Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 6-10

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 6-10 “Ngatjo-belo!” omel Yan-Khek, “Kau tidak boleh memanggil aku sebagi maling tua.” “ Baik, dan kaupun dilarang memanggil aku maling ketjil.”
 
Jilid 6

“Ngatjo-belo!” omel Yan-Khek, “Kau tidak boleh memanggil aku sebagi maling tua.” “ Baik, dan kaupun dilarang memanggil aku maling ketjil.” Tidak gusar, sebaliknya Yan-khek tertawa malah. Katanja: Maling ketjil adalah sebutan untuk memaki orang, maling tua juga kata2 makian, maka kau tidak boleh memaki aku.” “Djika begitu, mengapa kau memaki aku?” bantah si djembel. “Baiklah, akupun takkan memaki kau”, sahut Yan-khek dengan tertawa. “Kau sekarang bukan maling ketjil pula. Aku akan panggil kau sebagai anak ketjil dan kau boleh panggil aku sebagai paman tua”.

“Tidak, namaku bukan anak ketjil, tapi aku bernama Kau-tjap-tjeng,” kata si djembel sambil menggeleng. “Nama Kau-tjap-tjeng itu tidak baik, ibumu boleh panggil kau dimikian, tapi orang lain tidak boleh. Ibumu djuga aneh, mengapa memanggil anaknja sendiri sebagai Kau-tjap-tjeng?”

“Kau-tjap-tjeng apakah djelek? Bukankah si Kuning kawanku itupun seekor andjing. Kalau dia mengawani aku, aku lantas senang. Sama seperti kau mengawani aku sekarang. Tjuma si Kuning tidak bisa bitjara, dia hanja pandai menggonggong, sebaliknja kau pandai bitjara”. – Sambil berkata sembari tangannja meng-elus2 punggung Tjia Yan-khek dengan penuh kasih sajang seperti halnja kalau dia meng-elus2 andjing piaraannja.

Keruan Tjia Yan-khek sangat mendongkol, masakah dia disamakan dengan si Kuning. Segera ia mengerahkan tenaga dalamnja kebagian punggung sehingga tangan si djembel tjilik tergetar, se-akan2 tangannja memegang arang jang membara, tjepat ia menarik kembali tangannja dengan kaget. “Huh, biar kau tahu rasa sekarang”, demikian pikir Tjia Yan-khek sambil memandangi botjah itu dengan ter-senjum2.

Di luar dugaan si djembel tjilik malah berkata: “Wah, paman tua, agaknja kau sakit panas, lekas mengaso dulu dibawah pohon sana, biar aku mentjari sedikit air untuk kau minum, badanmu tentu sangat pajah, panasnja bukan main, mungkin sakitmu ini tidaklah ringan”. – Dari nadanja itu tampak sekali rasa perhatiannja jang penuh, segera ia pegang lengan Tjia Yan-khek dan hendak mengadjaknja mengaso kebawah pohon.

Sampai disini, biar betapapun aneh sifatnja Tjia Yan-khek djuga tidak enak menjakiti pula botjah itu dengan tenaga dalamnja. Maka katanja: “Aku sehat walafiat, kau bilang aku sakit apa? Tjoba lihat, bukankah panasnja sudah lenjap?” ~ Sambil berkata ia terus pegang tangan si djembel dan dirabakan ke dahinja sendiri. Ketika merasa dahi Yan-khek itu dingin2 segar sadja, mendadak djembel tjilik itu berseru kuatir: “Wah, tjelaka! Paman tua, kau sudah hampir mati!”

“Ngatjo belo, mengapa aku hampir mati?” bentak Yan-khek dengan gusar. “Ibuku pernah djatuh sakit, seperti kau barusan, sebentar panas dan sebentar dingin, ber-ulang2 ibu berteriak: Matilah aku, matilah aku! Orang jang tak punja liangsim (hati baik), lebih baik aku mati sadja!” ~ Kemudian ibu benar2 hampir mati, sesudah tiduran lebih dua bulan barulah sembuh.”

“Tapi aku takkan mati,” udjar Yan-khek dengan tersenjum. Si djembel tjilik menggeleng pelahan seperti kurang pertjaja. Mereka melandjutkan perdjalanan, tidak seberapa djauh, ketika melihat sinar matahari jang amat terik, tiba2 si djembel tjilik itu mendjemput beberapa helai daun jang djatuh ditepi djalan. Semula Yan-khek menjangka sifat si djembel tjilik itu masih ke-kanak2an dan suka mainan, maka tak digubrisnja. Siapa duga botjah itu telah memilin daun2 itu mendjadi sebuah topi, lalu diberikan kepada Tjia Yan-khek, katanja: “Matahari panas terik, engkau sedang sakit pula, harap pakailah topi ini.”

Yan-khek benar2 serba runjam menghadapi tingkah laku si djembel itu. Tapi ia tidak ingin mengetjewakan maksud baiknja maka topi itu diterimanja djuga dan dipakainya diatas kepala. Karena sinar matahari memang amat terik, dengan memakai topi itu rasanja mendjadi lebih segar. Tidak lama kemudian sampailah mereka di suatu kota ketjil. Tiba2 si djembel berkata: “Engkau tidak punja uang, boleh djadi sakitmu itu adalah lantaran kelaparan. Marilah sekarang kita pergi kerumah makan untuk makan se-kenjang2nja.” ~ Segera ia tarik tangan Tjia Yan-khek dan masuk ke sebuah rumah makan.

Selama hidup pengemis ketjil itu tidak pernah masuk restoran. Karena itulah iapun tidak tahu tjara bagaimana harus pesan makanan. Begitu masuk rumah makan itu segera ia keluarkan semua uang jang dimilikinja dan ditaruh diatas medja, lalu katanja kepada pelajan: “Aku dan paman tua ini ingin makan nasi makan ikan dan daging, sediakanlah selengkapnja dan ambil semua uangku ini.” Sisa uangnja itu sedikitnja ada tiga tahil perak dan lebih dari tjukup untuk membajar makanan semedja penuh. Keruan si pelajan sangat girang, tjepat ia memesan koki agar menjediakan daharan jang enak2, ada ajam panggang, ada Ko-lo-bak, ada bebek tim dan ada Ang-sio-hi, pendek kata serba komplit. Bahkan disertai dua kati arak.

Sesudah daharan itu siap diatas medja. Segera Yan-khek menuangkan arak. Tapi baru sadja si djembel tjilik minum seteguk, kontan ia semburkan kembali, serunja: “Hah, pedas, tidak enak.” ~ Maka jang digasak hanja daharan2 jang enak sadja. Diam2 Yan-khek berpikir: “Meski botjah ini tidak paham apa2, tapi pembawaannja ternjata sangat djujur, tampaknja djuga tidak boleh, kalau dididik dengan baik2 tentu akan mendjadi djago pilihan di dunia persilatan.”

Tapi lantas terpikir pula olehnja: “Ah, di dunia ini banjak sekali manusia2 jang durhaka dan tak berbudi, masakah aku belum tjukup dibikin susah oleh muridku jang tjelaka itu? Kenapa sekarang timbul pula pikiranku untuk mengambil murid baru?” Demi teringat kepada muridnja jang durhaka itu, seketika ia naik darah. Tjepat ia habiskan dua kati arak itu, lalu berkata : “Hajolah, berangkat!”

“Apakah kau sudah baik, paman tua?” tanja si djembel.

“Sudah!” sahut Yan-khek sambil berpikir: “Sekarang uangmu sudah habis, nanti kalau masuk restoran lagi kau tentu akan terpaksa minta tolong padaku.”

Segera mereka meninggalkan kota itu dan melandjutkan perdjalanan ke timur.

“Anak ketjil, siapakah she ibumu, dia pernah katakan padamu tidak?” tanja Yan-khek.

“Ibu ja ibu, apakah ibu djuga ada she segala?” sahut si djembel tjilik.

“Sudah tentu, setiap orang tentu mempunjai she,” kata Yan-khek.

“Djusteru aku tidak tahu, makanja aku tanja she ibumu. Nama Kau-tjap-tjeng itu terlalu djelek, apa kau ingin minta aku mentjarikan suatu nama jang baik bagimu?” demikian tanja Tjia Yan-khek. Ia pikir kalau si djembel mengadjukan permintaan itu, maka terpenuhilah sumpahnja atas medali wasiat dan ia dapat sembarangan memberi suatu nama padanja.

Tak terduga si djembel lantas mendjawab: “Djika kau suka memberikan nama padaku, kukira boleh djuga. Tjuma kuatirnja ibu tidak tahu. Padahal beliau sudah biasa memanggil aku Kau-tjap-tjeng, sekarang aku ganti nama baru, mungkin beliau akan marah. Mengapa kau anggap nama Kau-tjap-tjeng kurang baik ?”

Yan-khek mengerut kening. “Kau-tjap-tjeng” artinya anak turunan andjing, ia mendjadi bingung tjara bagaimana harus menerangkan nama jang kotor dan tak baik itu.

Pada saat itulah tiba2 ditengah hutan disebelah kiri depan sana terdengar ada suara njaring beradunja sendjata. Sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, sekali dengar sadja hati Yan-khek lantas terkesiap. Terang disana ada orang sedang bertempur dan dari suara beradunja sendjata mereka jang sangat tjepat itu pastilah ilmu silat mereka bukan djago silat rendahan.

Segera ia membisiki si djembel tjilik : “Tjoba kita melihatnja ke sana, kau djangan sekali2 bersuara.” ~ Sebelah tangannja lantas menolak dipunggung botjah itu, ia keluarkan Ginkang (ilmu entengkan tubuh atau kepandaian lari) jang tinggi dan berlari kearah suara pertempuran itu. Hanja beberapa kali lompatan sadja sampailah dia dibelakang sebatang pohon besar.

Karena dibawa lari setjepat terbang dan seperti terapung diudara, si djembel tjilik mendjadi senang dan merasa geli, hampir ia tertawa. Tapi lantas teringat oleh pesan Tjia Yan-khek agar dia djangan bersuara, maka tjepat ia menekap mulut sendiri.

Waktu mereka mengintip dari balik pohon, tertampaklah di tengah hutan itu ada empat orang sedang melompat dan menubruk kian kemari, pertarungan sedang berlangsung dengan sengitnja. Kiranja ada tiga orang sedang mengerojok satu orang. Jang dikerojok adalah seorang tua bermuka merah, rambutnja pandjang memutih perak, tangannja sudah tidak bersendjata lagi.

Sedangkan ketiga orang pengerojok itu, jang satu bertubuh tinggi kurus, seorang lagi adalah Todjin bermuka kuning dan jang ketiga mukanja sangat aneh, mukanja disilang oleh dua djalur bekas luka jang pandjang. Sikurus memakai sendjata pedang, sedangkan Todjin itu menggunakan gandin berantai dan simuka djelek bersendjata Kui-thau-to, golok berpunggung tebal jang melukiskan kepala setan.

Yan-khek melihat orang tua jang dikerojok itu sudah terluka tapi kedua telapak tangannja masih terus naik turun dan balas menjerang dengan sangat tangkas. Ia menghindarkan serangan2 lawan dengan mengitari sebatang pohon dan kadang2 diselingi dengan pukulan atau tutukan jang lihay, njata sekali ilmu silatnja sangat hebat.

Hanja mengikuti beberapa djurus sadja Tjia Yan-khek lantas mengenali orang tua itu. Tiba2 timbullah rasa sjukurnja : “Bagus, kukira siapa, tak tahunja adalah Tay-pi Lodjin dari Pek-keng-to. Hari ini kau mirip harimau jang kesasar dan dikerubut kawanan andjing, tampaknja sekali ini kau pasti akan tjelaka.” Tapi ketiga pengerojok itu tak dikenal Tjia Yan-khek. Tampaknja ilmu silat ketiga orang itupun tidak rendah, lebih2 si tinggi kurus, ilmu pedangnja boleh dikata sudah mentjapai kelas tertinggi.

Sedang permainan gandin berantai si Todjin juga sangat aneh, terkadang gandinnja dapat mengitari pohon untuk menghantam bagian samping Tay-pi Lodjin. Adapun silelaki bermuka djelek itu memiliki tenaga jang sangat kuat, goloknja jang tebal itu diputar sedemikian kentjangnja sehingga menerbitkan suara menderu2 jang memekakkan telinga.

Diam2 Yan-khek terkedjut. Pikirnja: “Sudah lama aku tidak mendjeladjahi Kangouw, ternjata didunia persilatan sudah timbul tokoh2 silat sehebat ini. Mengapa satupun aku tidak kenal gaja permainan silat ketiga orang ini? Tjoba kalau lawannja bukan tiga djago pilihan selihay ini tentu Tay-pi Lodjin takkan terdesak seperti ini. Kalau ketiga orang ini mengerojok diriku, rasanja aku sendiripun susah untuk mengalahkan mereka.”

Dalam pada itu terdengar Todjin atau imam itu telah berseru dengan suaranja jang serak: “Pek-keng Totju (penguasa pulau paus putih), selamanja Tiang-lok-pang kami tiada permusuhan apa2 dengan kau. Djika sekarang kau mau mengaku kalah dan bersedia mengadakan perserikatan dengan Pang kami, maka segera kita akan mendjadi sahabat baik dan tidak perlu bertarung mati2an seperti ini jang mungkin akan melajangkan djiwa pertjuma.”

Tapi Tay-pi Lodjin mendjawab dengan gusar: “Seorang laki2 sedjati masakah sudi mendjadi begundal manusia2 tidak punja malu seperti kalian? Tidak, tidak bisa.” ~ Habis berkata tangan kirinja mendadak mentjakar kepundak lelaki bermuka djelek itu.”

“Liong-djiau-djiu (tjengkeraman tjakar naga) jang hebat!” diam2 Yan-khek memudji serangan Tay-pi Lodjin.

Serangan itu tampak lambat, tapi sebenarja sangat tjepat. Meski si lelaki muka djelek sudah mendakkan tubuh untuk menghindar, tapi toh agak terlambat djuga. Pundaknja sudah ditjengkeram oleh djari Tay-pi Lodjin.

Keruan sitinggi kurus terkedjut, tjepat pedangja menusuk muka Tay-pi Lodjin. Dengan serangan selihay ini Tay-pi Lodjin hendak dipaksa menarik kembali tjengkeramannja kepada sang kawan.

Maka terdengarlah suara “bret” sekali, badju bagian pundak silelaki djelek telah tersobek sepotong, bahkan pundaknja lantas berlumuran darah, njata telah dilukai oleh tjakaran Tay-pi Lodjin.

Ketiga orang itu mendjadi gusar, mereka mengerubut dengan lebih gentjar lagi.

Diam2 Yan-khek mendjadi heran: “Matjam perkumpulan apakah Tiang-lok-pang itu? Kalau didalam Pang mereka terdapat tokoh selihay ini, mengapa selama ini aku tidak pernah dengar nama mereka?”

Tertampak pertarungan keempat orang itu makin lama makin sengit. Mendadak silelaki djelek menggereng keras sekali dan goloknya terus membabat. Tapi Tay-pi Lodjin sempat mengegos berbareng ia balas mendjotos kearah si Todjin. “Tjrat”, golok silelaki muka djelek telah menabas dibatang pohon, saking kuatnya tabasan itu sehingga seketika golok susah ditjabut kembali. Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Tay-pi Lodjin, tjepat sikutnja menjodok kepinggang lelaki muka djelek.

Rupanja Tay-pi Lodjin telah bertahan sekuatnja dari pengerojokan ketiga djago lihay itu, ia insaf susah menjelamatkan diri. Apalagi dalam pertarungan sengit itu, pantjainderanja jang tadjam lapat2 telah melihat dibalik pohon tersembunji dua orang lagi, ia menduga pasti musuh. Padahal untuk melawan tiga orang sadja kewalahan, apalagi musuh mendapat bala bantuan pula?

Karena itulah terpaksa ia mesti mengambil langkah berbahaja. Ia lihat simuka djelek itu adalah paling lemah diantara ketiga pengerojok, maka pada kesempatan jang ada itu segera ia menjikutnja. Maka terdengarlah “bluk” sekali, dengan tepat pinggang simuka djelek tersikut.

Tay-pi Lodjin bergirang karena serangannja tepat kena sasarannja, segera ia memutar pula kebalik pohon. Pada saat itu djuga gandin berantai si Todjin telah menjambar datang dari balik pohon. Tanpa pikir telapak tangan kiri Tay-pi Lodjin memotong keatas rantai gandin musuh. Tapi mendadak sinar pedang berkelebat, tjepat Tay-pi menggeser dan berkelit kekanan.

Tak terduga, karena usianja sudah landjut, setelah bertempur sengit sekian lamanja, tenaganja sudah tidak sekuat seperti waktu mudanja, mestinja geserannja itu dapat mentjapai sedjauh dua meter, tapi sekarang hanja sedjauh satu meter lebih, maka terdengarlah “tjret” jang pelahan, pedang sikurus telah menembus bahu kirinja, tanpa ampun lagi ia terpaku kentjang dibatang pohon.

Karena perubahan jang luar biasa itu, sidjembel tjilik sampai mendjerit kaget. Tadi waktu menjaksikan seorang tua dikerojok tiga orang, memangnja dia sudah merasa tidak adil. Sekarang dilihatnja pula siorang tua sudah dikalahkan, tentu sadja ia lebih2 kuatir dan tambah penasaran.

Sementara itu terdengar sikurus sedang berkata dengan dingin: “Pek-keng Totju, dasar kau, diminta dengan baik2 tidak mau dan maunja dipaksa. Sekarang kau mau menjerah kepada Tiang-lok-pang kami atau tidak?”

“Hm, djika kau kenal aku sebagai Totju dari Pek-keng-to, apakan diantara penghuni Pek-keng-to kami ada pengetjut jang pernah tekuk lutut kepada orang lain?” bentak Tay-pi Lodjin dengan mata melotot. Mendadak ia meronta sekuatnja, njata ia lebih suka mengorbankan sebelah bahunja untuk melepaskan diri.

Namun gandin berantai si Todjin sudah bekerdja djuga, rantai sendjata itu telah melibat beberapa kali sehingga badan Tay-pi Lodjin terikat dibatang pohon, achirnja terdengar suara “bluk” sekali, udjung gandin telah menghantam didada Tay-pi Lodjin. Tanpa ampun lagi darah segar lantas menjembur keluar dari mulut orang tua itu.

Sipengemis tjilik tidak tahan lagi, mendadak ia berlari madju dan ber-teriak2 : “Hai, kalian tiga orang jang djahat mengerojok seorang baik, ini tidak boleh djadi!”

Diam2 Tjia Yan-khek mengerut kening. Pikirnja :”Botjah ini ternjata suka tjari penjakit. Tapi biarkan sadja, ada baiknja djuga membiarkan ketiga orang itu membunuhnja. Andaikan botjah itu nanti minta tolong padaku, diantara ketiga lawan sudah ada satu jang terluka, sisa dua orang itu tentu mudah dilajani.”

Dalam pada itu tertampak sidjembel tjilik itu telah berlari sampai dibawah pohon sana dan mengadang didepan Tay-pi Lodjin sambil berseru: “Kalian tidak boleh membikin susah lagi kepada paman tua ini.”

Sebenarnja sitinggi kurus djuga sudah mengetahui bahwa di balik pohon itu tersembunji orang. Tapi dilihatnja pemuda ini toh tidak mahir ilmu silat, mengapa sedemikian berani merintangi mereka, tentu dibelakangnja ada jang mendjagoi. Maka diam2 ia merantjang: “Biar aku me-nakut2i setan tjilik ini, tentu orang jang mendjagoi itu akan terpaksa muntjul sendiri.”

Segera ia tjabut Kui-thau-to, golok berukiran kepala setan, jaitu milik kawannja jang menantjap dibatang pohon tadi, lalu ia menggertak: “Setan alas, siapakah jang suruh kau mengatjaukan urusan Lotju (bapakmu, kata olok2) ini? Hajo lekas enjah, biar kumampuskan tua bangka itu!”

Habis berkata, ia sengadja mengangkat goloknja dengan lagak hendak membatjok, njata se-akan2 pengemis ketjil jang mengadang didepannja itu djuga akan dibatjoknja sekalian bersama Tay-pi Lodjin.

“Tidak, tidak nanti aku mau pergi,” demikian djawab sidjembel malah tanpa gentar. “Paman tua ini adalah orang baik dan kalian adalah orang djahat. Aku harus membantu orang baik dan tak mau enjah.”

Kiranja dalam hidupnja se-hari2, bila perasaan ibunja kebetulan lagi senang, maka pengemis ketjil itu terkadang djuga didongengi tentang orang djahat dan orang baik segala. Maka dalam hati ketjil botjah itu telah timbul kesan bahwa adalah seharusnja dan maha adil bila membantu orang baik untuk melawan orang djahat.

Maka terdengar sikurus telah membentak dengan gusar: “Apakah kau kenal dia? Darimana kau tahu dia adalah orang baik?”

“Paman tua ini tadi mengatakan Pang apa kalian itu adalah perkumpulan orang djahat dan tidak sudi bergabung dengan kalian, maka sudahlah terang kalian adalah orang djahat,” demikian djawab sidjembel tjilik. Segera ia membalik tubuh dan hendak melepaskan rantai gandin si Todjin.

Tapi si Todjin sudah lantas memberi persen sekali tamparan sehingga mata sidjembel tjilik ber-kunang2 dan pusing tudjuh keliling, pipi kirinja seketika merah bengkak.

Dasar pengemis tjilik itu memang tidak kenal tingginja langit dan tebalnja bumi. Kemarin dia telah menjaksikan Go To-it dikerubut oleh orang2 Kim-to-the, soalnja dia tidak tahu Go To-it itu orang baik atau djahat, pula mereka bertempur diatas rumah dan achirnja Go To-it terdjungkal kebawah dan segera perutnja ditikam oleh kedua kaitan Li Tay-goan, kalau tidak, tentu saat itu djuga dia akan tampil kemuka untuk membelanja tanpa memikirkan mati-hidupnja sendiri.

Begitulah demi melihat sikap sidjembel tjilik jang tak gentar, diam2 sikurus mendjadi sangsi malah, pikirnja: “Matjam apakah tokoh jang mendjagoi kau itu sehingga kau berani main gila dengan para Hiangtju (pemimpin bagian, hulubalang) dari Tiang-liok-pang?”

Ia tjoba melirik kebalik pohon sana, sekilas tertampak olehnja muka Tjia Yan-khek jang aneh itu, seketika ia ingat kepada seorang: “Muka orang ini mirip dengan pemilik medali wasiat Mo-thian-kisu Tjia Yan-khek, djangan2 memang dia inilah?”

Segera ia tjoba menggertak lagi dengan mengatjungkan goloknja sambil membentak: “Aku tidak kenal asal-usulmu dan siapa perguruanmu, pendek kata kau berani mengatjau, segera kubatjok mampus pengemis ketjil matjam kau ini ?” ~ Dan menjusul goloknja terus menjambar keleher sidjembel tjilik.

Tak terduga djembel tjilik itu ternjata sangat bandel, sama sekali ia tidak gentar dan tidak bergerak sedikitpun. Ketika golok sikurus sudah hampir mengenai leher botjah itu barulah mendadak sikurus tahan sendjatanja, pudjinja: “Anak setan, besar djuga njalimu, ja?”

Sebaliknja watak si Todjin sangat berangasan, ia mendjadi aseran melihat kebandelan sidjembel tjilik, “plak”, kembali ia menampar lagi dengan lebih keras.

Betapapun usia pengemis tjilik itu masih sangat muda, karena ber-ulang2 digampar, maka menangislah dia.

“Djika kau tidak ingin dihadjar lagi, lebih baik kau menjingkir sadja!” udjar sikurus.

“Asal kalian pergi dulu dan takkan membikin susah paman tua ini, maka tanpa disuruh djuga aku akan segera pergi”, sahut sidjembel tjilik sambil bersengut.

Sikurus mendjadi tertawa malah. Sebaliknja si Todjin tambah murka, kontan kakinja mendepak sehingga sidjembel tjilik djatuh terguling. Tapi biarpun babak-belur dan didepak terguling, tetap sidjembel pantang mundur, begitu merangkak bangun, kembali dia mengadang didepan Tay-pi Lodjin pula.

Sifat Tay-pi Lodjin itu sebenarnja sangat aneh dan menjendiri, selama hidupnja djarang berkawan. Sekarang dilihatnja anak muda jang selamanja tidak pernah dikenalnja itu telah membela dengan mati2an, mau-tak-mau timbul djuga rasa terima kasihnja. Maka katanja: “Adik tjilik, pertjumalah kau bertengkar dengan mereka, bukan mustahil djiwamu akan melajang pertjuma pula. Dihari tua orang she Thia ternjata dapat mengikat seorang sahabat ketjil sebagai kau, sungguh hidupku ini boleh dikata tidak sia2. Sekarang lekaslah kau pergi sadja.”

Apa jang dikatakan “dihari tua” dan “hidup tidak sia2” segala dengan sendirinja sidjembel tjilik tidak paham sama sekali, ia hanja tahu orang tua itu telah menjuruhnja lekas pergi sadja. Maka ia lantas mendjawab: “Tidak, engkau adalah orang baik, betapapun kau tidak boleh ditjelakai oleh mereka.”

Sikurus adalah seorang tjerdik dan bisa berpikir pandjang. Diam2 ia memikir: “Datangnja botjah ini sangat mendadak dan aneh, orang jang sembunji dibalik pohon itu entah betul Tjia Yan-khek atau bukan, rasanja kita tidak perlu banjak mengikat permusuhan. Namun melulu beberapa patah-kata sibotjah ini dan kami lantas pergi, hal ini bukankah menundjukkan Tiang-lok-pay taku kepada orang lain.”

Tiba2 ia mendapat akal, ia angkat golok Kui-thau-to dan berkata: “Baiklah, anak ketjil, aku ingin mendjadjal kau sekali lagi. Ber-turut2 aku akan membatjok dan menabas 36 kali padamu, djika kau sama sekali tidak bergerak, maka aku akan menjerah padamu. Nah, kau takut tidak ?”

“Ber-ulang2 dibatjok 36 kali, sudah tentu aku takut,” sahut sidjembel.

“Djika takut, nah, lebih baik kau menjingkir pergi sadja,” udjar sikurus.

“Tidak, hanja didalam hati aku takut, tapi aku djusteru tidak mau pergi,” sahut sidjembel tjilik.

Sikurus mengatjungkan djempolnja dan memudji: “Bagus! Anak jang gagah. Nah, awas serangan!” ~ “Sret”, segera goloknja menabas lewat diatas kepala djembel tjilik itu.

Dari balik pohon Tjia Yan-khek dapat melihat dengan djelas bahwa tabasan sikurus itu sangat tjepat dan gesit, tenaga jang digunakan adalah tenaga pergelangan tangan, walaupun tak diketahui apa namanja djurus itu, tapi golok jang antap itu ternjata dapat dimainkan dengan enteng dan tjepat sekali. Tabasan itu menjerempet lewat diatas ubun2 kepala sidjembel sehingga setjomot rambutnja terkupas.

Namun demikian, benar djuga sidjembel tjilik tetap sangat tabah, ia tetap berdiri tegak dan tidak bergerak sedikitpun.

Menjusul sinar golok tampak berkelebat dan menjambar kian kemari diatas kepala sidjembel, rambut bertebaran pula. Setelah 32 kali menabas, mendadak sikurus membentak sekali, golok membatjok dari atas kebawah, “bret”, lengan badju kanan sidjembel telah terkupas sepotong, menjusul lengan badju kiri dikupas pula dengan tjara jang sama, bahkan tjelananja djuga terpotong sebagian dikanan-kirinja. Dengan demikian mendjadi genaplah 36 kali batjokan dan tabasan. Diwaktu menarik kembali goloknja, tahu2 sikurus menggunakan gagang goloknja untuk menjodok di “Tan-tiong-hiat” didada Tay-pi Lodjin, lalu ia tertawa ter-bahak2 dan berkata: “Anak tjilik, sungguh hebat kau, ketabahanmu memang luar biasa!”

Tjia Yan-khek telah mengikuti dengan baik apa jang dilakukan sikurus itu. Ia lihat sikurus telah memainkan goloknja dengan 36 djurus serangan jang susul-menjusul dan ternjata sedikitpun tiada lubang kelemahan, maka diam2 Yan-khek memudji akan kepandaian orang. Waktu dilihatnja pula sikurus menutuk Hiat-to mematikan didada Tay-pi Lodjin pada saat dia menarik kembali goloknja, diam2 iapun menganggap tindakan sikurus itu terlalu kedji.

Dalam pada itu rambut sidjembel tjilik jang tadinja gombjok kusut itu, setelah kena 32 kali tabasan kini telah berubah mendjadi seroang Hwesio ketjil.

Tadi ia ditabas 32 kali dan setiap kali tabasan itu selalu menjerempet diatas kepalanja, hal ini sebagian adalah karena ketekadannja ingin membela Tay-pi Lodjin, tapi sebagian djuga lantaran kesimanja sehingga tidak dapat bergerak. Sesudah sikurus habis menabas, ia tjoba meraba kepalanja sendiri dan terasa masih baik2 tanpa kurang apa2, maka barulah dia menghela napas lega.

Sebaliknja si Todjin dan simuka djelek lantas bersorak memudji: “Bi-hiangtju, ilmu pedang jang hebat !”

“Ha, permainan kasaran sadja!” sahut sikurus dengan tersenjum.

“Mengingat ketabahan sobat ketjil ini, biarlah hari ini kita mengalah sedikit padanja. Sekarang marilah kita pergi sadja saudara2.”

Melihat Tay-pi Lodjin sudah tinggal napas jang terachir sadja karena sodokan gagang golok sikurus tadi, maka si Todjin dan simuka djelek djuga tidak rewel2 lagi, mereka djemput sendjata masing2 lalu melangkah pergi.

Sikurus mendadak menabok sekali diatas batang pohon, tahu2 pedangnja jang menantjap dibatang pohon dengan memantek tubuh Tay-pi Lodjin itu lantas mentjelat keluar dengan membawa darah segar orang tua itu. Segera sikurus sambar sambar pedangnja dan bertindak pergi dengan tertawa, sama sekali ia tidak berpaling lagi ketempat sembunjinja Tjia Yan-khek.

Diam2 Yan-khek membatin: “Kiranja sikurus itu she Bi dan adalah Hiangtju dari tiang-lok-pang. Dia sengadja memperlihatkan dua djurus kepandaiannja padaku, terutama tabokan jang menggetarkan batang pohon untuk mengeluarkan pedang itu betul2 sangat lihay.”

Dalam pada itu sipengemis tjilik sedang berkata kepada Tay-pi Lodjin: “Paman tua, biar kubalut lukamu itu.” ~ Lalu ia ambil sobekan kain badjunja sendiri jang ditabas sikurus tadi dan hendak membalut luka dibahunja Tay-pi Lodjin.

Namun orang tua itu lantas berkata: “Ti…………tidak perlu lagi! Di………….didalam kantongku ada………..ada beberapa boneka ketjil……….ku………..kuberikan semua itu pa………………….padamu………………” ~ belum selesai utjapannja, matanja terpedjam dan kepalanja miring kesamping, tubuhnja jang besar itu perlahan2 merosot kebawah pangkal pohon.

“Paman tua! Paman tua!” seru sidjembel tjilik dan bermaksud memajang orang tua itu. Tapi dilihatnja Tay-pi Lodjin sudah meringkuk ditanah dan tak bisa berkutik lagi.

Segera Tjia Yan-khek mendekatinja dan bertanja: “Apa jang dia katakan sebelum mati?”

“Dia bilang……….dia bilang didalam kantongnja ada beberapa boneka ketjil dan diberikan padaku semua”, sahut sidjembel tjilik.

Tjia Yan-khek kenal Tay-pi Lodjin adalah seorang tokoh besar didunia persilatan, dalam hal ilmu silat sekali2 tidak dibawah dirinja, maka bukan mustahil pada tubuh orang tua itu tentu dapat diketemukan benda2 jang penting. Namun sebagai seorang tokoh pula Tjia Yan-khek djuga bertinggi hati dan sekali2 tidak sudi mentjuri apa2 milik orang mati. Andaikan tahu betul Tay-pi Lodjin membawa benda2 mestika djuga dia tidak mau mengambilnja. Karena itulah ia lantas berkata : “Djika dia telah memberikannja padamu, maka bolehlah kau ambil sadja.”

“Dia sendiri jang memberi, kalau aku mengambilnja terhitung maling ketjil atau bukan ?” tanja sidjembel tjilik.

“Bukan”, sahut Yan-khek dengan tertawa.

Segera sidjembel menggagapi saku badjunja Tay-pi Lodjin dan mengeluarkan isinja, diantaranja terdapat sebuah kotak kaju ketjil, beberapa uang perak dan beberapa buah sendjata rahasia berduri. Selain itu pula beberapa putjuk surat dan seperti ada pula sehelai peta.

Sebenarnja didalam hati Tjia Yan-khek sangat ingin tahu apa jang tertulis didalam surat2 itu dan apa jang terlukis didalam peta. Tapi ia merasa, asal tangannja menjentuh barang2 itu, maka nama baiknja sebagai seorang tokoh pudjaan dunia persilatan tentu akan tertjemar.

Dalam pada itu tertampak sidjembel tjilik sudah membuka kotak ketjil itu, didalam digandjel dengan kapas dan terdapat tiga baris boneka buatan tanah liat. Setiap barisnja ada enam boneka sehingga seluruhnja ada 18 buah. Buatan boneka2 itu sangat indah, semuanja berbentuk laki2 dan telandjang, ditubuh boneka jang berwarna putih itu penuh terlukis garis2 merah.

Sekali pandang sadja Tjia Yan-khek lantas tahu bahwa garis2 merah jang terlukis diatas tubuh boneka2 itu adalah model2 untuk melatih sedjenis Lweekang jang tinggi, besar kemungkinan adalah rahasia inti dari ilmu Lweekang golongan Pek-keng-to. Rupanja Tay-pi Lodjin merasa berterima kasih kepada djiwa kesatria sidjembel tjilik jang telah membelanja mati2an, maka telah menghadiahkan benda2 mestika itu. Tapi lantas terpikir oleh Tjia Yan-khek: “Pertjuma djuga maksud Tay-pi Lodjin itu, andaikan tidak diberikan, toh kalau botjah ini menemukan boneka2 itu didalam kantongmu djuga tentu akan diambilnja untuk barang mainan.”

Padahal dugaan Tjia Yan-khek ini pasti meleset. Pengemis ketjil itu sekarang sudah paham bahwa mengambil barang orang lain setjara diam2 adalah maling ketjil serta orang djahat, maka tidaklah mungkin dia berani menggerajangi milik Tay-pi Lodjin djika orang tua itu tidak memberitahukan tentang barang apa jang berada disakunja itu.

Selamanja djembel tjilik itu hidup diatas gunung jang terpentjil, untuk pertama kalinja sekarang dia melihat boneka2 sebanjak itu, keruan ia sangat senang dan ber-ulang2 menjatakan : “Sungguh menarik sekali. Tapi mengapa tidak pakai badju? Apa tidak dingin.”

Diam2 Tjia Yan-khek membatin: “Meski Tay-pi biasanja tidak tjotjok dengan aku, tapi dia terhitung djuga seorang tokoh terkemuka, betapapun djenazahnja tidak boleh ditelatarkan begini sadja.”

Segera ia berkata kepada sidjembel tjilik jang lagi asjik dan senang memandangi boneka2 ketjil itu: “Kawanmu itu sudah mati, apa kau tidak menanamkan majatnja ?”

“Ja, tapi tjara bagaimana menanamnja ?” sahut sidjembel.

“Kalau kau kuat, boleh kau menggali sebuah liang, kalau tidak kuat, boleh menguruki dia dengan tanah, batu dan daun2 kering.

“Disini djuga tiada tjangkul dan susah untuk menggali liang”, udjar sidjembel. Maka ia lantas mengusung batu dan tanah, dan uruk pula dengan daun2 kering sehingga djenazah Tay-pi Lodjin tertutup rapat.

Karena usianja masih terlalu muda, setelah selesai menguruk djenazah Tay-pi itu ia sendiri sudah mandi keringat dan sangat lelah.

Tjia Yan-khek tetap berdiri menonton sadja disamping dan tidak membantunja. Ia tunggu sidjembel tjilik selesai bekerdja bakti, lalu ia mengadjaknja berangkat.

“Kemana lagi? Aku sudah terlalu lelah dan takkan ikut padamu!” sahut sidjembel.

“Kenapa? Kau tidak ikut pergi padaku?” tanja Yan-khek.

“Tidak, aku akan mentjari ibu dan si Kuning,” kata sidjembel tjilik.

Diam2 Yan-khek mendjadi kuatir: “Botjah ini belum lagi meminta sesuatu padaku, djika dia tidak mau ikut pergi padaku, hal ini mendjadi sulit bagiku. Sedangkan akupun takdapat mengadjak dia setjara paksa. Ah, sumpahku dahulu itu hanja mengatakan tidak boleh main paksa kepada orang jang mengembalikan medali wasiat padaku dan tidak menjatakan tak boleh mendustai dia. Maka sekarang terpaksa aku harus mendustai dia sadja.”

Maka ia lantas berkata: “Kau boleh ikut padaku sadja, nanti aku bantu mentjarikan ibumu dan si Kuning.”

“Baik sekali. Kepandaianmu sangat tinggi, tentu kau akan dapat menemukan ibuku dan si Kuning,” sahut sidjembel dengan girang.

Yan-khek pikir tiada gunanja banjak bitjara dengan botjah itu, untung botjah itu tidak pernah memohon setjara resmi padanja, kalau tidak tentu akan sulit untuk mentjarikan ibunja dan andjing piaraannja itu. Segera ia pegang tangan kanan sidjembel dan berkata: “Marilah kita berdjalan tjepatan sedikit !”

Dan baru sadja sidjembel tjilik mengiakan, tahu2 ia merasa tubuhnja terseret dan se-akan2 terapung dan berlari setjepat terbang. Bukannja takut, sebaliknja ia mendjadi senang, serunja: “Ha, enak sekali, enak sekali!”

Kiranja Tjia Yan-khek telah menggunakan Ginkang jang tinggi dan mengerahkan sedikit tenaga dalam untuk membawanja berlari. Keruan sidjembel tjilik merasa seperti dibawa terbang dan tertawa2 senang sambil memudji kepandaian Tjia Yan-khek.

Sampai hari sudah gelap, entah sudah berapa djauhnja mereka berlari, achirnja mereka sampai di-tengah2 gunung jang sepi. Disitulah Yan-khek berhenti dan melepaskan tangan sidjembel tjilik.

Sesudah berhenti barulah sidjembel tjilik itu merasakan kakinja lemas dan tidak kuat berdiri lagi, seketika ia djatuh terduduk. Hanja sebentar sadja ia berduduk, segera ia merasa kedua telapak kakinja kesakitan, ternjata sudah merah dan bengkak. Ia berteriak kaget: “Ha, paman tua, kakiku bengkak!”

“Djika kau minta aku mengobati kau, tentu segera kakimu takkan bengkak dan sakit”, sahut Tjia Yan-khek.

“Kalau kau mau menjembuhkan aku, dengan sendirinja aku akan berterima kasih padamu”, sahut sidjembel tjilik.

Mau-tak-mau Tjia Yan-khek mengerut kening, katanja pula: “Apa benar2 selamanja kau tidak pernah memohon apa2 kepada orang lain?”

“Djika engkau suka menjembuhkan aku, tentunja tidak perlu aku memohon, sebaliknja kalau engkau memang tidak mau, biarpun aku memohon djuga pertjuma”, udjar sidjembel.

“Kenapa pertjuma ?” Yan-khek menegas.

“Habis, kalau engkau tidak mau menjembuhkan aku, tentunja aku akan sedih, boleh djadi akan menangis. Sebaliknja kalau tidak dapat mengobati aku, tentunja engkau jang akan merasa susah.”

“Hm, hatiku selamanja tidak pernah susah. Nah, kita tidur sadja disini!” djengek Yan-khek.

Agar sesuai dengan kenjataannja karena anak muda itu tidak sudi memohon sesuatu apapun kepada orang lain, dengan sendirinja istilah “sidjembel tjilik” atau “sipengemis tjilik” adalah tidak tepat baginja, maka untuk selandjutnja kita akan menjebutnja sebagai anak muda sadja.

Begitulah anak muda itu telah bersandar pada sebatang pohon, meski kedua kakinja melepuh sakit, tapi saking lelahnja, hanja sebentar sadja ia sudah terpulas, sampai perutnja jang sudah lapar djuga terlupakan.

Tjia Yan-khek sendiri lantas melompat keatas pohon dan tidur disitu. Ia berharap tengah malam nanti akan datang seekor binatang buas dan anak muda itu akan digigit mati dan dimakan sehingga akan mengachiri kesulitan atas diri anak muda itu.

Tak terduga, sepandjang malam itu seekor kelintjipun tidak lalu disitu djangankan lagi seekor binatang buas. Diam2 Yan-khek membatin : “Terpaksa aku mesti membawa pulang dia ke Mo-thian-kay. Kalau nanti dia membuka mulut memohon sesuatu jang mudah dikerdjakan olehku, maka hal itu terhitung dia jang mudjur, kalau tidak, betapapun aku harus berdaja upaja untuk membinasakan dia. Sungguh tjelaka, kalau terhadap seorang botjah tjilik sadja takbisa membereskannja, lalu matjam apakah manusia Mo-thian-kisu jang tersohor ini?”

Esok paginja Tjia Yan-khek menggandeng tangan anak muda itu dan diadjaknja berangkat pula. Tapi baru melangkah beberapa tindak, anak muda itu lantas mendjerit kesakitan karena telapak kakinja serasa ditusuk oleh ber-ratus2 djarum.

“Kenapa?” tanja Yan-khek. Ia menjangka anak muda itu tentu akan mengadjukan permintaan berhenti dahulu atau permintaan lain sebagainja.

Tak terduga anak muda itu hanja mendjawab: “Tidak apa2, kakiku sedikit sakit. Marilah kita djalan terus.”

Karen takbisa meng-apa2kan anak muda itu, lama2 Tjia Yan-khek mendjadi naik darah, segera ia seret anak muda itu dan berlari lebih kentjang lagi.

Mereka berlari terus tanpa berhenti. Bila lalu dikota, seadanja Tjia Yan-khek membeli sedikit penganan, lalau berangkat lagi, sambil lari sambil makan. Kalau dia membagi makanan itu kepada sianak muda barulah anak muda itu memakannja, kalau tak membaginja, anak muda itu djuga tidak minta.

Dengan demikian beberapa hari telah lalu dengan tjepat. Sampai hari keenam, tempat mereka ber-lari2 itu adalah ditengah lereng gunung jang terdjal. Sungguh aneh djuga, meski anak muda itu tidak paham ilmu silat, tapi dengan digandeng oleh Tjia Yan-khek, semakin lama berlari, semakin bersemangat malah. Sampai achirnja bahkan kedua kakinja tidak terasa sakit lagi.

Jilid 7

Sesudah berlari satu hari pula, djalanan pegunungan itu makin lama tambah berbahaja. Achirnja anak muda itu tidak sanggup mendaki lagi, terpaksa Tjia Yan-khek menggendongnja dan berlompatan dari suatu tebing ketebing jang lain dan dari suatu lereng kelereng jang lain.

Anak muda itu sampai kebat-kebit melihat lereng2 gunung jang tjuram disekitarnja itu. Terkadang kalau ketmu tempat2 jang tjuram dan mengerikan, terpaka ia pedjamkan mata dan tidak berani melihat.

Pada waktu lohor, sampailah Tjia Yan-khek dibawah sebuah tebing jang menegak tjuram, tinggi mentjakar langit. Dengan bantuan seutas rantai besi jang mendjulur dari atas tebing itu Yan-khek lantas mendaki tebing itu.

Tebing itu sesungguhnja halus litjin dan tegak, djangankan manusia, sekalipun kera djuga susah mendaki keatas. Tjoba kalau tiada rantai besi jang pandjang itu, biarpun kepandaian Tjia Yan-khek setinggi langit djuga belum tentu mampu memandjat keatas.

Sampai dipuntjak tebing itu, Tjia Yan-khek menurunkan anak muda itu, lalu katanja: “Tempat ini namanja Mo-thian-kay (tebing pentjakar langit), karena itulah aku mendapat djulukan sebagai Mo-thian-kisu (pertapa dari tebing pentjakar langit). Maka itu bolehlah tinggal sadja disini.”

Anak muda itu tjoba memandang sekitarnja, ia lihat puntjak tebing itu tjukup luas djua, tapi dikelilingi oleh kabut dan awan sehingga dirinja se-akan2 berada ditengah langit. Tanpa merasa ia mendjadi tjemas dan gelisah. Segera ia tanja: “Katanja kau akan mentjarikan ibuku dan si Kuning ?”

Tapi Tjia Yan-khek telah mendjawabnja dengan dingin : “Dunia seluas ini, kemana aku harus mentjari ibumu? Biarlah kita menunggunja disini sadja, boleh djadi pada suatu hari ibumu akan datang kesini untuk mendjenguk kau, siapa tahu ?”

Biarpun anak muda itu masih ke-kanak2an dan hidjau dalam segala hal, tapi tahu djuga bahwa dia telah diapusi oleh Tjia Yan-khek. Ditempat demikian tjara bagaimana ibunja dapat menemukan dia? Karena itu, seketika ia mendjadi terkesima.

“Kapan2 bila kau ingin pergi dari sini djuga boleh,” kata Yan-khek pula. Diam2 ia pertjaja kalau anak muda itu tak diberi makan, untuk turun kebawah tebing djuga tidak berani, achirnja anak muda itu tentu akan membuka mulut untuk memohon sesuatu padanja.

Biasanja biarpun ibu anak muda itu bersikap sangat dingin, tetapi selamanja tidak pernah mengapusi padanja. Sekarang, untuk pertama kali selama hidupnja dia telah diapusi orang, entah bagaimana perasaannja, air matanja lantas ber-linang2 dikelopak matanja, tapi sedapat mungkin ia menahannja agar air matanja tidak sampai menetes.

Ia lihat Tjia Yan-khek telah memasuki sebuah gua, selang tak lama dari dalam gua tampak mengepul keluar asap, jaitu asap orang sedang memasak. Selang sedjenak pula lantas terendus bau sedap dari dalam gua itu.

Memangnja perut anak muda itu sudah lapar, maka ia lantas masuk kedalam gua. Ia lihat gua itu sangat luas dan tjukup untuk bersembunji beberapa ratus orang.

Rupanja Tjia Yan-khek sengadja menanak nasi dan memasak daging dimulut gua dengan tudjuan memantjing selera makan anak muda itu agar meminta makan padanja. Tak terduga, anak muda itu sedjak ketjil hanja hidup berdampingan dengan ibunja sadja, pada hakikatnja dia tidak tahu tentang milikmu ataupun milikku, asal melihat makanan lantas diambilnja dan dimakan, kenapa mesti pakai minta segala. Karena itulah, demi dilihatnja diatas medja batu didalam gua itu tertaruh sepiring daging rebus dan sebakul nasi, maka tanpa permisi lagi ia lantas mengambil mangkuk dan sumpit sendiri, lalu mengisi nasi dan mengambil dan terus dimakan.

Tjia Yan-khek mendjadi tertjengang sendiri. Pikirnja: “Ia pernah mentraktir aku makan bakpau, bahakan djuga makan di restoran, kalau sekarang aku melarang dia makan masakanku tentu hal ini akan memperlihatkan kerendahan budiku sendiri.”

Karena itulah iapun tidak ambil pusing, segera ia djuga makan sendiri.

Rupanja penghidupan “berdikari” bagi anak muda itu sudah mendjadi biasa, maka sehabis makan ia lantas mentjutji mangkok, piring dan sumpit, lalu membersihkan bakul nasi dan selesai itu ia lantas pergi mentjari kaju semuanja itu dikerdjakannja seperti biasanja kalau dia hidup bersama dengan ibunja.

Sesudah mendapatkan kaju satu pikul, baru sadja dia memikulnja pulang kegua, tiba2 dari semak2 ditepi djalan melompat keluar seekor rusa. Dengan sebat sekali anak muda itu mengangkat kapaknja dan rusa itu kena dihantam mati. Segera ia menjembelih rusa itu dan ditjutji bersih dengan air selokan jang djernih, lalu dibawanja pulang kegua. Ia gantung sebelah badan rusa itu ditempat terbuka agar kena angin dan supaja tidak rusak, daging rusa jang lain ia potong2, lalu direbus didalam kuali.

Ketika mengendus bau sedapnja daging rusa rebus, Tjia Yan-khek tidak tahan lagi, ia tjoba mentjeduk satu sendok kuahnja dan mentjitjipinja. Tiba2 ia mendjadi girang dan masgul pula. Ternjata rasa kuah itu enaknja tak terkira, tjara masaknja ternjata berpuluh kali lebih pandai daripada dia sendiri.

Sungguh tak tersangka olehnja bahwa anak muda itu ternjata masih mempunjai kepandaian simpanan, kalau hidup bersama, tentu selandjutnja dia akan dapat banjak menikmati makanan enak. Tapi lantas teringat pula olehnja, djika anak muda itu dapat berburu dan memasak, tentunja djuga takkan meminta supaja diantar kebawah gunung, maka harapannja agar anak muda itu akan mengemukakan permintaannja itu mendjadi kandas lagi.

Kiranja ibu anak muda itu pintar sekali memasak, tapi tabiatnja aseran dan malas pula, lebih sering dia suruh anak muda itu memasak daripada dia turun tangan sendiri. Bila masakan anak muda itu kurang enak, dikala senang iapun suka memberi petundjuk2 tjara masak dan resep2nja, tapi diwaktu kurang senang, sedikit2 ia lantas mendamperat dan memukul anak muda itu.

Begitulah dengan tjepat beberapa hari telah lalu, selama itu anak muda itu tetap melakukan pekerdjaannja dengan baik, ia memasang perangkap untuk menangkap binatang, membikin djepretan untuk membidik burung, ternjata matjam2 dan ada2 sadja kepandaiannja sehingga setiap hari dia membikin masakan jang serba baru untuk disadjikan kepada Tjia Yan-khek. Kalau tidak habis termakan, maka sisa daging lantas dikeringkan mendjadi dendeng.

Karena kepandaian sianak muda jang serba pintar dan baru itu, Tjia Yan-khek mendjadi ter-heran2. Waktu dia menanjakan dari mana asal-usulnja kepandaian masak itu, sianak muda mendjawab bahwa semuanja itu adalah ibunja jang mengadjarkannja.

Diam2 Tjia Yan-khek tambah heran. Ia pikir kalau ibu dan anak itu sedemikian pandai memasak, maka seharusnja mereka adalah orang2 pintar, ia menduga mungkin ibunja adalah wanita kampung jang telah ditinggalkan sang suami sehingga timbul tabiatnja jang aneh dan mendjendiri, atau boleh djadi karena tabiat pembawaannja jang aneh itu maka telah ditinggalkan suaminja.

Dan karena anak muda itu djarang sekali mengadjak bitjara padanja, diam2 Tjia Yan-khek sendiri mendjadi sedih malah. Pikirnja: “Kalau urusan ini tidak lekas2 dibereskan, betapapun akan selalu merupakan antjaman bagiku. Bila pada suatu ketika anak muda itu mendapat budjukan musuhku dan mendadak dia memohon aku memunahkan ilmu silatku sendiri atau membikin tjatjat anggota badanku sendiri, wah, kan bisa tjelaka ? Atau mungkin sekali dia minta aku djangan turun dari Mo-thian-kay ini untuk selamanja, bukankah itu berarti aku akan mati konjol diatas puntjak jang terpentjil ini?”

Dalam keadaan demikian, biarpun Tjia Yan-khek adalah seorang jang tjerdik, seketika iapun tidak mendapatkan akal jang baik.

Pada suatu hari, lewat lohor, Tjia Yan-khek sedang ber-djalan2 iseng dihutan dekat guanja, sekilas dilihatnja anak muda itu sedang tengkurap diatas batu tjadas dengan tertawa2 senang menghadapi serentetan benda2.

Waktu Yan-khek memperhatikan, kiranja benda2 itu adalah ke-18 buah boneka tanah pemberian Tay-pi Lodjin tempo hari. Anak muda itu telah menaruh boneka2 itu setjara terpisah disana-sini, sebentar dia membariskan boneka2 itu, lain saat boneka itu disuruh perang2an. Sungguh asjik dan senang sekali anak muda itu dengan barang permainannja itu.

Ketika melihat diatas badan boneka2 itu penuh terdapat garis merah dan titik2 hitam, segara Yan-khek mendekatinja, benar djuga seperti apa jang telah diduganja, memang titik2 hitam itu menundjukkan berbagai Hiat-to diatas tubuh manusia dan garis merah itu adalah djalannja urat2 nadi.

Yan-khek mendjadi teringat kepada kedjadian dahulu ketika ia bertanding dengan Tay-pi Lodjin diatas gunung Pak-bong-san, kepandaian Tay-pi Lodjin tatkala itu hanja keras pukulannja dan ilmu Kim-na-djiu-hoat jang banjak perubahannja dan tjepat. Sesudah bertanding lebih satu djam, achirnja Yan-khek telah menang setengah djurus sehingga Tay-pi Lodjin lantas mundur teratur. Ilmu silat Tay-pi Lodjin memang sangat tinggi, tapi mengutamakan kepandaian luar dan bukan kepandaian dalam tau Lweekang, akan tentang tanda2 latihan Lweekang jang terlukis dibadan boneka2 itu mungkin sangat tjetek dan mentertawakan.

Segera Yan-khek mengambil salah sebuah boneka itu, ia lihat tanda2 Hiat-to dan garis2 urat nadi jang terlukis itu memang benar adalah pengantar latihan Lweekang jang tepat, pada umumnja tjara2 permulaan melatih Lweekang dari berbagai golongan dan aliran tiada banjak bedanja seperti apa jang terlukis diatas boneka2 ini dan tiada sesuatupun jang perlu dirahasiakan. Apa barangkali Tay-pi Lodjin kemudian sadar bahwa kepandaiannja jang takdapat melebihi tokoh lain adalah disebabkan kekurangannja dalam ilmu Lweekang, maka entah darimana dia telah memperoleh 18 buah boneka itu dengan maksud hendak mejakinkan Lweekang untuk mengimbangi kepandaiannja jang sudah ada. Tapi untuk mejakinkan Lweekang dengan baik toh tidak dapat disempurnakan dalam waktu singkat sadja, padahal usia Tay-pi Lodjin sampai adjalnja sudah lebih 80 tahun, maka Lweekang jang dikehendakinja itu terpaksa dilatihnja diachirat sadja. Hahaha, sungguh lutju! ~ Demikian pikir Yan-khek dan tanpa terasa achirnja ia bergelak tertawa.

Anak muda itu ikut tertawa, katanja: “Paman tua, tentunja kau geli melihat boneka2 ini berdjenggot dan bukan anak2, tapi semuanja telandjang bulat, makanja kau tertawa geli.”

“Ja, memang menggelikan”, udjar Yan-khek sambil tertawa.

Lalu ia memeriksa boneka2 lain lagi, ia lihat Hiat-to dan urat2 nadi jang terlukis diatas boneka2 itu satu sama lain ber-beda2. Jang 12 buah melukiskan Tjing-keng-tjap-dji-meh, jaitu 12 urat nadi tetap diatas tubuh manusia. Sedangkan 6 buah lainnja melukiskan enam urat nadi aneh diatas tubuh manusia, padahal urat nadi aneh itu mestinja berdjumlah delapan, jaitu apa jang disebut “Ki-keng-pat-meh”. Tapi sekarang dua urat nadi, jaitu Tjiong-meh dan Tay-meh jang paling ruwet dan paling susah dipahami itu ternjata tidak ada, djadi boneka2 itu kurang lengkap.

Diam2 Tjia Yan-khek membatin: “Boneka2 jang dianggap benda mestika dan selalu dibawa oleh Tay-pi Lodjin ini ternjata tidak lengkap. Padahal Lweekang jang dia ingin beladjar ini adalah ilmu kasaran sadja, asal dia mengundang seorang murid salah satu perguruan ilmu silat jang melatih Lweekang untuk memberi petundjuk, maka dengan mudah akan dapat dipahaminja. Tapi, ja, maklumlah, dia adalah tokoh angkatan tua jang kenamaan, masakah dia mau merendahkan diri untuk minta petundjuk kepada orang lain?”

Ia lantas terbajang lagi pada pertandingannja melawan Tay-pi Lodjin dahulu, meski achirnja dia menang setengah djurus, tapi kemenangannja itu diperoleh setjara kebetulan sadja, selama satu djam bertarung dengan mati2an itu beberapa kali ia sendiripun menghadapi bahaja maut, kalau dipikir sekarang, sungguh untung sekali baginja, tjoba kalau waktu itu Taypi Lodjin sudah mempunjai dasar Lweekang jang kuat, tentu tidak sampai setengah djam dirinja sudah dihantam terdjungkal kedalam djurang oleh Tay-pi Lodjin.

Dan baru sadja ia hendak tinggal pergi, mendadak terpikir lagi olehnja: “Djika botjah ini sedemikian senangnja memain boneka2 ini, kenapa aku tidak mengadjarkan Lweekang jang terlukis diatas boneka2 itu padanja supaja dia nanti “Tjau-hwe-djip-mo” (tenaga dalam djalan tersesat sehingga mengakibatkan kematian atau kelumpuhan) dan mungkin djuga akan binasa ? Dahulu aku tjuma bersumpah takkan menggunakan kekerasan kepada orang jang mengembalikan medali wasiat padaku, kalau sekarang dia mampus sendiri karena salah melatih Lweekang, hal ini dengan sendirinja bukan salahku dan bukan aku jang membunuhnja sehingga aku tidak melanggar sumpah. Ja, kukira djalan inilah jang paling baik”.

Demikianlah tindak-tanduk Tjia Yan-khek memangnja tergantung kepada pikirannja seketika itu sadja. Walaupun dia suka pegang teguh tentang kepertjajaan, terutama apa jang pernah dia djandjikan sendiri, tapi dalam hal tingkah laku dan tjara berpikir baginja adalah bukan apa2 dan tidak berharga sepeserpun.

Karena itulah segera ia pegang pula sebuah boneka itu dan berkata: “He, anak ketjil, apakah kau tahu apa artinja titik2 hitam dan garis2 merah diatas boneka ini?”

Anak muda itu berpikir sedjenak, kemudian mendjawab: “Boneka2 ini sedang sakit.”

“Mengapa sakit?” tanja Yan-khek dengan heran.

“Tahun jang lalu akupun pernah sakit dan sekudjur badanku timbul tutul2 merah seperti ini”, udjar sianak muda.

Yan khek mendjadi tertawa geli. Katanja: “Itu adalah sakit gabak. Tapi apa jang terlukis dibadan boneka ini bukan penjakit gabak melainkan rahasia tjara beladjar ilmu silat. Kau telah menjaksikan aku menggendong kau sambil berlari setjepat terbang, kepandaianku itu bagus atau tidak?”

Sampai disini, agar dapat memperteguh keinginan anak muda itu akan beladjar ilmu silat, maka ia lantas melontjat keputjuk sebatang pohon, dengan kaki kiri ia menahan diatas dahan, sekali menjendal, kembali ia melontjat keatas lagi, lalu menurun dengan pelahan kedahan pohon, kemudian melontjat pula keatas dan begitu seterusnja sampai beberapa kali. Pada saat itulah tiba2 diudara terbang lalu dua ekor burung geredja. Karena Tjia Yan-khek sengadja hendak memperlihatkan kepandaiannja jang tinggi, segera kedua tangannja mendjulur keatas, sekali raup, tahu2 kedua ekor burung itu sudah tertangkap olehnja. Kemudian ia melompat turun kebawah dengan enteng sekali.

“Bagus! Bagus! Kepandaian hebat!” demikian pudji sianak muda sambil menepuk tangan dan tertawa.

Waktu Yan-khek membuka telapak tangannja, segera kedua ekor burung geredja itu pentang sajap hendak terbang pergi, tapi baru sadja sajap burung itu menggelepak sekali, tiba2 dari telapak tangan Tjia Yan-khek timbul serangkum tenaga dalam sehingga kekuatan terbang burung2 itu dipunahkan.

Anak muda itu tambah senang demi melihat telapak tangan Tjia Yan-khek terbuka, tapi dua ekor burung itu hanja mengelepakkan sajap sadja dan tetap tidak sanggup meninggalkan tangannja, segera ia ber-teriak2: “Ha, bagus, bagus! Sungguh menarik, sungguh permainan menarik!”

“Sekarang kau boleh tjoba!” kata Yan-khek dengan tertawa. Lalu ia menjerahkan kedua ekor burung itu kepada sianak muda.

Segera anak muda itu memegang burung2 itu dengan kentjang dan tak berani membuka tangannja, kuatir terlepas.

“Nah, ketahuilah bahwa apa jang terlukis dibadan boneka2 itu adalah tjara melatih ilmu jang hebat”, demikian Yan-khek menerangkan dengan tertawa. “Rupanja kau telah membela tua bangka itu dengan mati2an, makanja dia berterima kasih dan menghadiahkan boneka2 itu padamu. Ini bukan barang mainan biasa, tapi adalah benda mestika jang susah dinilai. Asal kau berhasil melatih ilmu jang terlukis diatas boneka2 itu, tentu kau pun dapat membuka tanganmu dan burung2 itu takkan mampu terbang pergi.”

“Wah, menarik djuga djika demikian, aku akan tjoba2 melatihnja?” kata anak muda itu sambil membuka kedua tangannja.

Karena tangannja tidak dapat mengeluarkan tenaga dalam, dengan sendirinja kedua burung geredja itu lantas pentang sajap dan terbang keatas.

Yan-khek tertawa ter-bahak2. Tapi dilihatnja kedua ekor burung geredja jang sudah terbang meninggalkan tangan anak muda itu setinggi satu-dua meter, mendadak burung2 itu terdjungkal lurus kebawah dan kembali djatuh kedalam tangan sianak muda, burung2 itu ternjata sudah kaku, rupanja sudah mati.

Keruan kedjut Yan-khek tak terkatakan sehingga suara tertawanja berhenti seketika. Setjepat kilat ia pegang urat nadi tangan sianak muda, tangan jang lain menuding hidung anak muda itu sambil membentak: “Kau………….kau adalah murid sibangsat tua Ting Put-si, bukan? Le……….lekas mengaku!”

Biarpun Tjia Yan-khek adalah seorang gembong persilatan jang telah banjak berpengalaman, tapi bitjara tentang “sibangsat tua Ting Put-si” suaranja mendjadi agak gemetar djuga.

Kiranja dia mendjadi kaget demi melihat tjara anak muda itu membunuh kedua ekor burung geredja, terang itulah ilmu berbisa “Han-ih-bian-tjiang” (pukulan lunak berbisa dingin) jang mendjadi kemahiran Ting Put-si. Ilmu jang maha lihay dan djahat itu sampai2 saudara sekandung Ting Put-si sendiri, jaitu Ting Put-sam djuga tidak bisa. Tapi sekarang anak muda ini ternjata sedemikian mahir menggunakan ilmu itu, tampaknja paling sedikit sudah terlatih sepuluh tahun lamanja, maka pasti anak muda itu adalah ahli waris Ting Put-si.

Tjia Yan-khek tjukup kenal Ting Put-si, ilmu silat tokoh itu sangat tinggi, tindak-tanduknja aneh dan susah diduga pula, bahkan sangat kedji dan litjin, nama djulukannja jalah “Tje-djit-put-ko-si”, artinja satu hari tidak lebih dari empat, jaitu orang jang akan dibunuhnja setiap hari hanja empat sadja, djadi lebih banjak satu orang menurut ketentuan saudara sekandungnja, jaitu Ting Put-sam.

Demi terpikir bahwa anak muda ini telah memperoleh adjaran ini “Han-ih-bian-tjiang” jang mendjadi andalan Ting Put-si, andaikan botjah ini bukan keturunannja tentu adalah muridnja. Padahal medali wasiatnja sendiri itu diterima kembali dari anak muda ini, rupanja segala sesuatu ini memang sengadja telah diatur oleh Ting Put-si, sebab itulah maka betapapun didesak anak muda ini tetap tidak mau memohon sesuatu apa padanja, rupanja akan tunggu sampai saat terachir jang menentukan barulah akan dikemukakan. Besar kemungkinan saat ini Ting Put-si sendiri sudah berada diatas Mo-thian-kay.

Berpikir demikian, seketika Tjia Yan-khek mendjadi tegang, ia tjoba memandang sekelilingnja, meski tiada nampak sesuatu jang mentjurigakan, tapi sekilas itu didalam benaknja sudah timbul matjam2 pikiran: “Selama beberapa hari ini aku telah banjak memakan daharan jang dimasak oleh anak muda ini, entah didalam makanan itu dia taburi ratjun atau tidak? Djika Ting Put-si bermaksud membikin tjelaka padaku, entah rentjana apa jang telah diaturnja? Dan anak muda ini adalah alat Ting Put-si, entah apa jang akan dia minta agar aku mengerdjakannja ?”

Dalam pada itu karena pergelangan tangannja dipegang dengan kentjang sehingga seperti ditanggam, sianak muda mendjadi meringis kesakitan dan segera berseru: “Ting……………Ting Put-si apa?...........Aku…………aku tidak tahu!”

Karena gugupnja tadi, maka sekuatnja Tjia Yan-khek telah tjengkeram pergelangan sianak muda, sekarang demi ingat ada kemungkinan Ting Put-si sudah berada disekitar situ dan menjaksikan dia menganiaja seorang anak ketjil, hal ini tentu akan menurunkan deradjatnja sebagai seorang tokoh terkemuka, maka ia lantas lepas tangan dan berseru: “Mo-thian-kay ini djarang didatangi oleh orang kosen, djikalau Ting-losi sudah berada disini, mengapa tidak perlihatkan dirimu sadja?”

Ber-ulang2 ia berseru sehingga suaranja berkumandang djauh menggema lembah pegunungan itu, namun sampai lama sekali hanja terdengar suara angin men-deru2 sadja tanpa sesuatu djawaban orang.

Yan-khek tjoba mentjemput burung geredja jang sudah mati itu, ia merasa bangkai burung itu kaku dingin, ia tjoba meremasnja sedikit, bangkai burung itu berbunji kresek2, njata isi perut burung itu telah membeku mendjadi es batu. Dari ini dapat diketahui bahwa dasar kepandaian “Han-ih-bian-tjiang” jang dilatih anak muda itu sudah mentjapai tiga atau empat bagian. Djika Ting Put-si jang menggunakan ilmu berbisa itu tentu bangkai burung itu sudah membeku mendjadi es seluruhnja sampai2 bulunja sekalipun.

Diam Yan-khek terkesiap. Ia berpaling dan berkata dengan suara ramah: “Adik tjilik, tingkah lakumu sekarang sudah ketahuan, buat apalagi kau masih berlagak pilon? Lebih baik kau mengaku sadja Ting-losi itu pernah apamu?”

“Ting-losi? Aku…………aku tidak kenal, siapa dia ?” demikian djawab sianak muda.

“Baik, djika kau tidak mau mengaku, maka tjobalah kau memaki si maling tua Ting-losi itu”, kata Yan-khek.

“Kau pernah mengatakan bahwa kata2 maling tua adalah makian pada orang lain, dia toh tidak berbuat kesalahan apapun padaku, kenapa aku mesti memaki dia ?” sahut anak muda itu.

Lama2 Yan-khek djadi gemas, sungguh dia ingin sekali hantam lantas membinasakan anak muda itu. Tapi lantas terpikir pula: “Rupanja Ting Put-si pertjaja akau takkan mengingkar kepada sumpahku sendiri dan takkan mengganggu orang jang mengembalikan medali wasiat padaku, makanja ia menjuruh anak muda ini ikut aku ketas tebing ini tanpa kuatir.”

Sebenarnja Tjia Yan-khek hanja saling mengenal nama sadja dengan Ting Put-si dan tidak pernah bertemu muka, maka diantara mereka djuga tiada selisih paham atau permusuhan apa2. Tapi demi teringat dirinja mungkin sudah terdjeblos didalam perangkap Ting Put-si jang terkenal kedji itu, mau-tak-mau Yan-khek lantas merinding.

Kemudian ia tanja pula kepada sianak muda: “Adik tjilik, kau punja ‘Han-ih-bian-tjiang’ ini sungguh sangat lihay, sudah berapa tahun kau melatihnja?”

“Apa itu ‘Han-ih-bian-tjiang’? Entahlah, aku tidak tahu”, sahut sianak muda.

Muka Tjia Yan-khek berubah masam, katanja dengan aseran: “Kalau ditanja, semuanja kau djawab tidak tahu. Memangnja kau anggap aku orang she Tjia ini manusia goblok ?”

“Ada apakah engkau marah2 padaku? Sung………….sungguh aku tidak tahu. Ah, barangkali karena aku membikin mati kedua ekor burung jang kau tangkap itu. Tapi kepandaian paman tua sangat hebat, maukah engkau terbang keudara untuk menangkap dua ekor lagi. Bukankah engkau menjatakan hendak mengadjarkan tjaranja menangkap burung sehingga burung2 itu tidak dapat terbang dari telapak tanganku.”

“Bagus, biarlah aku lantas mengadjarkan kepandaian ini padamu”, kata Yan-khek. Lalu ia ambil sebuah boneka jang terlukis Hiat-to dan urat2 nadi itu, katanja pula: “Ilmu ini tidak susah untuk dilatih, djauh lebih gampang daripada kau melatih ‘Han-ih-bian-tjiang’. Ini, sekarang aku mengadjarkan apalannja padamu, asal kau ingat dengan baik, lalu melatihnja menurut titik hitam dan garis2 merah jang terlukis dibadan boneka ini, tentu dalam waktu singkat kau akan dapat menguasainja.”

Segera ia mengadjarkan satu kalimat demi satu kalimat apalan sedjurus ilmu “Yam-yam-kang” padanja.

Tak terduga sianak muda itu tampaknja tjukup tjerdas, pula sudah memiliki beberapa bagian dasar ‘Han-ih-bian-tjiang’. Namun entah pura2 bodoh atau memang sungguh2 ternjata dalam hal Hiat-to, urat nadi, tjara bernapas dan mengerahkan tenaga, sama sekali ia tidak betjus.

Sebabnja Tjia Yan-khek hendak mengadjarkan “Yam-yam-kang” padanja, jaitu sematjam ilmu jang bertenaga dalam maha panas, tudjuannja ialah ingin memunahkan tenaga dingin jang ditimbulkan Han-ih-bian-tjiang jang telah dimiliki anak muda itu, lalu akan dibikinnja pula agar tenaga dalam jang maha panas itu sesat keurat nadi jang salah sehingga antara panas dan dingin saling bertentangan, akibatnja anak muda itu tentu akan binasa.

Sudah tentu “Yam-yam-kang” itu tak dapat dilatih dengan baik dalam waktu singkat, untuk bisa mengimbangi “Han-ih-bian-tjiang” jang dimilikinja sekarang sedikitnja harus berlatih selama beberapa tahun, kalau tidak tentu tidak tjukup untuk membinasakan anak muda itu. Tapi sekarang anak muda itu mengaku sama sekali tidak paham apa2 tentang Hiat-to dan sebagainja, diam2 Tjia Yan-khek mendongkol. Sekarang kau berlagak bodoh, kelak kalau kau sudah tahu rasa barulah kenal kelihayanku. Demikian pikirnja.

Karena itu iapun berlaku sabar sedapat mungkin dan mendjelaskan tempat2 letak Hiat-to jang bersangkutan menurut apa jang terlukis dibadan boneka itu.

Dalam keadaan demikian anak muda itu ternjata tidak bodoh lagi, tapi dapat memahami dengan tjepat, ingatannja djuga tjukup kuat. Lalu Yan-khek mengadjarkan pula tjaranja mengatur pernapasan dan suruh anak muda itu berlatih sendiri.

Untuk selandjutnja, tiap2 hari selain melatih ilmu2 itu seperti biasa iapun pergi berburu, lalu memasak, sedikitpun tidak menjurigakan ilmu jang diadjarkan oleh Tjia Yan-khek padanja itu.

Semula Tjia Yan-khek merasa kuatir kalau Ting Put-si datang ke Mo-thian-kay untuk menjerangnja, untuk mendjaga kemungkinan itu maka ia telah mengerek rantai besi jang pandjang itu keatas.

Sang waktu berlalu dengan tjepat, hari berganti bulan dan bulan berganti musim, dalam sekedjap sadja setahun sudah lalu, selama itu tiada seorangpun jang berusaha naik keatas tebing jang tjuram itu, bahkan diatas Mo-thian-kay seluas belasan li itupun tiada terdapat orang asing.

Karena persediaan beras dan garam sudah hampir habis, Tjia Yan-khek terpaksa harus membelinja kebawah gunung. Tapi ia tidak tega membiarkan anak muda itu tinggal sendiri diatas gunung, kuatir kalau ada orang datang kesitu dan mentjuliknja, djika terdjadi demikian, hal ini berarti dia menjerahkan mati-hidupnja sendiri kepada orang lain. Sebab itulah ia lantas mengadjak anak muda itu kemanapun dia pergi. Ia membeli bahan makanan seperlunja ditambah minjak dan garam, badju, sepatu, dan kaos kaki. Selam turun gunung Tjia Yan-khek selalu berlaku waspada, namun mereka dapat pulang keatas gunung tanpa mengalami halangan apa-apa.

Keadaan begitu telah mereka lewatkan lagi selama beberapa tahun. Dalam setahun mereka suka turun gunung satu-dua kali, habis belandja apa jang perlu mereka lantas tjepat2 pulang keatas gunung lagi.

Sementara itu usia anak muda itu sudah mendjadi 18-19 tahun, perawakannja sekarang tinggi besar, kekar dan kuat, bahkan lebih tinggi daripada Tjia Yan-khek.

Selama itu Tjia Yan-khek tetap berlaku hati2 sekali, diwaktu malam dia tidak tidur bersama didalam satu gua. Diwaktu makan djuga mesti membiarkan anak muda itu mentjobanja dahulu untuk membuktikan didalam makanan itu tiada diberi ratjun. Sehabis itu baru dia berani makan daharan jang disadjikan itu.

Se-hari2 selain mengadjarkan lweekang kepada anak muda itu, untuk omong iseng sadja ia merasa enggan.

Untungnja anak muda itu sedjak ketjil djuga telah diperlakukan setjara dingin oleh ibunja seperti sikap Tjia Yan-khek sekarang. Maka ia tidak merasakan kedjanggalan atas perlakuan Tjia Yan-khek itu. Malahan ibunja sering mendamperat dan memukul dia, sebaliknja Tjia Yan-khek tidak banjak bitjara, tidak tertawa dan tidak marah padanja.

Karena tiada pekerdjaan lain, maka selain berburu dan memasak, kerdja anak muda itu hanja berlatih Lweekang untuk melewatkan tempo jang senggang. Sesudah beberapa tahun, lambat laun “Yam-yam-kang” jang dilatihnja itupun hampir mendekati selesainja.

Tjia Yan-khek sendiri sedjak dulu mengalami sesuatu urusan jang mengetjewakan pada waktu dia berusia 30 tahun, lalu dia tirakat diatas Mo-thian-kay dan djarang lagi berkelana didunia Kangouw. Tapi selama beberapa tahun terachir ini, setiap kali terpikir ada kemungkinan dia sedang diintjar oleh seorang tokoh aneh seperti Ting Put-si, maka siang dan malam dia selalu kebat kebit dan hidup tidak tenteram, terpaksa setiap saat iapun selalu waspada. Maka selain dia giat berlatih ilmu silat perguruannja sendiri, ia mejakinkan pula tiga matjam Tjiang hoat (ilmu pukulan dengan tangan terbuka) dan Kun hoat (ilmu pukulan dengan kepalan) jang chusus digunakan menghadapi Lweekang lawan jang berbisa dingin.

Dalam waktu beberapa tahun bukan sadja Yam-yam-kang jang dilatih sianak muda sudah hampir selesai, bahkan kekuatan Tjia Yan-khek sendiri djuga madju pesat, djauh berbeda kalau dibandingkan pada waktu ia bertemu dengan sianak muda dahulu.

Pagi hari itu Yan-khek melihat sianak muda sedang berduduk diatas batu tjadas disebelah timur sana dan asjik melatih. Dari ubun2 anak muda itu tampak mengepulkan uap tipis. Itulah tanda tenaga dalam jang dijakinkan itu sudah mentjapai tarap jang masak. Diam2 Yan-khek membatin: “Anak setan, sekarang sebelah kakimu sudah berada diambang pintu achirat.”

Ia tahu latihan anak muda itu baru akan selesai mendjelang lohor nanti, maka ia lantas tinggal pergi. Ia gunakan Ginkang jang tinggi dan berlari sampai ditengah hutan tjemara jang berada dibelakang puntjak gunung.

Tatkala itu embun belum lagi kering seluruhnja, hawa masih sedjuk segar. Yan-khek menghirup napas dalam2, lalu dihembusnja kembali dengan pelahan. Habis itu mendadak sebelah tangannja menjodok kedepan, menjusul tangan jang lain djuga memukul dengan tjepat, badannja lantas menggeser pula mengikuti pukulan2nja itu dan menjusur kian kemari ditengah pohon2 tjemara itu. Makin lama makin tjepat larinja dan kedua tangannja djuga naik-turun bekerdja dengan teratur, terdengar suara “tjrat-tjret” jang perlahan, pukulan2nja tiada hentinja diarahkan kebatang pohon. Larinja bertambah tjepat, sebaliknja makin lama pukulannja makin lambat. Djadi kakinja bekerdjanja tambah tjepat, sebaliknja tangannja makin pelahan bergeraknja. Tapi tjepatnja tidak ter-buru2, sedangkan pelahan tidak mengurangi keganasannja. Njata ilmu silatnja sekarang sudah mentjapai puntjaknja kesempurnaan.

Saking semangatnja mendadak Tjia Yan-khek bersuit njaring, “plak-plak”, dua kali pukulannja tepat mengenai batang pohon tjemara, seketika terdengar suara gemersik, lidi tjemara telah rontok sebagai hudjan. Tapi Yan-khek lantas keluarkan ilmu pukulannja, beribu2 lidi tjemara itu telah dipukul mumbul kembali keudara.

Dari atas pohon lidi tjemara itu masih terus bertebaran djatuh, tapi tetap takbisa djatuh ketanah karena terguntjang kembali keatas oleh angin pukulan Tjia Yan-khek.

Hendaklah maklum bahwa lidi tjemara itu mempunjai bobot dan ketjil, tidak seperti daun pohon biasa jang enteng dan mudah kabur terbawa angin. Tapi sekarang angin pukulan Tjia Yan-khek itu mampu membikin lidi tjemara sebanjak itu kabur keatas, njata sekali tenaga dalamnja sudah dapat dikeluarkan dengan menurut sesuka hatinja.

Begitu banjak lidi tjemara jang berterbaran itu sehingga berubah mendjadi suatu gulungan bajangan jang membungkus rapat disekeliling tubuh Tjia Yan-khek. Agaknja dia sengadja hendak mengudji sampai betapa hebatnja Lweekang jang telah dijakinkannja selama ini, maka ia masih terus mengerahkan tenaga dalam, lidi tjemara itu diperlebar dan didorong lebih kedepan.

Dengan meluasnja lingkaran bajangan lidi tjemara, dengan sendirinja tenaga dalamnja mendjadi susah dikuasai setjara merata, maka lidi tjemara jang berada paling luar itu lantas bertebaran djatuh kebawah. Tapi mendadak Yan-khek menarik napas dalam-dalam dan tenaganja tiba2 terpentjar tjepat keluar sehingga lidi tjemara jang djatuh itu dapat ditjegah.

Sungguh girang sekali Tjia Yan-khek, ia terus mengerahkan tenaga dalamnja, ia merasa setiap gerak-gerik kaki dan tanganja dapat dilakukan dengan lantjar, djiwa raganja se-akan2 sudah bersatu padu tak terpisahkan lagi.

Sampai agak lama djuga, ketika dia mulai menahan tenaganja, mulailah lidi tjemara itu bertebaran djatuh ketanah sehingga berwujud sebuah lingkaran hidjau disekelilingnja.

Selagi Yan-khek ber-seri2 puas atas Lweekangnja sendiri itu, se-konjong2 air mukanja berubah hebat. Ternjata entah sedjak kapan, tahu2 disekelilingnja sudah berdiri sembilan orang. Kesembilan orang ini semuanja bersendjata dan sedang memandang kearahnja tanpa berkata.

Dengan kepandaian Tjia Yan-khek jang sudah sedemikian tingginja, djangankan orang hendak mendekati dia, andaikan masih sedjauh satu-dua li tentu djuga akan diketahui olehnja. Soalnja tadi ia sedang asjik mengerahkan tenaga dalamnja untuk melatih sedjurus “Pek-tjiam-djing-tjiang” (ilmu pukulan djarum hidjau), perhatiannja terpusat kepada ilmunja itu sehingga kedatangan orang2 jang sama sekali tak disangkanja itu tak diketahuinja.

Padahal Mo-thian-kay itu selamanja tak pernah dikundjungi orang luar. Sekarang mendadak kedatangan tamu tak diundang sebanjak itu, maka Yan-khek insaf pendatang2 itu tentu tidak bermaksud baik. Tapi ia mendjadi besar hati pula ketika diketahui pendatang2 itu berdjumlah sembilan orang. Maklum, selama beberapa tahun ini jang dia kuatirkan hanja Ting Put-si jang berdjuluk “Tje-djit-put-ko-si” itu. Ia tahu betul, baik Ting Put-si maupun Ting Put-sam selamanja suka djalan sendirian dan tidak pernah bergerombol dengan orang banjak. Kedua saudara sekandung itupun tidak akur satu sama lain dan djarang berada bersama. Sekarang pendatang2 itu berdjumlah sembilan orang, terang diantara mereka tiada terdapat Ting Put-si, karena itulah iapun tidak perlu djeri lagi.

Waktu dia perhatikan lebih djauh, tiba2 ia mengenali tiga orang diantaranja, jaitu seorang tinggi kurus, seorang Todjin dan seorang bermuka djelek. Itulah tiga orang jang telah mengerojok dan membinasakan Tay-pi Lodjin dahulu. Yan-khek ingat betul menurut pengakuan mereka kepada Tay-pi Lodjin bahwa mereka adalah orang2 Tiang-lok-pang.

Sesaat itu timbul matjam2 pikiran dalam benak Tjia Yan-khek. Tak peduli siapapun djuga, kalau datangnja keatas Mo-thian-kay itu dilakukan setjara diam2, terang ini terlalu memandang rendah kepadanja dan tidak gentar untuk memusuhinja. Padahal selamanja dia tiada permusuhan apa2 dengan pihak Tiang-lok-pang. Lalu apa maksud tudjuan kedatangan mereka ini? Djangan2 seperti halnja Tay-pi Lodjin, merekapun akan memaksanja masuk menjadi anggota Tiang-lok-pang mereka?

Ia menaksir kekuatannja tjukup untuk menghadapi ketiga orang jang sudah dikenalnja itu. Tapi bagaimana harus melajani pula keenam orang jang lain?

Dilihatnja usia keenam orang jang lain itu semuanja sudah lebih 40 tahun, dua diantaranja terang memiliki Lweekang jang tinggi.

Kemudian ia lantas menjapa dengan tersenjum: “Apakah saudara2 ini adalah sobat dari Tiang-lok-pang? Maafkan aku tidak menjambut kedatangan kalian setjara mendadak ini. Entah ada kepentingan apa, mohon pendjelasan.”

Kesembilan orang itu serentak membalas hormat. Tadi mereka telah menjaksikan tenaga dalam Tjia Yan-khek ketika memainkan “Pek-tjiam-djing-tjiang” tadi. Mereka tidak menjangka kalau Tjia Yan-khek sedang memusatkan perhatian dalam latihannja itu sehingga tidak tahu akan kedatangan mereka, sebaliknja mereka mengira Tjia Yan-khek sengadja tidak gubris dan anggap enteng datangnja mereka itu. Segera seorang tua diantaranja jang berbadju kuning mendjawab: “Kedatangan kami ini terlalu kurang sopan, diharap Tjia-siansing suka memaafkan.”

Melihat dandanan orang tua itu, mukanja putjat, bitjaranja lemah seperti orang jang berpenjakitan, tiba2 Yan-khek ingat seseorang, segera ia bertanja: “Apakah tuan ini adalah “Tiok-djiu-seng-djun” Pwee-tayhu?”

Orang tua itu memang betul “Tiok-djiu-seng-djun” (sekali pegang lantas sembuh) Pwe-tayhu, sitabib sakti she Pwe. Nama lengkapnja adalah Pwe Hay-tjiok.

Ia merasa bangga djuga demi mengetahui Tjia Yan-khek mengenal namanja. Ia batuk2 dua kali, lalu mendjawab: “Ah, Tjia-siansing terlalu memudji sadja. Djulukan “Tiok-djiu-seng-djun” itu sungguh malu aku menerimanja.”

“Pwe-tayhu terkenal suka bertindak sendiri kemanapun pergi untuk menolong derita sesamanja, entah sedjak kapan djuga telah masuk kedalam Tiang-lok-pang?” tanja Yan-khek.

“Kekuatan seorang adalah terbatas, tapi kalau kekuatan orang banjak bergabung untuk kesedjahteraan sesama manusia, maka kekuatan ini tentu akan besar,” sahut Pwe Hay-tjiok. “Tjia-siansing, kedatangan kami ini memang terlalu sembrono, diharap engkau djangan marah. Sudah tentu kedatangan kami ini ada urusan penting jang harus disampaikan kepada Pangtju kami, maka sudilah Tjia-siansing menghadapkan kami kepada beliau.”

“Siapakah gerangan Pangtju kalian ?” Yan-khek menegas dengan heran. “Mungkin Tjayhe sudah terlalu djarang berkecimpung dikangouw, maka pengetahuanku mendjadi tjetek sehingga nama Pangtju kalian djuga tidak tahu. Tapi mengapa kalian mentjarinja kesini ?”

Kesembilan orang itu tampak kurang senang atas djawaban Yan-khek itu. Pwe Hay-tjiok me-raba2 djenggotnja jang pendek itu sambil batuk2 beberapa kali, lalu katanja pula: “Tjia-siansing, Tjiok-pangtju kami adalah kawan karibmu dan selalu berada bersama, dengan sendirinja segenap anggota Tiang-lok-pang kami djuga sangat menghormati Tjia-siansing dan tak berani kurang sopan sedikitpun. Tentang gerak-gerik Tjiok-pangtju kami, sebagai kaum bawahan selamanja kami tidak berani ikut tjampur. Soalnja adalah karena Pangtju sudah terlalu lama meninggalkan markas dan banjak urusan jang menantikan penjelesaiannja, ditambah lagi pada saat ini ada dua urusan maha penting jang mendesak, maka……..makanja begitu mendapat kabar bahwa Tjiok-pangtju berada diatas Mo-thian-kay sini, segera djuga kami menjusul kesini dengan tjepat.”

Jilid 8

Melihat tjara bitjara Pwe Hay-tjiok itu sangat tulus, melihat sikap kesembilan orang itupun tiada bermaksud djahat meski semuanja bersendjata, diam2 Tjia Yan-khek mengetahui telah terdjadi salah paham, maka djawabnja dengan tersenjum: “Diatas Mo-thian-kay ini tiada medja kursi, sehingga telah mentelantarkan tamu2 terhormat, silakan kalian duduk sadja diatas batu. Sebenarnja darimanakah Pwe-tayhu mendengar berita bahwa Tjiok-pangtju kalian selalu berada bersama dengan aku? Padahal tidak sedikit kesatria2 jang terhimpun didalam Pang kalian, dengan sendirinja Tjiok-pangtju kalian adalah seorang tokoh terkemuka, sebaliknja aku hanja seorang gunung miskin jang tiada suka bergaul, mana bisa berkumpul dengan kesatria ternama sebagai Tjiok-pangtju kalian. Hehe, lutju, sungguh lutju.”

Pwe Hay-tjiok mendjadi ragu2. Ia menduga sebabnja Tjia Yan-khek tidak mau mengakui kenal Tjiok-pangtju mereka, tentu didalam hal ini ada apa2 jang tak dapat diterangkan. Maka ia lantas memberi tanda kepada kawan2nja dan berkata: “Saudara2 sekalian, silakan duduk untuk bitjara.”

Njata sekali Pwe Hay-tjiok adalah pemimpin dari kesembilan oran ini. Maka kawan2nja itu lantas mengambil tempat duduk sendiri2. Ada jang duduk diatas batu tjadas, ada jang duduk didahan pohon jang rendah, Pwe Hay-tjiok duduk diatas gundukan tanah.

Kesembilan orang itu telah memasukkan kembali sendjata2 mereka dan berduduk semua, tapi posisi kepungan mereka terhadap Tjia Yan-khek masih tidak berubah. Keruan diam2 Yan-khek mendjadi gusar, pikirnja: “Sikap kalian ini benar2 terlalu kasar padaku. Djangankan aku memang tidak tahu Tjiok-pangtju kalian, andaikan tahu djuga masakah aku dapat dipaksa untuk mengatakan ?”

Segera ia hanja te-senjum2 dingin sadja sambil menengadah, terhadap orang2 disekitarnja ia anggap sepi sadja dan tak menggubris.

Padahal “Tiok-djiu-seng-djun” Pwe Hay-tjiok itu sekalipun tidak lebih tinggi kedudukannja didunia persilatan dibandingkan Tjia Yan-khek, paling tidak djuga setingkat. Sekarang Tjia Yan-khek sengadja bersikap sedemikian angkuhnja, hal ini djuga keterlaluan.

Namun Pwe Hay-tjiok masih mengingat kehormatan Pangtju mereka dan tetap bitjara dengan ramah: “Tjia-siansing, sesungguhnja ini adalah urusan rumah tangga Pang kami, djika engkau sampai terlibat, sungguh kami merasa tidak enak. Maka kami hanja minta Tjia-siansing suka menghadapkan kami kepada Pangtju dan dengan sendirinja kami akan berterima kasih dan nanti akan minta maaf pula padamu.”

Kalau mengingat nama besar dan watak “Tiok-djiu-seng-djun” Pwe Hay-tjiok jang terkenal disegani dan angkuh itu, sekarang dia bitjara sedemikian ramahnja, hal ini boleh dikata djarang terdjadi.

Tapi Yan-khek tetap mendjawab dengan dingin: “Pwe-tayhu, engkau adalah kesatria ternama di Kangouw, setiap utjapan seorang laki2 sedjati harus dapat dipertjaja, bukan ?”

Mendengar pertanjaan Tjia Yan-khek jang bernada gusar itu, diam2 Pwe Hay-tjiok mendjadi was-was, sahutnja: “Ah, Tjia-siansing terlalu sungguh2.”

“Dan kalau utjapan Pwe-tayhu adalah kata2 tulen, apakah utjapanku ini adalah kentut ?” kata Yan-khek pula. “Sedjak tadi aku sudah menjatakan tidak pernah melihat Tjiok-pangtju kalian, tapi kalian tetap tidak pertjaja. Djika demikian, apakah kalian adalah laki2 sedjati dan orang she Tjia ini adalah kaum pembohong ?”

“Ah, utjapan Tjia-siansing terlalu sungguh2, orang2 Tiang-lok-pang kami selamanja djuga sangat mendjundjung tinggi kepada Tjia-siansing,” sahut Pwe Hay-tjiok sambil ter-batuk2. “Djika Tjia-siansing tidak suka menghadapkan kami kepada Pangtju kami, tiada djalan lain terpaksa kami mesti mentjarinja sendiri.”

Air muka Tjia Yan-khek merah padam menahan gusara, katanja: “Djadi bukan sadja Pwe-tayhu tidak pertjaja kepada utjapanku, bahkan hendak bertindak setjara se-wenang2 ditempat tinggalku ini?”

“Ah, tidak, mana kami berani ?” sahut Pwe Hay-tjiok. “Sungguh memalukan kalau dibitjarakan. Tiang-liok-pang telah kehilangan Pangtju dan mesti minta orang menemukan Pangtju mereka, kalau tjerita ini tersiar tentu akan dibuat bahan tertawaan orang Kangouw. Maka kami terpaksa hanja akan mentjari sekadarnja sadja, harap Tjia-siansing djangan salah paham.”

Sungguh dongkol Yan-khek tak terkatakan. Pikirnja: “Diatas Mo-thian-kay ini darimana ada mereka punja Pangtju kentut apa segala? Dasar mereka ini adalah kawanan perusuh, tentang mentjari Pangtju apa djelas hanja sebagai alasan sadja. Kalau sekarang mereka telah mengintjar diriku, biarpun darahku mesti membasahi puntjak gunung ini djuga aku tidak gentar.”

Iapun insaf keadannja sekarang sangat berbahaja. Melulu menghadapi Pwe Hay-tjiok seorang sadja paling banter dirinja tjuma mampu melawannja dengan sama kuat, inipun sudah berkat kemadjuan pesat kekuatan jang dilatihnja selama beberapa tahun paling achir. Sekarang pihak lawan ditambah lagi delapan djago pilihan, maka sangat sulitlah baginja untuk menjelamatkan diri.

Tiba2 ia mendapat akal. Mendadak pandangannja beralih kesebelah kanan, air mukanja mengundjuk rasa terkedjut sambil mengeluarkan suara heran pelahan.

Karena itu sinar mata kesembilan orang itu lantas memandang kearah jang ditudju Tjia Yan-khek itu. Pada saat itulah mendadak Yan-khek bergerak, setjepat kilat ia memutar kesamping sitinggi kurus, jaitu Bi-hiangtju jang sudah dikenalnja itu, segera ia hendak mentjabut pedang jang tergantung dipinggang kawan itu.

Ketika tidak melihat apa2 diarah jang dipandang itu dan segera merasa berkesiurnja angin dan tahu2 musuh sudah berada disampingnja, setjepat kilat Bi-hiangtju djuga lantas bertindak, tangannja bekerdja lebih tjepat daripada tangan Tjia Yan-khek dan mendahului memegang pedang sendiri dan “sret” sendjata itu segera dilolosnja.

Tapi baru sadja sinar pedangnja berkelebat, se-konjong2 bagian iga dan punggungnja terasa kesakitan, Hiat-to bagian iga sudah tertutuk dan punggungnja sudah ditjengkeram oleh Tjia Yan-khek.

Kiranja Tjia Yan-khek insaf bukan tandingan kesembilan orang itu, dia pura2 terkedjut sambil memandang kesebelah kanan hanja sebagai pantjingan sadja, gerakannja hendak merebut pedang itupun pantjingan belaka. Sebab Bi-hiangtju jang tidak mau kehilangan sendjatanja tentu akan mempertahankannja dengan mati2an, sebaliknja bagian iga dan punggung dengan sendirinja terbuka sehingga kena ditawan Tjia Yan-khek. Kalau tidak, biarpun kepandaiannja lebih rendah djuga tidak mungkin ditundukkan hanja dalam satu-dua gebrakan sadja.

Yan-khek sendiri dahulu sudah pernah menjaksikan tjaranja Bi-hiangtju menempur Tay-pi Lodjin dan tjaranja menggunakan Kui-thau-to memapas rambut sianak muda, maka ia tjukup paham djalannja ilmu pedang Bi-hiangtju, dan untung djuga sekali tjoba lantas berhasil.

Maka dengan tersenjum Yan-khek lantas berkata: “Maaf, Bi-hiangtju.”

Sebaliknja Pwe Hay-tjiok lantas tanja dengan bingung, “Tjia-siansing, apa maksudmu ini? Apakah engkau benar2 melarang kami untuk mentjari Pangtju kami?”

“Kalau kalian hendak membunuh orang she Tjia tentunja tidak sukar, hanja sadja mesti diiringi dengan beberapa lembar djiwa pula,” sahut Yan-khek.

“Selamanja kita tiada permusuhan apa2, masakah kami bermaksud djahat kepada Tjia-siansing?” sahut Pwe Hay-tjiok dengan tersenjum getir. “Apalagi dengan ilmu silat Tjia-siansing jang aneh dan banjak perubahannja setjara mendadak, biarpun kami ada maksud djahat djuga tak mampu meng-apa2kan Tjia-siansing. Kita adalah sahabat baik, silakan melepaskan Bi-hiangtju sadja.”

Diam2 iapun kagum melihat Tjia Yan-khek dalam satu gebrakan sadja sudah dapat menawan Bi-hiangtju. Tapi sebagai ahli silat, sebenarnja betapa kemampuan pihak lawan sekali lihat sadja sudah dapat diukurnja. Ia tahu sebabnja Tjia Yan-khek berhasil menawan Bi-hiangtju adalah karena kelitjikannja dengan serangannja setjara mendadak, djadi bukan dengan kepandaian jang sedjati. Sebab itulah dalam utjapannja tadi dia menjatakan ilmu silat Tjia Yan-khek itu aneh dan banjak perubahannja setjara mendadak.

Saat itu Tjia Yan-khek mentjengkeram “Tay-tjui-hiat” dipunggung Bi-hiangtju, asal dia kerahkan tenaga dalamnja, seketika urat nadi djantung Bi-hiangtju itu akan putus dan binasa. Maka ia telah mendjawab: “Asal kalian segera pergi dari Mo-thian-kay ini, sudah tentu aku akan segera melepaskan Bi-hiangtju.”

“Apa susahnja untuk pergi?” kata Pwe Hay-tjiok. “Sekarang pergi, sebentar dapat datang lagi.”

“Pwe-tayhu,” kata Yan-khek dengan menarik muka. “Setjara ngotot kau meretjoki diriku, sebenarnja apa maksud tudjuanmu?”

“Maksud tudjuan apa? O, ja, saudara2ku, apa maksud tudjuan kita ?” demikian Pwe Hay-tjiok sengadja mengulangi pertanjaan Tjia Yan-khek itu.

Sedjak tadi ketudjuh orang kawannja hanja tinggal diam sadja, sekarang mereka mendjawab serentak: “Kita ingin bertemu dengan Pangtju dan menjambut Pangtju pulang Tjongtho (markas besar).”

“Bitjara kesana kesini ternjata kalian tetap menuduh aku telah menjembunjikan Pangtju kalian ?” Yan-khek menegas dengan gusar.

“Tjia-siansing, sesungguhnja didalam urusan ini ada sesuat jang tak dapat kami terangkan dan terpaksa kami harus bertemu dulu dengan Pangtju kami,” sahut Pwe Hay-tjiok. Lalu ia berpaling kepada seorang kawannja jang bertubuh tinggi besar, katanja: “In-hiangtju, silakan kau bersama para saudara tjoba melongok kesekitar sini, bila melihat Pangtju hendaklah segera beritahukan padaku.”

In-hiangtju jang disebut itu bersendjatakan sepasang tombak pendek, ia memanggut dan mengiakan. Lalu serunja: “Marilah kawan2, Pwe-siansing ada perintah agar kita tjoba mentjari Pangtju dulu.”

Keenam orang lain serentak mengiakan. Ketudjuh orang lantas mundur beberapa langkah, mendadak mereka membalik tubuh terus berlari keluar hutan.

Walaupun Tjia Yan-khek sudah menawan seorang lawan, tapi orang2 Tiang-lok-pang ternjata tidak kena digertak dan sama sekali tidak memikirkan mati-hidupnja Bi-hiangtju jang tertawan, mereka tetap mendjalankan tugasnja masing2, hanja tertinggal Pwe Hay-tjiok sendiri masih tetap berada disitu, njata sekali untuk mengawasi dia dan bukan untuk berusaha menolong Bi-hiangtju. Diam2 Yan-khek membatin: “Djika kalian tidak menemukan Pangtju kalian jang memang tiada disini itu, sekembalinja nanti tentu kalian akan meretjoki aku lagi. Sianak muda pernah mengembalikan medali wasiat padaku, hal ini telah menggemparkan dunia Kangouw, maka sebentar lagi pemuda itu tentu akan ditawan oleh mereka dan ini berarti Tiang-lok-pang memiliki suatu sendjata lagi untuk membikin aku tak berdaja. Rasanja sekarang tak berpaedah untuk bertjektjok dengan mereka, paling perlu aku harus berusaha meloloskan diri dahulu.”

Ia lihat ketudjuh orang Tjiang-lok-pang sudah menghilang diluar hutan. Mendadak telapak tangan kiri menolak kepunggung Bi-hiangtju terus didorong sekuatnja. Djurus ini disebut “Bun-tjay-bu-wi” (satu halus dan satu kasar), jaiut dengan kiri menggunakan tenaga Im dan tangan kanan memakai tenaga Yang. Tubuh Bi-hiangtju itu diperalat olehnja sebagai sendjata jang ampuh terus ditolak kearah Pwe Hay-tjiok.

Terpaksa Tjia Yan-khek harus melakukan serangan kilat, sebab ia tjukup tahu Lwekang Pwe Hay-tjiok sangat lihay, hanja sadja diwaktu mudanja Pwe Hay-tjiok pernah terluka dalam dan penjakit itu takbisa disembuhkan seluruhnja, sebab itulah ilmu silatnja telah banjak terpengaruh. Dan karena Pwe Hay-tjiok sendiri menderita sakit dalam sehingga lama2 dia mendjadi pandai ilmu pertabiban, dari situlah dia memperoleh djulukan sebagai Pwe-tayhu, padahal dia bukan seorang tabib sungguh2. Walaupun demikian ilmu silatnja tetap luar biasa lihaynja, hal ini terbukti pada sembilan tahun jang lalu, dalam semalam sadja dia telah membunuh “Ek-tiong-sam-sat” (Tiga malaikat maut Opak) jang masing2 tinggal di tempat2 jang tidak sama dalam djarak 200 li djauhnja. Peristiwa itu telah menggemparkan dunia persilatan pada waktu itu.

Sebab itulah meski Tjia Yan-khek melihat Pwe Hay-tjiok berulang2 ter-batuk2 seperti orang sakit tebese, tapi iapun tidak berani ajal sedikitpun, maka sekali serang lantas menggunakan kekuatan sepenuhnja.

Pwe Hay-tjiok lantas batuk2 lagi ketika mendadak diserang, katanja: “Ai, Tjia-siansing……….huk-huk……..mengapa mesti menggunakan kekerasan ?” ~ Terpaksa iapun memapak dengan kedua telapak tangan untuk menahan dada Bi-hiangtju jang ditolak kearahnja itu, berbareng itu mendadak dengkul kaki kiri terus mendengkul keatas sehingga tepat mengenai perut Bi-hiangtju, kontan tubuh Bi-hiangtju tertolak keatas dan mentjelat kebelakangnja. Dengan demikian kedua telapak tangannja mendjadi se-akan2 menolak kedada Tjia Yan-khek sekarang.

Perubahan djurus ini sungguh terlalu tjepat dan sangat aneh, biarpun Tjia Yan-khek sangat luas pengalamannja djua merasa kaget atas kedjadian itu. Tiada djalan lain ketjuali kedua tangannja digunakan untuk menjambut tolakan Pwe Hay-tjiok itu.

Tapi begitu keempat tangan beradu, Yan-khek merasa udjung djari2 seperti ditusuk oleh be-ribu2 djarum. Tjepat Yan-khek mengerahkan tenaga dalam tapi se-konjong2 terasa “blong”, pusat tenaganja terasa kosong dan susah dikerahkan. Sekilas itu tahulah dia bahwa karena latihannja tadi dia sudah menghabiskan tenaga dalam sendiri sehingga sekarang tidak mungkin mengadu tenaga dalam pula dengan lawan.

Tjepat ia tekan kedua tangan kebawah untuk menghantam perut lawan. Tapi Pwe Hay-tjiok djuga lantas tarik tangan kebawah untuk menahan serangannja.

Se-konjong2 kedua lengan badju Tjia Yan-khek mengebas dengan kuat untuk menjabet muka Pwe Hay-tjiok. Serangan ini sangat lihay tampaknja. Tapi Pwe Hay-tjiok sudah dapat melihat kelemahan musuh, namun demikian dia hanja mengegos untuk menghindar dan tidak balas menjerang.

Kesempatan itu lantas digunakan Tjia Yan-khek untuk menarik kembali lengan badjunja, berbareng tubuhnja terus melajang kebelakang dengan kekuatan angin serangan jang ditarik kembali itu. Ia memberi salam dan berseru: “Maafkan, mohon pamit dulu, sampai berdjumpa pula”. ~ Sambil bitjara iapun terus mundur dengan tjepat, sikapnja tetap keras dan gerakannja sebat, sedikitpun tidak kentara kalau dia sebenarnja hendak melarikan diri.

Be-runtun2 ia telah menjerang tiga kali dan tahu keadaan tidak menguntungkan, maka tjepat ia lantas mengundurkan diri, djadi tidak dapat dianggap kalah. Walaupun dia dipaksa kabur dari Mo-thian-kay, tapi dia dikepung sembilan orang lawan, malahan dia dapat mendjatuhkan Bi-hiangtju dari pihak musuh, hal ini sebaliknja tjukup mematahkan semangat djago2 Tiang-lok-pang tadi. Maka ketika dia melompat turun dari tebing Mo-thian-kay jang tinggi dan tjuram itu, rasa lega dan senangnja ada lebih besar daripada rasa penasaran dan dongkolnja. Tapi baru beberapa li ia berlari, tiba2 ia merasa djari2 tangan agak kesakitan.

Ia tjoba memeriksa djari2 itu, ternjata udjung tiap2 djari itu semuanja merah dan agak bengkak. Diam2 ia terkedjut akan lihaynja tenaga dalam Pwe Hay-tjiok. Maka ia tidak berani berlari tjepat lagi, tapi berdjalan dengan pelahan dan mentjari suatu tempat jang sepi untuk mengatur Lwekang dan mendjalankan darahnja……….

Dilain pihak, demi nampak Tjia Yan-khek kabur meninggalkan Mo-thian-kay, Pwe Hay-tjiok mendjadi ter-heran2: “Dia adalah sahabat karib Tjiok-pangtju, mengapa dia menggunakan serangan seganas ini terhadap Bi-hiangtju? Sungguh tingkah-lakunja benar2 susah untuk dipahami.”

Segera ia membangunkan Bi-hiangtju dan menempelkan kedua telapak tangannja dipunggung sang kawan dan menjalurkan tenaga dalam. Selang sedjenak, pelahan2 Bi-hiangtju dapat membuka matanja dan berkata dengan lemah: “Banjak terima kasih atas pertolongan Pwe-tayhu.”

“Bi-hiante hendaklah rebah dan mengaso sadja, sekali-kali engaku djangan menggunakan tenaga,” udjar Pwe Hay-tjiok.

Kiranja djurus “Bun-tjay-hu-wi” jang dikeluarkan Tjia Yan-khek tadi, tudjuannja bukan sadja untuk membinasakan Bi-hiangtju, bahkan merupakan serangan maut terhadap Pwe Hay-tjiok. Kalau Pwe Hay-tjiok menahan tubuh Bi-hiangtju dengan tenaga dalam, maka digentjet dari muka dan belakang, tentu seketika Bi-hiangtju akan mati. Sebab itulah Pwe Hay-tjiok hanja menahan sedikit dadanja Bi-hiangtju, berbareng dengkul kaki menjontak tubuh Bi-hiangtju hingga mentjelat kebelakang, dengan demikian barulah djiwa Bi-hiangtju dapat diselamatkan.

Walaupun demikian, toh lukanja djuga tidak ringan, andaikan dapat disembuhkan djuga susah pulih kembali seperti semula dalam waktu beberapa tahun.

Pelahan2 Pwe Hay-tjiok menaruh tubuh Bi-hiangtju diatas tanah, lalu menggunakan tenaga dalam untuk mengurut dada dan perutnja.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara orang: “Pangtju berada disini, Pangtju berada disini!”

Girang Pwe Hay-tjiok tak terhingga, katanja kepada Bi-hiangtju: “Bi-hiante, keadaanmu sudah tidak berbahaja lagi, engkau mengaso dulu disini, aku hendak pergi menemui Pangtju dahulu.” ~ Lalu ia berlari kearah datangnja seruan tadi. Diam2 ia merasa bersjukur sang Pangtju telah diketemukan, kalau tidak, bukan mustahil Tiang-lok-pang mereka akan petjah berantakan tak keruan.

Setelah ber-lari2, achirnja ia melihat diatas sepotong batu tjadas berduduk seorang. Dipandang dari samping memang betul adalah sang Pangtju. Pula In-hiangtju dan keenam kawan jang lain tampak berdiri didepan batu dengan sikap sangat menghormat.

Tjepat Pwe Hay-tjiok mendekati mereka. Tatkala itu sang surja sedang memantjarkan sinarnja jang terang sehingga wadjah orang itu dapatlah terlihat dengan djelas, tertampak alisnja jang tebal dan mata besar, raut mukanja londjong, siapa lagi kalau bukan Tjiok-pangtju jang sedang ditjarinja?

“Pangtju, baik2kah engkau ?” seru Pwe Hay-tjiok dengan girang.

Tapi tiba2 dilihatnja air muka sang Pangtju mengundjuk rasa derita sakit jang aneh, muka sebelah kiri tampak bersemu ke-hidjau2an, sebaliknja muka sebelah kanan ke-merah2an seperti orang mabuk arak.

Sebagai seorang tokoh persilatan, pula mahir ilmu pertabiban, segera Pwe Hay-tjiok melihat keadaan sang Pangtju jang luar biasa itu, ia terkedjut: “He, rupanja Pangtju sedang melatih sematjam Lwekang jang sangat hebat. Wah, tjelaka, boleh djadi lantaran kedatangan kami jang sembrono ini, maka telah mengganggu ketenangan latihannja.”

Sesaat itu ia merasa matjam2 tanda tanja jang tersekam di dalam benaknja selama ini mendjadi terdjawab :”Kiranja Pangtju telah memperoleh ‘Bu-kang-pit-kip’ (kitab rahasia ilmu silat) apa2, makanja dia menghilang sampai setengah tahun lamanja dan susah diketemukan. Tentu Tjia-siansing itu mengetahui latihan Pangtju sedang mentjapai detik jang paling gawat dan tidak boleh diganggu oleh siapapun djuga, makanja betapapun dia tidak mau menghadapkan kami kepada Pangtju. Ai, maksud baiknja itu telah disalah terima oleh kami sehingga membikin susah padanja, sungguh tidak pantas. Melihat keadaan Pangtju ini, agaknja hawa panas dan dingin tubuhnja sedang bergolak dan susah dihimpun mendjadi satu, djika terdjadi sesuatu kesalahan, tentu beliau akan tjelaka, sungguh berbahaja sekali.”

Maka tjepat ia memberi tanda agar kawan2nja itu mundur semua sehingga belasan meter djauhnja dari tempat sang Pangtju. Lalu dengan suara pelahan ia mendjelaskan keadaan itu.

Semua orang lantas paham duduknja perkara dan bergirang tertjampur kuatir. Ada jang bertanja apakah sang Pangtju berbahaja? Ada pula jang menjesal tindakan mereka jang semberono sehingga telah mengganggu latihan sang Pangtju.

Pwe Hay-tjiok lantas berkata: “Bi-hiangtju telah dilukai oleh Tjia-siansing itu. Sekarang salah seorang saudara hendaklah pergi mendjaganja. Aku sendiri akan mendjaga disini dan mungkin akan dapat membantu Pangtju bilaman keadaan perlu. Kawan2 jang lain silakan mengawasi sekitar tempat ini dan djangan sekali2 bersuara keras. Kalau ada musuh datang boleh dibereskan setjara diam2 dan djangan sekali2 membikin kaget Pangtju.”

Djago2 Tiang-lok-pang itu mengiakan perintah Pwe Hay-tjiok dan mendjaga disekitar puntjak Mo-thian-kay itu. Pwe Hay-tjiok sendiri lantas mendekati Tjiok-pangtju, ia lihat muka sang Pangtju ber-kerut2, sekudjur badannja berkedjang, mulutnja tampak terpentang ingin berteriak, tapi takdapat mengeluarkan suara sedikitpun. Terang itulah tanda tenaga dalamnja tersesat dan djiwanja terantjam bahaja dalam waktu singkat.

Keruan Pwe Hay-tjiok terkedjut. Ia ingin memberi pertolongan, tapi ia tidak tahu Lwekang apa jang sedang dilatih sang Pangtju. Kalau setjara ngawur ia memberi pertolongan, bukan mustahil akan mempertjepat kematian orang jang ditolong itu malah.

Ia lihat pakaian sang Pangtju jang memangnja tjompang-tjamping itu mendjadi kojak2 dan hantjur karena ditjakar dan dirobek kedua tangan sendiri, bahkan badannja berlumuran darah. Sebaliknja ubun2 kepalanja tampak menguap. Pikirnja: “Ilmu silat Tjiok-pangtju memang sangat aneh dan lihay serangannja, tapi tenaga dalamnja masih tjetek. Namun melihat uap jang mengepul diatas kepalanja sekarang, terang Lwekangnja ini sudah terlatih sampai puntjaknja. Sungguh aneh, mengapa hanja didalam waktu setengah tahun sadja dia memperoleh kemadjuan sedemikian pesatnja ? Hal ini membuktikan bahwa ilmu jang dilatihnja ini benar2 luar biasa.”

Selagi merasa ragu2 dan tak berdaja, se-konjong2 Pwe Hay-tjiok mengendus bau sangit, dilihatnja badju bagian pundak kanan sang Pangtju mengepulkan asap tipis. Itulah benar2 tanda terbakar karena salah melatih dan dalam sekedjap sadja penderita itu dapat binasa seketika.

Karena terkedjut, segera Pwe Hay-tjiok mengulur tangan untuk menahan “Djing-leng-hiat” dilengan kanan sang Pangtju, maksudnja hendak membikin tenang pikiran sipenderita untuk sementara waktu. Tak terduga baru sadja djarinja menempel lengannja, ia merasa seluruh badannja menggigil kedinginan, ia tidak berani mengerahkan tenaga untuk melawan, terpaksa menarik kembali tangannja. Pikirnja dengan heran: “Lwekang aneh apakah ini? Mengapa setengah badannja mengepul panas, sebaliknja separuh badan jang lain sedingin ini?”

Selagi Pwe Hay-tjiok ragu2 tjara bagaimana harus berbuat, tiba2 tertampak tubuh sang Pangtju ber-kerut2 dan achirnja meringkuk dengan tangan memegang kepala sendiri terus terguling djatuh kebawah. Sesudah kedjang beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi.

“Pangtju! Pangtju!” seru Hay-tjiok. Ia tjoba periksa hidungnja, sjukurlah masih dapat bernapas. Hanja sangat lemah, se-akan2 setiap saat bisa berhenti bernapas.

Pwe Hay-tjiok mengerut kening kuatir. Tjepat ia bersuit memanggil kawan2nja, lalu ia membangunkan sang Pangtju dan disandarkan pada batu tjadas besar itu.

Tidak lama kemudian ber-turut2 kawannja sudah berkumpul. Ketika melihat muka sang Pangtju sebentar merah membara dan sebentar lagi putjat se-akan2 kedinginan, badannja juga bergemetar, keruan mereka ikut kaget. Dengan sorot mata penuh tanda tanja mereka pandang Pwe Hay-tjiok.

“Terang Pangtju sedang melatih sematjam Lwekang jang maha hebat, apakah dia telah salat latih, seketika akupun belum tahu dengan pasti,” demikian kata Pwe Hay-tjiok. “Urusan ini memang serba sulit dan menjangkut Pang kita, maka diharap saudara2 ikut memberi saran jang baik.”

Namun tiada seorangpun jang bersuara. Semuanja saling pandang dengan bingung. Kalau Pwe-tayhu sadja tak berdaja apalagi kita orang? Demikian pikir mereka.

Dalam pada itu Bi-hiangtju jang telah dipajang kawan2nja dan ikut berkumpul disitu lantas berkata dengan suara lemah: “Pwe-tayhu, apa jang kau anggap paling baik, maka bolehlah didjalankan, betapapun pikiranmu djauh lebih sempurna daripada kami.”

Pwe Hay-tjiok memandang sekedjap kearah Tjiok-pangtju, lalu berkata: “Keempat golongan paling berpengaruh dari Kwan-tang telah berdjandji akan berkundjung kemarkas besar kita pada Tiong-yang-tje (hari raja tanggal 9 bulan 9) nanti, temponja sekarang sudah sangat mendesak dan tinggal sebulan lagi. Urusan ini menjangkut mati atau hidupnja Pang kita, tentu saudara2 sendiri sudah tahu bahwa keempat golongan besar dari Kwantang itu hanja tampil kemuka sebagai pelopor sadja, tapi sebenarnja masih banjak pihak2 lain jang diam2 ingin…….huk, huk, ingin mendjungkalkan Tiang-liok-pang kita. Dan bila Pang kita sampai dirobohkan oleh Kwantang-si-pay (keempat golongan dari Kwantang) sehingga petjah berantakan, maka djangankan kita hendak berketjimpung pula didunia Kangouw, sekalipun mentjari suatu tempat untuk menjelamatkan diri rasanja djuga………djuga susah.”

“Utjapan Pwe-tayhu memang benar,” udjar In-hiangtju. “Bagaimana Tiang-liok-pang kita dalam pandangan orang2 Kangouw kita tjukup mengetahui. Segala sesuatu kita biasanja suka bertindak dan berbuat setjara tegas dan blak2an, kita tidak suka meniru tjara2 kaum pengetjut, dengan sendirinja kita telah banjak membikin sirik orang2 lain. Dalam urusan2 sekarang ini kalau tiada Pangtju sendiri jang tampil kemuka, mungkin……………….mungkin……..ai………..”

“Ja, sebab itulah kita harus tjepat mengambil keputusan,” sahut Pwe Hay-tjiok. “Menurut pendapatku, kita harus tjepat menjambut Pangtju pulang kemarkas besar. Tapi penjakit jang diderita Pangtju sekarang ini tampaknja tidak ringan, berkat redjeki beliau kalau dalam waktu sepuluh hari atau setengah bulan beliau dapat sembuh kembali, maka inilah jang sangat kita harapkan. Kalau tidak, asalkan Pangtju sendiri sudah berada dimarkas, sekalipun kesehatannja belum pulih, namun beliau sudah tjukup untuk memberi dorongan semangat kepada kita untuk menghalau musuh bersama. Betul tidak saudara?”

“Ja, utjapan Pwe-tayhu memang betul,” sahut semua orang.

“Djika demikian, marilah kita lekas membuat dua usungan untuk membawa pulang Pangtju dan Bi-hiangtju” kata Pwe Hay-tjiok pula.

Be-ramai2 mereka lantas terpentjar untuk melakukan tugas, ada jang menebang dahan pohon, kulit pohon dipuntir mendjadi tambang jang kuat, maka dalam waktu singkat dua buah usungan sudah selesai disiapkan. Mereka mengikat kentjang2 sang Pangtju dan Bi-hiangtju diatas usungan itu agar tidak terdjatuh diwaktu mereka menuruni tebing tjuram itu. Kedelapan orang menggotong usungan2 itu setjara bergiliran dan meninggalkan Mo-thian-kay.

Siapakah Tjiok-pangtju jang dibawa pulang orang2 Tiang-lok-pang itu. Ia tak lain tak bukan adalah sianak muda penemu medali wasiat itu.

Pada hari itu ia sedang melatih Lwekang menurut tjara2 jang diadjarkan Tjia Yan-khek padanja. Sampai lohor, tiba2 ia merasa hawa panas merangsang naik melalui urat nadi, bagian kaki dan tangan sebelah kanan terasa panas sebagai dibakar. Berbareng itu urat nadi kaki dan tangan sebelah kiri terasa kedinginan seperti direndam es. Djadi jang panas keliwat panas dan jang dingin terlalu dingin, keduanja takdapat dibaurkan mendjadi satu.

Kiranja sesudah berlatih dengan giat selama beberapa tahun, maka tenaga dalam anak muda itu sudah tambah hebat dan madju dengan pesat, sampai lohor hari itu “Yam-yam-kang” jang dilatihnja itu sudah djadi.

Menurut perhitungan Tjia Yan-khek, bilamana Yam-yam-kang jang dilatih itu sudah djadi, seketika tenaga Yam-yam-kang jang maha panas itu akan saling terdjang dan saling gontok dengan Lwekang “Han-ih-bian-tjiang” jang maha dingin, akibatnja djiwa anak muda itu tentu akan melajang.

Sekarang anak muda itu ternjata tidak tahan sampai setengah djam dan orangnja lantas tak sadarkan diri, sampai sekian lamanja ia tetap tak sadar, sebentar ia merasa seluruh badannja panas seperti dipanggang, keringat bertjutjuran dan mulut terasa kering, lain saat ia merasa kedinginan seperti tertutup didalam gudang es, sampai darahpun se-akan2 membeku.

Begitulah ia terus tersiksa oleh rasa panas dan dingin setjara bergilir, lapat2 iapun tahu ada orang berada disekitarnja, ada lelaki, ada wanita dan sedang bitjara, tapi sedikitpun ia tidak tahu apa jang sedang dipertjakapkan mereka. Ia sendiri ingin berteriak tapi susah membuka mulut. Ia merasa pandangannja terkadang terang dan terkadang gelap, ia merasa sering kali diberi makan dan minum oleh orang lain, apa jang diminum itu terkadang rasanja sangat pahit, ada kalanja djuga sangat manis, tapi entah apa jang diminum dan dimakannja itu.

Keadaan jang gelap dan membingungkan itu entah sudah berapa lamanja berlangsung, ketika pada suatu hari mendadak ia merasa dahinja mendjadi segar, hidungnja lantas mengendus bau harum. Pelahan2 ia tjoba membuka matanja, jang per-tama2 terlihat ada sebatang lilin dengan apinja jang ter-guntjang2 pelahan. Menjusul lantas terdengar suara orang jang sangat halus dan merdu berkata: “Ah, achirnja kau sadar djuga!”

Anak muda itu berpaling kearah suara itu, ia melihat pembitjara itu adalah seorang anak dar berumur 17-18 tahun, berbadju hidjau pupus, raut mukanja potongan daun sirih, tjantiknja susah dilukiskan. Bidji mata anak dara itu mengerling bening, dengan suara pelahan telah berkata pula: “Bagian manakah jang terang tidak enak?”

Namun anak muda itu masih merasa bingung. Ia ingat ketika itu dirinja sedang berlatih diatas Mo-thian-kay, mendadak sebelah badannja terasa panas dan sebelah badan jang lain terasa dingin, dalam kaget dan bingungnja itu ia lantas djatuh pingsan. Dan mengapa didepannja sekarang muntjul seorang anak dara djelita?

Ia hendak mendjawab, tapi lantas merasa dirinja merebah disebuah randjang jang empuk, bahkan badannja berselimut, segera ia hendak bangun, tapi baru sedikit bergerak, seketika anggota badannja serasa ditjotjok be-ribu2 djarum, sakitnja tidak kepalang, tanpa terasa ia mendjerit.

“Kau baru sadja mendusin, djanganlah bergerak,” demikian anak dara tadi berkata. “Terima kasihlah kepada Thian jang maha murah, achirnja djiwamu ini dapat diselamatkan.”

Habis bitjara, mendadak mukanja jang tjantik itu bersemu merah, dengan ke-malu2an ia lantas berpaling kearah lain.

Djantung sianak muda memukul keras. Ia merasa si nona ini tjantik tak terkirakan dan sangat menggiurkan. Achirnja ia tjoba berkata: “Ber…………….berada dimanakah diriku ini?”

“Ssssst!” mendadak anak dara itu mengatjungkan djarinja kedepan mulut sebagai tanda djangan bersuara. Lalu ia ber-bisik2: “Ada orang datang, aku harus pergi dahulu.” ~ Dan sekali melesat, tjepat sekali ia sudah melompat keluar melalui djendela.

Ketika anak muda itu berkedip, tahu2 sinona sudah menghilang. Hanja terdengar diatas wuwungan rumah ada suara orang berdjalan dengan pelahan, tapi tjepat sekali lantas mendjauh. “Siapakah dia? Apakah dia akan datang mendjenguk diriku pula?” demikian sianak muda berpikir dengan bingung.

Selang sedjenak, tiba2 diluar pintu ada suara tindakan orang, lalu ada orang berbatuk2 beberapa kali, menjusul pintu berkeriut dan didorong terbuka, maka masuklah dua orang. Sianak muda melihat jang datang itu diantaranja ada seorang tua, tampaknja berpenjakitan. Seorang lagi tinggi kurus dan seperti sudah dikenalnja.

Ketika melihat sianak muda itu sudah sadar, siorang tua mendjadi girang, ia lantas mendekati dan berkata: “Pangtju, bagaimana rasanja penjakitmu? Air mukamu hari ini tampak djauh lebih segar.”

“Kau………..kau panggil apa padaku? Ak…………aku berada dimanakah ini?” sahut sianak muda.

Sekilas siorang tua tampa merasa sedih, tapi segera mukanja ber-seri2, djawabnja dengan tertawa: “Pangtju telah djatuh sakit beberapa hari lamanja, sekarang pikiranmu sudah djernih kembali, sungguh harus diberi selamat dan bersjukur. Sekarang silakan Pangtju mengaso dan tidur sadja, besok hamba akan datang mendjenguk Pangtju lagi.”

Lalu ia memegang sebentar nadi tangan sianak muda, katanja kemudian sambil mengangguk: “Denjut nadi Pangtju sudah teratur dan kuat, sedikitpun tiada berbahaja lagi. Pangtju sungguh2 seorang beredjeki besar, segenap anggota Pang kitapun ikut bahagia.”

“Aku…………..aku bernama ‘Kau-tjap-tjeng’ dan bu…………bukan ‘Pangtju’, kata sianak muda itu dengan heran dan bingung.

Siorang tua dan sikurus tampak melengak demi mendengar djawaban itu. Mereka saling pandang sekedjap, lalu berkatadengan suara pelahan: “Harap Pangtju mengaso sadja.” ~ Mereka mundur beberapa langkah, lalu memutar tubuh dan keluar dari kamar itu.

Orang tua itu bukan lain daripada “Tjiok-djiu-seng-djun” Pwe Hay-tjiok adanja. Dan sikurus adalah Bi-hiangtju, nama lengkapnja ialah Bi Heng-ya.

Sementara itu luka Bi Heng-ya sudah mulai sembuh berkat pertolongan Pwe Hay-tjiok. Hanja sadja ia merasa menjesal karena nama baiknja telah tersapu bersih lantaran didjatuhkan Tjia Yan-khek hanja dalam satu djurus sadja.

Tapi Pwe Hay-tjiok telah menghiburnja: “Bi-hiante, kalau dibitjarakan, bahkan aku berharap waktu itu kita bersembilan lebih baik didjatuhkan semua oleh Tjia-siansing, dengan demikian kita tentu tidak sampai membikin kaget Pangtju dan beliau takkan Tjau-hwe-djip-mo dan menderita seperti sekarang. Kalau melihat keadaan Pangtju sekarang, sungguh susah diramalkan apakah beliau akan dapat sembuh atau tidak. Andaikan sembuh, maka Lwekang aneh jang bertenaga panas dingin itu pasti susah dijakinkan pula. Sebaliknja, jika terdjadi apa2 atas diri Pangtju, ai, Bi-hiante, malahan diantara kesembilan orang adalah engkau sendiri jang paling ringan dosanja, sebab meski kau ikut naik ke Mo-thian-kay, tapi ketika menemukan Pangtju engkau sendiri sudah dalam keadaan pajah.”

“Apa bedanja keadaan diriku pada waktu itu?” sahut Bi Heng-ya. “Ja, pendek kata bila terdjadi apa2 atas diri Pangtju, rasanja kita bersembilan susah menebus dosa sebesar itu selain membunuh diri semua.”

Tak tersangka, pada malam hari kedelapan, ketika Pwe Hay-tjiok dan Bi Heng-ya menjambangi sang Pangtju, mereka melihat sang Pangtju sudah sadar kembali dan dapat bitjara. Sudah tentu kedua orang itu sangat lega dan girang. Hanja sadja mereka anggap Tjiok-pangtju baru sadja mengalami derita Tjau-hwe-djip-mo, pikiran dan djiwanja tentu mengalami guntjangan hebat, sebab itulah bitjaranja mendjadi me-lantur2 tak keruan serta tidak kenal pada mereka lagi.

Waktu Pwe Hay-tjiok memeriksa nadi sang Pangtju, ia merasa djalannja nadi sangat kuat dan baik, baru sadja ia merasa senang, tiba2 sang Pangtju telah mengutjapkan kata2 jang membuatnja bingung, katanja dia bukan “Pangtju”, tapi bernama “Kau-tjap-tjeng” apa segala. Keruan mereka mendjadi kaget dan tidak berani banjak bitjara lagi, tjepat2 mereka lantas mengundurkan diri.

Sampai diluar, dengan suara pelahan Bi Heng-ya tanja Pwe-tayhu: “Bagaimana, mengapa bisa demikian?”

Pwe Hay-tjiok berpikir sedjenak, sahutnja kemudian: “Saat ini pikiran Pangtju masih katjau, tapi ada lebih baik daripada tak sadarkan diri sama sekali. Ja, tentu aku akan berusaha sepenuh tenaga dan semoga dalam waktu singkat kesehatan Pangtju sudah dapat dipulihkan kembali.” ~ Sampai disini ia merandek sedetik, lalu menjambung pula: “Tjuma urusan organisasi kita sudah makin mendesak waktunja, entah kapan kesehatan Pangtju dapat disembuhkan seluruhnja ?”

Jilid 9

Dalam pada itu, sesudah kedua orang itu pergi barulah sianak muda mengamat-amati keadaan didalam kamar, ia melihat dirinja tertidur diatas sebuah randjang berukuran sangat besar dengan kelambu dan selimut jang indah, didepan tempat tidur itu terdapat sebuah medja tulis bertjat merah, disamping medja itu ada dua buah kursi dengan kasur bersulam. Selain itu banjak pula padjangan2 lain jang serba mewah dengan bau asap jang harum semerbak sehingga membikin orang merasa seperi berada didalam gua dewa.

Sudah tentu sianak muda tidak pernah kenal tempat tidur sebesar dan sebagus itu, apalagi benda2 lain jang menjilaukan mata didalam kamar itu. Pikirnja: “Besar kemungkinan aku berada dalam impian.”

Tapi bila teringat kepada sinona badju hidjau jang tjantik menggiurkan itu, sampai alisnja jang lentik dan bibirnja jang merah tipis sebagai delima merekah, semuanja tiu djuga masih teringat dengan djelas, pula daun djendela jang dibukanja tadi untuk melompat keluar itu sampai sekarang djuga masih setengah terpentang, semuanja ini toh tidak seperti dalam mimpi?

Ia tjoba angkat tangan kanan hendak meraba kepalanja sendiri. Tak tersangka hanja sedikit bergerak sadja, seluruh badannja lantas kesakitan pula sehingga ia mendjerit.

Karena suaranja itu, tiba2 terdengar suara orang menguap kantuk dipodjok kamar sana dan berkata: “Siauya” (tuan muda), engkau sudah mendusin……..” itulah suara seorang wanita, agaknja baru sadja terdjaga bangun dari tidurnja. Tiba2 ia berseru kaget pula: “Ha, eng………..engkau sudah sadar kembali?”

Sianak muda merasa pandangannja mendjadi silau ketika tiba2 seorang anak dara berbadju kuning tahu2 sudah berdiri didepan tempat tidurnja. Semua ia bergirang, disangkanja sinona badju hidjau tadi jang telah datang lagi, tapi sesudah diperhatikan ternjata nona dihadapannja sekarang ini berbadju ringkas warna kuning telur, bergelung tjiodah dibagi dua. Bukan sadja dandanannja lain, bahkan mukanja djuga beda. Muka sinona didepannja sekarang ini agak bundar, matanja besar, dibalik ketjantikannja tampak sangat pintar dan lintjah pula.

“Siauya, engkau sudah sadar kembali?” demikian terdengar sinona bertanja pula dengan rasa girang dan kuatir.

“Ja, aku…….aku sudah sadar. Apakah………..apakah aku bukan didalam mimpi?” sahut sianak muda.

Sinona mengikik tawa. “Ja, mungkin engkau masih didalam mimpi, boleh djadi,” katanja. Habis itu lalu ia bersikap sungguh2 dan bertanja pula: “Siauya, apakah engkau ada perintah sesuatu?”

“Kau panggil aku apa? Siau………….Siauya apakah?” tanja sianak muda dengan heran.

Air muka sinona tampak mengundjuk rasa marah, sahutnja: “Sudah lama kukatakan padamu bahwa kami ini adalah orang2 rendah, kaum hamba belaka, kalau tidak panggil Siauya padamu, habis panggil apa?”

“Aneh,” udjar sianak muda dengan menggumam sendiri. “Jang seorang memanggil aku Pang……Pangtju, sekarang jang satu lagi memanggil aku Siauya. Sebenarnja siapakah aku ini? Dan mengapa bisa berada di sini?”

Sinona tampak bersabar kembali, katanja: “Siauya, kesehatanmu belum lagi pulih, hendaklah kau mengaso sadja. Apakah suka makan sedikit sarang burung?”

“Sarang burung ?” sianak muda menegas. Ia tidak tahu barang apakah “sarang burung” itu. Tapi perutnja memang terasa sangat lapar, tiada djeleknja untuk makan apapun djuga. Maka ia lantas manggut.

Dan sesudah membetulkan badjunja jang agak kusut, lalu anak dari itu menudju kekamar sebelah. Tidak lama kemudian ia datang lagi dengan membawa sebuah nampan dimana tertaruh sebuah mangkuk berwarna indah, dari dalam mangkuk itu terkepul uap jang berbau sedap wangi. Ditengah malam itu entah tjara bagaimana nona itu dapat menjediakan daharan panas dalam waktu sesingkat itu.

Memangnja perut sianak muda sudah lapar, demi mengendus bau harum sedap itu, seketika ia mengiler, perutnja semakin berkerujukan.

Rupanja suara kerujukan perut sianak muda dapat didengar anak dara itu, dengan tersenjum anak dara itu berkata: “Sudah tudjuh delapan hari engkau hanja minum kuah kolesom melulu untuk menguatkan badanmu, tentu sadja kau sangat kelaparan.” ~ berbareng ia lantas menghaturkan nampan jang dibawanja itu.

Sianak muda dapat melihat bahwa isi mangkuk itu adalah sedjenis makanan seperti bubur tapi bukan bubur, diatasnja ditaburi sedikit kelopak bunga mawar jang sudah kering sehingga menjiarkan bau harum. Segera ia tanja: “Makanan baik ini apakah untukku?”

“Sudah tentu, masakah pakai sungkan2 segala?” udjar sianak dara dengan tersenjum.

Tapi sianak muda itu mendjadi ragu2, ia pikir makanan sebaik ini entah berapa harganja, padahal uangnja sudah habis, entah boleh utang atau tidak? Lebih baik bitjara setjara terang2an sebelumnja. Maka ia lantas berkata: “Ta………tapi aku tiada punja uang, apa…………apakah boleh utang ?”

Anak dara itu tampak tertjengang sedjenak, tapi lantas berkata dengan tertawa: “Dasar djahil, sesudah sakit sepajah ini watakmu masih djuga belum berubah. Baru sadja kau dapat bitjara sudah mulai mengotjeh jang tidak2 lagi. Sudahlah, kalau lapar lekas makan sadja.” ~ Sambil bitjara ia menjodorkan nampannja lebih dekat pula.

Sianak muda mendjadi girang. “Habis makan aku tidak perlu bajar?” ia menegas.

Rupanja anak dari itu mendjadi djemu, tiba2 ia menarik muka dan menjahut: “Ja, tidak perlu bajar, kau mau makan atau tidak ?”

“Makan, tentu sadja makan!” seru sianak muda tjepat.

Segera ia hendak memegang sendok jang berada diatas nampan. Tapi baru sadja tangannja bergerak, seketika tubuhnja kesakitan lagi seperti ditusuk djarum, ia merintih tertahan dan sambil meringis ia mengangkat tangannja dengan pelahan, namun toh tetap bergemetar.

“Siauya, kau ini sakit sungguh2 atau pura2 kesakitan?” tanja sianak dara dengan muka masam.

“Sudah tentu sakit sungguh2, mengapa mesti pura2?” sahut sianak muda dengan heran.

“Baik, mengingat deritamu diwaktu sakit keras ini, biarlah untuk sekali lagi aku menjuapi kau,” kata sianak dara. “Tapi awas, Siauya, djika kau main pegang2 dan tjomat-tjomot lagi, tentu aku tidak mau gubris lagi padamu.”

Sianak muda semakin heran. “Apa itu main pegang2 dan main tjomat-tjomot?” tanjanja.

Air muka sianak dara mendjadi merah djengah. Ia pelototi anak muda itu sekedjap sambil mendengus, lalu ia pegang sendok dan menjendok bubur sarang burung untuk menjuapinja.

Seketika sianak muda melenggong, sama sekali tak terpikir olehnja bahwa didunia ini ternjata ada orang sebaik ini. Tanpa pikir ia lantas membuka mulut dan makan bubur sarang burung jang dilolohkan kepadanja itu. Sungguh rasanja sangat manis dan harum, enaknja tak terkatakan.

Anak dara itu hanja diam2 sadja dan terus menjuapi sampai beberapa kali, ia berdiri agak djauh dari tempat tidur sianak muda, hanja tangannja jang didjulurkan untuk menjuap, tampaknja seperti takut2 kalau2 mendadak “diterkam” oleh sianak muda.

Namun sianak muda sendiri sedang menikmati bubur sarang burung itu dengan men-djilat2 bibirnja sambil memudji: “Ehm, sungguh enak sekali. Aku harus berterima kasih padamu.”

“Hm, hendaklah kau djangan pakai akal litjik untuk menipu aku,” dengus sianak dara. “Sarang burung seperti ini entah berapa ribu mangkuk telah kau makan, bilakah kau pernah memudji akan keenakannja?”

Sianak muda mendjadi bingung sebab ia merasa selama hidupnja belum pernah makan sarang burung jang enak itu. Ia tjoba bertanja pula: “Apakah ini jang di……………dinamakan sarang burung ?”

“Huh, kau benar2 pandai berlagak bodoh, Siauya,” djengek sianak dara, berbareng ia melangkah mundur satu tindak se-akan kuatir diperlakukan setjara tidak senonoh oleh sianak muda.

Anak muda itu tjoba mengamat-amati sianak dara, terlihat pakaiannja jang berwarna kuning telur, rambutnja jang agak kusut bergelung tjiodah bagi dua, matanja tampak masih kerijep2 sepat karena baru mendusin, kakinja telandjang dan tidak memakai kaos sehingga kelihatan putih bersih bersandal sulam kembang tjantiknja susah dilukiskan. Tanpa terasa ia lantas memudji: “Kau……….kau sungguh sangat tjantik!”

Muka sianak dara mendjadi merah dan mengundjuk rasa marah, mendadak ia taruh mangkuk diatas medja, lalu menudju kepodjok kamar dan menggulung sebuah tikar dan sehelai selimut, tangan jang lain membawa sebuah bantal, terus berdjalan kepintu kamar.

Dengan gugup sianak muda berseru: “He, hen…..dak kemana kau ? Kau tak gubris lagi padaku ?”

“Kau baru sadja sembuh, sekarang mulutmu sudah mulai mengotjeh tak keruan lagi,” sahut sianak dara. “Kemana aku dapat pergi? Engkau adalah madjikan dan kami adalah kaum hamba jang rendah, masakan dapat dikatakan gubris dan tidak ?” ~ Sambil berkata ia terus melangkah pergi.

Sianak muda mendjadi bingung, ia tidak tahu sebab apakah anak dara itu marah2. Pikirnja: “Seorang nona telah pergi dengan melompat djendela, nona ini pergi pula melalui pintu, apa jang mereka katakan sama sekali aku tak paham. Ai, aku benar2 seorang tolol, segala apa tidak paham.”

Tengah ter-menung2 sendiri, tiba2 terdengar suara tindakan orang jang halus, ternjata anak dara tadi telah masuk kamar lagi, air mukanja tampak masih bersengut, tangannja membawa sebuah baskom.

Sianak muda mendjadi girang. Dilihatnja anak dara itu meletakkan baskom itu diatas medja, lalu dari dalam baskom diangkatnja sepotong handuk jang mengepul panas, sesudah diperas, handuk itu lantas disodorkan kepada sianak muda, katanja dengan nada dingin: “Ini, tjutji muka!”

“Ja, ja,” sahut sianak muda tjepat dan segera hendak mengambil handuk hangat itu. Tapi baru bergerak sedikit sadja sekudjur badannja lantas kesakitan seperti di-tusuk2 djarum. Ia meringis tertahan sambil menerima handuk itu. Ketika hendak dipakai mengusap mukanja, kedua tangan gemetar dengan hebat, betapapun handuk itu susah dilekatkan kepada mukanja.

Anak dara itu tampak ragu2 dan tjuriga, katanja dengan menjindir: “Huh, pintar sekali tjaramu berlagak”. ~ Segera ia ambil kembali handuk itu dan berkata pula: “Ingin aku mengusapkan mukamu djuga tidak sukar. Tjuma sadja engkau tidak boleh main gila dengan tanganmu, asal kau menjentuh seudjung rambutku, untuk selandjutnja aku pasti tidak mau masuk ke kamar ini lagi.”

“Ah, nona djangan mengusapkan mukaku, mana aku berani dilajani olehmu,” udjar sianak muda. “Kain ini sedemikian putih bersih, sedangkan mukaku sangat kotor, tentu kain bersih ini nanti akan ikut mendjadi kotor.”

Mendengar nada anak muda itu agak lebih rendah daripada dahulu, tjaranja bitjara dan lafalnja djuga rada berbeda daripada masa dulu, lebih2 mengenai apa jang dikatakan selalu hal2 jang tak genah, mau tak mau sianak dara semakin tjuriga: “Djangan2 karena sakitnja jang keras ini, maka otaknja telah terganggu. Menurut pembitjaraan Pwe-siansing dan lain2, katanja dia melatih sesuatu ilmu dan telah membakar dirinja sendiri sehingga menderita luka dalam jang berat. Kalau tidak mengapa bitjaranja selalu tak keruan dan tak teratur ?”

Kemudian ia tjoba bertanja: “Siauya, apakah kau masih ingat namaku?”

“Selamanja kau tidak pernah katakan padaku, dari mana aku kenal namamu?” sahut sianak muda. Ia tersenjum, lalu menjambung pula : “Aku sendiri bukan bernama Siauya, tapi namaku adalah Kau-tjap-tjeng, ini adalah nama panggilan ibuku. Paman tua itu mengatakan nama ini tidak baik. Dan siapakah namamu ?”

Kening sianak dara semakin mengerut mengikuti utjapan sianak muda itu, pikirnja: “Melihat tjara bitjaranja ini toh tiada tanda2 sengadja bergurau atau pura2, apakah dia benar2 sudah tidak waras lagi ?” ~ Berpikir demikian ia sendiri mendjadi sedih, katanja: “Siauya, apakah engaku benar2 tidak kenal diriku lagi? Kau sudah lupa kepada Si Kiam ?”

“Oh, apa kau bernama Si Kiam? Baiklah, selandjutnja aku akan panggil kau Si Kiam……..tidak, tapi akan kupanggil entji Si Kiam. Kata ibuku, terhadap wanita jang djauh lebih tua harus memanggilnja bibi, djika usianja sebaja bolehlah memanggilnja entji.”

Tiba2 air mata Si Kiam berlinang2, katanja dengan suara ter-guguk2: “Siauya, apa engkau benar2 sudah lupa padaku dan bukan tjuma pura2 sadja ?”

Sianak muda menggeleng kepala, sahutnja: “Apa jang kau katakan semuanja aku tidak paham, entji Si Kiam, sebab apakah kau menangis, mengapa kau tidak senang ? Apakah aku berbuat salah padamu ? Dikala ibuku merasa tidak senang sering beliau memaki dan memukul aku, sekarang kaupun boleh memaki dan memukul padaku sadja.”

Perasaan Si Kiam semakin pilu, pelahan2 ia menggunakan handuk tadi untuk mengusap muka sianak muda, katanja dengan pelahan: “Aku adalah pelajanmu, mana boleh memaki dan memukul kau? Siauya, semoga Thian memberkahi dirimu supaja penjakitmu lekas sembuh. O, Tuhan, djika ingatanmu benar2 terganggu, lantas bagaimana baiknja ?”

Sedjenak kemudian Si Kiam bertanja pula: “Siauya, kau telah melupakan namaku, apakah urusan2 lain djuga sudah kau lupakan? Misalnja tentang kau adalah Pangtju dari Pang apa?”

Sianak muda menggeleng, sahutnja: “Tidak, aku bukan Pangtju apa2, paman tua telah mengadjarkan aku melatih ilmu, sekonjong2 sebelah badanku sangat panas seperti dipanggang dan sebelah badan jang lain dingin luar biasa. Aku………….aku tidak tahan dan achirnja tidak ingat diri lagi. Entji Si Kiam, mengapa aku bisa berada disini? Apakah kau jang membawa aku kesini ?”

Kembali hati Si Kiam merasa pilu, pikirnja: “Djika demikian, agaknja dia benar2 tidak ingat apa2 lagi.”

Dalam pada itu sianak muda telah berkata pula: “Dimanakah paman tua itu? Dia mengadjarkan aku melatih ilmu menurut garis2 merah jang terlukis diatas boneka2 itu, mengapa badanku bisa mendjadi panas dan dingin, aku ingin minta keterangan padanja.”

Mendengar kata2 “boneka”, Si Kiam mendjadi teringat beberapa hari jang lalu ketika menggantikan pakaian sianak muda, dari kantong badjunja telah djatuh keluar sebuah kota ketjil jang berisi 18 buah boneka ketjil berbentuk lelaki telandjang. Waktu itu muka Si Kiam mendjadi merah, ia tjukup kenal sifat tuan mudanja jang bangor dan suka main gila, boneka2 telandjang itu tentu bukanlah barang mainan jang genah. Maka lantas menutup baik2 kotak boneka itu dan disimpan didalam latji.

Ia pikir kalau boneka2 itu diperlihatkan kepada sianak muda, boleh djadi akan membantu mengingatkan daja pikirannja pada kedjadian jang lalu. Maka ia lantas membuka latji dan mengeluarkan kotak ketjil itu, katanja: “Apakah boneka2 jang didalam kotak ini?”

“Ja, benar, boneka2 ini berada disini, tapi dimanakah paman tua? Kemanakah dia?”

“Paman tua siapa?” tanja Si Kiam.

“Paman tua ja paman tua. Katanja……………………..katanja dia bernama Mo-thian kisu.”

Si Kiam sendiri sangat tjetek pengetahuannja dalam dunia persilatan, maka ia tidak tahu bahwa Mo-thian-kisu Tjia Yan-khek adalah seorang tokoh terkemuka. Katanja kemudian: “Siauya, betapapun engkau sudah sadar kembali, djika kedjadian2 dahulu sudah kau lupakan, biarkan sadja, pelahan2 tentu engkau akan ingat kembali. Sekarang subuh belum tiba, engkau boleh tidur lagi. Ai, sebenarnja………..sebenarnja akan lebih baik djuga djikalau engkau sudah melupakan kedjadian2 dimasa lampau.”

Sambil berkata ia terus menjelimuti sianak muda, lalu membawa nampan dan segera hendak tinggal pergi.

Mendadak sianak muda bertanja: “Entji Si Kiam, mengapa kau anggap ada lebih baik djika aku tidak ingat lagi kepada kedjadian2 dimasa jang lalu?”

“Sebab…….sebab perbuatanmu dimasa jang lampau…………….” baru sekian utjapan Si Kiam, mendadak ia berhenti, lalu menunduk dan bertindak pergi dengan tjepat.

Sianak muda mendjadi bingung. Ia merasa segala apa jang dialaminja sekarang ini sungguh susah untuk dipahami. Ia dengar diluar ada suara kentongan tiga kali, ia tidak tahu bahwa itu adalah tanda waktu jang ditabuh peronda, sebaliknja ia heran mengapa ditengah malam buta masih ada orang memain tetabuhan segala.

Pada saat itulah, se-konjong2 ia merasa “Siang-yang-hiat” di bagian djari telundjuk kanan mendjadi panas, suatu arus hawa panas mendadak mengalir melalui lengan terus kebahu. Diam2 sianak muda mengeluh: “Tjelaka!” ~ Dan pada saat jang sama, “Yong-tjoan-hiat” ditelapak kaki kiri djuga lantas terasa dingin tak terkatakan.

Siksaan panas-dingin demikian itu sudah dirasakannja beberapa kali, ia tahu setiap kali kumat berarti penderitaan hebat baginja. Djika sudah tak tertahankan lagi, achirnja ia mendjadi pingsan. Biasanja kalau penjakitnja kumat selalu dia dalam keadaan tak sadar, tapi sekali ini penjakit itu kumat dikala pikirannja sedang terang, tentu sadja lebih dirasakan dan lebih menguatirkan.

Dalam pada itu hawa panas dan dingin itu pelahan2 mulai menjerang dari kanan kiri dan lambat laun sudah memusat ke bagian djantungnja. “Sekali ini pasti tamatlah riwajatku!” demikian pikir sianak muda.

Berdjangkitnja penjakit panas-dingin itu biasanja ber-pindah2, kalau tidak berpusat kebagian perut, sering bertemu dibagian paha atau bahu, tapi sekali ini hawa panas-dingin itu merangsang kebagian djantung yang merupakan tempat berbahaja, keruan deritanja lebih2 hebat.

Ia tahu gelagat djelek, segara ia meronta bangun sekuatnja untuk duduk, pikirnja ingin duduk bersila, tapi kedua kakinja betapapun susah ditekuk. Dalam keadaan amat tersiksa itu, tiba2 timbul pikirannja: “Apakah dahulu diwaktu sipaman tua sendiri melatih ilmu ini beliau djuga menderita seperti diriku? Sebenarnja permainan menangkap burung dan membuat burung takbisa terbang dari telapak tangan djuga bukan sesuatu permainan jang terlalu menarik, tahu begini akibatnja tentu aku tidak mau melatihnja.”

Pada saat itulah, tiba2 terdengar suara seorang lelaki sedang bertanja dengan suara tertahan diluar djendela: ”Apakah Pangtju belum tidur? Hamba Pah-tjiat-tong Tian Hui ingin melaporkan sesuatu urusan rahasia jang maha penting.”

Dalam keadaan diserang hawa panas dingin didalam badan, sianak muda sedikitpun tidak sanggup bersuara lagi.

Selang sedjenak, pelahan2 daun djendela terbuka, ketika bajangan orang berkelebat, tahu2 seorang laki2 berbadju loreng sudah melompat masuk kamar.

Ketika mendekati tempat tidur dan mendadak melihat sianak muda duduk diatas randjang, orang itu terperandjat. Agaknja hal demikian sama sekali diluar dugaannja, maka tjepat ia menjurut mundur setindak.

Dalam pada itu hawa panas-dingin dibadan sianak muda sedang berketjamuk dengan hebatnja, djantungnja bekerdja dengan sangat lemah se-akan2 setiap saat bisa berhenti dan mati orangnja. Namun demikian pikirannja tetap sangat djernih walaupun sedang menderita siksaan hawa panas-dingin itu. Ia melihat laki2 berbadju loreng itu melompat masuk dan mendengar dia mengaku bernama “Pah-tjiat-tong” Tian Hui, karena tidak tahu apa maksud kedatangan orang, maka anak muda itu hanja memandangnja dengan mata terbelalak lebar.

Sesudah mundur setindak dan melihat anak muda itu tiada bergerak sama sekali, lalu Tian Hui berkata pula dengan suara pelahan: “Pangtju, kabarnja engaku sedang sakit keras, apakah sekarang sudah mendjadi baik?”

Badan sianak muda tampak berkedjang beberapa kali dan takdapat bersuara.

Tiang Hui mendjadi girang, katanja pula: “Pangtju, djadi kesehatanmu belum pulih, sekarang engkau masih belum dapat bergerak?”

Walaupun suara Tian Hui itu sangat pelahan, tapi toh sudah didengar djuga oleh Si Kiam jang berada dikamar sebelah, segera anak dara itu mendatangi dan ketika melihat Tian Hui bersikap beringas dan buas, ia terkedjut dan berseru: “He, untuk apa kau datang kekamar Pangtju ini? Tanpa dipanggil kau berani masuk sendiri, apakah kau tidak takut dihukum mampus?”

Tapi mendadak Tian Hui melompat madju kesisi Si Kiam, kontan sikutnja menjodok kepinggang anak dara itu, berbareng pundaknja ditutuk pula sekali. Walaupun Si Kiam djuga paham sedikit ilmu silat, tapi terlalu djauh kalau dibandingkan Tian Hui jang gesit dan tangkas itu. Seketika Si Kiam tertutuk roboh dan didudukkan diatas kursi. Lalu Tian Hui menjumbat pula mulut anak dara itu dengan sehelai handuk ketjil. Sudah tentu Si Kiam kelabakan dan tahu Tian Hui bermaksud djahat kepada sang Pangtju, tapi apa daja, dia sendiri tak bisa berkutik.

Meski Si Kiam sudah dibekuk, tapi Tian Hui tetap sangat djeri terhadap sang Pangtju, ia pura2 angkat tangannja dengan gaja hendak menghantam sambil berkata: “Dengan pukulan Tiat-sah-tjiang (pukulan tangan besi) ini rasanja tidak susah untuk membinasakan kau sibudak tjilik ini!”

Tak terduga meski tangannja sudah hampir mengenai kepala sasarannja, dilihatnja sang Pangtju masih tetap tidak bergerak. Tian Hui mendjadi girang dan tjepat tahan pukulannja itu. Lalu ia berpaling kepada sianak muda, katanja dengan menjeringai: “Maling tjabul ketjil, selama hidupmu sudah berlumuran dosa, kedjahatanmu sudah kelewat takaran, hari ini kau toh mampus djuga ditangaku.” ~ Ia melangkah lebih dekat, lalu sambungnja pula dengan suara pelahan: “Saat ini kau sama sekali takdapat melawan, djika aku membunuh kau, perbuatan demikian bukan tindakan seorang kesatria sedjati. Akan tetapi dendamku kepadamu lebih daripada lautan dan tidak perlu bitjara tentang peraturan Kangouw segala, djikalau engkau kenal kesopanan orang Kangouw tentu kau takkan menggoda isteriku!”

Walaupun sianak muda dan Si Kiam tidak dapat bergerak, tapi apa jang dikatakan Tian Hui itu dapat didengar mereka dengan djelas. Pikir sianak muda: “Mengapa dia dendam padaku? Apa maksudnja dia mengatakan aku menggoda isterinja?”

Sebaliknja Si Kiam membatin didalam hati: “Selama ini entah sudah betapa banjak Siauya berutang dalam perkara asusila, hari ini achirnja dia mendapatkan gandjarannja. Ai, tampaknja orang ini benar2 hendak membunuh Siauya.”

Karena kuatirnja,sekuat mungkin Si Kiam meronta, namun anggota badan terasa lemas linu, sedikit tjondong badannja, “bruk”, ia djatuh kelantai.

Dalam pada itu terdengar Tian Hui sedang memaki pula: “Hm, kau telah mentjemarkan kehormatan isteriku, kau anggap aku tutup mata dan tidak tahu. Andaikan tahu djuga tidak dapat berbuat apa2 terhadap kau dan terpaksa menahan perasaan seperti sibisu makan empedu, merasa pahit tapi takbisa bitjara. Siapa njana tiba saatnja djuga kau tergenggam didalam tanganku, rupanja kedjahatanmu sudah kelewat takaran dan sudah tiba adjalmu.”

Sambil berkata ia terus pasang kuda2, sekali tenaga dikerahkan, ruas tulang lengan kanannja sampai mengeluarkan suara berkertakan. Segera telapak tangannja menghantam kedepan, ulu hati sianak muda tepat kena digendjot olehnja.

Tian Hui ini adalah Hiangtju dari Pah-tjiat-tong, jaitu satu diantara lima hulubalang bagian luar dari Tiang-lok-pang. Ilmu silat andalannja jalah Tiat-sah-tjiang, ilmu pukulan pasir besi jang maha dahsjat.

Pukulan ini telah digunakan sepenuh tenaganja dan tepat mengenai “Tan-tiong-hiat” di ulu hati sianak muda. Maka terdengarlah suara “krak”, suara patahnja tulang.

Tapi bukan tulang dada sianak muda jang patah, sebaliknja tulang lengan Tian Hui sendiri jang telah patah, bahkan tubuhnja terus terpental keluar djendela dan terbanting diluar kamar, kontan orangnja tak sadarkan diri lagi.

Diluar kamar itu adalah sebuah taman bunga dan selalu ada orang ronda disitu. Malam ini adalah orang2 Pah-tjiat-tong jang berdinas meronda, sebab itulah Tian Hui dapat masuk kekamar tidur sang Pangtju dengan leluasa.

Rupanja suara gedebukan terbantingnja Tian Hui dan suara patahnja dahan2 tanaman jang tertindih oleh tubuhnja itu telah mengagetkan para peronda itu, maka ada dua orang diantaranja lantas mendekatinja. Waktu melihat Tian Hui menggeletak tak berkutik disitu, mereka sangka telah kedatangan musuh tangguh dan sedang menjatroni kamar sang Pangtju, dalam kaget mereka segera mereka membunjikan peluit sebagai tanda ada bahaja, berbareng mereka melolos sendjata dan melongok kedalam kamar sang Pangtju melalui djendela jang sudah terpentang itu. Namun didalam kamar gelap gulita, bahkan tiada sesuatu suara apapun. Tjepat mereka menerangi dengan obor sambil memutar sendjata untuk mendjaga diri.

Dari tjahaja obor jang remang2 dapatlah terlihat sang Pangtju sedang duduk bersila diatas randjang, didepan tempat tidur itu menggeletak seorang wanita seperti pelajan sang Pangtju, selain itu tiada orang ketiga lagi.

Pada saat itulah be-ramai2 orang2 Tiang-lok-pang jang mendengar suara alarm tadi djuga sudah memburu tiba.

Dengan memegang sendjata gada besi, Khu San-hong, itu Hiangtju dari Hou-beng-tong, lantas berseru: “Pangtju, engkau baik2 sadja bukan?” ~ Berbareng itu ia lantas masuk kedalam kamar sang Pangtju.

Mendadak dilihatnja badan sang Pangtju tiada hentinja bergemetar, se-konjong2 mulutnja terpentang dan memuntahkan darah hitam sampai beberapa mangkuk banjaknja.

Tjepat Khu San-hong menjingkir kepinggir sehingga tidak sampai tersembur oleh darah hitam jang berbau amis busuk itu. Tengah terkedjut dan ragu2, tiba2 terlihat sang Pangtju sudah melangkah turun dari tempat tidurnja dan per-tama2 pelajan jang menggeletak dilantai itu lantas dibangunkan, katanja: “Enci Si Kiam, apakah dia telah melukai engkau?” ~ Berbareng ia lantas mengeluarkan handuk jang menjumbat mulut anak dara itu.

Si Kiam menghirup napas segar dalam2, lalu mendjawab: “Siauya, apakah engkau terluka kena hantamannja tadi?”

“Tidak, malahan pukulannja itu membuat aku merasa sangat segar sekali,” sahut sianak muda.

Dalam pada itu diluar kamar terdengar ramai orang2 berdatangan, dengan langkah tjepat Pwe Hay-tjiok dan Bi Heng-ya tampak masuk kedalam kamar, jang berkedudukan rendah hanja menunggu diluar sadja.

Segera Pwe Hay-tjiok mendekati sianak muda dan bertanja: “Pangtju, apakah pembunuh gelap itu telah membikin kaget padamu ?”

“Pembunuh gelap apa? Tidak ada pembunuh,” sahut sianak muda.

Sementara itu Tian Hui sudah diberi pertolongan oleh djago Tiang-lok-pang dan telah sadar kembali serta dibawa masuk kedalam kamar.

Tian Hui tjukup paham tata tertib dalam Pang mereka, terutama hukuman kepada penghianat adalah paling keras, biasanja penghianat itu ditelandjangi pakaiannja, lalu diikat diatas batu “Heng-tay-tjiok” (batu panggung hukuman) diatas gunung dibelakang markas dan dibiarkan digigit semut dan serangga2 lain, diserang oleh elang2 lapar dan binatang buas, sesudah disiksa beberapa hari lamanja, achirnja akan binasa djuga. Sekarang dia sendiri telah berbuat sesuatu jang chianat, pukulannja jang dahsjat tadi tidak berhasil membinasan sang Pangtju, sebaliknja ia sendiri malah terpental oleh tenaga dalam sang Pangtju jang maha kuat, lengah kanan patah dan terluka dalam parah pula, memangnja dia berharap lekas mati sadja, tapi sekarang dia dibawa masuk pula kedalam kamar, diam2 ia sudah mengumpulkan kekuatan, asal sang Pangtju memerintahkan hukuman memantjangkan dia diatas “Heng-tay-tjiok” dan segera dia akan menumbukkan kepalanja kedinding untuk membunuh diri.

“Apakah ada pembunuh gelapmasuk melalui djendela?” tanja Pwe Hay-tjiok pula.

“Aku sendiri tertidur, rasanja toh tiada orang masuk kesini”, sahut sianak muda.

Tian Hui ter-heran2 mendengar keterangan itu: “Apakah tadi dia benar2 dalam keadaan tak sadar dan tidak mengetahui aku jang telah memukul dia? Tapi budak tjilik ini mengetahui aku jang telah melakukan hal itu, tentu dia akan memberi keterangan sebenarnja apa jang terdjadi tadi.”

Benar djuga, segera Pwe Hay-tjiok memidjat dan menutuk pinggang dan pundak Si Kiam untuk membuka Hiat-to jang tertutuk, lalu bertanja kepada anak dara itu: “Siapakah jang menutuk kau punja Hiat-to?”

“Dia !” sahut Si Kiam sambil menuding Tian Hui.

Pwe Hay-tjiok memandang kearah Tian Hui dengan penuh rasa tjuriga.

Sebaliknja Tian Hui hanja mendengus sadja. Segera ia bermaksud mentjatji maki biarpun nanti harus dihukum mati, tapi lantas terdengar sang Pangtju sedang berkata: “Aku…….akulah jang suruh dia berbuat demikian.”

Keruan Si Kiam dan Tian Hui melengak semua, hampir2 mereka tidak pertjaja kepada telinganja sendiri. Dengan tertjengang mereka memandangi sianak muda, mereka tidak paham apa maksud tudjuannja dengan keterangannja itu.

Walaupun anak muda itu sama sekali hidjau dalam segala hal, tapi lapat2 ia dapat merasakan keadaan jang genting. Ia lihat semua orang sangat menghormat padanja, djika diketahui Tian Hui jang telah menotok Hiat-to sipelajan serta memukul pula pada dirinja, djika hal ini diketahui oeh orang2 itu, tentu Tian Hui bisa tjelaka. Karena itulah ia sengadja berdusta untuk mengeloni Tian Hui. Adapun apa sebabnja dia membela Tian Hui, untuk ini ia sendiripun tidak paham sama sekali. Ia hanja merasa sebabnja Tian Hui memukul dirinja adalah lantaran didorong oleh sesuatu rasa dendam jang luar biasa jang mau tak mau harus dilakukan olehnja. Apalagi waktu Tian Hui memukulnja tadi, ia sendiri sedang dirangsang oleh hawa panas-dingin jang sangat menjiksa, pukulan Tian Hui itu tepat mengenai “Tan-tiong-hiat” dibagian ulu hatinja. Tan-tiong-hiat itu merupakan pusat penjaluran tenaga, karena pukulan Tian Hui itu, maka setjara kebetulan telah membaurkan bergeraknja hawa dingin dan panas dari “Han-ih-bian-tjiang” serta “Yam-yam-kang”, hal mana membuat tenaga dalam sianak muda seketika mendjadi bertambah hebat dan lantaran itulah Tian Hui sampai terpental keluar djendela.

Sesudah menerima pukulan Tian Hui itu, sama sekali sianak muda tidak merasa tersiksa lagi oleh membakarnja hawa panas dan membekunja hawa dingin, sebaliknja ia lantas merasa segar dan nikmat sekali, tanpa merasa ia ingin ber-teriak2 untuk melampiaskan rasa enek jang ditahannja sedjak tadi. Ketika Hiangtju dari Hou-beng-tong jaitu Khu San-hong, masuk tadi, tiba2 ia memuntahkan darah mati jang tersekam didalam tubuhnja, habis itu semangatnja lantas segar, bukan sadja tenaga dalamnja bertambah luar biasa, bahkan otaknja djuga tambah tadjam.

Melihat keadaan didalam kamar sang Pangtju itu, Pwe Hay-tjiok mempunjai pendapatnja sendiri. Ia lihat pakaian Si Kiam agak kusut, rambutnja tak teratur, sikapnja takut dan gugup. Maka pahamlah dia akan duduknja perkara. Ia tjukup kenal watak sang Pangtju jang bangor, suka main perempuan. Maka tentulah Si Kiam hendak diperlakukan setjara tidak senonoh walaupun penjakitnja baru sadja sembuh. Tapi perbuatan sang Pangtju itu rupanja telah dipergoki Tian Hui jang sedang meronda disekitar situ, maka Pangtju lantas panggil sekalian hulubalang itu dan suruh dia menutuk Hiat to sipelajan tjantik itu, tjuma entah sebab apakah Tian Hui telah membikin marah pula kepada sang Pangtju sehingga dia dihantam terpental keluar kamar.

Jilid 10

Setiap anggota Tiang-lok-pang tjukup kenal sifat sang Pangtju jang aneh dan pemarah, siapa sadja, sekalipun orang kepertjajaannja jang mempunjai kedudukan tinggi, asal dia sedang marah djuga sering didamperat, bahkan dipukul olehnja tanpa pandang bulu. Sekarang mereka melihat luka Tian Hui tjukup parah, muka dan tangannja djuga babak belur terluka oleh duri bunga mawar diluar kamar, tentu sadja mereka ikut prihatin, namun merekapun tidak berani menghibur Tian Hui dihadapan sang Pangtju.

Dan karena pikiran demikian itulah, maka tokoh2 Tiang-lok-pang itu tiada jang berani menjinggung tentang pembunuh gelap lagi. Hiangtju dari Hou-beng-tong, Khu San-hong, masih merasa kuatir karena dirinja telah mengganggu kesenangannja sang Pangtju, bukan mustahil sang Pangtju akan marah dan memukulnja. Ia pikir paling selamat lekas2 tinggal pergi sadja. Maka ia lantas berkata dengan hormat: “Silakan Pangtju mengaso sadja, hamba mohon diri dulu.”

Segera orang2 lain djuga ikut2 memohon diri. Hanja Pwe Hay-tjiok jang memperhatikan kesehatan sang Pangtju, ia lihat air muka Pangtju agak aneh, segera ia pegang tangan sang Pangtju dan berkata: “Biar kuperiksa pula nadi Pangtju.”

Sianak muda djuga tidak menolak, ia mengangsurkan tangannja untuk diperiksa. Ketika ketiga djari Pwe-tayhu baru sadja menjentuh urat nadi anak muda itu, se-konjong2 tangannja tergetar dan setengah badannja kaku kesemutan.

Kerjan Pwe Hay-tjiok terkedjut. Tapi segera ia mendjadi girang. Katanja: “Hah, selamat, Pangtju! Selamat, Pangtju! Achirnja ilmu sakti jang maha hebat itu telah berhasil dijakinkan djuga olehmu!”

Sebaliknja sianak muda mendjadi bingung, sahutnja: “Ilmu…….ilmu sakti apa?”

Pwe Hay-tjiok menjangka sang Pangtju tidak ingin orang lain ikut mengetahui ilmu sakti jang dilatihnja itu, maka ia tidak berani menegas lagi, tjepat berkata: “Ja, ja, hamba sembarangan mengotjeh, harap Pangtju djangan marah.” ~ Ia memberi hormat, lalu mengundurkan diri.

Dalam waktu singkat sadja semua orang sudah pergi, hanja tinggal Tian Hui dan Si Kiam sadja. Tian Hui terluka dalam, tapi kawan2-nja tidak tahu tjara bagaimana sang Pangtju akan memutuskan perkaranja, maka mereka tidak berani bertanja dan terpaksa membiarkan dia tetap tinggal didalam kamar dan tidak seorangpun jang berani membawanja pergi untuk diberi obat.

Karena tulang lengan patah, saking kesakitan dahi Tian Hui sampai penuh keringat. Ia lihat kawan2nja sudah pergi semua, segera ia berkata dengan penuh dendam: “Kau ingin menjiksa diriku, boleh lekas kau lakukan, kalau orang she Tian minta ampun padamu bukanlah seorang laki2 sedjati.”

“Buat apa aku menjiksa kau?” sahut sianak muda. “Wah, tulang lenganmu patah, harus lekas disambung dengan baik. Dahulu si Kuning piaraanku telah tergelintjir kebawah gunung dan patah tulang kakinja, achirnja akulah jang telah menjambung tulangnja dan telah sembuh.”

Kiranja pembawaan anak muda itu sebenarnja sangat pintar. Dia hidup terpentjil diatas gunung jang sepi bersama ibundanja, segala pekerdjaan harus dilakukannja sendiri. Karena itu, meski usianja masih muda, namun segala pekerdjaan dapat dilakukannja dengan baik seperti menanam sajur, menanak nasi, membuat tali, mentjari kaju dan lain2. Ketika andjing piaraanja, jaitu si Kuning, patah tulang kakinja, dia telah menggapit kaki binatang itu dengan sepotong kaju, lalu diikat kentjang, belasan hari kemudian ternjata lantas sembuh. Maka sekarang iapun hendak menjambungkan tulang lengan Tian Hui jang patah itu, sambil bitjara ia lantas men-tjari2 sepotong kaju jang diperlukan.

“Apa jang kau tjari, Siauya?” tanja Si Kiam ketika melihat anak muda itu memandang kian kemari mentjari sesuatu.

“Aku ingin mentjari sepotong kaju,” sahut sianak muda.

Mendadak Si Kiam terus berlutut didepan sianak muda dan berkata: “Siauya, kumohon sudilah engkau mengampuni dia ini. Engkau telah……….telah mentjemarkan isterinja, maka tidaklah heran kalau dia mendjadi dendam padamu, tapi dia toh tidak sampai melukai engkau. Siauya, djika engkau betul2 hendak membunuh dia, maka boleh djuga dibunuh sadja sekaligus, tapi djanganlah menjiksa dia.”

“Mentjemarkan isterinja apa? Mengapa aku membunuh dia? Kau bilang aku hendak membunuh dia? Apakah manusia boleh dibunuh?” sahut sianak muda dengan tidak mengarti.

Ketika dilihatnja tiada sesuatu jang dapat ditemukan, achirnja anak muda itu mengangkat sebuah kursi, segera ia menjempal sebuah kaki kursi itu. Sekarang tenaga dalamnja sudah terbaur merata, ilmu saktinja baru sadja djadi, sudah tentu kekuatannja luar biasa hebatnja, maka “krak” sekali, dengan mudah kaki kursi itu sudah disempal olehnja.

Tapi anak muda itu masih tidak tahu tenaganja sendiri jang maha hebat itu, dia menggerundel sendiri: “Kursi ini kenapa begini lapuk, kalau diduduki kan orang bisa djatuh terdjungkal? Eh, entji Si Kiam, kenapa kau berlutut disitu? Lekas bangun!”

Lalu ia mendekati Tian Hui dan berkata padanja: “Kau djangan bergerak!”

Tian Hui sendiri meski keras dimulut, tapi didalam hati sebenarnja djuga takut. Ia tidak tahu tjara bagaimana sang Pangtju akan menjiksa padanja, maka dengan gemetar ia memandangi kaki kursi jang dipegang sianak muda. Pikirnja: “Kaki kursi ini tentu tidak akan digunakan untuk memukul diriku, wah, tjelaka, djangan2 kaki kursi ini akan dimasukkan kedalam mulutku sehingga menembus ketenggorokan agar aku mati tidak dan hidup pun tidak.”

Kiranja tjara memberi hukuman dan siksaan didalam Tiang-lok-pang sangat banjak matjamnja. Diantaranja ada satu matjam hukuman, jaitu dengan memasukkan mulut pesakitan dengan sepotong kaju sehingga menembus sampai tenggorokan terus ke kantong nasi, pesakitan itu takkan mati karena siksaan demikian, tapi sudah tentu sangat menderita.

Teringat akan djenis hukuman jang kedjam itu, keruan Tian Hui mendjadi ketakutan. Ketika melihat sang Pangtju sudah berada didepannja, segera ia angkat tangan kiri dan menghantam.

Sebaliknja, sianak muda tidak tahu kalau Tian Hui hendak menjerangnja, ia berkata: “Eh, djangan bergerak, djangan bergerak!” ~ Berbareng ia terus pegang tangan Tian Hui itu.

Seketika Tian Hui merasa badannja lemas linu dan takbisa berkutik lagi.

Sianak muda lantas melekatkan potongan kaki kursi tadi disamping lengan Tian Hui jang patah itu, katanja kepada Si Kiam: “Entji Si Kiam, adakah tali atau kain, tjoba balutlah dia ini.”

Si Kiam ter-heran2, “Kau benar2 hendak menjambungkan tulangnja?” tanjanja.

“Sudah tentu, masakah sambung tulang pakai pura2 segala ?” sahut sianak muda dengan tertawa. “Tjoba lihat, sedemikian dia kesakitan, masakah aku bergurau padanja ?”

Dengan tetap kurang pertjaja Si Kiam mentjarikan djuga sepotong kain pembalut, dengan sorot mata jang masih ragu2 Si Kiam membalutkan lengan Tian Hui jang patah tulang itu.

“Bagus, bagus, rapi sekali tjaramu membalut, djauh lebih baik daripada waktu aku membalut kaki si Kuning dahulu,” udjar sianak muda dengan tersenjum.

Dikala Si Kiam membalut lengannja, diam2 Tian Hui berkebat kebit, ia tidak tahu Pangtju jang djahat dan tjabul itu entah akan menggunakan tjara apa untuk menjiksanja lebih landjut. Ketika mendengar sang Pangtju berulang kali menjebut si Kuning, segera ia menanjakan: “Siapakah si Kuning itu ?”

“Si Kuning adalah andjing piaraanku,” sahut sianak muda. “Tjuma sajang sekarang telah menghilang.”

Tian Hui mendjadi gusar, teriaknja dengan murka: “Seorang lelaki sedjati boleh dibunuh daripada dihina, djika kau hendak membunuh boleh lekas lakukan, tapi djanganlah orang she Tian ini dipersamakan dengan chewan ?”

“O, tidak, tidak !” sahut sianak muda tjepat. “Aku hanja menjebutnja dengan tidak sengadja, hendaklah Toako djangan marah, maafkan utjapanku jang salah itu.” ~ Sambil berkata sambil memberi kiongtjiu (hormat dengan merangkap kepalan didepan dada).

Tian Hui tahu Lwekang sang Pangtju teramat lihay, disangkanja dia pura2 minta maaf, tapi sebenarnja hendak menjerangnja pula dengan tenaga dalam jang kuat. Sebab sang Pangtju biasanja terkenal sangat angkuh dan sombong, mana dia mau minta maaf kepada seorang bawahannja? Maka dengan sendirinja ia mengegos kesamping untuk menghindari hormat sang Pangtju sambil melototkan matanja.

“Toako………o, ja, Toako khan she Tian? Tian toako, silakan kembali ketempatmu sendiri sadja,” demikian kata sianak muda pula. “Aku Kau-tjap-tjeng memang tidak pandai bitjara sehingga telah membikan marah Tian toako, harap suka maafkan.”

Keruan Tian Hui terkedjut, ia tidak habis mengarti. “Apa2an ini? Mengapa dia menjebut dirinja sebagai ‘Kau tjap tjeng’ segala ? Apakah ini adalah istilah baru jang dia gunakan untuk memaki padaku ?”

Disebelah sana Si Kiam djuga sedang merenung: “Pikiran Siauya hanja djernih kembali sebentar sadja dan sekarang dia mulai mengotjeh tak keruan lagi.” ~ Ia lihat sianak muda sedang tertegun dan mengerut dahi, entah apa jang sedang dipikirkan, maka ia lantas mengedipi Tian Hui agar lekas tinggal pergi sadja.

Tapi Tian Hui lantas berteriak malah: “Botjah she Tjiok, kau tidak perlu djual lagak padaku. Pendek kata, djika kau hendak membunuh diriku, memangnja aku sudah pasrah nasib. Nah, mengapa kau tidak lekas turun tangan sadja ?”

“Kau ini sungguh aneh,” udjar sianak muda dengan heran. “Buat apa aku membunuh kau? Sungguh menggelikan. Diwaktu mendongeng ibuku selalu berkata: hanja orang djahat sadja jang suka membunuh orang, kalau orang baik tentu tidak suka membunuh. Sudah tentu aku tidak ingin mendjadi orang djahat.”

Melihat keadaan jang ber-tele2 itu, Si Kiam lantas menimbrung: “Tian-hiangtju, Pangtju sudah mengampuni kau, kenapa kau tidak lekas pergi sadja?”

Tian Hui garuk2 kepala sendiri jang tidak gatal itu, pikirnja: “Apakah barangkali bangsat tjilik ini sudah pikun, atau aku sendiri jang sedang mimpi ?”

“Lekas pergi, lekas pergi !” demikian Si Kiam mendesak pula, berbareng ia terus mendorong Tian Hui keluar kamar.

“Hahahaha! Orang ini sungguh lutju,” kata sianak muda dengan tertawa. “Ber-ulang2 dia mengatakan aku hendak membunuhnja, se-akan2 aku ini adalah seorang djahat dan paling suka membunuh orang.”

Selama Si Kiam melajani sang Pangtju baru pertama kali ini melihatnja bermurah hati dan mengampuni seorang bawahan jang bersikap kasar padanja. Diam2 ia merasa bersjukur akan perubahan sifat sang Pangtju itu. Dengan tersenjum ia berkata: “Ja, sudah tentu engkau adalah seorang baik, seorang jang maha baik. Orang baik, makanja merebut isteri orang dan merusak rumah tangga orang.”

“Apa ? Kau bilang aku me……….merebut isteri orang ?” sianak muda menegas dengan heran. “Tjara bagaimana merebut isteri orang? Dan untuk apa sesudah merebutnja ?”

Muka Si Kiam mendjadi merah, omelnja: “Orang baik masakah djuga bitjara serendah ini? Hanja sebentar sadja pura2 baik, dalam sekedjap sudah berubah lagi.”

“Kau………..kau omong apa?” tiba2 mulut sianak muda ternganga. Saat itu dirasakan sekudjur badannja penuh terisi tenaga dan se-akan2 susah tersalurkan, sorot matanja mendjadi ber-kilat2 pula.

Diam2 Si Kiam mendjadi takut, ia berlari keambang pintu untuk siap2 melarikan diri kalau2 sang Pangtju mendadak mendjadi buas dan hendak menerkamnja. Maklum, sudah beberapa kali ia lolos dari napsu binatang sang Pangtju, semuanja itu berkat ketjerdikannja serta ketekadannja jang tidak mau menjerah, makanya kesutjian badannja dapat dipertahankan sampai sekarang.

“Siauya, kesehatanmu belum pulih dengan baik, hendaklah mengaso sadja,” kata Si Kiam sedjenak kemudian.

Tapi sianak muda telah geleng2 kepala dan berkata: “Sesudah turun dari gunung aku lantas mengalami matjam2 urusan jang sedikitpun aku tidak paham. Ai, aku benar2 tidak paham.”

Dalam keadaan linglung kedua tangannja telah memegang sandaran kursi, sedikit menggunakan tenaga, mendadak kursi jang terbuat dari kaju tjendana itu lantas sempal dua potong. Ketika ia meremas, tahu2 sempalan kaju itu lantas hantjur mendjadi bubuk.

Sianak muda sendiri sampai kaget: “Ken……..kenapa kursi ini sedemikian lapuknja, hanja dipegang sadja sudah hantjur, kalau diduduki orang kan bisa tjelaka.”

Si Kiam sampai terkesima menjaksikan ilmu sakti jang telah dimiliki sang Pangtju itu. Ia terkedjut dan bergirang pula. Tapi demi teringat tingkah laku sang Pangtju, dengan ilmu silatnja jang sedemikian tingginja, kalau melakukan kedjahatan2 menurutkan napsu angkara murkanja, maka tjelakalah orang2 jang berada disekitarnja, bahkan bukan mustahil akan merupakan malapetaka pula bagi dunia Kangouw.

Kiranja diwaktu ketjilnja anak muda itu, setjara kebetulan ia telah mendapat adjaran sematjam Tok-tjiang (ilmu pukulan berbisa) jang sangat lihay. Mestinja kalau dia melatihnja sampai usianja mentjapai 20-an, apabila tiada diberi obat2 mudjarab sebangsa Djinsom (kolesom) atau Ho-siu-oh jang berumur ribuan tahun untuk memunahkan ratjun dingin dari ilmu pukulan jang dilatihnja, maka dia pasti akan binasa keratjunan sendiri. Dahulu orang jang mengadjarkan djuga tiada punja maksud baik, sama sekali tak terduga bahwa setjara kebetulan Mo-thian-kisu Tjia Yan-khek djuga telah mengadjarkan sematjam “Yam-yam-kang” padanja.

Menurut perhitungan Mo-thian-kisu Tjia Yan-khek, djikalau anak muda itu adalah murid orang pandai, tentu gurunja djuga telah mengadjarkan tjara2 menghapuskan hawa dingin berbisa jang dilatihnja itu. Sama sekali tak terduga bahwa orang jang mengadjarkan ilmu pukulan berbisa dingin itupun berpendirian serupa dengan Tjia Yan-khek, jaitu menghendaki anak muda itu mati konjol sendiri akibat ilmu jang dilatihnja.

Soalnja ilmu pukulan berbisa jang setjara tidak sadar telah dijakinkan anak muda pada sebelum bertemu dengan Tjia Yan-khek itu memang sangat mirip dengan ilmu pukulan “Han-ih-bian-tjiang” jang mendjadi kebanggan Ting Put-si, padahal sama sekali bukanlah “Han-ih-bian-tjiang”, hanja keduanja sama2 ilmu pukulan berbisa dingin jang sedjenis.

Kemudian sesudah anak muda itu melatih Yam-yam-kang pula, pada hari itu betul djuga dia telah dirangsang oleh hawa panas dan dingin jang hebat, dan sungguh sangat kebetulan pula Pwe Hay-tjiok sedang berada disitu jang segera membantunja dengan menjalurkan Lweekang murni untuk menguatkan daja tahannja sehingga anak muda itu tidak sampai mati seketika. Dan sampai malam ini setjara kebetulan Tian Hui telah menghantam pula dia punja “Tan-tiong-hiat” sehingga darah mati jang tersekam didalam badannja didesak keluar, lalu tertjampur baurlah antara hawa panas dan dingin, antara Im dan Yang (negatip dan positip), dengan demikian badannja tidak terganggu apa2, sebaliknja malah membikin sempurna sematjam tenaga dalam aneh jang dilatihnja itu.

Sudah tentu hal2 demikian itu sama sekali tidak disadari oleh sianak muda. Memangnja dia tidak paham apa2, sekarang ia lebih bingung dan menjangka dirinja sedang bermimpi.

Begitulah, maka Si Kiam telah berkata pula padanja dengan suara pelahan: “Djika kau sudah mengampuni djiwanja, kau telah menjambung pula tulang lenggannja, tapi mengapa kau memakinja pula sebagai binatang? Dengan demikian dendamnja padamu mendjadi tambah mendalam lagi”. ~ Dan ketika melihat sorot mata sang Pangtju jang aneh kembali timbul lagi, tanpa menunggu djawaban, lekas2 ia mengundurkan diri.

Sianak muda hanja menggeleng kepala sadja sambil berkata sendiri: “Aneh, sungguh aneh!” ~ Ia lihat boneka2 didalam kotak itu masih tertaruh diatas medja dengan baik, maka ia menggumam pula: “Boneka itu masih berada disini, djika demikian aku toh bukan didalam mimpi?”

Segera ia membuka kotak kaju dan mengeluarkan boneka2 ketjil itu. Sementara itu ilmu saktinja baru selesai dijakinkannja, ia tidak tahu tenaga sendiri sekarang sangat besar, dengan sendirinja iapun tidak tahu tjara bagaimana harus menggunakan tenaga itu dengan tepat. Tapi seperti biasanja ia terus pegang begitu sadja sebuah boneka itu, mendadak lapisan luar jang membentuk boneka tanah itu mengelotok dan djatuh semua.

Sianak muda berseru kaget, ia merasa sajang sekali atas rusaknja boneka itu. Tapi ia mendjadi melotot heran ketika dilihatnja boneka jang sudah rontok bagian lapisan luar itu ternjata dibagian dalam ada selapis kaju bertjat pula. Segera sianak muda membersihkan sekalian tanah lapisan luar itu, maka tertampaklah samar2 bentuk boneka jang menjerupai manusia. Sesudah dikeletek lebih bersih lagi, achirnja mendjadi lebih djelas lagi bentuk boneka itu, jaitu berwudjud badan manusia jang telandjang. Diatas boneka kaju jang diberi bertjat minjak ini djuga penuh terlukis garis2 hitam, tapi tiada titik2 tanda tempat Hiat-to. Bentuk dan wadjah boneka kaju inipun berbeda daripada boneka tanah liat semula.

Boneka kaju ini dibuat setjara radjin dan indah sekali, mimik mukanja sangat hidup dalam keadaan sedang tertawa ter-bahak2, kedua tangannja memegang perut menjerupai orang sewaktu tertawa ter-pingkal2, sikapnja sangat djenaka.

Meski sianak muda sudah berusia 20 tahun, tapi sifat kebotjahannja belum lagi lenjap. Ia mendjadi senang melihat boneka jang lutju itu. Apalagi tanda2 urat nadi dan Hiat to dibadan boneka2 tanah itu sekarang sudah teringat dengan baik diluar kepala, maka ia lantas mebeledjeti sekalian boneka2 tanah jang lain. Benar djuga didalam setiap boneka tanah itu terbungkus pula sebuah boneka kaju. Sikap dan mimik muka daripada setiap boneka kaju itu ber-beda2, ada jang sedang kegirangan, ada jang sedih, ada jang sedang menangis dan ada pula jang sedang gusar dan matjam2 sikap jang lain. Garis2 urat nadi jang terlukis diatas badan boneka2 kaju ini hampir seluruhnja sama dengan boneka tanah sebelumnja, hanja garis jang menundjukkan djalan tjaranja mengerahkan tenaga adalah sama sekali berbeda.

Pikir sianak muda: “Boneka2 kaju ini sangat menarik, biarlah aku tjoba melatihnja menurut sikap boneka2 ini. Muka boneka jang sedang menangis ini takkan kutiru? Jang sedang tertawa seperti orang sinting djuga tidak sedap dipandang dan takkan kulatih. Jang akan kutirukan hanja sikap dan mimik wadjah boneka2 jang sedang ber-seri2 dan tampak ramah sadja.”

Segera ia duduk bersila, ia taruh boneka jang bermuka senjum simpul didepannja, lalu mengerahkan tenaga dengan pelahan dari pusatnja, maka terasalah suatu arus hawa hangat pelahan2 naik keatas. Ia djalankan tenaga dalam itu menurutkan garis2 jang terlukis dibadan boneka itu ke tempat2 Hiat-to diseluruh badan.

Kiranja apa jang terlukis diatas badan boneka2 kaju itu adalah sematjam ilmu sakti tjiptaan seorang paderi saleh angkatan tua dari Siau-lim-pay, ilmu sakti itu bernama “Lo-han-hok-mo-sin-kang” (ilmu sakti Budha menaklukkan iblis). Ilmu sakti ini mentjakup Lweekang dan Gwakang (kekuatan dalam dan luar atau rohani dan djasmani) jang pernah dihimpun oleh kaum Budha. Setiap boneka kaju itu adalah sebuah patung Budha.

Untuk bisa melatih ilmu sakti itu dengan baik, orang itu harus mempunjai ketjerdasan jang luar biasa, tapi harus berdjiwa bersih dan berpikiran polos. Sudah tentu orang demikian sangat sulit diketemukan didunia ini. Djarang sekali terdjadi bahwa seorang jang pintar bisa membatasi pikirannja pada soal2 jang sederhana, sebaliknja tentu akan banjak memeras pikiran untuk matjam2 urusan.

Namun pembawaan anak muda itu djusteru sangat pintar dan tjerdas, kebetulan sedjak ketjil dia hidup dipegunungan jang sunji dan terasing dari dunia luar sehingga hidjau dalam segala urusan insaniah, hal ini kebetulan tjotjok sebagai dasar dari permulaan mejakinkan ilmu sakti Lo-han-hok-mo-sin-kang itu.

Rupanja paderi sakti Siau-lim-pay jang mentjiptakan ilmu ini menjadari sukarnja mentjari manusia jang tjotjok untuk mejakinkan ilmu tjiptaannja itu, maka dia telah sengadja melapisi boneka2 kaju itu dengan tanah liat dan diberi bertjat minjak serta dilukis pula adjaran pengantar Lwekang Siau-lim-pay jang asli, maksudnja supaja orang jang menemukan boneka2 itu tidak tertarik untuk melatih Lo-han-hok-mo-sin-kang jang sukar itu dan bukan mustahil akibatnja akan membikin djiwa orang jang melatihnja itu melajang.

Tay-pi Lodjin, penguasa Pek-keng-to (pulau paus putih), jang menemukan boneka2 itu hanja mengetahui bahwa benda2 itu adalah benda mestika dunia persilatan, tapi dimanakah letak rahasia daripada benda mestika jang berharga itu ia sendiripun tidak tahu meski dia sudah menjelidikinja selama ber-tahun2. Maklum, karena boneka2 tanah itu dipandang sebagai benda mestika, dengan sendirinja benda2 itu didjaganja dengan baik, sedikitpun tidak boleh rusak, padahal selama boneka tanah itu tidak rusak, selama itu pula boneka kaju didalamnja takkan diketahui. Makanja sampai adjalnja Tay-pi Lodjin tetap tidak tahu dimana letak rahasia gaib daripada boneka2 itu. Sebenarnja djuga tidak melulu Tay-pi Lodjin sadja jang ketjele, sedjak rangkaian boneka2 tanah itu terlepas dari tangan paderi sakti Siau-lim-pay, selama itu sudah berganti tangan 12 orang dan semuanja masuk liang kubur bersama dengan rahasia jang tidak pernah diketahui mereka.

Demikianlah, karena tenaga dalam sianak muda sekarang sudah sangat hebat, ketika dia mengerahkan tenaga dalam menurutkan garis2 petundjuk diatas badan boneka2 kaju itu, maka setiap rintangan diurat nadinja mendjadi tertembus sekaligus. Sesudah diulanginja sampai tiga kali, achirnja ia merasa badannja sangat segar dan sehat. Maka ia lantas ganti sebuah boneka kaju jang lain dan melatihnja lagi.

Karena dia baru mulai melatih Lwekang demikian sehingga seluruh perhatian dan pikirannja ditjurahkan kesitu, habis sebuah boneka berganti pula sebuah lagi dan begitu seterusnja. Tanpa merasa ia telah melatih diri dari subuh sampai lohor terus sampai malam dan kembali keesok paginja.

Dengan penuh rasa kuatir Si Kiam terus mendjaga didepan pembaringan sang Pangtju. Pwe Hay-tjiok djuga mendjenguk beberapa kali keadaan anak muda itu. Ketika dilihatnja ubun2 kepala sang Pangtju mengepulkan uap tipis, ia tahu Lwekang jang dilatihnja itu sedang mentjapai detik2 jang penting. Segera ia memberi perintah bawahannja untuk memperkuat pendjagaan diluar kamar sang Pangtju, siapapun dilarang mengganggunja.

Waktu sianak muda selesai melatih Hok-mo-sin-kang menurutkan apa jang terlukis diatas ke 18 boneka kaju, sementara itu sudah tiba subuh hari ketiga. Anak muda itu menarik napas dalam2, lalu ia simpan kembali ke-18 boneka buah boneka itu kedalam kotak. Ia merasa semangatnja segar dan kuat, tenaga dalamnja berdjalan menurut sesuka hatinja. Sekilas tertampak Si Kiam tertidur dengan njenjaknja ditepi randjang.

Anak muda itu lantas turun dari tempat tidurnja. Tatkala mana sudah lewat hari Tiongtjhiu, hawa pada achir bulan delapan itu belum terlalu dingin, tapi lebih njaman rasanja. Ia lihat badju Si Kiam sangat tipis, segera ia ambil sehelai selimut tipis dan pelahan2 ia mengemuli pelajan itu. Mungkin saking lelahnja karena dua malam tidak tidur, maka Si Kiam benar2 sudah terpulas dan lupa daratan.

Lalu ia mendekati djendela untuk menghirup hawa segar dan berbau harum bunga jang mekar ditaman itu. Tiba2 terdengar Si Kiam sedang berkata: “Siau…….Siauya, djangan…………djanganlah membunuhnja!”

Tjepat sianak muda menoleh dan mendjawab: “Kenapa kau selalu memanggil aku Siauya dan mengatakan aku suka membunuh orang?” ~ Tapi lantas tertampak olehnja pelajan itu masih tertidur, rupanja dia telah mengigau.

Namun demikian, ketika mendengar suara sianak muda, seketika djuga Si Kiam terdjaga bangun, ia tepuk2 dada sendiri sambil berkata: “Wah, sangat menakutkan!” ~ Tapi ketika melihat diatas tempat tidur tiada orang lagi, tjepat ia menoleh, maka tertampaklah sianak muda berdiri didekat djendela, ia terkedjut dan bergirang, katanja dengan tertawa: “O, Siauya, kau sudah dapat bangun! Tjoba lihat, aku sampai tertidur dan tidak mengetahui.”

Waktu ia berdiri, segera selimut jang menutup pundaknja itu lantas djatuh kelantai. Ia terperandjat, ia menjangka diwaktu terpulas dirinja telah diperlakukan setjara tidak senonoh oleh tuan mudanja jang terkenal bangor itu. Tapi ketika melihat badjunja sendiri masih terpakai dengan radjin dan baik, seketika ia mendjadi ragu2 dan bersjukur pula, katanja dengan suara ter-putus2: “Kau………..kau tidak…………aku………ku………..”

“Tadi kau telah mengigau dan minta aku djangan membunuh orang, apakah didalam mimpi kau melihat aku hendak membunuh orang?” kata sianak muda dengan tertawa.

Mendengar utjapan sianak muda tiada bersifat kotor, pula keadaan dirinja djuga tiada sesuatu jang mentjurigakan, maka hati Si Kiam mendjadi lega. Segera ia mendjawab: “Ja, dalam mimpi aku melihat engkau membawa sepasang golok, di-mana2 majat bergelimpangan, semuanja………semuanja………”. ~ Sampai disini mukanja mendjadi merah dan tidak melandjutkan lagi.

Rupanja siang harinja dia banjak melihat boneka2 telandjang jang dimiliki sianak muda, maka didialam mimpi jang dilihatnja djuga majat2 kaum lelaki jang telandjang. Dengan sendirinja ia merasa malu untuk mengatakan terus terang.

Sudah tentu sianak muda tidak tahu duduknja perkara, ia menegas: “Semuanja kenapa?”

Muka Si Kiam kembali bersemu merah, sahutnja: “Semuanja…………..semuanja bukan orang djatah.”

“Entji Si Kiam,” demikian sianak muda bertanja: ”Banjak sekali kedjadian2 jang aku tidak paham, apakah kau suka mendjelaskan kepadaku ?”

“Ai, mengapa sesudah sakit, sekarang watakmu sudah berubah sedjauh ini,” sahut Si Kiam dengan tertawa. “Bitjara dengan kaum hamba sebagai kami ini masakah pakai memanggil entji apa segala ?”

“Djusteru itulah jang membingungkan aku,” udjar sianak muda. “Mengapa kau memanggil Siauya padaku dan mengapa pula kau mengaku sebagai hambaku. Para paman itupun menjebut aku sebagai Pangtju. Dan Tian-toako itu mengatakan aku telah merebut isterinja. Sebenarnja bagaimanakah duduknja perkara?”

Si Kiam memandang ter-mangu2 sedjenak, melihat anak muda itu ber-sungguh2, lalu katanja: “Sudah dua hari dua malam engkau tiada makan apa2, diluar sana ada bubur tim, biarlah kuambilkan untukmu.”

Mendengar tentang makanan, seketika sianak muda merasa perutnja sangat lapar, serunja: “Biarlah aku ambil sendiri sadja, dimanakah bubur tim itu?” ~ Lalu ia menggunakan hidungnja untuk mengendus dan berkata pula dengan tertawa: “Ja, tahulah aku.”

Segera ia menudju keluar. Diluar kamar tidurnja itu ternjata adalah sebuah kamar besar pula. Dipodjok kiri kamar sana ada sebuah anglo ketjil dengan sebuah pantji diatasnja, terdengar suara krupukan masaknja bubur itu.

Sianak muda berpaling sekedjap kepada Si Kiam. Seketika muka pelajan itu mendjadi merah, ia tahu apa jang terdjadi. Segera ia berseru: “Ai, bubur tim telah kedaluan sehingga hantjur mendjadi bubur sumsum.”

“Bubur sumsum djuga enak,” kata sianak muda dengan tertawa. Waktu dia membuka tutup pantji, seketika terendus bau sangit, bubur itu memang benar sudah hantjur mendjadi bubur sumsum, bahkan sebagian besar sudah hangus.

“Siauya, harap kau tunggu sebentar, biar kumasak lagi. Sungguh gebleg hamba ini, ketelandjur tidur sampai lupa daratan”, kata Si Kiam.

Anak muda itu sudah lama tinggal di pegunungan, soal nasi atau bubur hangus sudah seringkali dimakannja, maka bubur sumsum jang sudah hangus itupun tidak mengherankan dia, ia ambil sendok dan menjendok bubur itu terus dimakan.

Bubur tim itu mestinja bertjampur Djinsom jang rasanja memang agak pahit, sekarang hangus dan tiada diberi gula, sudah tentu lebih2 pahit. Namun anak muda itu hanja sedikit mengerut dahi dan bubur itu terus ditelannja, ia melelet lidah dan berkata: “Wah, pahit!”.

Tapi segera ia menjendok lagi dan dimakan, lalu berkata pula: “Wah, pahit!”

Tjepat Si Kiam hendak merebut sendoknja sambil berkata: “Barang sudah hangus djangan dimakan lagi.”

Ketika tangannja menjentuh tangan sianak muda, karena anak muda itu tidak mau melepaskan sendoknja, dengan sendirinja lantas menimbulkan tenaga tolakan sehingga tangan Si Kiam tergetar, pelajan itu terkedjut dan tjepat menarik kembali tangannja.

Apa jang terdjadi itu sama sekali tak dirasakan oleh sianak muda, dia masih terus makan bubur sumsum jang hangus itu.

Melihat anak muda itu makan dengan lahap sekali tanpa peduli barang hangus dan pahit, Si Kiam mendjadi geli, katanja kemudian: “Ja, maklum djuga, memangnja engkau sudah terlalu lapar.”

Hanja sebentar sadja setengah pantji bubur itu sudah dimakan habis bersih. Walaupun bubur itu sudah hangus, tapi bubur itu ditjampur dengan Djinsom jang berkwalitas tinggi dan merupakan obat kuat, maka sehabis makan, tidak lama kemudian semangat sianak muda mendjadi lebih tangkas.

Melihat air muka anak muda itu merah bertjahaja, dengan tertawa Si Kiam bertanja: “Siauya, jang kau latih sebenarnja ilmu apa? Tanganku sampai tergetar ketika tersentuh tanganmu. Tjahaja mukamu djuga sedemikian segarnja.”

“Akupun tidak tahu ilmu apa jang kulatih ini, aku hanja melatihnja menurut tjontoh diatas badan boneka2 kaju itu,” sahut sianak muda. “Eh, entji Si Kiam, se……….sebenarnja siapakah aku ini?”

Kembali Si Kiam tertawa, sahutnja: “Engkau benar2 tidak ingat lagi atau tjuma bergurau sadja?”

Sianak muda meng-garuk2 kepalanja jang tidak gatal, mendadak ia bertanja: “Kau melihat ibuku atau tidak ?”

“Tidak,” sahut Si Kiam dengan heran. “Siauya, selamanja aku tak pernah mendengar bahwa engkau masih mempunjai ibunda. Ah, tahulah aku, tentu engkau sangat penurut kepada apa jang dikatakan Lothaythay (njonja besar), makanja watakmu djuga sudah berubah.”

“Apa jang dikatakan ibu sudah tentu harus diturut,” kata sianak muda. Ia menghela napas pelahan, lalu berkata pula: “Tjuma sajang entah ibu telah pergi kemana?”

“O, sjukurlah bahwa didunia ini masih ada seorang jang dapat menundukkan kau,” kata Si Kiam.

Pada saat itu tiba2 diluar kamar ada orang berseru: “Apakah Pangtju sudah bangun? Hamba ingin memberi lapor sesuatu.”

Sianak muda diam sadja dengan bingung. Tanjanja kepada Si Kiam dengan suara bisik2: “Apakah dia sedang bitjara padaku?”

“Ja, dia bilang hendak memberi laporan kepadamu,” sahut Si Kiam.

“Wah, bagaimana aku harus bitjara dengan dia,” kata sianak muda dengan bingung. “Entji Si Kiam, suruhlah dia tunggu sebentar, engkau harus mengadjarkan dulu padaku tjara bagaimana aku harus bitjara.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar