"Maksudmu Bu Lim sam
Mo?"
"Ah, mana mungkin?"
Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Kelandaian Bu Lim sam Mo telah
kumusnahkan, bagaimana mungkin...?"
Kakak Hiong, buktinya Ku Tek
Cun itu Bukankah kepandaiannya bisa pulih dan bahkan bertambah tinggi. Karena
itu..."
"Adik Im, sudah sekian
lama tiada kabar beritanya mengenai Bu Lim sam Mo, jadi tidak mungkin yang
membunuh Yap In Nio adalah Bu Lim sam Mo"
"sayang sekali...,"
Lim Ceng Im menghela nafas. "Dia cuma menyebut kata "sam". Kalau
dia bisa bertahan sesaat."
"Itu sudah tidak
mungkin." Tio cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "ohya, mari kita
ke dasar jurang yang tak jauh dari sini"
"Mau apa ke sana?"
tanya Lim Ceng Im dengan kening bcrkerenyit karena heran. "Menemui Lam Hai
sin ceng."
"Jadi selama ini Lam Hai
Sin ceng berada di dasar jurang itu?" tanya Ceng Im kaget. Tio Cie Hiong
mengangguk. "Lam Hai sin Ceng mendampingi makam Ciat Lun sin Ni...,"
"Ciat Lun sin Ni?"
gumam Lim Ceng Im. "Apakah sin Ni itu mantan kekasih Lam Hai sin
Ceng?"
"Dugaanmu tidak meleset,
Adik Im," jawab Tio Cie Hiong, lalu memberitahukan. "sin Ni itu juga
guru kakakku."
Lim Ceng Im manggut-manggut.
"Baiklah, mari kita ke sana"
Mereka berdua sudah sampai di
dasar jurang itu Lalu mencari ke sana ke mari, hingga akhirnya menemukan sebuah
goa.
"Adik Im, mungkin goa
ini," ujar Tio Cie Hiong, kemudian berseru. "Sin Ceng, cie Hiong dan
ceng Im datang berkunjung"
suara seruan Tio Cie Hiong
berkumandang ke dalam goa, tapi tidak ada sahutan sama sekali.
"Kakak Hiong, kenapa
tiada sahutan dari dalam? Mungkin bukan goa ini," ujar Lim Ceng Im.
"Tapi di tempat ini tak
ada goa lain lagi" Tio Cie Hiong mengerutkan kening. " Heran, kenapa
tiada sahutan?"
"Bagaimana kalau kita
masuk saja?"
"Baiklah"
Keduanya melangkah memasuki
goa itu. se-telah belasan langkah, akhirnya melihat seorang padri tua duduk
bersila di sisi sebuah makam.
"Itu adalah Lam Hat sin
ceng" bisik Tio Cie Hiong.
"oh?" Lim Ceng Im
mengerutkan kening. " Kenapa dia diam saja?"
"Mari kita dekati"
Tio Cie Hiong mengajak Lim Ceng Im mendekati Lam Hai sin ceng yang duduk diam.
setelah dekat, ia pun memberi hormat seraya berkata. "sin Ceng, kami ke
mari...."
Kakak Hiong...." Ceng Im
terbelalak saat melihat wajah Lam Hai sin ceng pucat pias.
"Jangan-jangan...,"
Tio Cie Hiong segera
memperhatikan wajah Lam Hai sin Ceng, seketika juga ia berseru tak tertahan.
"Ha a h? sin ceng telah
meninggal...."
" Kakak Hiong, sebelah
tangannya menjulur ke tanah"
Tio Cie Hiong memperhatikan
tangan Lam Hai sin ceng. Ternyata di sisi jari tangannya terdapat tulisan,
berbunyi "sam".
"sam?" Tio Cie Hiong
mengerutkan kening.
Kakak Hiong, aku yakin Lam Hai
sin ceng dibunuh orang yang bernama sam" ujar Lim Ceng Im. Kemudian gadis
ini teringat,
"Bukankah Pek Ih Hong Li
juga menyebut "sam"?"
"Aaakh...." Tio Cie
Hiong menghela nafas panjang. "Tak disangka sama sekali, dalam rimba
persilatan telah muncul
seorang pembunuh berkepandaian tinggi Tapi kita tidak tahu siapa orang itu,
kini rimba persilatan pasti dilanda bencana lagi"
"sam...," gumam urn
Ceng Im. " Lam Hai sin Ceng mati di tangannya, begitu pula Pek Ih Hong Li.
Itu pertanda orang itu berkepandaian tinggi sekali, di atas kepandaian Im sie
Hong Mo"
"Menurutku...," Tio
cie Hiong menengok ke sana ke mari sambil berkata. " Kepandaian orang itu
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Im sie Hong Mo"
"oh? Kenapa Kakak Hiong
mengatakan begitu?"
Karena Lam Haisin Ceng tak
mampu mengadakan perlawanan, lihatlah goa ini juga di luar sana, tidak porak
poranda."
Lim Ceng Im
mengangguk-anggukkan kemala mengerti.
"Itu berarti Lam Hai sin
Ceng tak mampu melawan orang itu Heran? siapa orang itu? sam artinya tiga,
mungkinkah... tiga orang?"
" Kalau tiga orang, aku
yakin mereka adalah Bu Lim sam Mo"
Tio Cie Hiong
menggeleng-gelengkan kepala. "Aku jadi pusing memikirkan kejadian
ini."
"sudahlah, Kakak Hiong
Jangan terus menerus memikirkannya Lebih baik kita kubur jasad Lam Hai sin
ceng."
"Baiklah"
Mereka menggali sebuah lubang
di sisi makam Ciat Lun sin Ni, lalu mengubur jasad Lam Hai sin ceng di situ.
Kemudian mereka berdua berlutut di hadapan kedua makam itu. Namun mendadak Tio
Cie Hiong meloncat bangun seraya berseru.
" Celaka"
"Ada apa, Kakak
Hiong?" sentak Lim Ceng Im yang merasa kaget bukan main.
"Adik Im, kita harus
segera kembali ke markas pusat Kay Pang Aku khawatir telah terjadi sesuatu di
sana."
"Haah...?" Wajah Lim
Ceng Im langsung memucat. " Kakak Hiong, mari kita berangkat..." Tio
Cie Hiong dan Lim Ceng Im melakukan perjalanan siang malam. Tujuh delapan hari
kemudian, sampailah mereka di markas pusat Kay Pang. Para anggota Kay Pang
segera
memberi hormat pada mereka
dengan wajah muram.
"Apakah telah terjadi
sesuatu di sini?" tanya Lim Ceng Im penasaran.
"Ya" jawab salah
seorang pengemis peringkat lima. "Bu Lim Ji Khie, Tok Pie sin wan dan
ketua hilang entah ke mana"
"Apa?" Wajah Lim Ceng
Im berubah pucat pias. "Apa yang telah terjadi?"
"Beberapa hari lalu, kami
semua berada di sini," tutur pengemis itu. " Tiba-tiba kami mencium
bau aneh, kemudian kami pun pingsan...."
"Lalu bagaimana?"
tanya Lim Ceng Im tak sabaran.
"setelah kami siuman,
kami segera berlari ke dalam markas. Tapi, Bu Lim Ji Khie, Tok Pie sin Wan dan
ketua sudah tidak kami temukan."
"Aaaakh..." keluh
Lim Ceng Im dengan mata basah. "Kalian semua tidak tahu siapa yang datang
ke sini?"
"Kami sudah pingsan,
sehingga tidak mengetahui." Pengemis itu menundukkan kepala dalam-daiam.
"Di mana Kiu Ci Cui
Kay?" tanya Lim Ceng Im.
"Ada di dalam
markas," sahut pengemis itu.
Lim Ceng Im dan Tio cie Hiong
langsung melesat ke sana. Begitu berada di dalam markas, muncullah Kiu Ci Cui
Kay.
"Nona Im, Pek Ih sin
Hiap" Kiu Ci Cui Kay segera memberi hormat.
"Cui Kay" Lim Ceng
Im menatapnya. "Engkau tahu kakek- ayah dan lainnya hilang ke mana?"
"Tidak tahu, Nona" Kiu ci cui Kay menggeleng kepala. "Engkau
juga ikut pingsan saat itu?" tanya Lim Ceng Im.
"Pada saat kejadian, aku
tidak berada di markas ini," jawab Kiu ci cui Kay. "Karena ketua
menugaskan aku ke markas cabang, aku baru pulang kemarin."
"Aaakh...," Lim Ceng
Im menghela nafas lalu menghempaskan tubuh ke kursi. "Siapa yang melakukan
itu?"
Tio Cie Hiong duduk di
sisinya. "Tenanglah sebentar" ujarnya.
Lim Ceng Im mulai
terisak-isak. "Bagaimana mungkin aku bisa tenang, kakek dan ayah...."
"Aku telah memeriksa
seluruh markas, sama sekali tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Kelihatannya tidak terjadi pertarungan di sini," ujar Kiu Ci Cui Kay
memberitahukan.
"Yang datang itu pasti
menggunakan semacam racun yang dapat membuat orang pingsan. Jadi Bu Lim Ji
Khie, Paman Lim dan Tok Nie sin Wan pasti ditangkap."
"Aku tidak habis
pikir...," Kiu Ci Cui Kay menggeleng-gclengkan kepala. "Padahal Bu
Lim Ji Khie memiliki Iwee kang yang sangat tinggi, tentunya tidak gampang
terkena racun itu. sebelum pingsan, seharusnya mereka mengadakan
perlawanan."
"Jangan-jangan ini juga
perbuatan si sam itu" tukas Tio Cie Hiong dengan wajah berubah.
"siapa orang itu?"
tanya Kiu Ci Cui Kay.
"Kamipun tidak
tahu." Tio Cie Hiong menggeleng kepala. "Pek Ih Hong Li dan Lam Hai
sin Ceng sudah mati."
"Apa?" Kiu Ci Cui
Kay terbelalak. "siapa yang membunuh mereka?"
"Pek Ih Hong Li cuma
sempat menyebut "sam", sedangkan Lam Hai sin ceng meninggalkan
tulisan "sam" juga," sahut Tio Cie Hiong sambil mengerutkan
kening. "Maka aku menyimpulkan bahwa kejadian di sini bisa jadi berkaitan
dengan si sam itu." Kiu Ci Cui Kay manggut-manggut.
Kakak Hiong, kita harus
bagaimana?" tanya Lim Ceng Im dengan air mata meleleh. "Tentunya kita
harus berusaha cari mereka," sahut Tio Cie Hiong.
"sebetulnya aku telah
mengutus puluhan pengemis untuk mencari jejak Bu Lim Ji Khie dan ketua. Tapi...
sia-sia"
"Tiada jejak yang mereka
tinggalkan?" tanya Tio Cie Hiong.
Kiu Ci Cui Kay mengangguk.
"Mungkinkah yang disebut "sam" itu adalah semacam perkumpulan?
"
"Tidak mungkin" Tio
Cie Hiong menggeleng kepala. "sam mungkin merupakan nama atau berarti tiga
orang"
"Tiga orang?" Kiu ci
Cui Kay terkejut. "Tentunya bukan Bu Lim sam Mo, kan?"
"Aku justru menduga kalau
mereka Bu Lim sam Mo," ujar Lim Ceng Im. "Tapi kepandaian Bu Lim sam
Mo telah musnah, bagaimana mungkin?"
"Buktinya Ku Tek Cun itu
Kepandaiannya lelah musnah, tapi setahun kemudian, kepandaian berkembang sangat
tinggi dan menamai dirinya Im sie Hong Mo oleh karena itu, si sam tersebut
kemungkinan besar adalah Bu Lim sam Mo"
Kalau begitu...," Kiu Ci
Cui Kay menggeleng-gelengkan kepala. "Bu Lim Ji Khie dan ketua serta
lainnya pasti akan celaka di tangan Bu Lim sam Mo."
"Itu belum tentu,"
ujar Tio Cie Hiong. " Kalau si sam ingin membunuh mereka, tentunya mereka
sudahjadi mayat di markas ini."
"Benar" Kiu Ci Cui
Kay mengangguk. "Berarti mereka ditangkap dan dikurung di suatu
tempat"
"Tidak salah." Tio
Cie Hiong manggut-manggut. "Besok kami akan pergi cari mereka, engkau
tetap di markas ini saja"
"Baik kalau begitu."
"sebarkan para anggota
kita untuk terus cari kakek dan ayahku" perintah Lim Ceng Im kepada Kiu ci
cui Kay.
"Ya, Nona" Kiu Ci
Cui Kay mengundurkan diri dari situ
Lim Ceng Im duduk tercenung
dengan wajah murung. Tio Cie Hiong memegang bahunya seraya berkata.
"Adik Im, jangan
terlampau memikirkan itu Besok kita pergi mencari mereka." Lim Ceng Im
menghela nafas. "Bisakah kita menemukan mereka?"
"Mudah-mudahan"
sahut Tio Cie Hiong.
"ohya, Kakak Hiong"
Lim Ceng Im teringat sesuatu. "Tui Hun Lojin, Paman Gouw, dan Lam Kiong
hujin juga belum sampai. Mungkin mereka juga sudah ditangkap"
"Bisa jadi begitu."
Tio Cie Hiong manggut-manggut dan bergumam. "Benarkah Bu Lim sam Mo yang
melakukan semua itu...?"
Bab 49 Ban Tok shia Cun (si
sesat selaksa Racun)
Di istana Te Mo yang terletak
di dalam goa, terdengarlah suara tawa terbahak-bahak. Yang tertawa itu ternyata
Bu Lim sam Mo, mereka bertiga tampak gembira sekali.
"Ha ha ha Kita telah
menangkap Tui Hun Lojin, Lam Kiong hujin, Gouw Han Tiong, Bu Lim Ji Khie, Tok
Pie sin Wan dan para ketua tujuh partai besar Aku yakin rimba persilatan pasti
sudah menjadi gempar sekali Ha ha ha"
"Ini memang menjadi suatu
kejutan bagi rimba persilatan," sahut Thian Mo sambil tertawa gelak.
"siapapun tidak akan
menduga kita yang melakukan semua ini" sambung Te Mo sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
"Tapi ada satu kejadian
yang sangat mengejutkan belum lama ini," ujar Tang Hai Lo Mo. "Ku Tek
Cun murid kita itu, sungguh di luar dugaan telah berhasil mempelajari ilmu
silat peninggalan Im sie HongJin, maka menamai dirinya Im sie Hong Mo"
"sayang sekali dia roboh
di tangan Tio Cie Hiong" Thian Mo menggeleng-geleng kepala dan
menambahkan. "Bahkan kemudian dicincang- cin- cang oleh Pek Ih Hong
Li."
"Tapi kita pun telah
melukai Pek Ih Hong Li. Aku yakin wanita gila itu tidak bisa hidup," ujar
Te Mo.
"Itu sudah pasti"
Tang Hai Lo Mo tertawa terkekeh. "seisi perutnya telah hancur oleh pukulan
gabungan kita bertiga, bagaimana mungkin dia bisa hidup?"
"Aku justru merasa
heran...," ujar Thian Mo dengan kening berkejut. "Beberapa bulan
lalu, Ku Tek Cun berhasil melukai Tio Cie Hiong. Tapi kemudian Ku Tek Cun malah
roboh di tangan pemuda itu. Ini suatu pertanda kepandaian Tio cie Hiong telah
mengalami kemajuan pesat. Bagaimana dia memperdalam kepandaiannya itu?"
"Memang
mengherankan" Tang Hai Lo Mo mengerutkan kening. "oleh karena itu,
untuk sementara ini lebih baik kita bergerak secara gelap saja. Itu akan
membuatnya pusing"
"Benar" Thian Mo
manggut-manggut. "Pokoknya kita membuatnya tidak bisa tenang."
"Aku punya usul,"
ujar Te Mo mendadak dengan wajah serius.
"Apa usulmu?"
"Bagaimana jika kita
meracuni Lim Ceng Im kekasihnya itu?" ujar Te Mo.
"Bagus" Tang Hai La Mo
tertawa. "Kalau kita berhasil meracuni Lim Ceog Im, tentu pikiran Tio Cie
Hiong akan tercekam oleh rasa kekacauan, siapa tahu dia akanjadi gila
karenanya"
"Benar" Thian Mo
tertawa gelak.
"Tapi-," Te Mo
menggeleng-geleng kepala. "Kita harus menyuruh siapa meracuni
gadisitu?"
Tang Hai Lo Mo berpikir, lama
sekali sebelum berseru denganpenuh kegirangan. "Ban TOk shia Cun. (si
sesat selaksa Racun)"
"oh? Dia?" Te Mo
terkejut.
"Memang dia" Tang
Hai Lo Mo manggut-manggut. "Dia ahli sekali dalam hal racun, maka
memperoleh julukan Ban Tok shia Cun"
Thian Mo menggeleng-geleng
kepala. "Tapi bagaimana mungkin Si Sesat itu mau membantu kita?"
"Ha ha ha" Tang Hai
Lo Mo tertawa. "Dia pasti mau"
"Kenapa?" tanya
Thian Mo dan Te Mo.
"Sebab dia berhutang budi
padaku. Hingga saat ini dia belum membalas budiku itu" Tang Hai Lo Mo
memberitahukan. "Karena itu, aku yakin dia mau membantu kita"
"Kalau begitu, kita
bertiga harus pergi menemuinya?" tanya Thian Mo.
"Cukup aku seorang diri
saja." sahut Tang Hai Lo Mo. "Kalian berdua harus membuat perangkap
di luar goa. Setetah itu kita pun harus menghimpun kekuatan baru untuk
mendirikan Bu Tek Pay (Partai Tanpa Tanding)"
"Kita lihat saja
nanti" sahut Tang Hai Lo Mo. "Yang penting keberadaan kita harus
dirahasiakan Karena kita harus membuat Tio Cie Hiong kebingungan, dia tidak
akan mengira kita bertiga adalah ketua Bu Tek Pay itu"
"Ha ha ha" Te Mo
tertawa terbahak-bahak. "Apabila Ban Tok Shia Cun berhasil meracuni Lim
Ceng Im, Tio Cie Hiong pasti cemas setengah mati"
"Betul Ha ha ha"
Thian Mo juga tertawa gelak.
"Kalau Lam Kiong Bie
Liong, Toan Wie Kie, Toan Pit Lian dan Gouw Sian Eng muncul di Tionggoan, kita
pun harus segera tangkap mereka" ujar Tang Hai Lo Mo dan melanjutkan
sambil tertawa. "Tio Cie Hiong pernah memusnahkan kepandaian kita, maka
kita harus membalasnya dengan cara membuatnya kehilangan gairah hidup"
"Benar Benar" Thian
Mo dan Te Mo manggut-manggut sambil tertawa terkekeh-kekeh. "He he he He
he he he..."
-ooo)00000(ooo-
Di sebuah lembah yang sepi,
tampak seorang tua sedang berjalan sambil bersenandung. orang tua itu sudah
berusia delapan puluhan, tapi masih kelihatan gagah. Mendadak mata orang tua
itu terbelalak. melihat di hadapannya berdiri seorang tua pula.
"Haaah...?"
"Ha ha ha Ban Tok shia
Cun, engkau masih kenal aku?" tanya orang itu yang tak lain Tang Hai Lo
Mo.
"Tang... Tang Hai Lo Mo?"
Ban Tok shia Cun terkejut bukan main. "Engkau... engkau...?"
"Aku kemari menemuimu,
engkau tidak berkeberatan, kan?"
"Tentu tidak"
"Aku ingin minta
bantuanmu. Kuharap engkau takkan menolaknya" Tang Hai Lo Mo menatapnya
tajam.
"Apa yang dapat
kubantu?" tanya Ban Tok shia Cun.
"Aku hanya ingin
menyuruhmu melakukan sedikit pekerjaan" ujar Tang Hai Lo Mo menjelaskan
maksudnya. "Pekerjaan yang sangat gampang"
"Pekerjaan apa?"
"Meracuni seseorang"
"Meracuni
seseorang?" Ban Tok shia Cun menghela nafas. "Lo Mo, sudah dua puluh
tahun lebih aku mengundurkan diri dari rimba persilatan."
"Engkau tidak bersedia
membantuku?" Wajah Tang Hai Lo Mo langsung berubah. Ban Tok shia Cun
menghela nafas lagi.
"Engkau pernah berhutang
budi padaku, jadi engkau tidak mau membalas budiku itu?" Tang Hai Lo Mo
menatapnya dengan kening berkerut-kerut.
"Aaakh...." Ban Tok
shia Cun manggut-manggut. "Baiklah siapa yang harus kuracuni?"
"Dia seorang gadis
cantik, namanya Lim Ceng Im putri Lim Peng Hang ketua Kay Pang"
Ban Tok shia Cun tampak
tersentak. "Kalau begitu, gadis itu adalah cucu sam Can sin Kay?"
"Betul"
"Bagaimana mungkin
aku...."
"Jangan khawatir"
Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Bu Lim Ji Khie telah kami tangkap Lam Hai
sin ceng pun telah kami bunuh Ha ha ha"
"Apa?" Ban Tok shia
Cun terperanjat.
"Aku pernah dengar,
engkau memiliki semacam racun aneh yang disebut Pek Jit Mi Hun Tok (Racun
Pelenyap sukma seratus Ha n) Ya, kan?" Tanya Tang Hai Lo Mo mendadak.
"Ya" Ban Tok shia
Cun mengangguk. "Tapi aku tidak punya obat pemusnahnya"
"Itu tidak penting"
Tang Hai Lo Mo tertawa. "Jadi engkau harus meracuni Lim Ceng Im dengan
racun itu"
"Baiklah Tapi..."
"Kenapa?"
"Aku tidak mengenal gadis
itu, bagaimana mungkin meracuninya?"
"Tidak sulit mengenali
gadis cantik itu," ujar Tang Hai Lo Mo memberitahukan. "Dalam waktu
beberapa hari ini, dia bersama Pek lh sin Hiap akan tiba di kota Kiu Ling. Nah,
racunilah gadis itu"
"Ya" Ban Tok shia
Cun mengangguk.
"Ban Tok shia Cun"
Mendadak Tang Hai Lo Mo menatapnya tajam dan mengancam. "Apabila engkau
tidak berhasil meracuni gadis itu, kepala mu berpisah dengan badanmu"
"Haaah...?" Bart Tok
shia Cun terkejut bukan main, ia tahu itu bukan sebuah ancaman kosong.
Tang Hai Lo Mo telah kembali
ke istana Te Mbi setelah duduk ia tertawa gelak.
"Aku telah bertemu Ban
Tok shia Cun" ujarnya penuh rasa gembira sekali.
"Bagaimana?" tanya
Thian Mo sambil memandangnya. "Dia bersedia membantu kita untuk meracuni
Lim Ceng Im?"
"Dia tak berani
tolak," sahut Tang Hai Lo Mo memberitahukan. "Aku suruh dia meracuni
gadis itu dengan racun pek Jit Mi Hun Tok Ha ha ha..."
"Kalau dia berhasil
meracuni Lim Ceng Im, Tio Cie Hiong pasti cemas sekali dan mungkin akan jadi
gila karenanya." ujar Thian Mo sambil tertawa gembira, namun kemudian
wajahnya tampak berubah.
"Tapi... Tio Cie Hiong
mahir ilmu pengobatan, dia pasti dapat memusnahkan racun itu"
"Ha ha ha" Tang Hai
Lo Mo tertawa. "Racun itu tiada obat pemusnahnya. Walau Tio Cie Hiong
mahir ilmu pengobatan, tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa."
"Bagus Bagus" ujar
Te Mo dan tertawa Justru dia mahir ilmu pengobatan. Maka dia akan membuatnya
putus asa Ha ha ha..."
sementara itu, Tio Cie Hiong
dan Lim, Ceng Im sudah sampai di kota Kiu Ling. Mereka berdua berupaya
mencarijejak Bu Lim Ji Khie dan lainnya, namun tiada berhasil.
Mereka mampir di sebuah kedai
teh untuk melepaskan lelah dan dahaga. Begitu duduk, pelayan segera menyuguhkan
dua cangkir teh hangat. "Terima kasih." ucap Tio Cie Hiong.
Ketika mereka berdua
mengangkat cangkir itu, mata Tio Cie Hiong tampak terbelalak. Mendadak dia
melihat Bulong Ngo Hiap (Lima Pendekar Bulong) memasuki kedai itu.
Bulong Ngo Hiap agaknya juga
melihat Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im. sebab mereka berlima segera
menghampirinya.
"selamat bertemu Pek lh
sin Hiap dan Nona Lim" ucap Butong Ngo Hiap sambil memberi hot mat.
"selamat bertemu"
sahut Tio Cie Hiong, membalas hormat mereka. "sungguh kebetulan kita
bertemu di sini, silakan duduk"
Butong Ngo Hiap duduk. In
siauw Houw menghela nafas panjang sambil memandang Tio Cie Hiong.
"Tahukah saudara Tio,
belum lama ini telah terjadi sesuatu yang menggemparkan rimba persilatan?"
"Apakah tentang hilangnya
Bu Lim Ji Khie, Tok Pie sin Wan dan ketua Kay Pang?" Tio Cie Hiong balik
bertanya.
"Apa?" Butong Ngo
Hiap terkejut. "Mereka juga telah hilang?"
"Ya" Tio Cie Hiong
mengangguk.
"Aaakh" In siauw
Houw menggeleng-geleng kepala. "Para ketua tujuh partai pun telah hilang
lenyap tak ketahuan rimbanya" Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im terkejut
mendengar kabar itu.
"Bahkan, kami pun
mendengar desas-desus, bahwa Tui Hun Lojin, Lam Kiong hujin dan Gouw Han Tiong
juga hilang dalam perjalanan pulang dari Tayli." In siauw Houw
memberitahukan.
"Apa?" Tio Cie Hiong
dan Lim Ceng Im terbelalak.
"Kami berlima justru
sedang mencari guru kami It Hian Tojin," ujar In siauw Houw, kemudian
menghela nafas. "sudah belasan hari kami mencari tanpa hasil."
"Kalian tahu perbuatan
siapa itu?" tanya Tio Cie Hiong.
"Tidak tahu" Butong
Ngo Hiap sama menggeleng.
"Ketika It Hian Tejin
hilang, kalian berlima berada di mana?" Tio Cie Hiong memandang mereka.
"Pada waktu itu...,"
tutur In siauw Houw. "Kami berlima sedang meronda, tiba-tiba kami mencium
bau aneh, lalu pingsan. setelah siuman kami pun segera berlari ke dalam sam
cing Koan (Tempat Tinggal Para Pendeta Taosme Di Gunung Butong), tapi guru kami
sudah kehilangan jejak."
"Kejadian itu persis
seperti yang di markas pusat Kay pang." gumam Tio Cie Hiong.
"Para anggota Kay Pang
juga mencium bau aneh lalu pingsan. Bu Lim Ji Khie, Tok Pie sin Wan dan ketua
Kay Pang pun hilang tanpa jejak."
"Pada waktu ilu saudara
Tio dan Nona Lim berada di mana?" tanya In siauw Houw sambil memandang
mereka.
"Kami dalam perjalanan
pulang dari Tayli," sahut Lim Ceng Im.
In siauw Houw menghela nafas
panjang. "setelah Im sie Hong Mo mati, kami kira rimba persilatan akan
aman dan tenang, ternyata malah bertambah kacau"
"saudara In, apakah belum
lama ini dalam rimba persilatan telah muncul suatu partai atau perkumpulan baru
yang misterius?" tanya Tio Cie Hiong.
"Hm... kami tak pernah
mendengar itu." In siauw Houw menggeleng kepala.
"Sungguh
mengherankan" Tio Cie Hiong menghela nafas. "Ohya, apakah kalian
sudah tahu bahwa Pek Ih Hong Li sudah mati?"
"Apa?" sentak Butong
Nao Hiap. "Pek Ih Hong Li telah mati?" Tio Cie Hiong mengangguk.
"siapa yang
membunuhnya?" tanya In siauw Houw.
"Tidak jelas Tapi Pek Ih
Hong Li justru mati dalam pelukanku" tutur Tio Cie Hiong.
"Dia menyebut
"sam"?" tanya In siauw Houw sambil mengerutkan kening.
Tio Cie Hiong mengangguk lalu
ujarnya perlahan, " Lam Hai sin ceng juga telah mati. Dia meninggalkan
sebuah kata "sam" juga"
"Apa? Lam Hai sin Ceng
telah mati?" semakin terkejut Butong Ngo Hiap mendengar itu. "juga
dibunuh oleh si sam itu?" tanyanya.
Tio cie Hiong manggut-manggut
membenarkan. sekali dia menghela nafas dalam.
"sam..." gumam In
siauw Houw. "It Ceng, Ji Khie, sam Mo Mungkinkah mereka itu sam Mo?"
" Kami pun menduga
begitu"
"Tapi...," In siauw
Houw menggeleng-geleng kepala. "Bukankah kepandaian Bu Lim sam Mo telah
musnah? Bagaimana mungkin mereka yang melakukan itu?"
"Memang
membingungkan," ujar Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Baiklah" Butong Ngo
Hiap bangkit berdiri. "Kami mohon diri. Kalau kami memperoleh kabar berita
tentang Bu Lim Ji Khie dan lainnya, pastikan kami beritahukanpada kalian."
"Terima kasih," ucap
Tio Cie Hiong.
"sampai jumpa"
Butong Ngo Hiap lalu beranjak pergi dari kedai teh.
Tio cie Hiong dan Lim Ceng fm
saling memandang, kemudian menggeleng-geleng kepala.
"Para ketua tujuh partai
telah hilang lenyap tanpa jejak," ujar Lim Ceng fm sambil menghela nafas.
"Aku yakin, dalam rimba
persilatan telah muncul suatu perkumpulan misterius. Perkumpulan tersebutlah
yang menculik mereka dengan menggunakan racun, maka tiada perlawanan sama
sekali"
Kakak Hiong, mungkin pemimpin
perkumpulan tersebut adalah sam Mo?" "Mungkin"
"Kita harus hati-hati.
sebab, pihak musuh bertindak secara diam-diam, sedangkan kita secara
terang-terangan mencari jejak kakek. ayah dan lainnya."
Tio Cie Hiong mengangguk.
"ohya, hari sudah mulai malam. Kita bermalam di kota ini saja."
"Baiklah." Lim Ceng Im manggut-manggut.
Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im
duduk berhadapan di dalam kamar penginapan. Kening mereka berkerut-kerut
sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Cukup lama keduanya saling membisu,
hingga akhirnya Lim Ceng Im
membuka mulut. " Kakak Hiong, mungkinkah kakek, ayah dan lainnya telah
dibunuh?"
"Tidak mungkin sebab
mereka menculik dengan maksud tertentu. Jadi kalau mereka mau membunuh,
tentunya kakek dan ayahmu telah menjadi mayat."
"Kalau begitu.. kakek
ayah dan lainnya pasti dikurung di suatu tempat."
"Kira-kira
begitulah."
Kakak Hiong, kalau benar semua
itu perbuatan Bu Lim sam Mo, berarti kepandaian mereka telah maju pesat. Pek Ih
Hong Li dan Lam Hai sin ceng yang berkepandaian begitu tinggi saja terbunuh
oleh mereka. Bisakah Kakak Hiong mengalahkan mereka?"
"Mudah-mudaha saja"
Tio Cie Hiong tersenyum getir. "ohya, Adik Im, aku minta maaf
padamu."
"Lho?" Lim Ceng Im
tercengang. " Kenapa Kakak Hiong minta maaf padaku?"
Tio cie Hiong
menggeleng-geleng kepala. "seharusnya kita sudah melangsungkan pernikahan,
tapi tertunda oleh kejadian ini. Aku, aku merasa tidak enak terhadapmu."
"Jangan berkata begitu,
Kakak Hiong" Lim
Ceng Im tersenyum dengan penuh
pengertian. "Aku sama sekali tidak mempersalahkanmu. setelah urusan ini
selesai tentu kita akan melangsungkan pernikahan."
Tio cie Hiong
menggeleng-geleng kepala. "Padahal, aku paling tidak suka banyak urusan,
tapi justru berbagai macam urusan muncul menimpa diriku. Ini sungguh membuatku
tidak habis pikir."
" Hidup memang
begitu" gumam gadis itu
"oleh karena itu, setelah
menikah nanti, lebih baik kita hidup di puncak Gunung Thian san Jangan
mencampuri urusan rimba persilatan lagi"
"Aku memang sudah jemu
berkecimpung di dalam rimba persilatan" Tio Cie Hiong mengerutkan kening.
"Kini aku masih mencemaskan satu hal."
"Hal apa?"
"Lam Kiong Bie Liong,
Toan pit Lian, Toan wie Kie dan Gouw sian Eng mungkin sudah berangkat. Aku
khawatir terjadi sesuatu atas diri mereka."
"Mudah-mudahan mereka
belum berangkat Kalau sudah berangkat, mungkin mereka akan mengalami kejadian
seperti yang lain."
"itulah yang
kucemaskan...." Ucapan Tio cie Hiong terhenti, karena mendadak ada orang
mengetuk pintu.
"Siapa?"
"Aku pelayan, mengantar
teh ke mari"
"Masuklah"
Pintu terbuka. Tampak seorang
pelayan masuk dengan membawa sebuah teko dan dua cangkir.
Setelah menaruh ke atas meja,
pelayan itu pun pergi.
"Kebetulan" Lim ceng
Im tersenyum. "Aku memang sudah haus."
Tio cie Hiong tersenyum, ia
menuang secangkir teh untuk gadis itu, lalu menuang lagi ke cangkirnya.
"Mari kita minum
dulu" ajaknya.
Mereka mulai meneguk teh itu.
Lim ceng Im bahkan menambah lagi seraya berkata, "Kalau sedang haus, teh
biasa pun terasa wangi"
"Teh ini memang wangi
sekali," ujar Tio cie Hiong tersenyum.
Mereka mulai mengobrol lagi.
Tak lama kemudian, Lim ceng Im merasa matanya berat sekali.
"Kakak Hiong, aku sudah
mengantuk."
"Tidurlah kalau
begitu"
Lim ceng Im naik ke tempat
tidur lalu berbaring. Tio cie Hiong segera menarik selimut menutupi badannya.
setelah itu ia duduk bersila di lantai.
Bab 50 Terkena racun aneh
Ketika hari mulai terang, Tio
Cie Hiong membuka matanya. Lalu dia bangkit berdiri Dipandanginya sejenak Lim
Ceng Im. Ternyata gadis itu masih pulas dengan badan menelungkup.
"Adik Im Adik Im..."
panggil Tio Cie Hiong sambil tersenyum, sama sekali tidak menyangka kekasihnya
itu begitu pulas.
Tio Cie Hiong memanggilnya
berulang kali, tapi Lim Ceng Im tetap diam. Hal itu tentu saja mengherankan
hati Tio Cie Hiong.
segeralah ia mendekatinya,
lalu menjulurkan tangan memegang bahu gadis itu. Begitu tangannya menyentuh
bahu Lim Ceng Im, tersentaklah Tio Cie Hiong karena bahunya dingin sekali.
Buru-buru dibalikkan badan Lim
Ceng Im. Tio Cie Hiong bertambah terkejut melihat wajah gadis itu pucat pias.
"Mungkinkah Adik Im
sakit?" gumamnya lalu segera memeriksa nadi Lim Ceng Im.
Nadi gadis itu berdenyut
biasa. sama sekali tiada tanda-tanda terserang penyakit. Hal ini membingungkan
Tio cie Hiong. Kemudian ia memeriksa pula pernafasannya. Kening Cie Hiong
berkerenyit dalam mendapati tak ada tanda-tanda sakit pada diri kekasihnya.
Heran? Kenapa bisa
begitu?" Tio Cie Hiong terus mengerutkan kening dan coba memanggilnya
lagi. "Adik Im Adik Im..."
Lim Ceng Im tetap diam,
membuat Tio Cie Hiong mulai cemas. Mungkinkah Lim Ceng Im pingsan? Pikirnya,
lalu memegang Lim Ceng Im seraya mengerahkan Iweekangnya untuk disalurkan ke
dalam tubuh gadis itu.
Akan tetapi, Lim Ceng Im tetap
diam dengan wajah pucat pias dan sekujur badannya tetap dingin.
Tio Cie Hiong berjalan
mondar-mandir dengan kening berkerut, seakan sedang berpikir keras. Namun
mendadak saja dia tercengang dengan wajah memucat. sebab saat itu dia teringat
apa yang pernah dikatakan sok Bcng Yok ong, bahwa di kolong langit ini terdapat
racun aneh. siapa yang terkena racun tersebut akan terus tidur selama seratus
hari. Namanya Pek Jit Mi Hun Tok (Racun Pelenyap sukma seratus Hari). seratus
hari kemudian akan siuman sejenak lalu mati dengan tubuh membusuk. Racun itu
hanya dapat dipunahkan dengan cin cu Ko (Buah Mutiara). sok Beng Yok ong juga
memberitahukan, ia sama sekali tidak tahu Buah Mutiara tersebut tumbuh di mana
"Aaaakh" teriak Tio
Cie Hiong. "Adik Im Adik Im"
la merangkul tubuh kekasihnya
erat-erat dengan air mata berderai. Namun menjadi tersentak mendadak karena
teringat sesuatu.
"Teh Ini pasti teh yang
diantar pelayan semalam?" Tio Cie Hiong berhambur keluar. Kebetulan dia
langsung bertemu pelayan tersebut.
"Selamat pagi, Tuan"
sapa pelayan itu.
" Engkau, engkau..."
Tio cie Hiong menudingnya.
"Ada apa, Tuan?"
tanya pelayan keheranan. "Apa gerangan yang terjadi?"
"siapa yang menyuruhmu
mengantarkan teh semalam?"
"Tidak ada yang suruh,
itu memang sudah menjadi tugasku. Memangnya kenapa?"
"Aaakh... sudahlah"
Tio cie Hiong menggeleng-geleng kepala. Dia tahu pelayan itu tiada kaitannya
dengan kejadian tersebut.
"ohya, di kota ini ada
yang menyewakan kereta kuda?"
"Ada Tuan mau menyewa
kereta kuda?"
"Ya"
Pelayan itu langsung pergi,
namun tak lama kemudian telah kembali dengan nafas tersengal-sengal.
"Tuan, kereta kuda sudah
berada di depan. Berbicaralah langsung pada kusirnya saja"
"Terima kasih" ucap
Tio Cie Hiong sambil mengeluarkan beberapa tail perak. diberikan pada pelayan
itu
untuk membayar penginapan,
sisanya untukmu" ujarnya. "Terima kasih, Tuan" Pelayan itu
girang bukan main
Tio Cie Hiong berlari ke kamar.
Digendongnya Lim Ceng Im keluar. sesampainya di depan penginapan, langsung saja
dibaringkan gadis itu di dalam kereta. sedangkan ia pun duduk di sisinya.
"Tuan hendak ke
mana?" tanya sang kusir.
"Ke markas pusat Kay
Pang" sahut Tio Cie Hiong sambil memberitahukan jalan-jalan yang harus
ditempuh. "jalanan kita harus siang malam"
"Tapi ongkosnya?"
"Berapa?"
"Lima puluh tail
perak?"
"Berangkat" seru Tio
Cie Hiong. "Aku bayar"
"Tapi...,"
Tio Cie Hiong nyaring gusar,
namun dapat mengendalikan diri Kemudian ia menyerahkan lima puluh tail perak
pada kusir itu.
"Terima kasih" ucap
sang kusir lalu menyentak tali kekang kuda di tangannya. seketika terdengarlah
suara ringkikan kuda saat kereta mulai meluncur.
Dua hari kemudian sampailah
mereka di wilayah markas pusat Kay Pang. Tio Cie Hiong menyuruh kusir itu
berhenti.
"Baik, Tuan" sahut
kusir sambil menghela tali kudanya.
Tio Cie Hiong menggendong Lim
Ceng Im, lalu melesat pergi menuju ke markas pusat Kay Pang.
Para anggota Kay Pang yang
menyambutnya terbelalak kaget, tapi tiada seorang pun berani bertanya.
"Pek Ih sin Hiap"
Kiu ci Cui Kay menyambutnya dengan air muka berubah. "Apa yang terjadi
dengan Nona Im?"
"Dia terkena suatu
racun," sahut Tio Cie Hiong sambil terus menggendong Lim Ceng Im ke dalam
kamar. Kiu Ci Cui Kay mengikutinya dari belakang dengan wajah memucat.
"Nona Im terkena racun
apa?" tanya Kiu Ci Cui Kay setelah Tio Cie Hiong membaringkan gadis itu ke
tempat tidur.
"Pek Jit Mi Hun
Tok."
"Racun Pelenyap sukma
seratus Hari? Racun apa itu?"
"siapa yang terkena racun
tersebut akan tidur seratus hari, setelah itu akan mati dengan tubuh
membusuk."
"Hah Apakah ada obat
pemusnahnya?"
"Boleh dikatakan tidak
ada."
Kiu Ci Cui Kay tercengang
mendengarnya. Dengan hati cemas dia memandangi Lim Ceng Im.
"Aku pikir markas ini
sudah tidak aman. Apakah ada tempat lain yang lebih aman?" tanyanya
kemudian.
Kiu Ci Cui Kay berpikir
sejenak. lalu mengangguk.
"Ada sebuah rumah kosong,
aku sering ke sana. Tempat itu boleh dikatakan aman sekali."
"Baiklah, mari kita ke sana" ajak Tio Cie Hiong lalu menggendong
tubuh Lim Ceng Im.
Rumah tersebut memang kosong,
lagi pula tiada rumah lain di sekitarnya. Di dalamnya terdapat sebuah ranjang
kayu dan dua buah kursi. Dengan hati-hati sekali Tio cie Hiong membaringkan Lim
Ceng Im ke atas ranjang itu. sedangkan gadis itu tetap diam, seperti dalam
keadaan pulas. wajahnya pucat pias dengan tubuh dingin sekali.
"Adik Im...," Tio
Cie Hiong memandangnya dengan air mata bercucuran.
"selanjutnya harus
bagaimana?" tanya Kiu Ci Cui Kay cemas.
Tio Cie Hiong menghela nafas.
"Aku mahir ilmu pengobatan, tapi tidak mampu mengobati Adik Im."
"Benarkah tiada obat
pemunahnya?"
"Memang ada,
tapi...,"
"Kenapa?"
"Hanya Buah Mutiara yang
dapat memunahkan racun Pek Jit Mi Hun Tok. sedangkan aku tidak tahu Cin Cu Ko
itu tumbuh di mana?"
" Kalau begitu, Nona Im
tidak tertolong lagi?"
"Kira-kira
begitulah" Tio cie Hiong duduk di tepi ranjang kayu, lalu membelai rambut
Lim Ceng Im dengan air mata berderai-derai. "Adik Im, seratus hari
kemudian kalau engkau mati, aku pun tidak akan hidup,"
Diam-diam Kiu ci Cui Kay
menghela nafas, tidak tahu harus bagaimana menghiburnya.
"siapa yang
meracuninya?" tanya Kiu Ci Cui Kay.
Entahlah" Tio Cie Hiong
menggeleng kepala. "Malam itu pelayan penginapan mengantarkan teh. Kami
berdua minum, tapi tak lama Adik Im merasa mengantuk dan langsung tidur."
Kiu Ci Cui Kay menatapnya
heran. "Kenapa engkau tidak apa-apa?"
"Aku pernah makan buah
Kiu Yap Ling che, yang membuat tubuhku kebal terhadap racun apa pun."
"Kalau begitu, buah Kiu
Yap Ling che pasti dapat memunahkan racun itu."
"Benar Tapi," Tio
Cie Hiong tersenyum getir. "Lima ratus tahun hanya berbuah sekali Kiu Yap
Ling che itu. Kalau tidak berjodoh, tidak bisa memperolehnya." Kiu ci cui
Kay menggeleng-geleng kepala.
Tio cie Hiong mulai
terisak-isak. "Kenapa nasibmu jadi begini malang? Padahal kita berdua
tidak pernah berbuat dosa, kenapa malah tertimpa musibah"
"Hidup memang penuh
cobaan," ujar Kiu Ci Cui Kay sambil menghela nafas panjang. "Karena
itu, engkau harus tabah dan menghadapi kejadian ini dengan tenang."
"Tabah dan tenang?"
Tio Cie Hiong tersenyum getir. "Adik Im adalah segala-galanya bagiku. Kini
dia terkena racun Bagaimana mungkin aku bisa tenang?"
Air mata Tio Cie Hiong
berderai. Perlahan dibelai-belainya rambut Lim Ceng Im sambil terisak-isak.
"Adik Im, apabila engkau
mati nanti, aku pasti ikut mati. Adik Im, engkau dengar apa yang kukatakan?
senyumlah"
"Jangan terlampau berduka
Engkau tidak pernah berbuat dosa, maka aku yakin Thian (Tuhan) pasti melindungi
kalian," ujar Kiu Ci Cui Kay sungguh-sungguh.
"Hhh..." Tio Cie
Hiong menghela nafas sambil menggeleng-geleng kepala. "Adik Im, kita belum
melewati hari-hari yang indah dan bahagia. Kenapa seratus hari lagi engkau
harus mati? Adik Im, agar engkau tidak kesepian di sana, aku pasti akan menyertaimu."
selama tiga hari itu Tio Cie
Hiong sama sekali tidak makan, minum dan tidur, sehingga wajahnya tampak pucat
sekali. la terus duduk di pinggir ranjang menemani Lim Ceng Im. Kiu Ci Cui Kay
duduk di kursi sambil memandangnya dengan iba.
"Adik Im sudah lewat tiga
hari," gumam Tio Cie Hiong menangis terisak-isak dengan air mata
bercucuran. "Kenapa engkau tidak bangun? Adik Im...."
Tio cie Hiong betul-betul
berduka dan tampak putus asa pula. la terus membelai rambut Lim Ceng Im.
Menangis dan menangis dia. Hati-nya sedih dan bingung.
"Adik Im Adik Im..."
teriaknya serak. "Bangunlah Kenapa engkau diam saja? Adik Im, bicaralah
Engkau dengar suaraku?"
Kiu ci cui Kay terkejut. Dia
khawatir kalau Tio cie Hiong terlampau berduka, kemungkinan besar akan merusak
hawa murninya. Ini berbahaya sekali.
Kiu Ci Cui Kay mendekatinya,
kemudian memegang bahu Tio Cie Hiong seraya berkata. "Biar bagaimana pun,
engkau harus tenang."
"Tenang? Adik Im sedang
menunggu ajal, bagaimana mungkin aku bisa tenang?" sahut Tio Cie Hiong
lalu mulai menangis lagi. "Adik Im Adik Im Adik Im..."
"Jangan terlampau
berduka, itu akan merusak hawa murni di dalam tubuh mu.Jangan putus asa"
Kiu Ci Cui Kay mengingatkannya.
"Jangan putus asa. Jangan
terlampau berduka, jangan putus asa," gumam Tio Cie Hiong.
Namun mendadak saja dia
tersentak karena teringat suatu pesan dari Tayli Lo Ceng. Apabila dirinya
mengalami sesuatu yang membuatnya berduka sekali dan putus asa, maka ia harus
me ngeluarkan isi kantong kain pemberian Tayli Lo Ceng dan membacanya.
Teringat akan itu, Tio cie
Hiong segera mengeluarkan kantong kain pemberian Tayli Lo Ceng. Isi kantong itu
ternyata berupa secarik kertas. segeralah Tio cie Hiong membacanya.
"Engkau harus segera
berangkat ke Gunung Hong Lay san menemui It sim sin Ni (Biarawati sakti Hati
satu). sin ni itu akan memberi petunjuk padamu. Cepatlah engkau berangkat ke
sana, jangan membuang waktu
Tayli Lo ceng"
setelah membaca, Tio Cie Hiong
pun memandang Kiu Ci Cui Kay. sedangkan pengemis itu sudah tampak kebingungan
ketika menyaksikan tingkah laku Tio Cie Hiong.
"Aku harus berangkat ke
Gunung Hong Lay san" ujar Tio Cie Hiong. Tolong jaga Ceng Im
baik-baik" pesannya kemudian kepada pengemis itu. Kiu Ci Cui Kay
mengangguk.
"Kapan engkau akan
berangkat ke Gunung Hong Lay san?"
"Sekarang. Aku harus
memburu waktu"
"Baik. Hati-hatilah"
"Kiu Ci Cui Kay" Tio
Cie Hiong menatapnya dalam-dalam. "Jagalah Ceng Im baik-baik"
Kiu Ci Cui Kay mengangguk.
"Akan kujaga dia .Jangan khawatir"
Tio Cie Hiong langsung
berangkat menggunakan ginkang. Dia melakukan perjalanan siang malam tanpa
beristirahat, bahkan juga tidak makan.
Kira-kira tujuh hari kemudian,
Tio Cie Hiong sudah tiba di Gunung Hong Lay san. Dia mengerahkan ginkang menuju
ke puncak. sesampainya di puncak. la memang melihat sebuah biara tua.
Ketika ia hendak mengetuk
pintu biara itu, mendadak pintu terbuka. Tampak dua biarawati berusia enam
puluhan berdiri di ambang pintu menatapnya.
"siapa engkau? Mau apa ke
mari?" tanya salah seorang biarawati itu.
"Maaf, aku ingin bertemu
It sim sin Ni," ujar Tio Cie Hiong sambil memberi hormat.
"oh?" Kedua
biarawati itu tampak tertegun, kemudian memberitahukan. "sudah lama guru
kami menutup diri, lebih baik engkau pergi saja"
"Aku... aku punya urusan
penting, tolong beritahukanpada sin ni" ujar Tio Cie Hiong memohon.
"Maaf, guru kami tidak mau diganggu"
"Biar bagaimanapun aku
harus bertemu sin ni"
"Engkau ingin menggunakan
kekerasan?"
"Aku... aku
terpaksa"
Kalau begitu, langkahi dulu
mayat kami Masuklah jika kau mampu membunuh kami" tantang kedua wanita
itu.
"Hh..." keluh Tio
Cie Hiong. Mendadak ia teringat sesuatu dan cepat-cepat mengeluarkan kantong
kain pemberian Tayli Lo Ceng. "Tolong perlihatkan ini pada sin Ni setelah
sin Ni melihat kantong kain ini dan tetap tidak mau menemuiku, aku akan
pergi"
Tio Cie Hiong memberikan
kantong kain itu pada salah seorang biarawati. Kedua biarawati saling
memandang, tak lama kemudian salah seorang menerima kantong kain tersebut, lalu
masuk.
Yang satu lagi tetap berdiri
menghadang di depan pintu. sedangkan Tio cie Hiong berdiri termangu-mangu di
depan biara.
Beberapa saat kemudian,
biarawati yang masuk itu sudah kembali.
"Mari ikut kami ke
dalam"
"Terima kasih"
Tio Cie Hiong mengikuti mereka
ke dalam. Tak lama kemudian biarawati berhenti di depan pintu sebuah ruangan.
"Guru, tamu sudah kami
ajak ke mari"
"Persilakan dia
masuk" Terdengar sahutan dari dalam, halus namun jelas sekali.
"Silakan masuk"
perintah salah seorang biarawati pada Tio Cie Hiong.
"Terima kasih" Tio
Cie Hiong melangkah ke dalam. Dia melihat seorang biarawati tua duduk bersila
di lantai. Cepat- cepatlah Tio cie Hiong bersujud.
"Duduklah" Biarawati
itu tersenyum lembut. "Aku It sim sin Ni, siapa engkau, Anak muda?"
"Namaku Tio Cie
Hiong"
"Bagaimana engkau bertemu
Tayli Lo Ceng?"
"Kami bertemu di istana
Tayli...," tutur Tio Cie Hiong menjelaskan dengan singkat. "Lo Ceng
yang memberikan kantong kain ini padaku" lanjutnya.
"Dia masih ingat akan
janjiku padanya." It sim sin Ni tersenyum. "Ketika memberikan kantong
kain ini padanya, aku pun berjanji bahwa apabila aku melihat kantong kain ini
lagi, maka aku harus memberi bantuan pada yang membawanya."
"Terima kasih, sin
Ni" ucap Tio Cie Hiong.
"Anak muda" It sim
sin Ni menatapnya tajam. "Apa yang bisa kubantu?"
"sin ni, aku datang untuk
memohon petunjukmu."
"Tentang apa?"
Calon isteriku bernama Lim
Ceng Im, terkena racun Pek Jit Mi Hun Tok. Aku harus ke mana mencari Cin cu Ko
untuk memunahkan racun itu?"
"Dasar tua bangka"
It Sim Sin Ni menghela nafas panjang. "Sungguh hebat dan jitu ramalannya
Aku harus mengaku kalah padanya."