Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 21-25

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 21-25 Ciok Boh-thian sama sekali tidak ambil pusing jurus serangan apa yang akan dilontarkan Ting Put-si, dia hanya memerhatikan gerak-gerik lawan,
 
Jilid 21

Ciok Boh-thian sama sekali tidak ambil pusing jurus serangan apa yang akan dilontarkan Ting Put-si, dia hanya memerhatikan gerak-gerik lawan, jurus apa yang digunakan orang tua itu, segera ia pun meniru dan memapak dengan jurus yang sama.

Dengan demikian Boh-thian menjadi tidak perlu menggunakan otak, sebaliknya perhatiannya melulu dicurahkan dalam hal mengerahkan tenaga dalam sehingga pukulannya makin lama makin dahsyat.

Di pihak lain Ting Put-si mesti dua kali pikir bila hendak menyerang, ia khawatir kalau-kalau tangannya kebentur dan lengket dengan tangan Ciok Boh-thian dan terpaksa harus mengadu tenaga dalam. Sebab itulah banyak serangan-serangannya yang bagus-bagus tak dapat dikeluarkan.

Sebagai seorang tokoh, sudah tentu banyak sekali lawan ternama yang pernah dihadapi Ting Put-si, tapi tak pernah ia ketemukan lawan sebagaimana Boh-thian sekarang, tidak peduli jurus apa yang dimainkan, selalu lawan menirukannya.

Bilamana lawannya adalah tokoh kenamaan, maka cara pertarungan ini boleh dianggap terlalu licik, tapi sekarang Ciok Boh-thian jelas tidak mahir ilmu silat dan sebelumnya sudah berjanji akan melawannya dengan menggunakan jurus-jurus serangan yang diajarkannya tadi, jadi perbuatan pemuda itu yang menirukan setiap jurus serangannya boleh dikata tidak melanggar janji.

Keruan lama-kelamaan Ting Put-si menjadi gelisah, berulang-ulang ia mencaci maki, tapi toh tak bisa mengapa-apakan Ciok Boh-thian.

Sesudah berlangsung beberapa puluh jurus, lambat laun Boh-thian sudah dapat meraba cara bagaimana mengerahkan tenaganya maka setiap pukulannya makin lama makin kuat.

Sudah tentu Ting Put-si tak berani ayal, ia melayaninya dengan sepenuh tenaga.

Pikirnya, “Sebenarnya orang macam apakah bocah ini? Jangan-jangan dia sengaja pura-pura bodoh, tapi sebenarnya dia adalah seorang jago muda yang memiliki ilmu silat sangat tinggi?”

Setelah beberapa jurus pula, Ting Put-si ra\sakan tekanan tenaga lawan makin lama makin kuat. Untung Boh-thian hanya menirukan gaya serangannya saja sehingga dia tidak perlu khawatir kalau-kalau pemuda itu mendadak menyerangnya dengan cara di luar dugaan.

Pada suatu jurus, mendadak kedua tangan Ting Put-si berputar beberapa kali, lalu kedua tangan Ting Put-si berputar beberapa kali, lalu kedua telapak tangannya menghantam miring ke depan. Jurus ini bernama “Hek-co-hek-yu” (mungkin kiri mungkin kanan), ke mana tenaga pukulannya akan dikerahkan, apa ke kiri atau ke kanan, hal ini tergantung dalam keadaan.

Diam-diam Put-si bergirang dengan jurus pukulannya ini, ia membatin, “Anak busuk, sekali ini kau tentu mati kutu dan tak bisa menirukan lagi. Masakah kau tahu dari jurusan mana tenaga pukulanku akan kukerahkan?”

Benar juga, tertampak Boh-thian menjadi bingung, tiba-tiba ia bertanya, “Hey, seranganmu ini akan mengarah ke kanan atau ke kiri?”

Ting Put-si terbahak-bahak geli, bentaknya, “Boleh kau terka saja akan ke kanan atau ke kiri?” berbareng kedua tangannya sengaja digerak-gerakkan untuk menggodanya.

Dalam gugupnya terpaksa Boh-thian mengangkat kedua telapak tangannya dan sekaligus memapak kedua tangan lawan. Karena tak mengetahui dari sebelah mana tenaga pukulan lawan akan dikerahkan, terpaksa ia memapak dengan kedua tangan dengan sekuatnya.

Keruan Ting Put-si menjadi kaget malah. Kurang ajar pikirnya, masakah jurus “Mungkin kiri mungkin kanan” yang pura-pura itu telah ditirukan oleh Ciok Boh-thian dengan perubahan “Hek-co-ek-yu” (juga kiri juga kanan) sehingga serangan sungguh.

Dengan cara demikian, terpaksa Ting Put-si harus mengadu tenaga dalam dengan Ciok Boh-thian dan hal ini justru tidak dikehendaki olehnya. Pada detik berbahaya itu, sekilas timbul sesuatu akal, mendadak Put-si mengangkat kedua tangannya ke atas sehingga tenaga pukulannya dilontarkan ke udara. Jurus ini disebut “Thian-ong-thok-tah”(Thian mengangkat menara), yaitu suatu jurus serangan yang biasanya digunakan untuk melawan musuh yang sedang menubruk dari atas.

Boh-thian sendiri pada waktu itu toh tidak menyerang dari udara, jadi jurus Ting Put-si itu sebenarnya tiada gunanya. Tapi dasar Boh-thian selalu menirukan setiap jurus lawan, ketika mendadak dilihatnya Ting Put-si mengeluarkan jurus “Thian-ong-thok-tah” itu, walaupun tidak paham apa maksud tujuannya, tapi dia lantas menirukan juga dengan mengangkat kedua telapak tangan ke atas sehingga tenaga pukulannya menjurus ke udara.

Keadaan pada waktu itu menjadi empat tangan dari kedua orang itu sama-sama terangkat ke atas dengan pandang-memandang, Put-si memandang Boh-thian dengan geli, Boh-thian memandang Put-si dengan bingung. Saking tak tahan, akhirnya Ting Put-si terbahak-bahak geli.

Melihat lawannya tertawa, tanpa merasa Boh-thian juga ikut tertawa. Si nona yang bersandar di dinding perahu sana juga ikut tersenyum menyaksikan adegan yang lucu itu.

Sebaliknya si nenek lantas mencemoohkan, “Huh, tidak tahu malu! Tidak dapat menangkan orang, lantas menggunakan akal bulus untuk menipu anak kecil!”

Sekilas itu mendadak Ting Put-si dapat mengeluarkan tipu yang aneh itu untuk menghindarkan adu Lwekang dengan Ciok Boh-thian, maka Put-si sangat puas atas kecerdikannya sendiri, ia tidak ambil pusing terhadap ejekan si nenek, ia hanya tertawa saja dan memberi alasan, “Aku toh tiada bermusuhan apa-apa dengan bocah ini, buat apa aku mesti membinasakan dia dengan tenaga dalamku?”

Dan baru saja si nenek hendak mengolok-olok pula, mendadak terasa perahu mereka menjadi oleng terus meluncur cepat ke hilir.

Kiranya permukaan sungai di situ agak sempit dan arus menjadi lebih kencang.

Kembali Ting Put-si bergelak tertawa dan berkata, “Siau-jui, sudah akan sampai di Pik-lwe-to, kalian nenek dan cucu bersama si Lemper Raksasa disilakan dulu ke tempatku itu.”

Air muka si nenek berubah mendadak, sahutnya tegas, “Tidak, biar mati pun aku tidak sudi menginjak tanah pulau setanmu itu.”

“Tinggal saja di sana buat beberapa hari lamanya, apa sih halangannya?” ujar Put-si.

Dalam pada itu arus sungai bergelombang dengan hebat, air ombak mendebur ke atas perahu mereka. Waktu Boh-thian memandang ke arah yang dituju Ting Put-si, ternyata di sebelah kanan sungai sana tertampak sebuah puncak gunung yang menghijau, ujung puncak itu lancip dan bagian bawah bulat sehingga bentuknya mirip keong. Ia pikir tentu inilah “Pik-lwe-to” (pulau keong hijau) yang dimaksudkan itu.

“Belokkan kemudi untuk menepi,” perintah Ting Put-si kepada si tukang perahu.

Si tukang perahu mengiakan. Segera Ting Put-si bersiap-siap di haluan perahu dengan memegang jangkar, asal sudah dekat dengan tepi sungai segera ia akan membuang sauh ke daratan pulau itu.

“Loyacu,” demikian kata Boh-thian, “jika Lothaythay ini tidak mau pergi ke rumahmu buat apa engkau me ....”

Belum habis Boh-thian bicara, sekonyong-konyong si nenek telah meloncat bangun, sekali rangkul si nona, segera terjun ke dalam sungai.

“He! Jangan!” teriak Ting Put-si dengan kaget. Segera ia hendak menjambret, tapi sudah terlambat. Terdengar suara air berdebur, nenek dan nona itu sudah menghilang ditelan ombak.

Dalam kagetnya cepat Boh-thian juga bertindak, ia pegang sepotong papan perahu terus ikut terjun ke dalam sungai. Waktu melompat ia telah memancal di tepian perahu sehingga walaupun terjun belakangan, tapi sauhnya justru berada di sisi si nenek berdua.

Boh-thian tidak dapat berenang, begitu masuk sungai mulutnya lantas kemasukan air. Tapi tekadnya hendak menolong orang, dengan tangan kanan merangkul papan, tangan kiri lantas meraih kian kemari, kebetulan rambut si nenek yang panjang kena dijambak olehnya, terus saja ia pegang dengan kencang dan tak terlepaskan lagi. Ketiga orang lantas terhanyut oleh arus yang deras itu.

Sesudah terdampar sejenak, sementara itu kepala Boh-thian terasa pusing, mulutnya masih terus tercekok air. Tiba-tiba badannya terguncang hebat, pinggangnya terasa sakit, rupanya ia telah terdampar dan tertumbuk oleh sepotong batu karang yang melintang di tepi sungai.

Dengan girang segera Boh-thian gunakan kakinya untuk menahan dirinya di batu karang itu. Waktu ia mendongak ke permukaan air, di atas sana tampak kabut belaka, di tengah kabut lapat-lapat tertampak pula banyak pepohonan.

Tanpa pikir lagi segera ia menarik si nenek ke atas, syukurlah orang tua itu masih terus merangkul cucu perempuannya dengan kencang, cuma tidak diketahui apakah sudah mati atau masih hidup.

Boh-thian lantas pondong kedua orang itu dan berusaha mendarat sekuat tenaga. Ia berjalan ke tengah pepohonan yang penuh kabut sana. Kira-kira beberapa puluh meter jauhnya ia sudah meninggalkan tepi sungai yang penuh lumpur itu.

Setiba di tanah yang kering barulah ia meletakkan kedua wanita itu.

Tapi baru saja ia hendak menurunkan kedua wanita itu, tiba-tiba terdengar si nenek mendampratnya, “Anak kurang ajar! Kau berani menjambak rambutku?”

Boh-thian melengak dan cepat menjawab, “O, ya, maaf, maaf!”

“Kau jambak rambutku sedemikian kencang sehingga kepalaku kesakitan, huak ....” mendadak ia memuntahkan air sungai yang telah diminumnya tadi.

“Nenek, kalau kita tak tertolong oleh Toako ini tentu saat ini kita sudah ....” sampai di sini si nona berkata, tiba-tiba ia pun memuntahkan air sungai yang tadi banyak masuk ke dalam perutnya.

“Jika demikian, jadi bocah ini yang telah menolong jiwa kita,” kata si nenek. “Ya, sudah, kesalahannya menjambak rambutku takkan aku persoalkan lagi padanya.”

Si nona tersenyum, katanya pula, “Toako ini benar-benar sangat baik, terima kasih banyak-banyak atas pertolonganmu.”

Waktu itu si nenek dan si nona masih berada dalam pondongan Boh-thian dan belum diturunkan, jarak pandangan mereka tiada setengah meter jauhnya, wajah si nona menjadi merah dan tak berani menatap Boh-thian.

“Sudahlah, sekarang boleh turunkan kami,” kata si nenek. “Tempat ini adalah Ci-yan-to (pula kabut ungu), letaknya tidak terlalu jauh dengan tempat kediaman Ting-lokoay, maka kita harus berjaga-jaga kalau-kalau dia mengacau ke sini.”

Boh-thian mengiakan. Dan baru saja ia hendak menurunkan nenek dan cucunya itu, tiba-tiba di balik semak pohon sana ada suara orang berkata, “Bocah itu besar kemungkinan tidak mampus, kita harus menemukan dia.”

Boh-thian terkejut, katanya dengan suara bisik-bisik, “Wah, celaka! Ting Put-si telah mengejar tiba!”

Segera ia mendekam ke dalam semak-semak dengan masih memondong dua orang, sedikit pun ia tidak berani bergerak.

Maka terdengar suara tindakan orang yang lalu di sebelah mereka, seorang tua dan seorang lagi wanita muda. Kaget Ciok Boh-thian melebihi tadi demi mengetahui siapa kedua orang itu. Sesudah kedua orang itu beberapa puluh meter jauhnya, ia coba melongok ke sana, benar juga kedua orang itu adalah Ting Put-sam dan si Ting Tong.

Kiranya Ting Put-sam dan Ting Put-si adalah saudara kandung, usia mereka cuma selisih satu tahun, suara mereka pun sangat mirip. Karena khawatir dikejar oleh Ting Put-si, maka suara Ting Put-sam telah keliru disangka Ting Put-si oleh Boh-thian.

“Wah, celaka! Kiranya adalah Ting-samya!” bisik Boh-thian dengan suara takut.

“Mengapa kau demikian takutnya?” ujar si nenek, “Bukankah cucu perempuan Ting Put-sam itu telah mengajarkan ilmu silatnya padamu?”

“Loyacu hendak membunuh aku, si Ting-ting Tong-tong juga marah padaku, katanya aku tidak menurut kata-katanya, maka aku telah diringkus menjadi sebuah lemper raksasa dan dilemparkan ke dalam sungai,” tutur Boh-thian. “Untunglah saat itu perahu kalian lewat di sisinya, kalau tidak ... kalau tidak ....”

“Kalau tidak tentu kau sudah menjadi kura-kura di dalam sungai, telah menjadi isi perut ikan, bukan?” sambung si nenek dengan tertawa.

“Ya, ya!” sahut Boh-thian. Dan bila teringat kejadian kemarinnya, diam-diam ia merasa khawatir pula, segera ia berkata, “Nenek, mereka masih mencari aku, kalau aku tertangkap pula tentu ... tentu aku tak dapat menyelamatkan jiwaku lagi.”

Si nenek menjadi gusar, sahutnya, “Jika aku tidak dalam keadaan lumpuh begini, hanya seorang Ting Put-sam saja apa artinya bagiku? Kau boleh pergi memanggil dia ke sini, ingin kulihat apakah dia berani mengganggu seujung rambutmu atau tidak?”

Rupanya perangai si nenek ini sangat berangasan, biarpun dia melatih Lwekang dan tersesat, tapi dia tetap memandang sebelah mata kepada para jago-jago silat di dunia.

“Nenek, dalam keadaan demikian sebaiknya engkau menghindari kedua saudara Ting itu, kelak kalau kesehatanmu sudah pulih kembali barulah engkau membikin perhitungan dengan mereka,” demikian si nona juga menghiburnya.

Namun si nenek masih marah-marah, katanya, “Sekali ini nenekmu benar-benar sialan, aku Su Siau-jui selama hidup ini telah malang melintang di dunia Kangouw, biasanya akulah yang membikin gara-gara kepada orang lain, mana bisa jadi seperti sekarang ini aku harus bungkam dalam seribu bahasa? Ya, semuanya ini adalah gara-gara perbuatan ‘binatang kecil’ dan ‘tua bangka’ itu.”

“Sudahlah, nenek,” kata si nona, “apa yang sudah lalu buat apa diungkat-ungkat pula? Kita berdua sama-sama menderita kesukaran, kita harus tetirah dengan pikiran tenang barulah dapat sembuh dengan cepat. Bila hati nenek selalu murung, tentu akan semakin merusak kesehatannya sendiri.”

“Rusak biar rusak, takut apa?” kata si nenek dengan gusar.

“Hari ini benar-benar sialan, sedemikian banyak aku tercekok air sungai yang kotor, nama baik Su Siau-jui hari ini benar-benar telah runtuh habis-habisan.”

Begitulah semakin marah semakin keras suara ucapan nenek itu. Boh-thian khawatir kalau didengar oleh Ting Put-sam, maka cepat ia menghiburnya, “Tenanglah, nenek! Apa ... apakah perlu aku menyalurkan sedikit tenaga kepadamu?”

Dan sebelum si nenek menjawab ia lantas menempelkan telapak tangannya ke Leng-tay-hiat di punggung orang, lalu mengerahkan tenaga dalam dan disalurkan ke tubuh si nenek itu.

Karena penyaluran tenaga dalam itu, terpaksa si nenek mencurahkan pikirannya untuk mengerahkan tenaga bantuan itu ke urat nadi di tubuh sendiri yang buntu itu. Maka satu demi satu Hiat-to yang macet itu dapatlah ditembus.

Yang diharapkan Ciok Boh-thian, asalkan nenek itu tidak bersuara lagi sehingga diketahui Ting Put-sam, maka ia masih terus menyalurkan tenaga dalamnya.

Diam-diam Su-popo (si nenek she Su) terheran-heran, “Sedemikian hebat tenaga dalam bocah ini, bukan saja sangat kuat, bahkan tenaganya sangat murni, terang dia masih berbadan jejaka, yang diyakinkan juga Lwekang dari golongan yang baik. Tapi mengapa dia sama sekali tidak mahir ilmu silat?”

Karena sedikit pikirannya bercabang, seketika darah di rongga dadanya bergolak, cepat si nenek memusatkan perhatiannya lagi dan tidak berani memikirkan urusan lain.

Kira-kira setengah jam kemudian barulah “Siau-yang-keng-meh”, yaitu urat-urat nadi bagian kaki dapat ditembus semua. Maka dapatlah si nenek bernapas lega, mendadak ia berbangkit, katanya dengan tertawa, “Sementara ini cukuplah! Kau tentu sudah capek juga.”

Boh-thian dan si nona terkejut dan bergirang pula, seru mereka berbareng, “Ha, nenek sudah dapat berjalan?”

“Ya, baru urat nadi bagian kaki yang telah bekerja lancar, tapi masih banyak urat nadi bagian lain yang masih buntu,” sahut si nenek.

“Aku toh tidak lelah, biarlah kita melancarkan sekalian urat-urat nadi yang lain,” ujar Boh-thian.

“Seenaknya saja kau bicara,” sahut si nenek. “Aku dan A Siu bersama-sama melatih Bu-bon-sin-kang sehingga tersesat jalan tenagaku, apakah kau kira penyakitku ini adalah penyakit lumpuh biasa? Biarpun Tat-mo Cosu atau Thio Sam-hong hidup kembali juga tidak dapat menembus seluruh urat nadiku di dalam waktu satu hari.”

“Ya, ya, aku tidak paham urusan demikian ini,” kata Boh-thian dengan kikuk.

“Jika merasa iseng, bolehlah kau membantu A Siu melancarkan Siau-yang-keng-meh di bagian kakinya,” kata si nenek.

“Baiklah,” sahut Boh-thian. Segera ia memayang si nona alias A Siu, ia sandarkan bahu nona itu pada sebatang pohon, lalu menggunakan telapak tangan untuk menahan Leng-tay-hiat di punggungnya, perlahan-lahan ia menyalurkan tenaga dalam menurut cara yang diajarkan si nenek tadi. Karena Lwekang si A Siu jauh lebih cetek daripada neneknya, maka Boh-thian harus menggunakan tempo berlipat ganda untuk melancarkan Hiat-to si nona.

Sesudah merangkak bangun, dengan suara lemah lembut A Siu berkata, “Terima kasih, Toako ini. Nenek, kita juga belum mengetahui nama Toako yang baik hati ini, entah cara bagaimana kita harus menyebutnya, sungguh agak kurang hormat.”

Meski ucapan A Siu itu ditujukan kepada neneknya, tapi sebenarnya sedang menanyakan namanya Ciok Boh-thian, soalnya dia merasa rikuh untuk bicara langsung kepada seorang pemuda yang baru dikenalnya itu.

Diam-diam Boh-thian membatin sendiri, “Ya, siapakah namaku?”

Dalam pada itu si nenek sudah lantas berseru, “Hey, Lemper Raksasa, cucu perempuan sedang menanyakan namamu siapa?”

“Aku ... aku pun tidak tahu,” sahut Boh-thian dengan tergagap-gagap. “Ibuku memanggil aku ... memanggil aku ....”

Dia hendak mengatakan bernama “Kau-cap-ceng”, tapi sekarang ia sudah tahu bahwa nama itu tidak sopan untuk diucapkan di depan seorang nona yang berbudi halus dan sopan itu. Maka ia lantas menyambung pula, “Mereka sebaliknya salah mengenali diriku, padahal aku bukan orang yang mereka maksudkan itu. Sebenarnya siapakah diriku ini, aku sendiri pun susah ... susah untuk menjelaskan ....”

Su-popo menjadi tidak sabar, bentaknya, “Jika tidak mau mengatakan, boleh tak mengatakan, kenapa mesti bicara macam-macam.”

“Nenek, bila orang tak mau mengatakan, tentu dia ada kesukarannya sendiri, maka kita pun jangan memaksa,” ujar A Siu. “Tentang nama tidaklah menjadi soal, asalkan kita selalu mengingat kepada budi kebaikannya sudah cukuplah.”

“Tidak, tidak, bukanlah aku tidak mau mengatakan namaku, soalnya namaku sesungguhnya sangat jelek,” kata Boh-thian.

“Jelek apa segala? Apakah ada nama yang lebih jelek daripada nama Lemper Raksasa?” ujar Su-popo. “Jika kau tidak mau mengatakan, maka biarlah kupanggil kau si Lemper saja.”

“Boleh juga engkau memanggil aku si Lemper, ini toh tidak terlalu jelek,” sahut Boh-thian dengan tertawa. Ia pikir paling tidak nama Lemper akan lebih sedap didengar daripada panggilan Kau-cap-ceng alias anak anjing.

A Siu menjadi lebih rikuh lagi melihat perangai Boh-thian yang baik itu, biarpun neneknya mengolok-olok dan ucapannya kasar toh pemuda itu sedikit pun tidak marah. Segera katanya pula, “Sudahlah nenek, janganlah engkau menggodanya lagi. Toako ini ....”

“Tak apa, tak apa,” sahut Boh-thian cepat. “Aku akan berterima kasih asal Ting-yaya dan si Ting Tong tidak menguber-uber diriku. Sekarang kalian bolehlah mengaso sebentar, biarlah aku pergi mencari sesuatu makanan apa-apa.”

“Di Ci-yan-to ini banyak tumbuh buah kesemak, saat ini buahnya sedang masak, boleh kau pergi memetiknya sedikit,” kata Su-popo. “Di pulau ini juga banyak kepiting yang gemuk-gemuk, boleh juga kau menangkapnya beberapa ekor.”

Boh-thian mengiakan dan segera berangkat. Dengan hati-hati ia menyusur pepohonan yang rindang itu karena khawatir dipergoki oleh Ting Put-sam dan si Ting Tong. Kira-kira ratusan meter jauhnya benar juga tertampak di lereng bukit situ ada belasan pohon kesemak dengan buahnya yang merah masak.

Sesudah berada di bawah pohon-pohon kesemak itu, Boh-thian memegang batang pohon dan digoyang-goyangkan sekuatnya. Pertama karena tenaganya besar, kedua buah kesemak itu memang sudah masak, seketika berjatuhanlah belasan buah kesemak. Cepat Boh-thian pentang bajunya untuk menjemput buah-buah itu, lalu dibawanya kembali.

Sementara itu, kaki Su-popo dan si A Siu sudah dapat bergerak, cuma tangan mereka yang masih kaku, Su-popo masih mendingan dapat mengangkat tangannya walaupun berat sekali rasanya. Sebaliknya kedua tangan A Siu sama sekali belum dapat bergerak.

Boh-thian mengupas kulit buah kesemak itu, lebih dulu ia memberikan sebuah kepada Su-popo, lalu mengupas sebuah pula untuk menyuapi A Siu.

Melihat pemuda itu menyuapi dirinya, muka si A Siu menjadi merah sebagai buah kesemak itu. Tapi ia pun tak bisa menolak terpaksa ia memakannya.

Ketika Boh-thian hendak menyuapi sebuah lagi, tiba-tiba A Siu berkata, “Toako sendiri bolehlah makan dulu, habis itu baru baru ....”

Begitulah mereka lantas makan secara bergiliran. Boh-thian sendiri makan sebuah, lalu mengupas dan membaringkan Su-popo dan menyuapi A Siu lagi.

“Tidak jauh di sebelah barat daya sana ada sebuah gua, malam nanti kita boleh tinggal di sana agar kedua saudara setan yang ‘tidak tiga tidak empat’ (Put-sam dan Put-si) itu tak dapat menemukan kita,” kata Su-popo.

Boh-thian menjadi girang, serunya, “Ha, bagus sekali!”

Ia tidak begitu jeri terhadap Ting Put-si, tapi terhadap Ting Put-sam dan si Ting Tong yang hendak membunuhnya itu dia benar-benar sangat takut. Maka ia menjadi terhibur demi mendengar Su-popo mengatakan ada suatu tempat sembunyi yang baik.

Lambat laun malam pun tiba, segera Boh-thian memayang Su-popo dan tangan lain memapah A Siu, bertiga lantas menuju ke arah gua.

Rupanya Ci-yan-to adalah tempat yang pernah dijelajahi Su-popo, terbukti nenek ini sudah sangat hafal sekali jalannya.

Benar juga, kira-kira satu-dua li jauhnya, sampailah mereka di suatu lembah bukit, di sisi kanan adalah dinding karang belaka, sesudah Su-popo memberi petunjuk belok sini dan putar sana akhirnya sampai juga di depan sebuah gua.

“Lemper Raksasa, malam ini kau tidur dan jaga di luar sini, tapi tidak boleh masuk ke dalam gua,” kata Su-popo.

Berulang-ulang Boh-thian mengiakan. Katanya pula, “Sayang kita tidak berani menyalakan api untuk mengeringkan pakaian kita.”

“Hm, dasar sialan, kelak kedua setan yang tidak tiga dan tidak empat itu harus dibikin menderita sepuluh kali lebih berat daripada kita sekarang,” kata si nenek dengan gemas.

Besok paginya, sebagai sarapan pagi mereka pun makan buah kesemak lagi, lalu Boh-thian menyalurkan tenaga pula untuk melancarkan urat nadi kedua nenek dan cucu itu sehingga tangan mereka dapatlah bergerak semua.

“Lemper Raksasa,” kata Su-popo, “di sana ada sebuah empang dan banyak terdapat kepiting yang gemuk-gemuk, boleh kau pergi menangkapnya beberapa ekor daripada kita makan buah kesemak setiap hari.”

Boh-thian menjadi ragu-ragu, sahutnya kemudian, “Menangkap kepiting sih tidak sukar, cuma saja kita tak dapat memasaknya, pula tak dapat memakannya secara mentah-mentah.”

“Huh, seorang laki-laki yang muda dan kuat mengapa mesti ketakutan setengah mati kepada seorang tua bangka sebagai Ting Put-sam?” jengek Su-popo.

“Jangankan Ting-samya saja, sampai-sampai si Ting-ting Tong-tong juga jauh lebih lihai daripadaku,” sahut Boh-thian sambil menggeleng. “Jika aku kena ditangkap mereka, lalu aku diikat pula sebagai lemper raksasa dan dilemparkan lagi ke dalam sungai, wah, kan bisa runyam.”

“Sudahlah, nenek, apa yang dikatakan Toako ini pun ada benarnya,” sela A Siu. “Bolehlah kita bersabar sementara, tunggu nanti kalau urat nadi nenek sudah lancar kembali dan tenaga saktimu sudah pulih, tatkala mana masakah kita masih takut kepada Ting Put-sam atau Ting Put-si segala?”

“Hm, kau bicara seenaknya saja, untuk memulihkan tenaga saktiku apakah begitu gampang?” jengek si nenek. “Untuk melancarkan urat nadi kita saja diperlukan belasan hari lamanya dan kalau ingin memulihkan kepandaian semula, sedikitnya diperlukan setahun atau paling tidak juga delapan bulan lamanya. Apalagi di dalam delapan bulan ini kita dapat makan buah kesemak melulu? Hm, mungkin belasan hari lagi juga semua buah kesemak itu akan kedaluan dan busuk semua.”

“Untuk itu kita tidak perlu khawatir,” ujar Boh-thian. “Aku akan memetik buah kesemak sebanyak-banyaknya, lalu dijemur menjadi kesemak kering, kukira cukup untuk persediaan setengah atau satu tahun dan kita takkan mati kelaparan.”

Kiranya Boh-thian menjadi kapok setelah berulang-ulang menghadapi bahaya dan tersiksa, ia pikir daripada hidup merana tak menentu, ada lebih baik hidup aman tenteram di gua ini saja.

Tapi Su-popo lantas mengomelnya, “Kau suka menjadi kura-kura yang terus mengkeret di sini, aku yang tidak sudi. Pula keparat Ting Put-si itu di dalam satu-dua hari ini tentu akan mencari ke pulau ini, biarpun kau ingin mengkeret di sini seperti kura-kura juga tak bisa jadi lagi. Eh, apa-apaan kau ini, Lemper Raksasa? Percuma saja kau memiliki Lwekang setinggi itu, tapi mengapa tidak pernah belajar ilmu silat?”

“Justru tiada orang yang mengajarkan aku, hanya si Ting-ting Tong-tong saja pernah mengajarkan l8 jurus Kim-na-jiu-hoat, dengan sendirinya aku tak sanggup melawannya. Ilmu silat yang diajarkan kakek Ting Put-si kepadaku juga setiap jurusnya sudah dipahami olehnya,” demikian jawab Boh-thian.

“Nenek,” tiba-tiba A Siu menyela, “mengapa engkau tidak mau memberi petunjuk barang beberapa jurus kepada Toako ini. Sesudah dia memahami kepandaianmu, bila dia dapat mengalahkan Ting Put-si, bukankah lebih membanggakan daripada engkau sendiri yang menangkan dia.”

Su-popo memandang dengan tak berkesip kepada Boh-thian. Sorot matanya mendadak memantulkan perasaan yang buas dan benci, kedua tangannya juga tampak gemetaran seakan-akan ingin menubruk maju dan sekali gigit membinasakan pemuda itu.

Boh-thian menjadi takut dan tanpa merasa melangkah mundur setindak. Katanya dengan terputus-putus, “Lothaythay, engkau ... engkau ....”

“A Siu,” mendadak si nenek berseru dengan suara bengis, “coba kau pandang dia yang jelas, bukankah sangat mirip sekali?”

Sepasang mata A Siu yang besar bundar itu menatap sejenak ke muka Ciok Boh-thian, tapi air mukanya sangat lemah lembut sahutnya kemudian, “Nenek, memang agak mirip, namun ... namun pasti bukan dia. Bila dia memadai sedikit kejujuran dan ketulusan Toako ini saja ....”

Sinar mata si nenek yang bengis tadi perlahan-lahan mulai pudar kembali, tapi ia masih mengejek dan berkata, “Meski bukan dia, tapi mukanya sedemikian mirip, biar bagaimanapun aku takkan mengajarkan kepandaianku padanya.”

Seketika Boh-thian paham duduknya perkara, ia tahu tentu si nenek menyangka dirinya sebagai pemuda Ciok Boh-thian itu, agaknya Ciok-pangcu itu terlalu banyak berdosa kepada orang lain, maka banyak sekali orang-orang di dunia ini yang benci padanya. Kelak kalau aku dapat bertemu dengan dia, tentu aku akan memberi nasihat padanya agar menjadi orang yang baik-baik, demikian pikirnya.

Dalam pada itu terdengar si nenek sedang bertanya padanya, “Apakah kau juga she Ciok?”

“Bukan!” sahut Boh-thian sambil menggeleng. “Orang lain memang mengatakan bahwa aku sangat mirip dengan Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang, padahal sama sekali aku bukanlah dia. Ai, bicara ke sana ke sini tiada seorang pun yang mau percaya padaku.” Habis berkata ia lantas menghela napas panjang dengan hati kesal.

“Aku percaya engkau bukanlah dia,” tiba-tiba A Siu menanggapi dengan suara perlahan.

Boh-thian menjadi girang, “Kau benar-benar tidak percaya? Itulah sangat ... sangat bagus. Hanya engkau seorang yang telah menyatakan tidak percaya.”

“Engkau adalah orang baik-baik dan dia adalah orang ... orang jahat,” kata A Siu. “Kalian berdua sama sekali berbeda.”

Alangkah terhibur hatinya Boh-thian, ia merasa telah ketemukan seorang yang benar-benar dapat menyelami isi hatinya, tanpa merasa ia pegang tangan si nona dan berkata, “Banyak terima kasih.” Dan saking terharunya sampai air matanya bercucuran. Maklum, selama ini setiap orang selalu menganggap dia sebagai Ciok-pangcu segala, untuk membantah adalah sangat sulit. Sekarang ia menjadi seperti seorang pesakitan yang mendadak telah dapat membikin terang duduknya perkara dan dengan sendirinya dia sangat berterima kasih kepada si nona yang sudi memahami isi hatinya itu.

Muka A Siu menjadi merah jengah, tapi ia pun tidak tega menarik kembali tangannya yang dipegang Boh-thian itu.

Sebaliknya Su-popo lantas mencemooh lagi, “Kalau betul bilang betul, jika bukan ya bukan, seorang laki-laki sejati macam apa pakai menangis segala?”

“Iy ... ya, o, ma ... maaf!” mendadak Boh-thian sadar masih memegang tangan A Siu yang putih halus itu, cepat ia melepaskannya dan berkata pula, “Aku ... aku tidak seng ... aku akan pergi memetik buah kesemak lagi.”

Ia tidak berani banyak memandang si nona pula dan cepat berlari pergi.

Melihat tingkah laku Boh-thian yang serbakikuk, tingkah laku yang wajar dan sekali-kali bukan pura-pura itu, mau tak mau si nenek merasa geli juga. Ia menghela napas dan berkata, “Ya, memang bukan. Coba alangkah baiknya kalau binatang kecil she Ciok itu bisa memiliki sedikit kejujuran sebagai si Lemper ini.”

Selang tidak lama, mendadak di luar gua terdengar suara orang berlari, tertampak Boh-thian telah berlari kembali dengan wajah pucat dan sangat ketakutan, katanya, “Wah, celaka, celaka!”

“Ada apakah? Kau telah dipergoki Ting Put-sam?” tanya Su-popo.

“Bu ... bukan!” sahut Boh-thian. “Orang-orang Swat-san-pay telah menyusul ke pulau ini, wah, berbahaya sekali ....”

Mendengar “Swat-san-pay” disebut, seketika air muka Su-popo dan A Siu berubah, mereka saling pandang sekejap, lalu si nenek bertanya, “Siapa yang datang?”

“Itu ... itu Pek Ban-kiam dengan belasan orang Sutenya,” sahut Boh-thian. “Mereka pasti akan menangkap diriku untuk dibawa pulang ke Leng-siau-sia dan dihukum mati di sana.”

“Kau telah dilihat mereka tidak?” tanya Su-popo.

“Untung tidak sampai dilihat mereka,” ujar Boh-thian. “Cuma aku telah melihat Pek Ban-kiam itu sedang ... sedang bicara dengan kakek Ting Put-si.

“Apakah kau tidak keliru? Ting Put-si atau Ting Put-sam?” Su-popo menegas.

“Ting Put-si, pasti tidak keliru,” sahut Boh-thian. “Dia mengatakan bahwa di sungai tiada diketemukan mayat, tentu terdampar dan sembunyi di pulau ini. Mereka telah mulai mencari dan sebentar tentu akan sampai di sini, wah, bisa celaka ini.”

Saking khawatirnya sampai jidatnya penuh berkeringat.

A Siu coba menghiburnya, “Apakah Pek Ban-kiam itu pun salah mengenali kau? Tapi kalau engkau memang bukan dia, betapa pun kau dapat menerangkan kepada mereka dengan jelas dan tidak perlu khawatir.”

“Ti ... tidak, mereka sukar untuk diberi penjelasan,” ujar Boh-thian.

“Sukar diberi penjelasan? Jika begitu hantam saja!” kata Su-popo. “Di dunia ini orang yang difitnah juga tidak melulu kau seorang saja.”

Jilid 22

“Pek-suhu itu adalah tokoh terkemuka Swat-san-pay, ilmu pedangnya sangat tinggi, aku mana mampu melawannya?” tutur Boh-thian.

“Hm, macam apakah ilmu pedang Swat-san-pay itu? Bagiku juga cuma biasa saja dan tidak mengherankan,” jengek Su-popo.

“Tidak, tidak,” ujar Boh-thian sambil goyang-goyang tangannya. “Ilmu pedang Pek-suhu itu memang sangat hebat, benar-benar susah dilukiskan lihainya. Dia punya pedang hanya sedikit bergerak begini saja lantas dapat meninggalkan enam titik bekas luka di tubuh orang atau di atas pilar, kau percaya tidak?”

Sambil berkata ia pun memegangi lengan celananya, pikirnya kalau Su-popo tidak percaya maka ia akan menyingsing lengan celana untuk memperlihatkan bekas goresan pedang di pahanya. Karena dia adalah bocah gunung dan tiada pernah bergaul, maka sama sekali tak terpikir olehnya apakah perbuatannya itu sopan atau tidak dilakukan di depan kaum wanita.

Namun terdengar Su-popo telah mendengus sekali dan berkata, “Mengapa aku tidak percaya? A Siu, bila kita punya Bu-bong-sin-kang kini berhasil dilatih, bukankah sekaligus aku dapat membuat tujuh bekas luka pedang!”

A Siu mengangguk dan menghela napas perlahan karena menyesal ilmu sakti mereka itu belum berhasil terlatih dan mereka sudah telanjur menjadi orang cacat.

Segera Boh-thian menghiburnya, “Sementara ini kalian tak bisa bergerak, tapi nanti kalau kalian sudah sembuh tentu dapat melatihnya lagi, buat apa mesti banyak bicara pula.”

“Persetan, ngaco-belo belaka!” semprot Su-popo. “Kalau aku dapat melatihnya lagi buat apa mesti banyak bicara pula.”

Boh-thian menjadi bingung atas omelan nenek itu, ia garuk-garuk kepala dan tidak berani buka suara lagi.

Rupanya kemarahan Su-popo masih belum reda, ia mengomel lagi, “Hm, di mana letak kelihaian ilmu silat Swat-san-pay? Dalam pandanganku justru tiada harganya barang sepeser pun, Pek Cu-cay si setan tua itu main raja-rajaan di Leng-siau-sia dan anggap dia punya Swat-san-kiam-hoat sudah nomor satu di dunia ini. Hm, aku punya Kim-oh-to-hoat (ilmu golok Kim-oh-pay) justru adalah lawan mematikan bagi dia punya ilmu pedang. Eh, Lemper Raksasa apakah kau tahu apa artinya Kim-oh-pay?”

“Ti ... tidak tahu,” sahut Boh-thian sambil menggeleng.

“Kim-oh artinya matahari, bilamana sang surya menyingsing, apa yang akan terjadi dengan salju di atas gunung?” tanya Su-popo.

“Salju akan cair,” jawab Boh-thian.

“Itu dia! Jika sang surya sudah menyingsing, maka gunung salju akan runtuhlah,” kata Su-popo. “Sebab itulah ilmu silat dari Kim-oh-pay merupakan lawan mematikan bagi ilmu silat Swat-san-pay. Anak murid mereka bila bertemu dengan orang Kim-oh-pay tentu mereka akan menyembah dan minta ampun belaka.”

Tentang Swat-san-kiam-hoat sudah disaksikan oleh Boh-thian sendiri, maka sekarang ia menjadi ragu-ragu akan kebenaran Kim-oh-to-hoat sebagaimana dikatakan oleh Su-popo itu. Dasar dia adalah orang jujur, karena rasa sangsinya itu seketika tertampak jelas pada air mukanya.

“Apakah kau tidak percaya?” tanya Su-popo segera.

Jawab Boh-thian, “Ketika aku ditawan oleh Pek-suhu di kelenteng sana, aku telah menyaksikan sesama saudara seperguruan mereka saling gebrak dan aku masih ingat sedikit kepandaian mereka itu, aku merasa ... merasa ilmu pedang Swat-san-pay mereka itu memang ... memang ....”

“Memang apa?” bentak Su-popo dengan gusar. “Kau hanya menyaksikan latihan di antara sesama saudara seperguruan mereka, hanya semalam saja apa yang dapat kau pelajari? Dari mana kau tahu bagus dan tidak? Coba kau pertunjukkan kepadaku sekarang.”

“Sedikit kepandaian kasar yang kupelajari ini tentu tidak selihai Pek-suhu itu,” ujar Boh-thian.

Tiba-tiba Su-popo terbahak-bahak, A Siu juga tersenyum-senyum. Lalu nenek itu berkata, “Pek Ban-kiam itu memang mempunyai bakat yang bagus, latihannya sangat giat pula, sejak kecil sampai sekarang sudah lebih 20 tahun berlatih ilmu pedang, sekarang kau hanya melihatnya saja dalam waktu sebentar lantas ingin selihai dia, bukankah terlalu menggelikan?”

“Nenek, Toako ini memangnya mengatakan tidak selihai Pek-suhu itu,” sela A Siu.

Su-popo melotot sekali kepada nona itu, lalu dia berpaling kepada Boh-thian dan berkata pula, “Baiklah, boleh coba kau pertunjukkan sekarang, ingin kulihat betapa lihainya ilmu pedangmu.”

Boh-thian tahu si nenek sedang menyindir padanya, dengan muka marah segera ia menjemput sebatang ranting pohon untuk digunakan sebagai pedang, ia menirukan jurus ilmu pedang yang pernah dilihatnya di kelenteng tempo hari itu, “sret”, segera ia menusuk seperti apa yang dimainkan Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu dahulu.

“Haha!” Su-popo tertawa. “Jurus pertama saja sudah salah!”

Muka Boh-thian bertambah merah dan segera berhenti.

“Teruskan, terus main,” seru Su-popo. “Aku ingin tahu betapa lihainya Swat-san-kiam-hoat-mu.”

Dengan perasaan malu mestinya Boh-thian hendak melemparkan ranting kayu itu. Tapi sekilas dilihatnya A Siu sedang memandangnya dengan penuh perhatian, sorot matanya memperlihatkan rasa simpatik, sedikit pun tiada maksud mengejek. Maka ia lantas menggerakkan pedangnya pula, “sret-sret-sret”, ia mainkan terus ilmu pedang yang dilihatnya tempo hari, makin lama makin lancar permainannya sehingga menerbitkan suara angin yang menderu-deru.

Semula Su-popo dan A Siu tersenyum-senyum saja menyaksikan permainan Boh-thian, akan tetapi makin lama rasa menghina nenek itu pun makin lenyap, sebaliknya menjadi heran. Setelah Boh-thian selesai memainkan Swat-san-kiam-hoat yang tidak teratur dan banyak kesalahannya itu, maka Su-popo saling pandang sekejap dengan A Siu, mereka mengetahui ilmu pedang yang dipelajari pemuda itu sangat tidak sempurna, terang karena tidak mendarat didikan sebagaimana mestinya, namun tenaga dalamnya ternyata sangat hebat, boleh dikata jarang ada bandingannya.

Waktu melihat kedua orang itu diam-diam saja, dengan kikuk Boh-thian lantas membuang ranting kayu dan berkata, “Hendaklah kalian jangan menertawakan lagi diriku, aku sangat bodoh, sesudah belasan hari aku pun tidak ingat lagi seluruhnya.”

“Kalau bilang permainanmu ini boleh menyaksikan latihan anak murid Swat-san-pay di suatu kelenteng bobrok, lalu diam-diam mempelajarinya?” tanya Su-popo.

“Ya, aku tahu adalah perbuatan tidak pantas mencuri belajar ilmu silat orang lain, soalnya aku merasa ilmu pedang ini sangat menarik, maka tanpa sadar lantas mengingat-ingat permainan mereka ini,” tutur Boh-thian dengan muka merah.

“Hanya dalam semalam saja kau sudah dapat mempelajari hal ini pun boleh dikatakan kau mempunyai bakat yang tinggi,” ujar Su-popo. “Maka aku punya Kim-oh-to-hoat ini tentu kau pun dapat mempelajarinya. Begini saja, ada lebih baik kau mengangkat aku sebagai gurumu.”

“He, nenek itu kurang baik,” sela A Siu mendadak.

“Mengapa kurang baik,” tanya si nenek dengan heran.

Wajah A Siu menjadi merah jengah, sahutnya, “Jika begitu, bukankah aku harus memanggil dia sebagai Susiok (paman guru), seketika aku menjadi lebih rendah setingkat.”

“Panggil Susiok ya panggil saja, mengapa mesti geger?” ujar si nenek dengan menarik muka.

“Si tua bangka Ting Put-si sewaktu-waktu dapat menyusul kemari dan memaksa aku pergi ke Pik-lwe-to, dalam keadaan begitu bukanlah kita harus terjun ke sungai untuk membunuh diri lagi? Jalan satu-satunya ialah lekas-lekas mengajar ilmu silat kepada si Lemper ini barulah kita dapat melawan tua bangka itu. Sekarang urusan sudah mendesak, dari mana dapat membedakan soal tingkatan segala. Eh, Lemper Raksasa, Su-popo hari ini ingin membuka pintu dan mendirikan cabang serta akan menerima kau sebagai murid pertama bagi Kim-oh-pay kami, kau mau tidak?”

Watak Ciok Boh-thian mestinya sangat penurut, Su-popo ingin dia menjadi muridnya, tentu dia akan terima dengan baik. Tapi demi mendengar A Siu mengatakan sungkan untuk memanggilnya sebagai Susiok, maka ia menjadi agak ragu-ragu.

“Lekas kau berlutut dan menyembah padaku, maka jadilah kau sebagai ahli waris Kim-oh-pay kami,” kata Su-popo pula. “Aku adalah cikal bakal dari Kim-oh-pay dan kau adalah murid pertama angkatan kedua Kim-oh-pay kita.”

Tiba-tiba A Siu teringat sesuatu, ia tersenyum dan berkata, “Nenek, terimalah ucapan selamatku atas pendirian cabang Kim-oh-pay kalian hari ini. Eh, Toako ini, bolehlah lekas kau mengangkat guru pada nenek. Aku toh bukan murid Kim-oh-pay, tapi kita terdiri dari dua golongan yang berlainan, maka aku tidak perlu memanggil kau sebagai Susiok.”

Karena buru-buru ingin menerima murid, maka Su-popo tidak memikirkan apa yang dikatakan A Siu itu, segera ia berkata pula, “Lekas berlutut dan menyembah delapan kali padaku.”

Mendengar A Siu sudah setuju, dengan girang Boh-thian lantas berlutut dan menyembah delapan kali kepada Su-popo.

Rasa girang Su-popo sungguh tak terkirakan, katanya, “Sudahlah! Murid yang baik, sekarang kita adalah orang sekeluarga, hubungan kita menjadi tidak sama dengan tadi. Hari ini Kim-oh-pay kita telah didirikan, kau harus melatih ilmu silatku dengan giat dan tekun, sebab bagaimana perkembangan Kim-oh-pay kita di kemudian hari semuanya ini adalah tergantung kepadamu. Nah, Lemper Raksasa ....”

“He, nenek cikal bakat Kim-oh-pay,” tiba-tiba A Siu menyela dengan tertawa, “Murid pertama golongan kalian adalah kesatria yang hebat, tapi nama julukannya ini kedengarannya kurang sedap.”

“Ya, benar juga,” sahut Su-popo. “Eh, sebenarnya siapa namamu? Terhadap Suhu sekali-kali kau tidak boleh berdusta.”

“Ya, ya,” sahut Boh-thian. “Ibuku memanggil aku sebagai Kau-cap-ceng, tapi orang-orang Tiang-lok-pang mengatakan aku adalah Pangcu mereka yang bernama Ciok Boh-thian. Padahal bukan, namun aku ... aku sendiri pun tidak tahu sebenarnya she apa dan bernama siapa.”

“Huh, Kau-cap-ceng apa segala, ngaco-belo belaka! Ibumu tentu seorang gila,” kata Su-popo dengan mendengus. “Sudahlah, boleh begini saja, kau ikut aku punya she, yakni she Su. Sebagai murid Kim-oh-pay angkatan kedua sebaiknya kau pakai nama apa ya? Ehm, murid Swat-san-pay itu ada yang bernama Pek Ban-kiam. Hong Ban-li, Kheng Ban-ciong dan entah ‘Ban’ apa lagi. Tapi kita lebih kuat selaksa kali daripada mereka, murid mereka adalah angkatan ‘Ban’ (laksa), maka murid kita adalah angkatan ‘Ek’ (seratus juta, jadi selaksa kali daripada selaksa). Dia bernama Pek Ban-kiam (selaksa pedang), maka biarlah aku memberi nama padamu, yaitu ‘Su Ek-to’ (seratus juta golok).”

Memangnya selama hidup Ciok Boh-thian belum pernah mendapat nama yang resmi, baik dipanggil sebagai Kau-cap-ceng, si Lemper, maupun Ciok Boh-thian, semuanya tak diperhatikan olehnya.

Sekarang Su-popo memberi nama Su Ek-to padanya, memangnya dia juga tidak tahu ‘Ek’ itu berarti ‘laksa kali laksa’ (10.000x10.000), maka tanpa pikir ia pun mengiakan saja.

Sebaliknya Su-popo merasa sangat senang, dengan penuh semangat ia berkata pula, “Aku punya Kim-oh-to-hoat ini sudah beberapa tahun yang lalu kuciptakan dengan sempurna cuma saja untuk memainkan ilmu golok ini diperlukan tenaga dalam yang kuat, kalau tidak tentu takkan memperlihatkan betapa hebatnya ilmu golok ini. Sekali ini aku kepergok Ting Put-si di sungai sini, dia berkeras hendak mengundang aku ke Pik-lwe-to, untuk ini kalau dia tak dilabrak, tentu dia masih akan terus rewel dan tak mau mundur teratur, maka aku dan A Siu lantas melatih ‘Bu-bong-sin-kang’ bersama, bila tenaga sakti ini sudah terlatih, aku akan menggunakan Kim-oh-to-hoat dan A Siu memainkan ... Giok-tho-kiam-hoat (ilmu pedang rembulan dengan perpaduan sang surya dan rembulan), jangankan cuma seorang tua bangka sebagai Ting Put-si, biarpun tokoh nomor satu di dunia persilatan sekarang ini juga akan angkat tangan menghadapi kami. Tak terduga karena sedikit lengah A Siu telah salah latih, cepat aku memberi pertolongan, akibatnya kami berdua sama-sama runyam, hawa murni tersesat dan menjadi lumpuh semua.”

Begitulah, dasar watak si nenek memang suka blakblakan, sekali Boh-thian sudah menjadi muridnya, maka ia lantas bicara secara terus terang dan menceritakan sebab musababnya dia sampai menjadi lumpuh itu.

Lalu ia menyambung pula, “Dan untunglah kau memiliki tenaga dalam yang hebat, ini sangat cocok untuk melatih Kim-oh-to-hoat kita. To-hoat tidak sama dengan Kiam-hoat, pedang mengutamakan cepat dan gesit, sebaliknya golok harus keras dan kuat. Ranting kayu itu terlalu enteng, boleh kau cari sebatang lagi yang lebih besar.”

Boh-thian mengiakan dan lantas pergi mencari batang kayu. Sampai di tempat sebatang pohon yang sudah tumbang, ia lihat di samping itu ada sebatang golok yang sudah karatan, ia coba menjemput golok itu, ternyata golok itu adalah golok yang biasanya dipakai memotong kayu, mata goloknya sudah banyak yang sumbing, bahkan gagang kayunya sudah membusuk dan terlepas, hanya bobotnya agak lumayan dan terasa.

Ia pikir daripada menggunakan ranting kayu adalah lebih baik memakai golok pemotong kayu yang sudah karatan ini. Maka ia lantas mencari sepotong kayu dan dipasang sebagai gagang goloknya itu.

Waktu melihat Boh-thian membawa kembali golok karatan itu Su-popo dan A Siu tertawa geli, kata si A Siu, “Nenek, Kim-oh-pay kalian hari ini didirikan secara resmi dan memakai golok pusaka demikian untuk mengajarkan ilmu silat kepada muridmu yang pertama, bukankah agak ... agak kurang mentereng?”

“Kurang mentereng apa?” sahut Su-popo. “Justru perkembangan Kim-oh-pay kami kelak adalah berkat golok pusaka ini. Hahahaha!” ia menjadi terbahak-bahak sendiri demi bicara tentang “golok pusaka” yang istimewa itu. Maka A Siu dan Boh-thian juga ikut tertawa.

“Baiklah, sekarang kita mulai,” kata Su-popo kemudian. “Ingatlah yang betul, jurus pertama dari Kim-oh-to-hoat kita bernama ‘Khay-bun-liak-cat’ (buka pintu tangkap maling), yaitu khusus digunakan untuk mengatasi jurus ‘Jong-siong-kheng-khek’, (menyambut tamu di bawah pohon Siong) dari Swat-san-kiam-hoat mereka. Karena mereka pura-pura baik hati menyambut tamu segala, maka terang-terangan saja kita membuka pintu dan tangkap maling. Tampaknya kita pun seperti membungkuk memberi hormat, tapi di dalam hati kita anggap lawan sebagai maling.”

Habis bicara ia lantas mengambil ranting kayu tadi dan perlahan-lahan memberi contoh caranya menggunakan jurus serangan itu sambil berkata, “Karena aku masih lemas sehingga gerak-gerikku kurang cepat, tapi kau harus memainkannya dengan cepat dan kuat.”

Boh-thian memanggut, lalu angkat goloknya dan menirukan memainkan jurus serangan itu dengan cepat sekali.

“Bagus, kalau sudah hafal nanti kau harus memainkannya lebih cepat,” ujar Su-popo. “Dan jurus kedua kita bernama Bwe-swat-hong-he (bunga Bwe mekar di musim panas), yaitu untuk mengatasi mereka punya jurus Bwe-swat-ceng-jun (bunga Bwe mekar di musim semi). Mereka suka main bunga Bwe bersayap enam apa segala, tapi kita sengaja mekar di musim panas agar salju mereka mencair dan bunga Bwe mereka rontok.”

Jurus “Bwe-swat-ceng-jun” dari Swat-san-pay itu agak ruwet sebagaimana pernah disaksikan Ciok Boh-thian alias Su Ek-to waktu Pek Ban-kiam memainkannya di markas Tiang-lok-pang tempo hari.

Sedangkan “Bwe-swat-hong-he yang diajarkan Su-popo ini adalah sangat cepat, dalam sekejap harus membacok ke atas, ke bawah, ke kanan dan ke kiri masing-masing tiga kali sehingga berjumlah 12 kali bacokan, dengan serangan dahsyat ini untuk mematahkan setiap serangan pedang lawan.

Lalu jurus ketiga bernama “Jian-kin-ap-tho” (seribu kati menindih unta) khusus untuk mengawasi jurus “Siang-tho-se-lay (dua unta datang dari barat) dalam Swat-san-kiam-hoat.

Jurus keempat bernama “Tay-hay-tim-sah” (pasir tenggelam di dasar laut) untuk mengatasi jurus “Hong-sah-bong-bong” (angin badai bertebaran), dan begitu seterusnya, setiap jurus ilmu golok ajaran Su-popo itu tentu ada sesuatu nama yang aneh. Walaupun nama jurus-jurus ilmu golok itu aneh, tapi memang sangat hebat dan menakjubkan.

Boh-thian tidak pernah kenal sekolahan alias buta huruf, maka ia tidak paham nama-nama jurus ilmu golok yang indah itu, dia hanya mengingat baik-baik caranya memainkan setiap jurus itu.

Su-popo juga cukup sabar, mulutnya mengucap dan tangannya bergaya memberi contoh, bila permainan Boh-thian salah segera dibetulkannya. Dengan demikian kemajuan Boh-thian menjadi pesat, jauh berbeda daripada waktu dia mencuri belajar ilmu pedang Swat-san-pay di kelenteng bobrok tempo hari itu.

Sesudah memberi petunjuk sampai 18 jurus, Su-popo sendiri merasa letih, segera ia pejamkan mata untuk mengaso dan membiarkan Boh-thian berlatih sendirian.

Tidak lama kemudian Su-popo menyambung pula pelajarannya, bila sudah capek ia mengaso lagi dan begitu seterusnya sehingga menjelang magrib ia sudah mengajarkan 72 jurus Kim-oh-to-hoat kepada Boh-thian.

“Swat-san-kiam-hoat mereka meliputi 72 jurus,” demikian kata Su-popo akhirnya, “tapi ilmu silat Kim-oh-pay kita selalu melebihi mereka, maka ilmu golok kita ini pun satu jurus lebih banyak daripada mereka, jadi ada 73 jurus. Jurus yang terakhir ini hendaklah kau perhatikan betul-betul, ini, lihatlah!”

Sambil berkata ia lantas mengangkat ranting kayu dan memotong dari atas ke bawah, lalu sambungnya, “Di waktu melontarkan serangan ini kau harus meloncat ke udara dan membacok ke bawah bersama badanmu yang lagi menurun itu.”

Menyusul ia lantas mengajarkan cara bagaimana harus meloncat, cara bagaimana mengerahkan tenaga dan cara bagaimana menutup jalan mundur yang mungkin digunakan lawan untuk menghindar.

Untuk sejenak Boh-thian termenung-menung menyelami jurus itu, kalau ia menirukan ajaran si nenek, ia meloncat ke atas, lalu goloknya membacok ke bawah, begitu dahsyat serangan itu sehingga sebelum goloknya menurun atau debu pasir di atas tanah sudah bertebaran.

Selesai pertunjukkan jurus serangan itu, Boh-thian lantas berhenti dan berdiri di samping. Waktu ia pandang Su-popo, tertampak wajah si nenek pucat pasi, ketika berpaling dan memandang A Siu, nona itu tampak mengembeng air mata, agaknya sangat berduka.

Boh-thian menjadi heran, dengan tergagap-gagap ia bertanya, “Apakah ... apakah jurus permainanku ini tidak betul?”

Su-popo tidak menjawab. Selang sebentar barulah ia menggerakkan tangannya dan berkata, “Betul, cuma ... cuma daya serangan itu teramat dahsyat, maka janganlah sembarangan digunakan agar tidak keliru melukai orang baik.”

“Ya, ya, orang baik sekali-kali tidak boleh dilukai,” sahut Boh-thian.

Jurus ke-73 itu rupanya menimbulkan kesan yang amat mendalam bagi Boh-thian sehingga pada malamnya ia tak bisa tidur nyenyak, ia terus memikirkan cara permainan jurus terakhir sampai melupakan Ting Put-sam dan Ting Put-si serta Pek Ban-kiam yang sedang mencarinya di sekitar gua itu.

Syukurlah Ci-yan-to itu penuh dengan hutan belukar, walaupun luas pulau itu tidak terlalu besar, maka Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya seketika susah menemukan tempat sembunyinya itu.

Besok paginya, begitu bangun ia lantas berlatih Kim-oh-to-hoat. Sampai jurus terakhir, ia meloncat ke udara terus membacok ke bawah. Sekali ini lebih dahsyat lagi daripada kemarinnya, begitu angin senjatanya menyambar ke bawah, “blang”, terdengarlah suara benturan yang keras.

“Selamat pagi Su ... Su-toako,” tiba-tiba terdengar A Siu menegurnya dari belakang.

Boh-thian menoleh, dilihatnya A Siu berada di depan gua dan sedang menyaksikan dirinya dengan sorot matanya yang halus.

“Oh, ya, selamat pagi,” sahutnya cepat.

Muka A Siu menjadi merah, katanya, “Aku ingin jalan-jalan ke hutan sana, apakah engkau suka mengawani aku?”

“Baiklah, kau sudah dapat bergerak, kau memang harus melemaskan otot,” sahut Boh-thian. Segera kedua orang berjalan ke arah hutan sana.

Kira-kira beberapa puluh meter jauhnya, sementara itu mereka sudah memasuki hutan yang cukup rindang itu, di dalam hutan masih remang-remang oleh kabut tipis, keadaan sunyi senyap, hanya terdengar suara tindakan mereka yang menimbulkan suara keresek-keresek menginjak daun-daun kering di atas tanah.

Sekonyong-konyong Boh-thian mendengar suara tersedu-sedu sebelahnya, waktu Boh-thian menoleh kiranya A Siu yang menangis. Keruan ia terkejut dan cepat ia bertanya, “Nona A Siu, sebab ... sebab apakah engkau menangis?”

Tapi A Siu tidak menjawab, ia berjalan pula dan tiba-tiba bersandar di sebatang pohon dan menangis lebih sedih lagi.

“Ada apakah? Kau telah diomeli nenekmu?” tanya Boh-thian. A Siu menggeleng kepala.

“Habis mengapa? Badanmu tidak enak?” tanya Boh-thian pula.

Kembali A Siu hanya menggeleng saja dan begitu pula meski Boh-thian telah bertanya sampai beberapa kali.

Seketika Boh-thian menjadi bingung. Wanita-wanita yang pernah dikenalnya seperti ibunya, Si Kiam, Ting Tong, Hoa Ban-ci dan lain-lain semuanya berwatak terang-terangan dan tidak pernah terjadi seperti A Siu yang lemah lembut dan malu-malu ini.

Makin sedih A Siu menangis, makin bingunglah Boh-thian, akhirnya terpaksa ia memohon, “Sebenarnya apakah yang menyebabkan hatimu sedih? Sudilah kau menerangkan kepadaku?”

“Se ... semuanya ga ... gara-garamu, kau ... kaulah yang salah, masakah ... masakah kau masih bertanya?” sahut A Siu dengan terguguk-guguk.

Keruan Boh-thian terkejut, pikirnya, “Aku yang salah? Bilakah aku berbuat salah?”

Tapi karena dia sangat menghormati A Siu yang berbudi halus itu maka ia percaya saja segala apa yang dikatakan nona itu, jika dia bilang dirinya salah, maka tentulah tidak keliru lagi. Segera ia menjawab dengan suara terputus-putus, “No ... nona A Siu, harap engkau suka menerangkan padaku apa kesalahanku, aku adalah ... adalah seorang bodoh, sudah berbuat salah, tapi ti ... tidak tahu, sungguh bodoh aku ini.”

Dengan air mata meleleh A Siu memandang Boh-thian, lalu tuturnya, “Semalam aku ... aku telah bermimpi buruk, impiannya sangat menakutkan, di mana kau ... kau telah bersikap sedemikian kejamnya kepadaku?”

Sampai di sini kembali air matanya bercucuran lagi.

“Aku sangat kejam padamu?” Boh-thian menegas dengan terheran-heran.

“Ya, aku telah mengimpi, dengan memainkan jurus ke-73 dari Kim-oh-to-hoat itu, kau telah membacok dari udara dan sekali bacokan telah membinasakan diriku,” sahut A Siu.

Untuk sejenak Boh-thian tercengang, mendadak ia mengetok-ngetok kepalanya sendiri dan mengomel, “Kurang ajar! Aku telah membikin nona ketakutan di dalam mimpi.”

A Siu menjadi tertawa geli, katanya, “Su-toako, aku sendirilah yang bermimpi dan tak dapat menyalahkan kau.”

Boh-thian sampai terkesima memandangi wajah si nona yang putih halus dan cantik itu di kala tertawa dengan pipinya yang masih terdapat beberapa tetes air mata.

Muka A Siu menjadi merah, katanya pula dengan malu-malu, “Impianku biasanya sangat tepat dan terbukti, makanya aku menjadi takut jangan-jangan pada suatu hari kelak engkau benar-benar akan membacok mati diriku dengan jurus ketujuh puluh tiga itu.”

“Tidak, tidak mungkin, biar bagaimanapun tidak mungkin aku membunuh kau,” sahut Boh-thian sambil menggeleng-geleng. “Jangankan aku tak mungkin membunuh kau, sekalipun kau yang akan membunuh aku juga aku takkan ... takkan melawan.”

“Jika aku akan membunuh kau, sebab apa kau takkan melawan?” A Siu menegas dengan heran.

“Ya, aku ... aku merasa apa pun yang nona katakan dan apa pun yang hendak nona lakukan, tentu aku akan menurut kepada segala kehendakmu itu,” sahut Boh-thian sambil garuk-garuk kepala dan menyengir. “Apabila engkau benar-benar hendak membunuh diriku, bila aku tidak menurut, tentu engkau akan tidak senang, maka adalah lebih baik aku membiarkan diriku dibunuh engkau saja.”

A Siu mendengarkan ucapan Boh-thian itu dengan termangu-mangu. Ia merasa ucapan pemuda itu sangat tulus ikhlas dan timbul dari lubuk hatinya yang murni, sungguh ia menjadi sangat berterima kasih, ia terharu dan matanya menjadi merah lagi.

Katanya kemudian, “Sebab ... sebab apakah engkau sedemikian baiknya padaku?”

“Kupikir asalkan nona merasa senang, maka aku pun merasa bahagia,” sahut Boh-thian, “Nona A Siu, sungguh aku ingin ... ingin senantiasa memandang kau seperti sekarang ini.

Dasar Boh-thian memang seorang pemuda yang masih hijau dan polos, apa yang terpikir olehnya segera diucapkannya tanpa mempunyai pikiran-pikiran lain. Sebaliknya meski usia A Siu lebih muda beberapa tahun, namun dalam hal seluk-beluk kehidupan manusia entah berapa kali lipat paham daripada Boh-thian. Oleh sebab itulah demi mendengar ucapan Boh-thian tadi segera ia anggap pemuda itu telah menunjukkan rasa cinta padanya dan bersedia untuk hidup berdampingan selamanya sebagai suami-istri. Keruan ia menjadi malu, mukanya menjadi merah dan menundukkan kepala.

Sampai sekian lamanya kedua orang terdiam. Akhirnya A Siu membuka suara dengan kepala tetap tunduk, “Aku pun tahu, engkau adalah orang baik, apalagi ketika di atas perahu itu kita ... kita berdua telah memakai satu bantal, untuk mana biarpun mati juga aku takkan ikut kepada orang lain lagi.”

Dengan ucapan A Siu ini maksudnya ialah bahwa apa yang sudah terjadi itu seakan-akan sudah suratan takdir. Dalam keadaan seluruh badan terikat Boh-thian justru dilemparkan orang ke dalam kolong selimutnya sehingga meringkuk bersama satu bantal semalam suntuk, hanya saja ia malu untuk mengatakannya secara terus terang, maka ketika menyebut tentang “bersatu bantal” itu suaranya menjadi sedemikian lirihnya sebagai bunyi nyamuk.

Sudah tentu Boh-thian sama sekali tidak paham ucapan A Siu itu pada hakikatnya merupakan sumpah setianya, yang diketahui hanya kedengaran si nona ternyata sangat baik padanya, dengan sendirinya ia sangat senang. Tiba-tiba ia berkata, “Alangkah baiknya jika di atas pulau ini hanya terdapat nenekmu, engkau dan aku bertiga. Kita dapat tinggal selamanya di sini tanpa diganggu oleh siapa pun juga. Tapi sayang kita telah disusul oleh Pek Ban-kiam, kakek-kakek Ting Put-sam, Ting Pun-si segala sehingga kita selalu dalam keadaan khawatir.”

“Aku sih tidak takut kepada Pek Ban-kiam atau Ting Put-si segala, aku hanya takut kalau ... kalau kelak kau membunuh diriku,” sahut A Siu sambil mengangkat kepalanya.

“Tidak, aku lebih suka membunuh diri sendiri daripada mengganggu seujung jarimu sekalipun,” sahut Boh-thian cepat.

Tanpa merasa A Siu mengangkat telapak tangan sendiri serta memandangnya. Kala itu sinar sang surya sedang memancarkan cahayanya yang gilang-gemilang dan menembus masuk ke dalam hutan di antara celah-celah pepohonan, maka tertampaklah jari-jari A Siu yang putih bersih menggiurkan itu, tanpa merasa Boh-thian terus pegang tangan si nona dan menciumnya.

Keruan A Siu menjerit kaget dan cepat menarik kembali tangannya, mendadak ia menjadi lemas dan bersandar di batang pohon dengan napas terengah-engah.

Mengira si nona menjadi marah, cepat Boh-thian berkata, “O, maafkan, nona, harap janganlah marah. Aku tidak sengaja ....”

Melihat kegugupan pemuda itu, A Siu menjadi tidak tega, kembali ia menyodorkan tangannya dan berkata dengan suara lemah lembut, “Ti ... tidak, tidak apa-apa.”

Boh-thian menjadi girang, dengan hati berdebar-debar kembali ia memegang tangan si nona yang putih halus itu dan diraba-rabanya dengan perlahan, tapi ia tidak berani menciumnya lagi.

Sudah tenang kembali pernapasannya, lalu A Siu berkata, “Kau telah melancarkan jalan darah nenekku, akan tetapi entah kapan barulah kekuatan beliau dapat pulih kembali.”

Karena Boh-thian tidak paham tentang Cau-hwe-jip-mo (lumpuh karena salah melatih) apa segala, maka ia pun tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya, ia hanya berkata, “Semoga Ting Put-si tak dapat menemukan kita, maka takkan menjadi halangan walaupun sementara ini kesehatan nenekmu belum pulih kembali.”

“Mengapa kau masih bicara tentang nenekmu dan nenekku segala? Bukankah dia adalah cikal bakal Kiam-oh-pay dan engkau adalah muridnya, mengapa engkau tidak memanggil Suhu padanya?”

“Ya, karena sudah biasa sehingga sukar berubah seketika,” sahut Boh-thian. “Nona A Siu ....”

“Mengapa kau masih menyebut nona apa segala padaku, buat apa mesti sungkan-sungkan?”

“O, ya, ya. Tapi ... tapi cara bagaimana aku harus memanggil kau?”

Kembali muka A Siu menjadi merah, katanya di dalam hati, “Seharusnya kau memanggil aku ‘adik Siu’ dan aku memanggil Toako padamu.”

Akan tetapi, betapa pun dia adalah nona yang berperasaan halus, pikirannya demikian sudah tentu tak berani diutarakannya, maka ia hanya menjawab, “Boleh kau panggil aku ‘A Siu’ saja. Dan bagaimana aku harus memanggil engkau?”

“Kau suka memanggil apa, boleh terserah padamu,” ujar Boh-thian.

“Bila aku memanggil engkau sebagai si Lemper, kau akan marah atau tidak?” tanya A Siu dengan tertawa.

“Ha, bagus, masakan aku akan marah?” ujar Boh-thian tertawa juga.

“Baiklah. Eh, Lemper!” panggil A Siu dengan suara merdu.

“Ya, A Siu,” sahut Boh-thian. Dan A Siu juga mengiakannya. Maka tertawalah kedua muda-mudi itu dengan saling pandang, rasa gembira mereka susah diperkirakan.

“Apakah kau tidak lelah berdiri sejak tadi? Marilah kita berduduk untuk bicara,” ajak Boh-thian. Lalu kedua orang itu duduk berjajar di bawah pohon besar itu.

Rambut A Siu yang panjang itu menjulai sampai di pundak dan mengilap terkena sinar matahari. Perlahan-lahan Boh-thian membelai rambut si nona yang tersampir di sebelah bahunya itu.

“Engkoh Lemper,” kata A Siu sambil memainkan ujung bajunya, “jika kami tidak bertemu dengan kau, tentu nenek dan aku saat ini sudah mati tenggelam di dasar sungai dan takkan terjadi seperti saat sekarang ini.”

“Kalau kita bisa hidup seperti ini, bukankah kita akan sangat gembira?” sahut Boh-thian. “Buat apa kita harus belajar ilmu silat apa segala dan saling pukul, saling gontok, akibatnya sama-sama susah dan sama-sama celaka. Sungguh aku tidak paham.”

“Betapa pun ilmu silat harus kita pelajari,” ujar A Siu. “Di dunia terlalu banyak orang jahat, biar kau tak memukul orang, tentu orang lain yang akan memukul kau. Memukul saja masih tidak menjadi soal, kalau sampai membunuh, itulah yang celaka. Maka dari itu Engkoh Lemper, bolehkah aku mohon sesuatu padamu?”

“Boleh saja,” sahut Boh-thian. “Apa yang kau katakan, tentu akan kulakukan.”

Maka berkatalah A Siu, “Kim-oh-to-hoat yang diajarkan nenek itu memang sangat lihai, ditambah lagi Lwekangmu yang kuat, sesudah kau latih dengan masak, tentu akan sedikit sekali jago silat yang mampu menandingi kau. Hanya saja aku mengkhawatirkan sesuatu, kau sangat jujur dan polos, sebaliknya hati manusia di dunia Kangouw ini kebanyakan palsu dan jahat, bila kau banyak mengikat permusuhan, tentu kau akan masuk perangkap orang-orang jahat itu dengan segala tipu akalnya yang licik. Maka dari itu aku mohon hendaklah kau jangan banyak mengikat permusuhan dengan orang.”

“Ini adalah maksud baikmu bagi kepentinganku, tentu saja aku akan menurut,” sahut Boh-thian sambil mengangguk.

Sesudah berhenti sejenak, lalu A Siu berkata pula, “Kim-oh-to-hoat ajaran nenek itu setiap jurusnya sangat ganas dan kejam, kelak bila kau bertempur dengan orang, bila banyak melukai atau membunuh orang, mau tak mau musuhmu akan menjadi banyak juga.”

Boh-thian menjadi khawatir, cepat jawabnya, “Ya, benar ucapanmu ini. Biarlah aku takkan mempelajari ilmu golok ini dan akan minta nenek mengajarkan kepandaian lain saja.”

“Ilmu silat Kim-oh-pay justru cuma terdiri dari ilmu golok itu melulu dan tiada lain macam lagi,” kata A Siu dengan menggeleng kepala. “Pula, biar ilmu silat macam apa pun juga pasti akan melukai dan membunuh orang. Kalau tak dapat melukai atau membunuh orang, maka itu tak bisa dinamakan silat lagi. Soalnya, asal di waktu kau bertempur dengan orang hendaklah senantiasa bermurah hati, di mana dapat mengampuni orang, maka ampunilah, dan ini pun sudah cukup.”

“Di mana dapat mengampuni orang, ampunilah dia, kata-katamu ini sangat baik. A Siu, kau sungguh sangat pintar dapat mengatakan kata-kata sebagus itu,” puji Boh-thian.

“Ah, masakah aku bisa sepintar itu, apa yang kukatakan ini hanya kutipan dari sesuatu syair kuno saja,” sahut A Siu dengan tersenyum.

“Apa? Syair?” tanya Boh-thian dengan bingung. Maklum, dia buta huruf, sudah tentu syair apa segala tak diketahuinya.

A Siu memandang heran kepada pemuda itu, ia ragu-ragu apakah Boh-thian benar-benar tidak paham atau cuma pura-pura saja? Tapi ia pun tidak menjawabnya, sesudah merenung sejenak, kemudian ia berkata, “Harus mencapai tingkat tiada tandingannya di dunia ini barulah dapat mengampuni orang di mana kau ingin mengampuni, kalau tidak, biarpun kau yang minta ampun kepada orang juga belum tentu orang mau mengampuni. Eh, Lem ....” sampai di sini ia tertawa, lalu menyambung, “Bolehkah aku memanggil ‘Toako’ saja kepadamu?”

Dan tanpa menunggu jawaban Boh-thian segera ia meneruskan lagi, “Maksudku agar kau suka mengampuni sesama manusia, tetapi orang Bu-lim banyak yang berhati jahat, engkau bermaksud mengampuni orang boleh jadi pihak lawan menggunakan kesempatan itu untuk mencelakai kau. Toako, aku pernah melihat orang memainkan sejurus serangan yang amat bagus, biarlah sekarang kupertunjukkan kepadamu.”

Habis berkata ia lantas mengambil golok puntul yang terletak di sebelah Boh-thian, ia berdiri tegak, lalu membuka langkah, golok ditolak ke depan dengan melintang, menyusul lantas menebas ke kiri, ditarik kembali dan menebas lagi ke kanan, menyusul golok membacok balik dan menurun ke depan dadanya sendiri.

Melihat gaya si nona yang indah dan menggiurkan itu, Boh-thian menjadi terpesona sehingga termangu-mangu memandangi A Siu, hakikatnya ia tidak memerhatikan permainan goloknya tadi.

Dalam pada itu sesudah menarik kembali goloknya, A Siu mundur dua tindak, lalu berdiri tegak pula dengan golok terpeluk di depan dada, katanya, “Sesudah menarik kembali senjata, tenaga dalam harus tetap dikerahkan untuk menjaga sekitar badan sendiri agar tidak mendadak diserang musuh.”

Ketika melihat pemuda itu termenung-menung memandangi dirinya dan terang tidak memerhatikan apa yang dikatakan tadi, segera ia bertanya, “Kenapakah kau? Apakah jurus permainanku ini kurang baik?”

Jilid 23

“O, ti ... tidak! Baik sekali, ba ... bagus sekali!” sahut Boh-thian dengan tergagap.

“Di mana letak kebagusannya?” tanya A Siu.

“Ini ... ini ....” Boh-thian menjadi susah menjawab, mukanya berubah merah.

“Ya, tahulah aku,” omel A Siu. “Engkau adalah murid ahli waris Kim-oh-pay, sudah tentu kau sama sekali memandang sebelah mata dengan sedikit permainan cakar kucing yang kutunjukkan ini.”

“O, ma ... maaf, aku memandangi kau karena sangat memesonakan, maka aku menjadi lupa kepada permainan golokmu,” sahut Boh-thian dengan gugup. “Nona A Siu, sukalah engkau memainkannya sekali lagi.”

“Tidak, tidak mau lagi!” A Siu pura-pura marah.

“Aku mohon dengan sangat, sukalah kau main sekali lagi,” pinta Boh-thian sambil memberi hormat.

“Baik, aku main satu kali lagi, tapi tidak kuat untuk main ketiga kalinya,” kata A Siu dengan tersenyum. Segera ia membuka langkah dan ayun goloknya lagi membacok dan menebas seperti tadi, ia ulangi pula jurus itu dengan perlahan.

Sekali ini Boh-thian benar-benar memerhatikan dengan sungguh-sungguh, maka dapatlah dia ingat dengan baik caranya, gayanya, langkah, dan gerakan-gerakannya.

Lalu A Siu memberi pesan pula bilamana Boh-thian harus tetap mengerahkan tenaga untuk menjaga-jaga kalau pada saat terakhir mendadak diserang musuh, untuk ini Boh-thian mengingatnya dengan baik pula. Lalu ia mengambil golok dari si nona dan memainkan jurus itu menurut apa yang telah dipahaminya.

Melihat pemuda itu sekali belajar lantas bisa, sungguh A Siu sangat girang, pujinya, “Kau sungguh pintar, Toako, hanya memerhatikan sebentar saja kau sudah dapat memahaminya. Jurus serangan ini bernama ‘Pang-kau-cik-kik’ (mengetok dari samping dan memukul dari sisi), ke mana golokmu tiba, ke situlah tenaga dalam harus dikerahkan.”

“Jurus serangan ini sungguh sangat bagus, tiba-tiba di kanan, tahu-tahu di kiri, mendadak ke atas, tahu-tahu ke bawah lagi sehingga musuh susah untuk menangkis,” ujar Boh-thian.

“Letak kebagusan jurus serangan ini melainkan berguna untuk mengampuni pihak lawan saja,” kata A Siu. “Hendaklah tahu, sekali jago silat sudah bertanding, sekali senjata beradu, maka sering kali harus mengadu tenaga dalam, sesungguhnya itu adalah pertarungan yang sangat berbahaya, yang kalah andaikan tidak mati juga pasti akan terluka parah. Tidak perlu dibicarakan lagi apabila kau memang tidak dapat melawan musuh, tapi seumpama kau lebih lihai daripada lawanmu, kau ada maksud takkan melukai lawan dan ingin menghentikan pertarungan sengit dengan sama-sama tidak cedera, hal ini sesungguhnya teramat sukar. Maka dari itulah, jurus ‘Pang-kau-cik-kik’ ini adalah sangat bagus dan serbaguna, jurus ini takkan melukai orang, tapi juga tak bisa dilukai orang.”

Melihat nona itu bersandar di pohon dan tampaknya sangat lelah, segera Boh-thian berkata, “Duduklah, agaknya engkau sangat lelah.”

Perlahan-lahan A Siu berjongkok dan duduk bersila di bawah pohon, kemudian ia tanya, “Kau sudah mendengarkan uraianku barusan?”

“Sudah,” sahut Boh-thian. “Jurus ini bernama ‘Pang-kau-cik-kik’ apa ya?”

Sekali ini bukanlah dia tidak memerhatikan uraian A Siu tadi, tapi ia benar-benar susah mengucapkan nama jurus serangan itu. Maklum, nama itu adalah kalimat ungkapan tertentu, karena dia tidak pernah sekolah, dengan sendirinya ia tidak paham dan susah mengucapkan.

“Ha, kembali kau tidak memerhatikan uraianku lagi,” omel A Siu. “Sudahlah, kau berpaling ke sana dan jangan memandang padaku lagi.”

Kata-kata si nona ini sebenarnya hanya untuk bergurau saja. Tak tersangka Boh-thian dasarnya memang polos tanpa mempunyai pikiran apa-apa, ia benar-benar berpaling dan tak berani memandangnya lagi.

A Siu menjadi tak enak sendiri, ia tersenyum, lalu menerangkan, “Jurus itu bernama ‘Pang-kau-cik-kik’. Toako, hendaklah mengetahui bahwa setiap tokoh Bu-lim kebanyakan sudah menjaga nama dan pamor. Seorang tokoh yang kenamaan, dia takkan menyesal bila kau melukainya sehingga parah sekalipun, tapi dia akan merasa malu bila kau mengalahkan dia. Sebab itulah di waktu bertanding paling baik kalau kita bisa memberi kelonggaran kepada lawan dan jangan terlalu mendesaknya. Jika sudah terang kau telah menang, bolehlah kau menggunakan jurus serangan ‘Pang-kau-cik-kik’ ini, karena kau menebas ke sana dan ke sini dan naik-turun, tentu pandangan orang-orang di samping akan kabur, tapi akhirnya kau melangkah mundur sambil menarik kembali golokmu, hal ini akan membingungkan para penonton, mereka takkan mengetahui dengan pasti siapa yang telah menang dan siapa yang kalah. Dengan cara demikian berarti kau telah memberi muka kepada lawan agar dia tidak merasa malu dan berarti kau telah mengurangi permusuhan yang tidak habis-habis. Bila kau dapat menambahi beberapa patah kata yang ramah tamah untuk memuji pihak lawan, dengan demikian pihak lawan menjadi lebih rikuh lagi untuk bermusuhan terus dengan kau dan bukan mustahil akan berbalik menjadi kawanmu.”

Sungguh Boh-thian sangat kagum atas uraian si nona, katanya, “A Siu, kau masih sangat muda, tapi sudah sedemikian pandai memikir. Caramu ini benar-benar sangat baik.”

“Jangan memuji dulu, uraianku masih belum selesai,” kata A Siu dengan tertawa. “Sekarang bolehlah kau berpaling kemari.”

Boh-thian menurut. Ia lihat si nona sedang memandang padanya dengan tersenyum simpul, wajahnya molek berseri, untuk pertama kalinya hatinya terguncang.

Dalam pada itu terdengar A Siu telah berkata, “Ah, aku pintar apa? Aku hanya dengar kata orang tua saja, maka aku pun menirukannya.”

“Biarlah aku melatihnya sekali lagi supaya tidak lekas lupa,” ujar Boh-thian. Lalu ia melompat bangun, ia angkat goloknya dan memainkan pula jurus “Pang-kau-cik-kik” itu sampai dua kali lagi.

“Ehm, bagus, sedikit pun tidak salah,” kata A Siu sambil manggut-manggut.

Dengan senang Boh-thian lantas duduk di samping si nona. Tiba-tiba A Siu menghela napas dan berkata, “Toako, aku telah mengajarkan jurus ‘Pang-kau-cik-kik’ ini, tapi janganlah kau beri tahukan kepada nenek.”

“Ya, takkan kukatakan padanya, kutahu nenekmu tentu akan kurang senang,” sahut Boh-thian.

“Dari mana kau mengetahui nenek akan kurang senang?” tanya A Siu.

“Engkau bukan orang Kim-oh-pay, sekarang sebagai murid Kim-oh-pay aku telah belajar kepandaian dari golongan lain, sudah tentu beliau akan kurang senang,” ujar Boh-thian.

“Kim-oh-pay, haha, Kim-oh-pay! Nenek menjadi seperti anak kecil saja,” kata A Siu dengan tertawa.

“Ya, aku pun merasa nenekmu agak kekanak-kanakan sifatnya. Ting Put-si hanya mengundang beliau bermain ke Pik-lwe-to, mestinya beliau boleh pergi saja sebentar, buat apa dilakoni sampai terjun sungai segala. Perangainya benar-benar agak terlalu keras.”

“Huh, kau berani menggerundel pada gurumu sendiri, awas akan kukatakan padanya biar beliau membeset kulitmu,” kata A Siu dengan tertawa.

Boh-thian menjadi gugup juga walaupun mengetahui si nona hanya bergurau saja, cepat ia berkata, “He, jangan! Lain kali aku takkan sembarangan omong lagi.”

Melihat kekhawatiran pemuda itu, A Siu menjadi menyesal juga, ia merasa tidak pantas mendustai orang jujur sebagai Boh-thian itu. Apalagi kalau diingat sebabnya dirinya mengajarkan jurus “Pang-kau-cik-kik” itu, walaupun tidak jelek bagi pemuda itu, tapi sesungguhnya juga terdorong oleh kepentingan sendiri.

Dasar perasaan A Siu memang halus, maka cepat ia berkata, “Toako, kau telah berjanji padaku bila kelak bertempur dengan orang, engkau takkan sembarangan melukai dan membunuh orang, bahkan takkan membikin malu orang, sungguh aku merasa sangat berterima kasih, untuk mana terlebih dulu terimalah penghormatanku ini.”

Habis berkata ia lantas berlutut dan menyembah.

Boh-thian terkejut, serunya cepat, “He, mengapa engkau memberi penghormatan setinggi ini?”

Segera ia pun berlutut dan balas menyembah.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang wanita dengan gusar, “Huh, tidak tahu malu, mengapa kau main sembah-sembahan lagi dengan perempuan lain di sini?”

Siapa lagi suara itu kalau bukan suaranya si Ting Tong!

Keruan kejut Boh-thian tak terhingga, “Haya! Ting-ting Tong-tong!” ia menjerit dan segera melompat bangun.

Benar juga tertampak si Ting Tong sedang berlari datang dari hutan sana, di belakangnya mengikuti seorang tua, itulah Ting Put-sam adanya.

Melihat kedua orang itu, sungguh takut Boh-thian tidak kepalang, cepat ia rangkul A Siu dan mengepitnya, segera ia membawanya melarikan diri secepat terbang.

Akan tetapi Ting Put-sam jauh lebih cepat lagi, hanya beberapa kali lompatan saja sudah melampaui Boh-thian dan segera mengadang di depan pemuda itu.

Kembali Boh-thian menjerit kaget, cepat ia membelok ke samping.

Memangnya dia punya ginkang kalah tinggi daripada Ting Put-sam, ditambah lagi dia mengempit si A Siu, sudah tentu dengan mudah saja kembali dia sudah diadang pula oleh Ting Put-sam.

Saat itu si Ting Tong juga sudah menyusul sampai di belakangnya. Tertampak nona itu bersenjata liu-yap-to (golok panjang tipis seperti daun liu) yang mengilat, keruan ia tambah khawatir.

Tiba-tiba terdengar si Ting Tong membentak dengan murka, “Letakkan perempuan hina itu dan biar kubinasakan dia, kalau tidak, selama hidup urusan kita ini pasti takkan terselesaikan!”

“Ti ... tidak, jang ... jangan!” sahut Boh-thian gugup.

“Sret”, mendadak Ting Tong menebaskan goloknya ke atas kepala A Siu. Boh-thian terkejut, tanpa pikir lagi ia melompat ke samping.

Saking khawatirnya kalau-kalau tebasan si Ting Tong itu akan membinasakan A Siu, maka tanpa terasa tenaga dalamnya telah timbul menurutkan pikirannya, seketika tenaga dalam yang mahakuat timbul di telapak kakinya sehingga tubuhnya yang meloncat itu terus mengapung ke atas, di luar dugaan tingginya sampai melebihi pucuk pohon.

Sedemikian tinggi loncatan Boh-thian itu, bukan saja Ting Put-sam dan si Ting Tong terkejut, bahkan Boh-thian sendiri pun menjerit kaget selagi badannya masih terapung di udara.

Ia menduga bila jatuh nanti, tentu badannya akan hancur, paling sedikit kakinya juga pasti patah. Lebih celaka lagi kalau A Siu sampai dibunuh oleh si Ting Tong, tentu runyamlah segala urusan.

Saat itu badannya sudah mulai menurun ke bawah dan tampaknya akan menjatuhi sebatang dahan pohon yang melintang, dalam gugupnya ia menggunakan kakinya untuk bertahan sekuatnya dengan maksud dapatlah melompat lagi sejauh mungkin untuk melarikan diri. Tak terduga lantas terdengarlah suara “krak”, dahan pohon itu telah patah, badannya membal lagi ke depan sehingga lebih tinggi daripada tadi.

Syukurlah pada saat itu terdengar A Siu yang berada di kempitannya itu telah berkata padanya, “Toako, waktu menurun nanti hendaklah tekuk kakimu agar daya turunnya tertahan sedikit, tentu daya pentalnya nanti akan lebih ....”

Belum habis ucapan A Siu, kembali kedua kaki Boh-thian sudah jatuh pula di atas dahan pohon yang lain.

Sekali ini ia menuruti petunjuk A Siu, ia sedikit tekuk lututnya untuk mengurangi daya tekanannya. Aneh juga, dahan pohon itu tidak patah lagi, tapi hanya mendoyong sedikit ke bawah, lalu menyendal kembali ke atas sehingga tubuh Boh-thian terlempar terlebih tinggi dan jauh. Dan begitulah seterusnya, tiap kali di atas dahan, lalu Boh-thian terpental lebih jauh lagi sehingga lambat laun suara bentak maki si Ting Tong makin menjauh dan akhirnya tak terdengar lagi.

Dengan melompat naik-turun itu, Ciok Boh-thian merasa sangat senang. Ditambah lagi A Siu masih terus memberi petunjuk-petunjuk cara menggunakan tenaga dan cara melompat. Memangnya tenaga dalam Boh-thian sangat kuat, sekali mengetahui cara bagaimana menggunakan ginkang, dengan cepat ia sudah dapat melompat dengan sesukanya sebagai kera atau tupai gesitnya. Sungguh senangnya tak terhingga, katanya, “Wah, cara demikian ini sangat bagus, dengan begini kita takkan takut dikejar oleh mereka lagi.”

Dalam pada itu mereka sudah hampir mencapai ujung hutan sana, tiba-tiba terdengar pula suara-suara bentakan yang ramai disertai sinar berkelebatnya senjata, terang ada orang sedang bertempur di sana.

“Wah, celaka, di sana ada orang, kita jangan maju lagi,” kata Boh-thian. Dan sedikit kakinya menutul dahan pohon, dengan enteng ia lantas turun ke bawah. Ia menurutkan cara yang diajarkan A Siu, ia tarik napas dalam-dalam, ujung kakinya menyentuh tanah lebih dulu, biarpun dia masih tetap membawa seorang, tapi jatuhnya ke tanah ternyata tiada mengeluarkan suara apa-apa.

Ia sembunyi di balik sebatang pohon yang besar, lalu mengintip ke arah suara ramai-ramai sana. Tapi ia menjadi terkejut. Tertampak di suatu tanah lapang yang dikelilingi pohon-pohon itu ada dua orang sedang bertarung dengan sengit, yang satu bersenjata pedang adalah Pek Ban-kiam, yang lain bertangan kosong, itulah Ting Put-si.

Di samping masih ada belasan murid Swat-san-pay dengan pedang terhunus sedang mengawasi pertempuran itu, mereka bersorak-sorak untuk memberi semangat kepada Pek Ban-kiam.

Sebaliknya mesti Ting Put-si tidak bersenjata, tapi dia telah mainkan tangannya untuk mencengkeram, mencakar, menutuk, memotong, dan memukul, lihainya melebihi sepasang senjata.

Terkadang kalau pedang Pek Ban-kiam menusuk dari samping, bukannya Ting Put-si menghindar mundur, sebaliknya ia menerjang maju untuk mendahului menghantam.

Hanya mengamati beberapa jurus saja segera Boh-thian mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyaksikan pertempuran itu sampai lupa bahwa dia masih memondong seorang lagi. Memangnya Boh-thian pernah belajar Swat-san-kiam-hoat, sedangkan jurus-jurus serangan Ting Put-si juga adalah sebagian pernah diajarkan kepadanya, walaupun masih ada sebagian besar tak pernah dilihatnya, tapi jalannya dapatlah diikuti dengan baik, di mana letak tujuan setiap serangan itu pun dapat dipahaminya.

Ia lihat Ting Put-si lebih banyak menyerangnya daripada bertahan, sepasang telapak tangannya sebagai pedang dan mirip golok, terkadang dipakai menusuk menyerupai tombak pula sehingga Pek Ban-kiam terdesak dan terpaksa lebih banyak bertahan daripada menyerang.

Pek Ban-kiam tampak tenang dan sabar, namun tidak kurang pula tangkisannya. Terkadang kelihatan dia terdesak, tapi sekali pedangnya berkelebat, kembali dia dapat memaksa Ting Put-si untuk menarik kembali serangannya.

Tampaknya tidaklah mudah bagi Ting Put-si untuk merebut kemenangan, bahkan kalau sudah lama boleh jadi akan lebih menguntungkan Pek Ban-kiam yang bersenjata itu.

Kalau Ciok Boh-thian saja dapat menarik kesimpulan demikian, maka bagi Pek Ban-kiam dan Ting Put-si sudah tentu lebih-lebih merasakan akan keadaan itu.

Kiranya Ting Put-si itu menganggap dirinya sama tingkatannya dengan ayah Pek Ban-kiam yaitu Wi-tek Siansing Pek Cu-cay, maka ia telah menyatakan akan melawan Pek Ban-kiam dengan bertangan kosong, bahkan di dalam 72 jurus saja ia akan dapat merampas pedang lawannya itu.

Di luar dugaan, begitu pertarungan sudah berlangsung seketika Ting Put-si mengeluh di dalam hati. Dahulu ia pernah bertempur dengan beberapa orang murid Swat-san-pay, maka ia sangka kepandaian Pek Ban-kiam betapa pun juga terbatas. Siapa duga di antaranya sesama murid Swat-san-pay itu bedanya ternyata sangat jauh, keruan ia terkecoh dan mengeluh.

Walaupun yang dimainkan Pek Ban-kiam sama-sama adalah Swat-san-kiam-hoat, tapi kecepatannya dan perubahan-perubahannya, tenaga dalam yang digunakan serta cara-caranya, nyata dia sudah mencapai tingkatan jago kelas satu, sekalipun Wi-tek Siansing Pek Cu-cay sendiri di masa jaya-jayanya ketika masih malang melintang di dunia Kangouw mungkin juga tidak lebih daripada kepandaian sang putra sekarang.

Terpaksa Ting Put-si harus mencurahkan perhatian dan mengerahkan semangat lebih daripada biasanya, ia gunakan kegesitannya untuk melompat dan menyusup kian-kemari di bawah lingkaran sinar pedang lawan, terkadang bila sudah kepepet ia harus menggunakan serangan balasan yang berbahaya dengan tujuan gugur bersama untuk memaksa Pek Ban-kiam menarik kembali serangannya yang lihai. Sebaliknya bila ketemukan keadaan begitu, selalu Pek Ban-kiam mengalah dan tidak mau mengadu jiwa dengan lawan, seakan-akan Ban-kiam sudah yakin pasti akan memperoleh kemenangan terakhir nanti.

Sebenarnya kalau berbicara tentang kepandaian sejati betapa pun harus diakui Ting Put-si adalah lebih tinggi setingkat, sebabnya dia terdesak adalah lantaran dia terlalu takabur, dia tak mau menggunakan senjata untuk menandingi Pek Ban-kiam, dia tidak tahu jago macam apakah “Gi-han-se-pak” itu, bahwasanya sekalipun jago yang paling kuat, kalau senjata lawan senjata dengan dia juga tidak mudah untuk mengalahkannya, apalagi bertangan kosong sebagai Ting Put-si sekarang?

Begitulah, maka sesudah dua-tiga puluh jurus, tiba-tiba Pek Ban-kiam berkata, “Ting-sicek (Paman Ting), silakan menggunakan senjata saja, kalau bertangan kosong engkau tak dapat menandingi aku.”

“Kentut!” bentak Ting Put-si dengan gusar. “Masakah aku tak dapat menandingi kau? Hm, ini boleh kau coba seranganku ini!”

Mendadak tangan kirinya berputar sekali, menyusul kepalan kanan terus memukul ke depan melalui lingkaran tangan kiri itu.

Serangan ini sangat aneh, karena tidak paham cara mematahkannya, terpaksa Pek Ban-kiam mundur satu tindak.

Ting Put-si tertawa terbahak-bahak, sekonyong-konyong ia melompat naik ke kanan, begitu cepat tubuhnya mengapung ke atas seakan-akan kakinya dipasang dengan pegas (per) dan mendadak bisa terpental, ketika tubuhnya sudah berada di udara, kedua kakinya lantas menendang cepat.

Terpaksa Pek Ban-kiam mundur selangkah lagi sambil putar pedangnya untuk melindungi mukanya sendiri.

Tapi Ting Put-si masih terus melancarkan serangan-serangan, mendadak dari sebelah kanan, tahu-tahu dari sebelah kiri, tiba-tiba dari belakang, dan sekonyong-konyong dari depan lagi. Ciok Boh-thian sampai pusing menyaksikan serangan-serangan Ting Put-si yang tampaknya tak teratur itu.

“Bret”, mendadak terdengar suara kain terobek, kiranya lengan celana Ting Put-si telah tertusuk oleh pedang Pek Ban-kiam dan sobek. Meski kakinya tidak sampai terluka, tapi celananya juga sudah terobek panjang sehingga kelihatan kakinya.

“Terima kasih atas kesudianmu mengalah,” segera Ban-kiam berkata sambil menarik kembali pedangnya.

Pertandingan di antara jago silat kelas tinggi, kalah atau menang hanya tergantung kepada satu-dua jurus saja. Maka sekali celana Ting Put-si tertusuk robek, hal ini boleh dikata sudah terang siapa yang kalah dan siapa yang menang.

Tak terduga, dari malu Ting Put-si menjadi gusar, bentaknya, “Siapa yang mengalah padamu? Tusukanmu barusan ini hanya kebetulan saja mengenai celanaku, masakah dianggap?”

Dan segera dengan jurus “Khik-cui-heng-ciu” (Perahu Meluncur Melawan Arus), kembali ia menerjang pula.

Dalam keadaan demikian, mau tak mau Pek Ban-kiam harus angkat pedang dan menyambut serangan itu. Tusukan pedangnya tadi sehingga merobekkan lengan celana lawan, dibilang kebetulan memang juga betul, waktu itu Pek Ban-kiam sedang menusuk ke depan, Ting Put-si juga sedang mengayun kakinya untuk menendang sehingga seperti sengaja menyodorkan lengan celananya ke ujung pedang lawan.

Namun demikian, sedikit banyak kegarangan Ting Put-si menjadi banyak berkurang juga, serangan-serangan selanjutnya mau tak mau harus lebih berhati-hati, tapi makin lama dia pun semakin terdesak di pihak asor.

Melihat perimbangan pertarungan itu tentu saja yang paling senang adalah orang-orang Swat-san-pay yang menonton di samping, segera ada yang berseru memuji, “Coba lihatlah jurus serangan Pek-suko, Gwat-sik-hun-hong (Sinar Rembulan Remang-remang) itu, pedangnya bergerak seakan-akan tak kelihatan, remang-remang saja menuju sasarannya, sungguh telah memperlihatkan inti Swat-san-kiam-hoat yang hebat. Lihatlah itu, Ting-siansing sampai kerepotan menghindar, kalau bukan Pek-suko sengaja memberi kelonggaran tentu badannya sudah pakai bintang.”

“Kentut!” mendadak terdengar bentakan orang dari dua jurusan. Satu jurusan adalah suara Ting Put-si, itulah lumrah dan tidak mengherankan karena dialah yang diolok-olok, tapi suara yang lain ternyata datang dari jurusan timur laut sana.

Waktu semua orang berpaling ke arah sana, maka orang yang paling kaget tentulah Ciok Boh-thian.

Ternyata di sebelah sana telah berdiri berjajar dua orang, yang seorang adalah Ting Put-sam dan yang lain dengan sendirinya adalah si Ting Tong.

“He, Losam, lekas kau menyingkir pergi, aku sedang bergebrak dengan orang, buat apa kau berdiri di situ?” teriak Ting Put-si.

Meski dengan sepenuh perhatian dia bergebrak dengan Pek Ban-kiam, tapi betapa pun adalah saudara sekandung sendiri, baru dengar suaranya saja ia lantas tahu sang kakak telah datang.

Maka Ting Put-sam telah menjawab dengan tertawa, “Aku ingin melihat apakah ilmu silatmu selama ini sudah ada kemajuan atau tidak.”

Ting Put-si menjadi gugup, ia tahu dalam keadaan demikian dirinya pasti susah memperoleh kemenangan, tapi sang kakak justru telah muncul dan ingin melihat kepandaiannya.

“Kau pergi saja, Losam,” serunya pula. “Kau hanya mengacaukan perhatianku saja. Aku terpaksa harus bicara dengan kau sehingga perhatianku terpencar, cara bagaimana aku bisa menghajar bocah ini.”

“Kau tidak perlu bicara dengan aku, kau boleh berkelahi dengan sepenuh perhatianmu,” sahut Put-sam dengan tertawa. Lalu ia menoleh dan berkata kepada si Ting Tong, “Biasanya kau punya Si-yaya (kakek keempat) suka menganggap ilmu silatnya tiada tandingannya di dunia ini, seakan-akan kakekmu sendiri juga tak bisa menandingi dia. Sekarang kau boleh pentang matamu lebar-lebar untuk menyaksikannya, boleh kau melihat kau punya Si-yaya dengan bertangan kosong akan menghajar lawannya, akan merebut pedang lawan sehingga lawannya mengaku kalah serta berlutut dan menyembah minta ampun padanya. Hahaha!”

Ting Put-sam sengaja bergelak tertawa sehingga suaranya memekak telinga dan membuat siapa yang mendengar merasa tidak enak.

Keruan Ting Put-si sangat mendongkol, bentaknya, “Losam, kau tertawa apa-apaan?”

“Aku menertawai kau!” sahut Put-sam.

“Menertawai aku mengenai apa? Apanya yang menggelikan?” teriak Put-si dengan gusar.

“Aku menertawai kau karena selama hidupmu kau suka sombong, ingin menang sendiri, tapi di kala menghadapi bahaya toh masih perlu bantuan kakakmu ini untuk mengangkat kau keluar dari malapetaka,” kata Put-sam.

“Malapetaka apa?” bentak Put-si dengan murka. “Bocah she Pek ini adalah angkatan muda kita, kalau bukan mengingat ayah-bundanya, tentu sejak tadi sekali menghantam sudah kumampuskan dia. Huh, siapa yang ingin bantuanmu untuk mengangkat diriku apa segala? Lebih baik kau pergi mengangkat poci arak saja atau mengangkat pispot juga boleh. Aduh! Anak kurang ajar, kau berani melukai aku ....”

Mestinya dia sudah kewalahan melawan Pek Ban-kiam yang bersenjata, sekarang dia terpencar pula perhatiannya untuk bicara dengan Ting Put-sam, kesempatan itu segera digunakan oleh Ban-kiam untuk menyerang sehingga iga kirinya tergores dan darah bercucuran.

Ting Put-sam dan Ting Put-si adalah saudara sekandung, tapi sejak kecil mereka sudah suka bertengkar dan berkelahi sendiri. Si kakak tidak mirip kakak, si adik juga tidak pantas sebagai adik. Tapi sekarang demi melihat saudaranya terluka, mau tak mau ia menjadi khawatir juga, segera ia membentak dengan gusar, “Anak bedebah! Kau berani melukai saudara Ting Put-sam?”

Dan sekali melompat, segera ia melayang ke belakang Pek Ban-kiam dan kontan hendak mencengkeram punggung lawan itu.

Diserang dari muka dan belakang, namun sedikit pun Pek Ban-kiam tidak bingung, lebih dulu pedangnya menusuk Ting Put-si sehingga lawan dari depan itu dipaksa mundur setindak, habis itu ia lantas putar pedang menebas ke belakang.

Dasar Ting Put-si memang suka unggul, dia masih berteriak-teriak, “Losam, lekas menyingkir! Siapa yang suruh kau membantu aku?”

“Siapa yang membantu kau?” sahut Ting Put-sam. “Aku Ting Put-sam paling benci kalau ada perkelahian yang tidak adil. Biarlah aku melucuti pedangnya dulu, lalu akan kubikin darahnya juga keluar di badannya, habis itu barulah kalian berkelahi secara adil.”

Melihat sang suheng dikeroyok, sudah tentu para murid Swat-san-pay tidak kira tinggal diam. Apalagi Ting Put-sam itu diketahui adalah musuh yang telah membunuh saudara seperguruan mereka, maka serentak mereka berteriak-teriak terus menerjang maju bersama.

“Anak anjing, apa barangkali sudah bosan hidup semua? Hayo lekas enyah kembali seluruhnya!” bentak Ting Put-sam.

Namun sebagai jawaban para murid Swat-san-pay itu telah menusuk dengan pedang mereka. Dengan gesit dapatlah Ting Put-sam menghindar serangan-serangan itu sambil membentak pula, “Lekas mundur semua, kalau tidak awas, terpaksa Locu akan membunuh orang!”

Ban-kiam mengetahui para sutenya itu sekali-kali bukan tandingan Ting Put-sam, sekali orang tua itu menyatakan hendak membunuh orang, maka akibatnya tentu para sutenya itu akan banyak yang menjadi korban. Cepat ia berseru, “Para Sute, hendaklah lekas mundur!”

Biasanya murid-murid Swat-san-pay itu sangat segan kepada sang suheng, maka demi mendengar perintah itu, serentak mereka melompat mundur semua.

“Coba pinjamkan pedangmu itu!” tiba-tiba Ting Put-sam berkata kepada seorang murid Swat-san-pay yang pendek gemuk dan bernama Li Ban-san.

“Baik, ini terimalah!” sahut Li Ban-san dengan gusar. “Sret”, mendadak pedangnya menusuk ke perut Ting Put-sam.

Tapi dengan cepat Ting Put-sam menggeser ke pinggir, sekali tangannya menjulur, dengan tepat pergelangan tangan Li Ban-san sudah tertangkap olehnya, dengan perlahan Ting Put-sam memuntir sehingga mau tidak mau Li Ban-san harus melepaskan pedangnya sehingga mirip benar dengan Li Ban-san sengaja menyodorkan pedangnya kepada Ting Put-sam.

Karena puntiran itu, pergelangan tangan Li Ban-san sudah terkilir, waktu Ting Put-sam mengayun kaki pula, kontan badan Li Ban-san yang bundar buntak di depan itu terjungkal.

Waktu murid-murid Swat-san-pay hendak mengerubut maju lagi, namun Ting Put-sam sudah memutar pedang rampasannya, ia gunakan ujung pedang untuk menggaris di tanah sambil berlari mengelilingi Pek Ban-kiam dan Ting Put-si yang sedang bertempur itu sehingga suatu garis lingkaran seluas empat lima meter.

Selesai itu, lalu ia berkata kepada murid-murid Swat-san-pay, “Nah, siapa saja yang berani melangkah masuk lingkaran ini berarti dia telah masuk ke pintu akhirat.”

Pek Ban-kiam tampaknya menghadapi lawannya dengan sangat tenang, tapi di dalam hati sebenarnya ia sangat gelisah. Ia tahu kedua saudara Put-sam dan Put-si itu biasanya membunuh orang tidak pernah berkedip alias tidak kenal ampun. Sekarang kedua orang tua itu bersatu padu untuk menempurnya, terang dirinya susah untuk melawan mereka. Keadaan sekarang kalau dibandingkan pertarungan di kelenteng toapekong waktu melawan suami-istri Ciok Jing mungkin jauh lebih berbahaya, boleh jadi murid Swat-san-pay hari ini akan gugur semua di Ci-yan-to ini.

Karena keadaan sudah berbahaya, terpaksa Pek Ban-kiam melancarkan serangan-serangan kilat lagi, ia pikir Ting Put-si harus dibinasakan dahulu barulah keselamatan murid-murid Swat-san-pay dapat terjamin.

Akan tetapi Ting Put-si juga bukan kaum keroco yang dengan mudah dapat dibinasakan olehnya. Meski iga orang tua itu sudah terluka, namun luka itu tidak parah dan masih dapat bertempur dengan tangkasnya.

Begitulah, lantaran Pek Ban-kiam ingin buru-buru menang, meski serangan-serangannya tambah gencar, tapi “safety”nya menjadi kurang daripada tadi.

Sebaliknya Ting Put-si semakin tangkas, kedua tangannya menari kian-kemari di antara berkelebatnya sinar pedang lawan, dia masih tetap gesit dan berbahaya walaupun darah tiada hentinya bercucuran keluar dari lukanya.

“Losi, kau boleh mundur dahulu,” demikian Ting Put-sam telah tampil ke depan dengan pedang terhunus. “Balut dulu lukamu baru nanti kau maju dan bertempur lagi.”

Namun dasar Ting Put-si adalah orang yang suka menang, segera ia berteriak, “Luka apa? Di mana aku terluka? Huh, hanya sebatang pedang karatan bocah ingusan ini saja masakah dapat melukai diriku?”

Ting Put-sam terbahak-bahak dan tidak membantahnya lagi. “Sret”, mendadak pedangnya menusuk ke arah Pek Ban-kiam sambil berseru, “Nah, orang she Pek, hendaklah kau mendengarkan yang jelas, saat ini adalah aku bertempur dengan kau satu lawan satu, Ting-losi juga ingin satu melawan satu dengan kau, jadi bukan kami berdua bersama-sama mengerubut kau seorang. Ting Put-si suruh aku jangan ikut campur, tapi aku tidak menurut. Sebaliknya aku suruh dia mundur dan dia juga tidak mau tunduk. Aku sendiri menjadi sebal melihat rupamu ini, maka aku ingin memberi hajaran padamu. Losi juga muak padamu, maka ingin memberi persen beberapa kali tamparan padamu. Sekarang kami masing-masing akan mencapai tujuannya sendiri-sendiri dan tiada maksud hendak mengeroyok kau, aku sengaja bicara di muka supaya orang lain takkan bilang Ting-si Siang-hiong (kedua tokoh keluarga Ting) telah mengeroyok seorang jago Swat-san-pay, hal ini tentu tak enak didengar kalau tersiar.”

Begitulah, meski mulutnya mengoceh, tapi tangannya tidak pernah kendur, ia menyerang dengan cepat dan lihai.

Diam-diam Ban-kiam sangat mendongkol, pikirnya, “Huh, kau bilang bertempur dengan aku satu lawan satu dan Ting Put-si juga menyatakan bertempur satu lawan satu, tapi kenyataan demikian apa bedanya dengan dua mengeroyok satu?”

Namun watak Pek Ban-kiam tidak suka bertengkar mulut dengan orang, pula ia sudah merasa muak terhadap sifat pengecut kedua saudara she Ting itu, apalagi di bawah kerubutan dua jago terkemuka, sudah tentu ia pun tidak dapat membagi perhatiannya untuk bicara.

Maka dia hanya memusatkan perhatian dan menjaga diri dengan sangat rapat, bila ada kesempatan dia lantas melancarkan serangan balasan.

Pada suatu saat yang menentukan, ketika pedang Ting Put-sam terbentur dengan pedang lawan, Ban-kiam merasa lengannya tergetar, tenaga dalam lawan yang dahsyat telah membenturnya dengan hebat, cepat ia pun mengerahkan tenaga sambil menyampuk ke samping, menyusul pedang berputar untuk menebas kembali. Akan tetapi pada saat itu juga mendadak kaki kanan terasa kesakitan, kiranya Ting Put-sam telah menggunakan telapak tangan kiri yang kuat untuk memotong kakinya, walaupun tidak terluka, namun sakitnya bukan kepalang. Cepat ia mundur dua tindak dengan terhuyung-huyung dan hampir-hampir terperosot jatuh.

“Jangan mencelakai suko kami!” teriak seorang murid Swat-san-pay terus menerjang maju dengan pedang terhunus.

Tapi baru saja kakinya melangkah masuk lingkaran yang digaris Ting Put-sam tadi mendadak sinar pedang berkelebat, tahu-tahu dadanya sudah tertusuk oleh pedang, sudah binasa ditusuk oleh Ting Put-sam.

Keruan orang-orang Swat-san-pay terkejut dan murka pula, dua orang di antaranya segera menerjang maju pula.

Ting Put-sam membentak dengan suara menggelegar sambil loncat ke udara, dari atas pedangnya terus membacok ke bawah, berbareng telapak tangan kiri juga menghantam. Di mana sinar pedangnya menyambar, tanpa ampun lagi salah seorang murid Swat-san-pay itu terbelah menjadi dua mulai dari pundak kanan sehingga sampai di pinggul kiri, sedangkan pukulan tangan kiri Ting Put-sam juga mengenai batok kepala murid Swat-san-pay yang lain, kontan orang itu roboh terkulai tanpa bersuara, kepalanya sampai terpuntir ke belakang, kiranya tulang lehernya sudah patah dan terang tak bisa hidup lagi.

Hanya dalam sekejap saja Ting Put-sam sudah membunuh tiga orang, Ciok Boh-thian sampai berdebar-debar dan ngeri menyaksikannya.

Bahkan keganasan Ting Put-sam itu belum mereda, ia putar pedangnya secepat kilat dan menerjang ke arah Pek Ban-kiam. Mendadak terdengar suara “krak-krak” dua kali, kedua pedang yang saling bentur itu telah patah semua. Berbareng kedua orang sama-sama menimpukkan sisa pedang patah kepada lawan dan kedua orang sama-sama mendakkan tubuh untuk menghindar, kedua pedang patah itu pun sama-sama melayang lewat di atas kepala masing-masing.

Kedua orang sama gerakannya dan sama cepatnya, betapa bahayanya juga sama-sama pula.

Karena kaki kanan Pek Ban-kiam sudah terluka, jalannya menjadi kurang leluasa, sekarang kehilangan senjata lagi, seketika ia terdesak di pihak yang dicecar dengan serangan-serangan tanpa dapat membalas.

Ada lagi dua murid Swat-san-pay yang nekat, walaupun sadar bilamana mereka melangkah masuk ke dalam lingkaran tentu mereka lebih banyak mati daripada hidupnya. Tapi mereka pun tidak ingin menyaksikan sang suheng dikerubut dan dibinasakan begitu saja oleh musuh, maka tanpa pikir lagi mereka lantas menerjang maju dengan pedang terhunus.

Tiba-tiba Ting Put-sam berseru, “Losi, boleh kau bereskan mereka saja, hari ini aku sudah membunuh tiga orang.”

“Haha, jadinya kau juga terpaksa memohon sesuatu padaku,” seru Put-si dengan tertawa.

Sungguh aneh sekali, sama sekali Ting Put-si tidak memutar tubuh, tapi kedua kakinya terus menyepak ke belakang seperti halnya kuda menyepak orang saja, maka terdengarlah “plak-plok” dua kali, kedua kakinya masing-masing telah kena menyepak di dada tiap orang.

Kontan kedua murid Swat-san-pay itu mencelat sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting jauh, sedikit pun mereka tidak sempat bersuara dan tahu-tahu mereka sudah mati terdepak.

Sekali kedua saudara she Ting sudah mengganas, maka mereka tidak kenal lagi segala tata krama dan sopan santun orang Kangouw lagi. Mereka kerjakan tangan dan kaki dan menyerang Pek Ban-kiam dengan cara yang keji mematikan.

Dengan kaki pincang Pek Ban-kiam masih terus bertahan dengan tenang, selangkah ia mundur keluar dari kalangan. Sekonyong-konyong ia bersuara tertahan pula, kiranya bahu kanan telah kena dihantam lagi oleh telapak tangan Ting Put-si sehingga lengan kanan hampir-hampir susah bergerak.

Melihat pertarungan sengit itu, semakin lama darah kesatria Ciok Boh-thian semakin bergolak, mendadak ia berteriak, “Cara demikian sungguh terlalu tidak adil!”

Tanpa pikir lagi ia terus lemparkan A Siu ke atas tanah, ia cabut golok karatan yang terselip diikat pinggangnya, lalu menerjang maju sambil berteriak, “Sungguh tidak adil, dua mengeroyok satu!”

Karena dilemparkan begitu saja ke atas tanah, A Siu sampai menjerit kesakitan. Rupanya Boh-thian mendengar suara A Siu itu, ia masih sempat berpaling dan berkata, “O, maaf, maaf!”

Habis itu secepat terbang ia sudah melompat masuk ke tengah lingkaran dan mendekati Ting Put-si.

Mendengar dari belakang ada orang menerjang tiba, Ting Put-si tetap tidak menoleh atau membalik tubuh, kembali kakinya menyepak lagi ke belakang.

Tapi sekali menutul kedua kakinya, dengan enteng sekali Boh-thian lantas melayang ke depan melintasi kepala orang dan turun kembali di depan Ting Put-si.

Ketika merasa kakinya menyepak tempat kosong, sebaliknya tahu-tahu di depannya sudah bertambah satu orang, untuk sejenak Ting Put-si tercengang, tapi ia lantas berseru sambil menuding, “He, Lemper Raksasa, kiranya kau!”

“Ya, betul, inilah aku,” sahut Boh-thian. “Kalian ... kalian berdua mengeroyok satu orang, ini terlalu tidak adil.”

Habis berkata, Boh-thian coba melirik ke arah Ting Put-sam dengan jantung memukul keras, ia masih ngeri menyaksikan tiga sosok mayat yang berlumuran darah yang barusan dibunuh Ting Put-sam itu menggeletak di sebelahnya, bahkan kakinya sendiri sekarang juga berlepotan darah.

Semula Ting Put-sam juga terkejut ketika tiba-tiba melihat seorang melayang masuk ke tengah kalangan pertempuran mereka. Tapi demi mengenali Boh-thian segera ia mendamprat, “Anak bedebah, tempo hari kau telah berhasil melarikan diri, kiranya kau sembunyi di sini.”

“Aku ... aku ingin melerai kedua Loyacu agar janganlah terlalu banyak mengikat permusuhan, jika sudah menang, di mana dapat mengampuni orang hendaklah mengampuni, buat apa mesti ngotot dan ingin membunuh musuh habis-habisan.”

Jilid 24

Put-sam dan Put-si saling pandang dengan bergelak tertawa, kata Put-si, “Losam, entah dari mana bocah ini dapat belajar beberapa kalimat ocehan penjual obat, lalu sekarang menirukannya untuk memberi nasihat kepada kita, sungguh lucu, hahaha!”

Boh-thian tidak menanggapi lagi, tiba-tiba ia gunakan goloknya untuk mencukil sebatang pedang yang terletak di atas tanah sehingga pedang itu terlempar ke arah Pek Ban-kiam, berbareng ia berseru, “Pek-suhu, Swat-san-pay kalian biasanya harus menggunakan pedang!”

Sungguh sekali-kali tak tersangka oleh Pek Ban-kiam bahwa di saat dirinya terancam bahaya dan tampaknya dalam sekejap lagi tentu akan binasa di bawah tangan kedua saudara Ting, siapa duga mendadak telah muncul seorang penolong yang bukan lain adalah Ciok Tiong-giok, bocah yang selama ini sedang dicari dan hendak dibunuhnya, sudah tentu tidak keruan perasaannya pada saat demikian.

Pedang yang dilemparkan ke arahnya itu adalah tinggalan seorang sutenya yang dibinasakan Ting Put-sam tadi, asal dirinya sudah bersenjata pula, seketika semangatnya akan bertambah berlipat ganda. Maka tanpa bicara lagi segera ia sambar pedang yang melayang ke arahnya itu.

Sebaliknya Ting-Put-sam menjadi murka melihat Boh-thian merintangi tujuannya, bahkan hendak membantu pihak lawan, segera ia mendamprat, “Anak jadah! Bukankah orang she Pek itu hendak menangkap dan membunuh kau? Jika tempo hari aku tidak menolong kau, apakah kau masih dapat hidup sampai sekarang?”

“Ya, betul juga,” sahut Boh-thian sambit memanggut. “Makanya aku pun hendak menasihatkan Pek-suhu ini agar di mana dapat mengampuni orang hendaklah suka mengampuni.”

Dalam pada itu diam-diam Ting Put-si merasa khawatir kalau-kalau Boh-thian membicarakan kejadian di atas perahu, di mana ia telah dikalahkan oleh pemuda itu, hal ini tentu akan sangat menghilangkan pamornya, maka ia pikir bocah ini harus dibinasakan lebih dulu, dengan demikian rahasianya tidak akan terbongkar.

Maka ia lantas membentak, “Kau mengoceh apa di sini? Ini, rasakan!” Kontan ia terus menghantam ke arah Ciok Boh-thian.

Sekali ini Su-popo tiada terdapat di situ, maka Ting Put-si tidak perlu rikuh-rikuh lagi, jurus serangan “Hek-in-boan-thian” (Awan Mendung Memenuhi Langit) yang digunakan ini adalah tipu serangan yang belum pernah diajarkan kepada Boh-thian.

Namun Pek Ban-kiam tidak dapat tinggal diam dan membiarkan Ciok Tiong-giok dihantam mati secara begitu keji, sekali pedangnya bergerak, dengan jurus “Lo-su-hong-sia” (Pohon Tua Mendoyong Miring) segera ia menusuk dari samping.

Di lain pihak ternyata Ciok Boh-thian juga tidak manda diserang, mendadak goloknya membacok dengan jurus “Tiang-cia-ciat-ki (Orang Tua Memotong Ranting), dengan cepat ia menebas tangan Ting Put-si.

Sungguh aneh juga jurus serangan antara golok dan pedang itu mestinya saling berlawanan, yaitu seperti diketahui ilmu golok yang dimainkan Ciok Boh-thian itu adalah ciptaan Su-popo yang bertujuan mengalahkan Swat-san-kiam-hoat.

Tapi sekarang sesudah bergabung dan dimainkan bersama, ternyata telah menimbulkan daya tekanan yang mahadahsyat, hanya sekejap saja Ting Put-si sudah terkurung di bawah ancaman pedang dan golok itu.

“Awas, Losi!” seru Put-sam dengan khawatir. Maksudnya hendak membantu, akan tetapi serangan-serangan gabungan golok dan pedang itu terlalu lihai, apalagi dia sendiri bertangan kosong, biar bagaimanapun juga susah menembus jaringan sinar pedang dan golok.

Sudah tentu yang lebih-lebih kaget adalah Ting Put-si, untung pada saat berbahaya itu ia sempat menjatuhkan tubuh ke samping, lalu bergelindingan lolos keluar kalangan. Waktu ia melompat bangun pula, tertampaklah di antara pedang dan golok lawan sana masih bertebaran sutra-sutra putih panjang. Ketika ia meraba janggutnya sendiri, ternyata jenggotnya yang putih panjang itu sudah terkupas sebagian.

Dengan sendirinya Ting Put-si terkejut dan gusar pula, Ting Put-sam juga melongo kaget, Pek Ban-kiam pun tidak menduga, hanya Ciok Boh-thian saja masih tidak sadar bahwa serangannya tadi sesungguhnya sangat lihai dengan tenaga dalam yang dahsyat sehingga telah mengguncangkan perasaan tiga jago terkemuka dunia persilatan di depannya itu.

“Baik, kita pun memakai senjata,” akhirnya Ting Put-sam berseru. Segera ia jemput dua batang pedang yang berserakan di atas tanah, ia berikan sebatang kepada Put-si, lalu berseru pula, “Hayolah, Losi, pikir apa lagi? Majulah bersama!”

Dan sekali pedangnya bergerak, segera ia mendahului menusuk Ciok Boh-thian.

Memang Ciok Boh-thian masih hijau dan tiada berpengalaman, maka ia menjadi kelabakan ketika diserang, ia bingung cara bagaimana harus menangkisnya. Syukurlah Pek Ban-kiam lantas membantunya dengan jurus serangan “Siang-tho-se-lay”, serangan ini seketika menyadarkan Ciok Boh-thian, segera ia mengeluarkan jurus “Jian-kin-ap-tho” ajaran Su-popo, dengan punggung golok ia mengetok ke bawah, begitu hebat daya tekanannya sehingga Ting Put-sam hampir-hampir tidak kuat menahan pedangnya. Untung Ting Put-si cepat menolongnya.

Waktu Pek Ban-kiam menyerang pula dengan jurus “Hong-sah-hong-bong”, segera Boh-thian mengikuti dengan jurus “Tay-hay-tim-sah”, kerja sama antara golok dan pedang itu sedemikian rapat sehingga Ting Put-sam dan Ting Put-si semakin terdesak, sampai-sampai mereka berkaok-kaok kelabakan.

Tenaga dalam Ciok Boh-thian memangnya sangat kuat, ilmu silat yang dipelajarinya juga sangat bagus, hanya saja kurang latihan dan belum ada pengalaman dalam medan pertempuran, sebab itulah terkadang ia menjadi bingung menghadapi serangan lawan dan tidak tahu harus menangkis dengan jurus serangan apa.

Kim-oh-to-hoat yang dipelajari Boh-thian itu, kecuali jurus ke-73, jurus-jurus yang lain adalah khusus ditujukan untuk menghadapi Swat-san-kiam-hoat. Sewaktu Su-popo mengajarnya juga selalu memberi petunjuk cara mengatasi serangan Swat-san-kiam-hoat sejurus demi sejurus. Tapi sekarang dalam keadaan bingung ia menjadi tidak ingat lagi kepada ajaran Su-popo, bila musuh menyerang, tanpa pikir lagi ia hanya menirukan Pek Ban-kiam saja, jurus serangan apa yang dimainkan Pek Ban-kiam, segera ia juga keluarkan jurus serangan lawannya menurut petunjuk Su-popo. Jadi kalau Pek Ban-kiam memainkan jurus “Lau-ki-heng-sia”, maka ia lantas mengeluarkan jurus “Tiang-cia-ciat-ki”, bila Pek Ban-kiam gunakan “Siang-tho-se-lay”, segera ia pakai jurus “Jian-kin-ap-tho”.

Walaupun Kim-oh-to-hoat itu diciptakan Su-popo sebagai tumbal penangkal Swat-san-kiam-hoat, justru karena tumbal itulah maka bila keduanya digunakan secara bersama-sama maka setiap lubang kelemahan dari masing-masing to-hoat dan kiam-hoat itu menjadi tertutup rapat dan jadilah semacam ilmu silat yang mahadahsyat dan tiada taranya.

Semula Pek Ban-kiam merasa ragu-ragu dan tidak habis mengerti akan kelakuan Ciok Boh-thian itu. Tapi sebagai seorang tokoh silat terkemuka, sesudah berlangsung beberapa jurus ia mengetahui ilmu golok yang dimainkan Ciok Boh-thian itu hakikatnya merupakan jodoh dari ilmu pedangnya sendiri, bilamana kedua senjata sudah dimainkan bersama, maka luar biasa daya tekanannya kepada pihak musuh.

Yang lebih hebat lagi adalah tenaga dalam bocah she Ciok itu seakan-akan membawa semacam kekuatan yang kelihatan, yang makin lama makin luas daya tahannya.

Dalam hal ilmu silat maupun pengetahuan sudah tentu Ting Put-sam dan Ting Put-si lebih atas daripada Pek Ban-kiam, maka dengan sendirinya mereka pun sudah mengetahui keadaan yang luar biasa pada diri Ciok Boh-thian itu. Cuma saja watak kedua saudara she Ting itu memang bengis dan galak, betapa pun mereka tidak mau mengaku kalah, bahkan mereka berharap ilmu golok aneh yang dimainkan Ciok Boh-thian itu terbatas jurus serangannya, maka mereka masih terus bertahan dengan mati-matian untuk mencari kesempatan.

Pek Ban-kiam juga khawatir kalau-kalau Ciok Boh-thian cuma “macan kertas” saja, jangan-jangan hanya beberapa jurus serangan permulaan saja yang lihai, habis itu tak berguna lagi dan berbalik akan dikalahkan oleh kedua saudara Ting. Melihat gelagatnya adalah lebih menguntungkan kalau melancarkan serangan kilat dulu.

Karena pikiran demikian, segera ia melancarkan serangan dengan jurus “Am-hiang-soh-eng” (Harum Kurang, Bayangan Jarang), batang pedangnya gemetar, sinar pedangnya gemilapan, itulah sejurus Swat-san-kiam-hoat yang paling hebat dan dapat melukai lawan di luar sadar orang.

Untuk mengikuti jurus Swat-san-kiam-hoat itu, segera Ciok Boh-thian juga mengayun goloknya menebas dari samping dengan jurus “Beng-goat-ciau-su” (Rembulan Terang Menyorot Pohon), goloknya juga tampak gemetar dan menyambar cepat dengan membawa tekanan tenaga dalam yang dahsyat.

Maka terdengarlah dua kali suara jeritan, pundak Ting Put-si terkena golok, lengan Ting Put-sam juga tertusuk pedang. Kedua orang secepat kilat lantas melompat keluar kalangan.

Ting Put-sam masih sempat jambret si Ting Tong dan dengan cepat sekali lantas menghilang di balik hutan di sebelah timur sana. Sebaliknya Ting Put-si terus melarikan diri ke balik bukit sebelah barat.

Hanya sekejap saja keadaan menjadi sunyi kembali, darah berceceran di atas tanah dengan lima sosok mayat yang sudah tak bernyawa. Para murid Swat-san-pay saling pandang-memandang dengan rasa curiga.

Pek Ban-kiam melirik ke arah Ciok Boh-thian dengan rasa benci, malu dan heran pula, tapi juga tidak kurang rasa terima kasihnya. Coba kalau bocah ini tidak membantunya, tentu saat ini jiwa belasan orang Swat-san-pay sudah melayang di pulau terpencil ini. Sungguh ia masih merasa ngeri bila teringat betapa ganas dan keji serangan-serangan kedua saudara Ting yang tidak kenal ampun tadi.

Sesudah menghela napas lega, kemudian Ban-kiam bertanya, “Ilmu golokmu barusan ini adalah ajaran siapa?”

“Ajaran Su-popo,” jawab Boh-thian. “Seluruhnya ada 73 jurus, lebih banyak satu jurus daripada Swat-san-kiam-hoat kalian dan tiap-tiap jurusnya adalah penangkal daripada Swat-san-kiam-hoat.”

“Hm, tiap-tiap jurus adalah penangkal Swat-san-kiam-hoat? Ha, apakah tidak terlalu besar mulutnya?” jengek Pek Ban-kiam. “Siapakah Su-popo itu?”

“Su-popo adalah cikal bakal Kim-oh-pay kami, beliau adalah guruku, aku adalah murid pertama angkatan kedua Kim-oh-pay,” sahut Boh-thian.

Pek Ban-kiam menjadi gusar mendengar jawaban itu, jengeknya pula, “Hm, kau boleh tak mengakui perguruan asalmu, mengapa kau masuk lagi ke dalam perguruan Kim-oh-pay apa segala? Hm, Kim-oh-pay, nama ini belum pernah kudengar, di dunia persilatan juga tiada pernah terdaftar nama ini.”

Boh-thian masih tidak tahu kalau Pek Ban-kiam sudah gusar, ia menjelaskan pula, “Menurut berita suhuku, katanya Kim-oh berarti sang surya, bila matahari terbit, maka mencairlah salju di atas gunung, sebab itu bila anak murid Swat-san-pay kebentur dengan Kim-oh-pay kami, maka tiada jalan lain bagi kalian kecuali ... kecuali ....”

Mestinya ia hendak berkata sebagaimana pernah diucapkan oleh Su-popo, yaitu “kecuali berlutut dan menyembah minta ampun”. Tapi betapa pun Boh-thian bukanlah pemuda tolol, sebelum kata-kata itu diucapkan, mendadak ia ingat bahwa kata-kata itu tidaklah pantas didengar oleh murid-murid Swat-san-pay, maka mendadak ia berhenti dan tidak melanjutkan kata-katanya.

Sudah tentu Pek Ban-kiam kurang senang, dengan muka masam ia mendesak dengan suara bengis, “Bila anak murid Swat-san-pay kami ketemukan orang Kim-oh-pay kalian lantas bagaimana? Kecuali apa, lekas katakan!”

Boh-thian menggeleng, sahutnya, “Bila kuterangkan, tentu kau akan marah, aku pun mengira ucapan Suhu ini agak tidak tepat.”

“Kecuali mengaku kalah dan lari terbirit-birit, demikian hendak kau katakan, bukan?” desak Ban-kiam pula.

“Ya, kukira tiada berbeda jauhnya maksud ucapan suhuku itu dengan kata-katamu ini,” sahut Boh-thian. “Tapi hendaklah Pek-suhu jangan gusar, mungkin suhuku hanya bergurau saja dan janganlah dianggap sungguh-sungguh.”

Sebenarnya Pek Ban-kiam masih kesakitan karena kakinya dan pundaknya kena pukulan Ting Put-si tadi, tapi demi mendengar uraian Ciok Boh-thian yang menghina nama baik perguruannya, sudah tentu ia tidak tahan lagi, segera ia angkat pedangnya dan berseru, “Baik, sekarang juga aku ingin belajar kenal dengan ilmu silat Kim-oh-pay kalian, aku ingin tahu cara bagaimana kau akan menundukkan Swat-san-kiam-hoat kami.”

Tapi begitu pedangnya terangkat, seketika ia merasa lengannya sakit tidak kepalang dan pedang hampir-hampir terlepas dari cekalannya.

Pada saat itulah seorang murid Sat-san-pay bernama Pau Ban-yap telah tampil ke muka dan berseru, “Bocah she Ciok, tentu kau tidak kenal lagi kepada susiokmu ini, biarlah aku saja yang belajar kenal dengan kepandaianmu!”

“Pau-sute, kau mundur saja, biar aku yang melayani dia,” seru Ban-kiam. Segera ia pindahkan pedang ke tangan kiri lalu berkata pula, “Nah, bocah she Ciok, mulailah!”

“Sudahlah, kakimu dan pundakmu sudah terluka, kita tak perlu bertanding lagi, apalagi aku pun pasti bukan tandinganmu,” demikian sahut Boh-thian.

“Kau berani menghina Swat-san-pay, mengapa tidak berani bertanding?” bentak Ban-kiam dan kontan pedangnya mendahului menyerang dengan jurus “Bwe-swat-ceng-jun” walaupun ia menyerang dengan tangan kiri sehingga tidak segesit tangan kanan, namun serangannya itu tetap tidak kurang lihainya.

Cepat Boh-thian angkat golok karatnya dan balas dengan jurus “Bwe-swat-hong-he” ajaran Su-popo. Ternyata jurus serangan ini sangat bagus dan merupakan penangkal bagi jurus “Bwe-swat-ceng-jun” yang dilontarkan Pek Ban-kiam itu.

Keruan Ban-kiam terperanjat, cepat ia ganti serangan dan dengan jurus “Bang-gwat-cau-tit” (Meniup Seruling di Malam Terang Bulan). Tapi Boh-thian lantas keluarkan jurus “Jik-jit-kim-koh” (Genderang Berbunyi di Siang Bolong).

Kembali Ban-kiam terkejut, tampaknya golok lawan sudah menyambar tiba dan cepat menuju ke titik kelemahan jurus serangannya sendiri itu, tanpa pikir lagi segera ia ganti serangan lagi. Untunglah Boh-thian tidak paham di mana letak kebagusan serangannya sendiri dari tidak mendesak lebih jauh, sebaliknya ia pun segera ganti jurus serangan begitu melihat Ban-kiam ganti serangan.

Padahal dengan jurus “Jik-jit-kim-koh” itu Boh-thian sudah berada di pihak penyerang, tak peduli apakah Ban-kiam ganti jurus serangan atau tidak, asalkan Boh-thian mendesak maju, tentu Ban-kiam akan dipaksa melangkah mundur beberapa tindak. Dalam keadaan kakinya tidak leluasa bergerak, mau tak mau Ban-kiam pasti akan menghadapi bahaya atau terpaksa ia harus menyerah kalah. Tapi karena Boh-thian tidak paham letak kebagusan serangannya itu telah terbuang dengan percuma.

Diam-diam Ban-kiam bersyukur atas dirinya sendiri. Malahan sebagian murid Swat-san-pay yang menyaksikan di samping itu pun dapat melihat keadaan demikian tadi dan diam-diam mereka pun merasa bersyukur bagi sang suheng.

Akan tetapi beberapa jurus kemudian, kembali Pek Ban-kiam menghadapi bahaya lagi.

Kim-oh-to-hoat itu benar-benar sangat aneh, tiap-tiap jurusnya ternyata benar-benar merupakan penangkal bagi Swat-san-kiam-hoat. Tak peduli betapa pun hebat serangan Pek Ban-kiam selalu dapat dipatahkan oleh Ciok Boh-thian, hanya dengan golok karatan saja Boh-thian tetap di pihak yang lebih unggul.

Kira-kira sudah lebih tiga puluh jurus, ketika Ciok Boh-thian sedang membacok dengan goloknya ke pundak kiri Pek Ban-kiam, mestinya Ban-kiam dapat mengayun kakinya untuk menendang pergelangan tangan Boh-thian yang memegang senjata itu. Akan tetapi baru saja kakinya terangkat sedikit, seketika bagian yang bekas kena pukulan Ting Put-si itu terasa kesakitan luar biasa, saking tak tahan sampai Ban-kiam merasa lemas dan tekuk lutut, lekas-lekas ia menyangga dengan tangan kanan di atas tanah.

Dalam keadaan demikian terang dia tak dapat menghindarkan bacokan Ciok Boh-thian tadi. Di luar dugaan bacokan Ciok Boh-thian itu ternyata tidak diteruskan, bahkan ia berkata, “Biarlah sekali ini tak dianggap saja.”

Kesempatan itu segera digunakan Pek Ban-kiam untuk melompat bangun.

Sekilas itu timbul macam-macam pikiran di dalam benaknya, “Bocah ini sedari tadi sudah dapat mengalahkan aku, mengapa setiap jurus serangannya selalu tak diteruskan? Tampaknya dia seperti tidak pernah belajar Swat-san-kiam-hoat. Barusan sudah terang dia tadi menundukkan aku, mengapa dia sengaja mengalah padaku? Padahal bocah she Ciok ini biasanya sangat licik dan kejam, bila aku sudah dibunuh olehnya, terang para Sute tiada satu pun yang mampu menandingi, dia tidak tega membunuh, apakah sebabnya? Jangan-jangan, ya, jangan-jangan dia benar-benar bukanlah Ciok Tiong-giok?”

Berpikir sampai di sini, tanpa pikir pedang yang dipegang tangan kiri itu lantas menusuk ke depan dengan jurus “Tiau-thian-sik (gaya pembukaan). Seketika terdengar suara heran para murid Swat-san-pay. Kiranya “Tiau-thian-sik” itu tidak termasuk di dalam ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat, tapi adalah salah satu kepandaian dasar bagi setiap murid Swat-san-pay yang mulai belajar, maka tiada dapat digunakan untuk menandingi musuh. Sebab itulah maka para murid Swat-san-pay yang lain bersuara heran, mereka menyangka sang Suheng terluka parah dan tidak sanggup memainkan pedangnya lagi.

Tak tersangka Ciok Boh-thian juga terkesima atas serangan Pek Ban-kiam itu.

Maklum ia tidak pernah melihat jurus “Tiau-thian-sik” ini, Su-popo juga tidak pernah mengajarkan padanya, maka ia menjadi bingung cara bagaimana harus menangkisnya.

Akan tetapi di hadapan jago sebagai “Gi-han-se-pak” Pek Ban-kiam mana boleh lawannya main ayal-ayalan. Hanya sedikit tertegun saja secepat kilat pedang Ban-kiam sudah menyambar tiba dan tepat menjuju di depan ulu hati Ciok Boh-thian. “Bagaimana sekarang?” bentaknya.

“Aneh, ilmu pedang apakah seranganmu ini? Mengapa aku tidak pernah tahu?” sahut Boh-thian.

Mau tak mau Ban-kiam merasa kagum juga atas ketabahan Boh-thian, walaupun jiwanya terancam, tapi toh masih sempat bertanya tentang ilmu pedang apa segala. Segera ia berkata, “Apa benar kau tidak pernah mempelajarinya?”

Boh-thian menjawab dengan menggeleng kepala.

“Saat ini bila aku hendak mencabut nyawamu adalah terlalu mudah bagiku,” ujar Ban-kiam, “Akan tetapi seorang laki-laki harus dapat membedakan antara dendam dan budi secara tegas. Tadi kau telah menolong aku di kala aku dikerubut kedua saudara she Ting. Sekarang aku hanya kembalikan budimu itu, kita satu jiwa bertukar satu jiwa, jadi masing-masing tiada punya utang apa-apa. Sejak kini kau dilarang mengatakan lagi bahwa Kim-oh-to-hoat adalah penangkal Swat-san-kiam-hoat.”

“Ya, memangnya tadi aku pun sudah bilang tak sanggup melawan kau,” sahut Boh-thian sambil memanggut. Tapi mendadak ia berkata pula, “Eh, Pek-suhu, sekarang aku sudah paham. Seranganmu ini agaknya toh tidak susah untuk ditangkis.”

Habis berkata sekonyong-konyong dadanya melekuk sehingga terlepas dari ancaman ujung pedang, berbareng goloknya lantas menyampuk dari samping. “Plok”, golok dan pedang kebentur, karena tenaga dalam Boh-thian memang sangat dahsyat, kontan pedang Pek Ban-kiam terlepas dan patah menjadi dua.

Air muka Ban-kiam berubah merah padam, cepat ujung kaki mencukit, sebatang pedang yang terletak di tanah lantas mencelat dan dapat dipegangnya pula. Menyusul “sret-sret-sret” tiga kali, ia menyerang dengan cepat, semuanya adalah jurus serangan yang paling umum dan mesti dipelajari setiap murid Swat-san-pay yang mulai belajar. Tapi bagi Ciok Boh-thian serangan-serangan yang mudah itu malah membingungkannya, ia menjadi kelabakan dan tak dapat menangkis lagi, tahu-tahu pergelangan tangan sudah terkena pedang dan goloknya terlepas dari cekalan.

Pada saat lain ujung pedang lawan sudah menjuju di depan ulu hatinya pula.

Waktu Ban-kiam menyendal pedangnya, seketika baju di bagian dada Boh-thian itu tergores sebuah lingkaran kecil. Ketika pedangnya ditarik kembali, tiga cuil kain bundar kecil lantas jatuh bertebaran.

Maka tertampaklah baju di dada Ciok Boh-thian telah berlubang sebesar mangkuk, baju luar, baju tengah dan baju dalam telah tembus kena digores sebuah lubang bundar sehingga kelihatan kulit dadanya.

Ketika pedang Ban-kiam bergerak pula, mendadak Boh-thian berteriak mengaduh, ternyata dadanya sendiri sudah tertusuk enam titik secara berjajar dalam bentuk enam sayap. Darah pun merembes keluar dari luka-luka itu. Untung tusukan pedang itu tidak dalam sehingga tidak terlalu sakit.

“Jurus ‘Swat-hoa-liok-cut’ yang bagus!” sorak para murid Swat-san-pay.

Pek Ban-kiam juga lantas berkata, “Nah, sekarang silakan pulang dan beri tahukan kepada gurumu bahwa Swat-san-pay yang telah mencederai kau ini.”

Rupanya Ban-kiam melihat Boh-thian memang benar-benar tidak paham beberapa jurus kepandaian dasar Swat-san-pay tadi, pula sikapnya dan gerak-geriknya, perangainya dan tutur katanya juga sama sekali berbeda daripada Ciok Tiong-giok, maka ia pikir, “Dia telah menyelamatkan jiwaku tadi, tak peduli dia Ciok Tiong-giok atau bukan, yang pasti hari ini tak dapat aku membunuh dia. Jurus ‘Swat-hoa-liok-cut’ ini hanya sekadar sebagai peringatan bagi Kim-oh-pay mereka agar jangan lagi bermulut besar.”

Habis itu, bersama para sutenya segera mereka mengangkat jenazah-jenazah kelima sutenya yang terbunuh tadi. Karena berduka atas kematian para sutenya, pula malu atas dirinya sendiri yang tak dapat membela sute-sute itu, tanpa merasa Ban-kiam mencucurkan air mata. Katanya dengan dendam, “Kedua bangsat tua Put-sam dan Put-si, sakit hati Swat-san-pay ini pasti akan menuntut balas, diharap saja kalian jangan mati terlalu cepat.”

Lalu ia memberi tanda berangkat, beramai-ramai mereka lantas bertindak keluar hutan sana, tiada seorang pun yang menoleh lagi kepada Ciok Boh-thian.

Melihat darah berceceran di atas tanah, beberapa batang pedang patah berserakan di sana sini, keadaan sunyi senyap, hanya suara beberapa ekor burung gaok terdengar terbang melayang di atas pohon sana, mau tak mau Boh-thian merasa seram juga.

Segera ia jemput kembali goloknya, lalu berseru, “A Siu! A Siu!”

Ia coba mencarinya di balik pohon besar tempat mereka tadi, tapi A Siu tidak diketemukan. Ia pikir mungkin si nona sudah pulang lebih dulu. Segera ia pun kembali ke gua dengan langkah cepat sambil berseru, “A Siu! A Siu!”

Keruan Boh-thian menjadi gugup, ia lihat di atas tanah di dalam gua itu ada huruf-huruf yang ditulis dengan arang, tapi dia adalah pemuda buta huruf, sudah tentu tidak paham apa arti tulisan itu. Ia menduga Su-popo dan A Siu tentu sudah pergi semua meninggalkan dia.

Semula Boh-thian merasa sangat kesepian, Tapi sejak kecil ia sudah biasa hidup seorang diri, rasa sepi itu tidak lama kemudian pun tak dirasakannya lagi. Sekarang luka di dadanya sudah tidak berdarah lagi. Ia robek sepotong kain dari ujung baju luar untuk menutupi lubang bundar di bagian dada itu. Katanya di dalam hati, “Semuanya sudah pergi, biarlah aku pun pergi saja dari sini, aku akan mencari ibu dan Si Kuning.”

Sekarang dia sudah terhindar dari macam-macam persoalan orang lain yang membingungkan, ia merasa lega dan gembira. Segera ia selipkan golok karatan diikat pinggangnya, lalu menuju ke tepi sungai.

Sampai di tepi sungai, tertampak ombak mendebur-debur, di tepi sungai tiada sebuah kapal apa pun. Boh-thian terus mencari dengan menyusur pantai. Ci-yan-to itu adalah sebuah pulau karang yang tidak luas, maka tiada satu jam lamanya Boh-thian sudah mengelilingi pulau kecil itu dan tetap tiada tampak bayangan sebuah kapal pun. Sepanjang mata memandang juga tiada kelihatan bayangan layar sesuatu perahu yang berlayar di sepanjang sungai.

Kiranya Ci-yan-to terletak di suatu muara Sungai Tiangkang yang bercabang, arus di situ sangat keras, permukaan sungai juga sempit, maka jarang sekali ada kapal atau perahu yang mendekati pulau kecil itu.

Sambil berdiri di tepi sungai, diam-diam Boh-thian memikir, “Terpaksa aku harus tinggal lagi beberapa hari di sini, akan kutunggu kalau-kalau ada kapal atau perahu yang lalu di sini. Kalau tidak, boleh juga aku akan belajar berenang agar lain kali bila aku didorong orang dan kecemplung lagi ke dalam sungai, tentu aku takkan khawatir dan takkan minum air lagi.”

Kemudian terpikir pula, “Ya, buat apa aku mesti buru-buru pergi dari sini? Orang-orang itu seperti Ting-samyaya, Ting-siyaya, si Ting-ting Tong-tong, Pek-suhu, dan lain-lain lagi, semuanya ingin membinasakan diriku. Untuk berkelahi aku tak dapat melawan mereka, kalau sembunyi di sini kan lebih selamat.”

Tengah termenung-menung, mendadak terdengar suara keresek, dari semak-semak di samping kakinya tiba-tiba melompat keluar seekor kelinci liar. Memangnya Boh-thian sedang kelaparan karena setengah harian belum makan apa-apa, selama beberapa hari terakhir ini pun tidak berani menyalakan api untuk memasak, yang dimakan melulu kesemak belaka. Sekarang melihat seekor kelinci gemuk, tentu saja ia sangat girang, segera ia cabut goloknya dan memburu terus menusuk.

Namun kelinci itu teramat gesit, sedikit meloncat ke samping, seketika tusukan Boh-thian itu mengenai tempat kosong. Tapi cepat Boh-thian memutar kembali goloknya terus menebas, kontan kelinci itu tertebas menjadi dua potong.

Selagi Boh-thian hendak mengambil kelinci yang sudah mati itu, tiba-tiba terkilas sesuatu di dalam benaknya, “Tebasanku barusan ini bukankah adalah jurus ‘Ting-cia-cit-ki’ ajaran Su-popo? Ya, memang betul adalah jurus serangan itu. Jika demikian, jadi jurus ini tidak melulu untuk mengatasi ‘Lau-ki-hong-sia’ dari Swat-san-kiam-hoat, tetapi masih dapat digunakan pula pada lain tempat.”

Lalu terpikir lagi olehnya, “Tadi waktu aku menusuk kelinci ini dengan golok, caraku adalah sama dengan jurus ilmu pedang yang dimainkan Pek-suhu untuk mengalahkan aku itu. Padahal kelinci ini toh tidak pernah belajar ilmu golok atau ilmu pedang segala, tapi sedikit berkelit saja dia sudah menghindarkan tusukanku. Ah, tahulah, bila aku diserang orang aku boleh menangkis atau berkelit dan tidak pasti harus menggunakan jurus atau cara-cara tertentu untuk menangkisnya.”

Maklumlah, selama hidup Ciok Boh-thian belum pernah mendapat pelajaran ilmu silat secara teratur, Cia Yan-khek dan Ting Put-si telah mengajarkan ilmu silat padanya, tapi mereka itu tiada punya maksud tujuan baik. Ting Tong dan Su-popo telah mengajarkan Kim-na-jiu-hoat dan Kim-oh-to-hoat padanya, walaupun mereka tiada bermaksud jelek, tapi juga mempunyai tujuan tertentu, yaitu seorang berharap dia dapat menyelamatkan diri, sedangkan seorang lagi ingin Boh-thian menggunakan Kim-oh-to-hoat untuk menangkan Swat-san-kiam-hoat, adapun mengenai bagaimana cara menghadapi musuh, cara bagaimana menyerang dan menghindari serangan serta kepandaian-kepandaian dasar ilmu silat pada umumnya sama sekali tak pernah diajarkan kepadanya. Sebab itulah maka Boh-thian dapat melayani Swat-san-kiam-hoat yang dimainkan Pek Ban-kiam secara lihai itu, sebaliknya malah kelabakan dan tak bisa menangkis jurus “Tiau-thian-sik” yang sepele.

Sekarang secara kebetulan golok Ciok Boh-thian telah menebas kelinci sehingga berhasil menyelami jalan ilmu silat yang sebenarnya, bahwasanya ilmu silat itu adalah hidup dan tidak mati dalam setiap gerak atau jurus tertentu, tapi boleh berubah dan bergerak menurut keadaan.

Teori demikian sebenarnya sangatlah dangkal, sebabnya Ciok Boh-thian tidak paham adalah bukan lantaran dia bodoh, soalnya sejak mula dia sudah disesatkan oleh macam-macam ajaran yang diberikan si Ting Tong, Ting Put-si dan Su-popo secara kaku dan mati.

Malam itu waktu di kelenteng Toapekong meski Bin Ju juga pernah bergebrak dan seakan-akan sengaja mengajar kepada Ciok Boh-thian, tapi tatkala mana kedua orang tiada bicara barang sepatah kata pun, Bin Ju hanya membantunya memahami cara menggunakan jurus serangan Swat-san-kiam-hoat, dengan sendirinya di mana letak “hidupnya” ilmu silat itu tidak sampai diajarkan padanya.

Sekarang hal ini mendadak disadari sendiri olehnya, keruan ia sangat girang. Pikirnya pula, “Tempo hari waktu berada di atas perahu Suhu telah memberikan petunjuk padaku agar menirukan setiap jurus yang dimainkan Ting-siyaya, tipu serangan apa yang dilontarkan beliau, segera aku pun menirukan dengan tipu serangan yang sama. Cara demikian terang seperti orang bermain-main saja. Coba bilamana Ting-samyaya juga berada di situ, lalu beliau mendadak menyerang padaku, kan bisa celaka kalau aku tetap melayani Ting-siyaya dengan tipu serangan yang sama-sama. Maka terpaksa aku harus ganti tipu serangan yang lain untuk menyambut pukulan Ting-siyaya dan sekaligus balas menyerang Ting-samyaya.”

Begitulah, sekali otaknya menjadi encer, segera segala ilmu silat yang pernah dipelajarinya lantas diingatkannya kembali sejurus demi sejurus, saking asyiknya, tanpa merasa kaki dan tangannya lantas bergerak-gerak sendiri seperti sedang menari-nari. Ia tidak pikirkan lagi itu jurus apa dan cara bagaimana harus menggunakannya, tapi apa yang dia ingat lantas dimainkannya menurut pikirannya, apa tangannya yang terangkat atau kakinya yang bergerak, makin lama makin bersemangat, sampai akhirnya debu pasir dan daun kering ikut bertebaran terbawa oleh angin yang ditimbulkan oleh tenaga-tenaga dalamnya yang dikeluarkan itu. Bahkan berpotong-potong batu sebesar kepalan juga mencelat ke udara tercukit oleh kakinya, pepohonan juga terguncang.

Waktu batu-batu itu jatuh kembali ke atas kepalanya, apakah Ciok Boh-thian menolaknya ke samping dengan tenaga pukulannya ke atas atau melompat untuk berkelit, keadaan demikian menjadi mirip tengah bertempur saja.

Makin lama makin bersemangat dan batu yang tercukit oleh kakinya juga tambah banyak. Sampai akhirnya, tak peduli batu-batu menghambur dari arah mana tentu dapat ditolaknya terpental atau dihindarkannya dengan sangat mudah.

Sekonyong-konyong terdengar suara “krak”, sebatang ranting kayu yang juga mencelat ke udara telah patah terbentur batu, lalu jatuh ke bawah berbareng dengan batu itu. Secepat kilat tangan kiri Boh-thian menyambar tangkai kayu itu, menyusul terus menyabet ke samping sehingga tepat batu itu kena disampuk dan mencelat jauh-jauh.

Untuk sejenak Boh-thian melengak sendiri, katanya di dalam hati, “Bukankah gerakan ini adalah jurus serangan yang dimainkan dengan tangan kiri oleh Pek-suhu tadi?”

Segera ia pegang lagi goloknya, dengan tangan kiri tetap memegang tangkai kayu. Ia mainkan jurus “Tiang-cia-ciat-ki” dari Kim-oh-to-hoat.

Jurus-jurus serangan golok dan pedang itu mestinya saling bertentangan, tapi sekaligus dimainkan bersama ternyata menimbulkan daya serangan yang mahadahsyat. “Cret”, sebatang pohon siong sebesar lengan telah terkutung oleh goloknya, sebaliknya tangkai kayu di tangan kiri juga kena sabet di batang pohon sehingga kulitnya pohon itu terbeset sebagian.

Saking asyiknya Ciok Boh-thian memainkan sebatang golok karatan dan sebatang ranting kayu, makin lama makin cepat, ia tidak ambil pusing apakah permainannya yang aneh itu tepat atau tidak, yang terang di atas pulau situ toh tiada manusia lain lagi, maka ia tidak perlu khawatir ditertawai orang.

Begitulah, secara tidak sengaja Ciok Boh-thian alias Su Ek-to telah meyakinkan lwekang yang paling tinggi, kemudian digembleng oleh beberapa tokoh terkemuka, sekali otaknya menjadi encer, tiba-tiba dia dapat menciptakan sejenis ilmu silat gabungan pedang dan golok.

Ilmu silatnya ini mencakup Swat-san-kiam-hoat dan Kim-oh-to-hoat, pula meliputi ilmu silat ajaran Cia Yan-khek, Ting Put-si, si Ting Tong, dan Bin Ju. Hanya saja jurus serangannya tiada tertentu, walaupun mempunyai daya tekanan yang dahsyat, tapi lubang kelemahannya juga tidak sedikit.

Boh-thian sendiri tiada bermaksud menciptakan ilmu silat, sudah tentu tak pernah terpikir olehnya untuk memberi nama jurus-jurus ilmu silatnya itu.

Apalagi dia buta huruf, disuruh membeli nama juga dia tidak mampu.

Begitulah makin latih makin tambah lwekangnya sehingga sedikit pun tidak merasa lelah sampai akhirnya perutnya berkeruyukan saking laparnya barulah ia berhenti. Waktu ia cari kelinci tadi ternyata sudah hancur terinjak-injak olehnya sendiri, terpaksa ia mencari ke semak pula untuk menangsel perut.

Ia coba kembali ke gua itu dengan harapan Su-popo dan A Siu sudah pulang, tapi keadaan di situ ternyata sunyi senyap. Dalam pada itu malam pun sudah tiba, terpaksa Boh-thian tidur di dalam gua.

Sampai tengah malam, mendadak terdengar suara menderak yang keras dari arah pantai. Karena lwekangnya sekarang sudah sangat tinggi, dengan sendirinya indra pendengarannya juga sangat tajam. Segera ia melompat bangun dan berlari ke tepi sungai. Di bawah sinar bintang yang remang-remang tertampak sebuah kapal berlabuh di sana dan tiada hentinya bergoyang-goyang.

Boh-thian terkejut dan bergirang, ia khawatir kalau-kalau kapal itu adalah milik Ting Put-sam atau Ting Put-si, maka ia tidak berani mendekatinya. Ia coba sembunyi di belakang pohon untuk mengintai.

Tiba-tiba terdengar suara menderak yang keras pula, sekali ini dapat dilihatnya dengan jelas, yaitu layar yang terlepas di tiang kapal itu tadinya berlipatan menjadi satu, ketika tertiup angin kencang, layar itu lantas terpentang dan mengeluarkan suara kebasan keras.

Kapal itu tergoyang-goyang dan tampaknya hendak terhanyut pula meninggalkan pulau, cepat Boh-thian berlari mendekati sambil berteriak, “Adakah orang yang berada di atas kapal?”

Tapi ia tidak mendapat jawaban orang. Sekali lompat segera ia melayang ke atas kapal. Ia coba melongok ke dalam ruangan kapal, keadaan di dalam gelap gulita dan tiada kelihatan apa-apa.

Dalam pada itu kapal itu mulai terombang-ambing, nyata telah meluncur perlahan ke tengah terbawa oleh arus. “Apakah ... apakah Ting-samyaya yang berada di dalam?” Boh-thian berteriak pula. Namun tetap tiada jawaban seorang pun.

Tanpa pikir ia berjalan ke dalam ruangan, mendadak kakinya kesandung badan orang merebah melintang di lantai kapal. Cepat Boh-thian berkata, “Maaf!” Segera ia bermaksud membangunkan orang itu. Tak terduga di mana tangannya menyentuh kiranya adalah serangka mayat yang sudah kaku dan dingin.

Keruan Boh-thian menjerit kaget. Waktu tangan kirinya meraba ke belakang, kembali tersentuh lengan seorang, keadaannya juga sudah kaku dingin, terang sudah mati sekian lamanya.

Dengan menggagap-gagap ia terus menyusur ke belakang kapal, ternyata di mana-mana hanya mayat belaka, kakinya menginjak mayat, di mana tangannya menjulur juga selalu menyentuh mayat. Di ruangan belakang juga penuh dengan mayat, banyak yang bergelimpangan di lantai, ada pula yang duduk di atas kursi.

“Adakah orang di sini?” kembali Boh-thian berteriak khawatir. Saking ngerinya sampai ia merasa suaranya sendiri pun sudah berubah.

Setiba di buritan kapal, di bawah sinar bintang yang remang-remang kelihatan pula di atas geladak situ pun bergelimpangan belasan orang. Semuanya sudah kaku, terang juga mayat.

Jilid 25

Sementara itu angin meniup dengan kencangnya sehingga menimbulkan suara menderu-deru, beberapa layar kapal yang sudah robek pun ikut berkibar-kibar dan menerbitkan suara memberebet yang keras dan menyeramkan.

Walaupun Ciok Boh-thian alias Su Ek-to sudah biasa hidup sendirian dan berhati tabah, tapi di tengah malam gelap, di atas kapal yang penuh mayat belaka, betapa pun ia merasa merinding juga, apalagi kalau terkenang kepada “mayat hidup” yang pernah mengudaknya di Hau-kam-cip dahulu itu.

Saking ngerinya segera Boh-thian bermaksud meninggalkan kapal itu. Tapi baru saja ia naik kembali ke atas geladak kapal, maka mengeluhlah dia. Kiranya kapal itu sudah jauh meninggalkan tepian dan sedang terhanyut oleh arus yang deras. Mula-mula kapal itu terhanyut ke pulau Ci-yan-to, sesudah berputar dan oleng beberapa kali, kemudian terhanyut pula ke hilir.

Semalam suntuk Boh-thian tidak berani tidur di dalam kapal, ia melompat ke atas atap kapal, sambil bersandar pada tiang layar ia menantikan datangnya fajar.

Besok paginya sesudah sang surya muncul dan seluruh jagat raya menjadi terang benderang, barulah rasa seram Boh-thian mulai hilang. Ia coba memeriksa kembali keadaan kapal itu, ia lihat di luar dan dalam kapal itu sedikitnya ada 50-60 mayat yang bergelimpangan dan mengerikan. Anehnya di atas mayat-mayat itu tiada bekas-bekas darah, juga tiada tanda-tanda terluka oleh senjata tajam sehingga tidak diketahui apa yang menyebabkan kematiannya.

Ketika Boh-thian memutar ke haluan kapal, tiba-tiba dilihatnya tepat di atas pintu ruangan kapal terpaku dua buah pening dari tembaga putih sebesar gobang. Sebuah pening melukiskan muka seorang yang sedang tertawa ramah, sebuah lagi melukiskan muka yang bengis dan jahat.

Untuk sejenak Boh-thian memandangi kedua bentuk pening tembaga itu, ia merasa muka yang terlukis di atas pening itu seakan-akan hidup saja, ia tidak berani memandang lebih lama lagi dan cepat-cepat berpaling. Ketika ia memandang pula kepada mayat-mayat yang bergelimpangan itu, ia melihat hampir semuanya membawa senjata, terang korban-korban itu adalah orang-orang persilatan semua.

Waktu diperiksa lebih teliti, terlihatlah pada baju setiap korban itu masing-masing tersulam seekor ikan kecil bersayap dan berwarna putih. Boh-thian tambah heran, ia menduga korban-korban di atas kapal itu tentu adalah orang-orang sekomplotan, cuma tidak diketahui mengapa bisa ketemukan musuh tangguh dan semuanya terbinasa.

Begitulah kapal tanpa juru mudi itu masih terus terhanyut ke hilir. Menjelang tengah hari, sampailah pada suatu pengkolan sungai, tiba-tiba dari depan sedang meluncur tiba dua buah kapal dengan menempuh arus.

Melihat ada kapal yang meluncur dari hulu sungai dalam keadaan oleng, juru mudi kapal dari muara sungai itu menjadi khawatir dan berteriak-teriak, “Hai! Awas! Banting kemudi!”

Akan tetapi kapal tanpa pengemudi itu makin mengoleng, kebetulan di tengah sungai situ ada pusaran air sehingga kapal itu malah menerjang ke depan dengan melintang. Maka terdengarlah suara gemuruh yang keras, tanpa ampun lagi kedua buah kapal dari muara sungai itu telah tertumbuk.

Terdengarlah suara orang yang panik diseling suara caci maki yang kotor. Boh-thian menjadi kaget dan khawatir. Pikirnya, “Wah, kapal mereka telah tertumbuk rusak, tentu mereka akan mencari ke atas kapal ini dan meminta pertanggungjawabanku. Kalau diusut lebih jauh, tentu mereka akan mengira aku yang telah membunuh orang-orang di atas kapal ini. Wah, tentu aku bisa celaka. Lantas apa yang harus kulakukan sekarang?”

Dalam gugupnya tiba-tiba timbul akalnya, cepat ia menyusup ke dalam ruangan kapal, ia membuka papan lubang dan sembunyi ke dalam dek di bagian bawah kapal.

Sementara itu tiga buah kapal sudah oleng bersama dan bergumul menjadi satu. Selang tak lama lantas terdengar ada suara orang melompat ke atas kapal ini, menyusul ramailah suara teriak kaget orang banyak. Ada yang berseru, “He, inilah orang-orang Hui-hi-pang (gerombolan ikan terbang)! Meng... mengapa sudah mati semua!”

Lalu ada yang menanggapi, “Ya, bahkan pangcu... pangcu mereka Seng Tay-yang juga mati di sini!”

Sejenak kemudian mendadak ada orang berteriak di haluan kapal, “He, med... medali pengganjar dan... dan medali penghukum!”

Dari suaranya yang gemetar terang sekali orang ini sangat ketakutan.

Karena teriakan itu, seketika suara ribut-ribut tadi lantas berhenti, keadaan berubah menjadi sunyi senyap.

Walaupun sembunyi di bawah kapal dan tidak dapat melihat air muka orang-orang itu, tapi dapatlah Boh-thian membayangkan betapa kaget dan takutnya mereka.

Sampai agak lama barulah terdengar seorang membuka suara, “Tahun ini memang jatuh tempo keluarnya Siang-sian-leng dan Hwat-ok-leng (Medali Pengganjar dan Medali Penghukum), maka besar kemungkinan kedua rasul pengganjar dan penghukum kembali telah bertugas keluar lagi. Ai, memangnya orang-orang Hui-hi-pang ini di masa lampau sudah terlalu banyak melakukan kejahatan....” sampai di sini ia lantas menghela napas panjang dan tidak meneruskan.

“Oh-toako,” demikian terdengar seorang bertanya, “konon menurut cerita orang, katanya Siang-sian-leng dan Hwat-ok-leng ini adalah tanda panggilan kepada seseorang ke... ke sesuatu tempat, setiba di sana barulah diambil tindakan, jadi hukuman tidak dilakukan di tempat si orang yang dipanggil.”

“Ya, bilamana yang dipanggil itu mau tunduk kepada panggilannya,” sahut orang yang duluan tadi. “Tampaknya Seng Tay-yang dari Hui-hi-pang ini tidak mau menurut perintah dan melakukan perlawanan, maka kedua rasul sakti itu menjadi gusar.”

Sesudah pembicaraan orang itu, lalu semua orang terdiam lagi.

Tiba-tiba Boh-thian sendiri teringat, “Mayat-mayat yang bergelimpangan di kapal ini katanya adalah orang-orang Hui-hi-pang segala dan ada juga seorang pangcu. Wah, celaka, bukan mustahil kedua rasul yang disebut pengganjar dan penghukum itu juga akan mendatangi Tiang-lok-pang kami?”

Berpikir demikian, mau tak mau ia menjadi gelisah, ia merasa perlu lekas pulang ke tempat Tiang-lok-pang untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya di sana agar bisa siap siaga sebelumnya. Maklum, walaupun dia keliru disangka sebagai Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang sehingga banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan baginya, bahkan beberapa kali jiwanya terancam bahaya, namun setiap orang di Tiang-lok-pang adalah sedemikian baik dan menghormat padanya, meskipun pernah terjadi seorang Tian Hui yang bermaksud membunuhnya, tapi hal ini pun terjadi karena salah paham, sebab itulah Boh-thian sangat menaruh perhatian terhadap keselamatan orang-orang Tiang-lok-pang. Segera ia pasang telinga dan mendengarkan lebih jauh apa yang dipercakapkan orang-orang di atas kapal itu.

Terdengar seorang di antaranya telah berkata pula, “Oh-toako, menurut pendapatmu, urusan ini akan merembet sampai kepada kita atau tidak? Kedua rasul itu apakah juga akan mendatangi Tiat-cha-hwe (perkumpulan tombak besi) kita?”

Maka orang yang dipanggil sebagai Oh-toako itu telah menjawab, “Jikalau kedua rasul pengganjar dan penghukum sudah muncul lagi, maka setiap organisasi atau perkumpulan di dunia Kangouw tentu susah bebas dari penilikan mereka. Tentang Tiat-cha-hwe kita apakah dapat terhindar dari malapetaka ini kukira semuanya tergantunglah kepada nasib kita.”

Dan sesudah merenung sejenak, lalu ia berkata pula, “Baik begini saja, diam-diam boleh kau perintahkan orang agar segera pulang lapor kepada Congthocu (ketua) kita. Adapun para saudara yang berada di atas kedua kapal kita itu, boleh suruh mereka berkumpul ke atas kapal ini. Semua benda di atas kapal ini janganlah dipegang, kita membawa kapal ini ke kampung nelayan di luar muara Ang-liu-kang sana. Karena kedua rasul pengganjar dan penghukum sudah menumpas habis para tokoh-tokoh Hui-hi-pang, rasanya mereka takkan datang lagi untuk kedua kalinya.”

“Betul, betul, bagus sekali akal ini!” seru orang pertama tadi. “Jika kedua Sucia (rasul) melihat kapal ini pula, tentu mereka akan mengira kapal ini hanya berisi mayat-mayat orang Hui-hi-pang belaka dan tidak mungkin memeriksa ke sini lagi. Biarlah sekarang juga aku akan meneruskan perintahmu.”

Tidak lama kemudian, terdengarlah orang banyak beramai-ramai berkumpul ke atas kapal ini. Di tempat sembunyinya Boh-thian dapat mendengar percakapan ramai yang dilakukan orang-orang itu dengan suara perlahan dan ketakutan seakan-akan sedang menghadapi elmaut.

Terdengar seorang di antaranya berkata, “Tiat-cha-hwe kita toh tiada bersalah kepada mereka, rasanya kedua rasul pengganjar dan penghukum takkan membikin susah kepada kita.”

Lalu seorang kawannya menanggapi, “Memangnya kau kira orang-orang Hui-hi-pang berani menyalahi mereka? Tapi toh tidak terhindar dari malapetaka. Ai, kukira bencana yang selalu terjadi satu kali setiap sepuluh tahun ini mungkin... mungkin kali ini kita... kita juga....”

Tiba-tiba seorang lagi menyela, “Lau Li, apabila Congthocu kita memenuhi panggilan dan pergi ke sana, lalu bagaimana?”

“Lalu bagaimana? Sudah tentu bisa pergi tak bisa pulang!” sahut orang she Li itu dengan mendengus. “Menurut kejadian-kejadian beberapa puluh tahun yang lalu, setiap orang, apakah dia pangcu, congthocu, atau ciangbunjin dari golongan mana, asal sudah pergi memenuhi panggilan itu, belum pernah ada seorang pun yang pulang kembali. Sudahlah, selama ini Congthocu sangat berbudi kepada kita, pendek kata kalau terjadi apa-apa atas diri beliau, masakah kita mesti bersikap pengecut dan membiarkan beliau menghadapi bahaya sendiri?”

“Benar juga. Tapi jalan paling baik adalah menghindari saja,” ujar seorang lagi. “Untung kita dapat mengetahui sebelumnya secara kebetulan, tampaknya Thian memang memberkati agar Tiat-cha-hwe kita terbebas dari bencana ini. Perkampungan nelayan kecil di muara Ang-liu-kang itu sangatlah terpencil dan merupakan suatu tempat sembunyi yang bagus, biarpun kedua Sucia pengganjar dan penghukum serbalihai juga susah untuk menemukan kita.”

“Sudah lama Congthocu mengusahakan perkampungan nelayan ini, tujuannya tiada lain justru akan digunakan seperti sekarang ini,” kata orang yang dipanggil Oh-toako tadi. “Selama delapan tahun nelayan yang berdiam di perkampungan itu boleh dikata tidak pernah keluar dari perkampungan itu, jadi tempat itu memangnya adalah sebuah tempat pengungsian yang baik.”

Kemudian seorang lagi yang bersuara lantang kasar telah berkata, “Tiat-cha-hwe kita selama ini malang melintang di lembah Tiangkang sini, kita tidak takut kepada langit dan tidak gentar pada bumi, bahkan kepada si tua bangka raja juga kita tidak mau tunduk, mengapa sekarang hanya mendengar nama rasul-rasul kentut apa segala lantas ketakutan setengah mati dan lari mencawat ekor terus mengkeret dan sembunyi seperti kura-kura saja. Seumpama kita dapat sembunyi dengan baik, tapi kelak kalau ada orang menanyakan kejadian ini, lalu muka kita harus ditaruh ke mana? Maka ada lebih baik kita melawannya mati-matian, persetan, toh jiwa kita belum pasti akan melayang!”

“Benar juga,” ujar Oh-toako tadi. “Orang yang makan nasi Kangouw sebagai kita ini memangnya tidak perlu pikir tentang jiwa melayang segala, pekerjaan kita senantiasa bergulat dengan elmaut, apa yang mesti kita takuti. Namun menghadapi Siang-sian dan Hwat-ok Sucia kita tidak boleh tidak berpikir dua kali, jangankan kita, sedangkan tokoh-tokoh terkemuka sebagai....”

Sampai di sini, mendadak orang yang bersuara lantang kasar tadi berteriak, “Huh, dasar pengecut, bilakah kau pernah melihat aku Ong-laulak, Si Bulus Berkepala Botak, minta ampun dan takut kepada orang lain? Huh... aduuuh!”

Belum selesai ucapannya, mendadak ia menjerit ngeri. Habis itu keadaan lantas sunyi senyap dan tiada seorang pun yang berani membuka suara lagi.

Sejenak kemudian, tiba-tiba Boh-thian merasa ada air yang menetes di atas tangannya, waktu ia mengendus barang cair itu, terciumlah bau anyirnya darah. Malahan darah itu masih terus menetes dari atas.

Karena tahu orang-orang yang berada di atas geladak kapal itu tepat berada di atas kepalanya, maka Boh-thian tidak berani bergerak sedikit pun agar tidak menjangkitkan sesuatu suara dan terpaksa membiarkan darah menetes terus di atas badannya.

Dalam pada itu terdengar pula si Oh-toako tadi sedang berteriak dengan bengis, “Apa kau menyalahkan aku karena Ong-laulak telah kubunuh?”

“Ah, tidak, tidak!” demikian sahut seorang dengan suara agak gemetar. “Ucapan Ong-laulak tadi memang... memang terlalu kasar sehingga tidaklah heran membikin marah kepada Oh-toako. Cuma... cuma saja Ong-laulak selamanya juga... juga sangat setia dan telah banyak berjasa bagi Tiat-cha-hwe kita.”

“Jadi kau tidak setuju atas tindakanku barusan ini?” tanya si Oh-toako.

“Bu... bukan....” belum sempat orang itu bicara pula, kembali terdengarlah jeritan ngeri, terang ia sudah dibunuh pula oleh orang she Oh itu.

Maka air darah kembali menetes lagi ke bawah melalui celah-celah papan kapal, untung sekali kini air darah itu tidak mengotori badan Ciok Boh-thian, tapi menetes semua di lantai.

Berturut-turut Oh-toako itu telah membunuh dua orang, keruan yang lain-lain tidak berani banyak cincong lagi. Maka Oh-toako itu telah berkata, “Bukanlah aku sengaja berbuat ganas dan kejam dan tidak mengingat hubungan baik sesama saudara, tapi soalnya menyangkut jiwa beribu-ribu anggota kita, bila tempat kita ini sampai diketahui musuh, maka nasib kita pasti akan serupa dengan kawan-kawan dari Hui-hi-pang ini. Ong-laulak menganggap dirinya jagoan dan berteriak-teriak, padahal jiwanya tidaklah menjadi soal, masakah jiwa Congthocu dan kita semua harus ikut melayang bersama dia?”

Terdengar semua orang mengiakan saja dan tidak berani bicara pula.

Maka Oh-toako itu berkata lagi, “Nah, siapa-siapa yang tidak ingin mampus supaya berdiam saja di dalam kapal ini. Siau Song, pergilah kau memegang kemudi, pakailah sepotong kain layar untuk menutupi tubuhmu agar jangan sampai dilihat orang.”

Begitulah Boh-thian yang mendekam di bawah kapal itu lantas mendengar mendeburnya air, kapal itu terasa bergerak. Mungkin orang-orang di atas kapal itu semuanya sedang merenungkan nasibnya sendiri-sendiri, maka tiada seorang pun yang berbicara. Dengan demikian Boh-thian sendiri lebih-lebih tidak berani bergerak dan menerbitkan sesuatu suara. Teringat olehnya tipu-tipu silat yang dimainkannya di tepi pantai kemarin itu, dengan pedang di tangan kiri dan golok di tangan kanan, ditambah lagi jurus-jurus pukulan dan tendangan ajaran Ting Put-si. serta Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong, semua kepandaian itu sejurus demi sejurus terlintas pula dalam ingatannya, sehingga tanpa merasa seluruh tenaga dalam yang terpupuk di dalam tubuhnya, telah dicurahkan semua ke dalam jurus-jurus ilmu silat ciptaannya itu. Terkadang kalau ia merasa salah satu jurus di antaranya masih kurang sempurna, segera ia memikirkannya pula dari semula.

Begitulah ia tenggelam di dalam lamunannya untuk menyelami ilmu silatnya. Semula ia masih sempat mengikuti juga gerak-gerik orang-orang Tiat-cha-hwe yang berada di atas kapal itu, tapi sampai akhirnya, perhatiannya telah tercurah seluruhnya kepada ilmu silat melulu. Sesudah mengalami penyelaman secara mendalam ini, baru sekarang lwekang dan gwakang yang telah dihimpunnya selama bertahun-tahun ini dapatlah dilebur dan dipahami dengan baik. Maka si “Kau-cap-ceng” yang tadinya cuma seorang pemuda gunung yang ketolol-tololan telah tumbuh juga menjadi seorang jago silat kelas wahid hasil ciptaannya sendiri.

Beberapa jam kemudian, teringat pula olehnya pertandingan ilmu pedang antara Ciok Jing suami-istri melawan, Pek Ban-kiam, serta macam-macam ilmu silat ketika terjadi pertarungan antara Ting Put-sam dan Ting Put-si mengeroyok Pek Ban-kiam di Ci-yan-to tempo hari, di mana dahulu ia merasa susah memahami letak kebagusan ilmu-ilmu silat itu. Tapi sekarang sesudah direnung kembali, ia merasa setiap tipu dan setiap jurus yang dimainkan mereka itu toh semuanya jelas dan gamblang baginya.

Selagi Boh-thian termenung-menung, tiba-tiba terdengar suara gemerencingnya rantai, kiranya kapal itu sudah membuang sauh dan telah berlabuh.

Segera terdengar pula si Oh-toako sedang berkata, “Sesudah masuk rumah, semua orang dilarang keluar lagi. Dengan tenang tunggulah kedatangan Congthocu dan terserah kepada perintah beliau nanti.”

Dengan suara perlahan semua orang telah mengiakan, lalu dengan hati-hati mereka mendarat semua. Hanya dalam sekejap saja semua orang sudah meninggalkan kapal itu, keadaan menjadi sunyi kembali.

Sesudah menunggu agak lama, Boh-thian menduga orang-orang itu tentu sudah masuk rumah semua, maka perlahan-lahan barulah ia berani membuka papan lubang dan melongok ke atas. Segera matanya menjadi silau oleh cahaya yang terang benderang. Kiranya waktu itu sudah siang hari.

Melihat sekelilingnya tiada orang lagi barulah Boh-thian menerobos keluar dari bawah dek. Ia lihat di atas geladak kapal masih penuh dengan mayat-mayat kemarin itu. Segera ia menjemput sebatang golok dan diselipkan pada ikat pinggangnya. Ia menggerayangi pula mayat-mayat itu dan menemukan beberapa renceng uang perak guna sangu. Lalu ia menuju ke buritan kapal, dari situ ia melompat ke daratan. Sambil membungkuk ia terus berlari-lari kecil menyusur tepi sungai.

Kira-kira satu li jauhnya barulah ia sampai di suatu jalanan kecil yang menghubungkan tepi sungai itu. Ia pikir saat itu belum terlepas dari daerah berbahaya, rasanya makin jauh meninggalkan tempat itu akan makin baik, maka ia lantas angkat kaki dan berlari-lari secepatnya. Untunglah perkampungan nelayan itu memang sangat sepi dan terpencil, belasan li di sekitar situ ternyata tiada sebuah rumah pun, selama itu tiada seorang pun yang dijumpai.

Ia tidak tahu bahwa di sekitar perkampungan nelayan itu, sebenarnya ada juga beberapa petani, tapi petani-petani itu diam-diam telah binasa diracun orang-orang Tiat-cha-hwe, ada juga penduduk pindahan baru dari lain tempat, tapi tidak lama kemudian meninggalkan tempat itu.

Orang-orang yang berdekatan dengan perkampungan nelayan Ang-liu-kang (muara pohon Liu merah) itu menganggapnya sebagai tempat maut yang selalu berjangkit penyakit menular. Maka selama beberapa tahun ini tiada seorang pun yang berani mendekatinya, dan dengan demikian Ang-liu-kang dapatlah menjadi sarang Tiat-cha-hwe yang sangat baik dan rahasia.

Setelah berlari beberapa li lagi, jarak dengan kampung nelayan itu sudah semakin jauh. Boh-thian benar-benar sudah sangat lapar. Segera ia memasuki hutan yang berada di sebelah jalan dengan tujuan mencari sesuatu makanan. Eh, benar-benar sangat kebetulan, belum jauh ia berjalan, sekonyong-konyong terdengar suara gemeresak, dari tengah-tengah semak-semak telah menerjang keluar seekor babi hutan yang besar, dengan kedua taringnya yang kelihatan putih tajam, binatang itu terus menyeruduk ke arah Ciok Boh-thian.

Tapi dengan sebat sekali Boh-thian dapat mengegos ke samping, berbareng tangan kanan sudah mencabut golok, dengan jurus “Tiang-cia-ciat-ki” (Si Kakek Menebas Tangkai) dari Kim-oh-to-hoat, secepat kilat ia menebas. “Sret”, tanpa ampun lagi buah kepala babi hutan itu sudah terpenggal.

Babi hutan itu ternyata sangat buas dan tangkas, meski kepalanya sudah terpenggal toh tubuhnya masih menerjang ke depan sampai beberapa meter jauhnya, habis itu barulah roboh.

Sungguh girang Boh-thian tak terkatakan. Ini benar-benar pucuk dicinta ulam tiba, memangnya ia sedang kelaparan dan ingin mencari makanan, tahu-tahu babi hutan itu telah mengantarkan nyawa sendiri untuk menjadi babi panggang baginya.

Segera Boh-thian mencari sepotong batu hitam, ia gunakan punggung golok untuk mengetok batu itu sehingga meletikkan lelatu untuk membuat api unggun.

Ia pilih bagian-bagian yang baik dan potong keempat paha babi hutan itu. Ia mencucinya ke tepi sungai kecil yang tiada jauh dari situ. Ketika kembali goloknya yang dia bakar di dalam api unggun itu pun sudah merah, dengan golok panas itulah ia bersihkan bulu-bulu di atas paha babi hutan. Lalu keempat paha itu dia tusuk dengan sebatang kayu dan terus dipanggang.

Tidak lama kemudian, maka teruarlah bau harum sedap yang merangsang selera.

Tengah Boh-thian sibuk memanggang paha babi hutan, tiba-tiba terdengar di tempat sejauh beberapa puluh meter sana ada orang berkata, “Wah, alangkah sedapnya bau ini, benar-benar membangunkan nafsu makan setiap orang!”

“Agaknya di sebelah sana ada orang sedang memanggang daging, marilah kita coba pergi ke sana dan berunding padanya untuk minta bagian sedikit,” demikian seorang lagi menanggapi.

“Ya, benar! Hayo!” sahut orang yang pertama.

Lalu terdengar suara langkah mereka yang menuju ke tempat Ciok Boh-thian.

Maka tertampaklah seorang di antaranya bertubuh tinggi gemuk, bermuka lebar dan bertelinga besar, memakai jubah warna kuning kehijau-hijauan, wajahnya tersenyum simpul dan ramah tamah. Seorang lagi juga bertubuh sangat tinggi, tapi kurus kering, berbaju panjang warna biru langit, berjenggot kecil sebagai buntut tikus, wajahnya kelihatan guram dan bersungut.

Sesudah dekat, segera si gemuk menyapa dengan tertawa, “Haha, Saudara cilik, bolehkah....”

Karena sudah mendengar percakapan mereka tadi, segera Boh-thian menukas, “Ya, di sini masih banyak kelebihan daging panggang, biarpun sepuluh orang juga takkan habis, sebentar boleh silakan kalian ikut pesta saja.”

“Jika demikian, banyaklah terima kasih,” ujar si gemuk.

Kedua orang itu lantas berduduk di samping api unggun. Mereka melihat pakaian Ciok Boh-thian cukup perlente, tapi kotor dan kusut, bahkan penuh bekas darah. Kedua orang itu saling tukar pandang dengan perasaan heran. Tapi mereka lantas memusatkan perhatian mereka kepada paha babi hutan yang sedang dipanggang itu dan tidak ambil pusing lagi kepada keadaan Ciok Boh-thian itu.

Babi hutan itu ternyata cukup gemuk sehingga sesudah terpanggang minyaknya telah menetes ke dalam api unggun dan menimbulkan bau sedap, walaupun belum dimakan, namun sudah merangsang selera.

Keruan si kurus hampir-hampir mengiler. Dari pinggangnya ia menanggalkan sebuah houlo (buli-buli arak terbuat dari sejenis labu) berwarna biru, ia membuka sumbat buli-buli itu terus menenggak seceguk, lalu mulutnya berkecap-kecap sambil memuji, “Ehmmm, arak bagus!”

Si gemuk juga lantas menanggalkan sebuah houlo warna merah, lebih dulu ia mengocaknya berapa kali, lalu membuka sumbat dan menenggaknya juga satu ceguk, kemudian ia pun berkata, “Ehmmm, arak bagus!”

Selama ikut Cia Yan-khek dahulu, sering juga Ciok Boh-thian melihat dan mencicipi arak. Sekarang terendus bau arak, seketika timbul juga keinginannya ikut minum. Cuma ia menjadi ragu-ragu ketika melihat kedua orang itu masing-masing meminum araknya sendiri-sendiri dan tiada maksud mengundangnya ikut minum, maka ia pun merasa tidak pantas untuk memohon kepada mereka.

Selang tak lama, keempat paha babi panggang itu sudah cukup matang, segera Boh-thian berkata, “Sudah matang sekarang, silakan makan!”

Tanpa disuruh untuk kedua kalinya, segera si gemuk dan si kurus menyerbu babi panggang itu, masing-masing menyambar sepotong paha gemuk besar itu terus akan digerogoti dengan lahapnya kalau Ciok Boh-thian tidak keburu menyetop mereka, “Meski kedua belah paha itu gemuk dan besar, tapi itu adalah paha bagian belakang, rasanya tidak seenak paha bagian depan.”

Apa yang dikatakan Boh-thian itu memang benar. Kalau memilih paha (kaki) babi, maka kaki bagian depan adalah lebih lezat daripada kaki belakang.

Maka si gemuk telah menjawab dengan tertawa, “Hatimu ternyata sangat baik!”

Segera ia menukarkan sebelah kaki depan yang lebih kecil dan lebih lezat rasanya, lalu digerogoti dengan lahapnya.

Si kurus sudah telanjur menggerogoti paha panggang bagian depan itu, ia hanya ragu-ragu sejenak, tapi tidak jadi menukarkannya.

Begitulah sesudah kedua orang itu memakan sebagian paha panggang itu, lalu masing-masing minum seceguk lagi araknya masing-masing sambil memuji, “Ehmmm, arak bagus!”

Kemudian buli-buli arak disumbat kembali dan digantungkan lagi ke pinggang masing-masing.

Diam-diam Boh-thian membatin, “Tampaknya kedua orang ini toh bukan orang miskin, mengapa mereka begini kikir, hanya minum dua ceguk saja lantas tidak berani minum lebih banyak lagi, memangnya apakah arak mereka sedemikian bagus dan mahalnya?”

Sejenak kemudian, dengan memberanikan diri Boh-thian coba memohon kepada si gemuk, “Toaya (tuan), apakah boleh aku minta arakmu barang beberapa cegukan saja?”

Namun si gemuk telah menggoyang kepala dan menjawab, “Tidak, tidak boleh! Ini bukan arak, tidak boleh diminum orang lain. Kami telah makan babi panggangmu, sebentar kami tentu akan memberi balas jasa yang pantas.”

“Hehe, kau berdusta,” ujar Boh-thian dengan tertawa. “Baru saja kau sendiri mengatakan ‘arak bagus’, pula aku pun mencium harumnya arak.”

Lalu ia berpaling kepada si kurus dan memohon, “Biarlah arak kepunyaan Toaya ini saja, bolehkah aku meminumnya beberapa ceguk?”

Namun si kurus telah menjawabnya dengan mata mendelik, “Ini adalah racun, jika kau berani boleh silakan minum.”

Habis berkata ia lantas menanggalkan pula buli-bulinya dan ditaruh di atas tanah.

“Jika racun, mengapa kau sendiri tidak keracunan?” ujar Boh-thian dengan tertawa sambil mengambil buli-buli arak itu, ketika ia membuka sumbatnya, segera terendus bau arak yang menusuk hidung.

Melihat Boh-thian benar-benar akan minum arak kawannya, air muka si gemuk agak berubah, cepat ia berkata, “Memangnya begitu, siapa yang berdusta padamu? Hayo, lekas taruh kembali!”

Berbareng tangannya lantas menjulur dengan maksud merebut kembali houlo yang telah dipegang Boh-thian itu.

Tak terduga, baru saja jarinya menyentuh tangan Ciok Boh-thian, seketika si gemuk merasa tergetar oleh suatu tenaga yang mahakuat sehingga jarinya terpental balik.

Si gemuk bersuara kaget dan berkata, “Eh, beginilah kiranya! Jadi kami sendiri yang salah mata, ya, silakan minum arak itu!”

Tanpa sungkan-sungkan lagi Boh-thian lantas angkat houlo itu dan meneguknya dua kali, ia pikir si kurus sangat kikir dan sayang sekali kepada araknya, maka ia tidak berani minum terlalu banyak, sesudah ia tutup kembali buli-buli itu, lalu mengucapkan terima kasih.

Tiba-tiba ia merasa suatu arus hawa dingin menaik dari perutnya. Hawa dingin itu terus mengalir menaik sehingga dalam sekejap saja sekujur badannya seakan-akan terbeku kaku. Cepat Boh-thian mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan, dengan demikian arus dingin itu lambat laun dapat dipunahkan. Dan sesudah hilang rasa dingin itu, seketika seluruh anggota badannya terasa sangat segar sekali, bukan saja tidak merasa dingin, sebaliknya malah merasa hangat-hangat dan enak sekali.

“Ehmmm, arak bagus!” demikian tanpa terasa Boh-thian juga memuji dan tanpa kuasa ia sambar houlo arak tadi, ia cabut sumpalnya dan kembali meneguk dua kali.

Ketika tenaga dalamnya dapat memunahkan pula hawa dingin yang timbul dari arak itu, maka ia pun mulai merasakan pengaruhnya alkohol itu. Katanya dengan gegetun, “Ah, benar-benar arak bagus yang belum pernah kuminum. Sayang arak ini terlalulah berharga, kalau tidak tentu akan kuhabiskan seluruhnya.”

Air muka si gemuk dan si kurus tampak terheran-heran. Kata si gemuk, “Jika adik cilik benar-benar tahan minum, maka bolehlah silakan minum habis seisi houlo itu.”

“Apa benar? Kukira Toaya ini takkan mengizinkan,” ujar Boh-thian dengan girang.

“Isi houlo merah tuan gemuk ini rasanya terlebih enak lagi, apakah kau mau mencobanya?” tiba-tiba si kurus menanggapi dengan nada dingin.

Boh-thian tidak bersuara lagi, ia hanya pandang si gemuk dengan maksud memohon.

Tiba-tiba si gemuk menghela napas, katanya, “Semuda ini telah memiliki lwekang sedemikian tinggi, tapi jiwa akan melayang secara begini, sungguh sayang!”

Sambil berkata ia terus menanggalkan houlo merah dari pinggangnya dan ditaruh di atas tanah.

Diam-diam Boh-thian berpikir, “Kedua orang ini rupanya suka berkelakar semua. Bilamana arak mereka ini benar-benar beracun, mengapa mereka sendiri telah meminumnya juga?”

Segera ia pun angkat houlo merah itu, ketika sumpalnya dicabut, bau arak lantas menusuk hidung pula. Tanpa pikir lagi ia lantas meneguk dua kali. Sekali ini rasanya tidak dingin seperti arak si kurus, sebaliknya rasanya sangat panas sehingga perut seperti terbakar. Boh-thian sampai menjerit kaget dan meloncat bangun, cepat ia mengerahkan tenaga dalam sehingga rasa panas sebagai api itu dapatlah dipunahkan. Teriaknya, “Wah, lihai benar arak ini!”

Dan aneh juga, begitu rasa panas di dalam perut sudah lenyap, seketika sekujur badannya terasa lebih segar daripada tadi. “Begitu hebat tenaga dalammu, kenapa sih kalau kau habiskan sekalian isi kedua houlo itu?” ujar si gemuk.

“Ah, aku mana berani minum sendirian,” sahut Boh-thian dengan tertawa. “Hari ini kita bertiga dapat berkenalan dan bersahabat, alangkah senangnya jika kita sambil makan daging panggang sambil masing-masing minum seceguk. Nah, silakan dahulu, Toaya.”

Habis berkata ia terus mengangsurkan houlo merah itu kepada si gemuk.

“Haha, jika adik cilik ingin mengukur kekuatan padaku, terpaksa aku mengiringi sebisanya,” sahut si gemuk dengan tertawa. Ia terima houlo merah dan menenggaknya seceguk, lalu diangsurkan kembali kepada Boh-thian sambil berkata, “Silakan minum lagi!”

Tanpa sungkan-sungkan Boh-thian minum seteguk pula, lalu mengangsurkan houlo itu kepada si kurus sambil berkata, “Silakan Toaya ini juga minum!”

Air muka si kurus tampak berubah, katanya, “Aku akan minum kepunyaanku sendiri.”

Segera ia ambil houlo biru dan minum seteguk, kemudian diberikan pula kepada Ciok Boh-thian.

Boh-thian telah merasakan arak di dalam houlo biru itu, ia pikir kalau arak panas dan dingin itu diminum seteguk demi seteguk secara bergiliran, rasa panas-dingin yang bercampur aduk itu tentulah akan sangat enak sekali. Maka tanpa pikir ia lantas terima houlo biru si kurus dan meminumnya seteguk besar.

Ketika dilihatnya si gemuk dan si kurus memandangnya dengan mata melotot, segera Boh-thian paham apa artinya, dengan menyesal ia bilang, “O, maaf, terlalu banyak tegukan barusan ini.”

Tapi si kurus telah berkata dengan nada dingin, “Jika kau ingin gagah-gagahan, makin banyak kau meneguk makin baik.”

“Kalau kehabisan dan kita belum puas, biarlah sebentar kita beli lagi di kota sana, aku membawa uang, boleh kita membeli satu guci besar dan kita dapat minum sepuas-puasnya. Cuma arak sebagus ini mungkin susah didapatkan,” kata Boh-thian dengan tertawa. Lalu ia minum seteguk lagi isi houlo merah, kemudian diangsurkan kembali kepada si gemuk.

Si gemuk tampak duduk bersila dan diam-diam mengerahkan lwekangnya, dengan demikian barulah dia minum seteguk pula. Ia semakin heran dan terperanjat demi menyaksikan Boh-thian minum seteguk demi seteguk tanpa halangan apa-apa.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar