.

"Benar." Tui Hun Lojin menatap gadis itu tajam. "Siapa engkau? !"

"Pek Ih Mo Li (Wanita Iblis Baju Putih)!"

Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong terkejut. Kemudian Tui Hun Lojin manggut-manggut seraya berkata.

"Aku tahu apa sebabnya engkau datang ke mari."

"Engkau tahu?" Gadis berbaju putih itu ternyata Pek Ih Mo Li. Ia menatap Tui Hun Lojin tajam. "Kalau sudah tahu, harap jelas kan peristiwa belasan tahun lampau di Tebing Awan Putih!"

"Pada waktu itu, aku memperoleh kabar bahwa Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng dan istrinya dikeroyok kaum golongan hitam dan tujuh partai besar. Itu disebabkan Tio It Seng memperoleh Kotak Pusaka. Ketika aku sampai di sana, telah terjadi pertempuran yang kacau balau."

"Jadi benar tujuh partai besar bergabung untuk membunuh Hui Kiam Bu Tek?" tanya Pek Ih Mo Li dengan mata berapi-api.

"Sulit dikatakan." Tui Hun Lojin menarik nafas panjang. "Karena pada waktu itu, tujuh partai besar itu juga menyerang kaum golongan hitam, namun mereka pun menyerang Hui Kiam Bu Tek dan istrinya. Kalau Bu Lim Sam Mo tidak muncul, aku yakin Hui Kiam Bu Tek dan istrinya tidak akan mati, dan putri mereka pun tidak akan tergelincir ke dalam jurang."

"Kalau begitu..." Sepasang mata Pek Ih Mo Li membara. "Bu Lim Sam Mo yang membunuh mereka berdua?"

"Benar." Tui Hun Lojin manggut-manggut. "Kotak Pusaka itu pun dibawa pergi oleh mereka bertiga, kemudian aku bersama ketua partai Siauw Lim dan ketua partai Bu Tong mengubur mayat Hui Kiam Bu Tek dan istrinya."

"Engkau ke sana, apakah juga ingin merebut Kotak Pusaka itu?" tanya Pek Ih Mo Li mendadak.

"Sama sekali tidak." Tui Hun Lojin menggelengkan kepala. "Sebaliknya aku malah ingin menolong Hui Kiam Bu Tek dan istrinya serta putri mereka."

Pek Ih Mo Li menatapnya heran. "Kenapa engkau berniat begitu?"

"Karena Hui Kiam Bu Tek pernah menolong putraku." Tui Hun Lojin memberitahukan.

Pek Ih Mo Li manggut-manggut.

"Nona!" Tui Hun Lojin memandangnya. "Apakah engkau putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?"

"Nona!" Tui Hun Lojin memandangnya. "Apakah engkau putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?"

Pek Ih Mo Li tidak menyahut. Ia menjura kepada Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong, lalu mendadak melesat pergi.

"Ayah!" Gouw Sian Eng mendekati Tui Hun Lojin seraya berbisik. "Bagaimana menurut Ayah, apakah Pek Ih Mo Li adalah putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?"

"Kelihatannya tidak salah." sahut Tui Hun Lojin, kemudian berkata kepada Gouw Sian Eng dan Tio Cie Hiong. "Kalian berdua boleh kembali ke kamar

masing-masing.

Gouw Sian Eng dan Tio Cie Hiong mengangguk, lalu segera masuk ke kamar masing-masing.

"Hang Tiong!" ujar Tui Hun Lojin. "Aku harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang menemui Sam Gan Sin Kay untuk memberitahukan tentang ini."

"Kapan Ayah akan berangkat ke sana?"

"Sekarang."

"Kok sekarang?"

"Lebih cepat lebih baik." Tui Hun Lojin langsung melesat pergi menggunakan ginkang.

Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala sambil berjalan ke dalam rumah. Ia sama sekali tidak menyangka, kalau kepandaian Pek Ih Mo Li begitu

tinggi, dapat merobohkannya hanya dalam beberapa jurus. Kalau Pek Ih Mo Li ingin membunuhnya, saat ini ia mungkin telah jadi mayat.

Tui Hun Lojin telah sampai di markas Partai Pengemis. Sam Gan Sin Kay dan Lim Peng Hang Si Tongkat Maut, ketua Kay Pang menyambut kedatangannya

dengan gembira.

Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Setan tua! Kok engkau mau merepotkan diri sendiri untuk ke mari? Ada sesuatu yang penting?"

"Sesuai dengan pesanmu, pengemis busuk," sahut Tui Hun Lojin.

Sam Gan Sin Kay menatapnya. "Kalau begitu, duduk dulu!"

Tui Hun Lojin duduk, lalu menghela nafas seraya berkata memberitahukan.

"Semalam Pek Ih Mo Li telah datang di tempatku."

Sam Gan Sin Kay mengerutkan kening. "Engkau bertarung dengannya?"

"Tidak." Tui Hun Lojin menggelengkan kepala. "Putraku yang bertarung dengannya. Hanya dalam beberapa jurus, putraku sudah roboh dengan bahu

terluka."

"Dia menyerang putramu?" tanya Sam Gan Sin Kay terkejut. "Kepandaiannya begitu tinggi?"

"Dia tidak menyerang putraku, melainkan mereka bertanding. Kepandaiannya memang tinggi sekali, itu sungguh di luar dugaan." Tui Hun Lojin menarik

nafas panjang. "Dia masih berbelas kasihan terhadap putraku, kalau tidak, putraku pasti sudah mati."

Kening Sam Gan Sin Kay berkerut-kerut.

"Paman! Apakah Pek Ih Mo Li itu putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?" tanya Lim Peng Hang.

"Menurutku tidak salah," sahut Tui Hun Lojin. "Aku bertanya kepadanya, tapi dia tidak mau memberitahukan. Aku yakin dia putri almarhum Hui Kiam Bu

Tek yang tergelincir ke dalam jurang itu."

"Heran!" gumam Sam Gan Sin Kay. "Kok kepandaiannya begitu tinggi? Murid siapa dia?"

"Kulihat bahwa ilmu pedangnya sangat aneh, pedangnya selalu menciptakan lingkaran," ujar Tui Hun Lojin.

"Apa?" Sam Gan Sin Kay tampak tertegun. "Pedangnya selalu menciptakan lingkaran?"

"Ya." Tui Hun Lojin mengangguk. "Pengemis busuk, engkau kenal ilmu pedang itu?"

"Itu... itu bagaimana mungkin?" gumam Sam Gan Sin Kay sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Maksudmu?" Tui Hun Lojin tercengang.

"Sekitar lima puluh tahun lampau, dalam rimba persilatan telah muncul seorang Pendekar wanita yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Aku

tertarik dan langsung mencarinya untuk bertanding," tutur Sam Gan Sin Kay. "Tapi aku malah roboh di tangannya. Ternyata kepandaiannya setingkat

lebih tinggi dari kepadaianku!"

Tui Hun Lojin terbelalak. "Siapa Pendekar wanita itu?"

"Tiada seorang pun tahu namanya." Sam Gan Sin Kay menghela nafas sambil melanjutkan. "Dua tahun kemudian, lihiap itu hilang dari rimba persilatan,

hingga kini tiada kabar beritanya."

"Apakah ilmu pedangnya selalu menciptakan lingkaran-lingkaran?" tanya Tui Hun Lojin.

"Ya." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Maka aku berkesimpulan bahwa Pek Ih Mo Li adalah muridnya."

"Ayah!" sela Lim Peng Hang. "Kalau benar Pek Ih Mo Li adalah putri almarhum Hui Kiam Bu Tek, kita harus membantunya."

Sam Gan Sin Kay manggut-manggut, kemudian berkata kepada Tui Hun Lojin. "Setan tua, kalau tidak salah, tujuh partai besar akan bergabung untuk

melawannya.

Apakah engkau berniat membantunya?"

"Apa?" Tui Hun Lojin terkejut sekali. "Tujuh partai besar akan bergabung untuk melawannya?"

"Ya." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Karena itu, aku ingin mendamaikan urusan itu agar peristiwa belasan tahun lampau di Tebing Awan Putih tidak akan

terulang!"

"Kalau begitu, aku pun harus turut membantu dalam hal itu," ujar Tui Hun Lojin sungguh-sungguh.

"Bagus!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Kita harus segera pergi mencari Pek Ih Mo Li." "Ayah, perlukah aku ikut?" tanya Lim Peng Hang.

"Tidak perlu, masih banyak urusan lain yang harus engkau kerjakan," sahut Sam Gan Sin Kay, lalu berkata kepada Tui Hun Lojin. "Setan tua, mari kita

pergi!... aku tahu tempat dimana para orang-orang tujuh partai berkumpul..." Sam Gan Sin Kay langsung melesat pergi, dan Tui Hun Lojin pun mengikutinya.

Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala, lalu masuk ke dalam menuju ke halaman belakang. Tampak Lim Ceng Im si pengemis dekil duduk melamun di

situ.

"Ceng Im, kenapa engkau melamun di situ?" tanya Lim Peng Hang dan mendekatinya. "Ayah!" Wajah Lim Ceng Im kelihatan muram. "Aku...." "Sedang memikirkan anak lelaki itu ya?" tanya Lim Peng Hang.

"Aku...." Lim Ceng Im menundukkan kepala. "Nak!" Lim Peng Hang membelainya. "Engkau

masih kecil, tidak pantas memikirkan anak lelaki. Belum waktunya lho!"

"Ayah! Dia... dia anak baik," ujar Lim Ceng Im. "Kini dia entah berada di mana?"

"Nak!" Lim Peng Hang tersenyum. "Engkau pasti bertemu dengannya kelak. Sekarang lebih baik curahkanlah segenap perhatianmu pada ilmu silat, jangan

terus menerus memikirkan anak lelaki itu."

"Ayah! Bolehkah aku pergi seminggu saja?" tanya Lim Ceng Im mendadak.

"Tidak boleh" sahut Lim Peng Hang. "Bukankah ayah tadi sudah bilang, curahkan segenap perhatianmu untuk berlatih, sebab kelak engkau harus

menggantikan kedudukanku."

"Ayah...." Lim Ceng Im membanting-bantingkan kaki.

"Nak!" Lim Peng Hang membelainya. "Kalau engkau sudah berhasil menguasai seluruh kepandaianku, dan juga engkau sudah dewasa, ayah tidak akan

melarangmu kemana pun. Engkau mau pergi mencari anak lelaki itu juga terserah, namun sekarang ini jangan."

"Ayah...." Wajah Lim Ceng Im bertambah muram.

Sam Gan Sin Kay dan Tui Hun Lojin berlari dengan sangat cepat dan telah memasuki sebuah lembah. Begitu sampai di tempat, mereka melihat para ketua

tujuh partai besar, dan murid-murid masing-masing partai tengah mengepung seorang gadis berbaju putih.

"Pengemis busuk!" Tui Hun Lojin memberitahukan. "Gadis baju putih itu Pek Ih Mo Li!"

Sam Gan Sin Kay memandang sekilas gadis itu. tanpa menerunkan kecepatan larinya ia lalu melesat ke hadapan Hui Khong Taysu, ketua partai Siauw Lim.

Hui Khong Taysu tersentak ketika melihat kemunculannya dan Tui Hun Lojin yang melesat ke arah It Hian Tojin, ketua Partai Bu Tong.

"Pengemis bau! Kenapa engkau datang ke mari?"

"Hei! Hweeshio pikun! Kenapa engkau tidak membaca doa di Siauw Lim, tapi malah berada di sini?" sahut Sam Gan Sin Kay sambil menatapnya.

"Pengemis bau, aku datang ke mari ingin mendamaikan urusan ini" ujar Hui Khong Taysu.

"Mendamaikan atau ingin mengeroyok Pek Ih Mo Li?" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak.

"Pengemis bau...." Wajah Hui Khong Taysu memerah. Ia tahu jelas sifat Sam Gan Sin Kay, yang

amat usil dan suka mencampuri urusan orang. "Omitohud!"

"Hweeshio pikun!" Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. "Engkau selalu menyebut Omitohud, maka harus pula selalu berdiri di atas kebenaran dan keadilan.

Kenapa engkau malah membawa Cap Pwee Lohan (Delapan Belas Arhat) ke mari untuk mengepung Pek Ih Mo Li?"

"Pengemis bau! Pek Ih Mo Li telah melukai beberapa murid Siauw Lim yang meminta sedekah. Aku bertanya padanya, tapi dia tidak mau memberi

penjelasan...."

"Karena itu, engkau menyuruh Cap Pwee Lohan mengurungnya?" tanya Sam Gan Sin Kay sinis.

"Tidak." sahut Hui Khong Taysu memberitahukan. "Cap Pwee Lohan dan beberapa murid Partai Bu Tong sedang menjaga Pek Ih Mo Li agar tidak diserang

oleh ketua partai lain."

"Benarkah?" Sam Gan Sin Kay tertawa.

"Omitohud! Pengemis bau, engkau harus mempercayaiku." sahut Hui Khong Taysu sungguh-sungguh.

Sementara Tui Hun Lojin pun menatap It Hian Tojin sambil tertawa-tawa.

"Tojin tua, apa kabar? Sudah belasan tahun kita tidak bertemu, tentunya engkau baik-baik saja kan?" tanyanya kemudian.

"Terima kasih!" sahut It Hian Tojin. "Aku baik-baik saja. Setan tua, kenapa engkau datang kemari bersama pengemis bau itu?"

"Ingin menyaksikan kalian mengeroyok Pek Ih Mo Li." ujar Tui Hun Lojin sambil tertawa terbahak-bahak. "Tojin tua, engkau makin tua makin gagah

saja. Membawa beberapa murid kesayanganmu ke mari mengurung Pek Ih Mo Li, nama partai Bu Tong pasti makin harum pula."

Wajah It Hian Tojin berubah tak sedap dipandang. "Setan tua, janganlah engkau menghina Partai Bu Tong!"

"Aku tidak menghina, buktinya memang begitu. Bukankah murid-muridmu sedang mengurung Pek Ih Mo Li?" sahut Tui Hun Lojin.

"Engkau harus tahu, Pek Ih Mo Li telah melukai beberapa murid Bu Tong." It Hian Tojin memberitahukan.

"Itu pasti ada sebab musababnya," ujar Tui Hun Lojin. "Kenapa engkau tidak bertanya kepadanya?"

"Aku sudah bertanya kepadanya, tapi dia tidak mau menjelaskannya," sahut It Hian Tojin.

"Karena itu, kalian semua ingin mengeroyoknya?" tanya Tui Hun Lojin sambil mengerutkan kening.

"Kalau dia berkeras tidak mau menjelaskan, itu apa boleh buat!" jawab It Hian Tojin dan menambahkan. "Pek Ih Mo Li pun telah melukai para murid Hwa

San, Kun Lun, Go Bie, Khong Tong dan Swat San."

"Aku sudah tahu itu, maka aku dan Sam Gan Sin Kay datang ke mari," ujar Tui Hun Lojin sambil menengok ke arah pengemis sakti itu.

"Huaha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak, kemudian mendadak melesat ke hadapan Pek Ih Mo Li. "Engkau pasti putri almarhum Hui Kiam Bu Tek.

Ketahuilah, almarhum ayahmu adalah teman baik putraku, maka engkau jangan takut. Aku dan Tui Hun Lojin pasti membantumu."

"Terimakasih, Lo cianpwee!" ucap Pek Ih Mo Li

"Hei! Kalian para ketua dengar baik-baik!" seru Sam Gan Sin Kay lantang. "Siapa berani mengeroyok Pek Ih Mo Li, akan berhadapan denganku duluan!"

"Sam Gan Sin Kay! Kenapa engkau turut campur dalam urusan ini?" tanya Hui Liong Sin Kiam (Pedang Sakti Naga Terbang) Tan Cun Kiat ketua Partai Hwa

San.

"Engkau mau apa?" sahut Sam Gan Sin Kay.

"Cianpwee!" ujar Hui Liong Sin Kiam-Tan Cut Kiat memberitahukan. "Pek Ih Mo Li telah melukai beberapa murid Hwa San."

"Dia pun telah melukai murid-murid Kun Lun," sambung Wie Hian Cinjin ketua partai Kun Lun.

"Murid kami pun telah dilukainya!" seru Ceng Sim Suthay ketua partai Go Bie, Beng Leng Hoatsu ketua partai Khong Tong dan Pek Bie Lojin ketua

partai Swat San serentak.

"Kalian diam!" bentak Sam Gan Sin Kay dengan melotot.

Seketika juga para ketua itu diam. Sam Gan Sin Kay adalah salah seorang Bu Lim Ji Khie, juga tetua Kay Pang. Kedudukannya sangat tinggi dalam rimba

persilatan, maka para ketua itu amat segan kepadanya.

"Pek Ih Mo Li!" Sam Gan Sin Kay menatapnya. "Maukah engkau menjelaskan, kenapa engkau melukai para murid tujuh partai besar itu?"

"Karena Lo cianpwee yang bertanya, maka aku akan menjawabnya." sahut Pek Ih Mo Li.

"Bagus!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Nah, jelaskanlah agar para ketua itu tidak penasaran!"

Pek Ih Mo Li mengangguk, lalu berkata dengan suara nyaring. "Beberapa Hweeshio Siauw Lim meminta sedekah dengan cara paksa, maka kulukai mereka.

Beberapa murid partai besar lainnya, ingin melakukan perkosaan terhadap wanita baik-baik, karena itu, aku pun melukai mereka. Kalau kalian para

ketua menghendaki bukti, sudah kutuliskan di dalam kitab."

Pek Ih Mo Li mengeluarkan sebuah kitab kecil, kemudian diserahkan kepada Sam Gan Sin Kay. Pengemis sakti itu membaca sejenak kitab kecil itu, lalu

menggeleng-gelengkan kepala. Setelah itu diberikannya kitab itu kepada Hui Khong Taysu, ketua Partai Siauw Lim.

"Bacalah sendiri, Hweeshio pikun!" kata pengemis sakti itu.

Hui Khong Taysu segera membacanya, sedangkan Sam Gan Sin Kay mendekati Pek Ih Mo Li.

"Benarkah engkau putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil menatapnya.

"Lo cianpwee!" Pek Ih Mo Li menjura memberi hormat. Ia pun memberi hormat kepada Tui Hun Lojin. "Terima kasih Lo cianpwee, terimakasih Tui Hun

Lojin!"

Mendadak Pek Ih Mo Li melesat pergi, Sam Gan Sin Kay ingin mengejarnya, tapi keburu dicegah oleh Tui Hun Lojin.

"Eh?" Sam Gan Sin Kay melotot. "Kenapa engkau mencegahku?"

"Pengemis busuk, percuma engkau mengejarnya," sahut Tui Hun Lojin. "Yang jelas dia pasti putri almarhum Hui Kiam Bu Tek."

Sam Gan Sin Kay manggut-manggut. "Setan tua, mari kita pergi!"

Tui Hun Lojin mengangguk. Mereka berdua lalu melesat pergi tanpa menghiraukan tujuh partai besar itu.

Para ketua dan murid-muridnya hanya bisa melihat saja tanpa bisa berbuat lebih dari itu.

Pagi ini seusai menyapu, Tio Cie Hiong duduk di bawah pohon sambil melamun. Di saat bersamaan, muncullah Gouw Sian Eng mendekatinya. "Kakak Hiong,

kenapa engkau melamun?"

"Adik Eng, aku...." Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.

"Kakak Hiong!" Gouw Sian Eng duduk di sisinya. "Kenapa engkau pagi ini? Beritahukanlah kepadaku!"

"Adik Eng, hingga saat ini aku masih belum tahu siapa kedua orang tuaku. Karena itu...." "Kakak

Hiong...." Wajah Gouw Sian Eng berubah murung.

"Engkau ingin pergi mencari Ku Tok Lojin?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Aku harus tahu siapa kedua orang tuaku." "Kapan engkau berangkat?" tanya Gouw Sian Eng dengan mata berkaca-kaca. "Hari ini," sahut Tio Cie Hiong singkat.

"Apa?" Gouw Sian Eng nyaris menangis seketika. "Engkau ingin berangkat hari ini?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Adik Eng, sudah setahun aku tinggal di sini, dan kini sudah waktunya aku pergi mencari Ku Tok Lojin."

"Kalau begitu...." Air mata Gouw Sian Eng mulai meleleh. "Kita... kita akan berpisah?"

"Adik Eng!" Tio Cie Hiong tersenyum. "Kita akan berjumpa lagi kelak, jadi engkau tidak usah berduka."

"KakaK Hiong...." Gouw Sian Eng terisakisak.

"Adik Eng, jangan menangis!" Tio Cie Hiong menggenggam tangannya. "Kelak aku pasti datang menemui lagi."

"Kakak Hiong...." Gouw Sian Eng terus menerus terisak-isak.

Pada waktu bersamaan, muncul Gouw Han Tiong. Ia tercengang ketika melihat putrinya menangis terisak-isak dengan air mata berderai-derai. "Eh? Sian

Eng! Kenapa engkau?"

"Ayah, Kakak Hiong... kakak Hiong..." sahut Gouw Sian Eng tersendat-sendat.

"Kenapa dia?" Gouw Han Tiong mengerutkan kening ketika melihat Tio Cie Hiong menggenggam tangan putrinya.

"Kakak Hiong mau pergi."

"Apa?" Gouw Han Tiong tercengang. "Cie Hiong, engkau mau pergi ke mana?"

"Paman!" Tio Cie Hiong melepaskan genggamannya di tangan Gouw Sian Eng. "Aku ingin pergi mencari Ku Tok Lojin."

"Itu bagaimana mungkin?" Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau tidak tahu dia berada di mana, lalu bagaimana cara engkau mencarinya?"

"Aku akan mengembara dalam rimba persilatan mencari Ku Tok Lojin," jawab Tio Cie Hiong telah mengambil keputusan. "Aku... aku harus tahu siapa

kedua orang tuaku."

"Kapan engkau akan berangkat?" tanya Gouw Han Tiong.

"Hari ini." Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Cie Hiong...." Gouw Han Tiong menarik nafas. "Baiklah! Aku akan memberimu seribu tael

perak."

"Tidak usah begitu banyak, Paman!" ujar Tio Cie Hiong menolak.

"Tidak... tidak...." Gouw Han Tiong tersenyum. "Dalam pengembaraan, engkau pasti

membutuhkan uang."

"Terima kasih, Paman!" ucap Tio Cie Hiong.

Gouw Han Tiong manggut-manggut, lalu masuk ke dalam. Sedangkan Gouw Sian Eng memandang Tio Cie Hiong dengan air mata bercucuran.

"Kakak Hiong, kapan kita akan berjumpa kembali?" tanya Gouw Sian Eng terisak-isak. "Setelah aku bertemu Ku Tok Lojin, aku pasti datang menemuimu," jawab Tio Cie Hiong. "Sungguh?"

"Aku tidak akan membohongimu."

"Kakak Hiong...." Gouw Sian Eng menatapnya dalam-dalam dengan air mata berlinang-linang.

"Kapan pun aku pasti menunggumu."

Tio Cie Hiong telah meninggalkan Ekspedisi Harimau Terbang. Gouw Sian Eng mengantarnya sampai di pinggir kota.

Setelah Tio Cie Hiong hilang dari pandangannya, barulah anak gadis itu pulang dengan mata basah. Begitu sampai di dalam kamarnya, ia langsung

menghempaskan dirinya ke tempat tidur dan isak tangisnya pun meledak.

"Nak!" Gouw Han Tiong menghampirinya. "Kenapa engkau menangis?"

"Ayah...." Karena ditanya, maka isak tangis Gouw Sian Eng semakin menjadi. "Kakak Hiong telah

pergi...."

"Nak!" Gouw Han Tiong membelainya. "Engkau tidak usah berduka, kelak dia pasti datang menengokmu. Percayalah!"

"Tapi...." Gouw Sian Eng menggeleng-gelengkan kepada. "Entah kapan dia akan datang, lagi

pula... belum tentu dia akan datang."

"Nak!" Gouw Han Tiong tersenyum. "Percayalah! Dia pasti datang menemuimu."

"Ayah!" Gouw Sian Eng memeluk Gouw Han Tiong erat-erat. Aku...."

"Ayah tahu...." Gouw Han Tiong manggutmanggut. "Engkau sangat suka kepadanya, bukan?"

"Dia sangat baik kepadaku, aku... aku...." Wajah Gouw Sian Eng kemerah-merahan.

"Dia anak lelaki yang baik, wajar kalau engkau menyukainya." Gouw Han Tiong tersenyum lagi. "Ayah, aku... aku pasti menunggunya," ujar Gouw Sian

Eng dengan suara rendah. "Kalau dia tidak datang menemuiku, aku... aku ingin menjadi biarawati saja."

"Apa?!" Gouw Han Tiong terperanjat. "Nak, engkau...."

"Ayah, aku mau menjadi isterinya. Tidak mau menikah dengan orang lain." ujar Gouw Sian Eng sungguh-sungguh.

"Nak!" Gouw Han Tiong menghela nafas. "Engkau masih kecil, sedangkan itu urusan kelak, maka jangan terlampau kau pikirkan! Mulai sekarang engkau

harus giat berlatih, agar kelak kalau bertemu dia, engkau sudah berkepandaian tinggi." Gouw Sian Eng mengangguk.

Sementara Tio Cie Hiong terus melanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan, terserah kepada sepasang kakinya membawa dirinya ke mana. Selama berada di

Ekspedisi Harimau Terbang. Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong memasuki sebuah lembah yang sangat indah. Beberapa hari itu, ia selalu menolong

orang-orang miskin dan para pengemis. Setelah memasuki lembah itu, mendadak ia mendengar suara suling yang amat merdu sekali. Segeralah ia menuju

ke arah suling itu Karena tertarik hatinya.

Tampak seorang lelaki berusia empat puluhan duduk di atas sebuah batu sambil meniup suling.

Sulingnya gemerlapan tertimpa sinar matahari.

Tio Cie Hiong terus berdiri di belakangnya dan mendengar suara suling itu dengan penuh perhatian. Berselang sesaat barulah lelaki itu berhenti

meniup suling.

"Bocah! Engkau tertarik kepada suara sulingku?" tanyanya tanpa menoleh.

"Ya," sahut Tio Cie Hiong dan bertanya. "Paman tahu kehadiranku di sini?"

"Bocah!" Lelaki itu tersenyum. "Walau aku sedang meniup suling, telingaku tetap bisa menangkap suara apa pun yang ada di sekitar tempat ini."

Tio Cie Hiong terbelalak. "Kalau begitu, paman tidak begitu memusatkan perhatian untuk meniup suling?"

"Aku tetap memusatkan perhatianku untuk meniup suling," sahut lelaki itu sambil membalikkan badannya. Ketika melihat Tio Cie Hiong, lelaki itu

Tampak tertegun. "Namun sepasang telingaku tetap bisa menangkap suara apa pun di sekitar tempat ini"

Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Kalau begitu, Iweekang Paman sudah tinggi sekali."

"Bocah!" Lelaki itu menatapnya dalam-dalam. "Engkau tahu tentang Iweekang, itu berarti engkau pernah belajar ilmu silat, bukan?"

"Paman, aku tidak pernah belajar ilmu silat, hanya saja selalu melatih napas di setiap malam," ujar Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Kalau begitu, engkau pasti melatih semacam Iweekang. Iweekang apa yang engkau latih itu?" tanya lelaki itu.

"Iweekang untuk menyehatkan tubuh," jawab Tio Cie Hiong.

Lelaki itu menatapnya lagi seraya bertanya, "Sebetulnya engkau siapa? Dari mana dan mau ke mana?"

"Aku Tio Cie Hiong," jawab Tio Cie Hiong. "Aku datang dari suatu tempat untuk mencari seseorang."

"Siapa yang kau cari?"

"Ku Tok Lojin."

"Untuk apa engkau mencarinya?"

"Menanyakan siapa kedua orang tuaku."

"Jadi...." Lelaki itu menatapnya tajam. ".... engkau masih tidak tahu siapa kedua orang tuamu?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Ohya! Engkau tadi kelihatan begitu tertarik akan suara sulingku, apakah engkau bisa meniup suling?" tanya lelaki itu mendadak.

"Sejak kecil aku sudah belajar meniup suling, tapi cuma meniup suling bambu, tidak pernah meniup suling yang seperti milik Paman," jawab Tio Cie

Hiong jujur.

"Ini suling emas," ujar lelaki itu sambil tersenyum, sekaligus memperkenalkan diri. "Aku Kim Siauw Suseng (Sastrawan Suling Emas)."

Tio Cie Hiong cuma mengeluarkan suara 'Oh'. Ia mana tahu lelaki yang di hadapannya itu adalah Bu Lim Ji Khie (Dua Orang Aneh Rimba Persilatan) yang

sangat tersohor itu.

"Pantas suara suling Paman sangat merdu!" ujar Tio Cie Hiong tertarik pada suling emas itu. "Bocah!" Kim Siauw Suseng tersenyum. "Engkau ingin mencoba meniup suling emas ini?" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

Kim Siauw Suseng menyerahkan suling emas itu. Tio Cie Hiong menerimanya dengan wajah berseri. Setelah itu, ia mulai mencoba meniupnya, namun sama

sekali tidak mengeluarkan suara.

"Bocah!" Kim Siauw Suseng tertawa. "Tidak gampang meniup suling emasku ini... karena hanya..." Kim Siauw Suseng berhenti tertawa karena melihat

pancaran mata Tio Cie Hiong yang bersinar-sinar itu.

Hati Tio Cie Hiong tentu saja penasaran. Ia segera duduk dan berkonsentrasi untuk meniup suling itu, dan secara otomatis ia mengerahkan Pan Yok

Hian Thian Sin Kang. Seketika juga terdengar suara alunan suling yang amat merdu.

Kim Siauw Suseng terbelalak, karena sama sekali tidak menyangka kalau Tio Cie Hiong yang masih kecil itu mampu meniup suling emasnya,

bahkan lama kelamaan ia pun terpengaruh oleh suaranya. Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Kim Siauw Suseng, sehingga memandang Tio Cie Hiong

dengan mata terbelalak lebar.

Sekonyong-konyong terdengar suara siulan yang sangat nyaring, kemudian muncullah seorang pengemis tua, yang tidak lain Sam Gan Sin Kay.

Tio Cie Hiong segera berhenti meniup suling emas itu. Begitu melihat Sam Gan Sin Kay, iapun berseru.

"Kakek Pengemis!"

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Cie Hiong, ternyata engkau yang meniup suling emas itu! Semula aku mengira Kim Siauw Suseng."

"Pengemis bau! Apakah bocah ini cucumu?" tanya Kim Siauw Suseng.

"Sastrawan sialan! Dia bukan cucuku, tapi dia memanggilku kakek pengemis, itu membuatku merasa bangga sekali" sahut Sam Gan Sin Kay.

"Lho? Kenapa?" Kim Siauw Suseng tercengang.

"Sastrawan sialan, engkau harus tahu, dia adalah Sin Tong (Anak Sakti)," ujar Sam Gan Sin Kay memberitahukan.

"Anak Sakti?" Kim Siauw Suseng kebingungan.

"Engkau masih belum menyadari akan hal itu?" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Kalau dia anak biasa, bagaimana mungkin mampu meniup suling

emasmu?"

"Iya, ya." Kim Siauw Suseng manggut-manggut. "Itu sungguh mengherankan!"

"Masih ada yang jauh lebih mengherankan," ujar Sam Gan Sin Kay. "Aku telah mengalaminya."

"Oh?" Kim Siauw Suseng menatap Tio Cie Hiong, kemudian menoleh pada Sam Gan Sin Kay seraya berkata. "Pengemis bau, begitu melihat engkau, tanganku

merasa gatal."

"Sama-sama," sahut Sam Gan Sin Kay. "Tanganku pun sudah gatal."

"Kalau begitu, mari kita bertanding!" tantang Kim Siauw Suseng.

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Sudah puluhan tahun kita pasti bertanding begitu bertemu, maka tanganku langsung merasa

gatal."

"Bagus!" Kim Siauw Suseng juga tertawa gelak. "Kalau begitu, mari kita mulai!"

Mereka berdua adalah Bu Lim Ji Khie, tapi kalau bertemu pasti bertanding. Sudah puluhan tahun mereka bertanding, namun selama itu tiada seorang

yang menang maupun kalah. Mereka berdua selalu bertanding seri.

"Sastrawan sialan!" ujar Sam Gan Sin Kay memberitahukan. "Pertandingan kita hari ini akan disaksikan anak lelaki itu."

"Tentu," sahut Kim Siauw Suseng.

"Cie Hiong!" ujar Sam Gan Sin Kay. "Engkau sebagai saksi, tentunya tidak akan keberatan kan?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk, lalu mengembalikan suling emas itu kepada Kim Siauw Suseng.

"Nah! Mari kita mulai!" seru Kim Siauw Suseng setelah menerima suling emasnya.

"Baik." Sam Gan Sin Kay mengangguk lalu langsung menyerangnya.

"Ha ha!" Kim Siauw Suseng tertawa gelak. "Tah Kauw Kun Hoatmu itu cuma mampu memukul anjing, tidak bisa digunakan untuk memukulku."

Kim Siauw Suseng mulai berkelit, kemudian balas menyerang dengan ilmu andalannya. Terjadilan pertarungan yang amat seru. Tio Cie Hiong memandang

dengan penuh perhatian.

Sam Gan Sin Kay mengeluarkan jurus-jurus yang paling lihay dari Tah Kauw Kun Hoat, sehingga tongkat bambunya berkelebatan. Namun suling emas Kim

Siauw Suseng juga bergerak cepat. Tak terasa pertarungan mereka telah melewati belasan jurus.

"Hiyaat!" teriak Sam Gan Sin Kay mendadak, ternyata ia mulai menyerang Kim Siauw Suseng dengan Sam Ciat Kun Hoat.

"Haaah...?" Kim Siauw Suseng tampak terkejut. Ia meloncat mundur secepat kilat dan memandang Sam Gan Sin Kay dengan mata terbelalak. "Pengemis bau,

kulihat jurus Sam Ciat Kun Hoatmu ada kemajuan dibandingkan tahun lalu?"

"Sastrawan sialan! Tentu saja begitu...!!!" sahut Sam Gan Sin Kay sambil melirik Tio Cie Hiong, setelah itu ia mulai menyerang Kim Siauw Suseng

lagi dengan jurus Pelangi Di Ujung Langit.

Kim Siauw Suseng terpaksa berkelit, tak mampu balas menyerang. Mendadak Sam Gan Sin Kay berteriak keras, sekaligus menyerang Kim Siauw Suseng

dengan jurus Memecahkan Gunung Memindahkan Laut.

Bukan main terkejutnya Kim Siauw Suseng. Secepat kilat ia melesat ke atas, sekaligus berjungkir balik ke belakang. Setelah sepasang kaki nya

menginjak tanah, barulah ia menarik nafas lega.

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Bagaimana Sam Ciat Kun Hoatku sekarang?"

"Jauh lebih lihay dari belasan tahun lampau," sahut Kim Siauw Suseng sejujurnya. "Tapi aku belum kalah, mari kita bertanding lagi!"

"Tidak usah bertanding lagi!" sela Tio Cie Hiong mendadak.

"Kenapa?" Kim Siauw Suseng heran.

"Sebab Paman sudah kalah," sahut Tio Cie Hiong.

"Apa?" Kim Siauw Suseng mengerutkan kening. "Aku sudah kalah?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk dan memberitahukan. "Lengan baju Paman telah berlubang tertusuk tongkat bambu Kakek Pengemis, maka Paman sudah

kalah."

Kim Siauw Suseng segera menengok lengan bajunya. Memang benar lengan bajunya telah berlubang. Sam Gan Sin Kay tertegun, ternyata ia sendiri sama

sekali tidak mengetahui akan hal itu.

"Aku... aku telah kalah? Aku telah kalah..." gumam Kim Siauw Suseng penasaran.

"Sastrawan sialan!" ujar Sam Gan Sin Kay jujur. "Aku tidak mengalahkanmu."

"Tapi lengan bajuku telah berlubang." Kim Siauw Suseng menghela nafas. "Aku tidak menyangka Sam Ciat Kun Hoatmu bertambah lihay, sehingga dapat

mengalahkanku."

"Terus terang, yang mengalahkanmu adalah anak lelaki itu." Sam Gan Sin Kay menunjuk Tio Cie Hiong.

"Pengemis bau, apa maksudmu?" Kim Siauw Suseng mengerutkan kening.

"Begini..." sahut Sam Gan Sin Kay dan menutur tentang semua itu. Kim Siauw Suseng mendengar dengan mulut ternganga lebar.

"Apa?! Jadi... anak lelaki itu yang menambahkan gerakan dalam Sam Ciat Kun Hoatmu?"

"Ya." Sam Gan Sin Kay mengangguk. "Kalau tidak, tak mungkin tongkat bambuku sampai saat ini dapat melubangi lengan bajumu."

"Pantas engkau menyebutnya sebagai anak sakti!" Kim Siauw Suseng manggut-manggut. "Tidak heran kalau dia juga mampu meniup suling emasku."

"Kini engkau sudah percaya bahwa dia anak sakti?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil tersenyum. "Ya." Kim Siauw Suseng mengangguk. "Pengemis bau, kita masih harus bertanding."

"Tentu," sahut Sam Gan Sin Kay. "Sebab engkau masih ingin memperdengarkan Toh Hun Mi Im kan?"

"Benar. Itulah pertandingan kita berikutnya," ujar Kim Siauw Suseng, lalu ia duduk bersila.

"Ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. Ia pun duduk bersila di hadapan Kim Siauw Suseng. "Mulailah!"

Kim Siauw Suseng mulai meniup suling emasnya, dan seketika terdengarlah suara suling yang sangat merdu. Ketika suara suling itu mulai meninggi, Sam

Gan Sin Kay menghimpun tenaga dalamnya, kemudian mengeluarkan siulan yang amat nyaring dan panjang. Mereka berdua telah melupakan Tio Cie Hiong.

Ketika merasa telinganya seperti ditusuk-tusuk, Tio Cie Hiong segera duduk dan mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang. Barulah ia merasa

telinganya tidak seperti ditusuk-tusuk lagi. Ada satu hal yang tidak disadarinya, karena dengan adanya suara suling dan suara siulan yang

mengandung Iweekang tingkat tinggi itu, secara tidak langsung akan melatih Iweekangnya sendiri, sebab ia akan terus menerus mengerahkan Pan Yok

Hian Thian Sin Kang untuk menekan suara-suara itu, sehingga merupakan latihan yang sangat bermanfaat bagi dirinya.

Sementara suara suling itu makin meninggi, begitu pula suara siulan. Ternyata Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay mulai mengadu Iweekang melalui

suara suling dan siulan. Sedangkan Tio Cie Hiong terus mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang untuk menekan suara-suara itu.

Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay telah mengerahkan Iweekang masing-masing sampai pada puncaknya. Siapa pun tidak berani berhenti lebih dulu,

sebab siapa yang berhenti lebih dulu akan terluka oleh Iweekang lawan.

Akan tetapi, apabila mereka terus mengadu Iweekang dengan cara demikian, akhirnya mereka pasti akan mengalami luka dalam yang amat parah.

Wajah Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay telah pucat pias. Keringat dingin mereka pun terus mengucur, kedua-duanya sudah berada dalam keadaan

kritis.

Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara siulan yang halus menekan suara suling dan suara siulan Sam Gan Sin Kay, sehingga membuat Kim Siauw Suseng

berhenti meniup sulingnya, dan Sam Gan Sin Kay pun berhenti bersiul.

Ternyata tanpa sadar Tio Cie Hiong mengeluarkan suara siulan, yang secara tidak langsung telah menolong Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay.

Setelah Kim Siauw Suseng berhenti meniup suling dan Sam Gan Sin Kay berhenti bersiul, Tio Cie Hiong pun berhenti bersiul.

Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay, keduanya memandang Tio Cie Hiong, yang kebetulan sedang membuka perlahan sepasang matanya. Betapa terkejutnya

Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay, karena mereka melihat mata Tio Cie Hiong menyorotkan sinar begitu tajam dan terang.

Kim Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay saling memandang, lalu bangkit berdiri menghampiri Tio Cie Hiong yang masih duduk bersemadi.

"Kakek Pengemis, Paman!" panggil Tio Cie Hiong.

"Cie Hiong, engkau...." Sam Gan Sin Kay menatapnya dengan mata terbelalak lebar.

"Bocah! Engkau sungguh luar biasa sekali!" ujar Kim Siauw Suseng.

"Cie Hiong, aku ingin memeriksa nadi dan peredaran darah dalam tubuhmu," ujar Sam Gan Sin Kay.

"Memangnya kenapa, Kakek Pengemis?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Ingin mengetahui sesuatu," sahut Sam Gan Sin Kay sambil menjulurkan tangannya untuk memegang pergelangan tangan Tio Cie Hiong,

kemudian mengerahkan Iweekang ke dalam tubuh anak itu. Maksud Sam Gan Sin Kay ingin memeriksa bagian dalam Tio Cie Hiong.

Akan tetapi, mendadak Sam Gan Sin Kay tampak tersentak, karena merasa ada hawa hangat dalam tubuh Tio Cie Hiong mendesak keluar Iweekangnya.

Pengemis sakti itu penasaran. la mengerahkan Iweekangnya lagi, tetapi hawa hangat itu pun terus mendesaknya keluar. Itu sungguh mencengangkan Sam

Gan Sin Kay dan membuatnya semakin penasaran, sehingga ia menambah Iweekangnya lagi.

Tapi mendadak keningnya berkerut-kerut. Ia cepat-cepat berhenti mengerahkan Iweekangnya dan sekaligus melepaskan tangan Tio Cie Hiong.

Ternyata ketika Sam Gan Sin Kay menambah Iweekangnya, seketika juga ia merasa Iweekangnya tersedot, maka cepat-cepat ia berhenti mengerahkan

Iweekangnya.

"Pengemis bau! Ada apa?" taya Kim Siauw Suseng.

"Aku...." Sam Gan Sin Kay menghela nafas. "Aku pun tidak tahu. Itu... itu sungguh

mengherankan, aku sama sekali tidak mengerti."

"Pengemis bau, apa gerangan yang terjadi?" Tanya Kim Siauw Suseng penasaran. Ia mengira Sam Gan Sin Kay mempermainkannya.

"Sastrawan sialan! Cobalah engkau periksa sendiri..., agar engkau mengetahuinya!" sahut Sam Gan Sin Kay.

Kim Siauw Suseng segera memegang tangan Tio Cie Hiong sambil mengerahkan Iweekangnya. Ia pun mengalami hal yang sama, karena itu ia cepat-cepat

melepaskan tangan Tio Cie Hiong.

"Kenapa bisa begitu?" gumamnya. "Anak ini memiliki Iweekang apa?"

"Sastrawan sialan!" Sam Gan Sin Kay tertawa. "Dia pernah memberitahukan kepadaku, bahwa dia telah mempelajari semacam Iweekang dari sebuah kitab

tipis."

"Iweekang apa itu?" tanya Kim Siauw Suseng.

"Dia sendiri pun tidak tahu," sahut Sam Gan Sin Kay.

"Pengemis bau, apa yang kau katakan memang tidak salah. Dia benar-benar anak sakti," ujar Kim Siauw Suseng sambil memandang Tio Cie Hiong.

"Dia memang memiliki Iweekang yang begitu luar biasa, tapi dia masih belum bisa mengendalikan sebagaimana mestinya." Sam Gan Sin Kay memberitahukan

dengan kening berkerut. "Sastrawan sialan, bisakah engkau memberi petunjuk kepadanya?" Kim Siauw Suseng menggelengkan kepala, kemudian menghela nafas. "Bagaimana engkau, pengemis bau?"

"Aaakh...!" Sam Gan Sin Kay juga menghela nafas. "Kita berdua adalah Bu Lim Ji Khie, tapi justru tidak mampu memberi petunjuk kepadanya. Rasanya

nama Bu Lim Ji Khie harus dicoret dari rimba persilatan."

Kim Siauw Suseng menggeleng-gelengkan kepala. "Ohya, engkau tahu siapa kedua orang tuanya?"

"Tidak tahu," sahut Sam Gan Sin Kay dan menambahkan. "Dia pernah bilang ingin mencari Ku Tok Lojin. Apakah engkau kenal Ku Tok Lojin?"

"Ku Tok Lojin...." Kim Siauw Suseng berpikir sejenak, kemudian menjawab sambil memandang

Tio Cie Hiong. "Dulu aku pernah bertemu dengannya.

Setahuku dia teman baik Tok Pie Sin Wan (Lutung Sakti Lengan Tunggal). Mungkin dia tahu Ku Tok Lojin berada di mana."

"Paman! Di mana Tok Pie Sin Wan?" tanya Tio Cie Hiong.

"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa mendadak.

"Eh?" Kim Siauw Suseng menatapnya. "Pengemis bau, kenapa engkau tertawa? Apa yang lucu?" "Paman! Di mana Tok Pie Sin Wan?" tanya Tio Cie Hiong. "Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa mendadak.

"Eh?" Kim Siauw Suseng menatapnya. "Pengemis bau, kenapa engkau tertawa? Apa yang lucu?"

"Cie Hiong, engkau memanggilnya paman?" Sam Gan Sin Kay memandangnya dan masih tertawa.

"Ya, memangnya kenapa?" tanya Tio Cie Hiong.

"Seharusnya engkau memanggilnya kakek." Sam Gan Sin Kay memberitahukan.

Tio Cie Hiong terbelalak. "Dia masih begitu muda, kok aku harus memanggilnya kakek?"

"Dia masih muda?... Hua Ha Ha Ha" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Dia memang kelihatan muda, tapi usianya sudah delapan puluh lebih."

Tio Cie Hiong terperangah. "Kenapa bisa begitu?"

"Ketika dia berusia empat puluhan, tanpa sengaja memakan semacam buah ajaib, sehingga membuat dirinya awet muda." Sam Gan Sin Kay memberitahukan.

"Ooooh!" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Bocah!" Kim Siauw Suseng tersenyum. "Tidak apa-apa engkau memanggilku paman."

"Ya!" Tio Cie Hiong mengangguk. "paman, Tok Pie Sin Wan itu berada di mana? Aku mau pergi mencarinya."

"Dia berada di Goa Angin Puyuh, di gunung Cing San." Kim Siauw Suseng memberitahukan. "Dari sini engkau harus mengambil arah timur, beberapa hari

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar