Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 11

Baca Cersil Mandarin Online: Kesatria Baju Putih (Pek In Sin Hiap) Bagian 11
Bagian 11

"Terima kasih. Kakak" Tio Cie Hiong tersenyum.

Wajah gadis itu langsung kemerah-merahan, gadis itu cukup cantik tapi kelihatan tercekam rasa takut.

"Anak muda, dia putriku satu-satunya." orang tua itu memberitahukan.

"Namanya Cui Ling."

Tio Cie Hiong manggut-manggut dan tersenyum lagi, lalu memandang orang tua itu seraya bertanya.

"Kenapa tadi Paman yang mengangkat jemuran padahal Paman punya anak perempuan?" "Aaakh—" orang tua itu menarik nafas panjang.

"Anak muda, apakah engkau tidak melihat desa ini begitu sepi?" "paman, aku memang merasa heran," sahut Tio Cie Hiong. "Apakah di desa ini telah terjadi sesuatu?" "Ya." orang tua itu mengangguk-

"Beberapa bulan ini telah terjadi sesuatu yang sangat menyeramkan.—"

"Kejadian apa?"

"Muncul arwah gentayangan menculik para anak gadis-" orang tua itu memberitahukan.

"Dalam waktu beberapa bulan ini, sudah banyak anak gadis yang diculik oleh arwah gentayangan itu."

Arwah gentayangan?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Paman, bagaimana mungkin ada arwah gentayangan?"

"justru telah muncul di desa ini." orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Karena itu, para anak gadis tidak berani keluar rumah. Maka aku yang mengangkati jemuran." "paman, bagaimana kejadian itu?" tanya Tio Cie Hiong ingin mengetahuinya.

"Beberapa bulan lalu di suatu malam, mendadak desa ini diselimuti kabut tebal,"jawab orang tua itu menutur.

"setelah itu, terdengar pula suara lolong anjing yang menyeramkan. Ketika tengah malam, muncullah cahaya kehijau-hijauan, dan samar-samar tampak beberapa sosok bayangan putih berjalan tak menyentuh tanah, kemudian berhenti di salah sebuah rumah di desa ini. Keesokan harinya, anak gadis keluarga itu telah hilang."

"oh?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.

"Sejak itu kejadian tersebut terus berlanjut, sehingga membuat penduduk di desa ini ketakutan sekali," ujar orang tua itu melanjutkan.

"Maka para anak gadis desa ini sama sekali tidak berani keluar rumah, sebab telah puluhan anak gadis hilang lenyap begitu saja. Cui Ling adalah putriku satu-satunya, ini sungguh membuat hatiku cemas sekali"

"Paman tidak usah cemas" ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "ohya, paman memperbolehkan aku menginap di sini?" "Baiklah-" orang tua itu mengangguk-

"Sejak kejadian itu, kepala desa pun mengumpulkan para pemuda desa untuk menjaga malam, tapi— beberapa malam kemudian, putri kepala desa malah hilang pula-"

"oh? Bukankah ada para pemuda menjaga malam? Kok putri kepala desa itu masih bisa hilang?" "Memang mengherankan." orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Ternyata para pemuda itu terkapar tak sadarkan diri- setelah hari mulai terang, barulah mereka siuman, tapi tidak tahu apa-apa."

"Ngmmm" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Paman. kebetulan aku berada di desa ini, maka aku akan mencoba menangkap arwah-arwah gentayangan itu"

"Apa?" orang tua itu terbelalak, begitu pula Cui Ling. Gadis itu memandang Tio Cie Hiong dengan mulut ternganga lebar.

"Paman, Kakak" Tio cie Hiong tersenyum.

"Percayalah, aku pasti bisa menangkap arwah-arwah gentayangan itu"

"Anak muda" orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya.

"Engkau jangan bergurau».."

"Ayah" sela Cut Ling.

"Kelihatannya dia tidak bergurau."

"oh?" orang tua itu menatap putrinya.

"Benar, Paman" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Aku sama sekali tidak bergurau, oh ya, apakah arwah-arwah gentayangan itu akan muncul setiap tengah malam?"

"Tidak tentu." orang tua itu memberitahukan.

"Beberapa malam muncul sekali."

"Paman" ujar Tio cie Hiong sungguh-sungguh-"Mudah-mudahan arwah-arwah gentayangan itu akan muncul malam ini"

orang tua itu dan putrinya saling berpandangan, kelihatannya orang tua itu masih tidak percaya, namun gadis itu malah percaya sekali, sebab Tio Cie Hiong tidak bertampang pembohong.

-ooo00000ooo-

setelah larut malam, Tio cie Hiong duduk bersemadi di dalam rumah orang tua itu menghadap pintu. Tampak orang tua tersebut dan putri-nya duduk di belakang Tio cie Hiong. Ternyata Tio Cie Hiong yang menyuruh mereka.

"Paman, Kakak Ling" ujar Tio Cie Hiong menjelaskan.

" Lebih aman kalian duduk di belakangku, karena aku bisa melindungi kalian berdua."

"Terima kasih, Anak muda" ucap orang tua itu. Wajahnya masih tampak cemas sekali, tapi sebaliknya Cui Ling malah kelihatan tenang.

"Sekarang sudah tengah malam. Aku mendengar suara langkah para pemuda desa yang meronda, berarti arwah-arwah gentayangan itu tidak akan muncul malam ini," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan.

"Maka Paman dan Kakak Ling boleh pergi tidur-"

"Anak muda, bagaimana mungkin aku bisa tidur?" orang tua itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Aku tidak bisa tidur," sambung cui Ling.

"Lebih baik aku duduk di belakangmu, rasanya aman sekali."

Tio Cie Hiong tersenyum, kemudian memejamkan matanya untuk bersemadi lagi.

sementara sang waktu terus berjalan, tak terasa hari sudah mulai terang. Tio cie Hiong membuka matanya, sedangkan orang tua itu menarik nafas lega.

"Syukurlah hari sudah pagi" ujar orang tua itu.

"Ling Ling, cepatlah masak"

"ya. Ayah-" Cui Ling bangkit berdiri, lalu berjalan ke dalam dengan hati lega-"Anak muda, mari kita duduk di kursi saja" ajak orang tua itu.

Tio cie Hiong mengangguk- Mereka berdua lalu duduk di kursi- Berselang beberapa saat kemudian, cui Ling sudah datang dengan membawa dua mangkuk nasi dan sepiring telor goreng.

"Anak muda, mari kita makan" ujar orang tua itu.

"Maaf, tidak ada lauk pauknya. sebab banyak pedagang yang tidak jualan."

"Ada telor goreng sudah cukup-" Tio Cie Hiong tersenyum, dan memandang cui Ling yang berdiri-

" Kakak Ling, mari kita makan bersama"

"Ling Ling, makan bersamalah" sambung orang tua itu.

Cui Ling mengangguk lalu masuk ke dalam, la mengambil semangkuk nasi, lalu duduk makan bersama ayahnya dan Tio Cie Hiong.

Tak seberapa lama, mereka telah usai makan. Kemudian orang tua itu memandang Tio Cie Hiong seraya berkata.

"Anak muda, benarkah engkau mampu menangkap arwah-arwah gentayangan itu?" "Paman, aku tidak bohong" sahut Tio cie Hiong.

Kalau begitu, aku akan pergi memberitahukan pada Cungcu (Kepala Desa)" ujar orang tua itu. "Tidak perlu" Tio cie Hiong menggelengkan kepala-

"setelah aku berhasil menangkap arwah-arwah gentayangan itu, barulah Paman pergi melapor kepada kepala desa-"

"Baiklah>" orang tua itu mengangguk-

"ohya. Anak muda Aku sudah mengantuk sekali, mau pergi tidur sebentar."

"silakan Paman""

"Ling Ling" pesan orang tua itu.

"Engkau harus mencuci pakaian"

"ya. Ayah-" cut Ling mengangguk, lalu memandang Tio Cie Hiong.

"Maaf, aku harus ke depan untuk mencuci pakaian"

Tidak apa-apa," sahut Tio Cie Hiong.

"Kakak tidak usah menemani aku, pergilah mencuci pakaian"

Cui Ling tersenyum dengan wajah agak kemerah-merahan, kemudian berjalan ke depan. Tio Cie Hiong tetap duduk di situ. la telah mengambil keputusan untuk menangkap para penjahat yang menyamar sebagai arwah gentayangan untuk menculik anak gadis di desa itu.

Berselang sesaat, Tio Cie Hiong berjalan ke luar. la melihat Cui Ling sedang memeras pakaian sekuat tenaga. Pemuda itu tersenyum sambil mendekatinya.

"Kakak Ling" ujar Tio Cie Hiong.

" Cukup capek engkau memeras pakaian itu."

"Ya-" Cui Ling mengangguk dengan nafas agak memburu.

Kakak Ling, biar aku membantumu." "Apa?" Cui Ling terbelalak.

"Itu... mana boleh?"

"Tidak apa-apa." Tio Cie Hiong segera mengambil pakaian dari dalam tempat cucian, lalu mendadak tangannya bergerak sehingga pakaian itu terus melingkar, setelah itu, Tio Cie Hiong melempar pakaian itu ke arah tali jemuran. Pakaian itu melebar dan jatuh tepat pada tali jemuran.

"Haaah—?" Mulut Cui Ling ternganga lebar.

"engkau-—"

Tio Cie Hiong hanya tersenyum, lalu masuk ke rumah. Cui Ling memandangnya dengan mata terbelalak-

setelah hari mulai malam, wajah orang tua itu kembali tampak cemas- Tio Cie Hiong memandangnya seraya berkata-

"Paman, tidak usah cemas, tidak akan terjadi apa-apa atas diri Kakak Ling Percayalah" "Anak muda, bukan cuma aku yang cemas," ujar orang tua itu. "seluruh penduduk desa ini pasti cemas disaat hari mulai malam."

"Ayah, aku yakin adik Hiong dapat melindungiku-" sela Cui Ling mendadak-"oh?" orang tua itu menatap putrinya-"Mudah-mudahan"

Ketika malam mulai larut, Tio Cie Hiong menyuruh orang tua itu dan putrinya duduk di lantai, sedangkan ia sendiri duduk bersila di depan mereka menghadap pintu-

Tio cie Hiong mulai bersemadi dengan mata terpejam- Berselang beberapa saat kemudian, ia membuka matanya seraya memberitahukan.

"Paman, Kakak Ling sebentar lagi arwah-arwah gentayangan itu akan muncul. Aku harap Pryarn dan Kakak Ling tenang saja, dan harus tetap duduk di belakangku"

" Haaah?" Wajah orang tua itu langsung memucat, namun cui Ling tetap tampak tenang.

Tak seberapa lama terdengarlah suara desiran angin, tampak pula kabut tebal mulai menyelimuti desa itu, dan diiringi lolongan anjing yang menyeramkan.

"Anak muda...." orang tua itu menggigil ketakutan.

"Ba... bagaimana nih?"

"Tenang saja, Paman" sahut Tio Cie Hiong.

"Pokoknya Paman dan Kakak Ling harus tetap duduk di belakangku"

"Adik Hiong" tanya Cui Ling.

"Apakah arwah-arwah gentangan itu akan muncul di sini?"

"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk-

"Aku sudah mendengar suara langkah ringan menuju ke mari-"

"oh, Thian" ucap orang tua itu.

"Lindungilah putri hamba"

Walau Cui Ling kelihatan tenang, tapi tidak terlepas dari rasa takut juga. la memegang bahu Tio cie Hiong erat-erat.

"Kakak Ling, jangan takut" ujar Tio Cie Hiong.

Wajah Cui Ling langsung memerah, karena tanpa sadar ia memegang bahu pemuda itu, kemudian cepat-cepat ia melepaskan tangannya.

Berselang sesaat, terdengarlah suara hembusan angin yang kencang sekali, dan seketika pintu rumah itu tergoncang. Braaak Pintu rumah itu terbuka.

seketika juga Cui Ling menjerit ketakutan, sedangkan orang tua itu berkomat-kamit saking cemasnya, kemudian merangkul putrinya erat-erat.

Tampak empat orang berpakaian kematian berjalan ringan memasuki rumah itu. Akan tetapi mereka tertegun ketika melihat Tio cie Hiong duduk bersila di lantai menghadang mereka.

"Anak muda Cepat minggir" bentak salah seorang di antara mereka.

"Arwah gentayangan bisa berbicara seperti manusia, ini sungguh luar biasa sekali" sahut Tio Cie Hiong.

"Anak muda Kami harap engkau jangan turut campur urusan ini" ujar orang yang berbadan agak tinggi.

"Cepatlah minggir"

Aku justru harus turut campur, karena kalian sering menculik anak gadis didesa ini" Tio cie Hiong masih duduk bersila di lantai.

"He he he" orang berbadan tinggi itu tertawa seram.

"Anak muda, lihatlah aku"

Tio cie Hiong memandangnya. Mendadak sepasang mata orang itu memancarkan cahaya kehijau-hijauan. Menyaksikan itu, Tio Cie Hiong malah tertawa seraya berkata.

"Percuma engkau mengerahkan ilmu sesat itu, aku tidak akan terpengaruh"

"Hah?" orang itu tampak terkejut, kemudian berseru.

"serang dia"

Pada saat bersamaan, Tio cie Hiong yang duduk bersila itu bergerak mendadak, dan seketika terdengarlah suara jeritan. "Aaakh Aaaak.^"

Keempat orang itu telah roboh dengan wajah meringis-ringis. Ternyata Tio cie Hiong bergerak dengan ilmu langkah kilat, bahkan sekaligus memusnahkan kepandaian mereka, sehingga keempat orang itu sudah tidak bertenaga sama sekali.

"Beritahukan siapa yang menyuruh kalian menculik para anakgadis didesa ini?" bentak Tio cie Hiong.

"Siauw hiap Ampunilah kami" ujar orang berbadan tinggi.

"Aku telah mengampuni nyawa kalian, tapi kepandaian kalian telah musnah- Mulai sekarang kalian harus menjadi orang baik-baik," sahut Tio Cie Hiong.

"Nah Beritahukan kepadaku, siapa yang menyuruh kalian menculik para anak gadis?" "Dia— dia adalah Im Yang Hoatsu." orang berbadan tinggi memberitahukan. "Im yang Hoatsu (Pendeta Banci)?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.

"ya." orang berbadan tinggi itu mengangguk-

"Kami anak buahnya, dia yang menyuruh kami menculik para anak gadis""

"Im yang Hoatsu berada di- mana?"

"Di biara tua Ang Lian si (Biara Teratai Merah)"

"Di mana biara itu?"

" Kira-kira dua mil di sebelah barat desa ini."

Tio Cie Hiong manggut-manggut, lalu memandang orang tua itu.

"Paman Aku akan ke Biara Teratai Merah untuk menolong para gadis yang telah diculik itu," ujar Tio Cie Hiong.

"Akupun akan menyadarkan para pemuda yang mungkin masih dalam keadaan pingsan, sekaligus menyuruh mereka ke mari untuk membawa keempat penjahat ini ke rumah kepala desa-"

"Tapi..." orang tua itu terbelalak-

"Jangan takut, Paman" Tio Cie Hiong tersenyum-

"Aku telah memusnahkan kepandaian mereka, dan kini mereka sama sekali tidak bertenaga-Kalau Paman menampar mereka, mereka pun tidak akan mampu melawan"

"oh?" orang tua itu mengerutkan kening. Kemudian ia mendekati salah seorang penjahat itu dan dengan takut-takut menamparnya. Plaak

" Ampun" jerit orang itu kesakitan.

Plak Plak Plak orang tua itu pun menampar yang lain dengan sengit.

"Aduuuh" jerit mereka kesakitan, dan sama sekali tidak bertenaga untuk melawan.

"Paman, Nanti Paman ikut ke rumah kepala desa juga. Keempat penjahat ini boleh dihukum, tapi jangan dibunuh" pesan Tio Cie Hiong dan segera pergi.

Berselang beberapa saat kemudian, tampak puluhan pemuda desa berlari-lari menuju rumah orang tua itu.

"Mana penjahat itu? Mana penjahat itu?" tanya mereka. "Di sini" sahut orang tua itu, yang kini tampak gagah sekali. "Cepat kalian bawa keempat penjahat ini ke rumah kepala desa" "Kalian kok tahu ada penjahat di sini?" tanya Cui Ling mendadak-"Nona Ling" sahut salah seorang pemuda-

"Tadi kami sedang meronda, ketika tengah malam, mendadak muncul kabut tebal dan desiran angin, terdengar pula suara lolong anjing yang menyeramkan. Kami terkejut bukan main. Mendadak kami mencium bau aneh, sehingga membuat kami pingsan seketika. Di saat kami siuman, kami melihat seorang pemuda berbaju putih berdiri di hadapan kami sambil tersenyum. Dia menyuruh kami ke mari, katanya dia telah menangkap empat penjahat."

"Oooh" Cui Ling manggut-manggut.

Para pemuda desa itu menyeret keempat penjahat ke rumah kepala desa. orang tua tersebut dan putrinya juga ikut ke sana.

Kepala desa menyambut kedatangan mereka dengan ramah, tapi wajahnya tetap murung.

"Terima kasih, kalian telah berhasil menangkap keempat penjahat yang menyamar arwah gentayangan" ujar kepala desa sambil manggut-manggut.

"Cungcu" sahut salah seorang pemuda.

"Bu-kan kami yang menangkap keempat penjahat itu."

"oh?" Kepala desa bingung.

"Kalau begitu, siapa yang menangkap mereka?"

Cui Ling dan ayahnya segera tampil ke depan. Bukan main gagahnya ketika orang tua itu menampilkan diri, sehingga membuat Cui Ling nyaris tertawa geli.

"Cungcu (Kepala Desa), yang menangkap keempat penjahat itu adalah seorang pemuda tampan berbaju putih." orang tua itu memberitahukan dengan suara lantang.

"Kemarin pemuda tampan itu datang ke rumahku. Ketika mendengar ada arwah gentayangan, maka dia menginap di rumahku untuk menangkap arwah gentayangan itu. Tengah malam ini dia berhasil, ternyata bukan arwah gentayangan, melainkan keempat penjahat itu yang menyamar arwah gentayangan."

"oh?" Kepala desa terbelalak.

"Siapa pemuda itu?"

"Wuah" orang tua itu menggelengkan kepala.

"Aku sudah lupa."

Cungcu Aku memanggilnya adik Hiong." Cui Ling memberitahukan dan sekaligus menutur tentang kejadian tengah malam itu.

"Haah?" Kepala desa mendengar dengan mulut ternganga, begitu pula para pemuda desa yang berkumpul di situ.

"Dia bilang mau pergi menolong para gadis yang diculik itu." Cui Ling menambahkan. "Mungkin tidak lama lagi dia akan ke mari."

"Syukurlah" ucap kepala desa, kemudian berseru lantang.

"Mari kita bunuh keempat penjahat itu"

"Jangan" cegah Cui Ling.

"Kenapa?" Kepala desa tercengang.

Cungcu, pemuda itu telah berpesan, kita boleh menghukum keempat penjahat itu, tapi tidak boleh membunuh mereka."

Kalau begitu, gantung keempat penjahat itu di pohon Tunggu pemuda itu kemari menghukum mereka" ujar kepala desa.

para pemuda desa segera mengikat keempat penjahat tersebut, kemudian menggantung mereka di pohon.

"Kalian harus segera memanggil para orang tua yang kehilangan anak gadisnya untuk berkumpul di sini, sebab menurut Nona Ling, tidak lama lagi pemuda itu akan ke mari bersama para gadis yang di culik itu."

"ya, Cungcu" sahut para pemuda desa. Mereka segera pergi memanggil para orang tua yang kehilangan anak gadisnya.

Biasanya kepala desa sangat memandang rendah ayah Cui Ling yang miskin itu. Tapi kini sikapnya telah berubah sama sekali, bahkan menyuguhkan air teh pula kepadanya, sehingga membuat orang tua itu gembira.

-ooo00000ooo-

Tio cie Hiong mengerahkan ginkang menuju Biara Teratai Merah- Tak segerapa lama kemudian, ia sudah sampai di biara itu.

Biara tersebut sudah tua, bahkan sudah rusak, dan pintu halamannya tinggal sebelah. Tio Cie Hiong mengerutkan kening, lalu perlahan-lahan berjalan memasuki halaman biara itu.

Tiada seorang pun berada di situ. Tio Cie Hiong berdiri sambil memandang biara yang tak diurus itu. sekonyong-konyong berkelebat belasan bayangan putih ke arahnya. Belasan orang itu semuanya berpakaian kematian.

Pada waktu bersamaan, terdengar suara tawa menyeramkan yang melengking-lengking, kemudian muncul seorang berpakaian pendeta. orang itu tampak aneh sekali, sebab mukanya dirias dengan bedak dan bibirnya dimerahkan.

"eeh?" orang itu kelihatan tertegun ketika melihat Tio cie Hiong.

"siapa engkau adik manis?"

Tio Cie Hiong melongo ketika mendengar ucapannya orang itu, sebab mirip suara wanita yang mengalun lembut.

"Engkau siapa?" Tio Cie Hiong balik bertanya.

"Adik manis, aku Im yang Hoatsu (Pendeta Banci)." orang itu tersenyum genit sambil menatap Tio cie Hiong dengan mata tak berkedip-

"Ternyata engkau Im yang Hoatsu" Tio Cie Hiong manggut-manggut-

"Adik manis, engkau kenal aku?" Im yang Hoatsu mengerlingkan matanya.

"Jadi engkau ke mari mencariku?"

"ya" Tio Cie Hiong mengangguk-

"Bagus Bagus" Im yang Hoatsu tersenyum-

"Mari kita bersenang-senang, aku jamin engkau pasti merasa puas"

"Im yang Hoatsu" bentak Tio Cie Hiong mendadak

"Kenapa engkau menyuruh anak buahmu menculik para gadis desa itu?"

"Wuah" Im yang Hoatsu tertawa kecil-

"Adik manis, kok engkau begitu galak sih Tapi aku senang deh padamu-"

"Im yang Hoatsu" bentak Tio Cie Hiong lagi.

"Cepatlah melepaskan para gadis itu"

"Itu mana boleh?" sahut Im yang Hoatsu.

"Mereka sudah kujadikan pelayan-pelayanku-Tapi— aku bersedia melepaskan gadis-gadis itu, asal engkau mau menemaniku selamanya-"

omong kosong" Tio Cie Hiong menatapnya. "Hari ini aku harus menumpas kalian semua"

"oh ya?" Im yang Hoatsu tertawa geli, kemudian berseru dengan suara parau. "Kalian cepat tangkap adik manis itu"

Tio Cie Hiong tertegun karena mendadak suara Im yang Hoatsu berubah parau, padahal semuLa mengalun begitu lembut-

Belasan orang itu langsung menerjang ke arah Tio Cie Hiong. Dengan cepat-cepat pemuda itu bergerak menggunakan ilmu langkah kilat. Tam-pak bayangan berkelebat laksana kilat, kemudian terdengarlah suara jeritan di sana sini. "Aaaakh.-"

Belasan orang telah roboh sambil merintih-rintih- Terbelalak Im yang Hoatsu menyaksikanny a - "siapa kau?" bentaknya parau.

"Tidak usah tahu siapa aku yang jelas aku harus menumpasmu hari ini, karena engkau telah melakukan kejahatan" sahut Tio Cie Hiong.

"oh, ya?" suara Im yang Hoatsu mengalun lembut lagi, kemudian tersenyum genit seraya berkata-

"Lihatlah Bukankah aku gadis yang sangat cantik sekali? Kau pasti jatuh cinta kepadaku Ayolah, mari kita bersenang-senang di dalam biara"

Tio Cie Hiong memandangnya, seketika itu Im yang Hoatsu berubah menjadi seorang gadis yang amat cantik, bahkan badannya meliuk-liuk merangsang. Menyaksikan itu, Tio Cie Hiong tahu Im yang Hoatsu memiliki ilmu hitam. Karena itu, ia pun mengerahkan "Ilmu Penakluk iblis".

"Im yang Hoatsu" Tio Cie Hiong tersenyum.

"Lihatlah Aku ayahmu, cepatlah engkau berlutut"

"Haaah-.?" Im yang Hoatsu terkejut bukan main, sebab mendadak ia melihat almarhum ayahnya berada di hadapannya, sehingga membuatnya nyaris berlutut.

"Ha ha" Tio Cie Hiong tertawa geli.

"Engkau...." Im yang Hoatsu terbelalak.

"Eng-kau mahir ilmu hitam juga?"

"Tidak" Tio cie Hiong menggeleng kepala.

"Itu yang disebut senjata makan tuan."

"Lihat" bentak Im yang Hoatsu dengan suara berwibawa.

"Aku iblis dari neraka yang akan membunuhmu"

Mendadak Im yang Hoatsu berubah menjadi sosok makhluk yang sangat menyeramkan, langsung menerjang ke arah Tio Cie Hiong.

"Aku si Penakluk Iblis" ujar Tio Cie Hiong halus.

"Iblis, cepatlah menyerah"

"Aaaakh—" jerit Im yang Hoatsu. Ternyata dirinya telah terserang, Ilmu Penakluk Iblis, sehingga membuat sekujur badannya mengucurkan keringat, Ia mundur beberapa langkah, dan cepat mengeluarkan sebatang tongkat pendek berkepala ular.

" Lihat serangan"

Im yang Hoatsu menyerang Tio Cie Hiong dengan tongkat berkepala ular itu. Tio Cie Hiong menghindar dengan ilmu langkah kilat, Im yang Hoatsu tertegun karena mendadak pemuda itu telah hilang dari hadapannya. Kini barulah ia tahu telah menghadapi pemuda yang berilmu tinggi, bahkan dapat membuyarkan itmu hitamnya pula. Maka diam-diam ia mengambil keputusan untuk kabur. Tio Cie Hiong yang masih belum berpengalaman tidak mengetahui itu.

sekonyong-konyong Im yang Hoatsu melemparkan sesuatu ke bawah- Terdengarlah letusan yang menimbulkan asap tebal. Asap beracun namun Tio Cie Hiong tidak mengalami apa pun, sebab dirinya kebal terhadap racun.

Begitu asap itu sirna, Tio Cie Hiong terkejut mendapati Im yang Hoatsu ternyata telah kabur.

Tio cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala, menyesali keteledorannya. Lalu melangkah menghampiri salah seorang yang masih menggeletak di situ.

"Di mana gadis-gadis itu?" tanyanya.

"Mereka... mereka disekap di sebuah kamar," jawab orang itu memberitahukan, "siauw hiap, ampunilah kami"

"Aku sudah mengampuni kalian. Kini kepandaian kalian telah musnah, selanjutnya jadilah orang baik-baik"

orang itu mengangguk dengan wajah murung.

Tio Cie Hiong masuk ke dalam biara tua itu. Didengarnya ada suara tangisan di sebuah kamar, segeralah ia membuka pintu kamar itu, maka tampak belasan gadis berada di dalam.

"Kakak, kakak" seru Tio Cie Hiong memberitahukan. "Kalian jangan takut, aku kemari untuk menolong kalian"

"Terima kasih" sahut gadis-aadis itu serentak dan ikut Tio Cie Hiong keluar. Begitu sampai di luar biara, barulah Tio Cie Hiong ingat akan satu masalah, dari tempat ini menuju ke desa cukupjauh, berarti gadis-gadis itu harus berjalan kaki, sebab tidak ada kuda.

"Tidak ada kuda, jadi kalian, terpaksa harus berjalan kaki pulang" ujar Tio Cie Hiong.

"Tidak apa-apa," ujar gadis-gadis itu-

"Tapi kami harap siauw hiap-.."

"Tentu" Tio Cie Hiong tersenyum.

Aku pasti menjaga kalian sampai di desa" "Terima kasih, Siauw hiap" ucap gadis-gadis.

Setelah hari agak siang, barulah mereka sampai di rumah kepala desa. Betapa gembiranya para orang tua bertemu anak gadis mereka. Tak henti-hentinya mereka menjura sambil menghaturkan terima kasih kepada Tio Cie Hiong.

"Siauw hiap" Kepala desa mendekati Tio Cie Hiong.

"Terima kasih atas pertolonganmu, sehingga putriku bisa selamat."

"sama-sama-" Tio Cie Hiong tersenyum.

"Cungcu, kepala penjahat itu ternyata Im yang Hoatsu, jadi— dia tidak bisa mengganggu anak gadis- Harap Cungcu tenang."

Kepala desa itu manggut-manggut mengerti akan maksud Tio Cie Hiong.

"siauw hiap, karena engkau telah menolong putriku dan lain-lainnya, maka aku akan memberimu hadiah-"

Tidak usah-" Tio cie Hiong menggeleng kepala-

"yang penting Cungcu jangan bertindak semena-mena terhadap penduduk-" Kepala desa mengangguk-

"Dan...," tambah Tio Cie Hiong.

"Ayah Cui Ling sangat baik terhadapku, aku harap Cungcu bersedia membantunya." "Tentu, tentu" Kepala desa mengangguk-

"Aku akan memberikannya sawah yang luas." ujarnya kemudian.

Tio Cie Hiong menghampiri ayah Cui Ling, sementara orang tua itu terus tertawa gembira.

"Paman, Kepala desa sudah berjanji akan memberikan sawah yang luas. selanjutnya Paman tidak perlu merasa bersusah lagi." Tio Cie Hiong memberitahukan sambil tersenyum.

"oh..-Be— benarkah itu?" tanya orang tua itu tak percaya.

"Benar," sahut kepala desa sambil manggut-manggut.

"Aku telah berjanjipada Siauw hiap ini, tentunya aku tidak akan mengingkarinya." "Terima kasih, Cungcu" ucap orang tua itu. Tio Cie Hiong menjura pada semua orang. "Maaf. Aku mau mohon diri," ujarnya kemudian.

"Adik Hiong...," seru Cui Ling dengan mata mulai basah-"Begitu cepat... engkau mau pergi?"

"ya" sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum.

"Kakak Ling, ayahmu sudah tua, jagalah dia baik-baik"

"Adik Hiong...." Air mata Cui Ling mulai meleleh.

Tio Cie Hiong tersenyum lagi. Namun mendadak dia bergerak, seketika badannya berkelebat laksana kilat meninggalkan tempat itu.

"Hrrp.." Kepala desa terkejut melihatnya.

"Dia— dia benar-benar sin Hiap (Kesatria)"

"Pek Ih sin Hiap Pek Ih sin Hiap (Kesatria Baju Putih)" seru semua orang yang berada di situ.

"Adik Hiong—" Cui Ling yang terisak-isak kembali meneriakkan nama pemuda sakti itu.

sejak itu, dikenallah Pek Ih sin Hiap dalam rimba persilatan. Kesatria Baju Putih yang selalu menolong orang dan menumpas para penjahat dengan cara memusnahkan kepandaian mereka....

-ooo00000ooo-

Bab 19 Panggung cari jodoh

Tio Cie Hiong terus melanjutkan perjalanannya menuju Puri Angin Halilintar. Dalam perjalanan itu dia sambil acapkali menolong orang sakit, juga menumpas para penjahat. Hanya saja ia tidak pernah membunuh, melainkan memusnahkan kepandaian mereka. Karena itu, lambat launjulukannya mulai dikenal dalam rimba persilatan.

Pagi ini ia memasuki sebuah kota yang cukup besar. Kota An wie termasuk kota perdagangan, tidak mengherankan kalau keadaannya begitu ramai.

ini suasana kota tersebut tampak lebih ramai, di sana sini terlihat orang berkumpul membicarakan sesuatu sambil tertawa.

Tio Cie Hiong yang baru tiba di kota An wie itu terheran-heran menyaksikannya, sama sekali tidak tahu apa yang dibicarakan warga kota. Kemudian ia memasuki sebuah kedai yang sangat ramai. Tidak ada tempat kosong sehingga terpaksa dia berdiri sambil menengok ke sana ke mari.

Ia melihat dua orang lelaki yang sedang bersantap sambil mengobrol tak henti-hentinya. Karena di situ masih ada tempat kosong, maka Tio cie Hiong mendekati mereka.

"Maaf" ucapnya sambil menjura pada kedua orang itu.

"Bolehkah aku duduk di sini?"

"silakan" sahut salah seorang sambil memandangnya.

"Terima kasih" Tio Cie Hiong tersenyum dan duduk- segera seorang pelayan menghampirinya. "Tuan mau makan apa?"

"semangkok nasi dan sop sapi," jawab Tio Cie Hiong.

Tak lama kemudian, pelayan sudah menyediakan pesanan Tio Cie Hiong. Ketika ia mulai bersantap, kedua orang di dekatnya terdengar mengobrol lagi.

"Nanti sore, pertandingan itu pasti menarik sekali."

"Ha ha Pasti merupakan pertandingan yang sangat menarik-" "Tapi—." orang yang berbadan gemuk meng-geleng-gelengkan kepala. "Mungkin juga ada yang akan mati dalam pertandingan itu-" "Benar." Temannya manggut-manggut.

"Sebab pemuda jahat itu pasti muncul, jadi—-"

"Aaakh" orang berbadan gemuk menghela nafas panjang. "Siapa yang mampu mengalahkannya? Nona Tan pasti" "yaah" Temannya menggeleng-geleng kepala,

"Guru silat Tan berharap ada orang yang mampu mengalahkan pemuda jahat itu- Tapi di dalam kota ini mana ada orang yang mampu mengalahkan pemuda itu?"

Mendengar percakapan itu Tio Cie Hiong merasa tertarik- Ia memandangi orang yang berbadan gemuk seraya bertanya-

"Maaf sebetulnya ada pertandingan apa di kota ini. Tuan?"

Kedua orang itu langsung memandang Tio cie Hiong, mereka berdua tampak tercengang.

"Eh? saudara bukan warga kota ini?" orang berbadan gemuk balik bertanya.

"Bukan." Tio Cie Hiong tersenyum.

"Aku cuma mampir di kota ini."

"oooh" orang berbadan gemuk itu manggut-manggut.

"Pantas saudara tidak tahu."

"Bolehkah saya tahu pertandingan apa yang Tuan perbincangkan tadi?"

"Tentu boleh," sahut orang berbadan gemuk itu.

"Di kota ini terdapat seorang guru silat, Tan Kiat sih namanya. Beliau punya seorang putri yang cantik jelita bernama Tan Li Cu...."

"Gadis itu berkepandaian tinggi," sambung temannya.

"Sebab gadis itu mendapat bimbingan dari seorang biarawati pengembara."

"oh?" Tio Cie Hiong makin tertarik-

"Lalu kenapa ada suatu pertandingan?"

"Itu merupakan sayembara," sahut orang berbadan gemuk memberitahukan,

"Ternyata Nona Tan telah saling mencinta dengan seorang pemuda bernama Lim Hay Beng.

Guru Tan sangat suka pada Lim Hay Beng, karena Lim Hay Beng merupakan pemuda baik, Karena itu, guru Tan berniat menjodohkan mereka Namun...."

"Kenapa?" tanya Tio Cie Hiong.

"Mendadak muncul Liu siauw Kun ke rumah guru Tan untuk melamar putrinya. Hal itu membuat Guru silat Tan jadi serba salah," tutur orang berbadan gemuk sambil menggeleng-geleng kepala.

"Kenapa Guru Tan harus serba salah? Bu-kankah dia boleh menolak pinangan Liu siauw Kun itu?" selidik Tio cie Hiong.

"Kalau Guru Tan menolak langsung, berarti guru Tan dan putrinya bakal celaka." orang berbadan gemuk menarik nafas.

"Lho?" Tio cie Hiong tercengang.

"Kenapa begitu?"

"Liu siauw Kun berkepandaian sangat tinggi dan berhati kejam pula." orang berbadan gemuk memberitahukan,

"Liu siauw Kun selalu berlaku sewenang-wenang di kota ini, bahkan sering puLa mengganggu para anak gadis- siapa berani melawannya, pasti mati di ujung pedangnya"

"oh?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.

"Kenapa orang tuanya membiarkannya berbuat sewenang-wenang begitu?"

"orang tuanya cuma tahu bersenang-senang, mana bisa mendidik putranya? Sedangkan ibunya sudah lama meninggal. Lagi pula... guru Liu siauw Kun malah lebih kejam, sering membunuh orang hanya karena urusan kecil."

"Siapa guru Liu siauw Kun?"

"Gurunya adalah Tok Gan sin coa (ular sakti Mata satu)"

"ohya, apakah Lim Hay Beng itu mengerti ilmu silat?" tanya Tio Cie Hiong mendadak. "Mengerti- Tapi-—"

"Kenapa?" tanya Tio Cie Hiong cepat.

Kepandaiannya masih di bawah Nona Tan, tidak mampu melawan Liu siauw Kun. Aku yakin dia akan mati di tangan Liu siauw Kun yang berhati kejam itu."

"Dikarenakan itu..." sambung temannya-

"Guru silat Tan mendirikan sebuah panggung sayembara. Pemuda dari mana pun diperbolehkan bertanding di atas panggung itu. siapa yang mampu mengalahkan Nona Tan, maka akan dijodohkan kepadanya"

"oh?" Tio cie Hiong tersenyum.

"Kalau begitu, bagaimana dengan Lim Hay Beng yang mencintai Nona Tan?"

"Tentu harus ikut bertanding Namun pasti muncul Liu siauw Kun, maka Lim Hay Beng akan celaka di tangan pemuda kejam itu."

"Di kota ini tidak ada pemuda yang berkepandaian tinggi untuk mengalahkan Liu siauw Kun?" tanya Tio Cie Hiong.

Kalau ada, Liu siauw Kun tentu tidak akan berani berbuat sewenang-wenang. Aaakh Entah apa yang akan terjadi dalam pertandingan itu?"

"Tuan, di mana panggung itu?"

"Di depan rumah Guru Tan."

"Di mana rumah Guru silat Tan itu?"

"Di sebelah barat kota ini. siapa pun tahu rumah Guru silat Tan." jawab orang berbadan gemuk sambil menatapnya.

"Apakah saudara mengerti ilmu silat?"

"Mengerti sedikit" ujar Tio cie Hiong dan tersenyum.

"Siapa yang melakukan kejahatan, harus mendapat ganjarannya" lanjutnya menandaskan.

"Memang" orang berbadan gemuk manggut-manggut.

"Tapi..., siapa yang mampu mengalahkan Liu siauw Kun itu?"

"Di mana ada kejahatan, di situ akan muncul kebenaran dan keadilan" ujar Tio Cie Hiong serius, lalu bangkit berdiri Ketika ia mau membayar, orang berbadan gemuk itu mencegah-

"saudara, biar aku saja yang membayar."

"Terima kasih" ucap Tio Cie Hiong, ia meninggalkan kedai itu.

Tio cie Hiong berteduh di bawah pohon rindang di depan sebuah biara. Beberapa saat kemudian, pintu halaman biara itu terbuka, tampak dua hweeshio berjalan keluar. Begitu melihat Tio cie Hiong duduk di bawah pohon, kening kedua hweeshio itu tampak berkerut.

"Hei Kenapa engkau duduk di situ?" bentak salah seorang hweeshio itu.

Tio cie Hiong memandang kedua hweeshio muda itu dengan penuh keheranan. Biasanya para hweeshio selalu bersikap ramah terhadap orang, namun kedua hweeshio muda itu bersikap begitu kasar.

"Maaf" ucap Tio Cie Hiong sambil bangkit berdiri

"Aku numpang beristirahat sejenak di sini"

"Engkau tidak boleh duduk di situ" bentak kedua hweeshio muda itu.

"Akan mengotori biara"

"Apa?" Terkejut Tio Cie Hiong mendengarnya.

"Aku berdiri di sini, mana mungkin mengotori biara yang di dalam?"

"ya." Kedua hweeshio itu mengangguk,-

"Apakah ini termasuk ajaran Budha?" tanya Tio cie Hiong mendadak-

"Jangan banyak omong, cepatlah pergi" bentak salah seorang hweeshio itu dengan wajah tak senang.

"Anak muda" seorang wanita berusia empat puluh lebih mendekatinya.

"Lebih baik berteduh di rumahku saja"

"Bibi..." Tio cie Hiong tidak menyangka akan muncul seorang wanita baik hati itu.

"Anak muda, percuma berdebat dengan hweeshio-hweeshio itu," ujar wanita itu dengan suara pelan.

"Mereka hweeshio-hweeshio mata duitan Kalau orang kaya bersembahyang di biara itu akan disambut dengan ramah, tapi orang miskin yang bersembahyang, mereka sama sekali tidak menghiraukannya. "

"oh?" Tio Cie Hiong melongo mendengar penuturan wanita setengah baya itu.

"omitohud" ucap kedua hweeshio itu.

"Kalian berdua masih menyebut 'omitohud'?" Tio Cie Hiong tersenyum dan menambahkan.

"Apakah kalian tidak takut tertimpa oleh "omitohud" itu?"

Wanita itu tersenyum, kemudian mengajak Tio Cie Hiong ke rumahnya. Rumah itu cukup besar, memiliki halaman depan dan belakang, namun keadaannya tampak sudah tua.

"Anak muda, silakan duduk" ucap wanita itu setelah masuk ke rumahnya.

"Terima kasih. Bibi"

"In Hio" seru wanita itu.

" Cepat suguhkan air telip"

"ya." suara sahutan dari dalam terdengar.

"Tidak usah repot-repot. Bibi" ujar Tio Cie Hiong.

Tak lama kemudian, muncul seorang gadis cantik berusia sekitar enam belas membawakan secangkir teh- Begitu melihat Tio cie Hiong, gadis itu nampak terpana sebentar,

"silakan minum" ucap gadis itu sambil menaruh cangkir di hadapan Tio Cie Hiong.

"Terima kasih. Nona" sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum, senyuman itu membuat hati gadis tersebut berdebar-debar tidak karuan.

"Anak muda." Wanita itu tersenyum.

"Dia putriku, Yap In Nio namanya, ohya, namamu?" "Namaku Tio Cie Hiong," jawabnya memperkenalkan diri "Kelihatannya engkau bukan orang kota ini. ya, kan?" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk-"Pagi tadi aku baru tiba di kota ini."

"ooooh" Wanita itu manggut-manggut.

"Nona In Hio" ujar Tio Cie Hiong sambil memandangnya.

"engkau pernah belajar silat, kan?"

"Eh?" Yap In Nio tercengang.

"Kok engkau tahu?"

"Aku melihat gerak langkahmu tadi."

"Kalau begitu...," yap In Nio menatapnya dalam-dalam.

"Engkau pasti pernah belajar silat juga, bukan?"

Tio Cie Hiong mengangguk.-

"Engkau memiliki ilmu silat tinggi?" tanya yap In Hio mendadak-"Tidak begitu tinggi," sahut Tio cie Hiong sambil tersenyum. Gadis itu tampak kecewa-

"Kalau engkau memiliki ilmu silat tinggi, aku mau minta petunjuk-"

"In Hio" ibunya menegur.

"Kenapa kau jadi cerewet hari ini? cie Hiong adalah tamu, tidak boleh kurang ajar-" "Ibu" yap In Hio tertawa geli-

"Kapan sih aku kurang ajar padanya? Kok ibu kelihatan membelanya? oh ya, ibu ketemu dia di mana?"

"Di depan biara-" Wanita itu menggeleng-geleng kepala-

"Ibu lihat dia duduk di bawah pohon depan biara, kemudlan muncul dua orang hweeshio muda mengusirnya, maka ibu mengajaknya ke mari-"

"oooh" yap In Hio manggut-manggut, kemudian mendengus.

"Para hweeshio di biara itu memang keterlaluan, dasar mata duitan pula Lebih baik jangan jadi hweeshio, itu akan menambah dosa mereka"

"Mereka cuma mengenakan jubah hweeshio dan kepala digundul. Namun mereka sama sekali tidak mengerti ajaran Budha," Ujar Tio cie Hiong sambil menggeleng-geleng kepala-

"Kalau aku sebagai Kwan Im Pousat, kupukul kepaLa mereka yang gundul itu agar sadar" ujar yap In Nio.

"Eh? In Nio, tidak boleh berkata begitu" tegur ibunya.

"Nona In Hio, walau bukan Kwan Im Pousat, engkau pun boleh mengetuk kepaLa mereka" ujar Tio Cie Hiong tersenyum.

"Nanti kalau ada kesempatan, aku ketuk kepaLa mereka satu persatu" ujar yap In Hio sambil tertawa kecil.

"Anak muda...." Wanita itu menggeleng-geleng kepala.

"Putriku memang nakal, aku terlampau memanjakannya" "ohya, di mana ayahnya?" tanya Tio Cie Hiong mendadak.

"Ketika dia berumur tiga tahun, ayahnya meninggal karena sakit." Wanita itu memberitahukan dengan wajah murung,

"sejak itu aku menjanda."

"Maaf, aku telah menimbulkan kedukaan Bibi" ucap Tio Cie Hiong merasa tidak enak-"Anak muda, itu telah berlalu." Wanita itu tersenyum getir. "Ei" ujar yap In Hio pada Tio Cie Hiong.

"Apakah engkau tahu guru silat Tan menyelenggarakan sebuah sayembara?"

"Tahu." Tio Cie Hiong mengangguk-

"Aku sudah dengar itu"

"Ei Engkau pernah belajar ilmu silat, apakah engkau mau ikut bertanding memperebutkan Nona Tan yang cantik jelita itu—?"

"In Hio" tegur ibunya dengan menatap In Nio-

"Engkau kok sangat kurang ajar? Kenapa engkau memanggil dia "Ei" begitu?"

"Maaf" ucap yap In Hio-

"Aku tidak tahu harus panggil dia apa?"

"Engkau harus panggil dia kakak Hiong" ujar ibunya memberitahukan

Yap In Hio mengangguk, kemudian ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Ilmu silatku masih rendah, kalau aku memiliki ilmu silat tinggi, aku pasti...." "Nona In Hio, engkau mau ikut bertanding?" tanya Tio cie Hiong merasa kaget.

"Aku seorang gadis, nona Tan juga gadis Bagaimana mungkin aku akan ikut bertanding?" sahut Yap In Hio sambil tertawa kecil.

"Kalau begitu, kenapa engkau barusan bilang—"

"Maksudku apabila aku memiliki ilmu silat tinggi, maka aku akan menghajar Liu siauw Kun itu." Yap In Hio menjelaskan.

"Oooo" Tio Cie Hiong manggut-manggut.

"Namun..." Yap In Hio menggeleng-geleng kepala.

"Aku saja masih kalah bertanding dengan nona Tan, bagaimana mungkin mampu menghajar Liu siauw Kun yang jahat itu?"

"Engkau pernah bertanding dengan nona Tan itu?" tanya Tio Cie Hiong heran.

"Ya- Tapi sekedar pertandingan persahabatan saja." Yap In Hio memberitahukan.

"sebab kami saling bersahabat."

"Engkau kalah bertanding melawannya?"

Yap In Hio mengangguk-

"Lima puluh jurus kemudian, ranting kayunya berhasil menyentuh punggungku"

"ohya" Tio cie Hiong menatapnya.

"Engkau belajar ilmu silat pada siapa?"

"Beberapa tahun lalu, ibuku melihat seorang pengemis kedinginan di luar, maka ibuku menyuruhnya masuk dan memberi makan. Ternyata pengemis itu bisa ilmu silat, beliau mengajar aku ilmu pukulan dan ilmu pedang. Tapi tidak lama, tiga bulan kemudian, pengemis itu pergi, sejak itu aku terus menerus melatih ilmu pukulan dan ilmu pedang yang diajarkannya." Tio Cie Hiong manggut-manggut.

Kakak Hiong, nanti sore engkau mau nonton pertandingan itu?" tanya Yap In Hio. "Mau." Tio Cie Hiong mengangguk.-

"Kita ke sana bersama saja," usul Yap In Nio-"Aku juga ingin menyaksikan pertandingan itu"

"Dasar anak nakal" dengus ibunya, meng-geleng-geleng kepala. "Pemuda mana yang mau sama dirimu kalau engkau begitu binal?" "Ibu" Yap In Nio tersenyum,

"usiaku baru enam betas, kenapa ibu kalut sih?" "Tentu kalut" sahut ibunya.

"Engkau begitu binal, Ibu kuatir engkau akan menjadi perawan tua."

"Tidak apa-apa. Aku ingin menjadi seorang pendekar wanita kok" sahut YaP In Nio, kemudian menoleh ke arah Tio Cie Hiong seraya bertanya,

" Kakak Hiong, engkau sudah punya kekasih belum?"

"Usiaku baru menjelang delapan belas, belum memungkinkan punya kekasih, bukan?" Tio Cie Hiong tersenyum.

"Masih kecil kok"

"Engkau begitu tampan, sopan dan ramah-" Yap In Nio menatapnya.

"Aku yakin pasti banyak anak gadis yang menyukaimu."

"Entahlah-" Tio cie Hiong menggeleng kepala.

"Sayang sekali" Yap In Nio menghela nafas.

"Nona Tan sudah punya kekasih, Kalau belum, dia pasti akan jatuh cinta padamu."

"Eeeh?" tegur ibunya lagi.

"Masih kecil kok sudah membicarakan cinta"

"Lho? Ibu bagaimana sih?" sahut Yap In Nio.

"Tadi kalut karena tidak ada pemuda yang mau denganku, sekarang malah bilang aku masih kecil sudah membicarakan cinta Jangan-jangan ibu sudah pikun"

"In Hio..." Wanita itu melotot.

"Hi hi" Yap In Nio tertawa geli-

"Nah, makanya lain kalijangan suka menegur sembarangan"

"sudahlah jangan banyak omong cie Hiong mungkin sudah lapar, kita makan dulur ajak ibunya, mengalihkan pembicaraan.

"Bibi, aku...."

"Kakak Hiong, jangan sungkan-sungkan" ujar Yap In Nio sambil tersenyum.

"Anggaplah rumah sendiri"

"Betul." Wanita itu manggut-manggut sambil tersenyum juga.

"Nak Cie Hiong, anggaplah rumah sendiri"

"Terima kasih, Bibi," ucap Tio Cie Hiong.

"Ayoh, Kakak Hiong" yap In Hio menariknya.

".Mari, kita ke dalam"

-ooo0000ooo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar