-------------------------------
-----------------------------
Bagian 24
Jilid 20
Menurut kebiasaan, setiap
tahun murid-murid Siauw lim sie dijajal kepandaiannya oleh ketiga pendeta suci.
Semua murid mengambil bagian. Hanya Goan tin seorang yang saban-saban
mengatakan sakit, entah benar, entah bohong, sehingga oleh karenanya, tak
seorangpun yang tahu cetek dalamnya kepandaiannya. Dan sekarang, karena Kioe
yang kang hanya dimiliki Goan tin seorang dan harus diturunkan olehnya kepada
Boe Kie, tidaklah heran kalau Kong boen bertiga merasa sangsi.
Beberapa saat kemudian Kong
tie kembali dan berKata Goan tin sungguh aneh. Dia mengatakan, bahwa sesudah
mengabdi pada Sang Buddha, ia juga tidak mau bertemu dangan orang luar, tapi
karena Hong thio sudah mengeluarkan perintah, maka ia bersedia untuk mengajar
ilmu dengan cara Kay tiang Coan tang (Mengajar ilmu dengan teraling tirai).
"Sesukanyalah," kata
Kong boen. "Soetee, bawalah pemuda ini kepada Goan tin. Sesudah itu,
perintah pengurus dapur mengantarkan sebuah meja perjamuan ke Lip soat teng.
Biar bagaimanapun jua, Thio Sam Hong adalah pemimpin dari sebuah partai besar
dan kita tidak boleh tidak berlaku hormat."
Sementara itu, Boe Kie terus
berlagak pulas. Sesudah lewat sekian lama, barulah datang seorang pendeta kecil
yang membawa makanan dan sesudah ia selesai bersantap, pendeta itu lantas saja
berkata: "Siauwsiecoe, ikutlah aku."
"Kemana?" tanyanya.
"Hong thio memerintahkan
aku membawamu kepada seseorang."
"Kepada siapa ?"
tanya lagi Boe Kie.
"Hong thio memesan supaya
aku jangan banyak bicara." jawabnya.
Boe Kie mengeluarkan suara
dihidung. Diam diam ia mentertawai Kong boen bertiga, sebab ia sendiri sudah
tahu, bahwa ia bakal dibawa kepada Goan tin Hweshio.
Tanpa menanya lagi, ia lalu
mengikuti pendeta kecil itu. Sesudah melewati belasan gedung dan banyak
pekarangan, sehingga Boe Kie merasa sangat kagum akan luas dan megahnya Siauw
lim sie, barulah mereka tiba disebuah bangunan kecil yang dikurung dengan pohon
pohon siong dan pek. Sambil berdiri didepan tirai pintu, pendeta kecil
itu berseru: "Siauwsiecoe
sudah tiba!"
"Masuk," demikian
terdengar suara seseorang.
Boe Kie lantas saja mendorong
pintu dan bertindak masuk, sedang si pendeta kecil lalu mengunci pintu.
Si bocah mengawasi
kesekitarnya. Kamar itu ternyata sebuah kamar kosong. Kecuali selembar tikar ditengah
tengah, tidak terdapat apapun jua.
Sesudah mendengar bahwa Goan
tin akan memberi pelajaran dengan cara "Kay tiang Coan kang", ia
menduga bahwa dalam kamar itu dipasang semacam tirai. Di luar dugaan, kamar itu
bukan saja kosong melompong, tapi juga tidak mempunyai lain pintu sehingga tak
dapat ditebak dari mana datangnya suara manusia yang barusan. Selagi ia
terheran-heran tiba-tiba terdengar pula suara itu: "Duduk! Dengarlah aku
segera menghafal Siauw lim Kioe yang kang. Aku hanya akan menghafal satu kali.
Terserah kepadamu, berapa banyak yang bisa diingat olehmu. Hong thio telah
memerintahkan aku memberi pelajaran itu kepadamu. Aku menurut perintah. Tapi
apa kau mengerti atau tidak adalah urusanmu sendiri."
Boe Kie memasang kuping.
Sekarang barulah ia tahu bahwa suara itu datang dari tembok sebelah dan Goan
tin hweeshio berdiam dikamar sebelah. Pada hakekatnya, mengirim dari alingan
tembok bukan kepandaian luar biasa. Siapapun jua dapat melakukannya. Apa yang
luar biasa yalah suara Goan tin kedengarannya tegas sekali, seperti juga ia
bicara berhadap hadapan. "Lweekang pendeta itu sungguh hebat," kata
Boe Kie didalam hati.
Sesaat kemudian, oraag itu
berkata perlahan lahan: "Tubuh berdiri tegak, kedua tangan yang
dirangkapkan ditaruh didada, hawa tenang, semangat dipusatkan, hati tenteram,
paras muka mengunjuk sikap menghormat. Inilah jurus pertama yang dinamakan Wie
hok Yan couw (Wie Hok mempersembahkan gada). Ingatlah!"
Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata pula : "Kedua tumit kaki ditancapkan diatas bumi. Kedua
tangan dipentang keluar dengan rata. Hati tenang hawa tentaram mata membelalak
mengawasi kedepan mulut ternganga. Ini jurus kedua, Hoen tan Hang mo couw (
Memikul gada untuk menakluki siluman ). Kau ingatlah."
Seterusnya ia menghafal jurus
ketiga, keempat kelima sampai pada jurus keduabelas. Mengenai jurus keduabelas,
ia berkata: "Jurus ini dinamakan Tiauw wie Yauw tauw (Mengibas buntut,
menggoyang kepala), dengan Kouwkoat seperti berikut: Lutut lurut, lengan
dilonjorkan, mendorong dengan tangan sehingga mengenakan bumi. Mata membelalak,
menggoyangkan kepala, semangat dipusatkan sehingga menjadi satu. Sesudah itu
melempangkan tubuh dan menjejak tanah dengan kaki, mengendurkan bahu,
memanjangkan lengan, menyabet tujuh kali kekiri kanan dan sekarang sudah
selesai Ilmu Kioe yang Ie kin, dikolong langit tiada tandingan."
Hampir berbareng dengan
perkataan "dikolong langit tiada tandingan", ia membentak:
"Siapa mencuri mendengar diluar? Masuk!"
"Brak!" pintu
terpental dan sesosok tubuh manusia jatuh ngusruk. Orang itu bukan lain
daripada si pendeta kecil yang tadi mengantar Boe Kie kekamar itu. Dia jatuh
meringkuk, kedua matanya meram dan pada mukanya terlihat rasa sakit yang hebat.
Boe Kie terkejut buru-buru ia menghampiri untuk membangunkannya.
"Kau urus saja urusanmu
sendiri," kata orang dikamar sebelah, "Sekarang kau memerlukan semua
kekuatan otakmu untuk mengingat-ingat Kouw koat yang barusan dihafal olehlu.
Tidak dapat kau memecah perhatianmu."
"Dua belas jurus itu
sudah diingat olehku seanteronya," kata si bocah.
"Apa benar? Coba kau
hafal," kata Goan tin. Di dengar dari nada suaranya, ia merasa heran bukan
main.
Boe Kie lantas saja menghafal
Kouw koat yang barusan diturunkan kepadanya, dari jurus pertama Wie hok Hian
couw sampai Tiauw wie Yauw tauw, jurus kedua belas. Benar saja, dalam hafalan
itu, tak satu perkataanpun yang salah.
Untuk sejenak Goan tin tak
dapat mengeluarkan sepatah kata. Waktu menerima perintah Kong boen untuk
mengajarkan Kioe yang kang kepada orang luar, ia mendongkol dan jika mungkin,
ia tentu sudah menolak. Akan tetapi, peraturan dalam kuil Siauw lim sie selalu
dipegang keras dan perintah seorang Hong thio, merangkap Ciangboenjin, tidak
boleh dilanggar. Di samping itu, perintah Kong boen hanya berbunyi "mengajar
anak itu" dan bukan "mengajar anak itu sampai dia paham". Maka
itu, menurut anggapannya, jika ia menghafal Kouw koat cepat-cepat, paling
banyak si bocah
akan ingat satu dua perkataan.
Tapi diluar semua perhitungannya, Boe Kie sudah berhasil memasukkan Kouw koat
selengkapnya kedalam otaknya. Ia merasa kagum bukan main, karena kecerdasan dan
bakat yang begitu luar biasa sungguh jarang terdapat dalam dunia ini.
Melihat si pendeta kecil terus
meringkuk dilantai, Boe Kie merasa sangat tidak tega dan segera bertanya:
"Siansoe, apakah kedosaannya Siauw soehoe ini ?"
"Dia mencuri dengar
pelajaran tadi dari luar pintu," jawabnya, tawar. "Aku telah
menggunakan Kim kong Sian ciang untuk mengajar adat kepada nya. Jangan kuatir.
Dalam beberapa saat, ia akan sembuh kembali." Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata lagi. "Aku tak tahu, mengapa Hong thio memerintahkan aku
memberi pelajaran Kioe yang Sin kang kepadamu. Aku tidak tahu siapa namamu dan
kaupun tak usah tanya namaku. Aku tidak tahu ilmu apa yang sudah pernah
dipelajari olehmu. Akan tetapi, aku merasa kagum akan kepintaranmu. kemudian
hari, kau mempunyai harapan yang tidak terbatas. Maka itu, aku berniat untuk
membantu kau, untuk membuka Kie king Pat meh (pembuluh darah) diseluruh
tubuhmu, supaya kalau nanti kau berlatih dengan Kioe yang Sin kang, kau tidak
usah mengalami banyak kesukaran."
Sebelum Boe Kie sempat
menjawab, mendadak tembok berlubang dan dua lengan muncul dari lubang itu! Boe
Kie kaget tak kepalang, ia mencelat dari tempat duduknya dan berseru dengan
suara tertahan: "Kau ...kau!..." Itulah kenyataan yang terlalu
mustahil ! Tapi, dengan matanya sendiri, ia menyaksikan, bahwa tembok yang
tebal itu sudah berlubang karena sodokan tangan Goan tin, seolah-olah tembok
tidak lebih daripada tahu yang empuk.
"Tempelkan kedua telapak
tanganmu dengan telapak tanganku." memerintah Goan tin. "Aku tidak
tahu she dan namamu, akupun tidak tahu kau murid siapa. Hari ini kita bertemu
dan jodoh kita habis sampai disini."
Tahu maksud orang yang sangat
baik. Pandangan Boe Kie terhadap Goan tin lantas berubah. "Terima kasih
atas bantuan Siansoe," katanya seraya melonjorkan tangannya dan
menempelkan telapak tangannya ketangan si orang aneh.
"Kendurkan tulang tulang
dan otot-otot dalam tubuhmu dan bebaskan pikiranmu dari segala ingatan,"
kata pula Goan tin.
"Baiklah," kata Boe
Kie. Sesaat kemudian, dari kedua telapak tangan Goan tin keluar semacam hawa
hangat yang terus menembus ketelapak tangannya, terus naik kelengan dan bahu.
Hawa itu halus bagaikan selembar benang, tapi ia dapat merasakan nyata sekali
dan perlahan-lahan hawa tersebut masuk kepembuluh darah.
Jika menemui rintangan dan
tidak dapat segera menembus, bawa itu berubah lemas dan menerjang
berulang-ulang sehingga rintangan ditembuskan. Sesudah lewat delapan pembunuh
darah besar hawa itu makin cepat jalannya hingga Boe Kie merasa matanya
berkunang-kunang, kepalanya terputar-putar dan berapa kali, ia seperti mau
jatuh tenguling.
Akan tetapi dari telapak
tangan si orang aneh keluar semacam tenaga menyedot, sehingga telapak tangan
Boe Kie melekat keras pada telapak tangan Goan tin dan ia tak sampai tenguling.
Dilain saat, ia merasakan seluruh badannya seperti dibakar. Kalau mungkin, ia
tentu sudah kabur dan membuka baju untuk menerjun kedalam lautan es disekitar
Pang hweeto.
Sesudah lewat sekian lama,
bawa panas itu meninggalkan tubuhnya dan kembali ketelapak tangan Goan tin.
Sesudah menarik pulang kedua lengannya dari lubang itu, Goan tin berkata dengan
suara dingin : "Kau pergilah!"
Boe Kie melongok melalui lubang
itu, tapi yang dilihatnya hanya kegelapan. Mengingat budi si orang aneh, ia
lantas saja berkata: "Terimakasih banyak atas budi Siansoe yang sangat
besar."
Sehabis berkata begitu, ia
menekuk kedua lututnya. Mendadak lengan Goan tin muncul lagi di lubang itu dan
mengibasnya. Hampir berbareng, tubuh Boe Kie terpentaI dan jatuh diluar pintu.
Orang itu ternyata sungkan menerima kehormatan si bocah.
"Pergi kau beritahukan
Hong thio, bahwa pelajaran Kioe yang Sin kang telah diturunkan semua kepada
Siauw siecoe, juga bahwa Siauwsiecoe mempunyai peringatan yang sangat kuat dan
semua pelajaran itu sudah diingat olehnya."
"Baiklah," kata si
pendeta kecil yang sudah tersadar dan dengan muka pucat lalu berjalan keluar
dari kamar itu.
Boe Kie mengikuti dan mereka
berdua lantas saja meninggalkan kuil. Diberbagai ruangan mereka bertemu dengan
banyak pendeta yang semua berjalan dengan menundukkan kepala dan tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Didalam kuil terdapat ribuan orang, tapi suasana
tetap tenang dan sunyi. Boe Kie merasa kagum dan berkata dalam hatinya:
"Memang pantas sekali jika Siauw lim sie dikenal sebagai pemimpin dari
Rimba Persilatan." Jika dibandingkan dengan keadaan di kuil Siauw lim sie,
Giok hie koan seolah-olah sebuah pasar, dimana semua orang bergerak dan
berbicara secara bebas dan merdeka. Hal ini sudah terjadi karena, pertama,
agama Tookauw memang menganjurkan hidup bebas, dan kedua, sebab Thio Sam Hong
sendiri seorang yang beradat sederhana dan sembarangan.
Setibanya mereka di Lip soat
teng, Thio Sam Hong sudah menulis tigapuluh lembar lebih tapi masih menulis
terus.
Melihat kerelaan dan
pengorbanan guru besar itu Boe Kie merasa terharu, dan dengan air mata
berlinang linang, ia berseru: "Thay soehoe!"
Ia berdiam sejenak dan
kemudian berkata: "Kioe yang kang Cap jie sit sudah seluruhnya diturunkan
kepada anak oleh Siansoe,"
Sang kakek guru girang.
"Bagus," katanya sambil tertawa.
Sesudah menulis lagi beberapa
lama, Thio Sam Hong sudah menyelesaikan apa yang mau ditulisnya. Pendeta yang
melayani segera balik kekuil untuk memberi laporan dan tidak lama kemudian,
Kong boen, Kong tie dan Kong seng datang di Lip soat teng, diikuti oleh seorang
pemuda yang berusia kira-kira duapuluh lima tahun. Pemuda itu mengenakan
thungsha (jubah panjang) dan ia ternyata seorang murid Siauw lim sie yang tidak
menyukur rambut.
Thio Sam Hong merasa heran. Ia
tahu bahwa menurut peraturan Siauw Lim sie, sebelum lulus seorang murid bukan
pendeta tidak boleh keluar dari pintu kuil. Bagi seorang biasa masuk di Siauw
lim sie bukan gampang, tapi keluar dari kuil itu lebih sukar lagi. Apa
maksudnya Kong boen mengajak seorang murid bukan pendeta? Tanpa merasa, ia
mengawasi pemuda itu yang jangkung kurus, panjang lengannya dan pendek kakinya,
sedang kedua matanya bersinar terang, sehingga tidak dapat ditebak, bahwa ia
memiliki kecerdasan otak yang luar biasa.
"Kami telah membuat Thio
Cinjin banyak capai," kata Kong boen sambil merangkap kedua tangannya.
Sam Hong bersenyum.
"Terima kasih atas belas kasihan Hong thio Soe heng, sehingga jiwa anak
ini bisa ditolong," jawabnya sambil membungkuk. Sehabis berkata begitu, ia
menyodorkan tiga puluh lembar tulisan itu dan lalu berkata pula: "Thay kek
boen dan Sip sam sit dan Boe tong Kioe yang kang semua sudah ditulis disini.
Aku harap Sam wie Soeheng suka memberi petunjuk petunjuk dan bahwa aku sudah
berani memperlihatkan kebodohanku dihadapan kalian, kuharap kalian jangan
mentertawai."
Kong boen menyambuti dan tanpa
melihat lagi, ia segera menyerahkan tulisan itu kepada pemuda yang berdiri
dibelakangnya. Si pemuda segera membacanya dengan teliti, selembar demi
selembar.
Sambil mencekal tangan Boe
Kie, Sam Hong segera meminta diri.
"Dalam kedatangan kalian,
loolap sebenarnya harus mengundang kalian berdiam disini beberapa hari, dan bahwa
loolap tidak dapat berbuat begini hatiku merasa sangat tidak enak." kata
Kong boen. "Maka sebagai gantinya loolap hanya bisa mengundang Thio Cinjin
meneguk tiga cawan arak untuk mengunjuk hormat kami." Pendeta arak dan
kedua orang berilmu itu lantas saja ber sama-sama mengeringkan tiga cawan
dengan beruntun.
Sesudah itu Kong been, Kong
tie dan Kong seng pun turut memberi selamat jalan dengan tiga cawan arak.
Sesudah selesai, Sam Hong dan
Boe Kie segera memberi hormat dan memutar badan untuk berlalu. Sebelum
bertindak, sekonyong-konyong pemuda jangkung kurus itu berkata: "Soepeh,
ilmu silat yang ditulis Thio Cinjin tidak berbeda dengan pelajaran kita. Semua
yang telah dibaca olehku, aku sudah belajar dari Soehoe."
Sam Hong terkejut.
"Omong kosong !" bentak
Kong been, "Thay kek Sip sam sit adalah mustika Boe tong pay yang digubah
oleh Thio Cinjin sendiri. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa kau sudah pernah
belajar ilmu itu?"
Si pemuda segera menyerahkan
tulisan Thio Sam Hong itu kepada Kong boen dan berkata: "Soepeh lihat saja
sendiri."
Kong boen menyambuti dan lalu
membalik-balik beberapa lembar dan kemudian menyerahkannya kepada Kong tie dan
Kong seng. Kedua pendeta itu juga membalik-balik beberapa lembar.
"Soeheng, benar saja ilmu ini masih termasuk dalam lingkungan ilmu Siauw
lim sie," katanya dengan suara perlahan.
Sam Hong kaget bercampur
gusar. Thay kek Sip sam sit adalah hasil jerih payahnya selama tigapuluh tahun
dan baru pada tahun yang lalu, ilmu itu menjadi sempurna. Intisari daripada ilmu
itu ialah dengan kelemahan melawan kekerasan, dengan bergerak lebih dulu.
Azas-azas tersebut justeru sebaliknya daripada azas azas ilmu silat Siauw lim
sie. Disamping itu, walaupun bersumber dari Kioe yang Cin keng gubahan Tat mo
Loo couw, Boe tong Kioe yang kang sudah ditambah dengan banyak perobahan yang
keluar dari otaknya Sam Hong. Maka itulah, mendengar kata-kata si pemuda dan
Kong tie, guru besar itu jadi sangat mendongkol. Tapi dilain saat, ia sudah
dapat menebak sebab musabab dari sikap Siauw lim. Ia mengerti, bahwa ia kuatir
dikatakan menerima pelajaran dari Bee tong pay maka pendeta-pendeta suci itu
sudah mengeluarkan siasat tersebut.
Sementara itu, sambil
mengangsurkan tulisan tulisan itu kepada Sam Hong, Kong boen berkata:
"limu silat Boe tong bersumber dari Siauw Lim. Benar saja, apa yang
ditulis Thio Cinjin tidak banyak bedanya dari ilmu silat kami."
Sam Hong tertawa. "Apa
yang telah ditulis oleh si orang she Thio, sedikitpun aku tidak merasa
menyesal," katanya. "Aku mengerti bahwa ilmuku itu sangat cetek dan
tidak berharga. Jika Samwie tidak memerlukannya, sebaiknya dibuang saja."
Ia tidak menyambuti gabungan kertas itu yang diangsurkan kepadanya.
"Dari kata-katamu, Thio
Cinjin, rupanya kau tidak percaya akan pengutaraan kami itu," kata Kong
tie. Ia berpaling kepada si pemuda seraya berkata pula: "Yoe Liang, coba
kau halal Thay kek Sip sam sit dan Kioe yang kang yang diturunkan olehku
kepadamu "
"Baiklah," jawab
pemuda itu yang lantas saja menghafal tulisan Sam Hong selengkapnya, sehuruf pun
tidak ada yang ketinggalan.
"Thay soehoe, orang itu
menghafal dengan membaca tulisanmu," Boe Kie menyelak. "Dan sekarang
mereka mengatakan, ilmu Thay soehoe tiada berbeda dengan ilmu mereka. Sungguh
tak mengenal malu"
Sam Hongpun tahu. Ia tertawa
besar dan sambil mengawasi pemuda itu, ia berkata: "Selagi ketiga pendeta
suci mengajak aku minum arak, tuan sudah menghafalkan dua macam ilmu silatku.
Kepintaran dan kecerdasan itu tidak dimiliki Sam Hong. Boleh aku mendapat tahu
she dan nama tuan yang besar?"
"Cianpwee jangan memuji
begitu tinggi," jawabnya. "Boanpwee she Tan, bernama Yoe Liang."
"Saudara Tan," kata
pula guru besar itu dengan suara sungguh-sungguh. "Dengan kecerdasanmu,
apapun jua yang dipelajari olehmu pasti akan berhasil. Aku hanya mengharap, kau
jangan mengambil jalan yang salah. Dengan menggunakan kesempatan ini, aku ingin
mempersembahkan kata-kata seperti berikut: Dengan kejujuran kita memperlakukan
orang lain, dengan kerendahan hati, kita membatasi diri."
Melihat sinar mata orang tua itu
yang tajam bagaikan pisau, Yoe Liang bergidik. Tapi dilain saat ia menjadi
mendongkol dan berkata dengan suara kaku: "Terima kasih atas petunjuk Thio
Cinjin. Tapi Boanpwee adalah murid Siauw lim dan boan pwee mempunyai Soepeh,
Soehoe dan Soesiok untuk mengajar boanpwe."
"Benar," kata Sam
Hong sambil tertawa. "Memang aku si tua yang terlalu rewel."
Sesaat itu, Kong tie
mengangsurkan gabungan kertas itu. Hampir berbareng dengan itu si pendeta
terhuyung dan Yoe Liang yang berdiri didampingnya segera coba memeluknya. Tapi
tenaga Kong tie besar luar biasa dan pemuda itu yang kena didorong, lantas saja
terpental keluar pendopo dan jatuh ditanah.
Dalam mengirim Lweekang itu,
Sam Hong hanya menggunakan sebagian tenaganya dan ia memang tidak berniat
jahat. Maka itu, begitu mengerahkan Lweekang kebagian kakinya, Kong tie sudah
bisa berdiri tegah. Sam Hong bersenyum seraya berkata: "Itulah ilmu dari
Thay kek Sip sam sit. Sekarang terbukti, bahwa walaupun kalian berdua paham
akan ilmu itu, tapi kalian belum mempunyai tempo untuk berlatih. Selamat
tinggal !" Dengan sekali mengibas tangan, diudara beterbanganlah
kepingan-kepingan kertas yang sangat halus, yaitu kertas yang berisi ilmu Thai
kek dan Boe tong Kioe yang kang. Sambil menuntun tangan Boe Kie, tanpa menengok
lagi ia meninggalkan Siauw sit sat.
Kong boen bertiga saling
mengawasi dengatl mulut ternganga. Mereka merasa kagum dan takluk akan
kepandaian orang tua itu. Disamping itu, merekapun merasa agak menyesal.
"Ilmu itu begitu lihay," kata Kong boen didalam hati."Apa Yoe
Liang sudah menghafakan seanteronya? Jika satu huruf saja yang kelupaan, Siauw
lim akan menderita kerugian besar."
Malam itu didalam rumah
penginapan Sam Hong menyuruh Boe Kie berlatih menurut Kouw koat yang diturunkan
oleh Goan tin. Karena tidak ingin mendengar dan melihat cara berlatihnya si
bocah, ia sendiri tidur disebuah kamar lain. Sebagai seorang yang berilmu
tinggi, jika ia melihat cara bersemedhi dan gerak-gerakannya serta mendengar
jalan pernapasan cucu muridnya itu, ia sudah bisa mengetahui rahasia Siauw lim
Kioe yang-kang.
Selama berada dalam perjalanan
pulang, iapun belum pernah menanyakan kemajuan Boe Kie. Meskipun ketiga pendeta
suci Siauw lim pay berpemandangan agak sempit, akan tetapi mereka adalah
orang-orang ternama dalam kalangan Rimba persilatan sehingga ia percaya, mereka
tidak akan memberi pelajaran palsu.
Berselang beberapa hari, paras
muka Boe kita sudah berubah agak merah sehingga sang kakek guru jadi merasa
girang sekali. Sam Hong tahu, bahwa Boe Kie sudah memiliki Kioe yang kang dari
Boe tong dan Siauw lim yang saling menambah kekurangan masing-masing. Ia
percaya penuh, bahwa kedua macam Kioe yang kang itu akan cukup kuat untuk
mengusir racun dingin Hianbeng Sin ciang yang mengeram dalam tubuh si bocah.
Hari itu, mereka tiba ditepi
sungai Han soei dan lalu menyewa perahu untuk menyeberang.
Dengan rasa terharu, Sam Hong
ingat pengalamannya yang lampau. Ia ingat kesengsaraan dulu, pada waktu ia
kabur dari Siauw lim sie dan mau menyeberang sungai itu. Waktu usianya tidak
banyak berbeda dengan usia Boe Kie sekarang.
Mimpipun ia tak pernah mimpi,
bahwa pada akhirnya ia bisa menjadi pendiri Boe tong pay yang sekarang berdiri
berendeng dengan Siauw lim pay. Keadaan Boe Kie dihari ini lebih bagus dan
lebih unggul daripada diwaktu dulu. Ia percaya, bahwa dikemudian hari,
kedudukan bocah itu akan lebih tinggi daripadanya. Mengingat begitu, tanpa ia
merasa ia bersenyum dan hatinya bunga.
Mendadak, lamunannya
disadarkan oleh teriakan Boe Kie: "Thay soehoe!.... Aku....aku..:." Suaranya
bergemetaran dan mukanya pucat pasi. Sam Hong terkesiap. Muka anak itu merah
dan pada warna kemerah-merahan itu terdapat sinar hijau. "Thay
soehoe!" teriak Boe kie. "Aku....aku tak tahan!" Badannya
bergoyang-goyang.
Dengan cepat tangan kiri sang
kakek guru mencekal pengelangan tangan Boe Kie sedang telapak tangan kanannya
ditempekan dijalan darah Leng-tay hiat dipunggung si bocah. Tapi begitu lekas
ia mengirim tenaga dalam untuk membantu Boe Kie melawan racun dingin itu,
sekali lagi ia terkesiap karena Lweekangnya lantas saja menerobos masuk ke Kie
keng Pat meh. Boe Kie mengeluarkan teriakan menyayat hati dan lalu pingsan.
Kaget orang tua itu bagaikan
disambar halilintar. Buru-buru ia menotok untuk menutup dua belas Thay hiat
dibadan Boe Kie.
"Mengapa Kie keng Pat meh
terbuka?" tanyanya didalam hati. "Dengan terbukanya pembuluh darah,
racun bisa lantas masuk kedalam isi perut dan kalau sudah masuk disitu maka
sudah tentu tak akan bisa dibuyarkan lagi."
Sesudah berusia lebih dari
satu abad dan sesudah ilmunya menecapai puncak kesempurnaan, guru besar itu
tenang luar biasa. Tapi kali ini, ia tak dapat mempertahankan ketenangannya.
Jantungnya berdebar keras dan keringat dingin mengucur dari dahinya "Apa
bisa jadi, Siauw lim Kioe yang kang sedemikian hebat, sehingga dalam beberapa
hari saja ilmu itu sudah dapat membuka pembuluh darah ?" Ia tanya lagi
dirinya sendiri. "Tidak mungkin! Pasti tidak mungkin ! Lie Heng dan Seng
Kok sudah berlatih belasan tahun, tapi latihan itu masih belum cukup untuk membuka
pembuluh darah."
Dengan Lweekangnya yang sangat
tinggi, jikamau, Sam Hong bisa membantu kedua muridnya untuk membuka Kie-keng
pat-meh. Akan tetapi, dalam memberi pelajaran, ia selalu berpendirian bahwa
sesuatu yang didapat dengan latihan sendiri adalah lebih berhanga daripada yang
diperoleh atas bantuan orang. Dalam mengajar semua muridnya dia tak mau
tergesa-gesa. Ia membiarkan murid murid itu berlatih sendiri dan maju dengan
per lahan tapi tentu.
Waktu itu, perahu yang
ditumpangi mereka tiba ditengah tengah sungai dan karena terdampar ombak,
kendaraan air yang kecil itu terombang ambing kian kemari tiada bedanya seperti
hati Thio Sam Hong yang bergoncang keras.
Beberapa saat kemudian, Boe
Kie tersadar. Sesudah keduabelas Tayhiatnya ditotok, racun dingin tidak bisa
masuk kedalam isi perutnya, akan tetapi, karena itu, ia tak dapat menggerakkan
badan.
Sekarang Sam Hong tidak
menggubris lagi soal pantas atau tidak pantas.
"Nak, bagaimana isi Siauw
lim Kioe yang kang yang diturunkan kepadamu?" tanyanya. "Mengapa
semua pembuluh darahmu jadi terbuka?"
"Yang membuka yalah Goan
tin Siansoe," jawabnya. "Ia mengatakan bahwa ia membantu supaya aku
bisa berhasil terlebih siang dalam latihan Kioe yang Sin kang."
"Tapi bagaimana ia jadi
membantu kau?" tanya Sam Hong, tergesa-gesa.
Boe Kie segera menceriterakan
cara bagaimana ia mendengar pembicaraan antara Kong boen dan Kong tie, cara
bagaimana Goan tin memberi pelajaran dengan teraling tembok dan cara bagaimana
pendeta aneh itu sudah membantunya dalam membuka Kie keng Pat mah.
Untuk beberapa lama sang kakek
guru tidak mengeluarkan sepatah kata. "Kalau pembuluh darahmu perlu dibuka
dengan segera, apakah aku tidak dapat melakukan itu?" katanya dengan suara
perlahan. "Apa maksud baik atau sengaja dia bermaksud jahat?"
"Goan tin Siansoe telah
mengatakan berulang ulang bahwa ia tak tahu she dan namaku, ia tak tahu rumah
perguruanku dan akupun tidak perlu tahu she dan namanya," menerangkan Boe
Kie.
"Goan tin .... Goan tin
...." Sam Hong berkata, seperti pada dirinya sendiri, "Belum ...
belum pernah aku mendengar nama begitu diantara jago-jago Siauw lim sie. Hm ...
Ia tak tahu namamu, tak mengenal partaimu. Kalau begitu, ia tak tahu
perhubungan antara aku dan kau. Kalau begitu, bantuannya itu, keluar dari hati
yang baik."
Sesudah berkata itu, Sam Hong
lalu menanyakan Kouw koat Siauw Lim Kioe yang kang. Boe Kie lantas saja
menghafal, mulai dari jurus Wie hok Hian couw. Baru saja ia menghafal sampai
jurus ketiga. Ciang to Thian boen (Dengan telapak tangan menyangga pintu
langit), sang kakek guru sudah berkata: "Cukup! Tak usah kau menghafal
terus. Tujuanku hanyalah untuk mengetahui tulen palsunya ilmu yang diturunkan
kepadamu. Mulai dari sekarang, kau tidak boleh memberitahukan Siauw lim Kioe
yang Sin kang kepada siapapun jua. Kau mesti ingat, bahwa kau tidak boleh
melanggar sumpahmu yang sangat berat
"Baik," jawabnya
sambil mengawasi muka sang kakek guru, karena Sam Hong telah mengucapkau
kata-kata itu dengan suara gemetar. Ia melihat bahwa dalam kedua mata orang tua
itu mengembang air. Sebagai seorang yang sangat pintar, ia mengerti, bahwa sang
kakek guru sudah tak punya harapan untuk menolong jiwanya lagi.
Mendadak, serupa ingatan
berkelebat dalam otaknya. "Thay Soehoe," katanya: "Apakah aku
masih bisa bertahan dan bisa pulang ke Boe tong san dengan masih
bernyawa?"
"Jangan kau berkata
begitu," jawab guru besar itu sambil menahan mengucurnya air mata.
"Biar bagaimanapun jua, Thay soehoe akan berdaya untuk menolong jiwamu
"
"Kalau aku masih bisa
bertemu muka dengan Jie Shapeh, aku sudah merasa puas," kata pula Boe Kie.
"Mengapa begitu?"
tanya sang kakek guru.
"Sebab sesudah tidak bisa
hidup, anak ingin membuka rahasia Siauw lim Kioe yang kang ke pada Jie
Shapeh" jawabnya.
"Anak mengharap supaya
dengan menggunakan Kioe yang kang dari Boe tong dan Siauw lim, Shapeh akan
dapat menyembuhkan kaki tangannya yang bercacad. Sesuai dengan sumpah anak akan
menggorok leher sendiri seperti yang telah dilakukan ayah, supaya dengan
begitu, anak dapat menebus sebaglan kecil dari ke dosaan ibu."
Bukan main rasa kaget dan
terharunya Sam Hong. Tak pernah ia menduga, bahwa bocah sekecil Boe Kie bisa
mempunyai pikiran begitu: "Ah ! ... Jangan kau .... bicara .... yang
tidak-tidak." katanya dengan suara parau.
"Hari itu, aku sudah mengerti
duduknya persoalan," kata Boe Kie. "Dengan menggunakan jarum beracun,
ibu telah melukakan Jie Shapeh sehingga Shapeh bercacad untuk seumur hidupnya.
Itulah sebabnya, mengapa ayah telah. . .."
Sam Hong tak dapat
mempertahankan diri lagi. Air matanya lantas saja mengucur deras, sehingga
membasahi jubah pertapaannya. "Kau. .... kau tak boleh....memikir yang
tidak-tidak." katanya sambil menangis sedu-sedan. Sesaat kemudian, sesudah
menenteramkan hatinya, ia berkata pula dengan suara angker: "Seorang laki
laki harus berjalan dijalanan lurus. Kau sudah berjanji, dengan disertai sumpah
berat, untuk tidak memberitahukan pelajaran Siauw lim Kioe yang kang kepada
siapapun jua. Janji itu harus dipegang sampai pada akhirnya. Andaikata benar
kau bakal mati, aku juga tidak boleh berlaku licik."
Boe Kie terkejut. Ia mengawasi
sang kakek guru dengan mulut ternganga, akan kemudian manggut kan kepalanya.
Semenjak kecil sehingga pulang
ke Tionggoan, Boe Kie hidup bersama-sama kedua orang tua dan ayah angkatnya, So
So dan Cia Soen, memang bukan manusia yang bersih, tapi bahkan Coei San sendiri
belum pernah memberi pelajaran bathin kepadanya. Maka itulah, ia belum mengerti
soal kehormatan dalam Rimba Persilatan. Sekarang untuk pertama kali, ia
menerima nasehat dari kakek gurunya.
Dilain saat, Sam Hong berkata
pula dalam hatinya: "Sesudah tahu, bahwa jiwanya tidak bakal tertolong
lagi, anak itu rela membunuh diri guna menolong Thay Giam. Jiwa yang sedemikian
adalah sesuai dengan jiwa seorang pendekar Rimba Persilatan."
Memikir begitu, ia lantas
berniat memberi sedikit pujian kepada Boe Kie, tapi, belum sampai ia membuka
mulut, sudah terdengar teriakan seseorang: "Hentikan perahu! Serahkan anak
itu! Kalau kau tidak menurut, jangan katakan aku kejam." suara itu nyaring
luar biasa, suatu pertanda bahwa orang yang berteriak memiliki Lweekang yang
sangat tinggi.
Sam Hong bersenyum lebar.
"Siapa yang bernyali begitu besar. berani memerintahkan aku menyerahkau
cucu muridku ?" katanya didalam hati.
Ia mendongak dan melihat
sebuah perahu kecil yang didayung oleh seorang lelaki brewokan dan dengan
badannya, orang itu melindungi dua orang anak kecil, satu lelaki dan satu
perempuan. Dibelakang perahu kecil itu mengejar sebuah perahu yang lebih besar,
yang ditumpangi oleh empat orang-orang Hoan ceng (Pendeta bukan golongan Han)
dan tujuh delapan perwira Mongol yang mendayung perahu.
Lelaki brewokan itu bertenaga
sangat besar dan perahunya laju pesat sekali. Tapi perahu yang mengejar
didayung oleh orang yang jumlahnya jauh terlebih banyak, sehingga makin lama
jarak antara kedua perahu itu jadi semakin pendek.
Beberapa saat kemudian, tampak
ke empat Hoan ceng dan perwira-perwira Mongol itu mulai melepaskan anak panah.
Sekarang Sam Hong tahu, bahwa
yang dimaui oleh orang-orang itu adalah kedua anak kecil yang dilindungi oleh
si orang brewokan. Selama hidup, ia paling benci serdadu-serdadu Mongol yang
berbuat sewenang-wenang terhadap orang Han dan seketika itu juga, didalam
hatinya timbut niatan untuk menolong. Tapi ia segera mengurung kan niatannya
itu, karena ia sendiri harus melindungi Boe Kie yang sedang menderita penyakit
berat. Disamping itu, jarak antara perabunya dan kedua perahu yang sedang
ubar-ubaran itu masih terlalu jauh, sehingga biarpun ingin, ia tak akan keburu
menolong mereka.
Tapi dilain saat terjadi
perkembangan yang di luar dugaan. Dengan tangan kiri tetap mendayung perahu,
tangan kanan si brewok mengibas anak anak panah yang menyambar dengan penggayuh
yang satunya lagi. Tanpa merasa, Sam Hong bersorak dan berkata dalam hatinya:
"Orang itu memiliki kepandaian luar biasa. Cara bagaimana aku bisa
mengawasi kecelakaan yang menimpa dirinya seorang gagah dengan berpeluk
tangan?" Ia lantas saja berpaling kepada situkang perahu seraya berkata:
"Coan kee (tukang perahu), dayunglah perahumu kearah kedua perahu
itu!"
Si tukang perahu kaget tak
kepalang. Sambil mengawasi si kakek dengan mata membelalak ia berkata :
"Loo too ya... kau ... kau ... jangan guyon-guyon!"
Melihat keadaan sudah
mendesak, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Sam Hong menyentak dayung dan dengan
sekali menggayuh, kepala perahu sudah terputar.
Sekonyong-konyong terdengar
teriakan menyayat hati. Teriakan itu keluar dari mulutnya salah seorang anak
yang lelaki yang punggungnya tertancap sebatang anak panah.
Dalam kagetnya, si brewok
membungkuk untuk memeriksa luka anak laki-laki tersebut itu, dan selagi ia
membungkuk, dua batang anak panah mengenakan pundak dan punggungnya. Ia
mengeluar kan teriakan tertahan. Badannya bengoyang-goyang dan dayung yang
dicekalnya jatuh ke air, sehingga perahunya lantas saja berhenti. Sesaat
kemudian perahu yang mengejar sudah menyandak dan semua pengejar Ialu melompat
keperahu si brewok. Tapi dia laki-laki sejati. Biarpun dikurung oleh begitu
banyak. musuh, secara nekat-nekatan in melawan dengan tangan kosong,
"Orang gagah, jangan
takut !" teriak Thio Sam Hong. "Aku akan datang menolong kau!"
Sambil menggenjot tubuhnya, ia melontarkan dua lembar papan ke air, kaki
kirinya menotol papan pertama, kaki kanannya papan kedua dan bagaikan seekor
burung raksasa, ia hinggap diatas perahu. Selagi ia melompat, dua orang perwira
dengan berbareng melepaskan anak panah, tapi kedua anak panah itu terpental
dengan kibasan tangan. Begitu lekas kedua kakinya menginjak geladak perahu, ia
menghantam dengan telapak tangan kirinya dan dua Hoan ceng, terpental setombak
lebih, akan kemudian tercebur didalam air. Melihat kelihayan si kakek, semua
orang kaget bukan main; "Bangsat tua! Mau apa kau?" bentak perwira
yang memimpin rombongan.
"Anjing Tat coe !"
Sam Hong balas mencaci. "Lagi - lagi kamu mencelakakan rakyat baik baik.
Pergi!'
"Kau tahu siapa
mereka?" tanya si perwira. "Mereka adalah anak-anaknya penghianat
dari Mokauw (agama siluman). Hong siang telah mengeluarkan firman untuk
membekuk mereka!"
Mendengar "penghianat
dari Mokauw", Thio Sam Hong rupanya terkejut juga. "Apakah mereka
orang-orangnya Tincoe Cioe Coe Ong?" Tanyanya didalam hati. Ia menengok
kepada sibrewok dan bertanya: "Apa benar?"
Dengan tubuh berlumpuran darah
dan sambil memeluk mayat anak lelaki itu, ia menangis dan berkata:
"Siauwcoekong (majikan kecil)... Siauw coekong binasa dipanah oleh
meraka.. "
Si kakek jadi makin kaget.
"Apakah anak itu puteranya Cioe Coe Ong?" tanyanya pula.
"Benar," jawabnya
"Aku sudah gagal menunaikan tugasku. Biarlah aku mati bersama sama".
Perlahan-lahan ia menaruh
mayat di atas geladak perahu dan kemudian menubruk perwira Mongol itu. Tapi,
sebab lukanya terlalu berat dan kedua anak panah itu belum dicabut dari pundak
dan punggungnya, maka begitu melompat, ia roboh kembali. Nona kecil itu, yang
lengannya tertancap sebatang anak panah, menangis dan sesambat: "Koko!
Koko !... "
Didalam hati, Sam Hong merasa
menyesal bahwa ia sudah mencampuri urusannya Cioe Coe Ong. Akan tetapi, karena
sudah terlanjur, ia tak bisa mundur ditengah jalan. Maka itu, ia menengok
kepada siperwira dan berkata: "Anak itu sudah binasa dan mereka berdua
telah mendapat luka berat, sehingga tak lama lagi merekapun akan turut binasa.
Kalian sudah berpahala besar. Pergilah!"
"Tidak bisa!" kata
perwira itu. "Kami mesti memenggal kepala ketiga orang itu."
"Perlu apa kalian berlaku
begitu kejam ?" kata pula Sam Hong.
"Siapa kau? Mengapa kau
berani campur campur arusan kami ?" tanya siperwira dengan aseran.
Sam Hong tertawa. "Siapa
yang bisa menolong sesama manusia, haruslah dia menolong," jawabnya.
"Segala urusan dikolong langit boleh dicampuri oleh manusia di kolong
langit."
Perwira itu melirik
kawan-kawannya. "Siapa adanya Tootiang dan di mana letak kuil mu?"
tanyanya.
Mendadak, dua perwira lain
mengangkat golok dan menyabet pundak Sam Hong. Kedua senjata itu menyambar
bagaikan kilat dan di atas perahu yang sempit, sungguh sukar untuk
mengelakkannya. Tapi dengan hanya sekali miringkan badan, guru besar itu sudah
kelit senjata musuh. Hampir berbareng, Sam Hong mengeluarkan kedua tangannya
yang lalu ditempelkan di punggung kedua penyerang itu. "Pergilah !"
Bentaknya seraya mendorong dan tubuh kedua perwira itu lantas saja
"terbang", akan kemudian jatuh di atas perahu mereka sendiri.
Sesudah puluhan tahun Sam Hong
belum pernah bertempur dan hari ini ia sebenarnya menghadapi jago-jago pilihan
dari kaizar Mongol. Semua jago itu kaget tak kepalang, sebab pihak mereka
sedikitpun tak dapat berkutik.
Mendadak, seperti orang ingat
sesuatu, pemimpin rombongan menatap wajah Sam Hong dengan mulut ternganga dan
kemudian berkata dengan suara putus-putus: "Kau ... kau .. apa kau bukan
..."
"Aku adalah seorang yang
biasa membunuh Tat coe," kata sikakek seraya mengibas dengan lengan
jubahnya.
Hampir berbarengan semua orang
itu merasakan satu sambaran angin dan dada mereka menyesak, sehingga mereka
tidak dapat mengetuarkan sepatah katapun. Dilain saat, dengan muka pucat mereka
berdulu dulu meninggalkan perahu itu dan sesudah menolong kedua Hoan ceng yang
tercebur diair, mereka kabur secepat mungkin dengan ramai-ramai mendayung
perahu.
Melihat sibrewok dan nona
cilik itu dilukakan dengan anak panah beracun, Sam Hong segera mengeluarkan
obat pemunah racun. Sesudah itu ia mendayung perahu kecil Itu, mendekati
perahunya sendiri. Baru saja ia mau memapah sibrewok untuk berpindah
keperahunya, orang itu sudah melompat dengan memeluk mayat dan tangan lain
menyekel tangan si nona kecil.
Sam Hong manggut-manggutkan
kepala. "Benar-benar laki-laki sejati," pujinya. "Meskipun sudah
menderita luka berat, ia tetap menunjuk kesetiaan kepada majikan kecilnya. Aku
tak merasa menyesal sudah menolongnya."
Ia sendiri lalu melompat balik
keperahunya, dimana ia segera mencabut anak panah yang menancap ditubuh si
brewok dan si gadis cilik. Sesudah menaruh obat luka dan membalut luka itu,
Sam Hong tidak lantas
mendarat, karena ia menghadapi keadaan yang agak sukar. Boe Kie yang kedua
belas Thay hiatnya ditotok, tidak bisa berjalan sendiri, sedang si brewok dan
sinona kecil itu adalah pemburonan yang sedang dicari oleh kaki tangan kaizar
Mongol. Jika mereka menginap di Loa ho kouw, Sam Hong merasa agak berat untuk
melindungi tiga orang itu. Sesudah mengasah otak beberapa saat, ia merogoh saku
bajunya, dan ia mengeluarkan beberara tahil perak yang lalu diserahkan kepada
si tukang perahu.
"Saudara" katanya
sambil bersenyum. "Aku ingin meminta pertolonganmu untuk membawa mereka ke
Thay peng tiam supaya mereka bisa menginap disitu."
Si tukang perahu sebenarnya
sangat ketakutan tapi melihat jumlah uang yang begitu besar, ia lantas saja
manggut-manggut kepala.
Si brewok buru-buru berlutut
diatas geladak perahu dan berkata: "Budi Loo tooya yang sangat besar tak
akan dapat dibelas oleh Siang Gie Coen."
Sam Hong membangunkan orang
itu seraya berkata "Siang Enghiong, tak usah, tak usah kau jalankan
peradatan besar."
Tiba-tiba ia terkejut, sebab
waktu tangannya menyentuh tangan Siang Gie Coen, ia merasa tangan itu dingin
luar biasa. "Siang Enghiong apakah kau mendapat luka di dalam badan
?" tanyanya.
"Benar", jawabnya
sambil mengangguk. "Dengan membawa kedua majikan kecil ini, Siauw jin (aku
yang rendah) berangkat dari Sin yang untuk pergi ke Selatan. Di sepanjang jalan
empat kali siauwjin bertempur dengan kuku garuda (kaki tangan kaizar) yang
dikirim oleh Tatcoe. Dada dan punggungku telah terkena pukulan seorang Hoan
ceng."
Sam Hong segera memeriksa nadi
Siang Gie Coen dan mendapat kenyataan, bahwa denyutan nadi sudah lemah sekali.
Kemudian ia membuka baju si brewok dan begitu melihat lukanya, ia terkejut,
karena luka itu sudah bengkak dan sangat berat. Ia mengerti, bahwa tanpa
memiliki kekuatan badan yang luar biasa, Siang Gie Coen tentu sudah tidak dapat
bertahan lagi. Ia segera mempersilahkan Gie Coen mengaso digubuk perahu dan melarangnya
banyak bicara.
Mereka tiba di Thay pang kiam
diwaktu malam. Sam Hong lantas saja pergi ke kota untuk membeli obat-obatan
yang kemudian segera dimasak dan diberikan kepada Siang Gie Coen dan sinona
kecil.
Gadis itu, yang baru berusia
kira-kira sepuluh tahun dan yang paras mukanya mengunjuk, bahwa sesudah besar
ia bakal jadi seorang wanita yang luar biasa cantik, duduk terpaku disamping
mayat kakaknya. Melihat begitu, Sam Hong merasa kasihan dan menanya dengan
suara lemah lembut: "Nona, siapa namamu?"
"Aku, Cioe Tit
Jiak", jawabnya. "Bolehkah aku mendapat tahu nama Too tiang?"
Rasa simpathi guru besar itu
jadi makin besar karena dalam kedukaannya, anak itu masih tetap agung dan
sopan. "Aku, Thio Sam Hong." jawabnya.
"Ah!" demikian
terdengar teriakan Siang Gie Coen yang lantas bangun duduk. "Kalau begitu
Tootiang adalah Thio Cinjin dari Boe tong san! Tak heran jika Tootiang memiliki
kepandaian yang begitu tinggi. Aku merasa sangat beruntung, bahwa hari ini aku
bisa bertemu muka dengan Sian tiang (dewa)"
"Jangan gunakan istilah
dewa", kata si kakek seraya bersenyum. "Aku hanya berumur lebih
panjang dari manusia kebanyakan Siang Enghiong, tidurlah. Jangan banyak
bergerak supaya lukamu tidak terbuka lagi."
Melihat kegagahan Siang Gie
Coen dan sopan santunnya Cioe Tit Jiak, Sam Hong merasa senang sekali. Tapi
begitu mengingat bahwa mereka itu adalah orang-orang dari golongan sesat,
hatinya lantas saja berubah dingin. "Jie wie mendapat luka berat dan tidak
boleh banyak bicara." katanya dengan suara tawar.
Dulu, Thio Sam Hong sebenarnya
tidak begitu menghiraukan perbedaan antara golongan sesat dan lurus. lapun
pernah mengatakan kepada Coei San, bahwa "ceng" (lurus besar) dan
"sia" (sesat kotor) sukar dibedakan. Kalau berhati tidak baik, murid
murid dari partai lurus bersih bisa melakukan perbuatan jahat, sedang
murid-murid dari partai yang katanya sesat kotor dapat melakukan perbuatan
mulia, jika hati mereka bersih. Ia juga pernah mengatakan, biarpun angkuh dan
beradat aneh, In Thian Ceng dari Peh bie kauw adalah laki laki yang bertanggung
jawab atas segala perbuatan nya.
Akan tetapi, semenjak Coei San
membunuh diri ia membenci Peh bie Kauw. Ia menganggap, bahwa kebinasaan Coei
San dan kecelakaan Jie Thay Giam adalah gara-gara Peh bie kauw. Walaupun ia
masih dapat menahan sabar dan tidak menuntut balas terhadap In Thian Ceng, tapi
didalam hatinya sudah terdapat kebencian yang sangat terhadap partai golongan
"sesat".
Cioe Coe Ong adalah murid
terutama golongan Bie lek cong dari "agama" sesat. Beberapa tahun
yang lalu. Cioe Coe Ong telah memberontak di Wan cioe dan mengangkat dirinya
sendiri menjadi "kaizar", dengan kerajaan yang dinamakan
"Cioe". Tapi bala tentaranya telah dibasmi habis oleh tentara Goan,
dan ia sendiri ditangkap dan di hukum mati.
Bie lek cong dan Peh bie kauw
mempunyai hubungan erat. Waktu Cioe Coe Ong memberontak, In Thian Ceng telah
memberi banyak bantuan dari Ciat kang timur.
Bahwa Thio Sam Hong sudah
menolong Siang Gie Coen dan Cioe Tit Jiak, adalah karena didorong oleh rasa kesatriaan
dan juga sebab pada waktu turun tangan, ia masih belum tahu siapa adanya mereka
itu.
Sekarang, mengingat nasib dua
orang muridnya, tanpa merasa ia menghela napas panjang. Tak lama kemudian, si
tukang perahu sudah selasai masak dan menaruh empat macam makanan dengan daging
ayam, daging babi, ikan dan sayur, bersama sebakul nasi dan diatas sebuah meja
kecil.
Sam Hong segera menyilakan
kedua tamunya makan lebih dulu, sebab ia sendiri ingin manyuapkan Boe Kie yang
tidak bisa bergerak. Atas pertanyaan Siang Gie Coen, ia menerangkan sebab
musababnya.
Karena hatinya berduka, Boe
Kie tidak bisa makan banyak. Baru saja menelan satu dua suap, ia sudah
menggeleng-gelengkan kepala.
Tiba tiba Tit Jiak mengambil
mangkok nasi dan sumpit dari tangan Sam Hong. "Too tiang, kau makan lebih
dulu. Biar aku saja yang menyuapkan Toako," katanya.
"Aku sudah kenyang,"
kata Boe Kie.
"Toako, jika kau tak mau
makan, Too tiang jadi kesal dan iapun tidak akan mau makan," kata si nona
dengan halus. "Apa kau tega membiarkan orang tua itu kelaparan?"
Boe Kie merasa perkataan gadis
itu ada benarnya juga. Maka, waktu Tit Jiak mengangsurkan sendok nasi
kemulutnya, ia lalu membuka mulut data memakannya. Dengan hati-hati, si nona
kecil mencabut tulang-tulang ikan dan ayam dan pada setiap sendok nasi, ia
menambahkan kuah daging, sehingga menimbulkan napsu makan dan tidak lama
kemudian, Boe Kie sudah menghabiskan semangkok nasi.
Melihat begitu, Sam Hong
merasa terhibur, Diam-diam ia merasa bahwa dalam sakitnya yang begitu berat,
Boe Kie memang harus dirawat oleh seorang wanita yang halus budi pekertinya.
Semeatara itu, Siang Gie Coen makan dengan bernapsu. Ia telah menghabiskan
semangkok sayur dan empat mangkok nasi, tapi daging dan ikan tidak disentuh
olehnya.
Dilain pihak, meskipun ia
seorang toosoe, Sam Hong sendiri makan makanan berjiwa. Melihat nafsu makan
Siang Gie Coen, ia segera menawarkan daging dan ikan kepada tamunya itu.
"Thio Cinjin," kata
si brewok, "Sebagai orang yang memuja Po sat, aku tidak makan makanan
berjiwa."
"Ah ! Aku lupa,"
kata Sam Hong.
Dalam kalangan "agama
siluman", peraturan paling dipegang keras sekali. Anggauta
"agama" itu setiap hari hanya diperbolehkan makan satu kali dan
dilarang makan makanan berjiwa. Peraturan itu sudah berjalan sedari jaman kerajaan
Tong. Oleh sebab sepanjang masa pemerintah selalu berusaha untuk membasminya,
sedang orang-orang Rimba persilatan juga memandangnya rendah, maka
anggauta-anggauta "agama" sesat sangat berhati hati dalam segala
sepak terjangnya. Mereka tidak makan makanan berjiwa karena dilarang
"agama" nya tapi terhadap dunia luar, mereka selalu mengatakan, bahwa
mereka ciacay (hanya makan sayur sayur) sebab menyembah Po sat atau Sang
Buddha. Mereka tidak berani mengakui siapa sebenarnya mereka.
"Thio Cinjin, kau adalah
penolong jiwaku," kata Siang Gie Coen sesudah selesai bersantap.
"Sesudah kau tahu siapa adanya aku, akupun tak perlu menggunakan
tedeng-tedeng lagi. Aku adalah seorang anggauta Beng kauw yang mengabdi kepada
Beng coen. Agama kami dibenci oleb kerajaan, dipandang rendah oleh
partai-partai persilatan yang lurus dan bahkan diejek oleh orang-orang
"sejalan hitam" (kawanan perampok). Tapi Thio Cinjia sendiri, malah
sesudah mengetahui asal usul kami, masih rela menyodorkan tangan untuk menolong
kami. Budi yang sangat besar itu tak akan dapat dibalas."
Pemimpin besar dari
"agama" sesat itu dinamakan "Mo-ni", sedang para penganut
memanggitnya dengan panggilan "Beng coen". Mereka menamakan
"agama" mereka sebagai "Beng kauw." (Agama terang), sedang
orang luar memberi nama "Mo kauw" atau Agama siluman.
Sam Hong mengawasi Gie Coen
dengan mata tajam dan berkata: "Siang Enghiong...."
"Lo too ya," memutus
Gie Coen, "janganlah kau menggunakan kata-kata enghiong. Panggil saja
namaku, Gie Coen."
"Baiklah," kata guru
besar itu sambil mengangguk. "Gie Coen, berapa usiamu sekarang?"
"Baru masuk duapuluh
tahun," jawabnya.
Sam Hong mengawasi pemuda itu.
Ia kelihatannya banyak lebih tua lantaran berewoknya yang tebal. Dari suara dan
gerak-geriknya, ia memang masih muda sekali.
Sam Hong manggut-manggutkan
kepalanya. "Kau baru saja masuk usia dewasa, masih muda sekali,"
katanya. "Biarpun kau sudah masuk kedalam agama sesat, masih belum terlalu
dalam. Jika kau mau memutar kepala, masih belum terlambat. Aku ingin mempersembahkankan
dengan beberapa perkataan dan aku harap kau tidak menjadi gusar."
"Ajaran Tootiang tentulah
juga berharga seperti emas dan batu kumala," kata pemuda itu sambil
membungkuk. "Mana bisa aku merasa gusar?"
"Baiklah", kata guru
besar itu. "Aku ingin menasehati supaya kau cepat-cepat mencuci hari dan
mengubah muka supaya kau segera meninggalkan agama yang sesat itu. Manakala kau
tidak mencela Boe tong pay yang ilmunya cetek, aku akan memerintahkan supaya
muridku yang kepala, yaitu Song Wan Kiauw, menerima kau sebegai murid. Dihari
kamudian kau akan bisa mengangkat muka dan tidak seorangpun berani memandang
rendah lagi kepadamu."