Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 31-35

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 31-35 Ciok Jing menjadi girang dan merasa lega karena sang istri telah dapat menjelajahi sumber penyakit anak muda itu.
 
Jilid 31

Ciok Jing menjadi girang dan merasa lega karena sang istri telah dapat menjelajahi sumber penyakit anak muda itu.

“Nak, janganlah kau takut,” kata Bin Ju pula dengan lembut, “karena sakit panas itu sehingga kau telah melupakan segala apa di masa lampau, tapi perlahan-lahan daya ingatanmu pasti akan pulih kembali.”

Namun Boh-thian masih bersangsi. “Jadi kau benar-benar adalah ibuku dan... dan Ciok-cengcu adalah ayahku?” tanyanya pula.

“Betul,” sahut Bin Ju dengan tersenyum. “Nak, aku dan ayahmu telah mencari kau ke mana-mana, berkat Tuhan yang maha pengasih, akhirnya kita bertiga telah dapat berkumpul kembali. Eh, mengapa kau tidak... tidak lekas panggil ayah?”

Boh-thian percaya penuh bahwa Bin Ju pasti tidak membohonginya, memangnya ia sendiri pun tidak punya ayah, maka sesudah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia memanggil ayah pada Ciok Jing.

“Dan panggil juga ibu!” sahut Ciok Jing dengan tersenyum.

Disuruh memanggil ibu kepada Bin Ju bagi Ciok Boh-thian menjadi lebih sukar keluar dari mulutnya. Ia masih ingat dengan jelas bahwa wajah ibunya sendiri sama sekali berbeda daripada Bin Ju, ibunya yang menghilang itu rambutnya sudah mulai ubanan, sebaliknya rambut Bin Ju masih hitam mengilap. Tabiat ibunya sangat keras, sedikit-sedikit lantas marah-marah dan memaki, bahkan main pukul segala, sama sekali berbeda daripada sikap Bin Ju yang ramah tamah ini.

Melihat air muka Bin Ju penuh menaruh harapan akan panggilannya, bahkan kelihatan matanya menjadi basah sesudah menunggu sekian lamanya belum lagi dipanggil, Boh-thian menjadi tidak tega, akhirnya ia memanggil dengan suara perlahan, “Ibu!”

Sungguh girang Bin Ju tak terlukiskan, terus saja ia merangkul Boh-thian sambil berseru, “O, anakku yang baik!” berbareng air matanya sudah bercucuran pula.

Ciok Jing pun terharu, pikirnya, “Kalau mengingat sepak terjang anak ini ketika di Leng-siau-sia dan di tengah orang-orang Tiang-lok-pang, dosanya itu biarpun ditebus dengan jiwanya juga belum cukup setimpal, mana dapat dikatakan sebagai ‘anak yang baik’?”

Tapi mengingat anak itu menderita penyakit hilang ingatan, ia merasa tidak enak untuk menegurnya tentang perbuatan-perbuatannya.

Apalagi kalau diingat bahwa kesalahan setiap orang harus diberi kesempatan untuk memperbaikinya, bukan mustahil kelak anak ini akan berubah menjadi baik. Padahal kalau ditinjau lebih mendalam, sejak kecil dia sudah berpisah dengan ayah-ibu, betapa pun dirinya sebagai ayah harus bertanggung jawab karena kurang memberi didikan. Hanya saja perbuatan tidak senonoh bocah inilah yang benar-benar telah membikin busuk nama baik Hian-soh-siang-kiam (sepasang pedang dari Hian-soh-ceng) yang tersohor di Kangouw selama ini.

Begitulah sesaat itu pikiran Ciok Jing menjadi bergolak di samping gembira juga merasa menyesal dan gemas.

Melihat air muka sang suami yang sebentar terang sebentar masam itu, segera Bin Ju dapat meraba apa yang dipikirnya. Khawatir kalau suaminya mulai menanyai dosa Ciok Boh-thian cepat Bin Ju berkata, “Engkoh Jing, Anak Giok, aku sudah sangat lapar, marilah kita lekas mencari makanan.”

Ia lantas bersuit, sejenak kemudian kedua ekor kuda hitam-putih lantas berlari mendatangi dari semak-semak sana. “Nak, kau bersatu kuda tunggangan dengan ibu saja.”

Melihat sang istri sangat gembira, hal ini jarang terjadi selama belasan tahun ini, maka Ciok Jing hanya tersenyum saja dan lantas mencemplak ke atas kuda hitam.

Boh-thian dan Bin Ju bersama menunggang kuda putih terus dilarikan menuju ke jalan besar. Tapi di dalam hati Boh-thian tetap ragu-ragu dan tidak habis mengerti, “Apakah dia benar-benar ibuku? Jika betul ibu yang membesarkan aku sejak kecil itu tentulah bukan ibuku lagi. Sebenarnya yang manakah yang betul adalah ibuku?”

Begitulah tiga orang berdua kuda telah melanjutkan perjalanan. Beberapa li kemudian, tiba-tiba terlihat di tepi jalan ada sebuah kelenteng.

“Marilah kita sembahyang dahulu ke dalam kelenteng,” tiba-tiba Bin Ju mengajak. Lalu ia mendahului melompat turun terus masuk ke dalam kelenteng.

Terpaksa Ciok Jing dan Boh-thian ikut ke dalam kelenteng. Padahal Ciok Jing mengetahui sang istri selamanya jarang bersembahyang. Tapi sekarang dilihatnya Bin Ju sudah berlutut di depan patung ji-lay-hud (Buddha) dan sedang menjura berulang-ulang.

Waktu ia berpaling ke arah Ciok Boh-thian, tiba-tiba timbul rasa terima kasihnya, pikirnya, “Walaupun bocah ini tidak genah kelakuannya, padahal cintaku kepadanya melebihi jiwaku sendiri. Jika ada orang hendak membikin celaka padanya tentu aku akan membelanya sekalipun nyawaku harus melayang. Hari ini kami ayah-ibu dan anak dapat berkumpul kembali, sungguh Tuhan yang maha pengasih benar-benar sangat memberkati kepadaku.”

Karena itu, tanpa merasa ia pun berlutut dan menjura ke hadapan patung Buddha.

Boh-thian hanya berdiri saja di samping, ia dengar Bin Ju memanjatkan doa dengan suara perlahan, “Mohon Buddha memberkati agar penyakit putraku ini lekas sembuh. Dia masih terlalu muda, biarlah segala dosanya ditanggung olehku sebagai ibunya, segala kutuk hukuman ibunya yang akan memikulnya, asalkan putraku selanjutnya dapat membarui hidupnya, bebas dari kesukaran dan bencana, hidup sejahtera dan bahagia.”

Suara Bin Ju itu sebenarnya sangat lirih tapi dengan lwekang Ciok Boh-thian yang tinggi sekarang, dengan sendirinya ia dapat mendengarnya dengan jelas. Seketika darahnya tersirap, perasaannya terguncang, pikirnya, “Jika dia bukan ibu kandungku, masakah dia sedemikian baiknya kepadaku? Selama ini aku ragu-ragu untuk memanggil ibu padanya, aku benar-benar sudah terlalu linglung.”

Saking terharunya mendadak ia terus menubruk maju terus merangkul pundak Bin Ju dari belakang sambil berseru, “Ibu, O, ibu, kau benar-benar adalah ibuku!”

Dari panggilan ibu tadi keluar dari mulutnya dengan sangat dipaksakan adalah sekarang panggilan Boh-thian ini benar-benar timbul dari lubuk hatinya yang tulus. Sudah tentu Bin Ju dapat mendengar dari nada suaranya itu, dengan terharu ia lantas berpaling dan balas memeluk sambil berseru, “O, anakku yang bernasib malang!”

Dasar watak Ciok Boh-thian memang jujur dan berbudi, ia menjadi teringat kembali kepada “ibu” yang pernah selama belasan tahun di atas gunung yang sunyi itu, walaupun dirinya diperlakukan dengan kurang baik, tapi ibu dan anak telah hidup berdampingan sekian lamanya, betapa pun hatinya juga merasa berat. Maka ia telah bertanya pula, “Dan bagaimana dengan ibuku yang dahulu itu? Apakah... apakah dia memang membohongi aku?”

“Bagaimana macamnya ibumu yang dahulu itu? Coba kau terangkan pada ibu,” kata Bin Ju sambil membelai-belai rambut Ciok Boh-thian.

“Dia... dia punya rambut sudah agak putih, jauh lebih pendek daripadamu, dia pun tak bisa ilmu silat, dia sering marah-marah sendiri, terkadang marah-marah padaku dengan mata melotot,” demikian tutur Boh-thian.

“Kau bilang dia adalah ibumu, apakah dia pun panggil anak padamu?” tanya Bin Ju.

“Tidak, dia panggil aku sebagai ‘kau-cap-ceng’!” sahut Boh-thian.

Hati Ciok Jing dan Bin Ju tergerak semua, pikir mereka, “Wanita itu memanggil Anak Giok sebagai kau-cap-ceng (anak anjing campuran), teranglah karena dia terlalu benci kepada kami suami-istri, jangan-jangan... jangan-jangan adalah wanita hina itu?”

Maka cepat Bin Ju tanya pula, “Apakah ibumu itu bermuka bundar telur, kulit badannya sangat putih, kalau tertawa terdapat dekik di atas pipinya?”

“Bukan,” sahut Boh-thian sambil menggeleng. “Ibuku itu berpipi gemuk dan kekuning-kuningan, jarang tertawa, juga tiada dekik di pipi apa segala.”

“O, kiranya bukan dia,” ujar Bin Ju dengan menghela napas. “Nak, ketika di kelenteng kecil malam itu pedang ibu telah melukai kau, bagaimana dengan lukamu itu?”

“Tidak apa-apa, hanya luka ringan saja, beberapa hari lagi tentu akan sembuh,” sahut Boh-thian.

“Dan cara bagaimana kau lolos dari cengkeraman Pek Ban-kiam?” tanya Bin Ju pula. “Anak kita benar-benar hebat, sampai ‘Gi-han-se-pak’ juga tidak mampu menawannya.”

Kata-kata terakhir ini dia tujukan kepada Ciok Jing dengan rasa bangga.

Ciok Jing sendiri memang sangat kagum kepada kepandaian Pek Ban-kiam setelah pertandingan di kelenteng Toapekong tempo hari. Maka ia pun setuju atas ucapan sang istri. Ia hanya menjawab, “Ah, jangan terlalu memuji padanya, nanti terlalu memanjakan dia.”

Tapi Ciok Boh-thian lantas menerangkan, “Bukan aku sendiri yang meloloskan diri, tapi Ting-samyaya dan si Ting-ting Tong-tong yang menyelamatkan aku.”

Ciok Jing dan Bin Ju terperanjat mendengar namanya Ting Put-sam itu, cepat mereka tanya keterangan lebih lanjut.

Karena cerita ini agak panjang, maka Ciok Boh-thian lantas menguraikan dengan jelas tentang cara bagaimana Ting Put-sam dan si Ting Tong telah menolongnya, kemudian Ting Put-sam hendak membunuhnya, tapi Ting Tong telah mengajarkan kim-na-jiu-hoat padanya dan akhirnya dia terlempar ke dalam perahu yang lain.

Bin Ju lantas menanyakan pula kejadian-kejadian sebelumnya, terpaksa Boh-thian menuturkan cara bagaimana ia telah dinikahkan dengan si Ting Tong oleh Ting Put-sam dan cara bagaimana ditawan oleh Pek Ban-kiam di markas besar Tiang-lok-pang. Kemudian ceritanya melompat kejadian berikutnya, di mana dia telah bertemu dengan Su-popo dan A Siu di Sungai Tiangkang serta bertanding melawan Ting Put-si, lalu cara bagaimana Su-popo telah menerimanya sebagai murid pertama Kim-oh-pay ketika mendarat di Ci-yan-to. Sesudah itu dia ditinggal pergi si nenek dan A Siu, lalu menemukan kapal mayat Hui-hi-pang, akhirnya dia ketemu dengan Thio Sam dan Li Si serta mengangkat saudara dengan mereka. Ia menceritakan seluruhnya sehingga sampai di sarang Tiat-cha-hwe dan akhirnya kesasar ke dalam Siang-jing-koan.

Apa yang telah dialaminya di dunia Kangouw itu memangnya sudah membikin bingung padanya, sekarang dia disuruh cerita, sudah tentu terjungkir balik tiada teratur. Namun Ciok Jing dan Bin Ju selalu tanya secara teliti sehingga akhirnya sebagian besar cerita Ciok Boh-thian itu dapatlah dipahami mereka.

Begitulah makin mendengar cerita itu makin terheran-heran Ciok Jing berdua, pikiran mereka pun semakin tertekan. Waktu Ciok Jing menanyakan cara bagaimana Boh-thian bisa masuk ke dalam Tiang-lok-pang, maka anak muda itu lantas menguraikan cara bagaimana dia dibawa Cia Yan-khek ke atas Mo-thian-kay sehingga mendapat ilmu menangkap burung dari jauh, kemudian ia putar kembali ceritanya mengenai dahulu ia pernah terima persen dari Bin Ju di depan warung siopia ketika bertemu dengan Bin Ju di sana.

Sudah tentu Ciok Jing dan Bin Ju sama sekali tidak menduga bahwa si pengemis kecil yang kotor dekil yang pernah dijumpai di Hau-kam-cip dahulu itu ternyata bukan lain adalah putranya sendiri. Bila teringat keadaan si pengemis kecil yang terlunta-lunta dan harus dikasihani itu, kembali Bin Ju merasa pilu hatinya.

Diam-diam Ciok Jing juga membatin, “Kalau dihitung menurut waktu pertemuan di Hau-kam-cip tempo dulu itu, tatkala mana bocah ini toh belum lama melarikan diri dari Leng-siau-sia. Mengapa Kheng Ban-ciong dan kawan-kawannya bisa pangling kepada Anak Giok ini?”

Berpikir demikian, segera Ciok Jing mengamat-amati pula air muka “Ciok Tiong-giok”. Ia merasa muka si pengemis kecil yang sekilas pernah dilihatnya di Hau-kam-cip dahulu itu samar-samar sudah tak teringat olehnya, yang masih jelas adalah pakaiannya yang compang-camping dan mukanya yang kotor saja. Lalu terpikir lagi, “Sejak dia melarikan diri dari Leng-siau-sia, sepanjang jalan ia hidup dari mengemis, sudah tentu mukanya menjadi dekil, bukan mustahil malah dia yang sengaja membikin kotor mukanya supaya tidak mudah dikenali orang sehingga Kheng Ban-ciong dan kawan-kawannya menjadi pangling. Aku pun sudah berpisah sekian tahun lamanya, perubahan anak kecil juga sangat cepat, dengan sendirinya aku lebih-lebih pangling lagi.”

Setelah ragu-ragu sejenak kemudian Ciok Jing coba bertanya, “Waktu di depan warung siopia tempo dulu, apa kau tidak merasa takut ketika melihat Kheng Ban-ciong dan para susiokmu yang lain?”

Sebenarnya Bin Ju tidak suka sang suami menyinggung urusan Swat-san-pay itu, tapi karena sudah diucapkan, untuk mencegahnya juga tidak bisa lagi, ia hanya mengerut alis, ia khawatir sang suami terus mengusut perbuatan-perbuatan putranya yang tidak senonoh.

Tak terduga Ciok Boh-thian telah menjawabnya, “Kheng Ban-ciong? Orang-orang Swat-san-pay itu? Apakah mereka benar-benar adalah susiokku? Tatkala itu aku tidak tahu mereka hendak menangkap aku, dengan sendirinya aku tidak takut kepada mereka.”

“Kau tidak tahu mereka hendak menangkap kau?” Ciok Jing menegas. “Kau... kau benar-benar tidak tahu Kheng Ban-ciong adalah susiokmu?”

“Ya, tidak tahu,” sahut Boh-thian sambil menggeleng.

Melihat wajah sang suami sekilas agak masam, Bin Ju tahu Ciok Jing telah menahan rasa gusarnya sedapat mungkin. Maka cepat ia membuka suara, “Nak, setiap orang tentu pernah berbuat salah, asalkan insaf akan kesalahannya dan berani memperbaikinya rasanya belumlah terlambat. Ayah dan ibu mencintai kau melebihi jiwanya sendiri, maka segala apa tidak perlu kau merahasiakan, katakanlah terus terang segala sebab musababnya kepada ayah-ibumu saja. Sebenarnya bagaimana sikap Hong-suhu terhadap dirimu?”

“Hong-suhu? Hong-suhu yang mana?” Boh-thian menegas dengan bingung. Tiba-tiba teringat olehnya ketika di kelenteng Toapekong tempo hari ayah-ibunya pernah sebut-sebut namanya Hong Ban-li, maka ia lantas menyambung pula, “Apakah kau maksudkan Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li? Aku pernah mendengar kalian menyinggung namanya, tapi aku tidak kenal dia.”

Ciok Jing dan Bin Ju saling pandang sekejap. Segera Ciok Jing tanya pula, “Dan bagaimana dengan Pek-yaya (Kakek Pek)? Tabiat beliau sangat keras bukan?”

“Pek-yaya siapa? Entah, aku tidak pernah melihat dan tidak kenal dia,” sahut Boh-thian sambil geleng kepala.

Menyusul Ciok Jing dan Bin Ju bergilir menanyakan pula suasana dan keadaan Swat-san-pay di Leng-siau-sia, tapi Ciok Boh-thian ternyata tidak mengetahui apa pun.

“Engkoh Jing, penyakitnya ini terang terjadi sejak waktu itu,” kata Bin Ju kepada sang suami.

Ciok Jing mengangguk, tapi diam saja.

Kiranya kedua orang sekarang telah paham duduknya perkara, mereka menarik kesimpulan, “Anak Giok sudah mengalami pukulan batin yang mahahebat sejak dia melarikan diri dari Leng-siau-sia, jika bukan kepalanya terkena benda keras waktu di tempat perguruannya itu, tentu disebabkan saking ketakutannya sehingga pikirannya menjadi linglung dan melupakan segala kejadian di masa lampau. Tentang pengalamannya waktu di Mo-thian-kay dan di Tiang-lok-pang, semuanya itu terjadi sesudah dia menderita sakit hilang ingatan.”

Kemudian Bin Ju berusaha menjajaki lagi kejadian-kejadian di masa kecilnya, tapi bicara ke sana kemari Ciok Boh-thian hanya ingat pernah hidup di atas pegunungan yang sunyi, kerjanya cuma menangkap burung dan memburu ayam hutan, lebih dari itu dia tidak dapat menjelaskan lagi, seakan-akan sejak dia dilahirkan sehingga berumur belasan tahun, masa hidupnya itu hanya kosong belaka tanpa sesuatu peristiwa.

“Anak Giok,” kata Ciok Jing akhirnya, “ada suatu hal penting yang menyangkut mati-hidupmu di masa depan. Tentang ilmu silat Swat-san-pay sebenarnya sampai berapa banyak telah kau pahami?”

Boh-thian tampak termangu-mangu, jawabnya kemudian, “Aku hanya menyaksikan orang-orang Swat-san-pay melatih ilmu pedang di dalam kelenteng tempo hari, diam-diam aku pun mengingatnya sebagian saja. Apakah lantaran ini mereka sangat marah padaku sehingga aku hendak dibunuh oleh mereka? Ayah, itu Pek-suhu bersitegang mengatakan aku adalah murid Swat-san-pay, entah apakah maksudnya? Anehnya mengapa di atas pahaku memang benar terdapat bekas luka tusukan ilmu pedang mereka itu. Ai, sungguh aku pun tidak habis mengerti akan hal ini.”

“Adik Ju, biar kucoba lagi dia punya ilmu pedang,” kata Ciok Jing kepada sang istri. Lalu ia melolos pedangnya dan menyambung pula, “Coba, boleh kau gunakan Swat-san-kiam-hoat yang telah kau pahami itu untuk bergebrak dengan Ayah, sedikit pun kau tidak boleh menyembunyikan kepandaianmu.”

Bin Ju lantas mencabut pedang dan diserahkan kepada Ciok Boh-thian sambil tersenyum, maksudnya mendorong anak muda itu agar melakukan apa yang dikehendaki Ciok Jing.

Ketika Ciok Jing mulai menusuk dengan lambat, segera Ciok Boh-thian mengangkat pedang untuk menangkis, yang dia gunakan adalah jurus “Siok-hong-hut-khi” (Angin Utara Mendadak Meniup), gerakannya lamban, gayanya kaku dan banyak lubang kelemahannya.

Ciok Jing mengerut kening melihat ketololan ilmu pedang anak muda itu, sebelum kedua pedang kebentur, segera ia ganti serangan lagi sambil berkata, “Kau pun boleh balas serang saja!”

“Baik!” sahut Boh-thian. Mendadak pedangnya membacok dari samping, ia gunakan pedang sebagai golok sehingga yang dia mainkan lebih mirip Kim-oh-to-hoat daripada disebut ilmu pedang.

Dengan cepat Ciok Jing mempergencar serangan-serangannya, pikirnya, “Betapa pun licin bocah ini juga jangan harap akan dapat mengelabui diriku dalam hal ilmu silat. Setiap orang yang menghadapi detik menentukan antara mati atau hidup tidaklah mungkin berpura-pura lagi dalam permainan ilmu pedangnya.”

Karena pikiran ini, segera ia mendesak lebih kencang pula, setiap serangannya selalu menuju tempat-tempat berbahaya di tubuh Ciok Boh-thian.

Mau tak mau Boh-thian menjadi kelabakan, dalam gugupnya untuk mempertahankan diri secara otomatis ia lantas memainkan kepandaian ciptaannya sendiri, yaitu ilmu yang mirip ilmu golok dan menyerupai ilmu pedang.

Dalam pada itu serangan-serangan Ciok Jing bertambah gencar. Coba kalau lawannya bukan putranya sendiri, niscaya dengan mudah dia sudah membikin tamat riwayatnya. Pada jurus ke-11 jika mau dada Ciok Boh-thian tentu sudah ditembus oleh pedangnya, ketika jurus ke-23 mestinya buah kepala anak muda itu pun dapat ditebasnya menjadi dua, bahkan setiba jurus ke-28 pertahanan Ciok Boh-thian menjadi terbuka semua, dadanya, perutnya, pundaknya, kakinya, semuanya dengan gampang dapat dijadikan sasaran pedang.

Ciok Jing menoleh sekejap kepada sang istri sambil menggeleng. “Sret”, menyusul pedangnya lantas menusuk ke depan, perut Ciok Boh-thian segera terancam oleh ujung pedang. Keruan Boh-thian kelabakan, ia coba menangkis sebisanya, “trang”, tahu-tahu pedang Ciok Jing tergetar mencelat, berbareng dadanya terasa sesak, kontan ia tersentak mundur beberapa tindak. Di bawah guncangan tenaga dalam Ciok Boh-thian yang mahakuat itu, hampir-hampir saja ia tidak sanggup berdiri tegak lagi.

“He, kenapakah kau, Ayah?” seru Boh-thian kaget, cepat ia membuang pedangnya dan memburu maju hendak memayang Ciok Jing.

Tiba-tiba Ciok Jing merasa pening dan muak, lekas-lekas ia menutup pernapasan dan memberi tanda agar Boh-thian jangan mendekatnya.

Kiranya sekali Ciok Boh-thian sudah bergebrak dengan orang, dengan sendirinya racun yang mengeram di dalam tubuhnya lantas terdesak keluar oleh tenaga dalamnya yang bergolak itu. Syukurlah sebelumnya Ciok Jing sudah mengetahui seluk-beluk kepandaian putranya sehingga tidak sampai roboh keracunan.

Khawatirkan diri sang suami, cepat Bin Ju juga memburu maju untuk memayangnya, ia menoleh dan menegur Boh-thian, “Ayah cuma menjajal kepandaianmu saja, mengapa kau begini sembrono?”

Boh-thian menjadi khawatir, sahutnya cepat, “Ya, aku... aku yang salah, Ayah! Apakah kau terluka?”

Melihat bocah itu menaruh perhatian secara tulus dan sungguh-sungguh kepadanya, diam-diam Ciok Jing sangat girang dan terhibur. Ia tersenyum, sesudah mengatur napasnya, kemudian ia menjawab, “Ah, tidak apa-apa. Adik Ju, jangan kau salahkan Anak Giok. Dia memang benar belum memahami ilmu pedang Swat-san-pay, sebab kalau dia sudah mahir, tentu dapat menyerang dan dapat menarik kembali dengan tepat, dengan sendirinya dia takkan sembrono padaku. Tenaga dalam bocah ini benar-benar sangat hebat, tokoh Bu-lim yang mampu menandingi dia boleh dikata sangat terbatas.”

Bin Ju cukup kenal watak sang suami yang biasanya tidak sembarangan memuji orang persilatan pada umumnya, kalau sekarang dia memuji putra kesayangannya, hal ini menandakan kepandaian Ciok Boh-thian memang benar-benar hebat. Tentu saja Bin Ju ikut bergirang, katanya, “Tapi ilmu silatnya masih terlalu kaku, sebaiknya sang ayah memberi petunjuk-petunjuk seperlunya.”

“Ketika di kelenteng tempo hari bukankah kau sudah pernah mengajarkan dia?” ujar Ciok Jing dengan tertawa. “Tampaknya dalam hal mendidik anak nakal si ayah yang keras harus menyerah kepada sang ibu yang pengasih.”

Bin Ju tersenyum gembira, katanya, “Kalian tentu sudah lapar, marilah kita mencari rumah makan.”

Sesudah mereka sampai di suatu kota kecil dan tangsel perut seperlunya, kemudian mereka keluar kota menuju ke suatu tempat yang sunyi. Di sini Ciok Jing lantas menguraikan letak saripati ilmu pedang yang hebat. Dasarnya Ciok Boh-thian memang tidak bodoh, selama ini dia telah banyak memahami pula berbagai macam ilmu silat, sekarang diberi petunjuk pula oleh tokoh silat terkemuka sebagai Ciok Jing, sudah tentu ia tambah cepat mengerti. Apalagi lwekang Ciok Boh-thian memangnya sudah sangat tinggi dan melebihi jago kelas satu di dunia Kangouw, yang masih kurang baginya hanya dalam hal pengalaman tempur saja.

Begitulah Ciok Jing dan Bin Ju bergilir memberi petunjuk dan saling gebrak dengan Boh-thian, bilamana ada sesuatu kesukaran segera mereka memberi petunjuk di mana perlu, dengan demikian kemajuan Boh-thian terang jauh lebih pesat daripada waktu Bin Ju memberi petunjuk secara diam-diam waktu bertemu di kelenteng Toapekong dahulu.

Karena tenaga dalam Ciok Boh-thian teramat kuat, biarpun dia berlatih terus dari siang sehingga petang tanpa berhenti dan mengaso, namun sedikit pun dia tidak kelihatan lelah, bahkan napasnya tidak sampai terengah-engah. Sebaliknya Ciok Jing dan Bin Ju yang memberi petunjuk secara bergilir malah mandi keringat dan merasa capek.

Secara ringkas saja pelajaran-pelajaran itu telah berlangsung selama beberapa hari, kemajuan Boh-thian sangat pesat, dari ilmu pedang ajaran ayah-ibunya sudah dapat dipahaminya tujuh-delapan bagian.

Hian-soh-kiam-hoat memangnya adalah ilmu pedang yang lihai, ditambah lagi tenaga dalam Ciok Boh-thian yang mahakuat, kelak kalau bertemu lagi dengan Pek Ban-kiam, Ting Put-sam, dan Ting Put-si dan lain-lain, andaikan Boh-thian belum dapat mengalahkan jago-jago tua itu, paling sedikit ia pun sudah mampu mempertahankan diri.

Selama beberapa hari itu, di kala mengaso atau di waktu makam, Ciok Jing dan Bin Ju masih terus berusaha memancing Ciok Boh-thian menceritakan pengalamannya di masa lampau dengan maksud membantunya memulihkan daya ingatannya. Akan tetapi Boh-thian hanya dapat menceritakan dengan jelas tentang kejadian sesudah dia berada di Tiang-lok-pang, sampai kejadian-kejadian kecil ia pun dapat menerangkan, tapi ditanya sewaktu kecilnya, ketika tinggal di Hian-soh-ceng dan belajar silat di Leng-siau-sia, semuanya ini ia hanya melongo saja tak bisa menjawab.

Pada hari itu, sesudah makan siang, mereka bertiga kembali berada di bawah pohon yang biasanya mereka suka duduk-duduk di situ dan mengobrol. Tiba-tiba Bin Ju menjemput setangkai ranting dan menggores-gores di atas tanah, ia menulis empat huruf “Hek-pek-hun-beng” (hitam dan putih harus dibeda-bedakan dengan tegas), lalu katanya, “Anak Giok, apakah kau masih ingat keempat huruf ini?”

Boh-thian menggeleng-geleng kepala, sahutnya, “Tidak, aku tidak bisa membaca.”

Ciok Jing dan Bin Ju terkejut semua. Padahal waktu anak mereka meninggalkan rumah Bin Ju sudah mengajarkan membaca kepadanya, kitab-kitab yang sederhana sebagai “Sam-ji-keng” (kitab aksara tiga), “Tong-si” (sanjak Tong) boleh dikata sudah dapat dihafalkan di luar kepala, mengapa sekarang jawabnya tidak bisa membaca? Apalagi Wi-tek Siansing dari Swat-san-pay terkenal serbapandai, baik ilmu silat maupun ilmu sastra. Anak muridnya juga terkenal sebagai kaum cerdik pandai semua. Waktu Ciok Jing memasrahkan Tiong-giok kepada Hong Ban-li dahulu juga dengan tegas dinyatakan semoga anak itu mendapat didikan ilmu silat maupun ilmu sastra, tatkala itu Hong Ban-li telah berkata dengan tertawa, “Pek-tehu (adik ipar Pek, maksudnya istri Pek Ban-kiam) adalah sastrawan wanita di Leng-siau-sia kita, biarkan dia yang mengajar putramu, tanggung tidak akan mengecewakan harapanmu.”

Tapi kini anak muda itu ternyata mengaku buta huruf.

Tentang empat huruf “Hek-pek-hun-beng” itu adalah tulisan di atas papan yang tergantung di pendopo Hian-soh-ceng mereka, tulisan itu adalah sumbangan seorang tokoh Bu-lim angkatan tua, maknanya cocok dengan sepasang pedang hitam-putih andalan Ciok Jing dan istrinya, tapi juga mengandung pujian kepada mereka suami-istri yang suka membela keadilan dan membantu kaum lemah untuk menumpas kejahatan.

Sebabnya Bin Ju menulis keempat huruf yang dahulu sering dilihat putranya sejak kecil, mungkin dari situ akan dapat mengingatkan dia kepada kejadian-kejadian di masa lampau, siapa duga anak muda itu bahkan menjawab tidak dapat membaca.

Lalu Bin Ju menggores lagi angka “satu” di atas tanah, tanyanya pula dengan tertawa, “Dan huruf ini kau masih ingat tidak?”

“Tidak, huruf apa pun aku tidak tahu, tiada yang pernah mengajarkan padaku,” jawab Boh-thian.

Pedih sekali hati Bin Ju, air matanya lantas berlinang-linang lagi.

“Anak Giok, coba kau mengaso dulu ke sebelah sana,” kata Ciok Jing kepada Boh-thian.

Setelah mengiakan, Boh-thian lantas jinjing pedangnya dan menyingkir ke sana untuk berlatih sendiri.

Kemudian Ciok Jing telah menghibur sang istri, “Adik Ju, penyakit yang diderita Anak Giok tampaknya tidaklah enteng dan tak dapat disembuhkan dalam waktu singkat.”

Sesudah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, “Seandainya dia memang sudah melupakan segala kejadian yang lalu, hal ini pun bukanlah urusan jelek. Sepak terjang bocah ini di masa lampau terlalu sembrono, walaupun sekarang agak... agak linglung, tapi tingkah lakunya terang jauh lebih baik dan lebih prihatin. Hal ini boleh dikata merupakan suatu kemajuan besar baginya.”

Bin Ju pikir apa yang dikatakan sang suami itu pun ada benarnya, seketika dari sedih berubah menjadi girang. Apa halangannya kalau cuma buta huruf saja, paling-paling diajarkan lagi dari permulaan kan beres?

Tiba-tiba Ciok Jing berkata pula, “Adik Ju, ada suatu hal yang aku tidak habis paham. Penyakit hilang ingatan bocah ini terang sudah terjadi sewaktu dia meninggalkan Leng-siau-sia, kemudian ia menderita sakit panas lagi, hal ini hanya semakin menambah parah penyakitnya itu. Akan tetapi... akan tetapi....”

Mendengar ucapan sang suami itu mengandung sesuatu teka-teki yang mendalam, mau tak mau Bin Ju ikut menjadi tegang, cepat ia tanya, “Akan tetapi apa?”

“Bicara tentang kesusastraan terang Anak Giok buta huruf,” kata Ciok Jing. “Bicara tentang ilmu silatnya juga tidak terlalu mahir, hanya lwekangnya saja yang luar biasa. Bicara soal pengalaman, pengetahuan dan tipu akalnya, semuanya lebih-lebih tiada yang dapat dipilih. Padahal Tiang-lok-pang adalah suatu organisasi besar yang sangat menonjol pada masa akhir-akhir ini, namanya sangat disegani oleh dunia persilatan, mengapa... mengapa....”

“Ya, betul, mengapa mengangkat seorang anak kecil sebagai Tiong-giok untuk menjadi pangcu mereka?” sambung Bin Ju dengan manggut-manggut.

Ciok Jing merenung sejenak, lalu sambungnya pula, “Waktu di Ciciu tempo hari kita pernah mendengar cerita bahwa Ciok Boh-thian, Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang adalah seorang yang suka main perempuan, tingkah lakunya culas dan licik, tapi ilmu silatnya sangat tinggi pula. Sebenarnya tiada seorang pun yang tahu asal-usul Ciok-pangcu itu, belakangan entah mengapa dia telah dapat dikenali oleh murid wanita dari Swat-san-pay yang bernama Hoa Ban-ci, katanya dia adalah murid murtad Swat-san-pay mereka, Ciok Tiong-giok, yang sedang dicari-cari oleh perguruannya. Tapi kalau dilihat sekarang, segala apa tentang tingkah lakunya culas licik dan ilmu silatnya sangat tinggi, ulasan-ulasan itu sesungguhnya tidak tepat digunakan atas diri Tiong-giok.”

Dengan mengerut kening Bin Ju menanggapi, “Ya, dahulu kita pikir usia Anak Giok memang masih muda, tapi otaknya memang tajam, jika ilmu silatnya benar-benar telah maju pesat sehingga dapat menjabat sebagai pangcu apa juga bukan sesuatu yang aneh, sebab itulah kita tatkala itu sedikit pun tidak curiga, kita hanya berunding cara bagaimana menyelamatkan dia dari pencarian Swat-san-pay. Akan tetapi melihat kelakuannya sekarang, kukira... kukira....”

Sampai di sini mendadak ia perkeras suaranya, “Ya, Engkoh Jing, kukira di balik urusan ini tentu adalah suatu muslihat keji. Coba pikir saja, betapa cerdik pandai tokoh ‘Tio-jiu-seng-jun’ Pwe-siansing itu, masakah....” sampai di sini ia menjadi takut sendiri, suaranya menjadi gemetar pula.

Ciok Jing sendiri berjalan mondar-mandir dengan berpangku tangan, mulutnya tiada hentinya menggumam, “Ya, mengangkat dia menjadi pangcu , mengangkat dia menjadi pangcu , apa maksud tujuannya? Apa maksud tujuannya?”

Setelah dipikir berulang-ulang, akhirnya jelaslah duduknya perkara baginya, segala apa yang terjadi sangat cocok dengan persoalannya, cuma saja urusan ini terlalu mengerikan, maka ia tidak berani lantas mengutarakan pendapatnya.

Waktu ia memandang sang istri, sekilas sorot mata Bin Ju juga sedang menatap ke arahnya dengan penuh rasa cemas dan khawatir.

Untuk sejenak suami-istri itu saling pandang, habis itu mendadak mereka berseru berbareng, “Pengganjar dan Penghukum!”

Ucapan ini cukup keras sehingga dapat didengar oleh Ciok Boh-thian, segera anak muda ini mendekati dan bertanya, “Ayah, ibu, sebenarnya macam apakah Pengganjar dan Penghukum itu? Aku pernah mendengar nama itu dari orang-orang Tiat-cha-hwe, imam-imam Siang-jing-koan itu pun pernah menyebut-nyebutnya.”

Ciok Jing tidak menjawab sebaliknya malah bertanya, “Sewaktu kau mengangkat saudara dengan Thio Sam dan Li Si, apakah mereka mengetahui kau adalah Pangcu Tiang-lok-pang?”

“Mereka tidak tanya, aku pun tidak bilang, mungkin mereka tidak tahu,” sahut Boh-thian.

“Bagaimana keadaan mereka ketika kau berlomba minum arak berbisa dengan mereka? Coba kau ceritakan lagi dengan lebih jelas,” tanya Ciok Jing.

“Hah, apakah arak itu berbisa? Mengapa aku tidak keracunan?” sahut Boh-thian dengan heran. Lalu ia pun menuturkan lagi pengalamannya ketika bertemu dengan Thio Sam dan Li Si, di mana mereka telah makan babi panggang dan minum arak sepuas-puasnya.

Ciok Jing mendengarkan dengan diam saja, sesudah Boh-thian menutur, ia merenung sejenak, lalu berkata, “Anak Giok, ada suatu hal harus kukatakan padamu, baiknya saat ini masih dapat dicegah, maka kau pun tidak perlu khawatir.”

Sesudah merandek sebentar, kemudian ia menyambung, “Pada masa 30 tahun yang lalu, banyak sekali di antara gembong-gembong dan tokoh-tokoh Bu-lim dari berbagai golongan dan aliran mendadak telah menerima undangan yang meminta mereka sebelum tanggal 8 bulan 12 supaya datang ke Liong-bok-to (Pulau Kayu Naga) di Laut Selatan untuk makan Lap-pat-cok.”

“Ya, semua orang asalkan mendengar tentang ‘Lap-pat-cok’ lantas sangat ketakutan, entah apa sebabnya?” kata Boh-thian sambil manggut-manggut.

Namun Ciok Jing menyambung terus, “Tokoh-tokoh dari berbagai golongan dan aliran itu semuanya adalah orang-orang yang punya harga diri, ketika mereka menerima medali undangan....”

“Medali undangan? Apakah kedua potong medali tembaga itu?” sela Boh-thian.

“Betul, tak-lain-tak-bukan adalah kedua buah medali tembaga yang pernah kau rebut dari Ciau-hi Supek itu,” sahut Ciok Jing. “Muka medali-medali itu masing-masing terukir wajah orang yang sedang tertawa, ini mempunyai arti ‘pengganjar’, yaitu memberi ganjaran kepada orang yang berbuat bajik, sebaliknya medali yang lain terukir wajah marah yang berarti ‘penghukum’, yaitu pemberi hukuman kepada setiap kejahatan. Pengirim-pengirim medali undangan itu adalah dua orang pemuda gemuk dan kurus.”

“Pemuda?” Boh-thian menegas. Ia sudah menduga pengirim-pengirim medali-medali itu tentulah Thio Sam dan Li Si, tapi demi mendengar pemuda, ia merasa tidak cocok pula dengan mereka.

“Apa yang terjadi itu adalah di waktu lebih 30 tahun yang lalu, dengan sendirinya ketika itu mereka masih muda,” ujar Ciok Jing. “Para pemimpin Bu-lim yang kebagian medali undangan itu dengan sendirinya ragu-ragu, mereka menanyakan siapakah tuan rumah yang mengundang itu, tapi kedua utusan itu menyatakan bahwa sesudah para tamu sampai di tempat tujuan tentu akan tahu sendiri. Gembong-gembong persilatan itu ada yang anggap sepele akan undangan itu dan menerimanya dengan tertawa, ada juga yang marah-marah. Menurut kedua utusan itu, bila penerima undangan itu menepati undangan itu, maka segalanya akan aman tenteram, sebaliknya kalau menolak, maka golongan atau organisasi mereka ini pasti akan tertimpa bencana. Karena itulah para pemimpin persilatan itu saling bertanya-tanya, ‘Hadir atau tidak?’

“Orang pertama yang menerima medali undangan itu adalah Siau-san Totiang, Ciangbunjin Jing-sia-pay di Sucwan Barat. Sambil tertawa ia mengerahkan tenaga dalam sehingga kedua medali tembaga itu kena diremas menjadi dua potong tembaga rongsokan. Dengan memperlihatkan kepandaiannya yang hebat itu Siau-san Totiang mengira kedua pemuda yang takabur itu pasti akan kabur dengan ketakutan. Siapa duga, baru saja medali-medali itu dirusaknya, kontan keempat tangan pemuda-pemuda itu pun sekaligus menghantam dada Siau-san Totiang, tanpa ampun lagi tokoh persilatan di daerah Sucwan itu terbinasa seketika.”

“Ah, sedemikian keji cara mereka itu,” seru Boh-thian.

“Ya, serentak orang-orang Jing-sia-pay juga lantas mengerubut maju,” sambung Ciok Jing. “Tatkala itu ilmu silat kedua pemuda belum mencapai tingkatan setinggi seperti sekarang, segera mereka merampas dua batang pedang, setelah membunuh tiga orang Tojin mereka lantas melarikan diri. Namun demikian, kejadian tentang Jing-sia-pay diubrak-abrik dan Siau-san Totiang dibunuh dua orang pemuda yang tak terkenal dalam waktu singkat saja sudah lantas membikin geger dunia persilatan.

“Dua puluh hari kemudian, Tiau-lopiauthau di Ekciu juga menerima medali undangan tersebut. Waktu itu Tiau-lopiauthau sedang sibuk mengadakan perjamuan untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-60. Tamu-tamu yang hadir sangat banyak, tiba-tiba kedua pemuda yang tidak diundang muncul di tengah perjamuan dan mengaturkan medali-medali tembaga mereka. Memangnya sebagian besar para hadirin itu lagi ramai membicarakan peristiwa Jing-sia-pay, sekarang diketahui kedua pemuda itu mengacau pula ke situ, serentak mereka bergerak dan hendak menghajar kedua pemuda itu. Tak terduga dengan gampang saja kedua pemuda itu dapat meloloskan diri dari kepungan orang banyak. Bahkan tiga hari kemudian, keluarga Tiau-lopiauthau sebanyak lebih 30 jiwa pada tengah malam buta semuanya telah tewas. Di atas pintu rumah jelas terpaku dua bentuk medali tembaga muka tertawa dan muka marah itu.”

“Pertama kalinya aku melihat kedua medali tembaga itu adalah di pintu ruangan kapal Hui-hi-pang yang penuh mayat itu,” kata Boh-thian dengan menghela napas. “Tak tersangka bahwa... bahwa kedua medali itu mirip saja dengan kartu undangan yang dikirim oleh Giam-lo-ong (raja akhirat).”

“Setelah kejadian itu tersiar, segera ketua Siau-lim-pay tampil ke muka dan mengundang para pemimpin terkemuka dari dunia persilatan untuk merundingkan cara menghadapi persoalan medali-medali tembaga itu, berbareng penyelidik-penyelidik disebarkan untuk mencari tahu jejak kedua utusan yang mengganas itu,” demikian Ciok Jing melanjutkan ceritanya. “Namun kedua pemuda utusan itu benar-benar sangat licin, sering kali mereka menyamar dan ganti rupa sehingga jejak mereka susah diketemukan. Tapi bilamana orang-orang Bu-lim sudah mulai lengah, tahu-tahu kedua pemuda itu muncul lagi untuk menyampaikan kedua medali panggilan.

“Bukan saja jejak kedua pemuda itu susah diketemukan dan ilmu silatnya tinggi, malahan mereka pandai menggunakan racun pula. Seperti Sian-pun Tianglo dari Siau-lim-pay, Kho-pek Tojin dari Bu-tong-pay, mereka telah tewas semua sesudah menerima medali undangan. Waktu menerima medali-medali itu tiada terjadi apa-apa, tapi lewat sebulan kemudian mendadak mereka kena penyakit keras terus binasa. Menurut perkiraan, tentulah kedua rasul Siang-sian dan Hwat-ok Sucia itu jeri kepada ilmu silat Sian-pun Tianglo dan Kho-pek Totiang yang tinggi, mereka tidak mampu melawannya, maka diam-diam mereka telah menaruh racun jahat di atas medali-medali mereka, sesudah tangan menyentuh racun itu, akhirnya racun akan bekerja dan membunuh sang korban. Anehnya racun itu sama sekali tidak memberi tanda-tanda sebelumnya, tapi sekali sudah kumat, hanya dalam waktu satu jam saja lantas binasa, sungguh lihainya susah dikatakan.”

Jilid 32

Ciok Boh-thian sampai merinding mendengarkan cerita seram itu, katanya, “Masakah kedua saudara-angkatku Thio Sam dan Li Si itu adalah manusia-manusia yang begitu kejam? Mereka suka bermusuhan dengan orang-orang Bu-lim, sebenarnya apa maksud tujuannya?”

“Entahlah, selama 30-an tahun ini persoalan yang rumit ini tetap tak terpecahkan,” sahut Ciok Jing sambil menggeleng. “Sesudah tewasnya tokoh-tokoh terkemuka seperti Siau-san Totiang dari Jing-sia-pay, Tiau-lopiauthau dari Sucwan, Sian-pun Taysu dari Siau-lim-si, Kho-pek Totiang dari Bu-tong-pay, mau tak mau pemimpin-pemimpin Bu-lim yang lain menjadi kebat-kebit dan merasa tidak aman, mereka tidak berani main kasar lagi, bila di antaranya ada yang menerima medali undangan, segera disanggupi untuk hadir pada perayaan makan Lap-pat-cok itu. Jika demikian, maka kedua rasul itu akan berkata, ‘Sungguh kami merasa mendapat kehormatan atas kesediaan tuan akan hadir di Liong-bok-to, diharap pada hari dan bulan sekian silakan menunggu di mana, pada waktunya tentu ada orang akan menyambut kalian dengan perahu.’ – Begitulah, selama tahun undangan itu, tokoh-tokoh Bu-lim, ciangbunjin, pangcu dari berbagai golongan yang telah menjadi korban keganasan mereka itu ada 14 orang, selain itu ada 19 tokoh yang melaksanakan undangan mereka. Akan tetapi ke-19 orang itu hanya dapat pergi saja dan tidak dapat pulang, selama 32 tahun ini sedikit pun tiada berita-berita tentang nasib mereka.”

“Terletak di lautan selatan manakah pulau yang disebut Liong-bok-to itu?” tanya Ciok Boh-thian. “Mengapa tidak mengumpulkan teman dan pergi menolong ke-19 orang itu?”

“Tentang Liong-bok-to itu sudah ditanyakan kepada hampir seluruh nelayan dan ahli pelayaran, tapi tiada seorang pun yang kenal nama pulau itu, tampaknya pulau itu hanya omong kosong kedua pemuda itu saja,” tutur Ciok Jing lebih jauh. “Begitulah setahun demi setahun telah lalu dengan cepat, selain keluarga-keluarga dari ke-33 orang yang mengalami nasib malang itu, maka semua orang lambat laun sudah melupakan peristiwa-peristiwa tersebut. Tak terduga 11 tahun kemudian, tahu-tahu medali undangan itu muncul lagi di dunia Kangouw. Kali ini ilmu silat kedua rasul itu sudah tambah maju lagi, hanya di dalam waktu 20-an hari saja beberapa ratus orang dari berbagai aliran dan organisasi besar telah dibunuh oleh mereka.

“Keruan kejadian itu semakin menggegerkan dunia Kangouw. Waktu itu tiga orang tertua Go-bi-pay lantas tampil ke muka untuk mengumpulkan 20-an jago-jago pilihan, secara diam-diam mereka sembunyi di markas Ang-jio-hwe (perkumpulan tombak merah) di daerah Holam untuk menantikan kedatangan kedua pengganas. Tak terduga kedua pengganas itu seperti serbatahu saja, mereka telah menghindari Ang-jio-hwe, bahkan tidak menginjak ke dalam wilayah Holam, sebaliknya medali panggilan mereka masih terus disebarkan ke tempat-tempat lain. Asal penerima medali undangan itu menyanggupi akan hadir, maka segenap anggota keluarga penerima undangan itu akan aman tenteram, jika tidak maka biarpun betapa keras dan rapatnya penjagaan, tentu segenap anggotanya akan menjadi korban keganasan kedua orang itu.

“Tahun itu Soa-pangcu dari Hek-liong-pang juga mendapat medali undangan, tatkala itu ia telah menyanggupi akan hadir, tapi diam-diam ia telah memberitahukan waktu dan tempat perahu yang akan memapaknya kepada Ang-jio-hwe. Maka tiba pada saatnya serentak ke-20 tokoh persilatan itu lantas menuju ke tempat yang dimaksudkan. Akan tetapi sial bagi mereka, entah siapa yang telah membocorkan rahasia mereka itu, ketika tiba saatnya ternyata tiada seorang pun atau perahu yang datang menyambut. Mereka coba menunggu lagi beberapa hari, namun satu demi satu di antara mereka itu berturut-turut tewas keracunan.

“Keruan sisanya menjadi ketakutan dan beramai-ramai mereka lantas bubar menyelamatkan diri. Akan tetapi belum lagi sampai di rumah masing-masing, di tengah jalan mereka sudah mendapat kabar, ada yang seluruh anggota keluarganya telah habis dibunuh orang, ada pula segenap anggota organisasinya telah habis dibinasakan tanpa mengetahui siapa pembunuhnya. Dalam tahun itu hanya ada tujuh orang tokoh saja yang telah menumpang sebuah kapal lain menuju ke Liong-bok-to, tapi mereka pun bisa pergi dan tak bisa pulang, besar kemungkinan mereka sudah terkubur di dasar lautan yang susah dijajaki. Apa yang terjadi itu adalah peristiwa pada 21 tahun yang lalu. Ai, benar-benar bencana besar bagi Bu-lim, kalau dipikir sungguh menyeramkan dan menyedihkan!”

Ciok Boh-thian ingin tidak memercayai cerita yang mengerikan itu, akan tetapi dengan mata kepala sendiri ia telah menyaksikan terbunuhnya anggota-anggota Tiat-cha-hwe serta kapal mayat orang-orang Hui-hi-pang, bahkan tanpa sengaja dia sendiri telah membantu Thio Sam dan Li Si melakukan keganasan itu, kalau teringat sekarang sungguh ia menjadi bergidik sendiri.

Ia dengar Ciok Jing telah menyambung pula, “Selang 11 tahun kemudian, kembali kedua rasul itu muncul lagi. Yang pertama menerima medali undangan adalah Bu-kek-bun di daerah Kangsay. Setahun sebelumnya di antara pemimpin-pemimpin berbagai golongan dan aliran sudah mengadakan musyawarah dan permufakatan, tak peduli siapa yang menerima undangan, maka seluruhnya akan menerima dengan baik dan berjanji akan hadir. Mereka telah bertekad kepada pemeo yang mengatakan ‘tidak masuk sarang harimau, mana bisa mendapat anak harimau’. Mereka bertekad akan datang ke Liong-bok-to untuk melihat keadaan yang sebenarnya, semua orang telah bersatu padu akan menumpas musuh bersama dari dunia persilatan itu.

“Sebab itulah pada tahun undangan itu, di mana medali undangan disampaikan sebegitu jauh tidak terjadi korban jiwa, seluruhnya ada 33 orang yang telah menerima undangan, maka ada 33 orang yang akan hadir, akan tetapi ke-33 jago dan kesatria pilihan yang terkenal cerdik pandai itu pun mengalami nasib yang sama, mereka bisa pergi dan untuk selamanya tidak pernah pulang lagi, hilang tanpa bekas dan tanpa berita.

“Karena pengacauan Liong-bok-to itu, maka jago-jago terkemuka Bu-lim selama ini menjadi terkuras habis. Siang-jing-koan kami biasanya jarang berkeliaran di Kangouw, meski ilmu silat ayah-ibumu berasal dari Siang-jing-koan, tapi dalam pergaulan selalu menggunakan nama Hian-soh-ceng. Para paman gurumu yang berilmu silat tinggi itu pun jarang bertarung dengan orang sehingga bagi penglihatan orang luar para imam Siang-jing-koan dikira hanya orang-orang beribadat yang saleh dan tidak paham ilmu silat....”

“Apakah lantaran mereka jeri kepada Liong-bok-to?” Boh-thian memotong.

Untuk sejenak Ciok Jing tampak serbaragu-ragu, katanya kemudian, “Para paman gurumu itu biasanya tidak pernah bermusuhan dengan orang, mereka adalah imam-imam yang suci, tapi bila dikatakan mereka jeri kepada Liong-bok-to, ya, memang benar juga. Maklum, biarpun kau adalah tokoh Bu-lim kelas satu, biarpun punya pengaruh besar dan berkawan banyak, asalkan menyebut ‘Liong-bok-to’, siapa pun akan kebat-kebit. Sungguh tidak tersangka bahwa Siang-jing-koan yang sedemikian prihatin, akhirnya tetap tak terhindar dari bencana.”

Habis berkata ia lantas menghela napas panjang.

“Ayah ingin menjadi Ciangbunjin Siang-jing-koan, katanya hendak menyelidiki keadaan Liong-bok-to yang sebenarnya,” tanya Boh-thian pula. “Tapi kalau mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu, di mana tidak sedikit tokoh-tokoh terpandai yang hanya bisa pergi dan tak bisa pulang, rasanya tugas ayah pun tidaklah gampang dilaksanakan.”

“Ya, sudah tentu sangat sulit,” ujar Ciok Jing. “Tapi kita biasanya memandang membantu kesukaan orang sebagai kewajiban sendiri, apalagi urusan mengenai perguruannya sendiri, masakah kita bisa berpeluk tangan tanpa peduli?”

Boh-thian mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia tanya, “Kau bilang kedua saudara angkatku Thio Sam dan Li Si itu adalah kedua rasul dari Liong-bok-to yang menyampaikan medali undangan?”

“Itu sudah terang dan tidak disangsikan lagi,” sahut Ciok Jing.

“Jika mereka adalah orang jahat, mengapa mereka mau mengangkat saudara dengan aku?” kata Boh-thian dengan heran.

Ciok Jing tertawa geli. Katanya, “Waktu itu kau bicara dengan ketolol-tololan sehingga mereka tidak dapat menolak. Apalagi sumpah yang mereka ucapkan itu adalah palsu dan tidak dapat dianggap.”

“Sumpah palsu bagaimana?” tanya Boh-thian.

“Thio Sam dan Li Si adalah nama mereka yang palsu,” tutur Ciok Jing. “Mereka mengucapkan sumpah atas nama Thio Sam dan Li Si, dengan sendirinya segala sumpah yang diucapkan hanya palsu belaka.”

“O, kiranya demikian! Kelak kalau bertemu lagi tentu aku akan menegur mereka.”

Sampai di sini Bin Ju yang sejak tadi hanya tinggal diam saja tiba-tiba menyela, “Anak Giok, lain kali kalau ketemu kedua orang itu hendaklah kau berlaku hati-hati. Tangan kedua orang itu sudah penuh berlumuran darah, mereka biasa membunuh orang tanpa berkedip, kalau pertarungan secara terang-terangan tidak menang mereka lantas menyerang secara menggelap. Kalau menyerang secara menggelap tidak berhasil mereka lantas menggunakan racun.”

“Ya, jangankan kau masih sangat hijau dan pikiranmu jujur polos, sekalipun tokoh-tokoh yang jauh lebih cerdik daripada kau juga susah menghindarkan diri dari keganasan kedua utusan itu,” sambung Ciok Jing. “Maka bicara tentang hati-hati dan berjaga-jaga boleh dikata sangat sulit. Sebaliknya, anak Giok, kalau lain kali bertemu lagi harus serentak menggunakan pukulan mematikan, harus mendahului daripada didahului. Walaupun cuma seorang saja di antara mereka yang dapat dibunuh juga sudah terhitung mengurangi suatu bencana bagi Bu-lim.”

“Tapi... tapi kami adalah kiat-pay-hiati (saudara angkat), masakah aku boleh membunuh mereka?” ujar Boh-thian dengan ragu-ragu.

Ciok Jing hanya menghela napas dan tidak bicara lagi. Ia pikir memang tidaklah patut untuk memaksa sang putra membunuh saudara-saudara angkatnya sendiri.

“Engkoh Jing,” kata Bin Ju dengan tertawa, “kau bilang anak Giok orang yang jujur polos, jadi sudah terang putra kita telah berubah baik bukan?”

“Dia memang sudah berubah menjadi baik,” sahut Ciok Jing sambil mengangguk. “Dan justru sebab itulah maka ada orang ingin memperalat dia untuk menahan bencana yang akan menimpa mereka. Anak Giok, apakah kau tahu sebenarnya apa maksud tujuan para pemimpin Tiang-lok-pang itu mengangkat kau sebagai pangcu mereka?”

Sesungguhnya Ciok Boh-thian memang bukan anak bodoh, hanya sejak kecil hidup di gunung bersama ibunya, di waktu mudanya tinggal di atas Mo-thian-kay bersama Cia Yan-khek, kedua orang juga jarang bicara, sebab itulah terhadap seluk-beluk dan lika-liku orang hidup sama sekali tak dipahami olehnya. Sekarang demi mendengar uraian Ciok Jing tadi, seketika dia sadar, tanpa terasa tercetus dari mulutnya, “Ya, mereka mengangkat aku sebagai pangcu, jangan-jangan... jangan-jangan aku hendak dijadikan tameng oleh mereka?”

Ciok Jing menarik napas lega, katanya, “Ya, sebenarnya sebelum duduknya perkara dibikin jelas tidaklah pantas mengukur jelek hati orang dan menilai rendah kesatria Kangouw, tapi kalau bukan begitu, di dalam Tiang-lok-pang sendiri toh banyak terdapat tokoh-tokoh terkenal, masakah seorang muda yang masih hijau sebagai dirimu yang diangkat menjadi pangcu? Tiang-lok-pang itu adalah suatu organisasi besar yang baru menonjol pada beberapa tahun terakhir ini, ketika kita bertemu di Hau-kam-cip dulu di dunia Kangouw masih belum mengenal ‘Tiang-lok-pang’ apa. Menurut perkiraanku, karena kemajuan pesat yang dicapai Tiang-lok-pang pada masa akhir-akhir ini, maka para pemimpin Tiang-lok-pang telah memperhitungkan sudah dekat dengan waktu munculnya medali undangan dari Liong-bok-to, sekali ini Tiang-lok-pang mereka pasti akan menerima juga undangan itu, sebab itulah lebih dulu mereka lantas memilih seorang yang mempunyai hubungan rapat dengan mereka untuk diangkat menjadi pangcu, dan bila tiba saatnya, pangcu yang baru ini lantas didorong ke depan untuk memikul segala bencana yang akan menimpa.”

Ciok Boh-thian sampai terlongong-longong, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa hati manusia ternyata sedemikian licin dan kejamnya. Tapi perkiraan Ciok Jing itu memang sangat masuk di akal sehingga mau tidak mau ia pun percaya penuh.

“Nak,” Bin Ju ikut berkata, “nama Tiang-lok-pang di kalangan Kangouw sangat busuk, walaupun tidak terlalu jahat, tapi soal merampok, mengganas dan perbuatan-perbuatan kekerasan lain bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka, lebih-lebih mereka tidak pantang kecabulan, hal ini lebih-lebih tidak dapat dimaafkan oleh orang Bu-lim. Para Thocu dan Hiangcu di dalam organisasi mereka itu bukanlah manusia baik-baik semua, kalau mereka sengaja membikin perangkap untuk menjerat kau, hal ini pun tidak mengherankan.”

“Hm, mereka sengaja mencari orang untuk menjadi pangcu dan anak Giok memang pilihan yang paling tepat,” jengek Ciok Jing. “Dia sudah melupakan kejadian-kejadian di masa yang lampau, terhadap seluk-beluk dan lika-liku orang Kangouw juga tidak paham, Mereka cuma tidak menyangka sama sekali bahwa pangcu muda mereka ini ternyata adalah putranya Ciok Jing dan Bin Ju dari Hian-soh-ceng sehingga perhitungan mereka belum pasti akan terlaksana dengan tepat.”

Sampai di sini, tangannya memegang gagang pedang sambil memandang jauh ke timur, yaitu arah letak markas pusat Tiang-lok-pang.

“Jika kita sudah mengetahui tipu muslihat mereka, maka kita tidak perlu khawatir lagi,” kata Bin Ju. “Untungnya anak Giok belum lagi menerima medali undangan. Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan, Engkoh Jing?”

Ciok Jing merenung sejenak, jawabnya, “Kita bertiga harus datang ke Tiang-lok-pang untuk membongkar rahasia mereka. Cuma dengan demikian mereka tentu akan malu dan menjadi kalap sehingga besar kemungkinan akan terpaksa main kekerasan, padahal kita hanya bertiga, pula kita perlu kesaksian beberapa orang terkemuka dari Bu-lim agar di kemudian hari mereka tidak dapat merecoki anak Giok lagi.”

“Nyo Kong, Nyo-toako di Ka-hin-hu, Ciatkang, adalah sahabat kental kita, pergaulannya juga sangat luas, boleh kita minta dia tampil ke muka untuk mengajak kawan-kawan Bu-lim bersama-sama berkunjung ke Tiang-lok-pang.”

“Usul ini sangat bagus,” kata Ciok Jing dengan girang. “Kawan-kawan Bu-lim di sekitar Kanglam rasanya pasti akan suka membantu kita suami-istri.”

Hendaklah maklum bahwa hubungan Ciok Jing suami-istri dengan orang-orang Bu-lim biasanya sangat baik, mereka suka membantu kesukaran kawan dan jarang minta bantuan orang lain. Sekarang tiba-tiba mereka inginkan bantuan kawan-kawan itu, tentu saja dengan gampang mereka akan mendapatkan bala bantuan secukupnya.

Begitulah mereka bertiga lantas mengambil jalan ke arah timur menuju ke Ka-hin-hu. Tiga hari kemudian, sampailah mereka dan bermalam di Liong-ki-tin. Kota kecil ini cukup ramai, mereka bertiga bermalam di suatu hotel. Ciok Jing suami-istri mendiami sebuah kamar besar di bagian depan, sedangkan Ciok Boh-thian memperoleh sebuah kamar agak kecil di sebelah dalam. Mestinya Bin Ju hendak mencarikan sebuah kamar besar bagi putra kesayangannya itu, tapi karena kamar-kamar sudah penuh tamu, terpaksa apa adanya.

Malam itu Boh-thian duduk bersila di atas tempat tidurnya, ia melatih ilmunya sehingga badan terasa segar dan semangat penuh. Waktu ia periksa kedua telapak tangannya, ternyata noktah merah dan garis-garis biru di tengah telapak tangan itu sudah samar-samar dan hampir-hampir tak kelihatan lagi.

Ia tidak tahu bahwa kedua botol arak berbisa itu sekarang sudah terbaur menjadi tenaga dalam yang mahakuat di dalam tubuhnya, ia menyangka tentu kegiatannya berlatih selama beberapa hari ini sehingga racun telah diusir keluar, maka ia menjadi girang, lalu ia merebah dan tidur.

Sampai tengah malam, tiba-tiba terdengar jendela bersuara gemeletak, ada orang sedang mengetok jendela dengan perlahan.

Tepat Boh-thian bangun dan tanya dengan suara tertahan, “Siapa?”

Tapi kembali terdengar suara “tek-tek-tek” tiga kali, suara jendela diketok itu sudah sangat hafal baginya. Hati Boh-thian berdebar, cepat ia tanya pula, “Apakah Ting-ting Tong-tong di situ?”

Maka terdengarlah suara si Ting Tong menjawab perlahan di luar jendela, “Sudah tentu aku adanya, memangnya kau mengharapkan siapa?”

Boh-thian menjadi girang dan gugup pula demi mendengar suara si nona, seketika ia sampai tidak sanggup bicara lagi.

Tiba-tiba terdengar suara “bret”, kertas jendela terobek, sebuah tangan menyelonong masuk, tahu-tahu telinganya telah dijewer.

“Hayo, mengapa tidak lekas membuka jendela?” demikian terdengar si nona berkata.

Boh-thian menjadi kesakitan, tapi khawatir membikin kaget ayah-ibunya, maka ia tidak berani bersuara dan lekas-lekas membuka daun jendela.

Segera Ting Tong melompat masuk ke dalam kamar, ia mengekek tawa dan berkata, “Engkoh Thian, kau kangen padaku atau tidak?”

“Aku... aku... aku....” berulang-ulang Boh-thian menyebut “aku”, tapi tidak sanggup meneruskan lagi.

“Bagus, jadi kau tidak kangen padaku, ya?” omel si Ting Tong. “Yang kau rindukan hanya pengantin baru yang telah bersembahyang Thian bersama kau itu?”

“Bilakah aku pernah bersembahyang Thian lagi dengan siapa lagi?” sahut Boh-thian.

“Huh, dengan mata kepala sendiri aku melihatnya, kau berani mungkir?” semprot si nona. “Baiklah, aku pun tidak menyalahkan kau, ini memang sifatmu yang bangor dan biasa main gila, aku berbalik merasa senang. Dan di manakah nona cilik pengantin baru itu?”

“Sudah hilang, ketika aku kembali ke dalam gua di sana, dia sudah hilang meski aku telah mencarinya,” tutur Boh-thian.

“O, semoga Buddha memberkati, supaya selama hidup ini kau takkan menemukan dia lagi,” kata si Ting Tong dengan mengikik.

“Dan di manakah kakekmu, apakah beliau baik-baik saja?” tanya Boh-thian.

“Kenapa kau tidak tanya diriku baik-baik atau tidak?” omel si nona sambil mencubit lengan pemuda itu. Tapi mendadak ia menjerit, “Aduh!”

Kiranya tenaga dalam Ciok Boh-thian telah mementalkan tangan si nona dengan kuat sehingga nona itu menjerit kaget.

“Apakah kau baik-baik saja, Ting-ting Tong-tong?” tanya Boh-thian kemudian. “Sungguh untung bagiku, waktu kau melemparkan aku ke dalam sungai, kebetulan aku jatuh di dalam sebuah perahu sehingga tidak sampai mati tenggelam.”

“Untung apa? Akulah yang sengaja melemparkan kau ke dalam perahu itu, masakah kau tidak tahu?” kata Ting Tong.

Boh-thian menjadi kikuk, sahutnya, “Di dalam hatiku sudah tentu tahu kau sangat baik padaku, hanya saja... hanya saja aku merasa malu untuk mengatakannya.”

Ting Tong tertawa, katanya, “Kau dan aku adalah suami-istri, masakah pakai malu apa segala?”

Begitulah mereka duduk berdampingan di pinggir ranjang, sayup-sayup Boh-thian mengendus bau harum yang timbul dari badan si Ting Tong, harumnya anak perawan yang khas, keruan perasaan Boh-thian seperti dikilik-kilik dan....

Tapi demi teringat bahwa ayah-ibunya juga berada di kamar sebelah, urusan perkawinan dengan si Ting Tong ini entah bagaimana pendapat mereka, ia angkat tangan kanan dan bermaksud merangkul si nona, tapi baru saja menyentuh bahunya, cepat ia menarik kembali lagi tangannya.

“Engkoh Thian, hendaklah katakan sejujurnya padaku, sesungguhnya aku lebih cantik ataukah binimu yang baru itu lebih ayu?” tiba-tiba si Ting Tong bertanya.

“Di manakah aku ada bini baru lagi? Aku hanya punya... punya istri kau seorang saja,” sahut Boh-thian.

Ting Tong kegirangan, mendadak ia peluk si anak muda dan “ngok”, ia menciumnya satu kali.

Boh-thian menjadi merah jengah dan bingung, ingin mendorong pergi si nona, rasa berat karena nikmat juga ciuman itu, hendak balas memeluk, eh, hati tidak berani.

Biarpun tingkah laku si Ting Tong itu lebih berani, tapi apa pun juga dia adalah anak perawan yang masih suci, ketika tanpa sadar ia mencium Ciok Boh-thian satu kali, lalu ia pun merasa menyesal. Dengan malu ia lantas menyusup ke tengah ranjang, ia tarik sehelai selimut terus membungkus dirinya rapat-rapat.

Sampai sekian lamanya Boh-thian merasa ragu-ragu, tangannya ingin memegang anak dara itu, tapi takut-takut dan tidak jadi. Akhirnya ia hanya memanggil perlahan, “Ting-ting Tong-tong! Ting-tang Ting-tong!”

Namun si nona diam saja tak menggubrisnya.

Akhirnya Boh-thian menguap kantuk, ia duduk di atas kursi sambil mendekap di atas meja kemudian terpulas.

Di pihak lain si Ting Tong merasa bersyukur karena kekasih yang dicari-cari selama ini telah dapat diketemukan pula. Dengan rasa senang serta badan lelah, tanpa merasa akhirnya ia pun tertidur di atas ranjang.

Sampai fajar sudah menyingsing, tiba-tiba terdengar suara orang mengetok pintu, lalu terdengar Bin Ju sedang memanggil, “Anak Giok, kau sudah bangun?”

“O, ibu!” Boh-thian menjawab sambil berbangkit. Tapi demi memandang ke arah si Ting Tong, seketika ia menjadi bingung.

“Buka pintu, anak Giok, aku ingin bicara,” terdengar Bin Ju berkata pula.

Boh-thian mengiakan. Dengan ragu-ragu pintu lantas hendak dibukanya.

Sudah tentu si Ting Tong menjadi kelabakan juga. Yang akan masuk itu adalah ibu mertua, kalau dilihatnya dirinya bermalam di suatu kamar bersama Ciok Boh-thian, walaupun mereka tidak melanggar tata susila apa-apa, tapi siapa yang mau percaya, bukankah kelak akan dipandang hina oleh ibu mertua itu?

Segera ia membuka daun jendela dan bermaksud melompat keluar. Tapi ketika ia melirik Ciok Boh-thian, tiba-tiba hatinya terasa berat pula untuk berpisah, dengan susah payah ia telah mencari anak muda itu dan akhirnya diketemukan di sini, jika sekarang berpisah lagi maka susahlah diramalkan kapan akan dapat bersua pula. Maka berulang-ulang ia memberi tanda agar anak muda itu jangan membuka pintu dahulu.

“Ibuku, tidak menjadi soal,” bisik Boh-thian, sementara itu tangannya sudah menyentuh palang pintu.

Ting Tong menjadi gugup, pikirnya, “Kalau orang lain memang tidak menjadi soal, tapi ibumu justru menjadi soal.”

Ia melihat palang pintu sudah hampir diangkat oleh anak muda itu, untuk melompat keluar jendela rasanya juga tidak keburu lagi.

Mestinya si Ting Tong adalah anak dara yang tidak takut mati, tapi demi terpikir akan berjumpa dengan ibu mertua, bahkan kepergok dalam keadaan yang kurang pantas begini, mau tak mau ia menjadi gugup. Saat itu Boh-thian sudah hampir menarik palang pintu, tanpa pikir lagi segera ia bertindak dengan menggunakan kim-na-jiu-hoat, tangan kirinya mencengkeram “leng-tay-hiat” di punggung anak muda itu dan tangan kanan tepat memegang “koan-ki-hiat” di tengkuknya.

Boh-thian hanya merasa kedua tempat hiat-to itu kesemutan dan kaku, lalu tak bisa berkutik lagi. Ia merasa si Ting Tong telah merebahkan tubuhnya, lalu menyeretnya dan sembunyi bersama-sama ke kolong ranjang.

Bin Ju adalah tokoh Kangouw yang sudah berpengalaman. Ketika didengarnya suara jawaban sang putra di dalam kamar, tapi sampai sekian lamanya pintu kamar tidak dibuka, kemudian terdengar pula suara-suara yang mencurigakan, ia menjadi khawatir atas keselamatan Ciok Boh-thian, tanpa pikir lagi segera ia mendobrak pintu dengan bahunya.

Ketika palang pintu patah dan daun pintu terpentang, segera dilihatnya jendela pun sudah terbuka, sedangkan putra kesayangannya sudah tiada berada di dalam kamar lagi. Cepat ia berseru, “Lekas kemari, Engkoh Jing!”

Dengan menjinjing pedang Ciok Jing segera memburu tiba.

“Anak... anak Giok telah digondol lari orang!” seru Bin Ju dengan suara gemetar sambil menunjuk jendela.

Habis itu susul menyusul suami-istri itu lantas melayang ke luar jendela, satu hitam yang satu putih laksana dua ekor burung raksasa saja, gayanya sangat indah.

Si Ting Tong yang sembunyi di kolong ranjang diam-diam memuji juga akan kepandaian pasangan suami-istri yang tersohor itu.

Sebenarnya dengan pengalaman Ciok Jing dan Bin Ju yang luas itu mestinya tidak gampang tertipu. Soalnya mereka terlalu mengkhawatirkan keselamatan sang putra sehingga tidak sempat berpikir panjang lagi, begitu melihat jejak putranya sudah hilang, pikiran Bin Ju lantas bingung dan menduga keras pasti orang Swat-san-pay atau Tiang-lok-pang yang telah menculik Ciok Boh-thian.

Ketika dia mendobrak pintu dan masuk ke dalam kamar, jarak waktunya dengan suara-suara yang mencurigakan di dalam kamar itu hanya selang sejenak saja, ia menaksir masih dapat menyusul penculiknya, sebab itulah tidak menaruh perhatian keadaan di dalam kamar.

Ciok Boh-thian sendiri yang kena dicengkeram Hiat-to yang penting itu untuk sedetik dua detik memang tak bisa berkutik, tetapi karena lwekangnya terlalu lihai, hanya sekejap saja ia sudah dapat melancarkan kembali Hiat-to yang tertutuk itu. Cuma saja ia merasa senang dan nikmat badannya berada dalam pelukan si Ting Tong, maka ia tidak mau bersuara memanggil ayah-ibunya. Dan karena sedikit ayal itulah sementara itu Ciok Jing dan Bin Ju sudah melompat ke luar jendela dan pergi jauh.

Di kolong ranjang itu sudah tentu banyak debu kotoran, akhirnya Boh-thian tidak tahan dan bersin beberapa kali, ia tarik tangan si Ting Tong dan menerobos keluar dari kolong ranjang. Ia lihat muka si nona juga penuh debu, tapi tidak mengurangi cantiknya dan kelihatan malu-malu.

“Mereka adalah ayah-ibuku,” demikian Boh-thian coba menerangkan.

“Aku sudah tahu, petang kemarin aku mendengar kau memanggil mereka,” sahut Ting Tong.

“Nanti kalau ayah dan ibu sudah kembali, maukah kau menemui mereka saja?” tanya Boh-thian.

“Aku tak mau,” sahut Ting Tong sambil membuang muka. “Ayah-ibumu memandang hina kepada kakekku, dengan sendirinya juga memandang rendah padaku.”

Selama beberapa hari berada bersama ayah-ibunya Ciok Boh-thian telah banyak mendengar pembicaraan mereka, ia merasa ayah-ibunya benar-benar pendekar-pendekar yang berbudi luhur, berbeda sekali dengan tindak tanduk Ting Put-sam. Karena itulah ia menjadi ragu-ragu dan bungkam.

Ting Tong menaksir tidak lama lagi Ciok Jing berdua pasti akan pulang, segera ia mengajak, “Marilah kau ikut ke kamarku, aku ingin bicara sesuatu dengan kau.”

“Kau pun menginap di hotel ini?” tanya Boh-thian dengan heran.

“Tidak menginap di sini, habis menginap di mana?” ujar si nona. Lalu ia menggapai Boh-thian dan mendahului melompat keluar jendela, ia menyusur ke serambi sana dan lantas masuk ke sebuah kamar.

Segera Boh-thian menyusul ke dalam kamar si nona, ia tanya, “Di mana kakekmu?”

“Aku berkeluyuran sendiri, tidak bersama kakek lagi,” sahut Ting Tong.

“Sebab apa?” tanya Boh-thian.

“Hm, sebab apa?” si nona mendengus. “Aku ingin mencari kau, tapi kakek tidak mengizinkan, terpaksa aku minggat sendirian.”

Boh-thian menjadi terharu, katanya, “Ting-ting Tong-tong, kau sungguh sangat baik terhadapku.”

Si nona sangat girang, sahutnya dengan tertawa, “Semalam kau rikuh untuk mengatakan, mengapa sekarang kau tidak rikuh lagi?”

“Kau sendiri yang mengatakan bahwa kita adalah suami-istri, tidak perlu rikuh-rikuh dan malu-malu,” kata Boh-thian dengan tertawa.

Muka si Ting Tong kembali bersemu merah.

Pada saat itulah terdengar di luar suara Ciok Jing sedang berseru, “Ini uang sewa kamar dan rekening makanan!”

Habis itu lantas terdengar suara berdetaknya kaki kuda, rupanya Ciok Jing suami-istri telah berangkat meninggalkan hotel.

“Apakah kau tahu di mana letak Ka-hin-hu?” tanya Boh-thian kepada si Ting Tong.

“Ka-hin-hu adalah tempat yang besar, masakah tidak tahu?” sahut si nona dengan tertawa.

“Ayah-ibuku hendak pergi ke sana untuk mencari seorang yang bernama Nyo Kong, sebentar biarlah kita menyusul ke sana saja,” kata Boh-thian. Agaknya ia pun merasa berat untuk berpisah dengan si nona jelita yang baru saja bersua kembali.

Karena keterangan Boh-thian itu, tiba-tiba Ting Tong mendapat akal, “Dia tidak kenal jalanan ke Ka-hin-hu yang terletak di jurusan tenggara sana, biarlah nanti aku mengajaknya berangkat ke arah timur laut supaya makin lama makin jauh berpisah dengan ayah-ibunya, dengan demikian tentu tidak khawatir akan bertemu lagi di tengah jalan.”

Lantaran hatinya senang, dengan sendirinya mukanya yang memang ayu itu bertambah cantik menggiurkan.

Boh-thian sampai terkesima memandangi anak dara itu.

“Mengapa kau memandang aku sedemikian rupa? Memangnya baru saja kenal?” Ting Tong menggoda dengan tertawa.

“Ting-ting Tong-tong, kau... kau sungguh sangat enak dipandang, jauh lebih bagus daripada ibuku,” ujar Boh-thian.

Si nona mengikik tawa, sahutnya, “Engkoh Thian, kau pun sangat bagus, jauh lebih bagus daripada kakekku.”

Habis berkata ia lantas terbahak-bahak.

Begitulah kedua muda-mudi itu bicara dan bersenda gurau, akhirnya Boh-thian tetap teringat kepada ayah-ibunya, katanya, “Bilamana aku tidak diketemukan ayah dan ibu, mereka tentu akan khawatir. Marilah sekarang juga kita menyusul mereka.”

“Baiklah,” sahut Ting Tong. “Engkau benar-benar putra yang berbakti.”

Segera mereka pun membereskan rekening hotel dan lantas berangkat bersama.

Sudah tentu pengurus dan pelayan hotel dibuat terheran-heran ketika melihat Ciok Boh-thian yang datangnya diketahui bersama Ciok Jing suami-istri, kini tahu-tahu keluar bersama dari kamar si nona cantik yang semula datang sendirian. Maka gegerlah suasana hotel itu ramai membicarakan kejadian itu, ada yang membumbu-bumbui dengan kata-kata kotor dan cabul, ada pula yang kagum kepada rezeki Ciok Boh-thian yang dianggapnya kejatuhan bidadari dari langit....

Sesudah meninggalkan Liong-ki-tin itu, Ting Tong lantas mengajak Boh-thian ke jurusan timur. Beberapa li kemudian, sampailah mereka di suatu persimpangan jalan cabang tiga. Tanpa pikir si Ting Tong lantas mengambil jurusan timur laut.

Karena percaya si nona pasti kenal jalanan, maka tanpa curiga Boh-thian mengikut saja. Katanya, “Ayah-ibuku menunggang kuda bagus, bilamana mereka tidak berhenti mengaso di tengah jalan terang kita tidak dapat menyusul mereka.”

“Setiba di rumah keluarga Nyo di Ka-hin-hu dengan sendirinya akan bertemu,” ujar Ting Tong dengan tersenyum. “Ayah-ibumu sudah kenyang makan asam-garam, memangnya kau khawatir mereka akan kesasar?”

“Ayah dan ibu sudah menjelajahi hampir seluruh jagat, masakah mereka bisa kesasar?” sahut Boh-thian dengan tertawa.

Begitulah sepanjang jalan mereka bicara dan bergurau dengan gembira ria. Sejak berkumpul dengan ayah-ibunya dan hanya mendapat petunjuk-petunjuk, maka sekarang Boh-thian sudah jauh lebih paham tentang seluk-beluk orang hidup.

Melihat tingkah laku ketolol-tololan sang kekasih telah banyak berkurang, diam-diam si Ting Tong sangat girang. Pikirnya, “Sesudah menderita sakit parah, banyak kejadian-kejadian di masa lampau telah dia lupakan. Asalkan aku menceritakannya kembali hal-hal itu, tentu dia takkan lupa lagi.”

Maka sepanjang jalan ia sengaja menceritakan kejadian-kejadian di dunia persilatan, tentang peraturan-peraturan Kangouw, soal hati manusia yang baik dan jahat dan macam-macam lagi.

Sewaktu tengah hari, sampailah mereka di suatu kota kecil. Mereka mendapatkan sebuah rumah makan untuk mengaso dan tangsel perut.

Ketika masuk ke ruangan rumah makan itu, terlihat tiga buah meja besar di bagian tengah sudah penuh diduduki tetamu. Terpaksa mereka mengambil sebuah meja kecil di pojok ruangan.

Rumah makan itu tidak terlalu besar, si pelayan sedang sibuk menyiapkan daharan bagi tamu-tamu yang berada pada tiga meja besar itu sehingga tidak sempat mengurusi kedatangan Boh-thian berdua.

Ting Tong melihat di antara tamu-tamu yang mengelilingi meja-meja besar terdapat tiga orang wanita yang usianya boleh dikata tidak muda lagi, dengan sendirinya juga tak dapat disebut cantik. Orang-orang itu semuanya membawa senjata, logat mereka adalah orang-orang daerah Liau-tang. Mereka sedang makan-minum secara bebas.

“Sobat-sobat Kangouw ini kalau bukan orang-orang dari piaukiok (perusahaan pengawalan) tentu adalah jago-jago kalangan lok-lim (kaum begal dan sebagainya),” demikian pikir si Ting Tong.

Ia lihat Boh-thian juga sedang memandang ke arah tamu-tamu di meja besar itu, tiba-tiba terpikir pula olehnya, “Semoga aku senantiasa berada bersama Engkoh Thian dan makan bersatu meja seperti sekarang ini, maka bahagialah selama hidupku ini.”

Begitulah, karena rasa bahagianya itu, maka meski pelayan terlambat meladeninya juga tidak menimbulkan rasa marahnya.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar ada orang berseru di luar, “Aha, bagus, bagus! Ada arak dan ada daging, memangnya kakek sudah sangat lapar!”

Boh-thian merasa suara orang sudah dikenalnya. Benar saja, segera tertampak seorang tua telah melangkah masuk. Ternyata adalah Ting Put-si.

“Wah, celaka!” diam-diam Boh-thian mengeluh. Cepat ia berpaling ke arah lain agar tidak dilihat orang tua itu.

Si Ting Tong juga lantas membisikinya, “Wah, aku punya cekkong (mbah cilik), jangan kau pandang dia, biar aku menyaru dahulu.”

Dan tanpa menunggu jawaban Boh-thian segera ia mengeluyur ke ruangan belakang.

Jilid 33

Sesudah masuk, Ting Put-si melihat meja-meja sudah penuh tetamu, hanya di meja Ciok Boh-thian masih ada tempat duduk yang lowong, tapi di atas meja belum terdapat daharan apa-apa, maka tak disir olehnya. Sebaliknya ia lantas duduk di atas bangku panjang pada meja yang tengah, waktu ia mendesak sedikit, kontan seorang laki-laki yang duduk lebih dulu di atas bangku itu terdesak ke ujung.

Keruan laki-laki itu menjadi gusar, sekuatnya ia pun mendesak kembali. Ia pikir berapa kuat tenaga kakek loyo ini, hanya sedikit desak saja pasti akan membuatnya mencelat keluar pintu.

Tak terduga baru saja badannya kontak dengan tubuh Ting Put-si, seketika timbul suatu kekuatan yang mahadahsyat dan mendesaknya kembali sehingga dia sendiri yang terpental. Untunglah Ting Put-si keburu menariknya sambil berkata, “Jangan sungkan-sungkan, marilah duduk bersama!”

Karena tarikan Ting Put-si barulah laki-laki itu tidak jatuh tersungkur. Seketika mukanya merah padam dan tidak tahu apa yang harus diperbuatnya lagi.

Ting Put-si lantas berkata pula, “Hayo, silakan, silakan! Jangan sungkan-sungkan, silakan!”

Lalu mangkuk besar yang berisi arak lantas diangkatnya terus ditenggak hingga habis. Menyusul ia lantas ambil sumpit bekas pakai si lelaki tadi dan menyumpit sepotong daging terus dimakannya dengan nikmat. Kelakuannya itu seakan-akan dialah tuan rumahnya yang sedang menjamu tamu.

Tiada seorang pun di antara tetamu itu yang kenal Ting Put-si, tapi lwekang si lelaki tadi terhitung paling kuat di antara mereka, karena desakannya tadi lelaki itu hampir-hampir saja mencelat dan jatuh, maka dapatlah dibayangkan si kakek loyo ini tentu bukan orang sembarangan. Kiranya lelaki yang didesak Ting Put-si tadi adalah Hoan It-hui dari Ho-hou-kau di Kwantang.

Sambil menikmati daharannya, seperti tidak sengaja Ting Put-si menatap seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya dan sedang melotot padanya, pinggang lelaki itu terlibat sebatang “kiu-ciat-nui-pian” (ruyung lemas beruas sembilan). Mendadak ia menegur, “Hei, bocah, dari golongan mana kau? Mengapa kau pun menggunakan kiu-ciat-pian?”

“Cayhe Hong Liang, ketua Jing-liong-bun di Kimciu,” sahut laki-laki itu dengan suara lantang, “Numpang tanya Locianpwe, apakah Cayhe tidak boleh menggunakan kiu-ciat-pian?”

Saat itu si Ting Tong sudah menyamar sebagai pelayan dan telah keluar lagi, mukanya dipoles dengan hangus, tangannya juga penuh hangus, ketika dia meraba muka Ciok Boh-thian, kontan muka Boh-thian juga penuh hangus hitam, kedua muda-mudi saling pandang dengan geli.

Tiba-tiba terdengar Ting Put-si bergelak tertawa, katanya, “Hahaha! Masakah Yaya melarang orang menggunakan kiu-ciat-pian?”

Dan ketika tangannya meraba ke pinggang sendiri dan ditarik kembali, “sret”, tahu-tahu tangannya juga sudah memegang sebatang ruyung lemas. Ujung ruyung berbentuk kepala naga, badan ruyung bercahaya kemilauan berhiaskan emas putih dan batu permata, bila ruyung itu bergerak, terpancarlah sinar gemerlapan yang menyilaukan mata.

Diam-diam semua orang terperanjat. “Kiranya dia sendiri juga menggunakan kiu-ciat-pian?” demikian pikir mereka.

Sementara itu Ting Put-si telah berkata pula, “Bocah ingusan yang tidak punya kepandaian apa-apa juga berani membawa-bawa kiu-ciat-pian segala, bila bertempur dengan orang tentu lebih banyak kalah daripada menang dan orang tentu akan memandang rendah kepada setiap pemain kiu-ciat-pian. Memang sudah lama Yaya mendengar di daerah Kimciu terdapat sekawanan yang mengaku Jing-liong-bun segala, keparat, katanya turun-temurun kalian juga memakai kiu-ciat-pian. Maka sudah lama aku ingin membunuh habis segenap keluargamu, cuma saja daerah Kwantang terlalu dingin, Yaya malas datang ke sana buat bunuh orang. Sekarang kebetulan pergoki kau bocah ini di sini, nah, tidak lekas kau membunuh diri mau tunggu apa lagi?”

Baru sekarang Hong Liang paham duduknya perkara. Kiranya kakek ini bersenjatakan kiu-ciat-pian, maka orang lain dilarang menggunakan senjata yang serupa. Hal ini benar-benar terlalu aneh dan sewenang-wenang.

Sebelum Hong Liang memberi jawaban, sekonyong-konyong bergemalah suara seorang di meja sebelah kiri sana, “Hm, untung juga kau bocah tua ini tidak menggunakan golok!”

Waktu Ting Put-si memandang ke arah pembicara itu, terlihatlah orang itu bermuka lebar dan penuh berewok pendek. Segera ia tanya, “Jika aku menggunakan golok, lantas bagaimana katamu?”

“Sebab yayamu juga menggunakan golok, kalau menuruti logika kau bocah tua yang semena-mena ini, bukankah Yaya juga akan kau bunuh?” sahut lelaki berewok. “Tapi seumpama kau mampu membunuh Yaya, di dunia ini masih beribu-ribu dan berlaksa-laksa orang yang memakai golok, apakah kau mampu membunuh habis mereka?”

Habis berkata, “sret”, ia melolos goloknya dari pinggang terus ditancapkan ke atas meja.

Golok itu berwarna emas lembayung, punggung golok tebal dan mata golok tipis, pada pangkal gagang golok tergantung seuntai kain sutra warna ungu. Waktu golok itu menancap di atas meja, bergetarlah mangkuk piring yang berada di atas meja sehingga mengeluarkan suara, nyata sekali golok itu sangat berat dan tenaga pemakainya juga sangat kuat.

Kiranya lelaki berewok itu adalah Lu Cing-peng berjuluk Ci-kim-to (Si Golok Emas Lembayung), ketua Gway-to-bun (Golongan Golok Kilat) dari Tiang-pek-san.

“Cret”, mendadak Ting Put-si menyimpan kembali ruyungnya, ketika sebelah tangannya menjulur, tahu-tahu golok yang terselip di pinggang si lelaki yang berada di sebelahnya telah dicabut olehnya, lalu serunya, “Baik, anggap Yaya memang bersenjatakan golok, lantas bagaimana? Tapi, wah, keliru! Kurang ajar!.... Yaya berjuluk ‘Ce-jit-put-ko-si’, sekarang di sini ada 11 bocah keparat yang bergolok, ditambah lagi pemakai ruyung ini, terpaksa Yaya harus membagi dan membunuh selama tiga hari....”

Golok adalah senjata yang sangat umum, maka di antaranya orang-orang Kwantang itu memang ada 11 orang yang membawa golok. Mereka menjadi terkejut menyaksikan kecekatan Ting Put-si merebut golok itu, tanpa merasa mereka sama meraba goloknya sendiri dan siap bertempur. Ketika mendengar si kakek mengaku berjuluk “Ce-jit-put-ko-si” atau satu hari tidak lebih dari empat, beberapa orang di antaranya sampai berseru, “Ha, dia... dia adalah Ting Put-si!”

“Ya, hari ini Yaya belum pernah membunuh orang maka dapatlah aku membunuh empat bangsat cilik, nah, siapakah di antara kalian yang ingin mampus?” demikian Ting Put-si berseru sambil tertawa. “Hayo lekas laporkan nama kalian! Jika tidak kecuali bocah bersenjata ruyung ini asal kalian mau menjura sepuluh kali dan minta ampun kepada Yaya, maka boleh juga jiwa kalian diampuni.”

Tapi lantas terdengarlah suara tertawa dingin di sana-sini, empat orang serentak berbangkit dan melangkah keluar rumah makan itu mereka lantas berdiri sejajar di depan pintu. Selain Hong Liang, Hoan It-hui, Lu Cing-peng, orang keempat adalah seorang wanita setengah umur.

Wanita itu tidak bersenjata, begitu sudah berdiri di luar pintu, segera ia singkap kedua sayap kun (gaun panjang) dan diikat pada ikat pinggangnya, maka tertampaklah dua baris pisau kecil yang gemerlapan di bagian pinggangnya. Pisau itu panjangnya cuma belasan senti, sedikitnya ada 30 batang lebih, secara rajin terselip pada seutas sabuk bersulam yang terikat di pinggang.

Sedangkan senjata Hoan It-hui adalah sepasang boan-koan-pit, dengan suara lantang ia membuka suara, “Cayhe adalah Liau-tang-ho (Burung Ho dari Liautang) Hoan It-hui, ketua Ho-pit-bun, bersama-sama dengan ketua Jing-liong-bun, saudara Hong Liang; ketua Gway-to-bun, saudara Lu Cing-peng dan Hui-hong-to (Pisau Belalang Terbang) Ko Sam-niocu dari Han-bwe-ceng. Keempat golongan kami dari Kwantang ini selamanya tiada permusuhan apa-apa dengan Ting-loyacu, tapi entah sebab apa Ting-loyacu telah sengaja menghina dan mengolok-olok kami, haraplah sudi memberi penjelasan?”

Ting Put-si tidak menjawab, sebaliknya ia sengaja mengamat-amati Ko Sam-niocu dengan kepala miring-miring ke sini dan meleng-meleng ke sana seperti lagaknya anak kecil mengincar boneka. Kemudian ia berkata, “Kurang! Kurang cantik!”

Melihat lagak Ting Put-si itu sudah tentu semua orang tahu yang dimaksudkannya “kurang cantik” itu adalah Ko Sam-niocu.

Dasar watak Ko Sam-niocu memang sangat keras, kepandaiannya juga memang tinggi, ayahnya, bapak mertuanya dan gurunya, semuanya cukup ternama dan berpengaruh di dunia persilatan Kwantang, Han-bwe-ceng mereka juga terkenal suatu perkampungan yang kaya raya dengan sawah-ladang, perkebunan dan peternakan yang subur. Sebab itulah biarpun dia sudah janda, tapi sangat terkenal di Kwantang. Apalagi pada masa mudanya dia pun tersohor sangat cantik, walaupun sekarang sudah setengah umur juga masih belum hilang seluruh kecantikannya itu. Keruan ia menjadi murka mendengar hinaan Ting Put-si itu. Terus saja ia berteriak, “Ting Put-si, keluarlah kau!”

Dengan acuh tak acuh Ting Put-si melangkah keluar rumah makan itu. Tanyanya, “Apakah kalian berempat ini yang ingin mampus?”

Sekonyong-konyong sinar putih berkilauan, lima batang pisau terbang telah menyambar tiba dari berbagai jurusan. Cepat sekali datangnya pisau-pisau terbang itu, meski pisau-pisau itu sangat pendek, tapi desiran angin yang timbul dari sambaran pisau-pisau itu tidak kalah kerasnya daripada angin sambaran golok atau pedang.

“Pisaunya bagus! Orangnya tidak cantik!” bentak Ting Put-si. Berbareng tangan kanan lantas menarik keluar kiu-ciat-pian, di mana cahaya kuning berkelebat, empat pisau musuh lantas tersampuk jatuh. Dalam pada itu pisau kelima telah menyambar ke mukanya, dia lantas pamerkan sekalian kepandaiannya, begitu mulut terbuka ujung pisau itu lantas tergigit.

Hong Liang, Hoan It-hui dan Lu Cing-peng terperanjat. Tapi serentak mereka lantas menerjang maju.

Cepat Ting Put-si menghindarkan bacokan golok Lu Cing-peng, berbareng kakinya menendang pergelangan tangan Hoan It-hui untuk memaksanya menarik kembali boan-koan-pitnya. Sedangkan kiu-ciat-pian yang diputarnya berbalik digunakan untuk melibat ruyung Hong Liang.

Akan tetapi sebelumnya Hong Liang sudah siap sedia, ia tahu si kakek lawannya ini tidaklah empuk, maka begitu ruyung Ting Put-si menyambar tiba segera ia menyendal ruyungnya sendiri sehingga batang ruyung melurus lempeng laksana tombak terus ditusukkan ke dada musuh.

“Boleh juga, bocah keparat ini!” puji Ting Put-si sambil mengulur tangan kanan untuk menarik ujung ruyung lawan.

Hong Liang terkejut dan cepat menarik kembali senjatanya. Tapi lengan Ting Put-si masih tetap menjulur maju. Untunglah pada saat itu golok Lu Cing-peng lantas menebas sehingga Ting Put-si terpaksa menarik kembali tangannya. Dan dari sebelah lain Ko Sam-niocu juga telah menyambitkan sebilah pisau.

Begitulah karena dikerubut orang empat, mau tak mau Ting Put-si tak berani mengolok-olok lagi, Dengan penuh tenaga ia putar ruyungnya untuk menjaga diri. Baru sekarang dia mengetahui bahwa kepandaian orang-orang Liautang itu ternyata tidak rendah, jika satu lawan satu memang tidak ada artinya, tapi satu dikeroyok empat, betapa pun ia agak kerepotan juga.

Ciok Boh-thian dan Ting Tong ikut menyaksikan pertarungan itu bercampur dengan orang banyak. Sesudah beberapa puluh jurus, tertampak Lu Cing-peng dan Hoan It-hui serempak menyerang maju. Waktu Ting Put-si mengayun ruyungnya untuk memaksa mundur kedua lawan itu, pada saat itulah kiu-ciat-pian Hong Liang lantas menyabet ke atas kepala Ting Put-si.

Buru-buru Ting Put-si miringkan kepalanya, tapi hampir pada saat yang sama dua bilah pisau terbang Ko Sam-niocu juga telah menyambar tiba. Dalam seribu kerepotannya itu lekas-lekas Ting Put-si mendoyongkan tubuhnya ke belakang, dua bilah pisau itu menyerempet lewat di tepi tenggorokannya, hanya selisih beberapa senti saja tentu lehernya sudah bocor.

Walaupun begitu tidak urung sebagian kecil jenggot Ting Put-si yang sudah putih beruban itu juga terpapas sehingga benang-benang perak itu bertebaran jatuh.

“Hui-to (pisau terbang) yang bagus!” demikian belasan orang-orang Kwantang yang menonton di depan pintu memberi sorakan kepada Ko Sam-niocu.

Diam-diam Ting Put-si juga mengakui kelihaian senjata rahasia janda Kwantang itu. Ia pikir kalau tidak menggunakan serangan mematikan, bukan mustahil dirinya yang bakal kecundang.

Segera ia putar ruyungnya dengan lebih kencang, di tengah berkelebatnya bayangan ruyung ia selingi pula dengan kim-na-jiu-hoat dengan tangan lain. Ruyung digunakan menyerang jarak jauh, yang berani dekat segera dicakar dan dicengkeram dengan tangan kiri, dengan demikian Lu Cing-peng dan Hoan It-hui terpaksa harus menghindar dan tidak berani mendekat lagi.

Melihat Ting Put-si memainkan kim-na-jiu, yang paling senang adalah Ciok Boh-thian. Maklum, dahulu ketika di atas perahu Ting Put-si pernah mengajar ilmu menangkap dan mencengkeram itu kepadanya, cuma waktu itu pengetahuannya dalam teori-teori ilmu silat sangatlah terbatas, apa yang diajarkan Ting Put-si itu hanya ditelannya mentah-mentah dan cuma diingatnya di dalam hati saja, tapi tidak mampu mempraktikkannya. Tapi sekarang dia telah mendapat petunjuk-petunjuk ilmu silat dari ayah-ibunya, banyak pula mendapat petunjuk-petunjuk ilmu silat yang berharga, dengan sendirinya benaknya yang tadinya bebal lantas terbuka. Ia merasa sangat senang dan cocok dengan setiap jurus serangan Ting Put-si baik mencengkeram, mencakar, memegang, menarik dan gaya-gaya serangan lain.

Sampai pada suatu saat menentukan, mendadak tangan kiri Ting Put-si merangsang ke pundak Lu Cing-peng. Cepat Cing-peng memutar balik goloknya untuk menebas lengan lawan.

Boh-thian terkejut. Ia tahu apabila tebasan Lu Cing-peng itu diteruskan, tangan Ting Put-si tentu akan berubah menampar dan pasti akan kena mukanya, menyusul tangannya akan menyambar ke bawah untuk merampas goloknya. Tamparan Ting Put-si itu tentu akan membikin kepala Lu Cing-peng pecah berantakan. Maka tanpa lagi pikir lagi Boh-thian lantas berseru, “Awas, dia akan pukul mukamu!”

Karena lwekangnya sangat kuat, maka suaranya itu dapat didengar setiap orang walaupun di tengah suasana pertempuran yang ramai. Sebagai jago silat terkemuka dengan sendirinya Lu Cing-peng mendengar juga seruan Ciok Boh-thian itu. Seketika ia tersadar dan cepat membuang golok dan menjatuhkan diri ke bawah. Walaupun cukup cepat dia menghindar, tidak urung terserempet juga angin tamparan Ting Put-si sehingga mukanya terasa panas pedas.

Sesudah bergelindingan beberapa meter jauhnya barulah Lu Cing-peng melompat bangun dengan hati berdebar-debar. Untunglah ada orang berseru memperingatkan, kalau tidak jiwanya pasti sudah melayang di bawah pukulan lawan.

Tapi dengan menyingkirnya Lu Cing-peng, Hoan It-hui menjadi payah menghadapi Ting Put-si, berulang-ulang ia diberondong dengan serangan-serangan berbahaya. Cepat Cing-peng berseru, “Ambilkan golok!”

Segera seorang anak buahnya melemparkan sebatang golok, begitu sambar golok itu serentak Lu Cing-peng menerjang maju lagi. Tiba-tiba dilihatnya ruyung Ting Put-si sedang berlibatan dengan ruyung Hong Liang, sekonyong-konyong tubuh Hong Liang terseret terus ditumbukkan kepada golok Lu Cing-peng yang sedang membacok itu. Terpaksa Cing-peng memutar balik goloknya.

“Awas, orang she Hoan! Lehermu akan dicengkeram!” mendadak Boh-thian berteriak.

Hoan It-hui terkejut, tanpa pikir ia lantas tegakkan boan-koan-pit untuk melindungi tenggorokannya sendiri. Benar juga, saat itu kelima jari Ting Put-si sudah mencakar tiba, “cret”, lehernya keserempet dan meninggalkan lima jalur lecet berdarah.

Berturut-turut Boh-thian berseru dan menyelamatkan jiwa dua orang, keruan para jago Kwantang itu merasa sangat terima kasih. Mereka melihat muka penggembor itu terpoles hangus hitam, terang muka aslinya tidak ingin dikenali orang.

Sebaliknya Ting Put-si menjadi murka, kontan ia memaki, “Kurang ajar! Anak anjing siapa itu yang membacot di sini? Kalau berani boleh majulah untuk menempur Yaya!”

“Wah, dia... dia telah mengenali kita?” kata Boh-thian kepada si Ting Tong sambil menjulurkan lidah.

“Habis siapa yang suruh kau buka mulut?” omel Ting Tong. “Tapi dia mengatakan anak anjing siapa, mungkin dia belum tahu siapa dirimu.”

Dalam pada itu kelima orang itu kembali sudah bertempur pula dengan lebih sengit. Ting Put-si buru-buru ingin tahu siapa orang yang berseru membantu lawannya itu, maka ia menyerang semakin gencar dengan jurus-jurus mematikan. Tapi berulang-ulang Ciok Boh-thian berseru tepat pada waktunya sehingga Lu Cing-peng tertolong pula dua kali, Hoan It-hui empat kali dan Hong Liang tiga kali.

Pada satu kali mendadak Ting Put-si menggunakan serangan berisiko, sekonyong-konyong ia meloncat ke atas terus menubruk ke arah Ko Sam-niocu. Untung juga Ciok Boh-thian berseru memperingatkannya sehingga Ko Sam-niocu sempat menghindar, tapi tidak urung pundak Ko Sam-niocu tersampuk oleh jari Ting Put-si sehingga lengannya terasa kaku dan susah bergerak lagi.

Namun janda Kwantang itu pun benar-benar sangat lihai, meski tangan kanan tak bertenaga lagi, segera tangan kiri mencabut pisau, “crit-crit” dua kali, dua batang pisau lantas menyambar ke arah Ting Pit-si. Tapi sekali gulung dengan ruyungnya, kedua pisau itu lantas terlibat terus disambitkan ke arah Hong Liang dan Lu Cing-peng. Berbareng itu bahkan Ting Put-si lantas meloncat ke atas, ruyungnya terus menyabet ke bawah.

Cepat Ko Sam-niocu membungkuk tubuh untuk menghindar. Tapi terdengarlah suara jeritan orang banyak, menyusul janda Kwantang itu merasa kepalanya terangkat, tanpa kuasa tubuhnya terus melayang ke atas.

Kiranya ujung ruyung Ting Put-si dengan tepat kena melilit sanggulnya dan badannya ikut terangkat. Keruan Hong Liang bertiga sangat terkejut. Dengan tenaga mereka berempat saja masih kewalahan, apalagi kalau Ko Sam-niocu mengalami nasib malang, sisa mereka bertiga tentu juga tak terhindar dari bencana. Maka dengan mati-matian mereka lantas mengerubut maju.

Mendadak mulut Ting Put-si meniup, “berrr”, pisau yang tergigit olehnya tadi lantas disemburkan ke perut Ko Sam-niocu. Sedangkan tangan kiri berbareng mencengkeram, mencakar dan menjambret, dalam sekejap saja ia dapat menghalau Hong Liang bertiga yang sekaligus menerjang maju itu.

Saat itu tubuh Ko Sam-niocu masih terapung di udara, sambaran pisau yang ditiup Ting Put-si itu betapa pun sukar dihindarnya. “Selama ini entah sudah berapa banyak musuh yang binasa di bawah pisau terbangku, tapi hari ini senjata akan makan tuannya, akhirnya aku mesti mati di bawah senjatanya sendiri,” begitulah terbayang olehnya sambil memejamkan mata dan menanti ajal.

Sungguh di luar dugaan siapa pun juga, secara kebetulan dua bilah pisau yang dilibat dan disambitkan Ting Put-si tadi masing-masing telah kena disampuk mencelat oleh Hong Liang dan Lu Cing-peng, dengan tepat pisau-pisau itu telah menyambar lewat di samping Ciok Boh-thian. Melihat keadaan sangat berbahaya, untuk bersuara memperingatkan juga tidak keburu lagi, segera Boh-thian menangkap kedua batang pisau itu dan secepat kilat lantas disambitkan.

Maka terdengarlah suara “trang” yang nyaring, sebilah pisau itu tepat membentur jatuh pisau yang sedang menyambar ke arah perut Ko Sam-niocu, pisau yang lain juga tepat memapas putus rambutnya sehingga Ko Sam-niocu terjatuh ke bawah. Tapi begitu kakinya menyentuh tanah, cepat ia melompat mundur dengan berjumpalitan, Mukanya tampak pucat pasi ketakutan. Penonton-penonton di samping juga terkesima kaget, sampai lupa menyoraki kepandaian Ciok Boh-thian yang luar biasa itu.

Apa yang terjadi ini pun sama sekali di luar dugaan Ting Put-si. Cepat ia berpaling dan membentak, “Sobat dari manakah yang selalu merintangi urusanku? Kalau berani hayolah maju untuk bertempur 300 jurus dengan aku, terhitung kesatria macam apa jika main sembunyi-sembunyi saja?”

Kedua mata Ting Put-si melotot ke arah Ciok Boh-thian, tapi muka pemuda itu terpoles hangus, maka ia tidak mengenalnya. Tapi mengapa orang ini tahu sebelumnya setiap jurus serangannya, bahkan benturan kedua bilah pisau itu amat jitu disertai tenaga yang amat kuat, maka teranglah lwekang sendiri sekali-kali bukan tandingannya. Walaupun watak Ting Put-si sangat tinggi hati, sekarang mau tak mau ia harus prihatin dan tidak berani mengoceh semena-mena lagi seperti tadi.

Sebaliknya perbuatan Ciok Boh-thian tadi hanya terdorong oleh maksudnya ingin menyelamatkan orang, sekarang mendadak dipelototi dan ditegur oleh Ting Put-si dengan garang, ia menjadi lupa pada mukanya sendiri yang telah dipoles hangus oleh si Ting Tong, maka dengan gugup ia menjawab, “Siyaya, aku... aku inilah Si Lemper Raksasa!”

Untuk sejenak Ting Put-si tercengang, lalu ia berkata dan terbahak-bahak, “Hahaaak! Kukira siapa, tak tahunya adalah... adalah Si Lemper Raksasa!”

Ia pikir pantas bocah ini mengetahui setiap jurus seranganku di muka, sebab tempo hari bocah ini pernah kuberi tahu tentang ilmu silatku. Maka lenyaplah rasa jerinya tadi, segera ia membentak Ciok Boh-thian, “Anak keparat, mengapa kau berani ikut campur urusan yayamu?”

Kontan ruyungnya lantas menyabet ke atas kepala pemuda itu.

Tapi dengan enteng sekali Ciok Boh-thian dapat menghindar dengan melompat ke samping. Ting Put-si tambah murka karena serangannya luput, beruntun-runtun ia menyerang tiga kali pula dan semuanya kena dielakkan oleh Ciok Boh-thian. Ia tidak tahu bahwa dengan lwekang yang dimiliki Ciok Boh-thian sekarang, berbagai jurus serangan ilmu silat dalam pandangannya adalah terlalu sepele dan tiada artinya lagi. Hanya saja ia masih takut kepada wibawa Ting Put-si, maka ia hanya berkelit saja tanpa balas menyerang.

Diam-diam Ting Put-si merasa heran, ia merasa tidak pernah mengajarkan ilmu permainan ruyung itu kepada Ciok Boh-thian, mengapa pemuda itu mampu mengikuti serangan-serangannya dengan baik tanpa cedera apa-apa?

Orang-orang lain yang menyaksikan Ciok Boh-thian berkelit ke sini dan menghindar ke sana di bawah sambaran ruyung menjadi khawatir. Sebaliknya Boh-thian sendiri berpikir, “Kenapa Siyaya tidak menyerang aku dengan sungguh-sungguh? Apa barang kali dia cuma main-main dengan aku?”

Nyata ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ting Put-si sudah mengeluarkan segenap kepandaiannya, cuma kakek itu tetap kalah setingkat sehingga ruyungnya tidak mampu mengenai Boh-thian.

Ting Tong cukup kenal watak kakek-ciliknya itu, dalam keadaan kalap bukan mustahil sekali-kali ruyungnya akan mengenai sasarannya, maka ia menjadi khawatir dan cepat berseru, “Engkoh Thian, lekas balas menyerang, lekas! Kalau tidak bisa celaka kau!”

Mendengar suara jeritan nyaring anak dara keluar dari mulut seorang “pelayan” rumah makan, keruan semua orang menjadi heran dan memandang sekejap kepada si Ting Tong.

Sebaliknya Ciok Boh-thian tidak mau mengerti. Pikirnya, “Mengapa bisa celaka? Ah, barangkali karena aku tidak balas menyerang, maka Siyaya akan anggap aku telah menghinanya sebagaimana halnya dahulu aku dianggap demikian oleh imam-imam Siang-jing-koan karena aku menempur mereka dengan sebelah tangan terikat.”

Karena itu, segera ia menjulurkan kedua tangannya terus mencengkeram ke dada Ting Put-si sekaligus, yang dia gunakan adalah 13 jurus kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong dahulu.

Sudah tentu Ting Put-si mengenal ilmu silat keluarganya sendiri itu. Hanya saja ia menjadi kaget karena setiap jurus serangan yang tampaknya sepele, tapi di tangan Ciok Boh-thian lantas menjadi suatu serangan dahsyat yang lihai. Keruan ia bingung dan berteriak-teriak, “Ada setan! Ada setan!”

Beberapa jurus kemudian, dengan gerakan “Hong-bwe-jiu” (Pegangan Ekor Burung Hong), tangan Boh-thian membalik dan tepat ujung ruyung Ting Put-si kena dicengkeramnya. Sekuatnya Ting Put-si membetot, tapi tidak bergoyah sedikit pun. Ia menjadi kalap, dengan bentakan keras ia kerahkan segenap tenaganya untuk menarik, saking nafsunya ia menarik sehingga ruas tulang seluruh badannya sampai berbunyi kratakan, nyata ia telah keluarkan seluruh tenaganya habis-habisan.

Melihat si kakek sedemikian ngotot hendak menarik kembali ruyungnya, Boh-thian membatin, “Jika kau tidak mau lepas tangan, biarlah aku yang lepas saja!”

Waktu dia kendurkan pegangannya, maka terdengarlah suara gedubrakan yang ramai gemuruh, tubuh Ting Put-si mencelat ke belakang sehingga dinding rumah makan itu ambrol tertumbuk, bahkan terus jatuh ke ruangan makan, meja kursi dan mangkuk piring ikut terseruduk jatuh dan pecah berantakan. Menyusul terdengarlah empat kali jeritan ngeri, seorang anak buah Kwantang dan tiga orang penonton biasa tahu-tahu telah jatuh tersungkur, punggung mereka terlihat mengeluarkan darah.

Waktu Boh-thian memburu masuk, dilihatnya punggung keempat orang itu ada yang terkena beling pecahan mangkuk, ada yang terkena sumpit, tapi Ting Put-si sudah menghilang entah ke mana perginya.

Kiranya Put-si tahu kalau dirinya bukan tandingan Ciok Boh-thian lagi, saking gusar dan gemasnya lantas dilampiaskannya kepada orang-orang yang berada di dekatnya, sekenanya ia sambar pecahan mangkuk dan sumpit untuk menimpuk empat orang itu.

Ketika Hoan It-hui dan kawan-kawannya memeriksa korban-korban yang jatuh itu, ternyata semuanya sudah tidak bernyawa lagi. Kejut mereka tak terhingga mengingat keganasan Ting Put-si itu. Coba kalau Ciok Boh-thian tidak turun tangan menolong mereka, tentu saat ini mayat yang menggeletak di situ bukanlah keempat orang itu, tapi adalah mereka berempat ciangbunjin dari Kwantang.

Segera mereka menjura kepada Ciok Boh-thian dan mengucapkan terima kasih, “Atas budi pertolongan Siauhiap (pendekar kecil), selama hidup kami ini takkan lupa. Tolong tanya siapakah nama Siauhiap yang mulia?”

Karena sudah mendapat petunjuk-petunjuk tentang tata krama dari ibunya, segera Ciok Boh-thian membalas hormat dan menjawab, “Ah, hanya sedikit urusan saja tidak perlu disebut-sebut lagi. Cayhe she Ciok dan bernama Tiong-giok.”

Lalu ia pun tanya nama dan asal usul keempat orang itu.

Hoan It-hui memperkenalkan dirinya bersama tiga kawannya, kemudian ia tanya pula nama si Ting Tong.

“O, dia bernama Ting-ting Tong-tong, dia adalah... adalah....” berulang-ulang ia mengucapkan “adalah”, mukanya menjadi merah dan tidak dapat menyambung lagi.

Sebagai orang yang lebih tua dan berpengalaman luas, Hoan It-hui tidak menanya lebih lanjut. Ia pikir sepasang muda-mudi ini mengadakan perjalanan bersama, sudah tentu ada hubungan istimewa di antara mereka yang serbasusah untuk diceritakan kepada orang lain.

“Marilah kita pergi saja!” demikian si Ting Tong lantas mengajak.

“Ya, baiklah!” sahut Boh-thian sambil mohon diri kepada semua orang.

Berulang-ulang Hoan It-hui dan kawan-kawan menyatakan terima kasih sambil mengantar. Mestinya mereka ingin tanya pula dari golongan mana dan siapa perguruan Ciok Boh-thian, tapi lihat si Ting Tong beberapa kali mengedipi pemuda itu, nyata mereka tidak ingin diganggu lebih lama oleh orang lain, terpaksa It-hui berkata pula, “Budi pertolongan Siauhiap tadi entah cara bagaimana harus kami balas. Di kemudian hari asal ada perintah dari Siauhiap, biarpun masuk lautan api atau terjun ke dalam air mendidih tidak nanti akan kami tolak.”

Tiba-tiba Boh-thian teringat kepada tanya-jawab yang diajarkan ibunya, segera ia berkata, “Kita adalah sesama orang Bu-lim, seharusnya kita saling bantu membantu. Jika kalian sedemikian sungkan, aku jadi rikuh sendiri. Hari ini kita dapat bersahabat sungguh aku merasa senang tak terhingga.”

Memangnya Hoan It-hui merasa sangat berterima kasih karena jiwanya ditolong pemuda itu, ternyata tutur kata jago muda budiman ini juga sedemikian ramah tamahnya, keruan ia tambah kagum dan merasa suka berkawan padanya.

Begitu pula si Ting Tong diam-diam merasa girang, “Coba, siapa berani mengatakan Engkoh Thian adalah orang linglung, bukankah pikirannya sekarang sudah semakin jernih.”

Karena hatinya senang, maka wajahnya lantas bersenyum simpul. Tapi ia lupa mukanya telah dipoles dengan hangus, dadanya memakai kain koki, tapi kupingnya memakai anting-anting, maka tampaknya menjadi ganjil dan lucu, diam-diam semua orang tertawa geli.

Ko Sam-niocu lantas memegang lengan si Ting Tong, katanya dengan tertawa, “Pelayan rumah makan secantik ini sungguh jarang terdapat di kampung halaman kita. Nyata beda sekali suasana di Kanglam ini dengan daerah Kwantang kita.”

Mendengar itu, semua orang mengakak tawa. Ting Tong juga mengikik, pikirnya, “Ya, saking gugupnya karena melihat sicekkong (kakek-cilik keempat) tadi aku lantas buru-buru menyamar, sekarang aku menjadi lupa mencuci muka dan melepaskan anting-antingku ini.”

Dalam pada itu kelihatan beberapa ratus penduduk setempat sedang merubung dan menonton, agaknya mereka merasa jeri karena pertarungan sengit tadi. Tapi Ting Put-si telah membunuh tiga orang, tentu penduduk akan mengira mereka ini adalah kaum perampok dan kawanan bandit yang biasa mengganas. Maka Ko Sam-niocu lantas berkata pula, “Kita jangan lama-lama tinggal di sini, marilah berangkat.”

Lalu ia pun berkata kepada Ting Tong, “Adik cilik, karena penyamaranmu ini mungkin bajumu sendiri telah menjadi kotor. Aku membawa cukup banyak pakaian, jika kau sudi bolehlah mencari suatu tempat untuk cuci badan dan ganti pakaianku. Sungguh gadis cantik seperti dirimu ini selamanya belum pernah kulihat, kelak kalau kupulang ke Liautang tentu engkau akan dapat kugunakan sebagai bahan cerita kepada sanak keluargaku.”

Meski si Ting Tong adalah seorang dara yang nakal dan cerdik, tapi sejak kecilnya mengikut kakeknya tinggal di tempat yang terpencil dan berkelana di Kangouw, belum pernah ia mendapat pujian sebagaimana diterimanya dari Ko Sam-niocu, keruan ia menjadi senang sekali, sahutnya dengan tertawa, “Ah, masakah aku cantik? Cici terlalu memuji saja!”

“Tapi... tapi pada malam... malam itu kau benar-benar telah bersolek dengan sangat cantik,” tiba-tiba Boh-thian ikut berkata. Maksudnya adalah malam pengantin mereka tempo hari, cuma saja tidak jadi diucapkannya.

Ting Tong melototinya sambil menjulur lidah.

Ko Sam-niocu lantas memberi tanda dan berseru, “Marilah berangkat!”

Beramai-ramai semua orang mengiakan. Segera mereka membawakan kuda, lebih dulu Ciok Boh-thian dan si Ting Tong disilakan naik ke atas kuda, habis itu berbondong-bondong mereka pun mencemplak ke atas kuda masing-masing, dengan membawa jenazah kawan mereka dari Liautang itu dengan cepat mereka lantas meninggalkan tempat itu.

Bicara tentang usia maupun ilmu silat sebenarnya Hoan It-hui adalah paling tinggi di antara rombongan mereka itu. Tapi perjalanan mereka ke Tionggoan ini semua ongkos telah dipikul oleh Ko Sam-niocu yang memang terkenal sangat tangan terbuka, menggunakan uang seperti membuang sampah, maka nyonya itu berbalik seakan-akan menjadi pemimpin dari rombongan.

Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda pilihan dari Liautang, maka dalam waktu singkat saja beberapa puluh li sudah mereka lalui. Diam-diam Boh-thian tanya kepada Ting Tong, “Apakah jalan ini menuju ke Ka-hin-hu?”

Ting Tong mengangguk dengan tersenyum. Padahal letak Ka-hin-hu itu di jurusan tenggara, sebaliknya mereka menuju ke arah timur laut, jadi jarak mereka dengan Ciok Jing menjadi semakin jauh.

Petangnya mereka sampai di Kota Peng-yang-ceh. Mereka bermalam pada suatu hotel yang terbesar di kota ini. Kawan mereka yang mati itu adalah dari Gway-to-bun, maka Lu Cing-peng dan anak muridnya berkewajiban menyelesaikan layonnya. Ko Sam-niocu sendiri membantu si Ting Tong berdandan kembali sebagai wanita. Diam-diam Ko Sam-niocu merasa heran, si Ting Tong berdandan sebagai nyonya muda, tapi tingkah lakunya jelas masih anak perawan, sungguh ia tidak habis mengerti akan hal ini.

Jilid 34

Malamnya jago-jago Liautang itu mengadakan perjamuan besar bagi Ciok Boh-thian. Karena tidak ingin diketahui hubungan dirinya dengan Ting Put-si, maka setiap kali Ko Sam-niocu, Hoan It-hui dan lain-lain memancing tentang asal usul dan perguruan dirinya dan Ciok Boh-thian selalu Ting Tong berusaha membelokkan pokok pembicaraan.

Karena yang ditanya enggan menerangkan, maka para jago itu pun tidak berani banyak bertanya lagi.

Melihat hubungan Ciok Boh-thian dan si Ting Tong penuh kasih sayang, Ko Sam-niocu menduga tuan penolongnya dengan adik perempuan cilik itu besar kemungkinan adalah sepasang kekasih yang diam-diam minggat dari rumah. Jika demikian halnya, adalah tidak tahu diri bila kita menghalangi malam bahagia mereka ini.

Sebab itulah, sesudah cukup makan minum, Ko Sam-niocu lantas memberi tanda kepada Hoan It-hui, masing-masing menggandeng Ciok Boh-thian dan Ting Tong untuk diantarkan ke kamar mereka.

Dengan tertawa penuh arti Hoan It-hui lantas mengundurkan diri, sebaliknya Ko Sam-niocu masih menggoda, “Inkong, coba lihatlah, pengantin perempuan kita ini cantik sekali bukan?”

Muka Boh-thian menjadi merah, ketika ia melirik si nona, tertampak air muka si Ting Tong juga merah jengah, kerlingan matanya menggetar sukma, jantung Boh-thian memukul keras. Cepat kedua muda-mudi itu sama-sama melengos, keduanya sama-sama mundur beberapa tindak dan berdiri bersandar dinding.

Ko Sam-niocu mengekek tawa, katanya, “Malam pengantin kalian ini janganlah disia-siakan, mengapa kalian mesti malu-malu?”

Sambil berkata sebelah tangannya lantas menutupkan pintu kamar dari luar, sebelah tangan yang lain lantas mengayun pula, sebilah pisau terbang lantas menyambar sehingga batang lilin yang menerangi kamar itu terpapas bagian atasnya. Seketika keadaan di dalam kamar menjadi gelap gulita, sedangkan pisau terbang itu masih terus melayang keluar dengan menembus jendela.

“Selamat malam dan selamat tidur! Semoga kalian hidup bahagia sampai hari tua!” demikian Ko Sam-niocu berseru dengan tertawa. Lalu pintu kamar dirapatkannya.

Seperti halnya pada malam pengantin mereka dahulu, sekarang Ciok Boh-thian dan si Ting Tong juga sama-sama bingung dan malu-malu walaupun dalam hati mereka sebenarnya seperti dikilik-kilik.

Sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang di pelataran sana, “Huh, jika memang jantan dan kesatria sejati, hayolah keluar untuk berkelahi secara terang-terangan, mengapa mesti main menimpuk pisau secara sembunyi-sembunyi, huh, bukankah ini perbuatan kaum pengecut?”

Ciok Boh-thian dan Ting Tong menjadi geli. Si nona lantas berlari mendekati Boh-thian, empat tangan saling menggenggam dengan kencang. Nyata perbuatan Ko Sam-niocu yang menimpukkan pisau untuk memadamkan api lilin mereka tadi telah menimbulkan salah paham orang di luar itu.

Mestinya Ciok Boh-thian ingin bersuara memberi penjelasan, tapi terasalah sebuah tangan yang halus dan lunak telah mendekap mulutnya dan melarangnya bersuara. Segera ia pun rangkul si Ting Tong ke dalam pelukan.

Dalam pada itu orang yang berada di pelataran itu masih terus memaki, “Pisau terbang yang keji semacam ini besar kemungkinan adalah perbuatan perempuan hina yang tidak kenal malu dari Liautang itu. Hm, janda she Ko itu tidak becus ilmu silatnya, paling-paling hanya pandai menyerang secara menggelap dengan pisau karatan seperti ini. Jika kesatria dari Tionggoan sini tentu tidak sudi menggunakan senjata rahasia begini.”

Oleh karena timpukan pisaunya telah menimbulkan salah paham orang, mestinya Ko Sam-niocu tidak ingin cekcok dan membiarkan orang mencaci dan habis perkara. Siapa duga caci maki orang itu secara terang-terangan telah dialamatkan kepadanya, diam-diam ia heran, “Apakah orang itu mengenali pisauku atau cuma omong sekenanya saja?”

Tapi caci maki orang itu ternyata semakin galak dan meluas, katanya, “Huh, dasar Kwantang adalah daerah miskin, daerah kere, di mana penuh kaum perampok dan kawanan bandit. Bedebah, di sana ada seorang yang berjuluk ‘Ban-to-bun’ (Si Golok Lambat), permainan goloknya lamban, pintarnya cuma menggunakan obat tidur untuk membikin celaka orang. Ada pula seorang yang bernama Jing-coa-pang (Gerombolan Ular Hijau), pekerjaannya cuma mengemis dengan membawa ular. Ada lagi seorang she Hoan pakai nama ‘It-hui-lok-cui’ (Sekali Terbang Kecemplung ke Dalam Air), kemahirannya adalah menggunakan dua batang kayu pencukit tahi, haha, sungguh menggelikan!”

Keruan gembar-gembor orang di pelataran itu membuat jago-jago Liautang di dalam hotel menjadi gusar. Mereka tahu orang sengaja mengolok-olok dan menantang kepada mereka.

Segera Lu Cing-peng menjinjing goloknya dan menerjang ke pelataran. Maka tertampaklah seorang laki-laki pendek kecil sedang mencak-mencak, mencaci maki dengan tak terhingga senangnya.

“Hai, sobat,” segera Lu Cing-peng membentak, “apa maksudmu menggembar-gembor tak keruan di sini?!”

“Apa maksudku?” orang itu menjawab. “Asal aku melihat muka orang dari Liautang aku lantas merasa muak dan ingin kupenggal kepalanya untuk digantung di atas tiang sana.”

“O, bagus! Ini dia kepala orang Liautang berada di sini, boleh coba kau memenggalnya!” seru Lu Cing-peng, berbareng ia terus melompat ke samping orang itu, golok Ci-kim-to bekerja, kontan ia menebas ke pinggang orang.

Orang itu menjerit, tahu-tahu Ci-kim-to telah menebasnya menjadi dua sebatas pinggang. Badan bagian atas itu sampai mencelat dua-tiga meter jauhnya dan darah memenuhi pelataran.

Sementara itu Hoan It-hui, Hong Liang, Ko Sam-niocu, dan lain-lain telah berdiri di sekeliling pelataran dan sedang menonton, mungkin mereka takkan terkejut seperti sekarang apabila lelaki pendek kecil itu mengeluarkan ilmu silatnya yang hebat dan aneh atau sekalipun Lu Cing-peng yang tertebas menjadi dua, sungguh sama sekali tak terduga oleh mereka bahwa hanya dengan sekali tebas saja dan tanpa mengadakan perlawanan, lelaki yang galak di mulut itu ternyata sudah terbunuh mati. Keruan Lu Cing-peng sendiri juga ternganga kaget karena lawannya ternyata tidak mahir ilmu silat sedikit pun.

Dan selagi semua orang saling pandang dengan bingung itu, tiba-tiba di atas atap rumah ada suara orang berkata dengan nada dingin, “Bagus sekali! Sungguh kepandaian yang hebat! Lu-tayhiap dari Gway-to-bun di Liautang dengan sekali tebas telah membikin pelayan hotel terputus menjadi dua potong!”

Waktu semua orang mendongak dan memandang ke atas, maka tertampaklah seorang dengan jubah warna kelabu sedang berdiri di atas rumah sambil bertolak pinggang.

Melihat itu sadarlah semua orang bahwa orang yang dibunuh oleh Lu Cing-peng barusan kiranya adalah pelayan hotel yang telah disuruh oleh orang tak dikenal itu untuk sengaja mencari perkara kepada jago-jago Liautang.

Tanpa bicara lagi tangan Ko Sam-niocu lantas bekerja “crit-crit-crit” tiga kali, tiga batang pisau terbang terus menyambar ke atas. Namun dengan cepat sekali orang itu telah tangkap sebilah pisau terbang terus melompat ke samping sehingga dua bilah pisau yang lain juga terhindar.

Lalu dengan tertawa orang itu berseru, “Atas kedatangan Su-tay-mui-pay dari Kwantang, kami akan menunggunya dengan hormat di tengah hutan siong yang terletak 12 li di utara kota ini, jika kalian tidak berani datang juga tidak menjadi soal.”

Dan sebelum Hoan It-hui dan lain-lain menjawab, cepat orang itu lantas melompat turun ke sana terus menghilang dalam kegelapan.

Untuk sejenak semua orang terdiam. Kemudian berkatalah Ko Sam-niocu, “Kita akan pergi atau tidak?”

“Tak peduli siapa adanya pihak lawan, sekali mereka sudah menantang, mau tak mau kita harus menerimanya,” ujar Hoan It-hui.

“Benar,” tukas Ko Sam-niocu. “Betapa pun kita harus mempertahankan martabat dan nama Su-tay-mui-pay dari kalangan persilatan di Kwantang.”

Lalu ia mendekati jendela kamar Ciok Boh-thian dan berseru, “Ciok-inkong, adik perempuan cilik, kami ada janji dengan orang dan terpaksa harus berangkat dulu, biarlah besok saja kita bertemu pula di kota sebelah depan sana.”

Setelah merandek dan tidak mendapat jawaban Ciok Boh-thian, segera ia menyambung pula, “Di tempat ini sudah terjadi perkara jiwa, tentu akan timbul kesukaran, maka ada lebih baik Inkong berdua juga lekas berangkat saja daripada tersangkut dalam perkara ini.”

Dia tidak langsung minta Ciok Boh-thian dan Ting Tong ikut hadir dalam pertemuan mereka nanti, maklum siang harinya jiwa mereka baru saja ditolong oleh Ciok Boh-thian, kalau sekarang mereka mengajaknya pula akan berarti pemuda itu seakan-akan telah dijadikan pengawal mereka, hal ini tentu akan sangat memerosotkan derajat jago-jago Su-tay-mui-pay dari Kwantang.

Namun segala gerak-gerik di pelataran ini telah cukup jelas didengar oleh Ciok Boh-thian dan si Ting Tong. Dengan bisik-bisik Boh-thian telah tanya Ting Tong, “Bagaimana kita harus berbuat?”

“Ya, toh tidak dapat tinggal terlalu lama lagi di sini, terpaksa kita harus mengikut di belakang mereka untuk menonton,” ujar Ting Tong sambil menghela napas gegetun. Maklumlah, sebab dengan demikian maka malam yang bahagia bagi mereka berarti akan dilalui dengan sia-sia pula.

Namun Ciok Boh-thian ternyata tidak berpikir dan tidak merasakan apa-apa tentang malam pengantin segala, katanya pula, “Entah siapakah pihak lawan mereka itu, apakah tidak mungkin adalah siyaya-mu?”

“Aku pun tidak tahu,” sahut Ting Tong. “Biarlah kita jangan perlihatkan diri saja, boleh jadi siyaya-ku yang akan mereka hadapi.”

“Wah, jika demikian tentu bisa runyam,” seru Boh-thian dengan khawatir. “Le... lebih baik aku tidak ikut pergi saja.”

“Tolol,” omel Ting Tong. “Jika betul Siyaya yang akan mereka hadapi, kan kita dapat mengeluyur pergi secara diam-diam? Sekarang ilmu silatmu sudah begini tinggi, Siyaya juga tidak mampu membikin susah lagi padamu. Aku tidak khawatir, kau sendiri malah takut.”

Tengah bicara, terdengarlah suara derapan kuda yang ramai, jago-jago Kwantang itu beramai-ramai sudah meninggalkan hotel. Terdengar Ko Sam-niocu berteriak kepada pengurus hotel, “Aku meninggalkan 210 tahil perak di sini, yang sepuluh tahil adalah biaya-biaya tinggal kami, sedangkan 200 tahil yang lain adalah ganti rugi dan ongkos penguburan si pelayan yang mati itu. Pembunuhnya adalah begal dari Soatang yang bernama Ong Tay-hou, janganlah kalian merembet perkara ini kepada orang lain.”

Boh-thian menjadi heran, ia tanya si Ting Tong dengan suara lirih, “Siapakah Ong Tay-hou itu?”

“Tolol! Itu kan nama palsu, agar besok dalam laporan kepada yang berwajib ada cukup alasannya,” kata Ting Tong.

Mereka lantas keluar juga dan melihat dua ekor kuda tertambat di muka hotel, segera mereka mencemplak ke atas kuda dan meninggalkan hotel itu. Walaupun tahu telah terjadi pembunuhan di dalam hotel itu, tapi siapakah di antara penghuni-hotel yang berani keluar untuk menegur mereka?

Begitulah Boh-thian dan Ting Tong lantas mengintil rombongan jago-jago Kwantang itu dari jauh. Kira-kira belasan li jauhnya, benar juga di depan sana terbentang sebuah hutan siong yang lebat.

Dari jauh terdengar Hoan It-hui telah berseru dengan suara lantang, “Entah sobat dari kalangan mana tadi telah mengundang kami, maka sekarang orang-orang Han-bwe-ceng, Gway-to-bun, Jing-liong-bun ,dan Ho-hou-kau sudah berada di sini dan mohon bertemu!”

Dalam kalangan Kangouw terdapat semboyan yang mengatakan “Hong-lim-bok-jip” (Bila Ketemu Hutan Janganlah Masuk), apalagi dalam malam gelap, siapa tahu kalau di dalam hutan itu sudah disediakan perangkap bagi mereka? Sebab itulah jago-jago Kwantang itu lantas berhenti di depan hutan dan menyapa.

“Marilah kita sembunyi di semak-semak sana, coba lihat dulu apakah Siyaya atau bukan?” kata Ting Tong kepada Boh-thian.

Kedua orang lantas melompat turun dari kuda mereka, dengan merunduk mereka lantas sembunyi di belakang sepotong batu besar yang sekelilingnya tumbuh rumput yang cukup lebat.

Ketika mendengar suara kaki kuda, Hoan It-hui dan kawan-kawannya sudah tahu bahwa Boh-thian berdua jadi mengikut di belakang mereka. Maka sekarang mereka pun tidak menyapa pemuda itu, mereka memusatkan perhatian ke arah hutan. Empat pemimpin berdiri paling depan, belasan anak murid mereka berbaris beberapa meter di belakang mereka. Akan tetapi keadaan ternyata sunyi senyap, sedikit pun tiada jawaban apa-apa.

Malam itu bulan sudah menyerong ke barat dan agak guram, wajah semua orang menjadi agak kepucat-pucatan tersorot cahaya rembulan itu, perasaan mereka rada tegang.

Selang agak lama, tiba-tiba terdengar suara suitan di dalam hutan, menyusul dari sebelah kiri dan kanan lantas berlari keluar sebaris laki-laki berseragam hitam, kedua barisan yang berjumlah ratusan orang itu lantas berputar ke belakang sehingga jago-jago Kwantang itu akhirnya terkurung di tengah.

Sesudah itu, dari dalam hutan kembali keluar sepuluh orang laki-laki seragam hitam pula, serentak kesepuluh orang ini lantas berdiri secara berjajar.

Ciok Boh-thian bersuara heran perlahan di tempat sembunyinya. Kiranya kesepuluh orang ini telah dikenalnya semua. Mereka bukan lain daripada para hiangcu Lwe-go-tong dan wakilnya dari Tiang-lok-pang. Bi Heng-ya, Tan Tiong-ci, Tian Hui dan lain-lain juga termasuk di antara kesepuluh orang itu.

Dan sesudah kesepuluh orang itu sudah berdiri di tempatnya, lalu keluar lagi seorang dari dalam hutan, siapa lagi dia kalau bukan “Tio-jiu-seng-jun” Pwe Hay-ciok.

Lebih dulu tabib she Pwe itu batuk-batuk beberapa kali, lalu membuka suara, “Para pemimpin Su-tay-mui-pay dari Kwantang telah sudi berkunjung kemari, kami... huk, huk, tidak berani menunggu di markas, tapi sengaja datang menyambut ke sini. Hanya saja... huk, huk,... hanya saja kedatangan kalian agak terlambat, sungguh membikin para saudara kami merasa tidak sabar lagi.”

Mendengar pembicaraannya diseling dengan terbatuk-batuk, maka Hoan It-hui lantas tahu tokoh di hadapannya ini pasti Pwe Hay-ciok yang termasyhur di dunia persilatan itu. Tapi ia merasa lega malah setelah mengetahui bahwa pihak lawan ternyata adalah Tiang-lok-pang yang justru menjadi tujuan perjalanan mereka ini. Ia pikir kebetulan juga dapat bertemu dan bertempur untuk menentukan mati atau hidup dengan Tiang-lok-pang di tempat ini daripada tanpa sebab terlibat dalam permusuhan dengan Ting Put-si yang gila-gilaan itu.

Maka cepat ia memberi hormat dan menjawab, “O, kiranya Pwe-siansing yang telah jauh-jauh menyambut kedatangan kami ini, sungguh kami sangat terima kasih. Cayhe adalah Hoan It-hui dari Ho-hou-kau dan saudara ini adalah....” begitulah ia lantas perkenalkan pula Lu Cing-peng, Hong Liang, dan Ko Sam-niocu.

Melihat kedua pihak itu bertemu secara ramah tamah, diam-diam Boh-thian menyangka mereka tidak jadi berkelahi, segera ia membisiki si Ting Tong, “Kiranya adalah kawan-kawan sendiri semua, marilah kita keluar untuk menemui mereka.”

Namun si Ting Tong pantas mencegahnya, bisiknya perlahan, “Nanti dulu, tunggulah sebentar lagi!”

Di sebelah sana terdengar Hoan It-hui mulai bicara pula, “Kami sudah berjanji akan berkunjung ke tempat kalian pada hari Tiong-yang-ce, tak terduga di tengah jalan kami telah mengalami sedikit halangan sehingga datang agak terlambat, untuk ini mohon Pwe-siansing dan para hiangcu sudilah memaafkan.”

“Ah, tidak,” jawab Pwe-tayhu. “Cuma saja Ciok-pangcu sudah cukup lama menunggu dan kalian belum juga berkunjung datang, maka beliau telah berangkat pergi untuk urusan penting yang lain. Beliau menyangka janji pertemuan kalian itu tentu telah dibatalkan, maka tidak menunggu lebih lama lagi.”

Hoan It-hui tertegun atas keterangan itu. Katanya kemudian, “Entah sekarang Ciok-enghiong pergi ke mana? Sesungguhnya saja kedatangan kami dari jauh ke Tionggoan sini justru berharap dapat berjumpa dengan Ciok-enghiong kalian. Jika tidak dapat bertemu, maka... maka kami benar-benar sangat kecewa.”

“Dasar orang goblok,” demikian si Ting Tong membisiki Boh-thian. “Dia berada bersama kau, makan-minum bersama satu meja, tapi mengatakan tidak bertemu dengan kau dan sangat mengecewakan mereka. Sungguh menertawakan.”

Dalam pada itu terdengar Hoan It-hui telah menyambung lagi, “Kunjungan kami ini telah membawa juga sedikit hasil bumi Kwantang, beberapa lembar kulit berbulu dan beberapa kati jinsom untuk dipersembahkan kepada Ciok-enghiong, Pwe-siansing, dan para hiangcu yang terhormat. Sedikit oleh-oleh yang tak berarti ini sudilah kiranya kalian terima dengan suka hati.”

Habis bicara ia lantas memberi tanda, segera ada tiga orang anak buahnya mendekati seekor kuda dan menurunkan tiga bungkusan dari punggung binatang tunggangan itu. Lalu dengan membungkuk hormat mereka mendekati Pwe Hay-ciok.

“Ah, kalian... kalian benar-benar sangat baik hati,” sahut Pwe-tayhu dengan tertawa. “Atas... huk, huk,... atas hadiah kalian yang berharga ini, sungguh kami sangat... sangat berterima kasih, sangat berterima kasih!”

Lalu dari punggung sendiri Hoan It-hui lantas menanggalkan juga sebuah bungkusan kecil, ia melangkah maju tiga tindak, lalu bungkusan kecil itu dipersembahkan sambil berseru, “Tonghong-pangcu dari Pang kalian dahulu pernah tinggal di Kwantang serta mempunyai persahabatan yang akrab dengan kami. Di sini adalah sebuah jinsom tua yang telah berbentuk badan manusia, kalau dimakan akan dapat awet muda dan panjang umur, jinsom ini terhitung benda yang jarang terdapat, dengan ini khusus kupersembahkan kepada Tonghong-toako.”

Dengan kedua tangannya dia persembahkan bungkusan kecil itu, tapi sorot matanya menatap tajam kepada Pwe-tayhu.

Diam-diam Ciok Boh-thian sangat heran, ia tidak tahu dari mana munculnya seorang Tonghong-pangcu lagi?

Sementara itu terdengar Pwe-tayhu sedang terbatuk-batuk beberapa kali, lalu menghela napas pula dan menjawab, “Pangcu kami yang dahulu, Tonghong-toako, pada... huk, huk, pada beberapa tahun yang lalu telah mengalami sesuatu urusan yang tidak menyenangkan, beliau menjadi putus asa dan tidak mau mengurus soal organisasi lagi. Sebab itulah segala urusan penting dari Pang kami telah diserahkan kepada Ciok-pangcu yang sekarang. Tonghong toako sendiri lantas... huk, lantas mengasingkan diri, sampai saat ini kami pun tidak pernah menerima kabar beritanya dan sangat merindukan beliau. Sekarang kalian membawakan oleh-oleh berharga ini, tapi entah cara bagaimana harus menyampaikan kepada beliau?”

“Entah Tonghong-toako bertirakat di mana dan sebab apakah beliau sampai perlu mengasingkan diri?” tanya It-hui. Lapat-lapat nadanya sudah mengandung maksud menegur dan mendesak.

Namun Pwe-tayhu menjawabnya dengan tersenyum, “Cayhe cuma bawahan Tonghong-toako saja, pengetahuan kami atas urusan pribadi beliau sangatlah terbatas dan tidak banyak. Jika saudara Hoan dan para kawan mengaku adalah sahabat akrab Tonghong-pangcu, maka kebetulan Cayhe ingin minta petunjuk: sebab apakah di kala Tiang-lok-pang sedang berkembang dengan pesat dan namanya lagi jaya, tapi mendadak Tonghong-pangcu malah menyerahkan beban yang amat berat ini kepada Ciok-pangcu?”

Tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya. Dengan demikian Hoan It-hui menjadi terdesak dan susah menjawabnya.

“Tentang ini, mungkin... mungkin....” It-hui menjawab dengan tergagap-gagap dan tidak sanggup meneruskan.

Maka Pwe-tayhu lantas berkata pula, “Pada waktu Tonghong-pangcu menyerahkan kedudukan pangcu, saat itu para saudara kami boleh dikata sama sekali tidak mengetahui seluk-beluk tentang ilmu silat dan pribadi Ciok-pangcu yang sekarang. Mengingat usianya masih sangat muda namanya juga tidak menonjol di dunia persilatan, sekarang dia diharuskan memimpin para kesatria, tentu saja menimbulkan ketidakadilan dalam hati saudara-saudara kami. Namun sesudah Ciok-pangcu menduduki jabatannya, berturut-turut beliau lantas melakukan beberapa pahala bagi Pang kami, hal ini membuktikan bahwa pandangan Tonghong-pangcu benar-benar sangat tajam dan pintar memilih penggantinya, bukan saja ilmu silatnya memang tinggi, bahkan pengetahuannya juga lain daripada yang lain.... Huk, huk, jika tidak demikian masakah beliau dapat bersahabat akrab dengan kalian? Hahahaha!”

Di balik kata-katanya, yang terakhir ini seakan-akan dia ingin mengatakan bahwa kalau kalian anggap pilihan Tonghong-pangcu itu tidak tepat, maka kalian yang merupakan sahabat pilihan Tonghong-pangcu pula tentu juga bukan manusia baik-baik atau cuma kaum keroco saja.

“Pwe-tayhu,” mendadak Lu Cing-peng menimbrung, “berita yang kami peroleh di Kwantang justru tidak demikian ini, sebab itulah maka jauh-jauh kami sengaja datang kemari untuk menyelidikinya.”

“Berita yang tersiar sejauh itu bukan mustahil telah sengaja ditambah dan dibuat-buat,” ujar Pwe Hay-ciok. “Entah berita bohong apakah yang telah kalian dengar?”

“Ya, sebelum jelas duduknya perkara yang sebenarnya memang susah untuk dikatakan apakah berita ini cuma berita bohong atau bukan,” kata Lu Cing-peng. “Dari seorang kawan kami mendengar, katanya Tonghong-toako telah... telah....” sampai di sini sorot matanya mendadak berapi-api, nadanya lantas meninggi, “telah dibunuh oleh pengkhianat dalam Tiang-lok-pang, kematiannya tidaklah jelas dan kedudukan pangcu telah ditempati oleh seorang pemuda yang kejam, angkara murka dan cabul pula perbuatannya. Apa yang kami dengar dari kawan itu rasanya bukan bualan belaka. Mengingat persahabatan kami dengan Tonghong-toako di masa lampau, walaupun kami sadar baik ilmu silat maupun derajat kami sesungguhnya tidak sesuai untuk ikut campur dalam urusan Pang kalian, tapi demi untuk kepentingan Tonghong-toako, terpaksa... terpaksa kami harus berlaku sembrono.”

“Benar, ucapan Lu-heng memang tepat, tindakan kalian ini memanglah sembrono,” sambung Pwe Hay-ciok dengan tertawa dingin.

Muka Lu Cing-peng menjadi panas, diam-diam ia mengakui “Tio-jiu-seng-jun” Pwe Hay-ciok memang benar-benar pintar dan cerdik. Segera ia menjawab dengan suara keras, “Sebenarnya soal pengangkatan pangcu kalian, sebagai orang luar kami tidak perlu ikut campur. Kedatangan kami jauh-jauh dari Kwantang ini hanya ingin tanya kepada Pang kalian, sesungguhnya Tonghong-toako saat ini masih hidup atau sudah mati. Dia mengundurkan diri sebagai pangcu sesungguhnya dilakukan secara sukarela atau atas paksaan orang lain?”

Pwe Hay-ciok tertawa dingin. Katanya, “Sekalipun orang she Pwe ini tidak becus, tapi jelek-jelek juga ada sedikit nama di dunia Kangouw, apa yang sudah kukatakan masakah pernah dijilat kembali? Biarpun kalian menganggap aku berdusta, apa mau dikata lagi, terpaksa orang she Pwe akan berdusta sampai titik terakhir. Hehe, kalian adalah orang-orang yang ada nama di dunia persilatan, dengan penuh semangat kalian suka membela teman, hal ini sungguh harus dipuji dan dikagumi. Tapi dalam urusan ini rasanya tidaklah tepat.”

Selamanya Ko Sam-niocu suka disanjung puji orang, keruan sekarang ia menjadi gusar atas olok-olok Pwe Hay-ciok itu. Dengan suara garang ia berkata, “Orang yang membunuh Tonghong-toako bukan mustahil kau orang she Pwe inilah biang keladinya. Kedatangan kami ke Tionggoan sini adalah untuk menuntut balas bagi Tonghong-toako, memangnya kami sudah bertekad takkan pulang dengan hidup. Seorang laki-laki sejati berani berbuat harus berani bertanggung jawab, mengapa kau bicara secara plintat-plintut? Nah, lebih baik kau mengaku terus terang saja, sebenarnya Tonghong-toako sudah meninggal atau masih hidup?”

Dengan acuh tak acuh Pwe Hay-ciok menjawab, “Orang she Pwe ini sudah lama menderita sakit sehingga selalu tersiksa, memangnya aku sudah merasa bosan hidup. Jika Ko Sam-niocu mau bunuh, boleh silakan mulai saja.”

“Huh, percuma saja kau mengaku sebagai tokoh persilatan, tapi main akal bulus terhadap nyonya besarmu ini,” damprat Ko Sam-niocu. “Baiklah, jika kau tidak mengaku, bolehlah kau panggil keluar itu anak jadah she Ciok, biar nyonya besar tanya langsung kepadanya.”

Ia pikir Pwe Hay-ciok terlalu licik, untuk adu mulut rasanya tidak bisa menang, main kekerasan juga mungkin kalah karena jumlah lawan lebih banyak. Sebaliknya Ciok-pangcu itu hanya seorang pemuda ingusan, andaikan nanti tidak mau bicara terus terang, sedikitnya dari sikapnya dan gerak-geriknya akan dapat diketemukan sedikit tanda-tanda yang meyakinkan.

Akan tetapi Tan Tiong-ci yang berdiri di sebelah Pwe Hay-ciok itu mendadak menanggapi, “Untuk bicara terus terang kepada Ko Sam-niocu, memang Ciok-pangcu kami biasanya paling suka kepada kaum wanita, tapi yang dia pilih hanya anak dara yang masih muda dan cantik, yang masih halus dan empuk. Kalau beliau diminta menemui Ko Sam-niocu, hehe, kukira... kukira....”

Ucapan Tan Tiong-ci itu bernada sangat bangor, secara terang-terangan ia mengolok-olok Ko Sam-niocu sudah tua lagi jelek mukanya, maka Ciok-pangcu mereka tentu tidak mau menemuinya.

Diam-diam si Ting Tong merasa geli, ia membisiki Boh-thian, “Sebenarnya Ko-cici juga sangat cantik, jika menurut kata-kata Tan-hiangcu tadi, apakah kau juga telah penujui dia?”

“Hus, jangan sembarangan mengoceh!” bentak Boh-thian tertahan sambil memegang tangan si nona.

Dalam pada itu Ko Sam-niocu menjadi gusar, kontan ia telah menyambitkan tiga bilah pisaunya ke arah Tan Tiong-ci.

Tapi Tan Tiong-ci dapat mengelakkannya semua, katanya dengan tertawa, “Eh, apa gunanya kau penujui diriku?....” begitulah mulutnya lantas mencerocos lagi dengan kata-kata yang tidak senonoh.

Keruan Ko Sam-niocu semakin kalap, segera pisau terbangnya menyambar lagi.

“Nanti dulu!” It-hui bermaksud melerai.

Akan tetapi sekali Ko Sam-niocu sudah murka, maka susahlah dihentikan, sekaligus ia telah menyambitkan enam bilah pisau, yang satu menyambar terlebih cepat daripada yang lain.

Keenam bilah pisau itu dapat dihindarkan oleh Tan Tiong-ci, akan tetapi waktu pisau ketujuh menyambar tiba, “cret”, ia tidak sempat mengelak, dengan tepat kaki kanan termakan, seketika kaki Tan Tiong-ci sakit dan lemas sehingga berlutut.

“Huh, apa gunanya berlutut dan minta ampun?” demikian Ko Sam-niocu balas mengejek.

Sekarang Tan Tiong-ci yang menjadi murka, ia cabut pisau yang menancap di kakinya itu terus menerjang maju. Akan tetapi Hong Liang telah putar ruyungnya dan menyabet sehingga Tiong-ci terpaksa mundur lagi.

Tampaknya pertempuran total segera dapat terjadi, untunglah pada saat itu mendadak Ciok Boh-thian lantas berseru, “Jangan berkelahi! Jangan berkelahi! Kalian ingin bertemu dengan aku, bukankah kalian sudah bertemu sekarang?”

Sembari bicara ia lantas keluar dari tempat sembunyinya dengan gandeng tangan si Ting Tong, hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah berdiri di tengah-tengah orang banyak.

Serentak Tan Tiong-ci dan Hong Liang yang telah siap-siap bertempur tadi lantas melompat mundur, segenap anggota Tiang-lok-pang lantas bersorak gemuruh dan sama memberi sembah hormat, “Pangcu sudah tiba!”

Keruan Hoan It-hui dan lain-lain sangat terkejut. Sebenarnya dia merasa sangsi, tapi kalau melihat sikap anggota-anggota Tiang-lok-pang yang sungguh-sungguh itu rasanya toh tidaklah pura-pura. Lalu terpikir olehnya, “Ya, Inkong mengaku she Ciok, usianya masih muda, ilmu silatnya sangat tinggi, memangnya tidaklah mengherankan juga dia adalah Pangcu Tiang-lok-pang, adalah salah kami sendiri yang tidak berpikir sampai begini jauh.”

Ko Sam-niocu juga lantas menyapa, “Eh. Ciok... Ciok-inkong, kiranya kau adalah... adalah Pangcu Tiang-lok-pang? Ai, kami benar-benar terlalu sembrono. Tahu begini, masakah kami berani tidak memercayai lagi?”

Boh-thian hanya tersenyum, katanya kepada Pwe Hay-ciok, “Pwe-siansing, sungguh tidak nyana bahwa kita akan bertemu di sini. Mereka ini adalah sahabatku semua, jangan kita saling cekcok.”

Memangnya Pwe Hay-ciok juga sangat girang atas munculnya Ciok Boh-thian, ia pun tiada permusuhan apa-apa dengan jago-jago Kwantang itu, segera ia memberi hormat dan menjawab, “Pangcu sudah datang sendiri, maka segala sesuatu terserah kepada kebijaksanaan Pangcu.”

“Sungguh kami tidak pernah menduga bahwa pangcu baru Tiang-lok-pang kiranya adalah Inkong,” demikian Ko Sam-niocu berkata. “Kami telah percaya kepada berita bohong yang mengatakan Tonghong-toako dicelakai kaum pengkhianat, makanya kami lantas mengadakan janji pertemuan dengan Pang kalian. Tapi jika Pangcu baru ternyata adalah Inkong adanya, dengan budi luhur Inkong ini tidaklah mungkin berbuat sesuatu yang tidak pantas terhadap Tonghong-toako, kami percaya pasti Tonghong-toako yang penujui Inkong karena nyata-nyata berjiwa luhur dan berkepandaian tinggi, maka beliau rela mengundurkan diri dan memberikan tempatnya kepada tenaga muda. Cuma keadaan Tonghong-toako entah baik-baik atau tidak?”

Ciok Boh-thian menjadi bingung untuk menjawabnya. Ia berpaling dan coba bertanya kepada Pwe-tayhu, “Tonghong... Tonghong-toako ini....”

“O, Tonghong-pangcu telah mengasingkan diri di pegunungan sunyi, beliau tidak mau menemui tetamu dari mana pun juga,” jawab Pwe Hay-ciok. “Ya, sayang, kalian yang penuh menaruh perhatian atas diri beliau dan sengaja datang dari jauh, mestinya memang harus bertemu dengan beliau.”

“Tadi ucapan Cayhe mungkin agak kasar, untuk mana haraplah Pwe-siansing suka memberi maaf,” kata Hoan It-hui sambil memberi hormat. Lalu sambungnya pula, “Hanya saja hubungan, kami dengan Tonghong-toako boleh dikata lain daripada yang lain, maka betapa pun juga kami harap dapatlah bertemu sejenak dengan beliau, untuk ini mohon Inkong dan Pwe-siansing sudi meluluskan. Walaupun Tonghong-toako menyatakan tidak mau menemui orang luar, tapi kami ini bukanlah orang luar.”

“Tempat tirakat Tonghong-toako itu entah jauh atau tidak?” kata Boh-thian kepada Pwe Hay-ciok. “Sesungguhnya memang sangat mengecewakan bila kedatangan Hoan-toako dan kawan-kawannya dari tempat sejauh ini ternyata tidak dapat bertemu dengan beliau.”

Pwe Hay-ciok menjadi serbasusah. Setiap ucapan sang pangcu boleh dikata adalah perintah. Tapi apa yang terjadi di antara persoalan pangcu lama dan baru tampaknya sudah dilupakan seluruhnya olehnya, di hadapan orang banyak tidak leluasa pula untuk mengingatkannya kembali. Terpaksa ia mengulur tempo dan berkata, “Untuk ini seketika juga susah diterangkan. Sementara ini silakan para tamu mampir dulu di markas kita yang terletak tidak jauh dari sini, sambil minum sekadarnya perlahan-lahan kita dapat membicarakannya lagi.”

“Markas kita terletak tidak jauh dari sini?” Boh-thian menegas dengan heran.

Pwe-tayhu memandang sekejap kepada pemuda itu. “Penyakit linglung Pangcu kembali kumat lagi?” pikirnya. Tapi ia pun lantas menjawab, “Dari sini menuju ke timur laut, dengan mengambil jalan singkat kita hanya perlu menempuh 50-an li saja sudah dapat sampai di markas besar kita di Yangciu.”

Baru sekarang Boh-thian sadar telah disasarkan oleh si Ting Tong. Waktu dia memandang si nona, si Ting Tong telah menjawabnya dengan menjulurkan lidah dan tertawa.

Hoan It-hui dan kawan-kawannya memang ingin mencari tahu di mana beradanya Tonghong Heng, maka mereka lantas menerima baik undangan Pwe Hay-ciok.

Begitulah beramai-ramai mereka lantas berangkat ke jurusan timur laut. Menjelang pagi mereka sudah sampai di markas besar Tiang-lok-pang. Petugas-petugas penyambut tamu sibuk melayani Hoan It-hui dan kawan-kawannya. Sedangkan Ciok Boh-thian dan si Ting Tong lantas masuk ke ruangan dalam.

Melihat sang pangcu telah pulang, Si Kiam sangat girang dan kejut pula ketika melihat beliau membawa pulang seorang nona cantik. Pikirnya, “Baru saja kesehatannya sedikit pulih, sekarang penyakit bangornya sudah kumat lagi. Tadinya kukira dia akan berubah kelakuannya yang buruk ini, siapa duga dia tetap demikian. Ya, memangnya kalau sifatnya itu dapat berubah, tentu matahari akan muncul dari arah barat.”

Sesudah cuci muka dan baru saja Boh-thian minum teh, terdengarlah Pwe Hay-ciok berseru di luar kamar, “Enci Si Kiam, harap sampaikan kepada Pangcu bahwa Pwe Hay-ciok mohon bertemu.”

Jilid 35

Tanpa menunggu laporan Si Kiam, segera Boh-thian keluar dan berkata, “Pwe-siansing, memangnya aku ingin bicara dengan kau. Sebenarnya bagaimana duduknya perkara tentang Tonghong-pangcu?”

“Harap Pangcu ikut kemari,” sahut Pwe Hay-ciok, Ia membawa Boh-thian menyusur taman dan sampailah di suatu gardu pemandangan. Ia menunggu Boh-thian mengambil tempat duduk, habis itu barulah dia sendiri pun berduduk. Lalu katanya, “Sesudah Pangcu menderita sakit ini, jangan-jangan telah melupakan semua kejadian di masa lampau?”

Boh-thian sendiri sudah mendengar pembicaraan ayah-ibunya dan mengetahui sebabnya orang-orang Tiang-lok-pang mengangkatnya menjadi pangcu sebenarnya tidak dengan iktikad baik, tapi justru ingin memperalat dan mengorbankan jiwanya demi keselamatan orang banyak di dalam Pang mereka. Hanya saja selama ini Pwe Hay-ciok selalu ramah tamah dan sangat menghormat padanya, di waktu dirinya menderita sakit payah juga berkat pengobatannya yang tekun, biar bagaimanapun juga orang tua itu telah banyak mengurangi penderitaannya. Jika sekarang dirinya menegur dengan terus terang, tentu akan membuatnya kikuk. Apalagi kejadian-kejadian di masa dahulu memangnya dirinya juga sudah lupa, untuk ini perlu juga mendapat keterangan yang jelas.

Maka ia lantas menjawab, “Ya, benar! Harap Pwe-siansing sudi menguraikannya dari awal sampai akhir sejelas-jelasnya.”

“Tonghong-pangcu yang dulu nama lengkapnya adalah Tonghong Heng, berjuluk Pat-jiau-kim-liong (Si Naga Emas Delapan Cakar), beliau adalah Pangcu punya susiok, apakah Pangcu masih ingat?”

“Aku punya susiok?” Boh-thian menegas dengan heran. “Mengapa... mengapa aku tidak ingat sedikit pun? Dari aliran dan golongan manakah dia itu?”

“Tentang asal usul perguruan Tonghong-pangcu, karena kami adalah kaum bawahan dan tidak pantas untuk tanya kepada beliau,” sahut Pwe Hay-ciok. “Tiga tahun yang lalu, Pangcu sendiri mendapat perintah Suhu....”

“Mendapat perintah Suhu? Siapa sih guruku?” tanya Boh-thian.

Hay-ciok menggeleng-geleng kepala. Katanya, “Penyakit Pangcu ini benar-benar sangat parah, sampai-sampai gurunya sendiri pun sudah terlupa. Tentang perguruan Pangcu, kami sebagai bawahan juga tidak mengetahui. Tempo hari, itu Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay menuduh Pangcu adalah murid pelarian dari Swat-san-pay mereka, hal ini pun membuat Siokhe (bawahan) merasa heran.”

Sampai di sini ia lantas berhenti, agaknya mengharap agar Boh-thian menyambungnya dan membeberkan asal usul perguruannya sendiri.

Tapi Boh-thian cuma menerangkan, “Tentang guruku, aku hanya pernah mengangkat Su-popo dari Kim-oh-pay sebagai suhu, hal ini pun baru terjadi tidak lama berselang.”

Lalu ia ketok-ketok dahi sendiri karena apa yang diingatnya selalu berbeda daripada apa yang dikatakan orang lain, hal demikian ini membuatnya sangat kesal. Kemudian ia menanya lagi, “Lalu bagaimana sesudah aku mendapat perintah dari guruku?”

“Atas perintah guru Pangcu, maka Pangcu telah datang menumpang kepada Tonghong-pangcu dan mohon bimbingannya agar dapat menambah pengalaman. Tidak lama kemudian Pang kita lantas terjadi suatu urusan penting, yaitu mengenai medali tembaga tanda undangan Siang-sian dan Hwat-ok Sucia. Tentang ini apakah Pangcu masih ingat?”

“Tentang medali dari Siang-sian dan Hwat-ok itu memang aku mengetahui,” sahut Boh-thian, “tapi bagaimana dan apa yang dirundingkan pada waktu itu, hal ini sedikit pun aku tidak ingat lagi.”

“Begini, menurut tradisi Pang kita, setiap tahun satu kali kita mesti mengadakan sidang pleno pada tanggal tiga bulan tiga,” demikian Pwe Hay-ciok menjelaskan. “Pada hari itu berkumpul para hiangcu dari pusat dan para thocu dari cabang-cabang di berbagai tempat. Pada suatu sidang besar tiga tahun yang lalu tiba-tiba ada kawan menyinggung tentang kemajuan Pang kita yang pesat, lewat dua-tiga tahun lagi soal undangan medali tembaga akan muncul pula di Kangouw, tatkala mana rasanya Pang kita takkan terhindar daripada undangannya, lalu cara bagaimana harus menghadapinya, ini harus dirundingkan sekalian supaya tiba saatnya nanti tidak tergesa-gesa dan bingung.”

“Ya, benar itu,” ujar Boh-thian sambil mengangguk. “Bila medali tembaga rasul-rasul itu sudah disampaikan, kalau Pangcu tidak mau terima dan berjanji akan hadir, maka segenap anggota tentu akan ikut menjadi korban. Hal ini aku sudah menyaksikan sendiri.”

“Pangcu telah menyaksikan sendiri?” tanya Hay-ciok terheran-heran.

“Sesungguhnya saja aku bukan pangcu kalian,” kata Boh-thian. “Cuma tentang Siang-sian dan Hwat-ok Sucia itu aku memang telah menyaksikannya sendiri, yaitu ketika mereka membunuh habis-habisan orang-orang Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe.”

Tentang tertumpasnya Hui-hi-pang dan Tiat-cha-hwe lantaran menolak untuk menerima medali tembaga, berita-berita itu sudah lama didengar oleh orang-orang Tiang-lok-pang.

Pwe Hay-ciok menghela napas, lalu berkata pula, “Kita juga sudah menduga akan tiba suatu hari nahas seperti kawan-kawan Kangouw itu, sebab itulah hiangcu yang dahulu mengemukakan persoalan ini sesungguhnya cukup beralasan. Cuma saja Tonghong-pangcu menjadi gusar dan anggap hiangcu she Ho itu sengaja menjangkitkan perasaan takut dan mengeruhkan suasana, segera beliau memerintahkan Ho-hiangcu itu ditahan. Ketika para kawan memohonkan ampun bagi Ho-hiangcu, pada lahirnya Tonghong-pangcu menyatakan baik, tapi pada malamnya Ho-hiangcu itu lantas dibunuh olehnya, besok paginya diumumkan katanya Ho-hiangcu telan membunuh diri karena takut kepada dosanya sendiri.”

“Mengapa beliau berbuat demikian?” tanya Boh-thian. “Ya, mungkin Tonghong-pangcu ada permusuhan pribadi dengan Ho-hiangcu itu, kesempatan itu lantas digunakan untuk membunuhnya.”

“Tidak, tidak begitulah soalnya,” kata Pwe Hay-ciok sambil menggeleng. “Alasan yang sesungguhnya adalah karena Tonghong-pangcu tidak ingin orang lain mengungkat soal medali tembaga itu.”

“O,” Boh-thian mengangguk dan pahamlah dia.

Hendaklah maklum bahwa sebenarnya dia mempunyai bakat yang pintar, soalnya dia jarang bergaul sehingga seluk-beluk orang hidup sama sekali asing baginya. Tapi akhir-akhir ini dia telah berkumpul dengan Ting Tong, selama beberapa hari berbicara dan tukar pikiran pula dengan Ciok Jing dan Bin Ju, maka sekarang ia telah dapat meraba pikiran orang lain, Pikirnya, “Rupanya Tonghong-pangcu sadar bila terima undangan medali tembaga, maka berarti akan tamatlah riwayatnya. Sebaliknya kalau tidak mau terima medali itu, tentu segenap anggota akan ikut berkorban. Lantaran soal yang serbamenyusahkan ini, maka beliau tidak mau soal sulit itu disebut-sebut.”

Dalam pada itu Pwe Hay-ciok telah menyambung ceritanya, “Sudah tentu para kawan mengetahui bahwa beliau sendiri yang telah membunuh Ho-hiangcu. Dari perbuatannya ini para kawan lantas dapat menarik kesimpulan bahwa kelak bila medali tembaga itu disodorkan kepadanya, tentu beliau akan menolak, tidak mungkin beliau rela mengorbankan diri sendiri untuk keselamatan para kawan. Tatkala itu semua orang hanya membatin saja, tapi tiada yang berani membuka suara. Pada saat itulah, hanya engkau Pangcu yang telah tampil ke muka dan menegur Tonghong-pangcu atau susiokmu itu.”

“Aku... aku yang tampil ke muka dan... dan menegurnya?” Boh-thian menegas dengan terheran-heran.

“Benar!” sahut Hay-ciok. “Waktu itu dengan tegas Pangcu telah berkata, ‘Susiok, sebagai seorang pangcu, hendaklah engkau berpikir panjang demi kepentingan Pang kita di kemudian hari. Hari munculnya Siang-sian dan Hwat-ok Sucia sebab tidak jauh lagi, sebabnya Ho-hiangcu mengemukakan soal ini juga mengingat kebaikan kita bersama, tapi Susiok telah mendesaknya sehingga dia membunuh diri, hal ini mungkin akan menimbulkan rasa penasaran para kawan.’ — Tonghong-pangcu menjadi gusar dan mendamprat engkau, ‘Anak kurang ajar! Di tengah sidang ini masakah kau berani ikut bicara? Akulah yang mendirikan Tiang-lok-pang, kalau mau runtuh biarlah aku pula yang meruntuhkannya, orang lain tidak perlu banyak bacot.’ — Ucapan Tonghong-pangcu itu lebih-lebih menimbulkan rasa kurang puas para kawan. Tapi Pangcu sendiri lantas berkata, ‘Susiok, engkau akan terima medali tembaga atau tidak, akhirnya toh tetap akan mati, apa sih bedanya? Jika engkau tidak mau terima, paling-paling jiwa kawan-kawan yang setia ini akan ikut menjadi korban, cara demikian apa manfaatnya bagimu? Maka ada lebih baik kalau Susiok menerima medali secara kesatria sehingga segenap anggota Pang kita pasti akan selamanya teringat kepada budi kebaikanmu.’”

“Ya, benar juga kata-kata ini,” ujar Boh-thian sambil angguk-angguk. “Akan tetapi... akan tetapi, Pwe-siansing, aku merasa tidak... tidak mahir bicara sebagus itu. Aku tidak mampu mengucapkan kata-kata seindah itu.”

“Ah, mengapa Pangcu mesti merendah hati?” kata Hay-ciok dengan tersenyum. “Soalnya Pangcu baru saja sembuh dari sakit keras, maka daya ingatanmu belum lagi pulih. Kelak bila kesehatanmu sudah pulih, tentang kepandaianmu berbicara dan berdebat, jangankan segenap kawan kita, sekalipun tokoh-tokoh Kangouw pada masa kini juga tiada seorang pun yang dapat menandingi engkau.”

“Apa ya?” kata Boh-thian dengan setengah percaya dan setengah ragu-ragu. “Lalu... lalu bagaimana sesudah aku berkata begitu?”

“Seketika muka Tonghong-pangcu lantas merah padam,” tutur Pwe Hay-ciok. “Beliau menggebrak meja dan berteriak-teriak, ‘Kurang ajar! Hayo, lekas... lekas ringkus bocah murtad ini!’ — Tetapi meski dia membentak berulang-ulang, semua orang hanya saling pandang belaka dan tiada seorang pun yang bergerak. Keruan Tonghong-pangcu semakin murka, dia berteriak-teriak, ‘Ha! Jadi kalian telah bersekongkol dengan bocah ini dan hendak berontak padaku? Baik, kalian tidak mau turut perintah, biarlah aku sendiri yang membinasakan bocah keparat ini!’”

“Apakah para kawan tidak dapat mencegahnya?” tanya Boh-thian.

“Sudah tentu semua orang tidak mau turut perintahnya, tapi tetap tiada seorang pun yang berani bersuara,” kata Hay-ciok. “Segera Tonghong-pangcu mengeluarkan senjatanya, Pat-jiau-hui-coa (Cengkeram Bercakar Delapan), kontan dia lantas menyerang engkau, Pangcu. Tapi dengan cepat engkau sempat menghindar. Berulang-ulang Tonghong-pangcu melancarkan serangan mematikan, tapi satu per satu dapat dielakkan olehmu, sebaliknya engkau tetap tidak balas menyerang. Permainan cengkeram delapan cakar Tonghong-pangcu itu terhitung suatu kepandaian tunggal di dunia persilatan, tapi engkau mampu menghindarkan beberapa kali serangannya, hal ini sudah boleh dikata sangat hebat, Saat itu Bi-hiangcu lantas berseru, ‘Pangcu, sutitmu telah mengalah beberapa kali seranganmu tanpa membalas, hal ini adalah karena dia menghormati engkau sebagai pangcu dan susioknya, jika engkau menyerang secara ganas lagi, tentu seluruh kesatria di jagat ini akan anggap kau yang salah.’

“Tapi Tonghong-pangcu tambah murka, bentaknya, ‘Boleh kau suruh dia balas menyerang saja! Memangnya kalian sudah condong padanya, jika perlu bolehlah kalian maju semua dan bunuhlah aku, angkatlah bocah ini sebagai pangcu, supaya terlaksana maksud tujuan kalian!’ — Sambil memaki serangan-serangannya tidak pernah berhenti sehingga engkau berulang-ulang terancam bahaya, tampaknya dengan segera jiwamu akan melayang di bawah senjatanya.

“Pada saat itulah Tian-hiangcu telah berseru padamu, ‘Terimalah pedang ini, Saudara Ciok!’ — Berbareng dia lantas melemparkan sebatang pedang padamu. Sesudah bersenjata engkau mengalah tiga jurus lagi, lalu berkata, ‘Susiok, aku sudah mengalah lebih 20 jurus, jika kau tetap mendesak, janganlah menyalahkan aku berlaku kasar padamu.’ — Akan tetapi dengan sinar mata yang buas Tonghong-pangcu menjawab kau dengan serangan keji, mukamu segera hendak dicakar dengan senjatanya.

“Para kawan menjadi penasaran dan berteriak-teriak menganjurkan engkau membalas serangannya. Akhirnya barulah engkau mengucapkan maaf, lalu melancarkan serangan balasan. Pertarungan kalian menjadi sangat seru. Kepandaian Tonghong-pangcu dan Pangcu adalah berasal dari suatu perguruan, keruan para kawan susah membedakan siapa yang lebih unggul.

“Namun sesudah sekian lamanya, akhirnya semua orang dapat melihat jelas bahwa Pangcu engkau belum mengeluarkan segenap tenaga dan terang masih mengalah padanya, sebaliknya Tonghong-pangcu menyerang semakin kalap. Akhirnya dengan sejurus yang menyerupai ‘Sun-cui-tui-ciu’ (Mendorong Perahu Menurut Arus) dapatlah engkau menusuk pergelangan tangannya, hui-jiau terjatuh ke lantai, tapi engkau tidak menyerang lebih jauh, sebaliknya lantas menarik senjata dan melompat mundur malah.

“Dengan muka pucat Tonghong-pangcu terpaku di tempatnya, sinar matanya menyapu ke muka para kawan satu per satu. Keadaan sunyi senyap, tiada seorang pun yang membuka suara. Selang agak lama barulah Tonghong-pangcu berkata dengan nada iba, ‘Ya, baik, baik!’ — Lalu ia melangkah keluar dengan cepat. Para kawan hanya menyaksikan kepergiannya itu dan tetap tidak seorang pun yang bersuara.

“Dengan perginya Tonghong-pangcu itu, teranglah beliau merasa malu untuk kembali lagi. Tapi Pang kita tidak boleh tanpa pimpinan, maka beramai-ramai para kawan lantas mengangkat engkau sebagai pangcu. Waktu itu dengan rendah hati engkau berkata, ‘Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa, sebenarnya aku tidak berani menanggung kewajiban seberat ini. Cuma saja mengingat dua-tiga tahun lagi akan muncul pula soal medali tembaga, maka sementara ini biarlah aku menjabat kedudukan ini, jika medali tembaga itu diantar kemari, akulah yang akan menerimanya dengan baik untuk menanggung segala akibatnya.’

“Mendengar pernyataanmu itu, serentak para kawan bersorak gembira dan lantas menyembah padamu. Kepandaianmu tinggi dan telah menundukkan Tonghong-pangcu, sekarang engkau menyanggupi pula berkorban bagi orang banyak, budi kebaikanmu itu sungguh tiada taranya. Para kawan merasa tidak kecewa telah mendukung engkau sebagai pangcu.”

“O, makanya beberapa kali aku melancong keluar, kalian menjadi panik dan khawatir kalau-kalau aku tidak pulang lagi,” kata Boh-thian.

Muka Pwe Hay-ciok menjadi merah. Cepat ia berkata, “Kami hanya khawatirkan keselamatan Pangcu. Selama ini walaupun Pangcu agak keras terhadap para kawan, tapi budi kebaikan Pangcu tetap membuat kami berterima kasih.”

“Pwe-siansing,” kata Boh-thian sesudah merenung sejenak, “kejadian-kejadian di masa lampau aku sudah tidak ingat lagi. Maka hendaklah kau jangan menutupi apa adanya, sebenarnya aku pernah berbuat kesalahan-kesalahan atau tidak?”

“Dikatakan kesalahan, sebenarnya juga jamak,” ujar Pwe Hay-ciok dengan tersenyum. “Usia Pangcu masih muda, tentu juga agak romantis dan suka pelesir. Pula wanita-wanita itu kebanyakan adalah sukarela, tidaklah banyak terjadi pemaksaan. Nama Tiang-lok-pang kita memangnya tidak terlalu disukai orang luar, andaikan terjadi apa-apa juga dianggap sepele saja oleh para kawan.”

Diam-diam Boh-thian sangat mencela kepada dirinya sendiri. Ia tahu ucapan Pwe Hay-ciok itu meski kedengaran soal sepele, tapi jelas selama beberapa tahun ini dirinya pasti sudah banyak melakukan perbuatan tidak senonoh, yaitu dalam hal main perempuan. Akan tetapi sudah dipikir dan diingat kembali, rasanya selain si Ting Tong toh dirinya tidak pernah berhubungan dengan perempuan lain lagi.

“Pangcu,” Hay-ciok berkata pula, “Siokhe ingin mengemukakan sesuatu yang agak menyinggung, entah Pangcu sudi mendengarkan atau tidak?”

“O, ya, aku justru ingin mendapat petunjuk-petunjuk Pwe-siansing silakan bicara terus terang saja,” sahut Boh-thian cepat.

“Bahwasanya Tiang-lok-pang terpaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan gelap, hal ini memang susah dihindarkan, kalau tidak daripada kita memperoleh pembiayaan sandang-pangan bagi beberapa ribu anggota Pang kita? Memangnya kita juga bukan kaum kesatria dari kalangan pek-to (golongan baik-baik) sehingga tidak perlu patuh kepada adat peraturan mereka yang tengik. Cuma saja mengenai putri atau istri bawahannya sendiri, menurut pendapat Siokhe ada lebih baik Pangcu jangan terlalu menggubrisnya agar... agar tidak menimbulkan sengketa di antara saudara-saudara kita sendiri.”

Seketika muka Boh-thian merah jengah. Teringat olehnya pada malam itu Tian-hiangcu telah berusaha membunuhnya dengan menuduh dirinya telah mencemarkan kehormatan istri hiangcu itu. Karena dirinya kena penyakit hilang ingatan, bukan mustahil hal demikian itu memang betul terjadi, wah, lantas bagaimana baiknya sekarang?

Dalam pada itu Pwe Hay-ciok telah berkata pula, “Tingkah laku Ting Put-sam, Ting-losiansing itu rada aneh, ilmu silatnya juga sangat tinggi, jika Pangcu berhubungan dengan cucu perempuannya, kelak kalau Pangcu membuangnya lagi, mungkin Ting-losiansing tidak mau terima dan hal ini berarti akan menambah permusuhan....”

“Mana bisa aku membuangnya?” sela Boh-thian.

Hay-ciok tersenyum, katanya, “Di waktu Pangcu sedang menyukai seorang nona sudah tentu Pangcu menganggapnya sebagai jantung hati kesayangan. Cuma biasanya Pangcu tidak bisa lama menyukai nona-nona itu. Tentang nona Ting, jika Pangcu benar-benar suka padanya juga tidak menjadi soal, tapi janganlah sekali-kali mengadakan upacara nikah segala supaya tidak masuk perangkap Ting-losiansing itu.”

“Akan tetapi aku... aku sudah menikah dengan dia,” kata Boh-thian dengan rada tergagap.

“Ya, waktu itu penyakit Pangcu belum lagi sembuh, besar kemungkinan dalam keadaan tak sadar Pangcu telah terjerat oleh perangkap Ting Put-sam, hal ini pun tidak perlu dianggap,” ujar Hay-ciok.

Boh-thian mengerut dahi dan merasa bingung untuk menjawabnya.

Sampai di sini Hay-ciok merasa sudah cukup membicarakan soal pribadi sang pangcu, kalau melampaui batas boleh jadi akan mendatangkan rasa rikuh malah. Maka ia lantas membelokkan pokok pembicaraan, katanya, “Su-tay-mui-pay dari Kwantang telah datang kemari dengan garang sekali, tapi begitu bertemu dengan Pangcu sikap mereka lantas lunak, bahkan memanggil inkong tak habis-habis, hal ini menandakan budi luhur dan wibawa Pangcu yang tiada bandingannya.”

Kiranya tentang Ciok Boh-thian menggempur lari Ting Put-si serta menolong jiwa Ko Sam-niocu dan kawan-kawannya, di tengah jalan jago-jago Kwantang itu sudah bercerita kepada orang-orang Tiang-lok-pang, dan sudah tentu banyak dibumbu-bumbui.

Maka Pwe Hay-ciok berkata pula, “Meski ilmu silat orang-orang itu selisih sangat jauh dibandingkan Pangcu, tapi di dunia persilatan mereka pun tergolong tokoh-tokoh ternama. Mereka telah utang budi kepada Pangcu, kesempatan ini dapat digunakan untuk merangkul mereka. Jika nanti mereka bertanya pula tentang Tonghong-pangcu, hendaklah Pangcu menjawab bahwa Tonghong-pangcu sudah mengundurkan diri, kejadian yang Siokhe ceritakan tadi tidaklah perlu diberitahukan kepada mereka agar tidak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan.”

“Ya, saran Pwe-siansing ini memang beralasan,” kata Boh-thian sambil mengangguk.

Sesudah bicara sejenak pula, kemudian Pwe Hay-ciok mengeluarkan sehelai daftar dan melaporkan tentang keuangan organisasi, tentang mutasi petugas, tentang penerimaan sumbangan dari pelabuhan atau dari gunung mana.

Sudah tentu Ciok Boh-thian tidak paham tentang administrasi segala, apalagi dia memang buta huruf, maka dia hanya mengiakan saja atas laporan Pwe Hay-ciok itu.

Cuma sekarang lantas diketahuinya juga bahwa apa yang dilakukan oleh Tiang-lok-pang kiranya adalah hal-hal yang tidak halal, banyak diterima upeti dari kaum begal di berbagai tempat, hakikatnya adalah persekongkolan dan membagi rezeki. Hati Boh-thian merasa tidak enak, tapi tidak tahu cara bagaimana harus bicara kepada Pwe Hay-ciok.

Malamnya diadakan perjamuan besar-besaran untuk menghormati jago-jago dari Kwantang itu. Hoan It-hui, Ko Sam-niocu, Hong Liang, dan Lu Cing-peng berempat duduk di tempat yang terhormat dengan diiringi Ciok Boh-thian, Pwe Hay-ciok, dan si Ting Tong.

Sesudah saling angkat gelas serta mengobrol hal-hal yang biasa, kemudian Hoan It-hui berkata, “Dengan bakat Inkong yang tinggi ini sehingga Tiang-lok-pang semakin berkembang dan jaya, untuk ini Tonghong-toako tentu juga merasa sangat senang.”

“Saat ini Tonghong-pangcu sendiri sedang menikmati kehidupannya yang aman dan tenteram, beliau tidak mau ikut campur lagi urusan-urusan dalam Pang, maka kami pun tidak berani melaporkan sesuatu kepadanya,” kata Hay-ciok.

Dan baru Hoan It-hui ingin memancing lebih jauh untuk mendapatkan keterangan tentang diri Tonghong Heng, tiba-tiba wakil hiangcu dari Hou-beng-tong mendekati Pwe Hay-ciok dengan tergesa-gesa dan membisiki apa-apa kepadanya. Lalu Hay-ciok mengangguk dengan tersenyum. Kemudian ia berpaling dan berkata kepada Ciok Boh-thian, “Harap Pangcu maklum bahwa Swat-san-pay telah mengirim bala bantuan kemari dengan maksud menolong kawan-kawan mereka. Di luar dugaan mereka, bukannya berhasil menolong kawan mereka, sebaliknya dua orang di antara penyatron baru itu kembali diringkus kita lagi.”

“Ha, anak murid Swat-san-pay telah kita tawan?” Boh-thian menegas dengan terkejut.

“Tempo hari sesudah Pangcu meninggalkan markas bersama Pek Ban-kiam dari Swat-san-pay itu, Siokhe dan para kawan merasa khawatir kalau-kalau Pangcu kena diingusi oleh orang she Pek itu, maka menyusul para kawan lantas bergerak serentak untuk mencari jejak Pangcu,” demikian Pwe Hay-ciok menjawab tanpa menjelaskan ditawannya Ciok Boh-thian oleh Pek Ban-kiam dahulu supaya tidak kehilangan muka di hadapan jago-jago Kwantang itu, “Di tengah jalan kita telah pergoki serombongan mereka di sini. Cuma sayang Pek Ban-kiam itu cukup cerdik sehingga hanya ia sendiri yang berhasil lolos.”

“Dan bagaimana dengan nona Hoa Ban-ci itu?” mendadak si Ting Tong menimbrung.

“Dia sudah tertawan lebih dulu pada rombongan pertama, tatkala mana nona Ting juga berada di sini, bukan?” sahut Hay-ciok. “Pertama kali itu seluruhnya kita telah menawan tujuh orang Swat-san-pay.”

Hoan It-hui dan kawan-kawannya terperanjat. Sungguh tak terduga oleh mereka bahwa Swat-san-pay yang begitu tersohor ternyata sudah dikalahkan habis-habisan oleh Tiang-lok-pang.

Maka Pwe Hay-ciok menyambung pula, “Ketika kita memeriksa dan menanyakan jejak Pangcu kepada anak murid Swat-san-pay itu, mereka sama mengaku bahwa pada malam itu juga Pangcu telah meninggalkan kelenteng kecil itu, kemudian tidak pernah bertemu lagi. Setelah yakin keadaan Pangcu tidak kurang suatu apa pun, Siokhe dan para kawan barulah merasa lega. Sekarang terserahlah kepada kebijaksanaan Pangcu cara bagaimana akan memperlakukan orang-orang Swat-san-pay itu.”

Diam-diam Boh-thian membatin, “Menurut cerita ayah-ibu, katanya dahulu aku pernah berguru kepada Swat-san-pay dan orang-orang Swat-san-pay ini masih terhitung paman guruku. Sekarang mana boleh aku menahan mereka apalagi menghukum mati mereka?”

Maka berkatalah Boh-thian, “Kukira di antara kita dan Swat-san-pay telah terjadi sedikit salah paham, maka lebih baik... lebih baik berkawan saja daripada mencari lawan. Pwe-siansing, kukira bebaskan mereka saja dan undang mereka ikut makan minum sekalian, bagaimana pendapatmu?”

“Jika Pangcu anggap jalan ini adalah paling baik, nyata sekali keluhuran budi Pangcu ini harus dipuji,” sahut Pwe Hay-ciok dengan tertawa. Segera ia memberi perintah, “Bawalah kemari orang-orang Swat-san-pay itu!”

Wakil hiangcu tadi mengiakan terus berlalu. Sejenak kemudian empat anggota Tiang-lok-pang telah menggiring datang dua lelaki berbaju putih. Tangan kedua orang itu terikat telikung, baju mereka berlepotan darah, agaknya sebelum tertawan mereka telah melawan mati-matian sehingga terluka.

“Lekas maju dan menyembah kepada Pangcu!” bentak wakil hiangcu tadi.

Lelaki yang berusia lebih tua hanya mendelik saja. Sebaliknya kawannya berumur 30-an itu lantas mencaci maki, “Sembah apa? Jika berani bolehlah bunuh saja tuan besarmu ini! Kalian kawanan bandit yang kejam ini adakalanya tentu akan menerima ganjaran yang setimpal. Tunggulah kedatangan guruku, Wi-tek Siansing, beliau akan mencincang kalian sehingga hancur luluh untuk membalas dendam kami.”

“Dampratan Si-sute sangat tepat! Ya, makilah mereka, bandit anjing! Maling yang tidak tahu malu!” demikian mendadak suara seorang yang keras menanggapi dari luar.

Menyusul terdengarlah suara gemerencing nyaringnya rantai besi makin mendekat.

Tertampaklah 20-an orang Swat-san-pay yang terborgol semua telah memasuki ruang pendopo dengan bersitegang leher. Kheng Ban-ciong, Houyan Ban-sian, Kwan Ban-lu, Kwa Ban-kin, Ong Ban-jim, Hoa Ban-ci, semuanya termasuk di antara tawanan-tawanan itu. Bahkan Ong Ban-ek yang memiliki ginkang tertinggi sekarang juga ikut tertangkap.

Begitu masuk, Ong Ban-jim dan kawan-kawannya lantas mencaci maki lebih keras lagi, ada pula di antaranya berteriak murka, “Huh, dasar bangsat pengecut, hanya pandai main asap pembius dan obat tidur, perbuatan demikian biasanya cuma dilakukan oleh golongan maling ayam yang rendah!”

Mendengar itu. Hoan It-hui saling pandang sekejap dengan kawan-kawannya. Pikir mereka jika apa yang dituduhkan orang-orang Swat-san-pay itu benar, memang perbuatan demikian itu bukanlah sesuatu yang gemilang walaupun berhasil membekuk lawan-lawannya.

Rupanya Pwe Hay-ciok dapat menduga pikiran jago-jago Kwantang itu, segera ia berbangkit. Katanya dengan tertawa, “Ya, memang tempo hari kami telah menggunakan obat tidur, hal ini bukanlah kami takut kepada kepandaian kalian, tapi adalah mengingat hubungan Ciok-pangcu dengan perguruan kalian, kalau sampai kami melukai kalian tentulah tidak baik. Sekarang kalian bergembar-gembor, agaknya kalian merasa penasaran karena telah tertawan. Baik begini saja, boleh kalian maju satu per satu untuk coba-coba padaku, asal salah seorang di antara kalian mampu bertahan sepuluh jurus saja, maka Tiang-lok-pang kami boleh kalian anggap bangsat yang rendah dan pengecut?”

Tempo hari dalam pertempuran di markas besar Tiang-lok-pang ini Pwe Hay-ciok telah memperlihatkan kepandaiannya “Ngo-heng-liok-hap-ciang”, Kwa Ban-kin dan kawan-kawannya tiada satu pun yang mampu melawannya, hanya dalam dua-tiga jurus saja sudah kena ditutuk roboh semua, maka untuk bergebrak sepuluh jurus dengan Pwe Hay-ciok sekarang memang bukanlah soal mudah.

Si Ban-lian, murid Swat-san-pay yang baru sekarang ikut tertawan, dia belum kenal betapa lihainya Pwe Hay-ciok. Sebaliknya ia melihat muka Pwe Hay-ciok pucat kurus seperti orang sakit tebese, sudah tentu ia tidak takut padanya. Terus saja berteriak, “Tiang-lok-pang kalian hanya menang dengan jumlah orang lebih banyak, apanya yang luar biasa? Huh, jangankan sepuluh jurus, biar seratus jurus juga akan Locu layani!”

“Bagus, bagus!” kata Hay-ciok dengan tertawa. “Saudara ini benar-benar pemberani dan harus dipuji. Kita boleh bertaruh saja, jika kau mampu bertahan dalam sepuluh jurus, maka Tiang-lok-pang boleh dianggap sebagai kawanan bangsat pengecut, tapi kalau saudara yang kalah di dalam sepuluh jurus, apakah Swat-san-pay juga boleh dianggap sebagai kawanan bandit pengecut?”

Sambil bicara ia terus mendekati Si Ban-lian dan begitu mengebut dengan jarinya, kontan beberapa utas tali yang meringkus di tubuh Si Ban-lian itu lantas putus semua. “Nah, silakan mulai sekarang!” kata Hay-ciok pula dengan tertawa.

Hanya dengan sekali kebutan jari saja tali-tali rami sebesar jeriji itu lantas putus semua, padahal tadi Si Ban-lian telah meronta sekuatnya dan tidak mampu melepaskan diri. Keruan muka Ban-lian menjadi pucat, tanpa merasa badannya menjadi gemetar.

Pada saat itulah tiba-tiba dari luar ada suara seorang menanggapi ucapan Pwe Hay-ciok tadi, “Bagus, bagus! Jadilah kita bertaruh!”

Mendengar suara itu, anak murid Swat-san-pay lantas bergirang, sebaliknya orang-orang Tiang-lok-pang melengak, sampai-sampai Pwe Hay-ciok sendiri juga rada terkejut.

Maka tertampaklah seorang yang gagah berwibawa telah muncul di depan pintu. Siapa lagi dia kalau bukan “Gi-han-se-pak” Pek Ban-kiam.

Sesudah melangkah masuk, segera Ban-kiam memberi salam kepada Hay-ciok, lalu berkata, “Cayhe tidak becus, tapi ingin coba-coba sepuluh jurus dengan Pwe-siansing.”

Pwe Hay-ciok tersenyum, sikapnya tetap sangat tenang, tapi batinnya sebenarnya serbarunyam. Menurut kepandaian Pek Ban-kiam, rasanya paling sedikit harus ratusan jurus lebih baru bisa menangkan tokoh Swat-san-pay ini, jadi tidaklah mungkin dapat mengalahkannya di dalam sepuluh jurus saja.

Namun sebagai seorang tua yang berpengalaman, hanya berpikir sekejap saja ia lantas menjawab dengan tertawa, “Pertaruhan sepuluh jurus hanya dapat digunakan untuk menggertak para sute Pek-tayhiap saja, sekarang Pek-tayhiap sendiri yang datang, maka syarat pertaruhan ini perlu diubah sedikit. Jika Pek-tayhiap ada minat buat lemaskan otot dengan Cayhe, maka bolehlah kita tentukan saja di dalam dua-tiga ratus jurus.”

“O, kiranya apa yang telah diucapkan Pwe-siansing tadi dijilat kembali?” desak Pek Ban-kiam.

“Hahaha!” Hay-ciok tertawa. “Pertaruhan sepuluh jurus hanya ditujukan kepada kaum muda yang hijau dan congkak saja, masakah Pek-tayhiap tergolong orang-orang demikian ini?”

“Jika Tiang-lok-pang mau mengaku sebagai kawanan bangsat pengecut, apa halangannya kalau aku dianggap masih hijau dan congkak?”

Kiranya sesudah Pek Ban-kiam masuk ke ruang pendopo, ia menjadi mendongkol ketika melihat Ciok Boh-thian duduk terhormat di tengah ruangan, sebaliknya para sutenya bermuka pucat dan teringkus semua. Sebab itulah ia terus pegang kelemahan ucapan Pwe Hay-ciok tadi agar dia mau mengaku bahwa Tiang-lok-pang adalah kawanan bangsat pengecut.

Pada saat itulah tiba-tiba di luar ada orang berseru dengan suara lantang, “Nyo Kong dari Ka-hin-hu dan suami-istri Ciok Jing dari Hian-soh-ceng datang berkunjung!”

Itulah suaranya Ciok Jing.

Ciok Boh-thian sangat girang, cepat ia melompat bangun sambil berseru, “Ayah! Ibu!” Berbareng ia terus berlari keluar. Ketika lewat di samping Pek Ban-kiam, mendadak Ban-kiam pegang tangannya. Karena di luar dugaan, tahu-tahu nadi pergelangan tangan Ciok Boh-thian sudah terpencet. Tapi dia buru-buru ingin menemui ayah-ibunya, tanpa pikir lagi ia lantas mengebaskan tangannya, di mana tenaga murninya bekerja, seketika Ban-kiam merasa separuh tubuhnya pegal kesemutan, lekas-lekas Ban-kiam lepas tangan, namun tidak urung terasa juga suatu arus tenaga mahadahsyat telah menumbuk ke arahnya, cepat ia melangkah mundur.

Air muka Ban-kiam berubah seketika. Dilihatnya Pwe Hay-ciok sedang tersenyum-senyum padanya sambil berkata, “Benar-benar kepandaian yang hebat!”

Ucapan ini seperti memuji Ciok Boh-thian, tapi sesungguhnya menyindir kepandaian Pek Ban-kiam terlalu cetek, masih hijau dan sombong.

Dalam pada itu tertampaklah Ciok Boh-thian telah masuk kembali mengiring kedatangan Ciok Jing dan Bin Ju, selain itu ada pula seorang tua berjenggot putih dan berbadan tinggi besar.

Jarak Yangciu dan Ka-hin-hu tidak terlalu jauh, maka jago-jago Tiang-lok-pang mengenali Nyo Kong adalah tokoh silat ternama di daerah Kanglam, lebih-lebih sang pangcu memanggil Ciok Jing dan Bin Ju sebagai “ayah-ibu”, dengan sendirinya mereka lantas berbangkit sebagai tanda hormat.

Dengan penuh kasih sayang tertampak Ciok Boh-thian menggandengi tangan Bin Ju. Nyonya itu tersenyum simpul, katanya kepada Boh-thian, “Sungguh aku sangat khawatir ketika kau menghilang dari hotel kemarin pagi. Tapi ayahmu mengatakan jangan khawatir, tidak mungkin orang mampu menculik kau lagi. Dia bilang pasti akan bisa mendapat kabar tentang dirimu bila tanya ke Tiang-lok-pang sini, benar juga kau ternyata berada di sini.”

Sebaliknya muka si Ting Tong menjadi merah atas kedatangan Ciok Jing dan Bin Ju, cepat ia melengos ke arah lain, hanya pasang kuping untuk mendengarkan apa yang dibicarakan mereka.

Maka terdengar Ciok Jing suami-istri, Nyo Kong telah bersalaman dengan Pwe Hay-ciok, Hoan It-hui dan lain-lain. Karena sama-sama tokoh persilatan yang ternama, maka masing-masing saling mengucapkan kata-kata pujian kepada kenalan-kenalan baru itu. Lebih-lebih Hoan It-hui dan kawan-kawannya menjadi tambah hormat kepada Ciok Jing dan Bin Ju ketika diketahui mereka adalah ayah-ibunya Ciok Boh-thian.

Kemudian Boh-thian berkata kepada Pwe Hay-ciok, “Pwe-siansing, kesatria-kesatria Swat-san-pay ini biarlah kita lepaskan semua saja.”

“Atas perintah Pangcu, lepaskan semua ‘kesatria’ Swat-san-pay!” sambung Pwe Hay-ciok dengan tertawa meneruskan perintah Ciok Boh-thian. Kata-kata “kesatria” sengaja diucapkan dengan lebih keras, terang ia sengaja hendak menyindir tawanan tawanannya itu.

Belasan anggota Tiang-lok-pang serentak mengiakan atas perintah itu. Lalu petugas-petugas yang bersangkutan sama maju membuka ringkusan dan belenggu atas diri anak murid Swat-san-pay.

Tapi dengan muka merah padam sambil meraba gagang pedangnya Pek Ban-kiam lantas membuka suara, “Nanti dulu! Ciok... hm, Ciok-pangcu, Pwe-siansing, mumpung Nyo Kong, Nyo-loenghiong dan Ciok-cengcu suami-istri berada di sini, marilah urusan kita harus dibicarakan dahulu sehingga jelas.”

Sesudah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, “Kita sebagai orang-orang Bu-lim, jika kita sendiri yang tidak becus sehingga terkalahkan, maka pihak lawan akan membunuh atau menghinanya, biar bagaimanapun adalah lumrah dan mati pun tidak perlu menyesal. Akan tetapi para suteku ini tertawan oleh karena dibius dengan obat tidur, perbuatan Tiang-lok-pang yang rendah dan memalukan ini sebenarnya merugikan nama baik Swat-san-pay atau merusak nama baiknya Tiang-lok-pang sendiri? Dan apa pula yang telah dikatakan oleh Pwe-siansing tadi rasanya tidak ada salahnya untuk diuraikan lagi agar dapat didengar sekalian oleh ketiga orang sobat yang baru datang ini.”

Pwe Hay-ciok terbatuk-batuk beberapa kali, lalu menjawab dengan tertawa, “Rupanya saudara Pek ini....”

“Siapa yang sudi bersaudara dengan kawanan bangsat yang rendah dan pengecut? Huh, tidak punya malu!” potong Pek Ban-kiam dengan suara bengis.

“Ciok-pangcu kami....”

“Pwe-siansing,” demikian Ciok Jing menyela sebelum Pwe Hay-ciok bicara lebih jauh, “usia anakku ini masih muda dan pengalamannya cetek, masakah dia memenuhi syarat untuk menjadi pangcu kalian? Belum lama berselang ia pun jatuh sakit keras sehingga melupakan segala kejadian yang lampau. Maka dalam persoalan ini tentu ada salah paham yang besar, sebaiknya sebutan ‘pangcu’ janganlah digunakan lagi. Sebabnya Cayhe mengundang Nyo-loenghiong ke sini justru ingin bikin terang urusan ini. Pek-suheng, soal persengketaan Swat-san-pay kalian dengan Tiang-lok-pang dan anakku yang durhaka ini pernah berdosa pula kepadamu, dua persoalan ini hendaklah dipisah-pisahkan untuk diselesaikan tersendiri-sendiri. Aku orang she Ciok walaupun cuma kaum keroco biasa saja, tapi selamanya tidak sudi berdusta kepada siapa pun juga. Aku ingin mengatakan bahwa putraku ini benar-benar telah melupakan segala apa yang terjadi di masa lampau.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar