Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 26-30

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Medali Wasiat (Hap Haak hang) Jilid 26-30 Kiranya si gemuk dan si kurus itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki ilmu silat mahatinggi.
 
Jilid 26

Kiranya si gemuk dan si kurus itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki ilmu silat mahatinggi. Hanya saja bentuk ilmu yang dilatih mereka itulah satu-sama-lain berlawanan. Yang dilatih si gemuk adalah sun-yang, positif, mahapanas, sebaliknya yang diyakinkan si kurus adalah im-ju, negatif, mahadingin. Isi dari kedua houlo mereka itu adalah arak obat yang sangat baik untuk menambah lwekang mereka. Arak di dalam houlo merah adalah arak mahapanas dan mahakeras, sebaliknya arak di dalam houlo biru adalah arak obat mahadingin.

Kedua botol arak obat itu mengandung banyak sekali obat-obat mukjizat kumpulan si gemuk dan si kurus, khasiatnya sangat hebat dan keras, bagi orang biasa, jangankan meminumnya, hanya mencicipi saja juga akan melayang jiwanya.

Adapun lwekang si gemuk dan si kurus memangnya sangat tinggi, pula mereka telah minum obat lain yang dapat melemahkan bekerjanya arak obat mereka, sebab itulah mereka tidak keracunan. Tetapi kalau si gemuk salah minum arak si kurus dan si kurus keliru minum arak si gemuk, maka mereka pasti akan binasa seketika, bahkan usus mereka akan putus dan mati dengan mengerikan. Tapi sekarang mereka melihat Ciok Boh-thian sudah sekian banyak minum arak mereka dan masih tetap tidak berhalangan apa-apa, keruan mereka terperanjat tak terkatakan.

Pengalaman dan pengetahuan si gemuk dan si kurus sebenarnya sangat luas, segala ilmu silat di dunia ini boleh dikata hampir seluruhnya dikenal mereka, tapi sama sekali tak terpikir oleh mereka bahwa secara sangat kebetulan Ciok Boh-thian telah mendapat pengalaman aneh, lebih dulu pemuda itu mendapat ajaran ilmu silat lunak dan dingin yang menyerupai “Han-ih-bian-ciang”, kemudian mendapat ilmu “Yam-yam-kang” yang mahakeras dan panas dari Cia Yan-khek. Kedua macam ilmu yang panas-dingin, im dan yang atau positif dan negatif itu mestinya berlawanan satu sama lain, karena itu Boh-thian hampir-hampir lumpuh dan binasa, tak terduga ia mendapatkan pula “Lo-han-hok-mo-kang” dari Tay-pi Lojin dengan boneka-boneka kayu pemberiannya itu, hal ini membuat tenaga im dan yang di tubuh Boh-thian menjadi terbaur menjadi satu, makin menambah kekuatannya yang ampuh, bahkan menjadi tidak mempan keracunan segala jenis racun.

Ketika minum arak-arak obat si gemuk dan si kurus tadi mula-mula Boh-thian memang merasakan tajamnya arak itu, tapi sesudah dipunahkan oleh tenaga dalamnya, dalam waktu singkat malah makin menambah kekuatan yang telah dimilikinya itu.

Dasar jiwa Ciok Boh-thian memang luhur, sesudah minum arak enak kedua orang itu secara gratis, ia merasa rikuh dan segera panggang lebih banyak daging babi hutan itu, ia pilih bagian-bagian yang paling lezat untuk disuguhkan kepada si gemuk dan si kurus sambil berulang-ulang minta mereka pun ikut minum arak.

Setelah mengetahui tenaga dalam Ciok Boh-thian luar biasa lihainya, si gemuk dan si kurus menyangka pemuda itu sengaja hendak bertanding lwekang dengan cara minum arak berbisa itu. Karena mereka pun tidak mau mengaku kalah, terpaksa mereka terima ajakan Ciok Boh-thian dan minum arak sendiri-sendiri seteguk demi seteguk, tapi diam-diam mereka juga menjejalkan obat pil pemunah racun arak ke mulutnya sendiri-sendiri.

Di samping itu si gemuk dan si kurus diam-diam juga mengawasi gerak-gerik Ciok Boh-thian, mereka melihat pemuda itu sama sekali tidak makan obat pemunah apa-apa, betapa hebat tenaga saktinya benar-benar tiada pernah mereka lihat, sungguh mereka tidak tahu dari manakah mendadak bisa muncul seorang kesatria muda yang aneh ini.

Dalam pada itu setelah minum seteguk lagi Ciok Boh-thian telah menyodorkan pula houlo merah kepada si gemuk. Terpaksa si gemuk menerimanya sambil berkata, “Lwekang adik cilik ternyata begini hebat, sungguh Cayhe sangat kagum. Numpang tanya siapakah nama saudara cilik yang terhormat?”

Boh-thian lantas mengerut kening bila ditanya soal nama. Jawabnya, “Urusan ini benar-benar membikin kepalaku sakit. Sering orang menuduh aku she Ciok, padahal aku bukanlah she Ciok, aku tidak tahu she apa dan bernama siapa, sebab itulah pertanyaanmu ini benar-benar susah kujawab.”

Sudah tentu si gemuk tidak mau percaya, ia anggap Boh-thian berlagak bodoh dan tidak mau mengatakan namanya. Ia coba tanya pula, “Jika demikian, siapakah guru saudara cilik yang terhormat? Dari golongan dan aliran manakah engkau?”

“Guruku she Su, beliau adalah seorang nenek tua, apakah kau pernah kenal dia?” sahut Boh-thian. “Beliau adalah cikal bakal Kim-oh-pay dan aku adalah muridnya yang pertama.”

Diam-diam si gemuk dan si kurus menganggap Ciok Boh-thian hanya membual saja, sebab seluruh golongan dan aliran persilatan di dunia ini boleh dikata telah dikenalnya semua, tapi belum pernah mereka mendengar tentang Kim-oh-pay dan nenek she Su apa segala.

Pada kesempatan tanya-jawab itulah, si gemuk pura-pura lupa, ia tidak minum araknya, tapi houlo merah lantas disodorkan kembali kepada Boh-thian sambil berkata, “O, kiranya adik cilik adalah murid pertama dari Kim-oh-pay, pantas engkau begini lihai. Ini, silakan minum lagi sebagai penghormatanku!”

Tapi Boh-thian melihat si gemuk belum meneguk araknya itu, ia mengira si gemuk saking asyiknya bicara sehingga lupa minum, segera ia berkata, “Eh, kau sendiri belum lagi minum.”

“O, ya? Aku sampai lupa,” sahut si gemuk dengan muka merah. Karena maksudnya diketahui orang, diam-diam ia merasa sangat mendongkol. Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya Ciok Boh-thian adalah bermaksud baik karena khawatir si gemuk dirugikan karena si gemuk sendiri tidak minum.

Padahal seluruhnya si gemuk sudah minum delapan ceguk, kalau minum lebih banyak lagi, sekalipun ada obat pemunah juga pasti akan berbahaya baginya. Maka terpaksa ia pura-pura mengangkat houlo merah, ia tempelkan di tepi mulut dengan lagak menenggak, tapi sebenarnya ia tutup rapat-rapat mulutnya, maka waktu buli-buli itu diturunkan, arak yang akan tertuang itu sudah mengalir masuk kembali ke dalam buli-buli itu.

Perbuatan si gemuk ini sudah tentu diketahui pula oleh si kurus. Maka ia pun lantas menirukannya, ia juga cuma berlagak minum, tapi sesungguhnya tiada setetes arak yang masuk ke dalam tenggorokannya.

Dan begitulah, seteguk demi seteguk secara bergiliran, akhirnya isi houlo-houlo yang hampir penuh itu boleh dikata ada delapan bagian yang diminum sendiri oleh Ciok Boh-thian.

Memangnya kekuatan minum arak Boh-thian tidak besar, ia hanya mengandalkan tenaga dalamnya yang hebat sehingga sampai sekian lamanya masih dapat bertahan. Walaupun arak berbisa itu tiada jeleknya, bahkan bermanfaat baginya, namun di bawah pengaruh alkohol itu, mau tak mau pikirannya menjadi agak limbung, bicaranya menjadi banyak, ia mengoceh tentang si A Siu, si Ting-tong, dan macam-macam lagi.

Sudah tentu si gemuk dan si kurus merasa bingung dan tidak mengerti apa yang dikatakan pemuda itu. Pikir si gemuk, “Masakan kekuatan minum kami berdua tidak mampu melawan dia seorang, hal ini kalau sampai tersiar, wah, tentu akan runyam. Apalagi sesudah dia minum habis kedua buli-buli arak mukjizat ini, kelak dia tentu akan tambah lihai. Peribahasa mengatakan, ‘Berpikiran sempit bukannya seorang kesatria, kalau tidak keji bukanlah jantan’. Rasanya aku harus berani bertindak lebih jauh.”

Karena pikiran itu, si gemuk lantas mengedipi si kurus.

Si kurus dapat menangkap maksud kawannya, segera ia merogoh saku dan mengeluarkan sebutir pil yang disebut “Kiu-kiu-wan” (pil 99) dan disiapkan di tangannya. Waktu Boh-thian menyodorkan lagi houlo biru padanya, segera ia pura-pura minum pula seteguk, lalu pura-pura menggunakan tangannya buat mengusap mulut houlo, tapi yang sebenarnya ia telah masukkan pil Kiu-kiu-wan ke dalam buli-buli itu. Sesudah dia kocak-kocak beberapa kali, lalu berkata, “Ehmmm! Arak bagus! Arak enak!”

Ketika si kurus melakukan perbuatannya itu, diam-diam si gemuk juga sudah mengeluarkan sebutir pil yang bernama “Liat-hwe-tan” (pil api membara) dan diam-diam dimasukkan ke dalam houlo merah, Dan dengan sendirinya sisa arak bercampur Liat-hwe-tan ini pun habis ditenggak oleh Ciok Boh-thian.

Sebagai pemuda yang masih hijau pelonco, Boh-thian mengira telah bertemu dengan dua orang peminum yang baik hati, maka ia hanya asyik minum arak dan makan daging, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa kedua orang yang sebelumnya tak dikenal itu, diam-diam hendak membikin celaka padanya.

Begitulah, maka terdengar si kurus telah berkata, “Adik cilik, sisa arak di dalam houlo ini tinggal sedikit saja, rupanya kau sangat kuat minum, maka boleh kau habiskan saja.”

“Baiklah,” sahut Boh-thian dengan tertawa. “Karena kalian tidak sungkan-sungkan, maka aku pun tidak perlu sungkan-sungkan juga.”

Segera ia ambil houlo biru, baru saja ia hendak mengeringkan isinya, tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, katanya, “Ketika berada di atas kapal, pernah kudengar ceritanya si Ting-ting Tong-tong, katanya kalau orang lelaki dan orang perempuan cocok satu sama lain, maka mereka akan terikat menjadi suami-istri. Bila lelaki suka sama lelaki, maka mereka bisa mengangkat saudara. Hari ini secara kebetulan kita telah bertemu di sini dan rupanya kalian cukup menghargai diriku, kupikir sehabis makan-minum ini nanti, biarlah kita bertiga lantas mengangkat saudara saja, dengan demikian kelak kita akan selalu dapat makan-minum bersama dan tentu sangat menyenangkan. Entah bagaimana pendapat kalian atas usulku ini?”

Khawatir kalau-kalau Boh-thian tidak jadi menghabiskan araknya, cepat si gemuk menjawab, “Bagus, bagus! Bagus sekali usulmu ini. Nah, silakan kau habiskan sisa arak kami ini.”

“Dan bagaimana pendapat Toaya yang ini?” tanya Boh-thian kepada si kurus.

“Tentu saja aku menurut bilamana adik cilik mempunyai maksud baik demikian,” sahut si kurus.

Sekarang pikiran Boh-thian sudah makin limbung, keadaannya sudah setengah mabuk, saking senangnya ia terus mengangkat tinggi-tinggi houlo biru dan menenggak habis seluruh sisanya. Ternyata rasanya sekarang sudah tidak sedingin tadi.

“Sungguh hebat, sungguh kuat sekali adik cilik ini. Nah, sedikit sisa arak di dalam houlo ini pun silakan adik cilik habiskan sekalian,” seru si gemuk dengan tertawa. “Dan habis itu segera kita mengangkat saudara.”

Pikiran Ciok Boh-thian memangnya sangat sederhana, pula dalam keadaan sudah sinting, dengan sendirinya mulutnya banyak mengoceh dan banyak tingkah pula, tanpa merasa ia pun berlagak gagah, tanpa pikir ia ambil houlo merah lagi terus ditenggak habis sisa isinya.

Si gemuk dan si kurus saling tukar pandang, pikir mereka, “Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan adalah racun yang tiada bandingannya di dunia ini. Kiu-kiu-wan dibuat dengan 9x9=81 macam rumput berbisa. Liat-hwe-tan juga terbuat dari bahan-bahan racun yang tiada taranya seperti warangan, bisa ular sendok, bisa laba-laba hitam dan macam-macam lagi. Tak peduli Kiu-kiu-wan atau Liat-hwe-tan, asal sebutir dicemplungkan ke dalam sumur atau sungai, maka penduduk berkampung-kampung akan mati keracunan. Sekarang kedua pil beracun digunakan sekaligus, mustahil kalau dia masih tetap tidak akan mampus keracunan.”

Benar juga, baru saja mereka berpikir demikian, mendadak terdengar Ciok Boh-thian telah menjerit, “Aduh! Celaka! Sakit sekali perutku!”

Dan sambil memegang perut pemuda itu meringis dan berjongkok.

Si gemuk dan si kurus saling pandang dengan tertawa senang.

Segera si gemuk pura-pura tanya, “He, ada apakah? Perutmu sakit? Ah, tentu karena kau makan terlalu banyak, maka perutmu mulas!”

“Tidak! Bukan mulas! Tapi... aduh, celaka!” teriak Boh-thian sambil meloncat.

Berbareng si gemuk dan si kurus juga lekas-lekas melompat bangun. Mereka mengira sebelum pemuda itu menemui ajalnya tentu akan menyerang mereka sekuat-kuatnya, maka mereka telah himpun tenaga dan siap menantikan segala kemungkinan.

Ciok Boh-thian memang lantas memukul juga, tapi bukan ditujukan kepada mereka, melainkan diarahkan kepada sebatang pohon besar sambil berteriak, “Aduh! Sa... sakitnya tidak kepalang!”

Karena perutnya sakit dan ususnya seperti dipuntir-puntir, maka Boh-thian telah mengerahkan tenaga dalamnya dengan maksud hendak memunahkan rasa sakit itu melalui pukulannya. Tak terduga Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan memang bukan racun sembarang racun, sekali kedua jenis obat itu sudah bekerja, seketika perut Boh-thian seperti disayat-sayat, sakitnya susah dilukiskan dan hampir-hampir ia jatuh kelengar. Seketika kaki-tangannya juga terasa kaku dan sekujur badannya terasa kejang.

Saking tak tahannya, sekuatnya tangan kiri lantas memukul ke batang pohon. Tak tersangka sesudah pukulan itu dilontarkan, segera rasa sakit perutnya lantas agak berkurang. Maka tangan kanan segera dipukulkan pula kepada batang pohon.

Dan begitulah seterusnya, setiap ia melontarkan pukulan rasa sakit perutnya lantas berkurang dan segar kembali. Tapi kalau dia berhenti memukul, seketika perutnya kesakitan lagi, bahkan seperti disayat-sayat dan ditusuk-tusuk.

Sambil berkaok-kaok menahan rasa sakit dan kaki-tangannya bergerak dan memukul, maka dengan sendirinya ia telah mengeluarkan ilmu silat yang baru saja diciptakannya ketika berada di Ci-yan-to itu. Walaupun ilmu silatnya itu tidak begitu teratur, tapi dahsyatnya mengejutkan.

Si gemuk dan si kurus kembali saling pandang dengan terperanjat, berulang-ulang mereka melangkah mundur. Mereka tahu jago silat selihai sebagai Ciok Boh-thian itu, sesudah keracunan dan pada saat akan menemui ajalnya, tentu seluruh kekuatan di dalam tubuhnya akan buyar dan meledak sehingga kelakuannya akan mirip harimau gila. Asal kena terpukul atau kena dirangkulnya, maka celakalah orang itu.

Mereka melihat pukulan dan tendangan Ciok Boh-thian yang dahsyat itu gayanya mirip ilmu silat Swat-san-pay dan menyerupai pula ilmu silat keluarga Ting. Di samping itu banyak tercampur pula ilmu silatnya Mo-thian-kisu Cia Yan-khek. Keruan mereka tambah melongo heran dan mau percaya mungkin pemuda ini benar-benar adalah murid dari Kim-oh-pay.

Makin memukul makin dahsyat dan cepat permainan Boh-thian itu. Ia merasa setiap pukulannya dilontarkan, setiap kali pula tenaga pukulannya itu lantas melenyapkan sedikit rasa sakit perutnya. Maka ia memukul dengan lebih semangat lagi dan makin dahsyat.

Walaupun demikian, sekarang si gemuk dan si kurus juga sudah dapat menilai sampai di mana kepandaian Ciok Boh-thian itu. Meski pukulan Boh-thian itu sangat dahsyat, namun gayanya dan caranya tidaklah luar biasa. Mereka saling pandang dengan tersenyum dan sama-sama berpikir, “Lwekang bocah ini memang sangat kuat, tapi ilmu silatnya ternyata tidak seberapa. Jika Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan tidak dapat membinasakan dia, terang pemuda ini pun bukan tandingan kami berdua. Tadi karena tenaga dalamnya terlalu lihai, maka terlalu tinggi menilai kepandaiannya.”

Berpikir sampai di sini, mereka menjadi sayang kepada arak obat dan pil-pil yang berharga dan telah diminum oleh Ciok Boh-thian tadi. Tahu begitu, sekali gebrak saja pemuda itu sudah dapat mereka bunuh dan tidak perlu banyak membuang waktu dan membuang barang berharga sebanyak itu.

Setelah bersilat sekian lamanya, kadar racun di dalam perut Boh-thian juga mulai menghilang terbawa oleh tenaga dalam yang dia keluarkan dan terdesak sampai di bagian telapak tangan, rasa sakit perutnya juga lantas berkurang dan akhirnya lantas lenyap juga.

Kemudian dengan agak sempoyongan Boh-thian kembali ke samping api unggun, katanya dengan tertawa, “Wah, sedemikian sakitnya perutku barusan ini, kukira ususku akan putus terpuntir-puntir, sungguh aku takut setengah mati.”

Si gemuk dan si kurus menjadi terperanjat malah, pikir mereka, “Sungguh luar biasa, ternyata di dunia ini ada makhluk yang tak mati kena racun Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan.”

Segera si gemuk menanyakan, “Dan sekarang perutmu masih sakit atau tidak?”

“Tidak, tidak sakit lagi,” sahut Boh-thian sambil mengulur tangan kanan untuk mengambil sepotong daging babi panggang yang sudah hampir hangus.

Di bawah cahaya api unggun tiba-tiba ia melihat di telapak tangan sendiri itu ada bintik merah sebesar mata uang, ia bersuara heran, “He, apa apakah ini?”

Waktu ia periksa tangan kiri, ternyata yang berada di telapak tangan kiri ini adalah bintik-bintik biru.

Kiranya tadi ia telah mendesak racun di dalam perutnya ke telapak tangan, cuma saja dia tidak mahir menggunakan tenaga dalamnya sehingga tidak dapat mendesak kadar racun itu keluar tubuh, akibatnya racun itu menjadi terkumpul pada telapak tangannya.

Bagi si gemuk dan si kurus sudah tentu paham duduknya perkara, maka mereka merasa lebih lega pula. Pikir mereka, “Kiranya bocah ini pun tidak mampu memanfaatkan tenaga dalamnya yang mahadahsyat itu, maka bocah ini lebih-lebih tidak perlu ditakuti lagi. Boleh jadi dia memang dilahirkan dengan keadaan yang luar biasa, atau mungkin dia telah makan sesuatu benda mukjizat sehingga membuat tenaga dalamnya sedemikian lihainya.”

Dalam pada itu terdengar Ciok Boh-thian telah berseru kepada mereka, “He, tadi kita telah bersepakat akan mengangkat saudara. Nah, siapakah di antara kalian berusia lebih tua dan siapakah nama kalian yang terhormat?”

Sesungguhnya si gemuk dan si kurus yakin bahwa sesudah Ciok Boh-thian minum racun mereka tentu akan binasa seketika, makanya mereka tanpa pikir menyanggupi akan angkat saudara dengan dia, sama sekali tak terduga, bahwa pemuda itu ternyata tidak mempan diracun.

Selamanya kedua orang ini sangat tinggi hati dan menilai tinggi dirinya sendiri, apa yang sudah mereka katakan tentu ditepati, sejak mereka berhasil meyakinkan ilmu silat mereka yang ampuh belum pernah mereka mengingkar sesuatu janji, maka sekarang walaupun di dalam hati mereka seratus kali tidak sudi mengangkat saudara dengan pemuda ketolol-tololan ini, tapi terpaksa mereka harus melakukannya agar tidak mengingkari janjinya sendiri.

Begitulah, maka sesudah si gemuk berbatuk satu kali, lalu katanya dengan canggung-canggung, “Aku... aku bernama Thio Sam, usiaku lebih tua sedikit daripada saudaraku yang bernama Li Si ini. Dan kau sendiri katanya tidak punya nama, cara bagaimana kita dapat mengangkat saudara?”

“Guruku telah memberikan suatu nama padaku, ialah Su Ek-to, maka bolehlah kalian panggil aku dengan nama ini saja,” sahut Boh-thian.

“Jika demikian, bolehlah kita bertiga mengangkat saudara sekarang juga,” ujar si gemuk dengan tertawa. Lalu ia mendahului berlutut dengan sebelah kaki dan berseru lantang, “Hari ini Thio Sam dan Li Si mengangkat saudara dengan Su Ek-to, sejak kini kalau ada untung akan sama dinikmati dan jika ada kesukaran akan sama ditanggung. Bila mengingkari sumpah ini, biarlah kelak Thio Sam akan menyerupai babi hutan ini disembelih orang dan dimakan. Haha, haha!”

Sudah tentu “Thio Sam” (Thio si Tiga) adalah namanya yang palsu, maka dia sengaja menyebut Thio Sam melulu dan sama sekali tidak menyebut “Aku”, hal ini menandakan dia memang tidak mempunyai maksud sungguh-sungguh untuk kiat-pay atau mengangkat saudara dengan Ciok Boh-thian.

Segera si kurus juga berlutut dan menirukan si gemuk, katanya dengan tertawa, “Ya, hari ini Li Si dan Thio Sam mengangkat saudara dengan Su Ek-to, biarpun tidak dilahirkan pada tahun dan hari yang sama, tapi semoga dapat mati pada hari dan waktu yang sama. Bilamana melanggar sumpah ini, biarlah kelak Li Si akan mati dicincang orang. Hehe, hehe!”

Dengan sendirinya “Li Si” (Li si Empat) adalah namanya yang palsu juga. Maka sehabis mengucapkan itu, ia berulang-ulang mengekek tawa.

Sebaliknya Ciok Boh-thian adalah seorang pemuda yang masih hijau dan polos, ia pun berlutut dan mengangkat sumpah dengan tulus dan sungguh-sungguh, “Hari ini aku mengangkat saudara dengan kedua Koko (kakak) ini, bila ada arak enak dan daging lezat tentu akan kusilakan mereka menikmati dahulu, jika ada orang lain hendak membunuh kedua Koko, tentu aku akan maju untuk melawannya dahulu. Apabila aku mengingkar janji, biarlah aku dihukum untuk sakit perut setiap hari seperti tadi.”

Melihat kesungguhan Ciok Boh-thian itu, diam-diam si gemuk dan si kurus merasa rikuh sendiri. Si gemuk lantas berbangkit dan berkata, “Sudahlah, Samte (adik ketiga), sekarang kami ada urusan penting, terpaksa kita harus berpisah dahulu.”

“Toako dan Jiko (kakak tertua dan kakak kedua) hendak ke mana?” demikian tanya Ciok Boh-thian. “Tadi Thio-toako menyatakan sesudah kita menjadi saudara angkat, maka ada untung akan dirasakan bersama dan kalau ada kesukaran akan ditanggung bersama pula. Toh aku tiada punya urusan apa-apa, maka biarlah aku ikut berangkat bersama kalian saja.”

Namun si gemuk lantas bergelak tertawa, sahutnya, “Kami lagi ada urusan, yaitu hendak mengundang tamu, hal ini tiada menarik, maka kau tidak perlu ikut.”

Habis berkata segera ia mendahului berangkat.

Sebagai pemuda yang baru saja bergaul dan mengikat persahabatan, Ciok Boh-thian merasa berat untuk berpisah, segera ia pun ikut di belakang mereka dan berkata, “Biarlah aku mengantar keberangkatan kedua Koko. Setelah berpisah, entah kapan kita akan berjumpa dan bersama-sama makan-minum pula.”

Si kurus yang memakai nama palsu Li Si itu tetap merengut dan tidak ambil pusing kepada Boh-thian, hanya si gemuk Thio Sam yang masih bersenda gurau dengan dia. Katanya, “Samte, kau bilang gurumu memberi nama Su Ek-to padamu, jika demikian, sebelum gurumu memberi nama baru itu tentu kau sudah mempunyai nama yang asli. Sekarang kita sudah mengangkat saudara, masakah kita perlu berdusta dan menyimpan rahasia?”

Boh-thian tertawa rikuh, sahutnya, “Bukanlah aku sengaja berdusta kepada Koko, soalnya namaku terlalu tidak enak didengar. Sejak kecil ibuku memanggil aku sebagai Kau-cap-ceng.”

“Kau-cap-ceng? Hahahaha! Kau-cap-ceng! Nama ini memang sangat aneh!” seru si gemuk sambil bergelak tertawa.

Langkah Thio Sam dan Li Si itu tampaknya tidak terlalu cepat, tapi diam-diam mereka telah menggunakan ginkang yang tinggi, maka pepohonan di tepi jalan telah mereka lewati seperti terbang cepatnya.

Untuk sejenak Ciok Boh-thian tercengang dan tahu-tahu sudah ketinggalan beberapa meter jauhnya, cepat ia pun angkat kaki dan menyusulnya.

Begitulah, dua orang di muka dan satu orang di belakang, jarak mereka selalu bertahan sejauh beberapa langkah saja. Thio Sam dan Li Si ingin lekas-lekas meninggalkan si bocah tolol ini, tapi meski mereka sudah mengeluarkan segenap kepandaian ginkang mereka toh Boh-thian tetap mengintil dengan kencang di belakang.

Bicara tentang jalan cepat mereka bertiga, maka kentara sekali selisih kepandaian mereka yang sangat mencolok. Gaya langkah Thio Sam dan Li Si, tampak seenaknya saja, mereka berlenggang dengan luwes, sedikit pun tidak kelihatan terburu-buru. Sebaliknya Ciok Boh-thian harus melangkah lebar-lebar, kedua tangannya juga berayun ke muka dan ke belakang sambil membungkuk tubuh dan setengah berlari, kelakuannya itu lebih mirip copet kepergok dan sedang diuber orang.

Tapi di tengah jalan cepat itu toh Ciok Boh-thian masih sanggup membuka mulut dan bicara seperti biasa, keruan mau tak mau si gemuk dan si kurus harus kagum kepada tenaga dalamnya yang mahakuat itu.

Ketika tanpa merasa Boh-thian mengetahui bahwa arah yang diambil mereka itu adalah jalan di mana dia datang tadi, yaitu menuju kampung nelayan yang dibuat sembunyi gerombolan Tiat-cha-hwe dan sekarang sudah sangat dekat, maka cepat Boh-thian berseru, “He, he! Kedua Koko, di depan sana adalah tempat berbahaya, janganlah ke sana. Marilah kita berganti jurusan saja dan jangan mengantarkan jiwa percuma ke sana.”

Rupanya Thio Sam dan Li Si menjadi heran, berbareng mereka berhenti dan berpaling, tanya Li Si, “Mengapa kau katakan di depan sana adalah tempat berbahaya?”

“Ya, di muara sungai di depan sana ada sebuah kampung nelayan, banyak sekali orang-orang Kangouw yang bersembunyi di sana dan tidak ingin orang lain mengetahui jejak mereka, jika mereka melihat kita bertiga hendak memergoki tempat sembunyi mereka, boleh jadi mereka akan terus mengganas dan akan membunuh kita.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Li Si dengan muka masam.

Segera Boh-thian menceritakan pengalamannya, di mana dia telah kesasar ke atas kapal yang penuh mayat, cara bagaimana dia telah mendengar perundingan orang-orang Tiat-cha-hwe di tempat sembunyinya dan akhirnya menyaksikan orang-orang itu sembunyi di perkampungan nelayan itu.

“Jadi mereka sembunyi di kampung nelayan itu adalah lantaran takut kepada Siang-sian dan Hwat-ok Sucia, ini toh tiada sangkut paut dengan urusan kita, mengapa kita takut akan dibunuh mereka?” ujar Li Si tetap dengan air mukanya yang merengut.

“Tidak, tidak!” sahut Boh-thian sambil goyang-goyang kedua tangannya. “Orang-orang itu terlalu ganas dan jahat, sedikit-sedikit lantas main membunuh, demi rahasia jejak mereka, bahkan kawan mereka sendiri pun tidak segan-segan dibunuhnya. Ini lihat, noda darah di atas bajuku ini adalah tetesan darah kawan mereka yang terbunuh itu.”

“Ya, sudahlah, jika kau takut bolehlah kau jangan ikut kami,” ujar Li Si.

“Tapi... tapi kukira kedua Koko lebih baik jangan pergi ke sana,” kata Boh-thian. “Urusan ini tidak boleh di... dibuat main-main.”

Namun Thio Sam dan Li Si tidak gubris padanya lagi, segera mereka berpaling kembali dan berjalan terus. Pikir mereka, “Percuma saja bocah ini memiliki tenaga dalam sehebat ini, ilmu silatnya ngawur, pengecut pula seperti tikus.”

Tak tersangka, belum seberapa jauh mereka berjalan, tahu-tahu Boh-thian telah menyusul tiba pula dengan langkah cepat.

“Katanya kau takut dibunuh orang-orang Tiat-cha-hwe, buat apa kau ikut lagi?” tegur si Thio Sam.

“Bukankah kita sudah bersumpah bahwa kalau ada untung akan dinikmati bersama dan kalau ada kesukaran akan ditanggung bersama pula,” sahut Boh-thian. “Sekarang kalau kedua Koko berkeras hendak ke sana, maka terpaksa aku mengiringi kalian agar bila perlu dapat mati pada hari dan waktu yang sama. Seorang laki-laki sejati mana boleh melanggar janjinya sendiri.”

“Hehe, kalau nanti sekaligus berpuluh tombak orang-orang Tiat-cha-hwe menancap di atas tubuhmu sehingga kau akan dibikin mirip binatang landak, apakah kau tidak takut?” jengek Li Si.

Boh-thian menjadi terbayang jeritan ngeri kedua orang Tiat-cha-hwe yang terbunuh di kapal mayat itu, diam-diam ia mengirik juga. Ia pikir pengganas-pengganas yang sembunyi di kampung nelayan itu sedikitnya ada ratusan orang, sekarang dirinya hanya bertiga, biarpun betapa tinggi ilmu silat kedua saudara angkat itu rasanya juga susah melawan orang banyak.

Melihat air muka Boh-thian menunjuk rasa jeri, segera Li Si mengejeknya, “Sudahlah, untuk mati rasanya kami berdua juga tidak perlu minta ditemani, kau boleh pulang saja sendiri. Jika kami nanti tidak mati, sepuluh tahun lagi tentu kita akan berjumpa pula.”

“Tidak, aku tetap akan ikut,” sahut Boh-thian. “Tambah seorang pembantu tentu akan tambah baik. Andaikan kita tidak dapat melawan jumlah mereka yang terlalu banyak, di saat berbahaya toh kita masih dapat melarikan diri dan belum pasti akan terbunuh.”

Melarikan diri? Huh, itu kan perbuatan pengecut!” jengek Li Si. “Sudahlah, lebih baik kau jangan ikut saja daripada nanti membikin malu.”

“Baiklah, aku pasti takkan lari,” sahut Boh-thian.

Karena tidak berdaya mengenyahkan Boh-thian, Li Si dan Thio Sam hanya saling pandang dengan tersenyum ewa. Tanpa berkata lagi mereka lantas melanjutkan perjalanan, tidak lama kemudian sampailah mereka di tengah kampung nelayan itu.

Ternyata kapal yang penuh mayat itu sudah tak terlihat pula, di tengah kampung itu pun sunyi senyap tiada tampak seorang pun.

Setelah mengamat-amati keadaan setempat, lalu Thio Sam dan Li Si mendatangi sebuah gubuk. Pintu gubuk itu didorong terpentang, langsung mereka lantas menuju ke dapur. Sesudah memandang keadaan sekitar tempat itu dan memikir sejenak, tiba-tiba Thio Sam memindahkan sebuah gentong air besar yang terletak di pojok ruangan dapur itu. Maka tertampaklah di bawah gentong air itu ada sebuah gelang besi.

Tanpa disuruh lagi Li Si lantas pegang gelang besi itu terus ditarik ke atas. Maka terdengarlah suara keras, sepotong papan besi ikut terangkat dan kelihatan sebuah lubang di bawahnya.

Segera Thio Sam mendahului melompat masuk ke dalam lubang itu. Menyusul Li Si juga melompat ke bawah.

Boh-thian terheran-heran melihat kejadian luar biasa itu. Tanpa pikir ia lantas ikut melompat ke dalam lubang.

Mendadak di bawah lubang itu mereka disambut oleh suara bentakan seorang, “Siapa itu?”

Menyusul angin tajam lantas menyambar, dua batang Cha (tombak bercabang) yang mengilap telah menusuk ke arah Thio Sam.

Tapi ketika kedua tangan Thio Sam bergerak dan menepuk di atas batang tombak-tombak itu, di mana tenaga dalamnya menggetar, kontan kedua penyerang itu lantas terjungkal dan binasa.

Di depan mereka ternyata terbentang sebuah jalan lorong yang berlika-liku, di atas dinding jalan tersulut lilin yang besar. Setiap ada pengkolan jalan, di situ tentu dijaga oleh dua orang lelaki. Tapi setiap kali Thio Sam cukup menggerakkan kedua tangan dan kontan kedua laki-laki bersenjata tombak itu lantas terbunuh. Caranya Thio Sam ternyata sangat cepat lagi jitu, sama sekali ia tidak perlu menggunakan jurus kedua.

Boh-thian sampai melongo menyaksikan kesaktian itu, pikirnya, “Ilmu sulap apakah yang digunakan Thio-toako ini? Jika yang dia gunakan ini adalah ilmu silat juga, maka terang Thio-toako jauh lebih lihai daripada Ting Put-sam, Ting Put-si, Pek-suhu, dan lain-lain.”

Selagi pikiran Boh-thian melayang, terdengarlah suara riuh ramai, dari depan telah membanjir tiba orang banyak.

Namun Thio Sam telah maju dengan langkah perlahan. Sebaliknya orang-orang yang menyerbu dari depan itu mendadak berdiri tegak, air muka mengunjuk rasa kaget dan ketakutan.

“Apakah congthocu kalian berada di sini?” tanya Thio Sam.

Segera seorang laki-laki berperawakan tinggi besar tampil ke muka orang banyak, katanya sambil memberi hormat, “Maafkan kami tiada menyambut kedatangan tuan-tuan. Silakan menuju ke ruangan besar untuk sekadar minum. O, kiranya masih ada seorang tamu terhormat lagi. Silakan tuan-tuan bertiga masuk ke dalam.”

Thio Sam dan Li Si tidak bicara lagi, mereka hanya mengangguk saja.

Boh-thian sendiri merasa kebat-kebit, di jalan lorong yang remang-remang dan menyeramkan itu Thio Sam berturut-turut telah membinasakan 12 orang Tiat-cha-hwe, tampaknya pihak mereka tentu akan menuntut balas, maka diam-diam Boh-thian sangat khawatir. Namun dilihatnya kedua saudara angkat itu telah melangkah ke depan seperti tidak terjadi apa-apa, sudah tentu ia tidak dapat mundur sendirian, maka terpaksa ia mengikut dari belakang.

Lelaki kekar tadi lantas menunjukkan jalan di depan dengan sikap sangat hormat. Sepanjang jalan lorong itu penuh berbaris anggota Tiat-cha-hwe yang bertombak baja, ujung tombak yang bercabang itu tajam dan gemilapan terkena sinar lilin.

Namun Thio Sam dan Li Si anggap seperti tiada apa-apa saja, bersama Ciok Boh-thian mereka lantas menyusur ke depan mengikuti tuan rumah. Sesudah membelok lagi suatu pengkolan, mendadak pandangan mereka terbeliak, mereka telah sampai di suatu ruangan pendopo.

Di sekeliling dinding pendopo itu terpasang banyak obor sehingga keadaan terang benderang sebagai siang hari. Sekitar ruangan juga berdiri penuh anggota-anggota Tiat-cha-hwe yang bertombak. Air muka semua orang ini tampak sangat tegang.

Sekali tempo pandangan Ciok Boh-thian kebentrok dengan sinar mata orang-orang itu, ia merasa sorot mata mereka itu semuanya buas dan kejam sehingga membikin orang merasa tidak aman.

Lelaki kekar tadi menyilakan Thio Sam dan Li Si duduk ke tempat yang terhormat. Tanpa sungkan-sungkan Thio Sam dan Li Si terus mengambil tempat duduk yang ditunjuk. Dengan tertawa Thio Sam berkata kepada Boh-thian, “Adik kecil, bolehlah kau duduk di sebelahku sini.”

Dan sesudah Boh-thian juga mengambil tempat duduk, lelaki kekar itu juga mengiringi duduk di sebelah lain. Sejenak kemudian beberapa orang pelayan yang tak bersenjata telah menyiapkan meja dengan hidangan lengkap.

Mendadak Thio Sam dan Li Si menggerakkan tangan kiri masing-masing, berbareng dari lengan baju mereka menyambar keluar sesuatu benda, “plok”, kedua benda itu jatuh berjajar di atas meja di depan si lelaki kekar tadi, kiranya kedua benda itu adalah dua potong pening atau medali tembaga dan ambles rata di permukaan meja.

Tertampak di atas pening tembaga itu masing-masing terukir muka orang, yang satu muka yang tertawa dan yang lain muka yang lagi gusar. Jadi mirip sekali dengan kedua pening tembaga yang terpaku di atas kapal mayat orang-orang Hui-hi-pang itu.

Serentak si lelaki kekar itu berbangkit demi melihat kedua benda itu. Seketika pula terdengar suara gemerencing, ratusan orang yang berdiri di sekitar ruangan pendopo telah menggerakkan tombak mereka, karena tombak mereka terpasang gelang-gelang besi, maka mengeluarkan suara nyaring yang membisingkan telinga, berbareng orang-orang itu pun melangkah maju satu tindak.

Diam-diam Boh-thian menjadi khawatir, “Wah, celaka, mereka akan berkelahi. Di ruangan pendopo yang terletak di bawah tanah ini tentu susah untuk melarikan diri.”

Waktu ia melirik kedua saudara-angkatnya, ia lihat Thio Sam dan Li Si masih tetap tenang saja, yang satu tetap tersenyum-senyum ramah dan yang lain tetap bermuka masam tanpa memberi reaksi apa-apa.

“Jika sudah begini, apa mau dikata lagi?” ujar si lelaki kekar tadi dengan lesu.

“Congthocu,” kata Thio Sam dengan tertawa, “kedatangan kami adalah untuk mengundang kau agar suka hadir pada pesta ‘Lap-pat-cok’ (bubur atau jenang perayaan tutup tahun) nanti, maksud lain tidak ada, harap jangan curiga.”

Lelaki kekar itu memang benar adalah congthocu atau pemimpin umum Tiat-cha-hwe. Dia bersangsi sejenak, kemudian ia telah menepuk meja sekali, kedua potong pening tembaga yang terjepit rata di muka meja itu mendadak mencelat ke atas, dengan cepat ia sambar kedua benda itu dan dimasukkan ke dalam baju, lalu katanya, “Baiklah, orang she Liong pasti akan hadir pada waktunya.”

“Banyak terima kasih atas kerelaan Liong-thocu sehingga perjalanan kami ini tidak tersia-sia,” ujar Thio Sam sambil mengacungkan jari jempolnya.

Sekonyong-konyong di antara orang-orang yang berkerumun itu ada seorang telah berseru, “Walaupun Liong-congthocu adalah pemimpin kami, tapi Tiat-cha-hwe adalah milik orang banyak, maka tidaklah pantas kalau Congthocu sendiri saja yang disuruh memikul beban ini bagi para saudara.”

Begitu mendengar suara orang itu, segera Boh-thian mengenali pembicara itu adalah Oh-toako yang berturut-turut membunuh dua orang di atas kapal itu. Ia tahu orang she Oh sangat ganas, maka diam-diam ia merasa kebat-kebit dan khawatir.

“Apa gunanya mengakibatkan korban yang lebih banyak,” ujar congthocu she Liong itu dengan tersenyum getir. “Keputusanku ini sudah bulat, hendaklah Oh-hiante tidak perlu banyak bicara lagi.”

Lalu ia angkat poci arak yang sudah tersedia untuk menuangkan arak bagi Thio Sam, tapi tangannya ternyata agak gemetar, arak yang tertuang sampai tercecer di atas meja.

Kata Thio Sam dengan tertawa, “Konon Liong-congthocu adalah seorang kesatria yang gagah berani, membunuh orang biasanya tidak berkedip, tapi hari ini mengapa menjadi agak jeri?”

Habis berkata segera Thio Sam mengangkat cawan arak dan hendak minum. Tapi mendadak tangannya terasa kaku, cawan arak jatuh ke lantai dan pecah berantakan, menyusul tubuh Thio Sam lantas terkulai miring di atas kursi.

Keruan Boh-thian terkejut, cepat ia tanya, “He, kenapakah kau, Toako?”

Segera ia pun berpaling dan tanya Li Si, “Jiko, kenapakah....” belum habis ucapannya, tiba-tiba dilihatnya Li Si juga terkulai lemas dan perlahan-lahan memberosot ke bawah meja.

Jilid 27

Tentu saja Boh-thian tambah kaget dan bingung.

Congthocu she Liong itu semula mengira kelakuan Thio Sam dan Li Si itu hanya pura-pura dan main sandiwara saja, tapi kemudian demi tampak muka Thio Sam merah membara, napasnya terengah-engah, sebaliknya kedua mata Li Si kelihatan mendelik, mukanya gelap menghitam, itulah tanda-tanda terkena racun yang mahajahat. Keruan ia menjadi girang, tapi ia masih tidak berani ambil tindakan sesuatu, ia pura-pura berkata, “He, kenapakah? Apa barangkali arak kami ini tidak cukup baik? Dan tuan ini mau minum tidak?”

Sambil berkata ia hendak menuangkan arak untuk Li Si.

Dalam pada itu tubuh Li Si sudah meringkuk seperti cacing di bawah meja, tubuhnya tampak berkejang.

Sungguh kaget Ciok Boh-thian tak terkatakan, cepat ia memayang bangun Li Si dan berkata, “Jiko, apakah... apakah badanmu sakit?”

Nyata Boh-thian tidak tahu bahwa tadi lantaran berlomba minum arak yang mengandung racun jahat dengan dia, maka sedikitnya Thio Sam dan Li Si masing-masing juga telah ikut minum tujuh atau delapan ceguk.

Menurut ukuran kekuatan Thio Sam dan Li Si itu, bila berturut-turut mereka minum dua-tiga ceguk dan segera mengerahkan tenaga dalam untuk melawan bekerjanya racun, maka hal ini masih tidak menjadi halangan bagi mereka.

Namun tadi mereka telah minum melampaui takaran, waktu itu mereka masih bertahan sekuatnya dan diam-diam merasa senang karena Ciok Boh-thian telah kena dikelabui, di samping itu juga merasa syukur karena lwekang mereka tampaknya telah banyak tambah maju, buktinya setelah minum arak berbisa sebanyak itu toh tidak merasakan perut sakit dan usus terpuntir-puntir.

Di luar perhitungan mereka bahwa tatkala itu mereka telah minum obat pemunah, obat pemunah itu gunanya melambatkan bekerjanya racun arak itu, dengan demikian tenaga dalam mereka yang kuat itu lambat laun akan dapat membaur dan memunahkan arak obat yang sudah masuk di dalam perut, dengan demikian tenaga dalam mereka akan bertambah lebih kuat. Jadi obat pemunah itu sebenarnya hanya mempunyai khasiat melambatkan bekerjanya racun dan tiada khasiat memunahkan racun.

Tapi sesudah kedua orang melakukan perjalanan cepat, di luar dugaan pada saat yang genting racun jahat di dalam arak itu mendadak telah bekerja di dalam perut. Keruan seketika perut Thio Sam dan Li Si kesakitan seperti disayat-sayat, sekujur badan mereka kaku kejang. Mereka insaf keadaan sangat berbahaya, maka cepat mereka mengerahkan tenaga murni di dalam pusarnya untuk bertahan, sedapat mungkin sisa arak berbisa di dalam perut itu dibungkus dan membiarkannya cerna sedikit demi sedikit. Kalau tidak, bila racun jahat itu bekerja secara mendadak, tentu jantung mereka akan putus dan bisa mati seketika.

Diam-diam mereka mengeluh, sungguh sial bahwa racun itu justru bekerja pada saat mereka berada di sarang musuh, andaikan bekerjanya racun di dalam perut itu sementara dapat dilambatkan, tapi rasanya juga susah terhindar dari kekejaman orang-orang Tiat-cha-hwe itu.

Di pihak lain, ketika mendadak melihat Thio Sam dan Li Si tiba-tiba memberosot ke lantai dengan badan kejang, keringat berbutir-butir memenuhi jidat mereka, tampaknya sangat menderita, maka Liong-congthocu dan Oh-toako dari Tiat-cha-hwe serta anak buah mereka menjadi terheran-heran dan curiga pula. Walaupun menghadapi kesempatan yang bagus itu untuk bertindak, namun terpengaruh oleh wibawa Thio Sam dan Li Si yang memang sangat mereka takuti, maka sementara itu mereka masih tidak berani bertindak apa-apa.

Dalam pada itu yang paling gelisah adalah Ciok Boh-thian, ia coba tanya pula, “Toako, Jiko, apakah kalian mabuk atau mendadak kalian sakit usus buntu?”

Namun Thio Sam dan Li Si tidak memberi jawaban, dengan setengah berduduk setengah telentang cepat mereka mengerahkan lwekang untuk melawan bekerjanya racun di dalam perut. Selang tidak lama, mulailah dari ubun-ubun kepala kedua orang mengeluarkan uap putih yang hampir tidak kelihatan.

Liong-congthocu itu cukup berpengalaman, demi melihat keadaan itu, segera ia mengisiki bawahannya she Oh tadi, “Oh-hiante, kedua orang ini terang dalam keadaan payah, kalau bukan cau-hwe-jip-mo (kelumpuhan karena sesatnya ilmu yang dilatih) tentu adalah sakit keras mereka mendadak kumat. Mereka sedang mengerahkan lwekang untuk bertahan, kesempatan ini janganlah kita sia-siakan, hayolah beramai-ramai maju bersama!”

Orang she Oh itu menjadi girang. Tapi ia tidak berani mendekat, hanya sebatang tombak lantas ditimpukkannya ke arah Thio Sam.

Sudah tentu Thio Sam tidak sanggup menangkis, terpaksa ia berusaha menghindar dengan sedikit memiringkan tubuhnya, namun tidak urung tombak itu telah menancap di atas bahunya sehingga darah bercucuran.

Kaget Ciok Boh-thian tak terhingga, cepat ia berseru, “He, kau kenapa kau berani melukai toakoku?”

Sudah tentu orang-orang Tiat-cha-hwe tiada satu pun yang takut padanya, pertama karena dia masih sangat muda, kedua Boh-thian kelihatan bingung dan gugup, gerak-geriknya tampaknya lucu. Apalagi Thio Sam yang biasanya sangat ditakuti mereka itu sekarang dengan sangat mudah telah dilukai, keruan mereka tambah berani dan bersemangat. Maka tanpa menjawab lagi segera Ciok Boh-thian dipersen dengan timpukan tiga batang tombak sekaligus oleh orang-orang Tiat-cha-hwe.

Dengan gugup Boh-thian sempat menggunakan lengan kiri untuk menyengkelit sehingga dua batang tombak kena ditangkis mencelat, berbareng tangan kanan digunakan untuk menangkap tombak ketiga, menyusul tubuhnya menggeser, cepat ia menjaga di depan tubuh Thio Sam dan Li Si yang tak berkutik itu.

Dalam keadaan panik, tiba-tiba lima batang tombak baja telah menyambar pula. Cepat Boh-thian putar tombak rampasannya itu, satu per satu tombak-tombak musuh itu kena dipukul mencelat kembali sehingga dua anggota Tiat-cha-hwe berbalik jatuh menjadi korban, yang seorang kepalanya pecah dan yang lain perutnya tertembus.

Liong-congthocu itu cukup cerdik, ia melihat tempat yang agak sempit itu sukar menggunakan senjata, kalau pertarungan demikian diteruskan tentu akan lebih banyak melukai kawannya sendiri. Maka cepat ia berseru, “Semua orang berhenti dahulu, biarkan aku sendiri yang membereskan anak jadah ini!”

Serentak anak buahnya lantas menyingkir. Ketika Liong-congthocu itu membungkuk tubuh, kedua tangannya meraba ke kain pembebat kakinya, ketika menegak kembali, tahu-tahu kedua tangannya masing-masing sudah memegang sebilah belati yang mengilap.

“Hayo mundur, saksikanlah congthocu kita membereskan anak jadah itu!” teriak anggota-anggota Tiat-cha-hwe sambil menyingkir dan berdiri memepet dinding pendopo.

Mendadak Liong-congthocu itu melompat maju secepat kilat, tahu-tahu ia sudah berada di samping Ciok Boh-thian, kedua belatinya lantas menyambar dari atas dan bawah, masing-masing mengincar muka dan pinggang pemuda itu.

Sama sekali Ciok Boh-thian tidak menduga datangnya serangan lawan ternyata begini cepat, keruan ia menjadi kelabakan, sambil berseru kaget lekas-lekas ia melangkah ke samping, namun tidak urung pinggang dan lengannya juga sudah terkena belati musuh. “Trang”, berbareng tombak rampasannya itu pun jatuh ke lantai.

Melihat kepandaian Ciok Boh-thian ternyata tidak tinggi, diam-diam Liong-congthocu itu merasa lega dan mendapat hati. Sambil membentak-bentak kembali ia menubruk maju pula sebagai harimau menerkam mangsanya.

Karena sudah kepepet, dalam keadaan gugup Ciok Boh-thian harus melawan sebisanya, tanpa pikir tangan kirinya lantas menolak ke depan, ternyata yang digunakannya ini adalah salah satu jurus yang telah diciptakannya sewaktu berada di Ci-yan-to tempo hari. Di luar dugaan, tolakan tangannya itu telah menimbulkan serangkum angin yang mahakuat dan menyambar ke arah lawan.

Seketika Liong-congthocu itu merasa napasnya menjadi sesak dan cepat-cepat ia melompat pergi. Untunglah Ciok Boh-thian belum matang betul atas jurus-jurus serangan ciptaannya sendiri itu sehingga tidak terpikir olehnya untuk melakukan serangan susulan lagi.

Diam-diam Liong-congthocu terkejut, pikirnya, “Kiranya ilmu silat bocah ini sesungguhnya tidak lemah. Daripada banyak terjadi hal-hal yang tak terduga, apalagi kalau kedua orang itu sembuh kembali, tentu aku bisa celaka. Paling perlu bocah ini harus dimampuskan lebih dulu.”

Maka cepat kedua belatinya berputar naik-turun dan kembali ia menubruk maju ke arah Ciok Boh-thian.

Luka di lengan Boh-thian yang terkena belati tadi sangat ringan, tapi pinggang yang tertusuk itu terasa sangat sakit. Karena sekali balas serang Liong-congthocu itu kena dipaksa mundur, diam-diam Boh-thian berpikir, “Eh, rupanya jurus serangan yang kuciptakan dengan secara ngawur itu boleh juga digunakan.”

Ketika dilihatnya Liong-congthocu menerjang maju pula dengan bengis, cepat Boh-thian lantas mengegos ke samping, berbareng tangannya membalik dan menghantam ke punggung lawan.

Sebagai pemimpin besar Tiat-cha-hwe, sudah tentu ilmu silat Liong-congthocu itu bukanlah kaum keroco yang rendah. Ketika didengarnya setiap pukulan Ciok Boh-thian itu selalu membawa sambaran angin yang keras, tenaga dalamnya ternyata sangat lihai, diam-diam ia menjadi jeri. Sekarang ia tidak berani ayal dan memandang ringan lagi kepada Ciok Boh-thian, segera ia mengeluarkan segenap kepandaian yang diandalkannya, ia mulai menyerang ke tempat yang mematikan di tubuh pemuda itu dengan jurus-jurus serangan yang paling ganas.

Semula Ciok Boh-thian agak repot juga melayani serangan musuh yang menggencar itu, tapi lama-lama ia pun dapat mengikutinya sehingga pertarungan kedua orang makin lama makin sengit.

Bermula juga anggota-anggota Tiat-cha-hwe masih bersorak-sorak memberi bantuan semangat kepada congthocu mereka, tapi sampai akhirnya mereka menjadi melongo dan ikut berdebar-debar menyaksikan pertempuran seru itu dan lupa bersorak lagi.

Dalam pada itu Thio Sam dan Li Si masih tetap menggeletak tak berkutik, sambil mengerahkan tenaga dalam untuk melawan meluasnya racun di dalam perut mereka pun mengikuti pertarungan sengit antara Ciok Boh-thian melawan Liong-congthocu. Mereka sadar bahwa mati atau hidup mereka hanya tergantung kepada hasil pertempuran itu.

Berulang-ulang mereka melihat banyak kesempatan bagus bagi Ciok Boh-thian untuk mengalahkan lawannya, tapi kesempatan-kesempatan itu telah disia-siakan semua oleh pemuda itu. Sungguh mereka merasa sayang sekali dan gelisah pula, bahkan mereka pun tidak berani terlalu memencarkan perhatian sehingga mengganggu tenaga dalam sendiri yang sedang dikerahkan untuk melawan racun itu.

Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama pula, mendadak Ciok Boh-thian melancarkan sebuah pukulan. Baru saja Liong-congthocu itu hendak menangkis, tiba-tiba ia mencium dari angin pukulan lawan itu terbawa semacam bau harum yang memabukkan, seketika kepalanya menjadi pusing, orangnya lantas roboh dan tak sadarkan diri lagi. Tapi air mukanya memperlihatkan tersenyum-senyum yang aneh.

Ciok Boh-thian berbalik terperanjat atas kejadian itu, cepat ia melompat mundur dan berseru, “He, kenapa? Apa kau terpeleset jatuh? Boleh lekas bangun!”

Dari samping orang yang dipanggil sebagai Oh-toako itu telah berlari mendekati sang congthocu, tertampak muka pemimpin mereka itu berwarna matang biru, itulah pertanda kena racun yang mahajahat. Waktu diperiksa pula napasnya, ternyata orangnya sudah mati.

Saking kaget dan gusarnya Oh-toako itu lantas berteriak dengan suara parau, “An... anak jadah, kau... kau berani main licik dengan memakai racun, biarlah kita meng... mengadu jiwa saja dengan dia.... Hayolah kawan-kawan, maju semua untuk menuntut balas, Cong... Congthocu telah dibinasakan oleh anak bangsat ini!”

Orang-orang Tiat-cha-hwe serentak berteriak-teriak, mereka angkat tombak terus menyerang serabutan ke arah Ciok Boh-thian.

Dengan mati-matian Ciok Boh-thian tetap mengadang di depan Thio Sam dan Li Si dan tidak berani menyingkir pergi, ia khawatir kalau sedikit lena tentu kedua saudara angkat akan dibunuh oleh tombak-tombak baja yang tak terhitung banyaknya itu.

Ketika sudah berbahaya, segera Boh-thian merebut sebatang tombak musuh, sekuatnya ia patahkan tombak itu sehingga menjadi pendek, lalu dia mainkan Kim-oh-to-hoat dengan kencang untuk menangkis dan menghalau serangan musuh.

Karena tenaga dalamnya memang sangat kuat dan tersalur ke batang tombaknya yang pendek itu, maka susahlah bagi musuh yang ingin menahannya, dalam sekejap saja belasan senjata lawan sudah tersampuk jatuh atau terpental.

Ada seorang anggota Tiat-cha-hwe yang berdiri paling depan, ketika tombaknya terbentur dan mencelat, segera ia menubruk maju, kedua tangannya terus mencakar ke muka Ciok Boh-thian.

Melihat lawan itu menerjang dengan kalap, cepat tangan kirinya menyapu ke depan, maka terdengarlah suara “prak” yang keras, dengan tepat kesepuluh jari musuh kena ditampar sehingga sembilan di antara sepuluh jari itu patah semua, menyusul orang itu lantas terkulai ke lantai dan tak berkutik lagi.

Dalam pertarungan sengit itu, dengan sendirinya tiada orang sempat memerhatikan mati atau hidupnya anggota Tiat-cha-hwe itu. Segera ada tujuh atau delapan kawannya menerjang maju lagi, ada yang bertombak dan ada yang bertangan kosong, dengan nekat mereka mengerubut Ciok Boh-thian.

Boh-thian sendiri tidak berani mundur barang selangkah pun, ia khawatir akan memberi lowongan kepada musuh sehingga kedua kakak-angkatnya mendapat cedera. Maka bila dilihatnya ada musuh mendesak maju, kontan tangannya lantas menampar atau menabok. Dan setiap kali ia menyerang, aneh juga, entah sebab apa pihak lawan pasti roboh terjungkal, saktinya tidak alang kepalang.

Begitulah, maka berturut-turut enam atau tujuh orang telah dirobohkan oleh Ciok Boh-thian. Tentu saja pihak lawan menjadi geger, banyak di antaranya berteriak-teriak, “Awas, pukulan anak keparat ini berbisa dan sangat lihai, kawan-kawan harus hati-hati!”

Lalu ada orang berseru pula, “Ya, Ong-samko dan Sun-loliok juga telah binasa dipukul anak bangsat itu, hati-hatilah ka... kawan....” belum selesai ucapan orang ini, “bluk”, tahu-tahu ia sendiri pun roboh terkapar, tombaknya yang antap tepat memukul mukanya sendiri.

Rupanya orang ini belum lagi terkena pukulan berbisa dari Ciok Boh-thian, tapi dia toh mati juga keracunan.

Di ruangan pendopo itu masih banyak anggota-anggota Tiat-cha-hwe yang belum sempat ikut bertempur, mereka menjadi saling pandang dengan penuh ketakutan, tanpa merasa mereka mundur ke belakang selangkah demi selangkah. Menyusul terdengarlah suara gedubrakan dan gemerencing yang nyaring ramai, ternyata anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu satu per satu telah roboh terjungkal dengan sendirinya, ada yang sempat memutar tubuh dan hendak melarikan diri, tapi belum seberapa langkah, tidak urung juga roboh terkapar dengan tombak mereka.

Hanya dalam sekejap saja ratusan laki-laki tegap yang berada di ruangan pendopo itu sudah bergelimpangan memenuhi pendopo, tinggal empat orang saja yang berkepandaian paling tinggi, sedapat mungkin mereka menutupi mulut dan hidung sendiri, lalu mencari jalan buat berlari keluar. Namun mereka hanya mampu mencapai pintu ruang pendopo saja, lalu keempat orang itu jatuh terjungkal semua dan binasa.

Menyaksikan keadaan demikian, bukannya Boh-thian bergirang atas kemenangannya, sebaliknya ia menjadi ternganga takut. Jauh lebih takut daripada waktu dia kesasar ke atas kapal yang penuh mayat di Ci-yan-to tempo hari. Maklum, waktu di atas kapal itu, yang dilihatnya adalah mayat anggota-anggota Hui-hi-pang yang sudah mati lebih dulu, tapi sekarang anggota-anggota Tiat-cha-hwe ini satu per satu menggeletak mati di depan matanya secara aneh, entah kena sihir atau disambar iblis nyawa mereka itu.

Tiba-tiba Boh-thian teringat kepada seruan orang-orang Tiat-cha-hwe tadi yang mengatakan pukulannya yang berbisa itu terlalu lihai, ia menjadi bingung sebab selamanya dirinya toh tidak pernah berlatih ilmu pukulan yang berbisa apa segala.

Ketika tanpa sengaja ia coba mengamat-amati telapak tangannya sendiri, tiba-tiba terlihat di tengah-tengah telapak tangan itu terdapat toh merah sebesar gobang, di pinggir toh merah itu banyak terdapat garis-garis biru yang aneh. Dengan terheran-heran Boh-thian mengamat-amati sampai sekian lamanya, akhirnya ia merasa jijik sendiri, kedua tangan sendiri seakan-akan telah berubah sebagai benda-benda yang memuakkan, hidungnya mengendus pula bau yang aneh, seperti bau wangi dan seperti bau busuk yang susah dilukiskan.

Boh-thian tidak ingin melihat tangannya sendiri lagi, ia coba berpaling memandang Thio Sam dan Li Si, keadaan kedua orang itu tampaknya baik-baik saja, ubun-ubun kepala mereka makin banyak mengepulkan uap putih, di bahu Thio Sam masih tetap menancap tombak yang ditimpukkan orang Tiat-cha-hwe tadi.

Boh-thian pikir tombak yang menancap di bahu sang toako itu harus dicabut keluar lebih dahulu. Maka ia lantas mendekati Thio Sam, ia pegang gagang tombak dan perlahan-lahan dicabut ke luar. Darah segar lantas memuncrat keluar dari bahu Thio Sam. Cepat Boh-thian menahan luka itu dan menyobek ujung bajunya dan digunakan membalut luka sang toako.

Terdengar Thio Sam telah menarik napas panjang, lalu dengan suara lemah ia berkata, “Deng... dengarkanlah dan... dan kerjakanlah... menurut... petunjukku....”

Kiranya keadaan Thio Sam dan Li Si sama payahnya terkena racun araknya sendiri, tapi sesudah pundak Thio Sam mengeluarkan darah, hal ini malah membikin bekerjanya racun dihambat untuk sementara. Ia insaf kesempatan yang cuma sedetik itu adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri, maka dengan sepenuh tenaga ia coba bicara kepada Ciok Boh-thian.

“Ya, baiklah, pasti akan kukerjakan menurut petunjuk Toako,” demikian Boh-thian menjawab.

“Gun... gunakanlah... tangan kirimu un... untuk menahan leng-tay-hiat di.... di punggungku....” kata Thio Sam dengan terputus-putus dan sekata demi sekata, dan sesudah bernapas, lalu ia menyambung pula.

Begitulah, sesudah banyak membuang tenaga dan dengan susah payah akhirnya barulah Thio Sam selesai memberi petunjuk kepada Ciok Boh-thian, caranya mengerahkan lwekang untuk membantu mendesak keluar kadar racun yang mengeram di dalam tubuhnya. Ketika habis bicara, saking letihnya jidatnya sampai penuh butiran keringat yang besar-besar, wajahnya juga merah membara dan napas terengah-engah.

Boh-thian tidak berani ayal lagi, segera ia kerjakan menurut petunjuk sang toako. Ia membuka baju Thio Sam dan menggunakan tangan kiri untuk menahan di leng-tay-hiat di bagian punggung, sedangkan tangan kanan menahan di tan-tiong-hiat, tenaga dalam dikerahkan masuk melalui tangan kiri untuk mendesak kadar racun, sebaliknya tangan kanan mengerahkan tenaga untuk mengisap keluar.

Benar juga, tidak antara lama terasalah ada suatu arus hawa yang hangat dan halus telah menyusup masuk melalui tangan kanannya. Yang terpikir oleh Ciok Boh-thian hanya menolong jiwa Thio Sam saja, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa lantaran kerjanya itu kembali badannya sendiri telah kemasukan kadar racun yang tidak sedikit, yaitu racun yang asalnya mengeram di tubuh Thio Sam.

Selagi Boh-thian asyik melakukan tugasnya itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang banyak. Dari luar telah berlari masuk belasan orang yang semuanya bersenjata tombak. Terang mereka adalah anggota Tiat-cha-hwe pula. Begitu mereka memasuki ruangan dengan sendirinya mereka lantas kaget melihat pemimpin dan kawan-kawan mereka sudah menggeletak tak bernyawa memenuhi pendopo itu.

Kiranya orang-orang Tiat-cha-hwe ini bertugas menjaga di luar, karena sudah sekian lamanya tiada terdengar sesuatu suara atau perintah dari sang congthocu, maka sebagian di antara mereka lantas masuk ke situ untuk melihat apa yang sudah terjadi.

Sudah tentu mereka tidak menduga bahwa kawan-kawan mereka sudah mati semua, saking kagetnya mereka melihat pula Ciok Boh-thian, Thio Sam dan Li Si masih duduk di atas lantai situ dan terang juga terluka parah, maka sambil berteriak-teriak anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu serentak menyerbu maju sambil mengacungkan tombak mereka.

Mestinya Ciok Boh-thian hendak berbangkit untuk menghalau musuh. Tak tersangka belasan orang Tiat-cha-hwe itu baru menerjang maju kira-kira beberapa meter jauhnya, mendadak tubuh orang-orang itu lantas sempoyongan seperti orang mabuk, menyusul satu per satu lantas roboh terkulai, seperti nasib kawan-kawan mereka yang lain, belasan orang itu pun mati tanpa bersuara.

Boh-thian sendiri tidak alang kepalang kagetnya, jantungnya sampai berdebar-debar, ia berteriak dengan gemetar, “Toako... Toako, apakah... apakah di ruangan ini ada setan? Le... lekas kita pergi saja dari sini!”

Namun Thio Sam menjawabnya dengan menggeleng. Saat itu sebagian racun di tubuhnya sudah terdesak keluar, sakit perutnya sudah tidak sehebat tadi, maka dapatlah ia bicara dengan lebih lancar, “Boleh kau menggunakan cara barusan ini un... untuk menolong Jiko pula.”

Boh-thian mengiakan. Segera menurutkan cara ajaran Thio Sam tadi untuk mengisap racun Li Si. Sekarang yang terasa masuk di telapak tangannya adalah hawa halus yang dingin segar.

Kira-kira sepertanak nasi kemudian, kadar racun di dalam tubuh Li Si sudah banyak berkurang, maka bergilir Thio Sam yang ditolong.

Begitulah secara bergilir, berulang-ulang Boh-thian telah mengisap tiga kali pada tiap-tiap orang itu. Walaupun sisa racun belum lenyap seluruhnya, tapi sekarang sudah tidak berhalangan lagi bagi Thio Sam dan Li Si.

Melihat mayat yang bergelimpangan di sekitar mereka, teringat kepada keadaan bahaya tadi, mau tak mau Thio Sam dan Li Si merinding sendiri dan bersyukur pula atas pertolongan Ciok Boh-thian. Melihat air muka Ciok Boh-thian walaupun merasa takut-takut, tapi gerak-geriknya sangat tangkas, sedikit pun tiada tanda-tanda keracunan, maka diam-diam Thio Sam dan Li Si tidak habis mengerti, mereka merasa bocah ini mungkin memiliki kekebalan pembawaan atau mungkin pernah makan obat mukjizat apa-apa sehingga tidak mempan keracunan.

Hendaklah maklum bahwa arak berbisa dari kedua houlo itu sebagian besar telah diminum Ciok Boh-thian, yang diminum Thio Sam dan Li Si hanya sebagian kecil saja, tapi sekarang boleh dikata hampir seluruhnya kadar racun dari arak kedua houlo itu masuk di dalam tubuh Ciok Boh-thian. Sebabnya orang-orang Tiat-cha-hwe itu seketika binasa bila kesampuk oleh angin pukulannya terang adalah karena tersebarnya racun mahajahat melalui telapak tangannya. Bahkan akhirnya seluruh ruang pendopo itu pun penuh dengan hawa berbisa sehingga orang yang masuk ke situ akan mati seketika.

“Baiklah, Jite dan Samte, marilah kita pergi dari sini,” akhirnya Thio Sam berkata dan segera mendahului berjalan keluar dengan diikuti oleh Li Si dan Boh-thian.

Sesudah keluar dari lorong di bawah tanah, tertampaklah di atas berdiri beberapa puluh orang yang berkerumun di sekitar lubang masuk itu, semuanya bersenjata tombak dan sedang mengintai-intai.

Waktu melihat Thio Sam bertiga muncul, serentak mereka merubung maju. Seorang di antaranya lantas menegur, “Congthocu di mana? Mengapa belum lagi keluar?”

“Congthocu kalian berada di dalam,” sahut Thio Sam dengan tertawa. “Jika kau ingin bertemu bolehlah masuk saja.”

“Mengapa kalian keluar lebih dulu?” seorang yang berada di barisan depan ikut tanya.

“Hal ini aku sendiri pun tidak mengerti, maka lebih baik kalian boleh masuk ke dalam dan tanya saja kepada Congthocu,” sahut Thio Sam dengan tertawa. Berbareng kedua tangannya lantas menjulur ke depan, kontan dua orang kena dicengkeramnya terus dilemparkan ke dalam lorong di bawah tanah.

Perawakan kedua orang itu sangat kekar, ilmu silat mereka pun tampaknya tidak lemah, siapa duga hanya sekali dicengkeram saja mereka lantas tak bisa berkutik, mirip bangkai saja mereka telah terlempar ke dalam lorong.

Keruan kawan-kawannya menjerit kaget, berbareng mereka angkat tombak terus menyerang. Sama sekali Thio Sam tidak menghindar atau berkelit, sebaliknya ia mendesak maju dan kedua tangannya menyambar ke depan, kontan dua orang kena dicengkeram lagi terus dilemparkan pula ke belakang.

Ternyata serangan Thio Sam itu teramat jitu, di mana tangannya sampai tentu sasarannya kena dicengkeramnya. Walaupun orang-orang Tiat-cha-hwe itu juga menyerang, tapi tombak mereka selalu menusuk tempat kosong atau cepat-cepat ditarik kembali karena khawatir mengenai kawannya sendiri, maklum, mereka berkerumun di tempat yang sempit.

Ciok Boh-thian hanya menonton saja di samping, dilihatnya Thio Sam seenaknya saja mencengkeram dan melemparkan musuh sehingga mirip elang menyambar anak ayam, tak peduli cara bagaimana musuh berusaha melawannya atau ingin lari, tapi selalu sukar meloloskan diri dari cengkeraman dan lemparannya itu.

Makin melihat Boh-thian makin ternganga heran, sungguh-sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini ternyata ada kepandaian setinggi ini. Kalau dibandingkan sang toako angkat ini, maka jago-jago yang pernah dikenalnya seperti Pek-suhu, Ciok-cengcu, Ting Put-sam dan Ting Put-si, Su-popo, dan lain-lain, apalagi si Ting-ting Tong-tong segala, boleh dikata tiada artinya lagi.

Di sebelah lain Li Si ternyata tidak perlu maju membantu, ia hanya berpangku tangan mengikuti kejadian itu.

Sesudah belasan orang dicengkeram dan dilemparkan ke dalam lorong oleh Thio Sam, segera Thio Sam memutar ke belakang untuk mengincar orang-orang yang berdiri paling jauh sehingga lambat laun orang-orang Tiat-cha-hwe itu didesak mendekati lubang lorong.

Sisa orang-orang Tiat-cha-hwe itu kini tinggal 30-an saja. Mereka menjadi ketakutan demi melihat ilmu silat Thio Sam yang luar biasa itu, segera ada orang mendahului berteriak, “Lari!”

Cepat orang itu melarikan diri ke dalam lorong di bawah tanah. Tanpa pikir kawan-kawannya lantas ikut masuk juga.

“He, jangan masuk ke sama, di dalam sana sangat berbahaya!” seru Boh-thian.

Tapi siapa yang mau percaya dan menurut padanya? Bahkan orang-orang itu berebut mendahului menyelamatkan diri ke dalam lorong yang sudah penuh hawa berbisa itu. Dan sudah tentu, tiada lama berselang orang-orang itu pun berturut-turut binasa semua.

Sungguh Boh-thian tidak habis mengerti, ia merasa bingung sebab apakah anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu bisa mendadak mati satu per satu dan mengapa sang toako dan jiko itu juga mendadak sakit perut dan keracunan? Pula untuk apa sang toako sengaja menggiring orang-orang itu masuk ke lorong di bawah tanah?

Begitulah ia menjadi ragu-ragu dan entah cara bagaimana harus ditanyakan kepada kakak-kakak angkat itu. Sejenak kemudian, ia coba minta keterangan kepada Thio Sam, “Toako....”

Tapi mendadak Thio Sam memotong, “He, siapakah yang datang itu?”

Ketika Boh-thian berpaling, ia tidak melihat bayangan seorang pun, segera ia tanya, “Siapakah yang datang? Di mana orangnya?”

Namun tak terdengar Thio Sam menyahut. Waktu Boh-thian berpaling kembali, ia menjadi terkejut. Ternyata Thio Sam dan Li Si sudah menghilang.

“Toako! Jiko! Ke manakah kalian?” seru Boh-thian. Berulang-ulang ia berteriak, namun tiada jawaban apa-apa.

Kampung nelayan itu banyak terdapat rumah-rumah gubuk, berturut-turut ia memeriksa beberapa rumah gubuk itu, tapi semuanya kosong melompong tiada bayangan seorang pun. Tatkala itu sang surya baru saja muncul di ufuk timur, seluruh kampung nelayan itu terang benderang, tapi keadaan sunyi senyap dan tinggal dia seorang diri.

Teringat kematian orang-orang Tiat-cha-hwe yang mengerikan di lorong itu, Boh-thian menjadi merinding takut. Mendadak ia menjerit terus berlari terbirit-birit keluar kampung.

Sesudah belasan li berlari barulah Boh-thian melambatkan langkahnya. Waktu ia periksa kembali telapak tangannya sendiri, ia melihat toh merah yang timbul di tengah telapak tangan itu sekarang sudah hilang sebagian besar dan tidak sejijik seperti tadinya, maka legalah hatinya.

Kiranya timbulnya toh merah di telapak tangan itu adalah tergantung keadaan, karena dia sudah tidak mengerahkan tenaga, maka racun yang terdesak itu lantas mengalir kembali ke dalam tubuh melalui urat nadinya. Dan begitulah selanjutnya karena dia berlatih tiap hari, maka racun jahat itu pun perlahan-lahan punah sendiri dan lwekangnya juga ikut bertambah hebat. Sesudah 7x7=49 hari nanti barulah seluruh kadar racun di dalam tubuh itu dapat punah seluruhnya.

Begitulah, tanpa membedakan arah, Ciok Boh-thian terus berjalan mengikuti langkahnya. Sesudah setengah harian, kembali ia telah sampai di tepi Tiangkang (Sungai Panjang). Segera ia menyusur jalan di tepi sungai itu dan menuju ke hilir sungai.

Sewaktu tengah hari sampailah di suatu kota kecil, Boh-thian membeli bakmi sekadar isi perut, lalu melanjutkan perjalanan ke timur.

Karena dia tiada mempunyai sesuatu kepentingan, maka ia terserah ke mana dirinya akan terbawa oleh kakinya. Waktu petang, tiba-tiba dilihatnya jauh di depan di antara hutan sana ada dinding rumah, sesudah dekat, kiranya adalah sebuah kelenteng yang megah. Di depan kelenteng itu terbentang sebuah jalanan yang lebar dan rata terbuat dari papan-papan batu. Tiba-tiba dari dalam kelenteng tampak berjalan keluar dua tojin (imam agama To atau Tau) berkopiah kuning dan membawa pedang.

Waktu melihat Ciok Boh-thian, dengan langkah cepat kedua tojin setengah umur itu lantas mendekatinya. Seorang imam itu lantas menegur, “Kau mau apa?”

Rupanya dia melihat pakaian Boh-thian kotor dan kumal, usianya masih muda, kelakuannya juga ketolol-tololan, maka nada teguran imam itu menjadi agak kasar.

Namun Boh-thian tidak ambil pusing, ia menjawab dengan tertawa, “Ah, tidak mau apa-apa, aku hanya berjalan-jalan saja. Eh, apakah di sini adalah kelenteng hwesio (padri agama Buddha)? Apakah bisa memberi sedikit makanan padaku?”

“Anak goblok sembarangan omong,” semprot tojin itu dengan gusar. “Kau sendiri lihat apakah aku ini seorang hwesio? Hayo, lekas enyah, lekas! Kalau berani main gila lagi ke Siang-jing-koan sini, awas kedua kaki anjingmu!”

Berbareng tojin yang lain tampak meraba-raba pedangnya dengan muka bengis, lagaknya seperti segera akan lolos senjata untuk membunuh orang.

Namun dengan tertawa Boh-thian hanya berkata, “O, jika bukan kelenteng hwesio, maka tentulah kelenteng tosu. Soalnya perutku sudah lapar, maka ingin minta sedikit makanan pada kalian, toh aku tidak ingin berkelahi. Ya, tanpa sebab buat apa mesti membunuh dua orang tojin?”

Sambil berkata ia pun terus berjalan pergi.

“Kau bilang apa?” damprat imam yang muda tadi dengan gusar, berbareng ia lantas memburu maju.

Apa yang dikatakan Ciok Boh-thian itu sesungguhnya tidaklah salah. Ketika di ruang bawah tanah di tempat sembunyi orang-orang Tiat-cha-hwe itu, sekali tangannya bergerak tentu jatuh seorang korban, hal ini membuatnya sangat menyesal, maka ia benar-benar tidak ingin berkelahi lagi dengan orang. Sekarang dilihatnya imam muda itu memburu dan hendak melabraknya, ia menjadi khawatir jangan-jangan di luar tahunya kembali imam itu dibunuhnya pula. Maka tanpa pikir lagi ia terus angkat langkah seribu, dengan cepat ia lari masuk ke dalam hutan.

Maka terdengarlah kedua tojin itu tertawa terbahak-bahak. Imam yang setengah umur tadi berkata, “Hahaha! Rupanya seorang bocah dogol, hanya sedikit digertak saja sudah lari terbirit-birit mencawat ekor!”

Boh-thian sendiri merasa lega melihat kedua imam itu tidak mengejarnya. Tapi hari sebentar lagi akan gelap, untuk mencari sedikit makanan atau buah-buahan sekadar tangsel perut juga susah, sebab hutan itu melulu pohon cemara dan sebagainya yang tak berbuah.

Ia coba berlari ke atas sebuah bukit kecil dan memandang sekitarnya, ia lihat dari belasan rumah. Cerobong rumah bagian belakang tampak mengepulkan asap, hal ini menandakan penghuninya sedang menanak nasi dan memasak. Kecuali kompleks bangunan kelenteng itu tiada terdapat bangunan lain di sekitar situ.

Melihat cerobong yang mengepulkan asap, Ciok Boh-thian menjadi terbayang-bayang kepada masakan-masakan enak, maka perutnya yang lapar itu tambah berkeroncongan. Ia pikir, “Para tojin itu tampaknya sangat garang, baru saja bicara sudah ajak berkelahi. Biarlah aku mengintip ke rumah belakang sana, bila ada makanan, segera aku mencurinya dan lari.”

Begitulah ia lantas memutar ke belakang kelenteng, ditujunya rumah yang bercerobong asap tadi, lalu ia menggeremet maju mepet tembok. Tiba-tiba dilihatnya pintu belakang rumah itu setengah tertutup dan setengah terbuka, keruan ia menjadi girang. Ia melongok ke dalam dan melongok ke belakang seperti maling khawatir kepergok, lalu menyelinap masuk ke dalam.

Sementara itu hari sudah gelap, sesudah masuk pintu belakang itu, maka Boh-thian telah berada di suatu pelataran dalam. Di sebelah sana adalah serambi panjang dengan kamar dapur yang besar, terdengar suara wajan gemerencang terketok dan suara minyak mengosos disertai bau sedap yang teruar jauh ke luar dapur.

Keruan semua itu makin merangsang selera Ciok Boh-thian yang memang sudah kelaparan itu, hampir saja ia mengiler, cepat ia menelan ludah, biji lehernya sampai naik-turun.

Ia dengar di dalam dapur itu banyak orang, ia pikir kalau menuju langsung ke sana tentu akan kepergok. Tiba-tiba ia mendapat akal, dengan hati-hati ia mendekati pintu dapur, ia sembunyi di pinggir serambi yang gelap. Pikirnya, “Ingin kulihat masakan yang selesai diolah itu nanti dibawa ke mana? Jika di dalam ruang makan sana toh belum ada orang, maka aku akan mencuri sepotong daging dan semangkuk nasi, lalu akan kubawa lari, dengan demikian aku tak perlu berkelahi atau membunuh orang lagi.”

Benar juga, tidak antara lama, terlihatlah tiga orang keluar dari kamar dapur itu. Semuanya adalah tosu kecil. Seorang membawa tanglung (lampu berkerudung) berjalan di depan, di belakangnya dua orang masing-masing membawa nampan dengan masakan-masakan yang menyiarkan bau sedap, terang masakan-masakan itu adalah sebangsa Ang-sio-bak, ayam goreng dan sebagainya.

Keruan biji leher Ciok Boh-thian naik-turun lagi, berulang-ulang ia telan ludah sendiri pula. Dengan berjinjit-jinjit ia lantas menguntit di belakang tosu-tosu kecil itu.

Sesudah menyusur serambi dan melalui sebuah gang, akhirnya ketiga tosu cilik itu masuk ke sebuah ruangan. Masakan-masakan yang mereka bawa itu ditaruh di atas meja. Dua tosu kecil di antaranya lantas kembali dulu ke dapur, tertinggal seorang tosu kecil yang masih mengatur meja-kursi, sumpit dan cawan dan lain-lain yang perlu dalam perjamuan.

Dengan sembunyi di balik jendela ruangan yang panjang itu dengan mata tak berkedip Ciok Boh-thian terus mengincar makanan-makanan yang sudah siap di atas meja itu. Sungguh kalau dia tidak khawatir memukul mati tosu cilik itu, tentu sejak tadi dia sudah menerjang masuk dan menggasak makanan lezat itu.

Tunggu punya tunggu, syukurlah akhirnya tosu kecil itu meninggalkan ruang makan itu dan menuju ke ruangan sana. Tanpa ayal lagi Ciok Boh-thian lantas menyerobot ke dalam, lebih dahulu ia comot sepotong “Ang-sio-gu-bak” (daging sapi masak saus) dan dijejalkan ke dalam mulut, saking keburunya sampai ia keselak. Sambil mengunyah, kedua tangannya lantas menyambar pula seekor ayam kuah dan bermaksud membetot paha ayam, “Pek-sak” (ayam masak kuah bening) itu.

Tapi baru saja Ang-sio-gu-bak tadi masuk ke perutnya, tiba-tiba terdengar di luar jendela sana ada suara orang bicara, “Sute, Sumoay, silakan sebelah sini!”

Lalu terdengar suara tindakan beberapa orang menuju ke ruangan makan itu.

“Wah, celaka! Bisa kepergok aku ini!” demikian Boh-thian mengeluh. Saat itu paha ayam “Pek-sak” tadi belum lagi kena dibesetnya, terpaksa ia angkat ayam itu seekor penuh terus hendak berlari ke ruangan belakang, tapi mendadak dari belakang juga ada suara orang yang lagi mendatangi.

Ia coba periksa sekitarnya, ternyata ruangan itu cukup luas dan tiada tempat sembunyi yang baik. Diam-diam Boh-thian mengeluh dan gelisah, “Wah, jangan-jangan aku terpaksa harus berkelahi dan membunuh lagi.”

Jilid 28

Dalam pada itu beberapa orang itu sudah berada di depan deretan jendela panjang, sejenak lagi tentu akan memasuki ruang makan.

Pada saat yang sudah sangat mendesak itu, sekilas Boh-thian melihat di atas ruangan itu tergantung melintang sebuah papan pigura besar yang bertuliskan tiga huruf emas. Karena sudah kepepet, tanpa pikir lagi Boh-thian lantas meloncat ke atas belandar, lalu menyusup ke belakang papan pigura itu. Ia setengah merebah dan rasanya cukup baginya untuk sembunyi.

Apa yang terjadi itu hanya berlangsung dalam beberapa detik saja. Di sini Ciok Boh-thian baru saja sembunyi di belakang papan pigura, di sebelah sana orang-orang tadi pun sudah mendorong pintu dan melangkah masuk. Terdengar seorang di antaranya sedang berkata, “Kita adalah saudara seperguruan, mengapa Suko seperti kedatangan tamu agung saja dan mengadakan perjamuan apa segala.”

Boh-thian merasa suara orang itu sudah dikenalnya. Ia coba mengintip ke bawah melalui sela-sela pigura itu, ia lihat ada belasan tojin mengiringi dua orang tamu pria dan wanita. Kiranya kedua orang tamu ini adalah Ciok-cengcu suami-istri, yaitu Ciok Jing dan Bin Ju dari Hian-soh-ceng.

Terhadap Ciok Jing berdua sampai sekarang Ciok Boh-thian masih sangat berterima kasih, lebih-lebih Nyonya Ciok yang dahulu pernah memberi sedekah kepadanya, pula belum lama berselang telah mengajarkan ilmu pedang padanya. Maka setelah bertemu sekarang, seketika timbul perasaan hangat di lubuk hati pemuda itu.

Sementara itu seorang tosu tua yang sudah ubanan terdengar membuka suara, “Sute dan Sumoay datang dari jauh, sungguh suhengmu ini merasa girang tak terhingga, hanya secawan arak bening ini saja masakah dapat dikatakan sebagai perjamuan?”

Tiba-tiba tosu tua itu melihat di atas meja perjamuan penuh tetes air kuah, sebuah pinggan (basi) hanya tinggal sedikit sisa kuah bening, masakan pokok di dalam basi itu entah ayam atau itik, ternyata sudah terbang.

Tosu tua itu mengerut kening, ia pikir bagaimana kerjanya anak-anak ini, masakah makanan yang sudah siap tidak dijaga sehingga kena digondol kucing. Karena berada di depan tamu, ia merasa tidak baik untuk mendamprat anak-muridnya yang lengah itu.

Tatkala itu kembali ada tosu-tosu cilik membawakan masakan lain lagi. Waktu mereka melihat keadaan meja perjamuan yang morat-marit itu, mereka menjadi kikuk dan serbasalah, cepat mereka membersihkan meja dan menyiapkan daharan yang lain lagi.

Dengan hormat tosu tua itu menyilakan Ciok Jing suami-istri duduk di meja utama, ia sendiri mengiringinya bersama tiga orang tojin lain yang setengah umur, sisanya 12 orang tojin lagi terbagi pada dua meja yang lain.

Setelah minum beberapa cawan, kemudian tosu tua itu membuka suara pula dengan terharu, “Selama delapan tahun tidak bertemu, ternyata Sute dan Sumoay tidak kurang sehat dan gagahnya daripada dahulu. Sebaliknya suhengmu ini sekarang sudah tua dan loyo.”

“Rambut Suheng memang telah tambah ubanan, tapi semangatmu toh tetap sangat kuat,” sahut Ciok Jing.

“Tambah ubanan apa? Rambutku ini adalah karena pikiranku yang sedih, hanya dalam semalam saja lantas ubanan,” kata si tosu tua. “Jika Sute dan Sumoay datang kemari pada tiga hari yang lalu, tentu jenggot dan rambutku tidaklah seputih ini, paling-paling cuma setengah putih saja.”

“Yang dipikirkan Suheng apakah urusan tentang kedua sucia (rasul) Siang-sian dan Hwat-ok (pengganjar bajik dan penghukum jahat) itu?” tanya Ciok Jing.

“Ya, kecuali urusan ini, rasanya tiada urusan kedua di dunia ini yang dapat membuat Thian-hi Tojin dari Siang-jing-koan berubah menjadi lebih tua 20 tahun hanya dalam waktu semalam,” sahut si tosu tua alias Thian-hi Tojin.

“Justru Sute dan Sumoaymu ini mendengar tentang berita bahwa kedua rasul itu kembali muncul, dunia persilatan harus menghadapi bencana pula, makanya siang-malam kami memburu kemari untuk berunding dengan Ciangbun-suheng dan para Suheng dan Sute,” tutur Ciok Jing. “Selama sepuluh tahun terakhir ini nama Siang-jing-koan kita cukup menonjol di kalangan bu-lim, pohon besar tentu terancam angin, kukira kedua rasul itu boleh jadi akan berkunjung ke sini. Maka ada maksud Siaute suami-istri untuk tinggal satu-dua bulan di sini. Bilamana mereka benar-benar mencari gara-gara ke sini, walaupun tidak becus, sedikitnya kami suami-istri juga dapat berjuang mati-matian bahu-membahu bersama para Suheng demi perguruan.”

Thian-hi saling pandang sekejap dengan para tosu yang hadir di situ, lalu menghela napas perlahan sambil merogoh keluar dua bentuk medali tembaga. Ia taruh kedua buah medali itu di atas meja.

Dari atas Boh-thian dapat melihat dengan jelas bahwa kedua medali tembaga itu pun terukir muka tertawa dan muka gusar sebagaimana medali-medali yang pernah dilihatnya di atas kapal mayat dan di sarang Tiat-cha-hwe. Diam-diam ia tercengang, “Aneh, mengapa Thian-hi Tojin ini pun mempunyai dua buah medali yang serupa?”

Dalam pada itu terdengar Ciok Jing telah berkata dengan heran, “Eh, kiranya sucia itu sudah berkunjung kemari. Jika demikian kedatangan Siaute suami-istri toh tetap ketinggalan walaupun kami telah memburu kemari siang dan malam. Dan apakah mengenai urusan itu? Lalu cara... cara bagaimana Suheng melayaninya?”

Karena pikiran Thian-hi tidaklah tenteram, seketika ia menjadi susah menjawab. Segera seorang tojin setengah umur yang duduk di sebelahnya mewakilkan menjawab, “Datangnya kedua sucia itu adalah kejadian tiga hari yang lalu. Berkat budi Ciangbun-suheng yang luhur dan rela menanggung segala kemungkinan, maka beliau sudah menyanggupi akan pergi ke sana untuk makan ‘Lap-pat-cok’ (bubur atau jenang tanggal 8 bulan 12 atau penutup tahun).”

Ketika melihat kedua medali tembaga, memangnya Ciok Jing sudah menduga akan hal demikian. Segera ia berbangkit dan memberi hormat kepada Thian-hi, katanya, “Dengan rela Suko telah menanggungnya sendirian untuk menyelamatkan seluruh penghuni Siang-jing-koan ini, sungguh Siaute merasa berterima kasih dan malu pula, di sini terimalah hormat Siaute lebih dulu. Cuma Siaute masih ada suatu permohonan yang kurang pantas, sebelumnya mohon Suko sudi memaafkan.”

Thian-hi tersenyum, sahutnya, “Segala apa di dunia ini sekarang bagiku adalah laksana awan yang terapung di udara itu. Apa yang Sute inginkan tentu akan kupenuhi.”

“Jika demikian, jadi tegasnya Suko sudah menyanggupi?” Ciok Jing menegas.

“Ya, kusanggupi,” sahut Thian-hi. “Entah apakah keinginan Sute itu?”

“Begini, dengan lancang Siaute mohon agar Suko suka menyerahkan tugas ciangbun atas Siang-jing-koan ini kepada kami suami-istri,” tutur Ciok Jing.

Ucapan Ciok Jing ini membuat para tosu yang hadir di situ menjadi melengak semua.

Dan belum lagi Thian-hi menjawab, segera Ciok Jing menyambung pula, “Setelah kami suami-istri memegang jabatan ciangbun ini, maka undangan untuk makan Lap-pat-cok itu biarlah kami yang pergi ke sana mewakilkan Suko.”

Mendadak Thian-hi terbahak-bahak, suara tertawa yang mengandung rasa pahit getir, matanya juga tampak basah berkaca-kaca. Katanya, “Maksud baik Hiante berdua, biarlah suhengmu terima di dalam hati. Sebagai ketua Siang-jing-koan, suhengmu sudah cukup dikenal oleh orang bu-lim selama belasan tahun ini. Sekarang di kala menghadapi bahaya masakah aku malah menghindarkan tanggung jawabku, lalu muka Thian-hi yang tua keriput ini kelak harus ditaruh ke mana?”

Sampai di sini Thian-hi telah pegang tangan kanan Ciok Jing, lalu menyambung pula, “Sute, usia kita selisih terlalu banyak, kau adalah keluarga preman pula, kita jarang berkumpul di masa yang lalu, tapi hubungan kita selamanya sangat baik, apalagi ilmu silatmu dan pribadimu sesungguhnya adalah tokoh utama perguruan kita, selama ini Suheng sangat kagum padamu. Coba kalau bukan lantaran janji Lap-pat-cok ini, tentu Suheng akan menyerahkan jabatan ciangbun ini kepadamu. Namun keadaan hari ini sudah lain, maka permintaanmu tiada mungkin dapat kupenuhi lagi. Hahaha!”

Di tempat sembunyinya Boh-thian dapat mendengar dengan jelas percakapan itu. Ia tidak tahu barang apakah “Lap-pat-cok” yang dibicarakan itu. Ia masih ingat istilah itu pun pernah diucapkan Thio Sam waktu bertemu dengan orang-orang Tiat-cha-hwe, sekarang demi menyebut janji makan “Lap-pat-cok”, Thian-hi Tojin lantas sedih, apa barangkali “Lap-pat-cok” itu adalah sesuatu racun yang lihai?

Dalam pada itu terdengar Thian-hi telah berkata pula, “Sute, bahwasanya rambut Suheng menjadi putih dalam semalam, hal ini sekali-kali bukanlah karena takut mati. Usiaku sekarang sudah 62 tahun, kalau mati tahun ini juga sudah cukup umur. Hanya saja yang selalu kupikirkan adalah cara bagaimana agar kita dapat melenyapkan bencana besar yang setiap sepuluh tahun satu kali tentu menimpa bu-lim ini? Dengan cara bagaimana agar nama dan ilmu silat perguruan kita yang jaya ini dapat dipertahankan? Ya, memang semuanya ini adalah urusan mahasulit. Selama 32 tahun berselang, pihak sana sudah tiga kali mengadakan perjamuan Lap-pat-cok. Setiap tokoh dan setiap jago dari berbagai kalangan dan golongan yang diundang ke sana belum pernah ada seorang pun yang dapat pulang. Sesungguhnya kematian Suheng ini tiada perlu dibuat gegetun, hanya, saja urusan kesudahannyalah yang perlu kita pikirkan.”

Tiba-tiba Ciok Jing juga terbahak, ia angkat cawan arak dan mengeringkan isinya, lalu berkata, “Suko, bahwasanya secara lancang Siaute mohon Suko menyerahkan jabatanmu, hal ini bukanlah Siaute ingin mewakilkan Suko untuk mengantarkan jiwa, tapi bertujuan ingin menyelidiki persoalan ini, ya, boleh jadi Thian memberkahi sehingga Siaute dapat menyelidiki rahasia di dalamnya, walaupun Siaute tak berani menjamin akan mampu menumpas malapetaka yang selalu mengancam bu-lim ini, tapi asal rahasia di balik layar sudah dapat disiarkan, lalu setiap orang persilatan sama berbangkit dan beramai-ramai berjuang, masakah kita benar-benar tak mampu melawan pihak mereka itu?”

Namun Thian-hi telah menggeleng perlahan, katanya, “Bukanlah aku sengaja menilai tinggi pihak orang dan mengartikecilkan Sute, coba lihat, tokoh-tokoh sebagai It-bok Totiang dari Bu-tong-pay, Giok-cin Tojin dari Jing-sia-pay, dan tokoh-tokoh lain yang berkepandaian tinggi toh mereka hanya bisa pergi dan tak bisa kembali. Maka menurut pendapatku, ai, biarpun ilmu silat Sute cukup tinggi, betapa pun... betapa pun juga belum dapat dibandingkan dengan kaum cianpwe (angkatan tua) sebagai It-bok dan Giok-cin Totiang.”

“Untuk ini Siaute juga cukup tahu diri,” ujar Ciok Jing. “Namun berhasil atau tidak dari sesuatu urusan sebagian adalah tergantung pada kepandaian dan sebagian lagi juga tergantung kepada nasib. Andaikan Siaute tidak mampu menumpas bencana ini, tapi berusaha untuk menyelidiki sedikit rahasia yang menyangkut urusan ini rasanya bukanlah tiada harapan sama sekali.”

Namun Thian-hi tetap menggeleng, katanya, “Jabatan Ciangbunjin Siang-jing-koan kita selama ratusan tahun ini selalu dipegang oleh kaum beribadat (tosu). Bila aku mati, maka aku sudah menunjuk Tiong-hi Sute sebagai penggantiku. Untuk selanjutnya asalkan Sute berdua suka membantu sepenuh tenaga agar supaya golongan kita tetap berkembang, maka cukuplah bagiku untuk menyatakan terima kasih yang tak terhingga.”

Begitulah meski Ciok Jing telah berulang kali mendesak, tapi Thian-hi tetap menolak sehingga semua orang sampai berhenti minum dan lupa makan.

Di tempat sembunyinya Boh-thian sendiri sedang asyik menikmati ayam Pek-sak yang dicurinya dari meja perjamuan tadi. Sepotong demi sepotong ia jejalkan daging ayam itu ke dalam mulut, tapi karena khawatir mengeluarkan suara, maka ia tidak berani mengunyah, jadi terus menelannya matang-matang begitu saja. Walaupun demikian ia pun tidak lupa pasang mata mengintip segala kejadian di bawah.

Dilihatnya Nyonya Ciok, yaitu Bin Ju, sejak mula hanya mendengarkan saja pembicaraan sang suami dengan Thian-hi Tojin tanpa menimbrung apa-apa, sebaliknya perlahan-lahan ia mengambil kedua bentuk medali tembaga yang berada di atas meja, ia mengamat-amati medali-medali itu sejenak, lalu seperti sengaja dan seperti tidak sengaja ia hendak memasukkan benda-benda itu ke dalam sakunya.

“Taruh kembali, Sumoay!” mendadak Thian-hi berseru.

“Ah, aku yang menyimpannya bagi Suko toh sama saja,” sahut Bin Ju dengan tersenyum dan tampaknya kedua medali itu segera akan masuk ke dalam bajunya.

Thian-hi menjadi khawatir, mencegahnya dengan ucapan tak dihiraukan, terpaksa ia hendak merebutnya kembali dengan tangan. Tapi kebetulan pada saat itu Ciok Jing sedang menjulurkan sumpitnya hendak mengambil makanan sehingga lengannya tepat merintangi tangan Thian-hi yang terjulur itu.

Segera Tiong-hi yang duduk di sebelahnya Bin Ju ikut bergerak, cepat tangannya menyambar hendak merampas medali-medali itu sambil berkata, “Lebih baik serahkan padaku saja!”

Namun cepat Bin Ju telah mengangkat tangannya ke atas, berbareng tangan yang lain terus mengebas ke bawah.

Terpaksa Tiong-hi menarik kembali tangannya dan balas menutuk pergelangan tangan Nyonya Ciok dan begitulah lantas terjadi serang-menyerang di antara mereka.

Tiong-hi sudah ditetapkan oleh Thian-hi untuk menggantikannya menjabat sebagai ketua Siang-jing-koan, ini berarti Tiong-hi adalah calon pemimpin yang akan datang, ia pun terhitung tokoh yang tertinggi ilmu silatnya di dalam kelenteng itu di samping Thian-hi sendiri.

Sudah tentu Tiong-hi mengetahui apa yang dilakukan Ciok Jing dan istrinya itu timbul dari maksud yang baik. Tapi kedua bentuk medali tembaga itu menyangkut jiwa semua penghuni Siang-jing-koan, Thian-hi sudah menerimanya dari kedua rasul pengganjar dan penghukum, jika sekarang jatuh ke tangan orang lain, hal ini berarti jiwa semua imam di dalam kelenteng itu pun terancam, sebab inilah maka Tiong-hi telah berusaha merebutnya sedapat mungkin.

Begitulah, sambil tetap berduduk Tiong-hi dan Bin Ju telah bergebrak belasan jurus. Kedua orang adalah tunggal guru, yang dimainkan adalah Kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang) dari perguruan sendiri, walaupun masing-masing tiada maksud melukai lawannya, tapi terpaksa juga mesti mengeluarkan segenap kepandaian.

Sebagai saudara seperguruan mereka sudah berpisah 20-an tahun, selama itu walaupun pernah bertemu beberapa kali, tapi belum pernah menyaksikan sampai di mana kemajuan ilmu silat masing-masing. Sekarang kedua orang mendadak bergebrak dengan sama kuatnya, mau tak mau dalam hati masing-masing juga memuji akan kemajuan lawannya.

Belasan tojin yang duduk di meja-meja lain sementara itu juga telah mengikuti pertarungan Tiong-hi dan Bin Ju. Tojin-tojin itu adalah jago-jago terkemuka semua, mereka pun tahu selama belasan tahun ini nama Ciok Jing dan Bin Ju sangat menonjol di dunia Kangouw, sekarang menyaksikan Nyonya Ciok itu berebut medali tembaga dengan Tiong-hi secara diam-diam, nyonya itu telah memperlihatkan segenap intisari ilmu silatnya dari perguruan mereka, maka tojin -tojin itu merasa sangat kagum dan gegetun. Ternyata di antara mereka tiada seorang pun yang sadar bahwa di atas kepala mereka masih ada sepasang mata yang lain sedang mengikuti perebutan medali itu.

Pada belasan jurus permulaan kekuatan Bin Ju dan Tiong-hi boleh dikata sembabat. Namun sebelah tangan Nyonya Ciok itu memegang dua buah medali sehingga tangan kanan itu cuma dapat menggunakan kepalan saja dan jarinya tak dapat dimanfaatkan. Lantaran demikian, Kim-na-jiu-hoat yang paling bagus menjadi tak dapat dimainkan dengan sempurna.

Sesudah beberapa jurus pula, dengan lwekang yang kuat tangan kiri Tiong-hi berhasil memaksa lengan kiri Ciok-hujin ke bawah, berbareng tangan kanannya sudah menyambar dan sudah dapat menyentuh medali-medali yang tergenggam di tangan nyonya itu.

Bin Ju insaf sekali ini pasti susah dipertahankan lagi. Jika ia menggenggam terus dan sama-sama mengadu lwekang, pertama kurang pantas dilihat orang banyak, kedua dirinya betapa pun adalah wanita, dalam hal lwekang tentu tidak sekuat Tiong-hi. Segera ia mengendurkan tangannya sehingga kedua bentuk medali dibiarkan jatuh. Dengan jalan demikian ia berharap sang suami yang duduk di sisinya akan dapat menyambar benda-benda itu.

Di luar dugaan, baru saja Ciok Jing hendak menjulurkan tangannya, sekonyong-konyong dua rangkum yang keras telah menyambar ke mukanya. Kiranya Thian-hi yang telah menolaknya dengan kedua tangan. Kedua rangkum angin itu sangat kuat, kalau tidak ditangkis tentu akan terluka parah. Maka terpaksa ia angkat tangan untuk menangkis. Dan karena sedikit ayal itulah, Ciau-hi Tojin yang duduk di sebelah Thian-hi telah dapat menyambar kedua medali tembaga itu.

Begitu medali-medali itu jatuh di tangannya Ciau-hi, serentak Ciok Jing suami-istri, Thian-hi dan Tiong-hi lantas bergelak tertawa dan berhenti bergebrak.

Tiong-hi dan Ciau-hi lantas membungkuk tubuh dan berkata, “Harap Sute dan Sumoay suka memaafkan.”

Cepat Ciok Jing dan Bin Ju membalas hormat, kata Ciok Jing, “Mengapa kedua Suheng berkata demikian, justru Siaute berdua yang telah berlaku kasar. lwekang yang telah dicapai Ciangbun-suheng ternyata sedemikian tingginya dan berpuluh kali lebih kuat daripada Siaute, rasanya perjalanan ini walaupun berbahaya, tapi untuk meloloskan diri saja dengan selamat rasanya juga bukan tiada harapan.”

Kiranya sesudah bergebrak tadi, Ciok Jing telah mengetahui lwekang sang suheng ternyata jauh lebih tinggi daripada dirinya, maka semangatnya yang sok jagoan tadi lantas lenyap sebagian besar.

Dengan tersenyum getir Thian-hi lantas menjawab, “Ya, semoga terkabul menurut doa Sute itu. Terima kasih. Marilah, silakan minum!”

Lalu ia mengangkat cawan dan menenggaknya hingga habis. Meski Siang-jing-koan adalah tempat beribadat, tapi mereka tidak pantang minum arak dan makan barang berjiwa.

Dalam pada itu Ciok Boh-thian yang menyaksikan Bin Ju tak berhasil merebut kedua medali tembaga yang tidak diketahui apa gunanya itu, karena teringat kepada kebaikan Nyonya Ciok dahulu, maka diam-diam ia telah merancang, “Tosu itu telah merebut medali-medali tembaga, sebentar aku akan merebutnya pula untuk dihadiahkan kepada Ciok-hujin.”

Sementara itu sesudah saling mengangkat gelas dan habis minum, lalu Ciok Jing berbangkit dan berkata, “Kuharap perjalanan Suheng nanti takkan mengalami sesuatu halangan sehingga dapat pulang dengan selamat. Siaute sendiri karena urusan seorang anakku kena diculik orang dan sekarang buru-buru ingin pergi menolongnya sehingga tidak sempat bicara lebih lama dengan para Suheng dan Sute, maka sukalah para Suheng memaafkan, sekarang juga kami mohon diri.”

Mendengar itu, para tosu terperanjat. Kata Thian-hi, “Kabarnya putra Sute belajar di tempat Swat-san-pay, dengan nama Sute suami-istri, ditambah pengaruh Swat-san-pay yang besar, masakah ada manusia yang begitu kurang ajar dan berani menculik putramu?”

Ciok Jing menghela napas, sahutnya, “Urusan ini terlalu panjang untuk diceritakan, soalnya juga karena salah Siaute sendiri yang tidak pandai mendidik anak, maka akibat yang ditimbulkan anak yang menyeleweng itu tidaklah dapat menyalahkan orang lain.”

Hendaklah maklum bahwa Ciok Jing adalah seorang yang bijaksana, walaupun Hian-soh-ceng, kediamannya yang megah itu, telah dibakar habis oleh Pek Ban-kiam, tapi ia tahu sebab musababnya adalah kesalahan di pihaknya sendiri, maka dia tidak menaruh dendam kepada Swat-san-pay.

Di antara para tosu itu, Tiong-hi terhitung orang yang paling simpatik, dengan suara lantang ia lantas berseru, “Sute dan Sumoay, jika musuh berani menculik putramu, itu berarti dia pun memandang rendah kepada Siang-jing-koan. Tak peduli tokoh macam apa penculik itu, biarpun suhengmu ini tidak becus juga pasti akan memberi bantuan padamu.”

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, “Sedangkan putramu diculik orang, tapi kau toh perlukan datang ke tempat perguruan yang sedang menghadapi kesukaran, hal ini menandakan betapa baik budi Sute berdua. Untuk ini masakah kami tidak mempunyai perasaan dan berpeluk tangan membiarkan Sute mengalami kesukaran sendiri?”

Ia sangka kalau penculik itu sudah tidak gentar kepada Ciok Jing suami-istri dan tidak takut kepada orang-orang Swat-san-pay yang berpengaruh itu, maka penculik itu tentulah seorang tokoh yang sangat lihai. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa orang yang menangkap putranya Ciok Jing itu justru adalah kaum Swat-san-pay.

Pertama memang Ciok Jing tidak ingin perbuatan sang putra yang merusak nama keluarganya diketahui orang luar, apalagi sekarang Siang-jing-koan sendiri sedang menghadapi kesulitan, tentu saja ia lebih-lebih tidak ingin para suheng itu mengikat permusuhan baru dengan pihak lain lagi. Maka cepat ia menjawab, “Maksud baik para Suheng dan Sute, sungguh kami merasa terima kasih tak terhingga. Cuma persoalan ini sekarang masih harus diselidiki dulu dengan lebih jelas, biarlah kelak bilamana urusan sudah agak jelas, jikalau Siaute berdua merasa kurang kuat, dengan sendirinya kami akan pulang kemari untuk minta bantuan.”

“Baiklah jika demikian halnya,” ujar Tiong-hi. “Tatkala mana Sute juga tidak perlu datang sendiri, asalkan menyampaikan sedikit berita saja tentu seluruh isi Siang-jing-koan akan dikerahkan.”

Ciok Jing dan Bin Ju memberi hormat dengan ucapan terima kasih. Tapi di dalam hati diam-diam merasa berduka, mereka tahu dosa putranya, andaikan anak itu akan dicincang atau digantung oleh Swat-san-pay, mau tak mau mereka hanya bisa menerima nasib saja dan tidak nanti minta pertolongan kepada Siang-jing-koan.

Begitulah Ciok Jing berdua lantas mohon diri, mereka diantar keluar oleh Thian-hi, Tiong-hi dan lain-lain.

Melihat semua orang sudah keluar agak lama, segera Ciok Boh-thian melompat keluar dari tempat sembunyinya, ia melompat ke atas rumah dan melintasi pagar tembok. Pikirnya, “Ciok-cengcu dan Ciok-hujin mengatakan putra mereka telah diculik orang, entah siapakah yang melakukan perbuatan itu? Tentang medali-medali tembaga itu tampaknya hanya benda permainan yang tiada artinya, dapat direbut atau tidak, tidaklah menjadi soal, sebaliknya tentang putranya yang diculik itu aku harus bantu mencarikannya untuk membalas budi kebaikan Ciok-hujin padaku. Ya, bila aku dapat menolong kembali putranya, tentu dia akan sangat gembira. Biarlah aku menyusulnya untuk tanya siapakah nama putranya itu, berapa umurnya dan bagaimana rupanya agar aku dapat mencarinya.”

Ia coba melompat ke atas pohon yang tinggi, ia lihat belasan buah lampu kerudung dalam dua baris sedang bergerak ke sebelah sana, kiranya para tosu sedang mengantar Ciok Jing dan Bin Ju keluar kompleks kelenteng.

Pikir Boh-thian, “Kuda tunggangan Ciok-cengcu berdua sangat cepat larinya, ada lebih baik aku mendahuluinya mencegat mereka di depan sana.”

Sesudah membedakan arah yang akan dituju Ciok Jing suami-istri, segera ia melompat turun dan mendahului berangkat melalui lereng bukit.

Tak terduga, belum lagi beberapa jauh ia meninggalkan kompleks kelenteng itu, tiba-tiba terdengar suara bentakan orang, “Siapa itu? Lekas berhenti!”

Bahwasanya dengan lwekang Ciok Boh-thian yang tinggi itu, ia sembunyi di atas papan pigura dengan menahan napas sehingga sama sekali tidak diketahui oleh siapa pun juga. Tapi sekarang begitu dia angkat kaki dan berlari, seketika imam-imam Siang-jing-koan yang bukan kaum keroco itu lantas mengetahui tempat mereka telah kemasukan orang luar. Semula mereka pun masih tinggal diam saja, tapi begitu Ciok Jing dan Bin Ju sudah agak jauh, segera mereka menyusul dan menggerebek Ciok Boh-thian dari berbagai jurusan.

Dalam kegelapan mendadak Ciok Boh-thian merasa hawa pedang yang dingin, tahu-tahu dua orang tojin sudah mengadang di depannya dengan pedang terhunus dan memancarkan sinar yang gemerlapan. Samar-samar ia melihat seorang di antaranya tak-lain-tak-bukan adalah Ciau-hi.

Ia menjadi girang, segera ia bertanya, “Apakah Ciau-hi Tojin di situ?”

Ciau-hi melenggong, ia pikir kiranya orang sudah mengenalnya. Segera ia menjawab, “Ya, betul. Siapakah saudara ini?”

Tanpa banyak cincong lagi Boh-thian lantas berkata sambil mengangsurkan tangan, “Berikan medali-medali tembaga tadi padaku!”

Ciau-hi menjadi gusar. “Terimalah ini!” bentaknya, berbareng pedangnya terus menusuk ke paha Ciok Boh-thian.

Kaum Siang-jing-koan mempunyai peraturan yang keras, yaitu tidak boleh sembarangan membunuh. Sekarang asal-usul pihak lawan belum jelas, walaupun begitu datang Ciok Boh-thian lantas minta medali tembaga apa segala, namun serangan Ciau-hi itu toh tidak diarahkan ke tempat yang berbahaya.

Dengan cepat Boh-thian dapat mengegos, berbareng tangan kanan balas mencengkeram pundak lawan.

Melihat gerak-gerik Boh-thian sangat cekatan, Ciau-hi tidak berani ayal lagi, pedang berputar terus menusuk pula ke bahu kanan lawan.

Lekas-lekas Boh-thian mendakkan tubuh dan menggeser ke samping, berbareng tangan kanan digunakan menyampuk. Di luar dugaan, kontan Ciau-hi lantas mencium serangkum bau amis yang memuakkan, kepalanya menjadi pening, seketika ia roboh terjungkal.

Selagi Boh-thian tercengang atas kejadian itu, tiba-tiba pedang tojin kedua sudah menusuk dari belakang.

Sekarang Boh-thian sudah tahu bahwa telapak tangannya sendiri itu rada-rada ajaib, asal memukul tentu akan membinasakan orang, maka ia tidak berani balas menyerang lagi, lekas-lekas ia melompat ke depan. Namun sudah kasip sedikit, “bret”, bajunya telah terobek satu garis, bahkan kulitnya juga tergores sedikit.

Meski ilmu silat tojin itu lebih rendah daripada Ciau-hi, tapi karena melihat Ciau-hi telah dirobohkan lawan dengan cara yang tak jelas, maka buru-buru ia ingin menolong sang suheng, pedangnya berputar dengan kencang, ia serang Boh-thian dengan gencar.

Karena tak berani balas memukul, terpaksa Boh-thian berusaha menghindar. Pada suatu kesempatan ia dapat menjemput pedang Ciau-hi yang terlempar di atas tanah itu. Ia lihat musuh masih terus menyerang tanpa kenal ampun, segera ia pun memutar pedang itu sebagai gantinya golok, ia mainkan Kim-oh-to-hoat yang lihai itu. “Trang”, sekaligus ia tangkis pergi pedang lawan yang sedang menusuk.

Karena tenaga dalam Ciok Boh-thian yang luar biasa kuatnya itu, tojin itu tidak mampu memegangi pedangnya lagi, senjata itu terlepas dan mencelat dari cekalannya. Tapi ilmu silat kaum Siang-jing-koan tidak melulu dalam hal ilmu pedang saja, Kim-na-jiu-hoat juga merupakan salah satu kepandaian tunggal yang disegani di dunia persilatan.

Maka begitu kehilangan senjata, tojin itu tidak menjadi gentar, sebaliknya ia terus menubruk maju malah, kedua tangannya yang mirip cakar itu terus mencengkeram dada dan perut Ciok Boh-thian. Dengan cara pertarungan dari jarak dekat ini, pihak lawan yang berpedang menjadi sukar untuk menggunakan senjatanya.

“Hei, jangan, jangan!” demikian Boh-thian berteriak-teriak gugup karena musuh menyeruduk dengan nekat. Berbareng tangan kirinya terus menyampuk untuk mendorong pergi tojin itu.

Pada saat dia sudah mengeluarkan tenaga, dengan sendirinya racun jahat yang mengeram di tubuhnya itu juga sudah ikut terkumpul di telapak tangannya. Maka sekali tangannya mendorong, kontan saja tojin itu pun roboh terkulai.

“Ai, ai! Sesungguhnya aku toh tidak ingin membikin celaka kau!” seru Boh-thian sambil banting-banting kakinya sendiri dengan penuh menyesal.

Dalam pada itu terdengar suara suitan yang sahut-menyahut, para tosu sudah makin mendekat. Cepat Boh-thian meraba sakunya Ciau-hi, benar juga kedua medali tembaga dapat diketemukannya. Segera ia masukkan benda-benda itu ke dalam bajunya sendiri, lalu angkat langkah seribu menuju ke jurusan yang ditempuh Ciok Jing dan istrinya.

Sekaligus tanpa berhenti ia terus berlari sampai belasan li jauhnya, tapi sama sekali tak terdengar suara larinya kuda. Pikirnya, “Apa barangkali kuda-kuda tunggangan Ciok-cengcu dan Ciok-hujin itu sedemikian cepatnya sehingga aku tidak dapat mendahului mereka? Atau, jangan-jangan aku telah salah ambil arah, mereka tidak melalui jalan besar ini, tapi mengambil jurusan lain?”

Setelah berlari beberapa li lagi, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Cepat Boh-thian memandang ke arah suara kuda itu, dari jauh dapat dilihatnya di bawah sebatang pohon tertambat dua ekor kuda, seekor hitam dan seekor lagi putih. Terang itulah kuda-kuda tunggangan Ciok Jing berdua.

Boh-thian sangat girang, segera ia mengeluarkan kedua medali tembaga dan disiapkan di tangan. Baru saja ia hendak pentang mulut untuk menyapa, sekonyong-konyong terdengar suara Ciok Jing sedang bicara di kejauhan, “Adik Ju, maling kecil itu secara sembunyi-sembunyi telah menguntit kita, tentu dia tidak bermaksud baik, bolehlah kau bereskan dia saja.”

Keruan Boh-thian terperanjat, disangkanya Ciok Jing tidak suka dikintil olehnya. Anehnya suara Ciok Jing terdengar dengan jelas, tapi orangnya tidak kelihatan. Ia menjadi khawatir kalau-kalau Ciok-hujin melabrak dirinya dan terpaksa ia harus balas menyerang, lalu nyonya baik itu juga terpukul mati, kan urusan bisa runyam.

Maka cepat ia menyusup dan sembunyi di tengah alang-alang yang lebat. Ia pikir Bin Ju pasti akan memburu ke situ, jika demikian ia akan melemparkan medali-medali tembaga tadi kepada nyonya itu, lalu ia akan melarikan diri.

Tiba-tiba terdengar suara berkeresek, sesosok bayangan orang telah melompat keluar dari balik pohon di sebelah sana, dengan pedang terhunus orang itu menuding ke tengah semak-semak sambil membentak, “He, anak muda, untuk apa kau menguntit kami? Hayo lekas keluar!”

Itulah suaranya Bin Ju.

Baru saja Boh-thian hendak menjawab, sekonyong-konyong dari tengah semak-semak rumput menyambar keluar tiga titik sinar, ada orang sedang menyerang Bin Ju dengan senjata rahasia. Ketika Bin Ju mengayun pedangnya dan baru saja senjata-senjata rahasia itu disampuk jatuh, cepat dari semak-semak rumput telah melompat keluar seorang laki-laki berbaju hijau, dengan golok laki-laki itu lantas membacok Bin Ju.

Kejadian ini benar-benar di luar dugaan Boh-thian, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa di tengah semak-semak rumput itu tersembunyi orang lain pula.

Dilihatnya gerakan laki-laki itu cukup gesit, golok diputar dengan kencang. Bin Ju hanya menangkis seperlunya saja dan tidak balas menyerang.

Sementara itu Ciok Jing juga sudah muncul dari balik pohon sana, ia hanya menonton saja dengan berpangku tangan. Setelah mengikuti beberapa jurus, tiba-tiba ia menegur, “He, kau, bukankah kau ini muridnya Loh Cap-pek dari Thay-san?”

“Kalau betul mau apa?” bentak orang itu, goloknya sedikit pun tidak kendur.

“Walaupun Loh Cap-pek tiada persahabatan dengan kami, tapi juga tidak bermusuhan,” kata Ciok Jing. “Kau sudah menguntit kami beberapa li jauhnya, apa maksud tujuanmu yang sebenarnya?”

“Aku tidak sempat menjelaskan....” sahut laki-laki itu. Kiranya Bin Ju tampaknya seperti seenaknya saja melayani serangan-serangan lawan, tapi sebenarnya laki-laki itu sudah terdesak sehingga kelabakan.

Maka Ciok Jing berkata pula dengan tertawa, “Ilmu golok Loh Cap-pek jauh lebih tinggi daripada kami, tapi tampaknya kau belum lagi ada tiga bagian mempelajari kepandaian suhumu itu. Nah, lepas senjata dan berdiri saja di situ!”

Mendengar ucapan Ciok Jing ini, kontan pedang Bin Ju juga tepat menusuk pergelangan laki-laki itu. Sedikit berputar ke samping, Bin Ju putar gagang pedangnya untuk mengetok, dengan tepat hiat-to di punggung orang lantas ditutuknya. “Trang”, golok laki-laki itu jatuh ke tanah, sedangkan tubuhnya sudah tak bisa berkutik lagi.

“Kau she apa, sahabat?” tanya Ciok Jing dengan tersenyum.

Namun orang itu sangat kepala batu, biarpun terancam dia tetap tidak gentar. Bahkan dengan galak ia menjawab, “Mau bunuh boleh bunuh, buat apa banyak bicara?”

“Jika sahabat tidak mau bicara juga tidak menjadi soal,” ujar Ciok Jing dengan tertawa. “Kau telah ikut di dalam organisasi mana? Agaknya gurumu tidak mengetahui, bukan?”

Laki-laki itu mengunjuk rasa sangsi dan heran, ia pikir dari manakah orang mengetahui seluk-beluk tentang dirinya?

Maka Ciok Jing menyambung lagi, “Cayhe tiada pernah bermusuhan dengan gurumu, andaikan dia benar-benar mengirim orang untuk menguntit kami, hehe, untuk bicara terus terang, rasanya gurumu masih cukup menghormati kami dan takkan mengutus orang semacam saudara.”

Di balik kata-katanya ini Ciok Jing ingin mengatakan bahwa ilmu silatmu terlalu rendah, tidaklah mungkin gurumu mengirim seorang keroco seperti kau ini.

Keruan muka orang itu menjadi merah jengah, untung dalam keadaan gelap sehingga tidak dilihat orang lain.

Ciok Jing lantas menepuk dua kali di pundak laki-laki itu, katanya, “Kami suami-istri selamanya suka blakblakan dalam segala hal. Jika kau ingin tahu jejak kami, tiada halangannya kami memberitahukan secara terus terang. Kami tadi baru datang dari menyambangi Thian-hi Totiang di Siang-jing-koan. Bolehlah kau pulang dan tanya kepada gurumu, tentu kau akan tahu bahwa di waktu mudanya Ciok Jing dan Bin Ju pernah belajar silat di Siang-jing-koan dan Thian-hi Totiang adalah suheng kami. Sekarang kami hendak berangkat ke Leng-siau-sia di Swat-san untuk menemui Wi-tek Siansing, ciangbunjin dari Swat-san-pay. Nah, jika sahabat tiada sesuatu yang perlu ditanyakan lagi bolehlah silakan pergi saja.”

Sesudah pundaknya ditepuk, segera laki-laki itu merasa badannya bisa bergerak lagi. Di samping malu ia menjadi kagum juga. Ia memberi hormat dan menjawab, “Ciok-cengcu ternyata berbudi luhur dan tidak bernama kosong, maafkan tadi aku telah mengganggu.”

Habis berkata, goloknya yang jatuh tadi pun tidak berani dijemput kembali, segera ia putar tubuh dan melangkah pergi.

Baru beberapa tindak orang itu berjalan, tiba-tiba Ciok Jing berseru pula, “He, sahabat, apakah pangcu kalian sudah diketemukan?”

Orang itu terkejut. “Jadi... jadi kau sudah tahu semua?” sahutnya dengan terputus-putus sambil berpaling.

“Ah, tidak, aku tidak tahu,” kata Ciok Jing sambil menghela napas perlahan. “Jadi belum ada beritanya, ya?

“Ya, belum ada,” sahut laki-laki itu sambil menggeleng.

“Kami suami-istri juga ingin mencari dia,” kata Ciok Jing pula.

Untuk sejenak ketiga orang berdiri terpaku berhadapan, kemudian orang itu membalik tubuh dan melanjutkan perjalanannya.

“Engkoh Jing, apakah dia orang Tiang-lok-pang?” tanya Bin Ju sesudah orang itu pergi agak jauh.

Hati Ciok Boh-thian tergetar demi mendengar “Tiang-lok-pang” disebut.

Jilid 29

Dalam pada itu terdengar Ciok Jing telah menjawab, “Tadi waktu dia berputar tubuh dan menarik jubahnya, lapat-lapat aku melihat ujung bajunya itu tersulam setangkai bunga kuning, maka aku coba-coba menegurnya, dan ternyata memang betul. Sebabnya dia menguntit kita kiranya... kiranya adalah anak Giok. Tahu begitu, tentu tadi kita tak perlu membikin susah padanya.”

“Tampaknya mereka... mereka sangat setia kepada anak Giok,” ujar Bin Ju.

“Ya, anak Giok kena diculik oleh Pek Ban-kiam, tentu saja orang-orang Tiang-lok-pang disebarkan untuk mencegat di mana-mana,” ujar Ciok Jing. “Jumlah mereka sangat banyak, hubungan luas dan pengaruh besar, tak tersangka toh tetap tiada mendapatkan sesuatu berita apa-apa.”

“Dari... dari mana kau mengetahui tiada sesuatu berita apa-apa?” kata Bin Ju dengan sedih.

Dengan penuh kasih sayang Ciok Jing memegang tangan sang istri, katanya dengan lembut, “Adik Ju, bila mereka sudah mendapat berita tentang anak Giok, tentu mereka takkan menyebarkan orang ke mana-mana untuk mengikuti jejak tokoh-tokoh Kangouw. Murid Loh Cap-pek tadi tanpa sebab telah menguntit kita, selain ingin mencari tahu jejak pangcu mereka rasanya tiada maksud tujuan lain lagi.”

Tempat di mana Ciok Jing dan Bin Ju berada itu jaraknya kira-kira beberapa meter dari tempat sembunyi Ciok Boh-thian. Walaupun suara bicara Ciok Jing tidak keras, tapi cukup jelas didengar oleh pemuda itu.

Sebenarnya dengan kepandaian Ciok Jing suami-istri yang tinggi, waktu datangnya Boh-thian tadi tentu akan diketahui oleh mereka. Cuma waktu itu mereka lagi mencurahkan perhatian kepada laki-laki murid Loh Cap-pek yang selalu menguntit itu, ditambah lagi lwekang Boh-thian sekarang sudah sangat tinggi, langkahnya enteng tak bersuara, sebab itulah sehabis Ciok Jing menyelesaikan urusan laki-laki itu, sama sekali mereka tidak menduga bahwa di tengah semak-semak sana masih sembunyi seorang lain lagi.

Dari percakapan Ciok Jing berdua itu, Boh-thian mendengar tentang Pangcu Tiang-lok-pang yang diculik Pek Ban-kiam yang maksudnya rasanya seperti dirinya, tapi “anak Giok” apa segala toh bukanlah dirinya.

Memangnya dalam benak Ciok Boh-thian telah penuh tanda tanya mengenai asal usulnya sendiri, kalau sekarang mendadak ia keluar dari tempat sembunyinya tentu juga kurang pantas. Maka ia lantas diam saja untuk mendengarkan lebih lanjut.

Saat itu adalah malam yang gelap, suara serangga dan katak mulai bergema, angin pun meniup mendesis-desis, sebaliknya Ciok Jing suami-istri pun tidak bicara lagi.

Karena khawatir jejaknya diketahui, maka Ciok Boh-thian sampai bernapas pun tidak berani terlalu keras. Selang agak lama barulah didengarnya nyonya Ciok menghela napas, menyusul terdengar suara tersedu-sedu yang perlahan.

Lalu terdengar Ciok Jing telah berkata, “Adik Ju, selama kita merantau di kalangan Kangouw belum pernah kita melakukan sesuatu yang jahat. Beberapa tahun terakhir ini demi keselamatan anak Giok bahkan kita lebih banyak menjalankan kebajikan. Kalau sudah begini kita masih diharuskan tidak mempunyai keturunan maka apa mau dikata lagi bilamana memang sudah suratan nasib, apalagi anak durhaka sebagai anak Giok itu ada lebih baik kita anggap tidak mempunyai anak saja, sudah.”

“Meski anak Giok memang agak nakal sejak kecil, tapi dia... dia tetap jantung hati kita,” ujar Bin Ju dengan suara lembut. “Hanya karena anak Kian telah tewas dengan mengenaskan di tangan orang, kita menjadi lebih memanjakan anak Giok dan mengakibatkan gara-gara seperti sekarang ini, namun... namun aku tetap takkan membencinya. Tempo hari waktu di kelenteng kecil itu bukankah dia belum seburuk sebagaimana kita sangka? Jika aku tidak... tidak salah melukai dia, tentu... tentu takkan....” sampai di sini suaranya menjadi terguguk-guguk, rupanya ia sangat menyesal dan berduka.

“Sudah kukatakan janganlah kau sedih atas kejadian itu, andaikan tempo hari kita dapat menyelamatkan dia, toh tidak mustahil akan direbut lagi oleh mereka,” kata Ciok Jing. “Urusan ini pun sangat aneh, ke manakah perginya orang-orang Swat-san-pay ini, mengapa mendadak telah menghilang semua dan tiada berita apa-apa lagi di dunia persilatan Tionggoan. Adik Ju, besok juga kita berangkat langsung ke Leng-siau-sia. Setiba di sana, baik atau buruk tentu kita akan mendapat keterangan yang jelas.”

“Tanpa beberapa pembantu yang kuat, apakah kita mampu menyelamatkan anak Giok dari sarang harimau sebagai Leng-siau-sia itu?” ujar Bin Ju.

“Untuk menolong orang di sana memang tidaklah gampang,” kata Ciok Jing. “Harapan kita hanya mencegatnya di tengah jalan, tapi sekali anak Giok sudah berada di Leng-siau-sia, maka itu berarti kambing sudah masuk ke dalam mulut harimau.”

“Kukira dalam urusan ini juga tidak seluruhnya anak Giok yang bersalah,” kata Bin Ju. “Lihatlah Swat-san-kiam-hoat yang dimainkan anak Giok itu sedemikian ceteknya, tentu karena Swat-san-pay tidak mengajarkan dia dengan sungguh-sungguh. Anak Giok adalah pemuda yang angkuh dan tinggi hati pula, mungkin di sana ia telah banyak mengikat permusuhan. Tentu selama beberapa tahun ini dia telah sangat menderita lahir batin.”

“Ya, semuanya adalah karena salahku, sungguh aku sangat menyesal,” kata Ciok Jing. “Dahulu waktu aku memutuskan akan mengirim dia belajar kepada Swat-san-pay, walaupun kau tidak membantah, tapi kutahu di dalam hati kau merasa sangat berat. Sungguh tidak nyana Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li yang sedemikian terhormat, persahabatannya dengan kita juga begini baik, ternyata anak Giok telah disia-siakan di sana.”

“Engkoh Jing, urusan ini mana boleh menyalahkan kau,” ujar Bin Ju. “Maksudmu mengirim anak Giok ke Leng-siau-sia adalah demi kebaikanku, walaupun kau tidak menjelaskan juga aku tahu sendiri. Kau tahu bahwa untuk membalas sakit hati anak Kian melulu tenagaku sendiri tentu tidak berhasil, sampai pada saat yang menentukan juga kau tidak enak ikut campur, ditambah lagi pihak musuh terlalu hafal akan ilmu silat perguruan kita, tentu dia sudah mempunyai cara untuk mengalahkan kita. Tapi kalau anak Giok berhasil mempelajari Swat-san-kiam-hoat, dengan bahu-membahu kami ibu dan anak tentu mampu membinasakan musuh. Siapa tahu... siapa tahu... ai!”

Ciok Boh-thian dapat mengikuti percakapan Ciok Jing dan Bin Ju itu, tapi sebagian besar ia merasa tidak paham dan bingung. Hanya terpikir olehnya, “Nasib nyonya Ciok sungguh malang, sedemikian sedih dia merindukan anaknya itu. Agaknya anaknya telah ditawan orang Swat-san-pay dan dibawa ke Leng-siau-sia, biarlah aku ikut mereka ke sana dan bila perlu akan kubantu mereka. Bukankah tadi dia mengatakan ingin mencari beberapa pembantu?”

Tengah merenung, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara derapan kuda yang ramai dari kejauhan, ada belasan ekor kuda sedang lari mendatangi dengan cepat. Rupanya Ciok Jing berdua juga sudah dengar, mereka tidak bicara lagi, tapi duduk dengan diam saja.

Selang tidak lama, suara derapan kuda makin mendekat, lalu ada orang berseru, “Itu dia, di sini!”

Menyusul ada orang berseru pula, “Ciok-sute, Bin-sumoay, kami ingin bicara dengan kalian!”

Ciok Jing dan Bin Ju mengenali suara Tiong-hi Tojin itu, mereka agak heran, tapi lantas melompat maju. Seru Ciok Jing, “Tiong-hi Suheng, apakah telah terjadi sesuatu?”

Maka tertampaklah Thian-hi, Tiong-hi, dan belasan suheng dan sute dari Siang-jing-koan itu semuanya berkuda, dua tojin di antaranya masing-masing memondong sesosok tubuh. Karena keadaan gelap sehingga tubuh-tubuh siapakah itu tidaklah jelas.

Dengan pada yang gugup dan kasar Tiong-hi lantas menegur, “Ciok... Ciok-sute dan Bin-sumoay, kalian tidak berhasil merebut kedua medali pengganjar dan penghukum di dalam kelenteng, mengapa lantas menggunakan tipu muslihat untuk merebutnya pula? Urusan kedua medali tembaga itu tidak menjadi soal, tapi mengapa kalian memakai cara keji terhadap Ciau-hi dan Thong-hi Sute, perbuatan kalian ini sungguh... sungguh tidak patut.”

Ciok Jing dan Bin Ju terkejut semua mendengar uraian itu. Cepat Ciok Jing bertanya, “Ciau-hi dan Thong-hi Suheng telah... telah mengalami cedera? Mengapa... mengapa bisa terjadi demikian? Apakah jiwa kedua suheng itu berbahaya?”

Karena mengkhawatirkan keselamatan kedua suheng itu, seketika juga Ciok Jing tidak sempat mendebat dan membela diri atas tuduhan Tiong-hi tadi.

Tapi dengan marah-marah Tiong-hi berkata pula, “Entah kau telah bersekongkol dengan kaum pengecut yang tidak kenal malu sehingga berani menggunakan racun yang keji. Walaupun kedua sute belum lagi binasa, tapi keadaan mereka sekarang rasanya juga tidak berbeda banyak.”

“Harap Suheng jangan marah dulu, coba kuperiksa mereka,” kata Ciok Jing sambil melangkah maju hendak melihat keadaan Ciau-hi dan Thong-hi.

Tapi lantas terdengar suara “sret-sret” di sana-sini, beberapa tojin sudah melolos pedang dan mengadang di depan Ciok Jing.

Dengan menghela napas Thian-hi lantas berkata, “Menyingkirlah kalian! Ciok-sute bukanlah manusia semacam itu.”

Para tojin itu mendengus, lalu menurunkan pedang dan memberi jalan.

Segera Ciok Jing mengeluarkan geretan api untuk menerangi muka Ciau-hi dan Thong-hi. Maka terlihatlah wajah kedua tojin itu hitam gelap, itulah memang tanda-tanda terkena racun. Waktu pernapasan mereka diperiksa, ternyata denyut jantungnya sangat lemah, jiwa mereka sudah tinggal sesaat dua saat saja.

Hendaklah maklum bahwa ilmu silat Siang-jing-koan mempunyai gayanya tersendiri dan mempunyai kelebihan daripada ilmu silat golongan lain. Ciau-hi dan Thong-hi Tojin semuanya memiliki lwekang yang cukup tinggi, sedangkan pukulan berbisa Ciok Boh-thian tidak langsung mengenai tubuh mereka, maka kedua tojin itu cuma jatuh pingsan terkena hawa berbisa yang tertolak keluar dari telapak tangan Ciok Boh-thian. Namun demikian, terang ajal mereka pun takkan tahan lebih lama daripada satu atau setengah jam.

Melihat begitu parah kedua tojin itu keracunan, Ciok Jing menoleh dan tanya kepada sang istri, “Adik Ju, kau kira orang dari golongan manakah yang memakai cara sekeji ini?”

Dan karena menolehnya itu, tertampaklah beberapa tojin yang lain dengan pedang terhunus sudah mengepung mereka dengan rapat.

Tapi Bin Ju anggap tidak tahu saja atas sikap permusuhan para imam itu. Ia menerima geretan api dari tangan sang suami, lalu mendekat untuk periksa air muka Ciau-hi dan Thong-hi, sedikit saja terendus hawa berbisa yang diembuskan dari pernapasan kedua imam itu, seketika Bin Ju sendiri merasa kepala pening, cepat ia melangkah mundur.

Setelah memikir sejenak, lalu ia berkata, “Aku belum pernah melihat racun begini selama merantau. Tolong tanya, Tiong-hi Suheng, cara bagaimana kedua suheng ini kena racun? Apakah salah minum obat racun? Atau terkena senjata rahasia musuh yang berbisa? Apakah tubuh mereka ada bekas luka?”

“Dari mana aku bisa tahu?” sahut Tiong-hi dengan marah. “Kami justru menyusul ke sini untuk tanya padamu. Kau perempuan ini tadi tampak mencurigakan, besar kemungkinan waktu makan-minum tadi, karena tidak berhasil merebut medali-medali itu, lalu kau menaruh racun di dalam arak. Kalau tidak, mengapa orang lain tidak keracunan, tapi Ciau-hi Sute yang mengantongi medali-medali itu justru keracunan? Sedangkan me... medali-medali itu pun direbut lagi oleh kalian.”

Saking gusarnya air muka Bin Ju sampai pucat pasi. Tapi dasar perangainya memang halus, sejak kecil ia pun sangat sopan dan menghormati para suheng, maka ia tidak suka bercekcok mulut dengan mereka, hanya air matanya yang berlinang-linang dan hampir-hampir menetes.

Ciok Jing tahu di dalam persoalan ini tentu adalah kesalahpahaman yang besar. Tadi dirinya suami-istri tidak berhasil merebut medali-medali tembaga itu, habis itu Ciau-hi lantas keracunan dan kehilangan medali-medali itu. Dalam keadaan demikian mereka suami-istri memang berada pada tempat yang harus dicurigai. Ia coba memegang tangan sang istri dengan maksud menghiburnya agar jangan berduka. Tapi seketika ia pun bingung dan tak berdaya.

“Aku... aku....” demikian Bin Ju bermaksud membela diri, tapi hanya kata-kata itu saja yang sanggup diucapkan dan sudah menangis.

“Biarpun kau menangis sampai langit runtuh, memangnya kedua sute ini dapat kau hidupkan kembali? Huh, kucing menangisi tikus....” jengek Tiong-hi dengan gusar.

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong di belakang mereka ada orang berseru, “Mengapa kalian tidak membedakan hitam atau putih dan sembarangan memfitnah orang?”

Mendengar suara orang yang sangat keras dan kuat itu, para imam terkejut dan berpaling semua. Maka tertampaklah di sebelah sana sudah berdiri seorang laki-laki berbaju rombeng kumal. Tatkala itu fajar sudah mulai menyingsing sehingga remang-remang wajahnya kelihatan, rupanya usianya masih sangat muda.

Ciok Jing dan Bin Ju menjadi girang demi melihat pemuda itu. Bin Ju sampai berteriak, “Ha... kau....” syukurlah pengalamannya cukup luas sehingga kata-kata “anak Giok” tidak sampai terucapkan.

Pemuda itu memang betul Ciok Boh-thian adanya. Dia sembunyi di dalam semak alang-alang dan mendengarkan para imam itu menuduh Ciok Jing berdua telah meracuni kedua sute mereka. Boh-thian menjadi ragu-ragu, kalau dirinya tampil ke muka, tentu akan bergebrak dengan para imam dan bukan mustahil pukulan berbisanya akan banyak minta korban lagi, hal ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan pikirannya. Tapi akhirnya demi melihat Tiong-hi makin garang dan makin mendesak sehingga Bin Ju sampai menangis, maka Boh-thian tidak tahan lagi, segera ia keluar dari tempat sembunyinya.

“Siapa kau? Dari mana kau mengetahui kami sembarangan memfitnah orang?” bentak Tiong-hi segera.

Boh-thian menjawab, “Ciok-cengcu dan Ciok-hujin tidak mengambil medali-medali tembaga kalian, tapi kalian bersitegang menuduh mereka, bukankah ini memfitnah secara ngawur?”

“Huh, kau bocah ini tahu apa? Kau berani sembarangan mengoceh di sini?” bentak pula Tiong-hi sambil melangkah maju setindak dengan pedang terhunus.

“Sudah tentu aku tahu,” sahut Boh-thian. Mestinya ia hendak mengatakan bahwa sesungguhnya dia yang mengambil medali-medali itu, tapi terpikir pula bila dikatakan terus terang, tentu kawanan imam itu akan main rebut lagi, dan kalau tidak dikembalikan, tentu akan terjadi pertarungan sengit sehingga terpaksa membunuh orang. Sebab itulah ia pikir lebih baik tidak dikatakan saja.

Di lain pihak hati Tiong-hi juga tergerak, ia pikir boleh jadi pemuda ini mengetahui seluk-beluk tentang medali-medali itu. Maka ia lantas tanya, “Habis siapakah yang mengambil medali-medali itu?”

“Pendek kata bukanlah Ciok-cengcu dan Ciok-hujin yang mengambil.” kata Boh-thian. “Kalian telah bersikap kasar kepada mereka, sampai-sampai Ciok-hujin jadi menangis, sungguh tidak pantas, lekaslah kalian meminta maaf kepada Ciok-hujin.”

Sungguh girang Bin Ju tak terkatakan ketika mendadak melihat sang putra kesayangan yang dirindukannya siang dan malam itu, ternyata dalam keadaan selamat tanpa kurang sesuatu apa pun. Sekarang didengarnya pula pemuda itu menyuruh Tiong-hi meminta maaf, terang sekali anak muda itu ingin membela sang ibu.

Bin Ju mempunyai dua orang putra yang telah banyak menyusahkan orang tua, dan baru sekarang ia mendengar sang putra mengucapkan kata-kata yang bersifat membela ibunda, seketika lega dan terhiburlah hatinya, ia merasa jerih payah dan duka derita yang telah dialaminya selama 20-an tahun bagi sang putra tidaklah sia-sia.

Melihat wajah sang istri berseri-seri, tapi air matanya berlinang-linang pula, Ciok Jing dapat memahami pikirannya, tangan istrinya yang masih dipegangnya itu digenggamnya lebih kencang lagi. Ia pun berpikir, “Ya, betapa pun jeleknya kelakuan anak Giok, terhadap ibunya toh dia masih sangat berbakti.”

Dalam pada itu Tiong-hi menjadi gusar karena Boh-thian berani bicara dengan kasar padanya. Dengan suara keras ia membentak pula, “Siapakah saudara ini? Berdasar apa kau berani menyuruh aku meminta maaf kepada Ciok-hujin?”

Karena senang hatinya, Bin Ju menjadi anggap sepi terhadap tuduhan Tiong-hi yang tak berdasar tadi, ia khawatir putranya bertengkar dengan imam-imam itu sehingga menimbulkan persengketaan di antara saudara seperguruan sendiri, maka cepat ia menyela, “Tiong-hi Suheng hanya salah paham saja, kita adalah orang sendiri semua, asalkan duduknya perkara dibikin terang, maka tidak perlu bicara tentang minta maaf apa segala.”

Lalu ia berpaling kepada Boh-thian dan berkata pula dengan suara halus, “Para Totiang adalah supek dan susiokmu, lekas kau menjura kepada mereka.”

Terhadap Bin Ju memangnya Ciok Boh-thian mempunyai kesan baik, sekarang dilihatnya nyonya itu memandangnya dengan wajah ramah dan penuh kasih sayang, hal ini selama hidupnya belum pernah diterimanya dari siapa pun juga. Seketika darah Ciok Boh-thian bergolak, ia merasa biarpun apa yang harus dilakukannya menurut pesan Bin Ju, sekalipun mati juga tidak menolak, apalagi cuma disuruh menjura saja.

Maka tanpa pikir lagi ia lantas tekuk lutut dan menjura kepada Tiong-hi sambil berkata, “Ciok-hujin menyuruh aku menjura padamu, maka aku lantas menjura!”

Thian-hi, Tiong-hi dan lain-lain sama melengak. Mereka heran mengapa Ciok Boh-thian sedemikian menurutnya kepada Bin Ju. Mereka tahu Ciok Jing mempunyai dua orang putra. Yang satu telah dibunuh oleh musuh, seorang lagi hilang diculik, maka pemuda ini besar kemungkinan adalah muridnya saja.

Walaupun tabiat Tiong-hi agak berangasan, tapi apa pun juga dia adalah kaum beribadat, melihat Ciok Boh-thian memberi hormat padanya, seketika rasa gusarnya lantas mereda. Cepat ia melompat turun dari kuda dan hendak membangunkan pemuda itu, katanya, “Ah, janganlah banyak adat!”

Tak tersangka bahwa sekali Ciok Boh-thian sudah disuruh menjura, maka ia pikir harus menjura benar-benar, waktu Tiong-hi memayangnya ia tidak lantas bangun.

Dengan sendirinya waktu tangan Tiong-hi memegang bahu Boh-thian, ia merasa tubuh anak muda itu sangat berat, sedikit pun tidak bergoyah. Keruan ia menjadi marah lagi, pikirnya, “Kau anggap aku sebagai orang tua, tapi sekarang kau sengaja pamer lwekang lagi di hadapanku.”

Segera ia menarik napas dalam-dalam dan mengerahkan tenaga untuk mengangkat ke atas, maksudnya hendak menjungkirkan Ciok Boh-thian yang bandel itu.

Melihat kuda-kuda Tiong-hi itu, segera Ciok Jing suami-istri mengetahui apa yang hendak dilakukan sang suheng. Ciok Jing agak mendongkol atas sikap Tiong-hi itu. Tapi demi mengingat sang suheng hendak memberi sedikit hajaran kepada putranya, ya, apa boleh buat, terpaksa membiarkan anak muda itu tahu rasa sedikit.

Sebaliknya Bin Ju lantas berseru, “Perlahan sedikit, Suko!”

Maka terdengarlah suara “Wuuut... bluk”, bukannya Ciok Boh-thian yang terangkat, sebaliknya tubuh Tiong-hi sendiri mencelat ke belakang dan tertumbuk pada kudanya sendiri.

Dengan sempoyongan lekas-lekas Tiong-hi menggunakan ilmu “Jian-kin-tui” (membikin berat tubuh), dengan demikian barulah ia dapat berdiri tegak lagi. Namun kudanya yang tertumbuk itu lantas meringkik dan terjungkal.

Kejadian yang disaksikan orang banyak ini sudah tentu membuat semua orang terkejut. Ciok Jing dan Bin Ju sendiri pernah bertanding pedang dengan Ciok Boh-thian di kelenteng kecil di luar kata Yangciu tempo hari dan mengetahui tenaga dalam anak muda itu sangat kuat, namun sama sekali tak terbayang oleh mereka bahwa kekuatan lwekangnya sekarang sudah memuncak selihai ini, hanya tenaga pentalan saja sudah membikin tokoh kelas wahid dari Siang-jing-koan mencelat sendiri.

Begitu Tiong-hi sudah berdiri tegak, “sret”, segera ia melolos pedang. Saking gusarnya ia berbalik tertawa. Serunya, “Bagus, bagus, bagus! Murid didik sute dan sumoay ternyata lain daripada yang lain, maka biarlah aku belajar kenal beberapa jurus dengan dia.”

Habis berkata, kontan ujung pedang lantas menusuk ke dada Ciok Boh-thian.

“Tidak, ti... tidak, aku tak mau berkelahi dengan kau!” seru Boh-thian sambil goyang-goyang kedua tangannya dan mundur setindak.

Di sebelah lain Thian-hi sudah dapat melihat ilmu silat Ciok Boh-thian tidak boleh dibuat main-main, ia pikir kalau Tiong-hi Sute bertempur dengan anak muda ini, kalau menang toh takkan terpuji, sebaliknya kalau kalah malah akan ditertawai orang. Sekarang dilihatnya Ciok Boh-thian tidak mau bertanding, hal ini menjadi kebetulan, maka cepat ia menyela, “Ya, kita adalah orang sendiri, buat apa bertanding segala? Andaikan ingin tukar pikiran tentang kepandaian masing-masing juga tidak perlu sekarang juga.”

“Betul itu,” Boh-thian menimpali. “Kalian adalah suheng dan sutenya Ciok-cengcu, bilamana bergebrak dan aku membinasakan kalian lagi, wah, kan bisa berabe!”

Maklum, sama sekali Boh-thian tidak tahu adat istiadat orang hidup, ia khawatir jangan-jangan dalam pertarungan nanti pukulannya yang berbisa akan membinasakan lawan lagi, maka ia telah katakan terus terang isi hatinya itu. Tak disangkanya bahwa ucapannya itu biarpun didengar oleh siapa pun juga tentu akan menimbulkan rasa murka dan akan melabraknya. Apalagi imam-imam Siang-jing-koan itu biasanya sangat menilai tinggi ilmu silat golongan mereka, keruan mereka menjadi gusar.

Begitu pula Ciok Jing lantas membentak juga, “Kau bilang apa? Jangan sembarang mengoceh!”

Semula Tiong-hi sudah menarik kembali pedangnya dan hendak menyingkir karena perintah Thian-hi tadi. Tapi demi mendengar ucapan Ciok Boh-thian yang menghina dan memandang enteng para imam itu, ia tidak tahan lagi, segera ia melangkah maju pula dan membentak, “Baik, aku justru ingin tahu cara bagaimana kau akan membinasakan kami. Nah, mulailah!”

“Tidak, aku tidak mau berkelahi dengan kau,” sahut Boh-thian dengan goyang-goyang kedua tangannya.

Tiong-hi semakin murka, dengusnya, “Hm, jadi kau merasa tiada harganya buat bergebrak dengan aku?!”

“Sret”, kontan ia mendahului menusuk ke bahu anak muda itu.

Karena Boh-thian tidak bersenjata, maka serangan Tiong-hi ini sengaja ditujukan ke tempat yang tidak berbahaya. Dia adalah jago pedang terkemuka dari Siang-jing-koan, walaupun pengalaman tempurnya tidak lebih banyak daripada Ciok Jing dan Bin Ju, tapi ketangkasannya bahkan melebihi suami-istri itu.

Keruan Boh-thian menjadi kelabakan, ia tidak sempat mengelakkan diri lagi, “cret”, bahunya telah tertusuk sedikit, kontan darah merembes keluar.

“Aduh!” Bin Ju menjerit khawatir.

Sebaliknya Tiong-hi lantas membentak pula, “Lekas keluarkan senjatamu!”

Namun Boh-thian berpikir, “Kau adalah suhengnya Ciok-hujin, tadi aku sudah salah membunuh dua orang suhengnya, kalau sekarang membunuh kau lagi, pertama, tidaklah baik terhadap Ciok-hujin, kedua, aku pun akan dianggap sebagai orang jahat.”

Sebab itulah ia tidak menangkis tusukan Tiong-hi tadi, ia khawatir kalau tangannya bergerak, bukan mustahil telapak tangan yang beracun itu akan menimbulkan korban lagi. Maka kedua tangannya sengaja ditelikungnya di belakang punggung dan saling genggam dengan erat, betapa pun dibentak Tiong-hi tetap dia tidak mau mainkan tangannya.

Melihat kelakuan Boh-thian ini, para imam Siang-jing-koan menyangka dia sengaja menghina, keruan mereka menjadi marah biarpun biasanya mereka adalah orang yang sabar. Segera ada yang berseru, “Tiong-hi Suheng, bocah itu terlalu sombong, berilah hajaran yang setimpal!”

“Apa kau benar-benar tidak sudi bergebrak dengan aku?” segera Tiong-hi membentak Ciok Boh-thian lagi. “Sret-sret”, kembali ia menyerang pula dua kali.

Saking cepatnya serangan Tiong-hi, dalam hal ilmu pedang memangnya Boh-thian juga kurang mahir, walaupun lwekangnya tinggi, tapi tidaklah sanggup menghindar, kontan lengan kiri dan dada kanan tertusuk pula. Untung Tiong-hi tidak bermaksud membunuhnya melainkan cuma memaksanya bergebrak saja, maka tusukan-tusukan itu hanya mengenai kulitnya dan pedang lantas ditarik kembali, makanya Boh-thian hanya terluka lecet saja.

Melihat putra kesayangan berturut-turut terluka tiga tempat, sungguh hati Bin Ju merasa seperti dirinya yang terluka. Maka waktu melihat Tiong-hi kembali menusuk pula, “trang”, segera ia menangkiskannya bagi Ciok Boh-thian. Serentak terdengarlah suara “trang-tring, trang-tring” yang ramai, dalam sekejap saja Tiong-hi dan Bin Ju sudah bergebrak 13 kali.

Kedua orang sama-sama terhitung jago pilihan dari Siang-jing-koan, sekali ilmu pedang “Siang-jing-gway-kiam” dimainkan, Tiong-hi sekaligus menyerang 13 kali dan Bin Ju sekaligus juga menangkis 13 kali, seketika lelatu meletik sebagai kembang api disertai sinar pedang yang kemilauan, cepatnya tak terkatakan.

Maka begitu ke-13 jurus sudah dimainkan, serentak para imam dan Ciok Jing lantas bersorak dan menyenggak, “Bagus!”

Karena kedua orang adalah tunggal guru, Thian-hi tahu biarpun bertarung lebih lama lagi juga susah menentukan kalah dan menang. Maka ia lantas berkata, “Bin-sumoay, apa kau sudah terang akan membela anak muda ini?”

Bin Ju tidak menjawab, ia hanya pandang Ciok Jing dengan harapan sang suami yang menyatakan ketekadannya.

Maka Ciok Jing lantas membuka suara, “Bocah ini terlalu angkuh dan sembrono, memanglah pantas kalau diberi hajaran. Berturut-turut dia sudah kena tiga kali tusukan Tiong-hi Suheng, syukurlah Tiong-hi Suheng sengaja bermurah hati sehingga jiwanya tidak sampai melayang. Hanya sedikit kepandaian kasaran bocah ini mana dia sesuai untuk bergebrak dengan Tiong-hi Suheng? Nak, lekas kau menjura dan minta maaf kepada Supek!”

“Sudah terang dia memandang rendah kepada Siang-jing-koan kita, ia anggap tiada harganya bergebrak dengan kita,” seru Tiong-hi dengan marah-marah. “Kalau tidak, mengapa tadi dia menyatakan sekali tangannya bergerak kita tentu akan terbunuh semua?”

Waktu Ciok Boh-thian membuka tangannya, lapat-lapat ia melihat noktah merah dan garis-garis biru di tapak tangannya itu agak timbul lagi. Ia menghela napas dan berkata, “Kedua tanganku ini benar-benar penyakit, sedikit-sedikit tentu membinasakan orang.”

Mendengar itu, kembali air muka para imam Siang-jing-koan berubah.

Mau tak mau Ciok Jing sendiri menjadi marah juga demi mendengar ucapan Boh-thian yang sombong dan menyinggung perasaan itu. Segera ia membentak, “Kau bocah ini benar-benar tidak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi. Tadi Tiong-hi Supek sengaja mengampuni kau, makanya jiwamu tidak sampai melayang, apa kau tidak tahu?”

“Aku... aku....” sahut Boh-thian dengan tergagap-gagap.

Dalam pada itu Tiong-hi sudah mulai curiga. Tadi ia telah menusuk tiga kali kepada Ciok Boh-thian, dilihatnya cara pemuda itu belum paham cara menghindarnya, sebaliknya lwekangnya sedemikian lihainya, kalau bicara tentang ilmu silat tampaknya bukanlah murid didiknya Ciok Jing suami-istri. Apalagi waktu Boh-thian membuka kedua tangannya, sayup-sayup tercium olehnya bau amis busuk yang memusingkan kepala. Keruan ia tambah sangsi. Segera ia membentak pula, “Sebenarnya kau murid siapa? Dari mana kau belajar berlagak dan bermulut besar?”

“Aku... aku adalah murid tertua Kim-oh-pay,” sahut Boh-thian.

Tiong-hi melengak. Pikirnya, “Kim-oh-pay? Setahuku di dunia persilatan tiada terdapat nama demikian, besar kemungkinan bocah ini membual lagi.”

Segera ia berkata, “O, kukira kau adalah muridnya Ciok-sute sendiri, tapi ternyata bukan orang sendiri, ini menjadi kebetulan malah.”

Segera ia mengedipi dua orang sute yang berdiri di sebelahnya.

Kedua imam itu tahu maksud sang suheng, segera mereka memutar pedang, masing-masing dengan jurus “Tiau-pay-kim-teng” (Menyembah Puncak Emas), yang seorang menghadapi Ciok Jing dan yang lain mengarah Bin Ju.

Gaya “Tiau-pay-kim-teng” ini adalah satu jurus penghormatan kepada lawan dari ilmu pedang Siang-jing-koan, biasanya digunakan bilamana hendak bertanding dengan tokoh Bu-lim yang terkemuka atau angkatan yang lebih tua. Jurus ini tampaknya cuma sebagai penghormatan saja dengan ujung pedang mengarah ke bawah, tapi sebenarnya telah mengadakan penjagaan yang sangat rapat dalam lingkaran beberapa meter. Sekali lawan bergerak, seketika lantas mendahului menggempur.

Sudah tentu Ciok Jing berdua paham maksud kedua imam itu, yaitu mengawasi gerak-gerik mereka. Asalkan dirinya bergerak hendak membela sang putra, maka kedua imam itu serentak akan melayaninya. Tapi kalau dirinya tidak bergerak, maka kedua imam itu pun takkan melakukan penyerangan lebih dulu.

Dalam pada itu Tiong-hi sudah tak sabar lagi, kembali ia membentak Boh-thian, “Lekas keluarkan senjatamu! Jika kau tidak balas menyerang, segera aku mampuskan kau murid jahat dari Kim-oh-pay ini.”

Dengan tegas ia mengatakan “Kim-oh-pay”, terang supaya Ciok Jing berdua tak dapat membelanya lagi andaikan nanti Boh-thian benar-benar dibunuh olehnya.

Pada saat yang menentukan itu, Ciok Jing menduga bila Boh-thian tidak menandangi tantangan Tiong-hi itu, tentu anak muda itu akan terancam bahaya. Sebaliknya kalau terima tantangan itu, karena mengetahui ada kemungkinan dirinya suami-istri akan membela anaknya, tentulah dia akan pikir-pikir lebih dulu sebelum merobohkannya dan paling-paling anak muda itu hanya dilukai sedikit saja sekadar sebagai hajar adat.

Maka Ciok Jing lantas berseru, “Nak, jika Supek ingin memberi petunjuk padamu, hal ini akan sangat berguna bagimu, tentu Supek takkan melukai kau, janganlah takut. Lekas kau keluarkan senjata untuk melayaninya!”

Melihat sinar pedang Tiong-hi yang gemerlapan dan wajah sang supek yang kereng itu, diam-diam Boh-thian menjadi jeri. Berulang-ulang dia telah tertusuk tiga kali, ia tahu ilmu pedang imam itu sangat lihai. Sekarang didengarnya Ciok Jing menyuruhnya mengeluarkan senjata, tiba-tiba timbul suatu pikiran padanya, “Ya, betul, aku akan menangkis serangannya dengan senjata, dengan demikian racun di tanganku tentu takkan membinasakan dia.”

Sekilas dilihatnya di atas tanah ada sebatang golok, yaitu senjata yang ditinggalkan muridnya Loh Cap-pek tadi. Dengan girang ia lantas berseru, “Baik, baik! Aku akan melayani seranganmu. Tapi... tapi kau jangan menyerang lebih dulu, tunggulah aku mengambil golok itu. Jika kau menggunakan kesempatan ini untuk menusuk punggungku tentu tak bisa dianggap menang, jangan kau main belit.”

Melihat cara bicara Ciok Boh-thian itu seperti anak kecil saja, Tiong-hi sangat mendongkol dan geli pula. Ia menjengek sekali sambil melangkah mundur. “Cret”, ia tancapkan pedangnya ke tanah dan berkata, “Huh, kau anggap aku Tiong-hi ini orang macam apa? Masakah pakai menyerang dari belakang
terhadap bocah ingusan macam kau?”

Dengan tangan tolak pinggang Tiong-hi sengaja menunggu Boh-thian menjemput golok di atas tanah itu. Pikirnya, “Kiranya bocah ini mahir menggunakan golok, jika demikian terang dia bukan muridnya Ciok-sute. Hanya saja entah mengapa Ciok-sute menyuruh dia memanggil supek pula padaku?”

Begitulah, selagi Ciok Boh-thian berjongkok hendak mengambil golok, mendadak timbul pula suatu pikirannya, “Wah, dalam pertarungan nanti jangan-jangan secara tidak sengaja aku menggunakan sebelah tangan yang kosong ini dan tentu akan membinasakan dia pula. Ya, ada lebih baik tangan kiri ini kuikat saja pada badanku, dengan demikian akan aman sentosa segalanya.”

Jilid 30

Maka ia tidak jadi menjemput golok itu, ia menegak kembali dan berkata kepada Tiong-hi, “Maaf, harap kau tunggu dulu sebentar.”

Habis itu ia lantas melepaskan ikat pinggang, tangan kiri ia julurkan lurus di samping badan, lalu dengan tangan kanan ia mengikat lengan kiri pada badannya sendiri.

Dengan mata terbeliak semua orang mengikuti perbuatannya itu, semuanya tidak tahu permainan apa yang akan dilakukan olehnya. Namun Boh-thian tetap asyik melakukan pekerjaannya sendiri, setelah tangan kiri sudah terikat kencang di atas badan, lalu golok di atas tanah barulah diambilnya dan berkata, “Baiklah, sekarang kita boleh mulai, dengan demikian aku takkan membinasakan kau.”

Sungguh Tiong-hi hampir-hampir jatuh kelengar saking gusarnya. Anak muda menerima tantangannya dengan mengikat sebelah tangannya, ini berarti suatu hinaan yang tak terkatakan. Sudah tentu para imam Siang-jing-koan juga marah-marah, mereka membentak dan mencaci maki. Ciok Jing dan Bin Ju juga lantas menyemprot Boh-thian, “Anak kurang ajar! Hayo lekas melepaskan ikat pinggangmu itu!”

Untuk sejenak Boh-thian tertegun, pada saat itulah Tiong-hi sudah hilang kesabarannya, pedangnya dengan cepat sudah menusuk. Dengan gugup lekas-lekas Boh-thian mengangkat goloknya untuk menangkis.

Tiong-hi sudah tahu lwekang anak muda itu sangat kuat, maka sebelum pedangnya terbentur golok, cepat ia sudah ganti serangan. “Sret-sret-sret”, berturut-turut ia melancarkan enam-tujuh kali tusukan sehingga Boh-thian kerepotan melayaninya, jangankan hendak menangkis, dari mana datangnya serangan lawan saja Boh-thian tidak jelas.

Diam-diam anak muda itu mengeluh, “Wah, celaka!”

Dalam keadaan kepepet, tanpa pikir goloknya lantas membacok dan menebas serabutan, sedikit pun tidak menurut aturan.

Untunglah Tiong-hi sudah agak kapok terhadap lwekangnya yang mahakuat itu, walaupun permainan golok Ciok Boh-thian kelihatan banyak lubang kelemahannya, tapi di waktu goloknya membacok, mau tak mau Tiong-hi harus menarik kembali pedangnya dan menghindarkan diri, ia khawatir kalau-kalau pedangnya terbentur golok dan mencelat, hal ini tentu akan membikin malu habis-habisan padanya.

Sesudah membacok tak keruan, dilihatnya Tiong-hi berbalik mundur, maka Ciok Boh-thian sempat tenangkan diri untuk sementara. Teringat olehnya ilmu golok yang diciptakannya dengan parang karatan yang ditemukan di Ci-yan-to tempo hari, tiba-tiba timbul pikirannya, “Eh, ya, mengapa aku tidak menggunakan ilmu golokku itu untuk melayani dia?”

Hanya saja dahulu tangan kirinya menggunakan pedang dan tangan kanan memakai golok, sekarang tangan kiri sendiri terikat kencang, hanya tinggal tangan kanan saja yang tetap memainkan golok, dengan sendirinya daya gunanya menjadi banyak berkurang, namun begitu jurus-jurus serangannya yang aneh-aneh tetap tidak kurang banyaknya.

Sebenarnya kepandaian ciptaan Boh-thian sendiri ini tidaklah sempurna, banyak lubang kelemahannya. Akan tetapi begitu ia mengerahkan lwekangnya yang tiada bandingannya, dengan sendirinya daya tempurnya menjadi sangat hebat. Hanya belasan jurus saja para imam Siang-jing-koan dan Ciok Jing suami-istri sudah melongo terheran-heran.

Lebih-lebih Tiong-hi, di samping kejut dan gusar, ia menjadi rada-rada jeri pula. Sebagai orang beribadat, pengalaman tempur Tiong-hi tidaklah luas, tapi ilmu golok dari golongan-golongan terkemuka di dunia persilatan boleh dikata sudah dikenalnya semua. Sekarang dilihatnya ilmu golok Ciok Boh-thian itu sudah dangkal dan bodoh, caranya ngawur pula dan sangat bertentangan dengan teori ilmu golok pada umumnya. Ilmu golok demikian mestinya sekali gempur sudah cukup mengalahkan anak muda itu, tapi aneh bin ajaib, justru dirinya sendiri yang berulang-ulang terancam oleh serangan ngawur itu, hal ini sungguh-sungguh tidak masuk akal.

Sesudah belasan jurus pula, lama-lama Tiong-hi menjadi gelisah dan hilang sabar. “Sret”, pedangnya menusuk dari depan. Kebetulan pada saat itu golok Ciok Boh-thian telah berputar balik. Karena kedua orang sama-sama cepatnya, “trang”, benturan kedua senjata tak dapat dihindarkan lagi.

Tiong-hi sudah berjaga-jaga sebelumnya, ia telah pegang pedangnya dengan sangat kencang. Tapi tenaga dalam Ciok Boh-thian benar-benar terlalu kuat, di tengah jerit kaget orang banyak, pedang Tiong-hi tertampak sudah melengkung, gagang pedang pun berdarah, ternyata genggaman tangan Tiong-hi sampai tergetar pecah.

Tiong-hi terkesiap, diam-diam ia merasa nama harumnya selama hidup sudah terhanyut sekarang, apa gunanya meyakinkan ilmu pedang dan menjadi ciangbunjin segala? Tanpa bicara lagi ia sambitkan pedang melengkung itu ke arah Ciok Boh-thian, menyusul kedua tangannya bagaikan cakar baja terus menubruk maju.

“Trang”, Ciok Boh-thian sempat menangkis timpukan pedang melengkung itu sehingga terpental, tapi lantaran itulah bagian dadanya menjadi terbuka, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Tiong-hi yang sedang menubruk maju itu, dengan cepat kedua hiat-to penting di dada Ciok Boh-thian telah kena dicengkeramnya.

Serangan Tiong-hi ini laksana banteng ketaton dahsyatnya. Kim-na-jiu-hoat kaum Siang-jing-koan pun terhitung sesuatu kepandaian tunggal yang lihai. Siapa duga baru saja kedua tangannya menyentuh hiat-to di dada Ciok Boh-thian, kontan ia terpental balik oleh tenaga dalam anak muda itu sehingga mencelat.

Sekali ini karena dia menyerang dengan kalap, maka tenaga pental balik itu pun tambah keras, tubuhnya yang mencelat itu tampaknya dengan segera akan terbanting telentang, jika ini terjadi, maka dia pasti akan malu besar.

Syukurlah Thian-hi Tojin cepat bertindak, dengan cepat ia sempat menggunakan sebelah tangannya untuk menolak pundak sang sute ke samping sehingga daya pental itu dihapus sebagian, kedua kakinya menyentuh tanah lebih dulu dan meloncat ke atas. Dengan demikian Tiong-hi tidak sampai roboh terjungkal, tapi lalu menurun kembali dengan enteng. Namun wajahnya sudah lantas pucat pasi sebagai mayat.

Setelah mendorong Tiong-hi ke samping, berbareng pula Thian-hi sudah melolos pedangnya dan berkata, “Ternyata benar-benar seorang kesatria muda yang hebat, kagum, sungguh kagum sekali! Biarlah sekarang aku yang belajar kenal beberapa jurus padamu, mungkin aku yang sudah loyo ini pun bukan tandingan saudara.”

Sambil bicara, berbareng pedangnya lantas menusuk lambat ke depan. Waktu Boh-thian angkat goloknya menangkis, mendadak ia merasa tenaga yang dikerahkan pada batang goloknya itu punah tanpa bekas.

Kiranya Thian-hi mengetahui lwekang Ciok Boh-thian sangat lihai, maka serangannya telah menggunakan cara “menggeser” untuk menghapus tenaga lawan. Namun tidak urung lengan kanan pun terasa tergetar dan kesemutan, dada pun kesakitan. Keruan ia terkejut dan khawatir, jangan-jangan dirinya sudah terluka dalam. Maka waktu menyerang pula, sebelum terbentur dengar golok lawan, segera ia tarik pedangnya dan menyusul menusuk dari samping.

Jangan mengira Thian-hi sudah lanjut usianya, tapi kegesitannya ternyata tidak kalah daripada orang muda, bahkan serangannya lebih jitu dan makin ganas.

Begitulah, dalam waktu singkat saja kedua orang sudah bergebrak lebih 20 jurus, karena sambaran angin senjata semakin meluas, maka lingkaran para penonton juga makin terdesak lebar.

Leng-hi Tojin dan kawannya yang bertugas mengawasi Ciok Jing dan Bin Ju sampai teralih perhatiannya dan asyik mengikuti pertarungan yang seru di tengah kalangan.

Sementara itu Ciok Boh-thian telah mainkan ilmu goloknya dengan semakin lancar, tenaga dalamnya juga ikut tambah kuat, semula Thian-hi masih dapat menandingi, tapi setiap bergebrak satu jurus tenaga anak muda itu pun tambah kuat sebagian, boleh dikata tumbuh tiada habis-habis dan tiada berhenti-henti.

Walaupun menang dalam kebagusan ilmu pedang, tapi kedua kaki Thian-hi sudah terasa mulai lemas, lengan juga mulai pegal, setiap kali bergebrak berarti semakin payah.

Sekarang Ciok Jing dan Bin Ju juga sudah dapat melihat jelas, apabila pertarungan itu diteruskan tentu Thian-hi akan kecundang. Sebaliknya kalau sang putra yang dibentak suruh berhenti, hal ini sama dengan menyuruh dia mengalah di depan umum dan tentu akan membikin malu kepada Thian-hi. Sungguh cemas dan bingung Ciok Jing berdua, mereka merasa serbasalah dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Ciok Boh-thian sendiri makin bertempur makin bersemangat, sampai akhirnya Thian-hi yang selalu terdesak malah. Sekonyong-konyong Boh-thian melihat kaki kanan Thian-hi menjadi lemas dan hampir-hampir tekuk lutut, namun imam tua itu masih terus bertahan sekuatnya, hanya air mukanya yang sudah berubah hebat.

Tiba-tiba tergerak hati Boh-thian, teringat olehnya ucapan A Siu ketika berada di Ci-yan-to dahulu, “Di waktu kau bertempur dengan orang, hendaklah selalu ingat bahwa di mana dapat mengampuni orang hendaklah mengampuni saja.”

Sekali teringat kepada pesan A Siu itu, seketika Boh-thian terbayang wajah yang lembut dan ayu itu. Segera ia melintangkan goloknya terus mendorong ke depan.

Kontan Thian-hi merasa dorongan golok itu membawa tenaga tekanan yang dahsyat sehingga napasnya terasa sesak. Cepat ia melompat mundur dua tindak dan tidak urung tindakan mundur itu pun sudah membuatnya terhuyung-huyung. Diam-diam ia mengeluh, “Celaka, jika dia mendesak maju lagi, untuk mundur saja rasanya aku pun tidak kuat lagi.”

Akan tetapi Ciok Boh-thian tidak mendesak maju pula, sebaliknya goloknya lantas menebas kosong ke kiri, lalu ditarik kembali dan menusuk kosong lagi ke kanan, habis itu golok berputar ke atas terus membacok di depan anak muda itu sendiri. Tiga kali gerakan itu adalah serangan kosong semua, namun betapa hebat tenaga yang digunakannya sehingga debu pasir sampai bertebaran terguncang angin senjatanya.

Selagi Thian-hi tercengang dengan napas terengah-engah, terlihatlah Boh-thian sudah menarik goloknya sambil mundur dua tindak, lalu berdiri tegak sambil memondong senjata dan berkata, “Ilmu pedang tuan sangat bagus, Cayhe merasa sangat kagum. Hari ini susah menentukan kalah dan menang, bolehlah kita berhenti dan marilah bersahabat saja.”

Thian-hi hampir-hampir tidak percaya kepada pendengarannya sendiri, ia berdiri termangu-mangu dan tidak sanggup berbicara.

Melihat Ciok Boh-thian menarik senjata dan melangkah mundur dengan gayanya yang sangat indah serta kuat itu, tanpa merasa semua orang memberi sorakan memuji. Ciok Jing tersenyum-senyum dan merasa lega hatinya dengan kesudahan pertarungan yang damai itu. Lebih-lebih Bin Ju, girangnya tak terkatakan lagi.

Mereka senang karena ilmu silat sang putra yang hebat itu, tapi yang lebih menggirangkan adalah sikap Ciok Boh-thian yang terakhir itu, sudah pasti akan menang, tapi toh dia mau mengalah dan menyudahi pertarungan itu dengan damai tanpa syarat ini benar-benar perbuatan yang luhur dan cocok sekali dengan sifat-sifat mereka suami-istri.

Namun Bin Ju lantas membentak Boh-thian dengan tertawa, “Huh, anak goblok, sembarangan mengoceh tak keruan, mengapa pakai sebutan Cayhe segala, harus panggil supek dan mengaku Siautit (keponakan)!”

Thian-hi sendiri pun menghela napas lega, katanya dengan gegetun, “Arus sungai selalu mendorong ke muka, orang muda memang selalu lebih hebat, kita sudah tua, tidak berguna lagi!”

“Nak, lekas kau memberi hormat dan minta maaf kepada Supek,” cepat Bin Ju berseru pula.

Boh-thian mengiakan, ia membuang goloknya, lalu menjura dengan penuh hormat.

Bin Ju sangat senang, katanya, “Ciangbun-suko, ini adalah anak nakal sute dan sumoaymu, sejak kecil kurang mendapat didikan, harap suka memberi maaf atas kesalahannya.”

Thian-hi terkesiap. “O, kiranya adalah lenglong (putra kalian), pantas, pantas!” sahutnya kemudian. “Tapi Sute tadi mengatakan lenglong telah diculik orang, kiranya hal itu tidaklah betul.”

“Siaute mana berani mendustai Suheng,” kata Ciok Jing. “Anak itu memang diculik orang, entah cara bagaimana dia bisa lolos sampai sekarang kami pun belum sempat tanya keterangannya.”

“Ya, memangnya, dengan kepandaiannya yang tinggi ini memang tidak susah untuk meloloskan diri,” ujar Thian-hi dengan manggut-manggut. “Hanya saja ilmu silat lenglong terang bukan ajaran Sute dan Sumoay, dalam ilmu goloknya ini pun tidak banyak terkandung jurus-jurus ilmu silat Swat-san-pay, sebaliknya tenaga dalamnya sedemikian hebatnya dan susah diukur. Bahkan jurus yang terakhir tadi lebih-lebih jarang terlihat.”

“Betul itu, jurus ini adalah ajaran A Siu,” demikian Boh-thian menanggapi. “Dia bilang padaku agar senantiasa bermurah hati kepada lawan, di mana dapat mengampuni orang supaya mengampuni saja. Jurus ini bernama ‘Pang-kau-cik-kik’ (pukul dari samping dan hantam dari pinggir), gunanya untuk mengalah kepada lawan, tapi juga takkan dilukai oleh lawan.”

Begitulah tanpa tedeng-aling-aling dan prasangka apa-apa Ciok Boh-thian mencerocos menurutkan apa saja yang hendak diucapkan, keruan muka Thian-hi sebentar merah sebentar pucat, malunya tak terkatakan.

Segera Ciok Jing membentak, “Diam! Kau sembarangan mengoceh apa?”

“Baiklah, aku takkan bicara lagi.” kata Boh-thian. “Apabila sejak mula terpikir olehku untuk mengikat tanganku yang berbisa ini dan melulu gunakan golok untuk bergebrak dengan orang, tentu takkan... takkan....” sampai di sini ia lantas berhenti, ia pikir kalau bicara terus terang bahwa dirinya yang telah membinasakan Ciau-hi dan Thong-hi, tentu akan timbul persengketaan baru lagi.

Namun begitu Thian-hi dan imam-imam lain sudah terperanjat, beramai-ramai mereka membentak, “Apa katamu? Telapak tanganmu berbisa?” – “Jadi Ciau-hi dan Thong-hi Sute adalah kau yang membunuhnya?” – “Dan kedua medali tembaga itu pun kau yang mencurinya bukan?”

Begitulah senjata-senjata para imam yang tadinya sudah dimasukkan kembali ke sarungnya ini sekarang beramai-ramai dicabut keluar lagi.

Boh-thian menghela napas menyesal, katanya, “Sesungguhnya aku tiada bermaksud membunuh mereka, tak terduga tanganku hanya sedikit bergerak saja mereka sudah lantas roboh sendiri.”

Dengan murka Tiong-hi lantas berseru kepada Ciok Jing, “Nah, Ciok-sute, cara bagaimana urusan ini harus diselesaikan, hendaklah kau katakan saja!”

Pikiran Ciok Jing menjadi kusut, ketika berpaling dilihatnya pula air mata sang istri berlinang-linang, perasaannya juga sangat khawatir dan cemas, terpaksa ia menjawab dengan kuatkan perasaan, “Betapa pun kepentingan perguruan harus diutamakan. Binatang cilik ini telah banyak menimbulkan gara-gara, kami suami-istri susah juga untuk membelanya, maka terserah kepada keputusan Ciangbun-suheng untuk mengambil tindakan padanya.”

“Bagus!” seru Tiong-hi, berbareng pedangnya bergerak, serentak ia hendak maju mengerubut.

“Nanti dulu!” tiba-tiba Bin Ju mencegahnya.

Dengan melirik Tiong-hi berkata, “Apa yang Sumoay ingin katakan lagi?”

“Ciau-hi dan Thong-hi Suheng saat ini toh belum meninggal, boleh jadi mereka masih dapat tertolong.” ujar Bin Ju dengan suara gemetar.

Tiong-hi mengekek sambil mendongak, katanya dengan mengejek, “Kedua sute sudah terkena racun sejahat ini, masakah mereka masih ada harapan buat hidup lagi? Ucapan Sumoay ini apa bukan sengaja mengolok-olok saja?”

Bin Ju pun tahu tiada harapan lagi, ia coba tanya Ciok Boh-thian, “Nak, racun apakah yang berada di telapak tanganmu itu? Apakah ada obat pemunahnya?”

Sambil bertanya ia lantas mendekati anak muda itu, katanya, “Coba kuperiksa sakumu apakah terdapat obat pemunah.”

Lalu ia pura-pura memasukkan tangannya ke saku Ciok Boh-thian untuk mencari obat, tapi diam-diam ia membisiki anak muda itu, “Lekas lari lekas! Ayah dan ibu tak sanggup menolong kau lagi!”

Boh-thian terperanjat. “Ayah dan ibu? Siapa adalah ayah dan ibu?” serunya menegas.

Kiranya tadi Thian-hi selalu menyebut tentang “lenglong” apa segala, karena buta huruf, maka Boh-thian tidak tahu bahwa “lenglong” artinya “putramu”. Bahwasanya Ciok Jing suami-istri juga menyebutnya sebagai “anak”, hal ini pun ia sangka sebutan lazim kaum tua kepada kaum muda, sama sekali tak terduga olehnya bahwa suami-istri itu telah salah mengenalnya sebagai putra mereka.

Pada saat itulah, sebelum Ciok Boh-thian dapat berbuat apa-apa, tiba-tiba terasa punggungnya tersentuh oleh sesuatu. Kiranya Ciok Jing yang telah menjuju punggungnya dengan ujung pedang, katanya, “Adik Ju, kita tidak boleh membela binatang cilik ini sehingga merusak hubungan baik dengan perguruan sendiri. Dia tidak boleh lari!”

Nada ucapannya ternyata penuh mengandung perasaan pahit getir.

Bin Ju pun hampir-hampir pingsan saking pedihnya, katanya dengan suara gemetar, “Nak, apakah jiwa kedua supek ini benar-benar tiada obat yang dapat menolong mereka?”

Saat itu Leng-hi yang berdiri di samping dan bertugas mengawasi Bin Ju itu menjadi khawatir jangan-jangan sang sumoay akan merintangi atau mungkin juga mendadak membunuh diri, maka dengan cepat ia pegang tangan Bin Ju dan merampas pedangnya.

Tatkala mana Bin Ju sedang mencurahkan perhatian atas diri Ciok Boh-thian sehingga dengan gampang saja pedangnya kena dirampas.

Sebaliknya Ciok Boh-thian tidak tinggal diam melihat Bin Ju diperlakukan begitu, ia berteriak, “Apa yang kau lakukan?” berbareng pedang Bin Ju tadi lantas hendak direbutnya kembali.

Akan tetapi Leng-hi telah putar pedang itu terus memotong. Sebelum tertebas, cepat Boh-thian menarik tangan terus membalik untuk memegang pergelangan tangan lawan. Ini adalah satu jurus kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong tempo hari.

Walaupun kim-na-jiu-hoat ini amat bagus, tapi mana dapat digunakan atas diri Leng-hi yang tergolong jago pilihan Siang-jing-koan? Mendadak Leng-hi membentak, “Bagus!”

Berbareng pedangnya memutar balik untuk menangkis.

Tak tersangka tubuhnya lantas sempoyongan, pandangannya menjadi gelap, “bluk”, ia jatuh tersungkur sendiri. Kiranya racun di telapak tangan Ciok Boh-thian itu telah teruar pada waktu tangannya bergerak tadi. Ketika Leng-hi membentak, dengan sendirinya ia harus menyedot napas, maka kontan ia keracunan.

Saking kagetnya para imam sampai menyingkir mundur beberapa tindak, wajah mereka pun pucat seketika laksana melihat setan iblis.

Boh-thian insaf keonaran yang ditimbulkannya ini telah tambah besar, walaupun para imam itu tampak melangkah mundur, tapi setiap orang tetap menghunus pedang dan mengepung di sekelilingnya, untuk menerjang keluar tidak boleh tidak harus menjatuhkan korban jiwa lagi. Sekilas dilihatnya pula kedua tangan Leng-hi memegang perutnya sendiri sambil menggosok-gosok dan meremas-remas tiada hentinya, terang imam itu sedang menderita sakit perut yang tak terhingga.

Kiranya imam-imam Siang-jing-koan itu jauh lebih kuat lwekangnya dibanding anggota-anggota Tiat-cha-hwe, oleh karena itu mereka tidak lantas binasa terkena hawa berbisa, tapi masih sanggup tahan untuk sejam dua jam lamanya.

Tiba-tiba Ciok Boh-thian teringat kepada Thio Sam dan Li Si sewaktu menderita sakit perut dan berkelesotan di sarang Tiat-cha-hwe tempo hari, kemudian Thio Sam telah mengajarkan cara menolongnya sehingga racun di dalam tubuh kedua saudara angkat itu dapat dipunahkan, maka cepat ia lantas membangunkan Leng-hi.

Para imam di sekelilingnya sudah siap-siap dengan pedangnya untuk mengerubutnya, namun Boh-thian buru-buru ingin menolong Leng-hi, maka sikap permusuhan imam-imam itu tak dihiraukan lagi. Dengan tangan kiri Boh-thian lantas tahan leng-tay-hiat di punggung Leng-hi, sedangkan tangan kanan memegang tat-tiong-hiat di bagian dada, ia kerahkan tenaga melalui tangan kiri dan tangan kanan dipakai menyedot, dengan cara yang diajarkan Thio Sam itu, tidak lama kemudian Leng-hi Tojin lantas bisa menarik napas panjang, sakit perutnya lantas berhenti. Dan begitu sudah sembuh, kontan Leng-hi memaki, “Maknya, bangsat kau!”

Sebagai orang beribadat, caci maki Leng-hi itu sesungguhnya tidak pantas, tapi sekali dia sudah dapat bersuara, segera semua orang mengetahui jiwanya sudah dapat diselamatkan, maka semua orang lantas bersorak gembira dan tidak memusingkan kata-kata Leng-hi yang kurang sopan tadi.

Saking girangnya Bin Ju sampai meneteskan air mata. Katanya, “Nak, Ciau-hi dan Thong-hi Supek juga keracunan sejak tadi, lekas kau menolong mereka!”

Dalam pada itu dua tosu sudah memondong Ciau-hi dan Thong-hi ke depan Ciok Boh-thian, keadaan kedua imam itu sudah sangat payah, napas mereka sudah tinggal Senin-Kamis saja.

Segera Boh-thian menjalankan cara penyembuhan seperti tadi. Karena Ciau-hi dan Thong-hi lebih lama keracunan, maka diperlukan waktu lebih lama pula barulah racun-racun di dalam tubuh mereka dapat dipunahkan.

Begitu sadar kontan Ciau-hi lantas mendamprat, “Kakekmu disambar geledek, anak keparat!”

Dan Thong-hi juga tidak mau ketinggalan, ia pun mengumpat, “Anak jadah piaraan biang anjing, kau berani menggunakan racun untuk menyerang tuanmu!”

Karena senangnya sehingga Ciok Jing dan Bin Ju tidak mengambil pusing lagi kepada caci maki ketiga suhengnya yang menyangkut kehormatan suami-istri mereka. Sebaliknya diam-diam mereka menertawakan imam-imam itu, “Percuma saja ketiga suheng itu bertirakat selama ini, biasanya mereka sangat saleh, tampaknya seperti imam yang sangat alim, tapi di waktu kepepet kata-kata mereka pun sedemikian kasarnya.”

Setelah Ciok Boh-thian menyembuhkan Ciau-hi bertiga, maka rasa gusar para imam tadi lantas hilang pula sebagian besar. Bin Ju lantas berkata, “Nak, jika kau yang mengambil medali-medali tembaga dari Ciau-hi Supek itu, hendaklah kau mengembalikan saja kepada beliau, ibu tidak inginkan benda-benda itu lagi.”

“Ibu? Ibu?” Boh-thian menggumam dengan terperanjat, lalu ia mengeluarkan medali-medali itu dan dikembalikan kepada Ciau-hi sambil menegas lagi kepada Bin Ju, “Ibu? Kau... kau adalah ibuku?”

Di sebelah sana Thian-hi Tojin sudah lantas berkata kepada Ciok Jing dan Bin Ju, “Sute dan Sumoay, biarlah kita berpisah saja di sini!”

Ia tahu untuk bertemu lagi kelak susahlah diramalkan, maka tanpa mengucapkan “sampai bertemu lagi” segera ia memimpin para imam dan berangkat pergi.

Ciok Boh-thian masih memandangi Bin Ju dengan termangu-mangu dan penuh keragu-raguan. Sebaliknya kedua mata Bin Ju tampak basah, dengan tersenyum-senyum ia berkata, “Anak bodoh, apa kau tidak... tidak mengenali ayah-ibumu lagi?”

Habis itu segera ia merangkul Boh-thian ke dalam pangkuannya.

Sejak tahu seluk-beluknya orang hidup belum pernah Boh-thian dikasihi orang, terhadap Bin Ju selama ini dia memang merasa sangat suka dan terima kasih, kini mendadak mengalami perlakuan sedemikian, dengan sendirinya perasaannya juga terguncang dan terharu, ia terlongong-longong tak sanggup bicara. Sampai agak lama barulah dia bisa membuka suara, “Apakah dia... Ciok-cengcu adalah... adalah ayahku? Tapi aku kok tidak tahu. Cuma... engkau bukanlah ibuku, aku... aku memang sedang mencari ibuku sendiri.”

Hati Bin Ju menjadi pilu karena Boh-thian tidak mengenalinya lagi, hampir-hampir ia meneteskan air mata pula. Katanya, “O, kasihan anak ini. Tapi kau juga tak dapat disalahkan, sesudah... sesudah sekian tahun lamanya tentu kau sudah pangling kepada ayah-ibumu. Waktu kau meninggalkan Hian-soh-ceng tinggimu baru seperut ibu, tapi sekarang kau sudah lebih tinggi daripada ayahmu. Wajahmu ternyata juga banyak berubah, pertemuan di dalam kelenteng tempo hari kalau sebelumnya ayah-ibu tidak mengetahui kau yang telah ditawan Pek Ban-kiam, di kala bertemu juga tentu kita takkan saling mengenal.”

Boh-thian semakin heran mendengarkan uraian nyonya Ciok itu. Soal dirinya ditawan Pek Ban-kiam dan dibawa ke kelenteng Toapekong itu memang betul terjadi, tapi tentang ibunya yang diketahui bermuka kuning pucat, perawakannya juga jauh lebih pendek dan kecil daripada Bin Ju, untuk ini tidaklah mungkin dia pangling.

Maka dengan tergagap-gagap ia berkata, “Ciok-hujin, engkau telah... telah salah kenal, aku... aku bukan an... anak kalian!”

“Engkoh Jing,” Bin Ju berpaling kepada Ciok Jing, “coba kau lihat anak ini....”

Mendengar Ciok Boh-thian tidak mau mengakui ayah-ibunya, diam-diam Ciok Jing lantas menimbang-nimbang, “Bocah ini sangat cerdik, dia tidak mau mengakui orang tua sendiri tentu dia mempunyai maksud yang mendalam. Jangan-jangan dia telah menimbulkan bencana besar di Leng-siau-sia dan telah banyak melakukan kejahatan di Tiang-lok-pang, namanya tersohor sangat busuk, maka dia merasa malu untuk mengakui ayah-ibu sendiri. Atau mungkin juga takut dihukum dan khawatir merembet ayah-ibunya?”

Sesudah berpikir sejenak, kemudian ia tanya, “Jika demikian, kau ini Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang atau bukan?”

Boh-thian garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sahutnya, “Ya, semua orang mengatakan aku adalah Ciok-pangcu, tapi sebenarnya bukan, mereka pun telah salah mengenali diriku.”

“Habis siapa namamu?” tanya Ciok Jing.

“Aku tidak punya nama dan tidak punya she,” sahut Boh-thian dengan wajah bingung. “Ibu hanya panggil aku ‘Kau-cap-ceng’.”

Ciok Jing saling pandang dengan Bin Ju, mereka merasa ucapan Ciok Boh-thian itu sangat jujur dan sungguh-sungguh, sedikit pun tiada tanda-tanda sengaja berdusta.

Segera Ciok Jing mengedipi sang istri dan mengajaknya menyingkir agak jauh, lalu dengan suara perlahan ia berkata, “Adik Ju, bocah ini sebenarnya Tiong-giok atau bukan? Dari kabar-kabar yang kita peroleh memang diketahui bahwa Tiong-giok telah menjadi pangcu di Tiang-lok-pang, tapi sebagai seorang pangcu masakah bisa jadi sedemikian dungunya?”

“Anak Giok sudah belasan tahun meninggalkan kita,” sahut Bin Ju dengan berat, “sesudah dewasa sudah tentu muka dan perawakannya akan banyak berubah. Akan tetapi... aku yakin dia pasti putraku.”

“Kau benar-benar mantap, sedikit pun tidak sangsi?” Ciok Jing menegas.

“Kesangsian sih ada, tapi entah mengapa, aku percaya bahwa... bahwa dia pasti putra kita. Apa sebabnya, aku sendiri pun tak bisa menjelaskan.”

Tiba-tiba Ciok Jing teringat kepada sesuatu, katanya, “Ah, aku mendapat akal. Bukankah kau masih ingat waktu perempuan hina itu hendak menyatroni kau, adik Ju?....”

Apa yang diungkap Ciok Jing ini merupakan kejadian yang tak bisa dilupakan oleh mereka suami-istri, hanya mereka tidak mau menyinggung kejadian itu. Maka Ciok Jing cuma menyebut awalnya dan Bin Ju pun lantas mengerti.

“Betul, biar kutanya padanya,” demikian Bin Ju lantas sadar akan maksud sang suami. Lalu ia berduduk di atas sepotong batu besar, kemudian Boh-thian dipanggilnya, “Nak, coba kemari, ada yang hendak kukatakan padamu.”

Boh-thian lantas mendekatinya dan oleh Bin Ju dia disuruh duduk juga di sebelahnya, lalu nyonya itu mulai bertanya, “Nak, pada waktu kau berusia dua tahun, datanglah seorang penjahat wanita yang hendak membikin susah ibumu, kebetulan ayahmu tidak di rumah, sedangkan ibu baru saja melahirkan adikmu sehingga tidak mampu melawan penjahat wanita itu. Wanita jahanam itu benar-benar sangat jahat, bukan saja ibumu hendak dibunuhnya, bahkan kau dan adikmu juga akan dibunuh olehnya.”

“Hah, lalu aku terbunuh atau tidak?” seru Boh-thian terkejut. Tapi ia lantas tertawa sendiri dan menyambung pula, “O, aku benar-benar sudah linglung, sudah tentu aku tidak terbunuh.”

Namun Bin Ju tidak tertawa, ia melanjutkan ceritanya, “Waktu itu ibu membopong kau dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memainkan pedang untuk melawannya dengan mati-matian. Penjahat wanita itu sangat lihai, aku menjadi kewalahan. Pada saat berbahaya itu kebetulan ayahmu keburu pulang. Dengan cepat penjahat wanita itu menimpukkan tiga buah kim-ci-piau (senjata rahasia berbentuk mata uang), dua buah di antaranya kena disampuk jatuh oleh ibumu, kim-ci-piau yang ketiga telah mengenai bokongmu. Kau menjerit menangis, ibumu menjadi khawatir dan lelah terus jatuh pingsan. Tapi karena melihat ayahmu, penjahat wanita itu pun lantas melarikan diri. Wanita itu benar-benar amat kejam, sewaktu melarikan diri dia sekalian menggondol pergi adikmu pula. Karena buru-buru ayahmu harus menolong aku dahulu, pula khawatir kalau-kalau penjahat wanita itu menyembunyikan pembantu dan aku akan dicelakai, maka ayahmu tidak mau mengejarnya, pula mengingat... mengingat penjahat wanita itu pun tidak mungkin membunuh putranya, paling-paling orok itu sengaja diculik untuk menakut-nakuti ayahmu saja. Siapa tahu pada hari ketiga mayat adikmu telah dikirim pulang oleh penjahat wanita itu, di atas badan ulu hatinya tertancap dua bilah pedang kecil, yang sebatang pedang hitam dan sebatang lagi pedang putih, bahkan di atas pedang-pedang itu terukir pula nama ayah-ibumu....” bercerita sampai di sini, saking sedihnya air matanya sudah bercucuran sebagai hujan.

Boh-thian juga gusar mendengar peristiwa kejam itu, katanya, “Penjahat wanita itu benar-benar terlalu keji, seorang anak bayi yang tak berdosa juga tega membunuhnya. Wah, kalau tidak terbunuh aku kan senang mempunyai seorang adik? Ciok-hujin, kejadian itu selamanya ibu tak pernah katakan padaku.”

“Nak,” kata Bin Ju pula dengan air mata berlinang-linang, “apa benar-benar kau telah melupakan ibu kandungmu sendiri? Aku... aku inilah ibumu yang sesungguhnya.”

Boh-thian mengamat-amati sejenak wajah Bin Ju, lalu menggeleng perlahan-lahan, katanya, “Bukan, kau bukan ibuku. Kau telah salah mengenali aku.”

“Dahulu pantatmu telah tertumpuk oleh kim-ci-piau si penjahat wanita, walaupun sekarang kau sudah dewasa, tentu bekas luka itu takkan hilang. Nah, coba kau membuka celanamu dan periksalah sendiri.”

“Aku... aku....” sahut Boh-thian dengan muka merah dan serbasalah.

Teringat olehnya bahwa di atas pundak sendiri terdapat bekas gigitan si Ting Tong, di atas paha juga terdapat enam titik bekas luka tusukan pedang oleh “Liau-susiok” dari Swat-san-pay, semuanya itu sebenarnya sudah dilupakan olehnya, tapi setiap kali ia membuka baju dan periksa, selalu terlihat jelas apa-apa yang tertinggal di atas badannya sebagaimana dituduhkan orang. Seluk-beluk di dalam urusan ini benar-benar membuatnya bingung dan tidak habis mengerti. Sekarang Ciok-hujin mengatakan pula bahwa di pantatnya terdapat bekas luka kim-ci-piau, wah, jangan-jangan luka demikian itu benar-benar ada pula.

Ia coba meraba-raba pantat sendiri sebelah kiri dari luar, ia merasa tidak ada sesuatu bekas luka apa-apa. Hanya saja ia sudah kapok dengan dua kali kejadian sebelumnya, yaitu luka gigitan di pundak dan luka pedang di paha, mau tak mau sekarang ia menjadi sangsi.

“Aku adalah ibu kandungmu, entah sudah berapa kali aku mengganti kain popokmu jika kau ngompol atau berak, masakah sekarang kau merasa malu segala?” ujar Bin Ju dengan tersenyum. “Baiklah, boleh kau periksakan kepada ayahmu saja.”

Habis berkata ia lantas memutar tubuh dan menyingkir ke sana.

Ciok Jing sendiri juga merasa ragu-ragu, katanya, “Nak, boleh kau lepaskan celana dan periksa sendiri saja.”

Dengan sangsi Boh-thian meraba pantat sendiri pula dari luar, sesudah yakin tiada bekas luka apa-apa barulah dia membuka tali kolor dan melorotkan celananya, waktu ia melongok ke belakang, terlihatlah di sebelah kiri pantat itu lapat-lapat ada sejalur bekas luka kira-kira tiga-empat senti panjangnya, rupanya luka itu sudah terlalu lama, maka bekas luka itu sudah samar-samar saja.

Seketika Boh-thian ternganga kaget, ia merasa langit dan bumi seakan-akan berputar, dirinya serasa mendadak telah berubah seorang lain, tapi toh dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa. Saking kaget dan takutnya, tak tertahan lagi Boh-thian menangis keras-keras.

Cepat Bin Ju berpaling kembali, dilihatnya sang suami sedang manggut-manggut padanya, maksudnya berkata, “Ya, dia memang betul Tiong-giok adanya.”

Bin Ju menjadi girang dan cemas pula, ia berlari mendekati Boh-thian terus merangkulnya. Katanya dengan air mata bercucuran, “Anak Giok, O, anak Giok, jangan takut, betapa pun besarnya urusan tentu ayah-ibu akan menyelesaikan bagimu.”

“Aku sudah lupa kepada segala kejadian di masa lampau,” kata Boh-thian sambil menangis. “Aku tidak tahu engkau adalah ibuku, tidak tahu dia adalah ayahku, tidak tahu di pantatku ada bekas luka demikian ini. Aku tidak tahu, ya, tidak tahu, segala apa pun tidak tahu....”

“Lwekangmu yang begini tinggi ini kau belajar dari mana?” tanya Ciok Jing.

“Entah, aku tidak tahu,” sahut Boh-thian.

“Habis pukulanmu yang berbisa itu kau pelajari dari siapa pula?” desak Ciok Jing.

“Tidak tahu, tiada orang yang mengajarkan padaku,” sahut Boh-thian dengan takut-takut. “Ai, kenapakah aku ini, segala apa sudah linglung bagiku. Apakah aku benar-benar Ciok Boh-thian, Ciok-pangcu? Ciok... Ciok, jadi aku benar-benar she Ciok dan adalah anak kalian?”

Saking gugupnya sampai muka Boh-thian menjadi pucat, kedua tangannya masih memegangi celananya yang kedodoran, khawatir kalau melorot ke bawah, sebaliknya lupa mengikat tali kolornya.

Melihat Boh-thian sedemikian gugup dan takutnya, Bin Ju merasa sangat kasihan, tiada hentinya ia menepuk-nepuk perlahan pundak anak muda itu dan berkata, “Anak Giok, jangan takut, jangan takut!”

Ciok Jing lantas kesampingkan juga rasa gemasnya kepada putranya yang diketahui berkelakuan tidak senonoh itu, pikirnya, “Aku pernah melihat kepala orang mengalami pukulan keras atau menderita sakit parah, lalu melupakan segala apa yang pernah dialaminya, konon penyakit ini bernama ‘sakit hilang ingatan’ dan sangat sukar disembuhkan kembali. Jangan-jangan... jangan-jangan anak Giok sekarang terkena penyakit aneh ini?”

Pikiran Ciok Jing ini tidak berani lantas dikatakan kepada sang istri, tak terduga Bin Ju sendiri juga mempunyai pikiran yang serupa. Suami-istri itu saling tukar pandang dengan ragu-ragu, akhirnya sama-sama tercetus, “Sakit hilang ingatan!”

Ciok Jing tahu orang yang menderita penyakit aneh itu tidak boleh ditanyai terus-menerus, semakin didesak penyakitnya akan semakin berat. Jalannya harus perlahan-lahan membantunya memulihkan daya ingatannya, lalu dipancing dan ditanya sedikit demi sedikit. Maka dengan ramah tamah ia lantas berkata, “Hari ini kita telah dapat berkumpul kembali, sungguh suatu hal yang sangat menggembirakan. Nak, tentu perutmu sudah lapar, marilah kita pergi ke kota di depan sana untuk makan dan minum.”

“Se... sebenarnya siapakah diriku ini?” demikian Boh-thian masih bingung.

Bin Ju lantas bantu melipatkan celana anak muda itu dan mengikat tali kolornya, lalu katanya dengan halus, “Nak, apakah kau pernah terjatuh sehingga kepalamu terbentur dengan keras? Atau kau pernah berkelahi dengan orang dan kepalamu kena diketok benda keras oleh lawanmu?”

“Tidak, tidak pernah,” sahut Boh-thian sambil geleng-geleng kepala.

“Atau selama ini pernahkah kau jatuh sakit panas?” tanya Bin Ju pula.

“O, ya, pernah,” sahut Boh-thian. “Beberapa bulan yang lalu sekujur badanku terasa sangat panas sebagai dibakar di dalam tungku. Kemudian berubah menjadi dingin setengah mati. Waktu itu aku berada di atas gunung, lalu... lalu jatuh pingsan dan apa yang terjadi selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar