Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 27

Baca Cersil Mandarin Online: Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 27
Bagian 27
"Kita semua masih beruntung," ujar sam Gan sin Kay. "Tapi kalau wanita berbaju putih itu tidak segera muncul, kita semua pasti sudah menjadi mayat."

"Benar." Kim siauw suseng manggut-mang-gut. "Im sie Hong Mo tertawa menyeramkan, sedangkan wanita berbaju putih tertawa nyaring dan melengking- lengking, kelihatannya mereka berdua...."

"Tidak waras, kan?" sambung Tok Pie sin Wan.

"Ya." Kim siauw suseng manggut-manggut lagi. "Kalau begitu iblis Gila Alam Baka memang tidak waras. Lalu wanita...."

"Pek Ih Hong Li (Wanita Gila Baju Putih)." sahut sam Gan sin Kay. "Kita menamainya Pek Ih Hong Li saja."

"Julukan yang tepat bagi wanita itu" Kim siauw suseng tertawa. "Heran...."

"Memang mengherankan," sambung sam Gan sin Kay. "Gerakan pedang mereka hampir mirip. Mungkinkah mereka berdua kakak beradik seperguruan?"

"Mungkin." Tok Pie sin wan mengangguk. "Tapi... siapa guru mereka? Dalam rimba persilatan tidak pernah terdengar ada orang gila yang berkepandaian tinggi...."

"Lagi pula...." Lim Peng Hang mengerutkan kening. "Pek Ih Hong Li itu terus berteriak begitu,

kelihatannya mereka berdua saling mendendam."

"Benar." sam Gan sin Kay manggut-manggut. "Padahal kepandaian mereka boleh dikatakan seimbang, kenapa Im sie Hong Mo malah kabur?"

"Aaaakh..." Kim siauw suseng menarik nafas panjang. "Sebelumnya siauw Lim sam Tianglo telah berfirasat akan muncul seorang iblis ganas, bahkan tahu pula akan mati di tangannya."

"seharusnya mereka bertiga menyembunyikan diri," ujar Tok Pie sin wan mendadak.

"Lutung gila siauw Lim sam Tianglo telah ditakdirkan harus mati di tangan Im sie Hong Mo.

Karena itu, mereka bertiga tidak mau bersembunyi," sahut sam Gan sin Kay.

"Ha ha ha" Mendadak Kim siauw Suseng tertawa geli.

"Lho?" sam Gan sin Kay menatapnya heran. "sastrawan sialan, kenapa engkau tertawa geli? Baru lolos dari kematian sudah tertawa geli Dasar...."

"Kita panggil Tok Pie sin wan sebagai Lutung Gila, itu berarti dia masih mempunyai hubungan dengan Im sie Hong Mo dan Pek Ih Hong Li. Tapi... kepandaiannya justru...." Kim siauw suseng

tertawa geli.

"Benar." sam Gan sin Kay tertawa.

"Hmm" dengus Tok Pie sin wan. " Kalian jangan mentertawakan diriku. Kalian berdua Bu Lim Ji Khie, tapi kini harus dipanggil Bu Lim Ji Kwei (Dua Kura-kura Rimba persilatan)"

"Eh? Lutung gila...." sam Gan sin Kay melotot.

"Sudahlah Jangan ribut" ujar Lim Peng Hang. "Kita masih harus berjaga-jaga, karena kemungkinan besar Im sie Hong Mo masih akan muncul."

"Percuma kita berjaga-jaga" Kim siauw suseng menggelengkan kepala. "Kalau Im sie Hong Mo muncul lagi, paling... kita juga pasrah."

"Yaah..." sam Gan sin Kay menghela nafas. "Tidak disangka Bu Lim Ji Khie akan pasrah dalam hal ini"

"Melawan juga percuma. Malah bisa-bisa kita akan mati seperti siauw Lim sam Tiang lo," ujar Kim siauw suseng.

"Aaakh" Lim Peng Hang menggeleng- gelengkan kepala. "Kapan cie Hiong dan ceng Im pulang?"

"Pengemis bau Menurut pendapatmu, apakah Cie Hiong dapat menghadapi Im sie Hong Mo?" tanya Kim siauw suseng mendadak.

"Entahlah." sam Gan sin Kay menggelengkan kepala. "Tapi mudah-mudahan cie Hiong dapat menghadapinya Kalau tidak...."

"Lebih baik dia dan ceng Im jangan pulang dulu," sambung Lim Peng Hang.

"Cie Hiong dapat merobohkan Empat Dhalai Lhama dan Bu Lim sam Mo, bagaimana mungkin tidak dapat menghadapi Im sie Hong Mo?" ujar Tok Pie sin Wan.

"Aku yakin dia dapat menghadapi Im sie Hong Mo." "Mudah-mudahan" sahut Bu Lim Ji Khie dan Lim Peng Hang. Bab 39 Muh san Nao Kui (Lima setan Gunung Muh san)

Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im memang sedang dalam perjalanan pulang. Apa yang telah terjadi di rimba persilatan, mereka berdua sama sekali tidak mengetahuinya.

Mereka berdua menunggang seekor kuda, memupuk cinta kasih sambil menikmati keindahan alam yang mereka lewati.

"Kakak Hiong, setelah kita sampai di markas pusat Kay Pang, apa rencanamu?" tanya Lim Ceng Im sambil tersenyum lembut.

"Kita menikah, lalu hidup tenang dan bahagia di tempat terpencil," jawab Tio cie Hiong.

"Benar." Lim Ceng Im manggut-manggut. "Aku sudah jemu berkecimpung di rimba persilatan, maka alangkah baiknya kita hidup tenang dan bahagia di tempat terpencil, jadi kita tidak akan dipusingkan lagi oleh urusan rimba persilatan."

"Adik Im" Tio Cie Hiong tersenyum. "Kalau kita punya anak kelak, apakah harus di ajari ilmu silat?"

"Itu memang harus," ujar Lim Ceng Im. "Kalau tidak. anak kita akan dihina orang."

"Kalau begitu, sudah barang tentu anak kita akan berkecimpung dalam rimba persilatan, kan?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.

"Pasti. Tidak mungkin akan ikut kita hidup di tempat terpencil, sebab anak kita harus mencari pengalaman di luar." Lim Ceng Im tersenyum.

"Eh?" Tio Cie Hiong tertawa geli. "Kita belum menikah, tapi sudah membicarakan anak. Apakah tidak terlampau awal?"

Engkau yang memulai, aku cuma menyambung." Lim Ceng Im cemberut. "Ya, kan?" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "ohya, engkau ingin anak lelaki atau anak perempuan?"

"Anak lelaki boleh, anak perempuan pun tidak jadi masalah," sahut Lim Ceng Im sungguh-sungguh .

"Bagus Memang harus begitu." Tio Cie Hiong tersenyum dan menambahkan. "Anak lelaki harus setampan aku, anak perempuan harus secantik engkau."

"Tentu." Lim Ceng Im tertawa gembira. "Kakak Hiong, kita pasti akan bertambah bahagia setelah dikaruniai anak."

"Benar. Tapi... kita juga harus baik-baik mendidik anak. agar tidak mencemarkan nama kita," ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.

"Ng" Lim Ceng Im mengangguk.

Begitulah mereka berdua melakukan perjalanan sambil bercakap-cakap. Kadang-kadang mereka bersenda gurau, bahkan sering pula Tio Cie Hiong meniup sulingnya.

Hari ini mereka memasuki kota Pie Hong, dan begitu memasuki kota tersebut Tio Cie Hiong teringat sesuatu.

"Adik Im, aku ingin mengatakan sesuatu, engkau jangan salah sangka ya" ujar Tio Cie Hiong. "Katakanlah" Lim Ceng Im tersenyum. "Tidak mungkin aku akan salah sangka terhadapmu." "Ini kota Pie Hong, maka..."

"Aku tahu." Lim Ceng Im tersenyum lagi.

Engkau ingin mengajakku berkunjung ke rumah hartawan Lie, bukan?"

Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Itu tidak apa-apa," ujar Lim Ceng Im sungguh-sungguh. "Jadi akupun bisa berkenalan dengan Nona Lie. setelah kami bertemu, dia pun tidak usah terus merindukanmu."

"Memang begitulah maksudku." Tio Cie Hiong manggut-manggut sambil tersenyum lembut.

Betapa kaget dan gembiranya hartawan Lie, ia menyambut kedatangan mereka dengan penuh keramahan. Namun di balik itu, wajahnya tampak murung sekali. "Ha ha cie Hiong Aku tak menyangka engkau masih ingat kepadaku silakan duduk"

"Terimakasih, paman" Tio Cie Hiong duduk. dan Lim Ceng Im duduk di sebelahnya.

"ohya, nona ini..." Hartawan Lie memandang Lim Ceng Im dengan penuh perhatian.

"Dia bernama Lim Ceng Im, calon istriku." Tio Cie Hiong memperkenalkan.

"ooooh" Hartawan Lie manggut-manggut.

"sungguh cantik Nona Lim, kalian memang pasangan yang serasi."

"Paman Di mana bibi?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.

"Dia... dia sedang beristirahat di dalam kamar...," jawab hartawan LieJustru di saat bersamaan muncullah nyonya Lie dengan air mata berderai-derai.

"cie Hiong syukurlah engkau datang siu sien pasti tertolong..." ujarnya.

"Apa?" Tio Cie Hiong tertegun. "Apa yang terjadi atas diri adik Siu Slen? Bibi, ceritakanlah" "Nak..." Nyonya Lie menangis terisak-isak.

"Begini..." Hartawan Lie memberitahukan. "sebulan lalu, kota ini diserbu para perampok, bahkan para perampok itu memperkosa para gadis. Betapa takutnya kami sekeluarga, mendadak muncul beberapa perampok di sini..."

"Kemudian bagaimana?" tanya Tio Cie Hiong tegang.

"Beberapa perampok itu menangkap siu sien..." Lanjut hartawan Lie. "Tiba-tiba muncul seorang pemuda, yang langsung menyerang perampok-perampok itu, bahkan membunuh mereka. setelah itu, pemuda tersebut melesat ke luar membunuh perampok-perampok yang lain."

"siapa pemuda itu?" tanya Tio Cie Hiong.

"Dia bernama Kam Pek Kiam," jawab hartawan Lie dan memberitahukan. "Pemuda itu kembali ke mari lagi, maka kami sangat ber-terimakasih kepadanya Justru sungguh di luar dugaan, dia dan siu sien saling memandang..."

"Mereka saling jatuh hati barangkali?" Tlo cie Hiong tersenyum.

"Benar." Hartawan Lie manggut-manggut. "sebab siu sien berterus terang pada kami, karena itu kami pun bertanya pada Kami Pek Kian. Ternyata pemuda itu juga suka kepada siu sien. Tentunya sangat menggembirakan kami, sehingga kami pun menjodohkan mereka. Akan tetapi..."

"Terjadi sesuatu?" tanya Tio Cie Hiong.

"Ya." Hartawan Lie mengangguk. "Kemarin kepala perampok berjumlah lima orang datang ke mari..."

"Kam Pek Kian itu dirobohkan oleh kelima perampok?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.

"sebetulnya Kam Pek Kian tidak kalah, namun salah seorang kepala perampok itu mengeluarkan sesuatu, kemudian dilemparkannya ke-tanah dan mengebulkan asap. membuat Kam Pek Kian langsung pingsan. Kelima kepala perampok itu menangkapnya, bahkan juga menangkap siu sien." Hartawan Lie memberitahukan dengan wajah murung. "Cie Hiong, selamatkanlah mereka...."

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Ohya, apakah paman tahu di mana sarang perampok-perampok itu?"

"Mereka menyebut diri mereka Muh san Ngo Kui," ujar hartawan Cie.

"Kalau begitu, tempat tinggal mereka pasti berada di Gunung Muh san," ujar Tio Cie Hiong dan bertanya. "Paman tahu di mana Gunung Muh san itu?"

"Tahu." Hartawan Cie mengangguk. "Kira-kira lima puluh mil dari sini, harus melalui jalan ke utara."

"Kalau begitu kami berangkat sekarang," ujar Tio Cie Hiong. "Paman dan bibi tenang saja Kami pasti dapat menyelamatkan Adik siu sien dan Kam Pek Kian."

"Terima kasih, Cie Hiong" ucap Hartawan Lie.

"Nak" ucap Nyonya Cie dengan air mata bercucuran. "Terimakasih..."

Tio Cie Hiong tersenyum, lalu mengajak Lim Ceng Im berangkat ke Gunung Muh san. "Akan kuhabiskan para perampok itu"

"Adik Im, jangan sembarangan membunuh" pesan Tio Cie Hiong.

"Tapi..." Lim Ceng Im mengerutkan kening.

"Aku akan memusnahkan kepandaian mereka, jadi engkau tidak usah berbuat dosa membunuh orang" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.

"Ya, Kakak Hiong." urn ceng Im mengangguk.

Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im telah tiba di kaki Gunung Muh san. setelah menambatkan kudanya di pohon, Tio Cie Hiong memungut sebatang bambu untuk Lim Ceng Im, lalu mengajak gadis itu mendaki ke atas.

"Kakak Hiong, kenapa tidak menggunakan ginkang Bukankah lebih cepat?" tanya Lim Ceng Im. "Kita belum tahu di mana sarang perampok-perampok itu," jawab Tio Cie Hiong sambil

tersenyum. " Kalau kita berjalan kaki, pasti muncul perampok menghadang kita, jadi kita bisa bertanya di mana sarang mereka"

"Betul, Kakak Hiong." Lim Ceng Im manggut-manggut.

Mereka terus mendaki melaluijalan setapak. Berselang beberapa saat kemudian, Tio cie Hiong berhenti mendadak.

"Kakak Hiong...?" Lim Ceng Im heran.

"Adik Im" bisik Tio cie Hiong. "Ada bebwrapa orang sedang mengintai kita di atas pohon."

"oh?" Lim Ceng Im segera memandang ke atas mengarah ke pohon-pohon, namun tidak melihat apa-apa. "Kok aku tidak melihat mereka?"

"Mereka bersembunyi di balik dedaunan yang lebat, maka engkau tidak melihat mereka," sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Mereka akan memanah kita."

Tio cie Hiong memungut beberapa batu kecil, kemudian mengajak Lim ceng Im mendaki lagi.

Tapi sekonyong-konyong...

Serrr Seeer Seeer Terdengar suara ser-seran kemudian, tampak puluhan panah meluncur cepat ke arah mereka.

Tio cie Hiong mengibaskan lengan bajunya, panah-panah itu terpental semua, kemudian ia mengayunkan tangannya.

"Aaaakh..." Terdengar suara jeritan, lalu tampak beberapa sosok tubuh berjatuhan dari pohon.

Terdengar Tio cie Hiong menyambit mereka dengan batu kerikil.

Perlahan-lahan Tio cie Hiong menghampiri mereka. Seketika juga mereka berlutut minta ampun.

"Tayhiap (Pendekar Besar), ampunilah kami"

"Aku akan mengampuni nyawa kalian" sahut Tio cie Hiong sambil mengibaskan lengan bajunya. Beberapa perampok itu menjerit-jerit lagi, ternyata Tio cie Hiong telah memusnahkan kepandaian mereka.

"Di mana pemimpin kalian?" tanya Lim ceng Im membentak.

"Mereka... mereka berada di puncak gunung...," jawab salah seorang perampok. "Mereka sedang berpesta."

"Kakak Hiong, mari kita ke puncak" ajak Lim ceng Im.

Tio Gouw Han Tiong mengangguk. Mereka lalu melesat menggynakan ginkang. Maka tak seberapa lama kemudian, mereka berdua sudah sampai di puncak. Tampak beberapa buah tenda di situ, dan puluhan orang sedang minum-minum sambil tertawa-tawa.

Tio Cie Hiong dan Lim ceng Im mendekati mereka. Ketika melihat kemunculan mereka berdua, para perampok itu tertegun.

"siapa kalian?" bentak beberapa perampok.

"Kami ingin menemui pemimpin kalian" sahut Tio Cie Hiong.

"Ha ha ha" salah seorang perampok tertawa gelak. "saudara-saudara, kita sungguh beruntung Ada gadis cantik mengantar diri, kita..." Plak Plak Terdengar suara tamparan. Aduuuh Jerit perampok itu kesakitan.

Ternyata Lim Ceng Im bergerak cepat menampar muka perampok itu. Perampok perampok lain tampak terkejut dan langsung menghunus pedang.

"serang mereka" teriak salah seorang perampok.

seketika para perampok itu menyerang Tio cie Hiong dan Lim ceng Im, tapi mendadak badan Tio Cie Hiong bergerak laksana kilat, dan seketika terdengarlah suara jeritan-jeritan.

Dalam waktu yang singkat sekali, para perampok itu telah roboh. Kemudian muncul lima orang bertampang seram, yang ternyata Muh san Nao Kui (Lima setan Muh san).

"siapa kalian?" bentak Muh san Ngo Kui. "sungguh berani kalian merobohkan para anak buah kami"

"Aku Pek Ih sin Hiap" sahut Tio Cie Hiong.

"Haaah..." Muh san Nao Kui terbelalak dan wajah mereka pun berubah pucat pias. "Pek Ih sin Hiap?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.

"Pek Ih sin Hiap. ampunilah kami Mulai sekarang kami tidak akan berani melakukan kejahatan lagi. Ampunilah kami"

"Aku akan mengampuni nyawa kalian, tapi kepandaian kalian harus kumusnahkan" sahut Tio Cie Hiong.

"Jangan..Jangan..." Muh san Nao Kui langsung menjatuhkan diri berlutut. "Jangan memusnahkan kepandaian kami"

Tio Cie Hiong tersenyum, lalu mendadak tengannya bergerak menggunakan Bit Ciat sin Ci (Jari sakti Pemusnah Kepandaian) menyerang Muh san Ngo Kui.

"Aaakh..."jerit Muh san Nao Kui lalu terkapar.

Kepandaian kalian telah musnah, maka mulai sekarang kalian harus menjadi orang baik-baik" ujar Tio Cie Hiong, lalu bersama Lim Ceng Im berjalan memasuki tenda.

Mereka melihat seorang pemuda terikat kaki serta tangannya dengan rantai besi, dan seorang gadis diikat dengan tali.

"Adik siu sien" seru Tio Cie Hiong girang.

Engkau... engkau Kakak Hiong?" Cie siu sien terbelalak, seakan tidak percaya kepada penglihatannya .

"Benar, aku Tio Cie Hiong," sahutnya dan berkata pada Lim Ceng Im.

"Adik Im, buka tali itu"

Lim Ceng Im mengangguk. lalu membuka tali yang mengikat siu sien. sedangkan Tio Cie Hiong mendekati pemuda tampan itu, yang ternyata Kam Bek Kian.

Tio Cie Hiong memegang rantai besi yang mengikat tangan dan kaki pemuda itu, kemudian menyentaknya sehingga putus.

Haaah?" Bukan main terkejutnya Kam Pek Kian, sehingga mulutnya ternganga lebar.

Kakak Hiong" Cie siu sien mendekatinya.

"Dia Kam Pek Kian."

"saudara Kam" Tio Cie Hiong tersenyum.

"Anda... Anda pasti Tio Cie Hiong" seru Kam Pek Kian girang.

"Adik sien pernah menceritakan tentang dirimu.Jadi... Anda Pek Ih sin Hiap yang telah menggemparkan rimba persilatan."

"Itu hanya julukan kosong belaka," sahut Tio Cie Hiong merendah.

"Terima kasih, saudara Tio" ucap Kam Pek Kian, lalu mendadak melesat ke luar. Tak lama kemudian terdengarlah jeritan-jeritan yang menyayatkan hati.

Tio Cie Hiong mengerutkan kening, lalu melesat ke luar. Betapa terkejutnya, karena melihat Muh san Nao Kui dan para perampok itu telah menjadi mayat.

sedangkan Kam Pek Kian duduk di bawah sebuah pohon sambil menangis tersedu-sedu, sehingga membuat Tio Cie Hiong terheran- heran.

Lim Ceng Im mendekati Tio Cie Hiong, dan Lie siu sien mendekati Kam Pek Kian sekaligus membelainya dengan penuh cinta kasih.

Kakak Hiong, diakah yang membunuh semua perampok itu?" tanya Lim Ceng Im berbisik. "Ng" Tio Cie Hiong mengangguk.

Kenapa dia menangis setelah membunuh para perampok itu?" tanya Lim Ceng Im lagi dengan heran.

"Entahlah." Tio cie Hiong menggelengkan kepala. "Mari kita ke sana"

Mereka berdua mendekati Kam Pek Kian dan Cie siu sien, sementara Kam Pek Kian masih terus menangis. Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im berdiri diam di hadapan mereka. Lie siu sien memandang mereka berdua sambil menggeleng-gelengkan kepala, dan menghela nafas.

sesaat kemudian Kam Pek Kian berhenti menangis, lalu mendongakkan kepala memanda Tio Cie Hiong.

"saudara Tio Maaf..." ucapnya.

"Tidak apa-apa," sahut Tio Cie Hiong lembut, la tahu, bahwa batin Kam Pek Kian tertekan sesuatu.

"saudara Kam, kenapa engkau membunuh para perampok itu?" tanya Lim Ceng Im dan menambahkan. "Padahal kepandaian mereka telah musnah."

"Aku... aku memang tidak bisa mengampuni para penjahat," jawab Kam Pek Kian.

" Kalau aku bertemu penjahat, pasti kubunuh."

"saudara Kam, itu pasti ada sebab musababnya, bukan?" Tio Cie Hiong menatapnya.

"Ya." Kam Pek Kian mengangguk dan menutur. "Ketika aku berusia sebelas tahun, terjadi malapetaka di keluargaku..."

"Malapetaka apa?" tanya Lim Ceng Im.

"orang tuaku sangat kaya dan berhati bajik, selalu menolong orang dan lain sebagainya," jawab Kam Pek Kian dan melanjutkan penuturannya.

"Aku mempunyai tiga kakak perempuan. Pada suatu malam muncul belasan orang di rumahku. Mereka merampok dan membunuh kedua orang tuaku, bahkan kemudian memperkosa ketiga kakak perempuanku hingga mati. Aku menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala sendiri Ketika para perampok itu mau membunuhku, tiba-tiba muncul seorang tua menolongku, dan membunuh semua perampok itu. sejak saat itu aku berguru kepada orang tua tersebut."

"Aaaakh..." Tio Cie Hiong menghela nafas. "saudara Kam, engkau harus melupakan kejadian itu, agar tidak terus menghantui hatimu Kedua orang tuaku mati ditangan Bu Lim sam Mo, kakak perempuanku mati di tangan Empat Dhalai Lha-ma Tibet. Namun aku tidak membunuh mereka, hanya memusnahkan kepandaian mereka saja."

"saudara Tio" Kam Pek Kian menatapnya. "Engkau berhati bajik, aku kagum kepadamu."

"saudara Kam, engkau berasal dari mana?" tanya Tio cie Hiong, karena mendengar logatnya, agak lain.

"Aku berasal dari Kang Lam," jawab Kam Pek Kian memberitahukan. "Aku pergi mengunjungi famili, kebetulan menginap di Kota Pie Hong."

"Karena itu, engkau menyelamatkan Kakak siu sien, bukan?" Lim Ceng Im tersenyum.

" Ya." Kam Pek Kian mengangguk.

"setelah itu, kalian berdua pun saling mencinta," ujar Lim Ceng Im dan menambahkan. "orang tua Kakak siu sien telah memberitahukan kepada kami."

"Adik Ceng Im, engkau dan Kak Hiong...?" wajah Lie siu sien kemerah-merahan.

"Dia calon istriku." Tio Cie Hiong memberitahukan.

"Oooh" Lie siu sien manggut. " Kalian berdua memang pasangan yang serasi."

"Begitu pula kalian berdua," sahut Lim Ceng lm.

"ohya, saudara Kam..." Tio Cie Hiong teringat sesuatu. "Bolehkah engkau memperlihatkan ilmu pedangmu? "

"Boleh." Kam Pek Kian mengangguk. lalu bergerak mempergunakan pedang. Ia mempertunjukkan ilmu pedangnya, setelah itu bertanya. "Bagaimana ilmu pedangku? saudara Tio, aku mohon petunjuk"

Ilmu pedangmu cukup lihay,"jawab Tio Cie Hiong dan melanjutkan. "Tapi kalau berhadapan dengan penjahat yang berkepandain tinggi, engkau pasti kewalahan menghadapinya. oleh karena itu..."

"Terimakasih, saudara Tio" ucap Kam Pek Kian cepat.

"sebab..." Kam Pek Kian tersenyum. "Aku tahu saudara Tio berniat mengajar aku semacam ilmu pedang, maka aku mengucapkan terima kasih kepadanya."

"Benar," Tio Cie Hiong manggut-manggul. "Aku memang berniat begitu."

"Terimakasih, saudara Tio" ucap Kam Pek Kian dengan girang.

Tio Cie Hiong mengambil pedang kemudian mempertunjukkan Toat Beng Kiam Hoat. Kam Pek Kian menyaksikannya dengan mulut terngaga.

"Nah" ujar Tio Cie Hiong memberitahukan setelah berhenti mempertunjukkan ilmu pedang tersebut. "Aku akan mengajarmu Toat Beng Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pencabut Nyawa) ini."

"saudara Tio..." Kam Pek Kian terbelalak.

"Perhatikan baik-baik" Tio Cie Hiong mulai mengajarnya ilmu pedang itu.

Kam Pek Kian mencurahkan perhatiannya. setelah Tio Cie Hiong mengajarnya berulang kali, Kam Pek Kian dapat menguasai ilmu pedang tersebut, namun masih lamban gerakannya.

"saudara Kam" Tio Cie Hiong tersenyum. "Engkau harus terus berlatih agar bisa cepat" "Ya." Kam Pek Kian mengangguk.

ingat Kalau tidak terpaksa, janganlah engkau menggunakan ilmu pedang ini, sebab setiap jurusnya pasti mencabut nyawa orang" pesan Tio Cie Hiong.

Ya." Kam Pek Kian mengangguk lagi.

"sekarang mari kila kuburkan mayal-mayat itu" ujar Tio cie Hiong. Mereka lalu menggali sebuah lubang besar, dan menguhurkan mayat-mayat itu di dalamnya. setelah itu, Tio Cie Hiong berpamit.

"Kakak Hiong tidak mau ke rumah lagi?" tanya Lie siu sien.

"Kami masih harus melanjutkan perjalanan, sampaikan salamku kepada kedua orang tuamu" jawab Tio Cie Hiong dan menambahkan. "ohya, kalian berdua harus pulang, sebab paman dan bibi sangat mencemaskan kalian."

"Ya." Lie siu sien mengangguk. "Kalau kalian sempat kelak. jangan lupa ke rumah kami" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "sampaijumpa dan semoga kalian berdua hidup bahagia" "sama-sama," sahut Kam Pek Kian sambit tersenyum.

Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im melesat pergij Lie siu sien dan Kam Pek Kian saling memandang, kemudian tersenyum mesra.

"Kakak Kian" ujar Cie siu sien dengan suara rendah. "Kalau Kakak Hiong dan Adik Im tidak muncul, entah bagaimana nasib kita?"

"Adik sien" Kam Pek Kian menghela nafas. " Yang jelas kita telah berhutang budi kepada saudara Tio, entah kapan dan harus bagaimana kita membalas budi pertolongannya itu?"

Bab 40 Mayat-mayat hidup

Ketika hari mulai sore, Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im memasuki sebuah desa yang cukup besar. Namun sungguh mengherankan, desa itu tampak sepi sekali. Lim Ceng Im menengok ke sana ke mari sambil mengerutkan kening, kemudian bergumam.

"Desa ini cukup besar, tapi kenapa begitu sepi?"

"Adik Im" sahut Tio Cie Hiong serius. "Pasti telah terjadi sesuatu di desa ini, maka lebih baik kita bertanya kepada salah seorang penduduk."

Kakak Hiong" Lim Ceng Im menunjuk ke sebuah rumah yang pintunya terbuka. "Mari kita bertanya kepada penghuni rumah itu"

Tio Cie Hiong mengangguk. Mereka berdua lalu berjalan ke rumah itu. Walau pintu rumah itu terbuka, namun Tio cie Hiong dan Lim Ceng Im tidak berani lancang memasukinya. Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im saling memandang, kemudian Tio Cie Hiong mengetuk pintu.

"siapa?" terdengar suara sahutan dari dalam.

"Maaf, kami kebetulan lewat di desa ini, maka mampir sebentar," ujar Tio Cie Hiong.

sesaat kemudian, muncullah seorang gadis berusia belasan yang terus menatap Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im dengan mata terbelalak. "siapakah kalian?" tanyanya.

"Adik" Tio Cie Hiong tersenyum. "Kami ingin bertanya, kenapa desa ini begitu sepi?" "Karena...." ucapan gadis itu terputus, karena ada orang bertanya dari dalam.

Bwee Ji (Anak Bwee), siapa yang di luar?" "Ada tamu, Ayah," sahut gadis itu.

Undang mereka masuk" suara seruan dari dalam. "Ya, Ayah." Bwee Ji mengangguk. " Kakak. masuklah"

"Terimakasih" ucap Tio Cie Hiong lalu melangkah kc dalam diikuti Lim Ceng Im dari belakang. "silakan duduk" ucap Bwee Ji sopan.

Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im mengangguk. lalu duduk sambil memandang ke dalam, sedangkan Bwee Ji menyuguhkan dua cangkir teh.

" Kakak. silakan minum"

"Terimakasih" ucap Tio Cie Hiong dan bertanya, "Adik, kenapa ayahmu?"

"Ayahku sakit," jawab Bwee Ji dengan wajah murung. "sejak malam itu, ayahku sakit..."

"Oooh" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Adik, kenapa tidak memanggil tabib ke mari memeriksanya? "

"Kami... kami tidak mempunyai uang," Gadis itu menundukkan kepala.

"Aku mengerti ilmu pengobatan, bolehkah aku memeriksa ayahmu?" tanya Tio Cie Hiong. "Boleh, boleh." Bwee Ji girang sekali. "Mari ikut aku masuk"

Tio cie Hiong dan Lim Ceng Im mengikuti Bwee Ji ke dalam. Tampak seorang tua berbaring di ranjang kayu, wajahnya pucat pias dan nafasmu memburu.

"Paman" Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku akan memeriksa Paman sebentar, Paman tidak berkeberatan kan?^

"Terimakasih... " ucap orang tua itu.

Tio Cie Hiong mulai memeriksa nadi orang tua itu, berselang sesaat ia manggut-manggut seraya berkata .

"Tidak apa-apa, Paman hanya mengalami ketakutan, sehingga membuat jantung Paman tergoncang."

"Aku... aku memang takut sekali," ujar orang tua itu.

Tio Cie Hiong tersenyum, kemudian mengambil sebutir obat lalu dimasukkan ke mulut orang tua itu.

"telanlah obat itu" ujar Tio Cie Hiong. orang tua itu menelan obat tersebut. sesaat kemudian, nafasnya sudah norma kembali.

"Terimakasih" ucap orang tua itu sambil bangun duduk. "ohya, sebetulnya siapa kalian?"

"Kami bernama Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im." Tio Cie Hiong memberitahukan. " Kebetulan kami lewat di sini, karena desa ini tampak sepi, niaka kami merasa heran."

"Aaaakh..." orang tua itu menghela nafas. "seluruh penduduk desa ini di cekam ketakutan." "Apa yang telah terjadi di desa ini?" tanya Tio Cie Hiong.

"Beberapa malam lalu..." tutur orang tua itu. "Mendadak anjing-anjing di desa ini melolong menyeramkan, kemudian muncul beberapa sosok bayangan hitamn"

"Apa itu?" tanya Lim Ceng Im merinding.

"Mereka berjalan kaku. sekujur badan mereka berlumuran tanah, membengkak dan berbau busuk." ujar orang tua itu dengan wajah diliputi ketakutan.

"Apakah mereka mayat-mayat hidup?" tanya Tio Cie Hiong sambil mengerutkan kening.

"Benar." orang tua itu mengangguk. "Mayat- mayat hidup itu telah membunuh beberapa orang. Iiiih sungguh mengerikan"

"Apakah mayat-mayat itu muncul setiap malam?" tanya Tio Cie Hiong.

"Ya." orang tua itu menarik nafas. "Malam itu aku pulang agak larut. Aku melihat maya- mayat itu sedang mengoyak-ngoyak tubuh orang, dan tak lama aku langsung jatuh pingsan."

"Heran" gumam Tio Cie Hiong. "Bagaimana mungkin ada mayat bisa hidup kembali? sungguh tak masuk akal"

" Kakak Hiong, mari kita cepat pergi" ajak Lim Ceng Im ketakutan.

"Adik Im" ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Aku harus membasmi mayat-mayat itu, agar tidak mengganas lagi di desa ini."

"Kakak Hiong..." Lim Ceng Im terbelalak. "Engkau... engkau ingin membasmi mayat-mayat hidup itu?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk pasti.

"Apakah engkau tidak takut?" tanya Lim Ceng Im sambil memandangnya.

"Adik Im" Tio Cie Hiong tersenyum. "Apanya yang ditakuti?"

"Tapi..." Lim Ceng Im menundukkan kepala. "Aku takut sekali."

"Kalau engkau takut, begitu mayat-mayat hidup itu muncul, engkau diam saja di dalam rumah ini" ujar Tio Cie Hiong. "Aku akan keluar menghadapi mereka."

"Kakak Hiong..."

"Adik Im" Tio Cie Hiong tersenyum lagi. "Apakah engkau tidak percaya kepada diriku?"

"Aku percaya, tapi mereka mayat-mayat hidup,.." Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala.

"Lebih gampang menghadapi mayat hidup daripada manusia. sebab mayat hidup tidak bisa berpikir, sedangkan manusia dapat berpikir dan banyak akalnya," ujar Tio Cie Hiong.

"Tapi... menyeramkan."

"Adik Im, siapa pun akan menjadi mayat. Begitu pula kita. Kalau kita sudah mati, bukankah akan menjadi mayat?"

"Iiiih" Lim Ceng Im mengerutkan kening. "Kakak Hiong, jangan omong begitu ah"

"Adik" Tio cie Hiong menatap Bwee Ji seraya bertanya. "Apakah engkau takut kepada mayat hidup itu?"

"Memang takut, tapi tidak begitu takut," sahut Bwee Ji.

"Eeeeh?" Lim Ceng Im melongo. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu"

"Takut karena mayat-mayat itu bisa hidup dan membunuh orang, tidak begitu takut karena kita bisa lari," jawab Bwee Ji menjelaskan. "sedangkan mayat-mayat itu tidak bisa lari"

"Benar." Tio Cie Hiong tersenyum sambil manggut-manggut.

Kalau orang sudah ketakutan, bagaimana mungkin bisa lari lagi?" Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala.

Itu tergantung pada keberanian masing-masing, lagi pula kita harus tenang menghadapi segala sesuatu," sahut Bwee Ji.

"Eh?" Lim Ceng Im tertegun. "Adik, berapa usiamu sekarang?"

"Tiga belas." Bwee Ji memberitahukan. "Ketika mayat-mayat hidup itu muncul, aku sering mengintip dari lubang jendela. Mayat-mayat hidup itu berjalan kaku. Kalau kita tidak mendekatinya, mereka tidak bisa mengejar kita karena mereka tidak bisa lari. Dari tadi ayah menyuruhku menutup pintu, tapi aku tidak menurutinya."

" Bwee Ji" bentak orang tua itu. "Kenapa engkau makin bandel?"

"Ayah, kalau belum malam, mayat-mayat hidup itu tidak akan muncul. Kenapa harus tutup pintu sekarang? Lagi pula tanpa setahu ayah, aku sudah bikin sebuah pintu belakang. Apabila mayat-mayat hidup itu ke mari, kita bisa kabur lewat pintu belakang."

"Oh?" Qrang tua itu tersenyum. " Bwee Ji, engkau memang cerdik"

sementara hari sudah mulai gelap. Ketika Bwee Ji ingin menutup pintu, Tio Cie Hiong mencegahnya.

"Aku duduk di sini, pintu tidak usah ditutup,"

" Kakak tidak takut pada mayat-mayat hidup itu?" tanya Bwee Ji terbelalak.

"Tidak," sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Bahkan aku ingin membasmi mereka."

"oh?" Bwee Ji menatap Tlo Cie Hiong dalam-dalam. "Kalau begitu... kakak pasti berkepandaian tinggi"

"Tidak begitu tinggi." Tio Cie Hiong tersenyum lagi dan sangat menyukai gadis kecil itu.

Tak terasa malam sudah tiba. Tio cie Hiong, Lim Ceng Im dan Bwee Ji berada di ruang depan, sedangkan orang tua itu berada di dalam dengan wajah pucat pias. Berselang beberapa saat kemudian, terdengarlah suara lolong anjing yang menyeramkan.

Kakak Mungkin mayat-mayat hidup itu sudah ke mari," ujar Bwee Ji sambil mengintip ke luar melalui lubang jendela.

Kakak Hiong..." Lim Ceng Im ketakutan.

"Adik Im" Tio cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Kok nyalimu begitu kecil? Lihatlah adik itu Dia tidak ketakutan, melainkan malah terus mengintip ke luar."

"Dia masih kecil, maka belum mengenal rasa takut," sahut Lim Ceng Im sambil cemberut, kemudian menarik nafas dalam-dalam. "Nah, aku sudah tidak takut lagi."

"oh?" Tio Cie Hiong tertawa. "Tapi kenapa wajahmu tampak pucat?"

"Tuh" Bwee Ji yang mengintip itu memberitahukan. "Mayat-mayat hidup itu sudah muncul."

Tio Cie Hiong manggut-manggut, lalu berjalan ke luar dengan tenang. sedangkan Lim Ceng Im juga melongok ke luar. Begitu melihat mayat-mayat hidup itu, ia nyaris pingsan seketika.

Bwee Ji malah terus mengintip dengan penuh perhatian, ingin tahu bagaimana cara Tio Cie Hiong membasmi mayat-mayat itu.

Ketika mendekati mayat-mayat hidup itu, Tio Cie Hiong mengerahkan ilmu Penakluk iblis. Maka tidak heran kalau mayat-mayat hidup itu langsung diam tak bergerak lagi.

Tio Cie Hiong memandang mayat-mayat hidup itu. la tahu bahwa mayat-mayat itu dibangkitkan oleh semacam ilmu sesat. Kemudian ia mengibaskan tangannya ke arah mayat-mayat hidup itu. Ternyata ia telah mengerahkan Pan Yok Hian Thian sin Kang.

seketika mayat-mayat hidup itu mengepulkan asap. lalu roboh dan hanya tinggal tulang belulang.

Tio Cie Hiong kembali ke rumah itu. Bwee Ji menyambutnya dengan penuh kekaguman. "Kakak hebat sekali" ujarnya.

Eng kau memang berani, dari tadi terus mengintip" seru Tio Cie Hiong tersenyum sambil memandangnya.

"Kek kakak tahu aku terus mengintip?" Bwee Ji heran.

"Tentu tahu." sahut Lim Ceng Im sambil tertawa kecil. Kini gadis itu tidak merasa takut lagi. " Kakak Hiong, kenapa mayat-mayat hidup itu diam saja ketika kau dekati?"

"Adik Im" Tio Cie Hiong tersenyum. "Apakah engkau lupa, bahwa aku belajar Ilmu Penakluk iblis?"

"oooh?" Lim Ceng Im manggut-manggut. "Aku lupa. Kalau engkau bilang dari tadi, aku pasti tidak merasa takut."

"Sebetulnya mayat-mayat itu tidak hidup, melainkan dibangkitkan oleh semacam ilmu sesat." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku justru masih merasa heran, siapa yang memiliki ilmu sesat itu."

"Jadi masih akan muncul mayat-mayat yang dibangkitkan lagi?" tanya Lim Ceng Im.

"Mungkin." Tio Cie Hiong mengangguk. "Tapi ilmu sesat itu hanya mamcu membangkitkan mayat baru, yang belum lewat tujuh hari. Lagi pula kekuatan ilmu sesat itu pun hanya mampu bertahan sepuluh hari. Lewat sepuluh hari, mayat-mayat itu akan roboh dengan sendirinya."

"oooh" urn Ceng Im manggut-manggut.

"Kakak..." Mendadak Bwee Ji menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tio Cie Hiong.

"Eh? Kenapa engkau?" Tio Cie Hiong tertegun.

Kakak, aku ingin jadi muridmu," sahut Bwee Ji.

Bwee Ji" orang tua itu muncul sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Mereka berdua hanya kebetulan lewat, bagaimana mungkin akan menerimamu sebagai murid?"

"Kakak..." Bwee Ji memandang Tio cie Hiong dengan penuh harap.

Bwee Ji, bangunlah" ujar Tio cie Hiong. "Aku tidak mau bangun..."

Bwee Ji" orang tua itu melotot. "Jangan bandel, cepatlah bangun, jangan bikin malu ayahmu" "Ayah" Bwee Ji bangun tetapi cemberut.

Bwee Ji" ujar Tio Cie Hiong sungguh-sung-guh. "Aku masih muda, maka tidak boleh menerima murid Lagi pula kami hanya lewat di desa ini..."

"Kakak Hiong" Lim Ceng Im berbisik-bisik di telinga Tio Cie Hiong. Pemuda itu manggut-manggut sambil tersenyum.

"Bwee Ji" tanya Tio cie Hiong kemudian.

"Apakah engkau bersungguh-sungguh ingin belajar ilmu silat?"

"Ya." Bwee Ji mengangguk.

Kalau begitu..." Tio Cie Hiong teringat sesuatu. "ohya, apakah engkau bisa membaca?" "Bisa," jawab Bwee Ji cepat dan memberitahukan.

"Almarhumah yang mengajar aku menulis dan membaca."

"Bagus, bagus" Tio Cie Hiong tertawa gembira. "Kalau begitu, cepatlah siapkan kertas dan pit" "Ya." Bwee Ji segera melaksanakannya.

Tio Cie Hiong mulai menggambar dan menulis. Ternyata ia menurunkan semacam ilmu lweekang, ilmu pukulan dan ilmu pedang, ia menggambar cara melatih ilmu lweekang, gerakan tangan kosong dan ilmu gedang serta keterangan-keterangannya.

Ketika hari mulai pagi, barulah selesai lalu diberikan kepada Bwee Ji. Gadis itu menerimanya, kemudian terus duduk termenung.

Bwee Ji, engkau harus berlatih dengan sungguh-sungguh" pesan Tio Cie Hiong. "setelah engkau hafal dan mengerti, engkau harus membakar kertas-kertas ini ingat, jangan diperlihatkan kepada orang lain"

"Ya." Bwee Ji mengangguk. "Terimakasih, kakak"

Bwee Ji" Tio Cie Hiong membelainya.. "Hari sudah pagi, kami mau berangkat. Karena ayahmu masih tidur, maka kami tidak berpamit kepadanya."

"Kakak..." Mata Bwee Ji mulai basah. "Kalau kakak sempat kelak. jangan lupa ke mari lagi" "Ya." Tio Cie Hiong membelainya lagi, lalu melangkah pergi bersama Lim Ceng Im.

Kakak sampai jumpa" seru Bwee Ji dengan air mata berlinang-linang. Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im meloncat ke atas punggung kuda. setelah lambaikan tangannya ke arah Bwee Ji, Tio Cie Hiong lalu memacukan kudanya.

Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im tiba di sebuah kota yang cukup besar. Mereka berdua singgah di sebuah kedai teh untuk melepaskan lelah. setelah duduk. Tio cie Hiong segera memesan teh dan makanan kepada pelayan.

" Kakak Hiong..." ujar Lim Ceng Im sambil tersenyum,. " Kenapa malam itu aku begitu takut?"

"Itu berarti engkau sering mendengar cerita yang menyeramkan, maka timbul rasa takutmu," jawab Tio Cie Hiong sambil memandangnya.

"Padahal engkau berkepandaian tinggi. sedangkan Bwee Ji yang tidak mengerti ilmu silat, malah tidak begitu takut"

"Gadis itu memang pemberani, lagipula sangat cerdik," ujar Lim Ceng Im. "Bahkan dia berbakat untuk belajar ilmu silat. Karena itu...."

Eng kau menyuruhku menurunkan kepadanya ilmu Iweekang, ilmu pukulan dan ilmu pedang." Tio cie Hiong tersenyum. "Adik Im, aku yakin bahwa dia berhasil mempelajarinya."

"Akupun begitu." Lim Ceng Im manggut-manggut.

Pada waktu bersamaan, tampak beberapa orang memasuki kedai itu. Kelihatannya mereka kaum pesilatan, sebab mereka membawa pedang. setelah duduk dan memesan teh serta makanan, salah seorang dari mereka menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"sungguh di luar dugaan, rimba persilatan dilanda banjir darah lagi..."

Ucapan orang itu menarik perhatian Tio cie Hiong dan Lim Ceng Im. Kebetulan orang-orang itu duduk di sebelah kiri mereka, maka mereka dapat mendengar percakapan orang itu dengan jelas.

"Setelah Pek Ih Sin Hiap berhasil mengalahkan Empat Dhalai Lhama dan Bu Lim Sam Mo, seharusnya rimba persilatan menjadi aman. Tapi..."

"Memang sudah aman, hanya saja belum lama ini telah muncul seorang iblis yang begitu ganas."

"Para murid tujuh partai besar dibunuh dengan cara begitu, Delapan belas Arhat siauw Lim mati dengan puluhan tusukan dan sabetan pedang..."

"Bahkan siauw Lim sam Tianglopun mati begitu mengenaskan, tubuh mereka bertiga terpotong dua."

"Yang mengherankan adalah para ketua tujuh partai besar, yang semuanya hilang entah ke mana."

"setelah iblis itu muncul, kaum golongan hitam dan sesat pun mulai mengganas. Namun untung muncul pula seorang wanita, yang selalu membunuh kaum golongan hitam dan sesat"

"Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong pun ikut hilang..."

"Begitupula Lam Kiong Hujin."

"Aaaakh, rimba persilatan makin kacau Ku-pikir lebih baik kita hidup di tempat sepi."

"Benar. Kalau kita masih berkecimpung dalam rimba persilatan, mungkin kita juga akan menjadi korban."

Kini tujuh partai besar telah hancur, sedangkan Bu Lim Ji Khie, ketua Kay Pang dan Tok Wie sin wan juga telah terluka ..."

Mendengar sampai di sini, wajah Lim Ceng Im langsung berubah pucat. Tio Cie Hiong segera memberi isyarat kepadanya agar tenang.

"Justru kaum rimba persilatan tidak habis pikir, kenapa Pek Ih Sin Hiap tidak muncul membasmi iblis itu."

"Mungkin Pek Ih sin Hiap telah mengundurkan diri dari rimba persilatan."

"Kalau benar begitu, bagaimana mungkin Pek Ih sin Hiap membiarkan iblis itu terus mengganas?"

"Mungkin... Pek Ih sin Hiap belum sembuh dari sakitnya."

"Menurut pendapatku, setelah terluka oleh pukulan Bu Lim sam Mo, kepandaian Pek Ih sin Hiap musnah, maka kini dia tinggal di suatu tempat terpencil."

"Aaakh... Kini rimba persilatan telah berada di ambang kehancuran, siapa yang mampu menyelamatkan rimba persilatan lagi? siauw Lim sam Tiang lo dan Bu Lim Ji Khie masih tidak mampu melawan iblis itu, apa lagi orang lain? Nah, daripada kita terbunuh, bukankah lebih baik hidup tenang di tempat sepi?"

"Kami setuju. Tiada gunanya kita terus berkecimpung dalam rimba persilatan. sudah waktunya kita mengundurkan diri."

"Justru kaum rimba persilatan tidak habis pikir, sebetulnya siapa iblis itu. sebab kepandaiannya begitu tinggi...."

" Kakak Hiong" bisik Lim Ceng Im. "Kita harus segera pulang ke markas pusat Kay Pang."

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. kemudian bergumam. "Apakah benar apa yang diceritakan mereka itu?"

"Aku yakin benar," sahut Lim Ceng Im cemas. "Kita harus segera pulang, entah bagaimana keadaan ayah dan kakek?"

"Baiklah." Tio cie Hiong mengangguk lagi. "Kita harus melakukan terjala nan siang malam...."

Bab 41 Diselimuti teka-teki

Dua hari kemudian, Tio cie Hiong dan Lim ceng Im telah tiba di markas pusat Kay Pang. Bet apa gembiranya para anggota Kay Pang ketika melihat mereka. Para anggota Kay Pang langsung bersorak sorai sambil memukul-mukulkan tongkat bambu mereka ke tanah.

sedangkan Tio cie Hiong dan Lim ceng Im segera berlari ke dalam markas. Bu Lim Ji Khie, Lim Peng Hang dan Tok pie sin Wan berhambur ke luar menyambut mereka dengan wajah ceria.

"Ayah...." Lim Ceng Im langsung mendekap di dada ketua Kay Pang.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar