Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 10

Kisah Membunuh Naga (To Liong To/ Bu Kie) Bagian 10

Chin Yung/Jin Yong
-------------------------------
-----------------------------
Bagian 10
Sekali lagi para hadirin bersorak sorai, sedang paras muka kedua jago Koen loen pay jadi pucat bagaikan mayat.

Diantara sorakan tiba tiba dua orang Hio coe menghampiri meja utama dengan masing-masing mendukung sebuah batu besar. "Kursi kayu tidak cukup kuat untuk diduduki oleh kalian," kata satu antaranya "Jie wie duduklah dibatu ini"

Kedua Hio coe itu adalah orang kuat dalam Peh bie kauw. Ilmu silat mereka biasa saja, tapi mereka memiliki tenaga yang luar biasa.

Ko Cek Seng dan Chio Tauw kaget bukan main. Meskipun mereka berkepandaian tinggi ilmu ilmu pedang, mereka merasa tak sanggup menyambuti batu yang beratnya kira-kira tujuh ratus kati itu, "Taruhlah." kata Ko Cek Seng.

"Huh !' kedua orang kuat itu mengerahkan tenaganya dan mengangkat tinggi-tinggi kedua batu itu. "Sambutlah !" kata mereka.

Kedua jago Koenloen itu terkesiap. Dengan serentak mereka melompat kebelakang.

"Jika Jie wie Koenloen Kiam kek tak mau duduk di meja utama, biarlah Thio Siang ong saja yang duduk di situ," kata Pek Kwie Sioe.

Mendengar perkataan itu, Coei San yang sedang kelelap dalam lautan asmara mendadak tersadar. "Celaka !" ia mengeluh. "Tak boleh aku membiarkan diriku dijatuhkan oleh memedi perempuan ini," Ia lantas saja bangun berdiri dan menghampiri meja utama.

Dalam mengundang Coei San untuk duduk di meja utama, Pek Kwie Sioa beminat menjajal kepandaian pemuda itu, yang dipuji tinggi oleh Siang Kim Pang, tapi belum disaksikan olehnya sendiri. Maka itu, begitu lekas Coei San menghampiri, ia segera memberi isyarat kepada kedua Hio coe itu dengan lirikan mata.

"Thio Siangkoan, hati-hati!" teriak kedua Hio coe itu waktu Coei San sudah datang cukup dekat dan sambil membentak keras, dengan berbareng mereka melontarkan kedua batu itu yang lantas saja terbang kekepala Coei San.

Semua hadirin terkesiap dan serentak mereka bangun. berdiri. Dilain pihak, melihat terbangnya kedua batu besar itu, Pek Kwie Sioe yang hanya ingin mencoba kepandaian pemuda itu dan pada hakekatnya tidak mempunyai maksud kurang baik, lantas saja merasa menyesal, tercampur takut. Ia yakin, bahwa sebagai seorang ahli silat, pemuda itu masih dapat menyelamatkan diri dengan melompat mundur. Akan tetapi, kejadian itu adalah kejadian yang sangat memalukan, sehingga bukan saja Coei San, tapi In So So pun bisa menjadi gusar.

Sebagai seorang kejam, sesaat itu juga ia sudah mengambil keputusan, bahwa ia akan menumplek semua kesalahan diatas pundak kedua Hio coe itu dan jika perlu, ia akan membinasakan mereka supaya bisa meloloskan diri dari kegusaran nona In.

Melihat menyambarnya batu, Coei San pun terkejut. Jika ia melompat mundur, seperti Ko Cek Sang dan Chia Tauw, ia merasa sangat malu karena hal ini sangat menurunkan pamornya Boe tong pay. Pada detik yang sangat genting, ia tak sempat memikir panjang-panjang lagi. Pada saat berbahaya, semua tenaga dan ilmu dari seorang yang pandai silat bisa keluar secara wajar. Demikianlah, tanpa dipikir lagi, tangan kirinya mengebas kekanan batu yang menyambar dari sebelah kiri dengan pukulan huruf "boe" (persilatan) sedang tangan kanannya mengebas kekiri batu yang menyambar dari sebelah kanan. Seperti telah dikatakan, berat setiap batu tak kurang dari tujuh ratus kati, sehingga, ditambah dengan tenaga jatuhnya dari atas kebawah, maka tenaga menindih dari setiap batu tidak kurang dari seribu kati.

Dalam mempelajari ilmu silat, Coei San belum pernah mengutamakan latihan untuk memperbesar tenaga, sehingga jika diukur dengan tenaga yang dimilikinya, ia pasti tak akan dapat menyambuti kedua batu itu. Akan tetapi, ilmu silat Tnio Sam Hong yang berdasarkan Soe hoat adalah ilmu silat yang sangat luar biasa.

Pada hakekatnya, ilmu silat dari Boe tong pay tidak mengutamakan tenaga atau kecepatan memukul. Yang dipelajari yalah ilmu mengeluarkan tenaga pada saat yang tepat dengan gerakan dan kekuatan tenaga yang tepat pula. Pada jaman belakangan, dalam kitab Thay kek Koen keng, Ong Cong Gak, seorang ahli Boe tong pay telah ne nyebutkan pukulan Sie nio Po cian kin (tenaga empat tahil melontarkan barang yang beratnya ribuan kati). Dengan lain parkataan, jika tenaga yarg dikirim sesuai dengan "peraturan", maka tenaga empat tahil akan dapat melontarxan barang yang beratnya ribuan kati.

Demikianlah dengan menggunakan ilmu silat yang paling tinggi dari gurunya, Coei San berhasil melontarkan kedua batu besar itu yang menyambar kepalanya

Apa yang telab mengejutkan para hadirin yalah ia seolah-olah melemparkan kedua batu itu dengan tangan bajunya, karena kedua tangannya bersembunyi didalam tangan baju yang besar. Kejadian itu adalah sedemikian mengejutkan, sehingga semua orang hanya mengawasi dengan mulut terngaga dan lupa untuk bersorak sorai lagi.

Dilain saat, kedua batu itu melayang turun ke muka bumi, yang satu lebih tinggi, yang lain lebih rendah. Dengan sekali menotol kakinya di tanah, badan Coei San meleset keatas dan ia lalu bersila diatas batu yang lebih tinggi. Dengan suara gedubrakan hebat, sehingga bumi tergetar, batu pertama ambruk dibumi dan separuhnya amblas di dalam tanah dan dilain detik, batu kedua jatuh tepat diatas batu pertama dan waktu kedua batu itu beradu, lelatu api muncrat keatas.

Dengan paras tenang, Coei San tetap duduk di batu yang sebelah atas. "Tenaga kedua Hio coe sungguh besar." katanya sambil bersenyum. "Aku merasa kagum dan takluk." Tapi kedua Hio coe itu masih tetap mengawasi dengan mata membelalak, tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata.

Beberapa saat kemudian, dilembah yang sunyi itu barulah bergema sorak sorai gegap gempita.

In So So mengawasi Pek Kwie Sie dengan mata melotot, tapi paras mukanya berseri-seri. Sekarang Pek Kwie Sie kegirangan. Ia mengerti, bahwa ke cerobohannya yang hampir-hampir menerbitkan onar, berbalik merupakan keuntungan bagi dirinya.

Sesudah menuang secawan arak, ia segera menghampiri Thio Coei Sin dan berkata dengan suara nyaring: "Sudah lama kami mendengar nama besar Boe tong Cit hiap, tapi baru sekarang kami melihat kepandaian Thio Ngohiap. Betapa besar rasa kagum kami tak dapat dilukislan lagi. Izinkan siauwjin memberi selamat kepada Thio Siang kong dengan secawan arak ini." Sehabis berkata begitu, ia minum kering arak itu.

Coei San lantas saja turut minum dan menjawab dengan kata-kata merendahkan diri.

Tiba-tiba dari meja Kie keng pang bangun berdiri seorang lelaki yang mengenakan baju kuning. "Menurut pendapatku, ilmu silat Thio Ngohiap yang sangat tinggi adalah soal kedua." teriaknya. "Yang paling mengagumi adalah hatinya yang mulia, berbeda jauh dengan manusia manusia rendah yang barhati jahat dan biasa menggunakan siasat busuk. Aku juga ingin memberi selamat kepada Thio Ngohiap dengan secawan arak." Sehabis berkata begitu, ia minum kering secawan arak yang dipegangnya.

Orang itu bukan lain daripada Bek Siauw pangcoe yang kemarin telah ditolong dengan perahu Siang Kim Pang atas permintaan Coei San. Sambil membungkuk pemuda itu mengangkat cawan araknya seraya berkata: "Tak berani aku menerima pujian yang begitu tinggi. Aku pun ingin balas memberi hormat kepada Bek Siauw pangcoe dengan secawan arak ini." ia hirup araknya sampai kering.

Sesudah suasana berubah tenang kembali, perlahan-lahan Pek Kwie Sioe bangun berdiri dan berkata dengan suara nyaring : "Belum lama berselang, agama kami telah mendapatkan golok mustika yang dikenal sebagai To liong to.... Mengenai golok itu, dalam Rimba Persilatan tersiar kata kata yang, seperti berikut : Boelim cie-coen, poto To Liong, hauw leng thian hee, boh kam poet-ciong!" Berkata sampai disitu, ia berhenti sejenak dan kedua matanya yang bersinar terang menyapu para hadirin.

"Sesudah memperoleh golok mustika itu, In Kauw coe dari agama kami sebenarnya ingin mengundang orang-orang dikolong langit untuk mengadakan sebuah pertemuan besar di gunung Heng San guna memperlibatkan golok itu kepada dunia," katanya pula. "Akan tetapi menghimpun pertemuan besar itu meminta banyak tenaga dan tempo, sehingga oleh karenanya pemimpin kami telah mengambil keputusan untuk mengundang saja kalian yang berada ditempat-tempat yang berdekatan supaya kalian dapat turut melihat macamnya golok mustika itu." Sehabis berkata begitu, ia mengebas tangannya dan delapan orang murid Peh bie kauw lantas saja bangun berdiri dan berjalan menuju kesebuah gua yang terletak disebelah barat.

Semua mata mengawasi delapan orang itu yang mendapat tugas untuk mengambil To liongto. Tapi waktu mereka keluar lagi, yang dibawa mereka, bukan golok, tapi satu hanglo (tempat perapian) besi yang sangat besar dengan api yang berkobarkobar. Mereka memikulnya dengan menggunakan pikulan kayu yang sangat panjang dan dengan napas tersengal-sengal, meraka menaruh hanglo itu di tengah-tengah lapangan. Di belakang mereka mengikuti empat orang, dua menggotong sebuah bantalan besi dan dua orang lagi maisng-masing membawa sebuah martil raksasa

"Siang Tan coe," kata Pek Kwie Sioe, "harap kau suka memperhatikan golok mustika itu untuk menetapkan keangkeran!"

"Baiklah." kata Siang Kim Peng sambil berpaling dan berkata kepada Hio coe yang tadi melontarkan batu kepada Coei San, "Ambil golok mustika itu !"

Mereka lantas saja masuk kedalam guha dan keluar lagi dengan seorang menyangga sebuah bungkusan sutera kuning dengan kedua tangannya, sedang seorang lain melindungi di sampingnya. Hio coe itu lalu menyerahkan bungkusan tersebut kepada Siang Kim Peng dan kemudian berdiri dikiri kanannya. Dengan sikap hormat, Siang Kim Peng jalu membuka bungkusan yang didalamnya berisi sebatang golok. Dengan kedua tangan ia mengangkat tinggi-tinggi golok itu yang kemudian dihunusnya. "Golok ini adalah To liong to yang sangat dihormati dalam Rimba Persilatan!" teriaknya. "Kalian boleh melihatnya dengan teliti."

Nama besar To liong to sudah lama dikenal dalam dunia Kang ouw. Akan tetapi, melihat macamnya golok itu yang biasa saja dan warnanya kehitam-hitaman, semua orang menjadi sangsi. Apa benar golok itu To liong to yang dikagumi dalam Rimba Persilatan ?

Perlahan-lahan Siang Kim Peng turunkan golok itu dan menyerahkannya kepada Hio coe yang berdiri disebelah dirinya. "Gunakanlah martil!" ia merintah.

Hio coe itu lalu menyambuti golok tersebut yang lalu ditaruh diatas bantalan besi dengan mata golok menghadap keatas Hio coe yang disebelah kanan segera mengangkat martil dan menghantam nya kemata golok. "Trang!" dan.., "loh!" Kepala martil terpapas putus jadi dua potong. Separuh jatuh ditanah dan separuh lagi masih menempel digagang martil

Itulah kejadian yang sungguh luar biasa. Semua orang terkesiap dan dengan serentak mereka bangun berdiri. Bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat senjata mustika yang dapat memapas baja atau emas, bukan kejadian langka.

Tapi senjata yang dapat memapas besi yang begitu besar seperti memapas tahu, benar-benar belum pernah didengar mereka. Seorang dari Sin koen boen dan seorang dari Kie keng pang segera menghampiri bantalan besi itu dan menjemput potongan martil yang jatuh di tanah. Ternyata, bagian yang terpapas berkilat-kilat, sebagai tanda baru saja dipapasnya.

Sementara itu, dua orang Hio coe yang lain sudah mengangkat martil yang satunya lagi yang lalu dihantamkan kemata golok. Seperti juga tadi, dengan mengeluarkan suara "tring", kepala martil terpapas pula.

Kali ini semplaknya martil itu disambut dengan tampik sorak riuh.

Perlahan-lahan Siang Kim Peng mendekati bantalan besi itu dan mengangkat To liong to. Kemudian, dengan gerakan To pek Hwa san (Menghantam gunung Hwa san), ia membabat bantalan besi itu yang lantas saja kutung dua. Sesudah itu, sambil menenteng golok, ia berjalan ke sebelah barat dan dengan kecepatan kilat, menjambret dahan satu pohon siong tua dengan golok itu. Dengan beruntun-runtun, ia membabat delapan belas pohon siong,

Para hadirn merasa sangat heran, karena meskipun terang-terangan sudah dibabat putus, pohon-pohon itu masih tetap berdiri tegak.

Pek Kwie Sioe tertawa nyaring dan dengan tangan bajunya, ia mengebas pohon yang pertama. Dengan suara gedubrakan, pohon itu. sebatas yang telah terbacok, rubuh diatas tanah. Teryata, memang dengan sekali membabat saja, dahan pohon itu sudah menjadi putus. Tapi karena To liong to tajam luar biasa, maka biarpun dahannya putus pohon itu masih tetap berdiri dan barulah tumbang sesudah didorong oleh Pek Kwie Sioe, sesudah merubuhkan pohon pertama, Pek Tan coe lalu mengebas pohon-pohon lainnya yang juga lantas saja rubuh dengan mengeluarkan suara keras.

Sesudah itu, sambil tertawa terbahak-bahak Pek Kwie Sioe mengambil Toliong to dari tangan Siang Kim Peng dan lalu memasukkannya kedalam hanglo yang apinya sedang berkobar-kobar.

Pada waktu pohon-pohon sedang rubuh dikebas Pek Kwie Sioe, tiba-tiba disebelah kejauhan terdengar suara "peletak peletok" dan gedubrakan yang beruntun-runtun, seperti juga seorang lain sedang merubuhkan lain-lain pohon. Pek Kwie Sioe dan Siang Kim Peng terkejut dan mereka segera mengawasi kearah suara itu. Mereka jadi lebih kaget lagi, karena teryata, bahwa tiang-tiang dari perahu perahu yang berlabuh dipantai, rubuh satu demi satu. Pada tiang-tiang itu tergantung bendera bendera Peh bie kauw, Kie keng pang, Hay see pay dan Sin koen boen. Semua orang lantas saja turut memandang kearah itu. Keruaan saja mereka jadi gusar bukan main dan beberapa pemimpin, dengan mengajak sejumlah orang sebawahannya, lantas saja berlari-lari kepantai untuk me nyelidiki.

Mendadak, jago-jago yang berkumpul dilapangan itu melihat lain perubaban yang lebih mengagetkan. Satu demi satu, perahu mereka mulai tenggelam. Rombongan kedua, yang terdiri dari beberapa partai, lantas saja menyusul kepantai. Jarak antara pelabuhan dan lapangan rumput itu tidak terlalu jaub, tapi rombongan penyelidik pertama, yang terdiri dari belasan orang, tidak kelihatan balik kembali.

Semua orang saling mengawasi dengan perasaan sangsi. Sambil menengok kepada seorang Hio coe Pek Kwie Sioe berkata: "Coba kau pergi lihat." Sesudah orang itu pergi, dengan sikap tenang yang di buat-buat, ia berkata pula: "Mungkin sekali di-lautan terjadi perubahan luarbiasa, Tuan-tuan tak usah terlalu berkuatir. Andaikata semua perahu rusak, kita masih bisa pulang dengan getek-getek kayu. Mari! Keringkan cawan !"

Walaupun hati mereka bergoncang keras, tapi supaya tidak dikatakan bernyali kecil, jago-jago itu terpaksa mengangkat juga cawan mereka. Tetapi baru saja cawan menenpel di bibir, tiba-tiba terdengar teriakan menyayatkan hati, seperti juga jeritan orang yang melompat bangun dengan paras muka pucat. Mereka itu rata-rata manusia-manusia, yang sudah biasa membunuh sesama manusia. Tapi sekarang mereka jadi ketakutan karena terjadinya perkembangan luar biasa dan suara jeritan itu yang sangat menyeramkan. Pek Kwie Sioe dan Siang Kim Peng segera mengenali, bahwa itulah teriakan Hio coe yang barusan diperintah pergi menyelidiki. Di lain saat, sekonyong-konyong terdengar bunyi tindakkan kaki dan seorang yang bagaikan mandi darah mendatangi de gan berlari lari. Orang itu bukan lain dari pada Hio coe tadi.

Dengan kedua tangsnnya, ia menekap mukanya yang bercucuran darah, kulit kepalanya terbeset, pakaiannya robek-robek dan berlepotan darah. Begitu berhadapan dengan suara bergemetar ia berkata : "Kim mo Say ong ! .Kim mo Say ong ..." (Kim mo Say ong 'Raja singa bulu emas").

"Singa?" menegas Pek Kwie Sioe dengan hati lebih lega karena menduga, bahwa yang menyerang adalah seekor binatang buas.

"Bukan...bukan...." jawab Hio coe itu, "Manusia, bukan, bukan singa. Semua orang dicakar sampai mati.... semua perahu tenggelam !"

Sehabis berkata begitu, ia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan rubuh binasa diatas tanah "Coba aku yang menyelidiki," kata Pek Kwie Sie.

"Aku ikut," kata Siang Kim Peng.

"Tidak, kau harus melindungi In Kouwnio," cegah Pek Kwie Sioe, yang mengerti bahwa sekarang ia sedang menghadapi lawan yang sangat tangguh. Hio coe yang tadi diperintah pergi menyelidiki, adalah salah seorang yang ilmu silatnya paling tinggi dalam kalangan Pek bie kauw. Bahwa dia telah dibinasakan secara begitu mudah, merupakan suatu tanda, bahwa pihak lawan adalah seorang yang lihay bukan main. Siang Kim Peng tidak membantah lagi dan sambil mengangguk, ia menjawab "ya."

Mendadak tardengar suara batuk-batuk, diikuti dengan suara bicaranya seorang : "Kim mo Say ong sudah berada disini!"

Semua orang terkejut dan menengok kesana tapi mereka tak melihat bayangan manusia lain. Dimana orang itu bersembunyi ?

Mendadak terdengar pula suara itu : "Tolol! Sungguh tolol !" Cacian itu disusul dengan terbayangnya sebuah batu besar dan satu manusia melompat keluar dari lubang dibawah batu. Ternyata, siang-siang ia sudah bersembunyi dibelakang pohon dan kemudian, dengan menggali tanah,ia masuk kedalam lubang yang dibuatnya dibawah sebuah batu besar.

Bukan main kagetnya semua orang, tidak terkecuali In So So, yang sambil mengeluarkan seruraan "ah!" lari mendekati Thio Coei San.

Badan orang itu tinggi besar luar biasa, kira-kira lebih tinggi satu kaki dari manusia biasa. Rambutnya yang berwama kuning terurai dipundaknya sedang kedua matanya yang bersinar hijau bersorot tajam seperti pisau.

Dalam tangannya, is mencekal sebatang toya Long gee pang yang panjangnya satu tombak tujuh kaki. Dengan tubuhnya yang seperti raksasa. Ia berdiri diantara meja-meja perjamuan bagaikan satu malaikat.

"Kim mo Say ong?" Coei San tanya dirinya sendiri. "Siapa dia ? Aku belum pemah mendengar nama begitu, baik dari Soehoe, maupun dari lautan." Ia mendapat kenyataan, bahwa orang itu mengenakan jubab panjang yang terbuat dari macam-macam kulit binatang, seperti kulit harimau, kulit macan tutul, kulit kerbau, manjangan, biruang. anjing ajak, rase dan sebagainya. Sepotong demi sepotong kulit-kulit itu dijahit satu pada lainnya dan dilihat dari buatannya yang sangat halus, tukang yang membuatnya bukan sembarang tukang. Antara begitu banyak binatang, hanya kulit singa saja yang tidak terdapat pada pakaiannya itu. Coei San menduga, bahwa orang itu sangat menghormati binatang singa, sehingga ia menggunakan nama binatang itu sebagai gelarnya. Long gee pang atau toya gigi anjing ajak, yang dicekal oleh orang itupun lain daripada yang lain. Menurut kebiasaan, paku-paku yang merupakan gigi anjing ajak, hanya dipasang pada satu ujung dari Long gee pang. Tapi toya yang dicekal orang bukan saja panjang dan besar luar biasa, tapi juga dipasang paku-paku pada kedua ujungnya, sedang warna toya keemas-emasan, tapi bukan terbuat daripada emas.

Sesudah dapat menenteramkan hatinya yang berdebaran, Pek Kwie Sioe maju setindak seraya bertanya : "Apakah aku boleh mengetahui she dan nama tuan yang mulia ?"

"Aku she Cia, bernama Soen, alias Twie Soe," jawabnya. "Disamping itu aku juga mempunyai satu gelaran, yaitu Kim mo Say ong."

Coei San dan So So saling melirik. Mereka sependapat, bahwa walaupun ganas, orang itu mempunyai nama dan gelar seperti seorang sasterawan.

Mendengar jawaban yang pantas, hati Pek Kwie Sioe jadi lebih lega. "Oh, kalau begitu, aku sedang berhadapan dengan Cia Sianseng," katanya sambil membungkuk.

"Sebegitu jauh yarg diketahui olehku, Sianseng dan kami sama sekali belum pemah berurusan, malah belum pernah mengenal satu sama lain. Tapi mengapa, begitu tiba

Sianseng segera merusak perahu dan membunuh orang !"

Cia Soen tersenyum dan memperlihatkan dua baris giginya yang putih dan berkilat. "Perlu apa tuan-tuan berkumpul ditempat ini?" ia balas menanya.

Pak Kwie Sioe merasa, bahwa ia tidak dapat berjusta terhadap orang yang lihay itu. Dalam perhitungannya, biarpun ia tahu orang itu bekepandaian tinggi, tapi karena dia hanya seorang diri, ia tidak begitu keder. Ia menganggap bahwa dengan Siang Kim Peng, Thio Coei San dan In So So, biar bagaimanapun juga, pihaknya akan dapat menjatuhkan lawan tunggal itu. Memikir begitu, ia lantas saja menjawab dengan suara nyaring: "Belum lama berselang Peh bie kauw telah mendapat sebilah golok mustika dan sekarang kami mengumpulkan sahabat-sahabat dalam dunia Kang ouw untuk menyaksikan golok tersebut."

Cia Soon menengok kehanglo yang apinya sedang berkobar-kobar dan membakar sebilah golok berwama hitam. Melihat api yang begitu hebat, tapi golok itu sedikitpun tidak bergeming, ia tabu, bahwa golok itu benar benar senjata mustika. Dengan tindakan lebar ia mendekat dan mengangsurkan tangan untuk mencekal gagang golok.

"Tahan!" bentak Siang Kim Peng.

Cia Soen menengok. "Mengapa?" tanyanya sambil tersenyum tawar.

"Golok itu adalah milik agama kami," jawabaya.

"Sababat, kau hanya boleh melihat dari jauh tidak boleh mendekatinya "

"..Milikmu?" menegas Cia Soen. "Apa golok itu dibuat olehmu atau dibeli olehmu?"

Siang Kim Peng tergagap, tak dapat ia menjawab pertanyaan itu.

"Pihakmu mengambilnya dari tangan orang lain dan sekarang aku mengambilnya dari tangan kamu," kata pula Cia Soen "Hal itu cukup adil, mengapa tidak boleh?'' Sehabis berkata begitu, ia kembali memutar badan dan. mengangsurkan tangannya untuk mencekal gagang To liong to.

Berbareng dengan suara berkerincin rantai Siang Kim Peng mengeluarkan senjata semangka dari pinggangnya.

"Sahabat!" bentaknya. "Jika kau tidak meladeni, aku terpaksa berlaku kurang sopan terhadapmu." Dalam kata-katanya ia baru memberi peringatan, tapi sebenarnya berbareng dengan perkataannya itu "semangka" yang ditangan kirinya sudah menyambar punggung Cia Soen.

Tanpa memutar badan atau menengok, Cia Soen menyodok kebelakang dengan toyanya. Benturan antara Long gee pang dan 'semangka' itu menerbitkan suara yang sangat hebat dan semangka besi itu hancur jadi tujuh delapan potong yang melesat kesana sini. Hampir berbareng badan Siang Kim Peng bergoyang goyang dan sudah muntahkan darah, ia rubuh berguling tanpa beryawa lagi.

Ternyata Siang Kim Peng telah dibinasakan dengan tenaga Lweekang yang menyerang dari Long gee pang lewat semangka besi itu ketubuhnya. Jika orang tahu betapa tinggi kepandaian Siangg Kim Peng, dapatlah ia membayangkan hebatnya Lweekang orang she Cia itu.

Lima Hio coe Coe ciak tan menecelos hatinya. Dengan serentak mereka melompat maju, dua menubruk pemimpin mereka, sedang tiga yang lain, tanpa memperdulikan segala apa, segera menghunus golok dan menerjang musuh.

Sesudah mengambil To liong to, dengan menggunakan Long gee pang Cia Soen menyontek hangl0 besi itu yang lantas saja terbang keatas dan jatuh menghantam tubuh ketiga Hio coe itu. Karena tenaganya belum habis, hanglo itu menggelinding terus dan menghantam pula kedua Hio coe yang sedang coba membangunkan Siang Kim peng. Dalam sekejap, pakaian lima Hio coe dan mayat Siang Kim Peng, berkobar-kobar. Empat Hio coe mati disitu juga, sedang yang satu menjerit_jerit kesakitan.

Siapakah yang tidak menjadi gentar sesudah melihat kejadian yang sangat hebat itu?

Meskipun masih berusia muda, Coei San sudah kenyang makan asam garam dunia Kangouw dan sudah pernah bertemu dengan banyak sekali orang pandai. Tapi manusia yang kepandaiannya setinggi Cia Soen, belum pemah ditemuinya. Diam diam ia mengakui, bahwa kepandaiannya masih kalah jauh. Ia mengakui, bahwa diantara saudara-saudara seperguruannya, tak satupun yang dapat menandingi orang itu, bahkan Boe tong Cit hiap, tujuh pendekar Boetong, bersama-sama belum tentu bisa memperoleh kemenangan. Menurut taksirannya, adalah gurunya seorang yang dapat meladeni Cia Soen.

Sementara itu, dengan jarinya Cia Soen menyentil To liong to yang mengeluarkan suara aneh, seperti suara tersentuhnya emas, tapi bukan emas, seperti kayu tapi bukan kayu. Ia manggut-manggutkan kepalanya seraya berkata dengan suara perlahan : "Tak ada suara, tak ada warna, Benar-benar golok mustika."

Sesudah itu, ia mengawasi sebuah sarung golok yang terletak dimeja, didekat tempat berdirinya Pek Kwie Sioe. "Apa itu sarung To long to?" tanyanya, "Bawa kemari."

Pek Kwie Sioe mengerti, bahwa sepuluh sembilan jiwanya bakal melayang. Jika ia menurut dan menyerahkan sarung golok itu, habislah nama baiknya yang sudah dipertahankan selama puluhan tahun. Disamping itu, jika dikemudian hari Kauw coe menyelidiki peristiwa tersebut, ia pasti akan binasa dalam tangannya pemimpin tersebut. Tapi dilain pihak, jika membangkang, ia juga bakalan mati. Maka itu, sesudab memikir sejenak, ia lantas saja berkata : "Jika kau ingin membunuh aka, bunuhlah ! Aku siorang she Pek, bukan manusia yang takut mati."

Cia Soen bersenyum. "Keras kepala ! Manusia keras kepala !" katanys. "Dalam Peh bie kauw teryata terdapat orang-orang yang mempunyai nyali." Tiba tiba ia mengayun tangan kirinya dan To liong to menyambar ke arah Pek Kwie Sioe, Begitu golok menyambar, Pek Kwie Sioe, yang tidak berani menyambuti, lantas saja berkelit ke samping. Tapi diluar dugaan. waktu mendekati

meja mendadak golok itu terbang rendah dan ., "srok!", masuk tepat kedalam sarungnya ! Apa yang lebih aneh lagi, golok yang sudah bersarung itu terbang balik dan dengan sekali menyontek dengan Long gee pang, Cia Soen sudah mencekel lagi golok itu yang bersama sama sarungnya lantas saja diselipkan dipinggangnya !

Pertunjukan aneh itu, yang hanya dapat diperlihatkan oleh seseorang yang Lweekangnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, benar-benar menakjubkan.

Sesudah itu, sambil menyapu para hadirin dengan matanya yang sangat tajam, ia berkata: "Apakah tuan-tuan mempunyai pendapat lain mengenai keinginanku untuk memiliki golok mustika ini?"

Sesudah ia mengulagi pertanyaannya dua kali, tiba-tiba seorang yang duduk dimeja Hay see pay duduk berdiri dan berkata "Cia Cianpwe adalah seorang yang mulia dan tersohor diempat lautan. Golok mustika itu memang pantasnya dimiliki oeh Cia Cianpee dan kami semua merasa sangat setuju."

"Apakah tuan Cong to ceo?, (pemimpin besar) dari Hay see pay yang bernama Goan Kong Po?" tanya Cia Soen.

"Benar," jawabnya. Ia merasa girang dan heran mendengar pertanyaan itu. Bagaimana Cia Soen bisa mengenal she dan namanya ?

"Apa kau tahu siapa guruku ?" tanya pula Cia Soen "Apa kau tahu dari partai mana ? Perbuatan mulia apakah yang pernah dilakukan olehku ?"

Goan Kong Po tergugu. "Aku ...aku ...." jawabnya terputus putus. Ia sebenarnya tidak pernah mangenal Cia Soen dan kata katanya yang barusan hanyalah untuk mengumpak-umpak.

"Sedang kau tidak mengenal aku, bagaimanakau tahu aku sangat mulia dan tersohor diempat lautan?" tanya Cia Soan dengan suara memandang rendah. "Golok ini dulu dimiliki oleh Hay see pay, kemudian direbut oleh Tiang pek Sam-kim dan lalu jatuh kedalam tangan Jie Thay Giam dari Boo tong pay ..."

Mendengar perkataan "Jatuh kedalam tangan Jie Thay Giam dari Bo tong pay" membuat jantung Coei Sin memukul keras. Baru sekarang ia tahu, bahwa golok itu mempunyai sangkut usut dengan Samkonya.

Sementara itu Cia Soen bicara terus: "Dengan diam-diam turunkan tangan beracun, Peh bie kauw merampas golok ini dari tangan Jie Thay Giam. Huh huh!" Sesudah merasa, bahwa Hay see pay tidak mempunyai kesempatan lagi untuk merebut pulang To liong to, kau segera mengeluarkankata-kata merdu untuk mengumpak umpak aku Kau adalah penjilat yang tak mengenal malu dan selama hidup, aku paling benci bangsa penjilat. Kemari!" Waktu mengucapkan kata-kata paling belakang, suaranya nyaring bagaikan geledek dan menusuk kuping.

Goan Kong Po yang sudah hancur nyalinya tidak berani membangkang. Dengan tindakan limbung, ia menghampiri dan waktu sudah berhadapan deaga Cia Soen, kedua kakinya bergemetaran.

Sementara itu, hati Coei San berdebaran dan darahnya bergolak-golak. waktu melirik In So So, ia mendapat kenyataan paras muka si nona pucat bagaikan kertas.

"Kamu, kawanan Hay see pay, sungguh kawanan simuka tebal," Cia Soen mencaci pula. "Ilmu silat kamu ilmu silat pasaran dan modalmu yang terutama untuk mencelakakan manusia adalah garam beracun. Tahun yang lalu, di Gin yauw, kamu telah membinasakan Thio Teng In serumah tangga, tak kurang dari sebelas orang melayang jiwanya. Bulan ini, tanggal satu, kamu juga telah membunuh Auwyang Ceng di Hay boen."

Goan Kong Po kaget tak kepalang. Ia sungguh tak mengerti, bagaimana Cia Soen bisa tahu seluk beluk kedua pembunuhan itu yang dilakukan secara rahasia.

"Mengapa kau diam saja ?" bentak Cia Soen "Suruh orangmu bawa dua mangkok garam beracun kemari! Aku mau lihat bagaimana macamnya racunmu itu?"

Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Hay see pay bahwa kemanapun mereka pergi, mereka pasti membekal garam beracun. Maka itu, dengan apa boleh buat, Goan Kong Po segera memerintahkan sebawahannya membawa dua mangkok racun.

Cia Soen menyambuti dua mangkok itu yang lalu diendut-endus dengan hidungnya, "Mari kita masing-masing makan semangkok!" katanya.

Goan Kong Po terkesiap, garam itu mengandung racun yang sangat hebat, sehingga, jangankan dimakan. sedangkan menempel dibadan manusia saja sudah cukup untuk mengambil jiwa orang.

Dalain saat, Cia Soen menancapkan toyanya di tanah dan satu tangannya menyambar kedagu Goan Kong Po yang begitu tersentuh, mulutnya lantas saja menganga dan tidak dapat ditutup lagi.

Hampir berbareng ia mengangkat mangkok garam dan menuang semua isinya kemulut orang!

Binasanya Thio Tang In dan semua keluarganya di Gie yauw dan terbunuh matinya Auwyang Ceng dalam sebuah hotel di Hay boen merupakan suaru teka-teki yang mengherankan dalam Rimba Persilatan.

Sekarang baru ketahuan, bahwa kedua pembunuhan gelap itu telah dilakukan oleh orang-orarg Hay See pay. Maka itu melihat nasib yang dijalani Goan Kong Po, jago-jago yang berada di situ diam-diam merasa girang,

Sesudah itu sambi mengangkat mangkok garam yang satunya lagi. Cia Soen berkata dengan suara nyaring : "Aku si orang she Cia selalu berlaku adil dan jujur. Kau sudah makan semangkok, aku pun akan makan semangkok." Ia menuang garam itu kedalam mulutnya dan lalu menelannya.

Itulah perbuatan yang tak pernah diduga orang orang yang paling kaget adalah Coei San. Sesudah memperhatikan paras muka Cia Soen, ia mendapat kenyataan, bahwa meskipun sepak terjangnya sangat ganas, pada paras mukanya terdapat sinar kesedihan, Dengan mengingat, bahwa' jago-jago yaag telah dibinasakan olehnya adalah manusia manusia jahat. maka dalam hati pemuda itu muncul rasa simpathi. Demikianlah, begitu lihat Cia Soen menelan garam itu, tanpa terasa ia berteriak : "Cia Cianawee, manusia itu memang pantas mendapat hukuman mati. Perlu apa Cianpwee ber buat begitu ?"

Cia Soen menengok dan mengawasi, Coei can bersenyum, sedang paras mukanya sedikitpun tidak terlihat sinar ketakutan.

"Siapa tuan ?" tanya Cia Soen.

"Boanpwee adalah Thio Coei San dari Boe tong," jawabnya.

"Hmmn ....Boe tong Thio Ngohiap . . . apakah kau datang untuk merebut To liong to ?" tanyanya pula.

Pemuda itu menggelengkan kepala seraya berkata: "Bukan. kedatangan boanpwee adalah untuk menyelidiki sebab musabab terlukanya Jie Samko, Kurasa Cianpwee mengetahui banyak mengenai peristiwa itu dan aku memohon keterangan Cianpwee."

Sebelum Cia Soen keburu menjawab, tiba-tiba Goan Kong Po mengeluarkan jeritan kesakitan dan ia rubuh sambil memegang perutnya. Sesudah bergulingan beberapa kali ditanah, badannya tidak bergerak lagi dan rohnya berpulang kealam baka.

"Cia Sianseng, lekas minum obat!" teriak Coei San dengan bingung.

"Obat apa?" bentaknya. "Ambil arak!" Seorang pelayan dari Peh bie kauw lantas saja mengambil cawan dan poci arak.

"Mengapa Peh bie kauw begitu kikir?" teriak Cia Soen. "Ambil poci yang paling besar!"

Dengan tergesa-gesa pelayan itu segera mengambil poci yang paling besar dan lalu menaruhnya dihadapan Cia Soen. "Manusia ini rupanya kepingin mampus terlebih cepat," katanya didalam hati.

Sambil tertawa Cia Soen lalu mengangkat tempat arak itu dan menuang isinya kedalam mulutnya. Dalam sekejap, arak itu yang beratnya kirakira tigapuluh kati, sudah dituang kering. Ia mengusut-ngusut perutnya yang melembung besar den tertawa berkakakan.

Mendadak ia mendongak dan membuka mulutnya. Hampir berbareng, diluar dugaan semua orang ia menyemburkan arak yang menyambar dada Pek Kwie Sioe bagaikan sehelai sutera putih. Karena tidak berjaga-jaga, Pek tan coe terhuyung dan kemudian rubuh karena dadanya seperti dipukul martil. Sesudah itu, Cia Soen lalu menyemburkan keatas arak itu yang kemudian jatuh seperti hujan gerimis, sehingga membasahi muka semua orang.

Sejumlah orang yang Lweekangnya masih cetek,yang tidak tahan dengan bau dan racun arak, lantas saja roboh dalam keadaan pingsan.

Ternyata, dengan menggunakan Lweekang yang sangat tinggi, terlebih dulu Cia Soen mencuci racun garam dalam perutnya dengan arak itu yang kemudian disembur keluar sebagai arak beracun. Sedikit racun yang masih ketinggalan didalam perut ditindih olehnya dengan menggunakan Lwee kang.

Bek Keng Pangcoe dari Kie keng pang, jadi gusar bukan main dan mendadak ia melompat bangun. Tapi dilain detik, ia ingat, bahwa kepandaiannya masih jauh dari kepandaian orang itu, sehingga perlahan-lahan ia duduk kembali sambil menahan amarah.

"Bek Pangcoe," kata Cia Soen seraya tertawa dingin. "Bukankah pada Go gwee tahun ini di muara Sungai Bin kiang kau telah membajak sebuah perahu dari Liaow tong ?"

Paras muka Bek keng lantas saja berubah pucat . "Benar," jawabnya.

"Sebagai bajak, memang juga, kalau tidak membajak, kau tentu tak bisa hidup," kata pula Cia Soen. "Bahwa kau membajak, sangat dapat dimengerti olehku. Sedikitpun aku tidak menyalahkan kau. Tapi mengapa kau sudah melemparkan beberapa puluh pedagang yang tidak berdosa kedalam laut dan telah memperkosa tujuh wanita sehingga mereka jadi binasa? Apakah seorang gagah dalam dunia Kang ouw boleh melakukan perbuatan yang terkutuk itu ?"

Bek Keng bergemetar sekujur badannya. "Itu.... itu ..... perbuatan .....perbuatan orang orang ku," jawabnya terputus-putus. "Aku aku sama sekali tidak mengambil bagian."

Cia Soen mengeluarkan suara dari hidung. "Huh! Enak benar kau menyangkal!" bentaknya. "Andai kata benar kau tidak mengambil bagian, karena kau sama sekali tidak mencegah orang orangmu melakukan perbuatan yang sangat memalukan Rimba persilatan, maka semua kedosaan harus ditanggung olehmu sendiri. Perbuatan itu seperti juga dilakukan olehmu sendiri. Sekarang aku mau tanya: Siapa siapa pada hari itu telah melakukan perbuatan terkutuk itu ?"

Untuk menyelamatkan jiwanya sendiri, Bek Keng segera menghunus golok. "Coa Sie, Hoa Cong San Ouw Liok ! Kamu bertiga mengambil bagian di hari itu!" Hampir berbareng, bagaikan kilat ia membacok tiga kali dan ketiga bajak itu lantas saja rubuh tanpa bernyawa lagi.

"Bagus! Hanya sayang terlalu terlambat," kata Cia Soen. "Kalau hari itu kau menghukum mereka, hari ini aku tentu tidak turun tangan. Bek Pangcoe, ilmu apa yang paling diandalkan olehmu?"

Melihat ia tidak dapat meloloskan diri lagi, Bek Keng berkata dalam hatinya : "Kalau bertanding didaratan, mungkin aku tidak dapat melawannya dalam tiga jurus. Tapi diair adalah duniaku. Andai kata kalah, aku masih dapat melarikan diri. Tak mungkin ilmu berenangnya lebih lihay daripada aku." Memikir begitu, ia lantas saja berkata: "Aku ingin meminta pelajaran Cia Cianpwee dalam ilmu berkelahi dibawah air."

"Baiklah, mari kita pergi ketengah laut untuk menjajal kepandaian" jawab Cia Soen sambil meagangguk. Tapi baru berjalan beberapa tindak, ia berhenti seraya berkata: "Tahan! Aku kuatir begitu lekas aku pergi, orang-orang itu lantas saja kabur!"

Mendengar perkataan itu, semua orang tereajut. Apa dia mau membinasakan semua orang ?

Bek Keng sungkan menyia-nyiakan kesempatan baik dan ia segera berkata dengan tergesa-gesa "Biarpun didalam air, aku pasti bukan tandingan Cianpwee. Aku mohon pertandingan dibatalkan saja dan aku mengaku kalah."

"Hm... kalau begitu, aku boleh tak usah banyak berabe," kata Cia Soen. "Jika kau mengaku kalah, kau harus membunuh diri."

Bek Keng terkesiap. Sesudah berdiam sejenak, ia berkata dengan suara tak lampas: "Dalam.... dalam pertempuran, kalah menang adalah kejadian biasa. Mengapa mesti membunuh diri?"

"Jangan rewel!" bentak Cia Soen. "Manusia seperti kau ingin bertanding denganku? Kedatanganku hari ini adalah untuk menagih jiwa. Siapa saja yang pernah melakukan perbuatan jahat dan membunuh manusia yang tidak berdosa tak akan bisa terlolos dari tanganku. Hanya karena aku kuatir kamu binasa dengan penasaran, maka aku membolehkan kamu mengeluarkan kepandaian yang paling lihay untuk membela diri. Siapa yang dengan kepandaiannya dapat menangkan aku, aku akan mengampuni jiwamu."

Sehabis berkata begitu, ia membungkuk dan mengambil dua gempal tanah liat yang lalu dibasahi dengan arak. Sesudah memulung gempalan tanah itu menjadi dua bola bundar, ia segera berkata: "Tinggi rendahnya kepandaian berenang dari seseorang dapat diukur dengan berapa lama ia dapat bertahan dibawah permukaan air. Sekarang begini saja. Dengan menggunakan tanah ini, aku dan kau menutup hidung dan mulut. Siapa yang lebih dulu tak tahan, boleh mengorek tanah ini, tapi ia harus membunuh diri sendiri."

Tanpa menanya lagi apa Bek Keng setuju atau tidak, ia segera menutup hidung dan mulutnya dengan tanah liat itu dan kemudian, dengan sekali menimpuk, bola tanah yang lain menutup hidung dan mulut Bak Keng.

Melihat pertunjukan itu, semua orang merasa geli, tapi tak satupun berani tertawa. Sebelum jalanan napasnya ditutup, Bek Keng sudah menarik napas dalam-dalam. Sesudah itu, ia lantas saja bersila dan menahan napas.

Dalam ilmu menahan napas Bek Keng banyak lebih unggul daripada manusia kebanyakan. Semenjak berusia tujuh delapan tahun, ia sering selulup diair untuk menangkap ikan dan kepiting. Dengan latihan yang terus menerus, semakin lama in semakin mengenal sifatnya air dan dapat bertahan dibawah permukaan air sampai kira-kira sepasangan hio. Maka itu, dalam pertandingan ia percaya bahwa ia bakal mendapat kemenangan.

Dilain pihak, Cia Soen tidak menyontoh perbuatan lawannya. Sebaiknya dari bersila atau duduk, dengan tindakan lebar ia menghampiri meja Sin koen dan menatap wajah Kwee Sam Koen, Ciangbunjin in boen, dengan mata melotot.

Diawasi secara begitu, si orang she Kwee bangun bulu romanya. Buru-buru ia berdiri dan berkata sambil merangkap kedua tangannya. "Cia Cianpwee, aku yang rendah adalah Kwee Sam Koen dari Sin koen boen."

Karena hidung dan mulutnya tertutup, Cia Soen tidak dapat bicara. Ia menyelup telunjuknya ke dalam cawan arak dan menulis tiga huruf diatas meja. Begitu melihat tiga hurup itu, paras muka Kwee Sam Koen lantas saja berubah pucat seperti kertas. Beberapa muridnya melirik huruf-huruf itu yang ternyata berbunyi "Coei Hoei Yan" adalah nama seorang wanita, tapi tak tahu mengapa guru mereka jadi begitu ketakutan

Coei Hoei Yan adalah puteri gurunya Kwee Sam Koen. Sesudah sang guru meninggal dunia, dia telah main gila dengan nona itu. Tapi, sesudah nona itu hamil, ia meninggalkannya dengan begitu saja dan masuk menjadi murid partai Sin Koen boen. Karena malu dan gusar, Hoei Yan menggantung diri sehingga binasa. Karena keluarga Hoei hanya ketinggal Hoei Yan seorang, maka urusan itu tidak menjadi panjang dan kecuali Kwee Sam Koen sendiri, rahasia tersebut tidak diketahui oleh orang luar. Tapi diluar semua dugaan, sesudah lewat kurang lebih dua puluh tahun, Cia Soen telah menulis nama nona itu diatas meja.

Begitu melihat tiga huruf itu, Kwee Sam Koen segera berkata dalam hatinya: "Sesudah menang kan Bek Keng dan mencopot tanah liat yang menutup jalan napasnya, dia tentu akan mengumumkan perbuatan itu. Paling baik aku menggunakan kesempatan ini untuk turun tangan lebih dulu. Jika dia mengerahkan tenaga untuk melawan aku, dia tentu akan kalah dalam pertandingan melawan Bek Keng". Memikir begitu, ia lantas saja berkata deagan suara nyaring: "Aku yang rendah adalah Ciang boen dari Sin koen boen. Kepandaian ku yang paling diandalkan adalah silat tangan kosong. Sekarang aku ingin meminta pelajaran darimu dalam ilmu silat itu"

Berbareng deagan perkataannya, ia mengirim tinju kempungan Cia Soen dan tinju pertama lalu disusul tinju kedua. Nama "Sam Koen" atau "Tiga tinju" yang digunakan nya adalah karena ia mempunyai tinju yang luar biasa keras, sehingga dengan sekali meninju saja, ia dapat membinasakan seekor kerbau. Dalam kalangan Kangouw, ahli-ahli kelas pertengahan jarang ada yang dapat malayani tiga tinjunya, sehingga oleh karenanya, ia kenal dengan nama "Kwee Sam Koen" dan namanya yang aseli tidak diketahui orang.

Dua tinju yang dikirim dengan beruntun itu segera ditangkis oleh Cia Soen, Sam Koen merasa bahwa dalam menangkis pukulannya, Lweekang lawan tidak seberapa kuat dan berbeda banyak dengan Lweekang yang digunakan untuk membunuh Siang Kim Pang. Maka itu, sambil mengayun tinju ketiga, ia membentak keras: "Jagalah pukulan ketiga!"

Tinju yang sangat hebat itu di beri nama Hoen sauw cian koen (Menyapu laksaan serdadu) dan pukulan tersebut sudah pernah menjatuhkan banyak sekali jago-jago Kangouw.

Sementara itu, Bek Keng yang bersila sambil menahan nafas rupanya sudah merasa tak tahan lagi muka dan kupingnya merah, sedang matanya berkunang-kunang. Melihat keadaan ayahnya, Bek Siauw pangcu berkhuatir bukan main. Maka itu selagi Kwee Sam Koen menyerang dengan dua pukulan, dengan cepat ia mencabut sebatang tusuk konde seorang Tocoe wanita dari Kie keng pang. Dengan mengerahkan Lweekang dijari tangannya, ia memutus tangkai tusuk konde yang kemudian ditimpukkan kemulut ayahnya. Biarpun tangkai tusuk konde itu dapat melukakan mulut atau tenggorokan sang ayah, tapi tanah liat yang menutup jalanan napas akan berlobang sehingga sedikit banyak ayahnya bisa mendapat hawa udara segar.

Pada saat tangkai tusuk konde itu terpisah kira kira setombak dari mulut Bek Keng, mata Cia Soen yang sangat tajam telah melihatnya. Tanpa menggerakkan tubuh,ia menendang tanah dan sebutir batu kecil melesat keatas, menyambar tangkai tusuk konde, yang begitu terpukul dengan batu kecil itu, lantas saja terbang balik. Tiba tiba Bek Siauwpangcoe mengeluarkan teriakan kesakitan sambil menutup mata kanannya, yang mengeluarkan darah. Ternyata, tangkai tusuk konde itu menjambret tepat kemata kanannya yang lantas saja menjadi buta.

Pada saat itulah, tinju Kwee Sam Koen yang ke tiga menyambar kempungan Cia Soen. Sebelum tiba pada sasarannya, pukulan yang sangat dahsyat itu sudah mengeluarkan sambaran angin yang sangat tajam. Sam koen menduga lawannya akan coba menangkis atau berkelit. Tapi tak dinyana, Cia Soen tidak bergerak "Bak!", tinju itu mengenakan tepat pada sasarannya. Kempungan adalah salah satu bagian tubuh manusia yang paling lemah dan tinju itu amblas di kempungan.

Tapi, sesaat itu juga, Kwee Sam Koen mencelos hatinya, karena tinjunya tersedot dengan semacam tenaga yang seperti besi berani. Cepat-cepat ia mengerahkan Lweekang untuk menarik pulang kepalannya, tapi sedikitpun tidak bergeming dan tinju itu terus melekat di kempungan musuh.

Dengan tenang Cia Soen mengangsurkan tangan kirinya kepinggang lawan. Melihat guru mereka dalam keadaan bahaya, dua orang murid Sin koen segera melompat untuk memberi pertolongan. Tapi begitu diawasi Cia Soen dengan sorot mata yang setajam pisau, hati mereka keder dan tidak berani bergerak lagi. Dilain saat, Cia Soen sudah meloloskan ikat pinggang Kwee Sam Koen yang lalu digunakan untuk melibat leher pecundang itu. Sesudah itu ia mengikat ujung ikatatan pinggang kedahan pohon, sehingga badan Kwee Sam Koen jadi tergantung.

Kwee Sam Koen meronta-ronta, tapi semakin ia meronta, ikatan pada lehernya menjirat semakin erat. Beberapa saat kemudian, didepan matanya terlibat bayangan Coei Hoei Yang. Rasa takut dan menyesal bercampur aduk dalam hatinya. Dalam keadaan separuh lupa, kupingnya mendengar kata-kata: "Jalan langit tidak pernah gagal. Perbuatan jahat akan mendapat pembalasan Jahat!"

Cia Soen menengok dan melihat warna putih pada kedua matanya Bek Keng. Ia lalu menghampiri, dan lalu mencopot tanah liat yang menutupi jalanan napas lawan itu dan kemudian meraba raba dadanya. Sesudah mendapat kepastian, bahwa Pangcoe Kek keng pang itu sudah tidak bernyawa lagi, barulah ia mencopot tanah yang menutupi hidung dan mulutnya sendiri. Ia mendongak dan tertawa nyaring "Kedua orang itu adalah manusia-manusia yang sangat jahat," katanya "bahwa mereka baru binasa sekarang sebenarnya sudah terlalu terlambat." Sehabis berkata begitu, ia mengawasi kedua Kiam kek muda dari Koen loan pay. Paras muka Ko Cek Seng dan Chio Tauw pucat seperti kertas, tapi merekapun bales mengawasi, tanpa mengunjuk rasa keder.

Melihat cara bagaimana Coei San telah membinasakan dua pemimpin dari dua partai persilatan yang ternama, Coei San kaget bukan main dan sugguh-sungguh ia tak dapat mengukuri betapa tinggi kepandaian orang itu. Sekarang melihat Cia Soen mengawasi kedua Kiam kek Koenloen ia merasa sangat berkuatir akan keselamatan kedua orang muda itu.

Buru-buru ia bangun berdiri dan berkata: "Cia Cianpwee, menurut katamu sendiri, orang-orang yang telah dibinasakan olehmu adalah manusia-manusia jahat yang pantas dibunuh. Tapi, jika kau sendiri membunuh manusia secara sembarangan. maka kaupun tiada banyak bedanya dengan orang orang yang dikatakan jahat olehmu."

"Tidak banyak bedanya?" menegas Cia Soen sambil tertawa-tawa. "Kepandaianku tinggi kepandain mereka rendah. Yang kuat menjatuhkan yang lemah. Itulah perbedaannya."

"Manusia bukan binatang dan manusia yang wajar harus dapat membedakan apa yang benar dan apa yang salah," kata pula Coei San. "Jika seorang menindih yang lemah dengan hanya mengandalkan kekuatannya, tanpa memperdulikan benar atau salah, maka orang itu tiada bedanya dengan binatang"

Cia Soen tertawa berkakakan. "Apa benar dalam dunia ini terdapat apa yang dinamakan salah atau benar?" tanyanya dengan nada mengejek. "Orang yang berkuasa pada jaman ini adalah bangsa Mongol. Mereka sering berbuat sewenang wenang. Apakah dalam melakukan perbuatan-perbuatan itu, mereka bersedia untuk bicarakan soal benar atau salah denganmu?"

"Memang benar, mereka tak memperdulikan benar atau salah," jawab Coei San. "Tapi juga benar, bahwa segenap pencinta negeri siang malam mengharap-harapkan datangnya kesempatan untuk mengusir kawanan penjajah itu."

Cia Soen menyeringai, "Huh ! Sekarang kita bicara saja mengenai orang Han sendiri," katanya. "Dulu, pada waktu orang Han duduk diatas tahta, apa dia menggubris soal benar atau salah dalam sepak terjangnya? Gak Hoei adalah seorang menteri setia. Tapi mengapa ia dibunuh oleh Song ko cong? Cin Kwee dan Kee Soe To adalah menteri-menteri dorna, Tapi mengapa mereka dapat memanjat kedudukan tinggi dan hidup dalam kemuliaan dan kemewahan?"

"Kaizar-kaizar Lam song (kerajaan Song Selatan) telah menggunakan manusia-manusia pengkhianat dan membinasakan menteri menteri setia, antaranya Gak Hoei, sehingga kerajaan rubuh dan negeri jatuh kedalam tangan bangsa lain," kata Coei San. "Dalam hal ini dapat kita katakan, bahwa kaizar-kaizar itu telah mendapat buah yang jahat karena menyebut bibit kejahatan. Inilah kejadian yang membuktikan adanya perbedaan antara salah dan benar."

Cia Soen bersenyum dan berkata dengan suara duka: "Thio Ngohiap, kau mengatakan, bahwa kaizar-kaizar itu telah mencicipi buah sebab perbuatannya yang jahat dan kejam. Sekarang aku ingin menanya: Apakah dosanya rakyat jelata sehingga mesti menderita terus menerus, mesti mengalami tindasan?"

Coei San tak dapat menjawab ia hanya menghela napas dengan paras muka suram.

"Rakyat sudah terpaksa membiarkan dirinya di persakiti karena mereka tidak mempunyai kemampuan untuk melawan," menyeletuk In So So. "Hal ini adalah hal yang lumrah dalam dunia."

"Itulah sebabnya mengapa kita, orang-orang Rimba Persilatan, telah belajar silat," menyambungi Coei San. "Tujuan kita yang terutama adalah membela keadilan dan menolong manusia yang perlu ditolong, Cia cianpwee adalah seorang enghiong yang jarang ada tandingannya dan dengan memiliki ilmu yang sangat tinggi itu, Cianpwee dapat berbuat banyak sekali untuk umat manusia ?"

"Apa bagusnya membela keadilan" tanya Cia Soen sambil menjebi. "Apa perlunya membela keadilan?"

Coei San kaget tak kepalang. Semenjak kecil ia telah menerima didikan bathin dari gurunya dan pada sebelum belajar silat, ia sudah tahu pentingnya tugas membela keadilan. Dalam alam pikirannya, seorang yang belajar silat secara wajar mempunyai tugas suci itu. Selama hidup, pertanyaan perlu apa membela keadilan belum pernah masuk kedalam otaknya. Maka itu, mendengar perkataan Cia Soen, ia tercengang dan tak dapat mengeluarkan sepatah kata.


Beberapa saat kemudian, barulah ia berkata: "Membela keadilan... itulah jalan untuk menegakkan keadilan, sehingga perbuatan baik mendapat pembalasan baik dan perbuatan jahat mendapat pembalasan jahat."

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar