Jilid 36
Dan sesudah merandek sejenak,
kemudian ia sambung pula dengan suara lantang, “Namun demikian, segala sesuatu
yang pernah dilakukan olehnya, tak peduli apakah dia masih ingat atau sudah
lupa, pendek kata tidak nanti kami mengelakkan tanggung jawab. Sebaliknya jika
perbuatan orang lain yang dilakukan dengan memperalat nama putraku, untuk ini
kami menyatakan dengan tegas di sini bahwa semuanya tidak ada sangkut pautnya
dengan kami.”
Seketika heran dan bingunglah
semua orang yang hadir di situ, sungguh tiada seorang pun akan menduga bahwa
mendadak bisa terjadi hal-hal yang luar biasa ini.
“Hehe, hehe, mengapa bicara
demikian?” jawab Pek Hay-ciok dengan terkekeh kaku. “Ciok-pangcu kami....”
Tiba-tiba Ciok Boh-thian
menimbrung, “Ya, Pwe-siansing, apa yang dikatakan ayah memang tidak salah. Aku
bukan pangcu kalian, hal ini berulang-ulang sudah kukatakan, tapi kalian tetap
tidak percaya.”
“Sebenarnya rahasia apa yang
terkandung di dalam urusan ini, sungguh kami ingin ikut mengetahuinya dengan
jelas,” demikian Hoan It-hui membuka suara. “Kami hanya kenal Pangcu
Tiang-lok-pang adalah Tonghong Heng, Tonghong-toako, mengapa beliau bisa
diganti oleh Ciok-inkong?”
Sejak tadi Nyo Kong hanya diam
saja, sekarang ia pun ikut bicara sambil mengelus jenggotnya, “Pek-suhu,
janganlah engkau keburu nafsu, siapa yang salah dan siapa yang benar di dalam
urusan ini tentu dunia persilatan akan memberi pertimbangan yang adil.”
Meski usianya sudah tua, tapi
suaranya ternyata keras lantang dan berwibawa. Terdengar ia melanjutkan lagi,
“Maka segala persoalan biarlah kita bicara secara tenang saja. Paling betul
sekarang belenggu atas diri beberapa saudara itu hendaklah dibuka lebih dulu.”
Melihat Pwe Hay-ciok sudah mengangguk
setuju, segera beberapa anggota Tiang-lok-pang tadi melepaskan orang-orang
Swat-san-pay yang tertawan itu.
Sesudah mendengar nada Ciok
Jing dan Nyo Kong tadi yang lebih condong menegur kepada Pwe Hay-ciok dan tiada
tanda bermusuhan dengan dirinya, hal ini membuat Pek Ban-kiam menjadi heran
Sebenarnya sikapnya yang keras dan menantang kepada Pwe Hay-ciok tadi hanyalah
karena terpaksa mengingat para sutenya sudah tertawan, sekarang dia hanya
bersendirian, demi mempertahankan martabat Swat-san-pay terpaksa ia bersuara
galak dan siap menghadapi segala risiko. Tapi dengan datangnya Ciok Jing
suami-istri dan Nyo Kong secara mendadak, tampaknya situasi menjadi berubah,
maka ia pun tidak banyak bicara lagi, hanya tunggu dan lihat dulu apa yang akan
diperbuat oleh Pwe Hay-ciok.
Menunggu sesudah anak murid
Swat-san-pay telah dibebaskan semua dan telah ambil tempat duduk masing-masing,
kemudian Ciok Jing berkata pula, “Pwe-siansing, usia putraku masih demikian
muda, pengalamannya terlalu cetek, kalau dia dapat menduduki pemimpin suatu
organisasi besar sebagai Tiang-lok-pang kalian, apakah hal ini takkan
ditertawai setiap kesatria Kangouw? Hari ini mumpung Nyo-loenghiong,
Pek-suheng, dan para saudara-saudara Swat-san-pay yang lain serta
Su-tay-mui-pay dari Kwantang juga hadir di sini, maka persoalan ini harus
dibikin jelas. Ingin kukatakan bahwa sejak kini putraku, Ciok Tiong-giok ini
tiada sesuatu hubungan dan sangkut paut apa-apa lagi dengan Tiang-lok-pang.
Tentang perbuatan-perbuatannya selama beberapa tahun ini, apa yang dia lakukan
sendiri sudah tentu akan dibereskan, sebaliknya perbuatan yang dilakukan orang
lain dengan memperalat namanya, apakah perbuatan itu baik atau jelek, bukanlah
menjadi tanggung-jawab anak Giok.”
“Apa yang dibicarakan
Ciok-cengcu ini benar-benar membikin orang merasa bingung dan tidak habis
mengerti,” demikian Pwe Hay-ciok menjawab dengan tertawa. “Bahwasanya
Ciok-pangcu menjabat pangcu kami, hal ini sudah berlangsung selama tiga tahun
dan bukan kejadian sehari semalam saja, selama ini kami pun tidak pernah
mendengar cerita dari Pangcu bahwa Hian-soh-siang-kiam yang termasyhur di dunia
Kangouw ternyata adalah ayah-ibu beliau. Pangcu, mengapa tidak kau katakan
sejak dulu? Kalau tidak, jarak Hian-soh-ceng dari ini toh tidak terlalu jauh,
pada waktu engkau diangkat menjadi pangcu tentu kita sudah mengundang
ayah-bundamu untuk menyaksikan upacara resmi itu.”
“Aku... aku sebenarnya juga
tidak tahu,” sahut Boh-thian.
Jawaban Boh-thian ini membuat
semua orang melengak. “Mengapa kau sebenarnya juga tidak tahu?” demikian mereka
bertanya-tanya di dalam hati.
Maka cepat Ciok Jing menukas,
“Ya, sebagaimana telah kukatakan tadi, putraku ini pernah jatuh sakit keras
sehingga melupakan segala kejadian di masa lampau, bahkan ayah-ibunya sendiri
juga tak teringat lagi. Maka soal ini tak bisa menyalahkan dia.”
Sebenarnya Pwe Hay-ciok
serbasusah dan terdesak oleh kata-kata Ciok Jing tadi. Tak mungkin secara
terang-terangan ia menceritakan maksud tujuan mereka mengangkat Ciok Boh-thian
sebagai pangcu hanya untuk tameng saja dalam menghadapi undangan medali tembaga
dari kedua rasul penghukum dan pengganjar, sedangkan soal ini pun tidak pernah
diucapkan oleh orang-orang Tiang-lok-pang sendiri, mereka hanya sama-sama tahu
di dalam hati saja, masakah di hadapan orang luar boleh diceritakan?
Tapi sekarang demi mendengar
Ciok Boh-thian mengaku bahwa sebelumnya dia sendiri pun tidak tahu Ciok Jing
dan Bin Ju adalah ayah-ibunya, maka dapatlah dia alasan bantahannya, segera ia
berkata, “Ya, belum lama memang Pangcu telah menderita sakit keras, tapi
kejadian itu baru dua bulan saja, ketika beliau diangkat menjadi pangcu
kesehatannya cukup baik, pikirannya sangat jernih, kalau tidak mana mungkin
beliau mampu menandingi dan bahkan mengalahkan Tonghong-pangcu?”
Ciok Jing dan Bin Ju menjadi
curiga, mereka merasa belum pernah mendengar kejadian demikian dari sang putra.
“Nak, sebenarnya bagaimana
kejadian yang dikatakan itu?” tanya Bin Ju kepada Boh-thian.
“Aku sendiri pun sama sekali
tidak ingat lagi,” sahut Boh-thian sambil geleng kepala.
“Kami hanya tahu pangcu she
Ciok dan bernama Boh-thian, nama Ciok Tiong-giok hanya baru saja kami
mendengarnya dari Pek-suhu dan Ciok-cengcu,” kata Pwe Hay-ciok pula. “Apa tidak
mungkin Ciok-cengcu yang telah salah mengenali orang?”
“Putra kandungku sendiri
masakah aku bisa salah mengenalnya?” sahut Bin Ju dengan gusar. Biasanya dia
sangat ramah tamah, tapi Pwe Hay-ciok mengatakan Ciok Boh-thian bukan putranya,
betapa pun ia menjadi geram juga.
Melihat Pwe Hay-ciok tetap
ngotot, Ciok Jing pikir tiada jalan lain kecuali mengungkap terus terang saja
tipu muslihat mereka. Segera ia berkata, “Pwe-siansing, biarlah kita bicara
secara blakblakan. Sebabnya pang kalian sedemikian menghargai putraku yang
masih hijau ini kukira sekali-kali bukanlah lantaran dia memiliki kepandaian
tinggi dan pengetahuan luas segala, tujuan kalian hanya ingin memperalat dia
untuk menghadapi bencana undangan medali tembaga saja, coba katakan betul tidak?”
Karena ucapan Ciok Jing ini
secara langsung telah kena isi hati Pwe Hay-ciok, biarpun dia sudah
berpengalaman dan licin, tidak urung air mukanya berubah juga. Ia
terbatuk-batuk untuk mengulur tempo, dalam benaknya terkilas macam-macam
pikiran dengan cepat cara bagaimana harus menjawab tuduhan Ciok Jing itu.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara orang bergelak tertawa dan berseru, “Kalian sedang menunggu
undangan medali tembaga bukan? Bagus, bagus sekali! Ini dia medali yang kalian
tunggu sudah datang!”
Dan tahu-tahu di tengah
ruangan sudah berdiri dua orang, satu gemuk dan satu kurus, pakaian mereka
sangat perlente. Cara bagaimana datangnya mereka itu ternyata tiada seorang pun
yang memerhatikan.
Ciok Boh-thian sangat girang
demi melihat kedua orang itu, cepat ia menyapa, “He, Toako dan Jiko, sudah lama
berpisah, apakah kalian baik-baik saja?”
Ciok Jing dan Bin Ju pernah
mendengar cerita putranya itu tentang mengangkat saudara dengan Thio Sam dan Li
Si. Maka mereka menjadi terkejut ketika mengetahui yang dimaksudkan Thio Sam
dan Li Si itu kiranya adalah kedua pendatang ini. Cepat mereka berkata,
“Kedatangan kalian berdua ini sungguh sangat kebetulan, kami sedang susah
menentukan tentang kedudukan pangcu dari Tiang-lok-pang, untuk ini harap kalian
berdua suka ikut menjadi saksi.”
Sementara itu Boh-thian sudah
mendekati Thio Sam dan Li Si untuk memegang tangan mereka dengan mesra sekali.
“He, kiranya Samte adalah
Pangcu Tiang-lok-pang, pantas ilmu silatmu sedemikian hebat,” kata Thio Sam
dengan berseri-seri.
Diam-diam Bin Ju pikir
keselamatan sang putra hanya tergantung dalam waktu singkat ini saja, maka
cepat ia menyela, “Pangcu Tiang-lok-pang sebenarnya adalah Tonghong-siansing,
mereka telah menipu putraku ini untuk menjadi tameng, maka kedudukan anakku ini
tak bisa dianggap sungguh-sungguh.”
Thio Sam memandang sekejap
kepada Li Si, tanyanya, “Bagaimana pendapatmu, Losi?”
“Harus mencari orang yang
sesungguhnya,” sahut Li Si dengan nada dingin.
“Benar,” seru Thio Sam. “Kita
sudah mengangkat saudara dan berjanji akan hidup bahagia bersama, ada kesulitan
dipikul bersama. Sekarang Samte kita hendak digunakan sebagai tameng oleh
mereka, bukankah ini berarti mencari setori kepada kita berdua?”
Melihat cara munculnya Thio
Sam dan Li Si yang mendadak itu, semua orang sudah tahu bahwa ilmu silat kedua
orang ini susah diukur. Dari wajah dan tingkah laku mereka jelas kelihatan pula
sama dengan kedua rasul penghukum dan pengganjar yang namanya mengguncangkan
Bu-lim selama beberapa puluh tahun ini, keruan semua orang terkesiap. Sekalipun
Pwe Hay-ciok dan Pek Ban-kiam juga ikut kebat-kebit.
Dalam pada itu terdengar Thio
Sam telah berkata pula dengan tertawa-tawa, “Kami mengundang tamu untuk ikut
menikmati Lap-pat-cok, maksud kami adalah baik, tapi entah mengapa setiap orang
yang kami undang selalu sungkan hadir sehingga sangat mengecewakan kami.
Padahal orang yang kami undang semuanya adalah ciangbunjin-ciangbunjin yang
terkenal, pangcu-pangcu yang ternama atau kaucu-kaucu dari kalangan terpuji,
kalau cuma orang biasa saja tidak nanti dikunjungi oleh medali-medali tembaga
kami. Ya, bagus, bagus, bagus!”
Sambil mengucapkan
“bagus-bagus” sorot matanya lantas menyapu ke arah Hoan It-hui, Lu Cing-peng,
Hong Liang dan Ko Sam-niocu sehingga keempat orang itu merasa mengirik. Ketika
paling akhir pandangannya menatap Ko Sam-niocu, untuk sejenak sorot matanya
berhenti lebih lama, dengan tertawa ia menambahkan sekali lagi, “Bagus!”
Sebelumnya Hoan It-hui sudah
merasa sebagai seorang ciangbunjin tentu tidak luput dari undangan medali
tembaga, maka dapat diduga ucapan “bagus” empat kali Thio Sam itu tentu
maksudnya mereka berempat ciangbunjin dari Kwantang kebetulan juga di sini,
dengan demikian dia tidak perlu susah payah melawat ke daerah Kwantang untuk
menyampaikan medalinya.
Sebaliknya Ko Sam-niocu
menjadi gusar, segera ia berteriak, “Apa maksudmu dengan ucapan ‘bagus’ sambil
memandangi nyonya besarmu ini?”
“Bagus berarti bagus, apa sih
maksudnya yang lain? Pendek kata bagus pasti tidak berarti tidak bagus,” sahut
Thio Sam sambil tertawa.
“Jika mau bunuh boleh lekas
bunuh, tapi jangan harap nyonya besar mau terima medalimu!” bentak Ko
Sam-niocu, Berbareng tangan kanan bergerak, kontan dua bilah pisau lantas
melayang ke arah Thio Sam.
Semua orang ikut terkejut.
Sungguh tidak terduga bahwa sedikit hatinya tidak senang seketika juga dia
lantas menyerang, bahkan terhadap kedua rasul pengganjar dan penghukum itu
ternyata tidak merasa jeri sedikit pun.
Sesungguhnya walaupun watak Ko
Sam-niocu sangat keras, tapi dia bukanlah seorang yang sama sekali tak bisa
berpikir. Ia sudah menduga jika kedua rasul itu toh sudah berniat menyampaikan
medali tembaga padanya, maka bencana ini betapa pun susah dihindarkan. Sekarang
ada sekian jago-jago terkemuka yang berkumpul di markas Tiang-lok-pang, dalam
keadaan menghadapi musuh bersama, begitu mulai bergebrak, tentu yang lain-lain
takkan berpeluk tangan, mereka tentu berpikir daripada dibunuh oleh kedua rasul
itu ada lebih baik sekarang mengerubut maju bersama, dengan tenaga gabungan
Su-tay-mui-pay dari Kwantang, ditambah Tiang-lok-pang, Swat-san-pay,
Hian-soh-siang-kiam dan lain-lain, boleh jadi kedua musuh itu dapat ditumpas.
Karena itulah Ciok Boh-thian
menjadi kaget ketika melihat Ko Sam-niocu mulai menyerang dahulu, cepat ia
berseru, “Awas, Toako!”
“Tidak apa-apa, jangan
khawatir!” ujar Thio Sam dengan tertawa. Dan begitu lengan bajunya mengebas,
dua potong tanda warna kuning lantas menyambar ke depan dan tepat berbenturan
dengan kedua pisau terbang Ko Sam-niocu. “Trang-tring”, didahului oleh suara
nyaring mendenging, kedua benda kuning itu dari tegak berubah menjadi melintang
dan dengan mendorong kedua bilah pisau terus menyambar ke arah Ko Sam-niocu.
Didengar dari suara sambaran
angin, nyata kekuatan benturan tadi sangat hebat, kalau Ko Sam-niocu mendak dan
mengegos, tentu kawan-kawan yang berdiri di belakangnya yang akan menjadi
korban.
Tanpa pikir lagi kedua potong
benda kuning itu lantas ditangkapnya. Seketika terasa kedua lengannya tergetar
sakit, setengah badannya bagian atas terasa linu kesemutan. Waktu ia periksa
benda-benda kuning yang menolak kembali pisaunya itu, kiranya bukan lain dari
dua buah medali pengganjar dan penghukum yang ditakuti itu.
Sudah lama juga Ko Sam-niocu
mendengar tentang peraturan yang ditentukan oleh kedua rasul pengganjar dan
penghukum, siapa saja asal sudah menerima medali tembaga mereka, maka dapatlah
dianggap sebagai telah terima baik undangan mereka untuk hadir dalam perjamuan
Lap-pat-cok dan tak mungkin menolaknya pula. Seketika pucatlah mukanya,
sampai-sampai tubuhnya juga agak gemetar.
Tapi dengan tertawa-tawa Thio
Sam terus berkata pula, “Pwe-siansing, kalian telah memasang perangkap untuk
menipu Samte kami agar dapat dipalsukan sebagai pangcu kalian. Samte kami
adalah seorang yang jujur dan polos, dengan gampang saja dia terjebak. Tapi
kami Thio Sam dan Li Si ini bukan manusia jujur. Kedatangan kami adalah untuk
mengundang tamu, sudah tentu sebelumnya kami sudah menyelidiki dengan jelas.
Kalau kami sampai salah mengundang orang, bukankah akan menjadi buah tertawaan?
Ke mana lagi muka Thio Sam dan Li Si ini akan ditaruh? Sebab itulah, eh,
saudaraku, tidakkah lebih baik kita persilakan turun saja sasaran utama yang hendak
kita undang ini?”
“Benar, seharusnya kita
persilakan dia turun,” sahut Li Si.
Habis berkata,
sekonyong-konyong ia sambar sebuah bangku bundar terus dilemparkan ke
langit-langit rumah. “Blang”, seketika atap rumah tertimpuk menjadi suatu
lubang besar, debu pasir bertebaran disertai sepotong benda yang besar. “Bluk”,
benda besar itu jatuh terbanting di tengah ruangan.
Tanpa merasa para hadirin
mundur beberapa tindak karena jatuhnya benda besar itu. Ketika mereka
memerhatikan, kiranya yang jatuh terbanting itu adalah satu manusia. Orang itu
tampak meringkuk tak bergerak.
Waktu Li Si menutuk beberapa
kali dari jauh dengan jari kiri, seketika hiat-to orang yang tertutuk itu
terbuka dan perlahan-lahan dapatlah berbangkit. Sungguh kejut dan kagum tak
terkatakan semua orang atas kepandaian tiam-hiat (menutuk jalan darah) Li Si
dari jarak jauh itu. Dalam pada itu orang itu telah kucek-kucek matanya,
kemudian memandang sekitarnya dengan bingung.
Demi mengenali siapa orang
itu, serentak ramainya suara teriakan kaget, “He, dia!” — “Kenapa... kenapa
dia?” — “Sungguh aneh!”
Ternyata wajah orang itu mirip
benar dengan Ciok Boh-thian, hanya saja pakaiannya lebih perlente, bajunya dari
kain sutra, kopiahnya berhiaskan mutiara yang besar.
“Ciok-pangcu, kami datang kemari
untuk mengundang kau pergi makan Lap-pat-cok, kau akan hadir atau tidak?”
demikian Thio Sam lantas berkata kepada pemuda itu sambil mengeluarkan dua buah
medali tembaga.
Agaknya Ciok Boh-thian tidak
habis mengerti atas kejadian itu. Ia bertanya, “He, Toako, seb... sebenarnya
apa-apaan ini?”
“Samte, coba kau lihat, wajah
orang ini mirip kau atau tidak?” sahut Thio Sam dengan tertawa. “Mereka telah
menyembunyikan dia, sebaliknya kau ditipu untuk menggantikan dia sebagai
pangcu. Akan tetapi, hahaha, toako dan jikomu akhirnya dapat menemukan dia
sehingga kau gagal menjadi pangcu mereka, untuk ini kau menyesal kepada kami
atau tidak?”
Boh-thian menggeleng-geleng
kepala, dengan mata tak berkedip ia pandang orang itu. Selang sejenak barulah
berkata, “Ayah, ibu, Ting-ting Tong-tong, Pwe-siansing, sejak mula aku sudah
menyatakan kalian telah... telah salah mengenali diriku, sekarang menjadi lebih
terang lagi bahwa aku bukan dia, dia... dialah yang tulen!”
Cepat Bin Ju melangkah maju,
dengan suara terputus-putus ia bertanya, “Kau... kau adalah anak Giok?”
Orang itu mengangguk,
sahutnya, “Ya, ibu, ayah, kalian berada di sini semua?”
Pek Ban-kiam juga mendesak
maju dan menegur, “Kau masih kenal padaku tidak?”
Orang itu lantas menunduk,
sahutnya, “Pek-susiok dan... dan para Susiok, kalian juga berada di sini
semua?!”
“Hahahaha! Ya, memang kami
sudah datang semua!” kata Ban-kiam dengan terbahak-bahak.
Sebaliknya dengan mengerut
kening Pwe Hay-ciok berkata, “Muka mereka berdua satu-sama-lain sangat mirip,
perawakan dan usia mereka juga sama, sebenarnya siapakah di antara kalian
adalah pangcu kami, sungguh aku tidak mampu membedakan. Wah, ini benar-benar
suatu kejadian aneh. Apakah engkau inilah pangcu kami?”
Orang baru itu tampak
mengangguk. Lalu Pwe Hay-ciok bertanya pula, “Habis selama ini sebenarnya
Pangcu pergi ke mana?”
“Ai, susah untuk diceritakan,
biarlah kita bicarakan nanti saja,” kata orang itu.
Seketika suasana di ruang
pendopo itu menjadi sunyi senyap, yang terdengar hanya sedu sedan Bin Ju yang
sedang menangis.
“Wajah orang memang banyak
yang sama, tapi bekas luka pedang di paha apakah juga bisa sama, kukira di
dalam persoalan ini ada sesuatu yang ganjil,” kata Ban-kiam.
“Ya, orang ini adalah palsu,”
akhirnya Ting Tong ikut bicara. “Engkoh Thian yang tulen di atas pundak kirinya
ada... ada sebuah bekas luka gigitan.”
Ciok Jing menjadi ragu-ragu
juga, ia pun mengemukakan alasannya, “Benar, putraku pada waktu kecilnya juga
pernah terluka oleh senjata rahasia musuh.”
Lalu ia tuding Ciok Boh-thian
dan melanjutkan, “Pada tubuh orang ini justru terdapat bekas luka senjata
rahasia itu. Untuk membedakan siapa yang tulen atau palsu, asal keduanya
diperiksa tentu segera akan dapat diketahui.”
Semua orang menjadi heran dan
bingung juga mengikuti percakapan itu. Mereka sebentar-sebentar pandang Ciok
Boh-thian dan lain saat mengamat-amati pula si pemuda berpakaian perlente itu.
Maka terdengarlah Thio Sam
bergelak tertawa sambil berkata, “Jika Ciok-pangcu sudah harus dipalsukan, maka
setiap ciri-cirinya dengan sendirinya harus dibikin persis pula. Kalau di atas
badan yang tulen ada bekas luka, yang palsu dengan sendirinya juga harus ada.”
Habis berkata, “sret”,
mendadak ia lolos sebatang pedang yang tergantung di pinggang seorang wakil
hiangcu Tiang-lok-pang dan di mana pedangnya menyambar, kontan bahu, paha kiri
dan pantat pemuda perlente itu masing-masing tergores suatu lingkaran, ketika
dia meniup pula, kontan jatuhlah tiga potong kain kecil bulat sebesar mangkuk.
Tiga potong kain bundar itu kemudian bertebaran dan berubah menjadi sembilan
potong.
Ternyata hanya sedikit
bergerak saja pedangnya telah mengorek satu bundaran pakaian pemuda perlente
yang berlapis tiga (baju luar dan dalam) sehingga kelihatan kulit badannya.
Maka tertampaklah di ujung bahunya terdapat keriput bekas luka, di paha dan di
pantatnya juga ada, semuanya cocok seperti apa yang dikatakan si Ting Tong, Pek
Ban-kiam, dan Ciok Jing.
Melihat itu, semua orang
sampai menjerit kaget, selain kejut atas kepandaian Thio Sam yang luar bisa
itu, mereka pun heran melihat bekas luka di badan pemuda itu ternyata serupa
dan persis seperti apa yang terdapat pada Ciok Boh-thian.
Cepat Ting Tong memburu maju,
dengan suara gemetar ia tanya, “Apa kau benar-benar Engkoh Thian?”
Pemuda itu tersenyum getir,
sahutnya, “Ting-ting Tong-tong, sudah lama kita tak bertemu, sungguh aku sangat
kangen padamu, sebaliknya kau ternyata sudah melupakan daku. Biarpun kau tak
kenal padaku lagi, tapi aku, biarpun seratus tahun atau seribu tahun juga aku
masih tetap kenal kau.”
Mendengar itu, saking
girangnya sampai si Ting-tang Ting-tong melelehkan air mata, serunya, “Ya,
engkau inilah benar-benar Engkoh Thian-ku. Dia... dia ini hanya penipu yang
memuakkan, mana bisa dia mengucapkan kata-kata mesra demikian? Hampir-hampir
saja aku tertipu olehnya!”
Sambil berkata ia pun melotot
marah kepada Ciok Boh-thian, berbareng ia lantas gandeng tangan pemuda perlente
itu dengan mesra.
Ketika pemuda itu menggenggam
kencang tangan si nona dan tersenyum padanya, seketika si Ting Tong merasa
senang dan bahagia tak terperikan.
“Ting-ting Tong-tong,
memangnya sejak mula aku sudah menyatakan aku bukan kau punya Engkoh Thian, apa
sekarang kau ma... masih marah padaku?” tanya Boh-thian sambil mendekati anak
dara itu.
“Plok”, mendadak ia dipersen
sekali tamparan oleh si Ting Tong dengan dampratan, “Kau penipu, aduh....”
kiranya dia menampar terlalu keras sehingga tangannya kesakitan tergetar oleh
tenaga dalam Ciok Boh-thian yang lihai itu.
“Apakah tanganmu sa... sakit?”
tanya Boh-thian.
“Enyah, enyah kau! Aku tidak
sudi melihat penipu yang tak kenal malu seperti kau ini!” damprat Ting Tong
dengan gusar.
Boh-thian menjadi murung.
“Aku... aku tidak sengaja menipu kau,” katanya setengah menggumam sendiri.
“Kau masih menyangkal?”
semprot si Ting Tong. “Kau sengaja membuat bekas luka palsu di pundakmu,
mengapa tidak kau katakan sejak mula?”
“Aku... aku sendiri pun tidak
tahu adanya bekas luka ini,” ujar Boh-thian.
“Penipu! Pendusta! Enyah kau!”
bentak Ting Tong dengan muka merah padam.
Air mata berlinang-linang di
kelopak mata Ciok Boh-thian dan hampir-hampir menetes, sedapat mungkin ia
menahannya sambil menyingkir mundur.
“Pwe-siansing,” segera Ciok
Jing berkata kepada Pwe Hay-ciok, “pem... pemuda ini dari mana kalian
menemukannya dan putraku ini mengapa bisa dipaksa menjadi pangcu kalian?
Mumpung di sini banyak hadir kawan-kawan Bu-lim, urusan ini harus kau jelaskan
untuk menghindarkan rasa curiga semua orang?”
“Pemuda ini serupa benar
dengan Ciok-pangcu, kalian Hian-soh-siang-kiam sendiri adalah ayah-ibu
kandungnya toh juga salah mengenalnya, apalagi orang lain?” jawab Pwe Hay-ciok.
Ciok Jing mengangguk, ia pikir
memang beralasan juga ucapan tokoh Tiang-lok-pang itu.
Maka Pwe Hay-ciok berkata
pula, “Adapun soal diangkatnya Ciok-pangcu sebagai pimpinan pang kami, untuk
ini beliau telah mengalahkan Tonghong-pangcu dahulu dengan kepandaian yang
sejati, karena itu maka para saudara kami telah mendukungnya. Coba silakan
Ciok-pangcu bicara apa betul atau tidak kejadian ini? Bahwasanya kami ‘memaksa’
beliau, kami sangsi apakah istilah ini cukup tepat?”
“Apa yang dilakukan tempo dulu
sebenarnya hanya keputusan untuk sementara saja untuk mencegah kerusuhan yang
mungkin timbul di dalam pang kita,” kata si pemuda perlente alias Ciok
Tiong-giok itu dengan nada tergagap-gagap. “Pwe-siansing, jabatan pangcu ini
kukira... kukira engkau sendiri saja yang menduduki, aku... aku tidak sanggup
melakoni lagi.”
Air muka Pwe Hay-ciok tampak
guram membesi, katanya, “Apa yang telah Pangcu katakan dahulu itu? Mengapa
sekarang kau merasa menyesal dan menghindarkan kewajiban?”
“Ya, sesungguhnya aku tidak
sanggup melakukannya lagi,” sahut Tiong-giok. “Segala urusan pang kita pada
hakikatnya adalah Pwe-siansing yang mengambil keputusan, aku hanya menjadi
pangcu boneka saja, sebab itulah aku bertekad menyingkir pergi untuk memberikan
tempatku kepada orang lain yang lebih pandai. Dan karena kepergianku tanpa
pamit ini, dengan sendirinya aku bukan pangcu lagi. Bukankah dalam surat yang
kutinggalkan padamu itu sudah kukatakan dengan cukup jelas?”
“Surat?” Pwe Hay-ciok menegas
dengan heran. “Surat apa? Mengapa aku tidak pernah melihatnya?”
“Kepandaian Pwe-siansing
benar-benar luar biasa,” kata Ciok Tiong-giok dengan tertawa. “Ketika aku
menghilang, entah dari mana engkau telah menemukan bocah yang mukanya mirip
benar dengan aku ini. Jika dia sudah mau memalsukan diriku, maka bolehlah dia
lakukan sampai saat terakhir, buat apa tanya padaku lagi? Ayah dan ibu, marilah
kita tinggalkan saja tempat yang tak genah ini!”
Nyata mulutnya sangat lincah,
kalau dibandingkan Ciok Boh-thian jelas seperti langit dan bumi bedanya.
Dengan bergelak tertawa Thio
Sam lantas berkata, “Ciok-pangcu, Pwe-siansing, kalian tentu tahu peraturan
Liong-bok-to kami. Jika pangcu kalian sendiri yang menerima medali undangan
kami, maka inilah jalan yang terbaik, sebaliknya kalau pangcu tidak mau terima,
ini berarti pang kalian memandang rendah kepada Liong-bok-to, dari kawan kita
akan berubah menjadi lawan dan terhadap lawan biasanya Liong-bok-to tidak mau
sungkan-sungkan lagi.”
Pwe Hay-ciok dan
gembong-gembong Tiang-lok-pang yang lain terkesiap. Mereka tahu bilamana tiada
orang yang tampil ke muka untuk menerima medali tembaga yang dikatakan, maka si
gendut dan si kurus pasti akan mulai mengganas. Dilihat dari kepandaian yang
telah diperlihatkan mereka tadi rasanya segenap anggota Tiang-lok-pang tiada
seorang pun yang mampu melawannya.
Melihat orang-orang
Tiang-lok-pang tertegun, segera Ciok Boh-thian berkata, “Pwe-siansing, apa yang
dikatakan Thio-toako itu bukanlah berkelakar, sekali beliau bilang bunuh orang
tentu akan segera terjadi pembunuhan. Seperti orang-orang Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe,
seluruh anggota mereka telah dibunuh habis oleh Toako berdua. Maka sebaiknya
medali mereka itu diterima saja lebih dahulu, tak peduli siapa yang akan
menjadi pangcu nanti, yang terang korban jiwa orang banyak dapatlah
dihindarkan. Kedua belah pihak adalah saudara sendiri semua, kalau sampai
terjadi perkelahian, sungguh aku tidak tahu harus membantu pihak mana?”
“Itu adalah urusan Pangcu,
kami yang menjadi bawahan tidak dapat mengambil keputusan,” ujar Pwe Hay-ciok.
“Ciok-pangcu,” Boh-thian
lantas berkata kepada Ciok-Tiong-giok, “harap kau terima medali itu saja.
Medali itu kau terima akan mati, tidak terima juga pasti mati. Bedanya jika kau
tidak terima, maka segenap anggota yang lain juga akan ikut menjadi korban, untuk
ini apakah... apakah kau tega?”
“Hehe, kau bicara seenaknya
dan sok budiman bagi orang lain, jika sedemikian luhur budimu, kenapa kau
sendiri tidak terima saja kedua medali itu demi keselamatan Tiang-lok-pang?
Hehe, sungguh menggelikan!” demikian jawab Tiong-giok.
Boh-thian memandang sekejap
kepada Ciok Jing suami-istri dan si Ting Tong sambil menghela napas, katanya,
“Pwe-siansing, selama ini kalian sangat baik terhadap diriku, memangnya kalian
berharap agar aku dapat melepaskan bencana ini bagi Tiang-lok-pang. Jika
sekarang Ciok-pangcu yang tulen tidak mau menerima medali-medali undangan itu,
maka biarlah aku yang menerimanya saja.”
Habis berkata ia lantas
mendekati Thio Sam dan hendak mengambil medali yang terdapat di tangannya itu.
“Nanti dulu!” cepat Thio Sam
menarik tangannya. Lalu katanya kepada Pwe Hay-ciok, “Medali undangan
Liong-bok-to ini hanya diserahkan langsung kepada orang yang diundang. Nah,
sesungguhnya kalian menganggap siapa yang benar-benar menjadi pangcu kalian?”
Sama sekali Pwe Hay-ciok dan
gembong-gembong Tiang-lok-pang itu tidak menduga bahwa Ciok Boh-thian masih mau
berkorban bagi pang mereka meski sudah tahu akan tipu muslihat dan intrik
mereka. Dalam keadaan demikian, betapa pun keji dan kejamnya mereka, mau tak
mau mereka merasa sangat berterima kasih juga kepada Ciok Boh-thian, serentak
mereka lantas membungkuk tubuh memberi hormat kepada Boh-thian sambil berseru,
“Kami rela mengangkat Ciok-tayhiap sebagai pangcu kita, segala perintah Pangcu
akan kami laksanakan dan taati.”
“Ah, mana aku berani!!” sahut
Boh-thian sambil balas menghormat. “Aku tidak paham apa-apa, kalau salah omong
atau salah berbuat diharap kalian janganlah marah padaku.”
“Hahahahaha!” Thio Sam
bergelak tertawa. “Nah, Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang, pada tanggal delapan
bulan dua belas tahun ini diharap sudi hadir ke Liong-bok-to kami untuk sekadar
menikmati Lap-pat-cok.”
“Baiklah, tentu aku akan hadir
sekalian menyambangi Toako dan Jiko,” sahut Boh-thian.
Thio Sam dan Li Si saling
pandang sekejap dengan mengerut dahi. Tapi Thio Sam lantas mengayun tangannya,
dua potong medali tembaga terus melayang ke arah Ciok Boh-thian dengan
perlahan.
Ketika semua orang memusatkan
perhatian untuk menyaksikan cara bagaimana Ciok Boh-thian akan menerima
medali-medali itu, sekonyong-konyong Bin Ju berteriak, “Jangan terima, nak!”
“Aku sudah menyanggupinya,
ibu!” sahut Boh-thian. Ketika kedua tangannya menjulur, dengan gampang saja
masing-masing tangannya sudah menangkap sepotong medali tembaga itu. Lalu
katanya pula kepada Bin Ju, “Seperti Ciok... Ciok-cengcu, meski sudah tahu ada
bahaya toh beliau tetap mau mewakilkan Siang-jing-koan untuk hadir ke
Liong-bok-to, sungguh sikapnya itu sangat mengagumkan orang, maka anak juga
ingin menirukannya.”
“Bagus, memang kesatria sejati
dan pendekar budiman, tidak percumalah kita telah mengangkat saudara,” puji Li
Si. “Tapi, Samte, biarlah kita bicara di muka secara terang-terangan, apabila
sudah datang di Liong-bok-to nanti, Toako dan Jiko akan memandang kau
sebagaimana tamu-tamu yang lain tanpa pandang bulu dan tak dapat memberi
sesuatu pelayanan istimewa.”
“Ya, sudah seharusnya
demikian,” sahut Boh-thian.
“Dan di sini masih ada
beberapa buah medali yang harus diserahkan kepada saudara-saudara Hoan, Hong
dan Lu dari Kwantang, silakan nanti juga hadir ke Liong-bok-to untuk menikmati
Lap-pat-cok. Apakah kalian mau terima atau tidak?” demikian Li Si berkata pula.
Hoan It-hui memandang sekejap
kepada Ko Sam-niocu, pikirnya, “Kau toh sudah menerima medalinya, kita
Su-tay-mui-pay dari Kwantang sudah berjanji mati-hidup bersama, tiada jalan
lain terpaksa ikut mengantarkan jiwa juga ke Liong-bok-to.”
Maka berkatalah dia, “Ya,
jikalau sedemikian Liong-bok-to menghargai kami, masakah kami menolak arak
suguhan dan memilih arak hukuman? (maksudnya masakah diundang tidak mau
sebaliknya minta dipaksa).”
Lalu ia mendahului melangkah
maju untuk menerima medali undangan disusul dengan Hong Liang dan Lu Cing-peng.
“Terima kasih, terima kasih!”
sambut Thio Sam dan Li Si. Lalu katanya kepada Ciok Boh-thian, “Samte, kami
masih perlu melanjutkan perjalanan jauh, hari ini terpaksa tidak dapat minum
sepuas-puasnya dengan kau. Biarlah kami lantas mohon diri saja.”
“Tiada halangannya kalau kita
minum tiga mangkuk saja,” seru Boh-thian, “Eh, di manakah buli-buli arak Toako
dan Jiko?”
“Sudah kami buang,” sahut Thio
Sam. “Arak kami itu tidak dapat dibuat di dalam waktu singkat, apa gunanya
selalu membawa buli-buli kosong. Baiklah, mari Jite, kita bertiga habiskan tiga
mangkuk arak.”
Segera anggota-anggota
Tiang-lok-pang menuangkan arak, Thio Sam, Li Si, dan Ciok Boh-thian
masing-masing lantas menghabiskan tiga mangkuk penuh.
Tiba-tiba Ciok Jing melangkah
maju sambil berseru, “Cayhe Ciok Jing adanya, biasanya dikenal sebagai cengcu
dari Hian-soh-ceng, kami suami-istri ada maksud hendak ikut hadir ke
Liong-bok-to untuk minta semangkuk Lap-pat-cok.”
Cepat Thio Sam berpaling.
Pikirnya dengan heran, “Selama lebih 30 tahun ini, setiap orang Bu-lim bila
mendengar nama Liong-bok-to tentu kebat-kebit dan ketakutan, tapi hari ini
ternyata ada orang yang sengaja minta berkunjung ke sana, hal ini benar-benar
baru terjadi untuk pertama kalinya.”
Tapi ia pun lantas menjawab,
“Ciok-cengcu, maafkan atas permintaanmu ini. Kalian berdua adalah murid
Siang-jing-koan dan belum pernah berdiri sendiri secara resmi di dunia
persilatan, maka kami tidak dapat mengundang. Begitu pula seperti halnya dengan
Nyo-loenghiong dan Pek-tayhiap.”
Jilid 37
“Kalian bilang akan
melanjutkan perjalanan jauh, apakah... apakah kalian akan berkunjung juga ke
Leng-siau-sia?” tiba-tiba Ban-kiam bertanya.
“Dugaan Pek-tayhiap sangat
jitu, kami berdua memang hendak berkunjung dan menyambangi ayahmu, Wi-tek
Siansing Pek-loenghiong,” sahut Thio Sam dengan tertawa.
Ban-kiam melangkah maju,
tampaknya ia ingin bicara apa-apa, tapi tidak jadi. Selang sejenak barulah
berkata, “Ya, baik, baiklah!”
“Jika Pek-tayhiap cepat
pulangnya mungkin kita dapat berjumpa pula di Leng-siau-sia,” ujar Thio Sam.
“Nah, selamat tinggal, sampai bertemu!”
Sesudah memberi salam, bersama
Li Si segera mereka melangkah keluar.
“Keparat! Berlagak apa di
sini?!” mendadak Ko Sam-niocu memaki, berbareng empat bilah pisau terbang
lantas ditimpukkan ke punggung kedua orang.
Sebenarnya Ko Sam-niocu sadar
bahwa serangannya itu sukar mengenai sasarannya, soalnya dia teramat murka,
beberapa bilah pisau terbang itu hanya sekadar pelampias saja. Benar juga,
kedua orang itu seperti tidak merasa apa-apa meski empat bilah pisau itu sudah
melayang sampai di belakangnya.
“Awas, Toako!” seru Boh-thian
khawatir.
Tapi mendadak bayangan orang
berkelebat, kedua orang itu tahu-tahu melesat ke samping untuk kemudian
menghilang dengan cepat sehingga pisau-pisau terbang itu mengenai tempat kosong
dan jatuh dengan sendirinya. Betapa cepatnya gerakan kedua orang itu sungguh
susah untuk diukur, keruan semua orang saling pandang dengan tercengang.
Saat itu Ciok Tiong-giok
sebenarnya bermaksud mengeluyur pergi dengan membawa si Ting Tong, tak terduga
serangan Ko Sam-niocu itu telah memancing perhatian semua orang ke arah pintu
sehingga perbuatan Ciok Tiong-giok itu diketahui.
“Berhenti!” bentak Pek
Ban-kiam dengan bengis. Lalu katanya kepada Ciok Jing, “Ciok-cengcu, silakan
menyatakan keputusanmu!”
“Apa mau dikata lagi jika
memang demikian jadinya,” sahut Ciok Jing dengan menghela napas. “Pek-suheng,
biarlah kami suami-istri membawa serta anak murtad itu ikut kau pergi ke
Leng-siau-sia untuk menerima hukuman dari Pek-supek.”
Ucapan Ciok Jing ini
benar-benar di luar dugaan Pek Ban-kiam dan anak murid Swat-san-pay yang lain.
Untuk membela putranya yang palsu tempo hari Ciok Jing suami-istri telah
bertempur mati-matian pantang menyerah, sekarang demi putranya yang tulen sudah
ketemu malah dia menyanggupi berkunjung ke Leng-siau-sia, jangan-jangan di
balik ini ada sesuatu tipu muslihat.
Dalam pada itu Ciok Jing dan
Bin Ju sendiri merasa sangat sedih, mereka sangat menyesalkan putranya yang tak
becus, sudah mau menjadi pangcu, di kala ada bahaya berbalik main sembunyi dan
mengelakkan kewajiban, manusia demikian biarpun ilmu silatnya setinggi langit
juga takkan diindahkan oleh orang gagah di dunia Kangouw.
Bilamana mereka bandingkan
dengan Ciok Boh-thian yang telah kumpul bersama sekian lamanya, walaupun tutur
kata pemuda itu rada-rada kekanak-kanakan, tapi dasar wataknya sangat jujur dan
polos, terkadang pun memperlihatkan jiwa kesatrianya yang menggembirakan mereka
menjadi suka kepada pemuda itu.
Tak terduga Ciok Tiong-giok
yang tulen mendadak muncul, meski wajah kedua pemuda itu sangat mirip, tapi
jiwa mereka sangat berbeda, yang satu gagah perwira, yang lain lemah pengecut.
Celakanya yang pengecut itu justru adalah putranya sendiri yang tulen,
sedangkan kesatria muda itu berbalik bukan putranya, hal ini membuat Bin Ju
sangat kecewa. Tapi apa pun juga pemuda itu tetap darah dagingnya sendiri,
tidak urung ia memanggilnya, “Anak Giok, coba ke sinilah!”
Segera Tiong-giok mendekat dan
berkata dengan tersenyum, “Ibu, sudah beberapa tahun kita berpisah, sungguh
anak sangat merindukan engkau. Tampaknya ibu menjadi semakin cantik dan lebih
muda, setiap orang yang melihat tentu akan mengira engkau adalah kakak
perempuanku dan takkan percaya engkau adalah ibu kandungku.”
Bin Ju tersenyum, tapi hatinya
sangat mendongkol, ternyata putranya hanya pandai omong sebagai bergajul saja.
Dalam pada itu Tiong-giok
berkata pula, “Ibu, anak telah memperoleh sepasang gelang kemala yang indah,
sudah lama anak berharap dapat berjumpa dengan ibu agar dapat memasang gelang
kemala ini di tangan ibu sendiri.”
Sambil berkata ia lantas
mengeluarkan sebuah bungkusan kecil yang berisi sepasang gelang kemala dan
sebuah tusuk kundai berbingkai mutiara dan berbatu permata indah. Ia tarik
tangan sang ibu dan memasukkan sepasang gelang kemala hijau itu.
Memang Bin Ju sangat suka
kepada perhiasan dan berdandan, melihat sepasang gelang kemala itu sangat
bagus, mau tak mau ia menjadi senang juga atas kebaktian putranya kepada orang
tua.
Lalu Tiong-giok membalik tubuh
dan menancapkan tusuk kundai bermutiara itu di atas sanggul si Ting Tong,
katanya dengan perlahan, “Tusuk kundai mutiara ini seharusnya lebih cantik
sepuluh kali lagi baru cocok untuk mengimbangi wajah si Ting-ting Tong-tong
yang cantik molek.”
Ting Tong menjadi girang,
sahutnya lirih, “Engkoh Thian, kau memang selalu pandai bicara.”
Rupanya Pwe Hay-ciok menjadi
tidak sabar menyaksikan adegan itu, segera itu berseru, “Hari ini
Nyo-loenghiong, Ciok-cengcu dan nyonya, para kesatria Swat-san-pay dan
su-tay-mui-pay (empat golongan besar) Kwantang berkumpul di sini semua, segala
kesalahpahaman juga sudah dapat diakhiri, sekarang marilah kita mulai dengan
jamuan baru, marilah kita sama-sama bergembira.”
Akan tetapi Ciok Jing, Pek
Ban-kiam, Hoan It-hui, dan lain-lain masih tertekan perasaan, mereka pikir,
“Kesukaran Tiang-lok-pang kalian sudah ada yang mau menghadapi, tapi kami masih
harus memikirkan keselamatan sendiri-sendiri, siapa yang punya nafsu untuk
makan-minum lagi?”
Segera Pek Ban-kiam membuka
suara, “Menurut kedua sucia dari Liong-bok-to itu, katanya mereka akan
berkunjung juga ke Leng-siau-sia, persoalan ini menyangkut kepentingan ayah dan
Swat-san-pay kami, maka Cayhe harus lekas-lekas pulang ke sana. Tentang maksud
baik Pwe-siansing ini Cayhe hanya mengucapkan terima kasih saja.”
“Kami bertiga ingin berangkat
bersama dengan Ciok-suheng,” segera Ciok Jing menambahkan.
Maka Hoan It-hui dan
kawan-kawannya juga lantas mohon diri dengan alasan waktunya sudah mendesak,
mereka harus lekas-lekas pulang ke Kwantang untuk kemudian bersiap-siap
menghadiri pertemuan di Liong-bok-to.
Begitulah dengan perasaan
hampa Ciok Boh-thian mengikuti Pwe Hay-ciok mengantar para tamu yang mohon diri
itu. Pikirnya dengan rasa pedih, “Memangnya sejak mula aku bilang mereka telah
salah paham, tapi si Ting-ting Tong-tong justru mengatakan aku adalah dia punya
Engkoh Thian, Ciok-cengcu dan nyonya juga bilang aku adalah putra mereka, tapi
sekarang diriku telah ditinggal sendirian oleh mereka.”
Mendadak ia merasa di dunia
ini hanya tertinggal seorang diri saja, siapa pun tiada sangkut pautnya dengan
dia, sungguh ia ingin menangis sepuas-puasnya.
Ketika memberi salam
perpisahan, Ciok Jing dan istri melihat Ciok Boh-thian mengunjuk rasa cemas
yang tak terhingga, mestinya Bin Ju hendak mengatakan akan memungut Boh-thian
sebagai anaknya, tapi mengingat dia adalah pangcu suatu organisasi besar, ilmu
silatnya juga sedemikian lihai, kedudukannya sudah jauh lebih tinggi daripada
mereka suami-istri, maka ia merasa rikuh untuk mengemukakan maksudnya. Terpaksa
ia hanya berkata dengan suara halus, “Ciok-pangcu, karena salah kenal tempo
hari sehingga selama ini kami agak kurang hormat padamu, untuk ini kami
berharap... berharap kelak kita dapat berjumpa pula.”
Boh-thian hanya mengiakan saja
dengan kurang semangat. Sampai semua tamunya sudah lenyap dari pandangan dia
masih termangu-mangu di depan pintu.
Para anggota Tiang-lok-pang
tiada berani mengusiknya, mereka menduga mungkin sang pangcu menjadi masygul
karena sadar sudah dekat ajalnya sesudah menerima medali tembaga kedua rasul
pengganjar dan penghukum tadi, kalau mereka mengganggunya, jangan-jangan rasa
marah sang pangcu akan dilampiaskan atas diri mereka?
Malamnya selekasnya Boh-thian
sudah masuk kamar tidurnya, tapi pikirannya bergolak, sampai tengah malam masih
belum pulas.
Pada saat mulai melayap-layap
hendak pulas, mendadak terdengar daun jendela diketuk perlahan-lahan tiga kali.
Cepat Boh-thian bangun berduduk, teringat olehnya dahulu apabila si Ting-ting
Tong-tong datang mencarinya selalu memberi tanda dengan ketukan jendela seperti
sekarang ini. Tanpa merasa ia lantas menegur, “Apakah Ting-ting....” baru
sekian ucapannya ia lantas menghela napas, sebab lantas teringat pula bahwa
saat itu si nona tentu sudah berada di dalam pelukan Engkoh Thian yang
dicintainya dan tidak mungkin sudi datang mencarinya lagi.
Di luar dugaan, daun jendela
perlahan-lahan telah terdorong buka, sesosok tubuh yang langsing tampak
melompat masuk sambil mengikik tawa, siapa lagi dia kalau bukan si Ting Tong?
“Mengapa kau potong namaku,
Ting-tong kau ganti menjadi Ting-ting saja?” demikian nona genit itu berkata
dengan suara perlahan sambil mendekati tempat tidur Ciok Boh-thian.
“Hah, kenapa kau kem... kemari
lagi?” seru Boh-thian sambil meloncat turun dari tempat tidurnya, ia girang dan
terkejut pula.
“Aku rindu padamu, maka datang
menjenguk kau lagi,” sahut Ting Tong dengan tertawa. “Gimana sih? Apakah aku
tak boleh datang kemari?”
“Kau sudah menemukan kembali
kau punya Engkoh Thian, buat apa kau datang menjenguk diriku lagi?” ujar
Boh-thian sambil menggeleng.
“Ai, kau marah padaku, bukan?”
kata Ting Tong dengan tertawa merayu. “Engkoh Thian, siang tadi aku telah
menampar kau, apakah kau masih marah padaku?” sambil berkata ia terus
meraba-raba pipi Ciok Boh-thian yang ditamparnya itu.
Hidung Boh-thian lantas
mengendus bau harum yang menggiurkan, mukanya terasa diraba oleh sebuah tangan
yang putih dan halus, tanpa kuasa perasaannya menjadi kacau. Katanya dengan
setengah menggumam, “Aku tidak marah, Ting-ting Tong-tong. Tak usah kau datang
menjenguk diriku, memangnya kau telah salah mengenali diriku, asal kau tidak
sebut aku sebagai penipu saja sudah cukup bagiku.”
“Penipu, penipu! Ai, jika kau
benar-benar penipu, mungkin aku malah senang,” ujar Ting Tong dengan suara
lembut. “Ai, Engkoh Thian, engkau benar-benar seorang jantan, seorang kesatria
sejati yang jarang terdapat di dunia ini. Kau sudah menikah dan sudah
sembahyang Thian dengan aku, kita pun sudah... sudah tidur bersama, tapi selama
itu... selama itu kau tidak pernah memperlakukan aku sebagai istrimu.”
Muka Boh-thian menjadi merah
jengah, sekujur badannya terasa panas, katanya dengan tergagap-gagap,
“Ting-ting Tong-tong, aku... aku bukan kesatria sejati! Bukanlah aku tidak...
tidak kepingin, aku hanya... hanya tidak berani! Ya, untung juga kita belum...
belum apa-apa, kalau tidak, wah, tentu bisa runyam!”
Ting Tong menggeser dan duduk
di tepi ranjang, mendadak ia menutupi matanya dan menangis tersedu sedan.
Keruan Boh-thian menjadi
gugup, cepat ia tanya, “He, ada apakah, Ting-ting Tong-tong?”
“Ya, aku tahu engkau adalah
seorang kesatria se... sejati, akan tetapi tidak begitulah pendapat... pendapat
orang lain,” demikian sahut Ting Tong sambil menangis. “O, sungguh, biarpun aku
terjun ke dalam sungai juga tidak cukup untuk membersihkan nama suciku. Ciok...
Ciok Tiong-giok itu mengatakan... mengatakan bahwa aku sudah menikah dengan kau
dan sudah bersatu kamar, maka dia tidak mau padaku lagi.”
“He, maaa... mana boleh jadi!”
seru Boh-thian sambil membanting-banting kaki. “Ting-ting Tong-tong, jangan
khawatir kau, biar kubicarakan dengan dia, akan kuterangkan bahwa hubungan kita
adalah suci bersih, selamanya tidak... tidak pernah....”
“Tapi... tapi dia sudah sangat
benci padamu, biarpun kau bicara padanya juga dia takkan percaya,” ujar Ting
Tong sambil menangis.
Dalam hati kecilnya
lapat-lapat Boh-thian merasa senang, “Jika dia tidak mau padamu, akulah yang
mau.”
Tapi ia pun tahu kata-kata
demikian tidak layak diucapkan, bahkan memikirnya juga tidak pantas. Maka dia
hanya berkata, “Lalu bagaimana? Wah, gara-gara diriku sehingga ikut membikin
susah padamu!”
Dengan terguguk-guguk Ting
Tong berkata pula, “Dia bukan sanak kadangmu, kau pun tidak berbuat sesuatu
kebaikan baginya, sebaliknya malah menyerobot dan menikah dengan kekasihnya,
sudah tentu saja dia benci dan dendam padamu. Apabila dia... dia bukan dia,
tapi misalnya Hoan It-hui atau kawan-kawannya, mereka pernah utang budi padamu,
dengan sendirinya mereka akan percaya segala apa yang kau katakan.”
Boh-thian mengangguk, katanya,
“Ya, benar. Ting-ting Tong-tong, sungguh aku merasa tidak enak, kita harus
mencari suatu akal yang baik. Eh, ya, kau boleh minta kakekmu berbicara
padanya, tentu dia akan menurut.”
“Percuma, percuma!” sahut Ting
Tong, “Dia... dia Ciok Tiong-giok itu jiwanya sedang terancam, dalam waktu
singkat kita pun tak dapat menemukan kakek.”
“Hah, mengapa jiwanya sedang
terancam?” tanya Boh-thian terkejut.
“Itu Pek Ban-kiam dari
Swat-san-pay tadinya mengira kau adalah Ciok Tiong-giok sehingga kau ditangkap
olehnya, syukur kakek dan aku telah menyelamatkan kau, kalau tidak, tentu kau
sudah digiring ke Leng-siau-sia dan dicincang di sana, kau masih ingat tidak
kejadian itu?”
“Ya, sudah tentu masih ingat.
Wah, celaka, sekali ini Pek-suhu tentu akan menggiring dia ke Leng-siau-sia
pula.”
“Memangnya! Orang-orang
Swat-san-pay itu sudah terlalu benci padanya, sekali dia sudah sampai di
Leng-siau-sia, pasti jiwanya akan melayang!”
“Benar, kalau melihat cara
orang-orang Swat-san-pay yang berulang-ulang menguber dan menangkap aku tempo
hari, tampaknya urusannya tentu bukan sembarang persoalan. Cuma saja mengingat
kehormatan Ciok-cengcu suami-istri, boleh jadi kau punya Engkoh Thian hanya
akan didamprat sekadarnya saja dan urusan akan menjadi beres.”
“Enak saja kau bicara,” ujar
si Ting Tong. “Jika mereka mau mendamprat, apa tak bisa dilakukan pada setiap
tempat, buat apa mereka mesti susah-susah menggiringnya pulang ke
Leng-siau-sia? Apakah kau tidak tahu bahwa dalam usaha menangkapnya selama ini
Swat-san-pay sudah jatuh korban beberapa orang?”
Seketika Boh-thian berkeringat
dingin. Memang diketahuinya bahwa Swat-san-pay telah jatuh korban beberapa
orang, jangankan dosa yang diperbuat Ciok Tiong-giok di Leng-siau-sia itu pasti
sangat berat, hanya melulu perhitungan korban akibat pemburuannya di daerah
Kanglam ini saja sudah cukup alasan untuk menjatuhkan hukuman mati padanya.
Dalam pada itu si Ting Tong
berkata pula, “Engkoh Thian memang betul bersalah, adalah pantas kalau dia
menebus dosanya dengan jiwanya sendiri. Yang harus disayangkan adalah
Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, mereka adalah orang-orang baik, tapi sekarang
mereka harus ikut berkorban ‘jiwa’.”
“Hah? Apa katamu? Ciok-cengcu
dan nyonya juga akan ikut berkorban jiwa?” seru Boh-thian sambil melonjak
bangun. Ia masih ingat kebaikan suami-istri she Ciok itu, ia merasa mereka
adalah orang yang paling baik di dunia ini, maka demi mendengar kedua orang itu
menghadapi bahaya, dengan sendirinya ia menaruh perhatian penuh.
“Kau sudah tahu bahwa
Ciok-cengcu berdua adalah ayah-bunda Engkoh Thian, jika mereka mengantar Engkoh
Thian ke Leng-siau-sia, masakah mereka sengaja mengantarkan kematian putranya?
Sudah tentu mereka akan mintakan ampun kepada Pek-losiansing. Namun dapat
dipastikan Pek-losiansing tentu takkan meluluskan dan tetap akan membinasakan
Engkoh Thian. Untuk mana Ciok-cengcu berdua tentu akan membela putra kesayangan
mereka dan pada saat mana mau tak mau pasti akan menggunakan kekerasan. Coba
kau pikir, betapa banyak jago-jago Swat-san-pay itu, pula di rumahnya sendiri,
sebaliknya Ciok-cengcu hanya bertiga, mana bisa mereka melawannya? Ai, kulihat
selama ini Ciok-hujin sangat baik padamu, ibumu sendiri mungkin juga tidak
sedemikian sayangnya padamu. Tapi sekarang dia akan... akan tewas juga di
Leng-siau-sia.”
Sambil berkata ia terus
menutupi mukanya dan kembali menangis pula.
Seketika darah Ciok Boh-thian
bergolak dan mendidih, serunya tanpa pikir, “Jika Ciok-cengcu dan Ciok-hujin
ada kesukaran, biarpun betapa bahayanya di Leng-siau-sia sana juga aku akan
menyusul untuk membantunya. Seumpama aku tidak mampu menolong mereka, aku lebih
suka gugur bersama mereka di sana daripada hidup sendirian. Ting-ting Tong-tong,
biarlah sekarang juga aku akan pergi!”
“Kau hendak ke mana?” tanya si
Ting Tong sambil menarik lengan baju pemuda itu.
“Malam ini juga aku akan
menyusul mereka untuk bersama-sama naik ke Leng-siau-sia,” sahut Boh-thian.
“Kabarnya ilmu silat Wi-tek Siansing
Pek-loyacu itu sangat lihai, di samping itu ada tokoh-tokoh lain seperti
Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li dan sebagainya, andaikan kepandaianmu dapat
menangkan mereka, tapi di tengah Leng-siau-sia konon penuh terdapat
pesawat-pesawat rahasia seperti jaring kawat, panah berbisa, jebakan di bawah
tanah, dan macam-macam lagi, sedikit kurang hati-hati tentu kau akan masuk
perangkap mereka.”
“Jika begitu apa mau dikata
lagi kalau memang sudah nasib,” ujar Boh-thian.
“Janganlah kau terdorong oleh
ketekadanmu yang timbul seketika ini, jika terjadi apa-apa atas dirimu, siapa
lagi yang mampu menolong Ciok-cengcu dan nyonya?” ujar Ting Tong. “O, apabila
engkau gugur di sana, entah betapa akan rasa dukaku, aku... aku pun tentu tak
bisa hidup sendirian.”
Hati Boh-thian berdebur keras
mendengar ucapan yang meresap itu, katanya dengan agak gemetar, “Mengapa engkau
sedemikian... sedemikian baik padaku? Aku toh bukan... bukan kau punya Engkoh
Thian yang sebenarnya?”
“Ya, kalian berdua terlalu
mirip laksana pinang dibelah dua, dalam hatiku hakikatnya tiada perbedaan,
apalagi kita telah berkumpul cukup lama, selama itu pun kau sangat baik dan
jujur padaku,” sampai di sini tiba-tiba Ting Tong pegang kedua tangan Ciok
Boh-thian dan menambahkan, “Engkoh Thian, berjanjilah padaku, biar bagaimanapun
engkau jangan pergi dan binasa.”
“Akan tetapi aku harus
menolong Ciok-cengcu dan istrinya,” ujar Boh-thian.
“Sebenarnya aku ada satu akal,
cuma kukhawatir engkau curiga dan mengira aku menipu kau, maka tidak enak akan
kukatakan,” kata Ting Tong.
“Lekas katakan, lekas! Apakah
akalmu itu, masakah aku curiga padamu?”
Ting Tong tampak merenung
sejenak, katanya dengan ragu-ragu, “Engkoh Thian, cara ini sesungguhnya terlalu
membikin susah padamu, sebaliknya terlalu menguntungkan dia, setiap orang yang
mengetahui akalku ini tentu akan mengatakan aku sengaja menjebak kau. Ai,
tidak, tidak bisa, biar bagaimanapun hal ini adalah terlalu tidak adil.”
“Sebenarnya bagaimana akalmu
itu? Asal dapat menolong Ciok-cengcu berdua, biarpun sedikit membikin susah
padaku apa sih halangannya?”
“Engkoh Thian, jika kau
berkeras ingin tahu, biarlah akan kuturut dan akan kuterangkan,” sahut Ting
Tong. “Cuma kalau kau benar-benar akan menjalankan akalku ini, maka akulah yang
tidak boleh. Aku akan tanya dulu padamu, apakah kau tahu sebab apakah
orang-orang Swat-san-pay sedemikian bencinya kepada Ciok Tiong-giok dan
bertekad akan membunuhnya?”
“Kalau tidak salah Ciok
Tiong-giok itu adalah murid Swat-san-pay, dia telah melanggar larangan
perguruan, telah mengakibatkan kematian putri Pek-suhu sehingga sebelah lengan
gurunya, yaitu Hong Ban-li ikut menjadi korban, ditebas oleh Pek-losiansing,
ya, boleh jadi berbuat pula kejahatan-kejahatan lain yang tidak senonoh.”
“Benar, justru karena Ciok
Tiong-giok itu telah mencelakai orang, makanya mereka akan membunuhnya untuk
mengganti jiwa. Engkoh Thian, apakah kau telah membinasakan putri Pek-suhu dari
Swat-san-pay itu?”
“Hah, aku?” seru Boh-thian
melengak. “Sudah tentu tidak! Sedangkan muka putri Pek-suhu itu belum pernah
kulihat.”
“Itu dia,” kata Ting Tong.
“Akalku ini sesungguhnya juga sangat sederhana, ialah engkau boleh menyaru
sebagai Ciok Tiong-giok dan ikut Ciok-cengcu ke Leng-siau-sia sana, nanti bila
mereka hendak membinasakan kau barulah kau mengaku terus terang bahwa kau
sesungguhnya adalah Kau-cap-ceng dan bukan Ciok Tiong-giok. Yang akan mereka
bunuh adalah Ciok Tiong-giok dan bukan kau, paling-paling mereka akan mencaci
maki padamu karena kau telah menipu mereka dengan menyaru, tapi akhirnya kau
toh akan dibebaskan juga. Dan karena kau tak dibunuh oleh mereka, dengan
sendirinya Ciok-cengcu berdua juga tidak perlu bergebrak dengan mereka dan
tentu pun tidak berbahaya lagi.”
Untuk sejenak Boh-thian
terdiam, katanya kemudian, “Akalmu ini cukup baik, cuma letak Leng-siau-sia itu
jauh di wilayah barat sana, dalam perjalanan sejauh ribuan li bersama Pek-suhu
dan rombongannya itu bukan mustahil sedikit salah omong saja penyamaranku akan
diketahui. Kau sudah tahu sendiri, Ting-ting Tong-tong, aku tidak pintar
bicara, gerak-gerikku juga bodoh, mana dapat menirukan Ciok Tiong-giok yang...
yang pintar dan cerdik itu.”
“Soal ini sudah kupikirkan
juga,” ujar Ting Tong dengan tertawa. “Kau bisa semir sejenis... sejenis obat
yang berbisa di bagian tenggorokanmu sehingga di bagian itu akan menjadi
bengkak, kau pura-pura sakit tenggorokan dan susah bicara, pura-pura menjadi bisu
dan tidak perlu membuka suara dalam perjalanan.”
Sampai di sini tiba-tiba Ting
Tong menghela napas, lalu katanya pula dengan menyesal, “Engkoh Thian, meski
akalku ini cukup bagus, tapi kau yang harus menderita, maka aku merasa tidak
enak.”
Mendengar ucapan si nona itu
penuh rasa kasih sayang padanya, sungguh Boh-thian menjadi terharu. Dalam
keadaan demikian jangankan dia cuma disuruh pura-pura menjadi bisu, sekalipun
dia diminta mati baginya juga mau. Maka segera ia berseru, “Bagus, akalmu
sangat bagus! Cuma cara bagaimana aku harus menggantikan Ciok Tiong-giok itu?”
“Rombongan mereka itu bermalam
semua di Heng-co-tin di sebelah barat sana, sekarang juga kita dapat menyusul
ke sana,” kata Ting Tong. “Kutahu kamar tidurnya Ciok Tiong-giok, diam-diam kita
masuk ke sana dan kalian dapat saling tukar pakaian. Besok pagi kau lantas
pura-pura merintih-rintih kesakitan dan mengatakan bagian tenggorokanmu keluar
bisul jahat sehingga susah bersuara, sebelum saat kau hendak dibunuh orang
Swat-san-pay janganlah kau membuka mulut dan bicara.”
“Ting-ting Tong-tong, akal
sebagus ini hanyalah engkau yang dapat memikirkannya,” seru Boh-thian dengan
girang.
“Dan ingatlah, sepanjang jalan
jangan kau bicara dengan siapa pun juga, terhadap Ciok-cengcu dan Ciok-hujin
juga tidak boleh memberi isyarat apa-apa. Maklum Pek-suhu dan kawan-kawannya
itu sangat lihai, sedikit kau memperlihatkan tanda-tanda yang mencurigakan akan
berarti membikin celaka kepada Ciok-cengcu berdua.”
“Ya, baiklah, biarpun kepalaku
dipenggal juga aku takkan bicara,” sahut Boh-thian sambil mengangguk. “Hayolah,
sekarang juga kita berangkat.”
Tapi mendadak pintu kamar
dibuka orang, suara seorang wanita berseru, “Jangan kau tertipu olehnya,
Siauya!”
Remang-remang Boh-thian
melihat seorang wanita muda berdiri di depan pintu, kiranya adalah Si Kiam.
“Jangan... jangan tertipu apa, Si Kiam?”
“Di luar kamar telah kudengar
seluruhnya,” sahut Si Kiam. “Nona Ting ini tidak bermaksud baik, dia... dia
hanya ingin menyelamatkan dia punya Engkoh Thian dan sengaja menipu kau untuk
mewakilkan kematiannya.”
“Ah, masakah begitu?” ujar
Boh-thian. “Nona Ting membantu aku memikirkan cara bagaimana harus menolong
Ciok-cengcu dan Ciok-hujin.”
“Ai, mengapa Siauya tidak
pikir masak-masak, mungkinkah mereka menaruh maksud baik padamu?” kata Si Kiam.
Mendadak Ting Tong tertawa
dingin, “Huh, memangnya kau adalah pelayan pangcumu yang tulen, sekarang kau
sengaja membantu orang luar dan sengaja mengadu domba.”
Lalu ia berpaling kepada
Boh-thian dan berkata, “Engkoh Thian, jangan kau pedulikan perempuan hina ini,
lekas kau pergi minta sedikit bun-hiang (dupa pemabuk) kepada Tan-hiangcu, tapi
jangan bicara tentang urusan kita ini, sesudah mendapatkan dupa itu boleh
tunggu aku di luar sana saja.”
“Untuk apa kita membawa dupa
seperti itu?” tanya Boh-thian.
“Sebentar tentu kau akan tahu,
sekarang lekas berangkat, lekas!” desak si Ting Tong.
Boh-thian mengiakan dan segera
melangkah keluar.
Setelah Boh-thian pergi,
segera Ting Tong menyemprot Si Kiam, “Hm, budak hina, baik juga ya hatimu!”
Si Kiam menjadi takut, ia
menjerit terus hendak lari. Tapi si Ting Tong tidak memberi kesempatan padanya,
cepat ia memburu maju, kedua tangannya menghantam sekaligus, tepat punggung Si
Kiam kena digenjot dan tanpa ampun lagi mati seketika.
Sebelum meninggalkan kamar
itu, lebih dulu Ting Tong menyeret jenazah Si Kiam itu ke dalam kamar, ia
sengaja merobek-robek pakaian Si Kiam dan meletakkan jenazah pelayan itu di
atas ranjang agar besok paginya dicurigai orang-orang Tiang-lok-pang yang pasti
akan menyangka pangcu mereka sendiri yang telah membunuh pelayannya lantaran
melawan kehendak sang pangcu yang tidak senonoh. Dengan demikian Pwe Hay-ciok
dan lain-lain tentu juga tidak akan kaget bilamana mendadak Ciok Boh-thian
menghilang, mereka tentu mengira sang pangcu sengaja menyingkir untuk beberapa
hari lamanya karena merasa malu.
Selesai mengatur,
perlahan-lahan Ting Tong lantas menyusup keluar dan setelah menunggu agak lama
barulah kelihatan Ciok Boh-thian muncul.
“Sudah dapat!” kata pemuda
itu.
“Bagus!” sahut Ting Tong
dengan girang dan segera mengajaknya berangkat menuju ke tepi sungai dan naik
ke atas perahu yang sudah siap.
Setelah mendayung perahu itu beberapa
li jauhnya, kemudian mereka mendarat, ternyata di bawah pohon sana sudah
tertambat dua ekor kuda. “Marilah kita menunggang kuda saja!” kata si nona.
“Ai, rencanamu ini benar-benar
sangat rapi, sampai-sampai kuda pun sudah disiapkan,” ujar Boh-thian.
“Rapi apa segala?” semprot
Ting Tong dengan muka merah. “Ini adalah kuda Yaya, aku toh tidak tahu kalau
kau ingin buru-buru hendak pergi menolong Ciok-cengcu.”
Boh-thian menjadi bingung
mengapa si nona mendadak marah. Ia tidak berani banyak bicara lagi dan terus
cemplak ke atas kuda.
Kira-kira jam tiga dini hari
sampailah mereka di luar Kota Heng-co-tin, mereka turun dari kuda dan masuk ke
dalam kota. Ting Tong membawa Boh-thian ke sebuah hotel. Di luar hotel si nona
berbisik-bisik padanya, “Ciok-cengcu suami-istri dan putranya tidur di kamar
kedua di sebelah timur sana.”
“Apakah mereka bertiga tidur
di suatu kamar?” tanya Boh-thian. “Wah, jangan-jangan nanti ketahuan
Ciok-cengcu dan Ciok-hujin.”
“Mereka terpaksa harus tidur
sekamar, mereka harus mengawasi putranya agar tidak melarikan diri,” sahut Ting
Tong. “Ai, mereka hanya memikirkan harga diri mereka sebagai kesatria tanpa
memikirkan mati-hidup putranya, orang tua demikian benar-benar jarang terdapat
di dunia ini.”
Mendengar nada si nona seperti
merasa penasaran, Boh-thian menjadi bingung dan tidak dapat menanggapi.
Terpaksa ia tanya dengan suara tertahan, “Habis, bagaimana?”
“Boleh kau sulut dupa pemabuk
yang kau bawa, masukkan ke dalam kamar mereka melalui celah-celah jendela,
sesudah mereka tak sadarkan diri barulah kau membuka jendela dan masuk ke
dalam, diam-diam kau pondong keluar Ciok Tiong-giok dan selesaikan tugasmu.
Ginkangmu sangat tinggi, keluar-masuk kamar tentu takkan diketahui Pek-suhu dan
kawan-kawannya. Aku akan menunggu kau di bawah emper sana.”
“O, kiranya demikian,” kata
Boh-thian sambil mengangguk. “Baiklah, akan kukerjakan menurut petunjukmu.
Apakah dupa ini yang digunakan Tan-hiangcu dan kawan-kawannya untuk menawan
orang-orang Swat-san-pay sebagaimana dikatakan mereka itu?”
“Benar,” sahut Ting Tong. “Ini
adalah perbuatan rendah yang biasa dilakukan oleh orang-orang Pang kalian,
tentu dupa ini sangat manjur, kalau tidak masakah orang-orang Swat-san-pay yang
bukan kaum lemah itu dapat dibekuk begitu saja? Cuma kau pun harus hati-hati,
jangan sampai menerbitkan suara sedikit pun. Ketahuilah Ciok-cengcu dan nyonya
tidak dapat disamakan dengan anak murid Swat-san-pay.”
Boh-thian mengiakan perlahan.
Segera ia menyalakan dupa pembius yang dibawanya. Walaupun di tempat terbuka
kepalanya terasa pusing juga ketika membau asap dupa itu. Keruan ia terkejut.
“Dupa ini bisa mematikan orang tidak?” cepat ia tanya.
“Mereka telah menawan
orang-orang Swat-san-pay dengan dupa semacam ini, apakah di antara orang-orang
Swat-san-pay ada yang mati?” Ting Tong balas bertanya.
“Ya, tidak,” sahut Boh-thian.
“Baiklah, harap kau tunggu di sini.”
Perlahan-lahan ia melompat,
melintasi pagar tembok, ternyata enteng sekali gerakannya sehingga tiada menimbulkan
suara sedikit pun. Ia menemukan jendela kamar kedua di serambi timur, ia dengar
suara napas ketiga orang di dalam kamar itu sedang terpulas dengan nyenyaknya,
perlahan-lahan ia membasahi kertas penutup jendela dengan air ludah sehingga
terkorek menjadi sebuah lubang kecil, lalu ia menyalakan dupa dan memasukkannya
ke dalam kamar. Nyala dupa itu sangat cepat dan sebentar saja sudah habis. Ia
dengar sekeliling situ tiada sesuatu suara, dengan hati-hati ia lantas
mendorong daun jendela sehingga terpentang, palang jendela telah patah oleh
tenaga dalamnya yang kuat. Dengan gesit ia lantas melompat ke dalam kamar.
Jilid 38
Di bawah cahaya
bintang-bintang yang remang-remang dilihatnya dalam kamar itu terdapat dua buah
dipan. Ciok Jing suami-istri bersatu dipan dan Ciok Tiong-giok tidur sendirian
di dipan yang lain.
Baru saja ia hendak mengangkat
tubuh Ciok Tiong-giok, mendadak ia merasa kepala sendiri agak pusing, ia tahu
telah mengisap bau dupa pemabuk, cepat ia menahan napas dan membawa Ciok
Tiong-giok keluar hotel.
Ting Tong sudah menunggu di
sana, bisiknya perlahan, “Marilah kita menyingkir agak jauh supaya tidak
membikin kaget Pek-suhu dan kawan-kawannya.”
Boh-thian mengiakan, dengan
memondong Ciok Tiong-giok ia ikut si nona menyingkir ke tempat lebih jauh dari
hotel itu.
“Lekas kau menanggalkan
pakaiannya dan menukar dengan pakaianmu, begitu pula seluruh isi sakunya,” kata
si Ting Tong.
Waktu Boh-thian merogoh
kantongnya sendiri, ia mengeluarkan sekotak boneka kayu pemberian Tay-pi Lojin
dahulu serta dua potong medali tembaga. “Apakah ini juga... juga diberikan
padanya?” tanyanya.
“Ya, berikan semua,” sahut
Ting Tong. “Kalau tersimpan di bajumu, jangan-jangan akan dilihat orang dan
terbongkar rahasia penyamaranmu. Biarlah aku meronda di sebelah sana. Cepat kau
bertukar pakaian dengan dia.”
Menunggu sesudah si Ting Tong
menyingkir agak jauh, segera Boh-thian melepaskan, pakaiannya sendiri, lalu
membelejeti Ciok Tiong-giok dan saling bertukar pakaian. “Sudah, sudah
selesai!” serunya kemudian.
Maka kembalilah Ting Tong
mendekat, katanya, “Jiwa Ciok-cengcu dan Ciok-hujin selanjutnya tergantunglah
padamu, jika kau kurang pandai bergaya tentu celakalah mereka.”
“Aku akan berbuat sebisanya,”
ujar Boh-thian.
Lalu Ting Tong mengeluarkan
sebuah kotak kecil, ia membuka tutup kotak dan mengorek sedikit salep dengan
kukunya sambil berkata, “Dongakkan kepalamu!”
Sesudah Boh-thian mengangkat
kepalanya, segera ia poles salep itu di lehernya dan berkata pula, “Sebelum
pagi mendatang nanti harus kau membersihkan salep ini supaya tidak dilihat
orang lain. Besok akan terasa sakit sedikit, untuk ini kau harus tahan derita.”
“Tidak apa,” sahut Boh-thian.
Tiba-tiba terlihat badan Ciok
Tiong-giok sedikit bergerak seperti akan siuman. Cepat ia berkata, “Ting-ting
Tong-tong, aku akan kembali ke kamarnya, sampai bertemu!”
“Ya, lekas, selamat!!” sahut
Ting Tong.
Kira-kira belasan meter
jauhnya Boh-thian melangkah ke arah hotel, waktu menoleh, terlihat Ciok
Tiong-giok sudah berduduk dan seperti sedang bicara dengan si Ting Tong dengan
suara lirih. Tiba-tiba terdengar Ting Tong mengikik tawa, suaranya sangat
perlahan, tapi penuh rasa gembira.
Sekonyong-konyong Boh-thian
merasakan semacam kecemasan yang hebat, lapat-lapat ia merasa selanjutnya tidak
dapat berkumpul bersama si Ting Tong lagi. Sesudah merandek sejenak, akhirnya
ia melompat masuk ke dalam hotel dan menyusup ke dalam kamar.
Asap dupa di dalam kamar masih
cukup keras, ia membuka daun jendela supaya ada hawa segar. Terdengar suara
derapan kuda yang makin menjauh, ia tahu si Ting Tong dan Ciok Tiong-giok telah
pergi bersama. Pikirnya, “Ke manakah mereka? Sekarang si Ting-ting Tong-tong
tentulah sangat senang. Aku sendiri terlalu bodoh dan tidak pintar bicara,
berada bersama dia hanya selalu membikin marah padanya saja.”
Ia berdiri termenung-menung
agak lama di depan jendela, ketika mendadak merasa lehernya mulai sakit barulah
cepat-cepat ia menyusup ke kolong selimut.
Obat salep si Ting Tong itu
ternyata sangat manjur, tidak sampai satu jam tenggorokan Ciok Boh-thian sudah
kesakitan. Waktu ia meraba dengan tangan, tempat tenggorokan itu sangat panas
dan bengkak seperti orang gondok.
Ia tahan sampai fajar sudah
menyingsing, lalu ia membersihkan bekas salep itu dengan selimut, kemudian
mulai merintih-rintih kesakitan menurut ajaran Ting Tong supaya menarik
perhatian Ciok Jing suami-istri dan tidak curiga bilamana mengendus sisa bau
dupa.
Benar juga, sesudah
merintih-rintih sebentar lantas didengar oleh Ciok Jing, segera orang tua itu
bertanya, “Kenapa kau?”
Nadanya bukannya kasih sayang,
sebaliknya rada marah.
Bin Ju juga lantas bangun dan
bertanya, “Kenapakah anak Giok? Apakah badanmu kurang enak?”
Dan tanpa menunggu jawaban
segera ia mendekati Boh-thian.
Ketika mendadak melihat kedua
pipi Boh-thian merah membara, lehernya juga bengkak, ia menjadi kaget dan cepat
berteriak, “He, Engkoh Jing, lekas kemari, coba lihatlah!”
Mendengar seruan sang istri
yang khawatir itu, cepat Ciok Jing lantas melompat bangun ke depan dipan
putranya, ia menjadi khawatir juga demi tampak leher putranya merah bengkak
sebagai gondokan. “Besar kemungkinan hanya penyakit bisul biasa saja, kalau
diobati cepat-cepat tentu akan segera sembuh.”
Lalu ia tanya Boh-thian,
“Bagaimana, Nak? Apakah sangat sakit?”
Boh-thian hanya merintih saja
dan tidak berani membuka suara. Pikirnya sendiri, “Karena ingin menolong
kalian, makanya aku pura-pura sakit untuk menipu kalian. Hanya sakit bisul
begini saja kalian sudah sedemikian menaruh perhatian padaku, ini menandakan
kalian masih sangat cinta kepada putramu Ciok Tiong-giok itu walaupun dia telah
banyak berdosa. Ai, mengapa di dunia ini tiada seorang pun yang mencintai aku seperti
ini.”
Teringat demikian ia menjadi
terharu sehingga mengembeng air mata.
Melihat putranya mewek-mewek
akan menangis, Ciok Jing dan Bin Ju mengira dia kesakitan, maka mereka tambah
khawatir. Ciok Jing bertanya, “Biarlah kucari seorang tabib.”
“Di kota kecil seperti ini
tentu tiada tabib pandai, marilah kita pulang ke Yangciu saja dan minta tolong
Pwe-tayhu untuk memberi obat padanya,” usul Bin Ju.
“Tidak,” jawab Ciok Jing.
“Jangan-jangan akan menimbulkan curiga Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya, pula
akan dipandang hina oleh Pwe Hay-ciok.”
Ia tahu Pwe Hay-ciok dan
orang-orang Tiang-lok-pang sudah dendam kepada putranya yang khianat ini,
bilamana dibawa ke sana bukan mustahil sang putra akan dicelakai malah.
Segera Bin Ju membawakan
semangkuk kuah hangat untuk Ciok Boh-thian, tak terduga salep berbisa itu
sangat lihai, luar-dalam tenggorokan itu telah bengkak semua sehingga tak dapat
makan-minum sama sekali. Keruan Bin Ju tambah khawatir.
Ciok Jing lantas mencari
seorang tabib. Dasar tabib kampungan, tapi berlagak mahapandai, sesudah
memeriksa penyakit Boh-thian itu, sebentar ia bilang cuma penyakit gondok, tapi
lain saat ia menakut-nakuti katanya sakit kanker. Akhirnya ia membual betapa
kepandaiannya dan minta pasiennya jangan khawatir, lalu ia membuka resep.
Ciok Jing memberi pujian
sekadarnya dan memberikan honorarium yang cukup, setelah tabib itu pergi ia
lantas membeli obat ke apotek.
Karena kesibukan Ciok Jing,
itu, akhirnya orang-orang Swat-san-pay mendapat tahu juga persoalannya. Khawatir
kalau-kalau Ciok Jing main gila dan berusaha menyelamatkan putranya, maka Pek
Ban-kiam pura-pura menjenguk ke kamarnya. Ketika melihat tenggorokan Ciok
Boh-thian benar-benar seperti orang sakit gondok dan Bin Ju tampak khawatir dan
bingung, diam-diam ia merasa senang dan syukur.
Pikirnya, “Kau bocah durhaka
ini sudah berdosa kelewat takaran, jika kau terbunuh begitu saja di
Leng-siau-sia nanti akan terlalu murah bagimu, memangnya kau harus disiksa dan
banyak menderita dahulu agar kau bertobat.”
Walaupun demikian pikirnya,
namun sebagai seorang kesatria ia malah menghibur Bin Ju agar jangan khawatir.
Sesudah memberikan obat kepada
putranya, kemudian Ciok Jing berkata kepada sang istri, “Aku sudah siapkan
kereta di luar. Tiong-giok adalah seorang lelaki, dia harus berani tahan uji,
sedikit penyakit saja tidak boleh menghalangi urusan orang banyak. Marilah kita
lantas berangkat saja.”
Bin Ju menjadi ragu-ragu,
katanya, “Penyakit anak begini parah, kalau dipaksa meneruskan perjalanan
mungkin... mungkin akan tambah berat.”
“Kedua sucia pengganjar dan
penghukum itu sedang menuju ke Leng-siau-sia, Pek-suheng harus buru-buru
menyusul ke sana, jika Wi-tek Siansing sampai bergebrak dengan mereka, kita tak
dapat membantu, sebaliknya memperlambat perjalanan Pek-suheng, hal ini tidaklah
pantas.”
Bin Ju terpaksa mengiakan,
katanya kepada Boh-thian, “Nak, marilah kubantu kau memakai baju.”
Lalu ia membantu Boh-thian
berpakaian dan lantas keluar hotel.
Melihat Ciok Jing memaksa
putranya melanjutkan perjalanan dalam keadaan sakit, mau tak mau Pek Ban-kiam
menaruh hormat juga atas jiwa kesatrianya.
Sebaliknya Bin Ju paham apa
yang diperhitungkan sang suami, ia kenal watak suaminya tidak nanti mengeluyur
pergi dengan membawa lari putranya. Tapi menurut perhitungan Ciok Jing
kunjungan Thio Sam dan Li Si ke Leng-siau-sia nanti pasti akan cekcok dan
bertempur dengan Pek Cu-cay alias Wi-tek Siansing yang berperangai keras dan
tidak nanti mau terima medali tembaga yang disodorkan itu. Jika bisa Ciok Jing
ingin mencapai Leng-siau-sia tepat pada waktunya dan dapat membantu pihak
Swat-san-pay dengan sepenuh tenaga, jika nasibnya malang dan gugur dalam
pertempuran itu, maka paling sedikit akan dapat mencuci bersih nama busuk
putranya, sebaliknya kalau untung mendapat kemenangan, maka berita tentang
Swat-san-pay bergabung dengan Hian-soh-ceng telah menjatuhkan Thio Sam dan Li
Si pasti akan tersiar di dunia Kangouw, jasa itu tentu dapat menebus dosa
putranya dan Pek Cu-cay tentu tidak tega membunuhnya lagi.
Namun Bin Ju sendiri sudah
menyaksikan kepandaian Thio Sam dan Li Si di markas Tiang-lok-pang dan menduga
lebih banyak kalah daripada menangnya bila benar-benar bergabung melawan kedua
orang itu. Akan tetapi selain pikiran sang suami itu rasanya tiada jalan lain
lagi yang lebih sempurna, sebab itulah ia pun menurut saja.
Sebenarnya tabib di
Heng-co-tin itu memang tidak becus, dia telah salah sangka bengkak di
tenggorokan Ciok Boh-thian itu sebagai sakit gondok. Namun dengan demikian Ciok
Jing dan Bin Ju menjadi tidak curiga apa-apa. Pula wajah Boh-thian dan Ciok
Tiong-giok memang sangat mirip, sesudah saling tukar pakaiannya, siapa pun
tidak dapat membedakannya lagi. Dengan enak-enak Boh-thian bertiduran di dalam
kereta kuda tanpa bersuara sedikit pun, maka rahasianya juga tidak sampai
ketahuan siapa-siapa. Kepergian si Ting Tong tanpa pamit itu adalah kebetulan
bagi Ciok Jing dan Bin Ju, maka mereka pun tidak mengusut lebih lanjut.
Begitulah rombongan mereka
lantas mempercepat perjalanan agar tidak didahului oleh Thio Sam dan Li Si.
Setiba di wilayah Provinsi Oulam, bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian sudah
kempis, akan tetapi dia masih gagu dan tidak dapat bicara. Beberapa kali Ciok
Jing membawanya kepada tabib-tabib di kota yang dilalui, namun tidak diperoleh
sesuatu kepastian tentang penyakitnya, hal ini membuat Ciok Jing menjadi
masygul dan Bin Ju pun lebih sering mencucurkan air mata.
Suatu hari sampailah mereka di
wilayah Se-ek (daerah provinsi-provinsi sebelah barat). Orang-orang
Swat-san-pay sangat hafal keadaan setempat, mereka selalu mengambil jalanan
kecil yang lebih dekat. Untuk ini mereka yakin pasti akan dapat tiba lebih dulu
di tempat tujuan daripada Thio Sam dan Li Si. Makin dekat dengan Leng-siau-sia
makin legalah hati mereka.
Hanya Ciok Jing dan Bin Ju
saja yang merasa bimbang, mereka menduga pada waktu bertemu dengan Wi-tek
Siansing nanti kedua pihak tentu akan serbasalah. Apabila orang tua itu lantas
marah-marah terus membinasakan anak Giok dan pada saat itu juga Thio Sam dan Li
Si muncul pula, maka keadaan tentu akan menjadi sulit.
Diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju
juga saling berunding, tapi susah mengambil sesuatu keputusan, terpaksa mereka
pasrah nasib dan terserah kepada keadaan nanti.
Beberapa hari kemudian,
sampailah mereka di suatu lereng gunung di mana terdapat sederetan rumah-rumah
papan kayu, Pek Ban-kiam telah tanya penjaga rumah-rumah papan itu dan
diketahui beberapa hari terakhir ini belum pernah ada orang asing lalu di situ,
maka hatinya menjadi makin lega.
Mereka bermalam di perumahan
papan itu, besok paginya mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
Kiranya perjalanan selanjutnya sangatlah terjal dan tidak dapat dilalui dengan
kuda. Beberapa murid Swat-san-pay jalan di depan sebagai penunjuk jalan mereka
terus mendaki gunung dan melintasi tanjakan. Kira-kira satu jam kemudian,
seluruh tanah mulai tertampak hanya salju belaka. Untung ginkang setiap orang
tidaklah lemah sehingga tidak mengalami suatu kesukaran.
Sepanjang jalan Ciok Boh-thian
terus ikut di belakang ayah-bundanya, tidak mendahului juga tidak ketinggalan.
Melihat kekuatan berjalan sang
putra sangat tangkas, napasnya juga panjang, diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju
merasa lwekang pemuda itu tidak lebih lemah daripada mereka sendiri, mereka
menjadi kagum dan senang. Tapi demi ingat tidak lama lagi akan berjumpa dengan
Pek Cu-cay, kembali mereka khawatir pula.
Petangnya mereka melihat di
depan sana berdiri suatu puncak gunung yang menjulang tinggi dengan bangunan
berpuluh-puluh rumah.
“Ciok-cengcu, inilah
Leng-siau-sia adanya, tempatnya terlalu terpencil dan miskin, segalanya kasar
dan sederhana saja,” kata Pek Ban-kiam.
“Sungguh suatu tempat yang
bagus,” puji Ciok Jing. “Puncak yang tertinggi dikelilingi gunung-gemunung,
benar-benar sesuai dengan namanya sebagai ‘leng-siau’ (mencakar langit).”
Tertampak awan mengapung ke
atas dan lambat laun seluruh Leng-siau-sia telah terselubung semua
di-tengah-tengah gumpalan awan yang tebal.
Ketika rombongan mereka sampai
di kaki puncak gunung itu hari pun sudah gelap, mereka lantas bermalam pada dua
rumah batu yang biasanya disediakan untuk orang-orang yang hendak berkunjung ke
Leng-siau-sia agar besok pagi-pagi dapat mendaki puncak tinggi itu dengan
tenaga penuh.
Waktu fajar baru menyingsing
segera rombongan mereka mulai mendaki puncak terjal itu. Walaupun semua orang
berkepandaian tinggi, tidak urung mereka harus berhenti mengaso dua kali serta
makan ransum di gardu kecil di tengah gunung. Lewat tengah hari barulah mereka
sampai di luar Leng-siau-sia. Tertampaklah beratus-ratus rumah dikelilingi
selapis tembok benteng yang putih dan tingginya lebih dari lima-enam meter,
kelihatannya penuh dengan salju yang sudah membeku.
“Pek-suheng, dinding benteng
penuh dengan salju yang membeku, maka pastilah sangat kukuh laksana baja, orang
luar tidaklah mungkin dapat menyerbu ke dalam,” kata Ciok Jing.
“Ya, selama lebih 170 tahun
berdirinya golongan kami memang tidak pernah diserbu musuh dari luar,” sahut
Ban-kiam dengan tertawa. “Hanya saja di musim dingin sering mendapat gangguan
kawanan serigala yang lapar, tapi juga tidak mampu masuk ke dalam benteng.”
Sampai di sini dilihatnya
jembatan gantung yang melintasi sungai es yang mengelilingi benteng itu masih
tergantung tinggi-tinggi dan belum dihubungkan, diam-diam Ban-kiam menjadi
marah, segera ia membentak, “Siapa itu yang dinas jaga? Apakah tidak lihat kami
telah pulang?”
Maka tertampaklah di atas
benteng menongol sebuah kepala dan berkata, “Kiranya Pek-supek dan para supek
yang lain telah pulang, segera akan kulaporkan dulu.”
“Ada tamu jauh berkunjung
kemari, lekas turunkan jembatan gantung!” bentak Ban-kiam pula.
Terdengar orang itu mengiakan
sambil mengkeretkan kembali kepalanya, tapi sampai sekian lamanya jembatan
gantung masih tetap tidak diturunkan.
Ciok Jing melihat sungai yang
mengelilingi benteng itu lebarnya ada lima-enam meter lebih, untuk melompat ke
seberang memang tidak gampang.
Pada umumnya dinding benteng
memang selalu dikelilingi oleh sungai pelindung benteng, tapi di puncak gunung
ini hawa sangat dingin, air sungai telah membeku menjadi es, sungai ini pun
sangat dalam, tepi sungai juga membeku sebagai dinding es yang licin, baik
binatang maupun manusia jika terjerumus ke bawah tentu sangat sukar untuk naik
kembali.
Dalam pada itu terdengar Kheng
Ban-ciong dan Kwa Ban-kin juga sedang membentak-bentak suruh penjaga-penjaga
benteng lekas turunkan jembatan gantung dan membuka pintu.
Melihat suasana agak luar
biasa, Ban-kiam menjadi khawatir jangan-jangan terjadi apa-apa di dalam
benteng. Segera ia membisiki kawan-kawannya, “Para Sute harap waspada, boleh
jadi kedua orang dari Liong-bok-to itu sudah tiba lebih dahulu.”
Mendengar itu semua orang
terkesiap dan tanpa merasa sama meraba senjatanya masing-masing.
Pada saat itulah terdengar
suara berkeriang-keriut, jembatan gantung perlahan-lahan telah diturunkan.
Pintu gerbang lantas terbuka dan tertampak berlari keluar seorang yang berjubah
putih, lengan baju sebelah kanan terikat pada ikat pinggangnya, di dalam lengan
baju itu tertampak kosong melompong, terang tiada isinya, yaitu lengannya
buntung. Orang ini lantas berteriak-teriak, “Haha, kiranya Ciok-heng dan
Ciok-so yang telah tiba, sungguh tamu yang tak terduga, selamat datang!”
Melihat Hong-hwe-sin-liong Hong
Ban-li menyambut sendiri kedatangan mereka, sedangkan lengan kanannya kelihatan
buntung akibat perbuatan putranya sendiri, sungguh Ciok Jing menyesal tak
terhingga. Cepat ia memapak maju sambil berseru, “Hong-jite, kami suami-istri
membawa putra durhaka ini sengaja datang kemari untuk menerima hukuman yang
akan dijatuhkan Pek-supek dan engkau.”
Habis berkata ia terus
melangkah maju dan bertekuk lutut memberi hormat. Sejak Ciok Jing terkenal di
dunia Kangouw belum pernah ia memberi hormat kepada angkatan yang setingkat
kecuali kepada orang tua, sekarang lantaran pengorbanan Hong Ban-li terlalu
besar gara-gara perbuatan putranya, maka tanpa merasa ia lantas menjura kepada
sobat lama itu.
Melihat suaminya berlutut dan
menjura, sebaliknya sang putra masih berdiri termangu di samping, cepat Bin Ju
menarik baju Ciok Boh-thian sambil berlutut di samping sang suami.
Boh-thian sendiri tidak tahu
apa-apa, tapi ia berpikir, “Dia adalah gurunya Ciok Tiong-giok yang kusamar
sekarang, ketemu guru memang seharusnya memberi hormat.”
Maka ia lantas berlutut juga
dan menjura berulang-ulang sampai kepalanya membentur tanah.
Hong Ban-li tidak menggubris
perbuatan Ciok Boh-thian itu sebaliknya ia berkata kepada Ciok Jing, “Ai,
mengapa Ciok-heng dan Ciok-so memakai adat setinggi?”
Cepat ia pun berlutut dan
balas menjura.
Sesudah Ciok Jing suami-istri
dan Hong Ban-li berbangkit kembali, hanya Ciok Boh-thian sendiri yang masih
berlutut di situ.
Sama sekali Ban-li tidak
menggubris Ciok Boh-thian, katanya kepada Ciok Jing, “Ciok-heng dan Ciok-so,
rasanya sudah belasan tahun kita tidak bertemu, kalian berdua ternyata semakin
sehat dan tambah muda. Selama ini terdengar juga nama kalian berdua yang sangat
terpuji di dunia Kangouw, sungguh aku merasa sangat kagum dan terimalah ucapan
selamat dariku.”
“Kami tidak mampu mengajar
anak, segala pujian kawan-kawan Kangouw hanya nama kosong saja, apa yang perlu
ditonjolkan?” sahut Ciok Jing dengan rendah hati. “Hari ini melihat keadaan
Hong-hiante, sungguh kami merasa malu tak terhingga.”
“Ah, kita adalah sahabat lama
dan sesama kaum persilatan, hanya sedikit persoalan mengapa harus selalu
disebut-sebut? Kalian datang dari jauh dan tentu sudah capek, hayolah lekas
masuk ke dalam benteng dan mengaso dulu,” kata Hong Ban-li tetap tidak ambil
pusing kepada Ciok Boh-thian yang masih berlutut di tempatnya.
Segera Hong Ban-li mengiringi
Ciok Jing mendahului masuk ke dalam benteng. Bin Ju lantas menarik bangun
putranya dengan mengerut kening, melihat sikap Hong Ban-li tadi walaupun
ucapannya enak didengar, tapi jelas belum mau mengampuni dosa Ciok Boh-thian.
Ketika masuk ke benteng, Pek
Ban-kiam telah memanggil seorang penjaga dan bertanya dengan suara perlahan,
“Apakah Loyacu (tuan besar, maksudnya ayahnya) baik-baik saja? Apa yang telah
terjadi di sini sesudah aku pergi?”
“Loyacu... Loyacu cuma suka
marah-marah dan agak kasar perangainya,” sahut anak murid Swat-san-pay itu.
“Sejak Supek berangkat juga tiada terjadi apa-apa. Hanya... hanya....”
“Hanya apa?” desak Ban-kiam
dengan menarik muka.
Murid itu menjadi ketakutan,
jawabnya, “Lima... lima hari yang lalu mendadak Loyacu mengamuk dan... dan
telah membunuh Liok-supek dan Boh-susiok.”
“Hah? Mengapa bisa begitu?”
tanya Ban-kiam terkejut.
“Tecu sendiri tidak tahu,”
sahut murid itu. “Kemarin dulu kembali Loyacu membunuh Yan-susiok pula, juga
sebelah kaki Tho-supek kena ditebas kutung oleh beliau.”
Sungguh kaget Ban-kiam tak
terkatakan. Pikirnya, “Boh, Lio, Yan, dan Tho-sute adalah jago-jago pilihan
dalam Swat-san-pay, biasanya ayah sangat sayang kepada mereka, mengapa mendadak
ayah berlaku sekejam ini kepada mereka?”
Cepat ia menarik murid itu ke
samping, sesudah Bin Ju dan Ciok Boh-thian pergi lebih jauh, segera ia tanya
pula, “Sesungguhnya apa yang telah terjadi?”
“Tecu benar-benar tidak tahu,”
sahut murid itu. “Sesudah meninggalnya paman-paman guru itu, setiap orang di
Leng-siau-sia merasa tidak tenteram dan kebat-kebit. Kemarin malam Thio-susiok,
Be-susiok, dan lain-lain juga pergi tanpa pamit, katanya hendak pergi mencari
Pek-supek. Untunglah hari ini Pek-supek sudah pulang dan dapatlah meredakan
kemarahan Loyacu.”
Karena tidak mendapatkan
keterangan yang diharapkan, segera Ban-kiam menyusul ke rumah. Setiba di
ruangan tamu, tertampak Hong Ban-li sedang mengiringi Ciok Jing dan Bin Ju
minum teh. Segera ia berkata, “Silakan kalian duduk dahulu, Siaute akan menemui
ayah dan minta beliau keluar bertemu dengan tamu.”
Mendadak Hong Ban-li menukas
dengan mengerut kening, “Beberapa hari yang lalu mendadak Suhu jatuh sakit,
mungkin beliau harus mengaso beberapa hari lagi baru dapat menemui tamu. Kalau
tidak, beliau biasanya sangat menghormati Ciok-heng, tentu sejak tadi beliau
sudah keluar.”
Pikiran Ban-kiam menjadi
kacau, cepat ia berkata, “Jika demikian, biarlah aku menjenguk ayah dahulu.”
Dengan langkah lebar segera ia
menuju ke kamar tidur sang ayah, sampai di luar pintu, ia berdehem dahulu, lalu
berseru, “Ayah, anak sudah pulang!”
Maka tertampaklah tirai pintu
tersingkap, muncul seorang wanita cantik pertengahan umur, ialah bini muda Pek
Cu-cay yang bernama Yu-nio. Wajahnya kelihatan agak pucat, melihat Ban-kiam
segera ia berkata, “Syukurlah sekarang Toasiauya sudah pulang, memangnya kami
sedang bingung apa yang harus kami lakukan. Sejak kemarin dulu pikiran Loyacu
mendadak menjadi linglung, aku... aku telah sembahyang dan berdoa, tapi sedikit
pun tidak berhasil apa-apa. Toasiauya, semoga kau....” sampai di sini ia lantas
menangis terguguk-guguk.
“Urusan apakah yang membikin
ayah menjadi marah-marah?” tanya Ban-kiam.
“Ya entah anak muridnya salah
omong apa sehingga Loyacu menjadi murka, berturut-turut beberapa muridnya telah
dibunuh,” tutur Yu-nio. “Saking marahnya sekujur badan Loyacu menjadi gemetar,
sepulangnya di kamar mukanya tampak berkejang, mulutnya berbuih dan mengiler,
bicara pun tidak sanggup lagi. Ada orang mengatakan beliau terkena ‘angin’ dan
entah betul atau tidak....” sembari bicara dia terus menangis sedih.
Mendengar penyakit “kena
angin”, seketika Pek Ban-kiam menjadi khawatir, tanpa bertanya lagi ia lantas
berseru, “Ayah!” dan terus berlari ke dalam kamar.
Ia lihat kelambu tempat tidur
sang ayah tertutup rapat, di dalam kamar ternyata ada sebuah anglo kecil dan
sedang masak obat.
“Ayah!” seru Ban-kiam pula
sambil membuka kelambu. Maka tertampaklah ayahnya bertiduran dengan menghadap
ke sebelah sana, badannya sedikit pun tidak bergerak.
Pendengaran Ban-kiam sangat
tajam, ia merasa pernapasan ayahnya seperti sudah berhenti. Saking kagetnya
tanpa pikir ia terus menjulur tangan untuk memeriksa pernapasan hidung sang
ayah.
Tapi baru saja sebelah
tangannya terjulur sampai di samping mulut ayahnya, dari dalam selimut mendadak
menyambar keluar suatu benda, “krek”, tahu-tahu tangan Ban-kiam telah
terbelenggu dengan kencang, kiranya benda itu adalah sebuah jepitan baja yang
penuh berduri tajam.
Keruan Ban-kiam tambah kaget.
“Ayah, akulah, anak telah pulang!” teriaknya. Tapi mendadak dada dan perutnya
berbareng telah tertutuk dua kali dan tepat mengenai hiat-to yang penting
sehingga dia tidak bisa berkutik lagi....
Dalam pada itu Ciok Jing
suami-istri yang dilayani Hong Ban-li dalam sedang minum di ruangan tamu itu
pun merasakan sesuatu yang aneh pada orang-orang Swat-san-pay yang dilihatnya,
seakan-akan setiap orang itu menyembunyikan rahasia apa-apa. Ciok Jing menjadi
heran dan mengira jangan-jangan berhubung akan datangnya kedua rasul pengganjar
dan penghukum dari Liong-bok-to itu, maka orang-orang Swat-san-pay itu merasa
cemas dan gelisah.
Rupanya Hong Ban-li mengetahui
perasaan tamunya, ia coba memberi penjelasan bahwa gurunya sudah tua, biasanya
cukup sehat, tapi mendadak jatuh sakit rada berat. Untuk mana Ciok Jing juga
mendoakan agar Pek Cu-cay lekas sembuh dan minta Hong Ban-li jangan terlalu
berduka.
Sementara itu hari sudah mulai
gelap, Hong Ban-li perintahkan orang menyiapkan perjamuan. Kheng Ban-ciong, Kwa
Ban-ki dan lain-lain ternyata tidak muncul lagi, maka Ciok Jing bertiga
diiringi oleh Ban-li sendiri bersama seorang sutenya yang bernama Liok
Ban-thong. Sekali ini Ciok Boh-thian juga disilakan duduk dan disuguhi arak.
Dengan alasan minum arak untuk bikin hangat badan, berulang-ulang Ban-li
menyilakan tamunya penghabisan isi cawan sehingga Bin Ju sampai-sampai
menghabiskan tiga cawan.
Sekonyong-konyong terasa suatu
arus panas menaik dari dalam perut, menyusul dada pun terasa panas sebagai
dibakar, cepat Bin Ju mengerahkan lwekang untuk bertahan, katanya dengan
tertawa, “Hong-hiante, arakmu ini sungguh lih... lihai!
Agaknya Ciok Jing juga
merasakan hebatnya arak itu, mendadak ia berbangkit dan membentak, “Arak apakah
ini?”
“Ini adalah som-yang-ciu (arak
kolesom) yang memang agak keras sedikit tapi rasanya tak sampai memabukkan
Hian-soh-siang-kiam, bukan?” sahut Ban-li dengan tertawa.
Dengan suara bengis Ciok Jing
membentak pula, “Kau... kau....” tapi mendadak tubuhnya menggeliat dan akan
jatuh.
Cepat Bin Ju dan Ciok
Boh-thian berbangkit dan bermaksud memayang Ciok Jing, tak terduga mereka
berdua berbareng juga merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang. Sekaligus
mereka pun roboh dan terduduk kembali di tempatnya masing-masing tak sadarkan
diri.
Entah berselang berapa lama,
dengan lwekang Ciok Boh-thian yang kuat itu perlahan-lahan ia siuman lebih
dulu. Semula ia mengira di dalam mimpi saja, perlahan-lahan ia
menggerak-gerakkan tangannya dan bermaksud menahan tubuhnya untuk berduduk,
sekonyong-konyong terasa kedua tangannya terkatup oleh sesuatu benda yang keras
dan dingin. Ia terkejut, pikirannya lantas jernih seketika.
Maka tahulah dia bahwa kaki
dan tangannya telah terbelenggu semua. Waktu ia membuka mata, ternyata keadaan
gelap gulita dan tidak mengetahui di mana ia berada. Ia coba berdiri dan
melangkah ke depan, tapi baru dua tindak saja, “blang”, batok kepalanya lantas
membentur dinding yang keras.
Ia coba tenangkan diri sambil
raba-raba kepalanya yang benjut Perlahan-lahan ia meraba-raba dinding di
sekelilingnya, kiranya dia terkurung di dalam sebuah kamar batu yang kecil.
Keadaan gelap gulita, hanya pada ujung kiri sana remang-remang ada cahaya yang
menembus masuk. Ketika diperiksa, kiranya adalah sebuah lubang sebesar belasan
senti, jangankan manusia, anjing pun susah menerobos lewat. Ia coba ketok-ketok
dinding batu dengan borgol di tangannya itu sehingga mengeluarkan suara
gemerantang yang nyaring, nyata dinding batu itu sana tebal dan kukuh.
Boh-thian duduk bersandarkan
dinding dan mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi, “Mengapa aku bisa
sampai di sini? Apa barangkali arak kolesom yang mereka suguhkan itu dicampur
dengan obat tidur sehingga Ciok-cengcu suami-istri juga jatuh pingsan di tempat
perjamuan itu. Tampaknya orang-orang Swat-san-pay berkeras akan membunuh Ciok
Tiong-giok, khawatir kalau Ciok Jing berdua membelanya, maka mereka perlu
dipulaskan lebih dulu dengan obat tidur. Tapi mengapa mereka belum membunuh
aku? Ah, besar kemungkinan karena Wi-tek Siansing sedang sakit, mereka sengaja
mengurung kami untuk beberapa hari lagi dan akan diputuskan sendiri oleh Wi-tek
Siansing bila sakitnya sudah sembuh.”
Lalu terpikir pula olehnya,
“Bilamana Wi-tek Siansing tanya padaku, asal aku mengatakan bahwa aku adalah
Kau-cap-ceng dan bukan Ciok Tiong-giok, kukira dia pasti akan membebaskan
diriku. Tapi Ciok-cengcu berdua belum tentu akan dibebaskan olehnya, boleh jadi
akan tetap dipenjarakan sebagai sandera sampai tertangkapnya Ciok Tiong-giok
yang tulen. Selama dipenjarakan, orang halus dan suka bersih sebagai Ciok-hujin
apakah tahan di tempat yang gelap dan kotor seperti ini, wah, entah betapa dia
akan merana. Cara bagaimanakah aku harus mencari suatu akal untuk menolong
Ciok-hujin dan Ciok-cengcu, habis itu barulah aku akan bicara menurut aturan
dengan Pek-loyacu.”
Demi teringat harus bertempur
seketika ia menjadi sedih pula, padahal dirinya sekarang dalam keadaan
terborgol dan memerlukan pertolongan orang lain, cara bagaimana pula dapat
pergi menolong Ciok-cengcu berdua? Di dalam Leng-siau-sia ini adalah
orang-orang Swat-san-pay semua, siapa yang mau menolongnya?
Ia coba meronta dan
membetot-betot borgol itu, tapi hanya terdengar suara gemerencing rantai saja,
kiranya di antara borgol tangan dan kaki itu tersambung pula beberapa utas
rantai besi.
Pada saat itulah mendadak dari
lubang kecil di dinding tadi ada cahaya lampu menembus masuk. Ada orang
mendekati kamar batu itu dengan membawa pelita. Menyusul dari luar lubang
dinding itu terlihat disodorkan masuk sebuah kuali kecil yang berisi setengah
kuali nasi, di atas nasi terdapat beberapa iris sayur asin, sepasang sumpit
tertancap di atas nasi pula.
Boh-thian tidak pikirkan lagi
tentang pura-pura menjadi gagu segala, segera ia berteriak, “He, he! Aku ingin
bicara dengan Pek-loyacu, lekas sampaikan kepada beliau!”
Tapi orang di luar itu hanya
mendengus saja tanpa menjawab. Sinar pelita tadi lambat laun menjadi pudar dan
akhirnya lenyap. Ternyata orang itu telah pergi tanpa menggubris permintaan
Boh-thian.
Terendus bau sedapnya nasi
barulah Boh-thian ingat perutnya sudah lapar. Padahal ia ingat sudah makan
cukup banyak dalam perjamuan itu, mengapa sekarang sudah lapar sekali. Rupanya
waktu tak sadar dan terkurungnya di kamar batu itu sudah cukup lama.
Tanpa pikir lagi segera ia
pegang kuali nasi itu, sumpit lantas bekerja dan makan dengan lahap, hanya
sekejap saja isi kuali itu sudah disapu bersih ke dalam perutnya. Habis makan
ia taruh kuali kosong itu di tempatnya semula.
Beberapa kali ia coba membetot
lagi, tapi borgol di kaki-tangannya itu ternyata terbuat dari baja, biarpun ia
mengerahkan segenap lwekangnya juga susah mematahkannya, sebaliknya pergelangan
tangan dan kaki sendiri yang kesakitan dan lecet. Ia coba meraba daun pintu
kamar batu itu, akhirnya ia menemukan garis celah-celah pintu, sekuatnya ia
mendorong dengan pundak, tapi pintu batu tidak bergerak sedikit pun.
Boh-thian menjadi putus asa
dan menerima nasib di samping mengkhawatirkan keselamatan Ciok Jing dan
istrinya. Daripada susah-susah akhirnya ia tidak mau pikir lagi, dengan
bersandarkan dinding ia pejamkan mata dan tidur.
Di dalam kamar tahanan yang
gelap gulita itu susah diketahui sudah lewat berapa lamanya, besar kemungkinan
sudah menunggu satu hari barulah ada orang mengantarkan nasi lagi. Terlihat
sebuah tangan menjulur masuk dari luar lubang dinding untuk mengambil kuali
kosong.
Sekilas benak Ciok Boh-thian
timbul suatu akal. Ketika orang itu memasukkan makanan pula, secepat kilat
Boh-thian menubruk maju, di tengah gemerencingnya rantai besi, tahu-tahu
pergelangan tangan orang itu sudah terpegang.
Dengan kim-na-jiu-hoat
ditambah lwekang yang lihai, sekali tangannya sudah dipegang Ciok Boh-thian,
biarpun tokoh terkemuka di dunia persilatan juga tidak tahan, apalagi sekarang
hanya seorang pengantar makanan biasa saja?
Keruan orang di luar itu
kaget, saking kesakitan ia menjerit laksana babi hendak disembelih. Ketika Ciok
Boh-thian sedikit menarik, seluruh lengan orang itu telah kena diseret masuk ke
dalam, bentaknya, “Jangan berteriak, kalau berteriak lagi segera kubetot putus
lenganmu!”
Terpaksa orang itu minta
ampun, “Tidak, aku takkan berteriak lagi. Lek... lekas engkau melepaskan
tanganku!”
“Buka dulu pintu kamar batu
ini, lepaskan aku keluar,” sahut Boh-thian.
“Baik, lepaskan tanganku, biar
kubuka pintunya,” kata orang itu.
“Sekali kulepaskan tentu kau
akan lari, tidak dapat kulepaskan tanganmu,” ujar Boh-thian.
“Habis, cara bagaimana aku
dapat membukakan pintunya?” jawab orang itu.
Boh-thian pikir benar juga
alasan orang itu. Kalau melulu memegangi tangannya saja terang tak berguna.
Tapi dengan susah payah tangan orang sudah kena dipegang, masakah sekarang
lantas dilepaskan begitu saja?
Tiba-tiba ia mendapat akal
pula, katanya, “Lekas serahkan kunci borgol kaki-tanganku ini!”
“Kunci?” orang itu menegas.
“Wah, buk... bukan aku yang memegang kuncinya. Hamba cuma seorang pengantar
ransum saja.”
Boh-thian merasa curiga atas
pada jawaban orang. Ia pikir toh sudah tiada jalan lain, terpaksa orang ini
harus didesak terus. Segera ia genggam lebih keras sambil berkata, “Baiklah,
biar kupatahkan dulu tanganmu dan urusan belakang!”
Keruan orang itu berkuik-kuik
kesakitan pula. Di luar dugaan, sesudah mengaduh-aduh beberapa kali, akhirnya
terdengar suara nyaring, sebuah kunci telah terlempar masuk.
Ternyata orang itu sangat
licin sekali, dia sengaja melemparkan kunci ini jauh-jauh sehingga tangan
Boh-thian tidak sampai untuk mengambilnya. Jika mau ambil kunci itu terpaksa
pemuda itu harus melepaskan dulu tangannya.
Jilid 39
Seketika Boh-thian menjadi
bingung juga. Sambil membetot sekuatnya tangan orang itu Boh-thian mengulurkan
sebelah kakinya ke belakang untuk meraih kunci borgol itu. Namun meski lengan
orang itu sudah terbetot sampai-sampai hampir copot dari ruasnya toh masih
belum bisa mencapai kunci itu. Sebaliknya orang itu menjerit-jerit kesakitan
pula seperti babi, “Aduh, aduuuh! Jangan tarik lagi, kalau tarik lagi tanganku
tentu putus!”
Melihat kaki sendiri tidak
bisa mencapai tempat kunci, tiba-tiba Boh-thian mendapat akal pula, cepat ia
menanggalkan sebelah sepatunya sendiri, ia incar dinding sebelah sana, lalu
sepatu itu ditimpukkan sekuatnya. Ketika sepatu itu membentur dinding dan
terpental balik, dengan tepat kunci yang terletak di tanah itu juga tersampuk
dan terbawa ke sebelah sini.
Boh-thian sampai bersorak
saking senangnya karena akalnya mencapai hasil yang diharapkan. Segera ia
jemput kunci itu dan memakai kembali sepatunya. Secara bergantian ia membuka
kedua belah borgol tangannya. Habis itu mendadak “krek”, ia gunakan borgol itu
untuk membelenggu tangan orang itu.
Keruan orang itu terkejut.
“He, ap... apa yang kau lakukan?” serunya takut.
“Sekarang bolehlah kau
membukakan pintu kamar tahanan ini,” kata Boh-thian dengan tertawa sambil
mengeluarkan rantai borgol.
Tapi orang itu masih
ragu-ragu, Boh-thian menjadi tidak sabar, ia tarik rantai borgol sehingga
lengan orang itu terseret ke dalam lubang lagi. Rupanya agak keras juga tenaga
yang digunakan Ciok Boh-thian sehingga muka orang itu tertumbuk dinding, kontan
batok kepalanya benjut dan hidung keluar kecapnya.
Orang itu sadar tidak dapat
membangkang lagi, terpaksa sambil menyeret rantai borgol ia membukakan pintu
kamar batu itu. Akan tetapi ujung rantai yang lain masih terikat pada borgol
kaki Ciok Boh-thian, meski pintu sudah terbuka, namun kedua ujung rantai besi
itu menembus lubang dinding batu dan terikat pada tangan dan kaki dua orang,
jadi Ciok Boh-thian tetap tidak dapat keluar.
“Coba serahkan kunci borgol
kakiku ini,” kata Boh-thian sambil menarik rantai borgol tangan orang itu.
“Aku benar-benar tidak
memegang kuncinya,” sahut orang itu dengan wajah sedih. “Hamba benar-benar cuma
seorang pengantar makanan saja dan tidak berkuasa memegang kunci.”
“Baiklah, jika begitu
tunggulah sesudah aku keluar dahulu,” kata Boh-thian. Segera ia tarik pula
lengan orang itu ke dalam lubang dan membukakan borgolnya.
Begitu tangannya terlepas dari
borgol, dengan cepat orang itu lantas berlari ke sana dan bermaksud menutup
kembali pintunya. Akan tetapi semuanya ini sudah dalam perhitungan Ciok
Boh-thian, secepat kilat ia sudah melompat ke sana dan menyelinap keluar pintu.
Sekali cengkeram segera ia bekuk kuduk orang itu dan diangkat ke atas.
Ia lihat orang itu berjubah
putih, badannya kekar, mukanya cerdas, terang adalah anak murid Swat-san-pay
dan bukan pengantar nasi saja seperti pengakuannya tadi. Segera ia
membentaknya, “Kau mau buka borgol kakiku atau tidak? Atau kau minta kutumbukkan
kepalamu di atas dinding batu ini?”
Sebenarnya ilmu silat orang
itu juga tidak lemah, tapi kebentur di tangan Ciok Boh-thian orang itu menjadi
seperti anak ayam dicengkeram oleh elang, sedikit pun tidak dapat berkutik.
Tiada jalan lain terpaksa ia mengeluarkan kunci dan membuka borgol kaki pemuda
itu.
“Di mana kalian telah
mengurung Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, lekas membawa aku ke sana,” bentak
Boh-thian.
“Sebenarnya Swat-san-pay tiada
permusuhan apa-apa dengan Hian-soh-ceng, maka Ciok-cengcu suami-istri sudah
pergi tanpa cedera sesuatu apa pun,” sahut orang itu.
Boh-thian merasa sangsi,
sekilas dilihatnya orang itu melirik ke arah pintu yang terletak di ujung
lorong sebelah sana, ia pikir orang ini tentu berdusta, boleh jadi Ciok-cengcu
berdua terkurung di kamar sana.
Segera ia menyeret orang itu
ke depan pintu batu itu, lalu bentaknya, “Lekas membuka pintu ini.”
Air muka orang itu tampak
berubah pucat, katanya, “Aku... aku tidak punya kuncinya! Yang terkurung di
dalam ini bukan... bukan manusia, tapi adalah... adalah seekor singa dan dua
ekor macan, jika dibuka tentu bisa celaka.”
Boh-thian merasa heran bahwa
yang terkurung di dalam situ adalah singa dan harimau, ia coba menempelkan
telinganya ke pintu dan mendengarkan dengan cermat, tapi tak terdengar sesuatu
suara binatang-binatang buas itu.
“Engkau toh sudah terlepas,
silakan lekas melarikan diri saja, jika tinggal lebih lama di sini,
jangan-jangan akan dipergoki orang dan mungkin engkau akan tertangkap pula,”
demikian kata orang itu setengah menakut-nakuti.
Boh-thian pikir kau toh bukan
kawanku, mengapa sedemikian baik hatimu memikirkan keselamatanku? Padahal tadi
aku minta dibukakan borgol saja kau tidak mau, sekarang malah suruh aku lekas
melarikan diri. Jangan-jangan Ciok-cengcu berdua memang benar-benar dikurung di
dalam kamar ini.
Segera ia angkat tubuh orang
itu, ia benturkan kepalanya dengan perlahan di dinding batu, lalu bertanya,
“Kau mau buka pintu tidak? Atau minta kepalamu pecah? Hm, aku justru ingin tahu
macam apa singa dan harimau yang kau katakan itu.”
“Ai, binatang-binatang itu
sangat buas, sudah beberapa hari tidak diberi makan, bila melihat manusia nanti
pasti akan terus menerkam....”
Karena buru-buru ingin
menolong Ciok Jing dan istrinya, Boh-thian merasa sebal akan ocehan orang,
tanpa menunggu selesai uraiannya segera ia jungkirkan tubuh orang itu dan
dikocok-kocok untuk memaksanya menurut. Di luar dugaan lantas terdengar suara
gemerencing nyaring, dari baju orang itu telah terjatuh dua buah kunci.
Boh-thian sangat girang,
segera ia lemparkan orang itu ke tanah dan cepat menjemput kunci-kunci itu
untuk membuka pintu batu. Benar juga, hanya sekali putar saja segera kunci
pintu itu terbuka.
Dalam pada itu orang tadi
telah menjerit kesakitan, cepat ia merangkak bangun dan segera putar tubuh
hendak angkat langkah seribu.
Namun Boh-thian tidak memberi
kesempatan padanya. Ia pikir kalau orang ini sampai lari keluar dan memanggil
kawan, tentu akan banyak menimbulkan kesukaran lagi. Secepat terbang Boh-thian
lantas memburu maju, sekali jambret segera orang itu diseretnya terus
dijebloskan ke dalam kamar tahanannya sendiri tadi, sekalian ia lemparkan
borgol kaki dan tangan beserta rantainya ke dalam dan menutup pintunya, bahkan
dikunci pula dari luar. Habis itu barulah ia kembali ke kamar batu di ujung
lorong sana.
“Ciok-cengcu! Ciok-hujin!
Apakah kalian berada di sini?” seru Boh-thian sambil melongok ke dalam kamar.
Tapi tak terdengar suara
jawaban apa-apa. Ia coba pentang pintu lebih lebar, ternyata di dalam tiada
terdapat seorang pun. Sebaliknya kira-kira dua-tiga meter di sebelah sana
terdapat sebuah pintu pula. Pikirnya, “Ya, pantas ada dua buah kunci.”
Segera ia menggunakan kunci
yang lain untuk membuka pintu kedua, baru saja pintu itu terbuka sedikit dan
belum lagi ia bersuara, tiba-tiba terdengarlah ada orang sedang mencaci maki di
dalam situ, “Jahanam keparat, haram jadah! Akan kusembelih dan potong-potong
kalian agar kalian sekarat setengah mampus....” dan di samping itu terdengar
pula suara gemerencingnya rantai besi.
Suara caci maki orang itu
kedengaran sangat berat, rupanya tenggorokannya serak, sama sekali bukan logat
orang Kanglam sebagaimana suaranya Ciok Jing. Maka percayalah Boh-thian bahwa
Ciok Jing dan istrinya memang tidak dipenjarakan di situ. Tapi lantas terpikir
olehnya mengapa tidak membebaskan sekalian orang yang ditawan Swat-san-pay ini.
Karena itu ia lantas berseru, “He, kau tidak perlu memaki lagi, biar kutolong
kau keluar dari sini!”
Namun orang itu masih terus
memaki, “Huh, kau kutu macam apa? Berani mengaco-belo dan menipu Locu? Apa kau
minta kupuntir putus lehermu....”
Boh-thian merasa geli dan
anggap perangai orang benar sangat kasar. Tapi ia pun maklum, siapa pun kalau
dikurung di tempat demikian tentu akan merasa sebal dan tertekan pantas kalau
orang ini pun marah-marah.
Ia lantas melangkah ke dalam
kamar dan berkata, “Apakah engkau juga diborgol dan dirantai oleh mereka?”
Tapi baru sekian ia berkata,
dalam kegelapan sekonyong-konyong sesuatu benda yang berat terasa mengepruk
dari atas. Cepat Boh-thian berkelit ke samping, namun belum lagi dia berdiri
kuat, tahu-tahu hiat-to penting di bagian punggung sudah kena dicengkeram
orang, menyusul lehernya lantas dicekik oleh sebuah lengan yang besar dan kuat,
makin lama makin kencang sehingga napasnya sesak seketika, telinganya sampai mendenging-denging
dan mata mulai berkunang-kunang, sebaliknya terdengar pula suara caci maki
orang itu.
Sama sekali Boh-thian tidak
menduga bahwa di dalam kamar tahanan situ akan terdapat jago selihai itu.
Sekali kena didahului orang, seketika ia pun tak berdaya, diam-diam ia hanya
mengeluh dan sedapat mungkin mengerahkan tenaga ke bagian lehernya untuk
melawan cekikan lengan orang itu.
Meski daging bagian
tenggorokan cukup lemas dan tidak sekuat lengan, tapi lwekang Ciok Boh-thian
teramat hebat, semakin bertempur semakin kuat, di mana tenaganya sampai, tangan
orang itu ternyata dapat ditolak agak kendur. Cepat Boh-thian mengambil napas,
ketika lengan orang itu hendak mengait kembali dengan lebih kencang, tanpa ayal
lagi tangan kanan Ciok Boh-thian lantas digunakan untuk menarik, berbareng
kepalanya lantas memberosot ke bawah sambil melompat mundur.
“Hai, dengan maksud baik aku
hendak menolong kau keluar, mengapa tanpa bertanya engkau menyerang aku malah?”
seru Boh-thian dengan mendongkol.
“Eh, sia... siapa kau? Boleh
juga ya kepandaianmu?” demikian orang itu sangat terkejut sambil memandang
Boh-thian dengan mata terbelalak lebar. Selang sejenak, kembali ia bersuara
heran, lalu membentak, “Anak busuk, siapa kau?”
“Aku... aku....” seketika Ciok
Boh-thian menjadi bingung untuk menjawab apa mesti mengaku bernama Kau-cap-ceng
atau tetap memalsukan nama Ciok Tiong-giok?
“Ya, kau dengan sendirinya
adalah kau, masakah tidak punya nama?” semprot orang itu.
“Loyacu, biar kutolong kau
keluar dahulu, segala urusan boleh kita bicarakan nanti,” ujar Boh-thian.
“Apa? Kau hendak menolong aku?
Hahaaah! Apakah gigi orang seluruh dunia ini takkan copot semua menertawakan
kau? Hahaha, siapakah aku ini? Dan macam apakah kau itu? Huh, hanya sedikit
kepandaianmu yang mirip cakar ayam saja mampu menolong aku?”
Dari dekat sekarang Boh-thian
dapat melihat orang itu sudah tua, jenggotnya sudah putih, tubuhnya tinggi
besar tapi agak bungkuk seakan-akan kamar batu yang kecil ini kurang tinggi
bagi tubuhnya yang tegap itu, kedua matanya lekuk ke dalam, tapi sorot matanya
tajam berwibawa.
Boh-thian sampai mengirik
ketika sinar mata orang itu menyapu kian-kemari di atas mukanya. Pikirnya,
“Orang Swat-san-pay tadi bilang di kamar ini terkurung singa dan harimau,
melihat macamnya orang ini ternyata benar-benar mirip seekor binatang buas.”
Ia tidak berani banyak bicara
lagi padanya, segera katanya, “Loyacu, biar kupergi mencari kunci untuk membuka
borgolmu.”
Orang tua itu menjadi gusar,
dampratnya, “Aku tidak perlu, aku sendiri suka tinggal tirakat di sini, kalau
tidak, di dunia ini siapa yang mampu mengurung aku? Huh, kau bocah ini
barangkali tidak punya mata, masakah anggap aku dikurung orang di sini? Hehe,
untung saat ini Yaya lagi sabar, kalau tidak tentu badanmu sudah
kurobek-robek.”
Ketika kedua tangannya
digoyang-goyangkan, terdengarlah suara gemerencing rantai borgolnya. Lalu
ditambahkannya, “Ini, sekali Yaya sudah murka, apa artinya rantai-rantai
seperti ini, apa gunanya borgol-borgol ini, hm, dalam pandanganku tidak lebih
seperti tahu yang empuk.”
Sudah tentu Boh-thian tidak
mau percaya, ia pikir tutur kata orang ini kok mirip orang gila, tapi
kepandaiannya sangat tinggi pula, akan kutolong berbalik aku hendak dipentung.
Lebih baik kutinggal pergi untuk mencari Ciok-cengcu saja. Maka katanya
kemudian, “Baiklah, jika begitu biar aku pergi saja dari sini!”
“Pergi ya pergi, lekas enyah
kau! Selamanya Yaya malang melintang di dunia ini tanpa ketemu tandingan
masakah mengharapkan pertolongan bocah ingusan macam kau? Hahaha, benar-benar
lucu, sungguh menggelikan....”
“Ya, sudah, maaf, maaf!” kata
Boh-thian sambil mengundurkan diri dan perlahan-lahan merapatkan kembali daun
pintu.
Jalan lorong itu cukup
panjang, Boh-thian menyusur ke sana dan membelok satu kali, sesudah belasan
meter lagi barulah sampai di ujung. Tertampak di kanan-kiri masing-masing
terdapat sebuah pintu. Ia coba mendorong pintu sebelah kiri, tapi tertutup
kencang, waktu mendorong pintu yang lain dengan mudah saja pintu itu lantas
terpentang. Kiranya di situ adalah sebuah ruangan. Tidak seberapa jauh memasuki
ruangan itu lantas terdengar dari arah kiri sana ada suara beradunya senjata,
agaknya pertempuran cukup sengit.
“Kiranya Ciok-cengcu sedang
bertempur dengan orang di sini,” demikian pikir Boh-thian. Segera menuju ke
arah datangnya suara. Akan tetapi ia tidak menemukan pintu yang menuju ke
tempat suara pertempuran itu. Karena khawatirkan keselamatan Ciok Jing dan Bin
Ju, ketika dilihatnya dinding papan di sebelah sana tidak terlalu tebal, segera
ia menumbuknya dengan bahunya dan kontan dinding papan itu jebol.
Seketika suara nyaring
beradunya senjata tambah keras dan ramai. Kiranya di situ juga sebuah ruangan,
empat laki-laki berjubah putih dan berpedang sedang mengerubut dua orang
wanita.
Sesudah mengenali kedua orang
wanita itu, tanpa merasa Boh-thian terus berteriak, “He, Suhu, A Siu! Kalian
berada di sini?!”
Kiranya kedua wanita itu
tak-lain-tak-bukan adalah Su-popo dan cucu perempuannya, si A Siu.
Su-popo memakai golok dan A
Siu memutar sebatang pedang, dengan rambut kusut kedua orang sedang melawan
kerubutan empat murid Swat-san-pay. Baju nenek dan cucu itu tampak berlepotan
darah, agaknya sudah terluka, keadaannya cukup mengkhawatirkan. Mereka mendengar
juga seruan Ciok Boh-thian, tapi serangan-serangan keempat lawannya terlalu
gencar sehingga tidak sempat menoleh. Bahkan lantas terdengar jeritan kaget A
Siu, pundaknya tertusuk musuh pula.
Walaupun tidak bersenjata,
tanpa pikir Ciok Boh-thian lantas menerjang maju, kontan punggung orang yang
sedang mencecar A Siu itu hendak dicengkeramnya. Cepat orang itu berkelit dan
balas menebas dengan pedangnya.
Mendadak tangan kanan Ciok
Boh-thian menyampuk pula sehingga pedang orang itu terguncang ke samping,
menyusul tangan kiri Ciok Boh-thian lantas menggaplok ke arah seorang tua yang
lain. Namun orang tua itu ternyata tidak kalah cepatnya tahu-tahu pedangnya
sudah mendahului menusuk perut Boh-thian.
Serangan itu benar-benar
sangat lihai dan cepat, untung Boh-thian tempo hari sudah mendapat didikan
Su-popo, terhadap intisari ilmu pedang Swat-san-pay sudah dipahami dengan baik,
diketahui bahwa serangan si orang tua adalah jurus yang bernama
“Leng-sing-song-bwe” (Sepasang Pohon Bwe di Atas Bukit), mestinya cuma satu
jurus, tapi mempunyai dua gerakan, tusukan pertama segera disusul dengan
tusukan kedua. Maka cepat Boh-thian mengerutkan perutnya ke belakang untuk
menghindar, menyusul tangan kiri lantas mengebut ke bawah, jarinya segera
menyelentik.
Benar juga, saat itu tusukan
kedua si orang tua sedang dilancarkan sehingga pedangnya seakan-akan sengaja
disodorkan untuk diselentik Ciok Boh-thian. Maka terdengarlah suara “tring”
sekali, kontan pedang itu patah menjadi dua.
Separuh tubuh si orang tua
sampai kesemutan karena getaran tenaga selentikan itu, tanpa kuasa lagi
setengah potong pedang juga terlepas dari cekalan, cepat ia melompat mundur
dengan muka pucat.
Boh-thian tidak mendesak lebih
jauh, orang yang sedang menyerang A Siu lantas kena dicengkeram terus diangkat
dan dijujukan ke arah pedang kawannya yang datang hendak menolong.
Keruan orang itu terkejut dan
cepat menarik kembali senjatanya. Kesempatan itu tidak disia-siakan Boh-thian,
kontan ia menghantam dan tepat mengenai dadanya, orang itu terhuyung-huyung
mundur dan akhirnya jatuh terduduk.
Menyusul Boh-thian lantas
melemparkan tawanannya ke arah orang keempat. Orang itu sedang melabrak Su-popo
dengan mati-matian, ia menjadi kaget dan tidak sempat menghindar lagi, ia kena
ditumbuk dengan keras oleh tubuh kawannya sendiri, kedua orang sama-sama muntah
darah dan menggeletak tak sadarkan diri.
Hanya dalam sekejap saja
keempat orang itu telah dirobohkan semua oleh Ciok Boh-thian, hanya si orang
tua saja yang belum terluka. Namun nyalinya menjadi pecah juga demi menyaksikan
ketangkasan Boh-thian yang lihai itu. “Kau... kau....” demikian entah apa yang
hendak dikatakannya, mendadak ia putar tubuh terus hendak lari.
“Jangan membiarkan dia lari!”
seru Su-popo.
Cepat Boh-thian melompat maju,
sekali kakinya menyapu, kontan orang tua itu terjungkal, kedua lutut kakinya
keseleo semua dan tak bisa bangun.
“Bagus, muridku yang bagus!
Murid pertama dari Kim-oh-pay kita memang benar-benar hebat!” seru Su-popo
dengan tertawa.
Wajah A Siu tampak putih
pucat, sepasang matanya memandang Boh-thian dengan sayu merawan, nyata sekali
hatinya sangat girang.
“Suhu, A Siu, sungguh tidak
nyana dapat berjumpa dengan kalian di sini,” kata Boh-thian.
Buru-buru Su-popo membalut
luka si A Siu, menyusul nona itu pun merobek ujung bajunya sendiri untuk
membalut luka sang nenek. Syukurlah luka kedua orang tidak parah sehingga tidak
menjadi halangan.
“Tempo hari waktu aku
kehilangan kalian di Ci-yan-to, sungguh aku merasa sangat kesepian, sekarang
kita telah berjumpa pula, paling baik paling baik untuk selanjutnya kita jangan
berpisah lagi,” demikian kata Boh-thian.
Muka A Siu yang pucat itu
seketika bersemu merah dan menunduk malu. Ia tahu sifat Ciok Boh-thian yang
tulus jujur dan tidak pandai bicara. Apa yang diucapkan itu jelas timbul dari
lubuk hatinya yang murni, walaupun dirasakan malu juga karena pemuda itu
terang-terangan menyatakan isi hatinya di depan sang nenek, tapi tidak urung
hati A Siu merasa sangat senang.
Su-popo tertawa mengekek,
katanya, “Jika kau sudah berjasa besar, hal ini bukan mustahil akan terlaksana
dan boleh anggap nenek sendiri yang telah meluluskan permintaanmu.”
Kepala A Siu makin menunduk,
mukanya tambah merah lantaran malu.
Sebaliknya Ciok Boh-thian
masih belum tahu bahwa ucapan Su-popo itu berarti telah menerima lamarannya.
Dengan bingung ia malah tanya, “Suhu meluluskan permintaanku soal apa?”
“Aku mengizinkan cucu
perempuanku ini menjadi istrimu, kau mau tidak? Kau ingin tidak? Kau suka
tidak?” kata Su-popo dengan tertawa.
Boh-thian terkejut campur
girang. “Aku... aku sudah tentu suka....” sahutnya dengan tergagap-gagap.
“Tapi kau harus berjuang dan
berjasa dahulu,” kata Su-popo. “Sekarang Swat-san-pay sedang terjadi huru-hara,
kita harus pergi menolong satu orang dahulu.”
“Ya, memangnya aku hendak
menolong Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, marilah kita lekas pergi mencarinya,”
sahut Boh-thian. Teringat keadaan Ciok Jing suami-istri dalam keadaan bahaya,
seketika hatinya menjadi gelisah sehingga urusan A Siu tak terpikir lagi.
“Apakah Ciok Jing dan istrinya
juga sudah datang di sini?” tanya Su-popo. “Kita harus mengamankan
pemberontakan dahulu, soal Ciok Jing berdua adalah urusan biasa saja. A Siu,
binasakan saja keempat orang ini!”
Segera A Siu menghunus pedang
dan melangkah maju. Tiba-tiba dilihatnya si orang tua yang kedua kakinya
keseleo tadi sedang duduk bersandarkan dinding, sorot matanya penuh mengunjuk
rasa minta diampuni. Maka A Siu menjadi tidak sampai hati untuk membunuhnya.
Katanya, “Nenek, beberapa orang ini bukanlah biang keladinya, mereka hanya
ikut-ikutan saja, sementara ini biarlah diampuni dahulu, nanti sesudah
diperiksa dan jika memang bersalah barulah dibunuh.”
“Ya, sudah! Hayo lekas, jangan
sampai bikin runyam urusan, lekas berangkat!” sahut Su-popo. Segera ia
mendahului melangkah pergi dan disusul oleh Boh-thian dan A Siu.
Cepat sekali Su-popo menyusur
serambi dan melintasi ruangan-ruangan, setiap kali ada orang datang dari depan
mereka lantas sembunyi di pojok atau di belakang pintu untuk menghindar,
tampaknya nenek itu hafal sekali terhadap setiap kamar dan ruangan di situ.
Boh-thian jalan berjajar
dengan A Siu dari belakang, dengan suara tertahan ia tanya si nona, “Suhu suruh
aku berjuang dan berjasa apa? Siapakah yang akan ditolong?”
Baru saja A Siu akan menjawab,
tiba-tiba terdengar suara tindakan yang ramai, dari depan telah mendatangi lima
atau enam orang.
Lekas Su-popo sembunyi di
balik sebuah tiang yang besar. Segera A Siu juga menarik Boh-thian untuk
sembunyi di belakang pintu.
Beberapa orang itu sambil
berjalan sembari mengobrol. Kata seorang di antaranya, “Sesudah bergotong
royong bersama-sama dan dapat mengurung si tua gila itu barulah kita merasa
lega. Selama beberapa hari ini hidup kita benar-benar sangat tertekan dan
terancam.”
“Ya, selama Si Gila itu belum
binasa, selalu pula kita belum bebas dari ancaman,” kata seorang lagi.
“Ce-supek masih ragu-ragu saja, bukan mustahil bisa membikin urusan menjadi
runyam malah.”
Segera seorang dengan suara
kasar menanggapi, “Memangnya, daripada kerja kepalang tanggung, mestinya kita
bereskan Ce-supek sekalian!
“Hus,” bentak seorang kawannya
dengan suara tertahan. “Kata-kata demikian masakah boleh kau ucapkan dengan
keras? Jika didengar oleh anak muridnya Ce-supek, sebelum kita menumpas mereka
boleh jadi buah kepalamu sudah berpisah dengan kau.”
Orang yang bersuara kasar itu
rupanya menjadi penasaran, sahutnya, “Kalau perlu biar kita coba-coba dengan
mereka, masakah kita pasti kalah?”
Begitulah orang-orang itu
makin menjauh. Ciok Boh-thian yang berjubelan sembunyi di belakang pintu
bersama A Siu dapat merasakan badan anak dara itu rada gemetar. Dengan
berbisik-bisik ia tanya, “Apakah kau takut, A Siu?”
“Ya, aku agak takut,” sahut si
nona. “Jumlah mereka sangat banyak mungkin kita tak dapat melawan mereka.”
Dalam pada itu Su-popo telah
keluar dari tempat sembunyinya dan berseru tertahan kepada mereka, “Ayo,
lekas!”
Segera ia mendahului menyusur
ke depan dengan cepat.
Sesudah melalui sebuah
pelataran luas dan menembus sebuah serambi yang panjang, akhirnya mereka sampai
di suatu taman bunga yang luas. Taman itu penuh salju, hanya kelihatan sebuah
jalanan kecil dari batu-batu kecil menembus ke suatu ruangan tertutup.
Su-popo mendekam di balik
sebatang pohon, ia comot segumpal salju, sesudah dikepal segera disambitkan
keluar ruangan tertutup tadi, “plok” batu salju itu jatuh di tanah dan
mengejutkan dua orang penjaga yang berdiri di samping ruangan itu. Cepat mereka
berlari datang untuk memeriksa dengan pedang terhunus.
Menunggu kedua orang itu sudah
dekat, sekonyong-konyong Su-popo melompat keluar, goloknya menebas dua kali
dengan cepat luar biasa. Kontan leher kedua orang itu tertebas, tanpa bersuara
sedikit pun kedua orang itu terjungkal binasa.
Untuk pertama kalinya Ciok
Boh-thian menyaksikan Su-popo membunuh orang secara ganas, tanpa merasa bulu
romanya sama berdiri. Selang sejenak baru teringat olehnya bahwa jurus serangan
Su-popo tadi pernah juga diajarkan padanya di Ci-yan-to tempo hari, jurus itu
bernama “Cay-au-to” (Golok Menebas Tenggorokan) dan dirinya sudah mahir
menggunakannya, cuma selama ini belum pernah terpikir olehnya bahwa jurus
serangan itu ternyata sedemikian bagus dan cepat untuk membunuh orang.
Ketika dia tenang kembali,
sementara itu Su-popo sudah menyeret kedua mayat ke belakang gunung-gunungan,
lalu dengan enteng sekali ia mendekati jendela ruangan tertutup itu untuk
mendengarkan.
Telinga Ciok Boh-thian amat
tajam, belum dekat dengan jendela itu sudah didengarnya di dalam ruangan itu
ada suara dua orang sedang bertengkar. Meski suara mereka tidak terlalu keras,
tapi terang keduanya sama-sama marah dan tidak mau mengalah.
Terdengar seorang di antaranya
berkata, “Menangkap harimau adalah gampang dan celakalah kalau melepaskannya.
Peribahasa ini tentu kau sudah paham. Urusan ini sudah telanjur kita kerjakan,
sekarang kau menjadi takut malah. Jikalau si tua gila itu sampai lolos keluar,
tentu kita akan mati semua tanpa ampun.”
Diam-diam Boh-thian berpikir,
“Jangan-jangan ‘si tua gila’ yang mereka maksudkan adalah orang tua aneh di
dalam kamar tahanan itu? Tingkah laku orang tua itu memang aneh, aku mau
menolong dia keluar, tapi dia justru tidak mau. Mungkin dia memang benar-benar
orang gila. Ilmu silat orang tua itu memang sangat lihai, pantas kalau semua
orang ini sedemikian takut kepadanya.”
Maka terdengar seorang lain
telah menjawab, “Si Gila itu sudah terkurung di penjara binatang, sekalipun dia
memiliki kepandaian setinggi langit juga tak mampu lolos keluar. Kalau saat ini
kita mau membunuh dia adalah teramat mudah, cuma kita harus menjaga nama baik
kita. Perbuatan durhaka terhadap orang tua demikian mungkin Liau-sute sendiri
tidak ambil pusing, tapi aku tidak berani memikul tanggung jawabnya. Kelak
kalau kita ditanyai kawan-kawan dunia persilatan, lantas cara bagaimana kita
akan menjawab dan ke mana muka kita harus ditaruh?”
“Huh, jika kau takut
bertanggung jawab atas perbuatan durhaka, seharusnya sejak mula kau jangan
menjadi biang keladi urusan ini,” jengek orang pertama yang disebut she Liau itu.
“Sekarang urusan sudah dilaksanakan, kau menjadi menyesal dan ingin mengelakkan
tanggung jawab. Hm, masakan di dunia ini ada soal seenak ini? Pendek kata,
Ce-suko, apa yang kau pikirkan sudah kuketahui, lebih baik kita bicara
blakblakan saja dan tidak perlu pura-pura.”
“Aku mempunyai pikiran apa?
Ha, ucapan Liau-sute benar-benar berduri dan penuh tulang,” sahut orang she Ce.
“Apa maksudnya ucapan
berduri?” kata si orang she Liau. “Sesungguhnya Ce-suko cuma pura-pura baik
hati dan ingin menimpakan perbuatan durhaka ini kepadaku saja. Tujuanmu ialah
satu kali tembak dapat dua burung, supaya kau sendiri bisa enak-enak dan
tenang-tenang naik di atas singgasana.”
“Haha, aneh benar tuduhan
Liau-sute ini!” jawab orang she Ce. “Berdasarkan apa aku ada hak naik ke atas
singgasana? Kalau mesti menurutkan urut-urutan, di atas kita masih ada
Seng-suko dan tidak mungkin jatuh kepada bagianku.”
Mendadak suara seorang yang
lebih tua dan serak menyela, “Kalian bertengkar urusan kalian sendiri dan tidak
perlu menyangkutpautkan diriku.”
“Seng-suko, engkau adalah
orang jujur, kau tidak lebih hanya akan digunakan sebagai tameng oleh Ce-suko,
maka segala sesuatu hendaklah kau pikirkan yang jelas, janganlah dijadikan
boneka sedangkan engkau sendiri masih belum sadar,” demikian kata orang she
Liau.
Boh-thian coba membasahi
kertas perapat jendela dengan air ludahnya, perlahan-lahan ia mengorek sebuah
lubang kecil, lalu mengintip ke dalam ruangan. Ia menjadi terkejut ketika
diketahui bahwa di dalam situ tidak cuma tiga orang yang bicara saja, tapi
masih ada dua-tiga ratus orang lainnya, ada yang berdiri dan ada yang berduduk,
laki-laki dan wanita, ada yang tua dan ada yang masih muda, semuanya berjubah
putih seragam murid Swat-san-pay.
Di tengah ruangan tertampak
ada lima buah kursi besar, kursi yang tengah kosong, keempat kursi di kedua
sampingnya berduduk empat orang. Terdengar ketiga orang tadi masih berdebat tak
henti-hentinya. Dari suara mereka dapat dikenali bahwa yang duduk di sebelah
kiri adalah orang-orang she Seng dan Liau, seorang yang duduk di sebelah kanan
terang she Ce, seorang lagi berwajah putih kurus dan muram durja seakan-akan
baru kematian istri.
Saat itu terdengar orang she
Ce telah menegurnya, “Nio-sute, sejak tadi kau diam saja, sesungguhnya
bagaimana pendapatmu?”
Orang she Nio yang berwajah
muram itu menghela napas, lalu geleng-geleng kepala, kemudian menghela napas
pula dan tetap tidak membuka suara.
“Nio-sute tidak berbicara,
dengan sendirinya ia menyetujui urusan ini,” kata si orang she Ce.
“Kau toh bukan cacing pita di
dalam perut Nio-sute, dari mana kau mengetahui pikirannya?” debat orang she
Liau dengan gusar. “Kita berempat yang telah melakukan urusan ini, seorang
laki-laki sejati, sekali sudah berbuat harus berani bertanggung jawab. Kalau
berani di muka dan takut belakangan, huh, terhitung orang gagah macam apa ini?”
Tapi si orang she menjawab
dengan dingin, “Justru karena kita semua ini takut mati, makanya telah
melakukan kejadian ini, masakah kita dapat disebut sebagai kesatria atau orang
gagah? Lebih tepat kalau dikatakan bahwa kita sudah kepepet sehingga terpaksa
menyerempet bahaya.”
“Ban-li,” sekonyong-konyong si
orang she Liau berseru. “Coba katakan, bagaimana menurut pendapatmu?”
Maka majulah seorang ke depan,
yakni Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li yang buntung sebelah tangannya. Ia memberi
hormat, lalu menjawab, “Tecu tidak mampu menyelesaikan urusan ini sehingga
menimbulkan malapetaka, dosa ini saja sudah diganjar dengan kematian, masakah
sekarang Tecu berani mempunyai pikiran durhaka lagi? Maka Tecu setuju dengan
usul Ce-susiok, jangan sekali-kali turun tangan keji kepada beliau.”
“Aku pernah menyelamatkan
jiwamu, apakah kau sudah lupa?” bentak si orang she Liau dengan gusar.
“Mana mungkin Tecu melupakan
budi kebaikan Susiok,” sahut Ban-li. “Tapi kalau Susiok menyuruh Tecu membunuh
beliau, betapa pun Tecu tidak bisa menurut.”
“Lalu cara bagaimana kau akan
menyelesaikan anak murid Tiang-bun (cabang utama) yang baru pulang itu?” tanya
orang she Liau dengan suara bengis.
“Jika Susiok mengizinkan Tecu
ikut bicara, maka menurut pendapatku sementara ini mereka dapat ditahan dulu
untuk kemudian dicarikan jalan penyelesaiannya,” ujar Ban-li.
“Cari penyelesaian apa? Hehe,
keputusanmu sudah lama disiapkan, masakah aku tidak tahu?” jengek orang she
Liau.
“Apa maksud ucapan Susiok
ini?” tanya Ban-li.
Si orang she Liau menjawab,
“Anak murid Tiang-bun kalian berjumlah banyak, tinggi pula kepandaiannya, sudah
tentu kedudukan ciangbun (ketua) tidak rela diserahkan kepada anak murid dari
cabang lain. Lebih dulu kau ingin menimpakan dosa pendurhakaan atas diriku,
kemudian anak murid cabang empat kami akan kalian bunuh habis, dengan demikian
kalian tentu akan menjagoi dengan aman sentosa.”
Sampai di sini mendadak ia
keraskan suaranya, “Maka dari itu, setiap murid Tiang-bun semuanya merupakan
bibit bencana, hari ini kita harus babat rumput sampai akar-akarnya. Kita harus
turun tangan bersama, setiap murid Tiang-bun harus dibinasakan seluruhnya.”
Habis berkata, “sret”, segera
pedangnya dilolosnya.
Serentak dari sekitar ruangan
melompat maju dua-tiga puluh orang dengan pedang terhunus dan siap siaga di
seputar Hong Ban-li, tapi di samping itu ada pula beberapa puluh orang dengan
pegang pedang juga telah mengepung.
Diam-diam Boh-thian menjadi
khawatir dan berpikir, “Tampaknya Hong-suhu susah melawan orang banyak, entah
aku harus membantunya atau tidak?”
Dalam pada itu terdengar Hong
Ban-li telah berseru, “Seng-susiok, Ce-susiok, dan Nio-susiok, apakah kalian
membiarkan Liau-susiok malang melintang di sini? Jika cabang empat mereka sudah
membunuh habis anak murid Tiang-bun, maka cabang-cabang dua, tiga dan lima
kalian tentu akan menjadi giliran dibasmi pula oleh mereka.”
“Bergerak!” bentak orang she
Liau memberi komando kepada anak buahnya, berbareng ia terus menubruk maju,
kontan dada Hong Ban-li lantas ditusuknya.
Cepat Ban-li melolos pedang
dengan tangan kiri untuk menangkis serangan itu. Terdengar suara “trang”,
menyusul lantas “bret” pula. Walaupun pedang lawan tertangkis, tapi tidak urung
lengan baju kanan Hong Ban-li terkupas sepotong.
Hendaklah maklum bahwa Hong
Ban-li terkenal lihai seperti halnya Pek Ban-kiam, kedua orang merupakan
jago-jago utama Swat-san-pay dari angkatan kedua, ilmu pedangnya sesungguhnya
tidak kalah daripada paman-paman gurunya she Seng, Ce, Liau, dan Nio itu. Cuma
sayang sebelah lengannya sudah buntung, permainan pedang dengan tangan kiri
dengan sendirinya kurang leluasa. Ia telah dapat menangkis tusukan orang she
Liau itu, tapi paman guru itu mendadak mengganti gerakan pedangnya dari menusuk
menjadi menebas. Walaupun Ban-li sudah menduga akan jurus serangan itu, tapi
pedang di tangan kiri agak canggung digunakan, untung lengan kanan sudah
buntung sehingga yang tertebas hanya lengan bajunya, kalau tidak tentu
lengannya akan menjadi korban pula.
Paman gurunya itu benar-benar
kejam, sekali berhasil serangannya, menyusul serangan kedua lantas dilancarkan
pula. Namun dari samping Ban-li lantas menyambar maju dua batang pedang saling
beradu sehingga serangan orang she Liau kembali gagal.
“Kenapa tidak lekas maju!”
bentak orang she Liau kepada anak buahnya. Sambil berteriak-teriak serentak
beberapa puluh orang dari anak murid cabang empat lantas mengerubut maju.
Seketika terdengarlah suara riuh ramai, pertarungan sengit lantas terjadi, anak
murid cabang utama kebanyakan harus satu-lawan-dua atau tiga. Ruangan itu
seketika berubah menjadi medan pertempuran.
Orang she Liau lantas melompat
ke pinggir untuk menyaksikan pertempuran. Dilihatnya anak murid dari cabang
dua, tiga dan lima tidak bergerak, semuanya menonton di samping. Tergerak
hatinya dan tahulah dia apa sebabnya. Segera ia berseru, “Loji, Losam, Longo,
keji amat kalian, sengaja kalian membiarkan cabang empat kami bertarung
mati-matian dengan cabang utama dan nanti kalian yang akan mengambil
keuntungannya. Hehe, jangan kalian mimpi!”
Karena pikiran demikian, ia
menjadi murka, kedua matanya menjadi merah, kontan ia terus menyerang orang she
Ce. Maka kedua orang lantas saling gebrak dengan sengit.
Nyata ilmu pedang orang she
Liau lebih bagus daripada orang she Ce. Sesudah belasan jurus si orang she Ce
lantas mulai terdesak mundur.
Cepat orang she Seng, yaitu
suheng kedua, melompat maju dengan pedang terhunus, serunya, “Losi, segala
urusan hendaklah dirundingkan dengan baik-baik. Sesama saudara seperguruan
mengapa mesti menggunakan kekerasan seperti ini?” berbareng pedangnya lantas
menyambar maju sehingga tusukan orang she Liau kena ditangkis.
Melihat jisuheng sudah ikut
maju, kesempatan itu tidak diabaikan orang she Ce, cepat ia melangkah maju dan
balas menusuk perut orang she Liau. Serangan samsuheng she Ce ini pun tidak
kurang kejinya, tujuannya hendak membinasakan lawannya tanpa kenal ampun
sedikit pun.
Jilid 40
Saat itu pedang orang she Liau
sedang ditangkis pergi oleh pedang jisuhengnya dan sedang saling adu tenaga
dalam buat melepaskan lengketan pedang lawan, maka tusukan samsuhengnya itu
benar-benar di luar dugaan dan betapa pun susah dielakkan.
Pada saat demikian untunglah
sang sute she Nio yang tadi hanya diam-diam saja itu kini mendadak ikut melolos
pedang terus menusuk ke punggung orang she Ce sambil berkata, “Ai, dosa, dosa
caramu ini!”
Untuk membela diri, terpaksa
orang she Ce menarik kembali pedangnya untuk menangkis serangan gosute she Nio
itu.
Begitulah anak murid dari
cabang dua, tiga, lima dan lain-lain lantas ikut menerjang maju untuk membela
gurunya masing-masing. Maka pertempuran menjadi tambah seru....
Ciok Boh-thian sampai bingung
menyaksikan pertarungan gaduh itu. Hanya sebentar saja terjadilah banjir darah
di ruangan pendopo itu, banyak tangan kutung dan kaki patah tercecer di
sana-sini diseling suara jerit ngeri.
“Toako, aku... aku takut!”
kata A Siu dengan suara gemetar sambil menggelendot di samping Boh-thian.
“Sebenarnya ada urusan apakah,
mengapa mereka saling hantam sendiri?” tanya Boh-thian.
Tatkala itu setiap orang di
dalam ruangan itu sedang memikirkan keselamatannya sendiri, maka biarpun
Boh-thian bicara lebih keras di luar juga takkan dipedulikan.
Sebaliknya Su-popo lantas
menjengek, “Hm, bagus, bagus! Pertarungan yang bagus! Biarkan semuanya mampus
barulah puas hatiku!”
Pertempuran sengit
beratus-ratus orang tanpa teratur itu agak lucu juga tampaknya, lebih-lebih
pakaian mereka adalah seragam putih semua, senjata yang dipakai juga sama,
kawan atau lawan menjadi susah membedakan. Semula anak murid cabang utama
bertarung melawan cabang ketiga, tapi sesudah anak murid cabang-cabang lain
juga ikut masuk medan pertempuran, seketika keadaan menjadi kacau, banyak di
antaranya yang memangnya ada permusuhan pribadi lantas dilampiaskan dalam
pertempuran gaduh ini.
“Sudahlah, kita jangan lihat
lagi, marilah menyingkir saja,” kata A Siu kepada Boh-thian.
Pada saat itulah mendadak
terdengar suara gedubrakan yang gemuruh, daun pintu telah terpentang dan
terlepas dari engselnya. Lalu terdengar seorang berseru dengan suara lantang,
“Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to berkunjung kemari hendak
bertemu dengan ketua Swat-san-pay!”
Begitu keras dan nyaring suara
seruan itu sehingga suara pertempuran yang riuh ramai tadi tersirap semua.
Mendengar nama Siang-sian dan
Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to sudah tiba, semua orang sangat terkejut. Segera
sebagian orang berhenti bertempur dan melompat ke pinggir. Berturut-turut yang
lain juga berhenti bertempur. Hanya sekejap saja semua orang sudah menyingkir
ke samping, perhatian semua orang tertuju ke arah pintu. Di tengah ruangan
hanya tertinggal suara rintihan mereka yang terluka, suara lain tiada terdengar
lagi. Sejenak kemudian penderita-penderita luka itu pun lupa merintih lagi dan
sama memandang ke arah pintu.
Ternyata di ambang pintu
secara berjajar telah berdiri dua orang, satu gemuk dan satu kurus, pakaian
mereka sangat perlente. Hampir-hampir Ciok Boh-thian berseru menyapa ketika melihat
yang datang itu adalah Thio Sam dan Li Si. Tapi lantas teringat dirinya dalam
penyamaran sebagai Ciok Tiong-giok dan belum waktunya untuk menonjolkan siapa
sebenarnya dia.
Dalam pada itu terlihat Thio
Sam mulai berkata dengan tertawa, “Pantas ilmu silat Swat-san-pay termasyhur di
seluruh jagat, kiranya di waktu latihan di antara sesama saudara seperguruan
digunakan cara menyerang dan membunuh sungguhan. Wah, cara demikian benar-benar
hebat. Sungguh mengagumkan.”
Orang she Liau lantas tampil
ke muka dan menegur dengan suara bengis, “Apakah kalian ini yang disebut
sebagai Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to?”
“Benar,” sahut Thio Sam.
“Entah siapakah di antara kalian ini adalah Ciangbunjin Swat-san-pay? Atas
perintah Liong-bok-to Tocu kami ingin menyampaikan medali undangan agar
ciangbunjin kalian kelak berkunjung ke pulau kami untuk sekadar ikut minum
semangkuk Lap-pat-cok.”
Sambil bicara ia lantas
mengeluarkan dua buah medali tembaga, tiba-tiba ia berpaling kepada Li Si dan
berkata, “Eh, kabarnya Ciangbunjin Swat-san-pay adalah Wi-tek Siansing
Pek-loyacu, tampaknya orang-orang yang berada di sini kok tidak mirip dia?”
“Ya, aku pun berpikir begitu,”
sahut Li Si.
Segera orang she Liau tadi
menanggapi, “Orang she Pek itu sudah mati, ciangbunjin yang baru....”
Belum habis ia bicara mendadak
Hong Ban-li lantas memotong dengan mendamprat, “Kentut busuk! Wi-tek Siansing
masih baik-baik, beliau hanya....”
“Apakah demikian ini caranya
kau bicara dengan susiokmu?” si orang she Liau balas mendamprat.
“Orang macam kau ini juga ada
harganya untuk dipanggil susiok?” jawab Ban-li.
Nama orang she Liau itu
selengkapnya adalah Liau Cu-le, wataknya sangat keras dan berangasan. Karena
jawaban Ban-li yang kasar itu, kontan pedangnya lantas menusuk.
Cepat Ban-li menangkis sambil
melangkah mundur. Rupanya Liau Cu-le sudah merah matanya, dengan murka ia
lantas menerjang maju. Tapi seorang murid cabang utama lantas mengadang maju
untuk melabraknya. Menyusul Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Nio Cu-cin, berturut-turut
juga menyerbu maju lagi sehingga pertempuran gaduh kembali terjadi.
Hendaklah maklum bahwa
geger-geger yang terjadi di dalam Swat-san-pay ini cukup berat persoalannya.
Sebab itulah keempat saudara seperguruan she Seng, Ce, Liau, dan Nio itu saling
tidak mau mengalah, saling sirik, saling dendam, asal salah seorang di antara
mereka binasa keadaan tentu akan berubah, sebab itulah meski kedua rasul
pengganjar dan penghukum itu sudah datang toh mereka masih cekcok mengenai urusannya
sendiri.
Menyaksikan suasana begitu
Thio Sam lantas bergelak tertawa, katanya, “Rupanya kalian tekun benar melatih
ilmu silat perguruannya sendiri, tapi temponya kan masih banyak, mengapa mesti
buru-buru pada saat ini?”
Habis berkata ia terus melangkah
maju dengan perlahan, mendadak kedua tangannya bekerja, ia mencengkeram dan
menarik ke sana kemari, maka terdengarlah suara gemerencing yang ramai,
tahu-tahu beberapa batang pedang sudah terbuang ke atas lantai. Entah cara
bagaimana pedang orang-orang she Seng Ce, Liau, dan Nio beserta pedang Hong
Ban-li dan dua orang muridnya tahu-tahu sudah kena dirampas oleh Thio Sam,
mereka hanya merasa tangan tergetar kesemutan, lalu pedang sudah terlepas dari
cekalan.
Keruan mereka menjadi
terperanjat semua, baru sekarang mereka nyaho bahwa ilmu silat kedua tamu itu
bukan main lihainya. Dalam kagetnya mereka sampai lupa mengenai percekcokan di
antara mereka sendiri itu dan teringat kepada macam-macam cerita tentang korban
yang jatuh di mana tempat yang kedatangan Siang-sian dan Hwat-ok Sucia.
Sekarang mereka telah menyaksikan dan merasakan sendiri jelas bilamana kedua
rasul itu mau mengganas, mungkin susah dilawan sekalipun segenap kekuatan
Swat-san-pay dikerahkan seluruhnya. Apalagi di dalam golongan sendiri sedang
saling bunuh-membunuh. Begitulah mereka menjadi takut dan ada yang sampai
menggigil.
Sementara itu Thio Sam berkata
pula dengan tertawa, “Ketekunan kalian meyakinkan ilmu silat sungguh harus
dipuji, tapi juga tidak perlu segiat ini dan masih banyak tempo. Kami berdua
masih harus menyampaikan medali undangan ke lain tempat dan tiada waktu
senggang untuk tinggal di sini. Tentang Wi-tek Siansing apakah dia sudah mati
atau masih hidup kami tidak ambil pusing, yang pasti Swat-san-pay toh harus ada
seorang ciangbunjin. Yang diundang oleh Liong-bok-to kami adalah ciangbunjin
dari Swat-san-pay, maka lekas terangkan yang manakah adalah ciangbunjin
kalian?”
Untuk sejenak Seng Cu-hak dan
para sutenya hanya saling pandang saja tanpa bisa menjawab. Mereka tahu selama
berpuluh tahun ini, setiap ciangbunjin yang menerima undangan dan pergi ke
Liong-bok-to selamanya tiada seorang pun yang dapat pulang kembali, maka siapa
saja yang menjadi Ciangbunjin Swat-san-pay sekarang akan berarti membunuh diri
pula menghadapi utusan-utusan dari Liong-bok-to ini.
Tadinya mereka anggap
Leng-siau-sia terletak jauh di wilayah barat dan jarang ada hubungan dengan
orang-orang persilatan daerah Tionggoan, medali undangan Liong-bok-to itu
rasanya takkan sampai di Leng-siau-sia yang terpencil ini. Pula tentang
kepandaian rasul-rasul pengganjar dan penghukum itu hanya beritanya saja yang
mereka dengar dan besar kemungkinan, sengaja dibesar-besarkan dan
dilebih-lebihkan oleh orang, padahal belum tentu benar sedemikian lihainya.
Siapa duga hal-hal yang disangka takkan terjadi itu mendadak lantas muncul di
depan mereka sekarang.
Kalau beberapa saat sebelumnya
tadi kelima cabang murid Swat-san-pay saling bertengkar dengan harapan
cabangnya sendiri yang akan menjagoi dan pemimpinnya sendiri yang keluar
sebagai pejabat ciangbunjin, untuk mana mereka tidak segan-segan saling hantam
dan saling bunuh. Tapi sekarang setelah keadaan berubah mendadak, mereka
menjadi mengkeret dan berharap agar pihak lawan yang menjadi ciangbunjin saja,
supaya bisa mewakilkan mereka mengantar nyawa ke Liong-bok-to.
Lantaran itulah, serentak Seng
Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, Nio Cu-cin, dan Hong Ban-li saling tunjuk dan
sama berseru, “Itu dia! Dia adalah ciangbunjinnya!”
Tentang Swat-san-pay dapat
diterangkan bahwa sudah cukup lama diketuai oleh Wi-tek Siansing Pek Cu-cay,
yaitu ayahnya Pek Ban-kiam. Pek Cu-cay mempunyai empat orang sute, ialah Seng
Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin. Guru mereka sudah lama wafat
sehingga kepandaian keempat sute itu sebagian besar adalah ajaran Pek Cu-cay,
sebab itulah resminya Pek Cu-cay adalah suheng mereka, tapi sesungguhnya adalah
guru dan murid.
Ilmu silat Swat-san-pay
terkenal banyak ragam perubahannya, tentang lwekang berbalik tiada sesuatu yang
bisa ditonjolkan. Pek Cu-cay sendiri hanya secara kebetulan pada masa mudanya
telah makan sejenis buah ajaib sehingga mendadak tenaga dalamnya bertumbuh
dengan luar biasa. Karena tenaga dalamnya yang hebat itu ditambah bagusnya ilmu
silat, maka selama beberapa puluh tahun ini dia menjagoi daerah Se-ek tanpa
tandingan.
Caranya Pek Cu-cay menurunkan
kepandaiannya kepada para sute dan anak muridnya tidak pernah menyembunyikan satu-dua
jurus yang istimewa, tapi telah mengajar dengan segenap kepandaian yang dia
miliki sendiri. Hanya tentang lwekangnya yang diperolehnya secara kebetulan
itulah yang susah dipelajari, sebab itu kepandaian para sutenya selalu terbatas
dan susah mencapai tingkatan seperti Pek Cu-cay.
Dasar watak Pek Cu-cay adalah
suka menang dan tinggi hati, mengenai dia kebetulan makan buah ajaib sehingga
lwekangnya tumbuh mendadak, hal ini selalu dirahasiakannya, dengan demikian dia
ingin menunjukkan bahwa kepandaiannya itu adalah berkat kecerdasan dan
kegiatannya berlatih dan bukan diperoleh secara mujur.
Sebaliknya di dalam hati
keempat sutenya itu lantas timbul rasa penasaran dan sirik, mereka anggap sang
suheng yang dipesan mendiang gurunya agar memberi bimbingan kepada para sute
itu berlaku tamak dan sengaja merahasiakan sebagian ilmu silat perguruan
sendiri.
Lebih-lebih ilmu silat Pek
Ban-kiam dan Hong Ban-li ternyata sangat tinggi dan hampir-hampir memadai
keempat susioknya, hal ini membuat Seng, Ce, Liau, dan Nio menjadi penasaran.
Cuma di bawah pengaruh Wi-tek Siansing mereka tidak berani memperlihatkan
perasaan kurang puas itu. Dan baru sekarang ketika anak murid Tiang-bun (cabang
utama di bawah Pek Cu-cay) banyak yang turun gunung, Pek Cu-cay sendiri kurang
waras pula pikirannya, maka para sutenya serentak melakukan pemberontakan.
Namun kepandaian antara mereka
berempat boleh dikata sembabat, maka siapa pun tidak mau tunduk kepada yang
lain dan sama-sama ingin menjadi ciangbunjin. Tapi untuk bisa mencapai cita-cita
itu mereka pun sadar harus berdaya menumpas dahulu ketiga orang sekutunya
barulah dapat aman menduduki kursi ciangbunjin. Sama sekali tak terduga bahwa
pada saat yang krisis itulah mendadak kedua sucia dari Liong-bok-to muncul di
situ.
Begitulah, kalau tadi mereka
berebut menjadi ciangbunjin, maka sekarang mereka sama-sama ingin mengelakkan
tanggung jawab. Kata Ce Cu-bian, “Usia Samsuheng (Ce Cu-bian) adalah paling
tua, menurut aturan dan dengan sendirinya dia yang harus menjabat ketua
golongan kita.”
“Hanya usia lebih tua saja apa
gunanya?” jawab Ce Cu-bian. “Dalam urusan kita ini kau yang paling banyak
mengeluarkan tenaga, jika Liau-sute tidak mau menjadi ciangbunjin siapa lagi
yang cocok untuk menjabatnya?”
“Huh, soal Ciangbunjin
Swat-san-pay kita sebenarnya adalah biasa dijabat oleh Toasuheng, sekarang
Toasuheng sudah exit, dengan sendirinya Jisuko yang harus menggantikannya,
kenapa mesti dipersoalkan lagi?” demikian kata Gosute, Nio Cu-cin.
Tapi jisuheng Seng Cu-hak
lantas menjawab, “Bicara tentang banyak akal dan kecerdikan di antara kita
berempat harus diakui Gosute yang paling pintar. Maka aku setuju bila Gosute
yang menjabat ciangbunjin kita. Maklumlah urusan hari ini lebih mengutamakan mengadu
kecerdikan daripada mengadu kekuatan.”
Liau Cu-le lantas menyambung
pula, “Ciangbunjin kita memangnya dijabat oleh orang dari Tiang-bun, jika
Ce-suheng tidak mau menggantikannya, maka boleh silakan Heng-sutit dari
Tiang-bun yang menjabatnya. Kukira semua orang pasti tidak mempunyai alasan
untuk menolaknya, paling sedikit aku orang she Liau pasti setuju.”
“Tapi tadi ada orang
berteriak-teriak, katanya anak murid Tiang-bun harus dibinasakan semua, entah
siapakah tadi itu yang melepaskan kentut anjing demikian?” kata Ban-li.
Liau Cu-le menjadi gusar,
alisnya sampai menegak. Mestinya ia hendak balas memaki, tapi lantas terpikir
sesuatu olehnya, sedapat mungkin ia bersabar dan berkatalah, “Urusan sudah
kadung demikian, apakah terhitung seorang kesatria sejati jika mengkeret
digaris depan?”
Begitulah kelima orang itu
ribut mulut sendiri saling mengajukan orang lain untuk menjadi ciangbunjin.
Sejak tadi Thio Sam hanya
mendengarkan saja dengan tersenyum-senyum tanpa membuka suara. Sebaliknya Li Si
yang tidak sabar lagi mendengarkan pertengkaran orang-orang Swat-san-pay yang
tidak habis-habis itu. Segera ia membentak, “Sebenarnya siapakah di antara
kalian ini adalah ciangbunjinnya? Kalian bertengkar terus, kalau sampai makan
waktu seminggu atau sebulan, apakah kami juga disuruh menunggu begitu lama?”
“Ya, Seng-suko, hendaklah kau
lekas menerima saja,” kata Nio Cu-cin. “Jika ayal lagi jangan-jangan akan
timbul malapetaka, maka kaulah yang akan membikin susah orang banyak.”
“Mengapa aku yang akan
membikin susah orang banyak?” sahut Seng Cu-hak dengan gusar.
Begitulah kembali kelima orang
itu bertengkar pula dengan sengitnya.
Segera Thio Sam berkata pula
dengan tertawa, “Aku ada suatu akal. Begini, kalian berlima boleh memutuskan
urusan ini dengan mengadu kepandaian masing-masing. Kepandaian siapa yang
paling tinggi, dialah yang akan menjadi Ciangbunjin Swat-san-pay.”
Kelima tokoh Swat-san-pay itu
tidak berani menjawab. Mereka saling pandang dan menimbang-nimbang dalam hati
masing-masing.
Maka Thio Sam menyambung pula,
“Tadi waktu kami datang terlihat kalian berlima sedang saling labrak, kukira di
samping kalian sedang berlatih untuk mempertinggi ilmu silat perguruan kalian,
tentu pula kalian sedang mengukur tenaga untuk menentukan siapa yang lebih
unggul dan berhak menjadi ciangbunjin. Rupanya kami terlalu buru-buru masuk ke
sini sehingga pertandingan kalian terputus setengah jalan. Maka sekarang kalian
boleh meneruskan, tidak sampai satu jam tentu dapat ditentukan pihak yang kalah
atau menang. Kalau tidak, menuruti watak saudaraku yang tidak sabaran ini, satu
jam kemudian jika urusan masih belum selesai mustahil semua orang Swat-san-pay
akan dibunuh habis olehnya sehingga tiada seorang pun di antara kalian yang
berhasil menjadi ciangbunjin. Nah, satu, dua, tiga! Lekaslah mulai!”
“Sret”, segera Liau Cu-le
mendahului melolos pedang.
Tapi mendadak Thio Sam berseru
pula, “Yang mengintip di luar jendela itu tentunya juga orang Swat-san-pay,
harap masuk saja sekalian ke sini! Karena ciangbunjin ini akan ditentukan
dengan ilmu silat, maka tidak peduli tua atau muda, setiap orang boleh ikut.”
Habis berkata lengan bajunya
lantas mengebas ke belakang, “blang”, daun jendela terpentang dan terpental
tersampuk oleh angin pukulannya itu.
Karena jejaknya sudah
ketahuan, segera Su-popo menarik A Siu dan Ciok Boh-thian masuk ke dalam
ruangan.
Melihat mereka bertiga,
seketika semua orang yang berada di dalam ruangan menjadi tercengang. Serentak
Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin berempat mengelilingi
mereka dengan senjata terhunus. Namun Su-popo hanya tertawa dingin saja tak
ambil pusing.
Sebaliknya Hong Ban-li lantas
melangkah maju dan memberi hormat sambil menyapa, “Terimalah hormatku, Sunio
(ibu guru)!”
Boh-thian terperanjat.
Pikirnya, “Aneh, mengapa suhuku adalah dia punya ibu guru?”
Dalam pada itu Su-popo hanya
menengadah saja tanpa menggubris hormat Hong Ban-li itu.
Dengan tertawa Thio Sam lantas
berkata, “Bagus, bagus! Sobat cilik yang tidak mau mengaku sebagai Pangcu
Tiang-lok-pang ternyata sudah kembali ke Swat-san-pay sini! Jite, coba lihat,
alangkah miripnya bocah ini dengan samte kita.”
Li Si mengangguk dan menjawab,
“Ya, cuma tutur katanya rada-rada tengik dan tingkah lakunya agak bergajul. Di
mana ada nona cantik, di situ juga dia lantas hinggap.”
Diam-diam Boh-thian anggap
kebetulan malah karena kedua saudara angkat itu telah salah sangka dia sebagai
Ciok Tiong-giok.
“Eh, kiranya nenek ini adalah
Pek-lohujin, maaf kami berlaku kurang hormat,” demikian Thio Sam membuka suara
lagi. “Para sutemu sedang mengincar kedudukan Ciangbun Pek-loyacu, mereka
sedang mengukur tenaga dan adu otot untuk merebut jabatan terhormat itu. Nah,
baiklah, kalian boleh mulai lagi. Satu-dua-tiga, hayo mulai!”
Namun Su-popo lantas menggandeng
tangan A Siu dan Boh-thian, dengan bersitegang leher ia berjalan ke depan. Seng
Cu-hak dan lain-lain tidak berani merintanginya dan menyaksikan nenek itu
berduduk pada kursi besar yang tengah dengan sikap yang mencemoohkan
orang-orang di sekitarnya.
“Hayo, kenapa kalian belum
mulai, mau tunggu kapan lagi?” bentak Li Si mendadak.
“Benar!” sahut Seng Cu-hak
terus mendahului menusuk Nio Cu-cin dengan pedangnya.
Cepat Cu-cin menangkis sambil
melangkah mundur, entah sengaja atau sungguhan, mendadak ia sempoyongan dan
berkata, “Wah, ilmu pedang Seng-suko benar-benar luar biasa, aku mengaku bukan
tandinganmu!”
Di sebelah sana Liau Cu-le dan
Ce Cu-bian berdua juga sudah mulai adu tanding. Tapi keempat orang itu hanya
main beberapa jurus saja, diam-diam para penontonnya sudah sama menggeleng
kepala. Kiranya setiap jurus serangan mereka semuanya sangat lemah dan kurang
jitu, sama sekali tidak memperlihatkan sebagai tokoh kelas satu dari golongan
Swat-san-pay.
Nyata sekali bahwa pertempuran
mereka sekarang bukan “cari menang” lagi, sebaliknya mereka hanya mencari kalah
malah, mereka sudah tidak mau berebut menjadi ketua Swat-san-pay lagi. Hanya
karena terpaksa maka mereka bertempur sekadarnya, yang diharapkan bukannya
menang melainkan kalah saja. Tapi karena mereka mempunyai pikiran yang sama,
maka untuk mencari kalah pun tidak gampang.
Suatu ketika tertampak Nio
Cu-cin sengaja menubruk ke ujung pedang Seng Cu-hak, sebaliknya mendadak Cu-hak
menjerit, “Aduh!”
Sekonyong-konyong sebelah
kakinya kesandung sehingga tusukannya mengarah ke lantai malah.
Menyaksikan pertarungan yang
menyebalkan itu, Thio Sam terbahak-bahak, katanya, “Losi, kita berdua sudah
menjelajah seluruh jagat ini, tapi pertandingan sebagus ini benar-benar baru
pertama kali ini kita lihat. Pantas ilmu silat Swat-san-pay sangat termasyhur,
nyatanya memang lain daripada yang lain.”
Rupanya Su-popo merasa sebal
juga, dengan suara bengis ia lantas membentak, “Ban-li, di mana kau telah
mengurung Ciangbunjin dan anak murid Tiang-bun? Lekas pergi melepaskan mereka!”
“Liau... Liau-susioklah yang
mengurung mereka, Tecu sendiri tidak... tidak tahu apa-apa,” sahut Ban-li
dengan suara gemetar.
“Kau tahu apa tidak, pendek
kata mereka harus lepas dibebaskan atau segera kubinasakan kau saat ini juga!”
bentak Su-popo pula.
“Ya, ya, Tecu akan coba
mencarinya,” sahut Ban-li sambil putar tubuh hendak bertindak pergi.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Thio
Sam mencegah. “Saudara juga salah seorang calon pewaris ciangbunjin dari
Swat-san-pay, mana boleh kau tinggal pergi begini saja? Hayolah kau, kau,
kau... kau!” berulang-ulang ia menuding empat murid Swat-san-pay, lalu
melanjutkan, “Kalian berempat yang pergi membebaskan seluruh orang Swat-san-pay
yang dikurung di Leng-siau-sia ini dan bawa ke sini semua. Kalau sampai kurang
satu orang saja maka kepala kalian akan hancur seperti contoh ini.”
Habis berkata tangan kanannya
terus mencakar ke atas tiang kayu di sebelahnya sehingga tiang itu seketika
melekuk suatu lubang. Tertampak dari sela-sela jarinya bertebaran bubuk kayu
yang halus.
Dalam waktu singkat saja
sekaligus dia telah perlihatkan dua macam ilmunya yang sakti, keruan
orang-orang Swat-san-pay menjadi jeri dan mengkeret. Empat orang yang ditunjuk
tadi sampai gemetar ketakutan. Tanpa disuruh lagi segera mereka mengiakan dan
mengundurkan diri untuk melaksanakan perintah itu.
Di sebelah sana Seng Cu-hak
berempat masih belum berhenti dari pertarungan mereka yang lucu. Mereka pun
sadar tingkah laku mereka itu mungkin susah mengelabui mata Thio Sam dan Li Si,
maka sedapat mungkin mereka pura-pura bertanding sungguh-sungguh dan mengadu
jiwa walaupun setiap kali selalu mengalah dan memberi kesempatan kepada pihak
lawan masing-masing.
Makin melihat makin dongkol
Su-popo, segera ia mendamprat, “Huh, permainan setan begini juga dianggap
sebagai ilmu silat Swat-san-pay? Hm, kalian benar-benar membikin malu nama
Leng-siau-sia yang keramat ini.”
Mendadak ia berpaling kepada
Ciok Boh-thian dan berkata, “Muridku, ambil golok ini dan tebaslah sebelah
lengan mereka, setiap orang satu.”
Di depan Thio Sam dan Li Si
sedapat mungkin Boh-thian tidak berani membuka suara agar tidak dikenali.
Terpaksa ia terima golok yang disodorkan padanya, lalu melangkah maju, ia
tuding Seng Cu-hak terus membacok.
Mendengar Su-popo memberi
perintah agar lengannya yang harus ditebas, keruan Seng Cu-hak tidak berani
main-main. Cepat ia angkat pedangnya untuk menangkis. Karena sekarang
menyangkut keselamatannya, maka gerakan pedangnya ini sangat kuat dan indah,
suatu jurus ilmu pedang Swat-san-pay yang sejati.
“Bagus! Mendingan jurus ini
daripada tadi!” senggak Thio Sam.
Tiba-tiba Boh-thian mendapat
pikiran, “Kedua Giheng sudah kenal tenaga dalamku yang hebat, jika aku menang
dengan menggunakan lwekang, tentu mereka akan lantas mengenali aku sebagai
Kau-cap-ceng, padahal aku menyaru sebagai Ciok Tiong-giok, terpaksa aku juga
harus menggunakan Swat-san-kiam-hoat saja!”
Segera ia putar goloknya dan
menusuk dari samping, yakni merupakan satu jurus ilmu pedang Swat-san-pay yang
disebut “Am-hiang-soh-eng” (Harum Kedaluan Hilang Bayangan).
Melihat ilmu pedang Boh-thian
hanya sepele saja, Seng Cu-hak tidak jeri pula. Ia putar pedang untuk
melindungi tempat-tempat penting di tubuhnya sendiri, sesudah beberapa jurus
kemudian, sengaja ia pancing golok Ciok Boh-thian menusuk ke atas kakinya. Ia
pura-pura tidak sempat menangkis dan mengelak, sambil menjerit kesakitan ia
melompat minggir dengan luka di kakinya itu.
Segera ia membuang pedangnya
dan berseru, “Pahlawan selalu timbul dari kalangan muda, tua bangka sudah tak
berguna lagi! Aku terima mengaku kalah.”
Melihat ada kesempatan, Nio
Cu-cin juga tidak mau ketinggalan, segera ia mendahului ayun pedang dan menebas
ke pundak Ciok Boh-thian sambil membentak, “Kau bocah ini benar-benar tidak
tahu aturan lagi, sampai-sampai Susiokco (kakek-guru muda) juga kau lukai?”
Ia cukup paham ilmu pedang
yang dimainkan Ciok Boh-thian, maka hanya beberapa jurus saja ia sengaja
memancing suatu serangan pemuda itu sehingga lengan kirinya terserempet pedang.
Segera ia berteriak-teriak, “Wah, luar biasa! Hampir-hampir saja lenganku ini
ditebas putus oleh anak ingusan ini.”
Menyusul Ce Cu-bian dan Liau
Cu-le juga tidak kalah liciknya, berturut-turut mereka pun mencari suatu
kesempatan dan membiarkan ujung golok Ciok Boh-thian melukai sedikit kulit
badan mereka, lalu mengaku kalah dan mengundurkan diri.
Maklumlah bahwa Ciok Boh-thian
memang tiada maksud menebas kutung lengan mereka sebagai diperintahkan oleh
Su-popo tadi, pula ia tidak mengeluarkan kepandaiannya yang sejati, yang
digunakan hanya sedikit ilmu pedang Swat-san-pay yang belum masak dilatihnya.
Selain itu Seng Cu-hak berempat sebenarnya sangat lihai, hanya lantaran mereka
sengaja mengalah, maka tidak sulit bagi mereka untuk memainkan kelicikannya.
Coba kalau Ciok Boh-thian juga tidak bermaksud memenangkan mereka, tentu mereka
pun tidak gampang pura-pura kalah.
Jadi pertandingan barusan ini
lebih mirip dengan permainan anak kecil saja. Keruan Su-popo sangat mendongkol.
Tapi ia pun tidak ambil pusing, dengan suara bengis ia lantas membentak, “Jadi
kalian sudah dikalahkan oleh bocah ini, kalian sudah rela mengangkat dia
sebagai ciangbunjin?”
Diam-diam Seng Cu-hak berempat
membatin, “Kalau dia diangkat menjadi ketua, paling-paling kita hanya akan
memperalat dia sebagai korban yang mewakilkan Swat-san-pay pergi ke
Liong-bok-to, apanya yang membuat kita keberatan?”
Maka serentak mereka menjawab,
“Ya, kedua sucia dari Liong-bok-to tadi sudah menetapkan syaratnya, kedudukan
ciangbun harus direbut berdasarkan kepandaian masing-masing. Sekarang kami
sudah kalah, ya, apa mau dikata lagi?”
“Jadi kalian benar-benar sudah
takluk?” Su-popo menegas.
“Ya, takluk lahir batin tanpa
syarat,” sahut mereka. Tapi diam-diam mereka berpikir, “Huh, jika kedua jahanam
Liong-bok-to ini sudah pergi, bukankah Leng-siau-sia ini akan menjadi dunia
kami pula? Hanya seorang nenek loyo dan seorang anak ingusan saja bisa berbuat
apa?”
“Jika begitu mengapa kalian
tidak lekas menyampaikan sembah bakti kepada Ciangbunjin dan mau tunggu kapan
lagi?” ujar Su-popo dengan suara lantang.
Sebelum Seng Cu-hak berempat
menjawab atau bertindak, tiba-tiba terdengar teriakan seorang di luar, “Siapa
yang berani menduduki jabatan ketua Swat-san-pay?”
Itulah suaranya
“Gi-han-se-pak” Pek Ban-kiam. Benar juga segera tertampak tokoh muda
Swat-san-pay itu melangkah masuk dengan menyeret rantai borgol, di belakangnya
mengikut beberapa puluh orang pula, semuanya juga terbelenggu. Di belakang Pek
Ban-kiam kelihatan Kheng Ban-ciong, Kwa Ban-kin, Ong Ban-jim, Houyan Ban-sian,
Bun Ban-hu, Ang Ban-ek, Hoa Ban-ci, dan anak murid Tiang-bun yang baru saja
pulang dari Tionggoan.
Ketika melihat Su-popo juga
berada di situ, segera Ban-kiam menyapa, “Engkau sudah pulang, ibu!”
Nadanya terdengar penuh rasa
girang dan di luar dugaan.
Tadi waktu mendengar Hong
Ban-li memanggil Su-popo sebagai ibu-guru, lapat-lapat Boh-thian sudah merasa
nenek itu tentu adalah istri Pek Cu-cay, sekarang mendengar Pek Ban-kiam
memanggilnya sebagai ibu, maka dugaannya itu terang tidak perlu disangsikan
lagi. Hanya saja ia masih heran, “Jika suhuku adalah istri ketua Swat-san-pay,
mengapa beliau mengaku pula sebagai ketua Kim-oh-pay, bahkan selalu mengatakan
bahwa Kim-oh-pay merupakan bintang bencana bagi Swat-san-pay?”
Dalam pada itu dilihatnya si A
Siu telah berlari ke depan Pek Ban-kiam dan menyapa, “Ayah!”
Tertampak Ban-kiam sangat
girang, sahutnya dengan suara terputus-putus, “A Siu, kau, kau ternyata
tidak... tidak mati?”
“Sudah tentu dia tidak mati!”
sela Su-popo dengan mendengus. “Memangnya semua orang sedemikian tak becus
semacam kau? Huh, hanya kau yang bermuka tebal yang masih berani memanggil ibu
padaku! Hm, benar-benar tiada gunanya aku melahirkan anak goblok seperti kau.
Orang tua sendiri telah dikurung orang, dirinya sendiri juga berhias besi-besi
rombengan demikian, kau merasa senang ya dengan kejadian ini? Dasar telur busuk
semua, huh, Swat-san-pay apa segala? Yang tua telur busuk, yang muda juga telur
bau, semuanya telur kopyor. Rasanya lebih baik Swat-san-pay berganti nama
menjadi Telur-busuk-pay saja.”
Pek Ban-kiam diam saja
membiarkan ibunya mencaci maki sepuasnya, kemudian barulah ia berkata, “Bu,
tertawannya anak bukanlah karena kepandaianku kalah tinggi daripada mereka,
tapi kawanan pengkhianat ini telah menggunakan akal licik, dia... dia telah
pura-pura menyaru sebagai ayah dan memasang perangkap di dalam selimut,
lantaran itulah maka anak telah terjebak.”
“Dasar telur busuk kecil macam
kau ini memang tidak pantas diberi hidup,” damprat Su-popo pula. “Kalau salah
mengenali orang luar sih masih dapat dimengerti, masakah ayahnya sendiri juga
salah mengenalnya, huh, apakah kau masih dapat dianggap sebagai manusia?”
Rupanya sejak kecil Ban-kiam
sudah biasa dimaki dan dihajar sang ibu, maka sekarang ia pun anggap biasa
meski dimaki habis-habisan di depan orang banyak. Yang terpikir olehnya hanya
keselamatan ayahnya. Maka cepat ia tanya, “Bu, apakah ayah baik-baik saja?”
“Telur busuk tua itu mati atau
hidup, sedangkan kau telur busuk kecil ini pun tidak tahu, dari mana lagi aku
bisa tahu?” sahut Su-popo dengan gusar. “Daripada hidup membikin malu saja
karena kena dikurung oleh sute-sutenya, ada lebih baik dia lekas mampus saja.”
Mendengar ucapan itu baru
sekarang Ban-kiam merasa lega, ia tahu sang ayah cuma berada dalam tahanan
kawanan pemberontak saja. Katanya segera, “Terima kasih kepada langit dan bumi
bahwa ayah ternyata masih selamat.”
“Selamat kentut!” bentak
Su-popo dengan gusar. Walaupun begitu katanya, namun dalam hati sesungguhnya ia
pun memikirkan keselamatan sang suami. Segera ia berkata kepada Seng Cu-hak dan
para sutenya, “Di mana kalian telah mengurung Toasuheng? Mengapa tidak lekas-lekas
dikeluarkan?”
Seng Cu-hak menjawab,
“Perangai Toasuheng sangat keras, siapa pun tidak berani mendekat padanya,
kalau mendekat segera akan dibunuh olehnya.”
Terkilas rasa girang dan lega
pada wajah Su-popo. Katanya kemudian, “Bagus, bagus! Dasar telur busuk tua itu
selalu anggap ilmu silatnya nomor satu di dunia ini, sombongnya tidak kepalang.
Sekarang biarlah dia mengalami sedikit penderitaan supaya tahu rasa.”
Agaknya Li Si menjadi tidak
sabar mendengarkan caci maki yang tak habis-habis itu, akhirnya ia menimbrung,
“Sesungguhnya yang manakah ketua Telur-busuk-pay itu?”
Sekonyong-konyong Su-popo
melangkah maju, ia tuding Li Si dan mendamprat, “Istilah ‘Telur-busuk-pay’
masakah boleh diucapkan oleh telur busuk macam kau? Aku memaki lakiku dan anakku
sendiri. Hm, kau ini kutu busuk jenis apa, berani kau ikut-ikut menghina
Swat-san-pay kami?”
Semua orang menjadi
kebat-kebit melihat Su-popo mendamprat Li Si dengan sikap sedemikian galak.
Mereka pikir kalau sampai Li Si menjadi gusar dan menyerang, maka nenek itu
pasti akan celaka. Maka dengan cepat Ciok Boh-thian lantas melompat maju dan
mengadang di depan Su-popo, asal Li Si menyerang segera akan ditangkisnya.
Pek Ban-kiam sendiri masih
terbelenggu, dia hanya mengeluh saja dan tak mampu berbuat apa-apa.
Di luar dugaan Li Si ternyata
tidak marah, sebaliknya ia tersenyum dan berkata, “Baiklah, anggaplah aku telah
salah omong, harap Pek-hujin memaafkan. Nah, sebenarnya siapakah ketua
Swat-san-pay kalian!”
“Pemuda ini sudah mengalahkan
para pengkhianat itu, mereka sudah mengangkatnya sebagai ketua Swat-san-pay,
siapa lagi yang merasa tidak takluk?” jawab Su-popo sambil menuding Boh-thian.
“Anak tidak mau terima dan
ingin bertanding dulu dengan dia!” seru Pek Ban-kiam.
“Bagus!” sahut Su-popo. “Hayo,
buka semua belenggu mereka itu!”
Liau Cu-le menjadi ragu-ragu,
ia saling pandang dengan Seng Cu-hak dan Nio Cu-cin. Pikir mereka, “Jika anak
murid Tiang-bun ini dibebaskan, maka untuk mengatasi mereka tentu tidak gampang
lagi. Padahal kita sudah mengadakan pemberontakan, perbuatan durhaka ini betapa
pun tak bisa diampuni. Namun dalam keadaan sekarang ini mau tak mau mereka
harus dilepaskan juga.”
Tapi sedapat mungkin Liau
Cu-le mencari jalan lain, katanya, “Kau adalah jago yang sudah keok di bawah
tanganku, sedangkan aku saja sudah takluk, berdasarkan apa kau berani
membangkang?”
Ban-kiam menjadi gusar.
Dampratnya, “Huh, kau pengkhianat yang durhaka ini, kalau bisa aku ingin
mencincang tubuhmu hingga hancur luluh, hm, sebaliknya kau masih berani mengatakan
aku adalah jago yang sudah keok di bawah tanganmu? Secara licik kau telah
menjebak aku, sekarang tanpa malu-malu kau masih berani bicara?”