Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 16-20

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 16-20Dengan muka merah padam Ban-kiam membuka matanya pula. Ia pikir pihak lawan sudah mengampuni jiwaku, maksud tujuannya adalah jelas sekali,
 
Jilid 16

Dengan muka merah padam Ban-kiam membuka matanya pula. Ia pikir pihak lawan sudah mengampuni jiwaku, maksud tujuannya adalah jelas sekali, yaitu mereka hendak membawa pergi putra mereka. Sekarang dirinya sudah keok, mana boleh bertempur lagi dan merintangi kehendak mereka? Andaikan bertempur lagi juga tak dapat melawan mereka suami-istri.

Demi teringat nasib putri kesayangannya yang telah binasa gara-gara kelakuan murid murtad perguruannya sendiri, sekarang dirinya memimpin para Sute datang ke Tionggoan, di antara para Sute itu ada tujuh orang telah ditawan pula oleh pihak Tiang-lok-pang, Ciok Tiong-giok yang dapat ditangkapnya ini sekarang mesti dirampas orang lagi, sedangkan Swat-san-kiam-hoat yang paling diandalkan juga tak dapat melawan Hian-soh-siang-kiam (sepasang pedang Hian-soh-ceng), nama baiknya selama ini telah runtuh habis-habisan, teringat semuanya ini seketika Ban-kiam menjadi putus asa, ia berdiri dengan termenung-menung tanpa bersuara.

Dalam pada itu suara pertempuran di dalam kelenteng itu juga telah didengar Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu yang menjaga di luar kelenteng, mereka pun sudah masuk kembali dan menyaksikan kekalahan sang Suheng, segera mereka berseru, “Mereka dapat main kerubut, masakah kita tidak boleh main keroyok!”

Dan sekali memberi tanda serentak 12 orang murid Swat-san-pay lantas menerjang maju mengelilingi Ciok Jing dan Bin Ju.

Ban-kiam tahu ke-12 orang Sutenya itu sekali-kali bukan tandingan Ciok Jing suami-istri, sekalipun dirinya ikut pula di dalam pertempuran juga sukar memperoleh kemenangan. Karena itulah ia menjadi ragu-ragu apa yang harus diperbuatnya.

Tiba-tiba terdengar Ciok Jing berkata, “Pek-suheng, kami suami-istri bergabung melawan Pek-suheng memang telah di atas angin sedikit, tapi tak dapat dikatakan telah mendapat kemenangan. Maka dari itu marilah kita mulai lagi. Awas serangan!”

Habis berkata segera pedangnya menusuk lebih dahulu.

Terhadap ke-72 jurus ilmu pedang Swat-san-pay memangnya sudah dapat dipahaminya dengan baik, sekarang dilihatnya pula permainan Pek Ban-kiam yang lihai itu, ia merasa setiap jurus yang dimainkan itu cocok benar dengan seleranya.

Dengan kedudukan Pek Ban-kiam sebagai seorang tokoh terkemuka, kalau tadi pihak lawan sudah mengampuni jiwanya, maka seharusnya ia tidak boleh menantang lagi. Tapi sekarang Ciok Jing sendiri yang melancarkan serangan lebih dulu, untuk ini ia boleh menangkisnya. Diam-diam ia membatin, “Baik, biar aku coba mengukur kekuatanmu lagi dengan satu lawan satu.”

Segera ia menangkis sambil menggeser ke samping, lalu balas menyerang.

Keadaan menjadi berbeda dengan pertarungan Pek Ban-kiam melawan Ciok Jing ini. Tadi dia satu melawan dua, dengan sendirinya lebih banyak diserang daripada menyerang, walaupun dia dapat berjaga dengan sangat rapat, tapi di waktu balas menyerang mau tak mau mesti berpikir kepada lawan yang lain, kalau menyerang Ciok Jing harus menjaga pula serangan dari Bin Ju, sebaliknya kalau menusuk Bin Ju harus pula cepat menangkis serangan balasan dari Ciok Jing yang selalu kerja sama dengan sangat baik bersama istrinya.

Sekarang satu lawan satu, pula merasa malu atas kekalahan tadi, seketika Pek Ban-kiam memainkan 72 jurus Swat-san-kiam-hoat dengan sehebat-hebatnya dan tanpa kenal ampun lagi.

Di dalam kelenteng yang kecil itu seketika penuh bertaburan sinar pedang yang menyilaukan.

Diam-diam Ciok Jing harus mengakui ilmu pedang Pek Ban-kiam memang benar-benar lihai dan tergolong ahli pedang kelas satu.

Segera dengan penuh semangat ia melayani serangan-serangan lawan dengan segenap kepandaiannya.

Pikirnya, “Biarkan tahu bahwa ilmu pedang dari Hian-soh-ceng kami sebenarnya tidak di bawah ilmu pedang Swat-san-pay kalian. Sebabnya aku suruh putraku belajar di tempat kalian adalah karena aku mempunyai maksud tujuan tertentu, maka janganlah kau tinggi hati dan mengira aku Ciok Jing tak dapat menandingi seorang Pek Ban-kiam.”

Dengan pertarungan ulangan Ciok Jing melawan Pek Ban-kiam sangat cepat dan tangkas, sebaliknya Ciok Jing bertahan dengan rapat dan tenang.

Berulang-ulang Ban-kiam mengganti serangan belasan kali dan sedikit pun tidak memperoleh keuntungan apa-apa, maka diam-diam ia pun terkejut dan heran, “Kehebatan ilmu pedang orang ini ternyata lebih tinggi daripada kesohoran yang diperolehnya dari orang Kangouw. Jika demikian hebat ilmu pedangnya sendiri buat apa dia menyuruh putranya belajar kepada golongan Swat-san-pay kami?”

Lalu terpikir pula olehnya, “Tadi aku telah dikalahkan, hal ini boleh dikatakan lantaran aku dikeroyok dua. Tapi sekarang hanya satu lawan satu, kalau aku kalah sejurus saja akan berarti runtuhlah nama baik Swat-san-pay selama ini. Maka aku harus mengalahkan dia dan mengancam sesuatu tempat yang berbahaya di badannya, lalu mengampuni jiwanya. Kalau tidak, susah aku membalas hinaan kekalahanku tadi.”

Dan karena nafsunya ingin menang, mau tak mau serangan-serangannya menjadi agak terburu-buru dan sering dilakukan secara ceroboh.

Diam-diam Ciok Jing bergirang, “Semakin kau terburu nafsu, semakin cepat kau akan kalah lagi di bawah pedangku.”

Sesudah belasan jurus, benar juga Pek Ban-kiam sendiri berulang-ulang terancam bahaya malah. Ia terkesiap dan cepat memusatkan perhatiannya dengan tenang, ia tidak berani sembrono lagi.

Sampai di sini barulah kedua jago benar-benar bertempur dengan sama kuat dan sama tangkasnya sehingga susah menentukan kalah atau menang.

Dari pertarungan sengit kedua tokoh ini, Ciok Boh-thian telah tambah berpengalaman lagi macam-macam teori ilmu pedang itu, sebenarnya teori ilmu pedang yang itu susah dipahami oleh seorang pemuda yang baru berusia 20-an tahun, tapi pertama karena ciok Boh-thian sudah memiliki Lwekang yang sangat tinggi, pula cara pertarungan kedua jago pedang yang sama kuatnya dan dilakukan dengan sangat dahsyat itu sesungguhnya jarang dijumpai di dalam dunia persilatan, untunglah Ciok Boh-thian dapat menyaksikan dengan secara teratur sehingga tanpa merasa teori ilmu pedang yang paling mendalam telah dapat dipecahkan dan dipahaminya.

Saking asyiknya Ciok Boh-thian menonton pertarungan Ciok Jing dan Pek Ban-kiam juga seru sekali sehingga melupakan segala apa yang berada di sekeliling mereka. Sesudah 200 jurus lebih, semangat Pek Ban-kiam tambah menyala, ia merasa pertarungan hari ini benar-benar suatu hal yang menyenangkan selama hidup ini sehingga rasa terhina atas kekalahannya tadi sudah tak berpikir lagi olehnya.

Begitu pula Ciok Jing merasa girang karena telah ditemukan tandingan yang sama tangguhnya.

Maka dengan sendirinya kedua orang sama-sama timbul rasa sayangnya kepada pihak kawan, rasa permusuhan mereka pun mulai berkurang, sebaliknya timbul keinginan untuk menguji dan tukar kepandaian masing-masing, maka kedua orang sama-sama mengeluarkan segenap kemahiran sendiri-sendiri untuk memancing cara bagaimana pihak lawan akan menangkis serangannya.

Di waktu mulai bertempur tadi, di dalam kelenteng itu ramai dengan suara “trang-tring” beradunya pedang, tapi sekarang yang terdengar hanya suara “cring-cring” yang perlahan dari gesekan dua batang pedang saja.

Sampai suatu saat menentukan, tiba-tiba Pek Ban-kiam menusuk dari samping dalam jurus “Am-hun-so-eng” (sebagai awan laksana bayangan), pedangnya menyambar tiba dengan cepat sehingga tampaknya ada tapi seperti tiada pula.

“Kiam-hoat yang bagus!” Ciok Jing memuji perlahan. Cepat ia pun menegakkan pedangnya untuk menangkis sehingga kedua batang saling bentur.

Sekali ini diam-diam kedua orang telah mengerahkan segenap Lwekang masing-masing, maka terdengarlah suara “pletak”, tahu-tahu pedang yang dipegang Ciok Jing telah patah menjadi dua.

Namun, begitu pedangnya patah saat itu juga dari samping kiri sebatang pedang telah disodorkan. Dan begitu taman kiri menerima pedang itu, menyusul Ciok Jing lantas menggunakan jurus “Co-yu-hong-goan” (ketemu sasaran di kanan di kiri), pedangnya terus berputar satu kali di depan badannya untuk merintangi serangan susulan pihak lawan.

Di luar dugaan, Pek Ban-kiam lantas mundur setindak malah, katanya, “Rupanya pedang Ciok-cengcu itulah yang jelek dan mudah patah, sekali-kali bukan kekalahan dalam ilmu pedang. Jikalau Ciok-cengcu memegang pedang hitam sendiri, pedang mestika itu masakah dapat patah?”

Tapi baru selesai berkata, mendadak air mukanya berubah hebat. Kiranya baru diketahuinya bahwa orang yang berdiri di samping kiri dan telah menyodorkan pedang kepada Ciok Jing itu bukan lain adalah Bin Ju, istri Ciok Jing sendiri.

Sebaliknya ke-12 orang Sutenya sudah menggeletak malang melintang memenuhi lantai.

Kiranya di waktu Pek Ban-kiam mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menempur Ciok Jing, saat itu juga Bin Ju seorang diri sudah merobohkan ke-12 orang murid Swat-san-pay yang mengerubutnya itu. Luka yang diderita setiap murid Swat-san-pay itu sangat ringan, tapi Bin Ju telah menusuk dengan menyalurkan Lwekangnya melalui batang pedang dan mengenai Hiat-to sasarannya sehingga murid-murid Swat-san-pay yang tertusuk ringan itu lantas menggeletak dan tak berkutik lagi.

Ini adalah suatu kepandaian khas Bin Ju, perangainya memang welas asih dan tidak suka membikin celaka orang lain, sebab itulah ia telah menggunakan ilmu Tiam-hiat di dalam ilmu pedangnya, kelihatannya lawan tertusuk pedang dan roboh, tapi sebenarnya terkena tutukan tenaga dalamnya. Hanya saja Lwekang Bin Ju belum mencapai tingkatan sempurna, kalau tidak, asal ujung pedangnya mengenai Hiat-to sasarannya sudah cukup merobohkan lawan tanpa melukainya sedikit pun.

Begitulah, sesudah Bin Ju menyodorkan pedangnya kepada sang suami, segera ujung kakinya menyungkit, sebatang pedang milik seorang Swat-san-pay yang terlempar di lantai itu lantas mencelat ke atas dan segera dipegang olehnya serta siap untuk membantu sang suami pada setiap saat.

Melihat itu, Pek Ban-kiam seketika cemas. Pikirnya, “Betapa pun aku dan Ciok Jing hanya dapat bertempur dengan sama kuatnya, kalau nyonya Ciok ikut pula di dalam pertempuran dan kejadian tadi terulang lagi, lalu apa yang dapat kuharapkan pula?”

Terpaksa ia berkata, “Ya, sayang Hong-suko tiada berada di sini, kalau ada, dengan kami berdua tentu akan dapat mengukur tenaga lebih jauh dengan kalian suami-istri. Sekarang kalah dan menang sudah jelas, apa mau dikatakan lagi?”

“Ya, betul, kelak kalau ketemu dengan Hong hwe-sin-liong ....” belum selesai ucapannya tiba-tiba teringat olehnya bahwa Hong Ban-li telah terkutung sebelah lengannya disebabkan perbuatan putranya yang bernama Ciok Tiong-giok itu, sekalipun kelak dapat berjumpa juga, tokoh Swat-san-pay itu tidak dapat bertanding pedang lagi, karena itu ucapannya lantas terhenti setengah jalan dan tidak diteruskan.

Melihat wajah Pek Ban-kiam yang merah padam dan perasaannya yang cemas itu, sedangkan Ciok Jing dan Bin Ju juga kelihatan menaruh simpatik kepada lawannya, diam-diam Ciok Boh-thian membatin, “Ke-12 murid Swat-san-pay itu benar-benar sangat goblok, masakah tiada seorang pun yang mampu membantu Suhengnya dalam permainan ganda melawan Ciok-cengcu suami-istri sehingga pertandingan yang mengasyikkan ini terhenti setengah jalan.”

Teringat olehnya rasa sayang Pek Ban-kiam ketika menatap padanya tadi, ia pikir, “Orang she Pek ini sangat baik padaku, tapi nyonya Ciok itu pun pernah memberi uang padaku. Sekarang mereka ingin bertanding kurang seorang lawan, rupanya ada seorang bernama Hong-suheng apa, tapi orangnya tidak berada di sini sehingga mereka merasa kecewa. Walaupun aku tidak tahu ilmu pedang segala, tapi tadi aku sudah menyaksikan permainan mereka dan sudah hafal, biarlah aku ikut main-main dengan mereka.”

Karena pikiran demikian, segera ia berbangkit, ia menirukan caranya Pek Ban-kiam tadi, dengan ujung kaki ia menutuk gagang sebatang pedang yang terlempar di lantai itu, di mana tenaga dalamnya sampai, kontan pedang itu lantas mencelat ke atas dan segera dipegang olehnya. Lalu katanya dengan tertawa, “Kalian kurang satu orang dan tidak jadi bertanding, biarlah aku main berganda bersama Pek-suhu!”

Baik Pek Ban-kiam maupun Ciok Jing suami-istri sama-sama terperanjat ketika melihat mendadak Ciok Boh-thian dapat berdiri. Ban-kiam heran sebab pemuda itu sudah terang ditutuknya beberapa puluh kali pada Hiat-to yang penting, mengapa sekarang bisa bergerak? Jangan-jangan sesudah merobohkan ke-12 Sutenya tadi Bin Ju telah membuka Hiat-to pemuda itu?

Sebaliknya Ciok Jin dan Bin Ju yakin sesudah pemuda itu ditawan Pek Ban-kiam tentu sudah tertutuk Hiat-to yang paling penting agar tidak dapat lolos, tapi mengapa seenaknya saja sekarang pemuda itu dapat berbangkit?

“Anak Giok ....” baru Bin Ju hendak menyapa, mendadak ia hentikan panggilannya dan berpaling kepada sang suami dengan perasaan cemas.

Sebab apakah mendadak Ciok Boh-thian dapat bergerak sendiri? Padahal dia sudah tertutuk oleh Pek Ban-kiam. Tadi dia sudah menggeletak lebih dua jam di situ, selama itu Pek Ban-kiam sibuk memberi petunjuk kepada para Sutenya, kemudian bertanding melawan Ciok Jing suami istri sehingga tidak pernah menambahi tutukannya kepada Hiat-to di tubuh Ciok Boh-thian.

Tutukan Pek Ban-kiam itu sebenarnya berkekuatan 12 jam baru dapat punah sendirinya. Tak terduga Ciok Boh-thian telah memiliki Lwekang yang mahatinggi, walaupun tidak paham cara membuka Hiat-to sendiri yang tertutuk itu, tapi tidak sampai satu jam, tempat-tempat yang tertutuk itu tanpa merasa telah punah sendiri oleh karena tenaga dalamnya yang berjalan sendiri secara kuat itu. Sudah tentu Ciok Boh-thian tidak tahu bahayanya Hiat-to yang tertutuk itu, juga tidak merasa bingung mengapa Hiat-to tertutuk dapat punah sendiri.

Begitulah mendadak pikiran Pek Ban-kiam tergerak, serunya, “Mengapa kau ingin main ganda bersama aku? Apakah karena kau hendak mencoba ilmu pedang yang telah kau pelajari selama menjadi murid Swat-san-pay?”

“Tapi aku tidak tahu apakah benar tidak kepandaianku ini,” sahut Boh-thian dengan manggut-manggut secara ketolol-tololan, “dari itu diharap Pek-suhu dan Ciok-cengcu berdua suka memberi petunjuk.”

Habis berkata pedangnya lantas terangkat melintang di depan dada sambil berdiri ke sisi Pek Ban-kiam, gerakan yang digunakan memang benar adalah jurus “Siang-tho-say-lay” (dua unta datang dari barat) dari Swat-san-kiam-hoat.

Untuk sejenak Ciok Jing dan Bin Ju termangu-mangu memandangi Ciok Boh-thian, rasa suka duka dan gemas-malu meliputi perasaan mereka berhadapan dengan putra yang telah sekian tahun tidak pernah bertemu ini. Perawakan sang putra sekarang sudah tumbuh sekian tingginya dan kekar, walaupun mukanya tampak agak kurus dan letih, tapi tidak memengaruhi sikapnya yang gagah itu. Lebih-lebih sepasang matanya yang bersinar terang seperti di dalam tubuhnya tersembunyi kekuatan Lwekang yang sangat tinggi.

Sebagai seorang ayah, sebenarnya Ciok Jing merasa malu karena perbuatan putranya yang mencemarkan nama baik Hian-soh-ceng, terutama bila mengingat peraturan-peraturan Bu-lim, maka selama beberapa tahun ini mereka tidak berani muncul di depan umum, sebaliknya cuma menyelidiki jejak sang putra secara diam-diam. Sekarang sesudah bertemu dengan ayah-bunda, anak durhaka ini sudah tidak memberi sembah hormat, bahkan hendak bertanding ilmu pedang dengan kedua orang tua, melulu hal ini saja sudah meyakinkan bahwa berita-berita yang tersiar di Kangouw tentang kelakuan putranya yang tidak senonoh itu pastilah bukan kabar bohong belaka. Karena itulah diam-diam Ciok Jing merasa gemas, cuma dia wataknya memang sabar, pula di depan Ban-kiam, maka sedapat mungkin ia menahan perasaannya itu.

Berlainan dengan kasih sayang seorang ibu, dalam pertemuan ini rasa girang karena Bin Ju melebihi rasa gemasnya kepada sang putra.

Mestinya dia mempunyai dua orang putra, yang satu telah dibunuh musuh secara keji, karena itulah kasih sayangnya lantas terpusatkan kepada putra satu-satunya yang masih ada ini. Tentang perbuatan Ciok Tiong-giok yang tidak senonoh di Leng-siau-sia itu ia telah coba membela diri putranya, ia yakin putranya yang masih muda tidaklah mungkin melakukan hal-hal yang durhaka itu, minggatnya Tiong-giok dari Leng-siau-sia boleh jadi karena anaknya merasa dihina atau dianiaya sehingga tidak kerasan tinggal di sana. Demikian ia berdebat kepada sang suami.

Dalam usaha mencari putranya selama beberapa tahun ini, ia sering mengucurkan air mata, ia khawatir jangan-jangan sudah terkubur di tanah salju di pegunungan Tay-swat-san atau sudah menjadi mangsa binatang buas.

Sekarang putra kesayangan yang sangat dirindukan itu berada di depannya, biarpun dosa anak itu setinggi langit juga sudah diampuni di dalam kasih seorang ibu.

Ia pun tahu putranya itu sejak kecil sudah sangat cerdik dan licin, kalau sekarang anak muda itu menyatakan hendak main berganda bersama Pek Ban-kiam, tentu ada maksud tujuannya yang tertentu. Ia menjadi khawatir sang suami akan marah dan mendamprat putranya sehingga membikin urusan menjadi runyam, pula ia pun ingin lihat bagaimana ilmu silat yang dipelajari anak muda itu selama sekian tahun, lantas mendahului berkata, “Baiklah, kita berempat boleh dua-lawan-dua dan coba-coba kepandaian masing-masing, toh hanya coba-coba saja dan tidak menjadi soal.”

Ciok Jing melirik sekejap kepada sang istri sambil manggut-manggut. Ia menduga maksud yang istri ialah ingin tahu bagaimana ilmu silat putranya itu, pula agar Pek Ban-kiam dapat dikalahkan dengan sukarela setelah main berganda, betapa pun pintarnya Ciok Tiong-giok, dalam usianya yang masih begitu muda juga takkan lebih lihai daripada para paman gurunya yang telah dirobohkan Bin Ju tadi, apalagi anak muda itu pun tidak mungkin membantu Pek Ban-kiam untuk bertempur dengan ayah-ibunya sendiri dengan sungguh-sungguh.

Sebaliknya Pek Ban-kiam mempunyai rekaan sendiri, “Dengan Swat-san-kiam-hoat kau hendak main berganda dengan aku, ini berarti sudah mengaku sendiri sebagai murid Swat-san-pay, maka tak peduli bagaimana dengan hasil pertandingan ini, asal aku tidak terbinasa, bila aku mengeluarkan tanda kebesaran ketua Swat-san-pay, mau tak mau anak muda ini harus ikut aku pulang ke Leng-siau-sia. Kalau Ciok-Jing berdua merintangi, ini berarti mereka telah melanggar peraturan Bu-lim.”

Dengan tekad bulat ia lantas menjawab, “Apakah ingin dua lawan dua atau tiga lawan satu, memangnya aku adalah jago yang sudah keok, biar bagaimana tentu aku akan ikuti kehendakmu.”

Diam-diam ia pun telah ambil keputusan jika dirinya terdesak, sebelum terbinasa sedikitnya ia harus membunuh dulu Ciok Boh-thian.

Melihat ujung pedang yang dipegang Pek Ban-kiam agak tergetar dan mengarah miring ke depan, tapi tidak segera menyerang, maka Boh-thian lantas berkata, “Jika demikian akulah yang dahulu!”

Dengan ujung pedang yang agak tergetar segera ia membuka serangan, ia menusuk ke bahu kanan Ciok Jing.

Begitu tusukannya dilontarkan, seketika hawa pedang memuncak, tusukan pedang ini tidak terlalu cepat, tapi di mana tenaga dalamnya sampai seketika menjangkitkan suara mendesusnya angin. Jurus pedangnya adalah Swat-san-kiam-hoat, tapi betapa hebat tenaga dalamnya bahkan Pek Ban-kiam bukan tandingannya.

Seketika Ban-kiam, Ciok Jing dan Bin Ju bersuara heran berbareng begitu menyaksikan serangan pembukaan Ciok Boh-thian itu. Semula Ban-kiam memandang hina ketika pemuda itu menjujukan pedangnya ke depan, ia lihat siku pemuda itu terangkat terlalu tinggi, cara memegang pedang juga tidak kuat, kuda-kudanya juga salah dan macam-macam kelemahan lain. Tapi begitu serangan itu sudah mencapai titik sasarannya, seketika pandangannya yang memandang rendah itu berubah. Ternyata tenaga dalam yang mengiringi tusukan pedang itu benar-benar tiada taranya, tenaga dalam sekuat ini hanya pernah dilihatnya di kala ayahnya, yaitu Pek Cu-cay alias Wi-tek Siansing bermain pedang. Namun untuk mengeluarkan tenaga selihai itu juga tidak dapat dilakukan secara sekaligus sebagaimana Ciok Boh-thian sekarang, baru serangan pertama sudah membawa kekuatan yang tak terkira hebatnya.

Tapi segera ia menyaksikan bahwa dugaannya ternyata tidak betul. Saat itu Ciok Jing telah menangkis serangan Boh-thian, mendadak “krek” sekali, pedang yang dipegang Ciok Jing telah patah menjadi dua bagian, yang patah itu sampai mencelat dan menancap di dinding. Ciok Jing sendiri merasa genggaman panas pedas, lengan pegal, hampir-hampir gagang pedang yang masih terpegang itu pun terlepas dari cekalannya.

Walaupun gemas kepada putra durhaka itu, tapi seorang jago silat bila ketemukan jago yang pandai tanpa merasa lantas timbul perasaan kagumnya, maka secara otomatis tercetus juga pujiannya, “Bagus!”

Sebaliknya Boh-thian lantas berseru kaget melihat pedang Ciok Jing patah, segera ia tarik kembali pedangnya dengan wajah yang menunjukkan rasa menyesal dan sayang pula.

Di bawah sinar lilin yang remang-remang air muka Boh-thian itu dapat juga oleh Ciok Jing dan Bin Ju, diam-diam terkilas rasa hangat dalam hati mereka, “Nyata, betapa pun anak Giok masih tetap seorang anak yang berbakti.”

Ciok Jing lantas membuang pedang yang patah dan kembali menggunakan ujung kaki untuk mencukit sebatang pedang yang lain. Lalu katanya, “Jangan khawatir terimalah serangan ini!” Dan “sret”, segera ia balas menusuk ke paha kiri Ciok Boh-thian.

Bagaimanapun Boh-thian tidak pernah belajar ilmu pedang secara resmi mesti tenaga dalamnya sangat kuat dan dapat digunakan di waktu menyerang, tapi bila diserang oleh seorang jago sebagai Ciok Jing, tentu saja ia kelabakan dan bingung untuk menangkisnya, syukur ia dapat berpikir cepat, dengan kaku ia melintangkan pedangnya untuk menangkis dalam jurus “Jong-siong kheng-khek” (pohon siong menyambut tamu).

Namun sedikit miringkan pedangnya tahu-tahu ujung pedang Ciok Jing sudah menyambar lewat dan mencapai pahanya. Coba kalau lawannya ini bukan putra kesayangannya tentu paha anak muda itu sudah ditebasnya terkutung menjadi dua. Sebab itulah pada titik terakhir mendadak ia tahan pedangnya.

Walau demikian Bin Ju juga sudah terkejut dan telah berseru khawatir, “Jangan, Engkoh Jing!”

Waktu Boh-thian memandang paha kanan sendiri, ternyata lengan celananya sudah terobek satu jalur, untung tidak terluka. Dengan agak malu-malu ia berkata dengan tertawa, “Banyak terima kasih atas kemurahan hatimu. Ilmu pedangmu ternyata jauh lebih pandai daripadaku!”

Apa yang diucapkan Ciok Boh-thian ini adalah timbul dari hatinya yang tulus, tapi bagi pendengaran Pek Ban-kiam kata-kata itu menjadi sangat menusuk perasaannya. Pikirnya, “Kau menyatakan ilmu pedang ayahmu jauh lebih tinggi daripada ilmu pedangmu, bukankah hal itu berarti kau telah sengaja menilai rendah Swat-san-kiam-hoat sendiri? Dasar kau bocah ini memang licin dan licik dan sengaja membikin ayahmu mendapat nama harum. Pendek kata hari ini kalau aku Pek Ban-kiam masih dapat bernapas, tentu aku tidak rela dihina oleh kalian sekeluarga ini.”

Di sebelah sana Ciok Jing juga mengerut kening dan berpikir, “Adik Ju selalu menyangsikan anak Giok pasti dicemooh dan dihina dalam perguruannya, tapi aku selalu anggap Pek Cu-cay, Pek-locianpwe adalah seorang tokoh yang jujur, Hong Ban-li juga seorang pendekar budiman, kalau dia sudah menerima anakku sebagai murid, tentu dia akan memberi pelajaran sebagaimana mestinya dan tidak nanti menghinanya malah, Tapi kalau melihat dua jurus yang dimainkannya barusan, walaupun caranya betul, tapi banyak lubang kelemahannya, mana boleh dipakai dalam gelanggang pertempuran? Tampaknya dia memang tiada mendapat kepandaian apa-apa di Leng-siau-sia. Kalau melihat tenaga dalamnya yang sangat kuat tadi agaknya toh tiada sangkut pautnya dengan kepandaian pihak Swat-san-pay, bahkan Wi-tek Siansing sendiri belum tentu memiliki Lwekang sehebat ini. Ya, tentu anak Giok mempunyai pengalaman aneh tertentu, untuk ini aku harus menyelidikinya sampai terang agar kelak dapat dipakai sebagai bahan pembelaan bagi kesalahan anak Giok.”

Setelah ambil ketetapan itu, lalu ia berkata, “Mari, mari, kita tidak perlu main sungkan-sungkan, bertandinglah sebagaimana mestinya saja!”

Segera pedangnya bergerak, ia mendahului menusuk ke arah Pek Ban-kiam.

Cepat Ban-kiam menangkis dan kontan balas menyerang satu kali. Maka serangan Bin Ju lantas beralih juga kepada Ciok Boh-thian, dengan perlahan-lahan ia menusuk ke dada anak muda itu. Ia sengaja menyerang dengan perlahan, maksudnya supaya anak muda itu tidak kelabakan dan susah menangkisnya.

Melihat serangan itu, Boh-thian menjadi teringat kepada kebaikan Bin Ju waktu memberi persen padanya di Hau-kam-cip tempo dulu, tanpa merasa ia tertawa mengangguk kepada Bin Ju sebagai tanda hormat dan terima kasih, habis itu barulah ia angkat pedangnya untuk menangkis.

Karena kelakuan Boh-thian itu, Bin Ju menyangka anak muda itu sedang memberi salam hormat kepada sang ibu, ia menjadi lebih girang, segera ia tarik kembali pedangnya, lalu menebas ke pinggang Boh-thian.

Untuk beberapa detik Boh-thian berpikir dengan jurus apa dia harus menangkisnya, akhirnya ia lantas mengeluarkan sejurus Swat-san-kiam-hoat untuk menahan serangan Bin Ju itu.

Melihat kepandaian sang putra sangat dangkal, gerakannya juga lamban, diam-diam Bin Ju menyesalkan jago-jago Swat-san-pay yang mengaku ilmu pedangnya tiada bandingannya itu ternyata cara demikian mendidik muridnya sebagai putraku ini.

Segera ia ganti serangan lagi, ia menusuk bahu kiri Boh-thian, ia tunggu sesudah anak muda itu ingat cara bagaimana menangkis barulah dia menusuk sungguh-sungguh, kalau seketika Boh-thian belum mampu menangkis, maka ia lantas menunggu pula.

Sudah tentu cara demikian bukan lagi bertanding, bahkan lebih sabar dan lebih sayang daripada seorang guru yang sedang mengajar muridnya.

Belasan jurus kemudian, lambat laun Boh-thian mulai percaya kepada dirinya sendiri, permainan pedangnya telah bertambah cepat. Diam-diam Bin Ju bergirang, setiap kali kalau jurus yang digunakan Boh-thian cukup bagus, ia lantas mengangguk sebagai tanda memuji.

Di sebelah lain untuk ketiga kalinya Ciok Jing bertempur melawan Pek Ban-kiam lagi. Terhadap keunggulan dan kelemahan masing-masing kedua orang sudah sama-sama tahu, maka sekarang mereka menjadi lebih hati-hati dan tidak berani lena sedikit pun, mereka mencurahkan segenap perhatian dalam pertandingan ulangan ini sehingga tidak ambil pusing kepada apa yang terjadi di sekitar mereka, Sebab itulah tentang cara bagaimana Bin Ju bertempur melawan Ciok Boh-thian, apakah mereka bertempur sungguh-sungguh atau pura-pura, siapa yang menang dan siapa yang kalah, sama sekali tak dihiraukan lagi oleh Ban-kiam dan Ciok Jing, sebab siapa saja sedikit ayal tentu akan membawa akibat bagi dirinya sendiri, kalau tidak mati tentu juga terluka parah.

Sebaliknya di waktu Bin Ju seakan-akan sedang mengajar ilmu pedang kepada Ciok Boh-thian itu, dia mempunyai banyak kesempatan untuk melihat pertarungan sengit sang suami melawan Pek Ban-kiam. Didengarnya suara napas sang suami sangat panjang, terang tenaga dalamnya masih sangat kuat, andaikan tidak menang juga tak akan kalah. Biasanya sang suami jarang ketemukan seorang lawan yang tangguh, sekarang telah bertemu dengan lawan yang sama kuatnya, kesempatan ini biarlah digunakan oleh sang suami untuk bertempur dengan sepuasnya.

Dalam pada itu sejurus demi sejurus Boh-thian sudah selesai memainkan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat. Maka Bin Ju lantas menurutkan jalan tadi untuk memancing Boh-thian mengulangi sekali lagi ilmu pedang Swat-san-pay itu.

Dasar pembawaan Boh-thian memangnya sangat pintar, tenaga dalamnya sangat kuat pula, maka percobaan ulangan ini sudah jauh berbeda daripada pertama tadi, sekarang dalam bertahan ia dapat menyerang juga, gerak-geriknya juga jauh lebih cepat.

Ketika ulangan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat ini sudah hampir habis, Bin Ju melihat pertarungan sang suami melawan Pek Ban-kiam itu masih tetap sama kuatnya, diam-diam ia merancang, “Selesai gebrakan ini aku harus membantunya dan tidak perlu berayal-ayalan lagi dengan orang she Pek itu, yang penting bawa pergi saja anak Giok.”

Maka waktu Ciok Boh-thian menusuknya lagi segera ia menangkis terus balas menyerang, ia menduga cara menangkis serangannya ini sudah dipahami Boh-thian, tentu dengan mudah akan dapat dilakukan anak muda itu. Tak tersangka pada saat itu juga mendadak keadaan menjadi gelap gulita, kiranya lilin yang tersulut di dalam kelenteng itu sudah habis dan mendadak padam.

Dalam pada itu tusukan Bin Ju itu sudah di lontarkan, begitu api lilin padam segera ia pun menarik kembali serangannya. Tak terduga Ciok-Boh-thian sama sekali tiada punya pengalaman bertempur, ketika keadaan mendadak gelap gulita, bukannya mundur, sebaliknya ia malah melangkah maju ke depan dengan maksud hendak mendekati Bin Ju untuk mengajak bicara dan akan mengaturkan terima kasihnya atas kebaikan nyonya cantik itu. Dan karena mendekatnya itu kebetulan tubuhnya seakan-akan disodorkan ke ujung pedang Bin Ju, segera Bi Ju merasa senjatanya kena menusuk sesuatu, dalam kagetnya cepat ia tarik pedangnya dan lempar ke belakang, lalu ia pegang pundak Ciok Boh-thian dalam kegelapan itu sambil bertanya dengan khawatir, “Ai, apakah kau terluka Di manakah lukanya? Parah atau tidak?”

“Aku ... aku ....” berulang-ulang Boh-thian terbatuk-batuk dan sukar berbicara lagi.

Cepat Bin Ju menyalakan geretan api, maka tertampaklah dada Ciok Boh-thian penuh berlumuran darah. Mestinya Bin Ju adalah orang yang tenang, tapi sekarang ia menjadi tertegun bingung, ia menoleh dan tanya kepada sang suami, “Engkoh Jing, ba ... bagaimana ini?”

Dalam kegelapan Ciok Jing dan Pek Ban-kiam masih terus bertempur berdasarkan suara sambaran senjata lawan. Ketika Bin Ju menyalakan api dan berseru khawatir, Ciok Jing telah melirik sekejap dan melihat Ciok Boh-thian roboh terluka, sang istri tampak sangat khawatir dan cemas, betapa pun adalah hubungan ayah dan anak, mau tak mau Ciok Jing merasa gelisah juga.

Dan karena sedikit ayal itulah Ban-kiam telah menggunakan kesempatan itu dengan baik, pedangnya secepat kilat sudah menusuk ke ulu hati Ciok Jing, serangan kilat yang mengancam tempat mematikan ini ketika disadari Ciok Jing namun sudah terlambat, untuk menangkis sudah tidak keburu lagi.

Tapi Ban-kiam tidak meneruskan tusukannya, ketika ujung pedang tinggal dua tiga senti di depan dada sasarannya segera ia tahan senjatanya itu.

Sebagai seorang ahli Ciok Jing tahu apa maksud Pek Ban-kiam itu. Tadi Bin Ju juga telah mengancam jiwanya, tapi tidak jadi diteruskan dan jiwanya diampuni maka sekarang Ban-kiam juga ingin membayar kembali mengampuni jiwanya, sehingga kedua belah pihak tidak mempunyai utang piutang apa-apa lagi.

Karena khawatirkan luka putranya, Ciok Jing tidak sempat memikirkan soal kalah-menang atau terhina tidak, segera ia mendekati Boh-thian dan memeriksa lukanya. Dilihatnya darah terus mengucur dari dada anak muda dengan perlahan, nyata lukanya tidak terlalu parah. Baru saja Ciok Jing dan Bin Ju merasa lega karena luka yang tidak berbahaya itu, sekonyong-konyong sebatang pedang telah mengancam di tenggorokan Ciok Boh-thian. Waktu mereka berpaling, kiranya yang memegang pedang itu adalah Pek Ban-kiam.

“Putramu telah menghina dan menyebabkan kematian putriku, sakit hati ini tidak boleh tidak dibalas,” demikian kata Ban-kiam dengan nada dingin. “Jika kalian membiarkan dia kubawa pulang Leng-siau-sia, paling sedikit dia masih bisa hidup buat dua bulan lamanya, tapi kalau kalian tetap berkeras hendak merampasnya, maka sekali tusuk segera kucabut nyawanya.”

Ciok Jing saling pandang dengan Bin Ju. Ngeri juga Bin Ju membayangkan kematian putra kesayangannya, ia kenal Ban-kiam sebagai seorang tokoh persilatan yang berani berkata berani berbuat, kalau sampai putranya betul-betul ditusuk mati maka tiada gunanya lagi andaikan nanti mereka suami-istri dapat juga membunuh Pek Ban-kiam.

Rupanya Ciok Jing juga mempunyai pikiran yang sama dengan sang istri, ia memberi isyarat kepada Bin Ju sambil memegang tangannya lalu bersama-sama melompat ke pekarangan kelenteng. Bin Ju menoleh dan memandang sekejap lagi kepada Ciok Boh-thian yang menggeletak di atas lantai itu dengan sorot mata penuh kasih sayang seorang ibu. Dan hanya sekejap itu saja geretan api yang dia nyalakan itu pun sudah padam, keadaan di dalam kelenteng kembali gelap gulita pula.

Dari suara tindakan Ciok Jing suami-istri Ban-kiam mengetahui mereka sudah pergi jauh, ia yakin kedua orang itu pasti tidak rela putranya dibawa pergi begitu saja, dalam perjalanan pulang ke Leng-siau-sia ini tentu akan banyak rintangan-rintangan bukan saja dari pihak Tiang-liok-pang bahkan juga dari Ciok Jing berdua.

Bila membayangkan pertarungan tadi sungguh Ban-kiam merasa untung sekali, coba kalau api lilin itu tidak kebetulan habis dan padam, tentu bocah she Ciok ini sudah direbut oleh ayah ibunya, bahkan dirinya terhina habis-habisan boleh jadi jiwa bisa melayang pula.

Sesudah tenangkan diri, kemudian Ban-kiam coba mencari batu ketikan api pada tubuh salah seorang Sutenya, perbekalannya sendiri telah dia titipkan kepada Houyan Ban-sian ketika dia hendak menuju ke sarang Tiang-lok-pang.

Waktu api sudah diketik menyala, baru saja dia hendak mencari sebatang lilin, mendadak ia melongo kaget, ternyata Ciok Boh-thian yang menggeletak di sebelahnya tadi sekarang sudah lenyap.

Di samping kaget Pek Ban-kiam menjadi merinding pula, yang terpikir olehnya ialah ada setan. Sebab kalau bukan setan atau badan halus tentu tidak mungkin Ciok-Boh-thian lenyap dalam sekejap saja.

Tanpa pikir ia membuang kertas api yang sudah menyala itu, dengan pedang terhunus ia lantas berlari keluar kelenteng. Di luar keadaan sunyi senyap, di sekitar situ tiada suatu bayangan seorang pun, yang terdengar hanya suara jangkrik dan serangga-serangga malam belaka.

Semula Ban-kiam berpikir ada setan, tapi segera disadarinya, bahwa di sekitar situ tentu ada tokoh kosen yang sedang mengintip, dia sedang mencari batu api. Kesempatan itu digunakan oleh orang kosen untuk menolong Ciok Boh-thian.

Segera ia melompat ke atas rumah dan memandang sekelilingnya, hanya di jurusan tenggara sana ada segerombolan semak-semak pohon yang dapat dibuat sembunyi, segera ia melompat turun dan memburu ke tepi hutan itu, bentaknya, “Kenapa mesti main sembunyi-sembunyi, kalau laki-laki sejati, hayolah keluar bertempur sampai titik terakhir.”

Tapi sudah ditunggu sekian lamanya keadaan di dalam hutan tetap tiada sesuatu jawaban apa-apa, dasar kepandaiannya tinggi dan nyalinya besar, tanpa pikir lagi Ban-kiam lantas menerjang ke dalam hutan. Tapi di dalam hutan keadaan juga sepi dan kosong, hanya angin meniup silir-silir dan suara keresek jatuhnya daun-daun kering.

Seketika rasa takabur Pek Ban-kiam lantas lenyap. Pertempuran tadi sudah membuatnya tidak berani lagi memandang enteng kepada kesatria-kesatria di jagat ini, sekarang ia lebih-lebih merasa di luar langit ini masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai. Lapat-lapat timbul juga perasaan cemasnya, teringat kematian putrinya yang mengenaskan, tanpa terasa ia menjadi berduka. Ia menghela napas panjang dan putar kembali ke dalam kelenteng Toapekong tadi. Ia menyalakan api lagi dan menyulut sebatang lilin, lalu menolong para Sutenya yang ditutuk oleh Bin Ju tadi. Tapi ia menjadi kaget pula.

Jilid 17

Tiba-tiba Ban-kiam tercengang kaget lagi. Ternyata di pipi kiri Houyan Ban-sian, Bun Ban-hu dan lain-lain masing-masing terdapat bekas tamparan yang jelas, kelihatan bekas lima jari tangan. Bekas tamparan itu hitam gosong dan melekuk beberapa mili dalamnya.

“Sia siapa ... siapa? Siapakah yang memukul kalian ini? Ka ... kapan terjadinya?” demikian Ban-kiam bertanya dengan suara terputus-putus.

Dilihat dari bekas tamparan yang kecil itu, agaknya adalah tangan kaum wanita. Biasanya Pek Ban-kiam jarang menjelajahi Tionggoan, tapi sering ia mendengar cerita dari ayahnya tentang kejadian-kejadian yang menarik di dunia persilatan, walau pengalamannya sedikit, tapi pengetahuannya cukup luas.

Ia lihat bekas tamparan yang berwarna hitam gosong itu bukan bekas pukulan Hek-sah-ciang atau Thiat-sah-ciang (pukulan pasir hitam dan pasir besi), sebab kalau kedua macam pukulan itu tentu yang terkena sudah binasa sejak tadi, tapi sekarang para Sutenya itu hanya ringan saja lukanya, bahkan terdengar Houyan Ban-sian dapat berteriak-teriak, “Setan alas, aku sama sekali tidak tahu siapakah yang menggampar diriku!”

“Keparat, merunduk orang secara diam-diam, babi ....” demikian Bun Ban-hu juga mencaci maki.

Ternyata tiada seorang pun yang tahu siapa yang telah menyerang mereka secara menggelap itu. Yang jelas ketika Ban-kiam berlari ke luar kelenteng dengan pedang terhunus tadi, mendadak pipi seorang lantas kena ditampar orang, menyusul seorang lagi juga kena digampar, yang dipukul belakangan tidak mendengar suara tamparan yang dipukul lebih dulu, sebaliknya yang terpukul dahulu karena sedang meringis kesakitan sehingga tidak mendengar kawan di sebelahnya juga kena pukulan, kemudian Ban-kiam masuk kembali dan menyalakan lilin barulah mereka mengetahui semua kawannya rata-rata telah diserang orang. Tadinya mereka menyangka dirinya sendiri saja yang mengalami nasib sial.

Ban-kiam termenung-menung tanpa memberi komentar apa-apa, ia menduga orang yang menolong Ciok Boh-thian dan yang menyerang para Sutenya itu tentu terdiri dari satu orang yang sama. Terang sesudah menolong Ciok Boh-thian orang itu masih bersembunyi di dalam kelenteng, ketika dirinya mengejar keluar, lalu, dengan sebebasnya ia menggampar para Sutenya setiap orang satu kali, habis itu barulah Ciok Boh-thian dibawa pergi. Orang itu dapat memukul tanpa mengeluarkan suara, yang digunakan adalah tenaga dalam yang lunak, kepandaiannya dan kecerdikannya terang bukan orang sembarangan, Ban-kiam menjadi ngeri membayangkannya.

Kiranya lukanya tidaklah parah karena dia sendiri yang menumbuk ujung pedangnya Bin Ju, rasanya juga tidak terlalu sakit. Ketika Ciok Jing dan Bin Ju dipaksa pergi, keadaan di dalam kelenteng lantas gelap gulita, tiba-tiba ia merasa mulutnya didekap sebuah tangan, lalu badannya diseret orang dengan perlahan-lahan dan akhirnya sampai di kolong meja sembahyang.

Tidak lama kemudian terasa pula orang itu mengempitnya terus membawanya lari keluar kelenteng, tidak terlalu lama lalu melompat ke atas sebuah perahu, menyusul ada orang menyalakan pelita.

Waktu Boh-thian membuka mata, tertampak orang berada di sampingnya dengan memegang pelita itu tak-lain-tak-bukan adalah si Ting Tong.

“Hai, Ting-ting Tong-tong, kiranya kau yang telah membawa aku ke sini?” seru Boh-thian dengan girang.

Tapi mulut Ting Tong tampak mencibir, omelnya malah, “Babi mampus kau, masakah siapa yang membawa kau ke sini juga tidak tahu. Yaya yang telah menyelamatkan kau, tahu?”

Boh-thian menoleh, dilihatnya Ting Put-sam berada di haluan perahu dengan duduk berpangku dengkul sedang memandang ke udara, sedikit pun tidak menggubris padanya. Maka ia lantas menyapa, “Yaya untuk ... untuk apakah membawa aku ke sini?”

“A Tong,” tiba-tiba Ting Put-sam mendengus tanpa menggubris Boh-thian, “orang ini adalah orang sinting, buat apa kau menjadi istrinya? Toh kau belum tidur bersama dia, sebelum telanjur lebih baik kau bunuh dia saja.”

“Tidak, tidak!” sahut Ting Tong dengan gugup. “Engkoh Thian telah menderita sakit keras sehingga banyak kejadian-kejadian di masa lampau terlupa olehnya. Lambat laun dia tentu akan sehat kembali. Engkoh Thian, coba kuperiksa lukamu.”

Dengan hati-hati Ting Tong lantas membuka baju Ciok Boh-thian, dengan saputangan ia mengusap darah di sekitar luka itu, lalu membubuhkan obat luka, akhirnya ia menyobek ujung baju sendiri untuk membalut luka di dada anak muda itu.

“Terima kasih, Ting-ting Tong-tong!” kata Boh-thian. “Eh, apakah tadi kau dan Yaya sembunyi di kolong meja sana? Haha, sungguh sangat menarik main sembunyi-sembunyian begitu!”

“Jiwamu sendiri hampir amblas masih bilang sangat menarik segala?” semprot Ting-Tong. “Pertarungan sengit antara ayah-ibumu melawan orang she Pek itu sungguh membikin hatiku ikut berdebar-debar.”

“Ayah-ibuku?” Boh-thian menegas dengan heran. “Kau bilang tuan yang berbaju hitam mulus itu adalah ayahku? Tapi wanita cantik itu bukanlah ibuku ... ibuku tidak demikian mukanya, tidak secantik nyonya tadi.”

Ting Tong menghela napas, katanya kemudian, “Engkoh Thian, sakitmu itu benar-benar telah membikin susah padamu, sampai-sampai ayah ibunya sendiri pun sudah terlupa. Kulihat caramu memainkan ke-72 jurus Swat-san-kiam-hoat itu pun sangat kaku dan belum hafal betul, jangan-jangan sampai ilmu silatnya sendiri juga kau lupakan sama sekali? Ai, mana boleh jadi begini.”

Kiranya sudah Ciok Boh-thian ditawan dan dilarikan oleh Pek Ban-kiam, segera Ting Put-sam dan Ting Tong mengejarnya sepanjang jalan. Kejadian-kejadian Pek Ban-kiam memberi petunjuk ilmu pedang kepada para Sutenya dan kedatangan Ciok Jing suami-istri ke dalam kelenteng lalu bertempur, semua itu dapat disaksikan oleh Ting Put-sam dan si Ting Tong.

Waktu Ting Put-sam berhasil menolong Ciok Boh-thian, Ting Tong juga tidak mau tinggal diam, ia mengeluarkan ilmu pukulan keluarga Ting yang ternama dan memberi persen satu kali tamparan pada tiap-tiap murid Swat-san-pay. Terhadap Pek Ban-kiam rupanya si Ting Tong benar-benar jeri, maka sebelum tokoh Swat-san-pay itu masuk kembali ke dalam kelenteng ia sudah lantas kabur lebih dulu menyusul kakeknya.

Begitulah maka Boh-thian telah menjawab dengan heran, “Kau bilang ilmu silat? Ilmu silat apa? Sama sekali aku tidak bisa ilmu silat. Apa yang kalian bicarakan aku pun tidak paham.”

Mendadak Ting Put-sam berdiri, katanya dengan suara bengis, “A Tong, apa barangkali pikiranmu sudah butek atau bebal, makanya menyukai seorang bocah tolol dan sinting seperti dia ini? Biarlah sekali hantam kumampuskan dia saja. Pendek kata kau tidak perlu khawatir, kakek tanggung jawab untuk mencarikan seseorang kesatria muda yang gagah, tampan dan serbapandai untuk menjadi suamimu.”

“Aku .... aku tak mau, aku tidak inginkan kesatria muda lain yang tampan dan pintar apa segala,” jawab Ting Tong dengan terguguk-guguk dan air mata berlinang-linang. “Dia ... dia toh bukan orang sinting, hanya saja karena ... karena dia habis sakit keras, mungkin pikirannya belum jernih kembali.”

“Belum jernih apa?” bentak Ting Put-sam dengan gusar. “Siapa saja yang menyaksikan kelakuannya yang memuakkan di dalam kelenteng itu pasti meledak dadanya saking gusarnya dan gemasnya. Coba bayangkan, caranya bergerak yang ngular-kambang seperti anak kecil yang baru belajar, setiap jurus selalu salah dan kaku, banyak lubang kelemahannya, hehe, sudah terang orang telah menarik kembali pedangnya, tapi anak gebleg ini justru menumbukkan badannya sendiri dan baru puas kalau sudah terluka. Hm, manusia goblok seperti begini ada lebih baik kumampuskan saja daripada kelak dibunuh orang lain. Jangan-jangan akan tersiar di kalangan Kangouw bahwa cucu menantu Ting Put-sam telah dibunuh orang, kan aku yang malu. Maka, ada lebih baik dimampuskan sekarang saja, harus dibunuh.”

Ting Tong hanya menggigit bibir dan terdiam. Ia kenal watak sang kakek, kalau beliau sudah berkata demikian, maka pasti akan dilakukannya demikian pula, percuma saja untuk berdebat atau membantah pendiriannya itu. Sejenak kemudian barulah ia berkata, “Yaya, habis cara bagaimanakah supaya engkau tak jadi membunuhnya?”

“Ha, mengapa aku tidak jadi membunuhnya! Aku harus, ya, harus membunuhnya supaya tidak membikin malu,” kata Ting Put-sam dengan marah-marah. “Bila orang mendengar Ting Put-sam telah membunuh cucu menantunya sendiri, hal ini tidaklah mengherankan, tapi kalau terdengar kabar tentang cucu menantunya Ting Put-sam dibunuh orang, lantas apa tindakanku?

“Apa tindakanmu? Tentunya membalaskan sakit hatinya!” kata Ting Tong.

“Hahahaha! Kau bilang aku akan membalaskan sakit hati seorang goblok sebagai dia? Haha, kau anggap kakekmu ini orang macam apa?

“Habis bagaimana, kan salahnya kakek sendiri?” sahut Ting Tong sambil menangis. “Engkau yang suruh aku menikah dengan dia, secara resmi dia adalah suamiku, kalau engkau membunuhnya, bukankah aku akan menjadi janda?”

Ting Put-sam menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, katanya kemudian, “Tatkala itu aku telah menjajal dia dan merasa Lwekangnya sangat tinggi dan memenuhi syarat untuk menjadi cucu menantuku, siapa tahu dia ternyata seorang sinting. Jika kau berkeras tidak memperbolehkan aku membunuhnya, hal ini boleh juga asal kau memenuhi sesuatu syaratku.”

Ting Tong menjadi girang karena ada harapan menyelamatkan sang suami, segera ia bertanya, “Syarat apa? Lekas katakan, lekas!”

“Sudah kukatakan dia adalah seorang sinting dan harus dibunuh, tapi kau bilang dia tidak sinting dan jangan dibunuh. Untuk ini, baiklah, aku memberi batas waktu 10 hari agar dia pergi mencari dan bertanding dengan Pek Ban-kiam itu, dia harus membunuh atau mengalahkan orang she Pek yang bergelar ‘Gi-han-se-pak’ itu barulah aku dapat mengampuni jiwanya dan mengizinkan dia menjadi suamimu yang sungguh-sungguh.”

Ting Tong menarik napas panjang mendengar syarat sang kakek itu. Ia pikir ilmu pedang orang she Pek itu sedemikian lihainya, hal ini telah disaksikan sendiri oleh mereka kakek dan cucu berdua. Boh-thian sendiri baru saja sembuh dari sakit keras, sekarang terluka pula, di dalam sepuluh hari ini cara bagaimana dia dapat berlatih dan mengalahkan seorang ahli pedang sebagai Pek Ban-kiam?

Dengan cemas kemudian Ting Tong berkata, “Yaya, syaratmu ini sudah terang sukar dilaksanakan.”

“Apakah sukar dilaksanakan atau mudah dilakukan, pendek kata bila dia tidak mampu mengalahkan Pek Ban-kiam, segera sekali hantam kumampuskan dia,” sahut Ting Put-sam dengan tegas.

Ting Tong menjadi sedih, ia coba berpaling kepada Boh-thian, tertampak anak muda itu acuh-tak-acuh saja, seperti apa yang dipercakapkan antara Ting Tong dan kakeknya itu sama sekali tiada sangkut paut dengan kepentingannya.

Dengan gemas Ting Tong coba mengisiki Boh-thian, “Engkoh Thian, Yaya memberi tempo dalam waktu sepuluh hari supaya kau mengalahkan Pek Ban-kiam itu, bagaimana, apakah kau sanggup?”

“Mengalahkan Pek Ban-kiam? Haya, mana bisa, ilmu pedangnya teramat lihai, siapa pun bukan tandingannya, apalagi diriku?” sahut Boh-thian dengan melenggong.

“Ya, tapi kakek bilang bila kau tidak mampu mengalahkan dia, maka kau yang akan dibunuh oleh kakek,” kata Ting Tong.

“He, he, orang tidak apa-apa mengapa hendak dibunuh?” sahut Boh-thian dengan tertawa. “Ah, kakek hanya berkelakar saja dengan kau, masakah kau anggap sungguh-sungguh? Kakek adalah orang baik dan bukan orang jahat, masakah dia akan ... akan membunuh aku?”

Ting Tong menghela napas panjang, pikirnya, “Engkoh Thian benar-benar agak sinting tampaknya, segala apa selalu angin-anginan. Jalan paling baik sekarang ialah menyanggupi dulu syarat kakek tadi, di dalam sepuluh hari semoga dapat diperoleh sesuatu akal dan kesempatan agar Engkoh Thian bisa melarikan diri dengan selamat.”

Karena itu ia lantas berkata pada Ting Put-sam, “Baiklah, kakek, aku terima syaratmu, di dalam sepuluh hari akan kuminta dia pergi mencari dan mengalahkan Pek Ban-kiam.”

“Ya, sekarang kakek sudah merasa lapar, lekas pergi menanak nasi,” sahut Ting Put-sam dengan tertawa dingin. “Biarlah kukatakan padamu, pertama tidak ajar, kedua jangan lari, ketiga tidak ampun. Tidak ajar ialah kakek sekali-kali takkan mengajarkan ilmu silat kepada seorang sinting. Jangan lari ialah supaya kau jangan sekali-kali bermaksud melepaskan dia untuk melarikan diri, asal kakek mengetahui dia bermaksud lari, di dalam waktu singkat tentu aku dapat menemukan dia dan membinasakan dia lebih cepat daripada waktu sepuluh hari. Tentang tidak ampun, sudah cukup jelas, tidak perlu kukatakan lagi.”

“Jika engkau mengatakan dia seorang sinting, maka biarpun engkau mengajarkan ilmu silat padanya juga dia takkan bisa, buat apa mesti menyatakan tidak akan mengajar ilmu silat padanya?” ujar Ting Tong.

“Kau tidak perlu memancing aku,” sahut Ting Put-sam dengan tersenyum. “Padahal, andaikan kakek mau mengajarkan dia, di dalam waktu sepuluh hari juga tidak mungkin dia mampu mengalahkan Pek Ban-kiam? Huh, biarpun 10 tahun mendidik dia juga percuma saja.”

Mendadak pikiran Ting Tong tergerak, katanya, “Baik, kakek tidak mau mengajar dia, biar aku saja yang mengajarnya mengalahkan Pek Ban-kiam? Huh, biarpun sepuluh tahun mendidik dia juga percuma saja.”

Tatkala itu perahu mereka itu sudah di pasang layarnya dan mendapat angin buritan sedang berlayar ke hulu sungai melawan arus. Cuaca sudah mulai terang, fajar telah menyingsing, tapi di permukaan sungai penuh kabut melulu.

“A Tong kau tidak mau masak, apakah kau sengaja membikin kakek mati kelaparan?” kata Ting Put-sam dengan gusar.

“Engkau hendak membunuh suamiku, lebih baik aku membikin kau mati kelaparan dulu,” sahut Ting Tong.

“Budak setan yang kurang ajar! Hayo, lekas menanak nasi,” semprot Ting Put-sam pula. Tapi Ting Tong tidak menggubris sang kakek lagi, ia berkata kepada Ciok Boh-thian, “Engkoh Thian, biarlah aku mengajarkan semacam kepandaian padamu, tanggung di dalam 10 hari saja pasti dapat mengalahkan Pek Ban-kiam itu.”

“Huh ngaco-belo! Sedangkan aku saja tidak mampu mengajarkan dia secepat itu, masakah kau si budak cilik ini mampu?” omel Ting Put-sam. Begitulah kakek dan cucu itu terus bertengkar mulut, padahal di dalam hati si Ting Tong sangat gelisah dan sedih, ia tidak tahu cara bagaimana supaya bisa membujuk sang kakek agar tidak jadi membunuh Ciok Boh-thian. Ia kenal watak kakeknya yang aneh, biar memohon dengan sangat juga tiada gunanya, jalan satu-satunya harus mencari suatu akal yang licin sehingga orang tua itu mau menarik kembali keputusan secara sukarela. Pikir Ting Tong, “Kalau aku tidak memasak baginya, bila sudah lapar terpaksa dia akan menyuruh perahu ini berlabuh dan mendarat untuk membeli makanan, kesempatan itu akan dapat digunakan oleh Engkoh Thian untuk melarikan diri.”

Tak tersangka ketika melihat Ting Put-sam bermuka masam dan menyatakan kelaparan, Ciok Boh-thian yang merasa dirinya juga sudah lapar dengan tiba-tiba ia terus berbangkit dan berkata, “Biarlah aku menanakkan nasi bagimu?”

Dasar anak muda ini memang seorang berhati polos, ternyata sama sekali ia tidak paham maksud tujuannya Ting Tong.

Keruan anak dara itu menjadi gusar, serunya, “Kau baru saja terluka, kalau bekerja sehingga membikin lukamu tambah parah, lantas bagaimana?”

“Obat luka keluarga Ting kita adalah obat mujarab, sekali dibubuhkan lantas sembuh, pula lukanya tidak berat, kenapa mesti khawatir?” demikian kata Ting Put-sam. “Ya, anak baik, lekas pergi menanak nasi untuk kakek.”

“Dia menanak nasi untukmu, lalu kau masih akan membunuhnya atau tidak?” tanya Ting Tong.

“Menanak nasi adalah menanak nasi, membunuh orang tetap membunuh orang, kedua hal yang berlainan mana boleh dicampuradukkan?” sahut Ting Put-sam. Nyata ia tetap bertekad harus membunuh Ciok Boh-thian menurut batas waktu yang telah ditetapkan.

Waktu Boh-thian meraba dadanya sendiri, ternyata tidak terlalu sakit lagi. Segera ia menuju ke buritan perahu untuk mencuci beras dan menanak nasi. Ia melihat seorang tukang perahu tua sedang memegang kemudi dan duduk di buritan, terhadap pembicaraan mereka bertiga tadi seperti tidak ambil pusing sama sekali.

Dalam hal menanak nasi dan memasak daharan enak adalah kepandaian khas Boh-thian, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama ia sudah selesai menanak sebakul nasi yang hangat-hangat, dan sekejap juga sudah selesai menggoreng dua ekor ikan yang berbau sedap.

Sambil makan Ting Put-sam sambil memuji, katanya, “Jika kepandaian ilmu silatmu ada setengahnya kepandaian memasak seperti ini tentulah kakek tidak akan membunuh kau. Tapi sayang, sungguh sayang. Coba kalau tempo hari kau tidak menikah dengan A Tong, tapi hanya menjadi kokiku saja, jangankan membunuh kau, andaikan orang lain yang akan membunuh kau juga kakek akan membela kau malah.”

Dalam pada itu si Ting Tong telah mengisi semangkuk nasi dan mengambil setengah ekor ikan goreng dan dibawa ke buritan untuk si tukang perahu.

Selesai makan, Boh-thian dan Ting Tong bersama-sama mencuci mangkuk dan piring di buritan perahu. Melihat sang kakek duduk di haluan perahu, dengan suara berbisik Ting Tong lantas berkata, “Sebentar aku akan mengajarkan sejurus Kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang) padamu, hendaklah kau mempelajarinya dengan baik-baik.”

“Sesudah mempelajarinya apakah akan digunakan untuk bertanding dengan Pek-suhu itu?” tanya Boh-thian.

“Ai, apakah engkau benar-benar-orang sinting? O, Engkoh Thian, dahulu ... dahulu engkau toh tidak seperti ini,” kata Ting Tong.

“Dahulu bagaimana keadaanku?” tanya Boh-thian. Muka Ting Tong menjadi bersemu merah, sahutnya kemudian, “Dahulu bila kau bertemu dengan aku, mulutmu sungguh lebih manis daripada madu, kau banyak bergurau sehingga membikin hatiku alangkah senangnya. Apa yang kau katakan selalu di luar dugaan dan sangat mencocoki seleraku. Tapi sekarang ... sekarang engkau telah berubah.”

“Ya, memangnya aku bukan kau punya Engkoh Thian itu,” sahut Boh-thian dengan menghela napas. “Dia pandai membikin senang hatimu, tapi aku tidak dapat. Maka ada lebih baik kau mencari dia saja.”

“O, Engkoh Thian, apakah kau marah padaku?” tanya si anak dara dengan suara setengah meratap.

“Aku mana bisa marah, aku hanya bicara dengan sesungguhnya padamu, tapi kau selalu tidak mau percaya,” ujar Boh-thian sambil menggeleng.

Sambil memandang air sungai yang membanjir lewat di sisi perahu, Ting Tong menggumam sendiri, “Ai, entah kapan barulah dia akan pulih kembali seperti dahulu kala.”

Ia termenung-menung sejenak sehingga tanpa terasa sebuah mangkuk yang dipegangnya itu kecemplung ke dalam sungai dan hanyut ke dalam arus.

“Ting-ting Tong-tong betapa pun aku tak dapat berubah menjadi kau punya Engkoh Thian itu, apabila aku selamanya sin ... sinting seperti ini, maka selamanya pula kau takkan suka padaku bukan?”

“Aku tidak tahu! Aku tidak tahu!” jerit Ting Tong dengan suara tertahan, pedih hatinya seperti disayat-sayat. Saking kesalnya tiba-tiba ia pegang sebuah mangkuk dan dilemparkan pula ke dalam sungai, dan begitu pula berturut-turut diulangi sampai dua-tiga kali.

“Apabila mulutku pandai bicara dan dapat mencerocos terus untuk menyenangkan dirimu, maka aku pun suka untuk berbuat demikian bagimu,” kata Boh-thian. “Namun aku be ... benar-benar bukanlah kau punya Engkoh Thian itu, biar bagaimanapun juga aku tidak dapat menirukan dia.”

A Tong coba mengamat-amati pemuda itu, tatkala mana sang surya baru saja muncul di ufuk timur sehingga muka Ciok Boh-thian kelihatan terang kemerah-merahan, kedua matanya bersinar tajam, air mukanya tampak bersikap sangat tulus dan jujur.

Kembali Ting Tong menghela napas, lalu katanya, “Jikalau engkau bukanlah aku punya Engkoh Thian, mengapa di pundakmu terdapat bekas luka gigitanku? Mengapa engkau juga mempunyai sifat bangor yang sama, suka menggoda wanita dan mempermainkan nona Hoa dari Swat-san-pay itu? Bila engkau adalah aku punya Engkoh Thian, mengapa mendadak kau berubah menjadi angin-anginan seperti orang hilang ingatan, sama sekali kau tidak menarik dan romantis lagi seperti dahulu?”

“Aku adalah suamimu, bukankah ada lebih baik aku berlaku jujur dan setia padamu?” ujar Boh-thian dengan tertawa.

“Tidak, aku lebih suka engkau selincah dan senakal dahulu, apakah kau akan menggoda anak perawan orang lain atau akan mencolong istri orang, pendek kata aku tidak suka kau berlaku sekaku demikian,” kata Ting Tong.

“Mencolong istri orang? Ha, mana boleh jadi? Kalau aku mencuri istri orang lain, kan orang akan kehilangan istri?” ujar Boh-thian.

Ting Tong menjadi kurang senang, ia pikir makin diajak bicara makin ruwet, dasar goblok. Saking gemasnya mendadak ia menjewer kuping Ciok Boh-thian terus dipelintir sekuatnya, sampai-sampai pangkal telinga itu berdarah.

Keruan Boh-thian meringis kesakitan dan tanpa pikir menyampuk dengan tangannya.

Seketika Ting Tong merasa lengannya diketuk oleh suatu tenaga yang mahakuat, tanpa kuasa tangannya lantas terlepas, bahkan tubuhnya sampai tersentak ke belakang dan hampir-hampir mematahkan tiang layar yang ditumbuknya. Ia menjerit kaget dan memaki, “Setan, apa kau hendak mengajar istrimu? Kenapa pakai tenaga begitu besar?”

“Ai, maaf, maaf, aku ... aku tidak sengaja,” sahut Boh-thian cepat.

Waktu Ting Tong periksa lengan sendiri, ternyata sudah matang biru di tempat yang tersampuk itu. Tiba-tiba wajahnya yang uring-uringan tadi berubah menjadi girang, ia memegang kedua tangan Ciok Boh-thian dan digoyang-goyangkan, katanya, “Engkoh Thian, kiranya kau memang sengaja pura-pura saja untuk menipu aku.”

“Pura-pura apa?” sahut Boh-thian dengan bingung.

“Ilmu silatmu kan sama sekali tidak berkurang?” Ting Tong menegas.

“Aku ... aku tidak paham ilmu silat apa segala,” sahut Boh-thian.

Ting Tong menjadi marah lagi, omelnya, “Kau sengaja ngaco-belo lagi, lihatlah kalau aku mau gubris padamu.”

Habis berkata, segera ia hendak menampar pipi kiri Boh-thian.

Cepat Boh-thian mengegos dan hendak menangkis. Tapi ilmu pukulan si Ting Tong adalah sedemikian cepatnya, dengan sendirinya tangkisan Boh-thian itu mengenai tempat kosong, tahu-tahu pipinya terasa kesakitan, secara tidak bersuara sudah kena dipukul oleh Ting Tong.

Kembali Ting Tong menjerit kaget, bahkan mengandung rasa khawatir yang melebihi tadi. Kiranya ia menyangka ilmu silat Ciok Boh-thian belum punah dan dengan sendirinya akan dapat menghindarkan tamparannya itu dengan gampang, sebab itulah pukulannya itu telah menggunakan tenaga lunak yang berbisa dingin. Maklum, setiap pukulan kalau tidak membawa tenaga dalam tentu akan kurang cepat dan gesit. Siapa duga cara menangkis Ciok Boh-thian ternyata sedemikian lamban dan bodoh, seakan-akan seorang yang sama sekali tidak paham ilmu silat, keruan tamparannya dengan tepat lantas mengenai pipinya.

Sambil memegangi tangan sendiri yang digunakan menampar itu, Ting Tong melihat di pipi kiri Boh-thian sudah terdapat cap tangan berwarna hitam dan gosong melekuk. Ia menjadi menyesal dan malu pula, ia merangkul pinggang Boh-thian dan menempelkan pipi sendiri ke pipi anak muda itu, katanya sambil menangis, “O, Engkoh Thian, sungguh aku tidak tahu bahwa sebenarnya keadaanmu belum pulih kembali seluruhnya.”

Ada wanita cantik di dalam pelukan, Ciok Boh-thian menjadi lupa kepada pipinya yang sakit, katanya dengan menghela napas, “Ting-ting Tong-tong, sebenarnya apa sebabnya kau sebentar senang dan sebentar marah? Sungguh aku tidak paham.”

“O, bagai ... bagaimana baiknya? Bagaimana baiknya?” kata Ting Tong.

Segera ia melepaskan diri dari pelukan Boh-thian, ia mengeluarkan sebuah botol porselen kecil dan menuang sebutir obat pil serta suruh Boh-thian meminumnya, katanya, “Semoga takkan meninggalkan bekas di atas pipimu itu.”

Begitulah kedua muda-mudi itu duduk saling bersandar di buritan perahu, untuk sesaat keduanya sama-sama diam saja.

Selang agak lama, tiba-tiba Ting Tong membisiki Boh-thian, “Engkoh Thian, sesudah kau menderita sakit keras, rupanya ilmu silatmu telah kau lupakan semua, tapi tenaga dalamnya tidaklah terlupa. Biarlah aku mengajarkan ilmu Kim-na-jiu-hoat itu padamu.”

“Jika kau mau mengajar padaku, tentu aku akan mempelajarinya,” sahut Boh-thian.

Dengan jarinya yang halus lentik perlahan-lahan Ting Tong meraba lekuk cap tangan bekas tamparannya tadi di pipi anak muda itu, sungguh rasa menyesalnya tak terhingga. Mendadak ia mencium sekali pipi Boh-thian di tempat cap tangan itu.

Seketika kedua muda-mudi sama-sama merah jengah. Untuk menutupi perasaan malunya, cepat Ting Tong berdiri, ia membetulkan rambutnya, lalu memainkan ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat dan diikuti oleh Boh-thian dengan cermat. Selesai ia memain, lalu Boh-thian disuruhnya bergebrak dengan dia.

Dasar bakat Boh-thian memang amat tinggi, otaknya juga cerdas, hanya satu kali diberi contoh saja ia sudah ingat dengan baik.

Dengan cepat tiga hari telah lalu, sementara itu ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat itu sudah terlatih sangat hafal oleh Ciok Boh-thian. Meski Kim-na-jiu-hoat itu hanya meliputi 18 jurus saja, tapi tiap-tiap jurus di antaranya membawa perubahan yang tak terbatas, ada yang belasan macam, ada yang membawa berpuluh macam perubahan ikutan, semuanya sangat ruwet dan bagus.

Di dalam tiga hari sementara luka di dada Boh-thian sudah hampir sembuh seluruhnya, maka sepanjang hari dia hanya mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari ilmu Kim-na-jiu-hoat menurut ajaran si Ting Tong.

Ting Put-sam hanya menyaksikan kelakuan kedua muda-mudi itu dengan acuh tak acuh, terkadang ia pun suka mengejek dan menyindir.

Perahu mereka yang berlayar ke hulu itu perlahan-lahan telah sampai di tempat yang sunyi dan jauh dari rumah penduduk. Melihat kemajuan Ciok Boh-thian yang sangat pesat itu, diam-diam si Ting Tong sangat senang. Suatu kali waktu mendengar kakeknya mengejek Boh-thian sebagai orang sinting lagi, kontan ia lantas berkata, “Yaya, ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat keluarga Ting kita ini kalau disuruh belajar seorang sinting harus makan waktu berapa lamanya untuk bisa dipahami benar-benar?”

Ting Put-sam menjadi bungkam dan tak bisa menjawab. Ia menyaksikan sendiri Ciok Boh-thian telah dapat mempelajari Kim-na-jiu-hoat itu dengan baik, jika demikian sesungguhnya anak muda ini bukan seorang tolol, apalagi sinting. Tapi mengapa kelakuannya dan kata-katanya seperti orang miring? Apakah dia pura-pura saja, memang benar telah melupakan segala kejadian di masa lampau lantaran sakit keras yang pernah dideritanya?

Dasar watak Ting Put-sam memang kukuh dan tidak mau kalah, terhadap cucu perempuannya itu ia pun tidak mau kalah berdebat, segera ia menjawab secara pokrol bambu, “Ada juga orang sinting yang pintar, ada pula orang sinting yang goblok, orang sinting yang pintar sudah tentu akan cepat dan hanya setengah hari saja sudah paham diberi ajaran sesuatu, kalau orang sinting yang tolol adalah seperti suamimu itu, harus tiga hari baru bisa.”

“Yaya, dahulu waktu engkau mempelajari Kim-na-jiu-hoat keluarga kita ini memerlukan waktu beberapa hari?” tanya Ting Tong sambil tertawa.

“Masakah aku perlu belajar sampai beberapa hari? Dahulu moyangmu hanya mengajarkan satu kali saja padaku, tidak sampai setengah hari juga Yaya lantas paham seluruhnya,” sahut Ting Put-sam.

“Haha, jika demikian, kiranya Yaya adalah seorang sinting yang pintar,” kata Ting Tong dengan tertawa.

Karena terpegang kelemahan ucapannya tadi, dari malu Ting Put-sam menjadi gusar, dengan mendelik ia membentak, “Hus, budak setan, omong tak keruan!”

Pada saat itulah tiba-tiba ada sebuah perahu sedang mengejar tiba dari sungai sana. Perahu itu memasang layar, dikayuh empat orang pula, badan perahu kecil, meluncurnya menjadi enteng dan cepat, maka makin lama makin mendekati perahu yang ditumpangi Ting Put-sam ini.

Di hulu perahu itu tampak berdiri dua orang lelaki, seorang di antaranya sedang berteriak, “Hai, bocah she Ciok itu apakah berada di dalam perahu di depan itu? Lekas berhenti! Lekas berhenti!”

Ting Tong hanya mendengus sekali saja, katanya, “Yaya, rupanya orang Swat-san-pay sedang mencari Engkoh Thian pula.”

“Itulah paling baik,” sahut Ting Put-sam dengan senang. “Biarkan si sinting ini ditangkap mereka untuk dicincang, dengan demikian barulah terkabul cita-cita kakek.”

“Yang akan ditangkap si sinting yang pintar atau si sinting yang tolol?” tanya Ting Tong.

“Sudah tentu si sinting yang tolol yang akan ditangkap, siapa sih yang berani menangkap si sinting yang pintar,” sahut Ting Put-sam.

“Ya, memang ilmu silat si sinting yang pintar ini sedemikian lihainya, siapa yang berani mengganggu seujung rambutnya?” ujar Ting Tong dengan tersenyum.

Ting Put-sam tertegun, segera ia sadar ucapannya yang kasar tadi, bentaknya dengan gusar, “Budak alas, kau berani putar kayun dan memaki kakekmu?”

Tengah bicara, sementara itu perahu kecil tadi sudah makin mendekat. Ting Put-sam dan Ting Tong duduk di dalam hanggar perahu, dengan tenang mereka mengikuti apa yang akan terjadi.

Maka terdengarlah kedua lelaki yang berdiri di haluan perahu sana sedang membentak dengan marah-marah, “Hai, orang itu, tampaknya kau adalah bocah dari she Ciok dari Tiang-lok-pang itu, mengapa kau tidak lekas menghentikan perahumu?”

Boh-thian menjadi gugup, serunya kepada si Ting Tong, “He, Ting-ting Tong-tong, ada orang mengejar tiba, kau bilang apa yang harus kulakukan?”

“Dari mana aku tahu apa yang harus kau lakukan? Kau seorang laki-laki dewasa, masakah sedikit pun tidak dapat mengambil sesuatu keputusan?” sahut Ting Tong.

Pada saat itulah perahu kecil tadi sudah berada kira-kira dua meter jauhnya, sambil menggertak kedua lelaki itu lantas melompat ke buritan perahu yang ditumpangi Ciok Boh-thian, kedua orang sama-sama menghunus pedang.

Boh-thian mengenali kedua orang itu adalah murid-murid Swat-san-pay yang pernah dilihatnya di dalam kelenteng tempo hari itu. Pikirnya, “Entah apa kesalahanku, mengapa orang-orang Swat-san-pay ini selalu mengincar diriku saja, ke mana aku pergi selalu diuber-uber?”

Jilid 18

Dalam pada itu, “sret” pedang salah seorang lelaki Swat-san-pay menusuk ke bahunya.

Dalam beberapa hari ini Boh-thian terus-menerus berlatih dengan si Ting Tong, kadang-kadang kalau dia bergerak sedikit lambat tentu kena ditempeleng atau disikut oleh anak dara itu, sudah banyak pahit getir yang telah dirasakan maka gerak-geriknya sekarang sudah jauh lebih cepat dan gesit daripada waktu bertanding melawan Ciok Jing suami-istri di dalam kelenteng tempo hari. Ketika melihat serangan musuh tiba, tanpa pikir lagi ia lantas menggunakan jurus kedelapan dari Kim-na-jiu-hoat yang disebut “Hong-bwe-jiu” (tangkapan ekor angin), tangan kanan memutar ke atas, orangnya mendesak maju, kontan pergelangan tangan lawan dipegang terus dipuntir.

Waktu orang itu menjerit kesakitan dan melepaskan senjatanya, berbareng Ciok Boh-thian lantas mengangkat sikutnya, “plok”, tepat janggut orang itu kena disikut, tanpa ampun lagi janggut orang itu pecah, darah bercucuran dan gigi rontok belasan biji, semuanya termuntah di geladak perahu.

Sama sekali Boh-thian tidak menduga bahwa jurus “Hong-bwe-jiu” itu akan membawa hasil yang sedemikian lihainya, ia menjadi terlongong-longong sendiri dengan hati berdebar-debar.

Orang Swat-san-pay yang kedua mestinya hendak maju membantu sang kawan untuk mengeroyok Ciok Boh-thian, tapi hanya dalam sekejap saja dilihatnya sang Suheng yang menyerang lebih dulu itu sudah terluka parah, padahal ilmu silat Suhengnya jauh lebih tinggi daripadanya, andaikan ia ikut maju juga pasti akan mengalami nasib yang sama, terpaksa ia tidak berani main garang lagi, paling penting menolong sang Suheng lebih dulu, segera ia melompat maju dan memondong sang Suheng.

Saat itu kebetulan perahunya yang kecil itu sedang meluncur sejajar dengan perahu besar yang ditumpangi Ciok Boh-thian, sambil membawa Suhengnya yang terluka segera ia melompat kembali ke perahunya sendiri dan memerintahkan tukang perahu menurunkan layar dan membelokkan haluan, maka dalam sekejap saja kedua kendaraan air itu sudah berpisah jauh, perahu kecil itu telah meluncur kembali ke hilir.

Ciok Boh-thian masih terkesiap dan merasa menyesal sambil memandangi belasan biji gigi dan darah yang berceceran di geladak kapalnya.

Dalam pada itu Ting Tong telah keluar dari hanggar perahu dan mendekati anak muda itu, katanya dengan tersenyum, “Engkoh Thian, jurus ‘Hong-bwe-jiu’ yang kau mainkan barusan sungguh sangat bagus dan tepat.”

“Ai, mengapa sebelumnya kau tidak menerangkan padaku bahwa jurus ini sedemikian hebatnya bila mengenai lawan, tahu begini tentu aku tidak mau mempelajarinya,” sahut Boh-thian sambil menggeleng-geleng.

Perasaan Ting Tong menjadi sedih pula, ia pikir penyakit si sinting ini kembali kumat lagi, bicaranya telah melantur tak keruan. Katanya kemudian, “Jika sudah belajar ilmu silat, sudah tentu lebih lihai akan lebih baik. Coba kalau tadi jurus Hong-bwe-jiu yang aku mainkan itu tidak bagus dan tepat, tentu bahumu sendiri sekarang sudah tertembus oleh pedangnya. Pendek kata dalam hal ilmu silat hanya ada dua pilihan, melukai orang atau dilukai orang. Nah, coba kau ingin pilih yang mana? Padahal hanya membikin rontok belasan biji gigi juga cuma luka yang ringan saja, pertarungan di dunia persilatan setiap saat ada kemungkinan jiwa akan terancam. Kau memang berhati nurani baik, sebaliknya pihak lawan berhati jahat, jika kau tadi sudah terbunuh, biarpun hatimu lebih baik seratus kali juga tidak guna.”

Boh-thian termangu-mangu tak bicara, akhirnya ia menggumam, “Paling baik kalau kau mengajarkan semacam kepandaian padaku, kepandaian yang tidak dapat melukai atau membunuh orang, sebaliknya juga tidak mungkin dapat dilukai atau dibunuh orang. Dengan demikian kepada siapa pun kita akan berkawan saja dan takkan bermusuhan.”

“Omong kosong, ngaco-belo belaka,” sahut Ting Tong dengan tersenyum getir. “Setiap orang yang belajar silat, sekali sudah bergebrak tentu berarti mengadu jiwa. Memangnya kau sangka cuma permainan anak kecil saja?”

“Aku lebih suka permainan anak kecil daripada berkelahi dan mengadu jiwa,” ujar Boh-thian.

“Dasar orang linglung, sialan bagi mereka yang bicara dengan kau,” omel Ting Tong dengan mendongkol. Saking jengkelnya ia tidak gubris lagi pada anak muda itu, ia masuk ke dalam hanggar perahu dan merebahkan diri.

“Nah, apa kataku? Betul tidak buktinya? Sekali sinting tetap sinting. Ilmu silatnya tinggi tetap seorang sinting, ilmu silatnya jelek juga tetap sinting. Bukankah lebih baik dibunuh saja daripada membikin mangkel belaka,” demikian Ting Put-sam membubui.

Diam-diam Ting Tong bergerak juga perasaannya, ia merasa bila Engkoh Thian itu selalu linglung begini, cara bagaimana dirinya dapat hidup didampingnya selama hidup ini? Daripada tersiksa lahir batin, memang ada lebih baik dibunuh saja seperti anjuran kakek dan segala urusan menjadi beres.

Tapi segera terpikir pula olehnya pada masa sebelum Engkoh Thian jatuh sakit, tatkala mana entah betapa banyak katanya yang menarik dan manis sebagai madu, biarpun tak berkata apa-apa, asal dia memandang sekejap saja pada dirinya, maka rasanya pandangan itu pun penuh mengandung kata-kata yang merayu kalbu dan memabukkan.

Siapa duga sesudah berpisah, kekasih yang dirindukan itu lantas jatuh sakit, kekasih yang pintar dan ganteng itu lantas berubah menjadi seorang linglung dan ketololan sebagai tonggak kayu. Makin dipikir makin kesal sehingga air matanya bercucuran, akhirnya ia membenamkan kepalanya ke dalam selimut dan menangis sesenggukan.

“Apa gunanya menangis? Dengan menangis toh takkan dapat mengubah seorang tolol menjadi pintar,” jengek Ting Put-sam.

“Kalau aku mengubah seorang sinting yang tolol menjadi seorang sinting yang pintar, boleh tidak?” sahut Ting Tong dengan sengit.

“Ngaco-belo lagi!” semprot Ting Put-sam.

Ting Tong masih terus menangis, pikirnya, “Kalau melihat sikap dan tutur kata nona Hoa dari Swat-san-pay itu, tampaknya dia toh belum diganggu oleh Engkoh Thian, jika demikian, sifat kebangoran Engkoh Thian terhadap kaum wanita sekarang sudah berubah, terang dia tidak mirip seorang laki-laki sejati pula. Bila aku menikah dengan seorang suami yang kaku dan tolol sedemikian, lalu apakah aku bisa hidup bahagia?”

Begitulah ia terus menangis sampai setengah harian, terpikir olehnya dirinya secara resmi sudah menjadi istri orang, selama beberapa hari ini mereka selalu bergaul dengan rapat, di waktu tidur mereka pun selalu berdampingan, tapi jangankan hidup layak sebagai suami-istri, sedangkan mencium saja, bahkan memegang tangan atau kakinya saja tidak pernah dilakukan pemuda itu. Hidup sedemikian masakah mirip suami-istri yang baru saja kawin?

Dalam pada itu terdengar suara mendengkur Ciok Boh-thian yang lelap di buritan perahu, pemuda itu sedang bermimpi di alamnya sendiri, seketika Ting Tong menjadi naik darah, diam-diam ia mengeluarkan goloknya, pikirnya dengan mengertak gigi, “Suami yang tolol sebagai tonggak kayu demikian apa gunanya dibiarkan hidup di dunia ini?”

Segera ia bangun dan menuju ke buritan perahu, terdengar suara mendengkur si tukang perahu yang keras, Ciok Boh-thian yang tidur tidak di sebelah tukang perahu itu ternyata tidak berasa sama sekali, diam-diam Ting Tong mendongkol, katanya di dalam hati, “Engkoh Thian, kau sendirilah yang telah berubah dan jangan salahkan aku berlaku kejam.”

Ia angkat goloknya dan hendak membacok ke leher pemuda itu. Tapi mendadak hatinya menjadi lemas, ia tertegun sejenak, kemudian ia berjongkok dan perlahan-lahan menarik pundak Ciok Boh-thian dengan maksud memandangnya untuk penghabisan kalinya sebelum ajal pemuda itu.

Ketika Boh-thian membalik tubuh, di bawah sinar bulan yang remang-remang tertampak mukanya bersenyum simpul, entah impian manis apa yang sedang dialaminya. Kata Ting Tong di dalam hati, “Sebentar lagi kau akan mati, biarkan kau menyelesaikan impianmu dahulu barulah akan kubunuh kau, toh hanya dalam waktu tidak lama lagi kita akan berpisah untuk selamanya.”

Maka Ting Tong lantas duduk menunggu di samping Ciok Boh-thian, ia pandang muka pemuda itu, asal senyuman yang tersimpul di muka pemuda itu sudah lenyap, segera goloknya akan membacok.

Selang sejenak, tiba-tiba terdengar Ciok Boh-thian berkata dalam keadaan tak sadar, “He, Ting-ting Ting-tong, sebab ... sebab apakah kau marah? Tapi ... tapi di waktu marah kau menjadi ... menjadi lebih-lebih cantik, ya, lebih cantik, biarkan aku memandang kau selama seratus hari seratus malam juga tidak cukup rasanya, bahkan seribu hari, selaksa hari, sejuta juga ... juga tidak cukup ....”

Dengan tenang Ting Tong mendengarkan igauan Ciok Boh-thian, pikirannya menjadi terombang-ambing, katanya di dalam hati, “O, Engkoh Thian, kiranya di dalam mimpi kau selalu terkenang padaku. Ucapanmu yang enak didengar ini jika kau katakan padaku di waktu siang bukankah sangat baik? Ai, semoga penyakitmu yang linglung ini pada suatu hari akan lenyap, pikiran sehatmu akan pulih kembali dan dapat mengucapkan kata-kata manis seperti ini kepadaku.”

Tertampak olehnya papan perahu di sebelahnya agak basah terkena air embun, baju yang dipakai Ciok Boh-thian agak tipis, seketika timbul rasa kasih sayang si Ting Tong, segera ia ambil sehelai selimut dan perlahan-perlahan diselimutkan ke atas badan pemuda itu. Untuk sekian lamanya ia termangu-mangu pula memandangi muka sang suami, habis itu barulah dia masuk kembali ke dalam kamar perahu.

Tiba-tiba terdengar Ting Put-sam mengomel, “Tengah malam buta di dalam perahu ini ada seekor tikus kecil yang gentayangan kian kemari, sudah kecil nyalinya, mau turun tangan tidak berani lagi, huh, tiada berguna!”

Ting Tong tahu kelakuannya tadi telah diketahui semua oleh sang kakek, tapi karena dia sedang senang hatinya, maka sindiran orang tua itu sama sekali tak diambil pusing olehnya. Di dalam hatinya hanya teringat ucapan Ciok Boh-thian tadi yang menyatakan, “Di waktu marah kau menjadi lebih-lebih cantik, biarpun kupandang selama sejuta hari juga tidak cukup.”

Mendadak Ting Tong tertawa sendiri, katanya dalam hati, “Engkoh Thian ini memang linglung, sampai di waktu mimpi juga tidak keruan ucapannya. Andaikan manusia dapat hidup seratus tahun juga cuma ada 36 laksa hari, dari mana bisa mencapai sejuta hari lamanya?”

Begitulah si Ting Tong telah sibuk semalam suntuk dengan sebentar senang dan sebentar sedih, sampai menjelang pagi barulah dia dapat terpulas.

Tapi tidak lama ia sudah terjaga bangun lagi oleh suara ribut Ciok Boh-thian, terdengar pemuda itu sedang berteriak-teriak di belakang, “He, sungguh aneh ini! Oi, Ting-ting Tong-tong, mengapa tadi malam selimutmu bisa lari sendiri ke atas badanku? Apa barangkali selimutmu punya kaki?”

Ting Tong menjadi malu, cepat ia melompat bangun dan memburu ke buritan perahu, terdengar Ciok Boh-thian sedang berkata pula sambil memegangi selimutnya, “Ting-ting Tong-tong, coba lihat, aneh atau tidak? Selimut ini ....”

Sebelum pemuda itu selesai berkata si Ting Tong sudah lantas merebut kembali selimut itu sambil membentak dengan suara tertahan, “Hus, omong yang bukan-bukan, selimut berkaki kenapa mesti diherankan dan digegerkan?”

“Ada selimut berkaki kau bilang tidak mengherankan? Di manakah letak kakinya selimut?” Boh-thian menegas.

Sekilas Ting Tong melihat si tukang perahu yang sudah tua itu dengan tersenyum-tak-senyum sedang melirik kepada dirinya sambil mendayung, Ting Tong menjadi merah jengah mukanya, omelnya kepada Ciok Boh-thian, “Mengoceh tak keruan!” Berbareng ia terus hendak menjewer kuping pemuda itu.

Tapi tangan kanan Boh-thian lantas menangkis, secara otomatis ia mengeluarkan sejurus Kim-na-jiu-hoat untuk membela.

Waktu Ting Tong menggunakan tangan lain hendak mencengkeram iga Boh-thian, segera Boh-thian menggunakan siku kiri untuk menahan serangan, berbareng tangan lain digunakan untuk balas mencengkeram pundak si nona.

Begitulah dalam sekejap saja kedua muda-mudi itu telah bergebrak sampai belasan jurus. Makin lama makin cepat serangan si Ting Tong, tapi Ciok Boh-thian juga melayani dengan penuh perhatian, sedikit pun tidak ayal.

Sampai jurus ke-45, Ting Tong telah menggunakan gerakan “Liong-hing-jiau” (cakar naga melayang) untuk mencengkeram kepala Ciok Boh-thian, tapi pemuda itu sempat menangkis dengan cepat luar biasa, rupanya Ting Tong tidak keburu menarik kembali tangannya sehingga Hiat-to bagian pergelangan tangan kena tersabet oleh jari Boh-thian, seketika lengannya terasa kaku pegal, suatu arus tenaga hangat terasa menyalur dari lengannya terus ke pinggang, lalu dari pinggang mengalir ke kaki. Karena tak bisa berdiri tegak lagi, Ting Tong jatuh terkulai dan kebetulan jatuh di atas selimutnya.

Tiba-tiba timbul kejahilan Boh-thian yang bersifat kekanak-kanakan, segera ia membungkus si Ting Tong dengan selimut itu, lalu diangkatnya, katanya dengan tertawa, “Hayo, kenapa kau menjewer kupingku? Biar kulemparkan kau ke dalam sungai untuk umpan ikan.”

Walaupun berpisah oleh sehelai selimut, tapi seluruh badan si Ting Tong menjadi lemas lunglai di dalam pondongan si anak muda, dengan malu dan girang ia menjawab, “Kau berani?”

“Mengapa tidak berani?” kata Boh-thian dengan tertawa. Lalu ia bergerak pura-pura hendak melemparkan si Ting Tong ke sungai. Tapi segera ia melemparkan tubuh si nona yang terbungkus selimut itu dengan perlahan ke dalam hanggar perahu.

Dengan cepat Ting Tong menerobos keluar dari bungkusan selimut, lalu berlari ke buritan perahu lagi. Khawatir kalau diserang pula, cepat Boh-thian mundur selangkah sambil pasang kuda-kuda dan siap bertempur.

“Sudahlah, tak mau main lagi,” kata Ting Tong dengan tertawa. “Melihat lagakmu ini lebih mirip seorang dusun, sedikit pun tidak memperlihatkan gaya sebagai seorang jago di dalam dunia persilatan.”

“Memangnya aku bukan jagoan dalam dunia persilatan,” sahut Boh-thian dengan tertawa.

“Kionghi, Kionghi, Kim-na-jiu-hoat yang kau pelajari ini sekarang sudah terlatih dengan sangat bagus, bahkan lebih lihai daripadaku, si murid telah melebihi sang guru,” kata Ting Tong.

Tiba-tiba terdengar Ting Put-sam berkata dengan nada mengejek di dalam hanggar perahu, “Tapi untuk bertanding dengan jago Swat-san-pay yang bernama Pek Ban-kiam itu, hah, selisihnya paling sedikit masih tiga pal jauhnya.”

“Yaya,” kata Ting Tong, “sedemikian cepat majunya cara dia belajar, asal Yaya mau mengajar setahun atau setengah tahun padanya, biarpun nanti bukan jago yang tiada tandingannya di jagat ini, tapi paling sedikit juga dia takkan membikin malu sebagai cucu menantumu.”

“Tidak, apa yang telah diucapkan Ting Put-sam apakah pernah ditarik kembali atau diubah?” sahut sang kakek. “Pertama aku sudah menyatakan, bila dia ingin ambil kau sebagai istri, maka selamanya jangan mengharap belajar ilmu silatku. Kedua, aku memberi waktu sepuluh hari padanya untuk mengalahkan Pek Ban-kiam, aku toh tidak mengatakan setahun atau setengah tahun. Padahal lewat lima hari lagi jiwanya juga bakal melayang, tiada gunanya bicara melantur-lantur lagi.”

Ting Tong merasa ngeri membayangkan apa yang dikatakan sang kakek itu selamanya pasti dilakukan. Kalau kemarin ia bermaksud membunuh Ciok Boh-thian dengan tangan sendiri, tapi sekarang ia benar-benar keberatan kalau Engkoh Thian yang dikasihi itu terbinasa di tangan sang kakek. Ia menjadi bingung.

Setelah dipikir bolak-balik, akhirnya Ting Tong mengambil keputusan harus mencari jalan keluar melalui ke-13 jurus Kim-na-jiu-hoat yang telah dipahami Ciok Boh-thian. Maka dalam beberapa hari ini, selain makan dan tidur, Ting Tong selalu bergebrak dan berlatih dengan sang suami mengenai aneka macam perubahan dari Kim-na-jiu-hoat itu. Sampai akhirnya Boh-thian benar-benar sudah paham dan hafal, biarpun tidak dengan tenaga dalam yang kuat juga sudah mampu serang-menyerang dengan Ting Tong dengan sama sekuatnya.

Sampai pagi hari kedelapan, sesudah berdehem sekali, Ting Put-sam telah berkata, “Awas, tinggal tiga hari saja.”

“Yaya,” kata Ting Tong, “kau suruh dia mengalahkan Pek Ban-kiam, menurut pandanganku hal ini toh bukan sesuatu yang sukar. Biarpun ilmu pedang Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay itu cukup lihai, tapi juga masih bukan tandingan ilmu silat keluarga Ting kita, Kim-na-jiu-hoat yang dilatih Engkoh Thian ini sudah cukup masak, tenaga dalamnya bahkan sangat hebat, melulu dengan bertangan kosong saja dia sudah dapat merebut pedang dari tangannya Pek Ban-kiam. Kalau dia dapat merebut senjata lawan dengan tangan kosong, hal ini dianggap kemenangan atau tidak?”

“Huh, budak setan, bicara seenaknya saja,” jengek Ting Put-sam. “Hanya dengan sedikit kepandaiannya ini dia mampu merebut pedang dari tangannya Gi-han-se-pak yang tersohor itu? Ha, lebih baik kau jangan mimpi di siang bolong. Sekalipun kakekmu sendiri dengan bertangan kosong juga tidak mampu merebut pedang dari tangannya Pek Ban-kiam.”

Ting Tong menjadi uring-uringan, katanya, “Ke sana kemari toh sama-sama akan mati, kalau berusaha merebut pedang orang she Pek itu boleh jadi masih ada harapan akan berhasil daripada mati konyol di tanganmu. Yaya, kau suruh dia mengalahkan Pek Ban-kiam itu di dalam waktu sepuluh hari, tapi kalau di dalam sepuluh hari orang she Pek itu tidak diketemukan, ini kan bukan salahnya Engkoh Thian?”

“Sekali kukatakan sepuluh hari, maka tetap juga sepuluh hari,” sahut Ting Put-sam. “Pendek kata orang she Pek itu pasti berada di sungai ini, apakah akan dia ketemukan atau tidak adalah bukan urusanku, singkatnya kalau di dalam sepuluh hari dia tidak mengalahkan orang she Pek itu, maka bocah she Ciok yang sinting inilah yang akan kubunuh.”

“Sekarang waktunya tinggal tiga hari saja, ke mana harus mencari orang she Pek itu?” ujar Ting Tong. “Ai, kau ... kau benar-benar keterlaluan dan tidak pakai aturan.”

“Kalau Ting Put-sam tidak keterlaluan kan bukan Ting Put-sam lagi,” sahut si orang tua. “Boleh kau coba cari tahu di kalangan Kangouw apakah selama ini Ting Put-sam kenal kasihan dan bicara tentang aturan?”

Ting Tong menjadi bungkam. Di dalam hari kedelapan dan kesembilan ini dia hanya mengajarkan Boh-thian jurus-jurus “Say-cu-bok-tho” (singa lapar terkam kelinci), “Jong-eng-liak-khe” (elang menyambar anak ayam), “Jiu-kau-nah-lay” (di mana tangan tiba lantas diambilnya), dan “Tam-kiu-ju-but” (merogoh saku mengambil barang), keempat jurus ini adalah khusus dipakai untuk merebut senjata yang lihai.

Pada hari kesembilan itu Ting Put-sam selalu melirik-lirik Ciok Boh-thian dengan senyum mengejek dan mencemoohkan.

Ting Tong tahu sang kakek pasti akan membunuh Engkoh Thian pada hari kesepuluh, pada waktu ini jangankan Ciok Boh-thian masih bukan tandingan Pek Ban-kiam, sekalipun ilmu silatnya benar-benar dapat mengalahkan orang she Pek itu juga susah mencari lawan di dalam waktu singkat di tengah sungai yang luas itu.

Lewat tengah hari, sesudah Ting Tong berlatih pula sebentar dengan Ciok Boh-thian, tanpa merasa ia telah berkeringat, ia telah mengambil saputangan dan mengusap keringat yang membasahi hidung dan di atas bibirnya. Tiba-tiba ia menguap kantuk. Katanya, “Sudah bulan kedelapan, hawa masih segerah ini!”

Kemudian ia duduk berjajar dengan Boh-thian di tepi perahu, sambil menunjuk dua burung belibis yang sedang berenang di tengah sungai sana ia berkata, “Engkoh Thian, coba lihat, alangkah bebas dan bahagianya sepasang suami-istri itu berenang kian kemari di dalam sungai. Kalau burung jantan itu dipanah mati umpamanya, burung betina itu akan hidup merana sebatang kara, bukanlah sangat kasihan?”

“Ya, dahulu aku sering berburu di pegunungan, di waktu menangkap burung aku tidak pernah pikirkan apakah burung itu jantan atau betina, jika demikian halnya, kelak aku hanya memburu burung betina saja.”

Ting Tong menghela napas dengan rasa gemas-gemas dongkol, pikirnya, “Sungguh tolol Engkoh Thian ini.”

Saat itu ia merasa lelah, ia bersandar di bahu Boh-thian sambil pejamkan mata, lambat laun ia terpulas.

“Ting-ting Tong-tong, apakah kau sudah penat? Kupondong kau ke dalam kamar perahu saja, ya?” kata Boh-thian.

“Tak mau, aku ingin tidur begini saja,” sahut Ting Tong dengan samar-samar.

Boh-thian tidak berani membantah maksud si nona, terpaksa membiarkannya tidur bersandar di bahunya. Terdengar pernapasan anak dara itu makin lambat dan makin panjang, tidurnya semakin nyenyak. Rambutnya yang panjang bergosok-gosok di pipi kiri Boh-thian, anak muda itu merasa geli dan nikmat tak terkatakan.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara seorang yang sangat lembut sedang berkata padanya, “Aku bicara padamu, tapi kau hanya boleh mendengarkan saja dan jangan mengangguk, lebih-lebih tidak boleh bersuara, mukamu juga tidak boleh memperlihatkan rasa heran dan kaget. Paling baik kau pun pejamkan mata dan pura-pura tidur saja, kalau kau mengeluarkan suara mendengkur pula tentu akan lebih bagus lagi untuk menutupi suara ucapanku.”

Dari suara itu Boh-thian mengenali pembicara itu adalah si Ting Tong, semua ia terheran-heran dan mengira anak dara itu sedang mengigau, tapi waktu ia meliriknya, tertampak bulu mata si Ting Tong yang panjang itu sedikit bergerak, mendadak mata kirinya terbuka dan mengedip dua kali padanya, lalu terpejam pula.

Boh-thian lantas sadar, kiranya si Ting Tong ingin bicara apa-apa yang harus dirahasiakan dan tidak boleh didengar oleh kakeknya. Maka Boh-thian lantas pura-pura menguap juga, katanya, “Ahhham! Ngantuk!” Lalu ia pun memejamkan matanya.

Diam-diam Ting Tong bergirang, ia pikir Engkoh Thian betapa pun toh bukan seorang tolol benar-benar, hanya sekali diberi tahu saja sudah paham, suruh dia pura-pura tidur, dia lantas berpura-pura dengan sangat mirip.

Kemudian Ting Tong lantas membisiki Boh-thian, “Yaya mengatakan ilmu silatmu terlalu rendah, kelakuanmu angin-anginan pula dan tidak sesuai untuk menjadi cucu menantunya. Batas waktu sepuluh hari sudah akan habis sampai besok, kau pasti akan dibunuh olehnya. Kita pun susah menemukan Pek Ban-kiam. Jalan satu-satunya sekarang ialah kita harus melarikan diri dan sembunyi di pegunungan yang sunyi agar Yaya tidak dapat menemukan kita.”

Diam-diam Boh-thian merasa heran, “Tanpa sebab mengapa Yaya akan membunuh aku? Ah, dasar Ting-ting Tong-tong ini masih kekanak-kanakan, ucapan kakek yang cuma berkelakar saja dianggapnya sungguh-sungguh. Dia mengajak aku bersembunyi di pegunungan yang sunyi agar tidak dapat ditemukan Yaya, ha, permainan ini menarik juga.”

Dalam pada itu terdengar Ting Tong sedang berbisik pula, “Bila kita melarikan diri ke daratan, tentu kita akan ditangkap kembali oleh Yaya dan susah terlepas lagi. Maka kau harus ingat dengan baik-baik nanti tengah malam bila mendadak aku merangkul Yaya dengan kencang sambil menjerit dan menangis, ‘O, Yaya, ampunilah Engkoh Thian, janganlah kau membunuhnya!’ – Pada saat itu juga kau harus lekas memburu masuk ke dalam hanggar perahu, tangan kananmu menggunakan jurus ‘Hou-jiau-jiu’ (cengkeraman cakar harimau) untuk memegang punggung kakek, sedang tangan kiri dengan jurus ‘Giok-li-cui-ciam’ (si gadis ayu menyusup jarum) berbareng pinggangnya harus dicengkeram. Ingat, asal terdengar aku menjerit, ‘Janganlah kau membunuh dia,’ maka kau harus segera bertindak. Ingat yang baik, jurus ‘Hou-jiau-jiu’ dan ‘Giok-li-cui-ciam’. Saat itu Yaya telah kurangkul dengan kencang, seketika dia tak dapat melawan, maka sekali pegang dengan tenaga dalammu yang kuat itu tentu Yaya takkan bisa berkutik lagi.”

Diam-diam Boh-thian membatin, “Si Ting Tong benar-benar sangat nakal, masakah suruh aku bermain gila pada Yaya, entah nanti Yaya akan marah atau tidak? Ya, sudahlah, jika si Ting Tong suka bergurau, biarkan aku menuruti dia saja. Rasanya permainan ini sangat menarik.”

Lalu Ting Tong berbisik lagi, “Cengkeramanmu itu nanti menentukan mati dan hidup kita berdua, maka kau harus melakukannya dengan cepat dan tepat. Coba kau meraba ‘Leng-tay-hiat’ di punggungku ini, jurus ‘Hou-jiau-jiu’ itu nanti harus mencengkeram di tempat ini.”

Dengan tetap memejamkan mata perlahan-lahan Boh-thian menggeser tangannya dan meraba perlahan di punggung si anak dara.

“Ya, benar, di situlah tempatnya,” kata Ting Tong. “Dalam keadaan gelap nanti, caramu menyerang harus cepat, tempatnya harus jitu, dengan mati-matian aku akan merangkul Yaya dengan kencang, asal kau dapat bertindak dalam waktu singkat tentu urusan akan menjadi beres, sebaliknya kalau terlambat sehingga rencana kita disadari Yaya, tentu kita akan celaka. Coba sekarang kau pegang pula ‘Koan-ki-hiat’ di pinggangku, jurus yang digunakan adalah ‘Giok-li-cui-ciam’ yang dipakai hanya jari jempol dan jari telunjuk saja, tenaga dalam harus digunakan melalui jari untuk menutuk Hiat-to ini.”

Perlahan-lahan tangan Boh-thian lantas menggeser ke samping bawah, dengan kedua jari yang dikatakan itu perlahan-lahan ia memegang sekali “Koan-ki-hiat” di bagian pinggang si nona. Sudah tentu sekarang dia tidak menggunakan tenaga dalam, maka jarinya seakan-akan hanya mengilik-ngilik saja, memangnya si Ting Tong masih perawan yang takut geli, karena ia menjadi tak tahan maka tertawalah dia terkikik-kikik sambil membentak, “Hei, kau main gila apa?”

Ketika Ciok Boh-thian bergelak tertawa, segera Ting Tong balas mengilik-ngilik iga pemuda itu.

Begitulah kedua muda-mudi itu lantas bergurau sendiri dan tertawa haha-hihi melupakan kelakuan mereka yang pura-pura tidur tadi.

Pada petang harinya, si tukang perahu telah melabuhkan perahunya di dermaga sebuah kota kecil, dengan membawa poci arak dia mendarat ke kota untuk membeli arak.

“Engkoh Thian, marilah kita juga jalan-jalan ke kota,” ajak si Ting Tong.

“Hayo,” sahut Boh-thian.

Segera mereka mendarat dengan bergandeng tangan. Kota itu sangat kecil, penduduk tiada lebih daripada seratus rumah, belasan rumah di antaranya adalah pedagang-pedagang ikan.

Sampai di ujung kota sana, melihat sekitar mereka tiada orang lain, Boh-thian telah berkata, “Yaya sedang tidur di dalam perahu, kalau sekarang juga kita lantas angkat kaki dan melarikan diri, apakah beliau dapat menemukan kita kembali?”

“Tidak semudah demikian,” sahut Ting Tong dengan menggeleng. “Biarpun kita sudah berlari 20-30 li jauhnya akhirnya pasti akan dapat disusul olehnya.”

“Memang, biarpun kau sudah lari seratus atau seribu li juga akhirnya kami pasti dapat menyusul dan membekuk kau,” demikian tiba-tiba suara seorang yang agak serak berkata di belakang mereka.

Waktu Boh-thian dan Ting Tong menoleh tertampaklah dua orang lelaki telah muncul dari balik pohon sana, kedua orang itu yang satu tinggi dan yang lain pendek sedang menyengir ejek pada mereka.

Boh-thian lantas kenal kedua orang itu adalah Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu dari Swat-san-pay. Ia terkejut dan merasa takut.

Kiranya sesudah orang-orang Swat-san-pay memergoki jejak Ciok Boh-thian di perairan Tiangkang, bahkan dua orang di antaranya berusaha menangkap Boh-thian, tapi diserang pemuda itu sehingga luka parah. Sesudah mendapat laporan itu segera Pek Ban-kiam menyebarkan para Sutenya untuk menguber melalui darat dan sungai.

Rombongan Houyan Ban-sian dan Bun Ban-hu bertugas mengejar ke arah barat menuju ke hulu sungai. Tak terduga di kota kecil inilah mereka dapat memergoki Ciok Boh-thian.

Houyan Ban-sian orangnya lebih hati-hati, ia pikir pihaknya berdua belum tentu mampu melawan bocah she Ciok ini, baru saja dia ingin melepaskan panah berapi sebagai tanda untuk memanggil kawan-kawannya yang lain sebagaimana telah diperintahkan Pek Ban-kiam, tak terduga Bun Ban-hu yang bertabiat berangasan itu sudah tidak tahan diri lagi dan segera menegur Ciok Boh-thian. Ting Tong juga terkejut melihat munculnya orang-orang Swat-san-pay, ia khawatir jangan-jangan Pek Ban-kiam juga berada di sekitar situ, jika demikian, bila nanti Yaya memaksa Engkoh Thian harus bertanding dengan orang she Pek itu kan urusan bisa runyam?

Segera ia memelototi Ban-sian dan Ban-hu, semprotnya, “Kami sedang bicara sendiri, siapa suruh kalian ikut menimbrung? Marilah Engkoh Thian, kita kembali ke perahu saja.”

Memang Boh-thian merasa jeri, segera ia mengangguk setuju dan kedua orang lantas membalik tubuh hendak bertindak pergi.

Biasanya Bun Ban-hu sangat memandang hina kepada murid keponakan she Ciok ini, ia pikir kepandaian apa yang kau miliki selama beberapa tahun saja bela jar di Leng-siau-sia? Jika sekarang aku dapat menangkapnya, maka ini akan merupakan suatu pahala besar bagiku dan tentu akan mendapat pujian dari Suhu. Maka ia lantas membentak pula, “Hendak lari ke mana bocah she Ciok? Hayo, lebih baik ikut padaku saja jika kau tidak ingin dihajar!”

Sambil berkata segera tangan kirinya digunakan menjambret pundak Ciok Boh-thian.

Cepat Boh-thian mengegos ke samping dan secara otomatis ia mengeluarkan Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong untuk menangkis cengkeraman Bun Ban-hu itu.

Sudah tentu Bun Ban-hu tidak membiarkan tangannya beradu dengan tangan lawan, cepat ia tarik kembali dan berbareng kakinya lantas menendang ke perut Ciok Boh-thian.

Boh-thian menjadi bingung menghadapi tendangan itu, ia tidak tahu cara bagaimana harus menangkis atau mengelakkan diri. Maklum, dalam hal tendangan sama sekali ia tidak pernah belajar, Ting Tong hanya mencurahkan perhatiannya mengajarkan Kim-na-jiu-hoat, terutama jurus “Hou-jiau-jiu dan Giok-li-cui-ciam” yang akan digunakan terhadap kakeknya, tapi dalam hal cara bagaimana menghadapi serangan-serangan atau tendangan dari golongan lain sama sekali tak diajarkan kepada pemuda itu.

Begitu pula dalam hari terakhir ini Ciok Boh-thian juga melulu menghafalkan dengan sebaiknya jurus-jurus “Hou-jiau-jiu” dan “Giok-li-cui-ciam,” maka dalam keadaan berbahaya yang teringat olehnya juga kedua jurus itu.

Tapi sekarang dia berdiri berhadapan dengan Bun Ban-hu, padahal kedua jurus itu khusus digunakan menyerang bagian belakang tubuh lawan, terang tak cocok untuk dipakai. Tapi di saat terancam bahaya ia menjadi tidak peduli apakah jurus-jurus serangan itu cocok digunakan atau tidak, sekali kakinya menggeser, tahu-tahu ia telah memutar ke belakang Bun Ban-hu.

Karena Lwekangnya sangat tinggi, gerak-geriknya menjadi cepat dan gesit luar biasa sehingga langkahnya itu dengan tepat justru berhasil menghindarkan tendangan Bun Ban-hu tadi, bahkan dengan tangan kanan menggunakan “Hou-jiau-jiu” dan tangan kiri memakai jurus “Giok-li-cui-ciam”, sekaligus ia cengkeram Leng-tay-hiat dan Koan-ki-hiat di bagian pinggang lawan.

Dengan Lwekangnya yang lihai itu, di mana dia mencengkeram, seketika Bun Ban-hu merasa tubuhnya menjadi lemas lunglai, kontan roboh terjungkal.

Dalam pada itu baru saja Houyan Ban-sian hendak ikut mengerubut maju, demi tampak Ciok Boh-thian telah dapat mencengkeram Hiat-to penting di tubuh sang Sute dengan cara yang lihai, dalam gugupnya Ban-sian tidak sempat melolos senjata lagi, tapi cepat ia menghantam ke pinggang Ciok Boh-thian.

Karena tujuan hendak memaksa agar Boh-thian melepaskan cengkeramannya kepada sang Sute, maka tenaga yang digunakan Ban-sian ini adalah sekuat-kuatnya, maka terdengarlah suara “bluk”, hampir berbareng juga terdengar suara “krak”, Houyan Ban-sian merasa kesakitan sendiri, ternyata tulang lengannya telah patah sebaliknya Boh-thian hanya merasa pinggangnya seperti tersodok perlahan oleh sesuatu, waktu ia melepaskan tubuh Bun Ban-hu, ternyata jago Swat-san-pay itu sudah meringkuk kaku dalam keadaan yang menyeramkan tampaknya.

Keruan Boh-thian terperanjat, teriaknya, “Haya, celaka! He, Ting-ting Tong-tong, ken ... kenapa mendadak dia kejang? Jangan-jangan dia ... dia sudah mati?”

Ting Tong tertawa, sahutnya, “Engkoh Thian, kedua jurus itu telah kau mainkan dengan sangat bagus, cuma saja langkahmu tadi agak tergesa-gesa dan gugup, sedikit pun tiada memperlihatkan gaya seorang jagoan. Sesudah kau cengkeram, orang ini takkan mati, tapi akan cacat untuk selama hidupnya, kedua kaki dan tangannya takkan bisa bergerak lagi.”

Boh-thian tambah kaget, segera ia memayang Bun Ban-hu sambil berkata, “Ai, ma ... maaf, aku ... tidak sengaja membikin susah padamu. Lantas bagaimana baiknya? Ting-ting Tong-tong, dapatkah kau mencari akal untuk menyembuhkan dia?”

Tapi Ting Tong lantas melolos pedang yang tergantung di pinggang Bun Ban-hu, katanya, “Apa kau ingin dia tidak terlalu menderita dalam hidupnya nanti? Itulah mudah, boleh sekali tebas kau membinasakan dia saja.”

“Tidak, tidak boleh jadi!” seru Boh-thian, dan saling gelisahnya ia sampai meneteskan air mata.

“Kalian berdua siluman cilik ini, hendaklah tahu bahwa murid Swat-san-pay lebih suka dibunuh daripada dihina,” teriak Houyan Ban-sian dengan gusar. “Hari ini kami berdua telah terjungkal di tanganmu, jika mau bunuh hayolah lekas bunuh saja.”

Khawatir kalau si Ting Tong benar-benar membunuh kedua orang itu, cepat Boh-thian merampas pedangnya dan ditancapkan ke atas tanah, lalu katanya, “Ting-ting Tong-tong, lekas, lekas kita kembali saja.” Segera ia tarik nona dan diajak pulang ke perahu mereka.

“Orang Kangouw suka mengatakan Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang berhati keji dan bertangan gapah, membunuh orang tidak kenal kasihan, mengapa sekarang tiba-tiba berubah alim?” demikian Ting Tong mencemoohkan. “Engkoh Thian, sebaiknya kejadian barusan ini jangan dikatakan kepada Yaya.”

“Baik, aku takkan bilang padanya,” sahut Boh-thian. “Ting-tang Ting-tong, apakah dia benar-benar akan ... akan cacat untuk selama hidupnya?”

“Sudah tentu,” sahut Ting Tong. “Kau telah cengkeram kedua Hiat-to penting di tubuhnya, kalau paling sedikit tak bisa membikin dia cacat selama hidup, habis apa gunanya ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat dari keluarga Ting kita yang tersohor ini?”

“Jika demikian lihainya cengkeraman-cengkeraman itu, mengapa kau suruh aku nanti malam menggunakan jurus-jurus keji ini untuk mencengkeram Yaya?” tanya Boh-thian.

“Engkoh tolol, tokoh macam apakah Yaya kita itu? Masakan dapat dipersamakan dengan kaum keroco sebangsa orang Swat-san-pay itu?” ujar Ting Tong. “Jika untung kau dapat mengerahkan segenap tenaga dalam, paling-paling hanya akan membikin Yaya tak bisa berkutik dalam dua-tiga jam saja, memangnya kau sangka begitu mudah Yaya dibikin cacat?”

Namun Boh-thian masih bersangsi, ia menjadi ragu-ragu dan tidak tenteram.

Petangnya, sesudah si tukang perahu menyediakan daharan, dengan kurang nafsu ia makan setengah mangkuk saja, lalu duduk te-menung-menung.

Malam itu ia tak bisa tidur nyenyak. Sampai tengah malam, benar juga tiba-tiba terdengar Ting Tong sedang berseru di dalam kamar perahu, “O, Yaya, ampunilah jiwa Engkoh Thian, janganlah membunuh dia! Janganlah membunuh dia!”

Cepat Boh-thian melompat bangun dan berlari ke dalam hanggar perahu, dalam keadaan remang-remang tertampak Ting Tong telah menyingkap badan bagian atas Ting Put-sam sambil masih berseru, “Yaya, janganlah kau membunuh Engkoh Thian!”

Segera Boh-thian menjulurkan tangannya dan bermaksud mencengkeram ke punggung Ting Put-sam sebagaimana telah direncanakan si Ting Tong.

Tapi mendadak terbayang olehnya keadaan menyeramkan tatkala Bun Ban-hu habis kena cengkeramannya itu, seketika Boh-thian ragu-ragu, pikirnya, “Bila aku jadi mencengkeramnya sehingga Yaya juga kaku kejang sebagai orang Swat-san-pay itu, wah, aku benar-benar akan berdosa. Tidak, aku ... aku takkan melakukan hal demikian.”

Karena itu diam-diam ia lantas mengundurkan diri dan kembali ke tempatnya untuk tidur lagi.

Semula si Ting Tong sudah bergirang ketika melihat Boh-thian berlari ke dalam hanggar, siapa tahu mendadak pemuda itu menjadi ragu-ragu, lalu mengundurkan diri keluar lagi, rencana mereka menjadi gagal sama sekali, keruan Ting Tong menjadi gelisah dan mendongkol pula.

Jilid 19

Sesudah merebah di tempatnya, Boh-thian merasa jantungnya masih berdebar-debar. Selang sejenak, tiba-tiba terdengar si Ting Tong lagi berseru pula, “Ai, Yaya, mengapa aku telah merangkul badanmu? Tadi ... tadi aku mengimpi buruk seakan-akan Engkoh Thian telah kau pukul hingga mati, kumohon engkau suka mengampuni jiwanya dan engkau tidak mau. Tapi syukurlah itu hanya dalam impian saja.”

Boh-thian menjadi agak lega, pikirnya, “Ting-ting Tong-tong sungguh pintar berdusta, rupanya khawatir Yaya mencurigai diriku, maka dia telah mengarang omongan kosong tentang mimpi segala untuk menutupi kejadian tadi.”

Tapi lantas terdengar Ting Put-sam sedang menjawab, “Apakah kau mimpi atau tidak, pendek kata bila hari sudah terang tanah, maka genaplah batas waktu sepuluh hari. Tinggal melihat dia dalam hari terakhir dapat mengalahkan Pek Ban-kiam atau tidak.”

“Ai, kuyakin Engkoh Thian pasti bukan seorang sinting,” kata Ting Tong sambil menghela napas.

“Ya, hati nuraninya sungguh harus dipuji,” sahut Ting Put-sam. “Orang yang berhati nurani baik adalah orang tolol, orang sinting, pantas kalau mampus. Ha, dengan Hou-jiau-jiu memegang Leng-tay-hiat dan dengan Giok-li-cui-ciam mencengkeram Koan-ki-hiat, ai, sungguh akal yang bagus, sungguh tipu yang baik.”

Ucapan Ting Put-sam ini sekaligus membikin kaget baik Ting Tong yang berada di dalam kamar maupun Boh-thian yang berada di buritan. Sungguh susah dipahami dari manakah sang kakek mengetahui rencana mereka itu?

Masih mendingan si Boh-thian yang tidak tahu apa-apa, sebaliknya Ting Tong sampai berkeringat dingin, pikirnya, “Kiranya Yaya sudah mengetahui apa yang akan kulakukan, jika demikian diam-diam tentu beliau sudah berjaga-jaga. Untunglah Engkoh Thian tidak jadi turun tangan. Namun susah dibayangkan juga hukuman apa yang akan dijatuhkan Yaya kepadaku?”

Di sebelah sana Ciok Boh-thian percaya bahwa besok pagi Ting Put-sam benar-benar akan membunuhnya, dengan seenaknya saja ia terpulas lagi dengan nyenyaknya.

Menjelang pagi, sekonyong-konyong terdengar suara orang ribut-ribut di daratan sana. Ada orang sedang berteriak, “Itu dia, di sini orangnya!” lalu ada yang menanggapi, “Ya, betul! Itulah kepalanya.” – “Hayo, tangkap, jangan sampai siluman tua itu meloloskan diri!”

Waktu Boh-thian bangun berduduk, ia lihat di tepi sungai ada puluhan orang dengan penerangan obor sedang berlari-lari ke samping perahu sambil membentak, “Di mana siluman tua itu? Hayo, hendak lari ke mana siluman tua yang membikin celaka manusia itu?”

Rupanya Ting Put-sam juga terjaga bangun oleh suara ribut-ribut itu, segera ia keluar dari kamar perahu dan membentak, “Kurang ajar! Kalian ribut-ribut apa di sini dan mengganggu tidurnya tuan besarmu?”

“Nah, inilah dia! Inilah silumannya! Lekas semprot!” teriak seorang laki-laki.

Segera dari belakang laki-laki itu maju ke depan dua kawannya yang membawa alat semprot yang terbuat dari bumbung bambu, dengan mengincar ke arah Ting Put-sam segera mereka menyemprotkan air darah.

Berbareng itu orang-orang yang berada di tepi sungai sana serentak bersorak, “Nah, kena dia. Darah anjing hitam telah tepat mengenai siluman tua itu, dia tak bisa menghilang lagi!”

Akan tetapi semprotan darah anjing itu mana dapat mengenai tubuh Ting Put-sam? Mendadak orang tua itu meloncat ke atas, pikirnya dengan murka, “Dari manakah datangnya orang-orang gila ini? Masakah aku dianggap siluman dan hendak disemprot dengan darah anjing hitam?”

Biasanya, biarpun orang lain tidak mengganggunya, asal dia merasa gatal tangan, setiap saat dia juga suka membunuh orang, apalagi sekarang, tanpa sebab orang lain berani mengganggunya, keruan Ting Put-sam menjadi tambah murka dan tidak kenal ampun. Begitu tubuhnya menurun kontan kedua lelaki yang membawa alat semprot tadi kena ditendang mencelat menyusul tangannya menghantam pula, tanpa ampun lagi lelaki yang pertama tadi juga terpental dan mati seketika di tepi sungai.

Ketika Ting Put-sam hendak mengumbar angkara murkanya lagi, sekonyong-konyong dari belakang terdengar Ting Tong mendengus padanya, “Yaya, Ce-jit-pu-ko-sam (satu hari tidak lebih tiga)!”

Ting Put-sam tertegun. Saking gusarnya sampai dia hampir-hampir lupa kepada sumpahnya sendiri, yaitu menurut julukannya yang menyatakan satu hari takkan membunuh orang lebih dari tiga. Maka serangannya yang hampir dilontarkan lagi itu lantas dibatalkan.

Orang-orang itu ketakutan setengah mati, serentak mereka berteriak-teriak dan lari sipat kuping. Hanya dalam sekejap saja keadaan menjadi sunyi kembali meninggalkan tiga sosok tubuh yang tak bernyawa, obor pun terlempar di sana-sini tak terurus.

Segera Ting Put-sam berkata kepada si tukang perahu, “Lekas berangkat, kalau kedatangan orang lagi aku bisa kewalahan membunuh mereka!”

Dengan tangan gemetar si tukang perahu lantas mengangkat galah dan menolak perahunya ke tengah sungai, lalu meluncurlah perahu itu ke depan. Darah anjing yang tidak mengenai tubuh Ting Put-sam tadi telah menyemprot ke dalam perahu sehingga menimbulkan bau anyir busuk.

Tiba-tiba Ting Put-sam menegur si Ting Tong, “A Tong, bukankah kau yang main gila dalam peristiwa ini? Sebab apa kau berbuat demikian?”

“Yaya,” sahut Ting Tong dengan tertawa, “kau pegang janji atau tidak terhadap apa yang telah kau ucapkan?”

“Bilakah aku pernah mengingkar janji?” sahut Ting Put-sam.

“Bagus!” kata Ting Tong. “Kau mengatakan bahwa habis sepuluh hari bila Engkoh Thian tidak mengalahkan orang she Pek itu, maka Engkoh Thian segera akan kau bunuh. Sekarang adalah hari kesepuluh, terang dia tak dapat menemukan orang she Pek itu, akan tetapi tadi kau sudah genap membunuh tiga orang.”

Ting Put-sam menjadi melengak, semprotnya kemudian, “Budak setan, kiranya Yaya telah tertipu oleh muslihatmu.”

Ting Tong sangat senang, dengan tersenyum-senyum ia berkata, “Ting-samya kita biasanya paling pegang janji, kau mengatakan akan membunuh Engkoh Thian pada hari terakhir ini, akan tetapi kau sudah membunuh tiga orang, orang keempat ini tentulah tak boleh kau bunuh lagi. Yaya, jikalau kau tidak dapat membunuh dia, untuk seterusnya kau pun tidak boleh membunuh dia lagi. Kulihat cucu menantumu ini toh bukan seorang tolol sungguh-sungguh, nanti kalau kesehatannya sudah pulih kembali, dengan sendirinya ilmu silatnya juga akan maju lebih pesat, pendek kata pasti takkan membikin malu padamu.”

Mendadak Ting Put-sam membanting kakinya sehingga papan geladak perahu itu terinjak satu lubang, lalu teriaknya dengan gusar, “Tidak, tidak bisa! Sekarang juga Ting Put-sam sudah merasa malu karena ditipu oleh seorang budak setan seperti kau.”

“Aku adalah cucu perempuanmu, kita adalah sekeluarga, kenapa bicara tentang membikin malu apa segala? Toh kejadian ini takkan kukatakan kepada orang luar.”

“Tidak bisa. Karena aku ditipu, maka hatiku tetap tidak senang. Apakah kau akan katakan kepada orang luar atau tidak bukanlah soalnya.”

Mendengar percakapan kedua kakek dan cucu itu, baru sekarang Boh-thian tahu duduknya perkara. Kiranya orang-orang yang datang membikin ribut dan menyemprot Ting Put-sam dengan darah anjing hitam itu adalah permainan si Ting Tong yang sengaja didatangkan agar sang kakek membunuh orang, bila sudah terpenuhi sumpah membunuh tiga orang dalam sehari, maka orang tua itu tidak lagi membunuh dia.

Begitulah, maka ketika melihat Ting Tong berjalan ke buritan dengan tersenyum simpul segera Boh-thian berkata, “Ting-ting Tong-tong, untuk menolong jiwaku, sebaliknya kau telah korbankan tiga jiwa yang tidak berdosa, bukankah ini ter ... terlalu kejam?”

Tiba-tiba Ting Tong menarik muka, sahutnya, “Kematian mereka itu adalah gara-garamu, mengapa aku yang disalahkan?”

“Gara-garaku?” Boh-thian mengulangi dengan bingung.

“Mengapa tidak? Bukankah kita sudah merancang dengan baik, tapi sampai detik terakhir kau tidak berani turun tangan. Kalau tidak, tentu kita berdua sudah lolos dengan selamat dan tidak perlu mengorbankan tiga jiwa orang yang tak berdosa itu.”

Boh-thian pikir apa yang dikatakan si Ting Tong juga ada benarnya, seketika ia menjadi tak bisa bicara pula.

“Hahahaha! Dapat sekarang, dapat!” demikian tiba-tiba terdengar Ting Put-sam berseru dengan bergelak tertawa, “Hei, bocah she Ciok, Yaya akan mencukil matamu dan akan memotong kedua tanganmu supaya kau mati tidak dan hidup sempurna juga tidak, tapi akan menjadi seorang cacat. Asal aku tidak mencabut nyawamu, maka aku tak dapat dianggap melanggar sumpahku.”

Boh-thian dan Ting Tong terkejut mendengar ucapan itu. Sebaliknya makin dipikir Ting Put-sam makin senang, berulang-ulang ia berseru, “Ya, akal bagus, akal bagus! Aku takkan membunuh kau, tapi akan membikin dia menjadi manusia bukan manusia dan setan pun bukan setan. Nah, A Tong, cara demikian tentulah boleh bukan?”

Ting Tong menjadi susah mendebatnya, terpaksa ia menjawab, “Hari kesepuluh ini toh belum berakhir, boleh jadi sebentar lagi akan bertemu dengan Pek Ban-kiam dan sekali gebrak nanti mungkin Engkoh Thian dapat mengalahkan dia.”

“Hahaha! Memang betul juga!” seru Ting Put-sam sambil terbahak-bahak. “Urusan kita ini dilakukan dengan adil, maka bolehlah kakek menunggu sampai tengah malam nanti baru turun tangan.”

Ting Tong menjadi serbasusah dan tak dapat menemukan sesuatu akal untuk menyelamatkan Boh-thian dari kesukaran ini. Yang paling lucu adalah justru Boh-thian sendiri tidak sadar kalau dirinya sedang terancam elmaut sebaliknya ia malah tanya kepada Ting Tong, “Eh, Ting-ting Tong-tong, sebab apakah kau sedih, apakah ada kesukaran?”

“Tidakkah kau mendengar Yaya mengatakan akan mencukil matamu dan memotong kedua tanganmu?” omel Ting Tong dengan mendongkol.

“Ah, Yaya hanya bergurau saja untuk menakut-nakuti kau, kenapa kau anggap sungguh-sungguh?” ujar Boh-thian. “Apa sih gunanya dia mencukil mataku dan memotong tanganku?”

Dari dongkol Ting Tong menjadi gemas, pikirnya, “Dasar tolol dan sinting, kalau selama hidup ini aku ikut dia, rasanya juga tidak menyenangkan. Jika Yaya berkeras hendak membunuh dia, maka biarpun dia mampus saja sudah.”

Tapi lantas teringat olehnya bahwa sang kakek sekarang takkan membunuh pemuda itu lagi, sebaliknya akan mencukil mata dan memotong kedua tangannya. Apabila dirinya kelak mendadak berubah pikiran dan terkenang pula kepada kekasih ini, padahal kedua mata dan tangannya tentu tak bisa dipulihkan kembali. Lalu apa gunanya aku bersuamikan seorang yang cacat demikian?

Begitulah Ting Tong termenung-menung memandangi bayangan sendiri yang terapung di permukaan air bersama bayangan Ciok Boh-thian, makin lama makin memanjang mereka, ternyata tanpa terasa hari sudah makin sore, sang surya sudah makin condong ke barat. Dalam kesalnya tiba-tiba terpikir pula oleh Ting Tong, “Daripada suamiku yang baik-baik dibikin cacat oleh Yaya, adalah lebih baik aku sendiri yang mengerjakan dia saja.

Ketika berpaling, dilihatnya duduk Ciok Boh-thian sedang membelakanginya, mendadak ia menjulurkan kedua tangannya terus mencengkeram ke “Leng-tay-hiat” di punggung dan “Ko-an-ki-hiat” di bagian pinggang, jurus-jurus lain yang digunakan adalah Hou-jiau-jiu dan Giok-li-cui-ciam. Memangnya Ciok Boh-thian tidak berjaga-jaga, keruan ia lantas kena dibekuk dengan mudah, seketika ia tak bisa berkutik.

Sebaliknya karena bekerjanya tenaga dalam Ciok Boh-thian, maka Ting Tong juga tergetar dan terhuyung-huyung ke belakang, hampir-hampir saja kecemplung ke dalam sungai. Cepat ia memegangi atap kolong perahu dan memaki, “Yaya segera akan mencukil matamu dan memotong kedua tanganmu, orang cacat demikian kalau hidup di dunia ini andaikan tidak membikin malu kepada Yaya juga aku si Ting-ting Tong-tong yang merasa tiada muka untuk berjumpa dengan orang. Maka tidak perlu Yaya yang turun tangan, biarlah aku sendiri yang mencukil kedua biji matamu.”

Segera ia mengambil seutas tambang layar di buritan, lalu kaki dan tangan Boh-thian diringkusnya dengan kencang, bahkan ia terus membelebat Ciok Boh-thian mulai dari bahu sehingga sampai bagian kaki, ia ikat badan pemuda itu dengan tambang layar itu selingkar demi selingkar sehingga seluruhnya paling sedikit ada 50-60 lingkar, sampai akhirnya badan Ciok Boh-thian mirip sebuah lemper raksasa.

Mestinya orang yang dicengkeram Hiat-to penting seperti Ciok Boh-thian sekarang akan susah membuka suara di dalam waktu satu-dua jam. Tapi dasar tenaga dalam Boh-thian mahakuat, meski kaki dan tangannya tak bisa bergerak, tapi dia masih dapat bicara, maka katanya, “He, Ting-ting Tong-tong, apakah kau bergurau padaku?”

Walaupun demikian dia bertanya, tapi demi tampak sikap si Ting Tong yang galak dan bengis itu, diam-diam ia pun tahu gelagat jelek maka matanya telah memantulkan sinar mata yang mohon dikasihani.pTapi Ting Tong lantas menendang satu kali di pinggang pemuda itu dengan gemas, dampratnya, “Hm, kau sangka aku bergurau padamu? Kematianmu sudah di depan mata, tapi kau masih bermimpi? Huh, orang tolol sebagai kau biarpun dicincang menjadi perkedel juga pantas.”

“Sret”, mendadak ia lolos goloknya, ia gosok-gosok beberapa kali di pipi Ciok Boh-thian seperti orang yang sedang mengasah senjata.

“Ting-ting Tong-tong, untuk selanjutnya aku pasti akan turut kepada segala ucapanmu, hendaklah kau jangan membunuh aku,” demikian Boh-thian memohon.

Tapi Ting Tong menjawab dengan sengit, “Hm, mestinya aku bermaksud menolong jiwamu, tapi kau justru tidak turut kepada pesanku, maka kau sendirilah yang cari mampus dan tak perlu menyalahkan orang lain. Kalau sekarang aku tidak membunuh kau, tentu nanti juga kau akan dibunuh Yaya. Kau adalah suamiku, bila harus dibunuh biarlah aku sendiri saja yang melakukan, kalau orang lain yang membunuh suamiku, hidupku tentu juga akan merana selamanya.”

“Ampunilah diriku, bolehlah aku tidak menjadi suamimu,” mohon Boh-thian.

“Upacara nikah juga sudah berjalan, masakah kau dapat membatalkan menjadi suamiku?” sahut Ting Tong. “Pendek kata, lebih baik kau tutup mulut saja, kalau rewel-rewel lagi segera kupenggal kepala anjingmu ini.”

Boh-thian menjadi ketakutan dan tidak berani bersuara pula.

Maka terdengar Ting Put-sam telah berkata dengan tertawa, “Haha, bagus, bagus! Cara demikianlah baru sesuai sebagai cucu perempuannya Ting-losam. Nah, boleh lekas turun tangan saja, sekali bacok bikin dia menjadi dua potong sudah.”

Si tukang perahu sampai gemetar ketakutan ketika melihat si Ting Tong mengangkat golok hendak membunuh orang, sampai-sampai kemudi yang dipegangnya menjadi menceng, perahunya menjadi oleng.

Kebetulan pada saat itu dari depan sedang meluncur tiba sebuah perahu kecil mengikuti arus sungai, karena olengnya perahu yang ditumpangi Ting Put-sam itu, segera kedua kendaraan air itu akan bertubrukan. Maka terdengar si tukang perahu di atas perahu kecil sana telah berteriak-teriak khawatir, “Hai, belokkan kemudimu! Belokkan!”

Dalam pada itu sang surya sudah hampir menghilang di ufuk barat, cahaya matahari senja menyorot di atas golok yang dipegang si Ting Tong sehingga menimbulkan sinar gemerdep yang menyilaukan matanya Ciok Boh-thian. Mendadak tangan si Ting Tong yang putih halus itu mengayun ke bawah, “plok”, golok nona itu kena membacok di atas geladak perahu yang cuma beberapa senti di sisi kepala Ciok Boh-thian.

Begitu goloknya membacok papan geladak perahu, segera Ting Tong lepas tangan, dengan cepat ia angkat tubuh Ciok Boh-thian terus dilemparkan sekuat-kuatnya menuju ke kolong perahu kecil yang saat itu menyerempet lewat di sebelahnya.

Melihat cucu perempuannya mendadak main gila, dengan gusar Ting Put-sam lantas membentak, “Apa yang kau lakukan!” Cepat Ting Put-sam memburu keluar dan segera hendak menjambret tubuh Ciok Boh-thian.

Namun sudah terlambat. Arus sungai teramat kencang, kedua perahu dalam sekejap saja sudah berpisah belasan meter jauhnya, betapa pun tinggi Ginkangnya Ting Put-sam juga tak dapat melompat ke atas perahu kecil itu.

Dengan gusar ia menampar Ting Tong sekali sambil berteriak kepada si tukang perahu, “Lekas putar kemudi, putar balik ke sana dan kejar, lekas!”

Tapi arus sungai Tiangkang teramat deras, untuk memutar kemudi dalam sekejap itu bukanlah pekerjaan yang mudah.

Apalagi perahu kecil tadi meluncur dengan cepat mengikuti arus, makin lama makin cepat dan makin jauh sehingga susah dikejar lagi.

Ciok Boh-thian yang tubuhnya diringkus kencang-kencang dengan tambang layar, ketika tubuhnya d lemparkan si Ting Tong, ia merasa badannya berputar setengah lingkaran di atas udara, lalu melayang ke depan, waktu turun mukanya menghadap ke bawah, ia merasa di mana badannya jatuh adalah suatu tempat yang empuk dan tidak terasa sakit, hanya saja keadaan di situ gelap gulita, segala apa tidak kelihatan.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan orang yang tertahan, Boh-thian sendiri tidak dapat bergerak, maka ia pun tidak berani membuka suara. Ia diam saja sampai sekian lamanya, perlahan-lahan hidungnya mengendus bau harum, rasanya seperti kembali berada di atas tempat tidur di dalam kamarnya di markas Tiang-lok-pang.

Benar juga, sesudah tenangkan diri, ia lantas merasa dirinya menggeletak di atas kasur, mukanya terbenam di atas bantal, di samping bantal terasa ada kepala seorang lain lagi yang berambut panjang, nyata seorang wanita adanya. Keruan Boh-thian terperanjat dan menjerit.

Sekonyong-konyong Boh-thian merasa belakang lehernya ditempel sesuatu yang dingin dan rada sakit pula, ia tahu ada orang telah memasang senjata tajam di atas lehernya. Menyusul lantas terdengar suara seorang wanita telah berkata, “Siapa kau? Apa kau adalah anak muridnya siluman tua Ting Put-si?”

“Aku ... aku ....” sahut Boh-thian dengan terputus-putus, ia sendiri tidak tahu cara bagaimana harus menjawab.

Wanita itu menjadi gusar, dampratnya pula, “Kau berani menyusup ke dalam perahu kami, tentu kau bukan manusia baik-baik, biarlah nona binasakan kau saja.”

Habis berkata, segera ia tambahkan tenaga tangannya sehingga Boh-thian merasa belakang lehernya kesakitan.

“Ti ... tidak, bukan aku sendiri yang datang ke sini, tapi ... tapi orang yang melemparkan aku kemari,” seru Boh-thian.

“Hayo, lekas ... lekas keluar, mengapa kau menyusup ke dalam ke dalam selimutku ini?” kata wanita itu.

Waktu Boh-thian coba-coba merasakan, benar juga di depan dadanya adalah kasur, di atas punggung ada selimut, mukanya menindih bantal, malahan di dalam kolong selimut terasa masih hangat-hangat.

Kiranya lemparan Ting Tong tadi dengan tepat telah membikin Boh-thian menyusup ke dalam kolong perahu kecil ini terus masuk ke dalam kolong selimut malah, yang paling runyam adalah dari nada ucapan si wanita ini agaknya kolong selimut ini adalah miliknya.

Coba kalau Boh-thian tidak diringkus dan dapat bergerak, tentu sejak tadi dia sudah melompat bangun dan berlari keluar. Celakanya sekarang dia tertutuk Hiat-to yang penting dan tak dapat bergerak sama sekali. Maka terpaksa ia hanya berkata, “Aku tidak dapat bergerak, aku mohon dengan sangat padamu, silakan kau pindahkan aku keluar saja, dorong aku keluar juga boleh, ya, depak aku keluar juga baik.”

Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita lain yang tua berkata di belakang sana, “Ngaco-belo apa keparat itu? Lekas bacok mampus dia saja!”

“Nenek, kalau bunuh dia, tentu di dalam kolong selimutku akan berlumuran darah, lantas ... lantas bagaimana?” demikian sahut wanita yang semula.

“Setan alas dari manakah dia?” kata si wanita tua dengan gusar. “He, keparat kau, lekas kau merangkak keluar!”

“Aku benar-benar tidak dapat bergerak,” sahut Boh-thian. “Coba kalian lihat sendiri, aku telah dicengkeram orang bagian Leng-tay-hiat dan Ko-an-ki-hiat, sekujur badan diikat kencang pula dengan tali, untuk bergerak sedikit saja tidak dapat. Ai, ini nona atau nyonya, silakan lekas bangun saja, kita tidur di dalam satu kolong selimut, rasanya me ... memang kurang pantas.”

“Nyonya apa? Aku masih gadis, tahu!” semprot wanita pertama tadi. “Aku sendiri pun tidak dapat bergerak. Nenek, hendaklah engkau mencarikan suatu akal bagiku saja, orang ini memang benar-benar terikat kencang dengan tali-tali.”

“Ya, Lothaythay (nyonya tua), aku pun mohon padamu, tolonglah kau menyeret aku keluar,” kata Boh-thian. “Ai, aku ... aku telah membikin susah nona ini, sungguh aku merasa ... merasa tidak enak.”

“Setan alas, masih bicara muluk-muluk,” damprat si nenek dengan gusar.

“Nenek, bolehkah kita suruh si tukang perahu menyeretnya keluar saja,” usul si nona.

“Tidak, tidak bisa, kalau tukang perahu itu sampai masuk ke sini, tentu jiwa kita akan melayang,” sahut si nenek.

Diam-diam Boh-thian membatin, “Jangan-jangan Lothaythay dan nona ini pun diringkus orang dan tak bisa berkutik seperti diriku?”

Rupanya nenek itu menjadi gusar dan gelisah, tiada hentinya ia memaki, “Setan alas, keparat, mengapa kau tidak pilih perahu yang lain, tapi justru cari mampus ke sini? Sudahlah, A Siu, bunuh saja dia!”

“He, jangan, jangan! Darahku sangat kotor, tentu akan merusak kolong selimut yang harum ini. Pula ... pula kalau di kolong selimut ini terdapat mayat, tentu tidaklah baik,” demikianlah Boh-thian berseru.

“Uh,” hanya terdengar suara demikian, lalu Boh-thian merasa golok yang mengancam di belakang lehernya telah terangkat pergi. Ia menjadi girang, pikirnya, “Rupanya nyali nona cilik ini sangat kecil, biarlah aku menakut-nakuti dia lagi.”

Maka ia lantas berkata pula, “Sekarang aku tak bisa berkutik, jika kau membunuh aku, tentu aku akan berubah menjadi mayat hidup. Wah, betapa menakutkan bila kau tidur bersama mayat hidup. Sekarang aku tak bisa bergerak, tapi sesudah menjadi mayat hidup tentu bisa bergerak, dengan kedua tanganku yang kaku dan dingin aku akan mencekik lehermu.”

Rupanya nona itu benar-benar ketakutan atas obrolan Boh-thian itu, segera ia berkata, “Tidak, aku takkan membunuh kau! Aku takkan membunuh kau!”

Selang sejenak si nona berkata pula kepada si wanita tua, “Nenek, kita harus mencari suatu akal untuk mengeluarkan dia dari sini.”

“Ya, aku sedang berpikir, kau jangan banyak bersuara,” sahut si nenek.

Dalam pada itu hari sudah malam, di dalam kolong perahu keadaan gelap gulita. Meski Boh-thian berada di dalam selimut bersama si nona, tapi karena waktu dia dilempar masuk kebetulan menceng di samping, maka tidak sampai menyentuh badan nona itu. Dalam kegelapan sekarang dapat didengarnya suara napas si nona yang memburu, nyata nona itu sangat khawatir dan cemas.

Sampai agak lama, si nenek tetap tidak mendapatkan sesuatu akal apa-apa. Pada saat itulah mendadak dari arah sungai sana terdengar suara suitan melengking tajam yang menyeramkan.

Belum lenyap suara suitan itu, terdengarlah suara orang bergelak tertawa panjang, suaranya serak tua. Sambil tertawa orang tua itu pun berseru, “Siau-jui, aku telah tunggu kau sehari semalam, kenapa baru sekarang kau tiba?”

“Wah, celaka, nenek! Siluman tua itu telah memapak datang, lantas bagaimana tindakan kita?” tanya si nona dengan khawatir.

Si nenek mendengus sekali, katanya, “Kau jangan bersuara lagi. Aku sedang mengumpulkan tenaga, asal aku bisa bergerak sedikit saja segera aku akan ... akan terjun ke dalam sungai daripada dihina oleh siluman tua itu.”

“Jangan ... jangan, nenek,” kata si nona dengan cemas.

“Sudah kukatakan jangan bersuara, masih kau mengganggu aku lagi,” semprot si nenek. “Nanti kalau nenek terjun ke dalam sungai, kau akan ikut aku apa tidak?”

Untuk sejenak si nona merasa sangsi, akhirnya ia menjawab, “Aku ... aku akan mati bersama nenek saja.”

“Baik!” kata si nenek. Habis ini ia lantas tidak bicara lagi.

Boh-thian sendiri pernah dua kali merasakan ketika Lwekangnya “tersesat”, pikirnya, “Kiranya Lothaythay dan nona ini juga mengalami nasib seperti diriku, melatih Lwekang dan tersesat sehingga tak bisa bergerak. Celakanya pada saat ini musuhnya telah mengejar tiba, keadaan mereka benar sangat sulit.”

Dalam pada itu suara si orang tua tadi terdengar pula dari hilir sungai sana, “Sekarang boleh kau pilih, mau tanding pedang boleh, mau adu kepalan juga jadi, Ting-losi pasti akan mengiringi, kau, kita boleh bertempur tiga hari tiga malam barulah menyenangkan. Nah, Siau-jui, mengapa kau tidak menjawab?”

Dari suara orang tua itu rasanya jaraknya sekarang sudah semakin mendekat lagi. Selang tak lama, mendadak terdengar suara gemerencing rantai besi, menyusul lantas terdengar suara gedubrak yang keras, suatu benda yang berat telah jatuh di atas perahu si nenek. Kiranya dari kapal yang memapak dari depan itu telah dilemparkan sebuah jangkar berantai. Seketika Boh-thian merasa badannya miring sebelah, rupanya perahunya menjadi doyong karena tertimpa jangkar yang berat itu.

“Hei, hei! Mau apa itu?” demikian si tukang perahu berteriak-teriak kaget.

Karena miringnya perahu, badan Boh-thian lantas menggelinding ke samping, sebaliknya si nona juga lantas menggelinding dan bersandar di badan pemuda itu.

“Wah, ini ... ini ....” demikian Boh-thian ingin minta si nona jangan menempelkan tubuhnya itu, tapi segera teringat nona itu pun serupa dirinya dalam keadaan tak bisa berkutik maka kata-kata yang akan diucapkan itu lantas ditelan kembali.

Dalam pada itu terasa ada orang melompat ke atas perahu mereka, hanya sekejap saja imbangan perahu itu sudah pulih kembali.

“Siau-jui,” terdengar seorang tua tadi berkata di haluan perahu, “sekarang aku sudah datang, apakah kita akan segera bertanding?”

“Eh, jangan kau main begitu, kedua perahu bisa berjungkir semua,” seru si tukang perahu di buritan dengan khawatir.

Si orang tua menjadi gusar, “Keparat, tutup bacotmu!” Segera ia angkat jangkar tadi dan dilemparkan kembali.

Begitu dua perahu terpisah, segera terhanyut ke hilir semua mengikuti arus.

Melihat betapa hebat tenaga orang itu, jangkar besi yang bobotnya beberapa ratus kati dilemparkan kian kemari dengan seenaknya saja, keruan si tukang perahu ternganga kaget dan tak berani bersuara lagi.

“Nah, Siau-jui, aku telah berada di haluan perahumu, lekas keluar,” demikian kata si kakek pula dengan tertawa. “Aku takkan tertipu olehmu, aku tak mau masuk ke kolong perahu yang mungkin telah kau siapkan perangkap.”

Mendengar itu Boh-thian dan kedua wanita berada di dalam kolong perahu itu menjadi lega hatinya. Mereka pikir kalau kakek itu tidak mau masuk ke kolong perahu, itu berarti dapat mengulur tempo lebih lama lagi.

Tapi Boh-thian lantas teringat lagi bila nanti si wanita tua sudah dapat mengumpulkan sedikit tenaga saja tentu akan terjun ke dalam sungai bersama si nona cilik ini. Walaupun Boh-thian belum pernah kenal kedua wanita itu, bahkan si nenek berulang-ulang ingin membunuhnya, namun dasar sifat Boh-thian memang baik, ia tidak tega menyaksikan nenek dan cucu perempuan itu mati secara mengenaskan.

Kebetulan saat itu telinga si nona terletak di sisi mulutnya, segera ia membisikkannya, “Nona, kau harus minta nenekmu jangan terjun ke sungai untuk membunuh diri.”

“Dia ... dia takkan menurut, beliau pasti akan terjun,” sahut si nona dengan perlahan. Saking sedihnya air matanya lantas bercucuran.

Sekali air mata sudah bercucuran, maka susah dihentikan lagi, nona itu lantas menangis tersedu-sedu, air matanya membasahi pula pipi Boh-thian.

“Ma ... maafkan aku, air ... air mataku telah membikin kotor mukamu,” kata si nona dengan suara parau. Nyata nona ini mempunyai perangai yang sangat lemah lembut dan halus budi.

“Ai, nona jangan main sungkan-sungkan, hanya air mata saja tidak apa-apa,” sahut Boh-thian.

“Sesungguhnya aku tidak mau mati,” kata si nona pula dengan perlahan. “Tetapi orang di haluan perahu itu sangat kejam, nenek bilang lebih suka mati juga tidak sudi ditawan olehnya. O, maaf, air mataku ... ah, kenapa kau pun menangis juga?”

“Aku menjadi terharu atas tangisanmu, maka aku pun ikut-ikut menangis,” sahut Boh-thian.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berbangkit, di pojok kolong perahu ada bayangan seorang telah berduduk.

Semula Ciok Boh-thian mestinya berada dalam keadaan tengkurap, tapi sesudah menggelinding, badannya sekarang menjadi miring. Maka waktu melihat orang itu berduduk, ia menjadi khawatir, dengan suara terputus-putus ia membisiki si nona, “Ne ... nenekmu sudah dapat bergerak dia ... dia telah berduduk.”

Nona itu berseru khawatir, segera ia bermaksud memegangi Boh-thian. Tapi dia sendiri tak bisa berkutik, bahkan satu jari saja tak bisa bergerak, maka hanya hatinya yang gelisah, tapi tak dapat berbuat lain.

Selang sejenak, terdengar Boh-thian membisikinya lagi, “Dia ... dia telah menjulurkan tangannya hendak menjambret kau.”

“Lekas ... lekas kau suruh dia jang ... jangan pegang diriku ... aku takut ....” seru si nona. Tapi pada saat itu juga punggungnya lantas terasa dicengkeram oleh sepasang tangan.

Karena tak bisa bergerak, terpaksa Boh-thian hanya berseru, “Lothaythay, jangan kau mencengkeramnya, dia tak mau mengiringi kau terjun ke dalam sungai. Tolong, tolong!”

Si kakek yang berada di haluan perahu itu menjadi heran ketika mendadak terdengar suara seorang pemuda dari dalam kolong perahu, bentaknya, “Siapa itu yang bergembar-gembor?”

Cepat Boh-thian menjawab, “Lekas kau masuk kemari, lekas tolong orang. Lothaythay tidak dapat menandingi kau, dia hendak terjun ke sungai untuk membunuh diri.”

Rupanya si kakek menjadi terkejut, segera ia menghantam sehingga atap perahu tersingkap separuh, segera tangannya mencengkeram sehingga lengan si nenek kena dipegangnya. Hawa murni si nenek yang sudah terkumpul sedikit itu lantas buyar seketika terus roboh terkulai.

Si kakek menjadi terkejut sesudah memegang nadi si nenek, cepat ia tempelkan tangannya ke punggung si nenek, katanya dengan khawatir, “He, Siau-jui, apakah kau melatih Lwekang dan sesat jalannya? Mengapa tidak kau katakan sejak tadi, tapi sengaja bertahan.”

“Lepaskan diriku, jangan kau pedulikan diriku! Lekas enyah dari sini!” seru si nenek dengan napas terengah-engah.

“Denyut nadimu tak teratur, keadaanmu sangat berbahaya, kalau tidak segera ditolong mungkin ... mungkin bisa cacat untuk selamanya. Biarlah aku membantu kau,” demikian kata si kakek.

Tapi si nenek menjawab dengan gusar, “Tidak, tidak perlu bantuanmu! Jika kau sentuh badanku lagi, biarpun aku tak bisa bergerak, segera juga aku akan menggigit putus lidahku untuk membunuh diri.”

Si kakek kenal watak si nenek yang keras, berani berkata dan berani berbuat. Terpaksa ia membujuknya pula, “Denyut nadimu di bagian tangan semuanya kacau tak keruan, untuk ini ....”

“Kau tak perlu urus,” sahut si nenek. “Kau berkeras ingin menangkan diriku. Sekarang aku melatih Lwekang dan tersesat, bukankah menjadi lebih baik bagimu dan terpenuhi cita-citamu?”

“Kita jangan bicara soal ini,” ujar si kakek. “A Siu, kenapakah kau? Lekas kau menghibur nenekmu. Eh, ken ... kenapa kau tidur di situ bersama seorang lelaki? Apakah dia kekasihmu?”

“Bu ... bukan!” A Siu dan Boh-thian menjawab berbareng. “Kami tak bisa bergerak sama sekali.”

Si kakek merasa heran dan geli pula. Segera ia seret Ciok Boh-thian keluar.

Tak terduga seluruh badan Boh-thian terikat dengan kencang oleh tambang sehingga kaku lempeng, pinggang tak bisa membungkuk, tangan tak bisa melengkung, karena diseret, seketika tubuhnya terangkat menegak ke atas sehingga membuat kaget si kakek. Sesudah jelas duduknya perkara, kakek itu terbahak-bahak geli, katanya, “A Siu, apa kau kelaparan, maka kau menyimpan sebuah lemper raksasa di kolong selimutmu?”

“Bukan,” sahut si A Siu cepat,” dia ... dia melayang masuk sendiri dari luar dan bukan ... bukan aku yang menyimpannya.”

“Kau sendiri juga tidak bisa bergerak, apakah kau pun ingin menjadi lemper raksasa?” kata si kakek.

Mendadak si nenek membentak dengan bengis, “Jangan kau coba menyentuh A Siu atau segera aku mengadu jiwa dengan kau.”

“Baik, aku takkan menyentuh dia,” sahut si kakek. Lalu ia menoleh kepada si tukang perahu dan berkata, “Juru mudi, putar haluan, pasang layar, kalau aku suruh kau berhenti harus segera berhenti!”

Si tukang perahu tidak berani membangkang, terpaksa ia menurut segala perintah itu.

“Apa yang hendak kau lakukan?” seru si nenek dengan gusar.

“Aku akan membawa kau ke Pik-lwe-san untuk merawat kau dengan baik-baik,” sahut si kakek.

“Tidak, mati pun aku takkan ke Pik-lwe-san (gunung keong hijau),” bantah si nenek. “Aku toh tidak kalah padamu, mengapa kau memaksa aku datang ke sarang anjingmu?”

“Bukankah kita sudah berjanji akan bertanding di sungai Tiangkang ini. Kalau aku kalah, aku akan datang ke rumahmu dan menyembah padamu. Sebaliknya kalau kau kalah, kau harus ikut ke rumahku. Sekarang aku tak peduli apakah kau melatih Lwekang dan tersesat atau kau kalah bertempur, pendek kata sekali ini kau harus ikut aku ke Pik-lwe-san.”

“Tidak, aku tidak mau ke sana! Tidak ....” baru sekian si nenek menjerit dengan murka, mendadak napasnya menjadi sesak, orangnya lantas pingsan.

“Hahaha! Mau tidak mau kau harus ikut aku ke sana,” kata si kakek dengan tertawa. “Hari ini sudah terang kau tak berkuasa lagi.”

“Eh, kalau dia tidak mau pergi, mana boleh kau memaksa orang?” demikian Boh-thian telah menimbrung.

Si kakek menjadi gusar, “Siapa suruh kau ikut-ikut kentut?” bentaknya, berbareng ia menampar ke muka Ciok Boh-thian.

Tampaknya pemuda itu pasti akan puyeng tujuh keliling kena tempelengan itu, boleh jadi giginya bisa rontok pula semua. Tapi sekilas tiba-tiba si kakek melihat di pipi Boh-thian terdapat sebuah cap tangan yang hitam gosong, ia menjadi tertegun dan menahan pukulannya. Katanya dengan tertawa, “Aha, lemper raksasa, kukira siapa yang meringkus kau sedemikian rupa, kiranya adalah perbuatan aku punya cucu keponakan perempuan yang nakal itu. Bekas tamparan di mukamu ini bukankah adalah pukulan cucu keponakan perempuan?”

“Cucu keponakan perempuanmu?” Boh-thian menegas dengan bingung.

“O, barangkali kau belum tahu siapa diriku ini? Aku adalah Ting Put-si, cucu keponakan perempuanku ialah ....”

“Ah, benar, Ting-ting Tong-tong adalah cucu keponakan perempuanmu,” demikian sela Boh-thian. “Ya, memang si Ting-ting Tong-tong yang telah menampar pipiku ini. Dia pula yang telah meringkus aku dengan tali tadi.”

Jilid 20

“Hahahaha! Memangnya aku sudah menduga di dunia ini selain si budak cilik A Tong itu tiada anak perempuan yang demikian nakalnya,” kata Ting Put-si dengan tertawa terpingkal-pingkal. “Ehm, bagus! Sebab apakah dia meringkus kau sekencang ini?”

“Kakeknya hendak membunuh aku, katanya ilmu silatku terlalu rendah, aku dikatakan tolol dan sinting,” tutur Boh-thian.

“Hahahaha!” Ting Put-si terpingkal-pingkal pula sampai menungging dan memegangi perutnya yang sakit. “Orang yang hendak dibunuh Losam, sekarang telah kepergok oleh Losi, maka ... hahahaha!”

“Kau juga hendak membunuh aku?” tanya Boh-thian dengan khawatir.

“Pikiran Ting-losi di dunia ini siapakah yang dapat menerka?” ujar Ting Put-si. “Kau mengira aku hendak membunuh, tapi aku justru tidak mau membunuh.”

Habis berkata ia lantas mencengkeram tengkuk Ciok Boh-thian dan ditegakkan. Telapak tangan kanan setajam pisau lantas bekerja berulang-ulang ia memotong tambang layar yang meringkus badan Boh-thian itu sehingga berpuluh-puluh potong tali lantas jatuh semua dalam keadaan terputus-putus.

“Wah, Loyacu, kepandaianmu ini benar-benar sangat lihai. Kepandaian apakah ini namanya?” puji Boh-thian.

Dasar watak Ting Put-si memang suka dipuji dan suka menang, pujian Ciok Boh-thian itu telah membuatnya senang tidak kepalang. Sahutnya, “Kepandaianku ini sudah tentu sangat hebat, di dunia ini mungkin tiada orang kedua lagi yang dapat menandingi kepandaian Ting Put-si ini. Tentang nama kepandaian ini ....”

Mendengar bualan Ting Put-si itu, si nenek yang baru saja siuman kembali segera mengejeknya, “Hm, tikus naik di atas meja, membual dan memuji diri sendiri! Kepandaian Gway-to-cam-loan-moa (pisau cepat memotong tali rami) seperti itu asal orang yang pernah belajar dua-tiga jurus saja tentu akan dapat memainkannya. Kenapa mesti dibuat heran?”

“Fui!” semprot Ting Put-si. “Asal orang yang pernah belajar dua-tiga jurus saja akan dapat memainkan jurus Gway-to-cam-loan-moa ini? Nah, boleh coba kau memainkannya sekarang juga!”

“Kau tahu aku tak bisa bergerak, maka sengaja bicara seenaknya,” sahut si nenek. “He, Lemper raksasa, biarlah kukatakan padamu, jurus ‘Gway-to-cam-loan-moa’ ini di mana-mana dapat kau saksikan, setiap penjual obat di pasar, asal kau memberi dia satu-dua picis dan suruh dia memainkan jurus ini, maka dia tentu akan memainkannya bagimu, tanggung caranya serupa dengan gerakan tua bangka ini tadi. Jurus ini adalah kepandaian yang tak berarti, setiap penipu di dunia ini tentu juga bisa, kenapa mesti dibuat heran?”

Ting Put-si paling benci kalau orang mengolok-olok kepandaiannya, sekarang ucapan si nenek sedemikian menghinanya, keruan ia menjadi murka, kontan tangannya mencengkeram ke pundak si nenek.

“He, jangan main kasar!” seru Boh-thian dan cepat tangannya memotong ke pergelangan tangan Ting Put-si, yang digunakan adalah jurus “Pek-ho-jiu” (cakar bangau putih) dari ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong.

Kiranya sudah cukup lama dia punya Hiat-to dicengkeram oleh si Ting Tong, dengan Lwekangnya yang kuat, Hiat-to yang tertutuk itu sudah punah dengan sendirinya, sekarang tali layar yang meringkusnya itu sudah putus semua, darah telah jalan lancar kembali, maka seketika ia dapat bergerak dengan bebas.

Tangkisan Boh-thian itu membuat Ting Put-si bersuara heran. Segera ia memutar tangannya untuk menggaet lengan pemuda itu.

Namun Boh-thian sudah hafal sekali meyakinkan ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat itu, segera ia pun ganti serangan, telapak tangan kiri memukul, jari tangan kanan dipakai mencolok kedua mata lawan.

“Bagus! Ini adalah Kim-na-jiu-hoat ajaran Losam!” bentak Ting Put-si. Berbareng kedua tangannya menolak ke depan untuk menahan kedua tangan pemuda itu.

Tapi mendadak kedua tangan Ciok Boh-thian memutar dari kedua samping untuk menggecek Thay-yang-hiat di kedua pelipis lawan. Namun secepat kilat kedua tangan Ting Put-si menerobos dari bawah ke atas terus menyampuk keluar sehingga kedua lengan Ciok Boh-thian terketuk.

Disangkanya benturan tangan itu pasti akan membuat lengan Ciok Boh-thian patah seketika. Tak terduga begitu keempat lengan beradu, Boh-thian tetap berdiri tegak tanpa bergerak. Sebaliknya Ting Put-si sendiri merasa tubuh bagian atas seakan-akan kaku semua, “krak”, tanpa merasa sebuah papan perahu telah patah kena diinjaknya, badan perahu itu pun terombang-ambing ke kanan dan ke kiri beberapa kali.

Sama sekali Ting Put-si tidak menduga bahwa bocah tolol ini memiliki tenaga dalam sedemikian hebatnya, cepat ia mundur selangkah supaya tidak kejeblos ke dalam lubang papan yang patah itu sambil bersuara heran lagi.

Semula Ting Put-si bersuara heran karena di luar dugaannya Ciok Boh-thian ternyata mahir menggunakan Kim-na-jiu-hoat dari keluarga Ting. Tapi ia bersuara heran pula dengan terkejut karena getaran tenaga dalam pemuda itu telah membuatnya mundur selangkah dan mematahkan papan perahu, ia merasa Lwekang anak muda ini benar-benar luar biasa dan susah di ukur. Sungguh susah dimengerti entah dari manakah mendadak bisa muncul seorang jago muda yang memiliki ilmu silat setinggi ini?

Walaupun benturan tangan tadi Ting Put-si tidak mengeluarkan seluruh tenaganya, tapi pihak lawan seakan-akan tidak merasakan apa-apa, sebaliknya dirinya telah menginjak patah papan perahu, hal ini boleh dikata dirinya sudah kalah satu jurus. Pemuda ini sedemikian lihainya, mengapa kena ditangkap oleh Ting Tong? Bahkan kena ditampar pula? Begitulah seketika Ting Put-si menjadi ragu-ragu dan sangsi.

Di sebelah sana si nenek juga heran dan terkejut. Tapi setiap ada kesempatan untuk mengolok-olok Ting Put-si selalu digunakannya dengan baik, maka ia lantas tertawa. Sesudah terbahak-bahak beberapa kali, maksudnya hendak bicara, tapi seketika napasnya menjadi sesak dan susah mengeluarkan suara, terpaksa ia berkata dengan perlahan-lahan, “Hahaha! Ter ... ha ... dap seorang bocah ... bocah tolol saja tidak ... tidak bisa ....”

Ting Put-si menjadi gusar, teriaknya, “Biarlah aku mewakilkan kau bicara saja. Kau hendak bilang: Terhadap seorang bocah tolol saja tidak bisa menang bukan?”

Nenek itu tersenyum simpul dan manggut-manggut membenarkan.

Tiba-tiba Ting Put-si berpaling kepada Ciok Boh-thian, tanyanya, “Hei, Lemper raksasa, siapakah gurumu?”

Boh-thian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia pikir meski Cia Yan-khek dan si Ting Tong pernah mengajarkan ilmu silat padanya, tapi mereka bukanlah gurunya yang resmi, maka jawabnya, “Aku tidak punya guru.”

“Ngaco-belo, habis kau punya Kim-na-jiu-hoat ini kau mencuri belajar dari mana?” bentak Ting Put-si.

“Aku tidak mencuri belajar, tapi si Ting-ting Tong-tong yang mengajarkan aku selama sepuluh hari,” sahut Boh-thian. “Si Ting Tong bukan guruku, tapi adalah ... adalah ....”

Mestinya ia ingin menerangkan bahwa “dia adalah istriku”, tapi ia merasa tidak enak, maka tidak diucapkannya.

Ting Put-si menjadi gusar, ia memaki, “Keparat, kau bilang Kim-na-jiu-hoat ini si Ting Tong yang mengajarkan kau? Huh, ngaco-belo!”

Dalam pada itu napas si nenek sudah teratur kembar, segera ia menyindir lagi, “Orang Kangouw suka mengatakan bahwa ‘Kedua jago keluarga Ting, yang satu adalah kesatria dan yang lain adalah babi’. Sekarang dengan mataku sendiri aku telah menyaksikannya dan nyata memang tidak salah kabar orang Kangouw itu.”

Ting Put-si berjingkrak marah-marah, teriaknya, “Bilakah orang Kangouw mengatakan demikian? Huh, pasti kau sendiri yang membuat-buatnya. Coba katakan, siapa yang kesatria dan siapa yang babi? Ilmu silatku lebih tinggi daripada Losam, siapa orangnya di dunia persilatan yang tidak tahu hal ini?”

Si nenek tidak berani bicara terlalu buru-buru, maka dengan sekata demi sekata ia menjawab, “Si Ting Tong adalah cucu perempuannya Ting-losam.

“Kepandaian Ting-losam diajarkan kepada putranya, putranya mengajarkan kepada putrinya si Ting Tong itu dan akhirnya si Ting Tong mengajarkan pula kepada bocah dogol ini. Malahan bocah dogol ini cuma belajar sepuluh hari saja sudah mengalahkan Ting Put-si.

“Nah, boleh kau coba minta pertimbangan setiap orang di dunia ini, sia ... siapakah ....” sampai di sini napasnya kembali sesak lagi dan susah meneruskan.

Ting Put-si menjadi tidak sabaran lagi, segera ia menyambung, “Biarlah kuwakilkan bicara, ‘Siapakah sebenarnya yang kesatria dan siapa yang babi? Sudah tentu Ting-losam adalah kesatria dan Ting-losi adalah babi’, bukan?”

“Ya, asal ... asal kau tahu saja,” kata si nenek sambil memanggut dan tersenyum-senyum ejek.

Walaupun suara si nenek sangat lemah tapi bagi pendengaran Ting Put-si terasa sangat menusuk, teriaknya pula, “Siapa bilang si Lemper raksasa ini telah mengalahkan Ting Put-si? Hayo, mari, mari, boleh kita coba-coba lagi! Kalau aku tidak ....”

Mestinya ia hendak mengatakan, “Kalau aku tidak menghantam kau masuk ke dalam sungai di dalam 3 jurus saja, biarlah aku menyembah padamu” dan lain-lain lagi. Tapi sebelum diucapkan ia lantas ingat ilmu silat Ciok Boh-thian yang susah diduga itu, jangan-jangan di dalam tiga jurus tidak dapat merobohkan dia, kan urusan bisa runyam? Kalau menyatakan “di dalam sepuluh jurus”, rasanya juga tidak meyakinkan, sebaliknya kalau bilang “di dalam 50 jurus” rasanya terlalu banyak, masakah dirinya sebagai seorang tokoh ternama harus memerlukan 50 jurus baru dapat mengalahkan murid cucu keponakan perempuan sendiri, lalu apakah dirinya masih dapat disebut sebagai kesatria?

Sedikit Ting Put-si merandek saja, kesempatan itu lantas digunakan si nenek untuk mengejeknya pula, “Boleh kau katakan jika di dalam 200 jurus kau tidak mengalahkan dia, maka kau akan menyembah dan mengangkat dia sebagai ....”

“Mengangkat dia sebagai guru, demikian hendak kau katakan bukan?” teriak Ting Put-si dengan murka. Berbareng ia terus meloncat ke atas, dari udara kedua tangannya lantas menghantam kepala dan pundak Ciok Boh-thian.

Walaupun Boh-thian telah mempelajari ke-18 jurus Kim-na-jiu-hoat, tapi dia hanya dapat mematahkan serangan-serangan si Ting Tong saja, cara belajarnya bukan cara yang hidup, cara menggunakannya juga tidak bisa cara hidup.

Maka ketika melihat kedua tangan Ting Put-si menghantam dari atas, ia menjadi kelabakan, terpaksa ia menjulurkan kedua tangan ke atas untuk melindungi kepalanya sendiri.

Pada saat lain “Tay-cui-hiat” di kuduknya lantas terasa sakit dan ditumbuk oleh suatu tenaga yang kuat, nyata telah kena pukulan lawan.

Tay-cui-hiat itu adalah Hiat-to penghubung antara urat-urat nadi kaki dan tangan, dari situ seketika timbul tenaga reaksi yang mahakuat. Kontan Ting Put-si merasa seluruh badannya tergetar, tubuhnya lantas terpental balik. Waktu dia pandang Ciok Boh-thian, pemuda itu ternyata tenang-tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa.

Meski serangan ini tepat mengenai Ciok Boh-thian, namun Ting Put-si sendiri malah terpental mundur, maka tidak dapat dianggap kalah atau menang.

Tapi si nenek sudah lantas menyindir lagi, “Ting-losi, orang sengaja membiarkan seranganmu mengenai dia, tapi kau sendiri malah terpental, sungguh terlalu tidak becus. Teranglah hanya satu jurus saja kau sudah kalah.”

“Mana bisa aku kalah? Ngaco-belo!” sahut Ting Put-si dengan gusar.

“Umpama kau belum kalah, maka boleh coba membiarkan dia menghantam kau punya Tay-cui-hiat, bila kau tidak mampus dan dapat pula membikin dia terpental mundur maka kalian dapat dianggap seri, sama-sama kuat.”

Diam-diam Ting Put-si memikir, dengan tenaga dalam anak muda yang mahakuat ini, bila aku punya Tay-cui-hiat kena dihantam, andaikan tidak binasa juga pasti terluka parah. Maka lantas jawabnya, “Tanpa sebab buat apa aku membiarkan diriku dihantam? Kalau perlu kau punya Tay-cui-hiat boleh coba kuhantam saja.”

“Huh, memangnya aku sudah tahu si ‘Ting babi’ adalah pengecut, hanya mau menang sendiri, kalau disuruh bertanding secara kesatria tentu tidak berani,” jengek si nenek.

Ting Put-si menjadi bungkam karena sindiran si nenek kena betul isi hatinya. Dasar dia memang suka unggul, biarpun kalah bicara juga tidak mau tunduk. Segera ia berkata lagi kepada Boh-thian, “Marilah kita coba-coba lagi!”

“Tidak,” sahut Boh-thian. “Aku hanya belajar sedikit kepandaian kepada Ting-ting Tong-tong, ilmu silat lain aku tak paham sama sekali. Serangan-seranganmu yang ruwet tadi aku tak dapat menangkisnya. Maka, biarlah anggap kau yang menang dan tak perlu bertanding lagi.”

“Anggap kau yang menang”, kata-kata ini sangat menusuk telinga Ting Put-si. Segera ia berseru, “Kalau kalah bilang kalah, kalau menang ya menang, mengapa pakai anggap atau tidak anggap? Sekarang aku akan membiarkan kau menyerang dahulu. Nah, lekas kau mulai!”

“Tidak, aku tidak bisa,” sahut Boh-thian sambil menggeleng.

Ting Put-si menjadi murka, apalagi dari samping si nenek masih terus tertawa mengejeknya, segera ia memaki, “Anak bedebah, kau tidak bisa, biar aku mengajar kau. Nah, lihatlah yang jelas, jika kau memukul padaku cara demikian, aku lantas begini menangkisnya, menyusul aku balas menyerang kau, kau lantas mengegos ke samping dan batas memukul aku dengan kepalan kiri.”

Disuruh belajar memang Ciok Boh-thian sangat cepat memahaminya. Maka ia lantas menurutkan gaya yang diajarkan Ting Put-si, ia menyerang dahulu, lalu Ting Put-si balas menghantam.

Baru saja mereka bergebrak empat jurus, ketika Ting Put-si memukul pula maka Boh-thian tidak tahu cara bagaimana menangkisnya lagi, terpaksa dia terdiri tegak dan berkata, “Bagaimana aku harus terbuat? Aku tidak tahu lagi.”

Ting Put-si merasa geli dan mendongkol pula, katanya, “Kalau semuanya harus aku yang mengajarkan, lalu bertanding apa lagi?”

“Memangnya aku bilang tak perlu bertanding dan anggap saja kau yang menang,” sahut Boh-thian.

“Tidak, tidak bisa,” kata Put-si. “Jika aku tidak menangkan kau dengan sungguh-sungguh, selama hidup ini tentu aku akan ditertawai Siau-jui dan dianggap sebagai babi dan pengecut. Nah, ingatlah yang baik, bila aku sampai memukul begini, maka kau tidak perlu menangkis, tapi menggeser maju terus balas menusuk perutku dengan jarimu. Serangan balasan ini sangat lihai dan terpaksa aku harus menarik kembali pukulanku untuk menghindari seranganmu.”

Begitulah Ting Put-si sambil berkata sambil bergaya memberi contoh, Ciok Boh-thian juga mengingatnya dengan baik. Sesudah paham lalu kedua orang bergebrak lagi dari permulaan jika sudah terpakai habis jurus-jurus ajaran Ting Put-si, lalu Boh-thian berhenti dan terpaksa Put-si mengajarkan lagi, lalu mulai bergebrak dan begitu seterusnya sehingga tanpa merasa lelah berlangsung sampai ratusan jurus, tapi Ting Put-si tetap susah merobohkan Boh-thian, walaupun jurus-jurus yang digunakan anak muda itu adalah ajarannya.

Lama-kelamaan Ting Put-si menjadi gelisah. Apalagi si nenek masih terus mencemoohkan dari samping, sehingga Ting Put-si tidak berani main licik, terpaksa ia mengajarkan jurus-jurus serangannya dengan sungguh-sungguh. Dasar ingatan Boh-thian sangat baik, Lwekangnya sangat kuat pula, terpaksa Ting Put-si harus melayani dengan semangat, pertarungan demikian menjadi tidak kalah hebatnya daripada dahulu tatkala dia bertanding melawan si nenek.

Sesudah beberapa puluh jurus lagi, sementara itu fajar sudah menyingsing. Ting Put-si menjadi tidak sabar lagi, mendadak ilmu pukulannya berganti, ia mengeluarkan jurus “Kat-ma-peng-coan” (kuda haus berlari ke sumber air) yang telah diajarkan permulaan tadi, mendadak ia menubruk maju sambil menghantam.

“He, he! Salah! Urut-urutannya salah!” teriak Boh-thian.

“Peduli urut-urutannya salah apa segala? Asal jurus yang pernah kuajarkan saja tadi kan sudah jadi?” sahut Ting Put-si.

Namun demikian Boh-thian juga belum lupa harus mematahkan serangan Ting Put-si itu dengan jurus “Hun-tiap-pian-hui” (kupu-kupu terbang menari di angkasa) ajaran Ting Put-si tadi, cepat ia melompat ke samping.

Menurut rekaan Ting Put-si, asal pemuda itu didesak mundur sehingga kecemplung ke dalam sungai, maka itu berarti dia sudah menang dan betapa pun Siau-jiu (si nenek) tiada alasan untuk menyindirnya lagi. Maka cepat ia mendesak maju, dengan jurus “Heng-sau-jian-kun” (menyapu seribu prajurit), kedua tangannya berbareng memotong dari samping.

Tapi Boh-thian lantas menggunakan jurus “Ho-hong-se-uh” (angin halus hujan gerimis) untuk menghindarkan serangan lawan yang membadai. Namun terpaksa ia mesti mundur lagi setindak sehingga sebelah kakinya telah menginjak di atas tepi perahu.

Ting Put-si sangat girang. “Turunlah!” bentaknya sambil menyerang dengan gerak tipu “Ciong-koh-ce-bin” (genderang menggema serentak), kedua kepalan sekaligus hendak menghantam kedua pelipis Ciok Boh-thian.

Kalau menurut kepandaian ajaran Ting Put-si tadi, maka Boh-thian terpaksa harus melangkah mundur untuk memberi tangkisan. Akan tetapi sekarang dia tiada jalan mundur lagi, kalau melangkah mundur berarti terjerumus ke dalam sungai. Dalam gugupnya tanpa pikir lagi Boh-thian lantas menggunakan kepandaian yang paling dipahami ajaran si Ting Tong dahulu, segera ia menggeser ke samping sehingga berbalik berada di belakang Ting Put-si, berbareng tangan kanan menggunakan jurus “Hou-jiau-jiu” untuk mencengkeram “Leng-tay-hiat” dan tangan kiri memakai jurus “Giok-li-cui-ci-am” untuk memegang “Koan-ki-hiat” sekali tangannya kena memegang sasarannya, seketika pula tenaga dalamnya yang mahadahsyat juga bekerja.

Tanpa ampun lagi Ting Put-si menjerit sekali, kontan ia roboh terkulai di atas geladak perahu.

Padahal biarpun Lwekang pemuda itu teramat kuat, betapa pun juga susah merobohkan Ting Put-si yang tergolong jago kawakan itu. Soalnya Ting Put-si terlalu memandang enteng kepada Boh-thian, disangkanya pemuda itu pasti akan menggunakan jurus ajarannya untuk menangkis serangannya, untuk mana pemuda itu pasti akan terdesak masuk ke dalam sungai. Tak terduga olehnya bahwa pemuda dogol ini mendadak bisa ganti tipu serangan, bahkan yang digunakan adalah tipu serangan yang telah dipelajarinya dengan masak betul sehingga Ting Put-si sama sekali tiada kesempatan untuk menghindar, malahan tenaga dalam Ciok Boh-thian juga sedemikian lihainya sehingga Ting Put-si tak dapat menahannya.

Kejadian di luar dugaan ini, bukan saja Ting Put-si dan Ciok Boh-thian sendiri terkejut, bahkan si nenek juga melongo kaget. Tapi ia lantas terbahak-bahak beberapa kali, tiba-tiba napasnya sesak, lalu jatuh pingsan lagi dengan mata mendelik.

Keruan Boh-thian terperanjat, cepat ia berseru, “He, Lothaythay, ken ... kenapakah kau?”

Si nona yang tak bisa berkutik dan berada di dalam kolong perahu itu dengan sendirinya tidak dapat mengikuti apa yang terjadi di luar itu, ketika mendengar suara seruan Boh-thian yang gugup itu, segera ia bertanya, “Toako itu, bagaimanakah dengan nenekku?”

“Dia ... dia telah pingsan,” sahut Boh-thian dengan tak lancar. “Sekali ini tampaknya ... tampaknya agak berat, mungkin ... mungkin susah sadar kembali.”

“Ha, kau maksudkan nenek telah ... telah meninggal?” tanya si nona dengan khawatir.

Boh-thian coba memeriksa pernapasan hidung si nenek, lalu menjawab, “Napasnya sih masih bekerja, cuma ... cuma melihat gelagatnya agak ... agak berat.”

“Berat bagaimana?” tanya pula si nona.

“Wajahnya pucat sebagai mayat,” tutur Boh-thian. “Ah, biarlah aku memondong kau keluar untuk melihatnya sendiri.”

Sebenarnya si nona merasa rikuh dipondong pemuda itu, tapi sesungguhnya ia sangat mengkhawatirkan keselamatan neneknya. Sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia berkata, “Baiklah! Tolong engkau suka memayang aku keluar.”

Selama hidup Ciok Boh-thian belum pernah mendengar orang bicara sedemikian halus dan sopan padanya. Keruan ia sangat senang. Biasanya kalau orang-orang Tiang-lok-pang bicara padanya sikapnya sangat hormat dan takut-takut, hanya kata-kata si nona inilah terasa sangat “sreg” dan enak bagi pendengarannya.

Maka perlahan-lahan ia lantas memondong nona itu, ia membungkus tubuhnya dengan sehelai selimut tipis, lalu membawanya ke haluan perahu.

Waktu melihat neneknya dalam keadaan pingsan, si nona telah menjerit khawatir. Serunya, “Toako ini, sukalah engkau tolong menyalurkan sedikit ... sedikit tenaga dalam ke tubuh nenek melalui ‘Leng-tay-hiat’ di punggungnya. Permohonan ini agak melampaui batas, sungguh aku merasa tidak enak.”

Mendengar suara si nona yang lemah lembut dan merdu itu, tanpa terasa Boh-thian menunduk dan mengamati-amati mukanya. Saat itu sang surya baru saja memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang, maka tertampaklah dengan jelas raut muka si nona yang bundar telur, cantik molek, terutama sepasang matanya yang besar juga sedang memandang padanya dengan sorot matanya yang sayu rawan.

Ketika sinar mata kedua orang kebentrok, maka si nona menjadi merah jengah.

Karena tidak dapat berpaling ke arah lain, terpaksa dia pejamkan mata.

Sebaliknya Ciok Boh-thian tanpa merasa telah berkata, “Kiranya kau juga sedemikian cantiknya, nona!”

Muka si nona tambah merah. Karena jarak muka kedua orang terlalu dekat, ia tidak berani membuka suara, sebab khawatir bau mulutnya menyembur ke muka Ciok Boh-thian, maka dia diam saja dengan menutup mulut kencang-kencang.

Sesudah terkesima sejenak, kemudian Boh-thian berkata, “O, maaf!”

Segera ia menaruh tubuh si nona, lalu menggunakan telapak tangannya untuk memegang Leng-tay-hiat di punggung si nenek, sebenarnya ia tidak tahu cara bagaimana harus menyalurkan tenaga dalam sebagaimana diminta oleh si nona, maka dia hanya menggunakan cara mencengkeram Hiat-to itu dengan “Hou-jiau-jiu” ajaran si Ting Tong, segera ia mengerahkan tenaga.

Mendadak si nenek menjerit sekali dan siuman kembali. “Anak dogol, apa yang kau lakukan?” omelnya kepada Boh-thian.

“Nona ini minta aku menyalurkan tenaga kepadamu dan kau ter ... ternyata sudah sadar kembali,” sahut Boh-thian.

“Kau justru telah menutup aku punya Hiat-to di punggung, masakah cara ini kau katakan hendak menyalurkan tenaga padaku?” damprat si nenek.

“O, aku ... aku memang tidak bisa, harap engkau suka mengajarkan padaku,” pinta Boh-thian dengan kemalu-maluan.

Rupanya karena cengkeraman Boh-thian tadi sehingga membikin si nenek tergetar sadar, semula ia sangat marah, tapi ia lantas tahu juga Lwekang anak muda itu ternyata sangat kuat, ia pikir apa barangkali bocah tolol ini telah makan sesuatu buah-buahan atau tumbuhan ajaib sehingga membikin tenaga dalamnya menjadi kuat, tapi dia justru tidak tahu cara menggunakan tenaga dalam itu.

Sekarang aku melatih Lwekang dan tersesat, mungkin berkat tenaga dalamnya yang kuat dapat membantu aku menembuskan urat-urat yang tersumbat di dalam badanku, asal jalan nadi sudah lancar, untuk kesembuhan selanjutnya aku dapat melakukannya sendiri.

Begitulah maka ia lantas berkata, “Baiklah, akan kuajarkan padamu. Hendaklah kau himpun dulu tenagamu ke dalam perut, bila sudah merasakan suatu arus hawa hangat mulai bergolak, maka dapatlah kau salurkan ke mana pun menurut pikiranmu. Nah, untuk pertama kali hendaklah kau menyalurkan hawa hangat itu ke nadi Siau-yang-meh di telapakan tanganmu.”

Segera Boh-thian melakukannya sesuai dengan petunjuk itu, maka dengan mudah saja ia telah dapat menyalurkan tenaga dalamnya ke telapak tangan. Hendaklah maklum bahwa “Lo-han-hok-mo-kang” yang telah diyakinkan sebelumnya itu adalah Lwekang paling tinggi dari Siau-lim-pay yang serbaguna dan dapat dikerahkan menurut keinginannya, soalnya dahulu ia tidak tahu cara bagaimana menggunakan Lwekang itu sehingga mirip seorang hartawan memiliki harta karun segudang penuh, namun tidak menemukan kunci untuk membuka pintu gudang harta karunnya. Tapi sekarang sesudah mendapat petunjuk si nenek dan dilakukannya dengan baik, maka tenaga dalamnya lantas membanjir keluar laksana air bah melanda.

Sedemikian hebat bekerjanya Lwekang Ciok Boh-thian sehingga si nenek merasa kewalahan, ia berseru, “Tahan, tahan dulu, per ... perlahan-lahan saja ....” belum habis ucapannya, mendadak ia muntahkan sekumur darah hitam kental.

Boh-thian terperanjat, serunya cepat, “He, kenapa? Apakah keliru caraku?”

“Toako ini, nenek minta kau lambatkan tenaga yang kau salurkan itu dan jangan terburu-buru,” kata si nona yang menggeletak di samping itu.

“Tolol,” demikian si nenek mengomel, “apakah kau ingin membikin jiwaku melayang? Kau harus menyalurkan tenagamu sedikit demi sedikit, sesudah aku bernapas, lalu kerahkan pula tenagamu.”

“O, ya, ya!” sahut Boh-thian.

Dan baru saja ia hendak lakukan menurut permintaan si nenek, tiba-tiba terlihat Ting Put-si telah melompat bangun sambil berteriak, “Bedebah, keparat! Hayo, kita bertanding lagi, yang tadi tak bisa dihitung!”

“Huh, tua bangka yang tidak tahu malu! Mengapa yang tadi tak bisa dihitung? Sudah terang kau telah kalah, bukan?” demikian si nenek menanggapi. “Coba kalau tadi dia tambahkan sekali hantam lagi atau membacok kepalamu dengan golok, apakah jiwamu masih ada sampai saat ini?”

Ting Put-si merasa di pihak yang salah, maka ia tidak berani bertengkar mulut lagi dengan si nenek. Tanpa bicara ia terus menghantam pula ke arah Ciok Boh-thian sambil membentak, “Jurus ini tadi telah kuajarkan padamu, tentunya kau sudah paham, bukan?”

Lekas-lekas Boh-thian mematahkan serangan Ting Put-si dengan jurus ajaran orang tua itu pula.

Tapi Ting Put-si lantas menyerang pula sambil membentak, “Dan jurus ini pun sudah kuajarkan tadi, tentu kau tak bisa mengatakan aku main licik dan mau menang sendiri.”

Ternyata setiap serangannya memang betul-betul adalah jurus yang dia telah ajarkan kepada Ciok Boh-thian tadi, dengan demikian dia hendak perlihatkan kepada si nenek bahwa dia tetap pegang janji sebagai seorang kesatria. Namun tentang dia kena dicengkeram pemuda itu tadi sehingga jatuh kalah, untuk ini sepatah kata pun dia tidak menyinggung.

Makin lama makin cepat, sesudah belasan jurus mulut Ting Put-si menjadi kewalahan atas kecepatan serangannya sendiri, maka dia hanya membentak-bentak, “Ini sudah kuajarkan, sudah kuajarkan, sudah kuajarkan!”

Karena serangan-serangan kilat itu, biar bagaimana pintarnya Ciok Boh-thian juga tak dapat melayani dengan baik, hanya beberapa jurus saja ia sudah kelabakan dan tampaknya akan segera dirobohkan oleh Ting Put-si.

Untunglah pada saat ia sedang kewalahan, tiba-tiba terdengar si nenek berseru, “Tahan dulu! Aku ingin bicara!”

Ting Put-si lantas menghentikan serangannya dan bertanya, “Siau-jui, apa yang hendak kau katakan?”

Tapi si nenek berpaling kepada Boh-thian dan berkata, “Anak muda, badanku merasa tidak enak, harap kau menyalurkan sedikit tenaga lagi padaku.”

“Ya, boleh juga,” sela Ting Put-si sambil mengangguk. “Urat nadimu memang kacau, napasmu juga sesak. Jika kau tidak mau terima pertolonganku, boleh juga suruh dia membantu kau. Ilmu silat pemuda ini rendah, tapi tenaga dalamnya sangat kuat.”

“Hm,” si nenek mendengus sekali. “Memangnya, ilmu silatnya adalah ajaranmu.”

“Ilmu silatnya mana boleh buat dianggap aku yang mengajarkan dia, padahal aku hanya memberi petunjuk dalam waktu tiada satu jam barusan ini,” sahut Ting Put-si dengan gusar. “Tapi kalau dia mau ikut belajar padaku selama tiga atau lima tahun, hm, aku tanggung kelak tiada seorang kesatria angkatan muda yang dapat menandinginya.”

“Sekalipun berhasil belajar sepandai dirimu juga apa sih gunanya?” jengek si nenek. “Tanpa mempelajari ilmu silatmu dia dapat mengalahkan kau, kalau sudah berhasil mempelajari ilmu silatmu mungkin dia malah akan kau kalahkan. Makin belajar padamu makin dungu dan semakin kalahan. Nah, coba katakan, apa lebih baik belajar ilmu silatmu atau tidak?”

Untuk sejenak Ting Put-si menjadi bungkam, kemudian ia mendebat lagi, “Jurus-jurus Hou-jiau-jiu dan Giok-li-cui-kiam yang dia gunakan tadi bukankah juga kepandaian keluarga Ting kami?”

“Tapi itu adalah ajaran cucu perempuan Ting-losam dan bukan kau yang mengajarkan dia,” sahut si nenek. “Anak muda, marilah ke sini, jangan gubris dia lagi.”

Boh-thian mengiakan dan mendekati si nenek, ia gunakan telapak tangannya untuk menahan di Leng-tay-hiat orang tua itu dan membantunya melancarkan jalan darah urat nadinya.

Si nenek perlahan-lahan mengangkat lengannya ke atas, ia pura-pura menutup mukanya dengan lengan baju, tujuannya agar Ting Put-si tidak melihat dia sedang bicara, lalu dengan suara bisik-bisik ia berkata kepada Boh-thian, “Sebentar bila kau bergebrak lagi dengan dia, telapak tanganmu harus menggunakan tenaga dalam sebagaimana sekarang mengerahkan tenaga ke tanganmu ini. Bila dia memukul kau, maka kau harus menggunakan jurus yang sama untuk memapak tangannya, asal kedua tangan beradu, segera kau kerahkan tenagamu ke badan lawan. Hati-hatilah, tua bangka itu hendak mendesak kau terjerumus ke dalam sungai, kau bisa mati kelelap. Maka ingatlah baik-baik, jurus apa pun yang dia keluarkan kau pun menyambutnya dengan jurus yang sama. Hanya dengan cara demikian barulah dapat mempertahankan jiwa ... jiwa kita bertiga.”

Rupanya sesudah si nenek berkumpul beberapa jam bersama Ciok Boh-thian, diam-diam orang tua itu telah dapat mengetahui pemuda itu berhati baik dan berjiwa luhur. Kalau suruh dia bertanding tanpa alasan melawan Ting Put-si, mungkin setiap saat dia bisa mengalah. Tapi kalau ditekankan bahwa “demi untuk mempertahankan jiwa kita bertiga”, ini berarti termasuk jiwa si nenek dan cucu perempuannya, maka besar kemungkinan Ciok Boh-thian akan membelanya dengan sepenuh tenaga.

Benar juga, segera tertampak Boh-thian manggut-manggut setuju.

Lalu si nenek berkata pula, “Sementara kau tidak perlu menyalurkan tenaga padaku lagi. Sebentar kalau tanganmu saling tahan dengan tangannya, maka tenaga yang kau kerahkan tidak boleh perlahan-lahan, tapi harus cepat dan keras, semakin kuat semakin baik.”

“Dia akan muntah darah atau tidak?” tanya Boh-thian.

“Tidak,” sahut si nenek. “Tadi aku muntah darah karena aku sendiri sangat lemah dan mendadak diterjang oleh membanjirnya tenagamu yang kuat. Tapi Lwekang tua bangka itu sangat hebat, kalau kau tidak mengerahkan tenaga sekuatnya tentu kau sendiri yang akan tergetar dan muntah darah. Dan kalau kau terluka, tentu tiada orang lain lagi yang mampu membela kami nenek dan cucu berdua. Dalam keadaan tak bisa berkutik terpaksa kami mesti pasrah nasib dan membiarkan diri kami dibunuh orang sesukanya.”

Mendengar sampai di sini darah Ciok Boh-thian lantas bergolak, timbul seketika jiwa kesatriaannya. Ia merasa saat ini biarpun mati bagi nenek dan nona itu pun rela. Padahal kedua orang itu siapa, apakah orang baik atau orang jahat, sama sekali dia tidak tahu.

Begitulah perlahan-lahan si nenek lantas menurunkan lengan bajunya yang menutupi mukanya itu, katanya, “Terima kasih, anak muda, kalau tiada bantuan tenagamu mungkin sejak tadi jiwa nenek sudah melayang. Rupanya tua bangka Ting Put-si itu masih ngotot tak mau mengaku kalah padamu, maka bolehlah kau bergebrak lagi padanya. Ai, aku sudah sedemikian tua, sudah banyak juga aku menjumpai kesatria sejati dan pahlawan tulen di dunia ini, tak tersangka pada saat hampir dekat ajalku, di depan mataku sekarang justru terdapat seekor babi tua, sungguh aku sangat penasaran.”

“Kau bilang babi tua, apakah kau maksudkan aku?” tanya Ting Put-si dengan gusar.

“Seorang yang tahu diri masih boleh dikata belumlah terlalu buruk,” ujar si nenek dengan tersenyum. “Nah, Ting Put-si, jika kau ingin membunuh dia kan terlalu gampang? Asal kau gunakan beberapa jurus yang belum pernah kau katakan padanya, tanggung dia tak mampu menangkis dan akan kau binasakan.”

“Memangnya kau sangka aku Ting Put-si adalah pengecut seperti itu?” sahut Ting Put-si dengan gusar. “Boleh kau saksikan dengan baik, justru setiap jurus yang akan kugunakan adalah kepandaian yang telah kukatakan padanya tadi.”

Justru si nenek sengaja memancing ucapan Ting Put-si ini, maka dapatlah ia menghela napas lega dan tidak bersuara pula.

Di sebelah sana Ting Put-si segera membentak, “Nah, Lemper raksasa, segera aku akan menghantam dengan jurus ‘Gik-cui-heng-ciu’ (mendayung perahu melawan arus). Jurus ini sudah kuajarkan padamu tadi, janganlah kau lupa.”

Sambil berkata ia lantas pasang kuda-kuda dengan sedikit berjongkok, mendadak telapak tangan kiri menghantam ke depan dari bawah ke atas.

Ketika mendengar Ting Put-si menyebut jurus “Gik-cui-heng-ciu”, diam-diam Ciok Boh-thian lantas siap siaga, ia pun pasang kuda-kuda dengan sedikit berjongkok, telapak tangan kiri juga memukul ke depan dari bawah ke atas.

“He, salah, bukan begitu caranya menangkis seranganku!” bentak Ting Put-si. Namun pada saat itu juga tampaknya tangan pemuda itu sudah hampir membentur tangannya sendiri, keruan ia terkesiap, ia tahu Lwekang Boh-thian sangat kuat, kalau sampai kedua orang saling mengadu tenaga dalam, untuk memenangkan pemuda itu menjadi susah diramalkan.

Maka cepat Put-si menarik kembali pukulannya itu, segera telapak tangan kanan berganti menyodok ke depan. Jurus ini bernama “Ki-hong-tut-gi” (kejadian aneh mendadak timbul).

Tapi Boh-thian telah ingat betul-betul pesan si nenek, segera ia pun memapak dengan jurus yang sama, bahkan tangannya membawa tenaga dalam yang lebih kuat. Sebelum kedua tangan kebentur, seketika Ting Put-si merasakan angin pukulan lawan telah menyampuk tiba. Ia terperanjat dan cepat ganti serangan lagi ....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar