Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 33

Baca Cersil Mandarin Online: Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 33
Bagian 33

"sin Ni tahu Cin cu Ko itu tumbuh di mana?" tanya Tio Cie Hiong.

"Tahu" It sim sin N Imanggut-manggut. "Cin Cu Ko tumbuh di depan matamu" "Terima kasih, sin Ni Terima kasih" ucap Tio Cie Hiong dengan suara bergemetar. "Anak muda, tahukah engkau berapa usiaku?" tanya It sim sin Ni mendadak. "Bukankah sudah seratus tahun lebih?" jawab Cie Hiong.

"Benar," jawab It sim sin Ni tersenyum. "Terus terang, Tayli Lo Ceng adalah teman baikku di masa muda."

Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Pek Lian" seru It sim sin Ni.

"Ya, Guru" sahut salah seorang biarawati yang di luar.

"Cepat seduhkan teh swat Lian (Teratai salju) untuk tamu" ujar It sim sin Ni. "sudah hampir sepuluh hari tamu kita ini tidak tidur, tidak makan dan tidak minum. Kalau dia terus bertahan, pasti akan pingsan."

"Ya, Guru"

"Bagaimana sin Ni tahu?" gumam Tio Cie Hiong keheranan.

"Aku tahu itu dari wajahmu" It sim sin Ni tersenyum dan melanjutkan. "Engkau dapat mengimbangi kepandaian Tayli Lo Ceng, pertanda dirimu memiliki kepandaian yang sangat tinggi."

"Tidak juga, sin Ni," ^ahut Tio Cie Hiong merendah.

"Guru" Terdengar suara di luar. "Murid telah membawakan teh, bolehkah murid masuk?" "Masuklah" sahut It sim sin Ni.

"Ya, Guru" Biarawati itu masuk dengan membawa secangkir teh swat Lian. setelah menaruh ke hadapan Tio Cie Hiong, biarawati itu segera mengundurkan diri dari ruang gurunya.

"Anak muda, minumlah" ucap It sim sin

"Terima kasih, sin Ni" Tio Cie Hiong meneguk teh itu sungguh wangi rasanya. setelah masuk ke tenggorokannya, ia pun merasa segar.

"Tayli Lo Ceng tidak menceritakan tentang diriku?" tanya It sim sin Ni.

Tio Cie Hiong menggeleng kepala. "sin ni mengenai Cin cu Ko...,"

"Tenanglah" It sim sin Ni tersenyum lembut. "Aku kenal dia ketika usiaku baru sembilan tahun. saat itu usianya sebelas. Kami sangat cocok dan saling mengasihi. Aku memberitahukannya bahwa aku ingin jadi biarawati. Dia senang sekali karena dia pun ingin jadi rahib. setahun kemudian kami berpisah. Kira-kira lima belas tahun kemudian, kami berjumpa. saat itu aku sudah jadi biarawati, dan dia menjadi rahib. Betapa gembiranya saat itu. Namun setelah itu kami berpisah lagi. Dua puluh tahun kemudian, kami berjumpa kembali. Aku dan dia sama-sama sudah memiliki kepandaian tinggi. Namun kami tidak pernah memamerkan kepandaian, maka kaum rimba persilatan sama sekali tidak tahu tentang kami berdua. saat hendak berpisah, aku memberikannya kantong kain ini, dan berjanji apabila aku melihat kantong ini, harus memberi bantuan pada si pembawa. Terus terang, aku ingin menjajal ilmu ramalnya"

Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Ternyata ilmu ramalnya lebih tinggi dariku" It sim sin Ni tersenyum. "Aku harus mengaku kalah padanya."

"Maaf, bolehkah aku bertanya?"

"Tanyalah"

"Apakah sin Ni dan Lo Ceng, menjadi sepasang kekasih?"

It sim sin ni tersenyum lagi. "Kami memang sepasang kekasih yang tak terpisahkan"

"Tapi...,"

"Tentunya engkau merasa heran kenapa aku mengatakan begitu, bukan?"

"Ya"

"Kami berdua saling mengasihi, menyayangi dan mencintai." It sim sin ni menjelaskan, "Tapi semua itu tidak ternoda oleh hawa nafsu birahi, artinya suci murni" tutur wanita itu. Lalu mulutnya tersenyum. "Aku tahu engkau berhati Budha, tapi tidak berjodoh jadi rahib" lanjut It sim sin ni melanjutkan sambil menatap Tio Cie Hiong dengan penuh perhatian. "Engkau ditakdirkan harus punya isteri dan anak. tapi harus pula mengalami berbagai macam percobaan."

"Sin Ni, selanjutnya aku masih harus mengalami percobaan?" tanya Tio Cie Hiong mendadak. It sim sin ni mengangguk. "Engkau memang masih harus mengalami berbagai percobaan."

Tio cie Hiong menggeleng-geleng kepala. "Padahal aku tidak pernah membunuh orang, bahkan selalu berbuat kebaikan. Kenapa harus mengalami berbagai percobaan?"

"Anak muda" It sim sin ni tersenyum. "Mau jadi orang baik, justru harus mengalami berbagai percobaan. Kalau engkau tidak bisa tabah dan tenang menghadapinya, niscaya akan berubah jahat. Apabila engkau tabah dan tenang menghadapi berbagai percobaan itu, engkau akan hidup bahagia kelak"

"Sin Ni" Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Kenapa orang jahat tidak pernah mengalami percobaan?"

"Anak muda" It Sim Sin N i tersenyum lagi. "Orang jahat memang tidak akan mengalami percobaan, sebab mereka sudah jahat. Tapi mereka akan menerima ganjarannya, engkau mengerti?"

Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Sin Ni, artinya aku masih harus mengalami berbagai percobaan lagi?"

It Sim Sin N Imengangguk, "ingat Engkau harus tabah dan tenang menghadapi percobaan-percobaan itu. Percayalah, engkau akan hidup tenang, damai, dan bahagia kelak"

"Terima kasih atas wejangan Sin Ni," ucap Tio Cie Hiong sambil memberi hormat.

It Sim Sin N Imanggut-manggut, kemudian mengeluarkan sebuah botol kecil, diberikan pada Tio Cie Hiong. "Botol ini berisi belasan butir Cin Cu Ko. Untuk calon isterimu cukup diberikan sebutir saja Sisanya engkau simpan baik-baik, sebab masih ada gunanya" "Terima kasih, Sin Ni" Tio Cie Hiong menerima botol itu dengan penuh kegirangan.

"Ohya, bagaimana wajah calon isterimu?" tanya It Sim Sin Ni mendadak.

"Pucat pias dan dingin sekujur badannya," jawab Tio Cie Hiong.

"Kalau begitu...." It sim Sin N i tersenyum. "Seratus hari kemudian, calon isterimu tidak akan

mati. Dia akan siuman, tapi musnah kepandaiannya dan wajahnya akan berubah buruk" Tio cie Hiong terkejut mendengar penjelasan itu.

"Siapa yang terkena racun itu," It sim sin N Imenjelaskan. "Apabila wajahnya memerah dan panas sekujur badannya, maka seratus hari kemudian dia pasti mati dengan tubuh membusuk. oleh karena itu, siapa yang terkena racun itu dengan tanda-tanda tersebut, engkau harus memberikannya dua butir."

"Ya, sin Ni." Tio Cie Hiong mengangguk.

"ingat Apabila engkau mengalami percobaan lagi, hadapilah dengan tabah dan tenang" pesan It sim sin Ni lagi.

"Ya, sin Ni."

"Sekarang engkau boleh pulang." It sim sin Ni menatapnya lembut. "Kalau ada jodoh, kita akan bertemu lagi kelak."

"Terima kasih, sin Ni," ucap Tio cie Hiong lalu bersujud. setelah itu dia meninggalkan biara di Gunung Hong Lay San.

Kiu Ci Cui Kay menyambut Tio Cie Hiong dengan penuh tanda tanya. Dan melihat wajah Tio cie Hiong tampak berseri, pengemis itu berlega hati.

"Berhasil?" tanyanya.

"Ya" Tio Cie Hiong mengangguk sambil mengeluarkan botol kecil pemberian It sim sin Ni. Kemudian dengan hati-hati sekali dituangkan sebutir Cin cu Ko ke tangannya. setelah itu, dimasukkannya ke dalam mulut Lim Ceng Im.

Tio cie Hiong duduk di pinggir ranjang dengan hati kebat-kebit, sedangkan Kiu ci cui Kay berdiri dengan perasaan tegang.

Beberapa saat kemudian, wajah Lim Ceng Im mulai berubah normal, begitu pula sekujur badannya, tidak begitu dingin lagi.

Tio cie Hiong menarik nafas lega dan terus duduk di pinggir ranjang. Tak lama badan Lim Ceng Im tampak bergerak lalu matanya terbuka perlahan-lahan.

"Adik Im Adik Im...," panggil Tio Cie Hiong.

" Kakak Hiong...," lenguh Lim Ceng Im lemah.

Tio Cie Hiong menggenggam tangan Lim Ceng Im dengan mata berkaca-kaca. "syukurlah engkau sudah siuman"

Lim Ceng Im tampak tercengang, gadis itu mau bangun tapi cepat-cepat Tio Cie Hiong mencegahnya. "Adik Im, beristirahat saja"

"Kakak Hiong, kenapa badanku tak bertenaga? Apa gerangan yang telah terjadi?"

Tio Cie Hiong pun menceritakan peristiwa yang baru mereka alami sejak dari rumah penginapan tempo hari. Lim Ceng Im terkejut bukan main. "Aku... aku terkena racun Pek Jit Mi Hun Tok?"

Tio Cie Hiong mengangguk. "Kita harus berterima kasih pada Tayli Lo Ceng dan It sim sin Ni"

"Sungguh hebat dan jitu ramalan Tayli Lo Ceng" ujar Lim Ceng Im. "Kalau waktu itu Tayli Lo Ceng tidak muncul dan memberikanmu kantong kain itu, aku pasti mati seratus hari kemudian."

"Mati sih tidak. tapi kepandaianmu akan musnah." Tio Cie Hiong memberitahukan berdasarkan apa yang didengarnya dari It sim sin Ni.

" Kakak Hiong siapa kira-kira yang meracuni aku?"

"sudah pasti berkaitan dengan si sam itu," ujar Tio Cie Hiong lalu menghela nafas panjang. "It sim sin Ni bilang, aku memang harus mengalami berbagai percobaan. setelah itu, barulah bisa hidup tenang, damai dan bahagia"

"Itu yang disebut pahit duluan, manis belakangan" ujar Lim Ceng Im sambil tersenyum.

"Adik Im...," Tio Cie Hiong menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Aku, aku senang sekali, engkau sudah bisa senyum."

"Nona Im" Kiu Ci Cui Kay menyela sambil tertawa. "Ketika engkau tidak siuman, dia terus menangis dan menyatakan apabila seratus hari kemudian engkau mati, dia akan ikut mati."

Lim Ceng Im tersenyum. "Kakak Hiong, benarkah itu?"

"Benar" Tio Cie Hiong mengangguk. "Engkau segala-galanya bagiku. Kalau engkau mati, apa gunanya aku hidup lagi?"

"Kakak Hiong...." Betapa terharunya Lim Ceng Im, sehingga matanya jadi bersimbah air. "Kakak

Hiong, aku... aku terharu sekali"

Bab 51 Lenyap bagaikan asap

Racun Pek Jit Mi Hun Tok yang di dalam tubuh Lim Ceng Im memang telah dipunahkan dengan cin cu Ke. Namun badan gadis itu masih lemah. Karena itu, Tio Cie Hiong melarangnya bangun dari ranjang.

"Adik Im" Tio Cie Hiong membelainya. "Engkau masih perlu beristirahat, sebab keadaan badanmu masih lemah."

"Kakak Hiong mahir ilmu pengobatan, belikan aku obat agar tubuhku cepat pulih seperti sedia kala."

Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Baiklah, aku akan pergi beli obat untukmu."

"Biar aku saja yang pergi beli," usul Kiu Ci Cui Kay.

"Lebih baik aku saja," ujar Tio Cie Hiong. "Karena aku masih harus belanja keperluan-keperluan Adik Im."

"Terima kasih, Kakak Hiong," ucap Lim Ceng Im sambil tersenyum manis.

"Kiu ci Cui Kay," pesan Tio Cie Hiong. "Tolong jaga Ceng Im"

Kiu Ci Cui Kay mengangguk. "Baik, pergilah"

Tio cie Hiong sebera berangkat ke kota terdekat untuk membeli obat dan berbagai keperluan Lim Ceng Im.

Ketika hari mulai gelap. ia pulang dengan membawa tiga bungkus obat dan berbagai macam keperluan Lim Ceng Im.

Namun sampai di depan rumah, kening Tio Cie Hiong berkerut, karena melihat pintu rumah itu terbuka lebar.

segeralah ia masuk. sampai di dalam dia tersentak dengan wajah pucat. Ternyata Kiu Ci Cui Kay terkapar di lantai sudah jadi mayat. sementara Ceng Im tidak ada.

"Adik Im Adik Im..." teriak Tio Cie Hiong dan apa yang dibawanya terlepas dari tangannya. "Adik Im Adik Im..."

Tiada sahutan. Hanya terdengar suara hembusan angin dari luar rumah. Tio Cie Hiong terus berteriak-teriak memanggil Lim Ceng Im, namun tetap tiada sahutan.

Wajah Tio Cie Hiong pucat pias bagaikan kertas. Matanya bersimbah karena sedih dan kecewa.

Kemudian perlahan ia mendekati mayat Kiu Ci Cui Kay untuk memeriksanya.

Ternyata Kiu Ci Cui Kay mati terkena pukulan yang mengandung Iweekang dahsyat, sehingga perut dan isinya hancur berantakan. Namun sungguh mengherankan, keadaan rumah tidak porak poranda. Itu berarti Kiu Ci Cui Kay tak mampu melawan.

Yang mencemaskan Tio Cie Hiong adalah hilangnya Lim Ceng Im, sebab tidak meninggalkan jejak sama sekali. Betapa bingung hatinya, bagaikan orang gila. la melesat ke sana ke mari sambil berteriak-teriak memanggil Lim Ceng Im dan akhirnya jatuh duduk di tanah. seketika juga ia teringat kepada It sim sin ni, mungkin sin ni tersebut bisa memberi petunjuk kepadanya. Demikian pikir Tio cie Hiong, dan langsung berangkat ke Gunung Hong Lay san.

Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong tiba di kaki Gunung Hong Lay san. Ketika ia baru mengerahkan ginkangnya menuju puncak. mendadak muncul kedua murid It sim sin ni.

"Guru menyuruh kami menyerahkan surat ini kepadamu." salah seorang dari kedua murid itu memberitahukan sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Tio Cie Hiong. setelah menyerahkan, kedua murid It sim sin Ni itu melesat ke puncak.

Tio Cie Hiong segera membaca surat itu yang berbunyi demikian. "Harus tabah dan tenang menghadapi suatu percobaan, sebab jalan hidupmu memang harus mengalami berbagai percobaan setelah itu, barulah engkau bisa hidup tenang damai dan bahagia.

Tertanda It sim sin Ni"

"Aaaakh...." Tio Cie Hiong jatuh duduk. "Baik-lah. Aku akan menghadapi percobaan ini dengan

tabah dan tenang." gumamnya.

seusai bergumam, Tio Cie Hiong lalu bersemadi. Entah berapa lama kemudian barulah ia membuka matanya, dan kini ia tampak lebih tenang.

"Adik Im" teriaknya keras-keras. "Aku pasti mencarimu...." setelah berteriak demikian, ia

melesat pergi meninggalkan Gunung Hong Lay san.

-ooo)00000(ooo-

"Ha ha ha Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa terbahak-bahak. "Rasakan Tio Cie Hiong Walau engkau telah memunahkan racun Pek Jit Mi Hun Tok yang mengindap di dalam tubuh Lim Ceng Im, tapi kini engkau malah berpisah dengan gadis itu Ha ha ha"

"Dia pasti jadi gila karena memikirkan jantung hatinya itu," ujar Thian Mo sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Dia mana tahu kekasihnya dikurung di sini He h e he...."

"Begitu pula yang lain," sambung Te Mo sambil meneguk arak. "Lo Mo, kini sudah banyak tokoh golongan hitam bergabung dengan kita, mungkin sudah waktunya Bu Tek Pay muncul di rimba persilatan."

"Benar." Tang Hai Lo Mo tertawa gembira. "siapa yang tidak mematuhi perintah Bu Tek Pay, harus dibunuh tanpa ampun"

"He he he" Thian Mo tertawa terkekeh-kekeh lagi. "Akhirnya rimba persilatan jatuh ke tangan kita siapa yang berani menentang Bu Tek Pny, harus dibasmi sampai ke akar-akarnya"

"Lo Mo" Wajah Te Mo tampak serius. "Aku punya suatu ide."

"Ide apa?" tanya Tang Hai Lo Mo.

"Kita tahu suku Miauw yang di pedalaman, kan? Mereka sangat membenci orang Tionggoan. oleh karena itu, kita mengutus beberapa orang untuk menyebarkan berita...," jawab Te Mo dan menambahkan. "Bahwa mereka melihat segerombolan orang Miauw membawa Lim Ceng Im ke daerah Miauw Nah, otomatis Tio Cie Hiong akan menyusul ke sana."

"Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gembira. "Ide yang bagus Kalau Tio Cie Hiong sudah memasuki daerah Miauw, pasti sulit baginya untuk kembali ke Tionggoan lagi Ha ha ha..."

"orang-orang Miauw rata-rata mahir ilmu racun. Maka begitu memasuki daerah Miauw, Tio Cie Hiong harus menghadapi berbagai macam racun," ujar Thian Mo. "sebelum menemui kepala suku Miauw, dia pasti sudah mati keracunan."

"Menyinggung soal racun...." Tang Hai Lo Mo mengerutkan kening. "Justru sungguh

mengherankan, kenapa pada waktu itu dia tidak terkena racun Pek Jit Mi Hun Tok? Padahal dia minum teh yang telah dicampuri racun itu."

"Mungkinkah dia kebal terhadap racun?" Thian Mojuga mengerutkan kening. "Kalau begitu, dia tidak akan mati keracunan di daerah Miauw."

"Itu tidak jadi masalah." Te Mo tertawa. "Kita kan tahu, kepala suku Miauw berkepandaian tinggi. Lagi pula belum tentu Tio Cie Hiong mampu melewati tiga rintangan itu."

"Benar." Tang Hai Lo Mo tertawa gelak dan menambahkan. "Begitu Tio Cie Hiong berangkat ke daerah Miauw, Bu Tek Pay pasti muncul dalam rimba persilatan."

"Mungkin tidak lama lagi Lam Kiong Bie Liong dan lainnya akan memasuki Tionggoan? Bagaimana kalau kita culik mereka?" tanya Thian Mo.

"Itu memang harus He he he" Tang Hai Lo Mo tertawa terkekeh-kekeh, kemudian mengerutkan kening. "seandainya Tio Cie Hiong bisa selamat di daerah Miauw dan kembali ke Tionggoan, bagaimana tindakan kita?"

"Itu urusan nanti" sahut Thian Mo. "Kini kita bertiga sudah memiliki kepandaian yang sangat tinggi, maka kita tidak usah takut kepadanya."

"Benar" Tang Hai Lo Mo manggut-manggut. "Apabila perlu, kita akan berhadapan langsung dengannya."

"He he he" Te Mo tertawa terkekeh. "siapa yang mampu menahan pukulan gabungan kita? Kini dalam rimba persilatan sudah tiada It Ceng dan Ji Khie, yang ada hanya sam Mo."

"Tidak salah. Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Ha ha ha..."

Tio Cie Hiong sudah tiba di kota Kiu Ling. la mampir di sebuah kedai teh dan duduk di tempat yang pernah dia duduki bersama Lim Ceng Im. Pelayan segera menyuguhkan secangkir teh. Kemudian Tio Cie Hiong menghirup teh itu sambil melamun.

Di sebelah kirinya duduk beberapa orang berpakaian ketat, yang kelihatannya kaum rimba persilatan.

"Rimba persilatan memang sudah kacau. Bu Lim Ji Khie, ketua Kay Pang dan para ketua tujuh partai hilang begitu saja."

"oleh karena itu, para penjahat mulai bermunculan."

Begitulah percakapan mereka, yang didengar Tio Cie Hiong. Akan tetapi berita itu bukan merupakan berita aktual dalam rimba persilatan, sebab Tio Cie Hiong sudah tahu jelas tentang itu Hanya saja mendadak air mukanya tampak berubah, karena orang-orang itu menyinggung tentang seseorang gadis.

"Kasihan gadis cantik jelita itu, sepasang tangannya dirantai."

"siapa gadis itu?"

"Aku tidak kenal. Tapi dia terus berteriak-teriak memanggil seseorang."

"Memanggil siapa?"

Kakak Hiong Kakak Hiong Gadis itu terus berteriak begitu."

Engkau menyaksikannya dengan mata kepala sendiri?"

"Tentu. Kalau tidak. bagaimana mungkin aku menceritakannya? sebetulnya aku ingin menolongnya, tapi...."

Kenapa?"

Rasanya aku tidak mampu melawan mereka. Aaakh... Aku sungguh malu, hanya menyaksikan, tidak bisa berbuat apa-apa"

"siapa mereka yang membawa gadis itu?"

"Berdasarkan pakaian mereka, aku yakin mereka orang Miauw. Mungkin gadis itu akan dibawa ke daerah Miauw."

sementara Tio Cie Hiong terus mendengarkan dengan penuh perhatian. la terkejut bercampur girang karena mengetahui jejak Lim Ceng Im.

Engkau tidak malu menceritakan tentang itu? Melihat gadis Tionggoan ditangkap orang Miauw hanya diam saja Huh Dasar pengecut"

"Aku memang pengecut, sebab kepandaianku rendah sekali. Kalau kepandaianku setinggi Pek Ih sin Hiap. tentu sudah kuhabiskan orang-orang Miauw itu."

"Heran Kenapa mereka menculik gadis itu?"

"Bukankah kita tahu bahwa orang Miauw masih primitif . Lagi pula mereka mempercayai tahyul, maka kemungkinan besar gadis itu akan dijadikan tumbal untuk suatu upacara. sungguh kasihan gadis itu"

Mendengar sampai di situ, Tio Cie Hiong segera menaruh setael perak di atas meja lalu meninggalkan kedai teh itu.

setelah Tio Cie Hiong pergi, beberapa orang itu tertawa terbahak-bahak.

"Tio cie Hiong pasti segera berangkat ke daerah Miauw. Tugas kita menyebarkan berita ini telah kita laksanakan dengan baik. Ketua pasti gembira sekali."

"Kalau begitu, kita harus segera kembali ke markas untuk melapor. Kemungkinan kedudukan kita akan naik. Ha ha ha"

Tio Cie Hiong memang tidak tahu, bahwa sesungguhnya beberapa orang itu diutus oleh sam Mo untuk menyebarkan berita tersebut, agar Tio Cie Hiong mendengarnya dan segera berangkat ke daerah Miauw.

Kini istana Te Mo yang ada di dalam goa telah dijadikan markas Bu Tek Pay (Partai Tanpa Tanding). Beberapa orang itu ternyata kaum golongan hitam yang bergabung dengan partai tersebut.

Mereka segera kembali ke markas dengan wajah berseri. Ketika itu Sam Mo duduk di kursi, la memandang mereka dengan tajam.

"Lapor kepada Ketua, tugas itu telah kami laksanakan dengan baik sesuai dengan keinginan hati Ketua."

"Bagus Bagus Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Kalau begitu, Tio Cie Hiong pasti berangkat ke daerah Miauw."

"Ya, Ketua."

"Dia tidak mencurigai kalian?" tanya Thian Mo.

"Sama sekali tidak. Kami bercakap-cakap di sebelahnya, dan dia hanya mendengarkan tanpa bertanya. Lagi pula dia tidak mengenal kami, maka tidak akan mencurigai kami."

"Bagus" Tang Hai LoMo manggut-manggut. "Karena kalian telah melaksanakan tugas dengan baik, maka kalian berempat kuangkat menjadi kepala regu"

"Terima kasih, Ketua" ucap mereka berempat serentak.

"Tan Kok Yauw" seru Thian Mo.

"Ya" Tan Kok Yauw maju selangkah sambil memberi hormat. "Siap terima perintah" "Mulai sekarang, engkau sebagai kepala regu bendera merah," ujar Thian Mo.

"Terima kasih, Ketua" ucap Tan Kok Yauw dengan bergirang hati, latu mundur selangkah. "Lie Kiat Houw" seru Te Mo

"Ya" Lie Kiat IHouw maju selangkah sambil memberi hormat. "Siap terima perintah"

"Mulai sekarang, engkau kuangkat menjadi kepala regu bendera kuning," ujar Te Mo sambil tertawa.

"Terima kasih, Ketua" ucap Lie Kiat Houw dengan wajah berseri.

"Kwee Tiong seng" seru Tang Hai Lo Mo.

"Ya" Kwee Tiong seng maju selangkah dan memberi hormat. "siap terima perintah"

"Mulai sekarang, engkau sebagai kepala regu bendera hijau." Tang Hai Lo Mo memberitahukan.

"Terima kasih, Ketua" ucap Kwee Tiong seng.

"Lauw Liang Hauw" seru Thian Mo.

"Ya" Lauw Liang Hauw maju selangkah sambil memberi hormat. "siap terima perintah"

"Mulai sekarang, engkau kuangkat menjadi kepala regu bendera hitam" ujar Thian Mo sambil tertawa.

"Terima kasih, Ketua" ucap Lauw Liang Hauw.

"Puaskah kalian dengan pengangkatan ini?" tanya Tang Hai Lo Mo sambil menatap mereka satu persatu.

"Kami merasa puas," sahut mereka berempat serentak. "Terima kasih atas kebaikan Ketua Kami pasti setia kepada Bu Tek Pay."

"sekarang kalian boleh kembali ke tempat masing-masing," ujar Tang Hai Lo Mo dan menambahkan. "Juga boleh beristirahat."

"Terima kasih, Ketua" ucap mereka berempat sambil memberi hormat, lalu meninggalkan ruang itu.

"Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Bagaimana menurut kalian berdua, apakah Tio cie Hiong sudah berangkat ke daerah Miauw?"

"Pasti sudah," sahut Thian Mo dan Te Mo. "Lim Ceng Im adalah kekasihnya, maka begitu memperoleh berita itu, dia pasti berangkat."

"Alangkah baiknya kalau dia mati di daerah Miauw, jadi kita tidak perlu turun tangan," ujar Tang Hai Lo Mo. "Mulai sekarang, Bu Tek Pay sudah muncul di rimba persilatan. siapa berani menentang, harus dibunuh tanpa ampun."

"Benar." Thian Mo dan Te Mo manggut-manggut sambil tertawa gelak. "Ha ha"

Memang benar Tio Cie Hiong sudah berangkat menuju daerah Miauw dengan menunggang kuda. Karena kebetulan melewati kota An wie, maka ia mampir di rumah guru silat Tan.

Betapa girangnya guru silat Tan ketika melihat Tio Cie Hiong, karena tidak menyangka kalau pemuda itu akan mengunjunginya.

"cie Hiong cie Hiong" panggilnya dengan mata berkaca-kaca karena terharu atas kunjungannya .

Tio cie Hiong memberi hormat. "Silakan duduk" ucap guru silat Tan.

Ketika Tio cie Hiong duduk, muncullah Tan Li cu. Begitu melihat Tio cie Hiong, wanita itu langsung mendekatinya lalu mendekap di dadanya sambil terisak-isak.

"Eh? Adik Li Cu?" Tio Cie Hiong tertegun. "Kenapa engkau menangis?" tanyanya.

"Kakak Hiong...." Air mata Tan Li cu berderai. "Aku gembira sekali. Aku...."

"Kalau gembira harus tertawa, jangan menangis" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.

"Li Cu Duduklah" ujar guru silat Tan.

"Ya, Ayah." jawab Tan Li cu lalu duduk.

"ohya, Adik Li Cu" Tio Cie Hiong menatapnya. " Engkau sudah punya anak?"

"Ng" Tan Li cu mengangguk. "Anak perempuan."

"Namanya?"

"Lim Ay Lan."

"Nama yang indah" Tio Cie Hiong tersenyum. "ohya, di mana Lim Hay Beng, suamimu?" "Dia... dia...." Tan Li Cu mulai terisak-isak lagi. " Kenapa dia?" Tlo Cie Hiong terkejut.

"Dia sudah mati," sahut Tan Li cu dengan air mata bercucuran.

" Kapan dan bagaimana dia mati?" tanya Tio Cie Hiong dengan kening berkerut-kerut.

"Dua puluh hari yang lalu, dia mati dibunuh orang." Tan Li cu memberitahukan sambil menangis sedih.

"siapa yang membunuhnya?"

"Liu siauw Kun."

"Liu siauw Kun?" Tio Cie Hiong heran. "siapa Liu siauw Kun itu?"

"Engkau yang mengalahkannya, bahkan juga memusnahkan kepandaiannya." Tan Li cu memberitahukan. "Pemuda hidung belang dan jahat itu. Apakah engkau sudah lupa?"

Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Kepandaiannya telah kumusnahkan tapi kenapa masih membunuh Lim Hay Beng?"

"cie Hiong" Guru silat Tan menggeleng-gelengkan kepala. "Memang mengherankan, lagi pula kini kepandaiannya tinggi sekali."

" Kenapa bisa begitu?" Tio cie Hiong tidak habis pikir.

"Kakak Hiong..." ujar Tan Li cu. "Apabila engkau bertemu Liu siauw Kun, bunuhlah dia" "Baik," Tio cie Hiong mengangguk.

"Terima kasih, Kakak Hiong" ucap Tan Li cu.

"cie Hiong" Guru silat Tan memberitahukan. "Ibu Yap In Nio telah meninggal."

"Adik In pergi mencarimu," sambung Tan Li cu. "Apakah engkau telah bertemu dengannya?"

"Dia...." Tio Cie Hiong menghela nafas panjang. "Aaaaakh..."

"Kenapa dia?" tanya Tan Li cu dengan wajah berubah.

"Dia sudah mati." Tio Cie Hiong menutur tentang kejadian yang menimpa Yap In Nio. "Dia mati dalam pelukanku, namun nasibnya sungguh malang."

"Aaakh..." Guru silat Tan dan putrinya menarik nafas. "Sungguh di luar dugaan"

"ohya, Kakak Hiong" Tan Li cu menatapnya. "Apakah engkau sudah punya kekasih?"

"Sudah." Tio cie Hiong mengangguk. "Tapi...."

"Kenapa?"

"Namanya Lim Ceng Im...." tutur Tio Cie lliong dan melanjutkan. "Karena itu, aku menuju

daerah Miauw."

Tan Li cu menggeleng-gelengkan kemala. "Aku tidak menyangka kalau engkau telah mengalami kejadian-kejadian itu."

"Cie Hiong" Guru silat Tan memandangnya. "Setiba di daerah Miauw engkau harus berhati-hati"

" Kenapa?"

"sebab orang-orang Miauw sangat membenci orang Tionggoan." Guru silat Tan memberitahukan. "Hal itu dikarenakan puluhan tahun lalu, segerombolan penjahat dari Tionggoan kabur ke daerah Miauw, dan mereka membantai penduduk di sana. Maka sejak saat itu orang-orang Miauw sangat membenci orang Tionggoan."

"Oooh" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Aku pasti berhati-hati."

"Kakak Hiong..." tanya Tan Li cu sambil menundukkan kepala. "Apakah engkau masih akan ke mari kelak?"

"Mudah-mudahan" sahut Tio Cie Hiong dan berpesan. "ohya, Adik Li Cu Baik-baiklah mendidik putrimu. Engkau jangan mengajarnya ilmu silat, agar dia tidak berkecimpung di rimba persilatan kelak"

"Ya." Tan Li cu mengangguk.

"setelah membunuh Lim Hay Beng, Liu siauw Kun lalu ke mana?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.

"sejak saat itu dia menghilang entah ke mana," jawab Tan Li cu.

Kalau begitu, engkau harus waspada," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Aku khawatir dia akan muncul kembali."

"Benar," Guru silat Tan manggut-manggut. "Karena itu, kami sudah siap pindah."

"Mau pindah ke mana?"

"Mungkin ke pinggir kota."

"Itu lebih baik," Tio Cie Hiong mengangguk. " Ketika pindah, jangan sampai orang lain tahu" "Ya." Guru silat Tan manggut-manggut.

"Adik Li Cu" Tio Cie Hiong bangkit berdiri. "Aku mohon pamit"

"Kakak Hiong...." Air mata Tan Li cu langsung meleleh. "Kenapa cepat-cepat pergi?,"

"Aku harus memburu waktu, sebab Ceng Im dalam keadaan bahaya."

"Kakak Hiong...." Tan Li cu terisak-isak. "Kapan engkau akan mengunjungi kami lagi?"

"setelah urusanku beres, aku pasti ke mari."

"Jangan bohong ya, Kakak Hiong"

"Aku tidak bohong." Tio Cie Hiong tersenyum. "Paman, Adik Li Cu sampai jumpa"

Guru silat Tan dan putrinya mengantar Tio Cie Hiong sampai di luar rumah. setelah pemuda itu memacu kudanya, barulah mereka kembali masuk rumah.

"Aaaakh..." Guru silat Tan menghela nafas. "Tio Cie Hiong memang pemuda yang sangat baik, dia masih ingat kepada kita."

"Ayah...." Air mata Tan Li cu berderai. "Kini aku sudah menjadi janda. seandainya dia bersedia

menerimaku, akupun rela menjadi pelayannya."

"Nak...." Guru silat Tan menggeleng gelengkan kepala. "Engkau harus ingat akan pesannya,

didiklah Ay Lan baik-baik Jangan memikirkan yang bukan-bukan"

"Ya, Ayah." Tan Li cu mengangguk sambil terisak-isak.

Bab 52 sesepuh suku Miauw yang ramah

Tio Cie Hiong sudah mulai memasuki daerah Miauw. la agak terbelalak ketika melihat pakaian orang Miauw yang sangat aneh. Yang mengherankannya adalah sikap orang-orang Miauw. Mereka memandangnya dengan penuh kebencian dan menyingkir jauh-jauh.

Mendadak ia mendengar suara teriakan-teriakan. Ketika ia berpaling, tampak puluhan orang Miauw berlari-lari dengan wajah cemas.

Karena ingin tahu apa yang terjadi, maka Tio Cie Hiong mengikuti mereka ke tempat itu.

Puluhan orang Miauw berkerumun di situ dan terus berteriak-teriak. tetapi Tio Cie Hiong sama sekali tidak mengerti, karena mereka menggunakan bahasa Miauw.

Tio Cie Hiong meloncat turun dari kudanya, lalu menghampiri mereka, tetapi seketika orang-orang Miauw itu menyingkir. Terlihat seorang wanita Miauw sedang menangisi anak gadis kecil yang tergeletak di situ, yang wajahnya pucat pias.

Tio Cie Hiong mendekati anak gadis kecil itu, yang ternyata sedang dalam keadaan pingsan. Tanpa menghiraukan sorot mata orang-orang Miauw yang penuh kebencian, Tio Cie Hiong langsung memeriksa anak gadis kecil itu lalu mengerahkan lweekangnya sekaligus disalurkan ke tubuh si anak gadis.

Tak seberapa lama kemudian, anak gadis kecil tersebut siuman, lalu memeluk wanita Miauw itu erat-erat.

Tio Cie Hiong tersenyum, dan mengeluarkan sebutir obat lalu dimaksukkannya ke dalam mulut anak gadis kecil.

Wanita Miauw itu terus menatap Tio Cie Hiong, kemudian mengucapkan beberapa patah kata. Namun Tio Cie Hiong sama sekali tidak mengerti. Maka ia hanya manggut-manggut sambil tersenyum dan menghampiri kudanya.

Ketika itu tiba-tiba muncul beberapa pemuda Miauw dengan berbagai macam senjata tajam, lalu mengepung Tio Cie Hiong.

Wanita Miauw itu langsung berteriak-teriak. sehingga membuat pemuda-pemuda Miauw itu menjadi ragu menyerang Tio Cie Hiong.

Tio Cie Hiong tersenyum sambil meloncat ke punggung kudanya, dan kuda itu lalu berjalan perlahan-lahan.

Baru beberapa langkah kudanya berjalan, tiba-tiba terdengar suara jeritan anak kecil. Ketika Tio Cie Hiong menolehkan kepalanya ke arah datangnya suara jeritan itu, tampak seorang anak kecil terjatuh dari pohon setinggi belasan depa.

Tanpa membuang waktu, Tio Cie Hiong langsung mengerahkan ginkangnya melesat ke sana.

orang-orang Miauw menyaksikannya dengan mulut ternganga, lalu ikut berlari-lari ke sana.

Tio Cie Hiong berhasil menyambar anak kecil itu, lalu melayang turun. setelah itu, ditaruhnya anak kecil tersebut ke tanah lalu di-belai-belainya.

orang-orang Miauw terus memandangnya, dan di antaranya ada yang mulai berbisik-bisik. Tio cie Hiong hanya tersenyum, sebab tatapan mereka sudah tidak lagi mengandung kebencian.

Kemudian Tio Cie Hiong berjalan menghampiri kudanya. Di saat bersamaan muncullah seorang tua suku Miauw dan mendekatinya. "Anak muda" panggil orang tua itu.

Tio Cie Hiong tertegun dan girang, karena orang tua itu bisa berbahasa Han. "Paman" serunya sambil menghampirinya. "Apakah Paman mengerti bahasa Han?"

"Mengerti." orang tua itu tertawa. "Terima kasih Anak muda, engkau telah dua kali menyelamatkan anak-anak Miauw"

"sama-sama, Paman." Tio Cie Hiong tersenyum. "Paman, bolehkah aku tahu siapa Paman?^

"Aku tergolong sesepuh suku Miauw," jawab orang tua itu memberitahukan. "Apakah engkau dari Tionggoan?"

"Betul, Paman."

"Namamu?"

"Tio Cie Hiong."

"Ada urusan apa engkau datang di daerah in^?"

"Aku mencari seorang gadis." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Karena ada orang melihat gadis itu ditangkap orang-orang Miauw, maka aku menyusul ke mari."

"Apa?" Sesepuh Miauw itu melongo. "Orang-orang Miauw menangkap gadis Tionggoan?"

"Benar."

"Siapa yang menyaksikannya?" "Kaum persilatan Tionggoan."

"Heran..." gumam sesepuh Miauw itu. "Setahuku, orang-orang Miauw tidak pernah memasuki daerah Tionggoan."

"Tapi ada orang menyaksikannya dengan mata kepala sendiri," ujar Tio cie Hiong.

"Tidak mungkin." Sesepuh Miauw itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Paman, bolehkah aku bertemu kepala suku Miauw?" tanya Tio cie Hiong mendadak. "Mungkin kepala suku Miauw tahu tentang itu."

"Anak muda" Sesepuh Miauw itu menghela nafas panjang. "Tidak gampang menemui kepala suku Miauw."

"Kenapa?"

"Kalau orang dari Tionggoan ingin menemuinya, harus dapat melewati tiga rintangan."

"Tidak apa-apa. Aku akan mencobanya."

"Aku tahu bahwa engkau berkepandaian tinggi, tentu dapat melewati ketiga rintangan itu. Tapi akan membuang-buang waktu."

"Maksud Paman?"

"Ha ha ha" Sesepuh Miauw itu tertawa. "Aku sesepuh di sini, maka biar bagaimana pun kepala suku harus menghormatiku. Karena itu, aku boleh membawamu pergi menemuinya."

"Terima kasih, Paman" Tio cie Hiong girang sekali. "Terima kasih...."

Tempat tinggal kepala suku Miauw kelihatannya seram sekali, sebab di sana banyak terdapat tengkorak manusia. Puluhan pengawal bersenjata lengkap berbaris di sana sambil menatap Tio Cie Hiong. Mereka rata-rata memakai anting.

Kepala suku Miauw bangkit berdiri dari tempat duduknya menyambut kedatangan sesepuh itu, kemudian mereka bercakap-cakap dengan bahasa Miauw. Kepala suku Miauw manggut-manggut, lalu memandang Tio Cie Hiong seraya berkata. "silakan duduk"

Bukan main girangnya Tio Cie Hiong, karena kepala suku Miauw fasih berbahasa Han.

"Terima kasih" ucapnya sambil duduk.

"Anak muda" ujar kepala suku Miauw dengan kening berkerut. " Kalau engkau tidak datang bersama sesepuh kami, aku pasti sudah menghukummu."

"oh?" Tio Cie Hiong heran. " Kenapa?"

"Karena kalian orang-orang Tionggoan telah memfitnah kami," sahut kepala suku Miauw.

"Memfitnah?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.

"Ya." Kepala suku Miauw mengangguk. "Aku tidak mengutus orang-orang Miauw ke Tionggoan untuk menculik anak gadis di sana, tapi engkau mengatakan orang-orang Miauw telah menculik anak gadis Tionggoan. Nah, bukankah itu fitnah?"

"Tapi ada orang yang menyaksikannya dengan mata kepala sendiri"

"Hm" dengus kepala suku Miauw. " Kalian orang-orang Tionggoan memang jahat dan licik, bisa saja orang itu memfitnah kami Engkau tidak menyelidiki dulu, tapi langsung ke mari Kalau bukannya engkau telah menyelamatkan dua nyawa anak kecil itu, engkau pasti kutangkap untuk dibakar hidup, hidup,"

Heran..." gumam Tio Cie Hiong. " Ketika dikedai teh itu, aku mendengar mereka bercakap-cakap tentang orang-orang Miauw menangkap Ceng Im...."

"siapa yang dipanggil Ceng Im itu?"

"Dia calon isteriku."

"Pantas...." Kepala suku Miauw manggut-manggut. " Engkau menyusul sampai di sini Tapi itu

tidak benar. Kami suku Miauw tidak pernah mengganggu orang-orang Tionggoan. sebaliknya malah orang-orang Tionggoan yang sering membunuh suku Miauw"

"Paman" Tio Cie Kiong memandang sesepuh itu. "Jadi benar orang-orang Miauw tidak pernah memasuki Tionggoan?"

"Anak muda" sesepuh Miauw itu tertawa. "Aku berani menjamin dengan kepalaku."

Kalau itu perbuatan orang-orang Miauw, engkau juga boleh membunuhku dan seluruh suku Miauw" ujar kepala suku Miauw dengan tegas.

"Aku percaya." Tio Cie Hiong manggut-manggut dan menambahkan. "Berarti orang-orang itu menghendaki aku ke mari, agar mati di daerah ini."

"Anak muda" sesepuh Miauw itu menatapnya. "Menurutku juga begitu. Apakah engkau mempunyai musuh di Tionggoan?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

Kalau begitu, musuhmu itu bermaksud meminjam tangan kami untuk membunuhmu," ujar sesepuh Miauw itu.

"Mungkin begitu." Tio Cie Hiong manggut-manggut. " Kalau begitu, aku mohon maaf"

"Tidak apa-apa." Kepala suku Miauw tertawa. "Walau kami masih primitif, tapi tahu aturan."

"Baiklah." Tio Cie Hiong bangkit berdiri. "Aku mau mohon pamit"

Mendadak muncul seorang wanita Miauw, lalu melaporkan sesuatu kepada kepala suku Miauw itu.

Kepala Miauw tampak terkejut dan wajahnya berubah pucat pias, kemudian berlari ke dalam.

Tio Cie Hiong tercengang menyaksikannya, dan tidak tahu apa yang terjadi. sesepuh Miauw itu menghela nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Paman, apa yang terjadi?" tanya Tio Cie Hiong.

"sungguh tidak kebetulan kita ke mari." sesepuh Miauw itu menggeleng-gelengkan kepala lagi.

" Kenapa?" tanya Tio Cie Hiong kebingungan.

"Putri kepala suku sudah sekarat" sesepuh Miauw itu menghela nafas panjang. "Ayolah kita pergi"

"Putrinya sakit apa?"

"Terpagut ular yang sangat beracun. Kepala suku mahir berbagai macam racun, tapi tidak dapat memusnahkan racun ular itu." sesepuh Miauw itu memberitahukan. "sudah tiga hari putrinya dalam keadaan pingsan. Kita harus segera pergi, sebab kalau putrinya mati, engkau yang akan celaka."

"Paman Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan. Bagaimana kalau Paman membawaku ke dalam untuk memeriksa putrinya?"

Engkau mengerti ilmu pengobatan?" "Benar."

"Mungkin percuma." sesepuh Miauw itu menggeleng-gelengkan kepala. "Kepala suku sangat mahir soal racun, tapi masih tidak dapat memusnahkan racun ular itu. sedangkan engkau masih muda, bagaimana mungkin...."

"Percayalah" desak Tio cie Hiong. Tutrinya sudah sekarat, kalau kita tidak segera ke dalam, mungkin tidak keburu menolongnya."

"Baiklah." sesepuh Miauw itu mengangguk. "Mari ikut aku ke dalam"

Di dalam kamar, tampak seorang wanita Miauw sedang menangis sedih, dan kepala suku Miauw itu berjalan mondar-mandir dengan wajah murung.

sesepuh Miauw dan Tio Cie Hiong sudah masuk ke dalam, namun kepala suku Miauw sama sekali tidak menghiraukan mereka.

Tio cie Hiong mendekati anak gadis yang berbaring di ranjang. Wajah gadis berusia empat belasan itu tampak pucat pias, dan nafasnya tampak lemah sekali, bahkan masih dalam keadaan pingsan.

Tanpa membuang waktu lagi, Tio Cie Hiong langsung memeriksa nadinya, dan setelah itu kening Tio Cie Hiong berkerut-kerut.

"Bagaimana?" bisik sesepuh Miauw yang berdiri di sisinya. "Apakah masih bisa ditolong?"

"Mudah-mudahan" sahut Tio Cie Hiong. La lalu menempelkan sebelah telapak tangannya di dada anak gadis itu.

Tio Cie Hiong mulai mengerahkan Pan Yok Hian Thian sin Kang, kemudian disalurkan ke tubuh si anak gadis. Berselang beberapa saat kemudian, diangkatnya tubuh anak gadis itu, lalu dibalikkan dan ditepuknya punggungnya.

"Uaaaakh Uaaaakh..." Anak gadis itu memuntahkan darah kehijau-hijauan. Apa yang dilakukan Tio Cie Hiong tentunya sangat mengejutkan kepala suku Miauw, bahkan kepala suku Miauw itu tampak gusar sekali, karena Tio Cie Hiong berani mengangkat tubuh putrinya.

Sesepuh Miauw segera berkata dengan bahasa Miauw, dan seketika kepala suku Miauw kelihatan tenang tapi juga tegang.

"Uaaaakh..." Anak gadis itu mulai memuntahkan darah merah.

Tio Cie Hiong menarik nafas lega, lalu membaringkan anak gadis itu. la mengeluarkan sebutir obat, talu dimasukkannya ke mulut anak gadis itu.

Berselang beberapa saat kemudian, badan anak gadis itu mulai bergerak, dan sepasang matanya terbuka perlahan-lahan.

Wanita Miauw itu segera memeluknya dengan wajah penuh kegirangan, dan kepala suku Miauw mendekati putrinya dan membelainya.

"Terima kasih, Anak muda" ucap sesepuh Miauw berbisik dengan wajah cerah.

Tio Cie Hiong hanya tersenyum. seandainya ia tidak memiliki Pan Yok Hian Thian sin Kang untuk mendesak ke luar racun ular itu, anak gadis tersebut pasti tidak akan tertolong.

"Kakak yang menolongku?" tanya si anak gadis.

"Eh?" Tio Cie Hiong tertegun. "Apakah engkau bisa berbahasa Han?"

"Bisa." Anak gadis itu bangun duduk. "Terima kasih, Kak. Aku... aku telah berhutang budi kepadamu."

"Jangan berkata begitu, Adik kecil" Tio Cie Hiong tersenyum.

"Kakak tampan sekali," ujar anak gadis itu sambil tertawa.

Wajah Tio Cie Hiong agak kemerah-merahan. "Engkau juga cantik sekali."

"Terima kasih atas pujian Kakak. aku... aku gembira sekali." Anak gadis itu menundukkan kepala.

Heran..." gumam sesepuh Miauw itu. "Wajahnya tadi pucat pias, setelah memuntahkan darah dan menelan obat itu, dia... langsung siuman dan wajahnya begitu segar, bahkan kelihatan sudah pulih seperti sedia kala. Anak muda, engkau memang hebat sekali"

"Paman...." Tio Cie Hiong tersenyum.

Kakak" Anak gadis ilu mendekati Tio Cie Hiong, kemudian memeluknya erat-erat dan mendadak menciumnya.

"Eeeeh?" Tio Cie Hiong tertegun dan wajahnya memerah. "Adik kecil...."

"Ha ha ha" sesepuh Miauw tertawa gelak. "Anak muda, itu adalah tanda terima kasih yang sedalam-dalamnya dari Putri Miauw Cok (Putri suku Miauw)"

"ooooh" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

Kenapa Kakak malu?" Putri Miauw Cok tertawa geli. " Kakak telah menyelamatkan nyawaku, maka aku harus berterima kasih kepadamu."

"Jangan berkata begitu, Adik kecil" Tio Cie Hiong tersenyum.

"Anak muda" Kepala suku Miauw menghampiri Tio Cie Hiong kemudian memegang bahunya erat-erat seraya berkata. "Terima kasih Terima kasih"

"sama-sama," sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Maaf, aku mau pamit" "Jangan begitu cepat" cegah kepala suku Miauw. "Aku harus mengadakan perjamuan." "Tidak usah" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku tidak membutuhkan perjamuan." "Anak muda...." Kepala suku Miauw tampak kecewa.

Kakak Hiong" Putri Miauw Cok cemberut. "Engkau jangan pergi sekarang Kalau engkau pergi sekarang, aku akan pingsan lagi"

Tio Cie Hiong tertawa geli, kemudian memberitahukan. "Adik kecil, aku harus sebera pulang ke Tionggoan, karena harus mencari calon isteriku."

"Kakak sudah punya calon isteri?"

"Benar," jawab Tio Cie Hiong.

" Calon isteri Kakak pasti cantik sekali, bukan?"

"Masih kalah cantik bila dibandingkan denganmu." sahut Tio Cie Hiong menghiburnya.

"oh?" Putri Miauw Cok itu tertawa gembira. " Kakak jangan pulang dulu, tinggallah di sini beberapa hari"

"Adik kecil...." Tio cie Hiong menggelengkan kepala.

"Anak muda" ujar sesepuh Miauw. Jangan mengecewakan putri Miauw Cok, sebab dia tidak pernah segembira ini"

"Paman, aku...."

"Terlambat beberapa hari pulang ke Tionggoan tidak apa apa," ujar sesepuh Miauw dan menambahkan. "Akan kami sediakan seekor kuda jempolan untukmu."

"Benar, benar," sambung kepala suku Miauw.

"Baiklah, tapi... aku tidak menghendaki perjamuan." ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Dan... aku harus berangkat esok"

"Lusa saja, Kak" sahut Putri Miauw Cok.

"Adik kecil, aku tidak bisa lama-lama di sini." Tio Cie Hiong memandangnya. "Aku harus sebera kembali ke Tionggoan, kelak aku akan ke mari lagi."

"Ha ha ha" Kepala suku Miauw tertawa gelak. "Ayoh, kita duduk di luar saja"

Mereka berjalan ke luar. putri Miauw Cok berjalan di sisi Tio Cie Hiong sambil tersenyum-senyum.

setelah mereka duduk- para pelayan sibuk menyuguhkan minuman dan berbagai macam makanan.

"Ha ha ha" Kepala suku Miauw tertawa terbahak-bahak. "Anak muda, kedatanganmu yang tak sengaja, justru menyelamatkan nyawa putriku. Entah harus bagaimana aku berterima kasih kepadamu."

"Jangan berkata begitu, yang penting mulai sekarang, suku Miauw jangan terlampau membenci orang Tionggoan," sahut Tio Cie Hiong. "sebab tidak semua orang Tionggoan jahat."

"Benar." Kepala suku Miauw manggut-manggut. "Buktinya engkau, anak muda. Aku menyukaimu. "

"Terima kasih" ucap Tio Cie Hiong dan menambahkan sambil memandang Putri Miauw Cok. "Adik kecil, engkau harus berterima kasih kepada paman, sebab kalau paman tidak membawaku ke mari, engkau pasti tidak akan tertolong"

"Kakek" ucap Putri Miauw Cok. "Terima kasih ya"

"Yang penting engkau tidak boleh nakal lagi," sahut sesepuh Miauw sambil tertawa.

"ohya" Tanya Tio cie Hiong mendadak. "Apakah di sini tidak terdapat obat pemusnah racun ular itu?"

"Tidak ada," jawab kepala suku Miauw memberitahukan. "sebab ular beracun itu sudah langka, maka aku tidak tahu harus dengan obat apa memusnahkan racunnya."

"Aku akan memberitahukan tentang obat pemusnahnya. Tapi...." Tio Cie Hiong mengerutkan

kening. "Entah di daerah Miauw ini terdapat daun obat itu apa tidak?"

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar