"Ada urusan apa Nona
ingin menemui ayahku?" tanyanya sambil menatap gadis itu.
"Ada urusan penting!
Engkau pasti Cit Pou Tui Hun-Gouw Han Tiong, Cepat panggil ayahmu ke
mari!" sahut gadis itu dingin.
"Nona siapa?" Gouw
Han Tiong tampak tidak senang.
"Engkau tidak perlu tahu
aku siapa, pokoknya engkau harus segera masuk ke dalam panggil ayahmu!"
Gadis itu tertawa dingin.
"Kalau tidak, aku akan
menerjang ke dalam!"
Gouw Han Tiong juga tertawa
dingin. "Nona mampu menerjang ke dalam?"
"Kenapa tidak?"
Gadis itu menghunus pedangnya. "Cepatlah engkau ambil pedang, aku tidak
akan menyerang orang yang tak bersenjata!"
"Beng Sam! Ambilkan
pedangku!" Ujar Gouw Han Tiong pada piauwsu itu.
"Ya, Tuan." Piauwsu
itu segera berlari ke dalam, tak lama ia sudah keluar dengan membawa sebilah
pedang, lalu diserahkannya kepada Gouw Han Tiong.
"Kini aku sudah
bersenjata!" ujar Gouw Han Tiong kepada gadis itu sambil menghunus
pedangnya. "Nona boleh mulai menyerang!"
"Baik!" Gadis itu
mengangguk, lalu dengan pedangnya mulai menyerang Gouw Han Tiong. Sungguh aneh
gerakan pedangnya, sehingga membuat Gouw Han Tiong tersentak. Cepat-cepatlah is
menangkis.
Trang! Terdengar suara
benturan pedang, dan seketika tampak bunga-bunga api berpijar. Bukan main
terkejutnya Gouw Han Tiong, karena ia merasa telapak tangannya yang menggenggam
pedang sakit sekali. Kini is baru tahu bahwa gadis itu berkepandaian amat
tinggi.
"Hm!" dengus gadis
itu dingin. "Cuma begitu saja kepandaian Cit Pou Tui Hun?"
Ucapan yang menyindir itu
tentunya menggusarkan Gouw Han Tiong. Ia segera menghimpun Iweekangnya seraya
membentak.
"Lihat serangan!"
Gouw Han Tiong menyerang gadis itu.
Ia mengeluarkan salah satu
jurus dari Tui Hun Kiam Hoat (llmu Pedang Pengejar Roh). Itu lah jurus Dalam
Awan Menempur Naga.
Gadis itu tertawa panjang,
badannya melesat kesamping. Pada waktu bersamaan, Gouw Han Tiong menyerangnya
lagi dengan jurus Menyapu Melintang Gunung Laut.
Bukan main dahsyatnya jurus
tersebut, sebab mengandung tiga perubahan yang tak terduga.
Akan tetapi, mendadak gadis
itu menggerakkan pedangnya membuat beberapa buah lingkaran.
Lingkaran-lingkaran begitu
saja dapat mematahkan serangan Gouw Han Tiong.
Dapat dibayangkan, betapa
terperanjatnya Gouw Han Tiong, karena gadis itu Dapat mematahkan serangannya
dengan gampang sekali.
"Hiyaaat!" Pekik
Gouw Han Tiong sambii menyerangnya. Ia mengeluarkan jurus Bayangan Pedang
Memenuhi Langit, yaitu jurus yang paling lihay dari Tui Hun Kiam Hoat. Dalam
tujuh langkah, pihak lawan tidak akan terluput dari bayangan pedangnya.
Tapi mendadak badan gadis itu
berputar-putar melesat ke atas. Seketika itu pula pedangnya menciptakan puluhan
lingkaran kecil.
Trang! Trang! Trang! Terdengar
suara benturan nyaring, sekaligus terdengar pula uara jeritan Gouw Han Tiong.
"Aaaakh...!"
Ternyata bahunya telah berlumuran darah, dan pedangnya telah terpental entah ke
mana.
"Kita tidak bermusuhan,
maka aku tidak membunuhmu!" ujar gadis itu dingin. "Karena engkau
mengeluarkan jurus yang mematikan, aku pun terpaksa melukai bahumu!"
"Perempuan jahat! Kenapa
engkau melukai ayahku?" Terdengar suara bentakan nyaring. Ternyata Gouw
Sian Eng telah muncul di situ, dan langsung menyerang gadis berbaju putih
dengan pedang mengeluarkan ilmu Pedang Pencabut Nyawa.
Gadis berbaju putih terperanjat
menyaksikan serangan-serangan Gouw Sian Eng. Ia cepat-cepat berkelit, tapi
tidak balas menyerang.
"Perempuan jahat! Kenapa
engkau datang melukai ayahku?" bentak Gouw Sian Eng dan terus menyerang
gadis berbaju putih.
Beberapa jurus kemudian, mendadak
gadis berbaju putih menggerakkan pedangnya. Gerakan pedang itu membuat Gouw
Sian Eng terhuyung-huyung ke belakang, pedangnya pun terpental.
"Jangan lukai dia!"
Terdengar suara bentakan nyaring, sehingga membuat telinga gadis berbaju putih
terasa sakit, dan segera membalikkan badannya.
Tio Cie Hiong sudah berdiri di
situ dengan wajah gusar sambil menatap gadis berbaju putih.
Gadis itu tampak tertegun
ketika menyaksikan tatapan yang tidak asing baginya itu.
"Engkau masih muda dan
cantik, tapi kenapa hatimu begitu kejam?" tanya Tio Cie Hiong.
"Tengah malam datang melukai orang, sungguh keterlaluan!"
"Eh? Adik kecil..."
Gadis itu menatapnya dengan kening berkerut.
"Engkau jahat sekali,
malah masih ingin melukai gadis kecil itu! Percuma engkau berkepandaian tinggi
hanya untuk melukai orang!"
"Adik kecil!" Gadis
berbaju putih tersenyum lembut. "Siapa engkau? Apakah engkau putra Gouw
Han Tiong?"
"Bukan!" Tio Cie Hiong
menggelengkan kepala. "Aku bekerja di sini!"
"Kalau begitu, siapa
orang tuamu?" tanya gadis itu lagi.
"Aku tidak punya orang
tua!" sahut Tio Cie Hiong. "Sudahlah! Engkau tidak usah banyak
bertanya, cepatlah pergi!"
"Adik kecil, bolehkah aku
tahu namamu?" Gadis berbaju putih menatapnya dalam-dalam.
"Aku..." Ketika Tio
Cie Hiong ingin memberitahukan, mendadak terdengar suara bentakan keras.
Ternyata Tui Hun Lojin sudah muncul di situ, maka Tio Cie Hiong diam, tidak
jadi memberitahukan namanya pada gadis itu.
"Siapa engkau, Nona?
Kenapa datang tengah malam dan melukai putraku?" Bentak Tui Hun Lojin.
"Apakah engkau Tui Hun
Lojin?" tanya gadis itu dingin.
"Benar." Tui Hun
Lojin menatap gadis itu tajam. "Siapa engkau? !"
"Pek Ih Mo Li (Wanita
Iblis Baju Putih)!"
Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong
terkejut. Kemudian Tui Hun Lojin manggut-manggut seraya berkata.
"Aku tahu apa sebabnya
engkau datang ke mari."
"Engkau tahu?" Gadis
berbaju putih itu ternyata Pek Ih Mo Li. Ia menatap Tui Hun Lojin tajam.
"Kalau sudah tahu, harap jelas kan peristiwa belasan tahun lampau di
Tebing Awan Putih!"
"Pada waktu itu, aku
memperoleh kabar bahwa Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng dan istrinya dikeroyok kaum
golongan hitam dan tujuh partai besar. Itu disebabkan Tio It Seng memperoleh
Kotak Pusaka. Ketika aku sampai di sana, telah terjadi pertempuran yang kacau balau."
"Jadi benar tujuh partai
besar bergabung untuk membunuh Hui Kiam Bu Tek?" tanya Pek Ih Mo Li dengan
mata berapi-api.
"Sulit dikatakan."
Tui Hun Lojin menarik nafas panjang. "Karena pada waktu itu, tujuh partai
besar itu juga menyerang kaum golongan hitam, namun mereka pun menyerang Hui
Kiam Bu Tek dan istrinya. Kalau Bu Lim Sam Mo tidak muncul, aku yakin Hui Kiam
Bu Tek dan istrinya tidak akan mati, dan putri mereka pun tidak akan
tergelincir ke dalam jurang."
"Kalau begitu..."
Sepasang mata Pek Ih Mo Li membara. "Bu Lim Sam Mo yang membunuh mereka
berdua?"
"Benar." Tui Hun
Lojin manggut-manggut. "Kotak Pusaka itu pun dibawa pergi oleh mereka
bertiga, kemudian aku bersama ketua partai Siauw Lim dan ketua partai Bu Tong
mengubur mayat Hui Kiam Bu Tek dan istrinya."
"Engkau ke sana, apakah
juga ingin merebut Kotak Pusaka itu?" tanya Pek Ih Mo Li mendadak.
"Sama sekali tidak."
Tui Hun Lojin menggelengkan kepala. "Sebaliknya aku malah ingin menolong
Hui Kiam Bu Tek dan istrinya serta putri mereka."
Pek Ih Mo Li menatapnya heran.
"Kenapa engkau berniat begitu?"
"Karena Hui Kiam Bu Tek
pernah menolong putraku." Tui Hun Lojin memberitahukan.
Pek Ih Mo Li manggut-manggut.
"Nona!" Tui Hun
Lojin memandangnya. "Apakah engkau putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?"
"Nona!" Tui Hun
Lojin memandangnya. "Apakah engkau putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?"
Pek Ih Mo Li tidak menyahut.
Ia menjura kepada Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong, lalu mendadak melesat
pergi.
"Ayah!" Gouw Sian
Eng mendekati Tui Hun Lojin seraya berbisik. "Bagaimana menurut Ayah,
apakah Pek Ih Mo Li adalah putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?"
"Kelihatannya tidak
salah." sahut Tui Hun Lojin, kemudian berkata kepada Gouw Sian Eng dan Tio
Cie Hiong. "Kalian berdua boleh kembali ke kamar
masing-masing.
Gouw Sian Eng dan Tio Cie
Hiong mengangguk, lalu segera masuk ke kamar masing-masing.
"Hang Tiong!" ujar
Tui Hun Lojin. "Aku harus segera berangkat ke markas pusat Kay Pang
menemui Sam Gan Sin Kay untuk memberitahukan tentang ini."
"Kapan Ayah akan
berangkat ke sana?"
"Sekarang."
"Kok sekarang?"
"Lebih cepat lebih
baik." Tui Hun Lojin langsung melesat pergi menggunakan ginkang.
Gouw Han Tiong
menggeleng-gelengkan kepala sambil berjalan ke dalam rumah. Ia sama sekali
tidak menyangka, kalau kepandaian Pek Ih Mo Li begitu
tinggi, dapat merobohkannya
hanya dalam beberapa jurus. Kalau Pek Ih Mo Li ingin membunuhnya, saat ini ia
mungkin telah jadi mayat.
Tui Hun Lojin telah sampai di
markas Partai Pengemis. Sam Gan Sin Kay dan Lim Peng Hang Si Tongkat Maut,
ketua Kay Pang menyambut kedatangannya
dengan gembira.
Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.
"Setan tua! Kok engkau mau merepotkan diri sendiri untuk ke mari? Ada
sesuatu yang penting?"
"Sesuai dengan pesanmu,
pengemis busuk," sahut Tui Hun Lojin.
Sam Gan Sin Kay menatapnya.
"Kalau begitu, duduk dulu!"
Tui Hun Lojin duduk, lalu
menghela nafas seraya berkata memberitahukan.
"Semalam Pek Ih Mo Li
telah datang di tempatku."
Sam Gan Sin Kay mengerutkan
kening. "Engkau bertarung dengannya?"
"Tidak." Tui Hun
Lojin menggelengkan kepala. "Putraku yang bertarung dengannya. Hanya dalam
beberapa jurus, putraku sudah roboh dengan bahu
terluka."
"Dia menyerang
putramu?" tanya Sam Gan Sin Kay terkejut. "Kepandaiannya begitu
tinggi?"
"Dia tidak menyerang
putraku, melainkan mereka bertanding. Kepandaiannya memang tinggi sekali, itu
sungguh di luar dugaan." Tui Hun Lojin menarik
nafas panjang. "Dia masih
berbelas kasihan terhadap putraku, kalau tidak, putraku pasti sudah mati."
Kening Sam Gan Sin Kay
berkerut-kerut.
"Paman! Apakah Pek Ih Mo
Li itu putri almarhum Hui Kiam Bu Tek?" tanya Lim Peng Hang.
"Menurutku tidak
salah," sahut Tui Hun Lojin. "Aku bertanya kepadanya, tapi dia tidak
mau memberitahukan. Aku yakin dia putri almarhum Hui Kiam Bu
Tek yang tergelincir ke dalam
jurang itu."
"Heran!" gumam Sam
Gan Sin Kay. "Kok kepandaiannya begitu tinggi? Murid siapa dia?"
"Kulihat bahwa ilmu
pedangnya sangat aneh, pedangnya selalu menciptakan lingkaran," ujar Tui
Hun Lojin.
"Apa?" Sam Gan Sin
Kay tampak tertegun. "Pedangnya selalu menciptakan lingkaran?"
"Ya." Tui Hun Lojin
mengangguk. "Pengemis busuk, engkau kenal ilmu pedang itu?"
"Itu... itu bagaimana
mungkin?" gumam Sam Gan Sin Kay sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Maksudmu?" Tui Hun
Lojin tercengang.
"Sekitar lima puluh tahun
lampau, dalam rimba persilatan telah muncul seorang Pendekar wanita yang cantik
jelita dan berkepandaian tinggi. Aku
tertarik dan langsung
mencarinya untuk bertanding," tutur Sam Gan Sin Kay. "Tapi aku malah
roboh di tangannya. Ternyata kepandaiannya setingkat
lebih tinggi dari
kepadaianku!"
Tui Hun Lojin terbelalak.
"Siapa Pendekar wanita itu?"
"Tiada seorang pun tahu
namanya." Sam Gan Sin Kay menghela nafas sambil melanjutkan. "Dua
tahun kemudian, lihiap itu hilang dari rimba persilatan,
hingga kini tiada kabar
beritanya."
"Apakah ilmu pedangnya
selalu menciptakan lingkaran-lingkaran?" tanya Tui Hun Lojin.
"Ya." Sam Gan Sin
Kay mengangguk. "Maka aku berkesimpulan bahwa Pek Ih Mo Li adalah
muridnya."
"Ayah!" sela Lim
Peng Hang. "Kalau benar Pek Ih Mo Li adalah putri almarhum Hui Kiam Bu
Tek, kita harus membantunya."
Sam Gan Sin Kay
manggut-manggut, kemudian berkata kepada Tui Hun Lojin. "Setan tua, kalau
tidak salah, tujuh partai besar akan bergabung untuk
melawannya.
Apakah engkau berniat
membantunya?"
"Apa?" Tui Hun Lojin
terkejut sekali. "Tujuh partai besar akan bergabung untuk
melawannya?"
"Ya." Sam Gan Sin
Kay mengangguk. "Karena itu, aku ingin mendamaikan urusan itu agar
peristiwa belasan tahun lampau di Tebing Awan Putih tidak akan
terulang!"
"Kalau begitu, aku pun
harus turut membantu dalam hal itu," ujar Tui Hun Lojin sungguh-sungguh.
"Bagus!" Sam Gan Sin
Kay tertawa gelak. "Kita harus segera pergi mencari Pek Ih Mo Li."
"Ayah, perlukah aku ikut?" tanya Lim Peng Hang.
"Tidak perlu, masih
banyak urusan lain yang harus engkau kerjakan," sahut Sam Gan Sin Kay,
lalu berkata kepada Tui Hun Lojin. "Setan tua, mari kita
pergi!... aku tahu tempat
dimana para orang-orang tujuh partai berkumpul..." Sam Gan Sin Kay
langsung melesat pergi, dan Tui Hun Lojin pun mengikutinya.
Lim Peng Hang
menggeleng-gelengkan kepala, lalu masuk ke dalam menuju ke halaman belakang.
Tampak Lim Ceng Im si pengemis dekil duduk melamun di
situ.
"Ceng Im, kenapa engkau
melamun di situ?" tanya Lim Peng Hang dan mendekatinya. "Ayah!"
Wajah Lim Ceng Im kelihatan muram. "Aku...." "Sedang memikirkan
anak lelaki itu ya?" tanya Lim Peng Hang.
"Aku...." Lim Ceng
Im menundukkan kepala. "Nak!" Lim Peng Hang membelainya. "Engkau
masih kecil, tidak pantas
memikirkan anak lelaki. Belum waktunya lho!"
"Ayah! Dia... dia anak
baik," ujar Lim Ceng Im. "Kini dia entah berada di mana?"
"Nak!" Lim Peng Hang
tersenyum. "Engkau pasti bertemu dengannya kelak. Sekarang lebih baik
curahkanlah segenap perhatianmu pada ilmu silat, jangan
terus menerus memikirkan anak
lelaki itu."
"Ayah! Bolehkah aku pergi
seminggu saja?" tanya Lim Ceng Im mendadak.
"Tidak boleh" sahut
Lim Peng Hang. "Bukankah ayah tadi sudah bilang, curahkan segenap
perhatianmu untuk berlatih, sebab kelak engkau harus
menggantikan
kedudukanku."
"Ayah...." Lim Ceng
Im membanting-bantingkan kaki.
"Nak!" Lim Peng Hang
membelainya. "Kalau engkau sudah berhasil menguasai seluruh kepandaianku,
dan juga engkau sudah dewasa, ayah tidak akan
melarangmu kemana pun. Engkau
mau pergi mencari anak lelaki itu juga terserah, namun sekarang ini
jangan."
"Ayah...." Wajah Lim
Ceng Im bertambah muram.
Sam Gan Sin Kay dan Tui Hun
Lojin berlari dengan sangat cepat dan telah memasuki sebuah lembah. Begitu
sampai di tempat, mereka melihat para ketua
tujuh partai besar, dan
murid-murid masing-masing partai tengah mengepung seorang gadis berbaju putih.
"Pengemis busuk!"
Tui Hun Lojin memberitahukan. "Gadis baju putih itu Pek Ih Mo Li!"
Sam Gan Sin Kay memandang
sekilas gadis itu. tanpa menerunkan kecepatan larinya ia lalu melesat ke
hadapan Hui Khong Taysu, ketua partai Siauw Lim.
Hui Khong Taysu tersentak
ketika melihat kemunculannya dan Tui Hun Lojin yang melesat ke arah It Hian
Tojin, ketua Partai Bu Tong.
"Pengemis bau! Kenapa
engkau datang ke mari?"
"Hei! Hweeshio pikun!
Kenapa engkau tidak membaca doa di Siauw Lim, tapi malah berada di sini?"
sahut Sam Gan Sin Kay sambil menatapnya.
"Pengemis bau, aku datang
ke mari ingin mendamaikan urusan ini" ujar Hui Khong Taysu.
"Mendamaikan atau ingin
mengeroyok Pek Ih Mo Li?" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak.
"Pengemis bau...."
Wajah Hui Khong Taysu memerah. Ia tahu jelas sifat Sam Gan Sin Kay, yang
amat usil dan suka mencampuri
urusan orang. "Omitohud!"
"Hweeshio pikun!"
Sam Gan Sin Kay tertawa lagi. "Engkau selalu menyebut Omitohud, maka harus
pula selalu berdiri di atas kebenaran dan keadilan.
Kenapa engkau malah membawa
Cap Pwee Lohan (Delapan Belas Arhat) ke mari untuk mengepung Pek Ih Mo
Li?"
"Pengemis bau! Pek Ih Mo
Li telah melukai beberapa murid Siauw Lim yang meminta sedekah. Aku bertanya
padanya, tapi dia tidak mau memberi
penjelasan...."
"Karena itu, engkau
menyuruh Cap Pwee Lohan mengurungnya?" tanya Sam Gan Sin Kay sinis.
"Tidak." sahut Hui
Khong Taysu memberitahukan. "Cap Pwee Lohan dan beberapa murid Partai Bu
Tong sedang menjaga Pek Ih Mo Li agar tidak diserang
oleh ketua partai lain."
"Benarkah?" Sam Gan
Sin Kay tertawa.
"Omitohud! Pengemis bau,
engkau harus mempercayaiku." sahut Hui Khong Taysu sungguh-sungguh.
Sementara Tui Hun Lojin pun
menatap It Hian Tojin sambil tertawa-tawa.
"Tojin tua, apa kabar?
Sudah belasan tahun kita tidak bertemu, tentunya engkau baik-baik saja
kan?" tanyanya kemudian.
"Terima kasih!"
sahut It Hian Tojin. "Aku baik-baik saja. Setan tua, kenapa engkau datang
kemari bersama pengemis bau itu?"
"Ingin menyaksikan kalian
mengeroyok Pek Ih Mo Li." ujar Tui Hun Lojin sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tojin tua, engkau makin tua makin gagah
saja. Membawa beberapa murid
kesayanganmu ke mari mengurung Pek Ih Mo Li, nama partai Bu Tong pasti makin
harum pula."
