Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 1-5

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 1-5 Kira2 dua belas li ditimur kota Khay-hong, ibukota propinsi Ho-lam terdapat sebuah kota ketjil bernama Hau-kam-tjip, suatu kota ketjil jang ramai dan makmur dalam lalu-lintas perdagangan.
 
Jilid 1

Kira2 dua belas li ditimur kota Khay-hong, ibukota propinsi Ho-lam terdapat sebuah kota ketjil bernama Hau-kam-tjip, suatu kota ketjil jang ramai dan makmur dalam lalu-lintas perdagangan.

Tatkala itu sudah mendjelang maghrib, para pedagang dan bakul2, tukang sajur, tukang daging dan lain2 sedang sibuk bebenah pikulan dan kerandjang mereka untuk pulang. Pada saat itulah sekonjong2 dari arah tenggara sajup2 terdengar suara derapan kaki kuda jang ramai.

Hau-kam-tjip memang suatu kota jang menempati djalan raja jang penting, kaum pedagang jang berlalu-lalang setiap hari sangat banjak, maka siapapun tiada jang ambil pusing djika ada orang berlalu dengan menunggang kuda.

Tapi dari arah suara derap kaki kuda jang makin mendekat itu dapat terdengar bahwa djumlah penunggang kuda itu ternjata adalah suatu rombongan besar, sedikitnja ada ratusan.

Baru sekarang penduduk Hau-kam-tjip mulai terkedjut dan heran. Dari suara derap kuda jang gemuruh itu njata sekali penunggang2nja sedang membalapkan binatang tunggangan mereka dengan tjepat.

“Besar kemungkinan adalah pasukan tentara pemerintah!” demikian orang ramai mempertjakapkan.

“Ja, lekas kita menjingkir,” ada jang menanggapi. “Mendingan kalau tjuma barang dagangan kita jang keterdjang dan rusak, lebih tjelaka kalau kita jang ter-indjak2 kuda, kan bisa runjam!”

Mendadak diantara suara gemuruh derap kuda itu terseling pula suara2 suitan, bahkan suara2 suitan itu sahut-menjahut dari berbagai djurusan. Ternjata segenap pendjuru Hau-kam-tjip itu sudah terkepung dengan rapat.

Kembali semua orang terperandjat. Bagi orang2 jang berpengalaman lebih luas lantas timbul kesangsian: “Wah, djangan2 adalah kaum bandit?”

Seorang pegawai toko kelontong bermerek “Ho An” ditepi djalan itu telah berkata: “Wah, tjelaka! Mungkin saudara2 tua kita itu jang datang!”

Ong-tjiangkui, si djuragan toko memangnja sedang gemetar ketakutan, sekarang mendengar pegawainja bermulut tjerewet, kontak ia mengangkat sebelah tangannja dengan gaja hendak menabok, sambil membentak: “Kurang adjar! Bitjara sadja tidak tahu aturan. Kalau benar tuan2 besar dari golongan itu jang datang, hm, tentu… tentu kau bisa mampus. Padahal djarang terdengar ada orang melakukan pekerdjaan begitu disiang hari bolong? Wah, ini… ini memang agak aneh….”

Belum selesai utjapannja ia mendjadi melongo dan tidak sanggup meneruskan lagi, sebab saat itu dari djurusan timur ada empat-lima penunggang kuda sedang menerdjang tiba. Penunggang2 kuda itu seluruhnja berbadju hitam mulus, kepala memakai tjaping dan semuanja bersendjata golok mengkilap.

“Wahai, dengarkan segenap penduduk! Hendaklah setiap orang tetap tinggal ditempatnja masing2, kalau berani sembarangan bergerak, djangan menjesalkan sendjata kami jang tak bermata ini!” demikian penunggang2 kuda itu ber-teriak2. Sambil mem-bentak2 terus melarikan kuda mereka kedjurusan barat.

Tapal kuda mereka jang beradu dengan djalan jang berlapiskan balok2 batu menimbulkan suara “ketuprak-ketuprak” telah menggetarkan perasaan setiap orang.

Belum lenjap suara derap kuda2 itu, kembali dari djurusan barat menerdjang datang tudjuh-delapan penunggang kuda jang lain, semuanja djuga berbadju hitam dan memakai tjaping jang setengah menutupi muka mereka sehingga tidak djelas terlihat.

Orang2 inipun mem-bentak2 agar setiap orang tetap tinggal ditempatnja masing2 kalau tidak ingin berkenalan dengan sendjata mereka jang tadjam.

Dasar tjerewet dan usilan, kembali sipegawai toko kelontong tadi mengotjeh, “Ha, entah bagaimana rasanja golok mereka, kan lebih enak makan….”

Belum habis utjapannja, se-konjong2 salah seorang penunggang kuda itu mengajun tjambuknja, “tarrr”, udjung tjambuk menjambar masuk kedalam toko dan dengan tjepat melilit dileher sipegawai, ketika orang itu menarik tjambuknja jang pandjang itu, “bluk”, kontan sipegawai toko kelontong jang sialan itu terbanting ke-tengah2 djalan raja.

Waktu penunggang kuda itu mentjongklangkan kudanja, seketika sipegawai ikut terseret kedepan. Lebih tjelaka lagi dari belakang telah menjusul tiba penunggang2 kuda jang lain. Maka terdengarlah suara djerit ngeri sipegawai toko tadi, seketika melajanglah djiwanja ter-indjak2 oleh kaki kuda.

Melihat betapa djahat dan kedjamnja kawanan berandal itu, tentu sadja penduduk2 jang lain tidak berani berkutik. Jang tadinja bermaksud tjepat2 menutup pintu djuga urung dan serasa terpaku ditempatnja masing2 dengan badan gemetar.

Terpisah kira2 belasan rumah dari toko kelontong bermerek “Ho An” itu adalah sebuah kedai pendjual penganan sebangsa Yutjiakue, untir2, siopia dan lain2. Sebuah wadjan besar dengan minjak jang mendidih mengeluarkan suara gemertjik. Diatas saringan minjak dari ajaman kawat diatas wadjan itu terdapat beberapa londjor Yutjiakue jang masih panas.

Pendjual penganan itu adalah seorang kakek jang bungkuk. Kalau orang lain merasa ber-debar2 dan ketakutan oleh apa jang terdjadi saat itu, adalah sikakek ternjata tidak ambil pusing, dianggapnja seperti tidak melihat sadja.

Sikakek sedang sibuk mengolah barang dagangannja, sedang membuat siopia. Mula2 ia menaruh sedikit radjangan berambang diatas adonan tepungnja, lalu adonan itu dikepalnja dan dipentjet dengan kedua telapak tangan sehingga berbentuk bundar gepeng, kemudian ia mentjomot sedikit widjen dari sebuah mangkuk jang terletak diudjung papan adonam tepung dan ditaburkan diatas kepingan siopia jang belum masak itu. Achirnja ditaruh diatas alat panggang terus dimasukkan kedalam anglo garangan.

Saat itu suara2 suitan tadi sudah mereda, suara derap kuda djuga tak terdengar lagi. Suasana kota Hau-kam-tjip jang berpenduduk hampir ribuan djiwa itu berubah mendjadi sunji senjap laksana kuburan. Ditengah suasana prihatin itu jang masih terdengar hanja suara “prak-prak-prak”, suara derap sepatu kulit jang memukul lantai sedang mendekat dari djurusan barat menjusul sepandjang djalan raja.

Dari suara tindakan itu, agaknja orang itu berdjalan dengan sangat pelahan, suara derap sepatu kulitnja jang berat itu dirasakan se-akan2 menggetarkan perasaan setiap penduduk kota.

Suara langkan orang itu makin lama makin mendekat. Tatkala itu sang surja baru sadja akan terbenam diufuk barat, suatu bajangan orang jang djangkung tampak tersorot ditengah djalan besar dan makin mendekat mengikuti suara tindakan kaki.

Setiap orang didjalanan Hau-kam-tjip itu seolah-olah sudah terkesima ketakutan. Hanja sikakek pendjual penganan tadi masih tetap sibuk membuat siopia.

Anehnja, suara derap sepatu kulit setiba didepan tempat pendjual siopia itu mendadak lantas berhenti. Orang itu mengamat-amati sikakek pendjual siopia dari atas kebawah dan dari udjung kaki sampai keudjung rambut. Habis itu se-konjong2 ia tertawa dingin ter-kekeh2.

Pelahan2 si kakek pendjual siopia mengangkat kepalanja, dilihatnja orang itu berbadan sangat tinggi, usianja antara 45-46 tahun, mukanja buruk, kulit mukanja seperti kulit djeruk jang kasar dan penuh kukul, kedua matanja ketjil, tapi bersinar.

“Apa mau beli siopia, tuan? Satu pitjis satu bidji,” kata si kakek. Lalu ia menggunakan tjapit besi dan mengeluarkan sebuah siopia dari dalam anglo jang masih panas dan ditaruh diatas medja.

Kembali sidjangkung bermuka djelek itu tertawa dingin, tiba2 ia mendjulurkan tangannja dan berseru: “Mana? Berikan!”

Sikakek mengiakan, lalu siopia jang masih panas itu diambilnja dna ditaruh kedalam tangan sidjangkung. “Kurang adjar! Sampai saat ini kau masih tjoba mempermainkan tuan-besarmu!” bentak sidjangkung dengan alis menegak gusar dan mendadak siopia itu terus disambitkan kemuka sikakek.

Dari sambaran angin jang terbawa oleh siopia itu djelas sekali tenaga sambitan sidjangkung ternjata sangat kuat, kalau muka sampai terkena sambaran itu pasti akan terluka parah.

Tapi sikakek dengan sedikit miringkan kepalanja, dengan tepat siopia itu telah menjambar lewat disisi mukanja. Plok, siopia itu djatuh ditepi selokan dipinggir djalan.

Dalam pada itu setelah menjambitkan siopia, menjusul sidjangkung lantas melolos keluar sepasang sendjata Siang-kau (gaetan), udjung sendjata jang melengkung tadjam itu mengeluarkan sinar gemerlapan.

“Dalam keadaan demikian masih tidak kau serahkan, memangnja apa kau kira djiwamu dapat diselamatkan? Orang she Go, sebenarnja kau bisa melihat gelagat atau tidak?” demikian bentak sidjangkung pula.

Tapi dengan setengan memitjingkan matanja, sikakek pendjual siopia mendjawab: “Sudah lama kudengar An-tjetju dari Kim-to-tje suka merampas jang kaja untuk menolong jang miskin, setiap orang Kangouw jang menjebut nama An-tjetju tentu akan mengatjungkan djempol mereka dan berkata: “Ja, seorang begal budiman!” – Tapi entah mengapa hari ini Siauliaulo (anak buah kaum begal, kerotjo) jang dia kirim ke Hau-kam-tjip ini telah sudi mengintjar kepada seorang kakek miskin pendjual siopia?” – Tjara bitjaranja seperti pelahan dan lemah, tapi apa jang dikatakannja itu terdengan tjukup djelas.

Sebaliknja sidjangkung tambah gusar ketika mendengar dirinja dianggap sebagai “kaum kerotjo” sadja. Segera ia membentak pula: “Go To-it, kau tidak perlu berlagak-pilon. Katakanlah terus terang sadja, apa kau benar2 tidak mau menjerahkan?”

Sikakek terkesiap djuga, karena orang dapat mengatakan dengan djitu nama aselinja. Diam2 ia harus mengakui tadjamnja telinga Kim-to-tje. Namun dia masih tetap berlagak seperti tiada terdjadi apa-apa, dengan sikap ke-malas2an ia mendjawab: “Saudara membawa Siang-kau, tentu adalah Tiat-kau-tju Thio… Thio Tay-goan dari Kim-to-tje!”

Padahal sidjangkung bernama Li Tay-goan, orang memberi djulukan “Sin-kau” (Si Kait Sakti) padanja. Tapi sekarang Go To-it, jaitu sikakek pendjual siopia, sengadja mengganti dia punja she, bahkan Si Kait Sakti sengadja disebut sebagai Tiat-kau-tju atau Si Kait Besi jang penuh mengandung maksud edjekan. Keruan ia tidak tahan lagi. Mendadak kaitan kiri bergerak, terus sadja menggantju kepundak Go To-it.

Tjepat Go To-it mengegos kekanan sehingga kaitan Li Tay-goan mengenai tempat kosong. Namun serangan Li Tay-goan itu ternjata masih membawa serangan susulan jang sangat liehay. Ketika kaitan diseret kesamping terus ditarik, kembali punggung Go To-it hendak digait.

Se-konjong2 Go To-it mendakkan tubuh sehingga kaitan itu menjambar lewat diatas kepalanja, menjusul kakinja lantas menendang, tapi bukan Li Tay-goan jang diarah, sebaliknja menendang anglo sehingga bara arang jang masih menjala itu berhamburan ketubuh Li Tay-goan, berbareng sewadjan penuh minjak mendidih jang sedang dibuat menggoreng yutjiakue tadi djuga menjiram keatas kepalanja.

Keruan Li Tay-goan terkedjut, buru2 ia melompat mundur hingga taburan bara arang dapat terhindar, tapi susah menghindarkan muntjratnja minjak mendidih. Ia mengaduh kesakitan karena kedua kakinja telah tersiram minjak mendidih itu.

Kesempatan itu telah digunakan oleh Go To-it untuk melontjat keatas, sebagai burung ia mengapung keatas wuwungan rumah didepan sana dengan tangan tetap memegang djepit besi alat panggang siopia tadi.

Dan baru sadja Go To-it sempat berdiri diatas wuwungan, mendadak sinar tadjam berkilau, kepalanja sudah terantjam oleh batjokan golok. Tjepat Go To-it menangkis dengan djapit besi. “Trang!” lelatu api meletik. Ternjata djepit besi jang hangus tak menarik itu sebenarnja buatan dari badja murni sehingga golok musuh tertangkis kembali.

Pada saat jang hampir sama dari sebelah kiri sebatang tumbak pendek dan dari sisi kanan sepasang golok berbareng djuga menjerang tiba.

“Hm, tidak tahu malu, main kerubut!” djengek Go To-it. Waktu tubuhnja sudah menegak, tahu2 kedua tangannja masing2 sudah memegang sebelah tangkai djapit besi, jang kiri dibuat menangkis tumbak dan jang kanan dipakai menahan sepasang golok musuh. Njata dia telah pisahkan djapit besi itu sehingga sekarang berbentuk sepasang Boan-koan-pit.

Ketiga orang pengerubut itupun berpakaian hitam mulus, mereka mendjadi kaget ketika mendadak melihat tubuh Go To-it menegak, seorang kakek jang bungkuk tahu2 sekarang telah berubah mendjadi seorang jang berperawakan tegap kuat.

Dengan memutar sepasang Boan-koan-pit itu selalu Go To-it mengintjar Hiat-to lawannja, walaupun satu dikerojok tida, tapi ia masih tetap diatas angin.

“Kena!” mendadak Go To-it menggertak. Menjusul terdengar lawannja jang memakai tumbak telah mendjerit, kaki kiri terkena tusukan Boan-koan-pit dan segera terperosot kebawah rumah.

Dalam pada itu diatas wuwungan rumah sebelah sana tampak berdiri seorang tua kurus ketjil, dengan kedua tangan bertolak pinggang, orang tua itu sedang mengawasi pertarungan ketiga orang.

Ditengah berkelebatnja sinar berkilau, “trang!”, sendjata sipemakai golok telah tersampuk djatuh oleh Boan-koan-pit jang dihantamkan Go To-it, menjusul dada orang itupun terdepak sehingga terdjungkal kebawah rumah.

Sekarang lawan Go To-it tertinggal sipemakai sepasang golok sadja jang mendjadi djeri karena kedua kawannja ber-turut2 telah dirobohkan Go To-it. Tapi ia masih tidak mau mengaku kalah dan mengundurkan diri, ia putar kedua batang goloknja sebagai kitiran tjepatnja, ia melindungi tempat2 berbahaja diseluruh badannja, ia hanja mendjaga diri dan tidak menjerang.

Maka sikakek kurus ketjil jang sedjak tadi hanja menonton sadja sekarang lantas mendekati mereka, makin lama makin mendekat. Saat itu sendjata Go To-it dan lawannja sedang diputar se-kentjang2nja, asal salah seorang tersambar sendjata itu tentu akan binasa atau sedikitnja terluka parah. Tapi sikakek kurus ketjil itu djusteru anggap sepi sadja akan hal itu, ia masih terus melangkah kedepan dan makin mendekati kedua orang jang sedang mengadu djiwa itu.

“Awas, Susiok!” teriak si pemakai sepasang golok. Saat itu dia sedang membabat dengan sendjatanja dan karena tidak sempat ditahan lagi, maka goloknja telah menabas kepundak sikakek.

Namun sikakek kurus ketjil sama sekali tidak berkelit, tangan kanannja mendadak terangkat, dengan kedua djari tangan ia tahan keatas batang golok. Begitu kuat daja tekanan itu sehingga orang itu tidak sanggup memegang sendjatanja lagi, tahu2 goloknja terlepas dan terbang ketengah djalan raja dibawah sana.

Tentu sadja orang itu mendjadi gugup karena sebelah goloknja terlepas. Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Go To-it, sebelah Boan-koan-pitnja kontan mendjudju kedepan untuk menutuk perut lawannja.

Tak disangka sikakek kurus ketjil mendadak mendjulurkan sebelah tangannja lagi keatas pundak sipemakai golok, sekali tarik setjepat kilat orang itu telah ditarik mundur kebelakangnja. Berbareng djari kanannja lantas mentjolek mata kiri Go To-it.

Serangan balasan ini tjepatnja tak terkatakan. Padahal Go To-it djelas melihat perut sipemakai golok tadi pasti akan tertutuk oleh Boan-koan-pitnja. Siapa duga mendadak lawan telah membarengi dengan serangan jang kedji itu, untuk menjelamatkan bidji matanja sendiri terpaksa ia menarik kembali sendjatanja untuk memukul tangan sikakek.

Tapi hanja sedikit serongkan djarinja sikakek sudah mengelakkan hantaman sendjata lawan, malahan djarinja lantas berganti sasaran dan mengarah tenggorokan Go To-it.

Tjepat To-it melompat mundur. Tak terduga sikakek djuga lantas mendesak madju dan kembali djarinja menutuk kembali keperutnja.

Sebagai pemain Boan-koan-pit, dengan sendirinja Go To-it adalah ahli Tiam-hiat, ahli menutuk djalan darah. Ia lihat tjara menutuk lawan itu tidak diarahkan kepada bagian Hiat-to tertentu, tapi asal kena sadja. Walaupun demikian Go To-it djuga tidak berani membiarkan tubuhnja tertutuk. Mendadak Boan-koan-pit sebelah kanan memutar balik terus mengepruk keatas kepala sikakek.

Tak terduga sikakek malah menerdjang madju sehingga hampir2 menubruk kedalam pelukan Go To-it. Dan karena terdjangan itu dengan sendirinja serangan Go To-it itu sudah terhindar, bahkan kedua tangannja mendjulur sekaligus untuk mentjakar dada Go To-it.

Perawakan Go To-it tinggi besar, sebaliknja tinggi sikakek hanja sebatas lehernja. Namun ilmu silat sikakek ternjata sangat ganas, biarpun dengan bertangan kosong ia terus menubruk dan mendesak madju. Ketika mendadak Go To-it merasa musuh sudah berada didepan dadanja, dalam kagetnja tjepat ia melompat mundur, namun tidak urung badjunja sudah tertjakar, “bret!”, badjunja robek sepotong.

Seketika Go To-it merasa perutnja silir2 dingin, dalam seribu gugupnja ia tidak sempat memeriksa apakah tubuhnja sudah terluka atau tidak, tapi segera ia putar balik sepasang Boan-koan-pit terus mengetok ke “Thay-yang-hiat”, jaitu kedua pelipis si kakek.

Sungguh aneh, kembali sikakek tidak berkelit, djuga tidak menangkis, tapi lagi2 orangnja menerdjang kedepan dan dengan telak kedua tangannja menghantam didada Go To-it. Maka terdengarlah suara “krakkk!”, entah berapa ladjur tulang iga telah dipatahkan, kontak Go To-it terguling kebawah rumah.

Dibawah sana masih menggeletak Li Tay-goan jang kedua kakinja melepuh tersiram minjak mendidih tadi, memangnja dia sudah murka, soalnja kedua kakinja terluka parah dan tidak leluasa untuk melompat keatas wuwungan rumah buat melabrak musuh. Pula ia kenal watak Tjiu Bok, jaitu nama sikakek kurus ketjil, jang tinggi hati dan angkuh, sekali dia sudah turun tangan, maka dia tidak suka kalau orang lain ikut membantunja. Sebab itulah Li Tay-goan hanja mendongak keatas untuk mengikuti pertarungan kedua orang.

Waktu Go To-it terdjungkal kebawah, tanpa ajal lagi Li Tay-goan lantas melompat madju, dengan kalap kedua sendjata kaitnja lantas menikam ke perut Go To-it. Saking senangnja karena rasa dongkolnja terlampias, kembali ia mendongak dan tertawa pandjang.

“Djangan dibunuh!” demikian mestinja Tjiu Bok telah mentjegahnja, tapi toh agak terlambat, kedua kaitan besi Li Tay-goan sudah bersarang didalam perut Go To-it dan sudah tentu djiwanja melajang.

Tapi se-konjong2 bajangan orang berkelebat, menjusul terdengar Li Tay-goan mendjerit ngeri, ia ter-hujung2 mundur beberapa tindak, tahu2 bagian kedua tetek didadanja sudah tertantjap sepasang Boan-koan-pit jang menembus sampai punggungnja, darah mengutjur keluar sebagai mata air dari lubang keempat luka itu. Dan sesudah sempojongan beberapa kali, achirnja Li Tay-goan roboh terkulai.

Kiranja Go To-it tidak rela mati konjol begitu sadja, tapi sebelum adjalnja ia masih balas menjerang sekuatnja. Dan karena tidak ter-duga2, tanpa ampun lagi dada Li Tay-goan telah tertusuk tembus oleh sepasang Boan-koan-pit.

Tjiu Bok, sikakek kurus ketjil itu, sama sekali tak ambil pusing akan mati-hidupnja Li Tay-goan. Sebaliknja dengan air muka menghina ia mendekati Go To-it, ia djambret tubuh orang she Go itu, tapi diketahuinja napasnja djuga sudah berhenti.

Dengan mengerut kening Tjiu Bok membanting tubuh Go To-it ketanah sambil membentak: “Tjopot pakaiannja dan geledah!”

Beberapa anak buahnja mengiakan dan segera mulai melepaskan badju Go To-it. Maka tertampaklah dibagian punggung jang tertutup badju itu terdapat sebuah bantalan. Kiranja bungkuk Go To-it itu adalah buatan belaka jang digandjal dengan bantalan itu.

Segera dua lelaki berbadju hitam dengan tjepat membongkar bantalan itu. Ternjata didalam bantalan terdapat bungkusan pula dan tiap2 lapis dibungkus dengan kain minjak. Setiap kali bungkusan itu dilepaskan, setiap kali pula air muka Tjiu Bok bertambah girang, diam2 ia bersorak didalam hati: “Ini dia! Disini! Ini dia!”

Sesudah belasan lapisan kain minjak itu dibuka, bungkusan itu makin lama makin ketjil dan achirnja hanja tinggal satu potong jang tjuma belasan senti persegi.

Tjiu Bok lantas sambar bungkusan ketjil itu dari tangan anak buahnja sam bil berkata: “Sudahlah, hanja tipu belaka, tidak perlu dibuka lagi! Lekas geledah sadja kedalam rumah, periksalah jang teliti!”

Serentak belasan laki2 berbadju hitam mengiakan dan beramai-ramai masuk kedalam rumah.

Kedai siopia itu tidak lebih hanja terdiri dari dua kamar sadja. Sekaligus dimasuki belasan orang, keadaan mendjadi penuh sesak. Maka terdengarlah suara gemerentjang dan gemertak jang ramai, suara terlempar dan diobrak-abriknja mangkok, piring, medja, kursi, dan alat2 perabot lainnja.

Sedang Tjiu Bok masih terus berseru: “Periksalah jang teliti, setiap tempat harus digeledah, djangan sampai terlalui!”

Begitulah sampai lama sekali belasan lelaki itu menggeledah, achirnja haripun sudah gelap, segera mereka menjalakan obor dan masih terus menggeledah, sampai2 dinding kedai siopia itu, bahkan dapurnja djuga dibongkar. “Brang!”, mendadak sebuah gentong terlempar ketengah djalan raja dan petjah berantakan, isinja adalah tepung trigu jang bertebaran memenuhi djalan….

Ditengah tjuatja sendja jang remang2 itulah tiba2 dari podjik djalan sana mendjulur sebuah tangan ketjil dan setjara hati2 siopia jang djatuh ditepi selokan tadi diambilnja, lalu tangan itu pelahan2 ditarik kembali.

Itulah tangan seorang pengemis ketjil berusia antara 12-13 tahun. Sudah seharian dia kelaparan dan tidak memperoleh sedekah apa-apa, dengan badan lemas sedjak tadi dia duduk mendoprok dipodjok rumah sana.

Tadi waktu Li Tay-goan menimpukkan siopia jang diterimanja dari Go To-it sehingga siopia itu djatuh ditepi selokan, sedjak itulah pandangan mata sipengemis ketjil itu tidak pernah meninggalkan sepotong penganan itu. Sudah sedari tadi dia sangat ingin mengambil siopia itu untuk dimakan, tapi dia tidak berani berkutik karena takut kepada kawanan laki2 berbadju hitam jang tampaknja galak dan djahat2 itu. Malahan djenazah sipegawai toko kelontong Ho An jang tjeriwis itu menggeletak dekat dengan siopia jang diintjarnja itu. Bahkan kemudian majat2 Go To-it dan Li Tay-goan djuga terkulai tidak djauh dari tempat siopia itu berada.

Baru kemudian sesudah tjuatja mendjadi gelap dan tjahaja obor tidak mentjapai tepi selokan itu, achirnja sipengemis ketjil berani mengulur tangannja untuk menggerajangi siopia itu.

Saking laparnja, sipengemis ketjil tidak ambil peduli apakah siopia itu kotor atau tidak, dengan segera ia menggeragoti pelahan segigitan dan dikulum didalam mulut, ternjata dia tidak berani mengunjah, kuatir kalau mulutnja mengunjah, tentu akan mengeluarkan suara pelahan, hal ini mungkin akan didengar oleh laki2 berbadju hitam jang galak dan bersendjata itu dan bukan mustahil akan mendatangkan malapetakan baginja.

Dari sebab itu siopia jang telah digigitnja itu tetap dikulum didalam mulut sadja, walaupun tidak sampai ditelan kedalam perut, tapi rasa laparnja se-olah2 sudah agak berkurang.

Dalam pada itu kawanan laki2 berbadju hitam itu sudah sekian lamanja mengobrak-abrik segenap isi kedai siopia tadi, sampai2 ubin kedai itupun tidak ketinggalan didjugil dan diperiksa, tapi hasilnja tetap nihil.

Melihat tiada sesuatu jang dapat diketemukan lagi, achirnja sikakek kurus ketjil telah berseru: “Sudahlah, berhenti sadja, tarik pulang semua!”

Maka terdengar pula suara suitan sahut-menjahut disana-sini disusul dengan derap lari kuda jang riuh ramai, kawanan perusuhitu sudah meninggalkan Hau-kam-tjip. Achirnja beberapa laki2 jang mengerubut Go To-it tadi menaikkan djenazah Li Tay-goan an ditaruh melintang diatas kuda, lalu merekapun menghilang dalam waktu singkat.

Sampai suara derap lari kuda achirnja sudah tak terdengar lagi, kemudian penduduk Hau-kam-tjip baru berani keluar dari tempat sembunji masing2, tapi kuatir kalau2 kawanan bandit itu akan datang kembali, maka tjara bitjara merekapun tidak berani keras2. Tjepat2 tauke toko kelontong dan seorang pegawai jang lain menjeret djenazah kawan mereka kedalam rumah, lalu menutup papan pintu toko untuk selandjutnja tidak berani keluar lagi.

Maka terdengarlah suara gedebrakan disana-sini, suara pintu ditutup tjepat2. Hanja sebentar sadja suasana kembali sunji pula, didjalan kota itu tidak nampak bajangan seorangpun.

Hanja tertinggal sipengemis ketjil tadi masih meringkuk dipodjok rumah sana. Ketika dilihatnja majat Go To-it masih menggeletak disitu dan tiada seorang pun jang mengurusnja, hati sidjembel tjilik itu mendjadi takut. Pelahan2 ia mengunjah beberapa kali siopia jang masih terkulum didalam mulut itu dan tjepat ditelannja. Dan baru sadja dia hendak menggigit sisa siopia jang masih dipegangnja itu, tiba2 dilihatnja majat Go To-it bergerak pelahan.

Keruan kaget sipengemis tjilik itu bukan buatan. Ia tjoba kutjek2 matanja sendiri, ketika ia memandang lagi, ternjata majat itu sudah terduduk.

Sipengemis ketjil mendjadi terkesima saking takutnja. Dia pernah mendengar tjerita tentang majat hidup, maka hatinja mendjadi berguntjang hebat. Tiba2 dilihatnja majat Go To-it itu mulai berbangkit dan achirnja berdiri tegak. Saking tegang dan takutnja gigi sidjembel tjilik sampai mengeluarkan suara berkeretukan.

Rupanja suara kertukan itu dapat didengar majat hidup itu, maka majat itu telah berpaling. Untung sidjembel tjilik meringkuk dibalik podjok rumah sehingga tak terlihat oleh majat hidup.

Saat itu rembulan muda mulai memantjarkan sinarnja jang remang2 sehingga sipengemis ketjil dapat melihat dengan djelas muka majat hidup itu, dari udjung mulutnja tampak mengutjurkan darah, dua batang kaitan masih menantjap didalam perutnja. Dengan se-kuat2nja sipengemis menggigit kentjang2 giginja supaja tidak mengeluarkan suara berkertukan.

Dilihatnja majat hidup itu tiba2 berdjongkok, tangannja me-raba2 diatas tanah, ketika sebuah siopia terpegang, ia penjet2 siopia itu dan dipetjah, tapi lantas dibuangnja, lalu tangannja meng-gagap2 pula, ketika sebuah siopia ditemukan lagi, namun setelah dirobek segera dibuangnja djuga.

Sungguh takut sipengemis tjilik tidak kepalang, hatinja berdebar keras se-akan2 melontjat keluar dari rongga dadanja. Dilihatnja majat hidup itu masih terus me-raba2 diatas tanah, barang2 lain jang terpegang olehnja tidak diperhatikan, hanja kalau siopia segera dipetjah mendjadi dua, lalu dibuang. Sambil me-raba2, lambat-laun majat hidup itu telah mendekati tepi selokan.

Sudah tentu sidjembel tjilik tambah takut. Ada maksudnja hendak melarikan diri, tapi sekudjur badan serasa lemas semua, sepasang kakinja seperti terpaku diatas tanah, sedikitpun tidak sanggup bergerak.

Gerak-gerik majat hidup itu sangat lamban, maka telah makan waktu sekian lamanja setelah belasan buah siopia dirusak olehnja. Dan karena tiada menemukan siopia lain pula diatas tanah, pelahan2 majat hidup itu menoleh seperti hendak mentjari siopia lagi.

Se-konjong2 sipengemis ketjil mendjadi kaget ketika melihat bajangannja sendiri tersorot oleh sinar bulan dan terletak disamping kaki majat hidup itu. Waktu dilihatnja kaki majat hidup kembali bergerak kedepan, entah darimana datangnja tenaga, mendadak ia berteriak keras sekali, lalu melarikan diri.

Mungkin majat hidup itu djuga kaget oleh djerita sipengemis tjilik, ia tertegun sedjenak, tapi segera iapun berseru: “Siopia! Siopia!” – lalu ia menguber kearah sidjembel tjilik.

Saking gugupnja sipengemis keserimpet larinja sehingga djatuh tersungkur. Kesempatan itu segera digunakan majat hidup untuk menangkapnja. Tapi setjepat kilat sipengemis menggelinding kesamping sehingga majat hidup menubruk tempat kosong. Lalu sidjembel berlari lagi lebih tjepat.

Karena gerak-geriknja agak lamban, maka sesudah sekian lamanja barulah majat hidup itu dapat berdiri tegak lagi. Namun dia berkaki pandjang dan berlangkah lebar, biarpun dengan agak sempojongan, hanja belasan tindak sadja kembali ia sudah menjusul sampai dibelakang sidjembel tjilik.

Waktu itu ditepi djalan terdapat sebatang pohon besar. Tiba2 sidjembel tjilik teringat kepada tjerita orang, katanja majat hidup tidak dapat membelok, asal orang jang dikedjar majat hidup berputar disekitar pohon, maka susahlah majat hidup hendak menangkapnja.

Karena pikiran itu segera sidjembel tjilik hendak membelok kebelakgn pohon, namun sudah terlambat sedikit tahu2 tengkuknja teras ditjengkeram orang, lalu tubuhnja terangkat keatas.

“Kau……… kau telah mentjuri aku punja siopia?” tanja majat hidup itu.

Dalam keadaan demikian sudah tentu sidjembel tjilik tak berani menjangkal, terpaksa ia mengangguk.

“Dan sio…….. siopia itu sudah ………. Sudah kau makan?” majat hidup itu bertanja pula dengan suara lemah. Kembali sidjembel tjilik mengangguk.

“Bret!” mendadak majat hidup itu menarik badju sidjembel sehingga robek dan kelihatan perutnja.

Djelek2 badju kapas jang rombeng itu merupakan milik satu2nja sidjembel dan telah dipakai seluruhnja, sekarang ternjata dirobek begitu sadja, keruan ia merasa sangat sajang dan hampir2 sadja ia menangis kalau tidak dalam keadaan ketakutan.

“Akan kubelih perutmu dan mengoreknja keluar!” demikian terdengar majat hidup itu berkata.

Hampir2 sadja sukma sidjembel tjilik meninggalkan raganja saking takutnja. Dengan suara gemetar ia berkata: “Aku………. Aku hanja menggigitnja sedikit.”

Tapi saking takutnja, suaranja hampir2 tak terdengar. Dalam keadaan ketakutan benaknja djuga tidak pernah terkilas pikiran mengapa majat hidup dapat bitjara?

Sudah tentu tak diketahuinja bahwa sesudah dada Go To-it kena hantaman sikakek kurus ketjil sehingga tulang iga patah beberapa buah ditambah lagi perutnja tertusuk oleh sepasang kaitan Li Tay-goan, seketika napasnja berhenti dan roboh tak sadarkan diri. Tapi lambat-laun ia telah siuman kembali.

Walaupun perut merupakan tempat jang mematikan, tapi luka parah itu seketika tidak membuat Go To-it lantas binasa. Bahkan dalam benak Go To-it selalu teringat kepada sesuatu benda, maka begitu dia siuman dan mengetahui orang2 Kim-to-tje sudah pergi semua, dengan mengesampingkan luka didada dan diperutnja jang parah, lebih dulu ia lantas berusaha mentjari benda jang telah disembunjikannja didalam siopia itu.

Kiranja ia menjamar sebagai pendjual siopia dan menetap di Hau-kam-tjip, maksud tudjuannja jalah ingin menjelamatkan benda itu dari pentjarian musuh dan selama tiga tahun dia telah hidup aman tenteram ditempatnja ini. Tiada seorangpun dari penduduk Hau-kam-tjip menaruh perhatian kepada seorang kakek bungkuk pendjual siopia, maka tiada jang tahu bahwa sebenarnja dia tidak bungkuk djuga belum tua, bahkan bukan seorang pendjual siopia.

Ketika terdengar suara suitan jang ramai dan ratusan penunggang kuda telah mengepung rapat Hau-kam-tjip, maka tahulah Go To-it bahwa djedjaknja achirnja telah ketahuan. Dalam keadan ter-buru2 ia tidak sempat mentjari tempat lain jang baik dan terpaksa menjembunjikan benda mestika itu didalam siopia. Waktu Li Tay-goan menjodorkan tangannja ingin minta benda itu padanja, terpaksa Go To-it bersepekulasi dan menaruh siopia itu ditangan Li Tay-goan, dan benar djuga seperti apa jang diduganja, dalam gusarnja Li Tay-goan lantas melemparkan siopia itu.

Sesudah siuman dari lukanja jang parah Go To-it tidak dapat membedakan lagi siopia mana jang terdapat benda mestika itu. Terpaksa ia mentjarinja satu-persatu dan memetjahkan siopia2 itu untuk mentjarinja. Achirnja dilihatnja pula sipengemis itu. Tiba2 terpikir olehnja bukan mustahil siopia bersama benda mestika itu telah ditelan semua kedalam perut sidjembel tjilik jang kelaparan itu, maka tjepat ia menangkapnja dan hendak membelih perutnja untuk mentjari benda mestikanja.

Namun tiada sendjata tadjam jang dapat dipakai membelah perut, tiba2 ia menggertak gigi terus mentjabut sebuah kaitan besi jang menantjap diperutnja sendiri itu, dengan kaitan jang tadjam itu segera hendak dipakainja untuk menjembelih sipengemis tjilik. Tapi begitu kaitan besi itu tertjabut keluar, seketika perutnja terasa kesakitan dan darah menjembur keluar dari lukanja, belum lagi kaitan itu sempat ditusukkan atau tangannja sudah terasa lemas dan pengemis tjilik itu terlepas dari tjekalannja. Sedetik kemudian Go To-it merasa badannja mendjadi lemas, ia djatuh terkapar dan sesudah kedjat2 beberapa kali, achirnja mati sungguh2.

Sipengemis tjilik sesudah terlepas dari tjengkeraman Go To-it, sekuatnja ia merangkak bangun dan segera berlari seperti kesetanan. Akan tetapi ia benar2 terlalu takut, maka tjuma beberapa langkah sadja dia tidak sanggup berlari lagi, kakinja terasa lemas dan achirnja djatuh terguling dan tak ingat diri pula. Namun tangannja masih tetap menggenggam siopia jang tadi baru digeragotnja satu kali itu.

Sinar rembulan jang remang2 itu menerangi djenazah Go To-it dan lambat laun menggeser sampai diatas badan sipengemis tjilik. Dalam pada itu dari arah tenggara sana sajup2 terdengar suara derapan kuda pula.

Datangnja suara derap kuda itu sekali ini sangatlah tjepat, baru sadja terdengar dan tahu2 sudah mendekat.

Memangnja penduduk Hau-kam-tjip sudah ketakutan maka suara derap kuda ini pun membikin gemetar mereka. Hanja sadja jang datang sekali ini tidak lebih dari dua penunggang kuda pula tiada mengeluarkan suara suitan segala.

Bentuk kedua ekor kuda itupun sangat aneh. Jang seekor berwarna hitam mulus, hanja keempat telapak kakinja berbulu putih. Sebaliknja jang seekor berwarna putih mulus dan keempat telapak kakinja berbulu hitam.

Penunggang kuda putih itu adalah seorang wanita berbadju putih pula, kalau ikat pinggangnja tidak berwarna merah tentu orang akan menjangka wanita itu sedang berkabung. Pada ikat pinggangnja jang berwarna merah itu tergantung sebatang pedang.

Sedangkan penunggang kuda hitam adalah seorang laki2 setengah umur berbadju hitam, pinggangnja djuga terikat sebatang pedang. Kedua penunggang kuda itu setjepat terbang datangnja. Ketika tiba2 melihat tiga sosok majat jang menggeletak ditengah djalan dan barang2 dan alat2 perabot berserakan, tanpa merasa kedua orang itu bersuara heran.

Mendadak silelaki badju hitam mengajun tjambuknja sehingga membelit leher majat Go To-it dan terus ditariknja keatas, dibawah tjahaja rembulan dapatlah muka Go To-it terlihat djelas.

“Dia Go To-it, tampaknja Kim-to-tje sudah berhasil,” kata siwanita badju putih.

Ketika silelaki badju hitam ajun tjambuknja pula, ia lemparkan majat Go To-it ketepi selokan. Lalu sahutnja: “Belum lama matinja Go To-it, darah jang mengutjur keluar dari lukanja belum lagi kering, kita masih dapat menjusul mereka!”

Siwanita mengangguk setudju. Segera mereka melarikan kuda hitam-putih itu kearah barat dengan tjepat. Sungguh aneh djuga, suara derapan kedua ekor kuda itu begitu radjin dan tetap sehingga suaranja mirip derap kaki seekor kuda sadja, terang sekali kedua ekor kuda itu sudah terlatih dengan baik.

Makin lari makin tjepat, kedua ekor kuda itu. Sesudah mengitar lewat kota Khoy-hong, djalanan mulai sempit dan tidak tjukup untuk kedua ekor kuda berlari sedjadjar. Siwanita lantas menahan kudanja sedikit dan membiarkan silelaki djalan lebih dahulu. Silelaki tampak tersenjum dan mentjongklangkan kudanja kedepan dengan disusul siwanita dari belakang.

Jilid 2

Menurut taksiran kedua penunggang kuda itu, dilihat dari saat kematian Go To-it mereka menduga akan dapat menjusul orang2 Kim-to-tje dalam waktu singkat. Akan tetapi sudah sekian lamanja kawanan berandal itu tetap tidak kelihatan. Njatalah perhitungan mereka memang meleset, sebab matinja Go To-it walaupun benar belum lama berselang, tapi sebelum Go To-it mati benar2 berandal Kim-to-tje itu sudah berangkat tjukup djauh.

Begitulah dua djam lamanja kedua penunggang kuda itu telah melarikan kuda mereka dengan tjepat, achirnja mereka mengaso sekadarnja agar binatang tunggangan mereka tidak lelah, lalu mereka melandjutkan perdjalanan lagi.

Mendjelang fadjar tertampaklah djauh didataran didepan sana ada tjahaja api unggun. Kedua orang saling pandang dengan tersenjum dan bersama lantas melompat turun dari kuda mereka. Sesudah menambat kuda2 mereka dibatang pohon ditepi djalan, mereka lantas berlari ketempat api unggun itu dengan Ginkang jang tinggi.

Api unggun itu tampaknja tidak djauh, tapi sebenarnja ada belasan li djauhnja. Namun dengan Ginkang mereka jang hebat itu, bagaikan terbang sadja mereka dapat mentjapai tempat api unggun itu dalam waktu singkat.

Sesudah dekat, tertampaklah segerombolan orang terbagi dalam beberapa kelompok dan mengelilingi belasan gunduk api unggun.

Terdengar pula suara “serupat-seruput” disana-sini, orang2 itu masing2 tampak memegang sebuah mangkuk, rupanja mereka sedang makan mi jang masih panas dan seperti biasanja orang makan mi, merekapun main sedot sadja mi jang pandjang2 dan panas itu. Mestinja kedua orang itu ingin mengintai lebih dulu, tapi didataran jang luas itu tiada tempat sembunji jang baik, terpaksa mereka lantas mendekati rombongan orang2 itu.

Maka terdengarlah suara bentakan diantara rombongan orang2 itu: “Siapa itu? Mau apa?”

Sesudah melangkah madju lagi, lalu silelaki memberi salam, katanja dengan tertawa: “Apakah An-tjetju tidak berada disini? Siapakah kawan jang berada disini ini?”

Sementara itu sikakek kurus ketjil jaitu Tjiu Bok, sudah selesai makan mi dan baru sadja hendak memberi komando agar rombongan melandjutkan perdjalanan, tiba2 ia mendengar suara tindakan orang jang mendekat, menjusul dari rombongan kawan sendiri ada jang berseru menegur, waktu ia memperhatikan di bawah tjahaja obor, kelihatan pendatang itu adalah seorang lelaki dan seorang wanita berbadju hitam-putih dan sudah berdiri sedjadjar didepan situ. Usia kedua orang setengah umur semua, jang lelaki tampan dan gagah, jang wanita tjantik dan lemah lembut, pinggang mereka masing2 tergantung sebatang pedang.

Tjiu Bok terkesiap, segera teringat dua orang olehnja. Tjepat ia berbangkit dan balas memberi salam, lalu djawabnja: “Wahai, kiranja Tjiok-tjengtju suami-isteri dari Hian-soh-tjeng di Kanglam telah berkundjung kemari!” – Lalu ia lantas berteriak: “Hajo, saudara2, lekas bangun dan memberi hormat, inilah Tjiok-tjengtju suami-isteri jang namanja mengguntjangkan lembah utara dan selatan sutiada pertjektjokan apa2 dengan Kim-to-tje kami, tapi sekarang mendadak mereka datang kesini, entah apa maksud tudjuannja, djangan2 merekapun ingin mendapatkan benda mestika itu?”

Ia tjoba memandang sekeliling dataran itu dan tiada terlihat orang lain pula. Pikirnja lagi: “Walaupun kabarnja ilmu pedang suami-isteri ini sangat liehay, tapi mereka hanja berdua, masakah kami sebanjak ini mesti djeri pada mereka?”

Dalam pada itu njonja Tjiok jang bernama Bin Dju itu telah berkata dengan suara jang lemah-lembut: “Koandjin (suamiku), tampaknja tuan ini adalah Tjiu Bok Tjiu-loyatju dari Eng-djiau-bun.”

Meski utjapan Bin Dju sangat pelahan, tapi terdengar djuga oleh Tjiu Bok, mau-tak-mau iapun merasa senang: “Kiranja Peng-swat-sin-kiam (Sipedang Saldju Sakti, djulukan siwanita) djuga kenal akan namaku.” – Maka tjepat ia menanggapi: “Ja, harap Tjiok-tjengtju dan Tjiok-hudjin terimalah hormatnja Tjiu Bok.”

Sebaliknja kawanan berandal Kim-to-tje jang lain tidak tahu tokoh2 dari “Hian-soh-teng” itu orang matjam apa, tapi mereka melihat pemimpin keempat mereka jaitu Tjiu Bok, sedemikian hormat kepada suami-isteri she Tjiok itu, maka mereka menduga tentu kedua orang itu bukanlah sembarangan tokoh.

Sementara itu Tjiok Djing telah berkata pula dengan tersenjum,”Rupanja para kawan sedang sarapan pagi dan terganggu oleh kedatangan kami. Boleh silakan duduk sadja dan selesaikan sarapan kalian.” – Lalu ia berpaling kepada Tjiu Bok dan melandjutkan: “Kawan Tjiu, kami suami-isteri djuga pernah bertemu beberapa kali dengan Tjeng Tjin-tjong, Tjeng-heng (saudara Tjeng), kalau dibitjarakan sesungguhnja kita adalah kenalan lama.”

“O, beliau adalah paman-guruku,” sahut Tjiu Bok. Tapi diam2 ia merasa terhina, katanja dalam hati: “Usiamu djauh lebih muda daripada diriku, tapi kaungai (Yangtje).”

Serentak anak buah Kim-to-tje lantas berdiri dan sedikit membungkukkan tubuh sebagai tanda hormat.

Diam2 Tjiu Bok membatin: “Tjiok Djing dan Bin Dju suami-isteri selamanja tiada pertjektjokan apa2 dengan Kim-to-tje kami, tapi sekarang mendadak mereka datang kesini, entah apa maksud tudjuannja, djangan2 merekapun ingin mendapatkan benda mestika itu?”

Ia tjoba memandang sekeliling dataran itu dan tiada terlihat orang lain pula. Pikirnja lagi: “Walaupun kabarnja ilmu pedang suami-isteri ini sangat liehay, tapi mereka hanja berdua, masakah kami sebanjak ini mesti djeri pada mereka?”

Dalam pada itu njonja Tjiok jang bernama Bin Dju itu telah berkata dengan suara jang lemah-lembut: “Koandjin (suamiku), tampaknja tuan ini adalah Tjiu Bok Tjiu-loyatju dari Eng-djiau-bun.”

Meski utjapan Bin Dju sangat pelahan, tapi terdengar djuga oleh Tjiu Bok, mau-tak-mau iapun merasa senang: “Kiranja Peng-swat-sin-kiam (Sipedang Saldju Sakti, djulukan siwanita) djuga kenal akan namaku.” – Maka tjepat ia menanggapi: “Ja, harap Tjiok-tjengtju dan Tjiok-hudjin terimalah hormatnja Tjiu Bok.”

Sebaliknja kawanan berandal Kim-to-tje jang lain tidak tahu tokoh2 dari “Hian-soh-teng” itu orang matjam apa, tapi mereka melihat pemimpin keempat mereka jaitu Tjiu Bok, sedemikian hormat kepada suami-isteri she Tjiok itu, maka mereka menduga tentu kedua orang itu bukanlah sembarangan tokoh.

Sementara itu Tjiok Djing telah berkata pula dengan tersenjum,”Rupanja para kawan sedang sarapan pagi dan terganggu oleh kedatangan kami. Boleh silakan duduk sadja dan selesaikan sarapan kalian.” – Lalu ia berpaling kepada Tjiu Bok dan melandjutkan: “Kawan Tjiu, kami suami-isteri djuga pernah bertemu beberapa kali dengan Tjeng Tjin-tjong, Tjeng-heng (saudara Tjeng), kalau dibitjarakan sesungguhnja kita adalah kenalan lama.”

“O, beliau adalah paman-guruku,” sahut Tjiu Bok. Tapi diam2 ia merasa terhina, katanja dalam hati: “Usiamu djauh lebih muda daripada diriku, tapi kau sebut paman-guruku sebagai saudara, bukankah kau sengadja menganggap dirimu sebagai angkatan lebih tua?”

Hendaklah maklum bahwa soal tingkatan atau angkatan didalam dunia persilatan dipandang sangat penting. Angkatan muda harus menghormat angkatan tua, setiap pesan angkatan tua tidak boleh sembarangan dibantah oleh kaum muda.

Tjiok Djing djuga lantas tahu pikiran Tjiu Bok demi melihat perubahan air mukanja, maka katanja dengan tertawa: “Maaf! Dalam pertemuan di Hoa-san dahulu Tjeng-heng pernah bitjara tentang ilmu silat kalian, sungguh kami suami-isteri merasa sangat kagum. Mengingat hubungan baik kita, sekarang Tjayhe ingin bitjara sesuatu jang kurang pantas kepada Tjiu-siheng, untuk mana kami minta maaf lebih dulu.”

“Djika urusan pribadi, asal tenagaku dapat mentjapainja, pesan apapun tentu akan kulaksanakan dengan baik,” sahut Tjiu Bok. “Akan tetapi bila urusannja menjangkut Kim-to-tje kami, oleh karena kedudukanku terlalu rendah dan mungkin akan susah memenuhi keinginan kalian!”

Diam2 Tjiok Djing mengakui akan kelitjikan orang, belum2 sudah berusaha mengelakkan tanggung-djawab. Segera katanja: “Soalnja tiada sangkut-paut apa2 dengan Kim-to-tje kalian. Tjayhe hanja ingin mentjari tahu sesuatu kepada Tjiu-heng. Soalnja begini: Kami suami-isteri telah mentjari dan menguber seorang sedjak dari Kwitang sehingga kota Khay-hong sini. Orang itu she Go bernama To-it dan biasanja memakai sendjata Boan-koan-pit, perawakannja sangat tinggi, usianja antara 38-39 tahun, kabarnja paling achir ini menjamar sebagai seorang bungkuk dan hidup mengasingkan diri disekitar sini. Entah Tjiu-siheng pernah mendengar berita tentang orang she Go itu atau tidak?”

Orang2 Kim-to-tje mendjadi gempar mendengar nama Go To-it disebut. Piker Tjiu Bok: “Kau datang dari arah timur, tentu majat Go To-it sudah kau ketemukan, djika kami tidak bitjara terang2an malah akan disangka pengetjut.” – Karena itu ia lantas tertawa dan berkata: “Tjiok-tjengtju dan Tjiok-hudjin, urusan ini sangat kebetulan djuga. Meski kepandaianku rendah dan tiada artinja, tapi kebetulan telah berdjasa bagi Tjiok-tjengtju. Go To-it itu rupanja telah berdosa pada kalian, maka orang2 Kim-to-tje kami telah membereskan dia.”

Sambil bitjara matanja terus menatap air muka Tjiok Djing untuk melihat bagaimana reaksinja, apa girang atau marah.

Sebaliknja Tjiok Djing semakin merasa Tjiu Bok itu benar2 seorang jang litjik dan litjin oleh kerna djawabannja itu, maka ia hanja tersenjum dan berkata: “Go To-it itu sebenarnja tidak saling kenal dengan kami, maka tidak dapat dikatakan telah berdosa apa2 kepada kami. Adapun maksud kami mentjari dia, kalau kami katakana terus terang hendaklah Tjiu-siheng djangan mentertawakan kami, soalnja adalah karena kami ingin mentjari sesuatu benda jang berada pada orang she Go itu.”

Air muka Tjiu Bok agak berubah, tapi tjepat tenang kembali, sahutnja dengan tertawa: “Berita Tjiok-tjengtju ternjata tadjam djuga, kabar tentang hal itu memang djuga kami dengar. Untuk bitjara terus terang kepada Tjiok-tjengtju sebabnja Tjayhe memimpin para saudara2 kami keluar ini sesungguhnja djuga lantaran benda jang dimaksudkan itu. Tapi, ai, entah setan alas atau anak djadah siapa jang telah sengadja menjebarkan desas-desus demikian, djiwa Go To-it telah melajang, perdjalanan kami inipun sia2, bahkan bukan mustahil kami akan diomeli An-tjetju karena usaha kami jang nihil ini. Apalagi kalau kabar bohong ini sampai tersiar sehingga kawan2 kalangan Kangouw sama menjangka benda itu telah didapatkan orang2 Kim-to-tje dan semuanja lantas memusatkan intjaran mereka kepada Kim-to-tje, wah, bukankah urusan ini bisa runjam? Thio-hiantit, tjoba untuk djelasnja boleh kau tjeritakan kepada Tjiok-tjengtju dan Tjiok-hudjin tentang tjara bagaimana Go To-it terbinasa dan apa jang terdapat di kedai siopia itu.”

Segera seorang lelaki pendek ketjil tapi gesit tangkas lantas tampil kemuka dan menutur: “Orang she Go itu telah dihantam terdjungkal dari atas rumah oleh pukulan Tjiu-thauleng kami, seketika itu djuga tulang iga orang she Go itu patah dan isi perutnja hantjur…………..” – begitulah dengan mulutnja jang tadjam itu dia telah mem-bumbu2i, menambah ketjap dan menuangi minjak sehingga tjeritanja tambah menarik, ia tjeritakan semua kedjadian sampai matinja Go To-it, hanja bagian jang menjangkut buntalan dipunggung Go To-it jang telah diambil Tjiu Bok itulah jang tidak diuraikannja.

Selesai mendengarkan tjerita itu, Tjiok Djing tampak manggut2. Tapi pikirnja didalam hati: “Ketika melihat kedatangan kami tadi, Tjiu Bok ini lantas selalu siap siaga dan kelihatan tidak tenteram. Padahal Hian-soh-tjeng dan Kim-to-tje tiada punja permusuhan apa2, kalau bukan karena dia sudah mengantongi benda mestika itu buat apa dia mesti was-was kepada kami suami-isteri?” – Ia pun menduga bila benda mestika itu benar2 telah diketemukan orang2 Kim-to-tje, maka pasti benda itu dipegang sendiri oleh Tjiu Bok. Sekilas pandang ia melihat dua ratusan orang2 Kim-to-tje itu semuanja gagah dan tangkas, meski tiada terdapat djago2 kelas satu, tapi djumlahnja tjukup banjak dan susah dilawan.

Watak Tjiok Djing ini adalah halus diluar tapi keras didalam. Tadi dia sudah merasa tersinggung oleh utjapan Tjiu Bok, namun lahirnja dia masih ter-senjum2 sadja. Ia menuding kearah hutan jang djauh disebelah kiri sana dan berkata: “Aku ingin bitjara sesuatu setjara empat mata dengan Tjiu-siheng, silahkan engkau ikut kehutan sana.” “Ah, kawan2 kami ini semuanja dapat dipertjaja, kalau ada sesuatu boleh bitjara setjara………….” Baru Tjiu Bok berkata sampai disini, mendadak ia merasa pergelangan tangan kirinja sudah tergenggam oleh tangan Tjiok Djing, menjusul separo tubuhnja terasa linu pegal sehingga tangan kanan djuga tak bisa berkutik.

Sungguh terkedjut dan gusar Tjiu Bok tidak kepalang. Sedjak muntjulnja Tjiok Djing dan Bin Dju suami-isteri, dia sudah lantas menghadapinja dengan penuh perhatian, sedikitpun tidak berani lengah, eh, toh masih ketjundang djuga, tahu2 Tjiok Djing sudah turun tangan dan entah dengan gerakan apa setjepat kilat tangannja sudah terpegang olehnja.

Padahal Kim-na-djiu-hoat atau ilmu menangkap dan mentjengkeram seperti itu adalah kepandaian Eng-djiauw-bun sendiri jang sangat diandalkan, tak terduga, belum lagi bergebrak Tjiu Bok sudah kena ditangkap lawan.

Dalam pada itu Tjiok Djing telah berkata pula dengan suara keras: “Djika Tjiu-siheng sudah mau bitjara kesana, memang inilah jang kuharapkan.” – Lalu ia menoleh kepada sang isteri dan berkata: “Aku akan bitjara sebentar dengan Tjiu-siheng, harap kau tunggu sadja disini.”

Bin Dju mengangguk ramah. Lalu Tjiok Djing menggandeng Tjiu Bok dan berdjalan pelahan kedepan.

Orang2 Kim-to-tje menjaksikan Tjiok Djing berdjalan pergi bersama Tjiu Bok dengan ter-tawa2 dan seperti tiada maksud djahat, pula isterinja ditinggalkan di situ, maka tiada seorangpun jang menduga bahwa dengan ilmu silat Tjiu Bok jang tinggi itu, tahu2 sudah berada dibawah antjaman lawan dan terpaksa mengikuti segala keinginan orang.

Sambil memegang tangan Tjiu Bok, makin lama makin tjepat djalannja Tjiok Djing, asal langkah Tjiu Bok sedikit lambat sadja, bukan mustahil akan lantas terseret djatuh, maka terpaksa dia bukan mustahil akan lantas terseret djatuh, maka terpaksa ia ikut berlari sekuat tenaga. Djarak dengan hutan itu mestinja ada dua-tiga li djauhnja, tapi hanja sekedjab sadja kedua orang sudah sampai ditengah hutan.

Disitulah Tjiok Djing melepaskan tangan Tjiu Bok dan berkata dengan tertawa: “Tjiu-siheng………………..”

“Apa maksudmu ini?” bentak Tjiu Bok dengan gusar dan kontak tangan kanan terus mentjakar kedada Tjiok Djing dalam gerak tipu “Beng-bok-say-djiu” atau tjakar singa menerkam kalap.

Namun setjepat kilat tangan kiri Tjiok Djing telah menjambar dari kiri kekanan, tangan Tjiu Bok itu kena ditjengkeramnja, berbareng terus ditelikung kebelakang bahkan tangan Tjiu Bok jang lain kena dipegang pula sehingga kedua tangannja tertelikung semua.

Dalam kaget dan kuatirnja, tanpa piker lagi Tjiu Bok angkat sebelah kakinja dan mendepak kebelakang, jang diarah adalah selangkangan Tjiok Djing.

“Ai, mengapa mesti marah?” udjar Tjiok Djing dengan tertawa.

Berbareng Tjiu Bok merasa Hiat-to dibagian kakinja mendjadi kesemutan sehingga kaki jang sedang mendepak kebelakang itu tahu2 terasa lemas dan mendjulai kembali kebawah.

Dengan demikian terpaksa Tjiu Bok tak berani berkutik lagi. Dengan muka merah padam ia membentak: “Kau…. Kau mau apa?”

“Benda itu sudah kau ambil dari Go To-it, maka aku ingin pindjam lihat barang itu, silahkan mengeluarkannja,” kata Tjiok Djing.

“Barang itu sih memang ada, tapi tiada berada padaku,” sahut Tjiu Bok. “Djika kau ingin lihat, boleh kembali ketempat kawan2ku itu.”

Tudjuan Tjiu Bok jalah memantjing Tjiok Djing kembali ketempat api unggun, disana dia mempunjai ratusan kawannja, sekali dia memberi perintah, segera mereka dapat mengerubutnja, djika demikian, betapapun tinggi kepandaian Tjiok Djing suami isteri, tentu djuga susah melawan orang banjak.

Namun Tjiok Djing tak mudah ditipu, sahutnja dengan tertawa: “Maaf, aku tak dapat mempertjajai kau, terpaksa mesti menggeledah dulu badanmu!”

“Kau berani menggeledah aku? Kau anggap aku ini orang matjam apa?” teriak Tjiu Bok dengan gusar.

Tjiok Djing tidak peduli dan tidak mendjawab. Sekali tarik segera ia tanggalkan sepatu kulit Tjiu Bok.

Tjiu Bok tersentak kaget. Namun Tjiok Djing sudah lantas mengeluarkan sebuah bungkus ketjil dari kepitan sepatunja. Terang itulah bungkusan berasal dari penggandjal punggung Go To-it.

Diam2 Tjiu Bok sangat heran, ia tidak habis tahu mengapa Tjiok Djing dapat mengetahui tempat dimana ia menjimpan bungkusan ketjil itu. Ia tidak tahu bahwa Tjiok Djing itu sangat tjerdik. Ketika Tjiu Bok ditanja tentang benda mestika itu, tanpa merasa sorot matanja telah melirik kebagian sepatunja, hal inilah jang menimbulkan dugaan keras pada Tjiok Djing bahwa benda itu pasti disembunjikan didalam sepatu kulitnja. Sebab itulah maka sekali geledah lantas ketemu.

Keruan Tjiu Bok mendjadi gugup, segera ia bermaksud menggembor untuk minta tolong kepada begundalnja. Namun Tjiok Djing telah berkata pula dengan mendjengek: “Hm, kau telah berdusta dan mengchianati An-tjetju kalian, apakah kau lebih suka membongkar sendiri rahasiamu ini dan nanti akan menerima hukuman potong sepuluh djarimu?” Keruan Tjiu Bok terkedjut, tanpa merasa ia bertanja: “Da………. darimana kau mengetahui?”

“Sudah tentu aku mengetahui,” sahud Tjiok Djing. “Padahal An-tjetju adalah orang tjerdik, sedangkan aku sadja tak dapat kau kelabui, apalagi An-tjetju kalian?”

Rupanja tadi ketika orang she Thio dari Kim-to-tje menguraikan kedjadian mengobrak-abrik kedai siopia dan tidak menemukan sesuatu jang ditjari, dari nadanja Tjiok Djing merasa apa jang ditjeritakan itu memang bukan omong-kosong atau bualan belaka, tapi sekarang benda mestika jang ditjari itu djusteru diketemukan ditubuh Tjiu Bok, maka teranglah Tjiu Bok mempunjai maksud untuk mentjaplok sendiri benda mestika itu.

Dan pada saat itulah, tiba2 terdengar suara tindakan orang jang pelahan, ternjata diluar hutan sudah kedatangan beberapa orang. Lalu terdengarlah suara orang tertawa dan berkata: “Banjak terima kasih atas pudjian Tjiok-tjengtju kepada orang she An ini, terimalah hormatku ini.”

Dan baru selesai utjapannja tertampaklah tiga orang telah menjelusup kedalam hutan.

Melihat pendatang2 itu, air muka Tjiu Bok seketika putjat pasi. Kiranja ketiga orang jang datang ini adalah gembong2 Kim-to-the, jaitu Toa-tjetju (pemimpin berandal jang pertama) An Hong-djit, Dji-tjetju (pemimpin kedua) Pang Tjin-bu dan Sam-tjetju Pun-khong Todjin. Jang terachir ini adalah seorang imam agama To.

Waktu An Hong-djit menugaskan Tjiu Bok kekota Khay-hong untuk mengusut urusannja Go To-it, dia tidak mengatakan akan memapak ditengah djalan, tapi entah mengapa sekarang pemimpin utama itu telah datang sendiri malah. Djadi, pastilah rahasianja ingin mengangkangi benda itu sudah gagal, bahkan djiwanja boleh djadi akan melajang.

Dalam gugupnja, tjepat Tjiu Bok berseru: “An-toako, ben….. benda itu telah direbut dia!” – Sambil berkata iapun menuding kearah Tjiok Djing.

Lebih dulu An Hong-djit memberi hormat kepada Tjiok Djing, lalu berkata: “Nama Tjiok-tjengtju tersohor diseluruh pendjuru, sungguh orang she An merasa sangat kagum dan sajang selama ini tidak pernah bertemu. Tje (markas berandal) kami terletak tidak djauh dari sini, djika sudi silakan Tjiok-tjengtju dan njonja suka mampir dan tinggal beberapa hari ditempat kami itu agar kami dapat meminta petundjuk2 jang berharga.”

Tjiok Djing tjoba memperhatikan potongan para gembong Kim-to-tje itu. An Hong-djit berewok pendek kaku, tubuhnja djuga pendek tapi kekar dan agak kasar tampaknja, namun bitjaranja ternjata sangat sopan dan pakai aturan, sama sekali ia tidak menjinggung tentang benda mestika jang telah direbutnja itu, sebaliknja malah mengundangnja ke Kim-to-tje, maka Tjiok Djing lantas membalas hormat dan hendak memasukkan bungkusan ketjil jang direbutnja dari Tjiu Bok tadi kedalam saku sambil berkata dengan tertawa: “Ah, terima kasih atas maksud baik An-tjetju………..”

Baru sekian utjapannja, se-konjong2 matanja merasa silau, sinar sendjata telah berkelebat, tahu2 Pun-khong Todjin sudah mentjabut pedangnja dan udjung sendjata itu telah mengantjam kepergelangan tangan Tjiok Djing sambil membentak: “Lepaskan dulu benda itu!”

Namun betapa tjepatnja Pun-khong Todjin toh masih kalah tjepat daripada Tjiok Djing. Hanja sedikit miring kesamping, sekalian Tjiok Djing lantas angsurkan bungkusan ketjil itu ketangan kiri Pun-khong Todjin dan berkata: “Nah, terimalah….”

Pun-khong mendjadi girang, tanpa pikir ia terus pegang bungkusan ketjil itu. Tak terduga pergelangan tangan kanan jang memegang pedang mendadak terasa linu, sendjatanja tahu2 sudah kena direbut lawan. Bahkan Tjiok Djing terus memutar balik pedang rampasan itu dan balas memotong pergelangan kiri Pun-khong sambil membentak: “Lepaskan dulu benda itu!”

Keruan Pun-khong terperandjat, sinar pedang sudah menjambar dekat tangannja, sedetik lagi sendjata itu pasti akan makan tuannja, untuk menarik tangannja djuga sudah terlambat, terpaksa Pun-khong lemparkan bungkusan ketjil itu. Tjepat pedang Tjiok Djing lantas mentjukit kebawah.

“Kepandaian hebat!” seru Pang Tjin-bu jang tidak mau tinggal diam. Sebelum Tjiok Djing sempat menangkap kembali bungkusan ketjil itu, terus sadja ia putar goloknja dan mendjatuhkan tubuhnja ketanah, sambil menggelinding kearah Tjiok Djing, segera ia menabas kaki lawan itu.

Tapi gerakan Tjiok Djing benar2 teramat sebat, “Sret!”, mendadak pedangnja mendahului menusuk kepala Pang Tjin-bu. Sebelum serangan Tjin-bu itu mengenai sasarannja tentu kepalanjaa akan terpantek diatas tanah oleh pedang Tjiok Djing.

Melihat keadaan membahajakan djiwa kawannja itu, tjepat An Hong-djit berteriak: “Tahan dulu!”

Namun tusukan Tjiok Djing itu masih menudju kebawah. Pang Tjin-bu sudah pedjamkan mata dan menerima adjalnja. Mendadak pipi kiri terasa “njes” dingin, tusukan Tjiok Djing itu tidak diteruskan lagi. Rupanja ia benar2 menahan serangannja itu, maka udjung pedang hanja menempel dipipi Pang Tjin-bu sadja. Betapa tepat sasarannja dan betapa tjepat daja tahannja serta tenaga jang dipakai ternjata tidak selisih sedikit pun sehingga kepala Pang Tjin-bu tidak djadi terpantek diatas tanah. Habis itu barulah terdengar suara “bluk!” jang pelahan, bungkusan ketjil jang ditjukit kembali itu telah tertangkap pula oleh Tjiok Djing. Beberapa gerakan itu ternjata sudah berlangsung dengan setjepat kilat.

Dan sesudah menangkap kembali bungkusan ketjil itu, barulah Tjiok Djing menarik pulang pedangnja dan berkata: “Maaf!” – Lalu ia melangkah mundur dua-tiga tindak.

Ketika Pang Tjin-bu berdiri kembali, mukanja mendjadi merah djengah dan serba salah, tinggal pergi merasa malu, tetap disitu djuga merasa susah.

Dalam pada itu An Hong-djit sudah melangkah madju, ia membuka badjunja sendiri sehingga kelihatan simbar-dadanja jang berbulu lebat. Dari punggung ia lantas mentjabut keluar sebatang golok.

Tatkala itu sang surja sudah mulai menjingsing, tjahaja matahari menembus masuk melalui tjelah2 daun pohon jang rindang itu, sinar golok warna emas itu gemerlap menjilaukan, mata golok itu tebal bagian punggung dan tipis serta tadjam bagian depan, sungguh sebuah sendjata jang bagus.

An Hong-djit mengatjungkan golok-emasnja itu dan berkata: “Tjiok-tjengtju mempunjai kepandaian jang hebat, sungguh aku sangat kagum. Sekarang biarlah aku mohon petundjuk beberapa djurus padamu!”

“Hari ini bertemu dengan tokoh ternama, sungguh aku merasa sangat beruntung!” sahut Tjiok Djing dengan tertawa. Dan sekali tangannja bergerak, mendadak bungkusan ketjil jang dipegangnja itu tertimpuk kedepan.

An Hong-dji dan kawan2nja mendjadi heran, masakah benda mestika jang dibuat rebutan itu sekarang malahan dibuang begitu sadja oleh Tjiok Djing? Tapi menjusul lantas terdengar suara angin menderu, pedang rampasan jang dipegang Tjiok Djing itupun disambitkan dan baru sadja bungkusan ketjil itu menumbuk batang pohon didepan sana, tahu2 dari belakang pedang pandjang itu sudah menjusul tiba, “tjret”, dengna tepat bungkusan ketjil itu terpaku dibatang pohon. Udjung pedang itu hanja menembus satu bagian ketjil bungkusan itu sehingga tidak mengenai benda jang terbungkus didalamnja.

Betapa djitu dan bagus tjaranja Tjiok Djing mempertundjukkan kepandaiannja itu, mau-tak-mau Pun-khong Todjin dan Pang Tjin-bu harus mengakui keunggulan lawan.

Ketika pandangan An Hong-djit, Pun-khong Todjin dan lain2 berpindah kembali kearah Tjiok Djing, tahu2 tertampak tangan orang she Tjiok itu sudah bertambah pula dengan sebatang pedang lain jang berwarna hitam mulus. Terdengar Tjiok Djing telah berkata: “Bak-kiam (pedang hitam) ketemu Kim-to (golok emas), sungguh sangat beruntung. Marilah kita tjoba2, asal salah sepihak tertutuk, biarpun tjuma menang satu djurus atau setengah gerakan sadja, dia jang akan mendapatkan benda jang terpaku dipohon itu. Setudju?”

Padahal Tjiok Djing sudah berhasil merebut benda itu, tapi sekarang sengadja dipantek diatas pohon dan akan diperebutkan dengan bertanding ilmu silat, sungguh An Hong-djit merasa sangat kagum akan kedjudjuran orang. Segera ia mendjawab: “Marilah mulai, Tjiok-tjengtju!”

Sudah lama An Hong-djit mendengar ilmu pedang suami-isteri Tjiok Djing dan Bin Dju adalah sangat liehay, tadi iapun sudah menjaksikan tjaranja Tjiok Djing menundukkan Pun-khong Todjin dan Pang Tjin-bu, dan memang benar2 bukan omong-kosong kepandaiannja, maka sekarang Hong-djit tidak berani gegabah, “srat-sret-sret”, sekaligus ia lantas mulai melantjarkan tiga kali serangan pantjingan.

Namun Tjiok Djing tenang2 sadja, udjung pedangnja menuding kebawah, badannja sama sekali tidak bergerak, katanja: “Silahkan menjerang sadja!”

Karena itu barulah golok An Hong-djit menabas miring kebawah, tapi sebelum mengenai sasarannja mendadak ia putar balik keatas. Njata, sekali mulai menjerang segera ia mengeluarkan 72 djurus “Bik-kwa-to”, ilmu golok andalannja jang beraneka ragam perubahannja didalam tiap2 djurusnja.

Tjiok Djing djuga lantas putar pedangnja jang berwarna hitam mulus itu, semula dia masih bertahan, tiap2 serangan An Hong-djit selalu ditangkisnja. Tapi sesudah lewat 30 djurus, mendadak ia bersuit njaring, ia mulai melantjarkan serangan balasan, serangan2 semakin gentjar dan semakin tjepat.

Sesudah bertahan sampai lebih 30 djurus, An Hong-djit sekarang berbalik tidak dapat membedakan arah datangnja serangan lawan lagi. Diam2 ia mendjadi gugup, terpaksa ia putar goloknja se-kentjang2nja untuk mendjaga diri.

Walaupun sudah bergebrak sampai 70 djurus, tapi sendjata kedua orang tetap belum pernah saling bentur. Sampai achirnja mendadak terdengar suara “tjring” jang pelahan sekali, mata pedang warna hitam itu telah menumpang diatas punggung golok terus menggesek kebawah.

Gerak tipu ini disebut “Sun-liu-gi-he” atau menurun mengikuti arus, terhitung suatu djurus ilmu pedang jang lazim untuk mengalahkan ilmu golok. Bila kepandaian penjerang itu lebih rendah, maka tjukuplah kalau An Hong-djit sampukkan goloknja kesamping dan segera pedang lawan akan terpental.

Namun Tjiok Djing bukanlah djago silat pasaran, baru sadja An Hong-djit hendak menjampukkan goloknja, tahu2 mata pedang sudah menjentuh djarinja. Keruan terkedjut An Hong-djin tidak kepalang, diam2 ia mengeluh djarinja pasti akan terpapas, sekalipun dia hendak melepaskan golok dan menarik tangan djuga sudah terlambat.

Baru sadja terkilas pikiran demikian dibenak An Hong-djit, tahu2 pedang Tjiok Djing telah tertahan mentah2 ditengah djalan, tidak memotong terus, sebaliknja tertarik kembali beberapa senti djauhnja.

An Hong-djit insaf lawannja sengadja bermurah hati padanja, kalau kesempatan itu tidak digunakan untuk melepaskan golok mungkin akan membawa akibat lebih djelek lagi, maka terpaksa ia mendjatuhkan sendjatanja.

Tak terduga, mendadak pedang hitam lawan lantas memutar kebawah golok sehingga golok emas itu tersanggah dan tidak sampai djatuh ketanah. Bahkan terdengar Tjiok Djing sedang berkata: “Kekuatan kita adalah setanding dan susah menentukan menang atau kalah.” – Ketika pedang sedikit mentjukit, segera golok emas itu mentjelat keatas.

Sungguh terima kasih An Hong-djit tak terkatakan, tjepat ia pegang kembali goloknja itu. Ia tahu lawan jang berbudi itu sengadja menjelamatkan mukanja, maka tjepat ia menegakkan golok dan memberi hormat, itulah djurus terachir dari Bik-kwa-to jang bernama “Lam-hay-pay-hud” atau menjembah Budha dilautan kidul.

Sampai disini An Hong-djit lebih terkedjut sehingga air mukanja berubah. Kiranja sampai saat terachir ini djusteru dia telah selesai memainkan “Bik-kwa-to” jang meliputi 72 djurus itu. Djika demikian, terang Tjiok Djing sangat paham ilmu golok andalannja ini dan dirinja baru dikalahkannja pada djurus jang ke-71 tadi, jaitu djurus terachir, ditambah dengan djurus penutup “Lam-hay-pay-hud”. Tjoba kalau Tjiok Djing mau mendjatuhkan dia dengan lebih tjepat, rasanja bukan soal sulit baginja.

Dan baru sadja An Hong-djit hendak mengutjapkan beberapa patah rasa terima kasihnja, disebelah sana Tjiok Djing sudah memasukkan kembali pedangnja dan berkata sambil merangkap kedua kepalan tangan: “Orang she Tjiok merasa beruntung mengikat persahabatan dengan An-tjetju, maka pertandingan kita ini tidak perlu diteruskan lagi. Kapan2 kalau An-tjetju lalu ditempat kami, diharap sudilah mampir buat tinggal beberapa hari disana.”

“Terima kasih atas undangan Tjiok-tjengtju,” sahut Hong-djit dengan wadjah kikuk. Mendadak ia melompat keatas, ia tjabut pedang Pun-khong Todjin jang ditimpukkan oleh Tjiok Djing tadi dan mengambil bungkusan ketjil jang terpaku dibatang pohon itu. Kemudian dengan penuh hormat, ia persembahkan bungkusan itu kehadapan Tjiok Djing dan berkata: “Silakan Tjiok-tjengtju ambil sadja!”

Rupanja dia merasa pamornja telah diselamatkan oleh Tjiok Djing, pula djari tangannja tidak sampai terkutung, maka ia merasa sangat berterima kasih dan rela menjerahkan benda itu.

Tak terduga Tjiok Djing itu tidak mau menerimanja, ia memberi hormat dan berkata: “Sampai bertemu pula!” – Lalu putar tubuh dan tinggal pergi.

“Tunggu dulu, Tjiok-tjengtju,” seru An Hong-djit. ‘Tjengtju telah mendjaga nama baik orang she An ini, masakah aku sendiri tidak tahu? Sudah terang diriku telah kalah habis2an dan benda ini sudah seharusnja mendjadi bagian Tjiok-tjengtju, kalau tidak bukankah diriku akan dikatakan sebagai manusia rendah jang tidak kenal budi kebaikan?”

“An-tjetju,” sahut Tjiok Djing dengan tersenjum, “Pertandingan tadi belum lagi terang siapa jang menang atau kalah, kepandaian An-tjetju jang lain seperti Tjeng-liong-to dan Toan-bun-to jang hebat itu belum lagi dikeluarkan, mana boleh engkau dianggap sudah kalah? Pula, isi bungkusan itu toh tidak terdapat benda jang ditjari itu, mungkin Tjiu-siheng telah ditipu orang!”

An Hong-djit tertjengang oleh djawaban itu. “Isi bungkusan ini tiada terdapat benda itu!” ia menegas. Tjepat ia membuka bungkusan itu selapis demi selapis. Sesudah lima lapis, achirnja barulah kelihatan isinja, jaitu terdiri dari tiga titik hitam belaka. Waktu diperiksa, kiranja adalah tiga bidji kutu busuk jang sudah mati.

Melihat isi bungkusan jang sangat mengetjewakan itu, sungguh kedjut dan gusar An Hong-djit tak terkirakan. Tapi ia masih dapat menahan perasaannja, ia berpaling dan tanja kepada Tjiu Bok: “Tjiu-hengte, se…… sebenarnja apa2an ini?”

“Aku……… aku sendiripun tidak tahu,” sahut Tjiu Bok dengan gelagapan. “Dari tubuh Go To-it hanja dapat diketemukan bungkusan ketjil ini, lain tidak.”

Segera An Hong-djit tahu bahwa benda mestika itu tentu telah disembunjikan oleh Go To-it atau sudah diberikan kepada orang lain. Djadi usahanja ini bukan sadja sia2 belaka, bahkan telah mendjatuhkan nama baik Kim-to-tje.

Ia membuang bungkusan kosong itu, lalu katanja kepada Tjiok Djing: “Sungguh membikin malu sadja pekerdjaan kawan2 kami ini. Tapi entah darimana Tjiok-tjengtju mengetahui tentang isi bungkusan ini?”

“Ah, Tjayhe djuga tjuma sembarangan menerka sadja,” sahut Tjiok Djing dengan tersenjum. “Njata kita sama2 telah dikelabui orang, diharap An-tjengtju saling memaklumi.”

Habis berkata, kembali ia memberi salam kepada Pang Tjin-bu, Pun-khong Todjin dan Tjiu Bok, lalu melangkah pergi dengan tjepat. Setiba ditempat api unggun, ia berkata kepada Bin Dju: “Niotju (istriku), marilah berangkat!” – Kedua orang lantas mentjemplak keatas kuda masing2 dan menudju kearah darimana mereka datang tadi.

Melihat air muka sang suami, tak ditanja djuga Bin Dju mengetahui usaha mereka ini telah sia2. Entah mengapa hatinja mendjadi pilu dan air matanja ber-linang2.

“Engkau tidak perlu kesal, isteriku,” kata Tjiok Djing. “Kim-to-tje sendiri djuga tertipu. Biarlah kita menggeledah pula djenazah Go To-it itu, boleh djadi orang2 Kim-to-tje itu jang telah salah mata dan benda mestika itu masih tertinggal disana.”

Walaupun tahu usaha mereka tentu akan sia2 pula, tapi Bin Dju tidak ingin membantah maksud sang suami itu, dengan suara terguguk, ia menjatakan baik. Segera kuda2 hitam-putih itu berlari pula kearah Hau-kam-tjip. Sungguh tjepat sekali kekuatan lari kuda2 itu, kira2 lohor mereka kembali sudah berada dikota ketjil itu.

Dalam pada itu, rasa panik penduduk kota itu belum lagi lenjap, maka tiada suatu tokopun jang membuka pintu. Laporan tentang datangnja kawanan bandit jang telah membunuh orang dan merampok harta benda kemarin itu oleh petugas setempat sudah disampaikan kepada pembesar kota Khay-hong. Tapi pemeriksaan belum dilakukan, mungkin pembesar2 dikota itupun takut kepada kawanan bandit, kalau lebih lama tentu akan lebih selamat, demikian perhitungan mereka.

Ketika Tjiok Djing berdua sampai pula didekat djenazah Go To-it tertampak dipodjok dinding sana berduduk seorang pengemis ketjil berusia antara 12-13 tahun, selain itu tiada orang lain lagi.

Segera Tjiok Djing memeriksa dan menggeledah dengan teliti sekudjur badan Go To-it, sampai2 gelung rambutnja djuga dilepas, sepatu dan kaos kaki djuga ditjopot untuk diperiksa. Sedangkan Bin Dju mentjari kedalam kedai siopia.

Tapi achirnja suami-isteri itu hanja menghela napas belaka. Kata Bin Dju: “Siangkong (suamiku), tampaknja sakit hati kita ini ditakdirkan takkan terbalas. Selama beberapa hari ini sudah terlalu membikin tjapek engkau, marilah kita pesiar sadja kekota Khay-hong, disana kita dapat melihat sandiwara dan menonton wajang.”

Tjiok Djing tjukup kenal baik watak sang isteri jang suka kepada ketenangan dan tidak suka menonton sandiwara apa segala. Bahwasannja sekarang isterinja mengadjak pesiar kekota Khay-hong adalah ingin membikin senang padanja, maka iapun mendjawab: “Baiklah, kita sudah datang ke Holam sini, sudah selajaknja kita pesiar ke Khay-hong. Konon pandai emas dikota itu sangat terkenal, marilah kita mentjari beberapa bentuk perhiasan jang indah.”

Didunia persilatan Bin Dju terkenal akan ketjantikannja. Memangnja dia suka bersolek, apalagi wanita jang sudah menandjak setengah umur, tentu akan lebih memperhatikan soal dandan. Sekarang usaha suami-isteri itu tiada membawa hasil apa2, dalam keadaan kesal, terpaksa mereka mentjari kesenangan lain sekadar pelipur hati.

Begitulah maka Bin Dju telah mendjawab sang suami dengan tersenjum pedih: “Sedjak anak Kian meninggal, selama 13 tahun ini perhiasan jang kau belikan untukku rasanja sudah tjukup untuk membuka sebuah toko perhiasan.”

Berkata tentang “meninggalnja anak Kian”, kembali air mata Bin Dju bertjutjuran. Sekilas terlihat olehnja sipengemis ketjil jang duduk sembunji2 dipodjok dinding sana dengan rasa takut2 dan keadaan kotor tak terurus, tiba2 timbul rasa kasihannja, segera ia bertanja: “Dimanakah ibumu? Mengapa mendjadi pengemis?”

“Ib…….. ibuku tidak tahu kemana,” sahut pengemis tjilik itu. Bin Dju menghela napas dan mengeluarkan serentjeng uang perak dan dilemparkan kepada pengemis ketjil itu, katanja: “Ini buat beli siopia!” – Lalu ia menarik les kuda dan melarikannja sambil menoleh dan bertanja pula: “Nak, kau she apa dan siapa namamu?”

“Aku…………….. aku bernama Kau-tjap-tjeng (anak andjing),” sahut sipengemis tjilik.

Tjiok Djing meng-geleng2 kepala mendengar djawaban itu. “Rupanja seorang anak gendeng!” udjarnja.

“Ja, sungguh kasihan,” kata Bin Dju.

Sambil bitjara kedua orang lantas melarikan kuda mereka kedjurusan kota Khay-hong. Tertinggal sidjembel tjilik jang masih meringkuk sendirian berkawankan djenazah Go To-it.

Jilid 3

Seperti diketahui pengemis tjilik itu telah pingsan saking ketakutan karena diuber oleh “majat hidup” Go To-it dan sampai hari sudah terang baru dia siuman. Tapi rasa takutnja itu rupanja terlalu hebat, begitu membuka mata dan melihat djenazah Go To-it jang berlumuran darah itu menggeletak disampingnja, maka kembali ia djatuh kelenger lagi. Agak lama kemudian barulah dia sadar pula.

Waktu Tjiok Djing berdua datang, saat itu sidjembel tjilik itu baru sadar dan mestinja ingin melarikan diri. Tapi dilihatnja Tjiok Djing telah mengangkat dan membalik djenazah jang mengerikan itu, dalam ketakutan dia mendjadi tak berani bergerak. Tak terduga achirnja dia mendapat persen serentjeng uang perak dari wanita tjantik itu jang menjuruhnja membeli siopia.

“Beli siopia? Bukankah aku sudah punya?” demikian pikirnja. Segera ia angkat tangan kanan, benar djuga siopia jang baru digigitnja sekali itu masih tergenggam didalam tangan. Karena rasa takutnja mulai hilang, seketika ia merasakan perutnja kelaparan. Segera ia menggeragot siopia itu dengan lahapnja Tapi baru sekali menggigit, “krek” giginja terasa kesakitan karena menggigit benda sekeras besi. Waktu dia menarik siopia itu, terasa mulutnja sudah tertambah sepotong benda keras, tjepat ia menumpahkan benda itu ditangan kiri, kiranja adalah sepotong besi ketjil jang gepeng tipis dan berwarna hitam.

Ia pandang besi ketjil itu dengan heran, ia tidak mengarti mengapa didalam siopia bisa tertjampur benda demikian. Tapi benda besi itu tidak dibuang olehnja, sesudah memeriksa siopia itu tiada terdapat benda lain lagi, segera ia makan kembali siopia itu.

Hanja dalam sekedjap itu siopia itu sudah dilalap habis. Pandangannja segera beralih kepada belasan buah siopia jang telah petjah dan terserak disekitar majat Go To-it, pikirnja: “Siopia jang telah dirusak setan entah boleh dimakan atau tidak?”

Sedang ragu2, tiba2 terdengar diatas kepalanja ada suara orang berkata: “Kepung sekeliling sini!”

Keruan dia terkedjut: “Mengapa diatas kepalaku ada suara orang?” – Waktu dia mendongak, tertampaklah diatas wuwungan rumah telah berdiri tiga orang laki-laki berdjubah putih. Menjusul dari belakang terdengar pula suara mendesir, ada orang telah melompat tiba.

Waktu pengemis tjilik itu berpaling, terlihat empat orang berdjubah putih dengan pedang terhunus tahu2 sudah mengepung dari kanan-kirinja. Melihat sinar pedang jang gemilapan itu, si pengemis tjilik mendjadi menggigil ketakutan.

Pada saat itulah tiba2 terdengar pula suara derapan kuda, seorang penunggang kuda sedang mendatangi setjepat terbang dan terdengar seruannja: “Apakah kawan2 Swat-san-pay disitu? Maafkan orang she An tidak memberi sambutan atas kundjungan kalian ke Holam sini.” Hanja sekedjap sadja seekor kuda berbulu kuning sudah menerdjang tiba, penunggangnja seorang laki2 pendek gemuk berewok. Sesudah dekat, sama sekali dia tidak menahan kudanja tapi terus melompat turun begitu sadja. Sedangkan kuda kuning itu masih terus berlari kedepan dan berputar satu kali, lalu berhenti dikedjauhan sana. Njata seekor kuda jang sudah terlatih dengan baik.

Berbareng tiga orang berdjubah putih jang berada diatas rumah tadi melajang turun, semuanja siap-siaga memegang gagang pedang mereka. Seorang diantaranja jang kekar dan berusia 40-an tahun segera berkata: “Kiranja An-tjetju dari Kim-to-tje. Selamat bertemu!” – Sambil berkata sembari mengedipi kawan2nja jang berdiri dibelakang An Hong-djit.

Pendatang baru ini memang betul adalah An Hong-djit. Dia telah dikalahkan oleh Tjiok Djing, sudah tentu dia patah semangat. Tapi dia adalah seorang jang berdjiwa besar, kalah atau menang baginja adalah soal lumrah. Tapi lantas terpikir pula olehnja: “Untuk apalagi Tjiok-tjengtju suami-isteri pergi pula ke Hau-kam-tjip? Ah, tentu disebabkan tertipunja Tjiu-site, maka mereka suami-isteri hendak kembali kesana untuk mentjari benda itu. Aku adalah djago jang sudah keok ditangannja, kalau benda itu dapat diketemukan mereka itu, terpaksa aku membiarkannja. Tetapi kalau mereka tidak dapat mentjarinja, kenapa aku tidak mentjarinja pula untuk tjoba2 peruntungan? Benda itu tentu disembunjikan disuatu tempat jang dirahasiakan oleh Go To-it, kalau ditjari dan digeledah sepuluh kali tidak ketemu, kenapa aku tidak boleh mentjarinja untuk kesebelas kalinja?”

Begitulah, sesudah ambil keputusan itu, segera ia mentjemplak kuda dan menjusul ke Hau-kam-tjip. Karena kudanja kalah tjepat daripada kuda2nja Tjiok Djing berdua, pula tidak berani mengintil terlalu dekat, maka sesudah tjukup lama Tjiok Djing memeriksa dan menggeledah djenazah Go To-it serta kedainja, lalu tinggal pergi, kemudian barulah An Hong-djit sampai di kota itu.

Dengan matanja jang tadjam dari djauh An Hong-djit lantas melihat bajangan orang jang muntjul di atas rumah. Dari dandanan dan sendjata jang mereka bawa, Hong-djit menduga pasti anak murid dari Swat-san-pay jang terletak diperbatasan Sutjwan dan Setjong (Tibet).

Sesudah dekat, tertampak pula beberapa orang berdjubah putih itu sedang mentjurahkan perhatiannja seperti sedang menghadapi musuh tangguh. Semula Hong-djit mengira orang-orang itu hendak mengadakan sergapan terhadap Tjiok Djing suami-isteri, karena mengingat kebaikan Tjiok Djing, maka Hong-djit lantas berseru dari djauh dengan maksud menggagalkan sergapan orang2 Swat-san-pay. Tak terduga sampai ditempatnja, bajangan Tjiok Djing berdua tidak kelihatan, sebaliknja jang dikepung oleh tudjuh orang Swat-san-pay itu adalah seorang pengemis ketjil.

Sudah tentu An Hong-djit sangat heran, ia tjoba memperhatikan keadaan pengemis ketjil jang kotor dan kurus itu, tampaknja toh bukan seorang jang mahir ilmu silat. Tapi sekilas terlihat olehnja seorang Swat-san-pay itu sedang mengedipi kawannja, hal ini lantas menimbulkan tjuriga An Hong-djit. Maka kembali ia mengamat-amati keadaan sidjembel tjilik itu.

Sekali pandang seketika hatinja tergetar hebat. Ternjata tangan kiri sipengemis ketjil tertampak memegang sepotong benda ketjil warna hitam, bentuknja mirip benar dengan ‘Hian-tiat-leng’ (medali besi) jang selalu mendjadi bahan bitjara didunia persilatan itu.

Waktu dilihatnja sendjata keempat lelaki djubah putih dibelakangnja bergerak gemerlapan seperti akan mengerubut madju untuk merebut, tanpa pikir lagi An Hong-djit lantas mengeluarkan goloknja dan tubuhnja bergerak tjepat mengitari sipengemis ketjil satu keliling, goloknja membatjok kekanan dan kekiri, kedepan dan kebelakang, hanja dalam sekedjap sadja ia sudah menjerang kedelapan pendjuru dan setiap djurusan tiga kali batjokan, djadi seluruhnja 24 kali batjokan, sinar golok itu hanja belasan senti sadja diluar tempat duduk sipengemis ketjil sehingga djembel tjilik itu se-olah2 terbungkus rapat didalam sinar golok jang berwarna emas itu.

Karena merasa silau dan tersambar oleh angin tadjamnja golok, sipengemis ketjil mendjadi ketakutan dan mendadak menangis.

Hampir pada saat sipengemis ketjil itu mulai menangis, serentak ketudjuh orang berdjubah putih itupun memainkan pedang mereka sehingga berwudjut sebuah djaring2an sinar putih jang mengitari An Hong-djit dan sidjembel tjilik. Namun demikian mereka tidak lantas menjerang.

Pada saat lain tiba2 terdengar suara derapan kuda pula, seekor kuda putih dan seekor kuda hitam tampak mendatangi dengan tjepat. Kiranja adalah Tjiok Djing dan Bin Dju jang telah kembali lagi.

Kiranja tidak djauh sesudah Tjiok Djing berdua berangkat, mereka lantas melihat gerak-gerik anak murid Swat-san-pay jang mentjurigakan. Tiba2 timbul pikiran lain pada benak mereka maka tjepat mereka memutar balik. Dari djauh Tjiok Djing lantas berseru: “Kawan2 Swat-san-pay dan An-tjetju, kita semuanja sahabat, kalau ada urusan apa-apa boleh bitjara setjara baik2 sadja supaja tidak selisih paham.”

Seorang lelaki tinggi besar di pihak Swat-san-pay adalah pemimpinnja, sekali pedangnja menegak, serentak kawan2nja berhenti memainkan sendjata mereka. Tapi mereka masih berdiri disekeliling An Hong-djit.

Mendadak Tjiok Djing dan Bin Dju bersuara heran bersama ketika melihat tangan kiri sipengemis tjilik memegang sepotong pelat besi ketjil, tjuma mereka tidak tahu apakah benda ini adalah benda mestika jang sedang ditjari itu.

Segera Tjiok Djing tanja sidjembel tjilik. “Adik ketjil, benda apakah jang kau pegang itu, maukah perlihatkan padaku?”

Diam2 iapun sudah ambil keputusan bahwasanja An Hong-djit tentu takkan merintangi dia, maka begitu sidjembel tjilik menjodorkan tangannja, seketika ia akan menerobos ketengah kepungan orang2 Swat-san-pay untuk merebut benda itu, ia menaksir anak murid Swat-san-pay itu tidak mampu merintangi dirinja.

Tapi silelaki tegap berdjubah putih tadi sudah membuka suara: “Tjiok-tjengtju, kami inilah jang melihatnja lebih dahulu.”

“Kheng-suheng,” Bin Dju ikut bitjara, “boleh djuga kau tanja adik tjilik itu, serentjeng uang perak disampingnja itu apakah bukan pemberianku?”

Maksud utjapan ini sangat djelas jaitu ingin menundjukkan bahwa sedari tadi dia sudah memberi uang, dengan sendirinja sudah lebih dulu ia melihat pengemis itu.

Lelaki tegap berdjubah putih itu she Keng bernama Ban-tjiong, terhitung tokoh utama dari murid angkatan kedua Swat-san-pay. Maka dia telah mendjawab: “Tjiok-hudjin, boleh djadi suami-istri kalian telah melihat adik tjilik ini lebih dulu namun ‘Hian-tiat-leng’ ini adalah kami jang melihatnja lebih dulu.”

Begitu nama “Hian-tiat-leng” disebut, seketika hati Tjiok Djing, Bin Dju dan Ang Hong-djit terkesiap dan sama memikir: “Kiranja benar Hian-tiat-leng adanja!” – Begitu pula keenam orang Swat-san-pay jang lain djuga mengundjuk rasa agak heran.

Padahal mereka bertudjuh tiada pernah memperhatikan benda besi jang dipegang sipengemis ketjil itu, hanja karena melihat Tjiok Djing suami isteri dan An Hong-djit sedemikian sungguh2 membela sidjembel tjilik itu, maka mereka jakin besi ketjil itu pasti medali wasiat jang sedang ditjari itu.

Sebaliknja Tjiok Djing bertiga djuga mempunjai pikiran serupa: “Kheng Ban-tjiong dari Swat-san-pay ini sangat luas pengetahuannja dan tjerdik pula, kalau dia sampai mengintjar kepada besi ketjil itu, tentu tidak salah lagi benda itu pasti medali wasiat.”

Karena pikiran jang sama itu, tanpa merasa kesepuluh orang itu serentak mendjulurkan tangan kearah sipengemis ketjil dan berkata: “Adik tjilik, berikan padaku sadja benda itu!”

Tapi tiada seorangpun diantara kesepuluh orang itu berani main merebut, sebab mereka tahu sekali mendahului main serobot, tentu jang lain2 akan serentak menjerangnja. Dari itu mereka hanja berharap sipengemis ketjil mau menjerahkan kepada mereka dengan sukarela.

Sudah tentu sidjembel tjilik tidak tahu bahwa jang diminta oleh kesepuluh orang itu adalah besi ketjil jang hampir2 membikin rompang giginja tadi. Sebaliknja ia mendjadi bingung dan takut serta menangis pula.

“Lebih baik berikan padaku sadja!” tiba2 terdengar suara parau seseorang, berbareng sesosok bajangan telah menjusup ketengah kalangan, sekali sambar seketika besi ketjil jang dipegang sipengemis ketjil itu sudah direbut olehnja.

Serentak terdengar pula suara bentakan orang banjak: “Hai, mau apa? – Lepaskan! – Bangsat kurang adjar! – Persetan!” dan sebatang golok emas berbareng lantas menjambar kearah bajangan orang itu.

An Hong-djit berada paling dekat dengan sidjembel tjilik tadi, maka sekali goloknja bergerak, dengan djurus “Pek-hong-koan-djit” (pelangi putih menembus tjahaja matahari), kontan ia membatjok kepala penjerobot itu Sedangkan anak murid Swat-san-pay jang sudah terlatih baik itu, sekaligus tudjuh pedang mereka lantas menusuk tempat2 jang berbahaja dan berlainan ditubuh lawan sehingga lawan susah untuk mengelakkan diri.

Sebaliknja Tjiok Djing dan Bin Dju sekilas itu belum djelas siapakah penjerobot jang sebat itu, maka mereka tidak mau menggunakan tipu serangan kedji, sinar pedang mereka hanja berputar dan mengurung lawan dibawah antjaman sepasang pedang hitam-putih mereka.

Akan tetapi mendadak terdengar suara “trang-tring” jang ber-ulang2, kedua tangan penjerobot itu bergerak naik-turun dengan tjepat, entah dengan tjara apa, hanja dalam sekedjap sadja tahu2 golok emas An Hong-djit dan tudjuh pedang anak murid Swat-san-pay itu sudah terampas semua olehnja.

Tjiok Djing dan Bin Dju djuga lantas merasa lengan mereka linu pegal dan pedang mereka hampir2 terlepas dari tjekalan, untung mereka sempat melompat mundur dengan tjepat. Air muka Tjiok Djing mendjadi putjat, sebaliknja muka Bin Dju merah djengah.

Padahal gabungan pedang hitam-putih Tjiok-tjengtju suami-isteri dari Hian-so-tjeng boleh dikata hampir tiada tandingannja didunia ini, tapi tadi pedang mereka hanja kena selentikan djari orang itu dan hampir2 terlepas dari tjekalan, hal ini benar2 belum pernah terdjadi sedjak mereka mendjagoi dunia persilatan selama hidup ini. Keruan Tjiok Djing dan Bin Dju sangat terkedjut.

Waktu mereka memperhatikan penjerobot itu, tertampaklah golok emas dan tudjuh batang pedang rampasan itu telah menantjap diatas tanah disekeliling orang itu. Orang itu berdjubah hidjau dan berdjenggot pendek, usianja kira2 setengah abad, air mukanja bersemu kehidjau2an dan memperlihatkan perasaan jang tak terkatakan girangnja. Tiba2 Tjiok Djing teringat kepada seorang, tanpa merasa ia bertanja: “Apakah tuan ini adalah pemilik daripada Hian-tiat-leng ini?”

“Hehehe!” orang itu tertawa. “Pedang hitam-putih Hian-so-tjeng sangat tersohor didunia Kang-ouw dan njatanja memang bukan omong-kosong. Lohu (aku jang tua) tadi telah menggunakan satu bagian tenagaku untuk melajani kedelapan sobat ini dan memakai sembilan bagian tenaga untuk menghadapi suami-isteri kalian, tapi toh masih tidak dapat merampas pedang kalian. Ai, kepandaianku ‘Tan-tji-sin-thong’ (ilmu sakti menjelentik dengan djari) ini tampaknja perlu dilatih sepuluh tahun lagi.”

Mendengar itu Tjiok Djing mendjadi lebih jakin lagi dengan siapa dia sedang bitjara. Segera ia memberi hormat dan berkata pula: “Kami suami isteri kebetulan lewat disini dan sebenarnja ingin naik ke Mo-thian-kay (tebing pentjakar langit) untuk menjampaikan salam kepada tuan, syukurlah disini sudah dapat bertemu, maka tidaklah sia2 perdjalanan kami ini. Tentang kepandaian kami jang kasar ini sudah tentu tiada harganja dalam pandangan tuan, harap tidak mendjadi buah tertawaanmu. Adapun hari ini tuan sendiri sudah menarik kembali medali wasiat itu dari peredaran, sungguh harus dibuat girang dan diberi selamat.”

Karena utjapan Tjiok Djing itu, diam2 ketudjuh orang Swat-san-pay membatin: “Apakah mungkin orang berdjubah hijdau ini benar2 adalah pemilik medali wasiat jang bernama Tjia Yan-khek itu? Kalau melihat rupanja toh tiada sesuatu jang luar biasa dan susah untuk dipertjaja bahwa dia adalah tokoh jang namanja membikin rontok njali setiap orang Bu-lim itu. Tapi bila melihat tjaranja sekali gebrak sadja sudah mampu merampas pedang2 kami, mau-tak-mau orang harus mengakui betapa lihaynja dan selain Tjia Yan-khek rasanja tiada tokoh lain lagi.”

Orang itu memang benar adalah Tjia Yan-khek jang bersemajam diatas Mo-thian-kay. Kembali ia bergelak tertawa, katanja kemudian: “Tadi Tjayhe telah berlaku kasar, diharap Tjia-tjianpwee suka memaafkan dan terimalah salamku ini.”

Berkata sampai disini, medali wasiat jang berada ditangan kirinja itu dilemparkannja ditelapak tangannja sendiri, lalu dengan tersenjum ia berkata pula: “Tjuma sadja hari ini hatiku kebetulan sedang senang, maka batjokan ini boleh kutitip dahulu. Dan kau djuga telah menusuk dadaku, kau menusuk pahaku, kau menusuk pinggangku, kau menabas betisku..........” Sembari bitjara, ia sambil menuding2 ketudjuh orang Swat-san-pay itu.

Keruan ketudjuh orang Swat-san-pay itu tambah kaget demi mendengar orang dapat menguraikan dengan djitu tipu serangan dan tempat jang diarah jang dilakukan serentak dalam sekedjap tadi, bahkan siapa menjerang dan tempat jang diarah, semuanja dapat dikatakan dengan djelas, melulu ketadjaman mata dan daja ingatan ini sadja orang lain pasti tidak dapat memadai.

Dalam pada itu terdengar Tjia Yan-khek sedang melandjutkan: “Semua utang kalian ini biarlah sementara ini kutjatat sadja didalam buku, kapan2 kalau aku merasa sebal barulah aku akan mendatangi kalian untuk menagih utang.”

Salah seorang Swat-san-pay jang agak pendek rupanja merasa penasaran, tiba2 ia berteriak: “Kepandaian kami memang lebih rendah, kalau sudah kalah biarlah kalah, kenapa kau mesti mengutjapkan kata2 jang menghina? Kau bilang mentjatat utang apa? Kalau mau boleh lantas balas menusuk aku sadja, siapa jang sudi main utang2an dengan kau?”

Orang ini bernama Ong Ban-djim, wataknja berangasan dan enggan mengalah, biarpun tahu musuh terlalu lihay djuga tidak sudi nama baik Swat-san-pay mereka dihina.

Tak terduga Tjia Yan-khek lantas mengangguk dan berkata: “Baik!” – Mendadak ia tjabut pedang rampasan dari Ong Ban-djim tadi terus menusuk kedepan.

Tjepat Ong Ban-djim melompat mundur kebelakang untuk menghindarkan tusukan itu. Tak tersangka serangan Tjia Yan-khek itu terlalu tjepat datangnja, baru tubuh Ong Ban-djim terapung, tahu2 udjung pedang sudah menjentuh dadanja. Sekali tangan Tjia Yan-khek menjendal, segera ia tarik kembali pedangnja.

Waktu Ong Ban-djim berdiri kembali diatas tanah, mendadak ia merasa dadanja silir2 dingin. Waktu ia menunduk, tanpa merasa ia berseru kaget. Ternjata badju dadanja telah berlubang sebuah lingkaran bundar sebesar tjangkir sehingga kelihatan kulit dagingnja.

Rupanja, tahu2 Tjia Yan-khek sudah mengorek sebuah lingkaran ketjil sehingga tiga lapis badjunja seperti digunting sebuah lubang bundar. Tjoba kalau tusukan itu diteruskan kedepan, tentu ulu hatinja sudah dikorek keluar oleh pedang Tjia Yan-khek tadi. Keruan Ong Ban-djim ternganga dengan muka putjat.

Sebaliknja tidak kepalang kagumnja An Hong-djit, tanpa merasa ia bersorak: “Ilmu pedang bagus!”

Bitjara tentang djurus ilmu pedang jang dimainkan Tjia Yan-khek barusan sebenarnja Tjiok Djing suami-isteri djuga sanggup melakukannja, tjuma dalam hal ketjepatan, bahkan lawan sudah mengetahui tempat jang akan diserang, namun demikian toh tetap takdapat mengelakkan diri, untuk inilah Tjok Djing dan Bin Dju tahu diri mereka tidak mampu menandinginja.

Begitulah maka suami-isteri itu telah saling pandang sekedjap dengan rasa tjemas dan sajang, pikir mereka: “Betapa aneh ilmu silat tokoh ini ternjata memang susah diukur. Dasar nasib kami jang djelek, tjoba kalau Hian-tiat-leng itu dapat direbut oleh kami, tentu sakit hati kami akan terbalas dengan mudah!” Dalam pada itu Tjia Yan-khek hanja mendengus sadja atas sorakan An Hong-djit tadi, lalu ia hendak melangkah pergi.

“Nanti dulu, Tjia-siansing!” tiba2 seorang wanita muda diantara anak murid Swat-san-pay telah berseru.

“Ada apa?” tanja Tjia Yan-khek sambil menoleh.

Wanita muda itu bernama Hoa Ban-tji. Setiap anak murid Swat-san-pay memakai huruf “Ban” dalam nama mereka. Dia lantas berkata: “Barusan Tjia-siansing telah bermurah hati dan tidak melukai Suko kami, sungguh kami merasa berterima kasih. Akan tetapi aku ingin tanya dulu, potongan besi jang kau ambil itu sebenarnja adalah Hian-tiat-leng atau bukan?”

“Kalau betul mau apa, kalau bukan lantas bagaimana?” sahut Yan-khek dengan sikap angkuh.

“Kalau bukan medali besi wasiat, maka kami be-ramai2 akan mentjarinja lagi,” kata Hoa Ban-tji. “Dan kalau benda itu adalah medali wasiat, maka engkaulah jang telah berbuat salah.”

“Djangan banjak bitjara, Hoa-sumoay!” bentak Kheng Ban-tjiong.

Dilain pihak air muka Tjia Yan-khek sekilas telah bersemu hidjau, lalu tenang kembali.

Semua orang mengetahui bahwa sifat Tjia Yan-khek itu sangat kedjam dan suka membunuh, kelakuannja aneh, setempo baik, tapi lain saat sudah djahat pula. Tindak-tanduknja hanja tergantung kepada kesukaannja pada seketika itu sadja, selama ini entah sudah berapa banjak orang2 Kang-ouw jang telah mendjadi korban keganasannja, entah dia dari golongan Hek-to (kalangan pendjahat) atau dari golongan Pek-to (kaum kesatria).

Tapi lantaran ilmu silatnja memang benar2 sangat lihay, djedjaknja djuga tak menentu, meski tidak sedikit musuhnja telah mentjari dia dan ingin menuntut balas, namun selalu mereka diketemukan sudah mati ditengah djalan setjara aneh. Selama tahun2 terachir ini, musuh2nja boleh dikata sudah hampir terbunuh olehnja, sisanja merasa tidak sanggup melawannja dan terpaksa membatalkan maksud mereka untuk menuntut balas.

Hari ini dia telah dikerubut sepuluh orang dan seorangpun ternjata tak diganggu olehnja, hal itu boleh dikata sesuatu jang tak pernah terdjadi sebelumnja. Tak terduga Hoa Ban-tji dari Swat-san-pay itu masih usilan dan berani mengadjukan pertanjaan segala, hal ini bukan sadja membuat kawan2nja merasa kuatir, bahkan Tjiok Djing dan lain2 djuga ikut tjemas.

Tapi Tjia Yan-khek lantas angkat medali besi itu keatas sambil membatja dengan suara lantang: “Hian-tiat-tji-leng, yu-kin-pit-eng (dengan pembuktian medali ini, setiap permintaan tentu terpenuhi)!” – Lalu ia membalik medali itu dan membatja pula huruf disebelahnja: “Tertanda Tjia Yan-khek di Mo-thian-kay.”

Dan sesudah berhenti sedjenak, kemudian katanja pula: “Medali ini adalah buatan dari besi murni jang djarang terdapat didunia ini dan tidak mempan segala matjam sendjata tadjam.” – Segera ia mentjabut sebatang pedang jang menantjap di atas tanah terus membatjok medali besi jang dipegangnja itu. “Tjring”, mendadak pedang patah mendjadi dua, sebaliknja medali itu tidak rusak barang sedikitpun.

Mendadak Tjia Yan-khek menarik muka dan bertanja dengan suara bengis: “Nah, mengapa kau bilang aku berbuat salah?”

Dengan tenang Hoa Ban-tji mendjawab: “Menurut tjerita kawan kalangan Kang-ouw, katanja Tjia-siansing mempunjai tiga bentuk medali wasiat serupa itu dan masing2 telah dihadiahkan kepada tiga orang sahabat jang pernah menolong Tjia-siansing, dengan pesan asal membawa medali itu dan diperlihatkan kepada Tjia-siansing, maka pembawa medali itu boleh meminta kau melakukan suatu urusan, biarpun urusan jang betapa sulitnja pasti djuga akan dilakukan oleh Tjian-siansing. Tentang ini tentunja tidak salah, bukan?”

“Ja, betul,” sahut Tjia Yan-khek. “Hal ini diketahui oleh setiap orang Bu-lim.” – Dari sikapnja terlihat rasa bangganja jang tak terhingga.

Maka Hoa Ban-tji berkata pula: “Konon dua diantara ketiga medali itu sudah diterima kembali oleh Tjia-siansing, dan oleh karena itu didunia persilatan pernah djuga terdjadi peristiwa jang mengguntjangkan. Dan medali sekarang ini apakah benar adalah medali jang terachir itu, bukan?”

Air muka Tjia Yan-khek tampak tenang kembali demi mendengar kata2 tentang “dua peristiwa jang pernah mengguntjangkan dunia persilatan” itu, sahutnja: “Ja, memang betul. Adapun kawanku jang memegang medali ketiga ini sudah lama wafat. Dia sendiri memiliki ilmu silat mahatinggi dan tiada sesuatu urusan jang susah dilakukan olehnja, maka medali ini sesungguhnja tiada gunanja buat dia. Karena dia tidak mempunjai anak, sesudah wafat medali ini lantas djatuh ditangan orang lain. Selama beberapa tahun ini semua orang setjara mati2an telah berusaha mendapatkan medali ini dengan harapan akan dapat memerintahkan aku melakukan sesuatu urusan sulit baginja. Tapi, hehehe, tidak njana hari ini medali ini telah kuterima kembali dengan mudah. Boleh djuga kukatakan padamu bahwa diterimanja kembali medali ini olehku, mungkin djuga hal ini akan mengetjewakan sobat2 kalangan Kang-ouw, tetapi boleh djadi hal ini malah akan banjak mengurangi malapetaka bagi kalian sendiri.”

Berkata sampai disini, tiba2 ia depak majat Go To-it sehingga terpental beberapa meter djauhnja, lalu menjambung pula: “Seperti setan ini, biarpun dia sudah memegang medaliku ini, tapi tidaklah gampang untuk menemui aku. Sebelum dia perlihatkan medali ini kepadaku, ternjata dia sendiri sudah mendjadi sasaran orang banjak sehingga binasa lebih dulu. Memangnja orang Bu-lim mana jang tidak ingin membunuhnja untuk merebut medali ini? Tjoba, sampai2 Tjiok-tjengtju suami-isteri jang tersohor djuga tidak terhindar dari keinginan demikian, apalagi orang lain? Haha, hehe, hehehe!”

Utjapan terachir jang bernada menjindir itu telah membuat Tjiok Djing merah djengah. Dikalangan Bu-lim biasanja dia sangat disegani, walaupun lahirnja dia ramah-tamah, tapi sesungguhnja apa jang dia utjapkan tiada pernah dibantah oleh siapapun. Tak terduga sekarang ia harus menerima olok2 Tjia Yan-khek didepan orang banjak. Sebagai seorang tokoh jang tinggi hati sudah tentu ia merasa malu atas perlakuan demikian. Lebih2 Bin Dju, isterinja itu mendjadi putjat pasi saking gusarnja, ber-ulang2 ia telah melirik sang suami, asal suaminja memberi tanda, serentak mereka akan mengadu djiwa dengan Tjia Yan-khek, walaupun insaf bukan tandingan lawan, tapi mereka tidak sudi menelan mentah2 hinaan itu.

Namun lantas terdengar Tjia Yan-khek telah berkata lagi: “Tjiok-tjengtju suami-isteri adalah pahlawan dan kesatria sedjati, bila medaliku ini didapatkan kalian, paling2 kalian hanja suruh Lohu melakukan sesuatu pekerdjaan sulit dan habis perkara. Tetapi bila medali ini diperoleh kaum kerotjo jang tak bermoral dan Lohu diperintahkan membikin tjatjat badannja sendiri sehingga mati tidak dan hidup djuga kepalang, wah, bukankah bisa berabe? Bahkan akan lebih tjelaka lagi kalau aku diperintahkan membunuh diri, kalau aku belum bosan hidup dan membangkang perintah, bukankah itu berarti aku telah mengingkari sumpah setia ‘permintaan tentu terpenuhi’ jang tertera diatas medali ini? Haha, rupanja peruntunganku masih lumajan djuga, sehingga dengan mudah medali ini dapat kuterima kembali. Haha, hahaha!” Suara tertawanja keras menggetar sukma. Ada beberapa penduduk Hau-kam-tjip jang sedang mengintip sampai mengkeret ketakutan demi mendengar suara tertawa jang menjeramkan itu.

Usia Hoa Ban-tji meski masih muda, tapi agak pemberani, dengan suara lantang ia masih berkata pula: “Tjia-siansing djangan buru2 senang dahulu. Pernah kudengar tjerita bahwa Tjia-siansing sendiri pernah bersumpah barang siapa jang menjerahkan medali itu padamu, maka engkau akan memenuhi sesuatu permintaannja, biarpun orang itu adalah musuh bebujutanmu djuga kau akan menurut dan takkan mentjelakai dia....................”

Berkata sampai disini, sementara itu orang2 jang menonton disekelilingnja telah bertambah pula, mereka adalah Pang Tjin-bu, Pun-khong Todjin, Tjiu Bok dan orang2 Kim-to-tje.

Dalam pada itu Hoa Ban-tjie telah melandjutkan: “Sekarang medali kau terima kembali dari adik tjilik itu, untuk mana kau toh belum tahu persoalan sulit apa jang akan dia minta agar dikerdjakan olehmu.”

“Tjis!” semprot Tjia Yan-khek. “Pengemis tjilik itu barang apa, masakah aku harus menurut perintahnja? Haha, hahaha! Benar2 menggelikan!”

“Nah, dengarlah kawan2 jang hadir disini, kiranja Tjia-siansing menganggap pengemis ketjil itu bukan manusia, maka sumpahnja dahulu takdapat dianggap!” seru Hoa Ban-tji.

Kembali air muka Tjia Yan-khek sekilas bersemu hidjau pula, pikirnja: “Kurang adjar! Perempuan ini sengadja membikin aku mendjadi serba salah sehingga ada kemungkinan orang Kang-ouw akan mengatakan sumpahku sebagai kentut sadja.” – Tapi mendadak tergetar pula batinnja: “Wah, tjelaka! Djangan2 pengemis tjilik adalah sekomplotan dengan mereka jang sengadja dipasang untuk mendjiret diriku, tadi sekaligus aku telah merebut kembali medali wasiat, sekarang tidak dapat dikembalikan lagi padanja.”

Ia lihat, pandangan semua orang terarahkan padanja, segera ia mendengus dan berkata dengan angkuh: “Hm, apakah didunia ini ada sesuatu urusan sulit jang takdapat dikerdjakan oleh orang she Tjia dari Mo-thian-kay? Pengemis tjilik, hajolah kau ikut padaku, ada urusan apa jang kau akan minta kukerdjakan djuga tiada sangkut-pautnja dengan orang luar.” – lalu ia gandeng tangan sidjembel tjilik dan hendak diadjak pergi.

Hendaklah maklum bahwa watak Tjia Yan-khek itu sangat tjerdik dan dapat berpikir djauh. Meski dia tidak pandang sebelah mata kepada djago2 silat jang mengelilinginja itu, tapi ia kuatir dibelakang pengemis ketjil itu ada orang pandai dan sengadja mengemukakan sesuatu persoalan sulit didepan orang banjak dan minta dia lakukan, umpama benar2 minta dia membikin tjatjat anggota badan sendiri dan sebagainja, hal ini tentu akan membuatnja serba susah, sebab itulah tjepat2 ia hendak membawa pergi sidjembel untuk ditanjai lebih djauh ditempat lain jang sepi.

Hoa Ban-tji lantas mendekati sipengemis ketjil, katanja dengan suara halus: “Adik tjilik, sungguh kau ini anak jang baik, Lopepek (paman tua) ini paling suka membunuh orang, maka lekas kau memohon dia selandjutnja djangan membu............” – Baru berkata sampai disini, se-konjong2 serangkum angin kuat menjampuk kemukanja sehingga kata2nja terputus ditengah djalan.

Kiranja Hoa Ban-tji sangat tjerdik, ia tahu apa jang telah dikatakan Tjia Yan-khek tentu akan dilaksanakannja. Tadi dirinja telah menusuk muka orang she Tjia itu dan dia menjatakan utang itu akan ditangguhkan dahulu dan akan ditagih setiap waktu dikemudian hari. Ini berarti pada setiap saat mukanja akan ditusuk pedang oleh Tjia Yan-khek, apalagi diantara para Suhengnja itu, ketjuali Ong Ban-djim jang utangnja telah dibajar kontan tadi, selebihnja masih belum membajar semua, maka utang2 itu kelak pasti akan mengakibatkan pertumpahan darah bila Tjia Yan-khek datang menagih. Sebab itulah sekarang ia sengadja menjerempet bahaja tanpa menghiraukan akan menimbulkan kemurkaan Tjia Yan-khek, ia suruh sipengemis ketjil itu lekas memohon Tjia Yan-khek agar untuk selandjutnja djangan membunuh orang lagi. Asal permintaan demikian itu diadjukan sipengemis ketjil, maka terpaksa Yan-khek harus menurut dan itu berarti djiwanja sendiri dan keselamatan para Suhengnja akan terdjamin.

Tak terduga Tjia Yan-khek sudah mengetahui maksudnja itu dan lantas mengebutkan lengah djubahnja, angin kebutan jang keras itu memaksa Hoa Ban-tji tidak sanggup menghabiskan utjapannja tadi.

Bahkan terdengar Tjia Yan-khek membentak pula: “Perlu apa kau banjak tjerewet?” – Dan kembali serangkum angin kuat menjambar tiba. Hoa Ban-tji tidak sanggup berdiri tegak lagi, kontan ia roboh terdjengkang.

Keruan anak murid Swat-san-pay jang lain mendjerit kaget dan be-ramai2 menubruk madju untuk menolong. Ketika mereka sudah membangunkan Hoa Ban-tji, sementara itu Tjia Yan-khek sudah pergi djauh dengan membawa sipengemis ketjil.

Melihat gembong jang menakutkan itu sudah pergi, untuk mengedjar terang tidak berani. Maka An Hong-djit lantas mentjabut kembali goloknja sendiri jang tertantjap diatas tanah itu, katanja kepada Tjiok Djing suami-isteri dan ketudjuh orang Swat-san-pay: “Maafkan akan keberangkatanku lebih dulu, kalau ada tempo senggang silakan kalian suka mampir ketempat kami. Sampai bertemu pula!” – Lalu iapun tinggal pergi dengan anak buahnja Sekarang hanja tinggal Tjiok Djing suami-isteri dan ketudjuh orang Swat-san-pay sadja jang berada disitu. Tiba2 Ong Ban-djim berseru: “Tjiok-tjengtju, kami djusteru ingin membitjarakan sesuatu dengan Tjiok-tjengtju.”

“Baiklah, ada urusan apakah? Silakan bitjara,” sahut Tjiok Djing dengan ramah.

Kheng Ban-tjiong berusia lebih tua, maka setiap tindak-tanduknja selalu lebih hati2. Ia berkata: “Tempat ini tidak pantas didiami lebih lama, marilah kita mentjari suatu tempat lain jang lebih tenang untuk bitjara.”

Tjiok Djing mengangguk setudju. Segera mereka be-ramai2 menudju kearah barat. Kira2 beberapa li djauhnja, tertampak ditepi djalan tumbuh tiga batang pohon jang rindang.

“Tjiok-tjengtju, apakah baik kalau kita berbitjara dibawah pohon sana?” tanja Kheng Ban-tjiong.

“Baik sekali,” sahut Tjiok Djing.

Segera kesembilan orang menudju kebawah pohon itu dan mengambil tempat duduk sendiri2. Sementara itu Kheng Ban-tjiong sudah memperkenalkan para sutenja dan saling mengutjapkan kata2 pudjian dengan Tjiok Djing suami-isteri.

Diam2 Tjiok Djing sangat gopoh karena tidak tahu apa jang hendak dibitjarakan oleh orang2 Swat-san-pay itu. Tapi ia tidak enak untuk mendesak.

Sedjenak kemudian, barulah Khong Bin-tjiong membuka suara: “Tjiok-tjengtju, kita adalah sahabat lama, kalau ada sesuatu utjapanku nanti agak tidak enak didengar, haraplah engkau suka memaafkan. Menurut pendapatku, ada lebih baik kalau Tjiok-tjengtju menjerahkan puteramu kepada kami sadja. Tjayhe tentu akan berusaha sedapat mungkin untuk memintakan ampun kepada Suhu dan Subo (ibu guru) serta Pek-suheng suami-isteri, dengan demikian djiwa puteramu mungkin akan dapat diselamatkan. Andaikan kepandaiannja djuga dipunahkan djuga lebih baik daripada kedua fihak mendjadi bermusuhan dan menumpahkan darah.”

Tjiok Djing mendjadi heran, sahutnja: “Sedjak Siau-dji (puteraku) berada ditempat kalian, selama tiga tahun belum pernah aku melihatnja. Maka kalau ada terdjadi sesuatu apa, sesungguhnja kami suami-isteri tidak mengetahui. Dari itu diharap Kheng-heng suka memberitahukan setjara terus terang sadja!”

“Apa Tjiok-tjengtju betul2 tidak tahu?” Ban-tjiong menegas.

“Ja, tidak tahu!” sahut Tjiok Djing.

Ban-tjiong tjukup kenal wataknja Tjiok Djing. Dengan nama kebesaran Hian-so-tjeng jang diagungkan didunia Kang-ouw tidaklah mungkin Tjiok Djing sulit berbohong. Kalau dia sudah menjatakan tidak tahu, maka pastilah tidak tahu. Maka Ban-tjiong lantas berkata pula: “Oh, karena Tjiok-tjengtju sama sekali tidak mengetahui....................”

“Djadi Giok-dji (anak Giok) sekarang tidak berada di Leng-siau-sia?” sela Bin Dju jang sangat memperhatikan keselamatan puteranja itu.

Ban-tjiong mengangguk, Sedangkan Ban-djim lantas berkata: “Kalau botjah itu saat ini berada di Leng-siau-sia, biarpun dia punja seratus lembar djiwa djuga sudah amblas semua!”

Diam2 Tjiok Djing mendongkol. Pikirknja: “Sebabnja aku mengirim anak Giok beladjar silat keperguruan kalian adalah lantaran aku menghargai ilmu silat Swat-san-pay kalian. Seumpama karena usianja masih muda dan sifatnja nakal sehingga telah melanggar sesuatu larangan perguruan, untuk mana paling tidak kalian djuga mengingat kehormatan suami-isteri kami dan tidak boleh sembarangan membunuhnja.”

Walaupun demikian pikirnja, tapi lahirnja dia tetap tenang2 sadja. Sahutnja dengan tawar: “Peraturan2 perguruan kalian jang keras itu memang tjukup kuketahui. Djustru kamipun ingin Giok-dji dapat beladjar sedikit peraturan2 jang baik itu, makanja kami kirim anak itu ke Leng-siau-sia kalian.”

Mendadak wadjah Khong Ban-tjiong agak masam dan berkata: “Utjapan Tjiok-tjengtju ini terlalu memudji. Akan tetapi achlak si Tjiok Tiong-giok jang bedjat dan perbuatannja jang durhaka dan djahat itu sekali2 bukanlah adjaran Swat-san-pay!”

Jilid 4

“Achlak bedjat dan perbuatan durhaka? Darimanakah dapat dikatakan demikian?” tanja Tjiok Djing dengan kurang senang.

“Hoa-sumoay,” tiba2 Ban-tjiong berkata kepada Ban-tji, “harap kau periksa kesana, tjoba awasi kalau2 ada orang datang.”

Hoa Ban-tji mengiakan dan segera menjingkir dengan mendjindjing pedang.

Tjiok Djing saling pandang sekedjap dengan isterinja. Mereka tahu sebabnja Kheng Ban-tjiong menjuruh Hoa Ban-tji menjingkir adalah karena ada utjapan2 jang tidak pantas didengar oleh kaum wanita muda.

Dan sesudah menghela napas, lalu Kheng Ban-tjiong bitjara pula.

“Tjiong-tjengtju, bahwasannja Pek-suheng kami tiada mempunjai putera, melainkan tjuma mempunjai seorang puteri, hal ini tentu kaupun tahu. Sutitli (murid keponakan perempuan) kami itu usianja baru 12 tahun, pintar dan tjerdik, lintjah menjenangkan, selain Pek-suheng suami-isteri, bahkan Suhu dan Subo kami djuga menganggapnja sebagai mutiara djantung hati mereka. Sebab itulah Sutitli kami itu mendjadi mirip Tuan Puteri dari Leng-sian-sia di Tay-swat-san, dengan sendirinja seluruh saudara perguruan kami djuga menjandjungnja sebagai dewi.”

Tjiok Djing mengangguk, katanja: “Oh, apa barangkali puteraku jang kurang adjar itu telah berbuat salah kepada puteri tjilik itu?”

“Berbuat salah, kata2 ini terlalu ringan baginja,” udjar Ban-tjiong. “Dia....... dia.......... djustru sembrono dan telah meringkus Sutitli kami itu, kaki-tangannja diikat kentjang, pakaiannja dibeledjeti hingga telandjang bulat, lalu bermaksud memperkosanja!”

“Haaaaaaa!” Tjiok Djing dan Bin Dju sampai berseru kaget terus berbangkit. Air muka Bin-dju sampai putjat pasi.

“Ma........... mana boleh djadi?” kata Tjiok Djing. “Usia Tiong-giok baru 15 tahun, kukira didalam hal ini tentu ada kesalah-pahaman.”

“Memangnja semula kamipun mengira kedjadian itu terlalu djanggal,” sahut Ban-tjiong. “Tapi hal ini memang benar2 terdjadi. Dua pelajan pribadi Sutitli kami itu ketika mendengar suara pertjektjokan jang ribut, mereka lantas memburu kedalam kamar dan segera mereka ber-teriak2 minta tolong demi nampak adegan didalam kamar itu. Akibatnja seorang pelajan itu lengannja terkutung sebelah dan seorang lagi sebelah kakinja djuga buntung, semuanja djatuh pingsan. Untuk djuga karena datangnja pelajan2 itu telah membikin anak durhaka itu mendjadi takut dan lantas melarikan diri dan tidak berani melandjutkan perbuatannja jang terkutuk itu.”

Perlu diketahui bahwa didunia persilatan selamanja memandang soal pelanggaran kehormatan wanita sebagai suatu larangan paling keras. Kaum bandit dan sebagainja dari kalangan Hek-to boleh merampok, membegal, membunuh orang dan membakar rumah, semuanja itu boleh dikata djamak bagi mereka, tetapi bila sampai melanggar larangan “perdjinahan”, betapapun hal ini tak dapat diampuni oleh sesama kaum mereka.

Karena itulah Bin Dju mendjati kuatir dan bingung, sambil me-narik2 lengan badju Tjiok Djing ia bertanjaL “Siangkong, lan........... lantas bagaimana baiknja?”

Tjiok Djing sendiripun bingung demi mendengar berita jang luar biasa itu. Dia paling mengutamakan keluhuran budi sesama orang Kang-ouw, kalau dia mendengar puteranja tjuma membunuh orang atau berbuat sesuatu kesalahan lain, betapapun besar malapetaka itu tentu djuga akan diambil oper olehnja. Tapi sekarang persoalannja sungguh luar biasa dan entah tjara bagaimana harus diselesaikan. Andaikan sekarang puteranja berada disisinja djuga bukan mustahil akan dibunuhnja sendiri.

Sesudah tenangkan diri sedjenak, Tjiok Djing bertanja: “Djika demikian, berkat Tuhan jang maha pengasih, djadi nona Pek masih sutji bersih dan tidak sampai dinodai oleh puteraku jang tjelaka itu, bukan?”

“Ja, tidak,” sahut Ban-tjiong. “Walaupun demikian toh djuga tidak banjak bedanja. Kau sendiri tjukup kenal tabiat Suhu kami. Beliau seketika memerintahkan orang mentjari Tjiong-giok dengan pesan siapa sadja jang melihat anak itu boleh seketika dibunuh sadja dan tidak perlu diberi ampun.”

“Suhu mengatakan bahwa beliau mempunjai hubungan baik dengan kau, bila Tiong-giok ditangkap kembali, mengingat dirimu tentu beliau tidak enak mentjabut njawanja, maka lebih baik dibunuhnja sadja diluar supaja lekas beres,” demikian Ban-djim menjambung.

Ban-tjiong melotot sekali kepada sang Sute, agaknja kurang senang karena Ban-djim ikut menimbrung.

Tapi Ban-djim lantas menambahkan: “Memang demikian pesan Suhu, masakan aku salah omong?”

Ban-tjiong tidak gubris lagi padanja dan menjambung: “Sebenarnja kalau tjuma dua pelajan sadja jang dilukai adalah bukan sesuatu jang hebat. Namun Sutitli kami itu biarpun usianja masih ketjil, tapi tabiatnja ternjata sangat keras. Dia merasa dirinja telah mengalami hinaan dan tertjemar, ia merasa malu dan tidak mau menemui siapapun, sesudah menderita dua hari, pada malam hari ketiga mendadak ia melompat keluar melalui djendela terus menerdjang kedalam djurang jang tak terkirakan dalamnja untuk membunuh diri!”

Kembali Tjiok Djing dan Bin Dju berteriak kaget. “Dan apakah........... apakah dapat diselamatkan?” tanja Tjiok Djing.

“Djurang di Leng-siau-sia kami itu tentu diketahui djuga oleh Tjiok-tjengtju, djangankan manusia, sekalipun sepotong batu djuga akan hantjur bila didjatuhkan kedalam djurang itu,” sahut Ban-tjiong. “Apalagi seorang nona tjilik jang lembut, sekali terdjun kebawah djurang mustahil tidak lantas hantjur lebur?”

“Jang paling penasaran boleh dikata adalah Toasuko kami,” demikian seorang murid Swat-san-pay berusia antara 27-28 tahun dan bernama Kwa Ban-kin, telah menjeletuk. “Tanpa sebab apa2 sebelah lengannja telah ditabas kutung oleh Suhu kami.”

“Ha? Hong-hwe-sin-liong?” seru Tjiok Djing kaget.

“Ja, siapa lagi?” sahut Kwa Ban-kin. “Saking sajangnja kepada tjutju perempuannja, sedangkan puteramu belum djuga tertangkap. Suhu mendjadi marah2 dan menjalahkan Hong-suheng tidak benar mendidik muridnja, dalam gusarnja beliau lantas melolos pedang jang dibawa Hong-suheng dan menabas sebelah lengannja. Sungguh kasihan, Hong-suheng jang berkepandaian sedemikian tingginja sedjak itu lantas mendjadi tjatjat untuk selamanja. Berhubung dengan ituSubo lantas menegur Suhu mengapa sembarangan menghukum muridnja jang tak berdosa. Tapi Suhu tambah marah sehingga suami-isteri bertjektjok sendiri didepan para muridnja, makin tjektjok makin tegang dan entah kedjadian lama apa jang telah di-singgung2 Subo, achirnja Suhu telah menampar muka Subo. Dalam gusarnja Subo terus angkat kaki dan minggat serta menjatakan takkan mengindjak kembali ke Leng-siau-sia!”

Sungguh malu Tjiok Djing tak terhingga atas peristiwa itu. Karena dirinja sangat kagum atas ilmu silat Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li, sinaga sakti api dan angin, itu murid tertua kaum Swat-san-pay, makanja dirinja telah mengirimkan puteranja, jaitu Tiong-giok, untuk beladjar padanja. Siapa duga gara2 perbuatan sang putera jang durhaka itu sehingga mengakibatkan Hong Ban-li ikut2 mendjadi tjatjat seumur hidup. Padahal Hong Ban-li terkenal karena ilmu pedangnja jang tjepat dan keras sebagai angin dan api sehingga memperoleh djulukan sebagai Hong-hwe-sin-liong. Sekarang tiba2 telah terkutung sebelah lengannja, sedangkan musuhnja sangat banjak, maka untuk selandjutnja mungkin dia tidak berani berkelana lagi didunia Kang-ouw. Ai, sungguh tidak enak sekali terhadap sahabat jang baik itu. Demikian pikir Tjiok Djing.

Dalam pada itu terdengar Ong Ban-djim telah berkata: “Kwa-sute, kau bilang Toasuheng kita sangat penasaran, memangnja Pek-suheng lantas tidak penasaran? Puterinja sudah mati, isterinja mendjadi gila lagi.”

“Ha? Meng....... mengapa Pek-hudjin mendjadi gila pula?” tanja Tjiok Djing dan Bin Dju berbareng. Sungguh malu mereka tak terhingga, mereka mendjadi lebih kuatir entah apalagi jang terdjadi di Leng-siau-sia karena gara2 perbuatan putera mereka jang tak genah itu. Apalagi kalau bukan lantaran perbuatan putera kalian jang baik itu?” djengek Ong Ban-djim. “Karena kematian keponakan puteri kami itu, Pek-suko lantas mengomeli Pek-suso, katanja dia kurang baik mendjaga puteri mereka itu sehingga dapat lari keluar rumah dan membunuh diri. Memangnja Pek-suso tidak kepalang sedihnja atas meninggalnja sang puteri, sekarang diomeli pula oleh sang suami, dia mendjadi tambah berduka dan ber-teriak2 memanggil nama puterinja, seketika itu djuga pikirannja mendjadi kurang waras dan terpaksa didjaga keras oleh dua orang Sutji kami, agar tidak sampai terdjadi apa2 lagi atas diri Pek-suso. Tjoba katakanlah Tjiok-tjengtju, djika Pek-suso kami lantas mendatangi tempat kalian dan membakar Hian-so-tjeng, kau bilang pantas atau tidak?”

“Ja, pantas, harus dibakar!” sahut Tjiok Djing. “Sungguh kami suami-isteri merasa sangat malu, biarpun mendjeladjahi setiap pelosok djagat raja inipun anak durhaka itu harus kami tangkap kembali dan akan kami bawa ke Leng-siau-sia untuk dihukum mati didepan perabuan nona Pek.................”

Mendengar sampai disini, mendadak Bin Dju mendjerit sekali dan lantas djatuh pingsan didalam pelukan sang suami. Tjepat Tjiok Djing memidjat2 Djin-tong-hiat dibagian bibir atas sang isteri dan lambat laun barulah Bin Dju siuman kembali.

“Tjiok-tjengtju,” kata Ban-djim pula. “Bahkan ada dua djiwa Swat-san-pay kami mungkin harus pula diperhitungkan atas utang Hian-so-tjeng kalian.”

“Mengapa masih ada dua djiwa lain lagi?” tanja Tjiok Djing kaget.

Selama hidup Tjiok Djing sebenarnja sudah kenjang dengan pukulan2 jang bagaimanapun hebatnja, tapi tiada jang lebih menjedihkan seperti apa jang dialaminja sekarang ini. Dahulu waktu puteranja jang kedua bernama Tjiok Tiong-kian dibunuh oleh musuhnja, walaupun dia djuga berduka dan murka sekali, tapi tidaklah seperti sekarang, sudah malu merasa kuatir pula, dan lantaran itu suaranja mendjadi agak parau.

Dalam pada itu Ong Ban-djim telah berkata pula: “Karena peristiwa jang hebat ini, maka Suhu telah mengirim 18 orang muridnja turun gunung dengan dipimpin oleh Pek-suheng dengan tudjuan untuk membakar Hian-so-tjeng kalian. Bahkan beliau mengatakan.......... mengatakan............” – Sampai disini ia mendjadi ter-gagap2 dan ragu2 untuk menerangkan. Tertampak djuga Kheng Ban-tjiong ber-ulang2 mengedipi sang Sute itu.

Maka tahulah Tjiok Djing kata2 apa jang tidak diterangkan oleh Ong Ban-djim itu. Segera ia menjambungnja: “Tentunja beliau mengatakan kami suami-isteri akan ditawan ke Tay-swat-san untuk menggantikan djiwanja nona Pek?”

“Ah, Tjiok-tjengtju djanganlah berkata demikian,” tjepat Ban-tjiong menjela. “Djangankan kami tidak berani, sekalipun berani, apakah dengan sedikit kepandaian kami jang kasar ini, mampu mengundang Tjiok-tjengtju? Suhu hanja mengatakan bahwa putera kalian itu betapapun harus diketemukan. Tjuma sadja usianja meski masih muda, tapi orangnja sangatlah tjerdik, kalau tidak demikian masakah dia mampu lolos tanpa bekas dari pengawasan orang2 Leng-siau-sia jang berdjumlah sebanjak ini?”

“Giok-dji tentu sudah mati, tentu djuga terdjerumus kedalam djurang,” udjar Bin Dju dengan mentjutjurkan air mata.

“Tidak,” udjar Ban-tjiong sambil menggojang kepala. “Tapak kakinja djelas kelihatan ditanah saldju jang menandakan dia lari terus kebawah gunung. Sungguh memalukan untuk dibitjarakan, kami orang dewasa sebanjak ini ternjata tidak mampu menangkap seorang anak muda jang baru berumur 15 tahun. Sesungguhnja Suhu kami hanja ingin mengundang Tjiok-tjengtju berdua ke Leng-siau-sia untuk berunding seperlunja atas kedjadian ini.”

“Bitjara kesana-kesini achirnja ternjata djuga inginkan pertanggung-djawabanku atas kematian nona Pek,” kata Tjiok Djing. “Dan Ong-suheng tadi bilang ada dua djiwa lagi, sebenarnja bagaimana djadinja?”

“Tadi aku mengatakan kami ber-18 orang diperintahkan turun gunung oleh Suhu,” djawab Ban-djim. “Ditengah djalan kami membagi diri pula mendjadi dua rombongan. Rombongan pertama dipimpin Pek-suheng menudju ke Kanglam, sedangkan rombongan lain dipimpin Kheng-suheng dan menudju ke Tionggoan sini untuk mentjari djedjaknja puteramu. Tapi sungguh sial.........”

“Sudahlah, Ong-sute, tak perlu diteruskan lagi, kedjadian itu toh tidak ada sangkut-pautnja dengan Tjiok-tjengtju,” sela Ban-tjiong.

“Mengapa tiada sangkut-pautnja?” bantah Ban-djim. “Tjoba kalau bukan gara2 anak durhaka itu, tentu djiwa Sun-suko dan Tju-sute tidak sampai melajang setjara aneh. Pula, sebenarnja siapa pembunuh mereka djuga tak diketahui, kalau kelak kita ditanjai Suhu, lantas tjara bagaimana kita harus mendjawab? Dan kalau Suhu sampai murka lagi, mungkin lenganmu djuga akan ditabas olehnja. Sekarang kita iseng2 mentjari keterangan kepada Tjiok-tjengtju suami-isteri jang luas pengalamannja toh tiada djeleknja?”

Kheng Ban-tjiong mendjadi ngeri djuga bila membajangkan betapa tjelakanja kalau sebelah lengannja djuga ditabas seperti Hong-suhengnja. Memang tiada djeleknja untuk mentjari keterangan pada Tjiok Djing berdua daripada menghadapi djalan buntu dan susah memberi pertanggungan-djawab kepada sang guru. Terpaksa ia berkata: “Ja, terserahlah, djika kau suka boleh kau tjeritakan.”

Maka Ban Djim lantas melandjutkan: “Tjiok-tjengtju, tiga hari jang lalu kami telah mendapat berita katanja ada seorang she Go telah memperoleh Hian-tiat-leng dan sekarang sembunji disuatu kota ketjil dengan menjamar sebagai pendjual siopia. Diam2 kami lantas berunding. Kami merasa dalam usaha mentjari Tiong-giok kami hanja bisa setjara untung2an sadja, habis dunia seluas ini kemana kami harus pergi mentjari dia? Kalau sepuluh tahun tidak ketemu, itu berarti selama sepuluh tahun kami tidak dapat pulang ke Leng-siau-sia. Tetapi kalau kami dapat merebut Hian-tiat-leng itu, andaikan tetap tidak dapat menemukan puteramu, paling tidak kami akan dapat memberi pertanggungan-djawab kepada Suhu dengan medali wasiat itu. Ditengan perundingan itu, mau tak mau ada djuga diantara kami lantas mentjatji-maki puteramu itu, dimakinja puteramu jang masih ketjil itu sudah berani mati melakukan perbuatan jang durhaka dan merusak, sungguh harus dihukum mati. Pada saat itulah tiba2 terdengar suara tertawa seorang tua sambil berkata: “Hahaha! Bagus, bagus sekali! Pemuda seperti itu benar2 djarang terdapat didunia ini! Benar2 berbakat bagus dan berkwalitet tinggi dan susah ditjari bandingannja!”

Tjiok Djing lantas pandang sekedjap dengan sang isteri. Mereka tidak merasa senang atas pudjian2 setinggi itu terhadap putera mereka, sebaliknja mereka merasa tertusuk.

Dalam pada itu Ban-djim telah melandjutkan: “Pembitjaraan kami waktu itu dilakukan dikamar hotel jang dikelilingi dinding tembok jang rapat, akan tetapi suara orang itu dapat menembus tembok dan terdengar dengan djelas seperti orang bitjara berhadapan sadja. Sebaliknja suara pembitjaraan kami dilakukan dengan sangat pelahan dan entah tjara bagaimana dapat didengar olehnja.”

Hati Tjiok Djing dan Bin Dju tergetar. Pikir mereka: “Dapat mendengar suara pembitjaraan orang dari balik dinding, boleh djadi karena dinding itu ada sesuatu lubang atau tjelah2, atau mungkin orang itu mentjuri dengar diluar djendela kamar. Tapi mungkin djuga pembitjaraan orang2 ini dilakukan dengan suara keras, sebaliknja mereka sendiri mengira berbitjara dengan pelan. Hal2 ini pun tidak terlalu mengherankan. Tapi dia bitjara dibalik tembok sana dan dapat didengar dengan djelas oleh orang lain, hal inilah jang sulit dan harus memiliki lweekang jang sempurna. Maka djelas orang2 Swat-san-pay ini telah bertemu dengan orang kosen ditengah djalan. Ja, mereka benar2 sial, suatu perkara belum selesai sudah timbul pula perkara jang lain.”

“Kami mendjadi kaget demi mendengar suara orang itu,” demikian Kwa Ban-kin menggantikan tjerita sang Suheng. “Segera Ong-suko membentak: ‘Siapa itu? Apa sudah bosan hidup, maka berani mendengarkan pembitjaraan kami?’ – Karena bentakan Ong-suko tadi, suara disebelah lantas diam. Akan tetapi sedjenak kemudian kembali terdengar bangsat tua itu berkata lagi: ‘A Tong, mereka itu adalah orang2 Swat-san-pay. Guru mereka itu biasanja paling dibentji kakek. Seorang anak muda ternjata dapat mengkotjar-katjirkan keluarga setan tua dari Swat-san-pay itu, hal ini sungguh sangat menarik. Hehe, sungguh menarik!’ – Mendengar itu, seketika kami mendjadi murka dan hendak bertindak, tapi Kheng-suko telah memberi tanda agar kami djangan bersuara lagi.

“Benar djuga, segera terdengar suara tertawa seorang anak perempuan sambil berkata: ‘Ja, sungguh menarik’. – Lalu terdengar bangsat tua semula batuk2 beberapa kali dan mendjawab, ‘Kalau setan tua itu mati konjol karena gusarnja djuga tidak terlalu menarik. Kapan2 kalau kakek ada tempo senggang, biarlah nanti kakek membawa kau ke Tay-swat-san untuk membikin setan tua itu marah2 dan mati konjol, dengan demikian barulah menarik.”

“Sungguh kurang adjar orang itu,” udjar Tjiok Djing. “Apa jang dia andalkan sehingga dia berani kurang hormat kepada Pek-supek? Sekali2 kita tak boleh tinggal diam atas utjapan2nja itu!”

“Memang,” sahut Ban-djim. “Sedemikian takaburnja bangsat tua itu, biarpun mengadu djiwa djuga kami akan melabrak dia. Tapi pada waktu kami merasa murka itulah, tiba2 kami mendengar suara berkeriutnja pintu dibuka, dari sebuah kamar tamu telah keluar dua orang dan menudju kepelataran. Serentak kami melolos sendjata dan hendak menerdjang keluar untuk melabraknja. Tapi Kheng-suko telah mentjegah pula dan suruh kami bersabar. Dalam pada itu terdengar bangsat tua itu sedang berkata kepada anak perempuan tadi: ‘A Tong, hari ini kita telah membunuh berapa orang?’ – ‘Baru satu orang, kakek,’ demikian sahut setan tjilik itu. Lalu sibangsat tua menjatakan: ‘Djika begitu kita boleh membunuh lagi dua orang!’”

“Haa! Satu hari tidak lebih tiga!” seru Tjiok Djing mendadak dengan nada jang mengandung rasa takut.

Sedjak tadi Kheng Ban-tjiong hanja diam sadja, sekarang mendadak ia bertanja: “Tjiok-tjengtju, apakah kau kenal bangsat tua itu?”

Tjiok Djing menggojang kepala. “Aku tidak kenal dia,” sahutnja. “Tjuma aku pernah mendengar tjerita mendiang ajahku, katanja didunia persilatan ada seorang tokoh jang berdjuluk ‘Tje-djit-put-ko-sam’ (satu hari tidak lebih dari tiga), jaitu bahwa dalam satu hari paling banjak dia membunuh tiga orang sadja. Sesudah membunuh tiga orang perasaannja mendjadi lemas dan tidak tega membunuh orang keempat lagi.”

“Maknja disontek! Satu hari membunuh tiga orang masakah kurang?” demikian Ban-djim memaki. “Manusia djahat dan kedjam sebagai itu ternjata diberi hidup sampai sekarang ini.” Tjiok Djing diam sadja dan tidak menanggapi. Tapi dalam hatinja memikir: “Konon Lotjianpwe itu she Ting, tindak-tanduknja susah diraba, baik tidak dan djahatpun tidak. Walaupun wataknja kedjam dan suka membunuh, tapi orang jang terbunuh olehnja selalu adalah manusia berdosa jang setimpal menerima gandjarannja dan djarang terdengar Lotjianpwe itu membunuh orang jang baik.” – Walaupun demikian pikirnja, tapi ia tidak enak menerangkan karena kuatir menjinggung perasaan orang2 Swat-san-pay itu.

Sebaliknja Kheng Ban-tjiong lantas bertanja: “Entah bangsat tua itu bernama siapa dan berasal dari golongan atau aliran mana?”

“Kabarnja dia she Ting, nama aslinja entah siapa, hanja terkenal dengan djulukannja “Tje-djit-put-ko-sam’, maka orang2 dari angkatan tua sama memanggil dia dengan nama Ting Put-sam (Ting tidak lebih dari tiga),” tutur Tjiok Djing.

“Ja, kelakuan bangsat tua itu memang tidak tiga dan tidak empat,” udjar Kwa Ban-kin dengan marah2.

“Sebenarnja nama orang ini djuga tjukup terkenal didalam Bu-lim, mungkin Pek-supek ada sedikit permusuhan dengan dia dan tidak mau menjebut namanja, makanja saudara2 tidak diberitahu,” udjar Tjiok Djing. “Kemudian lantas bagaimana?”

“Kemudian bangsat tua itu lantas berseru: ‘Diantara kalian ada seorang jang bernama Sun Ban-lian dan seorang bernama Tju Ban-djun atau tidak? Nah, kedua orang itu lekas madju kesini. Jang lain2 karena tiada banjak berbuat djahat, biarpun ingin mampus djuga kakek tak sudi membunuhnja!’ – Sudah tentu kami tidak dapat tahan lagi dan be-ramai2 kami bersembilan lantas menerdjang keluar. Akan tetapi, aneh djuga, ditengah pelataran tiada tertampak seorangpun. Segera kami mentjari disekitar situ, aku malah melompat keatas rumah dan djuga tidak terdapat orang. Kwa-sute lantas menerobos kedalam kamar tamu jang daun pintunja setengah tertutup itu...............

“Ternjata didalam kamar itu hanja tersulut sebatang lilin dan djuga tiada nampak bajangan seorang pun. Selagi kami merasa heran, tiba2 didalam kamar kami sendiri ada suara orang berseru, itulah suara sibangsat tua, katanja: ‘Sun Ban-lian, kau telah berbuat apa dikota Lantjiu, dan kau Tju Ban-djun, apa jang telah kau lakukan di Kengtjiu? Tuduhan2 ini tentunja bukan fitnah toh? Nah, lekas kalian masuk kesini!’ – Sun-suko dan Tju-sute mendjadi murka, dengan sendjata terhunus keduanja lantas menerdjang kedalam kamar. Tjepat Kheng-suheng memperingatkan mereka agar ber-hati2 dan kami lantas menjusul dibelakang mereka, tapi mendadak pelita didalam kamar sudah padam dan keadaan mendjadi sunji.

“Aku ber-teriak2 memanggil Sun-suko dan Tju-sute, tapi tiada djawaban mereka, bahkan didalam kamar djuga tidak terdengar suara beradunja sendjata. Seketika kami merinding, tjepat kami menjalakan api, tiba2 tertampak kedua kawan kami itu berlutut kaku disitu, pedang mereka tertaruh disamping. Waktu kami hendak menarik bangun mereka, tapi mereka lantas roboh, ternjata keduanja sudah tak bernjawa lagi. Badan mereka terasa masih hangat dan tiada terdapat suatu tanda luka, entah dengan tjara apa sibangsat tua itu telah membunuh mereka. Sungguh memalukan kalau ditjeritakan, sedjak mula sampai achir tiada seorangpun diantara kami jang melihat bajangan bangsat tua dan setan perempuan tjilik itu.”

Selesai Ban-djim menutur, semua orang mendjadi terdiam sampai sekian lamanja.

Achirnja Tjiok Djing membuka suara: “Kheng-suheng, bilakah anakku jang durhaka itu melakukan perbuatan2nja jang tidak senonoh itu?”

“Pada tanggal 9 bulan 12 tahun jang lalu,” sahut Ban-tjiong. “Oh, dan hari ini tanggal 12 bulan tiga, djadi Pek-suheng dan kalian sudah tiga bulan berangkat dari Leng-siau-sia, djika demikian saat ini Hian-so-tjeng tentu sudah dibakar olehnja,” udjar Tjiok Djing. “Begini, Kheng-suheng, pertama kami suami-isteri toh harus mentjari djedjak anak durhaka itu, kalau dapat menangkapnja kembali tentu akan kami bawa ke Leng-siau-sia untuk minta ampun pada Pek-supek dan Hong-suheng. Kedua, sekalian kami dapat mentjari kabar tentang diri Ting Put-sam jang berdjuluk sehari tidak lebih dari tiga itu, walaupun kami suami-isteri tidak berani meng-apa2kan dia, paling tidak kami djuga dapat memberi berita kepada Pek-supek supaja beliau membereskan sendiri peristiwa kalian itu. Nah, sampai berdjumpa pula!” – Habis berkata ia lantas memberi salam hormat.

“Apa hanja bitjara sekian sadja lantas kalian hendak....... hendak tinggal pergi?” tiba2 Kwa Ban-kin menjeletuk.

“Habis bagaimana menurut pendapat Kwa-suheng?” tanja Tjiok Djing.

“Kami tidak dapat menemukan puteramu, terpaksa minta kalian suami-isteri ikut kami ke Leng-siau-sia untuk menemui Suhu kami,” sahut Kwa Ban-kin.

“Sudah tentu kami akan pergi ke Leng-siau-sia, tjuma harus tunggu dulu sampai segala urusan mendjadi lebih terang,” kata Tjiok Djing.

Ban-kin memandang kearah Kheng Ban-tjiong dan memandang pula kepada Ong Ban-djim, lalu katanja dengan kurang senang: “Bila Suhu mengetahui kami sudah bertemu dengan Tjiok-tjengtju suami-isteri dan tidak dapat mengundang kalian kesana, bukankah..... bukankah.......”

Sedari tadi Tjiok Djing sudah tahu maksudnja hendak main kerojok untuk memaksa suami-isteri mereka pergi ke Tay-swat-san. Tegasnja kalau puteranja tak dapat ditangkap, maka sang ajah-ibu jang akan dimintai pertanggungan-djawab.

Terpaksa Tjiok Djing berkata: “Pek-supek adalah seorang jang berbudi luhur dan berwibawa agung diwilajah barat, selamanja Tjayhe sangat menghormati beliau sebagai gurunja sendiri. Apabila Pek-suko berada disini dan atas perintah Pek-supek mengharuskan Tjayhe ikut ke Leng-siau-sia, terpaksa Tjayhe menurut sadja. Tapi sekarang, ehm, lebih baik begini sadja!” – Ia lantas menanggalkan pedangnja sendiri bersama sarungnja jang tergantung diikat pinggang itu, lalu katanja kepada Bin Dju: “Niotju, silakan kaupun melepaskan pedangmu.”

Bin Dju menurut dan melepaskan pedangnja.

Dengan memondong kedua batang pedang jang melintang diatas kedua tangan itu lalu Tjiok Djing menjodorkan kehadapan Kheng Ban-tjiong dan berkata: “Nah, Kheng-suheng, silakan kau tahan sadja sendjata kami suami-isteri ini.”

Kheng Ban-tjiong tjukup kenal sepasang pedang hitam-putih ini adalah sendjata mestika jang djarang terdapat didunia persilatan dan sangat disajangi Tjiok Djing suami-isteri, tapi sekarang mereka telah menanggalkan pedang dan menjerahkan sebagai sandera, hal ini boleh dikata telah memberi muka besar kepada Swat-san-pay dan demi sepasang pedang ini kelak suami-isteri itu terpaksa harus datang ke Leng-siau-sia.

Tapi baru sadja Ban-tjiong hendak mengutjapkan kata2 ramah-tamah dan menerima pedang2 itu, mendadak Kwa Ban-kin sudah mendahului berseru: “Djiwa murid keponakan kami dan sebelah lengan Hong-suheng, bahkan Pek-suso telah mendjadi gila dan Subo meninggalkan Suhu, ditambah lagi kematian Sun-suko dan Tju-suko jang tidak djelas perkaranjaa, semua ini apakah tjukup diganti oleh sepasang pedang kalian ini? Kheng-suko mempunjai hubungan baik dengan kau, tapi aku si orang she Kwa tidak pernah kenal kau! Nah, orang she Tjiok, pendek kata hari ini betapa pun kau harus pergi ke Leng-siau-sia!”

Tjiok Djing tetap tenang2 sadja, sahutnja dengan tersenjum: “Dosa puteraku sudah terlalu besar kepada golongan kalian, selain merasa menjesal dan minta maaf apa jang dapat kukatakan lagi. Kwa-suheng adalah djago muda dari Swat-san-pay dan berkepandaian tinggi, meski Tjayhe belum pernah kenal, tapi djuga sudah lama kagum akan namamu.” – Sambil berkata kedua tangannja tetap memondong sepasang pedangnja dan menunggu diterima oleh Kheng Ban-tjiong.

Diam2 Kwa Ban-kin menaksir kalau menggunakan kekerasan untuk memaksa Tjiok Djing berdua ikut ke Tay-swat-san, tentu suatu pertarungan sengit susah dihindarkan. Sekarang mereka menjerahkan sendjata setjara sukarela, apa djeleknja kalau diterima sadja dan urusan diselesaikan belakangan.

Karena itu ia mendjadi kuatir kalau2 mendadak Tjiok Djing membalik pikiran dan menarik kembali pedangnja, segera ia melangkah madju, kedua tangannja bekerdja sekaligus, dengan Kim-na-djiu-hoat jang lihay segera ia pegang kentjang2 kedua barang pedang itu sambil berkata: “Baiklah, untuk sementara sendjata kalian dilutjuti dahulu.”

Segera ia mengulur tangan hendak mengambil pedang2 itu. Tapi mendadak terasa telapak tangan Tjiok Djing seperti mengeluarkan tenaga lengketan jang kuat sehingga kedua batang pedang itu susah diangkat. Kwa Ban-kin terkedjut, ia kerahkan segenap tenaga kelengannja dan segera membetot sekuatnja sambil membentak: “Lepas!”

Tak terduga tenaga lengketan ditangan Tjiok Djing mendadak lenjap sehingga kekuatan membetot Ban-kin jang keras itu tidak ketemu lawannja, sebaliknja mendjadi beban kedua pergelangan tangan sendiri, maka terdengarlah suara “krak” sekali, kedua pergelangan tangan keseleo semua, ia mendjerit dan terpaksa membuka tangan sehingga kedua pedang itu djatuh kembali kedalam tangan Tjiok Djing. Orang lain tjukup djelas melihat Tjiok Djing sama sekali tidak menggerakkan djari tangannja, djadi Kwa Ban-kin sendiri jang terlalu bernapsu membetot sehingga pergelangan tangan sendiri terkilir. Sakit gusar dan karena kesakitan pula, tanpa pikir lagi Ban-kin terus ajun sebelah kakinja hendak menendang keperut Tjiok Djing.

“Djangan kurang sopan!” seru Ban-tjiong tjepat dan menarik Ban-kin kebelakang sehingga tendangannja mengenai tempat kosong.

Ban-tjiong tahu tenaga dalam Tjiok Djing sangat lihay, kalau tendangan Ban-kin itu mengenai sasarannja tentu kakinja akan patah pula.

Sebagai Suheng, kepandaian dan pengetahuan Ban-tjiong dengan sendirinja lebih tinggi daripada Ban-kin. Ia menarik napas pandjang2 dan mengerahkan tenaga dalamnja kesepuluh djarinja, lalu pelahan2 digunakan untuk mengambil kedua batang pedang.

Tapi baru sadja udjung djarinja menjentuh pedang, seluruh badannja lantas tergetar seperti kena aliran listrik. Njata tenaga dalam Tjiok Djing telah disalurkan melalui batang pedang untuk menjerangnja.

Diam2 Ban Tjiong mengeluh, ia menjangka Tjiok Djing sengadja memasang perangkap untuk mengadu tenaga dalam dengan dia. Biasanja kalau djago silat sudah mulai tenaga dalam, maka susahlah untuk mengelakkan diri dan mungkin baru akan berachir, bila salah satu pihak sudah tak bisa berkutik.

Karena itu, begitu terasa tenaga dalam lawan menerdjang tiba, tjepat Ban-tjiong melawan sekuat tenaga. Tak terduga baru sadja tenaga dalam kedua pihak kebentur, seketika tenaga Ban-tjiong terpental balik. Tiba2 Tjiok Djing menaruh pelahan kedua batang pedang itu ketangan Ban-tjiong, katanja dengan tertawa: “Kita adalah sahabat baik, mana boleh terdjadi selisih paham?” Sekilas itu Ban-tjiong sudah mandi keringat dingin. Ia insaf tenaga dalam sendiri terlalu djauh dibandingkan tenaga dalam Tjiok Djing. Tadi begitu tenaga dalam kedua pihak kebentur dan tenaga sendiri kontan terbentur balik, hal ini djelas menandakan dirinja sekali2 bukan tandingannja. Untuk sedjenak Ban-tjiong tertegun ditempatnja sambil memondong kedua batang pedang, air mukanja merah djengan dan entah apa jang harus dikatakan.

“Niotju, marilah kita berangkat ke Khayhong sadja,” segera Tjiok Djing berpaling kepada sang isteri.

Bin Dju tampak masih muram, katanja: “Siangkong, anak itu............”

“Sudahlah, lebih baik dia dibunuh orang seperti anak Kian dan habis perkara,” udjar Tjiok Djing.

Air mata Bin Dju lantas ber-linang2, katanja dengan ter-guguk2: “Siangkong, kau..................”

Tapi Tjiok Djing lantas menggandeng tangannja dan membantunja naik keatas kuda.

Melihat wanita jang lemah hati itu, anak2 murid Swat-san-pay itu merasa heran dan susah untuk mempertjajai bahwa dia inilah “Pek-siang-sin-kiam” jang mengguntjangkan Kang-ouw.

Melihat Hian-so-siang-kiam (sepasang pedang dari Hian-so-tjeng) sudah pergi dengan menunggang kuda, segera Hoa Ban-tji berlari kembali. Dilihatnja Ong Ban-djim sudah membetulkan tangan Ban-kin jang keseleo itu, sebaliknja Ban-kin masih mentjatji-maki.

Sesudah menanjakan apa jang sudah terdjadi, Ban-tji tertampak mengerut kening, katanja: “Kheng-suko, urusan ini agaknja tidak menguntungkan.”

“Mengapa?” tanja Ban-tjiong. “Ilmu silat mereka terlalu kuat, biarpun kita bertudjuh mengerubutnja djuga belum tentu dapat menang. Sekarang kita menahan sendjata mereka, paling tidak akan dapat dibuat bukti bila kita ditanjai Suhu.” – Sambil berkata ia tjoba melolos pedang2 itu, tertampaklah pedang putih berkilau sebagai es dan pedang hitam mengkilap tadjam, njata dua pedang mestika jang djarang ada bandingannja. Maka ia lantas menambahkan: “Pedang2 ini bukanlah palsu.”

“Sudah tentu pedang2 itu tulen,” udjar Hoa Ban-tji. “Soalnja kita tidak mampu menahan orangnja, sekarang apakah kita mampu mendjaga kedua pedang pusaka ini dengan baik?”

Hati Ban-tjiong terkesiap. “Apa barangkali Hoa-sumoay telah melihat sesuatu jang meragukan?” tanjanja.

“Aku mendjadi teringat pada tahun jang lalu,” demikian tutur Ban-tji, “pada suatu hari aku telah omong iseng bersama Pek-suso dan membitjarakan tentang golok mestika dan pedang pusaka didunia ini. Tiba2 bangsat tjilik Tjiong Tiong-giok itu menimbrung, katanja pedang hitam-putih milik ajah-ibunja adalah sendjata maha tadjam didunia ini, katanja ajah-ibunja tega mengirim dia ke Tay-swat-san dan tidak bertemu ber-tahun2, tapi tidak tega meninggalkan sendjata mereka itu biarpun satu hari sadja. Sekarang Tjiok-tjengtju sengadja menjerahkan sendjata mereka kepada kita, djangan2 beberapa hari lagi kalau ia menggunakan sedikit akal litjik dan mentjuri kembali pedang mereka, kemudian mereka datang lagi ke Leng-siau-sia untuk meminta kembali sendjatanja, tjara demikian tentu akan membikin susah kita sendiri.”

“Masakah kita bertudjuh menjaksikan pedang mereka ini diambil kembali begitu sadja atau sendjata mereka ini dapat terbang sendiri?” udjar Ban-kin.

“Tapi apa jang dikatakan Hoa-sumoay djuga bukannja tidak beralasan,” kata Ban-tjiong sesudah memikir sedjenak.”Tjiok Djing memang bukan tokoh sembarangan, kita harus ber-djaga2 lebih rapat dan djangan sampai terdjungkal lagi ditangannja.”

“Ja, apa salahnja kalau kita berlaku lebih hati2,” sambung Ban-djim. “Mulai hari ini djuga kita enam orang lelaki setiap malam harus bergilir mendjaga sepasang pedang ini. Kheng-suheng, saat ini suami-isteri she Tjiok itu sedang berada dikota Khay-hong, kita akan menudju kesana atau tidak?”

Ban-tjiong mendjadi ragu2. Khay-hong adalah kota tersohor, sudah datang di Tionggoan masakah tidak mengundjungi kota jang terkenal itu, bukankah hal ini terlalu kentara akan takut kepada musuh. Sebaliknja kalau pergi ke kota itu dan terang2an diketahui Tjiok Djing suami-isteri ada disana, bukankah ini berarti menjerempet bahaja?

Tengah ragu2 dan susah mengambil putusa, tiba2 terdengar suara bentakan orang jang keras. Dari depan sana telah datang serombongan alat2 negara. Empat tukang panggul tampak menggotong sebuah djoli besar berwarna hidjau. Kiranja pembesar negeri jang telah datang.

Karena disamping mereka menggeletak serangka majat, daripada ikut2 terseret dalam perkara pembunuhan, lebih baik tinggal pergi sadja. Maka Ban-tjiong lantas memberi tanda kepada kawan2nja untuk berangkat.

Tapi baru sadja mereka hendak melangkah pergi dengan tjepat, se-konjong2 salah seorang petugas negeri didalam rombongan pendatang itu lantas ber-teriak2: “Itu dia kawanan bandit jang telah membunuh orang, djangan dibiarkan mereka kabur!”

Namun Ban-tjiong tidak menggubrisnja dan mendesak kawan2nja lekas angkat kaki sadja. Tiba2 terdengar petugas itu berteriak pula: “Itu dia, pembunuhnja bernama Pek Tju-tjay, adalah situa bangka jang belum mampus jang mengetuai Swat-san-pay. Wahai, Pek Tju-tjay jang tidak berwibawa dan tak berbudi, kau telah membunuh dan merampok harta orang, kau kenal malu tidak?”

Mendengar itu, sungguh kaget dan gusar murid2 Swat-san-pay itu tidak kepalang.

Hendaklah maklum bahwa Pek Tju-tjay itu adalah nama guru mereka, jaitu Tjiangbundjin atau ketua Swat-san-pay jang sekarang. Dikalangan Kang-ouw orang tua itu terkenal dengan djulukan “Wi-tek Siansing” atau tuan jang berwibawa dan berbudi. Tapi sekarang petugas negeri itu berani meng-olok2 bahkan mentjatji-maki namanja guru mereka, sudah tentu mereka mendjadi murka.

Jilid 5

“Sret”, seketika Ban-djim melolos pedang dan balas membentak: “Pembesar andjing jang kurang adjar, biar kupotong dulu lidahmu dan urusan belakang!”

“Nanti dulu, Ong-sute,” buru2 Ban-tjiong mentjegahnja. “Masakah kaum pembesar negeri disini mengenal nama dan djulukan Suhu kita? Kukira dibelakangnja tentu ada biang keladinja.”

Habis berkata, segera ia memapak madju, ia memberi salam hormat dan menegur: “Paduka Tuan siapakah jang tiba ini?”

Tapi sebagai djawaban, se-konjong2 dari dalam djoli telah menjambar keluar sebutir Am-gi atau sendjata gelap, dan tepat mengenai “Hok-tho-hiat” dipahanja. Am-gi itu sangat ketjil, tapi daja sambarnja sangat kuat. Kontan kaki Ban-tjiong terasa lemas dan terdjungkal. Namun demikian ia adalah murid terkemuka Swat-san-pay, betapapun tidak boleh terdjadi hanja dalam sedjurus sadja sudah dirobohkan lawan tanpa balas menjerang. Karena itu pedang jang dia pegang itu terus ditimpukkan kearah djoli.

Walaupun orangnja terdjungkal, tapi timpukan pedang dalam djurus “Ho-hui-kiu-thian” atau burung bangau terbang kelangit itupun tjukup djitu dan lihay, pedang itu dengan tepat telah menembus kedalam djoli dan tampaknja dengan telak mengenai orang jang menjambitkan Am-gi tadi.

Sudah tentu Ban-tjiong sangat girang. Tapi dilihatnja keempat tukang panggul masuk terus melarikan djoli itu kedepan, sesudah dekat, se-konjong2 seutas tjambuk pandjang mendjulur keluar dari dalam djoli dan melilit kekaki Ong Ban-djim jang saat itu memegang bak-kiam atau pedang hitam milik Tjiok Djing itu, ketika tjambuk itu ditarik dan diajunkan, kontak tubuh Ban-djim terlempar pergi, tahu2 pedang hitam jang dipegangnja itu sudah terampas oleh tjambuk pandjang.

“Apakah disitu Tjiok-tjengtju?” teriak Hoa Ban-tji terkedjut, berbareng pedang putih jang dibawanja segera dilolos terus menabas ketjambuk pandjang itu.

Tapi mendadak terdengar “tjret” sekali, kembali dari dalam djoli menjambar keluar pula sebutir Am-gi dan tepat menjambit dipergelangan tangan Ban-tji sehingga pedang putih itu terlepas dari tjekalannja.

Tjepat salah seorang Suhengnja melompat madju terus mengindjak pedang putih itu dengan sebelah kakinja agar sendjata itu tidak dirampas oleh tjambuk. Diluar dugaan tiba2 dari dalam djoli lantas menjambar keluar pula sesuatu benda dan tepat menutup diatas kepalanja. Keruan murid Swat-san-pay itu kaget setengah mati karena pandangannja mendjadi gelap gulita, tjepat ia melompat mundur, lalu membuang sekuatnja benda jang mengerudungi kepalanja itu. Waktu dilihat, kiranja adalah sebuah kopiah pembesar jang besar. Dalam pada itu tertampak tjambuk pandjang tadi sudah berhasil melilit pedang putih jang djatuh ketanah itu dan sedang ditarik kedalam djoli.

Sudah tentu orang2 Swat-san-pay tidak rela pedang2 itu direbut, be-ramai2 mereka lantas memburu madju sambil membentak. Tapi dari dalam djoli lantas menghambur keluar matjam2 sendjata gelap, ada jang terkena mukanja, ada jang tersambit pinggangnja, tiada seorang pun murid Swat-san-pay itu terluput dari serangan itu.

Tjuma tempat jang diarah Am-gi itu bukan tempat jang berbahaja hanja sakitnja tidak kepalang. Waktu orang2 Swat-san-pay memeriksa Am-gi jang mengenai itu, seketika mereka tertjengang, kiranja Am-gi itu hanja sebutir kantjing tembaga sadja jang baru ditanggalkan dari badju. Maka insaflah murid2 Swat-san-pay itu bahwa kepandaian orang didalam djoli itu selisih terlalu djauh dengan mereka, kalau mereka mengedjar lagi dan sampai bergebrak, tentu mereka sendiri jang akan tjelaka.

“Orang she Tjiok itu tiada seorang pun jang baik, jang muda durhaka dan bedjat moralnja, jang tua djuga tak bisa dipertjaja, sudah bilang sendjatanja ditinggalkan kepada kita, sekarang direbutnja kembali lagi!” demikian Kwa Ban-kin ber-teriak2.

Begitu pula Ong Ban-djim djuga marah2 dan mentjatji-maki habis2an.

Tapi Ban-tjiong lantas berkata: “Bila kedjadian ini sampai tersiar tentu tidak menguntungkan nama baik golongan kita. Sebaiknja kita tutup mulut sadja dan pulang untuk melaporkan kepada Suhu.”

Dalam pada itu djoli besar tadi bersama rombonganna sudah pergi djauh. Sesudah beberapa li lagi rombongan itu lantas membelok kesuatu djalanan ketjil. Ketika tukang gotong djoli itu sedikit lambat larinja, kontan tjambuk pandjang melajang keluar dari dalam djoli, dan menjabat beberapa kali dipunggung tukang panggul bagian depan itu sehingga babak belur. Terpaksa tukang2 panggul itu berlari lebih tjepat dan terpaksa pula tukang panggul bagian belakang djuga ikut berlari lagi walaupun napas mereka sudah ngos2an senin-kemis. Sesudah beberapa li pula, achirnja terdengar suara orang didalam djoli berkata: “Baiklah, sekarang boleh berhenti!”

Sungguh keempat tukang panggul itu seperti pesakitan jang diberi pengampunan, tjepat mereka berhenti dan meletakkan djoli besar itu diatas tanah, napas mereka tampak megap2.

Waktu tirai djoli tersingkap, keluarlah seorang tua dengan tangan kiri menarik seorang pengemis ketjil. Kiranja orang tua ini adalah Tjia Yan-khek, pemilik medali wasiat. Dia lantas membentak kepada beberapa petugas tadi: “Nah, kalian boleh enjah sekarang! Pulanglah dan laporkan kepada pembesar andjing kalian, katakan bahwa apa jang terdjadi tidak boleh sekali2 disiarkan. Asal aku mendengar sedikit kabar jang kurang menjenangkan, seketika djuga buah kepala kalian akan kupotol semua, begitu tidak terketjuali pembesar andjing kalian itu!”

“Ja, ja, sekali2 kami tak berani usil mulut. Selamat djalan tuanbesar! Selamat djalan tuan muda!” demikian beberapa petugas itu mendjawab dengan memberi hormat.

“Dan apa jang kusuruh kalian katakan kepada pembesar andjing itu, kalian ingat tidak?” tiba2 Tjia Yan-khek berseru pula selagi petugas2 itu hendak melangkah pergi.

“Oh, ja, hamba ingat dengan baik,” sahut seorang petugas. “Hamba akan berkata telah menjaksikan sendiri bahwa si bungkuk pendjual siopia di Hau-kam-tjip itu telah dibunuh oleh seorang tua bangka jang bernama Pek Tju-tjay. Sendjata jang digunakan adalah sebatang golok jang berlumuran darah. Bukti dan saksi sudah njata dan lengkap, betapapun tua bangka pembunuh itu tidak dapat menjangkal.”

Tentang bukti dan saksi itu sengadja ditambahkan oleh petugas itu untuk membikin senang Tjia Yan-khek, sebab tadi dia telah kenjang dihadjar, ia mendjadi ketakutan.

Tapi Tjia Yan-khek lantas berkata: “Tua bangka she Pek itu tidak biasa menggunakan golok, tapi pedang.”

“Oh, ja, hamba keliru, dia menggunakan pedang dan sekali tusuk sibungkuk telah dibunuh olehnja, setiap penduduk Hau-kam-tjip djuga ikut menjaksikan kedjadian itu,” demikian petugas itu menambahkan.

Diam2 Yan-khek merasa geli sendiri. Padahal untuk membunuh Go To-it adalah terlalu mudah bagi Wi-tek Siansing Pek Tju-tjay dan tidak perlu pakai sendjata apa segala. Tapi iapun tidak perduli lagi kepada kawanan petugas itu, segera ia gandeng tangan sidjembel tjilik dan tangan lain membawa pedang hitam-putih milik Tjiok Djing, segera ia tinggal pergi dengan hati senang.

Maklum, sebelumnja dia masih menjangsikan Tjiok Djing suami-isteri sengadja berkomplot dengan orang2 Swat-san-pay untuk mendjebaknja dengan menggunakan sipengemis tjilik itu sebagai umpan. Sebab itulah sesudah beberapa li dia membawa pergi sidjembel itu, lalu ia tusuk botjah itu dan dilemparkan kedalam semak2, kemudian ia merunduk kembali ke Hau-kam-tjip untuk menjelidiki apa jang sudah terdjadi. Karena kepandaiannja memang djauh lebih tinggi daripada Tjiok Djing dan lain-lain, maka kedatangannja kembali itu sama sekali tak konangan oleh siapapun.

Ketika dilihatnja Tjiok Djing menjerahkan sendjata2nja kepada Kheng Ban-tjiong, segera timbul maksud Tjia Yan-khek untuk merebutnja. Kebetulan ditengah djalan ia bertemu dengan bupati jang hendak memeriksa perkara di Hau-kam-tjip itu, segera ia menjergap pembesar itu dan dilempar keluar djoli, lalu menggertak dan memaksa para petugas negara itu agar menggotong dia bersama sipengemis ketjil itu dan memapak kearah orang2 Swat-san-pay untuk merebut kedua pedang pusaka. Karena Kheng Ban-tjiong tidak melihat muka sipelaku didalam djoli itu, dengan sendirinja mereka menjangka keras adalah perbuatan Tjiok Djing suami-isteri.

Begitulah, Tjia Yan-khek meneruskan perdjalanannja dengan membawa sidjembel tjilik itu, jang ditudju selalu adalah tempat jang sepi. Setiba ditepi sebuah sungai ketjil, tampaknja disekitar situ tiada orang lain lagi, lalu ia melepaskan tangan botjah itu, ia lolos pedang putih milik Bin Dju serta mengatjungkan mata pedang ketengkuk sidjembel itu sambil membentak dengan suara bengis: “Sebenarnja kau disuruh oleh siapa? Hajo, lekas mengaku, kalau berani berdusta segera kupenggal kepalamu!”

Habis menggertak, “sret”, pedangnja menjabat kesamping sehingga sebatang pohon ketjil tertabas kutung, batang pohon jang kutung itu djatuh kedalam sungai dan hanjut terbawa oleh arus air.

Keruan pengemis tjilik itu ketakutan, dia mendjawab dengan gelagapan: “Aku........... aku......... tidak.......... tidak suruh................”

Tjia Yan-khek memperlihatkan medali wasiatnja dan membentak pula: “Siapa jang memberikan benda ini padamu?”

“Aku............ aku makan sio........... siopia dan............ dan terdapat barang itu,” sahut sipengemis ketjil dengan gemetar.

Tjia Yan-khek mendjadi gusar karena djawaban jang tidak djelas itu. Telapak tangannja terus menggampar kepipi botjah itu. Tapi sebelum kena sasarannja, mendadak teringat oleh sumpahnja sendiri dahulu bahwa sekali2 dia takkan mengganggu orang jang menjerahkan medali wasiat itu kepadanja. Karena itu tamparannja dihentikan mentah2 sambil membentak lagi: “Ngatjo-belo, peduli siopia apa segala? Aku hanja tanja siapakah jang memberikan barang ini kepadamu?”

“Aku.......... aku menemukan sepotong siopia, lalu aku memakannja. Dan......... dan waktu aku menggigit, ham.......... hampir sadja gigiku rompang.......”

Dasar pikiran Yan-khek memang sangat tadjam, walaupun penuturan pengemis ketjil itu ter-putus2 dan tak djelas, tapi segera terpikir olehnja: “Djangan2 Go To-it itu telah menjembunjikan medali ini didalam siopia?”

Tapi segera ia menjangsikan hal itu. Siapa sadja jang mendapatkan medali ini tentu akan mendjaganja melebihi djiwanja sendiri, maka mungkin benda sepenting ini ditaruh begitu sadja didalam siopia?

Njata ia tidak dapat membajangkan betapa kepepetnja suasana waktu itu. Karena datangnja berandal Kim-to-tje itu terlalu mendadak dan sekaligus sudah mengepung Hau-kam-tjip dengan rapat sehingga sedikitpun Go To-it tidak sempat mentjari suatu tempat penjimpanan jang baik untuk menjembunjikan medali wasiat itu selain dipentjet kedalam siopia jang akan dipanggangnja dan achirnja terbuang ditepi selokan, hal ini sebenarnja djauh lebih selamat daripada disimpannja dimanapun djuga. Sebab itu meski kawanan berandal Kim-to-tje sudah mengobrak-abrik seluruh kedai siopia itu, dengan sendirinja tidak terpikir oleh mereka untuk memeriksa isi siopia jang berserakan diatas tanah itu.

Begitulah dengan sorot mata berkilat, Tjia Yan-khek memandang sipengemis ketjil, lalu bertanja pula: “Siapa namamu?”

“Aku........... aku bernama Kau-tjap-tjeng,” sahut djembel tjilik itu.

“Apa? Kau bernama Kau-tjap-tjeng? Hahahaha! Masakah didunia ini ada orang memakai nama demikian?” demikian Tjia Yan-khek menegas dan ter-bahak2, ia geli setengah mati, masakah ada orang bernama Kau-tjap-tjeng atau anak andjing. Tapi sipengemis ketjil lantas mendjawab: “Ya, betul, ibu memanggil aku Kau-tjap-tjeng.”

Watak Tjia Yan-khek adalah pendiam, tapi kedji dan tjulas. Tertawa baginja boleh dikata adalah sesuatu jang mahal, berapa kali dia tertawa dalam setahun dapatlah dihitung dengan djari. Tapi sekarang dia benar2 geli oleh karena keterangan sipengemis tjilik itu, ia tertawa ter-pingkal2. Pikirnja: “Dikampung memang banjak orang memberi nama ketjil jang aneh2 kepada anak2 mereka dengan maksud agar sianak lekas besar dan selamat, misalnja nama siandjing, sibabi, sikutjing, dan lain sebagainja, tapi tiada orang jang sengadja memanggil anaknja sendiri sebagai ‘anak andjing’, memangnja apa ibunja kawin dengan andjing? Hahahaha!”

Begitulah dia ter-bahak2 geli. Dan karena melihat dia tertawa, sipengemis ketjil mendjadi ikut2 tertawa.

“Dan siapa nama ajahmu?” tanja Yan-khek pula dengan menahan tertawanja.

“Ajah? Aku........ aku tidak punja,” sahut sidjembel sambil menggeleng.

“Habis dirumahmu ada siapa lagi?”

“Aku, ibuku, dan.... dan masih ada si Kuning.”

“Siapa si Kuning itu?”

“Si kuning adalah andjing, seekor andjing,” sidjembel menerangkan, “Karena ibuku hilang, aku lantas mentjarinja, si Kuning selalu mengintil dibelakangku, tapi kemudian dia telah pergi mentjari makan, lalu menghilang djuga. Aku telah mentjarinja kesana kemari dan tidak ketemu.”

“Kiranja botjah ini seorang tolol, tampaknja diketemukannja medali ini hanja setjara kebetulan sadja. Biarlah kusuruh dia memohon sesuatu padaku untuk memenuhi sumpahku dahulu dan habis perkara,” demikian pikir Yan-khek.

Maka ia lantas bertanja: “Tjoba, apa jang ingin kau mohon.........” baru sekian utjapannja, mendadak ia tahan kata2 jang belum tertjetus dari mulutnja itu. Pikirnja: “Kalau anak tolol ini mohon padaku untuk mentjarikan ibunja, bahkan minta aku mentjarikan andjingnja si Kuning itu, lantas kemana aku harus mentjarikan? Ibunja tentu sudah minggat bersama lelaki lain dan si Kuning itu besar kemungkinan sudah disembelih orang, kalau soal2 sulit ini dikemukakannja kepadaku kan bisa berabe? Djika aku diminta membunuh sepuluh atau dua puluh djago silat tentu akan djauh lebih mudah daripada disuruh mentjari dia punja andjing si Kuning itu.”

Begitulah, sesudah merenung sedjenak, achirnja ia sudah mendapat akal, segera katanja pula: “Nah, begini, tjoba dengarkan. Tak peduli siapa jang menjuruh kau membitjarakan sesuatu padaku, maka sekali2 djangan kau katakan, kalau kau tidak berani berkata, seketika djuga kupenggal kepalamu! Nah, tahu tidak?”

Hendaklah maklum bahwa tentang kedjadian Tjia Yan-khek mengambil kembali medali wasiat dari tangan sipengemis tjilik itu, tentu dalam waktu singkat berita itu akan tersiar djuga didunia persilatan. Sebab itulah Tjia Yan-khek kuatir kalau sidjembel tjilik diakali orang serta menjuruhnja mengadjukan sesuatu permohonan pada dirinja, dan karena terikat oleh sumpahnja dahulu terpaksa ia tidak dapat menolak.

Tapi Yan-khek masi belum lega, ia menegas lagi: “Apa kau sudah ingat betul2 pesanku tadi? Apa, tjoba katakan!”

“Kau bilang, tak peduli siapapun jang suruh aku mengatakan apa2 padamu, maka sekali2 aku tak boleh bitjara, bila aku mengatakan, segera kau akan memenggal kepalaku,” ulang sidjembel.

“Ja, betul,” udjar Yan-khek. “Anak tolol ternjata tidak terlalu tolol. Nah, sekarang ikutlah padaku.” Dari tempat jang sepi itu mereka kembali kedjalan raja. Tidak lama kemudian sampailah mereka disebuah kedai penganan ditepi djalan.

Tjia Yan-khek membeli dua buah bakpau dan segera dimakannja sendiri. Ia tjoba melirik sidjembel tjilik itu dengan harapan botjah itu akan bersuara memohon makan padanja.

Untuk meng-iming2, Yan-khek sengadja makan bakpau itu dengan lahap, lidahnja berketjak2 keras dan sambil tiada hentinja memudji akan kelezatan bakpau itu. Sedang bakpau satunja jang masih dipegang disebelah tangan lain sengadja di-iming2 pula didepan hidung sidjembel. Pikirnja: “Pengemis tjilik ini sudah bisa mengemis makan pada orang, mustahil sekarang dia tidak mengiler kepada bakpau jang kumakan ini? Asal dia membuka mulut mengemis padaku dan aku memberikan bakpau ini padanja, maka ini berarti sumpahku atas medali wasiat itu sudah terpenuhi, dan untuk selandjutnja aku akan dapat hidup senang dan bebas tanpa ikatan sesuatu apapun.”

Memangnja perut sipengemis tjilik djuga sudah lapar, sekarng di-iming2 sepotong bakpau jang enak itu, tentu sadja dia mengiler dan ingin memakannja. Tjuma, aneh djuga, biarpun hatinja kepingin setengah mati, bidji lehernja sampai naik-turun dan menelah ludah ber-ulang2, namun sebegitu djauh ia tetap tidak membuka mulut untuk mengemis.

Sampai achirnja Tjia Yan-khek sendiri merasa tidak sabar menunggu, sedangkan bakpau jang dimakannja sudah habis, segera bakpau kedua itu didjedjalkan lagi kedalam mulut dan tangannja lantas mengambil lagi bakpau jang masih hangat2 dinampan sipendjualnja.

“Akupun ingin dua potong bakpau,” tiba2 sipengemis tjilik, berkata kepada pendjual bakpau dan tanpa menunggu djawabah tangannja lantas mentjomot bakpau jang sangat diinginkan itu.

Pemilik kedai itu memandang kepada Tjia Yan-khek, maksudnja ingin tahu apakah Tjia Yan-khek mau mengakui bakpau jang dimakan djembel tjilik itu atau tidak. Yan-khek lantas mengangguk. Diam2 ia bergirang: “Bagus, sebentar bila pendjualnja minta pembajaran padamu, ingin kulihat kau terpaksa akan minta bantuanku atau tidak?”

Tertampak sidjembel telah makan bakpau satu demi satu dengan lahapnja, seluruhnja telah dimakannja empat bidji. Achirnja dia berkata: “Kenjang sudah, tidak makan lagi!”

Tjia Yan-khek sendiri hanja makan dua bidji bakpau dan tidak makan lagi. Katanja kepada sipendjual: “Berapa duitnja?”

“Dua pitjis satu bidji, enam bidji bakpau seluruhnja 12 pitjis,” sahut sipendjual.

“Tidak, masing2 membajar sendiri2. aku makan dua bidji, aku hanja bajar empat pitjis sadja,” kata Yan-khek sembari memasukkan tangan kedalam saku untuk mengambil uang.

Tapi sekali merogoh saku dia lantas melongo. Rupanja dia sendiri “tong-pes” alias kantong kempes karena siangnja dia habis makan-minum dikota Khay-hong dan sangunja sudah terpakai habis. Keruan ia meringis dan serba susah.

Tengah ia merasa bingung, tiba2 sidjembel tjilik mengeluarkan serentjeng uang perak dan diserahkan kepada pendjual bakpau, katanja: “Seluruhnja 12 pitjis, aku jang membajar semua.”

Tjia Yan-khek mendjadi tertjengang. “Apa? Kau mentraktir aku?” tanjanja.

“Ja, kau tidak punja uang dan aku banjak uang, apa halangannja mentraktir kau beberapa bidji bakpau sadja?” sahut sidjembel sambil tertawa.

Sipendjual bakpau djuga ter-heran2, tjepat ia memberikan beberapa potong uang retjeh tembaga sebagai kembalinja. Segera sidjembel tjilik memasukkan uang retjeh itu kedalam saku. Ia pandang Tjia Yan-khek dan menantikan perintahnja.

Mau tak mau, Tjia Yan-khek menjengir. Pikirnja: “Watakku biasanja sangat kukuh, biarpun tjuma makan minum djuga tidak sudi menerima pemberian orang lain. Siapa duga hari ini malah ditraktir makan bakpau oleh djembel tjilik ini.”

Segera ia mengadjaknja berangkat. Sambil berdjalan iapun bertanja: “Darimana kau tahu aku tidak punja uang?”

Sipengemis tjilik mendjawab dengan tertawa: “Di-rumah2 makan aku sering melihat orang merogoh saku hendak mengambil uang, tapi tangan jang sudah masuk didalam kantong itu sampai lama sekali tidak keluar2 lagi, sebaliknja air mukanja berubah sangat aneh, seperti menjengir dan seperti meringis. Djika demikian wadjahnja, maka dapat dipastikan orang itu tentu tidak punja uang. Setiap tukang gegares pertjuma dirumah makan selalu demikian keadaannja.”

Kembali Tjia Yan-khek menjengir ewa. Pikirnja: “Kurang adjar, djadi kaupun anggap aku sebagai tukang gegares jang tidak mau bajar?” – Segera ia bertanja lagi: “Dan darimana kau mentjuri uang sebanjak itu?”

“Kenapa mesti mentjuri?” sahut sidjembel tjilik. “Ini adalah pemberian sinjonja baik hati jang berbadju putih tadi.”

“Sinjonja baik hati berbadju putih?” Yan-khek menegas. Tapi ia lantas paham, tentu Bin Dju jang dimaksudkan.

Tidak terlalu djauh mereka berdjalan, tiba2 Yan-khek mengangkat pedang putih milik Bin Dju itu dan berkata: “Pedang ini sangat tadjam, tadi hanja sekali tabas sadja sebatang pohon telah kutumbangkan. Kau menjukai pedang ini tidak? Kalau kau minta, tentu akan kuberikan padamu.”

Sesungguhnja dia merasa sebal berkumpul terlalu lama dengan pengemis ketjil jang kotor dan bodoh itu, maka diharapnja botjah itu mau mengadjukan sesuatu permohonan padanja dan terpenuhilah sumpahnja dahulu.

Tak terduga sidjembel tjilik itu telah menggeleng kepada dan mendjawab: “Tidak, aku tidak mau. Pedang ini adalah milik njonja berbadju putih jang baik hati itu. Dia adalah orang baik, aku tidak mau mengambil barangnja.”

Yan-khek lantas perlihatkan pedang hitam, ia ajun kesamping sekenanja dan kontan sebatang pohon ditepi djalan lantas tertabas kutung. Lalu katanja: “Apa kau minta pedang hitam ini sadja?”

“Tidak, pedang hitam ini adalah milik tuan berbadju hitam tadi,” kembali sidjembel tjilik menggeleng kepala. “Tuan dan njonja itu adalah serombongan, aku tak boleh mengambil barang mereka.”

“Eh, Kau-tjap-tjeng, kau suka bitjara tentang setia kawan djuga,” djengek Tjia Yan-khek.

“Apa artinja setia kawan?” tanja sidjembel dengan bingung.

Yan-khek hanja mendengus sekali sadja dan tak gubris lagi padanja. Pikirnja: “Djika kau tak paham, tiada gunanja kuterangkan padamu.”

“Oh, barangkali kau tidak suka orang jang setia kawan, dja........... djadi engkau tidak setia kawan.”

Yan-khek mendjadi murka, seketika kepala sipengemis tjilik itu hendak ditaboknja. Tapi demi melihat sikap botjah jang masih ke-kanak2an dan polos itu, tangannja jang sudah terangkat itu lantas ditarik kembali. Pikirnja: “Djika dia memang tidak paham apa artinja setia kawan, maka diapun tidak sengadja hendak mengedjek padaku.” – Lalu iapun mendjawab: “Masakan aku tidak setia kawan? Tentu sadja aku suka setia kawan.”

“Setia kawan itu baik atau tidak?” tanja sipengemis tjilik/

“Baik, sudah tentu baik,” sahut Yan-khek.

“Ah, tahulah aku sekarang. Jang berbuat baik adalah orang baik, jang berbuat djahat adalah orang djahat. Engkau berbuat baik maka engkau adalah seorang jang sangat baik.”

Kalau kata2 ini diutjapkan oleh seorang lain, Tjia Yan-khek akan menganggapnja sebagai suatu sindiran dan tanpa pikir tentu orang itu dibinasakannja. Hendaklah maklum selama hidupnja ini tak pernah seorangpun jang mengatakan dia adalah “orang baik”. Walaupun terkadang iapun berbuat satu-dua kebaikan, tapi itu hanja karena hatinja sedang senang dan melakukannja menurut seleranja pada saat itu, kalau dibandingkan kedjahatannja jang diperbuatnja selama hidup boleh dikata tiada artinja.

Tapi sekarang didengarnja utjapan sipengemis tjilik itu sangat tulus dan sungguh2, mau tak mau ia meringis dan serba runjam. Pikirnja: “Kata2 botjah ini setengah sinting, sebentar bilang aku tidak setia kawan, sekarang aku dianggap orang baik. Kalau kata2 demikian didengar oleh musuhku bukankah akan mendjadi buah tertawaan orang2 Bu-lim? Rasanja aku harus lekas menjelesaikan urusan ini dan tidak perlu omong-kosong lagi dengan dia.”

Karena botjah itu tidak mau pedang2 hitam-putih itu, Yan-khek lantas mengeluarkan sepotong kain hidjau dan membungkusnja, lalu digendongnja dipunggung. Diam2 ia memikir: “Tjara bagaimana aku harus memantjing dia supaja memohon sesuatu padaku?”

Tengah memikir, tiba2 dilihatnja ditepi djalan ada tiga batang pohon kurma dengan buahnja jang merah segar dan besar2. segera ia menundjuk buah kurma itu dan berkata: “Sungguh enak sekali buah kurma itu.”

Menurut rekaannja, karena pohon kurma itu tinggi2 semua, asal sidjembel tjilik itu memohon dia memetikkan buah kurma, maka itu sudah terhitung sumpahnja terpenuhi, jaitu melaksanakan sesuatu permintaan orang jang menjerahkan kembali medali wasiat padanja itu.

Tak terduga sidjembel tjilik malah bertanja padanja: “Eh, orang sangat baik, apakah kau kepingin makan kurma?”

“Orang sangat baik apa?” tanja Yan-khek.

“Karena engkau ada orang baik sekali, maka aku memanggil engkau orang sangat baik.”

“Siapa jang mengatakan aku orang baik?” mendadak Yan-khek menarik muka masam.

“Kalau bukan orang baik tentu adalah orang djahat, djika begitu biarlah kupanggil engkau orang djahat sadja.”

“Akupun bukan orang djahat.”

“Kan aneh? Bukan orang baik, bukan orang djahat pula, lalu orang apa.......? Ah, tahulah aku, kiranja engkau bukan orang!”

“Apa katamu?” bentak Yan-khek dengan gusar.

Sidjembel tjilik mendjulur lidah sekali dan mendadak terus berlari kebawah pohon kurma, tiba2 ia peluk batang pohon itu dan kakinja lantas memantjal, segera ia pandjat keatas pohon.

Njata, meski botjah itu tidak bisa ilmu silat, tapi tjaranja memandjat pohon benar2 sangat tjepat dan segesit kera. Hanja dalam sekedjap sadja djembel tjilik itu sudah memetik kurma merah itu sekantong penuh sehingga badjunja jang rombeng itu hampir2 djebol dibebani kurma sebanjak itu. Lalu ia memberosot turun, dengan kedua tangan ia mentjakup kurma merah jang dipetiknja itu dan diberikan kepada Tjia Yan-khek. Katanja: “Silakan makan kurma! Engkau bukan orang, djuga bukan setan, apa barangkali malaikat dewata? Tapi kulihat djuga bukan!”

Yan-khek tak menggubrisnja. Ia tjoba makan beberapa bidji kurma itu, rasanja manis dan segar, ternjata kurma itu berkwalitas tinggi. Pikirnja: “Buset, bukannja dia minta apa2 padaku, djadinja aku jang minta padanja malah.”

Sedjenak kemudian, ia tjoba memantjing lagi, katanja: “Apakah kau tidak ingin mengetahui aku ini siapa? Asal kau bertanja: ‘Harap engkau suka menerangkan siapakah kau sebenarnja?’ Apakah engkau ini malaikat dewata? – maka aku akan lantas menerangkan padamu.”

“Tidak, aku tidak mau memohon apa2 kepada orang lain,” sahut sidjembel tjilik sambil menggeleng.

Yan-khek terkesiap. “Mengapa tidak mau?” tanjanja tjepat.

“Ibuku sering berkata kepadaku: ‘Wahai, Kau-tjap-tjeng, selama hidupmu ini djanganlah kau meminta apa2 kepada orang lain. Kalau orang mau memberikan padamu, tanpa diminta djuga orang akan memberi. Sebaliknja kalau orang tidak mau memberi, biarpun kau meminta dan memohon dengan sangat djuga pertjuma, bahkan akan membikin djemu orang.’ – Sebab itulah, maka selamanja akupun tidak pernah minta apa2 kepada ibu. Terkadang ibu makan barang2 jang harum dan enak, beliau sengadja meng-iming2 padaku, apabila aku membuka mulut dan minta padanja, bukan aku diberi, sebaliknja aku lantas dihadjarnja hingga babak-belur. Lantaran itulah sekali2 aku tidak mau meminta apa2 kepada orang lain.”

Sungguh heran Yan-khek tidak terkatakan, iapun merasa ketjewa pula. Pikirnja: “Djika botjah ini benar2 tidak mau meminta apa2 padaku, lantas tjara bagaimana aku bisa membajar kaul jang tersirat didalam sumpahku itu? Ibunja mungkin adalah seorang gila, masakah anaknja minta makan padanja malah dipukuli.”

Kemudian ia tanja pula: “Habis, kau adalah seorang pengemis ketjil, apakah kau tidak meminta uang dan mengemis makan kepada orang lain?”

“Tidak, selamanja aku tidak pernah mengemis,” sahut sidjembel tjilik sambil menggeleng. “Kalau orang memberi, tapi kalau dia lengah, segera aku mengambilnja terus mengelujur pergi.”

Yan-khek tertawa. Katanja: “Djika begini kau bukan pengemis ketjil, tapi adalah maling ketjil.”

“Apa artinja maling ketjil?”

“Kau benar2 tidak tahu atau tjuma berlagak bodoh?”

“Sudah tentu karena aku memang tidak tahu, makanja tanja padamu. Dan apakah artinja berlagak bodoh itu?”

Yan-khek tjoba mengamat-amati botjah itu, tertampak mukanja kotor, tapi sepasang matanja hitam bening dan bersinar, sedikit pun tidak ada tanda2 goblok. Maka katanja pula: “Kau toh bukan anak umur tiga, usiamu sudah belasan tahun, mengapa segala apa tidak paham?”

“Ja, karena ibuku tidak suka bitjara dengan aku, beliau menjatakan asal melihat aku lantas djemu, seringkali sepuluh hari atau dua puluh hari aku tidak pernah digubrisnja. Terpaksa aku hanja bitjara dengan si Kuning sadja. Tapi si Kuning hanja bisa mendengarkan dan tak dapat bitjara dengan aku tentang maling ketjil dan berlagak bodoh apa segala.”

Melihat sorot mata botjah itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap nakal dan litjin, diam2 Yan-khek membatin: “Agaknja botjah ini memang tidak pandai pura2” – Maka ia lantas tanja: “Mengapa kau tidak bitjara sadja dengan tetanggamu?”

“Apakah artinja tetangga?”

“Jang tinggal disekitar rumahmu, itulah tetangga namanja,” sahut Yan-khek dengan aseran. Lama2 ia mendjadi djemu djuga.

“Oh, jang tinggal disekitarku? Ja, banjak djuga, dibelakang rumahku ada belasan pohon besar, diatas pohon banjak terdapat badjing, ditengah semak2 banjak pula ajam alas, kelintji liar. Apakah mereka itu jang dinamakan tetangga? Tapi mereka hanja bisa berbunji dan tak bisa bitjara.”

“Apa sampai sekian besarnja kau tidak pernah bitjara dengan orang lain ketjuali ibumu?” tanja Yan-khek dengan mendongkol.

“Selamanja aku tinggal diatas gunung dan tidak pernah turun. Maka selain Ibu, tak pernah ada orang bitjara dengan aku. Beberapa hari jang lalu ibu telah hilang, waktu aku mentjarinja, aku tergelintjir djatuh kebawah gunung. Kemudian si Kuning djuga menghilang. Waktu kutanja orang lain kemanakah perginja ibu dan si Kuning, tapi orang bilang tidak tahu. Apakah itu terhitung berbitjara?”

Diam2 Yan-khek gegetun. Kiranja botjah ini selamanja tinggal diatas gunung dan ibunja djuga tidak suka menggubrisnja, makanja ini tidak paham dan itupun tidak tahu. Maka ia lantas mendjawab: “Ja, itupun dapat dianggap berbitjara. Dan darimana kau tahu bahwa uang dapat dibelikan bakpau?”

“Kemarin aku melihat orang membeli setjara demikian,” sahut sidjembel. “Kau tidak punja uang dan aku masih punja, kau ingin uang ini, bukan? Biarlah kuberikan padamu.” – Lalu ia mengeluarkan uang retjeh kembalian sipendjual bakpau tadi dan disodorkan kepada Tjia Yan-khek. Diam2 iapun membatin: “Biar botjah ini kelihatan ke-tolol2an, tapi ternjata bukan anak jang pelit.”

Begitulah perasaan Tjia Yan-khek mendjadi semakin lega, sekarang ia pertjaja penuh sidjembel tjilik itu bukanlah perangkap jang sengadja dipasang oleh orang lain untuk mendjebaknja.

Yan-khek tersenjum, sahutnja: “Djika kau minta makan, minta uang kepada orang dan orang mau memberikan padamu setjara sukarela, maka kau disebut sebagai pengemis ketjil. Tetapi kalau kau minta2 dan orang lain tidak mau memberi, diam2 kau lantas menjambarnja dan membawa lari, itu namanja maling ketjil.”

Sidjembel tampak merenung sedjenak, lalu berkata pula: “Selamanja aku tidak pernah minta2 kepada orang, tak peduli orang suka memberi atau tidak, aku lantas mengambilnja untuk dimakan. Djika begitu aku adalah maling ketjil.................. Eh, dan kau adalah maling tua.”

Keruan Yan-khek terperandjat. “Apa? Kau menganggap aku ini apa?”

“Bukankah kau memang maling tua?” sahut sidjembel tjilik. “Sudah terang pemilik kedua batang pedang itu tidak memberikannja padamu, tapi kau sengadja merebutnja, kau bukan anak ketjil, dengan sendirinja adalah maling tua.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar