Menurut kebiasaan adat
istiadat pedesaan Oulam, lagu San-ko itu dinjanjikan setjara spontan menurut
keadaan setempat dimana sipenjanji berada. Lagunja sering2 kasar dan umum,
tiada ubahnja seperti kata2 se-hari2, hanja tjara menjanjikannja berirama dan
pakai tekukan suara hingga kedengarannja merdu mentakdjubkan.
Dan habis menjanji, tiba2 Tik
Hun merasa pilu, teringat penghabisan kalinja memain bersama Djik Hong,
njanjian itu sudah lima tahun tidak pernah membasahi tenggorokannja lagi. Kini
dapat menjanji pula, tapi pemandangan keadaan disekelilingnja ternjata sangat
aneh dan berlainan, kalau dulu sipendengarnja adalah sang Sumoay jang tjantik
molek, adalah sekarang pendengarnja adalah seorang Hwesio gede jang djahat
dan........ telandjang bulat.
Begitulah ia sengadja lewat
dikelenteng itu dengan pelahan2 lalu ia tjekik lehernja sendiri dan menjanji
pula dengan menirukan suara wanita:
Oi, engkau A Sam sibotak
apanja jang menarik?
Berani mimpi beristerikan aku
sitjantik?
Emangnja aku kepintjuk
kepalamu jang kelimis?
Atau terpikat karena .......
Belum lagi njanjiannja
selesai, se-konjong2 Po-siang sudah berlari keluar dengan hanja menutupi
badannja dengan badju luar. Rupanja ia ingin tahu siapakah gerangan jang
menjanji itu. Dan ketika melihat kepala Tik Hun gundul pelontos, ia sangka
pemuda itu memang benar2 seorang desa dan botak, ia merasa geli pula mendengar
lagu Tik Hun jang meng-olok2 kepala sendiri jang botak serta tjaranja menirukan
suara wanita jang lutju itu.
“Hai, gundul, kemari!” seru
Po-siang segera.
Tik Hun mendjawabnja dengan
menjanji pula:
“Ada keperluan apa Toasuhu
memanggil daku?
Apa mau persen emas dan perak?
Harini sibotak A Sam lagi
ketumplek redjeki,
Makanja Toasuhu hendak
mengundang aku makan babi.”
Begitulah sambil menjanji
dengan lagak jang di-buat2 djenaka, mau-tak-mau Tik Hun mendekati Po-siang.
Meski sedapat mungkin ia berlagak sebagai pemuda desa jang ke-tolol2an, tapi
hatinja ber-debar2 hebat, wadjahnja djuga berubah.
Untung Po-siang tidak dapat
mengenalnja. Dengan tertawa paderi itu berkata: “Hai, A Sam sibotak, lekaslah
engkau mentjarikan makanan untukku dan Toasuhu pasti akan memberi persen
padamu. Ada babi gemuk tidak disini?”
“Ditanah pegunungan sunji
tidak ada babi ......”
“Hus,” bentak Po-siang sebelum
Tik Hun melandjutkan njanjianja. “Bitjaralah jang betul, djangan pakai njanji2
segala ......
Maka Tik Hun melelet lidah
sekali dan pura2 mengundjuk lagak djenaka, lalu menjahut dengan suaranja jang
di-bikin2: “A Sam sudah biasa menjanji, kalau bitjara biasa malah kaku rasanja.
Toasuhu, disekitar sini seluas belasan li tiada kampung djuga tiada desa,
djangankan engkau hendak makan babi, sekalipun mentjari sajur dan bubur djuga
susah. Tapi dari sini kira2 sedjauh 15 li kebarat ada sebuah kota ketjil,
disana dapat membeli daging dan arak, ada ikan ada ajam, apa jang Toasuhu
ingin, segala apa djuga dapat dibeli disana, boleh tjoba Toasuhu pergi kesana
sadja.”
Tik Hun insaf waktu ini masih
belum mampu membunuh Po-siang untuk membalas sakit hati batjokannja kepada
majat Ting Tian itu. Maka jang dia harap tjuma moga2 paderi djahat itu mau
pertjaja pada obrolannja dan mentjari makanan ketempat jang dikatakan itu,
dengan demikian ia ada kesempatan untuk melarikan diri dengan membawa majat
Ting Tian.
Akan tetapi hudjan djustreru
tidak mau ber-henti2, sedangkan Po-siang tidak mau kehudjanan lagi, maka
mendadak Po-siang telah membentak: “Baiklah lekas kau pergi mentjarikan sedikit
makanan kalau ada arak dan daging lebih baik, kalau tidak, boleh djuga sembelih
seekor ajam atau bebek.”
Tapi Tik Hun sedang memikirkan
bagaimana keadaan majat sang Toako itu, maka sambil berkata tadi ia terus
melangkah masuk djuga kedalam kelenteng. Ia lihat djenazah Ting Tian sudah
diseret keluar oleh Po-siang, pakaian djenazah itu tampak kumal dan
tjompang-tjamping tak keruan, terang sudah pernah digeledah oleh Po-siang.
Dalam gemas dan dukanja, betapapun Tik Hun ingin menahan perasaan djuga
takbisa, maka dengan putus2 ia berkata: “Di ..... disini ada orang mati, apakah
....... Toasuhu jang membunuhnja?”
Melihat perubahan wadjah Tik
Hun itu, Po-siang menjangka sigundul itu mendjadi ketakutan melihat orang mati.
Maka dengan menjengir ia mendjawab: “Bukan aku jang membunuhnja. Boleh tjoba
kau periksa dia, siapakah orang ini? Apa kau kenal dia?”
Tik Hun terkedjut, ia mendjadi
takut karena menjangka dirinja dikenali. Tjoba kalau bukan bertekad hendak
melindungi djenazah Ting Tian, boleh djadi ia sudah angkat langkah seribu. Maka
sedapat mungkin ia tjoba tenangkan diri dan mendjawab: “Potongan orang ini
sangat aneh, bukan orang kampung sini.”
“Sudah tentu ia bukan orang
kampung sini,” udjar Po-siang dengan tertawa. Dan mendadak ia membentak: “Ajo,
lekas pergi mentjarikan sedikit makanan. Kau tidak turut perintahku, apa minta
kugetjek kepalamu?”
Melihat keadaan Ting Tian toh
baik2 sadja, Tik Hun merasa lega, maka ber-ulang2 ia mengiakan sambil putar
tubuh hendak keluar kelenteng, pikirnja: “Sementara ini biar aku menjingkir
pergi sadja, asal setengah hari aku tidak datang kembali, karena kelaparan,
tentu dia akan pergi mentjari makanan sendiri, tidak mungkin ia akan membawa
serta Ting-toako. Apalagi dia geledah badan Ting-toako dengan hasil nihil,
tentu dia akan putus harapannja.”
Tak terduga, baru beberapa
langkah ia berdjalan, mendadak Po-siang membentak pula: “Berhenti! Kau hendak
kemana?”
“Bukankah Toasuhu minta
ditjarikan barang makanan?” sahut Tik Hun.
“Ehm, bagus, bagus!” kata
Po-siang. “Dan berapa lama baru engkau dapat kembali?”
“Hanja sebentar sadja,
selekasnja tentu aku akan kembali,” sahut Tik Hun pula.
“Baiklah, boleh kau pergi
lekas!” udjar Po-siang.
Sebelum melangkah keluar, Tik
Hun menoleh pula untuk memandang sekedjap kepada djenazah Ting Tian, habis itu
baru ia bertindak pergi. Tapi baru dua tindak ia berdjalan, tiba-tiba terasa
ada angin menjambar dari belakang, menjusul “plak-plok” dua kali, kedua belah
pipinja masing2 telah kena ditampar sekali.
Untung Po-siang menjangka
sibotak itu pasti seorang desa jang tidak paham ilmu silat, maka tjara
tempilingnja tidak tidak terlalu keras; Dan untung djuga gerak serangan
Po-siang teramat tjepat, sekali pukul sudah kena sasarannja hingga Tik Hun sama
sekali tidak sempat berkelit. Kalau tidak, tentu rahasia Tik Hun akan ketahuan,
sebab otomatis pemuda itu pasti akan berusaha menghindar dan lupa bahwa dirinja
harus berlagak bodoh.
Begitulah Tik Hun mendjadi
kaget. “Kenapa kau ...... kau ....” tanjanja dengan tergagap. Sedangkan dalam
hati telah ambil keputusan: “Pabila engkau telah mengetahui rahasiaku, terpaksa
aku mengadu djiwa dengan kau.”
Tapi didengarnja Po-siang
telah membentak: “Kau membawa uang berapa banjak? Tjoba keluarkan ingin
kulihat!”
Tik Hun melengak sekedjap oleh
pertanjaan itu, sahutnja gugup “Aku ..... aku ....”
“Hm, badanmu telandjang
begini, orang rudin matjammu masakan punja uang. Potongan seperti kau ini apa
djuga mungkin dapat memindjam atau utang pada orang lain? Hm, kau bilang akan
mentjari makanan, tapi sebenarnja kau hendak menggelojor pergi bukan?”
Mendengar itu, Tik Hun
mendjadi lega malah. Njata paderi djahat itu tjuma menjangka dia hendak
melarikan diri sadja.
Maka Po-siang telah berkata
pula: “Kau sigundul ini tadi mengatakan bahwa sekeliling sini tiada sesuatu
kampung dan tempat tinggal orang, lalu kemana engkau hendak membeli makanan
serta dapat kembali dalam waktu sebentar. Hm, hm, bukankah kau sengadja
membohong? Ajo, mengaku terus terang sebenarnja apa tudjuanmu.”
“Sebab ...... sebab aku takut
pada Toasuhu dan ... dan ingin lari pulang,” sahut Tik Hun dengan sengadja
gelagapan.
Po-siang ter-bahak2 senang, ia
tepuk2 simbar dadanja jang berbulu hitam ketat itu sambil berkata: “Takut apa?
Takut aku akan makan dirimu?”
Dan karena menjebut soal
“makan”, seketika perut Po-siang berkerontjongan hingga laparnja susah ditahan.
Padahal sesudah terang tanah, lebih dulu antero pelosok kelenteng itu sudah
digeledahnja, tapi tiada setitik makanan apapun jang diperolehnja. Maka
komat-kamit ia telah menggumam sendiri: “Takut aku makan dirimu? Takut kumakan
dirimu?” ~ sambil menggumam, tiba2 sorot matanja mendjadi bengis sambil
mengintjar diri Tik Hun.
Keruan Tik Hun mengkirik, ia
dapat membade apa jang sedang dipikir oleh paderi djahat itu.
Dan memang saat itu Po-siang
sedang memikir: “Ehm, daging manusia memangnja enak djuga, hati manusia lebih2
lezat. Ha, kebetulan didepan mata ini ada seekor ‘babi’, mengapa aku tidak
menjembelihnja sekarang djuga?”
Sebaliknja diam2 Tik Hun
sedang mengeluh: “Wah, tjelaka! Kalau aku dibunuh olehnja tidak mendjadi soal,
tapi melihat gelagatnja, paderi djahat ini agaknja hendak menjembelih aku untuk
dimakan. Wah inilah sangat penasaran, bagaimanapun aku harus melawannja.”
Akan tetapi sekali melawan
tentu akan terbunuh, dan sesudah dibunuh tetap ia akan mendjadi isi perut
paderi itu. Apa bedanja melawan dan tidak?
Dalam pada itu setindak demi
setindak Po-siang sudah mendekati Tik Hun dengan wadjah jang menakutkan, dan
pemuda itupun setindak demi setindak main mundur kebelakang.
“Hehe, kau terlalu kurus,
tinggal tulang belaka, kalau dimakan tentu tidak enak rasanja,” demikian
Po-siang ketawa ter-kekeh2. “Tetapi terpaksa, babi gemuk tidak ada, babi kurus
djuga bolehlah!” ~ dan begitu tangannja mendjulur, segera lengan kiri Tik Hun
kena dipegangnja.
Se-kuat2nja Tik Hun meronta,
namun tidak mungkin terlepas lagi. Sesaat itu ia mendjadi kuatir dan takut tak
terkatakan. Sesudah menderita siksaan lahir-batin selama beberapa tahun ini,
baginja kematian sendiri bukan soal lagi, tapi bila membajangkan bakal dimakan
mentah2 oleh paderi djahat itu, halini benar2 membuatnja mengkirik.
Dasar watak Po-siang itu
ternjata sangat djahat dan kedjam, tapi djuga malas. Ia lihat Tik Hun sudah
pasti takdapat melarikan diri dan merupakan daging jang tinggal ditjaplok
sadja, ia pikir lebih baik suruh pemuda itu memasak air dulu, habis itu barulah
menjembelihnja. Ia merasa sajang pemuda itu tidak dapat menjembelih diri
sendiri, lalu mengolah pula satu porsi Ang-sio-lang-bak (bistik daging manusia)
dan dihaturkan kepadanja untuk dimakan tanpa repot2 sendiri.
Maka katanja kemudian: “Tjara
aku menjembelih dirimu dua djalan. Pertama kuiris daging pahamu sepotong demi
sepotong untuk dibuat daging panggang sambil memakannja, hal ini tentu akan
membuat kau banjak lebih menderita kesakitan. Tjara kedua jalah sekaligus
membunuh kau untuk dimasak dan dan dibuat sop daging. Nah, menurut kau, tjara
mana jang lebih enak?”
“Sudah tentu daging panggang
lebih enak,” djawab Tik Hun tanpa pikir. Tapi segera ia tekap mulutnja sendiri
ketika teringat jang akan didjadikan daging panggang adalah dirinja sendiri.
Achirnja ia terus ber-teriak2: “Lebih baik kau lekas……lekas bunuh aku sadja,
kau …. kau ….. paderi djahat ……” ~ dengan gusar sebenarnja ia terus ingin
mentjatji maki, tapi kuatir pula kalau2 paderi itu mendjadi murka hingga
dirinja akan disiksa lebih berat, maka achirnja ia mengurungkan maksudnja.
Dalam pada itu Po-siang sudah
lantas berkata dengan tertawa: “Benar, benar! Pintar benar engkau ini, segala
apa tahu. Memang daging panggang lebih enak. He, A Sam, pergilah kedapur sana
dan ambil kuali besi itu kemari, isi pula kuali itu dengan air.”
Sudah terang Tik Hun tahu
kuali itu akan digunakan untuk memasak dirinja, tapi ia toh masih tanja: “Untuk
apa kuali itu?”
“Hehe, hal ini tak perlu kau
tanja,” sahut Po-siang dengan tertawa. “Nah lekas pergi sana, lekas!”
“Hendak masak air, biarlah
kumasak didapur sadja, kuali itu terlalu berat, dibawa kesini djuga tidak
leluasa,” udjar Tik Hun.
“Keparat! Apa jang kuperintahkan
harus segera kau kerdjakan tahu? Kau berani membangkang?” bentak Po-siang
dengan gusar. Berbareng ia tempiling Tik Hun sekali.
Sambil memegangi pipinja jang
merah begap itu, belum lagi Tik Hun sempat memikir, menjusul Po-siang telah
mendepaknja pula hingga pemuda itu terguling.
Tapi sesudah dihadjar, otak
Tik Hun mendjadi tadjam mendadak, pikirnja: “Daripada mati konjol, biarlah aku
melabrak dia mati2an. Dia suruh aku masak air, inilah kesempatan baik malah,
nanti kalau air dalam kuali sudah mendidih, diluar dugaannja segera kusiram
badannja. Dia telandjang bulat, mustahil takkan melotjot dan mati terbakar?”
Dengan keputusan itu, ia
mendjadi bersemangat dan tidak takut2 pula. Dengan menunduk ia lantas menudju
kedapur dan membawa keluar sebuah kuali butut. Kemana dia pergi, selalu
Po-siang mengintil dibelakangnja, rupanja paderi itu kuatir kalau2 Tik Hun
melarikan diri.
Kuali butut itu bagian atas
sudah gempil, maka hanja setengah kuali sadja dapat diisi air. Dengan
sendirinja kekuatan setengah kuali air mendidih kurang lihay daripada air
mendidih sekuali penuh, boleh djadi Po-siang takkan mati tersiram, tapi umpama
paderi itu tidak lantas mati, kalau bisa membuatnja melotjot dan kedjat2 djuga
bolehlah. Kemudian bila perlu biarlah aku membunuh diri dengan membenturkan
kepalaku kedinding, walaupun harus disesalkan kewadjibanku untuk melaksanakan
tjita2 Ting-toako agar dikubur bersama Leng-siotjia tak terlaksana, tapi
keadaan tidak mengidinkan lagi, apa mau dikata? Demikian pikir Tik Hun.
Dengan kuali besi itu Tik Hun
menadahi air hudjan diemperan, sampai air sudah luber keluar melalui lubang
gempil kuali itu, barulah Tik Hun membawanja kembali kedalam ruangan.
“Ehm, bagus!” tiba2 Po-siang
memudji. “Botak A Sam, sebenarnja aku merasa sajang untuk makan dirimu. Tjara
kerdjamu ini tjepat dan tjekatan, sungguh seorang pekerdja jang baik.”
“Terima kasih atas pudjian
Toasuhu,” sahut Tik Hun dengan senjum pahit.
Lalu ia kumpulkan beberapa
potong bata dan ditumpuk sebagai tungku. Ia tumpangkan kualinja keatas tungku
darurat itu. Didalam kelenteng bobrok itu banjak terdapat medja kursi rusak,
karena buru2 ingin menjiram Po-siang dengan air mendidih, maka kerdja Tik Hun
mendjadi sangat tjepat, ia djemput potongan kaki kursi dan medja dan
didjedjalkan kedalam tungku.
Tapi ia lantas kebentur
kesulitan, jaitu tiada api. Didalam kelenteng bobrok seperti itu sudah tentu
susah diperoleh bibit api, sedangkan alat ketikan api jang dibawa Po-siang
sudah basah-kujup oleh air hudjan. Waktu buru2 melarikan diri dari pendjara,
Tik Hun sendiri djuga tidak membawa apa2.
Karena tak berdaja, terpaksa
Tik Hun angkat bahu sambil pentang kedua tangan kearah Po-siang sebagai tanda
tanja?
“Kenapa? Tidak ada api? Eh, ja
aku ingat dibadannja ada,” seru Po-siang sambil menundjuk majat Ting Tian.
Dan baru sekarang Tik Hun
dapat melihat djelas paha Ting Tian ternjata hantjur bekas kena batjokan
Po-siang, seketika ia naik darah, ia menoleh dan pandang paderi itu dengan
melotot penuh kebentjian, kalau bisa, sungguh ia ingin menubruk madju terus
gigit paderi djahat itu se-puas2nja.
Tapi mirip kutjing
mempermainkan tikus. Po-siang djusteru ingin menggoda dulu pemuda itu, habis
itu baru akan memakannja. Maka terhadap kegusaran Tik Hun itu, sama sekali ia
tidak ambil pusing, katanja dengan ketawa2: “Hajolah, kenapa engkau tidak tjoba
mentjarinja? Kalau tiada api, terpaksa Toahwesio boleh djuga makan daging
mentah.”
Tik Hun tjoba berdjongkok dan
menggagapi badjunja Ting Tian, benar djuga diperolehnja dua potong benda
ketjil. Jang satu ternjata adalah besi ketikan dan jang lain batu api. Diam2 ia
heran: “Waktu kami berada bersama didalam pendjara, Ting-toako toh tidak punja
benda2 seperti in, lantas dari manakah diperolehnja?”
Waktu ia membalik besi ketikan
itu tiba2 terlihat sebaris huruf ukiran, jalah nama dari pembuat besi ketikan
api itu: Lo-hap-hin-ki Hengtju.
Tik Hun ingat nama itu adalah
merek bengkel besi jang pernah dimasukinja bersama Ting Tian waktu malam2
mereka melarikan diri dari pendjara, disana mereka telah minta sipandai besi
memotong belenggu. Kiranja sesudah keluar pendjara, Ting Tian tahu setiap saat
sangat membutuhkan bibit api, maka sekalian ia telah sambar besi ketikan dan
batu api didalam bengkel itu.
Begitulah Tik Hun memandangi
besi ketikan itu sambil mengelamun: “Pikiran Ting-toaku benar2 sangat tjermat.
Alat ketikan api ini sebenarnja dimaksudkannja untuk dipakai waktu mengembara
Kangouw bersama aku, siapa duga belum pernah sekali terpakai, Ting-toako
sendiri sudah keburu meninggal.” ~ Dan karena terkenang kepada Ting Tian, tak
tertahan lagi air mata Tik Hun meleleh keluar.
Po-siang sama sekali tidak
mentjurigai pemuda itu adalah saudara angkat Ting Tian, ia mengira pemuda itu
mendjadi sedih karena insaf sebentar lagi djiwanja akan melajang, makanja
menangis.
“Hahahaa!” Po-siang
ter-bahak2. “Toahwesio ini berbadan emas, mungkin redjekimu teramat besar,
makanja dapat memakai usus Toahwesio sebagai peti mati dan mendjadikan perut
Toahwesio sebagai tempat kuburmu. Sebenarnja kau harus bersjukur redjeki jang
besar ini, kenapa malah menangis! Nah, lekasan menjalakan apinja!”
Tanpa bitjara Tik Hun
men-tjari2 bahan penjulut lagi. Achirnja dapat diperolehnja segebung sisa
kertas Tjiam-si jang sudah kuning tua. Segera ia mengetik api untuk menjulut
kertas Tjiam-si itu, pelahan2 kaju dibawah kuali ikut terbakar djuga. Ketika
kertas2 Tjiam-si itu terdjilat api, samar2 huruf2 Tjiam-si jang tadinja
tertutup debu itu lantas kelihatan, Tik Hun melihat matjam2 ramalan jang
tertulis diatas Tjiam-si itu. Akan tetapi Tik Hun lagi bingung sebentar tjara
bagaimana harus menjiram Po-siang dengan air panas. Biarpun diatas Tjiam-si
waktu itu timbul ramalan “nomor buntut” jang bakal keluar djuga takkan menarik
baginja.
Lambat laun air dalam kuali
mulai membuih, Tik Hun tahu tidak lama lagi air godok itu pasti akan mendidih.
Ia mendjadi tegang, sebentar2 ia pandang air panas itu dan lain saat pandang2
perut Po-siang jang telandjang itu. Ia pikir mati-hidupnja tergantung sekedjap
lagi, tanpa merasa kedua tangannja mendjadi gemetar.
Benar djuga, tidak lama
kemudian, asap putih mulai mengepul, air kuali sudah bergolak dengan mendidih.
Tanpa ajal lagi
Tik Hun terus berbangkit,
begitu kedua tangannja memegang kuali, segera isi kuali akan digebjurkan keatas
kepala Po-siang.
Tak terduga, baru sadja
badannja bergerak, seketika lantas diketahui djuga oleh Po-siang, setjepat
kilat paderi itu masih keburu memegangi tangan Tik Hun sambil membentak dengan
bengis: “Apa jang hendak kau lakukan?”
Tik Hun tidak dapat berbohong,
maka sekuatnja ia masih berusaha menjiramkan air mendidih itu kebadan Po-siang.
Akan tetapi tangannja terasa seperti didjepit tanggam karena dipentjet oleh
tangan Po-siang, hingga sedikitpun takbisa berkutik. Pabila Po-siang mau
gebjurkan air panas itu keatas kepala Tik Hun, tjukup ia betot sekali sadja
pasti akan djadi, tapi ia merasa sajang pada air masak itu, bila Tik Hun
tersiram mati, tentu dia harus memasak air lagi, hal ini jang mendjadi
keberatannja.
Maka sekuatnja ia tahan tangan
Tik Hun kebawah hingga kuali itu tertaruh ketempat semula, ia membentak:
“Lepaskan tanganmu!”
Akan tetapi Tik Hun tetap
tidak mau melepaskan kuali itu, sekuatnja ia hendak merebut lagi. Tapi, ketika
kepalan Po-siang menjambar, “blang”, kontan Tik Hun terpental dan tersungkur
masuk kebawah altar Toapekong dengan kepala lebih dulu.
“Hajo, lekas keluar!” bentak
Po-siang. “Lotju akan menjembelih kau, lekasan kau tjopot pakaianmu sendiri,
supaja Lotju tidak usah repot.”
Tapi Tik Hun masih tjelingukan
kian kemari dengan maksud hendak mentjari sesuatu alat untuk gaman, dengan
begitu dapat mengadu djiwa dengan Po-siang. Mendadak dilihatnja dibawah altar
itu terdapat dua ekor tikus jang menggeletak dengan perut membalik keatas,
tampaknja binatang2 itu masih bergerak dengan kedjat2, djadi belum mati benar2.
Seketika Tik Hun seperti
melihat sinar didalam kegelapan, terus sadja ia berteriak: “Toasuhu, djangan
membunuh aku dulu. Aku telah berhasil menangkap dua ekor tikus, biar kumasak
sop tikus untukmu, mau tidak?”
“Apa katamu? Tikus? Hidup atau
mati?” tanja Po-siang.
Siapapun sudah pasti tidak
sudi makan tikus mati, maka Tik Hun tjepat mendjawab: “Sudah tentu tikus hidup,
lihatlah ini, masih bergerak dia, tjuna sudah sekarat karena kupentjet,” ~
sembari berkata ia lantas pegang tikus2 itu.
Dahulu Po-siang sudah pernah
makan tikus, ia kenal daging tikus tjukup lezat tiada ubahnja seperti daging
babi. Ia lihat dua ekor tikus itu tidak gemuk, mungkin disebabkan kurang
makanan didalam kelenteng itu. Untuk sedjenak Po-siang mendjadi ragu2.
“Toasuhu,” tjepat Tik Hun
menjusuli, “biarkan aku menjembelih tikus2 ini dan masak sop jang enak bagimu.
Habis makan, tanggung engkau akan minta tambah lagi.”
Dasar Po-siang seorang
pemalas, suruh dia masak makanan sendiri, mungkin dia lebih suka menderita
lapar. Kini mendengar Tik Hun hendak masak sop tikus untuknja, tentu sadja
kebetulan baginja. Maka sahutnja: “Tapi tjuma dua ekor, tidak tjukup, hajolah
kau tangkap lagi beberapa ekor.”
Tik Hun pikir ilmu silatnja
sekarang sudah musnah, tjara bagaimana sanggup menangkap tikus hidup lagi? Tapi
betapapun sekarang ada kesempatan hidup baginja, hal ini tidak boleh
di-sia2kan, maka tjepat sahutnja: “Toasuhu, biar kumasak dulu kedua ekor ini,
habis itu akan kutangkap lagi beberapa ekor jang lain.”
Po-siang mengangguk, katanja:
“Boleh djuga, dan kalau aku dapat makan kenjang, untuk mengampuni djiwamu djuga
tidak mendjadi soal.”
Terus sadja Tik Hun merajap
keluar dari bawah altar, katanja kemudian: “Tolong pindjam golok Toasuhu itu
untuk memotong tikus2 ini.”
Sudah tentu Po-siang tidak
memandang sebelah mata terhadap sigundul desa jang ke-tolol2an ini, ia lihat
kedua ekor tikus jang dibawa keluar Tik Hun itu meamang betul masih dapat
kedjat2, terang bukan tikus mati, maka sahutnja sambil menuding goloknja: “Ja,
boleh pakailah!” ~ Tapi segera ia tambahkan lagi: ”Dan kalau kau berani, boleh
tjoba seranglah pada Lotju.
Dalam pikiran Tik Hun memang
ada maksud setelah memegang golok terus akan menjerang paderi djahat itu, tapi
karena kena ditondjok lebih dulu, ia mendjadi tidak berani sembarangan berkutik
lagi. Segera ia gunakan golok itu untuk memotng kepala tikus, membelih perut
dan mengeluarkan isinja serta membeset bersih kulit tikus itu, setelah ditjutji
pula dengan air hudjan, lalu ia masukan kedalam kuali.
“Ehm, bagus, bagus!” demikian
Po-siang mengangguk dan memudji: “Kau sibotak ini memang pandai masak sop
tikus. Nah, lekas pergi menangkap lagi beberapa ekor.”
Tjepat Tik Hun mengia terus
bertindak keruangan belakang. Dalam hati ia pikir selama gunung masih
menghidjau, takkan kuatir tiada kaju bakar. Asal masih hidup, tentu masih bisa
berdaja untuk menjelamatkan djenazah Ting-toako dan mentjari kesempatan untuk membunuh
paderi djahat itu.
Tiba2 Po-siang menteriakinja
lagi: “Dan awas ja! Kalau kau berani lari, sebentar akan kusajat dagingmu
sepotong demi sepotong untuk makananku.”
“Djangan kuatir, Toasuhu,”
sahut Tik Hun sambil menoleh, “kalau tiada tikus, akan kutangkapkan kodok,
kalau tiada kodok, didalam sungai masih banjak ikan dan udang, di-mana2 masih
banjak makanan, pasti aku akan melajani engkau dengan baik2, kenapa mesti makan
diriku?”
“Hm,” djengek Po-siang. “”Tapi
harus tjepat! Eh, kau dilarang keluar kelenteng, tahu?”
Dengan suara keras Tik Hun
mengiakan pula, lalu berdjongkok dilantai pura2 mentjari tikus, tapi pelahan2
ia mengendap kebelakang kelenteng. Ia lihat hudjan masih belum reda, untuk
melarikan diri dari tangan djahat paderi itu terang suatu usaha jang sulit.
Untuk sedjenak ia tjelingukan
kesana dan kesini untuk mentjari sesuatu tempat sembunji. Tiba2 dilihatnja
tidak djauh disebelah kiri sana ada sebuah empang ketjil. Tanpa pikir lagi Tik
Hun terus berlari kesana dan pelahan2 merosot kedalam empang, tinggal hidung
dan mulutnja jang masih mengapung diatas permukaan air untuk bernapas. Ia raup
pula kapu2 dan rumput air untuk mengalingi hidungnja agar tidak kelihatan dari
atas.
Sedjak ketjil Tik Hun hidup
dipedesaan jang banjak sungai, maka ia sangat mahir berenang. Tjuma sajang
kelenteng itu agak djauh dari Tiang-kang, kalau dekat, sekali ia terdjun
kedalam sungai dan menghanjutkan diri menurut arus, tentu Po-siang takkan mampu
mengedjarnja.
Begitulah Tik Hun bersembunji
didalam empang itu. Agak lama kemudian, tiba2 terdengar suara panggilan
Po-siang: “Hai A Sam! Dimana kau A Sam? Sudah dapat menangkap tikus belum?”
Tapi karena tiada sahutan
apa2, achirnja paderi itu mentjatji maki. Tik Hun tjoba miringkan telinga kanan
kepermukaan air untuk mendengarkan gerak-gerik musuh, ia dengar Po-siang sedang
memaki dengan kata2 kotor, bahkan 18 keturunannja djuga ditjatjinja habis2an.
Habis itu, terdengar suara tindakannja, njata paderi itu telah keluar kelenteng
untuk mentjarinja.
Hanja sebentar sadja terdengar
Po-siang sudah dekat dengan empang itu. Keruan Tik Hun tidak berani menongolkan
kepalanja lagi, tjepat ia pentjet hidung sendiri dan selulup kedalam air.
Untung empang itu tidak terawat dan penuh tumbuh kapu2 dan alang2, dari atas
tidak mudah untuk melihatnja.
Hlm 27: Gambar:
Sesudah didalam empang Tik Hun
berbalik dapat menjeret Po-siang dan menahan kepala paderi itu kebawah air
hingga Po-siang kerupukan.
Namun demikian, achirnja Tik
Hun tidak tahan djuga dan terpaksa harus menongol kepala untuk bernapas. Siapa
duga, baru sadja hidungnja menghirup hawa sekali, se-konjong2 tengkuknja sudah
kena ditjengkeram oleh sebuah tangan. Lalu terdengarlah suara dampratan
Po-siang dengan gusar: “Setan, sekarang engkau akan lari kemana? Kalau aku
belum tjintjang kau mendjadi baso rasaku tidak puas. Nah, masih kau berani
lari?”
Tapi Tik Hun tidak menjerah
mentah2, tangannja membalik terus balas membetot lengan Po-siang dengan
se-kuat2nja sambil menariknja kedalam empang.
Sudah tentu Po-siang tak
menduga bahwa Tik Hun akan nekat dan berani menggelutnja malah. Apalagi ditepi
empang itu banjak lumpur dan litjin, sekali terpeleset, tanpa ampun lagi iapun
terseret njemplung kedalam empang.
Tik Hun sangat girang, ia
pikir bila sudah sama2 berada didalam air, itu berarti ada harapan untuk gugur
bersama. Maka se-kuat2nja ia tahan kepala Po-siang dan berusaha di-djeblos2kan
kedalam air. Tjuma sajang air empang itu agak tjetek, sedang perawakan Po-siang
tinggi-besar, air empang tidaak sampai menggenangi kepalanja. Maka begitu
terperosot kedalam empang, terus sadja paderi itu pegang tangan Tik Hun,
menjusul tangan kiri membalik keatas hingga kepala Tik Hun jang terpegang dan
disilamkan kedalam air malah.
Tapi Tik Hun memangnja sudah nekat.
Meski kepalanja terendam air, se-kuat2nja ia tetap pegang kentjang2 tubuh
Po-siang, biarpun mati djuga takkan dilepaskannja.
Karena itu, Po-siang mendjadi
kewalahan hingga seketikapun takbisa berbuat apa2. Saking gusarnja ia terus
memaki, tapi begitu mulutnja mengap, sedikit Tik Hun meronta, mau-tak-mau
Po-siang kena ditjekoki air empang jang kotor. Dalam murkanja terus sadja
Po-siang menghantam serabutan kepunggung Tik Hun.
Walaupun pukulan Po-siang itu
terhalang dulu oleh air empang, tapi Tik Hun masih merasa sangat kesakitan. Ia
taksir bila kena digebuk lagi beberapa kali, tentu dirinja akan kelengar.
Sedangkan sama sekali ia takdapat balas menghantam, terpaksa ia gunakan
kepalanja untuk menumbuk perut Po-siang.
Begitulah sedang kedua orang
itu bergulat didalam empang, se-konjong2 Po-siang mendjerit sekali, tangannja
jang mentjengkeram Tik Hun lambat-launpun kendor, kepalan jang sudah terangkat
hendak menggebuk itupun pelahan2 menurun kebawah, menjusul tubuhnja berkedjat
sekali terus roboh kedasar empang.
Tik Hun mendjadi heran, tjepat
ia merajap bangun, ia lihat Po-siang sudah tidak bergerak sedikitpun, terang
sudah mati. Dalam keadaan masih ragu2 ia tidak berani menjentuh tubuh Po-siang
itu, tapi ia berdiri agak djauh untuk melihat gelagat dulu.
Tapi sampai lama tetap
Po-siang tidak bergerak melainkan telentang kaku didalam empang, terang paderi
djahat itu benar2 sudah mati. Namun Tik Hun masih belum lega, segera ia djemput
sepotong batu dan disambitkan keatas tubuh Po-siang, melihat tiada reaksi apa2,
barulah ia jakin paderi itu sudah binasa.
Lalu Tik Hun merangkak ketepi,
ia tidak mengerti sebab apakah Po-siang mendadak mati. Tiba2 terkilas suatu
pikiran dalam benaknja: “He, apakah barangkali Sin-tjiau-kang jang kulatih
telah mulai mengundjukan kesaktiannja diluar tahuku? ~ Apakah karena kepalaku
menumbuk beberapa kali diperutnja, lalu ia terbinasa?”
Begitulah Tik Hun berdiri
ter-mangu2 ditepi empang, ia hampir tidak pertjaja kepada matanja sendiri
terhadap apa jang dilihatnja waktu itu. Ia tjoba djalankan tenaga murni
sendiri, ia merasa tenaga dari Siau-yang-keng-meh dibagian betis itu dapat
berdjalan sampai di “Ngo-li-hiat” bagian paha, lalu tidak mampu mengalir keatas
lagi. Sedangkan Hiat-to bagian tangan djuga begitu, djuga terhalang. Bahkan
rasanja lebih mundur tenaga dalam itu daripada waktu masih didalam pendjara. Ia
pikir mungkin disebabkan paling achir ini hidup dalam keadaan merana dan ilmu
itu terlantar tak terlatih. Akan tetapi suatu hal adalah pasti, jalah untuk
mejakinkan Sin-tjiau-kang hingga sempurna, tempo jang diperlukan masih selisih
terlalu djauh.
Setelah ter-menung2 agak lama,
achirnja Tik Hun kembali kekelenteng bobrok itu. Ia lihat api unggun dibawah
kuali itu sudah sirap, disamping kuali ternjata ada dua ekor tikus mati lain,
kedua tikus itupun menggeletak terbalik dengan perut diatas, kaki dan
telinganja tampak masih kedjat2. Pikir Tik Hun: “Eh, kiranja Po-siang sendiri
telah berhasil menangkap dua ekor tikus lagi, tapi belum sempat menikmati sudah
keburu kubinasakan.”
Ia lihat didalam kuali itu
masih ada sisa sedikit kuah, jaitu sop tikus jang tadi dimasaknja sendiri itu.
Memangnja ia sendiridjuga sudah kelaparan, segera ia angkat kuali itu terus
hendak diminumnja. Tapi baru kuali itu mendekat mulutnja, mendadak hidungnja
terendus sematjam bau harum jang aneh.
Untuk sesaat Tik Hun tertegun
sambil memegangi kuali itu, ia merasa heran: “Bau harum apakah ini? Rasanja aku
sudah pernah mengendusnja pasti ini bukan bau harum jang baik.”
Dan pada saat itu djuga,
se-konjong2 sinar kilat berkilauan, menjusul beledek menggelegar dengan sangat
keras. Tik Hun terkaget dan seketika otaknja mendjadi terang, serunja: “Ai,
masih untung!” ~ dan begitu tangannja mengipatkan, segera kuali butut itu
bersama sisa sop tikus itu dibuangnja ke Tjimtjhe.
Lalu ia putar tubuh kehadapan
djenazah Ting Tian, katanja sambil mengembeng air mata: “Banjak terima kasih,
Ting-toako meski engkau sudah pulang kealam baka, tapi kembali engkau telah
menolong djiwa Siaute pula.”
Kiranja pada sedetik kilas itu
Tik Hun mendjadi paham sebab musabab matinja Po-siang.
Setelah Ting Tian keratjunan
“Hud-tjo-kim-lian” jang lihay itu antero tubuhnja mendjadi berbisa. Maka
setelah djenazahnja kena dibatjok oleh Po-siang, tikus2 itu telah menggeragoti
hantjuran daging dari luka batjokan itu. Habis makan daging manusia, tikus itu
mendjadi ikut keratjunan, ketika Po-siang masak sop tikus, menjusul iapun
keratjunan. Makanja waktu mereka bergulat didalam empang, mendadak Po-siang
terbinasa. Kini didepan kuali itu terdapat pula menggeletak dua ekor tikus,
terang binatang2 itupun disebabkan keratjunan.
Diam2 Tik Hun sangat
bersyukur, pikirnja: “Tjoba kalau terlambat sedikit datangnja kesadaranku,
pasti sop ratjun itu sudah habis kuminum.”
Sudah beberapa kali Tik Hun
telah putus asa dan bosan hidup tapi kini njaris modar dari sop ratjun itu, ia
mendjadi bersyukur dapat selamat. Waktu itu udara masih diselimuti awan mendung
jang pekat disertai hudjan jang mentjurah bagai dituang, tapi hati Tik Hun
djusteru merasa menemukan sinar harapan, ia merasa asal dapat mempertahankan
hidupnja, tentu akan datang kebahagiaan jang tak terbatas.
Begitulah sesudah menenangkan
diri, lalu Tik Hun membenarkan djenazah Ting Tian kepodjok ruangan kelenteng,
ia keluar dengan kehudjanan untuk menggali sebuah liang untuk mengubur
Po-siang.
Setiba kembali didalam
kelenteng, ia lihat pakaian Po-siang masih mentjantel dimedja sembajang, diatas
medja tertaruh sebuah bungkusan kain minjak serta ada belasan tahil uang perak
pula.
Karena ketarik, Tik Hun tjoba
membuka bungkusan kain minjak itu, ia lihat bungkusan itu berlapis dua kali,
setelah dibuka pula, ia lihat isinja adalah sedjilid buku ketjil jang sudah
kekuning2an sampul buku itu tertulis beberapa baris huruf jang aneh, entah
huruf negeri mana, jang terang bukan tulisan Han.
Ia tjoba mem-balik2 buku itu,
ia lihat halaman pertama terlukis sebuah gambar seorang laki2 kurus dan
telandjang, sebelah tangannja menuding kelangit dan sebelah tangan lain
menuding tanah, sikapnja sangat aneh, disamping gambar tertjatat djuga matjam2
tulisan jang berwarna-warni, bentuknja seperti tjebong (berudu).
Hlm. 31: Gambar:
Setiba kembali didalam
kelenteng bobrok itu, tiba2 Tik Hun melihat ditepi kuali ada menggeletak pula
dua ekor tikus jang tertampak masih ber-kedjat2.
Tik Hun melihat potongan laki2
dalam gambar itu djauh berbeda daripada orang Tionghoa, tapi laki2 telandjang
dalam gambar berhidung besar dan bermata tjekung, berambut keriting. Bentuknja
jang luar biasa itu makin dilihat makin aneh, bahkan seakan-akan membawa
sematjam daja tarik bagi jang membatjanja. Maka hanja sebentar sadja Tik Hun
memandang lalu tidak berani melihat terus.
Waktu ia membalik halaman
kedua, ia lihat tetap terlukis laki2 telandjang itu, hanja dalam gaja jang
berbeda. Kini berdiri dengan kaki kiri dalam gaja “Kim-keh-tok-lip” atau djago
emas berdiri dengan kaki tunggal, sedang kaki lain terangkat dan mendjulur
kedepan. Kedua tangan mendjulur kebelakang kepala, tangan kiri memegang telinga
kanan dan tangan kanan memegang telinga kiri.
Ia terus balik2 halaman jang
lain, ia lihat gaja lukisan laki2 telandjang itu makin aneh2 dan banjak
matjamnja. Terkadang kedua tangannja menahan ditanah dengan mendjungkir,
terkadang seperti mengapung diudara, dan matjam2 gaja lainnja. Semakin aneh
gambar laki2 itu, semakin sedikit pula tjatatan tulisan disampingnja.
Waktu ia balik buku itu dan
membuka halaman pertama dari belakang, ia lihat gambar laki2 itu agak
menggelikan. Sekali ini lidahnja tampak sedikit melelet keluar, berbareng mata
kanan membelalak lebar, sebaliknja mata kiri menjipit, dari itulah maka
tampaknja mimik wadjahnja rada lutju.
Karena geli dan ketarik, tanpa
merasa Tik Hun menirukan mimik wadjah gambar itu, iapun melelet lidah sedikit,
mata kanan terbuka lebar dan mata kiri sedikit menjipit. Dan sekali menirukan
perbuatan itu, aneh djuga, rasa mukanja mendjadi segar enak. Waktu ia periksa
gambar itu lebih teliti, lapat2 terlihat diatas tubuh gambar itu terdapat
garis2 ketjil warna abu-abu jang melukiskan Keng-meh (urat nadi) didalam badan
manusia.
Maka tahulah Tik Hun sekarang:
“O, sebabnja laki2 ini dilukiskan telandjang, tudjuannja sengadja hendak
mengundjukkan Keng-meh dalam tubuh setjara lebih terang.”
Waktu Ting Tian mengadjar
Sin-tjiau-kang kepada Tik Hun didalam pendjara dahulu, pernah djuga ia
mendjelaskan kedudukan tiap2 Hiat-to dan Keng-meh dengan terang, sebab
pengetahuan ini djusteru adalah kuntji pertama untuk melatih Lwekang jang
paling tinggi. Maka sambil memandangi garis2 Keng-meh pada gambar laki2 itu,
tanpa merasa iapun mulai mendjalankan tenaga dalamnja hingga terasa satu arus
hawa murni jang lembut telah mengalir keatas melalui Keng-meh2 jang dilihatnja
itu.
Diam2 ia heran mengapa tjara
mendjalankan Keng-meh ini tempatnja djusteru berlawanan dengan adjaran
Ting-toako, mungkin tidak benar ini. Tapi segera terpikir pula olehnja:
“Biarlah ku-tjoba2 sadja sekali rasanja tiada halangan apa-apa?”
Maka terus sadja mengerahkan
tenaga dalamnja lebih teratur menuruti garis2 Keng-meh didalam lukisan. Aneh
bin adjaib, hanja sebentar sadja antero tubuhnja sudah terasa hangat, segar dan
bersemangat.
Dahulu bila dia sedang melatih
Sin-tjiau-kang, pikirannja selalu terpusatkan untuk menghimpun tenaga dalam dan
mengerahkannja, djalannja sangat lambat dan kurang lantjar, tapi sekarang ia
mengerahkan tenaga dalam dengan menurut djalan garis2 Keng-meh diatas gambar,
hanja sekedjap sadja djalannja ternjata sangat lantjar bagai air bah jang tak
terbendung, sedikitpun tidak susah2 dan hawa murni itu terus djalan sendiri.
Terkedjut dan girang pula Tik
Hun, pikirnja: “Mengapa didalam badanku djuga ada Keng-meh seperti didalam
lukisan? Djangan2 Ting-toako sendiri djuga tidak tahu?” ~ Segera terpikir pula
olehnja: “Buku ketjil ini adalah milik Po-siang, lukisan dan tulisan didalam
buku ini djuga sangat aneh dan tidak beres, mungkin bukan sesuatu barang jang
baik, ada lebih baik djangan aku mendjamahnja.”
Akan tetapi hawa jang sedang
berdjalan didalam tubuhnja itu sekarang sudah sangat lantjar dan sajang kalau
terus dihentikan begitu sadja. Maka lantas terpikir pula olehnja: “Ja, dah, aku
hanja main2 sekali ini sadja, lain kali tidak mau lagi.”
Sementara itu dada terasa
lapang, semangat penuh, darah seluruh tubuh mendjadi hangat. Selang sedjenak
lagi, badannja mendjadi enteng rasanja mirip orang habis minum arak, tanpa
merasa tangan dan kakinja ber-gerak2, mulut mengeluarkan suara “uh-uh-uh” jang
pelahan2. Tiba2 kepalanja terasa berat, sekali kabur pandangannja, robohlah Tik
Hun kelantai dan segala apa tak diketahuinja lagi........
Sampai lama dan lama sekali,
lambat laun barulah ia sadar kembali. Waktu ia membuka mata, seketika terasa
silau. Kiranja hudjan sudah lama berhenti, sang surya sedang memantjarkan
sinarnja jang gilang-gemilang.
Tjepat Tik Hun melompat
bangun, ia merasa semangat penuh, antero tubuhnja penuh tenaga baru. Meski
sudah dua hari tidak makan apa-apa, tapi ternjata tidak merasa lapar. Ia pikir:
“Apa mungkin ilmu jang tertjatat didalam buku ini sedemikian bagus paedahnja?
Ah, tidak, tidak! Lebih baik aku tetap melatih menurut adjaran Ting-toako
sadja, ilmu dari kalangan djahat seperti ini bila sampai mendarah daging pada
diriku, boleh djadi akibatnja akan tjelaka.”
Karena itu, buku ketjil itu
diambilnja terus hendak dirobeknja. Tapi setelah terpikir lagi olehnja bahwa
didalam buku itu terdapat banjak sekali ilmu jang aneh2 dan susah didjadjaki,
kalau dirusak begitu sadja rasanja djuga sajang.
Lalu ia bebenah seperlunja. Ia
lihat badju sendiri sudah terlalu rombeng, tidak mungkin digunakan sebagai
penutup badan lagi. Ia lihat badju paderi Po-siang itu masih tergelar dipinggir
medja sembajang dan tampaknja masih baik, segera ia mengambilnja dan dipakai. Tjuma
rambutnja sudah terbubut kelimis, ditambah lagi berbadju paderi, maka miriplah
dia seorang Hwesio. Dari itu ia lantas robek bagian bawah badju paderi jang
pandjang itu, lalu disambung mendjadi seutas ikat pinggang untuk menggubat
pinggang. Ia tjoba periksa dandanannja itu, meski lutju kelihatannja, tapi
tidak sampai telandjang lagi.
Selesai berdandan, Tik Hun
masukan buku ketjil itu dan belasan tahil perak kedalam badjunja. Ia memeriksa
pula buntalan perhiasan pemberian orang jang belum diketahui siapa itu dan
ternjata masih baik2. Lalu ia pondong djenazah Ting Tian keluar kelenteng.
Dan baru sadja belasan meter
ia meninggalkan kelenteng itu, dari depan telah mendatangi seorang petani.
Melihat Tik Hun memondong majat, petani itu mendjadi kaget dan terpeleset
djatuh kesawah ditepi djalan. Karena habis hudjan, sawah itu penuh air lumpur,
seketika petani itu seperti kerbau jang bermandi dikubangan lumpur, tjepat ia
meronta bangun terus lari pergi dengan terbirit-birit.
Tik Hun insaf bila meneruskan
perdjalanan dengan membawa djenazah sang Toako tentu akan terdjadi keonaran
jang susah dibajangkan. Ada maksudnja memusnahkan djenazah Ting Tian, tapi
betapapun ia tidak tega. Untung disekitar situ adalah sawah ladang belaka dan
sepi, dalam perdjalanan selandjutnja tiada ditemui orang lalu lagi.
Tapi tidak lama kemudian,
tiba2 terdengar suara njanji orang jang ramai, dari djauh tampak ada 7-8 petani
sedang mendatangi dengan memanggul patjul. Tjepat Tik Hun melompat ketepi
djalan dan sembunji dibalik alang2 jang lebat. Setelah petani2 itu lewat,
barulah ia berani melandjutkan perdjalanan. Pikir punja pikir, achirnja ia
ambil keputusan: “Kalau aku tidak membakar djenazah Ting-toako, tentu akan
sulit kembali ke Hengtjiu dan tjita2 Ting-toako ingin dikubur bersama Leng-siotjia
akan sulit terlaksana pula.”
Segera ia membiluk kelereng
bukit disebelah kanan sana, ia kumpulkan daun2 kering dan kaju bakar, ia tumpuk
bahan2 bakar itu diatas djenazah Ting Tian, lalu membakarnja. Ketika api mulai
mendjilat rambut dan pakaian Ting Tian, Tik Hun merasa se-akan2 badan sendiri
jang terbakar. Tak tahan lagi ia mendekam ketanah dan menangis
sedih............
Setelah djenazah Ting Tian
sudah terbakar mendjadi abu, dengan chidmat lalu Tik Hun bungkus abu djenazah
itu dengan kain minjak, jaitu bekas pembungkus kitab ketjil tinggalannja
Po-siang itu. Ia robek kain badju pula untuk didjadikan tali pengikat, setelah
bungkusan abu tulang itu terbungkus rapi, ia ikat bungkusan itu dipunggungnja.
Kemudian ia menggali pula sebuah liang ketjil untuk mengubur sisa abu dan
diuruk dengan tanah, ia menjembah beberapa kali kepada liang kubur itu, habis
itu barulah ia tinggal pergi.
Untuk sedjenak ia merasa
bingung kemana harus pergi. Kalau sang guru, jaitu Djik Tiang-hoat, masih hidup
umpamanja, maka sanak keluarga satu2nja didunia ini adalah beliau itulah.
Ia pikir sesudah sang guru
melukai Ban Tjin-san, tentu beliau takkan pulang lagi kekampung halamannja di
Wanling, tapi pasti akan ganti nama dan tukar she serta mengasingkan diri
djauh2. Tapi kini ketjuali pulang mendjenguk kampung halaman Wanling itu, Tik
Hun merasa tiada tempat tudjuan lain jang tepat.
Segera ia balik kedjalan raja,
waktu tanja penduduk setempat, kiranja tempat situ bernama Thia-keh-tjip,
termasuk wilajah Oupak. Kalau hendak menudju ke Oulam, lebih dulu harus
menjeberangi Tiang-kang.
Sampai dikota, Tik Hun membeli
makanan sekedarnja untuk tangsal perut, kemudian ia menudju ketempat
penjeberangan. Terkenang olehnja waktu menjeberang sungai kemarin, ia mesti
berusaha menghindarkan penguberan Po-siang dengan penuh ketakutan. Tapi
sekarang menjeberang kembali dengan tenang dan aman, hanja dalam tempo satu hari
sadja ternjata suasana berbeda seperti langit dan bumi.
Setiba kapal tambangan ditepi
selatan, baru sadja Tik Hun mendarat, tiba2 didengarnja suara ramai2 orang
bertengkar. Menjusul terdengar pula suara gedebukan orang telah saling
berhantam.
Sebagai seorang persilatan,
sudah tentu Tik Hun tertarik oleh perkelahian itu. Segera ia mendekatinja untuk
melihat apa jang terdjadi.
Ia lihat diantara orang2 jang
berkerumun itu ada 7-8 orang sedang mengerubut seorang tua. Kakek itu
berpakaian hidjau dan kopiah tipis, jaitu dandanan kaum pelajan jang lazim.
Sedangkan 7-8 laki2 jang mengerojok itu berbadju tjekak dan bertelandjang kaki,
disamping situ terdapat kerandjang ikan dan timbangan datjin pendek, njata
mereka adalah pendjual ikan.
Tik Hun pikir perkelahian
biasa seperti itu tiada sesuatu jang menarik, dan selagi ia hendak tinggal
pergi, mendadak dilihatnja kakek itu mendepak sekali, kontan seorang laki2
pendjual ikan jang kekar kena ditendang terdjungkal. Kiranja kakek itu bukan
sembarangan kakek, tapi mahir ilmu silat.
Karena itu Tik Hun urung
pergi, ia ingin melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu. Ia lihat hamba tua
itu meski dikerojok, tapi sebentar sadja ada tiga pendjual ikan jang lain kena
dirobohkan pula olehnja. Meski diantara penonton itu masih banjak pendjual2
ikan jang lain, tapi tiada jang berni ikut mengerubut madju lagi.
“Itu dia, kepala sudah datang,
kepala sudah datang!” tiba2 ada orang bersorak.
Maka tertampak dari tepi
sungai sana sedang mendatangi dua pendjual ikan dengan berlari, dibelakang
mereka ada pula tiga orang. Langkah ketiga orang belakangan itu tampaknja
enteng tapi kuat, begitu lihat segera Tik Hun tahu mereka itu mahir ilmu silat.
Sesudah dekat, ternjata ketiga
orang itu dikepalai seorang setengah umur dan berwadjah ke-kuning2an dengan
berkumis tikus. Setelah memandang beberapa kedjap kepada pendjual2 ikan jang
terguling ditanah dan masih me-rintih2 itu, lalu ia berkata: “Siapakah saudara?
Mengandalkan pengaruh siapa, maka engkau berani menganiaja orang di
Hoa-yong-koan sini?”
Utjapan kepala pendjual ikan
itu ditudjukan kepada sihamba tua, tapi matanja djusteru memandang kearah lain.
Kiranja sesudah menjeberang
sungai, kini Tik Hun sudah masuk diwilajah Hoa-yong-koan.
Maka terdengar kakek itu
sedang mendjawab: “Siapa jang menganiaja orang? Aku datang hanja untuk membeli
ikan, membeli dengan kontan!”
“Sebab apa berkelahi?” tanja
kepala itu kepada salah satu pendjual ikan.
“Tua bangka ini memaksa akan
membeli kedua ekor Lehi (ikan kantjra) warna emas ini, kami mengatakan kedua
ekor ikan ini susah memperolehnja dan akan dipakai sendiri untuk dipersembahkan
kepada Kepala, tapi tua bangka ini sangat kasar, ia berkeras ingin beli, kami
tetap tidak mau djual dan dia lantas hendak merebut setjara kasar,” demikian
tutur pendjual ikan itu.
Si Kepala menoleh dan
mengamat-amati sedjenak hamba tua itu, lalu tanjanja: “Apakah kawan saudara itu
terkena Lam-sah-tjiang, bukan?”
Kakek itu tampak terkedjut
dengan wadjah berubah hebat, sahutnja kemudian: “Aku tidak tahu Lam-sah-tjiang
(pukulan tangan biru) atau Ang-sah-tjiang (pukulan tangan merah). Aku tjuma
tahu madjikan suka makan Lehi dan aku disuruh membeli. Aku sudah mendjeladjah
dunia ini dan selamanja tidak pernah dengar bahwa ikan didasaran pendjualnja
dikatakan tidak didjual, ini aturan darimanakah?”
“Hehe, untuk apa saudara mesti
bitjara setjara ber-liku2? Siapakah nama saudara jang terhormat, dapatkah
memberitahu?” kata Kepala itu dengan tertawa dingin. “Djika tjukup bersahabat,
djangankan tjuma dua ekor Lehi warna emas ini, bahkan Tjayhe akan menjumbangkan
sebutir “Giok-ki-wan’ jang chusus dapat menjembuhkan luka Lam-sah-tjiang.”
Kakek itu tambah terkedjut,
selang sedjenak, dengan ragu2 ia menanja: “Siapakah tuan? Darimana kenal
Lam-sah-tjiang dan mengapa punja Giok-ki-wan? Apa barangkali.........
barangkali ........”
“Memang benar, Tjayhe ada
sedikit hubungannja dengan sipemakai Lam-sah-tjian itu,” sahut si Kepala
sebelum utjapan sikakek berachir.
Tanpa bitjara lagi, se-konjong2
kakek itu melompat kesamping, begitu tangan mengulur, segera kerandjang ikan
jang berisi Lehi warna emas itu lantas disambarnja, gerak-geriknja ternjata
sangat gesit dan tjekatan sekali.
“Hm, begitu gampang?” djengek
si Kepala. Berbareng pukulannja lantas dilontarkan kepunggung sikakek.
Tapi sekali kakek itu membalik
tangannja untuk menangkis pukulan, dengan memindjam tenaga benturan itu, terus
sadja ia melesat tjepat kedepan sedjauh beberapa meter, segera ia berlari pergi
sambil mendjindjing kerandjang ikan.
Sama sekali si Kepala tidak
menduga akan tindakan kakek itu, ia menaksir tidak keburu mengedjar lagi,
segera tangannja mengajun, sebuah Am-gi atau sendjata gelap terus menjambar
kepunggung hamba tua itu dengan membawa suara mendesis.
Dengan penuh girang sikakek
jang berhasil merebut Lehi itu sedang berlari setjepatnja kedepan, tak ia duga
bahwa Am-gi jang ditimpukan kepala pendjual ikan adalah sebuah Piau badja jang
berbentuk segi tiga. Timpukannja keras dan menjambarnja djuga sangat pesat. Tampaknja
hamba tua itu sudah pati takkan dapat menghindar dari kematian.
Melihat itu, seketika timbul
djiwa kesatria Tik Hun ingin menolongnja, sekenanja ia sambar sebuah kerandjang
ikan jang berada disampingnja terus dilemparkan kearah Piau badja itu.
Meski ilmu silat Tik Hun sudah
hilang, tenaganja djuga tidak besar lagi, tapi karena berdirinja persis
ditempat jang harus dilalui Piau itu, maka kerandjang jang dilemparkan dari
samping itu dengan tepat sekali mengenai sasarannja. “Brak”, Piau badja itu menantjap
masuk kedalam kerandjang ikan, begitu keras tenaga Kepala pendjual ikan itu
hingga sesudah Piau itu masuk kerandjang toch masih menjelonong kedepan
beberapa meter djauhnja baru kemudian djatuh ketanah.
Mendengar dibelakangnja ada
suara benda djatuh, hamba tua itu lantas menoleh, ia lihat si Kepala pendjual
ikan sedang menuding satu pemuda gundul sambil memaki: “Hai, kau bangsat gundul
tjilik, kau adalah Hwesio liar dari kelenteng mana, berani ikut tjampur urusan
Tiat-bong-pang dilembah Tiangkang sini?”
Tik Hun melengak, ia bingung
mengapa orang memaki dirinja “bangsat gundul tjilik”? Ia lihat si Kepala
pendjual ikan itu sedang marah2 dan menjebut pula “Tiangkang Tiat-bong-pang”
segala. Ia mendjadi teringat kepada nasihat Ting Tian dahulu bahwa banjak
pantangan2 dalam matjam2 Pang-hwe dikalangan Kangouw, bila sampai tersangkut
urusan, tentu selamanja akan tiada habis2 menghadapi kesulitan. Dan karena Tik
Hun tidak suka banjak urusan lagi, maka ia lantas memberi hormat dan berkata:
“Ja, Siaute jang bersalah, mohon Lauheng suka memberi maaf.”
“Kau ini kutu matjam apa?
Siapa sudi meng-aku2 saudara dengan kau?” bentak Kepala pendjual ikan itu.
Menjusul ia memberi tanda sekali dan memerintahkan anak buahnja: “Tangkap kedua
orang ini!”
Rupanja karena merandek tadi,
maka ada dua orang pendjual ikan telah mendahului mentjegat kedepan sikakek
jang belum sempat melarikan diri itu.
Tapi pada saat itulah tiba2
terdengar suara kelintang-kelinting jang njaring, ada dua penunggang kuda
sedang mendatangi menjusur tepi sungai sana. Seketika bergiranglah hamba tua
itu, katanja: “Itu dia madjikanku sendiri sudah datang, sekarang boleh kalian
bitjara pada mereka.”
Air muka Kepala pendjual ikan
itu tampak berubah, katanja: “Kau maksudkan “Leng-kiam-siang-hiap’?” ~ tapi
segera iapun berlagak angkuh dan menambahkan: “Hm, kalau Leng-kiam-siang-hiap
(sepasang pedang dan kelintingan) lantas mau apa?
Masih belum waktunja mereka
main garang kelembah Tiangkang sini!”
Belum lenjap suaranja, kedua
penunggang kuda itu sudah sampai dihadapannja. Seketika Tik Hun merasa silau.
Ia lihat kedua ekor kuda tunggangan itu masing2 berwarna kuning dan putih
mulus, tinggi-besar dan gagah, pelananja putih gilap. Diatas kuda kuning
berduduk seorang pemuda berusia antara 25-26 tahun, berbadju kuning dan
bertubuh djangkung. Sedang penunggang kuda putih adalah seorang gadis berumur
20-an tahun, badjunja putih mulus, dibahu kiri tertjantel sebuah bunga merah
buatan kain sutera. Muka sigadis itu hitam2 manis dan sangat tjantik. Kedua
muda-mudi itu memegang petjut kuda semua, dipinggang mereka tergantung pedang.
Kuda2 mereka sama tingginja, jang luar biasa adalah sama2 mulus pula, kuning
mulus dan putih mulus, tanpa seudjung bulu warna lain.
Pada leher kuda kuning
tergantung serentjeng kelenengan buatan emas dan kelenengan di leher kuda putih
adalah buatan dari perak. Sedikit kepala kuda2 itu bergerak, seketika terbitlah
suara kelintang-kelinting jang njaring dengan suara jang berbeda, karena
kelintingan2 itu berbeda pula bahan pembuatannja.
Sungguh gagah sekali kuda2 itu
dan penunggangnja djuga ganteng2 dan tjantik, selama hidup Tik Hun tidak pernah
melihat orang setjakap itu. Mau-tak-mau, diam2 iapun memudji didalam hati.
“Tjui Hok,” terdengar pemuda
ganteng itu lagi menanja sikakek tadi. “Lehi sudah didapatkan belum? Ada apa
engkau berada disini?”
Tjui Hok adalah nama hamba tua
itu, maka djawabnja: “Toa-kongtju, Lehi warna emas memang sudah berhasil
mendapatkan dua ekor, tetapi.........tetapi mereka djusteru tidak mau djual,
bahkan memukul orang malah.”
Mata pemuda itu ternjata
sangat tadjam, sekilas sadja telah dapat dilihatnja piau badja jang menantjap
dikerandjang ikan itu. Segera serunja: “He, siapakah jang menggunakan Am-gi
berbisa jang kedji ini?” ~ dan sekali petjutnja bekerdja, tahu2 kain sutera
embel2 piau itu telah kena dililit oleh udjung petjut terus diangkatnja keatas
sambil berkata pula kepada sigadis: “Lihatlah, Sing-moay, ini adalah
‘Kat-sin-piau’ jang djahat!’
Dengan garang gadis itu lantas
membentak: “Siapakah jang menggunakan piau ini?Lekas katakan, lekas!” ~ sebagai
seorang gadis, dengan sendirinja suaranja njaring dan merdu, tapi sikapnja itu
terang rada berangasan.
Si Kepala pendjual ikan tadi
hanja tersenjum dingin sadja sambil menggenggam goloknja, ia menjahut: “Nama
kebesaran Leng-kiam-siang-hiap dalam beberapa tahun paling achir ini tjukup
diketahui oleh Tiat-bong-pang di Tiangkang sini. Tapi tanpa sebab kalian akan
main menang2kan atas diri kami, mungkin hal inipun tidaklah mudah.” ~ nada
utjapannja ini keras2 lembek, agaknja sedapat mungkin iapun ingin menghindari
pertjetjokan dengan Leng-kiam-siang-hiap itu.
“Tapi Kat-sin-piau ini terlalu
kedji, sekali kena, seketika daging busuk dan tulang hantjur, ajahku sudah lama
menjatakan dilarang memakainja lagi, apakah engkau tidak tahu?” demikian kata
sigadis. “Baiknja sendjata ini tidak kau gunakan menjambit orang, kalau untuk
latihan dengan kerandjang ikan sebagai sasaran masih boleh djugalah.”
“Djisiotjia, djusteru bukan
begitulah urusannja,” kata Tjui Hok. “Orang itu telah menggunakan piau itu
untuk menjambit diriku dan hampir2 hamba tjelaka, untung Siausuhu ini telah
menolong dan mendadak menimpukan kerandjang ikan itu dari samping hingga djiwa
hamba tertolong. Kalau tidak, saat ini mungkin hamba tidak dapat lagi bertemu
dengan Kongtju dan Siotjia.” ~ waktu mengatakan Siausuhu atau si Suhu tjilik,
Tjui Hok telah menuding kearah Tik Hun.
Keruan Tik Hun bertambah bingung,
pikirnja: “Aneh, mengapa dia menjebut aku sebagai Siausuhu, sedangkan tadi aku
telah dimaki sebagai Bangsat gundul tjilik, emangnja sedjak kapan sih aku mulai
mendjadi Hwesio?”
Lalu tampak gadis djelita itu
angguk2 kepada Tik Hun dengan tersenjum sebagai terima kasih. Melihat senjuman
sigadis jang menggiurkan itu, seketika Tik Hun lemas rasanja seperti kontak
kena aliran listrik.
Dalam pada itu sipemuda
mendjadi marah mendengar pengaduan Tjui Hok, tanjanja kepada Kepala pendjual
ikan itu: “Apa betul begitu?” ~ dan tanpa menunggu djawaban orang lagi, terus
sadja petjutnja bergerak hingga Kat-sin-piau jang terlilit diudjungpetjut itu
menjambar setjepat kilat kedepan, ‘plok”, piau itu menantjap dibatang pohon Liu
jang belasan meter djauhnja. Betapa hebat tenaganja sungguh tjukup
mengedjutkan.
Tapi si Kepala pendjual ikan
itu masih keras dimulut: “Hm, berlagak apa?”
“Aku djusteru mau berlagak!”
bentak pemuda Kongtju itu, berbareng petjutnja terus menjabat serabutan keatas
kepala orang.
Tjepat Kepala pendjual ikan
mengangkat golok untuk menangkis sambil menabas. Tak terduga petjut sipemuda
mendadak menjambar lurus kebawah, dan begitu menjentuh tanah, petjut itu terus
melingkar dengan tjepat luar biasa, tahu2 kedua kaki si Kepala pendjual ikan
itu jang diarah.
Dengan sendirinja Kepala
pendjual ikan itu tjepat2 melontjat keatas untuk menghindar. Tapi petjut
sipemuda se-akan ular hidup sadja, “siut”, tiba2 udjung petjut menjendal
kembali untuk melilit kaki kanan lawan. Berbareng Kongtju itu keprak kudanja pelahan
hingga kuda kuning itu mendadak membedal kedepan.
Sebenarnja bhesi atau kuda2,
jaitu kepandaian bagian kaki si Kepala pendjual ikan sangat kuat, biarpun
kakinja tergubat petjut belum tentu si Kongtju mampu menariknja roboh.
Diluar dugaan, pemuda itu
pandai mengukur kepandaian sendiri dan pihak lawan, begitu menjerang ia sudah
memakai perhitungan jang tepat, lebih dulu ia pantjing si Kepala pendjual ikan
itu melontjat keatas, dengan demikian, karena tubuhnja terapung diudara dan
tiada tempat berpidjak, dengan sendirinja lenjaplah daja guna kuda2 si Kepala
pendjual ikan jang kuat itu. Apalagi kakinja lantas terlilit petjut ditambah
tarikan kuda kuning jang mendadak membedal, betapapun kuat tenaga pendjual ikan
itupun tidak mampu bertahan. Tanpa ampun lagi maka tubuh Kepala pendjual ikan
itu terseret kedepan oleh bedalan kuda kuning itu hingga tubuhnja se-akan2
terbang diudara.
Seketika ramailah djerit kaget
pendjual2 ikan jang lain, sambil mem-bentak2 segera ada beberapa orang memburu
madju hendak menolong sang pemimpin.
Tapi sesudah berpuluh meter
djauhnja sikuda kuning membedal hingga tubuh Kepala pendjual ikan tertarik
kentjang, mendadak si Kongtju ajun petjut se-kuat2nja, seketika mentjelatlah
tubuh Kepala pendjual ikan itu melambung keudara. Pertjuma sadja ia memiliki
ilmu silat jang tinggi, diatas udara ilmu silat betapapun tingginja djuga tiada
berguna, maka tanpa kuasa tubuhnja me-lajang2 keatas untuk kemudian menjelonong
ketengah sungai.
Keruan begundal pendjual2 ikan
itu sama berteriak kuatir. Maka terdengarlah suara mendeburnja air disertai
tjipratan air sungai jang tinggi, Kepala pendjual ikan itu telah ketjebur
kedalam sungai, hanja sekedjap sadja orangnja lantas menghilang kedasar sungai.
Sigadis tampak bersorak
senang, menjusul ia putar petjutnja terus terdjang ke-tengah2 gerombolan
pendjual2 ikan jang masih berkerumun disitu, petjutnja menjabat kesini dan
mentjambuk kesana hingga pendjual2 ikan itu dihadjar sungsang sumbel dan tunggang-langgang
serta lari ter-birit2. Seketika kerandjang ikan bergelimpangan dan terserak
di-mana2 berikut djala ikan, begitu pula ikan dan udang jang masih segar djuga
berledjitan memenuhi tanah.
Hidup kaum penangkap ikan
adalah disungai, dengan sendirinja si Kepala pendjual ikan itupun sangat mahir
berenang. Maka begitu ia selulup kedasar sungai, sedjenak kemudian ia sudah
menongol kembali kepermukaan air. Ia mentjatji-maki dengan kata2 kotor, tapi
sudah tidak berani mendarat untuk bertempur lagi.
Sambil mendjindjing kerandjang
jang terisi ikan Lehi tadi, dengan girang Tjui Hok mendekati sipemuda sambil
membuka tutup kerandjang dan berkata: “Lihatlah, Kongtju, mulutnja merah dan
sisiknja emas, besar2 dan gemuk2 pula.”
“Baiklah, sekarang lekas kau
pulang kehotel dan serahkan ikan2 itu kepada Tje-toaya untuk dipakai,” kata
sipemuda.
Tjui Hok mengia, lalu ia
mendekati Tik Hun, ia memberi hormat dan berkata: “Banjak terima kasih atas
pertolongan Siausuhu tadi. Entah bagaimanakah gelar sutji Siausuhu?”
Mendengar dirinja dipanggil
Siausuhu terus menerus, Tik Hun mendjadi risih hingga seketika takdapat
mendjawab.
“Sudahlah, lekas pulang sana,
lekas!” sipemuda telah mendesak pula.
Terpaksa Tjui Hok mengiakan,
lalu bertindak pergi dengan tjepat tanpa menunggu djawaban Tik Hun lagi.
Diam2 Tik Hun kagum dan senang
bila dapat berkawan dengan sepasang muda-mudi jang tjantik dan ganteng dan
berilmu silat tinggi pula. Tjuma sedjak tadi kedua muda-mudi itu tetap diatas
kuda mereka dan tidak turun, Tik Hun mendjadi kurang leluasa untuk menanjakan
nama orang.
Tengah Tik Hun ragu2, tiba2 si
Kongtju telah mengeluarkan sepotong uang emas dan diangsurkan kepada Tik Hun
sambil berkata: “Siausuhu, banjak terima kasih engkau telah menjelamatkan djiwa
hamba tua kami itu. Sedikit tanda mata ini harap Siausuhu suka terima sekadar
uang dupa dan minjak untuk keperluan kelenteng.” ~ Lalu ia lemparkan uang emas
itu kearah Tik Hun dengan pelahan2.
Sekali raup, dengan gampang
Tik Hun sudah dapat menangkap uang emas jang dilemparkan kepadanja itu,
menjusul ia terus melemparkan kembali kepada pemuda itu dan berkata: “Tidak
perlulah. Numpang tanja siapakah nama kalian jang terhormat?”
Melihat gerak tangan Tik Hun
waktu menangkap dan melemparkan kembali uang emas tadi tjukup tjekatan, terang
seorang jang dapat bersilat. Maka sebelum uang emas itu menjambar tiba, segera
petjut Kongtju itu mengajun hingga uang emas itu kena tergubat. Lalu katanja:
“Djikalau Siausuhu djuga sesama orang Bu-lim, tentunja djuga pernah mendengar
nama kami Leng-kiam-siang-hiap jang tak berarti.”
Melihat orang memainkan
petjutnja hingga uang emas jang terlilit itu naik-turun seperti anak ketjil,
sikapnja atjuh-tak-atjuh dan seperti tidak pandang sebelah mata kepada siapapun
djuga, diam2 Tik Hun rada mendongkol. Segera iapun berkata: “Ja, tadi kudengar
pendjual ikan itu menjebut kalian sebagai Leng-kiam-siang-hiap. Tapi entah apa
nama saudara jang terhormat.”
Pemuda Kongtju itu mendjadi
kurang senang, ia pikir kalau kenal djulukan mereka, masakah tidak kenal
namanja? Dari itu ia tjuma mendengus sekali dan tidak mendjawab lagi.
Dan pada saat itu djuga tiba2
angin sungai meniup hingga udjung badju paderi jang dipakai Tik Hun itu
tersingkap sedikit. Mendadak gadis djelita itu bersuara kaget sekali sambil
berkata: “He, dia.........dia adalah Hiat-to-ok-tjeng (paderi djahat bergolok darah)
dari Bit-tjong di Tibet.”
“Ja, betul,” kata si pemuda
dengan wadjah gusar. “Nah, enjahlah kau!”
Keruan Tik Hun heran mendadak
diperlakukan sekasar itu. “Aku ... aku......?” katanja sambil melangkah
kehadapan sigadis: “Aku kenapa; nona?”
Wadjah sigadis kembali
mengundjuk rasa kuatir dan gusar, sahutnja: “Engkau... engkau djangan
.....djangan mendekati aku. Enjahlah!”
Tentu sadja Tik Hun bertambah
bingung. “Apa katamu?” tanjanja sambil madju setindak lagi malah.
“Tarrrr”, mendadak gadis itu
mengajun petjutnja terus menjabat.
Sama sekali Tik Hun tidak
menduga bahwa kontan keras gadis itu terus menjerang begitu sadja tanpa tawar2.
Tjepat ia berusaha menghindar, tapi sudah kasip. Hilang bunji petjut itu,
mukanja dengan tepat sudah kena tertjambuk, seketika mukanja berhias suatu
garis merah dimulai dari udjung djidat kanan melintang keatas hidung dan
menurun keudjung mulut kiri. Sungguh tidak ringan tjambukan itu hingga Tik Hun
meringis kesakitan.
“Ken.......kenapa engkau
memukul aku?” seru Tik Hun dalam kaget dan gusarnja.
Tapi bukannja minta maaf,
sebaliknja gadis itu hendak menjabatnja pula. Segera Tik Hun merangsang madju
hendak merebut petjut sigadis. Tak terduga permainan petjut sigadis itu sangat
lihay, baru Tik Hun ulur tangannja, tahu2 leher sendiri sudah tergubat oleh
petjutnja. Menjusul punggungnja terasa kesakitan mendadak, njata Kongtju muda
tadi telah memberi persen sekali tendangan padanja.
Tanpa ampun lagi Tik Hun
terdjungkal. Lebih tjelaka lagi mendadak Kongtju muda itu terus keprak kudanja
hendak mengindjak keatas tubuh Tik Hun. Sjukur dalam seribu kerepotannja itu
Tik Hun masih sempat menggulingkan tubuhnja kesamping. Tapi dalam keadaan sibuk
itu terdengar lagi suara kelintingan kuda berbunji, sebelah kaki kuda jang
putih mulus tahu2 mengindjak lagi kearah dadanja, Tik Hun insaf bila indjakan
itu tepat kena didadanja, pasti melajanglah djiwanja. Tanpa pikir lagi itu
mengkeretkan tubuhnja keatas, maka terdengarlah suara “krak” sekali, entah apa
jang telah patah. Jang terang mata Tik Hun mendjadi ber-kunang2 dan pandangan
kabur, achirnja segala apa tak diketahuinja lagi..........
Waktu pikiran Tik Hun pelahan2
djernih kembali, sementara itu entah sudah berapa lamanja telah lalu. Dalam
keadaan masih setengah sadar, ia berusaha hendak berbangkit. Tapi mendadak
kakinja terasa kesakitan, hampir2 ia djatuh kelengar lagi. Menjusul darah segar
lantas menguak keluar dari mulutnja. Waktu kemudian sinar matanja tertatap
diatas kakinja, ia melihat tjelananja penuh berlepotan darah, kaki sendiri tampak
melintir berbalik arah. Semula ia merasa heran mengapa kakinja bisa main gila
begitu? Tapi sedjenak kemudian barulah ia ingat: “Ja, kakiku telah patah
terindjak kuda jang dikeprak oleh nona itu.”
Antero tubuh Tik Hun terasa
lemas dan linu, lebih2 kaki dan punggungnja tak terkatakan sakitnja. Sesaat itu
timbul kembali putus asanja: “Aku tidak ingin hidup lagi. Biarkan aku merebah
begini dan lekaslah mati sadja.”
Maka iapun tidak merintih dan
bertobat, tapi mengharap supaja lekas mati. Namun orang ingin mati djusteru
tidak gampang. Bahkan ingin pingsan sadja djuga tak dapat. Padahal hati Tik Hun
terus-menerus berharap: “Hajolah lekas mati! Kenapa belum lagi mati?”
Selang agak lama, karena tetap
belum juga mati, achirnja Tik Hun memikir: “Aku toh tiada salah apa2 kepada
mereka, mengapa mendadak aku dianiaja sekedji ini?”
Ia tjoba memikirkan apa
sebabnja, tapi tetap bingung dan tiada sesuatu jang dapat diketemukan. Ia
menggumam sendiri: “Dasar aku memang bodoh, tjoba bila Ting-toako masih hidup,
pasti beliau dapat mendjawab pertanjaanku ini.”
Dan karena teringat kepada Ting
Tian, seketika pikirannja berganti: “Eh, ja. Aku telah berdjandji akan mengubur
Ting-toako bersama Leng-siotjia. Tjita2 ini belum terlaksana, mana boleh aku
mati begini sadja.”
Ia tjoba meraba punggung
sendiri dan merasa abu tulang sang Toako masih baik2 terikat disitu, ia merasa
lega dan sekuatnja bangun berduduk. Tapi kembali darah segar tersembur keluar
dari mulutnja. Ia tahu semakin banjak mengeluarkan darah, semakin lemah pula
badannja. Maka sedapat mungkin ia mengatur napasnja dengan maksud menahan darah
jang akan dimuntahkan itu. Tapi darah jang sudah meng-kili2 tenggorokannja itu
ternjata susah ditahan, kembali ia menguak dan darah membasahi tanah lagi.
Jang paling menderita adalah
kaki patah itu, sakitnja sebagai di-sajat2 oleh beratus pisau. Namun dengan
me-rangkak2 achirnja dapat Tik Hun menjeret dirinja kebawah pohon Liu jang
rindang itu. Pikirnja: “Aku tidak boleh mati, tapi harus tetap hidup. Dan untuk
hidup aku harus makan.” ~ teringat pada makan, baru sekarang ia merasa
kelaparan. Ia lihat banjak ikan dan udang berserakan ditanah dan sudah lama
mati. Iapun tidak pikir lagi apakah mentah atau masak, apakah masih segar atau
sudah busuk, tapi terus sadja ia tjomot beberapa ekor udang terus didjedjalkan
kedalam mulut sekadar menangsal perut. Ia pikir kaki patah itu harus dibalut
lebih dulu, habis itu barulah berdaja untuk meninggalkan tempat tjelaka ini.
Ia tjoba memandang
sekelilingnja, ia lihat matjam2 peralatan tukang tangkap ikan masih tersebar
disitu. Segera ia merajap madju untuk mengambil sebatang dajung sampan jang
pendek beserta sebuah djala ikan. Pelahan2 ia djereng djala ikan itu, lalu kaki
sendiri jang patah dan sudah mengisar arah itu dibetulkannja dengan menahan
sakit, ia gunakan kaju dajung itu sebagai pengapit, kemudian mengikatnja dengan
menggunakan tali djala ikan itu.
Kerdjanja itu memakan waktu
satu djam penuh sambil sebentar2 mengaso. Pabila merasa kesakitan, ia lantas
berhenti sambil meringis kemudian melandjutkan pula bila sakitnja mereda. Bila
kemudian kaki patah itu selesai dibalut, sementara itu sang surya sudah
meninggi di-tengah2 tjakrawala. Pikirnja: “Untuk merawat kakiku jang patah ini
hingga sembuh betul2, paling sedikit djuga diperlukan waktu dua bulan lebih.
Dan selama dua bulan ini kemanakah aku harus meneduh dan hidup?”
Sekilas dilihatnja ditepi
sungai ber-deret2 perahu2 nelajan, tiba2 timbul pikirannja: “Ja, biarlah aku
tinggal sadja didalam perahu, disana aku tidak perlu berdjalan.”
Ia kuatir kawanan pendjual
ikan itu datang kembali hingga menimbulkan kerewelan lain, meski badannja masih
lemas dan kaki kesakitan, tapi terpaksa ia mesti merajap ketepi sungai, ia
merangkak kedalam sebuah perahu nelajan. Ia tanggalkan tali tambatan perahu dan
mulai mendajung, pelahan2 ia luntjurkan perahunja ketengah sungai.
Waktu tanpa sengadja ia
menunduk, tiba2 dilihatnja udjung badju paderi jang dipakainja itu menjingkap
keatas hingga tertampak diudjung badju itu tersulam sebilah golok pendek jang
berwarna merah tua, udjung golok itu tersulam pula tiga titik darah, sulaman itu
sangat hidup, tapi menjeramkan pula.
Tiba2 tersadarlah Tik Hun:
“Ah, tahulah aku sekarang! Badju ini adalah tinggalan sipaderi djahat Po-siang.
Makanja kedua orang itu salah sangka aku sebagai begundal paderi djahat itu.”
Kemudian tanpa sengadja ia dapat
meraba kepala sendiri sudah kelimis, ia mendjadi lebih paham lagi duduknja
perkara. Pantas aku dipanggil Siausuhu oleh mereka, sebab rambutku sudah
kububut semua hingga pelontos seperti Hwesio.
Dan baru sekarang Tik Hun
sadar mengapa ber-ulang2 hamba tua itu menjebut dirinja sebagai “Siausuhu”,
pula kawanan pedagang ikan dari Tiat-bong-pang memaki dirinja sebagai “Keledai
gundul ketjil”, sebab dirinja sekarang memang sudah mirip seorang Hwesio. Lalu
terpikir pula olehnja: Waktu udjung badjuku tersingkap, lantas gadis itu
mengatakan aku adalah Hiat-to-ok-tjeng dari Tibet. Bentuk golok berdarah dalam
sulaman ini memang sangat menjeramkan, tentang bagaimana perbuatan kawanan
paderi2 itu melulu melihat tjontoh seperti Po-siang sadja sudah dapat dibajangkan
sendiri.”
Sebenarnja Tik Hun sangat
gusar dan penasaran, tapi demi mengetahui duduknja perkara, seketika rasa
permusuhannja kepada “Leng-kiam-siang-hiap” lantas lenjap, bahkan merasa
perbuatan sepasang muda-mudi jang gagah perwira itu djusteru sepaham dengan
dirinja. Tjuma sajang ilmu silat kedua orang itu terlalu tinggi, pribadi mereka
agung pula, andaikan kesalah-pahaman ini kelak dapat dibikin terang djuga
rasanja susah untuk bersahabat dengan mereka.
Begitulah pelahan2 ia
mendajung terus perahu itu hingga belasan li djauhnja, ia melihat ditepi pantai
ada sebuah kota ketjil, dipandang dari djauh, tampaknja tjukup ramai orang jang
berlalu-lalang. Pikirnja: “Badju paderi jang kupakai ini tentu akan menimbulkan
bentjana bagiku, aku harus tjepat mentjari gantinja.”
Segera ia merapatkan perahunja
ketepi, ia gunakan sebatang dajung pendek sebagai tongkat, lalu dengan
berintjang-intjuk ia mendarat sekuat tenaga.
Orang2 dikota itu merasa
ter-heran2 melihat seorang Hwesio muda dengan kaki pintjang dan badjunja penuh
noda darah. Namun Tik Hun tidak ambil pusing, selama beberapa tahun ini ia
sudah kenjang menghadapi sikap dingin dan kedjam dari pihak umum. Pelahan2 ia
melandjutkan djalannja kepusat kota, ia melihat sebuah toko pakaian bekas,
segera ia masuk ketoko itu dan membeli sepotong badju hidjau pandjang dan
seperangkat pakaian dalam dengan tjelananja. Kalau saat itu djuga ia mengganti
pakaian, tentu harus telandjang dulu, terpaksa Tik Hun memakai badju pandjang
jang baru dibeli itu diluar badju paderi. Lalu ia membeli sebuah topi laken
untuk menutupi kepalanja jang gundul.
Kemudian ia mentjari suatu
kedai nasi untuk mengisi perut. Ketika ia dapat mentjapai bangku pandjang dari
kedai nasi itu, saking letihnja hampir2 ia djatuh pingsan lagi dan kembali ia
muntahkan dua kumur darah.
Tidak usah pesan, pelajan
kedai sudah lantas menghantarkan daharan jang biasa tersedia disitu, jaitu
semangkok tahu masak ikan, semangkok daging masak tautjo.
Tik Hun sudah sangat
kelaparan, demi mengendus bau daging dan ikan, seketika semangatnja terbangkit,
terus sadja ia angkat mangkok nasi dan ambil sumpit, segera ia sapu kedalam
mulutnja, lalu menjumpit sepotong daging.
Dan baru sadja ia masukan
daging itu kedalam mulutnja, tiba2 terdengar suara kelintang-kelinting dari djauh
dan makin lama semakin dekat.
Mendengar itu, seketika daging
jang sudah masuk mulut itu takdapat ditelannja, sebaliknja hatinja memukul
keras. Diam2 pikirnja: “Kembali Leng-kiam-siang-hiap datang lagi. Apakah aku
akan memapak kedatangan mereka untuk memberi pendjelasan kesalah pahaman tadi?
Tanpa berdosa aku telah di-indjak2 kuda mereka hingga terluka separah ini,
kalau tidak dibitjarakan setjara djelas, bukankah sangat penasaran?”
Namun selama ini Tik Hun sudah
terlalu banjak menderita, setiap kali dihina atau dianiaja orang tanpa sebab,
selalu ia menjesalkan dirinja sendiri jang sial dan pasrah nasib. Maka kembali
pikirannja berubah: “Ah, selama hidupku ini penderitaan apa jang tidak pernah
kurasakan? Kalau tjuma sedikit penasaran sadja apa artinja bagiku?”
Dalam pada itu suara
keleningan tadi semakin dekat. Segera Tik Hun memutar tubuh menghadap
kedinding, ia tidak ingin bertemu muka dengan sepasang pendekar muda itu.
Dan pada saat lain, tiba2 ada
orang menepuk pundaknja sambil menegur dengan tertawa: “Aha, Siausuhu,
perbuatanmu jang bagus itu telah ketahuan, maka Koanthayya mengundang kau
menghadap padanja.”
Keruan Tik Hun terkedjut,
tjepat ia berpaling, ia lihat empat opas sudah berdiri didepannja. Dua
diantaranja membawa borgol dan dua lainnja menghunus golok dengan sikap2
bersiap siaga mendjaga segala kemungkinan.
Mendadak Tik Hun berteriak
sekali sambil berbangkit, berbareng ia sambar mangkok jang berisi tahu-bak tadi
terus disambitkan kearah opas sisi kiri. Menjusul ia angkat medja dan
digabrukan kearah kawanan opas itu hingga mereka gebes2 tersiram daharan diatas
medja itu.
Menurut dugaan Tik Hun, tentu
kawanan hamba wet itu adalah petugas dari Keng-leng-hu, bila dirinja sampai
ditawan Leng Dwesu lagi, tentu tiada harapan hidup pula.
Dalam pada itu kedua opas jang
digujur kuah panas itu mendjadi kelabakan dan lekas2 melompat mundur.
Kesempatan itu segera digunakan Tik Hun untuk melarikan diri. Tapi baru satu
langkah, ia sudah sempojongan dan hampir2 terbanting roboh. Rupanja dalam
keadaan gugup, Tik Hun lupa bahwa tulang kakinja sudah patah.
Melihat ada kesempatan bagus,
opas ketiga tidak tinggal diam, terus sadja ia ajun goloknja membatjok.
Ilmu silat Tik Hun meski sudah
punah, tapi untuk melawan seorang opas kerotjo seperti itu sudah tentu masih
berlebihan. Maka sekali ia pegang tangan opas itu terus disengkelit, kontan
opas itu terdjungkal dan goloknja terampas.
Melihat Tik Hun kini
bersendjata, opas2 itu mendjadi djeri, mereka tidak berani sembarangan mendekat
lagi, mereka hanja bergembar-gembor: “Wah, paderi tjabul telah melawan petugas
negara dan hendak mengganas lagi!” ~ “Awas, Hiat-to-ok-tjeng telah melakukan
kedjahatan lagi!” ~ “Ini dia Tjay-hoa-in-tjeng jang telah memperkosa dan
membunuh puteri hartawan!”
Mendengar teriakan2 itu, diam2
Tik Hun memikir djangan2 dugaannja tadi salah, opas2 ini bukan kiriman
Kang-leng-hu jang hendak menangkapnja. Maka segera ia membentak: “Kalian
sembarangan mengatjo-belo apa? Siapa adalah Tjay-hoa-in-tjeng?”
“Tjay-hoa-in-tjeng” artinja
paderi tjabul pemetik bunga, jaitu paderi jang suka memperkosa wanita baik2.
Dalam pada itu suara
kelenengan tadi sudah dekat, tahu2 seekor kuda kuning dan seekor kuda putih
telah berhenti didepan mereka. Dari atas kuda segera “Leng-kiam-siang-hiap”
dapat melihat segala apa jang sedang terdjadi. Mereka agak melengak demi
melihat Tik Hun, sebab merasa muka orang seperti sudah mereka kenal, dan segera
merekapun ingat itulah samaran si Hiat-to-ok-tjeng.
“Toasuhu, tidak apalah djika
engkau djuga ingin pelesir, tapi mengapa sehabis itu engkau membunuh orangnja
pula?” demikian seru salah seorang opas itu. “Seorang laki2 berani berbuat
berani bertanggung-djawab, marilah engkau ikut kami melaporkan diri sadja kepada
Koanthayya.”
Dan opas jang lain ikut
berseru djuga: “Engkau tjoba menjamar segala, tapi sajang telah dapat kami
pergoki. Harini sudah pasti engkau takkan dapat lolos, lebih baik menjerahkan
diri sadja.
“Kalian sembarangan mengotjeh,
suka mempitenah orang baik!” sahut Tik Hun dengan gusar.
“Ini bukan pitenah, tapi
dengan mata kepala aku melihat sendiri malam itu engkau telah menjusup kerumah
Li-kidjin, tidak salah lagi, biarpun kau terbakar mendjadi abu djuga aku kenal
kau,” sahut opas itu.
Kiranja kawanan Ok-tjeng atau
paderi djahat sebangsa Po-siang itu, selama beberapa hari paling achir ini
telah mengganas disekitar lembah Tiangkang, sesudah memperkosa, membunuh pula
korbannja. Karena mengandalkan ilmu silat mereka sangat tinggi, maka kawanan
paderi djahat itu sedikitpun tidak takut2 diwaktu melakukan kedjahatan, bahkan
berani meninggalkan tanda, “Hiat-to”, jaitu gambar golok bertetes darah diatas
dinding. Dan sasaran jang mendjadi korban mereka kalau bukan rumah kaum
hartawan dan pembesar, tentu adalah tokoh terkenal pula dalam Bu-lim. Maka
beberapa kabupaten diselatan Tiangkang itu bila membitjarakan
“Hiat-to-ok-tjeng”, seketika pasti setiap orang akan merinding ketakutan.
Tatkala itu pembesar2 negeri
setempat sudah sibuk menjebarkan petugas untuk menguber, begitu pula kaum
pendekar dan tokoh persilatan daerah Liang-ou djuga turun tangan semua untuk
mentjari kawanan paderi djahat itu.
Tentang opas itu bilang
menjaksikan sendiri Tik Hun masuk kerumah Li-kidjin dan sebagainja, sudah tentu
adalah bualan belaka. Soalnja mereka melihat Tik Hun terluka parah, untuk
melarikan diri terang tidak dapat, maka mereka sudah ambil keputusan akan
menguruk segala dosa atas diri Tik Hun, dengan demikian, pertama dapat memenuhi
kewadjiban mereka; kedua, dengan sendirinja djasa mereka akan bertambah besar.
Nama sebenarnja dari
“Leng-kiam-siang-hiap” itu ada Ong Siau-hong dan sigadis she Tjui, namanja
tjuma satu, Sing. Kedua muda-mudi itu adalah saudara misan. Ajah Tjui Sing
bernama Tjui Tay, seorang tokoh besar sangat terkenal dimasa dahulu dengan
djulukan: “Sam-tjoat-kiam (Sipedang triguna).
Ong Siau-hong sendiri sedjak
ketjil sudah kehilangan kedua orang tua, maka ikut tinggal dirumah sang paman,
jaitu adik ibunja, Tjui Tay, serta mendapat peladjaran ilmu silat.
Karena pembawaan Ong Siau-hong
memang gagah dan tampan, maka sedjak ketjil Tjui Tay sudah mengandung maksud
akan mendjodohkan puterinja kepada kemenakannja itu.
Oleh karena kedua orang sedjak
ketjil sama2 beladjar silat, sesudah dewasa sama2 mengembara diluaran untuk
mengamalkan kepandaian mereka kepada kaum lemah, maka diam2 benih tjinta djuga
sudah tumbuh diantara mereka, meski tidak bitjara setjara terang2an, tapi
mereka sama2 tahu kelak sudah pasti akan mendjadi suami-isteri, sebab itulah
dalam segala tindak-tanduk merekapun tidak tjanggung2.
Kedua muda-mudi itu telah
memperoleh adjaran silat andalan Tjui Tay, paling achir ini nama mereka sangat
terkenal. Setiap orang didaerah Liang-ou sangat kagum terhadap mereka dan
memudji tidak habis2 bila ada orang menjebut tentang “Leng-kiam-siang-hiap”.
Tentang Hiat-to-ok-tjeng
mengganas itu memang djuga telah didengar mereka. Tjuma kebetulan Tik Hun
pernah menolong djiwa hamba tua mereka, jaitu si Tjui Hok jang bertengkar
dengan penangkap ikan Tiat-bong-pang itu, makanja Leng-kiam-siang-hiap berlaku
murah dan tidak membunuhnja, tapi tjuma mengeprak kuda menjepak dua kali hingga
pemuda itu terluka parah. Siapa duga dikota ketjil ini kembali mempergoki Tik
Hun menimbulkan gara2 lagi dan mendengar kawanan opas itu sedang membentangkan
segala dosa jang katanja diperbuat Tik Hun itu. Dasar djiwa
Leng-kiam-siang-hiap itu memang luhur dan paling bentji pada kedjahatan, maka
semakin didengar semakin gusar mereka.
Melihat penonton jang merubung
semakin banjak, untuk meloloskan diri tentu akan lebih susah, segera Tik Hun
mengajun goloknja sambil membentak: “Minggir semua!” ~ Lalu dengan bantuan
dajung pendek jang menjanggah dibawah ketiaknja, segera ia menerdjang keluar
sana.
Dengan ber-teriak2 takut,
penonton2 jang merubung itu lantas berlari menjingkir. Keempat opas itupun
ber-teriak2 sambil menjusul dari belakang: “Tjay-hoa-in-tjeng, djangan lari
kau!”
Tapi mendadak Tik Hun memutar
balik goloknja hingga lengan salah seorang opas itu tergurat luka. “Hai, paderi
tjabul ini mengganas lagi, berani melukai petugas!” demikian opas itu terus
berteriak.
Ong Siau-hong mendjadi gusar,
ia keprak kudanja memburu madju, sekali tjambuknja bekerdja, “tarrrr”, golok
ditangan Tik Hun itu sudah tergubat udjung tjambuk dan terus dia tarik dengan
keras.
Tenaga Tik Hun memang sudah
habis, seketika golok terlepas dari tjekalannja. Bahkan Ong Siau-hong mendesak
madju pula, sekali tangan kirinja mendjulur, dari atas ia mentjengkeram kebawah
dan tepat badju leher Tik Hun kena didjambret terus diangkat keatas sambil
membentak: “Paderi tjabul, sudah sekian banjak kedjahatan jang kau lakukan,
apakah kau masih ingin hidup lagi?” ~ berbareng itu tangan lain terus meraba
garan pedangnja, sekali sinar tadjam berkilauan, segera pedangnja terlolos dan
hendak memenggal keleher Tik Hun.
“Bagus! Bunuh sadja paderi
tjabul itu!” ~ “Ja, tjintjang sadja biar tamat riwajatnja!” ~ begitulah para
penonton itu ber-teriak2.
Dalam keadaan tubuh terapung
lantaran ditjengkeram orang, sama sekali Tik Hun tidak mempunyai tenaga untuk
meronta, sekilas ia melihat wadjah Tjui Sing jang aju itupun mengundjuk rasa
hina dan senang. Tentunja hina karena bentji kepada perbuatan tjabul jang
dituduhkan kepadanja itu, dan senang lantaran melihat sang Piauko akan
melenjapkan djiwanja. Diam2 Tik Hun menghela napas penjesalan: “Ai, apa mau
dikata lagi, rupanja sudah suratan nasibku harus selalu dipetenah orang!”
Dalam pada itu ia lihat pedang
Ong Siau-hong sudah terangkat tinggi2 tinggal memanggal kebawah, ia hanja dapat
bersenjum getir belaka, katanja didalam hati: “Ting-toako, harap maafkan aku
tidak dapat memenuhi djandji, soalnja bukan Siaute tidak berusaha sedapat
mungkin, tapi sesungguhnja nasibku ini terlalu buruk.”
Dan pada saat pedang Ong
Siau-hong itu hampir2 ditabaskan kebawah itulah, tiba2 terdengar suara teriakan
seorang tua: “Nanti dulu, djangan mengganggu djiwanja!”
Tanpa merasa Siau-hong
menoleh, ia lihat pendatang itu adalah seorang Hwesio berdjubah kuning. Usia
paderi itu sudah sangat tua, kepala lantjip, telinga ketjil, mukanja penuh
keriput. Dan bahan djubah jang dipakainja itu ternjata serupa dan sewarna
dengan apa jang dipakai Tik Hun itu.
Seketika air muka Siau-hong
berubah, ia tahu Hwesio itu adalah kaum Hiat-to-tjeng dari Bit-tjong di Tibet.
Tjepat ia memperingatkan Tjui Sing: “Awas, Sing-moay, hati2lah!” ~ Dan tanpa
ajal lagi segera ia ajun pedangnja kebawah, ia pikir paderi tjabul muda ini
kubunuh dulu, kemudian membunuh paderi tjabul jang tua itu.
Waktu pedangnja sudah tinggal
belasan senti akan mengenai leher Tik Hun, mendadak Siau-hong merasa sikunja
kesemutan sekali, terang Hiat-to dibagian siku itu telah terkena sesuatu Amgi.
Kontan sadja pedangnja lantas melambai kebawah dengan tidak berkekuatan lagi,
namun karena tadjamnja sendjata itu, tidak urung pipi kiri Tik Hun djuga
tergurat suatu luka jang sangat pandjang.
Gerakan paderi tua itu sangat
tjepat, dimana tubuhnja sampai, lebih dulu ia sodok Ong Siau-hong hingga
terdjungkal kebawah kuda, berbareng ia sambar tubuh Tik Hun dan ditaruh keatas
kuda putih tunggangan Tjui Sing jang berada disamping. Dengan gugup Tjui Sing
lolos pedang terus membatjok.
“Wah, alangkah tjantiknja!”
seru paderi tua itu ketika ia agak melengak melihat paras Tjui Sing jang manis
itu. Dan belum lagi pedang orang tiba, lebih dulu ia sudah ulur djarinja dan
tepat kena tutuk dipinggang sigadis.
Keruan Tjui Sing kaget dan
takut, baru pedangnja hendak dibatjokan, mendadak tenaganja lenjap, pedang
djatuh ketanah hingga mengeluarkan suara njaring. Segera ia bermaksud melompat
turun, namun pinggangnja tiba2 terasa kesemutan dan kakinja ikut kaku serta
tidak mau menurut perintah lagi.
Paderi tua itu ter-kekeh2
beberapa kali, sedikit ia angkat sebelah kakinja, tahu2 orangnja sudah
mentjemplak keatas kuda kuning.
Umumnja orang menaik kuda
tentu sebelah kaki mengindjak sanggurdi lebih dulu, kemudian kaki jang lain
melangkah keatas pelana kuda. Tapi paderi tua ini ternjata lain daripada jang
lain tjaranja mentjemplak kuda, ia tidak melompat djuga tidak pakai mengindjak
dulu keatas sanggurdi, tapi sedikit angkat sebelah kakinja, tubuhnja lantas
menaik keatas pelana.
Tjuma dalam keadaan katjau dan
geger, maka semua orang tiada jang perhatikan gerak-geriknja jang hebat dan
aneh itu.
Sementara sesudah mentjemplak
diatas kuda, begitu kedua kaki paderi tua itu mengempit kentjang, segera kuda
kuning itu membedal kedepan diikuti kuda putih dengan suara kelenengan jang
berbunji kelintang-kelinting.
“Sing-moay! Sing-moay!”
demikian Siau-hong ber-teriak2 sambil masih menggeletak ditanah, sungguh ia
sangat tjemas daan tidak berani membajangkan apa djadinja sesudah sang Piaumoay
alias tunangannja itu ditjulik oleh paderi2 tjabul itu. Ada maksudnja hendak
bangun untuk mengedjar, tapi apa daja, entah tjara bagaimana paderi tua itu
telah menutuknja, biarpun ia meronta sekuatnja tetap tidak dapat berkutik.
Dalam pada itu hanja terdengar
suara teriakan2 kawanan opas tadi: “Tangkap paderi tjabul itu!” ~ “Wah,
Hiat-to-ok-tjeng dapat lolos!” ~ “Tjelaka, ada gadis tjantik jang ditjulik
lagi!”
Sudah sekian lamanja Tik Hun
terombang-ambing diatas pelana kuda, karena guntjangannja jang keras itu,
hampir2 pemuda itu terbanting djatuh. Dalam gugupnja dengan sendirinja ia
mendjamah sekenanja. Tapi mendadak ia merasa tangannja memegangi sesuatu jang
empuk dan lemas, waktu ia memperhatikan, kiranja apa jang terpegang tangannja itu
adalah pinggang belakang Tjui Sing.
Keruan Tjui Sing ketakutan dan
men-djerit2: “Auuuh, Hwesio djahat, lepas tanganmu!” ~ Ia sangka paderi tjabul
itu hendak berlaku tidak senonoh atas dirinja.
Sebaliknja Tik Hun mendjadi
kaget djuga dan tjepat ia melepas tangan untuk memegangi pelana kuda.
Namun betapapun djuga karena
mereka berdua menunggang seekor kuda, mau-tak-mau badan mereka mesti
bersentuhan. Saking takutnja hingga air mata Tjui Sing bertjutjuran, dengan
gemetar ia berteriak: “Le………lepaskan aku! Lepaskan aku!”
Rupanja sepaderi tua merasa
sebal oleh teriakan2 Tjui Sing jang tiada berhenti itu, tiba2 ia menutuk
Ah-hiat, jaitu djalan darah jang membuat bisu gadis itu. Dengan demikian untuk
bitjara sadja Tjui Sing sekarang djuga tidak dapat.
Diatas kudanja paderi tua itu
ber-ulang2 menoleh pula untuk mengamat-amati paras muka dan potongan tubuh Tjui
Sing jang tjantik menggiurkan sambil mulutnja tiada hentinja ber-ketjak2 dan
memudji: “Tjk, tjk, tjk, alangkah tjantiknja! Harini Lohwesio benar2 lagi
ketomplok redjeki.”
Meski mulut Tjui Sing
sementara itu takdapat bitjara, tapi telinganja toh tidak mendjadi tuli. Keruan
semangatnja se-akan2 terbang ke-awang2 saking takutnja demi mendengar utjapan
paderi tua itu, bahkan hampir2 ia kelengar.
Begitulah paderi tua itu terus
keprak kudanja menudju kearah barat, selalu tempat sunji jang dipilih. Setelah
sekian lamanja, ia merasa suara keleningan kedua ekor kuda itu terlalu berisik,
suara kelintang-kelinting itu hanja akan memantjing pengedjaran musuh sadja.
Maka segera ia mengulur tangannja kedepan, ia betot kedua kelenengan emas dan
perak kuda2 itu.
Kelenengan2 itu sebenarnja
terikat dileher kuda dengan untiran rantai emas dan perak, tapi tenaga paderi
tua itu benar2 susah dibajangkan orang, hanja sekali puntir dan betot sadja,
segera kelenengan2 itu kena dibetot putus terus diremaskan hingga mendjadi
lantakan emas dan perak, lalu dimasukkannja kedalam badju.
Sebentarpun paderi tua itu
tidak memberi kesempatan mengaso kepada kuda2 itu, ia terus berdjalan hingga
magrib, achirnja sampailah ditepi sebuah tebing jang tjuram dan dibawahnja
adalah sebuah sungai. Ia lihat sekitar situ tiada orang berlalu, pula tiada
rumah penduduk, segera ia menurunkan Tik Hun ketanah, lalu Tjui Sing
dipondongnja turun pula. Achirnja kedua ekor kuda itu ditambatnja dibawah
sebuah pohon besar dan membiarkan binatang2 itu makan rumput dan mengaso.
Kemudian paderi tua itu
memondong Tjui Sing pula dan dimasukan ke-tengah2 semak2 rumput, ia sendiri
lalu duduk bersila menghadapi sungai dengan mata terpedjam untuk bersemadi.
Tik Hun duduk didepan sipaderi
tua itu dengan pikiran jang timbul-tenggelam tak keruan, pikirnja:
“Pengalamanku harini benar2 teramat aneh sekali. Ada dua orang baik2 hendak
membunuh aku, sebaliknja seorang Hwesio tua malah menolong djiwaku. Melihat
kelakuan Hwesio tua ini, terang dia adalah sebangsanja Po-siang jang djahat
itu, kalau dia memperlakukan nona itu dengan tidak senonoh, lantas apa dajaku?”
Begitulah dengan bingung Tik
Hun hanja berduduk ter-menung2 diatas tebing. Angin malam men-deru2 diseling
suara burung malam jang menjeramkan. Tik Hun bergidik demi melihat pula muka
sipaderi tua jang mirip majat hidup itu. Waktu ia menoleh, ia melihat di-semak2
rumput sana menondjol sebagian badju wanita, itulah Tjui Sing jang menggeletak
disitu.
Beberapa kali Tik Hun
bermaksud menanja sipaderi tua, tapi melihat sikap orang jang kereng itu,
betapapun ia tidak berani membuka suara.
Selang agak lama, mendadak
paderi tua itu berbangkit dengan pelahan2, kaki kirinja tampak diangkat hingga
tapak kakinja tertekuk keatas, dengan hanja berdiri dengan kaki kanan, lalu
paderi itu pentang kedua tangannja menghadap kebulan.
Se-konjong2 Tik Hun ingat:
“He, gajanja ini aku seperti sudah pernah melihat? Ah, ingatlah aku, didalam
buku ketjil tinggalan Po-siang terdapatlah gambar dengan gaja jang aneh ini.”
Ia lihat paderi tua itu masih
terus berdiri dengan sebelah kaki sebagai patung, sedikitpun tidak bergojang.
Lewat sebentar, mendadak paderi itu melompat keatas sambil mendjungkir, sesudah
turun, kini kepalanja jang menahan ditanah, kedua kakinja terangkat rapat lurus
keatas.
Tik Hun merasa ketarik, ia
tjoba mengeluarkan buku ketjil jang ditemukan dari dalam badjunja Po-siang itu,
ia mem-balik2 halaman buku itu, pada suatu halaman, ia lihat gambarnja persisi
seperti gaja jang dilakukan sipaderi tua sekarang ini. Tik Hun seperti paham
sesuatu, pikirnja dalam hati: “Ehm, tentu inilah kuntji melatih ilmu dari
golongan Bit-tjong mereka.”
Kemudian ia melihat paderi tua
itu ber-ulang2 berganti tjara dan gaja latihannja, melihat gelagatnja, tidak
mungkin dapat selesai dalam waktu singkat, bahkan paderi itu semakin tenggelam
dalam keasjikan latihannja sambil mata terpedjam.
Tik Hun berpikir: “Meski
paderi ini telah menolong djiwaku, tapi terang dia adalah seorang djahat dan
tjabul. Ia mentjulik nona tjantik ini, terang tidak bermaksud baik. Selagi dia
asjik melatih diri, biarlah nona itu akan kutolong, lalu mealrikan diri
ber-sama2 dengan menunggang kuda.”
Biarpun ber-ulang2 Tik Hun
tertimpa nasib malang, namun djiwanja jang luhur budi toh tidak mendjadi
berkurang. Meski tahu tindakannja ini berarti “menjerempet bahaja”, namun ia
tidak tega menjaksikan seorang nona baik2 mesti dinodai oleh seorang paderi
tjabul. Maka diam2 ia menggeser tubuh, dengan pelahan2 ia merangkak kearah
semak2 rumput.
Dahulu, ia sering melatih
Lwekang bersama Ting Tian didalam pendjara, maka ia tahu dikala orang sedang
asjik semadi begitu, tentang daja pantjaindera untuk sementara kehilangan
daja-gunanja, telinga tuli dan mata se-akan2 buta. Dalam keadaan demikian asal
paderi itu masih terus berlatih, tentu takkan mengetahui kalau dirinja telah
menolongi sinona.
Lantaran tulang kakinja patah,
maka setiap kali Tik Hun bergerak, tentu menimbulkan rasa sakit tidak kepalang,
tapi ia tahan sedapat mungkin, ia letakan titik berat tubuhnja dibagian siku
dan dengan setengah menjeret, pelahan2 ia menggerumut ketengah2 semak rumput
itu dan untunglah sama sekali tidak diketahui oleh sipaderi tua.
Waktu Tik Hun menunduk,
dibawah sinar bulan, paras muka Tjui Sing dapat terlihat dengan djelas. Kedua
mata nona tampak membelalak lebar2 dengan air muka jang mengundjuk rasa
ketakutan setengah mati.
Kuatir diketahui sipaderi tua,
maka Tik Hun tidak berani membuka suara, tapi hanja meng-gerak2an tangan untuk
memberi tanda djangan kuatir sebab datangnja itu bermaksud menolong gadis itu
serta akan melarikan diri ber-sama2 dengan menunggang kuda.
Tjui Sing sendiri sedjak
digondol lari sipaderi tua, diam2 ia sudah putus asa akan nasibnja sendiri jang
tertjengkeram ditangan iblis kedua paderi tjabul itu, ia tidak berani
membajangkan penderitaan apa jang akan dialaminja nanti.
Tjelakanja ia tertutuk,
djangankan bergerak, sedangkan untuk bitjarapun tidak dapat. Ia ditaruh begitu
sadja ditengah semak2 rumput, semut dan belalang selalu merajap kian kemari
dikepala dan lehernja hingga gatal dan risih rasanja. Kini melihat Tik Hun
menggerumut pula mendekati dirinja, ia sangka pemuda itu pasti tidak bermaksud
baik dan tentu akan berbuat tidak senonoh kepadanja, keruan takut Tjui Sing
tidak kepalang.
Ber-ulang2 Tik Hun masih menggeraki
tangannja untuk memberi tanda bahwa maksudnja hendak menolong padanja. Tapi
saking takutnja Tjui Sing mendjadi salah tampa, salah terima, hingga semakin
menambah rasa takutnja.
Segera Tik Hun menarik bangun
sigadis dan menuding kearah kuda jang tertambat disebelah sana itu, maksudnja
mengadjak gadis itu melarikan diri bersama dengan menunggang kuda. Tapi meski
Tjui Sing sudah berduduk, sekudjur badannja tetap lemas lunglai tidak
bertenaga.
Kalau kedua kaki Tik Hun dalam
keadaan sehat dan kuat tentu ia dapat memondong sigadis. Tapi kini kakinja
patah, untuk berdjalan sendiri sadja susah, apalagi hendak memondong orang
lain? Djalan satu2nja ia pikir harus membuka dulu Hiat-to sigadis jang tertutuk
itu dan biar gadis itu berdjalan sendiri.
Namun Tik Hun tidak paham
tjara menutuk dan membuka Hiat-to, terpaksa ia memberi tanda pula dengan
tangannja sambil men-tuding2 bagian2 tubuh sigadis dengan harapan dapatlah
gadis itu membalas memberi tanda djawaban dengan lirikan matanja tempat mana
dapat membuka Hiat-to jang tertutuk itu.
Sebaliknja Tjui Sing salah
tampa lagi. Ia lihat pemuda itu tuding2 kesegala pelosok badannja, karuan
malunja tak terkatakan dan gemasnja djuga tidak kepalang. Pikirnja:
“Kurangadjar benar paderi muda ini, entah dengan tjara aneh apa aku akan
diperlakukan setjara tidak senonoh olehnja. Kuharap asal badanku dapat bergerak
sedikit sadja, segera aku akan tumbukan kepalaku diatas batu, lebih baik mati
daripada menerima hinaan.”
Melihat air muka sinona
mengundjuk rasa bingung dan aneh, diam2 Tik Hun heran. Ia menduga mungkin gadis
itu tidak tahu apa jang dimaksudkan dengan gerakan tangannja tadi. Padahal
selain membuka Hiat-to jang tertutuk itu, rasanja tiada djalan lain lagi untuk
bisa meloloskan diri. Katanja didalam hati: “Maksudku hanja ingin membantu nona
melarikan diri dari antjaman bahaja, maka harap memaafkan tindakanku ini.” ~
Habis itu, terus sadja ia ulur tangan dan memidjat beberapa kali dipunggung
sigadis.
Sudah tentu pidjitan2 itu
tiada membawa hasil apa2 dalam hal membuka Hiat-to jang tertutuk. Sebaliknja
rasa takut Tjui Sing semakin bertambah hingga hampir2 ia djatuh kelengar.
Sebagai seorang gadis, biarpun dia sering mengembara di Kangouw bersama sang
Piauko, jaitu Ong Siau-hong, tapi setiap tindak-tanduk mereka selalu
sopan-santun, bahkan tangan menjentuh tangan djuga tidak pernah, apalagi main
pegang2 segala. Ketjuali tadi waktu dia diturunkan dari kuda oleh sipaderi tua,
boleh dikata selama hidup belum pernah ada tangan kaum prija jang menjentuh
tubuhnja. Kini Tik Hun bukan lagi menjentuh tubuhnja, bahkan pidjit2
dipunggung, keruan saking takut dan malunja sampai air matanja bertjutjuran.
Sebaliknja Tik Hun mendjadi
heran dan kedjut. “Mengapa dia menangis? Ah, tentu karena habis tertutuk,
Hiat-to dipunggungnja itu mendjadi sangat kesakitan bila terpegang oleh
tanganku hingga saking tak tahan dia lantas menangis. Biarlah kutjoba membuka
Hiat-to dipinggangnja sadja?” demikian pikir Tik Hun.
Maka kembali ia ulur tangan
kepinggang sigadis bagian belakang dan memidjat beberapa kali pula.
Tapi tjelaka, bukannja gadis
itu ketawa geli, sebaliknja air matanja semakin deras sebagai bandjir. Keruan
Tik Hun bertambah heran dan bingung pula. “Wah, kiranja bagian pinggang djuga
sakit, lantas apa dajaku?” demikian pikirnja.
Namun se-bodoh2nja Tik Hun
djuga tahu bahwa bagian2 dada, leher, paha, perut, dan lain2 adalah tempat2
jang merupakan keagungan kaum wanita. Djangankan dipegang segala, sedang
dipandang sadja dilarang keras. Maka ia memikir pula: “Aku tidak dapat membuka
Hiat-tonja, djika aku mentjoba lagi setjara sembarangan, itu berarti aku
berbuat kasar. Terpaksa aku mesti menggendong dia dan melarikan diri dengan
menjerempet segala bahaja.” ~ Berpikir demikian, terus sadja ia pegang kedua
tangan sigadis dengan memaksud untuk menggendongnja.
Tjui Sing sendiri lagi
ketakutan dan susah tak terkatakan, saking tjemasnja sudah beberapa kali
hampir2 ia kelengar. Kini melihat “paderi tjabul” itu mulai memegang tangannja,
ia sangka orang mulai akan main paksa. Ia ingin berteriak minta tolong, tapi
napasnja tertahan didada dan susah dikeluarkan. Ketika Tik Hun mulai tarik
tangannja dan hendak mengangkat tubuhnja, seketika hawa jang merongkol
didadanja itu lantas menerdjang hingga Ah-hiat jang tertutuk tadi terbuka
mendadak ia dapat ber-teriak2 dengan suara tadjam melengking: “Bangsat gundul,
lepaskan aku, lepaskan aku!”
Keruan Tik Hun kaget,
pegangannja mendjadi kendor hingga Tjui Sing terbanting djatuh ketanah. Bahkan
ia sendiripun ter-hujung2 dan achirnja terguling djuga dan setjara sangat
kebetulan djatuhnja itu tepat menindih diatas badan Tjui Sing.
Dan karena djeritan Tjui Sing
itu, sipaderi tua lantas sadar, ia membuka mata dan melihat Tik Hun sedang
“bergumul” dengan Tjjui Sing, bahkan gadis itu lagi ber-teriak2 pula: “Bangsat
gundul, lekas lepaskan aku atau bunuhlah aku sadja!”
“Hahahaha!” sipaderi tua
ter-bahak2 menjaksikan itu. “Haha, setan tjilik, kenapa kau begitu ter-buru2?
Kau hendak mentjuri nona milik kakek gurumu, ja? Hahahaha!” ~ Segera iapun
mendekati mereka, sekali djamberet, ia tarik Tik Hun keatas dan dibawa
menjingkir, lalu dilepaskan ketanah sambil berkata pula dengan tertawa: “Haha,
bagus, bagus! Aku paling suka kepada pemuda pemberani seperti kau ini. Biarpun kakimu
patah, tapi melihat ada wanita, engkau lantas lupa sakit. Ehm, bagus, bagus!
Engkau sangat mentjotjoki seleraku!”
Keruan Tik Hun garuk2 kepala
sendiri dengan serba runjam karena kesalah-pahaman kedua orang itu. Sinona
salah tampa, mengira dirinja hendak berbuat tidak senonoh kepadanja, sebaliknja
sipaderi tua salah sangka dia hendak merebut ‘hak milik’ sang ‘kakek guru’ itu.
Diam2 Tik Hun memikir: “Kalau aku bitjara terus terang padanja, mungkin sekali
hantam paderi itu bisa membikin tamat riwajatku. Terpaksa aku harus mengikuti
arah angin untuk berusaha meloloskan diri, berbareng mentjari akal untuk
menolong nona itu.”
“Apakah engkau adalah murid
jang baru diterima Po-siang?” demikian terdengar sipaderi tua sedang menanja.
Dan belum lagi Tik Hun mendjawab, tiba2 paderi itu tertawa lebar dan menjambung
pula: “Ehm, tentu Po-siang sangat suka padamu, bukan sadja dia telah
menghadiahkan ‘Hiat-to-tjeng-ih’ (djubah paderi bersulam gambar golok
berdaarah) kepadamu, bahkan djilid ‘Hiat-to-pit-kip’ (kitab pusaka golok
berdarah) djuga sudah diberikan padamu.”
Habis berkata, sekali ia
mengulur tangannja, tahu2 buku ketjil jang berada didalam badju Tik Hun itu
dirogoh keluar olehnja, ia mem-balik2 halaman kitab itu, lalu mengusap kepala
Tik Hun dengan pelahan2 sambil berkata: “Ehm, bagus, sangat bagus! Siapakah
namamu?”
“Tik Hun!” sahut sipemuda.
“Tik Hun? Ehm, bagus, sangat
bagus!” demikian pudji sipaderi tua sambil mengembalikan kitab ketjil itu
kedalam badju Tik Hun. ”Dan gurumu sudah mengadjarkan padamu kuntji melatih
ilmu silat kita belum?”
“Belum,” sahut Tik Hun.
“O, tapi tak apalah, tidak
lama tentu dia akan mengadjarkan padamu,” udjar paderi tua itu. “Dan dimanakah
Suhumu telah pergi?”
Sudah tentu Tik Hun tidak
berani mengatakan Po-siang sudah mampus, terpaksa ia menjahut sekenanja:
“Dia......dia berada dikapal ditengah Tiangkang.”
“Suhumu pernah memberitahukan
kepadamu tentang gelar agung Sutjomu (kakek gurumu) tidak?” tanja sipaderi tua
pula.
“Belum,” sahut Tik Hun.
“Baiklah, dengarkan sekarang,
kakek-gurumu ini bergelar ‘Hiat-to-Lotjo’,” kata paderi tua. “Aneh djuga, entah
mengapa engkau sisetan tjilik ini sangat menjenangkan aku. Bolehlah kau ikut
pada kakek-gurumu ini, tanggung kau akan mendapat redjeki tiada taranja, setiap
wanita tjantik dan gadis aju didunia ini, siapa jang kau penudjui, tentu pula
akan kau peroleh dengan mudah.”
“Kiranja dia adalah gurunja
Po-siang,” demikian pikir Tik Hun. Tapi ia lantas tanja djuga:
“Mengapa......mengapa orang memaki kita sebagai ........sebagai
‘Hiat-to-ok-tjeng’? Apakah Su......Sutjo adalah Tjiangkau (pedjabat ketua dari
golongan kita ini?”
“Hehe, Po-siang si bedebah ini
benar2 terlalu, masakah tentang asal-usul golongannja sendiri djuga tidak
dikatakan kepada murid kesajangannja,” demikian Hiat-to Lotjo atau si Ejang
golok berdarah, mengomel dengan mengekeh tawa. “Tapi biar kuterangkan padamu.
Golongan kita ini adalah suatu tjabang dari Bit-tjong di Tibet, namanja disebut
‘Hiat-to-bun’. Aku adalah pedjabat ketua angkatan keempat daripada keluarga
golok berdarah kita ini. Maka engkau harus beladjar dengan baik2 dan giat,
kemudian bukan mustahil djabatan ketua angkatan keenam akan dapat djatuh atas
dirimu. Eh, tulang kakimu telah patah terindjak kuda, ja? Djangan kuatir, marilah
biar kuberi obat.”
Segera ia membuka balutan kaki
Tik Hun jang patah itu, ia sambung tulang patah tepat pada tempatnja satu sama
lain, lalu mengeluarkan sebuah botol porselen dan menuang sedikit obat bubuk
dan dibubuhkan ditempat luka itu. Katanja: “Ini adalah obat mudjarab menjambung
tulang dari golongan kita, tanggung tjes-pleng, tiada sebulan, tentu kakimu
akan pulih seperti sediakala.”
Setelah membalut kembali luka
Tik Hun itu, sipaderi berpaling kepada Tjui Sing, lalu katanja pula dengan
tertawa: “Setan ketjil, rupa anak dara ini memang lumajan dan potongan badannja
boleh djuga, bukan? Ia mengaku sebagai ‘Leng-kiam-siang-hiap’ apa segala,
bapaknja bernama Tjui Tay, katanja adalah tokoh terkemuka dikalangan Bu-lim
didaerah Tionggoan sini, biasanja suka mengagulkan diri sebagai kaum
Beng-bun-tjing-pay (keluarga baik2 dan golongan ternama), siapa duga anak dara
ini telah kena ditjulik oleh Hiat-to Lotjo. Hehehe, kita harus membikin malu
habis2an kepada bapaknja itu, kita beletjeti badju anak dara ini dan ikat dia
diatas kuda, lalu kita arak dia sepandjang djalan dikota Pakkhia (Peking), biar
setiap orang ikut menjaksikan dengan djelas beginilah matjamnja anak perawan
Tjui-tayhiap jang mereka pudja itu.”
Keruan hati Tjui Sing
ber-debar2 mendengar utjapan paderi tua itu, saking takutnja hampir2 ia
kelengar lagi. Pikirnja diam2: “Paderi muda itu sudah djahat, tapi paderi tua
bangka ini terlebih djahat dan kedji. Aku harus lekas mentjari djalan untuk
membunuh diri demi badanku jang sutji bersih ini serta nama baik ajah.”
“Aha, baru dibitjarakan, tahu2
orang jang hendak menolongnja sudah tiba!” tiba2 Hiat-to Lotjo berseru sambil
tertawa.
Tik Hun mendjadi girang malah,
tjepat ia tanja: “Dimana?”
“Sekarang masih djauh, paling
sedikit ada lima li dari sini,” sahut Hiat-to Lotjo. “Hehe, banjak djuga
djumlahnja, ehm, seluruhnja ada 17 penunggang kuda.”
Waktu Tik Hun mendengarkan
dengan tjermat, benar djuga sajup2 didjalan pegunungan disebelah tenggara sana
ada suara derapan kuda, tjuma djaraknja masih sangat djauh, maka suara derapan
itu terkadang terdengar dan terkadang lenjap, untuk membade berapa djumlah
orangnja sudah tentu sangat sulit, tapi sedikit mendengarkan sadja Hiat-to
Lotjo sudah lantas tahu dengan pasti djumlahnja ada 17 orang, sungguh daja
pendengarannja jang tadjam itu sangat mengedjutkan orang.
Kemudian Hiat-to Lotjo berkata
pula: “Tulang kakimu baru sadja dibubuhi obat, dalam waktu tiga djam engkau
tidak boleh sembarangan bergerak, kalau tidak, untuk selamanja kau akan
mendjadi pintjang. Didaerah sini aku tidak pernah mendengar ada djago2 jang
berkepandaian tinggi, meskipun mereka berdjumlah 17 orang, biarlah nanti
kubunuh semua sadja.”
Sesungguhnja Tik Hun tidak
ingin Hwesio djahat itu terlalu banjak mentjelakai djago2 silat jang baik
dikalangan Bu-lim, maka tjepat ia berkata: “Kita sembunji disini sadja tanpa
bersuara, mereka tentu takkan mampu menemukan kita. Djumlah musuh terlalu banjak,
sebaliknja kita tjuma berdua, maka sebaiknja Su.....Sutjo berlaku hati2 sadja.”
Hiat-to Lotjo mendjadi senang,
katanja: “Ehm, setan tjilik berhati luhur, dapat memperhatikan keselamatan
kakek-gurumu. Hehe, Sutjo sangat suka padamu.”
Habis berkata, sekali ia
mengagap kebagian pinggang, tahu2 sebatang Bian-to (golok badja jang tipis dan
lemas) terpegang ditangannja, batang golok itu tampak bergemetar terus mirip
ular hidup. Dibawah sinar bulan mata golok itu kelihatan berwarna merah padam,
lapat2 bersemu warna darah dan sangat menjeramkan.
Tanpa merasa Tik Hun bergidik,
tanjanja dengan gemetar: “Apakah........apakah inilah jang disebut Hiat-to
(golok berdarah)?”
“Ja,” sahut Hiat-to Lotjo.
“Golok pusaka ini setiap malam bulan purnama mesti diberi sesadjen kepala
manusia, kalau tidak, tadjamnja akan berkurang dan tidak menguntungkan
sipemiliknja. Lihatlah malam ini bulan lagi purnama, kebetulan ada 17 orang
menghantarkan kepala mereka sendiri untuk sesadjen golokku. Wahai,
golok-pusaka, malam ini engkau pasti akan kenjang makan darah manusia, lebih
kenjang daripada apa jang pernah kau rasakan.”
Dilain pihak, diam2 Tjui Sing
sedang bergirang demi mendengar suara derapan kuda jang ramai itu semakin
mendekat, tapi sesudah mendengar utjapan Hiat-to Lotjo jang sangat sombong itu
se-akan2 setiap orang jang datang itu sudah pasti akan terbunuh olehnja. Hal
ini meski membuatnja ragu2, tapi diam2 iapun berpikir: “Apakah ajahku sendiri
ikut datang? Dan apakah Piauko djuga datang kemari?”
Selang tak lama pula, dibawah
sinar bulan jang terang itu, tertampaklah dari djalan lereng bukit sana
sebarisan penunggang kuda sedang mendatangi dengan tjepat. Waktu Tik Hun tjoba
menghitungnja, benar djuga, tidak lebih dan tak kurang, djumlahnja memang tepat
adalah 17 orang.
Susul menjusul ke-17
penunggang kuda itu tertampak mengeprak kuda dengan tjepat, setiba didekat
tebing situ, penunggang2 kuda itu lantas membiluk kedjalan dibawah tebing itu,
ternjata tiada terpikir oleh mereka untuk menjelidiki keadaan diatas tebing.
“Aku berada disini, aku berada
disini!” segera Tjui Sing berteriak2.
Mendengar itu, seketika ke-17
orang itu memberhentikan kuda mereka dan memutar kembali.
“Piaumoay! Dimanakah engkau,
Piaumoay?” segera seorang laki2 balas berseru. Itulah suaranja Ong Siau-hong.
Dan selagi Tjui Sing hendak
berteriak pula, mendadak Hiat-to Lotjo mendjulur djarinja dan menjelentik
sekali, sebutir batu ketjil terus menjambar kearah sigadis dan tepat mengenai
pula Ah-hiat hingga Tjui Sing tidak dapat bersuara lagi.
Sementara itu ke-17 orang itu
sudah melompat turun semua dari binatang tunggangan mereka dan sedang berunding
dengan suara pelahan2.
Mendadak Hiat-to Lotjo pegang
bahu Tik Hun terus mengangkatnja tinggi2 keatas sambil berseru: “Inilah Hiat-to
Lotjo. Tjiangbundjin angkatan keempat dari Hiat-to-bun Bit Tjong di Tibet
bersama murid angkatan keenam Tik Hun berada disini!” ~ Menjusul ia berdjongkok
dan mentjengkeram pula leher badju Tjui Sing serta diangkatnja keatas djuga
sambil berteriak: “Lihatlah ini, anak perawannja Tjui Tay kini sudah mendjadi
gundik ke-18 daripada tjutju muridku Tik Hun. Siapakah diantara kalian ada jang
kepingin minum arak bahagianja, silakan lekas madju kemari! Ahahahahaha!”
Ia sengadja hendak pamerkan
betapa tinggi Lwekangnja, maka suara ketawanja itu dibikin pandjang hingga
antero lembah pegunungan itu se-akan2 terguntjang oleh suaranja jang
berkumandang djauh itu.
Keruan ke-17 orang itu saling
pandang dengan terperandjat sekali.
Namun demikian, bagi Ong
Siau-hong, oleh karena sang Piaumoay berada dibawah tjengkeraman paderi djahat
dan tampaknja sedikitpun tidak mampu melawan, malahan mendengar pula teriakan
paderi tua itu tadi jang mengatakan sang Piaumoay sudah mendjadi gundik ke-18
dari tjutju muridnja jang bernama Tik Hun, ia mendjadi tambah kuatir djangan2
sang Piaumoay telah dinodai, saking gusar dan kuatirnja, sekali menggereng,
terus sadja ia mendahului menjerbu keatas tebing dengan pedang terhunus.
Segera pula ke-16 orang jang
lain ikut menerdjang keatas sambil ber-teriak2: “Bunuh dulu Hiat-to-ok-tjeng
itu!” ~ “Basmilah penjakit orang Kangouw ini!” ~ “Ja, paderi tjabul seperti itu
djangan sekali2 diberi hak hidup!”
Menghadapi keadaan demikian,
Tik Hun mendjadi serbasalah. Orang2 itu telah sangka dirinja sebagai Hwesio
djahat dari Hiat-to-bun, biar bagaimanapun rasanja sulit untuk membela diri dan
memberi pendjelasan. Paling baik dalam pertarungan nanti mereka dapat membunuh
Hiat-to Lotjo dan nona Tjui Sing dapat diselamatkan. Tetapi kalau Hiat-to Lotjo
terbinasa, tentu dirinja djuga susah lolos dibawah sendjata orang2 itu.
Begitulah Tik Hun mendjadi bingung dan serba sulit, sebentar berharap kaum
pendekar Tionggoan itu bisa menang, lain saat mengharapkan Hiat-to Lotjo jang
menang pula.
Sebaliknja Hiat-to Lotjo
bersikap sangat tenang, djumlah musuh jang sangat banjak itu dianggapnja urusan
sepele sadja. Kedua tangannja masih terus mendjindjing Tik Hun dan Tjui Sing
sambil mulutnja menggigit Hiat-to hingga semakin menambah tjoraknja jang seram
dan menakutkan.
Setelah para pendekar
Tionggoan itu kira2 tinggal berpuluh meter hampir mendekat, pelahan2 Hiat-to
Lotjo meletakkan Tik Hun ketanah, ia taruh dengan hati2 sekali supaja tidak
mengganggu tulang kaki “tjutju-murid” jang patah itu. Dan sesudah rombongan
lawan tingggal belasan meter djauhnja, barulah ia letakan pula Tjui Sing
disampingnja Tik Hun. Goloknja masih tetap tergigit dimulut, kedua tangannja
lantas bertolak pinggang, lengan badjunja ber-kibar2 tertiup angin malam jang
kentjang.
“Piaumoay! Baik2kah engkau?”
segera Ong Siau-hong berseru dari djauh.
Sudah tentu Tjui Sing djuga
bermaksud menjahut, tapi apa daja, ia takdapat bersuara. Tjuma kedatangan sang
Piauko jang semakin dekat itu dapat diikutinja dengan djelas. Ia lihat air muka
sang Piauko jang tampan itu mengandung rasa penuh kuatir dan sedang berlari
mendatangi. Sungguh girang Tjui Sing tak terkatakan, alangkah terima kasih dan
tjintanja kepada sang Piauko itu, kalau dapat ia ingin segera menubruk kedalam
pelukan pemuda itu untuk menangis serta mengadukan penderitaan dan penghinaan
apa jang telah dialaminja selama beberapa djam ini.
Sementara itu Ong Siau-hong
lagi tjelingukan kian kemari, perhatiannja melulu ditjurahkan untuk mentjari
Piaumoay seorang, karena itu langkahnja mendjadi agak lambat, maka diantara
para pendekar itu sudah ada 7-8 orang melampauinja kedepan.
Dibawah sinar bulan purnama,
sikap Hiat-to Lotjo jang gagah berwibawa dengan berdiri sambil menggigit golok
itu membuat para pendekar serentak berhenti ketika lima-enam meter berada
didepan paderi tua itu.
Setelah kedua pihak saling
pandang sedjenak, mendadak terdengar suara bentakan, dua laki2 berbareng terus
menerdjang keatas. Jang satu bersendjatakan Kim-pian (rujung emas) dan jang
lain bersendjatakan Siang-to (sepasang golok). Mereka adalah dua saudara seperguruan
dari keluarga Hek di Soasay Tay-tong-hu jang terkenal. Walaupun sesama
perguruan, tapi sendjata mereka berlainan, jang memakai Kim-pian bertenaga
sangat besar, sebaliknja jang bersendjata Siangto sangat lintjah dan gesit.
Kira2 beberapa meter mereka
menjerbu madju, karena langkah pemakai Siang-to itu lebih gesit dan tjepat,
segera ia mengisar kebelakang Hiat-to Lotji, dengan demikian mereka lantas
menggentjet paderi itu dari muka dan belakang sambil mem-bentak2.
Tapi sedikit Hiat-to Lotjo
mengegos, batjokan Siang-to lawan sudah terhindar. Setelah berkelit pula
beberapa kali dari serangan lawan sambil goloknja tetap tergigit dimulut, suatu
ketika, se-konjong2 dengan tangan kiri ia memegang garan goloknja jang tipis
dan lemas itu, sekali ia mengajun, kontan kepala lawan jang memakai Kim-pian
itu terpapas separoh.
Habis membunuh seorang, segera
paderi tua itu menggigit goloknja dengan mulut.
Keruan lawan jang memakai
Siang-to itu terperandjat dan berduka pula, ia mendjadi nekat djuga, ia putar
sepasang goloknja sekentjang kitiran dan merangsang madju.
Tapi Hiat-to Lotjo dengan
seenaknja dapat menjusur kian kemari dibawah sinar golok lawan itu. Se-konjong2
ia memegang goloknja lagi, sekali ini dengan tangan kanan, dan sekali tabas,
tahu2 lawan telah terbatjok mati.
Serentak para pendekar
mendjerit takut dan mundur kebelakang. Tertampak paderi tua itu menggigit golok
jang berlumuran darah, mulutnja berlepotan darah pula, sikapnja beringas
menjeramkan.
Walaupun djeri, namun para
pendekar itu sudah bertekad sehidup-semati, maka betapa pun mereka pantang
lari. Dengan mem-bentak2, kembali ada empat orang menerdjang madju lagi terbagi
dari empat djurusan.
Mendadak Hiat-to Lotjo lari
kearah barat. Dengan sendirinja keempat lawannja serentak mengedjar, begitu
pula pendekar2 jang lainpun ikut mengudak sambil mem-bentak2.
Hanja dalam beberapa meter
djauhnja, tertampaklah tjepat dan lambat keempat pengedjar itu, jang dua dapat
mendahului didepan dan dua orang lainnja ketinggalan dibelakang.
Rupanja itulah jang diinginkan
Hiat-to Lotjo, mendadak ia berhenti lari kedepan, sebaliknja terus menjerbu
kembali. Dimana sinar merah berkelebat, tahu2 kedua lawan didepan itu sudah
terbinasa dibawah goloknja. Dan sedikit tertegun kedua orang jang menjusul dari
belakang itu, tahu2 leher mereka djuga sudah berkenalan dengan golok sipaderi
tua, tanpa ampun lagi kepala mereka berpisah dengan tuannja.