Pedang Hati Suci Jilid 11-15

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pedang Hati Suci Jilid 11-15 Menurut kebiasaan adat istiadat pedesaan Oulam, lagu San-ko itu dinjanjikan setjara spontan menurut keadaan setempat dimana sipenjanji berada. Lagunja sering2 kasar dan umum, tiada ubahnja seperti kata2 se-hari2,
Menurut kebiasaan adat istiadat pedesaan Oulam, lagu San-ko itu dinjanjikan setjara spontan menurut keadaan setempat dimana sipenjanji berada. Lagunja sering2 kasar dan umum, tiada ubahnja seperti kata2 se-hari2, hanja tjara menjanjikannja berirama dan pakai tekukan suara hingga kedengarannja merdu mentakdjubkan.

Dan habis menjanji, tiba2 Tik Hun merasa pilu, teringat penghabisan kalinja memain bersama Djik Hong, njanjian itu sudah lima tahun tidak pernah membasahi tenggorokannja lagi. Kini dapat menjanji pula, tapi pemandangan keadaan disekelilingnja ternjata sangat aneh dan berlainan, kalau dulu sipendengarnja adalah sang Sumoay jang tjantik molek, adalah sekarang pendengarnja adalah seorang Hwesio gede jang djahat dan........ telandjang bulat.

Begitulah ia sengadja lewat dikelenteng itu dengan pelahan2 lalu ia tjekik lehernja sendiri dan menjanji pula dengan menirukan suara wanita:

Oi, engkau A Sam sibotak apanja jang menarik?

Berani mimpi beristerikan aku sitjantik?

Emangnja aku kepintjuk kepalamu jang kelimis?

Atau terpikat karena .......

Belum lagi njanjiannja selesai, se-konjong2 Po-siang sudah berlari keluar dengan hanja menutupi badannja dengan badju luar. Rupanja ia ingin tahu siapakah gerangan jang menjanji itu. Dan ketika melihat kepala Tik Hun gundul pelontos, ia sangka pemuda itu memang benar2 seorang desa dan botak, ia merasa geli pula mendengar lagu Tik Hun jang meng-olok2 kepala sendiri jang botak serta tjaranja menirukan suara wanita jang lutju itu.

“Hai, gundul, kemari!” seru Po-siang segera.

Tik Hun mendjawabnja dengan menjanji pula:

“Ada keperluan apa Toasuhu memanggil daku?

Apa mau persen emas dan perak?

Harini sibotak A Sam lagi ketumplek redjeki,

Makanja Toasuhu hendak mengundang aku makan babi.”
Begitulah sambil menjanji dengan lagak jang di-buat2 djenaka, mau-tak-mau Tik Hun mendekati Po-siang. Meski sedapat mungkin ia berlagak sebagai pemuda desa jang ke-tolol2an, tapi hatinja ber-debar2 hebat, wadjahnja djuga berubah.

Untung Po-siang tidak dapat mengenalnja. Dengan tertawa paderi itu berkata: “Hai, A Sam sibotak, lekaslah engkau mentjarikan makanan untukku dan Toasuhu pasti akan memberi persen padamu. Ada babi gemuk tidak disini?”
“Ditanah pegunungan sunji tidak ada babi ......”
“Hus,” bentak Po-siang sebelum Tik Hun melandjutkan njanjianja. “Bitjaralah jang betul, djangan pakai njanji2 segala ......

Maka Tik Hun melelet lidah sekali dan pura2 mengundjuk lagak djenaka, lalu menjahut dengan suaranja jang di-bikin2: “A Sam sudah biasa menjanji, kalau bitjara biasa malah kaku rasanja. Toasuhu, disekitar sini seluas belasan li tiada kampung djuga tiada desa, djangankan engkau hendak makan babi, sekalipun mentjari sajur dan bubur djuga susah. Tapi dari sini kira2 sedjauh 15 li kebarat ada sebuah kota ketjil, disana dapat membeli daging dan arak, ada ikan ada ajam, apa jang Toasuhu ingin, segala apa djuga dapat dibeli disana, boleh tjoba Toasuhu pergi kesana sadja.”

Tik Hun insaf waktu ini masih belum mampu membunuh Po-siang untuk membalas sakit hati batjokannja kepada majat Ting Tian itu. Maka jang dia harap tjuma moga2 paderi djahat itu mau pertjaja pada obrolannja dan mentjari makanan ketempat jang dikatakan itu, dengan demikian ia ada kesempatan untuk melarikan diri dengan membawa majat Ting Tian.

Akan tetapi hudjan djustreru tidak mau ber-henti2, sedangkan Po-siang tidak mau kehudjanan lagi, maka mendadak Po-siang telah membentak: “Baiklah lekas kau pergi mentjarikan sedikit makanan kalau ada arak dan daging lebih baik, kalau tidak, boleh djuga sembelih seekor ajam atau bebek.”

Tapi Tik Hun sedang memikirkan bagaimana keadaan majat sang Toako itu, maka sambil berkata tadi ia terus melangkah masuk djuga kedalam kelenteng. Ia lihat djenazah Ting Tian sudah diseret keluar oleh Po-siang, pakaian djenazah itu tampak kumal dan tjompang-tjamping tak keruan, terang sudah pernah digeledah oleh Po-siang. Dalam gemas dan dukanja, betapapun Tik Hun ingin menahan perasaan djuga takbisa, maka dengan putus2 ia berkata: “Di ..... disini ada orang mati, apakah ....... Toasuhu jang membunuhnja?”

Melihat perubahan wadjah Tik Hun itu, Po-siang menjangka sigundul itu mendjadi ketakutan melihat orang mati. Maka dengan menjengir ia mendjawab: “Bukan aku jang membunuhnja. Boleh tjoba kau periksa dia, siapakah orang ini? Apa kau kenal dia?”

Tik Hun terkedjut, ia mendjadi takut karena menjangka dirinja dikenali. Tjoba kalau bukan bertekad hendak melindungi djenazah Ting Tian, boleh djadi ia sudah angkat langkah seribu. Maka sedapat mungkin ia tjoba tenangkan diri dan mendjawab: “Potongan orang ini sangat aneh, bukan orang kampung sini.”

“Sudah tentu ia bukan orang kampung sini,” udjar Po-siang dengan tertawa. Dan mendadak ia membentak: “Ajo, lekas pergi mentjarikan sedikit makanan. Kau tidak turut perintahku, apa minta kugetjek kepalamu?”

Melihat keadaan Ting Tian toh baik2 sadja, Tik Hun merasa lega, maka ber-ulang2 ia mengiakan sambil putar tubuh hendak keluar kelenteng, pikirnja: “Sementara ini biar aku menjingkir pergi sadja, asal setengah hari aku tidak datang kembali, karena kelaparan, tentu dia akan pergi mentjari makanan sendiri, tidak mungkin ia akan membawa serta Ting-toako. Apalagi dia geledah badan Ting-toako dengan hasil nihil, tentu dia akan putus harapannja.”

Tak terduga, baru beberapa langkah ia berdjalan, mendadak Po-siang membentak pula: “Berhenti! Kau hendak kemana?”

“Bukankah Toasuhu minta ditjarikan barang makanan?” sahut Tik Hun.

“Ehm, bagus, bagus!” kata Po-siang. “Dan berapa lama baru engkau dapat kembali?”

“Hanja sebentar sadja, selekasnja tentu aku akan kembali,” sahut Tik Hun pula.

“Baiklah, boleh kau pergi lekas!” udjar Po-siang.

Sebelum melangkah keluar, Tik Hun menoleh pula untuk memandang sekedjap kepada djenazah Ting Tian, habis itu baru ia bertindak pergi. Tapi baru dua tindak ia berdjalan, tiba-tiba terasa ada angin menjambar dari belakang, menjusul “plak-plok” dua kali, kedua belah pipinja masing2 telah kena ditampar sekali.

Untung Po-siang menjangka sibotak itu pasti seorang desa jang tidak paham ilmu silat, maka tjara tempilingnja tidak tidak terlalu keras; Dan untung djuga gerak serangan Po-siang teramat tjepat, sekali pukul sudah kena sasarannja hingga Tik Hun sama sekali tidak sempat berkelit. Kalau tidak, tentu rahasia Tik Hun akan ketahuan, sebab otomatis pemuda itu pasti akan berusaha menghindar dan lupa bahwa dirinja harus berlagak bodoh.

Begitulah Tik Hun mendjadi kaget. “Kenapa kau ...... kau ....” tanjanja dengan tergagap. Sedangkan dalam hati telah ambil keputusan: “Pabila engkau telah mengetahui rahasiaku, terpaksa aku mengadu djiwa dengan kau.”

Tapi didengarnja Po-siang telah membentak: “Kau membawa uang berapa banjak? Tjoba keluarkan ingin kulihat!”

Tik Hun melengak sekedjap oleh pertanjaan itu, sahutnja gugup “Aku ..... aku ....”

“Hm, badanmu telandjang begini, orang rudin matjammu masakan punja uang. Potongan seperti kau ini apa djuga mungkin dapat memindjam atau utang pada orang lain? Hm, kau bilang akan mentjari makanan, tapi sebenarnja kau hendak menggelojor pergi bukan?”

Mendengar itu, Tik Hun mendjadi lega malah. Njata paderi djahat itu tjuma menjangka dia hendak melarikan diri sadja.

Maka Po-siang telah berkata pula: “Kau sigundul ini tadi mengatakan bahwa sekeliling sini tiada sesuatu kampung dan tempat tinggal orang, lalu kemana engkau hendak membeli makanan serta dapat kembali dalam waktu sebentar. Hm, hm, bukankah kau sengadja membohong? Ajo, mengaku terus terang sebenarnja apa tudjuanmu.”

“Sebab ...... sebab aku takut pada Toasuhu dan ... dan ingin lari pulang,” sahut Tik Hun dengan sengadja gelagapan.

Po-siang ter-bahak2 senang, ia tepuk2 simbar dadanja jang berbulu hitam ketat itu sambil berkata: “Takut apa? Takut aku akan makan dirimu?”

Dan karena menjebut soal “makan”, seketika perut Po-siang berkerontjongan hingga laparnja susah ditahan. Padahal sesudah terang tanah, lebih dulu antero pelosok kelenteng itu sudah digeledahnja, tapi tiada setitik makanan apapun jang diperolehnja. Maka komat-kamit ia telah menggumam sendiri: “Takut aku makan dirimu? Takut kumakan dirimu?” ~ sambil menggumam, tiba2 sorot matanja mendjadi bengis sambil mengintjar diri Tik Hun.

Keruan Tik Hun mengkirik, ia dapat membade apa jang sedang dipikir oleh paderi djahat itu.

Dan memang saat itu Po-siang sedang memikir: “Ehm, daging manusia memangnja enak djuga, hati manusia lebih2 lezat. Ha, kebetulan didepan mata ini ada seekor ‘babi’, mengapa aku tidak menjembelihnja sekarang djuga?”

Sebaliknja diam2 Tik Hun sedang mengeluh: “Wah, tjelaka! Kalau aku dibunuh olehnja tidak mendjadi soal, tapi melihat gelagatnja, paderi djahat ini agaknja hendak menjembelih aku untuk dimakan. Wah inilah sangat penasaran, bagaimanapun aku harus melawannja.”

Akan tetapi sekali melawan tentu akan terbunuh, dan sesudah dibunuh tetap ia akan mendjadi isi perut paderi itu. Apa bedanja melawan dan tidak?

Dalam pada itu setindak demi setindak Po-siang sudah mendekati Tik Hun dengan wadjah jang menakutkan, dan pemuda itupun setindak demi setindak main mundur kebelakang.

“Hehe, kau terlalu kurus, tinggal tulang belaka, kalau dimakan tentu tidak enak rasanja,” demikian Po-siang ketawa ter-kekeh2. “Tetapi terpaksa, babi gemuk tidak ada, babi kurus djuga bolehlah!” ~ dan begitu tangannja mendjulur, segera lengan kiri Tik Hun kena dipegangnja.

Se-kuat2nja Tik Hun meronta, namun tidak mungkin terlepas lagi. Sesaat itu ia mendjadi kuatir dan takut tak terkatakan. Sesudah menderita siksaan lahir-batin selama beberapa tahun ini, baginja kematian sendiri bukan soal lagi, tapi bila membajangkan bakal dimakan mentah2 oleh paderi djahat itu, halini benar2 membuatnja mengkirik.

Dasar watak Po-siang itu ternjata sangat djahat dan kedjam, tapi djuga malas. Ia lihat Tik Hun sudah pasti takdapat melarikan diri dan merupakan daging jang tinggal ditjaplok sadja, ia pikir lebih baik suruh pemuda itu memasak air dulu, habis itu barulah menjembelihnja. Ia merasa sajang pemuda itu tidak dapat menjembelih diri sendiri, lalu mengolah pula satu porsi Ang-sio-lang-bak (bistik daging manusia) dan dihaturkan kepadanja untuk dimakan tanpa repot2 sendiri.

Maka katanja kemudian: “Tjara aku menjembelih dirimu dua djalan. Pertama kuiris daging pahamu sepotong demi sepotong untuk dibuat daging panggang sambil memakannja, hal ini tentu akan membuat kau banjak lebih menderita kesakitan. Tjara kedua jalah sekaligus membunuh kau untuk dimasak dan dan dibuat sop daging. Nah, menurut kau, tjara mana jang lebih enak?”

“Sudah tentu daging panggang lebih enak,” djawab Tik Hun tanpa pikir. Tapi segera ia tekap mulutnja sendiri ketika teringat jang akan didjadikan daging panggang adalah dirinja sendiri. Achirnja ia terus ber-teriak2: “Lebih baik kau lekas……lekas bunuh aku sadja, kau …. kau ….. paderi djahat ……” ~ dengan gusar sebenarnja ia terus ingin mentjatji maki, tapi kuatir pula kalau2 paderi itu mendjadi murka hingga dirinja akan disiksa lebih berat, maka achirnja ia mengurungkan maksudnja.

Dalam pada itu Po-siang sudah lantas berkata dengan tertawa: “Benar, benar! Pintar benar engkau ini, segala apa tahu. Memang daging panggang lebih enak. He, A Sam, pergilah kedapur sana dan ambil kuali besi itu kemari, isi pula kuali itu dengan air.”

Sudah terang Tik Hun tahu kuali itu akan digunakan untuk memasak dirinja, tapi ia toh masih tanja: “Untuk apa kuali itu?”

“Hehe, hal ini tak perlu kau tanja,” sahut Po-siang dengan tertawa. “Nah lekas pergi sana, lekas!”

“Hendak masak air, biarlah kumasak didapur sadja, kuali itu terlalu berat, dibawa kesini djuga tidak leluasa,” udjar Tik Hun.

“Keparat! Apa jang kuperintahkan harus segera kau kerdjakan tahu? Kau berani membangkang?” bentak Po-siang dengan gusar. Berbareng ia tempiling Tik Hun sekali.

Sambil memegangi pipinja jang merah begap itu, belum lagi Tik Hun sempat memikir, menjusul Po-siang telah mendepaknja pula hingga pemuda itu terguling.

Tapi sesudah dihadjar, otak Tik Hun mendjadi tadjam mendadak, pikirnja: “Daripada mati konjol, biarlah aku melabrak dia mati2an. Dia suruh aku masak air, inilah kesempatan baik malah, nanti kalau air dalam kuali sudah mendidih, diluar dugaannja segera kusiram badannja. Dia telandjang bulat, mustahil takkan melotjot dan mati terbakar?”

Dengan keputusan itu, ia mendjadi bersemangat dan tidak takut2 pula. Dengan menunduk ia lantas menudju kedapur dan membawa keluar sebuah kuali butut. Kemana dia pergi, selalu Po-siang mengintil dibelakangnja, rupanja paderi itu kuatir kalau2 Tik Hun melarikan diri.

Kuali butut itu bagian atas sudah gempil, maka hanja setengah kuali sadja dapat diisi air. Dengan sendirinja kekuatan setengah kuali air mendidih kurang lihay daripada air mendidih sekuali penuh, boleh djadi Po-siang takkan mati tersiram, tapi umpama paderi itu tidak lantas mati, kalau bisa membuatnja melotjot dan kedjat2 djuga bolehlah. Kemudian bila perlu biarlah aku membunuh diri dengan membenturkan kepalaku kedinding, walaupun harus disesalkan kewadjibanku untuk melaksanakan tjita2 Ting-toako agar dikubur bersama Leng-siotjia tak terlaksana, tapi keadaan tidak mengidinkan lagi, apa mau dikata? Demikian pikir Tik Hun.

Dengan kuali besi itu Tik Hun menadahi air hudjan diemperan, sampai air sudah luber keluar melalui lubang gempil kuali itu, barulah Tik Hun membawanja kembali kedalam ruangan.

“Ehm, bagus!” tiba2 Po-siang memudji. “Botak A Sam, sebenarnja aku merasa sajang untuk makan dirimu. Tjara kerdjamu ini tjepat dan tjekatan, sungguh seorang pekerdja jang baik.”

“Terima kasih atas pudjian Toasuhu,” sahut Tik Hun dengan senjum pahit.

Lalu ia kumpulkan beberapa potong bata dan ditumpuk sebagai tungku. Ia tumpangkan kualinja keatas tungku darurat itu. Didalam kelenteng bobrok itu banjak terdapat medja kursi rusak, karena buru2 ingin menjiram Po-siang dengan air mendidih, maka kerdja Tik Hun mendjadi sangat tjepat, ia djemput potongan kaki kursi dan medja dan didjedjalkan kedalam tungku.

Tapi ia lantas kebentur kesulitan, jaitu tiada api. Didalam kelenteng bobrok seperti itu sudah tentu susah diperoleh bibit api, sedangkan alat ketikan api jang dibawa Po-siang sudah basah-kujup oleh air hudjan. Waktu buru2 melarikan diri dari pendjara, Tik Hun sendiri djuga tidak membawa apa2.

Karena tak berdaja, terpaksa Tik Hun angkat bahu sambil pentang kedua tangan kearah Po-siang sebagai tanda tanja?

“Kenapa? Tidak ada api? Eh, ja aku ingat dibadannja ada,” seru Po-siang sambil menundjuk majat Ting Tian.

Dan baru sekarang Tik Hun dapat melihat djelas paha Ting Tian ternjata hantjur bekas kena batjokan Po-siang, seketika ia naik darah, ia menoleh dan pandang paderi itu dengan melotot penuh kebentjian, kalau bisa, sungguh ia ingin menubruk madju terus gigit paderi djahat itu se-puas2nja.

Tapi mirip kutjing mempermainkan tikus. Po-siang djusteru ingin menggoda dulu pemuda itu, habis itu baru akan memakannja. Maka terhadap kegusaran Tik Hun itu, sama sekali ia tidak ambil pusing, katanja dengan ketawa2: “Hajolah, kenapa engkau tidak tjoba mentjarinja? Kalau tiada api, terpaksa Toahwesio boleh djuga makan daging mentah.”

Tik Hun tjoba berdjongkok dan menggagapi badjunja Ting Tian, benar djuga diperolehnja dua potong benda ketjil. Jang satu ternjata adalah besi ketikan dan jang lain batu api. Diam2 ia heran: “Waktu kami berada bersama didalam pendjara, Ting-toako toh tidak punja benda2 seperti in, lantas dari manakah diperolehnja?”

Waktu ia membalik besi ketikan itu tiba2 terlihat sebaris huruf ukiran, jalah nama dari pembuat besi ketikan api itu: Lo-hap-hin-ki Hengtju.

Tik Hun ingat nama itu adalah merek bengkel besi jang pernah dimasukinja bersama Ting Tian waktu malam2 mereka melarikan diri dari pendjara, disana mereka telah minta sipandai besi memotong belenggu. Kiranja sesudah keluar pendjara, Ting Tian tahu setiap saat sangat membutuhkan bibit api, maka sekalian ia telah sambar besi ketikan dan batu api didalam bengkel itu.

Begitulah Tik Hun memandangi besi ketikan itu sambil mengelamun: “Pikiran Ting-toaku benar2 sangat tjermat. Alat ketikan api ini sebenarnja dimaksudkannja untuk dipakai waktu mengembara Kangouw bersama aku, siapa duga belum pernah sekali terpakai, Ting-toako sendiri sudah keburu meninggal.” ~ Dan karena terkenang kepada Ting Tian, tak tertahan lagi air mata Tik Hun meleleh keluar.

Po-siang sama sekali tidak mentjurigai pemuda itu adalah saudara angkat Ting Tian, ia mengira pemuda itu mendjadi sedih karena insaf sebentar lagi djiwanja akan melajang, makanja menangis.

“Hahahaa!” Po-siang ter-bahak2. “Toahwesio ini berbadan emas, mungkin redjekimu teramat besar, makanja dapat memakai usus Toahwesio sebagai peti mati dan mendjadikan perut Toahwesio sebagai tempat kuburmu. Sebenarnja kau harus bersjukur redjeki jang besar ini, kenapa malah menangis! Nah, lekasan menjalakan apinja!”

Tanpa bitjara Tik Hun men-tjari2 bahan penjulut lagi. Achirnja dapat diperolehnja segebung sisa kertas Tjiam-si jang sudah kuning tua. Segera ia mengetik api untuk menjulut kertas Tjiam-si itu, pelahan2 kaju dibawah kuali ikut terbakar djuga. Ketika kertas2 Tjiam-si itu terdjilat api, samar2 huruf2 Tjiam-si jang tadinja tertutup debu itu lantas kelihatan, Tik Hun melihat matjam2 ramalan jang tertulis diatas Tjiam-si itu. Akan tetapi Tik Hun lagi bingung sebentar tjara bagaimana harus menjiram Po-siang dengan air panas. Biarpun diatas Tjiam-si waktu itu timbul ramalan “nomor buntut” jang bakal keluar djuga takkan menarik baginja.

Lambat laun air dalam kuali mulai membuih, Tik Hun tahu tidak lama lagi air godok itu pasti akan mendidih. Ia mendjadi tegang, sebentar2 ia pandang air panas itu dan lain saat pandang2 perut Po-siang jang telandjang itu. Ia pikir mati-hidupnja tergantung sekedjap lagi, tanpa merasa kedua tangannja mendjadi gemetar.

Benar djuga, tidak lama kemudian, asap putih mulai mengepul, air kuali sudah bergolak dengan mendidih. Tanpa ajal lagi

Tik Hun terus berbangkit, begitu kedua tangannja memegang kuali, segera isi kuali akan digebjurkan keatas kepala Po-siang.

Tak terduga, baru sadja badannja bergerak, seketika lantas diketahui djuga oleh Po-siang, setjepat kilat paderi itu masih keburu memegangi tangan Tik Hun sambil membentak dengan bengis: “Apa jang hendak kau lakukan?”

Tik Hun tidak dapat berbohong, maka sekuatnja ia masih berusaha menjiramkan air mendidih itu kebadan Po-siang. Akan tetapi tangannja terasa seperti didjepit tanggam karena dipentjet oleh tangan Po-siang, hingga sedikitpun takbisa berkutik. Pabila Po-siang mau gebjurkan air panas itu keatas kepala Tik Hun, tjukup ia betot sekali sadja pasti akan djadi, tapi ia merasa sajang pada air masak itu, bila Tik Hun tersiram mati, tentu dia harus memasak air lagi, hal ini jang mendjadi keberatannja.

Maka sekuatnja ia tahan tangan Tik Hun kebawah hingga kuali itu tertaruh ketempat semula, ia membentak: “Lepaskan tanganmu!”

Akan tetapi Tik Hun tetap tidak mau melepaskan kuali itu, sekuatnja ia hendak merebut lagi. Tapi, ketika kepalan Po-siang menjambar, “blang”, kontan Tik Hun terpental dan tersungkur masuk kebawah altar Toapekong dengan kepala lebih dulu.

“Hajo, lekas keluar!” bentak Po-siang. “Lotju akan menjembelih kau, lekasan kau tjopot pakaianmu sendiri, supaja Lotju tidak usah repot.”

Tapi Tik Hun masih tjelingukan kian kemari dengan maksud hendak mentjari sesuatu alat untuk gaman, dengan begitu dapat mengadu djiwa dengan Po-siang. Mendadak dilihatnja dibawah altar itu terdapat dua ekor tikus jang menggeletak dengan perut membalik keatas, tampaknja binatang2 itu masih bergerak dengan kedjat2, djadi belum mati benar2.

Seketika Tik Hun seperti melihat sinar didalam kegelapan, terus sadja ia berteriak: “Toasuhu, djangan membunuh aku dulu. Aku telah berhasil menangkap dua ekor tikus, biar kumasak sop tikus untukmu, mau tidak?”

“Apa katamu? Tikus? Hidup atau mati?” tanja Po-siang.

Siapapun sudah pasti tidak sudi makan tikus mati, maka Tik Hun tjepat mendjawab: “Sudah tentu tikus hidup, lihatlah ini, masih bergerak dia, tjuna sudah sekarat karena kupentjet,” ~ sembari berkata ia lantas pegang tikus2 itu.

Dahulu Po-siang sudah pernah makan tikus, ia kenal daging tikus tjukup lezat tiada ubahnja seperti daging babi. Ia lihat dua ekor tikus itu tidak gemuk, mungkin disebabkan kurang makanan didalam kelenteng itu. Untuk sedjenak Po-siang mendjadi ragu2.

“Toasuhu,” tjepat Tik Hun menjusuli, “biarkan aku menjembelih tikus2 ini dan masak sop jang enak bagimu. Habis makan, tanggung engkau akan minta tambah lagi.”

Dasar Po-siang seorang pemalas, suruh dia masak makanan sendiri, mungkin dia lebih suka menderita lapar. Kini mendengar Tik Hun hendak masak sop tikus untuknja, tentu sadja kebetulan baginja. Maka sahutnja: “Tapi tjuma dua ekor, tidak tjukup, hajolah kau tangkap lagi beberapa ekor.”

Tik Hun pikir ilmu silatnja sekarang sudah musnah, tjara bagaimana sanggup menangkap tikus hidup lagi? Tapi betapapun sekarang ada kesempatan hidup baginja, hal ini tidak boleh di-sia2kan, maka tjepat sahutnja: “Toasuhu, biar kumasak dulu kedua ekor ini, habis itu akan kutangkap lagi beberapa ekor jang lain.”

Po-siang mengangguk, katanja: “Boleh djuga, dan kalau aku dapat makan kenjang, untuk mengampuni djiwamu djuga tidak mendjadi soal.”

Terus sadja Tik Hun merajap keluar dari bawah altar, katanja kemudian: “Tolong pindjam golok Toasuhu itu untuk memotong tikus2 ini.”

Sudah tentu Po-siang tidak memandang sebelah mata terhadap sigundul desa jang ke-tolol2an ini, ia lihat kedua ekor tikus jang dibawa keluar Tik Hun itu meamang betul masih dapat kedjat2, terang bukan tikus mati, maka sahutnja sambil menuding goloknja: “Ja, boleh pakailah!” ~ Tapi segera ia tambahkan lagi: ”Dan kalau kau berani, boleh tjoba seranglah pada Lotju.

Dalam pikiran Tik Hun memang ada maksud setelah memegang golok terus akan menjerang paderi djahat itu, tapi karena kena ditondjok lebih dulu, ia mendjadi tidak berani sembarangan berkutik lagi. Segera ia gunakan golok itu untuk memotng kepala tikus, membelih perut dan mengeluarkan isinja serta membeset bersih kulit tikus itu, setelah ditjutji pula dengan air hudjan, lalu ia masukan kedalam kuali.

“Ehm, bagus, bagus!” demikian Po-siang mengangguk dan memudji: “Kau sibotak ini memang pandai masak sop tikus. Nah, lekas pergi menangkap lagi beberapa ekor.”

Tjepat Tik Hun mengia terus bertindak keruangan belakang. Dalam hati ia pikir selama gunung masih menghidjau, takkan kuatir tiada kaju bakar. Asal masih hidup, tentu masih bisa berdaja untuk menjelamatkan djenazah Ting-toako dan mentjari kesempatan untuk membunuh paderi djahat itu.

Tiba2 Po-siang menteriakinja lagi: “Dan awas ja! Kalau kau berani lari, sebentar akan kusajat dagingmu sepotong demi sepotong untuk makananku.”

“Djangan kuatir, Toasuhu,” sahut Tik Hun sambil menoleh, “kalau tiada tikus, akan kutangkapkan kodok, kalau tiada kodok, didalam sungai masih banjak ikan dan udang, di-mana2 masih banjak makanan, pasti aku akan melajani engkau dengan baik2, kenapa mesti makan diriku?”

“Hm,” djengek Po-siang. “”Tapi harus tjepat! Eh, kau dilarang keluar kelenteng, tahu?”

Dengan suara keras Tik Hun mengiakan pula, lalu berdjongkok dilantai pura2 mentjari tikus, tapi pelahan2 ia mengendap kebelakang kelenteng. Ia lihat hudjan masih belum reda, untuk melarikan diri dari tangan djahat paderi itu terang suatu usaha jang sulit.

Untuk sedjenak ia tjelingukan kesana dan kesini untuk mentjari sesuatu tempat sembunji. Tiba2 dilihatnja tidak djauh disebelah kiri sana ada sebuah empang ketjil. Tanpa pikir lagi Tik Hun terus berlari kesana dan pelahan2 merosot kedalam empang, tinggal hidung dan mulutnja jang masih mengapung diatas permukaan air untuk bernapas. Ia raup pula kapu2 dan rumput air untuk mengalingi hidungnja agar tidak kelihatan dari atas.

Sedjak ketjil Tik Hun hidup dipedesaan jang banjak sungai, maka ia sangat mahir berenang. Tjuma sajang kelenteng itu agak djauh dari Tiang-kang, kalau dekat, sekali ia terdjun kedalam sungai dan menghanjutkan diri menurut arus, tentu Po-siang takkan mampu mengedjarnja.

Begitulah Tik Hun bersembunji didalam empang itu. Agak lama kemudian, tiba2 terdengar suara panggilan Po-siang: “Hai A Sam! Dimana kau A Sam? Sudah dapat menangkap tikus belum?”

Tapi karena tiada sahutan apa2, achirnja paderi itu mentjatji maki. Tik Hun tjoba miringkan telinga kanan kepermukaan air untuk mendengarkan gerak-gerik musuh, ia dengar Po-siang sedang memaki dengan kata2 kotor, bahkan 18 keturunannja djuga ditjatjinja habis2an. Habis itu, terdengar suara tindakannja, njata paderi itu telah keluar kelenteng untuk mentjarinja.

Hanja sebentar sadja terdengar Po-siang sudah dekat dengan empang itu. Keruan Tik Hun tidak berani menongolkan kepalanja lagi, tjepat ia pentjet hidung sendiri dan selulup kedalam air. Untung empang itu tidak terawat dan penuh tumbuh kapu2 dan alang2, dari atas tidak mudah untuk melihatnja.

Hlm 27: Gambar:

Sesudah didalam empang Tik Hun berbalik dapat menjeret Po-siang dan menahan kepala paderi itu kebawah air hingga Po-siang kerupukan.

Namun demikian, achirnja Tik Hun tidak tahan djuga dan terpaksa harus menongol kepala untuk bernapas. Siapa duga, baru sadja hidungnja menghirup hawa sekali, se-konjong2 tengkuknja sudah kena ditjengkeram oleh sebuah tangan. Lalu terdengarlah suara dampratan Po-siang dengan gusar: “Setan, sekarang engkau akan lari kemana? Kalau aku belum tjintjang kau mendjadi baso rasaku tidak puas. Nah, masih kau berani lari?”

Tapi Tik Hun tidak menjerah mentah2, tangannja membalik terus balas membetot lengan Po-siang dengan se-kuat2nja sambil menariknja kedalam empang.

Sudah tentu Po-siang tak menduga bahwa Tik Hun akan nekat dan berani menggelutnja malah. Apalagi ditepi empang itu banjak lumpur dan litjin, sekali terpeleset, tanpa ampun lagi iapun terseret njemplung kedalam empang.

Tik Hun sangat girang, ia pikir bila sudah sama2 berada didalam air, itu berarti ada harapan untuk gugur bersama. Maka se-kuat2nja ia tahan kepala Po-siang dan berusaha di-djeblos2kan kedalam air. Tjuma sajang air empang itu agak tjetek, sedang perawakan Po-siang tinggi-besar, air empang tidaak sampai menggenangi kepalanja. Maka begitu terperosot kedalam empang, terus sadja paderi itu pegang tangan Tik Hun, menjusul tangan kiri membalik keatas hingga kepala Tik Hun jang terpegang dan disilamkan kedalam air malah.

Tapi Tik Hun memangnja sudah nekat. Meski kepalanja terendam air, se-kuat2nja ia tetap pegang kentjang2 tubuh Po-siang, biarpun mati djuga takkan dilepaskannja.

Karena itu, Po-siang mendjadi kewalahan hingga seketikapun takbisa berbuat apa2. Saking gusarnja ia terus memaki, tapi begitu mulutnja mengap, sedikit Tik Hun meronta, mau-tak-mau Po-siang kena ditjekoki air empang jang kotor. Dalam murkanja terus sadja Po-siang menghantam serabutan kepunggung Tik Hun.

Walaupun pukulan Po-siang itu terhalang dulu oleh air empang, tapi Tik Hun masih merasa sangat kesakitan. Ia taksir bila kena digebuk lagi beberapa kali, tentu dirinja akan kelengar. Sedangkan sama sekali ia takdapat balas menghantam, terpaksa ia gunakan kepalanja untuk menumbuk perut Po-siang.

Begitulah sedang kedua orang itu bergulat didalam empang, se-konjong2 Po-siang mendjerit sekali, tangannja jang mentjengkeram Tik Hun lambat-launpun kendor, kepalan jang sudah terangkat hendak menggebuk itupun pelahan2 menurun kebawah, menjusul tubuhnja berkedjat sekali terus roboh kedasar empang.

Tik Hun mendjadi heran, tjepat ia merajap bangun, ia lihat Po-siang sudah tidak bergerak sedikitpun, terang sudah mati. Dalam keadaan masih ragu2 ia tidak berani menjentuh tubuh Po-siang itu, tapi ia berdiri agak djauh untuk melihat gelagat dulu.

Tapi sampai lama tetap Po-siang tidak bergerak melainkan telentang kaku didalam empang, terang paderi djahat itu benar2 sudah mati. Namun Tik Hun masih belum lega, segera ia djemput sepotong batu dan disambitkan keatas tubuh Po-siang, melihat tiada reaksi apa2, barulah ia jakin paderi itu sudah binasa.

Lalu Tik Hun merangkak ketepi, ia tidak mengerti sebab apakah Po-siang mendadak mati. Tiba2 terkilas suatu pikiran dalam benaknja: “He, apakah barangkali Sin-tjiau-kang jang kulatih telah mulai mengundjukan kesaktiannja diluar tahuku? ~ Apakah karena kepalaku menumbuk beberapa kali diperutnja, lalu ia terbinasa?”

Begitulah Tik Hun berdiri ter-mangu2 ditepi empang, ia hampir tidak pertjaja kepada matanja sendiri terhadap apa jang dilihatnja waktu itu. Ia tjoba djalankan tenaga murni sendiri, ia merasa tenaga dari Siau-yang-keng-meh dibagian betis itu dapat berdjalan sampai di “Ngo-li-hiat” bagian paha, lalu tidak mampu mengalir keatas lagi. Sedangkan Hiat-to bagian tangan djuga begitu, djuga terhalang. Bahkan rasanja lebih mundur tenaga dalam itu daripada waktu masih didalam pendjara. Ia pikir mungkin disebabkan paling achir ini hidup dalam keadaan merana dan ilmu itu terlantar tak terlatih. Akan tetapi suatu hal adalah pasti, jalah untuk mejakinkan Sin-tjiau-kang hingga sempurna, tempo jang diperlukan masih selisih terlalu djauh.

Setelah ter-menung2 agak lama, achirnja Tik Hun kembali kekelenteng bobrok itu. Ia lihat api unggun dibawah kuali itu sudah sirap, disamping kuali ternjata ada dua ekor tikus mati lain, kedua tikus itupun menggeletak terbalik dengan perut diatas, kaki dan telinganja tampak masih kedjat2. Pikir Tik Hun: “Eh, kiranja Po-siang sendiri telah berhasil menangkap dua ekor tikus lagi, tapi belum sempat menikmati sudah keburu kubinasakan.”

Ia lihat didalam kuali itu masih ada sisa sedikit kuah, jaitu sop tikus jang tadi dimasaknja sendiri itu. Memangnja ia sendiridjuga sudah kelaparan, segera ia angkat kuali itu terus hendak diminumnja. Tapi baru kuali itu mendekat mulutnja, mendadak hidungnja terendus sematjam bau harum jang aneh.

Untuk sesaat Tik Hun tertegun sambil memegangi kuali itu, ia merasa heran: “Bau harum apakah ini? Rasanja aku sudah pernah mengendusnja pasti ini bukan bau harum jang baik.”

Dan pada saat itu djuga, se-konjong2 sinar kilat berkilauan, menjusul beledek menggelegar dengan sangat keras. Tik Hun terkaget dan seketika otaknja mendjadi terang, serunja: “Ai, masih untung!” ~ dan begitu tangannja mengipatkan, segera kuali butut itu bersama sisa sop tikus itu dibuangnja ke Tjimtjhe.

Lalu ia putar tubuh kehadapan djenazah Ting Tian, katanja sambil mengembeng air mata: “Banjak terima kasih, Ting-toako meski engkau sudah pulang kealam baka, tapi kembali engkau telah menolong djiwa Siaute pula.”

Kiranja pada sedetik kilas itu Tik Hun mendjadi paham sebab musabab matinja Po-siang.

Setelah Ting Tian keratjunan “Hud-tjo-kim-lian” jang lihay itu antero tubuhnja mendjadi berbisa. Maka setelah djenazahnja kena dibatjok oleh Po-siang, tikus2 itu telah menggeragoti hantjuran daging dari luka batjokan itu. Habis makan daging manusia, tikus itu mendjadi ikut keratjunan, ketika Po-siang masak sop tikus, menjusul iapun keratjunan. Makanja waktu mereka bergulat didalam empang, mendadak Po-siang terbinasa. Kini didepan kuali itu terdapat pula menggeletak dua ekor tikus, terang binatang2 itupun disebabkan keratjunan.

Diam2 Tik Hun sangat bersyukur, pikirnja: “Tjoba kalau terlambat sedikit datangnja kesadaranku, pasti sop ratjun itu sudah habis kuminum.”

Sudah beberapa kali Tik Hun telah putus asa dan bosan hidup tapi kini njaris modar dari sop ratjun itu, ia mendjadi bersyukur dapat selamat. Waktu itu udara masih diselimuti awan mendung jang pekat disertai hudjan jang mentjurah bagai dituang, tapi hati Tik Hun djusteru merasa menemukan sinar harapan, ia merasa asal dapat mempertahankan hidupnja, tentu akan datang kebahagiaan jang tak terbatas.

Begitulah sesudah menenangkan diri, lalu Tik Hun membenarkan djenazah Ting Tian kepodjok ruangan kelenteng, ia keluar dengan kehudjanan untuk menggali sebuah liang untuk mengubur Po-siang.

Setiba kembali didalam kelenteng, ia lihat pakaian Po-siang masih mentjantel dimedja sembajang, diatas medja tertaruh sebuah bungkusan kain minjak serta ada belasan tahil uang perak pula.

Karena ketarik, Tik Hun tjoba membuka bungkusan kain minjak itu, ia lihat bungkusan itu berlapis dua kali, setelah dibuka pula, ia lihat isinja adalah sedjilid buku ketjil jang sudah kekuning2an sampul buku itu tertulis beberapa baris huruf jang aneh, entah huruf negeri mana, jang terang bukan tulisan Han.

Ia tjoba mem-balik2 buku itu, ia lihat halaman pertama terlukis sebuah gambar seorang laki2 kurus dan telandjang, sebelah tangannja menuding kelangit dan sebelah tangan lain menuding tanah, sikapnja sangat aneh, disamping gambar tertjatat djuga matjam2 tulisan jang berwarna-warni, bentuknja seperti tjebong (berudu).

Hlm. 31: Gambar:
Setiba kembali didalam kelenteng bobrok itu, tiba2 Tik Hun melihat ditepi kuali ada menggeletak pula dua ekor tikus jang tertampak masih ber-kedjat2.

Tik Hun melihat potongan laki2 dalam gambar itu djauh berbeda daripada orang Tionghoa, tapi laki2 telandjang dalam gambar berhidung besar dan bermata tjekung, berambut keriting. Bentuknja jang luar biasa itu makin dilihat makin aneh, bahkan seakan-akan membawa sematjam daja tarik bagi jang membatjanja. Maka hanja sebentar sadja Tik Hun memandang lalu tidak berani melihat terus.

Waktu ia membalik halaman kedua, ia lihat tetap terlukis laki2 telandjang itu, hanja dalam gaja jang berbeda. Kini berdiri dengan kaki kiri dalam gaja “Kim-keh-tok-lip” atau djago emas berdiri dengan kaki tunggal, sedang kaki lain terangkat dan mendjulur kedepan. Kedua tangan mendjulur kebelakang kepala, tangan kiri memegang telinga kanan dan tangan kanan memegang telinga kiri.

Ia terus balik2 halaman jang lain, ia lihat gaja lukisan laki2 telandjang itu makin aneh2 dan banjak matjamnja. Terkadang kedua tangannja menahan ditanah dengan mendjungkir, terkadang seperti mengapung diudara, dan matjam2 gaja lainnja. Semakin aneh gambar laki2 itu, semakin sedikit pula tjatatan tulisan disampingnja.

Waktu ia balik buku itu dan membuka halaman pertama dari belakang, ia lihat gambar laki2 itu agak menggelikan. Sekali ini lidahnja tampak sedikit melelet keluar, berbareng mata kanan membelalak lebar, sebaliknja mata kiri menjipit, dari itulah maka tampaknja mimik wadjahnja rada lutju.

Karena geli dan ketarik, tanpa merasa Tik Hun menirukan mimik wadjah gambar itu, iapun melelet lidah sedikit, mata kanan terbuka lebar dan mata kiri sedikit menjipit. Dan sekali menirukan perbuatan itu, aneh djuga, rasa mukanja mendjadi segar enak. Waktu ia periksa gambar itu lebih teliti, lapat2 terlihat diatas tubuh gambar itu terdapat garis2 ketjil warna abu-abu jang melukiskan Keng-meh (urat nadi) didalam badan manusia.

Maka tahulah Tik Hun sekarang: “O, sebabnja laki2 ini dilukiskan telandjang, tudjuannja sengadja hendak mengundjukkan Keng-meh dalam tubuh setjara lebih terang.”

Waktu Ting Tian mengadjar Sin-tjiau-kang kepada Tik Hun didalam pendjara dahulu, pernah djuga ia mendjelaskan kedudukan tiap2 Hiat-to dan Keng-meh dengan terang, sebab pengetahuan ini djusteru adalah kuntji pertama untuk melatih Lwekang jang paling tinggi. Maka sambil memandangi garis2 Keng-meh pada gambar laki2 itu, tanpa merasa iapun mulai mendjalankan tenaga dalamnja hingga terasa satu arus hawa murni jang lembut telah mengalir keatas melalui Keng-meh2 jang dilihatnja itu.

Diam2 ia heran mengapa tjara mendjalankan Keng-meh ini tempatnja djusteru berlawanan dengan adjaran Ting-toako, mungkin tidak benar ini. Tapi segera terpikir pula olehnja: “Biarlah ku-tjoba2 sadja sekali rasanja tiada halangan apa-apa?”

Maka terus sadja mengerahkan tenaga dalamnja lebih teratur menuruti garis2 Keng-meh didalam lukisan. Aneh bin adjaib, hanja sebentar sadja antero tubuhnja sudah terasa hangat, segar dan bersemangat.

Dahulu bila dia sedang melatih Sin-tjiau-kang, pikirannja selalu terpusatkan untuk menghimpun tenaga dalam dan mengerahkannja, djalannja sangat lambat dan kurang lantjar, tapi sekarang ia mengerahkan tenaga dalam dengan menurut djalan garis2 Keng-meh diatas gambar, hanja sekedjap sadja djalannja ternjata sangat lantjar bagai air bah jang tak terbendung, sedikitpun tidak susah2 dan hawa murni itu terus djalan sendiri.

Terkedjut dan girang pula Tik Hun, pikirnja: “Mengapa didalam badanku djuga ada Keng-meh seperti didalam lukisan? Djangan2 Ting-toako sendiri djuga tidak tahu?” ~ Segera terpikir pula olehnja: “Buku ketjil ini adalah milik Po-siang, lukisan dan tulisan didalam buku ini djuga sangat aneh dan tidak beres, mungkin bukan sesuatu barang jang baik, ada lebih baik djangan aku mendjamahnja.”

Akan tetapi hawa jang sedang berdjalan didalam tubuhnja itu sekarang sudah sangat lantjar dan sajang kalau terus dihentikan begitu sadja. Maka lantas terpikir pula olehnja: “Ja, dah, aku hanja main2 sekali ini sadja, lain kali tidak mau lagi.”

Sementara itu dada terasa lapang, semangat penuh, darah seluruh tubuh mendjadi hangat. Selang sedjenak lagi, badannja mendjadi enteng rasanja mirip orang habis minum arak, tanpa merasa tangan dan kakinja ber-gerak2, mulut mengeluarkan suara “uh-uh-uh” jang pelahan2. Tiba2 kepalanja terasa berat, sekali kabur pandangannja, robohlah Tik Hun kelantai dan segala apa tak diketahuinja lagi........

Sampai lama dan lama sekali, lambat laun barulah ia sadar kembali. Waktu ia membuka mata, seketika terasa silau. Kiranja hudjan sudah lama berhenti, sang surya sedang memantjarkan sinarnja jang gilang-gemilang.

Tjepat Tik Hun melompat bangun, ia merasa semangat penuh, antero tubuhnja penuh tenaga baru. Meski sudah dua hari tidak makan apa-apa, tapi ternjata tidak merasa lapar. Ia pikir: “Apa mungkin ilmu jang tertjatat didalam buku ini sedemikian bagus paedahnja? Ah, tidak, tidak! Lebih baik aku tetap melatih menurut adjaran Ting-toako sadja, ilmu dari kalangan djahat seperti ini bila sampai mendarah daging pada diriku, boleh djadi akibatnja akan tjelaka.”

Karena itu, buku ketjil itu diambilnja terus hendak dirobeknja. Tapi setelah terpikir lagi olehnja bahwa didalam buku itu terdapat banjak sekali ilmu jang aneh2 dan susah didjadjaki, kalau dirusak begitu sadja rasanja djuga sajang.

Lalu ia bebenah seperlunja. Ia lihat badju sendiri sudah terlalu rombeng, tidak mungkin digunakan sebagai penutup badan lagi. Ia lihat badju paderi Po-siang itu masih tergelar dipinggir medja sembajang dan tampaknja masih baik, segera ia mengambilnja dan dipakai. Tjuma rambutnja sudah terbubut kelimis, ditambah lagi berbadju paderi, maka miriplah dia seorang Hwesio. Dari itu ia lantas robek bagian bawah badju paderi jang pandjang itu, lalu disambung mendjadi seutas ikat pinggang untuk menggubat pinggang. Ia tjoba periksa dandanannja itu, meski lutju kelihatannja, tapi tidak sampai telandjang lagi.

Selesai berdandan, Tik Hun masukan buku ketjil itu dan belasan tahil perak kedalam badjunja. Ia memeriksa pula buntalan perhiasan pemberian orang jang belum diketahui siapa itu dan ternjata masih baik2. Lalu ia pondong djenazah Ting Tian keluar kelenteng.

Dan baru sadja belasan meter ia meninggalkan kelenteng itu, dari depan telah mendatangi seorang petani. Melihat Tik Hun memondong majat, petani itu mendjadi kaget dan terpeleset djatuh kesawah ditepi djalan. Karena habis hudjan, sawah itu penuh air lumpur, seketika petani itu seperti kerbau jang bermandi dikubangan lumpur, tjepat ia meronta bangun terus lari pergi dengan terbirit-birit.

Tik Hun insaf bila meneruskan perdjalanan dengan membawa djenazah sang Toako tentu akan terdjadi keonaran jang susah dibajangkan. Ada maksudnja memusnahkan djenazah Ting Tian, tapi betapapun ia tidak tega. Untung disekitar situ adalah sawah ladang belaka dan sepi, dalam perdjalanan selandjutnja tiada ditemui orang lalu lagi.

Tapi tidak lama kemudian, tiba2 terdengar suara njanji orang jang ramai, dari djauh tampak ada 7-8 petani sedang mendatangi dengan memanggul patjul. Tjepat Tik Hun melompat ketepi djalan dan sembunji dibalik alang2 jang lebat. Setelah petani2 itu lewat, barulah ia berani melandjutkan perdjalanan. Pikir punja pikir, achirnja ia ambil keputusan: “Kalau aku tidak membakar djenazah Ting-toako, tentu akan sulit kembali ke Hengtjiu dan tjita2 Ting-toako ingin dikubur bersama Leng-siotjia akan sulit terlaksana pula.”

Segera ia membiluk kelereng bukit disebelah kanan sana, ia kumpulkan daun2 kering dan kaju bakar, ia tumpuk bahan2 bakar itu diatas djenazah Ting Tian, lalu membakarnja. Ketika api mulai mendjilat rambut dan pakaian Ting Tian, Tik Hun merasa se-akan2 badan sendiri jang terbakar. Tak tahan lagi ia mendekam ketanah dan menangis sedih............

Setelah djenazah Ting Tian sudah terbakar mendjadi abu, dengan chidmat lalu Tik Hun bungkus abu djenazah itu dengan kain minjak, jaitu bekas pembungkus kitab ketjil tinggalannja Po-siang itu. Ia robek kain badju pula untuk didjadikan tali pengikat, setelah bungkusan abu tulang itu terbungkus rapi, ia ikat bungkusan itu dipunggungnja. Kemudian ia menggali pula sebuah liang ketjil untuk mengubur sisa abu dan diuruk dengan tanah, ia menjembah beberapa kali kepada liang kubur itu, habis itu barulah ia tinggal pergi.

Untuk sedjenak ia merasa bingung kemana harus pergi. Kalau sang guru, jaitu Djik Tiang-hoat, masih hidup umpamanja, maka sanak keluarga satu2nja didunia ini adalah beliau itulah.

Ia pikir sesudah sang guru melukai Ban Tjin-san, tentu beliau takkan pulang lagi kekampung halamannja di Wanling, tapi pasti akan ganti nama dan tukar she serta mengasingkan diri djauh2. Tapi kini ketjuali pulang mendjenguk kampung halaman Wanling itu, Tik Hun merasa tiada tempat tudjuan lain jang tepat.

Segera ia balik kedjalan raja, waktu tanja penduduk setempat, kiranja tempat situ bernama Thia-keh-tjip, termasuk wilajah Oupak. Kalau hendak menudju ke Oulam, lebih dulu harus menjeberangi Tiang-kang.

Sampai dikota, Tik Hun membeli makanan sekedarnja untuk tangsal perut, kemudian ia menudju ketempat penjeberangan. Terkenang olehnja waktu menjeberang sungai kemarin, ia mesti berusaha menghindarkan penguberan Po-siang dengan penuh ketakutan. Tapi sekarang menjeberang kembali dengan tenang dan aman, hanja dalam tempo satu hari sadja ternjata suasana berbeda seperti langit dan bumi.

Setiba kapal tambangan ditepi selatan, baru sadja Tik Hun mendarat, tiba2 didengarnja suara ramai2 orang bertengkar. Menjusul terdengar pula suara gedebukan orang telah saling berhantam.

Sebagai seorang persilatan, sudah tentu Tik Hun tertarik oleh perkelahian itu. Segera ia mendekatinja untuk melihat apa jang terdjadi.

Ia lihat diantara orang2 jang berkerumun itu ada 7-8 orang sedang mengerubut seorang tua. Kakek itu berpakaian hidjau dan kopiah tipis, jaitu dandanan kaum pelajan jang lazim. Sedangkan 7-8 laki2 jang mengerojok itu berbadju tjekak dan bertelandjang kaki, disamping situ terdapat kerandjang ikan dan timbangan datjin pendek, njata mereka adalah pendjual ikan.

Tik Hun pikir perkelahian biasa seperti itu tiada sesuatu jang menarik, dan selagi ia hendak tinggal pergi, mendadak dilihatnja kakek itu mendepak sekali, kontan seorang laki2 pendjual ikan jang kekar kena ditendang terdjungkal. Kiranja kakek itu bukan sembarangan kakek, tapi mahir ilmu silat.

Karena itu Tik Hun urung pergi, ia ingin melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu. Ia lihat hamba tua itu meski dikerojok, tapi sebentar sadja ada tiga pendjual ikan jang lain kena dirobohkan pula olehnja. Meski diantara penonton itu masih banjak pendjual2 ikan jang lain, tapi tiada jang berni ikut mengerubut madju lagi.

“Itu dia, kepala sudah datang, kepala sudah datang!” tiba2 ada orang bersorak.

Maka tertampak dari tepi sungai sana sedang mendatangi dua pendjual ikan dengan berlari, dibelakang mereka ada pula tiga orang. Langkah ketiga orang belakangan itu tampaknja enteng tapi kuat, begitu lihat segera Tik Hun tahu mereka itu mahir ilmu silat.

Sesudah dekat, ternjata ketiga orang itu dikepalai seorang setengah umur dan berwadjah ke-kuning2an dengan berkumis tikus. Setelah memandang beberapa kedjap kepada pendjual2 ikan jang terguling ditanah dan masih me-rintih2 itu, lalu ia berkata: “Siapakah saudara? Mengandalkan pengaruh siapa, maka engkau berani menganiaja orang di Hoa-yong-koan sini?”

Utjapan kepala pendjual ikan itu ditudjukan kepada sihamba tua, tapi matanja djusteru memandang kearah lain.

Kiranja sesudah menjeberang sungai, kini Tik Hun sudah masuk diwilajah Hoa-yong-koan.

Maka terdengar kakek itu sedang mendjawab: “Siapa jang menganiaja orang? Aku datang hanja untuk membeli ikan, membeli dengan kontan!”

“Sebab apa berkelahi?” tanja kepala itu kepada salah satu pendjual ikan.

“Tua bangka ini memaksa akan membeli kedua ekor Lehi (ikan kantjra) warna emas ini, kami mengatakan kedua ekor ikan ini susah memperolehnja dan akan dipakai sendiri untuk dipersembahkan kepada Kepala, tapi tua bangka ini sangat kasar, ia berkeras ingin beli, kami tetap tidak mau djual dan dia lantas hendak merebut setjara kasar,” demikian tutur pendjual ikan itu.

Si Kepala menoleh dan mengamat-amati sedjenak hamba tua itu, lalu tanjanja: “Apakah kawan saudara itu terkena Lam-sah-tjiang, bukan?”

Kakek itu tampak terkedjut dengan wadjah berubah hebat, sahutnja kemudian: “Aku tidak tahu Lam-sah-tjiang (pukulan tangan biru) atau Ang-sah-tjiang (pukulan tangan merah). Aku tjuma tahu madjikan suka makan Lehi dan aku disuruh membeli. Aku sudah mendjeladjah dunia ini dan selamanja tidak pernah dengar bahwa ikan didasaran pendjualnja dikatakan tidak didjual, ini aturan darimanakah?”

“Hehe, untuk apa saudara mesti bitjara setjara ber-liku2? Siapakah nama saudara jang terhormat, dapatkah memberitahu?” kata Kepala itu dengan tertawa dingin. “Djika tjukup bersahabat, djangankan tjuma dua ekor Lehi warna emas ini, bahkan Tjayhe akan menjumbangkan sebutir “Giok-ki-wan’ jang chusus dapat menjembuhkan luka Lam-sah-tjiang.”

Kakek itu tambah terkedjut, selang sedjenak, dengan ragu2 ia menanja: “Siapakah tuan? Darimana kenal Lam-sah-tjiang dan mengapa punja Giok-ki-wan? Apa barangkali......... barangkali ........”

“Memang benar, Tjayhe ada sedikit hubungannja dengan sipemakai Lam-sah-tjian itu,” sahut si Kepala sebelum utjapan sikakek berachir.

Tanpa bitjara lagi, se-konjong2 kakek itu melompat kesamping, begitu tangan mengulur, segera kerandjang ikan jang berisi Lehi warna emas itu lantas disambarnja, gerak-geriknja ternjata sangat gesit dan tjekatan sekali.

“Hm, begitu gampang?” djengek si Kepala. Berbareng pukulannja lantas dilontarkan kepunggung sikakek.

Tapi sekali kakek itu membalik tangannja untuk menangkis pukulan, dengan memindjam tenaga benturan itu, terus sadja ia melesat tjepat kedepan sedjauh beberapa meter, segera ia berlari pergi sambil mendjindjing kerandjang ikan.

Sama sekali si Kepala tidak menduga akan tindakan kakek itu, ia menaksir tidak keburu mengedjar lagi, segera tangannja mengajun, sebuah Am-gi atau sendjata gelap terus menjambar kepunggung hamba tua itu dengan membawa suara mendesis.

Dengan penuh girang sikakek jang berhasil merebut Lehi itu sedang berlari setjepatnja kedepan, tak ia duga bahwa Am-gi jang ditimpukan kepala pendjual ikan adalah sebuah Piau badja jang berbentuk segi tiga. Timpukannja keras dan menjambarnja djuga sangat pesat. Tampaknja hamba tua itu sudah pati takkan dapat menghindar dari kematian.

Melihat itu, seketika timbul djiwa kesatria Tik Hun ingin menolongnja, sekenanja ia sambar sebuah kerandjang ikan jang berada disampingnja terus dilemparkan kearah Piau badja itu.

Meski ilmu silat Tik Hun sudah hilang, tenaganja djuga tidak besar lagi, tapi karena berdirinja persis ditempat jang harus dilalui Piau itu, maka kerandjang jang dilemparkan dari samping itu dengan tepat sekali mengenai sasarannja. “Brak”, Piau badja itu menantjap masuk kedalam kerandjang ikan, begitu keras tenaga Kepala pendjual ikan itu hingga sesudah Piau itu masuk kerandjang toch masih menjelonong kedepan beberapa meter djauhnja baru kemudian djatuh ketanah.

Mendengar dibelakangnja ada suara benda djatuh, hamba tua itu lantas menoleh, ia lihat si Kepala pendjual ikan sedang menuding satu pemuda gundul sambil memaki: “Hai, kau bangsat gundul tjilik, kau adalah Hwesio liar dari kelenteng mana, berani ikut tjampur urusan Tiat-bong-pang dilembah Tiangkang sini?”

Tik Hun melengak, ia bingung mengapa orang memaki dirinja “bangsat gundul tjilik”? Ia lihat si Kepala pendjual ikan itu sedang marah2 dan menjebut pula “Tiangkang Tiat-bong-pang” segala. Ia mendjadi teringat kepada nasihat Ting Tian dahulu bahwa banjak pantangan2 dalam matjam2 Pang-hwe dikalangan Kangouw, bila sampai tersangkut urusan, tentu selamanja akan tiada habis2 menghadapi kesulitan. Dan karena Tik Hun tidak suka banjak urusan lagi, maka ia lantas memberi hormat dan berkata: “Ja, Siaute jang bersalah, mohon Lauheng suka memberi maaf.”

“Kau ini kutu matjam apa? Siapa sudi meng-aku2 saudara dengan kau?” bentak Kepala pendjual ikan itu. Menjusul ia memberi tanda sekali dan memerintahkan anak buahnja: “Tangkap kedua orang ini!”

Rupanja karena merandek tadi, maka ada dua orang pendjual ikan telah mendahului mentjegat kedepan sikakek jang belum sempat melarikan diri itu.

Tapi pada saat itulah tiba2 terdengar suara kelintang-kelinting jang njaring, ada dua penunggang kuda sedang mendatangi menjusur tepi sungai sana. Seketika bergiranglah hamba tua itu, katanja: “Itu dia madjikanku sendiri sudah datang, sekarang boleh kalian bitjara pada mereka.”

Air muka Kepala pendjual ikan itu tampak berubah, katanja: “Kau maksudkan “Leng-kiam-siang-hiap’?” ~ tapi segera iapun berlagak angkuh dan menambahkan: “Hm, kalau Leng-kiam-siang-hiap (sepasang pedang dan kelintingan) lantas mau apa?

Masih belum waktunja mereka main garang kelembah Tiangkang sini!”

Belum lenjap suaranja, kedua penunggang kuda itu sudah sampai dihadapannja. Seketika Tik Hun merasa silau. Ia lihat kedua ekor kuda tunggangan itu masing2 berwarna kuning dan putih mulus, tinggi-besar dan gagah, pelananja putih gilap. Diatas kuda kuning berduduk seorang pemuda berusia antara 25-26 tahun, berbadju kuning dan bertubuh djangkung. Sedang penunggang kuda putih adalah seorang gadis berumur 20-an tahun, badjunja putih mulus, dibahu kiri tertjantel sebuah bunga merah buatan kain sutera. Muka sigadis itu hitam2 manis dan sangat tjantik. Kedua muda-mudi itu memegang petjut kuda semua, dipinggang mereka tergantung pedang. Kuda2 mereka sama tingginja, jang luar biasa adalah sama2 mulus pula, kuning mulus dan putih mulus, tanpa seudjung bulu warna lain.

Pada leher kuda kuning tergantung serentjeng kelenengan buatan emas dan kelenengan di leher kuda putih adalah buatan dari perak. Sedikit kepala kuda2 itu bergerak, seketika terbitlah suara kelintang-kelinting jang njaring dengan suara jang berbeda, karena kelintingan2 itu berbeda pula bahan pembuatannja.

Sungguh gagah sekali kuda2 itu dan penunggangnja djuga ganteng2 dan tjantik, selama hidup Tik Hun tidak pernah melihat orang setjakap itu. Mau-tak-mau, diam2 iapun memudji didalam hati.

“Tjui Hok,” terdengar pemuda ganteng itu lagi menanja sikakek tadi. “Lehi sudah didapatkan belum? Ada apa engkau berada disini?”

Tjui Hok adalah nama hamba tua itu, maka djawabnja: “Toa-kongtju, Lehi warna emas memang sudah berhasil mendapatkan dua ekor, tetapi.........tetapi mereka djusteru tidak mau djual, bahkan memukul orang malah.”

Mata pemuda itu ternjata sangat tadjam, sekilas sadja telah dapat dilihatnja piau badja jang menantjap dikerandjang ikan itu. Segera serunja: “He, siapakah jang menggunakan Am-gi berbisa jang kedji ini?” ~ dan sekali petjutnja bekerdja, tahu2 kain sutera embel2 piau itu telah kena dililit oleh udjung petjut terus diangkatnja keatas sambil berkata pula kepada sigadis: “Lihatlah, Sing-moay, ini adalah ‘Kat-sin-piau’ jang djahat!’

Dengan garang gadis itu lantas membentak: “Siapakah jang menggunakan piau ini?Lekas katakan, lekas!” ~ sebagai seorang gadis, dengan sendirinja suaranja njaring dan merdu, tapi sikapnja itu terang rada berangasan.

Si Kepala pendjual ikan tadi hanja tersenjum dingin sadja sambil menggenggam goloknja, ia menjahut: “Nama kebesaran Leng-kiam-siang-hiap dalam beberapa tahun paling achir ini tjukup diketahui oleh Tiat-bong-pang di Tiangkang sini. Tapi tanpa sebab kalian akan main menang2kan atas diri kami, mungkin hal inipun tidaklah mudah.” ~ nada utjapannja ini keras2 lembek, agaknja sedapat mungkin iapun ingin menghindari pertjetjokan dengan Leng-kiam-siang-hiap itu.

“Tapi Kat-sin-piau ini terlalu kedji, sekali kena, seketika daging busuk dan tulang hantjur, ajahku sudah lama menjatakan dilarang memakainja lagi, apakah engkau tidak tahu?” demikian kata sigadis. “Baiknja sendjata ini tidak kau gunakan menjambit orang, kalau untuk latihan dengan kerandjang ikan sebagai sasaran masih boleh djugalah.”

“Djisiotjia, djusteru bukan begitulah urusannja,” kata Tjui Hok. “Orang itu telah menggunakan piau itu untuk menjambit diriku dan hampir2 hamba tjelaka, untung Siausuhu ini telah menolong dan mendadak menimpukan kerandjang ikan itu dari samping hingga djiwa hamba tertolong. Kalau tidak, saat ini mungkin hamba tidak dapat lagi bertemu dengan Kongtju dan Siotjia.” ~ waktu mengatakan Siausuhu atau si Suhu tjilik, Tjui Hok telah menuding kearah Tik Hun.

Keruan Tik Hun bertambah bingung, pikirnja: “Aneh, mengapa dia menjebut aku sebagai Siausuhu, sedangkan tadi aku telah dimaki sebagai Bangsat gundul tjilik, emangnja sedjak kapan sih aku mulai mendjadi Hwesio?”

Lalu tampak gadis djelita itu angguk2 kepada Tik Hun dengan tersenjum sebagai terima kasih. Melihat senjuman sigadis jang menggiurkan itu, seketika Tik Hun lemas rasanja seperti kontak kena aliran listrik.

Dalam pada itu sipemuda mendjadi marah mendengar pengaduan Tjui Hok, tanjanja kepada Kepala pendjual ikan itu: “Apa betul begitu?” ~ dan tanpa menunggu djawaban orang lagi, terus sadja petjutnja bergerak hingga Kat-sin-piau jang terlilit diudjungpetjut itu menjambar setjepat kilat kedepan, ‘plok”, piau itu menantjap dibatang pohon Liu jang belasan meter djauhnja. Betapa hebat tenaganja sungguh tjukup mengedjutkan.

Tapi si Kepala pendjual ikan itu masih keras dimulut: “Hm, berlagak apa?”

“Aku djusteru mau berlagak!” bentak pemuda Kongtju itu, berbareng petjutnja terus menjabat serabutan keatas kepala orang.

Tjepat Kepala pendjual ikan mengangkat golok untuk menangkis sambil menabas. Tak terduga petjut sipemuda mendadak menjambar lurus kebawah, dan begitu menjentuh tanah, petjut itu terus melingkar dengan tjepat luar biasa, tahu2 kedua kaki si Kepala pendjual ikan itu jang diarah.

Dengan sendirinja Kepala pendjual ikan itu tjepat2 melontjat keatas untuk menghindar. Tapi petjut sipemuda se-akan ular hidup sadja, “siut”, tiba2 udjung petjut menjendal kembali untuk melilit kaki kanan lawan. Berbareng Kongtju itu keprak kudanja pelahan hingga kuda kuning itu mendadak membedal kedepan.

Sebenarnja bhesi atau kuda2, jaitu kepandaian bagian kaki si Kepala pendjual ikan sangat kuat, biarpun kakinja tergubat petjut belum tentu si Kongtju mampu menariknja roboh.

Diluar dugaan, pemuda itu pandai mengukur kepandaian sendiri dan pihak lawan, begitu menjerang ia sudah memakai perhitungan jang tepat, lebih dulu ia pantjing si Kepala pendjual ikan itu melontjat keatas, dengan demikian, karena tubuhnja terapung diudara dan tiada tempat berpidjak, dengan sendirinja lenjaplah daja guna kuda2 si Kepala pendjual ikan jang kuat itu. Apalagi kakinja lantas terlilit petjut ditambah tarikan kuda kuning jang mendadak membedal, betapapun kuat tenaga pendjual ikan itupun tidak mampu bertahan. Tanpa ampun lagi maka tubuh Kepala pendjual ikan itu terseret kedepan oleh bedalan kuda kuning itu hingga tubuhnja se-akan2 terbang diudara.

Seketika ramailah djerit kaget pendjual2 ikan jang lain, sambil mem-bentak2 segera ada beberapa orang memburu madju hendak menolong sang pemimpin.

Tapi sesudah berpuluh meter djauhnja sikuda kuning membedal hingga tubuh Kepala pendjual ikan tertarik kentjang, mendadak si Kongtju ajun petjut se-kuat2nja, seketika mentjelatlah tubuh Kepala pendjual ikan itu melambung keudara. Pertjuma sadja ia memiliki ilmu silat jang tinggi, diatas udara ilmu silat betapapun tingginja djuga tiada berguna, maka tanpa kuasa tubuhnja me-lajang2 keatas untuk kemudian menjelonong ketengah sungai.

Keruan begundal pendjual2 ikan itu sama berteriak kuatir. Maka terdengarlah suara mendeburnja air disertai tjipratan air sungai jang tinggi, Kepala pendjual ikan itu telah ketjebur kedalam sungai, hanja sekedjap sadja orangnja lantas menghilang kedasar sungai.

Sigadis tampak bersorak senang, menjusul ia putar petjutnja terus terdjang ke-tengah2 gerombolan pendjual2 ikan jang masih berkerumun disitu, petjutnja menjabat kesini dan mentjambuk kesana hingga pendjual2 ikan itu dihadjar sungsang sumbel dan tunggang-langgang serta lari ter-birit2. Seketika kerandjang ikan bergelimpangan dan terserak di-mana2 berikut djala ikan, begitu pula ikan dan udang jang masih segar djuga berledjitan memenuhi tanah.

Hidup kaum penangkap ikan adalah disungai, dengan sendirinja si Kepala pendjual ikan itupun sangat mahir berenang. Maka begitu ia selulup kedasar sungai, sedjenak kemudian ia sudah menongol kembali kepermukaan air. Ia mentjatji-maki dengan kata2 kotor, tapi sudah tidak berani mendarat untuk bertempur lagi.

Sambil mendjindjing kerandjang jang terisi ikan Lehi tadi, dengan girang Tjui Hok mendekati sipemuda sambil membuka tutup kerandjang dan berkata: “Lihatlah, Kongtju, mulutnja merah dan sisiknja emas, besar2 dan gemuk2 pula.”

“Baiklah, sekarang lekas kau pulang kehotel dan serahkan ikan2 itu kepada Tje-toaya untuk dipakai,” kata sipemuda.

Tjui Hok mengia, lalu ia mendekati Tik Hun, ia memberi hormat dan berkata: “Banjak terima kasih atas pertolongan Siausuhu tadi. Entah bagaimanakah gelar sutji Siausuhu?”

Mendengar dirinja dipanggil Siausuhu terus menerus, Tik Hun mendjadi risih hingga seketika takdapat mendjawab.

“Sudahlah, lekas pulang sana, lekas!” sipemuda telah mendesak pula.

Terpaksa Tjui Hok mengiakan, lalu bertindak pergi dengan tjepat tanpa menunggu djawaban Tik Hun lagi.

Diam2 Tik Hun kagum dan senang bila dapat berkawan dengan sepasang muda-mudi jang tjantik dan ganteng dan berilmu silat tinggi pula. Tjuma sedjak tadi kedua muda-mudi itu tetap diatas kuda mereka dan tidak turun, Tik Hun mendjadi kurang leluasa untuk menanjakan nama orang.

Tengah Tik Hun ragu2, tiba2 si Kongtju telah mengeluarkan sepotong uang emas dan diangsurkan kepada Tik Hun sambil berkata: “Siausuhu, banjak terima kasih engkau telah menjelamatkan djiwa hamba tua kami itu. Sedikit tanda mata ini harap Siausuhu suka terima sekadar uang dupa dan minjak untuk keperluan kelenteng.” ~ Lalu ia lemparkan uang emas itu kearah Tik Hun dengan pelahan2.

Sekali raup, dengan gampang Tik Hun sudah dapat menangkap uang emas jang dilemparkan kepadanja itu, menjusul ia terus melemparkan kembali kepada pemuda itu dan berkata: “Tidak perlulah. Numpang tanja siapakah nama kalian jang terhormat?”

Melihat gerak tangan Tik Hun waktu menangkap dan melemparkan kembali uang emas tadi tjukup tjekatan, terang seorang jang dapat bersilat. Maka sebelum uang emas itu menjambar tiba, segera petjut Kongtju itu mengajun hingga uang emas itu kena tergubat. Lalu katanja: “Djikalau Siausuhu djuga sesama orang Bu-lim, tentunja djuga pernah mendengar nama kami Leng-kiam-siang-hiap jang tak berarti.”

Melihat orang memainkan petjutnja hingga uang emas jang terlilit itu naik-turun seperti anak ketjil, sikapnja atjuh-tak-atjuh dan seperti tidak pandang sebelah mata kepada siapapun djuga, diam2 Tik Hun rada mendongkol. Segera iapun berkata: “Ja, tadi kudengar pendjual ikan itu menjebut kalian sebagai Leng-kiam-siang-hiap. Tapi entah apa nama saudara jang terhormat.”

Pemuda Kongtju itu mendjadi kurang senang, ia pikir kalau kenal djulukan mereka, masakah tidak kenal namanja? Dari itu ia tjuma mendengus sekali dan tidak mendjawab lagi.

Dan pada saat itu djuga tiba2 angin sungai meniup hingga udjung badju paderi jang dipakai Tik Hun itu tersingkap sedikit. Mendadak gadis djelita itu bersuara kaget sekali sambil berkata: “He, dia.........dia adalah Hiat-to-ok-tjeng (paderi djahat bergolok darah) dari Bit-tjong di Tibet.”

“Ja, betul,” kata si pemuda dengan wadjah gusar. “Nah, enjahlah kau!”

Keruan Tik Hun heran mendadak diperlakukan sekasar itu. “Aku ... aku......?” katanja sambil melangkah kehadapan sigadis: “Aku kenapa; nona?”

Wadjah sigadis kembali mengundjuk rasa kuatir dan gusar, sahutnja: “Engkau... engkau djangan .....djangan mendekati aku. Enjahlah!”

Tentu sadja Tik Hun bertambah bingung. “Apa katamu?” tanjanja sambil madju setindak lagi malah.

“Tarrrr”, mendadak gadis itu mengajun petjutnja terus menjabat.

Sama sekali Tik Hun tidak menduga bahwa kontan keras gadis itu terus menjerang begitu sadja tanpa tawar2. Tjepat ia berusaha menghindar, tapi sudah kasip. Hilang bunji petjut itu, mukanja dengan tepat sudah kena tertjambuk, seketika mukanja berhias suatu garis merah dimulai dari udjung djidat kanan melintang keatas hidung dan menurun keudjung mulut kiri. Sungguh tidak ringan tjambukan itu hingga Tik Hun meringis kesakitan.

“Ken.......kenapa engkau memukul aku?” seru Tik Hun dalam kaget dan gusarnja.

Tapi bukannja minta maaf, sebaliknja gadis itu hendak menjabatnja pula. Segera Tik Hun merangsang madju hendak merebut petjut sigadis. Tak terduga permainan petjut sigadis itu sangat lihay, baru Tik Hun ulur tangannja, tahu2 leher sendiri sudah tergubat oleh petjutnja. Menjusul punggungnja terasa kesakitan mendadak, njata Kongtju muda tadi telah memberi persen sekali tendangan padanja.

Tanpa ampun lagi Tik Hun terdjungkal. Lebih tjelaka lagi mendadak Kongtju muda itu terus keprak kudanja hendak mengindjak keatas tubuh Tik Hun. Sjukur dalam seribu kerepotannja itu Tik Hun masih sempat menggulingkan tubuhnja kesamping. Tapi dalam keadaan sibuk itu terdengar lagi suara kelintingan kuda berbunji, sebelah kaki kuda jang putih mulus tahu2 mengindjak lagi kearah dadanja, Tik Hun insaf bila indjakan itu tepat kena didadanja, pasti melajanglah djiwanja. Tanpa pikir lagi itu mengkeretkan tubuhnja keatas, maka terdengarlah suara “krak” sekali, entah apa jang telah patah. Jang terang mata Tik Hun mendjadi ber-kunang2 dan pandangan kabur, achirnja segala apa tak diketahuinja lagi..........

Waktu pikiran Tik Hun pelahan2 djernih kembali, sementara itu entah sudah berapa lamanja telah lalu. Dalam keadaan masih setengah sadar, ia berusaha hendak berbangkit. Tapi mendadak kakinja terasa kesakitan, hampir2 ia djatuh kelengar lagi. Menjusul darah segar lantas menguak keluar dari mulutnja. Waktu kemudian sinar matanja tertatap diatas kakinja, ia melihat tjelananja penuh berlepotan darah, kaki sendiri tampak melintir berbalik arah. Semula ia merasa heran mengapa kakinja bisa main gila begitu? Tapi sedjenak kemudian barulah ia ingat: “Ja, kakiku telah patah terindjak kuda jang dikeprak oleh nona itu.”

Antero tubuh Tik Hun terasa lemas dan linu, lebih2 kaki dan punggungnja tak terkatakan sakitnja. Sesaat itu timbul kembali putus asanja: “Aku tidak ingin hidup lagi. Biarkan aku merebah begini dan lekaslah mati sadja.”

Maka iapun tidak merintih dan bertobat, tapi mengharap supaja lekas mati. Namun orang ingin mati djusteru tidak gampang. Bahkan ingin pingsan sadja djuga tak dapat. Padahal hati Tik Hun terus-menerus berharap: “Hajolah lekas mati! Kenapa belum lagi mati?”

Selang agak lama, karena tetap belum juga mati, achirnja Tik Hun memikir: “Aku toh tiada salah apa2 kepada mereka, mengapa mendadak aku dianiaja sekedji ini?”

Ia tjoba memikirkan apa sebabnja, tapi tetap bingung dan tiada sesuatu jang dapat diketemukan. Ia menggumam sendiri: “Dasar aku memang bodoh, tjoba bila Ting-toako masih hidup, pasti beliau dapat mendjawab pertanjaanku ini.”

Dan karena teringat kepada Ting Tian, seketika pikirannja berganti: “Eh, ja. Aku telah berdjandji akan mengubur Ting-toako bersama Leng-siotjia. Tjita2 ini belum terlaksana, mana boleh aku mati begini sadja.”

Ia tjoba meraba punggung sendiri dan merasa abu tulang sang Toako masih baik2 terikat disitu, ia merasa lega dan sekuatnja bangun berduduk. Tapi kembali darah segar tersembur keluar dari mulutnja. Ia tahu semakin banjak mengeluarkan darah, semakin lemah pula badannja. Maka sedapat mungkin ia mengatur napasnja dengan maksud menahan darah jang akan dimuntahkan itu. Tapi darah jang sudah meng-kili2 tenggorokannja itu ternjata susah ditahan, kembali ia menguak dan darah membasahi tanah lagi.

Jang paling menderita adalah kaki patah itu, sakitnja sebagai di-sajat2 oleh beratus pisau. Namun dengan me-rangkak2 achirnja dapat Tik Hun menjeret dirinja kebawah pohon Liu jang rindang itu. Pikirnja: “Aku tidak boleh mati, tapi harus tetap hidup. Dan untuk hidup aku harus makan.” ~ teringat pada makan, baru sekarang ia merasa kelaparan. Ia lihat banjak ikan dan udang berserakan ditanah dan sudah lama mati. Iapun tidak pikir lagi apakah mentah atau masak, apakah masih segar atau sudah busuk, tapi terus sadja ia tjomot beberapa ekor udang terus didjedjalkan kedalam mulut sekadar menangsal perut. Ia pikir kaki patah itu harus dibalut lebih dulu, habis itu barulah berdaja untuk meninggalkan tempat tjelaka ini.

Ia tjoba memandang sekelilingnja, ia lihat matjam2 peralatan tukang tangkap ikan masih tersebar disitu. Segera ia merajap madju untuk mengambil sebatang dajung sampan jang pendek beserta sebuah djala ikan. Pelahan2 ia djereng djala ikan itu, lalu kaki sendiri jang patah dan sudah mengisar arah itu dibetulkannja dengan menahan sakit, ia gunakan kaju dajung itu sebagai pengapit, kemudian mengikatnja dengan menggunakan tali djala ikan itu.

Kerdjanja itu memakan waktu satu djam penuh sambil sebentar2 mengaso. Pabila merasa kesakitan, ia lantas berhenti sambil meringis kemudian melandjutkan pula bila sakitnja mereda. Bila kemudian kaki patah itu selesai dibalut, sementara itu sang surya sudah meninggi di-tengah2 tjakrawala. Pikirnja: “Untuk merawat kakiku jang patah ini hingga sembuh betul2, paling sedikit djuga diperlukan waktu dua bulan lebih. Dan selama dua bulan ini kemanakah aku harus meneduh dan hidup?”

Sekilas dilihatnja ditepi sungai ber-deret2 perahu2 nelajan, tiba2 timbul pikirannja: “Ja, biarlah aku tinggal sadja didalam perahu, disana aku tidak perlu berdjalan.”

Ia kuatir kawanan pendjual ikan itu datang kembali hingga menimbulkan kerewelan lain, meski badannja masih lemas dan kaki kesakitan, tapi terpaksa ia mesti merajap ketepi sungai, ia merangkak kedalam sebuah perahu nelajan. Ia tanggalkan tali tambatan perahu dan mulai mendajung, pelahan2 ia luntjurkan perahunja ketengah sungai.

Waktu tanpa sengadja ia menunduk, tiba2 dilihatnja udjung badju paderi jang dipakainja itu menjingkap keatas hingga tertampak diudjung badju itu tersulam sebilah golok pendek jang berwarna merah tua, udjung golok itu tersulam pula tiga titik darah, sulaman itu sangat hidup, tapi menjeramkan pula.

Tiba2 tersadarlah Tik Hun: “Ah, tahulah aku sekarang! Badju ini adalah tinggalan sipaderi djahat Po-siang. Makanja kedua orang itu salah sangka aku sebagai begundal paderi djahat itu.”

Kemudian tanpa sengadja ia dapat meraba kepala sendiri sudah kelimis, ia mendjadi lebih paham lagi duduknja perkara. Pantas aku dipanggil Siausuhu oleh mereka, sebab rambutku sudah kububut semua hingga pelontos seperti Hwesio.

Dan baru sekarang Tik Hun sadar mengapa ber-ulang2 hamba tua itu menjebut dirinja sebagai “Siausuhu”, pula kawanan pedagang ikan dari Tiat-bong-pang memaki dirinja sebagai “Keledai gundul ketjil”, sebab dirinja sekarang memang sudah mirip seorang Hwesio. Lalu terpikir pula olehnja: Waktu udjung badjuku tersingkap, lantas gadis itu mengatakan aku adalah Hiat-to-ok-tjeng dari Tibet. Bentuk golok berdarah dalam sulaman ini memang sangat menjeramkan, tentang bagaimana perbuatan kawanan paderi2 itu melulu melihat tjontoh seperti Po-siang sadja sudah dapat dibajangkan sendiri.”

Sebenarnja Tik Hun sangat gusar dan penasaran, tapi demi mengetahui duduknja perkara, seketika rasa permusuhannja kepada “Leng-kiam-siang-hiap” lantas lenjap, bahkan merasa perbuatan sepasang muda-mudi jang gagah perwira itu djusteru sepaham dengan dirinja. Tjuma sajang ilmu silat kedua orang itu terlalu tinggi, pribadi mereka agung pula, andaikan kesalah-pahaman ini kelak dapat dibikin terang djuga rasanja susah untuk bersahabat dengan mereka.

Begitulah pelahan2 ia mendajung terus perahu itu hingga belasan li djauhnja, ia melihat ditepi pantai ada sebuah kota ketjil, dipandang dari djauh, tampaknja tjukup ramai orang jang berlalu-lalang. Pikirnja: “Badju paderi jang kupakai ini tentu akan menimbulkan bentjana bagiku, aku harus tjepat mentjari gantinja.”

Segera ia merapatkan perahunja ketepi, ia gunakan sebatang dajung pendek sebagai tongkat, lalu dengan berintjang-intjuk ia mendarat sekuat tenaga.

Orang2 dikota itu merasa ter-heran2 melihat seorang Hwesio muda dengan kaki pintjang dan badjunja penuh noda darah. Namun Tik Hun tidak ambil pusing, selama beberapa tahun ini ia sudah kenjang menghadapi sikap dingin dan kedjam dari pihak umum. Pelahan2 ia melandjutkan djalannja kepusat kota, ia melihat sebuah toko pakaian bekas, segera ia masuk ketoko itu dan membeli sepotong badju hidjau pandjang dan seperangkat pakaian dalam dengan tjelananja. Kalau saat itu djuga ia mengganti pakaian, tentu harus telandjang dulu, terpaksa Tik Hun memakai badju pandjang jang baru dibeli itu diluar badju paderi. Lalu ia membeli sebuah topi laken untuk menutupi kepalanja jang gundul.

Kemudian ia mentjari suatu kedai nasi untuk mengisi perut. Ketika ia dapat mentjapai bangku pandjang dari kedai nasi itu, saking letihnja hampir2 ia djatuh pingsan lagi dan kembali ia muntahkan dua kumur darah.

Tidak usah pesan, pelajan kedai sudah lantas menghantarkan daharan jang biasa tersedia disitu, jaitu semangkok tahu masak ikan, semangkok daging masak tautjo.

Tik Hun sudah sangat kelaparan, demi mengendus bau daging dan ikan, seketika semangatnja terbangkit, terus sadja ia angkat mangkok nasi dan ambil sumpit, segera ia sapu kedalam mulutnja, lalu menjumpit sepotong daging.

Dan baru sadja ia masukan daging itu kedalam mulutnja, tiba2 terdengar suara kelintang-kelinting dari djauh dan makin lama semakin dekat.

Mendengar itu, seketika daging jang sudah masuk mulut itu takdapat ditelannja, sebaliknja hatinja memukul keras. Diam2 pikirnja: “Kembali Leng-kiam-siang-hiap datang lagi. Apakah aku akan memapak kedatangan mereka untuk memberi pendjelasan kesalah pahaman tadi? Tanpa berdosa aku telah di-indjak2 kuda mereka hingga terluka separah ini, kalau tidak dibitjarakan setjara djelas, bukankah sangat penasaran?”

Namun selama ini Tik Hun sudah terlalu banjak menderita, setiap kali dihina atau dianiaja orang tanpa sebab, selalu ia menjesalkan dirinja sendiri jang sial dan pasrah nasib. Maka kembali pikirannja berubah: “Ah, selama hidupku ini penderitaan apa jang tidak pernah kurasakan? Kalau tjuma sedikit penasaran sadja apa artinja bagiku?”

Dalam pada itu suara keleningan tadi semakin dekat. Segera Tik Hun memutar tubuh menghadap kedinding, ia tidak ingin bertemu muka dengan sepasang pendekar muda itu.

Dan pada saat lain, tiba2 ada orang menepuk pundaknja sambil menegur dengan tertawa: “Aha, Siausuhu, perbuatanmu jang bagus itu telah ketahuan, maka Koanthayya mengundang kau menghadap padanja.”

Keruan Tik Hun terkedjut, tjepat ia berpaling, ia lihat empat opas sudah berdiri didepannja. Dua diantaranja membawa borgol dan dua lainnja menghunus golok dengan sikap2 bersiap siaga mendjaga segala kemungkinan.

Mendadak Tik Hun berteriak sekali sambil berbangkit, berbareng ia sambar mangkok jang berisi tahu-bak tadi terus disambitkan kearah opas sisi kiri. Menjusul ia angkat medja dan digabrukan kearah kawanan opas itu hingga mereka gebes2 tersiram daharan diatas medja itu.

Menurut dugaan Tik Hun, tentu kawanan hamba wet itu adalah petugas dari Keng-leng-hu, bila dirinja sampai ditawan Leng Dwesu lagi, tentu tiada harapan hidup pula.
Dalam pada itu kedua opas jang digujur kuah panas itu mendjadi kelabakan dan lekas2 melompat mundur. Kesempatan itu segera digunakan Tik Hun untuk melarikan diri. Tapi baru satu langkah, ia sudah sempojongan dan hampir2 terbanting roboh. Rupanja dalam keadaan gugup, Tik Hun lupa bahwa tulang kakinja sudah patah.

Melihat ada kesempatan bagus, opas ketiga tidak tinggal diam, terus sadja ia ajun goloknja membatjok.

Ilmu silat Tik Hun meski sudah punah, tapi untuk melawan seorang opas kerotjo seperti itu sudah tentu masih berlebihan. Maka sekali ia pegang tangan opas itu terus disengkelit, kontan opas itu terdjungkal dan goloknja terampas.

Melihat Tik Hun kini bersendjata, opas2 itu mendjadi djeri, mereka tidak berani sembarangan mendekat lagi, mereka hanja bergembar-gembor: “Wah, paderi tjabul telah melawan petugas negara dan hendak mengganas lagi!” ~ “Awas, Hiat-to-ok-tjeng telah melakukan kedjahatan lagi!” ~ “Ini dia Tjay-hoa-in-tjeng jang telah memperkosa dan membunuh puteri hartawan!”

Mendengar teriakan2 itu, diam2 Tik Hun memikir djangan2 dugaannja tadi salah, opas2 ini bukan kiriman Kang-leng-hu jang hendak menangkapnja. Maka segera ia membentak: “Kalian sembarangan mengatjo-belo apa? Siapa adalah Tjay-hoa-in-tjeng?”

“Tjay-hoa-in-tjeng” artinja paderi tjabul pemetik bunga, jaitu paderi jang suka memperkosa wanita baik2.
Dalam pada itu suara kelenengan tadi sudah dekat, tahu2 seekor kuda kuning dan seekor kuda putih telah berhenti didepan mereka. Dari atas kuda segera “Leng-kiam-siang-hiap” dapat melihat segala apa jang sedang terdjadi. Mereka agak melengak demi melihat Tik Hun, sebab merasa muka orang seperti sudah mereka kenal, dan segera merekapun ingat itulah samaran si Hiat-to-ok-tjeng.

“Toasuhu, tidak apalah djika engkau djuga ingin pelesir, tapi mengapa sehabis itu engkau membunuh orangnja pula?” demikian seru salah seorang opas itu. “Seorang laki2 berani berbuat berani bertanggung-djawab, marilah engkau ikut kami melaporkan diri sadja kepada Koanthayya.”

Dan opas jang lain ikut berseru djuga: “Engkau tjoba menjamar segala, tapi sajang telah dapat kami pergoki. Harini sudah pasti engkau takkan dapat lolos, lebih baik menjerahkan diri sadja.

“Kalian sembarangan mengotjeh, suka mempitenah orang baik!” sahut Tik Hun dengan gusar.

“Ini bukan pitenah, tapi dengan mata kepala aku melihat sendiri malam itu engkau telah menjusup kerumah Li-kidjin, tidak salah lagi, biarpun kau terbakar mendjadi abu djuga aku kenal kau,” sahut opas itu.
Kiranja kawanan Ok-tjeng atau paderi djahat sebangsa Po-siang itu, selama beberapa hari paling achir ini telah mengganas disekitar lembah Tiangkang, sesudah memperkosa, membunuh pula korbannja. Karena mengandalkan ilmu silat mereka sangat tinggi, maka kawanan paderi djahat itu sedikitpun tidak takut2 diwaktu melakukan kedjahatan, bahkan berani meninggalkan tanda, “Hiat-to”, jaitu gambar golok bertetes darah diatas dinding. Dan sasaran jang mendjadi korban mereka kalau bukan rumah kaum hartawan dan pembesar, tentu adalah tokoh terkenal pula dalam Bu-lim. Maka beberapa kabupaten diselatan Tiangkang itu bila membitjarakan “Hiat-to-ok-tjeng”, seketika pasti setiap orang akan merinding ketakutan.

Tatkala itu pembesar2 negeri setempat sudah sibuk menjebarkan petugas untuk menguber, begitu pula kaum pendekar dan tokoh persilatan daerah Liang-ou djuga turun tangan semua untuk mentjari kawanan paderi djahat itu.

Tentang opas itu bilang menjaksikan sendiri Tik Hun masuk kerumah Li-kidjin dan sebagainja, sudah tentu adalah bualan belaka. Soalnja mereka melihat Tik Hun terluka parah, untuk melarikan diri terang tidak dapat, maka mereka sudah ambil keputusan akan menguruk segala dosa atas diri Tik Hun, dengan demikian, pertama dapat memenuhi kewadjiban mereka; kedua, dengan sendirinja djasa mereka akan bertambah besar.

Nama sebenarnja dari “Leng-kiam-siang-hiap” itu ada Ong Siau-hong dan sigadis she Tjui, namanja tjuma satu, Sing. Kedua muda-mudi itu adalah saudara misan. Ajah Tjui Sing bernama Tjui Tay, seorang tokoh besar sangat terkenal dimasa dahulu dengan djulukan: “Sam-tjoat-kiam (Sipedang triguna).

Ong Siau-hong sendiri sedjak ketjil sudah kehilangan kedua orang tua, maka ikut tinggal dirumah sang paman, jaitu adik ibunja, Tjui Tay, serta mendapat peladjaran ilmu silat.
Karena pembawaan Ong Siau-hong memang gagah dan tampan, maka sedjak ketjil Tjui Tay sudah mengandung maksud akan mendjodohkan puterinja kepada kemenakannja itu.

Oleh karena kedua orang sedjak ketjil sama2 beladjar silat, sesudah dewasa sama2 mengembara diluaran untuk mengamalkan kepandaian mereka kepada kaum lemah, maka diam2 benih tjinta djuga sudah tumbuh diantara mereka, meski tidak bitjara setjara terang2an, tapi mereka sama2 tahu kelak sudah pasti akan mendjadi suami-isteri, sebab itulah dalam segala tindak-tanduk merekapun tidak tjanggung2.
Kedua muda-mudi itu telah memperoleh adjaran silat andalan Tjui Tay, paling achir ini nama mereka sangat terkenal. Setiap orang didaerah Liang-ou sangat kagum terhadap mereka dan memudji tidak habis2 bila ada orang menjebut tentang “Leng-kiam-siang-hiap”.

Tentang Hiat-to-ok-tjeng mengganas itu memang djuga telah didengar mereka. Tjuma kebetulan Tik Hun pernah menolong djiwa hamba tua mereka, jaitu si Tjui Hok jang bertengkar dengan penangkap ikan Tiat-bong-pang itu, makanja Leng-kiam-siang-hiap berlaku murah dan tidak membunuhnja, tapi tjuma mengeprak kuda menjepak dua kali hingga pemuda itu terluka parah. Siapa duga dikota ketjil ini kembali mempergoki Tik Hun menimbulkan gara2 lagi dan mendengar kawanan opas itu sedang membentangkan segala dosa jang katanja diperbuat Tik Hun itu. Dasar djiwa Leng-kiam-siang-hiap itu memang luhur dan paling bentji pada kedjahatan, maka semakin didengar semakin gusar mereka.

Melihat penonton jang merubung semakin banjak, untuk meloloskan diri tentu akan lebih susah, segera Tik Hun mengajun goloknja sambil membentak: “Minggir semua!” ~ Lalu dengan bantuan dajung pendek jang menjanggah dibawah ketiaknja, segera ia menerdjang keluar sana.

Dengan ber-teriak2 takut, penonton2 jang merubung itu lantas berlari menjingkir. Keempat opas itupun ber-teriak2 sambil menjusul dari belakang: “Tjay-hoa-in-tjeng, djangan lari kau!”
Tapi mendadak Tik Hun memutar balik goloknja hingga lengan salah seorang opas itu tergurat luka. “Hai, paderi tjabul ini mengganas lagi, berani melukai petugas!” demikian opas itu terus berteriak.

Ong Siau-hong mendjadi gusar, ia keprak kudanja memburu madju, sekali tjambuknja bekerdja, “tarrrr”, golok ditangan Tik Hun itu sudah tergubat udjung tjambuk dan terus dia tarik dengan keras.

Tenaga Tik Hun memang sudah habis, seketika golok terlepas dari tjekalannja. Bahkan Ong Siau-hong mendesak madju pula, sekali tangan kirinja mendjulur, dari atas ia mentjengkeram kebawah dan tepat badju leher Tik Hun kena didjambret terus diangkat keatas sambil membentak: “Paderi tjabul, sudah sekian banjak kedjahatan jang kau lakukan, apakah kau masih ingin hidup lagi?” ~ berbareng itu tangan lain terus meraba garan pedangnja, sekali sinar tadjam berkilauan, segera pedangnja terlolos dan hendak memenggal keleher Tik Hun.
“Bagus! Bunuh sadja paderi tjabul itu!” ~ “Ja, tjintjang sadja biar tamat riwajatnja!” ~ begitulah para penonton itu ber-teriak2.

Dalam keadaan tubuh terapung lantaran ditjengkeram orang, sama sekali Tik Hun tidak mempunyai tenaga untuk meronta, sekilas ia melihat wadjah Tjui Sing jang aju itupun mengundjuk rasa hina dan senang. Tentunja hina karena bentji kepada perbuatan tjabul jang dituduhkan kepadanja itu, dan senang lantaran melihat sang Piauko akan melenjapkan djiwanja. Diam2 Tik Hun menghela napas penjesalan: “Ai, apa mau dikata lagi, rupanja sudah suratan nasibku harus selalu dipetenah orang!”
Dalam pada itu ia lihat pedang Ong Siau-hong sudah terangkat tinggi2 tinggal memanggal kebawah, ia hanja dapat bersenjum getir belaka, katanja didalam hati: “Ting-toako, harap maafkan aku tidak dapat memenuhi djandji, soalnja bukan Siaute tidak berusaha sedapat mungkin, tapi sesungguhnja nasibku ini terlalu buruk.”

Dan pada saat pedang Ong Siau-hong itu hampir2 ditabaskan kebawah itulah, tiba2 terdengar suara teriakan seorang tua: “Nanti dulu, djangan mengganggu djiwanja!”

Tanpa merasa Siau-hong menoleh, ia lihat pendatang itu adalah seorang Hwesio berdjubah kuning. Usia paderi itu sudah sangat tua, kepala lantjip, telinga ketjil, mukanja penuh keriput. Dan bahan djubah jang dipakainja itu ternjata serupa dan sewarna dengan apa jang dipakai Tik Hun itu.

Seketika air muka Siau-hong berubah, ia tahu Hwesio itu adalah kaum Hiat-to-tjeng dari Bit-tjong di Tibet. Tjepat ia memperingatkan Tjui Sing: “Awas, Sing-moay, hati2lah!” ~ Dan tanpa ajal lagi segera ia ajun pedangnja kebawah, ia pikir paderi tjabul muda ini kubunuh dulu, kemudian membunuh paderi tjabul jang tua itu.
Waktu pedangnja sudah tinggal belasan senti akan mengenai leher Tik Hun, mendadak Siau-hong merasa sikunja kesemutan sekali, terang Hiat-to dibagian siku itu telah terkena sesuatu Amgi. Kontan sadja pedangnja lantas melambai kebawah dengan tidak berkekuatan lagi, namun karena tadjamnja sendjata itu, tidak urung pipi kiri Tik Hun djuga tergurat suatu luka jang sangat pandjang.

Gerakan paderi tua itu sangat tjepat, dimana tubuhnja sampai, lebih dulu ia sodok Ong Siau-hong hingga terdjungkal kebawah kuda, berbareng ia sambar tubuh Tik Hun dan ditaruh keatas kuda putih tunggangan Tjui Sing jang berada disamping. Dengan gugup Tjui Sing lolos pedang terus membatjok.

“Wah, alangkah tjantiknja!” seru paderi tua itu ketika ia agak melengak melihat paras Tjui Sing jang manis itu. Dan belum lagi pedang orang tiba, lebih dulu ia sudah ulur djarinja dan tepat kena tutuk dipinggang sigadis.

Keruan Tjui Sing kaget dan takut, baru pedangnja hendak dibatjokan, mendadak tenaganja lenjap, pedang djatuh ketanah hingga mengeluarkan suara njaring. Segera ia bermaksud melompat turun, namun pinggangnja tiba2 terasa kesemutan dan kakinja ikut kaku serta tidak mau menurut perintah lagi.

Paderi tua itu ter-kekeh2 beberapa kali, sedikit ia angkat sebelah kakinja, tahu2 orangnja sudah mentjemplak keatas kuda kuning.
Umumnja orang menaik kuda tentu sebelah kaki mengindjak sanggurdi lebih dulu, kemudian kaki jang lain melangkah keatas pelana kuda. Tapi paderi tua ini ternjata lain daripada jang lain tjaranja mentjemplak kuda, ia tidak melompat djuga tidak pakai mengindjak dulu keatas sanggurdi, tapi sedikit angkat sebelah kakinja, tubuhnja lantas menaik keatas pelana.

Tjuma dalam keadaan katjau dan geger, maka semua orang tiada jang perhatikan gerak-geriknja jang hebat dan aneh itu.

Sementara sesudah mentjemplak diatas kuda, begitu kedua kaki paderi tua itu mengempit kentjang, segera kuda kuning itu membedal kedepan diikuti kuda putih dengan suara kelenengan jang berbunji kelintang-kelinting.

“Sing-moay! Sing-moay!” demikian Siau-hong ber-teriak2 sambil masih menggeletak ditanah, sungguh ia sangat tjemas daan tidak berani membajangkan apa djadinja sesudah sang Piaumoay alias tunangannja itu ditjulik oleh paderi2 tjabul itu. Ada maksudnja hendak bangun untuk mengedjar, tapi apa daja, entah tjara bagaimana paderi tua itu telah menutuknja, biarpun ia meronta sekuatnja tetap tidak dapat berkutik.

Dalam pada itu hanja terdengar suara teriakan2 kawanan opas tadi: “Tangkap paderi tjabul itu!” ~ “Wah, Hiat-to-ok-tjeng dapat lolos!” ~ “Tjelaka, ada gadis tjantik jang ditjulik lagi!”

Sudah sekian lamanja Tik Hun terombang-ambing diatas pelana kuda, karena guntjangannja jang keras itu, hampir2 pemuda itu terbanting djatuh. Dalam gugupnja dengan sendirinja ia mendjamah sekenanja. Tapi mendadak ia merasa tangannja memegangi sesuatu jang empuk dan lemas, waktu ia memperhatikan, kiranja apa jang terpegang tangannja itu adalah pinggang belakang Tjui Sing.

Keruan Tjui Sing ketakutan dan men-djerit2: “Auuuh, Hwesio djahat, lepas tanganmu!” ~ Ia sangka paderi tjabul itu hendak berlaku tidak senonoh atas dirinja.

Sebaliknja Tik Hun mendjadi kaget djuga dan tjepat ia melepas tangan untuk memegangi pelana kuda.

Namun betapapun djuga karena mereka berdua menunggang seekor kuda, mau-tak-mau badan mereka mesti bersentuhan. Saking takutnja hingga air mata Tjui Sing bertjutjuran, dengan gemetar ia berteriak: “Le………lepaskan aku! Lepaskan aku!”

Rupanja sepaderi tua merasa sebal oleh teriakan2 Tjui Sing jang tiada berhenti itu, tiba2 ia menutuk Ah-hiat, jaitu djalan darah jang membuat bisu gadis itu. Dengan demikian untuk bitjara sadja Tjui Sing sekarang djuga tidak dapat.

Diatas kudanja paderi tua itu ber-ulang2 menoleh pula untuk mengamat-amati paras muka dan potongan tubuh Tjui Sing jang tjantik menggiurkan sambil mulutnja tiada hentinja ber-ketjak2 dan memudji: “Tjk, tjk, tjk, alangkah tjantiknja! Harini Lohwesio benar2 lagi ketomplok redjeki.”
Meski mulut Tjui Sing sementara itu takdapat bitjara, tapi telinganja toh tidak mendjadi tuli. Keruan semangatnja se-akan2 terbang ke-awang2 saking takutnja demi mendengar utjapan paderi tua itu, bahkan hampir2 ia kelengar.

Begitulah paderi tua itu terus keprak kudanja menudju kearah barat, selalu tempat sunji jang dipilih. Setelah sekian lamanja, ia merasa suara keleningan kedua ekor kuda itu terlalu berisik, suara kelintang-kelinting itu hanja akan memantjing pengedjaran musuh sadja. Maka segera ia mengulur tangannja kedepan, ia betot kedua kelenengan emas dan perak kuda2 itu.

Kelenengan2 itu sebenarnja terikat dileher kuda dengan untiran rantai emas dan perak, tapi tenaga paderi tua itu benar2 susah dibajangkan orang, hanja sekali puntir dan betot sadja, segera kelenengan2 itu kena dibetot putus terus diremaskan hingga mendjadi lantakan emas dan perak, lalu dimasukkannja kedalam badju.

Sebentarpun paderi tua itu tidak memberi kesempatan mengaso kepada kuda2 itu, ia terus berdjalan hingga magrib, achirnja sampailah ditepi sebuah tebing jang tjuram dan dibawahnja adalah sebuah sungai. Ia lihat sekitar situ tiada orang berlalu, pula tiada rumah penduduk, segera ia menurunkan Tik Hun ketanah, lalu Tjui Sing dipondongnja turun pula. Achirnja kedua ekor kuda itu ditambatnja dibawah sebuah pohon besar dan membiarkan binatang2 itu makan rumput dan mengaso.

Kemudian paderi tua itu memondong Tjui Sing pula dan dimasukan ke-tengah2 semak2 rumput, ia sendiri lalu duduk bersila menghadapi sungai dengan mata terpedjam untuk bersemadi.

Tik Hun duduk didepan sipaderi tua itu dengan pikiran jang timbul-tenggelam tak keruan, pikirnja: “Pengalamanku harini benar2 teramat aneh sekali. Ada dua orang baik2 hendak membunuh aku, sebaliknja seorang Hwesio tua malah menolong djiwaku. Melihat kelakuan Hwesio tua ini, terang dia adalah sebangsanja Po-siang jang djahat itu, kalau dia memperlakukan nona itu dengan tidak senonoh, lantas apa dajaku?”

Begitulah dengan bingung Tik Hun hanja berduduk ter-menung2 diatas tebing. Angin malam men-deru2 diseling suara burung malam jang menjeramkan. Tik Hun bergidik demi melihat pula muka sipaderi tua jang mirip majat hidup itu. Waktu ia menoleh, ia melihat di-semak2 rumput sana menondjol sebagian badju wanita, itulah Tjui Sing jang menggeletak disitu.

Beberapa kali Tik Hun bermaksud menanja sipaderi tua, tapi melihat sikap orang jang kereng itu, betapapun ia tidak berani membuka suara.

Selang agak lama, mendadak paderi tua itu berbangkit dengan pelahan2, kaki kirinja tampak diangkat hingga tapak kakinja tertekuk keatas, dengan hanja berdiri dengan kaki kanan, lalu paderi itu pentang kedua tangannja menghadap kebulan.

Se-konjong2 Tik Hun ingat: “He, gajanja ini aku seperti sudah pernah melihat? Ah, ingatlah aku, didalam buku ketjil tinggalan Po-siang terdapatlah gambar dengan gaja jang aneh ini.”

Ia lihat paderi tua itu masih terus berdiri dengan sebelah kaki sebagai patung, sedikitpun tidak bergojang. Lewat sebentar, mendadak paderi itu melompat keatas sambil mendjungkir, sesudah turun, kini kepalanja jang menahan ditanah, kedua kakinja terangkat rapat lurus keatas.

Tik Hun merasa ketarik, ia tjoba mengeluarkan buku ketjil jang ditemukan dari dalam badjunja Po-siang itu, ia mem-balik2 halaman buku itu, pada suatu halaman, ia lihat gambarnja persisi seperti gaja jang dilakukan sipaderi tua sekarang ini. Tik Hun seperti paham sesuatu, pikirnja dalam hati: “Ehm, tentu inilah kuntji melatih ilmu dari golongan Bit-tjong mereka.”

Kemudian ia melihat paderi tua itu ber-ulang2 berganti tjara dan gaja latihannja, melihat gelagatnja, tidak mungkin dapat selesai dalam waktu singkat, bahkan paderi itu semakin tenggelam dalam keasjikan latihannja sambil mata terpedjam.

Tik Hun berpikir: “Meski paderi ini telah menolong djiwaku, tapi terang dia adalah seorang djahat dan tjabul. Ia mentjulik nona tjantik ini, terang tidak bermaksud baik. Selagi dia asjik melatih diri, biarlah nona itu akan kutolong, lalu mealrikan diri ber-sama2 dengan menunggang kuda.”

Biarpun ber-ulang2 Tik Hun tertimpa nasib malang, namun djiwanja jang luhur budi toh tidak mendjadi berkurang. Meski tahu tindakannja ini berarti “menjerempet bahaja”, namun ia tidak tega menjaksikan seorang nona baik2 mesti dinodai oleh seorang paderi tjabul. Maka diam2 ia menggeser tubuh, dengan pelahan2 ia merangkak kearah semak2 rumput.
Dahulu, ia sering melatih Lwekang bersama Ting Tian didalam pendjara, maka ia tahu dikala orang sedang asjik semadi begitu, tentang daja pantjaindera untuk sementara kehilangan daja-gunanja, telinga tuli dan mata se-akan2 buta. Dalam keadaan demikian asal paderi itu masih terus berlatih, tentu takkan mengetahui kalau dirinja telah menolongi sinona.

Lantaran tulang kakinja patah, maka setiap kali Tik Hun bergerak, tentu menimbulkan rasa sakit tidak kepalang, tapi ia tahan sedapat mungkin, ia letakan titik berat tubuhnja dibagian siku dan dengan setengah menjeret, pelahan2 ia menggerumut ketengah2 semak rumput itu dan untunglah sama sekali tidak diketahui oleh sipaderi tua.

Waktu Tik Hun menunduk, dibawah sinar bulan, paras muka Tjui Sing dapat terlihat dengan djelas. Kedua mata nona tampak membelalak lebar2 dengan air muka jang mengundjuk rasa ketakutan setengah mati.

Kuatir diketahui sipaderi tua, maka Tik Hun tidak berani membuka suara, tapi hanja meng-gerak2an tangan untuk memberi tanda djangan kuatir sebab datangnja itu bermaksud menolong gadis itu serta akan melarikan diri ber-sama2 dengan menunggang kuda.

Tjui Sing sendiri sedjak digondol lari sipaderi tua, diam2 ia sudah putus asa akan nasibnja sendiri jang tertjengkeram ditangan iblis kedua paderi tjabul itu, ia tidak berani membajangkan penderitaan apa jang akan dialaminja nanti.
Tjelakanja ia tertutuk, djangankan bergerak, sedangkan untuk bitjarapun tidak dapat. Ia ditaruh begitu sadja ditengah semak2 rumput, semut dan belalang selalu merajap kian kemari dikepala dan lehernja hingga gatal dan risih rasanja. Kini melihat Tik Hun menggerumut pula mendekati dirinja, ia sangka pemuda itu pasti tidak bermaksud baik dan tentu akan berbuat tidak senonoh kepadanja, keruan takut Tjui Sing tidak kepalang.

Ber-ulang2 Tik Hun masih menggeraki tangannja untuk memberi tanda bahwa maksudnja hendak menolong padanja. Tapi saking takutnja Tjui Sing mendjadi salah tampa, salah terima, hingga semakin menambah rasa takutnja.

Segera Tik Hun menarik bangun sigadis dan menuding kearah kuda jang tertambat disebelah sana itu, maksudnja mengadjak gadis itu melarikan diri bersama dengan menunggang kuda. Tapi meski Tjui Sing sudah berduduk, sekudjur badannja tetap lemas lunglai tidak bertenaga.

Kalau kedua kaki Tik Hun dalam keadaan sehat dan kuat tentu ia dapat memondong sigadis. Tapi kini kakinja patah, untuk berdjalan sendiri sadja susah, apalagi hendak memondong orang lain? Djalan satu2nja ia pikir harus membuka dulu Hiat-to sigadis jang tertutuk itu dan biar gadis itu berdjalan sendiri.

Namun Tik Hun tidak paham tjara menutuk dan membuka Hiat-to, terpaksa ia memberi tanda pula dengan tangannja sambil men-tuding2 bagian2 tubuh sigadis dengan harapan dapatlah gadis itu membalas memberi tanda djawaban dengan lirikan matanja tempat mana dapat membuka Hiat-to jang tertutuk itu.
Sebaliknja Tjui Sing salah tampa lagi. Ia lihat pemuda itu tuding2 kesegala pelosok badannja, karuan malunja tak terkatakan dan gemasnja djuga tidak kepalang. Pikirnja: “Kurangadjar benar paderi muda ini, entah dengan tjara aneh apa aku akan diperlakukan setjara tidak senonoh olehnja. Kuharap asal badanku dapat bergerak sedikit sadja, segera aku akan tumbukan kepalaku diatas batu, lebih baik mati daripada menerima hinaan.”

Melihat air muka sinona mengundjuk rasa bingung dan aneh, diam2 Tik Hun heran. Ia menduga mungkin gadis itu tidak tahu apa jang dimaksudkan dengan gerakan tangannja tadi. Padahal selain membuka Hiat-to jang tertutuk itu, rasanja tiada djalan lain lagi untuk bisa meloloskan diri. Katanja didalam hati: “Maksudku hanja ingin membantu nona melarikan diri dari antjaman bahaja, maka harap memaafkan tindakanku ini.” ~ Habis itu, terus sadja ia ulur tangan dan memidjat beberapa kali dipunggung sigadis.

Sudah tentu pidjitan2 itu tiada membawa hasil apa2 dalam hal membuka Hiat-to jang tertutuk. Sebaliknja rasa takut Tjui Sing semakin bertambah hingga hampir2 ia djatuh kelengar. Sebagai seorang gadis, biarpun dia sering mengembara di Kangouw bersama sang Piauko, jaitu Ong Siau-hong, tapi setiap tindak-tanduk mereka selalu sopan-santun, bahkan tangan menjentuh tangan djuga tidak pernah, apalagi main pegang2 segala. Ketjuali tadi waktu dia diturunkan dari kuda oleh sipaderi tua, boleh dikata selama hidup belum pernah ada tangan kaum prija jang menjentuh tubuhnja. Kini Tik Hun bukan lagi menjentuh tubuhnja, bahkan pidjit2 dipunggung, keruan saking takut dan malunja sampai air matanja bertjutjuran.
Sebaliknja Tik Hun mendjadi heran dan kedjut. “Mengapa dia menangis? Ah, tentu karena habis tertutuk, Hiat-to dipunggungnja itu mendjadi sangat kesakitan bila terpegang oleh tanganku hingga saking tak tahan dia lantas menangis. Biarlah kutjoba membuka Hiat-to dipinggangnja sadja?” demikian pikir Tik Hun.

Maka kembali ia ulur tangan kepinggang sigadis bagian belakang dan memidjat beberapa kali pula.

Tapi tjelaka, bukannja gadis itu ketawa geli, sebaliknja air matanja semakin deras sebagai bandjir. Keruan Tik Hun bertambah heran dan bingung pula. “Wah, kiranja bagian pinggang djuga sakit, lantas apa dajaku?” demikian pikirnja.

Namun se-bodoh2nja Tik Hun djuga tahu bahwa bagian2 dada, leher, paha, perut, dan lain2 adalah tempat2 jang merupakan keagungan kaum wanita. Djangankan dipegang segala, sedang dipandang sadja dilarang keras. Maka ia memikir pula: “Aku tidak dapat membuka Hiat-tonja, djika aku mentjoba lagi setjara sembarangan, itu berarti aku berbuat kasar. Terpaksa aku mesti menggendong dia dan melarikan diri dengan menjerempet segala bahaja.” ~ Berpikir demikian, terus sadja ia pegang kedua tangan sigadis dengan memaksud untuk menggendongnja.
Tjui Sing sendiri lagi ketakutan dan susah tak terkatakan, saking tjemasnja sudah beberapa kali hampir2 ia kelengar. Kini melihat “paderi tjabul” itu mulai memegang tangannja, ia sangka orang mulai akan main paksa. Ia ingin berteriak minta tolong, tapi napasnja tertahan didada dan susah dikeluarkan. Ketika Tik Hun mulai tarik tangannja dan hendak mengangkat tubuhnja, seketika hawa jang merongkol didadanja itu lantas menerdjang hingga Ah-hiat jang tertutuk tadi terbuka mendadak ia dapat ber-teriak2 dengan suara tadjam melengking: “Bangsat gundul, lepaskan aku, lepaskan aku!”

Keruan Tik Hun kaget, pegangannja mendjadi kendor hingga Tjui Sing terbanting djatuh ketanah. Bahkan ia sendiripun ter-hujung2 dan achirnja terguling djuga dan setjara sangat kebetulan djatuhnja itu tepat menindih diatas badan Tjui Sing.

Dan karena djeritan Tjui Sing itu, sipaderi tua lantas sadar, ia membuka mata dan melihat Tik Hun sedang “bergumul” dengan Tjjui Sing, bahkan gadis itu lagi ber-teriak2 pula: “Bangsat gundul, lekas lepaskan aku atau bunuhlah aku sadja!”

“Hahahaha!” sipaderi tua ter-bahak2 menjaksikan itu. “Haha, setan tjilik, kenapa kau begitu ter-buru2? Kau hendak mentjuri nona milik kakek gurumu, ja? Hahahaha!” ~ Segera iapun mendekati mereka, sekali djamberet, ia tarik Tik Hun keatas dan dibawa menjingkir, lalu dilepaskan ketanah sambil berkata pula dengan tertawa: “Haha, bagus, bagus! Aku paling suka kepada pemuda pemberani seperti kau ini. Biarpun kakimu patah, tapi melihat ada wanita, engkau lantas lupa sakit. Ehm, bagus, bagus! Engkau sangat mentjotjoki seleraku!”

Keruan Tik Hun garuk2 kepala sendiri dengan serba runjam karena kesalah-pahaman kedua orang itu. Sinona salah tampa, mengira dirinja hendak berbuat tidak senonoh kepadanja, sebaliknja sipaderi tua salah sangka dia hendak merebut ‘hak milik’ sang ‘kakek guru’ itu. Diam2 Tik Hun memikir: “Kalau aku bitjara terus terang padanja, mungkin sekali hantam paderi itu bisa membikin tamat riwajatku. Terpaksa aku harus mengikuti arah angin untuk berusaha meloloskan diri, berbareng mentjari akal untuk menolong nona itu.”
“Apakah engkau adalah murid jang baru diterima Po-siang?” demikian terdengar sipaderi tua sedang menanja. Dan belum lagi Tik Hun mendjawab, tiba2 paderi itu tertawa lebar dan menjambung pula: “Ehm, tentu Po-siang sangat suka padamu, bukan sadja dia telah menghadiahkan ‘Hiat-to-tjeng-ih’ (djubah paderi bersulam gambar golok berdaarah) kepadamu, bahkan djilid ‘Hiat-to-pit-kip’ (kitab pusaka golok berdarah) djuga sudah diberikan padamu.”

Habis berkata, sekali ia mengulur tangannja, tahu2 buku ketjil jang berada didalam badju Tik Hun itu dirogoh keluar olehnja, ia mem-balik2 halaman kitab itu, lalu mengusap kepala Tik Hun dengan pelahan2 sambil berkata: “Ehm, bagus, sangat bagus! Siapakah namamu?”

“Tik Hun!” sahut sipemuda.

“Tik Hun? Ehm, bagus, sangat bagus!” demikian pudji sipaderi tua sambil mengembalikan kitab ketjil itu kedalam badju Tik Hun. ”Dan gurumu sudah mengadjarkan padamu kuntji melatih ilmu silat kita belum?”

“Belum,” sahut Tik Hun.

“O, tapi tak apalah, tidak lama tentu dia akan mengadjarkan padamu,” udjar paderi tua itu. “Dan dimanakah Suhumu telah pergi?”

Sudah tentu Tik Hun tidak berani mengatakan Po-siang sudah mampus, terpaksa ia menjahut sekenanja: “Dia......dia berada dikapal ditengah Tiangkang.”

“Suhumu pernah memberitahukan kepadamu tentang gelar agung Sutjomu (kakek gurumu) tidak?” tanja sipaderi tua pula.

“Belum,” sahut Tik Hun.

“Baiklah, dengarkan sekarang, kakek-gurumu ini bergelar ‘Hiat-to-Lotjo’,” kata paderi tua. “Aneh djuga, entah mengapa engkau sisetan tjilik ini sangat menjenangkan aku. Bolehlah kau ikut pada kakek-gurumu ini, tanggung kau akan mendapat redjeki tiada taranja, setiap wanita tjantik dan gadis aju didunia ini, siapa jang kau penudjui, tentu pula akan kau peroleh dengan mudah.”

“Kiranja dia adalah gurunja Po-siang,” demikian pikir Tik Hun. Tapi ia lantas tanja djuga: “Mengapa......mengapa orang memaki kita sebagai ........sebagai ‘Hiat-to-ok-tjeng’? Apakah Su......Sutjo adalah Tjiangkau (pedjabat ketua dari golongan kita ini?”
“Hehe, Po-siang si bedebah ini benar2 terlalu, masakah tentang asal-usul golongannja sendiri djuga tidak dikatakan kepada murid kesajangannja,” demikian Hiat-to Lotjo atau si Ejang golok berdarah, mengomel dengan mengekeh tawa. “Tapi biar kuterangkan padamu. Golongan kita ini adalah suatu tjabang dari Bit-tjong di Tibet, namanja disebut ‘Hiat-to-bun’. Aku adalah pedjabat ketua angkatan keempat daripada keluarga golok berdarah kita ini. Maka engkau harus beladjar dengan baik2 dan giat, kemudian bukan mustahil djabatan ketua angkatan keenam akan dapat djatuh atas dirimu. Eh, tulang kakimu telah patah terindjak kuda, ja? Djangan kuatir, marilah biar kuberi obat.”

Segera ia membuka balutan kaki Tik Hun jang patah itu, ia sambung tulang patah tepat pada tempatnja satu sama lain, lalu mengeluarkan sebuah botol porselen dan menuang sedikit obat bubuk dan dibubuhkan ditempat luka itu. Katanja: “Ini adalah obat mudjarab menjambung tulang dari golongan kita, tanggung tjes-pleng, tiada sebulan, tentu kakimu akan pulih seperti sediakala.”
Setelah membalut kembali luka Tik Hun itu, sipaderi berpaling kepada Tjui Sing, lalu katanja pula dengan tertawa: “Setan ketjil, rupa anak dara ini memang lumajan dan potongan badannja boleh djuga, bukan? Ia mengaku sebagai ‘Leng-kiam-siang-hiap’ apa segala, bapaknja bernama Tjui Tay, katanja adalah tokoh terkemuka dikalangan Bu-lim didaerah Tionggoan sini, biasanja suka mengagulkan diri sebagai kaum Beng-bun-tjing-pay (keluarga baik2 dan golongan ternama), siapa duga anak dara ini telah kena ditjulik oleh Hiat-to Lotjo. Hehehe, kita harus membikin malu habis2an kepada bapaknja itu, kita beletjeti badju anak dara ini dan ikat dia diatas kuda, lalu kita arak dia sepandjang djalan dikota Pakkhia (Peking), biar setiap orang ikut menjaksikan dengan djelas beginilah matjamnja anak perawan Tjui-tayhiap jang mereka pudja itu.”

Keruan hati Tjui Sing ber-debar2 mendengar utjapan paderi tua itu, saking takutnja hampir2 ia kelengar lagi. Pikirnja diam2: “Paderi muda itu sudah djahat, tapi paderi tua bangka ini terlebih djahat dan kedji. Aku harus lekas mentjari djalan untuk membunuh diri demi badanku jang sutji bersih ini serta nama baik ajah.”

“Aha, baru dibitjarakan, tahu2 orang jang hendak menolongnja sudah tiba!” tiba2 Hiat-to Lotjo berseru sambil tertawa.

Tik Hun mendjadi girang malah, tjepat ia tanja: “Dimana?”

“Sekarang masih djauh, paling sedikit ada lima li dari sini,” sahut Hiat-to Lotjo. “Hehe, banjak djuga djumlahnja, ehm, seluruhnja ada 17 penunggang kuda.”

Waktu Tik Hun mendengarkan dengan tjermat, benar djuga sajup2 didjalan pegunungan disebelah tenggara sana ada suara derapan kuda, tjuma djaraknja masih sangat djauh, maka suara derapan itu terkadang terdengar dan terkadang lenjap, untuk membade berapa djumlah orangnja sudah tentu sangat sulit, tapi sedikit mendengarkan sadja Hiat-to Lotjo sudah lantas tahu dengan pasti djumlahnja ada 17 orang, sungguh daja pendengarannja jang tadjam itu sangat mengedjutkan orang.
Kemudian Hiat-to Lotjo berkata pula: “Tulang kakimu baru sadja dibubuhi obat, dalam waktu tiga djam engkau tidak boleh sembarangan bergerak, kalau tidak, untuk selamanja kau akan mendjadi pintjang. Didaerah sini aku tidak pernah mendengar ada djago2 jang berkepandaian tinggi, meskipun mereka berdjumlah 17 orang, biarlah nanti kubunuh semua sadja.”

Sesungguhnja Tik Hun tidak ingin Hwesio djahat itu terlalu banjak mentjelakai djago2 silat jang baik dikalangan Bu-lim, maka tjepat ia berkata: “Kita sembunji disini sadja tanpa bersuara, mereka tentu takkan mampu menemukan kita. Djumlah musuh terlalu banjak, sebaliknja kita tjuma berdua, maka sebaiknja Su.....Sutjo berlaku hati2 sadja.”

Hiat-to Lotjo mendjadi senang, katanja: “Ehm, setan tjilik berhati luhur, dapat memperhatikan keselamatan kakek-gurumu. Hehe, Sutjo sangat suka padamu.”

Habis berkata, sekali ia mengagap kebagian pinggang, tahu2 sebatang Bian-to (golok badja jang tipis dan lemas) terpegang ditangannja, batang golok itu tampak bergemetar terus mirip ular hidup. Dibawah sinar bulan mata golok itu kelihatan berwarna merah padam, lapat2 bersemu warna darah dan sangat menjeramkan.
Tanpa merasa Tik Hun bergidik, tanjanja dengan gemetar: “Apakah........apakah inilah jang disebut Hiat-to (golok berdarah)?”

“Ja,” sahut Hiat-to Lotjo. “Golok pusaka ini setiap malam bulan purnama mesti diberi sesadjen kepala manusia, kalau tidak, tadjamnja akan berkurang dan tidak menguntungkan sipemiliknja. Lihatlah malam ini bulan lagi purnama, kebetulan ada 17 orang menghantarkan kepala mereka sendiri untuk sesadjen golokku. Wahai, golok-pusaka, malam ini engkau pasti akan kenjang makan darah manusia, lebih kenjang daripada apa jang pernah kau rasakan.”

Dilain pihak, diam2 Tjui Sing sedang bergirang demi mendengar suara derapan kuda jang ramai itu semakin mendekat, tapi sesudah mendengar utjapan Hiat-to Lotjo jang sangat sombong itu se-akan2 setiap orang jang datang itu sudah pasti akan terbunuh olehnja. Hal ini meski membuatnja ragu2, tapi diam2 iapun berpikir: “Apakah ajahku sendiri ikut datang? Dan apakah Piauko djuga datang kemari?”

Selang tak lama pula, dibawah sinar bulan jang terang itu, tertampaklah dari djalan lereng bukit sana sebarisan penunggang kuda sedang mendatangi dengan tjepat. Waktu Tik Hun tjoba menghitungnja, benar djuga, tidak lebih dan tak kurang, djumlahnja memang tepat adalah 17 orang.
Susul menjusul ke-17 penunggang kuda itu tertampak mengeprak kuda dengan tjepat, setiba didekat tebing situ, penunggang2 kuda itu lantas membiluk kedjalan dibawah tebing itu, ternjata tiada terpikir oleh mereka untuk menjelidiki keadaan diatas tebing.

“Aku berada disini, aku berada disini!” segera Tjui Sing berteriak2.

Mendengar itu, seketika ke-17 orang itu memberhentikan kuda mereka dan memutar kembali.

“Piaumoay! Dimanakah engkau, Piaumoay?” segera seorang laki2 balas berseru. Itulah suaranja Ong Siau-hong.

Dan selagi Tjui Sing hendak berteriak pula, mendadak Hiat-to Lotjo mendjulur djarinja dan menjelentik sekali, sebutir batu ketjil terus menjambar kearah sigadis dan tepat mengenai pula Ah-hiat hingga Tjui Sing tidak dapat bersuara lagi.

Sementara itu ke-17 orang itu sudah melompat turun semua dari binatang tunggangan mereka dan sedang berunding dengan suara pelahan2.
Mendadak Hiat-to Lotjo pegang bahu Tik Hun terus mengangkatnja tinggi2 keatas sambil berseru: “Inilah Hiat-to Lotjo. Tjiangbundjin angkatan keempat dari Hiat-to-bun Bit Tjong di Tibet bersama murid angkatan keenam Tik Hun berada disini!” ~ Menjusul ia berdjongkok dan mentjengkeram pula leher badju Tjui Sing serta diangkatnja keatas djuga sambil berteriak: “Lihatlah ini, anak perawannja Tjui Tay kini sudah mendjadi gundik ke-18 daripada tjutju muridku Tik Hun. Siapakah diantara kalian ada jang kepingin minum arak bahagianja, silakan lekas madju kemari! Ahahahahaha!”

Ia sengadja hendak pamerkan betapa tinggi Lwekangnja, maka suara ketawanja itu dibikin pandjang hingga antero lembah pegunungan itu se-akan2 terguntjang oleh suaranja jang berkumandang djauh itu.

Keruan ke-17 orang itu saling pandang dengan terperandjat sekali.

Namun demikian, bagi Ong Siau-hong, oleh karena sang Piaumoay berada dibawah tjengkeraman paderi djahat dan tampaknja sedikitpun tidak mampu melawan, malahan mendengar pula teriakan paderi tua itu tadi jang mengatakan sang Piaumoay sudah mendjadi gundik ke-18 dari tjutju muridnja jang bernama Tik Hun, ia mendjadi tambah kuatir djangan2 sang Piaumoay telah dinodai, saking gusar dan kuatirnja, sekali menggereng, terus sadja ia mendahului menjerbu keatas tebing dengan pedang terhunus.

Segera pula ke-16 orang jang lain ikut menerdjang keatas sambil ber-teriak2: “Bunuh dulu Hiat-to-ok-tjeng itu!” ~ “Basmilah penjakit orang Kangouw ini!” ~ “Ja, paderi tjabul seperti itu djangan sekali2 diberi hak hidup!”

Menghadapi keadaan demikian, Tik Hun mendjadi serbasalah. Orang2 itu telah sangka dirinja sebagai Hwesio djahat dari Hiat-to-bun, biar bagaimanapun rasanja sulit untuk membela diri dan memberi pendjelasan. Paling baik dalam pertarungan nanti mereka dapat membunuh Hiat-to Lotjo dan nona Tjui Sing dapat diselamatkan. Tetapi kalau Hiat-to Lotjo terbinasa, tentu dirinja djuga susah lolos dibawah sendjata orang2 itu. Begitulah Tik Hun mendjadi bingung dan serba sulit, sebentar berharap kaum pendekar Tionggoan itu bisa menang, lain saat mengharapkan Hiat-to Lotjo jang menang pula.

Sebaliknja Hiat-to Lotjo bersikap sangat tenang, djumlah musuh jang sangat banjak itu dianggapnja urusan sepele sadja. Kedua tangannja masih terus mendjindjing Tik Hun dan Tjui Sing sambil mulutnja menggigit Hiat-to hingga semakin menambah tjoraknja jang seram dan menakutkan.
Setelah para pendekar Tionggoan itu kira2 tinggal berpuluh meter hampir mendekat, pelahan2 Hiat-to Lotjo meletakkan Tik Hun ketanah, ia taruh dengan hati2 sekali supaja tidak mengganggu tulang kaki “tjutju-murid” jang patah itu. Dan sesudah rombongan lawan tingggal belasan meter djauhnja, barulah ia letakan pula Tjui Sing disampingnja Tik Hun. Goloknja masih tetap tergigit dimulut, kedua tangannja lantas bertolak pinggang, lengan badjunja ber-kibar2 tertiup angin malam jang kentjang.

“Piaumoay! Baik2kah engkau?” segera Ong Siau-hong berseru dari djauh.

Sudah tentu Tjui Sing djuga bermaksud menjahut, tapi apa daja, ia takdapat bersuara. Tjuma kedatangan sang Piauko jang semakin dekat itu dapat diikutinja dengan djelas. Ia lihat air muka sang Piauko jang tampan itu mengandung rasa penuh kuatir dan sedang berlari mendatangi. Sungguh girang Tjui Sing tak terkatakan, alangkah terima kasih dan tjintanja kepada sang Piauko itu, kalau dapat ia ingin segera menubruk kedalam pelukan pemuda itu untuk menangis serta mengadukan penderitaan dan penghinaan apa jang telah dialaminja selama beberapa djam ini.

Sementara itu Ong Siau-hong lagi tjelingukan kian kemari, perhatiannja melulu ditjurahkan untuk mentjari Piaumoay seorang, karena itu langkahnja mendjadi agak lambat, maka diantara para pendekar itu sudah ada 7-8 orang melampauinja kedepan.

Dibawah sinar bulan purnama, sikap Hiat-to Lotjo jang gagah berwibawa dengan berdiri sambil menggigit golok itu membuat para pendekar serentak berhenti ketika lima-enam meter berada didepan paderi tua itu.

Setelah kedua pihak saling pandang sedjenak, mendadak terdengar suara bentakan, dua laki2 berbareng terus menerdjang keatas. Jang satu bersendjatakan Kim-pian (rujung emas) dan jang lain bersendjatakan Siang-to (sepasang golok). Mereka adalah dua saudara seperguruan dari keluarga Hek di Soasay Tay-tong-hu jang terkenal. Walaupun sesama perguruan, tapi sendjata mereka berlainan, jang memakai Kim-pian bertenaga sangat besar, sebaliknja jang bersendjata Siangto sangat lintjah dan gesit.

Kira2 beberapa meter mereka menjerbu madju, karena langkah pemakai Siang-to itu lebih gesit dan tjepat, segera ia mengisar kebelakang Hiat-to Lotji, dengan demikian mereka lantas menggentjet paderi itu dari muka dan belakang sambil mem-bentak2.

Tapi sedikit Hiat-to Lotjo mengegos, batjokan Siang-to lawan sudah terhindar. Setelah berkelit pula beberapa kali dari serangan lawan sambil goloknja tetap tergigit dimulut, suatu ketika, se-konjong2 dengan tangan kiri ia memegang garan goloknja jang tipis dan lemas itu, sekali ia mengajun, kontan kepala lawan jang memakai Kim-pian itu terpapas separoh.

Habis membunuh seorang, segera paderi tua itu menggigit goloknja dengan mulut.

Keruan lawan jang memakai Siang-to itu terperandjat dan berduka pula, ia mendjadi nekat djuga, ia putar sepasang goloknja sekentjang kitiran dan merangsang madju.
Tapi Hiat-to Lotjo dengan seenaknja dapat menjusur kian kemari dibawah sinar golok lawan itu. Se-konjong2 ia memegang goloknja lagi, sekali ini dengan tangan kanan, dan sekali tabas, tahu2 lawan telah terbatjok mati.

Serentak para pendekar mendjerit takut dan mundur kebelakang. Tertampak paderi tua itu menggigit golok jang berlumuran darah, mulutnja berlepotan darah pula, sikapnja beringas menjeramkan.

Walaupun djeri, namun para pendekar itu sudah bertekad sehidup-semati, maka betapa pun mereka pantang lari. Dengan mem-bentak2, kembali ada empat orang menerdjang madju lagi terbagi dari empat djurusan.

Mendadak Hiat-to Lotjo lari kearah barat. Dengan sendirinja keempat lawannja serentak mengedjar, begitu pula pendekar2 jang lainpun ikut mengudak sambil mem-bentak2.

Hanja dalam beberapa meter djauhnja, tertampaklah tjepat dan lambat keempat pengedjar itu, jang dua dapat mendahului didepan dan dua orang lainnja ketinggalan dibelakang.

Rupanja itulah jang diinginkan Hiat-to Lotjo, mendadak ia berhenti lari kedepan, sebaliknja terus menjerbu kembali. Dimana sinar merah berkelebat, tahu2 kedua lawan didepan itu sudah terbinasa dibawah goloknja. Dan sedikit tertegun kedua orang jang menjusul dari belakang itu, tahu2 leher mereka djuga sudah berkenalan dengan golok sipaderi tua, tanpa ampun lagi kepala mereka berpisah dengan tuannja.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar