Setelah ambil keputusan,
segera ia berkata: “Tik-hiante, dengarkanlah kata2ku. Engkau berlindung
dibelakangku dan djangan gubris pada musuh, engkau tjuma apalkan sadja istilah
rahasia jang akan kukatakan ini. Urusan sangat penting, maka djangan kau pandang
sepele, sebabnja Ting-toakomu bisa mengalami nasib seperti harini djusteru
disebabkan membela rahasia ini.”
Tik Hun mengia dan tjepat
sembunji kebelakang sang Toako.
“Ingatlah baik2, angka kelima
adalah ‘18’ dan ........ dan angka keenam adalah ‘7’!” demikian Ting Tian
menjambung rahasia Soh-sim-kiam-koat tadi.
Ma Tay-beng tahu sebabnja
Leng-tihu memerintahkan penangkapan kepada Ting Tian, tudjuan pokoknja jalah
ingin mentjari sesuatu rahasia Soh-sim-kiam-koat. Sedangkan Tjiu Kin sudi
menghamba dibawahnja Leng Dwe-su, tudjuannja bukan pangkat dan harta, tapi
adalah tugas jang diberikan gurunja agar diam2 menjelidiki rahasia Kiam-koat
itu. Kini kedua orang itu mendengar Ting Tian mengutjapkan angka2 ‘18’ dan ‘7’,
segera merekapun ikut mendengarkan dengan tjermat dan mengingatnja baik2
didalam hati.
Sebaliknja kedatangan Kheng
Thian-pa ini adalah ditugaskan untuk menangkap Ting Tian. Kini melihat Ting
Tian berkomat-kamit mengutjapkan delapanbelas atau sembilanbelas segala, lantas
Ma Tay-beng dan Tjiu Kin ter-mangu2 menirukan berkomat-kamit. Ia pikir kalau
bukan Ting Tian sedang main ilmu sihir untuk pengaruhi lawan2nja, tentu adalah
Ma Tay-heng dan Tjiu Kin sengadja hendak melepaskan musuh. Sebab itulah
Thian-pa terus membentak: “Hai, kalian sedang main gila apa?” ~ berbareng
sebelah tangannja lantas membelah kearah Ting Tian. Tapi karena djeri kepada
kesaktian lawan, belum lagi serangannja mengenai sasaran atau mendadak ia tarik
kembali terus melompat mundur.
Ting Tian sendiri lantas
mengegos kekiri dengan maksud menghindarkan serangan Kheng Thian-pa itu. Tapi
karena tenaga dalamnja sudah pajah, langkahnja mendjadi hampa, ia sempojongan
akan roboh.
Melihat ada kesempatan bagus,
tanpa ajal lagi golok Ma Tay-beng tjepat membatjok kepundak kiri Ting Tian. Untuk
sesaat Ting Tian merasa matanja mendjadi gelap hingga lupa untuk menghindarkan
serangan itu.
Keruan Tik Hun sangat
terkedjut, dalam keadaan mendesak, tanpa pikir lagi ia terus menjeruduk madju
hingga kepalanja kena tumbuk keperut Ma Tay-beng.
Pertarungan setjara menggelut
demikian djika perlu ternjata membawa hasil djuga. Pertjuma sadja Ma Tay-beng
memiliki kepandaian tinggi, karena diseruduk oleh Tik Hun seperti banteng
ketaton, Tay-beng mendjadi tidak sempat menggunakan ilmu goloknja jang lihay.
Dilain pihak sesudah kepalanja
pujeng, waktu Ting Tian membuka mata pula, ia melihat Tik Hun sedang gulat
dengan Ma Tay-beng, sedang Tjiu Kin lagi angkat pedangnja hendak menusuk
kepunggung Tik Hun. Tjepat Ting Tian bertindak, setjepat kilat ia gunakan dua
djarinja untuk mentjolok kedua mata Tjiu Kin. Insaf tenaga sediri sudah habis,
ketjuali menjerang kedua mata lawan jang merupakan tempat jang paling lemah
itu, rasanja tiada djalan lain lagi.
Benar djuga, karena kuatir
mendjadi buta, tjepat Tjiu Kin melompat mundur kesamping. Dan pada saat itulah
Ma Tay-beng berhasil menggunakan gagang goloknja untuk mengetok kepala Tik Hun
hingga pemuda itu terperosot ditanah.
Melihat keadaan sudah
mendesak, tjepat Ting Tian berseru pula: “Tik-hiante, djangan sekali2 engkau
ikut turun tangan lagi. Ingatlah baik2 bahwa angka ketudjuh adalah .......” ~
mendadak dadanja terasa sesak hingga susah bersuara. Sedangkan pukulan Keng Thian-pa
sudah tiba pula. Ia geleng2 putus asa, pikirnja: “Rupanja sudah takdir ilahi,
apa jang dapat kukatakan lagi? Soh-sim-kiam-koat ini agaknja akan musna untuk
selamanja dari dunia ramai.”
Akan tetapi dasar watak Ting
Tian memang sangat teguh, sekali bertekad akan mengadjarkan Kiam-koat itu
kepada Tik Hun, betapapun ia akan berdaja untuk mentjapai maksud itu. Ia pikir
kalau tidak membunuh ketiga “tjakar alap2” (maksudnja kaki tangan pembesar
lalim) itu, biar bagaimana tentu akan susah untuk mengtakan Kiam-koat itu
kepada Tik Hun. Kalau tjuma mengatakan satu angka demi satu angka seperti
sekarang ini sembari bergebrak, sampai kapan baru bisa selesai diuraikan? Dan
djika suatu ketika kepalanja pujeng lagi, mungkin djiwa kedua orang akan segera
melajang malah.
Dalam pada itu sinar sendjata
tampak ber-kelebat2, Ma Tay-beng dan Tjiu Kin sudah menubruk madju pula
bersama. Tubuh Ting Tian tampak bergeliat sekali, mendadak ia memapak madju
kearah sendjata2 lawan, tanpa ampun lagi, “tjrat-tjret dua kali, golok dan
pedang lawan tepat membatjok diatas badan Ting Tian hingga darah memuntjrat.
Tik Hun mendjerit kuatir dan
tjepat memburu madju untuk menolong. Tapi Ting Tian telah gunakan saat darah
mengutjur dan daja ratjun dalam badannja agak berkurang itulah, sekonjong-konjong
ia ajun telapak tangan kanan sekuatnja dan tepat menggablok kepilingan kanan Ma
Thay-beng, menjusul tangannja membalik mengantjam Tjiu Kin pula.
Serangan kedua itu sebenarnja
pasti susah dihindarkan Tjiu Kin, tapi untung baginja dan kedjadiannja sangat
kebetulan pula, pada saat itulah tahu2 Kheng Thian-pa menubruk tiba, saking
keras ia menerdjang madju, tanpa ampun lagi dadanja persis memapak pada telapak
tangan Ting Tian, “plak”, seketika tulang iganja patah semua dan kontan
terdjungkal dan tak berkutik lagi.
Serangan Ting Tian itu sudah
memakan antero sisa tenaganja jang masih ada, boleh dikata kini ia sudah berada
dalam keadaan seperti pelita kehabisan minjak atau motor kehabisan bensin.
Gablokannja jang pertama paling keras, maka kontan Ma Thay-beng terbinasa,
sedangkan Kheng Thian-pa djuga sudah senin-kemis napasnja tinggal menunggu
adjal sadja. Hanja Tjiu Kin sadja jang masih sehat dan bergas belum terluka,
dengan tangan kanan memegang pedang jang menantjap dibadan Ting Tian itu, ia
sedang berusaha hendak mentjabut sendjatanja itu untuk kemudian akan dipakai
menusuk Tik Hun pula.
Tekad Ting Tian sekarang jalah
menjelamatkan Tik Hun, maka mendadak ia pepetkan badannja kedepan dan kedua
tangannja terus menjikap pinggang Tjiu Kin sambil berseru: “Lekas lari,
Tik-hiante, lekas!” ~ Dan karena badannja mendesak madju itulah, pedangnja Tjiu
Kin ambles lebih dalam lagi beberapa senti didalam badannja.
Namun TikHun bukan pemuda
pengetjut, mana ia mau melarikan diri sendiri? Tanpa pikir lagi ia menubruk
kebelakang Tjiu Kin untuk mentjekek leher lawan itu sambil berteriak2:
“Lepaskan Ting-toakoku! Kau mau lepas tangan atau tidak?”
Keruan Tjiu Kin meringis
kesakitan dan mendongkol pula. Sebab bukan dia tidak mau melepaskan Ting Tian,
tapi dia sendiri jang disikap se-kentjang2nja oleh Ting Tian, djadi Ting Tian
jang mesti melepaskan dia dan bukan Tjiu Kin jang harus melepaskan Ting Tian.
Ting Tian merasa tenaga
sendiri semakin lemas dan hanpir tidak kuat lagi menjikap Tjiu Kin. Pabila
sampai lawan dapat melepaskan diri, sekali pedangnja kena ditjabut, psti djiwa
Tik Hun djuga akan melajang. Maka tjepat teriaknja: “Tik Hun, lekas lari,
djang..... djangan engkau urus diriku, aku..... aku toh takkan hidup lagi!”
“Kalau mati, biarlah mati
bersama!” sahut Tik Hun sambil berusaha mentjekek lebih kuat. Tapi sedjak
tulang pundaknja ditembusi dan otot pundak sudah rusak, maka betapapun ia
mentjekek se-keras2nja, tetap susah membikin Tjiu Kin mati sesak napas.
“Saudara baik, engkau
sangat....... sangat setia kawan.... tidak pertjumalah aku mempunjai seorang
kawan seperti kau..... sajang ...... sajang Kiam-koat itu takbisa lengkap
kukatakan ..... aku sangat senang..... sangat senang .......Djun-tjui-pik-po
.... itu seruni hidjau ...... jang dia taruh didepan djendela .... lihatlah
..... lihatlah betapa indahnja .... betapa bagusnja ......” demikian suara Ting
Tian semakin lama semakin lemah dan lirih, tapi tjahaja mukanja ber-seri2,
sebaliknja tangan jang menjingkap Tjiu Kin itu lambat-laun mendjadi kendor.
Merasa kedua tangan Ting Tian
sudah tak bertenaga, segera Tjiu Kin meronta sekuatnja, berbareng ia tjabut
pula pedang jang menantjap ditubuh Ting Tian itu hingga sendjata itu penuh
berlepotan darah. Waktu ia putar tubuh, maka berhadapanlah dia dengan Tik Hun
muka dengan muka, djaraknja tjuma belasan senti sadja. Ia menjeringai iblis
sekali, pedangnja diangkat terus menusuk se-kuat2nja kedada Tik Hun.
Saat itu Tik Hun sedang kuatir
atas diri Ting Tian, ia telah berteriak2: “Ting-toako, Ting-toako!” ~ mendadak
dadanja terasa kesakitan sekali.
Waktu Tik Hun melirik dadanja
sendiri, ia lihat pedang jang dipegang Tjiu Kin itu telah menusuk diatas
dadanja. Ia dengar Tjiu Kin sedang ter-bahak2 girang, suara ketawa orang jang
lupa daratan oleh kemenangannja itu.
Memang dapat dimengerti djuga
bahwa pantaslah kalau Tjiu Kin kegirangan setengah mati oleh karena berhasilnja
serangannja jang terachir itu. Habis, Leng-tihu memberi perintah dengan hadiah
jang besar bagi siapa jang dapat menawan hidup2 Ting Tian dan Tik Hun berdua,
kalau tak dapat menangkap dengan hidup, boleh djuga dibinasakan ditempat itu
djuga. Kini Ting Tian terang sudah menggeletak mati, Tik Hun djuga tertusuk
oleh pedangnja tinggal menunggu adjalnja sadja, sedangkan Ma Thay-beng dan
Kheng Thian-pa sudah terbinasa djuga disitu, dengan sendirinja djasa besar ini
akan diterima sendirian oleh Tjiu Kin.
Dalam sekedjap itu dalam benak
Tik Hun djuga telah berganti ber-matjam2 pikiran. Terbajang olehnja waktu masih
ketjil beladjar silat dirumah Suhu dan memain bersama dengan sang Sumoay jang
menjenangkan itu. Lalu teringat djuga olehnja penganiajaan selama lima tahun
hidup didalam pendjara ....... kesemuanja
itu seketika membandjiri
benaknja, rasa dendam kesumat itu membuatnja bagaimanapun djuga tidak rela menerima
kematian begitu sadja.
Sementara itu didengarnja Tjiu
Kin masih bergelak tertawa iblis. Dengan murka Tik Hun terus sadja berteriak:
“Biarlah aku ...... aku mati bersama engkau!” ~ berbareng kedua tangannja terus
merangsang madju dan kena mentjengkeram dibahu Tjiu Kin.
Meski Sin-tjiau-kang jang
dilatih Tik Hun itu belum djadi, tapi paling tidak sudah ada dua tahun alas
dasarnja. Kini karena merasa djiwanja terantjam, antero tenaga jang ada telah
dikerahkan pada kedua tangannja untuk mentjengkeram se-kentjang2nja dibahu
musuh hingga mirip djepitan sepasang tanggam jang kuat. Seketika Tjiu Kin
mendjadi kesakitan, dengan napas memburu ia tjoba meronta untuk melepaskan
diri, tapi tetap takbisa terlepas.
Diam2 Tik Hun memikir: “Kalau
aku dapat mentjengkeram tempat lain jang lemah ditubuhnja mungkin akan dapat
mampuskan dia, tapi kini tjuma dapat memegang bahunja, terang aku takdapat
meng-apa2kan dia.”
Namun begitu toh dia takdapat
melepaskan tangannja, asal kedua tangannja mendjadi kendor mentjengkeram, pasti
kesempatan itu akan digunakan Tjiu Kin untuk meloloskan diri dan untuk
memegangnja lagi pastilah susah. Ia merasa dadanja tambah lama tambah sakit, ia
tahu udjung pedang lawan sedang menusuk lebih dalam. Kini tiada tempo lagi
baginja untuk memikir, kalau Tjiu Kin kena ditjengkeramnja sedikit, berarti
sedikit pula ia telah membalas dendam kesumat itu.
Dalam pada itu udjung pedang
Tju Kin menusuk semakin keras, sedang Tik Hun djuga mentjengkeram semakin kuat
dan menarik se-kuat2nja kearah sendiri. Dan aneh djuga, pedang lawan ternjata
tidak dapat menusuk lebih mendalam lagi se-akan2 kebentur oleh sematjam tenaga
kebal jang tidak mempan sendjata, bahkan batang pedang Tjiu Kin berbalik
menekuk dan pelahan2 melengkung.
Sungguh kedjut dan heran Tjiu
Kin tak terkatakan, sekuatnja ia mendorong pedangnja menusuk lebih keras agar
badan Tik Hun kena ditembus oleh sendjatanja. Akan tetapi pedangnja seperti
tidak mau turut perintahnja lagi, sedikitpun tidak dapat ambles kedepan pula,
sebaliknja sendjata itu semakin melengkung karena tekanannja itu.
Kedua mata Tik Hun sudah merah
membara, dengan beringas ia melototi Tjiu Kin. Semula ia melihat wadjah Tjiu
Kin mengundjuk rasa sangat girang dan mengedjek dengan kedji, tapi lambat-laun
air mukanja berubah heran2 kedjut, lalu penuh rasa kuatir, sedjenak kemudian
dari rasa kuatir itu berubah mendjadi ketakutan, dan rasa ketakutan itu makin
lama makin hebat, hingga achirnja kebingungan.
Kiranja Tjiu Kin merasa Tik
Hun telah berhasil mejakinkan sematjam ilmu weduk jang tidak mempan sendjata.
Meski pedangnja sudah kena menusuk dibadan pemuda itu, tapi tjuma membuat
daging tempat itu mendekuk kedalam dan tidak dapat menembus kulit dagingnja.
Karena selama hidupnja tidak
pernah melihat didunia ini ada ilmu sakti seperti itu, maka rasa takutnja makin
lama semakin besar. Beberapa kali ia tjoba dorong pedangnja lebih kuat kedepan,
tapi tetap tidak dapat menembus badan lawan, achirnja ia tidak berani
mengharapkan melukai Tik Hun lagi, jang dipikir olehnja asal dapat meloloskan diri
sudah beruntung baginja. Namun djusteru untuk melepaskan diri itulah jang
susah, sebab dengan kentjang Tik Hun memegangi bahunja sambil menarik
sekuatnja.
Lambat-laun Tjiu Kin merasa
tangan kanan sendiri jang memegang pedang itu mulai menikung balik dengan
pelahan, menjusul gagang pedang sudah menempel didada sendiri, batang pedang
djuga semakin melengkung hingga berwudjut setengah lingkaran.
Mendadak terdengarlah suara
“pletak” sekali, batang pedang Tjiu Kin itu patah bagian tengah. Tjiu Kin
mendjerit sekali terus terdjungkal kebelakang, kedua potong pedang jang patah
itu telah menantjap semua kedalam perutnja.
Dan karena robohnja Tjiu Kin
itu, Tik Hun djuga ikut djatuh dan menindih diatas badan Tjiu Kin, tapi kedua
tangannja masih memegang diatas bahu orang takmau melepaskan. Segera Tik Hun
mentjium bau anjirnja darah jang sangat keras, tiba2 dilihatnja Tjiu Kin
meneteskan air mata, menjusul dari mulutnja mengeluarkan darah, ketika kemudian
kepalanja terkulai kebawah, achirnja tidak berkutik lagi.
Tik Hun mendjadi heran. Semula
ia mengira Tjiu Kin tjuma pura2 mati sadja, maka tetap ia mentjengkeram
se-kentjang2nja dibahu orang. Ketika lain saat merasa dada sendiri sudah tidak
sakit lagi, ia tjoba menunduk dan ternjata tiada terluka. Dengan bingung Tik
Hun melepaskan Tjiu Kin dan berdiri, ia melihat kedua potong pedang patah itu
menantjap diperut Tjiu Kin, hanja sebagian ketjil sadja menondjol diluar. Waktu
ia periksa dada sendiri, ternjata badjunja terobek beberapa senti lebarnja dan
kelihatanlah badju kutang warna hitam jang dipakainja. Ia pandang pula pedang
patah diperutnja Tjiu Kin dan mengamat-amati badju sendiri jang sobek, maka
tahulah dia duduknja perkara.
Kiranja “Oh-djan-kah” atau
badju kutang dari sutera hitam hadiah dari Ting Tian tempo hari itulah telah
menolong djiwanja, bahkan berkat badju itulah telah dapat membunuh musuh.
Oh-djan-kah itu tidak mempan
sendjata, maka tusukan Tjiu Kin itu hanja membikin dada Tik Hun kesakitan
karena tertikam, tapi takdapat menembus badju kutang mestika itu. Ketika
kemudian pedangnja patah, karena Tik Hun memegang bahunja se-kentjang2nja serta
ditarik merapat, maka pedang patah jang tadjam itu telah tertikam masuk kedalam
perut Tjiu Kin sendiri hingga terdjadilah sendjata makan tuannja.
Sesudah Tik Hun dapat
tenangkan diri, segera ia berlari mendekati Ting Tian, ia berdjongkok sambil
berseru: “Ting-toako, ken ....... kenapakah engkau?”
Pelahan2 Ting Tian membuka
matanja dan memandang Tik Hun dengan sorot mata jang lemah se-akan2 memandang
tapi tidak melihatnja lagi atau seperti tidak mengenal Tik Hun pula.
“Ting-toako, biar bagaimanapun
djuga aku pasti ........... pasti akan menolong engkau kaluar dari sini,” seru
Tik Hun.
“Sajang ......... sajang
Kiam-koat itu sedjak kini ....... sedjak kini akan musna untuk selamanja,” kata
Ting Tian dengan lemah dan ter-putus2. “Harap ...... harap kubur ......
kuburlah aku ber ....... bersama Siang ...... Siang-hoa ....”
“Aku akan ingat baik2 pesanmu
ini.” seru Tik Hun dengan tegas. “Pasti aku akan menguburkan engkau bersama
Leng-siotjia sesuai dengan tjita2 kalian berdua.”
Pelahan2 Ting Tian menutup
kembali matanja, napasnja semakin lemah, tapi bibirnja tampak ber-gerak2
sedikit seperti ingin mengatakan sesuatu. Tjepat Tik Hun mendempelkan
telinganja kepinggir bibir sang Toako, lapat2 terdengar Ting Tian berkata: “Dan
angka ....... angka seterusnja ........” ~ sampai disini lantas tiada
kedengaran lagi.
Telinga Tik Hun tidak
merasakan pernapasan sang Toako lagi, ia tjoba meraba dada Ting Tian, ternjata
denjut djantungnja djuga sudah berhenti.
Sebelumnja Tik Hun sudah tahu
bahwa djiwa Ting Tian tentu susah dipertahankan, tapi kini menjaksikan saudara
angkatnja jang hubungannja selama beberapa tahun ini melebihi saudara sekandung
itu telah meninggal, maka rasa duka dalam hatinja sungguh susah dilukiskan. Ia
berlutut disamping Ting Tian dan meniupkan napasnja kemulut sang Toako se-kuat2nja
sambil hatinja berdoa: “O, Tuhan, hidupkanlah kembali Ting-toako, aku lebih
suka kembali kedalam pendjara lagi untuk selamanja tidak keluar, lebih suka
pula tidak membalas dendam dan biarlah selama hidup ini dihina dan dianiaja
oleh Ban-bun-tetju (anak murid keluarga Ban), ja Tuhan, asalkan dapatlah
Ting-toako dihidupkan kembali.”
Akan tetapi kedua tangannja
jang merangkul dibadan Ting Tian itu makin lama terasa badan sang Toako itu
makin dingin. Ia tahu doa sutjinja itu tidaklah berhasil dan tak terkabul.
Sesaat itu ia merasakan kesunjian jang tak terkatakan, merasa hidupnja hampa
dan merasa dunia bebas diluar ini djauh lebih menakutkan daripada didalam kamar
pendjara jang sempit itu. Ia sadar hidup selandjutnja pastilah sangat sulit, ia
lebih suka kembali kedalam pendjara lagi bersama Ting Tian.
Ia pondong majatnja Ting Tian
itu dan berdiri. Tiba2 berbagai rasa duka derita jang tak terkatakan
berketjamuk membandjiri benaknja, kesedihannja pada saat itu boleh dikata susah
dibendung. Tak tertahan lagi ia menangis, menangis ter-gerung2 seperti anak ketjil.
Sama sekali tak terpikir
olehnja bahwa akibat dari tangisannja jang keras itu mungkin akan didengar
musuh, dan tak terpikir pula olehnja bahwa sesungguhnja memalukan seorang laki2
sedjati bertangisan sedemikian rupa. Tapi ia ingin menangis dan menangis terus
oleh karena rasa sedihnja jang susah ditahan itu.
Ketika kemudian air matanja
pelahan2 mulai kering, gerung tangisnja berubah mendjadi suara sesenggukan
pelahan karena rasa duka dalam hatinja masih tetap susah ditahan. Namun
pikirannja sudah djauh lebih djernih daripada tadi, maka ia mulai me-nimang2:
“Tjara bagaimana aku harus menjelesaikan djenazah Ting-toako ini? Dengan djalan
bagaimana agar aku dapat membawanja untuk dikubur bersama dengan Leng-kohnio?”
Dalam saat demikian, soal
paling penting jang terpikir olehnja sekarang hanja tentang penguburan Ting
Tian mendjadi suatu kuburan dengan nona Leng itu.
Tengah ia ragu2, tiba2
terdengar suara derapan kuda jang ramai dari kedjauhan dan makin lama makin
mendekat, djumlahnja kira2 ada belasan penunggang kuda. Lalu terdengarlah suara
orang berteriak diluar taman bobrok itu: “Ma-toaya, Kheng-toaya, Tjiu-djiya,
apakah kalian sudah dapat menemukan buronannja!”
Kemudian terdengar belasan
ekor kuda itu diberhentikan serentak diluar taman dan ada orang berseru lagi:
“Marilah kita tjoba memeriksa kedalam!”
“Tidak mungkin mereka
bersembunji disini!” demikian kata seorang lain.
“Darimana kau tahu?” debat
orang pertama tadi. Lalu terdengar suara orang melompat turun dari kuda.
Tanpa pikir lagi Tik Hun terus
pondong majat Ting Tian itu dan dibawa lari keluar dari taman bobrok itu
melalui pintu samping. Dan begitu dia melangkah keluar lantas terdengarlah
suara orang mendjerit kaget didalam taman itu oleh karena mengetahui Ma Thay-beng
bertiga sudah menggeletak terbinasa disitu.
Tik Hun ber-lari2 terus
didalam kota Kanglenghu itu, iapun tahu tjaranja melarikan diri sambil membawa
majat sang Toako itu sangat berbahaja, sudah larinja takbisa tjepat, setiap
saat mungkin akan dipergoki orang pula. Namun ia lebih suka ditawan dan
didjebloskan lagi kedalam pendjara dan menerima siksaan atau boleh djuga
dihukum mati dengan segera, sebaliknja tidak nanti ia mau meninggalkan djenazah
Ting Tian begitu sadja.
Setelah beberapa ratus meter
ia berlari, tiba2 dilihatnja disuatu pagar tembok dipinggir djalan ada sebuah
daun pintu ketjil jang terpentang, tanpa pikir lagi ia terus menjelinap masuk
kedalam rumah itu, lalu pintu itu didepaknja dari dalam hingga tertutup.
Kiranja pintu itu adalah pintu
sebuah kebun sajur jang sangat luas dan penuh tertanam matjam2 djenis sajur
seperti sawi putih, lobak, labu, tomat, ketimun dan lain2 lagi.
Sedjak ketjil kerdja Tik Hun
jalah bertani bertjotjok tanam. Tapi sudah lima tahun lamanja ia meninggalkan
kebun sajurnja. Kini melihat suasana kebun itu, seketika timbul rasanja seperti
berada dikampung halamannja sendiri.
Ia tjoba mengamat-amati
sekitarnja, ia melihat diarah timur-laut sana ada sebuah gudang kaju bakar,
dari djendela gudang itu tampak djelas penuh tertumpuk kaju bakar dan onggok
djerami. Tik Hun mendjadi girang, sekenanja ia bubut beberapa buah lobak sambil
memondong majatnja Ting Tian, segera ia menjusup kedalam gudang kaju itu.
Ia tjoba dengarkan sekeliling
gudang itu dan tidak kedengaran ada suara orang. Segera ia menjingkirkan kaju
dan djerami hingga lantainja terluang sedikit, ia taruh djenazah sang Toako
disitu dan menutupinja dengan djerami dengan pelahan2. Diwaktu menguruk
djenazah Toako dengan rumput djerami itu, Tik Hun merasa se-akan2 Ting Tian
masih mempunjai daja rasa, maka tidak berani membikin sakit badannja. Dalam
benak Tik Hun timbul sematjam sugesti: “Boleh djadi Ting-toako mendadak bisa
mendusin kembali.”
Ia duduk disamping majat sang
Toako, ia mengupas kulit lobak dan menggeragotinja mentah2. Air lobak jang
manis2 masam itu pelahan2 mengalir kedalam kerongkongannja. Ja, maklum sudah
lima tahun lamanja ia tidak pernah merasakan makanan segar seperti itu.
Teringat kampung halamannja di Ouwlam, disana entah sudah beberapa kali ia membubut
lobak dan makan bersama sang Sumoay ~ Djik Hong, mereka bersenda gurau dengan
gembira di sawah-ladang kampung halamannja itu sambil menggeragot lobak mentah
...........
Sebuah lobak mentah itu sudah
habis dimakan olehnja dan mulai ia menggeragoti lobak jang kedua, kelopak
matanjapun agak basah mengenangkan masa dahulu jang indah itu. Se-konjong2
didengarnja suatu suara. Seketika badannja bergemetar, separoh lobak jang
terpegang ditangannja djatuh kelantai tanpa terasa, lobak jang putih bersih itu
berlepotan tanah pasir dan debu djerami.
Ia mendengar suara seorang
jang halus dan merdu sedang memanggil: “Khong-sim-djay! Khong-sim-djay!
Dimanakah engkau?”
Saking terguntjangnja
perasaan, segera Tik Hun bermaksud berteriak mendjawabnja: “Aku berada disini!”
~ Tapi belum lagi kata2 “aku” itu mentjetus dari mulutnja, ia merasa
tenggorokannja seperti tersumbat, tjepat ia menutup mulutnja sendiri dengan
badan gemetar.
Sebab apakah Tik Hun
terguntjang perasaannja oleh suara itu?
Kiranja “Khong-sim-djay” atau sayur
tak berhati alias kubis adalah nama djulukan Tik Hun. Didunia ini hanja ada dua
orang jang tahu nama djulukannja itu, jakni Tik Hun sendiri dan Djik Hong.
Bahkan gurunja sendiri djuga tidak tahu.
Djulukan itu adalah pemberian
Djik Hong, sebab sang Sumoay itu berpendapat Tik Hun tidak punya otak, terlalu
polos, terlalu lugu, sedikitpun tidak bisa berpikir, selain beladjar silat,
segala apa tak dipikir olehnja dan segala apa tak dipahaminja, maka pemuda itu
diibaratkan Khong-sim-djay atau kubis jang tidak punya hati.
Dikatakan orang tidak punya
otak djuga Tik Hun tidak marah, sebaliknja ia ganda tertawa sadja. Ia malah
senang kalau Djik Hong suka memanggilnja: “Khong-sim-djay!” ~ biar pun sehari
penuh dipanggil begitu djuga dia tidak marah, asalkan sadja sigadis itu betah.
Dan setiap kali kalau Tik Hun
mendengar panggilan “Khong-sin-djay” atau si Kubis, selalu hatinja merasakan
sematjam kenikmatan manisnja madu. Sebab kalau ada orang ketiga diantara mereka
pasti sekali2 Djik Hong takkan memanggil nama djulukannja itu. Dan kalau dia
dipanggil si Kubis, maka saat itu tentu tjuma mereka berada berduaan sadja.
Pabila Tik Hun berada berduaan
sadja bersama Djik Hong, baik sigadis sedang gembira maupun sinona lagi marah,
jang terasa oleh Tik Hum hanja rasa bahagia jang tak terkatakan. Ia adalah
seorang botjah ke-tolol2an jang tidak pandai bitjara, terkadang kedogolannja
itu membikin Djik Hong mendjadi marah, tapi asal terdengar panggilan
“Khong-sim-djay, Kong-sim-djay”, maka tertawalah keduanja dengan ter-kakah2
Tik Hun masih ingat pada waktu
Bok Heng membawakan surat undangan kepada Suhunja dahulu, malam itu sang Sumoay
telah memasak untuk mendjamu tamu, diantara lauk-pauk dan sajur-majur itu djuga
terdapat semangkok gorengan Kubis. Tengah sang Suhu asjik berbitjara dengan Bok
Heng mengenai kedjadian2 didunia persilatan, Tik Hun sendiri mendengarkan
dengan ter-mangu2, tiba2 tanpa sengadja sinar matanja telah kebentrok dengan
sinar mata Djik Hong, ia melihat sang Sumoay telah menjumpit setjomot kubis
goreng dan akan dimakan, tapi kubis itu tidak latas dimasukkan kedalam mulut,
melainkan dengan bibirnja jang merah tipis sedang mendjilati kubis itu dengan
pelahan2, sorot matanja penuh mengandung maksud tertawa. Terang gadis itu bukan
lagi hendak makan sajur, tapi sedang mentjiumi kubis itu.
Tatkala itu Tik Hun tjuma
mengira: “Ah, Sumoay sedang mentertawai aku lagi sebagai Khong-sim-djay!” ~
Tapi kini setelah dikenangkan kembali didalam gudang kaju ini, tiba2 ia dapat
menangkap maksud jang mendalam dari kelakuan sang Sumoay itu, njata itulah
tanda tjiuman mesra seorang kekasih.
Kini suara panggilan
“Khong-sim-djay” itu terdengar pula, terang gamblang suara itu adalah suaranja
Djik Hong, hal mana sedikitpun tak bisa keliru lagi. Suara panggilan itu penuh
mengandung rasa tjinta kasih jang mesra, lemah-lembut dan meresap.
Dahulu, panggilan Djik Hong
itu tjuma dirasakannja sebagai tanda persahabatan, suara panggilan jang penuh
perhatian dan terkadang bermaksud sebagai tanda marah dan mengomelnja. Namun
suara panggilan jang didengarnja sekarang hanja penuh rasa tjinta kasih jang
mendalam. “Apakah karena dia telah mengetahui penderitaanku selama ini setjara
penasaran makanja dia bertambah baik kepadaku?” demikian Tik Hun bertanja pada
diri sendiri.
Sesungguhnja Tik Hun tidak
berani pertjaja kepada pendengarannja sendiri itu. “Apa aku sedang mimpi? Sebab
tidak mungkin Sumoay datang kekebun sayur ini? Bukankah sudah lama ia mendjadi
isterinja Ban Ka, masakah dia dapat datang kesini untuk mentjari aku?”
Namun demikian suara panggilan
tadi berdjangkit pula, bahkan sekali ini semakin mendekat lagi.
“Khong-sim-djay, dimanakah engkau bersembunji?” demikian suara itu dengan rasa
senang dan penuh kasih-sajang.
Pelahan2 Tik Hun berdiri dan
mengintip dari belakang tumpukan djerami. Ia melihat seorang wanita berdiri
membelakangi dirinja sedang mentjari sesuatu. Ja, itulah dia, memang tidak
salah lagi, pinggangnja jang ramping, perawakannja jang langsing, siapa lagi
dia kalau bukan Djik Hong?
Terdengar ia sedang memanggil
pula dengan tertawa: “Hajolah Khong-sim-djay, masih engkau tidak mau keluar?” ~
dan mendadak wanita itu membalik tubuhnja kebelakang.
Seketika pandangan Tik Hun
mendjadi kabur dan kepalanja mendjadi pujeng. Memang benarlah gadis itu adalah
Djik Hong. Bidji matanja jang bundar besar dan hitam pekat, hidungnja jang
mantjung, hanja kelihatan agak kurus sedikit hingga tidak semontok dan segar
seperti waktu masih berada dipedusunan didaerah Oulam dahulu. Akan tetapi gadis
itu njata2 adalah Djik Hong, benar2 adalah sang Sumoay jang ditjintainja dan
dirindukannja senantiasa itu.
Dengan wadjah jang masih
ber-seri2 tawa, Djik Hong sedang me-manggil2 pula: Khong-sim-djay, hajolah,
tidak lekas engkau keluar sadja?”
Saking tak tahan segera Tik
Hun bermaksud menjahut dan menemui Sumoay jang senantiasa dirindukannja itu.
Tapi belum lagi ia bertindak, mendadak teringat olehnja: “Ting-toako sering
mengatakan aku terlalu djudjur, terlalu lugu dan gampang ditipu orang. Kini
Djik-sumoay sudah menikah dengan Ban Ka, harini Tjiu Kin terbinasa pula ditanganku,
siapa berani mendjamin bahwa Sumoay bukan lagi sengadja memantjing aku keluar?”
~ Berpikir demikian, hatinja mendjadi dingin dan urung undjuk diri.
Ia dengar Djik Hong sedang
me-manggil2 si Kubis pula. Kembali pendirian Tik Hun gojah. Pikirnja: “Suara
panggilannja sedemikian mesra penuh kasih-sajang, tentu bukanlah pura2. Lagi-
pula, djika dia benar2 inginkan djiwaku, biarlah kumati dibawah tangannja sadja!”
~ Sekali hatinja terasa pedih, ia mendjadi nekat lagi.
Tapi belum lagi ia berbuat
apa2, tiba2 terdengar suara ketawa seorang anak perempuan ketjil, menjusul anak
itu telah berkata: “Mak, mak, aku berada disini!”
Ketika Tik Hun mengintai
keluar djendela, ia lihat seorang anak perempuan berbadju merah sedang
ber-lari2 mendatangi dari sebelah sana. Tjuma umur botjah itu masih sangat
muda, maka larinja masih belum kuat dan agak sempojongan.
“Khong-sim-djay, kau
bersembunji dimana barusan?” terdengar Djik Hong menanja dengan suaranja jang
lemah lembut. “Dari tadi ibu mentjari kau tak ketemu.”
“Khong-sim-djay berada dikebun
sajur sana melihat semut,” sahut botjah itu dengan senang.
Seketika telinga Tik Hun
serasa mendengung dan dadanja se-akan2 digodam orang sekali. Sungguh ia tidak
pertjaja pada pendengarannja sendiri. Apa mungkin Sumoay sudah punja anak?
Apakah puterinja inilah jang bernama “Khong-sim-djay”? Djadi panggilannja tadi
ditudjukan kepada puterinja jang ketjil itu dan bukan memanggil aku? Djadi
setjara tidak sengadja dirinja sekarang telah masuk sarang harimau pula, jaitu
rumahnja Ban Tjin-san jang bikin tjelaka dirinja itu?
Begitulah Tik Hun mendjadi
bingung seketika. Selama beberapa tahun ini lapat2 dalam hati Tik Hun terdapat
suatu harapan, ia mengharap semoga kelak dapat melihat sang Sumoay itu toh
tidak menikah dengan Ban Ka dan apa jang dikatakan Sim Sia adalah bohong
belaka. Pikirannja ini tidak berani dikatakannja kepada Ting Tian, tapi hanja
terkeram dilubuk hatinja sendiri. Terkadang bila ia bertemu dengan Djik Hong
didalam mimpi, sering ia melontjat bangun saking girangnja. Tapi sekarang ia
sendiri menjaksikan dan mendengar sendiri pula ada seorang dara tjilik sedang
memanggil ibu kepada Djik Hong. Dari selah2 djendela dapat dilihatnja Djik Hong
sedang mengangsurkan kedua tangannja dan anak dara itu terus menubruk kedalam
pelukannja. Berulang kali Djik Hong telah mentjiumi pipi botjah itu dan berkata
dengan suara lembut: “Khong-sim-djay pintar main sendiri, sungguh anak jang
manis!”
Hanja dari sisi Tik Hun dapat
melihat keadaan Djik Hong dengan alisnja jang masih tetap lentik dan udjung
mulutnja jang mungil, mukanja tampak sedikit lebih montok daripada dulu, lebih
putih halus dan lebih tjantik. Kembali hati Tik Hun pedih: “Selama ini engkau
sudah mendjadi njonja Ban, engkau tidak perlu bertjotjok-tanam lagi dibawah
terik matahari dan kehudjanan, dengan sendirinja badanmu lebih terawat.
Ia dengar Djik Hong sedang
berkata pula: “Marilah Khong-sim-djay ikut ibu kembali kekamar!”
Disini sangat menjenangkan,
Khong-sim-djay akan melihat semut lagi,” demikian sahut sidara tjilik.
“Djangan,” kata Djik Hong.
“Harini diluar ada orang djahat akan mentjulik anak ketjil. Lebih baik
Khong-sim-djay ikut ibu pulang kekamar.”
“Orang djahat apa? Kenapa
mengganggu anak ketjil?” tanja botjah itu.
“Dua orang djahat jang buas
telah lolos dari pendjara, maka ajah sedang pergi menangkap orang djahat itu,”
kata Djik Hong sambil menarik tangan sianak. “Dan kalau orang djahat itu lari
kesini, Khong-sim-djay akan ditangkap olehnja. Maka, marilah anak manis,
marilah pulang kekamar, nanti ibu buatkan boneka kain, ja?”
“Tidak, Khong-sim-djay tidak
suka boneka, tapi akan bantu ajah tangkap orang djahat,” sahut sibotjah dengan
bandel.
Mendengar dirinja dikatakan
djahat dan buas, hati Tik Hun semakin lama semakin mentjelos. Dan pada saat
itu, diluar kebun sana terdengar suara derapan kuda jang riuh, beberapa
penunggang kuda berlari lewat kesana. “Sret”, tiba2 Djik Hong melolos pedang
jang terselip dipinggangnja dan berlari kepintu kebun.
Karena ditinggal sang ibu,
anak perempuan tadi tjelingukan kian-kemari dan pelahan2 mendekati pintu gudang
kaju. Tik Hun tetap berdiri dipinggir djendela dan tidak berani menggeser,
kuatir kalau menerbitkan suara hingga mengagetkan Djik Hong. Ja, maklum, sampai
disini betapapun ia tidak sudi bertemu lagi dengan sang Sumoay. Hal ini
bukanlah karena dia merasa rendah diri atau menjesalkan hubungan baik dimasa
lalu, tapi disebabkan rasa duka dan penasaran jang susah ditahan didalam
dadanja. Dirinja sedikitpun tidak pernah berbuat djahat, tapi sudah disiksa
semikian rupa, sampai achirnja orang jang senantiasa dirindukannja itu setjara
terang2an mengatakan dirinja adalah “orang djahat”.
Ia melihat anak itu mendekati
pintu gudang, ia mengharap botjah itu djangan masuk, tapi entah apa jang
diinginkan anak dara itu, achirnja ia melangkah masuk djuga kedalam gudang.
Tjepat Tik Hun berdjongkok dibalik onggok djerami dan dalam hati berharap
botjah itu lekas keluar!
Tapi mendadak anak itu
mempergoki Tik Hun, saking kagetnja ia mendjadi melongo ketika melihat keadaan
Tik Hun jang tjompang-tjamping badjunja dengan berewok dimukanja jang tak
keruan matjamnja itu. Botjah itu mewek2 dan hendak menangis, tapi tidak berani
karena ketakutan.
Tik Hun insaf urusan bakal
runjam, asal botjah itu menguwak sekali, pasti djedjaknja akan diketahui Djik
Hong. Tjepat ia melompat madju untuk membopong anak itu sambil sebelah
tangannja menekap mulutnja. Tapi toh sudah terlambat sedikit, anak itu keburu
menangis dulu sekali. Tjuma suara tangisannja lantas berhenti karena mulutnja
tertutup oleh tangan Tik Hun.
Namun begitu Djik Hong jang
selalu ingat kepada anaknja, begitu mendengar suara sibotjah jang agak aneh itu
segera ia menoleh, tapi puterinja sudah tidak kelihatan, menjusul didengarnja
didalam gudang kaju ada suara berkeresekan, tjepat ia memburu kedepan pintu
gudang. Maka tertampak olehnja puterinja telah dibopong oleh seorang laki2 jang
rambutnja kusut masai tak keruan, muka dan tangannja penuh noda darah, bahkan
sebelah tangan orang itu sedang menekap kentjang2 dimulut sang puteri. Karuan
kedjut Djik Hong tak terkatakan, sekali pedangnja bergerak, terus sadja ia
menusuk kearah Tik Hun sambil membentak: “Lepaskan anakku!”
Hati Tik Hun mendjadi pedih,
timbul lagi kenekatannja: “Kau hendak membunuh aku, bolehlah kau bunuh sadja!”
~ Karena itu, ia hanja tinggal diam sadja tanpa berkelit atas serangan Djik
Hong itu.
Namun Djik Hong mendjadi
tertegun karena kuatir melukai puteri sendiri, tjepat ia tarik kembali
pedangnja dan membentak pula: “Lekas lepaskan puteriku!”
Mendengar Djik Hong melulu
minta melepaskan puterinja, tapi sama sekali tiada ingat hubungan baik dimasa
lalu, Tik Hun mendjadi tambah mendongkol dan sengadja tidak mau melepaskan
botjah itu.
Melihat laki2 bengis itu masih
belum mau melepaskan puterinja, Djik Hong semakin kuatir, djangan2 anaknja akan
ditjulik. Segera pedangnja bergerak pula menusuk kebahu kanan Tik Hun.
Tjepat Tik Hun mengegos,
menjusul ia sambar sepotong kaju bakar itu, ia menangkis dan balas menusuk.
Djik Hong terkesiap oleh gerakan serangan Tik Hun itu, ia merasa tipu serangan
ini sudah dikenalnja, jaitu gerakan Kiam-hoat ‘Ko-hong-han-siang-lay’
(seharusnja Koh-hong-hay-siang-lay). Maka tanpa pikir lagi ia mendakan tubuh
untuk menghindar, menjusul iapun balas menjerang dengan tipu timpalannja
‘Si-heng-put-kam-koh’ (seharusnja Ti-heng-put-kam-koh).
Sebenarnja gudang kaju itu
sangat sempit dan penuh kaju dan rumput djerami, tempat jang luang itu hanja
tiba tjukup untuk dibuat putar dua orang sadja. Maka pertarungan mereka
sesungguhnja kurang bebas dan sangat terganggu. Tapi karena sedjak ketjil Tik
Hun satu guru dengan Djik Hong serta selalu latihan bersama, setiap hari mereka
mesti saling gebrak untuk melatih ilmu pedang, maka terhadap setiap gerak
serangan masing2 sudah saling diapalkan.
Kini melihat Djik Hong
mengeluarkan tipu serangan seperti biasanja diwaktu mereka latihan dahulu,
segera ia putar pedangnja kesamping untuk kemudian dibuat menangkis. Akan
tetapi “plak” tahu2 kaju jang dipakai sebagai pedang itu kesampluk djatuh
kelantai, seketika ia tertjengang, tapi segera iapun sadar: “Ah, djariku
sebagian sudah terpapas, selama hidup ini aku takkan dapat menggunakan pedang
lagi!”
Untuk sedjenak ia ter-mangu2
memandangi djari tangan sendiri jang sudah hilang sebagian itu. Ketika ia
mendongak pula, ia lihat udjung pedang Djik Hong sudah mengantjam diulu hatinja
dengan agak gemetar, wadjah sang Sumoay itu tampak kaget tak terhingga. Untuk
beberapa lama mereka tjuma saling pandang belaka dan sama2 tidak sanggup buka
suara.
“Eng ....... engkau?” sampai
agak lama baru dapat tertjetus sepatahkata ini dari mulut Djik Hong dengan
suara jang serak dan hampir2 tak terdengar.
Tik Hun mengangguk dan
mengangsurkan dara tjilik jang dibopongnja itu, Djik Hong membuang pedangnja
dan tjepat menerima puteri kesajangannja, untuk sesaat ia tidak tahu tjara
bagaimana harus bitjara. Rupanja saking ketakutan, dara tjilik itu menjisipkan kepalanja
dipelukan sang ibu dan tidak memandang lagi kepada Tik Hun jang menakutkan itu.
“Aku .......... aku tidak tahu
adalah engkau,” kata Djik Hong kemudian. “Selama be ....... beberapa tahun ini
........”
Belum selesai utjapannja tiba2
terdengar suara seorang lelaki sedang me-manggil2 diluar sana: “Hong-moay,
Hong-moay! Dimanakah dikau?” ~ suara itu semakin dekat dan kedengaran menudju
kedalam kebun sajur.
Seketika air muka Djik Hong
berubah hebat, segera ia membisiki puteri dalam pelukannja itu: “Khong-sim-djay,
Pepek (paman) ini bukan orang djahat, djangan kau katakana kepada ajah ja,
manis?”
Tanpa merasa dara tjilik itu
memandang sekedjap lagi kepada Tik Hun dan melihat tjoraknja jang menjeramkan
itu, kembali ia mewek dan menangis lagi.
Mendengar suara tangisan anak
perempuan itu segera laki-laki diluar itu memburu datang kearah suara dan
berseru: “Khong-sim-djay! Djangan menangis, djangan menangis! Ajah berada
disini!”
Djik Hong memandang sekedjap
kepada Tik Hun, lalu putar tubuh bertindak keluar, sekalian ia tarik daun
pintunja dan dirapatkan. Ia bawa puterinja memapak kearah datangnja sang suami.
Dengan ter-mangu2 Tik Hun
terpaku ditempatnja, aneka-matjam perasaan mentjengkam hatinja. Ditepi
telinganja se-akan2 mendenging sesuatu suara: “Aku ingin mati sadja, biarlah
aku mati sadja!’
Ia dengar suara lelaki tadi
sedang berkata diluar sana dengan tertawa: “Kenapa Khong-sim-djay menangis? O,
manis, kau terkedjut barangkali?”
Tik Hun kenali suara itu
adalah suaranja Ban Ka, suami Djik Hong sekarang. Ia sangat ingin mengintip
keluar untuk melihat bagaimana tjetjongor orang itu, tapi kakinja serasa takmau
turut perintahnja dan tetap terpaku dilantai. Sebaliknja terdengar Djik Hong
sedang berkata dengan tertawa: “Aku sedang memain dibelakang dengan Khong-sim-djay
dan mendadak mendengar dua penunggang kuda lewat dengan tjepat, penunggang2
kuda itu bersendjata dan tampaknja sangat buas, Khong-sim-djay mendjadi
ketakutan dan menangis,”
“O, mereka bukan orang djahat,
tapi mereka adalah petugas pemerintah jang sedang menguber pendjahat,” udjar
Ban Ka. “O, manis, marilah ajah membopong. Nanti ajah hadjar pendjahat.
Khong-sim-djay djangan takut, pendjahat2 itu tentu ajah bunuh semua.”
Diam2 Tik Hun terperandjat,
sungguh tak terpikir olehnja bahwa kepandaian berdusta kaum wanita ternjata
begitu hebat. Setelah begitu tjerita Djik Hong, tentu suaminja tidak akan
tjuriga lagi biarpun nanti sianak berkata apapun. Namun lantas terpikir oleh
Tik Hun: “Hm, aku toh tidak perlu perlindungannja. Kau hendak menangkap aku,
hendak membunuh aku, hajolah kemari!”
Segera ia melangkah kepinggir
djendela dan mengintip keluar, ia lihat seorang pemuda berpakaian sangat
perlente sedang berdjalan kesana sambil membopong anak perempuan tadi. Djik
Hong tampak berdjalan berendeng dengan pemuda itu sambil menggelendot
dibahunja, sikapnja sangat mesra sekali.
Tentang Djik Hong
diperisterikan oleh Ban Ka, dahulu meski sering dipikirkan oleh Tik Hun, tapi
baru sekarang untuk pertama kalinja ia menjaksikan dengan mata kepala sendiri.
Dahulu bila timbul chajalannja, selalu tinggal suatu harapan baginja, jaitu
mengharap agar tjerita tentang Djik Hong telah menikah dengan Ban Ka itu adalah
bualan Sim Sia belaka. Akan tetapi kini bukti mendjadi saksi, keadaan jang
kelihatan didepan matanja pastilah bukan omong kosong. Seketika darahnja
mendidih dan mata gelap. Teringat olehnja sebab musababnja dia dipendjarakan
dan menderita sebagai dineraka, semuanja berkat ketjulasan orang didepan
matanja itu. Bahkan kekasih jang ditjintainja dengan segenap djiwa raganja itu
kini telah dipersunting oleh musuh besar itu.
Dalam keadaan pikiran pepet,
tiada djalan lain baginja daripada membunuh Ban Ka atau mesti dibunuh olehnja.
Tanpa ajal lagi terus sadja ia sember pedang jang ditinggalkan Djik Hong itu
sambil berteriak: “Aku ..............”
Namun mulutnja mendjadi mengap
tak meneruskan teriakannja, maksudnja menerdjang keluar untuk mengadu djiwa
dengan Ban Ka diurungkan ketika diwaktu berdjongkok sekilas dilihatnja majat
Ting Tian jang diuruknja dengan rumput djerami itu, wadjah sang Toako jang
sudah tak bernjawa itu tampak tenang2 dengan kedua matanja tertutup rapat.
Tiba2 mendjadi teringat olehnja pesan Ting Tian sebelum menghembuskan napasnja
jang penghabisan, dengan sangat sang Toako minta agar majatnja dikubur mendjadi
satu liang bersama Leng-siotjia. Dan kini kalau dirinja menerdjang keluar untuk
melabrak Ban Ka, djika dirinja mati itu tidaklah mendjadi soal, tapi tjita2
Ting-toako itulah mendjadi tak terlaksana.
Segera timbul pula pikirannja:
“Ah, mengenai hal ini aku dapat minta bantuan Sumoay, mungkin ia takkan
keberatan untuk menjelesaikannja bagiku.” ~ Tapi ia lantas memaki pula dirinja
sendiri. “Fui, fui! Kau Tik Hun anak jang tak berguna! Engkau sendiri tidak mau
bertanggung djawab atas tugas sutji itu, mengapa kau pasrahkan kepada orang
lain? Djika kau sudah mati, apa kau ada muka untuk bertemu dengan Ting-toako
dialam baka? Apalagi perempuan jang tipis budi dan tidak teguh imannja seperti
Djik Hong itu masakah masih dapat dipertjaja? Apa jang dia bisa lakukan
bagimu?”
Karena pikirannja itu,
pelahan2 dapatlah ia mengatasi bergolaknja perasaan. Tapi suara teriakannja
jang urung tadi sudah lantas mengedjutkan Ban Ka. Terdengar orang she Ban itu
sedang berkata: “He, aku seperti mendengar digudang kaju sana ada suara orang?”
“Apa ja?” sahut Djik Hong
tertawa. “Ah, tentu sikoki Lau Ong, tadi kulihat dia masuk kesana untuk
mengambil kaju. Eh, engkoh Ka, Yan-oh-theng (sop sarang burung) jang kubuatkan
itu mungkin sudah dingin, lekaslah engkau pergi memakannja. Khong-sim-djay
sedari tadi hanja ribut sadja, biarlah aku membawanja kekamar biar tidur.”
Ban ka mengiakan keterangan
sang isteri itu. Sambil membopong puterinja, suami-isteri itupun pergilah dari
situ.
Seketika itu otak Tik Hun se-akan2
kosong blong, ia takdapat memikirkan apa2 lagi. Selang agak lama, ia ketok2
kepalanja sendiri dengan kepalan dan membatin: “Betapapun gudang kaju ini bukan
tempat sembunyi jang sempurna, kalau benar2 apa jang dikatakan sikoki Lau Ong
itu datang kemari hendak mengambil kaju, lantas bagaimana? Rasanja lebih baik
kusembunjikan djenazah Ting-toako disini, lalu aku sendiri menggelojor keluar
dari sini, malam nanti aku akan kembali lagi untuk mengusung djenazah
Ting-toako. Ja, djalan ini sangat bagus!” Ia pukul tangan sendiri dengan
keputusannja itu.
Akan tetapi toh dia merasa
berat untuk melangkah keluar dari gudang itu. Baru ia melangkah setindak,
mendadak suatu suara se-akan2 sedang membisiki telinganja. “Djangan, djangan
pergi dari sini! Djik-sumoay pasti akan datang kembali untuk mendjenguk aku.
Pabila aku pergi dari sini, untuk selandjutnja takkan dapat berdjumpa lagi
dengan dia.”
Kemudian timbul pula pikiran2
lain: “Ah, andaikan aku berdjumpa lagi dengan dia, apa paedahnja? Dia toh sudah
bersuami, punja anak, sekeluarga mereka hidup bahagia dan riang gembira,
masakah dia masih ingat kepada seorang buronan seperti aku ini? Sekalipun aku
berdjumpa lagi dengan dia djuga akan menjusahkan diri sendiri?” ~ “Ai, sudah
sekian tahun aku menunggu didalam pendjara, jang kuharap jalah dapat bersua
pula dengan Sumoay, kini orangnja sudah disini, masakah kesempatan ini
ku-sia2kan? Aku toh tidak punja maksud apa2, aku hanja ingin bertanja bagaimana
dengan Suhu selama ini, apakah ada kabar berita tentang beliau? Aku ingin tanja
Sumoay mengapa suka jang baru dan bosan jang lama, mengetahui aku masuk
pendjara, lantas sama sekali tak ingin lagi padaku.” ~ “Tapi ai, apa gunanja
bertanja padanja? Hanja ada dua kemungkinan dari djawabannja. Kalau dia tidak
berdusta, tentu mengaku terus terang, mungkin malah akan menambah rasa dukaku
sadja.”
Begitulah Tik Hun mendjadi
ragu2, sebentar ambil keputusan akan pergi dari situ, lain saat timbul pula
pikirannja jang lain. Sebenarnja tabiat Tik Hun sangat lugu dan tegas, tidak
pernah sangsi2 untuk mengambil sesuatu tindakan. Tapi menghadapi persoalan maha
besar selama hidupnja ini, ia mendjadi bingung apa jang dia harus lakukan.
Tinggal disitu rasanja kurang aman, kalau tinggal pergi, rasanja berat.
Sedang Tik Hun ditjengkam rasa
bimbang, tiba2 didengarnja ada suara tindakan orang dikebun sajur itu.
Terdengar seorang mendatangi dengan berdjalan ber-djindjit2. Berdjalan beberapa
langkah, orang itu lantas berhenti seperti sangat ber-hati2, kuatir kalau
dipergoki orang.
Makin lama orang itu makin
mendekat. Hati Tik Hun mendjadi ber-debar2. “Achirnja Djik-sumoay datang djuga
mentjari aku. Apakah jang hendak dia bitjarakan padaku? Apa ingin minta ma’af
padaku? Masihkah dia ingat pada hubungan baik dimasa silam?”
Tapi ia mendjadi ragu2 pula:
“Apakah jang harus kubitjarakan dengan Sumoay? Ai, sudahlah, sudahlah! Mereka
suami-isteri hidup bahagia, lebih baik aku djangan menemuinja lagi untuk
selamanja.”
Begitulah hatinja jang penuh
rasa dendam itu seketika mendjadi tjair sebagai es. Ia pikir dirinja asalnja
tjuma seorang pemuda desa, andaikan tidak menderita dipitenah seperti ini dan
Sumoay dapat mendjadi isterinja, benar dirinja akan merasa bahagia, tapi sang
Sumoay mesti memeras tenaga berdjerih-pajah selama hidup disawah-ladang, hidup
seperti itu tentu takkan membahagiakan sang kekasih. Kini apakah aku harus
menuntut balas dan membunuh Ban Ka? Sumoay tentu akan mendjadi djanda dan
apakah mungkin masih akan menikah padaku, menikah kepada pembunuh suaminja? Ai,
permusuhan ini biarlah kita hapuskan sampai disini sadja, biarkan mereka
suami-isteri, ibu dan anak hidup beruntung untuk hari2 selandjutnja. Demikian
keputusan Tik Hun achirnja.
Karena itu, ia sudah ambil
ketetapan takkan banjak bitjara dengan Djik Hong lagi. Segera ia hendak
mengangkat keluar djenazah Ting Tian dari dalam timbunan djerami.
Mendadak terdengar suara
“blang” jang keras, pintu gudang itu telah didepak orang dari luar. Keruan Tik
Hun kaget, tjepat ia berpaling dan terlihatlah seorang laki2 djangkung dengan
pedang terhunus telah berdiri diambang pintu. Ternjata orang itu bukanlah Djik
Hong seperti apa jang disangkanja, tapi adalah Ban Ka.
Tik Hun bersuara heran
pelahan, tanpa pikir lagi ia djumput kembali pedang jang ditinggalkan Djik Hong
tadi.
Wadjah Ban Ka tampak sangat
beringas, apalagi melihat pedang jang dipegang Tik Hun itu adalah milik Djik
Hong, keruan ia tambah tjemburu dan bentji, segera katanja dengan dingin:
“Bagus! Mengadakan pertemuan gelap digudang kaju ini, bahkan sendjatanja djuga
ditinggalkan untukmu, apakah merentjanakan pembunuhan suami ja? Hm, mungkin
tidak sedemikian mudah!”
Tik Hun sendiri sedang bingung
pikirannja hingga seketika tidak tahu apa jang sedang dikatakan Ban Ka. Jang
terpikir olehnja hanja: “Mengapa ia bisa datang kemari? Dari siapa ia
mengetahui aku bersembunji disini? Ja, ja, tentu dia jang mengatakan dan suruh
suaminja menangkap aku untuk mendapatkan hadiah jang disediakan Leng-tihu itu.
Ai, mengapa dia sedemikian tak berbudi dan tidak ingat kebaikan dahulu?”
Melihat Tik Hun bungkam sadja,
Ban Ka menjangka pemuda itu merasa salah hingga ketakutan, tanpa bitjara lagi
pedangnja terus menusuk tjepat kedada Tik Hun.
Tapi sekali putar pedangnja,
dengan sendirinja Tik Hun menangkis dengan sedjurus Kiam-hoat adjaran
sipengemis tua dahulu, berbareng udjung pedangnja memuntir dan balas mengintjar
tenggorokan lawan.
Djurus ilmu pedang Tik Hun ini
sangat aneh, dahulu Ban Ka tak mampu menangkis, selang lima tahun kemudian,
tetap ia tidak sanggup menangkis, walaupun sebenarnja selama ini ilmu pedangnja
sudah banjak lebih madju. Sebab tahu2 udjung pedang Tik Hun sudah mengantjam
dilehernja, dalam kagetnja Ban Ka mendjadi bingung tjara bagaimana harus
mengelakan diri. Untuk menangkis terang tidak keburu lagi, hendak balas
menjerang djuga sudah ketinggalan. Dan karena sedikit ragu2 itu, djiwanja boleh
dikata sudah tergantung diudjung pedangnja Tik Hun. Ia mendjadi penasaran dan
murka, tapi toh takbisa berkutik.
Melihat wadjah Tik Hun penuh
berewok jang tak teratur dan kotor, rasa murka Ban Ka pelahan2 berubah mendjadi
djeri. Teringat olehnja dirinja jang mendjebloskan pemuda itu kedalam pendjara
dengan tipu akal jang litjik untuk kemudian merebut kekasihnja sebagai isteri
sendiri, siapa duga sampai achirnja toh Djik Hong djuga membohongi dirinja.
Masih terhitung dirinja tjukup tjerdik, ketika melihat ada bekas darah jang
mengarah kegudang kaju, ditambah lagi sikap Djik Hong dan puterinja jang masih
ketjil itu agak aneh, makanja timbul tjuriganja. Akan tetapi, ilmu pedang
buronan ini ternjata sangat aneh, sedjurus sadja dirinja sudah tak berdaja.
Apakah aku akan mati dibawah tangannja sekarang?
Namun tusukan Tik Hun ternjata
tidak diteruskan, ber-ulang2 timbul pertanjaan dalam hatinja: “Aku membunuh dia
atau tidak? Aku membunuh dia atau tidak?”
Dasar watak Ban Ka memang
sangat tjerdik dan tjulas, pada detik berbahaja itu tiba2 dilihatnja sinar mata
Tik Hun mengundjuk rasa ragu2, tangan jang memegang pedang itu djuga rada
gemetar, terus sadja ia berseru: “Djik Hong, kemarilah kau!”
Tik Hun mendjadi kaget
mendengar Djik Hong disebut, ia berpaling sedikit hendak melihat Sumoay itu.
Tak terduga itu tjuma akal bulus si Ban Ka belaka, sedikit Tik Hun lengah,
tanpa ajal Ban Ka sampukan pedangnja keatas sekuatnja.
Karena djari tangannja sudah
terpapas sebagian, dengan sendirinja genggaman Tik Hun kurang kentjang, kena
dibentur pedang Ban Ka jang kuat itu, kontan pedangnja terlepas dari tjekalan
dan mentjelat keluar djendela.
Sekali serang membawa hasil,
Ban Ka tidak mau berbuat kepalang tanggung; menjusul pedangnja menusuk pula.
Terpaksa Tik Hun mesti berkelit kian kemari dan mengumpet dibelakang onggokan
kaju. Sekenanja ia sambar sebatang kaju sebagai pedang dan balas menjerang
dengan tjepat.
Tapi ketika kedua sendjata
saling beradu, pedang Ban Ka jang tadjam telah papas kutung batang kaju Tik Hun
itu. Tjepat Tik Hun timpukan sisa kajunja itu kearah Ban Ka, dan dikala Ban Ka
terpaksa melompat berkelit, segera Tik Hun melolos lagi sebatang kaju jang lain
untuk menjerang pula.
Melihat lawannja sudah
kehilangan sendjata tadjam, kemenangan sudah pasti berada ditangan dirinja, Ban
Ka mendjadi girang. Ia pikir meski badan sendiri terkena sekali dua oleh pedang
kaju musuh djuga tiada halangannja. Maka sesudah tenangkan diri, ia ganti
siasat, ia mainkan ilmu pedangnja dengan kalem dan menjerang setjara
beraaturan.
Taktik Ban Ka itu ternjata
berhasil djuga, hanja sebentar sadja lantas terdengar suara gerengan Tik Hun
jang murka, rupanja tangan kanannja terluka, entah otot-tulangnja tjatjat
tidak, jang terang darah lantas mengutjur keluar, karena itu, tangannja
mendjadi lemas dan melepaskan batang kaju jang dipakai sebagai sendjata itu.
Tanpa ampun lagi Ban Ka lantas
menambahi sekali lagi hingga paha Tik Hun tertusuk, menjusul kakinja mendepak,
kontan Tik Hun terdjungkal. Ia me-ronta2 hendak merangkak bangun, tapi lagi2
Ban Ka menendang kerahangnja, seketika Tik Hun kelengar.
“Hm, pura2 mati?” damperat Ban
Ka, kembali pedangnja membatjok sekali dibahu kanan Tik Hun. Ketika melihat
pemuda itu tak berkutik, baru ia pertjaja orang sudah pingsan sungguh2. Ia
pikir: “Leng-tihu telah mendjandjikan lima ribu tahil emas sebagai hadiah
kepada siapa jang dapat menawan kembali kedua buronannja, dengan sendirinja ada
lebih baik aku menangkapnja hidup2. Toh sekali ini kalau didjebloskan lagi
kedalam pendjara, sitolol ini pasti akan melajang djiwanja, buat apa aku mesti
membunuhnja dengan tanganku sendiri?”
Lain saat, sekilas tiba2
dilihatnja dibawah onggokan djerami sana mendjulur keluar sebelah kaki orang.
Ia terkedjut dan bergirang pula. “He, disini masih ada seorang lagi!” serunja
didalam hati. Ia tidak tahu kalau Ting Tian sudah mati, maka pedangnja terus
membatjok kekaki majat Ting Tian itu.
Ber-ulang2 ia membatjok dua
kali dan melihat orang itu tidak bergerak, baru sekarang ia tahu orang sudah
mati. Segera ia hendak menariknja keluar.
Dalam pada itu meski Tik Hun
djatuh semaput karena tendangan Ban Ka tadi, namun dalam benaknja se-akan2 ada
satu suara telah berteriak padanja: “Aku tidak boleh mati! Aku tidak boleh
mati! Aku sudah berdjandji kepada Ting-toako untuk menguburnja bersama dengan
Leng-siotjia.
Entah disebabkan pikiran jang
kuat itu atau bukan, jang terang segera ia dapat siuman kembali, pelahan2 ia
membuka matanja, samar2 ia melihat pedang Ban Ka sedang membatjok keatas
djenazahnja Ting Tian.
Semula Tik Hun masih belum
djernih pikirannja dan tidak tahu apa artinja kedjadian didepan matanja itu.
Tapi segera dilihatnja Ban Ka hendak menjeret keluar djenazah Ting Tian dari
dalam onggokan rumput djerami. Terus sadja Tik Hun berteriak.
“Djangan mengganggu
Ting-toakoku!” ~ dan entah tenaga mendadak timbul dari mana, seketika ia
melontjat bangun terus menubruk kebelakang Ban Ka, sekuat tenaga ia mentjekik
leher lawan itu.
Dalam kagetnja segera Ban Ka
tusukan pedangnja kebelakang. Tak tersangka olehnja bahwa Tik Hun memakai
Oh-djan-kah jang kebal, meski pedangnja kena menusuk diperut Tik Hun, tapi toh
tidak dapat masuk kedalam perut. Sebaliknja tjekikan Tik Hun dilehernja itu
makin lama semakin kentjang.
Karena melihat djenazah Ting
Tian dirusak Ban Ka, Tik Hun mendjadi murka seperti orang kalap. Sakit hati
tentang dirinja dipitenah dan disiksa selama ini, sang kekasih direbut,
semuanja ini masih dapat dia hapuskan seperti keputusannja tadi. Tapi kini
djenazah Ting Tian ditjatjat pula sedemikian rupa, hal ini betapapun ia tidak
terima. Seketika itu tiada pikiran lain lagi dalam benaknja selain ingin
tjepat2 mentjekik mati musuhnja itu.
Tapi karena ia terluka
beberapa tempat, darah mengutjur terus dari lukanja, ia merasa lambat-laun Ban
Ka tidak kuat meronta lagi, sebaliknja tenaga tjekikannja sendiri djuga lantas
lenjap dengan tjepat. Ia tjoba kuatkan diri: “Tahanlah sebentar lagi! Tahanlah
sebentar lagi! Supaja dapat mentjekik mati dia!” ~ dan sampai achirnja matanja
mendjadi ber-kunang2 dan pikirannja gelap, achirnja segala apa tidak dapat
dirasakan lagi.
Meski Tik Hun sudah pingsan,
tapi tangannja jang mentjekik dileher Ban Ka itu masih belum dilepaskan, namun
dengan sendirinja sudah tidak bertenaga pula. Ban Ka djatuh pingsan karena
takdapat bernapas, berbareng Tik Hun djuga tak sadarkan diri.
Maka menggeletaklah kedua
pemuda musuh bebujutan itu diatas rumput djerami. Keduanja seperti sudah mati
semua, tapi dada mereka masih berkempas-kempis, napas mereka masih bekerdja.
Keadaan mereka mendjadi untung2an,
siapa lebih dulu siuman, siapa akan menang. Kalau Tik Hun siuman lebih dulu,
dengan sendirinja Ban Ka akan dibunuh olehnja, sebaliknja kalau Ban Ka sadar
dulu, djiwa Tik Hun pasti melajang, tidak nanti ia berani mengambil risiko
menawan Tik Hun hidup2 seperti rentjana semula.
Segala apa mungkin terdjadi
didunia jang fana ini. Orang baik belum tentu bernasib baik dan orang djahat
belum tentu bernasib buruk. Begitu pula sebaliknja. Setiap orangpun pasti akan
mati, orang jang mati kemudian djuga belum tentu hidup beruntung, tapi bagi
orang jang masih hidup, seperti mengenai Djik Hong dan puterinja jang masih
ketjil, soal siapa jang mati lebih dulu diatara Tik Hun dan Ban Ka terdapat
suatu perbedaan jang sangat besar. Pabila dalam keadaan seperti itu Djik Hong
disuruh pilih salah satu diantara mereka agar bisa siuman lebih dulu, entah
siapa jang akan dipilih oleh Djik Hong?
Begitulah kedua orang jang
menggeletak didalam gudang kaju itu masih tetap belum sadarkan diri, sementara
itu terdengar suara tindakan seorang jang pelahan2 mendatangi.
Siapakah gerangannja jang
datang itu...........?
***
Sebelum djernih pikiran Tik
Hun lebih dulu ia mendengar suara mendeburnja air, mukanja terasa dingin2 perih
oleh tetesan2 benda tjair, lalu badannja terasa kedinginan dan sangat lemah.
Dan begitu pulih daja perasaannja, segera kedua tangannja mentjengkeram keras2
sambil berteriak: “Kutjekik mampus kau, kutjekik mampus kau!” ~ Namun benda
jang terpegang ditangannja itu adalah benda keras dan bukan leher Ban Ka lagi.
Menjusul ia merasa badannja terombang-ambing kekanan dan kekiri.
Ia terkedjut dan tjepat
membuka mata, tapi suasana didepannja gelap gelita, air ber-ketes2 diatas
kepalanja, didadanja dan diseluruh badannja. Kiranja air hudjan.
Badan Tik Hun masih terus
terombang-ambing, dadanja terasa enek dan ingin muntah. Tiba2 dilihatnja sebuah
perahu meluntjur lewat disampingnja, perahu itu berlajar. Ja, terang gamblang
itulah benar2 sebuah perahu lajar. Ia mendjadi heran, mengapa disampingnja bisa
ada perahu lewat?
Ia ingin bangun untuk melihat
apa jang sebenarnja? Tapi antero tubuhnja terasa lemah tanpa tenaga sedikitpun.
Pendek kata, tempat dimana dia berada sekarang terang bukan didalam gudang kaju
lagi.
Mendadak timbul ingatan
padanja: “He, dimanakah Ting-toako?” ~ Teringat pada Ting-toako, mendadak
timbul sematjam tenaga padanja, segera ia gunakan tangannja untuk menahan dan
dapatlah ia berduduk, walaupun badannja tergeliat beberapa kali.
Maka dapatlah Tik Hun
mengetahui keadaan sekitarnja. Kiranja dia berada didalam sebuah sampan jang
sedang meluntjur kemuara sungai mengikuti arus air. Saat itu adalah malam,
langit gelap gelita dengan awan mendung jang tebal dan sedang hudjan lebat. Ia
tjelingukan kesana dan kesini, tapi keadaan kelam-lebam, ia mendjadi kuatir dan
ber-teriak2: “Ting-toako! Ting-toako!”
Ia tahu sang Toako sudah
meninggal, tapi djenazahnja sekali2 tidak boleh hilang. Se-konjong2 sebelah
kakinja menjenggol suatu benda jang agak lunak, waktu ia periksa, ia mendjadi
girang tertjampur kedjut. “He, engkau disini, Ting-toako!” serunja tak
tertahan. Terus sadja ia rangkul erat2 djenazah sang Toako jang ternjata berada
disamping kakinja didalam perahu.
Sebenarnja keadaan Tik Hun
sudah sangat pajah dan tiada punja tenaga, untuk memikirpun takbisa, tapi ia
masih merangkul djenazahnja Ting Tian. Ia merasa kerongkongannja kering, segera
ia mendongak dan pentang mulutnja membiarkan air hudjan membasahi
tenggorokannja. Dalam keadaan sadar-tak-sadar seperti itu, sampai achirnja
tjuatja sudah terang dan hudjanpun sudah reda.
Tiba2 ia melihat paha sendiri
diperban sepotong kain. Ia tjoba pusatkan perhatian, ia melihat kain itu
membalut ditempat lukanja. Menjusul ia dapatkan luka2 dilengan dan dipundak
djuga sudah dibalut oleh kain, bahkan sajup2 hidungnja mengendus pula bau obat
jang diibubuhkan diatas luka2 itu. Oleh karena air hudjan, maka kain pembalut
itu sudah basah kujup, tapi darah sudah tidak mengutjur keluar lagi.
“Siapakah jang membalut
lukaku? Djika lukaku ini tak dibalut tak usah aku dibunuh orang, asal darah
mengutjur keluar terus djuga pasti djiwaku akan melajang. Lantas siapakah
gerangannja jang membalut lukaku ini?” demikian ia tidak habis mengerti.
Mendadak hatinja merasa
berduka dan penuh kesunjian, pikirnja: “Siapa lagi didunia ini jang sudi
memperhatikan diriku dan membantu aku? Ting-toako sudah meninggal, masakah
masih ada orang lain jang mengharapkan hidupku dan membuang temponja jang
berharga untuk membalut lukaku?”
Ia tjoba perhatikan kain2
pembalut itu, ia lihat tjara membalutnja dilakukan sangat ter-gesa2. Kain
pembalutnja bukan kain kasaran, sebaliknja adalah kain sutera pilihan,
dipinggir kain itu terdapat pula wiru sulaman jang radjin dan tepi kain jang
lain adalah bekas sobekan. Terang kain sutera itu disobek dari badju kaum
wanita jang dilakukan dengan ter-gesa2.
Apakah perbuatan Djik-sumoay?
Demikian hati Tik Hun berdebar pula dan dadanja ikut panas kembali. Ia
tersenjum getir dengan sikap mengedjek pada diri sendiri: “Huh, dia telah suruh
suaminja membunuh aku, masakah dapat pula membalut lukaku? Pabila bukan dia
jang memberitahukan kepada suaminja, darimana Ban Ka mendapat tahu aku
bersembunji didalam gudang kaju itu?”
Akan tetapi terang dirinja
sekarang berada didalam perahu jang terombang-ambing ditengah sungai Tiangkang
dan entah sudah berapa djauhnja meninggalkan kota Kangleng? Betapapun djuga,
paling tidak sementara ini ia sudah meninggalkan tempat berbahaja dan takkan
di-uber2 lagi oleh Leng-tihu.
“Siapakah gerangannja jang
membalut lukaku dan siapakah jang menaruh aku didalam perahu ini? Bahkan
Ting-toako djuga diikut-sertakan bersama aku,” demikian ia tidak habis
mengerti. Ia tidak begitu peduli lagi kepada mati atau hidupnja sendiri, tapi
djenazah Ting Tian ternjata tidak lupa disertakan kepadanja, hal inilah jang
membuat Tik Hun mau-tidak-mau harus merasa berterima kasih.
Ia terus peras otak memikirkan
hal itu, tapi biarpun sampai kepalanja pening djuga tetap tak terdjawab. Ia
tjoba meng-ingat2 kembali apa jang terdjadi selama sehari penuh kemarin. Tapi
terpikir sampai kedjadian Ban Ka membatjok djenazahnja Ting Tian dan dirinja
mendjadi murka serta mentjekik lehernja, dan apa jang terdjadi selandjutnja ia
sama sekali tidak tahu lagi.
Ketika tanpa sengadja ia berpaling,
tiba2 sikutnja menjentuh sesuatu benda jang keras. Segera ia melihat
disampingnja terdapat satu bungkusan dari kain sutera. Ia mendjadi girang, ia
pikir didalam bungkusan ini pasti akan diperoleh tanda2 jang dapat mendjawab
pertanjaannja itu. Dengan tangan jang gemetar segera ia membuka bungkusan itu.
Ia lihat didalamnja adalah beberapa rentjeng uang perak, seluruhnja
kurang-lebih ada 30 tahil, Ketjuali itu ada empat bentuk perhiasan wanita:
sebuah Tju-hoa (tusuk konde dari mutiara jang dibingkai seperti bunga), sebuah
gelang emas, sebuah kalung emas dan sebentuk tjintjin bermata batu mestika.
Selain itu adalah seuntai kalung emas berbandul jang biasa dipakai anak ketjil.
Rantai kalung bandul itu putus seperti ditarik orang dalam keadaan buru2, dan diudjung
rantai jang putus itu masih terkait sepotong ketjil kain sobek, terang bekas
ditarik setjara buru2 dari leher anak ketjil hingga mirip barang tjopetan jang
dirampas setjara kasar.
Pada bandul kalung jang
berbentuk Kim-so atau gembok emas, jaitu sematjam tabung, bagian tengah dapat
ditjopot dan ditutupkan. Diatas bandul itu terukir empat huruf ‘Tek Yong Siang
Bo’.
Tik Hun tidak banjak makan
sekolahan, maka ia tidak paham apa artinja empat huruf itu. Ia pikir mungkin
itu adalah nama anak jang memakai kalung bandul itu.
Sambil memainkan keempat
matjam perhiasan itu, ia mendjadi tambah bingung daripada sebelum membuka
bungkusan itu tadi. Ia pikir: “Uang perak dan perhiasan ini dengan sendirinja
adalah pemberian orang jang menolong aku itu agar aku mempunjai sangu dalam
pelajaran ini. Akan tetapi, siapakah gerangannja? Perhiasan ini bukanlah milik
Djik-sumoay, sebab aku tidak pernah melihat dipakai olehnja.”
Begitulah ditengah air sungai
jang bergelombang, sampan ketjil itu terbawa arus menudju kehilir.
Sehari suntuk Tik Hun tidak
merasa lapar dan djuga tidak merasa lelah, tapi terus memutar otak memikir:
“Siapakah gerangan jang membalut lukaku ini? Siapakah gerangan jang memberikan
uang dan perhiasan dalam buntalan ini?”
Tiang-kang atau sungai
Pandjang (Yangtjekiang) jang menghilir ketimur Hengtjiu dan menjusuri propinsi2
Oulam dan Oupak itu djalannja ber-liku2, arusnja tidak santar, maka sampan
ketjil itupun lambat sekali djalannja. Tertampak djelas satu persatu kota dan
desa dikedua tepi sungai berlalu disamping perahu, kapal2 datang dari hulu
sungai, baik jang berlajar maupun jang didajung, banjak pula sudah
berlalu-lalang. Setiap kapal jang lewat disamping perahu Tik Hun dan melihat
keadaan pemuda itu tak keruan matjamnja, rambut dan berewoknja gondrong tak
terawat, mereka memandangnja dengan ter-heran2 dan tjuriga.
Mendjelang magrib, achirnja
Tik Hun merasa lapar, perutnja mulai kerontjongan. Ia berbangkit dan duduk, ia
ambil sepotong papan perahu dan mendajung kendaraan air itu ketepi utara dengan
pelahan dengan maksud akan beli sedikit nasi atau djadjan seadanja. Tapi sial
baginja, sekitar situ ternjata melulu ladang belukar belaka, sudah hampir
setengah djam sampan itu terhanjut kehilir menjusur tepi pantai, tetap tiada
sebuah rumahpun jang terlihat olehnja.
Setelah perahunja membiluk
mengikuti tikungan sungai, tiba-tiba Tik Hun melihat dibawah pohon Liu jang
rindang ditepi sungai situ tertambat tiga perahu nelajan. Diatas perahu itu
tampak asap mengepul. Waktu sampan Tik Hun dekat dengan perahu2 nelajan itu,
segera terdengarlah suara minjak mendidih disertai bau sedap gorengan ikan.
Mengendus bau sedap itu, perut Tik Hun mendjadi tambah lapar. Terus sadja ia
rapatkan sampannja keperahu nelajan itu dan katanja kepada seorang nelajan tua
jang berduduk di haluan perahu: “Paman tukang tangkap ikan, dapatkah aku
membeli sepotong ikan gorengmu?”
Melihat muka Tik Hun jang
menakutkan itu, nelajan itu mendjadi djeri, mestinja tidak boleh, terpaksa ia
tidak berani menolak, sahutnja: “Ja, baiklah!”
Lalu ia memilihkan seekor ikan
goreng jang masih hangat2 ia wadahi didalam mangkok terus diangsurkan kepada
Tik Hun.
“Djika ada nasi, tolong beli
pula semangkok,” mohon Tik Hun.
Terpaksa nelajan itu mengia
pula dan kembali menjerahkan satu mangkok penuh nasi pada Tik Hun. Penghidupan
kaum nelajan miskin, maka nasi jang dimakannja itu adalah beras murahan ditjampur
dengan ubi dan Kaoliang (Kaoliang, sematjam tanaman bahan pangan, Djawawut?).
Tik Hun sendiri berasal dari
keluarga melarat, apa jang dia makan didalam pendjara djauh lebih buruk lagi,
kini dalam keadaan lapar, nasi jang diterimanja dari nelajan tua itu boleh
dikata seperti nasi liwet, apalagi saking laparnja, maka isi mangkok itu hanja
beberapa kali sapu sadja sudah dilangsir masuk semua kedalam perutnja.
Karena merasa belum tjukup,
selagi Tik Hun bermaksud membuka mulut untuk minta ditambahi semangkok nasi
lagi, tiba2 didengarnja suara orang jang serak sedang berseru ditepi pantai:
“Hai, nelajan! Ada ikan besar tidak? Berikan padaku beberapa ekor jang segar!”
Waktu Tik Hun menoleh, ia
lihat seorang Hwesio tinggi kurus matanja besar bersinar, sedang menanja
sinelajan dengan bertolak pinggang, sikapnja kasar.
Hati Tik Hun tergetar
seketika. Teringat olehnja Hwesio itu adalah satu diantara kelima paderi jang
pernah meretjoki Ting Tian didalam pendjara dahulu itu. Setelah memikir
sedjenak, segera ia pun ingat tjeritanja Ting Tian bahwa Hwesio tingggi kurus
ini bergelar Po-siang. Malam itu, dengan Sin-tjiau-kang jang lihay Ting Tian
telah berhasil membinasakan dua diantaranja, sisa ketiga paderi jang lain
sempat melarikan diri. Dan Po-siang ini adalah satu diantara ketiga orang itu.
Demi mengenali Po-siang, maka
Tik Hun tidak berani memandang lagi padanja. Pernah didengarnja dari Ting Tian,
katanja ilmu silat Hwesio ini sangat hebat, sampai Ting Tian sendiri waktu itu
tidak berani jakin dirinja pasti menang. Sekarang Tik Hun insaf pabila Po-siang
melihat djenazahnja Ting Tian, pasti Tik Hun sendiri djuga akan mendjadi korban
keganasan paderi itu.
Begitulah dengan kebat-kebit
Tik Hun memegangi mangkok nasi jang sudah kosong itu, saking kuatirnja sampai
tangannja rada gemetar djuga. Dalam hati diam2 ia berdoa: “Djangan gemetar,
djangan gugup, kalau sampai diketahui musuh, tentu tjelaka!” ~ Tapi semakin ia
ingin tenangkan diri, semakin takdapat menguasai diri.
Maka didengarnja sinelajan tua
tadi sedang mendjawab: “Maaf Toahwesio, ikan jang kutangkap harini sudah
terdjual habis, sudah tidak ada lagi.”
“Siapa bilang tidak ada?”
bentak Po-siang dengan gusar. “Aku sudah kelaparan, aku tak peduli, lekas kau
adakan beberapa ekor.”
“Tapi benar2 sudah habis, Thaysuhu,”
sahut sinelajan. “Kalau masih ada, siapa jang tidak dojan duit, masakah tidak
didjual?”
Habis berkata, ia angkat
kerandjang ikannja dan dituang terbalik, benar djuga, memang kerandjang itu
kosong melompong tanpa isi.
Namun Po-siang sedang
kelaparan sekali, tiba2 dilihatnja Tik Hun sedang menghadapi seekor ikan goreng
didalam mangkoknja ikan itu baru termakan sebagian ketjil. Terus sadja ia
berseru: “Hai, orang itu, disitu ada ikan atau tidak?”
Tik Hun sendiri lagi bingung,
mendengar orang bitjara padanja, ia salah sangka orang telah mengenali dirinja.
Keruan ia tambah kuatir, tanpa mendjawab lagi ia terus angkat papan perahu dan
sekali ia tolak kebatang pohon Liu ditepi sungai, segera mendajung sampannja
ketengah sungai.
Po-siang mendjadi gusar,
kontan ia memaki: “Badjingan, aku tanja engkau punja ikan tidak, mengapa engkau
seperti maling jang ketakutan terus melarikan diri?”
Padahal Tik Hun bukan maling,
tapi memang benar ketakutan mendengar tjatji-maki paderi itu, ia semakin takut.
Ia mendajung lebih tjepat hingga sampannja meluntjur ketengah sungai.
Dengan gusar Po-siang terus
djemput sepotong batu, segera ia sambitkan kearah Tik Hun dengan sekuatnja.
Walaupun tenaga dalam Tik Hun
sudah lenjap, tapi ilmu silatnja belum terlupa. Melihat sambaran batu jang
ditimpukan Po-siang itu sangat keras, kalau kena, pasti djiwanja akan melajang.
Maka tjepat ia mendakan tubuh hingga batu jang ditimpukan Po-siang itu
menjambar lewat diatas kepalanja dengan membawa sambaran angin jang keras.
“Plung”, batu itu mentjemplung kedasar sungai hingga air memuntjrat tinggi.
Njata tenaga sambitan Po-siang itu benar2 sangat kuat.
Melihat tjara Tik Hun
menghindarkan timpukan batunja, gerak-geriknja tjukup gesit, terang seorang
jang pernah melatih silat dan sekali2 bukan kaum nelajan biasa, maka Po-siang
mendjadi tjuriga. Bentaknja segera: “Hajo engkau lekas balik kemari, kalau
tidak, segera kutjabut njawamu!”
Sudah tentu Tik Hun tak gubris
pada teriakannja, ia mendajung lebih keras malah. Po-siang mendjadi murka,
tjepat ia djemput lagi sepotong batu jang lebih besar terus menimpuk, menjusul
tangan jang lain sambar sepotong batu lagi dan segera disambitkan pula.
Tik Hun sendiripun sedang
tjurahkan antero perhatiannja terhadap batu sambitan paderi itu sambil tetap
mendajung se-kuat2nja. Batu pertama dengan mudah dapat dihindarkannja dengan
mendakan tubuh, tapi batu kedua menjambar datang dengan sangat rendah, serendah
badan perahunja, terpaksa Tik Hun merebahkan diri kelantai perahu hingga batu
itu persis menjambar lewat didepan hidungnja, selisihnja tjuma beberapa senti
sadja. Dan baru sadja ia berbangkit, se-konjong2 batu lain menjambar tiba pula,
“plok”. Dengan tepat batu itu kena dihaluan perahu hingga kaju bubuk
bertebaran, papan haluan perahu telah sempal sebagian.
Melihat tjara Tik Hun
menghindari batu itu sangat tjekatan, sedangkan sampan ketjil itu semakin
terhanjut oleh arus, diam2 Po-siang memikir: “Kata pribahasa: Memanah orang
sebaiknja memanah kudanja lebih dulu.” ~ Maka tjepat ia djemput pula dua potong
batu dan disambitkan, tapi jang diintjar sekarang hanja perahunja sadja.
Tindakannja menjambit perahu ini kalau sedjak mula dilakukan, mungkin sedjak
tadi Tik Hun sudah karam kedasar sungai bersama sampannja. Tapi kini djaraknja
sudah makin djauh, ber-turut2 batu sambitan Po-siang itu mesti tepat mengenai
sasarannja, namun tjuma menghantjurkan sedikit papan dan dinding perahu sadja.
Keruan Po-siang bertambah
gopoh ingin lekas2 dapat membekuk Tik Hun. Ia semakin mendongkol ketika melihat
pemuda itu dapat menghindarkan setiap timpukannja. Dari djauh dilihat rambut
Tik Hun jang gondrong itu menjiak tertiup angin, mendadak teringatlah satu
orang olehnja: “Eh, orang ini mirip pelarian dari pendjara itu. katanja Ting
Tian telah melarikan diri dari pendjara Hengtjiu, berita ini ramai dibitjarakan
orang Kangouw, boleh djadi dari buronan ini dapat diperoleh sedikit kabarnja
Ting Tian.”
Berpikir demikian, napsu
serakahnja lantas timbul, jaitu ingin mendapatkan hadiah besar jang dijanjikan
Leng-tihu bila dapat menangkap kembali pelarian pendjara itu. Segera ia
ber-teriak2: “Hai, nelajan! Lekas kemari, bawalah aku memburu orang itu!”
Tak terduga ketiga perahu
nelajan jang tadi berlabuh dibawah pohon Liu itu kini sudah meluntjur pergi
karena para nelajan itu mendjadi ketakutan waktu melihat Po-siang menimpuk
orang dengan batu, perbuatannja sangat kasar dan djahat. Maka sekalipun
Po-siang ber-kaok2 hingga tenggorokannja bedjat djuga tiada seorangpun jang
sudi kembali untuk mengangkutnja.
Dengan sendirinja Po-siang
semakin kalap. Ia djemput pula beberapa potong batu dan menimpukan serabutan
kepada nelajan2 itu. “Plok”, batu kedua telah mengenai batok kepala salah
seorang nelajan itu hingga kepala petjah dan otak berantakan terus terdjungkal
kedalam sungai. Keruan nelajan2 jang lain ketakutan setengah mati, mereka
mendajung lebih tjepat untuk menjelamatkan diri.
Po-siang masih tidak rela
melepaskan Tik Hun begitu sadja, ia harus mengedjar menjusur tepi sungai.
Begitu tjepat larinja hingga sampan Tik Hun kalah tjepat meluntjurnja. Tjuma
Po-siang mengedjar dipantai utara, sebaliknja Tik Hun mendajung perahunja
menjorong ketepi selatan. Meski kedjaran Po-siang dapat melampaui perahunja Tik
Hun, tapi djaraknja djuga bertambah djauh.
Diam2 Tik Hun memikir bila
sampai Po-siang dapat memperoleh sebuah perahu dipantai sana serta memaksa
tukang perahu mengangkutnja untuk mengedjar, maka dirinja pasti akan susah
meloloskan diri. Dalam kuatirnja, djalan satu2nja baginja adalah berdoa: “Ting-toako,
Ting-toako, undjukanlah kesaktian arwahmu, bikinlah supaja paderi djahat itu
tidak mendapatkan perahu untuk mengedjar.”
Biasanja lalu lintas kapal2
dan perahu2 disungai Tiang-kang itu sangat banjak, untunglah sepandjang
beberapa li dipantai utara sana tiada sebuah kapalpun jang berlabuh disana.
Maka selama itu Po-siang takdapat berbuat apa2.
Sekuatnja Tik Hun mendajung
perahunja ketepi selatan, meski lebar sungai didaerah sini tidak terlalu luas,
tapi banjak tumbuh2an air jang dapat dipakai sebagai aling2 hingga Po-siang
susah memandang kearahnja. Setelah menepi, Tik Hun lantas panggul buntalan kain
itu dipunggungnja, ia pondong majatnja Ting Tian dan mendarat. Tapi mendadak
terpikir suatu akal olehnja. Ia balik ketepi sungai dan mendorong perahunja
tadi ketengah sungai dengan harapan akan membilukan perhatian Po-siang bila
memandang dari djauh tentu akan menjangka pemuda itu masih terus mendajung
perahunja kehilir sungai.
Begitulah Tik Hun lantas
melarikan diri tjepat2 tanpa pilih djalanan pula, jang dia harapkan jalah
sedjauh mungkin meninggalkan sungai itu. Akan tetapi siapa duga, belum seberapa
djauhnja tiba2 ia melihat didepan ombak mendebur, kembali ia diadang sungai itu
lagi. Kiranja didaerah situ Tiang-kang djuga membiluk kearah selatan, djadi
merupakan sebuah delta ketjil, maka Tik Hun telah sia2 berlari sedjauh itu.
Lekas2 ia putar balik kekanan,
tidak djauh, tiba2 dilihatnja didepan sana ada sebuah kelenteng bobrok. Segera
ia menudju kekelenteng itu sambil pondong majatnja Ting Tian. Setiba didepan
pintu, selagi dia hendak mendorong pintu kelenteng, tiba2 kakinja terasa lemas,
ia terdjatuh mendoprok ketanah dan tidak sanggup berbangkit pula.
Kiranja sesudah terluka, Tik
Hun terlalu banjak mengeluarkan darah, badannja sebenarnja sudah sangat lemah,
se-kuat2nja ia telah mendajung perahu pula, ditambah lagi ber-lari2 kuatir
dibekuk Po-siang, maka sampai didepan kelenteng itu ia benar2 sudah kehabisan
tenaga.
Ia tjoba me-ronta2 untuk
berdiri, tapi tetap lemas, terpaksa ia hanja duduk bersandarkan dinding pintu
dengan napas megap2. Ia mendjadi agak lega ketika melihat tjuatja sudah
remang2, hari sudah mulai gelap. Pikirnja: “Asal menunggu hari sudah malam,
paderi djahat itu tentu takkan dapat menemukan kami lagi,”
Meski Ting Tian sudah mati,
tapi dalam batinnja ia masih tetap anggap sang Toako sebagai kawan karibnja
jang masih hidup berada disampingnja.
Begitulah sesudah merebah
tjukup lama diluar kelenteng lambat-laun tenaganja mulai pulih dan barulah ia
dapat berbangkit. Ia pondong pula majatnja Ting Tian dan membawanja kedalam
kelenteng.
Kelenteng itu adalah sebuah
“Tho-te-bio”, jaitu Toapekong malaikat bumi. Artja Toapekong itu terbuat dari
tanah, potongannja pendek ketjil dan lutju bentuknja.
Pada umumnja, manusia jang
kepepet dan sedang menghadapi djalan buntu, sering kali lalu pasrah nasib
kepada jang berkuasa. Begitu pula halnja dengan Tik Hun sekarang, dalam keadaan
merana, timbul djuga rasa hormatnja kepada patung malaikat bumi jang lutju itu,
dengan penuh chidmat iapun berlutut memberi hormat beberapa kali kepada
Toapekong itu, dengan demikian sedikit banjak penderitaan bathinnja mendjadi
agak terhibur.
Sambil berduduk didepan altar
Toapekong, Tik Hun memandangi djenazah Ting Tian dengan ter-menung2 sambil
bertopang dagu. Keadaan Tik Hun sekarang dapat diibaratkan anjing jang tak
punja rumah madjikan lagi. Mungkin nasib andjing begitu masih lebih baik
daripadanja. Hanja suatu hal jang membuatnja semakin lega jalah tjuatja sudah
semakin gelap, hari sudah malam.
Begitulah Tik Hun lalu merebah
disamping djenazahnja Ting Tian tiada ubahnja seperti hidupnja se-hari2 selama
beberapa tahun dahulu didalam pendjara jang sempit itu.
Mendjelang tengah malam, tiba2
turun hudjan pula. Hujan itu mula2 rintik2, kemudian sangat deras, lalu rintik2
pula tiada ber-henti2.
Karena dingin, badan Tik Hun
meringkuk hingga mirip babi. Ia tjoba mendesak mendekati Ting Tian. Tapi
mendadak ia menjentuh majat Ting Tian jang sudah kaku dan dingin itu, ia
mendjadi ingat sang Toako sudah meninggal dan tidak dapat bitjara lagi dengan
dirinja. Tiba2 ia berduka dan pilu tak terlukiskan.
Dibawah hudjan rintik2 itu,
tiba terdengar ada suara orang berdjalan menudju kekelenteng bobrok ini. Suara
tindakan orang ditanah betjek karena hudjan itu ternjata sangat tjepat.
Tik Hun terkedjut, ia dengar
orang itu sudah makin dekat. Lekas2 ia sembunjikan djenazah Ting Tian itu
kebawah medja sembahjang, ia sendiri lantas mengumpet kebelakang altar
Toapekong.
Semakin dekat suara tindakan
orang itu, semakin berdebar djantung Tung Tik Hun. Kemudian terdengarlah pintu
kelenteng berkeriut dan didorong orang dari luar. Menjusul suara orang itu
lantas memaki: “Keparat, bangsat tua itu entah telah lari kemana hingga antero
badan Lotju basah-kujup kehudjanan!”
Njata, memang tidak salah,
itulah suaranja Po-siang. Sungguh tidak pantas sekali tjatji-makinja itu,
masakan seorang paderi bermulut sekotor itu, demikian diam2 Tik Hun membatin.
Meski Tik Hun tidak banjak
pengetahuannja tentang kehidupan manusia, tapi selama beberapa tahun ini,
setiap hari ia telah digembleng oleh Ting Tian dan saban2 mendengar tjerita
sang Toako tentang kedjadian2 dikalangan Kangouw, maka Tik Hun sekarang sudah bukan
Tik Hun pemuda desa jang bodoh lagi. Diam2 ia memikir pula: “Meski Po-siang ini
berdandan sebagai paderi, tapi ia tidak pantang makan dan suka membunuh orang,
besar kemungkinan dia adalah seorang bandit jang maha djahat.
Dalam pada itu terdengar tjatji-maki
Po-siang itu semakin kotor, sesudah puas memaki, Po-siang terus duduk didepan
altar malaikat bumi, menjusul terdengar suara membuka badju, kiranja Hwesio itu
telah mentjopot antero pakaiannja jang basah kujup itu, lalu diperasnja hingga
kering ketepi emper, kemudian pakaiannja digelar diatas altar, ia sendiri
lantas menggeletak dilantai, tidak lama terdengarlah suara menggeros, kiranja
sudah tertidur pulas.
“Sungguh berdosa Hwesio djahat
ini, masakah tanpa risih sedikitpun tidur telandjang bulat didepan malaikat
bumi?” demikian pikir Tik Hun. Lalu terpikir olehnja: “Dalam keadaan dia tidak
ber-djaga2, biarlah kudjemput sepotong batu dan kepruk kepalanja hingga mampus,
besok tentu aku tidak perlu takut lagi padanja.”
Tapi dasar djiwa Tik Hun
sangat baik budi, ia tidak suka sembarangan membunuh orang, pula tjukup tahu
ilmu silat Po-siang berpuluh kali lebih tinggi dari dirinja, kalau sekali
kepruk takdapat mampuskan paderi itu, asal dia masih ada tenaga untuk balas
menjerang, tentu dirinja sendiri jang akan mati modar.
Dalam keadaan begitu kalau Tik
Hun mau melarikan diri setjara diam2 melalui djalan belakang kelenteng itu,
tentu Po-siang takkan mengetahui.Tapi djenazah Ting Tian masih berada dibawah
medja sembahjang, meski insaf besok djuga akan mati terbunuh musuh, namun Tik
Hun tidak nanti meninggalkan pergi.
Ia dengar hudjan rintik2 masih
tiada hentinja, sama seperti kebat-kebit hatinja jang djuga tiada henti2nja. Ia
berharap hudjan lekas terang, dengan demikian Po-siang dapat meninggalkan
kelenteng itu. Tapi melihat gelagatnja, hudjan rintik2 seperti itu biarpun
semalam suntuk djuga belum tentu berhenti. Dan bila hari sudah pagi serta
Po-siang tidak mau berangkat dibawah hujan, tentu dia akan memeriksa keadaan
kelenteng itu untuk mentjari barang makanan umpamanja, dengan demikian pasti
dirinja akan dipergokinja.
Namun demikian, timbul djuga
harapan untung2an dalam hati Tik Hun, pikirnja: “Boleh djadi sebelum terang
tanah hudjan akan berhenti dan paderi djahat ini karena buru2 ingin mengedjar
aku, mungkin dia terus berangkat dengan ter-gesa2 dan selamatlah aku.”
Tiba2 teringat sesuatu
olehnja: “Waktu datang tadi ia telah mentjatji-maki, katanja ‘bangsat tua’ itu
entah telah lari kemana. Usiaku toh belum landjut, mengapa aku dimaki sebagai
‘bangsat tua’? Apakah mungkin dia sedang menguber seorang lain lagi jang tua?”
~ Dan pada saat lain tanpa sengadja ia telah meraba berewoknja sendiri jang tak
terawat itu, mendadak ia mengarti duduknja perkara: “Ah, tahulah aku.
Disebabkan rambut dan berewokku ini gondrong tak terawat hingga bagi pandangan
orang lain dengan sendirinja disangka seorang tua. Djadi dia memaki aku sebagai
‘bangsat tua’? Hehe, ‘bangsat tua’?”
“Bluk”, mendadak Po-siang
membalik tubuh dalam tidurnja. Tjara tidur paderi itu ternjata sangat rusuh,
maka kakinja telah menjampar kebawah altar dan tepat mengenai djenazah Ting
Tian.
Djago silat setinggi Po-siang,
begitu merasa ada sesuatu jang mentjurigakan, seketika akan terdjaga dari
tidurnja. Maka ia menjangka dibawah altar Toapekong itu bersembunji musuh,
terus sadja ia melompat bangun sambil sambar golok jang terletak disampingnja,
dalam kegelapan iapun tidak tahu ada berapa orang musuh jang bersembunji
disitu, maka terus sadja ia membabat dan membatjok serabutan kekanan dan kekiri
agar musuh tidak berani mendekatinja.
“Siapa? Djahanam! Keparat!”
demikian Po-siang membentak dan memaki. Tapi meski sudah dibentak dan dimaki
toh masih tiada suara sahutan orang. Tjepat ia berdiam sambil menahan napas
untuk mendengarkan apakah ada suara orang.
Dalam keadaan begitu, sudah
tentu Tik Hun harus lebih hati2 bahkan bernapaspun tidak berani keras2, kuatir
kalau diketahui paderi djahat itu.
Karena masih kuatir, kembali
Po-siang ajun goloknja membatjok kian kemari hingga belasan kali, menjusul
kakinja ikut mendepak, “blang”, medja sembahjang kena ditendang roboh, segera
goloknja membatjok pula, “tjret”, goloknja kena membatjok sesuatu benda dan
terdengar ada suara tulang remuk. Kiranja majat Ting Tian telah kena dibatjok.
Dengan djelas Tik Hun dapat
mendengar suara terbatjoknja majat Ting Tian itu oleh sendjatanja Po-siang.
Meski Ting Tian sudah meninggal dan pada hakikatnja tiada punja daja rasa lagi,
tapi bagi Tik Hun masih tetap menganggapnja sebagai kaka angkat jang terhormat
dan tertjinta. Kini paderi djahat itu berani merusak djenazah sang Giheng,
keruan Tik Hun sangat murka. Dalam pada itu sesudah membatjok sekali serta
tidak mendengar sesuatu suara reaksi apa2, Po-siang mendjadi ragu2. Tjelakanja
dalam kegelapan, tiada sesuatu jang dapat dilihatnja. Sedangkan alat ketikan
api jang dibawanja sudah takdapat digunakan lagi karena basah oleh air hudjan.
Terpaksa ia main mundur kebelakang dengan pelahan2, ia pepetkan punggungnja
kedinding untuk mendjaga kalau disergap musuh dari belakang. Kemudian ia berdiam
pula untuk mendengarkan kalau2 ada sesuatu suara apa2.
Begitulah, djikalau Po-siang
berada didalam keadaan siap siaga dan penuh tjuriga, adalah sebaliknja Tik Hun
dalam keadaan takut tertjampur gusar pula.
Ketika mendengar majat Ting
Tian dibatjok Po-siang tadi, sebenarnja Tik Hun segera ingin menerdjang keluar
untuk mengadu djiwa dengan paderi djahat itu. Tjuma sesudah digembleng selama
lima tahun didalam pendjara, pemuda Tik Hun jang ke-tolol2an dahulu itu telah
berubah mendjadi seorang pemuda jang dapat berpikir. Baru dia hendak melangkah
keluar, segera teringat olehnja: “Djika aku menerdjang dan mengadu djiwa
padanja, ketjuali jiwaku akan melajang pertjuma, terang tiada manfaat lain.
Sebaliknja tjita2 Ting-toako jang minta dikubur bersama Leng-siotjia itu
mendjadi gagal dan tak terlaksana, padahal aku sudah berdjandji padanja, maka
sedapat mungkin aku harus bersabar.”
Kedudukan kedua orang waktu
itu hanja terpisah oleh sebuah dinding aling2 sadja, ketjuali suara hudjan jang
rintik2, suara lain sama sekali tiada terdengar.
Tik Hun insaf apabila suara
napas sendiri sedikit keras, seketika djiwanja pasti akan melajang. Terpaksa ia
bernapas dengan sangat pelahan, sedangkan benaknja tiada henti2nja berpikir: Beberapa
djam lagi hari sudah akan terang tanah. Dan kalau paderi djahat itu melihat
djenazah Ting-toako, pasti dia akan merusaknja untuk melampiaskan rasa
gusarnja. Lantas apa dajaku agar djenazah Ting-toako dapat diselamatkan?
Dasar otak Tik Hun memang puntul,
sedangkan usaha untuk menjelamatkan djenazah Ting Tian dari keganasan Po-siang
adalah sesuatu tugas jang maha sulit, sekalipun seorang jang tjerdas djuga
pasti akan bingung, apalagi seorang Tik Hun jang bodoh.
Begitulah meski sampai lama ia
pikir, sampai kepalanja petjah djuga tetap tiada sesuatu akal jang dapat
diperolehnja. Karuan ia tambah gopoh dan sesalkan diri sendiri: “Wahai Tik Hun,
dasar engkau ini memang pemuda jang goblok, dengan sendirinja engkau takdapat
memikirkan sesuatu akal bagus. Tjoba kalau engkau pintar, tidak mungkin
kelabakan seperti sekarang ini.” ~ Dan karena saking gelisahnja, ia djambat2
rambut sendiri, tanpa sengadja ia mendjambat terlalu keras hingga setjomot
rambutnja ikut terbubut.
Se-konjong2 benaknja terkilas
suatu pikiran: “He, paderi djahat ini menjebut aku sebagai ‘bangsat tua’,
rupanja karena melihat rambut dan berewokku gondrong tak keruan, maka menjangka
aku adalah seorang tua. Pabila sekarang aku mentjukur bersih ...... bukankah
dia akan pangling dan takdapat mengenali diriku? Tjuma sajang, aku tidak
membawa pisau tjukur, tjara bagaimana membersihkan berewok jang kaku ini? Hm,
mati djuga aku tidak takut, kenapa mesti takut sakit? Biarlah aku tjabut sadja
dengan tangan satu-persatu.
Apa jang dipikir Tik Hun, segera
dilakukannja djuga. Maka seudjung demi seudjung ia mentjabuti djenggotnja jang
kaku2 itu. Sambil mentjabut ia sembari memikir: “Seumpama paderi djahat ini
takdapat mengenali aku lagi, paling2 aku takkan dibunuhnja. Tapi tjara
bagaimana pula harus menjelamatkan Ting-toako? Ah, sudahlah, dapat madju
selangkah, biarlah kumadju terus, asal djiwaku sendiri dapat dipertahankan
sementara, tentu aku dapat mendekati paderi djahat itu dan dikala dia tidak
ber-djaga2, aku akan mentjari akal untuk membunuhnja.”
Maka satu persatu ia membubuti
djenggotnja itu. Pabila hal itu dilakukan dengan pelahan2 dan hati2, tentu
takkan terlalu sakit rasanja. Tapi Tik Hun kuatir kalau hari keburu terang
tanah dan djenggotnja belum lagi tertjabut bersih hingga diketahui oleh Po-siang.
Dari itu, tjara tjabutnja mendjadi buru2 dan sekenanja, dan penderitaannja
dapat dibajangkan.
Serta sudah sebagian besar
djenggotnja terbubut, tiba2 terpikir pula olehnja: “Seandainja djanggutku sudah
bersih tanpa djenggot, namun rambutku jang gondrong ini tentu djuga akan
dikenali olehnja. Ia telah mengedjar aku sepandjang pantai, tentu keadaan
rambut dan djenggotku jang gondrong ini sudah dilihatnja dengan djelas.”
Berpikir begitu, ia mendjadi
nekat. Tanpa ragu2 lagi iapun mentjabuti rambutnja.
Mentjabut djenggot masih
mending dan tidak terlalu sakit, tapi mentjabut rambut, bahkan sampai habis
kelimis, sungguh rasa sakitnja tak terkatakan.
Tapi dasar watak Tik Hun
memang keras dan tidak gampang menjerah, sangat setia pula kepada Ting Tian,
djangankan tjuma mentjabut rambut dan djenggot jang sepele, sekalipun demi Ting
Tian ia mesti korbankan anggota badannja djuga dia takkan mengkerut kening
sedikitpun. Sebetulnja karena usianja masih sangat muda, pula berasal dari desa
dan masih hidjau, maka setjara tolol2an ia telah melakukan akalnja jang aneh
dan lutju itu, pabila seorang Kangouw jang sudah berpengalaman dan lebih tua
umpamanja, tentu takkan melakukan usaha jang bodoh itu.
Tik Hun kuatir kalau Po-siang
mendengar suaranja, maka setiap mentjabut sedikit rambut dan djenggotnja,
pelahan2 iapun menggeremet mundur setindak, setelah hampir satu djam lamanja,
barulah ia dapat mundur sampai di Tjimtjhe (karas dalam rumah). Dan setengah
djam pula, achirnja dapatlah ia mentjapai pintu belakang kelenteng itu. Ketika
mukanja merasa tertetes air hudjan, barulah pelahan2 ia menghela napas lega.
Tjepat tapi hati2 Tik Hun
pendam rambut dan djenggot jang dia tjabut itu kedalam lumpur untuk mendjaga
kalau dilihat Po-siang hingga menimbulkan tjuriganja. Lalu ia raba2 dan gosok2
djanggut dan kepala sendiri, ia merasa dirinja sekarang bukan lagi seorang
“bangsat tua”, tapi lebih tepat dikatakan “bangsat gundul”. Dalam sedih dan
dongkolnja ia mendjadi geli sendiri pula. Pikirnja: “Setelah kutjabut setjara
ngawur begini, tentu kepala dan djanggutku babak-belur penuh darah. Aku harus
mentjutjinja hingga bersih, supaja tidak diketahui musuh.”
Segera ia djulurkan kepalanja
kebawah emper dan membiarkan air hudjan menjirami kepala dan mukanja jang
berlepotan darah itu. Ia mendjadi meringis perih karena luka2 tjabutan itu kena
air.
Kemudian ia pikir pula: “Wadjahku
sekarang susah dikenali lagi. Tapi pakaianku ini kalau dikenali paderi djahat
itu, bukankah usahaku ini akan sia2 belaka? Sedangkan disini tiada jang dapat
kuganti, eh, kenapa aku tidak meniru tjara paderi djahat itu, biarpun
telandjang, kenapa sih?”
Maka tjepat ia melepaskan
badju dan tjelananja. Badju sudah terbuka, kini tinggal Oh-djan-ih jang tidak
mungkin djuga ditjopot, terpaksa ia hanja mengenakan badju dalam itu dan tanpa
bertjelana. Segera ia robek badju luar serta digubat dipinggangnja hingga mirip
bergaun. Ia kuatir kalau Oh-djan-ih jang dipakainja itu dapat dikenali
Po-siang, tanpa pikir lagi ia terus ber-guling2 ditanah lumpur hingga badju
pusaka itu penuh lumpur jang kotor.
Dengan dandanan Tik Hun
sekarang jang memper Tarzan, sekalipun Ting Tian hidup kembali djuga rasanja
akan pangling padanja.
Diam2 Tik Hun geli sendiri,
pikirnja: “Entah berubah mendjadi matjam apa diriku sekarang ini? Nanti kalau
sudah terang tanah, biarlah aku mengatja dulu dimuka air empang.”
Pelahan2 ia menggerumut
kebawah sebatang pohon rindang, dengan tangan ia menggali sebuah liang untuk
memendam buntalan ketjil jang dibawanja itu. Pikirnja diam2: “Pabila aku dapat
lolos dari antjaman paderi djahat itu dan dapat menjelamatkan Ting-toako, kelak
aku pasti akan membalas budi pertolongan orang jang telah mengobati lukaku
serta memberi sangu dan perhiasan ini.”
Setelah selesai ia pendam
buntalannja, sementara itu hari sudah remang2. Pelahan2 Tik Hun berdjalan
menudju keselatan, lalu membiluk kebarat, tiada beberapa li djauhnja, hari
sudah terang tanah, tapi hudjan masih belum lagi reda. Ia menaksir Po-siang
pasti tidak meninggalkan kelenteng itu, ia pikir harus mendapatkan sesuatu
gaman untuk menghadapi segala kemungkinan, tapi dihutan belukar demikian,
kemana mesti mentjari sendjata? Terpaksa ia djemput sepotong batu jang tadjam
dan lantjip, ia selipkan batu itu dipinggang, ia pikir kalau dapat menikam
sekali sadja ditempat jang mematikan dibadan Po-siang boleh djadi paderi itu
akan dapat dimampuskan. Sebaliknja kalau sekali serang tidak berhasil, maka
tjelakalah dirinja, untuk mana terpaksa ia menjerah nasib.
Dan karena teringat pada sang
Toako, iapun tidak sabar menanti sampai mendapatkan sesuatu sendjata jang
tjotjok, terus sadja ia kembali menudju kekelenteng Toapekong itu. Ia pikir
bagaimana nanti harus menghadapi musuh jang djahat itu. “Eh, aku harus pura2
tolol dan seperti orang sinting, biar aku berlagak sebagai seorang pengemis
gelandangan ditempat ini.” demikian pikirnja.
Maka waktu mendekati kelenteng
itu, segera ia pentang batjot dan tarik suara, ia menjanjikan “San-ko”
(njanjian rakjat didaerah pegunungan) dengan se-keras2nja, begini lagunja:
Oiii, adik manis diseberang
bukit!
Dengarkan aku menjanji,
kalau engkau mentjari suami,
djangan tjari orang sekolah,
orang sekolah moralnja bedjat,
tjarilah suami kepala botak
seperti aku si A Sam,
Oi, kepalaku kelimis!
Dahulu waktu tinggal
dipedesaan di Oulam, Tik Hun memang djagoan njanji, dikala bertjotjok-tanam
disawah ladang atau diwaktu ber-djalan2 dilereng bukit jang indah bersama Djik
Hong, sering mereka sahut-menjahut menjanjikan San-ko jang sangat digemari rakjat
setempat itu.