Jilid 26
Kiranya si gemuk dan si kurus
itu adalah tokoh-tokoh yang memiliki ilmu silat mahatinggi. Hanya saja bentuk
ilmu yang dilatih mereka itulah satu-sama-lain berlawanan. Yang dilatih si
gemuk adalah sun-yang, positif, mahapanas, sebaliknya yang diyakinkan si kurus
adalah im-ju, negatif, mahadingin. Isi dari kedua houlo mereka itu adalah arak
obat yang sangat baik untuk menambah lwekang mereka. Arak di dalam houlo merah
adalah arak mahapanas dan mahakeras, sebaliknya arak di dalam houlo biru adalah
arak obat mahadingin.
Kedua botol arak obat itu
mengandung banyak sekali obat-obat mukjizat kumpulan si gemuk dan si kurus,
khasiatnya sangat hebat dan keras, bagi orang biasa, jangankan meminumnya,
hanya mencicipi saja juga akan melayang jiwanya.
Adapun lwekang si gemuk dan si
kurus memangnya sangat tinggi, pula mereka telah minum obat lain yang dapat
melemahkan bekerjanya arak obat mereka, sebab itulah mereka tidak keracunan.
Tetapi kalau si gemuk salah minum arak si kurus dan si kurus keliru minum arak
si gemuk, maka mereka pasti akan binasa seketika, bahkan usus mereka akan putus
dan mati dengan mengerikan. Tapi sekarang mereka melihat Ciok Boh-thian sudah
sekian banyak minum arak mereka dan masih tetap tidak berhalangan apa-apa,
keruan mereka terperanjat tak terkatakan.
Pengalaman dan pengetahuan si
gemuk dan si kurus sebenarnya sangat luas, segala ilmu silat di dunia ini boleh
dikata hampir seluruhnya dikenal mereka, tapi sama sekali tak terpikir oleh
mereka bahwa secara sangat kebetulan Ciok Boh-thian telah mendapat pengalaman
aneh, lebih dulu pemuda itu mendapat ajaran ilmu silat lunak dan dingin yang
menyerupai “Han-ih-bian-ciang”, kemudian mendapat ilmu “Yam-yam-kang” yang
mahakeras dan panas dari Cia Yan-khek. Kedua macam ilmu yang panas-dingin, im
dan yang atau positif dan negatif itu mestinya berlawanan satu sama lain, karena
itu Boh-thian hampir-hampir lumpuh dan binasa, tak terduga ia mendapatkan pula
“Lo-han-hok-mo-kang” dari Tay-pi Lojin dengan boneka-boneka kayu pemberiannya
itu, hal ini membuat tenaga im dan yang di tubuh Boh-thian menjadi terbaur
menjadi satu, makin menambah kekuatannya yang ampuh, bahkan menjadi tidak
mempan keracunan segala jenis racun.
Ketika minum arak-arak obat si
gemuk dan si kurus tadi mula-mula Boh-thian memang merasakan tajamnya arak itu,
tapi sesudah dipunahkan oleh tenaga dalamnya, dalam waktu singkat malah makin
menambah kekuatan yang telah dimilikinya itu.
Dasar jiwa Ciok Boh-thian
memang luhur, sesudah minum arak enak kedua orang itu secara gratis, ia merasa
rikuh dan segera panggang lebih banyak daging babi hutan itu, ia pilih
bagian-bagian yang paling lezat untuk disuguhkan kepada si gemuk dan si kurus
sambil berulang-ulang minta mereka pun ikut minum arak.
Setelah mengetahui tenaga
dalam Ciok Boh-thian luar biasa lihainya, si gemuk dan si kurus menyangka
pemuda itu sengaja hendak bertanding lwekang dengan cara minum arak berbisa
itu. Karena mereka pun tidak mau mengaku kalah, terpaksa mereka terima ajakan
Ciok Boh-thian dan minum arak sendiri-sendiri seteguk demi seteguk, tapi
diam-diam mereka juga menjejalkan obat pil pemunah racun arak ke mulutnya
sendiri-sendiri.
Di samping itu si gemuk dan si
kurus diam-diam juga mengawasi gerak-gerik Ciok Boh-thian, mereka melihat
pemuda itu sama sekali tidak makan obat pemunah apa-apa, betapa hebat tenaga
saktinya benar-benar tiada pernah mereka lihat, sungguh mereka tidak tahu dari
manakah mendadak bisa muncul seorang kesatria muda yang aneh ini.
Dalam pada itu setelah minum
seteguk lagi Ciok Boh-thian telah menyodorkan pula houlo merah kepada si gemuk.
Terpaksa si gemuk menerimanya sambil berkata, “Lwekang adik cilik ternyata
begini hebat, sungguh Cayhe sangat kagum. Numpang tanya siapakah nama saudara
cilik yang terhormat?”
Boh-thian lantas mengerut
kening bila ditanya soal nama. Jawabnya, “Urusan ini benar-benar membikin
kepalaku sakit. Sering orang menuduh aku she Ciok, padahal aku bukanlah she
Ciok, aku tidak tahu she apa dan bernama siapa, sebab itulah pertanyaanmu ini
benar-benar susah kujawab.”
Sudah tentu si gemuk tidak mau
percaya, ia anggap Boh-thian berlagak bodoh dan tidak mau mengatakan namanya.
Ia coba tanya pula, “Jika demikian, siapakah guru saudara cilik yang terhormat?
Dari golongan dan aliran manakah engkau?”
“Guruku she Su, beliau adalah
seorang nenek tua, apakah kau pernah kenal dia?” sahut Boh-thian. “Beliau
adalah cikal bakal Kim-oh-pay dan aku adalah muridnya yang pertama.”
Diam-diam si gemuk dan si
kurus menganggap Ciok Boh-thian hanya membual saja, sebab seluruh golongan dan
aliran persilatan di dunia ini boleh dikata telah dikenalnya semua, tapi belum
pernah mereka mendengar tentang Kim-oh-pay dan nenek she Su apa segala.
Pada kesempatan tanya-jawab
itulah, si gemuk pura-pura lupa, ia tidak minum araknya, tapi houlo merah
lantas disodorkan kembali kepada Boh-thian sambil berkata, “O, kiranya adik
cilik adalah murid pertama dari Kim-oh-pay, pantas engkau begini lihai. Ini,
silakan minum lagi sebagai penghormatanku!”
Tapi Boh-thian melihat si
gemuk belum meneguk araknya itu, ia mengira si gemuk saking asyiknya bicara
sehingga lupa minum, segera ia berkata, “Eh, kau sendiri belum lagi minum.”
“O, ya? Aku sampai lupa,”
sahut si gemuk dengan muka merah. Karena maksudnya diketahui orang, diam-diam
ia merasa sangat mendongkol. Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya Ciok Boh-thian
adalah bermaksud baik karena khawatir si gemuk dirugikan karena si gemuk
sendiri tidak minum.
Padahal seluruhnya si gemuk
sudah minum delapan ceguk, kalau minum lebih banyak lagi, sekalipun ada obat
pemunah juga pasti akan berbahaya baginya. Maka terpaksa ia pura-pura
mengangkat houlo merah, ia tempelkan di tepi mulut dengan lagak menenggak, tapi
sebenarnya ia tutup rapat-rapat mulutnya, maka waktu buli-buli itu diturunkan,
arak yang akan tertuang itu sudah mengalir masuk kembali ke dalam buli-buli
itu.
Perbuatan si gemuk ini sudah
tentu diketahui pula oleh si kurus. Maka ia pun lantas menirukannya, ia juga cuma
berlagak minum, tapi sesungguhnya tiada setetes arak yang masuk ke dalam
tenggorokannya.
Dan begitulah, seteguk demi
seteguk secara bergiliran, akhirnya isi houlo-houlo yang hampir penuh itu boleh
dikata ada delapan bagian yang diminum sendiri oleh Ciok Boh-thian.
Memangnya kekuatan minum arak
Boh-thian tidak besar, ia hanya mengandalkan tenaga dalamnya yang hebat
sehingga sampai sekian lamanya masih dapat bertahan. Walaupun arak berbisa itu
tiada jeleknya, bahkan bermanfaat baginya, namun di bawah pengaruh alkohol itu,
mau tak mau pikirannya menjadi agak limbung, bicaranya menjadi banyak, ia
mengoceh tentang si A Siu, si Ting-tong, dan macam-macam lagi.
Sudah tentu si gemuk dan si
kurus merasa bingung dan tidak mengerti apa yang dikatakan pemuda itu. Pikir si
gemuk, “Masakan kekuatan minum kami berdua tidak mampu melawan dia seorang, hal
ini kalau sampai tersiar, wah, tentu akan runyam. Apalagi sesudah dia minum
habis kedua buli-buli arak mukjizat ini, kelak dia tentu akan tambah lihai.
Peribahasa mengatakan, ‘Berpikiran sempit bukannya seorang kesatria, kalau
tidak keji bukanlah jantan’. Rasanya aku harus berani bertindak lebih jauh.”
Karena pikiran itu, si gemuk
lantas mengedipi si kurus.
Si kurus dapat menangkap
maksud kawannya, segera ia merogoh saku dan mengeluarkan sebutir pil yang
disebut “Kiu-kiu-wan” (pil 99) dan disiapkan di tangannya. Waktu Boh-thian
menyodorkan lagi houlo biru padanya, segera ia pura-pura minum pula seteguk,
lalu pura-pura menggunakan tangannya buat mengusap mulut houlo, tapi yang
sebenarnya ia telah masukkan pil Kiu-kiu-wan ke dalam buli-buli itu. Sesudah
dia kocak-kocak beberapa kali, lalu berkata, “Ehmmm! Arak bagus! Arak enak!”
Ketika si kurus melakukan
perbuatannya itu, diam-diam si gemuk juga sudah mengeluarkan sebutir pil yang
bernama “Liat-hwe-tan” (pil api membara) dan diam-diam dimasukkan ke dalam
houlo merah, Dan dengan sendirinya sisa arak bercampur Liat-hwe-tan ini pun
habis ditenggak oleh Ciok Boh-thian.
Sebagai pemuda yang masih
hijau pelonco, Boh-thian mengira telah bertemu dengan dua orang peminum yang
baik hati, maka ia hanya asyik minum arak dan makan daging, sama sekali tak
terpikir olehnya bahwa kedua orang yang sebelumnya tak dikenal itu, diam-diam
hendak membikin celaka padanya.
Begitulah, maka terdengar si
kurus telah berkata, “Adik cilik, sisa arak di dalam houlo ini tinggal sedikit
saja, rupanya kau sangat kuat minum, maka boleh kau habiskan saja.”
“Baiklah,” sahut Boh-thian
dengan tertawa. “Karena kalian tidak sungkan-sungkan, maka aku pun tidak perlu
sungkan-sungkan juga.”
Segera ia ambil houlo biru,
baru saja ia hendak mengeringkan isinya, tiba-tiba teringat sesuatu olehnya,
katanya, “Ketika berada di atas kapal, pernah kudengar ceritanya si Ting-ting
Tong-tong, katanya kalau orang lelaki dan orang perempuan cocok satu sama lain,
maka mereka akan terikat menjadi suami-istri. Bila lelaki suka sama lelaki,
maka mereka bisa mengangkat saudara. Hari ini secara kebetulan kita telah
bertemu di sini dan rupanya kalian cukup menghargai diriku, kupikir sehabis
makan-minum ini nanti, biarlah kita bertiga lantas mengangkat saudara saja,
dengan demikian kelak kita akan selalu dapat makan-minum bersama dan tentu
sangat menyenangkan. Entah bagaimana pendapat kalian atas usulku ini?”
Khawatir kalau-kalau Boh-thian
tidak jadi menghabiskan araknya, cepat si gemuk menjawab, “Bagus, bagus! Bagus
sekali usulmu ini. Nah, silakan kau habiskan sisa arak kami ini.”
“Dan bagaimana pendapat Toaya
yang ini?” tanya Boh-thian kepada si kurus.
“Tentu saja aku menurut
bilamana adik cilik mempunyai maksud baik demikian,” sahut si kurus.
Sekarang pikiran Boh-thian
sudah makin limbung, keadaannya sudah setengah mabuk, saking senangnya ia terus
mengangkat tinggi-tinggi houlo biru dan menenggak habis seluruh sisanya.
Ternyata rasanya sekarang sudah tidak sedingin tadi.
“Sungguh hebat, sungguh kuat
sekali adik cilik ini. Nah, sedikit sisa arak di dalam houlo ini pun silakan
adik cilik habiskan sekalian,” seru si gemuk dengan tertawa. “Dan habis itu
segera kita mengangkat saudara.”
Pikiran Ciok Boh-thian memangnya
sangat sederhana, pula dalam keadaan sudah sinting, dengan sendirinya mulutnya
banyak mengoceh dan banyak tingkah pula, tanpa merasa ia pun berlagak gagah,
tanpa pikir ia ambil houlo merah lagi terus ditenggak habis sisa isinya.
Si gemuk dan si kurus saling
tukar pandang, pikir mereka, “Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan adalah racun yang
tiada bandingannya di dunia ini. Kiu-kiu-wan dibuat dengan 9x9=81 macam rumput
berbisa. Liat-hwe-tan juga terbuat dari bahan-bahan racun yang tiada taranya
seperti warangan, bisa ular sendok, bisa laba-laba hitam dan macam-macam lagi.
Tak peduli Kiu-kiu-wan atau Liat-hwe-tan, asal sebutir dicemplungkan ke dalam
sumur atau sungai, maka penduduk berkampung-kampung akan mati keracunan.
Sekarang kedua pil beracun digunakan sekaligus, mustahil kalau dia masih tetap
tidak akan mampus keracunan.”
Benar juga, baru saja mereka
berpikir demikian, mendadak terdengar Ciok Boh-thian telah menjerit, “Aduh!
Celaka! Sakit sekali perutku!”
Dan sambil memegang perut
pemuda itu meringis dan berjongkok.
Si gemuk dan si kurus saling
pandang dengan tertawa senang.
Segera si gemuk pura-pura
tanya, “He, ada apakah? Perutmu sakit? Ah, tentu karena kau makan terlalu
banyak, maka perutmu mulas!”
“Tidak! Bukan mulas! Tapi...
aduh, celaka!” teriak Boh-thian sambil meloncat.
Berbareng si gemuk dan si
kurus juga lekas-lekas melompat bangun. Mereka mengira sebelum pemuda itu
menemui ajalnya tentu akan menyerang mereka sekuat-kuatnya, maka mereka telah
himpun tenaga dan siap menantikan segala kemungkinan.
Ciok Boh-thian memang lantas
memukul juga, tapi bukan ditujukan kepada mereka, melainkan diarahkan kepada
sebatang pohon besar sambil berteriak, “Aduh! Sa... sakitnya tidak kepalang!”
Karena perutnya sakit dan
ususnya seperti dipuntir-puntir, maka Boh-thian telah mengerahkan tenaga
dalamnya dengan maksud hendak memunahkan rasa sakit itu melalui pukulannya. Tak
terduga Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan memang bukan racun sembarang racun, sekali
kedua jenis obat itu sudah bekerja, seketika perut Boh-thian seperti
disayat-sayat, sakitnya susah dilukiskan dan hampir-hampir ia jatuh kelengar.
Seketika kaki-tangannya juga terasa kaku dan sekujur badannya terasa kejang.
Saking tak tahannya, sekuatnya
tangan kiri lantas memukul ke batang pohon. Tak tersangka sesudah pukulan itu
dilontarkan, segera rasa sakit perutnya lantas agak berkurang. Maka tangan
kanan segera dipukulkan pula kepada batang pohon.
Dan begitulah seterusnya,
setiap ia melontarkan pukulan rasa sakit perutnya lantas berkurang dan segar
kembali. Tapi kalau dia berhenti memukul, seketika perutnya kesakitan lagi,
bahkan seperti disayat-sayat dan ditusuk-tusuk.
Sambil berkaok-kaok menahan
rasa sakit dan kaki-tangannya bergerak dan memukul, maka dengan sendirinya ia
telah mengeluarkan ilmu silat yang baru saja diciptakannya ketika berada di
Ci-yan-to itu. Walaupun ilmu silatnya itu tidak begitu teratur, tapi dahsyatnya
mengejutkan.
Si gemuk dan si kurus kembali
saling pandang dengan terperanjat, berulang-ulang mereka melangkah mundur.
Mereka tahu jago silat selihai sebagai Ciok Boh-thian itu, sesudah keracunan
dan pada saat akan menemui ajalnya, tentu seluruh kekuatan di dalam tubuhnya
akan buyar dan meledak sehingga kelakuannya akan mirip harimau gila. Asal kena
terpukul atau kena dirangkulnya, maka celakalah orang itu.
Mereka melihat pukulan dan
tendangan Ciok Boh-thian yang dahsyat itu gayanya mirip ilmu silat Swat-san-pay
dan menyerupai pula ilmu silat keluarga Ting. Di samping itu banyak tercampur
pula ilmu silatnya Mo-thian-kisu Cia Yan-khek. Keruan mereka tambah melongo
heran dan mau percaya mungkin pemuda ini benar-benar adalah murid dari
Kim-oh-pay.
Makin memukul makin dahsyat
dan cepat permainan Boh-thian itu. Ia merasa setiap pukulannya dilontarkan,
setiap kali pula tenaga pukulannya itu lantas melenyapkan sedikit rasa sakit
perutnya. Maka ia memukul dengan lebih semangat lagi dan makin dahsyat.
Walaupun demikian, sekarang si
gemuk dan si kurus juga sudah dapat menilai sampai di mana kepandaian Ciok
Boh-thian itu. Meski pukulan Boh-thian itu sangat dahsyat, namun gayanya dan
caranya tidaklah luar biasa. Mereka saling pandang dengan tersenyum dan
sama-sama berpikir, “Lwekang bocah ini memang sangat kuat, tapi ilmu silatnya
ternyata tidak seberapa. Jika Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan tidak dapat
membinasakan dia, terang pemuda ini pun bukan tandingan kami berdua. Tadi
karena tenaga dalamnya terlalu lihai, maka terlalu tinggi menilai
kepandaiannya.”
Berpikir sampai di sini,
mereka menjadi sayang kepada arak obat dan pil-pil yang berharga dan telah
diminum oleh Ciok Boh-thian tadi. Tahu begitu, sekali gebrak saja pemuda itu
sudah dapat mereka bunuh dan tidak perlu banyak membuang waktu dan membuang
barang berharga sebanyak itu.
Setelah bersilat sekian
lamanya, kadar racun di dalam perut Boh-thian juga mulai menghilang terbawa
oleh tenaga dalam yang dia keluarkan dan terdesak sampai di bagian telapak
tangan, rasa sakit perutnya juga lantas berkurang dan akhirnya lantas lenyap
juga.
Kemudian dengan agak
sempoyongan Boh-thian kembali ke samping api unggun, katanya dengan tertawa,
“Wah, sedemikian sakitnya perutku barusan ini, kukira ususku akan putus
terpuntir-puntir, sungguh aku takut setengah mati.”
Si gemuk dan si kurus menjadi
terperanjat malah, pikir mereka, “Sungguh luar biasa, ternyata di dunia ini ada
makhluk yang tak mati kena racun Kiu-kiu-wan dan Liat-hwe-tan.”
Segera si gemuk menanyakan,
“Dan sekarang perutmu masih sakit atau tidak?”
“Tidak, tidak sakit lagi,”
sahut Boh-thian sambil mengulur tangan kanan untuk mengambil sepotong daging
babi panggang yang sudah hampir hangus.
Di bawah cahaya api unggun
tiba-tiba ia melihat di telapak tangan sendiri itu ada bintik merah sebesar
mata uang, ia bersuara heran, “He, apa apakah ini?”
Waktu ia periksa tangan kiri,
ternyata yang berada di telapak tangan kiri ini adalah bintik-bintik biru.
Kiranya tadi ia telah mendesak
racun di dalam perutnya ke telapak tangan, cuma saja dia tidak mahir
menggunakan tenaga dalamnya sehingga tidak dapat mendesak kadar racun itu
keluar tubuh, akibatnya racun itu menjadi terkumpul pada telapak tangannya.
Bagi si gemuk dan si kurus
sudah tentu paham duduknya perkara, maka mereka merasa lebih lega pula. Pikir
mereka, “Kiranya bocah ini pun tidak mampu memanfaatkan tenaga dalamnya yang
mahadahsyat itu, maka bocah ini lebih-lebih tidak perlu ditakuti lagi. Boleh
jadi dia memang dilahirkan dengan keadaan yang luar biasa, atau mungkin dia
telah makan sesuatu benda mukjizat sehingga membuat tenaga dalamnya sedemikian
lihainya.”
Dalam pada itu terdengar Ciok
Boh-thian telah berseru kepada mereka, “He, tadi kita telah bersepakat akan
mengangkat saudara. Nah, siapakah di antara kalian berusia lebih tua dan
siapakah nama kalian yang terhormat?”
Sesungguhnya si gemuk dan si
kurus yakin bahwa sesudah Ciok Boh-thian minum racun mereka tentu akan binasa
seketika, makanya mereka tanpa pikir menyanggupi akan angkat saudara dengan
dia, sama sekali tak terduga, bahwa pemuda itu ternyata tidak mempan diracun.
Selamanya kedua orang ini
sangat tinggi hati dan menilai tinggi dirinya sendiri, apa yang sudah mereka
katakan tentu ditepati, sejak mereka berhasil meyakinkan ilmu silat mereka yang
ampuh belum pernah mereka mengingkar sesuatu janji, maka sekarang walaupun di
dalam hati mereka seratus kali tidak sudi mengangkat saudara dengan pemuda
ketolol-tololan ini, tapi terpaksa mereka harus melakukannya agar tidak
mengingkari janjinya sendiri.
Begitulah, maka sesudah si
gemuk berbatuk satu kali, lalu katanya dengan canggung-canggung, “Aku... aku
bernama Thio Sam, usiaku lebih tua sedikit daripada saudaraku yang bernama Li
Si ini. Dan kau sendiri katanya tidak punya nama, cara bagaimana kita dapat
mengangkat saudara?”
“Guruku telah memberikan suatu
nama padaku, ialah Su Ek-to, maka bolehlah kalian panggil aku dengan nama ini
saja,” sahut Boh-thian.
“Jika demikian, bolehlah kita
bertiga mengangkat saudara sekarang juga,” ujar si gemuk dengan tertawa. Lalu
ia mendahului berlutut dengan sebelah kaki dan berseru lantang, “Hari ini Thio
Sam dan Li Si mengangkat saudara dengan Su Ek-to, sejak kini kalau ada untung
akan sama dinikmati dan jika ada kesukaran akan sama ditanggung. Bila
mengingkari sumpah ini, biarlah kelak Thio Sam akan menyerupai babi hutan ini
disembelih orang dan dimakan. Haha, haha!”
Sudah tentu “Thio Sam” (Thio
si Tiga) adalah namanya yang palsu, maka dia sengaja menyebut Thio Sam melulu
dan sama sekali tidak menyebut “Aku”, hal ini menandakan dia memang tidak
mempunyai maksud sungguh-sungguh untuk kiat-pay atau mengangkat saudara dengan
Ciok Boh-thian.
Segera si kurus juga berlutut
dan menirukan si gemuk, katanya dengan tertawa, “Ya, hari ini Li Si dan Thio
Sam mengangkat saudara dengan Su Ek-to, biarpun tidak dilahirkan pada tahun dan
hari yang sama, tapi semoga dapat mati pada hari dan waktu yang sama. Bilamana
melanggar sumpah ini, biarlah kelak Li Si akan mati dicincang orang. Hehe,
hehe!”
Dengan sendirinya “Li Si” (Li
si Empat) adalah namanya yang palsu juga. Maka sehabis mengucapkan itu, ia
berulang-ulang mengekek tawa.
Sebaliknya Ciok Boh-thian
adalah seorang pemuda yang masih hijau dan polos, ia pun berlutut dan
mengangkat sumpah dengan tulus dan sungguh-sungguh, “Hari ini aku mengangkat
saudara dengan kedua Koko (kakak) ini, bila ada arak enak dan daging lezat
tentu akan kusilakan mereka menikmati dahulu, jika ada orang lain hendak
membunuh kedua Koko, tentu aku akan maju untuk melawannya dahulu. Apabila aku
mengingkar janji, biarlah aku dihukum untuk sakit perut setiap hari seperti
tadi.”
Melihat kesungguhan Ciok
Boh-thian itu, diam-diam si gemuk dan si kurus merasa rikuh sendiri. Si gemuk
lantas berbangkit dan berkata, “Sudahlah, Samte (adik ketiga), sekarang kami
ada urusan penting, terpaksa kita harus berpisah dahulu.”
“Toako dan Jiko (kakak tertua
dan kakak kedua) hendak ke mana?” demikian tanya Ciok Boh-thian. “Tadi
Thio-toako menyatakan sesudah kita menjadi saudara angkat, maka ada untung akan
dirasakan bersama dan kalau ada kesukaran akan ditanggung bersama pula. Toh aku
tiada punya urusan apa-apa, maka biarlah aku ikut berangkat bersama kalian
saja.”
Namun si gemuk lantas bergelak
tertawa, sahutnya, “Kami lagi ada urusan, yaitu hendak mengundang tamu, hal ini
tiada menarik, maka kau tidak perlu ikut.”
Habis berkata segera ia mendahului
berangkat.
Sebagai pemuda yang baru saja
bergaul dan mengikat persahabatan, Ciok Boh-thian merasa berat untuk berpisah,
segera ia pun ikut di belakang mereka dan berkata, “Biarlah aku mengantar
keberangkatan kedua Koko. Setelah berpisah, entah kapan kita akan berjumpa dan
bersama-sama makan-minum pula.”
Si kurus yang memakai nama
palsu Li Si itu tetap merengut dan tidak ambil pusing kepada Boh-thian, hanya
si gemuk Thio Sam yang masih bersenda gurau dengan dia. Katanya, “Samte, kau
bilang gurumu memberi nama Su Ek-to padamu, jika demikian, sebelum gurumu
memberi nama baru itu tentu kau sudah mempunyai nama yang asli. Sekarang kita
sudah mengangkat saudara, masakah kita perlu berdusta dan menyimpan rahasia?”
Boh-thian tertawa rikuh,
sahutnya, “Bukanlah aku sengaja berdusta kepada Koko, soalnya namaku terlalu
tidak enak didengar. Sejak kecil ibuku memanggil aku sebagai Kau-cap-ceng.”
“Kau-cap-ceng? Hahahaha!
Kau-cap-ceng! Nama ini memang sangat aneh!” seru si gemuk sambil bergelak
tertawa.
Langkah Thio Sam dan Li Si itu
tampaknya tidak terlalu cepat, tapi diam-diam mereka telah menggunakan ginkang
yang tinggi, maka pepohonan di tepi jalan telah mereka lewati seperti terbang
cepatnya.
Untuk sejenak Ciok Boh-thian
tercengang dan tahu-tahu sudah ketinggalan beberapa meter jauhnya, cepat ia pun
angkat kaki dan menyusulnya.
Begitulah, dua orang di muka
dan satu orang di belakang, jarak mereka selalu bertahan sejauh beberapa
langkah saja. Thio Sam dan Li Si ingin lekas-lekas meninggalkan si bocah tolol
ini, tapi meski mereka sudah mengeluarkan segenap kepandaian ginkang mereka toh
Boh-thian tetap mengintil dengan kencang di belakang.
Bicara tentang jalan cepat
mereka bertiga, maka kentara sekali selisih kepandaian mereka yang sangat
mencolok. Gaya langkah Thio Sam dan Li Si, tampak seenaknya saja, mereka
berlenggang dengan luwes, sedikit pun tidak kelihatan terburu-buru. Sebaliknya
Ciok Boh-thian harus melangkah lebar-lebar, kedua tangannya juga berayun ke
muka dan ke belakang sambil membungkuk tubuh dan setengah berlari, kelakuannya
itu lebih mirip copet kepergok dan sedang diuber orang.
Tapi di tengah jalan cepat itu
toh Ciok Boh-thian masih sanggup membuka mulut dan bicara seperti biasa, keruan
mau tak mau si gemuk dan si kurus harus kagum kepada tenaga dalamnya yang
mahakuat itu.
Ketika tanpa merasa Boh-thian
mengetahui bahwa arah yang diambil mereka itu adalah jalan di mana dia datang
tadi, yaitu menuju kampung nelayan yang dibuat sembunyi gerombolan Tiat-cha-hwe
dan sekarang sudah sangat dekat, maka cepat Boh-thian berseru, “He, he! Kedua
Koko, di depan sana adalah tempat berbahaya, janganlah ke sana. Marilah kita
berganti jurusan saja dan jangan mengantarkan jiwa percuma ke sana.”
Rupanya Thio Sam dan Li Si
menjadi heran, berbareng mereka berhenti dan berpaling, tanya Li Si, “Mengapa
kau katakan di depan sana adalah tempat berbahaya?”
“Ya, di muara sungai di depan
sana ada sebuah kampung nelayan, banyak sekali orang-orang Kangouw yang
bersembunyi di sana dan tidak ingin orang lain mengetahui jejak mereka, jika
mereka melihat kita bertiga hendak memergoki tempat sembunyi mereka, boleh jadi
mereka akan terus mengganas dan akan membunuh kita.”
“Dari mana kau tahu?” tanya Li
Si dengan muka masam.
Segera Boh-thian menceritakan
pengalamannya, di mana dia telah kesasar ke atas kapal yang penuh mayat, cara
bagaimana dia telah mendengar perundingan orang-orang Tiat-cha-hwe di tempat
sembunyinya dan akhirnya menyaksikan orang-orang itu sembunyi di perkampungan
nelayan itu.
“Jadi mereka sembunyi di
kampung nelayan itu adalah lantaran takut kepada Siang-sian dan Hwat-ok Sucia,
ini toh tiada sangkut paut dengan urusan kita, mengapa kita takut akan dibunuh
mereka?” ujar Li Si tetap dengan air mukanya yang merengut.
“Tidak, tidak!” sahut
Boh-thian sambil goyang-goyang kedua tangannya. “Orang-orang itu terlalu ganas
dan jahat, sedikit-sedikit lantas main membunuh, demi rahasia jejak mereka,
bahkan kawan mereka sendiri pun tidak segan-segan dibunuhnya. Ini lihat, noda
darah di atas bajuku ini adalah tetesan darah kawan mereka yang terbunuh itu.”
“Ya, sudahlah, jika kau takut
bolehlah kau jangan ikut kami,” ujar Li Si.
“Tapi... tapi kukira kedua
Koko lebih baik jangan pergi ke sana,” kata Boh-thian. “Urusan ini tidak boleh
di... dibuat main-main.”
Namun Thio Sam dan Li Si tidak
gubris padanya lagi, segera mereka berpaling kembali dan berjalan terus. Pikir
mereka, “Percuma saja bocah ini memiliki tenaga dalam sehebat ini, ilmu
silatnya ngawur, pengecut pula seperti tikus.”
Tak tersangka, belum seberapa
jauh mereka berjalan, tahu-tahu Boh-thian telah menyusul tiba pula dengan
langkah cepat.
“Katanya kau takut dibunuh
orang-orang Tiat-cha-hwe, buat apa kau ikut lagi?” tegur si Thio Sam.
“Bukankah kita sudah bersumpah
bahwa kalau ada untung akan dinikmati bersama dan kalau ada kesukaran akan
ditanggung bersama pula,” sahut Boh-thian. “Sekarang kalau kedua Koko berkeras
hendak ke sana, maka terpaksa aku mengiringi kalian agar bila perlu dapat mati
pada hari dan waktu yang sama. Seorang laki-laki sejati mana boleh melanggar
janjinya sendiri.”
“Hehe, kalau nanti sekaligus
berpuluh tombak orang-orang Tiat-cha-hwe menancap di atas tubuhmu sehingga kau
akan dibikin mirip binatang landak, apakah kau tidak takut?” jengek Li Si.
Boh-thian menjadi terbayang
jeritan ngeri kedua orang Tiat-cha-hwe yang terbunuh di kapal mayat itu,
diam-diam ia mengirik juga. Ia pikir pengganas-pengganas yang sembunyi di
kampung nelayan itu sedikitnya ada ratusan orang, sekarang dirinya hanya
bertiga, biarpun betapa tinggi ilmu silat kedua saudara angkat itu rasanya juga
susah melawan orang banyak.
Melihat air muka Boh-thian
menunjuk rasa jeri, segera Li Si mengejeknya, “Sudahlah, untuk mati rasanya
kami berdua juga tidak perlu minta ditemani, kau boleh pulang saja sendiri.
Jika kami nanti tidak mati, sepuluh tahun lagi tentu kita akan berjumpa pula.”
“Tidak, aku tetap akan ikut,”
sahut Boh-thian. “Tambah seorang pembantu tentu akan tambah baik. Andaikan kita
tidak dapat melawan jumlah mereka yang terlalu banyak, di saat berbahaya toh
kita masih dapat melarikan diri dan belum pasti akan terbunuh.”
Melarikan diri? Huh, itu kan
perbuatan pengecut!” jengek Li Si. “Sudahlah, lebih baik kau jangan ikut saja
daripada nanti membikin malu.”
“Baiklah, aku pasti takkan
lari,” sahut Boh-thian.
Karena tidak berdaya
mengenyahkan Boh-thian, Li Si dan Thio Sam hanya saling pandang dengan
tersenyum ewa. Tanpa berkata lagi mereka lantas melanjutkan perjalanan, tidak
lama kemudian sampailah mereka di tengah kampung nelayan itu.
Ternyata kapal yang penuh
mayat itu sudah tak terlihat pula, di tengah kampung itu pun sunyi senyap tiada
tampak seorang pun.
Setelah mengamat-amati keadaan
setempat, lalu Thio Sam dan Li Si mendatangi sebuah gubuk. Pintu gubuk itu
didorong terpentang, langsung mereka lantas menuju ke dapur. Sesudah memandang
keadaan sekitar tempat itu dan memikir sejenak, tiba-tiba Thio Sam memindahkan
sebuah gentong air besar yang terletak di pojok ruangan dapur itu. Maka
tertampaklah di bawah gentong air itu ada sebuah gelang besi.
Tanpa disuruh lagi Li Si
lantas pegang gelang besi itu terus ditarik ke atas. Maka terdengarlah suara
keras, sepotong papan besi ikut terangkat dan kelihatan sebuah lubang di
bawahnya.
Segera Thio Sam mendahului
melompat masuk ke dalam lubang itu. Menyusul Li Si juga melompat ke bawah.
Boh-thian terheran-heran
melihat kejadian luar biasa itu. Tanpa pikir ia lantas ikut melompat ke dalam
lubang.
Mendadak di bawah lubang itu
mereka disambut oleh suara bentakan seorang, “Siapa itu?”
Menyusul angin tajam lantas
menyambar, dua batang Cha (tombak bercabang) yang mengilap telah menusuk ke
arah Thio Sam.
Tapi ketika kedua tangan Thio
Sam bergerak dan menepuk di atas batang tombak-tombak itu, di mana tenaga
dalamnya menggetar, kontan kedua penyerang itu lantas terjungkal dan binasa.
Di depan mereka ternyata
terbentang sebuah jalan lorong yang berlika-liku, di atas dinding jalan
tersulut lilin yang besar. Setiap ada pengkolan jalan, di situ tentu dijaga
oleh dua orang lelaki. Tapi setiap kali Thio Sam cukup menggerakkan kedua
tangan dan kontan kedua laki-laki bersenjata tombak itu lantas terbunuh.
Caranya Thio Sam ternyata sangat cepat lagi jitu, sama sekali ia tidak perlu
menggunakan jurus kedua.
Boh-thian sampai melongo
menyaksikan kesaktian itu, pikirnya, “Ilmu sulap apakah yang digunakan
Thio-toako ini? Jika yang dia gunakan ini adalah ilmu silat juga, maka terang
Thio-toako jauh lebih lihai daripada Ting Put-sam, Ting Put-si, Pek-suhu, dan
lain-lain.”
Selagi pikiran Boh-thian
melayang, terdengarlah suara riuh ramai, dari depan telah membanjir tiba orang
banyak.
Namun Thio Sam telah maju
dengan langkah perlahan. Sebaliknya orang-orang yang menyerbu dari depan itu
mendadak berdiri tegak, air muka mengunjuk rasa kaget dan ketakutan.
“Apakah congthocu kalian
berada di sini?” tanya Thio Sam.
Segera seorang laki-laki
berperawakan tinggi besar tampil ke muka orang banyak, katanya sambil memberi
hormat, “Maafkan kami tiada menyambut kedatangan tuan-tuan. Silakan menuju ke
ruangan besar untuk sekadar minum. O, kiranya masih ada seorang tamu terhormat
lagi. Silakan tuan-tuan bertiga masuk ke dalam.”
Thio Sam dan Li Si tidak
bicara lagi, mereka hanya mengangguk saja.
Boh-thian sendiri merasa
kebat-kebit, di jalan lorong yang remang-remang dan menyeramkan itu Thio Sam
berturut-turut telah membinasakan 12 orang Tiat-cha-hwe, tampaknya pihak mereka
tentu akan menuntut balas, maka diam-diam Boh-thian sangat khawatir. Namun
dilihatnya kedua saudara angkat itu telah melangkah ke depan seperti tidak
terjadi apa-apa, sudah tentu ia tidak dapat mundur sendirian, maka terpaksa ia mengikut
dari belakang.
Lelaki kekar tadi lantas
menunjukkan jalan di depan dengan sikap sangat hormat. Sepanjang jalan lorong
itu penuh berbaris anggota Tiat-cha-hwe yang bertombak baja, ujung tombak yang
bercabang itu tajam dan gemilapan terkena sinar lilin.
Namun Thio Sam dan Li Si
anggap seperti tiada apa-apa saja, bersama Ciok Boh-thian mereka lantas
menyusur ke depan mengikuti tuan rumah. Sesudah membelok lagi suatu pengkolan,
mendadak pandangan mereka terbeliak, mereka telah sampai di suatu ruangan pendopo.
Di sekeliling dinding pendopo
itu terpasang banyak obor sehingga keadaan terang benderang sebagai siang hari.
Sekitar ruangan juga berdiri penuh anggota-anggota Tiat-cha-hwe yang bertombak.
Air muka semua orang ini tampak sangat tegang.
Sekali tempo pandangan Ciok
Boh-thian kebentrok dengan sinar mata orang-orang itu, ia merasa sorot mata
mereka itu semuanya buas dan kejam sehingga membikin orang merasa tidak aman.
Lelaki kekar tadi menyilakan
Thio Sam dan Li Si duduk ke tempat yang terhormat. Tanpa sungkan-sungkan Thio
Sam dan Li Si terus mengambil tempat duduk yang ditunjuk. Dengan tertawa Thio
Sam berkata kepada Boh-thian, “Adik kecil, bolehlah kau duduk di sebelahku
sini.”
Dan sesudah Boh-thian juga
mengambil tempat duduk, lelaki kekar itu juga mengiringi duduk di sebelah lain.
Sejenak kemudian beberapa orang pelayan yang tak bersenjata telah menyiapkan
meja dengan hidangan lengkap.
Mendadak Thio Sam dan Li Si
menggerakkan tangan kiri masing-masing, berbareng dari lengan baju mereka
menyambar keluar sesuatu benda, “plok”, kedua benda itu jatuh berjajar di atas
meja di depan si lelaki kekar tadi, kiranya kedua benda itu adalah dua potong
pening atau medali tembaga dan ambles rata di permukaan meja.
Tertampak di atas pening
tembaga itu masing-masing terukir muka orang, yang satu muka yang tertawa dan
yang lain muka yang lagi gusar. Jadi mirip sekali dengan kedua pening tembaga
yang terpaku di atas kapal mayat orang-orang Hui-hi-pang itu.
Serentak si lelaki kekar itu
berbangkit demi melihat kedua benda itu. Seketika pula terdengar suara
gemerencing, ratusan orang yang berdiri di sekitar ruangan pendopo telah
menggerakkan tombak mereka, karena tombak mereka terpasang gelang-gelang besi,
maka mengeluarkan suara nyaring yang membisingkan telinga, berbareng
orang-orang itu pun melangkah maju satu tindak.
Diam-diam Boh-thian menjadi
khawatir, “Wah, celaka, mereka akan berkelahi. Di ruangan pendopo yang terletak
di bawah tanah ini tentu susah untuk melarikan diri.”
Waktu ia melirik kedua
saudara-angkatnya, ia lihat Thio Sam dan Li Si masih tetap tenang saja, yang
satu tetap tersenyum-senyum ramah dan yang lain tetap bermuka masam tanpa
memberi reaksi apa-apa.
“Jika sudah begini, apa mau
dikata lagi?” ujar si lelaki kekar tadi dengan lesu.
“Congthocu,” kata Thio Sam
dengan tertawa, “kedatangan kami adalah untuk mengundang kau agar suka hadir
pada pesta ‘Lap-pat-cok’ (bubur atau jenang perayaan tutup tahun) nanti, maksud
lain tidak ada, harap jangan curiga.”
Lelaki kekar itu memang benar
adalah congthocu atau pemimpin umum Tiat-cha-hwe. Dia bersangsi sejenak,
kemudian ia telah menepuk meja sekali, kedua potong pening tembaga yang
terjepit rata di muka meja itu mendadak mencelat ke atas, dengan cepat ia
sambar kedua benda itu dan dimasukkan ke dalam baju, lalu katanya, “Baiklah,
orang she Liong pasti akan hadir pada waktunya.”
“Banyak terima kasih atas
kerelaan Liong-thocu sehingga perjalanan kami ini tidak tersia-sia,” ujar Thio
Sam sambil mengacungkan jari jempolnya.
Sekonyong-konyong di antara
orang-orang yang berkerumun itu ada seorang telah berseru, “Walaupun
Liong-congthocu adalah pemimpin kami, tapi Tiat-cha-hwe adalah milik orang
banyak, maka tidaklah pantas kalau Congthocu sendiri saja yang disuruh memikul
beban ini bagi para saudara.”
Begitu mendengar suara orang
itu, segera Boh-thian mengenali pembicara itu adalah Oh-toako yang
berturut-turut membunuh dua orang di atas kapal itu. Ia tahu orang she Oh
sangat ganas, maka diam-diam ia merasa kebat-kebit dan khawatir.
“Apa gunanya mengakibatkan
korban yang lebih banyak,” ujar congthocu she Liong itu dengan tersenyum getir.
“Keputusanku ini sudah bulat, hendaklah Oh-hiante tidak perlu banyak bicara
lagi.”
Lalu ia angkat poci arak yang
sudah tersedia untuk menuangkan arak bagi Thio Sam, tapi tangannya ternyata
agak gemetar, arak yang tertuang sampai tercecer di atas meja.
Kata Thio Sam dengan tertawa,
“Konon Liong-congthocu adalah seorang kesatria yang gagah berani, membunuh
orang biasanya tidak berkedip, tapi hari ini mengapa menjadi agak jeri?”
Habis berkata segera Thio Sam
mengangkat cawan arak dan hendak minum. Tapi mendadak tangannya terasa kaku,
cawan arak jatuh ke lantai dan pecah berantakan, menyusul tubuh Thio Sam lantas
terkulai miring di atas kursi.
Keruan Boh-thian terkejut,
cepat ia tanya, “He, kenapakah kau, Toako?”
Segera ia pun berpaling dan
tanya Li Si, “Jiko, kenapakah....” belum habis ucapannya, tiba-tiba dilihatnya
Li Si juga terkulai lemas dan perlahan-lahan memberosot ke bawah meja.
Jilid 27
Tentu saja Boh-thian tambah
kaget dan bingung.
Congthocu she Liong itu semula
mengira kelakuan Thio Sam dan Li Si itu hanya pura-pura dan main sandiwara
saja, tapi kemudian demi tampak muka Thio Sam merah membara, napasnya
terengah-engah, sebaliknya kedua mata Li Si kelihatan mendelik, mukanya gelap
menghitam, itulah tanda-tanda terkena racun yang mahajahat. Keruan ia menjadi
girang, tapi ia masih tidak berani ambil tindakan sesuatu, ia pura-pura
berkata, “He, kenapakah? Apa barangkali arak kami ini tidak cukup baik? Dan
tuan ini mau minum tidak?”
Sambil berkata ia hendak
menuangkan arak untuk Li Si.
Dalam pada itu tubuh Li Si
sudah meringkuk seperti cacing di bawah meja, tubuhnya tampak berkejang.
Sungguh kaget Ciok Boh-thian
tak terkatakan, cepat ia memayang bangun Li Si dan berkata, “Jiko, apakah...
apakah badanmu sakit?”
Nyata Boh-thian tidak tahu
bahwa tadi lantaran berlomba minum arak yang mengandung racun jahat dengan dia,
maka sedikitnya Thio Sam dan Li Si masing-masing juga telah ikut minum tujuh
atau delapan ceguk.
Menurut ukuran kekuatan Thio
Sam dan Li Si itu, bila berturut-turut mereka minum dua-tiga ceguk dan segera
mengerahkan tenaga dalam untuk melawan bekerjanya racun, maka hal ini masih
tidak menjadi halangan bagi mereka.
Namun tadi mereka telah minum
melampaui takaran, waktu itu mereka masih bertahan sekuatnya dan diam-diam
merasa senang karena Ciok Boh-thian telah kena dikelabui, di samping itu juga
merasa syukur karena lwekang mereka tampaknya telah banyak tambah maju,
buktinya setelah minum arak berbisa sebanyak itu toh tidak merasakan perut
sakit dan usus terpuntir-puntir.
Di luar perhitungan mereka
bahwa tatkala itu mereka telah minum obat pemunah, obat pemunah itu gunanya
melambatkan bekerjanya racun arak itu, dengan demikian tenaga dalam mereka yang
kuat itu lambat laun akan dapat membaur dan memunahkan arak obat yang sudah masuk
di dalam perut, dengan demikian tenaga dalam mereka akan bertambah lebih kuat.
Jadi obat pemunah itu sebenarnya hanya mempunyai khasiat melambatkan bekerjanya
racun dan tiada khasiat memunahkan racun.
Tapi sesudah kedua orang
melakukan perjalanan cepat, di luar dugaan pada saat yang genting racun jahat
di dalam arak itu mendadak telah bekerja di dalam perut. Keruan seketika perut
Thio Sam dan Li Si kesakitan seperti disayat-sayat, sekujur badan mereka kaku
kejang. Mereka insaf keadaan sangat berbahaya, maka cepat mereka mengerahkan
tenaga murni di dalam pusarnya untuk bertahan, sedapat mungkin sisa arak
berbisa di dalam perut itu dibungkus dan membiarkannya cerna sedikit demi
sedikit. Kalau tidak, bila racun jahat itu bekerja secara mendadak, tentu jantung
mereka akan putus dan bisa mati seketika.
Diam-diam mereka mengeluh,
sungguh sial bahwa racun itu justru bekerja pada saat mereka berada di sarang
musuh, andaikan bekerjanya racun di dalam perut itu sementara dapat
dilambatkan, tapi rasanya juga susah terhindar dari kekejaman orang-orang
Tiat-cha-hwe itu.
Di pihak lain, ketika mendadak
melihat Thio Sam dan Li Si tiba-tiba memberosot ke lantai dengan badan kejang,
keringat berbutir-butir memenuhi jidat mereka, tampaknya sangat menderita, maka
Liong-congthocu dan Oh-toako dari Tiat-cha-hwe serta anak buah mereka menjadi
terheran-heran dan curiga pula. Walaupun menghadapi kesempatan yang bagus itu
untuk bertindak, namun terpengaruh oleh wibawa Thio Sam dan Li Si yang memang
sangat mereka takuti, maka sementara itu mereka masih tidak berani bertindak
apa-apa.
Dalam pada itu yang paling
gelisah adalah Ciok Boh-thian, ia coba tanya pula, “Toako, Jiko, apakah kalian
mabuk atau mendadak kalian sakit usus buntu?”
Namun Thio Sam dan Li Si tidak
memberi jawaban, dengan setengah berduduk setengah telentang cepat mereka
mengerahkan lwekang untuk melawan bekerjanya racun di dalam perut. Selang tidak
lama, mulailah dari ubun-ubun kepala kedua orang mengeluarkan uap putih yang
hampir tidak kelihatan.
Liong-congthocu itu cukup
berpengalaman, demi melihat keadaan itu, segera ia mengisiki bawahannya she Oh
tadi, “Oh-hiante, kedua orang ini terang dalam keadaan payah, kalau bukan
cau-hwe-jip-mo (kelumpuhan karena sesatnya ilmu yang dilatih) tentu adalah
sakit keras mereka mendadak kumat. Mereka sedang mengerahkan lwekang untuk
bertahan, kesempatan ini janganlah kita sia-siakan, hayolah beramai-ramai maju
bersama!”
Orang she Oh itu menjadi
girang. Tapi ia tidak berani mendekat, hanya sebatang tombak lantas
ditimpukkannya ke arah Thio Sam.
Sudah tentu Thio Sam tidak
sanggup menangkis, terpaksa ia berusaha menghindar dengan sedikit memiringkan
tubuhnya, namun tidak urung tombak itu telah menancap di atas bahunya sehingga
darah bercucuran.
Kaget Ciok Boh-thian tak
terhingga, cepat ia berseru, “He, kau kenapa kau berani melukai toakoku?”
Sudah tentu orang-orang
Tiat-cha-hwe tiada satu pun yang takut padanya, pertama karena dia masih sangat
muda, kedua Boh-thian kelihatan bingung dan gugup, gerak-geriknya tampaknya
lucu. Apalagi Thio Sam yang biasanya sangat ditakuti mereka itu sekarang dengan
sangat mudah telah dilukai, keruan mereka tambah berani dan bersemangat. Maka
tanpa menjawab lagi segera Ciok Boh-thian dipersen dengan timpukan tiga batang
tombak sekaligus oleh orang-orang Tiat-cha-hwe.
Dengan gugup Boh-thian sempat
menggunakan lengan kiri untuk menyengkelit sehingga dua batang tombak kena
ditangkis mencelat, berbareng tangan kanan digunakan untuk menangkap tombak
ketiga, menyusul tubuhnya menggeser, cepat ia menjaga di depan tubuh Thio Sam
dan Li Si yang tak berkutik itu.
Dalam keadaan panik, tiba-tiba
lima batang tombak baja telah menyambar pula. Cepat Boh-thian putar tombak
rampasannya itu, satu per satu tombak-tombak musuh itu kena dipukul mencelat
kembali sehingga dua anggota Tiat-cha-hwe berbalik jatuh menjadi korban, yang
seorang kepalanya pecah dan yang lain perutnya tertembus.
Liong-congthocu itu cukup
cerdik, ia melihat tempat yang agak sempit itu sukar menggunakan senjata, kalau
pertarungan demikian diteruskan tentu akan lebih banyak melukai kawannya
sendiri. Maka cepat ia berseru, “Semua orang berhenti dahulu, biarkan aku
sendiri yang membereskan anak jadah ini!”
Serentak anak buahnya lantas
menyingkir. Ketika Liong-congthocu itu membungkuk tubuh, kedua tangannya meraba
ke kain pembebat kakinya, ketika menegak kembali, tahu-tahu kedua tangannya
masing-masing sudah memegang sebilah belati yang mengilap.
“Hayo mundur, saksikanlah
congthocu kita membereskan anak jadah itu!” teriak anggota-anggota Tiat-cha-hwe
sambil menyingkir dan berdiri memepet dinding pendopo.
Mendadak Liong-congthocu itu
melompat maju secepat kilat, tahu-tahu ia sudah berada di samping Ciok
Boh-thian, kedua belatinya lantas menyambar dari atas dan bawah, masing-masing
mengincar muka dan pinggang pemuda itu.
Sama sekali Ciok Boh-thian
tidak menduga datangnya serangan lawan ternyata begini cepat, keruan ia menjadi
kelabakan, sambil berseru kaget lekas-lekas ia melangkah ke samping, namun
tidak urung pinggang dan lengannya juga sudah terkena belati musuh. “Trang”,
berbareng tombak rampasannya itu pun jatuh ke lantai.
Melihat kepandaian Ciok
Boh-thian ternyata tidak tinggi, diam-diam Liong-congthocu itu merasa lega dan
mendapat hati. Sambil membentak-bentak kembali ia menubruk maju pula sebagai
harimau menerkam mangsanya.
Karena sudah kepepet, dalam
keadaan gugup Ciok Boh-thian harus melawan sebisanya, tanpa pikir tangan
kirinya lantas menolak ke depan, ternyata yang digunakannya ini adalah salah
satu jurus yang telah diciptakannya sewaktu berada di Ci-yan-to tempo hari. Di
luar dugaan, tolakan tangannya itu telah menimbulkan serangkum angin yang
mahakuat dan menyambar ke arah lawan.
Seketika Liong-congthocu itu
merasa napasnya menjadi sesak dan cepat-cepat ia melompat pergi. Untunglah Ciok
Boh-thian belum matang betul atas jurus-jurus serangan ciptaannya sendiri itu
sehingga tidak terpikir olehnya untuk melakukan serangan susulan lagi.
Diam-diam Liong-congthocu
terkejut, pikirnya, “Kiranya ilmu silat bocah ini sesungguhnya tidak lemah.
Daripada banyak terjadi hal-hal yang tak terduga, apalagi kalau kedua orang itu
sembuh kembali, tentu aku bisa celaka. Paling perlu bocah ini harus dimampuskan
lebih dulu.”
Maka cepat kedua belatinya
berputar naik-turun dan kembali ia menubruk maju ke arah Ciok Boh-thian.
Luka di lengan Boh-thian yang
terkena belati tadi sangat ringan, tapi pinggang yang tertusuk itu terasa
sangat sakit. Karena sekali balas serang Liong-congthocu itu kena dipaksa
mundur, diam-diam Boh-thian berpikir, “Eh, rupanya jurus serangan yang
kuciptakan dengan secara ngawur itu boleh juga digunakan.”
Ketika dilihatnya
Liong-congthocu menerjang maju pula dengan bengis, cepat Boh-thian lantas
mengegos ke samping, berbareng tangannya membalik dan menghantam ke punggung
lawan.
Sebagai pemimpin besar
Tiat-cha-hwe, sudah tentu ilmu silat Liong-congthocu itu bukanlah kaum keroco
yang rendah. Ketika didengarnya setiap pukulan Ciok Boh-thian itu selalu
membawa sambaran angin yang keras, tenaga dalamnya ternyata sangat lihai,
diam-diam ia menjadi jeri. Sekarang ia tidak berani ayal dan memandang ringan
lagi kepada Ciok Boh-thian, segera ia mengeluarkan segenap kepandaian yang
diandalkannya, ia mulai menyerang ke tempat yang mematikan di tubuh pemuda itu
dengan jurus-jurus serangan yang paling ganas.
Semula Ciok Boh-thian agak
repot juga melayani serangan musuh yang menggencar itu, tapi lama-lama ia pun
dapat mengikutinya sehingga pertarungan kedua orang makin lama makin sengit.
Bermula juga anggota-anggota
Tiat-cha-hwe masih bersorak-sorak memberi bantuan semangat kepada congthocu
mereka, tapi sampai akhirnya mereka menjadi melongo dan ikut berdebar-debar
menyaksikan pertempuran seru itu dan lupa bersorak lagi.
Dalam pada itu Thio Sam dan Li
Si masih tetap menggeletak tak berkutik, sambil mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan meluasnya racun di dalam perut mereka pun mengikuti pertarungan sengit
antara Ciok Boh-thian melawan Liong-congthocu. Mereka sadar bahwa mati atau
hidup mereka hanya tergantung kepada hasil pertempuran itu.
Berulang-ulang mereka melihat
banyak kesempatan bagus bagi Ciok Boh-thian untuk mengalahkan lawannya, tapi
kesempatan-kesempatan itu telah disia-siakan semua oleh pemuda itu. Sungguh
mereka merasa sayang sekali dan gelisah pula, bahkan mereka pun tidak berani
terlalu memencarkan perhatian sehingga mengganggu tenaga dalam sendiri yang sedang
dikerahkan untuk melawan racun itu.
Setelah pertempuran
berlangsung beberapa lama pula, mendadak Ciok Boh-thian melancarkan sebuah
pukulan. Baru saja Liong-congthocu itu hendak menangkis, tiba-tiba ia mencium
dari angin pukulan lawan itu terbawa semacam bau harum yang memabukkan,
seketika kepalanya menjadi pusing, orangnya lantas roboh dan tak sadarkan diri
lagi. Tapi air mukanya memperlihatkan tersenyum-senyum yang aneh.
Ciok Boh-thian berbalik
terperanjat atas kejadian itu, cepat ia melompat mundur dan berseru, “He,
kenapa? Apa kau terpeleset jatuh? Boleh lekas bangun!”
Dari samping orang yang
dipanggil sebagai Oh-toako itu telah berlari mendekati sang congthocu,
tertampak muka pemimpin mereka itu berwarna matang biru, itulah pertanda kena
racun yang mahajahat. Waktu diperiksa pula napasnya, ternyata orangnya sudah
mati.
Saking kaget dan gusarnya
Oh-toako itu lantas berteriak dengan suara parau, “An... anak jadah, kau... kau
berani main licik dengan memakai racun, biarlah kita meng... mengadu jiwa saja
dengan dia.... Hayolah kawan-kawan, maju semua untuk menuntut balas, Cong...
Congthocu telah dibinasakan oleh anak bangsat ini!”
Orang-orang Tiat-cha-hwe
serentak berteriak-teriak, mereka angkat tombak terus menyerang serabutan ke
arah Ciok Boh-thian.
Dengan mati-matian Ciok
Boh-thian tetap mengadang di depan Thio Sam dan Li Si dan tidak berani
menyingkir pergi, ia khawatir kalau sedikit lena tentu kedua saudara angkat
akan dibunuh oleh tombak-tombak baja yang tak terhitung banyaknya itu.
Ketika sudah berbahaya, segera
Boh-thian merebut sebatang tombak musuh, sekuatnya ia patahkan tombak itu
sehingga menjadi pendek, lalu dia mainkan Kim-oh-to-hoat dengan kencang untuk
menangkis dan menghalau serangan musuh.
Karena tenaga dalamnya memang
sangat kuat dan tersalur ke batang tombaknya yang pendek itu, maka susahlah
bagi musuh yang ingin menahannya, dalam sekejap saja belasan senjata lawan
sudah tersampuk jatuh atau terpental.
Ada seorang anggota
Tiat-cha-hwe yang berdiri paling depan, ketika tombaknya terbentur dan
mencelat, segera ia menubruk maju, kedua tangannya terus mencakar ke muka Ciok
Boh-thian.
Melihat lawan itu menerjang
dengan kalap, cepat tangan kirinya menyapu ke depan, maka terdengarlah suara
“prak” yang keras, dengan tepat kesepuluh jari musuh kena ditampar sehingga
sembilan di antara sepuluh jari itu patah semua, menyusul orang itu lantas
terkulai ke lantai dan tak berkutik lagi.
Dalam pertarungan sengit itu,
dengan sendirinya tiada orang sempat memerhatikan mati atau hidupnya anggota
Tiat-cha-hwe itu. Segera ada tujuh atau delapan kawannya menerjang maju lagi,
ada yang bertombak dan ada yang bertangan kosong, dengan nekat mereka
mengerubut Ciok Boh-thian.
Boh-thian sendiri tidak berani
mundur barang selangkah pun, ia khawatir akan memberi lowongan kepada musuh
sehingga kedua kakak-angkatnya mendapat cedera. Maka bila dilihatnya ada musuh
mendesak maju, kontan tangannya lantas menampar atau menabok. Dan setiap kali
ia menyerang, aneh juga, entah sebab apa pihak lawan pasti roboh terjungkal,
saktinya tidak alang kepalang.
Begitulah, maka berturut-turut
enam atau tujuh orang telah dirobohkan oleh Ciok Boh-thian. Tentu saja pihak
lawan menjadi geger, banyak di antaranya berteriak-teriak, “Awas, pukulan anak
keparat ini berbisa dan sangat lihai, kawan-kawan harus hati-hati!”
Lalu ada orang berseru pula,
“Ya, Ong-samko dan Sun-loliok juga telah binasa dipukul anak bangsat itu,
hati-hatilah ka... kawan....” belum selesai ucapan orang ini, “bluk”, tahu-tahu
ia sendiri pun roboh terkapar, tombaknya yang antap tepat memukul mukanya
sendiri.
Rupanya orang ini belum lagi
terkena pukulan berbisa dari Ciok Boh-thian, tapi dia toh mati juga keracunan.
Di ruangan pendopo itu masih
banyak anggota-anggota Tiat-cha-hwe yang belum sempat ikut bertempur, mereka
menjadi saling pandang dengan penuh ketakutan, tanpa merasa mereka mundur ke
belakang selangkah demi selangkah. Menyusul terdengarlah suara gedubrakan dan
gemerencing yang nyaring ramai, ternyata anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu satu
per satu telah roboh terjungkal dengan sendirinya, ada yang sempat memutar
tubuh dan hendak melarikan diri, tapi belum seberapa langkah, tidak urung juga
roboh terkapar dengan tombak mereka.
Hanya dalam sekejap saja
ratusan laki-laki tegap yang berada di ruangan pendopo itu sudah bergelimpangan
memenuhi pendopo, tinggal empat orang saja yang berkepandaian paling tinggi,
sedapat mungkin mereka menutupi mulut dan hidung sendiri, lalu mencari jalan buat
berlari keluar. Namun mereka hanya mampu mencapai pintu ruang pendopo saja,
lalu keempat orang itu jatuh terjungkal semua dan binasa.
Menyaksikan keadaan demikian,
bukannya Boh-thian bergirang atas kemenangannya, sebaliknya ia menjadi
ternganga takut. Jauh lebih takut daripada waktu dia kesasar ke atas kapal yang
penuh mayat di Ci-yan-to tempo hari. Maklum, waktu di atas kapal itu, yang
dilihatnya adalah mayat anggota-anggota Hui-hi-pang yang sudah mati lebih dulu,
tapi sekarang anggota-anggota Tiat-cha-hwe ini satu per satu menggeletak mati
di depan matanya secara aneh, entah kena sihir atau disambar iblis nyawa mereka
itu.
Tiba-tiba Boh-thian teringat
kepada seruan orang-orang Tiat-cha-hwe tadi yang mengatakan pukulannya yang
berbisa itu terlalu lihai, ia menjadi bingung sebab selamanya dirinya toh tidak
pernah berlatih ilmu pukulan yang berbisa apa segala.
Ketika tanpa sengaja ia coba
mengamat-amati telapak tangannya sendiri, tiba-tiba terlihat di tengah-tengah
telapak tangan itu terdapat toh merah sebesar gobang, di pinggir toh merah itu
banyak terdapat garis-garis biru yang aneh. Dengan terheran-heran Boh-thian
mengamat-amati sampai sekian lamanya, akhirnya ia merasa jijik sendiri, kedua
tangan sendiri seakan-akan telah berubah sebagai benda-benda yang memuakkan,
hidungnya mengendus pula bau yang aneh, seperti bau wangi dan seperti bau busuk
yang susah dilukiskan.
Boh-thian tidak ingin melihat
tangannya sendiri lagi, ia coba berpaling memandang Thio Sam dan Li Si, keadaan
kedua orang itu tampaknya baik-baik saja, ubun-ubun kepala mereka makin banyak
mengepulkan uap putih, di bahu Thio Sam masih tetap menancap tombak yang
ditimpukkan orang Tiat-cha-hwe tadi.
Boh-thian pikir tombak yang
menancap di bahu sang toako itu harus dicabut keluar lebih dahulu. Maka ia
lantas mendekati Thio Sam, ia pegang gagang tombak dan perlahan-lahan dicabut
ke luar. Darah segar lantas memuncrat keluar dari bahu Thio Sam. Cepat
Boh-thian menahan luka itu dan menyobek ujung bajunya dan digunakan membalut
luka sang toako.
Terdengar Thio Sam telah
menarik napas panjang, lalu dengan suara lemah ia berkata, “Deng...
dengarkanlah dan... dan kerjakanlah... menurut... petunjukku....”
Kiranya keadaan Thio Sam dan
Li Si sama payahnya terkena racun araknya sendiri, tapi sesudah pundak Thio Sam
mengeluarkan darah, hal ini malah membikin bekerjanya racun dihambat untuk
sementara. Ia insaf kesempatan yang cuma sedetik itu adalah jalan satu-satunya
untuk menyelamatkan diri, maka dengan sepenuh tenaga ia coba bicara kepada Ciok
Boh-thian.
“Ya, baiklah, pasti akan
kukerjakan menurut petunjuk Toako,” demikian Boh-thian menjawab.
“Gun... gunakanlah... tangan
kirimu un... untuk menahan leng-tay-hiat di.... di punggungku....” kata Thio
Sam dengan terputus-putus dan sekata demi sekata, dan sesudah bernapas, lalu ia
menyambung pula.
Begitulah, sesudah banyak
membuang tenaga dan dengan susah payah akhirnya barulah Thio Sam selesai
memberi petunjuk kepada Ciok Boh-thian, caranya mengerahkan lwekang untuk
membantu mendesak keluar kadar racun yang mengeram di dalam tubuhnya. Ketika
habis bicara, saking letihnya jidatnya sampai penuh butiran keringat yang
besar-besar, wajahnya juga merah membara dan napas terengah-engah.
Boh-thian tidak berani ayal
lagi, segera ia kerjakan menurut petunjuk sang toako. Ia membuka baju Thio Sam
dan menggunakan tangan kiri untuk menahan di leng-tay-hiat di bagian punggung,
sedangkan tangan kanan menahan di tan-tiong-hiat, tenaga dalam dikerahkan masuk
melalui tangan kiri untuk mendesak kadar racun, sebaliknya tangan kanan
mengerahkan tenaga untuk mengisap keluar.
Benar juga, tidak antara lama
terasalah ada suatu arus hawa yang hangat dan halus telah menyusup masuk
melalui tangan kanannya. Yang terpikir oleh Ciok Boh-thian hanya menolong jiwa
Thio Sam saja, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa lantaran kerjanya itu
kembali badannya sendiri telah kemasukan kadar racun yang tidak sedikit, yaitu
racun yang asalnya mengeram di tubuh Thio Sam.
Selagi Boh-thian asyik
melakukan tugasnya itu, tiba-tiba terdengar suara tindakan orang banyak. Dari
luar telah berlari masuk belasan orang yang semuanya bersenjata tombak. Terang
mereka adalah anggota Tiat-cha-hwe pula. Begitu mereka memasuki ruangan dengan
sendirinya mereka lantas kaget melihat pemimpin dan kawan-kawan mereka sudah
menggeletak tak bernyawa memenuhi pendopo itu.
Kiranya orang-orang
Tiat-cha-hwe ini bertugas menjaga di luar, karena sudah sekian lamanya tiada
terdengar sesuatu suara atau perintah dari sang congthocu, maka sebagian di
antara mereka lantas masuk ke situ untuk melihat apa yang sudah terjadi.
Sudah tentu mereka tidak
menduga bahwa kawan-kawan mereka sudah mati semua, saking kagetnya mereka
melihat pula Ciok Boh-thian, Thio Sam dan Li Si masih duduk di atas lantai situ
dan terang juga terluka parah, maka sambil berteriak-teriak anggota-anggota
Tiat-cha-hwe itu serentak menyerbu maju sambil mengacungkan tombak mereka.
Mestinya Ciok Boh-thian hendak
berbangkit untuk menghalau musuh. Tak tersangka belasan orang Tiat-cha-hwe itu
baru menerjang maju kira-kira beberapa meter jauhnya, mendadak tubuh
orang-orang itu lantas sempoyongan seperti orang mabuk, menyusul satu per satu
lantas roboh terkulai, seperti nasib kawan-kawan mereka yang lain, belasan
orang itu pun mati tanpa bersuara.
Boh-thian sendiri tidak alang
kepalang kagetnya, jantungnya sampai berdebar-debar, ia berteriak dengan
gemetar, “Toako... Toako, apakah... apakah di ruangan ini ada setan? Le...
lekas kita pergi saja dari sini!”
Namun Thio Sam menjawabnya
dengan menggeleng. Saat itu sebagian racun di tubuhnya sudah terdesak keluar,
sakit perutnya sudah tidak sehebat tadi, maka dapatlah ia bicara dengan lebih
lancar, “Boleh kau menggunakan cara barusan ini un... untuk menolong Jiko
pula.”
Boh-thian mengiakan. Segera
menurutkan cara ajaran Thio Sam tadi untuk mengisap racun Li Si. Sekarang yang
terasa masuk di telapak tangannya adalah hawa halus yang dingin segar.
Kira-kira sepertanak nasi
kemudian, kadar racun di dalam tubuh Li Si sudah banyak berkurang, maka
bergilir Thio Sam yang ditolong.
Begitulah secara bergilir,
berulang-ulang Boh-thian telah mengisap tiga kali pada tiap-tiap orang itu.
Walaupun sisa racun belum lenyap seluruhnya, tapi sekarang sudah tidak
berhalangan lagi bagi Thio Sam dan Li Si.
Melihat mayat yang
bergelimpangan di sekitar mereka, teringat kepada keadaan bahaya tadi, mau tak
mau Thio Sam dan Li Si merinding sendiri dan bersyukur pula atas pertolongan
Ciok Boh-thian. Melihat air muka Ciok Boh-thian walaupun merasa takut-takut,
tapi gerak-geriknya sangat tangkas, sedikit pun tiada tanda-tanda keracunan,
maka diam-diam Thio Sam dan Li Si tidak habis mengerti, mereka merasa bocah ini
mungkin memiliki kekebalan pembawaan atau mungkin pernah makan obat mukjizat
apa-apa sehingga tidak mempan keracunan.
Hendaklah maklum bahwa arak
berbisa dari kedua houlo itu sebagian besar telah diminum Ciok Boh-thian, yang
diminum Thio Sam dan Li Si hanya sebagian kecil saja, tapi sekarang boleh
dikata hampir seluruhnya kadar racun dari arak kedua houlo itu masuk di dalam
tubuh Ciok Boh-thian. Sebabnya orang-orang Tiat-cha-hwe itu seketika binasa
bila kesampuk oleh angin pukulannya terang adalah karena tersebarnya racun
mahajahat melalui telapak tangannya. Bahkan akhirnya seluruh ruang pendopo itu
pun penuh dengan hawa berbisa sehingga orang yang masuk ke situ akan mati
seketika.
“Baiklah, Jite dan Samte,
marilah kita pergi dari sini,” akhirnya Thio Sam berkata dan segera mendahului
berjalan keluar dengan diikuti oleh Li Si dan Boh-thian.
Sesudah keluar dari lorong di
bawah tanah, tertampaklah di atas berdiri beberapa puluh orang yang berkerumun
di sekitar lubang masuk itu, semuanya bersenjata tombak dan sedang
mengintai-intai.
Waktu melihat Thio Sam bertiga
muncul, serentak mereka merubung maju. Seorang di antaranya lantas menegur,
“Congthocu di mana? Mengapa belum lagi keluar?”
“Congthocu kalian berada di
dalam,” sahut Thio Sam dengan tertawa. “Jika kau ingin bertemu bolehlah masuk
saja.”
“Mengapa kalian keluar lebih
dulu?” seorang yang berada di barisan depan ikut tanya.
“Hal ini aku sendiri pun tidak
mengerti, maka lebih baik kalian boleh masuk ke dalam dan tanya saja kepada
Congthocu,” sahut Thio Sam dengan tertawa. Berbareng kedua tangannya lantas
menjulur ke depan, kontan dua orang kena dicengkeramnya terus dilemparkan ke
dalam lorong di bawah tanah.
Perawakan kedua orang itu
sangat kekar, ilmu silat mereka pun tampaknya tidak lemah, siapa duga hanya
sekali dicengkeram saja mereka lantas tak bisa berkutik, mirip bangkai saja
mereka telah terlempar ke dalam lorong.
Keruan kawan-kawannya menjerit
kaget, berbareng mereka angkat tombak terus menyerang. Sama sekali Thio Sam
tidak menghindar atau berkelit, sebaliknya ia mendesak maju dan kedua tangannya
menyambar ke depan, kontan dua orang kena dicengkeram lagi terus dilemparkan
pula ke belakang.
Ternyata serangan Thio Sam itu
teramat jitu, di mana tangannya sampai tentu sasarannya kena dicengkeramnya.
Walaupun orang-orang Tiat-cha-hwe itu juga menyerang, tapi tombak mereka selalu
menusuk tempat kosong atau cepat-cepat ditarik kembali karena khawatir mengenai
kawannya sendiri, maklum, mereka berkerumun di tempat yang sempit.
Ciok Boh-thian hanya menonton
saja di samping, dilihatnya Thio Sam seenaknya saja mencengkeram dan
melemparkan musuh sehingga mirip elang menyambar anak ayam, tak peduli cara
bagaimana musuh berusaha melawannya atau ingin lari, tapi selalu sukar
meloloskan diri dari cengkeraman dan lemparannya itu.
Makin melihat Boh-thian makin
ternganga heran, sungguh-sungguh tak terpikir olehnya bahwa di dunia ini
ternyata ada kepandaian setinggi ini. Kalau dibandingkan sang toako angkat ini,
maka jago-jago yang pernah dikenalnya seperti Pek-suhu, Ciok-cengcu, Ting
Put-sam dan Ting Put-si, Su-popo, dan lain-lain, apalagi si Ting-ting Tong-tong
segala, boleh dikata tiada artinya lagi.
Di sebelah lain Li Si ternyata
tidak perlu maju membantu, ia hanya berpangku tangan mengikuti kejadian itu.
Sesudah belasan orang
dicengkeram dan dilemparkan ke dalam lorong oleh Thio Sam, segera Thio Sam
memutar ke belakang untuk mengincar orang-orang yang berdiri paling jauh
sehingga lambat laun orang-orang Tiat-cha-hwe itu didesak mendekati lubang
lorong.
Sisa orang-orang Tiat-cha-hwe
itu kini tinggal 30-an saja. Mereka menjadi ketakutan demi melihat ilmu silat
Thio Sam yang luar biasa itu, segera ada orang mendahului berteriak, “Lari!”
Cepat orang itu melarikan diri
ke dalam lorong di bawah tanah. Tanpa pikir kawan-kawannya lantas ikut masuk
juga.
“He, jangan masuk ke sama, di
dalam sana sangat berbahaya!” seru Boh-thian.
Tapi siapa yang mau percaya
dan menurut padanya? Bahkan orang-orang itu berebut mendahului menyelamatkan
diri ke dalam lorong yang sudah penuh hawa berbisa itu. Dan sudah tentu, tiada
lama berselang orang-orang itu pun berturut-turut binasa semua.
Sungguh Boh-thian tidak habis
mengerti, ia merasa bingung sebab apakah anggota-anggota Tiat-cha-hwe itu bisa
mendadak mati satu per satu dan mengapa sang toako dan jiko itu juga mendadak
sakit perut dan keracunan? Pula untuk apa sang toako sengaja menggiring
orang-orang itu masuk ke lorong di bawah tanah?
Begitulah ia menjadi ragu-ragu
dan entah cara bagaimana harus ditanyakan kepada kakak-kakak angkat itu.
Sejenak kemudian, ia coba minta keterangan kepada Thio Sam, “Toako....”
Tapi mendadak Thio Sam
memotong, “He, siapakah yang datang itu?”
Ketika Boh-thian berpaling, ia
tidak melihat bayangan seorang pun, segera ia tanya, “Siapakah yang datang? Di
mana orangnya?”
Namun tak terdengar Thio Sam
menyahut. Waktu Boh-thian berpaling kembali, ia menjadi terkejut. Ternyata Thio
Sam dan Li Si sudah menghilang.
“Toako! Jiko! Ke manakah
kalian?” seru Boh-thian. Berulang-ulang ia berteriak, namun tiada jawaban
apa-apa.
Kampung nelayan itu banyak
terdapat rumah-rumah gubuk, berturut-turut ia memeriksa beberapa rumah gubuk
itu, tapi semuanya kosong melompong tiada bayangan seorang pun. Tatkala itu
sang surya baru saja muncul di ufuk timur, seluruh kampung nelayan itu terang
benderang, tapi keadaan sunyi senyap dan tinggal dia seorang diri.
Teringat kematian orang-orang
Tiat-cha-hwe yang mengerikan di lorong itu, Boh-thian menjadi merinding takut.
Mendadak ia menjerit terus berlari terbirit-birit keluar kampung.
Sesudah belasan li berlari
barulah Boh-thian melambatkan langkahnya. Waktu ia periksa kembali telapak
tangannya sendiri, ia melihat toh merah yang timbul di tengah telapak tangan
itu sekarang sudah hilang sebagian besar dan tidak sejijik seperti tadinya,
maka legalah hatinya.
Kiranya timbulnya toh merah di
telapak tangan itu adalah tergantung keadaan, karena dia sudah tidak
mengerahkan tenaga, maka racun yang terdesak itu lantas mengalir kembali ke
dalam tubuh melalui urat nadinya. Dan begitulah selanjutnya karena dia berlatih
tiap hari, maka racun jahat itu pun perlahan-lahan punah sendiri dan lwekangnya
juga ikut bertambah hebat. Sesudah 7x7=49 hari nanti barulah seluruh kadar
racun di dalam tubuh itu dapat punah seluruhnya.
Begitulah, tanpa membedakan
arah, Ciok Boh-thian terus berjalan mengikuti langkahnya. Sesudah setengah
harian, kembali ia telah sampai di tepi Tiangkang (Sungai Panjang). Segera ia
menyusur jalan di tepi sungai itu dan menuju ke hilir sungai.
Sewaktu tengah hari sampailah
di suatu kota kecil, Boh-thian membeli bakmi sekadar isi perut, lalu
melanjutkan perjalanan ke timur.
Karena dia tiada mempunyai
sesuatu kepentingan, maka ia terserah ke mana dirinya akan terbawa oleh
kakinya. Waktu petang, tiba-tiba dilihatnya jauh di depan di antara hutan sana
ada dinding rumah, sesudah dekat, kiranya adalah sebuah kelenteng yang megah.
Di depan kelenteng itu terbentang sebuah jalanan yang lebar dan rata terbuat
dari papan-papan batu. Tiba-tiba dari dalam kelenteng tampak berjalan keluar
dua tojin (imam agama To atau Tau) berkopiah kuning dan membawa pedang.
Waktu melihat Ciok Boh-thian,
dengan langkah cepat kedua tojin setengah umur itu lantas mendekatinya. Seorang
imam itu lantas menegur, “Kau mau apa?”
Rupanya dia melihat pakaian
Boh-thian kotor dan kumal, usianya masih muda, kelakuannya juga
ketolol-tololan, maka nada teguran imam itu menjadi agak kasar.
Namun Boh-thian tidak ambil
pusing, ia menjawab dengan tertawa, “Ah, tidak mau apa-apa, aku hanya
berjalan-jalan saja. Eh, apakah di sini adalah kelenteng hwesio (padri agama
Buddha)? Apakah bisa memberi sedikit makanan padaku?”
“Anak goblok sembarangan
omong,” semprot tojin itu dengan gusar. “Kau sendiri lihat apakah aku ini
seorang hwesio? Hayo, lekas enyah, lekas! Kalau berani main gila lagi ke
Siang-jing-koan sini, awas kedua kaki anjingmu!”
Berbareng tojin yang lain
tampak meraba-raba pedangnya dengan muka bengis, lagaknya seperti segera akan
lolos senjata untuk membunuh orang.
Namun dengan tertawa Boh-thian
hanya berkata, “O, jika bukan kelenteng hwesio, maka tentulah kelenteng tosu.
Soalnya perutku sudah lapar, maka ingin minta sedikit makanan pada kalian, toh
aku tidak ingin berkelahi. Ya, tanpa sebab buat apa mesti membunuh dua orang
tojin?”
Sambil berkata ia pun terus
berjalan pergi.
“Kau bilang apa?” damprat imam
yang muda tadi dengan gusar, berbareng ia lantas memburu maju.
Apa yang dikatakan Ciok
Boh-thian itu sesungguhnya tidaklah salah. Ketika di ruang bawah tanah di
tempat sembunyi orang-orang Tiat-cha-hwe itu, sekali tangannya bergerak tentu
jatuh seorang korban, hal ini membuatnya sangat menyesal, maka ia benar-benar
tidak ingin berkelahi lagi dengan orang. Sekarang dilihatnya imam muda itu
memburu dan hendak melabraknya, ia menjadi khawatir jangan-jangan di luar
tahunya kembali imam itu dibunuhnya pula. Maka tanpa pikir lagi ia terus angkat
langkah seribu, dengan cepat ia lari masuk ke dalam hutan.
Maka terdengarlah kedua tojin
itu tertawa terbahak-bahak. Imam yang setengah umur tadi berkata, “Hahaha!
Rupanya seorang bocah dogol, hanya sedikit digertak saja sudah lari
terbirit-birit mencawat ekor!”
Boh-thian sendiri merasa lega
melihat kedua imam itu tidak mengejarnya. Tapi hari sebentar lagi akan gelap,
untuk mencari sedikit makanan atau buah-buahan sekadar tangsel perut juga
susah, sebab hutan itu melulu pohon cemara dan sebagainya yang tak berbuah.
Ia coba berlari ke atas sebuah
bukit kecil dan memandang sekitarnya, ia lihat dari belasan rumah. Cerobong
rumah bagian belakang tampak mengepulkan asap, hal ini menandakan penghuninya
sedang menanak nasi dan memasak. Kecuali kompleks bangunan kelenteng itu tiada
terdapat bangunan lain di sekitar situ.
Melihat cerobong yang
mengepulkan asap, Ciok Boh-thian menjadi terbayang-bayang kepada
masakan-masakan enak, maka perutnya yang lapar itu tambah berkeroncongan. Ia
pikir, “Para tojin itu tampaknya sangat garang, baru saja bicara sudah ajak
berkelahi. Biarlah aku mengintip ke rumah belakang sana, bila ada makanan,
segera aku mencurinya dan lari.”
Begitulah ia lantas memutar ke
belakang kelenteng, ditujunya rumah yang bercerobong asap tadi, lalu ia
menggeremet maju mepet tembok. Tiba-tiba dilihatnya pintu belakang rumah itu
setengah tertutup dan setengah terbuka, keruan ia menjadi girang. Ia melongok
ke dalam dan melongok ke belakang seperti maling khawatir kepergok, lalu
menyelinap masuk ke dalam.
Sementara itu hari sudah
gelap, sesudah masuk pintu belakang itu, maka Boh-thian telah berada di suatu
pelataran dalam. Di sebelah sana adalah serambi panjang dengan kamar dapur yang
besar, terdengar suara wajan gemerencang terketok dan suara minyak mengosos
disertai bau sedap yang teruar jauh ke luar dapur.
Keruan semua itu makin
merangsang selera Ciok Boh-thian yang memang sudah kelaparan itu, hampir saja
ia mengiler, cepat ia menelan ludah, biji lehernya sampai naik-turun.
Ia dengar di dalam dapur itu
banyak orang, ia pikir kalau menuju langsung ke sana tentu akan kepergok.
Tiba-tiba ia mendapat akal, dengan hati-hati ia mendekati pintu dapur, ia
sembunyi di pinggir serambi yang gelap. Pikirnya, “Ingin kulihat masakan yang
selesai diolah itu nanti dibawa ke mana? Jika di dalam ruang makan sana toh
belum ada orang, maka aku akan mencuri sepotong daging dan semangkuk nasi, lalu
akan kubawa lari, dengan demikian aku tak perlu berkelahi atau membunuh orang
lagi.”
Benar juga, tidak antara lama,
terlihatlah tiga orang keluar dari kamar dapur itu. Semuanya adalah tosu kecil.
Seorang membawa tanglung (lampu berkerudung) berjalan di depan, di belakangnya
dua orang masing-masing membawa nampan dengan masakan-masakan yang menyiarkan
bau sedap, terang masakan-masakan itu adalah sebangsa Ang-sio-bak, ayam goreng
dan sebagainya.
Keruan biji leher Ciok
Boh-thian naik-turun lagi, berulang-ulang ia telan ludah sendiri pula. Dengan
berjinjit-jinjit ia lantas menguntit di belakang tosu-tosu kecil itu.
Sesudah menyusur serambi dan
melalui sebuah gang, akhirnya ketiga tosu cilik itu masuk ke sebuah ruangan.
Masakan-masakan yang mereka bawa itu ditaruh di atas meja. Dua tosu kecil di
antaranya lantas kembali dulu ke dapur, tertinggal seorang tosu kecil yang
masih mengatur meja-kursi, sumpit dan cawan dan lain-lain yang perlu dalam
perjamuan.
Dengan sembunyi di balik
jendela ruangan yang panjang itu dengan mata tak berkedip Ciok Boh-thian terus
mengincar makanan-makanan yang sudah siap di atas meja itu. Sungguh kalau dia
tidak khawatir memukul mati tosu cilik itu, tentu sejak tadi dia sudah
menerjang masuk dan menggasak makanan lezat itu.
Tunggu punya tunggu, syukurlah
akhirnya tosu kecil itu meninggalkan ruang makan itu dan menuju ke ruangan
sana. Tanpa ayal lagi Ciok Boh-thian lantas menyerobot ke dalam, lebih dahulu
ia comot sepotong “Ang-sio-gu-bak” (daging sapi masak saus) dan dijejalkan ke
dalam mulut, saking keburunya sampai ia keselak. Sambil mengunyah, kedua
tangannya lantas menyambar pula seekor ayam kuah dan bermaksud membetot paha
ayam, “Pek-sak” (ayam masak kuah bening) itu.
Tapi baru saja Ang-sio-gu-bak
tadi masuk ke perutnya, tiba-tiba terdengar di luar jendela sana ada suara
orang bicara, “Sute, Sumoay, silakan sebelah sini!”
Lalu terdengar suara tindakan
beberapa orang menuju ke ruangan makan itu.
“Wah, celaka! Bisa kepergok
aku ini!” demikian Boh-thian mengeluh. Saat itu paha ayam “Pek-sak” tadi belum
lagi kena dibesetnya, terpaksa ia angkat ayam itu seekor penuh terus hendak
berlari ke ruangan belakang, tapi mendadak dari belakang juga ada suara orang
yang lagi mendatangi.
Ia coba periksa sekitarnya,
ternyata ruangan itu cukup luas dan tiada tempat sembunyi yang baik. Diam-diam
Boh-thian mengeluh dan gelisah, “Wah, jangan-jangan aku terpaksa harus
berkelahi dan membunuh lagi.”
Jilid 28
Dalam pada itu beberapa orang
itu sudah berada di depan deretan jendela panjang, sejenak lagi tentu akan
memasuki ruang makan.
Pada saat yang sudah sangat
mendesak itu, sekilas Boh-thian melihat di atas ruangan itu tergantung
melintang sebuah papan pigura besar yang bertuliskan tiga huruf emas. Karena
sudah kepepet, tanpa pikir lagi Boh-thian lantas meloncat ke atas belandar,
lalu menyusup ke belakang papan pigura itu. Ia setengah merebah dan rasanya
cukup baginya untuk sembunyi.
Apa yang terjadi itu hanya
berlangsung dalam beberapa detik saja. Di sini Ciok Boh-thian baru saja
sembunyi di belakang papan pigura, di sebelah sana orang-orang tadi pun sudah
mendorong pintu dan melangkah masuk. Terdengar seorang di antaranya sedang
berkata, “Kita adalah saudara seperguruan, mengapa Suko seperti kedatangan tamu
agung saja dan mengadakan perjamuan apa segala.”
Boh-thian merasa suara orang
itu sudah dikenalnya. Ia coba mengintip ke bawah melalui sela-sela pigura itu,
ia lihat ada belasan tojin mengiringi dua orang tamu pria dan wanita. Kiranya
kedua orang tamu ini adalah Ciok-cengcu suami-istri, yaitu Ciok Jing dan Bin Ju
dari Hian-soh-ceng.
Terhadap Ciok Jing berdua
sampai sekarang Ciok Boh-thian masih sangat berterima kasih, lebih-lebih Nyonya
Ciok yang dahulu pernah memberi sedekah kepadanya, pula belum lama berselang
telah mengajarkan ilmu pedang padanya. Maka setelah bertemu sekarang, seketika
timbul perasaan hangat di lubuk hati pemuda itu.
Sementara itu seorang tosu tua
yang sudah ubanan terdengar membuka suara, “Sute dan Sumoay datang dari jauh,
sungguh suhengmu ini merasa girang tak terhingga, hanya secawan arak bening ini
saja masakah dapat dikatakan sebagai perjamuan?”
Tiba-tiba tosu tua itu melihat
di atas meja perjamuan penuh tetes air kuah, sebuah pinggan (basi) hanya
tinggal sedikit sisa kuah bening, masakan pokok di dalam basi itu entah ayam
atau itik, ternyata sudah terbang.
Tosu tua itu mengerut kening,
ia pikir bagaimana kerjanya anak-anak ini, masakah makanan yang sudah siap
tidak dijaga sehingga kena digondol kucing. Karena berada di depan tamu, ia
merasa tidak baik untuk mendamprat anak-muridnya yang lengah itu.
Tatkala itu kembali ada
tosu-tosu cilik membawakan masakan lain lagi. Waktu mereka melihat keadaan meja
perjamuan yang morat-marit itu, mereka menjadi kikuk dan serbasalah, cepat
mereka membersihkan meja dan menyiapkan daharan yang lain lagi.
Dengan hormat tosu tua itu
menyilakan Ciok Jing suami-istri duduk di meja utama, ia sendiri mengiringinya
bersama tiga orang tojin lain yang setengah umur, sisanya 12 orang tojin lagi
terbagi pada dua meja yang lain.
Setelah minum beberapa cawan,
kemudian tosu tua itu membuka suara pula dengan terharu, “Selama delapan tahun
tidak bertemu, ternyata Sute dan Sumoay tidak kurang sehat dan gagahnya
daripada dahulu. Sebaliknya suhengmu ini sekarang sudah tua dan loyo.”
“Rambut Suheng memang telah
tambah ubanan, tapi semangatmu toh tetap sangat kuat,” sahut Ciok Jing.
“Tambah ubanan apa? Rambutku
ini adalah karena pikiranku yang sedih, hanya dalam semalam saja lantas
ubanan,” kata si tosu tua. “Jika Sute dan Sumoay datang kemari pada tiga hari
yang lalu, tentu jenggot dan rambutku tidaklah seputih ini, paling-paling cuma
setengah putih saja.”
“Yang dipikirkan Suheng apakah
urusan tentang kedua sucia (rasul) Siang-sian dan Hwat-ok (pengganjar bajik dan
penghukum jahat) itu?” tanya Ciok Jing.
“Ya, kecuali urusan ini,
rasanya tiada urusan kedua di dunia ini yang dapat membuat Thian-hi Tojin dari
Siang-jing-koan berubah menjadi lebih tua 20 tahun hanya dalam waktu semalam,”
sahut si tosu tua alias Thian-hi Tojin.
“Justru Sute dan Sumoaymu ini
mendengar tentang berita bahwa kedua rasul itu kembali muncul, dunia persilatan
harus menghadapi bencana pula, makanya siang-malam kami memburu kemari untuk
berunding dengan Ciangbun-suheng dan para Suheng dan Sute,” tutur Ciok Jing.
“Selama sepuluh tahun terakhir ini nama Siang-jing-koan kita cukup menonjol di
kalangan bu-lim, pohon besar tentu terancam angin, kukira kedua rasul itu boleh
jadi akan berkunjung ke sini. Maka ada maksud Siaute suami-istri untuk tinggal
satu-dua bulan di sini. Bilamana mereka benar-benar mencari gara-gara ke sini, walaupun
tidak becus, sedikitnya kami suami-istri juga dapat berjuang mati-matian
bahu-membahu bersama para Suheng demi perguruan.”
Thian-hi saling pandang
sekejap dengan para tosu yang hadir di situ, lalu menghela napas perlahan
sambil merogoh keluar dua bentuk medali tembaga. Ia taruh kedua buah medali itu
di atas meja.
Dari atas Boh-thian dapat
melihat dengan jelas bahwa kedua medali tembaga itu pun terukir muka tertawa
dan muka gusar sebagaimana medali-medali yang pernah dilihatnya di atas kapal
mayat dan di sarang Tiat-cha-hwe. Diam-diam ia tercengang, “Aneh, mengapa
Thian-hi Tojin ini pun mempunyai dua buah medali yang serupa?”
Dalam pada itu terdengar Ciok
Jing telah berkata dengan heran, “Eh, kiranya sucia itu sudah berkunjung
kemari. Jika demikian kedatangan Siaute suami-istri toh tetap ketinggalan
walaupun kami telah memburu kemari siang dan malam. Dan apakah mengenai urusan itu?
Lalu cara... cara bagaimana Suheng melayaninya?”
Karena pikiran Thian-hi
tidaklah tenteram, seketika ia menjadi susah menjawab. Segera seorang tojin
setengah umur yang duduk di sebelahnya mewakilkan menjawab, “Datangnya kedua
sucia itu adalah kejadian tiga hari yang lalu. Berkat budi Ciangbun-suheng yang
luhur dan rela menanggung segala kemungkinan, maka beliau sudah menyanggupi
akan pergi ke sana untuk makan ‘Lap-pat-cok’ (bubur atau jenang tanggal 8 bulan
12 atau penutup tahun).”
Ketika melihat kedua medali
tembaga, memangnya Ciok Jing sudah menduga akan hal demikian. Segera ia
berbangkit dan memberi hormat kepada Thian-hi, katanya, “Dengan rela Suko telah
menanggungnya sendirian untuk menyelamatkan seluruh penghuni Siang-jing-koan
ini, sungguh Siaute merasa berterima kasih dan malu pula, di sini terimalah
hormat Siaute lebih dulu. Cuma Siaute masih ada suatu permohonan yang kurang
pantas, sebelumnya mohon Suko sudi memaafkan.”
Thian-hi tersenyum, sahutnya,
“Segala apa di dunia ini sekarang bagiku adalah laksana awan yang terapung di
udara itu. Apa yang Sute inginkan tentu akan kupenuhi.”
“Jika demikian, jadi tegasnya
Suko sudah menyanggupi?” Ciok Jing menegas.
“Ya, kusanggupi,” sahut
Thian-hi. “Entah apakah keinginan Sute itu?”
“Begini, dengan lancang Siaute
mohon agar Suko suka menyerahkan tugas ciangbun atas Siang-jing-koan ini kepada
kami suami-istri,” tutur Ciok Jing.
Ucapan Ciok Jing ini membuat
para tosu yang hadir di situ menjadi melengak semua.
Dan belum lagi Thian-hi
menjawab, segera Ciok Jing menyambung pula, “Setelah kami suami-istri memegang
jabatan ciangbun ini, maka undangan untuk makan Lap-pat-cok itu biarlah kami
yang pergi ke sana mewakilkan Suko.”
Mendadak Thian-hi
terbahak-bahak, suara tertawa yang mengandung rasa pahit getir, matanya juga
tampak basah berkaca-kaca. Katanya, “Maksud baik Hiante berdua, biarlah
suhengmu terima di dalam hati. Sebagai ketua Siang-jing-koan, suhengmu sudah
cukup dikenal oleh orang bu-lim selama belasan tahun ini. Sekarang di kala
menghadapi bahaya masakah aku malah menghindarkan tanggung jawabku, lalu muka
Thian-hi yang tua keriput ini kelak harus ditaruh ke mana?”
Sampai di sini Thian-hi telah
pegang tangan kanan Ciok Jing, lalu menyambung pula, “Sute, usia kita selisih
terlalu banyak, kau adalah keluarga preman pula, kita jarang berkumpul di masa
yang lalu, tapi hubungan kita selamanya sangat baik, apalagi ilmu silatmu dan
pribadimu sesungguhnya adalah tokoh utama perguruan kita, selama ini Suheng
sangat kagum padamu. Coba kalau bukan lantaran janji Lap-pat-cok ini, tentu
Suheng akan menyerahkan jabatan ciangbun ini kepadamu. Namun keadaan hari ini
sudah lain, maka permintaanmu tiada mungkin dapat kupenuhi lagi. Hahaha!”
Di tempat sembunyinya
Boh-thian dapat mendengar dengan jelas percakapan itu. Ia tidak tahu barang
apakah “Lap-pat-cok” yang dibicarakan itu. Ia masih ingat istilah itu pun
pernah diucapkan Thio Sam waktu bertemu dengan orang-orang Tiat-cha-hwe,
sekarang demi menyebut janji makan “Lap-pat-cok”, Thian-hi Tojin lantas sedih,
apa barangkali “Lap-pat-cok” itu adalah sesuatu racun yang lihai?
Dalam pada itu terdengar
Thian-hi telah berkata pula, “Sute, bahwasanya rambut Suheng menjadi putih
dalam semalam, hal ini sekali-kali bukanlah karena takut mati. Usiaku sekarang
sudah 62 tahun, kalau mati tahun ini juga sudah cukup umur. Hanya saja yang
selalu kupikirkan adalah cara bagaimana agar kita dapat melenyapkan bencana
besar yang setiap sepuluh tahun satu kali tentu menimpa bu-lim ini? Dengan cara
bagaimana agar nama dan ilmu silat perguruan kita yang jaya ini dapat
dipertahankan? Ya, memang semuanya ini adalah urusan mahasulit. Selama 32 tahun
berselang, pihak sana sudah tiga kali mengadakan perjamuan Lap-pat-cok. Setiap
tokoh dan setiap jago dari berbagai kalangan dan golongan yang diundang ke sana
belum pernah ada seorang pun yang dapat pulang. Sesungguhnya kematian Suheng
ini tiada perlu dibuat gegetun, hanya, saja urusan kesudahannyalah yang perlu
kita pikirkan.”
Tiba-tiba Ciok Jing juga
terbahak, ia angkat cawan arak dan mengeringkan isinya, lalu berkata, “Suko,
bahwasanya secara lancang Siaute mohon Suko menyerahkan jabatanmu, hal ini
bukanlah Siaute ingin mewakilkan Suko untuk mengantarkan jiwa, tapi bertujuan
ingin menyelidiki persoalan ini, ya, boleh jadi Thian memberkahi sehingga Siaute
dapat menyelidiki rahasia di dalamnya, walaupun Siaute tak berani menjamin akan
mampu menumpas malapetaka yang selalu mengancam bu-lim ini, tapi asal rahasia
di balik layar sudah dapat disiarkan, lalu setiap orang persilatan sama
berbangkit dan beramai-ramai berjuang, masakah kita benar-benar tak mampu
melawan pihak mereka itu?”
Namun Thian-hi telah
menggeleng perlahan, katanya, “Bukanlah aku sengaja menilai tinggi pihak orang
dan mengartikecilkan Sute, coba lihat, tokoh-tokoh sebagai It-bok Totiang dari
Bu-tong-pay, Giok-cin Tojin dari Jing-sia-pay, dan tokoh-tokoh lain yang
berkepandaian tinggi toh mereka hanya bisa pergi dan tak bisa kembali. Maka
menurut pendapatku, ai, biarpun ilmu silat Sute cukup tinggi, betapa pun...
betapa pun juga belum dapat dibandingkan dengan kaum cianpwe (angkatan tua)
sebagai It-bok dan Giok-cin Totiang.”
“Untuk ini Siaute juga cukup
tahu diri,” ujar Ciok Jing. “Namun berhasil atau tidak dari sesuatu urusan
sebagian adalah tergantung pada kepandaian dan sebagian lagi juga tergantung
kepada nasib. Andaikan Siaute tidak mampu menumpas bencana ini, tapi berusaha
untuk menyelidiki sedikit rahasia yang menyangkut urusan ini rasanya bukanlah
tiada harapan sama sekali.”
Namun Thian-hi tetap
menggeleng, katanya, “Jabatan Ciangbunjin Siang-jing-koan kita selama ratusan
tahun ini selalu dipegang oleh kaum beribadat (tosu). Bila aku mati, maka aku
sudah menunjuk Tiong-hi Sute sebagai penggantiku. Untuk selanjutnya asalkan
Sute berdua suka membantu sepenuh tenaga agar supaya golongan kita tetap
berkembang, maka cukuplah bagiku untuk menyatakan terima kasih yang tak terhingga.”
Begitulah meski Ciok Jing
telah berulang kali mendesak, tapi Thian-hi tetap menolak sehingga semua orang
sampai berhenti minum dan lupa makan.
Di tempat sembunyinya
Boh-thian sendiri sedang asyik menikmati ayam Pek-sak yang dicurinya dari meja
perjamuan tadi. Sepotong demi sepotong ia jejalkan daging ayam itu ke dalam
mulut, tapi karena khawatir mengeluarkan suara, maka ia tidak berani mengunyah,
jadi terus menelannya matang-matang begitu saja. Walaupun demikian ia pun tidak
lupa pasang mata mengintip segala kejadian di bawah.
Dilihatnya Nyonya Ciok, yaitu
Bin Ju, sejak mula hanya mendengarkan saja pembicaraan sang suami dengan
Thian-hi Tojin tanpa menimbrung apa-apa, sebaliknya perlahan-lahan ia mengambil
kedua bentuk medali tembaga yang berada di atas meja, ia mengamat-amati
medali-medali itu sejenak, lalu seperti sengaja dan seperti tidak sengaja ia
hendak memasukkan benda-benda itu ke dalam sakunya.
“Taruh kembali, Sumoay!”
mendadak Thian-hi berseru.
“Ah, aku yang menyimpannya
bagi Suko toh sama saja,” sahut Bin Ju dengan tersenyum dan tampaknya kedua
medali itu segera akan masuk ke dalam bajunya.
Thian-hi menjadi khawatir,
mencegahnya dengan ucapan tak dihiraukan, terpaksa ia hendak merebutnya kembali
dengan tangan. Tapi kebetulan pada saat itu Ciok Jing sedang menjulurkan
sumpitnya hendak mengambil makanan sehingga lengannya tepat merintangi tangan
Thian-hi yang terjulur itu.
Segera Tiong-hi yang duduk di
sebelahnya Bin Ju ikut bergerak, cepat tangannya menyambar hendak merampas
medali-medali itu sambil berkata, “Lebih baik serahkan padaku saja!”
Namun cepat Bin Ju telah
mengangkat tangannya ke atas, berbareng tangan yang lain terus mengebas ke
bawah.
Terpaksa Tiong-hi menarik
kembali tangannya dan balas menutuk pergelangan tangan Nyonya Ciok dan
begitulah lantas terjadi serang-menyerang di antara mereka.
Tiong-hi sudah ditetapkan oleh
Thian-hi untuk menggantikannya menjabat sebagai ketua Siang-jing-koan, ini
berarti Tiong-hi adalah calon pemimpin yang akan datang, ia pun terhitung tokoh
yang tertinggi ilmu silatnya di dalam kelenteng itu di samping Thian-hi
sendiri.
Sudah tentu Tiong-hi
mengetahui apa yang dilakukan Ciok Jing dan istrinya itu timbul dari maksud
yang baik. Tapi kedua bentuk medali tembaga itu menyangkut jiwa semua penghuni
Siang-jing-koan, Thian-hi sudah menerimanya dari kedua rasul pengganjar dan
penghukum, jika sekarang jatuh ke tangan orang lain, hal ini berarti jiwa semua
imam di dalam kelenteng itu pun terancam, sebab inilah maka Tiong-hi telah
berusaha merebutnya sedapat mungkin.
Begitulah, sambil tetap
berduduk Tiong-hi dan Bin Ju telah bergebrak belasan jurus. Kedua orang adalah
tunggal guru, yang dimainkan adalah Kim-na-jiu-hoat (ilmu menangkap dan
memegang) dari perguruan sendiri, walaupun masing-masing tiada maksud melukai
lawannya, tapi terpaksa juga mesti mengeluarkan segenap kepandaian.
Sebagai saudara seperguruan
mereka sudah berpisah 20-an tahun, selama itu walaupun pernah bertemu beberapa
kali, tapi belum pernah menyaksikan sampai di mana kemajuan ilmu silat
masing-masing. Sekarang kedua orang mendadak bergebrak dengan sama kuatnya, mau
tak mau dalam hati masing-masing juga memuji akan kemajuan lawannya.
Belasan tojin yang duduk di
meja-meja lain sementara itu juga telah mengikuti pertarungan Tiong-hi dan Bin
Ju. Tojin-tojin itu adalah jago-jago terkemuka semua, mereka pun tahu selama belasan
tahun ini nama Ciok Jing dan Bin Ju sangat menonjol di dunia Kangouw, sekarang
menyaksikan Nyonya Ciok itu berebut medali tembaga dengan Tiong-hi secara
diam-diam, nyonya itu telah memperlihatkan segenap intisari ilmu silatnya dari
perguruan mereka, maka tojin -tojin itu merasa sangat kagum dan gegetun.
Ternyata di antara mereka tiada seorang pun yang sadar bahwa di atas kepala
mereka masih ada sepasang mata yang lain sedang mengikuti perebutan medali itu.
Pada belasan jurus permulaan
kekuatan Bin Ju dan Tiong-hi boleh dikata sembabat. Namun sebelah tangan Nyonya
Ciok itu memegang dua buah medali sehingga tangan kanan itu cuma dapat
menggunakan kepalan saja dan jarinya tak dapat dimanfaatkan. Lantaran demikian,
Kim-na-jiu-hoat yang paling bagus menjadi tak dapat dimainkan dengan sempurna.
Sesudah beberapa jurus pula,
dengan lwekang yang kuat tangan kiri Tiong-hi berhasil memaksa lengan kiri
Ciok-hujin ke bawah, berbareng tangan kanannya sudah menyambar dan sudah dapat
menyentuh medali-medali yang tergenggam di tangan nyonya itu.
Bin Ju insaf sekali ini pasti
susah dipertahankan lagi. Jika ia menggenggam terus dan sama-sama mengadu
lwekang, pertama kurang pantas dilihat orang banyak, kedua dirinya betapa pun
adalah wanita, dalam hal lwekang tentu tidak sekuat Tiong-hi. Segera ia
mengendurkan tangannya sehingga kedua bentuk medali dibiarkan jatuh. Dengan
jalan demikian ia berharap sang suami yang duduk di sisinya akan dapat
menyambar benda-benda itu.
Di luar dugaan, baru saja Ciok
Jing hendak menjulurkan tangannya, sekonyong-konyong dua rangkum yang keras
telah menyambar ke mukanya. Kiranya Thian-hi yang telah menolaknya dengan kedua
tangan. Kedua rangkum angin itu sangat kuat, kalau tidak ditangkis tentu akan
terluka parah. Maka terpaksa ia angkat tangan untuk menangkis. Dan karena
sedikit ayal itulah, Ciau-hi Tojin yang duduk di sebelah Thian-hi telah dapat
menyambar kedua medali tembaga itu.
Begitu medali-medali itu jatuh
di tangannya Ciau-hi, serentak Ciok Jing suami-istri, Thian-hi dan Tiong-hi lantas
bergelak tertawa dan berhenti bergebrak.
Tiong-hi dan Ciau-hi lantas
membungkuk tubuh dan berkata, “Harap Sute dan Sumoay suka memaafkan.”
Cepat Ciok Jing dan Bin Ju
membalas hormat, kata Ciok Jing, “Mengapa kedua Suheng berkata demikian, justru
Siaute berdua yang telah berlaku kasar. lwekang yang telah dicapai
Ciangbun-suheng ternyata sedemikian tingginya dan berpuluh kali lebih kuat
daripada Siaute, rasanya perjalanan ini walaupun berbahaya, tapi untuk
meloloskan diri saja dengan selamat rasanya juga bukan tiada harapan.”
Kiranya sesudah bergebrak
tadi, Ciok Jing telah mengetahui lwekang sang suheng ternyata jauh lebih tinggi
daripada dirinya, maka semangatnya yang sok jagoan tadi lantas lenyap sebagian
besar.
Dengan tersenyum getir
Thian-hi lantas menjawab, “Ya, semoga terkabul menurut doa Sute itu. Terima
kasih. Marilah, silakan minum!”
Lalu ia mengangkat cawan dan
menenggaknya hingga habis. Meski Siang-jing-koan adalah tempat beribadat, tapi
mereka tidak pantang minum arak dan makan barang berjiwa.
Dalam pada itu Ciok Boh-thian
yang menyaksikan Bin Ju tak berhasil merebut kedua medali tembaga yang tidak
diketahui apa gunanya itu, karena teringat kepada kebaikan Nyonya Ciok dahulu,
maka diam-diam ia telah merancang, “Tosu itu telah merebut medali-medali
tembaga, sebentar aku akan merebutnya pula untuk dihadiahkan kepada
Ciok-hujin.”
Sementara itu sesudah saling
mengangkat gelas dan habis minum, lalu Ciok Jing berbangkit dan berkata,
“Kuharap perjalanan Suheng nanti takkan mengalami sesuatu halangan sehingga
dapat pulang dengan selamat. Siaute sendiri karena urusan seorang anakku kena
diculik orang dan sekarang buru-buru ingin pergi menolongnya sehingga tidak
sempat bicara lebih lama dengan para Suheng dan Sute, maka sukalah para Suheng
memaafkan, sekarang juga kami mohon diri.”
Mendengar itu, para tosu
terperanjat. Kata Thian-hi, “Kabarnya putra Sute belajar di tempat
Swat-san-pay, dengan nama Sute suami-istri, ditambah pengaruh Swat-san-pay yang
besar, masakah ada manusia yang begitu kurang ajar dan berani menculik
putramu?”
Ciok Jing menghela napas,
sahutnya, “Urusan ini terlalu panjang untuk diceritakan, soalnya juga karena
salah Siaute sendiri yang tidak pandai mendidik anak, maka akibat yang
ditimbulkan anak yang menyeleweng itu tidaklah dapat menyalahkan orang lain.”
Hendaklah maklum bahwa Ciok
Jing adalah seorang yang bijaksana, walaupun Hian-soh-ceng, kediamannya yang
megah itu, telah dibakar habis oleh Pek Ban-kiam, tapi ia tahu sebab musababnya
adalah kesalahan di pihaknya sendiri, maka dia tidak menaruh dendam kepada
Swat-san-pay.
Di antara para tosu itu,
Tiong-hi terhitung orang yang paling simpatik, dengan suara lantang ia lantas
berseru, “Sute dan Sumoay, jika musuh berani menculik putramu, itu berarti dia
pun memandang rendah kepada Siang-jing-koan. Tak peduli tokoh macam apa
penculik itu, biarpun suhengmu ini tidak becus juga pasti akan memberi bantuan
padamu.”
Ia merandek sejenak, lalu
menyambung pula, “Sedangkan putramu diculik orang, tapi kau toh perlukan datang
ke tempat perguruan yang sedang menghadapi kesukaran, hal ini menandakan betapa
baik budi Sute berdua. Untuk ini masakah kami tidak mempunyai perasaan dan
berpeluk tangan membiarkan Sute mengalami kesukaran sendiri?”
Ia sangka kalau penculik itu
sudah tidak gentar kepada Ciok Jing suami-istri dan tidak takut kepada
orang-orang Swat-san-pay yang berpengaruh itu, maka penculik itu tentulah
seorang tokoh yang sangat lihai. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa orang
yang menangkap putranya Ciok Jing itu justru adalah kaum Swat-san-pay.
Pertama memang Ciok Jing tidak
ingin perbuatan sang putra yang merusak nama keluarganya diketahui orang luar,
apalagi sekarang Siang-jing-koan sendiri sedang menghadapi kesulitan, tentu
saja ia lebih-lebih tidak ingin para suheng itu mengikat permusuhan baru dengan
pihak lain lagi. Maka cepat ia menjawab, “Maksud baik para Suheng dan Sute,
sungguh kami merasa terima kasih tak terhingga. Cuma persoalan ini sekarang
masih harus diselidiki dulu dengan lebih jelas, biarlah kelak bilamana urusan
sudah agak jelas, jikalau Siaute berdua merasa kurang kuat, dengan sendirinya
kami akan pulang kemari untuk minta bantuan.”
“Baiklah jika demikian
halnya,” ujar Tiong-hi. “Tatkala mana Sute juga tidak perlu datang sendiri,
asalkan menyampaikan sedikit berita saja tentu seluruh isi Siang-jing-koan akan
dikerahkan.”
Ciok Jing dan Bin Ju memberi
hormat dengan ucapan terima kasih. Tapi di dalam hati diam-diam merasa berduka,
mereka tahu dosa putranya, andaikan anak itu akan dicincang atau digantung oleh
Swat-san-pay, mau tak mau mereka hanya bisa menerima nasib saja dan tidak nanti
minta pertolongan kepada Siang-jing-koan.
Begitulah Ciok Jing berdua
lantas mohon diri, mereka diantar keluar oleh Thian-hi, Tiong-hi dan lain-lain.
Melihat semua orang sudah
keluar agak lama, segera Ciok Boh-thian melompat keluar dari tempat
sembunyinya, ia melompat ke atas rumah dan melintasi pagar tembok. Pikirnya,
“Ciok-cengcu dan Ciok-hujin mengatakan putra mereka telah diculik orang, entah
siapakah yang melakukan perbuatan itu? Tentang medali-medali tembaga itu
tampaknya hanya benda permainan yang tiada artinya, dapat direbut atau tidak,
tidaklah menjadi soal, sebaliknya tentang putranya yang diculik itu aku harus
bantu mencarikannya untuk membalas budi kebaikan Ciok-hujin padaku. Ya, bila
aku dapat menolong kembali putranya, tentu dia akan sangat gembira. Biarlah aku
menyusulnya untuk tanya siapakah nama putranya itu, berapa umurnya dan
bagaimana rupanya agar aku dapat mencarinya.”
Ia coba melompat ke atas pohon
yang tinggi, ia lihat belasan buah lampu kerudung dalam dua baris sedang
bergerak ke sebelah sana, kiranya para tosu sedang mengantar Ciok Jing dan Bin
Ju keluar kompleks kelenteng.
Pikir Boh-thian, “Kuda
tunggangan Ciok-cengcu berdua sangat cepat larinya, ada lebih baik aku
mendahuluinya mencegat mereka di depan sana.”
Sesudah membedakan arah yang
akan dituju Ciok Jing suami-istri, segera ia melompat turun dan mendahului
berangkat melalui lereng bukit.
Tak terduga, belum lagi
beberapa jauh ia meninggalkan kompleks kelenteng itu, tiba-tiba terdengar suara
bentakan orang, “Siapa itu? Lekas berhenti!”
Bahwasanya dengan lwekang Ciok
Boh-thian yang tinggi itu, ia sembunyi di atas papan pigura dengan menahan
napas sehingga sama sekali tidak diketahui oleh siapa pun juga. Tapi sekarang
begitu dia angkat kaki dan berlari, seketika imam-imam Siang-jing-koan yang
bukan kaum keroco itu lantas mengetahui tempat mereka telah kemasukan orang
luar. Semula mereka pun masih tinggal diam saja, tapi begitu Ciok Jing dan Bin
Ju sudah agak jauh, segera mereka menyusul dan menggerebek Ciok Boh-thian dari
berbagai jurusan.
Dalam kegelapan mendadak Ciok
Boh-thian merasa hawa pedang yang dingin, tahu-tahu dua orang tojin sudah
mengadang di depannya dengan pedang terhunus dan memancarkan sinar yang
gemerlapan. Samar-samar ia melihat seorang di antaranya tak-lain-tak-bukan adalah
Ciau-hi.
Ia menjadi girang, segera ia
bertanya, “Apakah Ciau-hi Tojin di situ?”
Ciau-hi melenggong, ia pikir
kiranya orang sudah mengenalnya. Segera ia menjawab, “Ya, betul. Siapakah
saudara ini?”
Tanpa banyak cincong lagi
Boh-thian lantas berkata sambil mengangsurkan tangan, “Berikan medali-medali
tembaga tadi padaku!”
Ciau-hi menjadi gusar.
“Terimalah ini!” bentaknya, berbareng pedangnya terus menusuk ke paha Ciok
Boh-thian.
Kaum Siang-jing-koan mempunyai
peraturan yang keras, yaitu tidak boleh sembarangan membunuh. Sekarang
asal-usul pihak lawan belum jelas, walaupun begitu datang Ciok Boh-thian lantas
minta medali tembaga apa segala, namun serangan Ciau-hi itu toh tidak diarahkan
ke tempat yang berbahaya.
Dengan cepat Boh-thian dapat
mengegos, berbareng tangan kanan balas mencengkeram pundak lawan.
Melihat gerak-gerik Boh-thian
sangat cekatan, Ciau-hi tidak berani ayal lagi, pedang berputar terus menusuk
pula ke bahu kanan lawan.
Lekas-lekas Boh-thian
mendakkan tubuh dan menggeser ke samping, berbareng tangan kanan digunakan
menyampuk. Di luar dugaan, kontan Ciau-hi lantas mencium serangkum bau amis
yang memuakkan, kepalanya menjadi pening, seketika ia roboh terjungkal.
Selagi Boh-thian tercengang
atas kejadian itu, tiba-tiba pedang tojin kedua sudah menusuk dari belakang.
Sekarang Boh-thian sudah tahu
bahwa telapak tangannya sendiri itu rada-rada ajaib, asal memukul tentu akan
membinasakan orang, maka ia tidak berani balas menyerang lagi, lekas-lekas ia
melompat ke depan. Namun sudah kasip sedikit, “bret”, bajunya telah terobek
satu garis, bahkan kulitnya juga tergores sedikit.
Meski ilmu silat tojin itu
lebih rendah daripada Ciau-hi, tapi karena melihat Ciau-hi telah dirobohkan
lawan dengan cara yang tak jelas, maka buru-buru ia ingin menolong sang suheng,
pedangnya berputar dengan kencang, ia serang Boh-thian dengan gencar.
Karena tak berani balas
memukul, terpaksa Boh-thian berusaha menghindar. Pada suatu kesempatan ia dapat
menjemput pedang Ciau-hi yang terlempar di atas tanah itu. Ia lihat musuh masih
terus menyerang tanpa kenal ampun, segera ia pun memutar pedang itu sebagai
gantinya golok, ia mainkan Kim-oh-to-hoat yang lihai itu. “Trang”, sekaligus ia
tangkis pergi pedang lawan yang sedang menusuk.
Karena tenaga dalam Ciok
Boh-thian yang luar biasa kuatnya itu, tojin itu tidak mampu memegangi
pedangnya lagi, senjata itu terlepas dan mencelat dari cekalannya. Tapi ilmu
silat kaum Siang-jing-koan tidak melulu dalam hal ilmu pedang saja,
Kim-na-jiu-hoat juga merupakan salah satu kepandaian tunggal yang disegani di
dunia persilatan.
Maka begitu kehilangan
senjata, tojin itu tidak menjadi gentar, sebaliknya ia terus menubruk maju
malah, kedua tangannya yang mirip cakar itu terus mencengkeram dada dan perut
Ciok Boh-thian. Dengan cara pertarungan dari jarak dekat ini, pihak lawan yang
berpedang menjadi sukar untuk menggunakan senjatanya.
“Hei, jangan, jangan!”
demikian Boh-thian berteriak-teriak gugup karena musuh menyeruduk dengan nekat.
Berbareng tangan kirinya terus menyampuk untuk mendorong pergi tojin itu.
Pada saat dia sudah mengeluarkan
tenaga, dengan sendirinya racun jahat yang mengeram di tubuhnya itu juga sudah
ikut terkumpul di telapak tangannya. Maka sekali tangannya mendorong, kontan
saja tojin itu pun roboh terkulai.
“Ai, ai! Sesungguhnya aku toh
tidak ingin membikin celaka kau!” seru Boh-thian sambil banting-banting kakinya
sendiri dengan penuh menyesal.
Dalam pada itu terdengar suara
suitan yang sahut-menyahut, para tosu sudah makin mendekat. Cepat Boh-thian
meraba sakunya Ciau-hi, benar juga kedua medali tembaga dapat diketemukannya.
Segera ia masukkan benda-benda itu ke dalam bajunya sendiri, lalu angkat
langkah seribu menuju ke jurusan yang ditempuh Ciok Jing dan istrinya.
Sekaligus tanpa berhenti ia
terus berlari sampai belasan li jauhnya, tapi sama sekali tak terdengar suara
larinya kuda. Pikirnya, “Apa barangkali kuda-kuda tunggangan Ciok-cengcu dan
Ciok-hujin itu sedemikian cepatnya sehingga aku tidak dapat mendahului mereka?
Atau, jangan-jangan aku telah salah ambil arah, mereka tidak melalui jalan
besar ini, tapi mengambil jurusan lain?”
Setelah berlari beberapa li
lagi, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Cepat Boh-thian memandang ke
arah suara kuda itu, dari jauh dapat dilihatnya di bawah sebatang pohon
tertambat dua ekor kuda, seekor hitam dan seekor lagi putih. Terang itulah
kuda-kuda tunggangan Ciok Jing berdua.
Boh-thian sangat girang,
segera ia mengeluarkan kedua medali tembaga dan disiapkan di tangan. Baru saja
ia hendak pentang mulut untuk menyapa, sekonyong-konyong terdengar suara Ciok
Jing sedang bicara di kejauhan, “Adik Ju, maling kecil itu secara
sembunyi-sembunyi telah menguntit kita, tentu dia tidak bermaksud baik,
bolehlah kau bereskan dia saja.”
Keruan Boh-thian terperanjat,
disangkanya Ciok Jing tidak suka dikintil olehnya. Anehnya suara Ciok Jing
terdengar dengan jelas, tapi orangnya tidak kelihatan. Ia menjadi khawatir
kalau-kalau Ciok-hujin melabrak dirinya dan terpaksa ia harus balas menyerang,
lalu nyonya baik itu juga terpukul mati, kan urusan bisa runyam.
Maka cepat ia menyusup dan
sembunyi di tengah alang-alang yang lebat. Ia pikir Bin Ju pasti akan memburu
ke situ, jika demikian ia akan melemparkan medali-medali tembaga tadi kepada
nyonya itu, lalu ia akan melarikan diri.
Tiba-tiba terdengar suara
berkeresek, sesosok bayangan orang telah melompat keluar dari balik pohon di
sebelah sana, dengan pedang terhunus orang itu menuding ke tengah semak-semak
sambil membentak, “He, anak muda, untuk apa kau menguntit kami? Hayo lekas
keluar!”
Itulah suaranya Bin Ju.
Baru saja Boh-thian hendak
menjawab, sekonyong-konyong dari tengah semak-semak rumput menyambar keluar
tiga titik sinar, ada orang sedang menyerang Bin Ju dengan senjata rahasia.
Ketika Bin Ju mengayun pedangnya dan baru saja senjata-senjata rahasia itu
disampuk jatuh, cepat dari semak-semak rumput telah melompat keluar seorang
laki-laki berbaju hijau, dengan golok laki-laki itu lantas membacok Bin Ju.
Kejadian ini benar-benar di
luar dugaan Boh-thian, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa di tengah
semak-semak rumput itu tersembunyi orang lain pula.
Dilihatnya gerakan laki-laki
itu cukup gesit, golok diputar dengan kencang. Bin Ju hanya menangkis
seperlunya saja dan tidak balas menyerang.
Sementara itu Ciok Jing juga
sudah muncul dari balik pohon sana, ia hanya menonton saja dengan berpangku
tangan. Setelah mengikuti beberapa jurus, tiba-tiba ia menegur, “He, kau,
bukankah kau ini muridnya Loh Cap-pek dari Thay-san?”
“Kalau betul mau apa?” bentak
orang itu, goloknya sedikit pun tidak kendur.
“Walaupun Loh Cap-pek tiada
persahabatan dengan kami, tapi juga tidak bermusuhan,” kata Ciok Jing. “Kau
sudah menguntit kami beberapa li jauhnya, apa maksud tujuanmu yang sebenarnya?”
“Aku tidak sempat
menjelaskan....” sahut laki-laki itu. Kiranya Bin Ju tampaknya seperti
seenaknya saja melayani serangan-serangan lawan, tapi sebenarnya laki-laki itu
sudah terdesak sehingga kelabakan.
Maka Ciok Jing berkata pula
dengan tertawa, “Ilmu golok Loh Cap-pek jauh lebih tinggi daripada kami, tapi
tampaknya kau belum lagi ada tiga bagian mempelajari kepandaian suhumu itu.
Nah, lepas senjata dan berdiri saja di situ!”
Mendengar ucapan Ciok Jing
ini, kontan pedang Bin Ju juga tepat menusuk pergelangan laki-laki itu. Sedikit
berputar ke samping, Bin Ju putar gagang pedangnya untuk mengetok, dengan tepat
hiat-to di punggung orang lantas ditutuknya. “Trang”, golok laki-laki itu jatuh
ke tanah, sedangkan tubuhnya sudah tak bisa berkutik lagi.
“Kau she apa, sahabat?” tanya
Ciok Jing dengan tersenyum.
Namun orang itu sangat kepala
batu, biarpun terancam dia tetap tidak gentar. Bahkan dengan galak ia menjawab,
“Mau bunuh boleh bunuh, buat apa banyak bicara?”
“Jika sahabat tidak mau bicara
juga tidak menjadi soal,” ujar Ciok Jing dengan tertawa. “Kau telah ikut di
dalam organisasi mana? Agaknya gurumu tidak mengetahui, bukan?”
Laki-laki itu mengunjuk rasa
sangsi dan heran, ia pikir dari manakah orang mengetahui seluk-beluk tentang
dirinya?
Maka Ciok Jing menyambung lagi,
“Cayhe tiada pernah bermusuhan dengan gurumu, andaikan dia benar-benar mengirim
orang untuk menguntit kami, hehe, untuk bicara terus terang, rasanya gurumu
masih cukup menghormati kami dan takkan mengutus orang semacam saudara.”
Di balik kata-katanya ini Ciok
Jing ingin mengatakan bahwa ilmu silatmu terlalu rendah, tidaklah mungkin
gurumu mengirim seorang keroco seperti kau ini.
Keruan muka orang itu menjadi
merah jengah, untung dalam keadaan gelap sehingga tidak dilihat orang lain.
Ciok Jing lantas menepuk dua
kali di pundak laki-laki itu, katanya, “Kami suami-istri selamanya suka
blakblakan dalam segala hal. Jika kau ingin tahu jejak kami, tiada halangannya
kami memberitahukan secara terus terang. Kami tadi baru datang dari menyambangi
Thian-hi Totiang di Siang-jing-koan. Bolehlah kau pulang dan tanya kepada
gurumu, tentu kau akan tahu bahwa di waktu mudanya Ciok Jing dan Bin Ju pernah
belajar silat di Siang-jing-koan dan Thian-hi Totiang adalah suheng kami.
Sekarang kami hendak berangkat ke Leng-siau-sia di Swat-san untuk menemui
Wi-tek Siansing, ciangbunjin dari Swat-san-pay. Nah, jika sahabat tiada sesuatu
yang perlu ditanyakan lagi bolehlah silakan pergi saja.”
Sesudah pundaknya ditepuk,
segera laki-laki itu merasa badannya bisa bergerak lagi. Di samping malu ia
menjadi kagum juga. Ia memberi hormat dan menjawab, “Ciok-cengcu ternyata
berbudi luhur dan tidak bernama kosong, maafkan tadi aku telah mengganggu.”
Habis berkata, goloknya yang
jatuh tadi pun tidak berani dijemput kembali, segera ia putar tubuh dan
melangkah pergi.
Baru beberapa tindak orang itu
berjalan, tiba-tiba Ciok Jing berseru pula, “He, sahabat, apakah pangcu kalian
sudah diketemukan?”
Orang itu terkejut. “Jadi...
jadi kau sudah tahu semua?” sahutnya dengan terputus-putus sambil berpaling.
“Ah, tidak, aku tidak tahu,”
kata Ciok Jing sambil menghela napas perlahan. “Jadi belum ada beritanya, ya?
“Ya, belum ada,” sahut
laki-laki itu sambil menggeleng.
“Kami suami-istri juga ingin
mencari dia,” kata Ciok Jing pula.
Untuk sejenak ketiga orang
berdiri terpaku berhadapan, kemudian orang itu membalik tubuh dan melanjutkan
perjalanannya.
“Engkoh Jing, apakah dia orang
Tiang-lok-pang?” tanya Bin Ju sesudah orang itu pergi agak jauh.
Hati Ciok Boh-thian tergetar
demi mendengar “Tiang-lok-pang” disebut.
Jilid 29
Dalam pada itu terdengar Ciok
Jing telah menjawab, “Tadi waktu dia berputar tubuh dan menarik jubahnya,
lapat-lapat aku melihat ujung bajunya itu tersulam setangkai bunga kuning, maka
aku coba-coba menegurnya, dan ternyata memang betul. Sebabnya dia menguntit
kita kiranya... kiranya adalah anak Giok. Tahu begitu, tentu tadi kita tak
perlu membikin susah padanya.”
“Tampaknya mereka... mereka
sangat setia kepada anak Giok,” ujar Bin Ju.
“Ya, anak Giok kena diculik
oleh Pek Ban-kiam, tentu saja orang-orang Tiang-lok-pang disebarkan untuk
mencegat di mana-mana,” ujar Ciok Jing. “Jumlah mereka sangat banyak, hubungan
luas dan pengaruh besar, tak tersangka toh tetap tiada mendapatkan sesuatu
berita apa-apa.”
“Dari... dari mana kau
mengetahui tiada sesuatu berita apa-apa?” kata Bin Ju dengan sedih.
Dengan penuh kasih sayang Ciok
Jing memegang tangan sang istri, katanya dengan lembut, “Adik Ju, bila mereka
sudah mendapat berita tentang anak Giok, tentu mereka takkan menyebarkan orang
ke mana-mana untuk mengikuti jejak tokoh-tokoh Kangouw. Murid Loh Cap-pek tadi
tanpa sebab telah menguntit kita, selain ingin mencari tahu jejak pangcu mereka
rasanya tiada maksud tujuan lain lagi.”
Tempat di mana Ciok Jing dan
Bin Ju berada itu jaraknya kira-kira beberapa meter dari tempat sembunyi Ciok
Boh-thian. Walaupun suara bicara Ciok Jing tidak keras, tapi cukup jelas
didengar oleh pemuda itu.
Sebenarnya dengan kepandaian
Ciok Jing suami-istri yang tinggi, waktu datangnya Boh-thian tadi tentu akan
diketahui oleh mereka. Cuma waktu itu mereka lagi mencurahkan perhatian kepada
laki-laki murid Loh Cap-pek yang selalu menguntit itu, ditambah lagi lwekang
Boh-thian sekarang sudah sangat tinggi, langkahnya enteng tak bersuara, sebab
itulah sehabis Ciok Jing menyelesaikan urusan laki-laki itu, sama sekali mereka
tidak menduga bahwa di tengah semak-semak sana masih sembunyi seorang lain
lagi.
Dari percakapan Ciok Jing
berdua itu, Boh-thian mendengar tentang Pangcu Tiang-lok-pang yang diculik Pek
Ban-kiam yang maksudnya rasanya seperti dirinya, tapi “anak Giok” apa segala
toh bukanlah dirinya.
Memangnya dalam benak Ciok
Boh-thian telah penuh tanda tanya mengenai asal usulnya sendiri, kalau sekarang
mendadak ia keluar dari tempat sembunyinya tentu juga kurang pantas. Maka ia
lantas diam saja untuk mendengarkan lebih lanjut.
Saat itu adalah malam yang
gelap, suara serangga dan katak mulai bergema, angin pun meniup mendesis-desis,
sebaliknya Ciok Jing suami-istri pun tidak bicara lagi.
Karena khawatir jejaknya
diketahui, maka Ciok Boh-thian sampai bernapas pun tidak berani terlalu keras.
Selang agak lama barulah didengarnya nyonya Ciok menghela napas, menyusul
terdengar suara tersedu-sedu yang perlahan.
Lalu terdengar Ciok Jing telah
berkata, “Adik Ju, selama kita merantau di kalangan Kangouw belum pernah kita
melakukan sesuatu yang jahat. Beberapa tahun terakhir ini demi keselamatan anak
Giok bahkan kita lebih banyak menjalankan kebajikan. Kalau sudah begini kita
masih diharuskan tidak mempunyai keturunan maka apa mau dikata lagi bilamana
memang sudah suratan nasib, apalagi anak durhaka sebagai anak Giok itu ada
lebih baik kita anggap tidak mempunyai anak saja, sudah.”
“Meski anak Giok memang agak
nakal sejak kecil, tapi dia... dia tetap jantung hati kita,” ujar Bin Ju dengan
suara lembut. “Hanya karena anak Kian telah tewas dengan mengenaskan di tangan
orang, kita menjadi lebih memanjakan anak Giok dan mengakibatkan gara-gara
seperti sekarang ini, namun... namun aku tetap takkan membencinya. Tempo hari
waktu di kelenteng kecil itu bukankah dia belum seburuk sebagaimana kita
sangka? Jika aku tidak... tidak salah melukai dia, tentu... tentu takkan....”
sampai di sini suaranya menjadi terguguk-guguk, rupanya ia sangat menyesal dan
berduka.
“Sudah kukatakan janganlah kau
sedih atas kejadian itu, andaikan tempo hari kita dapat menyelamatkan dia, toh
tidak mustahil akan direbut lagi oleh mereka,” kata Ciok Jing. “Urusan ini pun
sangat aneh, ke manakah perginya orang-orang Swat-san-pay ini, mengapa mendadak
telah menghilang semua dan tiada berita apa-apa lagi di dunia persilatan
Tionggoan. Adik Ju, besok juga kita berangkat langsung ke Leng-siau-sia. Setiba
di sana, baik atau buruk tentu kita akan mendapat keterangan yang jelas.”
“Tanpa beberapa pembantu yang
kuat, apakah kita mampu menyelamatkan anak Giok dari sarang harimau sebagai
Leng-siau-sia itu?” ujar Bin Ju.
“Untuk menolong orang di sana
memang tidaklah gampang,” kata Ciok Jing. “Harapan kita hanya mencegatnya di
tengah jalan, tapi sekali anak Giok sudah berada di Leng-siau-sia, maka itu
berarti kambing sudah masuk ke dalam mulut harimau.”
“Kukira dalam urusan ini juga
tidak seluruhnya anak Giok yang bersalah,” kata Bin Ju. “Lihatlah
Swat-san-kiam-hoat yang dimainkan anak Giok itu sedemikian ceteknya, tentu
karena Swat-san-pay tidak mengajarkan dia dengan sungguh-sungguh. Anak Giok
adalah pemuda yang angkuh dan tinggi hati pula, mungkin di sana ia telah banyak
mengikat permusuhan. Tentu selama beberapa tahun ini dia telah sangat menderita
lahir batin.”
“Ya, semuanya adalah karena
salahku, sungguh aku sangat menyesal,” kata Ciok Jing. “Dahulu waktu aku
memutuskan akan mengirim dia belajar kepada Swat-san-pay, walaupun kau tidak
membantah, tapi kutahu di dalam hati kau merasa sangat berat. Sungguh tidak
nyana Hong-hwe-sin-liong Hong Ban-li yang sedemikian terhormat, persahabatannya
dengan kita juga begini baik, ternyata anak Giok telah disia-siakan di sana.”
“Engkoh Jing, urusan ini mana
boleh menyalahkan kau,” ujar Bin Ju. “Maksudmu mengirim anak Giok ke
Leng-siau-sia adalah demi kebaikanku, walaupun kau tidak menjelaskan juga aku
tahu sendiri. Kau tahu bahwa untuk membalas sakit hati anak Kian melulu
tenagaku sendiri tentu tidak berhasil, sampai pada saat yang menentukan juga
kau tidak enak ikut campur, ditambah lagi pihak musuh terlalu hafal akan ilmu
silat perguruan kita, tentu dia sudah mempunyai cara untuk mengalahkan kita.
Tapi kalau anak Giok berhasil mempelajari Swat-san-kiam-hoat, dengan
bahu-membahu kami ibu dan anak tentu mampu membinasakan musuh. Siapa tahu...
siapa tahu... ai!”
Ciok Boh-thian dapat mengikuti
percakapan Ciok Jing dan Bin Ju itu, tapi sebagian besar ia merasa tidak paham
dan bingung. Hanya terpikir olehnya, “Nasib nyonya Ciok sungguh malang,
sedemikian sedih dia merindukan anaknya itu. Agaknya anaknya telah ditawan
orang Swat-san-pay dan dibawa ke Leng-siau-sia, biarlah aku ikut mereka ke sana
dan bila perlu akan kubantu mereka. Bukankah tadi dia mengatakan ingin mencari
beberapa pembantu?”
Tengah merenung, tiba-tiba
terdengar sayup-sayup suara derapan kuda yang ramai dari kejauhan, ada belasan
ekor kuda sedang lari mendatangi dengan cepat. Rupanya Ciok Jing berdua juga
sudah dengar, mereka tidak bicara lagi, tapi duduk dengan diam saja.
Selang tidak lama, suara derapan
kuda makin mendekat, lalu ada orang berseru, “Itu dia, di sini!”
Menyusul ada orang berseru
pula, “Ciok-sute, Bin-sumoay, kami ingin bicara dengan kalian!”
Ciok Jing dan Bin Ju mengenali
suara Tiong-hi Tojin itu, mereka agak heran, tapi lantas melompat maju. Seru
Ciok Jing, “Tiong-hi Suheng, apakah telah terjadi sesuatu?”
Maka tertampaklah Thian-hi,
Tiong-hi, dan belasan suheng dan sute dari Siang-jing-koan itu semuanya
berkuda, dua tojin di antaranya masing-masing memondong sesosok tubuh. Karena keadaan
gelap sehingga tubuh-tubuh siapakah itu tidaklah jelas.
Dengan pada yang gugup dan
kasar Tiong-hi lantas menegur, “Ciok... Ciok-sute dan Bin-sumoay, kalian tidak
berhasil merebut kedua medali pengganjar dan penghukum di dalam kelenteng,
mengapa lantas menggunakan tipu muslihat untuk merebutnya pula? Urusan kedua
medali tembaga itu tidak menjadi soal, tapi mengapa kalian memakai cara keji
terhadap Ciau-hi dan Thong-hi Sute, perbuatan kalian ini sungguh... sungguh
tidak patut.”
Ciok Jing dan Bin Ju terkejut
semua mendengar uraian itu. Cepat Ciok Jing bertanya, “Ciau-hi dan Thong-hi
Suheng telah... telah mengalami cedera? Mengapa... mengapa bisa terjadi
demikian? Apakah jiwa kedua suheng itu berbahaya?”
Karena mengkhawatirkan
keselamatan kedua suheng itu, seketika juga Ciok Jing tidak sempat mendebat dan
membela diri atas tuduhan Tiong-hi tadi.
Tapi dengan marah-marah
Tiong-hi berkata pula, “Entah kau telah bersekongkol dengan kaum pengecut yang
tidak kenal malu sehingga berani menggunakan racun yang keji. Walaupun kedua
sute belum lagi binasa, tapi keadaan mereka sekarang rasanya juga tidak berbeda
banyak.”
“Harap Suheng jangan marah
dulu, coba kuperiksa mereka,” kata Ciok Jing sambil melangkah maju hendak
melihat keadaan Ciau-hi dan Thong-hi.
Tapi lantas terdengar suara
“sret-sret” di sana-sini, beberapa tojin sudah melolos pedang dan mengadang di
depan Ciok Jing.
Dengan menghela napas Thian-hi
lantas berkata, “Menyingkirlah kalian! Ciok-sute bukanlah manusia semacam itu.”
Para tojin itu mendengus, lalu
menurunkan pedang dan memberi jalan.
Segera Ciok Jing mengeluarkan
geretan api untuk menerangi muka Ciau-hi dan Thong-hi. Maka terlihatlah wajah
kedua tojin itu hitam gelap, itulah memang tanda-tanda terkena racun. Waktu
pernapasan mereka diperiksa, ternyata denyut jantungnya sangat lemah, jiwa
mereka sudah tinggal sesaat dua saat saja.
Hendaklah maklum bahwa ilmu
silat Siang-jing-koan mempunyai gayanya tersendiri dan mempunyai kelebihan
daripada ilmu silat golongan lain. Ciau-hi dan Thong-hi Tojin semuanya memiliki
lwekang yang cukup tinggi, sedangkan pukulan berbisa Ciok Boh-thian tidak langsung
mengenai tubuh mereka, maka kedua tojin itu cuma jatuh pingsan terkena hawa
berbisa yang tertolak keluar dari telapak tangan Ciok Boh-thian. Namun
demikian, terang ajal mereka pun takkan tahan lebih lama daripada satu atau
setengah jam.
Melihat begitu parah kedua
tojin itu keracunan, Ciok Jing menoleh dan tanya kepada sang istri, “Adik Ju,
kau kira orang dari golongan manakah yang memakai cara sekeji ini?”
Dan karena menolehnya itu,
tertampaklah beberapa tojin yang lain dengan pedang terhunus sudah mengepung
mereka dengan rapat.
Tapi Bin Ju anggap tidak tahu
saja atas sikap permusuhan para imam itu. Ia menerima geretan api dari tangan
sang suami, lalu mendekat untuk periksa air muka Ciau-hi dan Thong-hi, sedikit
saja terendus hawa berbisa yang diembuskan dari pernapasan kedua imam itu,
seketika Bin Ju sendiri merasa kepala pening, cepat ia melangkah mundur.
Setelah memikir sejenak, lalu
ia berkata, “Aku belum pernah melihat racun begini selama merantau. Tolong
tanya, Tiong-hi Suheng, cara bagaimana kedua suheng ini kena racun? Apakah
salah minum obat racun? Atau terkena senjata rahasia musuh yang berbisa? Apakah
tubuh mereka ada bekas luka?”
“Dari mana aku bisa tahu?”
sahut Tiong-hi dengan marah. “Kami justru menyusul ke sini untuk tanya padamu.
Kau perempuan ini tadi tampak mencurigakan, besar kemungkinan waktu makan-minum
tadi, karena tidak berhasil merebut medali-medali itu, lalu kau menaruh racun
di dalam arak. Kalau tidak, mengapa orang lain tidak keracunan, tapi Ciau-hi
Sute yang mengantongi medali-medali itu justru keracunan? Sedangkan me...
medali-medali itu pun direbut lagi oleh kalian.”
Saking gusarnya air muka Bin
Ju sampai pucat pasi. Tapi dasar perangainya memang halus, sejak kecil ia pun
sangat sopan dan menghormati para suheng, maka ia tidak suka bercekcok mulut
dengan mereka, hanya air matanya yang berlinang-linang dan hampir-hampir
menetes.
Ciok Jing tahu di dalam
persoalan ini tentu adalah kesalahpahaman yang besar. Tadi dirinya suami-istri
tidak berhasil merebut medali-medali tembaga itu, habis itu Ciau-hi lantas
keracunan dan kehilangan medali-medali itu. Dalam keadaan demikian mereka
suami-istri memang berada pada tempat yang harus dicurigai. Ia coba memegang
tangan sang istri dengan maksud menghiburnya agar jangan berduka. Tapi seketika
ia pun bingung dan tak berdaya.
“Aku... aku....” demikian Bin
Ju bermaksud membela diri, tapi hanya kata-kata itu saja yang sanggup diucapkan
dan sudah menangis.
“Biarpun kau menangis sampai
langit runtuh, memangnya kedua sute ini dapat kau hidupkan kembali? Huh, kucing
menangisi tikus....” jengek Tiong-hi dengan gusar.
Belum habis ucapannya,
sekonyong-konyong di belakang mereka ada orang berseru, “Mengapa kalian tidak
membedakan hitam atau putih dan sembarangan memfitnah orang?”
Mendengar suara orang yang
sangat keras dan kuat itu, para imam terkejut dan berpaling semua. Maka
tertampaklah di sebelah sana sudah berdiri seorang laki-laki berbaju rombeng
kumal. Tatkala itu fajar sudah mulai menyingsing sehingga remang-remang
wajahnya kelihatan, rupanya usianya masih sangat muda.
Ciok Jing dan Bin Ju menjadi
girang demi melihat pemuda itu. Bin Ju sampai berteriak, “Ha... kau....”
syukurlah pengalamannya cukup luas sehingga kata-kata “anak Giok” tidak sampai
terucapkan.
Pemuda itu memang betul Ciok
Boh-thian adanya. Dia sembunyi di dalam semak alang-alang dan mendengarkan para
imam itu menuduh Ciok Jing berdua telah meracuni kedua sute mereka. Boh-thian
menjadi ragu-ragu, kalau dirinya tampil ke muka, tentu akan bergebrak dengan
para imam dan bukan mustahil pukulan berbisanya akan banyak minta korban lagi,
hal ini sesungguhnya sangat bertentangan dengan pikirannya. Tapi akhirnya demi
melihat Tiong-hi makin garang dan makin mendesak sehingga Bin Ju sampai
menangis, maka Boh-thian tidak tahan lagi, segera ia keluar dari tempat
sembunyinya.
“Siapa kau? Dari mana kau
mengetahui kami sembarangan memfitnah orang?” bentak Tiong-hi segera.
Boh-thian menjawab,
“Ciok-cengcu dan Ciok-hujin tidak mengambil medali-medali tembaga kalian, tapi
kalian bersitegang menuduh mereka, bukankah ini memfitnah secara ngawur?”
“Huh, kau bocah ini tahu apa?
Kau berani sembarangan mengoceh di sini?” bentak pula Tiong-hi sambil melangkah
maju setindak dengan pedang terhunus.
“Sudah tentu aku tahu,” sahut
Boh-thian. Mestinya ia hendak mengatakan bahwa sesungguhnya dia yang mengambil
medali-medali itu, tapi terpikir pula bila dikatakan terus terang, tentu
kawanan imam itu akan main rebut lagi, dan kalau tidak dikembalikan, tentu akan
terjadi pertarungan sengit sehingga terpaksa membunuh orang. Sebab itulah ia
pikir lebih baik tidak dikatakan saja.
Di lain pihak hati Tiong-hi
juga tergerak, ia pikir boleh jadi pemuda ini mengetahui seluk-beluk tentang
medali-medali itu. Maka ia lantas tanya, “Habis siapakah yang mengambil
medali-medali itu?”
“Pendek kata bukanlah
Ciok-cengcu dan Ciok-hujin yang mengambil.” kata Boh-thian. “Kalian telah
bersikap kasar kepada mereka, sampai-sampai Ciok-hujin jadi menangis, sungguh
tidak pantas, lekaslah kalian meminta maaf kepada Ciok-hujin.”
Sungguh girang Bin Ju tak
terkatakan ketika mendadak melihat sang putra kesayangan yang dirindukannya
siang dan malam itu, ternyata dalam keadaan selamat tanpa kurang sesuatu apa
pun. Sekarang didengarnya pula pemuda itu menyuruh Tiong-hi meminta maaf,
terang sekali anak muda itu ingin membela sang ibu.
Bin Ju mempunyai dua orang
putra yang telah banyak menyusahkan orang tua, dan baru sekarang ia mendengar
sang putra mengucapkan kata-kata yang bersifat membela ibunda, seketika lega
dan terhiburlah hatinya, ia merasa jerih payah dan duka derita yang telah
dialaminya selama 20-an tahun bagi sang putra tidaklah sia-sia.
Melihat wajah sang istri
berseri-seri, tapi air matanya berlinang-linang pula, Ciok Jing dapat memahami
pikirannya, tangan istrinya yang masih dipegangnya itu digenggamnya lebih
kencang lagi. Ia pun berpikir, “Ya, betapa pun jeleknya kelakuan anak Giok,
terhadap ibunya toh dia masih sangat berbakti.”
Dalam pada itu Tiong-hi
menjadi gusar karena Boh-thian berani bicara dengan kasar padanya. Dengan suara
keras ia membentak pula, “Siapakah saudara ini? Berdasar apa kau berani
menyuruh aku meminta maaf kepada Ciok-hujin?”
Karena senang hatinya, Bin Ju
menjadi anggap sepi terhadap tuduhan Tiong-hi yang tak berdasar tadi, ia
khawatir putranya bertengkar dengan imam-imam itu sehingga menimbulkan
persengketaan di antara saudara seperguruan sendiri, maka cepat ia menyela,
“Tiong-hi Suheng hanya salah paham saja, kita adalah orang sendiri semua,
asalkan duduknya perkara dibikin terang, maka tidak perlu bicara tentang minta
maaf apa segala.”
Lalu ia berpaling kepada
Boh-thian dan berkata pula dengan suara halus, “Para Totiang adalah supek dan
susiokmu, lekas kau menjura kepada mereka.”
Terhadap Bin Ju memangnya Ciok
Boh-thian mempunyai kesan baik, sekarang dilihatnya nyonya itu memandangnya
dengan wajah ramah dan penuh kasih sayang, hal ini selama hidupnya belum pernah
diterimanya dari siapa pun juga. Seketika darah Ciok Boh-thian bergolak, ia
merasa biarpun apa yang harus dilakukannya menurut pesan Bin Ju, sekalipun mati
juga tidak menolak, apalagi cuma disuruh menjura saja.
Maka tanpa pikir lagi ia
lantas tekuk lutut dan menjura kepada Tiong-hi sambil berkata, “Ciok-hujin
menyuruh aku menjura padamu, maka aku lantas menjura!”
Thian-hi, Tiong-hi dan
lain-lain sama melengak. Mereka heran mengapa Ciok Boh-thian sedemikian
menurutnya kepada Bin Ju. Mereka tahu Ciok Jing mempunyai dua orang putra. Yang
satu telah dibunuh oleh musuh, seorang lagi hilang diculik, maka pemuda ini
besar kemungkinan adalah muridnya saja.
Walaupun tabiat Tiong-hi agak
berangasan, tapi apa pun juga dia adalah kaum beribadat, melihat Ciok Boh-thian
memberi hormat padanya, seketika rasa gusarnya lantas mereda. Cepat ia melompat
turun dari kuda dan hendak membangunkan pemuda itu, katanya, “Ah, janganlah
banyak adat!”
Tak tersangka bahwa sekali
Ciok Boh-thian sudah disuruh menjura, maka ia pikir harus menjura benar-benar,
waktu Tiong-hi memayangnya ia tidak lantas bangun.
Dengan sendirinya waktu tangan
Tiong-hi memegang bahu Boh-thian, ia merasa tubuh anak muda itu sangat berat,
sedikit pun tidak bergoyah. Keruan ia menjadi marah lagi, pikirnya, “Kau anggap
aku sebagai orang tua, tapi sekarang kau sengaja pamer lwekang lagi di
hadapanku.”
Segera ia menarik napas
dalam-dalam dan mengerahkan tenaga untuk mengangkat ke atas, maksudnya hendak
menjungkirkan Ciok Boh-thian yang bandel itu.
Melihat kuda-kuda Tiong-hi
itu, segera Ciok Jing suami-istri mengetahui apa yang hendak dilakukan sang
suheng. Ciok Jing agak mendongkol atas sikap Tiong-hi itu. Tapi demi mengingat
sang suheng hendak memberi sedikit hajaran kepada putranya, ya, apa boleh buat,
terpaksa membiarkan anak muda itu tahu rasa sedikit.
Sebaliknya Bin Ju lantas
berseru, “Perlahan sedikit, Suko!”
Maka terdengarlah suara
“Wuuut... bluk”, bukannya Ciok Boh-thian yang terangkat, sebaliknya tubuh
Tiong-hi sendiri mencelat ke belakang dan tertumbuk pada kudanya sendiri.
Dengan sempoyongan lekas-lekas
Tiong-hi menggunakan ilmu “Jian-kin-tui” (membikin berat tubuh), dengan
demikian barulah ia dapat berdiri tegak lagi. Namun kudanya yang tertumbuk itu
lantas meringkik dan terjungkal.
Kejadian yang disaksikan orang
banyak ini sudah tentu membuat semua orang terkejut. Ciok Jing dan Bin Ju
sendiri pernah bertanding pedang dengan Ciok Boh-thian di kelenteng kecil di
luar kata Yangciu tempo hari dan mengetahui tenaga dalam anak muda itu sangat
kuat, namun sama sekali tak terbayang oleh mereka bahwa kekuatan lwekangnya
sekarang sudah memuncak selihai ini, hanya tenaga pentalan saja sudah membikin
tokoh kelas wahid dari Siang-jing-koan mencelat sendiri.
Begitu Tiong-hi sudah berdiri
tegak, “sret”, segera ia melolos pedang. Saking gusarnya ia berbalik tertawa.
Serunya, “Bagus, bagus, bagus! Murid didik sute dan sumoay ternyata lain
daripada yang lain, maka biarlah aku belajar kenal beberapa jurus dengan dia.”
Habis berkata, kontan ujung
pedang lantas menusuk ke dada Ciok Boh-thian.
“Tidak, ti... tidak, aku tak
mau berkelahi dengan kau!” seru Boh-thian sambil goyang-goyang kedua tangannya
dan mundur setindak.
Di sebelah lain Thian-hi sudah
dapat melihat ilmu silat Ciok Boh-thian tidak boleh dibuat main-main, ia pikir
kalau Tiong-hi Sute bertempur dengan anak muda ini, kalau menang toh takkan
terpuji, sebaliknya kalau kalah malah akan ditertawai orang. Sekarang
dilihatnya Ciok Boh-thian tidak mau bertanding, hal ini menjadi kebetulan, maka
cepat ia menyela, “Ya, kita adalah orang sendiri, buat apa bertanding segala?
Andaikan ingin tukar pikiran tentang kepandaian masing-masing juga tidak perlu
sekarang juga.”
“Betul itu,” Boh-thian
menimpali. “Kalian adalah suheng dan sutenya Ciok-cengcu, bilamana bergebrak
dan aku membinasakan kalian lagi, wah, kan bisa berabe!”
Maklum, sama sekali Boh-thian
tidak tahu adat istiadat orang hidup, ia khawatir jangan-jangan dalam
pertarungan nanti pukulannya yang berbisa akan membinasakan lawan lagi, maka ia
telah katakan terus terang isi hatinya itu. Tak disangkanya bahwa ucapannya itu
biarpun didengar oleh siapa pun juga tentu akan menimbulkan rasa murka dan akan
melabraknya. Apalagi imam-imam Siang-jing-koan itu biasanya sangat menilai
tinggi ilmu silat golongan mereka, keruan mereka menjadi gusar.
Begitu pula Ciok Jing lantas
membentak juga, “Kau bilang apa? Jangan sembarang mengoceh!”
Semula Tiong-hi sudah menarik
kembali pedangnya dan hendak menyingkir karena perintah Thian-hi tadi. Tapi
demi mendengar ucapan Ciok Boh-thian yang menghina dan memandang enteng para
imam itu, ia tidak tahan lagi, segera ia melangkah maju pula dan membentak,
“Baik, aku justru ingin tahu cara bagaimana kau akan membinasakan kami. Nah,
mulailah!”
“Tidak, aku tidak mau
berkelahi dengan kau,” sahut Boh-thian dengan goyang-goyang kedua tangannya.
Tiong-hi semakin murka,
dengusnya, “Hm, jadi kau merasa tiada harganya buat bergebrak dengan aku?!”
“Sret”, kontan ia mendahului
menusuk ke bahu anak muda itu.
Karena Boh-thian tidak bersenjata,
maka serangan Tiong-hi ini sengaja ditujukan ke tempat yang tidak berbahaya.
Dia adalah jago pedang terkemuka dari Siang-jing-koan, walaupun pengalaman
tempurnya tidak lebih banyak daripada Ciok Jing dan Bin Ju, tapi ketangkasannya
bahkan melebihi suami-istri itu.
Keruan Boh-thian menjadi
kelabakan, ia tidak sempat mengelakkan diri lagi, “cret”, bahunya telah
tertusuk sedikit, kontan darah merembes keluar.
“Aduh!” Bin Ju menjerit
khawatir.
Sebaliknya Tiong-hi lantas
membentak pula, “Lekas keluarkan senjatamu!”
Namun Boh-thian berpikir, “Kau
adalah suhengnya Ciok-hujin, tadi aku sudah salah membunuh dua orang suhengnya,
kalau sekarang membunuh kau lagi, pertama, tidaklah baik terhadap Ciok-hujin,
kedua, aku pun akan dianggap sebagai orang jahat.”
Sebab itulah ia tidak
menangkis tusukan Tiong-hi tadi, ia khawatir kalau tangannya bergerak, bukan
mustahil telapak tangan yang beracun itu akan menimbulkan korban lagi. Maka
kedua tangannya sengaja ditelikungnya di belakang punggung dan saling genggam
dengan erat, betapa pun dibentak Tiong-hi tetap dia tidak mau mainkan
tangannya.
Melihat kelakuan Boh-thian
ini, para imam Siang-jing-koan menyangka dia sengaja menghina, keruan mereka
menjadi marah biarpun biasanya mereka adalah orang yang sabar. Segera ada yang
berseru, “Tiong-hi Suheng, bocah itu terlalu sombong, berilah hajaran yang
setimpal!”
“Apa kau benar-benar tidak
sudi bergebrak dengan aku?” segera Tiong-hi membentak Ciok Boh-thian lagi. “Sret-sret”,
kembali ia menyerang pula dua kali.
Saking cepatnya serangan
Tiong-hi, dalam hal ilmu pedang memangnya Boh-thian juga kurang mahir, walaupun
lwekangnya tinggi, tapi tidaklah sanggup menghindar, kontan lengan kiri dan
dada kanan tertusuk pula. Untung Tiong-hi tidak bermaksud membunuhnya melainkan
cuma memaksanya bergebrak saja, maka tusukan-tusukan itu hanya mengenai
kulitnya dan pedang lantas ditarik kembali, makanya Boh-thian hanya terluka
lecet saja.
Melihat putra kesayangan
berturut-turut terluka tiga tempat, sungguh hati Bin Ju merasa seperti dirinya
yang terluka. Maka waktu melihat Tiong-hi kembali menusuk pula, “trang”, segera
ia menangkiskannya bagi Ciok Boh-thian. Serentak terdengarlah suara
“trang-tring, trang-tring” yang ramai, dalam sekejap saja Tiong-hi dan Bin Ju
sudah bergebrak 13 kali.
Kedua orang sama-sama
terhitung jago pilihan dari Siang-jing-koan, sekali ilmu pedang
“Siang-jing-gway-kiam” dimainkan, Tiong-hi sekaligus menyerang 13 kali dan Bin
Ju sekaligus juga menangkis 13 kali, seketika lelatu meletik sebagai kembang
api disertai sinar pedang yang kemilauan, cepatnya tak terkatakan.
Maka begitu ke-13 jurus sudah
dimainkan, serentak para imam dan Ciok Jing lantas bersorak dan menyenggak,
“Bagus!”
Karena kedua orang adalah tunggal
guru, Thian-hi tahu biarpun bertarung lebih lama lagi juga susah menentukan
kalah dan menang. Maka ia lantas berkata, “Bin-sumoay, apa kau sudah terang
akan membela anak muda ini?”
Bin Ju tidak menjawab, ia
hanya pandang Ciok Jing dengan harapan sang suami yang menyatakan ketekadannya.
Maka Ciok Jing lantas membuka
suara, “Bocah ini terlalu angkuh dan sembrono, memanglah pantas kalau diberi
hajaran. Berturut-turut dia sudah kena tiga kali tusukan Tiong-hi Suheng,
syukurlah Tiong-hi Suheng sengaja bermurah hati sehingga jiwanya tidak sampai
melayang. Hanya sedikit kepandaian kasaran bocah ini mana dia sesuai untuk
bergebrak dengan Tiong-hi Suheng? Nak, lekas kau menjura dan minta maaf kepada
Supek!”
“Sudah terang dia memandang
rendah kepada Siang-jing-koan kita, ia anggap tiada harganya bergebrak dengan
kita,” seru Tiong-hi dengan marah-marah. “Kalau tidak, mengapa tadi dia
menyatakan sekali tangannya bergerak kita tentu akan terbunuh semua?”
Waktu Ciok Boh-thian membuka
tangannya, lapat-lapat ia melihat noktah merah dan garis-garis biru di tapak
tangannya itu agak timbul lagi. Ia menghela napas dan berkata, “Kedua tanganku
ini benar-benar penyakit, sedikit-sedikit tentu membinasakan orang.”
Mendengar itu, kembali air
muka para imam Siang-jing-koan berubah.
Mau tak mau Ciok Jing sendiri
menjadi marah juga demi mendengar ucapan Boh-thian yang sombong dan menyinggung
perasaan itu. Segera ia membentak, “Kau bocah ini benar-benar tidak kenal tingginya
langit dan tebalnya bumi. Tadi Tiong-hi Supek sengaja mengampuni kau, makanya
jiwamu tidak sampai melayang, apa kau tidak tahu?”
“Aku... aku....” sahut
Boh-thian dengan tergagap-gagap.
Dalam pada itu Tiong-hi sudah
mulai curiga. Tadi ia telah menusuk tiga kali kepada Ciok Boh-thian, dilihatnya
cara pemuda itu belum paham cara menghindarnya, sebaliknya lwekangnya
sedemikian lihainya, kalau bicara tentang ilmu silat tampaknya bukanlah murid
didiknya Ciok Jing suami-istri. Apalagi waktu Boh-thian membuka kedua
tangannya, sayup-sayup tercium olehnya bau amis busuk yang memusingkan kepala.
Keruan ia tambah sangsi. Segera ia membentak pula, “Sebenarnya kau murid siapa?
Dari mana kau belajar berlagak dan bermulut besar?”
“Aku... aku adalah murid
tertua Kim-oh-pay,” sahut Boh-thian.
Tiong-hi melengak. Pikirnya,
“Kim-oh-pay? Setahuku di dunia persilatan tiada terdapat nama demikian, besar
kemungkinan bocah ini membual lagi.”
Segera ia berkata, “O, kukira
kau adalah muridnya Ciok-sute sendiri, tapi ternyata bukan orang sendiri, ini
menjadi kebetulan malah.”
Segera ia mengedipi dua orang
sute yang berdiri di sebelahnya.
Kedua imam itu tahu maksud
sang suheng, segera mereka memutar pedang, masing-masing dengan jurus
“Tiau-pay-kim-teng” (Menyembah Puncak Emas), yang seorang menghadapi Ciok Jing
dan yang lain mengarah Bin Ju.
Gaya “Tiau-pay-kim-teng” ini
adalah satu jurus penghormatan kepada lawan dari ilmu pedang Siang-jing-koan,
biasanya digunakan bilamana hendak bertanding dengan tokoh Bu-lim yang
terkemuka atau angkatan yang lebih tua. Jurus ini tampaknya cuma sebagai
penghormatan saja dengan ujung pedang mengarah ke bawah, tapi sebenarnya telah
mengadakan penjagaan yang sangat rapat dalam lingkaran beberapa meter. Sekali
lawan bergerak, seketika lantas mendahului menggempur.
Sudah tentu Ciok Jing berdua
paham maksud kedua imam itu, yaitu mengawasi gerak-gerik mereka. Asalkan
dirinya bergerak hendak membela sang putra, maka kedua imam itu serentak akan
melayaninya. Tapi kalau dirinya tidak bergerak, maka kedua imam itu pun takkan
melakukan penyerangan lebih dulu.
Dalam pada itu Tiong-hi sudah
tak sabar lagi, kembali ia membentak Boh-thian, “Lekas keluarkan senjatamu!
Jika kau tidak balas menyerang, segera aku mampuskan kau murid jahat dari
Kim-oh-pay ini.”
Dengan tegas ia mengatakan
“Kim-oh-pay”, terang supaya Ciok Jing berdua tak dapat membelanya lagi andaikan
nanti Boh-thian benar-benar dibunuh olehnya.
Pada saat yang menentukan itu,
Ciok Jing menduga bila Boh-thian tidak menandangi tantangan Tiong-hi itu, tentu
anak muda itu akan terancam bahaya. Sebaliknya kalau terima tantangan itu,
karena mengetahui ada kemungkinan dirinya suami-istri akan membela anaknya,
tentulah dia akan pikir-pikir lebih dulu sebelum merobohkannya dan
paling-paling anak muda itu hanya dilukai sedikit saja sekadar sebagai hajar
adat.
Maka Ciok Jing lantas berseru,
“Nak, jika Supek ingin memberi petunjuk padamu, hal ini akan sangat berguna
bagimu, tentu Supek takkan melukai kau, janganlah takut. Lekas kau keluarkan
senjata untuk melayaninya!”
Melihat sinar pedang Tiong-hi
yang gemerlapan dan wajah sang supek yang kereng itu, diam-diam Boh-thian
menjadi jeri. Berulang-ulang dia telah tertusuk tiga kali, ia tahu ilmu pedang
imam itu sangat lihai. Sekarang didengarnya Ciok Jing menyuruhnya mengeluarkan
senjata, tiba-tiba timbul suatu pikiran padanya, “Ya, betul, aku akan menangkis
serangannya dengan senjata, dengan demikian racun di tanganku tentu takkan
membinasakan dia.”
Sekilas dilihatnya di atas
tanah ada sebatang golok, yaitu senjata yang ditinggalkan muridnya Loh Cap-pek
tadi. Dengan girang ia lantas berseru, “Baik, baik! Aku akan melayani
seranganmu. Tapi... tapi kau jangan menyerang lebih dulu, tunggulah aku
mengambil golok itu. Jika kau menggunakan kesempatan ini untuk menusuk
punggungku tentu tak bisa dianggap menang, jangan kau main belit.”
Melihat cara bicara Ciok
Boh-thian itu seperti anak kecil saja, Tiong-hi sangat mendongkol dan geli
pula. Ia menjengek sekali sambil melangkah mundur. “Cret”, ia tancapkan
pedangnya ke tanah dan berkata, “Huh, kau anggap aku Tiong-hi ini orang macam
apa? Masakah pakai menyerang dari belakang
terhadap bocah ingusan macam
kau?”
Dengan tangan tolak pinggang
Tiong-hi sengaja menunggu Boh-thian menjemput golok di atas tanah itu.
Pikirnya, “Kiranya bocah ini mahir menggunakan golok, jika demikian terang dia
bukan muridnya Ciok-sute. Hanya saja entah mengapa Ciok-sute menyuruh dia
memanggil supek pula padaku?”
Begitulah, selagi Ciok
Boh-thian berjongkok hendak mengambil golok, mendadak timbul pula suatu pikirannya,
“Wah, dalam pertarungan nanti jangan-jangan secara tidak sengaja aku
menggunakan sebelah tangan yang kosong ini dan tentu akan membinasakan dia
pula. Ya, ada lebih baik tangan kiri ini kuikat saja pada badanku, dengan
demikian akan aman sentosa segalanya.”
Jilid 30
Maka ia tidak jadi menjemput
golok itu, ia menegak kembali dan berkata kepada Tiong-hi, “Maaf, harap kau
tunggu dulu sebentar.”
Habis itu ia lantas melepaskan
ikat pinggang, tangan kiri ia julurkan lurus di samping badan, lalu dengan
tangan kanan ia mengikat lengan kiri pada badannya sendiri.
Dengan mata terbeliak semua
orang mengikuti perbuatannya itu, semuanya tidak tahu permainan apa yang akan
dilakukan olehnya. Namun Boh-thian tetap asyik melakukan pekerjaannya sendiri,
setelah tangan kiri sudah terikat kencang di atas badan, lalu golok di atas
tanah barulah diambilnya dan berkata, “Baiklah, sekarang kita boleh mulai,
dengan demikian aku takkan membinasakan kau.”
Sungguh Tiong-hi hampir-hampir
jatuh kelengar saking gusarnya. Anak muda menerima tantangannya dengan mengikat
sebelah tangannya, ini berarti suatu hinaan yang tak terkatakan. Sudah tentu
para imam Siang-jing-koan juga marah-marah, mereka membentak dan mencaci maki.
Ciok Jing dan Bin Ju juga lantas menyemprot Boh-thian, “Anak kurang ajar! Hayo
lekas melepaskan ikat pinggangmu itu!”
Untuk sejenak Boh-thian
tertegun, pada saat itulah Tiong-hi sudah hilang kesabarannya, pedangnya dengan
cepat sudah menusuk. Dengan gugup lekas-lekas Boh-thian mengangkat goloknya
untuk menangkis.
Tiong-hi sudah tahu lwekang
anak muda itu sangat kuat, maka sebelum pedangnya terbentur golok, cepat ia
sudah ganti serangan. “Sret-sret-sret”, berturut-turut ia melancarkan
enam-tujuh kali tusukan sehingga Boh-thian kerepotan melayaninya, jangankan
hendak menangkis, dari mana datangnya serangan lawan saja Boh-thian tidak
jelas.
Diam-diam anak muda itu
mengeluh, “Wah, celaka!”
Dalam keadaan kepepet, tanpa
pikir goloknya lantas membacok dan menebas serabutan, sedikit pun tidak menurut
aturan.
Untunglah Tiong-hi sudah agak
kapok terhadap lwekangnya yang mahakuat itu, walaupun permainan golok Ciok
Boh-thian kelihatan banyak lubang kelemahannya, tapi di waktu goloknya
membacok, mau tak mau Tiong-hi harus menarik kembali pedangnya dan menghindarkan
diri, ia khawatir kalau-kalau pedangnya terbentur golok dan mencelat, hal ini
tentu akan membikin malu habis-habisan padanya.
Sesudah membacok tak keruan,
dilihatnya Tiong-hi berbalik mundur, maka Ciok Boh-thian sempat tenangkan diri
untuk sementara. Teringat olehnya ilmu golok yang diciptakannya dengan parang
karatan yang ditemukan di Ci-yan-to tempo hari, tiba-tiba timbul pikirannya,
“Eh, ya, mengapa aku tidak menggunakan ilmu golokku itu untuk melayani dia?”
Hanya saja dahulu tangan
kirinya menggunakan pedang dan tangan kanan memakai golok, sekarang tangan kiri
sendiri terikat kencang, hanya tinggal tangan kanan saja yang tetap memainkan
golok, dengan sendirinya daya gunanya menjadi banyak berkurang, namun begitu
jurus-jurus serangannya yang aneh-aneh tetap tidak kurang banyaknya.
Sebenarnya kepandaian ciptaan
Boh-thian sendiri ini tidaklah sempurna, banyak lubang kelemahannya. Akan
tetapi begitu ia mengerahkan lwekangnya yang tiada bandingannya, dengan
sendirinya daya tempurnya menjadi sangat hebat. Hanya belasan jurus saja para
imam Siang-jing-koan dan Ciok Jing suami-istri sudah melongo terheran-heran.
Lebih-lebih Tiong-hi, di
samping kejut dan gusar, ia menjadi rada-rada jeri pula. Sebagai orang
beribadat, pengalaman tempur Tiong-hi tidaklah luas, tapi ilmu golok dari
golongan-golongan terkemuka di dunia persilatan boleh dikata sudah dikenalnya
semua. Sekarang dilihatnya ilmu golok Ciok Boh-thian itu sudah dangkal dan
bodoh, caranya ngawur pula dan sangat bertentangan dengan teori ilmu golok pada
umumnya. Ilmu golok demikian mestinya sekali gempur sudah cukup mengalahkan
anak muda itu, tapi aneh bin ajaib, justru dirinya sendiri yang berulang-ulang
terancam oleh serangan ngawur itu, hal ini sungguh-sungguh tidak masuk akal.
Sesudah belasan jurus pula,
lama-lama Tiong-hi menjadi gelisah dan hilang sabar. “Sret”, pedangnya menusuk
dari depan. Kebetulan pada saat itu golok Ciok Boh-thian telah berputar balik.
Karena kedua orang sama-sama cepatnya, “trang”, benturan kedua senjata tak
dapat dihindarkan lagi.
Tiong-hi sudah berjaga-jaga
sebelumnya, ia telah pegang pedangnya dengan sangat kencang. Tapi tenaga dalam
Ciok Boh-thian benar-benar terlalu kuat, di tengah jerit kaget orang banyak,
pedang Tiong-hi tertampak sudah melengkung, gagang pedang pun berdarah,
ternyata genggaman tangan Tiong-hi sampai tergetar pecah.
Tiong-hi terkesiap, diam-diam
ia merasa nama harumnya selama hidup sudah terhanyut sekarang, apa gunanya
meyakinkan ilmu pedang dan menjadi ciangbunjin segala? Tanpa bicara lagi ia
sambitkan pedang melengkung itu ke arah Ciok Boh-thian, menyusul kedua
tangannya bagaikan cakar baja terus menubruk maju.
“Trang”, Ciok Boh-thian sempat
menangkis timpukan pedang melengkung itu sehingga terpental, tapi lantaran
itulah bagian dadanya menjadi terbuka, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Tiong-hi yang sedang menubruk maju itu, dengan cepat kedua hiat-to penting di
dada Ciok Boh-thian telah kena dicengkeramnya.
Serangan Tiong-hi ini laksana
banteng ketaton dahsyatnya. Kim-na-jiu-hoat kaum Siang-jing-koan pun terhitung
sesuatu kepandaian tunggal yang lihai. Siapa duga baru saja kedua tangannya
menyentuh hiat-to di dada Ciok Boh-thian, kontan ia terpental balik oleh tenaga
dalam anak muda itu sehingga mencelat.
Sekali ini karena dia
menyerang dengan kalap, maka tenaga pental balik itu pun tambah keras, tubuhnya
yang mencelat itu tampaknya dengan segera akan terbanting telentang, jika ini
terjadi, maka dia pasti akan malu besar.
Syukurlah Thian-hi Tojin cepat
bertindak, dengan cepat ia sempat menggunakan sebelah tangannya untuk menolak
pundak sang sute ke samping sehingga daya pental itu dihapus sebagian, kedua
kakinya menyentuh tanah lebih dulu dan meloncat ke atas. Dengan demikian
Tiong-hi tidak sampai roboh terjungkal, tapi lalu menurun kembali dengan
enteng. Namun wajahnya sudah lantas pucat pasi sebagai mayat.
Setelah mendorong Tiong-hi ke
samping, berbareng pula Thian-hi sudah melolos pedangnya dan berkata, “Ternyata
benar-benar seorang kesatria muda yang hebat, kagum, sungguh kagum sekali!
Biarlah sekarang aku yang belajar kenal beberapa jurus padamu, mungkin aku yang
sudah loyo ini pun bukan tandingan saudara.”
Sambil bicara, berbareng
pedangnya lantas menusuk lambat ke depan. Waktu Boh-thian angkat goloknya
menangkis, mendadak ia merasa tenaga yang dikerahkan pada batang goloknya itu
punah tanpa bekas.
Kiranya Thian-hi mengetahui
lwekang Ciok Boh-thian sangat lihai, maka serangannya telah menggunakan cara
“menggeser” untuk menghapus tenaga lawan. Namun tidak urung lengan kanan pun
terasa tergetar dan kesemutan, dada pun kesakitan. Keruan ia terkejut dan
khawatir, jangan-jangan dirinya sudah terluka dalam. Maka waktu menyerang pula,
sebelum terbentur dengar golok lawan, segera ia tarik pedangnya dan menyusul
menusuk dari samping.
Jangan mengira Thian-hi sudah
lanjut usianya, tapi kegesitannya ternyata tidak kalah daripada orang muda,
bahkan serangannya lebih jitu dan makin ganas.
Begitulah, dalam waktu singkat
saja kedua orang sudah bergebrak lebih 20 jurus, karena sambaran angin senjata
semakin meluas, maka lingkaran para penonton juga makin terdesak lebar.
Leng-hi Tojin dan kawannya
yang bertugas mengawasi Ciok Jing dan Bin Ju sampai teralih perhatiannya dan
asyik mengikuti pertarungan yang seru di tengah kalangan.
Sementara itu Ciok Boh-thian
telah mainkan ilmu goloknya dengan semakin lancar, tenaga dalamnya juga ikut
tambah kuat, semula Thian-hi masih dapat menandingi, tapi setiap bergebrak satu
jurus tenaga anak muda itu pun tambah kuat sebagian, boleh dikata tumbuh tiada
habis-habis dan tiada berhenti-henti.
Walaupun menang dalam
kebagusan ilmu pedang, tapi kedua kaki Thian-hi sudah terasa mulai lemas,
lengan juga mulai pegal, setiap kali bergebrak berarti semakin payah.
Sekarang Ciok Jing dan Bin Ju
juga sudah dapat melihat jelas, apabila pertarungan itu diteruskan tentu
Thian-hi akan kecundang. Sebaliknya kalau sang putra yang dibentak suruh
berhenti, hal ini sama dengan menyuruh dia mengalah di depan umum dan tentu
akan membikin malu kepada Thian-hi. Sungguh cemas dan bingung Ciok Jing berdua,
mereka merasa serbasalah dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Ciok Boh-thian sendiri makin
bertempur makin bersemangat, sampai akhirnya Thian-hi yang selalu terdesak
malah. Sekonyong-konyong Boh-thian melihat kaki kanan Thian-hi menjadi lemas
dan hampir-hampir tekuk lutut, namun imam tua itu masih terus bertahan
sekuatnya, hanya air mukanya yang sudah berubah hebat.
Tiba-tiba tergerak hati
Boh-thian, teringat olehnya ucapan A Siu ketika berada di Ci-yan-to dahulu, “Di
waktu kau bertempur dengan orang, hendaklah selalu ingat bahwa di mana dapat
mengampuni orang hendaklah mengampuni saja.”
Sekali teringat kepada pesan A
Siu itu, seketika Boh-thian terbayang wajah yang lembut dan ayu itu. Segera ia
melintangkan goloknya terus mendorong ke depan.
Kontan Thian-hi merasa
dorongan golok itu membawa tenaga tekanan yang dahsyat sehingga napasnya terasa
sesak. Cepat ia melompat mundur dua tindak dan tidak urung tindakan mundur itu
pun sudah membuatnya terhuyung-huyung. Diam-diam ia mengeluh, “Celaka, jika dia
mendesak maju lagi, untuk mundur saja rasanya aku pun tidak kuat lagi.”
Akan tetapi Ciok Boh-thian
tidak mendesak maju pula, sebaliknya goloknya lantas menebas kosong ke kiri,
lalu ditarik kembali dan menusuk kosong lagi ke kanan, habis itu golok berputar
ke atas terus membacok di depan anak muda itu sendiri. Tiga kali gerakan itu
adalah serangan kosong semua, namun betapa hebat tenaga yang digunakannya
sehingga debu pasir sampai bertebaran terguncang angin senjatanya.
Selagi Thian-hi tercengang
dengan napas terengah-engah, terlihatlah Boh-thian sudah menarik goloknya
sambil mundur dua tindak, lalu berdiri tegak sambil memondong senjata dan
berkata, “Ilmu pedang tuan sangat bagus, Cayhe merasa sangat kagum. Hari ini
susah menentukan kalah dan menang, bolehlah kita berhenti dan marilah
bersahabat saja.”
Thian-hi hampir-hampir tidak
percaya kepada pendengarannya sendiri, ia berdiri termangu-mangu dan tidak
sanggup berbicara.
Melihat Ciok Boh-thian menarik
senjata dan melangkah mundur dengan gayanya yang sangat indah serta kuat itu,
tanpa merasa semua orang memberi sorakan memuji. Ciok Jing tersenyum-senyum dan
merasa lega hatinya dengan kesudahan pertarungan yang damai itu. Lebih-lebih
Bin Ju, girangnya tak terkatakan lagi.
Mereka senang karena ilmu
silat sang putra yang hebat itu, tapi yang lebih menggirangkan adalah sikap
Ciok Boh-thian yang terakhir itu, sudah pasti akan menang, tapi toh dia mau
mengalah dan menyudahi pertarungan itu dengan damai tanpa syarat ini benar-benar
perbuatan yang luhur dan cocok sekali dengan sifat-sifat mereka suami-istri.
Namun Bin Ju lantas membentak
Boh-thian dengan tertawa, “Huh, anak goblok, sembarangan mengoceh tak keruan,
mengapa pakai sebutan Cayhe segala, harus panggil supek dan mengaku Siautit
(keponakan)!”
Thian-hi sendiri pun menghela
napas lega, katanya dengan gegetun, “Arus sungai selalu mendorong ke muka,
orang muda memang selalu lebih hebat, kita sudah tua, tidak berguna lagi!”
“Nak, lekas kau memberi hormat
dan minta maaf kepada Supek,” cepat Bin Ju berseru pula.
Boh-thian mengiakan, ia
membuang goloknya, lalu menjura dengan penuh hormat.
Bin Ju sangat senang, katanya,
“Ciangbun-suko, ini adalah anak nakal sute dan sumoaymu, sejak kecil kurang
mendapat didikan, harap suka memberi maaf atas kesalahannya.”
Thian-hi terkesiap. “O,
kiranya adalah lenglong (putra kalian), pantas, pantas!” sahutnya kemudian.
“Tapi Sute tadi mengatakan lenglong telah diculik orang, kiranya hal itu
tidaklah betul.”
“Siaute mana berani mendustai
Suheng,” kata Ciok Jing. “Anak itu memang diculik orang, entah cara bagaimana
dia bisa lolos sampai sekarang kami pun belum sempat tanya keterangannya.”
“Ya, memangnya, dengan
kepandaiannya yang tinggi ini memang tidak susah untuk meloloskan diri,” ujar
Thian-hi dengan manggut-manggut. “Hanya saja ilmu silat lenglong terang bukan
ajaran Sute dan Sumoay, dalam ilmu goloknya ini pun tidak banyak terkandung
jurus-jurus ilmu silat Swat-san-pay, sebaliknya tenaga dalamnya sedemikian
hebatnya dan susah diukur. Bahkan jurus yang terakhir tadi lebih-lebih jarang
terlihat.”
“Betul itu, jurus ini adalah
ajaran A Siu,” demikian Boh-thian menanggapi. “Dia bilang padaku agar
senantiasa bermurah hati kepada lawan, di mana dapat mengampuni orang supaya
mengampuni saja. Jurus ini bernama ‘Pang-kau-cik-kik’ (pukul dari samping dan
hantam dari pinggir), gunanya untuk mengalah kepada lawan, tapi juga takkan
dilukai oleh lawan.”
Begitulah tanpa
tedeng-aling-aling dan prasangka apa-apa Ciok Boh-thian mencerocos menurutkan
apa saja yang hendak diucapkan, keruan muka Thian-hi sebentar merah sebentar
pucat, malunya tak terkatakan.
Segera Ciok Jing membentak,
“Diam! Kau sembarangan mengoceh apa?”
“Baiklah, aku takkan bicara
lagi.” kata Boh-thian. “Apabila sejak mula terpikir olehku untuk mengikat
tanganku yang berbisa ini dan melulu gunakan golok untuk bergebrak dengan
orang, tentu takkan... takkan....” sampai di sini ia lantas berhenti, ia pikir
kalau bicara terus terang bahwa dirinya yang telah membinasakan Ciau-hi dan
Thong-hi, tentu akan timbul persengketaan baru lagi.
Namun begitu Thian-hi dan
imam-imam lain sudah terperanjat, beramai-ramai mereka membentak, “Apa katamu?
Telapak tanganmu berbisa?” – “Jadi Ciau-hi dan Thong-hi Sute adalah kau yang
membunuhnya?” – “Dan kedua medali tembaga itu pun kau yang mencurinya bukan?”
Begitulah senjata-senjata para
imam yang tadinya sudah dimasukkan kembali ke sarungnya ini sekarang
beramai-ramai dicabut keluar lagi.
Boh-thian menghela napas
menyesal, katanya, “Sesungguhnya aku tiada bermaksud membunuh mereka, tak
terduga tanganku hanya sedikit bergerak saja mereka sudah lantas roboh
sendiri.”
Dengan murka Tiong-hi lantas
berseru kepada Ciok Jing, “Nah, Ciok-sute, cara bagaimana urusan ini harus
diselesaikan, hendaklah kau katakan saja!”
Pikiran Ciok Jing menjadi
kusut, ketika berpaling dilihatnya pula air mata sang istri berlinang-linang,
perasaannya juga sangat khawatir dan cemas, terpaksa ia menjawab dengan kuatkan
perasaan, “Betapa pun kepentingan perguruan harus diutamakan. Binatang cilik
ini telah banyak menimbulkan gara-gara, kami suami-istri susah juga untuk
membelanya, maka terserah kepada keputusan Ciangbun-suheng untuk mengambil
tindakan padanya.”
“Bagus!” seru Tiong-hi,
berbareng pedangnya bergerak, serentak ia hendak maju mengerubut.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Bin Ju
mencegahnya.
Dengan melirik Tiong-hi
berkata, “Apa yang Sumoay ingin katakan lagi?”
“Ciau-hi dan Thong-hi Suheng
saat ini toh belum meninggal, boleh jadi mereka masih dapat tertolong.” ujar
Bin Ju dengan suara gemetar.
Tiong-hi mengekek sambil
mendongak, katanya dengan mengejek, “Kedua sute sudah terkena racun sejahat
ini, masakah mereka masih ada harapan buat hidup lagi? Ucapan Sumoay ini apa
bukan sengaja mengolok-olok saja?”
Bin Ju pun tahu tiada harapan
lagi, ia coba tanya Ciok Boh-thian, “Nak, racun apakah yang berada di telapak
tanganmu itu? Apakah ada obat pemunahnya?”
Sambil bertanya ia lantas
mendekati anak muda itu, katanya, “Coba kuperiksa sakumu apakah terdapat obat
pemunah.”
Lalu ia pura-pura memasukkan
tangannya ke saku Ciok Boh-thian untuk mencari obat, tapi diam-diam ia
membisiki anak muda itu, “Lekas lari lekas! Ayah dan ibu tak sanggup menolong
kau lagi!”
Boh-thian terperanjat. “Ayah
dan ibu? Siapa adalah ayah dan ibu?” serunya menegas.
Kiranya tadi Thian-hi selalu
menyebut tentang “lenglong” apa segala, karena buta huruf, maka Boh-thian tidak
tahu bahwa “lenglong” artinya “putramu”. Bahwasanya Ciok Jing suami-istri juga
menyebutnya sebagai “anak”, hal ini pun ia sangka sebutan lazim kaum tua kepada
kaum muda, sama sekali tak terduga olehnya bahwa suami-istri itu telah salah
mengenalnya sebagai putra mereka.
Pada saat itulah, sebelum Ciok
Boh-thian dapat berbuat apa-apa, tiba-tiba terasa punggungnya tersentuh oleh
sesuatu. Kiranya Ciok Jing yang telah menjuju punggungnya dengan ujung pedang,
katanya, “Adik Ju, kita tidak boleh membela binatang cilik ini sehingga merusak
hubungan baik dengan perguruan sendiri. Dia tidak boleh lari!”
Nada ucapannya ternyata penuh
mengandung perasaan pahit getir.
Bin Ju pun hampir-hampir
pingsan saking pedihnya, katanya dengan suara gemetar, “Nak, apakah jiwa kedua
supek ini benar-benar tiada obat yang dapat menolong mereka?”
Saat itu Leng-hi yang berdiri
di samping dan bertugas mengawasi Bin Ju itu menjadi khawatir jangan-jangan
sang sumoay akan merintangi atau mungkin juga mendadak membunuh diri, maka
dengan cepat ia pegang tangan Bin Ju dan merampas pedangnya.
Tatkala mana Bin Ju sedang
mencurahkan perhatian atas diri Ciok Boh-thian sehingga dengan gampang saja
pedangnya kena dirampas.
Sebaliknya Ciok Boh-thian
tidak tinggal diam melihat Bin Ju diperlakukan begitu, ia berteriak, “Apa yang
kau lakukan?” berbareng pedang Bin Ju tadi lantas hendak direbutnya kembali.
Akan tetapi Leng-hi telah
putar pedang itu terus memotong. Sebelum tertebas, cepat Boh-thian menarik
tangan terus membalik untuk memegang pergelangan tangan lawan. Ini adalah satu
jurus kim-na-jiu-hoat ajaran si Ting Tong tempo hari.
Walaupun kim-na-jiu-hoat ini
amat bagus, tapi mana dapat digunakan atas diri Leng-hi yang tergolong jago
pilihan Siang-jing-koan? Mendadak Leng-hi membentak, “Bagus!”
Berbareng pedangnya memutar
balik untuk menangkis.
Tak tersangka tubuhnya lantas
sempoyongan, pandangannya menjadi gelap, “bluk”, ia jatuh tersungkur sendiri.
Kiranya racun di telapak tangan Ciok Boh-thian itu telah teruar pada waktu
tangannya bergerak tadi. Ketika Leng-hi membentak, dengan sendirinya ia harus
menyedot napas, maka kontan ia keracunan.
Saking kagetnya para imam
sampai menyingkir mundur beberapa tindak, wajah mereka pun pucat seketika
laksana melihat setan iblis.
Boh-thian insaf keonaran yang
ditimbulkannya ini telah tambah besar, walaupun para imam itu tampak melangkah
mundur, tapi setiap orang tetap menghunus pedang dan mengepung di
sekelilingnya, untuk menerjang keluar tidak boleh tidak harus menjatuhkan
korban jiwa lagi. Sekilas dilihatnya pula kedua tangan Leng-hi memegang
perutnya sendiri sambil menggosok-gosok dan meremas-remas tiada hentinya,
terang imam itu sedang menderita sakit perut yang tak terhingga.
Kiranya imam-imam
Siang-jing-koan itu jauh lebih kuat lwekangnya dibanding anggota-anggota
Tiat-cha-hwe, oleh karena itu mereka tidak lantas binasa terkena hawa berbisa,
tapi masih sanggup tahan untuk sejam dua jam lamanya.
Tiba-tiba Ciok Boh-thian
teringat kepada Thio Sam dan Li Si sewaktu menderita sakit perut dan
berkelesotan di sarang Tiat-cha-hwe tempo hari, kemudian Thio Sam telah
mengajarkan cara menolongnya sehingga racun di dalam tubuh kedua saudara angkat
itu dapat dipunahkan, maka cepat ia lantas membangunkan Leng-hi.
Para imam di sekelilingnya
sudah siap-siap dengan pedangnya untuk mengerubutnya, namun Boh-thian buru-buru
ingin menolong Leng-hi, maka sikap permusuhan imam-imam itu tak dihiraukan
lagi. Dengan tangan kiri Boh-thian lantas tahan leng-tay-hiat di punggung
Leng-hi, sedangkan tangan kanan memegang tat-tiong-hiat di bagian dada, ia
kerahkan tenaga melalui tangan kiri dan tangan kanan dipakai menyedot, dengan
cara yang diajarkan Thio Sam itu, tidak lama kemudian Leng-hi Tojin lantas bisa
menarik napas panjang, sakit perutnya lantas berhenti. Dan begitu sudah sembuh,
kontan Leng-hi memaki, “Maknya, bangsat kau!”
Sebagai orang beribadat, caci
maki Leng-hi itu sesungguhnya tidak pantas, tapi sekali dia sudah dapat
bersuara, segera semua orang mengetahui jiwanya sudah dapat diselamatkan, maka
semua orang lantas bersorak gembira dan tidak memusingkan kata-kata Leng-hi
yang kurang sopan tadi.
Saking girangnya Bin Ju sampai
meneteskan air mata. Katanya, “Nak, Ciau-hi dan Thong-hi Supek juga keracunan
sejak tadi, lekas kau menolong mereka!”
Dalam pada itu dua tosu sudah
memondong Ciau-hi dan Thong-hi ke depan Ciok Boh-thian, keadaan kedua imam itu
sudah sangat payah, napas mereka sudah tinggal Senin-Kamis saja.
Segera Boh-thian menjalankan
cara penyembuhan seperti tadi. Karena Ciau-hi dan Thong-hi lebih lama
keracunan, maka diperlukan waktu lebih lama pula barulah racun-racun di dalam
tubuh mereka dapat dipunahkan.
Begitu sadar kontan Ciau-hi
lantas mendamprat, “Kakekmu disambar geledek, anak keparat!”
Dan Thong-hi juga tidak mau
ketinggalan, ia pun mengumpat, “Anak jadah piaraan biang anjing, kau berani
menggunakan racun untuk menyerang tuanmu!”
Karena senangnya sehingga Ciok
Jing dan Bin Ju tidak mengambil pusing lagi kepada caci maki ketiga suhengnya
yang menyangkut kehormatan suami-istri mereka. Sebaliknya diam-diam mereka
menertawakan imam-imam itu, “Percuma saja ketiga suheng itu bertirakat selama
ini, biasanya mereka sangat saleh, tampaknya seperti imam yang sangat alim,
tapi di waktu kepepet kata-kata mereka pun sedemikian kasarnya.”
Setelah Ciok Boh-thian
menyembuhkan Ciau-hi bertiga, maka rasa gusar para imam tadi lantas hilang pula
sebagian besar. Bin Ju lantas berkata, “Nak, jika kau yang mengambil
medali-medali tembaga dari Ciau-hi Supek itu, hendaklah kau mengembalikan saja
kepada beliau, ibu tidak inginkan benda-benda itu lagi.”
“Ibu? Ibu?” Boh-thian
menggumam dengan terperanjat, lalu ia mengeluarkan medali-medali itu dan
dikembalikan kepada Ciau-hi sambil menegas lagi kepada Bin Ju, “Ibu? Kau... kau
adalah ibuku?”
Di sebelah sana Thian-hi Tojin
sudah lantas berkata kepada Ciok Jing dan Bin Ju, “Sute dan Sumoay, biarlah
kita berpisah saja di sini!”
Ia tahu untuk bertemu lagi
kelak susahlah diramalkan, maka tanpa mengucapkan “sampai bertemu lagi” segera
ia memimpin para imam dan berangkat pergi.
Ciok Boh-thian masih
memandangi Bin Ju dengan termangu-mangu dan penuh keragu-raguan. Sebaliknya
kedua mata Bin Ju tampak basah, dengan tersenyum-senyum ia berkata, “Anak
bodoh, apa kau tidak... tidak mengenali ayah-ibumu lagi?”
Habis itu segera ia merangkul
Boh-thian ke dalam pangkuannya.
Sejak tahu seluk-beluknya
orang hidup belum pernah Boh-thian dikasihi orang, terhadap Bin Ju selama ini
dia memang merasa sangat suka dan terima kasih, kini mendadak mengalami
perlakuan sedemikian, dengan sendirinya perasaannya juga terguncang dan
terharu, ia terlongong-longong tak sanggup bicara. Sampai agak lama barulah dia
bisa membuka suara, “Apakah dia... Ciok-cengcu adalah... adalah ayahku? Tapi
aku kok tidak tahu. Cuma... engkau bukanlah ibuku, aku... aku memang sedang
mencari ibuku sendiri.”
Hati Bin Ju menjadi pilu
karena Boh-thian tidak mengenalinya lagi, hampir-hampir ia meneteskan air mata
pula. Katanya, “O, kasihan anak ini. Tapi kau juga tak dapat disalahkan,
sesudah... sesudah sekian tahun lamanya tentu kau sudah pangling kepada
ayah-ibumu. Waktu kau meninggalkan Hian-soh-ceng tinggimu baru seperut ibu,
tapi sekarang kau sudah lebih tinggi daripada ayahmu. Wajahmu ternyata juga
banyak berubah, pertemuan di dalam kelenteng tempo hari kalau sebelumnya
ayah-ibu tidak mengetahui kau yang telah ditawan Pek Ban-kiam, di kala bertemu
juga tentu kita takkan saling mengenal.”
Boh-thian semakin heran
mendengarkan uraian nyonya Ciok itu. Soal dirinya ditawan Pek Ban-kiam dan
dibawa ke kelenteng Toapekong itu memang betul terjadi, tapi tentang ibunya
yang diketahui bermuka kuning pucat, perawakannya juga jauh lebih pendek dan kecil
daripada Bin Ju, untuk ini tidaklah mungkin dia pangling.
Maka dengan tergagap-gagap ia
berkata, “Ciok-hujin, engkau telah... telah salah kenal, aku... aku bukan an...
anak kalian!”
“Engkoh Jing,” Bin Ju
berpaling kepada Ciok Jing, “coba kau lihat anak ini....”
Mendengar Ciok Boh-thian tidak
mau mengakui ayah-ibunya, diam-diam Ciok Jing lantas menimbang-nimbang, “Bocah
ini sangat cerdik, dia tidak mau mengakui orang tua sendiri tentu dia mempunyai
maksud yang mendalam. Jangan-jangan dia telah menimbulkan bencana besar di
Leng-siau-sia dan telah banyak melakukan kejahatan di Tiang-lok-pang, namanya
tersohor sangat busuk, maka dia merasa malu untuk mengakui ayah-ibu sendiri.
Atau mungkin juga takut dihukum dan khawatir merembet ayah-ibunya?”
Sesudah berpikir sejenak,
kemudian ia tanya, “Jika demikian, kau ini Ciok-pangcu dari Tiang-lok-pang atau
bukan?”
Boh-thian garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal, sahutnya, “Ya, semua orang mengatakan aku adalah
Ciok-pangcu, tapi sebenarnya bukan, mereka pun telah salah mengenali diriku.”
“Habis siapa namamu?” tanya
Ciok Jing.
“Aku tidak punya nama dan
tidak punya she,” sahut Boh-thian dengan wajah bingung. “Ibu hanya panggil aku
‘Kau-cap-ceng’.”
Ciok Jing saling pandang
dengan Bin Ju, mereka merasa ucapan Ciok Boh-thian itu sangat jujur dan
sungguh-sungguh, sedikit pun tiada tanda-tanda sengaja berdusta.
Segera Ciok Jing mengedipi
sang istri dan mengajaknya menyingkir agak jauh, lalu dengan suara perlahan ia
berkata, “Adik Ju, bocah ini sebenarnya Tiong-giok atau bukan? Dari kabar-kabar
yang kita peroleh memang diketahui bahwa Tiong-giok telah menjadi pangcu di
Tiang-lok-pang, tapi sebagai seorang pangcu masakah bisa jadi sedemikian
dungunya?”
“Anak Giok sudah belasan tahun
meninggalkan kita,” sahut Bin Ju dengan berat, “sesudah dewasa sudah tentu muka
dan perawakannya akan banyak berubah. Akan tetapi... aku yakin dia pasti
putraku.”
“Kau benar-benar mantap,
sedikit pun tidak sangsi?” Ciok Jing menegas.
“Kesangsian sih ada, tapi
entah mengapa, aku percaya bahwa... bahwa dia pasti putra kita. Apa sebabnya,
aku sendiri pun tak bisa menjelaskan.”
Tiba-tiba Ciok Jing teringat
kepada sesuatu, katanya, “Ah, aku mendapat akal. Bukankah kau masih ingat waktu
perempuan hina itu hendak menyatroni kau, adik Ju?....”
Apa yang diungkap Ciok Jing
ini merupakan kejadian yang tak bisa dilupakan oleh mereka suami-istri, hanya
mereka tidak mau menyinggung kejadian itu. Maka Ciok Jing cuma menyebut awalnya
dan Bin Ju pun lantas mengerti.
“Betul, biar kutanya padanya,”
demikian Bin Ju lantas sadar akan maksud sang suami. Lalu ia berduduk di atas
sepotong batu besar, kemudian Boh-thian dipanggilnya, “Nak, coba kemari, ada
yang hendak kukatakan padamu.”
Boh-thian lantas mendekatinya
dan oleh Bin Ju dia disuruh duduk juga di sebelahnya, lalu nyonya itu mulai
bertanya, “Nak, pada waktu kau berusia dua tahun, datanglah seorang penjahat
wanita yang hendak membikin susah ibumu, kebetulan ayahmu tidak di rumah,
sedangkan ibu baru saja melahirkan adikmu sehingga tidak mampu melawan penjahat
wanita itu. Wanita jahanam itu benar-benar sangat jahat, bukan saja ibumu
hendak dibunuhnya, bahkan kau dan adikmu juga akan dibunuh olehnya.”
“Hah, lalu aku terbunuh atau
tidak?” seru Boh-thian terkejut. Tapi ia lantas tertawa sendiri dan menyambung
pula, “O, aku benar-benar sudah linglung, sudah tentu aku tidak terbunuh.”
Namun Bin Ju tidak tertawa, ia
melanjutkan ceritanya, “Waktu itu ibu membopong kau dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanan memainkan pedang untuk melawannya dengan mati-matian.
Penjahat wanita itu sangat lihai, aku menjadi kewalahan. Pada saat berbahaya
itu kebetulan ayahmu keburu pulang. Dengan cepat penjahat wanita itu
menimpukkan tiga buah kim-ci-piau (senjata rahasia berbentuk mata uang), dua
buah di antaranya kena disampuk jatuh oleh ibumu, kim-ci-piau yang ketiga telah
mengenai bokongmu. Kau menjerit menangis, ibumu menjadi khawatir dan lelah
terus jatuh pingsan. Tapi karena melihat ayahmu, penjahat wanita itu pun lantas
melarikan diri. Wanita itu benar-benar amat kejam, sewaktu melarikan diri dia
sekalian menggondol pergi adikmu pula. Karena buru-buru ayahmu harus menolong
aku dahulu, pula khawatir kalau-kalau penjahat wanita itu menyembunyikan
pembantu dan aku akan dicelakai, maka ayahmu tidak mau mengejarnya, pula
mengingat... mengingat penjahat wanita itu pun tidak mungkin membunuh putranya,
paling-paling orok itu sengaja diculik untuk menakut-nakuti ayahmu saja. Siapa
tahu pada hari ketiga mayat adikmu telah dikirim pulang oleh penjahat wanita
itu, di atas badan ulu hatinya tertancap dua bilah pedang kecil, yang sebatang
pedang hitam dan sebatang lagi pedang putih, bahkan di atas pedang-pedang itu
terukir pula nama ayah-ibumu....” bercerita sampai di sini, saking sedihnya air
matanya sudah bercucuran sebagai hujan.
Boh-thian juga gusar mendengar
peristiwa kejam itu, katanya, “Penjahat wanita itu benar-benar terlalu keji,
seorang anak bayi yang tak berdosa juga tega membunuhnya. Wah, kalau tidak
terbunuh aku kan senang mempunyai seorang adik? Ciok-hujin, kejadian itu
selamanya ibu tak pernah katakan padaku.”
“Nak,” kata Bin Ju pula dengan
air mata berlinang-linang, “apa benar-benar kau telah melupakan ibu kandungmu
sendiri? Aku... aku inilah ibumu yang sesungguhnya.”
Boh-thian mengamat-amati
sejenak wajah Bin Ju, lalu menggeleng perlahan-lahan, katanya, “Bukan, kau
bukan ibuku. Kau telah salah mengenali aku.”
“Dahulu pantatmu telah
tertumpuk oleh kim-ci-piau si penjahat wanita, walaupun sekarang kau sudah
dewasa, tentu bekas luka itu takkan hilang. Nah, coba kau membuka celanamu dan
periksalah sendiri.”
“Aku... aku....” sahut
Boh-thian dengan muka merah dan serbasalah.
Teringat olehnya bahwa di atas
pundak sendiri terdapat bekas gigitan si Ting Tong, di atas paha juga terdapat
enam titik bekas luka tusukan pedang oleh “Liau-susiok” dari Swat-san-pay,
semuanya itu sebenarnya sudah dilupakan olehnya, tapi setiap kali ia membuka
baju dan periksa, selalu terlihat jelas apa-apa yang tertinggal di atas
badannya sebagaimana dituduhkan orang. Seluk-beluk di dalam urusan ini
benar-benar membuatnya bingung dan tidak habis mengerti. Sekarang Ciok-hujin
mengatakan pula bahwa di pantatnya terdapat bekas luka kim-ci-piau, wah,
jangan-jangan luka demikian itu benar-benar ada pula.
Ia coba meraba-raba pantat
sendiri sebelah kiri dari luar, ia merasa tidak ada sesuatu bekas luka apa-apa.
Hanya saja ia sudah kapok dengan dua kali kejadian sebelumnya, yaitu luka
gigitan di pundak dan luka pedang di paha, mau tak mau sekarang ia menjadi
sangsi.
“Aku adalah ibu kandungmu,
entah sudah berapa kali aku mengganti kain popokmu jika kau ngompol atau berak,
masakah sekarang kau merasa malu segala?” ujar Bin Ju dengan tersenyum.
“Baiklah, boleh kau periksakan kepada ayahmu saja.”
Habis berkata ia lantas
memutar tubuh dan menyingkir ke sana.
Ciok Jing sendiri juga merasa
ragu-ragu, katanya, “Nak, boleh kau lepaskan celana dan periksa sendiri saja.”
Dengan sangsi Boh-thian meraba
pantat sendiri pula dari luar, sesudah yakin tiada bekas luka apa-apa barulah
dia membuka tali kolor dan melorotkan celananya, waktu ia melongok ke belakang,
terlihatlah di sebelah kiri pantat itu lapat-lapat ada sejalur bekas luka
kira-kira tiga-empat senti panjangnya, rupanya luka itu sudah terlalu lama,
maka bekas luka itu sudah samar-samar saja.
Seketika Boh-thian ternganga
kaget, ia merasa langit dan bumi seakan-akan berputar, dirinya serasa mendadak
telah berubah seorang lain, tapi toh dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa.
Saking kaget dan takutnya, tak tertahan lagi Boh-thian menangis keras-keras.
Cepat Bin Ju berpaling
kembali, dilihatnya sang suami sedang manggut-manggut padanya, maksudnya
berkata, “Ya, dia memang betul Tiong-giok adanya.”
Bin Ju menjadi girang dan
cemas pula, ia berlari mendekati Boh-thian terus merangkulnya. Katanya dengan
air mata bercucuran, “Anak Giok, O, anak Giok, jangan takut, betapa pun
besarnya urusan tentu ayah-ibu akan menyelesaikan bagimu.”
“Aku sudah lupa kepada segala
kejadian di masa lampau,” kata Boh-thian sambil menangis. “Aku tidak tahu
engkau adalah ibuku, tidak tahu dia adalah ayahku, tidak tahu di pantatku ada
bekas luka demikian ini. Aku tidak tahu, ya, tidak tahu, segala apa pun tidak
tahu....”
“Lwekangmu yang begini tinggi
ini kau belajar dari mana?” tanya Ciok Jing.
“Entah, aku tidak tahu,” sahut
Boh-thian.
“Habis pukulanmu yang berbisa
itu kau pelajari dari siapa pula?” desak Ciok Jing.
“Tidak tahu, tiada orang yang
mengajarkan padaku,” sahut Boh-thian dengan takut-takut. “Ai, kenapakah aku
ini, segala apa sudah linglung bagiku. Apakah aku benar-benar Ciok Boh-thian,
Ciok-pangcu? Ciok... Ciok, jadi aku benar-benar she Ciok dan adalah anak
kalian?”
Saking gugupnya sampai muka
Boh-thian menjadi pucat, kedua tangannya masih memegangi celananya yang
kedodoran, khawatir kalau melorot ke bawah, sebaliknya lupa mengikat tali
kolornya.
Melihat Boh-thian sedemikian
gugup dan takutnya, Bin Ju merasa sangat kasihan, tiada hentinya ia
menepuk-nepuk perlahan pundak anak muda itu dan berkata, “Anak Giok, jangan
takut, jangan takut!”
Ciok Jing lantas kesampingkan
juga rasa gemasnya kepada putranya yang diketahui berkelakuan tidak senonoh
itu, pikirnya, “Aku pernah melihat kepala orang mengalami pukulan keras atau
menderita sakit parah, lalu melupakan segala apa yang pernah dialaminya, konon
penyakit ini bernama ‘sakit hilang ingatan’ dan sangat sukar disembuhkan
kembali. Jangan-jangan... jangan-jangan anak Giok sekarang terkena penyakit
aneh ini?”
Pikiran Ciok Jing ini tidak
berani lantas dikatakan kepada sang istri, tak terduga Bin Ju sendiri juga
mempunyai pikiran yang serupa. Suami-istri itu saling tukar pandang dengan
ragu-ragu, akhirnya sama-sama tercetus, “Sakit hilang ingatan!”
Ciok Jing tahu orang yang
menderita penyakit aneh itu tidak boleh ditanyai terus-menerus, semakin didesak
penyakitnya akan semakin berat. Jalannya harus perlahan-lahan membantunya
memulihkan daya ingatannya, lalu dipancing dan ditanya sedikit demi sedikit.
Maka dengan ramah tamah ia lantas berkata, “Hari ini kita telah dapat berkumpul
kembali, sungguh suatu hal yang sangat menggembirakan. Nak, tentu perutmu sudah
lapar, marilah kita pergi ke kota di depan sana untuk makan dan minum.”
“Se... sebenarnya siapakah
diriku ini?” demikian Boh-thian masih bingung.
Bin Ju lantas bantu melipatkan
celana anak muda itu dan mengikat tali kolornya, lalu katanya dengan halus,
“Nak, apakah kau pernah terjatuh sehingga kepalamu terbentur dengan keras? Atau
kau pernah berkelahi dengan orang dan kepalamu kena diketok benda keras oleh
lawanmu?”
“Tidak, tidak pernah,” sahut
Boh-thian sambil geleng-geleng kepala.
“Atau selama ini pernahkah kau
jatuh sakit panas?” tanya Bin Ju pula.
“O, ya, pernah,” sahut
Boh-thian. “Beberapa bulan yang lalu sekujur badanku terasa sangat panas sebagai
dibakar di dalam tungku. Kemudian berubah menjadi dingin setengah mati. Waktu
itu aku berada di atas gunung, lalu... lalu jatuh pingsan dan apa yang terjadi
selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi.”