Wajah It Hian Tojin berubah
tak sedap dipandang. "Setan tua, janganlah engkau menghina Partai Bu
Tong!"
"Aku tidak menghina,
buktinya memang begitu. Bukankah murid-muridmu sedang mengurung Pek Ih Mo
Li?" sahut Tui Hun Lojin.
"Engkau harus tahu, Pek Ih
Mo Li telah melukai beberapa murid Bu Tong." It Hian Tojin memberitahukan.
"Itu pasti ada sebab
musababnya," ujar Tui Hun Lojin. "Kenapa engkau tidak bertanya
kepadanya?"
"Aku sudah bertanya
kepadanya, tapi dia tidak mau menjelaskannya," sahut It Hian Tojin.
"Karena itu, kalian semua
ingin mengeroyoknya?" tanya Tui Hun Lojin sambil mengerutkan kening.
"Kalau dia berkeras tidak
mau menjelaskan, itu apa boleh buat!" jawab It Hian Tojin dan menambahkan.
"Pek Ih Mo Li pun telah melukai para murid Hwa
San, Kun Lun, Go Bie, Khong
Tong dan Swat San."
"Aku sudah tahu itu, maka
aku dan Sam Gan Sin Kay datang ke mari," ujar Tui Hun Lojin sambil
menengok ke arah pengemis sakti itu.
"Huaha ha ha!" Sam
Gan Sin Kay tertawa gelak, kemudian mendadak melesat ke hadapan Pek Ih Mo Li.
"Engkau pasti putri almarhum Hui Kiam Bu Tek.
Ketahuilah, almarhum ayahmu
adalah teman baik putraku, maka engkau jangan takut. Aku dan Tui Hun Lojin
pasti membantumu."
"Terimakasih, Lo
cianpwee!" ucap Pek Ih Mo Li
"Hei! Kalian para ketua
dengar baik-baik!" seru Sam Gan Sin Kay lantang. "Siapa berani
mengeroyok Pek Ih Mo Li, akan berhadapan denganku duluan!"
"Sam Gan Sin Kay! Kenapa
engkau turut campur dalam urusan ini?" tanya Hui Liong Sin Kiam (Pedang
Sakti Naga Terbang) Tan Cun Kiat ketua Partai Hwa
San.
"Engkau mau apa?"
sahut Sam Gan Sin Kay.
"Cianpwee!" ujar Hui
Liong Sin Kiam-Tan Cut Kiat memberitahukan. "Pek Ih Mo Li telah melukai
beberapa murid Hwa San."
"Dia pun telah melukai
murid-murid Kun Lun," sambung Wie Hian Cinjin ketua partai Kun Lun.
"Murid kami pun telah
dilukainya!" seru Ceng Sim Suthay ketua partai Go Bie, Beng Leng Hoatsu
ketua partai Khong Tong dan Pek Bie Lojin ketua
partai Swat San serentak.
"Kalian diam!"
bentak Sam Gan Sin Kay dengan melotot.
Seketika juga para ketua itu
diam. Sam Gan Sin Kay adalah salah seorang Bu Lim Ji Khie, juga tetua Kay Pang.
Kedudukannya sangat tinggi dalam rimba
persilatan, maka para ketua
itu amat segan kepadanya.
"Pek Ih Mo Li!" Sam
Gan Sin Kay menatapnya. "Maukah engkau menjelaskan, kenapa engkau melukai
para murid tujuh partai besar itu?"
"Karena Lo cianpwee yang
bertanya, maka aku akan menjawabnya." sahut Pek Ih Mo Li.
"Bagus!" Sam Gan Sin
Kay tertawa gelak. "Nah, jelaskanlah agar para ketua itu tidak penasaran!"
Pek Ih Mo Li mengangguk, lalu
berkata dengan suara nyaring. "Beberapa Hweeshio Siauw Lim meminta sedekah
dengan cara paksa, maka kulukai mereka.
Beberapa murid partai besar
lainnya, ingin melakukan perkosaan terhadap wanita baik-baik, karena itu, aku
pun melukai mereka. Kalau kalian para
ketua menghendaki bukti, sudah
kutuliskan di dalam kitab."
Pek Ih Mo Li mengeluarkan
sebuah kitab kecil, kemudian diserahkan kepada Sam Gan Sin Kay. Pengemis sakti
itu membaca sejenak kitab kecil itu, lalu
menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah itu diberikannya kitab itu kepada Hui Khong Taysu, ketua Partai Siauw
Lim.
"Bacalah sendiri,
Hweeshio pikun!" kata pengemis sakti itu.
Hui Khong Taysu segera
membacanya, sedangkan Sam Gan Sin Kay mendekati Pek Ih Mo Li.
"Benarkah engkau putri
almarhum Hui Kiam Bu Tek?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil menatapnya.
"Lo cianpwee!" Pek
Ih Mo Li menjura memberi hormat. Ia pun memberi hormat kepada Tui Hun Lojin.
"Terima kasih Lo cianpwee, terimakasih Tui Hun
Lojin!"
Mendadak Pek Ih Mo Li melesat
pergi, Sam Gan Sin Kay ingin mengejarnya, tapi keburu dicegah oleh Tui Hun
Lojin.
"Eh?" Sam Gan Sin
Kay melotot. "Kenapa engkau mencegahku?"
"Pengemis busuk, percuma
engkau mengejarnya," sahut Tui Hun Lojin. "Yang jelas dia pasti putri
almarhum Hui Kiam Bu Tek."
Sam Gan Sin Kay
manggut-manggut. "Setan tua, mari kita pergi!"
Tui Hun Lojin mengangguk.
Mereka berdua lalu melesat pergi tanpa menghiraukan tujuh partai besar itu.
Para ketua dan murid-muridnya
hanya bisa melihat saja tanpa bisa berbuat lebih dari itu.
Pagi ini seusai menyapu, Tio
Cie Hiong duduk di bawah pohon sambil melamun. Di saat bersamaan, muncullah
Gouw Sian Eng mendekatinya. "Kakak Hiong,
kenapa engkau melamun?"
"Adik Eng, aku...."
Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakak Hiong!" Gouw
Sian Eng duduk di sisinya. "Kenapa engkau pagi ini? Beritahukanlah
kepadaku!"
"Adik Eng, hingga saat
ini aku masih belum tahu siapa kedua orang tuaku. Karena itu...." "Kakak
Hiong...." Wajah Gouw
Sian Eng berubah murung.
"Engkau ingin pergi
mencari Ku Tok Lojin?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Aku harus tahu siapa kedua orang tuaku." "Kapan
engkau berangkat?" tanya Gouw Sian Eng dengan mata berkaca-kaca.
"Hari ini," sahut Tio Cie Hiong singkat.
"Apa?" Gouw Sian Eng
nyaris menangis seketika. "Engkau ingin berangkat hari ini?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk. "Adik Eng, sudah setahun aku tinggal di sini, dan kini sudah
waktunya aku pergi mencari Ku Tok Lojin."
"Kalau begitu...."
Air mata Gouw Sian Eng mulai meleleh. "Kita... kita akan berpisah?"
"Adik Eng!" Tio Cie
Hiong tersenyum. "Kita akan berjumpa lagi kelak, jadi engkau tidak usah
berduka."
"KakaK Hiong...."
Gouw Sian Eng terisakisak.
"Adik Eng, jangan
menangis!" Tio Cie Hiong menggenggam tangannya. "Kelak aku pasti
datang menemui lagi."
"Kakak Hiong...."
Gouw Sian Eng terus menerus terisak-isak.
Pada waktu bersamaan, muncul
Gouw Han Tiong. Ia tercengang ketika melihat putrinya menangis terisak-isak
dengan air mata berderai-derai. "Eh? Sian
Eng! Kenapa engkau?"
"Ayah, Kakak Hiong...
kakak Hiong..." sahut Gouw Sian Eng tersendat-sendat.
"Kenapa dia?" Gouw
Han Tiong mengerutkan kening ketika melihat Tio Cie Hiong menggenggam tangan
putrinya.
"Kakak Hiong mau
pergi."
"Apa?" Gouw Han
Tiong tercengang. "Cie Hiong, engkau mau pergi ke mana?"
"Paman!" Tio Cie
Hiong melepaskan genggamannya di tangan Gouw Sian Eng. "Aku ingin pergi
mencari Ku Tok Lojin."
"Itu bagaimana
mungkin?" Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau tidak
tahu dia berada di mana, lalu bagaimana cara engkau mencarinya?"
"Aku akan mengembara
dalam rimba persilatan mencari Ku Tok Lojin," jawab Tio Cie Hiong telah
mengambil keputusan. "Aku... aku harus tahu siapa
kedua orang tuaku."
"Kapan engkau akan
berangkat?" tanya Gouw Han Tiong.
"Hari ini." Tio Cie
Hiong memberitahukan.
"Cie Hiong...." Gouw
Han Tiong menarik nafas. "Baiklah! Aku akan memberimu seribu tael
perak."
"Tidak usah begitu
banyak, Paman!" ujar Tio Cie Hiong menolak.
"Tidak... tidak...."
Gouw Han Tiong tersenyum. "Dalam pengembaraan, engkau pasti
membutuhkan uang."
"Terima kasih,
Paman!" ucap Tio Cie Hiong.
Gouw Han Tiong
manggut-manggut, lalu masuk ke dalam. Sedangkan Gouw Sian Eng memandang Tio Cie
Hiong dengan air mata bercucuran.
"Kakak Hiong, kapan kita
akan berjumpa kembali?" tanya Gouw Sian Eng terisak-isak. "Setelah
aku bertemu Ku Tok Lojin, aku pasti datang menemuimu," jawab Tio Cie
Hiong. "Sungguh?"
"Aku tidak akan
membohongimu."
"Kakak Hiong...."
Gouw Sian Eng menatapnya dalam-dalam dengan air mata berlinang-linang.
"Kapan pun aku pasti
menunggumu."
Tio Cie Hiong telah
meninggalkan Ekspedisi Harimau Terbang. Gouw Sian Eng mengantarnya sampai di
pinggir kota.
Setelah Tio Cie Hiong hilang
dari pandangannya, barulah anak gadis itu pulang dengan mata basah. Begitu
sampai di dalam kamarnya, ia langsung
menghempaskan dirinya ke
tempat tidur dan isak tangisnya pun meledak.
"Nak!" Gouw Han
Tiong menghampirinya. "Kenapa engkau menangis?"
"Ayah...." Karena
ditanya, maka isak tangis Gouw Sian Eng semakin menjadi. "Kakak Hiong
telah
pergi...."
"Nak!" Gouw Han
Tiong membelainya. "Engkau tidak usah berduka, kelak dia pasti datang
menengokmu. Percayalah!"
"Tapi...." Gouw Sian
Eng menggeleng-gelengkan kepada. "Entah kapan dia akan datang, lagi
pula... belum tentu dia akan
datang."
"Nak!" Gouw Han
Tiong tersenyum. "Percayalah! Dia pasti datang menemuimu."
"Ayah!" Gouw Sian
Eng memeluk Gouw Han Tiong erat-erat. Aku...."
"Ayah tahu...." Gouw
Han Tiong manggutmanggut. "Engkau sangat suka kepadanya, bukan?"
"Dia sangat baik kepadaku,
aku... aku...." Wajah Gouw Sian Eng kemerah-merahan.
"Dia anak lelaki yang
baik, wajar kalau engkau menyukainya." Gouw Han Tiong tersenyum lagi.
"Ayah, aku... aku pasti menunggunya," ujar Gouw Sian
Eng dengan suara rendah.
"Kalau dia tidak datang menemuiku, aku... aku ingin menjadi biarawati
saja."
"Apa?!" Gouw Han
Tiong terperanjat. "Nak, engkau...."
"Ayah, aku mau menjadi
isterinya. Tidak mau menikah dengan orang lain." ujar Gouw Sian Eng sungguh-sungguh.
"Nak!" Gouw Han
Tiong menghela nafas. "Engkau masih kecil, sedangkan itu urusan kelak,
maka jangan terlampau kau pikirkan! Mulai sekarang engkau
harus giat berlatih, agar
kelak kalau bertemu dia, engkau sudah berkepandaian tinggi." Gouw Sian Eng
mengangguk.
Sementara Tio Cie Hiong terus
melanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan, terserah kepada sepasang kakinya
membawa dirinya ke mana. Selama berada di
Ekspedisi Harimau Terbang.
Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong memasuki sebuah lembah yang sangat indah.
Beberapa hari itu, ia selalu menolong
orang-orang miskin dan para
pengemis. Setelah memasuki lembah itu, mendadak ia mendengar suara suling yang
amat merdu sekali. Segeralah ia menuju
ke arah suling itu Karena
tertarik hatinya.
Tampak seorang lelaki berusia
empat puluhan duduk di atas sebuah batu sambil meniup suling.
Sulingnya gemerlapan tertimpa
sinar matahari.
Tio Cie Hiong terus berdiri di
belakangnya dan mendengar suara suling itu dengan penuh perhatian. Berselang
sesaat barulah lelaki itu berhenti
meniup suling.
"Bocah! Engkau tertarik
kepada suara sulingku?" tanyanya tanpa menoleh.
"Ya," sahut Tio Cie
Hiong dan bertanya. "Paman tahu kehadiranku di sini?"
"Bocah!" Lelaki itu
tersenyum. "Walau aku sedang meniup suling, telingaku tetap bisa menangkap
suara apa pun yang ada di sekitar tempat ini."
Tio Cie Hiong terbelalak.
"Kalau begitu, paman tidak begitu memusatkan perhatian untuk meniup
suling?"
"Aku tetap memusatkan
perhatianku untuk meniup suling," sahut lelaki itu sambil membalikkan
badannya. Ketika melihat Tio Cie Hiong, lelaki itu
Tampak tertegun. "Namun
sepasang telingaku tetap bisa menangkap suara apa pun di sekitar tempat
ini"
Tio Cie Hiong manggut-manggut.
"Kalau begitu, Iweekang Paman sudah tinggi sekali."
"Bocah!" Lelaki itu
menatapnya dalam-dalam. "Engkau tahu tentang Iweekang, itu berarti engkau
pernah belajar ilmu silat, bukan?"
"Paman, aku tidak pernah
belajar ilmu silat, hanya saja selalu melatih napas di setiap malam," ujar
Tio Cie Hiong memberitahukan.
"Kalau begitu, engkau
pasti melatih semacam Iweekang. Iweekang apa yang engkau latih itu?" tanya
lelaki itu.
"Iweekang untuk
menyehatkan tubuh," jawab Tio Cie Hiong.
Lelaki itu menatapnya lagi
seraya bertanya, "Sebetulnya engkau siapa? Dari mana dan mau ke
mana?"
"Aku Tio Cie Hiong,"
jawab Tio Cie Hiong. "Aku datang dari suatu tempat untuk mencari
seseorang."
"Siapa yang kau
cari?"
"Ku Tok Lojin."
"Untuk apa engkau
mencarinya?"
"Menanyakan siapa kedua
orang tuaku."
"Jadi...." Lelaki
itu menatapnya tajam. ".... engkau masih tidak tahu siapa kedua orang
tuamu?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Ohya! Engkau tadi
kelihatan begitu tertarik akan suara sulingku, apakah engkau bisa meniup
suling?" tanya lelaki itu mendadak.
"Sejak kecil aku sudah
belajar meniup suling, tapi cuma meniup suling bambu, tidak pernah meniup
suling yang seperti milik Paman," jawab Tio Cie
Hiong jujur.
"Ini suling emas,"
ujar lelaki itu sambil tersenyum, sekaligus memperkenalkan diri. "Aku Kim
Siauw Suseng (Sastrawan Suling Emas)."
Tio Cie Hiong cuma
mengeluarkan suara 'Oh'. Ia mana tahu lelaki yang di hadapannya itu adalah Bu
Lim Ji Khie (Dua Orang Aneh Rimba Persilatan) yang
sangat tersohor itu.
"Pantas suara suling
Paman sangat merdu!" ujar Tio Cie Hiong tertarik pada suling emas itu.
"Bocah!" Kim Siauw Suseng tersenyum. "Engkau ingin mencoba
meniup suling emas ini?" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
Kim Siauw Suseng menyerahkan
suling emas itu. Tio Cie Hiong menerimanya dengan wajah berseri. Setelah itu,
ia mulai mencoba meniupnya, namun sama
sekali tidak mengeluarkan
suara.
"Bocah!" Kim Siauw
Suseng tertawa. "Tidak gampang meniup suling emasku ini... karena
hanya..." Kim Siauw Suseng berhenti tertawa karena melihat
pancaran mata Tio Cie Hiong
yang bersinar-sinar itu.
Hati Tio Cie Hiong tentu saja
penasaran. Ia segera duduk dan berkonsentrasi untuk meniup suling itu, dan
secara otomatis ia mengerahkan Pan Yok
Hian Thian Sin Kang. Seketika
juga terdengar suara alunan suling yang amat merdu.
Kim Siauw Suseng terbelalak,
karena sama sekali tidak menyangka kalau Tio Cie Hiong yang masih kecil itu
mampu meniup suling emasnya,
bahkan lama kelamaan ia pun
terpengaruh oleh suaranya. Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Kim Siauw
Suseng, sehingga memandang Tio Cie Hiong
dengan mata terbelalak lebar.
Sekonyong-konyong terdengar
suara siulan yang sangat nyaring, kemudian muncullah seorang pengemis tua, yang
tidak lain Sam Gan Sin Kay.
Tio Cie Hiong segera berhenti
meniup suling emas itu. Begitu melihat Sam Gan Sin Kay, iapun berseru.
"Kakek Pengemis!"
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa gelak. "Cie Hiong, ternyata engkau yang meniup suling emas
itu! Semula aku mengira Kim Siauw Suseng."
"Pengemis bau! Apakah
bocah ini cucumu?" tanya Kim Siauw Suseng.
"Sastrawan sialan! Dia
bukan cucuku, tapi dia memanggilku kakek pengemis, itu membuatku merasa bangga
sekali" sahut Sam Gan Sin Kay.
"Lho? Kenapa?" Kim
Siauw Suseng tercengang.
"Sastrawan sialan, engkau
harus tahu, dia adalah Sin Tong (Anak Sakti)," ujar Sam Gan Sin Kay
memberitahukan.
"Anak Sakti?" Kim
Siauw Suseng kebingungan.
"Engkau masih belum
menyadari akan hal itu?" Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak-bahak.
"Kalau dia anak biasa, bagaimana mungkin mampu meniup suling
emasmu?"
"Iya, ya." Kim Siauw
Suseng manggut-manggut. "Itu sungguh mengherankan!"
"Masih ada yang jauh
lebih mengherankan," ujar Sam Gan Sin Kay. "Aku telah
mengalaminya."
"Oh?" Kim Siauw
Suseng menatap Tio Cie Hiong, kemudian menoleh pada Sam Gan Sin Kay seraya
berkata. "Pengemis bau, begitu melihat engkau, tanganku
merasa gatal."
"Sama-sama," sahut
Sam Gan Sin Kay. "Tanganku pun sudah gatal."
"Kalau begitu, mari kita
bertanding!" tantang Kim Siauw Suseng.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Sudah puluhan tahun kita pasti bertanding
begitu bertemu, maka tanganku langsung merasa
gatal."
"Bagus!" Kim Siauw
Suseng juga tertawa gelak. "Kalau begitu, mari kita mulai!"
Mereka berdua adalah Bu Lim Ji
Khie, tapi kalau bertemu pasti bertanding. Sudah puluhan tahun mereka
bertanding, namun selama itu tiada seorang
yang menang maupun kalah. Mereka
berdua selalu bertanding seri.
"Sastrawan sialan!"
ujar Sam Gan Sin Kay memberitahukan. "Pertandingan kita hari ini akan
disaksikan anak lelaki itu."
"Tentu," sahut Kim
Siauw Suseng.
"Cie Hiong!" ujar
Sam Gan Sin Kay. "Engkau sebagai saksi, tentunya tidak akan keberatan
kan?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk, lalu mengembalikan suling emas itu kepada Kim Siauw Suseng.
"Nah! Mari kita
mulai!" seru Kim Siauw Suseng setelah menerima suling emasnya.
"Baik." Sam Gan Sin
Kay mengangguk lalu langsung menyerangnya.
"Ha ha!" Kim Siauw
Suseng tertawa gelak. "Tah Kauw Kun Hoatmu itu cuma mampu memukul anjing,
tidak bisa digunakan untuk memukulku."
Kim Siauw Suseng mulai
berkelit, kemudian balas menyerang dengan ilmu andalannya. Terjadilan
pertarungan yang amat seru. Tio Cie Hiong memandang
dengan penuh perhatian.
Sam Gan Sin Kay mengeluarkan
jurus-jurus yang paling lihay dari Tah Kauw Kun Hoat, sehingga tongkat bambunya
berkelebatan. Namun suling emas Kim
Siauw Suseng juga bergerak
cepat. Tak terasa pertarungan mereka telah melewati belasan jurus.
"Hiyaat!" teriak Sam
Gan Sin Kay mendadak, ternyata ia mulai menyerang Kim Siauw Suseng dengan Sam
Ciat Kun Hoat.
"Haaah...?" Kim
Siauw Suseng tampak terkejut. Ia meloncat mundur secepat kilat dan memandang
Sam Gan Sin Kay dengan mata terbelalak. "Pengemis bau,
kulihat jurus Sam Ciat Kun
Hoatmu ada kemajuan dibandingkan tahun lalu?"
"Sastrawan sialan! Tentu
saja begitu...!!!" sahut Sam Gan Sin Kay sambil melirik Tio Cie Hiong,
setelah itu ia mulai menyerang Kim Siauw Suseng
lagi dengan jurus Pelangi Di Ujung
Langit.
Kim Siauw Suseng terpaksa
berkelit, tak mampu balas menyerang. Mendadak Sam Gan Sin Kay berteriak keras,
sekaligus menyerang Kim Siauw Suseng
dengan jurus Memecahkan Gunung
Memindahkan Laut.
Bukan main terkejutnya Kim
Siauw Suseng. Secepat kilat ia melesat ke atas, sekaligus berjungkir balik ke
belakang. Setelah sepasang kaki nya
menginjak tanah, barulah ia
menarik nafas lega.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Bagaimana Sam Ciat Kun Hoatku
sekarang?"
"Jauh lebih lihay dari
belasan tahun lampau," sahut Kim Siauw Suseng sejujurnya. "Tapi aku
belum kalah, mari kita bertanding lagi!"
"Tidak usah bertanding
lagi!" sela Tio Cie Hiong mendadak.
"Kenapa?" Kim Siauw
Suseng heran.
"Sebab Paman sudah
kalah," sahut Tio Cie Hiong.
"Apa?" Kim Siauw
Suseng mengerutkan kening. "Aku sudah kalah?"
"Ya." Tio Cie Hiong
mengangguk dan memberitahukan. "Lengan baju Paman telah berlubang tertusuk
tongkat bambu Kakek Pengemis, maka Paman sudah
kalah."
Kim Siauw Suseng segera
menengok lengan bajunya. Memang benar lengan bajunya telah berlubang. Sam Gan
Sin Kay tertegun, ternyata ia sendiri sama
sekali tidak mengetahui akan
hal itu.
"Aku... aku telah kalah?
Aku telah kalah..." gumam Kim Siauw Suseng penasaran.
"Sastrawan sialan!"
ujar Sam Gan Sin Kay jujur. "Aku tidak mengalahkanmu."
"Tapi lengan bajuku telah
berlubang." Kim Siauw Suseng menghela nafas. "Aku tidak menyangka Sam
Ciat Kun Hoatmu bertambah lihay, sehingga dapat
mengalahkanku."
"Terus terang, yang
mengalahkanmu adalah anak lelaki itu." Sam Gan Sin Kay menunjuk Tio Cie
Hiong.
"Pengemis bau, apa
maksudmu?" Kim Siauw Suseng mengerutkan kening.
"Begini..." sahut
Sam Gan Sin Kay dan menutur tentang semua itu. Kim Siauw Suseng mendengar
dengan mulut ternganga lebar.
"Apa?! Jadi... anak
lelaki itu yang menambahkan gerakan dalam Sam Ciat Kun Hoatmu?"
"Ya." Sam Gan Sin
Kay mengangguk. "Kalau tidak, tak mungkin tongkat bambuku sampai saat ini
dapat melubangi lengan bajumu."
"Pantas engkau
menyebutnya sebagai anak sakti!" Kim Siauw Suseng manggut-manggut.
"Tidak heran kalau dia juga mampu meniup suling emasku."
"Kini engkau sudah
percaya bahwa dia anak sakti?" tanya Sam Gan Sin Kay sambil tersenyum.
"Ya." Kim Siauw Suseng mengangguk. "Pengemis bau, kita masih
harus bertanding."
"Tentu," sahut Sam
Gan Sin Kay. "Sebab engkau masih ingin memperdengarkan Toh Hun Mi Im
kan?"
"Benar. Itulah
pertandingan kita berikutnya," ujar Kim Siauw Suseng, lalu ia duduk
bersila.
"Ha ha!" Sam Gan Sin
Kay tertawa gelak. Ia pun duduk bersila di hadapan Kim Siauw Suseng.
"Mulailah!"
Kim Siauw Suseng mulai meniup
suling emasnya, dan seketika terdengarlah suara suling yang sangat merdu.
Ketika suara suling itu mulai meninggi, Sam
Gan Sin Kay menghimpun tenaga
dalamnya, kemudian mengeluarkan siulan yang amat nyaring dan panjang. Mereka
berdua telah melupakan Tio Cie Hiong.
Ketika merasa telinganya
seperti ditusuk-tusuk, Tio Cie Hiong segera duduk dan mengerahkan Pan Yok Hian
Thian Sin Kang. Barulah ia merasa
telinganya tidak seperti
ditusuk-tusuk lagi. Ada satu hal yang tidak disadarinya, karena dengan adanya
suara suling dan suara siulan yang
mengandung Iweekang tingkat
tinggi itu, secara tidak langsung akan melatih Iweekangnya sendiri, sebab ia
akan terus menerus mengerahkan Pan Yok
Hian Thian Sin Kang untuk
menekan suara-suara itu, sehingga merupakan latihan yang sangat bermanfaat bagi
dirinya.
Sementara suara suling itu
makin meninggi, begitu pula suara siulan. Ternyata Kim Siauw Suseng dan Sam Gan
Sin Kay mulai mengadu Iweekang melalui
suara suling dan siulan.
Sedangkan Tio Cie Hiong terus mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang untuk
menekan suara-suara itu.
Kim Siauw Suseng dan Sam Gan
Sin Kay telah mengerahkan Iweekang masing-masing sampai pada puncaknya. Siapa
pun tidak berani berhenti lebih dulu,
sebab siapa yang berhenti
lebih dulu akan terluka oleh Iweekang lawan.
Akan tetapi, apabila mereka
terus mengadu Iweekang dengan cara demikian, akhirnya mereka pasti akan
mengalami luka dalam yang amat parah.
Wajah Kim Siauw Suseng dan Sam
Gan Sin Kay telah pucat pias. Keringat dingin mereka pun terus mengucur,
kedua-duanya sudah berada dalam keadaan
kritis.
Pada waktu bersamaan,
terdengarlah suara siulan yang halus menekan suara suling dan suara siulan Sam
Gan Sin Kay, sehingga membuat Kim Siauw Suseng
berhenti meniup sulingnya, dan
Sam Gan Sin Kay pun berhenti bersiul.
Ternyata tanpa sadar Tio Cie
Hiong mengeluarkan suara siulan, yang secara tidak langsung telah menolong Kim
Siauw Suseng dan Sam Gan Sin Kay.
Setelah Kim Siauw Suseng
berhenti meniup suling dan Sam Gan Sin Kay berhenti bersiul, Tio Cie Hiong pun
berhenti bersiul.
Kim Siauw Suseng dan Sam Gan
Sin Kay, keduanya memandang Tio Cie Hiong, yang kebetulan sedang membuka
perlahan sepasang matanya. Betapa terkejutnya
Kim Siauw Suseng dan Sam Gan
Sin Kay, karena mereka melihat mata Tio Cie Hiong menyorotkan sinar begitu tajam
dan terang.
Kim Siauw Suseng dan Sam Gan
Sin Kay saling memandang, lalu bangkit berdiri menghampiri Tio Cie Hiong yang
masih duduk bersemadi.
"Kakek Pengemis,
Paman!" panggil Tio Cie Hiong.
"Cie Hiong,
engkau...." Sam Gan Sin Kay menatapnya dengan mata terbelalak lebar.
"Bocah! Engkau sungguh
luar biasa sekali!" ujar Kim Siauw Suseng.
"Cie Hiong, aku ingin
memeriksa nadi dan peredaran darah dalam tubuhmu," ujar Sam Gan Sin Kay.
"Memangnya kenapa, Kakek
Pengemis?" tanya Tio Cie Hiong heran.
"Ingin mengetahui
sesuatu," sahut Sam Gan Sin Kay sambil menjulurkan tangannya untuk
memegang pergelangan tangan Tio Cie Hiong,
kemudian mengerahkan Iweekang
ke dalam tubuh anak itu. Maksud Sam Gan Sin Kay ingin memeriksa bagian dalam
Tio Cie Hiong.
Akan tetapi, mendadak Sam Gan
Sin Kay tampak tersentak, karena merasa ada hawa hangat dalam tubuh Tio Cie
Hiong mendesak keluar Iweekangnya.
Pengemis sakti itu penasaran.
la mengerahkan Iweekangnya lagi, tetapi hawa hangat itu pun terus mendesaknya
keluar. Itu sungguh mencengangkan Sam
Gan Sin Kay dan membuatnya
semakin penasaran, sehingga ia menambah Iweekangnya lagi.
Tapi mendadak keningnya
berkerut-kerut. Ia cepat-cepat berhenti mengerahkan Iweekangnya dan sekaligus
melepaskan tangan Tio Cie Hiong.
Ternyata ketika Sam Gan Sin
Kay menambah Iweekangnya, seketika juga ia merasa Iweekangnya tersedot, maka
cepat-cepat ia berhenti mengerahkan
Iweekangnya.
"Pengemis bau! Ada
apa?" taya Kim Siauw Suseng.
"Aku...." Sam Gan
Sin Kay menghela nafas. "Aku pun tidak tahu. Itu... itu sungguh
mengherankan, aku sama sekali
tidak mengerti."
"Pengemis bau, apa
gerangan yang terjadi?" Tanya Kim Siauw Suseng penasaran. Ia mengira Sam
Gan Sin Kay mempermainkannya.
"Sastrawan sialan!
Cobalah engkau periksa sendiri..., agar engkau mengetahuinya!" sahut Sam
Gan Sin Kay.
Kim Siauw Suseng segera
memegang tangan Tio Cie Hiong sambil mengerahkan Iweekangnya. Ia pun mengalami
hal yang sama, karena itu ia cepat-cepat
melepaskan tangan Tio Cie
Hiong.
"Kenapa bisa
begitu?" gumamnya. "Anak ini memiliki Iweekang apa?"
"Sastrawan sialan!"
Sam Gan Sin Kay tertawa. "Dia pernah memberitahukan kepadaku, bahwa dia
telah mempelajari semacam Iweekang dari sebuah kitab
tipis."
"Iweekang apa itu?"
tanya Kim Siauw Suseng.
"Dia sendiri pun tidak
tahu," sahut Sam Gan Sin Kay.
"Pengemis bau, apa yang
kau katakan memang tidak salah. Dia benar-benar anak sakti," ujar Kim
Siauw Suseng sambil memandang Tio Cie Hiong.
"Dia memang memiliki
Iweekang yang begitu luar biasa, tapi dia masih belum bisa mengendalikan
sebagaimana mestinya." Sam Gan Sin Kay memberitahukan
dengan kening berkerut.
"Sastrawan sialan, bisakah engkau memberi petunjuk kepadanya?" Kim
Siauw Suseng menggelengkan kepala, kemudian menghela nafas. "Bagaimana
engkau, pengemis bau?"
"Aaakh...!" Sam Gan
Sin Kay juga menghela nafas. "Kita berdua adalah Bu Lim Ji Khie, tapi
justru tidak mampu memberi petunjuk kepadanya. Rasanya
nama Bu Lim Ji Khie harus
dicoret dari rimba persilatan."
Kim Siauw Suseng
menggeleng-gelengkan kepala. "Ohya, engkau tahu siapa kedua orang
tuanya?"
"Tidak tahu," sahut
Sam Gan Sin Kay dan menambahkan. "Dia pernah bilang ingin mencari Ku Tok
Lojin. Apakah engkau kenal Ku Tok Lojin?"
"Ku Tok Lojin...."
Kim Siauw Suseng berpikir sejenak, kemudian menjawab sambil memandang
Tio Cie Hiong. "Dulu aku
pernah bertemu dengannya.
Setahuku dia teman baik Tok
Pie Sin Wan (Lutung Sakti Lengan Tunggal). Mungkin dia tahu Ku Tok Lojin berada
di mana."
"Paman! Di mana Tok Pie
Sin Wan?" tanya Tio Cie Hiong.
"Ha ha ha!" Sam Gan
Sin Kay tertawa mendadak.
"Eh?" Kim Siauw
Suseng menatapnya. "Pengemis bau, kenapa engkau tertawa? Apa yang
lucu?" "Paman! Di mana Tok Pie Sin Wan?" tanya Tio Cie Hiong.
"Ha ha ha!" Sam Gan Sin Kay tertawa mendadak.
"Eh?" Kim Siauw
Suseng menatapnya. "Pengemis bau, kenapa engkau tertawa? Apa yang
lucu?"
"Cie Hiong, engkau
memanggilnya paman?" Sam Gan Sin Kay memandangnya dan masih tertawa.
"Ya, memangnya
kenapa?" tanya Tio Cie Hiong.
"Seharusnya engkau
memanggilnya kakek." Sam Gan Sin Kay memberitahukan.
Tio Cie Hiong terbelalak.
"Dia masih begitu muda, kok aku harus memanggilnya kakek?"
"Dia masih muda?... Hua
Ha Ha Ha" Sam Gan Sin Kay tertawa gelak. "Dia memang kelihatan muda, tapi
usianya sudah delapan puluh lebih."
Tio Cie Hiong terperangah.
"Kenapa bisa begitu?"
"Ketika dia berusia empat
puluhan, tanpa sengaja memakan semacam buah ajaib, sehingga membuat dirinya
awet muda." Sam Gan Sin Kay memberitahukan.
"Ooooh!" Tio Cie
Hiong manggut-manggut.
"Bocah!" Kim Siauw
Suseng tersenyum. "Tidak apa-apa engkau memanggilku paman."
"Ya!" Tio Cie Hiong
mengangguk. "paman, Tok Pie Sin Wan itu berada di mana? Aku mau pergi
mencarinya."
"Dia berada di Goa Angin
Puyuh, di gunung Cing San." Kim Siauw Suseng memberitahukan. "Dari
sini engkau harus mengambil arah timur, beberapa hari