Jilid 21
Ciok Boh-thian sama sekali
tidak ambil pusing jurus serangan apa yang akan dilontarkan Ting Put-si, dia
hanya memerhatikan gerak-gerik lawan, jurus apa yang digunakan orang tua itu,
segera ia pun meniru dan memapak dengan jurus yang sama.
Dengan demikian Boh-thian
menjadi tidak perlu menggunakan otak, sebaliknya perhatiannya melulu dicurahkan
dalam hal mengerahkan tenaga dalam sehingga pukulannya makin lama makin
dahsyat.
Di pihak lain Ting Put-si
mesti dua kali pikir bila hendak menyerang, ia khawatir kalau-kalau tangannya
kebentur dan lengket dengan tangan Ciok Boh-thian dan terpaksa harus mengadu
tenaga dalam. Sebab itulah banyak serangan-serangannya yang bagus-bagus tak
dapat dikeluarkan.
Sebagai seorang tokoh, sudah
tentu banyak sekali lawan ternama yang pernah dihadapi Ting Put-si, tapi tak
pernah ia ketemukan lawan sebagaimana Boh-thian sekarang, tidak peduli jurus
apa yang dimainkan, selalu lawan menirukannya.
Bilamana lawannya adalah tokoh
kenamaan, maka cara pertarungan ini boleh dianggap terlalu licik, tapi sekarang
Ciok Boh-thian jelas tidak mahir ilmu silat dan sebelumnya sudah berjanji akan
melawannya dengan menggunakan jurus-jurus serangan yang diajarkannya tadi, jadi
perbuatan pemuda itu yang menirukan setiap jurus serangannya boleh dikata tidak
melanggar janji.
Keruan lama-kelamaan Ting
Put-si menjadi gelisah, berulang-ulang ia mencaci maki, tapi toh tak bisa
mengapa-apakan Ciok Boh-thian.
Sesudah berlangsung beberapa
puluh jurus, lambat laun Boh-thian sudah dapat meraba cara bagaimana
mengerahkan tenaganya maka setiap pukulannya makin lama makin kuat.
Sudah tentu Ting Put-si tak
berani ayal, ia melayaninya dengan sepenuh tenaga.
Pikirnya, “Sebenarnya orang
macam apakah bocah ini? Jangan-jangan dia sengaja pura-pura bodoh, tapi
sebenarnya dia adalah seorang jago muda yang memiliki ilmu silat sangat
tinggi?”
Setelah beberapa jurus pula,
Ting Put-si ra\sakan tekanan tenaga lawan makin lama makin kuat. Untung
Boh-thian hanya menirukan gaya serangannya saja sehingga dia tidak perlu
khawatir kalau-kalau pemuda itu mendadak menyerangnya dengan cara di luar
dugaan.
Pada suatu jurus, mendadak
kedua tangan Ting Put-si berputar beberapa kali, lalu kedua tangan Ting Put-si
berputar beberapa kali, lalu kedua telapak tangannya menghantam miring ke
depan. Jurus ini bernama “Hek-co-hek-yu” (mungkin kiri mungkin kanan), ke mana
tenaga pukulannya akan dikerahkan, apa ke kiri atau ke kanan, hal ini
tergantung dalam keadaan.
Diam-diam Put-si bergirang
dengan jurus pukulannya ini, ia membatin, “Anak busuk, sekali ini kau tentu
mati kutu dan tak bisa menirukan lagi. Masakah kau tahu dari jurusan mana
tenaga pukulanku akan kukerahkan?”
Benar juga, tertampak
Boh-thian menjadi bingung, tiba-tiba ia bertanya, “Hey, seranganmu ini akan
mengarah ke kanan atau ke kiri?”
Ting Put-si terbahak-bahak
geli, bentaknya, “Boleh kau terka saja akan ke kanan atau ke kiri?” berbareng
kedua tangannya sengaja digerak-gerakkan untuk menggodanya.
Dalam gugupnya terpaksa
Boh-thian mengangkat kedua telapak tangannya dan sekaligus memapak kedua tangan
lawan. Karena tak mengetahui dari sebelah mana tenaga pukulan lawan akan
dikerahkan, terpaksa ia memapak dengan kedua tangan dengan sekuatnya.
Keruan Ting Put-si menjadi
kaget malah. Kurang ajar pikirnya, masakah jurus “Mungkin kiri mungkin kanan”
yang pura-pura itu telah ditirukan oleh Ciok Boh-thian dengan perubahan
“Hek-co-ek-yu” (juga kiri juga kanan) sehingga serangan sungguh.
Dengan cara demikian, terpaksa
Ting Put-si harus mengadu tenaga dalam dengan Ciok Boh-thian dan hal ini justru
tidak dikehendaki olehnya. Pada detik berbahaya itu, sekilas timbul sesuatu
akal, mendadak Put-si mengangkat kedua tangannya ke atas sehingga tenaga
pukulannya dilontarkan ke udara. Jurus ini disebut “Thian-ong-thok-tah”(Thian
mengangkat menara), yaitu suatu jurus serangan yang biasanya digunakan untuk
melawan musuh yang sedang menubruk dari atas.
Boh-thian sendiri pada waktu
itu toh tidak menyerang dari udara, jadi jurus Ting Put-si itu sebenarnya tiada
gunanya. Tapi dasar Boh-thian selalu menirukan setiap jurus lawan, ketika
mendadak dilihatnya Ting Put-si mengeluarkan jurus “Thian-ong-thok-tah” itu,
walaupun tidak paham apa maksud tujuannya, tapi dia lantas menirukan juga
dengan mengangkat kedua telapak tangan ke atas sehingga tenaga pukulannya
menjurus ke udara.
Keadaan pada waktu itu menjadi
empat tangan dari kedua orang itu sama-sama terangkat ke atas dengan
pandang-memandang, Put-si memandang Boh-thian dengan geli, Boh-thian memandang
Put-si dengan bingung. Saking tak tahan, akhirnya Ting Put-si terbahak-bahak
geli.
Melihat lawannya tertawa,
tanpa merasa Boh-thian juga ikut tertawa. Si nona yang bersandar di dinding
perahu sana juga ikut tersenyum menyaksikan adegan yang lucu itu.
Sebaliknya si nenek lantas
mencemoohkan, “Huh, tidak tahu malu! Tidak dapat menangkan orang, lantas
menggunakan akal bulus untuk menipu anak kecil!”
Sekilas itu mendadak Ting
Put-si dapat mengeluarkan tipu yang aneh itu untuk menghindarkan adu Lwekang
dengan Ciok Boh-thian, maka Put-si sangat puas atas kecerdikannya sendiri, ia
tidak ambil pusing terhadap ejekan si nenek, ia hanya tertawa saja dan memberi
alasan, “Aku toh tiada bermusuhan apa-apa dengan bocah ini, buat apa aku mesti
membinasakan dia dengan tenaga dalamku?”
Dan baru saja si nenek hendak
mengolok-olok pula, mendadak terasa perahu mereka menjadi oleng terus meluncur
cepat ke hilir.
Kiranya permukaan sungai di
situ agak sempit dan arus menjadi lebih kencang.
Kembali Ting Put-si bergelak
tertawa dan berkata, “Siau-jui, sudah akan sampai di Pik-lwe-to, kalian nenek
dan cucu bersama si Lemper Raksasa disilakan dulu ke tempatku itu.”
Air muka si nenek berubah
mendadak, sahutnya tegas, “Tidak, biar mati pun aku tidak sudi menginjak tanah
pulau setanmu itu.”
“Tinggal saja di sana buat
beberapa hari lamanya, apa sih halangannya?” ujar Put-si.
Dalam pada itu arus sungai
bergelombang dengan hebat, air ombak mendebur ke atas perahu mereka. Waktu
Boh-thian memandang ke arah yang dituju Ting Put-si, ternyata di sebelah kanan
sungai sana tertampak sebuah puncak gunung yang menghijau, ujung puncak itu
lancip dan bagian bawah bulat sehingga bentuknya mirip keong. Ia pikir tentu
inilah “Pik-lwe-to” (pulau keong hijau) yang dimaksudkan itu.
“Belokkan kemudi untuk
menepi,” perintah Ting Put-si kepada si tukang perahu.
Si tukang perahu mengiakan.
Segera Ting Put-si bersiap-siap di haluan perahu dengan memegang jangkar, asal
sudah dekat dengan tepi sungai segera ia akan membuang sauh ke daratan pulau
itu.
“Loyacu,” demikian kata
Boh-thian, “jika Lothaythay ini tidak mau pergi ke rumahmu buat apa engkau me
....”
Belum habis Boh-thian bicara,
sekonyong-konyong si nenek telah meloncat bangun, sekali rangkul si nona,
segera terjun ke dalam sungai.
“He! Jangan!” teriak Ting
Put-si dengan kaget. Segera ia hendak menjambret, tapi sudah terlambat.
Terdengar suara air berdebur, nenek dan nona itu sudah menghilang ditelan
ombak.
Dalam kagetnya cepat Boh-thian
juga bertindak, ia pegang sepotong papan perahu terus ikut terjun ke dalam sungai.
Waktu melompat ia telah memancal di tepian perahu sehingga walaupun terjun
belakangan, tapi sauhnya justru berada di sisi si nenek berdua.
Boh-thian tidak dapat
berenang, begitu masuk sungai mulutnya lantas kemasukan air. Tapi tekadnya
hendak menolong orang, dengan tangan kanan merangkul papan, tangan kiri lantas
meraih kian kemari, kebetulan rambut si nenek yang panjang kena dijambak
olehnya, terus saja ia pegang dengan kencang dan tak terlepaskan lagi. Ketiga
orang lantas terhanyut oleh arus yang deras itu.
Sesudah terdampar sejenak,
sementara itu kepala Boh-thian terasa pusing, mulutnya masih terus tercekok
air. Tiba-tiba badannya terguncang hebat, pinggangnya terasa sakit, rupanya ia
telah terdampar dan tertumbuk oleh sepotong batu karang yang melintang di tepi
sungai.
Dengan girang segera Boh-thian
gunakan kakinya untuk menahan dirinya di batu karang itu. Waktu ia mendongak ke
permukaan air, di atas sana tampak kabut belaka, di tengah kabut lapat-lapat
tertampak pula banyak pepohonan.
Tanpa pikir lagi segera ia
menarik si nenek ke atas, syukurlah orang tua itu masih terus merangkul cucu
perempuannya dengan kencang, cuma tidak diketahui apakah sudah mati atau masih
hidup.
Boh-thian lantas pondong kedua
orang itu dan berusaha mendarat sekuat tenaga. Ia berjalan ke tengah pepohonan
yang penuh kabut sana. Kira-kira beberapa puluh meter jauhnya ia sudah
meninggalkan tepi sungai yang penuh lumpur itu.
Setiba di tanah yang kering
barulah ia meletakkan kedua wanita itu.
Tapi baru saja ia hendak
menurunkan kedua wanita itu, tiba-tiba terdengar si nenek mendampratnya, “Anak
kurang ajar! Kau berani menjambak rambutku?”
Boh-thian melengak dan cepat
menjawab, “O, ya, maaf, maaf!”
“Kau jambak rambutku
sedemikian kencang sehingga kepalaku kesakitan, huak ....” mendadak ia
memuntahkan air sungai yang telah diminumnya tadi.
“Nenek, kalau kita tak
tertolong oleh Toako ini tentu saat ini kita sudah ....” sampai di sini si nona
berkata, tiba-tiba ia pun memuntahkan air sungai yang tadi banyak masuk ke dalam
perutnya.
“Jika demikian, jadi bocah ini
yang telah menolong jiwa kita,” kata si nenek. “Ya, sudah, kesalahannya
menjambak rambutku takkan aku persoalkan lagi padanya.”
Si nona tersenyum, katanya
pula, “Toako ini benar-benar sangat baik, terima kasih banyak-banyak atas
pertolonganmu.”
Waktu itu si nenek dan si nona
masih berada dalam pondongan Boh-thian dan belum diturunkan, jarak pandangan
mereka tiada setengah meter jauhnya, wajah si nona menjadi merah dan tak berani
menatap Boh-thian.
“Sudahlah, sekarang boleh
turunkan kami,” kata si nenek. “Tempat ini adalah Ci-yan-to (pula kabut ungu),
letaknya tidak terlalu jauh dengan tempat kediaman Ting-lokoay, maka kita harus
berjaga-jaga kalau-kalau dia mengacau ke sini.”
Boh-thian mengiakan. Dan baru
saja ia hendak menurunkan nenek dan cucunya itu, tiba-tiba di balik semak pohon
sana ada suara orang berkata, “Bocah itu besar kemungkinan tidak mampus, kita
harus menemukan dia.”
Boh-thian terkejut, katanya
dengan suara bisik-bisik, “Wah, celaka! Ting Put-si telah mengejar tiba!”
Segera ia mendekam ke dalam
semak-semak dengan masih memondong dua orang, sedikit pun ia tidak berani
bergerak.
Maka terdengar suara tindakan
orang yang lalu di sebelah mereka, seorang tua dan seorang lagi wanita muda.
Kaget Ciok Boh-thian melebihi tadi demi mengetahui siapa kedua orang itu.
Sesudah kedua orang itu beberapa puluh meter jauhnya, ia coba melongok ke sana,
benar juga kedua orang itu adalah Ting Put-sam dan si Ting Tong.
Kiranya Ting Put-sam dan Ting
Put-si adalah saudara kandung, usia mereka cuma selisih satu tahun, suara
mereka pun sangat mirip. Karena khawatir dikejar oleh Ting Put-si, maka suara
Ting Put-sam telah keliru disangka Ting Put-si oleh Boh-thian.
“Wah, celaka! Kiranya adalah
Ting-samya!” bisik Boh-thian dengan suara takut.
“Mengapa kau demikian
takutnya?” ujar si nenek, “Bukankah cucu perempuan Ting Put-sam itu telah
mengajarkan ilmu silatnya padamu?”
“Loyacu hendak membunuh aku,
si Ting-ting Tong-tong juga marah padaku, katanya aku tidak menurut
kata-katanya, maka aku telah diringkus menjadi sebuah lemper raksasa dan
dilemparkan ke dalam sungai,” tutur Boh-thian. “Untunglah saat itu perahu
kalian lewat di sisinya, kalau tidak ... kalau tidak ....”
“Kalau tidak tentu kau sudah
menjadi kura-kura di dalam sungai, telah menjadi isi perut ikan, bukan?”
sambung si nenek dengan tertawa.
“Ya, ya!” sahut Boh-thian. Dan
bila teringat kejadian kemarinnya, diam-diam ia merasa khawatir pula, segera ia
berkata, “Nenek, mereka masih mencari aku, kalau aku tertangkap pula tentu ...
tentu aku tak dapat menyelamatkan jiwaku lagi.”
Si nenek menjadi gusar,
sahutnya, “Jika aku tidak dalam keadaan lumpuh begini, hanya seorang Ting
Put-sam saja apa artinya bagiku? Kau boleh pergi memanggil dia ke sini, ingin
kulihat apakah dia berani mengganggu seujung rambutmu atau tidak?”
Rupanya perangai si nenek ini
sangat berangasan, biarpun dia melatih Lwekang dan tersesat, tapi dia tetap
memandang sebelah mata kepada para jago-jago silat di dunia.
“Nenek, dalam keadaan demikian
sebaiknya engkau menghindari kedua saudara Ting itu, kelak kalau kesehatanmu
sudah pulih kembali barulah engkau membikin perhitungan dengan mereka,”
demikian si nona juga menghiburnya.
Namun si nenek masih
marah-marah, katanya, “Sekali ini nenekmu benar-benar sialan, aku Su Siau-jui
selama hidup ini telah malang melintang di dunia Kangouw, biasanya akulah yang
membikin gara-gara kepada orang lain, mana bisa jadi seperti sekarang ini aku
harus bungkam dalam seribu bahasa? Ya, semuanya ini adalah gara-gara perbuatan
‘binatang kecil’ dan ‘tua bangka’ itu.”
“Sudahlah, nenek,” kata si
nona, “apa yang sudah lalu buat apa diungkat-ungkat pula? Kita berdua sama-sama
menderita kesukaran, kita harus tetirah dengan pikiran tenang barulah dapat
sembuh dengan cepat. Bila hati nenek selalu murung, tentu akan semakin merusak
kesehatannya sendiri.”
“Rusak biar rusak, takut apa?”
kata si nenek dengan gusar.
“Hari ini benar-benar sialan,
sedemikian banyak aku tercekok air sungai yang kotor, nama baik Su Siau-jui
hari ini benar-benar telah runtuh habis-habisan.”
Begitulah semakin marah
semakin keras suara ucapan nenek itu. Boh-thian khawatir kalau didengar oleh Ting
Put-sam, maka cepat ia menghiburnya, “Tenanglah, nenek! Apa ... apakah perlu
aku menyalurkan sedikit tenaga kepadamu?”
Dan sebelum si nenek menjawab
ia lantas menempelkan telapak tangannya ke Leng-tay-hiat di punggung orang,
lalu mengerahkan tenaga dalam dan disalurkan ke tubuh si nenek itu.
Karena penyaluran tenaga dalam
itu, terpaksa si nenek mencurahkan pikirannya untuk mengerahkan tenaga bantuan
itu ke urat nadi di tubuh sendiri yang buntu itu. Maka satu demi satu Hiat-to
yang macet itu dapatlah ditembus.
Yang diharapkan Ciok
Boh-thian, asalkan nenek itu tidak bersuara lagi sehingga diketahui Ting
Put-sam, maka ia masih terus menyalurkan tenaga dalamnya.
Diam-diam Su-popo (si nenek
she Su) terheran-heran, “Sedemikian hebat tenaga dalam bocah ini, bukan saja
sangat kuat, bahkan tenaganya sangat murni, terang dia masih berbadan jejaka,
yang diyakinkan juga Lwekang dari golongan yang baik. Tapi mengapa dia sama
sekali tidak mahir ilmu silat?”
Karena sedikit pikirannya
bercabang, seketika darah di rongga dadanya bergolak, cepat si nenek memusatkan
perhatiannya lagi dan tidak berani memikirkan urusan lain.
Kira-kira setengah jam
kemudian barulah “Siau-yang-keng-meh”, yaitu urat-urat nadi bagian kaki dapat
ditembus semua. Maka dapatlah si nenek bernapas lega, mendadak ia berbangkit,
katanya dengan tertawa, “Sementara ini cukuplah! Kau tentu sudah capek juga.”
Boh-thian dan si nona terkejut
dan bergirang pula, seru mereka berbareng, “Ha, nenek sudah dapat berjalan?”
“Ya, baru urat nadi bagian
kaki yang telah bekerja lancar, tapi masih banyak urat nadi bagian lain yang
masih buntu,” sahut si nenek.
“Aku toh tidak lelah, biarlah
kita melancarkan sekalian urat-urat nadi yang lain,” ujar Boh-thian.
“Seenaknya saja kau bicara,”
sahut si nenek. “Aku dan A Siu bersama-sama melatih Bu-bon-sin-kang sehingga
tersesat jalan tenagaku, apakah kau kira penyakitku ini adalah penyakit lumpuh
biasa? Biarpun Tat-mo Cosu atau Thio Sam-hong hidup kembali juga tidak dapat
menembus seluruh urat nadiku di dalam waktu satu hari.”
“Ya, ya, aku tidak paham
urusan demikian ini,” kata Boh-thian dengan kikuk.
“Jika merasa iseng, bolehlah
kau membantu A Siu melancarkan Siau-yang-keng-meh di bagian kakinya,” kata si
nenek.
“Baiklah,” sahut Boh-thian.
Segera ia memayang si nona alias A Siu, ia sandarkan bahu nona itu pada
sebatang pohon, lalu menggunakan telapak tangan untuk menahan Leng-tay-hiat di
punggungnya, perlahan-lahan ia menyalurkan tenaga dalam menurut cara yang
diajarkan si nenek tadi. Karena Lwekang si A Siu jauh lebih cetek daripada
neneknya, maka Boh-thian harus menggunakan tempo berlipat ganda untuk
melancarkan Hiat-to si nona.
Sesudah merangkak bangun,
dengan suara lemah lembut A Siu berkata, “Terima kasih, Toako ini. Nenek, kita
juga belum mengetahui nama Toako yang baik hati ini, entah cara bagaimana kita
harus menyebutnya, sungguh agak kurang hormat.”
Meski ucapan A Siu itu
ditujukan kepada neneknya, tapi sebenarnya sedang menanyakan namanya Ciok
Boh-thian, soalnya dia merasa rikuh untuk bicara langsung kepada seorang pemuda
yang baru dikenalnya itu.
Diam-diam Boh-thian membatin
sendiri, “Ya, siapakah namaku?”
Dalam pada itu si nenek sudah
lantas berseru, “Hey, Lemper Raksasa, cucu perempuan sedang menanyakan namamu
siapa?”
“Aku ... aku pun tidak tahu,”
sahut Boh-thian dengan tergagap-gagap. “Ibuku memanggil aku ... memanggil aku
....”
Dia hendak mengatakan bernama
“Kau-cap-ceng”, tapi sekarang ia sudah tahu bahwa nama itu tidak sopan untuk
diucapkan di depan seorang nona yang berbudi halus dan sopan itu. Maka ia
lantas menyambung pula, “Mereka sebaliknya salah mengenali diriku, padahal aku
bukan orang yang mereka maksudkan itu. Sebenarnya siapakah diriku ini, aku
sendiri pun susah ... susah untuk menjelaskan ....”
Su-popo menjadi tidak sabar,
bentaknya, “Jika tidak mau mengatakan, boleh tak mengatakan, kenapa mesti
bicara macam-macam.”
“Nenek, bila orang tak mau
mengatakan, tentu dia ada kesukarannya sendiri, maka kita pun jangan memaksa,”
ujar A Siu. “Tentang nama tidaklah menjadi soal, asalkan kita selalu mengingat
kepada budi kebaikannya sudah cukuplah.”
“Tidak, tidak, bukanlah aku
tidak mau mengatakan namaku, soalnya namaku sesungguhnya sangat jelek,” kata
Boh-thian.
“Jelek apa segala? Apakah ada
nama yang lebih jelek daripada nama Lemper Raksasa?” ujar Su-popo. “Jika kau
tidak mau mengatakan, maka biarlah kupanggil kau si Lemper saja.”
“Boleh juga engkau memanggil
aku si Lemper, ini toh tidak terlalu jelek,” sahut Boh-thian dengan tertawa. Ia
pikir paling tidak nama Lemper akan lebih sedap didengar daripada panggilan
Kau-cap-ceng alias anak anjing.
A Siu menjadi lebih rikuh lagi
melihat perangai Boh-thian yang baik itu, biarpun neneknya mengolok-olok dan
ucapannya kasar toh pemuda itu sedikit pun tidak marah. Segera katanya pula,
“Sudahlah nenek, janganlah engkau menggodanya lagi. Toako ini ....”
“Tak apa, tak apa,” sahut
Boh-thian cepat. “Aku akan berterima kasih asal Ting-yaya dan si Ting Tong
tidak menguber-uber diriku. Sekarang kalian bolehlah mengaso sebentar, biarlah
aku pergi mencari sesuatu makanan apa-apa.”
“Di Ci-yan-to ini banyak
tumbuh buah kesemak, saat ini buahnya sedang masak, boleh kau pergi memetiknya
sedikit,” kata Su-popo. “Di pulau ini juga banyak kepiting yang gemuk-gemuk,
boleh juga kau menangkapnya beberapa ekor.”
Boh-thian mengiakan dan segera
berangkat. Dengan hati-hati ia menyusur pepohonan yang rindang itu karena khawatir
dipergoki oleh Ting Put-sam dan si Ting Tong. Kira-kira ratusan meter jauhnya
benar juga tertampak di lereng bukit situ ada belasan pohon kesemak dengan
buahnya yang merah masak.
Sesudah berada di bawah
pohon-pohon kesemak itu, Boh-thian memegang batang pohon dan digoyang-goyangkan
sekuatnya. Pertama karena tenaganya besar, kedua buah kesemak itu memang sudah
masak, seketika berjatuhanlah belasan buah kesemak. Cepat Boh-thian pentang
bajunya untuk menjemput buah-buah itu, lalu dibawanya kembali.
Sementara itu, kaki Su-popo
dan si A Siu sudah dapat bergerak, cuma tangan mereka yang masih kaku, Su-popo
masih mendingan dapat mengangkat tangannya walaupun berat sekali rasanya.
Sebaliknya kedua tangan A Siu sama sekali belum dapat bergerak.
Boh-thian mengupas kulit buah
kesemak itu, lebih dulu ia memberikan sebuah kepada Su-popo, lalu mengupas
sebuah pula untuk menyuapi A Siu.
Melihat pemuda itu menyuapi
dirinya, muka si A Siu menjadi merah sebagai buah kesemak itu. Tapi ia pun tak
bisa menolak terpaksa ia memakannya.
Ketika Boh-thian hendak
menyuapi sebuah lagi, tiba-tiba A Siu berkata, “Toako sendiri bolehlah makan
dulu, habis itu baru baru ....”
Begitulah mereka lantas makan
secara bergiliran. Boh-thian sendiri makan sebuah, lalu mengupas dan membaringkan
Su-popo dan menyuapi A Siu lagi.
“Tidak jauh di sebelah barat
daya sana ada sebuah gua, malam nanti kita boleh tinggal di sana agar kedua
saudara setan yang ‘tidak tiga tidak empat’ (Put-sam dan Put-si) itu tak dapat
menemukan kita,” kata Su-popo.
Boh-thian menjadi girang,
serunya, “Ha, bagus sekali!”
Ia tidak begitu jeri terhadap
Ting Put-si, tapi terhadap Ting Put-sam dan si Ting Tong yang hendak
membunuhnya itu dia benar-benar sangat takut. Maka ia menjadi terhibur demi
mendengar Su-popo mengatakan ada suatu tempat sembunyi yang baik.
Lambat laun malam pun tiba,
segera Boh-thian memayang Su-popo dan tangan lain memapah A Siu, bertiga lantas
menuju ke arah gua.
Rupanya Ci-yan-to adalah
tempat yang pernah dijelajahi Su-popo, terbukti nenek ini sudah sangat hafal
sekali jalannya.
Benar juga, kira-kira satu-dua
li jauhnya, sampailah mereka di suatu lembah bukit, di sisi kanan adalah
dinding karang belaka, sesudah Su-popo memberi petunjuk belok sini dan putar
sana akhirnya sampai juga di depan sebuah gua.
“Lemper Raksasa, malam ini kau
tidur dan jaga di luar sini, tapi tidak boleh masuk ke dalam gua,” kata
Su-popo.
Berulang-ulang Boh-thian
mengiakan. Katanya pula, “Sayang kita tidak berani menyalakan api untuk
mengeringkan pakaian kita.”
“Hm, dasar sialan, kelak kedua
setan yang tidak tiga dan tidak empat itu harus dibikin menderita sepuluh kali
lebih berat daripada kita sekarang,” kata si nenek dengan gemas.
Besok paginya, sebagai sarapan
pagi mereka pun makan buah kesemak lagi, lalu Boh-thian menyalurkan tenaga pula
untuk melancarkan urat nadi kedua nenek dan cucu itu sehingga tangan mereka
dapatlah bergerak semua.
“Lemper Raksasa,” kata
Su-popo, “di sana ada sebuah empang dan banyak terdapat kepiting yang
gemuk-gemuk, boleh kau pergi menangkapnya beberapa ekor daripada kita makan
buah kesemak setiap hari.”
Boh-thian menjadi ragu-ragu,
sahutnya kemudian, “Menangkap kepiting sih tidak sukar, cuma saja kita tak
dapat memasaknya, pula tak dapat memakannya secara mentah-mentah.”
“Huh, seorang laki-laki yang
muda dan kuat mengapa mesti ketakutan setengah mati kepada seorang tua bangka
sebagai Ting Put-sam?” jengek Su-popo.
“Jangankan Ting-samya saja,
sampai-sampai si Ting-ting Tong-tong juga jauh lebih lihai daripadaku,” sahut
Boh-thian sambil menggeleng. “Jika aku kena ditangkap mereka, lalu aku diikat
pula sebagai lemper raksasa dan dilemparkan lagi ke dalam sungai, wah, kan bisa
runyam.”
“Sudahlah, nenek, apa yang
dikatakan Toako ini pun ada benarnya,” sela A Siu. “Bolehlah kita bersabar
sementara, tunggu nanti kalau urat nadi nenek sudah lancar kembali dan tenaga
saktimu sudah pulih, tatkala mana masakah kita masih takut kepada Ting Put-sam
atau Ting Put-si segala?”
“Hm, kau bicara seenaknya
saja, untuk memulihkan tenaga saktiku apakah begitu gampang?” jengek si nenek.
“Untuk melancarkan urat nadi kita saja diperlukan belasan hari lamanya dan
kalau ingin memulihkan kepandaian semula, sedikitnya diperlukan setahun atau
paling tidak juga delapan bulan lamanya. Apalagi di dalam delapan bulan ini
kita dapat makan buah kesemak melulu? Hm, mungkin belasan hari lagi juga semua
buah kesemak itu akan kedaluan dan busuk semua.”
“Untuk itu kita tidak perlu
khawatir,” ujar Boh-thian. “Aku akan memetik buah kesemak sebanyak-banyaknya,
lalu dijemur menjadi kesemak kering, kukira cukup untuk persediaan setengah
atau satu tahun dan kita takkan mati kelaparan.”
Kiranya Boh-thian menjadi
kapok setelah berulang-ulang menghadapi bahaya dan tersiksa, ia pikir daripada
hidup merana tak menentu, ada lebih baik hidup aman tenteram di gua ini saja.
Tapi Su-popo lantas
mengomelnya, “Kau suka menjadi kura-kura yang terus mengkeret di sini, aku yang
tidak sudi. Pula keparat Ting Put-si itu di dalam satu-dua hari ini tentu akan
mencari ke pulau ini, biarpun kau ingin mengkeret di sini seperti kura-kura
juga tak bisa jadi lagi. Eh, apa-apaan kau ini, Lemper Raksasa? Percuma saja
kau memiliki Lwekang setinggi itu, tapi mengapa tidak pernah belajar ilmu
silat?”
“Justru tiada orang yang
mengajarkan aku, hanya si Ting-ting Tong-tong saja pernah mengajarkan l8 jurus
Kim-na-jiu-hoat, dengan sendirinya aku tak sanggup melawannya. Ilmu silat yang
diajarkan kakek Ting Put-si kepadaku juga setiap jurusnya sudah dipahami
olehnya,” demikian jawab Boh-thian.
“Nenek,” tiba-tiba A Siu
menyela, “mengapa engkau tidak mau memberi petunjuk barang beberapa jurus
kepada Toako ini. Sesudah dia memahami kepandaianmu, bila dia dapat mengalahkan
Ting Put-si, bukankah lebih membanggakan daripada engkau sendiri yang menangkan
dia.”
Su-popo memandang dengan tak
berkesip kepada Boh-thian. Sorot matanya mendadak memantulkan perasaan yang
buas dan benci, kedua tangannya juga tampak gemetaran seakan-akan ingin
menubruk maju dan sekali gigit membinasakan pemuda itu.
Boh-thian menjadi takut dan
tanpa merasa melangkah mundur setindak. Katanya dengan terputus-putus,
“Lothaythay, engkau ... engkau ....”
“A Siu,” mendadak si nenek
berseru dengan suara bengis, “coba kau pandang dia yang jelas, bukankah sangat
mirip sekali?”
Sepasang mata A Siu yang besar
bundar itu menatap sejenak ke muka Ciok Boh-thian, tapi air mukanya sangat
lemah lembut sahutnya kemudian, “Nenek, memang agak mirip, namun ... namun
pasti bukan dia. Bila dia memadai sedikit kejujuran dan ketulusan Toako ini
saja ....”
Sinar mata si nenek yang
bengis tadi perlahan-lahan mulai pudar kembali, tapi ia masih mengejek dan
berkata, “Meski bukan dia, tapi mukanya sedemikian mirip, biar bagaimanapun aku
takkan mengajarkan kepandaianku padanya.”
Seketika Boh-thian paham
duduknya perkara, ia tahu tentu si nenek menyangka dirinya sebagai pemuda Ciok
Boh-thian itu, agaknya Ciok-pangcu itu terlalu banyak berdosa kepada orang
lain, maka banyak sekali orang-orang di dunia ini yang benci padanya. Kelak
kalau aku dapat bertemu dengan dia, tentu aku akan memberi nasihat padanya agar
menjadi orang yang baik-baik, demikian pikirnya.
Dalam pada itu terdengar si
nenek sedang bertanya padanya, “Apakah kau juga she Ciok?”
“Bukan!” sahut Boh-thian
sambil menggeleng. “Orang lain memang mengatakan bahwa aku sangat mirip dengan
Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang, padahal sama sekali aku bukanlah dia. Ai,
bicara ke sana ke sini tiada seorang pun yang mau percaya padaku.” Habis
berkata ia lantas menghela napas panjang dengan hati kesal.
“Aku percaya engkau bukanlah
dia,” tiba-tiba A Siu menanggapi dengan suara perlahan.
Boh-thian menjadi girang, “Kau
benar-benar tidak percaya? Itulah sangat ... sangat bagus. Hanya engkau seorang
yang telah menyatakan tidak percaya.”
“Engkau adalah orang baik-baik
dan dia adalah orang ... orang jahat,” kata A Siu. “Kalian berdua sama sekali
berbeda.”
Alangkah terhibur hatinya
Boh-thian, ia merasa telah ketemukan seorang yang benar-benar dapat menyelami
isi hatinya, tanpa merasa ia pegang tangan si nona dan berkata, “Banyak terima
kasih.” Dan saking terharunya sampai air matanya bercucuran. Maklum, selama ini
setiap orang selalu menganggap dia sebagai Ciok-pangcu segala, untuk membantah
adalah sangat sulit. Sekarang ia menjadi seperti seorang pesakitan yang mendadak
telah dapat membikin terang duduknya perkara dan dengan sendirinya dia sangat
berterima kasih kepada si nona yang sudi memahami isi hatinya itu.
Muka A Siu menjadi merah
jengah, tapi ia pun tidak tega menarik kembali tangannya yang dipegang Boh-thian
itu.
Sebaliknya Su-popo lantas
mencemooh lagi, “Kalau betul bilang betul, jika bukan ya bukan, seorang
laki-laki sejati macam apa pakai menangis segala?”
“Iy ... ya, o, ma ... maaf!”
mendadak Boh-thian sadar masih memegang tangan A Siu yang putih halus itu,
cepat ia melepaskannya dan berkata pula, “Aku ... aku tidak seng ... aku akan
pergi memetik buah kesemak lagi.”
Ia tidak berani banyak
memandang si nona pula dan cepat berlari pergi.
Melihat tingkah laku Boh-thian
yang serbakikuk, tingkah laku yang wajar dan sekali-kali bukan pura-pura itu,
mau tak mau si nenek merasa geli juga. Ia menghela napas dan berkata, “Ya,
memang bukan. Coba alangkah baiknya kalau binatang kecil she Ciok itu bisa
memiliki sedikit kejujuran sebagai si Lemper ini.”
Selang tidak lama, mendadak di
luar gua terdengar suara orang berlari, tertampak Boh-thian telah berlari
kembali dengan wajah pucat dan sangat ketakutan, katanya, “Wah, celaka,
celaka!”
“Ada apakah? Kau telah
dipergoki Ting Put-sam?” tanya Su-popo.
“Bu ... bukan!” sahut
Boh-thian. “Orang-orang Swat-san-pay telah menyusul ke pulau ini, wah,
berbahaya sekali ....”
Mendengar “Swat-san-pay”
disebut, seketika air muka Su-popo dan A Siu berubah, mereka saling pandang
sekejap, lalu si nenek bertanya, “Siapa yang datang?”
“Itu ... itu Pek Ban-kiam
dengan belasan orang Sutenya,” sahut Boh-thian. “Mereka pasti akan menangkap
diriku untuk dibawa pulang ke Leng-siau-sia dan dihukum mati di sana.”
“Kau telah dilihat mereka
tidak?” tanya Su-popo.
“Untung tidak sampai dilihat
mereka,” ujar Boh-thian. “Cuma aku telah melihat Pek Ban-kiam itu sedang ...
sedang bicara dengan kakek Ting Put-si.
“Apakah kau tidak keliru? Ting
Put-si atau Ting Put-sam?” Su-popo menegas.
“Ting Put-si, pasti tidak
keliru,” sahut Boh-thian. “Dia mengatakan bahwa di sungai tiada diketemukan
mayat, tentu terdampar dan sembunyi di pulau ini. Mereka telah mulai mencari
dan sebentar tentu akan sampai di sini, wah, bisa celaka ini.”
Saking khawatirnya sampai
jidatnya penuh berkeringat.
A Siu coba menghiburnya,
“Apakah Pek Ban-kiam itu pun salah mengenali kau? Tapi kalau engkau memang
bukan dia, betapa pun kau dapat menerangkan kepada mereka dengan jelas dan
tidak perlu khawatir.”
“Ti ... tidak, mereka sukar
untuk diberi penjelasan,” ujar Boh-thian.
“Sukar diberi penjelasan? Jika
begitu hantam saja!” kata Su-popo. “Di dunia ini orang yang difitnah juga tidak
melulu kau seorang saja.”
Jilid 22
“Pek-suhu itu adalah tokoh
terkemuka Swat-san-pay, ilmu pedangnya sangat tinggi, aku mana mampu
melawannya?” tutur Boh-thian.
“Hm, macam apakah ilmu pedang
Swat-san-pay itu? Bagiku juga cuma biasa saja dan tidak mengherankan,” jengek
Su-popo.
“Tidak, tidak,” ujar Boh-thian
sambil goyang-goyang tangannya. “Ilmu pedang Pek-suhu itu memang sangat hebat,
benar-benar susah dilukiskan lihainya. Dia punya pedang hanya sedikit bergerak
begini saja lantas dapat meninggalkan enam titik bekas luka di tubuh orang atau
di atas pilar, kau percaya tidak?”
Sambil berkata ia pun
memegangi lengan celananya, pikirnya kalau Su-popo tidak percaya maka ia akan
menyingsing lengan celana untuk memperlihatkan bekas goresan pedang di pahanya.
Karena dia adalah bocah gunung dan tiada pernah bergaul, maka sama sekali tak
terpikir olehnya apakah perbuatannya itu sopan atau tidak dilakukan di depan
kaum wanita.
Namun terdengar Su-popo telah
mendengus sekali dan berkata, “Mengapa aku tidak percaya? A Siu, bila kita
punya Bu-bong-sin-kang kini berhasil dilatih, bukankah sekaligus aku dapat
membuat tujuh bekas luka pedang!”
A Siu mengangguk dan menghela
napas perlahan karena menyesal ilmu sakti mereka itu belum berhasil terlatih
dan mereka sudah telanjur menjadi orang cacat.
Segera Boh-thian menghiburnya,
“Sementara ini kalian tak bisa bergerak, tapi nanti kalau kalian sudah sembuh
tentu dapat melatihnya lagi, buat apa mesti banyak bicara pula.”
“Persetan, ngaco-belo belaka!”
semprot Su-popo. “Kalau aku dapat melatihnya lagi buat apa mesti banyak bicara
pula.”
Boh-thian menjadi bingung atas
omelan nenek itu, ia garuk-garuk kepala dan tidak berani buka suara lagi.
Rupanya kemarahan Su-popo
masih belum reda, ia mengomel lagi, “Hm, di mana letak kelihaian ilmu silat
Swat-san-pay? Dalam pandanganku justru tiada harganya barang sepeser pun, Pek
Cu-cay si setan tua itu main raja-rajaan di Leng-siau-sia dan anggap dia punya
Swat-san-kiam-hoat sudah nomor satu di dunia ini. Hm, aku punya Kim-oh-to-hoat
(ilmu golok Kim-oh-pay) justru adalah lawan mematikan bagi dia punya ilmu
pedang. Eh, Lemper Raksasa apakah kau tahu apa artinya Kim-oh-pay?”
“Ti ... tidak tahu,” sahut
Boh-thian sambil menggeleng.
“Kim-oh artinya matahari,
bilamana sang surya menyingsing, apa yang akan terjadi dengan salju di atas
gunung?” tanya Su-popo.
“Salju akan cair,” jawab
Boh-thian.
“Itu dia! Jika sang surya
sudah menyingsing, maka gunung salju akan runtuhlah,” kata Su-popo. “Sebab
itulah ilmu silat dari Kim-oh-pay merupakan lawan mematikan bagi ilmu silat
Swat-san-pay. Anak murid mereka bila bertemu dengan orang Kim-oh-pay tentu
mereka akan menyembah dan minta ampun belaka.”
Tentang Swat-san-kiam-hoat
sudah disaksikan oleh Boh-thian sendiri, maka sekarang ia menjadi ragu-ragu
akan kebenaran Kim-oh-to-hoat sebagaimana dikatakan oleh Su-popo itu. Dasar dia
adalah orang jujur, karena rasa sangsinya itu seketika tertampak jelas pada air
mukanya.
“Apakah kau tidak percaya?”
tanya Su-popo segera.
Jawab Boh-thian, “Ketika aku
ditawan oleh Pek-suhu di kelenteng sana, aku telah menyaksikan sesama saudara
seperguruan mereka saling gebrak dan aku masih ingat sedikit kepandaian mereka
itu, aku merasa ... merasa ilmu pedang Swat-san-pay mereka itu memang ...
memang ....”
“Memang apa?” bentak Su-popo
dengan gusar. “Kau hanya menyaksikan latihan di antara sesama saudara
seperguruan mereka, hanya semalam saja apa yang dapat kau pelajari? Dari mana
kau tahu bagus dan tidak? Coba kau pertunjukkan kepadaku sekarang.”
“Sedikit kepandaian kasar yang
kupelajari ini tentu tidak selihai Pek-suhu itu,” ujar Boh-thian.
Tiba-tiba Su-popo
terbahak-bahak, A Siu juga tersenyum-senyum. Lalu nenek itu berkata, “Pek
Ban-kiam itu memang mempunyai bakat yang bagus, latihannya sangat giat pula,
sejak kecil sampai sekarang sudah lebih 20 tahun berlatih ilmu pedang, sekarang
kau hanya melihatnya saja dalam waktu sebentar lantas ingin selihai dia,
bukankah terlalu menggelikan?”
“Nenek, Toako ini memangnya
mengatakan tidak selihai Pek-suhu itu,” sela A Siu.
Su-popo melotot sekali kepada
nona itu, lalu dia berpaling kepada Boh-thian dan berkata pula, “Baiklah, boleh
coba kau pertunjukkan sekarang, ingin kulihat betapa lihainya ilmu pedangmu.”
Boh-thian tahu si nenek sedang
menyindir padanya, dengan muka marah segera ia menjemput sebatang ranting pohon
untuk digunakan sebagai pedang, ia menirukan jurus ilmu pedang yang pernah
dilihatnya di kelenteng tempo hari itu, “sret”, segera ia menusuk seperti apa
yang dimainkan Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu dahulu.
“Haha!” Su-popo tertawa.
“Jurus pertama saja sudah salah!”
Muka Boh-thian bertambah merah
dan segera berhenti.
“Teruskan, terus main,” seru
Su-popo. “Aku ingin tahu betapa lihainya Swat-san-kiam-hoat-mu.”
Dengan perasaan malu mestinya
Boh-thian hendak melemparkan ranting kayu itu. Tapi sekilas dilihatnya A Siu sedang
memandangnya dengan penuh perhatian, sorot matanya memperlihatkan rasa
simpatik, sedikit pun tiada maksud mengejek. Maka ia lantas menggerakkan
pedangnya pula, “sret-sret-sret”, ia mainkan terus ilmu pedang yang dilihatnya
tempo hari, makin lama makin lancar permainannya sehingga menerbitkan suara
angin yang menderu-deru.
Semula Su-popo dan A Siu
tersenyum-senyum saja menyaksikan permainan Boh-thian, akan tetapi makin lama
rasa menghina nenek itu pun makin lenyap, sebaliknya menjadi heran. Setelah Boh-thian
selesai memainkan Swat-san-kiam-hoat yang tidak teratur dan banyak kesalahannya
itu, maka Su-popo saling pandang sekejap dengan A Siu, mereka mengetahui ilmu
pedang yang dipelajari pemuda itu sangat tidak sempurna, terang karena tidak
mendarat didikan sebagaimana mestinya, namun tenaga dalamnya ternyata sangat
hebat, boleh dikata jarang ada bandingannya.
Waktu melihat kedua orang itu
diam-diam saja, dengan kikuk Boh-thian lantas membuang ranting kayu dan
berkata, “Hendaklah kalian jangan menertawakan lagi diriku, aku sangat bodoh,
sesudah belasan hari aku pun tidak ingat lagi seluruhnya.”
“Kalau bilang permainanmu ini
boleh menyaksikan latihan anak murid Swat-san-pay di suatu kelenteng bobrok,
lalu diam-diam mempelajarinya?” tanya Su-popo.
“Ya, aku tahu adalah perbuatan
tidak pantas mencuri belajar ilmu silat orang lain, soalnya aku merasa ilmu
pedang ini sangat menarik, maka tanpa sadar lantas mengingat-ingat permainan
mereka ini,” tutur Boh-thian dengan muka merah.
“Hanya dalam semalam saja kau sudah
dapat mempelajari hal ini pun boleh dikatakan kau mempunyai bakat yang tinggi,”
ujar Su-popo. “Maka aku punya Kim-oh-to-hoat ini tentu kau pun dapat
mempelajarinya. Begini saja, ada lebih baik kau mengangkat aku sebagai gurumu.”
“He, nenek itu kurang baik,”
sela A Siu mendadak.
“Mengapa kurang baik,” tanya
si nenek dengan heran.
Wajah A Siu menjadi merah
jengah, sahutnya, “Jika begitu, bukankah aku harus memanggil dia sebagai Susiok
(paman guru), seketika aku menjadi lebih rendah setingkat.”
“Panggil Susiok ya panggil
saja, mengapa mesti geger?” ujar si nenek dengan menarik muka.
“Si tua bangka Ting Put-si
sewaktu-waktu dapat menyusul kemari dan memaksa aku pergi ke Pik-lwe-to, dalam
keadaan begitu bukanlah kita harus terjun ke sungai untuk membunuh diri lagi?
Jalan satu-satunya ialah lekas-lekas mengajar ilmu silat kepada si Lemper ini
barulah kita dapat melawan tua bangka itu. Sekarang urusan sudah mendesak, dari
mana dapat membedakan soal tingkatan segala. Eh, Lemper Raksasa, Su-popo hari
ini ingin membuka pintu dan mendirikan cabang serta akan menerima kau sebagai
murid pertama bagi Kim-oh-pay kami, kau mau tidak?”
Watak Ciok Boh-thian mestinya
sangat penurut, Su-popo ingin dia menjadi muridnya, tentu dia akan terima
dengan baik. Tapi demi mendengar A Siu mengatakan sungkan untuk memanggilnya
sebagai Susiok, maka ia menjadi agak ragu-ragu.
“Lekas kau berlutut dan menyembah
padaku, maka jadilah kau sebagai ahli waris Kim-oh-pay kami,” kata Su-popo
pula. “Aku adalah cikal bakal dari Kim-oh-pay dan kau adalah murid pertama
angkatan kedua Kim-oh-pay kita.”
Tiba-tiba A Siu teringat
sesuatu, ia tersenyum dan berkata, “Nenek, terimalah ucapan selamatku atas
pendirian cabang Kim-oh-pay kalian hari ini. Eh, Toako ini, bolehlah lekas kau
mengangkat guru pada nenek. Aku toh bukan murid Kim-oh-pay, tapi kita terdiri
dari dua golongan yang berlainan, maka aku tidak perlu memanggil kau sebagai
Susiok.”
Karena buru-buru ingin
menerima murid, maka Su-popo tidak memikirkan apa yang dikatakan A Siu itu,
segera ia berkata pula, “Lekas berlutut dan menyembah delapan kali padaku.”
Mendengar A Siu sudah setuju,
dengan girang Boh-thian lantas berlutut dan menyembah delapan kali kepada
Su-popo.
Rasa girang Su-popo sungguh
tak terkirakan, katanya, “Sudahlah! Murid yang baik, sekarang kita adalah orang
sekeluarga, hubungan kita menjadi tidak sama dengan tadi. Hari ini Kim-oh-pay
kita telah didirikan, kau harus melatih ilmu silatku dengan giat dan tekun,
sebab bagaimana perkembangan Kim-oh-pay kita di kemudian hari semuanya ini
adalah tergantung kepadamu. Nah, Lemper Raksasa ....”
“He, nenek cikal bakat
Kim-oh-pay,” tiba-tiba A Siu menyela dengan tertawa, “Murid pertama golongan
kalian adalah kesatria yang hebat, tapi nama julukannya ini kedengarannya
kurang sedap.”
“Ya, benar juga,” sahut
Su-popo. “Eh, sebenarnya siapa namamu? Terhadap Suhu sekali-kali kau tidak
boleh berdusta.”
“Ya, ya,” sahut Boh-thian.
“Ibuku memanggil aku sebagai Kau-cap-ceng, tapi orang-orang Tiang-lok-pang
mengatakan aku adalah Pangcu mereka yang bernama Ciok Boh-thian. Padahal bukan,
namun aku ... aku sendiri pun tidak tahu sebenarnya she apa dan bernama siapa.”
“Huh, Kau-cap-ceng apa segala,
ngaco-belo belaka! Ibumu tentu seorang gila,” kata Su-popo dengan mendengus.
“Sudahlah, boleh begini saja, kau ikut aku punya she, yakni she Su. Sebagai
murid Kim-oh-pay angkatan kedua sebaiknya kau pakai nama apa ya? Ehm, murid Swat-san-pay
itu ada yang bernama Pek Ban-kiam. Hong Ban-li, Kheng Ban-ciong dan entah ‘Ban’
apa lagi. Tapi kita lebih kuat selaksa kali daripada mereka, murid mereka
adalah angkatan ‘Ban’ (laksa), maka murid kita adalah angkatan ‘Ek’ (seratus
juta, jadi selaksa kali daripada selaksa). Dia bernama Pek Ban-kiam (selaksa
pedang), maka biarlah aku memberi nama padamu, yaitu ‘Su Ek-to’ (seratus juta
golok).”
Memangnya selama hidup Ciok
Boh-thian belum pernah mendapat nama yang resmi, baik dipanggil sebagai Kau-cap-ceng,
si Lemper, maupun Ciok Boh-thian, semuanya tak diperhatikan olehnya.
Sekarang Su-popo memberi nama
Su Ek-to padanya, memangnya dia juga tidak tahu ‘Ek’ itu berarti ‘laksa kali
laksa’ (10.000x10.000), maka tanpa pikir ia pun mengiakan saja.
Sebaliknya Su-popo merasa
sangat senang, dengan penuh semangat ia berkata pula, “Aku punya Kim-oh-to-hoat
ini sudah beberapa tahun yang lalu kuciptakan dengan sempurna cuma saja untuk
memainkan ilmu golok ini diperlukan tenaga dalam yang kuat, kalau tidak tentu
takkan memperlihatkan betapa hebatnya ilmu golok ini. Sekali ini aku kepergok
Ting Put-si di sungai sini, dia berkeras hendak mengundang aku ke Pik-lwe-to,
untuk ini kalau dia tak dilabrak, tentu dia masih akan terus rewel dan tak mau
mundur teratur, maka aku dan A Siu lantas melatih ‘Bu-bong-sin-kang’ bersama,
bila tenaga sakti ini sudah terlatih, aku akan menggunakan Kim-oh-to-hoat dan A
Siu memainkan ... Giok-tho-kiam-hoat (ilmu pedang rembulan dengan perpaduan
sang surya dan rembulan), jangankan cuma seorang tua bangka sebagai Ting
Put-si, biarpun tokoh nomor satu di dunia persilatan sekarang ini juga akan
angkat tangan menghadapi kami. Tak terduga karena sedikit lengah A Siu telah
salah latih, cepat aku memberi pertolongan, akibatnya kami berdua sama-sama
runyam, hawa murni tersesat dan menjadi lumpuh semua.”
Begitulah, dasar watak si
nenek memang suka blakblakan, sekali Boh-thian sudah menjadi muridnya, maka ia
lantas bicara secara terus terang dan menceritakan sebab musababnya dia sampai
menjadi lumpuh itu.
Lalu ia menyambung pula, “Dan
untunglah kau memiliki tenaga dalam yang hebat, ini sangat cocok untuk melatih
Kim-oh-to-hoat kita. To-hoat tidak sama dengan Kiam-hoat, pedang mengutamakan
cepat dan gesit, sebaliknya golok harus keras dan kuat. Ranting kayu itu
terlalu enteng, boleh kau cari sebatang lagi yang lebih besar.”
Boh-thian mengiakan dan lantas
pergi mencari batang kayu. Sampai di tempat sebatang pohon yang sudah tumbang,
ia lihat di samping itu ada sebatang golok yang sudah karatan, ia coba
menjemput golok itu, ternyata golok itu adalah golok yang biasanya dipakai memotong
kayu, mata goloknya sudah banyak yang sumbing, bahkan gagang kayunya sudah
membusuk dan terlepas, hanya bobotnya agak lumayan dan terasa.
Ia pikir daripada menggunakan
ranting kayu adalah lebih baik memakai golok pemotong kayu yang sudah karatan ini.
Maka ia lantas mencari sepotong kayu dan dipasang sebagai gagang goloknya itu.
Waktu melihat Boh-thian
membawa kembali golok karatan itu Su-popo dan A Siu tertawa geli, kata si A
Siu, “Nenek, Kim-oh-pay kalian hari ini didirikan secara resmi dan memakai
golok pusaka demikian untuk mengajarkan ilmu silat kepada muridmu yang pertama,
bukankah agak ... agak kurang mentereng?”
“Kurang mentereng apa?” sahut
Su-popo. “Justru perkembangan Kim-oh-pay kami kelak adalah berkat golok pusaka
ini. Hahahaha!” ia menjadi terbahak-bahak sendiri demi bicara tentang “golok
pusaka” yang istimewa itu. Maka A Siu dan Boh-thian juga ikut tertawa.
“Baiklah, sekarang kita
mulai,” kata Su-popo kemudian. “Ingatlah yang betul, jurus pertama dari
Kim-oh-to-hoat kita bernama ‘Khay-bun-liak-cat’ (buka pintu tangkap maling),
yaitu khusus digunakan untuk mengatasi jurus ‘Jong-siong-kheng-khek’,
(menyambut tamu di bawah pohon Siong) dari Swat-san-kiam-hoat mereka. Karena
mereka pura-pura baik hati menyambut tamu segala, maka terang-terangan saja
kita membuka pintu dan tangkap maling. Tampaknya kita pun seperti membungkuk
memberi hormat, tapi di dalam hati kita anggap lawan sebagai maling.”
Habis bicara ia lantas
mengambil ranting kayu tadi dan perlahan-lahan memberi contoh caranya menggunakan
jurus serangan itu sambil berkata, “Karena aku masih lemas sehingga
gerak-gerikku kurang cepat, tapi kau harus memainkannya dengan cepat dan kuat.”
Boh-thian memanggut, lalu
angkat goloknya dan menirukan memainkan jurus serangan itu dengan cepat sekali.
“Bagus, kalau sudah hafal
nanti kau harus memainkannya lebih cepat,” ujar Su-popo. “Dan jurus kedua kita
bernama Bwe-swat-hong-he (bunga Bwe mekar di musim panas), yaitu untuk
mengatasi mereka punya jurus Bwe-swat-ceng-jun (bunga Bwe mekar di musim semi).
Mereka suka main bunga Bwe bersayap enam apa segala, tapi kita sengaja mekar di
musim panas agar salju mereka mencair dan bunga Bwe mereka rontok.”
Jurus “Bwe-swat-ceng-jun” dari
Swat-san-pay itu agak ruwet sebagaimana pernah disaksikan Ciok Boh-thian alias
Su Ek-to waktu Pek Ban-kiam memainkannya di markas Tiang-lok-pang tempo hari.
Sedangkan “Bwe-swat-hong-he
yang diajarkan Su-popo ini adalah sangat cepat, dalam sekejap harus membacok ke
atas, ke bawah, ke kanan dan ke kiri masing-masing tiga kali sehingga berjumlah
12 kali bacokan, dengan serangan dahsyat ini untuk mematahkan setiap serangan
pedang lawan.
Lalu jurus ketiga bernama
“Jian-kin-ap-tho” (seribu kati menindih unta) khusus untuk mengawasi jurus
“Siang-tho-se-lay (dua unta datang dari barat) dalam Swat-san-kiam-hoat.
Jurus keempat bernama
“Tay-hay-tim-sah” (pasir tenggelam di dasar laut) untuk mengatasi jurus
“Hong-sah-bong-bong” (angin badai bertebaran), dan begitu seterusnya, setiap
jurus ilmu golok ajaran Su-popo itu tentu ada sesuatu nama yang aneh. Walaupun
nama jurus-jurus ilmu golok itu aneh, tapi memang sangat hebat dan menakjubkan.
Boh-thian tidak pernah kenal
sekolahan alias buta huruf, maka ia tidak paham nama-nama jurus ilmu golok yang
indah itu, dia hanya mengingat baik-baik caranya memainkan setiap jurus itu.
Su-popo juga cukup sabar,
mulutnya mengucap dan tangannya bergaya memberi contoh, bila permainan
Boh-thian salah segera dibetulkannya. Dengan demikian kemajuan Boh-thian
menjadi pesat, jauh berbeda daripada waktu dia mencuri belajar ilmu pedang
Swat-san-pay di kelenteng bobrok tempo hari itu.
Sesudah memberi petunjuk
sampai 18 jurus, Su-popo sendiri merasa letih, segera ia pejamkan mata untuk
mengaso dan membiarkan Boh-thian berlatih sendirian.
Tidak lama kemudian Su-popo
menyambung pula pelajarannya, bila sudah capek ia mengaso lagi dan begitu
seterusnya sehingga menjelang magrib ia sudah mengajarkan 72 jurus
Kim-oh-to-hoat kepada Boh-thian.
“Swat-san-kiam-hoat mereka
meliputi 72 jurus,” demikian kata Su-popo akhirnya, “tapi ilmu silat Kim-oh-pay
kita selalu melebihi mereka, maka ilmu golok kita ini pun satu jurus lebih
banyak daripada mereka, jadi ada 73 jurus. Jurus yang terakhir ini hendaklah
kau perhatikan betul-betul, ini, lihatlah!”
Sambil berkata ia lantas
mengangkat ranting kayu dan memotong dari atas ke bawah, lalu sambungnya, “Di
waktu melontarkan serangan ini kau harus meloncat ke udara dan membacok ke
bawah bersama badanmu yang lagi menurun itu.”
Menyusul ia lantas mengajarkan
cara bagaimana harus meloncat, cara bagaimana mengerahkan tenaga dan cara
bagaimana menutup jalan mundur yang mungkin digunakan lawan untuk menghindar.
Untuk sejenak Boh-thian
termenung-menung menyelami jurus itu, kalau ia menirukan ajaran si nenek, ia
meloncat ke atas, lalu goloknya membacok ke bawah, begitu dahsyat serangan itu
sehingga sebelum goloknya menurun atau debu pasir di atas tanah sudah
bertebaran.
Selesai pertunjukkan jurus
serangan itu, Boh-thian lantas berhenti dan berdiri di samping. Waktu ia pandang
Su-popo, tertampak wajah si nenek pucat pasi, ketika berpaling dan memandang A
Siu, nona itu tampak mengembeng air mata, agaknya sangat berduka.
Boh-thian menjadi heran,
dengan tergagap-gagap ia bertanya, “Apakah ... apakah jurus permainanku ini tidak
betul?”
Su-popo tidak menjawab. Selang
sebentar barulah ia menggerakkan tangannya dan berkata, “Betul, cuma ... cuma
daya serangan itu teramat dahsyat, maka janganlah sembarangan digunakan agar
tidak keliru melukai orang baik.”
“Ya, ya, orang baik sekali-kali
tidak boleh dilukai,” sahut Boh-thian.
Jurus ke-73 itu rupanya
menimbulkan kesan yang amat mendalam bagi Boh-thian sehingga pada malamnya ia
tak bisa tidur nyenyak, ia terus memikirkan cara permainan jurus terakhir
sampai melupakan Ting Put-sam dan Ting Put-si serta Pek Ban-kiam yang sedang
mencarinya di sekitar gua itu.
Syukurlah Ci-yan-to itu penuh
dengan hutan belukar, walaupun luas pulau itu tidak terlalu besar, maka Pek
Ban-kiam dan kawan-kawannya seketika susah menemukan tempat sembunyinya itu.
Besok paginya, begitu bangun
ia lantas berlatih Kim-oh-to-hoat. Sampai jurus terakhir, ia meloncat ke udara
terus membacok ke bawah. Sekali ini lebih dahsyat lagi daripada kemarinnya,
begitu angin senjatanya menyambar ke bawah, “blang”, terdengarlah suara
benturan yang keras.
“Selamat pagi Su ...
Su-toako,” tiba-tiba terdengar A Siu menegurnya dari belakang.
Boh-thian menoleh, dilihatnya
A Siu berada di depan gua dan sedang menyaksikan dirinya dengan sorot matanya
yang halus.
“Oh, ya, selamat pagi,”
sahutnya cepat.
Muka A Siu menjadi merah,
katanya, “Aku ingin jalan-jalan ke hutan sana, apakah engkau suka mengawani
aku?”
“Baiklah, kau sudah dapat
bergerak, kau memang harus melemaskan otot,” sahut Boh-thian. Segera kedua
orang berjalan ke arah hutan sana.
Kira-kira beberapa puluh meter
jauhnya, sementara itu mereka sudah memasuki hutan yang cukup rindang itu, di
dalam hutan masih remang-remang oleh kabut tipis, keadaan sunyi senyap, hanya
terdengar suara tindakan mereka yang menimbulkan suara keresek-keresek
menginjak daun-daun kering di atas tanah.
Sekonyong-konyong Boh-thian
mendengar suara tersedu-sedu sebelahnya, waktu Boh-thian menoleh kiranya A Siu
yang menangis. Keruan ia terkejut dan cepat ia bertanya, “Nona A Siu, sebab ...
sebab apakah engkau menangis?”
Tapi A Siu tidak menjawab, ia
berjalan pula dan tiba-tiba bersandar di sebatang pohon dan menangis lebih
sedih lagi.
“Ada apakah? Kau telah diomeli
nenekmu?” tanya Boh-thian. A Siu menggeleng kepala.
“Habis mengapa? Badanmu tidak
enak?” tanya Boh-thian pula.
Kembali A Siu hanya menggeleng
saja dan begitu pula meski Boh-thian telah bertanya sampai beberapa kali.
Seketika Boh-thian menjadi
bingung. Wanita-wanita yang pernah dikenalnya seperti ibunya, Si Kiam, Ting Tong,
Hoa Ban-ci dan lain-lain semuanya berwatak terang-terangan dan tidak pernah
terjadi seperti A Siu yang lemah lembut dan malu-malu ini.
Makin sedih A Siu menangis,
makin bingunglah Boh-thian, akhirnya terpaksa ia memohon, “Sebenarnya apakah
yang menyebabkan hatimu sedih? Sudilah kau menerangkan kepadaku?”
“Se ... semuanya ga ...
gara-garamu, kau ... kaulah yang salah, masakah ... masakah kau masih
bertanya?” sahut A Siu dengan terguguk-guguk.
Keruan Boh-thian terkejut,
pikirnya, “Aku yang salah? Bilakah aku berbuat salah?”
Tapi karena dia sangat
menghormati A Siu yang berbudi halus itu maka ia percaya saja segala apa yang
dikatakan nona itu, jika dia bilang dirinya salah, maka tentulah tidak keliru
lagi. Segera ia menjawab dengan suara terputus-putus, “No ... nona A Siu, harap
engkau suka menerangkan padaku apa kesalahanku, aku adalah ... adalah seorang
bodoh, sudah berbuat salah, tapi ti ... tidak tahu, sungguh bodoh aku ini.”
Dengan air mata meleleh A Siu
memandang Boh-thian, lalu tuturnya, “Semalam aku ... aku telah bermimpi buruk,
impiannya sangat menakutkan, di mana kau ... kau telah bersikap sedemikian
kejamnya kepadaku?”
Sampai di sini kembali air
matanya bercucuran lagi.
“Aku sangat kejam padamu?”
Boh-thian menegas dengan terheran-heran.
“Ya, aku telah mengimpi,
dengan memainkan jurus ke-73 dari Kim-oh-to-hoat itu, kau telah membacok dari
udara dan sekali bacokan telah membinasakan diriku,” sahut A Siu.
Untuk sejenak Boh-thian
tercengang, mendadak ia mengetok-ngetok kepalanya sendiri dan mengomel, “Kurang
ajar! Aku telah membikin nona ketakutan di dalam mimpi.”
A Siu menjadi tertawa geli,
katanya, “Su-toako, aku sendirilah yang bermimpi dan tak dapat menyalahkan
kau.”
Boh-thian sampai terkesima
memandangi wajah si nona yang putih halus dan cantik itu di kala tertawa dengan
pipinya yang masih terdapat beberapa tetes air mata.
Muka A Siu menjadi merah,
katanya pula dengan malu-malu, “Impianku biasanya sangat tepat dan terbukti,
makanya aku menjadi takut jangan-jangan pada suatu hari kelak engkau
benar-benar akan membacok mati diriku dengan jurus ketujuh puluh tiga itu.”
“Tidak, tidak mungkin, biar
bagaimanapun tidak mungkin aku membunuh kau,” sahut Boh-thian sambil menggeleng-geleng.
“Jangankan aku tak mungkin membunuh kau, sekalipun kau yang akan membunuh aku
juga aku takkan ... takkan melawan.”
“Jika aku akan membunuh kau,
sebab apa kau takkan melawan?” A Siu menegas dengan heran.
“Ya, aku ... aku merasa apa
pun yang nona katakan dan apa pun yang hendak nona lakukan, tentu aku akan
menurut kepada segala kehendakmu itu,” sahut Boh-thian sambil garuk-garuk
kepala dan menyengir. “Apabila engkau benar-benar hendak membunuh diriku, bila
aku tidak menurut, tentu engkau akan tidak senang, maka adalah lebih baik aku
membiarkan diriku dibunuh engkau saja.”
A Siu mendengarkan ucapan
Boh-thian itu dengan termangu-mangu. Ia merasa ucapan pemuda itu sangat tulus
ikhlas dan timbul dari lubuk hatinya yang murni, sungguh ia menjadi sangat
berterima kasih, ia terharu dan matanya menjadi merah lagi.
Katanya kemudian, “Sebab ...
sebab apakah engkau sedemikian baiknya padaku?”
“Kupikir asalkan nona merasa
senang, maka aku pun merasa bahagia,” sahut Boh-thian, “Nona A Siu, sungguh aku
ingin ... ingin senantiasa memandang kau seperti sekarang ini.
Dasar Boh-thian memang seorang
pemuda yang masih hijau dan polos, apa yang terpikir olehnya segera
diucapkannya tanpa mempunyai pikiran-pikiran lain. Sebaliknya meski usia A Siu
lebih muda beberapa tahun, namun dalam hal seluk-beluk kehidupan manusia entah
berapa kali lipat paham daripada Boh-thian. Oleh sebab itulah demi mendengar
ucapan Boh-thian tadi segera ia anggap pemuda itu telah menunjukkan rasa cinta
padanya dan bersedia untuk hidup berdampingan selamanya sebagai suami-istri.
Keruan ia menjadi malu, mukanya menjadi merah dan menundukkan kepala.
Sampai sekian lamanya kedua
orang terdiam. Akhirnya A Siu membuka suara dengan kepala tetap tunduk, “Aku
pun tahu, engkau adalah orang baik, apalagi ketika di atas perahu itu kita ...
kita berdua telah memakai satu bantal, untuk mana biarpun mati juga aku takkan
ikut kepada orang lain lagi.”
Dengan ucapan A Siu ini
maksudnya ialah bahwa apa yang sudah terjadi itu seakan-akan sudah suratan
takdir. Dalam keadaan seluruh badan terikat Boh-thian justru dilemparkan orang
ke dalam kolong selimutnya sehingga meringkuk bersama satu bantal semalam
suntuk, hanya saja ia malu untuk mengatakannya secara terus terang, maka ketika
menyebut tentang “bersatu bantal” itu suaranya menjadi sedemikian lirihnya
sebagai bunyi nyamuk.
Sudah tentu Boh-thian sama
sekali tidak paham ucapan A Siu itu pada hakikatnya merupakan sumpah setianya,
yang diketahui hanya kedengaran si nona ternyata sangat baik padanya, dengan
sendirinya ia sangat senang. Tiba-tiba ia berkata, “Alangkah baiknya jika di
atas pulau ini hanya terdapat nenekmu, engkau dan aku bertiga. Kita dapat
tinggal selamanya di sini tanpa diganggu oleh siapa pun juga. Tapi sayang kita
telah disusul oleh Pek Ban-kiam, kakek-kakek Ting Put-sam, Ting Pun-si segala
sehingga kita selalu dalam keadaan khawatir.”
“Aku sih tidak takut kepada
Pek Ban-kiam atau Ting Put-si segala, aku hanya takut kalau ... kalau kelak kau
membunuh diriku,” sahut A Siu sambil mengangkat kepalanya.
“Tidak, aku lebih suka
membunuh diri sendiri daripada mengganggu seujung jarimu sekalipun,” sahut
Boh-thian cepat.
Tanpa merasa A Siu mengangkat
telapak tangan sendiri serta memandangnya. Kala itu sinar sang surya sedang
memancarkan cahayanya yang gilang-gemilang dan menembus masuk ke dalam hutan di
antara celah-celah pepohonan, maka tertampaklah jari-jari A Siu yang putih
bersih menggiurkan itu, tanpa merasa Boh-thian terus pegang tangan si nona dan
menciumnya.
Keruan A Siu menjerit kaget
dan cepat menarik kembali tangannya, mendadak ia menjadi lemas dan bersandar di
batang pohon dengan napas terengah-engah.
Mengira si nona menjadi marah,
cepat Boh-thian berkata, “O, maafkan, nona, harap janganlah marah. Aku tidak
sengaja ....”
Melihat kegugupan pemuda itu,
A Siu menjadi tidak tega, kembali ia menyodorkan tangannya dan berkata dengan
suara lemah lembut, “Ti ... tidak, tidak apa-apa.”
Boh-thian menjadi girang,
dengan hati berdebar-debar kembali ia memegang tangan si nona yang putih halus
itu dan diraba-rabanya dengan perlahan, tapi ia tidak berani menciumnya lagi.
Sudah tenang kembali
pernapasannya, lalu A Siu berkata, “Kau telah melancarkan jalan darah nenekku,
akan tetapi entah kapan barulah kekuatan beliau dapat pulih kembali.”
Karena Boh-thian tidak paham
tentang Cau-hwe-jip-mo (lumpuh karena salah melatih) apa segala, maka ia pun
tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya, ia hanya berkata, “Semoga Ting
Put-si tak dapat menemukan kita, maka takkan menjadi halangan walaupun
sementara ini kesehatan nenekmu belum pulih kembali.”
“Mengapa kau masih bicara
tentang nenekmu dan nenekku segala? Bukankah dia adalah cikal bakal Kiam-oh-pay
dan engkau adalah muridnya, mengapa engkau tidak memanggil Suhu padanya?”
“Ya, karena sudah biasa
sehingga sukar berubah seketika,” sahut Boh-thian. “Nona A Siu ....”
“Mengapa kau masih menyebut
nona apa segala padaku, buat apa mesti sungkan-sungkan?”
“O, ya, ya. Tapi ... tapi cara
bagaimana aku harus memanggil kau?”
Kembali muka A Siu menjadi
merah, katanya di dalam hati, “Seharusnya kau memanggil aku ‘adik Siu’ dan aku
memanggil Toako padamu.”
Akan tetapi, betapa pun dia
adalah nona yang berperasaan halus, pikirannya demikian sudah tentu tak berani
diutarakannya, maka ia hanya menjawab, “Boleh kau panggil aku ‘A Siu’ saja. Dan
bagaimana aku harus memanggil engkau?”
“Kau suka memanggil apa, boleh
terserah padamu,” ujar Boh-thian.
“Bila aku memanggil engkau
sebagai si Lemper, kau akan marah atau tidak?” tanya A Siu dengan tertawa.
“Ha, bagus, masakan aku akan
marah?” ujar Boh-thian tertawa juga.
“Baiklah. Eh, Lemper!” panggil
A Siu dengan suara merdu.
“Ya, A Siu,” sahut Boh-thian.
Dan A Siu juga mengiakannya. Maka tertawalah kedua muda-mudi itu dengan saling
pandang, rasa gembira mereka susah diperkirakan.
“Apakah kau tidak lelah
berdiri sejak tadi? Marilah kita berduduk untuk bicara,” ajak Boh-thian. Lalu
kedua orang itu duduk berjajar di bawah pohon besar itu.
Rambut A Siu yang panjang itu
menjulai sampai di pundak dan mengilap terkena sinar matahari. Perlahan-lahan
Boh-thian membelai rambut si nona yang tersampir di sebelah bahunya itu.
“Engkoh Lemper,” kata A Siu
sambil memainkan ujung bajunya, “jika kami tidak bertemu dengan kau, tentu
nenek dan aku saat ini sudah mati tenggelam di dasar sungai dan takkan terjadi
seperti saat sekarang ini.”
“Kalau kita bisa hidup seperti
ini, bukankah kita akan sangat gembira?” sahut Boh-thian. “Buat apa kita harus
belajar ilmu silat apa segala dan saling pukul, saling gontok, akibatnya
sama-sama susah dan sama-sama celaka. Sungguh aku tidak paham.”
“Betapa pun ilmu silat harus
kita pelajari,” ujar A Siu. “Di dunia terlalu banyak orang jahat, biar kau tak
memukul orang, tentu orang lain yang akan memukul kau. Memukul saja masih tidak
menjadi soal, kalau sampai membunuh, itulah yang celaka. Maka dari itu Engkoh
Lemper, bolehkah aku mohon sesuatu padamu?”
“Boleh saja,” sahut Boh-thian.
“Apa yang kau katakan, tentu akan kulakukan.”
Maka berkatalah A Siu,
“Kim-oh-to-hoat yang diajarkan nenek itu memang sangat lihai, ditambah lagi
Lwekangmu yang kuat, sesudah kau latih dengan masak, tentu akan sedikit sekali
jago silat yang mampu menandingi kau. Hanya saja aku mengkhawatirkan sesuatu, kau
sangat jujur dan polos, sebaliknya hati manusia di dunia Kangouw ini kebanyakan
palsu dan jahat, bila kau banyak mengikat permusuhan, tentu kau akan masuk
perangkap orang-orang jahat itu dengan segala tipu akalnya yang licik. Maka
dari itu aku mohon hendaklah kau jangan banyak mengikat permusuhan dengan
orang.”
“Ini adalah maksud baikmu bagi
kepentinganku, tentu saja aku akan menurut,” sahut Boh-thian sambil mengangguk.
Sesudah berhenti sejenak, lalu
A Siu berkata pula, “Kim-oh-to-hoat ajaran nenek itu setiap jurusnya sangat
ganas dan kejam, kelak bila kau bertempur dengan orang, bila banyak melukai
atau membunuh orang, mau tak mau musuhmu akan menjadi banyak juga.”
Boh-thian menjadi khawatir,
cepat jawabnya, “Ya, benar ucapanmu ini. Biarlah aku takkan mempelajari ilmu
golok ini dan akan minta nenek mengajarkan kepandaian lain saja.”
“Ilmu silat Kim-oh-pay justru
cuma terdiri dari ilmu golok itu melulu dan tiada lain macam lagi,” kata A Siu
dengan menggeleng kepala. “Pula, biar ilmu silat macam apa pun juga pasti akan
melukai dan membunuh orang. Kalau tak dapat melukai atau membunuh orang, maka
itu tak bisa dinamakan silat lagi. Soalnya, asal di waktu kau bertempur dengan
orang hendaklah senantiasa bermurah hati, di mana dapat mengampuni orang, maka ampunilah,
dan ini pun sudah cukup.”
“Di mana dapat mengampuni
orang, ampunilah dia, kata-katamu ini sangat baik. A Siu, kau sungguh sangat
pintar dapat mengatakan kata-kata sebagus itu,” puji Boh-thian.
“Ah, masakah aku bisa sepintar
itu, apa yang kukatakan ini hanya kutipan dari sesuatu syair kuno saja,” sahut
A Siu dengan tersenyum.
“Apa? Syair?” tanya Boh-thian
dengan bingung. Maklum, dia buta huruf, sudah tentu syair apa segala tak
diketahuinya.
A Siu memandang heran kepada
pemuda itu, ia ragu-ragu apakah Boh-thian benar-benar tidak paham atau cuma
pura-pura saja? Tapi ia pun tidak menjawabnya, sesudah merenung sejenak,
kemudian ia berkata, “Harus mencapai tingkat tiada tandingannya di dunia ini
barulah dapat mengampuni orang di mana kau ingin mengampuni, kalau tidak,
biarpun kau yang minta ampun kepada orang juga belum tentu orang mau
mengampuni. Eh, Lem ....” sampai di sini ia tertawa, lalu menyambung, “Bolehkah
aku memanggil ‘Toako’ saja kepadamu?”
Dan tanpa menunggu jawaban
Boh-thian segera ia meneruskan lagi, “Maksudku agar kau suka mengampuni sesama
manusia, tetapi orang Bu-lim banyak yang berhati jahat, engkau bermaksud
mengampuni orang boleh jadi pihak lawan menggunakan kesempatan itu untuk
mencelakai kau. Toako, aku pernah melihat orang memainkan sejurus serangan yang
amat bagus, biarlah sekarang kupertunjukkan kepadamu.”
Habis berkata ia lantas
mengambil golok puntul yang terletak di sebelah Boh-thian, ia berdiri tegak,
lalu membuka langkah, golok ditolak ke depan dengan melintang, menyusul lantas
menebas ke kiri, ditarik kembali dan menebas lagi ke kanan, menyusul golok
membacok balik dan menurun ke depan dadanya sendiri.
Melihat gaya si nona yang
indah dan menggiurkan itu, Boh-thian menjadi terpesona sehingga termangu-mangu
memandangi A Siu, hakikatnya ia tidak memerhatikan permainan goloknya tadi.
Dalam pada itu sesudah menarik
kembali goloknya, A Siu mundur dua tindak, lalu berdiri tegak pula dengan golok
terpeluk di depan dada, katanya, “Sesudah menarik kembali senjata, tenaga dalam
harus tetap dikerahkan untuk menjaga sekitar badan sendiri agar tidak mendadak
diserang musuh.”
Ketika melihat pemuda itu
termenung-menung memandangi dirinya dan terang tidak memerhatikan apa yang
dikatakan tadi, segera ia bertanya, “Kenapakah kau? Apakah jurus permainanku
ini kurang baik?”
Jilid 23
“O, ti ... tidak! Baik sekali,
ba ... bagus sekali!” sahut Boh-thian dengan tergagap.
“Di mana letak kebagusannya?”
tanya A Siu.
“Ini ... ini ....” Boh-thian
menjadi susah menjawab, mukanya berubah merah.
“Ya, tahulah aku,” omel A Siu.
“Engkau adalah murid ahli waris Kim-oh-pay, sudah tentu kau sama sekali
memandang sebelah mata dengan sedikit permainan cakar kucing yang kutunjukkan
ini.”
“O, ma ... maaf, aku
memandangi kau karena sangat memesonakan, maka aku menjadi lupa kepada
permainan golokmu,” sahut Boh-thian dengan gugup. “Nona A Siu, sukalah engkau
memainkannya sekali lagi.”
“Tidak, tidak mau lagi!” A Siu
pura-pura marah.
“Aku mohon dengan sangat,
sukalah kau main sekali lagi,” pinta Boh-thian sambil memberi hormat.
“Baik, aku main satu kali
lagi, tapi tidak kuat untuk main ketiga kalinya,” kata A Siu dengan tersenyum.
Segera ia membuka langkah dan ayun goloknya lagi membacok dan menebas seperti
tadi, ia ulangi pula jurus itu dengan perlahan.
Sekali ini Boh-thian
benar-benar memerhatikan dengan sungguh-sungguh, maka dapatlah dia ingat dengan
baik caranya, gayanya, langkah, dan gerakan-gerakannya.
Lalu A Siu memberi pesan pula
bilamana Boh-thian harus tetap mengerahkan tenaga untuk menjaga-jaga kalau pada
saat terakhir mendadak diserang musuh, untuk ini Boh-thian mengingatnya dengan
baik pula. Lalu ia mengambil golok dari si nona dan memainkan jurus itu menurut
apa yang telah dipahaminya.
Melihat pemuda itu sekali
belajar lantas bisa, sungguh A Siu sangat girang, pujinya, “Kau sungguh pintar,
Toako, hanya memerhatikan sebentar saja kau sudah dapat memahaminya. Jurus
serangan ini bernama ‘Pang-kau-cik-kik’ (mengetok dari samping dan memukul dari
sisi), ke mana golokmu tiba, ke situlah tenaga dalam harus dikerahkan.”
“Jurus serangan ini sungguh
sangat bagus, tiba-tiba di kanan, tahu-tahu di kiri, mendadak ke atas,
tahu-tahu ke bawah lagi sehingga musuh susah untuk menangkis,” ujar Boh-thian.
“Letak kebagusan jurus
serangan ini melainkan berguna untuk mengampuni pihak lawan saja,” kata A Siu.
“Hendaklah tahu, sekali jago silat sudah bertanding, sekali senjata beradu,
maka sering kali harus mengadu tenaga dalam, sesungguhnya itu adalah
pertarungan yang sangat berbahaya, yang kalah andaikan tidak mati juga pasti
akan terluka parah. Tidak perlu dibicarakan lagi apabila kau memang tidak dapat
melawan musuh, tapi seumpama kau lebih lihai daripada lawanmu, kau ada maksud
takkan melukai lawan dan ingin menghentikan pertarungan sengit dengan sama-sama
tidak cedera, hal ini sesungguhnya teramat sukar. Maka dari itulah, jurus
‘Pang-kau-cik-kik’ ini adalah sangat bagus dan serbaguna, jurus ini takkan
melukai orang, tapi juga tak bisa dilukai orang.”
Melihat nona itu bersandar di
pohon dan tampaknya sangat lelah, segera Boh-thian berkata, “Duduklah, agaknya
engkau sangat lelah.”
Perlahan-lahan A Siu
berjongkok dan duduk bersila di bawah pohon, kemudian ia tanya, “Kau sudah
mendengarkan uraianku barusan?”
“Sudah,” sahut Boh-thian.
“Jurus ini bernama ‘Pang-kau-cik-kik’ apa ya?”
Sekali ini bukanlah dia tidak
memerhatikan uraian A Siu tadi, tapi ia benar-benar susah mengucapkan nama
jurus serangan itu. Maklum, nama itu adalah kalimat ungkapan tertentu, karena
dia tidak pernah sekolah, dengan sendirinya ia tidak paham dan susah
mengucapkan.
“Ha, kembali kau tidak
memerhatikan uraianku lagi,” omel A Siu. “Sudahlah, kau berpaling ke sana dan
jangan memandang padaku lagi.”
Kata-kata si nona ini
sebenarnya hanya untuk bergurau saja. Tak tersangka Boh-thian dasarnya memang
polos tanpa mempunyai pikiran apa-apa, ia benar-benar berpaling dan tak berani
memandangnya lagi.
A Siu menjadi tak enak
sendiri, ia tersenyum, lalu menerangkan, “Jurus itu bernama ‘Pang-kau-cik-kik’.
Toako, hendaklah mengetahui bahwa setiap tokoh Bu-lim kebanyakan sudah menjaga
nama dan pamor. Seorang tokoh yang kenamaan, dia takkan menyesal bila kau
melukainya sehingga parah sekalipun, tapi dia akan merasa malu bila kau
mengalahkan dia. Sebab itulah di waktu bertanding paling baik kalau kita bisa
memberi kelonggaran kepada lawan dan jangan terlalu mendesaknya. Jika sudah
terang kau telah menang, bolehlah kau menggunakan jurus serangan
‘Pang-kau-cik-kik’ ini, karena kau menebas ke sana dan ke sini dan naik-turun,
tentu pandangan orang-orang di samping akan kabur, tapi akhirnya kau melangkah
mundur sambil menarik kembali golokmu, hal ini akan membingungkan para
penonton, mereka takkan mengetahui dengan pasti siapa yang telah menang dan
siapa yang kalah. Dengan cara demikian berarti kau telah memberi muka kepada
lawan agar dia tidak merasa malu dan berarti kau telah mengurangi permusuhan
yang tidak habis-habis. Bila kau dapat menambahi beberapa patah kata yang ramah
tamah untuk memuji pihak lawan, dengan demikian pihak lawan menjadi lebih rikuh
lagi untuk bermusuhan terus dengan kau dan bukan mustahil akan berbalik menjadi
kawanmu.”
Sungguh Boh-thian sangat kagum
atas uraian si nona, katanya, “A Siu, kau masih sangat muda, tapi sudah
sedemikian pandai memikir. Caramu ini benar-benar sangat baik.”
“Jangan memuji dulu, uraianku
masih belum selesai,” kata A Siu dengan tertawa. “Sekarang bolehlah kau
berpaling kemari.”
Boh-thian menurut. Ia lihat si
nona sedang memandang padanya dengan tersenyum simpul, wajahnya molek berseri,
untuk pertama kalinya hatinya terguncang.
Dalam pada itu terdengar A Siu
telah berkata, “Ah, aku pintar apa? Aku hanya dengar kata orang tua saja, maka
aku pun menirukannya.”
“Biarlah aku melatihnya sekali
lagi supaya tidak lekas lupa,” ujar Boh-thian. Lalu ia melompat bangun, ia
angkat goloknya dan memainkan pula jurus “Pang-kau-cik-kik” itu sampai dua kali
lagi.
“Ehm, bagus, sedikit pun tidak
salah,” kata A Siu sambil manggut-manggut.
Dengan senang Boh-thian lantas
duduk di samping si nona. Tiba-tiba A Siu menghela napas dan berkata, “Toako,
aku telah mengajarkan jurus ‘Pang-kau-cik-kik’ ini, tapi janganlah kau beri
tahukan kepada nenek.”
“Ya, takkan kukatakan padanya,
kutahu nenekmu tentu akan kurang senang,” sahut Boh-thian.
“Dari mana kau mengetahui
nenek akan kurang senang?” tanya A Siu.
“Engkau bukan orang
Kim-oh-pay, sekarang sebagai murid Kim-oh-pay aku telah belajar kepandaian dari
golongan lain, sudah tentu beliau akan kurang senang,” ujar Boh-thian.
“Kim-oh-pay, haha, Kim-oh-pay!
Nenek menjadi seperti anak kecil saja,” kata A Siu dengan tertawa.
“Ya, aku pun merasa nenekmu
agak kekanak-kanakan sifatnya. Ting Put-si hanya mengundang beliau bermain ke
Pik-lwe-to, mestinya beliau boleh pergi saja sebentar, buat apa dilakoni sampai
terjun sungai segala. Perangainya benar-benar agak terlalu keras.”
“Huh, kau berani menggerundel
pada gurumu sendiri, awas akan kukatakan padanya biar beliau membeset kulitmu,”
kata A Siu dengan tertawa.
Boh-thian menjadi gugup juga
walaupun mengetahui si nona hanya bergurau saja, cepat ia berkata, “He, jangan!
Lain kali aku takkan sembarangan omong lagi.”
Melihat kekhawatiran pemuda
itu, A Siu menjadi menyesal juga, ia merasa tidak pantas mendustai orang jujur
sebagai Boh-thian itu. Apalagi kalau diingat sebabnya dirinya mengajarkan jurus
“Pang-kau-cik-kik” itu, walaupun tidak jelek bagi pemuda itu, tapi sesungguhnya
juga terdorong oleh kepentingan sendiri.
Dasar perasaan A Siu memang
halus, maka cepat ia berkata, “Toako, kau telah berjanji padaku bila kelak
bertempur dengan orang, engkau takkan sembarangan melukai dan membunuh orang,
bahkan takkan membikin malu orang, sungguh aku merasa sangat berterima kasih,
untuk mana terlebih dulu terimalah penghormatanku ini.”
Habis berkata ia lantas
berlutut dan menyembah.
Boh-thian terkejut, serunya
cepat, “He, mengapa engkau memberi penghormatan setinggi ini?”
Segera ia pun berlutut dan
balas menyembah.
Pada saat itulah, tiba-tiba
terdengar suara bentakan seorang wanita dengan gusar, “Huh, tidak tahu malu,
mengapa kau main sembah-sembahan lagi dengan perempuan lain di sini?”
Siapa lagi suara itu kalau
bukan suaranya si Ting Tong!
Keruan kejut Boh-thian tak
terhingga, “Haya! Ting-ting Tong-tong!” ia menjerit dan segera melompat bangun.
Benar juga tertampak si Ting
Tong sedang berlari datang dari hutan sana, di belakangnya mengikuti seorang
tua, itulah Ting Put-sam adanya.
Melihat kedua orang itu,
sungguh takut Boh-thian tidak kepalang, cepat ia rangkul A Siu dan mengepitnya,
segera ia membawanya melarikan diri secepat terbang.
Akan tetapi Ting Put-sam jauh
lebih cepat lagi, hanya beberapa kali lompatan saja sudah melampaui Boh-thian
dan segera mengadang di depan pemuda itu.
Kembali Boh-thian menjerit
kaget, cepat ia membelok ke samping.
Memangnya dia punya ginkang
kalah tinggi daripada Ting Put-sam, ditambah lagi dia mengempit si A Siu, sudah
tentu dengan mudah saja kembali dia sudah diadang pula oleh Ting Put-sam.
Saat itu si Ting Tong juga
sudah menyusul sampai di belakangnya. Tertampak nona itu bersenjata liu-yap-to
(golok panjang tipis seperti daun liu) yang mengilat, keruan ia tambah
khawatir.
Tiba-tiba terdengar si Ting
Tong membentak dengan murka, “Letakkan perempuan hina itu dan biar kubinasakan
dia, kalau tidak, selama hidup urusan kita ini pasti takkan terselesaikan!”
“Ti ... tidak, jang ...
jangan!” sahut Boh-thian gugup.
“Sret”, mendadak Ting Tong
menebaskan goloknya ke atas kepala A Siu. Boh-thian terkejut, tanpa pikir lagi
ia melompat ke samping.
Saking khawatirnya kalau-kalau
tebasan si Ting Tong itu akan membinasakan A Siu, maka tanpa terasa tenaga
dalamnya telah timbul menurutkan pikirannya, seketika tenaga dalam yang
mahakuat timbul di telapak kakinya sehingga tubuhnya yang meloncat itu terus
mengapung ke atas, di luar dugaan tingginya sampai melebihi pucuk pohon.
Sedemikian tinggi loncatan
Boh-thian itu, bukan saja Ting Put-sam dan si Ting Tong terkejut, bahkan
Boh-thian sendiri pun menjerit kaget selagi badannya masih terapung di udara.
Ia menduga bila jatuh nanti, tentu
badannya akan hancur, paling sedikit kakinya juga pasti patah. Lebih celaka
lagi kalau A Siu sampai dibunuh oleh si Ting Tong, tentu runyamlah segala
urusan.
Saat itu badannya sudah mulai
menurun ke bawah dan tampaknya akan menjatuhi sebatang dahan pohon yang
melintang, dalam gugupnya ia menggunakan kakinya untuk bertahan sekuatnya
dengan maksud dapatlah melompat lagi sejauh mungkin untuk melarikan diri. Tak
terduga lantas terdengarlah suara “krak”, dahan pohon itu telah patah, badannya
membal lagi ke depan sehingga lebih tinggi daripada tadi.
Syukurlah pada saat itu
terdengar A Siu yang berada di kempitannya itu telah berkata padanya, “Toako,
waktu menurun nanti hendaklah tekuk kakimu agar daya turunnya tertahan sedikit,
tentu daya pentalnya nanti akan lebih ....”
Belum habis ucapan A Siu,
kembali kedua kaki Boh-thian sudah jatuh pula di atas dahan pohon yang lain.
Sekali ini ia menuruti
petunjuk A Siu, ia sedikit tekuk lututnya untuk mengurangi daya tekanannya.
Aneh juga, dahan pohon itu tidak patah lagi, tapi hanya mendoyong sedikit ke
bawah, lalu menyendal kembali ke atas sehingga tubuh Boh-thian terlempar
terlebih tinggi dan jauh. Dan begitulah seterusnya, tiap kali di atas dahan,
lalu Boh-thian terpental lebih jauh lagi sehingga lambat laun suara bentak maki
si Ting Tong makin menjauh dan akhirnya tak terdengar lagi.
Dengan melompat naik-turun
itu, Ciok Boh-thian merasa sangat senang. Ditambah lagi A Siu masih terus
memberi petunjuk-petunjuk cara menggunakan tenaga dan cara melompat. Memangnya tenaga
dalam Boh-thian sangat kuat, sekali mengetahui cara bagaimana menggunakan
ginkang, dengan cepat ia sudah dapat melompat dengan sesukanya sebagai kera
atau tupai gesitnya. Sungguh senangnya tak terhingga, katanya, “Wah, cara
demikian ini sangat bagus, dengan begini kita takkan takut dikejar oleh mereka
lagi.”
Dalam pada itu mereka sudah
hampir mencapai ujung hutan sana, tiba-tiba terdengar pula suara-suara bentakan
yang ramai disertai sinar berkelebatnya senjata, terang ada orang sedang
bertempur di sana.
“Wah, celaka, di sana ada
orang, kita jangan maju lagi,” kata Boh-thian. Dan sedikit kakinya menutul
dahan pohon, dengan enteng ia lantas turun ke bawah. Ia menurutkan cara yang
diajarkan A Siu, ia tarik napas dalam-dalam, ujung kakinya menyentuh tanah
lebih dulu, biarpun dia masih tetap membawa seorang, tapi jatuhnya ke tanah
ternyata tiada mengeluarkan suara apa-apa.
Ia sembunyi di balik sebatang
pohon yang besar, lalu mengintip ke arah suara ramai-ramai sana. Tapi ia
menjadi terkejut. Tertampak di suatu tanah lapang yang dikelilingi pohon-pohon
itu ada dua orang sedang bertarung dengan sengit, yang satu bersenjata pedang
adalah Pek Ban-kiam, yang lain bertangan kosong, itulah Ting Put-si.
Di samping masih ada belasan
murid Swat-san-pay dengan pedang terhunus sedang mengawasi pertempuran itu,
mereka bersorak-sorak untuk memberi semangat kepada Pek Ban-kiam.
Sebaliknya mesti Ting Put-si
tidak bersenjata, tapi dia telah mainkan tangannya untuk mencengkeram,
mencakar, menutuk, memotong, dan memukul, lihainya melebihi sepasang senjata.
Terkadang kalau pedang Pek
Ban-kiam menusuk dari samping, bukannya Ting Put-si menghindar mundur,
sebaliknya ia menerjang maju untuk mendahului menghantam.
Hanya mengamati beberapa jurus
saja segera Boh-thian mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyaksikan
pertempuran itu sampai lupa bahwa dia masih memondong seorang lagi. Memangnya
Boh-thian pernah belajar Swat-san-kiam-hoat, sedangkan jurus-jurus serangan
Ting Put-si juga adalah sebagian pernah diajarkan kepadanya, walaupun masih ada
sebagian besar tak pernah dilihatnya, tapi jalannya dapatlah diikuti dengan
baik, di mana letak tujuan setiap serangan itu pun dapat dipahaminya.
Ia lihat Ting Put-si lebih
banyak menyerangnya daripada bertahan, sepasang telapak tangannya sebagai
pedang dan mirip golok, terkadang dipakai menusuk menyerupai tombak pula
sehingga Pek Ban-kiam terdesak dan terpaksa lebih banyak bertahan daripada
menyerang.
Pek Ban-kiam tampak tenang dan
sabar, namun tidak kurang pula tangkisannya. Terkadang kelihatan dia terdesak,
tapi sekali pedangnya berkelebat, kembali dia dapat memaksa Ting Put-si untuk
menarik kembali serangannya.
Tampaknya tidaklah mudah bagi
Ting Put-si untuk merebut kemenangan, bahkan kalau sudah lama boleh jadi akan
lebih menguntungkan Pek Ban-kiam yang bersenjata itu.
Kalau Ciok Boh-thian saja
dapat menarik kesimpulan demikian, maka bagi Pek Ban-kiam dan Ting Put-si sudah
tentu lebih-lebih merasakan akan keadaan itu.
Kiranya Ting Put-si itu
menganggap dirinya sama tingkatannya dengan ayah Pek Ban-kiam yaitu Wi-tek
Siansing Pek Cu-cay, maka ia telah menyatakan akan melawan Pek Ban-kiam dengan
bertangan kosong, bahkan di dalam 72 jurus saja ia akan dapat merampas pedang
lawannya itu.
Di luar dugaan, begitu
pertarungan sudah berlangsung seketika Ting Put-si mengeluh di dalam hati.
Dahulu ia pernah bertempur dengan beberapa orang murid Swat-san-pay, maka ia
sangka kepandaian Pek Ban-kiam betapa pun juga terbatas. Siapa duga di
antaranya sesama murid Swat-san-pay itu bedanya ternyata sangat jauh, keruan ia
terkecoh dan mengeluh.
Walaupun yang dimainkan Pek
Ban-kiam sama-sama adalah Swat-san-kiam-hoat, tapi kecepatannya dan
perubahan-perubahannya, tenaga dalam yang digunakan serta cara-caranya, nyata
dia sudah mencapai tingkatan jago kelas satu, sekalipun Wi-tek Siansing Pek
Cu-cay sendiri di masa jaya-jayanya ketika masih malang melintang di dunia
Kangouw mungkin juga tidak lebih daripada kepandaian sang putra sekarang.
Terpaksa Ting Put-si harus
mencurahkan perhatian dan mengerahkan semangat lebih daripada biasanya, ia
gunakan kegesitannya untuk melompat dan menyusup kian-kemari di bawah lingkaran
sinar pedang lawan, terkadang bila sudah kepepet ia harus menggunakan serangan
balasan yang berbahaya dengan tujuan gugur bersama untuk memaksa Pek Ban-kiam
menarik kembali serangannya yang lihai. Sebaliknya bila ketemukan keadaan
begitu, selalu Pek Ban-kiam mengalah dan tidak mau mengadu jiwa dengan lawan,
seakan-akan Ban-kiam sudah yakin pasti akan memperoleh kemenangan terakhir
nanti.
Sebenarnya kalau berbicara
tentang kepandaian sejati betapa pun harus diakui Ting Put-si adalah lebih
tinggi setingkat, sebabnya dia terdesak adalah lantaran dia terlalu takabur,
dia tak mau menggunakan senjata untuk menandingi Pek Ban-kiam, dia tidak tahu
jago macam apakah “Gi-han-se-pak” itu, bahwasanya sekalipun jago yang paling
kuat, kalau senjata lawan senjata dengan dia juga tidak mudah untuk
mengalahkannya, apalagi bertangan kosong sebagai Ting Put-si sekarang?
Begitulah, maka sesudah
dua-tiga puluh jurus, tiba-tiba Pek Ban-kiam berkata, “Ting-sicek (Paman Ting),
silakan menggunakan senjata saja, kalau bertangan kosong engkau tak dapat
menandingi aku.”
“Kentut!” bentak Ting Put-si
dengan gusar. “Masakah aku tak dapat menandingi kau? Hm, ini boleh kau coba
seranganku ini!”
Mendadak tangan kirinya
berputar sekali, menyusul kepalan kanan terus memukul ke depan melalui
lingkaran tangan kiri itu.
Serangan ini sangat aneh,
karena tidak paham cara mematahkannya, terpaksa Pek Ban-kiam mundur satu
tindak.
Ting Put-si tertawa
terbahak-bahak, sekonyong-konyong ia melompat naik ke kanan, begitu cepat
tubuhnya mengapung ke atas seakan-akan kakinya dipasang dengan pegas (per) dan
mendadak bisa terpental, ketika tubuhnya sudah berada di udara, kedua kakinya
lantas menendang cepat.
Terpaksa Pek Ban-kiam mundur
selangkah lagi sambil putar pedangnya untuk melindungi mukanya sendiri.
Tapi Ting Put-si masih terus
melancarkan serangan-serangan, mendadak dari sebelah kanan, tahu-tahu dari
sebelah kiri, tiba-tiba dari belakang, dan sekonyong-konyong dari depan lagi.
Ciok Boh-thian sampai pusing menyaksikan serangan-serangan Ting Put-si yang
tampaknya tak teratur itu.
“Bret”, mendadak terdengar
suara kain terobek, kiranya lengan celana Ting Put-si telah tertusuk oleh
pedang Pek Ban-kiam dan sobek. Meski kakinya tidak sampai terluka, tapi
celananya juga sudah terobek panjang sehingga kelihatan kakinya.
“Terima kasih atas kesudianmu
mengalah,” segera Ban-kiam berkata sambil menarik kembali pedangnya.
Pertandingan di antara jago
silat kelas tinggi, kalah atau menang hanya tergantung kepada satu-dua jurus
saja. Maka sekali celana Ting Put-si tertusuk robek, hal ini boleh dikata sudah
terang siapa yang kalah dan siapa yang menang.
Tak terduga, dari malu Ting
Put-si menjadi gusar, bentaknya, “Siapa yang mengalah padamu? Tusukanmu barusan
ini hanya kebetulan saja mengenai celanaku, masakah dianggap?”
Dan segera dengan jurus
“Khik-cui-heng-ciu” (Perahu Meluncur Melawan Arus), kembali ia menerjang pula.
Dalam keadaan demikian, mau
tak mau Pek Ban-kiam harus angkat pedang dan menyambut serangan itu. Tusukan
pedangnya tadi sehingga merobekkan lengan celana lawan, dibilang kebetulan
memang juga betul, waktu itu Pek Ban-kiam sedang menusuk ke depan, Ting Put-si
juga sedang mengayun kakinya untuk menendang sehingga seperti sengaja
menyodorkan lengan celananya ke ujung pedang lawan.
Namun demikian, sedikit banyak
kegarangan Ting Put-si menjadi banyak berkurang juga, serangan-serangan
selanjutnya mau tak mau harus lebih berhati-hati, tapi makin lama dia pun
semakin terdesak di pihak asor.
Melihat perimbangan
pertarungan itu tentu saja yang paling senang adalah orang-orang Swat-san-pay
yang menonton di samping, segera ada yang berseru memuji, “Coba lihatlah jurus
serangan Pek-suko, Gwat-sik-hun-hong (Sinar Rembulan Remang-remang) itu,
pedangnya bergerak seakan-akan tak kelihatan, remang-remang saja menuju
sasarannya, sungguh telah memperlihatkan inti Swat-san-kiam-hoat yang hebat.
Lihatlah itu, Ting-siansing sampai kerepotan menghindar, kalau bukan Pek-suko
sengaja memberi kelonggaran tentu badannya sudah pakai bintang.”
“Kentut!” mendadak terdengar
bentakan orang dari dua jurusan. Satu jurusan adalah suara Ting Put-si, itulah
lumrah dan tidak mengherankan karena dialah yang diolok-olok, tapi suara yang
lain ternyata datang dari jurusan timur laut sana.
Waktu semua orang berpaling ke
arah sana, maka orang yang paling kaget tentulah Ciok Boh-thian.
Ternyata di sebelah sana telah
berdiri berjajar dua orang, yang seorang adalah Ting Put-sam dan yang lain
dengan sendirinya adalah si Ting Tong.
“He, Losam, lekas kau
menyingkir pergi, aku sedang bergebrak dengan orang, buat apa kau berdiri di
situ?” teriak Ting Put-si.
Meski dengan sepenuh perhatian
dia bergebrak dengan Pek Ban-kiam, tapi betapa pun adalah saudara sekandung
sendiri, baru dengar suaranya saja ia lantas tahu sang kakak telah datang.
Maka Ting Put-sam telah
menjawab dengan tertawa, “Aku ingin melihat apakah ilmu silatmu selama ini
sudah ada kemajuan atau tidak.”
Ting Put-si menjadi gugup, ia
tahu dalam keadaan demikian dirinya pasti susah memperoleh kemenangan, tapi
sang kakak justru telah muncul dan ingin melihat kepandaiannya.
“Kau pergi saja, Losam,”
serunya pula. “Kau hanya mengacaukan perhatianku saja. Aku terpaksa harus
bicara dengan kau sehingga perhatianku terpencar, cara bagaimana aku bisa
menghajar bocah ini.”
“Kau tidak perlu bicara dengan
aku, kau boleh berkelahi dengan sepenuh perhatianmu,” sahut Put-sam dengan
tertawa. Lalu ia menoleh dan berkata kepada si Ting Tong, “Biasanya kau punya
Si-yaya (kakek keempat) suka menganggap ilmu silatnya tiada tandingannya di
dunia ini, seakan-akan kakekmu sendiri juga tak bisa menandingi dia. Sekarang
kau boleh pentang matamu lebar-lebar untuk menyaksikannya, boleh kau melihat
kau punya Si-yaya dengan bertangan kosong akan menghajar lawannya, akan merebut
pedang lawan sehingga lawannya mengaku kalah serta berlutut dan menyembah minta
ampun padanya. Hahaha!”
Ting Put-sam sengaja bergelak
tertawa sehingga suaranya memekak telinga dan membuat siapa yang mendengar
merasa tidak enak.
Keruan Ting Put-si sangat
mendongkol, bentaknya, “Losam, kau tertawa apa-apaan?”
“Aku menertawai kau!” sahut
Put-sam.
“Menertawai aku mengenai apa?
Apanya yang menggelikan?” teriak Put-si dengan gusar.
“Aku menertawai kau karena
selama hidupmu kau suka sombong, ingin menang sendiri, tapi di kala menghadapi
bahaya toh masih perlu bantuan kakakmu ini untuk mengangkat kau keluar dari
malapetaka,” kata Put-sam.
“Malapetaka apa?” bentak
Put-si dengan murka. “Bocah she Pek ini adalah angkatan muda kita, kalau bukan
mengingat ayah-bundanya, tentu sejak tadi sekali menghantam sudah kumampuskan
dia. Huh, siapa yang ingin bantuanmu untuk mengangkat diriku apa segala? Lebih
baik kau pergi mengangkat poci arak saja atau mengangkat pispot juga boleh.
Aduh! Anak kurang ajar, kau berani melukai aku ....”
Mestinya dia sudah kewalahan
melawan Pek Ban-kiam yang bersenjata, sekarang dia terpencar pula perhatiannya
untuk bicara dengan Ting Put-sam, kesempatan itu segera digunakan oleh Ban-kiam
untuk menyerang sehingga iga kirinya tergores dan darah bercucuran.
Ting Put-sam dan Ting Put-si
adalah saudara sekandung, tapi sejak kecil mereka sudah suka bertengkar dan
berkelahi sendiri. Si kakak tidak mirip kakak, si adik juga tidak pantas
sebagai adik. Tapi sekarang demi melihat saudaranya terluka, mau tak mau ia
menjadi khawatir juga, segera ia membentak dengan gusar, “Anak bedebah! Kau
berani melukai saudara Ting Put-sam?”
Dan sekali melompat, segera ia
melayang ke belakang Pek Ban-kiam dan kontan hendak mencengkeram punggung lawan
itu.
Diserang dari muka dan
belakang, namun sedikit pun Pek Ban-kiam tidak bingung, lebih dulu pedangnya
menusuk Ting Put-si sehingga lawan dari depan itu dipaksa mundur setindak,
habis itu ia lantas putar pedang menebas ke belakang.
Dasar Ting Put-si memang suka
unggul, dia masih berteriak-teriak, “Losam, lekas menyingkir! Siapa yang suruh
kau membantu aku?”
“Siapa yang membantu kau?”
sahut Ting Put-sam. “Aku Ting Put-sam paling benci kalau ada perkelahian yang
tidak adil. Biarlah aku melucuti pedangnya dulu, lalu akan kubikin darahnya
juga keluar di badannya, habis itu barulah kalian berkelahi secara adil.”
Melihat sang suheng dikeroyok,
sudah tentu para murid Swat-san-pay tidak kira tinggal diam. Apalagi Ting
Put-sam itu diketahui adalah musuh yang telah membunuh saudara seperguruan
mereka, maka serentak mereka berteriak-teriak terus menerjang maju bersama.
“Anak anjing, apa barangkali
sudah bosan hidup semua? Hayo lekas enyah kembali seluruhnya!” bentak Ting
Put-sam.
Namun sebagai jawaban para
murid Swat-san-pay itu telah menusuk dengan pedang mereka. Dengan gesit
dapatlah Ting Put-sam menghindar serangan-serangan itu sambil membentak pula,
“Lekas mundur semua, kalau tidak awas, terpaksa Locu akan membunuh orang!”
Ban-kiam mengetahui para
sutenya itu sekali-kali bukan tandingan Ting Put-sam, sekali orang tua itu
menyatakan hendak membunuh orang, maka akibatnya tentu para sutenya itu akan
banyak yang menjadi korban. Cepat ia berseru, “Para Sute, hendaklah lekas
mundur!”
Biasanya murid-murid
Swat-san-pay itu sangat segan kepada sang suheng, maka demi mendengar perintah
itu, serentak mereka melompat mundur semua.
“Coba pinjamkan pedangmu itu!”
tiba-tiba Ting Put-sam berkata kepada seorang murid Swat-san-pay yang pendek
gemuk dan bernama Li Ban-san.
“Baik, ini terimalah!” sahut
Li Ban-san dengan gusar. “Sret”, mendadak pedangnya menusuk ke perut Ting
Put-sam.
Tapi dengan cepat Ting Put-sam
menggeser ke pinggir, sekali tangannya menjulur, dengan tepat pergelangan
tangan Li Ban-san sudah tertangkap olehnya, dengan perlahan Ting Put-sam
memuntir sehingga mau tidak mau Li Ban-san harus melepaskan pedangnya sehingga
mirip benar dengan Li Ban-san sengaja menyodorkan pedangnya kepada Ting
Put-sam.
Karena puntiran itu,
pergelangan tangan Li Ban-san sudah terkilir, waktu Ting Put-sam mengayun kaki
pula, kontan badan Li Ban-san yang bundar buntak di depan itu terjungkal.
Waktu murid-murid Swat-san-pay
hendak mengerubut maju lagi, namun Ting Put-sam sudah memutar pedang
rampasannya, ia gunakan ujung pedang untuk menggaris di tanah sambil berlari
mengelilingi Pek Ban-kiam dan Ting Put-si yang sedang bertempur itu sehingga suatu
garis lingkaran seluas empat lima meter.
Selesai itu, lalu ia berkata
kepada murid-murid Swat-san-pay, “Nah, siapa saja yang berani melangkah masuk
lingkaran ini berarti dia telah masuk ke pintu akhirat.”
Pek Ban-kiam tampaknya
menghadapi lawannya dengan sangat tenang, tapi di dalam hati sebenarnya ia
sangat gelisah. Ia tahu kedua saudara Put-sam dan Put-si itu biasanya membunuh
orang tidak pernah berkedip alias tidak kenal ampun. Sekarang kedua orang tua
itu bersatu padu untuk menempurnya, terang dirinya susah untuk melawan mereka.
Keadaan sekarang kalau dibandingkan pertarungan di kelenteng toapekong waktu
melawan suami-istri Ciok Jing mungkin jauh lebih berbahaya, boleh jadi murid
Swat-san-pay hari ini akan gugur semua di Ci-yan-to ini.
Karena keadaan sudah
berbahaya, terpaksa Pek Ban-kiam melancarkan serangan-serangan kilat lagi, ia
pikir Ting Put-si harus dibinasakan dahulu barulah keselamatan murid-murid
Swat-san-pay dapat terjamin.
Akan tetapi Ting Put-si juga
bukan kaum keroco yang dengan mudah dapat dibinasakan olehnya. Meski iga orang
tua itu sudah terluka, namun luka itu tidak parah dan masih dapat bertempur
dengan tangkasnya.
Begitulah, lantaran Pek
Ban-kiam ingin buru-buru menang, meski serangan-serangannya tambah gencar, tapi
“safety”nya menjadi kurang daripada tadi.
Sebaliknya Ting Put-si semakin
tangkas, kedua tangannya menari kian-kemari di antara berkelebatnya sinar
pedang lawan, dia masih tetap gesit dan berbahaya walaupun darah tiada hentinya
bercucuran keluar dari lukanya.
“Losi, kau boleh mundur
dahulu,” demikian Ting Put-sam telah tampil ke depan dengan pedang terhunus.
“Balut dulu lukamu baru nanti kau maju dan bertempur lagi.”
Namun dasar Ting Put-si adalah
orang yang suka menang, segera ia berteriak, “Luka apa? Di mana aku terluka?
Huh, hanya sebatang pedang karatan bocah ingusan ini saja masakah dapat melukai
diriku?”
Ting Put-sam terbahak-bahak
dan tidak membantahnya lagi. “Sret”, mendadak pedangnya menusuk ke arah Pek
Ban-kiam sambil berseru, “Nah, orang she Pek, hendaklah kau mendengarkan yang
jelas, saat ini adalah aku bertempur dengan kau satu lawan satu, Ting-losi juga
ingin satu melawan satu dengan kau, jadi bukan kami berdua bersama-sama
mengerubut kau seorang. Ting Put-si suruh aku jangan ikut campur, tapi aku tidak
menurut. Sebaliknya aku suruh dia mundur dan dia juga tidak mau tunduk. Aku
sendiri menjadi sebal melihat rupamu ini, maka aku ingin memberi hajaran
padamu. Losi juga muak padamu, maka ingin memberi persen beberapa kali tamparan
padamu. Sekarang kami masing-masing akan mencapai tujuannya sendiri-sendiri dan
tiada maksud hendak mengeroyok kau, aku sengaja bicara di muka supaya orang
lain takkan bilang Ting-si Siang-hiong (kedua tokoh keluarga Ting) telah
mengeroyok seorang jago Swat-san-pay, hal ini tentu tak enak didengar kalau
tersiar.”
Begitulah, meski mulutnya
mengoceh, tapi tangannya tidak pernah kendur, ia menyerang dengan cepat dan
lihai.
Diam-diam Ban-kiam sangat
mendongkol, pikirnya, “Huh, kau bilang bertempur dengan aku satu lawan satu dan
Ting Put-si juga menyatakan bertempur satu lawan satu, tapi kenyataan demikian
apa bedanya dengan dua mengeroyok satu?”
Namun watak Pek Ban-kiam tidak
suka bertengkar mulut dengan orang, pula ia sudah merasa muak terhadap sifat
pengecut kedua saudara she Ting itu, apalagi di bawah kerubutan dua jago
terkemuka, sudah tentu ia pun tidak dapat membagi perhatiannya untuk bicara.
Maka dia hanya memusatkan
perhatian dan menjaga diri dengan sangat rapat, bila ada kesempatan dia lantas
melancarkan serangan balasan.
Pada suatu saat yang
menentukan, ketika pedang Ting Put-sam terbentur dengan pedang lawan, Ban-kiam
merasa lengannya tergetar, tenaga dalam lawan yang dahsyat telah membenturnya
dengan hebat, cepat ia pun mengerahkan tenaga sambil menyampuk ke samping, menyusul
pedang berputar untuk menebas kembali. Akan tetapi pada saat itu juga mendadak
kaki kanan terasa kesakitan, kiranya Ting Put-sam telah menggunakan telapak
tangan kiri yang kuat untuk memotong kakinya, walaupun tidak terluka, namun
sakitnya bukan kepalang. Cepat ia mundur dua tindak dengan terhuyung-huyung dan
hampir-hampir terperosot jatuh.
“Jangan mencelakai suko kami!”
teriak seorang murid Swat-san-pay terus menerjang maju dengan pedang terhunus.
Tapi baru saja kakinya
melangkah masuk lingkaran yang digaris Ting Put-sam tadi mendadak sinar pedang
berkelebat, tahu-tahu dadanya sudah tertusuk oleh pedang, sudah binasa ditusuk
oleh Ting Put-sam.
Keruan orang-orang
Swat-san-pay terkejut dan murka pula, dua orang di antaranya segera menerjang
maju pula.
Ting Put-sam membentak dengan
suara menggelegar sambil loncat ke udara, dari atas pedangnya terus membacok ke
bawah, berbareng telapak tangan kiri juga menghantam. Di mana sinar pedangnya
menyambar, tanpa ampun lagi salah seorang murid Swat-san-pay itu terbelah
menjadi dua mulai dari pundak kanan sehingga sampai di pinggul kiri, sedangkan
pukulan tangan kiri Ting Put-sam juga mengenai batok kepala murid Swat-san-pay
yang lain, kontan orang itu roboh terkulai tanpa bersuara, kepalanya sampai
terpuntir ke belakang, kiranya tulang lehernya sudah patah dan terang tak bisa
hidup lagi.
Hanya dalam sekejap saja Ting
Put-sam sudah membunuh tiga orang, Ciok Boh-thian sampai berdebar-debar dan
ngeri menyaksikannya.
Bahkan keganasan Ting Put-sam
itu belum mereda, ia putar pedangnya secepat kilat dan menerjang ke arah Pek
Ban-kiam. Mendadak terdengar suara “krak-krak” dua kali, kedua pedang yang
saling bentur itu telah patah semua. Berbareng kedua orang sama-sama
menimpukkan sisa pedang patah kepada lawan dan kedua orang sama-sama mendakkan
tubuh untuk menghindar, kedua pedang patah itu pun sama-sama melayang lewat di
atas kepala masing-masing.
Kedua orang sama gerakannya
dan sama cepatnya, betapa bahayanya juga sama-sama pula.
Karena kaki kanan Pek Ban-kiam
sudah terluka, jalannya menjadi kurang leluasa, sekarang kehilangan senjata
lagi, seketika ia terdesak di pihak yang dicecar dengan serangan-serangan tanpa
dapat membalas.
Ada lagi dua murid
Swat-san-pay yang nekat, walaupun sadar bilamana mereka melangkah masuk ke
dalam lingkaran tentu mereka lebih banyak mati daripada hidupnya. Tapi mereka
pun tidak ingin menyaksikan sang suheng dikerubut dan dibinasakan begitu saja
oleh musuh, maka tanpa pikir lagi mereka lantas menerjang maju dengan pedang
terhunus.
Tiba-tiba Ting Put-sam
berseru, “Losi, boleh kau bereskan mereka saja, hari ini aku sudah membunuh
tiga orang.”
“Haha, jadinya kau juga
terpaksa memohon sesuatu padaku,” seru Put-si dengan tertawa.
Sungguh aneh sekali, sama
sekali Ting Put-si tidak memutar tubuh, tapi kedua kakinya terus menyepak ke
belakang seperti halnya kuda menyepak orang saja, maka terdengarlah “plak-plok”
dua kali, kedua kakinya masing-masing telah kena menyepak di dada tiap orang.
Kontan kedua murid
Swat-san-pay itu mencelat sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting jauh,
sedikit pun mereka tidak sempat bersuara dan tahu-tahu mereka sudah mati
terdepak.
Sekali kedua saudara she Ting
sudah mengganas, maka mereka tidak kenal lagi segala tata krama dan sopan
santun orang Kangouw lagi. Mereka kerjakan tangan dan kaki dan menyerang Pek
Ban-kiam dengan cara yang keji mematikan.
Dengan kaki pincang Pek
Ban-kiam masih terus bertahan dengan tenang, selangkah ia mundur keluar dari
kalangan. Sekonyong-konyong ia bersuara tertahan pula, kiranya bahu kanan telah
kena dihantam lagi oleh telapak tangan Ting Put-si sehingga lengan kanan
hampir-hampir susah bergerak.
Melihat pertarungan sengit
itu, semakin lama darah kesatria Ciok Boh-thian semakin bergolak, mendadak ia
berteriak, “Cara demikian sungguh terlalu tidak adil!”
Tanpa pikir lagi ia terus
lemparkan A Siu ke atas tanah, ia cabut golok karatan yang terselip diikat
pinggangnya, lalu menerjang maju sambil berteriak, “Sungguh tidak adil, dua
mengeroyok satu!”
Karena dilemparkan begitu saja
ke atas tanah, A Siu sampai menjerit kesakitan. Rupanya Boh-thian mendengar
suara A Siu itu, ia masih sempat berpaling dan berkata, “O, maaf, maaf!”
Habis itu secepat terbang ia
sudah melompat masuk ke tengah lingkaran dan mendekati Ting Put-si.
Mendengar dari belakang ada
orang menerjang tiba, Ting Put-si tetap tidak menoleh atau membalik tubuh,
kembali kakinya menyepak lagi ke belakang.
Tapi sekali menutul kedua
kakinya, dengan enteng sekali Boh-thian lantas melayang ke depan melintasi
kepala orang dan turun kembali di depan Ting Put-si.
Ketika merasa kakinya menyepak
tempat kosong, sebaliknya tahu-tahu di depannya sudah bertambah satu orang,
untuk sejenak Ting Put-si tercengang, tapi ia lantas berseru sambil menuding,
“He, Lemper Raksasa, kiranya kau!”
“Ya, betul, inilah aku,” sahut
Boh-thian. “Kalian ... kalian berdua mengeroyok satu orang, ini terlalu tidak
adil.”
Habis berkata, Boh-thian coba
melirik ke arah Ting Put-sam dengan jantung memukul keras, ia masih ngeri
menyaksikan tiga sosok mayat yang berlumuran darah yang barusan dibunuh Ting
Put-sam itu menggeletak di sebelahnya, bahkan kakinya sendiri sekarang juga
berlepotan darah.
Semula Ting Put-sam juga
terkejut ketika tiba-tiba melihat seorang melayang masuk ke tengah kalangan
pertempuran mereka. Tapi demi mengenali Boh-thian segera ia mendamprat, “Anak
bedebah, tempo hari kau telah berhasil melarikan diri, kiranya kau sembunyi di
sini.”
“Aku ... aku ingin melerai
kedua Loyacu agar janganlah terlalu banyak mengikat permusuhan, jika sudah
menang, di mana dapat mengampuni orang hendaklah mengampuni, buat apa mesti
ngotot dan ingin membunuh musuh habis-habisan.”
Jilid 24
Put-sam dan Put-si saling
pandang dengan bergelak tertawa, kata Put-si, “Losam, entah dari mana bocah ini
dapat belajar beberapa kalimat ocehan penjual obat, lalu sekarang menirukannya
untuk memberi nasihat kepada kita, sungguh lucu, hahaha!”
Boh-thian tidak menanggapi
lagi, tiba-tiba ia gunakan goloknya untuk mencukil sebatang pedang yang
terletak di atas tanah sehingga pedang itu terlempar ke arah Pek Ban-kiam,
berbareng ia berseru, “Pek-suhu, Swat-san-pay kalian biasanya harus menggunakan
pedang!”
Sungguh sekali-kali tak
tersangka oleh Pek Ban-kiam bahwa di saat dirinya terancam bahaya dan tampaknya
dalam sekejap lagi tentu akan binasa di bawah tangan kedua saudara Ting, siapa
duga mendadak telah muncul seorang penolong yang bukan lain adalah Ciok
Tiong-giok, bocah yang selama ini sedang dicari dan hendak dibunuhnya, sudah
tentu tidak keruan perasaannya pada saat demikian.
Pedang yang dilemparkan ke
arahnya itu adalah tinggalan seorang sutenya yang dibinasakan Ting Put-sam
tadi, asal dirinya sudah bersenjata pula, seketika semangatnya akan bertambah
berlipat ganda. Maka tanpa bicara lagi segera ia sambar pedang yang melayang ke
arahnya itu.
Sebaliknya Ting-Put-sam
menjadi murka melihat Boh-thian merintangi tujuannya, bahkan hendak membantu
pihak lawan, segera ia mendamprat, “Anak jadah! Bukankah orang she Pek itu
hendak menangkap dan membunuh kau? Jika tempo hari aku tidak menolong kau,
apakah kau masih dapat hidup sampai sekarang?”
“Ya, betul juga,” sahut
Boh-thian sambit memanggut. “Makanya aku pun hendak menasihatkan Pek-suhu ini
agar di mana dapat mengampuni orang hendaklah suka mengampuni.”
Dalam pada itu diam-diam Ting
Put-si merasa khawatir kalau-kalau Boh-thian membicarakan kejadian di atas
perahu, di mana ia telah dikalahkan oleh pemuda itu, hal ini tentu akan sangat
menghilangkan pamornya, maka ia pikir bocah ini harus dibinasakan lebih dulu,
dengan demikian rahasianya tidak akan terbongkar.
Maka ia lantas membentak, “Kau
mengoceh apa di sini? Ini, rasakan!” Kontan ia terus menghantam ke arah Ciok
Boh-thian.
Sekali ini Su-popo tiada
terdapat di situ, maka Ting Put-si tidak perlu rikuh-rikuh lagi, jurus serangan
“Hek-in-boan-thian” (Awan Mendung Memenuhi Langit) yang digunakan ini adalah
tipu serangan yang belum pernah diajarkan kepada Boh-thian.
Namun Pek Ban-kiam tidak dapat
tinggal diam dan membiarkan Ciok Tiong-giok dihantam mati secara begitu keji,
sekali pedangnya bergerak, dengan jurus “Lo-su-hong-sia” (Pohon Tua Mendoyong
Miring) segera ia menusuk dari samping.
Di lain pihak ternyata Ciok
Boh-thian juga tidak manda diserang, mendadak goloknya membacok dengan jurus
“Tiang-cia-ciat-ki (Orang Tua Memotong Ranting), dengan cepat ia menebas tangan
Ting Put-si.
Sungguh aneh juga jurus
serangan antara golok dan pedang itu mestinya saling berlawanan, yaitu seperti
diketahui ilmu golok yang dimainkan Ciok Boh-thian itu adalah ciptaan Su-popo
yang bertujuan mengalahkan Swat-san-kiam-hoat.
Tapi sekarang sesudah
bergabung dan dimainkan bersama, ternyata telah menimbulkan daya tekanan yang
mahadahsyat, hanya sekejap saja Ting Put-si sudah terkurung di bawah ancaman
pedang dan golok itu.
“Awas, Losi!” seru Put-sam
dengan khawatir. Maksudnya hendak membantu, akan tetapi serangan-serangan
gabungan golok dan pedang itu terlalu lihai, apalagi dia sendiri bertangan
kosong, biar bagaimanapun juga susah menembus jaringan sinar pedang dan golok.
Sudah tentu yang lebih-lebih
kaget adalah Ting Put-si, untung pada saat berbahaya itu ia sempat menjatuhkan
tubuh ke samping, lalu bergelindingan lolos keluar kalangan. Waktu ia melompat
bangun pula, tertampaklah di antara pedang dan golok lawan sana masih
bertebaran sutra-sutra putih panjang. Ketika ia meraba janggutnya sendiri,
ternyata jenggotnya yang putih panjang itu sudah terkupas sebagian.
Dengan sendirinya Ting Put-si
terkejut dan gusar pula, Ting Put-sam juga melongo kaget, Pek Ban-kiam pun
tidak menduga, hanya Ciok Boh-thian saja masih tidak sadar bahwa serangannya
tadi sesungguhnya sangat lihai dengan tenaga dalam yang dahsyat sehingga telah
mengguncangkan perasaan tiga jago terkemuka dunia persilatan di depannya itu.
“Baik, kita pun memakai
senjata,” akhirnya Ting Put-sam berseru. Segera ia jemput dua batang pedang
yang berserakan di atas tanah, ia berikan sebatang kepada Put-si, lalu berseru
pula, “Hayolah, Losi, pikir apa lagi? Majulah bersama!”
Dan sekali pedangnya bergerak,
segera ia mendahului menusuk Ciok Boh-thian.
Memang Ciok Boh-thian masih
hijau dan tiada berpengalaman, maka ia menjadi kelabakan ketika diserang, ia
bingung cara bagaimana harus menangkisnya. Syukurlah Pek Ban-kiam lantas
membantunya dengan jurus serangan “Siang-tho-se-lay”, serangan ini seketika
menyadarkan Ciok Boh-thian, segera ia mengeluarkan jurus “Jian-kin-ap-tho”
ajaran Su-popo, dengan punggung golok ia mengetok ke bawah, begitu hebat daya tekanannya
sehingga Ting Put-sam hampir-hampir tidak kuat menahan pedangnya. Untung Ting
Put-si cepat menolongnya.
Waktu Pek Ban-kiam menyerang
pula dengan jurus “Hong-sah-hong-bong”, segera Boh-thian mengikuti dengan jurus
“Tay-hay-tim-sah”, kerja sama antara golok dan pedang itu sedemikian rapat
sehingga Ting Put-sam dan Ting Put-si semakin terdesak, sampai-sampai mereka
berkaok-kaok kelabakan.
Tenaga dalam Ciok Boh-thian
memangnya sangat kuat, ilmu silat yang dipelajarinya juga sangat bagus, hanya
saja kurang latihan dan belum ada pengalaman dalam medan pertempuran, sebab
itulah terkadang ia menjadi bingung menghadapi serangan lawan dan tidak tahu
harus menangkis dengan jurus serangan apa.
Kim-oh-to-hoat yang dipelajari
Boh-thian itu, kecuali jurus ke-73, jurus-jurus yang lain adalah khusus
ditujukan untuk menghadapi Swat-san-kiam-hoat. Sewaktu Su-popo mengajarnya juga
selalu memberi petunjuk cara mengatasi serangan Swat-san-kiam-hoat sejurus demi
sejurus. Tapi sekarang dalam keadaan bingung ia menjadi tidak ingat lagi kepada
ajaran Su-popo, bila musuh menyerang, tanpa pikir lagi ia hanya menirukan Pek
Ban-kiam saja, jurus serangan apa yang dimainkan Pek Ban-kiam, segera ia juga
keluarkan jurus serangan lawannya menurut petunjuk Su-popo. Jadi kalau Pek Ban-kiam
memainkan jurus “Lau-ki-heng-sia”, maka ia lantas mengeluarkan jurus
“Tiang-cia-ciat-ki”, bila Pek Ban-kiam gunakan “Siang-tho-se-lay”, segera ia
pakai jurus “Jian-kin-ap-tho”.
Walaupun Kim-oh-to-hoat itu
diciptakan Su-popo sebagai tumbal penangkal Swat-san-kiam-hoat, justru karena
tumbal itulah maka bila keduanya digunakan secara bersama-sama maka setiap
lubang kelemahan dari masing-masing to-hoat dan kiam-hoat itu menjadi tertutup
rapat dan jadilah semacam ilmu silat yang mahadahsyat dan tiada taranya.
Semula Pek Ban-kiam merasa
ragu-ragu dan tidak habis mengerti akan kelakuan Ciok Boh-thian itu. Tapi
sebagai seorang tokoh silat terkemuka, sesudah berlangsung beberapa jurus ia mengetahui
ilmu golok yang dimainkan Ciok Boh-thian itu hakikatnya merupakan jodoh dari
ilmu pedangnya sendiri, bilamana kedua senjata sudah dimainkan bersama, maka
luar biasa daya tekanannya kepada pihak musuh.
Yang lebih hebat lagi adalah
tenaga dalam bocah she Ciok itu seakan-akan membawa semacam kekuatan yang
kelihatan, yang makin lama makin luas daya tahannya.
Dalam hal ilmu silat maupun
pengetahuan sudah tentu Ting Put-sam dan Ting Put-si lebih atas daripada Pek
Ban-kiam, maka dengan sendirinya mereka pun sudah mengetahui keadaan yang luar
biasa pada diri Ciok Boh-thian itu. Cuma saja watak kedua saudara she Ting itu
memang bengis dan galak, betapa pun mereka tidak mau mengaku kalah, bahkan
mereka berharap ilmu golok aneh yang dimainkan Ciok Boh-thian itu terbatas
jurus serangannya, maka mereka masih terus bertahan dengan mati-matian untuk
mencari kesempatan.
Pek Ban-kiam juga khawatir
kalau-kalau Ciok Boh-thian cuma “macan kertas” saja, jangan-jangan hanya
beberapa jurus serangan permulaan saja yang lihai, habis itu tak berguna lagi
dan berbalik akan dikalahkan oleh kedua saudara Ting. Melihat gelagatnya adalah
lebih menguntungkan kalau melancarkan serangan kilat dulu.
Karena pikiran demikian,
segera ia melancarkan serangan dengan jurus “Am-hiang-soh-eng” (Harum Kurang,
Bayangan Jarang), batang pedangnya gemetar, sinar pedangnya gemilapan, itulah
sejurus Swat-san-kiam-hoat yang paling hebat dan dapat melukai lawan di luar
sadar orang.
Untuk mengikuti jurus
Swat-san-kiam-hoat itu, segera Ciok Boh-thian juga mengayun goloknya menebas
dari samping dengan jurus “Beng-goat-ciau-su” (Rembulan Terang Menyorot Pohon),
goloknya juga tampak gemetar dan menyambar cepat dengan membawa tekanan tenaga
dalam yang dahsyat.
Maka terdengarlah dua kali
suara jeritan, pundak Ting Put-si terkena golok, lengan Ting Put-sam juga
tertusuk pedang. Kedua orang secepat kilat lantas melompat keluar kalangan.
Ting Put-sam masih sempat
jambret si Ting Tong dan dengan cepat sekali lantas menghilang di balik hutan
di sebelah timur sana. Sebaliknya Ting Put-si terus melarikan diri ke balik
bukit sebelah barat.
Hanya sekejap saja keadaan
menjadi sunyi kembali, darah berceceran di atas tanah dengan lima sosok mayat
yang sudah tak bernyawa. Para murid Swat-san-pay saling pandang-memandang
dengan rasa curiga.
Pek Ban-kiam melirik ke arah
Ciok Boh-thian dengan rasa benci, malu dan heran pula, tapi juga tidak kurang
rasa terima kasihnya. Coba kalau bocah ini tidak membantunya, tentu saat ini
jiwa belasan orang Swat-san-pay sudah melayang di pulau terpencil ini. Sungguh
ia masih merasa ngeri bila teringat betapa ganas dan keji serangan-serangan
kedua saudara Ting yang tidak kenal ampun tadi.
Sesudah menghela napas lega,
kemudian Ban-kiam bertanya, “Ilmu golokmu barusan ini adalah ajaran siapa?”
“Ajaran Su-popo,” jawab
Boh-thian. “Seluruhnya ada 73 jurus, lebih banyak satu jurus daripada
Swat-san-kiam-hoat kalian dan tiap-tiap jurusnya adalah penangkal daripada
Swat-san-kiam-hoat.”
“Hm, tiap-tiap jurus adalah
penangkal Swat-san-kiam-hoat? Ha, apakah tidak terlalu besar mulutnya?” jengek
Pek Ban-kiam. “Siapakah Su-popo itu?”
“Su-popo adalah cikal bakal
Kim-oh-pay kami, beliau adalah guruku, aku adalah murid pertama angkatan kedua
Kim-oh-pay,” sahut Boh-thian.
Pek Ban-kiam menjadi gusar
mendengar jawaban itu, jengeknya pula, “Hm, kau boleh tak mengakui perguruan
asalmu, mengapa kau masuk lagi ke dalam perguruan Kim-oh-pay apa segala? Hm,
Kim-oh-pay, nama ini belum pernah kudengar, di dunia persilatan juga tiada pernah
terdaftar nama ini.”
Boh-thian masih tidak tahu
kalau Pek Ban-kiam sudah gusar, ia menjelaskan pula, “Menurut berita suhuku,
katanya Kim-oh berarti sang surya, bila matahari terbit, maka mencairlah salju
di atas gunung, sebab itu bila anak murid Swat-san-pay kebentur dengan
Kim-oh-pay kami, maka tiada jalan lain bagi kalian kecuali ... kecuali ....”
Mestinya ia hendak berkata
sebagaimana pernah diucapkan oleh Su-popo, yaitu “kecuali berlutut dan
menyembah minta ampun”. Tapi betapa pun Boh-thian bukanlah pemuda tolol,
sebelum kata-kata itu diucapkan, mendadak ia ingat bahwa kata-kata itu tidaklah
pantas didengar oleh murid-murid Swat-san-pay, maka mendadak ia berhenti dan
tidak melanjutkan kata-katanya.
Sudah tentu Pek Ban-kiam
kurang senang, dengan muka masam ia mendesak dengan suara bengis, “Bila anak
murid Swat-san-pay kami ketemukan orang Kim-oh-pay kalian lantas bagaimana?
Kecuali apa, lekas katakan!”
Boh-thian menggeleng,
sahutnya, “Bila kuterangkan, tentu kau akan marah, aku pun mengira ucapan Suhu
ini agak tidak tepat.”
“Kecuali mengaku kalah dan
lari terbirit-birit, demikian hendak kau katakan, bukan?” desak Ban-kiam pula.
“Ya, kukira tiada berbeda
jauhnya maksud ucapan suhuku itu dengan kata-katamu ini,” sahut Boh-thian.
“Tapi hendaklah Pek-suhu jangan gusar, mungkin suhuku hanya bergurau saja dan
janganlah dianggap sungguh-sungguh.”
Sebenarnya Pek Ban-kiam masih
kesakitan karena kakinya dan pundaknya kena pukulan Ting Put-si tadi, tapi demi
mendengar uraian Ciok Boh-thian yang menghina nama baik perguruannya, sudah
tentu ia tidak tahan lagi, segera ia angkat pedangnya dan berseru, “Baik,
sekarang juga aku ingin belajar kenal dengan ilmu silat Kim-oh-pay kalian, aku
ingin tahu cara bagaimana kau akan menundukkan Swat-san-kiam-hoat kami.”
Tapi begitu pedangnya
terangkat, seketika ia merasa lengannya sakit tidak kepalang dan pedang
hampir-hampir terlepas dari cekalannya.
Pada saat itulah seorang murid
Sat-san-pay bernama Pau Ban-yap telah tampil ke muka dan berseru, “Bocah she
Ciok, tentu kau tidak kenal lagi kepada susiokmu ini, biarlah aku saja yang
belajar kenal dengan kepandaianmu!”
“Pau-sute, kau mundur saja,
biar aku yang melayani dia,” seru Ban-kiam. Segera ia pindahkan pedang ke
tangan kiri lalu berkata pula, “Nah, bocah she Ciok, mulailah!”
“Sudahlah, kakimu dan pundakmu
sudah terluka, kita tak perlu bertanding lagi, apalagi aku pun pasti bukan
tandinganmu,” demikian sahut Boh-thian.
“Kau berani menghina
Swat-san-pay, mengapa tidak berani bertanding?” bentak Ban-kiam dan kontan pedangnya
mendahului menyerang dengan jurus “Bwe-swat-ceng-jun” walaupun ia menyerang
dengan tangan kiri sehingga tidak segesit tangan kanan, namun serangannya itu
tetap tidak kurang lihainya.
Cepat Boh-thian angkat golok
karatnya dan balas dengan jurus “Bwe-swat-hong-he” ajaran Su-popo. Ternyata
jurus serangan ini sangat bagus dan merupakan penangkal bagi jurus
“Bwe-swat-ceng-jun” yang dilontarkan Pek Ban-kiam itu.
Keruan Ban-kiam terperanjat,
cepat ia ganti serangan dan dengan jurus “Bang-gwat-cau-tit” (Meniup Seruling
di Malam Terang Bulan). Tapi Boh-thian lantas keluarkan jurus “Jik-jit-kim-koh”
(Genderang Berbunyi di Siang Bolong).
Kembali Ban-kiam terkejut, tampaknya
golok lawan sudah menyambar tiba dan cepat menuju ke titik kelemahan jurus
serangannya sendiri itu, tanpa pikir lagi segera ia ganti serangan lagi.
Untunglah Boh-thian tidak paham di mana letak kebagusan serangannya sendiri
dari tidak mendesak lebih jauh, sebaliknya ia pun segera ganti jurus serangan
begitu melihat Ban-kiam ganti serangan.
Padahal dengan jurus
“Jik-jit-kim-koh” itu Boh-thian sudah berada di pihak penyerang, tak peduli
apakah Ban-kiam ganti jurus serangan atau tidak, asalkan Boh-thian mendesak
maju, tentu Ban-kiam akan dipaksa melangkah mundur beberapa tindak. Dalam
keadaan kakinya tidak leluasa bergerak, mau tak mau Ban-kiam pasti akan
menghadapi bahaya atau terpaksa ia harus menyerah kalah. Tapi karena Boh-thian
tidak paham letak kebagusan serangannya itu telah terbuang dengan percuma.
Diam-diam Ban-kiam bersyukur
atas dirinya sendiri. Malahan sebagian murid Swat-san-pay yang menyaksikan di
samping itu pun dapat melihat keadaan demikian tadi dan diam-diam mereka pun
merasa bersyukur bagi sang suheng.
Akan tetapi beberapa jurus
kemudian, kembali Pek Ban-kiam menghadapi bahaya lagi.
Kim-oh-to-hoat itu benar-benar
sangat aneh, tiap-tiap jurusnya ternyata benar-benar merupakan penangkal bagi
Swat-san-kiam-hoat. Tak peduli betapa pun hebat serangan Pek Ban-kiam selalu
dapat dipatahkan oleh Ciok Boh-thian, hanya dengan golok karatan saja Boh-thian
tetap di pihak yang lebih unggul.
Kira-kira sudah lebih tiga
puluh jurus, ketika Ciok Boh-thian sedang membacok dengan goloknya ke pundak
kiri Pek Ban-kiam, mestinya Ban-kiam dapat mengayun kakinya untuk menendang
pergelangan tangan Boh-thian yang memegang senjata itu. Akan tetapi baru saja
kakinya terangkat sedikit, seketika bagian yang bekas kena pukulan Ting Put-si
itu terasa kesakitan luar biasa, saking tak tahan sampai Ban-kiam merasa lemas
dan tekuk lutut, lekas-lekas ia menyangga dengan tangan kanan di atas tanah.
Dalam keadaan demikian terang
dia tak dapat menghindarkan bacokan Ciok Boh-thian tadi. Di luar dugaan bacokan
Ciok Boh-thian itu ternyata tidak diteruskan, bahkan ia berkata, “Biarlah
sekali ini tak dianggap saja.”
Kesempatan itu segera
digunakan Pek Ban-kiam untuk melompat bangun.
Sekilas itu timbul macam-macam
pikiran di dalam benaknya, “Bocah ini sedari tadi sudah dapat mengalahkan aku,
mengapa setiap jurus serangannya selalu tak diteruskan? Tampaknya dia seperti
tidak pernah belajar Swat-san-kiam-hoat. Barusan sudah terang dia tadi
menundukkan aku, mengapa dia sengaja mengalah padaku? Padahal bocah she Ciok
ini biasanya sangat licik dan kejam, bila aku sudah dibunuh olehnya, terang
para Sute tiada satu pun yang mampu menandingi, dia tidak tega membunuh, apakah
sebabnya? Jangan-jangan, ya, jangan-jangan dia benar-benar bukanlah Ciok
Tiong-giok?”
Berpikir sampai di sini, tanpa
pikir pedang yang dipegang tangan kiri itu lantas menusuk ke depan dengan jurus
“Tiau-thian-sik (gaya pembukaan). Seketika terdengar suara heran para murid
Swat-san-pay. Kiranya “Tiau-thian-sik” itu tidak termasuk di dalam ke-72 jurus
Swat-san-kiam-hoat, tapi adalah salah satu kepandaian dasar bagi setiap murid
Swat-san-pay yang mulai belajar, maka tiada dapat digunakan untuk menandingi
musuh. Sebab itulah maka para murid Swat-san-pay yang lain bersuara heran,
mereka menyangka sang Suheng terluka parah dan tidak sanggup memainkan
pedangnya lagi.
Tak tersangka Ciok Boh-thian
juga terkesima atas serangan Pek Ban-kiam itu.
Maklum ia tidak pernah melihat
jurus “Tiau-thian-sik” ini, Su-popo juga tidak pernah mengajarkan padanya, maka
ia menjadi bingung cara bagaimana harus menangkisnya.
Akan tetapi di hadapan jago
sebagai “Gi-han-se-pak” Pek Ban-kiam mana boleh lawannya main ayal-ayalan.
Hanya sedikit tertegun saja secepat kilat pedang Ban-kiam sudah menyambar tiba
dan tepat menjuju di depan ulu hati Ciok Boh-thian. “Bagaimana sekarang?”
bentaknya.
“Aneh, ilmu pedang apakah
seranganmu ini? Mengapa aku tidak pernah tahu?” sahut Boh-thian.
Mau tak mau Ban-kiam merasa
kagum juga atas ketabahan Boh-thian, walaupun jiwanya terancam, tapi toh masih
sempat bertanya tentang ilmu pedang apa segala. Segera ia berkata, “Apa benar
kau tidak pernah mempelajarinya?”
Boh-thian menjawab dengan
menggeleng kepala.
“Saat ini bila aku hendak
mencabut nyawamu adalah terlalu mudah bagiku,” ujar Ban-kiam, “Akan tetapi
seorang laki-laki harus dapat membedakan antara dendam dan budi secara tegas.
Tadi kau telah menolong aku di kala aku dikerubut kedua saudara she Ting.
Sekarang aku hanya kembalikan budimu itu, kita satu jiwa bertukar satu jiwa,
jadi masing-masing tiada punya utang apa-apa. Sejak kini kau dilarang
mengatakan lagi bahwa Kim-oh-to-hoat adalah penangkal Swat-san-kiam-hoat.”
“Ya, memangnya tadi aku pun
sudah bilang tak sanggup melawan kau,” sahut Boh-thian sambil memanggut. Tapi
mendadak ia berkata pula, “Eh, Pek-suhu, sekarang aku sudah paham. Seranganmu
ini agaknya toh tidak susah untuk ditangkis.”
Habis berkata
sekonyong-konyong dadanya melekuk sehingga terlepas dari ancaman ujung pedang,
berbareng goloknya lantas menyampuk dari samping. “Plok”, golok dan pedang
kebentur, karena tenaga dalam Boh-thian memang sangat dahsyat, kontan pedang
Pek Ban-kiam terlepas dan patah menjadi dua.
Air muka Ban-kiam berubah
merah padam, cepat ujung kaki mencukit, sebatang pedang yang terletak di tanah
lantas mencelat dan dapat dipegangnya pula. Menyusul “sret-sret-sret” tiga
kali, ia menyerang dengan cepat, semuanya adalah jurus serangan yang paling
umum dan mesti dipelajari setiap murid Swat-san-pay yang mulai belajar. Tapi
bagi Ciok Boh-thian serangan-serangan yang mudah itu malah membingungkannya, ia
menjadi kelabakan dan tak dapat menangkis lagi, tahu-tahu pergelangan tangan
sudah terkena pedang dan goloknya terlepas dari cekalan.
Pada saat lain ujung pedang
lawan sudah menjuju di depan ulu hatinya pula.
Waktu Ban-kiam menyendal
pedangnya, seketika baju di bagian dada Boh-thian itu tergores sebuah lingkaran
kecil. Ketika pedangnya ditarik kembali, tiga cuil kain bundar kecil lantas
jatuh bertebaran.
Maka tertampaklah baju di dada
Ciok Boh-thian telah berlubang sebesar mangkuk, baju luar, baju tengah dan baju
dalam telah tembus kena digores sebuah lubang bundar sehingga kelihatan kulit
dadanya.
Ketika pedang Ban-kiam
bergerak pula, mendadak Boh-thian berteriak mengaduh, ternyata dadanya sendiri
sudah tertusuk enam titik secara berjajar dalam bentuk enam sayap. Darah pun
merembes keluar dari luka-luka itu. Untung tusukan pedang itu tidak dalam
sehingga tidak terlalu sakit.
“Jurus ‘Swat-hoa-liok-cut’
yang bagus!” sorak para murid Swat-san-pay.
Pek Ban-kiam juga lantas
berkata, “Nah, sekarang silakan pulang dan beri tahukan kepada gurumu bahwa
Swat-san-pay yang telah mencederai kau ini.”
Rupanya Ban-kiam melihat Boh-thian
memang benar-benar tidak paham beberapa jurus kepandaian dasar Swat-san-pay
tadi, pula sikapnya dan gerak-geriknya, perangainya dan tutur katanya juga sama
sekali berbeda daripada Ciok Tiong-giok, maka ia pikir, “Dia telah
menyelamatkan jiwaku tadi, tak peduli dia Ciok Tiong-giok atau bukan, yang
pasti hari ini tak dapat aku membunuh dia. Jurus ‘Swat-hoa-liok-cut’ ini hanya
sekadar sebagai peringatan bagi Kim-oh-pay mereka agar jangan lagi bermulut
besar.”
Habis itu, bersama para
sutenya segera mereka mengangkat jenazah-jenazah kelima sutenya yang terbunuh
tadi. Karena berduka atas kematian para sutenya, pula malu atas dirinya sendiri
yang tak dapat membela sute-sute itu, tanpa merasa Ban-kiam mencucurkan air
mata. Katanya dengan dendam, “Kedua bangsat tua Put-sam dan Put-si, sakit hati
Swat-san-pay ini pasti akan menuntut balas, diharap saja kalian jangan mati
terlalu cepat.”
Lalu ia memberi tanda
berangkat, beramai-ramai mereka lantas bertindak keluar hutan sana, tiada
seorang pun yang menoleh lagi kepada Ciok Boh-thian.
Melihat darah berceceran di
atas tanah, beberapa batang pedang patah berserakan di sana sini, keadaan sunyi
senyap, hanya suara beberapa ekor burung gaok terdengar terbang melayang di
atas pohon sana, mau tak mau Boh-thian merasa seram juga.
Segera ia jemput kembali
goloknya, lalu berseru, “A Siu! A Siu!”
Ia coba mencarinya di balik
pohon besar tempat mereka tadi, tapi A Siu tidak diketemukan. Ia pikir mungkin
si nona sudah pulang lebih dulu. Segera ia pun kembali ke gua dengan langkah
cepat sambil berseru, “A Siu! A Siu!”
Keruan Boh-thian menjadi
gugup, ia lihat di atas tanah di dalam gua itu ada huruf-huruf yang ditulis
dengan arang, tapi dia adalah pemuda buta huruf, sudah tentu tidak paham apa
arti tulisan itu. Ia menduga Su-popo dan A Siu tentu sudah pergi semua
meninggalkan dia.
Semula Boh-thian merasa sangat
kesepian, Tapi sejak kecil ia sudah biasa hidup seorang diri, rasa sepi itu
tidak lama kemudian pun tak dirasakannya lagi. Sekarang luka di dadanya sudah
tidak berdarah lagi. Ia robek sepotong kain dari ujung baju luar untuk menutupi
lubang bundar di bagian dada itu. Katanya di dalam hati, “Semuanya sudah pergi,
biarlah aku pun pergi saja dari sini, aku akan mencari ibu dan Si Kuning.”
Sekarang dia sudah terhindar
dari macam-macam persoalan orang lain yang membingungkan, ia merasa lega dan
gembira. Segera ia selipkan golok karatan diikat pinggangnya, lalu menuju ke
tepi sungai.
Sampai di tepi sungai,
tertampak ombak mendebur-debur, di tepi sungai tiada sebuah kapal apa pun.
Boh-thian terus mencari dengan menyusur pantai. Ci-yan-to itu adalah sebuah
pulau karang yang tidak luas, maka tiada satu jam lamanya Boh-thian sudah
mengelilingi pulau kecil itu dan tetap tiada tampak bayangan sebuah kapal pun.
Sepanjang mata memandang juga tiada kelihatan bayangan layar sesuatu perahu
yang berlayar di sepanjang sungai.
Kiranya Ci-yan-to terletak di
suatu muara Sungai Tiangkang yang bercabang, arus di situ sangat keras,
permukaan sungai juga sempit, maka jarang sekali ada kapal atau perahu yang
mendekati pulau kecil itu.
Sambil berdiri di tepi sungai,
diam-diam Boh-thian memikir, “Terpaksa aku harus tinggal lagi beberapa hari di
sini, akan kutunggu kalau-kalau ada kapal atau perahu yang lalu di sini. Kalau
tidak, boleh juga aku akan belajar berenang agar lain kali bila aku didorong
orang dan kecemplung lagi ke dalam sungai, tentu aku takkan khawatir dan takkan
minum air lagi.”
Kemudian terpikir pula, “Ya,
buat apa aku mesti buru-buru pergi dari sini? Orang-orang itu seperti
Ting-samyaya, Ting-siyaya, si Ting-ting Tong-tong, Pek-suhu, dan lain-lain
lagi, semuanya ingin membinasakan diriku. Untuk berkelahi aku tak dapat melawan
mereka, kalau sembunyi di sini kan lebih selamat.”
Tengah termenung-menung,
mendadak terdengar suara keresek, dari semak-semak di samping kakinya tiba-tiba
melompat keluar seekor kelinci liar. Memangnya Boh-thian sedang kelaparan
karena setengah harian belum makan apa-apa, selama beberapa hari terakhir ini
pun tidak berani menyalakan api untuk memasak, yang dimakan melulu kesemak
belaka. Sekarang melihat seekor kelinci gemuk, tentu saja ia sangat girang,
segera ia cabut goloknya dan memburu terus menusuk.
Namun kelinci itu teramat
gesit, sedikit meloncat ke samping, seketika tusukan Boh-thian itu mengenai
tempat kosong. Tapi cepat Boh-thian memutar kembali goloknya terus menebas,
kontan kelinci itu tertebas menjadi dua potong.
Selagi Boh-thian hendak
mengambil kelinci yang sudah mati itu, tiba-tiba terkilas sesuatu di dalam
benaknya, “Tebasanku barusan ini bukankah adalah jurus ‘Ting-cia-cit-ki’ ajaran
Su-popo? Ya, memang betul adalah jurus serangan itu. Jika demikian, jadi jurus
ini tidak melulu untuk mengatasi ‘Lau-ki-hong-sia’ dari Swat-san-kiam-hoat,
tetapi masih dapat digunakan pula pada lain tempat.”
Lalu terpikir lagi olehnya,
“Tadi waktu aku menusuk kelinci ini dengan golok, caraku adalah sama dengan
jurus ilmu pedang yang dimainkan Pek-suhu untuk mengalahkan aku itu. Padahal
kelinci ini toh tidak pernah belajar ilmu golok atau ilmu pedang segala, tapi
sedikit berkelit saja dia sudah menghindarkan tusukanku. Ah, tahulah, bila aku
diserang orang aku boleh menangkis atau berkelit dan tidak pasti harus
menggunakan jurus atau cara-cara tertentu untuk menangkisnya.”
Maklumlah, selama hidup Ciok
Boh-thian belum pernah mendapat pelajaran ilmu silat secara teratur, Cia
Yan-khek dan Ting Put-si telah mengajarkan ilmu silat padanya, tapi mereka itu
tiada punya maksud tujuan baik. Ting Tong dan Su-popo telah mengajarkan Kim-na-jiu-hoat
dan Kim-oh-to-hoat padanya, walaupun mereka tiada bermaksud jelek, tapi juga
mempunyai tujuan tertentu, yaitu seorang berharap dia dapat menyelamatkan diri,
sedangkan seorang lagi ingin Boh-thian menggunakan Kim-oh-to-hoat untuk
menangkan Swat-san-kiam-hoat, adapun mengenai bagaimana cara menghadapi musuh,
cara bagaimana menyerang dan menghindari serangan serta kepandaian-kepandaian
dasar ilmu silat pada umumnya sama sekali tak pernah diajarkan kepadanya. Sebab
itulah maka Boh-thian dapat melayani Swat-san-kiam-hoat yang dimainkan Pek
Ban-kiam secara lihai itu, sebaliknya malah kelabakan dan tak bisa menangkis
jurus “Tiau-thian-sik” yang sepele.
Sekarang secara kebetulan
golok Ciok Boh-thian telah menebas kelinci sehingga berhasil menyelami jalan
ilmu silat yang sebenarnya, bahwasanya ilmu silat itu adalah hidup dan tidak
mati dalam setiap gerak atau jurus tertentu, tapi boleh berubah dan bergerak
menurut keadaan.
Teori demikian sebenarnya
sangatlah dangkal, sebabnya Ciok Boh-thian tidak paham adalah bukan lantaran
dia bodoh, soalnya sejak mula dia sudah disesatkan oleh macam-macam ajaran yang
diberikan si Ting Tong, Ting Put-si dan Su-popo secara kaku dan mati.
Malam itu waktu di kelenteng
Toapekong meski Bin Ju juga pernah bergebrak dan seakan-akan sengaja mengajar
kepada Ciok Boh-thian, tapi tatkala mana kedua orang tiada bicara barang
sepatah kata pun, Bin Ju hanya membantunya memahami cara menggunakan jurus
serangan Swat-san-kiam-hoat, dengan sendirinya di mana letak “hidupnya” ilmu
silat itu tidak sampai diajarkan padanya.
Sekarang hal ini mendadak
disadari sendiri olehnya, keruan ia sangat girang. Pikirnya pula, “Tempo hari
waktu berada di atas perahu Suhu telah memberikan petunjuk padaku agar
menirukan setiap jurus yang dimainkan Ting-siyaya, tipu serangan apa yang
dilontarkan beliau, segera aku pun menirukan dengan tipu serangan yang sama.
Cara demikian terang seperti orang bermain-main saja. Coba bilamana
Ting-samyaya juga berada di situ, lalu beliau mendadak menyerang padaku, kan
bisa celaka kalau aku tetap melayani Ting-siyaya dengan tipu serangan yang
sama-sama. Maka terpaksa aku harus ganti tipu serangan yang lain untuk
menyambut pukulan Ting-siyaya dan sekaligus balas menyerang Ting-samyaya.”
Begitulah, sekali otaknya
menjadi encer, segera segala ilmu silat yang pernah dipelajarinya lantas
diingatkannya kembali sejurus demi sejurus, saking asyiknya, tanpa merasa kaki
dan tangannya lantas bergerak-gerak sendiri seperti sedang menari-nari. Ia
tidak pikirkan lagi itu jurus apa dan cara bagaimana harus menggunakannya, tapi
apa yang dia ingat lantas dimainkannya menurut pikirannya, apa tangannya yang
terangkat atau kakinya yang bergerak, makin lama makin bersemangat, sampai
akhirnya debu pasir dan daun kering ikut bertebaran terbawa oleh angin yang
ditimbulkan oleh tenaga-tenaga dalamnya yang dikeluarkan itu. Bahkan
berpotong-potong batu sebesar kepalan juga mencelat ke udara tercukit oleh
kakinya, pepohonan juga terguncang.
Waktu batu-batu itu jatuh
kembali ke atas kepalanya, apakah Ciok Boh-thian menolaknya ke samping dengan
tenaga pukulannya ke atas atau melompat untuk berkelit, keadaan demikian
menjadi mirip tengah bertempur saja.
Makin lama makin bersemangat
dan batu yang tercukit oleh kakinya juga tambah banyak. Sampai akhirnya, tak
peduli batu-batu menghambur dari arah mana tentu dapat ditolaknya terpental
atau dihindarkannya dengan sangat mudah.
Sekonyong-konyong terdengar
suara “krak”, sebatang ranting kayu yang juga mencelat ke udara telah patah
terbentur batu, lalu jatuh ke bawah berbareng dengan batu itu. Secepat kilat
tangan kiri Boh-thian menyambar tangkai kayu itu, menyusul terus menyabet ke
samping sehingga tepat batu itu kena disampuk dan mencelat jauh-jauh.
Untuk sejenak Boh-thian
melengak sendiri, katanya di dalam hati, “Bukankah gerakan ini adalah jurus
serangan yang dimainkan dengan tangan kiri oleh Pek-suhu tadi?”
Segera ia pegang lagi
goloknya, dengan tangan kiri tetap memegang tangkai kayu. Ia mainkan jurus
“Tiang-cia-ciat-ki” dari Kim-oh-to-hoat.
Jurus-jurus serangan golok dan
pedang itu mestinya saling bertentangan, tapi sekaligus dimainkan bersama
ternyata menimbulkan daya serangan yang mahadahsyat. “Cret”, sebatang pohon
siong sebesar lengan telah terkutung oleh goloknya, sebaliknya tangkai kayu di
tangan kiri juga kena sabet di batang pohon sehingga kulitnya pohon itu
terbeset sebagian.
Saking asyiknya Ciok Boh-thian
memainkan sebatang golok karatan dan sebatang ranting kayu, makin lama makin
cepat, ia tidak ambil pusing apakah permainannya yang aneh itu tepat atau
tidak, yang terang di atas pulau situ toh tiada manusia lain lagi, maka ia
tidak perlu khawatir ditertawai orang.
Begitulah, secara tidak
sengaja Ciok Boh-thian alias Su Ek-to telah meyakinkan lwekang yang paling
tinggi, kemudian digembleng oleh beberapa tokoh terkemuka, sekali otaknya
menjadi encer, tiba-tiba dia dapat menciptakan sejenis ilmu silat gabungan
pedang dan golok.
Ilmu silatnya ini mencakup
Swat-san-kiam-hoat dan Kim-oh-to-hoat, pula meliputi ilmu silat ajaran Cia
Yan-khek, Ting Put-si, si Ting Tong, dan Bin Ju. Hanya saja jurus serangannya
tiada tertentu, walaupun mempunyai daya tekanan yang dahsyat, tapi lubang kelemahannya
juga tidak sedikit.
Boh-thian sendiri tiada
bermaksud menciptakan ilmu silat, sudah tentu tak pernah terpikir olehnya untuk
memberi nama jurus-jurus ilmu silatnya itu.
Apalagi dia buta huruf,
disuruh membeli nama juga dia tidak mampu.
Begitulah makin latih makin
tambah lwekangnya sehingga sedikit pun tidak merasa lelah sampai akhirnya
perutnya berkeruyukan saking laparnya barulah ia berhenti. Waktu ia cari
kelinci tadi ternyata sudah hancur terinjak-injak olehnya sendiri, terpaksa ia
mencari ke semak pula untuk menangsel perut.
Ia coba kembali ke gua itu
dengan harapan Su-popo dan A Siu sudah pulang, tapi keadaan di situ ternyata
sunyi senyap. Dalam pada itu malam pun sudah tiba, terpaksa Boh-thian tidur di
dalam gua.
Sampai tengah malam, mendadak
terdengar suara menderak yang keras dari arah pantai. Karena lwekangnya
sekarang sudah sangat tinggi, dengan sendirinya indra pendengarannya juga
sangat tajam. Segera ia melompat bangun dan berlari ke tepi sungai. Di bawah
sinar bintang yang remang-remang tertampak sebuah kapal berlabuh di sana dan
tiada hentinya bergoyang-goyang.
Boh-thian terkejut dan
bergirang, ia khawatir kalau-kalau kapal itu adalah milik Ting Put-sam atau
Ting Put-si, maka ia tidak berani mendekatinya. Ia coba sembunyi di belakang
pohon untuk mengintai.
Tiba-tiba terdengar suara
menderak yang keras pula, sekali ini dapat dilihatnya dengan jelas, yaitu layar
yang terlepas di tiang kapal itu tadinya berlipatan menjadi satu, ketika
tertiup angin kencang, layar itu lantas terpentang dan mengeluarkan suara
kebasan keras.
Kapal itu tergoyang-goyang dan
tampaknya hendak terhanyut pula meninggalkan pulau, cepat Boh-thian berlari
mendekati sambil berteriak, “Adakah orang yang berada di atas kapal?”
Tapi ia tidak mendapat jawaban
orang. Sekali lompat segera ia melayang ke atas kapal. Ia coba melongok ke
dalam ruangan kapal, keadaan di dalam gelap gulita dan tiada kelihatan apa-apa.
Dalam pada itu kapal itu mulai
terombang-ambing, nyata telah meluncur perlahan ke tengah terbawa oleh arus.
“Apakah ... apakah Ting-samyaya yang berada di dalam?” Boh-thian berteriak
pula. Namun tetap tiada jawaban seorang pun.
Tanpa pikir ia berjalan ke
dalam ruangan, mendadak kakinya kesandung badan orang merebah melintang di
lantai kapal. Cepat Boh-thian berkata, “Maaf!” Segera ia bermaksud membangunkan
orang itu. Tak terduga di mana tangannya menyentuh kiranya adalah serangka
mayat yang sudah kaku dan dingin.
Keruan Boh-thian menjerit
kaget. Waktu tangan kirinya meraba ke belakang, kembali tersentuh lengan
seorang, keadaannya juga sudah kaku dingin, terang sudah mati sekian lamanya.
Dengan menggagap-gagap ia
terus menyusur ke belakang kapal, ternyata di mana-mana hanya mayat belaka,
kakinya menginjak mayat, di mana tangannya menjulur juga selalu menyentuh
mayat. Di ruangan belakang juga penuh dengan mayat, banyak yang bergelimpangan
di lantai, ada pula yang duduk di atas kursi.
“Adakah orang di sini?”
kembali Boh-thian berteriak khawatir. Saking ngerinya sampai ia merasa suaranya
sendiri pun sudah berubah.
Setiba di buritan kapal, di
bawah sinar bintang yang remang-remang kelihatan pula di atas geladak situ pun
bergelimpangan belasan orang. Semuanya sudah kaku, terang juga mayat.
Jilid 25
Sementara itu angin meniup
dengan kencangnya sehingga menimbulkan suara menderu-deru, beberapa layar kapal
yang sudah robek pun ikut berkibar-kibar dan menerbitkan suara memberebet yang
keras dan menyeramkan.
Walaupun Ciok Boh-thian alias
Su Ek-to sudah biasa hidup sendirian dan berhati tabah, tapi di tengah malam
gelap, di atas kapal yang penuh mayat belaka, betapa pun ia merasa merinding
juga, apalagi kalau terkenang kepada “mayat hidup” yang pernah mengudaknya di
Hau-kam-cip dahulu itu.
Saking ngerinya segera
Boh-thian bermaksud meninggalkan kapal itu. Tapi baru saja ia naik kembali ke
atas geladak kapal, maka mengeluhlah dia. Kiranya kapal itu sudah jauh
meninggalkan tepian dan sedang terhanyut oleh arus yang deras. Mula-mula kapal
itu terhanyut ke pulau Ci-yan-to, sesudah berputar dan oleng beberapa kali,
kemudian terhanyut pula ke hilir.
Semalam suntuk Boh-thian tidak
berani tidur di dalam kapal, ia melompat ke atas atap kapal, sambil bersandar
pada tiang layar ia menantikan datangnya fajar.
Besok paginya sesudah sang
surya muncul dan seluruh jagat raya menjadi terang benderang, barulah rasa
seram Boh-thian mulai hilang. Ia coba memeriksa kembali keadaan kapal itu, ia
lihat di luar dan dalam kapal itu sedikitnya ada 50-60 mayat yang
bergelimpangan dan mengerikan. Anehnya di atas mayat-mayat itu tiada
bekas-bekas darah, juga tiada tanda-tanda terluka oleh senjata tajam sehingga
tidak diketahui apa yang menyebabkan kematiannya.
Ketika Boh-thian memutar ke
haluan kapal, tiba-tiba dilihatnya tepat di atas pintu ruangan kapal terpaku
dua buah pening dari tembaga putih sebesar gobang. Sebuah pening melukiskan
muka seorang yang sedang tertawa ramah, sebuah lagi melukiskan muka yang bengis
dan jahat.
Untuk sejenak Boh-thian
memandangi kedua bentuk pening tembaga itu, ia merasa muka yang terlukis di
atas pening itu seakan-akan hidup saja, ia tidak berani memandang lebih lama
lagi dan cepat-cepat berpaling. Ketika ia memandang pula kepada mayat-mayat yang
bergelimpangan itu, ia melihat hampir semuanya membawa senjata, terang
korban-korban itu adalah orang-orang persilatan semua.
Waktu diperiksa lebih teliti,
terlihatlah pada baju setiap korban itu masing-masing tersulam seekor ikan
kecil bersayap dan berwarna putih. Boh-thian tambah heran, ia menduga
korban-korban di atas kapal itu tentu adalah orang-orang sekomplotan, cuma
tidak diketahui mengapa bisa ketemukan musuh tangguh dan semuanya terbinasa.
Begitulah kapal tanpa juru
mudi itu masih terus terhanyut ke hilir. Menjelang tengah hari, sampailah pada
suatu pengkolan sungai, tiba-tiba dari depan sedang meluncur tiba dua buah
kapal dengan menempuh arus.
Melihat ada kapal yang
meluncur dari hulu sungai dalam keadaan oleng, juru mudi kapal dari muara sungai
itu menjadi khawatir dan berteriak-teriak, “Hai! Awas! Banting kemudi!”
Akan tetapi kapal tanpa
pengemudi itu makin mengoleng, kebetulan di tengah sungai situ ada pusaran air
sehingga kapal itu malah menerjang ke depan dengan melintang. Maka terdengarlah
suara gemuruh yang keras, tanpa ampun lagi kedua buah kapal dari muara sungai
itu telah tertumbuk.
Terdengarlah suara orang yang
panik diseling suara caci maki yang kotor. Boh-thian menjadi kaget dan
khawatir. Pikirnya, “Wah, kapal mereka telah tertumbuk rusak, tentu mereka akan
mencari ke atas kapal ini dan meminta pertanggungjawabanku. Kalau diusut lebih
jauh, tentu mereka akan mengira aku yang telah membunuh orang-orang di atas
kapal ini. Wah, tentu aku bisa celaka. Lantas apa yang harus kulakukan sekarang?”
Dalam gugupnya tiba-tiba
timbul akalnya, cepat ia menyusup ke dalam ruangan kapal, ia membuka papan
lubang dan sembunyi ke dalam dek di bagian bawah kapal.
Sementara itu tiga buah kapal
sudah oleng bersama dan bergumul menjadi satu. Selang tak lama lantas terdengar
ada suara orang melompat ke atas kapal ini, menyusul ramailah suara teriak
kaget orang banyak. Ada yang berseru, “He, inilah orang-orang Hui-hi-pang
(gerombolan ikan terbang)! Meng... mengapa sudah mati semua!”
Lalu ada yang menanggapi, “Ya,
bahkan pangcu... pangcu mereka Seng Tay-yang juga mati di sini!”
Sejenak kemudian mendadak ada
orang berteriak di haluan kapal, “He, med... medali pengganjar dan... dan
medali penghukum!”
Dari suaranya yang gemetar
terang sekali orang ini sangat ketakutan.
Karena teriakan itu, seketika
suara ribut-ribut tadi lantas berhenti, keadaan berubah menjadi sunyi senyap.
Walaupun sembunyi di bawah
kapal dan tidak dapat melihat air muka orang-orang itu, tapi dapatlah Boh-thian
membayangkan betapa kaget dan takutnya mereka.
Sampai agak lama barulah
terdengar seorang membuka suara, “Tahun ini memang jatuh tempo keluarnya
Siang-sian-leng dan Hwat-ok-leng (Medali Pengganjar dan Medali Penghukum), maka
besar kemungkinan kedua rasul pengganjar dan penghukum kembali telah bertugas
keluar lagi. Ai, memangnya orang-orang Hui-hi-pang ini di masa lampau sudah
terlalu banyak melakukan kejahatan....” sampai di sini ia lantas menghela napas
panjang dan tidak meneruskan.
“Oh-toako,” demikian terdengar
seorang bertanya, “konon menurut cerita orang, katanya Siang-sian-leng dan
Hwat-ok-leng ini adalah tanda panggilan kepada seseorang ke... ke sesuatu
tempat, setiba di sana barulah diambil tindakan, jadi hukuman tidak dilakukan
di tempat si orang yang dipanggil.”
“Ya, bilamana yang dipanggil
itu mau tunduk kepada panggilannya,” sahut orang yang duluan tadi. “Tampaknya
Seng Tay-yang dari Hui-hi-pang ini tidak mau menurut perintah dan melakukan
perlawanan, maka kedua rasul sakti itu menjadi gusar.”
Sesudah pembicaraan orang itu,
lalu semua orang terdiam lagi.
Tiba-tiba Boh-thian sendiri
teringat, “Mayat-mayat yang bergelimpangan di kapal ini katanya adalah
orang-orang Hui-hi-pang segala dan ada juga seorang pangcu. Wah, celaka, bukan
mustahil kedua rasul yang disebut pengganjar dan penghukum itu juga akan
mendatangi Tiang-lok-pang kami?”
Berpikir demikian, mau tak mau
ia menjadi gelisah, ia merasa perlu lekas pulang ke tempat Tiang-lok-pang untuk
memberitahukan kepada kawan-kawannya di sana agar bisa siap siaga sebelumnya.
Maklum, walaupun dia keliru disangka sebagai Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang
sehingga banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan baginya, bahkan beberapa kali
jiwanya terancam bahaya, namun setiap orang di Tiang-lok-pang adalah sedemikian
baik dan menghormat padanya, meskipun pernah terjadi seorang Tian Hui yang
bermaksud membunuhnya, tapi hal ini pun terjadi karena salah paham, sebab
itulah Boh-thian sangat menaruh perhatian terhadap keselamatan orang-orang Tiang-lok-pang.
Segera ia pasang telinga dan mendengarkan lebih jauh apa yang dipercakapkan
orang-orang di atas kapal itu.
Terdengar seorang di antaranya
telah berkata pula, “Oh-toako, menurut pendapatmu, urusan ini akan merembet
sampai kepada kita atau tidak? Kedua rasul itu apakah juga akan mendatangi
Tiat-cha-hwe (perkumpulan tombak besi) kita?”
Maka orang yang dipanggil
sebagai Oh-toako itu telah menjawab, “Jikalau kedua rasul pengganjar dan
penghukum sudah muncul lagi, maka setiap organisasi atau perkumpulan di dunia
Kangouw tentu susah bebas dari penilikan mereka. Tentang Tiat-cha-hwe kita
apakah dapat terhindar dari malapetaka ini kukira semuanya tergantunglah kepada
nasib kita.”
Dan sesudah merenung sejenak,
lalu ia berkata pula, “Baik begini saja, diam-diam boleh kau perintahkan orang
agar segera pulang lapor kepada Congthocu (ketua) kita. Adapun para saudara
yang berada di atas kedua kapal kita itu, boleh suruh mereka berkumpul ke atas
kapal ini. Semua benda di atas kapal ini janganlah dipegang, kita membawa kapal
ini ke kampung nelayan di luar muara Ang-liu-kang sana. Karena kedua rasul
pengganjar dan penghukum sudah menumpas habis para tokoh-tokoh Hui-hi-pang,
rasanya mereka takkan datang lagi untuk kedua kalinya.”
“Betul, betul, bagus sekali
akal ini!” seru orang pertama tadi. “Jika kedua Sucia (rasul) melihat kapal ini
pula, tentu mereka akan mengira kapal ini hanya berisi mayat-mayat orang
Hui-hi-pang belaka dan tidak mungkin memeriksa ke sini lagi. Biarlah sekarang
juga aku akan meneruskan perintahmu.”
Tidak lama kemudian,
terdengarlah orang banyak beramai-ramai berkumpul ke atas kapal ini. Di tempat
sembunyinya Boh-thian dapat mendengar percakapan ramai yang dilakukan
orang-orang itu dengan suara perlahan dan ketakutan seakan-akan sedang menghadapi
elmaut.
Terdengar seorang di antaranya
berkata, “Tiat-cha-hwe kita toh tiada bersalah kepada mereka, rasanya kedua
rasul pengganjar dan penghukum takkan membikin susah kepada kita.”
Lalu seorang kawannya
menanggapi, “Memangnya kau kira orang-orang Hui-hi-pang berani menyalahi
mereka? Tapi toh tidak terhindar dari malapetaka. Ai, kukira bencana yang
selalu terjadi satu kali setiap sepuluh tahun ini mungkin... mungkin kali ini
kita... kita juga....”
Tiba-tiba seorang lagi
menyela, “Lau Li, apabila Congthocu kita memenuhi panggilan dan pergi ke sana,
lalu bagaimana?”
“Lalu bagaimana? Sudah tentu
bisa pergi tak bisa pulang!” sahut orang she Li itu dengan mendengus. “Menurut
kejadian-kejadian beberapa puluh tahun yang lalu, setiap orang, apakah dia
pangcu, congthocu, atau ciangbunjin dari golongan mana, asal sudah pergi
memenuhi panggilan itu, belum pernah ada seorang pun yang pulang kembali.
Sudahlah, selama ini Congthocu sangat berbudi kepada kita, pendek kata kalau
terjadi apa-apa atas diri beliau, masakah kita mesti bersikap pengecut dan
membiarkan beliau menghadapi bahaya sendiri?”
“Benar juga. Tapi jalan paling
baik adalah menghindari saja,” ujar seorang lagi. “Untung kita dapat mengetahui
sebelumnya secara kebetulan, tampaknya Thian memang memberkati agar
Tiat-cha-hwe kita terbebas dari bencana ini. Perkampungan nelayan kecil di
muara Ang-liu-kang itu sangatlah terpencil dan merupakan suatu tempat sembunyi
yang bagus, biarpun kedua Sucia pengganjar dan penghukum serbalihai juga susah
untuk menemukan kita.”
“Sudah lama Congthocu
mengusahakan perkampungan nelayan ini, tujuannya tiada lain justru akan
digunakan seperti sekarang ini,” kata orang yang dipanggil Oh-toako tadi.
“Selama delapan tahun nelayan yang berdiam di perkampungan itu boleh dikata
tidak pernah keluar dari perkampungan itu, jadi tempat itu memangnya adalah
sebuah tempat pengungsian yang baik.”
Kemudian seorang lagi yang
bersuara lantang kasar telah berkata, “Tiat-cha-hwe kita selama ini malang
melintang di lembah Tiangkang sini, kita tidak takut kepada langit dan tidak
gentar pada bumi, bahkan kepada si tua bangka raja juga kita tidak mau tunduk,
mengapa sekarang hanya mendengar nama rasul-rasul kentut apa segala lantas
ketakutan setengah mati dan lari mencawat ekor terus mengkeret dan sembunyi seperti
kura-kura saja. Seumpama kita dapat sembunyi dengan baik, tapi kelak kalau ada
orang menanyakan kejadian ini, lalu muka kita harus ditaruh ke mana? Maka ada
lebih baik kita melawannya mati-matian, persetan, toh jiwa kita belum pasti
akan melayang!”
“Benar juga,” ujar Oh-toako
tadi. “Orang yang makan nasi Kangouw sebagai kita ini memangnya tidak perlu
pikir tentang jiwa melayang segala, pekerjaan kita senantiasa bergulat dengan
elmaut, apa yang mesti kita takuti. Namun menghadapi Siang-sian dan Hwat-ok
Sucia kita tidak boleh tidak berpikir dua kali, jangankan kita, sedangkan
tokoh-tokoh terkemuka sebagai....”
Sampai di sini, mendadak orang
yang bersuara lantang kasar tadi berteriak, “Huh, dasar pengecut, bilakah kau
pernah melihat aku Ong-laulak, Si Bulus Berkepala Botak, minta ampun dan takut
kepada orang lain? Huh... aduuuh!”
Belum selesai ucapannya,
mendadak ia menjerit ngeri. Habis itu keadaan lantas sunyi senyap dan tiada
seorang pun yang berani membuka suara lagi.
Sejenak kemudian, tiba-tiba Boh-thian
merasa ada air yang menetes di atas tangannya, waktu ia mengendus barang cair
itu, terciumlah bau anyirnya darah. Malahan darah itu masih terus menetes dari
atas.
Karena tahu orang-orang yang
berada di atas geladak kapal itu tepat berada di atas kepalanya, maka Boh-thian
tidak berani bergerak sedikit pun agar tidak menjangkitkan sesuatu suara dan
terpaksa membiarkan darah menetes terus di atas badannya.
Dalam pada itu terdengar pula
si Oh-toako tadi sedang berteriak dengan bengis, “Apa kau menyalahkan aku
karena Ong-laulak telah kubunuh?”
“Ah, tidak, tidak!” demikian
sahut seorang dengan suara agak gemetar. “Ucapan Ong-laulak tadi memang...
memang terlalu kasar sehingga tidaklah heran membikin marah kepada Oh-toako.
Cuma... cuma saja Ong-laulak selamanya juga... juga sangat setia dan telah
banyak berjasa bagi Tiat-cha-hwe kita.”
“Jadi kau tidak setuju atas
tindakanku barusan ini?” tanya si Oh-toako.
“Bu... bukan....” belum sempat
orang itu bicara pula, kembali terdengarlah jeritan ngeri, terang ia sudah
dibunuh pula oleh orang she Oh itu.
Maka air darah kembali menetes
lagi ke bawah melalui celah-celah papan kapal, untung sekali kini air darah itu
tidak mengotori badan Ciok Boh-thian, tapi menetes semua di lantai.
Berturut-turut Oh-toako itu telah
membunuh dua orang, keruan yang lain-lain tidak berani banyak cincong lagi.
Maka Oh-toako itu telah berkata, “Bukanlah aku sengaja berbuat ganas dan kejam
dan tidak mengingat hubungan baik sesama saudara, tapi soalnya menyangkut jiwa
beribu-ribu anggota kita, bila tempat kita ini sampai diketahui musuh, maka
nasib kita pasti akan serupa dengan kawan-kawan dari Hui-hi-pang ini.
Ong-laulak menganggap dirinya jagoan dan berteriak-teriak, padahal jiwanya
tidaklah menjadi soal, masakah jiwa Congthocu dan kita semua harus ikut
melayang bersama dia?”
Terdengar semua orang
mengiakan saja dan tidak berani bicara pula.
Maka Oh-toako itu berkata
lagi, “Nah, siapa-siapa yang tidak ingin mampus supaya berdiam saja di dalam
kapal ini. Siau Song, pergilah kau memegang kemudi, pakailah sepotong kain
layar untuk menutupi tubuhmu agar jangan sampai dilihat orang.”
Begitulah Boh-thian yang
mendekam di bawah kapal itu lantas mendengar mendeburnya air, kapal itu terasa
bergerak. Mungkin orang-orang di atas kapal itu semuanya sedang merenungkan
nasibnya sendiri-sendiri, maka tiada seorang pun yang berbicara. Dengan
demikian Boh-thian sendiri lebih-lebih tidak berani bergerak dan menerbitkan
sesuatu suara. Teringat olehnya tipu-tipu silat yang dimainkannya di tepi
pantai kemarin itu, dengan pedang di tangan kiri dan golok di tangan kanan,
ditambah lagi jurus-jurus pukulan dan tendangan ajaran Ting Put-si. serta
Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong, semua kepandaian itu sejurus demi sejurus
terlintas pula dalam ingatannya, sehingga tanpa merasa seluruh tenaga dalam
yang terpupuk di dalam tubuhnya, telah dicurahkan semua ke dalam jurus-jurus
ilmu silat ciptaannya itu. Terkadang kalau ia merasa salah satu jurus di
antaranya masih kurang sempurna, segera ia memikirkannya pula dari semula.
Begitulah ia tenggelam di
dalam lamunannya untuk menyelami ilmu silatnya. Semula ia masih sempat mengikuti
juga gerak-gerik orang-orang Tiat-cha-hwe yang berada di atas kapal itu, tapi
sampai akhirnya, perhatiannya telah tercurah seluruhnya kepada ilmu silat
melulu. Sesudah mengalami penyelaman secara mendalam ini, baru sekarang lwekang
dan gwakang yang telah dihimpunnya selama bertahun-tahun ini dapatlah dilebur
dan dipahami dengan baik. Maka si “Kau-cap-ceng” yang tadinya cuma seorang
pemuda gunung yang ketolol-tololan telah tumbuh juga menjadi seorang jago silat
kelas wahid hasil ciptaannya sendiri.
Beberapa jam kemudian,
teringat pula olehnya pertandingan ilmu pedang antara Ciok Jing suami-istri
melawan, Pek Ban-kiam, serta macam-macam ilmu silat ketika terjadi pertarungan
antara Ting Put-sam dan Ting Put-si mengeroyok Pek Ban-kiam di Ci-yan-to tempo
hari, di mana dahulu ia merasa susah memahami letak kebagusan ilmu-ilmu silat
itu. Tapi sekarang sesudah direnung kembali, ia merasa setiap tipu dan setiap
jurus yang dimainkan mereka itu toh semuanya jelas dan gamblang baginya.
Selagi Boh-thian termenung-menung,
tiba-tiba terdengar suara gemerencingnya rantai, kiranya kapal itu sudah
membuang sauh dan telah berlabuh.
Segera terdengar pula si
Oh-toako sedang berkata, “Sesudah masuk rumah, semua orang dilarang keluar
lagi. Dengan tenang tunggulah kedatangan Congthocu dan terserah kepada perintah
beliau nanti.”
Dengan suara perlahan semua
orang telah mengiakan, lalu dengan hati-hati mereka mendarat semua. Hanya dalam
sekejap saja semua orang sudah meninggalkan kapal itu, keadaan menjadi sunyi
kembali.
Sesudah menunggu agak lama,
Boh-thian menduga orang-orang itu tentu sudah masuk rumah semua, maka
perlahan-lahan barulah ia berani membuka papan lubang dan melongok ke atas.
Segera matanya menjadi silau oleh cahaya yang terang benderang. Kiranya waktu
itu sudah siang hari.
Melihat sekelilingnya tiada
orang lagi barulah Boh-thian menerobos keluar dari bawah dek. Ia lihat di atas
geladak kapal masih penuh dengan mayat-mayat kemarin itu. Segera ia menjemput
sebatang golok dan diselipkan pada ikat pinggangnya. Ia menggerayangi pula
mayat-mayat itu dan menemukan beberapa renceng uang perak guna sangu. Lalu ia
menuju ke buritan kapal, dari situ ia melompat ke daratan. Sambil membungkuk ia
terus berlari-lari kecil menyusur tepi sungai.
Kira-kira satu li jauhnya
barulah ia sampai di suatu jalanan kecil yang menghubungkan tepi sungai itu. Ia
pikir saat itu belum terlepas dari daerah berbahaya, rasanya makin jauh
meninggalkan tempat itu akan makin baik, maka ia lantas angkat kaki dan
berlari-lari secepatnya. Untunglah perkampungan nelayan itu memang sangat sepi
dan terpencil, belasan li di sekitar situ ternyata tiada sebuah rumah pun,
selama itu tiada seorang pun yang dijumpai.
Ia tidak tahu bahwa di sekitar
perkampungan nelayan itu, sebenarnya ada juga beberapa petani, tapi
petani-petani itu diam-diam telah binasa diracun orang-orang Tiat-cha-hwe, ada
juga penduduk pindahan baru dari lain tempat, tapi tidak lama kemudian
meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang berdekatan
dengan perkampungan nelayan Ang-liu-kang (muara pohon Liu merah) itu
menganggapnya sebagai tempat maut yang selalu berjangkit penyakit menular. Maka
selama beberapa tahun ini tiada seorang pun yang berani mendekatinya, dan
dengan demikian Ang-liu-kang dapatlah menjadi sarang Tiat-cha-hwe yang sangat
baik dan rahasia.
Setelah berlari beberapa li
lagi, jarak dengan kampung nelayan itu sudah semakin jauh. Boh-thian
benar-benar sudah sangat lapar. Segera ia memasuki hutan yang berada di sebelah
jalan dengan tujuan mencari sesuatu makanan. Eh, benar-benar sangat kebetulan,
belum jauh ia berjalan, sekonyong-konyong terdengar suara gemeresak, dari
tengah-tengah semak-semak telah menerjang keluar seekor babi hutan yang besar,
dengan kedua taringnya yang kelihatan putih tajam, binatang itu terus
menyeruduk ke arah Ciok Boh-thian.
Tapi dengan sebat sekali
Boh-thian dapat mengegos ke samping, berbareng tangan kanan sudah mencabut
golok, dengan jurus “Tiang-cia-ciat-ki” (Si Kakek Menebas Tangkai) dari
Kim-oh-to-hoat, secepat kilat ia menebas. “Sret”, tanpa ampun lagi buah kepala
babi hutan itu sudah terpenggal.
Babi hutan itu ternyata sangat
buas dan tangkas, meski kepalanya sudah terpenggal toh tubuhnya masih menerjang
ke depan sampai beberapa meter jauhnya, habis itu barulah roboh.
Sungguh girang Boh-thian tak
terkatakan. Ini benar-benar pucuk dicinta ulam tiba, memangnya ia sedang
kelaparan dan ingin mencari makanan, tahu-tahu babi hutan itu telah
mengantarkan nyawa sendiri untuk menjadi babi panggang baginya.
Segera Boh-thian mencari
sepotong batu hitam, ia gunakan punggung golok untuk mengetok batu itu sehingga
meletikkan lelatu untuk membuat api unggun.
Ia pilih bagian-bagian yang
baik dan potong keempat paha babi hutan itu. Ia mencucinya ke tepi sungai kecil
yang tiada jauh dari situ. Ketika kembali goloknya yang dia bakar di dalam api
unggun itu pun sudah merah, dengan golok panas itulah ia bersihkan bulu-bulu di
atas paha babi hutan. Lalu keempat paha itu dia tusuk dengan sebatang kayu dan
terus dipanggang.
Tidak lama kemudian, maka
teruarlah bau harum sedap yang merangsang selera.
Tengah Boh-thian sibuk
memanggang paha babi hutan, tiba-tiba terdengar di tempat sejauh beberapa puluh
meter sana ada orang berkata, “Wah, alangkah sedapnya bau ini, benar-benar
membangunkan nafsu makan setiap orang!”
“Agaknya di sebelah sana ada
orang sedang memanggang daging, marilah kita coba pergi ke sana dan berunding
padanya untuk minta bagian sedikit,” demikian seorang lagi menanggapi.
“Ya, benar! Hayo!” sahut orang
yang pertama.
Lalu terdengar suara langkah
mereka yang menuju ke tempat Ciok Boh-thian.
Maka tertampaklah seorang di
antaranya bertubuh tinggi gemuk, bermuka lebar dan bertelinga besar, memakai
jubah warna kuning kehijau-hijauan, wajahnya tersenyum simpul dan ramah tamah.
Seorang lagi juga bertubuh sangat tinggi, tapi kurus kering, berbaju panjang
warna biru langit, berjenggot kecil sebagai buntut tikus, wajahnya kelihatan
guram dan bersungut.
Sesudah dekat, segera si gemuk
menyapa dengan tertawa, “Haha, Saudara cilik, bolehkah....”
Karena sudah mendengar
percakapan mereka tadi, segera Boh-thian menukas, “Ya, di sini masih banyak
kelebihan daging panggang, biarpun sepuluh orang juga takkan habis, sebentar
boleh silakan kalian ikut pesta saja.”
“Jika demikian, banyaklah
terima kasih,” ujar si gemuk.
Kedua orang itu lantas
berduduk di samping api unggun. Mereka melihat pakaian Ciok Boh-thian cukup
perlente, tapi kotor dan kusut, bahkan penuh bekas darah. Kedua orang itu
saling tukar pandang dengan perasaan heran. Tapi mereka lantas memusatkan
perhatian mereka kepada paha babi hutan yang sedang dipanggang itu dan tidak
ambil pusing lagi kepada keadaan Ciok Boh-thian itu.
Babi hutan itu ternyata cukup
gemuk sehingga sesudah terpanggang minyaknya telah menetes ke dalam api unggun
dan menimbulkan bau sedap, walaupun belum dimakan, namun sudah merangsang
selera.
Keruan si kurus hampir-hampir
mengiler. Dari pinggangnya ia menanggalkan sebuah houlo (buli-buli arak terbuat
dari sejenis labu) berwarna biru, ia membuka sumbat buli-buli itu terus
menenggak seceguk, lalu mulutnya berkecap-kecap sambil memuji, “Ehmmm, arak
bagus!”
Si gemuk juga lantas
menanggalkan sebuah houlo warna merah, lebih dulu ia mengocaknya berapa kali,
lalu membuka sumbat dan menenggaknya juga satu ceguk, kemudian ia pun berkata,
“Ehmmm, arak bagus!”
Selama ikut Cia Yan-khek
dahulu, sering juga Ciok Boh-thian melihat dan mencicipi arak. Sekarang
terendus bau arak, seketika timbul juga keinginannya ikut minum. Cuma ia
menjadi ragu-ragu ketika melihat kedua orang itu masing-masing meminum araknya
sendiri-sendiri dan tiada maksud mengundangnya ikut minum, maka ia pun merasa
tidak pantas untuk memohon kepada mereka.
Selang tak lama, keempat paha
babi panggang itu sudah cukup matang, segera Boh-thian berkata, “Sudah matang
sekarang, silakan makan!”
Tanpa disuruh untuk kedua
kalinya, segera si gemuk dan si kurus menyerbu babi panggang itu, masing-masing
menyambar sepotong paha gemuk besar itu terus akan digerogoti dengan lahapnya
kalau Ciok Boh-thian tidak keburu menyetop mereka, “Meski kedua belah paha itu
gemuk dan besar, tapi itu adalah paha bagian belakang, rasanya tidak seenak
paha bagian depan.”
Apa yang dikatakan Boh-thian
itu memang benar. Kalau memilih paha (kaki) babi, maka kaki bagian depan adalah
lebih lezat daripada kaki belakang.
Maka si gemuk telah menjawab
dengan tertawa, “Hatimu ternyata sangat baik!”
Segera ia menukarkan sebelah
kaki depan yang lebih kecil dan lebih lezat rasanya, lalu digerogoti dengan
lahapnya.
Si kurus sudah telanjur
menggerogoti paha panggang bagian depan itu, ia hanya ragu-ragu sejenak, tapi
tidak jadi menukarkannya.
Begitulah sesudah kedua orang
itu memakan sebagian paha panggang itu, lalu masing-masing minum seceguk lagi
araknya masing-masing sambil memuji, “Ehmmm, arak bagus!”
Kemudian buli-buli arak
disumbat kembali dan digantungkan lagi ke pinggang masing-masing.
Diam-diam Boh-thian membatin,
“Tampaknya kedua orang ini toh bukan orang miskin, mengapa mereka begini kikir,
hanya minum dua ceguk saja lantas tidak berani minum lebih banyak lagi,
memangnya apakah arak mereka sedemikian bagus dan mahalnya?”
Sejenak kemudian, dengan
memberanikan diri Boh-thian coba memohon kepada si gemuk, “Toaya (tuan), apakah
boleh aku minta arakmu barang beberapa cegukan saja?”
Namun si gemuk telah
menggoyang kepala dan menjawab, “Tidak, tidak boleh! Ini bukan arak, tidak boleh
diminum orang lain. Kami telah makan babi panggangmu, sebentar kami tentu akan
memberi balas jasa yang pantas.”
“Hehe, kau berdusta,” ujar
Boh-thian dengan tertawa. “Baru saja kau sendiri mengatakan ‘arak bagus’, pula
aku pun mencium harumnya arak.”
Lalu ia berpaling kepada si
kurus dan memohon, “Biarlah arak kepunyaan Toaya ini saja, bolehkah aku
meminumnya beberapa ceguk?”
Namun si kurus telah
menjawabnya dengan mata mendelik, “Ini adalah racun, jika kau berani boleh
silakan minum.”
Habis berkata ia lantas
menanggalkan pula buli-bulinya dan ditaruh di atas tanah.
“Jika racun, mengapa kau
sendiri tidak keracunan?” ujar Boh-thian dengan tertawa sambil mengambil
buli-buli arak itu, ketika ia membuka sumbatnya, segera terendus bau arak yang
menusuk hidung.
Melihat Boh-thian benar-benar
akan minum arak kawannya, air muka si gemuk agak berubah, cepat ia berkata,
“Memangnya begitu, siapa yang berdusta padamu? Hayo, lekas taruh kembali!”
Berbareng tangannya lantas
menjulur dengan maksud merebut kembali houlo yang telah dipegang Boh-thian itu.
Tak terduga, baru saja jarinya
menyentuh tangan Ciok Boh-thian, seketika si gemuk merasa tergetar oleh suatu
tenaga yang mahakuat sehingga jarinya terpental balik.
Si gemuk bersuara kaget dan
berkata, “Eh, beginilah kiranya! Jadi kami sendiri yang salah mata, ya, silakan
minum arak itu!”
Tanpa sungkan-sungkan lagi
Boh-thian lantas angkat houlo itu dan meneguknya dua kali, ia pikir si kurus
sangat kikir dan sayang sekali kepada araknya, maka ia tidak berani minum terlalu
banyak, sesudah ia tutup kembali buli-buli itu, lalu mengucapkan terima kasih.
Tiba-tiba ia merasa suatu arus
hawa dingin menaik dari perutnya. Hawa dingin itu terus mengalir menaik
sehingga dalam sekejap saja sekujur badannya seakan-akan terbeku kaku. Cepat
Boh-thian mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan, dengan demikian arus
dingin itu lambat laun dapat dipunahkan. Dan sesudah hilang rasa dingin itu,
seketika seluruh anggota badannya terasa sangat segar sekali, bukan saja tidak
merasa dingin, sebaliknya malah merasa hangat-hangat dan enak sekali.
“Ehmmm, arak bagus!” demikian
tanpa terasa Boh-thian juga memuji dan tanpa kuasa ia sambar houlo arak tadi,
ia cabut sumpalnya dan kembali meneguk dua kali.
Ketika tenaga dalamnya dapat
memunahkan pula hawa dingin yang timbul dari arak itu, maka ia pun mulai
merasakan pengaruhnya alkohol itu. Katanya dengan gegetun, “Ah, benar-benar
arak bagus yang belum pernah kuminum. Sayang arak ini terlalulah berharga,
kalau tidak tentu akan kuhabiskan seluruhnya.”
Air muka si gemuk dan si kurus
tampak terheran-heran. Kata si gemuk, “Jika adik cilik benar-benar tahan minum,
maka bolehlah silakan minum habis seisi houlo itu.”
“Apa benar? Kukira Toaya ini
takkan mengizinkan,” ujar Boh-thian dengan girang.
“Isi houlo merah tuan gemuk
ini rasanya terlebih enak lagi, apakah kau mau mencobanya?” tiba-tiba si kurus
menanggapi dengan nada dingin.
Boh-thian tidak bersuara lagi,
ia hanya pandang si gemuk dengan maksud memohon.
Tiba-tiba si gemuk menghela
napas, katanya, “Semuda ini telah memiliki lwekang sedemikian tinggi, tapi jiwa
akan melayang secara begini, sungguh sayang!”
Sambil berkata ia terus
menanggalkan houlo merah dari pinggangnya dan ditaruh di atas tanah.
Diam-diam Boh-thian berpikir,
“Kedua orang ini rupanya suka berkelakar semua. Bilamana arak mereka ini
benar-benar beracun, mengapa mereka sendiri telah meminumnya juga?”
Segera ia pun angkat houlo
merah itu, ketika sumpalnya dicabut, bau arak lantas menusuk hidung pula. Tanpa
pikir lagi ia lantas meneguk dua kali. Sekali ini rasanya tidak dingin seperti
arak si kurus, sebaliknya rasanya sangat panas sehingga perut seperti terbakar.
Boh-thian sampai menjerit kaget dan meloncat bangun, cepat ia mengerahkan
tenaga dalam sehingga rasa panas sebagai api itu dapatlah dipunahkan.
Teriaknya, “Wah, lihai benar arak ini!”
Dan aneh juga, begitu rasa
panas di dalam perut sudah lenyap, seketika sekujur badannya terasa lebih segar
daripada tadi. “Begitu hebat tenaga dalammu, kenapa sih kalau kau habiskan
sekalian isi kedua houlo itu?” ujar si gemuk.
“Ah, aku mana berani minum
sendirian,” sahut Boh-thian dengan tertawa. “Hari ini kita bertiga dapat
berkenalan dan bersahabat, alangkah senangnya jika kita sambil makan daging
panggang sambil masing-masing minum seceguk. Nah, silakan dahulu, Toaya.”
Habis berkata ia terus
mengangsurkan houlo merah itu kepada si gemuk.
“Haha, jika adik cilik ingin
mengukur kekuatan padaku, terpaksa aku mengiringi sebisanya,” sahut si gemuk
dengan tertawa. Ia terima houlo merah dan menenggaknya seceguk, lalu
diangsurkan kembali kepada Boh-thian sambil berkata, “Silakan minum lagi!”
Tanpa sungkan-sungkan
Boh-thian minum seteguk pula, lalu mengangsurkan houlo itu kepada si kurus
sambil berkata, “Silakan Toaya ini juga minum!”
Air muka si kurus tampak
berubah, katanya, “Aku akan minum kepunyaanku sendiri.”
Segera ia ambil houlo biru dan
minum seteguk, kemudian diberikan pula kepada Ciok Boh-thian.
Boh-thian telah merasakan arak
di dalam houlo biru itu, ia pikir kalau arak panas dan dingin itu diminum
seteguk demi seteguk secara bergiliran, rasa panas-dingin yang bercampur aduk
itu tentulah akan sangat enak sekali. Maka tanpa pikir ia lantas terima houlo
biru si kurus dan meminumnya seteguk besar.
Ketika dilihatnya si gemuk dan
si kurus memandangnya dengan mata melotot, segera Boh-thian paham apa artinya,
dengan menyesal ia bilang, “O, maaf, terlalu banyak tegukan barusan ini.”
Tapi si kurus telah berkata
dengan nada dingin, “Jika kau ingin gagah-gagahan, makin banyak kau meneguk
makin baik.”
“Kalau kehabisan dan kita
belum puas, biarlah sebentar kita beli lagi di kota sana, aku membawa uang,
boleh kita membeli satu guci besar dan kita dapat minum sepuas-puasnya. Cuma
arak sebagus ini mungkin susah didapatkan,” kata Boh-thian dengan tertawa. Lalu
ia minum seteguk lagi isi houlo merah, kemudian diangsurkan kembali kepada si
gemuk.
Si gemuk tampak duduk bersila
dan diam-diam mengerahkan lwekangnya, dengan demikian barulah dia minum seteguk
pula. Ia semakin heran dan terperanjat demi menyaksikan Boh-thian minum seteguk
demi seteguk tanpa halangan apa-apa.