Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 36-40

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 36-40 Dan sesudah merandek sejenak, kemudian ia sambung pula dengan suara lantang, “Namun demikian, segala sesuatu yang pernah dilakukan olehnya,
 
Jilid 36

Dan sesudah merandek sejenak, kemudian ia sambung pula dengan suara lantang, “Namun demikian, segala sesuatu yang pernah dilakukan olehnya, tak peduli apakah dia masih ingat atau sudah lupa, pendek kata tidak nanti kami mengelakkan tanggung jawab. Sebaliknya jika perbuatan orang lain yang dilakukan dengan memperalat nama putraku, untuk ini kami menyatakan dengan tegas di sini bahwa semuanya tidak ada sangkut pautnya dengan kami.”

Seketika heran dan bingunglah semua orang yang hadir di situ, sungguh tiada seorang pun akan menduga bahwa mendadak bisa terjadi hal-hal yang luar biasa ini.

“Hehe, hehe, mengapa bicara demikian?” jawab Pek Hay-ciok dengan terkekeh kaku. “Ciok-pangcu kami....”

Tiba-tiba Ciok Boh-thian menimbrung, “Ya, Pwe-siansing, apa yang dikatakan ayah memang tidak salah. Aku bukan pangcu kalian, hal ini berulang-ulang sudah kukatakan, tapi kalian tetap tidak percaya.”

“Sebenarnya rahasia apa yang terkandung di dalam urusan ini, sungguh kami ingin ikut mengetahuinya dengan jelas,” demikian Hoan It-hui membuka suara. “Kami hanya kenal Pangcu Tiang-lok-pang adalah Tonghong Heng, Tonghong-toako, mengapa beliau bisa diganti oleh Ciok-inkong?”

Sejak tadi Nyo Kong hanya diam saja, sekarang ia pun ikut bicara sambil mengelus jenggotnya, “Pek-suhu, janganlah engkau keburu nafsu, siapa yang salah dan siapa yang benar di dalam urusan ini tentu dunia persilatan akan memberi pertimbangan yang adil.”

Meski usianya sudah tua, tapi suaranya ternyata keras lantang dan berwibawa. Terdengar ia melanjutkan lagi, “Maka segala persoalan biarlah kita bicara secara tenang saja. Paling betul sekarang belenggu atas diri beberapa saudara itu hendaklah dibuka lebih dulu.”

Melihat Pwe Hay-ciok sudah mengangguk setuju, segera beberapa anggota Tiang-lok-pang tadi melepaskan orang-orang Swat-san-pay yang tertawan itu.

Sesudah mendengar nada Ciok Jing dan Nyo Kong tadi yang lebih condong menegur kepada Pwe Hay-ciok dan tiada tanda bermusuhan dengan dirinya, hal ini membuat Pek Ban-kiam menjadi heran Sebenarnya sikapnya yang keras dan menantang kepada Pwe Hay-ciok tadi hanyalah karena terpaksa mengingat para sutenya sudah tertawan, sekarang dia hanya bersendirian, demi mempertahankan martabat Swat-san-pay terpaksa ia bersuara galak dan siap menghadapi segala risiko. Tapi dengan datangnya Ciok Jing suami-istri dan Nyo Kong secara mendadak, tampaknya situasi menjadi berubah, maka ia pun tidak banyak bicara lagi, hanya tunggu dan lihat dulu apa yang akan diperbuat oleh Pwe Hay-ciok.

Menunggu sesudah anak murid Swat-san-pay telah dibebaskan semua dan telah ambil tempat duduk masing-masing, kemudian Ciok Jing berkata pula, “Pwe-siansing, usia putraku masih demikian muda, pengalamannya terlalu cetek, kalau dia dapat menduduki pemimpin suatu organisasi besar sebagai Tiang-lok-pang kalian, apakah hal ini takkan ditertawai setiap kesatria Kangouw? Hari ini mumpung Nyo-loenghiong, Pek-suheng, dan para saudara-saudara Swat-san-pay yang lain serta Su-tay-mui-pay dari Kwantang juga hadir di sini, maka persoalan ini harus dibikin jelas. Ingin kukatakan bahwa sejak kini putraku, Ciok Tiong-giok ini tiada sesuatu hubungan dan sangkut paut apa-apa lagi dengan Tiang-lok-pang. Tentang perbuatan-perbuatannya selama beberapa tahun ini, apa yang dia lakukan sendiri sudah tentu akan dibereskan, sebaliknya perbuatan yang dilakukan orang lain dengan memperalat namanya, apakah perbuatan itu baik atau jelek, bukanlah menjadi tanggung-jawab anak Giok.”

“Apa yang dibicarakan Ciok-cengcu ini benar-benar membikin orang merasa bingung dan tidak habis mengerti,” demikian Pwe Hay-ciok menjawab dengan tertawa. “Bahwasanya Ciok-pangcu menjabat pangcu kami, hal ini sudah berlangsung selama tiga tahun dan bukan kejadian sehari semalam saja, selama ini kami pun tidak pernah mendengar cerita dari Pangcu bahwa Hian-soh-siang-kiam yang termasyhur di dunia Kangouw ternyata adalah ayah-ibu beliau. Pangcu, mengapa tidak kau katakan sejak dulu? Kalau tidak, jarak Hian-soh-ceng dari ini toh tidak terlalu jauh, pada waktu engkau diangkat menjadi pangcu tentu kita sudah mengundang ayah-bundamu untuk menyaksikan upacara resmi itu.”

“Aku... aku sebenarnya juga tidak tahu,” sahut Boh-thian.

Jawaban Boh-thian ini membuat semua orang melengak. “Mengapa kau sebenarnya juga tidak tahu?” demikian mereka bertanya-tanya di dalam hati.

Maka cepat Ciok Jing menukas, “Ya, sebagaimana telah kukatakan tadi, putraku ini pernah jatuh sakit keras sehingga melupakan segala kejadian di masa lampau, bahkan ayah-ibunya sendiri juga tak teringat lagi. Maka soal ini tak bisa menyalahkan dia.”

Sebenarnya Pwe Hay-ciok serbasusah dan terdesak oleh kata-kata Ciok Jing tadi. Tak mungkin secara terang-terangan ia menceritakan maksud tujuan mereka mengangkat Ciok Boh-thian sebagai pangcu hanya untuk tameng saja dalam menghadapi undangan medali tembaga dari kedua rasul penghukum dan pengganjar, sedangkan soal ini pun tidak pernah diucapkan oleh orang-orang Tiang-lok-pang sendiri, mereka hanya sama-sama tahu di dalam hati saja, masakah di hadapan orang luar boleh diceritakan?

Tapi sekarang demi mendengar Ciok Boh-thian mengaku bahwa sebelumnya dia sendiri pun tidak tahu Ciok Jing dan Bin Ju adalah ayah-ibunya, maka dapatlah dia alasan bantahannya, segera ia berkata, “Ya, belum lama memang Pangcu telah menderita sakit keras, tapi kejadian itu baru dua bulan saja, ketika beliau diangkat menjadi pangcu kesehatannya cukup baik, pikirannya sangat jernih, kalau tidak mana mungkin beliau mampu menandingi dan bahkan mengalahkan Tonghong-pangcu?”

Ciok Jing dan Bin Ju menjadi curiga, mereka merasa belum pernah mendengar kejadian demikian dari sang putra.

“Nak, sebenarnya bagaimana kejadian yang dikatakan itu?” tanya Bin Ju kepada Boh-thian.

“Aku sendiri pun sama sekali tidak ingat lagi,” sahut Boh-thian sambil geleng kepala.

“Kami hanya tahu pangcu she Ciok dan bernama Boh-thian, nama Ciok Tiong-giok hanya baru saja kami mendengarnya dari Pek-suhu dan Ciok-cengcu,” kata Pwe Hay-ciok pula. “Apa tidak mungkin Ciok-cengcu yang telah salah mengenali orang?”

“Putra kandungku sendiri masakah aku bisa salah mengenalnya?” sahut Bin Ju dengan gusar. Biasanya dia sangat ramah tamah, tapi Pwe Hay-ciok mengatakan Ciok Boh-thian bukan putranya, betapa pun ia menjadi geram juga.

Melihat Pwe Hay-ciok tetap ngotot, Ciok Jing pikir tiada jalan lain kecuali mengungkap terus terang saja tipu muslihat mereka. Segera ia berkata, “Pwe-siansing, biarlah kita bicara secara blakblakan. Sebabnya pang kalian sedemikian menghargai putraku yang masih hijau ini kukira sekali-kali bukanlah lantaran dia memiliki kepandaian tinggi dan pengetahuan luas segala, tujuan kalian hanya ingin memperalat dia untuk menghadapi bencana undangan medali tembaga saja, coba katakan betul tidak?”

Karena ucapan Ciok Jing ini secara langsung telah kena isi hati Pwe Hay-ciok, biarpun dia sudah berpengalaman dan licin, tidak urung air mukanya berubah juga. Ia terbatuk-batuk untuk mengulur tempo, dalam benaknya terkilas macam-macam pikiran dengan cepat cara bagaimana harus menjawab tuduhan Ciok Jing itu.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang bergelak tertawa dan berseru, “Kalian sedang menunggu undangan medali tembaga bukan? Bagus, bagus sekali! Ini dia medali yang kalian tunggu sudah datang!”

Dan tahu-tahu di tengah ruangan sudah berdiri dua orang, satu gemuk dan satu kurus, pakaian mereka sangat perlente. Cara bagaimana datangnya mereka itu ternyata tiada seorang pun yang memerhatikan.

Ciok Boh-thian sangat girang demi melihat kedua orang itu, cepat ia menyapa, “He, Toako dan Jiko, sudah lama berpisah, apakah kalian baik-baik saja?”

Ciok Jing dan Bin Ju pernah mendengar cerita putranya itu tentang mengangkat saudara dengan Thio Sam dan Li Si. Maka mereka menjadi terkejut ketika mengetahui yang dimaksudkan Thio Sam dan Li Si itu kiranya adalah kedua pendatang ini. Cepat mereka berkata, “Kedatangan kalian berdua ini sungguh sangat kebetulan, kami sedang susah menentukan tentang kedudukan pangcu dari Tiang-lok-pang, untuk ini harap kalian berdua suka ikut menjadi saksi.”

Sementara itu Boh-thian sudah mendekati Thio Sam dan Li Si untuk memegang tangan mereka dengan mesra sekali.

“He, kiranya Samte adalah Pangcu Tiang-lok-pang, pantas ilmu silatmu sedemikian hebat,” kata Thio Sam dengan berseri-seri.

Diam-diam Bin Ju pikir keselamatan sang putra hanya tergantung dalam waktu singkat ini saja, maka cepat ia menyela, “Pangcu Tiang-lok-pang sebenarnya adalah Tonghong-siansing, mereka telah menipu putraku ini untuk menjadi tameng, maka kedudukan anakku ini tak bisa dianggap sungguh-sungguh.”

Thio Sam memandang sekejap kepada Li Si, tanyanya, “Bagaimana pendapatmu, Losi?”

“Harus mencari orang yang sesungguhnya,” sahut Li Si dengan nada dingin.

“Benar,” seru Thio Sam. “Kita sudah mengangkat saudara dan berjanji akan hidup bahagia bersama, ada kesulitan dipikul bersama. Sekarang Samte kita hendak digunakan sebagai tameng oleh mereka, bukankah ini berarti mencari setori kepada kita berdua?”

Melihat cara munculnya Thio Sam dan Li Si yang mendadak itu, semua orang sudah tahu bahwa ilmu silat kedua orang ini susah diukur. Dari wajah dan tingkah laku mereka jelas kelihatan pula sama dengan kedua rasul penghukum dan pengganjar yang namanya mengguncangkan Bu-lim selama beberapa puluh tahun ini, keruan semua orang terkesiap. Sekalipun Pwe Hay-ciok dan Pek Ban-kiam juga ikut kebat-kebit.

Dalam pada itu terdengar Thio Sam telah berkata pula dengan tertawa-tawa, “Kami mengundang tamu untuk ikut menikmati Lap-pat-cok, maksud kami adalah baik, tapi entah mengapa setiap orang yang kami undang selalu sungkan hadir sehingga sangat mengecewakan kami. Padahal orang yang kami undang semuanya adalah ciangbunjin-ciangbunjin yang terkenal, pangcu-pangcu yang ternama atau kaucu-kaucu dari kalangan terpuji, kalau cuma orang biasa saja tidak nanti dikunjungi oleh medali-medali tembaga kami. Ya, bagus, bagus, bagus!”

Sambil mengucapkan “bagus-bagus” sorot matanya lantas menyapu ke arah Hoan It-hui, Lu Cing-peng, Hong Liang dan Ko Sam-niocu sehingga keempat orang itu merasa mengirik. Ketika paling akhir pandangannya menatap Ko Sam-niocu, untuk sejenak sorot matanya berhenti lebih lama, dengan tertawa ia menambahkan sekali lagi, “Bagus!”

Sebelumnya Hoan It-hui sudah merasa sebagai seorang ciangbunjin tentu tidak luput dari undangan medali tembaga, maka dapat diduga ucapan “bagus” empat kali Thio Sam itu tentu maksudnya mereka berempat ciangbunjin dari Kwantang kebetulan juga di sini, dengan demikian dia tidak perlu susah payah melawat ke daerah Kwantang untuk menyampaikan medalinya.

Sebaliknya Ko Sam-niocu menjadi gusar, segera ia berteriak, “Apa maksudmu dengan ucapan ‘bagus’ sambil memandangi nyonya besarmu ini?”

“Bagus berarti bagus, apa sih maksudnya yang lain? Pendek kata bagus pasti tidak berarti tidak bagus,” sahut Thio Sam sambil tertawa.

“Jika mau bunuh boleh lekas bunuh, tapi jangan harap nyonya besar mau terima medalimu!” bentak Ko Sam-niocu, Berbareng tangan kanan bergerak, kontan dua bilah pisau lantas melayang ke arah Thio Sam.

Semua orang ikut terkejut. Sungguh tidak terduga bahwa sedikit hatinya tidak senang seketika juga dia lantas menyerang, bahkan terhadap kedua rasul pengganjar dan penghukum itu ternyata tidak merasa jeri sedikit pun.

Sesungguhnya walaupun watak Ko Sam-niocu sangat keras, tapi dia bukanlah seorang yang sama sekali tak bisa berpikir. Ia sudah menduga jika kedua rasul itu toh sudah berniat menyampaikan medali tembaga padanya, maka bencana ini betapa pun susah dihindarkan. Sekarang ada sekian jago-jago terkemuka yang berkumpul di markas Tiang-lok-pang, dalam keadaan menghadapi musuh bersama, begitu mulai bergebrak, tentu yang lain-lain takkan berpeluk tangan, mereka tentu berpikir daripada dibunuh oleh kedua rasul itu ada lebih baik sekarang mengerubut maju bersama, dengan tenaga gabungan Su-tay-mui-pay dari Kwantang, ditambah Tiang-lok-pang, Swat-san-pay, Hian-soh-siang-kiam dan lain-lain, boleh jadi kedua musuh itu dapat ditumpas.

Karena itulah Ciok Boh-thian menjadi kaget ketika melihat Ko Sam-niocu mulai menyerang dahulu, cepat ia berseru, “Awas, Toako!”

“Tidak apa-apa, jangan khawatir!” ujar Thio Sam dengan tertawa. Dan begitu lengan bajunya mengebas, dua potong tanda warna kuning lantas menyambar ke depan dan tepat berbenturan dengan kedua pisau terbang Ko Sam-niocu. “Trang-tring”, didahului oleh suara nyaring mendenging, kedua benda kuning itu dari tegak berubah menjadi melintang dan dengan mendorong kedua bilah pisau terus menyambar ke arah Ko Sam-niocu.

Didengar dari suara sambaran angin, nyata kekuatan benturan tadi sangat hebat, kalau Ko Sam-niocu mendak dan mengegos, tentu kawan-kawan yang berdiri di belakangnya yang akan menjadi korban.

Tanpa pikir lagi kedua potong benda kuning itu lantas ditangkapnya. Seketika terasa kedua lengannya tergetar sakit, setengah badannya bagian atas terasa linu kesemutan. Waktu ia periksa benda-benda kuning yang menolak kembali pisaunya itu, kiranya bukan lain dari dua buah medali pengganjar dan penghukum yang ditakuti itu.

Sudah lama juga Ko Sam-niocu mendengar tentang peraturan yang ditentukan oleh kedua rasul pengganjar dan penghukum, siapa saja asal sudah menerima medali tembaga mereka, maka dapatlah dianggap sebagai telah terima baik undangan mereka untuk hadir dalam perjamuan Lap-pat-cok dan tak mungkin menolaknya pula. Seketika pucatlah mukanya, sampai-sampai tubuhnya juga agak gemetar.

Tapi dengan tertawa-tawa Thio Sam terus berkata pula, “Pwe-siansing, kalian telah memasang perangkap untuk menipu Samte kami agar dapat dipalsukan sebagai pangcu kalian. Samte kami adalah seorang yang jujur dan polos, dengan gampang saja dia terjebak. Tapi kami Thio Sam dan Li Si ini bukan manusia jujur. Kedatangan kami adalah untuk mengundang tamu, sudah tentu sebelumnya kami sudah menyelidiki dengan jelas. Kalau kami sampai salah mengundang orang, bukankah akan menjadi buah tertawaan? Ke mana lagi muka Thio Sam dan Li Si ini akan ditaruh? Sebab itulah, eh, saudaraku, tidakkah lebih baik kita persilakan turun saja sasaran utama yang hendak kita undang ini?”

“Benar, seharusnya kita persilakan dia turun,” sahut Li Si.

Habis berkata, sekonyong-konyong ia sambar sebuah bangku bundar terus dilemparkan ke langit-langit rumah. “Blang”, seketika atap rumah tertimpuk menjadi suatu lubang besar, debu pasir bertebaran disertai sepotong benda yang besar. “Bluk”, benda besar itu jatuh terbanting di tengah ruangan.

Tanpa merasa para hadirin mundur beberapa tindak karena jatuhnya benda besar itu. Ketika mereka memerhatikan, kiranya yang jatuh terbanting itu adalah satu manusia. Orang itu tampak meringkuk tak bergerak.

Waktu Li Si menutuk beberapa kali dari jauh dengan jari kiri, seketika hiat-to orang yang tertutuk itu terbuka dan perlahan-lahan dapatlah berbangkit. Sungguh kejut dan kagum tak terkatakan semua orang atas kepandaian tiam-hiat (menutuk jalan darah) Li Si dari jarak jauh itu. Dalam pada itu orang itu telah kucek-kucek matanya, kemudian memandang sekitarnya dengan bingung.

Demi mengenali siapa orang itu, serentak ramainya suara teriakan kaget, “He, dia!” — “Kenapa... kenapa dia?” — “Sungguh aneh!”

Ternyata wajah orang itu mirip benar dengan Ciok Boh-thian, hanya saja pakaiannya lebih perlente, bajunya dari kain sutra, kopiahnya berhiaskan mutiara yang besar.

“Ciok-pangcu, kami datang kemari untuk mengundang kau pergi makan Lap-pat-cok, kau akan hadir atau tidak?” demikian Thio Sam lantas berkata kepada pemuda itu sambil mengeluarkan dua buah medali tembaga.

Agaknya Ciok Boh-thian tidak habis mengerti atas kejadian itu. Ia bertanya, “He, Toako, seb... sebenarnya apa-apaan ini?”

“Samte, coba kau lihat, wajah orang ini mirip kau atau tidak?” sahut Thio Sam dengan tertawa. “Mereka telah menyembunyikan dia, sebaliknya kau ditipu untuk menggantikan dia sebagai pangcu. Akan tetapi, hahaha, toako dan jikomu akhirnya dapat menemukan dia sehingga kau gagal menjadi pangcu mereka, untuk ini kau menyesal kepada kami atau tidak?”

Boh-thian menggeleng-geleng kepala, dengan mata tak berkedip ia pandang orang itu. Selang sejenak barulah berkata, “Ayah, ibu, Ting-ting Tong-tong, Pwe-siansing, sejak mula aku sudah menyatakan kalian telah... telah salah mengenali diriku, sekarang menjadi lebih terang lagi bahwa aku bukan dia, dia... dialah yang tulen!”

Cepat Bin Ju melangkah maju, dengan suara terputus-putus ia bertanya, “Kau... kau adalah anak Giok?”

Orang itu mengangguk, sahutnya, “Ya, ibu, ayah, kalian berada di sini semua?”

Pek Ban-kiam juga mendesak maju dan menegur, “Kau masih kenal padaku tidak?”

Orang itu lantas menunduk, sahutnya, “Pek-susiok dan... dan para Susiok, kalian juga berada di sini semua?!”

“Hahahaha! Ya, memang kami sudah datang semua!” kata Ban-kiam dengan terbahak-bahak.

Sebaliknya dengan mengerut kening Pwe Hay-ciok berkata, “Muka mereka berdua satu-sama-lain sangat mirip, perawakan dan usia mereka juga sama, sebenarnya siapakah di antara kalian adalah pangcu kami, sungguh aku tidak mampu membedakan. Wah, ini benar-benar suatu kejadian aneh. Apakah engkau inilah pangcu kami?”

Orang baru itu tampak mengangguk. Lalu Pwe Hay-ciok bertanya pula, “Habis selama ini sebenarnya Pangcu pergi ke mana?”

“Ai, susah untuk diceritakan, biarlah kita bicarakan nanti saja,” kata orang itu.

Seketika suasana di ruang pendopo itu menjadi sunyi senyap, yang terdengar hanya sedu sedan Bin Ju yang sedang menangis.

“Wajah orang memang banyak yang sama, tapi bekas luka pedang di paha apakah juga bisa sama, kukira di dalam persoalan ini ada sesuatu yang ganjil,” kata Ban-kiam.

“Ya, orang ini adalah palsu,” akhirnya Ting Tong ikut bicara. “Engkoh Thian yang tulen di atas pundak kirinya ada... ada sebuah bekas luka gigitan.”

Ciok Jing menjadi ragu-ragu juga, ia pun mengemukakan alasannya, “Benar, putraku pada waktu kecilnya juga pernah terluka oleh senjata rahasia musuh.”

Lalu ia tuding Ciok Boh-thian dan melanjutkan, “Pada tubuh orang ini justru terdapat bekas luka senjata rahasia itu. Untuk membedakan siapa yang tulen atau palsu, asal keduanya diperiksa tentu segera akan dapat diketahui.”

Semua orang menjadi heran dan bingung juga mengikuti percakapan itu. Mereka sebentar-sebentar pandang Ciok Boh-thian dan lain saat mengamat-amati pula si pemuda berpakaian perlente itu.

Maka terdengarlah Thio Sam bergelak tertawa sambil berkata, “Jika Ciok-pangcu sudah harus dipalsukan, maka setiap ciri-cirinya dengan sendirinya harus dibikin persis pula. Kalau di atas badan yang tulen ada bekas luka, yang palsu dengan sendirinya juga harus ada.”

Habis berkata, “sret”, mendadak ia lolos sebatang pedang yang tergantung di pinggang seorang wakil hiangcu Tiang-lok-pang dan di mana pedangnya menyambar, kontan bahu, paha kiri dan pantat pemuda perlente itu masing-masing tergores suatu lingkaran, ketika dia meniup pula, kontan jatuhlah tiga potong kain kecil bulat sebesar mangkuk. Tiga potong kain bundar itu kemudian bertebaran dan berubah menjadi sembilan potong.

Ternyata hanya sedikit bergerak saja pedangnya telah mengorek satu bundaran pakaian pemuda perlente yang berlapis tiga (baju luar dan dalam) sehingga kelihatan kulit badannya. Maka tertampaklah di ujung bahunya terdapat keriput bekas luka, di paha dan di pantatnya juga ada, semuanya cocok seperti apa yang dikatakan si Ting Tong, Pek Ban-kiam, dan Ciok Jing.

Melihat itu, semua orang sampai menjerit kaget, selain kejut atas kepandaian Thio Sam yang luar bisa itu, mereka pun heran melihat bekas luka di badan pemuda itu ternyata serupa dan persis seperti apa yang terdapat pada Ciok Boh-thian.

Cepat Ting Tong memburu maju, dengan suara gemetar ia tanya, “Apa kau benar-benar Engkoh Thian?”

Pemuda itu tersenyum getir, sahutnya, “Ting-ting Tong-tong, sudah lama kita tak bertemu, sungguh aku sangat kangen padamu, sebaliknya kau ternyata sudah melupakan daku. Biarpun kau tak kenal padaku lagi, tapi aku, biarpun seratus tahun atau seribu tahun juga aku masih tetap kenal kau.”

Mendengar itu, saking girangnya sampai si Ting-tang Ting-tong melelehkan air mata, serunya, “Ya, engkau inilah benar-benar Engkoh Thian-ku. Dia... dia ini hanya penipu yang memuakkan, mana bisa dia mengucapkan kata-kata mesra demikian? Hampir-hampir saja aku tertipu olehnya!”

Sambil berkata ia pun melotot marah kepada Ciok Boh-thian, berbareng ia lantas gandeng tangan pemuda perlente itu dengan mesra.

Ketika pemuda itu menggenggam kencang tangan si nona dan tersenyum padanya, seketika si Ting Tong merasa senang dan bahagia tak terperikan.

“Ting-ting Tong-tong, memangnya sejak mula aku sudah menyatakan aku bukan kau punya Engkoh Thian, apa sekarang kau ma... masih marah padaku?” tanya Boh-thian sambil mendekati anak dara itu.

“Plok”, mendadak ia dipersen sekali tamparan oleh si Ting Tong dengan dampratan, “Kau penipu, aduh....” kiranya dia menampar terlalu keras sehingga tangannya kesakitan tergetar oleh tenaga dalam Ciok Boh-thian yang lihai itu.

“Apakah tanganmu sa... sakit?” tanya Boh-thian.

“Enyah, enyah kau! Aku tidak sudi melihat penipu yang tak kenal malu seperti kau ini!” damprat Ting Tong dengan gusar.

Boh-thian menjadi murung. “Aku... aku tidak sengaja menipu kau,” katanya setengah menggumam sendiri.

“Kau masih menyangkal?” semprot si Ting Tong. “Kau sengaja membuat bekas luka palsu di pundakmu, mengapa tidak kau katakan sejak mula?”

“Aku... aku sendiri pun tidak tahu adanya bekas luka ini,” ujar Boh-thian.

“Penipu! Pendusta! Enyah kau!” bentak Ting Tong dengan muka merah padam.

Air mata berlinang-linang di kelopak mata Ciok Boh-thian dan hampir-hampir menetes, sedapat mungkin ia menahannya sambil menyingkir mundur.

“Pwe-siansing,” segera Ciok Jing berkata kepada Pwe Hay-ciok, “pem... pemuda ini dari mana kalian menemukannya dan putraku ini mengapa bisa dipaksa menjadi pangcu kalian? Mumpung di sini banyak hadir kawan-kawan Bu-lim, urusan ini harus kau jelaskan untuk menghindarkan rasa curiga semua orang?”

“Pemuda ini serupa benar dengan Ciok-pangcu, kalian Hian-soh-siang-kiam sendiri adalah ayah-ibu kandungnya toh juga salah mengenalnya, apalagi orang lain?” jawab Pwe Hay-ciok.

Ciok Jing mengangguk, ia pikir memang beralasan juga ucapan tokoh Tiang-lok-pang itu.

Maka Pwe Hay-ciok berkata pula, “Adapun soal diangkatnya Ciok-pangcu sebagai pimpinan pang kami, untuk ini beliau telah mengalahkan Tonghong-pangcu dahulu dengan kepandaian yang sejati, karena itu maka para saudara kami telah mendukungnya. Coba silakan Ciok-pangcu bicara apa betul atau tidak kejadian ini? Bahwasanya kami ‘memaksa’ beliau, kami sangsi apakah istilah ini cukup tepat?”

“Apa yang dilakukan tempo dulu sebenarnya hanya keputusan untuk sementara saja untuk mencegah kerusuhan yang mungkin timbul di dalam pang kita,” kata si pemuda perlente alias Ciok Tiong-giok itu dengan nada tergagap-gagap. “Pwe-siansing, jabatan pangcu ini kukira... kukira engkau sendiri saja yang menduduki, aku... aku tidak sanggup melakoni lagi.”

Air muka Pwe Hay-ciok tampak guram membesi, katanya, “Apa yang telah Pangcu katakan dahulu itu? Mengapa sekarang kau merasa menyesal dan menghindarkan kewajiban?”

“Ya, sesungguhnya aku tidak sanggup melakukannya lagi,” sahut Tiong-giok. “Segala urusan pang kita pada hakikatnya adalah Pwe-siansing yang mengambil keputusan, aku hanya menjadi pangcu boneka saja, sebab itulah aku bertekad menyingkir pergi untuk memberikan tempatku kepada orang lain yang lebih pandai. Dan karena kepergianku tanpa pamit ini, dengan sendirinya aku bukan pangcu lagi. Bukankah dalam surat yang kutinggalkan padamu itu sudah kukatakan dengan cukup jelas?”

“Surat?” Pwe Hay-ciok menegas dengan heran. “Surat apa? Mengapa aku tidak pernah melihatnya?”

“Kepandaian Pwe-siansing benar-benar luar biasa,” kata Ciok Tiong-giok dengan tertawa. “Ketika aku menghilang, entah dari mana engkau telah menemukan bocah yang mukanya mirip benar dengan aku ini. Jika dia sudah mau memalsukan diriku, maka bolehlah dia lakukan sampai saat terakhir, buat apa tanya padaku lagi? Ayah dan ibu, marilah kita tinggalkan saja tempat yang tak genah ini!”

Nyata mulutnya sangat lincah, kalau dibandingkan Ciok Boh-thian jelas seperti langit dan bumi bedanya.

Dengan bergelak tertawa Thio Sam lantas berkata, “Ciok-pangcu, Pwe-siansing, kalian tentu tahu peraturan Liong-bok-to kami. Jika pangcu kalian sendiri yang menerima medali undangan kami, maka inilah jalan yang terbaik, sebaliknya kalau pangcu tidak mau terima, ini berarti pang kalian memandang rendah kepada Liong-bok-to, dari kawan kita akan berubah menjadi lawan dan terhadap lawan biasanya Liong-bok-to tidak mau sungkan-sungkan lagi.”

Pwe Hay-ciok dan gembong-gembong Tiang-lok-pang yang lain terkesiap. Mereka tahu bilamana tiada orang yang tampil ke muka untuk menerima medali tembaga yang dikatakan, maka si gendut dan si kurus pasti akan mulai mengganas. Dilihat dari kepandaian yang telah diperlihatkan mereka tadi rasanya segenap anggota Tiang-lok-pang tiada seorang pun yang mampu melawannya.

Melihat orang-orang Tiang-lok-pang tertegun, segera Ciok Boh-thian berkata, “Pwe-siansing, apa yang dikatakan Thio-toako itu bukanlah berkelakar, sekali beliau bilang bunuh orang tentu akan segera terjadi pembunuhan. Seperti orang-orang Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe, seluruh anggota mereka telah dibunuh habis oleh Toako berdua. Maka sebaiknya medali mereka itu diterima saja lebih dahulu, tak peduli siapa yang akan menjadi pangcu nanti, yang terang korban jiwa orang banyak dapatlah dihindarkan. Kedua belah pihak adalah saudara sendiri semua, kalau sampai terjadi perkelahian, sungguh aku tidak tahu harus membantu pihak mana?”

“Itu adalah urusan Pangcu, kami yang menjadi bawahan tidak dapat mengambil keputusan,” ujar Pwe Hay-ciok.

“Ciok-pangcu,” Boh-thian lantas berkata kepada Ciok-Tiong-giok, “harap kau terima medali itu saja. Medali itu kau terima akan mati, tidak terima juga pasti mati. Bedanya jika kau tidak terima, maka segenap anggota yang lain juga akan ikut menjadi korban, untuk ini apakah... apakah kau tega?”

“Hehe, kau bicara seenaknya dan sok budiman bagi orang lain, jika sedemikian luhur budimu, kenapa kau sendiri tidak terima saja kedua medali itu demi keselamatan Tiang-lok-pang? Hehe, sungguh menggelikan!” demikian jawab Tiong-giok.

Boh-thian memandang sekejap kepada Ciok Jing suami-istri dan si Ting Tong sambil menghela napas, katanya, “Pwe-siansing, selama ini kalian sangat baik terhadap diriku, memangnya kalian berharap agar aku dapat melepaskan bencana ini bagi Tiang-lok-pang. Jika sekarang Ciok-pangcu yang tulen tidak mau menerima medali-medali undangan itu, maka biarlah aku yang menerimanya saja.”

Habis berkata ia lantas mendekati Thio Sam dan hendak mengambil medali yang terdapat di tangannya itu.

“Nanti dulu!” cepat Thio Sam menarik tangannya. Lalu katanya kepada Pwe Hay-ciok, “Medali undangan Liong-bok-to ini hanya diserahkan langsung kepada orang yang diundang. Nah, sesungguhnya kalian menganggap siapa yang benar-benar menjadi pangcu kalian?”

Sama sekali Pwe Hay-ciok dan gembong-gembong Tiang-lok-pang itu tidak menduga bahwa Ciok Boh-thian masih mau berkorban bagi pang mereka meski sudah tahu akan tipu muslihat dan intrik mereka. Dalam keadaan demikian, betapa pun keji dan kejamnya mereka, mau tak mau mereka merasa sangat berterima kasih juga kepada Ciok Boh-thian, serentak mereka lantas membungkuk tubuh memberi hormat kepada Boh-thian sambil berseru, “Kami rela mengangkat Ciok-tayhiap sebagai pangcu kita, segala perintah Pangcu akan kami laksanakan dan taati.”

“Ah, mana aku berani!!” sahut Boh-thian sambil balas menghormat. “Aku tidak paham apa-apa, kalau salah omong atau salah berbuat diharap kalian janganlah marah padaku.”

“Hahahahaha!” Thio Sam bergelak tertawa. “Nah, Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang, pada tanggal delapan bulan dua belas tahun ini diharap sudi hadir ke Liong-bok-to kami untuk sekadar menikmati Lap-pat-cok.”

“Baiklah, tentu aku akan hadir sekalian menyambangi Toako dan Jiko,” sahut Boh-thian.

Thio Sam dan Li Si saling pandang sekejap dengan mengerut dahi. Tapi Thio Sam lantas mengayun tangannya, dua potong medali tembaga terus melayang ke arah Ciok Boh-thian dengan perlahan.

Ketika semua orang memusatkan perhatian untuk menyaksikan cara bagaimana Ciok Boh-thian akan menerima medali-medali itu, sekonyong-konyong Bin Ju berteriak, “Jangan terima, nak!”

“Aku sudah menyanggupinya, ibu!” sahut Boh-thian. Ketika kedua tangannya menjulur, dengan gampang saja masing-masing tangannya sudah menangkap sepotong medali tembaga itu. Lalu katanya pula kepada Bin Ju, “Seperti Ciok... Ciok-cengcu, meski sudah tahu ada bahaya toh beliau tetap mau mewakilkan Siang-jing-koan untuk hadir ke Liong-bok-to, sungguh sikapnya itu sangat mengagumkan orang, maka anak juga ingin menirukannya.”

“Bagus, memang kesatria sejati dan pendekar budiman, tidak percumalah kita telah mengangkat saudara,” puji Li Si. “Tapi, Samte, biarlah kita bicara di muka secara terang-terangan, apabila sudah datang di Liong-bok-to nanti, Toako dan Jiko akan memandang kau sebagaimana tamu-tamu yang lain tanpa pandang bulu dan tak dapat memberi sesuatu pelayanan istimewa.”

“Ya, sudah seharusnya demikian,” sahut Boh-thian.

“Dan di sini masih ada beberapa buah medali yang harus diserahkan kepada saudara-saudara Hoan, Hong dan Lu dari Kwantang, silakan nanti juga hadir ke Liong-bok-to untuk menikmati Lap-pat-cok. Apakah kalian mau terima atau tidak?” demikian Li Si berkata pula.

Hoan It-hui memandang sekejap kepada Ko Sam-niocu, pikirnya, “Kau toh sudah menerima medalinya, kita Su-tay-mui-pay dari Kwantang sudah berjanji mati-hidup bersama, tiada jalan lain terpaksa ikut mengantarkan jiwa juga ke Liong-bok-to.”

Maka berkatalah dia, “Ya, jikalau sedemikian Liong-bok-to menghargai kami, masakah kami menolak arak suguhan dan memilih arak hukuman? (maksudnya masakah diundang tidak mau sebaliknya minta dipaksa).”

Lalu ia mendahului melangkah maju untuk menerima medali undangan disusul dengan Hong Liang dan Lu Cing-peng.

“Terima kasih, terima kasih!” sambut Thio Sam dan Li Si. Lalu katanya kepada Ciok Boh-thian, “Samte, kami masih perlu melanjutkan perjalanan jauh, hari ini terpaksa tidak dapat minum sepuas-puasnya dengan kau. Biarlah kami lantas mohon diri saja.”

“Tiada halangannya kalau kita minum tiga mangkuk saja,” seru Boh-thian, “Eh, di manakah buli-buli arak Toako dan Jiko?”

“Sudah kami buang,” sahut Thio Sam. “Arak kami itu tidak dapat dibuat di dalam waktu singkat, apa gunanya selalu membawa buli-buli kosong. Baiklah, mari Jite, kita bertiga habiskan tiga mangkuk arak.”

Segera anggota-anggota Tiang-lok-pang menuangkan arak, Thio Sam, Li Si, dan Ciok Boh-thian masing-masing lantas menghabiskan tiga mangkuk penuh.

Tiba-tiba Ciok Jing melangkah maju sambil berseru, “Cayhe Ciok Jing adanya, biasanya dikenal sebagai cengcu dari Hian-soh-ceng, kami suami-istri ada maksud hendak ikut hadir ke Liong-bok-to untuk minta semangkuk Lap-pat-cok.”

Cepat Thio Sam berpaling. Pikirnya dengan heran, “Selama lebih 30 tahun ini, setiap orang Bu-lim bila mendengar nama Liong-bok-to tentu kebat-kebit dan ketakutan, tapi hari ini ternyata ada orang yang sengaja minta berkunjung ke sana, hal ini benar-benar baru terjadi untuk pertama kalinya.”

Tapi ia pun lantas menjawab, “Ciok-cengcu, maafkan atas permintaanmu ini. Kalian berdua adalah murid Siang-jing-koan dan belum pernah berdiri sendiri secara resmi di dunia persilatan, maka kami tidak dapat mengundang. Begitu pula seperti halnya dengan Nyo-loenghiong dan Pek-tayhiap.”

Jilid 37

“Kalian bilang akan melanjutkan perjalanan jauh, apakah... apakah kalian akan berkunjung juga ke Leng-siau-sia?” tiba-tiba Ban-kiam bertanya.

“Dugaan Pek-tayhiap sangat jitu, kami berdua memang hendak berkunjung dan menyambangi ayahmu, Wi-tek Siansing Pek-loenghiong,” sahut Thio Sam dengan tertawa.

Ban-kiam melangkah maju, tampaknya ia ingin bicara apa-apa, tapi tidak jadi. Selang sejenak barulah berkata, “Ya, baik, baiklah!”

“Jika Pek-tayhiap cepat pulangnya mungkin kita dapat berjumpa pula di Leng-siau-sia,” ujar Thio Sam. “Nah, selamat tinggal, sampai bertemu!”

Sesudah memberi salam, bersama Li Si segera mereka melangkah keluar.

“Keparat! Berlagak apa di sini?!” mendadak Ko Sam-niocu memaki, berbareng empat bilah pisau terbang lantas ditimpukkan ke punggung kedua orang.

Sebenarnya Ko Sam-niocu sadar bahwa serangannya itu sukar mengenai sasarannya, soalnya dia teramat murka, beberapa bilah pisau terbang itu hanya sekadar pelampias saja. Benar juga, kedua orang itu seperti tidak merasa apa-apa meski empat bilah pisau itu sudah melayang sampai di belakangnya.

“Awas, Toako!” seru Boh-thian khawatir.

Tapi mendadak bayangan orang berkelebat, kedua orang itu tahu-tahu melesat ke samping untuk kemudian menghilang dengan cepat sehingga pisau-pisau terbang itu mengenai tempat kosong dan jatuh dengan sendirinya. Betapa cepatnya gerakan kedua orang itu sungguh susah untuk diukur, keruan semua orang saling pandang dengan tercengang.

Saat itu Ciok Tiong-giok sebenarnya bermaksud mengeluyur pergi dengan membawa si Ting Tong, tak terduga serangan Ko Sam-niocu itu telah memancing perhatian semua orang ke arah pintu sehingga perbuatan Ciok Tiong-giok itu diketahui.

“Berhenti!” bentak Pek Ban-kiam dengan bengis. Lalu katanya kepada Ciok Jing, “Ciok-cengcu, silakan menyatakan keputusanmu!”

“Apa mau dikata lagi jika memang demikian jadinya,” sahut Ciok Jing dengan menghela napas. “Pek-suheng, biarlah kami suami-istri membawa serta anak murtad itu ikut kau pergi ke Leng-siau-sia untuk menerima hukuman dari Pek-supek.”

Ucapan Ciok Jing ini benar-benar di luar dugaan Pek Ban-kiam dan anak murid Swat-san-pay yang lain. Untuk membela putranya yang palsu tempo hari Ciok Jing suami-istri telah bertempur mati-matian pantang menyerah, sekarang demi putranya yang tulen sudah ketemu malah dia menyanggupi berkunjung ke Leng-siau-sia, jangan-jangan di balik ini ada sesuatu tipu muslihat.

Dalam pada itu Ciok Jing dan Bin Ju sendiri merasa sangat sedih, mereka sangat menyesalkan putranya yang tak becus, sudah mau menjadi pangcu, di kala ada bahaya berbalik main sembunyi dan mengelakkan kewajiban, manusia demikian biarpun ilmu silatnya setinggi langit juga takkan diindahkan oleh orang gagah di dunia Kangouw.

Bilamana mereka bandingkan dengan Ciok Boh-thian yang telah kumpul bersama sekian lamanya, walaupun tutur kata pemuda itu rada-rada kekanak-kanakan, tapi dasar wataknya sangat jujur dan polos, terkadang pun memperlihatkan jiwa kesatrianya yang menggembirakan mereka menjadi suka kepada pemuda itu.

Tak terduga Ciok Tiong-giok yang tulen mendadak muncul, meski wajah kedua pemuda itu sangat mirip, tapi jiwa mereka sangat berbeda, yang satu gagah perwira, yang lain lemah pengecut. Celakanya yang pengecut itu justru adalah putranya sendiri yang tulen, sedangkan kesatria muda itu berbalik bukan putranya, hal ini membuat Bin Ju sangat kecewa. Tapi apa pun juga pemuda itu tetap darah dagingnya sendiri, tidak urung ia memanggilnya, “Anak Giok, coba ke sinilah!”

Segera Tiong-giok mendekat dan berkata dengan tersenyum, “Ibu, sudah beberapa tahun kita berpisah, sungguh anak sangat merindukan engkau. Tampaknya ibu menjadi semakin cantik dan lebih muda, setiap orang yang melihat tentu akan mengira engkau adalah kakak perempuanku dan takkan percaya engkau adalah ibu kandungku.”

Bin Ju tersenyum, tapi hatinya sangat mendongkol, ternyata putranya hanya pandai omong sebagai bergajul saja.

Dalam pada itu Tiong-giok berkata pula, “Ibu, anak telah memperoleh sepasang gelang kemala yang indah, sudah lama anak berharap dapat berjumpa dengan ibu agar dapat memasang gelang kemala ini di tangan ibu sendiri.”

Sambil berkata ia lantas mengeluarkan sebuah bungkusan kecil yang berisi sepasang gelang kemala dan sebuah tusuk kundai berbingkai mutiara dan berbatu permata indah. Ia tarik tangan sang ibu dan memasukkan sepasang gelang kemala hijau itu.

Memang Bin Ju sangat suka kepada perhiasan dan berdandan, melihat sepasang gelang kemala itu sangat bagus, mau tak mau ia menjadi senang juga atas kebaktian putranya kepada orang tua.

Lalu Tiong-giok membalik tubuh dan menancapkan tusuk kundai bermutiara itu di atas sanggul si Ting Tong, katanya dengan perlahan, “Tusuk kundai mutiara ini seharusnya lebih cantik sepuluh kali lagi baru cocok untuk mengimbangi wajah si Ting-ting Tong-tong yang cantik molek.”

Ting Tong menjadi girang, sahutnya lirih, “Engkoh Thian, kau memang selalu pandai bicara.”

Rupanya Pwe Hay-ciok menjadi tidak sabar menyaksikan adegan itu, segera itu berseru, “Hari ini Nyo-loenghiong, Ciok-cengcu dan nyonya, para kesatria Swat-san-pay dan su-tay-mui-pay (empat golongan besar) Kwantang berkumpul di sini semua, segala kesalahpahaman juga sudah dapat diakhiri, sekarang marilah kita mulai dengan jamuan baru, marilah kita sama-sama bergembira.”

Akan tetapi Ciok Jing, Pek Ban-kiam, Hoan It-hui, dan lain-lain masih tertekan perasaan, mereka pikir, “Kesukaran Tiang-lok-pang kalian sudah ada yang mau menghadapi, tapi kami masih harus memikirkan keselamatan sendiri-sendiri, siapa yang punya nafsu untuk makan-minum lagi?”

Segera Pek Ban-kiam membuka suara, “Menurut kedua sucia dari Liong-bok-to itu, katanya mereka akan berkunjung juga ke Leng-siau-sia, persoalan ini menyangkut kepentingan ayah dan Swat-san-pay kami, maka Cayhe harus lekas-lekas pulang ke sana. Tentang maksud baik Pwe-siansing ini Cayhe hanya mengucapkan terima kasih saja.”

“Kami bertiga ingin berangkat bersama dengan Ciok-suheng,” segera Ciok Jing menambahkan.

Maka Hoan It-hui dan kawan-kawannya juga lantas mohon diri dengan alasan waktunya sudah mendesak, mereka harus lekas-lekas pulang ke Kwantang untuk kemudian bersiap-siap menghadiri pertemuan di Liong-bok-to.

Begitulah dengan perasaan hampa Ciok Boh-thian mengikuti Pwe Hay-ciok mengantar para tamu yang mohon diri itu. Pikirnya dengan rasa pedih, “Memangnya sejak mula aku bilang mereka telah salah paham, tapi si Ting-ting Tong-tong justru mengatakan aku adalah dia punya Engkoh Thian, Ciok-cengcu dan nyonya juga bilang aku adalah putra mereka, tapi sekarang diriku telah ditinggal sendirian oleh mereka.”

Mendadak ia merasa di dunia ini hanya tertinggal seorang diri saja, siapa pun tiada sangkut pautnya dengan dia, sungguh ia ingin menangis sepuas-puasnya.

Ketika memberi salam perpisahan, Ciok Jing dan istri melihat Ciok Boh-thian mengunjuk rasa cemas yang tak terhingga, mestinya Bin Ju hendak mengatakan akan memungut Boh-thian sebagai anaknya, tapi mengingat dia adalah pangcu suatu organisasi besar, ilmu silatnya juga sedemikian lihai, kedudukannya sudah jauh lebih tinggi daripada mereka suami-istri, maka ia merasa rikuh untuk mengemukakan maksudnya. Terpaksa ia hanya berkata dengan suara halus, “Ciok-pangcu, karena salah kenal tempo hari sehingga selama ini kami agak kurang hormat padamu, untuk ini kami berharap... berharap kelak kita dapat berjumpa pula.”

Boh-thian hanya mengiakan saja dengan kurang semangat. Sampai semua tamunya sudah lenyap dari pandangan dia masih termangu-mangu di depan pintu.

Para anggota Tiang-lok-pang tiada berani mengusiknya, mereka menduga mungkin sang pangcu menjadi masygul karena sadar sudah dekat ajalnya sesudah menerima medali tembaga kedua rasul pengganjar dan penghukum tadi, kalau mereka mengganggunya, jangan-jangan rasa marah sang pangcu akan dilampiaskan atas diri mereka?

Malamnya selekasnya Boh-thian sudah masuk kamar tidurnya, tapi pikirannya bergolak, sampai tengah malam masih belum pulas.

Pada saat mulai melayap-layap hendak pulas, mendadak terdengar daun jendela diketuk perlahan-lahan tiga kali. Cepat Boh-thian bangun berduduk, teringat olehnya dahulu apabila si Ting-ting Tong-tong datang mencarinya selalu memberi tanda dengan ketukan jendela seperti sekarang ini. Tanpa merasa ia lantas menegur, “Apakah Ting-ting....” baru sekian ucapannya ia lantas menghela napas, sebab lantas teringat pula bahwa saat itu si nona tentu sudah berada di dalam pelukan Engkoh Thian yang dicintainya dan tidak mungkin sudi datang mencarinya lagi.

Di luar dugaan, daun jendela perlahan-lahan telah terdorong buka, sesosok tubuh yang langsing tampak melompat masuk sambil mengikik tawa, siapa lagi dia kalau bukan si Ting Tong?

“Mengapa kau potong namaku, Ting-tong kau ganti menjadi Ting-ting saja?” demikian nona genit itu berkata dengan suara perlahan sambil mendekati tempat tidur Ciok Boh-thian.

“Hah, kenapa kau kem... kemari lagi?” seru Boh-thian sambil meloncat turun dari tempat tidurnya, ia girang dan terkejut pula.

“Aku rindu padamu, maka datang menjenguk kau lagi,” sahut Ting Tong dengan tertawa. “Gimana sih? Apakah aku tak boleh datang kemari?”

“Kau sudah menemukan kembali kau punya Engkoh Thian, buat apa kau datang menjenguk diriku lagi?” ujar Boh-thian sambil menggeleng.

“Ai, kau marah padaku, bukan?” kata Ting Tong dengan tertawa merayu. “Engkoh Thian, siang tadi aku telah menampar kau, apakah kau masih marah padaku?” sambil berkata ia terus meraba-raba pipi Ciok Boh-thian yang ditamparnya itu.

Hidung Boh-thian lantas mengendus bau harum yang menggiurkan, mukanya terasa diraba oleh sebuah tangan yang putih dan halus, tanpa kuasa perasaannya menjadi kacau. Katanya dengan setengah menggumam, “Aku tidak marah, Ting-ting Tong-tong. Tak usah kau datang menjenguk diriku, memangnya kau telah salah mengenali diriku, asal kau tidak sebut aku sebagai penipu saja sudah cukup bagiku.”

“Penipu, penipu! Ai, jika kau benar-benar penipu, mungkin aku malah senang,” ujar Ting Tong dengan suara lembut. “Ai, Engkoh Thian, engkau benar-benar seorang jantan, seorang kesatria sejati yang jarang terdapat di dunia ini. Kau sudah menikah dan sudah sembahyang Thian dengan aku, kita pun sudah... sudah tidur bersama, tapi selama itu... selama itu kau tidak pernah memperlakukan aku sebagai istrimu.”

Muka Boh-thian menjadi merah jengah, sekujur badannya terasa panas, katanya dengan tergagap-gagap, “Ting-ting Tong-tong, aku... aku bukan kesatria sejati! Bukanlah aku tidak... tidak kepingin, aku hanya... hanya tidak berani! Ya, untung juga kita belum... belum apa-apa, kalau tidak, wah, tentu bisa runyam!”

Ting Tong menggeser dan duduk di tepi ranjang, mendadak ia menutupi matanya dan menangis tersedu sedan.

Keruan Boh-thian menjadi gugup, cepat ia tanya, “He, ada apakah, Ting-ting Tong-tong?”

“Ya, aku tahu engkau adalah seorang kesatria se... sejati, akan tetapi tidak begitulah pendapat... pendapat orang lain,” demikian sahut Ting Tong sambil menangis. “O, sungguh, biarpun aku terjun ke dalam sungai juga tidak cukup untuk membersihkan nama suciku. Ciok... Ciok Tiong-giok itu mengatakan... mengatakan bahwa aku sudah menikah dengan kau dan sudah bersatu kamar, maka dia tidak mau padaku lagi.”

“He, maaa... mana boleh jadi!” seru Boh-thian sambil membanting-banting kaki. “Ting-ting Tong-tong, jangan khawatir kau, biar kubicarakan dengan dia, akan kuterangkan bahwa hubungan kita adalah suci bersih, selamanya tidak... tidak pernah....”

“Tapi... tapi dia sudah sangat benci padamu, biarpun kau bicara padanya juga dia takkan percaya,” ujar Ting Tong sambil menangis.

Dalam hati kecilnya lapat-lapat Boh-thian merasa senang, “Jika dia tidak mau padamu, akulah yang mau.”

Tapi ia pun tahu kata-kata demikian tidak layak diucapkan, bahkan memikirnya juga tidak pantas. Maka dia hanya berkata, “Lalu bagaimana? Wah, gara-gara diriku sehingga ikut membikin susah padamu!”

Dengan terguguk-guguk Ting Tong berkata pula, “Dia bukan sanak kadangmu, kau pun tidak berbuat sesuatu kebaikan baginya, sebaliknya malah menyerobot dan menikah dengan kekasihnya, sudah tentu saja dia benci dan dendam padamu. Apabila dia... dia bukan dia, tapi misalnya Hoan It-hui atau kawan-kawannya, mereka pernah utang budi padamu, dengan sendirinya mereka akan percaya segala apa yang kau katakan.”

Boh-thian mengangguk, katanya, “Ya, benar. Ting-ting Tong-tong, sungguh aku merasa tidak enak, kita harus mencari suatu akal yang baik. Eh, ya, kau boleh minta kakekmu berbicara padanya, tentu dia akan menurut.”

“Percuma, percuma!” sahut Ting Tong, “Dia... dia Ciok Tiong-giok itu jiwanya sedang terancam, dalam waktu singkat kita pun tak dapat menemukan kakek.”

“Hah, mengapa jiwanya sedang terancam?” tanya Boh-thian terkejut.

“Itu Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay tadinya mengira kau adalah Ciok Tiong-giok sehingga kau ditangkap olehnya, syukur kakek dan aku telah menyelamatkan kau, kalau tidak, tentu kau sudah digiring ke Leng-siau-sia dan dicincang di sana, kau masih ingat tidak kejadian itu?”

“Ya, sudah tentu masih ingat. Wah, celaka, sekali ini Pek-suhu tentu akan menggiring dia ke Leng-siau-sia pula.”

“Memangnya! Orang-orang Swat-san-pay itu sudah terlalu benci padanya, sekali dia sudah sampai di Leng-siau-sia, pasti jiwanya akan melayang!”

“Benar, kalau melihat cara orang-orang Swat-san-pay yang berulang-ulang menguber dan menangkap aku tempo hari, tampaknya urusannya tentu bukan sembarang persoalan. Cuma saja mengingat kehormatan Ciok-cengcu suami-istri, boleh jadi kau punya Engkoh Thian hanya akan didamprat sekadarnya saja dan urusan akan menjadi beres.”

“Enak saja kau bicara,” ujar si Ting Tong. “Jika mereka mau mendamprat, apa tak bisa dilakukan pada setiap tempat, buat apa mereka mesti susah-susah menggiringnya pulang ke Leng-siau-sia? Apakah kau tidak tahu bahwa dalam usaha menangkapnya selama ini Swat-san-pay sudah jatuh korban beberapa orang?”

Seketika Boh-thian berkeringat dingin. Memang diketahuinya bahwa Swat-san-pay telah jatuh korban beberapa orang, jangankan dosa yang diperbuat Ciok Tiong-giok di Leng-siau-sia itu pasti sangat berat, hanya melulu perhitungan korban akibat pemburuannya di daerah Kanglam ini saja sudah cukup alasan untuk menjatuhkan hukuman mati padanya.

Dalam pada itu si Ting Tong berkata pula, “Engkoh Thian memang betul bersalah, adalah pantas kalau dia menebus dosanya dengan jiwanya sendiri. Yang harus disayangkan adalah Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, mereka adalah orang-orang baik, tapi sekarang mereka harus ikut berkorban ‘jiwa’.”

“Hah? Apa katamu? Ciok-cengcu dan nyonya juga akan ikut berkorban jiwa?” seru Boh-thian sambil melonjak bangun. Ia masih ingat kebaikan suami-istri she Ciok itu, ia merasa mereka adalah orang yang paling baik di dunia ini, maka demi mendengar kedua orang itu menghadapi bahaya, dengan sendirinya ia menaruh perhatian penuh.

“Kau sudah tahu bahwa Ciok-cengcu berdua adalah ayah-bunda Engkoh Thian, jika mereka mengantar Engkoh Thian ke Leng-siau-sia, masakah mereka sengaja mengantarkan kematian putranya? Sudah tentu mereka akan mintakan ampun kepada Pek-losiansing. Namun dapat dipastikan Pek-losiansing tentu takkan meluluskan dan tetap akan membinasakan Engkoh Thian. Untuk mana Ciok-cengcu berdua tentu akan membela putra kesayangan mereka dan pada saat mana mau tak mau pasti akan menggunakan kekerasan. Coba kau pikir, betapa banyak jago-jago Swat-san-pay itu, pula di rumahnya sendiri, sebaliknya Ciok-cengcu hanya bertiga, mana bisa mereka melawannya? Ai, kulihat selama ini Ciok-hujin sangat baik padamu, ibumu sendiri mungkin juga tidak sedemikian sayangnya padamu. Tapi sekarang dia akan... akan tewas juga di Leng-siau-sia.”

Sambil berkata ia terus menutupi mukanya dan kembali menangis pula.

Seketika darah Ciok Boh-thian bergolak dan mendidih, serunya tanpa pikir, “Jika Ciok-cengcu dan Ciok-hujin ada kesukaran, biarpun betapa bahayanya di Leng-siau-sia sana juga aku akan menyusul untuk membantunya. Seumpama aku tidak mampu menolong mereka, aku lebih suka gugur bersama mereka di sana daripada hidup sendirian. Ting-ting Tong-tong, biarlah sekarang juga aku akan pergi!”

“Kau hendak ke mana?” tanya si Ting Tong sambil menarik lengan baju pemuda itu.

“Malam ini juga aku akan menyusul mereka untuk bersama-sama naik ke Leng-siau-sia,” sahut Boh-thian.

“Kabarnya ilmu silat Wi-tek Siansing Pek-loyacu itu sangat lihai, di samping itu ada tokoh-tokoh lain seperti Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li dan sebagainya, andaikan kepandaianmu dapat menangkan mereka, tapi di tengah Leng-siau-sia konon penuh terdapat pesawat-pesawat rahasia seperti jaring kawat, panah berbisa, jebakan di bawah tanah, dan macam-macam lagi, sedikit kurang hati-hati tentu kau akan masuk perangkap mereka.”

“Jika begitu apa mau dikata lagi kalau memang sudah nasib,” ujar Boh-thian.

“Janganlah kau terdorong oleh ketekadanmu yang timbul seketika ini, jika terjadi apa-apa atas dirimu, siapa lagi yang mampu menolong Ciok-cengcu dan nyonya?” ujar Ting Tong. “O, apabila engkau gugur di sana, entah betapa akan rasa dukaku, aku... aku pun tentu tak bisa hidup sendirian.”

Hati Boh-thian berdebur keras mendengar ucapan yang meresap itu, katanya dengan agak gemetar, “Mengapa engkau sedemikian... sedemikian baik padaku? Aku toh bukan... bukan kau punya Engkoh Thian yang sebenarnya?”

“Ya, kalian berdua terlalu mirip laksana pinang dibelah dua, dalam hatiku hakikatnya tiada perbedaan, apalagi kita telah berkumpul cukup lama, selama itu pun kau sangat baik dan jujur padaku,” sampai di sini tiba-tiba Ting Tong pegang kedua tangan Ciok Boh-thian dan menambahkan, “Engkoh Thian, berjanjilah padaku, biar bagaimanapun engkau jangan pergi dan binasa.”

“Akan tetapi aku harus menolong Ciok-cengcu dan istrinya,” ujar Boh-thian.

“Sebenarnya aku ada satu akal, cuma kukhawatir engkau curiga dan mengira aku menipu kau, maka tidak enak akan kukatakan,” kata Ting Tong.

“Lekas katakan, lekas! Apakah akalmu itu, masakah aku curiga padamu?”

Ting Tong tampak merenung sejenak, katanya dengan ragu-ragu, “Engkoh Thian, cara ini sesungguhnya terlalu membikin susah padamu, sebaliknya terlalu menguntungkan dia, setiap orang yang mengetahui akalku ini tentu akan mengatakan aku sengaja menjebak kau. Ai, tidak, tidak bisa, biar bagaimanapun hal ini adalah terlalu tidak adil.”

“Sebenarnya bagaimana akalmu itu? Asal dapat menolong Ciok-cengcu berdua, biarpun sedikit membikin susah padaku apa sih halangannya?”

“Engkoh Thian, jika kau berkeras ingin tahu, biarlah akan kuturut dan akan kuterangkan,” sahut Ting Tong. “Cuma kalau kau benar-benar akan menjalankan akalku ini, maka akulah yang tidak boleh. Aku akan tanya dulu padamu, apakah kau tahu sebab apakah orang-orang Swat-san-pay sedemikian bencinya kepada Ciok Tiong-giok dan bertekad akan membunuhnya?”

“Kalau tidak salah Ciok Tiong-giok itu adalah murid Swat-san-pay, dia telah melanggar larangan perguruan, telah mengakibatkan kematian putri Pek-suhu sehingga sebelah lengan gurunya, yaitu Hong Ban-li ikut menjadi korban, ditebas oleh Pek-losiansing, ya, boleh jadi berbuat pula kejahatan-kejahatan lain yang tidak senonoh.”

“Benar, justru karena Ciok Tiong-giok itu telah mencelakai orang, makanya mereka akan membunuhnya untuk mengganti jiwa. Engkoh Thian, apakah kau telah membinasakan putri Pek-suhu dari Swat-san-pay itu?”

“Hah, aku?” seru Boh-thian melengak. “Sudah tentu tidak! Sedangkan muka putri Pek-suhu itu belum pernah kulihat.”

“Itu dia,” kata Ting Tong. “Akalku ini sesungguhnya juga sangat sederhana, ialah engkau boleh menyaru sebagai Ciok Tiong-giok dan ikut Ciok-cengcu ke Leng-siau-sia sana, nanti bila mereka hendak membinasakan kau barulah kau mengaku terus terang bahwa kau sesungguhnya adalah Kau-cap-ceng dan bukan Ciok Tiong-giok. Yang akan mereka bunuh adalah Ciok Tiong-giok dan bukan kau, paling-paling mereka akan mencaci maki padamu karena kau telah menipu mereka dengan menyaru, tapi akhirnya kau toh akan dibebaskan juga. Dan karena kau tak dibunuh oleh mereka, dengan sendirinya Ciok-cengcu berdua juga tidak perlu bergebrak dengan mereka dan tentu pun tidak berbahaya lagi.”

Untuk sejenak Boh-thian terdiam, katanya kemudian, “Akalmu ini cukup baik, cuma letak Leng-siau-sia itu jauh di wilayah barat sana, dalam perjalanan sejauh ribuan li bersama Pek-suhu dan rombongannya itu bukan mustahil sedikit salah omong saja penyamaranku akan diketahui. Kau sudah tahu sendiri, Ting-ting Tong-tong, aku tidak pintar bicara, gerak-gerikku juga bodoh, mana dapat menirukan Ciok Tiong-giok yang... yang pintar dan cerdik itu.”

“Soal ini sudah kupikirkan juga,” ujar Ting Tong dengan tertawa. “Kau bisa semir sejenis... sejenis obat yang berbisa di bagian tenggorokanmu sehingga di bagian itu akan menjadi bengkak, kau pura-pura sakit tenggorokan dan susah bicara, pura-pura menjadi bisu dan tidak perlu membuka suara dalam perjalanan.”

Sampai di sini tiba-tiba Ting Tong menghela napas, lalu katanya pula dengan menyesal, “Engkoh Thian, meski akalku ini cukup bagus, tapi kau yang harus menderita, maka aku merasa tidak enak.”

Mendengar ucapan si nona itu penuh rasa kasih sayang padanya, sungguh Boh-thian menjadi terharu. Dalam keadaan demikian jangankan dia cuma disuruh pura-pura menjadi bisu, sekalipun dia diminta mati baginya juga mau. Maka segera ia berseru, “Bagus, akalmu sangat bagus! Cuma cara bagaimana aku harus menggantikan Ciok Tiong-giok itu?”

“Rombongan mereka itu bermalam semua di Heng-co-tin di sebelah barat sana, sekarang juga kita dapat menyusul ke sana,” kata Ting Tong. “Kutahu kamar tidurnya Ciok Tiong-giok, diam-diam kita masuk ke sana dan kalian dapat saling tukar pakaian. Besok pagi kau lantas pura-pura merintih-rintih kesakitan dan mengatakan bagian tenggorokanmu keluar bisul jahat sehingga susah bersuara, sebelum saat kau hendak dibunuh orang Swat-san-pay janganlah kau membuka mulut dan bicara.”

“Ting-ting Tong-tong, akal sebagus ini hanyalah engkau yang dapat memikirkannya,” seru Boh-thian dengan girang.

“Dan ingatlah, sepanjang jalan jangan kau bicara dengan siapa pun juga, terhadap Ciok-cengcu dan Ciok-hujin juga tidak boleh memberi isyarat apa-apa. Maklum Pek-suhu dan kawan-kawannya itu sangat lihai, sedikit kau memperlihatkan tanda-tanda yang mencurigakan akan berarti membikin celaka kepada Ciok-cengcu berdua.”

“Ya, baiklah, biarpun kepalaku dipenggal juga aku takkan bicara,” sahut Boh-thian sambil mengangguk. “Hayolah, sekarang juga kita berangkat.”

Tapi mendadak pintu kamar dibuka orang, suara seorang wanita berseru, “Jangan kau tertipu olehnya, Siauya!”

Remang-remang Boh-thian melihat seorang wanita muda berdiri di depan pintu, kiranya adalah Si Kiam. “Jangan... jangan tertipu apa, Si Kiam?”

“Di luar kamar telah kudengar seluruhnya,” sahut Si Kiam. “Nona Ting ini tidak bermaksud baik, dia... dia hanya ingin menyelamatkan dia punya Engkoh Thian dan sengaja menipu kau untuk mewakilkan kematiannya.”

“Ah, masakah begitu?” ujar Boh-thian. “Nona Ting membantu aku memikirkan cara bagaimana harus menolong Ciok-cengcu dan Ciok-hujin.”

“Ai, mengapa Siauya tidak pikir masak-masak, mungkinkah mereka menaruh maksud baik padamu?” kata Si Kiam.

Mendadak Ting Tong tertawa dingin, “Huh, memangnya kau adalah pelayan pangcumu yang tulen, sekarang kau sengaja membantu orang luar dan sengaja mengadu domba.”

Lalu ia berpaling kepada Boh-thian dan berkata, “Engkoh Thian, jangan kau pedulikan perempuan hina ini, lekas kau pergi minta sedikit bun-hiang (dupa pemabuk) kepada Tan-hiangcu, tapi jangan bicara tentang urusan kita ini, sesudah mendapatkan dupa itu boleh tunggu aku di luar sana saja.”

“Untuk apa kita membawa dupa seperti itu?” tanya Boh-thian.

“Sebentar tentu kau akan tahu, sekarang lekas berangkat, lekas!” desak si Ting Tong.

Boh-thian mengiakan dan segera melangkah keluar.

Setelah Boh-thian pergi, segera Ting Tong menyemprot Si Kiam, “Hm, budak hina, baik juga ya hatimu!”

Si Kiam menjadi takut, ia menjerit terus hendak lari. Tapi si Ting Tong tidak memberi kesempatan padanya, cepat ia memburu maju, kedua tangannya menghantam sekaligus, tepat punggung Si Kiam kena digenjot dan tanpa ampun lagi mati seketika.

Sebelum meninggalkan kamar itu, lebih dulu Ting Tong menyeret jenazah Si Kiam itu ke dalam kamar, ia sengaja merobek-robek pakaian Si Kiam dan meletakkan jenazah pelayan itu di atas ranjang agar besok paginya dicurigai orang-orang Tiang-lok-pang yang pasti akan menyangka pangcu mereka sendiri yang telah membunuh pelayannya lantaran melawan kehendak sang pangcu yang tidak senonoh. Dengan demikian Pwe Hay-ciok dan lain-lain tentu juga tidak akan kaget bilamana mendadak Ciok Boh-thian menghilang, mereka tentu mengira sang pangcu sengaja menyingkir untuk beberapa hari lamanya karena merasa malu.

Selesai mengatur, perlahan-lahan Ting Tong lantas menyusup keluar dan setelah menunggu agak lama barulah kelihatan Ciok Boh-thian muncul.

“Sudah dapat!” kata pemuda itu.

“Bagus!” sahut Ting Tong dengan girang dan segera mengajaknya berangkat menuju ke tepi sungai dan naik ke atas perahu yang sudah siap.

Setelah mendayung perahu itu beberapa li jauhnya, kemudian mereka mendarat, ternyata di bawah pohon sana sudah tertambat dua ekor kuda. “Marilah kita menunggang kuda saja!” kata si nona.

“Ai, rencanamu ini benar-benar sangat rapi, sampai-sampai kuda pun sudah disiapkan,” ujar Boh-thian.

“Rapi apa segala?” semprot Ting Tong dengan muka merah. “Ini adalah kuda Yaya, aku toh tidak tahu kalau kau ingin buru-buru hendak pergi menolong Ciok-cengcu.”

Boh-thian menjadi bingung mengapa si nona mendadak marah. Ia tidak berani banyak bicara lagi dan terus cemplak ke atas kuda.

Kira-kira jam tiga dini hari sampailah mereka di luar Kota Heng-co-tin, mereka turun dari kuda dan masuk ke dalam kota. Ting Tong membawa Boh-thian ke sebuah hotel. Di luar hotel si nona berbisik-bisik padanya, “Ciok-cengcu suami-istri dan putranya tidur di kamar kedua di sebelah timur sana.”

“Apakah mereka bertiga tidur di suatu kamar?” tanya Boh-thian. “Wah, jangan-jangan nanti ketahuan Ciok-cengcu dan Ciok-hujin.”

“Mereka terpaksa harus tidur sekamar, mereka harus mengawasi putranya agar tidak melarikan diri,” sahut Ting Tong. “Ai, mereka hanya memikirkan harga diri mereka sebagai kesatria tanpa memikirkan mati-hidup putranya, orang tua demikian benar-benar jarang terdapat di dunia ini.”

Mendengar nada si nona seperti merasa penasaran, Boh-thian menjadi bingung dan tidak dapat menanggapi. Terpaksa ia tanya dengan suara tertahan, “Habis, bagaimana?”

“Boleh kau sulut dupa pemabuk yang kau bawa, masukkan ke dalam kamar mereka melalui celah-celah jendela, sesudah mereka tak sadarkan diri barulah kau membuka jendela dan masuk ke dalam, diam-diam kau pondong keluar Ciok Tiong-giok dan selesaikan tugasmu. Ginkangmu sangat tinggi, keluar-masuk kamar tentu takkan diketahui Pek-suhu dan kawan-kawannya. Aku akan menunggu kau di bawah emper sana.”

“O, kiranya demikian,” kata Boh-thian sambil mengangguk. “Baiklah, akan kukerjakan menurut petunjukmu. Apakah dupa ini yang digunakan Tan-hiangcu dan kawan-kawannya untuk menawan orang-orang Swat-san-pay sebagaimana dikatakan mereka itu?”

“Benar,” sahut Ting Tong. “Ini adalah perbuatan rendah yang biasa dilakukan oleh orang-orang Pang kalian, tentu dupa ini sangat manjur, kalau tidak masakah orang-orang Swat-san-pay yang bukan kaum lemah itu dapat dibekuk begitu saja? Cuma kau pun harus hati-hati, jangan sampai menerbitkan suara sedikit pun. Ketahuilah Ciok-cengcu dan nyonya tidak dapat disamakan dengan anak murid Swat-san-pay.”

Boh-thian mengiakan perlahan. Segera ia menyalakan dupa pembius yang dibawanya. Walaupun di tempat terbuka kepalanya terasa pusing juga ketika membau asap dupa itu. Keruan ia terkejut. “Dupa ini bisa mematikan orang tidak?” cepat ia tanya.

“Mereka telah menawan orang-orang Swat-san-pay dengan dupa semacam ini, apakah di antara orang-orang Swat-san-pay ada yang mati?” Ting Tong balas bertanya.

“Ya, tidak,” sahut Boh-thian. “Baiklah, harap kau tunggu di sini.”

Perlahan-lahan ia melompat, melintasi pagar tembok, ternyata enteng sekali gerakannya sehingga tiada menimbulkan suara sedikit pun. Ia menemukan jendela kamar kedua di serambi timur, ia dengar suara napas ketiga orang di dalam kamar itu sedang terpulas dengan nyenyaknya, perlahan-lahan ia membasahi kertas penutup jendela dengan air ludah sehingga terkorek menjadi sebuah lubang kecil, lalu ia menyalakan dupa dan memasukkannya ke dalam kamar. Nyala dupa itu sangat cepat dan sebentar saja sudah habis. Ia dengar sekeliling situ tiada sesuatu suara, dengan hati-hati ia lantas mendorong daun jendela sehingga terpentang, palang jendela telah patah oleh tenaga dalamnya yang kuat. Dengan gesit ia lantas melompat ke dalam kamar.

Jilid 38

Di bawah cahaya bintang-bintang yang remang-remang dilihatnya dalam kamar itu terdapat dua buah dipan. Ciok Jing suami-istri bersatu dipan dan Ciok Tiong-giok tidur sendirian di dipan yang lain.

Baru saja ia hendak mengangkat tubuh Ciok Tiong-giok, mendadak ia merasa kepala sendiri agak pusing, ia tahu telah mengisap bau dupa pemabuk, cepat ia menahan napas dan membawa Ciok Tiong-giok keluar hotel.

Ting Tong sudah menunggu di sana, bisiknya perlahan, “Marilah kita menyingkir agak jauh supaya tidak membikin kaget Pek-suhu dan kawan-kawannya.”

Boh-thian mengiakan, dengan memondong Ciok Tiong-giok ia ikut si nona menyingkir ke tempat lebih jauh dari hotel itu.

“Lekas kau menanggalkan pakaiannya dan menukar dengan pakaianmu, begitu pula seluruh isi sakunya,” kata si Ting Tong.

Waktu Boh-thian merogoh kantongnya sendiri, ia mengeluarkan sekotak boneka kayu pemberian Tay-pi Lojin dahulu serta dua potong medali tembaga. “Apakah ini juga... juga diberikan padanya?” tanyanya.

“Ya, berikan semua,” sahut Ting Tong. “Kalau tersimpan di bajumu, jangan-jangan akan dilihat orang dan terbongkar rahasia penyamaranmu. Biarlah aku meronda di sebelah sana. Cepat kau bertukar pakaian dengan dia.”

Menunggu sesudah si Ting Tong menyingkir agak jauh, segera Boh-thian melepaskan, pakaiannya sendiri, lalu membelejeti Ciok Tiong-giok dan saling bertukar pakaian. “Sudah, sudah selesai!” serunya kemudian.

Maka kembalilah Ting Tong mendekat, katanya, “Jiwa Ciok-cengcu dan Ciok-hujin selanjutnya tergantunglah padamu, jika kau kurang pandai bergaya tentu celakalah mereka.”

“Aku akan berbuat sebisanya,” ujar Boh-thian.

Lalu Ting Tong mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia membuka tutup kotak dan mengorek sedikit salep dengan kukunya sambil berkata, “Dongakkan kepalamu!”

Sesudah Boh-thian mengangkat kepalanya, segera ia poles salep itu di lehernya dan berkata pula, “Sebelum pagi mendatang nanti harus kau membersihkan salep ini supaya tidak dilihat orang lain. Besok akan terasa sakit sedikit, untuk ini kau harus tahan derita.”

“Tidak apa,” sahut Boh-thian.

Tiba-tiba terlihat badan Ciok Tiong-giok sedikit bergerak seperti akan siuman. Cepat ia berkata, “Ting-ting Tong-tong, aku akan kembali ke kamarnya, sampai bertemu!”

“Ya, lekas, selamat!!” sahut Ting Tong.

Kira-kira belasan meter jauhnya Boh-thian melangkah ke arah hotel, waktu menoleh, terlihat Ciok Tiong-giok sudah berduduk dan seperti sedang bicara dengan si Ting Tong dengan suara lirih. Tiba-tiba terdengar Ting Tong mengikik tawa, suaranya sangat perlahan, tapi penuh rasa gembira.

Sekonyong-konyong Boh-thian merasakan semacam kecemasan yang hebat, lapat-lapat ia merasa selanjutnya tidak dapat berkumpul bersama si Ting Tong lagi. Sesudah merandek sejenak, akhirnya ia melompat masuk ke dalam hotel dan menyusup ke dalam kamar.

Asap dupa di dalam kamar masih cukup keras, ia membuka daun jendela supaya ada hawa segar. Terdengar suara derapan kuda yang makin menjauh, ia tahu si Ting Tong dan Ciok Tiong-giok telah pergi bersama. Pikirnya, “Ke manakah mereka? Sekarang si Ting-ting Tong-tong tentulah sangat senang. Aku sendiri terlalu bodoh dan tidak pintar bicara, berada bersama dia hanya selalu membikin marah padanya saja.”

Ia berdiri termenung-menung agak lama di depan jendela, ketika mendadak merasa lehernya mulai sakit barulah cepat-cepat ia menyusup ke kolong selimut.

Obat salep si Ting Tong itu ternyata sangat manjur, tidak sampai satu jam tenggorokan Ciok Boh-thian sudah kesakitan. Waktu ia meraba dengan tangan, tempat tenggorokan itu sangat panas dan bengkak seperti orang gondok.

Ia tahan sampai fajar sudah menyingsing, lalu ia membersihkan bekas salep itu dengan selimut, kemudian mulai merintih-rintih kesakitan menurut ajaran Ting Tong supaya menarik perhatian Ciok Jing suami-istri dan tidak curiga bilamana mengendus sisa bau dupa.

Benar juga, sesudah merintih-rintih sebentar lantas didengar oleh Ciok Jing, segera orang tua itu bertanya, “Kenapa kau?”

Nadanya bukannya kasih sayang, sebaliknya rada marah.

Bin Ju juga lantas bangun dan bertanya, “Kenapakah anak Giok? Apakah badanmu kurang enak?”

Dan tanpa menunggu jawaban segera ia mendekati Boh-thian.

Ketika mendadak melihat kedua pipi Boh-thian merah membara, lehernya juga bengkak, ia menjadi kaget dan cepat berteriak, “He, Engkoh Jing, lekas kemari, coba lihatlah!”

Mendengar seruan sang istri yang khawatir itu, cepat Ciok Jing lantas melompat bangun ke depan dipan putranya, ia menjadi khawatir juga demi tampak leher putranya merah bengkak sebagai gondokan. “Besar kemungkinan hanya penyakit bisul biasa saja, kalau diobati cepat-cepat tentu akan segera sembuh.”

Lalu ia tanya Boh-thian, “Bagaimana, Nak? Apakah sangat sakit?”

Boh-thian hanya merintih saja dan tidak berani membuka suara. Pikirnya sendiri, “Karena ingin menolong kalian, makanya aku pura-pura sakit untuk menipu kalian. Hanya sakit bisul begini saja kalian sudah sedemikian menaruh perhatian padaku, ini menandakan kalian masih sangat cinta kepada putramu Ciok Tiong-giok itu walaupun dia telah banyak berdosa. Ai, mengapa di dunia ini tiada seorang pun yang mencintai aku seperti ini.”

Teringat demikian ia menjadi terharu sehingga mengembeng air mata.

Melihat putranya mewek-mewek akan menangis, Ciok Jing dan Bin Ju mengira dia kesakitan, maka mereka tambah khawatir. Ciok Jing bertanya, “Biarlah kucari seorang tabib.”

“Di kota kecil seperti ini tentu tiada tabib pandai, marilah kita pulang ke Yangciu saja dan minta tolong Pwe-tayhu untuk memberi obat padanya,” usul Bin Ju.

“Tidak,” jawab Ciok Jing. “Jangan-jangan akan menimbulkan curiga Pek Ban-kiam dan kawan-kawannya, pula akan dipandang hina oleh Pwe Hay-ciok.”

Ia tahu Pwe Hay-ciok dan orang-orang Tiang-lok-pang sudah dendam kepada putranya yang khianat ini, bilamana dibawa ke sana bukan mustahil sang putra akan dicelakai malah.

Segera Bin Ju membawakan semangkuk kuah hangat untuk Ciok Boh-thian, tak terduga salep berbisa itu sangat lihai, luar-dalam tenggorokan itu telah bengkak semua sehingga tak dapat makan-minum sama sekali. Keruan Bin Ju tambah khawatir.

Ciok Jing lantas mencari seorang tabib. Dasar tabib kampungan, tapi berlagak mahapandai, sesudah memeriksa penyakit Boh-thian itu, sebentar ia bilang cuma penyakit gondok, tapi lain saat ia menakut-nakuti katanya sakit kanker. Akhirnya ia membual betapa kepandaiannya dan minta pasiennya jangan khawatir, lalu ia membuka resep.

Ciok Jing memberi pujian sekadarnya dan memberikan honorarium yang cukup, setelah tabib itu pergi ia lantas membeli obat ke apotek.

Karena kesibukan Ciok Jing, itu, akhirnya orang-orang Swat-san-pay mendapat tahu juga persoalannya. Khawatir kalau-kalau Ciok Jing main gila dan berusaha menyelamatkan putranya, maka Pek Ban-kiam pura-pura menjenguk ke kamarnya. Ketika melihat tenggorokan Ciok Boh-thian benar-benar seperti orang sakit gondok dan Bin Ju tampak khawatir dan bingung, diam-diam ia merasa senang dan syukur.

Pikirnya, “Kau bocah durhaka ini sudah berdosa kelewat takaran, jika kau terbunuh begitu saja di Leng-siau-sia nanti akan terlalu murah bagimu, memangnya kau harus disiksa dan banyak menderita dahulu agar kau bertobat.”

Walaupun demikian pikirnya, namun sebagai seorang kesatria ia malah menghibur Bin Ju agar jangan khawatir.

Sesudah memberikan obat kepada putranya, kemudian Ciok Jing berkata kepada sang istri, “Aku sudah siapkan kereta di luar. Tiong-giok adalah seorang lelaki, dia harus berani tahan uji, sedikit penyakit saja tidak boleh menghalangi urusan orang banyak. Marilah kita lantas berangkat saja.”

Bin Ju menjadi ragu-ragu, katanya, “Penyakit anak begini parah, kalau dipaksa meneruskan perjalanan mungkin... mungkin akan tambah berat.”

“Kedua sucia pengganjar dan penghukum itu sedang menuju ke Leng-siau-sia, Pek-suheng harus buru-buru menyusul ke sana, jika Wi-tek Siansing sampai bergebrak dengan mereka, kita tak dapat membantu, sebaliknya memperlambat perjalanan Pek-suheng, hal ini tidaklah pantas.”

Bin Ju terpaksa mengiakan, katanya kepada Boh-thian, “Nak, marilah kubantu kau memakai baju.”

Lalu ia membantu Boh-thian berpakaian dan lantas keluar hotel.

Melihat Ciok Jing memaksa putranya melanjutkan perjalanan dalam keadaan sakit, mau tak mau Pek Ban-kiam menaruh hormat juga atas jiwa kesatrianya.

Sebaliknya Bin Ju paham apa yang diperhitungkan sang suami, ia kenal watak suaminya tidak nanti mengeluyur pergi dengan membawa lari putranya. Tapi menurut perhitungan Ciok Jing kunjungan Thio Sam dan Li Si ke Leng-siau-sia nanti pasti akan cekcok dan bertempur dengan Pek Cu-cay alias Wi-tek Siansing yang berperangai keras dan tidak nanti mau terima medali tembaga yang disodorkan itu. Jika bisa Ciok Jing ingin mencapai Leng-siau-sia tepat pada waktunya dan dapat membantu pihak Swat-san-pay dengan sepenuh tenaga, jika nasibnya malang dan gugur dalam pertempuran itu, maka paling sedikit akan dapat mencuci bersih nama busuk putranya, sebaliknya kalau untung mendapat kemenangan, maka berita tentang Swat-san-pay bergabung dengan Hian-soh-ceng telah menjatuhkan Thio Sam dan Li Si pasti akan tersiar di dunia Kangouw, jasa itu tentu dapat menebus dosa putranya dan Pek Cu-cay tentu tidak tega membunuhnya lagi.

Namun Bin Ju sendiri sudah menyaksikan kepandaian Thio Sam dan Li Si di markas Tiang-lok-pang dan menduga lebih banyak kalah daripada menangnya bila benar-benar bergabung melawan kedua orang itu. Akan tetapi selain pikiran sang suami itu rasanya tiada jalan lain lagi yang lebih sempurna, sebab itulah ia pun menurut saja.

Sebenarnya tabib di Heng-co-tin itu memang tidak becus, dia telah salah sangka bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian itu sebagai sakit gondok. Namun dengan demikian Ciok Jing dan Bin Ju menjadi tidak curiga apa-apa. Pula wajah Boh-thian dan Ciok Tiong-giok memang sangat mirip, sesudah saling tukar pakaiannya, siapa pun tidak dapat membedakannya lagi. Dengan enak-enak Boh-thian bertiduran di dalam kereta kuda tanpa bersuara sedikit pun, maka rahasianya juga tidak sampai ketahuan siapa-siapa. Kepergian si Ting Tong tanpa pamit itu adalah kebetulan bagi Ciok Jing dan Bin Ju, maka mereka pun tidak mengusut lebih lanjut.

Begitulah rombongan mereka lantas mempercepat perjalanan agar tidak didahului oleh Thio Sam dan Li Si. Setiba di wilayah Provinsi Oulam, bengkak di tenggorokan Ciok Boh-thian sudah kempis, akan tetapi dia masih gagu dan tidak dapat bicara. Beberapa kali Ciok Jing membawanya kepada tabib-tabib di kota yang dilalui, namun tidak diperoleh sesuatu kepastian tentang penyakitnya, hal ini membuat Ciok Jing menjadi masygul dan Bin Ju pun lebih sering mencucurkan air mata.

Suatu hari sampailah mereka di wilayah Se-ek (daerah provinsi-provinsi sebelah barat). Orang-orang Swat-san-pay sangat hafal keadaan setempat, mereka selalu mengambil jalanan kecil yang lebih dekat. Untuk ini mereka yakin pasti akan dapat tiba lebih dulu di tempat tujuan daripada Thio Sam dan Li Si. Makin dekat dengan Leng-siau-sia makin legalah hati mereka.

Hanya Ciok Jing dan Bin Ju saja yang merasa bimbang, mereka menduga pada waktu bertemu dengan Wi-tek Siansing nanti kedua pihak tentu akan serbasalah. Apabila orang tua itu lantas marah-marah terus membinasakan anak Giok dan pada saat itu juga Thio Sam dan Li Si muncul pula, maka keadaan tentu akan menjadi sulit.

Diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju juga saling berunding, tapi susah mengambil sesuatu keputusan, terpaksa mereka pasrah nasib dan terserah kepada keadaan nanti.

Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di suatu lereng gunung di mana terdapat sederetan rumah-rumah papan kayu, Pek Ban-kiam telah tanya penjaga rumah-rumah papan itu dan diketahui beberapa hari terakhir ini belum pernah ada orang asing lalu di situ, maka hatinya menjadi makin lega.

Mereka bermalam di perumahan papan itu, besok paginya mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kiranya perjalanan selanjutnya sangatlah terjal dan tidak dapat dilalui dengan kuda. Beberapa murid Swat-san-pay jalan di depan sebagai penunjuk jalan mereka terus mendaki gunung dan melintasi tanjakan. Kira-kira satu jam kemudian, seluruh tanah mulai tertampak hanya salju belaka. Untung ginkang setiap orang tidaklah lemah sehingga tidak mengalami suatu kesukaran.

Sepanjang jalan Ciok Boh-thian terus ikut di belakang ayah-bundanya, tidak mendahului juga tidak ketinggalan.

Melihat kekuatan berjalan sang putra sangat tangkas, napasnya juga panjang, diam-diam Ciok Jing dan Bin Ju merasa lwekang pemuda itu tidak lebih lemah daripada mereka sendiri, mereka menjadi kagum dan senang. Tapi demi ingat tidak lama lagi akan berjumpa dengan Pek Cu-cay, kembali mereka khawatir pula.

Petangnya mereka melihat di depan sana berdiri suatu puncak gunung yang menjulang tinggi dengan bangunan berpuluh-puluh rumah.

“Ciok-cengcu, inilah Leng-siau-sia adanya, tempatnya terlalu terpencil dan miskin, segalanya kasar dan sederhana saja,” kata Pek Ban-kiam.

“Sungguh suatu tempat yang bagus,” puji Ciok Jing. “Puncak yang tertinggi dikelilingi gunung-gemunung, benar-benar sesuai dengan namanya sebagai ‘leng-siau’ (mencakar langit).”

Tertampak awan mengapung ke atas dan lambat laun seluruh Leng-siau-sia telah terselubung semua di-tengah-tengah gumpalan awan yang tebal.

Ketika rombongan mereka sampai di kaki puncak gunung itu hari pun sudah gelap, mereka lantas bermalam pada dua rumah batu yang biasanya disediakan untuk orang-orang yang hendak berkunjung ke Leng-siau-sia agar besok pagi-pagi dapat mendaki puncak tinggi itu dengan tenaga penuh.

Waktu fajar baru menyingsing segera rombongan mereka mulai mendaki puncak terjal itu. Walaupun semua orang berkepandaian tinggi, tidak urung mereka harus berhenti mengaso dua kali serta makan ransum di gardu kecil di tengah gunung. Lewat tengah hari barulah mereka sampai di luar Leng-siau-sia. Tertampaklah beratus-ratus rumah dikelilingi selapis tembok benteng yang putih dan tingginya lebih dari lima-enam meter, kelihatannya penuh dengan salju yang sudah membeku.

“Pek-suheng, dinding benteng penuh dengan salju yang membeku, maka pastilah sangat kukuh laksana baja, orang luar tidaklah mungkin dapat menyerbu ke dalam,” kata Ciok Jing.

“Ya, selama lebih 170 tahun berdirinya golongan kami memang tidak pernah diserbu musuh dari luar,” sahut Ban-kiam dengan tertawa. “Hanya saja di musim dingin sering mendapat gangguan kawanan serigala yang lapar, tapi juga tidak mampu masuk ke dalam benteng.”

Sampai di sini dilihatnya jembatan gantung yang melintasi sungai es yang mengelilingi benteng itu masih tergantung tinggi-tinggi dan belum dihubungkan, diam-diam Ban-kiam menjadi marah, segera ia membentak, “Siapa itu yang dinas jaga? Apakah tidak lihat kami telah pulang?”

Maka tertampaklah di atas benteng menongol sebuah kepala dan berkata, “Kiranya Pek-supek dan para supek yang lain telah pulang, segera akan kulaporkan dulu.”

“Ada tamu jauh berkunjung kemari, lekas turunkan jembatan gantung!” bentak Ban-kiam pula.

Terdengar orang itu mengiakan sambil mengkeretkan kembali kepalanya, tapi sampai sekian lamanya jembatan gantung masih tetap tidak diturunkan.

Ciok Jing melihat sungai yang mengelilingi benteng itu lebarnya ada lima-enam meter lebih, untuk melompat ke seberang memang tidak gampang.

Pada umumnya dinding benteng memang selalu dikelilingi oleh sungai pelindung benteng, tapi di puncak gunung ini hawa sangat dingin, air sungai telah membeku menjadi es, sungai ini pun sangat dalam, tepi sungai juga membeku sebagai dinding es yang licin, baik binatang maupun manusia jika terjerumus ke bawah tentu sangat sukar untuk naik kembali.

Dalam pada itu terdengar Kheng Ban-ciong dan Kwa Ban-kin juga sedang membentak-bentak suruh penjaga-penjaga benteng lekas turunkan jembatan gantung dan membuka pintu.

Melihat suasana agak luar biasa, Ban-kiam menjadi khawatir jangan-jangan terjadi apa-apa di dalam benteng. Segera ia membisiki kawan-kawannya, “Para Sute harap waspada, boleh jadi kedua orang dari Liong-bok-to itu sudah tiba lebih dahulu.”

Mendengar itu semua orang terkesiap dan tanpa merasa sama meraba senjatanya masing-masing.

Pada saat itulah terdengar suara berkeriang-keriut, jembatan gantung perlahan-lahan telah diturunkan. Pintu gerbang lantas terbuka dan tertampak berlari keluar seorang yang berjubah putih, lengan baju sebelah kanan terikat pada ikat pinggangnya, di dalam lengan baju itu tertampak kosong melompong, terang tiada isinya, yaitu lengannya buntung. Orang ini lantas berteriak-teriak, “Haha, kiranya Ciok-heng dan Ciok-so yang telah tiba, sungguh tamu yang tak terduga, selamat datang!”

Melihat Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li menyambut sendiri kedatangan mereka, sedangkan lengan kanannya kelihatan buntung akibat perbuatan putranya sendiri, sungguh Ciok Jing menyesal tak terhingga. Cepat ia memapak maju sambil berseru, “Hong-jite, kami suami-istri membawa putra durhaka ini sengaja datang kemari untuk menerima hukuman yang akan dijatuhkan Pek-supek dan engkau.”

Habis berkata ia terus melangkah maju dan bertekuk lutut memberi hormat. Sejak Ciok Jing terkenal di dunia Kangouw belum pernah ia memberi hormat kepada angkatan yang setingkat kecuali kepada orang tua, sekarang lantaran pengorbanan Hong Ban-li terlalu besar gara-gara perbuatan putranya, maka tanpa merasa ia lantas menjura kepada sobat lama itu.

Melihat suaminya berlutut dan menjura, sebaliknya sang putra masih berdiri termangu di samping, cepat Bin Ju menarik baju Ciok Boh-thian sambil berlutut di samping sang suami.

Boh-thian sendiri tidak tahu apa-apa, tapi ia berpikir, “Dia adalah gurunya Ciok Tiong-giok yang kusamar sekarang, ketemu guru memang seharusnya memberi hormat.”

Maka ia lantas berlutut juga dan menjura berulang-ulang sampai kepalanya membentur tanah.

Hong Ban-li tidak menggubris perbuatan Ciok Boh-thian itu sebaliknya ia berkata kepada Ciok Jing, “Ai, mengapa Ciok-heng dan Ciok-so memakai adat setinggi?”

Cepat ia pun berlutut dan balas menjura.

Sesudah Ciok Jing suami-istri dan Hong Ban-li berbangkit kembali, hanya Ciok Boh-thian sendiri yang masih berlutut di situ.

Sama sekali Ban-li tidak menggubris Ciok Boh-thian, katanya kepada Ciok Jing, “Ciok-heng dan Ciok-so, rasanya sudah belasan tahun kita tidak bertemu, kalian berdua ternyata semakin sehat dan tambah muda. Selama ini terdengar juga nama kalian berdua yang sangat terpuji di dunia Kangouw, sungguh aku merasa sangat kagum dan terimalah ucapan selamat dariku.”

“Kami tidak mampu mengajar anak, segala pujian kawan-kawan Kangouw hanya nama kosong saja, apa yang perlu ditonjolkan?” sahut Ciok Jing dengan rendah hati. “Hari ini melihat keadaan Hong-hiante, sungguh kami merasa malu tak terhingga.”

“Ah, kita adalah sahabat lama dan sesama kaum persilatan, hanya sedikit persoalan mengapa harus selalu disebut-sebut? Kalian datang dari jauh dan tentu sudah capek, hayolah lekas masuk ke dalam benteng dan mengaso dulu,” kata Hong Ban-li tetap tidak ambil pusing kepada Ciok Boh-thian yang masih berlutut di tempatnya.

Segera Hong Ban-li mengiringi Ciok Jing mendahului masuk ke dalam benteng. Bin Ju lantas menarik bangun putranya dengan mengerut kening, melihat sikap Hong Ban-li tadi walaupun ucapannya enak didengar, tapi jelas belum mau mengampuni dosa Ciok Boh-thian.

Ketika masuk ke benteng, Pek Ban-kiam telah memanggil seorang penjaga dan bertanya dengan suara perlahan, “Apakah Loyacu (tuan besar, maksudnya ayahnya) baik-baik saja? Apa yang telah terjadi di sini sesudah aku pergi?”

“Loyacu... Loyacu cuma suka marah-marah dan agak kasar perangainya,” sahut anak murid Swat-san-pay itu. “Sejak Supek berangkat juga tiada terjadi apa-apa. Hanya... hanya....”

“Hanya apa?” desak Ban-kiam dengan menarik muka.

Murid itu menjadi ketakutan, jawabnya, “Lima... lima hari yang lalu mendadak Loyacu mengamuk dan... dan telah membunuh Liok-supek dan Boh-susiok.”

“Hah? Mengapa bisa begitu?” tanya Ban-kiam terkejut.

“Tecu sendiri tidak tahu,” sahut murid itu. “Kemarin dulu kembali Loyacu membunuh Yan-susiok pula, juga sebelah kaki Tho-supek kena ditebas kutung oleh beliau.”

Sungguh kaget Ban-kiam tak terkatakan. Pikirnya, “Boh, Lio, Yan, dan Tho-sute adalah jago-jago pilihan dalam Swat-san-pay, biasanya ayah sangat sayang kepada mereka, mengapa mendadak ayah berlaku sekejam ini kepada mereka?”

Cepat ia menarik murid itu ke samping, sesudah Bin Ju dan Ciok Boh-thian pergi lebih jauh, segera ia tanya pula, “Sesungguhnya apa yang telah terjadi?”

“Tecu benar-benar tidak tahu,” sahut murid itu. “Sesudah meninggalnya paman-paman guru itu, setiap orang di Leng-siau-sia merasa tidak tenteram dan kebat-kebit. Kemarin malam Thio-susiok, Be-susiok, dan lain-lain juga pergi tanpa pamit, katanya hendak pergi mencari Pek-supek. Untunglah hari ini Pek-supek sudah pulang dan dapatlah meredakan kemarahan Loyacu.”

Karena tidak mendapatkan keterangan yang diharapkan, segera Ban-kiam menyusul ke rumah. Setiba di ruangan tamu, tertampak Hong Ban-li sedang mengiringi Ciok Jing dan Bin Ju minum teh. Segera ia berkata, “Silakan kalian duduk dahulu, Siaute akan menemui ayah dan minta beliau keluar bertemu dengan tamu.”

Mendadak Hong Ban-li menukas dengan mengerut kening, “Beberapa hari yang lalu mendadak Suhu jatuh sakit, mungkin beliau harus mengaso beberapa hari lagi baru dapat menemui tamu. Kalau tidak, beliau biasanya sangat menghormati Ciok-heng, tentu sejak tadi beliau sudah keluar.”

Pikiran Ban-kiam menjadi kacau, cepat ia berkata, “Jika demikian, biarlah aku menjenguk ayah dahulu.”

Dengan langkah lebar segera ia menuju ke kamar tidur sang ayah, sampai di luar pintu, ia berdehem dahulu, lalu berseru, “Ayah, anak sudah pulang!”

Maka tertampaklah tirai pintu tersingkap, muncul seorang wanita cantik pertengahan umur, ialah bini muda Pek Cu-cay yang bernama Yu-nio. Wajahnya kelihatan agak pucat, melihat Ban-kiam segera ia berkata, “Syukurlah sekarang Toasiauya sudah pulang, memangnya kami sedang bingung apa yang harus kami lakukan. Sejak kemarin dulu pikiran Loyacu mendadak menjadi linglung, aku... aku telah sembahyang dan berdoa, tapi sedikit pun tidak berhasil apa-apa. Toasiauya, semoga kau....” sampai di sini ia lantas menangis terguguk-guguk.

“Urusan apakah yang membikin ayah menjadi marah-marah?” tanya Ban-kiam.

“Ya entah anak muridnya salah omong apa sehingga Loyacu menjadi murka, berturut-turut beberapa muridnya telah dibunuh,” tutur Yu-nio. “Saking marahnya sekujur badan Loyacu menjadi gemetar, sepulangnya di kamar mukanya tampak berkejang, mulutnya berbuih dan mengiler, bicara pun tidak sanggup lagi. Ada orang mengatakan beliau terkena ‘angin’ dan entah betul atau tidak....” sembari bicara dia terus menangis sedih.

Mendengar penyakit “kena angin”, seketika Pek Ban-kiam menjadi khawatir, tanpa bertanya lagi ia lantas berseru, “Ayah!” dan terus berlari ke dalam kamar.

Ia lihat kelambu tempat tidur sang ayah tertutup rapat, di dalam kamar ternyata ada sebuah anglo kecil dan sedang masak obat.

“Ayah!” seru Ban-kiam pula sambil membuka kelambu. Maka tertampaklah ayahnya bertiduran dengan menghadap ke sebelah sana, badannya sedikit pun tidak bergerak.

Pendengaran Ban-kiam sangat tajam, ia merasa pernapasan ayahnya seperti sudah berhenti. Saking kagetnya tanpa pikir ia terus menjulur tangan untuk memeriksa pernapasan hidung sang ayah.

Tapi baru saja sebelah tangannya terjulur sampai di samping mulut ayahnya, dari dalam selimut mendadak menyambar keluar suatu benda, “krek”, tahu-tahu tangan Ban-kiam telah terbelenggu dengan kencang, kiranya benda itu adalah sebuah jepitan baja yang penuh berduri tajam.

Keruan Ban-kiam tambah kaget. “Ayah, akulah, anak telah pulang!” teriaknya. Tapi mendadak dada dan perutnya berbareng telah tertutuk dua kali dan tepat mengenai hiat-to yang penting sehingga dia tidak bisa berkutik lagi....

Dalam pada itu Ciok Jing suami-istri yang dilayani Hong Ban-li dalam sedang minum di ruangan tamu itu pun merasakan sesuatu yang aneh pada orang-orang Swat-san-pay yang dilihatnya, seakan-akan setiap orang itu menyembunyikan rahasia apa-apa. Ciok Jing menjadi heran dan mengira jangan-jangan berhubung akan datangnya kedua rasul pengganjar dan penghukum dari Liong-bok-to itu, maka orang-orang Swat-san-pay itu merasa cemas dan gelisah.

Rupanya Hong Ban-li mengetahui perasaan tamunya, ia coba memberi penjelasan bahwa gurunya sudah tua, biasanya cukup sehat, tapi mendadak jatuh sakit rada berat. Untuk mana Ciok Jing juga mendoakan agar Pek Cu-cay lekas sembuh dan minta Hong Ban-li jangan terlalu berduka.

Sementara itu hari sudah mulai gelap, Hong Ban-li perintahkan orang menyiapkan perjamuan. Kheng Ban-ciong, Kwa Ban-ki dan lain-lain ternyata tidak muncul lagi, maka Ciok Jing bertiga diiringi oleh Ban-li sendiri bersama seorang sutenya yang bernama Liok Ban-thong. Sekali ini Ciok Boh-thian juga disilakan duduk dan disuguhi arak. Dengan alasan minum arak untuk bikin hangat badan, berulang-ulang Ban-li menyilakan tamunya penghabisan isi cawan sehingga Bin Ju sampai-sampai menghabiskan tiga cawan.

Sekonyong-konyong terasa suatu arus panas menaik dari dalam perut, menyusul dada pun terasa panas sebagai dibakar, cepat Bin Ju mengerahkan lwekang untuk bertahan, katanya dengan tertawa, “Hong-hiante, arakmu ini sungguh lih... lihai!

Agaknya Ciok Jing juga merasakan hebatnya arak itu, mendadak ia berbangkit dan membentak, “Arak apakah ini?”

“Ini adalah som-yang-ciu (arak kolesom) yang memang agak keras sedikit tapi rasanya tak sampai memabukkan Hian-soh-siang-kiam, bukan?” sahut Ban-li dengan tertawa.

Dengan suara bengis Ciok Jing membentak pula, “Kau... kau....” tapi mendadak tubuhnya menggeliat dan akan jatuh.

Cepat Bin Ju dan Ciok Boh-thian berbangkit dan bermaksud memayang Ciok Jing, tak terduga mereka berdua berbareng juga merasa kepala pusing dan mata berkunang-kunang. Sekaligus mereka pun roboh dan terduduk kembali di tempatnya masing-masing tak sadarkan diri.

Entah berselang berapa lama, dengan lwekang Ciok Boh-thian yang kuat itu perlahan-lahan ia siuman lebih dulu. Semula ia mengira di dalam mimpi saja, perlahan-lahan ia menggerak-gerakkan tangannya dan bermaksud menahan tubuhnya untuk berduduk, sekonyong-konyong terasa kedua tangannya terkatup oleh sesuatu benda yang keras dan dingin. Ia terkejut, pikirannya lantas jernih seketika.

Maka tahulah dia bahwa kaki dan tangannya telah terbelenggu semua. Waktu ia membuka mata, ternyata keadaan gelap gulita dan tidak mengetahui di mana ia berada. Ia coba berdiri dan melangkah ke depan, tapi baru dua tindak saja, “blang”, batok kepalanya lantas membentur dinding yang keras.

Ia coba tenangkan diri sambil raba-raba kepalanya yang benjut Perlahan-lahan ia meraba-raba dinding di sekelilingnya, kiranya dia terkurung di dalam sebuah kamar batu yang kecil. Keadaan gelap gulita, hanya pada ujung kiri sana remang-remang ada cahaya yang menembus masuk. Ketika diperiksa, kiranya adalah sebuah lubang sebesar belasan senti, jangankan manusia, anjing pun susah menerobos lewat. Ia coba ketok-ketok dinding batu dengan borgol di tangannya itu sehingga mengeluarkan suara gemerantang yang nyaring, nyata dinding batu itu sana tebal dan kukuh.

Boh-thian duduk bersandarkan dinding dan mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi, “Mengapa aku bisa sampai di sini? Apa barangkali arak kolesom yang mereka suguhkan itu dicampur dengan obat tidur sehingga Ciok-cengcu suami-istri juga jatuh pingsan di tempat perjamuan itu. Tampaknya orang-orang Swat-san-pay berkeras akan membunuh Ciok Tiong-giok, khawatir kalau Ciok Jing berdua membelanya, maka mereka perlu dipulaskan lebih dulu dengan obat tidur. Tapi mengapa mereka belum membunuh aku? Ah, besar kemungkinan karena Wi-tek Siansing sedang sakit, mereka sengaja mengurung kami untuk beberapa hari lagi dan akan diputuskan sendiri oleh Wi-tek Siansing bila sakitnya sudah sembuh.”

Lalu terpikir pula olehnya, “Bilamana Wi-tek Siansing tanya padaku, asal aku mengatakan bahwa aku adalah Kau-cap-ceng dan bukan Ciok Tiong-giok, kukira dia pasti akan membebaskan diriku. Tapi Ciok-cengcu berdua belum tentu akan dibebaskan olehnya, boleh jadi akan tetap dipenjarakan sebagai sandera sampai tertangkapnya Ciok Tiong-giok yang tulen. Selama dipenjarakan, orang halus dan suka bersih sebagai Ciok-hujin apakah tahan di tempat yang gelap dan kotor seperti ini, wah, entah betapa dia akan merana. Cara bagaimanakah aku harus mencari suatu akal untuk menolong Ciok-hujin dan Ciok-cengcu, habis itu barulah aku akan bicara menurut aturan dengan Pek-loyacu.”

Demi teringat harus bertempur seketika ia menjadi sedih pula, padahal dirinya sekarang dalam keadaan terborgol dan memerlukan pertolongan orang lain, cara bagaimana pula dapat pergi menolong Ciok-cengcu berdua? Di dalam Leng-siau-sia ini adalah orang-orang Swat-san-pay semua, siapa yang mau menolongnya?

Ia coba meronta dan membetot-betot borgol itu, tapi hanya terdengar suara gemerencing rantai saja, kiranya di antara borgol tangan dan kaki itu tersambung pula beberapa utas rantai besi.

Pada saat itulah mendadak dari lubang kecil di dinding tadi ada cahaya lampu menembus masuk. Ada orang mendekati kamar batu itu dengan membawa pelita. Menyusul dari luar lubang dinding itu terlihat disodorkan masuk sebuah kuali kecil yang berisi setengah kuali nasi, di atas nasi terdapat beberapa iris sayur asin, sepasang sumpit tertancap di atas nasi pula.

Boh-thian tidak pikirkan lagi tentang pura-pura menjadi gagu segala, segera ia berteriak, “He, he! Aku ingin bicara dengan Pek-loyacu, lekas sampaikan kepada beliau!”

Tapi orang di luar itu hanya mendengus saja tanpa menjawab. Sinar pelita tadi lambat laun menjadi pudar dan akhirnya lenyap. Ternyata orang itu telah pergi tanpa menggubris permintaan Boh-thian.

Terendus bau sedapnya nasi barulah Boh-thian ingat perutnya sudah lapar. Padahal ia ingat sudah makan cukup banyak dalam perjamuan itu, mengapa sekarang sudah lapar sekali. Rupanya waktu tak sadar dan terkurungnya di kamar batu itu sudah cukup lama.

Tanpa pikir lagi segera ia pegang kuali nasi itu, sumpit lantas bekerja dan makan dengan lahap, hanya sekejap saja isi kuali itu sudah disapu bersih ke dalam perutnya. Habis makan ia taruh kuali kosong itu di tempatnya semula.

Beberapa kali ia coba membetot lagi, tapi borgol di kaki-tangannya itu ternyata terbuat dari baja, biarpun ia mengerahkan segenap lwekangnya juga susah mematahkannya, sebaliknya pergelangan tangan dan kaki sendiri yang kesakitan dan lecet. Ia coba meraba daun pintu kamar batu itu, akhirnya ia menemukan garis celah-celah pintu, sekuatnya ia mendorong dengan pundak, tapi pintu batu tidak bergerak sedikit pun.

Boh-thian menjadi putus asa dan menerima nasib di samping mengkhawatirkan keselamatan Ciok Jing dan istrinya. Daripada susah-susah akhirnya ia tidak mau pikir lagi, dengan bersandarkan dinding ia pejamkan mata dan tidur.

Di dalam kamar tahanan yang gelap gulita itu susah diketahui sudah lewat berapa lamanya, besar kemungkinan sudah menunggu satu hari barulah ada orang mengantarkan nasi lagi. Terlihat sebuah tangan menjulur masuk dari luar lubang dinding untuk mengambil kuali kosong.

Sekilas benak Ciok Boh-thian timbul suatu akal. Ketika orang itu memasukkan makanan pula, secepat kilat Boh-thian menubruk maju, di tengah gemerencingnya rantai besi, tahu-tahu pergelangan tangan orang itu sudah terpegang.

Dengan kim-na-jiu-hoat ditambah lwekang yang lihai, sekali tangannya sudah dipegang Ciok Boh-thian, biarpun tokoh terkemuka di dunia persilatan juga tidak tahan, apalagi sekarang hanya seorang pengantar makanan biasa saja?

Keruan orang di luar itu kaget, saking kesakitan ia menjerit laksana babi hendak disembelih. Ketika Ciok Boh-thian sedikit menarik, seluruh lengan orang itu telah kena diseret masuk ke dalam, bentaknya, “Jangan berteriak, kalau berteriak lagi segera kubetot putus lenganmu!”

Terpaksa orang itu minta ampun, “Tidak, aku takkan berteriak lagi. Lek... lekas engkau melepaskan tanganku!”

“Buka dulu pintu kamar batu ini, lepaskan aku keluar,” sahut Boh-thian.

“Baik, lepaskan tanganku, biar kubuka pintunya,” kata orang itu.

“Sekali kulepaskan tentu kau akan lari, tidak dapat kulepaskan tanganmu,” ujar Boh-thian.

“Habis, cara bagaimana aku dapat membukakan pintunya?” jawab orang itu.

Boh-thian pikir benar juga alasan orang itu. Kalau melulu memegangi tangannya saja terang tak berguna. Tapi dengan susah payah tangan orang sudah kena dipegang, masakah sekarang lantas dilepaskan begitu saja?

Tiba-tiba ia mendapat akal pula, katanya, “Lekas serahkan kunci borgol kaki-tanganku ini!”

“Kunci?” orang itu menegas. “Wah, buk... bukan aku yang memegang kuncinya. Hamba cuma seorang pengantar ransum saja.”

Boh-thian merasa curiga atas pada jawaban orang. Ia pikir toh sudah tiada jalan lain, terpaksa orang ini harus didesak terus. Segera ia genggam lebih keras sambil berkata, “Baiklah, biar kupatahkan dulu tanganmu dan urusan belakang!”

Keruan orang itu berkuik-kuik kesakitan pula. Di luar dugaan, sesudah mengaduh-aduh beberapa kali, akhirnya terdengar suara nyaring, sebuah kunci telah terlempar masuk.

Ternyata orang itu sangat licin sekali, dia sengaja melemparkan kunci ini jauh-jauh sehingga tangan Boh-thian tidak sampai untuk mengambilnya. Jika mau ambil kunci itu terpaksa pemuda itu harus melepaskan dulu tangannya.

Jilid 39

Seketika Boh-thian menjadi bingung juga. Sambil membetot sekuatnya tangan orang itu Boh-thian mengulurkan sebelah kakinya ke belakang untuk meraih kunci borgol itu. Namun meski lengan orang itu sudah terbetot sampai-sampai hampir copot dari ruasnya toh masih belum bisa mencapai kunci itu. Sebaliknya orang itu menjerit-jerit kesakitan pula seperti babi, “Aduh, aduuuh! Jangan tarik lagi, kalau tarik lagi tanganku tentu putus!”

Melihat kaki sendiri tidak bisa mencapai tempat kunci, tiba-tiba Boh-thian mendapat akal pula, cepat ia menanggalkan sebelah sepatunya sendiri, ia incar dinding sebelah sana, lalu sepatu itu ditimpukkan sekuatnya. Ketika sepatu itu membentur dinding dan terpental balik, dengan tepat kunci yang terletak di tanah itu juga tersampuk dan terbawa ke sebelah sini.

Boh-thian sampai bersorak saking senangnya karena akalnya mencapai hasil yang diharapkan. Segera ia jemput kunci itu dan memakai kembali sepatunya. Secara bergantian ia membuka kedua belah borgol tangannya. Habis itu mendadak “krek”, ia gunakan borgol itu untuk membelenggu tangan orang itu.

Keruan orang itu terkejut. “He, ap... apa yang kau lakukan?” serunya takut.

“Sekarang bolehlah kau membukakan pintu kamar tahanan ini,” kata Boh-thian dengan tertawa sambil mengeluarkan rantai borgol.

Tapi orang itu masih ragu-ragu, Boh-thian menjadi tidak sabar, ia tarik rantai borgol sehingga lengan orang itu terseret ke dalam lubang lagi. Rupanya agak keras juga tenaga yang digunakan Ciok Boh-thian sehingga muka orang itu tertumbuk dinding, kontan batok kepalanya benjut dan hidung keluar kecapnya.

Orang itu sadar tidak dapat membangkang lagi, terpaksa sambil menyeret rantai borgol ia membukakan pintu kamar batu itu. Akan tetapi ujung rantai yang lain masih terikat pada borgol kaki Ciok Boh-thian, meski pintu sudah terbuka, namun kedua ujung rantai besi itu menembus lubang dinding batu dan terikat pada tangan dan kaki dua orang, jadi Ciok Boh-thian tetap tidak dapat keluar.

“Coba serahkan kunci borgol kakiku ini,” kata Boh-thian sambil menarik rantai borgol tangan orang itu.

“Aku benar-benar tidak memegang kuncinya,” sahut orang itu dengan wajah sedih. “Hamba benar-benar cuma seorang pengantar makanan saja dan tidak berkuasa memegang kunci.”

“Baiklah, jika begitu tunggulah sesudah aku keluar dahulu,” kata Boh-thian. Segera ia tarik pula lengan orang itu ke dalam lubang dan membukakan borgolnya.

Begitu tangannya terlepas dari borgol, dengan cepat orang itu lantas berlari ke sana dan bermaksud menutup kembali pintunya. Akan tetapi semuanya ini sudah dalam perhitungan Ciok Boh-thian, secepat kilat ia sudah melompat ke sana dan menyelinap keluar pintu. Sekali cengkeram segera ia bekuk kuduk orang itu dan diangkat ke atas.

Ia lihat orang itu berjubah putih, badannya kekar, mukanya cerdas, terang adalah anak murid Swat-san-pay dan bukan pengantar nasi saja seperti pengakuannya tadi. Segera ia membentaknya, “Kau mau buka borgol kakiku atau tidak? Atau kau minta kutumbukkan kepalamu di atas dinding batu ini?”

Sebenarnya ilmu silat orang itu juga tidak lemah, tapi kebentur di tangan Ciok Boh-thian orang itu menjadi seperti anak ayam dicengkeram oleh elang, sedikit pun tidak dapat berkutik. Tiada jalan lain terpaksa ia mengeluarkan kunci dan membuka borgol kaki pemuda itu.

“Di mana kalian telah mengurung Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, lekas membawa aku ke sana,” bentak Boh-thian.

“Sebenarnya Swat-san-pay tiada permusuhan apa-apa dengan Hian-soh-ceng, maka Ciok-cengcu suami-istri sudah pergi tanpa cedera sesuatu apa pun,” sahut orang itu.

Boh-thian merasa sangsi, sekilas dilihatnya orang itu melirik ke arah pintu yang terletak di ujung lorong sebelah sana, ia pikir orang ini tentu berdusta, boleh jadi Ciok-cengcu berdua terkurung di kamar sana.

Segera ia menyeret orang itu ke depan pintu batu itu, lalu bentaknya, “Lekas membuka pintu ini.”

Air muka orang itu tampak berubah pucat, katanya, “Aku... aku tidak punya kuncinya! Yang terkurung di dalam ini bukan... bukan manusia, tapi adalah... adalah seekor singa dan dua ekor macan, jika dibuka tentu bisa celaka.”

Boh-thian merasa heran bahwa yang terkurung di dalam situ adalah singa dan harimau, ia coba menempelkan telinganya ke pintu dan mendengarkan dengan cermat, tapi tak terdengar sesuatu suara binatang-binatang buas itu.

“Engkau toh sudah terlepas, silakan lekas melarikan diri saja, jika tinggal lebih lama di sini, jangan-jangan akan dipergoki orang dan mungkin engkau akan tertangkap pula,” demikian kata orang itu setengah menakut-nakuti.

Boh-thian pikir kau toh bukan kawanku, mengapa sedemikian baik hatimu memikirkan keselamatanku? Padahal tadi aku minta dibukakan borgol saja kau tidak mau, sekarang malah suruh aku lekas melarikan diri. Jangan-jangan Ciok-cengcu berdua memang benar-benar dikurung di dalam kamar ini.

Segera ia angkat tubuh orang itu, ia benturkan kepalanya dengan perlahan di dinding batu, lalu bertanya, “Kau mau buka pintu tidak? Atau minta kepalamu pecah? Hm, aku justru ingin tahu macam apa singa dan harimau yang kau katakan itu.”

“Ai, binatang-binatang itu sangat buas, sudah beberapa hari tidak diberi makan, bila melihat manusia nanti pasti akan terus menerkam....”

Karena buru-buru ingin menolong Ciok Jing dan istrinya, Boh-thian merasa sebal akan ocehan orang, tanpa menunggu selesai uraiannya segera ia jungkirkan tubuh orang itu dan dikocok-kocok untuk memaksanya menurut. Di luar dugaan lantas terdengar suara gemerencing nyaring, dari baju orang itu telah terjatuh dua buah kunci.

Boh-thian sangat girang, segera ia lemparkan orang itu ke tanah dan cepat menjemput kunci-kunci itu untuk membuka pintu batu. Benar juga, hanya sekali putar saja segera kunci pintu itu terbuka.

Dalam pada itu orang tadi telah menjerit kesakitan, cepat ia merangkak bangun dan segera putar tubuh hendak angkat langkah seribu.

Namun Boh-thian tidak memberi kesempatan padanya. Ia pikir kalau orang ini sampai lari keluar dan memanggil kawan, tentu akan banyak menimbulkan kesukaran lagi. Secepat terbang Boh-thian lantas memburu maju, sekali jambret segera orang itu diseretnya terus dijebloskan ke dalam kamar tahanannya sendiri tadi, sekalian ia lemparkan borgol kaki dan tangan beserta rantainya ke dalam dan menutup pintunya, bahkan dikunci pula dari luar. Habis itu barulah ia kembali ke kamar batu di ujung lorong sana.

“Ciok-cengcu! Ciok-hujin! Apakah kalian berada di sini?” seru Boh-thian sambil melongok ke dalam kamar.

Tapi tak terdengar suara jawaban apa-apa. Ia coba pentang pintu lebih lebar, ternyata di dalam tiada terdapat seorang pun. Sebaliknya kira-kira dua-tiga meter di sebelah sana terdapat sebuah pintu pula. Pikirnya, “Ya, pantas ada dua buah kunci.”

Segera ia menggunakan kunci yang lain untuk membuka pintu kedua, baru saja pintu itu terbuka sedikit dan belum lagi ia bersuara, tiba-tiba terdengarlah ada orang sedang mencaci maki di dalam situ, “Jahanam keparat, haram jadah! Akan kusembelih dan potong-potong kalian agar kalian sekarat setengah mampus....” dan di samping itu terdengar pula suara gemerencingnya rantai besi.

Suara caci maki orang itu kedengaran sangat berat, rupanya tenggorokannya serak, sama sekali bukan logat orang Kanglam sebagaimana suaranya Ciok Jing. Maka percayalah Boh-thian bahwa Ciok Jing dan istrinya memang tidak dipenjarakan di situ. Tapi lantas terpikir olehnya mengapa tidak membebaskan sekalian orang yang ditawan Swat-san-pay ini. Karena itu ia lantas berseru, “He, kau tidak perlu memaki lagi, biar kutolong kau keluar dari sini!”

Namun orang itu masih terus memaki, “Huh, kau kutu macam apa? Berani mengaco-belo dan menipu Locu? Apa kau minta kupuntir putus lehermu....”

Boh-thian merasa geli dan anggap perangai orang benar sangat kasar. Tapi ia pun maklum, siapa pun kalau dikurung di tempat demikian tentu akan merasa sebal dan tertekan pantas kalau orang ini pun marah-marah.

Ia lantas melangkah ke dalam kamar dan berkata, “Apakah engkau juga diborgol dan dirantai oleh mereka?”

Tapi baru sekian ia berkata, dalam kegelapan sekonyong-konyong sesuatu benda yang berat terasa mengepruk dari atas. Cepat Boh-thian berkelit ke samping, namun belum lagi dia berdiri kuat, tahu-tahu hiat-to penting di bagian punggung sudah kena dicengkeram orang, menyusul lehernya lantas dicekik oleh sebuah lengan yang besar dan kuat, makin lama makin kencang sehingga napasnya sesak seketika, telinganya sampai mendenging-denging dan mata mulai berkunang-kunang, sebaliknya terdengar pula suara caci maki orang itu.

Sama sekali Boh-thian tidak menduga bahwa di dalam kamar tahanan situ akan terdapat jago selihai itu. Sekali kena didahului orang, seketika ia pun tak berdaya, diam-diam ia hanya mengeluh dan sedapat mungkin mengerahkan tenaga ke bagian lehernya untuk melawan cekikan lengan orang itu.

Meski daging bagian tenggorokan cukup lemas dan tidak sekuat lengan, tapi lwekang Ciok Boh-thian teramat hebat, semakin bertempur semakin kuat, di mana tenaganya sampai, tangan orang itu ternyata dapat ditolak agak kendur. Cepat Boh-thian mengambil napas, ketika lengan orang itu hendak mengait kembali dengan lebih kencang, tanpa ayal lagi tangan kanan Ciok Boh-thian lantas digunakan untuk menarik, berbareng kepalanya lantas memberosot ke bawah sambil melompat mundur.

“Hai, dengan maksud baik aku hendak menolong kau keluar, mengapa tanpa bertanya engkau menyerang aku malah?” seru Boh-thian dengan mendongkol.

“Eh, sia... siapa kau? Boleh juga ya kepandaianmu?” demikian orang itu sangat terkejut sambil memandang Boh-thian dengan mata terbelalak lebar. Selang sejenak, kembali ia bersuara heran, lalu membentak, “Anak busuk, siapa kau?”

“Aku... aku....” seketika Ciok Boh-thian menjadi bingung untuk menjawab apa mesti mengaku bernama Kau-cap-ceng atau tetap memalsukan nama Ciok Tiong-giok?

“Ya, kau dengan sendirinya adalah kau, masakah tidak punya nama?” semprot orang itu.

“Loyacu, biar kutolong kau keluar dahulu, segala urusan boleh kita bicarakan nanti,” ujar Boh-thian.

“Apa? Kau hendak menolong aku? Hahaaah! Apakah gigi orang seluruh dunia ini takkan copot semua menertawakan kau? Hahaha, siapakah aku ini? Dan macam apakah kau itu? Huh, hanya sedikit kepandaianmu yang mirip cakar ayam saja mampu menolong aku?”

Dari dekat sekarang Boh-thian dapat melihat orang itu sudah tua, jenggotnya sudah putih, tubuhnya tinggi besar tapi agak bungkuk seakan-akan kamar batu yang kecil ini kurang tinggi bagi tubuhnya yang tegap itu, kedua matanya lekuk ke dalam, tapi sorot matanya tajam berwibawa.

Boh-thian sampai mengirik ketika sinar mata orang itu menyapu kian-kemari di atas mukanya. Pikirnya, “Orang Swat-san-pay tadi bilang di kamar ini terkurung singa dan harimau, melihat macamnya orang ini ternyata benar-benar mirip seekor binatang buas.”

Ia tidak berani banyak bicara lagi padanya, segera katanya, “Loyacu, biar kupergi mencari kunci untuk membuka borgolmu.”

Orang tua itu menjadi gusar, dampratnya, “Aku tidak perlu, aku sendiri suka tinggal tirakat di sini, kalau tidak, di dunia ini siapa yang mampu mengurung aku? Huh, kau bocah ini barangkali tidak punya mata, masakah anggap aku dikurung orang di sini? Hehe, untung saat ini Yaya lagi sabar, kalau tidak tentu badanmu sudah kurobek-robek.”

Ketika kedua tangannya digoyang-goyangkan, terdengarlah suara gemerencing rantai borgolnya. Lalu ditambahkannya, “Ini, sekali Yaya sudah murka, apa artinya rantai-rantai seperti ini, apa gunanya borgol-borgol ini, hm, dalam pandanganku tidak lebih seperti tahu yang empuk.”

Sudah tentu Boh-thian tidak mau percaya, ia pikir tutur kata orang ini kok mirip orang gila, tapi kepandaiannya sangat tinggi pula, akan kutolong berbalik aku hendak dipentung. Lebih baik kutinggal pergi untuk mencari Ciok-cengcu saja. Maka katanya kemudian, “Baiklah, jika begitu biar aku pergi saja dari sini!”

“Pergi ya pergi, lekas enyah kau! Selamanya Yaya malang melintang di dunia ini tanpa ketemu tandingan masakah mengharapkan pertolongan bocah ingusan macam kau? Hahaha, benar-benar lucu, sungguh menggelikan....”

“Ya, sudah, maaf, maaf!” kata Boh-thian sambil mengundurkan diri dan perlahan-lahan merapatkan kembali daun pintu.

Jalan lorong itu cukup panjang, Boh-thian menyusur ke sana dan membelok satu kali, sesudah belasan meter lagi barulah sampai di ujung. Tertampak di kanan-kiri masing-masing terdapat sebuah pintu. Ia coba mendorong pintu sebelah kiri, tapi tertutup kencang, waktu mendorong pintu yang lain dengan mudah saja pintu itu lantas terpentang. Kiranya di situ adalah sebuah ruangan. Tidak seberapa jauh memasuki ruangan itu lantas terdengar dari arah kiri sana ada suara beradunya senjata, agaknya pertempuran cukup sengit.

“Kiranya Ciok-cengcu sedang bertempur dengan orang di sini,” demikian pikir Boh-thian. Segera menuju ke arah datangnya suara. Akan tetapi ia tidak menemukan pintu yang menuju ke tempat suara pertempuran itu. Karena khawatirkan keselamatan Ciok Jing dan Bin Ju, ketika dilihatnya dinding papan di sebelah sana tidak terlalu tebal, segera ia menumbuknya dengan bahunya dan kontan dinding papan itu jebol.

Seketika suara nyaring beradunya senjata tambah keras dan ramai. Kiranya di situ juga sebuah ruangan, empat laki-laki berjubah putih dan berpedang sedang mengerubut dua orang wanita.

Sesudah mengenali kedua orang wanita itu, tanpa merasa Boh-thian terus berteriak, “He, Suhu, A Siu! Kalian berada di sini?!”

Kiranya kedua wanita itu tak-lain-tak-bukan adalah Su-popo dan cucu perempuannya, si A Siu.

Su-popo memakai golok dan A Siu memutar sebatang pedang, dengan rambut kusut kedua orang sedang melawan kerubutan empat murid Swat-san-pay. Baju nenek dan cucu itu tampak berlepotan darah, agaknya sudah terluka, keadaannya cukup mengkhawatirkan. Mereka mendengar juga seruan Ciok Boh-thian, tapi serangan-serangan keempat lawannya terlalu gencar sehingga tidak sempat menoleh. Bahkan lantas terdengar jeritan kaget A Siu, pundaknya tertusuk musuh pula.

Walaupun tidak bersenjata, tanpa pikir Ciok Boh-thian lantas menerjang maju, kontan punggung orang yang sedang mencecar A Siu itu hendak dicengkeramnya. Cepat orang itu berkelit dan balas menebas dengan pedangnya.

Mendadak tangan kanan Ciok Boh-thian menyampuk pula sehingga pedang orang itu terguncang ke samping, menyusul tangan kiri Ciok Boh-thian lantas menggaplok ke arah seorang tua yang lain. Namun orang tua itu ternyata tidak kalah cepatnya tahu-tahu pedangnya sudah mendahului menusuk perut Boh-thian.

Serangan itu benar-benar sangat lihai dan cepat, untung Boh-thian tempo hari sudah mendapat didikan Su-popo, terhadap intisari ilmu pedang Swat-san-pay sudah dipahami dengan baik, diketahui bahwa serangan si orang tua adalah jurus yang bernama “Leng-sing-song-bwe” (Sepasang Pohon Bwe di Atas Bukit), mestinya cuma satu jurus, tapi mempunyai dua gerakan, tusukan pertama segera disusul dengan tusukan kedua. Maka cepat Boh-thian mengerutkan perutnya ke belakang untuk menghindar, menyusul tangan kiri lantas mengebut ke bawah, jarinya segera menyelentik.

Benar juga, saat itu tusukan kedua si orang tua sedang dilancarkan sehingga pedangnya seakan-akan sengaja disodorkan untuk diselentik Ciok Boh-thian. Maka terdengarlah suara “tring” sekali, kontan pedang itu patah menjadi dua.

Separuh tubuh si orang tua sampai kesemutan karena getaran tenaga selentikan itu, tanpa kuasa lagi setengah potong pedang juga terlepas dari cekalan, cepat ia melompat mundur dengan muka pucat.

Boh-thian tidak mendesak lebih jauh, orang yang sedang menyerang A Siu lantas kena dicengkeram terus diangkat dan dijujukan ke arah pedang kawannya yang datang hendak menolong.

Keruan orang itu terkejut dan cepat menarik kembali senjatanya. Kesempatan itu tidak disia-siakan Boh-thian, kontan ia menghantam dan tepat mengenai dadanya, orang itu terhuyung-huyung mundur dan akhirnya jatuh terduduk.

Menyusul Boh-thian lantas melemparkan tawanannya ke arah orang keempat. Orang itu sedang melabrak Su-popo dengan mati-matian, ia menjadi kaget dan tidak sempat menghindar lagi, ia kena ditumbuk dengan keras oleh tubuh kawannya sendiri, kedua orang sama-sama muntah darah dan menggeletak tak sadarkan diri.

Hanya dalam sekejap saja keempat orang itu telah dirobohkan semua oleh Ciok Boh-thian, hanya si orang tua saja yang belum terluka. Namun nyalinya menjadi pecah juga demi menyaksikan ketangkasan Boh-thian yang lihai itu. “Kau... kau....” demikian entah apa yang hendak dikatakannya, mendadak ia putar tubuh terus hendak lari.

“Jangan membiarkan dia lari!” seru Su-popo.

Cepat Boh-thian melompat maju, sekali kakinya menyapu, kontan orang tua itu terjungkal, kedua lutut kakinya keseleo semua dan tak bisa bangun.

“Bagus, muridku yang bagus! Murid pertama dari Kim-oh-pay kita memang benar-benar hebat!” seru Su-popo dengan tertawa.

Wajah A Siu tampak putih pucat, sepasang matanya memandang Boh-thian dengan sayu merawan, nyata sekali hatinya sangat girang.

“Suhu, A Siu, sungguh tidak nyana dapat berjumpa dengan kalian di sini,” kata Boh-thian.

Buru-buru Su-popo membalut luka si A Siu, menyusul nona itu pun merobek ujung bajunya sendiri untuk membalut luka sang nenek. Syukurlah luka kedua orang tidak parah sehingga tidak menjadi halangan.

“Tempo hari waktu aku kehilangan kalian di Ci-yan-to, sungguh aku merasa sangat kesepian, sekarang kita telah berjumpa pula, paling baik paling baik untuk selanjutnya kita jangan berpisah lagi,” demikian kata Boh-thian.

Muka A Siu yang pucat itu seketika bersemu merah dan menunduk malu. Ia tahu sifat Ciok Boh-thian yang tulus jujur dan tidak pandai bicara. Apa yang diucapkan itu jelas timbul dari lubuk hatinya yang murni, walaupun dirasakan malu juga karena pemuda itu terang-terangan menyatakan isi hatinya di depan sang nenek, tapi tidak urung hati A Siu merasa sangat senang.

Su-popo tertawa mengekek, katanya, “Jika kau sudah berjasa besar, hal ini bukan mustahil akan terlaksana dan boleh anggap nenek sendiri yang telah meluluskan permintaanmu.”

Kepala A Siu makin menunduk, mukanya tambah merah lantaran malu.

Sebaliknya Ciok Boh-thian masih belum tahu bahwa ucapan Su-popo itu berarti telah menerima lamarannya. Dengan bingung ia malah tanya, “Suhu meluluskan permintaanku soal apa?”

“Aku mengizinkan cucu perempuanku ini menjadi istrimu, kau mau tidak? Kau ingin tidak? Kau suka tidak?” kata Su-popo dengan tertawa.

Boh-thian terkejut campur girang. “Aku... aku sudah tentu suka....” sahutnya dengan tergagap-gagap.

“Tapi kau harus berjuang dan berjasa dahulu,” kata Su-popo. “Sekarang Swat-san-pay sedang terjadi huru-hara, kita harus pergi menolong satu orang dahulu.”

“Ya, memangnya aku hendak menolong Ciok-cengcu dan Ciok-hujin, marilah kita lekas pergi mencarinya,” sahut Boh-thian. Teringat keadaan Ciok Jing suami-istri dalam keadaan bahaya, seketika hatinya menjadi gelisah sehingga urusan A Siu tak terpikir lagi.

“Apakah Ciok Jing dan istrinya juga sudah datang di sini?” tanya Su-popo. “Kita harus mengamankan pemberontakan dahulu, soal Ciok Jing berdua adalah urusan biasa saja. A Siu, binasakan saja keempat orang ini!”

Segera A Siu menghunus pedang dan melangkah maju. Tiba-tiba dilihatnya si orang tua yang kedua kakinya keseleo tadi sedang duduk bersandarkan dinding, sorot matanya penuh mengunjuk rasa minta diampuni. Maka A Siu menjadi tidak sampai hati untuk membunuhnya. Katanya, “Nenek, beberapa orang ini bukanlah biang keladinya, mereka hanya ikut-ikutan saja, sementara ini biarlah diampuni dahulu, nanti sesudah diperiksa dan jika memang bersalah barulah dibunuh.”

“Ya, sudah! Hayo lekas, jangan sampai bikin runyam urusan, lekas berangkat!” sahut Su-popo. Segera ia mendahului melangkah pergi dan disusul oleh Boh-thian dan A Siu.

Cepat sekali Su-popo menyusur serambi dan melintasi ruangan-ruangan, setiap kali ada orang datang dari depan mereka lantas sembunyi di pojok atau di belakang pintu untuk menghindar, tampaknya nenek itu hafal sekali terhadap setiap kamar dan ruangan di situ.

Boh-thian jalan berjajar dengan A Siu dari belakang, dengan suara tertahan ia tanya si nona, “Suhu suruh aku berjuang dan berjasa apa? Siapakah yang akan ditolong?”

Baru saja A Siu akan menjawab, tiba-tiba terdengar suara tindakan yang ramai, dari depan telah mendatangi lima atau enam orang.

Lekas Su-popo sembunyi di balik sebuah tiang yang besar. Segera A Siu juga menarik Boh-thian untuk sembunyi di belakang pintu.

Beberapa orang itu sambil berjalan sembari mengobrol. Kata seorang di antaranya, “Sesudah bergotong royong bersama-sama dan dapat mengurung si tua gila itu barulah kita merasa lega. Selama beberapa hari ini hidup kita benar-benar sangat tertekan dan terancam.”

“Ya, selama Si Gila itu belum binasa, selalu pula kita belum bebas dari ancaman,” kata seorang lagi. “Ce-supek masih ragu-ragu saja, bukan mustahil bisa membikin urusan menjadi runyam malah.”

Segera seorang dengan suara kasar menanggapi, “Memangnya, daripada kerja kepalang tanggung, mestinya kita bereskan Ce-supek sekalian!

“Hus,” bentak seorang kawannya dengan suara tertahan. “Kata-kata demikian masakah boleh kau ucapkan dengan keras? Jika didengar oleh anak muridnya Ce-supek, sebelum kita menumpas mereka boleh jadi buah kepalamu sudah berpisah dengan kau.”

Orang yang bersuara kasar itu rupanya menjadi penasaran, sahutnya, “Kalau perlu biar kita coba-coba dengan mereka, masakah kita pasti kalah?”

Begitulah orang-orang itu makin menjauh. Ciok Boh-thian yang berjubelan sembunyi di belakang pintu bersama A Siu dapat merasakan badan anak dara itu rada gemetar. Dengan berbisik-bisik ia tanya, “Apakah kau takut, A Siu?”

“Ya, aku agak takut,” sahut si nona. “Jumlah mereka sangat banyak mungkin kita tak dapat melawan mereka.”

Dalam pada itu Su-popo telah keluar dari tempat sembunyinya dan berseru tertahan kepada mereka, “Ayo, lekas!”

Segera ia mendahului menyusur ke depan dengan cepat.

Sesudah melalui sebuah pelataran luas dan menembus sebuah serambi yang panjang, akhirnya mereka sampai di suatu taman bunga yang luas. Taman itu penuh salju, hanya kelihatan sebuah jalanan kecil dari batu-batu kecil menembus ke suatu ruangan tertutup.

Su-popo mendekam di balik sebatang pohon, ia comot segumpal salju, sesudah dikepal segera disambitkan keluar ruangan tertutup tadi, “plok” batu salju itu jatuh di tanah dan mengejutkan dua orang penjaga yang berdiri di samping ruangan itu. Cepat mereka berlari datang untuk memeriksa dengan pedang terhunus.

Menunggu kedua orang itu sudah dekat, sekonyong-konyong Su-popo melompat keluar, goloknya menebas dua kali dengan cepat luar biasa. Kontan leher kedua orang itu tertebas, tanpa bersuara sedikit pun kedua orang itu terjungkal binasa.

Untuk pertama kalinya Ciok Boh-thian menyaksikan Su-popo membunuh orang secara ganas, tanpa merasa bulu romanya sama berdiri. Selang sejenak baru teringat olehnya bahwa jurus serangan Su-popo tadi pernah juga diajarkan padanya di Ci-yan-to tempo hari, jurus itu bernama “Cay-au-to” (Golok Menebas Tenggorokan) dan dirinya sudah mahir menggunakannya, cuma selama ini belum pernah terpikir olehnya bahwa jurus serangan itu ternyata sedemikian bagus dan cepat untuk membunuh orang.

Ketika dia tenang kembali, sementara itu Su-popo sudah menyeret kedua mayat ke belakang gunung-gunungan, lalu dengan enteng sekali ia mendekati jendela ruangan tertutup itu untuk mendengarkan.

Telinga Ciok Boh-thian amat tajam, belum dekat dengan jendela itu sudah didengarnya di dalam ruangan itu ada suara dua orang sedang bertengkar. Meski suara mereka tidak terlalu keras, tapi terang keduanya sama-sama marah dan tidak mau mengalah.

Terdengar seorang di antaranya berkata, “Menangkap harimau adalah gampang dan celakalah kalau melepaskannya. Peribahasa ini tentu kau sudah paham. Urusan ini sudah telanjur kita kerjakan, sekarang kau menjadi takut malah. Jikalau si tua gila itu sampai lolos keluar, tentu kita akan mati semua tanpa ampun.”

Diam-diam Boh-thian berpikir, “Jangan-jangan ‘si tua gila’ yang mereka maksudkan adalah orang tua aneh di dalam kamar tahanan itu? Tingkah laku orang tua itu memang aneh, aku mau menolong dia keluar, tapi dia justru tidak mau. Mungkin dia memang benar-benar orang gila. Ilmu silat orang tua itu memang sangat lihai, pantas kalau semua orang ini sedemikian takut kepadanya.”

Maka terdengar seorang lain telah menjawab, “Si Gila itu sudah terkurung di penjara binatang, sekalipun dia memiliki kepandaian setinggi langit juga tak mampu lolos keluar. Kalau saat ini kita mau membunuh dia adalah teramat mudah, cuma kita harus menjaga nama baik kita. Perbuatan durhaka terhadap orang tua demikian mungkin Liau-sute sendiri tidak ambil pusing, tapi aku tidak berani memikul tanggung jawabnya. Kelak kalau kita ditanyai kawan-kawan dunia persilatan, lantas cara bagaimana kita akan menjawab dan ke mana muka kita harus ditaruh?”

“Huh, jika kau takut bertanggung jawab atas perbuatan durhaka, seharusnya sejak mula kau jangan menjadi biang keladi urusan ini,” jengek orang pertama yang disebut she Liau itu. “Sekarang urusan sudah dilaksanakan, kau menjadi menyesal dan ingin mengelakkan tanggung jawab. Hm, masakan di dunia ini ada soal seenak ini? Pendek kata, Ce-suko, apa yang kau pikirkan sudah kuketahui, lebih baik kita bicara blakblakan saja dan tidak perlu pura-pura.”

“Aku mempunyai pikiran apa? Ha, ucapan Liau-sute benar-benar berduri dan penuh tulang,” sahut orang she Ce.

“Apa maksudnya ucapan berduri?” kata si orang she Liau. “Sesungguhnya Ce-suko cuma pura-pura baik hati dan ingin menimpakan perbuatan durhaka ini kepadaku saja. Tujuanmu ialah satu kali tembak dapat dua burung, supaya kau sendiri bisa enak-enak dan tenang-tenang naik di atas singgasana.”

“Haha, aneh benar tuduhan Liau-sute ini!” jawab orang she Ce. “Berdasarkan apa aku ada hak naik ke atas singgasana? Kalau mesti menurutkan urut-urutan, di atas kita masih ada Seng-suko dan tidak mungkin jatuh kepada bagianku.”

Mendadak suara seorang yang lebih tua dan serak menyela, “Kalian bertengkar urusan kalian sendiri dan tidak perlu menyangkutpautkan diriku.”

“Seng-suko, engkau adalah orang jujur, kau tidak lebih hanya akan digunakan sebagai tameng oleh Ce-suko, maka segala sesuatu hendaklah kau pikirkan yang jelas, janganlah dijadikan boneka sedangkan engkau sendiri masih belum sadar,” demikian kata orang she Liau.

Boh-thian coba membasahi kertas perapat jendela dengan air ludahnya, perlahan-lahan ia mengorek sebuah lubang kecil, lalu mengintip ke dalam ruangan. Ia menjadi terkejut ketika diketahui bahwa di dalam situ tidak cuma tiga orang yang bicara saja, tapi masih ada dua-tiga ratus orang lainnya, ada yang berdiri dan ada yang berduduk, laki-laki dan wanita, ada yang tua dan ada yang masih muda, semuanya berjubah putih seragam murid Swat-san-pay.

Di tengah ruangan tertampak ada lima buah kursi besar, kursi yang tengah kosong, keempat kursi di kedua sampingnya berduduk empat orang. Terdengar ketiga orang tadi masih berdebat tak henti-hentinya. Dari suara mereka dapat dikenali bahwa yang duduk di sebelah kiri adalah orang-orang she Seng dan Liau, seorang yang duduk di sebelah kanan terang she Ce, seorang lagi berwajah putih kurus dan muram durja seakan-akan baru kematian istri.

Saat itu terdengar orang she Ce telah menegurnya, “Nio-sute, sejak tadi kau diam saja, sesungguhnya bagaimana pendapatmu?”

Orang she Nio yang berwajah muram itu menghela napas, lalu geleng-geleng kepala, kemudian menghela napas pula dan tetap tidak membuka suara.

“Nio-sute tidak berbicara, dengan sendirinya ia menyetujui urusan ini,” kata si orang she Ce.

“Kau toh bukan cacing pita di dalam perut Nio-sute, dari mana kau mengetahui pikirannya?” debat orang she Liau dengan gusar. “Kita berempat yang telah melakukan urusan ini, seorang laki-laki sejati, sekali sudah berbuat harus berani bertanggung jawab. Kalau berani di muka dan takut belakangan, huh, terhitung orang gagah macam apa ini?”

Tapi si orang she menjawab dengan dingin, “Justru karena kita semua ini takut mati, makanya telah melakukan kejadian ini, masakah kita dapat disebut sebagai kesatria atau orang gagah? Lebih tepat kalau dikatakan bahwa kita sudah kepepet sehingga terpaksa menyerempet bahaya.”

“Ban-li,” sekonyong-konyong si orang she Liau berseru. “Coba katakan, bagaimana menurut pendapatmu?”

Maka majulah seorang ke depan, yakni Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li yang buntung sebelah tangannya. Ia memberi hormat, lalu menjawab, “Tecu tidak mampu menyelesaikan urusan ini sehingga menimbulkan malapetaka, dosa ini saja sudah diganjar dengan kematian, masakah sekarang Tecu berani mempunyai pikiran durhaka lagi? Maka Tecu setuju dengan usul Ce-susiok, jangan sekali-kali turun tangan keji kepada beliau.”

“Aku pernah menyelamatkan jiwamu, apakah kau sudah lupa?” bentak si orang she Liau dengan gusar.

“Mana mungkin Tecu melupakan budi kebaikan Susiok,” sahut Ban-li. “Tapi kalau Susiok menyuruh Tecu membunuh beliau, betapa pun Tecu tidak bisa menurut.”

“Lalu cara bagaimana kau akan menyelesaikan anak murid Tiang-bun (cabang utama) yang baru pulang itu?” tanya orang she Liau dengan suara bengis.

“Jika Susiok mengizinkan Tecu ikut bicara, maka menurut pendapatku sementara ini mereka dapat ditahan dulu untuk kemudian dicarikan jalan penyelesaiannya,” ujar Ban-li.

“Cari penyelesaian apa? Hehe, keputusanmu sudah lama disiapkan, masakah aku tidak tahu?” jengek orang she Liau.

“Apa maksud ucapan Susiok ini?” tanya Ban-li.

Si orang she Liau menjawab, “Anak murid Tiang-bun kalian berjumlah banyak, tinggi pula kepandaiannya, sudah tentu kedudukan ciangbun (ketua) tidak rela diserahkan kepada anak murid dari cabang lain. Lebih dulu kau ingin menimpakan dosa pendurhakaan atas diriku, kemudian anak murid cabang empat kami akan kalian bunuh habis, dengan demikian kalian tentu akan menjagoi dengan aman sentosa.”

Sampai di sini mendadak ia keraskan suaranya, “Maka dari itu, setiap murid Tiang-bun semuanya merupakan bibit bencana, hari ini kita harus babat rumput sampai akar-akarnya. Kita harus turun tangan bersama, setiap murid Tiang-bun harus dibinasakan seluruhnya.”

Habis berkata, “sret”, segera pedangnya dilolosnya.

Serentak dari sekitar ruangan melompat maju dua-tiga puluh orang dengan pedang terhunus dan siap siaga di seputar Hong Ban-li, tapi di samping itu ada pula beberapa puluh orang dengan pegang pedang juga telah mengepung.

Diam-diam Boh-thian menjadi khawatir dan berpikir, “Tampaknya Hong-suhu susah melawan orang banyak, entah aku harus membantunya atau tidak?”

Dalam pada itu terdengar Hong Ban-li telah berseru, “Seng-susiok, Ce-susiok, dan Nio-susiok, apakah kalian membiarkan Liau-susiok malang melintang di sini? Jika cabang empat mereka sudah membunuh habis anak murid Tiang-bun, maka cabang-cabang dua, tiga dan lima kalian tentu akan menjadi giliran dibasmi pula oleh mereka.”

“Bergerak!” bentak orang she Liau memberi komando kepada anak buahnya, berbareng ia terus menubruk maju, kontan dada Hong Ban-li lantas ditusuknya.

Cepat Ban-li melolos pedang dengan tangan kiri untuk menangkis serangan itu. Terdengar suara “trang”, menyusul lantas “bret” pula. Walaupun pedang lawan tertangkis, tapi tidak urung lengan baju kanan Hong Ban-li terkupas sepotong.

Hendaklah maklum bahwa Hong Ban-li terkenal lihai seperti halnya Pek Ban-kiam, kedua orang merupakan jago-jago utama Swat-san-pay dari angkatan kedua, ilmu pedangnya sesungguhnya tidak kalah daripada paman-paman gurunya she Seng, Ce, Liau, dan Nio itu. Cuma sayang sebelah lengannya sudah buntung, permainan pedang dengan tangan kiri dengan sendirinya kurang leluasa. Ia telah dapat menangkis tusukan orang she Liau itu, tapi paman guru itu mendadak mengganti gerakan pedangnya dari menusuk menjadi menebas. Walaupun Ban-li sudah menduga akan jurus serangan itu, tapi pedang di tangan kiri agak canggung digunakan, untung lengan kanan sudah buntung sehingga yang tertebas hanya lengan bajunya, kalau tidak tentu lengannya akan menjadi korban pula.

Paman gurunya itu benar-benar kejam, sekali berhasil serangannya, menyusul serangan kedua lantas dilancarkan pula. Namun dari samping Ban-li lantas menyambar maju dua batang pedang saling beradu sehingga serangan orang she Liau kembali gagal.

“Kenapa tidak lekas maju!” bentak orang she Liau kepada anak buahnya. Sambil berteriak-teriak serentak beberapa puluh orang dari anak murid cabang empat lantas mengerubut maju. Seketika terdengarlah suara riuh ramai, pertarungan sengit lantas terjadi, anak murid cabang utama kebanyakan harus satu-lawan-dua atau tiga. Ruangan itu seketika berubah menjadi medan pertempuran.

Orang she Liau lantas melompat ke pinggir untuk menyaksikan pertempuran. Dilihatnya anak murid dari cabang dua, tiga dan lima tidak bergerak, semuanya menonton di samping. Tergerak hatinya dan tahulah dia apa sebabnya. Segera ia berseru, “Loji, Losam, Longo, keji amat kalian, sengaja kalian membiarkan cabang empat kami bertarung mati-matian dengan cabang utama dan nanti kalian yang akan mengambil keuntungannya. Hehe, jangan kalian mimpi!”

Karena pikiran demikian, ia menjadi murka, kedua matanya menjadi merah, kontan ia terus menyerang orang she Ce. Maka kedua orang lantas saling gebrak dengan sengit.

Nyata ilmu pedang orang she Liau lebih bagus daripada orang she Ce. Sesudah belasan jurus si orang she Ce lantas mulai terdesak mundur.

Cepat orang she Seng, yaitu suheng kedua, melompat maju dengan pedang terhunus, serunya, “Losi, segala urusan hendaklah dirundingkan dengan baik-baik. Sesama saudara seperguruan mengapa mesti menggunakan kekerasan seperti ini?” berbareng pedangnya lantas menyambar maju sehingga tusukan orang she Liau kena ditangkis.

Melihat jisuheng sudah ikut maju, kesempatan itu tidak diabaikan orang she Ce, cepat ia melangkah maju dan balas menusuk perut orang she Liau. Serangan samsuheng she Ce ini pun tidak kurang kejinya, tujuannya hendak membinasakan lawannya tanpa kenal ampun sedikit pun.

Jilid 40

Saat itu pedang orang she Liau sedang ditangkis pergi oleh pedang jisuhengnya dan sedang saling adu tenaga dalam buat melepaskan lengketan pedang lawan, maka tusukan samsuhengnya itu benar-benar di luar dugaan dan betapa pun susah dielakkan.

Pada saat demikian untunglah sang sute she Nio yang tadi hanya diam-diam saja itu kini mendadak ikut melolos pedang terus menusuk ke punggung orang she Ce sambil berkata, “Ai, dosa, dosa caramu ini!”

Untuk membela diri, terpaksa orang she Ce menarik kembali pedangnya untuk menangkis serangan gosute she Nio itu.

Begitulah anak murid dari cabang dua, tiga, lima dan lain-lain lantas ikut menerjang maju untuk membela gurunya masing-masing. Maka pertempuran menjadi tambah seru....

Ciok Boh-thian sampai bingung menyaksikan pertarungan gaduh itu. Hanya sebentar saja terjadilah banjir darah di ruangan pendopo itu, banyak tangan kutung dan kaki patah tercecer di sana-sini diseling suara jerit ngeri.

“Toako, aku... aku takut!” kata A Siu dengan suara gemetar sambil menggelendot di samping Boh-thian.

“Sebenarnya ada urusan apakah, mengapa mereka saling hantam sendiri?” tanya Boh-thian.

Tatkala itu setiap orang di dalam ruangan itu sedang memikirkan keselamatannya sendiri, maka biarpun Boh-thian bicara lebih keras di luar juga takkan dipedulikan.

Sebaliknya Su-popo lantas menjengek, “Hm, bagus, bagus! Pertarungan yang bagus! Biarkan semuanya mampus barulah puas hatiku!”

Pertempuran sengit beratus-ratus orang tanpa teratur itu agak lucu juga tampaknya, lebih-lebih pakaian mereka adalah seragam putih semua, senjata yang dipakai juga sama, kawan atau lawan menjadi susah membedakan. Semula anak murid cabang utama bertarung melawan cabang ketiga, tapi sesudah anak murid cabang-cabang lain juga ikut masuk medan pertempuran, seketika keadaan menjadi kacau, banyak di antaranya yang memangnya ada permusuhan pribadi lantas dilampiaskan dalam pertempuran gaduh ini.

“Sudahlah, kita jangan lihat lagi, marilah menyingkir saja,” kata A Siu kepada Boh-thian.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara gedubrakan yang gemuruh, daun pintu telah terpentang dan terlepas dari engselnya. Lalu terdengar seorang berseru dengan suara lantang, “Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to berkunjung kemari hendak bertemu dengan ketua Swat-san-pay!”

Begitu keras dan nyaring suara seruan itu sehingga suara pertempuran yang riuh ramai tadi tersirap semua.

Mendengar nama Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to sudah tiba, semua orang sangat terkejut. Segera sebagian orang berhenti bertempur dan melompat ke pinggir. Berturut-turut yang lain juga berhenti bertempur. Hanya sekejap saja semua orang sudah menyingkir ke samping, perhatian semua orang tertuju ke arah pintu. Di tengah ruangan hanya tertinggal suara rintihan mereka yang terluka, suara lain tiada terdengar lagi. Sejenak kemudian penderita-penderita luka itu pun lupa merintih lagi dan sama memandang ke arah pintu.

Ternyata di ambang pintu secara berjajar telah berdiri dua orang, satu gemuk dan satu kurus, pakaian mereka sangat perlente. Hampir-hampir Ciok Boh-thian berseru menyapa ketika melihat yang datang itu adalah Thio Sam dan Li Si. Tapi lantas teringat dirinya dalam penyamaran sebagai Ciok Tiong-giok dan belum waktunya untuk menonjolkan siapa sebenarnya dia.

Dalam pada itu terlihat Thio Sam mulai berkata dengan tertawa, “Pantas ilmu silat Swat-san-pay termasyhur di seluruh jagat, kiranya di waktu latihan di antara sesama saudara seperguruan digunakan cara menyerang dan membunuh sungguhan. Wah, cara demikian benar-benar hebat. Sungguh mengagumkan.”

Orang she Liau lantas tampil ke muka dan menegur dengan suara bengis, “Apakah kalian ini yang disebut sebagai Siang-sian dan Hwat-ok Sucia dari Liong-bok-to?”

“Benar,” sahut Thio Sam. “Entah siapakah di antara kalian ini adalah Ciangbunjin Swat-san-pay? Atas perintah Liong-bok-to Tocu kami ingin menyampaikan medali undangan agar ciangbunjin kalian kelak berkunjung ke pulau kami untuk sekadar ikut minum semangkuk Lap-pat-cok.”

Sambil bicara ia lantas mengeluarkan dua buah medali tembaga, tiba-tiba ia berpaling kepada Li Si dan berkata, “Eh, kabarnya Ciangbunjin Swat-san-pay adalah Wi-tek Siansing Pek-loyacu, tampaknya orang-orang yang berada di sini kok tidak mirip dia?”

“Ya, aku pun berpikir begitu,” sahut Li Si.

Segera orang she Liau tadi menanggapi, “Orang she Pek itu sudah mati, ciangbunjin yang baru....”

Belum habis ia bicara mendadak Hong Ban-li lantas memotong dengan mendamprat, “Kentut busuk! Wi-tek Siansing masih baik-baik, beliau hanya....”

“Apakah demikian ini caranya kau bicara dengan susiokmu?” si orang she Liau balas mendamprat.

“Orang macam kau ini juga ada harganya untuk dipanggil susiok?” jawab Ban-li.

Nama orang she Liau itu selengkapnya adalah Liau Cu-le, wataknya sangat keras dan berangasan. Karena jawaban Ban-li yang kasar itu, kontan pedangnya lantas menusuk.

Cepat Ban-li menangkis sambil melangkah mundur. Rupanya Liau Cu-le sudah merah matanya, dengan murka ia lantas menerjang maju. Tapi seorang murid cabang utama lantas mengadang maju untuk melabraknya. Menyusul Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Nio Cu-cin, berturut-turut juga menyerbu maju lagi sehingga pertempuran gaduh kembali terjadi.

Hendaklah maklum bahwa geger-geger yang terjadi di dalam Swat-san-pay ini cukup berat persoalannya. Sebab itulah keempat saudara seperguruan she Seng, Ce, Liau, dan Nio itu saling tidak mau mengalah, saling sirik, saling dendam, asal salah seorang di antara mereka binasa keadaan tentu akan berubah, sebab itulah meski kedua rasul pengganjar dan penghukum itu sudah datang toh mereka masih cekcok mengenai urusannya sendiri.

Menyaksikan suasana begitu Thio Sam lantas bergelak tertawa, katanya, “Rupanya kalian tekun benar melatih ilmu silat perguruannya sendiri, tapi temponya kan masih banyak, mengapa mesti buru-buru pada saat ini?”

Habis berkata ia terus melangkah maju dengan perlahan, mendadak kedua tangannya bekerja, ia mencengkeram dan menarik ke sana kemari, maka terdengarlah suara gemerencing yang ramai, tahu-tahu beberapa batang pedang sudah terbuang ke atas lantai. Entah cara bagaimana pedang orang-orang she Seng Ce, Liau, dan Nio beserta pedang Hong Ban-li dan dua orang muridnya tahu-tahu sudah kena dirampas oleh Thio Sam, mereka hanya merasa tangan tergetar kesemutan, lalu pedang sudah terlepas dari cekalan.

Keruan mereka menjadi terperanjat semua, baru sekarang mereka nyaho bahwa ilmu silat kedua tamu itu bukan main lihainya. Dalam kagetnya mereka sampai lupa mengenai percekcokan di antara mereka sendiri itu dan teringat kepada macam-macam cerita tentang korban yang jatuh di mana tempat yang kedatangan Siang-sian dan Hwat-ok Sucia. Sekarang mereka telah menyaksikan dan merasakan sendiri jelas bilamana kedua rasul itu mau mengganas, mungkin susah dilawan sekalipun segenap kekuatan Swat-san-pay dikerahkan seluruhnya. Apalagi di dalam golongan sendiri sedang saling bunuh-membunuh. Begitulah mereka menjadi takut dan ada yang sampai menggigil.

Sementara itu Thio Sam berkata pula dengan tertawa, “Ketekunan kalian meyakinkan ilmu silat sungguh harus dipuji, tapi juga tidak perlu segiat ini dan masih banyak tempo. Kami berdua masih harus menyampaikan medali undangan ke lain tempat dan tiada waktu senggang untuk tinggal di sini. Tentang Wi-tek Siansing apakah dia sudah mati atau masih hidup kami tidak ambil pusing, yang pasti Swat-san-pay toh harus ada seorang ciangbunjin. Yang diundang oleh Liong-bok-to kami adalah ciangbunjin dari Swat-san-pay, maka lekas terangkan yang manakah adalah ciangbunjin kalian?”

Untuk sejenak Seng Cu-hak dan para sutenya hanya saling pandang saja tanpa bisa menjawab. Mereka tahu selama berpuluh tahun ini, setiap ciangbunjin yang menerima undangan dan pergi ke Liong-bok-to selamanya tiada seorang pun yang dapat pulang kembali, maka siapa saja yang menjadi Ciangbunjin Swat-san-pay sekarang akan berarti membunuh diri pula menghadapi utusan-utusan dari Liong-bok-to ini.

Tadinya mereka anggap Leng-siau-sia terletak jauh di wilayah barat dan jarang ada hubungan dengan orang-orang persilatan daerah Tionggoan, medali undangan Liong-bok-to itu rasanya takkan sampai di Leng-siau-sia yang terpencil ini. Pula tentang kepandaian rasul-rasul pengganjar dan penghukum itu hanya beritanya saja yang mereka dengar dan besar kemungkinan, sengaja dibesar-besarkan dan dilebih-lebihkan oleh orang, padahal belum tentu benar sedemikian lihainya. Siapa duga hal-hal yang disangka takkan terjadi itu mendadak lantas muncul di depan mereka sekarang.

Kalau beberapa saat sebelumnya tadi kelima cabang murid Swat-san-pay saling bertengkar dengan harapan cabangnya sendiri yang akan menjagoi dan pemimpinnya sendiri yang keluar sebagai pejabat ciangbunjin, untuk mana mereka tidak segan-segan saling hantam dan saling bunuh. Tapi sekarang setelah keadaan berubah mendadak, mereka menjadi mengkeret dan berharap agar pihak lawan yang menjadi ciangbunjin saja, supaya bisa mewakilkan mereka mengantar nyawa ke Liong-bok-to.

Lantaran itulah, serentak Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, Nio Cu-cin, dan Hong Ban-li saling tunjuk dan sama berseru, “Itu dia! Dia adalah ciangbunjinnya!”

Tentang Swat-san-pay dapat diterangkan bahwa sudah cukup lama diketuai oleh Wi-tek Siansing Pek Cu-cay, yaitu ayahnya Pek Ban-kiam. Pek Cu-cay mempunyai empat orang sute, ialah Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin. Guru mereka sudah lama wafat sehingga kepandaian keempat sute itu sebagian besar adalah ajaran Pek Cu-cay, sebab itulah resminya Pek Cu-cay adalah suheng mereka, tapi sesungguhnya adalah guru dan murid.

Ilmu silat Swat-san-pay terkenal banyak ragam perubahannya, tentang lwekang berbalik tiada sesuatu yang bisa ditonjolkan. Pek Cu-cay sendiri hanya secara kebetulan pada masa mudanya telah makan sejenis buah ajaib sehingga mendadak tenaga dalamnya bertumbuh dengan luar biasa. Karena tenaga dalamnya yang hebat itu ditambah bagusnya ilmu silat, maka selama beberapa puluh tahun ini dia menjagoi daerah Se-ek tanpa tandingan.

Caranya Pek Cu-cay menurunkan kepandaiannya kepada para sute dan anak muridnya tidak pernah menyembunyikan satu-dua jurus yang istimewa, tapi telah mengajar dengan segenap kepandaian yang dia miliki sendiri. Hanya tentang lwekangnya yang diperolehnya secara kebetulan itulah yang susah dipelajari, sebab itu kepandaian para sutenya selalu terbatas dan susah mencapai tingkatan seperti Pek Cu-cay.

Dasar watak Pek Cu-cay adalah suka menang dan tinggi hati, mengenai dia kebetulan makan buah ajaib sehingga lwekangnya tumbuh mendadak, hal ini selalu dirahasiakannya, dengan demikian dia ingin menunjukkan bahwa kepandaiannya itu adalah berkat kecerdasan dan kegiatannya berlatih dan bukan diperoleh secara mujur.

Sebaliknya di dalam hati keempat sutenya itu lantas timbul rasa penasaran dan sirik, mereka anggap sang suheng yang dipesan mendiang gurunya agar memberi bimbingan kepada para sute itu berlaku tamak dan sengaja merahasiakan sebagian ilmu silat perguruan sendiri.

Lebih-lebih ilmu silat Pek Ban-kiam dan Hong Ban-li ternyata sangat tinggi dan hampir-hampir memadai keempat susioknya, hal ini membuat Seng, Ce, Liau, dan Nio menjadi penasaran. Cuma di bawah pengaruh Wi-tek Siansing mereka tidak berani memperlihatkan perasaan kurang puas itu. Dan baru sekarang ketika anak murid Tiang-bun (cabang utama di bawah Pek Cu-cay) banyak yang turun gunung, Pek Cu-cay sendiri kurang waras pula pikirannya, maka para sutenya serentak melakukan pemberontakan.

Namun kepandaian antara mereka berempat boleh dikata sembabat, maka siapa pun tidak mau tunduk kepada yang lain dan sama-sama ingin menjadi ciangbunjin. Tapi untuk bisa mencapai cita-cita itu mereka pun sadar harus berdaya menumpas dahulu ketiga orang sekutunya barulah dapat aman menduduki kursi ciangbunjin. Sama sekali tak terduga bahwa pada saat yang krisis itulah mendadak kedua sucia dari Liong-bok-to muncul di situ.

Begitulah, kalau tadi mereka berebut menjadi ciangbunjin, maka sekarang mereka sama-sama ingin mengelakkan tanggung jawab. Kata Ce Cu-bian, “Usia Samsuheng (Ce Cu-bian) adalah paling tua, menurut aturan dan dengan sendirinya dia yang harus menjabat ketua golongan kita.”

“Hanya usia lebih tua saja apa gunanya?” jawab Ce Cu-bian. “Dalam urusan kita ini kau yang paling banyak mengeluarkan tenaga, jika Liau-sute tidak mau menjadi ciangbunjin siapa lagi yang cocok untuk menjabatnya?”

“Huh, soal Ciangbunjin Swat-san-pay kita sebenarnya adalah biasa dijabat oleh Toasuheng, sekarang Toasuheng sudah exit, dengan sendirinya Jisuko yang harus menggantikannya, kenapa mesti dipersoalkan lagi?” demikian kata Gosute, Nio Cu-cin.

Tapi jisuheng Seng Cu-hak lantas menjawab, “Bicara tentang banyak akal dan kecerdikan di antara kita berempat harus diakui Gosute yang paling pintar. Maka aku setuju bila Gosute yang menjabat ciangbunjin kita. Maklumlah urusan hari ini lebih mengutamakan mengadu kecerdikan daripada mengadu kekuatan.”

Liau Cu-le lantas menyambung pula, “Ciangbunjin kita memangnya dijabat oleh orang dari Tiang-bun, jika Ce-suheng tidak mau menggantikannya, maka boleh silakan Heng-sutit dari Tiang-bun yang menjabatnya. Kukira semua orang pasti tidak mempunyai alasan untuk menolaknya, paling sedikit aku orang she Liau pasti setuju.”

“Tapi tadi ada orang berteriak-teriak, katanya anak murid Tiang-bun harus dibinasakan semua, entah siapakah tadi itu yang melepaskan kentut anjing demikian?” kata Ban-li.

Liau Cu-le menjadi gusar, alisnya sampai menegak. Mestinya ia hendak balas memaki, tapi lantas terpikir sesuatu olehnya, sedapat mungkin ia bersabar dan berkatalah, “Urusan sudah kadung demikian, apakah terhitung seorang kesatria sejati jika mengkeret digaris depan?”

Begitulah kelima orang itu ribut mulut sendiri saling mengajukan orang lain untuk menjadi ciangbunjin.

Sejak tadi Thio Sam hanya mendengarkan saja dengan tersenyum-senyum tanpa membuka suara. Sebaliknya Li Si yang tidak sabar lagi mendengarkan pertengkaran orang-orang Swat-san-pay yang tidak habis-habis itu. Segera ia membentak, “Sebenarnya siapakah di antara kalian ini adalah ciangbunjinnya? Kalian bertengkar terus, kalau sampai makan waktu seminggu atau sebulan, apakah kami juga disuruh menunggu begitu lama?”

“Ya, Seng-suko, hendaklah kau lekas menerima saja,” kata Nio Cu-cin. “Jika ayal lagi jangan-jangan akan timbul malapetaka, maka kaulah yang akan membikin susah orang banyak.”

“Mengapa aku yang akan membikin susah orang banyak?” sahut Seng Cu-hak dengan gusar.

Begitulah kembali kelima orang itu bertengkar pula dengan sengitnya.

Segera Thio Sam berkata pula dengan tertawa, “Aku ada suatu akal. Begini, kalian berlima boleh memutuskan urusan ini dengan mengadu kepandaian masing-masing. Kepandaian siapa yang paling tinggi, dialah yang akan menjadi Ciangbunjin Swat-san-pay.”

Kelima tokoh Swat-san-pay itu tidak berani menjawab. Mereka saling pandang dan menimbang-nimbang dalam hati masing-masing.

Maka Thio Sam menyambung pula, “Tadi waktu kami datang terlihat kalian berlima sedang saling labrak, kukira di samping kalian sedang berlatih untuk mempertinggi ilmu silat perguruan kalian, tentu pula kalian sedang mengukur tenaga untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan berhak menjadi ciangbunjin. Rupanya kami terlalu buru-buru masuk ke sini sehingga pertandingan kalian terputus setengah jalan. Maka sekarang kalian boleh meneruskan, tidak sampai satu jam tentu dapat ditentukan pihak yang kalah atau menang. Kalau tidak, menuruti watak saudaraku yang tidak sabaran ini, satu jam kemudian jika urusan masih belum selesai mustahil semua orang Swat-san-pay akan dibunuh habis olehnya sehingga tiada seorang pun di antara kalian yang berhasil menjadi ciangbunjin. Nah, satu, dua, tiga! Lekaslah mulai!”

“Sret”, segera Liau Cu-le mendahului melolos pedang.

Tapi mendadak Thio Sam berseru pula, “Yang mengintip di luar jendela itu tentunya juga orang Swat-san-pay, harap masuk saja sekalian ke sini! Karena ciangbunjin ini akan ditentukan dengan ilmu silat, maka tidak peduli tua atau muda, setiap orang boleh ikut.”

Habis berkata lengan bajunya lantas mengebas ke belakang, “blang”, daun jendela terpentang dan terpental tersampuk oleh angin pukulannya itu.

Karena jejaknya sudah ketahuan, segera Su-popo menarik A Siu dan Ciok Boh-thian masuk ke dalam ruangan.

Melihat mereka bertiga, seketika semua orang yang berada di dalam ruangan menjadi tercengang. Serentak Seng Cu-hak, Ce Cu-bian, Liau Cu-le, dan Nio Cu-cin berempat mengelilingi mereka dengan senjata terhunus. Namun Su-popo hanya tertawa dingin saja tak ambil pusing.

Sebaliknya Hong Ban-li lantas melangkah maju dan memberi hormat sambil menyapa, “Terimalah hormatku, Sunio (ibu guru)!”

Boh-thian terperanjat. Pikirnya, “Aneh, mengapa suhuku adalah dia punya ibu guru?”

Dalam pada itu Su-popo hanya menengadah saja tanpa menggubris hormat Hong Ban-li itu.

Dengan tertawa Thio Sam lantas berkata, “Bagus, bagus! Sobat cilik yang tidak mau mengaku sebagai Pangcu Tiang-lok-pang ternyata sudah kembali ke Swat-san-pay sini! Jite, coba lihat, alangkah miripnya bocah ini dengan samte kita.”

Li Si mengangguk dan menjawab, “Ya, cuma tutur katanya rada-rada tengik dan tingkah lakunya agak bergajul. Di mana ada nona cantik, di situ juga dia lantas hinggap.”

Diam-diam Boh-thian anggap kebetulan malah karena kedua saudara angkat itu telah salah sangka dia sebagai Ciok Tiong-giok.

“Eh, kiranya nenek ini adalah Pek-lohujin, maaf kami berlaku kurang hormat,” demikian Thio Sam membuka suara lagi. “Para sutemu sedang mengincar kedudukan Ciangbun Pek-loyacu, mereka sedang mengukur tenaga dan adu otot untuk merebut jabatan terhormat itu. Nah, baiklah, kalian boleh mulai lagi. Satu-dua-tiga, hayo mulai!”

Namun Su-popo lantas menggandeng tangan A Siu dan Boh-thian, dengan bersitegang leher ia berjalan ke depan. Seng Cu-hak dan lain-lain tidak berani merintanginya dan menyaksikan nenek itu berduduk pada kursi besar yang tengah dengan sikap yang mencemoohkan orang-orang di sekitarnya.

“Hayo, kenapa kalian belum mulai, mau tunggu kapan lagi?” bentak Li Si mendadak.

“Benar!” sahut Seng Cu-hak terus mendahului menusuk Nio Cu-cin dengan pedangnya.

Cepat Cu-cin menangkis sambil melangkah mundur, entah sengaja atau sungguhan, mendadak ia sempoyongan dan berkata, “Wah, ilmu pedang Seng-suko benar-benar luar biasa, aku mengaku bukan tandinganmu!”

Di sebelah sana Liau Cu-le dan Ce Cu-bian berdua juga sudah mulai adu tanding. Tapi keempat orang itu hanya main beberapa jurus saja, diam-diam para penontonnya sudah sama menggeleng kepala. Kiranya setiap jurus serangan mereka semuanya sangat lemah dan kurang jitu, sama sekali tidak memperlihatkan sebagai tokoh kelas satu dari golongan Swat-san-pay.

Nyata sekali bahwa pertempuran mereka sekarang bukan “cari menang” lagi, sebaliknya mereka hanya mencari kalah malah, mereka sudah tidak mau berebut menjadi ketua Swat-san-pay lagi. Hanya karena terpaksa maka mereka bertempur sekadarnya, yang diharapkan bukannya menang melainkan kalah saja. Tapi karena mereka mempunyai pikiran yang sama, maka untuk mencari kalah pun tidak gampang.

Suatu ketika tertampak Nio Cu-cin sengaja menubruk ke ujung pedang Seng Cu-hak, sebaliknya mendadak Cu-hak menjerit, “Aduh!”

Sekonyong-konyong sebelah kakinya kesandung sehingga tusukannya mengarah ke lantai malah.

Menyaksikan pertarungan yang menyebalkan itu, Thio Sam terbahak-bahak, katanya, “Losi, kita berdua sudah menjelajah seluruh jagat ini, tapi pertandingan sebagus ini benar-benar baru pertama kali ini kita lihat. Pantas ilmu silat Swat-san-pay sangat termasyhur, nyatanya memang lain daripada yang lain.”

Rupanya Su-popo merasa sebal juga, dengan suara bengis ia lantas membentak, “Ban-li, di mana kau telah mengurung Ciangbunjin dan anak murid Tiang-bun? Lekas pergi melepaskan mereka!”

“Liau... Liau-susioklah yang mengurung mereka, Tecu sendiri tidak... tidak tahu apa-apa,” sahut Ban-li dengan suara gemetar.

“Kau tahu apa tidak, pendek kata mereka harus lepas dibebaskan atau segera kubinasakan kau saat ini juga!” bentak Su-popo pula.

“Ya, ya, Tecu akan coba mencarinya,” sahut Ban-li sambil putar tubuh hendak bertindak pergi.

“Nanti dulu!” tiba-tiba Thio Sam mencegah. “Saudara juga salah seorang calon pewaris ciangbunjin dari Swat-san-pay, mana boleh kau tinggal pergi begini saja? Hayolah kau, kau, kau... kau!” berulang-ulang ia menuding empat murid Swat-san-pay, lalu melanjutkan, “Kalian berempat yang pergi membebaskan seluruh orang Swat-san-pay yang dikurung di Leng-siau-sia ini dan bawa ke sini semua. Kalau sampai kurang satu orang saja maka kepala kalian akan hancur seperti contoh ini.”

Habis berkata tangan kanannya terus mencakar ke atas tiang kayu di sebelahnya sehingga tiang itu seketika melekuk suatu lubang. Tertampak dari sela-sela jarinya bertebaran bubuk kayu yang halus.

Dalam waktu singkat saja sekaligus dia telah perlihatkan dua macam ilmunya yang sakti, keruan orang-orang Swat-san-pay menjadi jeri dan mengkeret. Empat orang yang ditunjuk tadi sampai gemetar ketakutan. Tanpa disuruh lagi segera mereka mengiakan dan mengundurkan diri untuk melaksanakan perintah itu.

Di sebelah sana Seng Cu-hak berempat masih belum berhenti dari pertarungan mereka yang lucu. Mereka pun sadar tingkah laku mereka itu mungkin susah mengelabui mata Thio Sam dan Li Si, maka sedapat mungkin mereka pura-pura bertanding sungguh-sungguh dan mengadu jiwa walaupun setiap kali selalu mengalah dan memberi kesempatan kepada pihak lawan masing-masing.

Makin melihat makin dongkol Su-popo, segera ia mendamprat, “Huh, permainan setan begini juga dianggap sebagai ilmu silat Swat-san-pay? Hm, kalian benar-benar membikin malu nama Leng-siau-sia yang keramat ini.”

Mendadak ia berpaling kepada Ciok Boh-thian dan berkata, “Muridku, ambil golok ini dan tebaslah sebelah lengan mereka, setiap orang satu.”

Di depan Thio Sam dan Li Si sedapat mungkin Boh-thian tidak berani membuka suara agar tidak dikenali. Terpaksa ia terima golok yang disodorkan padanya, lalu melangkah maju, ia tuding Seng Cu-hak terus membacok.

Mendengar Su-popo memberi perintah agar lengannya yang harus ditebas, keruan Seng Cu-hak tidak berani main-main. Cepat ia angkat pedangnya untuk menangkis. Karena sekarang menyangkut keselamatannya, maka gerakan pedangnya ini sangat kuat dan indah, suatu jurus ilmu pedang Swat-san-pay yang sejati.

“Bagus! Mendingan jurus ini daripada tadi!” senggak Thio Sam.

Tiba-tiba Boh-thian mendapat pikiran, “Kedua Giheng sudah kenal tenaga dalamku yang hebat, jika aku menang dengan menggunakan lwekang, tentu mereka akan lantas mengenali aku sebagai Kau-cap-ceng, padahal aku menyaru sebagai Ciok Tiong-giok, terpaksa aku juga harus menggunakan Swat-san-kiam-hoat saja!”

Segera ia putar goloknya dan menusuk dari samping, yakni merupakan satu jurus ilmu pedang Swat-san-pay yang disebut “Am-hiang-soh-eng” (Harum Kedaluan Hilang Bayangan).

Melihat ilmu pedang Boh-thian hanya sepele saja, Seng Cu-hak tidak jeri pula. Ia putar pedang untuk melindungi tempat-tempat penting di tubuhnya sendiri, sesudah beberapa jurus kemudian, sengaja ia pancing golok Ciok Boh-thian menusuk ke atas kakinya. Ia pura-pura tidak sempat menangkis dan mengelak, sambil menjerit kesakitan ia melompat minggir dengan luka di kakinya itu.

Segera ia membuang pedangnya dan berseru, “Pahlawan selalu timbul dari kalangan muda, tua bangka sudah tak berguna lagi! Aku terima mengaku kalah.”

Melihat ada kesempatan, Nio Cu-cin juga tidak mau ketinggalan, segera ia mendahului ayun pedang dan menebas ke pundak Ciok Boh-thian sambil membentak, “Kau bocah ini benar-benar tidak tahu aturan lagi, sampai-sampai Susiokco (kakek-guru muda) juga kau lukai?”

Ia cukup paham ilmu pedang yang dimainkan Ciok Boh-thian, maka hanya beberapa jurus saja ia sengaja memancing suatu serangan pemuda itu sehingga lengan kirinya terserempet pedang. Segera ia berteriak-teriak, “Wah, luar biasa! Hampir-hampir saja lenganku ini ditebas putus oleh anak ingusan ini.”

Menyusul Ce Cu-bian dan Liau Cu-le juga tidak kalah liciknya, berturut-turut mereka pun mencari suatu kesempatan dan membiarkan ujung golok Ciok Boh-thian melukai sedikit kulit badan mereka, lalu mengaku kalah dan mengundurkan diri.

Maklumlah bahwa Ciok Boh-thian memang tiada maksud menebas kutung lengan mereka sebagai diperintahkan oleh Su-popo tadi, pula ia tidak mengeluarkan kepandaiannya yang sejati, yang digunakan hanya sedikit ilmu pedang Swat-san-pay yang belum masak dilatihnya. Selain itu Seng Cu-hak berempat sebenarnya sangat lihai, hanya lantaran mereka sengaja mengalah, maka tidak sulit bagi mereka untuk memainkan kelicikannya. Coba kalau Ciok Boh-thian juga tidak bermaksud memenangkan mereka, tentu mereka pun tidak gampang pura-pura kalah.

Jadi pertandingan barusan ini lebih mirip dengan permainan anak kecil saja. Keruan Su-popo sangat mendongkol. Tapi ia pun tidak ambil pusing, dengan suara bengis ia lantas membentak, “Jadi kalian sudah dikalahkan oleh bocah ini, kalian sudah rela mengangkat dia sebagai ciangbunjin?”

Diam-diam Seng Cu-hak berempat membatin, “Kalau dia diangkat menjadi ketua, paling-paling kita hanya akan memperalat dia sebagai korban yang mewakilkan Swat-san-pay pergi ke Liong-bok-to, apanya yang membuat kita keberatan?”

Maka serentak mereka menjawab, “Ya, kedua sucia dari Liong-bok-to tadi sudah menetapkan syaratnya, kedudukan ciangbun harus direbut berdasarkan kepandaian masing-masing. Sekarang kami sudah kalah, ya, apa mau dikata lagi?”

“Jadi kalian benar-benar sudah takluk?” Su-popo menegas.

“Ya, takluk lahir batin tanpa syarat,” sahut mereka. Tapi diam-diam mereka berpikir, “Huh, jika kedua jahanam Liong-bok-to ini sudah pergi, bukankah Leng-siau-sia ini akan menjadi dunia kami pula? Hanya seorang nenek loyo dan seorang anak ingusan saja bisa berbuat apa?”

“Jika begitu mengapa kalian tidak lekas menyampaikan sembah bakti kepada Ciangbunjin dan mau tunggu kapan lagi?” ujar Su-popo dengan suara lantang.

Sebelum Seng Cu-hak berempat menjawab atau bertindak, tiba-tiba terdengar teriakan seorang di luar, “Siapa yang berani menduduki jabatan ketua Swat-san-pay?”

Itulah suaranya “Gi-han-se-pak” Pek Ban-kiam. Benar juga segera tertampak tokoh muda Swat-san-pay itu melangkah masuk dengan menyeret rantai borgol, di belakangnya mengikut beberapa puluh orang pula, semuanya juga terbelenggu. Di belakang Pek Ban-kiam kelihatan Kheng Ban-ciong, Kwa Ban-kin, Ong Ban-jim, Houyan Ban-sian, Bun Ban-hu, Ang Ban-ek, Hoa Ban-ci, dan anak murid Tiang-bun yang baru saja pulang dari Tionggoan.

Ketika melihat Su-popo juga berada di situ, segera Ban-kiam menyapa, “Engkau sudah pulang, ibu!”

Nadanya terdengar penuh rasa girang dan di luar dugaan.

Tadi waktu mendengar Hong Ban-li memanggil Su-popo sebagai ibu-guru, lapat-lapat Boh-thian sudah merasa nenek itu tentu adalah istri Pek Cu-cay, sekarang mendengar Pek Ban-kiam memanggilnya sebagai ibu, maka dugaannya itu terang tidak perlu disangsikan lagi. Hanya saja ia masih heran, “Jika suhuku adalah istri ketua Swat-san-pay, mengapa beliau mengaku pula sebagai ketua Kim-oh-pay, bahkan selalu mengatakan bahwa Kim-oh-pay merupakan bintang bencana bagi Swat-san-pay?”

Dalam pada itu dilihatnya si A Siu telah berlari ke depan Pek Ban-kiam dan menyapa, “Ayah!”

Tertampak Ban-kiam sangat girang, sahutnya dengan suara terputus-putus, “A Siu, kau, kau ternyata tidak... tidak mati?”

“Sudah tentu dia tidak mati!” sela Su-popo dengan mendengus. “Memangnya semua orang sedemikian tak becus semacam kau? Huh, hanya kau yang bermuka tebal yang masih berani memanggil ibu padaku! Hm, benar-benar tiada gunanya aku melahirkan anak goblok seperti kau. Orang tua sendiri telah dikurung orang, dirinya sendiri juga berhias besi-besi rombengan demikian, kau merasa senang ya dengan kejadian ini? Dasar telur busuk semua, huh, Swat-san-pay apa segala? Yang tua telur busuk, yang muda juga telur bau, semuanya telur kopyor. Rasanya lebih baik Swat-san-pay berganti nama menjadi Telur-busuk-pay saja.”

Pek Ban-kiam diam saja membiarkan ibunya mencaci maki sepuasnya, kemudian barulah ia berkata, “Bu, tertawannya anak bukanlah karena kepandaianku kalah tinggi daripada mereka, tapi kawanan pengkhianat ini telah menggunakan akal licik, dia... dia telah pura-pura menyaru sebagai ayah dan memasang perangkap di dalam selimut, lantaran itulah maka anak telah terjebak.”

“Dasar telur busuk kecil macam kau ini memang tidak pantas diberi hidup,” damprat Su-popo pula. “Kalau salah mengenali orang luar sih masih dapat dimengerti, masakah ayahnya sendiri juga salah mengenalnya, huh, apakah kau masih dapat dianggap sebagai manusia?”

Rupanya sejak kecil Ban-kiam sudah biasa dimaki dan dihajar sang ibu, maka sekarang ia pun anggap biasa meski dimaki habis-habisan di depan orang banyak. Yang terpikir olehnya hanya keselamatan ayahnya. Maka cepat ia tanya, “Bu, apakah ayah baik-baik saja?”

“Telur busuk tua itu mati atau hidup, sedangkan kau telur busuk kecil ini pun tidak tahu, dari mana lagi aku bisa tahu?” sahut Su-popo dengan gusar. “Daripada hidup membikin malu saja karena kena dikurung oleh sute-sutenya, ada lebih baik dia lekas mampus saja.”

Mendengar ucapan itu baru sekarang Ban-kiam merasa lega, ia tahu sang ayah cuma berada dalam tahanan kawanan pemberontak saja. Katanya segera, “Terima kasih kepada langit dan bumi bahwa ayah ternyata masih selamat.”

“Selamat kentut!” bentak Su-popo dengan gusar. Walaupun begitu katanya, namun dalam hati sesungguhnya ia pun memikirkan keselamatan sang suami. Segera ia berkata kepada Seng Cu-hak dan para sutenya, “Di mana kalian telah mengurung Toasuheng? Mengapa tidak lekas-lekas dikeluarkan?”

Seng Cu-hak menjawab, “Perangai Toasuheng sangat keras, siapa pun tidak berani mendekat padanya, kalau mendekat segera akan dibunuh olehnya.”

Terkilas rasa girang dan lega pada wajah Su-popo. Katanya kemudian, “Bagus, bagus! Dasar telur busuk tua itu selalu anggap ilmu silatnya nomor satu di dunia ini, sombongnya tidak kepalang. Sekarang biarlah dia mengalami sedikit penderitaan supaya tahu rasa.”

Agaknya Li Si menjadi tidak sabar mendengarkan caci maki yang tak habis-habis itu, akhirnya ia menimbrung, “Sesungguhnya yang manakah ketua Telur-busuk-pay itu?”

Sekonyong-konyong Su-popo melangkah maju, ia tuding Li Si dan mendamprat, “Istilah ‘Telur-busuk-pay’ masakah boleh diucapkan oleh telur busuk macam kau? Aku memaki lakiku dan anakku sendiri. Hm, kau ini kutu busuk jenis apa, berani kau ikut-ikut menghina Swat-san-pay kami?”

Semua orang menjadi kebat-kebit melihat Su-popo mendamprat Li Si dengan sikap sedemikian galak. Mereka pikir kalau sampai Li Si menjadi gusar dan menyerang, maka nenek itu pasti akan celaka. Maka dengan cepat Ciok Boh-thian lantas melompat maju dan mengadang di depan Su-popo, asal Li Si menyerang segera akan ditangkisnya.

Pek Ban-kiam sendiri masih terbelenggu, dia hanya mengeluh saja dan tak mampu berbuat apa-apa.

Di luar dugaan Li Si ternyata tidak marah, sebaliknya ia tersenyum dan berkata, “Baiklah, anggaplah aku telah salah omong, harap Pek-hujin memaafkan. Nah, sebenarnya siapakah ketua Swat-san-pay kalian!”

“Pemuda ini sudah mengalahkan para pengkhianat itu, mereka sudah mengangkatnya sebagai ketua Swat-san-pay, siapa lagi yang merasa tidak takluk?” jawab Su-popo sambil menuding Boh-thian.

“Anak tidak mau terima dan ingin bertanding dulu dengan dia!” seru Pek Ban-kiam.

“Bagus!” sahut Su-popo. “Hayo, buka semua belenggu mereka itu!”

Liau Cu-le menjadi ragu-ragu, ia saling pandang dengan Seng Cu-hak dan Nio Cu-cin. Pikir mereka, “Jika anak murid Tiang-bun ini dibebaskan, maka untuk mengatasi mereka tentu tidak gampang lagi. Padahal kita sudah mengadakan pemberontakan, perbuatan durhaka ini betapa pun tak bisa diampuni. Namun dalam keadaan sekarang ini mau tak mau mereka harus dilepaskan juga.”

Tapi sedapat mungkin Liau Cu-le mencari jalan lain, katanya, “Kau adalah jago yang sudah keok di bawah tanganku, sedangkan aku saja sudah takluk, berdasarkan apa kau berani membangkang?”

Ban-kiam menjadi gusar. Dampratnya, “Huh, kau pengkhianat yang durhaka ini, kalau bisa aku ingin mencincang tubuhmu hingga hancur luluh, hm, sebaliknya kau masih berani mengatakan aku adalah jago yang sudah keok di bawah tanganmu? Secara licik kau telah menjebak aku, sekarang tanpa malu-malu kau masih berani bicara?”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar