-------------------------------
-----------------------------
Bagian 12
Ia memasang kuping dan
diantara suara gelombang, ia mendengar suara mengerosnya Cia Soen yang sudah
pulas nyenyak, ia heran dan berkata dalam hatinya: "Orang itu telah
bersumpah untuk tidak percaya manusia. Tapi bagaimana ia bisa tidur pulas dalam
sebuah perahu bersama sama aku dan In Kauwaio? Apa dia tidak takut aku turunkan
taugan jahat? Atau, apakah, karena menganggap kepandaiannya sudah sangat
tin6gi, ia tidak memandang sebelah mata kepadaku? Sudahlah ! Biar bagaimanapun
jua, aku harus berani menempuh bahaya. Orang ini sudah pasti akan melakukan apa
yang dikatakannya. Kalau terlambat, bisa-bisa aku harus menemani dia dipulau
kecil sampai masuk dilubang kubur," Memikir begitu, perlahan-lahan ia
mendekati In So So untuk membisiki niatannya.
Tapi diluar dugaan, sebelum ia
keburu membuka mulut, didalam kegelapan apa mau si nona memutar kepala sehingga
tanpa tercegah lagi, bibir pemuda itu menyentuh pipinya.
Tak kepalang kagetnya Coei
San! Ia sangat ingin menyatakan kepada sinona, bahwa kejadian itu adalah
kejadian kebetutan dan ia sama sekali tidak berniat untuk berlaku kurang ajar
tapi mulutnya terkancing dan ia tak dapat mengeluarkan sepatah kata.
Dilain pihak sinona girang
bukan main dan lalu merebahkan kepalanya dipundak pemuda itu. Sesaat itu, So So
melupakan segala bahaya yang tengah mengancam dan pada detik itu, ia merasa
dirinya, sebagai manusia yang paling beruntung dalam dunia. Tiba-tiba ia dengar
bisikan Coei San: "In Kouwnio, aku harap kau tidak jadi gusar."
Dengan paras muka bersemu
merah dan dengan suara terputus-putus, ia berkata: "Kau.... menyintai
aku.... Aku.... sangat.. girang."
In So So adalah memedi
perempuan yang dapat membunuh manusia tanpa berkedip. Tapi dalam keadaan
begitu, ia tiada bedanya seperti wanita lain. Jantungnya memukul keras, mukanya
panas, rasa malu, kaget dan girang tercampur menjadi satu.
Kalau bukan berada dalam
kegelapan, mungkin sekali ia tak berani mengucapkan kata-kata itu yang
menumplek isi hatinya kepada pemuda yang dicintainya.
Mendengar jawaban si nona,
sekali lagi Coei San terkesiap, ia tidak duga, bahwa permintaan maafnya sudah
memancing pengakuan cinta. Biar bagaimana jua, ia adalah manusia biasa, manusia
yang masih berusia muda. Maka itu, jantungnyapun memukul keras dan ia jadi
bingung bukan main. Tiba-tiba, jiwa kesatrianya memberontak. "Coei
San!" Ia mengeluh. "Mengapa kau begitu lemah? Apa kau sudah lupa
pesanan In soe?. Biarpun ia mencintai aku dan ia pernah melepas budi kepada
Samko, tapi ia seorarg dari agama yang menyeleweng dengan sepak terjangnya yang
tidak dapat dibenarkan. Andaikata aku ingin menikah dengannya, terlebih dahulu
aku harus memberitahukan In soe untuk minta permisi. Mana boleh aku
bercinta-cintaan ditempat gelap?"
Memikir begitu, dengan
perlahan ia mendorong tubuh sinona dan berbisik: "Kita harus berusaha
untuk menakluki orang itu guna meloloskan diri."
Mendengar bisikan itu, So So
terkejut. "Apa?" Ia menegas.
"Biarpun berada dalam
bahaya, kita barus bertindak secara tenang," Menerangkan pernuda itu.
"Kalau kita menyerang selagi dia pulas, perbuatan kita bukan perbuatan
kesatria. Aku akan membangunkannya dan akan menantangnya untuk mengadu
kekuatan. Selagi aku bertanding, kau harus melepaskan jarum emas kejalan
darahnya. Meskipun kita mengerubuti dan kemenangan kita bukan kemenangan yang
gemilang, tapi apa boleh buat, karena ilmu silatnya banyak lebih tinagi
daripada kita."
Coei San membisikkan dengan
suara yang sangat halus dan bibirnya hampir menempel dengan kuping si nona.
Tapi diluar dugaan, baru saja ia selesai, Cia Soen yang tidur digubuk belakang
sudah tertawa terbahak-bahak "Kalau kau membokong, mungkin sekali kau
masih mempunyai harapan." katanya dengan suara nyaring. "Tapi dengan
ingin mengambil jalanan yang terang, untuk mempertahankan nama baik partaimu,
kau cari celaka sendiri."
Dilain saat berbareng dengan
berkelebatnya bayangan manusia ia sudah berada dihadapan Coei San dan lalu
menghantam dada pemuda itu dengan telapak tangannya.
Selagi Coei San bicara, Coei
San sudah mengempos semangat dan mengerahkan Lweekang. Begitu lekas lawan
menyerang, ia segera menyambut dengan tangan kanannya dan balas mengirim
serangan deagan tenaga Bin ciang (Pukulan kapas). Begitu lekas tangannya
kebentrok dengan tangan lawan, ia merasa dadanya tergetar dan tenaga lawan menindih
hebat bagaikan gelombang.
Sebelum tangan lawan
menyambar, Coei San, yang tabu keunggulan orang itu, sudah mengerahkan seluruh
Lweekang untuk membela diri. Maka itu, waktu angin pukulan menyambar, ia
menarik pulang lengannya kira-kira delapan dim dan dengan garis pembelaan yang
lebih pendek itu, ia mendapat banyak keuntungan, sehingga, walau pun Cia Soen
terus menambah tenaganya, ia masih dapat mempertahankan diri.
Sesudah mendorong tiga kali,
Cia Soen merasa heran, sebab meskipun Lweekang lawannya banyak lebih rendah,
tapi ia tidak berhasil untuk menghancurkannya. Ia terus menambah tenaga, tapi
Coei San masih tetap dapat mempertahankan diri. Selagi mereka mengadu kekuatan
secara mati-matian, papan perahu mengeluarkan suara "krekekkrekek",
karena tidak kuat menahan tindihan tenaga kedua orang yang tengah bertanding
itu.
Tiba-tiba Cia Soen mengangkat
tangan kirinya dan menghantam kepala Coei San, yang buru-buru menangkis dengan
tangan kirinya dengan pukulan Hoeu kee kim liang (Memasang penglari emas).
Sesudah kedua-dua tangannya
beradu dengan kedua tangan lawan, Coei San merasa dadanya di tindih dengan
tenaga Im jioe (tenaga lembek), sedang tenaga yang menindih dari atas kepala
adalah tenaga Yang kong (tenaga keras). Bahwa seseorang dapat menyerang dengan
dua macam tenaga dengan berbareng adalah kepandaian yang sungguh jarang
terdapat dalam Rimba Persilatan. Untung juga ilmu silat Boe tong pay sangat
mengutamakan Lweekang, sehingga biarpun kalau dalam pertempuran biasa
kepandaian Coei San masih jauh, tapi dalam pertandingan Lweekang sedikitnya
untuk sementara waktu, dengan menggunakan "ilmu meminjam tenaga,
memidahkan tenaga" dan Sie nio po cia kin, ia masih dapat mempertahankan
diri.
Dalam sekejap, keringat
membasahi pakaian pemuda itu. "Mengapa In Kauwnio masih belum turun
tenaga?" tanyanya didalam hati. "Jika In Kouw nio menyerang, dia
pasti akan berkelit dan waktu dia berkelit, aku bisa menggunakan kesempatan
untuk menyerang."
Kemungkinan itu juga rupanya
sudah diingat oleh Cia Soen sendiri. Waktu baru menyerang, ia menduga, bahwa
dengan sekali pukul, ia akan dapat merubuhkan pemuda itu. Tapi diluar dugaan,
sesudah seminuman teh, Coei San masih dapat mempertahankan diri. Ia mengerti,
bahwa jika sinona turun tangan, ia bisa celaka. Maka itu, sambil bertanding,
kedua lawan tersebut terus memperhatikan gerak-gerik In So So.
Karena sedang mengerahkan
seluruh Lweekang nya, Coei San tidak berani bicara. Tapi Cia Soen Yang
Lweekangnya sudah mencapai puncak tertinggi masih dapat bicara. "nona
kecil, aku menasehati kau jangan coba-coba turun tangan," katanya.
"Begitu kau melepaskan jarum emas, aku akan segera menghantam dengan
sekuat tenaga kecintaanmu tidak dapat hidup lebih lama lagi "
"Cia Cianpwee, tarik
pulang seranganmu," kata sinona.
"Kamu akan menghatur
maaf?" tanya Cia Soen.
Coei San tidak berani
menjawab, karena begitu membuka suara, tenaganya akan habis. Ia mendongkol
bukan main karena So So tidak melepaskan jarumnya.
"Cia Cianpwee, lekas
tarik pulang tenagamu!" teriak nona In dengan suara bingung "Apa kau
mau aku turun tangan?"
Sebenar-benarnya didalam hati
Cia Soen pun sangat berkuatir. Didalam kegelapan dan ditempat yang sangat
sempit, ia sukar menolong diri, jika si nona menyerang dengan jarum emas yang
berjumlah besar dan halus itu, ia juga tidak bisa menangkis jarum-jarum itu
dengan kedua tangannya yang tengah beradu deagan kedua tangan Coei San. Maka
itu, jika So So menyerang, mungkin sekali mereka bertiga akan binasa atau
terluka berat bersama-sama.
Karena adanya kekuatiran itu,
ia segera berkata: "Nona kecil, aku sebenarnya tidak mempunyai niatan
kurang baik, aku bersedia untuk mengampuni jiwanya, jika kau bersumpah atas
nama nya."
sesudah memikir sejenak, So So
berkata: "Thio Ngoko, kita bukan tandingan Cia Cianpwee. Tiada lain jalan daripada
menurut perintahnya dan menemani dia satu dua tahun. Kurasa, sebagai seorang
yang sangat cerdas otaknya, tak sukar untuk Cia Cianpwee memecahkan rahasia To
liong to. Ngo ko boleh aku bersumpah atas namamu?"
Coei San tetap tidak berani
menyahut. Didalam hati ia mendongkol bukan main karena si nona masih juga tidak
mau melepaskan senjata rahasianya.
Melihat kecintaannya terus
membungkam, sinona segera berkata: "Aku In So So bersama Thio Coei San
berjanji akan mengawani Cia Cianpwee disebuah pulau sampai Cia Cianpwee dapat
memecahkan rahasia To liong to. Jika kami mempunyai hati bercabang, biarlah
kami mati dibawah pedang atau golok "
Cia Soen tertawa, "Bagi
orang-orang Rimba Persilatan, mati dibawah senjata bukan soal penting,"
katanya.
Si nona menggertak gigi.
"Baiklah," katanya dengan suara gusar. "Kalau aku melanggar
janji, biarlah aku tidak bisa hidup sampai dua puluh tahun. Apa kau puas?"
Cia Soen tertawa
terbahak-bahak dan lalu menarik pulang tenaganya. Begitu lekas tindihan tenaga
lawan disingkirkan, Coei San yang sudah habis tenaganya lantas saja rubuh
diatas papan perahu. Melihat muka pemuda itu pucat bagaikan kertas dan napasnya
tersengai-sengal, bukan main bingungnya si nona yang lantas saja menubruk
sambil mengucurkan air mata.
"Murid Boe tong
sungguh-sungguh bukan mempunyai nama kosong," memuji Cia Soen. "Tak
malu mereka menjagoi dalam Rimba Persilatan diwilayah Tionggoan."
Sementara itu, So So sudah
mengeluarkan sapu tangan dan menyusuti keringat yang membasahi Coei San.
Melihat si nona menangis sedu sedan, kemendongkolan pemuda itu lantas saja
hilang dan didalam hatinya timbul perasaan sangat berterima kasih. Baru saja ia
ingin menghaturkan terima kasih, tiba-tiba matanya gelap. Sayup sayup ia
mendengar teriakan So So: "Orang she Cia jika kakakku mati, aku akan
mengadu jiwa dengan mu!"
Dilain saat dalam keadaan lupa
ingat, ia mendengar suara menderunya angin dan badannya terayun-ayun. Mendadak
ia merasa badannya basah dan air asin masuk kedalam mulutnya. Sesaat itu juga
ia tersadar dan hatinya bingung, karena ia duga perahu itu sedang karam.
Cepat-oepat ia bangun berdiri, tapi ia tak dapat berdiri tegak, sebab perahu
kembali miring kekiri dan gelombang menghantam perahu. Angin menderu-deru dan
gelombang sebesar bukit menerjang dengan saling susul.
Dalam keadaan ribut dan kacau,
mendadak ia dengar teriakan Cia Soen: "Thio Coei San, lekas pergi
kebelakang perahu dan pegang kemudinya. Tanpa memikir lagi, ia berlari-lari
kebelakang perahu. Ombak lagi-lagi menghantam perahu miring kekiri kanan dan
sebuah perahu kecil, yang semula ditaruh diatas perahu layar itu, terbang
keatas beberapa tombak tingginya, akan kemudian tenggelam kedasar laut.
Sebelum Coei San tiba ditempat
kemudi, gelombang-gelombang besar mengamuk, sehingga perahu terputar-putar dan
terpental kian kemari. Buru buru ia mengempos semangat dan menancap kedua
kakinya dipapan perahu, sehingga meskipun perahu terombang-ambing, badannya
tidak bergerak. Beberapa saat kemudian, sesudah serangan gelombang agak mereda,
ia merangkak dan dengan kedua tangannya ia memegang kemudi erat-erat.
Sekonyong-konyong terdengar
beberapa kali suara gedubrakan yang keras bukan main dan badan perahu bergoyang
goyang, Ternyata, dengan menggunakan Long gee pang, Cia Soen telah merubuhkan
tiang layar tengah dan depan dan kedua tiang itu bersama-sama kain layarnya
yang berwarna putih, jatuh kedalam laut
Topan yang menyerang
benar-benar hebat. Meskipun hanya ketinggalan sebuab layar belakang, perahu itu
masih tetap miring kian kemari seperti orang mabok arak. Menghadapi serangan
alam yang hebat, Cia Soen yang gagah tak berdaya. Ia mengawasi langit dergan
paras muka mendongkol dan beberapa kali hampir-hampir ia tergelincir di sapu
angin. Akhirnya, dengan apa boleh buat, ia mengangkat pula Long gee pang dan menghantam
tiang yang terakhir.
Sesudah semua tiang layar
rubuh, perahu itu lantas saja terombang ambing tanpa tujuan. Tiba-tiba Coei San
ingat So So. "In Kouwnio!" teriaknya. "Dimana kau? Dimana kau?
In Kouwnio !" Ber ulang-ulang ia berteriak, tapi sedikitpun ia tidak
mendapat jawaban, sehingga dalam teriakan-teriakan yang belakangan, dalam
suaranya terdapat nada seperti orang menangis. Mendadak ia merasa lututnya
seperti dipeluk orang dan berbareng, sebuah gelombang yang besar telah
menyambar badannya.
Sambil mengempos semangat, ia
mencekal kemudi erat-erat, tapi tak urung tubuhnya bergoyang goyang karena
dahsyatnya ombak itu. Pada detik itu, orang yang barusan memeluk lututnya sudah
merangkul pinggangnya. "Thio Ngoko, terima kasih," demikian terdengar
suara So So yang lemah lembut: "Kau sangat memperhatikan
keselamatanku."
Coei San girang bukan, main.
"Oh, Tuhan ! Terima kasih untuk perlindunganMu!" bisiknya sambil
memeluk pinggang sinona.
Angin terus mengamuk dan
amarah lautan masih tetap belum mereda.
Diantara pukulan-pukulan
gelombang, mendadak Coei San melihat sebuab kenyataan. Ia sekarang mengakui,
bahwa didalam bahaya, ia lebih memikiri keselamatan So So daripada keselamatan
diri nya sandiri.
"Thio Ngoko, biarlah kita
mati bersama-sama," bisik pula si nona.
Dalam keadaan biasa, biarpun
kedua orang muda itu menyintai satu sama lain mereka pasti tak akan menumplek
isi hati mereka secara begitu cepat dan terang-terangan. Tapi pada saat itu
pada detik mereka bersama-sama menghadapi kebinasaan, segala perasaan main dan
jengah telah dikesampingkan. Didalam kegelapan dan diantara badai, badan perahu
tak hentinya mengeluarkan suara "krekek" dan bisa hancur luluh
disetiap saat, tapi didalam hati kedua orang muda itu terdapat rasa beruntung
yang tiada batas.
Sesudah mengadu tenaga dengan
Cia Soen, Coei San sebenarnya merasa lelah bukan main. Tapi rasa cinta yang
kini tengah memenuhi dadanya telah memberi tenaga baru kepadanya. Dengan tangan
kanan, mencekal kemudi tangan kiri memeluk pinggang si nona, ia mengempos
semangat dan mengerahkan seluruh Lweekang untuk mempertahankan diri dari
serangan-serangan topan dan gelombang.
Semua anak buah perahu sudah
habis disapu air. Jika Cia Soen, Coei San dan So So tidak memiliki ilmu tinggi,
siang-siang merekapun sudah ditelan laut.
Untung juga, perahu itu sangat
kuat buatannya, sehingga, walaupun diserang begitu hebat, tidak sampai jadi
berantakan.
Dilain saat, untuk penambahan
penderitaan, hujan turun seperti dituang tuang.
Sementara itu, sesudah
merubuhkan semua tiang layar, sambil merangkak Cia Soen pergi kebelakang
perahu. "Thio Heng tee, terima kasih untuk bantuanmu," katanya.
"Serahkan kemudi kepadaku dan pergilah kalian mengaso digubuk
perahu."
Coei San lalu menyerahkan
kemudi kepadanya dan sambil menuntun tangan si nona, ia menuju kegubuk perahu.
Tapi baru berjalan beberapa tindak, se-konyong2 sebuah gelombang, sebesar bukit
menghantam dengan dahsyatnya. Karena serangan itu datang secara sangat
mendadak,
sekali ini Coei San tidak
dapat mempertahankan dirinya lagi. Badan mereka tersapu dan terpental keluar
perahu .
Dilain detik tubuh Coei San
sudah berada ditengah udara dan melayang turun keatas gelombang! Dalam
bingungnya, ia berhasil menjambret pergelangan tangan So So. Pada saat itu, ia
hanya ingat untuk binasa bersama dengan si nona
Tapi baru saja tangan kirinya
mencekal pergelangan tangan nona In, sekonyong-konyong sehelai tambang
menyambar dan melibat lengan tangan kanannya. Hampir berbareng, ia merasa
badannya ditarik kebelakang, akan kemudian, bersama sama So So, jatuh diatas
papan perahu. Yang menolong mereka adalah Cia Soen sendiri. Pada saat yang
sangat genting, Cia Soen menjemput seutas tambang layar yang kebetulan
menggetetak didekat kakinya, sehingga pada detik terakhir, jiwa kedua orang muda
itu ketolongan.
Itulah kejadian yang sangat
diluar dugaan, "Sungguh berbahaya !" mengeluh Cia Soen. Kalau tambang
itu tidak kebetulan berada didekatnya, biarpun mempunyai kepandaian yang
sepuluh kali lipat lebih tinggi, ia tentu tidak berdaya.
Dengan merangkak, Coei San dan
So So lalu masuk kedalam gubuk perahu. Perahu terus ter ombang-ambing, sebentar
seperti berada dipuncak gunung dan sebentar seperti masuk kedalam lembah. Tapi
bagi mereka yang seolah-olah baru saja bangun dari kuburan, semua bahaya itu
tidak ada artinya lagi. "Ngoko," bisik nona In. "Jika kita bisa
hidup terus, aku tak mau berpisahan dengan kau untuk selama-lamanya."
"Akupun justeru begin
mengatakan begitu," kata Coei San. "Langit diatas, bumi dibawah,
diantara manusia dan didasar lautan, kita akan tetap bersama-sama."
Si nona menghela napas.
"Benar," bisiknya pula. "Langit diatas, bumi dibawah, diantara
manusia dan didasar lautan, kita akan tetap bersama-sama."
Sementara itu, Cia Soen
mengemudikan perahu sambil mengomel panjang pendek. Dalam menghadapi badai dan
gelombang, kepandaiannya yang sangat tinggi tidak banyak menolong.
Sesudah mengamuk tujuh jam
lamanya, barulah topan mereda. Awan hitam perlahan-lahan buyar dan
bintang-bintang mulai muncul lagi diatas langit. Coei San dan So So keluar dari
gubuk perahu. "Cia Cianpwee, terima kasih banyak untuk
pertolonganmu," kata pemuda itu.
"Tak usah rewel,"
jawabnya. "Kita bertiga hampir-hampir mampus."
Coei San menghela napas dan
lain menggantikan memegang kemudi. Sesudah bertahan mati matian hampir semalam
Cia Soen pun sudah lelah sekali dan ia segera pergi kegubuk perahu untuk
mengaso.
So So duduk didamping
kecintaannya dan dongak mengawasi bintang Paktauw yang tengah memancarkan
sinaraya. "Ngoko, perahu ini tengah menuju kejurusan utara," katanya.
"Benar," jawabnya.
"Aku ingin sekali dia menuju kebarat supaya kita bisa pulang"
"Kalau dia berbalik
ketimur, entah kemana kita akan pergi," kata pula nona In.
"Ketimur masuk bilangan
samudera," kata Coei San. "Kalau kita berada ditengah lautan tujuh
delapan hari saja, tanpa air, kita akan...."
"Kudengar di lautan
Tanghay tardapat sebuah pulau dewata," memutus si nona. "Orang kata,
dipulau itu terdapat dewa-dewi yang hidup abadi. Siapa tahu, kalau kita
mendarat dipulau itu, kita akan tertemu dengan para dewa dan dewi ....."
Sambil mengawasi bima sakti
yang membentang dilangit, ia berkata pula: "Mungkin sekali perahu ini akan
berlayar terus, sehingga tiba dibimasakti dan kita dapat menyaksikan pertemuan
diatas jembatan burung antara Goe Long dan Cit Lie." ( Bima-sakti adalah
sehelai sinar terang diwaktu malam yang membentang dilangit, terdiri daripada
rangkaian bintang-bintang).
"Ya," kata Coei San.
"Kita boleh menyerahkan perahu ini kepada Goe Long, supaya ia dapat
menemui Cit Lie disembarang waktu dan tidak usah menunggu Cit gwee Cit sek
(tanggal tujuh Cit lie)."
Si nona bersenyum.
"Ngoko, jika perahu dihadiahkan kepada Goe long, alat pengangkutan apakah
yang dapat digunakan kita jika kita ingin bertemu ?" tanyanya.
"Langit diatas, bumi
dibawah, sekali bersama sama, kita telah bersama-sama," jawabnya.
"Perlu apa kita menyeberangi bima-sakti ?"
In So So tertawa, paras
mukanya seakan-akan sekuntum bunga yang baru mekar Dengan sikap kemalu-maluan,
ia mencekal erat-erat tangan Coei San.
Kedua orang mula itu saling
mencekal tangan dengan rasa bahagia. Banyak sekali yang ingin dikatakan mereka,
akan tetapi, mereka tak tahu apa yang harus dikatakan terlebih dahulu. Memang
juga, manakala dua manusia sedang mencintai satu sama lain, kata-kata tidak
perlu sama sekali.
Dengan lirikan mata saja,
mereka sudah bicara banyak, karena dalam keadaan sedemikian, yang satu tahu apa
yang mau dikatakan oleh yang lain.
Entah sudah selang berapa lama
barulah Coei San menunduk dan melirik kecintaannya. Ia terkejut, karena kedua
mata si nona kelihatan basah dan paras mukanya penuh kedukaan. "Mengapa
kau menangis ?" bisiknya.
"Diantara manusia atau
dibawah lautan mungkin sekali aku dapat berkumpul dengan kau." jawabnya
perlahan. "Tapi dihari kemudian, sesudah kita meninggal dunia, kau masuk
di surga, aku... aku ....akan masuk keneraka !"
"Omong kosong!"
bentak Coei San dengan suara menyinta.
So So menghela napas dan
berkata dengan suara menyesal: "Aku sendiri mengerti ......aku mengakui, bahwa aku telah
melakukan banyak sekali perbuatan jahat dan banyak membunuh manusia secara
sembarangan."
Coei San terkejut. Diam diam
dia merasa, bahwa memang benar dia tidak pantas menikah dengan seorang wanita
yang sepak terjangnya menyeleweng seperti So So. Akan tetapi karena rasa
cintanya sudah mendalam dan juga sebab dalam menghadapi bahaya besar, orang
tidak menghitung hitung kejadian dihari kemudian, maka ia lantas saja membujuk
dengan suara lemah lembut:
"Jika kau ingin
memperbaiki kesalahanrnu, sekarang masih belum terlambat. Mulai dari sekarang,
kau harus berbuat kebaikan guna menebus segala dosamu." So So tidak
menyahut. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia menyanyi dengan perlahan.
Yang dinyanyikannya adalah
lagu Sam poyang, sebuah lagu rakyat yang sangat terkenal pada jaman kerajaan
Goan. Lagu itu biasa dinyanyikan rakyat dari selatan sampai diutara, hanya kata
katanya banyak berbeda satu sama lain.
Sambil menahan napas Coei San
mendengar nyanyian itu yang seperti berikut
"Dia dan aku,
Aku dan dia.
Diantara kita, terdapat binyak
rintangan.
Bagaimana dapat mencapai
sebuah pernikahan?
Akhirnya mati didepan keraton
Giam ong.
Ai ya ! Biarkanlah !
Mengambil alu untuk
menumbuknya.
Mengambil gergaji untuk
menggargajinya.
Mengambil penggilingan untuk
menggilingnya,
Mengambil kuali untuk
menggorengnya.
Ai ya ! Biarkanlah !
Apa yang terlihat, manusia,
hidup mendapat hukuman,
Belum pernah terlihat, setan
jadi perantaian. Ai ya ! Biarkanlah !
Alis terbakar, perhatikan saja
mata,
Alis terbakar, perhatikan saja
mata."
Nyanyian itu disambut dengan
sorak sorai Cia Soen dari dalam gubuk perahu. "Bagus ! Bagus sungguh
nyanyian itu !" teriaknya "In Kouwnio, kau lebih menyocoki aku
daripada Thio Siang kongmu yang berlagak mulia !"
"Ya, aku dan kau adalah
manusia-manusia jahat dan kita pasti akan mati secara tidak baik," kata si
nona.
"Kalau kau mati secara
tidak baik, akupun begitu," bisik Coei San.
So So kaget tercampur girang.
Ia mengawasi pemuda itu dan hanya dapat mengeluarkan sepatah kata: "Ngoko
...."
Pada esokan paginya, dengan
menggunakan Long gee pang, Cia Soen membinasakan seekor ikan Yang beratnya
belasan kati dan yang dapat menangsal perut selama dua hari. Karena lapar, biar
pun ikan mentah, mereka makan dengan bernapsu. Untung toya itu yang dipasangi
paku-paku seperti gaetan merupakan alat yang sangat cocok untuk memukul ikan.
Biarpun diatas perahu sudah tidak ketinggalan setetes air tawar, tapi dengan
menelan minyak dan cairan yang keluar dari badan ikan mereka masih dapat
mempertahankan diri.
Arus air terus mengalir
keutara dan siang malam, mereka dapat melihat bintang kutub Utara yang
memancarkan sinarnya berhadapan dengan kepala perahu.
Diwaktu siang, matahari muncul
dari sebelah kiri perahu dan diwaktu sore, menyelam dari sebelah kanan.
Selama belasan hari. keadaan
berlangsung seperti itu tanpa perobahan.
Semakin lama hawa udara jadi
semakin dingin. Dengan memiliki Lweelang yang tinggi, Cia Soen dan Coei San
masih dapat mepertahankan diri. Tapi tidak begitu dengan In So So. Ia kedinginan,
sehingga mukanya berubah pucat. Cia Soen dan Coei San membuka jubah panjang
mereka dan memberikannya kepada sinona, tapi pakaian yang tidak seberapa tebal
itu, tidak banyak menolong.
Dengan sekuat tenaga si nona
coba menguatkan diri bertahan dan sebisa-bisanya harus memperlihatkan paras
gembira. Tapi Coei San yang tahu, bahwa kegembiraan itu adalah kegembiraan yang
dibuat-buat, jadi makin bingung. Ia mengerti, kalau perahu terus menuju keutara
beberapa hari lagi, kecintannnya bakal mati ke dinginan.
Tapi benar juga orang kata,
Langit tidak memutuskan jalanan manusia.
Secara tidak diduga duga,
perahu berpapasan dengan sekelompok biruang dan dengan menggunakan Long gee
pang, Cia Soen telah membinasakan beberapa antaranya.
Kulit biruang merupakan selimut
hangat, sedang dagingnya dapat dimakan. Tak usah dikatakan, mereka tertiga jadi
girang bukan main.
Malam itu, mereka berkumpul
dikepala perahu sambil mengawasi langit.
"Bintang apa yang paling
berfaedah dalam dunia ini?" tanya So So sambit tertawa.
Cia Soen dan Coei San tertawa
geli. "Biruang" jawab mereka hampir berbareng.
Sesaat itu tiba-tiba terdengar
suara "ting tung ting tung !"
Serentak meraka memasang
kuping, mendadak paras muka Cia Soen berubah pucat. "Es Es yang mangambang
!" katanya deagan suara parau. Ia memukul mukul air dengan senjatanya dan
terdengar suara terpukulnya kepingan-kepingan es.
Hati mencelos, dingin bagaikan
es. Mereka tahu, bahwa jika perahu terus menuju keutara, pada akhirnya dia akan
terjepit diantara balokan balokan es dan tidak dapat bergerak lagi. Itu akan
berarti, bahwa merekapun tak akan bisa hidup lebih lama lagi. Malam itu mereka
tak dapat pulas, kuping mereka terus mendengari "ting tung ting tung"
yang tak henti hentinya.
Pada esokan paginya,
kepingan-kepingan es sudah jadi lebih besar, sudah sebesar mangkok, sedang
suaranya pun makin nyaring, Cia Soen tertawa getir seraya berkata: "Hai!
Aku bermimpi ingin membuka rahasia To liong to. Tapi siapa nyana, sebelum
berhasil, aku sudah jadi manusia es."
Jantung sinona berdebar debar.
Ia mencekal tangan Coei San erat-erat.
Tiba-tiba Cia Soma mengangkat
To liong to dan membentak dengan suara gusar. "Paling benar lebih dulu aku
mengantarkan kamu kekeraton Raja Naga!" Tapi sudah mengangkat golok, ia
tak tega dan sambil menghela napas, ia pergi kegubuk perahu untuk menaruh golok
mustika.
Empat hari lewat lagi dan
selama empat hari Itu, perahu terus menuju keutara. Balokan es jadi semakin
besar, sekarang sebesar meja atau rumah kecil. Mereka merasa, bahwa kebinasaan
su dah berada didepan mats dan dalam menghadapi kebinasaan, mereka jadi nekad
dan tak mau memikir panjang-panjang lagi. Malam itu kira-kira tengah malam,
sekonyong-konyorg terdengar suara gedubrakan dan perahu bergoncang hebat.
"Bagus ! Bagus sungguh !" teriak Cia Soen, "Gunung es !"
Coei San dan So So saling
mengawasi sambil bersenyum getir. "Inilah saat terakhir!" pikir
mereka. Tiba-tiba mereka saling memeluk erat erat. Mereka ingin mati dalam
keadaan begitu, dilain saat, mereka merasa air es sampai dilutut.
"Tamatlah! perahu sudah pecah !"
Sekonyong-konyong terdengar
teriakan Cia Soen: "Naik keatas gunung es! Bisa hidup sehari, biar kita
hidup sehari! Langit mau membinasakan aku, aku melawan!"
Kedua orang muda itu tersadar.
Buru buru mereka melompat kekepala perahu. Disamping perahu berdiri sebuah
gunung es yang dibawah sinar rembulan, memancarkan sinar hijau yang dingin luar
biasa. Itulah pemandangan yang indah tapi menakuti.
Cia Soen berdiri disebuah
undakan, dibagian bawah gunung es itu, dan ia menyodorkan senjata nya untuk
menyambut kedua orang muda itu. Dengan tangan kiri So So menekan Long gee pang
bersama sama Coei San, ia melompat naik ke gunung es itu.
Perahu itu ternyata terlubang
besar dan selang kira-kira seminuman teh, sudah tenggelam kedalam laut.
Cia Soen segera menggelar
selembar kulit biruang diatas es dan mereka bertiga lantas saja duduk dengan
berendeng pundak. Jika berada di atas bumi, besar gunung es itu kira-kira
bersamaan dengan sebuah bukit kecil, dengan garis tengah kurang lebih delapan
belas tombak dan tingginya kira-kira lima tombak.
Cia Soen mendongak sambil
mengeluarkan teriak nyaring, seolah-olah sedang menantang musuh, "Berdiam
diperahu yang sempit, dadaku menyesak," katanya. "Tempat ini lebih
cocok untuk aku melemaskan urat," berkata begitu, ia berjalan mundar
mandir dan sungguh heran, kakinya tidak terpeleset meskipun permukaan es licin
luar biasa.
Coei San mengerti, dia sedang
menantang Langit yang dianggapnya sangat tidak adil terhadapnya. Dalam
menghadapi kebinasaan, rasa penasarannya semakin menjadi.
Dengan menuruti tiupan angin
dan arus air, gunung es itu terus bergerak kejurusan utara.
Pada suatu hari, selagi mereka
bertiga duduk terpekur, tiba-tiba Cia Soen tertawa terbahak bahak dan berkata
dengan suara mengejek: "Langit telah mengirim sebuah perahu untuk
menyambut kita guna bertemu dengan Pak kek Siang ong (Dewa Kutub Utara)."
Mendengar itu So So hanya
bersenyum. Ia tidak menghiraukan andaikata langit bakal rubuh asal saja
kecintaannya berada didampingnya. Tapi Coei San mengerutkan alis dan pada paras
mukanya terlukis sinar kedukaan.
Selang tujuh delapan hari,
sinar es yang disoroti matahari adalah demikian hebat berkilauannya sehingga
mata mereka dirasakan sakit sekali. Oleh karena begitu, diwaktu siang mereka
menyelimuti kepala dengan kulit biruang sambil merebahkan diri diatas es dan
diwaktu malam, barulah mereka bangun untuk menangkap atau memburu biruang.
Sungguh heran, semakin keutara
siang hari jadi
semakin panjang, sehingga
belakangan, jangka waktu dimalam hari hanya beberapa jam saja.
Makin lama Coei San dan So So
jadi makin lelah dan paras muka mereka makin pucat. Cia Soen sendiri kelihatan
seperti seorang lupa ingatan dan pada kedua matanya terlihat sinar luar biasa.
Kadang-kadang, kalau datang kalapnya, ia menuding-nuding tangan dan
mencaci-caci, seolah-olah manusia edan.
Pada suatu malam, karena tak
dapat pulas di waktu siang, Coei San tidur sambil menyender di es, tiba-tiba
dalam pulasnya, ia mendengar jeritan So So: "Lepas Lepas!" Ia tersadar
dan melompat bangun dan melihat Cia Soen sedang memeluk kecintaannya dengan
mulut mengeluarkan suara "ho ho ho," seolah olah bunyi binatang buas.
Sesudah menyaksikan lagak Cia
Soen yang luas biasa selama beberapa hari Coei San merasa sangat berkuatir. Hanya
ia tak nyana bahwa orang itu dapat berbuat begitu rupa terhadap So So.
"Lepas !" bentaknya dengan gusar, sambil melompat maju.
Cia Soan tertawa
terbahak-bahak. "Dalam menghadapi kebinasaan, aku tak mergenal segala
peraturan bau," katanya. "Waktu masih berada diatas bumi, aku sudah
tidak mengenal Lie gie liam tie. Apa lagi sekarang?"
Lie gie liam tie berarti adat
istiadat, pribudi putih bersih tak korup dan mmgenal malu, yaitu empat prinsip
dari Kwan Tong.
"Lepas!" teriak pula
Coei San dengan gusar. "Jika tidak, aku akan mengadu jiwa denganmu."
"Apamu dia? Jangan
campur-campur urusanku!" jawabnya dengan suara dingin. Ia mengeraskan
pelukannya, sehingga So So mengeluarkan jeritan kesakitan.
"Dia isteriku," kata
Coei San dengan bingung. "Cia Cianpwee, seorang laki-laki lurus berjalan
lurus. Biarpun kita sekarang berada diatas gunung es, tapi janganlah kau
melakukan perbuatan yang hanya akan memalukan diri sendiri."
Cia Soen tertawa
terbahak-bahak. "Aku si orang she Cia belum pernah menghiraukan jahat atau
baik," katanya. Andai kata benar kau suami nya, kau tetap tidak boleh
campur-campur dan harus turut segala perintahku. Jika berani membandal, aku
akan hajar kau."
Coei San tak dapat menahan
sabar lagi. Baiklah, biar kita bertiga mampus bersama sama!" bentaknya
seraya menghantam punggung Cia Soen yang menangkis dengan tangan kirinya. Tubuh
Coei San bergoyang-goyang dan karena licinnya es, ia tak dapat berdiri tetap
dan lantas saja terguling. Cia Soon mengangkat kaki kanannya dan menendang pinggang
pemuda itu. Tapi Coei San pun bukan anak kemarin dulu. Ia menekan es dengan
satu tangannya dan melompat bangun, sedang tangan yang lain menotok jalan darah
dilutut Cia Soen. Pada detik yang berbahaya, cepat bagaikan tandangannya,
tangan kanannya memukul kepala Coei San, sedang tangan kirinya memeluk pinggang
si nona.
Sesaat itu tangan kiri So So
mendapat kemerdekaan, maka buru-buru ia menggunakan dua jerijinya untuk menotok
jalan darah Soei touw hiat ditenggorokan orang. Tapi, diluar dugaan, tanpa
menghiraukan serangan itu, Cia Soen terus mengerahkan Lweekang dan memukul
kepala Coei San. Dengan kedua tangan, pemuda itu menangkis dan ia terkesiap,
karena pukulan itu berat luar biasa, sehingga dadanya menyesak.
Dilain pihak, nona In pun
tidak kurang kaget nya. Kedua jerijinya yang menotok Soei touw hiat seperti
membentur benda yang licin dan serta didorong balik dengan serupa tenaga yang
tidak kelihatan. Si nona mencelos hatinya, sebab, walaupun seorang yang
mempunyai ilmu weduk Kim ciong to atau Tiat po san tak akan dapat menahan
totokannya itu. Dari sini dapat dibayang kan, betapa tinggi kepandaian Cia
Soen.
Waktu itu, badan So So dan
tangan kanannya di peluk keras-keras dan hanya tangan kirinya yang merdeka.
Sesudah totokannya gagal, dengan pertolongan sinar es, ia lihat muka Coei San
yang kedua matanya berwarna merah seperti darah dan seolah-olah mengeluarkan
api. Pada detik itu. mendadak ia ingat pengalamannya waktu mengikuti ayahnya
memburu harimau dihutan. Ia ingat bahwa kedua mata seekor harimau yang terluka
juga berwarna merah darah. Sepulangnya dari perburuan, sering-sering ia merasa
kasihan terhadap binatang itu.
Sekarang, melihat Cia Soen
yang menyerupai macan edan rasa kasihannya timbul dan ia berkata pada dirinya
sendiri: "Dia biasanya ramah tamah dan sopan santun. Ia beradat aneh, tapi
keanehan itu adalah akibat pengalaman getir dalam penghidupannya. Tapi biar
bagaimanapun juga, ia seorang luar biasa mahir ilmu surat dan ilmi silat. Bahwa
sekarang ia kalap adalah karena otaknya yang kurang beres." Selagi memikir
begitu, tiba-tiba disebelah utara muncul sinar berkredepan yang beraneka warna
dan indah luar biasa. "Cia Cian pwee," katanya dengan suara lemah
lembut. "Kau mengasolah. Lihatlah! Ditepian langit muncul sinar yang sangat
luar biasa!"
Cia Soen menengok kearah yang
ditunjuk si nona. Ternyata, diantara kegelapan disebelah utara itu muncul
ribuan, bahkan laksaan, sinar terang yang sangat aneh, sebentar besar, sebentar
kecil, sedang warnanya yang kuning campur ungu dan dalam sinar ungu itu berkredepan
sinar keemas emasan.
Cia Soen terkesiap, ia
melepaskan pelukannya dan menarik pulang tangannya yang menindih ke dua tangan
Coei San. Dilain saat, sambil menggendong tangan, ia berjalan kepinggir gunung
es dan memandang kearah utara dengan mata membelalak. Ternyata, mereka sudah
mendekati Kutub Utara. Sinar yang luar biasa itu adalah pemandangan yang hanya
terdapat didaerah kutub. Pada jaman itu belum pernah ada orang Tionghoa yang
pernah melihat pemandangan tersebut.
Sambil mencekal tangan kecintaannya,
Coei San mengiwasi orang anah itu dengan hatiri berdebaran. Malam itu, Cia Soen
tidak mengganggu lagi. Lama sekali ia berdiri terpaku disitu sambil menikmati
sinar-sinar menakjubkan itu.
Pada keesokan paginya,
sinar-sinar itu menghilang dari pemandangan. Cia Soen rupanya merasa jengah
karena kejadian semalam, sehingga seharian suntuk ia tak pernah berani melirik
sinona, sedang gerak-geriknya pun kelihatan kikuk sekali.
Beberapa hari kembali lewat
dan mereka terus berlayar kejurusan utara. Sementara itu, gilanya Cia Soen
mulai kumat lagi. Semakin hari caciannya terhadap langit jadi semakin hebat.
Sedang dari matanya keluar pula sinar mata binatang buas. Coei San dan So So
memperhatikan perubahan perubahan itu dengan hati berkuatir dan mereka selalu
berwaspada untuk menghadapi segala kemungkinan.
Hari itu sudah lewat jam tujuh
malam, tapi matahari yang menyerupai sebuah bola merah masih tergantung
ditepian laut sebelah barat dan tak juga mau menyelam. Mendadak Cia Soen
melompat bangun dan sambil menuding matahari, ia membentak: "Kau juga mau
menghina aku? Oh, matahari jika aku memiliki busur dan anak panah, dengan
sekali memanah, aku dapat menembuskan badan mu!" Tiba-tiba, dengan
tinjunya ia menghantam es yang jadi somplak dan kemudian, dengan sekuat tenaga,
ia menimpuk matahari dengan potongan es itu, yang terbang puluhan tombak dan
kemudian jatuh dilaut. Ia mengutangi lagi perbuatan itu, sehingga dalam tempo
tidak terlalu lama, ia sudah melontarkan tujuh puluh lapis potongan es. Sesudah
itu, sambil berteriak-teriak, ia menginjak injak gunung es itu, sehingga
kepingan-kepingan es pada muncrat keatas.
"Cia Cianpwee, kau
mengasolah dulu," membujuk So So dengan suara lemah lembut. "Jangan
kau meladeni matahari itu."
Cia Soen menengok dan dengan
mata merah, ia menatap wajah si nona. So So ketakutan, tapi ia memaksakan diri
untuk bersenyum.
Sekonyong konyong sambil
berteriak keras Cia Soen melompat dan memeluki nona. "Mampus kau!
Mampus!" jeritnya.
So So memberontak, tapi
sedikitpun tidak bergeming. Coei San kaget bukan main dan tanpa mengeluarkan
sepatah kata. ia menghantam jalan darah Sin tohiat dipunggung Cia Soen. Tapi
tinju yang hebat itu seolah-olah memukul besi. Sementara itu, sambil
mengeluarkan suara "ho ho ho" seperti bunyi binatang buas, Cia Soen
mengeraskan pelukannya.
"Lepas! Jika kau tak
lepas, aku akan menggunakan senjata !" teriak Coei San.
Tapi orang kalap itu tetap
tidak meladeni.
Cepat bagaikan kilat Coei San
mencabut Poan koan pit dari pinggangnya dan lalu menotok jalan darah Kian kin
hiat dipundak kanan serta Siauw hay hiat pada lengan kiri Cia Soen. Tapi dia
sungguh-sungguh lihay. Jika seorang ahli silat biasa kena totokan itu, sudah
pasti kedua tangannya tidak akan dapat digunakan lagi. Tapi ia hanya merasa
kesemutan dan dengan sekali menjambret, ia berhasil merampas Poan koan pit yang
lalu dilontarkan kelaut.
Tapi serangan Coei San bukan
tidak ada hasilnya. Totokan itu melonggarkan pelukan Cia Soen. Nona in
memberontak dan berhasil memerdekakan dirinya. Tapi hampir berbareng, sambil
mengbantam leher Coei San dengan telapak tangan kirinya, Cia Soen coba
menyengkeram badan sinona dengan tangan kanan. Dengan satu suara
"bret!" kulit biruang yang menyelimuti badan So So, menjadi robek.
Coei Saa tahu, bahwa jika ia melompat mundur, kecintaannya pasti akan
tertangkap lagi. Maka itu sambil mengerahkan seantero Lwee kangnya, ia
menyambut tangan lawan dengan pukulan Bian ciang.
Begitu lekas kedua tangan
kebentrok, ia merasa tangannya diisap dengan semacam tenaga yang
dahsyat luar biasa, sehingga
tidak dapat dilepaskan lagi. Ia tidak dapat berbuat lain dari pada mengempos
semangat untuk coba melawan. Tiba tiba ia merasakan menyerangnya semacam hawa
yang sangat panas dari tangan lawan sehingga pikirannya kalang-kabut dan
kepalanya pusing.
Inilah untuk ketiga kalinya
Coei San mengadu tenaga dengan Cia Soen. Dalam dua pertandingan yang lebih
dulu, ia belum pernah mengalami serangan yang seaneh itu.
Dilain detik, dengan satu
tangannya terus menempel pada tangan pemuda itu, Cia Soen miringkan badannya
dan coba menjambret si nona. Dengan cepat nona In melompat kebelakang. Selagi
tubuhnya masih berada ditengah udara. tiba-tiba Cia Soen menendang es, sehingga
beberapa keping terbang dan mengenakan lutut kanan si nona, yang sambil mengeluarkan
teriakan kesakitan, rubuh terguling. Hampir berbareng, Cia Soen mengebas
tangannya yang menempel dengan tangan Coei San, sehingga pemuda itu terlempar
beberapa tombak jauhnya dan jatuh dipinggir gunung es, ia terpeleset dan
tergelincir kedalam air.
"Celaka !" Coei San
mengeluarkan seruan tertahan. Tapi berkat kepandaiannya yang sudah mencapai
taraf sangat tinggi dalam keadaan yang sangat berbahaya, ia masih keburu
mencabut Gin kauw dari pinggangnya yang lalu digunakan untuk menotok es, dan
dengan meminjam tenaga , badannya kembali melesat keatas.
Selagi kedua kakinya hinggap
diatas es, hatinya berdebar-debar, karena ia merasa pasti, bahwa So So akan
jatuh lagi kedalam tangannya orang edan itu.
Tapi diluar dugaan dibawah
sinar rembulan, ia lihat Cia Soen sedang menekap kedua matanya dengan tangan
sambil mengeluarkan suara kesakitan, sedang So So sendiri menggeletak diatas
es. Buru buru Coei San membangunkannya. Sambil memeluk leher pemuda itu, si
nona berbisik : "Aku.... aku telah lukakan matanya."
Mendadak, sambil mengaum
bagaikan harimau, Cia Soen menubruk, tapi untung juga, sambil memeluk
kecintaanaya dan dengan bergulingan Coei San dapat menyelamatkan diri.
Tiba-tiba terdengar beberapa kali suara keras dan kedua tangan Cia Soen
kelihatan amblas didalam es yang beratnya seratus kati lebih. Ia berdiri diam
sambil memasang kuping untuk mendengar dimana adanya kedua orang muda itu, Coei
San dan So So mengerti apa artinya itu, perlahan-lahan menyenubunyikan diri
didalam sebuah lubang yang terdapat di gunung es itu dan mengawasi si orang
edan sambil menghela napas. Melihat darah mengalir dari kedua mata Cia Soen,
Coei San mengerti, bahwa pada saat berbahaya, So So sudah menimpuk dengan jarum
emasnya dan sekarang orang itu sudah menjadi buta.
Tapi, biarpun sudah tak dapat
melihat, kuping orang kalap itu tajam luar biasa. Lama ia berdiri bagaikan
patung. Jika kedua orang muda itu mengeluarkaw suara sedikit saja, ia pasti
akan menyerang sehebat-betatnya
Untung juga suara gelombang,
angin dan suara terbenturnya balokan balokan es pada gunung es itu telah
menutupi suara napas mereka. Andaikata mereka berada dalam sebuah kamar
tertutup diatas daratan sudah boleh dipastikan mereka tak akan terlolos dari
tangan Cia Soen.
Sesudah memasang kuping
beberapa lama tanpa berhasil, dalam kegusaran, kesakitan dan ketakutan, Cia
Soen kalap lagi. Sambil berteriak-teriak, ia memukul-mukul dan
menendang-nendang, sambil menimpuk kian kemari dengan potongan-potongan es.
Dengan paras muka pucat, Coei San dan So So saling peluk dalam lubang itu.
Mereka yakin, sepotong es saja sudah cukup untuk mengambil jiwa mereka.
Cia Soen mengamuk kurang lebih
setengah jam, tapi kedua orang muda itu merasakan seperti juga setengah tahun.
Beberapa saat kemudian, ia berhenti dan mendadak berkata dengan suara lemah
lembut: "Thio Siangkong, In Kauw Nio, barusan aku kalap dan telah
melakukan gila-gila. Kuharap kalian sudi memaafkan"
Sudah berkata begitu. ia duduk
untuk menunggu jawaban.
Thio Coei San adalah seorang
yang mulia dan murah hati, tapi iapun seorang pintar yang sangat hati-hati,
sehingga tidak gampang diakali orang. Nona In yang licin dan banyak akalnya,
lebih-lebih sukar diabui. Mereka tidak meladeni perkataan Cia Soen dan tetap
berwaspada sambil bernapas pelan-pelan. Sesudah mengulangi perkataannya
beberapa kali, Cia Soen menghela napas panjang seraya berkata: "Jika
kalian tak sudi memberi maaf, akupun tidak bisa memaksa lagi," Sehabis
berkata begitu, ia menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba dalam otak Coei San
berkelebat satu peringatan. Ia ingat, bahwa sebelum mengeluarkan jaritannya
yang dahsyat dipulau Ong poan San, Cia Soen telah menarik napas seperti itu.
Hatinya mencelos, menyumbat kuping sudah tidak keburu lagi. Dengan cepat ia
membetot tangan sinona dan melompat kedalam air.
Sebelum si nona mengerti
maksudnya, Cia Soen sudah mengeluarkan teriakannya yang dahsyat. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, pemuda itu membetot pula tangan kecintaannya dan
mereka menyelam kedalam air.
Dengan Gin kauw yang dicekel
di tangan kiri, Coei San menggaet pinggiran gunung es, sedang tangan kanannya
memegang tangan nona In.
Tapi, biarpun kepala berada
dibawah permukaan
air, kuping mereka masih
mendengar juga teriakan-teriakan yang hebat luar biasa. Gunung es terus maju
keutara. Diam-diam Coei San bersyukur, bahwa yang dilemparkan Cia Soen adalab
Poan koan pit, sehingga ia masih dapat menggunakan Gin Kauw untuk menggaet
gunung es itu. Andaikata ia kehilangan Gin Kauw, maka meskipun dapat
menyelamatkan diri dari teriakan Cia Soen, mereka pasti akan mati didalam air,
sebab ditinggalkan gunung es itu yang terus bergerak maju.
Sesudah lewat. beberapa lama,
mereka menim but dipermukaan air untuk menyedot hawa udara yang segar. Cia Soen
pun sudah berhenti berteriak.
Teriakan-teriakan itu rupanya
telah meminta banyak tenaga dan dengan letih, ia bersila diatas es sambil
menjalankan pernapasannya. Coei San lantas saja menarik tangan So So dan pelan
pelan mereka merayap naik keatas.
Sesudah duduk ditempat agak
jauh dari Cia Soen, mereka mencabut bulu biruang untuk menyumbat kuping.
Mereka mengerti, bahwa setiap
detik mereka menghadapi bahaya besar.
Matahari belum juga menyelam
karena mereka sudah berada didaerah kutub, dimana siang dan malam berbeda jauh
dengan lain bagian bumi.
Beberapa saat kemudian, So So
yang basah kuyup tak dapat mempertahankan dirinya lagi. Badannya bergemetaran
dan giginya bercakrukan.
Tentu saja suara itu segera
terdengar Cia Soen, yang sambil membentak keras, lalu menghantam dengan Long
gee pang. Buru-buru mereka menyingkirkan diri. Dengan satu suara nyaring luar
biasa, gunung es itu somplak dan tujuh delapan balokan es jatuh kedalam laut.
Sesudah gagal dengan
pukulannya yang pertama, Cia Soen segera memutar senjatanya bagaikan titiran.
Begitu diputar, senjata itu yang panjangnya setombak lebih segera mengeluarkan
tenaga mendorong yang sangat hebat dalam jarak tujuh delapan tombak.
Coei San dan So So terpaksa
mundur terus dan dalam sekejap mereka sudah berdiri di pinggir gunung es.
Cia Soen teru� mendesak .....
"Bagaimana baiknya?"
bisik si nona dengan suara parau.
Sekali lagi Coei San membetot
tangan si nona dan mereka segera melompat pula kedalam air.
Selagi badan mereka masih
berada ditengah udara, terdengar suara nyaring dan beberapa kepingan es
menghantam punggung mereka yang dirasakan sakit sekali. Hampir berbareng dengan
jatuhnya mereka kedalam air, sebalok es, sebesar meja, jatuh didekat mereka.
Dengan cepat Coei San menjambretnya dan dilain saat, mereka sudah duduk diatas
balokan es itu.
Bagaikan seorang gila, Cia Soen
menimpuk kalang kabut dengan potonngan-potongan es, tapi sebab matanya buta dan
balokan es yang diduduki kedua orang muda itu terus bergerak maju, maka
timpukannya meleset semua.
Karena balokan es itu banyak
lebih kecil dari gunung es, maka jalannyapun banyak lebih cepat, sehingga tak
lama kemudian, Coei San dan So So sudah meninggalkan Cia Soen jauh sekali. Tapi
karena kecilnya, balokan es itu tak dapat menahan berat badan dari dua orang
dan sebagian tubuh mereka masuk kedalam air.
Untung juga, tak lama kemudian
mereka bertemu dengan sebuah gunung es Cepat-cepat mereka menggayu dengan
menggunakan tangan untuk mendekati gunung es itu dan kemudian merapat naik
keatasnya.
"Langit tidak memutuskan
jalanan orang, tapi langit telah memberikan sangat banyak penderitaan kepada
kita," kata Coei San sambil tertawa getir. "So So bagaimana
keadaanmu?"
"Sayang sungguh kita
tidak membekal daging biruang," kata sinona. "Apa Gin Kauwmu
hilang?"
Dilain saat, mereka tertawa
geli, karena mereka baru merasa, bahwa bulu biruang yang digunakan untuk
menyumbat kuping, belum dicabut, sehingga masing-masing tidak dapat mendengar
apa yang dikatakan oleh pihak lain.
"So So," kata Coei
San sesudah mereka mencabut bulu biruang dari kuping mereka. "Andaikata
kita mesti mati kitapun tak akan berpisahan lagi."
"Ngoko," kata sinona
dengan suara aleman. "Aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Kuharap kau
akan menjawab dengan sejujurnya. Apakah kau akan tetap mencintai aku, andaikata
kita betada didaratan, tanpa mengalami penderitaan yang hebat ini ?"
Coei San tertegun. Beberapa
saat kemudian, barulah ia dapat menjawab: "Aku rasa, kita tidak akan bisa
bersahabat begitu cepat. Juga .... juga .... kita pasti akan mendapat banyak
rintangan. kita barasal dari lain partai...."
So So manghela napas,
"Akupun berpendapat begitu," katanya. "Itulah sebabnya, mengapa
pada waktu kau bertanding pertama kali dengan Cia Soen, aku sudah tidak mau
melepaskan jarum emas, biarpun didesak berulang-ulang olehmu."
"Ya, tapi mengapa
begitu?" tanya Coei San dengan rasa heran, "Aku semula menduga, bahwa
kau menolak untuk melepaskan jarum, karena kuatir melukakan aku yang waktu itu
sedang bertanding ditempat gelap."
"Bukan, bukan
begitu," bisik sinona. "Kalau waktu itu aku melukakan dia dan kita
dapat kembali kedaratan, kau tentu akan meninggalkan aku!"
Coei San kaget mendengar
pengakuan. itu. "So So!" serunya.
"Mungkin kau akan
gusar," kata sinona. "Tapi tujuanku yang satu-satunya adalah supaya
tidak berpisahan dengan kau. Keinginan Cia Soen supaya kita mengawaninya
dipulau yang terpencil, cocok sekali dengan keinginanku,"
Bukan main rasa terima
kasihnya Coei San. Ia tak pernah menduga, bahwa rasa cinta sinona adalah
demikian besar. "So So, sedikitpun aku tidak gusar," bisiknya.
Nona In dongak mengawasi
pemuda itu dan berkata pula dengan suara lemah lembut: "Langit telah
mengirim aku keneraka dingin ini, tapi sebaliknya daripada penasaran aku merasa
beruntung sekali. Aku mengharap kita jangan kembali keselatan untuk
selama-lamanya. Hm ... Jika kita pulang ke Tiong goan gurumu tentu akan
membenci aku, sedang ayah mungkin sekali akan membunuh kau ..."
"Ayahmu ?" menegas
Coei San.
"Ya, ayah adalah Peh bie
Eng ong In Thian Ceng," jawabnya. "Ia adalah pendiri dan pemimpin Peh
bie kauw."
"Oh, begitu ?" kata Coei
San. "So So, kau tak usah takut. Aku pasti akan tetap berada bersama sama
kau. Aku yakin, biarpun ayahmu ganas, ia tentu tidak akan membunuh puteri dan
mantunya sendiri."
Mendengar perkataan itu, paras
si nona bersinar terang, sedang mukanya bersemu dadu. "Apa kau bicara
setulus hati?" tanyanya.
"So So, biarkan sekarang
saja kita terangkap
menjadi suami isteri,"
kata Coei San.
Mereka lantas saja berlutut
dengan berendeng diatas es dan Coei San berkata dengan suara nyaring :
"Raja Langit menjadi aksinya, bahwa hari ini tee coe Thio Coei San
terangkap jodoh menjadi suami isteri dengan In So So. Biarlah senang dan susah
bersama-sama dan cinta mencinta selama-lamanya!"