Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 04

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 04

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 04
Karena peraturan Siauw lim-sie selalu dijalankan dengan keras. Maka, sesudah Sioe-co Tat mo-tong mangeluarkan perintah untuk menangkap Thio Koen Po, biarpun tahu tak bisa menyandak, semua murid Tat mo-tong lantas saja mengubar. Dalam pengejaran itu, terlihatlah siapa yang berkepandaian lebih rendah dan mengentengkan badannya masih agak cetek, lantas saja ketinggalan dibelakang. Sesudah siang terganti malam, hanya lima orang saja yang masih mengejar terus. Tiba2 jalanan terpecah jadi beberapa cagak. Mereka jadi bingung sebab tak tahu, jalanan mana yang diambil Kak wan. Demikianlah, mau tak mau dengan masgul mereka kembali kekuil untuk mendengar perintah jauh.

Sesudah kabur seratus li lebih, barulah Kak wan berani menghentikan tindakannya. Ternyata, ia sudah masuk kedalam sebuah gunung yang sepi. Meskipun memiliki Lweekang yang sangat tinggi, tapi sesudah lari begitu lama dengan pikulan yang begitu berat, ia tidak bertenaga lagi,

Kwee Siang dan Koen Po lanas saja melompat keluar dari tahang yang separuhnya masih penuh air. Mereka basah kuyup dan sesudah mangalami kekagetan hebat, paras maka mereka masih kelihatan pucat. "Soehoe," kata Koen Po. "Kau mengaso dulu disisi, aku mau pergi cari makanan"

Tapi dalam gunung yang sepi, dimana ia mancari makanan? Sesudah pergi beberapa jam, ia kembali dengan hanya membawa buah buahan hutan. Sesudah menangsal perut mereka mengaso dengan menyender dibatu2.

"Toahweeshio," kata Kwee Siang. "Para pendata Siauw lim-sie kelihatannya aneh-aneh."

Kak wan tidak menjawab. Ia hanya mengeluarkan suara "hemm"

"Benar2 gila," kata pula si nona. "Dalam kuil itu tak seorangpun yang bisa melawan Koen loen Sam seng Ho Ciok Too, yang hanya dapat dipukul mundur dengan mengandalkan tenaga kalian berdua. Tapi sebaliknya dari berterima kasih, mereka berbalik mau menangkap saudara Thio. Benar2 gila! Mereka agaknya tak bisa membedakan yang mana hitam, yang mana putih."

Kak wan menghela napas. "Dalam hal ini kita tidak dapat menyalahkan Loo hong thie dan Boe siang soeheng" katanya. "Dalam Siauw lim sie terdapat sebuah peraturan . .. " Ia tak bisa meneruskan perkataannya karena lantas batuk tak henti2nya.

"Toahweeshia, kau terlalu letih" kata Kwee Siang seraya me-mukul2 punggung sipendeta "Besok saja baru kau ceritakan

."

Kak wan menghela napas, "Benar aku terlalu capai." katanya.

Thio Koen Po segera mengumpulkan cabang kering dan membuat perapian untuk mengeringkan pakaian Kwee Siang dan pakaian nya sendiri. Sesudah itu mereka bertiga lalu tidur dibawah satu pohon besar.

Ditengah malam sinona tersadar. Tiba2 ia medengar Kak wan bicara seorang diri, seperti juga sedang menghafat kitab suci. Antara lain ia berkata: "... Tenang dia merintangi kulit dan buluku, niatku sudah masuk ketulang dia. Dan tangan saling bartahan. Hawa menembus. Yang dikiri berat, yang pikiran kosong, sedang yang dikanan sudah pergi. Yang kanan berat, yang kanan kosong, yang kiri sudah pergi . . . "

Sekarang Kwee Siang mendapat kepastian, bahwa apa yang dihafal si pendeta adalah kitab ilmu silat .

"Toahweahsio tidak mengerti ilmu silat, tapi ia seorang kutu buku yang membaca dan menghafal segala apa yang dihadapinya," katanya didalam hati. "Beberapa tahun berselang, dalam pertempuran pertama dipuncak Hwa san. la telah memberitahukan, bahwa disamping kitab Leng keh keng, Tat mo Loo couw juga menulis sebuah kitab iImu silat yaag dinamakan Kioe yang Cin keng. Ia mengatakan bahwa pelajaran dalam kitab itu dapat menguatkan dan menyehatkan badan. Tapi sesudan berlatih menurut petunjuk2 kitab itu, tanpa marasa guru dan murid itu sudah memanjat tingkatan yang sangat tinggi dalam dunia persilatan. Hari itu, waktu diserang olah musuhnya Siauw Siang Coe, dengan sekali membalas saja, ia berhasil melukakan penyerangnya. Kepandaian yang setinggi itu belum tentu dimiliki Thia-thia atau Toakoko. Cara Thio Koen Po merobohkan Ho Ciok Too lebih2 mengagumkan. Apakah itu semua bukan berkat pelajaran Kioe yang Cin keng? Apakah yang barusan dijajalnya bukan Kioe yang Cin keng?"

Mengingat begitu, perlahan-lahan supaya tidak mengagetkan sipendeta, ia bangun dan duduk. Ia memasang kuping terang terang dan mengingat ingat apa yang di katakan Kakwan "Kalau benar apa yang dihafal Toa hwe shio adalah Cioe yang Cin keng, aku tentu tidak bisa menyelami artinya dalam tempo cepat, pikirnya. "Biarlah besok aka minta petunjuknya."

Sesaat kemudian, Kak wan berkata kata pula: "... Lebih dulu dengan menggunakan hati memerintahkan badan, mengikuti orang lain, tidak mengikuti kemauan sendiri. Belakangan badan bisa mengikuti kemauan hati. Menurut kemauan hati dengan tetap mengikuti orang. Mengikuti kemauan sendiri artinya mandek, mengikuti orang lain artinya hidup. Dengan mengikuti kemauan orang lain, kita bisa mengukur besar kecilnya tenaga orang itu, bisa mengenal panjang pendeknya lawan. Dengan adanya pengetahuan itu, bisa maju dan bisa mundur dengan leluasa."

Mendengar sampai di situ. Kwee Siang menggeleng2kan kepala. "Tak benar, tak benar." katanya didalam hati. "Ayah dan ibu sering mengatakan, bahwa jika berhadapan dengan lawan kita harus lebih dulu mengusai lawan dan sangat sampai diri kita kita dikuasai lawan. Apa yaag dikatakan Toa hweshio tak benar."

Selagi sinona memikir perkataan Kak wan, si pendeta sudah berkata lagi. "Lawan tidak bergerak, kita tidak bergerak. Lawan bergerak sedikit, kita mendului. Tenaga seperti juga longgar, tapi tidak longgar, hampir dikeluarkan, tapi belum dikeluarkan. Tenaga putus, pikiran putus....."

Semakin mendengari Kwee Siang jadi semakin bingung. Semenjak kecil, ia telah dididik bahwa "orang yang bergerak lebih dulu mengusai lawan, sedang yang terlambat gerakannya dikuasai lawan. Dengan lain perkataan, pokok dasari lmu silatnya yalah 'mendului lawan'. Tapi Kak wan mengatakan, bahwa mengikuti kemauan sendiri artinya mandek, mengikuti kemauan orang lain artinya hidup. Dan itu semua adalah sangat bertentangan dengan apa yang telah dipelajarinya.

"Jika aku berhadapan dengan musuh dan pada saat penting, aku mengikuti kemauan musuh2 mau ketimur aku ketimur musuh mau kebarat aku kebarat bukankah demikian, aku seolah olah cari penggebak sendiri?" kata nya di dalam hati.

Ilmu silat yg berpokok dasar. "Menguasai lawan dengan bergerak belakangan" baru dihargai orang pada jaman kerajaan Beng, pada jaman makmurnya partai Boe ciang pay. Maka dapatlah di mengerti, bahwa di waktu itu buntut kerajaan Song perkataan Kak wan membingungkan sangat hatinya Kwee Siang.

Dengan adanya kesangsian itu, banyak perkataan si pendeta tidak dapat ditangkap Kwee Siang. Ketika melirik, ia lihat Thio Koen Po sedang bersila dan mendengari perkataan gurunya dengan sepenuh perhatian. "Biarlah, tak perduli ia benar atau salah, aku mendengari saja," pikirnya. "Dengan mataku sendiri, aku menyaksikan Toa hwashio melukakan Siauw Siang Coe dan mengusir Ho Ciok Too. Sebagai orang yang memiliki kepandaian begitu tinggi, apa yang dikatakannya tentu mempunyai alasan kuat." Memikir begitu, ia lantas saja memusatkan pikirannya dan mendengari setiap perkataan yang diucapkan si pendeta.

Kak wan menghafal terus dan kadang2 dalam kata2nya terselip bagian2 dari kitab Leng-ka-keng. Hal ini sudah terjadi karena Kioe Yang Cin ken sebenarnya ditulis diantara huruf2 kitab Leng-ka-keng, sehingga si pendeta, yang sifatnya agak tolol, dalam menghafal Kioe-yan Cin keng, sudah menyelipkan kata2 dari kitab itu. Tentu saja Kwee Siang jadi makin bingung. Tapi berkat kecerdasan otaknya, ia berhasil juga menangkap sebagian dari apa yahg didengarnya.

Rembulan mendoyong kebarat dan makin lama suara sipendeta jadi makin perlahan. "Teahweeshio" kata si nona dengan suara membujuk. "Kau sudah sangat capai, tidurlah lagi"

Tapi Kak wan sepzrti juga tidak mendengarnya dan berkata pula dengan suara terlebih keras.

" ...Tenaga dipinjam dari orang. Hawa dikeluarkan dari tulang punggung. Dari kedua pundak masuk di tulang punggung dan berkumpul di pinggang. Inilah hawa yang dari atas turun kebawah dan dinamakan "Hap" (MenutuP). Kemudian, dari pinggang hawa itu naik ketulang punggung dan dari tulang punggung meluas sampai di lengan dan bahu tangan. Inilah hawa yang naik dari bawah keatas dan dinamakan "Kay" (Membuka). "Hap" berarti mengumpulkan, sedang "Kay" berarti melepaskan. Siapa yang Paham akan artinya "Hap" dan "Kay" akan mengerti juga artinya Im-Yang (negatif dan positif). . . ."

Suaranya semakin perlahan dan akhirnya tidak terdengar lagi, seperti orang sudah pulas. Kwee Siang dan Thio Koen Po tidak berani mengganggu dan hanya mengingat apa yang barusan didengar.

Tak lama kemudian, bintang2 mulia menghilang, rembulan menyilam kebarat dan sesudah cuaca berubah gelap untuk kira2 semakanan nasi, disebelah timur mulai kelihatan sinar terang.

Kak wan masih tetap bersila sambil meramkan kedua matanya, sedang badannya tidak bergerak dan pada bibirnya tersungging satu senyuman. "Kwee Kauwnio, apa kau tidak lapar?" bisik Koen Po. "Aku mau pergi sebentaran untuk cari bebuahan. Ketika menengok, tiba2 ia lihat berkelebatnya satu bayangan manusia dibelakang pohon dan samar2, orang itu seperti juga mengenakan jubah petapaan warna kuning. Ia tersiap dan membentak: "Siapa ?" Seorang pendeta tua yang bertubuh jangkung muncul dari belakang pohon dan pendeta itu bukan lain daripada pemimpin Lo han tong, Boe sek Siansoe.

Kwee Siang kaget tercampur girang. "Toahweeshio," tegurnya. "Mengapa kau terus membuntut? Apakah kau mau menangkap juga guru dan murid ini ?"

"Biar bagaimana juga, loo ceng (aku sipendeta tua) masih bisa melihat apa yang benar dan apa yang salah," jawabnya dengan paras muka sungguh2. "Aku bukan seorang yang tak tau peraturan. Sudah lama sekali loo ceng tiba disili dan jika mau turuh tangan, loo ceng tentu tidak menunggu sampai sekarang. Kak wan soeteee, Boe siang Sian soe dan murid2 "Tat mo tong mengejar kejurusan timur. Lekas kalian lari kesebelah barat."

Tapi pendeta itu terus bersila dan sedikit pun tidak bergerak. Koen Po mendekati seraya memanggil. "Soe hoe, bangunlah ! Lo han tong Sioe co ingin bicara denganmu."

Kak wan bersila terus. Dengan jantung memukul keras, Koen Po menyentuh pipi gurunya yang dingin bagaikan es. Ternyata, Kak wan sudah meniggalkan dunia yang fana ini.

Simurid munubruk dan memeluk gurunya sambil mengeluarkan teriakan menyayat hati. "Soehoe ! Soehoe !" teriaknya sambil menangis tersedu-sedu.

Boe sek Siauseo merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara perlahan : "dilangit tak ada awan, ditempat penjuru terang benderang angin membawa bau harum, seluruh gunung sunyi senyap. Hari ini bertemu dengan kegirangan besar. Bebas dari bahaya dan bebas pula dari segala penderitaan. Apa tak pantas untuk diberi selamat ?" Sehabis berdoa, orang beribadat itu segera berlalu tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi.

Bukan saja Koen Po tapi Kwee Siangpun mengucurkan tidak sedikit air mata. Sesuai dengan agama mereka jenazah semua pendata Siauw lim sie yang meninggal dunia diperabukan. Maka itu mereka lalu mengumpulkan kayu dan cabang2 kering dan kemudian membakar jenazah Kak wan.

Sesudah bares, Kwee Siang berkata dengan suara terharu. "Saudara Thio, kurasa pendeta2 Siauw lim sie akan terus berusaha untuk menangkap kau. Maka itu kau harus berlaku hati-hati. Disini saja kita berpisahan dan di hari kemudian, kita tentu akan mendapat ke sempatan untuk bertemu lagi."

"Air mata sipemuda itu mengalir turun kedua pipinya. "Kwee Kouwnio katanya dengan suara parau." Kemana saja kau pergi, aku mau mengikut."

Mendengar jawaban itu, sinona merasa pilu bukan main dan ia berkata dengan suara gemetar. "Aku adalah orang yang tengah menjelajah dunia dan aku sendiripun tak tahu kemana aka bakal menuju." Ia berdiam sejenak dan lula berkata pula. "Saudara Thio berusia sangat muda dan tak punya pengalaman dalam dunia Kang ouw, disamping itu pendata pendeta Siauw lim sie tentu bakal terus menerus manguber kau. Begini saja." Seraya berkata begitu, ia meloloskan gelang emas dari pergelangan tangannya dan lalu menyerahkannya kepada pamuda itu. "Bawahlah gelang ini kekota Siang yang dan minta bertemu dengan ayah ibuku," katanya lagi. "Mereka pasti akan memperlakukan kau dengan baik. Begitu lantas kau sudah barada dibawah perlindungan kedua orang tuaku para pendata Siauw lim sia pasti tak akan menyukarkan kaulagi." Dengan air mata berlinang linang, Koen Pa menyambuti gelang mas itu.

Sesaat kemudian Kwee Siang berkata pula dengan suara gerak. "Beritahukanlah kedua orang tuaku, bahwa aku tak kurang suatu apapun dan aku harap mereka tidak memikiri diriku. Ayahku paling suka dengan pemuda yang gagah dan sesudah bertemu dengan kau mungkin sekali ia akan mengambil kau sebagai murid. Adikku sederhana dan polos dan aku merasa pasti ia bisa bergaul rapat denganmu. Hanya Ciecieku yang agak sombong dan jika kalau ada orang yang punya salah sedikit saja, ia lalu menyemprotnya tanpa sungkan2lagi. Tapi asal kau bisa mengalah, kurasa tak bakal terjadi apa-apa yaag tidak diingini." Sehabis berkata ia memutar badan dan terus berjalan pergi.

Dapat dibayangkan bagaimana besar kedukaan Thio Koen Po pada waktu itu. Dengan berlalunya Kwee Siang ia betul merasa, bahwa ia hidup sebatang kara dalam dunia yang leba. Lama, lama sekali ia berdiri bengong didepan tumpukan sisa kayu dan abu bekas membakar guranya. Sesudah kenyang memeras air mata, perlahan-lahan, dengan hati seperti diris-iris, ia berjalan pergi. Tapi baru saja belasan tombak, ia kembali lagi dan lalu mengambil pukulan serta sepasang tahang besi, peninggalan mendiang gurunya. Sesudah itu, barulah ia meninggalkan tempat itu dengan tindakan lumbung, dengan kesepian dan dengan kedukaan besar.

Berselang kurang lebih setengah bulan, ia tiba didaerah Ouwpak dan sudah tak jauh lagi dari kota Siang yang. Untung juga, berkat pertolongan Boe sek Siang soe, dalam perjalanan itu ia tidak bertemu dengan pengejar pengejarnya.

Hari itu, diwaktu lohor, ia berada dikaki sebuah gunung yang besar. Waktu tanya seorang dusun, baru ia tahu, bahwa gunung itu guanung Boe tong atau Boe tong san, yang bukan saja besar dan angker, dengan hutan2 lebat serta tebing2 curam, tapi juga sangat indah pemandangan alamnya.

Selagi enak berjalan sambil memandang keindahan alam, tiba2 ia dilewati oleh dua orang pemuda dan pemudi dusun yang berjalan sambil berendeng pundak. Dilihat gerak geriknya tak bisa salah lagi mereka suami istri.

Dengan kupingnya yang sangat tajam, Koen po dapat menangkap perkataan si isteri yang sedang ngomeli suaminya. "Kau satu laki2 sejati, tapi sebaliknya dari mendirikan rumah tangga dengan tenaga sendiri, kau selalu mengandal kepada Ciecie dan Ciehoemu, sehingga akhirnya kau dihina. Kita berdua masih punya tangan dan kaki dan kita pasti bisa cari makan sendiri. Andaikata kita mesti hidup miskin dengan menanam sayur, tapi kita hidup dengan merdeka. Kau lelaki yang tak punya tulang punggung dan sungguh percuma kau hidup dalam dunia. Orang sering kata, kecuali mati, tak ada urusan besar. Apa kau tidak bisa hidup tanpa mengadai kepada orang lain?"

Sang suami tak berani menjawab mukanya berwarna ungu, seperti juga hati babi. Tanpa disengaja, perkataan wanita itu mengenakan jantung ati Koen Po. "Kau satu laki2 sejati, tapi sebaliknya dari mendirikan rumah tangga dengan tenaga sendiri, kau selalu mengandal pada Cieciee dan Ciehoemu, sehingga akhirnya kau dihina. Apa kau tidak bisa hidup tanpa mnegandal kepada orang lain?" Ia berdiri terlongong memikir kata2 itu. Dilain saat, sang suami mengucapkan bebera perkataan yang tidak dapat didengar oleh nya. Sesudah itu, mereka tertawa berkakakan. Rupanya silelaki sudah mengambil putusan untuk berdiri sendiri dan isterinya jadi girang sekali.

"Kwee Kouwhio mengatakan, bahwa Cie-cie nya beradat jelek dan biasa menyemprot orang tanpa sungkan? sehingga aku harus selalu mengalah," pikirnya. "Aku adalah seorang laki2 sejati, perlu apa aku mesti menunduk begitu rupa didepan orang hanya untuk bisa hidup dengan selamat? Kedua suami istri dusun itu masih mempunyai semangat untuk berdiri diatas kaki sendiri. Masa aku, Thio Koen Po, mesti selalu bernaung dibawah atas orang dan hidup dengan memperhatikan sorot mata tuan rumah?"

Sesudah berpikir beberapa lama, ia segera mengambil putusan gagah. Dengan memikul kedua tahang besi, ia segera mendaki Boe tong san. Mulai waktu itu, ia minum air gunung makan buah2an dan melatih diri berdasarkan Kioe yang Ci keng yang didapat dari gurunya. Berkat kecerdasan dan juga karena apa

yang dipelajari ialah sebuah kitab luar biasa dalam dunia persilatan, maka dalam tempo belasan tahun Lweekangnya sudah mencapai tingkatan tinggi. Pada suatu hari, selagi jalan2 digunung itu, ia menyaksikan pertarungan sengit antara seekor ular dan seekor burung. Dengan segala kegesitannya burung itu meyerang dari berbagai jurusan, tapi ia masih kalah setingkat dari ular itu, hingga akhirnya dia terpaksa melarikan diri. Tiba2 saja Koen Po mendapat serupa ingatan dan tujuh malam, ia merenungkan ingatan itu dalam guha. Mendadak ia tersadar, kedua matanya, seolah menembus suatu tabir rahasia. Ia sekarang dapat memahami suatu pokok dasar yang luar biasa dalam dunia persilatan, yaitu: Dengan "Joe" (kelembekan) melawan "Kong (kekerasan).

Tanpa merasa ia dongak dan tertawa terbahak-bahak. Tertawa kegirangan itu berarti muncul sutiu Tay cong soe (guru besar) baru dalam Rimba persilatan. Dan ilmu yang didapatnya sendiri, digabung dengan Lweekang berdasarkan Kioe yang Cin keng, ia telah menggubah semacam ilmu silat yang belakangan dikenal sebagai

ilmu silat Boe tong sedang muridnya telah bersatu dalam suatu "partai" persilatan baru yang dinamakan Boe tong pay. Sesudah lewat lagi sekian tahun, pada waktu berkelana di Tiongkok Urara, ia telah bertemu dengan tiga puncak gunung (Sam Hong) yang luar biasa dan oleh karenanya ia lalu menggunakan gelar Sam Hong untuk dirinya sendiri dan luar biasa dalam sejarah persilatan di Tiongkok.

Bagaimana dengan Kwee Siang? Puluhan tahun lamanya, sinoana berkelana diempat penjuru untuk mencari Yo Ko dan Siauw Liong Lie. Demi kecintaan yang suci murni dari muda sampai tua ia men-cari2 tanpa rasa menyesal sedikitpun juga. Tapi Yo Ko dan Siauw Liong Lie telah melenyapkan diri dan tak muncul lagi dalam dunia pergaulan. Waktu mencapai usia enampuluh tahun, tiba2 Kwee Siang terbuka matanya dan ia tersadar, akan kemudian mencukur rambut dan hidup sebagai pendeta perempuan dipuncak gunung Go bie san. Disitulah, dengan tekun ia melatih diri dam mempelajari ilmu silat,sehingga kian lama kepandaiannya jadi kian tinggi. Belakangan ia juga menerima murid dan serta cucu muridnya mempersatukan diri kedalam satu partai persilatan yang dikenal kedalam partai persilatan yang dikenal sebagai Go bie pay.

Dilain pihak, sesudah menderita kekalahan didepan kuil SiauW lim, Koen Loen Sam Seng Ho Ciok Too pulang kedaerah barat dan sesusai dengan sumpahnya selama hidup ia tak pernah menginjak lagi wilayah Tiong Goan. Sesudah berusia lanjut, barulah ia mengambil seorang murid yang mewarisi seni memetik Khim, ilmu main catur, dan ilmu silat pedangnya. Itulah sebabnya mengapa, walau pun bersumber didaerah Barat yang jauh, akan tetapi murid2 Koen-loen-pay rata rata boen

boecoan cay (mahir dalam ilmu surat dan dan ilmu pedang).

Dikemudian hari, partai rimba persilatan yang paling tersohor ialah Siauw Lim, Boe tong, Go bie dan Koen loen. Dalam keempat partai tersebut banyak sekali orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi,

Pada hari itu, waktu Kak wan Taysoe menghafal Kioe yang Cin keng, sebelum ia meninggal dunia ada tiga orang yang mendengarnya yaitu Boe sek Siansoe, Kwee Siang dan Thio Koen Po. Oleh karena pengetahuan padat dan kecerdasan ketiga orang itu berbeda-beda maka apa yang didapati merekapun berbeda-beda pula. Dengan begitu pelajaran ilmu silat Siauw lim Go bie dan Boe tong banyak sekali perbedaanya dan sedikit persamaanya.

Kwee Siang adalah putri ahli2 silat kelas utama dan pelajarannyapun beraneka warna. Maka itu ilmu silat Go bie banyak sekali corak ragamnya dan satu saja dapat dipahami sampai kedasar2nya, sudah cukup untuk membuat orang itu mendapat nama besar.

Mengenai Boe sek Siansoe, pada waktu mendengari Kioe yang Cin keng, ia sendiri memang sudah menjadi seorang ahli kenamaan. Didapatinya Kioe yang Cin keng hanyalah mempertiggi kepandaiannya, tapi pada dasar pokoknya ia tidak menarik keuntungan apapun juga.


Diantara ketiga orang itu, yang menarik ke untungan paling banyak ialah Thio Koen Po. Pada waktu itu, kecuali empat jurus ilmu silat yang ia dapat dari Yo Ko dan beberapa macam pukulan Lo han koen, belum pernah ia belajar ilmu silat. Maka itu ia telah menarik pelajaran2 yang paling murni dari kitab Kioe yang Cin keng. Akan tetapi, oleh karena ia memang tidak pernah belajar dibawah pimpinan guru yang pandai, maka ia kekurangan dasar2 ilmu silat, sehingga banyak sekali bagian Kioe yang Cin keng yang tidak begitu dimengerti olehnya. Belakangan, sesudah mempelajari pertarungan antara ular dan burung, barulah ia tersadar akan seluk beluknya iimu silat. Akan tetapi kejadian itu telah lama dilupakan, sehingga banyak bagian dalam kitab Kioe yang Cin keng sudan tidak diingat lagi olehnya.

Dengan demikian ilmu silat Siauw Lim, Boe tong dan Go bie masing2 mempunyai keunggulan sendiri2 dan kekurangannya2. Ketiga guru besar partai partai itu sama-sama memetik bagian-bagian dari Kioe yang Cin keng dan berdasarkan bakat serta kecerdasan masing-masing, mereka mempelajari, memperbaiki dan lalu menggubah imu-ilmu silat yang luar biasa.

Sebagaimana diketahui kerajaan Goan adalah kerajaan bangsa Mongol yang berkuasa di Tiongkok. Selama jaman penjajahan itu, ilmu surat tidak lagi begitu diperhatikan lagi, karena para penyinta negeri ber-lomba2 belajar ilmu silat. Pada jaman itu, dalam dunia Kang ouw banyak muncul orang2 luar

biasa yang berkepandaian luar biasa pula. Jumlah mereka lebih besar dan kepandaian mereka lebih tinggi dari pada orang2 dijaman buntutnya kerajaan Song, yaitu pada jaman Kwee Ceng, Oey Yong, Yo Ko, Siauw-Liong Lie pay sebagainya. Orang2 gagah yg muncul didaerah Barat kebanyakan murid2 dari Koen-loen-pay, sedang jago2 di wilayah Tiong goan, sebagian besar adalah orang2 Siauw-Lim, Boe-tong dan Go-bie. Disamping itu, masih ada ratusan malahan ribuan partai partai lain yang lebih kecil. Demikianlah sedikit pendahuluan dari kisah Membunuh Naga atau Ie-thian To-liong-kie.

TAHUN itu adalah tahun kedua dari Kaizar Goan-soen-tee. Robohnya Kerajaan Song sudah genap enam puluh tahun.

Waktu itu bulan Shagwee (Bulan Ketiga) Cong soe (orang gagah) yang berusia kira kira tigapuluh tahun, mengenakan baju biru itu dan pakai sepatu rumput, kelihatan berjalan di jalan raya dengan tindakan lebar. Di kedua pinggir jalanan itu, buah tho yang merah dan pohon Hoe yang hijau memperlihat kan keindahannya, tapi orang itu tidak memperhatikan sedikitpun jua.

"Hari ini Shagwee Jie Tie ( Bulan Ketiga tanggal 24)" katanya didalam hati. "Sampai Sie gwee Ceekauw (Bulan Keempat tanggal 9 ) masih ada empat belas hari. Dengan tidak mem-buang2 tempo barulah aku bisa tiba pada waktunya di Giok-hie-kiong, Boetong-san untuk memberi selamat ulang tahun ke sembilan puluh pada In-soe (guru)."

Orang gagah itu she Jie, bernama Thay Giam, murid ketiga dari Thio Sam Hong (Thio Koen Po), Couw soe Boe-tong-pay. Sesudah berusia tujuh puluh tahun, ialah sesudah ilmu silatnya mencapai tingkatan sangat tinggi, barulah Thio Sam Hong menerima murid. Maka itu biarpun sendiri sudah berusia sembilan puluh tahun, tapi tujuh muridnya masih muda. Murid kepala, Song Wan Kiauw belum cukup empat puluh lahun. Sedang murid yang paling kecil, Boh Kok Seng,baru berusia belasan tahun.

Tapi meskipun begitu, meskipun murid2 itu masih berusia muda, mereka sudah melakukan pekerjaan2 yang menggemparkan dunia Kang ouw. Kalau menyebutkan nama mereka, orang2 Rimba Persilatan selalu mengacungkan jempol. Boe-tong Cit-hiap ( Tujuh Pendaikar dari Boe tong) adalah pendekar2 dari sebuah partai yang lurus bersih." kata mereka

Pada permulaan tahun itu, Jie Thay Giam mendapat titan gurunya untuk pergi ke propinsi Hokkian guna membinasakan seorang penjahat besar yang sangat menindas rakyat jelata. Penjahat itu bukan saja berkepandaian tinggi, tapi juga licin luar biasa. Sesudah menyelidiki dua bulan lebih, barulah ia berhasil mencari sarang penjhat itu, yang lalu ditantang olehnya. Dalam pertempuran yang sangat hebat, ia telah membinasakan musuh nya dangan pukulan kesebelas dari Thay kek koen Hian-hian Tohoat. Manurut perhitungan, ia bisa menyelesaikan tugasnya dalam tempo sepuluh hari, tapi diluar dugaan ia memerlukan waktu lebih dari dua bulan. Saat manghitung2, hari ulang tahun kesembilan puluh gurunya ternyata sudah dekat sekali sehingga oleh karenanya, ia buru2 berangkat pulang dari kota Lang lam.

Makin lama jalannya jadi makin sempit dan sisi kanan jalanan itu berdampingan dengan pantai laut. Tiba2 ia lihat tanah datar yang licin mengkilap bagaikan kaca dan dibagi jadi petakan2 yang luasnya kira-kira 7-8 tombak persegi. Sebagai orang yang sering berkelana disebelah selatan dan utara Sungai besar, Thay Giam mempunyai banyak pengalaman, tapi belum pernah ia melihat tanah yang begitu luar biasa. Sesudah menanya seorang penduduk pribumi, baru ia tahu, bahwa petakan2 itu bukan lain daripada sawah garam Untuk membuat garam, penduduk disitu memasukkan air laut kedalam sawah tersebut. Setelah kering, mereka keruk tanah yang mengandung garam yang kemudian dimasak dan dijemur lagi sampai menjadi garam yang putih bersih.

"Sudah tigapuluh tahun aku makan garam, tapi baru sekarang kutahu bagaimana sukarnya membuat garam," katanya didalam hati.

Selagi enak berjalan, se,-konyong2 ia melihat 30 orang lebih yang deagan memikul piKulan, mendatangi dengau cepat dari jalanan Kecil disebelah barat. Mereka itu mengenakan pakaian seragam baja dan celana pendek warna hijau, dan kepala mereka ditutup dengan tudung lebar. Sekelebatan saja, ia bisa menebak, bahwa isi pikulan itu ialah garam.

Ia tahu, bahwa pembesar disepanjang pantai biasanya sangat kejam dan rakus dan biasa memungut bea Cukai garam yang sangat berat. Maka itu, walaupun bertempat tinggal ditepi lautan, rakyat tidak kuat makan garam resmi, dan terpaksa membeli garam gelap. Dilihat potongan badan dan gerakan orang2 itu hampir boleh dipastikan, bahwa apa yang diangkat mereka adalah garam gelap. Hal ini sedikitpun tak mengherankan. Yang mengherankan adalah pikulan mereka. Setiap pikulan bukan bambu dan juga bukan kayu berwarna hitam dan tak mempunyai sifat melenting (membal), sehingga bisa diduga, bahwa pemikul2 itu terbuat dari besi. Apa yang lebih mengherankan lagi, ialah, walaupun saban orang mikul barang yang beratnya tak kurang dari tigaratus kati, tapi tindakan mereka cepat luar biasa, seolah tidak menginjak tanah dan dalam sekejap mereka sudah melewati Jie Thay Giam.

"Kawanan pengusaha garam gelap ini memang juga terdiri dari jago2," katanya dida lam hati. "Sudah lama aku dengar, bahWa Hay see pay (Partei Pasir laut) di Kanglam yang jual bell garam gelap, mempunyai pengaruh yang sangat besar dan anggauta yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, adalah sangat luar biasa, jika duapuluh lebih ahli silat beramai-ramai memikul garam.

Jie Thay Giam adalah seorang yang gemar menyelidiki hal2 aneh. Diwaktu biasa, ia tentu akan mencari tahu kejadian yang luar biasa itu. Tapi Sekarang , mengingat hari ulang tahun gurunya, ia sungkan membuang tempo dan sambil mengempos, ia lalu menyusul dan melewati pemikul2 garam itu, yang jadi heran melihat tindakan Jie Thay Clam yang begitu enteng.

Lewat magrib Jie Thay Giam tiba diSebuah kota kecil dan dari keterangan seorang penduduk, ia mengetahui, bahwa kota itu adalah Am tong tin dalam wilayah Cie yauw koan. Dari situ, sesudan menyeberang sungai Cian tong kang ia akan tiba di Lim an dan dengan membelok kejurusan barat laut, sesudan melewati propinsi Kang say dan Ouw lam, barulah ia tiba di Boe-tong. Malam itu, karena tak ada perahu untuk menyeberang sungai, ia terpaksa menginap disebelah rumah penginapan kecil di Am tong tin.

Sesudah makan malam, baru saja mencuci kaki untuk naik keranjang, tiba2 ia dengar suara ribut-ribut dari sejumlah orang yang mau menumpang nginap. Mendengar lidah Ciat kang timar dan suara yang nyaring luar biasa, ia melongok keluar dan ternyata, bahwa orang2 itu bukan lain daripada kawan pemikul garam yang ia bertemu tadi. Menurut kebiasaan, orang2 dari perdagangan garam gelap adalah kaum kasar yang suka sekali minum arak dan makan minum seperti setan kelaparan. Tapi berbeda dengan yang lain, mereka hanya minta disediakan nasi, sayur-sayur dan tauw hu.

Sesudah bersantap, tanpa minum setetes arak, mereka lalu pergi tidur. Jie Thay Ciam sendiri lantas saja bersamadhi dan melatih lweekang untuk beberapa lama sesudah itu, ia segera merebahkan badan diatas pembaringan.

Kira2 tengah malam, dikamar sebelah sekonyong konyong terdengar suara keresekan. Pada waktu itu, Jie Thay Giam sudah menyelami ilnu silat Boe tong pay dan ia sudah mencapai tingkatan yang sangat tinggi, sehingga, biarpun sedang pulas nyenyak, suara keresekan itu sudah cukup untuk menyadarkannya.

Tiba2 ia dengar suara orang berbisik. "Perlahan2. Jangan mengageti tamu dikamar sebelah supaya tidak menimbulkan banyak urusan". Pintu kamar dibuka per lahan lahan dan duapuluh orang lebih itu lantas keluar kedalam pekarangan penginepan. Jie Thay Giam mengitip dijendela. Sambil memikul pikulan, mereka semua keluar dangan melompati tembok, Walaupun tembok itu tidak tinggi, tapi bahwa mareka bisa melompatinya sambil memikul barang yang begitu berat, merupakan bukti, bahwa kepandaian mereka tak boleh di pandang enteng.

"Ilmu Silat mereka belum bisa menandingi aku, tapi dua puluh orang lebih yang rata2 memiliki kepandaian tinggi, bukan kejadian yang sering ditemui," kata Jia Thay Giam didalam hati. Untuk beberapa saat ia berdiri bengong dengan perasaan sangsi. Kata2 orang itu "jangan mengageti tamu dikamar sebelah supaya tidak menimbalkan banyak urusan?" sangat mengganggu pikirannya. Jika ia tidak dengar perkataan itu, biarpun terbiasa, ia tentu sungkan memperdulikan urusan orang.

Tapi kata2 itu sudah lantas membangunkan rasa kesatriannya. "Kejahatan apa yang mau dilakukan mereka tanyanya didalam hati.

"Sesudah berpapasan denganku, tak bisa tidak aku mesti mencampuri. Jika aku bisa menolong satu dua orang, meskipun tidak keburu hadir dalam peringatan hari ulang tahun In-soe, In-soe tentu tak akan gusari aku."

Jie Tay Giam sudah memikir begitu, olah karena setiap kali menerima murid baru, paling dulu Thio Sam Hong menasehati, bahwa sesudah berhasil dalam mempelajari ilmu silat, si murid harus mengutamakan sifat2 kesatria dan selalu bersedia menolong sesama manusia yang memerlukan pertolongan. Itulah sebabnya mengapa nama Boe-tong Cit-hiap tersohor bukan main. Mereka tersohor bukan saja sebab berkepandaian tinggi, tapi juga sebab sepak terjangnya sangat mulia.

Demikianlah, pada saat itu, dengan mengingat nasehat gurunya, Jie Thay Giam segera menyoren golok dan membekal kantong senjata rahasia, akan kemudian melompat keluar dari jendela dan tembok.

Begitu berada di luar rumah penginapan, ia dengar suara tindakan kaki kejurusan timur laut. Buru2 ia mengempos semangat dan mengejar dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan.

Malam itu malam tak berbintang, langit gelap gulita, ditutup awan awan tebal. Melihat tindakan orang orang itu yang cepat liar biasa, seolah olah mereka tidak merasakan tindihan pikulan yang sangat berat, Jie Thay Giam jadi semakin heran. "Penjual garam gelap berjalan ditengah malam buta adalah kejadian yang biasa saja," pikirnya. "Apa yang luar biasa adalah kepandaian orang2 itu. Dengan memiliki ilmu silat yang begitu tinggi, kalau benar2 mereka mau berbuat jahat, jangankan merampok rumah hartawan, sedangkan sekalipun menggarong gudang pemerintah, mereka masih dapat melakukan tanpa bisa dicegah oleh opas2 atau tentara dikota ini. Mengapa mereka mau memikul garam ditengah malam buta untuk mendapatkan keuntungan yang sangat kecil? Tak bisa jadi. Dalam hal ini pasti terselip latar belakang yang luar biasa." Memikir begitu ia terus menguntit.

Berselang kurang lebih setengah jam, kawanan penjual garam gelap itu sudah melalui dua puluh li lebih. Sedikipun mereka tak merasa dibuntuti orang, karena ia berjalan dengan terburu-buru dan juga sebab yang menguntit mempunyai ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi.

Tak lama kemudian, mereka tiba dijalanan yang berdampingan dengan pantai laut dimana gelombang demi gelombang menerjang ketepi dengan mengeluarkan suara keras.

Selagi enak berjalan, mendadak salah seorang yang rupanya jadi pemimpin rombongan mengeluarkan seruan perlahan dan semua kawannya segera menghentikan tindakan. "Siapa?" bentak si pemimpin.

"Apa sahabat2 dari Tiga Pinggir Air?" Balas tanya seorang yang berada di tempat gelap.

"Benar, siapa tuan?" tanya pula si pemimpin.

Jie Thay Giam bingung. "Apa itu, sahabat sahabat dari Tiga Pinggir Air?" tanya didalam hati. Tapi dilain saat ia mandusin dan dapat menebak bahwa "Tiga Pinggir Air" berarti "Hay-see-pay" terdapat huruf "Air".

"Aku menasehati supaya kamu jangan campur-campur urusan To liong to," kata pula orang yang berada ditempat gelap. ( To-Liong to Golok membunuh naga ).

Si pemimpin terkejut. "Apa tuan juga datang urusan To liong-to?" tanyanya.

"Hu hu hu " orang itu tertawa dingin. Dia tidak memberi jawaban.

Mendengar suara tertawa itu, jantung Jie Thay Giam memukul keras. Suara itu aneh tak mungkin dilukiskan bagaimana anehnya dan begitu masuk kedalam kuping, pikiran orang yang mendengarnya lantas kalang kabut, se akan akan belasan ular bulu merayap ditulang punggung. Dengan perasaan sangat heran indap indap ia maju kedepan.

Dengan matanya yang terlatih, segera juga ia melihat, bahwa ditengah jalan menghadang seorang lelaki yang tubuhnya kurus dan kecil. Karena gelap gulita, ia tak dapat melihat tegas muka orang itu. Apa yang dapat di lihatnya ialah orang itu mencekal sebatang tongkat, sedang pada pakaiannya terdapat titik titik sinar yang berkeredepan, sehingga ia menarik kesimpulan bahwa orang itu mengenakan jubah sulam.

"To Liong to adalah mustika partai kami," kata pula si pemimpin Hey see pay. "Golok itu telah di curi orang dan adalah sewajarnya saja jika kami berusaha untuk mendapatkan nya kembali."

Sikurus lagi-lagi tertawa dingin dan tetap menghadang di tengah jalan.

Mendadak, seorang yang berdiri dibelakang si pemimpin, membentak dengan suara keras "Minggir! Dengan mencegat kami, kau hanya mencari mampus..."

Belum habis perkataannya, ia sudah mengeluarkan teriakan menyayat hati dan jatuh kebelakang. Semua kawannya terkesiap. Hampir berbareng, sinar berkeradepan di jubah sikurus kering bergoyang goyang beberapa kali dan dia menghilang dari pemandangan.

Para anggauta Hay see pay kaget tercampur gusar, karena kawan ia yang baru jatuh sudah putus napasnya dan badannya meringkuk beberapa antaranya sudah melepaskan pikulan untuk mengejar sikurus. Tapi musuh itu yang gerakannya cepat bagaikan kilat sudah tak kelihatan bayang2annya lagi.

Jie Thay Giam heran bukan main. "Senjata rahasia apa yang digunakan oleh sijubah sulam?" tanyanya didalam hati. "Cara bagaimana ia dapat membinasakan orang dengan tangan dan badan tidak bergerak? Aku berdiri cukup dekat, tapi tak bisa lihat gerakan apapun juga." la terus bersembunyi dibelakang batu besar, supaya tidak dilihat oleh orang2 Hey see pay yang sedang gusar.

"Biarlah kita tinggalkan jenazah Loo sie di tempat ini untuk sementara waktu," demikian terdengar lagi suara pemimpin. "Kita harus membereskan dulu urusan yang lebih penting. Sebentar, sesudah selesai urusan kita, baru kita merawat jenazah Loo sio. Kitapun harus nyelidiki siapa adanya musuh itu. Semua kawannya mengiakan dan segera berlalu sambil memikul pikulan mereka.

Sesudah mereka pergi jauh barulah Jie Thay Giam keluar dari tempat sembunyi dan mendekati jenazah. Orang itu mati dengan badan meringkuk seperti seekor udang dan dari tanda tandanya kebinasaannya disebabkan racun yang sangat hebat. Sebab takut kena racun, ia tak berani menyentuh mayat itu. Ia jadi sangsi dan sesudah berpikir beberapa saat, ia lalu mengempos semangat dan menyusul kawanan Hay soe pay yang sudah pergi agak jauh.

Sesudah melalui beberapa li si pemimpin rombongan tiba-tiba mengeluarkan seruan perlahan dan semua kawannya segera berpencaran dan mendekati sebuah gedung disebelah timur laut dengan tindakan perlahan.

"Apakah golok To liong to berada dalam rumah itu?" tanya Jie Thay Giam dalam hati.

Diatas gedung besar itu terdapat sebuah lubang asap, darimana terus mengepul asap hitam yang dalam tempo lama berkumpul ditengah udara, tanpa mau buyar. Kawanan penjual garam gelap itu segera menaruh pikulan ditanah dan setiap orang lalu mengeluarkan sendok kayu yang digunakan untuk menyendok semacam benda dari dalam keranjang mereka. Benda itu lalu ditaburkan diseputar gedung. Melihat warna yang putih bagaikan salju, Jie Thay Giam merasa pasti, bahwa benda tu ialah semacam garam.

"Apa yang disaksikan olehku pada malam ini sungguh luar biasa," pikirnya. "Jika diceritakan kepada In soe belum tentu ia mau percaya."

Waktu menyebarkan garam itu, orang2 Hay see pay kelihatan sangat ber hati2 seperti juga kuatir benda itu menyentuh badan mereka. Sebagai seorang yang sudah kawakan dalam dunia Kang ouw, Jie Thay Giam lantas saja mengerti bahwa garam itu mengandung racun hebat untuk mencelakakan penghuni gedung itu. Jiwa kesatrianya lantas saja terbangun. "Siapa salah, siapa benar, aku tak tahu, " pikirnya."Tapi perbuatan orang Hay soe pay terlalu rendah. Biar bagaimanapun juga, aku harus memberitahukan penghuni rumah itu, supaya dia jangan sampai celaka dalam tangan manusia2 rendah," Melihat orang2 itu belum menyebar kan garam dibagian belakang rumah, buru2 ia mengmbil jalan mutar kebelakang gedung dan lain melompat masuk kedalam tembok pekarangan.

Dalam pekarangan yang sangat luas berdiri lima buah bangunan dengan tigapuluh atau empatpuluh kamar dan apa yang mengheran kan, seluruh gedung itu gelap gulita, tidak terlihat sinar lampu atau lilin. "Dirumah tengah, dari mana mengepul asap hitam, pasti ada manusianya, pikir-Jie Thay Glam. Karena kuatir penghuni runah menganggapnya sebagai musuh, ia lalu mengambil sebatang cabang kering, menyalakan api dan lalu menyulutnya. Sambil mengangkat obor itu tinggi2 ia berkata."Murid Boe-tong-pay. Jie Thay Giam, datang berkunjung untuk memberitahukan satu rahasia. Aku tidak mengandung maksud kurang baik, harap kalian jangan curiga," Walau perlahan suaranya tajam dan jauh, sehingga menurut perhitungan, setiap perkataannya bisa didengar oleh penghuni dalam lima rumah itu. Tapi sesudah mengulangi perkataannya dua kali, ia masih juga belum mendapat jawaban.

Jie Thay Giam adalah seorang pendekar dari sebuah partai kenamaan dan tentu saja nyalinya labih besar dari manusia biasa. Biarpun gedung itu menyeramkan, ia sungkan memperlihatkan kelemahan. Tanpa menghunus golok dan dengan hanya mengempos semangat supaya panca indranya jadi lebih tajam, ia segera bertindak masuk kedalam rumah yang mangeluarkan asap hitam.

Setelah melewati sebuah cim chee, ia tiba diruangan belakang. Mendadak ia berdiri terpaku, sebab dipinggir ruang itu menggeletak dua mayat, yang satu mengenakan pakaian too jin (imam), sedang yang lain memakai pakaian petani. Usia kedua orang itu sudah lanjut dan mukanya menyeramkan, seperti juga kesakitan hebat sebelum menghembuskan napas yang penghabisan. Tapi dibadan mereka sedikitpun tidak terlihat tanda-tanda luka barang tajam.

Jie Thay Giam berjalan terus untuk menyelidiki keadaan rumah itu. Ia mendapat kenyataan bahwa setiap pintu terbuka lebar tapi semua kamar gelap gulita, sehingga ia tak bisa lihat apa yang terdapat dalam kamar-kamar itu. Kecuali obor yang dibawanya, tidak terdapat lain penerangan seluruh rumah yang luas itu. Meskipun bernyali besar, mau tak mau hatinya berdebar juga.

Dari situ, ia terus pergi keruangan samping, dimana ia melihat pemandangan yang lebih hebat lagi. Dalam ruangan itu, menggeletak mayat dua puluh orang lebih dengan senjata2 mereka. Dilihat dari muka mayat2 itu, sebagian sudah mati lama juga sebagaian lagi baru saja mati. "Dari senjatanya, diantara mereka terdapat orang2 pandai." katanya didalam hati. "Senjata untuk menotok jalan darah, roda Ngo-heng-loen, Poan-koan pit dan sebagainya. Jika orang2 itu tidak mahir dalam ilmu menotok jalan darah, mereka tentu tidak menggunakan senjata itu. Mengapa mereka mati disini? Mengapa ?"

Semula ia masuk gedung itu dengan sikap sembarangan. Tapi sekarang sesudah melihat mayatnya begitu banyak jago-jago, ia lantas saja berhati-hati. "Murid Boe-tong-pay Jie Thay Giam minta bertemu dengan Cianpwee untak melaporkan suatu urusan," teriaknya kembali. Jawaban tetap tidak ada, tapi diruangan tengah terdengar suara orang meniup api dan suara merontoknya perapian. Dengan tindakan hati-hati, ia lalu menghampiri suara itu dan sesudah melewati tembok dan sekosol, tibalah ia di ruangan tengah.

Ia terkejut sebab merasakan menyambarnya hawa yang sangat panas. Ditengah-tengah ruangan terdapat sebuah dapur besar yang terbuat dari batu dan api di dalam dapur itu menjilat-jilat keatas. Diseputar dapur berdiri tiga orang yang sedang meniup dengan menggunakan tenaga Lweekang, sedang diatas dapur menggeletak melintang sedatang pedang yang panjangnya kira-kira empat kaki. Sebab panasnya, dari merah sinar api berubah hijau dan dari hijau berubah merah, tapi sinar golok tersebut masih tetap berkeredepan dan sedikitpun tidak melumer atau rusak karena panas api.

Ketiga orang rata2 berusia kurang lebih enampuluh tahun dan mereka semua mengenakan jubah hijau. Muka mereka penuh debu dan jubah mereka banyak berlubang akibat peletikan api, diatas kepala mereka mengepul uap putih dan saraya mengempos semangat, perlahan2 mereka meniup api. Setiap kali ditiup, api itu menjilat keatas kira2 lima kaki tingginya dan menggulung golok yang berkeredepan itu. Jie Thay Giam mengerti, bahWa ketiga orang tua itu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Dengan berdiri ditempat yang berapa tombak jauhnya dari perapian itu, ia sudah merasakan hebatnya hawa panas, sehingga dapatlah dibayangkan panasnya hawa yang menyambar ketiga kakek itu, yang berdiri dipinggir dapur. Tapi aneh sungguh, biarpun digulung api yang bersinar hijau, golok itu masih tetap utuh dan Warna nya tidak berubah sama sekali.

Mendadak diatas genteng terdengar suara menyeramkan "Berhenti! Marah golok mustika itu adalah kedosaan besar."

Jantung Je Thay Giam memukul keras, karena ia mengenali, bahwa suara itu adalah suara si jubah sulam. Tapi ketiga kakek itu tidak menghiraukannya dan malahan meniup semakin hebat. Mendadak hampir berbareng dengan terdengar nya suara tertawa dingin, satu bayangan yang bersinar emas berkelebatan dan bagaikan jatuhnya selembar daun, sijubah sulam sudah berdiri ditengah-tengah ruangan. Dengan bantuan sinar api, Jie Thay Giam bisa lihat tegas romannya orang itu, yang ternyata adalah seorang pemuda yang baru berusia kurang lebih duapuluh tahun, dengan muka yang tampan, tapi pucat dan bersorot hijau. Sulaman benang emas dijubahnya yang sangat indah dan mewah, merupakan gambar-gambar harimau, singa bunga-bunga. Dengan sikap tenang dan tanpa membawa senjata, ia berkata dengan suara dingin "Tiang pek sam khim, mengapa kau akan merusakkan senjata mustika itu ? "Seraya berkata, begitu ia maju setindak.

Sikakek yang berdiri disebelah barat mendadak mementang lima jari tangannya yang, terus menyambar kemuka orang. Sijubah sulam mengempas dan maju lagi setindak. Kakek yang berdiri disebelah timur dengan cepat meagambil satu martil yang terletak di pinggir dapur dan lalu menghantam kepala orang. Tapi gerakan pemuda itu gesit luar biasa. Dengan sekali miringkan badan, ia kermbali bisa meloloskan diri dari serangan kedua Martil itu menghantam tempat kosong dan jatuh dilantai dengan muncratnya lelatu api. Ternyata batu lantai bukan biasa, tapi batu gunung yang sangat keras.

Sikakek yang disebelah barat lantas saja bantu menyerang dengan kedua tangan yang jari2nya dipentang seperti cakar ayam. Ia menyerang secara nekat2an dengan pukulan-pukulan yang membinasakan, sehingga Jie Thay Giam jadi merasa sangat heran, "Sakit hati apa yang didendam orang-orang ini, sehingga mereka berkelahi dengan menggunakan pukulan pukulan yang kejam itu?" tanyanya didalam hati.

Tapi kepandaian si jubah sulam benar-benar luar biasa. Walaupun diserang oleh kedua kakek itu, ia masih bersenyum senyum dan melayani dengan sikap acuh tak acuh. Sesudah bertempur beberapa jurus, si kakek yang ber senjata martil membentak: "Siapa tuan ? Biar maui golok mustika, tuan harus lebih dulu memberitahukan she dan namamu,"

Jilid 4

Tapi si jubah sulam tidak menjawab, ia hanya tertawa dingin, mendadak ia memutar badan, disusul dengan suara "krak-krek" dari sikakek yang disebelah timur, terbang menghantam dan menjebloskan atap rumah, akan kemudian jatuh dipekarangan gedung !

Kakek yang martilnya terbang, dapat berpikir cepat. Ia tahu, bahwa mereka tengah menghadapi musuh yang satu, pihaknya dan meskipun tiga lawan satu, pihaknya pasti bakal dapat dirobohkan. Maka itu, buru2 ia mengambil satu jepitan api untuk menjepit golok To Liong to.

Pada waktu itu si kakek yang berdiri disebelah selatan, sudah siap sedia dengan senjata rahasianya dan menunggu kesempatan untuk menimpuk si jubah sulam. Akan tetapi karena gerakan pemuda itu gesit luar biasa, maka sedari tadi ia belum mendapatkan lowongan untuk menyerang. Sekarang, begitu lihat sikakek disebelah timur menangkat jepitan untuk menjepit To-Liong to hatinya terkesiap. Ia yakin, begitu lekas golok mustika itu jatuh kedalam tangan orang lain, ia sukar mendapatkannya kembali. Sesudah sikakek memiliki To liong to, mana mampu ia melawannya? Dalam bingungnya, ia jadi nekad dan bagaikan kilat, tangannya menyambar kedapur dan mencekel gagang golok.

Meskipun tidak sampai lumer sebagai,akibat dari pembakaran yang sangat hebat itu, golok itu panas luar biasa. Begitu tangan sikakek mencekel gagang golok, uap putih mengepul keatas dan semua orang mengendus bau daging dibakar. Tapi ia seperti juga tidak merasa sakit dan membelatak, ia tetap mencekel gagang golok itu. Karena kaget, pertempuran terhenti dan semua orang berdiri terpaku. Dilain saat, kakek itu sudah melompat kebelakang dan kemudian, sambil menenteng To-liong-to, bagaikan seorang edan, ia kabur dari ruangan itu.

Sijubah sulam tertawa dingin "Mana bisa begitu mudah?" katanya seraya turut melompat dan menjabret punggung sikakek yang lalu digentak kebelakang. Orang tua itu membalik tangannya dan To-Liong-to manyambar. Sebelum mata golok tiba, hawa panas sudah menyambar muka sijubah sulam, sehingga rambut dan alisnya lantas jadi hangus.

Pemuda itu terkejut dan tak berani menyambut dengan tangannya. Cepat bagaikan kilat, kedua tangannya mendorong kedepan dan tubuh sikakek terbang kearah mulut dapur!"

Jie Tay Giam yang sadari tadi menonton pertempuran itu sebenarnya tak ingin mencampuri sebab persoalan golok mustika tidak bersangkut paut dengan dirinya. Tapi pada detik jiwa sikakek terancam kebinasaan tanpa memikir panjang2 lagi, ia mengempos semangat dan melompat. Sedang badannya masih berada ditengah udara ia menjambret rambut orang tua itu law mengangkatnya keatas dan kemudian, dengan gerakan yang sangat indah ia hinggap diatas lantai. Lompatan itu yang merupakan ilmu mengentengkan badan paling tinggi dalam Rimba Persilatan dinamakan Tee in ciong "Lompatan awan tangga".

Si jubah sulat dan Tiang-Pek-Sam-khim yang tadinya tidak memperhatikan padanya jadi kaget bukan main.

"Bukankah lompatan itu Tee in ciong yang kesohor dikolong langit?" tanya pemuda itu.

Mendengar orang menyebutkan nama ilmunya. Jie Thay Giam bermula merasa kaget, tapi kemudian ia girang karena mendapat pujian, "ilmu yang cetek itu tiada artinya untuk di-sebut2", jawabnya dengan suara merendah. "Apakah aku bisa mendapat tahu she dan nama tuan yang mulia?"

"Bagus! Bagus!" katanya, tanpa menjawab pertanyaan orang. "Orang mengatakan, bahwa ilmu mengentengkan badan Boe tong pay tiada keduanya dalam dunia. Perkataan itu ternyata ada benarnya juga". Walaupun kata2nya memberi pujian, tapi suaranya bernada sombong, se olah2 seorang Cianpwee orang yang tingkatannya lebih tinggi sedang memuji kepandaian seorang Hoanpwee orang yang tingkatannya lebih bawah.

Jie Thay Giam mendongkol tapi ia menahan sabar. "Dengan sekali bergerak tuan sudah membinasakan seorang jago Hay see pay, katanya kepandaian tuan sungguh2 tak bisa diukur bagaimana tingginya."

Si baju sulam kaget. "Eeh, dia lihat aku, tapi aku sendiri tak lihat dia," katanya didalam hati. "Dimana bocah itu bersembunyi?"

Ia tersenyum tawar dan berkata dengan suara yang tawar pula. "Benar ilmu itu sukar dimengerti oleh orang luar. Jangankan tuan, sedangkan Ciang boen jin Boe tong pay sendiripun belum tentu bisa mengerti."

Jie Thay Giam adalah seorang yang sangat sabar tapi mendengar hinaan terhadap gurunya, darahnya naik juga. Baik juga ia masih bisa menguasai dirinya dan merasa tidak perlu untuk menambah musuh karena beberapa perkataan kurang ajar itu ia bersenyum seraya berkata. "Dalam dunia persilatan memang terdapat banyak sekali ilmu2 yang murni dan yang sesat Boe tong pay hanya memiliki sekelumit ilmu dari lautan ilmu yang dalam dan luas. Ilmu yang dimiliki tuan memang juga tidak dipunyai oleh guruku." Jawabnya yang sungkan itu mengandung duri dan ia seperti juga mau mengatakan bahwa Boe tong pay memang tidak mengerti segala ilmu sesat dan menyeleweng.

Sementara itu, sikakek yang mencekal golok mendadak memutar To Liong to dan lari menerjang keluar.

Jie Thay Giam yang berdiri paling dekat, paling dulu menerima serangan. Tiba2 ia merasakan sambaran angin hebat kearah pinggangnya. Sesudah menolong jiwa orang tua itu, sedikitpun ia tidak duga, bahwa dirinya bakal diserang cara begitu. Pada saat yang sangat berbahaya, ia menotol lantai dengan kakinya dan badannya lantas saja melesat keatas. Kakek itu sendiri terus lari keluar sambil menyabetkan To liong to secara membabi buta.

Si jubah sulam dan dua kakek lainnya tidak berani merintangi dengan kekerasar dan seraya ber-teriak2, mereka lalu mengumbar dari belakang.

Jie Thay Giam pun lantas turut mengudak. Berkat ilmu mengentengkan badannya yang sangat tinggi, biarpun mengubar belakangan, ia lebih dulu menyandak kakek itu, yang lari dengan tindakkan limbung dan kedua tangan mencekel To liong to, seperti juga tidak kuat menentengnya dengan satu tangan.

Begitu tahu dicandak orang, sambil mangeluarkan teriakan keras, ia melompat jauh dengan menggunakan seantero tenaga dan badannya lantas saja melesat keluar pintu depan. Heran sungguh, begitu kedua kakinya hinggap di tanah, ia terguling dan berteriak kesakitan seperti juga terluka berat.

Si jubah sulam dan kedua kakek lainnya menyusul dan coba merebut To liong to. Tapi dengan serentak merekapun turut2 robah dan mengeluarkan teriakan menyayat hati, seolah2 dipagut ular atau lain binatang berbisa. Sijubah sulam yang ilmunya paling tinggi dengan cepat melompat bangun dan lantas kabur sekeras2nya. Tapi ketiga kakek itu terus bergulingan dan tak bisa bangun lagi.

Melihat kejadian luar biasa itu Jie Thay Ciam segera bergerak untuk memberi pertolongan. Mendadak ia kaget sendiri sebab tiba2 saja ia ingat garam beracun yang disebar oleh orang2 Hay see pay. Melihat akibatnya terhadap Tiang-pek Sam khim dan sijubah sulam, racun itu mestinya hebat luar biasa ia tahu bahwa seputar gedung itu telah dikurung dengan garam beracun sehingga ia sendiripun tak tahu bagaimana harus meloloskan diri.

Ia berdiri diam dan mengasah otak. Sekonyong konyong ia lihat dua kursi tinggi dikedua samping pintu dan mendadak ia dapat pikiran baik. Buru2 ia membalik kedua kursi itu dan sambil menggaetkan kakinya dikursi ia berjalan seperti orang main jangkungan.

Ketiga orang tua masih terus bergulingan diatas tanah sambil mengeluarkan teriakan hebat. Thay Giam mengerti bahwa ia sedang berada ditempat yang sangat berbahaya cepat cepat ia merobek ujung bajunya dan dengan menggunakannya sebagai alat ia men jambret punggung sikakek yang mencekal To liong to dan sambil menentengnya ia lari kejurusan timur se-cepat2nya.

Inilah kejadian yang tak di duga2 oleh orang Hay see pang dengan serentak mereka melepaskan sejata rahasia. Tapi Jie Thay Giam yang gerakannya cepat luar biasa dalam sekejap sudah berada diluar jarak senjata rahasia. orang2 Hay see pang tak mau mengerti dan terus mengejar se-keras2nya.

Se konyong2, Jie Thay Giam melompat tinggi, sedang kedua kakinya menendang kedua kursi itu lantas saja terbang kebelakang dan menghantam beberapa pengejarnya. Mereka berteriak kesakitan dan semua kawannya terpaksa berhenti sejenak untuk melihat

keadaan mereka.

Dengan menggunakan kesempatan itu sambil mengempos semangat, Jie Thay Giam mempercepat tindakannya dan dalam sekejap ia sudah meninggalkan pengejarnya jauh sekali.

Sesudah lari lagi beberrapa jauh, ia hanya mendengar suara ombak laut dan suara kejaran musuh sudah tidak terdengar lagi.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

Sikakek tidak menjawab. Ia merintih kesakitan "Lebih baik cuci badannya yang penuh garam beracun," pikir Thay Giam. Ia segera membawa orang tua itu keair yang cetek dan lalu melemparkannya keair itu, dengan menjaga supaya air laut tidak mengenakan badannya sendiri. Beberapa saat kemudian, kakek itu kelihatan tersadar, tapi belum bisa bangun. Selagi Thay Giam mau mengangsurkan tangan untuk menariknya, tiba2 menyambar gelombang besar yang secara kebetulan, sudah melontarkan badan situa keatas pasir.

"Sekarang kau sudah terlolos dari bahaya dan karena mempunyai urusan panting aku tidak bisa menemani terus, maka disini saja kita berpisahan." kata Thay Giam.

Sambil menekan pasir dengan kedua tangan nya si kakek mengangkat badannya. "Kau kau...mengapa kau tidak merampas golak mustika ini?" tanyanya dengan suara heran.

Thay Giam tertawa. "Biarpun bagus, golok itu bukan milikku," jawabnya. "Bagaimana aku bisa merampasnya?" Si kakek jadi semakin heran. Ia tak percaya dalam dunia ada orang begitu mulia. "Kau..,.kau...tipu busuk apa yang dijalankan olehmu?" tanyanya. "Kau ingin menyiksa aku?"

"Kita sama sekali tidak bermusuhan, bagai mana aku bisa menyiksa kau?" Thay Giam balas tanya seraya tersenyum. "Malam ini, secara kebetulan kita bertemu dan karena merasa tak tega melihat kau terluka, aku sudah memberi pertolongan."

Orang tua itu menggeleng2kan kepalanya. "Jiwaku berada dalam tanganmu, kalaukau mau ,bunuhlah sekarang!" katanya dengan suara keras. Tapi jika kau turunkan tangan beracun, sesudah mati aku akan jadi setan penasaran dan akan terus me-ngubar2 kau."

Thay Giam tahu otak si tua masih kalang kabut dan ia hanya bersenyum tanpa meladesi. Baru saja ia mau berlalu, mendadak menyambar sebuah gelombang besar, sehingga pakaiannya basah kuyup dan kakek sendiri mendekam diatas pasir dengan badan gemetaran.

Dengan adanya kejadian itu, Thay Giam berubah pikiran. "Jika menolong orang, kita harus menolong sampai diakhirnya," pikirnya "kalau aku berlalu, mungkin sekali dia akan mati didalam laut." Memikir begitu, ia lantas saja menjambak punggung si kakek itu dan sambil menentengnya, ia berjalan kearah sebuah bukit, ia mengawasi keadaan diseputarnya dan melihat sebuah rumah kecil yang bentuknya menyerupai kelenteng. Ia lalu pergi kesitu dan benar saja rumah itu rumah berhala yang didepannya terdapat huruf2 "Hay sin bia" Kelenteng Malaikat Laut. Ia menolak pintu dan mendapat kenyataan bahwa kelenteng yang sangat kecil itu hanya mempunyai sebuah ruangan.


Sesudah meletakkan si kekak diatas meja sembahyang, ia mengeluar bahan api, tapi tak dapat menggunakan karena basah. Dalam gelap, ia meraba2 meja sembahyang dan sungguh untung diatas meja terdapat bahan api yang diperlukannya. Ia lalu menyalakan bahan api itu dan menyulut lilin yang tinggal sepotong.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar