Semula Tik Hun agak heran
mengapa Hoa Tiat-kan bisa berada bersama dengan orang2 sebanjak itu. Tapi
segera ia mendjadi sadar: “Ah, orang2 itu adalah pengedjar2 dari Oupak dan
Sutjwan jang pernah ikut meng-uber2 kami dahulu itu dan Hoa Tiat-kan adalah satu
diantara pemimpin mereka, dengan sendirinja mereka lantas menggabungkan diri
ketika saling bertemu kembali. Tapi entah hasutan apa sadja jang telah Hoa
Tiat-kan katakan kepada mereka itu?”
Sementara itu rombongan Hoa
Tiat-kan sudah masuk kedalam gua. Segera ia merajap madju lebih dekat, ia
bertiarap di-semak2 rumput jang saldjunja masih belum tjair agar tak dipergoki
pendatang2 itu. Meski djaraknja dengan rombongan Hoa Tiat-kan itu masih tjukup
djauh; tapi dengan kemadjuan Lwekang jang ditjapainja dengan pesat selama ini,
kini mata-telinganja sudah sangat tadjam, apa jang dipertjakapkan orang2
didalam gua itu dapat didengarnja dengan djelas. Maka terdengar suara seorang
jang kasar serak sedang berkata: “Hiat-to Lotjo itu terbinasa ditangan Hoa-heng
sendiri, sungguh djasa ini harus dipudji dan dikagumi. Selandjutnja Hoa-heng
adalah pemimpin dunia persilatan kita di Tionggoan, kami siap sedia dibawah
pimpinan Hoa-heng.”
“Sungguh sajang Liok-tayhiap,
Lau-totiang dan Tjui-tayhiap bertiga telah mengalami nasib malang, hal ini
benar2 sangat menjedihkan,” kata seorang lain.
“Meski Ok-tjeng tua itu sudah
mampus, tapi Ok-tjeng tjilik itu masih hidup, kita harus segera mentjarinja,
membabat rumput harus sampai ke-akar2nja, agar kelak tidak menimbulkan bentjana
pula, betul tidak menurut pendapatmu, Hoa-tayhiap?” demikian sambung seorang
lagi.
“Benar,” sahut Hoa Tiat-kan.
“Siau-ok-tjeng itu tinggi djuga ilmu silatnja jang djahat, keganasannja tidak
dibawah gurunja jang sudah mampus itu bahkan djauh melebihinja. Tadi demi
melihat kedatangan kita, tentu tjepat2 dia berusaha hendak meloloskan diri.
Marilah saudara2, djanganlah kenal lelah kita harus mentjari dan binasakan pula
Siau-ok-tjeng itu.”
Diam2 Tik Hun terkesiap
mendengar hasutan Hoa Tiat-kan itu, pikirnja: “Orang she Hoa ini benar2 manusia
kedji, untung tadi aku tidak sembarangan undjukkan diri, kalau tidak, pasti aku
akan dikerubut dan susahlah untuk melawan mereka jang berdjumlah sangat banjak
itu.”
Dalam pada itu tiba2 terdengar
suara seorang wanita telah mendjawab” “Dia …… dia bukan Siau-ok-tjeng, tapi
adalah seorang laki2 sedjati, Hoa Tiat-kan sendirilah seorang jang maha
djahat.”
Itulah suaranja Tjui Sing.
Sungguh hati Tik Hun sangat terhibur, untuk pertama kalinja inilah ia mendengar
gadis itu menjatakan: “Dia bukan Siau-ok-tjeng, tapi dia adalah seorang laki2
sedjati,” ~ Sungguh tak tersangka olehnja bahwa gadis jang selama ini bersikap
takut dan dingin padanja ini, meski paling achir ini tidak lagi mengundjuk
sikap bentji padanja, tapi berani terang2an membela kebaikannja dihadapan orang
banjak, sungguh hal ini tak diduganja sama sekali. Saking terharunja sampai air
mata meleleh, pelahan2 ia menggumam sendiri: “Dia mengatakan aku adalah laki2
sedjati!”
Setelah Tjui Sing bitjara
tadi, keadaan didalam gua mendjadi sepi, agaknja orang2 itu sedang saling
pandang dengan bingung.
Tik Hun tjoba mengintip,
dibawah sinar obor jang terang Tik Hun melihat air muka orang2 itu penuh
mengundjuk sikap djidjik dan hina.
Selang sedjenak, lalu suara
seorang tua berbitjara lagi: “Tjui-titli, aku adalah sobat lama ajahmu,
mau-tidak-mau aku harus mengatai kau, Siau-ok-tjeng itu telah membunuh ajahmu,
tapi kau …….”
“Tidak, tidak …….” Seru Tjui
Sing tak lantjar.
“Apa kau maksudkan ajahmu
tidak dibunuh oleh Siau-ok-tjeng itu?” orang tua itu menjela. “Djika demikian,
lalu ajahmu dibunuh oleh siapa?”
“Dia ……. dia……..” demikian
Tjui Sing ingin mendjelaskan, tapi susah rasanja untuk mengutjapkan.
“Menurut tjerita Hoa-tayhiap,
katanja dalam pertempuran sengit dahulu ajahmu telah kehabisan tenaga hingga
tertawan musuh, kemudian Siau-ok-tjeng itu telah membunuhnja dengan mengepruk
kepalanja dengan sepotong kaju, betul tidak?” tanja orang tua tadi.
“Betul, tapi …… tapi ……” sahut
Tjui Sing.
“Tapi apa lagi?” potong orang
tua itu.
“Ajahku sendiri jang mohon dia
suka membunuhnja!” sahut Tjui Sing.
Maka ramailah seketika suara
gelak tertawa didalam gua. Ditengah suara ketawa itu terseling pula kata2 jang
mengedjek seperti: “Mohon dirinja dibunuh?” Hahahaha! Dusta ini benar2 terlalu
menggelikan!” ~ “O, djadi Tjui-tayhiap itu sudah bosan hidup, makanja minta
tjalon menantunja itu membinasakan dia sadja!” ~ “Tjalon menantu apa? Bahkan
sebelum Tjui-tayhiap meninggal, Siau-ok-tjeng itu katanja sudah mengadakan
hubungan dengan nona tjilik ini, hahahaha!”
Malahan diantara suara tertawa
dan edjekan itu, banjak pula suara orang jang memaki kalang kabut kealamat Tjui
Sing jang dianggapnja perawan hina, gadis tjabul dan matjam-matjam lagi. Orang
itu adalah golongan orang Kangouw jang kasar, keruan segala kata2 kotor tidak
segan2 mereka utjapkan.
Kiranja sesudah mendengar
hasutan Hoa Tiat-kan, orang2 itu telah ditjekoki dengan tjerita jang dikarang
Hoa Tiat-kan sendiri, maka mereka telah jakin bahwa Tjui Sing sudah menjerahkan
diri kepada Tik Hun, kini mereka bertambah gemas melihat gadis itu malahan
membela sang “gendak”, dari itu segala tjatji-maki itu lantas dihamburkan
kepada Tjui Sing.
Keruan muka Tjui Sing merah
padam, mendadak ia berteriak: “Diam! Kalian sem ……. sembarangan memaki orang?
Apa kalian tidak kenal malu?”
“Hahahaha!” kembali petjah
gelak tertawa orang banjak dengan matjam2 edjekan: “Eh, kami tidak kenal malu?
Dan tjara kau main pat-pat-gulipat dengan Siau-ok-tjeng didalam gua itu tanpa
memikirkan sakit hati orang tua, apakah ini jang dikatakan kenal malu?”
“Maknja!” mendadak suara
seorang jang kasar memaki. “Djauh2 Lotjo ikut menguber kemari tanpa mengenal
tjapek, maksudnja ingin menolong perempuan djalang seperti kau ini. Siapa duga
kau sendiri sedemikian hina-dina tak punja malu, ini, biar kumampuskan kau dulu
dengan golokku!”
“He, djangan, djangan!” tjepat
orang lain mentjegahnja. “Tio-heng djangan semberono!”
“Sabar, sabar dulu, saudara!”
demikian suara orang tua pertama tadi berbitjara lagi. “Usia nona Tjui masih
terlalu muda dan kurang pengalaman. Tjui-tayhiap telah mengalami nasib djelek
hingga tertinggal nona Tjui jang sebatangkara, maka djanganlah saudara2
membikin susah padanja. Kukita selandjutnja dibawah asuhan Hoa-tayhiap, tentu
nona Tjui akan dapat dididik menudju kedjalan jang benar dan itu berarti
saudara2 sekalian ikut berbuat kebaikan bagi sesamanja. Tentang peristiwa
dilembah pegunungan ini tidak perlu kita siarkan kedunia Kangouw demi nama baik
Tjui-tayhiap. Dimasa hidupnja Tjui-tayhiap terkenal berbudi dan pengasih, kalau
tidak, masakah saudara2 sudi ikut menguber kemari dari djauh guna menolong
puterinja? Maka menurut pendapatku, marilah kita lekas mentjari Siau-ok-tjeng
itu, kita tangkap dia dan menjembelihnja dihadapan kuburan Tjui-tayhiap guna
membalas sakit hati beliau.”
Agaknja orang tua jang bitjara
itu berkedudukan tjukup tinggi dan disegani jang lain2, maka lantas terdengar
suara dukungan dari beberapa orang diantaranja. Kata mereka: “Benar, beanr! Apa
jang dikatakan Thio-lotjianpwe itu tjukup beralasan. Marilah kita lekas
mentjari Siau-ok-tjeng itu, kita ringkus dia dan mentjintjangnja hingga hantjur
luluh!”
Ditengah berisik suara orang
banjak jang berlainan pendapat itu, Tjui Sing mendadak menangis ter-gerung2.
Pada saat itulah kira2 dari
djauh terdengar suara seruan seorang: “Piauwmoay! Piauwmoay dimana kau berada?
Piauwmoay! Tjui-piauwmoay!”
Itulah suara Ong Siau-hong.
Mendengar suara sang Piauko
jang sedang mentjarinja, dalam keadaan sebatang kara dan ditengah sindir-edjek
orang banjak itu, mendadak telah datang seorang jang sangat dirindukan itu,
keruan Tjui Sing kegirangan. Segera ia berhenti menangis dan berlari memapak
keluar gua.
“Ai, Ong Siau-hong jang sedang
tenggelam dilautan asmara itu bila mengetahui apa jang diperbuat kekasihnja
disini, entah bagaimana hatinja akan terluka!” demikian lantas ada jang memberi
komentar.
Segera siorang tua tadi berkata:
“Djangan ribut dulu, saudara2, dengarkanlah usulku! ~ Hoa-tayhiap, pemuda she
Ong itu sangat kesemsem kepada nona Tjui ini, sebenarnja dia sudah dua hari
lebih dulu mentjari kemari tanpa menghiraukan saldju jang masih belum tjair.
Mungkin ditengah djalan dia mendapat tjidera apa2 atau kesasar, maka datangnja
disini malah tertinggal dibelakang kami. Begini, saudara2 berbuatlah sedikit
kebaikan, pemuda itu sedemikian kesemsemnja kepada nona Tjui, maka kedjadian
tentang nona Tjui dengan Siau-ok-tjeng itu hendaklah djangan dikatakan pada
Ong-siauhiap.”
“Ja, setudju!” segera beberapa
diantaranja jang berhati baik menjatakan akur. “Setiap orang dapat berbuat
kesalahan, dan kita harus memberi kesempatan padanja untuk memperbaiki, apalagi
dalam keadaan seperti nona Tjui itu sebenarnja djuga sangat terpaksa, kalau
tidak, masakah seorang gadis baik2 sudi main gila dengan seorang Hweshio kedjam
jang tak keruan matjamnja itu?”
Tapi ada djuga jang
menanggapi: “Sungguh sial Ong Siau-hong itu, seorang pemuda gagah ganteng mesti
mentjintai seorang gadis jang sebenarnja hina-dina, benar2 tjelaka. Hahaha!”
Begitulah tengah mereka
bitjara, sementara itu suara teriakan Ong Siau-hong tadi kedengaran makin
mendjauh malah, agaknja dia tidak tahu letak gua itu, dimana kawan2nja berada,
maka telah membiluk kedjurusan lain. Tjepat Tjui Sing berlari kedepan dan
berseru: “Piauko, Piauko! Aku berada disini, aku berada disini!”
Sungguh girang Ong Siau-hong
melebihi orang putus lotere 25 djuta ketika mendadak mendengar suara djawaban
sang Piauwmoay: “Piauwmoay, benar2 kau? Piauwmoay! Dimana kau? Piauwmoay!”
serunja pula.
“Aku berada disini, Piauko!”
sahut Tjui Sing.
Maka tertampaklah dari arah
timur-laut sana ada suatu orang sedang mendatangi setjepat terbang. Sambil
berlari orang itupun ber-teriak2: “Piaumoay! Piauwmoay!”
Mendadak orang itu jang tiada
lain adalah Ong Siau-hong ~ terpeleset hingga djatuh terbanting. Rupanja saking
girang demi mendengar suara Tjui Sing tadi, Siau-hong mendjadi lupa daratan dan
berlari terlalu napsu, maka sebelah kakinja telah kedjeblos kedalam satu lubang
hingga dia terdjungkal. Tapi begitu djatuh, segera ia melompat bangun untuk
kemudian lantas berlari pula.
Melihat sang Piauko tiba2
djatuh, Tjui Sing berteriak kaget dan kuatir, tjepat iapun berlari memapak
kedepan. Makin lama makin mendekat djarak kedua muda-mudi itu, sampai achirnja
keduanja lantas saling berpelukan dengan terharu.
Sudah lama nama mereka
terkenal sebagai “Leng-kiam-siang-hiap”, sepasang pendekar muda jang tersohor,
sedjak ketjil mereka berkumpul dan dibesarkan bersama, sudah tentu mereka
mendjadi girang tak terhingga dapat bertemu kembali sesudah mengalami
marabahaja jang penuh gemblengan itu.
Dari djauh Tik Hun dapat
menjaksikan djuga pelukan mesra antara Tjui Sing dan Ong Siau-hong itu. Aneh
djuga, entah mengapa timbul djuga sematjam perasaannja jang rada tjemburu.
Sebenarnja selamanja Tik Hun
takkan melupakan Djik Hong, meski dia sudah tinggal selama setengah tahun
dilembah bersaldju ini bersama Tjui Sing dan selama itu tidak pernah timbul
sesuatu perasaaan antara pria dan wanita. Tjuma sesudah tinggal bersama sekian
lamanja dan kini mesti berpisah, mau-tak-mau lantas timbul sematjam rasa berat.
Pikirnja kemudian: “Ja, biarlah dia ikut pulang bersama Piauwkonja, itulah
djalan paling baik, semoga ‘Leng-kiam-siang-hiap’ mereka hidup bahagia sampai
hari tua.”
Mendadak didengarnja suara
tangisan Ong Siau-hong, mungkin berduka ketika Tjui Sing memberitahu tentang
meninggalnja Tjui Tay.
Selang tak lama, tertampaklah
Tjui Sing putar balik ketempat gua sambil bergadengan tangan dengan Ong
Siau-hong. Dengan suara sesenggukan pemuda itu sedang berkata: “Sedjak ketjil
aku dibesarkan Kuku, sungguh aku sangat berduka atas wafatnja, terutama bila
teringat kebaikan Kuku jang selama ini menganggap aku sebagai putera sendiri.
Mendengar sang Piauko
menjinggung sang ajah, Tjui Sing mendjadi ikut sedih dan mentjutjurkan air mata
pula.
“Piauwmoay,” kata Siau-hong
dengan suara pelahan, “selandjutnja kita berdua tidak boleh berpisah lagi,
djanganlah kau berduka, selama hidup ini aku pasti akan mendjaga dirimu
se-baik2nja.”
Sedjak ketjil Tjui Sing memang
sudah sangat mentjintai sang Piauko, lebih2 sesudah berpisah sekian lamanja,
sesungguhnja siang-malam ia sangat merindukan pemuda pudjaannja itu. Kini
mendengar djandji san Piauko pula, keruan alangkah bahagia rasa hatinja.
Begitulah mereka berdjalan
berendeng kearah gua. Tapi setelah dekat, tiba2 Tjui Sing berhenti dan berkata:
“Piauko, marilah sekarang djuga kita pergi sadja dari sini, aku tidak ingin
melihat orang2 itu.”
“Sebab apa?” tanja Siau-hong
dengan heran. “Para paman dan kawan2 jang ikut mentjari kemari itu dengan tekad
bulat bertudjuan menjelamatkan dirimu, dengan tak kenal pajah mereka rela
menderita selama setengah tahun diluar lembah sana, sungguh rasa setia kawan
mereka itu harus dipudji dan dikagumi, masakah kau tidak mengutjapkan terima
kasih apa2 dan lantas tinggal pergi begini sadja?”
“Aku …….. aku sudah berterima
kasih kepada mereka,” udjar Tjui Sing dengan menunduk.
“Mereka ber-sama2 datang
kesini dari tempat djauh, kalau sekarang kitapun pulang setjara be-ramai2,
bukankah tjara ini lebih baik?” kata Siau-hong. Pula djenazah Kuku harus
dibojong kembali ketanah leluhur, andaikan dibiarkan bersemajam untuk selamanja
disini djuga kita mesti minta persetudjuan dulu dari para Lotjianpwe jang ikut
hadir itu. Dan bagaimanakah dengan Liok-pepek, Lau-totiang dan Hoa-pepek?”
“Marilah kita pergi dulu, nanti
akan kudjelaskan padamu.” Adjak Tjui Sing. “Hoa-pepek adalah manusia djahanam,
djangan kau suka pertjaja kepada obrolannja jang ngatjo!”
Biasanja Ong Siau-hong tidak
suka membangkang segala keinginan sang Piauwmoay, maka demi sigadis berkeras
adjak pergi, sebenarnja Siauw-hong sudah menjerah dan bermaksud menuruti
keinginan Tjui Sing. Tapi sebelum dia mendjawab, tiba2 dimulut gua sana seorang
telah menegur padanja: “Ong-hiantit, baru sekarang kau tiba? Marilah kesini!”
Itulah suara Hoa Tiat-kan.
Maka tjepat Siau-hong mendjawab: “Baik, Hoa-pepek!”
Keruan Tjui Sing mendjadi
kuatir, dengan membanting kaki ia berkata: “Djadi kau tidak mau turut lagi pada
omonganku?”
Sedjenak Siau-hong mendjadi
ragu2. Tapi segera terpikir olehnja: “Hoa-pepek adalah angkatan tua dari
Bu-lim, perintah orang tua mana boleh dibangkang? Apalagi para kawan jang telah
bantu mentjarikan Piauwmoay tanpa kenal lelah itu masih belum ditemui barang
sekedjap lantas kutinggal pergi tanpa pamit, hal ini sesungguhnja tidak pantas.
Piauwmoay masih bersifat kanak2, asal sebentar lagi aku menimangnja dan minta
maaf padanja, tentu dia takkan marah padaku.” ~ Maka tangan Tjui Sing lantas
digandengnja dan menudju kegua.
Tjui Sing tahu apa jang akan
dibitjarakan Hoa Tiat-kan nanti tentu takkan menguntungkan dirinja, tapi lantas
terpikir olehnja: “Aku sutji bersih dan tidak berdosa, biarpun mereka akan
mempitenah dan menjangka djelek padaku, kenapa aku mesti takut?” ~ Maka iapun
tidak membantah lagi dan ikut Ong Siau-hong menudju kegua, tjuma wadjahnja
mendjadi putjat [asi.
Setiba didepan gua, berkatalah
Hoa Tiat-kan. “Ong-hiantit, kebetulan kau sudah datang, Hiat-to-ok-tjeng sudah
kubunuh, tinggal seorang Siau-ok-tjeng jang berhasil lolos, marilah kita harus
menangkapnja lagi untuk dibinasakan. Siau-ok-tjeng itu adalah pembunuh Kukumu.”
“Sret”, mendadak Siau-hong
lolos pedangnja, sambil berteriak gusar. Sedjak ketjil ia dipelihara Tjui Tay,
budi kebaikan pendekar besar itu dirasakannja bagaikan orang tua sendiri, kini
mendengar pembunuhnja belum tertangkap, keruan ia mendjadi murka dan bertekad
akan mentjarinja. Dan begitu melolos pedang, segera ia berpaling kearah Tjui
Sing untuk melihat bagaimana sikap sang Piauwmoay.
Dibawah sinar obor jang
terang, terlihatlah air muka sang Piauwmoay jang sudah setengah tahun berpisah
itu dalam keadaan putjat pasi, hati Siau-hong mendjadi sedih dan kasihan. Tapi
dilihatnja pula gadis itu sedang menggeleng kepala pelahan atas tindakannja
melolos pedang itu. Tjepat Siau-hong menanja: “Kenapa, Piauwmoay?”
“Ajahku bukan dibunuh oleh
…….. oleh orang itu,” kata Tjui Sing.
Mendengar utjapan ini,
seketika orang2 jang sudah berkerumun itu mendjadi gusar. Kata mereka didalam
hati. “Sungguh perempuan rendah! Kami telah ikut berkorban bagimu, bahkan demi
nama baikmu dimasa hidup jang akan datang dan demi kehormatan Tjui-tayhiap kami
sengadja menutupi perbuatanmu jang tidak kenal malu dengan Siau-ok-tjeng itu,
tapi sampai sekarang kau masih membela paderi djahat ini, sungguh dosamu ini
tak berampun!”
Dilain pihak Ong Siau-hong
mendjadi heran demi melihat wadjah semua orang mengundjuk rasa gusar. Dasarnja
dia memang seorang pemuda tjerdik dan pintar, segera terpikir olehnja mengapa
Tjui Sing tadi tidak mau bertemu dengan orang2 ini dan sekarang orang2 inipun
bersikap memusuhi sang Piauwmoay, pasti dibalik kesemuanja ini terdapat rahasia
apa2.
Segera Siau-hong berkata:
“Piaumoay, marilah kita menurut maksud Hoa-pepek, lebih dulu kita tangkap
Siau-ok-tjeng itu untuk mentjatjahnja hingga hantjur lebur untuk menjembajangi
arwah Kuku. Dan djika masih ada urusan lain lagi, biarlah kita kesampingkan
untuk sementara ini.”
“Dia …… dia bukan
Siau-ok-tjeng,” kata Tjui Sing pula.
Siau-hong melengak dan
bingung. Dan ketika dilihatnja pula sikap semua orang mengundjuk djidjik dan
menghina pada sang Piauwmoay, kembali ia terkesiap, lapat2 ia merasa ada
sesuatu jang tidak beres didalamnja. Tapi ia tidak ingin lantas mengusut
rahasia apa jang disembunjikan itu, segera katanja pula dengan suara keras.
“Para paman, para saudara dan sobat2 baik, marilah sekali lagi mohon kalian
suka mentjurahkan sedikit tenaga untuk menjelesaikan urusan ini. Habis
Siau-ok-tjeng itu tertangkap, satu-persatu pasti aku orang she Ong akan
menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan kalian.” ~ Habis berkata, lebih
dulu ia lantas membungkuk untuk memberi hormat.
“Ja, marilah kita mentjari
Siau-ok-tjeng itu, kita harus bergerak setjepatnja agar paderi djahanam itu
tidak keburu melarikan diri lebih dulu!” seru semua orang be-ramai2. Berbareng
mereka lantas menerdjang keluar gua dengan ber-bondong2.
Maka hanja dalam sekedjap
sadja didalam gua itu mendjadi sepi tertinggal Tjui Sing dan Ong Siau-hong
berdua. Entah siapa jang membuang obornja didepan gua, sinar api obor jang
sebentar terang sebentar gelap itu membikin suasana didalam gua itu djadi
seram. Wadjah “Leng-kiam-siang-hiap” djuga sebentar terang sebentar gelap,
kedua muda-mudi berhadapan sambil tangan bergandeng tangan, banjak sekali isi
hati masing2, tapi entah tjara bagaimana mereka harus mulai bitjara.
Diam2 Tik Hun membantin:
“Kedua saudara misan telah bertemu kembali sesudah terpisah sekian lamanja,
tentu banjak kata-kata mesra jang ingin mereka utarakan, kalau aku ikut mendengarkan
disini rasanja tidaklah pantas.”
Dan selagi Tik Hun bermaksud
merajap pergi, tiba2 didengarnja suara tindakan dan dua orang sedang menudju
ketempat sembunyinja itu. Terdengar seorang diantaranja sedang berkata: “Tjoba
kau mentjari kearah sana, aku akan mentjari dari sebelah sini, sesudah satu
keliling, nanti kita bertemu kembali disini.”
“Baik,” sahut seorang lain
“Eh, disekitar sini banjak bekas tapak kaki, mungkin Siau-ok-tjeng itu
bersembunji disekitar sini, kita harus hati2 mentjarinja!”
“He, Lau Song,” tiba2 orang
jang pertama berkata pula dengan menahan suara: “Nona Tjui itu tjantik molek,
selama setengah tahun ini, sungguh redjeki Siau-ok-tjeng itu bukan main
besarnja setiap hari dilajani seorang gadis djelita seperti nona Tjui!”
“Hahaha! Memang benar!”
demikian sahut kawannja dengan ter-bahak2. “Pantas orang she Ong itu tidak
pikirkan hal itu dan rela menerima ‘barang bekas’. Habis susah sih mentjari
gadis setjantik itu.”
Begitulah kedua orang itu
sambil berkelakar dan ter-bahak2 lalu terpentjar untuk mentjari “Siau-ok-tjeng”
alias Tik Hun.
Rupanja mereka tidak tahu
bahwa Ong Siau-hong dan Tjui Sing masih berada didalam gua, mereka mengira
bahwa muda-mudi itu tentu sudah ikut keluar gua untuk mentjari musuh, maka
tjara bitjara mereka mendjadi tidak tedeng aling2 hingga pembitjaraan jang
tidak sedap itu dapat didengar semua oleh Siau-hong dan Tjui Sing.
Sudah tentu Tik Hun ikut
mendengar semua pembitjaraan kedua orang tadi, diam2 ia merasa pedih bagi kedua
muda-mudi jang didjadikan bulan2an itu, pikirnja: “Hoa Tiat-kan itu benar2 maha
djahanam, dia sengadja mengarang tjerita2 kotor jang tidak benar itu untuk
merusak nama baik nona Tjui, apa paedahnja sih baginja?”
Ketika ia mengintip lagi
kedalam gua, ia melihat Tjui Sing sedang mundur2 kebelakang dengan wadjah
putjat dan badan gemetar, katanja dengan suara ter-putus2: “Piau …… Piauko,
djangan kau pertjaja pada ……pada omongan mereka jang ngatjo-belo!”
Siau-hong tidak mendjawab,
tapi mukanja tampak ber-kerut2 menahan perasaan. Terang utjapan kedua orang
tadi se-akan2 ular berbisa jang telah memagut lubuk hatinja. Selama setengah
tahun ini dia menanti diluar lembah bersaldju itu, siang-malam selalu terpikir
djuga olehnja: “Piauwmoay berada ditjengkeram kedua paderi tjabul itu, rasanja
sulitlah baginja untuk mempertahankan kesutjian badannja. Asal djiwanja tidak
terganggu, rasaku sudah puas dan berterima kasih kepada langit dan bumi.”
Akan tetapi tiada manusiapun
jang mempunjai batas rasa puas. Djika dulu ia berpikir begitu, adalah sekarang
sesudah bertemu kembali dengan Tjui Sing, ia berharap pula agar gadis itu dapat
mendjaga diri tetap dalam keadaan sutji bersih. Dan demi mendengar pertjakapan
kedua orang tadi, diam2 ia memikir: “setiap orang Kangouw sudah mengetahui
peristiwa ini, sebagai seorang laki2 sedjati, aku Ong Siau-hong masakah terima
dibuat tertawaan orang?”
Tapi demi nampak keadaan Tjui
Sing jang harus dikasihani itu, kembali hatinja lemas lagi, ia menghela napas
sambil menggeleng kepala, katanja kemudian: “Sudahlah, mari kita pergi,
Piauwmoay!”
“Tapi kau pertjaja tidak
kepada utjapan orang2 itu?” tanja Tjui Sing.
“Kata2 iseng orang luar jang
tak keruan itu buat apa mesti digubris?” sahut Siau-hong.
“Tapi, kau pertjaja tidak?”
Tjui Sing menegas pula sembari gigit bibir sendiri.
Siau-hong ter-mangu2 sedjenak,
kemudian ia menjahut: “Baiklah, aku takkan pertjaja!”
“Tapi didalam hati kau masih
ragu2, bukan? Kau pertjaja penuh omongan mereka, bukan?” kata Tjui Sing. Dan
sesudah merandek sedjenak, kemudian sambungnja pula. “Sudahlah, selandjutnja
kau tidak perlu bertemu dengan aku lagi, anggaplah aku sudah mati didalam
lembah bersaldju ini.”
“Ai, Piauwmoay, kenapa kau
berkata demikian,” sahut Siau-hong.
Sungguh pedih sekali rasa hati
Tjui Sing, air matanja lantas bertjutjuran. Jang dipikirnja sekarang hanja
selekasnja dapat meninggalkan lembah saldju itu dan meninggalkan orang banjak,
ia ingin menjingkir kesuatu tempat jang tak dikenalnja, suatu tempat jang djauh
dari manusia. Segera ia angkat kaki dan berlari keluar gua, tapi baru ia
melangkah keluar gua, tanpa merasa ia menoleh kepodjok dalam gua itu.
Selama setengah tahun ini
dipodjok gua itu dia berteduh siang dan malam, meski tiada suatu alat perabot
apa2, tapi dasarnja gadis itu memang radjin dan suka akan kebersihan, maka
banjak djuga barang keradjinan tangan jang telah dibuatnja dari bulu burung
seperti tikar, kasur dan sebagainja. Kini mendekati detik akan berpisah dengan
barang2 jang berdampingan selama setengah tahun dengan dirinja itu, betapapun
ia merasa berat djuga.
Tiba2 terlihat olehnja mantel
bulu jang pernah dihadiahkannja kepada Tik Hun dahulu itu. Hatinja tergerak
segera dan teringat kepada pemuda itu: “Orang itu bergembar-gembor katanja dia
adalah paderi tjabul dan bertekad akan membunuhnja. Pabila dia diketemukan
mereka, dalam keadaan satu lawan musuh sebanjak itu, apakah dia sanggup
menjelamatkan diri?”
Tanpa merasa ia putar balik
ketempat tidurnja itu, ia ambil mantel bulu itu dan dipandangnja dengan
ter-mangu2 hingga sekian lamanja.
Melihat badju bulu itu
terletak ditempat Tjiu Sing, sedangkan badju itu tampak tjukup longgar dan
besar, bentuknja adalah mantel orang laki2, mau-tak-mau Siau-hong mendjadi
tjuriga. Segera ia menanja: “Badju apakah itu?”
“Badju bulu jang kubuat
sendiri,” sahut Tjui Sing.
“Apakah untuk kau pakai
sendiri?” Siau-hong menegas.
Hampir2 Tjui Sing ketelandjur
mendjawab bukan, tapi segera ia merasa tidak tepat djawaban itu, ia mendjadi
ragu2 hingga tidak menjahut.
“Bentuknja seperti badju
lelaki?” tanja Siau-hong pula, suaranja bertambah kaku, suatu tanda hatinja
dirangsang rasa gusar.
Tjui Sing mengangguk tanpa
mendjawab.
“Kau jang bikin untuk dia?”
tanja Siau-hong lagi.
Kembali Tjui Sing mengangguk.
Siau-hong mengambil badju bulu
itu dan memeriksanja sedjenak, lalu katanja: “Ehm, bagus sekali buatanmu ini.”
“Piauko,” tiba2 Tjui Sing
membuka suara, “djanganlah kau memikir jang tidak2, dia dan aku tiada ……. tiada
……….” ~ ia tidak melandjutkan utjapannja demi melihat sorot mata Siau-hong
mengundjuk sesuatu sikap jang aneh.
Mendadak Siau-hong membanting
badju bulu itu ketempat tidur Tjui Sing sambil berkata dengan nada mengedjek:
“Hm, badjunja mengapa berada ditempat tidurmu?”
Seketika Tjui Sing merasa
hampa, sungguh tak tersangka olehnja sang Piauko jang biasanja menjandjung
pudja padanja itu kini mendadak bisa berubah begitu kasar dan mendjemukan.
Dalam dongkolnja iapun tidak sudi banjak memberi pendjelasan lagi, pikirnja:
“Ja, sudahlah, djika kau bertjuriga dan menuduh aku berbuat serong, bolehlah
kau bertjuriga dan menuduh sesukamu, buat apa aku mesti memohon belas kasihanmu
untuk memahami penasaranku?”
Dari tempat sembunjinja Tik
Hun dapat mengikuti keadaan didalam gua itu dengan djelas, ia melihat Tjui Sing
menanggung penasaran karena disangka menjeleweng dari garis2 kesusilaan, air
muka gadis itu tampak sangat tjemas dan sedih, diam2 Tik Hun ikut merasa tidak
enak, pikirnja: “Aku Tik Hun sudah biasa didakwa dan dipitenah orang setjara
se-mena2, bagiku hal2 itu tidak mendjadi soal. Tapi nona Tjui, seorang lemah
lembut jang tak berdosa, mana boleh dia dibiarkan menanggung tuduhan jang tak
benar itu?”
Berpikir begitu, djiwa
kesatria Tik Hun seketika terbangkit, meski dia tjukup tahu dirinja sedang
ditjari ber-puluh2 djago silat Tionggoan diluar gua sana, kalau kepergok
mereka, pasti djiwanja tak mungkin diampuni. Tapi ia tidak dapat berpikir
pandjang lagi, sekali lompat segera ia menjusup kedalam gua lagi dan berseru:
“Ong Siau-hong, salah besar apa jang telah kau pikir itu!”
Tjui Sing dan Siau-hong
terkedjut semua ketika mendadak nampak seorang menerobos kedalam gua. Kini Tik
Hun tidak gundul lagi seperti dulu, rambutnja sudah panjang kembali, sesudah
memperhatikan sedjenak barulah Ong Siau-hong dapat mengenalnja. Tjepat ia lolos
pedangnja, tangan lain lantas dorong mundur Tjui Sing, dengan pedang siap melintang
didepan dada, sedapat mungkin ia tenangkan diri untuk menghadapi musuh.
“Kedatanganku ini bukan untuk
mengadjak berkelahi padamu,” kata Tik Hun. “Aku ingin mengatakan padamu, nona
Tjui adalah seorang gadis jang sutji bersih, seorang perawan ‘ting-ting’, djika
kau memperisterikan dia, sungguh redjekimu tak terperikan besarnja. Maka
djangan kau sembarangan berprasangka atas dirinja.”
Sungguh sama sekali Tjui Sing
tidak menjangka bahwa didalam saat demikian itu mendadak Tik Hun bisa tampil
kemuka tanpa mengenal bahaja jang akan mengantjam padanja, hanja demi untuk
membuktikan kebersihan Tjui Sing jang dituduh setjara kotor oleh orang banjak
itu. Sungguh rasa terima kasih Tjui Sing tak terhingga dan berkuatir pula, maka
segera katanja: “Lekas ……. lekas kau pergi sadja dari sini, semua orang ingin
membunuh kau, disini terlalu bahaja bagimu.”
“Aku tahu, tapi aku harus
mendjelaskan urusan ini kepada Ong-siauhiap, pertjajalah padaku, nona Tjui
adalah seorang gadis sutji bersih, djangan ……. djangan kau sembarangan
mempitenah dia.”
Dasarnja Tik Hun memang tidak
pandai bitjara, biarpun sesuatu urusan biasa sadja djuga susah berbitjara
setjara terang, apalagi urusan sekarang ini adalah sesuatu jang rumit dan
penting hingga apa jang dikatakan itu ternjata belum melenjapkan rasa
tjuriganja Ong Siau-hong.
Sudahlah, lekas kau pergi
sadja! Terima kasih atas maksud baikmu, biarlah kubalas padamu didjelmaan hidup
jang akan datang,” demikian kata Tjui Sing dengan terharu. “Nah, lekaslah kau
pergi dari sini, mereka ingin membunuh kau ……..”
Mendengar utjapan Tjui Sing
jang penuh memperhatikan keselamatan “Siau-ok-tjeng” itu, rasa tjemburu
Siau-hong mendjadi ber-kobar2. Bentaknja mendadak: “Rasakan pedangku!” ~
Berbareng itu pedangnja terus menusuk kedada Tik Hun.
Meski serangan itu dilakukan
dengan sangat tjepat dan teramat lihay, tapi Tik Hun sekarang sudah bukan Tik
Hun dulu lagi. Kini Tik Hun telah memiliki ilmu2 silat kelas wahid
“Sin-tjiau-kang” dan “Hiat-to-bun” sekaligus, dengan kedua matjam ilmu sakti
dari dua aliran jang berbeda itu, biarpun sekarang Ting Tian dan Hiat-to Lotjo
hidup kembali djuga belum tentu mampu menandinginja.
Ketika melihat serangan Ong
Siau-hong tiba, sedikit Tik Hun mengegos sadja dapatlah ia menghindarkan
tusukan itu. Katanja: “Aku tidak ingin bergebrak dengan kau. Tapi aku mengharap
engkau suka mengambil nona Tjui sebagai isteri, djanganlah bertjuriga
sedikitpun atas kesutjiannja, dia …. dia adalah seorang nona jang baik.”
Diwaktu Tik Hun bitjara,
susul-menjusul Ong Siau-hong sudah melantjarkan serangan2 pula setjara gentjar.
Tapi seperti tidak terdjadi apa2 sadja Tik Hun dapat berkelit kian kemari
dengan mudah. Diam2 Tik Hun heran: “Aneh, ilmu silat orang ini dahulu sangat bagus,
mengapa selama setengah tahun ini dia tiada kemadjuan, sebaliknja mundur
malah?”
Rupanja ia salah sangka,
bukanlah ilmu pedang Ong Siau-hong tiada kemadjuan, tapi dia sendirilah jang
selama ini ilmu silatnja telah madju pesat. Padahal Ong Siau-hong tjuma
tergolong djago kelas dua atau tiga dikalangan Bu-lim, sebaliknja Tik Hun
sekarang sudah memiliki dua matjam ilmu silat dari dua aliran Tjing dan Sia
jang hebat, ketjuali pengalaman kurang dan praktek menghadapi musuh masih harus
ditambah, tapi dalam hal ilmu silat sedjati kini dia boleh dikata sudah
tergolong kelas tertinggi jang djarang ada tandingannja.
Maka sia2 sadja Ong Siau-hong
menjerang ber-ulang2, setiap tusukannja selalu dapat dihindarkan Tik Hun
seperti tiada terdjadi apa2 sadja. Keruan Siau-hong bertambah murka, ia
menjerang makin gentjar dan tjepat.
“Ong-siauhiap,” kata Tik Hun,
“asal kau berdjandji takkan mentjurigai nona Tjui dan aku segera akan pergi
dari sini. Kawan2mu itu akan membunuh diriku, aku tidak boleh tinggal terlalu
lama disini.” ~ Sembari bitjara, tetap ia menghindarkan serangan2 Siau-hong
dengan seenaknja sadja.
Dalam murkanja, permainan
Kiam-hoat Ong Siau-hong semakin lama semakin tjepat. Dalam hal Ginkang Tik Hun
memang belum mentjapai tingkatan jang sempurna, maka lambat-laun ia mendjadi
kewalahan djuga menghadapi serangan pedang jang terlalu gentjar itu. Mendadak
ia intjar batang pedang lawan, sekali djarinja menjentil, “trang”, kontan Ong
Siau-hong merasa genggamannja kesakitan, pegangannja mendjadi kendur, pedang terlepas
dari tangan dan djatuh ketanah.
Segera Siau-hong bermaksud
mendjemput kembali sendjatanja itu, diluar dugaan Tik Hun terus melangkah madju
dan mendorong pundaknja. Dorongan itu sebenarnja tidak keras, tak terduga
Siau-hong tak sanggup lagi bertahan ia terdorong djatuh hingga terguling2
kebelakang, “bluk”, tubuhnja tertumbuk didinding gua dengan keras.
Dasar hati Tjui Sing memang
badjik, apalagi sedjak ketjil sudah bergaul dengan baik dengan sang Piauko,
kini melihat Siau-hong terdjungkal sedemikian berat, lekas2 ia memburu madju
untuk membangunkannja.
Sebaliknja Tik Hun mendjadi
melongo dan terpatung ditempatnja, sungguh bukan maksudnja hendak mendorong
djatuh Ong Siau-hong, sebenarnja ia tjuma bertudjuan mentjegah agar pemuda itu
tidak djemput kembali pedangnja, siapa duga begitu Ong Siau-hong terbentur oleh
tenaganja, kontan sadja terpental begitu berat seperti anak ketjil bertabrakan
dengan manusia raksasa.
“Ma …… maaf, aku tidak
sengadja!” kata Tik Hun kemudian sambil melangkah madju.
Sementara itu Tjui Sing sedang
menarik lengan kanan Siau-hong sambil bertanja: “Piauko, tidak apa2, bukan?”
Gusar dan tjemburu Ong
Siau-hong tak tertahankan lagi, ia anggap Tjui Sing telah tjondong kepihak Tik
Hun, sesudah dirinja dihadjar kini sengadja hendak menjindir padanja. Maka
tanpa mendjawab terus sadja tangan kirinja menampar, “plok”, tepat pipi Tjui
Sing kena digampar sekali. “Enjahlah!” bentak Siau-hong.
Keruan Tjui Sing terkedjut,
sungguh tak tersangka olehnja bahwa sang Piauko jang biasanja ramah-tamah dan
suka merendah padanja itu kini bisa memukul padanja. Seketika Tjui Sing
mendjadi ter-longong2 malah sambil me-raba2 pipi jang digampar itu.
Sebaliknja Tik Hun mendjadi
gusar, bentaknja: “Tanpa sebab apa2, mengapa kau memukul orang?”
Pada saat itulah dari luar gua
lantas terdengar suara orang ber-lari2 mendatangi dan beberapa diantaranja
lantas ber-teriak2: “He, didalam gua ada suara orang bertengkar, lekas periksa
kedalam situ, djangan2 Siau-ok-tjeng itu bersembunji didalam gua?”
Tjepat Tjui Sing berkata
kepada Tik Hun: “Lekas kau pergi sadja, aku … sangat berterima kasih kepada
maksud baikmu.”
Untuk sedjenak Tik Hun
memandang Tjui Sing, lalu pandang Ong Siau-hong pula, kemudian djawabnja:
“Baiklah, aku akan pergi sadja!” ~ segera ia putar tubuh dan bertindak keluar
gua.
Se-konjong2 Ong Siau-hong
terus ber-teriak2” “Siau-ok-tjeng itu berada disini! Paderi tjabul itu berada
disini! Lekas tjegat pintu gua, djangan sampai dia lolos!”
“Piauko,” seru Tjui Sing
dengan kuatir, “tjaramu ini bukankah akan bikin susah pada orang baik?”
Tapi bukannja berhenti,
sebaliknja Ong Siau-hong berteriak lebih keras lagi: “Lekas tjegat pintu gua,
lekas! Siau-ok-tjeng akan lari!”
Mendengar suara itu, segera
beberapa orang diluar gua sana terus memburu madju untuk menghadang dimulut gua
agar Tik Hun tidak dapat lolos.
Dan begitu melihat Tik Hun
sedang mendatangi dengan langkah lebar, salah seorang pentjegat itu lantas
menggertak: “Hendak lari kemana!” ~ berbareng goloknja terus membatjok keatas
kepala Tik Hun.
Namun sedikit Tik Hun
mengegos, luputlah serangan itu, bahkan ketika Tik Hun tolak kedada orang itu
terus didorong pergi, kontan orang itu terpental keluar hingga tiga orang
kawannja jang berdiri dibelakangnja ikut terseruduk, sekaligus empat orang itu
terdjungkal bersama dengan kepala dan muka bendjut karena saling bentur.
Dan ditengah bentakan dan
makian orang2 itulah dengan tjepat Tik Hun lantas menerobos keluar gua.
Rupanja suara ribut2 itu telah
didengar djuga oleh djago2 Tionggoan jang lain hingga be-ramai2 mereka memburu
datang dari berbagai djurusan. Namun Tik Hun sudah melarikan diri tjukup djauh.
Segera ada tudjuh-delapan djago kelas tinggi menguber kearahnja. Tapi Tik Hun
tidak ingin bertempur dengan mereka, ia pilih termpat semak2 rumput jang lebat
untuk bersembunji, ditengah malam buta, djedjaknja takbisa diketemukan lagi
oleh pengedjar2 itu.
Karena mengira Tik Hun telah
lari keluar lembah saldju itu, ber-bondong2 para djago Tionggoan itu lantas
ikut mengedjar keluar lembah. Dari tempat sembunjinja Tik Hun dapat menjaksikan
kepergian orang2 itu, ia melihat Ong Siau-hong dan Tjui Sing berdjalan paling
belakang, meski djarak kedua muda-mudi itu terpisah agak djauh, tapi arah jang
mereka tudju adalah sama, makin djauh hingga achirnja bajangan merekapun lenjap
dibalik bukit.
Hanja sebentar sadja lembah
saldju jang tadinja riuh ramai oleh berisik manusia itu kini telah berubah
mendjadi sunji senjap.
Para djago Tionggoan itu sudah
pergi semua, Hoa Tiat-kan djuga tiada lagi, Tjui Sing pun sudah berangkat,
hanja tinggal Tik Hun seorang diri. Ia tjoba mendongak, sampai elang pemakan
bangkai jang biasanja suka ber-putar2 diangkasa itupun sekarang tak tertampak
lagi.
Suasana benar2 hening sepi,
sekarang Tik Hun benar2 merasakan keadaan jang sebatangkara ………….
Tik Hun tinggal pula setengah
bulan dilembah saldju itu. Lwekang dan To-hoat jang diperolehnja dari
“Hiat-to-keng” itu telah dilatihnja hingga masak dan sempurna betul, rasanja
sudah tak mungkin akan lupa, lalu ia membakar “Hiat-to-keng” itu, ia taburkan
abu kitab pusaka Hiat-to-bun itu diatas kuburan Hiat-to Lotjo.
“Sudah saatnja kini aku harus
berangkat!” demikian pikirnja. “Ehm, badju bulu burung ini tidak perlu kubawa,
biarlah kalau segala urusan sudah kubereskan, segera aku akan kembali kelembah
bersaldju jang selamanja tiada ditinggali manusia ini, selama hidupku biarlah
kulewatkan disini. Hati manusia didjagat ini terlalu kedjam dan tjulas, aku
tidak sanggup menghadapinja!”
Begitulah Tik Hun lantas
meninggalkan lembah itu dan menudju kearah timur.
Tudjuannja jang pertama jalah
pulang kekampung halaman sang guru ~ Djik Tiang-hoat ~ jang berada di Oulam
itu. Ia ingin tahu bagaimana keadaan orang tua jang sudah berpisah sekian
lamanja itu. Sedjak ketjil Tik Hun sudah jatim-piatu, ia dibesarkan oleh
gurunja itu, maka melulu sang guru itulah merupakan pamili satu2nja didunia
ini. Walaupun perasaannja kepada Suhunja sekarang sudah djauh berbeda daripada
waktu dahulu, tapi ia harus mentjari tahu dan menjelidikinja hingga djelas.
Dari wilajah Tibet menudju ke
Oulam harus melalui Sutjwan. Tik Hun pikir bila ditengah djalan kepergok pula
dengan djago2 Tionggoan itu, tentu tak terhindar dari suatu pertarungan sengit,
padahal dirinja dengan mereka toh tiada punja permusuhan dan sakit hati apa2,
kenapa mesti terdjadi pula pertarungan jang tidak bermanfaat itu? Adapun
sebab-musabab daripada apa jang terdjadi dahulu hakikatnja tjuma salah paham
belaka, jaitu gara2 ia mebubut rambutnja sendiri hingga pelontos, lalu disangka
sebagai Siau-ok-tjeng dari Hiat-to-bun jang djahat itu.
Karena itulah, untuk
menghindari kesulitan2 ditengah djalan, ia lantas menjamar sedikit, ia gosok
muka sendiri dengan hangus kuali hingga kelihatan kotor dan hitam mirip seorang
pengemis dekil, lalu melandjutkan perdjalanan ketimur. Benar djuga ditengah
djalan terkadang bertemu dengan djago2 jang pernah ikut menguber dirinja itu,
tapi mereka tiada jang dapat mengenalnja, bahkan tidak memperhatikannja.
Kira2 lebih 20 hari, achirnja
sampailah Tik Hun dikampung halamannja, jaitu di Moa-keh-po dipropinsi Oulam
barat.
Tatkala itu hawa udara sudah
sangat panas, ia melihat tanaman sawah-ladang menghidjau permai. Semakin dekat
dengan kampung halamannja, semakin banjak perasaan2 jang berketjamuk dalam
benaknja, pelahan2 mukanja terasa panas, debaran hatinja djuga makin keras.
Ia terus menjusuri djalan
pegunungan jang sudah biasa dilaluinja diwaktu muda dahulu, achirnja tibalah
dia dirumah tinggalnja jang lama. Ketika ia memandang, mau-tak-mau ia mendjadi
kaget, hampir2 ia tidak pertjaja pada matanja sendiri.
Ternjata ditepi kali dibawah
pohon Liu jang rindang, dimana dulu berdiri tiga petak rumah ketjil gurunja itu
kini telah berubah mendjadi sebuah gedung jang megah, gedung itu berdinding
putih dan bergenting hitam mengkilap. Gedung itu sedikitnja tiga kali lebih
besar daripada rumah2 ketjil semula itu. Kalau dipandang lebih tjermat,
bangunan gedung itu walaupun tidak terlalu indah, bahkan seperti dibangun
setjara ter-gesa2, tapi kemegahannja sudah bolehlah.
Sungguh kedjut dan girang
sekali Tik Hun, ia tjoba memeriksa sekeliling situ, ia memang tidak salah lagi,
itulah kampung halamannja dimana ia telah dibesarkan. Pikirnja: “Sungguh sangat
hebat, rupanja Suhu telah mendjadi orang kaja mendadak, makanja pulang kampung
dan bangun gedung.”
Saking girangnja, tanpa pikir
lagi Tik Hun terus berteriak: “Suhu!”
Tapi baru memanggil sekali,
segera ia tutup mulut pula. Pikirnja: “Keadaanku jang mirip pengemis ini
mungkin akan membikin Suhu kurang senang, biarlah aku tidak bersuara dulu untuk
melihat gelagat sadja.”
Tengah ia memikir,
tertampaklah dari dalam gedung itu muntjul seorang, dengan melirik orang itu
mengamat-amati Tik Hun, sikapnja penuh menghina dan memandang djidjik. Tegurnja
kemudian: “Kau mau apa?”
Tik Hun melihat orang itu
memakai kopiah miring, badannja kotor penuh debu pasir, sangat tidak sesuai
dengan gedung jang megah itu. Dari sikapnja jang garang itu, Tik Hun menduga
orang mungkin adalah mandor tukang batu dan sebagainja. Maka djawabnja: “Tolong
tanja, Pak Mandor, apakah Djik-suhu ada dirumah?”
“Djik-suhu atau Djak-suhu apa?
Entah, tidak kenal!” sahut orang itu sambil melirik.
Keruan Tik Hun melengak,
tanjanja pula: “Bukankah tuan rumah disini she Djik?”
“Untuk apa kau tanja tuan
rumah segala?” demikian orang itu berbalik menanja. “Apa kau ingin minta
sedekah padanja? Kalau mau mengemis sadja kau tidak perlu tjari tahu siapa tuan
rumah segala. Sekali kukatakan tidak ada ja tetap tidak ada. Hajo, pengemis
bau, lekas enjah, lekas!”
Djauh2 Tik Hun sengadja datang
buat mentjari Suhu jang sudah berpisah sekian lamanja itu, sudah tentu ia tidak
rela pergi begitu sadja hanja mendapat djawaban jang tidak memuaskan itu. Maka
ia berkata pula: “Kedatanganku bukan untuk minta2, aku ingin mentjari
keterangan padamu, dahulu jang tinggal disini adalah orang she Djik, entah
sekarang beliau apakah masih tinggal disini atau tidak!”
“Dasar pengemis jang tjerewet,
sudah kukatakan Tauke disini bukan orang she Djik atau she Djok segala, hajolah
lekas pergi kelain tempat sadja!” sahut orang itu dengan mendjengek.
Tengah mereka bitjara,
sementara itu keluar lagi seorang dari dalam gedung itu. Orang ini memakai
kopiah tile, pakaiannja bersih dan radjin, dandanannja mirip seorang Koan-keh
(pengurus rumah tangga) keluarga hartawan. Dengan lenggang kangkung Koan-keh
itu berdjalan keluar, segera ia menegur dengan tertawa: “He, Lau Peng, kau
bergembar-gembor lagi ribut mutut dengan siapa?”
“Itu dia, pengemis dekil
seperti itu sedjak tadi tjerewet sadja disini, kalau mau minta sedekah mestinja
bitjara terus terang sadja, tapi dia mentjari tahu siapa nama Tauke kita
segala,” demikian simandor jang dipanggil Lau Peng itu mendjawab.
Mendengar keterangan itu, air
muka Koan-keh itu rada berubah, ia mengamat-amati Tik Hun sedjenak, lalu
berkata: “Eh, sobat, ada apakah kau mentjari tahu nama Tauke disini?”
Djika Tik Hun beberapa tahun
jang lalu tentu akan terus terang mendjawab maksud tudjuannja. Akan tetapi
lain-dulu-lain-sekarang, Tik Hun sekarang sudah bertambah tjerdik, sudah
kenjang pahit getir jang dialaminja didunia Kangouw, kepalsuan manusia umumnja
sudah tjukup dikenalnja. Kini melihat si Koan-keh itu bertanja dengan sorot
mata jang penuh sangsi dan tjuriga, diam2 Tik Hun membatin: “Biarlah djangan
kukatakan terus terang, aku harus mentjari keterangan lebih djauh dengan sabar,
bukan mustahil dibalik urusan ini ada sesuatu jang gandjil.”
Karena pikiran itu, maka ia
mendjawab: “Ah, tiada apa2, aku ingin tahu she Tauke disini, perlunja agar aku
dapat berseru memanggilnja agar sudi memberi sedekah padaku. Ap....... apakah
engkau ini adalah Tauke sendiri?”
Begitulah Tik Hun sengadja
berlagak pilon dan pura2 bodoh supaja tidak menimbulkan tjuriga orang.
Benar djuga Koan-keh itu
lantas ter-bahak2. Meski ia merasa Tik Hun itu terlalu tolol, tapi ia disangka
sebagai Taukenja, mau-tak-mau ia merasa senang djuga hingga timbul rasa sukanja
kepada sibotjah tolol itu. Segera katanja: “Aku bukan Tauke disini. He, botjah
tolol, mengapa kau sangka aku sebagai Tauke?”
“Habis, engkau........ engkau
sangat gagah dan berwibawa, engkau mempunjai potongan Tauke besar,” sahut Tik
Hun sengadja mengumpak.
Keruan Koan-keh itu bertambah
senang, katanja dengan tertawa: “Botjah tolol, djika kelak aku Lau Ko benar2
mendjadi Tauke, pasti aku akan memberi persen padamu. He, anak tolol, kulihat
badanmu kekar dan tenagamu kuat, mengapa tidak tjari kerdja jang benar, tapi
malah mendjadi pengemis.”
“Habis tiada jang suka memberi
pekerdjaan padaku,” sahut Tik Hun. “Eh, Tauke, sukalah kau memberi sedekah
sesuap nasi padaku?”
Koan-keh itu ter-pingkal2
saking geli, mendadak ia gablok pundak simandor Peng tadi dan berkata: “Tjoba
kau dengar, ber-ulang2 ia memanggil aku sebagai Tauke. Kalau aku tidak memberi
persen sesuap nasi djuga tidak pantas rasanja. Lau Peng, bolehlah kau suruh dia
ikut gali tanah dan memikul, berikan upah sekedar padanja.”
“Baiklah, apa jang kau orang
tua kehendaki tentu kulaksanakan,” sahut simandor she Peng itu.
Dari logat bitjara mereka itu
Tik Hun dapat mengenali mandor she Peng itu adalah penduduk setempat,
sebaliknja Koan-keh she Ko itu berlogat orang utara. Tapi ia pura2 tidak tahu,
dengan penuh hormat ia berkata: “Terima kasih, Tauke besar dan Tauke ketjil!”
“Kurangadjar, sembarangan
omong!” maki simandor Peng dengan tertawa.
Sedang si Koan-keh she Ko itu
semakin ter-pingkal2. “Hahaha, aku dipanggil sebagai Tauke besar dan kau adalah
Tauke ketjil, bukankah......... bukankah kau disangka sebagai puteraku?” katanja
dengan ter-engah2.
Mandor Peng geli2 dongkol,
segera ia djewer telinga Tik Hun, katanja dengan tertawa: “Sudahlah, masuk
kesana! Makan dulu jang kenjang, nanti malam mulai melembur.”
Tanpa membangkang sedikit Tik
Hun ikut masuk kedalam gedung itu, dalam hati ia merasa heran: “Aneh, mengapa
kerdja lembur diwaktu malam?”
Sesudah masuk kedalam dan
menjusur suatu serambi samping, tiba2 Tik Hun terkedjut, hampir2 ia tidak
pertjaja pada matanja sendiri.
Ternjata ditengah gedung itu
sedang digali suatu lubang jang sangat dalam dan lebar, begitu lebar lubang itu
hingga pinggir lubang itu hampir mepet dengan dinding disekelilingnja, hanja
tertinggal satu djalan jang sempit untuk orang berlalu. Didalam lubang tanah
itu tertampak penuh menggeletak alat2 gali sebangsa patjul, sekop, kerandjang,
pikulan dan sebagainja. Terang bahwa lubang itu belum selesai digali dan masih
dikerdjakan. Kalau melihat gedung semegah itu dari luar, sungguh siapapun tiada
jang menjangka bahwa didalam rumah terdapat suatu lubang galian jang begitu
besar.
“He, botjah tolol, apa jang
kau lihat disini dilarang kau tjeritakan pada orang luar, tahu?” kata simandor
Peng tiba2.
“Ja, ja! Aku tahu,” demikian
sahut Tik Hun tjepat. “Tentu disini Hongsui-nja sangat bagus, tuan rumah ingin
mengubur disini, maka orang luar tidak boleh mengetahuinja.”
“Benar, ha, sitolol ternjata
pintar djuga,” demikian kata simandor. “Marilah ikut aku kebelakang untuk
makan.”
Sesudah makan se-kenjang2nja
didapur, simandor suruh Tik Hun mengaso dan menunggu diserambi belakang itu dan
dipesan djangan sembarangan kelujuran. Tik Hun mengiakan perintah itu, tapi
didalam hati ia semakin tjuriga.
Ia melihat didalam rumah itu
tiada sesuatu perabotan jang baik, segala perlengkapan sangat sederhana, bahkan
dapur itu tiada dibuat tungku permanen, tapi tjuma sebuah tungku darurat jang
ditumpuk dengan batu bata sadja dan diatas tungku darurat itu tertaruh sebuah
kuali besi. Medja kursi jang ada djuga sangat kasar, sama sekali tidak sesuai
dengan gedung jang megah itu.
Waktu magrib, didapur umum itu
penuh ber-djubel2 orang, semuanja adalah orang desa setempat jang masih muda
dan kuat. Be-ramai2 mereka asjik makan-minum dengan gembira. Tanpa sungkan2 Tik
Hun ikut makan bersama orang banjak itu, ia bitjara dengan logat daerah setempat
jang tulen, dengan sendirinja si Koan-keh she Ko dan mandor Peng tidak menaruh
tjuriga apa2, mereka menjangka Tik Hun adalah satu pemuda gelandangan setempat
jang tidak punja pekerdjaan apa2.
Selesai makan, mandor Peng
lantas membawa orang2 itu keruangan tengah jang terdapat lubang galian itu,
segera ia mengutjapkan kata permbukaan: “Saudara2 sekalian, hendaklah kalian
menggali sepenuh tenaga, mudah2an malam ini ada redjeki, pabila ada jang
berhasil menggali sesuatu benda, baik berupa buku, kertas, maupun sebangsa
mangkok-piring dan sebagainja, tentu kalian akan mendapat hadiah jang pantas.”
Maka be-ramai2 para kuli itu
telah mengiakan, segera terdengarlah suara riuh dari bekerdjanja patjul dan
sekop jang menggali tanah.
“Huh, sudah menggali selama dua
bulan, tapi ada benda mestika apa jang diketemukan? Benar2 orang jang menjuruh
kita ini sudah gila harta dan lupa daratan,” demikian seorang penggali jang
tidak djauh disebelah Tik Hun itu mendadak menggerutu sendiri.
Sudah tentu Tik Hun tertarik
oleh gerundelan kuli kampung itu. “Mestika apakah jang hendak mereka gali?
Masakah disini terdapat sesuatu harta apa segala?” demikian pikirnja. Ia
menunggu simandor agak meleng, segera ia menggeser kedekat kuli jang mengomel tadi,
dengan suara tertahan ia menanja: “Toatjek, sebenarnja mereka ingin mentjari
benda mestika apakah?”
“O, benda mestika jang mereka
tjari ini benar2 sangat berharga,” sahut orang itu dengan suara berbisik.
“Katanja Tauke disini mahir ilmu gaib. Ia bukan orang daerah sini, tapi berasal
dari lain tempat. Dari djauh katanja ia melihat ditempat penggalian ini ada
tjahaja mestika jang menjorong kelangit, ia tahu ditempat ini terdapat benda
mestika, maka tanah ini telah dibelinja, agaknja kuatir kalau rahasianja
botjor, maka lebih dulu gedung ini telah dibangun, lalu mengumpulkan orang,
siang hari kami disuruh tidur dan malam hari disuruh kerdja.”
“O, kiranja begitu. Apakah
Toatjek tahu benda mestika apa jang dia tjari?” tanja Tik Hun pula.
“Sudah tentu aku tahu,” sahut
kuli itu dengan lagak sok tahu. “Menurut simandor, katanja jang ditjari adalah
sebuah ‘Tjip-po-bun’ (baskom wasiat). Djika kau masukan satu mata uang kedalam
baskom itu, maka lewat semalam, besok paginja mata uang itu akan berubah
mendjadi satu baskom penuh. Kalau dimasuki satu tahil emas, besoknja akan
berubah mendjadi satu baskom emas, pendek kata segala matjam barang jang kau
masukan kedalam baskom, maka dalam semalam sadja barang sedikit ini akan
melahirkan barang banjak. Wah, bukankah itu suatu benda mestika adjaib?”
“Wah, benar2 mestika adjaib!”
pudji Tik Hun sambil tiada ber-henti2 mulutnja ber-ketjek2.
Lalu orang itu mengotjeh pula:
“Mandor sengadja memesan kita agar tjara kita mematjul harus pelahan2, tidak
boleh keras2, sebab kalau sampai baskom wasiat itu mendjadi rusak kena patjul,
wah, bisa runjam! Kata pak Mandor, bila baskom wasiat itu sudah dapat
diketemukan, kita masing2 akan diberi pindjam pakai satu malam, apa jang kau
ingin masukan didalam baskom itu boleh kau lakukan mana suka. Nah, anak tolol,
mulai sekarang boleh kau tjoba2 rentjanakan, barang apakah jang akan kau
masukan didalam Tjip-po-bun itu.”
Tik Hun pura2 memikir
sedjenak, lalu mendjawab: “Aku sering kelaparan, perutku selalu
berkerontjongan, maka aku akan taruh sebutir beras didalam baskom itu dan besok
paginja, wah, sudah mendjadi satu baskom penuh beras putih, bagus bukan?”
“Hahaha! Memang bagus! Haha!”
demikian orang itu mendjadi lupa daratan dan bergelak tertawa.
Keruan simandor lantas menoleh
demi mendengar ada suara tertawa orang, lantas ia membentak: “Hus, djangan
banjak omong doang! Hajo, lekas kerdja! Lekas gali!”
Orang itu mendjadi ketakutan
dan tjepat bekerdja pula dengan giat.
Diam2 Tik Hun membatin:
“Masakah didunia ini terdapat Tjip-po-bun apa segala? Emangnja seperti tjerita
Aladin dalam 1001 malam sadja? Ah, madjikan rumah ini pasti bukan seorang
tolol, dibalik kesemuanja ini pasti ada sesuatu tipu muslihat, tapi ia sengadja
mengarang tjerita tentang baskom wasiat segala untuk menipu orang.”
Maka sedjenak kemudian, dengan
suara tertahan kembali ia menanja orang tadi: “Siapakah nama Tauke disini?
Engkau tadi mengatakan dia bukan orang daerah sini?”
“Itu dia, bukankah si Tauke
sudah berada disitu?” sahut orang itu.
Waktu Tik Hun memandang kearah
jang dimaksudkan, ia melihat dari ruangan belakang sana telah muntjul satu
orang, perawakannja tinggi kurus, kedua matanja bersinar tadjam, pakaiannja
sangat perlente, usianja kira2 setengah abad.
Hanja sekedjap sadja Tik Hun
memandang orang itu, tapi kontan djantungnja ber-debar2, tjepat ia berpaling
dan tidak berani memandang pula. Didalam hati tiada hentinja ia bertanja2:
“Orang ini sudah pernah kukenal, ja, sudah pernah kukenal. Dimanakah itu?
Siapakah dia?”
Begitulah ia merasa muka si
Tauke sudah dikenalnja, tjuma seketika tak teringat dimanakah dulu telah
melihatnja.
Dalam pada itu si Tauke sudah
mulai berkata: “Malam ini harap kalian menggali lebih dalam lagi satu-dua
meter, tidak peduli apakah diketemukan potongan kertas, remukan batu atau
petjahan kaju, satu bendapun tidak boleh dianggap sepele, harus diperlihatkan
padaku.”
Mendengar suara si Tauke, Tik
Hun terkesiap, segera ia sadar: “Ja, ingatlah aku sekarang. Kiranja dia!”
Kiranja Tauke pemilik gedung
megah itu tak-lain-tak-bukan adalah sipengemis tua jang pernah mengadjarkan
tiga djurus ilmu pedang kepada Tik Hun ketika berada dirumah Ban Tjin-san di
Heng-tjiu dahulu itu.
Tatkala mana badjunja rombeng,
rambutnja kusut-masai, sekudjur badannja kotor dekil, seratus prosen adalah
dandanan pengemis.
Tapi kini telah berubah
mendjadi seorang hartawan, hampir semuanja telah berganti bulu, pantas sadja
Tik Hun takbisa lantas mengenalnja, dan sesudah mendengar suaranja barulah Tik
Hun ingat siapa gerangannja.
Dan begitu mengenali si Tauke,
sebenarnja Tik Hun bermaksud lantas melompat keluar dari lubang galian untuk
menjapanja. Tapi penderitaan dan pengalaman selama beberapa tahun ini telah
menggembleng Tik Hun mendjadi seorang pemuda jang bisa berpikir dan dapat
bertindak hati2 dalam segala hal. Pikirnja: “Paman pengemis tua ini pernah
berbudi padaku. Dahulu djika aku tak ditolong olehnja, mungkin aku sudah
terbinasa ditangan bandit terkenal dari Thay-heng-san jang bernama Lu Thong
itu. Kemudian ia telah mengadjarkan tiga djurus Kiam-hoat lagi padaku hingga
aku dapat menghadjar anak murid Ban-supek. Kini kalau dipikir, sebenarnja
ketiga djurus ilmu pedang jang dia adjarkan padaku itu toh sepele sadja, tiada
sesuatu jang luar biasa, tapi pada waktu itu telah menghindarkan diriku dari
hinaan dan penganiajaan orang. Kini dapat berdjumpa pula dengan dia, aku harus
menjatakan terima kasihku selajaknja. Akan tetapi tempat ini adalah bekas
kediaman Suhuku, mengapa dia menggali tanah disini? Dan untuk apa dia membangun
gedung sebesar ini untuk menutupi pandangan orang luar? Dahulu dia adalah
seorang pengemis, seorang kere, kenapa sekarang bisa kaja mendadak?”
Begitulah diam2 Tik Hun
me-nimang2 dan ambil keputusan akan diam sadja dulu untuk melihat gelagat.
Pikirnja pula: “Aku utang budi padanja, untuk mengutjapkan terima kasih adalah
soal gampang. Tapi mengapa dia tidak kuatir Suhuku akan pulang kesini? Djangan2
.......... djangan2 Suhu sudah meninggal?”
Sedjak ketjil ia sudah ikut
dan dibesarkan Djik Tiang-hoat, perasaannja kepada guru itu adalah mirip orang
tua sendiri, kini demi - terpikir gurunja mungkin sudah mati, seketika ia
mendjadi sedih.
Tiba2 dipodjok sana terdengar
suara gemerinting sekali, patjul kuli penggali itu entah kena mematjul sesuatu
benda keras apa. Tapi demi mendengar suara njaring itu, segera si Tauke
melompat turun kedalam lubang galian itu, tjepat ia djemput sepotong benda.
Serentak kuli2 penggali itu
berhenti kerdja semua dan memandang kearah benda jang dipegang si Tauke. Maka
tertampaklah Tauke lagi memegang sebuah....... paku, bolak-balik Tauke
memeriksa paku itu dengan wadjah agak ketjewa. Achirnja ia lemparkan paku itu
kepinggir lubang galian dan memerintah: “Hajo mulai lagi, lekas gali terus!”
Tik Hun kerdja keras semalam
suntuk bersama para kuli kampung, selama itu si Tauke terus mengikuti kemadjuan
galian itu. Setelah fadjar menjingsing dan tiada diketemukan sesuatu apa,
barulah si Tauke memerintahkan istirahat.
Sebagaian besar kuli2 kampung
itu adalah penduduk sekitar situ, mereka pulang kerumah masing2. Tapi ada
sebagian jang bertempat tinggal agak djauh, mereka lantas merebah dan tidur
diserambi samping rumah gedung itu.
Tik Hun djuga ikut tidur
diserambi samping itu. Sampai sore harinja barulah mereka bangun tidur untuk
makan.
Badan Tik Hun terlalu kotor,
orang lain tidak suka berdekatan dengan dia, diwaktu tidur maupun makan, selalu
orang2 itu mendjauhi Tik Hun. Tapi hal ini malah kebetulan bagi Tik Hun, risiko
dirinja akan dikenali orang mendjadi lebih sedikit.
Selesai makan, dalam isengnja
Tik Hun lantas djalan2 kesuatu pedusunan ketjil tidak djauh dari gedung besar
itu untuk mentjari tahu apakah sang guru pernah pulang kampung atau tidak.
Ditengah djalan diketemukan djuga beberapa teman memain diwaktu ketjil, kini
teman2 itu sudah tinggi besar dan asjik bertjotjok-tanam disawah-ladang. Ia
tidak ingin dirinja diketahui orang, maka ia tidak menjapa teman lama itu, tapi
sengadja mentjari satu anak tanggung untuk ditanja tentang keadaan rumah gedung
itu. Menurut keterangan botjah tanggung itu, katanja gedung itu dibangun pada
musim rontok tahun jang lalu, pemiliknja sangat kaja dan datang kesini buat
mentjari Tjip-po-bun, namun sudah sekian lamanja benda mestika jang ditjari itu
masih belum ketemu. Sembari berkata botjah itu sambil ketawa2, suatu tanda
dongeng tentang Tjip-po-bun atau baskom wasiat itu telah mendjadi bahan obrolan
iseng penduduk setempat.
Ketika ditanja tentang rumah2
petak jang dulu, anak tanggung itu mengatakan sudah lama rumah2 ketjil itu
tidak ditinggali orang dan selamanja djuga tidak pernah ditengok jang empunja.
Maka waktu gedung besar itu dibangun, dengan sendirinja rumah2 petak itu
dibongkar.
Tik Hun mengutjapkan terima
kasih dan tinggalkan anak tanggung itu, hatinja mendjadi masgul dan penuh
tjuriga pula. Sungguh ia tidak tahu sebenarnja apakah maksud tudjuan
tindak-tanduk sipengemis tua jang penuh rahasia itu.
Ia berdjalan menjusur gili2
sawah dan ladang, ketika melewati sepetak ladang sajur, ia melihat tanaman
ladang itu menghidjau lebat, subur sekali tertanam sajur Khong-sim-djay.
“Khong-sim-djay!
Khong-sim-djay!” ~ tiba2 benak Tik Hun bergema suara panggilan jang njaring
merdu dan nakal itu.
“Khong-sim-djay” adalah sajur
jang sangat umum didaerah Oulam barat situ, sesuai dengan namanja, maka sajur itu
kopong tengahnja tak bersumbu. Dari itu Sumoaynja Tik Hun, jaitu Djik Hong,
telah memberi nama pojokan itu kepada Tik Hun sebagai olok2 bahwa pemuda itu
berotak kopong, takbisa berpikir, polos dan djudjur, takbisa ber-belit2.
Sedjak Tik Hun meninggalkan
kampung halaman itu, selama itu dia mengeram didalam pendjara di Hengtjiu,
kemudian di-uber2 musuh dan achirnja terkurung ditengah lembah bersaldju. Dan
baru harini dia dapat melihat Khong-sim-djay pula.
Tik Hun ter-mangu2 sedjenak
memandangi sajur jang bersedjarah itu. Ia berdjongkok dan memetik setangkai,
lalu pelahan2 melandjutkan perdjalanan kebarat.
Disebelah barat adalah
pegunungan sunji jang tandus penuh batu karang, pepohonan susah tumbuh disitu.
Ditengah bukit tandus itu terdapat sebuah gua jang tidak pernah didatangi
manusia ketjuali Tik Hun dan Djik Hong jang dulu sering memain kesitu.
Karena terkenang pada masa
lalu jang menggembirakan itu, tanpa merasa Tik Hun berdjalan terus kearah gua.
Sesudah melintasi tiga bukit lain dan menerobos dua terowongan besar, achirnja
sampailah dia digua jang terpentjil dan sunji senjap itu.
Didepan gua itu ternjata sudah
penuh tumbuh rumput alang2, hingga mulut gua tertutup rapat. Hati Tik Hun
mendjadi berduka terkenang teman main diwaktu ketjil jang ditjintainja itu kini
telah berada dipangkuan orang lain. Ia tjoba menerobos kedalam gua itu, ia
melihat barang2 jang terdapat digua itu masih tetap seperti dulu waktu
ditinggal pergi bersama Djik Hong, sedikitpun tidak pernah didjamah atau pindah
tempat. Barang2 seperti bandring jang dahulu sering digunakannja untuk
menangkap burung, boneka tanah jang dibuat Djik Hong, alat perangkap kelintji,
seruling milik Djik Hong diwaktu angon sapi. Semuanja itu masih terletak baik2
diatas medja batu didalam gua.
Disebelah sana terdapat pula
sebuah kerandjang ketjil. Dulu Djik Hong sering datang kegua ini dengan membawa
kerandjang djindjing jang berisi bahan2 dan alat mendjahit. Tertampak gunting
didalam kerandjang itu sudah berkarat, Tik Hun tjoba ambil sedjilid buku pola menjulam
jang sudah kuning dari kerandjang itu. Ia mem-balik2 halaman buku itu dan
ter-kenanglah dimasa dahulu bila dia bersama Djik Hong ‘pik-nik’ kegua ini,
sering ia mengajam kerandjang disitu dan Djik Hong lantas menjulam, terkadang
sigadis menjulam bunga atau burung2an diatas kain tebal guna bahan sepatunja.
Ter-menung2 Tik Hun
mengenangkan kedjadian dimasa lampau: ketika satu pasang kupu2 besar warna
hitam terbang kian kemari didepan gua, selalu sepasang kupu2 itu terbang
berdjadjaran keatas dan kebawah bagaikan sepasang kekasih jang sedang
bertjumbu. Saat itu Djik Hong telah ber-teriak2: “Nio San-pek, Tjiok Eng-tay!
Nio San-pek, Tjio Eng-tay!”
Kiranja penduduk didaerah
Oulam barat itu menamakan kupu2 besar warna hitam itu sebagai Nio San-pek dan
Tjio Eng-tay, jaitu sepasang kekasih jang saling tjinta-mentjintai dan
sehidup-semati dalam tjerita roman klasik jang terkenal.
Waktu itu Tik Hun sedang
mengajam sepatu rumput, pasangan kupu2 itu telah terbang diatas kepalanja.
Mendadak Tik Hun meneplok dengan sepatu rumputnja hingga seekor kupu2
diantaranja tergablok mati. Melihat itu, Djik Hong mendjerit kaget dan menegur
dengan marah: “Ken........ kenapa kau membunuhnja?”
Tik Hun mendjadi gugup karena
sigadis mendadak marah, tjepat sahutnja: “Karena kau suka kupu2, maka aku
hendak menangkapnja untukmu.”
Kupu jang diteplok mati itu
djatuh ditanah, sedang kupu jang lain masih terus terbang mengitar diatas
kawannja jang sudah tak berkutik itu. Maka Djik Hong berkata: “Lihatlah,
bukankah kau berdosa? Mereka adalah pasangan suami-isteri jang rukun, tapi
sekarang kau telah membunuh satu diantaranja.”
Dan barulah Tik Hun merasa
menjesal, sahutnja: “Ai, memang aku bersalah.”
Kemudian Djik Hong telah
menirukan bentuk kupu2 jang mati itu dan dibuatnja sebuah pola atau patrun
untuk disulam diatas sepatunja sendiri. Waktu tahun baru, kembali ia menjulam
sebuah dompet kain dengan lukisan kupu2 jang sama untuk Tik Hun. Dompet kain
itu selalu tersimpan didalam badju pemuda itu dan baru hilang ketika dia
dimasukan pendjara di Hengtjiu.
Patrun itu masih terselip
didalam buku pola itu. Ia mengambil patrun kupu2 itu, telinganja sajup2 seperti
mendengar suara Djik Hong: “Lihatlah, bukankah kau berdosa? Mereka adalah
pasangan suami-isteri jang rukun, tapi sekarang kau telah membunuh satu
diantaranja.”
Tik Hun ter-menung2 agak lama,
ketika ia membalik2 pula halaman buku pola itu, tiba2 didengarnja dari djauh
ada suara berkeletakan batu paling bentur, terang itulah suara tindakan orang
jang sedang mendatangi. Diam2 Tik Hun heran, pikirnja: “Djarang ada manusia
jang datang dibukit tandus ini, djangan2 adalah sebangsa binatang buas?”
Segera ia masukan buku pola
itu kedalam badjunja, saat lain tiba2 didengarnja ada suara orang sedang
berkata: “Sekitar tempat ini sunji senjap dan bukit karang belaka, tidak
mungkin terdapat disini.”
“Semakin sepi semakin besar
kemungkinanan orang menjimpan harta mestika disini,” demikian suara seorang tua
mendjawab. “Maka kita harus mentjarinja dengan tjermat.”
“Ha, mengapa ada orang
mentjari harta mestika lagi ketempat ini?” pikir Tik Hun. Tjepat ia menjelinap
keluar gua, ia bersembunji dibalik satu pohon besar.
Tidak lama kemudian lantas
terdengar ada suara orang bertindak kearah gua. Dari suaranja dapat diduga
sedikitnja adalah 7-8 orang.
Waktu Tik Hun mengintip dari
belakang pohon, ia melihat seorang jang djalan paling depan berpakaian perlente
dan berdandan setjara ber-lebih2an, mukanja seperti sudah dikenal Tik Hun.
Menjusul seorang dibelakangnja membawa tjangkul, orang kedua ini berbadan tegap
gagah, mukanja tjakap. Begitu melihat orang kedua ini, seketika darah Tik Hun
tersirap, sungguh kalau bisa ia ingin lantas menerdjang madju untuk
menghadjarnja, bahkan sekali tjekik ia ingin mampuskan orang itu.
Kiranja orang kedua itu
tak-lain-tak-bukan adalah musuh besarnja jang telah membikin sengsara padanja,
orang jang telah merebut Sumoaynja jang tjantik serta mendjebloskan Tik Hun
kedalam pendjara, jaitu si Ban Ka adanja.
Sedang orang pertama jang
lebih muda tadi ternjata adalah Sim Sia, anak murid Ban Tjin-san jang
buntjitan.
Dan dibelakang Ban Ka dan Sim
Sia, lalu muntjul pula anak murid Ban Tjin-san jang lain, jaitu Loh Kun, Sun
Kin, Bok Heng, Go Him dan Pang Tan.
Murid Ban Tjin-san seluruhnja
ada delapan orang, tapi murid kedua, jaitu Tjiu Kin, dahulu telah dibunuh oleh
Tik Hun didalam taman bobrok dikota Hengtjiu waktu dia bersama Ting Tian
di-uber2 oleh Tjiu Kin dan kawan2nja. Maka kini murid Ban Tjin-san hanja
tinggal tudjuh orang sadja.
Sudah tentu Tik Hun sangat
heran: “Hendak mentjari harta mestika apakah orang2 ini?”
Pada lain saat tiba2 terdengar
Sim Sia berseru: “Suhu, Suhu! Disini ada sebuah gua!”
“O, ja?” sahut suara orang tua
tadi. Nadanja penuh rasa girang.
Menjusul lantas muntjul
seorang jang tinggi besar, itulah dia Ngo-in-djiu Ban Tjin-san adanja.
Sudah beberapa tahun tak
bertemu, Tik Hun melihat semangat orang tua itu masih segar dan kuat,
sedikitpun tidak terlihat tanda2 lojo sebagaimana lazimnja orang tua.
Hanja beberapa langkah lebar
sadja Ban Tjin-san sudah masuk kedalam gua. Menjusul lantas terdengar suara2
orang banjak: “He, disini pernah ditinggali orang!” ~ “Debu kotorannja begini
banjak, sudah lama tidak didatangi orang.” ~ “Tidak, tidak! Lihatlah ini,
disini terdapat tapak kaki baru.” ~ “Ja, disini djuga ada bekas djari tangan!”
~ “Benar, pasti Gian-susiok telah............. telah mendahului menggondol
Soh-sim-kiam-boh itu.”
Terkedjut dan geli pula Tik
Hun mendengar pembitjaraan orang2 itu. Pikirnja: “Apa barang jang hendak mereka
tjari adalah Soh-sim-kiam-boh? Mengapa sudah sekian lamanja mereka masih terus
mentjari? Menurut Suhu, katanja beliau mempunjai seorang Suheng kedua jang
bernama Gian Tat-peng, tapi Gian-supek itu sudah lama menghilang tanpa ada
kabar beritanja, mungkin sudah lama orangnja meninggal dunia, mengapa sekarang
dapat muntjul lagi untuk berebut Soh-sim-kiam-boh apa segala? Sudah terang
bekas tapak kaki dan tangan itu adalah tinggalanku barusan, tapi mereka menerka
setjara ngawur, sungguh lutju!”
Begitulah maka terdengar Ban
Tjin-san sedang berkata: “Diam, diam! Djangan ribut! Tjoba tjarilah sekitar
sini dengan tenang.”
Lalu ada jang mengomel: “Djika
Gian-susiok sudah mendahului datang kesini, mustahil barangnja tak digondol
lari lebih dulu.”
“Djik Tiang-hoat itu benar2
seorang jang litjin dan pintar mengatur, ia sembunjikan Kiam-boh (kitab
peladjaran pedang) itu disini, tentu sadja orang lain sudah mentjarinja,” udjar
jang lain.
“Sudah tentu ia sangat litjin
dan pandai mengatur, kalau tidak masakah dia berdjuluk ‘Tiat-soh-heng-kang’?”
demikian kata seorang lagi.
Begitulah sambil bitjara
mereka terus mengobrak-abrik gua itu. Memangnja didalam gua tidak terdapat
benda apa2, maka sesudah dibongkar-bangkir orang2 itu, tetap tiada sesuatu jang
mereka ketemukan. Menjusul lantas terdengar suara gemerantang jang njaring,
itulah suara tjangkul. Tapi gua itu adalah batu karang, dengan sendirinja
tjangkul itu tidak mempan menggalinja.
“Sudahlah, disini tiada
terdapat apa2, marilah kita keluar, tjoba kita rundingkan lagi diluar sana,”
kata Ban Tjin-san kemudian.
Be-ramai2 ketudjuh anak
muridnja lantas ikut sang Suhu keluar gua, mereka mengambil tempat ditepi suatu
sungai ketjil, disanalah mereka berduduk diatas batu karang jang banjak
terserak disitu.
Tik Hun kuatir dipergoki
mereka, maka tidak berani mendekat.
Sedangkan suara pertjakapan
kedelapan orang itu sangat lirih, maka apa jang dirundingkan mereka itu takbisa
didengar Tik Hun.
Tidak lama kemudian, selesai
berunding, kedelapan orang itu tampak berbangkit semua dan berangkat pergi.
Diam2 Tik Hun memikir pula:
“Katanja mereka ingin mentjari Soh-sim-kiam-boh apa segala, tapi belum lagi
ketemu sudah lantas tjuriga telah ditjuri lebih dulu oleh Gian-supek. Sedangkan
bekas tempat tinggal Suhu telah dirombak pula mendjadi suatu gedung megah,
katanja sipengemis tua itu ingin mentjari Tjip-po-bun apa segala.............
Ah, benar, tahulah aku!”
Begitulah se-konjong2 terkilas
sesuatu pikiran pada benaknja, mendadak ia sadar akan duduknja perkara: “Terang
sipengemis tua itu bukan bertudjuan mentjari Tjip-po-bun segala, tapi iapun
ingin mentjari Soh-sim-kiam-boh. Ia jakin kitab pusaka itu berada ditangan
Suhuku, maka sengadja mentjari kemari, dan agar tidak menimbulkan rasa tjuriga
orang lain, lebih dulu ia membangun gedung besar itu, kemudian menggali
pekarangan didalam rumah itu untuk mentjarinja, dan agar tidak membikin geger
chalajak ramai, ia sengadja menjiapkan berita dongengan katanja ingin mentjari
Tjip-po-bun, sudah tentu alasan itu tjuma buat membohongi orang kampung jang
bodoh sadja.”
Lalu terpikir pula olehnja:
“Tempo dulu waktu Ban-supek mengadakan perajaan hari ulang tahun di Hengtjiu,
pengemis tua itu siang-malam selalu mengintjar disekitar kediaman Ban-supek,
suatu tanda dia mempunjai sesuatu maksud tudjuan. Ja, sesudah tidak menemukan
Soh-sim-kiam-boh jang ditjari itu, masakah rombongan Ban Tjin-san takkan
mendatangi rumah gedung itu untuk menjelidiki lebih djauh? Mungkin kedatangan
mereka kesini sudah lama, maka gedung itu sudah pernah mereka datangi. Namun
urusan ini terang belum selesai, biarlah aku menanti dirumah gedung itu sadja
untuk menonton keramaian. Ja, dibalik semua kedjadian ini pasti ada sesuatu
rahasia lain.”
“Tapi kemanakah perginja Suhu
selama ini?” demikian pikirnja pula. “Bekas tempat tinggalnja telah
dibongkar-bangkir orang sedemikian rupa, masakah beliau sama sekali tidak tahu?
Apa benar beliau tidak pernah pulang kemari? Lalu bagaimana dengan Djik-sumoay?
Ja, mungkin dia masih tinggal di Hengtjiu dan sedang menikmati kebahagiaan
sebagai njonja muda keluarga Ban jang kaja-raja. Sudah tentu orang2 keluarga
Ban itu tidak memberitahukan pada Sumoay bahwa bekas tempat tinggalnja itu akan
diobrak-abrik. Dan apakah jang sedang dikerdjakan Sumoay saat ini?......”
***
Malamnja, kembali didalam
rumah gedung itu terang-benderang dengan tjahaja lilin, belasan kuli kampung
asjik mengajun tjangkul mereka untuk menggali tanah.
Tik Hun djuga berada diantara
kuli2 penggali itu, ia tidak terlalu giat, tapi djuga tidak malas, dengan
demikian ia mengharap tidak menarik perhatian orang lain. Apalagi rambutnja
kusut-masai, djenggot dan kumisnja tak tertjukur hingga hampir seluruh mukanja
tertutup oleh berewoknja jang tak terawat itu, ditambah lagi debu tanah jang
berlepotan dimukanja, keruan muka aslinja mendjadi lebih susah dikenali.
Malam ini penggali2 itu
menitik-beratkan podjok utara dari lubang tanah itu, sedang sipengemis tua
sedang berdjalan mondar-mandir ditepi lubang galian itu sambil menggendong
tangan. Sudah tentu sekarang ia bukan lagi seorang pengemis jang dekil dan
mesum, tapi adalah seorang Tauke besar jang hidup mewah, badjunja buatan dari
bahan sutera satin, pada djari manis kiri memakai sebuah tjintjin permata
djamrud, ikat pinggangnja djuga terikal sepotong batu kemala jang susah dinilai
harganja.
Se-konjong2 Tik Hun mendengar
diluar gedung itu ada suara orang merajap datang, dari kanan-kiri dan
muka-belakang, semua djurusan ada suara merajap orang. Djarak pendatang2 itu
masih sangat djauh, agaknja sipengemis tua masih belum mengetahui sedikitpun.
Tik Hun tjoba miringkan tubuh
untuk melirik sipengemis itu, tapi sang Tauke ternjata tenang2 sadja seperti
tidak merasakan apa2. Sementara itu Tik Hun mendengar suara tindakan orang2
dari berbagai djurusan itu sudah makin mendekat. Satu, dua, tiga........ enam,
tudjuh, delapan, ja, benarlah itu Ban Tjin-san beserta ketudjuh anak muridnja.
Tapi sipengemis tua ternjata masih tidak mengetahui.
Sungguh heran Tik Hun, baginja
kedatangan rombongan Ban Tjin-san itu dapat didengarnja dengan djelas, bahkan
dapat dihitung djumlahnja. Tapi mengapa pengemis tua itu seperti orang tuli
sadja tanpa mendengar apa2?
Lima tahun jang lampau, Tik
Hun kagum dan memudja pengemis tua itu bagaikan malaikat dewata. Pengemis itu
hanja mengadjarkan tiga djurus ilmu pedang kepada Tik Hun dan pemuda itu sudah
sanggup menghadjar Ban-bun-pat tetju atau delapan murid keluarga Ban, hingga
pontang-panting, sedikitpun kedelapan lawan itu tak mampu melawan. “Tapi kini,
mengapa kepandaian pengemis tua ini telah berubah sedjelek ini dan mundur
malah? Djangan2 Tauke ini bukan pengemis tua jang dahulu itu? Barangkali aku
salah mengenali dia? Tapi, tidak, tidak mungkin, tidak mungkin aku salah
lihat!” demikian Tik Hun bertanja-djawab sendiri.
Ternjata Tik Hun tidak memikir
bahwa sebenarnja ilmu silatnja sendiri jang telah mentjapai kemadjuan pesat
hingga sudah hampir mentjapai tingkatan jang tiada taranja. Sesuatu jang dapat
didengarnja dengan djelas bagi telinga orang lain sebaliknja sedikitpun tidak
terdengar apa2.
Dalam pada itu kedelapan orang
itu makin lama sudah makin mendekat. Sungguh Tik Hun sangat heran: “Perbuatan
kedelapan orang itu benar2 sangat lutju, memangnja mereka mengira tiada
seorangpun jang mengetahui kedatangan mereka hingga mesti main germat-germet
seperti maling kuatir kepergok?”
Sementara itu kedelapan orang
itu sudah lebih dekat lagi. Mendadak sipengemis tua tampak bergetar sambil
miringkan kepalanja untuk mendengarkan.
“Ha, dia sudah dengar sekarang
barangkali? Kenapa baru dengar sekarang, apa tuli?” demikian Tik Hun membatin.
Padahal sipengemis tua jang
sudah mendjadi Tauke itu sebenarnja tidak tuli. Soalnja djarak kedelapan orang
itu memang masih djauh. Kalau Tik Hun dua-tiga tahun jang lalu pasti djuga
takkan mendengar suara rombongan Ban Tjin-san, bahkan lebih dekat djuga belum
tentu dapat mendengarnja.
Sementara itu kedelapan orang
itu sudah dekat benar2, kini mereka melangkah setindak demi setindak dengan
hati2, terkadang berhenti dulu, lalu melangkah madju pula, terang mereka djuga
kuatir diketahui oleh orang didalam rumah.
Namun sekarang sipengemis tua
sudah mengetahui kedatangan musuh. Dengan tenang ia mendekati podjok ruangan
dan mengambil sebatang tongkat jang tertaruh disitu. Itulah sebatang
“Liong-thau-bok-koay” atau tongkat kaju berukiran kepala naga.
“Masakah tongkat begitu akan
dipakai sebagai sendjata?” demikian Tik Hun merasa heran.
Se-konjong2, serempak
kedelapan orang diluar rumah itu berlari madju dan mengepung dari empat
djurusan kearah gedung. “Blang”, mendadak pintu didobrak orang hingga
terpentang, setjepat kilat seorang telah mendahului menerdjang masuk, itulah
dia Ban Ka.
Menjusul Sim Sia, Bok Heng dan
lain2 djuga lantas ikut menjerbu kedalam.
Sesudah ketudjuh
Ban-keh-te-tju itu menjerbu masuk, serentak mereka mengepung sipengemis tua
di-tengah2 sambil sendjata siap ditangan.
Namun pengemis tua itu
ternjata tenang2 sadja, bahkan ia ter-bahak2 dan berkata: “Hahahaha! Bagus,
bagus! Apa anak2 sudah datang semua? Dan dimana Ban-suko, mengapa tidak
nampak?”
Maka terdengarlah suara
tertawa lepas seorang diluar rumah, menjusul masuklah orang itu dengan langkah
berlenggang, itulah dia “Ngo-in-djiu” Ban Tjin-san.
Sesudah berada didalam rumah,
Ban Tjin-san berdiri berhadapan dengan pemngemis itu terpisah oleh lubang
galian, kedua orang sama2 mengamat-amati masing2, selang sebentar barulah Ban
Tjin-san membuka suara: “Gian-sute, wah, berpisah selama lima tahun, tahu2
engkau sudah mendjadi OKB (orang kaja baru).”
Begitu selesai mendengar
utjapan Ban Tjin-san itu, seketika katjau-balau pikiran Tik Hun oleh
berketjamuknja matjam2 pertanjaan. “Ha? Djadi......... djadi pengemis tua
inilah tak-lain-tak-bukan adalah Djisupek Gian Tat-peng jang selama ini tjuma
dikenal namanja sadja itu?” demikian ia tidak habis heran.
Maka terdengar sipengemis tua
itu sedang mendjawab: “Suko, aku tjuma mendapat sedikit redjeki jang tak
berarti, tapi selama beberapa tahun ini usahamu tentu banjak kemadjuan, bukan?”
“Terima kasih atas pudjimu,”
sahut Ban Tjin-san. “He, anak2, mengapa tidak lekas memberi hormat kepada
Susiok?”
Serentak Loh Kun dan lain2
lantas berlutut memberi hormat kepada pengemis tua itu dan berkata: “Terimalah
hormat kami, Susiok!”
“Sudahlah, sudahlah! Sambil
memegang sendjata, tentu tidak leluasa untuk mendjura, maka boleh tak usahlah,”
seru pengemis tua itu dengan tertawa.
Diam2 jakinlah Tik Hun: “Djika
demikian, djadi pengemis ini memang betul Gian-supek adanja.”
“Sute,” demikian Ban Tjin-san
telah berkata pula, “ada apa kau menggali tanah didalam rumah sini? O,
barangkali kau mengusahakan pertambangan, ja? Besar amat lubang jang kau gali
ini?”
Tapi sipengemis tua alias Gian
Tat-peng itu tetang2 sadja, ia tertawa dingin, lalu mendjawab: “Dugaan Suheng
salah semua. Soalnja musuh Siaute terlalu banjak, aku ingin bersembunji disini,
maka sengadja menggali lubang perlindungan ini. Tapi lubang inipun serta guna,
djika musuh terbunuh oleh Siaute, maka sekalian aku lantas menguburnja disini
dengan tidak perlu menggali liang kubur lain. Sebaliknja djika Siaute
dibinasakan musuh, maka lubang inipun dapat dianggap sebagai tempat tidurku
untuk se-lama2nja.”
“Wah, bagus, bagus! Sute
memang pintar berpikir!” demikian Ban Tjin-san tertawa memudji. “Tapi badan
Sute toh tidak terlalu gede, kulihat liang inipun sudah lebih dari tjukup,
rasanja tidak perlu menggali lebih dalam lagi.”
“Benar, untuk mengubur seorang
memang lebih dari tjukup, tapi kalau untuk mengubur delapan orang mungkin masih
kurang dalam,” sahut Gian Tat-peng.
Melihat kedua saudara
perguruan itu begitu berhadapan sudah lantas perang mulut dengan kata2 tadjam,
tiba2 Tik Hun mendjadi teringat kepada apa jang pernah ditjeritakan Ting Tian
dahulu. Pikirnja: “Menurut tjerita Ting-toako, katanja Suhu bersama Ban-supek
dan Gian-supek bertiga telah mengerojok dan membunuh guru mereka, Bwe
Liam-seng. Sedangkan guru mereka sendiri sadja dibunuh, apalagi diantara mereka
masakah dapat diharapkan adanja hubungan persaudaraan jang baik? Menurut
tjerita Ting-toako (batjalah hal 38 djilid 2), katanja mereka bertiga telah
berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, tapi tidak mendapatkan
Kiam-koat jang merupakan inti rahasia dari peladjaran ilmu pedang itu. Padahal
Kiam-koat itu melulu terdiri dari angka2 sadja, katanja angka pertama adalah
‘4’, angka kedua adalah ‘51’, angka ketiga adalah ‘33’, angka keempat adalah
‘53’, angka kelima ‘18’, angka keenam ‘7’ dan .......... sampai adjalnja
Ting-toako angka2 itupun belum selesai diutjapkan. Bukankah Kiam-boh sudah
mereka rebut dari guru mereka, mengapa sekarang mereka mentjari lagi kesini?”
Dalam pada itu Ban Tjin-san
telah berkata: “Sute jang baik, kita berdua adalah saudara seperguruan sedjak
ketjil, kau tjukup kenal pikiranku, akupun paham isi hatimu, buat apa mesti
bitjara setjara ber-putar2! Mana, serahkan!” ~ Begitu kata2 terachir itu
dilontarkan, berbareng ia sodorkan tangannja kedepan.
Namun Gian Tat-peng hanja
geleng2 kepala, sahutnja: “Belum dapat kutemukan. Kelitjinan Djik-losam memang
harus diakui kita bukan tandingannja. Sampai sekarang aku masih belum dapat
mengetahui dimanakah dia telah menjembunjikan Kiam-boh itu.”
Kembali Tik Hun terkesiap,
pikirnja pula: “Agaknja sesudah mereka bertiga berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh
dari guru mereka, kemudian Suhu berhasil pula mengangkangi sendiri kitab ilmu
pedang itu. Tapi mengapa selama itu tiada terdjadi apa2? Ja, tentu disebabkan
Suhu dapat bertindak dengan sangat litjin hingga selama itu perbuatannja tak
diketahui oleh kedua Supek ini. Dan kalau Suhu tidak tinggal disini, dengan
sendirinja Kiam-boh itu selalu dibawanja ke-mana2, masakah Kiam-boh itu dapat
disembunjikan atau dipendam didalam rumah ini? Sekarang mereka
membongkar-bangkir tempat ini, bukankah terlalu tolol perbuatan mereka itu?”
Akan tetapi ia tahu sekali2
Ban Tjin-san dan Gian Tat-peng itu bukan orang tolol, mungkin berpuluh kali,
bahkan beratus kali lebih pintar dan tjerdik daripada Tik Hun sendiri. Habis,
rahasia dan muslihat apakah jang berselubung dibalik kesemuanja ini?
Dalam pada itu terdengar Ban
Tjin-san telah tertawa ter-bahak2. Katanja: “Sute, masakah kau perlu berlagak
pilon lagi? Haha, orang mengatakan Samsute kita adalah Tiat-soh-heng-kang,
tipu-akalnja lihay, tapi menurut hematku, adalah Djisute kau jang lebih lihay.
Mana serahkan!” ~ dan kembali ia mendjulurkan kedua tangannja pula.
Tapi Gian Tat-peng me-nepuk2
kantongnja jang kosong itu, sahutnja: “Djika sudah kudapatkan, masakah antara
kita masih perlu di-beda2kan milikmu atau milikku? Djika barang itu dapat
ketemukan, tentu akan kutundjukan setjara terbuka, kita boleh melatihnja
bersama dan kita dapat tukar pikiran pula, bukankah begini lebih baik. Bukan
aku sengadja mem-besar2kan hal ini, tapi sesungguhnja Suheng, andaikan mestika
itu kudapatkan, seorang diri saudaramu ini djuga tak sanggup melatihnja, tapi
mesti minta Suheng jang memegang pimpinan ini. Sebaliknja, hehe, seumpama
Suheng jang menemukan mestika itu, biarpun anak muridmu tjukup banjak, tapi
kepandaian mereka masih hidjau, maka perlu djuga rasanja bantuan saudaramu ini
untuk berkongsi.”
“Kau sudah pernah mendatangi
gua disana itu, apa jang telah kau ketemukan?” tanja Ban Tjin-san.
“Gua apa?” sahut Gian Tat-peng
dengan heran. “Didekatan sini ada gua, maksudmu?”
“Sute,” kata Tjin-san, “kita
adalah saudara seperguruan selama puluhan tahun, buat apa achirnja mesti
tjektjok sendiri? Harap kau keluarkan sadja, marilah kita mempeladjari bersama,
ada untung sama dirasakan, ada rugi sama dipikul.”
“Sungguh aneh, mengapa kau
jakin benar2 menuduh aku sudah memperolehnja?” tanja Tat-peng. “Djika betul aku
sudah mendapatkan barangnja, buat apa aku masih susah-pajah menggali disini?”
“Huh, banjak tipu akalmu jang
litjin, siapa tahu permainan apa jang sedang kau lakukan?” udjar Tjin-san.
“Suko, kau sendiri toh tjukup
kenal Samsute, masakah barangnja akan begini gampang kita ketemukan?” kata
Tat-peng. “Menurut pendapatku, belum tentu pula disimpannja didalam rumah ini,
bila menggali tiga hari masih belum kutemukan apa2, maka akupun tidak ingin
meneruskan lagi penggalian ini.”
“Haha, kukira lebih baik kau
menggali sebulan atau dua bulan supaja permainan sandiwaramu ini bisa lebih
hidup,” djengek Ban Tjin-san.
Seketika air muka Gian
Tat-peng berubah, segera ia bermaksud undjuk gigi, tapi sesudah dipikir pula,
sedapat mungkin ia menahan gusarnja, sahutnja kemudian: “Suheng, tjara
bagaimana aku harus berbuat supaja kau mau pertjaja?” ~ Habis berkata, ia terus
membuka djubahnja dan dibalik, ia kebas2 djubahnja itu, maka terdengarlah suara
gemerintjing jang njaring, dari djubahnja itu djatuh beberapa tahil perak dan
sebuah pipa tembakau, ia pun tidak mendjemput kembali barang2 itu, tapi masih
mengebas beberapa kali djubahnja itu.
“Hm, memangnja kau begitu
bodoh, masakah kau membawanja didalam badjumu?” kata Ban Tjin-san. “Ja,
andaikan kau bawa, tentu djuga kau simpan dibagian dalam, tidak mungkin kau
taruh disaku luar.”
Gian Tat-peng menghela napas,
sahutnja: “Djikalau Suheng tetap tidak pertjaja, ja apa boleh buat, silakan
menggeledah badan Siaute sadja.”
“Maafkan kalau begitu,” kata
Tjin-san. Lalu ia memberi tanda kepada Ban Ka dan Sim Sia.
Kedua pemuda itu mengangguk
tanda tahu, lalu mereka memasukkan pedang mereka kesarungnja, dari kanan-kiri
segera mereka mendekati Gian Tat-peng.
Menjusul Ban Tjin-san memberi
isjarat pula kepada Bok Heng dan Loh Kun, kedua orang itu pelahan2 lantas
menggeser kebelakang Gian Tat-peng dengan pedang tetap terhunus.
Dalam pada itu Gian Tat-peng
telah tepuk2 lagi saku badju dalam dan berkata: “Nah, silakan geledah!”
“Maaf, Susiok,” kata Ban Ka,
terus sadja ia mengulur tangannja kedalam saku sang paman guru.
Tapi mendadak ia mendjerit tadjam
sekali, tjepat ia menarik kembali tangannja, waktu diperiksa dibawah sinar obor
jang terang itu, maka tertampaklah dipunggung tangannja terdapat seekor
ketungging jang besar. Rupanja sangat kesakitan hingga Ban Ka ber-djingkrak2,
“plok”, tjepat ia baliki tangan dan menggablok ketepi tanggul liang galian,
seketika ketungging berbisa itu terpukul hingga hantjur. Tapi punggung
tangannja
sudah terkena bisa binantang
itu, kontan sadja terus abuh.
Ban Ka masih berlagak djagoan,
sedikitpun ia tidak sudi merintih, tapi keringat dingin didjidatnja sudah
lantas merembes keluar ber-butir2 sebesar kedelai.
Kemudian terdengar Gian
Tat-peng berseru kaget: “Ai, Ban-hiantit, darimanakah kau mendapatkan serangga
berbisa seperti itu? Wah itu adalah ketungging loreng, lihaynja tidak kepalang.
Suko, hajolah lekas, lekas, kau membawa obat penawar ratjun tidak? Kalau
terlambat sebentar lagi, wah tentu tjelaka, tentu tjelaka!”
Maka tertampak punggung tangan
Ban Ka jang abuh itu dari warna merah berubah mendjadi matang biru, lalu
mendjadi hitam, ada satu garis merah pelahan2 menaik kearah lengan.
Namun Ban Tjin-san insaf telah
terdjebak oleh tipu kedji sang Sute, karena sudah kepepet, terpaksa ia menahan
perasaannja dan berkata: “Sute, kakakmu ini terimalah menjerah padamu, aku
mengaku kalah sudah, harap kau berikan obat penawarnja dan kami lantas pergi,
untuk seterusnja kami takkan datang kembali untuk merusuhi kau lagi.
“Tentang obat penawar, ja,
dulu aku memang punja, tapi kemudian, lama kelamaan entah tertaruh dimana,
biarlah lewat beberapa hari lagi akan kutjarikan dan mungkin akan dapat
diketemukan. Pabila tidak, nanti aku akan pulang ke Tay-beng-hu untuk mentjari
resep obat itu dan membelikannja diapotik. Ja, apa mau dikata, habis kita
sesama saudara seperguruan sih.”
Mendengar djawaban itu,
sungguh dada Ban Tjin-san hampir2 meledak saking gusarnja. Luka terpagut ular
atau diatup ketungging seperti itu dalam waktu singkat sadja djiwa penderita
mungkin akan melajang, asal garis merah jang mulai menaik kelengan itu menembus
sampai didada, maka kontan penderita itu akan terbinasa, tapi sang Sute enak2
bitjara tentang “lewat beberapa hari lagi obat penawar itu akan ditjari” dan
katanja akan tjari resepnja dulu ke Tay-beng-hu, padahal djarak Tay-beng-hu itu
be-ribu2 li djauhnja, bahkan setjara tidak kenal malu mengatakan pula tentang
hubungan baik sesama saudara seperguruan apa segala.
Tapi apa daja, djiwa putera
kesajangannja tergantung diudjung rambut, terpaksa Ban Tjin-san menahan
perasaannja, seorang laki2 hendak membalas dendam masih belum terlambat untuk
menunggu sepuluh tahun lagi. Maka katanja pula: “Sute, harini sudah terang aku
terdjungkal habis2an. Apa jang kau inginkan, hendaknja kau katakan terus terang
sadja.”
Gian Tat-peng benar2 seorang
litjik, biar orang kerupukan setengah mati, tapi ia djusteru bersikap ngular
kambang, dengan pe-lahan2 ia miring kepala untuk memikir, habis itu barulah ia
mendjawab: “ Suko, apa sih keinginan jang kuharapkan dari kau? Sudahlah, kau
suka bagaimana dan aku akan menurut sadja.”
Diam2 Ban Tjin-san gemas tidak
kepalang, didalam hati ia bersumpah: “Baik, sedemikian kau mendesak diriku,
sedikitpun tidak mau mengalah, pada suatu hari kelak pasti aku akan suruh kau
kenal akan kelihayanku.” ~ Dan lahirnja ia tenang2 sadja dan mendjawab:
“Baiklah aku berdjandji untuk selandjutnja takkan bertemu lagi dengan Sute,
kalau aku meng-utik2 apa2 lagi kepada Sute anggaplah aku orang she Ban ini
bukan manusia.”
“Ai, mana aku berani terima
sumpahmu seberat itu,” udjar Gian Tat-peng dengan senjum tjulas. “Begini, aku
hanja mohon Suko menjatakan bahwa ‘Soh Sim Kiam-boh” itu diakui sebagai milik
Gian Tat-peng. Kalau jang menemukan kelak adalah Gian Tat-peng sendiri itulah
tidak perlu lagi dipersoalkan, tapi umpama Suko jang menemukan, maka djuga
harus diserahkan kepada Sutemu ini.”
Dalam pada itu separoh tubuh
Ban Ka sudah kaku lumpuh, hawa ratjun pelahan2 mulai menjerang otaknja hingga
kepalanja terasa pening, mata mendjadi gelap, tubuhnja sempojongan, tanpa kuasa
lagi ia berkeledjetan seperti orang kena penjakit ajan.
“Sute, Sute!” seru Loh Kun
dengan kuatir, tjepat ia madju untuk memajang Ban Ka. Waktu di periksa
lengannja, ternjata garis merah itu sudah lewat ketiak dan mendjurus kedada.
Tjepat ia berpaling kepada Ban Tjin-san dan berseru: “Suhu, segala
permintaannja kita sanggupi sadja!”
Dibalik kata2nja itu se-olah2
menjatakan bahwa kita terpaksa menerima sjaratnja, tapi kelak kita masih dapat
ingkar djandji dan membalas sakit hati.
Ban Ka adalah putera tunggal
kesajangan Ban Tjin-san, dengan sendirinja djago “Ngo-in-djiu” itu tidak dapat
menjaksikan puteranja itu mati konjol begitu sadja, terpaksa ia lantas berseru:
“Baiklah, ‘Soh-sim-kiam-boh’ itu anggaplah sebagai milik Sute. Kionghi. Kionghi!”
“Djika begitu, biarlah kutjari
dulu kedalam kamar sana, boleh djadi aku akan mendapatkan obat penawar apa jang
berguna, hal ini tergantunglah nasib Ban-hiantit sendiri jang entah akan mudjur
atau malang.”
Habis berkata, tetap dengan
tjaranja jang ngular kambang ia bertindak kedalam.
Segera Ban Tjin-san mengedipi
Loh Kun dan Bok Heng dan segera kedua pemuda itupun ikut masuk kedalam.
Selang agak lama, tunggu punja
tunggu ketiga orang itu masih belum keluar, suara merekapun tidak kedengaran.
Sebaliknja keadaan Ban Ka semakin pajah, sudah dalam keadaan tak sadarkan diri
dan tak berkutik lagi bersandar dalam pegangan Sim Sia.
Keruan Ban Tjin-san semakin
kelabakan bagaikan orang kebakaran djenggot. Segera ia berkata kepada muridnja
jang lain, jaitu Pang Tam: “Tjoba kau lihat kedalam sana!”
Pang Tan mengiakan, tapi belum
lagi ia bertindak, sementara itu tertampak Gian Tat-peng sudah berdjalan keluar
dengan muka ber-seri2 dan berkata: “Untung, untung! Ini, dapat kutemukan ~
sembari berkata ia lantas undjukan sebuah botol porselen ketjil dan menjambung
pula: “Ini adalah obat penawar ratjun, tentu akan mandjur sekali untuk
menjembuhkan ratjun antupan ketungging.”
Habis berkata, ia terus
mendekati Ban Ka, ia membuka sumbat botol dan menuang keluar sedikit obat bubuk
warna hitam, ia bubuhkan obat dipunggung tangan Ban Ka sambil berkata:
“Ban-hiantit, agaknja nasibmu masih mudjur!”
Obat penawar itu ternjata
sangat mustadjab, hanja sekedjap sadja dari luka itu lantas merembes keluar air
hitam dan menetes ketanah, makin lama makin banjak darah hitam jang menetes itu
dan garis merah dilengan Ban Ka itupun pelahan2 menurun kembali kepergelangan
tangan.
Ban Tjin-san menghela napas
lega, tapi mendongkol pula. Djiwa puteranja memang telah dapat diselamatkan,
tapi pamornja sekarang benar2 bangkrut habis2an. Bertempur sadja belum dan dia
mesti mengaku kalah, bukankah hal ini terlalu penasaran baginja?
Selang tak lama pula, achirnja
Ban Ka membuka mata dan memanggil: “Ajah!”
Lalu Gian Tat-peng menutup
kembali botolnja dan menjimpannja kedalam badju, katanja dengan tertawa: “Nah,
selamat djalan, aku tidak menghantar, ja!”
“Panggil mereka keluar,” kata
Ban Tjin-san kepada Sim Sia, maksudnja kedua muridnja jang menjusul Gian
Tat-peng keruangan belakang tadi.
Sim Sia mengiakan, lalu
menudju keruangan belakang sambil berseru: “Loh-suko, Bok-suko, hajolah lekas
keluar, kita akan berangkat!”
Tapi ia tidak mendapat sahutan
seorangpun, kembali ia menggembor lagi beberapa kali dan tetap sunji senjap
tiada suara apa2. Tanpa menunggu perintah sang Suhu lagi segera Sim Sia
menerdjang kebelakang.
Namun sial benar2, sekali ia
sudah masuk, untuk selandjutnja iapun tidak keluar lagi.
Keruan Ban Tjin-san tjuriga
dan kuatir, tapi segera iapun sadar: “Didalam rumah keparat Gian Tat-peng ini
kalau bukan ada djagoan silat lihay, tentu didalam situ dipasang perangkap
rahasia apa2 hingga ketiga muridku sekali masuk lantas terdjebak tipu
muslihatnja. Dalam keadaan demikian biarpun aku memohon lagi dengan merendah
diri djuga tiada gunanja.”
Karena pikiran itu, tanpa
bitjara segera ia lolos pedang, sekali bergerak, kontan ia menusuk keleher Gian
Tat-peng.
Selamanja Tik Hun belum pernah
melihat sang Toasupek Ban Tjin-san mengundjukan ilmu silatnja, kini melihat
tusukannja itu sangat kuat dan kedji pula, diam2 ia memudji: “Ehm, bagus,
serangannja ini sangat tepat.”
Hendaklah diketahui bahwa
kepandaian Tik Hun sekarang sudah luar biasa, maka setiap permainan silat orang
lain baginja boleh dikata seperti mengambil barang disaku sendiri gampangnja,
apakah permainan silat orang itu salah atau benar dengan segera akan dapat
diketahui olehnja. Ia melihat serangan pertama Ban Tjing-san itu sedikitpun
tiada tempat kelemahan, maka dapat diduga ilmu silat sang paman guru itu memang
tidak rendah.
Begitulah maka Gian Tat-peng
telah mengegos untuk hindarkan tusukan Ban Tjin-san tadi, menjusul kedua
tangannja jang memegangi tongkat tadi mendadak dipentang, tahu2 tongkat itu
putus mendjadi dua, “tjreng”, tahu2 tangannja telah bertambah sebatang pedang
jang gemilapan menjilaukan mata.
Kiranja tongkat itu sebenarnja
adalah sendjata “dwi-guna”, boleh dipakai sebagai tongkat dan dapat pula
digunakan sebagai pedang bila udjung tongkat jang berukir kepala naga itu
ditarik, maka kepala naga itu akan berubah tugasnja mendjadi garan pedang dan
bagian tongkat jang bawah sebenarnja adalah sarung pedang.
Maka begitu pedang sudah
dilolos, segera Gian Tat-peng melantjarkan serangan balasan hingga dalam
sekedjap sadja terdengarlah suara “trang-tring” jang njaring, kedua saudara
seperguruan itu lantas saling labrak ditengah lubang galian luas itu.
Sedjak tadi para kuli kampung
itu sudah kuatir menjaksikan pertengkaran mulut kedua orang itu, kini melihat
mereka mulai saling tempur dengan sendjata, keruan kuli2 kampung itu bertambah
ketakutan hingga mereka sama menjingkir kepodjok ruangan dan tiada seorangpun
jang berani membuka suara.
Tik Hun djuga pura2 ketakutan,
tapi diam2 iapun perhatikan pertarungan kedua paman guru itu.
Sesudah mengikuti belasan
djurus lagi, diam2 Tik Hun merasa gegetun, pikirnja: “Tenaga dalam kedua Supek
ini mengapa begitu tjetek? Meski tipu serangan mereka masing2 ada keunggulannja
sendiri2, tapi kalau kebentur lawan jang punja Lwekang tinggi, sekali sendjata
beradu, sekali gebrak sadja pasti sendjata mereka akan mentjelat keudara,
djangan lagi hendak bitjara serang-menjerang segala? Dan kalau kedua Supek ini
ingin ilmu silat mereka tambah madju, mereka harus mulai dengan memupuk tenaga
dalam, kalau tiada memiliki tenaga dalam jang kuat, sekalipun mendapatkan
Soh-sim-kiam-boh djuga tiada gunanja. Apalagi usia mereka sudah landjut begini,
untuk melatih Lwekang agaknja djuga sudah susah.”
Dan setelah mengikuti beberapa
djurus pula, kembali ia lebih gegetun lagi: “Njata sekali ilmu silat Lau
Seng-hong berempat pendekar jang bergelar “Lok-hoa-liu-tjiu” adalah djauh lebih
tinggi daripada kedua Supek ini. Kulihat ilmu silat kedua Supek ini memang
sedjak mula sudah sesat djalan, melulu mengutamakan perubahan2 tipu serangan
jang indah dipandang, tapi sebenarnja tak berguna. Mereka tidak pikir tjara
bagaimana harus memupuk tenaga dalam jang merupakan landasan ilmu silat.
Apakah sebabnja mereka bisa
salah? Ja, aku mendjadi ingat, dahulu waktu Suhu mengadjarkan ilmu pedang
padaku djuga demikian tjaranja dia memberi petundjuk. Agaknja mereka,
Ban-supek, Gian-supek dan Suhu bertiga saudara seperguruan memang
beginilah memperoleh didikan
dari Sutjo (kakek guru). Pada hal ilmu silat kembangan begini kalau ketemukan
lawan jang bertenaga dalam sedikit lebih kuat, maka silat kembangan mereka ini
seketika tiada gunanja sama sekali. Ja, sungguh aneh, mengapa mereka beladjar
ilmu pedang tjara begini?”
Begitulah Tik Hun tidak habis
mengerti oleh tjara beladjar silat Suhu dan kedua Supeknja itu.
Dalam pada itu dilihatnja Sun
Kin, Pang Tan dan Go Him bertiga djuga sudah mulai mengerubut madju, mereka
tidak pikirkan pula tentang peraturan Kangouw apa segala.
Maka tertawalah Gian Tat-peng
dengan ter-bahak2: “Bagus, bagus! Toasuko, makin lama makin djempol kau! Sekian
banjak begundalmu jang kau bawa untuk mengerojok Sutemu ini!” ~ Meski ia
bersikap tenang2 sadja seperti tak terdjadi apa2, tapi permainan pedangnja
sudah mulai katjau menghadapi empat lawan itu.
Pikir Tik Hun pula: “Ilmu
pedang kedua Supek masing2 mempunyai keunggulannja sendiri2. Dahulu Gian-supek
telah mengadjarkan tiga djurus ‘Dji-koh-sik’, ‘Ni-kong-sik’ dan ‘Gi-kiam-sik’
padaku hingga aku dapat melabrak habis2an kedelapan Ban-bun-te-tju, tapi kini
ia sendiri menggunakan tipu2 serangan itu untuk menghadapi Ban-supek ternjata
tiada sedikitpun gunanja. Ai, mengapa mereka tidak paham bahwa ilmu pedang jang
indah2 permainannja kalau tidak dilandasi dengan tenaga dalam jang kuat, apa
sih gunanja? Dan sungguh aneh, mengapa mereka tidak tahu hal ini?”
Se-konjong2 dalam benaknja
terkilas sesuatu kedjadian dimasa lampau: “Menurut tjerita Ting-toako mengenai
asal-usul Sin-tjiau-keng, njata Sutjo Bwe Liam-sing pasti paham betapa
pentingnja landasan Lwekang tapi mengapa beliau tidak mengatakan kepada ketiga
muridnja? Djangan2 …… djangan2 ….” ~ berpikir sampai disini, tanpa merasa ia
menggigil dan keringat dingin merembes keluar dipunggungnja, badannja gemetar
sedikit. Seorang kampung disebelahnja jang berusia sudah tua tiada hentinja
menjebut Budha dan berdoa: “Omitohud, Omitohud! Semoga djangan terdjadi
pembunuhan disini. Adik tjilik, djangan takut, djangan takut!”
Rupanja ia melihat Tik Hun
gemetar, maka disangkanja pemuda itu ketakutan oleh pertarungan sengit itu,
maka orang tua itu lantas menghiburnja. Padahal hatinja sendiri sebenarnja
djuga sangat ketakutan.
Begitulah sekali Tik Hun sudah
dapat menerka dimana letak kegandjilan itu, tjuma hal ini terlalu kedji dan
penuh kepalsuan hati manusia, maka ia tidak ingin banjak memikirkan pula,
bahkan tidak ingin membentangkan satu djalan pikiran jang membenarkan
pendapatnja itu. Namun Tik Hun tadi sudah berhasil memetjahkan teka-teki jang
gandjil itu, dengan sendirinja segala sesuatu hal jang paling ketjil sekalipun
djuga akan dapat diarahkan kesitu. Dan setiap gerak serangan Ban Tjin-san dan
ketiga muridnja itu selalu menambah dan membuktikan kebenaran pendapat Tik Hun
itu.
“Ja, ja, tidak salah lagi,
tentu beginilah halnja. Tetapi, ah apa mungkin? Sebagai guru masakah bisa
berlaku sekedji ini? Tidak, tidak bisa ~ namun djika bukan begitu, mengapa bisa
begini? Sungguh sangat aneh?”
Achirnja terbajanglah suatu
adegan jang sangat djelas dalam benaknja. “Beberapa tahun jang lalu, itulah
ditempat jang sama ini, aku dan Djik Hong sumoay sedang latihan
dan Suhu berdiri disamping
untuk memberi petundjuk. Suhu telah mengadjarkan suatu djurus jang indah dan
aku telah melatihnja dengan giat. Tapi ketika untuk kedua kalinja aku bertanja
apa jang Suhu adjarkan lantas tidak sama lagi, gajanja sih tetap sangat bagus
tapi sudah berbeda daripada jang pertama. Tatkala itu aku mengira ilmu pedang
Suhu itu terlalu hebat dan banjak perubahannja, tapi kini demi dipikir sebab
apakah satu djurus ilmu pedang bisa ber-beda2 tjara mengadjarkan, maka terang
gamblang sekali dapat kuketahui sekarang.
Mendadak ia merasa sangat
berduka, sangat sedih, pikirnja pula: “Suhu telah sengadja menjesatkan aku,
sengadja mengadjarkan ilmu pedang jang tidak baik padaku. Sebenarnja
kepandaiannja tjukup tinggi, tapi ia sengadja mengadjarkan padaku ilmu pedang
jang tjuma indah dipandang tapi tidak berguna dipakai …….. dan Ban-supek djuga
begitu, kepandaiannja terang djauh berbeda daripada para anak muridnja ini ….”
Dalam pada itu dilihatnja Gian
Tat-peng sedang beraksi pula, tangan kiri bergaja, dan tangan kanan bergerak,
udjung pedang disendal hingga ber-putar2 dalam bentuk lingkaran2, lalu dengan
tjepat luar biasa terus menusuk kedada lawan.
Sebaliknja Ban Tjin-san djuga
tjepat menangkis, pedangnja menabas melintang ber-ulang2, lawannja tudjuh kali
memutar pedang, iapun menabas tudjuh kali hingga lingkaran2 ketjil pedang lawan
dipetjahkan semua olehnja.
Menjaksikan itu, kembali Tik
Hun berpikir pula: “Ketudjuh lingkaran2 itu sebenarnja tidak perlu, sebab
paling achir toh dia menusuk kedada Ban-supek, djika begitu, mengapa tidak
terus langsung menusuk sadja, bukankah lebih tjepat dan lebih ganas? Sebaliknja
Ban-supek djuga menabas dan menangkis lingkaran2 ketjil itu, nampaknja memang
bagus, tapi sebenarnja gobloknja keliwat. Kalau dia balas menusuk keperut
Gian-supek, bukankah sedjak tadi dia sudah menang!”
Mendadak benaknja terbajang
pula suatu adegan dimasa dahulu.
Waktu itu dia sedang berlatih
bersama sang Sumoay Djik Hong. Banjak djuga variasi ilmu pedang jang dimainkan
Djik Hong, sebaliknja ia sendiri agak lupa kepada tipu djurus jang diadjarkan
oleh Suhunja hingga dia terdesak kalang-kabut oleh serangan Djik Hong,
ber-ulang2 terpaksa ia mundur. Dan selagi Djik Hong mentjetjar pula tiga kali
hingga dia kelabakan takbisa menangkis, nampaknja pasti dia akan kalah, pada
saat sudah kepepet inilah ia tidak memikirkan apa jang pernah dipesan sang guru
lagi, tapi pedangnja diangkat untuk menangkis sekenanja, menjusul terus menusuk
kedepan.
Aneh djuga, serangan Djik Hong
itu tampaknja bergaja indah dan lihay, dan tangkisan Tik Hun tampaknja kaku
ngawur, tapi malah serangan Djik Hong itu dapat dipatahkan, bahkan tusukan Tik
Hun terus mengantjam ke pundak Djik Hong. Sedang Tik Hun bingung karena tak
sempat menarik kembali tusukannja itu, se-konjong2 Djik Tiang-hoat melompat
madju dengan membawa sepotong kayu, tjepat ia sampuk hingga pedang Tik Hun kena
dihantam djatuh terpental. Dalam pada itu Djik Hong dan Tik Hun sudah kaget
setengah mati. Maka Djik Tiang-hoat telah damperat Tik Hun mengapa tidak menurut
petundjuk adjaran sang guru, tapi main ngawur.
Tatkala itu Tik Hun djuga
pernah memikir: “Aku menjerang setjara ‘ngawur’, tapi mengapa malah menang?”
Tapi pikiran itu hanja sekilas
sadja lantas hilang. Segera terpikir olehnja: “Ja, mungkin ilmu pedang Sumoay
sendiri pun kurang sempurna, bila betul2 ketemukan lawan tangguh, tjaraku
ngawur tadi tentu akan bikin tjelaka diri sendiri.”
Begitulah sama sekali ia tidak
pikirkan bahwa tipu serangan jang dilontarkan setjara mendadak itu sebenarnja
djauh lebih hebat dan lebih praktis daja gunanja.
Dan kalau dipikir sekarang,
terang berbeda sama sekali pendapatnja. Kini ilmu silat Tik Hun sudah sempurna,
dengan terang gamblang ia dapat melihat dengan djelas bahwa diantara permainan
silat Tjin-san dan Gian Tat-peng itu hanja gerak kembangan jang tiada gunanja,
sedangkan apa jang diadjarkan Ban Tjin-san kepada muridnja dan apa jang
diadjarkan Djik Tiang-hoat kepada Tik Hun, gerak tipu jang tak berguna itu
lebih banjak pula. Njata sekali bahwa Sutjo Bwe Liam-sing sebenarnja sudah tahu
bahwa djiwa ketiga muridnja itu tidak djudjur, maka diwaktu mengadjar sengadja
menjesatkan mereka kedjalan jang tidak benar. Kemudian waktu Ban Tjin-san dan
Djik Tiang-hoat mengadjar kepada muridnja, djalan sesat itu mendjadi makin djauh
lagi.
Sungguh Tik Hun tidak habis
mengarti, dengan tipu serangan jang tidak berguna itu kalau dipakai bertempur
melawan musuh, itu berarti menjerahkan djiwa sendiri kepada musuh. Mengapa
Sutjo, Supek dan Suhu begitu kedji dan kedjam? Mengapa mereka begitu tjulas.
Sambil memandangi muka Gian
Tat-peng, kemudian Tik Hun mendadak ingat sesuatu kedjadian dimasa dahulu.
Jaitu pada hari Bok Heng datang untuk mengundang gurunja menghadiri perajaan
ulang tahun sang Supek. Tatkala itu ia sedang berlatih dengan Djik Hong,
mendadak terdengar suara orang tertawa dibalik onggok djerami sana, waktu
Suhunja memeriksa kesana, kiranja adalah seorang pengemis tua jang sedang
mendjemur diri dibawah sinar matahari sambil mentjari tuma dibadjunja jang
rombeng itu. Tatkala itu Suhu tidak tahu, padahal sebenarnja pengemis tua itu
adalah samaran Gian Tat-peng. Senantiasa Gian-supek itu mengintai disekitar
rumah tinggal Suhunja itu untuk mentjari sesuatu dan sudah tentu jang ditjari
adalah Soh-sim-kiam-boh, malahan sampai sekarang kedua Supek itu masih
bertempur memperebutkan kitab pusaka itu.
Begitulah djika disana Tik Hun
sedang mengelamun mengenangkan kedjadian2 dahulu, adalah ditengah kalangan
pertempuran sana Ban Tjin-san masih saling labrak dengan sengit bersama Gian
Tat-peng. Tapi karena Ban Tjin-san mengerojok bersama ketiga muridnja, maka
Gian Tat-peng makin lama makin terdesak.
Se-konjong2 Sun Kin menusuk
kepunggung Gian Tat-peng, tapi tjepat Tat-peng sempat membaliki pedangnja untuk
menangkis, berbareng pedangnja menjabat kebawah, maka mendjeritlah Sun Kin,
“trang” pedangnja djatuh ketanah, pergelangan tangannja djuga luka terkena
sendjata lawan. Dan pada saat jang hampir sama itu, kesempatan itu telah
digunakan dengan baik oleh Ban Tjin-san, “tjret” pedangnja djuga kena menggores
suatu luka pandjang di lengan kanan Gian Tat-peng.
Karena kesakitan, tjepat
Tat-peng mengoperkan pedangnja ketangan kiri. Dan sudah tentu ia kurang biasa
menggunakan pedang dengan tangan kiri, apalagi lukanja djuga tidak ringan,
darah mengutjur membasahi tubuhnja, maka setelah beberapa djurus lagi, kembali bahu-kirinja
tertusuk pula oleh pedang Ban Tjin-san.
Para kuli kampung jang
menonton disamping itu mendjadi putjat ketakutan, mereka saling berbisik
menjatakan kekuatiran mereka akan kemungkinan terdjadinja perkara djiwa, tapi
tiada seorangpun diantara mereka jang berani bersuara keras.
Sebaliknja Ban Tjin-san sudah
bertekad harus membunuh sang Sute, maka serangan2nja semakin gentjar dan
semakin kedji. “Tjret”, kembali dada kanan Gian Tat-peng kena tertusuk lagi.
Tampaknja dalam berapa djurus
lagi djiwa Gian Tat-peng pasti akan melajang dibawah pedang sang Suheng, tapi
toh dia masih melawan mati2an, sepatahkatapun dia takmau minta ampun. Rupanja
ia tjukup kenal watak sang Suheng jang tjulas, apalagi selama belasan tahun
mereka telah “perang dingin” setjara diam2, kalau dia minta ampun, itu berarti
akan makin dihina dan tidak mungkin berguna.
Dalam pada itu Tik Hun sedang
memikir: “Dahulu waktu di Hengtjiu, Gian-supek pernah menolong aku dari
labrakan sibandit besar Lu Thong, malahan iapun mengadjarkan tiga djurus ilmu
pedang padaku hingga aku terhindar dari aniaja dan hinaan murid2nja Ban-supek.
Sebelum aku membalas budinja ini, mana boleh aku menjaksikan dia mati ditangan
orang.”
Karena itu Tik Hun pura2
gemetar ketakutan, tapi tjangkul jang dipegangnja itu telah siap mengeduk
tanah.
Pada saat lain dilihatnja
pedang Ban Tjin-san kembali menusuk lagi keperut Gian Tat-peng dan tampaknja
Gian Tat-peng sudah tak sanggup menangkis lagi, pada detik itulah setjepat
kilat Tik Hun sendalkan tjangkulnja, kontan segumpal tanah melajang kearah Ban
Tjin-san. Tenaga sambaran gumpalan tanah itu tak terkatakan kuatnja, karena
tertumbuk oleh tenaga itu, seketika Ban Tjin-san tak tahan, “bluk”, kontan ia
djatuh terdjungkal.
Oleh karena diluar dugaan,
maka tiada seorangpun jang tahu darimana datangnja gumpalan tanah itu. Dan
selagi suasana agak panik, tanah tjangkul Tik Hun jang kedua kalinja telah
menghambur lagi, tapi sekali ini jang diarah adalah lentera minjak dan lilin ditepi
medja sana, maka dalam sekedjap itu padamlah lilin dan lentera, dalam rumah
mendjadi gelap gelita disertai suara djerit kaget orang banjak. Dan pada saat
lain Tik Hun lantas melompat madju, tjepat ia kempit Gian Tat-peng terus
menerdjang keluar.
Setiba diluar rumah, segera
Tik Hun tutuk beberapa Hiat-to penting dipundak, dada dan lengan untuk menahan
keluarnja darah dari luka Gian Tat-peng itu. Lalu ia panggul sang Supek, ia
keluarkan Ginkangnja jang tinggi terus berlari setjepat terbang kearah pegunungan
dibelakang rumah.
Karena Ginkangnja hebat,
tempat disekitar situ djuga sangat dikenalnja, maka Tik Hun terus berlari
menudju kelereng gunung jang paling terdjal dan susah ditempuh. Gian Tat-peng
menggemblok diatas pundak pemuda itu merasa badannja se-akan2 me-lajang2
di-awang2 dan mirip dialam mimpi sadja. Sekalipun ia sudah kenjang asam-garam
kalangan Kangouw, tapi susah disuruh pertjaja bahwa didunia ini ternjata ada
tokoh silat setinggi ini.
Begitulah djalan jang ditudju
oleh Tik Hun itu makin lama makin tinggi, kira2 lebih satu djam, achirnja
tibalah diatas puntjak gunung jang paling tinggi disekitar situ. Puntjak gunung
itu mendjulang tinggi menembus awan, djangankan orang lain susah mendaki
kesitu, biarpun Tik Hun sendiri djuga baru pertama kali ini datang kesitu.
Dahulu ia dan Djik Hong sering memandangi puntjak gunung ini dari djauh dan
bersenda-gurau setjara ke-kanak2an, siapa duga harini kebetulan dia menolong
djiwa seorang, maka didatanginja puntjak gunung ini.
Kemudian ia letakan Gian Tat-peng
ditepi sebuah batu tjadas, lalu ia tanja: “Kau membawa obat luka atau tidak?”
Tanpa mendjawab, tapi Gian
Tat-peng terus berlutut dan menjembah, katanja: “Siapakah nama Inkong (tuan
penolong) jang mulia? Harini Gian Tat-peng selamat berkat pertolonganmu,
sungguh budi setinggi langit ini entah tjara bagaimana harus kubalas.”
Tik Hun adalah orang djudjur
tulus, meski ia tidak ingin memberitahukan siapa dirinja sendiri, tapi ia pun
merasa tidak pantas menerima penghormatan sang Supek, maka tjepat iapun berlutut
dan balas menjembah, sahutnja: “Tjianpwe djangan banjak adat hingga membikin
hati Tjayhe merasa tidak enak. Tjayhe adalah seorang ‘Bu-beng-siau-tjut’
(peradjurit tak bernama, kerotjo), namaku tiada harganja untuk dikenal, tentang
sedikit urusan ini kenapa mesti bitjara soal membalas budi segala.”
Tapi Gian Tat-peng masih
berkeras ingin tahu. Sebaliknja Tik Hun tidak dapat membohong dengan nama
palsu, hanja tetap ia takmau beritahukan namanja.
Gian Tat-peng tahu bahwa
banjak tokoh2 kosen dari dunia persilatan jang suka mengasingkan diri dan
menghapuskan namanja dari pergaulan ramai, dari itu iapun tidak berani mendesak
terus, kemudian ia mengeluarkan obat luka jang dibawanja dan membubuhkan
dilukanja sendiri.
Melihat luka2 diatas tubuh
sendiri itu, mau-tak-mau Gian Tat-peng merasa ngeri dan bersyukur pula,
pikirnja: “Untung ada tua penolong ini, kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah
mendjadi almarhum?”
Lalu Tik Hun mulai membuka
suara: “Tjayhe ada beberapa persoalan jang susah dimengerti, maka ingin minta
pendjelasan pada Tjianpwe.”
“Djanganlah Inkong menjebut
diriku sebagai Tjianpwe,” kata Tat-peng dengan merendah. “Djika Inkong ada
pertanjaan apa2, asalkan Tat-peng tahu, tentu akan kukatakan se-djudjur2nja,
sedikitpun tidak berani berdusta.”
“Bagus sekali, inilah jang
kuharapkan,” kata Tik Hun. “Nah tolong tanja Tjianpwe, apakah gedung itu adalah
kau jang membangunnja?”
“Benar,” sahut Tat-peng.
“Tjianpwe sengadja mengupahi
orang buat menggali lubang besar itu, tentunja ingin mentjari
‘Soh-sim-kiam-boh’ itu, dan apakah sudah diketemukannja?” tanja Tik Hun pula.
Tat-peng terkesiap, pikirnja:
“Ai, kukira dia menolong aku dengan maksud baik, tak tahunja djuga seorang jang
lagi mengintjar ‘Soh-sim-kiam-boh’.” ~ Tapi mau-tak-mau iapun mendjawab: “Sudah
banjak djerih-pajah jang kukorbankan, tapi sampai saat ini belum memperoleh
sedikit tanda2 jang berguna. Harap Inkong maklum bahwa apa jang kukatakan ini
adalah sesungguhnja. Pabila Tat-peng sudah memperoleh apa jang ditjari itu,
tentu akan kupersembahkan dengan kedua tangan. Sedangkan djiwaku djuga Inkong
jang menolong, masakah aku masih sajangkan benda jang toh takkan berguna djika
djiwa sudah melajang.”
“Eh, djangan kau salah
sangka,” kata Tik Hun sambil gojang2 tangannja. “Aku sendiri tidak inginkan
Kiam-boh itu, untuk bitjara terus terang, meski kepandaianku tjuma biasa sadja,
tapi aku jakin kalau tjuma kitab seperti ‘Soh-sim-kiam-boh’ apa itu, rasanja
belum tentu akan berpaedah bagiku.”
“Ja, ja, memang!” kata
Tat-peng. “Ilmu silat Inkong sudah tiada taranja dan didjaman ini tiada
tandingannja, sedangkan ‘Soh-sim-kiam-boh’ itu hanja sedjilid kitab peladjaran
ilmu pedang jang biasa sadja. Kami bersaudara perguruan karena ingin memperoleh
kitab pusaka perguruan sendiri, maka sangat menilai tinggi atas kitab itu,
padahal dimata orang luar itu tjuma kitab jang tiada artinja.”
Biarpun Tik Hun adalah seorang
tulus dan tidak pandai ber-liku2, tapi ia dapat djuga mendengar apa jang
dikatakan Gian Tat-peng ada jang tidak djudjur, namun iapun tidak membongkar
kebohongan orang itu, tapi ia bertanja lagi. “Kabarnja tempat ini adalah
kediaman lama Sutemu Djik Tiang-hoat. Katanja Djik Tiang-hoat itu berdjuluk ‘Tiat-soh-heng-kang’,
apakah artinja djulukan itu?”
Sedjak ketjil Tik Hun
dibesarkan oleh gurunja, apa jang dilihatnja selama itu adalah sang guru itu
seorang tua pedusunan jang djudjur dan lugu, tapi Ting Tian djusteru mengatakan
bahwa gurunja adalah seorang jang banjak tipu akalnja sebab itulah ia sengadja
tanja Gian Tat-peng untuk mengetjek kebenaran apa jang dikatakan Ting Tian itu.
Maka terdengar Gian Tat-peng
telah mendjawab: “Suteku Djik Tiang-hoat memang berdjuluk ‘Tiat-so-heng-kang’,
jaitu orang memperumpamakan dia itu laksana seutas rantai besi besar jang
melintang dipermukaan sungai hingga semua lalu-lintas air itu takbisa naik dan
takdapat turun, artinja mengatakan Djik-sute itu seorang jang banjak tipu
muslihatnja, tjaranja kedji pula terhadap orang.”
Sungguh hati Tik Hun sangat
menjesal, pikirnja: “Apa jang dikatakan Ting-toako itu ternjata sedikitpun
tidak salah. Guruku ternjata benar seorang jang demikian, sedjak ketjil aku
telah tertipu olehnja dan beliau selamanja djuga tidak pernah mengundjukan
watak aslinja padaku.” ~ Namun demikian dalam hatinja tetap timbul sekelumit
harapan, maka tanjanja pula: “ Djuluk orang Kangouw itu belum tentu dapat
dipertjaja penuh, boleh djadi musuhnja jang sengadja memberikannja djulukan itu
untuk meng-olok2nja. Sebagai sesama saudara perguruan, tentunja Gian-tjianpwe
tjukup kenal bagaimana wataknja, nah, sebenarnja bagaimanakah wataknja itu?”
Gian Tat-peng menghela napas,
kemudian katanja: “Bukanlah aku sengadja hendak membitjarakan kedjelekan
saudara perguruanku sendiri, tapi karena Inkong ingin tahu, Tjayhe tidak berani
berdusta sedikitpun, maka biarlah kukatakan terus terang. Djik-suteku itu
lahirnja memang kelihatan seperti orang desa jang ke-tolol2an, tapi sebenarnja
hatinja litjin, pikirannja tadjam. Kalau tidak, masakah ‘Soh-sim-kiam-boh’ itu
dapat djatuh kedalam tangannja?”
Tik Hun manggut2, selang
sedjenak barulah ia berkata pula: “Darimana kau tahu dengan pasti bahwa
‘Soh-sim-kiam-boh’ itu berada padanja? Apa kau menjaksikan dengan mata kepala
sendiri? Menurut kabar, katanja engkau suka menjamar sebagai seorang pengemis
tua, apakah benar?”
Diam2 Gian Tat-peng terkesiap
lagi, ia heran orang begitu lihay dan serba tahu mengenal seluk-beluk dirinja.
Maka djawabnja: “Wah, berita Inkong benar2 sangat tadjam hingga setiap
tindak-tanduk Tjayhe dapat diketahui Inkong. Semula aku pikir,
‘Soh-sim-kiam-boh’ itu kalau bukan berada ditangan Ban-suko tentulah berada
pada Djik-sute, maka diam2 aku menjamar sebagai pengemis tua untuk menjelidiki
antara kedua tempat tinggal Suheng dan Sute itu. Tapi sesudah kuselidiki sekian
lamanja, achirnja aku menarik kesimpulan bahwa Kiam-boh itu tidak berada pada
Ban-suko tapi pasti berada ditangan Djik-sute.”
“Apa jang mejakinkan
kesimpulanmu itu?” tanja Tik Hun.
Djawab Gian Tat-peng: “Dahulu
waktu guru kami akan wafat, beliau telah menjerahkan Kiam-boh itu kepada kami
bertiga saudara seperguruan ……”
Tik Hun djadi teringat kepada
tjerita Ting Tian tentang peristiwa berdarah pada suatu malam dipantai
Tiangkang, dimana Ban Tjin-san, Gian Tat-peng dan Djik Tiang-hoat bertiga telah
mengerojok guru mereka hingga mati. Maka ia lantas mendengus demi mendengar
keterangan Gian Tat-peng itu, katanja: “Hm apa betul gurumu menjerahkan kitab
itu kepada kalian setjara baik2? Hm kukira belum …. belum tentu benar, bukan?
Apakah beliau meninggal setjara wadjar?”
Keruan kedjut Gian Tat-peng
tak terhingga, mendadak ia melompat bangun, ia tuding Tik Hun dan berseru: “Apa
kau … kau adalah Ting … Ting Tian … Ting-toaya?”
Hendaklah diketahui bahwa
kedjadian Ting Tian jang mengubur djenazah Bwe Liam-sing itu achirnja tersiar
dikalangan Kang-ouw, sebab itulah demi mendengar dosa sendiri jang membunuh
guru dibongkar oleh Tik Hun seketika ia mentjurigai pemuda itu adalah Ting Tian.
Tapi dengan dingin Tik Hun
berkata: “Aku bukan Ting Tian, Ting-toako adalah seorang pembentji kedjahatan,
dengan mata kepala sendiri ia telah menjaksikan kalian bertiga mengerojok
hingga tewasnja Suhu kalian, pabila aku adalah Ting-toako, tidak mungkin harini
aku mau menolong djiwamu, tentu akan kubiarkan kau mati dibawah pedangnja Ban
Tjin-san.”
“Habis siapa engkau?” tanja
Gian Tat-peng dengan takut dan sangsi.
“Kau tidak perlu urus siapa
aku,” sahut Tik Hun. “Djika ingin orang lain tidak tahu, ketjuali kalau engkau
sendiri tidak berbuat. Nah, katakan terus terang, setelah kalian menewaskan
gurumu dan berhasil merebut ‘Soh-sim-kiam-boh’, kemudian bagaimana?”
“Djika …. djika engkau toh
sudah tahu semuanja, buat …. buat apa tanja padaku lagi?” sahut Gian Tat-peng
dengan suara gemetar.
“Ada sebagian jang kuketahui,
tapi ada sebagian aku tidak tahu. Maka kau harus mengaku dengan sedjudjurnja,
djika bohong sedikit sadja tentu akan kuketahui.”
Sungguh takut dan hormat pula
Gian Tat-peng kepada Tik Hun, katanja kemudian: “Mana aku berani membohongi
Inkong? Begini, sesudah kami mendapatkan ‘Soh-sim-kiam-boh’ itu, setelah kami
periksa, ternjata jang ada tjuma Kiam-boh (kitab peladjaran ilmu pedang) dan
tiada terdapat Kiam-koat (kuntji peladjaran ilmu pedang) jang penting itu,
djadi pertjumalah kami mendapatkan Kiam-bohnja sadja ……”
Diam2 Tik Hun membatin:
“Menurut Ting-toako, katanja Kiam-koat itu menjangkut rahasia suatu partai
harta karun jang belum diketemukan sesudah Bwe Liam-sing, Leng-siotjia dan Ting-toako
wafat semua, maka didunia ini sudah tiada seorangpun jang tahu akan Kiam-koat
itu, sebaiknja kalian djangan mengimpi pula akan memperolehnja.”
Dalam pada itu terdengar Gian
Tat-peng sedang melandjutkan: “Sebab itulah, maka kami masih terus menjelidiki
dimanakah beradanja Kiam-koat itu. Tapi kami bertiga saling
tjuriga-mentjurigai, masing2 sama kuatir kalau Kiam-boh itupun akan dikangkangi
pihak lain, maka setiap malam diwaktu tidur, Kiam-boh itu lantas kami kuntji
didalam sebuah peti besi, kuntji daripada peti itu kami buang ketengah sungai
dan peti besi itu kami simpan dilatji medja jang kami kuntji pula. Malahan peti
besi itu kami gandeng pula dengan tiga buah rantai besi jang ketjil dan masing2
terikat dipergelangan tangan kami, djadi asal ada seorang jang bergerak
sedikit, segera dua orang jang lain akan lantas terdjaga bangun.”
Pendjagaan seperti itu sungguh
sangat kuat,” udjar Tik Hun.
“Benar,” sahut Gian Tat-peng.
“Tapi toh masih terdjadi djuga keonaran.”
“Terdjadi keonaran apa?” tanja
Tik Hun.
“Malam itu kami tidur didalam
suatu kamar, tapi esok paginja mendadak Ban-suheng ber-teriak2. “Dimana
Kiam-boh itu? Dimana?” ~ Waktu aku terdjaga bangun, kulihat latji medja jang
tersimpan peti besi itu sudah terbuka, tutup peti besi djuga melompong. Kiam-boh
jang tersimpan didalam peti itu sudah terbang tanpa bekas. Keruan kami bertiga
sangat kaget, tjepat kami mentjari kesana kemari dan sudah tentu hasilnja
nihil. Kedjadian itu benar2 sangat aneh sebab pintu dan djendela kamar itu
masih tetap tertutup rapat dan terkuntji dengan baik, maka daapt diduga
pentjuri Kiam-boh itu pasti bukan dilakukan orang dari luar, sebaliknja adalah
orang jang berada didalam kamar, djadi kalau bukan Ban-suko tentu adalah
Djik-sute, satu diantara mereka berdua itu pasti adalah malingnja.”
“Djika begitu, mengapa dia
tidak membuka djendela atau pintu agar disangka ditjuri oleh orang luar?” tanja
Tik Hun.
“Tangan kami tergandeng oleh
rantai besi, kalau diam2 bangun untuk membuka latji dan peti besi itu masih
mungkin, tapi kalau berdjalan agak djauh untuk membuka pintu atau djendela,
maka rantai besi jang menggandengkan kami itu akan kurang pandjang,” kata Tat-peng.
“O, kiranja begitu, lalu apa
jang kalian lakukan lagi?” tanja Tik Hun pula.
“Sudah tentu kami tidak
tinggal diam mengingat Kiam-boh itu tidak mudah kami peroleh tapi direbut
dengan mengadu djiwa,” sahut Tat-peng. “Maka diantara kami bertiga telah saling
menjalahkan dan terdjadilah pertengkaran, bahkan saling tuduh menuduh pula,
namun tiada seorangpun jang dapat membuktikan tuduhan masing2, achirnja
terpaksa masing2 menudju kearahnja sendiri-sendiri ……”
“Ada sesuatu jang aku merasa
tidak paham, harap suka memberi pendjelasan,” kata Tik Hun. “Bahwasanja kalian
bertiga adalah saudara perguruan, djikalau gurumu memiliki sedjilid Kiam-boh
pusaka, lambat atau tjepat toh pasti akan diwariskan kepada kalian, apakah
mungkin Kiam-boh ini akan dibawanja serta kedalam liang kubur? Dari itu,
mengapa kalian turun tangan sekedji itu dan mengapa mesti membunuh guru kalian
untuk mendapatkan Kiam-boh itu?”
“Ai, dasar guruku itu memang
sudah pikun barangkali,” sahut Tat-peng. “Tjoba, masakah kami bertiga dituduh
berhati tidak djudjur dan berdjiwa djahat, maka beliau bertekad akan
mengadjarkan ilmu silatnja kepada orang luar. Oleh karena kami sudah tak tahan
lagi, sudah terpaksa, maka berbuat seperti apa jang terdjadi itu.”
“O, kiranja begitu. Habis,
darimana kemudian kau jakin bahwa Kiam-boh itu berada dalam tangan
Djik-sutemu?” tanja Tik Hun.
“Semula jang kutjurigai adalah
Ban Tjin-san, sebab dia jang menggembor lebih dulu tentang kemalingan itu. Dan
biasanja itu maling suka teriak maling, itulah siasat jang paling sering
digunakan. Tapi sesudah diam2 aku menguntit dia, tidak lama kemudian aku lantas
tahu dia bukan malingnja. Sebab dia sendiri djuga sedang membajangi Samsute.
Djikalau Kiam-boh itu berada ditangan Ban Tjin-san, tidak mungkin dengan
susah-pajah ia malah menjelidiki orang lain, tapi ia tentu akan menghilang
sedjauh mungkin untuk mejakinkan ilmu pedang itu. Namun setiap kali aku melihat
dia, selalu kulihat dia sedang mengertak gigi dengan gemas, sikapnja tidak
sabar lagi dan dendamnja tidak kepalang. Karena itulah aku lantas ganti
sasaran, jang kuintjar sekarang adalah Djik Tiang-hoat.”
“Lalu adakah sesuatu jang kau
ketemukan?” tanja Tik Hun.
“Tidak, Djik Tiang-hoat itu
benar2 memang seorang jang litjin, sedikitpun ia tidak menundjuk sesuatu tanda
jang mentjurigakan,” sahut Tat-peng dengan menggeleng kepala. “Pernah aku
mengintai waktu dia mengadjar ilmu pedang kepada putri dan muridnja, tapi dia
sengadja berlagak bodoh, ia sengadja mengubah nama2 djurusnja dengan istilah2
jang aneh dan menggelikan. Tapi semakin dia berlaga pilon, semakin menimbulkan
tjurigaku. Selama tiga tahun aku terus mengintai gerak-geriknja, tapi tetap
tiada sesuatu lubang kelemahan jang kudapatkan. Diwaktu dia tiada dirumah,
pernah beberapa kali aku menggerajangi rumahnja, tapi hasilnja nihil,
djangankan Soh-sim-kiam-boh apa segala, biarpun kitab beladjar membatja djuga
tiada sedikitpun terdapat dirumahnja. Hehe, Suteku ini benar2 seorang maha
litjin, seorang tjerdik, seorang pintar!”
“Kemudian bagaimana?” tanja
Tik Hun lagi.
“Kemudian, kemudian pihak Ban
Tjin-san akan merajakan ulang tahunnja. Ia telah mengirim seorang muridnja
untuk mengundang Djik Tiang-hoat ke Hengtjiu untuk ikut merajakan Shedjit sang
Suko,” tutur Tat-peng pula. “Sudah tentu, merajakan Shedjit hanja siasat sadja,
jang benar Ban Tjin-san ingin mentjari tahu bagaimana keadaan Djik-sutenja.
Begitulah Djik Tiang-hoat lantas berangkat ke Heng tjiu dengan membawa serta
seorang muridnja jang ke-tolol2an, kalau tidak salah bernama Tik Hun dan
puterinja, Djik Hong djuga ikut. Ditengah perajaan ulang tahun itu, entah
mengapa mendadak si tolol Tik Hun itu telah berkelahi dengan kedelapan
anak-murid Ban Tjin-san, dalam keadaan dikerubut itu mendadak Tik Hun
melontarkan tiga tipu serangan jang hebat hingga menimbulkan tjuriga Ban
Tjin-san. Segera ia mengundang Djik-sute kedalam kamarnja untuk bitjara, tapi
bitjara punja bitjara, achirnja mereka sendiripun bertengkar, sekali tusuk Djik
Tiang-hoat telah melukai Ban-suko, habis itu ia lantas kabur dan menghilang
entah kemana lagi. Aneh, sungguh aneh, benar2 sangat aneh!”
“Aneh tentang apa?” tanja Tik
Hun.
“Tentang Djik Tiang-hoat jang
menghilang itu, sedjak itu tidak pernah kelihatan lagi batang-hidungnja, entah
dia telah sembunji dimana, bahkan kabar sedikitpun tiada lagi,” kata Tat-peng.
“Diwaktu Djik Tiang-hoat berangkat ke Hengtjiu, dengan sendirinja tidak mungkin
ia membawa serta Kiam-boh jang dia serobot dari kedua Suhengnja itu, tapi pasti
dia simpan kitab pusaka itu disuatu tempat rahasia dirumahnja itu. Semula aku
menaksir sesudah dia melukai Ban Tjin-san, tentu malam itu djuga ia akan pulang
kerumah untuk mengambil Kiam-boh, lalu merat sedjauh mungkin. Selama itulah,
begitu terdjadi peristiwa itu di Hengtjiu, segera aku menggunakan kuda pilihan
mendahului datang ke Wanleng sini, aku sembunji disekitar rumahnja untuk
mengintai dimanakah dia menjimpan Kiam-boh tjurian itu, dengan begitu aku akan
segera menjergapnja. Akan tetapi tunggu punja tunggu, tetap dia tidak muntjul.
Achirnja aku mendjadi tidak sabar lagi, dengan tidak sungkan2 lagi aku lantas
bongkar rumahnja hingga murat-marit, aku lalu menggali kitab pusaka jang dia
pendam dirumahnja itu. Namun sampai sekarang rupanja usahaku ini sia2 belaka,
djerih pajahku itu terbuang pertjuma. Tjoba kalau tidak ditolong oleh Inkong,
bukan mustahil sekarang djiwaku sudah melajang disitu.”
“Dan kalau menurut pendapatmu,
kira2 sadja Djik-sutemu itu sekarang berada dimana?” tanja Tik Hun.
“Inilah aku benar2 tidak dapat
menerkanja,” sahut Tat-peng dengan menggeleng. “Besar kemungkinan dia sudah
ketulah dan sudah mati menggeletak dimana atau djatuh sakit untuk tidak pernah
sembuh lagi atau boleh djadi mengalami ketjelakaan apa2 serta sudah mendjadi
mangsa harimau atau serigala.”
Melihat tjara Gian Tat-peng
omong itu penuh mengundjuk rasa senang pabila sang Sute itu benar2 sudah mati,
diam2 Tik Hun mendjadi muak terhadap manusia rendah itu. Tapi lantas terpikir
olehnja bahwa selama ini memang tiada kabar berita tentang gurunja itu, besar
kemungkinan memang sudah mengalami sesuatu halangan apa2.
Maka ia lantas berbangkit dan
berkata. “Terima kasih atas keteranganmu jang sebenarnja ini, sekarang Tjayhe
mohon diri lebih dulu.”
Dengan penuh hormat kembali
Gian Tat-peng mendjura tiga kali lagi, katanja. “Budi kebaikan Inkong jang
tiada terhingga ini selama hidup Gian Tat-peng takkan melupakan.”
“Hanja soal ketjil ini mengapa
mesti dipikirkan,” sahut Tik Hun. “Kau boleh merawat lukamu disini, Ban
Tjin-san itu takkan dapat menemukan kau, maka tidak perlu kau kuatir.”
“Saat ini besar kemungkinan
dia lagi kelabakan seperti semut di minjak wadjan panas, mana dia sempat untuk
memikirkan mentjari aku?” sahut Tat-peng dengan tersenjum.
“Sebab apa?” tanja Tik Hun
dengan heran.
“Sebab saat ini dia tentu lagi
kelabakan memikirkan keselamatan puteranja,” tutur Tat-peng. “Tangan puteranja
itu telah kena disengat oleh ketungging jang berbisa djahat itu, untuk bisa
sembuh harus ber-turut2 dibubuhi obat sebanjak sepuluh kali, kalau tjuma sekali
dibubuhi obat, memang sakitnja akan hilang untuk sebentar, lalu tidak lama
kemudian akan kambuh lagi lebih djahat.”
“Wah djika begitu, apakah
djiwa Ban Ka itu akan melajang?” kata Tik Hun agak kaget.
Ratjun ketunggingku itu memang
benar2 lain daripada jang lain,” tutur Tat-peng dengan ber-seri2. “Jang hebat
adalah Ban Ka itu takkan mati seketika, tapi dia akan merintih dan menderita
selama sebulan suntuk, habis itu barulah djiwanja melajang. Hahaha, sungguh
hebat, sungguh bagus!”
“Kalau sebulan kemudian baru dia
akan mati, djika begitu tentu dia akan dapat menemukan tabib pandai untuk
mengobati lukanja jang disengat ketungging itu,” udjar Tik Hun.
“Agaknja Inkong tidak tahu
bahwa ketungging berbisa itu bukanlah sembarangan serangga jang dibesarkan oleh
alam, tapi adalah piaraanku sendiri, sedjak ketjil aku telah melolohi dia
dengan matjam2 obat penawar agar mereka sudah biasa atau kebal oleh obat
penawar itu, maka kalau tabib umumnja membubuhkan obat penawar ditempat jang
disengat itu, sudah tentu takkan berguna sama sekali. Hahaha!”
Dengan melirik hina Tik Hun
mengikuti tjerita manusia kedji itu, diam2 ia membatin: “Hati orang ini benar2
terlalu kedjam dan menakutkan. Bukan mustahil lain kali akupun akan kena
disengat oleh ketungging jang ia piara itu. Menurut pesan Ting-toako, katanja
kalau berkelana di Kangouw hendaklah djangan timbul maksud untuk membikin
tjelaka orang, tapi djuga djangan lengah untuk mendjaga kemungkinan ditjelakai
orang. Maka lebih baik aku minta sedikit obat penawar dari dia sekedar untuk
persediaan siapa tahu bila kelak ada gunanja.”
Maka ia lalu berkata:
“Gian-tjianpwee, obat penawar untuk ratjun ketunggingmu itu bolehlah serahkan
padaku sadja.”
“Baik, baik,” sahut Gian
Tat-peng tanpa pikir. Tapi ia tidak lantas menjerahkan obat jang diminta,
sebaliknja tanja dulu. “Inkong minta obat penawar itu, entah akan digunakan
untuk apa?”
“Ketunggingmu itu sangat
lihai, bisa djadi pada suatu saat aku kurang hati2 hingga tersengat, tapi kalau
aku sudah punja obat penawarnja tentu takkan kuatir lagi,” sahut Tik Hun.
Wadjah Gian Tat-peng
mengundjuk rasa risi, sahutnja dengan tertawa: “Ah Inkong suka bergurau sadja.
Sedangkan buat pertolongan djiwa Inkong padaku belum kubalas, masakah aku
mempunjai maksud untuk mentjelakai Inkong.”
“Ja, tapi ada baiknja djuga
aku mendjaga segala kemungkinannja, sedia pajung sebelum hudjan, kan tiada
djeleknja,” kata Tik Hun sambil mengulurkan tangannja.
“Ja, ja!” sahut Gian Tat-peng
dan terpaksa ia mengeluarkan botol obat penawar itu dan diserahkan kepada tuan
penolong djiwanja itu.
Sesudah meninggalkan Gian
Tat-peng dipuntjak gunung itu, Tik Hun kembali pula kegedung itu untuk
menjelidiki keadaannja. Tapi dilihatnja gedung itu sudah sepi senjap tiada
seorangpun, para kuli kampung sudah bubar, simandor dan si Koankeh djuga entah
menghilang kemana lagi.
“Suhu mungkin sudah meninggal,
Sumoay kini sudah mendjadi isteri orang, maka tempat ini untuk selandjutnja
terang takkan kudatang lagi,” demikian pikir Tik Hun. Segera ia tinggalkan
gedung itu dan berangkat menudju kebarat-daja dengan menjusur tepi sungai.
Sementara itu fadjar sudah
menjingsing, sang surya mulai mengintip diufuk timur, beberapa puluh meter
djauhnja, waktu Tik Hun menoleh, ia melihat sinar fadjar merlang tjemerlang
diputjuk pohon2. Yang didepan gedung itu, air sungai djuga ber-kelip2
memantjarkan tjahaja ke-emas2nja, pemandangan demikian ini sudah sedjak ketjil
kenjang dilihat oleh Tik Hun, tanpa merasa ia menggumam lagi: “Untuk
selandjutnja aku takkan kembali lagi ketempat ini.”
Setelah membetulkan
rangselnja, ia pikir tugas jang masih harus dilaksanakannja hanja tinggal satu
sadja jaitu mengubur abu tulang Ting-toako bersama djenazah Ting-siotjia. Maka
tempat jang harus ditujunja sekarang adalah Hengtjiu.
Pikirnja pula: “Sikeparat Ban
Ka itu telah mengakibatkan hidupku merana seperti sekarang ini, sjukur orang
djahat tentu mendapat gandjaran jang setimpal, maka rasanja akupun tidak perlu
membalas dendam dengan tanganku sendiri, menurut kata Gian Tat-peng katanja dia
akan me-rintih2 dan sesambatan selama sebulan, habis itu baru akan mati, entah
apa jang dikatakan itu benar atau tidak. Djika ternjata djiwanja masih belum
melajang umpamanja, maka aku baru menambahi dia dengan tusukan pedangku biar
bagaimanapun djiwa andjingnja harus kutjabut.”
Begitulah ia lantas berangkat
ke Hengtjiu jang tidak djauh dari barat Oulam itu, maka tiada seberapa hari iapun
sampailah disana.
Sesudah mentjari kabar,
diketahuilah bahwa Leng Dwe-siu masih tetap mendjadi Tihu disitu. Maka ia tetap
menjaru seorang gelandangan jang dekil agar tidak dikenal orang.
Begitu masuk kota, pikiran
pertama jang timbul padanja adalah: “Aku ingin menjaksikan dengan mata kepalaku
sendiri tjara bagaimana Ban Ka tersiksa oleh ratjun ketungging itu. Entah
apakah dia dapat disembuhkan dan entah apakah dia sudah pulang kesini atau
belum, boleh djadi dia masih tinggal di Oulam untuk berobat.”
Maka pelahan2 ia menudju
kerumah keluarga Ban itu, dari djauh lantas dilihatnja Sim Sia sedang keluar
dari gedung megah itu setjara ter-gesa2, agaknja sedang sibuk mengalami sesuatu
masalah gawat.
Pikir Tik Hun: “Djika Sim Sia
berada disini, tentu Ban Ka djuga sudah pulang. Maka malam nanti biarlah aku
menjelidikinja kesitu.”
Segera ia kembali ketaman
bobrok dahulu, taman itu tidak djauh dari rumah keluarga Ban itu. Ditaman
itulah dahulu Ting Tian meninggal sesudah lebih dulu membunuh Tjiu Kin. Kheng
Thian-pa dan Tay-beng. Kini berkundjung lagi ketempat lama ia melihat taman itu
semakin rusak, keadaan semakin tak keruan. Di-mana2 runtuhan puing dan
tumbuh2an liar.
Ia mendatangi pohon Bwe dahulu
itu, ia me-raba2 lekak-lekuk pohon tua itu sambil memikir. “Waktu itu
Ting-toako menghembuskan napasnja jang penghabisan dibawah pohon ini, tapi
wudjut pohon ini sampai sekarang masih tetap sama, sedikitpun tiada berubah, sebaliknja
Ting-toako sekarang sudah mendjadi abu.”
Begitulah ia lantas duduk
ter-menung2 dibawah pohon Bwe itu, achirnja ia terpulas djuga.
Kira2 dekat tengah malam, ia
mendusin dan mengeluarkan rangsum kering untuk tangsal perut lalu keluar dari
taman bobrok itu dan menudju kerumah keluarga Ban.
Ia memutar kepintu belakang
gedung besar itu, dari sini ia melompat pagar tembok dan masuk ketaman bunga.
Menghadapi tempat bersedjarah itu, tanpa merasa hati Tik Hun mendjadi pedih,
pikirnja: “Dahulu aku terluka parah dan sembunji digudang kaju sana, tapi
Sumoay tidak membantu dan menolong aku, ia benar2 tidak berbudi, bahkan ia
malah memanggil suaminja untuk membunuh aku.”
Begitulah sambil membajangkan
kedjadian dahulu dan selagi ia mulai melangkah kedepan, tiba2 dilihatnja ditepi
empang sana ada tiga titik sinar api jang ber-kelip2.
Tik Hun mendjadi tjuriga dan
segera berhentikan langkahnja ia mengumpet dibelakang sebatang pohon, lalu
mengintai ketempat sinar api itu. Sesudah diperhatikan, achirnja dapat diketahuinja
bahwa bintik2 sinar api itu tak-lain adalah tiga batang dupa jang tertantjap
disuatu Hiolo (tempat menantjap dupa). Hiolo itu tertaruh diatas satu medja
ketjil dan didepan medja itu ada dua orang jang sedang berlutut dan menjembah
kepada langit.
Tidak lama kemudian kedua
orang itu tampak berbangkit, maka djelaslah Tik Hun melihat satu diantaranja
adalah Djik Hong, seorang lagi adalah satu dara tjilik, terang itulah puteri
sang Sumoay jang dipanggil "Kong-sim-djay" itu.
Terdengar perlahan-lahan Djik
Hong berdoa: "Dupa pertama ini memohon agar Tuhan Allah
memberkahi keselamatan bagi
suamiku, agar lukanja segera sembuh, abuhnja lekas kempis dan
ratjunnja segera hilang,
supaja tidak lama tersiksa oleh ratjun ketungging itu. Khong-sim-djay,
hajolah berkata, bilang mohon
Tuhan Allah memberkati penjakit ajah lekas sembuh".
"Ja, ibu, mohon Tuhan
Allah memberkati penjakit ajah lekas sembuh, supaya ajah tidak
berteriak2 kesakitan
lagi" demikian dara tjilik itu menirukan nada sang ibu.
Mendengar itu, diam-diam Tik
Hun merasa senang dan sjukur atas penderitaan Ban Ka. Tapi ia
gemas pula atas perhatian Djik
Hong terhadap suaminja itu.
Kemudian terdengar Djik Hong
berdoa lagi: "Dan dupa kedua ini mohon Tuhan Allah
memberkati ayahku dalam
keadaan selamat dan sehat walafiat, semoga lekas2 pulang untuk
berkumpul lagi.
Khong-sim-djay, lekas bilang mohon Tuhan Allah memberkati Gwakong
semoga berumur panjang".
"Ja, ibu, Gwakong,
hendaklah engkau lekas pulang, mengapa engkau tidak lekas pulang",
demikian sidara tjilik
menirukan pula.
"Katakan mohon Tuhan
Allah memberkahi selamat", sang ibu mengajarkan.
"Ja, ibu, mohon Tuhan
Allah memberkahi selamat pada Gwakong, kepada ajah dan kepada
kakek", kata dara tjilik
itu. Selamanja ia belum pernah melihat Djik Tiang Hoat yaitu
Gwakong atau kakek luarnja,
maka jang dipikirkan adalah ajahnja dan kakeknja sendiri, jaitu
Ban Tjin-san.
Dan sesudah berhenti sejenak,
kemudian Djik Hong berdoa lagi dengan suara agak lirih: Dan
dupa jang ketiga ini memohon
kepada Tuhan Allah agar memberkahi dia dalam keadaan sehat,
semoga dia hidup senang dan
mendapatkan isteri baik dan lekas mendapat
anak……………………….". ~
berkata sampai disini, suaranja menjadi serak se-akan2
tersumbat tenggorokannja, lalu
ia mengusap air matanja dengan lengan badju.
"Kembali ibu terkenang
kepada Kuku, ja" tanja si dara tjilik.
"Khong Sim-djay, bilang
mohon kepada Tuhan Allah agar memberkahi keselamatan kepada
Khong-sim-djay
Kuku………….." kata Djik Hong pula.
Memang Tik Hun sudah heran
ketika Djik Hong berdoa untuk dupa jang ketiga. Ia tidak tahu
siapakah jang dimintakan
berkah. Dan demi mendadak mendengar bekas kekasih itu
menyebut "Khong-sim-djay
Kuku", seketika telinganja seperti mendengung, hatinja serasa
berkata: "Ha, dia
maksudkan aku, dia maksudkan aku?".
Dalam pada itu si dara tjilik
telah menurut kata ibunja tadi dan sedang bersujut:"Ja, Tuhan
Allah, ibuku selalu terkenang
kepada Khong-sim-djay Kuku, mohon diberkahi selamat dan
redjeki besar agar kelak aku
dibelikan sebuah boneka besar. Dia adalah Khong-sim-djay,
akupun Khong-sim-djay, kami
sama-sama Khong-sim-djay. Eh, ja, ibu kemanakah perginja
Khong-sim-djay Kuku itu?
Mengapa dia tidak pernah pulang?"
Maka Djik Hong telah menjawab:
"Khong-sim-djay Kuku itu telah pergi ke tempat jang jauh,
jauh sekali. Kuku itu telah
meninggalkan ibumu, tetapi ibumu senantiasa memikirkan
dia…………………". ~ berkata
sampai disini tiba-tiba ia peluk anak perempuannja itu dan
menjusupkan kepalanja di dada
botjah itu, lalu masuk kerumah dengan langkah lebar.
Pelahan2 Tik Hun keluar dari
tempat sembunjinja dan mendekati Hiolo jang ditinggalkan itu.
Dengan ter-menung2 ia
memandangi ketiga batang dupa itu semakin lama makin surut, sampai
akhirnja mendjadi abu semua,
tapi ia masih ter-mangu2 di situ tanpa bergerak sedikitpun.
Ia baru tersadar ketika burung
berkitjau dengan ramai dan fajar sudah menyingsing, maka
tjepat ia tinggalkan taman
keluarga Ban itu. Ia berkeliaran kian kemari di dalam kota Heng-tjiu
tanpa arah tujuan.
Tiba-tiba didengarnja suara
"tjreng-tjreng" jang berisik, itulah bunji ketjer seorang tabib
kelilingan jang sedang
menawarkan obatnja sepandjang jalan.
Mendadak hati Tik Hun
tergerak. Bukankah ia ingin menjaksikan sendiri bagaimana keadaan
Ban Ka jang sesambatan
tersiksa oleh ratjun ketungging itu?
Terus saja ia mendekati tabib
kelilingan itu, ia keluarkan sepuluh tahil perak untuk membeli
pakaian tabib itu beserta peti
obat dan peralatan lainnja. Sudah tentu tabib kelilingan itu
sangat heran ada orang mau
memborong barang2nja jang rombeng itu, padahal nilainja tidak
lebih dari lima tahil perak.
Sudah tentu ia kegirangan setengah mati, bagai orang putus lotre.
Tanpa tahan harga lagi ia
terus lepaskan kepada Tik Hun.
Sesudah memborong milik tabib
kelilingan itu, lalu Tik Hun kembali ke taman bobrok itu,
disitulah ia ganti pakaian, ia
menjaru sebagai tabib. Lalu ia tumbuk sedikit rumput obat dan
airnja ia gunakan untuk poles
mukanja sendiri, malaha ia sengaja tambal sepotong kojok
dimata kiri sendiri hingga
muka aslinja susah dikenali lagi. Habis itu, segera ia menudju ke
rumah keluarga Ban.
Didepan gedung keluarga Ban
itu ia sengaja bunyikan ketjernja sekeras mungkin, sesudah dekat
pintu ia terus ber-teriak2
malah: "Tabib sakti, spesial mengobati segala matjam penjakit aneh,
segala jenis keratjunan, baik
disengat kelabang maupun dipagut ular, tanggung tjes-pleng, sekali
minum obatku, seketika
sembuh!".
Begitulah sesudah ia
ber-teriak2 beberapa kali, lantas tertampaklah dari dalam berlari keluar
dengan buru2, setelah dekat
orang itu lantas memanggilnja: "He, Sinshe, kemarilah sini".
Tik Hun kenal orang itu adalah
muridnja Ban Tjin San jang bernama Go Him, jaitu orang jang
dahulu telah menabas putus
djarinja itu.
Tapi kini Tik Hun dalam
penjamaran, muka aslinja sudah berobah 180 derajat, dengan
sendirinja Go Him tidak kenal
dia lagi.
Pelahan-lahan Tik Hun
mendekati Go Him, karena kuatir suaranja dikenal orang, ia sengaja
menekuk suara dan berkata:
"Ada apakah Tuan? Apakah engkau menderita penjakit aneh,
misalnja bisul djahat atau
abuh bengkak jang tak dikenal namanja?"
"Hus, apakah kau kira aku
ini mirip seorang penderita sakit?" Semprot Go Him, "He, aku ingin
tanja padamu, kalau disengat
ketungging, apakah kau dapat menjembuhkan?"
"Ha-ha, mengapa tidak
bisa?" sahut Tik Hun sengaja bergelak tawa. "Sedangkan ular-ular
berbisa seperti Djik-lian-tjoa
(ular gelang rantai), Kim-kah-tay (ular bergelang kaki), Bak-kia-
tjoa (ular katja-mata, kobra)
dan lain-lain ular berbisa paling djahat juga tjes-pleng bila makan
obatku, apalagi tjuma penjakit
sepele kena disengat ketungging, he-he, itulah penjakit tak
berarti".
"Ah, djangan kau omong
besar dahulu", ujar Go Him. "Hendaklah engkau ketahui bahwa
ketungging itu bukan
sembarangan ketungging, sedangkan tabib terkemuka di kota Heng-tjiu
djuga tak berdaja
menjembuhkannja, masakah kau sanggup mengobati?"
"Ha, masakah ada
ketungging selihay itu?" demikian Tik Hun pura-pura mengkerut kening.
"Padahal ketungging
didunia ini paling lihay tjuma sebangsa Hwe-kat (ketungging kelabu),
Kim-tji-kat (ketungging mata
uang emas), Moa-tahu-kat (ketungging kepala burik), Ang-bwe-
kat (ketungging ekor merah),
Pek-kah-kat (ketungging kaki putih) dan………………………."
Begitulah ia sengadja
mentjerotjos dengan aneka matjam-matjam nama-nama ketungging
sampai berpuluh-puluh djenis
banjaknja. Habis itu baru ia berkata pula: "Setiap jenis
ketungging itu memang
ber-beda2 ratjunnja, tjara pengobatannja djuga berlainan, maka
biarpun namanja sadja tabib
pandai, djikalau tjuma nama kosong saja sudah tentu takkan
betjus menjembuhkan luka
disengat ketungging".
Mendengar sekaligus tabib
kelilingan itu mentjerotjos berpuluh nama jenis ketungging, mau
tak mau Go Him merasa kagum
dan tertarik, segera katanja: "Djika begitu, silakan Sinshe
masuk ke dalam untuk mengobati
suhengku, Djikalau dapat menjembuhkan, tentu suhuku
akan memberi hadiah
besar".
Tik Hun mengangguk dan ikut
masuk ke dalam gedung itu. Begitu melangkah masuk, seketika
Tik Hun teringat kepada
kejadian dulu, dimana ia dan sumoay mengikut sang suhu menghadiri
perajaan ulang tahun sang
Supek, tatkala itu ia masih seorang pemuda desa jang hidjau, segala
apa belum pernah dilihatnja
dan semuanja serba baru baginja, maka sepandjang djalan ia asjik
bitjara dengan Sumoay tentang pemandangan
jang mereka lihat itu. Kini berkundjung kembali
kegedung jang sama, namun
suasananja sudah berbeda.
Ia ikut Go Him masuk keruangan
dalam, setelah menjusur dua tempat Tjimtjhe, akhirnja
sampai dibawah sebuah loteng.
Segera Go Him menengadah keatas dan berseru: "Samsuso, ini
adalah seorang tabib
kelilingan, katanja mampu mengobati segala penjakit kena disengat
ketungging, apakah perlu aku
mengundang tabib ini untuk periksa penjakit Suko?"
Lalu terdengar suara
berkeriut, djendela loteng dibuka orang, tertampak Djik Hong melongok
keluar dan berkata:
"Baiklah, terima kasih Go-sute, malahan hari ini Suko-mu tambah
kesakitan, lekas undang Sinshe
naik ke sini".
"Baiklah Suso",
sahut Go Him. Lalu ia berpaling kepada Tik Hun: "Silakan, Sinshe". ~
Ia
menjilakan sang
"Sinshe" naik ke loteng, tapi ia sendiri tidak ikut mengantar.
Maka Djik Hong berseru lagi:
"Go-sute, silakan kaupun ikut kemari membantu".
Go Him mengiakan, maka iapun
ikut naik keatas loteng.
Setiba diruangan loteng, Tik
Hun melihat ditengah situ didekat jendela tertaruh sebuah meja
tulis jang besar dengan penuh
segala peralatannja dan banjak kitab-kitab pula, diatas medja
terdapat pula sehelai badju
anak ketjil jang belum selesai dijahit.
Sementara itu tampak Djik Hong
telah memapak keluar dari kamar sana, mukanja tidak
berbedak dan bergintju, tapi
tidak mengurangi tjantiknja, hanja tampak agak kurus dan putjat
sedikit, mungkin terlalu letih
dan kurang tidur karena mesti merawat sang suami.
Tik Hun hanja memandang
sekejap saja kepada sang Sumoay itu lalu tidak berani memandang
lagi sebab kuatir dikenali.
Kemudian ia ikut masuk kedalam kamar, disitu kelihatan ada sebuah
randjang kaju jang besar,
diatasnja merebah seseorang dengan menghadap kedalam sana sambil
tiada hentinja me-rintih2.
Itulah dia Ban Ka.
Dan ditepi randjang itu
seorang dara tjilik berduduk diatas dingklik tjilik ketjil sedang memijat
pelahan-lahan kaki sang ajah.
Tapi demi melihat wajah Tik Hun jang kotor dan aneh itu, ia
mendjerit takut dan mengumpet
ke belakang sang ibu.
Kemudian Go Him berkata:
"Suko-ku ini kena disengat ketungging berbisa, ratjunnja masih
belum hilang, harap Sinshe
suka memeriksa dan kasih obat bila perlu".
Tik Hun mengiakan. Kalau
diluar t adi ia bisa mentjerotjos bagai air bah membanjir untuk
bitjara dengan Go Him, adalah
sekarang sesudah melihat Djik Hong, seketika hatinja ber-
debar2 dan mulut serasa terkantjing,
untuk bitjarapun rasanja susah.
Tapi iapun mendekati ranjang
dan tepuk pelahan dipundak Ban Ka. Pe-lahan2 Ban Ka
membalik tubuh, ketika ia
membuka mata dan melihat matjam Tik Hun jang luar biasa itu,
mau tak mau ia terkesiap
djuga.
Maka terdengar Djik Hong
mendahului berkata: "Samko, ini adalah Sinshe jang diundang oleh
Go Sute, katanja…………..katanja
ia pandai mengobati segala matjam ratjun serangga dan ular,
boleh djadi dia ada obat
mudjarab jang dapat menjembuhkan lukamu". ~ Njata nadanja djuga
tidak menaruh kepertjajaan
bahwa tabib gelandangan seperti itu mampu mengobati penjakit
sang suami.
Tapi Tik Hun tidak bitjara, ia
periksa punggung tangan Ban Ka jang abuh itu. Ia melihat bagian
tangan itu hitam hangus
mengerikan.
"Ini adalah sengatan
ketungging berbisa keluaran Wan-leng di barat Ouw-lam, di Ouw-pak
tiada terdapat ketungging
sejenis itu". kata Tik Hun kemudian.
"He, ia betul, memang
betul disengat oleh ketungging di Wan-leng sana". seru Go Him dan
Djik Hong berbareng.
"Sesudah Sinshe dapat
mengetahui asal-usul ketungging jang menjengat itu, tentu Sinshe dapat
mengobatinja?" tanja Djik
Hong pula dengan penuh harapan.
Tik Hun sengaja menghitung
dengan djari, lalu katanja pula: "Ehm, ketungging itu
menjengatnja diwaktu malam,
kalau tidak salah, ehm, sampai sekarang sudah lewat tujuh hari
tudjuh malam lamanja".
Keruan Go Him saling pandang
dengan Djik Hong, habis itu mereka berseru berbareng lagi:
"Betul, betul, sungguh
dugaan Sinshe sangat tepat, memang pada malam hari kena disengat
oleh ketungging dan sampai
sekarang sudah tudjuh hari tujuh malam. Maka harap Sinshe lekas
tolong memberi obat".
Sudah tentu Tik Hun bukan dewa
jang bisa meramalkan kedjadian jang sudah lalu dan dapat
menduga apa jang belum datang.
Soalnja ia sendiri jang menjaksikan Ban Ka disengat oleh
ketunggingnja Gian Tat-peng,
dengan sendirinja ia dapat mengatakan dengan djitu.
Begitulah maka ia mendjadi
senang dan kasihan pula melihat kelakuan Djik Hong dan Go Him
jang kejut-kejut girang itu.
Maka iapun sengaja djual mahal, segera katanja pula: "Apakah tuan
ini telah menggetjek mati
ketungging itu dengan punggung tangannja? Kalau tidak berbuat
demikian sebenarnja masih dapat
tertolong, tapi kini ketungging itu dibunuh diatas punggung
tangan, seketika ratjunnja
lantas tersebar semua kedalam luka, untuk menolongnja sungguh
maha sulit sekarang".
"Memang djelas sekali
uraian Sinshe, tapi apapun djuga mohon Sinshe sudilah menolong
djiwanja", pinta Djik
Hong dengan kuatir dan gopoh.
Kedatangan Tik Hun ke
Heng-tjiu ini sebenarnja ingin menjaksikan sendiri tjara bagaimana
Ban Ka menderita dan
me-rintih2 mendekati adjalnja, jaitu untuk melampiaskan rasa
dendamnja selama ini, maka
sedikitpun tiada pikiran padanja untuk menolong djiwa musuh
besarnja itu.
Namun sejak semalam
didengarnja doa restu Djik Hong jang ternjata masih tidak melupakan
dirinja, bahkan memohon kepada
Tuhan Allah agar memberkati selamat bahagia bagi dirinja,
semoga lekas beristri dan
beranak, malahan mengatakan bahwa dirinja jang telah meninggalkan
Sang Sumoay itu, dari utjapan
terakhir ini agaknja Sumoay masih jakin bahwa dia benar2 pada
malam itu hendak kabur bersama
gundiknja Ban Tjin-san, yaitu si Mirah, oleh sebab itulah
maka Sumoay menjesal dan putus
asa lalu menikah pada Ban Ka.
Diwaktu ketjilnja Tik Hun
sangat penurut kepada segala kehendak Djik Hong, tidak pernah ia
membangkang atau membantah apa
jang dikatakan sang Sumoay. Maka kini demi mendengar
permohonan Djik Hong jang
penuh kuatir itu, hati Tik Hun menjadi lemas, segera ia
bermaksud mengeluarkan obat
penawar jang diperolehnja dari Gian Tat-peng itu.
Tapi mendadak ia mendapat
pikiran lain: "Si keparat Ban Ka ini telah membuat aku menderita
dan merana selama ini, dia
merebut pula Sumoayku, kalau aku tidak membunuhnja dengan
tanganku sendiri sebenarnja
sudah dapat dikatakan aku tjukup murah hati, mana boleh
sekarang aku menolong djiwanja
pula?".
Karena pikiran itu ia segera
menggeleng kepala dan mendjawab: "Bukanlah aku tidak mau
menolongnja, tapi sesungguhnja
dia sudah terlalu mendalam keratjunan, pula sudah tertunda
sekian hari, ratjunnja sudah
masuk otak, untuk menolongnja sudah sangat susah".
Tiba2 Djik Hong meneteskan air
mata, ia tarik si dara tjilik tadi dan berkata padanja: "Kong-
sim-djay mestikaku, lekaslah
kau mendjura kepada paman Sinshe ini, mohon beliau sukalah
menolong djiwa ajahmu".
"Djang………………djangan
mendjura apa segala……………….," tjepat Tik Hun
menggojang-gojang tangannja.
Tapi anak itu memang sangat
penurut, rupanja tahu djuga ajahnja sakit sangat pajah, maka
terus saja ia berlutut dan
menjembah beberapa kali.
Kelima jari kanan Tik Hun
sudah terpapas kutung oleh Go Him dahulu dan sejak tadi ia
masukkan saku, maka ia hanja
gunakan tangan kiri untuk membangunkan anak dara itu.
Waktu menarik bangun botjah
itu, tiba-tiba dilihatnja dilehernja memakai sebuah kalung
dengan mainan jang berukir
empat huruf 'Tik-jong-siang-bo'.
Melihat itu, Tik Hun menjadi
tertegun, teringat olehnja tempo dulu waktu dia pingsan di
dalam gudang kaju rumah
keluarga Ban ini, ketika ia sadar kembali, ia dapatkan dirinja berada
di dalam suatu sampan dan
terombang-ambing di tengah sungai Tiang-kang, disampingnja
terdapat beberapa tahil perak
dan sedikit perhiasan, diantaranja juga terdapat sebuah mainan
jang bertuliskan empat huruf
seperti itu. Ia mendjadi heran, djangan-djangan……. djangan-
djangan………….
Maka ia tidak berani memandang
lagi, pikiran kusut akhirnja djernih kembali, terbajang pula
keadaan waktu dahulu itu.
"Ja,….ketika aku djatuh pingsan digudang kaju itu, selain Djik-
Sumoay jang menolong aku,
terang tiada orang lain lagi. Dahulu aku mentjurigai dia sengaja
hendak membunuh aku, tapi
semalam ia berdoa…….berdoa kepada Tuhan, ia telah
mengutarakan isi hatinja
terhadap diriku. Dan kalau dia begitu mentjinta aku, tempo dulu itu
sudah tentu tidak mungkin
bermaksud membunuh aku. Masakah aku ditakdirkan bahwa
sesudah mengalami derita
sengsara selama ini, lalu aku akan dipersatukan lagi dengan Sumoay
seperti sekarang ini".
mentjintai sang Sumoay, tapi
Sumoay itu telah dipersunting oleh musuhnja, bahkan kini orang
jang ditjintai itu memohon
dengan sangat agar dia menolong musuh itu. Apa gunanja lagi
mendjadi manusia seperti itu?
'Aku lebih suka mendjadi Ban Ka jang menderita dan tersiksa
seperti sekarang ini, tapi
didampingi Sumoay jang memandang padaku dengan penuh kasih
sajang, biarpun akan mati
dalam beberapa hari lagi djuga tidak menjadi soal'. Demikian
pikirnja.
Begitulah tanpa merasa ia
menghela napas dan mengeluarkan obat penawar jang diperolehnja
dari Gian Tat-peng itu, ia
tuang sedikit obat bubuk warna hitam dan dibubuhkan dipunggung
tangan Ban Ka.
"He, betul, memang betul
itulah obat penawarnja, wah, ini……….. ini berarti akan
tertolonglah!" Demikian
mendadak Go Him berseru.
Tik Hun mendjadi heran
mendengar seruan jang bernada aneh itu. Bahwasanja sang Suheng
'berarti akan tertolong'
seharusnja ia ikut bergirang, akan tetapi nadanja itu, djusteru merasa
sangat ketjewa malah, bahkan
merasa menjesal dan dongkol pula.
Tik Hun tjoba melirik ke arah
Go Him, ia melihat sorot mata pemuda itu menjinarkan rasa
bentji dan kedji. Keruan Tik
Hun bertambah heran. Tapi demi teringat bahwa diantara
kedelapan anak murid Ban
Tjin-san itu tiada seorangpun jang baik, sedangkan Ban Tjin-san
sendiri saling bunuh membunuh
dengan guru dan saudara seperguruannja, maka tidaklah heran
bila diantara anak2 muridnja
itu djuga saling tjakar2an. Dan kalau begitu, tentunja hubungan
antara Ban Ka dan Go Him tidak
baik, tapi mengapa ia malah mengundang aku untuk
mengobati Suhengnja itu?
Dalam pada itu tangan Ban Ka
jang abuh itu, begitu dibubuhi obat hitam tadi, hanja sebentar
sadja dari luka itu lantas
mengeluarkan air hitam. Lambat-laun sakit Ban Ka djuga berkurang,
dengan suara lemah ia dapat
berkata: "Terima kasih Sinshe, obat penawar ini benar-benar
sangat bagus".
Sungguh girang Djik Hong tidak
kepalang, tjepat ia membawakan tempolong untuk menadah
darah hitam jang menetes terus
dari luka sang suami itu sambil tiada henti-hentinja
menjampaikan terima kasih
kepada Sinshe sakti alias Tik Hun.
"Suso, sekali ini Sinshe
telah berdjasa besar, bukan?" tiba-tiba Go Him berkata.
"Benar, aku harus
menjampaikan terima kasih sebesar-besarnja kepada Go Sute", sahut Djik
Hong.
"Hanja omong di mulut
sadja pertjuma, tapi harus dengan kenjataan", ujar Go Him dengan
tersenjum.
Djik Hong tidak gubris padanja
lagi, tapi berpaling dan berkata kepada Tik Hun: "Numpang
tanja siapakah nama Sinshe
jang mulia? Kami harus memberi penghargaan sepantasnja kepada
Sinshe".
Tapi Tik Hun gojang-gojang
kepala, sahutnja: "Tidaklah perlu penghargaan apa segala. Tapi
ratjun ketungging ini harus
berturut-turut dibubuhi obat ini sepuluh kali baru bisa sembuh
sama sekali" ~ dan dengan
perasaan hampa dan pilu tak terutjapkan, akhirnja ia berkata pula
sambil mengangsurkan botol
obat jang diperolehnja dari Gian Tat-peng itu: "Ini, terimalah
semua obat penawar ini".
Sebaliknja Djik Hong menjadi
ragu2, sebab sama sekali tak tersangka olehnja bahwa urusan
bisa terdjadi sebegitu
gampang, katanja kemudian: "Biarlah kami membeli saja kepada Sinshe,
entah berapa harganja?"
"Tidak, tidak perlu beli,
tapi kuberikan tjuma-tjuma padamu", kata Tik Hun.
Sungguh girang Djik Hong tak
terhingga, tjepat ia terima botol obat itu, sambil memberi
hormat, katanja: "Sinshe
begini berbudi dan murah hati pula, betapapun kami harus menjuguhi
engkau barang setjawan arak.
Go-sute, silakan engkau menemani Sinshe keruangan tamu
untuk berduduk sebentar."
"Sudahlah, tidak perlu duduk
lagi, aku akan mohon diri saja", ujar Tik Hun.
"Tidak, djangan",
seru Djik Hong, "Budi pertolongan Sinshe atas jiwa suamiku ini kami tidak
dapat mendapat membalas
apa-apa, maka hanja setjawan arak sadja harap engkau sudi
menerima sekadar sebagai penghormatan
kami. Sinshe, betapapun engkau djanganlah pergi
dahulu!."
"Betapapun, engkau
djangan pergi dahulu!" kata-kata ini sekali menjusup kedalam telingan Tik
Hun, betapapun keras hatinja
djuga lantas lemas seketika. Pikirnja: "Sakit hatiku ini sudah
terang tak terbalas lagi,
sesudah aku menguburkan Ting-toako, untuk seterusnja aku djuga
tidak mungkin kembali ke kota
Heng-tjiu lagi, selama hidup ini, aku takkan bertemu pula
dengan Sumoay. Dan sekarang ia
hendak menjuguhi aku setjawan arak, ja, dengan demikian
boleh juga aku akan dapat
memandangnja lebih lama sedikit".
Oleh karena itu, iapun
memanggut sebagai tanda menerima undangan Djik Hong.
Tidak lama kemudian, meja perdjamuan
sudah dipersiapkan, jaitu diruangan tamu di bawah
loteng. Tik Hun diminta duduk
ditempat jang paling terhormat, Go Him mengiringi
disebelahnja. Karena merasa
sangat berterima kasih kepada Sinshe jang berbudi itu, maka Djik
Hong sendiri telah melajaninja
minum arak dan menjuguhkan daharan.
Agaknja Ban Tjin-san dan anak
muridnja jang lain waktu itu tiada dirumah, maka tiada orang
lain lagi jang ikut hadir
dalam perjamuan itu.