Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 26

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 26
Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------

Bagian 26

Too ho (nama sebagai orang pertapaan) dari toojin itu ialah See leng coe, sedang toojin yang melepaskan golok terbang bernama See ciat coe dan mereka kedua duanya adik sepenguruan See hoa coe.

"Belenggu dulu padanya," kata See leng coe. "Hweeshio ltu banyak akal bulusnya...." Ia bicara dengan napas tersengal-sengal karena pukulan Ngo beng ciang telah membuatnya terluka berat.

Kie Siauw Hoe mengangguk dan sesudah mengambil seutas tambang, ia menghampiri Pheng Hweeshio. "Pheng Taysoe" katanya dengan suara lemah lembut, "aku mohon maaf untuk kekurangan ajarku."

Karena tak ada jalan lain, mau tak mau si pendeta membiarkan kaki tangarnya dibelenggu.

Sesudah itu barulah See leng coe mengeluarkan obat yang lalu diserahkan kepada nona Kie dengan memberitahukan juga cara-cara menggunakannya. Siauw Hoe lalu mencabut dua Hoeito yang menancap dipundak dan paha Pheng Hweeshio dan kemudian menaruh obat dilubang-lubang.

"Pheng Hweeshio!" bentak Teng Bin Koen. "Soe moyku berhati murah dan sudah menotong jiwamu. Sekarang beritahukanlah dimana adanya Pek Kwie Sioe."

Peng Hweeshio tertawa terbahak-bahak. "Teng Kouwnio," katanya, "dengan berkata begitu, kau memandang aku terlalu rendah. Thio Ngohiap dari Boe tong pay lebih suka bunuh diri daripada memberitahukan tempat tinggal saudara angkatnya. Pribudi Thio Ngohiap yang luhur itu dikagumi sungguh oleh Pheng Eng Giok. Maka itu biarpun aku bukan seorang ternama, aku ingin mengikut perbuatan Thio Ngohiap."

Mendengar itu, bukan main rasa bangganya Boe Kie. Kematian Coei San sangat disayangkan oleh orang-orang Rimba Persilatan dan mereka menganggap, bahwa kebinasaan Thio Ngohiap adalah karena menikah dengan seorang wanita "siluman" dari partai yang sesat. Sebagai anak yang cerdas, Boe Kie tahu, bahwa dalam omong omong antara kakek guru dan para pamannya, mereka sangat berduka akan kematian ayahnya, tetapi mendongkol terhadap mendiang ibunya. Tapi dari semua pembicaraan yang pernah didengarnya, belum pernah ada seorang yang mengutarakan rasa hormat begitu besar terbadap ayahnya seperti pengutaraan Pheng Hweeshio.

Teng Bin Koen tertawa dingin. "Dengan menikah dengan perempuan siluman, Thio Coei San seperti juga sudah buta matanya," katanya. "Dia sendiri juga yang rela menjadi seorang hina dina. Apa orang begitu pantas dibuat contoh? Boe tong pay...."

"Soecie!" memutus Kie Siauw Hoe.

"Jangan kuatir," kata sang kakak sepenguruan "Aku tak akan menyeret nama In Liok hiap," Ia mengibas pedangnya yang lalu ditudingkan kemata kanan si pendeta. "Kalau kau tidak bicara, lebih dulu kutusuk mata kananmu." Ia mengancam dengan suara bengis. "Kemudian kutikam mata kirimu. Sesudah itu, kusodok kuping kanan dan kuping kirimu dan akhirnya kupapas hidungmu. Tapi kau tak usah kuatir. Biar bagaimanapun juga, aku tak akan mengambil jiwamu." Ujung pedang yang berkilauan dan menggetar tak hentinya itu hanya terpisah setengah dim dari mata kanan Pheng Hweeshio.

Tetapi Pheng Hweeshio sedikitpun tidak menjadi gentar. Dengan mata tak berkedip, ia berkata: "Sudah lama kudengar, bahwa Biat coat Soethay dari Go bie pay seorang kejam. Sekarang aku mendapat kenyataan, bahwa si murid tidak banyak berbeda dengan sang guru. Hari ini Pheng Eng Giok sudah jatuh kedalam tanganmu dan kau boleh berbuat sesukamu."

"Bangsat gundul!" teriak Teng Bin Koen. "Kau berani menghina guruku?" Dengan sekali mendorong pedangnya, mata kanan Pheng Hweeshio sudah menjadi buta dan kemudian ia menempelkan ujung pedang dikelopak mata kiri si pendeta.

Tapi pendeta itu tertawa terbabak-babak sedang mata kirinya yang terbuka lebar menatap muka musuhnya. Ditatap begitu, dengan sinar mata yang berkeredepan, jantung Teng Bin Koen memukul keras. "Kepala gundul !" bentaknya pula. "Aku sungguh tak mengerti akan sikapmu. Kau bukan anggauta Peh bie kauw, tapi mengapa kau rela membuang jiwamu untuk manusia seperti Pek Kwie Sioe ?"

"Biarpun aku menerangkan kepadamu tentang cara-caranya seorang kesatria, kau tentu tak akan mengerti." jawabnya dengan suara duka.

Melihat paras muka si pendeta yang seolah-olah memandang rendah kepadanya, Teng Bin Koen meluap darahnya dan sekali lagi ia menggerakkan pedang untuk menusuk mata kiri Pheng Hweeshio.

Dengan cepat Kie Siauw Hoe menangkis dengan senjatanya. "Soecie. Dia keras kepala dan biar bagaimanapun jua, ia pasti tidak akan membuka mulut," katanya. "Meskipun dibinasakan tiada guna nya."

"Dia mencaci Soehoe sebagai seorang kejam, maka biarlah dia menyaksikan kekejamanku." kata Teng Bin Koen. "Siluman Mo kauw semacam dia hanya bisa mencelakakan manusia baik-baik. Maka itu, jikalau kita menyingkirkannya dari muka bumi ini berarti kita terbuat baik terhadap sesama manusia,"

"Tapi tidak bisa disangkal, bahwa dia seorang gagah yang tidak takut mati," Siauw Hoe coba membujuk lagi. "Soecie, menurut pendapatku, sebaiknya kita memberi ampun kepadanja."

"Tidak bisa !" bentak sang kakak sepenguruan "Dua Soeheng dari Siauw lim pay yang satu binasa, satu terluka. Sedang dua Tootiang dari Koen loen Pay mendapat luka barat, sedang dua saudara dari Hay see pay terluka lebih hebat juga. Apa tangannya tidak cukup kejam ? Sekarang biarlah aku menusuk mata kirinya. Sesudah itu, baru kita menanyakan lagi tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe."

Sehabis berkata begitu, bagaikan kilat pedangnya lantas menyambar mata kiri Pheng Hweeshio.

Sekali lagi Kie Siauw Hoe menangkis pedang Soecienya. "Soecie," katanya dengan suara memohon. "Dia sudah tidak bisa melawan lagi dan jika kita menganiaya dia, aku kuatir partai kita akin mendapat nama jelek dalam Rimba Persilatan."

Teng Bin Koen mendelik. "Minggir! Jangan perdulikan aku," bentaknya.

Kie Siauw Hoe kelihatan bingung dan berkata pula: "Soecie.... "

"Jangan rewel!" Memutus Bin Koen. "Kalau kau menganggap aku sebagai kakak seperguruan, kau harus mendengar omonganku."'

"Baiklah," kata nona Kie.

Sekali lagi pedang Teng Bin Koen menyambar mata kiri Pheng Hweeshio. Kali ini ia menggunakan tiga bagian tenaga Lweekang. Iapun mengerakkan tenaga dalam. "Trang!" kedua senjata kebentrok dan kedua saudari sepenguruan terhuyung beberapa tindak.

Teng Bin Koen marah besar, "Soemoay !" bentaknya. "beberapa kali dengan mati-matian kau melindungi pendeta siluman itu. Apa sebenarnya maksudmu ?"

Kie Siauw Hoe tertawa, "Aku hanya ingin meminta supaya Soecie jangan menganiayanya." jawabnya dengan sabar, "Jikalau kita ingin menyelidiki dimana tempat sembunyinya Pek Kwie Sioe, kita hanya bisa menanyakan nanti secara perlahan lahan."

Teng Bin Koen tertawa dingin. "Huh ! Apakah kau kira aku tak tahu jalan pikiranmu ?" tanyanya dengan nada mengejek. "Berapa kali In Liokhiap dari Boe tong pay mendesak supaya kau menikah dengannya. Mengapa kau selalu menolak dengan memberikan rupa-rupa alasan? Waktu ayahmu turut mendesak, mengapa kau kabur dari rumahmu ?"

"Soecie itu adalah urusan soemoay pribadi," kata nona Kie "Mengapa Soecie jadi menyebut nyebut hal itu ?"

Sang kakak mengeluarkan suara dihidung. "kita sama tahu." katanya. "Di hadapan orang luar, memang kurang baik jika aku membuka topengmu. Huh! Badanmu berada di Go bie, tapi hatimu di pihak Mo kauw !"

Mendengar perkataan itu, Siauw Hoe gusar tak kepalang, sehingga paras mukanya berubah pucat. "Aku selalu menghormati kau sebagai seorang kakak dan belum pernah aku berbuat kesalahan terhadapmu," katanya dengan suara gemetar "Tapi mengapa hari ini kau menghina aku sedemikian hebat?"

"Kalau benar-benar hatimu tidak condong, kepada Mo kauw, coba tusaklah mata kiri pendeta siluman itu." kata Teng Bin Koen.

"Soecie," kata nona Kie dengan suara duka. "Sebagaimana kau tahu, semenjak jaman Siauw ong-sia Kwee Soecouw (Kwee Siang), di dalam partai kita terdapat banyak sekali wanita yang tidak mau menikah seumur hidupnya. Oleh karena mengagumi kemuliaan mendiang guru besar kita, siauwmoaypun telah mengambil keputusan untuk tidak menikah. Siauwmoay menganggap, hal itu hal yang lumrah saja. Mengapa Soecie mendesak begitu hebat ?"

"Sudah! Aku tak suka dengar segala omonganmu!" bentak Bien Koen. "Jika kau tidak mau menikam mata pendeta siluman itu, aku akan mencopoti topengmu."

Mendengar ancaman itu, Siauw Hoe kelihatannya tak berani berkeras lagi. "Soecie," katanya dengan suara halus, "aku memohon kepadamu, soecie, dengan mengingat kecintaan antara sesama saudara sepenguruan, janganlah kau mendesak aku terlalu hebat."

Wanita she Teng itu tertawa. "Aku bukan memaksa kau mengerjakan pekerjaan yang sulit," katanya, "Sebagaimana kau tahu, Soehoe telah memerintahkan kita untuk menyelidiki tempat bersembunyinya Kim mo Say ong Cie Soen. Sekarang, pendeta itu adalah orang satu-satunya yang bisa memberi penerangan kepada kita, tapi dia bukan saja sungkan membantu kita, malah sudah melukakan juga kawan-kawan kita. Kalau aku menikam mata kanannya dan kau menikam mata kirinya, bukankah merupakan suatu hal yang sangat wajar ? Mengapa kau merasa segan tidak mau turun tangan ?"

"Hati siauw moay lembek, tidak bisa turun tangan," jawabnya.

"Apa? Hatimu lembek ?" menyindir Teng Bin Koen.

"Soehoe sering memuji kau sebagai murid yang ilmu pedangnya hebat dan adatnya keras. Sangat menyerupai adat soehoe sehingga beliau mempunyai niatan untuk mengangkat kau sebagai akhliwarisnya. Mana boleh hatimu lembek ?"

Apabila dua saudara bertengkar, maka hal itu akan sangat membingungkan orang-orang yang mendengarkannya, karena mereka tak mengetahui sebab musabab yang sebenarnya dari percekcokan antara keduanya. Sesudah mendengar perkataan Teng Bin Koen yang paling belakangan, barulah mereka bisa meraba-raba. Rupanya, Ciang boen jin Go Bie pay Biat coat Soethay sangat menyayang Kie Siauw Hoe dan berniat untuk mengangkat murid itu menjadi ahli warisnya. Hal ini kelihatannya sudah menimbulkan rasa jelus dalam hati Teng Bin Koen yang entah sudah memegang rahasia apa dari adik sepenguruannya sekarang ingin menghilangkan muka nona Kie di hadapan orang banyak.

Boe Kie yang menyaksikan kejadian itu dari tempat bersembunyinya, merasa gusar sekali. Ia ingat perlakuan nona Kie yang sangat baik terhadapnya pada hari itu, pada harian kedua orang tuanya membunuh diri. Ia bergusar dan berduka. Kalau dapat, ia ingin sekali menerjang keluar dan menggaplok muka si wanita she Teng yang tidak mengenal kasihan.

"Kie Soemoay, aku ingin mengajukan Iagi satu pertanyaan," kata Teng Bin Koen. "Pada tiga tahun berselang, Soehoe telah mengumpulkan semua murid dipuncak Kim teng, dipuncak gunung Go bie san dengan maksud untuk mengajar ilmu pedang Bit kiam dan Coat kiam kepada semua saudara sepenguruan kita. Coba jawab. Kenapa kau tidak hadir dalam pertemuan besar itu? Mengapa beliau jadi begitu gusar sehingga beliau mematahkan pedangnya sendiri dan mengatakan bahwa dunia tidak akan mengenal lagi kedua ilmu pedang itu?"

"Ketika itu, siauwmoay tiba-tiba mendapat sakit berat di Kam cioe, sehingga tak bisa bangun," jawabnya. "Hal ini siauwmoay sudah memberitahukan kepada Soehoe. Mengapa Soecie menanyakan pedang itu?"

Teng Bin Koen tertawa dingin. "Hmm!" ia mengeluarkan suara dihidung. "Kau bisa memperdayai Soehoe, tapi tak dapat mengabui aku. Aku masih ingin mengajukan sebuah pertanyaan. Tapi jika kau menikam mata si kepala gundul, pertanyaan itu tidak diajukan olehku."

Kie Siauw Hoe menundukkan kepala. Ia berduka bukan main. "Soecie," katanya dengan suara perlahan, "apakah kau tidak ingat Iagi kecintaan antara sesama saudara sepenguruan?"

"Kau mau tikam atau tidak?" tanya sang kakak dengan bengis

"Soecie, kau tak usah kuatir," kata nona Kie dangan suara memohon. "Andaikata aku mau di jadikan ahliwaris oleh Soehoe, aku tentu akan menolak."

"Bagus" bentak Tang Bin Koen dengan gusar. "Dengan berkata begitu, kau seperti juga mau mengatakan, bahwa aku menerima budimu yang besar. Cobalah kau unjuk. Dibagian mana yang aku kalah dari kau? Aku tidak perlu menerima budimu ! Tidak perlu kau mengalah! Eh! Katakan sekarang. Kau mau tikam atau tidak?"

"Jika Siauwmoay bersalah, Soecie boleh menegur atau menjatuhkan hukuman dan Siauwmoay akan menerimanya dengan segala senang hati," kata Siauw Hoe. "Disini terdapat sahabat-sahabat dari lain partai, sehingga kumohon Soecie jangan mendesak terlalu...." berkata sampai disitu, ia tidak dapat meneruskan perkataannya, karena air matanya sudah mulai mengucur.

Teng Bin Koen tertawa dingin. "Huh! Jangan kau berlagak sedih, sedang didalam hati kau mencaci aku," ejeknya. "Pada tiga tahun yang lalu, apa benar-benar kau mendapat sakit di Lam cioe? Perkataan dapat memang tak salah, tapi bukan mendapat sakit, hanya mendapat anak !"

Mendengar kata-kata yang sehebat itu, Kie Siauw Hoe mengeluarkan teriakan menyayat hati. Ia memutar badan dan terus kabur sekeras-kerasnya. Tapi Teng Bin Koen juga sudah menduga lebih dulu, lantas saja mengubar dan mencegatnya

"Soemoay, lebih baik kau tikam mata kiri pendeta siluman itu," katanya sambil mengibas pedang. "Jika kau tetap membantah, aku akan menanya siapa adanya ayah anak itu dan aku akan menanya, mengapa sebagai murid dari sebuah partai yang lurus bersih, kau melindungi seorang pendeta siluman dari agama Mokauw secara begitu mati-matian"

"Kau .... kau .... minggir!" bentak nona Kie dengan napas tersengal-sengal.

Sambil menudingkan pedang didada adik seperguruan itu, Teng Bin Koen membentak: "Jawab pertanyaanku: Dimana kau titip bayimu ? Kau adalah tunangan In Lie heng, In Liokhiap, tapi mengapa kau melahirkan anak ?"

Kata kata itu, mengejutkan semua orang. Bahkan Boe Kie yang masih kecil juga merasa, bahwat Kie Siauw Hoe telah dituduh melakukan perbuatan hebat yang menyinggung kehormatan In Lie Heng.

Paras muka nona Kie berubah pucat bagaikan kertas dan ia menerjang untuk coba meloloskan diri. Diluar dugaannya, Teng Bin Koen membuktikan ancamannya. Dengan sekali menyodok, pedangnya amblas di lengan Siauw Hoe, sehingga ujung pedang mengenakan tulang. Sambil menahan sakit, nona Kie terpaksa menghunus senjatanya dengan tangan kiri.

"Soecie," katanya dengan suara parau, "jikalau kau mendesak terus, aku terpaksa akan berlaku kurang ajar."

Teng Bin Koen merasa, bahwa sesudah ia membuka rahasia si adik sepenguruan, tentu akan berusaha untuk membinasakannya guna menutup mulutnya. Maka itu, dengan mengetahui, bahwa bekal ilmu silatnya masih kalah dari Siauw Hoe, dia segera mengambil suatu keputusan untuk turun tangan lebih dulu. Sesudah menikam lengan si adik dalam serangan susulan, ia menusuk kempungan Siauw Hoe.

Melihat Soecienya menyerang pula dengan pukulan yang membinasakan, sambil menahan sakit, nona Kie menangkis dengan pedang yang dicekal dalam tangan kirinya. Di lain saat mereka sudah bertempur seru dengan gerakan-gerakan yang luar biasa cepat.

Semua orang yang ada di situ adalah ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, karena semua sudah mendapat luka berat, mereka tak berdaya untuk memisahkannya. Diam-diam mereka merasa kagum akan lihaynya ilmu pedang Go bie pay, yang dikenal sebagai salah satu dari empat partai besar dalam Rimba Persilatan.

Kie Siauw Hoe bertempur dengan lengan kanan terus mengucurkan darah.

Jilid 22

Beberapa kali Kie Siauw Hoe menerjang dengan pukulan hebat, dalam usaha untuk mundurkan Soecienya supaya ia bisa melarikan diri, tapi usahanya selalu gagal. Ia gagal karena tidak biasa menggunakan pedang dengan tangan kiri dan juga karena, sesudah mengeluarkan banyak darah, tenaganya berkurang. Untung juga, Teng Bin Koen selamanya merasa jerih terhadap adik seperguruannya, sehingga ia tidak berani terlalu mendesak. Ia berkelahi dengan hati-hati sekali sambil menunggu lelahnya Siauw Hoe. Memang juga, makin lama tindakan nona Kie jadi makin limbung dan gerakan-gerakannya makin lambat. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, lengan kanan Siauw Hoe kembali tertikam dan darah mengucur makin deras.

"Kie Koauwnio!" tiba-tiba Pheng Eng Giok berteriak. "Tikamlah mataku! Kie Kouwnio, budimu yang sangat besar tak akan dapat dibalas oleb Pheng Eng Giok !"

Memang juga, rasa terima kasihnya Pheng Hweeshio tidak dapat dilukiskan lagi. Bahwa, dengan menempuh bahaya Siauw Hoe melindungi seorang musuh, sudah merupakan suatu perbuatan yang sukar dilakukan.

Dan dalam usaha untuk melindungi musuh, ia telah dicaci dengan kata-kata yang menodakan nama baik seorang wanita, nama baik yang dipandang lebih penting daripada jiwa.

Tapi kalau sekarang Siauw Hoe menurut perintah dan menusuk mata Pheng Hweesbio, Teng Bin Koen juga tak akan memberi ampun kepadanya. Kakak seperguruan itu mengerti bahwa kalau sekarang dia tidak membinasakan si adik seperguruan ia seperti juga menanam bibit penyakit untuk dikemudikan hari.

Teng Bin Koen menyerang Siauw Hoe. Pheng Hweeshio yang melihat itu segera berteriak "Teng Bin Koen. kau sungguh manusia tak kenai malu! Tak heran jika orang Kang ouw memberi gelaran Tok chioe Boe yam kepadamu. Sekarang aku menyaksikan dengan mata sendiri, bahwa hatimu benar jahat seperti ular dan kalajengking. Huh ! Mukamu jelek seperti muka Boe yam! Jika semua wanita separti kau, semua lelaki dunia tentu buru-buru mencukur rambut !"

Sebenarnya, biarpun tidak bias disebut cantik, Teng Bin Koen bukan seorang wanita yang jelek. Pheng Hweeshio sudah sengaja mencaci begitu dan memberi gelaran "Tok chioe Boe yam" kepadanya untuk menolong Kie Siauw Hoe. Ia tahu bahwa seorang wanita bisa mata gelap, jika disinggung kejelekan mukanya. Ia mengharap supaya dalam gusarnya, Teng Bin Koen membunuh ia sendiri dan Kie Siauw Hoe bisa mendapat kesempatan untuk melarikan diri.

Tapi wanita she Teng itu ternyata bukan manusia tolol. Ia berpendapat, bahwa sesudah membinasakan adik seperguruannya, ia masih mempunyai banyak tempo untuk mengambil jiwa pendeta itu. Maka itulah, tanpa meladeni cacian orang, ia terus menyerang dengan hebat.

"Dalam dunia Kang ouw, siapakah yang tak tahu kesucian Kie Liehiap," teriak pula Pheng Hweeshio. "Teng Bin Koen, sekarang aku mau membuka rahasiamu. Kaulah, manusia muka jelek, yang sebenarnya maui In Lie Heng ! Karena In Liokhiap tidak meladeni, kau memfitnah Kie Liehiap. Ha ha ha! Tulang pipimu begitu tinggi ! Mulutmu sebesar panci! Kulitmu kering dan kuning, sedang badanmu kurus jangkung seperti gala jemuran! Ha ha ha ! In Liokhiap yang begitu tampan mana mau mengambil kau sebagai isterinya? Kau sebenarnya harus lebih sering berkaca ...."

Meskipun pintar, Teng Bin Koen kalap juga. Mendengar sampai disitu, ia tidak dapat mempertahankan ketenangannya lagi. Ia melompat sambil mengayun pedang yang diturunkan kemulut Pheng Hweeshio.

Memang benar tulang pipi nona Teng agak tinggi, mulutnya agak besar, kulitnya agak hitam sedang badannya agak jangkung. Tapi kekurangan-kekurangan itu, yang tidak banyak, tidak terlihat nyata, jika tidak diperhatikan.

Tapi Pheng Hweeshio yang bermata tajam sudah bisa melihat itu semua dan ia lalu mengejek secara berlebih-lebihan. Apa yang membuat Teng Bin Koen kalap ialah disebut-sebutnya nama In Lie Heng, yang belum pernah dikenal olehnya.

Mendadak dari dalam hutan berkelebat satu bayangan manusia yang sambil membentak keras, mengadang didepan Pheng Hweeshio, sehingga pedang Teng Bin Koen yang tengah menyambar menancap tepat dilehernya. Hampir berbareng tangan orang itu menghantam dan "buk!" mengenakan dada Teng Bin Koen yang lantas saja terhuyung beberapa tindak dan mulutnya memuntahkan darah. Pedang yang dilepaskan oleh nona Teng tetap menancap dileher orang itu yang rupanya sudah tak bisa hidup lebih lama lagi.

See Leng coo maju dua tindak dan mengawasi orang itu. "Pek Kwie Sioe" teriaknya.

Orang itu memang Pek Kwie Sioe, Tancoe dari Hian boe tan.

Sesudah terluka berat, ia mendapat tahu, bahwa untuk melindungi dirinya, Pheng Hweeshio telah dikepung oleh orang-orang Siauw lim, Koen loan, Go bie dan Hay see pay. Maka itu, dengan sekuat tenaga ia datang ketempat pertempuran dan menggantikan Hweeshio itu untuk menerima tikaman Teng Bin Koen. Tapi pukulannya yang terakhir masih hebat luar biasa, sehingga beberapa tulang rusuk Teng Bin Koen menjadi patah.

Sesudah menenteramkar hatinya. Kie Siauw Hoe lalu merobek tangan bajunya untuk membalut luka dilengannya dan kemudian, dengan pedangnya, ia memutuskan tambang yang membelenggu kaki tangan Pheng Hweeshio. Sesudah itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memutar badan dan berjalan pergi.

"Kie Kouwnio, tahan!" seru si pendeta, "Terimalah hormatnya Pheng Hweeshio."

Buru-buru Kie Slauw Hoe melompat kesamping untuk menolak pemberian hormat pendeta itu yang berlutut ditanah.

Begitu bangun berdiri si pendeta segera menjemput pedang See long coe dan berkata: "Manusia yang sudah merusak nama baik Kie Kouw nio tidak boleh dibiarkan hidup terus."

Seraya berkata begitu, ia mengayun pedang dan menikam tenggorokan Teng Bin Koen.

Bagaikan kilat nona Kie menangkis pedang itu. "Dia adalah kakak seperguruanku," katanya "Biarpun dia tidak menyintai aku, aku sendiri tak bisa tidak mengenal pribudi."

"Kalau sekarang tidak dibunuh, dibelakang hari dia bisa menyebabkan munculnya banyak kesukaran bagi Kie Kouwnio," kata si pendeta.

Air mata Siauw Hoe lantas saja mengucur. "Aku seorang wanita yang bernasib paling buruk dalam dunia ini," katanya dengan suara sedih: "Biarlah, biarlah aku menyerahkan saja segala apa kepada nasib. Pheng Soehoe, jangan kau melukakan Soe cieku!"

"Perintah Kie Lihiap sudah tentu tidak akan dilanggar olehku," kata Pheng Hweeshio sambil membungkuk.

"Soecie, kuharap kau bisa menjaga diri baik baik" kata Kie Siauw Hoe dengan suara perlahan-lahan kemudian, sesudah memasukkan pedangnya kedalam sarung, ia segera berlalu tanpa menengok lagi.

Sesudah nona Kie pergi jauh, Pheng Hweeshio segera berkata kepada See leng coe dan yang lain lain : "Aku siorang she Pheng sebenarnya tidak mempunyai permusuhan apapun jua dengan kamu sekalian. Akan tetapi, fitnah hebat yang dilontar kan oleh si perempuan she Teng telah didengar oleh kamu semua. Kalau cerita ini sampai tersiar diluaran, bagaimana Kie Kouwnio bisa berdiri terus diatas bumi ini? Maka itu, tak bisa aku membiarkan kamu hidup terus. Hal ini sudah terjadi lantaran terpaksa dan aku harap kamu jangan menyalahkan aku."

Sehabis berkata begitu, dengan beruntun ia menikam See leng coe, See ciat coe, seorang pendeta Siauw lim dan dua jago Hay see pay. Kemudian barulah ia menggores muka Teng Bin Koen dengan pedangnya, sehingga wanita she Teng itu menjadi kalap, tapi tidak bisa berbuat banyak, karena ia sudah terluka hebat. "Bangsat gundut !" teriaknya. "Jangan kau menyiksa aku ! Bunuhlah !"

Pheng Hweeshio tertawa nyaring: "Aku tidak berani membunuh perempuan jelek yang kulitnya kering dan mulutnya lebar," ejeknya. "Kalau kau mampus aku kuatir begitu lekas rohmu masuk di akhirat, berlaksa laksa setan akan kabur kedunia sebab ketakutan. Akupun kuatir Giam Loo Ong berak-berak bahna kagetnya !"

Sehabis berkata begitu, ia tertawa nyaring dan melemparkan pedang ditanah dan sesudah menanggul mayat Pek Kwie Sioe, ia menangis keras akan kemudian berlalu dengan tindakan cepat.

Untuk beberapa lama Teng Bin Koen mengaso dengan napas tersengal-sengal. Kemudian deegan menggunakan sarung pedang sebagai tongkat, iapun berlalu dengan tindakan limbung.

Peristiwa yang hebat itu telah disaksikan semua oleh Siang Gie Coen dan Boe Kie. Sesudah Teng Bin Koen berlalu, barulah mereka menarik napas lega.

"Siang Toako," kata Boe Kie. "Kie Kouwnio adalah tunangan In Lioksiok. Perempuan she Teng itu mengatakan, mendapat anak. Siang Toako, bagaimana pendapatmu, apa benar atau tidak'?"

"Dia omong kosong, jangan dipercaya!" jawabnya.

"Benar!" kata Boe Kie. "Kalau bertemu In Liok siok, aku akan memberitahukan kekurang ajaran perempuan she Teng itu, supaya Lioksiok bisa menghajarnya."

"Jangan! Jangan !" cegah Gie Coen tergesa gesa. "Hal itu kau sekali-kali tidak boleh memberitahukan In Lioksiok. Kau mengerti!"

"mengapa?" tanya si bocah.

"Omongan-omongan yang tidak sedap itu tidak boleh diberitahukan kepada siapapun juga," jawabnya. "Ingatlah. Kau tidak boleh bicara dengan siapapun juga."

Boe Kie mengangguk sambil mengawasi muka Gie Coen. Beberapa saat kemudian, ia berkata pula: "Siang Toako, apa kau kuatir tuduhan Teng Bin Koen suatu kenyataan ?"

Gie Coen menghela napas. "Tak tahu," jawabnya.

Pada keesokan paginyaq jalanan darah Gie Coen yang tertotok terbuka sendirinya dan ia lalu mendukung Boe Kie, siap sedia untuk meneruskan perjalanan. Sambil mengawasi mayat mayat yang menggeletak ditanah, ia berkata didalam hati: "Sesudah belasan tahun, Cia Soen menghilang, tapi karena gara-garanya, orang-orang Rimba Persilatan masih terus mengorbankan jiwa. Hai! Sampai kapan urusan ini baru menjadi beres ?"

Sesudah banyak mengasoh, sebagian tenaga Gie Coen pulih kembali. Rasa sakit dalam badannya banyak berkurang dan ia bisa berjalan terlebih cepat. Sesudah melalui beberapa li mereka bertemu jalanan raya. Gie Coen agak terkejut. "Ouw Soe peh berdiam di tempat yang sepi. tapi mengapa aku bertemu dengan jalanan raya?" tanyanya di dalam hati. "Apa nyasar?"

Baru saja ia mau mencari penduduk dusun untuk menanyakan, tiba tiba terdengar suara tindakan kuda dan empat orang serdadu Mongol mengubar dari belakang. "Lekas jalan! Lekas jalan!" teriak mereka sambil mengacung acungkan senjata seolah olah menggebah binatang.

"Tak dinyana aku mesti mati ditempat ini," mengeluh Gie Coen. Karena lukanya, ilmu silatnya sudah musnah semua. Sekarang ia malah tidak dapat melawan seorang serdadu Mongol biasa.

Maka itu sambil menahan amarah, ia terpaksa berjalan terus.

Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan sejumlah penduduk yang juga digiring oleh serdadu serdadu Mongol. Dalam hati mereka lantas saja muncul sedikit harapan. Sekarang ternyata, bahwa serdadu-serdadu itu sedang memperlihatkan kekejamannya terhadap rakyat jelata dan bukan mereka yang dijadikan bulan-bulanan.

Melihat bahaya, Boe Kie segera berbisik: "Siang Toako, lekas kau berlagak jatuh dan buang golokmu."

Gie Coen tersadar. Sesudah berjalan beberapa tindak lagi, ia pura-pura terpeleset dan menggulingkan diri dirumput sambil melepaskan golok yang disisipkan dipinggangnya. Sesudah itu, ia merangkak bangun dan berjalan lagi dengan napas tersengal sengal. Selagi ia lewat didepan seorang perwira Mongol, seorang Han yang jadi juru bahasa berteriak: "Bangsat! Kau sungguh tidak tahu adat. Lekas berlutut dihadapan Tayjin!"

Mengingat Cioe Coe Ong serumah tangga telah dibinasakan oleh tentara Mongol, darah Siang Gie Coen lantas saja naik tinggi dan biarpun mesti mati, ia tak sudi menekuk lutut. Ia jalan terus dengan berlagak tuli. Seorang serdadu Mongol mengudak dan menyapu kakinya sehingga ia jatuh terguling.

"She apa kau?" bentak si juru bahasa.

Sebelum Gie Coen sempat memberi jawaban, Boe Kie sudah mendahului berkata: "She Cia, dia kakakku"

Serdadu itu lalu menendang punggung Boe Kie seraya membentak: "Pergi!"

Bukan main gusarnya Gie Coen. Sambil merangkak bangun, ia bersumpah didalam hati, bahwa sebegitu lama ia masih hidup, ia akan berusaha dengan seantero tenaganya untuk mengusir bangsa Mongol dari daerah Tionggoan. Dalam keadaan tidak berdaya, buru-buru ia mendukung pula Boe Kie dan berlalu cepat-cepat. Baru berjalan beberapa puluh tombak, tiba tiba mereka mendengar teriakan teriakan menyayat hati. Mereka menengok dan melihat puluhan rakyat sedang dibunuh oleh tentara Mongol.

Sepanjang sejarah, selama penjajahan kerajaan Goan (Mongol), rakyat banyak memberontak. Belakangan, seorang pembesar tinggi Mongol telah mengeluarkan perintah untuk membunuh orang orang Han, yang she Thio, Ong, Lauw, Lie dan Tio. Semuanya lima she. Pada jaman itu, orang she Thio, Ong, Lauw dan Lie yang paling banyak terdapat di Tionggoan, sedang she Tio adalah she dari kaizar-kaizar Song. Maka itu, menurut jalan pikiran si pembesar Mongol, bangsa Han akan runtuh semangatnya jika orang-orang dari kelima she itu dibunuh. Untung juga, perintah yang sangat kejam itu cepat diketahui oleh kaizar Mongol yang segera mengeluarkan larangannya. Tapi sementara itu, banyak juga orang Han yang dibunuh mati.

Gie Coen tidak berani berdiam lama lama lagi dan lalu berjalan secepat cepatnya. Sesudah melalui beberapa mereka bertemu dengan seorang penjual kayu bakar dan mereka lalu menanyakan dimana letaknya Ouw tiap kok. Orang itu meng gelengkan kepala. Tapi Gie Coen segera mengetahui, bahwa Soepehnya mesti berdiam disekitar tempat itu.

Dengan sabar ia lantas saja mencari-cari. Di sepanjang jalan mereka melihat ratusan macam bunga yang menghiasi daerah pegunungan itu. Tapi sesudah menyaksikan peristiwa yang menyedihkan itu, mereka tak punya kegembiraan Iagi untuk menikmati pemandangan alam yang sangat indah.

Sesudah membelok dibeberapa tikungan, disebelah depan menghadang sebuah tembok gunung dan jalanan putus disitu. Selagi mereka kebingungan, mendadak muncul beberapa ekor kupu-kupu yang terbang masuk kesebuah gerombolan pohon-pohon kembang.

"Tempat ini dinamakan Ouw tiap kok, atau Selat Kupu-kupu," kata Boe Kie. "Apa tidak baik kita mengikuti kupu-kupu itu?"

"Baiklah," kata Gie Coen yang lalu turut masuk kegerombolan pohon itu.

Sesudah melewati gerombolan pohon bunga, mereka bertemu dengan sebuah jalanan kecil yang tertutup rumput hijau. Setelah berjalan beberapa jauh, jumlah kupu kupu yang beterbangan disekitar situ jadi makin banyak. Hidung mereka mengendus harumnya bunga-bunga. Kembang-kembang yang tumbuh disekitar situ sangat berbeda dengan apa yang terlihat ditempat lain. Makin jauh mereka maju kupu-kupu makin tidak takut manusia. Mereka terbang mendekati seolah olah menyambut kedatangan tamu-tamu dan hinggap dikepala, dipundak, dilengan Gie Coen dan Boe Kie.

Gie Coen dan Boe Kie jadi bersemangat, karena mereka tahu, bahwa mereka sudah berada dalam selat Ouw tiap kok.

Lewat tengah hari, mereka melihat tujuh-delapan rumah gubuk dipinggir sebuah solokan yang airnya`jernih. Didepan, dibelakang dan dikiri kanan setiap gubuk ada dikurung dengan kebun kembang yang terawat baik.

Gie Coen berlari-lari kedepan gubuk-gubuk itu dan berkata dengan suara menghormat: "Teecoe Siang Gie Coen ingin berjumpa dengan Ouw Soepeh."

Selang beberapa saat, dari sebuah gubuk keluar seorang kacung yang berkata: "Masuklah."

Sambil mendukung Boe Kie, Gie Coen segera bertindak masuk. Disatu sudut dari ruangan tengah kelihatan berdiri seorang lelaki setengah tua yang berparas agung. Ia ternyata sedang menilik seorang kacung yang lagi memasak obat. Seluruh ruangan itu penuh dengan macam-macam daun obat yang aneh aneh. Buru-buru Gie Coen menaruh Boe Kie diatas kursi dan lalu berlutut di hadapan orang itu,

"Ouw Soepeh, Gie Coen memberi hormat," katanya.

Boe Kie mengawasi orang itu yang tentulah juga bukan lain daripada Tiap kok Ie sian Ouw Ceng Goe.

Tabib malaikat itu manggut-manggutkan kepalanya dan berkata : "Urusan Cioe Coe Ong, aku sudah tahu. Itulah nasib. Mungkin sekali, rejeki Tatcoe masih belum habis dan agama kita belum sampai waktunya untuk bisa memperoleh kemakmuran"

Sehabis berkata begitu, ia memegang nadi Gie Coen dan membuka baju pemuda itu. Sambil mengawasi dada si berewok, ia berkata: "Kau kena pukulan Ciat sim ciang dari Hoan ceng. Pada hakekatnya, pukulan itu tidak sukar di obati. Tapi sesudah terpukul, kau menggunakan terlalu banyak tenaga, sehingga hawa dingin menyerang jantungmu dan sebagai akibatnya, aku memerlukan agak lebih banyak tempo untuk menyembuhkannya." Sesudah memberi penjelasan, ia meraba-raba sekujur badan Gie Coen.

"Dengan siapa kau bertempur tadi malam?" tanya Ceng Goe secara tiba-tiba. "Dengan murid Boe tong pay?"

"Tidak," jawabnya.

Sang paman segera meraba-raba kedua paha Si brewok. Sekonyong-konyong paras mukanya berubah dan membentak: "Gie Coen! Tujuh delapan tahun kita tidak pernah bertemu muka. Sekali bertemu, kau coba memperdayai Soepehmu. Sudahlah! Aku tidak bisa mengobati lukamu. Pergi!"

Gie Coen jadi bingung. "Ouw Soepeh," katanya, "mana berani aku mendustai kau? Dengan sesungguhnya, sepanjang malam aku tidak pernah bertempur dengan siapapun jua. Tenagaku sudah habis semua. Andaikata aku ingin, akupun tidak bisa berkelahi!"

"Omong kosong!" bentak sang paman guru "Terang-terang, Hoan tiauw hiat dikedua pahamu telah ditotok orang. Dan totokan itu dilakukan dengan ilmu menotok dari Boe tong pay. Tempo nya yalah antara Coe sie dan Tio sie," (Coe sie antara jam 11 malam dan jam 1. Tio sie Antara jam 1 dan jam 3 pagi).

Mendadak si brewok tertawa. "Ah ! Kalau begitu, yang dimaksudkan Soepeh yalah jalanan darah yang ditotok olehku sendiri," katanya. Dengan ringkas ia lalu menceritakan kejadian semalam.

Waktu Gie Coen menuturkan cara bagaimana ia sudah diabui Boe Kie, Ceng Goe melirik bocah itu dan waktu ia menceritakan cara bagaimana mata kanan Pheng Hweeshio telah ditusuk oleh Teng Bin Koen, sang paman guru menghela napas berulang ulang dan berkata: "Pheng Eng Giok Hweeshio adalah seorang gagah sejati dari agama kita. Biarpun kita tidak segolongan dengan dia, tapi kita harus mengaku, bahwa dia itu seorang manusia yang jarang terdapat dalam dunia ini. Kalau begitu ditusuk, ia bisa segera datang kepadaku, mungkin sekali mata kanannya tidak sampai menjadi buta. Tapi sekarang sudah tidak dapat diobati lagi."

Ia menengok kepada Boe Kie dan berkata pula: "Dari mana kau belajar ilmu Tiam Toat Boe tong pay?"

"Soepeh." kata Gie Coen, "saudara kecil itu adalah putera Thio Ngohiap dari Boe tong pay."

Ouw Ceng Goe kaget dan paras makanya lantas saja berubah gusar. "Murid Boe tong pay?" la menegas, "Perlu apa kau membawa dia kemari?"

Gie Coen lantas saja menuturkan cara bagaimans Thio Sam Hong telah menolong dia dan puteri Cioe Coe Ong waktu mereka diubar-ubar oleh kaki tangannya kaizar Goan disungai Han soei. Sesudah selesai bercerita, ia akhirnya berkata: "Sesudah menanggung budi yang begitu besar teecoe memohon supaya Soepeh suka membuat kecualian dan sudilah Soepeh menolong jiwa saudara kecil ini."

Sang paman guru mengeluarkan suara dihidung, "Gie Coen, kau sungguh seorang yang royal dengan janji-janjimu," ejeknya. "Hem.... yang ditolong Thio Sam Hong adalah kau, bukan aku. Lagi kapan aku pernah membuat kecualian dalam kebiasaanku?"

Gie Coen segera berlutut dan manggutkan kepalanya berulang-ulang. "Soepeh." katanya, "ayah saudara kecil itu adalah seorang laki-laki sejati yang lebih suka menggorok leher dari pada menjual sahabat. Dia sendiri, meskipun masih kecil, mempunyai jiwa seorang kesatria. Teeeoe menjamin, bahwa dia seorang baik."

"Apa? Orang baik?" Ceng Goe mengejek pula. "Ada berapa banyak orang baik dalam dunia? Kalau dia bukan murid Boe tong pay, masih tidak apa. Dia murid sebuah partai yang lurus bersih, mengapa dia harus meminta pertolongan dari agama sesat ?"

"Ibu saudara Thio adalah puteri Peh bie Eng ong In Kauwcoe," kata Gie Coen. "Dengan demikian, dapatlah dikatakan, separuh badannya adalah dari agama kita."

Mendengar keterangan itu, hati Ouw Ceng Goe tergerak juga: "Oh, begitu. Kau bangunlah." kataanya, "Dia putera In So So dari Peh bie kauw. Kalau begitu lain urusan." Ia lalu mendekati Boe Kie dan berkata dengan suara hangat. "Anak, aku selamanya mentaati peraturan bahwa aku tidak akan menolong orang orang dari partai lurus bersih. Ibumu adalah anggauta dari agama kita. Tapi sebelum mengobati, aku ingin kau berjanji, bahwa sesudah sembih, kau harus pulang ketempat kakekmu, yaitu Peh bie Eng ong ln Kauwcoe, dan kau harus masuk kedalam agama Peh bie kauw. Dengan lain perkataan, kau harus meninggalkan partai Boe tong pay"

Sebelum Boe Kie menjawab, Gie Coen sudah mendahului. "Soepeh, hal itu tidak bisa kejadian. Sebelum menyerahkan saudara Thio kepada Teecoe, Thio Sam Hong Thio Cinjin sudah mengatakan terang terangan, bahwa kita tidak boleh memaksa dia masuk kedalam agama kita dan juga andaikata dia sembuh, Boe tong pay tidak menanggung budi dari agama kita"

Kedua mata Ouw Ceng Goe lantas saja mendelik dan darahnya naik, "Huh ! Manusia apa Thio Sam Hong !" bentaknya. "Dia begitu memandang rendah kepada kita, perlu apa kau membantu dia. Anak, bagaimana keputusanmu sendiri ?"

Boe Kie mengerti bahwa ia sedang menghadapi soal mati atau hidap. Sesudah kakek gurunya tidak berdaya untuk menolong harapan satu-satu nya ialah Ouw Ceng Goe. la tahu, kalau ia tidak dapat meluluskan apa yang diminta oleh Tiap kok Ie Sian, jiwanya pasti tak akan bisa ditolong lagi. Ia sendiri sebenarnya masih tak tahu apa kejelekan atau kebusukan "agama" sesat yang begitu di benci oleh sang kakek guru dan semua paman pamannya. Tapi karena ia sangat mencintai dan menghormati kakek gurunya, maka ia lantas saja mengambil keputusan, bahwa ia lebih baik mati dari pada melanggar pesanan orang tua itu.

Tanpa bersangsi lagi, dengan suara lantang ia menjawab. "Ouw Sinshe, ibuku ialah Hio coe dari Peh bie kauw dan aku pribadi menganggap bahwa Peb bie kauw adalah agama baik. Akan tetapi, sebab Thay soehoe melarang aku masuk kedalam Mo kauw dan aku sendiri sudah menyanggupi, maka sebagai laki laki, tak dapat aku menarik pulang janjiku itu. Jika kau tak sudi mengobati aku, akupun tidak bisa berbuat apa apa. Kalau lantaran takut mati, aku menurut apa yang diminta olehmu, maka aku akan menjadi seorang manusia yang tidak mempunyai kepercayaan, dan dari pada jadi manusia semacam itu, lebih baik aku berpulang ke alam baka."

Ouw Ceng Goe mendongkol bukan main. "Gie Coen," katanya. "Bawa, dia pergi! Didalam rumah Ouw Ceng Goe tidak boleh ada orang mati lantaran sakit."

Gie Coen jadi bingung. Ia mengenal benar adat Soepehnya Jika ia telah berkata "tidak", perkataannya tidak bisa diubah lagi.

"Saudara kecil," katanya dengan suara membujuk. "Biarpun Mo kauw agak berbeda dengan partai-partai yang lurus bersih, akan tetapi, semenjak jaman kerajaan Tong sampai sekarang, dalam kalangan kami setiap turunan selalu muncul orang gagah sejati. Apa pula kakek luarmu adalah Kauwcoe dari Peh bie kauw sedang ibumu sendiri Hio coe dari agama tersebut. Saudara kecil, luluskanlah permintaan Ouw Soepeh. Di hari kemudian aku akan bertanggung jawab dihadapan Thio Cinjin."

"Baiklah," kata Boe Kie. "Siang Toako, ketuklah tulang punggungku yang kedelapan dan ketiga belas dengan kuku jarimu, ketuklah beberapa kali"

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar