Jilid 1
Kira2 dua belas li ditimur
kota Khay-hong, ibukota propinsi Ho-lam terdapat sebuah kota ketjil bernama
Hau-kam-tjip, suatu kota ketjil jang ramai dan makmur dalam lalu-lintas
perdagangan.
Tatkala itu sudah mendjelang
maghrib, para pedagang dan bakul2, tukang sajur, tukang daging dan lain2 sedang
sibuk bebenah pikulan dan kerandjang mereka untuk pulang. Pada saat itulah
sekonjong2 dari arah tenggara sajup2 terdengar suara derapan kaki kuda jang
ramai.
Hau-kam-tjip memang suatu kota
jang menempati djalan raja jang penting, kaum pedagang jang berlalu-lalang
setiap hari sangat banjak, maka siapapun tiada jang ambil pusing djika ada
orang berlalu dengan menunggang kuda.
Tapi dari arah suara derap
kaki kuda jang makin mendekat itu dapat terdengar bahwa djumlah penunggang kuda
itu ternjata adalah suatu rombongan besar, sedikitnja ada ratusan.
Baru sekarang penduduk
Hau-kam-tjip mulai terkedjut dan heran. Dari suara derap kuda jang gemuruh itu
njata sekali penunggang2nja sedang membalapkan binatang tunggangan mereka
dengan tjepat.
“Besar kemungkinan adalah
pasukan tentara pemerintah!” demikian orang ramai mempertjakapkan.
“Ja, lekas kita menjingkir,”
ada jang menanggapi. “Mendingan kalau tjuma barang dagangan kita jang
keterdjang dan rusak, lebih tjelaka kalau kita jang ter-indjak2 kuda, kan bisa
runjam!”
Mendadak diantara suara
gemuruh derap kuda itu terseling pula suara2 suitan, bahkan suara2 suitan itu
sahut-menjahut dari berbagai djurusan. Ternjata segenap pendjuru Hau-kam-tjip
itu sudah terkepung dengan rapat.
Kembali semua orang
terperandjat. Bagi orang2 jang berpengalaman lebih luas lantas timbul
kesangsian: “Wah, djangan2 adalah kaum bandit?”
Seorang pegawai toko kelontong
bermerek “Ho An” ditepi djalan itu telah berkata: “Wah, tjelaka! Mungkin
saudara2 tua kita itu jang datang!”
Ong-tjiangkui, si djuragan
toko memangnja sedang gemetar ketakutan, sekarang mendengar pegawainja bermulut
tjerewet, kontak ia mengangkat sebelah tangannja dengan gaja hendak menabok,
sambil membentak: “Kurang adjar! Bitjara sadja tidak tahu aturan. Kalau benar
tuan2 besar dari golongan itu jang datang, hm, tentu… tentu kau bisa mampus.
Padahal djarang terdengar ada orang melakukan pekerdjaan begitu disiang hari
bolong? Wah, ini… ini memang agak aneh….”
Belum selesai utjapannja ia
mendjadi melongo dan tidak sanggup meneruskan lagi, sebab saat itu dari
djurusan timur ada empat-lima penunggang kuda sedang menerdjang tiba.
Penunggang2 kuda itu seluruhnja berbadju hitam mulus, kepala memakai tjaping
dan semuanja bersendjata golok mengkilap.
“Wahai, dengarkan segenap
penduduk! Hendaklah setiap orang tetap tinggal ditempatnja masing2, kalau
berani sembarangan bergerak, djangan menjesalkan sendjata kami jang tak bermata
ini!” demikian penunggang2 kuda itu ber-teriak2. Sambil mem-bentak2 terus
melarikan kuda mereka kedjurusan barat.
Tapal kuda mereka jang beradu
dengan djalan jang berlapiskan balok2 batu menimbulkan suara
“ketuprak-ketuprak” telah menggetarkan perasaan setiap orang.
Belum lenjap suara derap kuda2
itu, kembali dari djurusan barat menerdjang datang tudjuh-delapan penunggang
kuda jang lain, semuanja djuga berbadju hitam dan memakai tjaping jang setengah
menutupi muka mereka sehingga tidak djelas terlihat.
Orang2 inipun mem-bentak2 agar
setiap orang tetap tinggal ditempatnja masing2 kalau tidak ingin berkenalan
dengan sendjata mereka jang tadjam.
Dasar tjerewet dan usilan,
kembali sipegawai toko kelontong tadi mengotjeh, “Ha, entah bagaimana rasanja
golok mereka, kan lebih enak makan….”
Belum habis utjapannja,
se-konjong2 salah seorang penunggang kuda itu mengajun tjambuknja, “tarrr”,
udjung tjambuk menjambar masuk kedalam toko dan dengan tjepat melilit dileher
sipegawai, ketika orang itu menarik tjambuknja jang pandjang itu, “bluk”, kontan
sipegawai toko kelontong jang sialan itu terbanting ke-tengah2 djalan raja.
Waktu penunggang kuda itu
mentjongklangkan kudanja, seketika sipegawai ikut terseret kedepan. Lebih
tjelaka lagi dari belakang telah menjusul tiba penunggang2 kuda jang lain. Maka
terdengarlah suara djerit ngeri sipegawai toko tadi, seketika melajanglah
djiwanja ter-indjak2 oleh kaki kuda.
Melihat betapa djahat dan
kedjamnja kawanan berandal itu, tentu sadja penduduk2 jang lain tidak berani
berkutik. Jang tadinja bermaksud tjepat2 menutup pintu djuga urung dan serasa
terpaku ditempatnja masing2 dengan badan gemetar.
Terpisah kira2 belasan rumah
dari toko kelontong bermerek “Ho An” itu adalah sebuah kedai pendjual penganan
sebangsa Yutjiakue, untir2, siopia dan lain2. Sebuah wadjan besar dengan minjak
jang mendidih mengeluarkan suara gemertjik. Diatas saringan minjak dari ajaman
kawat diatas wadjan itu terdapat beberapa londjor Yutjiakue jang masih panas.
Pendjual penganan itu adalah
seorang kakek jang bungkuk. Kalau orang lain merasa ber-debar2 dan ketakutan
oleh apa jang terdjadi saat itu, adalah sikakek ternjata tidak ambil pusing,
dianggapnja seperti tidak melihat sadja.
Sikakek sedang sibuk mengolah
barang dagangannja, sedang membuat siopia. Mula2 ia menaruh sedikit radjangan
berambang diatas adonan tepungnja, lalu adonan itu dikepalnja dan dipentjet
dengan kedua telapak tangan sehingga berbentuk bundar gepeng, kemudian ia
mentjomot sedikit widjen dari sebuah mangkuk jang terletak diudjung papan
adonam tepung dan ditaburkan diatas kepingan siopia jang belum masak itu.
Achirnja ditaruh diatas alat panggang terus dimasukkan kedalam anglo garangan.
Saat itu suara2 suitan tadi
sudah mereda, suara derap kuda djuga tak terdengar lagi. Suasana kota
Hau-kam-tjip jang berpenduduk hampir ribuan djiwa itu berubah mendjadi sunji
senjap laksana kuburan. Ditengah suasana prihatin itu jang masih terdengar
hanja suara “prak-prak-prak”, suara derap sepatu kulit jang memukul lantai
sedang mendekat dari djurusan barat menjusul sepandjang djalan raja.
Dari suara tindakan itu,
agaknja orang itu berdjalan dengan sangat pelahan, suara derap sepatu kulitnja
jang berat itu dirasakan se-akan2 menggetarkan perasaan setiap penduduk kota.
Suara langkan orang itu makin
lama makin mendekat. Tatkala itu sang surja baru sadja akan terbenam diufuk
barat, suatu bajangan orang jang djangkung tampak tersorot ditengah djalan
besar dan makin mendekat mengikuti suara tindakan kaki.
Setiap orang didjalanan
Hau-kam-tjip itu seolah-olah sudah terkesima ketakutan. Hanja sikakek pendjual
penganan tadi masih tetap sibuk membuat siopia.
Anehnja, suara derap sepatu
kulit setiba didepan tempat pendjual siopia itu mendadak lantas berhenti. Orang
itu mengamat-amati sikakek pendjual siopia dari atas kebawah dan dari udjung kaki
sampai keudjung rambut. Habis itu se-konjong2 ia tertawa dingin ter-kekeh2.
Pelahan2 si kakek pendjual
siopia mengangkat kepalanja, dilihatnja orang itu berbadan sangat tinggi,
usianja antara 45-46 tahun, mukanja buruk, kulit mukanja seperti kulit djeruk
jang kasar dan penuh kukul, kedua matanja ketjil, tapi bersinar.
“Apa mau beli siopia, tuan?
Satu pitjis satu bidji,” kata si kakek. Lalu ia menggunakan tjapit besi dan
mengeluarkan sebuah siopia dari dalam anglo jang masih panas dan ditaruh diatas
medja.
Kembali sidjangkung bermuka
djelek itu tertawa dingin, tiba2 ia mendjulurkan tangannja dan berseru: “Mana?
Berikan!”
Sikakek mengiakan, lalu siopia
jang masih panas itu diambilnja dna ditaruh kedalam tangan sidjangkung. “Kurang
adjar! Sampai saat ini kau masih tjoba mempermainkan tuan-besarmu!” bentak
sidjangkung dengan alis menegak gusar dan mendadak siopia itu terus disambitkan
kemuka sikakek.
Dari sambaran angin jang
terbawa oleh siopia itu djelas sekali tenaga sambitan sidjangkung ternjata
sangat kuat, kalau muka sampai terkena sambaran itu pasti akan terluka parah.
Tapi sikakek dengan sedikit
miringkan kepalanja, dengan tepat siopia itu telah menjambar lewat disisi
mukanja. Plok, siopia itu djatuh ditepi selokan dipinggir djalan.
Dalam pada itu setelah
menjambitkan siopia, menjusul sidjangkung lantas melolos keluar sepasang
sendjata Siang-kau (gaetan), udjung sendjata jang melengkung tadjam itu
mengeluarkan sinar gemerlapan.
“Dalam keadaan demikian masih
tidak kau serahkan, memangnja apa kau kira djiwamu dapat diselamatkan? Orang
she Go, sebenarnja kau bisa melihat gelagat atau tidak?” demikian bentak
sidjangkung pula.
Tapi dengan setengan memitjingkan
matanja, sikakek pendjual siopia mendjawab: “Sudah lama kudengar An-tjetju dari
Kim-to-tje suka merampas jang kaja untuk menolong jang miskin, setiap orang
Kangouw jang menjebut nama An-tjetju tentu akan mengatjungkan djempol mereka
dan berkata: “Ja, seorang begal budiman!” – Tapi entah mengapa hari ini
Siauliaulo (anak buah kaum begal, kerotjo) jang dia kirim ke Hau-kam-tjip ini
telah sudi mengintjar kepada seorang kakek miskin pendjual siopia?” – Tjara
bitjaranja seperti pelahan dan lemah, tapi apa jang dikatakannja itu terdengan
tjukup djelas.
Sebaliknja sidjangkung tambah
gusar ketika mendengar dirinja dianggap sebagai “kaum kerotjo” sadja. Segera ia
membentak pula: “Go To-it, kau tidak perlu berlagak-pilon. Katakanlah terus
terang sadja, apa kau benar2 tidak mau menjerahkan?”
Sikakek terkesiap djuga,
karena orang dapat mengatakan dengan djitu nama aselinja. Diam2 ia harus
mengakui tadjamnja telinga Kim-to-tje. Namun dia masih tetap berlagak seperti
tiada terdjadi apa-apa, dengan sikap ke-malas2an ia mendjawab: “Saudara membawa
Siang-kau, tentu adalah Tiat-kau-tju Thio… Thio Tay-goan dari Kim-to-tje!”
Padahal sidjangkung bernama Li
Tay-goan, orang memberi djulukan “Sin-kau” (Si Kait Sakti) padanja. Tapi
sekarang Go To-it, jaitu sikakek pendjual siopia, sengadja mengganti dia punja
she, bahkan Si Kait Sakti sengadja disebut sebagai Tiat-kau-tju atau Si Kait
Besi jang penuh mengandung maksud edjekan. Keruan ia tidak tahan lagi. Mendadak
kaitan kiri bergerak, terus sadja menggantju kepundak Go To-it.
Tjepat Go To-it mengegos
kekanan sehingga kaitan Li Tay-goan mengenai tempat kosong. Namun serangan Li
Tay-goan itu ternjata masih membawa serangan susulan jang sangat liehay. Ketika
kaitan diseret kesamping terus ditarik, kembali punggung Go To-it hendak
digait.
Se-konjong2 Go To-it mendakkan
tubuh sehingga kaitan itu menjambar lewat diatas kepalanja, menjusul kakinja
lantas menendang, tapi bukan Li Tay-goan jang diarah, sebaliknja menendang
anglo sehingga bara arang jang masih menjala itu berhamburan ketubuh Li
Tay-goan, berbareng sewadjan penuh minjak mendidih jang sedang dibuat
menggoreng yutjiakue tadi djuga menjiram keatas kepalanja.
Keruan Li Tay-goan terkedjut,
buru2 ia melompat mundur hingga taburan bara arang dapat terhindar, tapi susah
menghindarkan muntjratnja minjak mendidih. Ia mengaduh kesakitan karena kedua
kakinja telah tersiram minjak mendidih itu.
Kesempatan itu telah digunakan
oleh Go To-it untuk melontjat keatas, sebagai burung ia mengapung keatas
wuwungan rumah didepan sana dengan tangan tetap memegang djepit besi alat
panggang siopia tadi.
Dan baru sadja Go To-it sempat
berdiri diatas wuwungan, mendadak sinar tadjam berkilau, kepalanja sudah
terantjam oleh batjokan golok. Tjepat Go To-it menangkis dengan djapit besi.
“Trang!” lelatu api meletik. Ternjata djepit besi jang hangus tak menarik itu
sebenarnja buatan dari badja murni sehingga golok musuh tertangkis kembali.
Pada saat jang hampir sama
dari sebelah kiri sebatang tumbak pendek dan dari sisi kanan sepasang golok
berbareng djuga menjerang tiba.
“Hm, tidak tahu malu, main
kerubut!” djengek Go To-it. Waktu tubuhnja sudah menegak, tahu2 kedua tangannja
masing2 sudah memegang sebelah tangkai djapit besi, jang kiri dibuat menangkis
tumbak dan jang kanan dipakai menahan sepasang golok musuh. Njata dia telah
pisahkan djapit besi itu sehingga sekarang berbentuk sepasang Boan-koan-pit.
Ketiga orang pengerubut itupun
berpakaian hitam mulus, mereka mendjadi kaget ketika mendadak melihat tubuh Go
To-it menegak, seorang kakek jang bungkuk tahu2 sekarang telah berubah mendjadi
seorang jang berperawakan tegap kuat.
Dengan memutar sepasang
Boan-koan-pit itu selalu Go To-it mengintjar Hiat-to lawannja, walaupun satu
dikerojok tida, tapi ia masih tetap diatas angin.
“Kena!” mendadak Go To-it
menggertak. Menjusul terdengar lawannja jang memakai tumbak telah mendjerit,
kaki kiri terkena tusukan Boan-koan-pit dan segera terperosot kebawah rumah.
Dalam pada itu diatas wuwungan
rumah sebelah sana tampak berdiri seorang tua kurus ketjil, dengan kedua tangan
bertolak pinggang, orang tua itu sedang mengawasi pertarungan ketiga orang.
Ditengah berkelebatnja sinar
berkilau, “trang!”, sendjata sipemakai golok telah tersampuk djatuh oleh
Boan-koan-pit jang dihantamkan Go To-it, menjusul dada orang itupun terdepak
sehingga terdjungkal kebawah rumah.
Sekarang lawan Go To-it
tertinggal sipemakai sepasang golok sadja jang mendjadi djeri karena kedua
kawannja ber-turut2 telah dirobohkan Go To-it. Tapi ia masih tidak mau mengaku
kalah dan mengundurkan diri, ia putar kedua batang goloknja sebagai kitiran
tjepatnja, ia melindungi tempat2 berbahaja diseluruh badannja, ia hanja
mendjaga diri dan tidak menjerang.
Maka sikakek kurus ketjil jang
sedjak tadi hanja menonton sadja sekarang lantas mendekati mereka, makin lama
makin mendekat. Saat itu sendjata Go To-it dan lawannja sedang diputar
se-kentjang2nja, asal salah seorang tersambar sendjata itu tentu akan binasa
atau sedikitnja terluka parah. Tapi sikakek kurus ketjil itu djusteru anggap
sepi sadja akan hal itu, ia masih terus melangkah kedepan dan makin mendekati
kedua orang jang sedang mengadu djiwa itu.
“Awas, Susiok!” teriak si
pemakai sepasang golok. Saat itu dia sedang membabat dengan sendjatanja dan
karena tidak sempat ditahan lagi, maka goloknja telah menabas kepundak sikakek.
Namun sikakek kurus ketjil
sama sekali tidak berkelit, tangan kanannja mendadak terangkat, dengan kedua
djari tangan ia tahan keatas batang golok. Begitu kuat daja tekanan itu
sehingga orang itu tidak sanggup memegang sendjatanja lagi, tahu2 goloknja terlepas
dan terbang ketengah djalan raja dibawah sana.
Tentu sadja orang itu mendjadi
gugup karena sebelah goloknja terlepas. Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Go
To-it, sebelah Boan-koan-pitnja kontan mendjudju kedepan untuk menutuk perut
lawannja.
Tak disangka sikakek kurus
ketjil mendadak mendjulurkan sebelah tangannja lagi keatas pundak sipemakai
golok, sekali tarik setjepat kilat orang itu telah ditarik mundur
kebelakangnja. Berbareng djari kanannja lantas mentjolek mata kiri Go To-it.
Serangan balasan ini tjepatnja
tak terkatakan. Padahal Go To-it djelas melihat perut sipemakai golok tadi
pasti akan tertutuk oleh Boan-koan-pitnja. Siapa duga mendadak lawan telah
membarengi dengan serangan jang kedji itu, untuk menjelamatkan bidji matanja
sendiri terpaksa ia menarik kembali sendjatanja untuk memukul tangan sikakek.
Tapi hanja sedikit serongkan
djarinja sikakek sudah mengelakkan hantaman sendjata lawan, malahan djarinja
lantas berganti sasaran dan mengarah tenggorokan Go To-it.
Tjepat To-it melompat mundur.
Tak terduga sikakek djuga lantas mendesak madju dan kembali djarinja menutuk
kembali keperutnja.
Sebagai pemain Boan-koan-pit,
dengan sendirinja Go To-it adalah ahli Tiam-hiat, ahli menutuk djalan darah. Ia
lihat tjara menutuk lawan itu tidak diarahkan kepada bagian Hiat-to tertentu,
tapi asal kena sadja. Walaupun demikian Go To-it djuga tidak berani membiarkan
tubuhnja tertutuk. Mendadak Boan-koan-pit sebelah kanan memutar balik terus
mengepruk keatas kepala sikakek.
Tak terduga sikakek malah
menerdjang madju sehingga hampir2 menubruk kedalam pelukan Go To-it. Dan karena
terdjangan itu dengan sendirinja serangan Go To-it itu sudah terhindar, bahkan
kedua tangannja mendjulur sekaligus untuk mentjakar dada Go To-it.
Perawakan Go To-it tinggi
besar, sebaliknja tinggi sikakek hanja sebatas lehernja. Namun ilmu silat
sikakek ternjata sangat ganas, biarpun dengan bertangan kosong ia terus
menubruk dan mendesak madju. Ketika mendadak Go To-it merasa musuh sudah berada
didepan dadanja, dalam kagetnja tjepat ia melompat mundur, namun tidak urung
badjunja sudah tertjakar, “bret!”, badjunja robek sepotong.
Seketika Go To-it merasa
perutnja silir2 dingin, dalam seribu gugupnja ia tidak sempat memeriksa apakah
tubuhnja sudah terluka atau tidak, tapi segera ia putar balik sepasang
Boan-koan-pit terus mengetok ke “Thay-yang-hiat”, jaitu kedua pelipis si kakek.
Sungguh aneh, kembali sikakek
tidak berkelit, djuga tidak menangkis, tapi lagi2 orangnja menerdjang kedepan
dan dengan telak kedua tangannja menghantam didada Go To-it. Maka terdengarlah
suara “krakkk!”, entah berapa ladjur tulang iga telah dipatahkan, kontak Go
To-it terguling kebawah rumah.
Dibawah sana masih menggeletak
Li Tay-goan jang kedua kakinja melepuh tersiram minjak mendidih tadi, memangnja
dia sudah murka, soalnja kedua kakinja terluka parah dan tidak leluasa untuk
melompat keatas wuwungan rumah buat melabrak musuh. Pula ia kenal watak Tjiu
Bok, jaitu nama sikakek kurus ketjil, jang tinggi hati dan angkuh, sekali dia
sudah turun tangan, maka dia tidak suka kalau orang lain ikut membantunja.
Sebab itulah Li Tay-goan hanja mendongak keatas untuk mengikuti pertarungan
kedua orang.
Waktu Go To-it terdjungkal
kebawah, tanpa ajal lagi Li Tay-goan lantas melompat madju, dengan kalap kedua
sendjata kaitnja lantas menikam ke perut Go To-it. Saking senangnja karena rasa
dongkolnja terlampias, kembali ia mendongak dan tertawa pandjang.
“Djangan dibunuh!” demikian
mestinja Tjiu Bok telah mentjegahnja, tapi toh agak terlambat, kedua kaitan
besi Li Tay-goan sudah bersarang didalam perut Go To-it dan sudah tentu
djiwanja melajang.
Tapi se-konjong2 bajangan
orang berkelebat, menjusul terdengar Li Tay-goan mendjerit ngeri, ia
ter-hujung2 mundur beberapa tindak, tahu2 bagian kedua tetek didadanja sudah
tertantjap sepasang Boan-koan-pit jang menembus sampai punggungnja, darah
mengutjur keluar sebagai mata air dari lubang keempat luka itu. Dan sesudah
sempojongan beberapa kali, achirnja Li Tay-goan roboh terkulai.
Kiranja Go To-it tidak rela
mati konjol begitu sadja, tapi sebelum adjalnja ia masih balas menjerang
sekuatnja. Dan karena tidak ter-duga2, tanpa ampun lagi dada Li Tay-goan telah
tertusuk tembus oleh sepasang Boan-koan-pit.
Tjiu Bok, sikakek kurus ketjil
itu, sama sekali tak ambil pusing akan mati-hidupnja Li Tay-goan. Sebaliknja
dengan air muka menghina ia mendekati Go To-it, ia djambret tubuh orang she Go itu,
tapi diketahuinja napasnja djuga sudah berhenti.
Dengan mengerut kening Tjiu
Bok membanting tubuh Go To-it ketanah sambil membentak: “Tjopot pakaiannja dan
geledah!”
Beberapa anak buahnja
mengiakan dan segera mulai melepaskan badju Go To-it. Maka tertampaklah
dibagian punggung jang tertutup badju itu terdapat sebuah bantalan. Kiranja
bungkuk Go To-it itu adalah buatan belaka jang digandjal dengan bantalan itu.
Segera dua lelaki berbadju
hitam dengan tjepat membongkar bantalan itu. Ternjata didalam bantalan terdapat
bungkusan pula dan tiap2 lapis dibungkus dengan kain minjak. Setiap kali
bungkusan itu dilepaskan, setiap kali pula air muka Tjiu Bok bertambah girang,
diam2 ia bersorak didalam hati: “Ini dia! Disini! Ini dia!”
Sesudah belasan lapisan kain
minjak itu dibuka, bungkusan itu makin lama makin ketjil dan achirnja hanja
tinggal satu potong jang tjuma belasan senti persegi.
Tjiu Bok lantas sambar
bungkusan ketjil itu dari tangan anak buahnja sam bil berkata: “Sudahlah, hanja
tipu belaka, tidak perlu dibuka lagi! Lekas geledah sadja kedalam rumah,
periksalah jang teliti!”
Serentak belasan laki2
berbadju hitam mengiakan dan beramai-ramai masuk kedalam rumah.
Kedai siopia itu tidak lebih
hanja terdiri dari dua kamar sadja. Sekaligus dimasuki belasan orang, keadaan
mendjadi penuh sesak. Maka terdengarlah suara gemerentjang dan gemertak jang
ramai, suara terlempar dan diobrak-abriknja mangkok, piring, medja, kursi, dan
alat2 perabot lainnja.
Sedang Tjiu Bok masih terus
berseru: “Periksalah jang teliti, setiap tempat harus digeledah, djangan sampai
terlalui!”
Begitulah sampai lama sekali
belasan lelaki itu menggeledah, achirnja haripun sudah gelap, segera mereka
menjalakan obor dan masih terus menggeledah, sampai2 dinding kedai siopia itu,
bahkan dapurnja djuga dibongkar. “Brang!”, mendadak sebuah gentong terlempar
ketengah djalan raja dan petjah berantakan, isinja adalah tepung trigu jang
bertebaran memenuhi djalan….
Ditengah tjuatja sendja jang
remang2 itulah tiba2 dari podjik djalan sana mendjulur sebuah tangan ketjil dan
setjara hati2 siopia jang djatuh ditepi selokan tadi diambilnja, lalu tangan
itu pelahan2 ditarik kembali.
Itulah tangan seorang pengemis
ketjil berusia antara 12-13 tahun. Sudah seharian dia kelaparan dan tidak
memperoleh sedekah apa-apa, dengan badan lemas sedjak tadi dia duduk mendoprok
dipodjok rumah sana.
Tadi waktu Li Tay-goan
menimpukkan siopia jang diterimanja dari Go To-it sehingga siopia itu djatuh
ditepi selokan, sedjak itulah pandangan mata sipengemis ketjil itu tidak pernah
meninggalkan sepotong penganan itu. Sudah sedari tadi dia sangat ingin
mengambil siopia itu untuk dimakan, tapi dia tidak berani berkutik karena takut
kepada kawanan laki2 berbadju hitam jang tampaknja galak dan djahat2 itu.
Malahan djenazah sipegawai toko kelontong Ho An jang tjeriwis itu menggeletak
dekat dengan siopia jang diintjarnja itu. Bahkan kemudian majat2 Go To-it dan
Li Tay-goan djuga terkulai tidak djauh dari tempat siopia itu berada.
Baru kemudian sesudah tjuatja
mendjadi gelap dan tjahaja obor tidak mentjapai tepi selokan itu, achirnja
sipengemis ketjil berani mengulur tangannja untuk menggerajangi siopia itu.
Saking laparnja, sipengemis
ketjil tidak ambil peduli apakah siopia itu kotor atau tidak, dengan segera ia
menggeragoti pelahan segigitan dan dikulum didalam mulut, ternjata dia tidak
berani mengunjah, kuatir kalau mulutnja mengunjah, tentu akan mengeluarkan
suara pelahan, hal ini mungkin akan didengar oleh laki2 berbadju hitam jang
galak dan bersendjata itu dan bukan mustahil akan mendatangkan malapetakan
baginja.
Dari sebab itu siopia jang
telah digigitnja itu tetap dikulum didalam mulut sadja, walaupun tidak sampai
ditelan kedalam perut, tapi rasa laparnja se-olah2 sudah agak berkurang.
Dalam pada itu kawanan laki2
berbadju hitam itu sudah sekian lamanja mengobrak-abrik segenap isi kedai
siopia tadi, sampai2 ubin kedai itupun tidak ketinggalan didjugil dan
diperiksa, tapi hasilnja tetap nihil.
Melihat tiada sesuatu jang
dapat diketemukan lagi, achirnja sikakek kurus ketjil telah berseru: “Sudahlah,
berhenti sadja, tarik pulang semua!”
Maka terdengar pula suara
suitan sahut-menjahut disana-sini disusul dengan derap lari kuda jang riuh
ramai, kawanan perusuhitu sudah meninggalkan Hau-kam-tjip. Achirnja beberapa
laki2 jang mengerubut Go To-it tadi menaikkan djenazah Li Tay-goan an ditaruh
melintang diatas kuda, lalu merekapun menghilang dalam waktu singkat.
Sampai suara derap lari kuda
achirnja sudah tak terdengar lagi, kemudian penduduk Hau-kam-tjip baru berani
keluar dari tempat sembunji masing2, tapi kuatir kalau2 kawanan bandit itu akan
datang kembali, maka tjara bitjara merekapun tidak berani keras2. Tjepat2 tauke
toko kelontong dan seorang pegawai jang lain menjeret djenazah kawan mereka
kedalam rumah, lalu menutup papan pintu toko untuk selandjutnja tidak berani
keluar lagi.
Maka terdengarlah suara
gedebrakan disana-sini, suara pintu ditutup tjepat2. Hanja sebentar sadja
suasana kembali sunji pula, didjalan kota itu tidak nampak bajangan seorangpun.
Hanja tertinggal sipengemis
ketjil tadi masih meringkuk dipodjok rumah sana. Ketika dilihatnja majat Go
To-it masih menggeletak disitu dan tiada seorang pun jang mengurusnja, hati
sidjembel tjilik itu mendjadi takut. Pelahan2 ia mengunjah beberapa kali siopia
jang masih terkulum didalam mulut itu dan tjepat ditelannja. Dan baru sadja dia
hendak menggigit sisa siopia jang masih dipegangnja itu, tiba2 dilihatnja majat
Go To-it bergerak pelahan.
Keruan kaget sipengemis tjilik
itu bukan buatan. Ia tjoba kutjek2 matanja sendiri, ketika ia memandang lagi,
ternjata majat itu sudah terduduk.
Sipengemis ketjil mendjadi
terkesima saking takutnja. Dia pernah mendengar tjerita tentang majat hidup,
maka hatinja mendjadi berguntjang hebat. Tiba2 dilihatnja majat Go To-it itu
mulai berbangkit dan achirnja berdiri tegak. Saking tegang dan takutnja gigi
sidjembel tjilik sampai mengeluarkan suara berkeretukan.
Rupanja suara kertukan itu
dapat didengar majat hidup itu, maka majat itu telah berpaling. Untung
sidjembel tjilik meringkuk dibalik podjok rumah sehingga tak terlihat oleh
majat hidup.
Saat itu rembulan muda mulai
memantjarkan sinarnja jang remang2 sehingga sipengemis ketjil dapat melihat
dengan djelas muka majat hidup itu, dari udjung mulutnja tampak mengutjurkan
darah, dua batang kaitan masih menantjap didalam perutnja. Dengan se-kuat2nja
sipengemis menggigit kentjang2 giginja supaja tidak mengeluarkan suara berkertukan.
Dilihatnja majat hidup itu
tiba2 berdjongkok, tangannja me-raba2 diatas tanah, ketika sebuah siopia
terpegang, ia penjet2 siopia itu dan dipetjah, tapi lantas dibuangnja, lalu
tangannja meng-gagap2 pula, ketika sebuah siopia ditemukan lagi, namun setelah
dirobek segera dibuangnja djuga.
Sungguh takut sipengemis
tjilik tidak kepalang, hatinja berdebar keras se-akan2 melontjat keluar dari
rongga dadanja. Dilihatnja majat hidup itu masih terus me-raba2 diatas tanah,
barang2 lain jang terpegang olehnja tidak diperhatikan, hanja kalau siopia
segera dipetjah mendjadi dua, lalu dibuang. Sambil me-raba2, lambat-laun majat
hidup itu telah mendekati tepi selokan.
Sudah tentu sidjembel tjilik
tambah takut. Ada maksudnja hendak melarikan diri, tapi sekudjur badan serasa
lemas semua, sepasang kakinja seperti terpaku diatas tanah, sedikitpun tidak
sanggup bergerak.
Gerak-gerik majat hidup itu
sangat lamban, maka telah makan waktu sekian lamanja setelah belasan buah
siopia dirusak olehnja. Dan karena tiada menemukan siopia lain pula diatas
tanah, pelahan2 majat hidup itu menoleh seperti hendak mentjari siopia lagi.
Se-konjong2 sipengemis ketjil
mendjadi kaget ketika melihat bajangannja sendiri tersorot oleh sinar bulan dan
terletak disamping kaki majat hidup itu. Waktu dilihatnja kaki majat hidup
kembali bergerak kedepan, entah darimana datangnja tenaga, mendadak ia
berteriak keras sekali, lalu melarikan diri.
Mungkin majat hidup itu djuga
kaget oleh djerita sipengemis tjilik, ia tertegun sedjenak, tapi segera iapun
berseru: “Siopia! Siopia!” – lalu ia menguber kearah sidjembel tjilik.
Saking gugupnja sipengemis
keserimpet larinja sehingga djatuh tersungkur. Kesempatan itu segera digunakan
majat hidup untuk menangkapnja. Tapi setjepat kilat sipengemis menggelinding
kesamping sehingga majat hidup menubruk tempat kosong. Lalu sidjembel berlari
lagi lebih tjepat.
Karena gerak-geriknja agak
lamban, maka sesudah sekian lamanja barulah majat hidup itu dapat berdiri tegak
lagi. Namun dia berkaki pandjang dan berlangkah lebar, biarpun dengan agak
sempojongan, hanja belasan tindak sadja kembali ia sudah menjusul sampai dibelakang
sidjembel tjilik.
Waktu itu ditepi djalan
terdapat sebatang pohon besar. Tiba2 sidjembel tjilik teringat kepada tjerita
orang, katanja majat hidup tidak dapat membelok, asal orang jang dikedjar majat
hidup berputar disekitar pohon, maka susahlah majat hidup hendak menangkapnja.
Karena pikiran itu segera
sidjembel tjilik hendak membelok kebelakgn pohon, namun sudah terlambat sedikit
tahu2 tengkuknja teras ditjengkeram orang, lalu tubuhnja terangkat keatas.
“Kau……… kau telah mentjuri aku
punja siopia?” tanja majat hidup itu.
Dalam keadaan demikian sudah
tentu sidjembel tjilik tak berani menjangkal, terpaksa ia mengangguk.
“Dan sio…….. siopia itu sudah
………. Sudah kau makan?” majat hidup itu bertanja pula dengan suara lemah.
Kembali sidjembel tjilik mengangguk.
“Bret!” mendadak majat hidup
itu menarik badju sidjembel sehingga robek dan kelihatan perutnja.
Djelek2 badju kapas jang
rombeng itu merupakan milik satu2nja sidjembel dan telah dipakai seluruhnja,
sekarang ternjata dirobek begitu sadja, keruan ia merasa sangat sajang dan
hampir2 sadja ia menangis kalau tidak dalam keadaan ketakutan.
“Akan kubelih perutmu dan
mengoreknja keluar!” demikian terdengar majat hidup itu berkata.
Hampir2 sadja sukma sidjembel
tjilik meninggalkan raganja saking takutnja. Dengan suara gemetar ia berkata:
“Aku………. Aku hanja menggigitnja sedikit.”
Tapi saking takutnja, suaranja
hampir2 tak terdengar. Dalam keadaan ketakutan benaknja djuga tidak pernah
terkilas pikiran mengapa majat hidup dapat bitjara?
Sudah tentu tak diketahuinja
bahwa sesudah dada Go To-it kena hantaman sikakek kurus ketjil sehingga tulang
iga patah beberapa buah ditambah lagi perutnja tertusuk oleh sepasang kaitan Li
Tay-goan, seketika napasnja berhenti dan roboh tak sadarkan diri. Tapi lambat-laun
ia telah siuman kembali.
Walaupun perut merupakan
tempat jang mematikan, tapi luka parah itu seketika tidak membuat Go To-it
lantas binasa. Bahkan dalam benak Go To-it selalu teringat kepada sesuatu
benda, maka begitu dia siuman dan mengetahui orang2 Kim-to-tje sudah pergi
semua, dengan mengesampingkan luka didada dan diperutnja jang parah, lebih dulu
ia lantas berusaha mentjari benda jang telah disembunjikannja didalam siopia
itu.
Kiranja ia menjamar sebagai
pendjual siopia dan menetap di Hau-kam-tjip, maksud tudjuannja jalah ingin
menjelamatkan benda itu dari pentjarian musuh dan selama tiga tahun dia telah
hidup aman tenteram ditempatnja ini. Tiada seorangpun dari penduduk
Hau-kam-tjip menaruh perhatian kepada seorang kakek bungkuk pendjual siopia, maka
tiada jang tahu bahwa sebenarnja dia tidak bungkuk djuga belum tua, bahkan
bukan seorang pendjual siopia.
Ketika terdengar suara suitan
jang ramai dan ratusan penunggang kuda telah mengepung rapat Hau-kam-tjip, maka
tahulah Go To-it bahwa djedjaknja achirnja telah ketahuan. Dalam keadan
ter-buru2 ia tidak sempat mentjari tempat lain jang baik dan terpaksa
menjembunjikan benda mestika itu didalam siopia. Waktu Li Tay-goan menjodorkan
tangannja ingin minta benda itu padanja, terpaksa Go To-it bersepekulasi dan
menaruh siopia itu ditangan Li Tay-goan, dan benar djuga seperti apa jang
diduganja, dalam gusarnja Li Tay-goan lantas melemparkan siopia itu.
Sesudah siuman dari lukanja
jang parah Go To-it tidak dapat membedakan lagi siopia mana jang terdapat benda
mestika itu. Terpaksa ia mentjarinja satu-persatu dan memetjahkan siopia2 itu
untuk mentjarinja. Achirnja dilihatnja pula sipengemis itu. Tiba2 terpikir
olehnja bukan mustahil siopia bersama benda mestika itu telah ditelan semua
kedalam perut sidjembel tjilik jang kelaparan itu, maka tjepat ia menangkapnja
dan hendak membelih perutnja untuk mentjari benda mestikanja.
Namun tiada sendjata tadjam
jang dapat dipakai membelah perut, tiba2 ia menggertak gigi terus mentjabut
sebuah kaitan besi jang menantjap diperutnja sendiri itu, dengan kaitan jang
tadjam itu segera hendak dipakainja untuk menjembelih sipengemis tjilik. Tapi
begitu kaitan besi itu tertjabut keluar, seketika perutnja terasa kesakitan dan
darah menjembur keluar dari lukanja, belum lagi kaitan itu sempat ditusukkan
atau tangannja sudah terasa lemas dan pengemis tjilik itu terlepas dari
tjekalannja. Sedetik kemudian Go To-it merasa badannja mendjadi lemas, ia
djatuh terkapar dan sesudah kedjat2 beberapa kali, achirnja mati sungguh2.
Sipengemis tjilik sesudah
terlepas dari tjengkeraman Go To-it, sekuatnja ia merangkak bangun dan segera
berlari seperti kesetanan. Akan tetapi ia benar2 terlalu takut, maka tjuma
beberapa langkah sadja dia tidak sanggup berlari lagi, kakinja terasa lemas dan
achirnja djatuh terguling dan tak ingat diri pula. Namun tangannja masih tetap
menggenggam siopia jang tadi baru digeragotnja satu kali itu.
Sinar rembulan jang remang2
itu menerangi djenazah Go To-it dan lambat laun menggeser sampai diatas badan
sipengemis tjilik. Dalam pada itu dari arah tenggara sana sajup2 terdengar
suara derapan kuda pula.
Datangnja suara derap kuda itu
sekali ini sangatlah tjepat, baru sadja terdengar dan tahu2 sudah mendekat.
Memangnja penduduk
Hau-kam-tjip sudah ketakutan maka suara derap kuda ini pun membikin gemetar
mereka. Hanja sadja jang datang sekali ini tidak lebih dari dua penunggang kuda
pula tiada mengeluarkan suara suitan segala.
Bentuk kedua ekor kuda itupun
sangat aneh. Jang seekor berwarna hitam mulus, hanja keempat telapak kakinja
berbulu putih. Sebaliknja jang seekor berwarna putih mulus dan keempat telapak
kakinja berbulu hitam.
Penunggang kuda putih itu
adalah seorang wanita berbadju putih pula, kalau ikat pinggangnja tidak
berwarna merah tentu orang akan menjangka wanita itu sedang berkabung. Pada
ikat pinggangnja jang berwarna merah itu tergantung sebatang pedang.
Sedangkan penunggang kuda
hitam adalah seorang laki2 setengah umur berbadju hitam, pinggangnja djuga
terikat sebatang pedang. Kedua penunggang kuda itu setjepat terbang datangnja.
Ketika tiba2 melihat tiga sosok majat jang menggeletak ditengah djalan dan
barang2 dan alat2 perabot berserakan, tanpa merasa kedua orang itu bersuara
heran.
Mendadak silelaki badju hitam
mengajun tjambuknja sehingga membelit leher majat Go To-it dan terus ditariknja
keatas, dibawah tjahaja rembulan dapatlah muka Go To-it terlihat djelas.
“Dia Go To-it, tampaknja
Kim-to-tje sudah berhasil,” kata siwanita badju putih.
Ketika silelaki badju hitam
ajun tjambuknja pula, ia lemparkan majat Go To-it ketepi selokan. Lalu
sahutnja: “Belum lama matinja Go To-it, darah jang mengutjur keluar dari
lukanja belum lagi kering, kita masih dapat menjusul mereka!”
Siwanita mengangguk setudju.
Segera mereka melarikan kuda hitam-putih itu kearah barat dengan tjepat.
Sungguh aneh djuga, suara derapan kedua ekor kuda itu begitu radjin dan tetap
sehingga suaranja mirip derap kaki seekor kuda sadja, terang sekali kedua ekor
kuda itu sudah terlatih dengan baik.
Makin lari makin tjepat, kedua
ekor kuda itu. Sesudah mengitar lewat kota Khoy-hong, djalanan mulai sempit dan
tidak tjukup untuk kedua ekor kuda berlari sedjadjar. Siwanita lantas menahan
kudanja sedikit dan membiarkan silelaki djalan lebih dahulu. Silelaki tampak
tersenjum dan mentjongklangkan kudanja kedepan dengan disusul siwanita dari
belakang.
Jilid 2
Menurut taksiran kedua
penunggang kuda itu, dilihat dari saat kematian Go To-it mereka menduga akan
dapat menjusul orang2 Kim-to-tje dalam waktu singkat. Akan tetapi sudah sekian
lamanja kawanan berandal itu tetap tidak kelihatan. Njatalah perhitungan mereka
memang meleset, sebab matinja Go To-it walaupun benar belum lama berselang,
tapi sebelum Go To-it mati benar2 berandal Kim-to-tje itu sudah berangkat
tjukup djauh.
Begitulah dua djam lamanja
kedua penunggang kuda itu telah melarikan kuda mereka dengan tjepat, achirnja
mereka mengaso sekadarnja agar binatang tunggangan mereka tidak lelah, lalu
mereka melandjutkan perdjalanan lagi.
Mendjelang fadjar tertampaklah
djauh didataran didepan sana ada tjahaja api unggun. Kedua orang saling pandang
dengan tersenjum dan bersama lantas melompat turun dari kuda mereka. Sesudah
menambat kuda2 mereka dibatang pohon ditepi djalan, mereka lantas berlari
ketempat api unggun itu dengan Ginkang jang tinggi.
Api unggun itu tampaknja tidak
djauh, tapi sebenarnja ada belasan li djauhnja. Namun dengan Ginkang mereka
jang hebat itu, bagaikan terbang sadja mereka dapat mentjapai tempat api unggun
itu dalam waktu singkat.
Sesudah dekat, tertampaklah
segerombolan orang terbagi dalam beberapa kelompok dan mengelilingi belasan
gunduk api unggun.
Terdengar pula suara
“serupat-seruput” disana-sini, orang2 itu masing2 tampak memegang sebuah
mangkuk, rupanja mereka sedang makan mi jang masih panas dan seperti biasanja
orang makan mi, merekapun main sedot sadja mi jang pandjang2 dan panas itu.
Mestinja kedua orang itu ingin mengintai lebih dulu, tapi didataran jang luas
itu tiada tempat sembunji jang baik, terpaksa mereka lantas mendekati rombongan
orang2 itu.
Maka terdengarlah suara
bentakan diantara rombongan orang2 itu: “Siapa itu? Mau apa?”
Sesudah melangkah madju lagi,
lalu silelaki memberi salam, katanja dengan tertawa: “Apakah An-tjetju tidak
berada disini? Siapakah kawan jang berada disini ini?”
Sementara itu sikakek kurus
ketjil jaitu Tjiu Bok, sudah selesai makan mi dan baru sadja hendak memberi
komando agar rombongan melandjutkan perdjalanan, tiba2 ia mendengar suara
tindakan orang jang mendekat, menjusul dari rombongan kawan sendiri ada jang
berseru menegur, waktu ia memperhatikan di bawah tjahaja obor, kelihatan
pendatang itu adalah seorang lelaki dan seorang wanita berbadju hitam-putih dan
sudah berdiri sedjadjar didepan situ. Usia kedua orang setengah umur semua,
jang lelaki tampan dan gagah, jang wanita tjantik dan lemah lembut, pinggang
mereka masing2 tergantung sebatang pedang.
Tjiu Bok terkesiap, segera
teringat dua orang olehnja. Tjepat ia berbangkit dan balas memberi salam, lalu
djawabnja: “Wahai, kiranja Tjiok-tjengtju suami-isteri dari Hian-soh-tjeng di
Kanglam telah berkundjung kemari!” – Lalu ia lantas berteriak: “Hajo, saudara2,
lekas bangun dan memberi hormat, inilah Tjiok-tjengtju suami-isteri jang
namanja mengguntjangkan lembah utara dan selatan sutiada pertjektjokan apa2
dengan Kim-to-tje kami, tapi sekarang mendadak mereka datang kesini, entah apa
maksud tudjuannja, djangan2 merekapun ingin mendapatkan benda mestika itu?”
Ia tjoba memandang sekeliling
dataran itu dan tiada terlihat orang lain pula. Pikirnja lagi: “Walaupun
kabarnja ilmu pedang suami-isteri ini sangat liehay, tapi mereka hanja berdua,
masakah kami sebanjak ini mesti djeri pada mereka?”
Dalam pada itu njonja Tjiok
jang bernama Bin Dju itu telah berkata dengan suara jang lemah-lembut:
“Koandjin (suamiku), tampaknja tuan ini adalah Tjiu Bok Tjiu-loyatju dari
Eng-djiau-bun.”
Meski utjapan Bin Dju sangat pelahan,
tapi terdengar djuga oleh Tjiu Bok, mau-tak-mau iapun merasa senang: “Kiranja
Peng-swat-sin-kiam (Sipedang Saldju Sakti, djulukan siwanita) djuga kenal akan
namaku.” – Maka tjepat ia menanggapi: “Ja, harap Tjiok-tjengtju dan
Tjiok-hudjin terimalah hormatnja Tjiu Bok.”
Sebaliknja kawanan berandal
Kim-to-tje jang lain tidak tahu tokoh2 dari “Hian-soh-teng” itu orang matjam
apa, tapi mereka melihat pemimpin keempat mereka jaitu Tjiu Bok, sedemikian
hormat kepada suami-isteri she Tjiok itu, maka mereka menduga tentu kedua orang
itu bukanlah sembarangan tokoh.
Sementara itu Tjiok Djing
telah berkata pula dengan tersenjum,”Rupanja para kawan sedang sarapan pagi dan
terganggu oleh kedatangan kami. Boleh silakan duduk sadja dan selesaikan
sarapan kalian.” – Lalu ia berpaling kepada Tjiu Bok dan melandjutkan: “Kawan
Tjiu, kami suami-isteri djuga pernah bertemu beberapa kali dengan Tjeng
Tjin-tjong, Tjeng-heng (saudara Tjeng), kalau dibitjarakan sesungguhnja kita
adalah kenalan lama.”
“O, beliau adalah paman-guruku,”
sahut Tjiu Bok. Tapi diam2 ia merasa terhina, katanja dalam hati: “Usiamu djauh
lebih muda daripada diriku, tapi kaungai (Yangtje).”
Serentak anak buah Kim-to-tje
lantas berdiri dan sedikit membungkukkan tubuh sebagai tanda hormat.
Diam2 Tjiu Bok membatin:
“Tjiok Djing dan Bin Dju suami-isteri selamanja tiada pertjektjokan apa2 dengan
Kim-to-tje kami, tapi sekarang mendadak mereka datang kesini, entah apa maksud
tudjuannja, djangan2 merekapun ingin mendapatkan benda mestika itu?”
Ia tjoba memandang sekeliling
dataran itu dan tiada terlihat orang lain pula. Pikirnja lagi: “Walaupun
kabarnja ilmu pedang suami-isteri ini sangat liehay, tapi mereka hanja berdua,
masakah kami sebanjak ini mesti djeri pada mereka?”
Dalam pada itu njonja Tjiok
jang bernama Bin Dju itu telah berkata dengan suara jang lemah-lembut:
“Koandjin (suamiku), tampaknja tuan ini adalah Tjiu Bok Tjiu-loyatju dari
Eng-djiau-bun.”
Meski utjapan Bin Dju sangat
pelahan, tapi terdengar djuga oleh Tjiu Bok, mau-tak-mau iapun merasa senang:
“Kiranja Peng-swat-sin-kiam (Sipedang Saldju Sakti, djulukan siwanita) djuga
kenal akan namaku.” – Maka tjepat ia menanggapi: “Ja, harap Tjiok-tjengtju dan
Tjiok-hudjin terimalah hormatnja Tjiu Bok.”
Sebaliknja kawanan berandal
Kim-to-tje jang lain tidak tahu tokoh2 dari “Hian-soh-teng” itu orang matjam
apa, tapi mereka melihat pemimpin keempat mereka jaitu Tjiu Bok, sedemikian
hormat kepada suami-isteri she Tjiok itu, maka mereka menduga tentu kedua orang
itu bukanlah sembarangan tokoh.
Sementara itu Tjiok Djing
telah berkata pula dengan tersenjum,”Rupanja para kawan sedang sarapan pagi dan
terganggu oleh kedatangan kami. Boleh silakan duduk sadja dan selesaikan
sarapan kalian.” – Lalu ia berpaling kepada Tjiu Bok dan melandjutkan: “Kawan
Tjiu, kami suami-isteri djuga pernah bertemu beberapa kali dengan Tjeng
Tjin-tjong, Tjeng-heng (saudara Tjeng), kalau dibitjarakan sesungguhnja kita
adalah kenalan lama.”
“O, beliau adalah
paman-guruku,” sahut Tjiu Bok. Tapi diam2 ia merasa terhina, katanja dalam
hati: “Usiamu djauh lebih muda daripada diriku, tapi kau sebut paman-guruku
sebagai saudara, bukankah kau sengadja menganggap dirimu sebagai angkatan lebih
tua?”
Hendaklah maklum bahwa soal
tingkatan atau angkatan didalam dunia persilatan dipandang sangat penting.
Angkatan muda harus menghormat angkatan tua, setiap pesan angkatan tua tidak
boleh sembarangan dibantah oleh kaum muda.
Tjiok Djing djuga lantas tahu
pikiran Tjiu Bok demi melihat perubahan air mukanja, maka katanja dengan
tertawa: “Maaf! Dalam pertemuan di Hoa-san dahulu Tjeng-heng pernah bitjara
tentang ilmu silat kalian, sungguh kami suami-isteri merasa sangat kagum.
Mengingat hubungan baik kita, sekarang Tjayhe ingin bitjara sesuatu jang kurang
pantas kepada Tjiu-siheng, untuk mana kami minta maaf lebih dulu.”
“Djika urusan pribadi, asal
tenagaku dapat mentjapainja, pesan apapun tentu akan kulaksanakan dengan baik,”
sahut Tjiu Bok. “Akan tetapi bila urusannja menjangkut Kim-to-tje kami, oleh
karena kedudukanku terlalu rendah dan mungkin akan susah memenuhi keinginan
kalian!”
Diam2 Tjiok Djing mengakui
akan kelitjikan orang, belum2 sudah berusaha mengelakkan tanggung-djawab.
Segera katanja: “Soalnja tiada sangkut-paut apa2 dengan Kim-to-tje kalian.
Tjayhe hanja ingin mentjari tahu sesuatu kepada Tjiu-heng. Soalnja begini: Kami
suami-isteri telah mentjari dan menguber seorang sedjak dari Kwitang sehingga
kota Khay-hong sini. Orang itu she Go bernama To-it dan biasanja memakai
sendjata Boan-koan-pit, perawakannja sangat tinggi, usianja antara 38-39 tahun,
kabarnja paling achir ini menjamar sebagai seorang bungkuk dan hidup
mengasingkan diri disekitar sini. Entah Tjiu-siheng pernah mendengar berita
tentang orang she Go itu atau tidak?”
Orang2 Kim-to-tje mendjadi
gempar mendengar nama Go To-it disebut. Piker Tjiu Bok: “Kau datang dari arah
timur, tentu majat Go To-it sudah kau ketemukan, djika kami tidak bitjara
terang2an malah akan disangka pengetjut.” – Karena itu ia lantas tertawa dan
berkata: “Tjiok-tjengtju dan Tjiok-hudjin, urusan ini sangat kebetulan djuga.
Meski kepandaianku rendah dan tiada artinja, tapi kebetulan telah berdjasa bagi
Tjiok-tjengtju. Go To-it itu rupanja telah berdosa pada kalian, maka orang2
Kim-to-tje kami telah membereskan dia.”
Sambil bitjara matanja terus
menatap air muka Tjiok Djing untuk melihat bagaimana reaksinja, apa girang atau
marah.
Sebaliknja Tjiok Djing semakin
merasa Tjiu Bok itu benar2 seorang jang litjik dan litjin oleh kerna
djawabannja itu, maka ia hanja tersenjum dan berkata: “Go To-it itu sebenarnja
tidak saling kenal dengan kami, maka tidak dapat dikatakan telah berdosa apa2
kepada kami. Adapun maksud kami mentjari dia, kalau kami katakana terus terang
hendaklah Tjiu-siheng djangan mentertawakan kami, soalnja adalah karena kami
ingin mentjari sesuatu benda jang berada pada orang she Go itu.”
Air muka Tjiu Bok agak
berubah, tapi tjepat tenang kembali, sahutnja dengan tertawa: “Berita
Tjiok-tjengtju ternjata tadjam djuga, kabar tentang hal itu memang djuga kami
dengar. Untuk bitjara terus terang kepada Tjiok-tjengtju sebabnja Tjayhe
memimpin para saudara2 kami keluar ini sesungguhnja djuga lantaran benda jang
dimaksudkan itu. Tapi, ai, entah setan alas atau anak djadah siapa jang telah
sengadja menjebarkan desas-desus demikian, djiwa Go To-it telah melajang,
perdjalanan kami inipun sia2, bahkan bukan mustahil kami akan diomeli An-tjetju
karena usaha kami jang nihil ini. Apalagi kalau kabar bohong ini sampai tersiar
sehingga kawan2 kalangan Kangouw sama menjangka benda itu telah didapatkan
orang2 Kim-to-tje dan semuanja lantas memusatkan intjaran mereka kepada
Kim-to-tje, wah, bukankah urusan ini bisa runjam? Thio-hiantit, tjoba untuk
djelasnja boleh kau tjeritakan kepada Tjiok-tjengtju dan Tjiok-hudjin tentang tjara
bagaimana Go To-it terbinasa dan apa jang terdapat di kedai siopia itu.”
Segera seorang lelaki pendek
ketjil tapi gesit tangkas lantas tampil kemuka dan menutur: “Orang she Go itu
telah dihantam terdjungkal dari atas rumah oleh pukulan Tjiu-thauleng kami,
seketika itu djuga tulang iga orang she Go itu patah dan isi perutnja
hantjur…………..” – begitulah dengan mulutnja jang tadjam itu dia telah
mem-bumbu2i, menambah ketjap dan menuangi minjak sehingga tjeritanja tambah
menarik, ia tjeritakan semua kedjadian sampai matinja Go To-it, hanja bagian
jang menjangkut buntalan dipunggung Go To-it jang telah diambil Tjiu Bok itulah
jang tidak diuraikannja.
Selesai mendengarkan tjerita
itu, Tjiok Djing tampak manggut2. Tapi pikirnja didalam hati: “Ketika melihat kedatangan
kami tadi, Tjiu Bok ini lantas selalu siap siaga dan kelihatan tidak tenteram.
Padahal Hian-soh-tjeng dan Kim-to-tje tiada punja permusuhan apa2, kalau bukan
karena dia sudah mengantongi benda mestika itu buat apa dia mesti was-was
kepada kami suami-isteri?” – Ia pun menduga bila benda mestika itu benar2 telah
diketemukan orang2 Kim-to-tje, maka pasti benda itu dipegang sendiri oleh Tjiu
Bok. Sekilas pandang ia melihat dua ratusan orang2 Kim-to-tje itu semuanja
gagah dan tangkas, meski tiada terdapat djago2 kelas satu, tapi djumlahnja
tjukup banjak dan susah dilawan.
Watak Tjiok Djing ini adalah
halus diluar tapi keras didalam. Tadi dia sudah merasa tersinggung oleh utjapan
Tjiu Bok, namun lahirnja dia masih ter-senjum2 sadja. Ia menuding kearah hutan
jang djauh disebelah kiri sana dan berkata: “Aku ingin bitjara sesuatu setjara
empat mata dengan Tjiu-siheng, silahkan engkau ikut kehutan sana.” “Ah, kawan2
kami ini semuanja dapat dipertjaja, kalau ada sesuatu boleh bitjara
setjara………….” Baru Tjiu Bok berkata sampai disini, mendadak ia merasa
pergelangan tangan kirinja sudah tergenggam oleh tangan Tjiok Djing, menjusul
separo tubuhnja terasa linu pegal sehingga tangan kanan djuga tak bisa
berkutik.
Sungguh terkedjut dan gusar
Tjiu Bok tidak kepalang. Sedjak muntjulnja Tjiok Djing dan Bin Dju
suami-isteri, dia sudah lantas menghadapinja dengan penuh perhatian, sedikitpun
tidak berani lengah, eh, toh masih ketjundang djuga, tahu2 Tjiok Djing sudah turun
tangan dan entah dengan gerakan apa setjepat kilat tangannja sudah terpegang
olehnja.
Padahal Kim-na-djiu-hoat atau
ilmu menangkap dan mentjengkeram seperti itu adalah kepandaian Eng-djiauw-bun
sendiri jang sangat diandalkan, tak terduga, belum lagi bergebrak Tjiu Bok
sudah kena ditangkap lawan.
Dalam pada itu Tjiok Djing
telah berkata pula dengan suara keras: “Djika Tjiu-siheng sudah mau bitjara
kesana, memang inilah jang kuharapkan.” – Lalu ia menoleh kepada sang isteri
dan berkata: “Aku akan bitjara sebentar dengan Tjiu-siheng, harap kau tunggu
sadja disini.”
Bin Dju mengangguk ramah. Lalu
Tjiok Djing menggandeng Tjiu Bok dan berdjalan pelahan kedepan.
Orang2 Kim-to-tje menjaksikan
Tjiok Djing berdjalan pergi bersama Tjiu Bok dengan ter-tawa2 dan seperti tiada
maksud djahat, pula isterinja ditinggalkan di situ, maka tiada seorangpun jang
menduga bahwa dengan ilmu silat Tjiu Bok jang tinggi itu, tahu2 sudah berada
dibawah antjaman lawan dan terpaksa mengikuti segala keinginan orang.
Sambil memegang tangan Tjiu
Bok, makin lama makin tjepat djalannja Tjiok Djing, asal langkah Tjiu Bok
sedikit lambat sadja, bukan mustahil akan lantas terseret djatuh, maka terpaksa
dia bukan mustahil akan lantas terseret djatuh, maka terpaksa ia ikut berlari
sekuat tenaga. Djarak dengan hutan itu mestinja ada dua-tiga li djauhnja, tapi
hanja sekedjab sadja kedua orang sudah sampai ditengah hutan.
Disitulah Tjiok Djing
melepaskan tangan Tjiu Bok dan berkata dengan tertawa: “Tjiu-siheng………………..”
“Apa maksudmu ini?” bentak Tjiu
Bok dengan gusar dan kontak tangan kanan terus mentjakar kedada Tjiok Djing
dalam gerak tipu “Beng-bok-say-djiu” atau tjakar singa menerkam kalap.
Namun setjepat kilat tangan
kiri Tjiok Djing telah menjambar dari kiri kekanan, tangan Tjiu Bok itu kena
ditjengkeramnja, berbareng terus ditelikung kebelakang bahkan tangan Tjiu Bok
jang lain kena dipegang pula sehingga kedua tangannja tertelikung semua.
Dalam kaget dan kuatirnja,
tanpa piker lagi Tjiu Bok angkat sebelah kakinja dan mendepak kebelakang, jang
diarah adalah selangkangan Tjiok Djing.
“Ai, mengapa mesti marah?”
udjar Tjiok Djing dengan tertawa.
Berbareng Tjiu Bok merasa
Hiat-to dibagian kakinja mendjadi kesemutan sehingga kaki jang sedang mendepak
kebelakang itu tahu2 terasa lemas dan mendjulai kembali kebawah.
Dengan demikian terpaksa Tjiu
Bok tak berani berkutik lagi. Dengan muka merah padam ia membentak: “Kau…. Kau
mau apa?”
“Benda itu sudah kau ambil
dari Go To-it, maka aku ingin pindjam lihat barang itu, silahkan
mengeluarkannja,” kata Tjiok Djing.
“Barang itu sih memang ada,
tapi tiada berada padaku,” sahut Tjiu Bok. “Djika kau ingin lihat, boleh
kembali ketempat kawan2ku itu.”
Tudjuan Tjiu Bok jalah
memantjing Tjiok Djing kembali ketempat api unggun, disana dia mempunjai
ratusan kawannja, sekali dia memberi perintah, segera mereka dapat
mengerubutnja, djika demikian, betapapun tinggi kepandaian Tjiok Djing suami
isteri, tentu djuga susah melawan orang banjak.
Namun Tjiok Djing tak mudah
ditipu, sahutnja dengan tertawa: “Maaf, aku tak dapat mempertjajai kau,
terpaksa mesti menggeledah dulu badanmu!”
“Kau berani menggeledah aku?
Kau anggap aku ini orang matjam apa?” teriak Tjiu Bok dengan gusar.
Tjiok Djing tidak peduli dan
tidak mendjawab. Sekali tarik segera ia tanggalkan sepatu kulit Tjiu Bok.
Tjiu Bok tersentak kaget.
Namun Tjiok Djing sudah lantas mengeluarkan sebuah bungkus ketjil dari kepitan
sepatunja. Terang itulah bungkusan berasal dari penggandjal punggung Go To-it.
Diam2 Tjiu Bok sangat heran,
ia tidak habis tahu mengapa Tjiok Djing dapat mengetahui tempat dimana ia
menjimpan bungkusan ketjil itu. Ia tidak tahu bahwa Tjiok Djing itu sangat
tjerdik. Ketika Tjiu Bok ditanja tentang benda mestika itu, tanpa merasa sorot
matanja telah melirik kebagian sepatunja, hal inilah jang menimbulkan dugaan
keras pada Tjiok Djing bahwa benda itu pasti disembunjikan didalam sepatu
kulitnja. Sebab itulah maka sekali geledah lantas ketemu.
Keruan Tjiu Bok mendjadi
gugup, segera ia bermaksud menggembor untuk minta tolong kepada begundalnja.
Namun Tjiok Djing telah berkata pula dengan mendjengek: “Hm, kau telah berdusta
dan mengchianati An-tjetju kalian, apakah kau lebih suka membongkar sendiri
rahasiamu ini dan nanti akan menerima hukuman potong sepuluh djarimu?” Keruan
Tjiu Bok terkedjut, tanpa merasa ia bertanja: “Da………. darimana kau mengetahui?”
“Sudah tentu aku mengetahui,”
sahud Tjiok Djing. “Padahal An-tjetju adalah orang tjerdik, sedangkan aku sadja
tak dapat kau kelabui, apalagi An-tjetju kalian?”
Rupanja tadi ketika orang she
Thio dari Kim-to-tje menguraikan kedjadian mengobrak-abrik kedai siopia dan
tidak menemukan sesuatu jang ditjari, dari nadanja Tjiok Djing merasa apa jang
ditjeritakan itu memang bukan omong-kosong atau bualan belaka, tapi sekarang
benda mestika jang ditjari itu djusteru diketemukan ditubuh Tjiu Bok, maka
teranglah Tjiu Bok mempunjai maksud untuk mentjaplok sendiri benda mestika itu.
Dan pada saat itulah, tiba2
terdengar suara tindakan orang jang pelahan, ternjata diluar hutan sudah
kedatangan beberapa orang. Lalu terdengarlah suara orang tertawa dan berkata:
“Banjak terima kasih atas pudjian Tjiok-tjengtju kepada orang she An ini,
terimalah hormatku ini.”
Dan baru selesai utjapannja
tertampaklah tiga orang telah menjelusup kedalam hutan.
Melihat pendatang2 itu, air
muka Tjiu Bok seketika putjat pasi. Kiranja ketiga orang jang datang ini adalah
gembong2 Kim-to-the, jaitu Toa-tjetju (pemimpin berandal jang pertama) An
Hong-djit, Dji-tjetju (pemimpin kedua) Pang Tjin-bu dan Sam-tjetju Pun-khong
Todjin. Jang terachir ini adalah seorang imam agama To.
Waktu An Hong-djit menugaskan
Tjiu Bok kekota Khay-hong untuk mengusut urusannja Go To-it, dia tidak
mengatakan akan memapak ditengah djalan, tapi entah mengapa sekarang pemimpin
utama itu telah datang sendiri malah. Djadi, pastilah rahasianja ingin
mengangkangi benda itu sudah gagal, bahkan djiwanja boleh djadi akan melajang.
Dalam gugupnja, tjepat Tjiu
Bok berseru: “An-toako, ben….. benda itu telah direbut dia!” – Sambil berkata
iapun menuding kearah Tjiok Djing.
Lebih dulu An Hong-djit
memberi hormat kepada Tjiok Djing, lalu berkata: “Nama Tjiok-tjengtju tersohor
diseluruh pendjuru, sungguh orang she An merasa sangat kagum dan sajang selama
ini tidak pernah bertemu. Tje (markas berandal) kami terletak tidak djauh dari
sini, djika sudi silakan Tjiok-tjengtju dan njonja suka mampir dan tinggal
beberapa hari ditempat kami itu agar kami dapat meminta petundjuk2 jang
berharga.”
Tjiok Djing tjoba
memperhatikan potongan para gembong Kim-to-tje itu. An Hong-djit berewok pendek
kaku, tubuhnja djuga pendek tapi kekar dan agak kasar tampaknja, namun
bitjaranja ternjata sangat sopan dan pakai aturan, sama sekali ia tidak
menjinggung tentang benda mestika jang telah direbutnja itu, sebaliknja malah
mengundangnja ke Kim-to-tje, maka Tjiok Djing lantas membalas hormat dan hendak
memasukkan bungkusan ketjil jang direbutnja dari Tjiu Bok tadi kedalam saku
sambil berkata dengan tertawa: “Ah, terima kasih atas maksud baik
An-tjetju………..”
Baru sekian utjapannja,
se-konjong2 matanja merasa silau, sinar sendjata telah berkelebat, tahu2
Pun-khong Todjin sudah mentjabut pedangnja dan udjung sendjata itu telah
mengantjam kepergelangan tangan Tjiok Djing sambil membentak: “Lepaskan dulu
benda itu!”
Namun betapa tjepatnja
Pun-khong Todjin toh masih kalah tjepat daripada Tjiok Djing. Hanja sedikit
miring kesamping, sekalian Tjiok Djing lantas angsurkan bungkusan ketjil itu
ketangan kiri Pun-khong Todjin dan berkata: “Nah, terimalah….”
Pun-khong mendjadi girang,
tanpa pikir ia terus pegang bungkusan ketjil itu. Tak terduga pergelangan
tangan kanan jang memegang pedang mendadak terasa linu, sendjatanja tahu2 sudah
kena direbut lawan. Bahkan Tjiok Djing terus memutar balik pedang rampasan itu
dan balas memotong pergelangan kiri Pun-khong sambil membentak: “Lepaskan dulu
benda itu!”
Keruan Pun-khong terperandjat,
sinar pedang sudah menjambar dekat tangannja, sedetik lagi sendjata itu pasti
akan makan tuannja, untuk menarik tangannja djuga sudah terlambat, terpaksa
Pun-khong lemparkan bungkusan ketjil itu. Tjepat pedang Tjiok Djing lantas
mentjukit kebawah.
“Kepandaian hebat!” seru Pang
Tjin-bu jang tidak mau tinggal diam. Sebelum Tjiok Djing sempat menangkap
kembali bungkusan ketjil itu, terus sadja ia putar goloknja dan mendjatuhkan
tubuhnja ketanah, sambil menggelinding kearah Tjiok Djing, segera ia menabas
kaki lawan itu.
Tapi gerakan Tjiok Djing
benar2 teramat sebat, “Sret!”, mendadak pedangnja mendahului menusuk kepala
Pang Tjin-bu. Sebelum serangan Tjin-bu itu mengenai sasarannja tentu kepalanjaa
akan terpantek diatas tanah oleh pedang Tjiok Djing.
Melihat keadaan membahajakan
djiwa kawannja itu, tjepat An Hong-djit berteriak: “Tahan dulu!”
Namun tusukan Tjiok Djing itu
masih menudju kebawah. Pang Tjin-bu sudah pedjamkan mata dan menerima adjalnja.
Mendadak pipi kiri terasa “njes” dingin, tusukan Tjiok Djing itu tidak
diteruskan lagi. Rupanja ia benar2 menahan serangannja itu, maka udjung pedang
hanja menempel dipipi Pang Tjin-bu sadja. Betapa tepat sasarannja dan betapa
tjepat daja tahannja serta tenaga jang dipakai ternjata tidak selisih sedikit
pun sehingga kepala Pang Tjin-bu tidak djadi terpantek diatas tanah. Habis itu
barulah terdengar suara “bluk!” jang pelahan, bungkusan ketjil jang ditjukit
kembali itu telah tertangkap pula oleh Tjiok Djing. Beberapa gerakan itu
ternjata sudah berlangsung dengan setjepat kilat.
Dan sesudah menangkap kembali
bungkusan ketjil itu, barulah Tjiok Djing menarik pulang pedangnja dan berkata:
“Maaf!” – Lalu ia melangkah mundur dua-tiga tindak.
Ketika Pang Tjin-bu berdiri
kembali, mukanja mendjadi merah djengah dan serba salah, tinggal pergi merasa
malu, tetap disitu djuga merasa susah.
Dalam pada itu An Hong-djit
sudah melangkah madju, ia membuka badjunja sendiri sehingga kelihatan
simbar-dadanja jang berbulu lebat. Dari punggung ia lantas mentjabut keluar
sebatang golok.
Tatkala itu sang surja sudah
mulai menjingsing, tjahaja matahari menembus masuk melalui tjelah2 daun pohon
jang rindang itu, sinar golok warna emas itu gemerlap menjilaukan, mata golok itu
tebal bagian punggung dan tipis serta tadjam bagian depan, sungguh sebuah
sendjata jang bagus.
An Hong-djit mengatjungkan
golok-emasnja itu dan berkata: “Tjiok-tjengtju mempunjai kepandaian jang hebat,
sungguh aku sangat kagum. Sekarang biarlah aku mohon petundjuk beberapa djurus
padamu!”
“Hari ini bertemu dengan tokoh
ternama, sungguh aku merasa sangat beruntung!” sahut Tjiok Djing dengan
tertawa. Dan sekali tangannja bergerak, mendadak bungkusan ketjil jang
dipegangnja itu tertimpuk kedepan.
An Hong-dji dan kawan2nja
mendjadi heran, masakah benda mestika jang dibuat rebutan itu sekarang malahan
dibuang begitu sadja oleh Tjiok Djing? Tapi menjusul lantas terdengar suara
angin menderu, pedang rampasan jang dipegang Tjiok Djing itupun disambitkan dan
baru sadja bungkusan ketjil itu menumbuk batang pohon didepan sana, tahu2 dari
belakang pedang pandjang itu sudah menjusul tiba, “tjret”, dengna tepat
bungkusan ketjil itu terpaku dibatang pohon. Udjung pedang itu hanja menembus
satu bagian ketjil bungkusan itu sehingga tidak mengenai benda jang terbungkus
didalamnja.
Betapa djitu dan bagus
tjaranja Tjiok Djing mempertundjukkan kepandaiannja itu, mau-tak-mau Pun-khong
Todjin dan Pang Tjin-bu harus mengakui keunggulan lawan.
Ketika pandangan An Hong-djit,
Pun-khong Todjin dan lain2 berpindah kembali kearah Tjiok Djing, tahu2
tertampak tangan orang she Tjiok itu sudah bertambah pula dengan sebatang
pedang lain jang berwarna hitam mulus. Terdengar Tjiok Djing telah berkata:
“Bak-kiam (pedang hitam) ketemu Kim-to (golok emas), sungguh sangat beruntung.
Marilah kita tjoba2, asal salah sepihak tertutuk, biarpun tjuma menang satu
djurus atau setengah gerakan sadja, dia jang akan mendapatkan benda jang
terpaku dipohon itu. Setudju?”
Padahal Tjiok Djing sudah berhasil
merebut benda itu, tapi sekarang sengadja dipantek diatas pohon dan akan
diperebutkan dengan bertanding ilmu silat, sungguh An Hong-djit merasa sangat
kagum akan kedjudjuran orang. Segera ia mendjawab: “Marilah mulai,
Tjiok-tjengtju!”
Sudah lama An Hong-djit
mendengar ilmu pedang suami-isteri Tjiok Djing dan Bin Dju adalah sangat
liehay, tadi iapun sudah menjaksikan tjaranja Tjiok Djing menundukkan Pun-khong
Todjin dan Pang Tjin-bu, dan memang benar2 bukan omong-kosong kepandaiannja,
maka sekarang Hong-djit tidak berani gegabah, “srat-sret-sret”, sekaligus ia
lantas mulai melantjarkan tiga kali serangan pantjingan.
Namun Tjiok Djing tenang2
sadja, udjung pedangnja menuding kebawah, badannja sama sekali tidak bergerak,
katanja: “Silahkan menjerang sadja!”
Karena itu barulah golok An
Hong-djit menabas miring kebawah, tapi sebelum mengenai sasarannja mendadak ia
putar balik keatas. Njata, sekali mulai menjerang segera ia mengeluarkan 72
djurus “Bik-kwa-to”, ilmu golok andalannja jang beraneka ragam perubahannja
didalam tiap2 djurusnja.
Tjiok Djing djuga lantas putar
pedangnja jang berwarna hitam mulus itu, semula dia masih bertahan, tiap2
serangan An Hong-djit selalu ditangkisnja. Tapi sesudah lewat 30 djurus,
mendadak ia bersuit njaring, ia mulai melantjarkan serangan balasan, serangan2
semakin gentjar dan semakin tjepat.
Sesudah bertahan sampai lebih
30 djurus, An Hong-djit sekarang berbalik tidak dapat membedakan arah datangnja
serangan lawan lagi. Diam2 ia mendjadi gugup, terpaksa ia putar goloknja
se-kentjang2nja untuk mendjaga diri.
Walaupun sudah bergebrak
sampai 70 djurus, tapi sendjata kedua orang tetap belum pernah saling bentur.
Sampai achirnja mendadak terdengar suara “tjring” jang pelahan sekali, mata
pedang warna hitam itu telah menumpang diatas punggung golok terus menggesek
kebawah.
Gerak tipu ini disebut
“Sun-liu-gi-he” atau menurun mengikuti arus, terhitung suatu djurus ilmu pedang
jang lazim untuk mengalahkan ilmu golok. Bila kepandaian penjerang itu lebih
rendah, maka tjukuplah kalau An Hong-djit sampukkan goloknja kesamping dan
segera pedang lawan akan terpental.
Namun Tjiok Djing bukanlah
djago silat pasaran, baru sadja An Hong-djit hendak menjampukkan goloknja,
tahu2 mata pedang sudah menjentuh djarinja. Keruan terkedjut An Hong-djin tidak
kepalang, diam2 ia mengeluh djarinja pasti akan terpapas, sekalipun dia hendak
melepaskan golok dan menarik tangan djuga sudah terlambat.
Baru sadja terkilas pikiran
demikian dibenak An Hong-djit, tahu2 pedang Tjiok Djing telah tertahan mentah2
ditengah djalan, tidak memotong terus, sebaliknja tertarik kembali beberapa
senti djauhnja.
An Hong-djit insaf lawannja
sengadja bermurah hati padanja, kalau kesempatan itu tidak digunakan untuk
melepaskan golok mungkin akan membawa akibat lebih djelek lagi, maka terpaksa
ia mendjatuhkan sendjatanja.
Tak terduga, mendadak pedang
hitam lawan lantas memutar kebawah golok sehingga golok emas itu tersanggah dan
tidak sampai djatuh ketanah. Bahkan terdengar Tjiok Djing sedang berkata:
“Kekuatan kita adalah setanding dan susah menentukan menang atau kalah.” –
Ketika pedang sedikit mentjukit, segera golok emas itu mentjelat keatas.
Sungguh terima kasih An
Hong-djit tak terkatakan, tjepat ia pegang kembali goloknja itu. Ia tahu lawan
jang berbudi itu sengadja menjelamatkan mukanja, maka tjepat ia menegakkan
golok dan memberi hormat, itulah djurus terachir dari Bik-kwa-to jang bernama
“Lam-hay-pay-hud” atau menjembah Budha dilautan kidul.
Sampai disini An Hong-djit
lebih terkedjut sehingga air mukanja berubah. Kiranja sampai saat terachir ini
djusteru dia telah selesai memainkan “Bik-kwa-to” jang meliputi 72 djurus itu.
Djika demikian, terang Tjiok Djing sangat paham ilmu golok andalannja ini dan
dirinja baru dikalahkannja pada djurus jang ke-71 tadi, jaitu djurus terachir,
ditambah dengan djurus penutup “Lam-hay-pay-hud”. Tjoba kalau Tjiok Djing mau
mendjatuhkan dia dengan lebih tjepat, rasanja bukan soal sulit baginja.
Dan baru sadja An Hong-djit
hendak mengutjapkan beberapa patah rasa terima kasihnja, disebelah sana Tjiok
Djing sudah memasukkan kembali pedangnja dan berkata sambil merangkap kedua
kepalan tangan: “Orang she Tjiok merasa beruntung mengikat persahabatan dengan
An-tjetju, maka pertandingan kita ini tidak perlu diteruskan lagi. Kapan2 kalau
An-tjetju lalu ditempat kami, diharap sudilah mampir buat tinggal beberapa hari
disana.”
“Terima kasih atas undangan
Tjiok-tjengtju,” sahut Hong-djit dengan wadjah kikuk. Mendadak ia melompat
keatas, ia tjabut pedang Pun-khong Todjin jang ditimpukkan oleh Tjiok Djing
tadi dan mengambil bungkusan ketjil jang terpaku dibatang pohon itu. Kemudian
dengan penuh hormat, ia persembahkan bungkusan itu kehadapan Tjiok Djing dan
berkata: “Silakan Tjiok-tjengtju ambil sadja!”
Rupanja dia merasa pamornja
telah diselamatkan oleh Tjiok Djing, pula djari tangannja tidak sampai
terkutung, maka ia merasa sangat berterima kasih dan rela menjerahkan benda
itu.
Tak terduga Tjiok Djing itu
tidak mau menerimanja, ia memberi hormat dan berkata: “Sampai bertemu pula!” –
Lalu putar tubuh dan tinggal pergi.
“Tunggu dulu, Tjiok-tjengtju,”
seru An Hong-djit. ‘Tjengtju telah mendjaga nama baik orang she An ini, masakah
aku sendiri tidak tahu? Sudah terang diriku telah kalah habis2an dan benda ini
sudah seharusnja mendjadi bagian Tjiok-tjengtju, kalau tidak bukankah diriku
akan dikatakan sebagai manusia rendah jang tidak kenal budi kebaikan?”
“An-tjetju,” sahut Tjiok Djing
dengan tersenjum, “Pertandingan tadi belum lagi terang siapa jang menang atau
kalah, kepandaian An-tjetju jang lain seperti Tjeng-liong-to dan Toan-bun-to
jang hebat itu belum lagi dikeluarkan, mana boleh engkau dianggap sudah kalah?
Pula, isi bungkusan itu toh tidak terdapat benda jang ditjari itu, mungkin
Tjiu-siheng telah ditipu orang!”
An Hong-djit tertjengang oleh
djawaban itu. “Isi bungkusan ini tiada terdapat benda itu!” ia menegas. Tjepat
ia membuka bungkusan itu selapis demi selapis. Sesudah lima lapis, achirnja
barulah kelihatan isinja, jaitu terdiri dari tiga titik hitam belaka. Waktu
diperiksa, kiranja adalah tiga bidji kutu busuk jang sudah mati.
Melihat isi bungkusan jang
sangat mengetjewakan itu, sungguh kedjut dan gusar An Hong-djit tak terkirakan.
Tapi ia masih dapat menahan perasaannja, ia berpaling dan tanja kepada Tjiu
Bok: “Tjiu-hengte, se…… sebenarnja apa2an ini?”
“Aku……… aku sendiripun tidak
tahu,” sahut Tjiu Bok dengan gelagapan. “Dari tubuh Go To-it hanja dapat
diketemukan bungkusan ketjil ini, lain tidak.”
Segera An Hong-djit tahu bahwa
benda mestika itu tentu telah disembunjikan oleh Go To-it atau sudah diberikan
kepada orang lain. Djadi usahanja ini bukan sadja sia2 belaka, bahkan telah mendjatuhkan
nama baik Kim-to-tje.
Ia membuang bungkusan kosong
itu, lalu katanja kepada Tjiok Djing: “Sungguh membikin malu sadja pekerdjaan
kawan2 kami ini. Tapi entah darimana Tjiok-tjengtju mengetahui tentang isi
bungkusan ini?”
“Ah, Tjayhe djuga tjuma
sembarangan menerka sadja,” sahut Tjiok Djing dengan tersenjum. “Njata kita
sama2 telah dikelabui orang, diharap An-tjengtju saling memaklumi.”
Habis berkata, kembali ia
memberi salam kepada Pang Tjin-bu, Pun-khong Todjin dan Tjiu Bok, lalu
melangkah pergi dengan tjepat. Setiba ditempat api unggun, ia berkata kepada
Bin Dju: “Niotju (istriku), marilah berangkat!” – Kedua orang lantas
mentjemplak keatas kuda masing2 dan menudju kearah darimana mereka datang tadi.
Melihat air muka sang suami,
tak ditanja djuga Bin Dju mengetahui usaha mereka ini telah sia2. Entah mengapa
hatinja mendjadi pilu dan air matanja ber-linang2.
“Engkau tidak perlu kesal,
isteriku,” kata Tjiok Djing. “Kim-to-tje sendiri djuga tertipu. Biarlah kita
menggeledah pula djenazah Go To-it itu, boleh djadi orang2 Kim-to-tje itu jang
telah salah mata dan benda mestika itu masih tertinggal disana.”
Walaupun tahu usaha mereka
tentu akan sia2 pula, tapi Bin Dju tidak ingin membantah maksud sang suami itu,
dengan suara terguguk, ia menjatakan baik. Segera kuda2 hitam-putih itu berlari
pula kearah Hau-kam-tjip. Sungguh tjepat sekali kekuatan lari kuda2 itu, kira2
lohor mereka kembali sudah berada dikota ketjil itu.
Dalam pada itu, rasa panik
penduduk kota itu belum lagi lenjap, maka tiada suatu tokopun jang membuka
pintu. Laporan tentang datangnja kawanan bandit jang telah membunuh orang dan
merampok harta benda kemarin itu oleh petugas setempat sudah disampaikan kepada
pembesar kota Khay-hong. Tapi pemeriksaan belum dilakukan, mungkin pembesar2
dikota itupun takut kepada kawanan bandit, kalau lebih lama tentu akan lebih
selamat, demikian perhitungan mereka.
Ketika Tjiok Djing berdua
sampai pula didekat djenazah Go To-it tertampak dipodjok dinding sana berduduk
seorang pengemis ketjil berusia antara 12-13 tahun, selain itu tiada orang lain
lagi.
Segera Tjiok Djing memeriksa
dan menggeledah dengan teliti sekudjur badan Go To-it, sampai2 gelung rambutnja
djuga dilepas, sepatu dan kaos kaki djuga ditjopot untuk diperiksa. Sedangkan
Bin Dju mentjari kedalam kedai siopia.
Tapi achirnja suami-isteri itu
hanja menghela napas belaka. Kata Bin Dju: “Siangkong (suamiku), tampaknja
sakit hati kita ini ditakdirkan takkan terbalas. Selama beberapa hari ini sudah
terlalu membikin tjapek engkau, marilah kita pesiar sadja kekota Khay-hong,
disana kita dapat melihat sandiwara dan menonton wajang.”
Tjiok Djing tjukup kenal baik
watak sang isteri jang suka kepada ketenangan dan tidak suka menonton sandiwara
apa segala. Bahwasannja sekarang isterinja mengadjak pesiar kekota Khay-hong
adalah ingin membikin senang padanja, maka iapun mendjawab: “Baiklah, kita
sudah datang ke Holam sini, sudah selajaknja kita pesiar ke Khay-hong. Konon
pandai emas dikota itu sangat terkenal, marilah kita mentjari beberapa bentuk
perhiasan jang indah.”
Didunia persilatan Bin Dju
terkenal akan ketjantikannja. Memangnja dia suka bersolek, apalagi wanita jang
sudah menandjak setengah umur, tentu akan lebih memperhatikan soal dandan.
Sekarang usaha suami-isteri itu tiada membawa hasil apa2, dalam keadaan kesal,
terpaksa mereka mentjari kesenangan lain sekadar pelipur hati.
Begitulah maka Bin Dju telah
mendjawab sang suami dengan tersenjum pedih: “Sedjak anak Kian meninggal,
selama 13 tahun ini perhiasan jang kau belikan untukku rasanja sudah tjukup
untuk membuka sebuah toko perhiasan.”
Berkata tentang “meninggalnja
anak Kian”, kembali air mata Bin Dju bertjutjuran. Sekilas terlihat olehnja
sipengemis ketjil jang duduk sembunji2 dipodjok dinding sana dengan rasa takut2
dan keadaan kotor tak terurus, tiba2 timbul rasa kasihannja, segera ia
bertanja: “Dimanakah ibumu? Mengapa mendjadi pengemis?”
“Ib…….. ibuku tidak tahu
kemana,” sahut pengemis tjilik itu. Bin Dju menghela napas dan mengeluarkan
serentjeng uang perak dan dilemparkan kepada pengemis ketjil itu, katanja: “Ini
buat beli siopia!” – Lalu ia menarik les kuda dan melarikannja sambil menoleh
dan bertanja pula: “Nak, kau she apa dan siapa namamu?”
“Aku…………….. aku bernama
Kau-tjap-tjeng (anak andjing),” sahut sipengemis tjilik.
Tjiok Djing meng-geleng2
kepala mendengar djawaban itu. “Rupanja seorang anak gendeng!” udjarnja.
“Ja, sungguh kasihan,” kata
Bin Dju.
Sambil bitjara kedua orang
lantas melarikan kuda mereka kedjurusan kota Khay-hong. Tertinggal sidjembel
tjilik jang masih meringkuk sendirian berkawankan djenazah Go To-it.
Jilid 3
Seperti diketahui pengemis
tjilik itu telah pingsan saking ketakutan karena diuber oleh “majat hidup” Go
To-it dan sampai hari sudah terang baru dia siuman. Tapi rasa takutnja itu
rupanja terlalu hebat, begitu membuka mata dan melihat djenazah Go To-it jang
berlumuran darah itu menggeletak disampingnja, maka kembali ia djatuh kelenger
lagi. Agak lama kemudian barulah dia sadar pula.
Waktu Tjiok Djing berdua
datang, saat itu sidjembel tjilik itu baru sadar dan mestinja ingin melarikan
diri. Tapi dilihatnja Tjiok Djing telah mengangkat dan membalik djenazah jang
mengerikan itu, dalam ketakutan dia mendjadi tak berani bergerak. Tak terduga
achirnja dia mendapat persen serentjeng uang perak dari wanita tjantik itu jang
menjuruhnja membeli siopia.
“Beli siopia? Bukankah aku
sudah punya?” demikian pikirnja. Segera ia angkat tangan kanan, benar djuga
siopia jang baru digigitnja sekali itu masih tergenggam didalam tangan. Karena
rasa takutnja mulai hilang, seketika ia merasakan perutnja kelaparan. Segera ia
menggeragot siopia itu dengan lahapnja Tapi baru sekali menggigit, “krek”
giginja terasa kesakitan karena menggigit benda sekeras besi. Waktu dia menarik
siopia itu, terasa mulutnja sudah tertambah sepotong benda keras, tjepat ia
menumpahkan benda itu ditangan kiri, kiranja adalah sepotong besi ketjil jang
gepeng tipis dan berwarna hitam.
Ia pandang besi ketjil itu
dengan heran, ia tidak mengarti mengapa didalam siopia bisa tertjampur benda
demikian. Tapi benda besi itu tidak dibuang olehnja, sesudah memeriksa siopia
itu tiada terdapat benda lain lagi, segera ia makan kembali siopia itu.
Hanja dalam sekedjap itu
siopia itu sudah dilalap habis. Pandangannja segera beralih kepada belasan buah
siopia jang telah petjah dan terserak disekitar majat Go To-it, pikirnja:
“Siopia jang telah dirusak setan entah boleh dimakan atau tidak?”
Sedang ragu2, tiba2 terdengar
diatas kepalanja ada suara orang berkata: “Kepung sekeliling sini!”
Keruan dia terkedjut: “Mengapa
diatas kepalaku ada suara orang?” – Waktu dia mendongak, tertampaklah diatas
wuwungan rumah telah berdiri tiga orang laki-laki berdjubah putih. Menjusul
dari belakang terdengar pula suara mendesir, ada orang telah melompat tiba.
Waktu pengemis tjilik itu
berpaling, terlihat empat orang berdjubah putih dengan pedang terhunus tahu2
sudah mengepung dari kanan-kirinja. Melihat sinar pedang jang gemilapan itu, si
pengemis tjilik mendjadi menggigil ketakutan.
Pada saat itulah tiba2
terdengar pula suara derapan kuda, seorang penunggang kuda sedang mendatangi
setjepat terbang dan terdengar seruannja: “Apakah kawan2 Swat-san-pay disitu?
Maafkan orang she An tidak memberi sambutan atas kundjungan kalian ke Holam
sini.” Hanja sekedjap sadja seekor kuda berbulu kuning sudah menerdjang tiba,
penunggangnja seorang laki2 pendek gemuk berewok. Sesudah dekat, sama sekali
dia tidak menahan kudanja tapi terus melompat turun begitu sadja. Sedangkan
kuda kuning itu masih terus berlari kedepan dan berputar satu kali, lalu
berhenti dikedjauhan sana. Njata seekor kuda jang sudah terlatih dengan baik.
Berbareng tiga orang berdjubah
putih jang berada diatas rumah tadi melajang turun, semuanja siap-siaga
memegang gagang pedang mereka. Seorang diantaranja jang kekar dan berusia 40-an
tahun segera berkata: “Kiranja An-tjetju dari Kim-to-tje. Selamat bertemu!” –
Sambil berkata sembari mengedipi kawan2nja jang berdiri dibelakang An
Hong-djit.
Pendatang baru ini memang
betul adalah An Hong-djit. Dia telah dikalahkan oleh Tjiok Djing, sudah tentu
dia patah semangat. Tapi dia adalah seorang jang berdjiwa besar, kalah atau
menang baginja adalah soal lumrah. Tapi lantas terpikir pula olehnja: “Untuk
apalagi Tjiok-tjengtju suami-isteri pergi pula ke Hau-kam-tjip? Ah, tentu
disebabkan tertipunja Tjiu-site, maka mereka suami-isteri hendak kembali kesana
untuk mentjari benda itu. Aku adalah djago jang sudah keok ditangannja, kalau
benda itu dapat diketemukan mereka itu, terpaksa aku membiarkannja. Tetapi
kalau mereka tidak dapat mentjarinja, kenapa aku tidak mentjarinja pula untuk
tjoba2 peruntungan? Benda itu tentu disembunjikan disuatu tempat jang
dirahasiakan oleh Go To-it, kalau ditjari dan digeledah sepuluh kali tidak
ketemu, kenapa aku tidak boleh mentjarinja untuk kesebelas kalinja?”
Begitulah, sesudah ambil
keputusan itu, segera ia mentjemplak kuda dan menjusul ke Hau-kam-tjip. Karena
kudanja kalah tjepat daripada kuda2nja Tjiok Djing berdua, pula tidak berani
mengintil terlalu dekat, maka sesudah tjukup lama Tjiok Djing memeriksa dan
menggeledah djenazah Go To-it serta kedainja, lalu tinggal pergi, kemudian
barulah An Hong-djit sampai di kota itu.
Dengan matanja jang tadjam
dari djauh An Hong-djit lantas melihat bajangan orang jang muntjul di atas
rumah. Dari dandanan dan sendjata jang mereka bawa, Hong-djit menduga pasti
anak murid dari Swat-san-pay jang terletak diperbatasan Sutjwan dan Setjong
(Tibet).
Sesudah dekat, tertampak pula
beberapa orang berdjubah putih itu sedang mentjurahkan perhatiannja seperti
sedang menghadapi musuh tangguh. Semula Hong-djit mengira orang-orang itu hendak
mengadakan sergapan terhadap Tjiok Djing suami-isteri, karena mengingat
kebaikan Tjiok Djing, maka Hong-djit lantas berseru dari djauh dengan maksud
menggagalkan sergapan orang2 Swat-san-pay. Tak terduga sampai ditempatnja,
bajangan Tjiok Djing berdua tidak kelihatan, sebaliknja jang dikepung oleh
tudjuh orang Swat-san-pay itu adalah seorang pengemis ketjil.
Sudah tentu An Hong-djit
sangat heran, ia tjoba memperhatikan keadaan pengemis ketjil jang kotor dan
kurus itu, tampaknja toh bukan seorang jang mahir ilmu silat. Tapi sekilas
terlihat olehnja seorang Swat-san-pay itu sedang mengedipi kawannja, hal ini
lantas menimbulkan tjuriga An Hong-djit. Maka kembali ia mengamat-amati keadaan
sidjembel tjilik itu.
Sekali pandang seketika
hatinja tergetar hebat. Ternjata tangan kiri sipengemis ketjil tertampak
memegang sepotong benda ketjil warna hitam, bentuknja mirip benar dengan
‘Hian-tiat-leng’ (medali besi) jang selalu mendjadi bahan bitjara didunia
persilatan itu.
Waktu dilihatnja sendjata
keempat lelaki djubah putih dibelakangnja bergerak gemerlapan seperti akan
mengerubut madju untuk merebut, tanpa pikir lagi An Hong-djit lantas
mengeluarkan goloknja dan tubuhnja bergerak tjepat mengitari sipengemis ketjil
satu keliling, goloknja membatjok kekanan dan kekiri, kedepan dan kebelakang,
hanja dalam sekedjap sadja ia sudah menjerang kedelapan pendjuru dan setiap
djurusan tiga kali batjokan, djadi seluruhnja 24 kali batjokan, sinar golok itu
hanja belasan senti sadja diluar tempat duduk sipengemis ketjil sehingga
djembel tjilik itu se-olah2 terbungkus rapat didalam sinar golok jang berwarna
emas itu.
Karena merasa silau dan
tersambar oleh angin tadjamnja golok, sipengemis ketjil mendjadi ketakutan dan
mendadak menangis.
Hampir pada saat sipengemis
ketjil itu mulai menangis, serentak ketudjuh orang berdjubah putih itupun
memainkan pedang mereka sehingga berwudjut sebuah djaring2an sinar putih jang
mengitari An Hong-djit dan sidjembel tjilik. Namun demikian mereka tidak lantas
menjerang.
Pada saat lain tiba2 terdengar
suara derapan kuda pula, seekor kuda putih dan seekor kuda hitam tampak
mendatangi dengan tjepat. Kiranja adalah Tjiok Djing dan Bin Dju jang telah
kembali lagi.
Kiranja tidak djauh sesudah
Tjiok Djing berdua berangkat, mereka lantas melihat gerak-gerik anak murid
Swat-san-pay jang mentjurigakan. Tiba2 timbul pikiran lain pada benak mereka
maka tjepat mereka memutar balik. Dari djauh Tjiok Djing lantas berseru:
“Kawan2 Swat-san-pay dan An-tjetju, kita semuanja sahabat, kalau ada urusan
apa-apa boleh bitjara setjara baik2 sadja supaja tidak selisih paham.”
Seorang lelaki tinggi besar di
pihak Swat-san-pay adalah pemimpinnja, sekali pedangnja menegak, serentak
kawan2nja berhenti memainkan sendjata mereka. Tapi mereka masih berdiri
disekeliling An Hong-djit.
Mendadak Tjiok Djing dan Bin
Dju bersuara heran bersama ketika melihat tangan kiri sipengemis tjilik
memegang sepotong pelat besi ketjil, tjuma mereka tidak tahu apakah benda ini
adalah benda mestika jang sedang ditjari itu.
Segera Tjiok Djing tanja
sidjembel tjilik. “Adik ketjil, benda apakah jang kau pegang itu, maukah
perlihatkan padaku?”
Diam2 iapun sudah ambil
keputusan bahwasanja An Hong-djit tentu takkan merintangi dia, maka begitu
sidjembel tjilik menjodorkan tangannja, seketika ia akan menerobos ketengah
kepungan orang2 Swat-san-pay untuk merebut benda itu, ia menaksir anak murid
Swat-san-pay itu tidak mampu merintangi dirinja.
Tapi silelaki tegap berdjubah
putih tadi sudah membuka suara: “Tjiok-tjengtju, kami inilah jang melihatnja
lebih dahulu.”
“Kheng-suheng,” Bin Dju ikut
bitjara, “boleh djuga kau tanja adik tjilik itu, serentjeng uang perak
disampingnja itu apakah bukan pemberianku?”
Maksud utjapan ini sangat
djelas jaitu ingin menundjukkan bahwa sedari tadi dia sudah memberi uang,
dengan sendirinja sudah lebih dulu ia melihat pengemis itu.
Lelaki tegap berdjubah putih
itu she Keng bernama Ban-tjiong, terhitung tokoh utama dari murid angkatan
kedua Swat-san-pay. Maka dia telah mendjawab: “Tjiok-hudjin, boleh djadi
suami-istri kalian telah melihat adik tjilik ini lebih dulu namun
‘Hian-tiat-leng’ ini adalah kami jang melihatnja lebih dulu.”
Begitu nama “Hian-tiat-leng”
disebut, seketika hati Tjiok Djing, Bin Dju dan Ang Hong-djit terkesiap dan
sama memikir: “Kiranja benar Hian-tiat-leng adanja!” – Begitu pula keenam orang
Swat-san-pay jang lain djuga mengundjuk rasa agak heran.
Padahal mereka bertudjuh tiada
pernah memperhatikan benda besi jang dipegang sipengemis ketjil itu, hanja
karena melihat Tjiok Djing suami isteri dan An Hong-djit sedemikian sungguh2
membela sidjembel tjilik itu, maka mereka jakin besi ketjil itu pasti medali
wasiat jang sedang ditjari itu.
Sebaliknja Tjiok Djing bertiga
djuga mempunjai pikiran serupa: “Kheng Ban-tjiong dari Swat-san-pay ini sangat
luas pengetahuannja dan tjerdik pula, kalau dia sampai mengintjar kepada besi
ketjil itu, tentu tidak salah lagi benda itu pasti medali wasiat.”
Karena pikiran jang sama itu,
tanpa merasa kesepuluh orang itu serentak mendjulurkan tangan kearah sipengemis
ketjil dan berkata: “Adik tjilik, berikan padaku sadja benda itu!”
Tapi tiada seorangpun diantara
kesepuluh orang itu berani main merebut, sebab mereka tahu sekali mendahului
main serobot, tentu jang lain2 akan serentak menjerangnja. Dari itu mereka
hanja berharap sipengemis ketjil mau menjerahkan kepada mereka dengan sukarela.
Sudah tentu sidjembel tjilik
tidak tahu bahwa jang diminta oleh kesepuluh orang itu adalah besi ketjil jang
hampir2 membikin rompang giginja tadi. Sebaliknja ia mendjadi bingung dan takut
serta menangis pula.
“Lebih baik berikan padaku
sadja!” tiba2 terdengar suara parau seseorang, berbareng sesosok bajangan telah
menjusup ketengah kalangan, sekali sambar seketika besi ketjil jang dipegang
sipengemis ketjil itu sudah direbut olehnja.
Serentak terdengar pula suara
bentakan orang banjak: “Hai, mau apa? – Lepaskan! – Bangsat kurang adjar! –
Persetan!” dan sebatang golok emas berbareng lantas menjambar kearah bajangan
orang itu.
An Hong-djit berada paling
dekat dengan sidjembel tjilik tadi, maka sekali goloknja bergerak, dengan
djurus “Pek-hong-koan-djit” (pelangi putih menembus tjahaja matahari), kontan
ia membatjok kepala penjerobot itu Sedangkan anak murid Swat-san-pay jang sudah
terlatih baik itu, sekaligus tudjuh pedang mereka lantas menusuk tempat2 jang
berbahaja dan berlainan ditubuh lawan sehingga lawan susah untuk mengelakkan
diri.
Sebaliknja Tjiok Djing dan Bin
Dju sekilas itu belum djelas siapakah penjerobot jang sebat itu, maka mereka
tidak mau menggunakan tipu serangan kedji, sinar pedang mereka hanja berputar
dan mengurung lawan dibawah antjaman sepasang pedang hitam-putih mereka.
Akan tetapi mendadak terdengar
suara “trang-tring” jang ber-ulang2, kedua tangan penjerobot itu bergerak
naik-turun dengan tjepat, entah dengan tjara apa, hanja dalam sekedjap sadja
tahu2 golok emas An Hong-djit dan tudjuh pedang anak murid Swat-san-pay itu
sudah terampas semua olehnja.
Tjiok Djing dan Bin Dju djuga
lantas merasa lengan mereka linu pegal dan pedang mereka hampir2 terlepas dari
tjekalan, untung mereka sempat melompat mundur dengan tjepat. Air muka Tjiok
Djing mendjadi putjat, sebaliknja muka Bin Dju merah djengah.
Padahal gabungan pedang
hitam-putih Tjiok-tjengtju suami-isteri dari Hian-so-tjeng boleh dikata hampir
tiada tandingannja didunia ini, tapi tadi pedang mereka hanja kena selentikan
djari orang itu dan hampir2 terlepas dari tjekalan, hal ini benar2 belum pernah
terdjadi sedjak mereka mendjagoi dunia persilatan selama hidup ini. Keruan
Tjiok Djing dan Bin Dju sangat terkedjut.
Waktu mereka memperhatikan
penjerobot itu, tertampaklah golok emas dan tudjuh batang pedang rampasan itu
telah menantjap diatas tanah disekeliling orang itu. Orang itu berdjubah hidjau
dan berdjenggot pendek, usianja kira2 setengah abad, air mukanja bersemu
kehidjau2an dan memperlihatkan perasaan jang tak terkatakan girangnja. Tiba2
Tjiok Djing teringat kepada seorang, tanpa merasa ia bertanja: “Apakah tuan ini
adalah pemilik daripada Hian-tiat-leng ini?”
“Hehehe!” orang itu tertawa.
“Pedang hitam-putih Hian-so-tjeng sangat tersohor didunia Kang-ouw dan njatanja
memang bukan omong-kosong. Lohu (aku jang tua) tadi telah menggunakan satu
bagian tenagaku untuk melajani kedelapan sobat ini dan memakai sembilan bagian
tenaga untuk menghadapi suami-isteri kalian, tapi toh masih tidak dapat
merampas pedang kalian. Ai, kepandaianku ‘Tan-tji-sin-thong’ (ilmu sakti
menjelentik dengan djari) ini tampaknja perlu dilatih sepuluh tahun lagi.”
Mendengar itu Tjiok Djing
mendjadi lebih jakin lagi dengan siapa dia sedang bitjara. Segera ia memberi
hormat dan berkata pula: “Kami suami isteri kebetulan lewat disini dan
sebenarnja ingin naik ke Mo-thian-kay (tebing pentjakar langit) untuk
menjampaikan salam kepada tuan, syukurlah disini sudah dapat bertemu, maka
tidaklah sia2 perdjalanan kami ini. Tentang kepandaian kami jang kasar ini
sudah tentu tiada harganja dalam pandangan tuan, harap tidak mendjadi buah tertawaanmu.
Adapun hari ini tuan sendiri sudah menarik kembali medali wasiat itu dari
peredaran, sungguh harus dibuat girang dan diberi selamat.”
Karena utjapan Tjiok Djing
itu, diam2 ketudjuh orang Swat-san-pay membatin: “Apakah mungkin orang
berdjubah hijdau ini benar2 adalah pemilik medali wasiat jang bernama Tjia
Yan-khek itu? Kalau melihat rupanja toh tiada sesuatu jang luar biasa dan susah
untuk dipertjaja bahwa dia adalah tokoh jang namanja membikin rontok njali
setiap orang Bu-lim itu. Tapi bila melihat tjaranja sekali gebrak sadja sudah
mampu merampas pedang2 kami, mau-tak-mau orang harus mengakui betapa lihaynja
dan selain Tjia Yan-khek rasanja tiada tokoh lain lagi.”
Orang itu memang benar adalah
Tjia Yan-khek jang bersemajam diatas Mo-thian-kay. Kembali ia bergelak tertawa,
katanja kemudian: “Tadi Tjayhe telah berlaku kasar, diharap Tjia-tjianpwee suka
memaafkan dan terimalah salamku ini.”
Berkata sampai disini, medali
wasiat jang berada ditangan kirinja itu dilemparkannja ditelapak tangannja
sendiri, lalu dengan tersenjum ia berkata pula: “Tjuma sadja hari ini hatiku
kebetulan sedang senang, maka batjokan ini boleh kutitip dahulu. Dan kau djuga
telah menusuk dadaku, kau menusuk pahaku, kau menusuk pinggangku, kau menabas
betisku..........” Sembari bitjara, ia sambil menuding2 ketudjuh orang
Swat-san-pay itu.
Keruan ketudjuh orang
Swat-san-pay itu tambah kaget demi mendengar orang dapat menguraikan dengan
djitu tipu serangan dan tempat jang diarah jang dilakukan serentak dalam
sekedjap tadi, bahkan siapa menjerang dan tempat jang diarah, semuanja dapat
dikatakan dengan djelas, melulu ketadjaman mata dan daja ingatan ini sadja
orang lain pasti tidak dapat memadai.
Dalam pada itu terdengar Tjia
Yan-khek sedang melandjutkan: “Semua utang kalian ini biarlah sementara ini
kutjatat sadja didalam buku, kapan2 kalau aku merasa sebal barulah aku akan
mendatangi kalian untuk menagih utang.”
Salah seorang Swat-san-pay
jang agak pendek rupanja merasa penasaran, tiba2 ia berteriak: “Kepandaian kami
memang lebih rendah, kalau sudah kalah biarlah kalah, kenapa kau mesti
mengutjapkan kata2 jang menghina? Kau bilang mentjatat utang apa? Kalau mau
boleh lantas balas menusuk aku sadja, siapa jang sudi main utang2an dengan
kau?”
Orang ini bernama Ong
Ban-djim, wataknja berangasan dan enggan mengalah, biarpun tahu musuh terlalu
lihay djuga tidak sudi nama baik Swat-san-pay mereka dihina.
Tak terduga Tjia Yan-khek
lantas mengangguk dan berkata: “Baik!” – Mendadak ia tjabut pedang rampasan
dari Ong Ban-djim tadi terus menusuk kedepan.
Tjepat Ong Ban-djim melompat
mundur kebelakang untuk menghindarkan tusukan itu. Tak tersangka serangan Tjia
Yan-khek itu terlalu tjepat datangnja, baru tubuh Ong Ban-djim terapung, tahu2
udjung pedang sudah menjentuh dadanja. Sekali tangan Tjia Yan-khek menjendal,
segera ia tarik kembali pedangnja.
Waktu Ong Ban-djim berdiri
kembali diatas tanah, mendadak ia merasa dadanja silir2 dingin. Waktu ia
menunduk, tanpa merasa ia berseru kaget. Ternjata badju dadanja telah berlubang
sebuah lingkaran bundar sebesar tjangkir sehingga kelihatan kulit dagingnja.
Rupanja, tahu2 Tjia Yan-khek
sudah mengorek sebuah lingkaran ketjil sehingga tiga lapis badjunja seperti
digunting sebuah lubang bundar. Tjoba kalau tusukan itu diteruskan kedepan,
tentu ulu hatinja sudah dikorek keluar oleh pedang Tjia Yan-khek tadi. Keruan
Ong Ban-djim ternganga dengan muka putjat.
Sebaliknja tidak kepalang
kagumnja An Hong-djit, tanpa merasa ia bersorak: “Ilmu pedang bagus!”
Bitjara tentang djurus ilmu
pedang jang dimainkan Tjia Yan-khek barusan sebenarnja Tjiok Djing suami-isteri
djuga sanggup melakukannja, tjuma dalam hal ketjepatan, bahkan lawan sudah
mengetahui tempat jang akan diserang, namun demikian toh tetap takdapat
mengelakkan diri, untuk inilah Tjok Djing dan Bin Dju tahu diri mereka tidak
mampu menandinginja.
Begitulah maka suami-isteri
itu telah saling pandang sekedjap dengan rasa tjemas dan sajang, pikir mereka:
“Betapa aneh ilmu silat tokoh ini ternjata memang susah diukur. Dasar nasib
kami jang djelek, tjoba kalau Hian-tiat-leng itu dapat direbut oleh kami, tentu
sakit hati kami akan terbalas dengan mudah!” Dalam pada itu Tjia Yan-khek hanja
mendengus sadja atas sorakan An Hong-djit tadi, lalu ia hendak melangkah pergi.
“Nanti dulu, Tjia-siansing!”
tiba2 seorang wanita muda diantara anak murid Swat-san-pay telah berseru.
“Ada apa?” tanja Tjia Yan-khek
sambil menoleh.
Wanita muda itu bernama Hoa
Ban-tji. Setiap anak murid Swat-san-pay memakai huruf “Ban” dalam nama mereka.
Dia lantas berkata: “Barusan Tjia-siansing telah bermurah hati dan tidak
melukai Suko kami, sungguh kami merasa berterima kasih. Akan tetapi aku ingin
tanya dulu, potongan besi jang kau ambil itu sebenarnja adalah Hian-tiat-leng
atau bukan?”
“Kalau betul mau apa, kalau
bukan lantas bagaimana?” sahut Yan-khek dengan sikap angkuh.
“Kalau bukan medali besi
wasiat, maka kami be-ramai2 akan mentjarinja lagi,” kata Hoa Ban-tji. “Dan
kalau benda itu adalah medali wasiat, maka engkaulah jang telah berbuat salah.”
“Djangan banjak bitjara,
Hoa-sumoay!” bentak Kheng Ban-tjiong.
Dilain pihak air muka Tjia
Yan-khek sekilas telah bersemu hidjau, lalu tenang kembali.
Semua orang mengetahui bahwa
sifat Tjia Yan-khek itu sangat kedjam dan suka membunuh, kelakuannja aneh,
setempo baik, tapi lain saat sudah djahat pula. Tindak-tanduknja hanja
tergantung kepada kesukaannja pada seketika itu sadja, selama ini entah sudah
berapa banjak orang2 Kang-ouw jang telah mendjadi korban keganasannja, entah
dia dari golongan Hek-to (kalangan pendjahat) atau dari golongan Pek-to (kaum
kesatria).
Tapi lantaran ilmu silatnja
memang benar2 sangat lihay, djedjaknja djuga tak menentu, meski tidak sedikit
musuhnja telah mentjari dia dan ingin menuntut balas, namun selalu mereka
diketemukan sudah mati ditengah djalan setjara aneh. Selama tahun2 terachir
ini, musuh2nja boleh dikata sudah hampir terbunuh olehnja, sisanja merasa tidak
sanggup melawannja dan terpaksa membatalkan maksud mereka untuk menuntut balas.
Hari ini dia telah dikerubut
sepuluh orang dan seorangpun ternjata tak diganggu olehnja, hal itu boleh
dikata sesuatu jang tak pernah terdjadi sebelumnja. Tak terduga Hoa Ban-tji dari
Swat-san-pay itu masih usilan dan berani mengadjukan pertanjaan segala, hal ini
bukan sadja membuat kawan2nja merasa kuatir, bahkan Tjiok Djing dan lain2 djuga
ikut tjemas.
Tapi Tjia Yan-khek lantas
angkat medali besi itu keatas sambil membatja dengan suara lantang:
“Hian-tiat-tji-leng, yu-kin-pit-eng (dengan pembuktian medali ini, setiap
permintaan tentu terpenuhi)!” – Lalu ia membalik medali itu dan membatja pula
huruf disebelahnja: “Tertanda Tjia Yan-khek di Mo-thian-kay.”
Dan sesudah berhenti sedjenak,
kemudian katanja pula: “Medali ini adalah buatan dari besi murni jang djarang
terdapat didunia ini dan tidak mempan segala matjam sendjata tadjam.” – Segera
ia mentjabut sebatang pedang jang menantjap di atas tanah terus membatjok
medali besi jang dipegangnja itu. “Tjring”, mendadak pedang patah mendjadi dua,
sebaliknja medali itu tidak rusak barang sedikitpun.
Mendadak Tjia Yan-khek menarik
muka dan bertanja dengan suara bengis: “Nah, mengapa kau bilang aku berbuat
salah?”
Dengan tenang Hoa Ban-tji mendjawab:
“Menurut tjerita kawan kalangan Kang-ouw, katanja Tjia-siansing mempunjai tiga
bentuk medali wasiat serupa itu dan masing2 telah dihadiahkan kepada tiga orang
sahabat jang pernah menolong Tjia-siansing, dengan pesan asal membawa medali
itu dan diperlihatkan kepada Tjia-siansing, maka pembawa medali itu boleh
meminta kau melakukan suatu urusan, biarpun urusan jang betapa sulitnja pasti
djuga akan dilakukan oleh Tjian-siansing. Tentang ini tentunja tidak salah,
bukan?”
“Ja, betul,” sahut Tjia Yan-khek.
“Hal ini diketahui oleh setiap orang Bu-lim.” – Dari sikapnja terlihat rasa
bangganja jang tak terhingga.
Maka Hoa Ban-tji berkata pula:
“Konon dua diantara ketiga medali itu sudah diterima kembali oleh
Tjia-siansing, dan oleh karena itu didunia persilatan pernah djuga terdjadi
peristiwa jang mengguntjangkan. Dan medali sekarang ini apakah benar adalah
medali jang terachir itu, bukan?”
Air muka Tjia Yan-khek tampak
tenang kembali demi mendengar kata2 tentang “dua peristiwa jang pernah
mengguntjangkan dunia persilatan” itu, sahutnja: “Ja, memang betul. Adapun
kawanku jang memegang medali ketiga ini sudah lama wafat. Dia sendiri memiliki
ilmu silat mahatinggi dan tiada sesuatu urusan jang susah dilakukan olehnja,
maka medali ini sesungguhnja tiada gunanja buat dia. Karena dia tidak mempunjai
anak, sesudah wafat medali ini lantas djatuh ditangan orang lain. Selama
beberapa tahun ini semua orang setjara mati2an telah berusaha mendapatkan
medali ini dengan harapan akan dapat memerintahkan aku melakukan sesuatu urusan
sulit baginja. Tapi, hehehe, tidak njana hari ini medali ini telah kuterima
kembali dengan mudah. Boleh djuga kukatakan padamu bahwa diterimanja kembali
medali ini olehku, mungkin djuga hal ini akan mengetjewakan sobat2 kalangan
Kang-ouw, tetapi boleh djadi hal ini malah akan banjak mengurangi malapetaka
bagi kalian sendiri.”
Berkata sampai disini, tiba2
ia depak majat Go To-it sehingga terpental beberapa meter djauhnja, lalu
menjambung pula: “Seperti setan ini, biarpun dia sudah memegang medaliku ini,
tapi tidaklah gampang untuk menemui aku. Sebelum dia perlihatkan medali ini
kepadaku, ternjata dia sendiri sudah mendjadi sasaran orang banjak sehingga
binasa lebih dulu. Memangnja orang Bu-lim mana jang tidak ingin membunuhnja
untuk merebut medali ini? Tjoba, sampai2 Tjiok-tjengtju suami-isteri jang
tersohor djuga tidak terhindar dari keinginan demikian, apalagi orang lain?
Haha, hehe, hehehe!”
Utjapan terachir jang bernada
menjindir itu telah membuat Tjiok Djing merah djengah. Dikalangan Bu-lim
biasanja dia sangat disegani, walaupun lahirnja dia ramah-tamah, tapi
sesungguhnja apa jang dia utjapkan tiada pernah dibantah oleh siapapun. Tak
terduga sekarang ia harus menerima olok2 Tjia Yan-khek didepan orang banjak.
Sebagai seorang tokoh jang tinggi hati sudah tentu ia merasa malu atas
perlakuan demikian. Lebih2 Bin Dju, isterinja itu mendjadi putjat pasi saking
gusarnja, ber-ulang2 ia telah melirik sang suami, asal suaminja memberi tanda,
serentak mereka akan mengadu djiwa dengan Tjia Yan-khek, walaupun insaf bukan
tandingan lawan, tapi mereka tidak sudi menelan mentah2 hinaan itu.
Namun lantas terdengar Tjia
Yan-khek telah berkata lagi: “Tjiok-tjengtju suami-isteri adalah pahlawan dan
kesatria sedjati, bila medaliku ini didapatkan kalian, paling2 kalian hanja
suruh Lohu melakukan sesuatu pekerdjaan sulit dan habis perkara. Tetapi bila
medali ini diperoleh kaum kerotjo jang tak bermoral dan Lohu diperintahkan
membikin tjatjat badannja sendiri sehingga mati tidak dan hidup djuga kepalang,
wah, bukankah bisa berabe? Bahkan akan lebih tjelaka lagi kalau aku
diperintahkan membunuh diri, kalau aku belum bosan hidup dan membangkang
perintah, bukankah itu berarti aku telah mengingkari sumpah setia ‘permintaan
tentu terpenuhi’ jang tertera diatas medali ini? Haha, rupanja peruntunganku
masih lumajan djuga, sehingga dengan mudah medali ini dapat kuterima kembali.
Haha, hahaha!” Suara tertawanja keras menggetar sukma. Ada beberapa penduduk
Hau-kam-tjip jang sedang mengintip sampai mengkeret ketakutan demi mendengar
suara tertawa jang menjeramkan itu.
Usia Hoa Ban-tji meski masih
muda, tapi agak pemberani, dengan suara lantang ia masih berkata pula:
“Tjia-siansing djangan buru2 senang dahulu. Pernah kudengar tjerita bahwa
Tjia-siansing sendiri pernah bersumpah barang siapa jang menjerahkan medali itu
padamu, maka engkau akan memenuhi sesuatu permintaannja, biarpun orang itu
adalah musuh bebujutanmu djuga kau akan menurut dan takkan mentjelakai
dia....................”
Berkata sampai disini,
sementara itu orang2 jang menonton disekelilingnja telah bertambah pula, mereka
adalah Pang Tjin-bu, Pun-khong Todjin, Tjiu Bok dan orang2 Kim-to-tje.
Dalam pada itu Hoa Ban-tjie
telah melandjutkan: “Sekarang medali kau terima kembali dari adik tjilik itu,
untuk mana kau toh belum tahu persoalan sulit apa jang akan dia minta agar
dikerdjakan olehmu.”
“Tjis!” semprot Tjia Yan-khek.
“Pengemis tjilik itu barang apa, masakah aku harus menurut perintahnja? Haha,
hahaha! Benar2 menggelikan!”
“Nah, dengarlah kawan2 jang
hadir disini, kiranja Tjia-siansing menganggap pengemis ketjil itu bukan
manusia, maka sumpahnja dahulu takdapat dianggap!” seru Hoa Ban-tji.
Kembali air muka Tjia Yan-khek
sekilas bersemu hidjau pula, pikirnja: “Kurang adjar! Perempuan ini sengadja
membikin aku mendjadi serba salah sehingga ada kemungkinan orang Kang-ouw akan
mengatakan sumpahku sebagai kentut sadja.” – Tapi mendadak tergetar pula
batinnja: “Wah, tjelaka! Djangan2 pengemis tjilik adalah sekomplotan dengan
mereka jang sengadja dipasang untuk mendjiret diriku, tadi sekaligus aku telah
merebut kembali medali wasiat, sekarang tidak dapat dikembalikan lagi padanja.”
Ia lihat, pandangan semua
orang terarahkan padanja, segera ia mendengus dan berkata dengan angkuh: “Hm,
apakah didunia ini ada sesuatu urusan sulit jang takdapat dikerdjakan oleh
orang she Tjia dari Mo-thian-kay? Pengemis tjilik, hajolah kau ikut padaku, ada
urusan apa jang kau akan minta kukerdjakan djuga tiada sangkut-pautnja dengan
orang luar.” – lalu ia gandeng tangan sidjembel tjilik dan hendak diadjak
pergi.
Hendaklah maklum bahwa watak
Tjia Yan-khek itu sangat tjerdik dan dapat berpikir djauh. Meski dia tidak
pandang sebelah mata kepada djago2 silat jang mengelilinginja itu, tapi ia
kuatir dibelakang pengemis ketjil itu ada orang pandai dan sengadja
mengemukakan sesuatu persoalan sulit didepan orang banjak dan minta dia
lakukan, umpama benar2 minta dia membikin tjatjat anggota badan sendiri dan
sebagainja, hal ini tentu akan membuatnja serba susah, sebab itulah tjepat2 ia
hendak membawa pergi sidjembel untuk ditanjai lebih djauh ditempat lain jang
sepi.
Hoa Ban-tji lantas mendekati
sipengemis ketjil, katanja dengan suara halus: “Adik tjilik, sungguh kau ini
anak jang baik, Lopepek (paman tua) ini paling suka membunuh orang, maka lekas
kau memohon dia selandjutnja djangan membu............” – Baru berkata sampai
disini, se-konjong2 serangkum angin kuat menjampuk kemukanja sehingga kata2nja
terputus ditengah djalan.
Kiranja Hoa Ban-tji sangat
tjerdik, ia tahu apa jang telah dikatakan Tjia Yan-khek tentu akan
dilaksanakannja. Tadi dirinja telah menusuk muka orang she Tjia itu dan dia
menjatakan utang itu akan ditangguhkan dahulu dan akan ditagih setiap waktu
dikemudian hari. Ini berarti pada setiap saat mukanja akan ditusuk pedang oleh
Tjia Yan-khek, apalagi diantara para Suhengnja itu, ketjuali Ong Ban-djim jang
utangnja telah dibajar kontan tadi, selebihnja masih belum membajar semua, maka
utang2 itu kelak pasti akan mengakibatkan pertumpahan darah bila Tjia Yan-khek
datang menagih. Sebab itulah sekarang ia sengadja menjerempet bahaja tanpa
menghiraukan akan menimbulkan kemurkaan Tjia Yan-khek, ia suruh sipengemis
ketjil itu lekas memohon Tjia Yan-khek agar untuk selandjutnja djangan membunuh
orang lagi. Asal permintaan demikian itu diadjukan sipengemis ketjil, maka
terpaksa Yan-khek harus menurut dan itu berarti djiwanja sendiri dan
keselamatan para Suhengnja akan terdjamin.
Tak terduga Tjia Yan-khek
sudah mengetahui maksudnja itu dan lantas mengebutkan lengah djubahnja, angin
kebutan jang keras itu memaksa Hoa Ban-tji tidak sanggup menghabiskan
utjapannja tadi.
Bahkan terdengar Tjia Yan-khek
membentak pula: “Perlu apa kau banjak tjerewet?” – Dan kembali serangkum angin
kuat menjambar tiba. Hoa Ban-tji tidak sanggup berdiri tegak lagi, kontan ia
roboh terdjengkang.
Keruan anak murid Swat-san-pay
jang lain mendjerit kaget dan be-ramai2 menubruk madju untuk menolong. Ketika
mereka sudah membangunkan Hoa Ban-tji, sementara itu Tjia Yan-khek sudah pergi
djauh dengan membawa sipengemis ketjil.
Melihat gembong jang
menakutkan itu sudah pergi, untuk mengedjar terang tidak berani. Maka An
Hong-djit lantas mentjabut kembali goloknja sendiri jang tertantjap diatas
tanah itu, katanja kepada Tjiok Djing suami-isteri dan ketudjuh orang
Swat-san-pay: “Maafkan akan keberangkatanku lebih dulu, kalau ada tempo
senggang silakan kalian suka mampir ketempat kami. Sampai bertemu pula!” – Lalu
iapun tinggal pergi dengan anak buahnja Sekarang hanja tinggal Tjiok Djing
suami-isteri dan ketudjuh orang Swat-san-pay sadja jang berada disitu. Tiba2
Ong Ban-djim berseru: “Tjiok-tjengtju, kami djusteru ingin membitjarakan
sesuatu dengan Tjiok-tjengtju.”
“Baiklah, ada urusan apakah?
Silakan bitjara,” sahut Tjiok Djing dengan ramah.
Kheng Ban-tjiong berusia lebih
tua, maka setiap tindak-tanduknja selalu lebih hati2. Ia berkata: “Tempat ini
tidak pantas didiami lebih lama, marilah kita mentjari suatu tempat lain jang
lebih tenang untuk bitjara.”
Tjiok Djing mengangguk
setudju. Segera mereka be-ramai2 menudju kearah barat. Kira2 beberapa li
djauhnja, tertampak ditepi djalan tumbuh tiga batang pohon jang rindang.
“Tjiok-tjengtju, apakah baik
kalau kita berbitjara dibawah pohon sana?” tanja Kheng Ban-tjiong.
“Baik sekali,” sahut Tjiok
Djing.
Segera kesembilan orang
menudju kebawah pohon itu dan mengambil tempat duduk sendiri2. Sementara itu
Kheng Ban-tjiong sudah memperkenalkan para sutenja dan saling mengutjapkan
kata2 pudjian dengan Tjiok Djing suami-isteri.
Diam2 Tjiok Djing sangat gopoh
karena tidak tahu apa jang hendak dibitjarakan oleh orang2 Swat-san-pay itu.
Tapi ia tidak enak untuk mendesak.
Sedjenak kemudian, barulah
Khong Bin-tjiong membuka suara: “Tjiok-tjengtju, kita adalah sahabat lama,
kalau ada sesuatu utjapanku nanti agak tidak enak didengar, haraplah engkau
suka memaafkan. Menurut pendapatku, ada lebih baik kalau Tjiok-tjengtju menjerahkan
puteramu kepada kami sadja. Tjayhe tentu akan berusaha sedapat mungkin untuk
memintakan ampun kepada Suhu dan Subo (ibu guru) serta Pek-suheng suami-isteri,
dengan demikian djiwa puteramu mungkin akan dapat diselamatkan. Andaikan
kepandaiannja djuga dipunahkan djuga lebih baik daripada kedua fihak mendjadi
bermusuhan dan menumpahkan darah.”
Tjiok Djing mendjadi heran,
sahutnja: “Sedjak Siau-dji (puteraku) berada ditempat kalian, selama tiga tahun
belum pernah aku melihatnja. Maka kalau ada terdjadi sesuatu apa, sesungguhnja
kami suami-isteri tidak mengetahui. Dari itu diharap Kheng-heng suka
memberitahukan setjara terus terang sadja!”
“Apa Tjiok-tjengtju betul2
tidak tahu?” Ban-tjiong menegas.
“Ja, tidak tahu!” sahut Tjiok
Djing.
Ban-tjiong tjukup kenal
wataknja Tjiok Djing. Dengan nama kebesaran Hian-so-tjeng jang diagungkan
didunia Kang-ouw tidaklah mungkin Tjiok Djing sulit berbohong. Kalau dia sudah
menjatakan tidak tahu, maka pastilah tidak tahu. Maka Ban-tjiong lantas berkata
pula: “Oh, karena Tjiok-tjengtju sama sekali tidak
mengetahui....................”
“Djadi Giok-dji (anak Giok)
sekarang tidak berada di Leng-siau-sia?” sela Bin Dju jang sangat memperhatikan
keselamatan puteranja itu.
Ban-tjiong mengangguk,
Sedangkan Ban-djim lantas berkata: “Kalau botjah itu saat ini berada di
Leng-siau-sia, biarpun dia punja seratus lembar djiwa djuga sudah amblas
semua!”
Diam2 Tjiok Djing mendongkol.
Pikirknja: “Sebabnja aku mengirim anak Giok beladjar silat keperguruan kalian
adalah lantaran aku menghargai ilmu silat Swat-san-pay kalian. Seumpama karena
usianja masih muda dan sifatnja nakal sehingga telah melanggar sesuatu larangan
perguruan, untuk mana paling tidak kalian djuga mengingat kehormatan
suami-isteri kami dan tidak boleh sembarangan membunuhnja.”
Walaupun demikian pikirnja,
tapi lahirnja dia tetap tenang2 sadja. Sahutnja dengan tawar: “Peraturan2
perguruan kalian jang keras itu memang tjukup kuketahui. Djustru kamipun ingin
Giok-dji dapat beladjar sedikit peraturan2 jang baik itu, makanja kami kirim
anak itu ke Leng-siau-sia kalian.”
Mendadak wadjah Khong
Ban-tjiong agak masam dan berkata: “Utjapan Tjiok-tjengtju ini terlalu memudji.
Akan tetapi achlak si Tjiok Tiong-giok jang bedjat dan perbuatannja jang
durhaka dan djahat itu sekali2 bukanlah adjaran Swat-san-pay!”
Jilid 4
“Achlak bedjat dan perbuatan
durhaka? Darimanakah dapat dikatakan demikian?” tanja Tjiok Djing dengan kurang
senang.
“Hoa-sumoay,” tiba2 Ban-tjiong
berkata kepada Ban-tji, “harap kau periksa kesana, tjoba awasi kalau2 ada orang
datang.”
Hoa Ban-tji mengiakan dan
segera menjingkir dengan mendjindjing pedang.
Tjiok Djing saling pandang
sekedjap dengan isterinja. Mereka tahu sebabnja Kheng Ban-tjiong menjuruh Hoa
Ban-tji menjingkir adalah karena ada utjapan2 jang tidak pantas didengar oleh kaum
wanita muda.
Dan sesudah menghela napas,
lalu Kheng Ban-tjiong bitjara pula.
“Tjiong-tjengtju, bahwasannja
Pek-suheng kami tiada mempunjai putera, melainkan tjuma mempunjai seorang
puteri, hal ini tentu kaupun tahu. Sutitli (murid keponakan perempuan) kami itu
usianja baru 12 tahun, pintar dan tjerdik, lintjah menjenangkan, selain
Pek-suheng suami-isteri, bahkan Suhu dan Subo kami djuga menganggapnja sebagai
mutiara djantung hati mereka. Sebab itulah Sutitli kami itu mendjadi mirip Tuan
Puteri dari Leng-sian-sia di Tay-swat-san, dengan sendirinja seluruh saudara
perguruan kami djuga menjandjungnja sebagai dewi.”
Tjiok Djing mengangguk,
katanja: “Oh, apa barangkali puteraku jang kurang adjar itu telah berbuat salah
kepada puteri tjilik itu?”
“Berbuat salah, kata2 ini
terlalu ringan baginja,” udjar Ban-tjiong. “Dia....... dia.......... djustru
sembrono dan telah meringkus Sutitli kami itu, kaki-tangannja diikat kentjang,
pakaiannja dibeledjeti hingga telandjang bulat, lalu bermaksud memperkosanja!”
“Haaaaaaa!” Tjiok Djing dan
Bin Dju sampai berseru kaget terus berbangkit. Air muka Bin-dju sampai putjat
pasi.
“Ma........... mana boleh
djadi?” kata Tjiok Djing. “Usia Tiong-giok baru 15 tahun, kukira didalam hal
ini tentu ada kesalah-pahaman.”
“Memangnja semula kamipun
mengira kedjadian itu terlalu djanggal,” sahut Ban-tjiong. “Tapi hal ini memang
benar2 terdjadi. Dua pelajan pribadi Sutitli kami itu ketika mendengar suara
pertjektjokan jang ribut, mereka lantas memburu kedalam kamar dan segera mereka
ber-teriak2 minta tolong demi nampak adegan didalam kamar itu. Akibatnja
seorang pelajan itu lengannja terkutung sebelah dan seorang lagi sebelah
kakinja djuga buntung, semuanja djatuh pingsan. Untuk djuga karena datangnja
pelajan2 itu telah membikin anak durhaka itu mendjadi takut dan lantas
melarikan diri dan tidak berani melandjutkan perbuatannja jang terkutuk itu.”
Perlu diketahui bahwa didunia
persilatan selamanja memandang soal pelanggaran kehormatan wanita sebagai suatu
larangan paling keras. Kaum bandit dan sebagainja dari kalangan Hek-to boleh
merampok, membegal, membunuh orang dan membakar rumah, semuanja itu boleh
dikata djamak bagi mereka, tetapi bila sampai melanggar larangan “perdjinahan”,
betapapun hal ini tak dapat diampuni oleh sesama kaum mereka.
Karena itulah Bin Dju mendjati
kuatir dan bingung, sambil me-narik2 lengan badju Tjiok Djing ia bertanjaL
“Siangkong, lan........... lantas bagaimana baiknja?”
Tjiok Djing sendiripun bingung
demi mendengar berita jang luar biasa itu. Dia paling mengutamakan keluhuran
budi sesama orang Kang-ouw, kalau dia mendengar puteranja tjuma membunuh orang
atau berbuat sesuatu kesalahan lain, betapapun besar malapetaka itu tentu djuga
akan diambil oper olehnja. Tapi sekarang persoalannja sungguh luar biasa dan entah
tjara bagaimana harus diselesaikan. Andaikan sekarang puteranja berada
disisinja djuga bukan mustahil akan dibunuhnja sendiri.
Sesudah tenangkan diri
sedjenak, Tjiok Djing bertanja: “Djika demikian, berkat Tuhan jang maha
pengasih, djadi nona Pek masih sutji bersih dan tidak sampai dinodai oleh
puteraku jang tjelaka itu, bukan?”
“Ja, tidak,” sahut Ban-tjiong.
“Walaupun demikian toh djuga tidak banjak bedanja. Kau sendiri tjukup kenal
tabiat Suhu kami. Beliau seketika memerintahkan orang mentjari Tjiong-giok
dengan pesan siapa sadja jang melihat anak itu boleh seketika dibunuh sadja dan
tidak perlu diberi ampun.”
“Suhu mengatakan bahwa beliau
mempunjai hubungan baik dengan kau, bila Tiong-giok ditangkap kembali,
mengingat dirimu tentu beliau tidak enak mentjabut njawanja, maka lebih baik
dibunuhnja sadja diluar supaja lekas beres,” demikian Ban-djim menjambung.
Ban-tjiong melotot sekali
kepada sang Sute, agaknja kurang senang karena Ban-djim ikut menimbrung.
Tapi Ban-djim lantas
menambahkan: “Memang demikian pesan Suhu, masakan aku salah omong?”
Ban-tjiong tidak gubris lagi
padanja dan menjambung: “Sebenarnja kalau tjuma dua pelajan sadja jang dilukai
adalah bukan sesuatu jang hebat. Namun Sutitli kami itu biarpun usianja masih
ketjil, tapi tabiatnja ternjata sangat keras. Dia merasa dirinja telah
mengalami hinaan dan tertjemar, ia merasa malu dan tidak mau menemui siapapun,
sesudah menderita dua hari, pada malam hari ketiga mendadak ia melompat keluar
melalui djendela terus menerdjang kedalam djurang jang tak terkirakan dalamnja
untuk membunuh diri!”
Kembali Tjiok Djing dan Bin Dju
berteriak kaget. “Dan apakah........... apakah dapat diselamatkan?” tanja Tjiok
Djing.
“Djurang di Leng-siau-sia kami
itu tentu diketahui djuga oleh Tjiok-tjengtju, djangankan manusia, sekalipun
sepotong batu djuga akan hantjur bila didjatuhkan kedalam djurang itu,” sahut
Ban-tjiong. “Apalagi seorang nona tjilik jang lembut, sekali terdjun kebawah
djurang mustahil tidak lantas hantjur lebur?”
“Jang paling penasaran boleh
dikata adalah Toasuko kami,” demikian seorang murid Swat-san-pay berusia antara
27-28 tahun dan bernama Kwa Ban-kin, telah menjeletuk. “Tanpa sebab apa2
sebelah lengannja telah ditabas kutung oleh Suhu kami.”
“Ha? Hong-hwe-sin-liong?” seru
Tjiok Djing kaget.
“Ja, siapa lagi?” sahut Kwa
Ban-kin. “Saking sajangnja kepada tjutju perempuannja, sedangkan puteramu belum
djuga tertangkap. Suhu mendjadi marah2 dan menjalahkan Hong-suheng tidak benar
mendidik muridnja, dalam gusarnja beliau lantas melolos pedang jang dibawa
Hong-suheng dan menabas sebelah lengannja. Sungguh kasihan, Hong-suheng jang
berkepandaian sedemikian tingginja sedjak itu lantas mendjadi tjatjat untuk
selamanja. Berhubung dengan ituSubo lantas menegur Suhu mengapa sembarangan
menghukum muridnja jang tak berdosa. Tapi Suhu tambah marah sehingga
suami-isteri bertjektjok sendiri didepan para muridnja, makin tjektjok makin
tegang dan entah kedjadian lama apa jang telah di-singgung2 Subo, achirnja Suhu
telah menampar muka Subo. Dalam gusarnja Subo terus angkat kaki dan minggat
serta menjatakan takkan mengindjak kembali ke Leng-siau-sia!”
Sungguh malu Tjiok Djing tak
terhingga atas peristiwa itu. Karena dirinja sangat kagum atas ilmu silat
Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li, sinaga sakti api dan angin, itu murid tertua
kaum Swat-san-pay, makanja dirinja telah mengirimkan puteranja, jaitu
Tiong-giok, untuk beladjar padanja. Siapa duga gara2 perbuatan sang putera jang
durhaka itu sehingga mengakibatkan Hong Ban-li ikut2 mendjadi tjatjat seumur
hidup. Padahal Hong Ban-li terkenal karena ilmu pedangnja jang tjepat dan keras
sebagai angin dan api sehingga memperoleh djulukan sebagai Hong-hwe-sin-liong.
Sekarang tiba2 telah terkutung sebelah lengannja, sedangkan musuhnja sangat
banjak, maka untuk selandjutnja mungkin dia tidak berani berkelana lagi didunia
Kang-ouw. Ai, sungguh tidak enak sekali terhadap sahabat jang baik itu.
Demikian pikir Tjiok Djing.
Dalam pada itu terdengar Ong
Ban-djim telah berkata: “Kwa-sute, kau bilang Toasuheng kita sangat penasaran,
memangnja Pek-suheng lantas tidak penasaran? Puterinja sudah mati, isterinja
mendjadi gila lagi.”
“Ha? Meng....... mengapa
Pek-hudjin mendjadi gila pula?” tanja Tjiok Djing dan Bin Dju berbareng.
Sungguh malu mereka tak terhingga, mereka mendjadi lebih kuatir entah apalagi
jang terdjadi di Leng-siau-sia karena gara2 perbuatan putera mereka jang tak
genah itu. Apalagi kalau bukan lantaran perbuatan putera kalian jang baik itu?”
djengek Ong Ban-djim. “Karena kematian keponakan puteri kami itu, Pek-suko
lantas mengomeli Pek-suso, katanja dia kurang baik mendjaga puteri mereka itu
sehingga dapat lari keluar rumah dan membunuh diri. Memangnja Pek-suso tidak
kepalang sedihnja atas meninggalnja sang puteri, sekarang diomeli pula oleh
sang suami, dia mendjadi tambah berduka dan ber-teriak2 memanggil nama
puterinja, seketika itu djuga pikirannja mendjadi kurang waras dan terpaksa
didjaga keras oleh dua orang Sutji kami, agar tidak sampai terdjadi apa2 lagi
atas diri Pek-suso. Tjoba katakanlah Tjiok-tjengtju, djika Pek-suso kami lantas
mendatangi tempat kalian dan membakar Hian-so-tjeng, kau bilang pantas atau
tidak?”
“Ja, pantas, harus dibakar!”
sahut Tjiok Djing. “Sungguh kami suami-isteri merasa sangat malu, biarpun
mendjeladjahi setiap pelosok djagat raja inipun anak durhaka itu harus kami
tangkap kembali dan akan kami bawa ke Leng-siau-sia untuk dihukum mati didepan
perabuan nona Pek.................”
Mendengar sampai disini,
mendadak Bin Dju mendjerit sekali dan lantas djatuh pingsan didalam pelukan
sang suami. Tjepat Tjiok Djing memidjat2 Djin-tong-hiat dibagian bibir atas
sang isteri dan lambat laun barulah Bin Dju siuman kembali.
“Tjiok-tjengtju,” kata
Ban-djim pula. “Bahkan ada dua djiwa Swat-san-pay kami mungkin harus pula
diperhitungkan atas utang Hian-so-tjeng kalian.”
“Mengapa masih ada dua djiwa
lain lagi?” tanja Tjiok Djing kaget.
Selama hidup Tjiok Djing
sebenarnja sudah kenjang dengan pukulan2 jang bagaimanapun hebatnja, tapi tiada
jang lebih menjedihkan seperti apa jang dialaminja sekarang ini. Dahulu waktu
puteranja jang kedua bernama Tjiok Tiong-kian dibunuh oleh musuhnja, walaupun
dia djuga berduka dan murka sekali, tapi tidaklah seperti sekarang, sudah malu
merasa kuatir pula, dan lantaran itu suaranja mendjadi agak parau.
Dalam pada itu Ong Ban-djim
telah berkata pula: “Karena peristiwa jang hebat ini, maka Suhu telah mengirim
18 orang muridnja turun gunung dengan dipimpin oleh Pek-suheng dengan tudjuan
untuk membakar Hian-so-tjeng kalian. Bahkan beliau mengatakan..........
mengatakan............” – Sampai disini ia mendjadi ter-gagap2 dan ragu2 untuk
menerangkan. Tertampak djuga Kheng Ban-tjiong ber-ulang2 mengedipi sang Sute
itu.
Maka tahulah Tjiok Djing kata2
apa jang tidak diterangkan oleh Ong Ban-djim itu. Segera ia menjambungnja:
“Tentunja beliau mengatakan kami suami-isteri akan ditawan ke Tay-swat-san
untuk menggantikan djiwanja nona Pek?”
“Ah, Tjiok-tjengtju djanganlah
berkata demikian,” tjepat Ban-tjiong menjela. “Djangankan kami tidak berani,
sekalipun berani, apakah dengan sedikit kepandaian kami jang kasar ini, mampu
mengundang Tjiok-tjengtju? Suhu hanja mengatakan bahwa putera kalian itu
betapapun harus diketemukan. Tjuma sadja usianja meski masih muda, tapi
orangnja sangatlah tjerdik, kalau tidak demikian masakah dia mampu lolos tanpa
bekas dari pengawasan orang2 Leng-siau-sia jang berdjumlah sebanjak ini?”
“Giok-dji tentu sudah mati,
tentu djuga terdjerumus kedalam djurang,” udjar Bin Dju dengan mentjutjurkan
air mata.
“Tidak,” udjar Ban-tjiong
sambil menggojang kepala. “Tapak kakinja djelas kelihatan ditanah saldju jang
menandakan dia lari terus kebawah gunung. Sungguh memalukan untuk dibitjarakan,
kami orang dewasa sebanjak ini ternjata tidak mampu menangkap seorang anak muda
jang baru berumur 15 tahun. Sesungguhnja Suhu kami hanja ingin mengundang
Tjiok-tjengtju berdua ke Leng-siau-sia untuk berunding seperlunja atas
kedjadian ini.”
“Bitjara kesana-kesini
achirnja ternjata djuga inginkan pertanggung-djawabanku atas kematian nona
Pek,” kata Tjiok Djing. “Dan Ong-suheng tadi bilang ada dua djiwa lagi,
sebenarnja bagaimana djadinja?”
“Tadi aku mengatakan kami
ber-18 orang diperintahkan turun gunung oleh Suhu,” djawab Ban-djim. “Ditengah
djalan kami membagi diri pula mendjadi dua rombongan. Rombongan pertama
dipimpin Pek-suheng menudju ke Kanglam, sedangkan rombongan lain dipimpin
Kheng-suheng dan menudju ke Tionggoan sini untuk mentjari djedjaknja puteramu.
Tapi sungguh sial.........”
“Sudahlah, Ong-sute, tak perlu
diteruskan lagi, kedjadian itu toh tidak ada sangkut-pautnja dengan
Tjiok-tjengtju,” sela Ban-tjiong.
“Mengapa tiada
sangkut-pautnja?” bantah Ban-djim. “Tjoba kalau bukan gara2 anak durhaka itu,
tentu djiwa Sun-suko dan Tju-sute tidak sampai melajang setjara aneh. Pula,
sebenarnja siapa pembunuh mereka djuga tak diketahui, kalau kelak kita ditanjai
Suhu, lantas tjara bagaimana kita harus mendjawab? Dan kalau Suhu sampai murka
lagi, mungkin lenganmu djuga akan ditabas olehnja. Sekarang kita iseng2
mentjari keterangan kepada Tjiok-tjengtju suami-isteri jang luas pengalamannja
toh tiada djeleknja?”
Kheng Ban-tjiong mendjadi
ngeri djuga bila membajangkan betapa tjelakanja kalau sebelah lengannja djuga
ditabas seperti Hong-suhengnja. Memang tiada djeleknja untuk mentjari
keterangan pada Tjiok Djing berdua daripada menghadapi djalan buntu dan susah
memberi pertanggungan-djawab kepada sang guru. Terpaksa ia berkata: “Ja,
terserahlah, djika kau suka boleh kau tjeritakan.”
Maka Ban Djim lantas
melandjutkan: “Tjiok-tjengtju, tiga hari jang lalu kami telah mendapat berita
katanja ada seorang she Go telah memperoleh Hian-tiat-leng dan sekarang
sembunji disuatu kota ketjil dengan menjamar sebagai pendjual siopia. Diam2
kami lantas berunding. Kami merasa dalam usaha mentjari Tiong-giok kami hanja
bisa setjara untung2an sadja, habis dunia seluas ini kemana kami harus pergi
mentjari dia? Kalau sepuluh tahun tidak ketemu, itu berarti selama sepuluh
tahun kami tidak dapat pulang ke Leng-siau-sia. Tetapi kalau kami dapat merebut
Hian-tiat-leng itu, andaikan tetap tidak dapat menemukan puteramu, paling tidak
kami akan dapat memberi pertanggungan-djawab kepada Suhu dengan medali wasiat
itu. Ditengan perundingan itu, mau tak mau ada djuga diantara kami lantas
mentjatji-maki puteramu itu, dimakinja puteramu jang masih ketjil itu sudah
berani mati melakukan perbuatan jang durhaka dan merusak, sungguh harus dihukum
mati. Pada saat itulah tiba2 terdengar suara tertawa seorang tua sambil
berkata: “Hahaha! Bagus, bagus sekali! Pemuda seperti itu benar2 djarang
terdapat didunia ini! Benar2 berbakat bagus dan berkwalitet tinggi dan susah
ditjari bandingannja!”
Tjiok Djing lantas pandang
sekedjap dengan sang isteri. Mereka tidak merasa senang atas pudjian2 setinggi
itu terhadap putera mereka, sebaliknja mereka merasa tertusuk.
Dalam pada itu Ban-djim telah
melandjutkan: “Pembitjaraan kami waktu itu dilakukan dikamar hotel jang
dikelilingi dinding tembok jang rapat, akan tetapi suara orang itu dapat
menembus tembok dan terdengar dengan djelas seperti orang bitjara berhadapan
sadja. Sebaliknja suara pembitjaraan kami dilakukan dengan sangat pelahan dan
entah tjara bagaimana dapat didengar olehnja.”
Hati Tjiok Djing dan Bin Dju
tergetar. Pikir mereka: “Dapat mendengar suara pembitjaraan orang dari balik
dinding, boleh djadi karena dinding itu ada sesuatu lubang atau tjelah2, atau
mungkin orang itu mentjuri dengar diluar djendela kamar. Tapi mungkin djuga
pembitjaraan orang2 ini dilakukan dengan suara keras, sebaliknja mereka sendiri
mengira berbitjara dengan pelan. Hal2 ini pun tidak terlalu mengherankan. Tapi
dia bitjara dibalik tembok sana dan dapat didengar dengan djelas oleh orang
lain, hal inilah jang sulit dan harus memiliki lweekang jang sempurna. Maka
djelas orang2 Swat-san-pay ini telah bertemu dengan orang kosen ditengah
djalan. Ja, mereka benar2 sial, suatu perkara belum selesai sudah timbul pula
perkara jang lain.”
“Kami mendjadi kaget demi
mendengar suara orang itu,” demikian Kwa Ban-kin menggantikan tjerita sang
Suheng. “Segera Ong-suko membentak: ‘Siapa itu? Apa sudah bosan hidup, maka
berani mendengarkan pembitjaraan kami?’ – Karena bentakan Ong-suko tadi, suara
disebelah lantas diam. Akan tetapi sedjenak kemudian kembali terdengar bangsat
tua itu berkata lagi: ‘A Tong, mereka itu adalah orang2 Swat-san-pay. Guru
mereka itu biasanja paling dibentji kakek. Seorang anak muda ternjata dapat
mengkotjar-katjirkan keluarga setan tua dari Swat-san-pay itu, hal ini sungguh
sangat menarik. Hehe, sungguh menarik!’ – Mendengar itu, seketika kami mendjadi
murka dan hendak bertindak, tapi Kheng-suko telah memberi tanda agar kami
djangan bersuara lagi.
“Benar djuga, segera terdengar
suara tertawa seorang anak perempuan sambil berkata: ‘Ja, sungguh menarik’. –
Lalu terdengar bangsat tua semula batuk2 beberapa kali dan mendjawab, ‘Kalau
setan tua itu mati konjol karena gusarnja djuga tidak terlalu menarik. Kapan2
kalau kakek ada tempo senggang, biarlah nanti kakek membawa kau ke Tay-swat-san
untuk membikin setan tua itu marah2 dan mati konjol, dengan demikian barulah
menarik.”
“Sungguh kurang adjar orang
itu,” udjar Tjiok Djing. “Apa jang dia andalkan sehingga dia berani kurang
hormat kepada Pek-supek? Sekali2 kita tak boleh tinggal diam atas utjapan2nja
itu!”
“Memang,” sahut Ban-djim.
“Sedemikian takaburnja bangsat tua itu, biarpun mengadu djiwa djuga kami akan
melabrak dia. Tapi pada waktu kami merasa murka itulah, tiba2 kami mendengar
suara berkeriutnja pintu dibuka, dari sebuah kamar tamu telah keluar dua orang
dan menudju kepelataran. Serentak kami melolos sendjata dan hendak menerdjang
keluar untuk melabraknja. Tapi Kheng-suko telah mentjegah pula dan suruh kami bersabar.
Dalam pada itu terdengar bangsat tua itu sedang berkata kepada anak perempuan
tadi: ‘A Tong, hari ini kita telah membunuh berapa orang?’ – ‘Baru satu orang,
kakek,’ demikian sahut setan tjilik itu. Lalu sibangsat tua menjatakan: ‘Djika
begitu kita boleh membunuh lagi dua orang!’”
“Haa! Satu hari tidak lebih
tiga!” seru Tjiok Djing mendadak dengan nada jang mengandung rasa takut.
Sedjak tadi Kheng Ban-tjiong
hanja diam sadja, sekarang mendadak ia bertanja: “Tjiok-tjengtju, apakah kau
kenal bangsat tua itu?”
Tjiok Djing menggojang kepala.
“Aku tidak kenal dia,” sahutnja. “Tjuma aku pernah mendengar tjerita mendiang
ajahku, katanja didunia persilatan ada seorang tokoh jang berdjuluk
‘Tje-djit-put-ko-sam’ (satu hari tidak lebih dari tiga), jaitu bahwa dalam satu
hari paling banjak dia membunuh tiga orang sadja. Sesudah membunuh tiga orang
perasaannja mendjadi lemas dan tidak tega membunuh orang keempat lagi.”
“Maknja disontek! Satu hari
membunuh tiga orang masakah kurang?” demikian Ban-djim memaki. “Manusia djahat
dan kedjam sebagai itu ternjata diberi hidup sampai sekarang ini.” Tjiok Djing
diam sadja dan tidak menanggapi. Tapi dalam hatinja memikir: “Konon Lotjianpwe
itu she Ting, tindak-tanduknja susah diraba, baik tidak dan djahatpun tidak.
Walaupun wataknja kedjam dan suka membunuh, tapi orang jang terbunuh olehnja
selalu adalah manusia berdosa jang setimpal menerima gandjarannja dan djarang
terdengar Lotjianpwe itu membunuh orang jang baik.” – Walaupun demikian
pikirnja, tapi ia tidak enak menerangkan karena kuatir menjinggung perasaan
orang2 Swat-san-pay itu.
Sebaliknja Kheng Ban-tjiong
lantas bertanja: “Entah bangsat tua itu bernama siapa dan berasal dari golongan
atau aliran mana?”
“Kabarnja dia she Ting, nama
aslinja entah siapa, hanja terkenal dengan djulukannja “Tje-djit-put-ko-sam’,
maka orang2 dari angkatan tua sama memanggil dia dengan nama Ting Put-sam (Ting
tidak lebih dari tiga),” tutur Tjiok Djing.
“Ja, kelakuan bangsat tua itu
memang tidak tiga dan tidak empat,” udjar Kwa Ban-kin dengan marah2.
“Sebenarnja nama orang ini
djuga tjukup terkenal didalam Bu-lim, mungkin Pek-supek ada sedikit permusuhan
dengan dia dan tidak mau menjebut namanja, makanja saudara2 tidak diberitahu,”
udjar Tjiok Djing. “Kemudian lantas bagaimana?”
“Kemudian bangsat tua itu
lantas berseru: ‘Diantara kalian ada seorang jang bernama Sun Ban-lian dan
seorang bernama Tju Ban-djun atau tidak? Nah, kedua orang itu lekas madju
kesini. Jang lain2 karena tiada banjak berbuat djahat, biarpun ingin mampus djuga
kakek tak sudi membunuhnja!’ – Sudah tentu kami tidak dapat tahan lagi dan
be-ramai2 kami bersembilan lantas menerdjang keluar. Akan tetapi, aneh djuga,
ditengah pelataran tiada tertampak seorangpun. Segera kami mentjari disekitar
situ, aku malah melompat keatas rumah dan djuga tidak terdapat orang. Kwa-sute
lantas menerobos kedalam kamar tamu jang daun pintunja setengah tertutup
itu...............
“Ternjata didalam kamar itu
hanja tersulut sebatang lilin dan djuga tiada nampak bajangan seorang pun.
Selagi kami merasa heran, tiba2 didalam kamar kami sendiri ada suara orang
berseru, itulah suara sibangsat tua, katanja: ‘Sun Ban-lian, kau telah berbuat
apa dikota Lantjiu, dan kau Tju Ban-djun, apa jang telah kau lakukan di
Kengtjiu? Tuduhan2 ini tentunja bukan fitnah toh? Nah, lekas kalian masuk
kesini!’ – Sun-suko dan Tju-sute mendjadi murka, dengan sendjata terhunus
keduanja lantas menerdjang kedalam kamar. Tjepat Kheng-suheng memperingatkan
mereka agar ber-hati2 dan kami lantas menjusul dibelakang mereka, tapi mendadak
pelita didalam kamar sudah padam dan keadaan mendjadi sunji.
“Aku ber-teriak2 memanggil
Sun-suko dan Tju-sute, tapi tiada djawaban mereka, bahkan didalam kamar djuga
tidak terdengar suara beradunja sendjata. Seketika kami merinding, tjepat kami
menjalakan api, tiba2 tertampak kedua kawan kami itu berlutut kaku disitu,
pedang mereka tertaruh disamping. Waktu kami hendak menarik bangun mereka, tapi
mereka lantas roboh, ternjata keduanja sudah tak bernjawa lagi. Badan mereka
terasa masih hangat dan tiada terdapat suatu tanda luka, entah dengan tjara apa
sibangsat tua itu telah membunuh mereka. Sungguh memalukan kalau ditjeritakan,
sedjak mula sampai achir tiada seorangpun diantara kami jang melihat bajangan
bangsat tua dan setan perempuan tjilik itu.”
Selesai Ban-djim menutur,
semua orang mendjadi terdiam sampai sekian lamanja.
Achirnja Tjiok Djing membuka
suara: “Kheng-suheng, bilakah anakku jang durhaka itu melakukan perbuatan2nja
jang tidak senonoh itu?”
“Pada tanggal 9 bulan 12 tahun
jang lalu,” sahut Ban-tjiong. “Oh, dan hari ini tanggal 12 bulan tiga, djadi
Pek-suheng dan kalian sudah tiga bulan berangkat dari Leng-siau-sia, djika
demikian saat ini Hian-so-tjeng tentu sudah dibakar olehnja,” udjar Tjiok
Djing. “Begini, Kheng-suheng, pertama kami suami-isteri toh harus mentjari
djedjak anak durhaka itu, kalau dapat menangkapnja kembali tentu akan kami bawa
ke Leng-siau-sia untuk minta ampun pada Pek-supek dan Hong-suheng. Kedua,
sekalian kami dapat mentjari kabar tentang diri Ting Put-sam jang berdjuluk
sehari tidak lebih dari tiga itu, walaupun kami suami-isteri tidak berani
meng-apa2kan dia, paling tidak kami djuga dapat memberi berita kepada Pek-supek
supaja beliau membereskan sendiri peristiwa kalian itu. Nah, sampai berdjumpa
pula!” – Habis berkata ia lantas memberi salam hormat.
“Apa hanja bitjara sekian
sadja lantas kalian hendak....... hendak tinggal pergi?” tiba2 Kwa Ban-kin
menjeletuk.
“Habis bagaimana menurut
pendapat Kwa-suheng?” tanja Tjiok Djing.
“Kami tidak dapat menemukan puteramu,
terpaksa minta kalian suami-isteri ikut kami ke Leng-siau-sia untuk menemui
Suhu kami,” sahut Kwa Ban-kin.
“Sudah tentu kami akan pergi
ke Leng-siau-sia, tjuma harus tunggu dulu sampai segala urusan mendjadi lebih
terang,” kata Tjiok Djing.
Ban-kin memandang kearah Kheng
Ban-tjiong dan memandang pula kepada Ong Ban-djim, lalu katanja dengan kurang
senang: “Bila Suhu mengetahui kami sudah bertemu dengan Tjiok-tjengtju
suami-isteri dan tidak dapat mengundang kalian kesana, bukankah..... bukankah.......”
Sedari tadi Tjiok Djing sudah
tahu maksudnja hendak main kerojok untuk memaksa suami-isteri mereka pergi ke
Tay-swat-san. Tegasnja kalau puteranja tak dapat ditangkap, maka sang ajah-ibu
jang akan dimintai pertanggungan-djawab.
Terpaksa Tjiok Djing berkata:
“Pek-supek adalah seorang jang berbudi luhur dan berwibawa agung diwilajah
barat, selamanja Tjayhe sangat menghormati beliau sebagai gurunja sendiri.
Apabila Pek-suko berada disini dan atas perintah Pek-supek mengharuskan Tjayhe
ikut ke Leng-siau-sia, terpaksa Tjayhe menurut sadja. Tapi sekarang, ehm, lebih
baik begini sadja!” – Ia lantas menanggalkan pedangnja sendiri bersama
sarungnja jang tergantung diikat pinggang itu, lalu katanja kepada Bin Dju:
“Niotju, silakan kaupun melepaskan pedangmu.”
Bin Dju menurut dan melepaskan
pedangnja.
Dengan memondong kedua batang
pedang jang melintang diatas kedua tangan itu lalu Tjiok Djing menjodorkan
kehadapan Kheng Ban-tjiong dan berkata: “Nah, Kheng-suheng, silakan kau tahan
sadja sendjata kami suami-isteri ini.”
Kheng Ban-tjiong tjukup kenal
sepasang pedang hitam-putih ini adalah sendjata mestika jang djarang terdapat
didunia persilatan dan sangat disajangi Tjiok Djing suami-isteri, tapi sekarang
mereka telah menanggalkan pedang dan menjerahkan sebagai sandera, hal ini boleh
dikata telah memberi muka besar kepada Swat-san-pay dan demi sepasang pedang
ini kelak suami-isteri itu terpaksa harus datang ke Leng-siau-sia.
Tapi baru sadja Ban-tjiong
hendak mengutjapkan kata2 ramah-tamah dan menerima pedang2 itu, mendadak Kwa
Ban-kin sudah mendahului berseru: “Djiwa murid keponakan kami dan sebelah
lengan Hong-suheng, bahkan Pek-suso telah mendjadi gila dan Subo meninggalkan
Suhu, ditambah lagi kematian Sun-suko dan Tju-suko jang tidak djelas
perkaranjaa, semua ini apakah tjukup diganti oleh sepasang pedang kalian ini?
Kheng-suko mempunjai hubungan baik dengan kau, tapi aku si orang she Kwa tidak
pernah kenal kau! Nah, orang she Tjiok, pendek kata hari ini betapa pun kau
harus pergi ke Leng-siau-sia!”
Tjiok Djing tetap tenang2
sadja, sahutnja dengan tersenjum: “Dosa puteraku sudah terlalu besar kepada
golongan kalian, selain merasa menjesal dan minta maaf apa jang dapat kukatakan
lagi. Kwa-suheng adalah djago muda dari Swat-san-pay dan berkepandaian tinggi,
meski Tjayhe belum pernah kenal, tapi djuga sudah lama kagum akan namamu.” –
Sambil berkata kedua tangannja tetap memondong sepasang pedangnja dan menunggu
diterima oleh Kheng Ban-tjiong.
Diam2 Kwa Ban-kin menaksir
kalau menggunakan kekerasan untuk memaksa Tjiok Djing berdua ikut ke
Tay-swat-san, tentu suatu pertarungan sengit susah dihindarkan. Sekarang mereka
menjerahkan sendjata setjara sukarela, apa djeleknja kalau diterima sadja dan
urusan diselesaikan belakangan.
Karena itu ia mendjadi kuatir
kalau2 mendadak Tjiok Djing membalik pikiran dan menarik kembali pedangnja,
segera ia melangkah madju, kedua tangannja bekerdja sekaligus, dengan
Kim-na-djiu-hoat jang lihay segera ia pegang kentjang2 kedua barang pedang itu
sambil berkata: “Baiklah, untuk sementara sendjata kalian dilutjuti dahulu.”
Segera ia mengulur tangan
hendak mengambil pedang2 itu. Tapi mendadak terasa telapak tangan Tjiok Djing
seperti mengeluarkan tenaga lengketan jang kuat sehingga kedua batang pedang
itu susah diangkat. Kwa Ban-kin terkedjut, ia kerahkan segenap tenaga
kelengannja dan segera membetot sekuatnja sambil membentak: “Lepas!”
Tak terduga tenaga lengketan
ditangan Tjiok Djing mendadak lenjap sehingga kekuatan membetot Ban-kin jang
keras itu tidak ketemu lawannja, sebaliknja mendjadi beban kedua pergelangan
tangan sendiri, maka terdengarlah suara “krak” sekali, kedua pergelangan tangan
keseleo semua, ia mendjerit dan terpaksa membuka tangan sehingga kedua pedang
itu djatuh kembali kedalam tangan Tjiok Djing. Orang lain tjukup djelas melihat
Tjiok Djing sama sekali tidak menggerakkan djari tangannja, djadi Kwa Ban-kin
sendiri jang terlalu bernapsu membetot sehingga pergelangan tangan sendiri
terkilir. Sakit gusar dan karena kesakitan pula, tanpa pikir lagi Ban-kin terus
ajun sebelah kakinja hendak menendang keperut Tjiok Djing.
“Djangan kurang sopan!” seru
Ban-tjiong tjepat dan menarik Ban-kin kebelakang sehingga tendangannja mengenai
tempat kosong.
Ban-tjiong tahu tenaga dalam
Tjiok Djing sangat lihay, kalau tendangan Ban-kin itu mengenai sasarannja tentu
kakinja akan patah pula.
Sebagai Suheng, kepandaian dan
pengetahuan Ban-tjiong dengan sendirinja lebih tinggi daripada Ban-kin. Ia
menarik napas pandjang2 dan mengerahkan tenaga dalamnja kesepuluh djarinja,
lalu pelahan2 digunakan untuk mengambil kedua batang pedang.
Tapi baru sadja udjung
djarinja menjentuh pedang, seluruh badannja lantas tergetar seperti kena aliran
listrik. Njata tenaga dalam Tjiok Djing telah disalurkan melalui batang pedang
untuk menjerangnja.
Diam2 Ban Tjiong mengeluh, ia
menjangka Tjiok Djing sengadja memasang perangkap untuk mengadu tenaga dalam
dengan dia. Biasanja kalau djago silat sudah mulai tenaga dalam, maka susahlah
untuk mengelakkan diri dan mungkin baru akan berachir, bila salah satu pihak
sudah tak bisa berkutik.
Karena itu, begitu terasa
tenaga dalam lawan menerdjang tiba, tjepat Ban-tjiong melawan sekuat tenaga.
Tak terduga baru sadja tenaga dalam kedua pihak kebentur, seketika tenaga
Ban-tjiong terpental balik. Tiba2 Tjiok Djing menaruh pelahan kedua batang
pedang itu ketangan Ban-tjiong, katanja dengan tertawa: “Kita adalah sahabat
baik, mana boleh terdjadi selisih paham?” Sekilas itu Ban-tjiong sudah mandi
keringat dingin. Ia insaf tenaga dalam sendiri terlalu djauh dibandingkan
tenaga dalam Tjiok Djing. Tadi begitu tenaga dalam kedua pihak kebentur dan
tenaga sendiri kontan terbentur balik, hal ini djelas menandakan dirinja
sekali2 bukan tandingannja. Untuk sedjenak Ban-tjiong tertegun ditempatnja
sambil memondong kedua batang pedang, air mukanja merah djengan dan entah apa
jang harus dikatakan.
“Niotju, marilah kita
berangkat ke Khayhong sadja,” segera Tjiok Djing berpaling kepada sang isteri.
Bin Dju tampak masih muram,
katanja: “Siangkong, anak itu............”
“Sudahlah, lebih baik dia
dibunuh orang seperti anak Kian dan habis perkara,” udjar Tjiok Djing.
Air mata Bin Dju lantas
ber-linang2, katanja dengan ter-guguk2: “Siangkong, kau..................”
Tapi Tjiok Djing lantas
menggandeng tangannja dan membantunja naik keatas kuda.
Melihat wanita jang lemah hati
itu, anak2 murid Swat-san-pay itu merasa heran dan susah untuk mempertjajai
bahwa dia inilah “Pek-siang-sin-kiam” jang mengguntjangkan Kang-ouw.
Melihat Hian-so-siang-kiam
(sepasang pedang dari Hian-so-tjeng) sudah pergi dengan menunggang kuda, segera
Hoa Ban-tji berlari kembali. Dilihatnja Ong Ban-djim sudah membetulkan tangan
Ban-kin jang keseleo itu, sebaliknja Ban-kin masih mentjatji-maki.
Sesudah menanjakan apa jang
sudah terdjadi, Ban-tji tertampak mengerut kening, katanja: “Kheng-suko, urusan
ini agaknja tidak menguntungkan.”
“Mengapa?” tanja Ban-tjiong.
“Ilmu silat mereka terlalu kuat, biarpun kita bertudjuh mengerubutnja djuga
belum tentu dapat menang. Sekarang kita menahan sendjata mereka, paling tidak
akan dapat dibuat bukti bila kita ditanjai Suhu.” – Sambil berkata ia tjoba
melolos pedang2 itu, tertampaklah pedang putih berkilau sebagai es dan pedang
hitam mengkilap tadjam, njata dua pedang mestika jang djarang ada bandingannja.
Maka ia lantas menambahkan: “Pedang2 ini bukanlah palsu.”
“Sudah tentu pedang2 itu
tulen,” udjar Hoa Ban-tji. “Soalnja kita tidak mampu menahan orangnja, sekarang
apakah kita mampu mendjaga kedua pedang pusaka ini dengan baik?”
Hati Ban-tjiong terkesiap.
“Apa barangkali Hoa-sumoay telah melihat sesuatu jang meragukan?” tanjanja.
“Aku mendjadi teringat pada
tahun jang lalu,” demikian tutur Ban-tji, “pada suatu hari aku telah omong
iseng bersama Pek-suso dan membitjarakan tentang golok mestika dan pedang
pusaka didunia ini. Tiba2 bangsat tjilik Tjiong Tiong-giok itu menimbrung,
katanja pedang hitam-putih milik ajah-ibunja adalah sendjata maha tadjam
didunia ini, katanja ajah-ibunja tega mengirim dia ke Tay-swat-san dan tidak
bertemu ber-tahun2, tapi tidak tega meninggalkan sendjata mereka itu biarpun
satu hari sadja. Sekarang Tjiok-tjengtju sengadja menjerahkan sendjata mereka
kepada kita, djangan2 beberapa hari lagi kalau ia menggunakan sedikit akal
litjik dan mentjuri kembali pedang mereka, kemudian mereka datang lagi ke
Leng-siau-sia untuk meminta kembali sendjatanja, tjara demikian tentu akan
membikin susah kita sendiri.”
“Masakah kita bertudjuh
menjaksikan pedang mereka ini diambil kembali begitu sadja atau sendjata mereka
ini dapat terbang sendiri?” udjar Ban-kin.
“Tapi apa jang dikatakan
Hoa-sumoay djuga bukannja tidak beralasan,” kata Ban-tjiong sesudah memikir
sedjenak.”Tjiok Djing memang bukan tokoh sembarangan, kita harus ber-djaga2
lebih rapat dan djangan sampai terdjungkal lagi ditangannja.”
“Ja, apa salahnja kalau kita
berlaku lebih hati2,” sambung Ban-djim. “Mulai hari ini djuga kita enam orang
lelaki setiap malam harus bergilir mendjaga sepasang pedang ini. Kheng-suheng,
saat ini suami-isteri she Tjiok itu sedang berada dikota Khay-hong, kita akan
menudju kesana atau tidak?”
Ban-tjiong mendjadi ragu2.
Khay-hong adalah kota tersohor, sudah datang di Tionggoan masakah tidak
mengundjungi kota jang terkenal itu, bukankah hal ini terlalu kentara akan
takut kepada musuh. Sebaliknja kalau pergi ke kota itu dan terang2an diketahui
Tjiok Djing suami-isteri ada disana, bukankah ini berarti menjerempet bahaja?
Tengah ragu2 dan susah
mengambil putusa, tiba2 terdengar suara bentakan orang jang keras. Dari depan
sana telah datang serombongan alat2 negara. Empat tukang panggul tampak menggotong
sebuah djoli besar berwarna hidjau. Kiranja pembesar negeri jang telah datang.
Karena disamping mereka
menggeletak serangka majat, daripada ikut2 terseret dalam perkara pembunuhan,
lebih baik tinggal pergi sadja. Maka Ban-tjiong lantas memberi tanda kepada
kawan2nja untuk berangkat.
Tapi baru sadja mereka hendak
melangkah pergi dengan tjepat, se-konjong2 salah seorang petugas negeri didalam
rombongan pendatang itu lantas ber-teriak2: “Itu dia kawanan bandit jang telah
membunuh orang, djangan dibiarkan mereka kabur!”
Namun Ban-tjiong tidak
menggubrisnja dan mendesak kawan2nja lekas angkat kaki sadja. Tiba2 terdengar
petugas itu berteriak pula: “Itu dia, pembunuhnja bernama Pek Tju-tjay, adalah
situa bangka jang belum mampus jang mengetuai Swat-san-pay. Wahai, Pek Tju-tjay
jang tidak berwibawa dan tak berbudi, kau telah membunuh dan merampok harta
orang, kau kenal malu tidak?”
Mendengar itu, sungguh kaget
dan gusar murid2 Swat-san-pay itu tidak kepalang.
Hendaklah maklum bahwa Pek
Tju-tjay itu adalah nama guru mereka, jaitu Tjiangbundjin atau ketua
Swat-san-pay jang sekarang. Dikalangan Kang-ouw orang tua itu terkenal dengan
djulukan “Wi-tek Siansing” atau tuan jang berwibawa dan berbudi. Tapi sekarang
petugas negeri itu berani meng-olok2 bahkan mentjatji-maki namanja guru mereka,
sudah tentu mereka mendjadi murka.
Jilid 5
“Sret”, seketika Ban-djim
melolos pedang dan balas membentak: “Pembesar andjing jang kurang adjar, biar
kupotong dulu lidahmu dan urusan belakang!”
“Nanti dulu, Ong-sute,” buru2
Ban-tjiong mentjegahnja. “Masakah kaum pembesar negeri disini mengenal nama dan
djulukan Suhu kita? Kukira dibelakangnja tentu ada biang keladinja.”
Habis berkata, segera ia
memapak madju, ia memberi salam hormat dan menegur: “Paduka Tuan siapakah jang
tiba ini?”
Tapi sebagai djawaban, se-konjong2
dari dalam djoli telah menjambar keluar sebutir Am-gi atau sendjata gelap, dan
tepat mengenai “Hok-tho-hiat” dipahanja. Am-gi itu sangat ketjil, tapi daja
sambarnja sangat kuat. Kontan kaki Ban-tjiong terasa lemas dan terdjungkal.
Namun demikian ia adalah murid terkemuka Swat-san-pay, betapapun tidak boleh
terdjadi hanja dalam sedjurus sadja sudah dirobohkan lawan tanpa balas
menjerang. Karena itu pedang jang dia pegang itu terus ditimpukkan kearah
djoli.
Walaupun orangnja terdjungkal,
tapi timpukan pedang dalam djurus “Ho-hui-kiu-thian” atau burung bangau terbang
kelangit itupun tjukup djitu dan lihay, pedang itu dengan tepat telah menembus
kedalam djoli dan tampaknja dengan telak mengenai orang jang menjambitkan Am-gi
tadi.
Sudah tentu Ban-tjiong sangat
girang. Tapi dilihatnja keempat tukang panggul masuk terus melarikan djoli itu
kedepan, sesudah dekat, se-konjong2 seutas tjambuk pandjang mendjulur keluar
dari dalam djoli dan melilit kekaki Ong Ban-djim jang saat itu memegang
bak-kiam atau pedang hitam milik Tjiok Djing itu, ketika tjambuk itu ditarik
dan diajunkan, kontak tubuh Ban-djim terlempar pergi, tahu2 pedang hitam jang
dipegangnja itu sudah terampas oleh tjambuk pandjang.
“Apakah disitu
Tjiok-tjengtju?” teriak Hoa Ban-tji terkedjut, berbareng pedang putih jang
dibawanja segera dilolos terus menabas ketjambuk pandjang itu.
Tapi mendadak terdengar
“tjret” sekali, kembali dari dalam djoli menjambar keluar pula sebutir Am-gi
dan tepat menjambit dipergelangan tangan Ban-tji sehingga pedang putih itu
terlepas dari tjekalannja.
Tjepat salah seorang Suhengnja
melompat madju terus mengindjak pedang putih itu dengan sebelah kakinja agar
sendjata itu tidak dirampas oleh tjambuk. Diluar dugaan tiba2 dari dalam djoli
lantas menjambar keluar pula sesuatu benda dan tepat menutup diatas kepalanja.
Keruan murid Swat-san-pay itu kaget setengah mati karena pandangannja mendjadi
gelap gulita, tjepat ia melompat mundur, lalu membuang sekuatnja benda jang
mengerudungi kepalanja itu. Waktu dilihat, kiranja adalah sebuah kopiah
pembesar jang besar. Dalam pada itu tertampak tjambuk pandjang tadi sudah
berhasil melilit pedang putih jang djatuh ketanah itu dan sedang ditarik
kedalam djoli.
Sudah tentu orang2
Swat-san-pay tidak rela pedang2 itu direbut, be-ramai2 mereka lantas memburu
madju sambil membentak. Tapi dari dalam djoli lantas menghambur keluar matjam2
sendjata gelap, ada jang terkena mukanja, ada jang tersambit pinggangnja, tiada
seorang pun murid Swat-san-pay itu terluput dari serangan itu.
Tjuma tempat jang diarah Am-gi
itu bukan tempat jang berbahaja hanja sakitnja tidak kepalang. Waktu orang2
Swat-san-pay memeriksa Am-gi jang mengenai itu, seketika mereka tertjengang,
kiranja Am-gi itu hanja sebutir kantjing tembaga sadja jang baru ditanggalkan
dari badju. Maka insaflah murid2 Swat-san-pay itu bahwa kepandaian orang
didalam djoli itu selisih terlalu djauh dengan mereka, kalau mereka mengedjar
lagi dan sampai bergebrak, tentu mereka sendiri jang akan tjelaka.
“Orang she Tjiok itu tiada
seorang pun jang baik, jang muda durhaka dan bedjat moralnja, jang tua djuga
tak bisa dipertjaja, sudah bilang sendjatanja ditinggalkan kepada kita,
sekarang direbutnja kembali lagi!” demikian Kwa Ban-kin ber-teriak2.
Begitu pula Ong Ban-djim djuga
marah2 dan mentjatji-maki habis2an.
Tapi Ban-tjiong lantas
berkata: “Bila kedjadian ini sampai tersiar tentu tidak menguntungkan nama baik
golongan kita. Sebaiknja kita tutup mulut sadja dan pulang untuk melaporkan
kepada Suhu.”
Dalam pada itu djoli besar
tadi bersama rombonganna sudah pergi djauh. Sesudah beberapa li lagi rombongan
itu lantas membelok kesuatu djalanan ketjil. Ketika tukang gotong djoli itu
sedikit lambat larinja, kontan tjambuk pandjang melajang keluar dari dalam
djoli, dan menjabat beberapa kali dipunggung tukang panggul bagian depan itu
sehingga babak belur. Terpaksa tukang2 panggul itu berlari lebih tjepat dan
terpaksa pula tukang panggul bagian belakang djuga ikut berlari lagi walaupun
napas mereka sudah ngos2an senin-kemis. Sesudah beberapa li pula, achirnja
terdengar suara orang didalam djoli berkata: “Baiklah, sekarang boleh
berhenti!”
Sungguh keempat tukang panggul
itu seperti pesakitan jang diberi pengampunan, tjepat mereka berhenti dan
meletakkan djoli besar itu diatas tanah, napas mereka tampak megap2.
Waktu tirai djoli tersingkap,
keluarlah seorang tua dengan tangan kiri menarik seorang pengemis ketjil.
Kiranja orang tua ini adalah Tjia Yan-khek, pemilik medali wasiat. Dia lantas
membentak kepada beberapa petugas tadi: “Nah, kalian boleh enjah sekarang!
Pulanglah dan laporkan kepada pembesar andjing kalian, katakan bahwa apa jang
terdjadi tidak boleh sekali2 disiarkan. Asal aku mendengar sedikit kabar jang
kurang menjenangkan, seketika djuga buah kepala kalian akan kupotol semua,
begitu tidak terketjuali pembesar andjing kalian itu!”
“Ja, ja, sekali2 kami tak
berani usil mulut. Selamat djalan tuanbesar! Selamat djalan tuan muda!”
demikian beberapa petugas itu mendjawab dengan memberi hormat.
“Dan apa jang kusuruh kalian
katakan kepada pembesar andjing itu, kalian ingat tidak?” tiba2 Tjia Yan-khek
berseru pula selagi petugas2 itu hendak melangkah pergi.
“Oh, ja, hamba ingat dengan
baik,” sahut seorang petugas. “Hamba akan berkata telah menjaksikan sendiri
bahwa si bungkuk pendjual siopia di Hau-kam-tjip itu telah dibunuh oleh seorang
tua bangka jang bernama Pek Tju-tjay. Sendjata jang digunakan adalah sebatang
golok jang berlumuran darah. Bukti dan saksi sudah njata dan lengkap, betapapun
tua bangka pembunuh itu tidak dapat menjangkal.”
Tentang bukti dan saksi itu
sengadja ditambahkan oleh petugas itu untuk membikin senang Tjia Yan-khek,
sebab tadi dia telah kenjang dihadjar, ia mendjadi ketakutan.
Tapi Tjia Yan-khek lantas
berkata: “Tua bangka she Pek itu tidak biasa menggunakan golok, tapi pedang.”
“Oh, ja, hamba keliru, dia
menggunakan pedang dan sekali tusuk sibungkuk telah dibunuh olehnja, setiap
penduduk Hau-kam-tjip djuga ikut menjaksikan kedjadian itu,” demikian petugas
itu menambahkan.
Diam2 Yan-khek merasa geli
sendiri. Padahal untuk membunuh Go To-it adalah terlalu mudah bagi Wi-tek
Siansing Pek Tju-tjay dan tidak perlu pakai sendjata apa segala. Tapi iapun
tidak perduli lagi kepada kawanan petugas itu, segera ia gandeng tangan sidjembel
tjilik dan tangan lain membawa pedang hitam-putih milik Tjiok Djing, segera ia
tinggal pergi dengan hati senang.
Maklum, sebelumnja dia masih
menjangsikan Tjiok Djing suami-isteri sengadja berkomplot dengan orang2
Swat-san-pay untuk mendjebaknja dengan menggunakan sipengemis tjilik itu
sebagai umpan. Sebab itulah sesudah beberapa li dia membawa pergi sidjembel
itu, lalu ia tusuk botjah itu dan dilemparkan kedalam semak2, kemudian ia
merunduk kembali ke Hau-kam-tjip untuk menjelidiki apa jang sudah terdjadi.
Karena kepandaiannja memang djauh lebih tinggi daripada Tjiok Djing dan
lain-lain, maka kedatangannja kembali itu sama sekali tak konangan oleh
siapapun.
Ketika dilihatnja Tjiok Djing
menjerahkan sendjata2nja kepada Kheng Ban-tjiong, segera timbul maksud Tjia
Yan-khek untuk merebutnja. Kebetulan ditengah djalan ia bertemu dengan bupati
jang hendak memeriksa perkara di Hau-kam-tjip itu, segera ia menjergap pembesar
itu dan dilempar keluar djoli, lalu menggertak dan memaksa para petugas negara
itu agar menggotong dia bersama sipengemis ketjil itu dan memapak kearah orang2
Swat-san-pay untuk merebut kedua pedang pusaka. Karena Kheng Ban-tjiong tidak
melihat muka sipelaku didalam djoli itu, dengan sendirinja mereka menjangka
keras adalah perbuatan Tjiok Djing suami-isteri.
Begitulah, Tjia Yan-khek
meneruskan perdjalanannja dengan membawa sidjembel tjilik itu, jang ditudju
selalu adalah tempat jang sepi. Setiba ditepi sebuah sungai ketjil, tampaknja
disekitar situ tiada orang lain lagi, lalu ia melepaskan tangan botjah itu, ia
lolos pedang putih milik Bin Dju serta mengatjungkan mata pedang ketengkuk
sidjembel itu sambil membentak dengan suara bengis: “Sebenarnja kau disuruh
oleh siapa? Hajo, lekas mengaku, kalau berani berdusta segera kupenggal
kepalamu!”
Habis menggertak, “sret”,
pedangnja menjabat kesamping sehingga sebatang pohon ketjil tertabas kutung,
batang pohon jang kutung itu djatuh kedalam sungai dan hanjut terbawa oleh arus
air.
Keruan pengemis tjilik itu
ketakutan, dia mendjawab dengan gelagapan: “Aku........... aku.........
tidak.......... tidak suruh................”
Tjia Yan-khek memperlihatkan
medali wasiatnja dan membentak pula: “Siapa jang memberikan benda ini padamu?”
“Aku............ aku makan
sio........... siopia dan............ dan terdapat barang itu,” sahut
sipengemis ketjil dengan gemetar.
Tjia Yan-khek mendjadi gusar
karena djawaban jang tidak djelas itu. Telapak tangannja terus menggampar
kepipi botjah itu. Tapi sebelum kena sasarannja, mendadak teringat oleh
sumpahnja sendiri dahulu bahwa sekali2 dia takkan mengganggu orang jang
menjerahkan medali wasiat itu kepadanja. Karena itu tamparannja dihentikan
mentah2 sambil membentak lagi: “Ngatjo-belo, peduli siopia apa segala? Aku
hanja tanja siapakah jang memberikan barang ini kepadamu?”
“Aku.......... aku menemukan
sepotong siopia, lalu aku memakannja. Dan......... dan waktu aku menggigit,
ham.......... hampir sadja gigiku rompang.......”
Dasar pikiran Yan-khek memang
sangat tadjam, walaupun penuturan pengemis ketjil itu ter-putus2 dan tak
djelas, tapi segera terpikir olehnja: “Djangan2 Go To-it itu telah
menjembunjikan medali ini didalam siopia?”
Tapi segera ia menjangsikan
hal itu. Siapa sadja jang mendapatkan medali ini tentu akan mendjaganja
melebihi djiwanja sendiri, maka mungkin benda sepenting ini ditaruh begitu
sadja didalam siopia?
Njata ia tidak dapat
membajangkan betapa kepepetnja suasana waktu itu. Karena datangnja berandal
Kim-to-tje itu terlalu mendadak dan sekaligus sudah mengepung Hau-kam-tjip
dengan rapat sehingga sedikitpun Go To-it tidak sempat mentjari suatu tempat
penjimpanan jang baik untuk menjembunjikan medali wasiat itu selain dipentjet
kedalam siopia jang akan dipanggangnja dan achirnja terbuang ditepi selokan,
hal ini sebenarnja djauh lebih selamat daripada disimpannja dimanapun djuga.
Sebab itu meski kawanan berandal Kim-to-tje sudah mengobrak-abrik seluruh kedai
siopia itu, dengan sendirinja tidak terpikir oleh mereka untuk memeriksa isi
siopia jang berserakan diatas tanah itu.
Begitulah dengan sorot mata
berkilat, Tjia Yan-khek memandang sipengemis ketjil, lalu bertanja pula: “Siapa
namamu?”
“Aku........... aku bernama
Kau-tjap-tjeng,” sahut djembel tjilik itu.
“Apa? Kau bernama
Kau-tjap-tjeng? Hahahaha! Masakah didunia ini ada orang memakai nama demikian?”
demikian Tjia Yan-khek menegas dan ter-bahak2, ia geli setengah mati, masakah
ada orang bernama Kau-tjap-tjeng atau anak andjing. Tapi sipengemis ketjil
lantas mendjawab: “Ya, betul, ibu memanggil aku Kau-tjap-tjeng.”
Watak Tjia Yan-khek adalah pendiam,
tapi kedji dan tjulas. Tertawa baginja boleh dikata adalah sesuatu jang mahal,
berapa kali dia tertawa dalam setahun dapatlah dihitung dengan djari. Tapi
sekarang dia benar2 geli oleh karena keterangan sipengemis tjilik itu, ia
tertawa ter-pingkal2. Pikirnja: “Dikampung memang banjak orang memberi nama
ketjil jang aneh2 kepada anak2 mereka dengan maksud agar sianak lekas besar dan
selamat, misalnja nama siandjing, sibabi, sikutjing, dan lain sebagainja, tapi
tiada orang jang sengadja memanggil anaknja sendiri sebagai ‘anak andjing’,
memangnja apa ibunja kawin dengan andjing? Hahahaha!”
Begitulah dia ter-bahak2 geli.
Dan karena melihat dia tertawa, sipengemis ketjil mendjadi ikut2 tertawa.
“Dan siapa nama ajahmu?” tanja
Yan-khek pula dengan menahan tertawanja.
“Ajah? Aku........ aku tidak
punja,” sahut sidjembel sambil menggeleng.
“Habis dirumahmu ada siapa
lagi?”
“Aku, ibuku, dan.... dan masih
ada si Kuning.”
“Siapa si Kuning itu?”
“Si kuning adalah andjing,
seekor andjing,” sidjembel menerangkan, “Karena ibuku hilang, aku lantas
mentjarinja, si Kuning selalu mengintil dibelakangku, tapi kemudian dia telah
pergi mentjari makan, lalu menghilang djuga. Aku telah mentjarinja kesana kemari
dan tidak ketemu.”
“Kiranja botjah ini seorang
tolol, tampaknja diketemukannja medali ini hanja setjara kebetulan sadja.
Biarlah kusuruh dia memohon sesuatu padaku untuk memenuhi sumpahku dahulu dan
habis perkara,” demikian pikir Yan-khek.
Maka ia lantas bertanja:
“Tjoba, apa jang ingin kau mohon.........” baru sekian utjapannja, mendadak ia
tahan kata2 jang belum tertjetus dari mulutnja itu. Pikirnja: “Kalau anak tolol
ini mohon padaku untuk mentjarikan ibunja, bahkan minta aku mentjarikan
andjingnja si Kuning itu, lantas kemana aku harus mentjarikan? Ibunja tentu
sudah minggat bersama lelaki lain dan si Kuning itu besar kemungkinan sudah
disembelih orang, kalau soal2 sulit ini dikemukakannja kepadaku kan bisa
berabe? Djika aku diminta membunuh sepuluh atau dua puluh djago silat tentu
akan djauh lebih mudah daripada disuruh mentjari dia punja andjing si Kuning
itu.”
Begitulah, sesudah merenung
sedjenak, achirnja ia sudah mendapat akal, segera katanja pula: “Nah, begini,
tjoba dengarkan. Tak peduli siapa jang menjuruh kau membitjarakan sesuatu
padaku, maka sekali2 djangan kau katakan, kalau kau tidak berani berkata,
seketika djuga kupenggal kepalamu! Nah, tahu tidak?”
Hendaklah maklum bahwa tentang
kedjadian Tjia Yan-khek mengambil kembali medali wasiat dari tangan sipengemis
tjilik itu, tentu dalam waktu singkat berita itu akan tersiar djuga didunia
persilatan. Sebab itulah Tjia Yan-khek kuatir kalau sidjembel tjilik diakali
orang serta menjuruhnja mengadjukan sesuatu permohonan pada dirinja, dan karena
terikat oleh sumpahnja dahulu terpaksa ia tidak dapat menolak.
Tapi Yan-khek masi belum lega,
ia menegas lagi: “Apa kau sudah ingat betul2 pesanku tadi? Apa, tjoba katakan!”
“Kau bilang, tak peduli
siapapun jang suruh aku mengatakan apa2 padamu, maka sekali2 aku tak boleh
bitjara, bila aku mengatakan, segera kau akan memenggal kepalaku,” ulang
sidjembel.
“Ja, betul,” udjar Yan-khek.
“Anak tolol ternjata tidak terlalu tolol. Nah, sekarang ikutlah padaku.” Dari
tempat jang sepi itu mereka kembali kedjalan raja. Tidak lama kemudian
sampailah mereka disebuah kedai penganan ditepi djalan.
Tjia Yan-khek membeli dua buah
bakpau dan segera dimakannja sendiri. Ia tjoba melirik sidjembel tjilik itu
dengan harapan botjah itu akan bersuara memohon makan padanja.
Untuk meng-iming2, Yan-khek
sengadja makan bakpau itu dengan lahap, lidahnja berketjak2 keras dan sambil
tiada hentinja memudji akan kelezatan bakpau itu. Sedang bakpau satunja jang
masih dipegang disebelah tangan lain sengadja di-iming2 pula didepan hidung sidjembel.
Pikirnja: “Pengemis tjilik ini sudah bisa mengemis makan pada orang, mustahil
sekarang dia tidak mengiler kepada bakpau jang kumakan ini? Asal dia membuka
mulut mengemis padaku dan aku memberikan bakpau ini padanja, maka ini berarti
sumpahku atas medali wasiat itu sudah terpenuhi, dan untuk selandjutnja aku
akan dapat hidup senang dan bebas tanpa ikatan sesuatu apapun.”
Memangnja perut sipengemis
tjilik djuga sudah lapar, sekarng di-iming2 sepotong bakpau jang enak itu,
tentu sadja dia mengiler dan ingin memakannja. Tjuma, aneh djuga, biarpun
hatinja kepingin setengah mati, bidji lehernja sampai naik-turun dan menelah ludah
ber-ulang2, namun sebegitu djauh ia tetap tidak membuka mulut untuk mengemis.
Sampai achirnja Tjia Yan-khek
sendiri merasa tidak sabar menunggu, sedangkan bakpau jang dimakannja sudah
habis, segera bakpau kedua itu didjedjalkan lagi kedalam mulut dan tangannja
lantas mengambil lagi bakpau jang masih hangat2 dinampan sipendjualnja.
“Akupun ingin dua potong
bakpau,” tiba2 sipengemis tjilik, berkata kepada pendjual bakpau dan tanpa
menunggu djawabah tangannja lantas mentjomot bakpau jang sangat diinginkan itu.
Pemilik kedai itu memandang
kepada Tjia Yan-khek, maksudnja ingin tahu apakah Tjia Yan-khek mau mengakui
bakpau jang dimakan djembel tjilik itu atau tidak. Yan-khek lantas mengangguk.
Diam2 ia bergirang: “Bagus, sebentar bila pendjualnja minta pembajaran padamu,
ingin kulihat kau terpaksa akan minta bantuanku atau tidak?”
Tertampak sidjembel telah
makan bakpau satu demi satu dengan lahapnja, seluruhnja telah dimakannja empat
bidji. Achirnja dia berkata: “Kenjang sudah, tidak makan lagi!”
Tjia Yan-khek sendiri hanja
makan dua bidji bakpau dan tidak makan lagi. Katanja kepada sipendjual: “Berapa
duitnja?”
“Dua pitjis satu bidji, enam
bidji bakpau seluruhnja 12 pitjis,” sahut sipendjual.
“Tidak, masing2 membajar
sendiri2. aku makan dua bidji, aku hanja bajar empat pitjis sadja,” kata
Yan-khek sembari memasukkan tangan kedalam saku untuk mengambil uang.
Tapi sekali merogoh saku dia
lantas melongo. Rupanja dia sendiri “tong-pes” alias kantong kempes karena
siangnja dia habis makan-minum dikota Khay-hong dan sangunja sudah terpakai
habis. Keruan ia meringis dan serba susah.
Tengah ia merasa bingung,
tiba2 sidjembel tjilik mengeluarkan serentjeng uang perak dan diserahkan kepada
pendjual bakpau, katanja: “Seluruhnja 12 pitjis, aku jang membajar semua.”
Tjia Yan-khek mendjadi
tertjengang. “Apa? Kau mentraktir aku?” tanjanja.
“Ja, kau tidak punja uang dan
aku banjak uang, apa halangannja mentraktir kau beberapa bidji bakpau sadja?”
sahut sidjembel sambil tertawa.
Sipendjual bakpau djuga
ter-heran2, tjepat ia memberikan beberapa potong uang retjeh tembaga sebagai
kembalinja. Segera sidjembel tjilik memasukkan uang retjeh itu kedalam saku. Ia
pandang Tjia Yan-khek dan menantikan perintahnja.
Mau tak mau, Tjia Yan-khek
menjengir. Pikirnja: “Watakku biasanja sangat kukuh, biarpun tjuma makan minum
djuga tidak sudi menerima pemberian orang lain. Siapa duga hari ini malah
ditraktir makan bakpau oleh djembel tjilik ini.”
Segera ia mengadjaknja
berangkat. Sambil berdjalan iapun bertanja: “Darimana kau tahu aku tidak punja
uang?”
Sipengemis tjilik mendjawab
dengan tertawa: “Di-rumah2 makan aku sering melihat orang merogoh saku hendak
mengambil uang, tapi tangan jang sudah masuk didalam kantong itu sampai lama
sekali tidak keluar2 lagi, sebaliknja air mukanja berubah sangat aneh, seperti
menjengir dan seperti meringis. Djika demikian wadjahnja, maka dapat dipastikan
orang itu tentu tidak punja uang. Setiap tukang gegares pertjuma dirumah makan
selalu demikian keadaannja.”
Kembali Tjia Yan-khek
menjengir ewa. Pikirnja: “Kurang adjar, djadi kaupun anggap aku sebagai tukang
gegares jang tidak mau bajar?” – Segera ia bertanja lagi: “Dan darimana kau
mentjuri uang sebanjak itu?”
“Kenapa mesti mentjuri?” sahut
sidjembel tjilik. “Ini adalah pemberian sinjonja baik hati jang berbadju putih
tadi.”
“Sinjonja baik hati berbadju
putih?” Yan-khek menegas. Tapi ia lantas paham, tentu Bin Dju jang dimaksudkan.
Tidak terlalu djauh mereka berdjalan,
tiba2 Yan-khek mengangkat pedang putih milik Bin Dju itu dan berkata: “Pedang
ini sangat tadjam, tadi hanja sekali tabas sadja sebatang pohon telah
kutumbangkan. Kau menjukai pedang ini tidak? Kalau kau minta, tentu akan
kuberikan padamu.”
Sesungguhnja dia merasa sebal
berkumpul terlalu lama dengan pengemis ketjil jang kotor dan bodoh itu, maka
diharapnja botjah itu mau mengadjukan sesuatu permohonan padanja dan
terpenuhilah sumpahnja dahulu.
Tak terduga sidjembel tjilik
itu telah menggeleng kepada dan mendjawab: “Tidak, aku tidak mau. Pedang ini
adalah milik njonja berbadju putih jang baik hati itu. Dia adalah orang baik,
aku tidak mau mengambil barangnja.”
Yan-khek lantas perlihatkan
pedang hitam, ia ajun kesamping sekenanja dan kontan sebatang pohon ditepi
djalan lantas tertabas kutung. Lalu katanja: “Apa kau minta pedang hitam ini
sadja?”
“Tidak, pedang hitam ini
adalah milik tuan berbadju hitam tadi,” kembali sidjembel tjilik menggeleng
kepala. “Tuan dan njonja itu adalah serombongan, aku tak boleh mengambil barang
mereka.”
“Eh, Kau-tjap-tjeng, kau suka
bitjara tentang setia kawan djuga,” djengek Tjia Yan-khek.
“Apa artinja setia kawan?”
tanja sidjembel dengan bingung.
Yan-khek hanja mendengus
sekali sadja dan tak gubris lagi padanja. Pikirnja: “Djika kau tak paham, tiada
gunanja kuterangkan padamu.”
“Oh, barangkali kau tidak suka
orang jang setia kawan, dja........... djadi engkau tidak setia kawan.”
Yan-khek mendjadi murka,
seketika kepala sipengemis tjilik itu hendak ditaboknja. Tapi demi melihat
sikap botjah jang masih ke-kanak2an dan polos itu, tangannja jang sudah
terangkat itu lantas ditarik kembali. Pikirnja: “Djika dia memang tidak paham
apa artinja setia kawan, maka diapun tidak sengadja hendak mengedjek padaku.” –
Lalu iapun mendjawab: “Masakan aku tidak setia kawan? Tentu sadja aku suka
setia kawan.”
“Setia kawan itu baik atau
tidak?” tanja sipengemis tjilik/
“Baik, sudah tentu baik,”
sahut Yan-khek.
“Ah, tahulah aku sekarang.
Jang berbuat baik adalah orang baik, jang berbuat djahat adalah orang djahat.
Engkau berbuat baik maka engkau adalah seorang jang sangat baik.”
Kalau kata2 ini diutjapkan
oleh seorang lain, Tjia Yan-khek akan menganggapnja sebagai suatu sindiran dan
tanpa pikir tentu orang itu dibinasakannja. Hendaklah maklum selama hidupnja
ini tak pernah seorangpun jang mengatakan dia adalah “orang baik”. Walaupun
terkadang iapun berbuat satu-dua kebaikan, tapi itu hanja karena hatinja sedang
senang dan melakukannja menurut seleranja pada saat itu, kalau dibandingkan
kedjahatannja jang diperbuatnja selama hidup boleh dikata tiada artinja.
Tapi sekarang didengarnja
utjapan sipengemis tjilik itu sangat tulus dan sungguh2, mau tak mau ia
meringis dan serba runjam. Pikirnja: “Kata2 botjah ini setengah sinting,
sebentar bilang aku tidak setia kawan, sekarang aku dianggap orang baik. Kalau
kata2 demikian didengar oleh musuhku bukankah akan mendjadi buah tertawaan
orang2 Bu-lim? Rasanja aku harus lekas menjelesaikan urusan ini dan tidak perlu
omong-kosong lagi dengan dia.”
Karena botjah itu tidak mau
pedang2 hitam-putih itu, Yan-khek lantas mengeluarkan sepotong kain hidjau dan
membungkusnja, lalu digendongnja dipunggung. Diam2 ia memikir: “Tjara bagaimana
aku harus memantjing dia supaja memohon sesuatu padaku?”
Tengah memikir, tiba2
dilihatnja ditepi djalan ada tiga batang pohon kurma dengan buahnja jang merah
segar dan besar2. segera ia menundjuk buah kurma itu dan berkata: “Sungguh enak
sekali buah kurma itu.”
Menurut rekaannja, karena
pohon kurma itu tinggi2 semua, asal sidjembel tjilik itu memohon dia memetikkan
buah kurma, maka itu sudah terhitung sumpahnja terpenuhi, jaitu melaksanakan
sesuatu permintaan orang jang menjerahkan kembali medali wasiat padanja itu.
Tak terduga sidjembel tjilik
malah bertanja padanja: “Eh, orang sangat baik, apakah kau kepingin makan
kurma?”
“Orang sangat baik apa?” tanja
Yan-khek.
“Karena engkau ada orang baik
sekali, maka aku memanggil engkau orang sangat baik.”
“Siapa jang mengatakan aku
orang baik?” mendadak Yan-khek menarik muka masam.
“Kalau bukan orang baik tentu
adalah orang djahat, djika begitu biarlah kupanggil engkau orang djahat sadja.”
“Akupun bukan orang djahat.”
“Kan aneh? Bukan orang baik,
bukan orang djahat pula, lalu orang apa.......? Ah, tahulah aku, kiranja engkau
bukan orang!”
“Apa katamu?” bentak Yan-khek
dengan gusar.
Sidjembel tjilik mendjulur
lidah sekali dan mendadak terus berlari kebawah pohon kurma, tiba2 ia peluk
batang pohon itu dan kakinja lantas memantjal, segera ia pandjat keatas pohon.
Njata, meski botjah itu tidak
bisa ilmu silat, tapi tjaranja memandjat pohon benar2 sangat tjepat dan segesit
kera. Hanja dalam sekedjap sadja djembel tjilik itu sudah memetik kurma merah
itu sekantong penuh sehingga badjunja jang rombeng itu hampir2 djebol dibebani
kurma sebanjak itu. Lalu ia memberosot turun, dengan kedua tangan ia mentjakup
kurma merah jang dipetiknja itu dan diberikan kepada Tjia Yan-khek. Katanja:
“Silakan makan kurma! Engkau bukan orang, djuga bukan setan, apa barangkali
malaikat dewata? Tapi kulihat djuga bukan!”
Yan-khek tak menggubrisnja. Ia
tjoba makan beberapa bidji kurma itu, rasanja manis dan segar, ternjata kurma
itu berkwalitas tinggi. Pikirnja: “Buset, bukannja dia minta apa2 padaku,
djadinja aku jang minta padanja malah.”
Sedjenak kemudian, ia tjoba
memantjing lagi, katanja: “Apakah kau tidak ingin mengetahui aku ini siapa?
Asal kau bertanja: ‘Harap engkau suka menerangkan siapakah kau sebenarnja?’
Apakah engkau ini malaikat dewata? – maka aku akan lantas menerangkan padamu.”
“Tidak, aku tidak mau memohon
apa2 kepada orang lain,” sahut sidjembel tjilik sambil menggeleng.
Yan-khek terkesiap. “Mengapa
tidak mau?” tanjanja tjepat.
“Ibuku sering berkata
kepadaku: ‘Wahai, Kau-tjap-tjeng, selama hidupmu ini djanganlah kau meminta
apa2 kepada orang lain. Kalau orang mau memberikan padamu, tanpa diminta djuga
orang akan memberi. Sebaliknja kalau orang tidak mau memberi, biarpun kau meminta
dan memohon dengan sangat djuga pertjuma, bahkan akan membikin djemu orang.’ –
Sebab itulah, maka selamanja akupun tidak pernah minta apa2 kepada ibu.
Terkadang ibu makan barang2 jang harum dan enak, beliau sengadja meng-iming2
padaku, apabila aku membuka mulut dan minta padanja, bukan aku diberi,
sebaliknja aku lantas dihadjarnja hingga babak-belur. Lantaran itulah sekali2
aku tidak mau meminta apa2 kepada orang lain.”
Sungguh heran Yan-khek tidak
terkatakan, iapun merasa ketjewa pula. Pikirnja: “Djika botjah ini benar2 tidak
mau meminta apa2 padaku, lantas tjara bagaimana aku bisa membajar kaul jang
tersirat didalam sumpahku itu? Ibunja mungkin adalah seorang gila, masakah
anaknja minta makan padanja malah dipukuli.”
Kemudian ia tanja pula:
“Habis, kau adalah seorang pengemis ketjil, apakah kau tidak meminta uang dan
mengemis makan kepada orang lain?”
“Tidak, selamanja aku tidak
pernah mengemis,” sahut sidjembel tjilik sambil menggeleng. “Kalau orang
memberi, tapi kalau dia lengah, segera aku mengambilnja terus mengelujur
pergi.”
Yan-khek tertawa. Katanja:
“Djika begini kau bukan pengemis ketjil, tapi adalah maling ketjil.”
“Apa artinja maling ketjil?”
“Kau benar2 tidak tahu atau
tjuma berlagak bodoh?”
“Sudah tentu karena aku memang
tidak tahu, makanja tanja padamu. Dan apakah artinja berlagak bodoh itu?”
Yan-khek tjoba mengamat-amati
botjah itu, tertampak mukanja kotor, tapi sepasang matanja hitam bening dan
bersinar, sedikit pun tidak ada tanda2 goblok. Maka katanja pula: “Kau toh
bukan anak umur tiga, usiamu sudah belasan tahun, mengapa segala apa tidak
paham?”
“Ja, karena ibuku tidak suka
bitjara dengan aku, beliau menjatakan asal melihat aku lantas djemu, seringkali
sepuluh hari atau dua puluh hari aku tidak pernah digubrisnja. Terpaksa aku
hanja bitjara dengan si Kuning sadja. Tapi si Kuning hanja bisa mendengarkan
dan tak dapat bitjara dengan aku tentang maling ketjil dan berlagak bodoh apa
segala.”
Melihat sorot mata botjah itu
sama sekali tidak memperlihatkan sikap nakal dan litjin, diam2 Yan-khek
membatin: “Agaknja botjah ini memang tidak pandai pura2” – Maka ia lantas
tanja: “Mengapa kau tidak bitjara sadja dengan tetanggamu?”
“Apakah artinja tetangga?”
“Jang tinggal disekitar
rumahmu, itulah tetangga namanja,” sahut Yan-khek dengan aseran. Lama2 ia
mendjadi djemu djuga.
“Oh, jang tinggal disekitarku?
Ja, banjak djuga, dibelakang rumahku ada belasan pohon besar, diatas pohon
banjak terdapat badjing, ditengah semak2 banjak pula ajam alas, kelintji liar.
Apakah mereka itu jang dinamakan tetangga? Tapi mereka hanja bisa berbunji dan
tak bisa bitjara.”
“Apa sampai sekian besarnja
kau tidak pernah bitjara dengan orang lain ketjuali ibumu?” tanja Yan-khek
dengan mendongkol.
“Selamanja aku tinggal diatas
gunung dan tidak pernah turun. Maka selain Ibu, tak pernah ada orang bitjara
dengan aku. Beberapa hari jang lalu ibu telah hilang, waktu aku mentjarinja,
aku tergelintjir djatuh kebawah gunung. Kemudian si Kuning djuga menghilang.
Waktu kutanja orang lain kemanakah perginja ibu dan si Kuning, tapi orang
bilang tidak tahu. Apakah itu terhitung berbitjara?”
Diam2 Yan-khek gegetun.
Kiranja botjah ini selamanja tinggal diatas gunung dan ibunja djuga tidak suka
menggubrisnja, makanja ini tidak paham dan itupun tidak tahu. Maka ia lantas
mendjawab: “Ja, itupun dapat dianggap berbitjara. Dan darimana kau tahu bahwa
uang dapat dibelikan bakpau?”
“Kemarin aku melihat orang
membeli setjara demikian,” sahut sidjembel. “Kau tidak punja uang dan aku masih
punja, kau ingin uang ini, bukan? Biarlah kuberikan padamu.” – Lalu ia
mengeluarkan uang retjeh kembalian sipendjual bakpau tadi dan disodorkan kepada
Tjia Yan-khek. Diam2 iapun membatin: “Biar botjah ini kelihatan ke-tolol2an,
tapi ternjata bukan anak jang pelit.”
Begitulah perasaan Tjia
Yan-khek mendjadi semakin lega, sekarang ia pertjaja penuh sidjembel tjilik itu
bukanlah perangkap jang sengadja dipasang oleh orang lain untuk mendjebaknja.
Yan-khek tersenjum, sahutnja:
“Djika kau minta makan, minta uang kepada orang dan orang mau memberikan padamu
setjara sukarela, maka kau disebut sebagai pengemis ketjil. Tetapi kalau kau
minta2 dan orang lain tidak mau memberi, diam2 kau lantas menjambarnja dan
membawa lari, itu namanja maling ketjil.”
Sidjembel tampak merenung
sedjenak, lalu berkata pula: “Selamanja aku tidak pernah minta2 kepada orang,
tak peduli orang suka memberi atau tidak, aku lantas mengambilnja untuk
dimakan. Djika begitu aku adalah maling ketjil.................. Eh, dan kau
adalah maling tua.”
Keruan Yan-khek terperandjat.
“Apa? Kau menganggap aku ini apa?”
“Bukankah kau memang maling
tua?” sahut sidjembel tjilik. “Sudah terang pemilik kedua batang pedang itu
tidak memberikannja padamu, tapi kau sengadja merebutnja, kau bukan anak
ketjil, dengan sendirinja adalah maling tua.”