Dan begitulah kira2 keadaan
Tjui Sing pada saat itu. Oleh karena bergolaknja sang perasaan, Hiat-to jang
tertutuk itu mendadak lantjar kembali oleh tenaga jang timbul mendadak dari
pusarnja itu. Enatah darimana datangnja tenaga lagi, se-konjong2 ia melompat
bangun, ia rampas kaju jang dipegang Tik Hun terus menghantam dan menjabat
serabutan kearah pemuda itu.
Meski Tik Hun sudah berkelit
kesana dan mengegos kesini, tapi mukanja, kepalanja, telinga dan pundaknja toh
be-runtun2 kena digebuk hingga belasan kali dan sakitnja tidak kepalang.
Sembari tangannja dipakai menangkis, mulutnja sibuk berteriak pula: “Hei, hei!
Mengapa kau memukul padaku? Ajahmu sendiri jang suruh aku membunuhnja!”
Tjui Sing terkesiap mendengar
seruan itu. Benar djuga pikirnja, memang tadi ia sendiri djuga mendengar
ajahnja sendiri jang meminta pemuda itu suka membunuhnja. Dan sesudah tertegun
sedjenak, seketika ia lemas seperti balon gembos. Ia terkulai disamping Tik Hun
dan menangis ter-gerung2.
Mendengar utjapan Tik Hun jang
mengatakan Tjui Tay jang minta pemuda itu membunuhnja, sekilas pikir sadja
segera Hiat-to Lotjo paham duduknja perkara, keruan ia sangat gusar: “Botjah
ini berani membangkang pada perguruan dan malah membantu musuh, benar2 murid
durhaka jang kudu dibasmi.”
Dalam gusarnja segera ia
bermaksud menjambar goloknja untuk membunuh Tik Hun. Tapi sedikit tangannja
bergerak, segera teringat tenaga sendiri terlalu lemah, keselamatan sendiri
sebenarnja sangat berabhaja. Namun Hiat-to-tjeng itu memang seorang manusia
litjin, sedikitpun ia tidak perlihatkan rasa gusarnja itu, bahkan dengan
tersenjum ia berkata: “Eh, tjutju murid jang baik, kau harus mengawasi anak
dara itu dan djangan membiarkan dia main gila. Dia sudah mendjadi milikmu,
bagaimana kau akan perlakukan dia, Tjosuya terserah kepadamu.”
Tapi disebelah sana Hoa
Tiat-kan telah mengetahui ketidak beresan itu, segera ia berseru: “Tjui-titli,
kemarilah sini, aku ingin bitjara padamu.”
Ia tahu waktu itu Hiat-to
Lotjo sudah tak bertenaga sedikitpun dan tidak menguatirkan lagi. Tik Hun
kakinja patah, diantara mereka berempat sebaliknja Tjui Sing sekarang terhitung
paling kuat, maka ia ingin membisiki gadis itu agar segera menggunakan
kesempatan bagus itu untuk membunuh kedua paderi.
Tak terduga Tjui Sing sudah
terlalu bentji kepada djiwanja jang rendah dan tidak kenal malu itu, ia pikir
kalau kau tidak takluk pada musuh, tentu djiwa ajahku takkan melajang. Maka
pangilan Hoa Tiat-kan itu sama sekali tak digubris olehnja.
“Tjui-titli,” demikian
Tiat-kan berseru pula, “Djikalau kau ingin melepaskan diri dari kesulitan,
sekarang adalah saat jang paling baik. Kemarilah kau, akan kukatakan padamu.”
Hiat-to Lotjo mendjadi gusar,
damperatnja: “Tutup batjotmu! Kau berani tjerewet lagi, segera kupenggal
kepalamu!”
Betapapun Hoa Tiat-kan
ternjata tidak berani kepada paderi Tibet itu, maka ia tidak berani bersuara
lagi, hanja ber-ulang2 ia main mata kepada Tjui Sing.
Tjui Sing mendjadi sebal dan
mual terhadap kelakuan manusia rendah itu, damperatnja dengan gusar: “Ada soal
apa, katakan7 sadja, mengapa mesti main kasak-kusuk segala?”
Gemas rasa Hoa Tiat-kan
terhadap sigadis jang tidak menurut itu. Pikirnja: “Tampaknja paderi tua itu
sedang mengerahkan tenaga dalamnja. Sedikit tenaganja pulih kembali, asal kuat
mengangkat goloknja, pasti aku jang akan dibunuh paling dulu. Waktu sudah
mendesak, terpaksa aku harus lekas beberkan rahasianja.” ~ Maka tjepat ia
berseru: “Tjui-titli, tjoba lihat Hwesio tua itu, setelah pertarungan sengit
tadi, tenaganja sudah terkuras habis, sedjak tadi ia mendoprok ditanah dan
tidak kuat berdiri lagi.”
Tjui Sing tjoba melirik
sipaderi tua, benar djuga dilihatnja paderi itu menggeletak diatas saldju,
keadaannja sangat pajah. Teringat kepada sakit hati sang ajah, seketika ia
mendjadi kalap, tanpa pikir lagi apakah perkataan Hoa Tiat-kan itu benar atau
tidak, terus sadja ia angkat batang kaju dan menghantam kearah Hiat-to tjeng.
Namun Hiat-to Lotjo itiu
benar2 manusia jang litjin, ketika mendengar Hoa Tiat-kan ber-ulang2 memanggil
Tjui Sing, diam2 iapun tahu maksud musuh itu, dalam kuatirnja iapun peras otak
mentjari bagaimana harus menghadapi sigadis bila sebentar lagi datang menjerang
padanja. Sedapat mungkin ia menarik napas pandjang dua kali, tapi perutnja
terasa kosong blong tanpa tenaga sedikitpun, bahkan bertambah lemah daripada
tadi. Seketika ia mendjadi tak berdaja dan sementara itu batang kaju Tjui Sing
sudah melajang keatas kepalanja.
Oleh karena saking duka atas
kematian ajahnja, maka serangan Tjui Sing itu hakikatnja sekenanja belaka tanpa
sesuatu gerak tipu. Biasanja sendjata kemahirannja adalah pedang, sebenarnja ia
tidak paham ilmu pentung. Sebab itulah sekali ia menggebuk, segera tertampak
banjak lubang kelemahannja. Kesempatan itu segera dipergunakan Hiat-to Lotjo
dengan baik, sedikit ia miringkan tubuh, diam2 ia djulurkan tumbak Hoa Tiat-kan
jang dipegangnja dengan miring keatas.
Tjuma keadaannja terlalu
lemah, untuk angkat udjung tumbak keatas sesungguhnja tidak kuat baginja. Maka
jang dapat diatjungkan miring keatas itu adalah garan tumbak, ia intjar
“Toa-pau-hiat” dibawah ketiak Tjui Sing.
Saking pilunja perasaan, sudah
tentu Tjui Sing tidak menduga akan akal litjik orang, sekali hantam, tepat
sekali pentungnja mengenai muka Hiat-to-tjeng hingga bonjok dan keluar
darahnja. Tapi pada saat jang sama pula ketiaknja terasa kesemutan,
kaki-tangannja mendjadi lemas, badannja tergeliat dan achirnja roboh terguling
disamping Hiat-to-tjeng.
Meski mukanja kena dihandjut
sekali oleh pentung sigadis hingga sangat kesakitan, namun Hiat-to Lotjo djuga
melihat tipu dajanja telah berhasil, Tjui Sing telah membenturkan
“Toa-pau-hiat” diketiak sendiri keudjung tumbak jang dipasangnja, djadi Hiat-to
sendiri ditutuk sigadis sendiri. Saking senangnja Hiat-to Lotjo ter-bahak2 dan
berkata: “Nah, bangsat tua she Hoa, kau bilang tenagaku sudah habis, kenapa
dengan gampang sadja aku dapat merobohkan dia?”
Bahwasanja Tjui Sing tersodok
sendiri djalan darahnja oleh udjung tumbak jang sengadja dipasangi Hiat-to
Lotjo, karena ter-aling2 badan sigadis, maka apa jang terdjadi itu tak dilihat
oleh Hoa Tiat-kan dan Tik Hun, maka mereka mendjadi kaget dan per tjaja penuh
bahwa gadis itu telah ditutuk roboh oleh Hiat-to Lotjo.
Keruan jang paling kaget dan
takut adalah Hoa Tiat-kan, dengan tidak kenal malu2 lagi ia memudji setinggi
langit: “Ja, ja, memang ilmu sakti Lotjianpwe sudah tiada taranja, dengan
sendirinja manusia biasa seperti diriku jang berpandangan pitjik ini tidak
kenal akan ilmu sakti Lotjianpwe. Betapa hebat tenaga dalam Lotjianpwe itu
boleh dikata tiada bandingannja didjagat ini, bahkan mungkin tidak pernah ada
dari djaman dulu hingga sekarang.”
Begitulah tiada habis2nja dia
memudji Hiat-to Lotjo. Dari suaranja jang gemetar itu, terang hatinja ketakutan
setengah mati.
Padahal bisanja Hiat-to Lotjo
merobohkan Tjui Sing itu hanja dilakukan setjara untung2an sadja. Sesudah
berhasil, diam2 ia sangat bersjukur dirinja sudah bebas dari antjaman maut.
Tapi djalan darah Tjui Sing jang tersodok itu hanja terkena tenaga luaran dari
sesuatu benda keras, djadi bukan ditutuk dengan tenaga dalam jang dapat
menjusup hingga titik Hiat-to jang paling mendalam. Setelah lewat beberapa
lamanja Hiat-to jang tersodok itu akan lantjar kembali. Dan bila hal mana
terdjadi, tidak mungkin tutukan setjara kebetulan itu dapat terulang, tak usah
disangsikan lagi djiwanja pasti akan melajang ditangan sigadis.
Sebab itulah, Hiat-to-tjeng
berusaha sedapat mungkin didalam waktu singkat itu harus memulihkan sedikit
tenaga, pada sebelum Tjui Sing dapat bergerak, ia sendiri sudah harus dapat
berdiri.
Maka dengan diam2
Hiat-to-tjeng melakukan semadi walaupun dengan tjara jang tidak sewadjarnja,
jaitu dengan mendoprok. Habis, untuk duduk bersila sadja ia tidak mampu.
Tempat menggeletak Tjui Sing
itu djaraknja tjuma satu-dua meter disebelah Hiat-to-tjeng. Semula ia sangat
kuatir entah perlakuan apa lagi jang hendak dilaksanakan atas dirinja oleh
paderi djahat itu. Tapi sesudah sekian lamanja sedikitpun tiada sesuatu gerak-gerik
dari paderi itu, barulah hatinja merasa lega.
Ditanah bersaldju saat itu
mendjadi menggeletak empat orang dengan perasaan2 jang ber-beda2.
Tik Hun antero tubuhnja, dari
kepala, pundak, tangan, sampai kaki, semuanja babak belur dan sakit tak terkatakan,
dengan mengkertak gigi ia bertahan sedapat mungkin supaja tidak merintih, suruh
dia memeras otak terang tidak sempat lagi.
Hiat-to-tjeng tjukup tahu
tenaga dalam sendiri sudah kering, djangankan hendak memulihkan dua-tiga bagian
tenaga itu, sekalipun untuk berdjalan sadja paling sedikit diperlukan waktu
dua-tiga djam lagi. Sedangkan keadaan Hoa Tiat-kan djuga tidak lebih baik, ia
tertutuk dan paling sedikit harus esok paginja baru bisa bergerak dengan
sendirinja.
Djadi bahaja jang terbesar
tetap terletak pada diri Tjui Sing.
Siapa duga gadis tu sudah
terlalu duka dan murka hingga semangatnja lesu dan tenaga letih, ia menggeletak
sekian lamanja dan achirnja terpulas malah.
Tentu sadja Hiat-to Lotjo
bergirang, pikirnja: “Paling baik kau terus tertidur hingga beberapa djam
lamanja, maka aku tidak perlu kuatir apa2 lagi.”
Hal mana rupanja djuga
diketahui oleh Hoa Tiat-kan, ia sadar mati hidup sendiri sangat tergantung
kepada Tjui Sing jang diharapkan bisa bergerak lebih dulu daripada sipaderi
tua. Tapi demi nampak gadis itu mendjadi pulas, ia terperandjat, tjepat ia
berseru: “Hai, Tjui-titli, djangan sekali2 kau tidur, sekali kau pulas, segera
kau akan dibunuh oleh kedua paderi tjabul itu!”
Namun Tjui Sing benar2 sudah
terlalu letih, hanja terdengar mulutnja mengigau beberapa kali, lalu menggeros
sebagai babi mati.
Dengan kuatir Hoa Tiat-kan
ber-teriak2 lebih keras: “Tjui-titli, wah tjelaka! Lekas mendusin, kau hendak
dibunuh oleh Ok-tjeng itu!” ~ Namun sigadis tetap tak bergeming.
Diam2 Hiat-to-tjeng mendjadi
gusar: “Kurang adjar! Gembar-gembornja ini benar2 membahajakan!” ~ Maka katanja
segera kepada Tik Hun: “Tjutju murid jang pintar, tjoba madjulah kau dan sekali
batjok mampuskan tua bangka itu !”
“Tapi orang itu sudah takluk,
bolehlah ampuni djiwanja,” udjar Tik Hun.
“Mana dia mau takluk?” kata
Hiat-to Lotjo. “Bukankah kau mendengar dia sedang ber-teriak2 dengan maksud
membikin tjelaka kita.”
“Siausuhu,” tiba2 Hoa Tiat-kan
menjela, “kakek-gurumu itu sangat kedjam, sementara ini dia sudah kehabisan
tenaga murni, ia tidak dapat bergerak sedikitpun, makanja kau disuruh membunuh
aku. Tapi sebentar kalau tenaga dalamnja sudah pulih, karena marah pada
pembangkanganmu tadi, tentu kau akan dibunuhnja lebih dulu. Maka ada lebih baik
sekarang djuga engkau mendahului turun tangan bunuhlah dia.”
“Tidak, ia bukan
kakek-guruku,” sahut Tik Hun sambil menggeleng. “Tjuma dia ada budi padaku, dia
telah menjelamatkan djiwaku, mana boleh aku membalas air susu dengan air tuba
dan membunuhnja?”
“O, djadi dia bukan
kakek-gurumu?” Hoa Tiat-kan menegas. “Itulah lebih2 baik lagi, lekas kau bunuh
dia, sedetikpun djangan ajal. Paderi2 dari Hiat-to-bun terkenal maha kedjam,
djiwamu sendiri kau sajangkan atau tidak?”
Tik Hun mendjadi ragu2, ia
tahu apa jang dikatakan Hoa Tiat-kan itu bukan tak beralasan, tapi kalau suruh
dia membunuh Hiat-to Lotjo, perbuatan itu betapa ia tidak sanggup. Namun Hoa
Tiat-kan masih terus mendesaknja tanpa berhenti, sampai achirnja Tik Hun
mendjadi tidak sabar, bentaknja: “Tutup mulutmu, djika kau tjerewet lagi,
segera aku mampuskan kau dahulu!”
Melihat gelagat tidak
menguntungkan, Tiat-kan tidak berani membatjot lagi, jang dia harap adalah
semoga Tjui Sing lekas2 mendusin.
Selang tak lama, saking tak
sabar, kembali ia ber-teriak2: “Tjui-titli, lekas bangun, lihatlah ajahmu telah
hidup kembali!”
Teriakannja ini ternjata
sangat mandjur, dalam tidurnja lajap2 Tjui Sing mendengar suara orang menjebut
ajahnja telah hidup kembali. Saking girangnja seketika ia mendusin sambil berseru:
“Ajah, ajah!”
Tjepat Hoa Tiat-kan
menanggapi: “Tjui-titli, Hiat-to dibagian mana kau ditutuknja tadi? Tjobalah
katakan, paderi djahat itu sudah kehabisan tenaga, tutukannja tentu djuga tidak
keras, biarlah kuadjarkan satu tjara menarik napas untuk melantjarkan Hiat-to
jang tertutuk itu.”
Ketika ketiakku terasa
kesemutan tadi, aku lantas takbisa berkutik lagi.” Kata Tjui Sing.
“Ha, itulah Toa-pau-hiat jang
tertutuk, gampang djika begitu lekas ia tarik napas pandjang2, lalu pusatkan
keperut dan pelahan2 menggunakan hawa itu untuk menggempur Toa-pau-hiat
dibagian ketiak itu, setelah kau dapat bergerak segera sakit hati ajahmu dapat
kau balas,” demikian Hoa Tiat-kan mengadjarkan.
Tjui Sing mengangguk dan
mengiakan. Meski dia masih sangat bentji pada Hoa Tiat-kan jang rendah itu,
namun apapun djuga dia adalah kawan dan bukan lawan, sedangkan adjarannja
itupun memang menguntungkan dirinja, maka ia lantas menurut petundjuk itu, ia
menarik napas pandjang2 dan dikerahkan kebagian perut ……….
Diam2 Hiat-to-tjeng djuga
mengikuti gerak-gerik sigadis itu. Ketika dilihatnja Tjui Sing menurut
petundjuk Hoa Tiat-kan, diam2 ia mengeluh dan gelisah: “Anak dara itu sudah
dapat mengangguk, hakikatnja ia tidak perlu menarik napas dan menghimpun hawa
didalam perut segala, tapi sebentar lagi djuga djalan darahnja akan lantjar
kembali dan dapat bergerak segera.”
Karena itu ia sendiripun
lantas pusatkan pikiran, ia berharap bisa mengumpulkan sedikit tenaga untuk
kemudian dipupuk lebih kuat, maka terhadap gerak-gerik Tjui Sing apakah sudah
dapat berdjalan atau tidak sama sekali tak dipikirkan lagi.
Mengenai ilmu mengerahkan hawa
murni untuk menggempur Hiat-to jang tertutuk, ilmu maha gaib itu Hoa Tiat-kan
sendiri tidak betjus, djangankan Tjui Sing. Tapi djalan darahnja jang tertutuk
itu hakikatnja sangat enteng, sesudah darah berdjalan lantjar, otomatis tutukan
itu mendjadi bujar dengan sendirinja. Maka tidak antara lama, pundaknja tampak
sudah dapat bergerak.
“Bagus, Tjui-titli,” seru Hoa
Tiat-kan dengan girang. “Teruskanlah tjara petundjukku itu, sebentar lagi pasti
engkau sudah bisa berdjalan. Tindakan pertama hendaklah kau djemput golok merah
itu, engkau harus menurut kata2ku dan djangan membangkang, bila tidak, sakit
hati ajahmu tentu tak terbalas!”
Tjui Sing mengangguk, ia
merasa anggota badannja sudah tidak kaku lagi, ia tjoba tarik napas pandjang2
sekali dan pelahan2 dapatlah berduduk.
“Bagus, bagus! Tjui-titli,
setiap gerak-gerikmu harus kau turut pesanku, djangan kau salah bertindak,
sebab didalam tindakanmu ini nanti terletak kuntji utama apakah engkau akan
dapat membalas sakit hati atau tidak,” demikian seru Tiat-kan pula. “Nah,
tindakan pertama sekarang djemputlah golok merah melengkung itu.”
Tjui Sing menurut, pelahan2 ia
mendekati Hiat-to Lotjo dan mendjemput golok milik paderi itu.
Melihat tindakan sigadis itu,
Tik Hun tahu tindakan selandjutnja tentu goloknja akan membatjok hingga kepala
Hiat-to-tjeng terpenggal. Tapi paderi tua itu ternjata adem-ajem sadja, kedua
matanja seperti terpedjam dan seperti melek, terhadap bahaja jang sedang
mengantjam itu ternjata tidak digubrisnja.
Kiranja waktu itu Hiat-to
Lotjo merasa tenaga pada kaki dan tangannja mulai tumbuh, asal tahan lagi
setengah djam, meski belum kuat benar, tapi untuk berdjalan tentu dapat. Dan
djusteru pada saat genting itulah Tjui Sing sudah mendahului menjambar
goloknja. Walaupun dalam keadaan tak bergerak, tapi pertarungan batinnja
sebenarnja tidak kalah seru daripada pertempurannja melawan Lau Seng-hong dan
Liok Thian-dju tadi.
Dalam pada itu tampaknja Tjui
Sing sudah akan segera menjerang padanja, diam2 Hiat-to-tjeng menghimpun
setitik tenaga jang sangat lemah dari seluruh tubuhnja itu kelengan kanan.
Diluar dugaan terdengar Hoa
Tiat-kan berseru: “Dan tindakan kedua, bunuhkah lebih dulu Hwesio muda itu.
Lekas, lebih tjepat lebih baik, bunuh dulu Hwesio muda itu.”
Seruan itu benar2 tak
tersangka oleh Tjui Sing, Hiat-to-tjeng dan Tik Hun sendiri. Dan karena melihat
sigadis masih tertegun, segera Tiat-kan berteriak lagi: “Hajolah lekas! Hwesio
tua itu tak bisa bergerak, maka lebih penting bunuhlah Hwesio muda itu dahulu.
Djika kau membunuh paderi tua dulu, tentu sipaderi muda akan mengadu djiwa
dengan kau!”
Benar djuga pikir Tjui Sing,
segera ia menghunus goloknja kedepan Tik Hun. Tapi mendadak ia mendjadi ragu2.
“Dia pernah membantu ajahku dengan membunuhnja sehingga terhindar dari siksaan
dan hinaan sipaderi tua jang djahat itu. Apakah sekarang aku harus membunuhnja
atau tidak?”
Rasa ragu2 itu hanja timbul
sekilas lintas, sebab ia lantas ambil keputusan harus membunuhnja. Dan sekali
angkat goloknja, terus sadja ia membatjok keleher Tik Hun.
Tjepat pemuda itu berguling
menjingkir, ketika batjokan kedua kalinja tiba pula, kembali Tik Hun
menggelundung pergi lagi. Menjusul ia lantas sambar sebatang kaju dan dibuat
menangkis. Namun beruntun Tjui Sing menabas dan memotong hingga batang kaju itu
terpapas dua bagian. Ketika untuk sekali lagi Tjui Sing hendak membatjok,
se-konjong2 pergelangan tangannja terasa kentjang, golok merah itu tahu2 telah
dirampas oleh seorang dari belakang.
Jang merebut golok itu
tak-lain-tak-bukan adalah Hiat-to Lotjo. Oleh karena tenaganja baru tumbuh
setitik dan terbatas, sebaliknja keadaan mendesak ia harus bertindak, maka ia
tidak boleh meleset bertindak, dengan mengintjar djitu benar2, sekali rebut
segera golok pusakanja kena dirampas kembali. Dan begitu memegang sendjata,
tanpa pikir lagi ia terus membatjok kepunggung Tjui Sing.
Kedjadian jang luar biasa
tjepat dan mendadak itu membikin Tjui Sing terkesiap bingung hingga tidak
sempat menghindar serangan Hiat-to-tjeng itu.
Kebetulan Tik Hun berada
disebelah situ, melihat sipaderi tua hendak mengganas lagi, segera ia
berteriak: “Hai, djangan membunuh orang lagi!” ~ Berbareng ia terus menubruk
madju sekuatnja meski dengan setengah mengesot, batang kaju ditangannja terus
dipakai mengetok kepergelangan tangan sipaderi tua.
Djika dalam keadaan biasa,
tidak nanti tangan Hiat-to-tjeng kena diketok. Tapi kini tenaganja hanja
setitik sadja, mungkin tiada satu bagian daripada tenaganja semula. Maka
tjekalannja mendjadi kendur dan golok djatuh ketanah. Berbareng kedua orang
lantas berebut mendjemput golok itu. Karena badan Tik Hun mengesot ditanah,
tangannja dapat mendjamah dulu garan golok itu, tapi segera lehernja terasa
kentjang dan napas sesak, tahu2 Hiat-to-tjeng telah mentjekiknja.
Untuk tidak mati tertjekik,
terpaksa Tik Hun melepaskan golok itu dan menggunakan tangannja untuk
membentang tjekikan Hiat-to-tjeng. Namun paderi tua itu sudah bertekad sekali
ini pemuda itu harus ditjekik mampus mumpung tenaga sendiri masih ada setitik,
kalau tidak dirinja sendiri nanti jang akan dibunuh olehnja. Sudah tentu ia
tidak tahu bahwa sebenarnja tiada maksud Tik Hun hendak membunuhnja, soalnja
tadi pemuda itu tidak tega kalau Tjui Sing terbinasa lagi dibawah golok
sipaderi, maka tanpa pikir terus turun tangan menolong.
Begitulah Tik Hun merasa
napasnja semakin sesak dan dada se-akan2 meledak. Ia tjoba tarik2 tangan
sipaderi jang mentjekiknja itu, tapi tidak berhasil. Mendadak ia mendjadi nekat
dan balas mentjekik leher Hiat-to-tjeng dengan mati2an. Maka terdjadilah
pergumulan hebat.
Hiat-to-tjeng insaf setitik
tenaganja itu sangat terbatas, mati-hidupnja hanja tergantung pada seudjung
rambut sadja. Sekali Hwesio tjilik itu sudah timbul maksud hianatnja, menurut
undang2 Hiat-to-bun, pengchianat harus dibasmi dulu baru kemudian membunuh
musuh luar. Maklum, musuh luar gampang dihadapi, sebaliknja musuh dalam, kaum
penghianat, lebih susah didjaga. Pula ia menduga sebelum esok pagi Hoa Tiat-kan
takkan dapat bergerak, sedangkan ilmu silat Tjui Sing sangat tjetek, mudah
dihadapi. Maka usahanja sekarang melulu ditjurahkan untuk mentjekik mati Tik
Hun. Semakin lama semakin kentjang tjekikannja.
Ketika napas Tik Hun takbisa
lantjar lagi, mukanja mendjadi merah padam, tangannja mulai lemas dan tak kuat
balas mentjekik, pelahan2 tangannja mengendur, dalam benak sekilas: “Matilah
aku, matilah aku!”
Waktu melihat kedua paderi itu
saling bergumul ditanah saldju, Tjui Sing djuga tahu duduknja perkara
disebabkan Tik Hun hendak menolong djiwanja. Tapi ia merasa kedua paderi djahat
itu saling membunuh, kenapa aku tidak membiarkan mereka kepajahan dahulu atau
mungkin keduanja nanti akan gugur bersama.
Tapi sesudah mengikuti
pergumulan itu sebentar, lambat laun tertampak tangan Tik Hun mulai lemas dan
tidak kuat balas menjerang lagi. Mau-tak-mau Tjui Sing mendjadi kuatir, sebab
kalau paderi muda itu terbunuh, tentu mendjadi giliran dirinja jang akan
dibunuh lagi oleh paderi tua itu.
“Tjui-titli,” tiba2 Hoa
Tiat-kan berseru pula, “saat inilah kesempatan paling bagus untuk turun tangan!
Hajolah, lekas djemput kembali golok itu.”
Tjui Sing menurut, golok merah
itu didjemputnja lagi.
“Nah, sekarang bunuhlah kedua
paderi djahat itu, lebih tjepat lebih baik,” seru Tiat-kan pula.
Dengan menghunus golok Tjui
Sing melangkah madju dengan maksud membunuh Hiat-to Lotjo dulu. Tapi demi
melihat kedua orang masih bergumul mendjadi satu, padahal golok itu tadjamnja
tidak kepalang, sekali tabas, bukan mustahil ke-dua2nja akan mati semua. Ia
pikir Tik Hun tadi telah menjelamatkan djiwanja sendiri biarpun Hwesio muda itu
djahat toh terhitung pula tuan penolongnja, mana boleh ia membalas susu dengan
tuba? Tapi kalau mesti menanti lubang baik untuk melulu bunuh Hiat-to Lotjo
seorang, ia merasa tangan sendiri djuga sangat lemas, sedikitpun ia tidak jakin
serangannja nanti akan dapat mengenai sasarannja dengan tepat.
Tengah Tjui Sing merasa ragu2
dan serba susah, tiba2 Hoa Tiat-kan mendesaknja pula: “Tjui-titli, hajolah
lekas turun tangan, apa jang kau tunggu lagi? Djangan kau lewatkan kesempatan
bagus ini, untuk membalas sakit hati ajahmu, inilah saatnja!”
“Tapi …….. tapi mereka berdua
bergumul mendjadi satu dan …… dan tak terpisahkan,” udjar Tjui Sing.
“Geblek kau, bukankah aku
suruh kau membunuh mereka berdua?” omel Tiat-kan dengan gusar. Sebagai seorang
tokoh terkemuka, ia adalah ketua dari Tiat-djiang-bun di Kangsay, sudah biasa
ia memerintah dirumah dan apa jang dikatakan tiada jang berani membangkang,
maka ia mendjadi djengkel waktu Tjui Sing tidak lantas turut perintahnja. Njata
ia lupa dirinja sendiri dalam keadaan tak berkutik, sedang Tjui Sing sebenarnja
djuga sudah bentji dan pandang hina padanja. Keruan utjapannja jang kasar itu
sangat menusuk perasaan Tjui Sing dan membuatnja naik darah.
“Ja, ja, aku anak geblek, dan
kau kesatria jang gagah,” demikian kontan sigadis balas mendamperat. “Tapi
mengapa kau sendiri tadi tidak berani bertempur mati2an dengan dia? Djika kau
mampu, hajolah kau sendiri membunuh mereka sadja. Hm, pengetjut.”
Dasar Hoa Tiat-kan djuga
sangat litjik, ia dapat melihat gelagat dan menuruti arah angin, lekas2 ia
menjambut dengan tersenyum: “Ja, ja, memang Hoa-pepek jang salah, harap
Tjui-titli djangan marah. Nah, pergilah membunuh kedua paderi djahat itu untuk
membalas sakit hati ajahmu. Pendjahat besar sebagai Hiat-to-tjeng itu dapat
mati ditanganmu, kelak dunia Kangouw pasti akan sangat kagum kepada seorang
Tjui-lihiap jang perkasa dan berbakti pula.”
Tapi semakin tjerewet ia
mengumpak, semakin membikin Tjui Sing merasa mual dan bentji. Ia melototi
manusia hina itu sekali, lalu melangkah madju, ia intjar punggung Hiat-to Lotjo
dan bermaksud menjajatnja dua-tiga kali dengan golok agar paderi tua itu
terluka dan mengalirkan darah, sebaliknja Tik Hun tidak terluka apa2.
Namun disamping bergumul
dengan Tik Hun, senantiasa Hiat-to Lotjo djuga memperhatikan gerak-gerik Tjui
Sing. Ketika melihat gadis itu mendesak madju dengan golok terhunus, segera
iapun dapat menaksir maksudnja, sebelum orang bertindak, ia sudah mendahului
menegur dengan suara tertahan: “Baiklah, boleh kau potong punggungku dengan
perlahan, tapi hati2, djangan sampai Hwesio tjilik ini ikut terluka.”
Tjui Sing kaget. Sudah banjak
ia merasakan siksaan Hiat-to-tjeng itu, memangnja ia sangat djeri padanja, maka
demi mendengar maksudnja kena ditebak, ia mendjadi ragu2. Dan karena sedikit
tertegun itu, ia urung menjerang pula. Padahal Hiat-to Lotjo hanja main gertak
belaka.
Dalam pada itu Tik Hun jang
ditjekik Hiat-to Lotjo itu semakin pajah keadaannja. Ia merasa dadanja se-akan2
melembung karena takdapat mengeluarkan napas. Segera hawa jang terhimpun
didalam paru2 itu menerdjang keatas, tapi karena djalan napas ditenggorokan
tertjekik dan buntu, hawa itu lantas membalik kebawah.
Begitulah hawa dada itu lantas
mengamuk dengan menerdjang kesini dan menumbuk kesana untuk mentjari djalan
keluar, tapi tetap buntu. Dalam keadaan begitu, bila orang biasa, achirnja
tentu akan pingsan dan mati sesak napas. Tapi Tik Hun djusteru tidak mau
pingsan, sebaliknja ia merasakan penderitaan jang tak terkatakan pada seluruh
tubuhnja, jang terkilas dalam pikirannja jalah: “Matilah aku! Matilah aku!”
Se-konjong2 Tik Hun merasa
perutnja sangat kesakitan, hawa didalam itu makin lama semakin melembung dan
bertambah panas, djadi mirip uap panas jang takbisa keluar dari dalam kuali,
perut serasa akan meledak. Pada saat lain, tiba2 “Hwe-im-hiat” pada bagian
bawah perut se-akan2 tertembus suatu lubang oleh hawa panas itu, ia merasa hawa
panas itu mengalir sedikit demi sedikit menudju ke “Tiang-kian-hiat” dibagian
bokong, rasanja sangat njaman sekali badannja sekarang. Sebenarnja kedua
Hiat-to didalam tubuhnja itu satu sama lain tiada berhubungan, tapi karena hawa
panas jang bergolak didalam tubuhnja menghadapi djalan buntu, setjara tak disengadja
hawa itu menerdjang kian kemari dan achirnja telah menembuskan djalan darahnja
antara urat nadi Im-meh dan Tok-meh itu.
Dan sekali hawa dalam itu
masuk ke “Tiang-kiang-hiat”, terus sadja hawa itu menjusur naik melalui tulang
punggung, jaitu melalui titik2 hawa jang tertjakup dalam lingkungan Tok-meh
hingga achirnja mentjapai “Pek-hwe-hiat” dibagian ubun2 kepala.
Biasanja biarpun dilatih
setjara giat dan radjin selama berpuluh tahun oleh seorang ahli Lwekang jang
paling pandai djuga belum tentu dapat menembus urat2 nadi Im-meh dan Tok-meh.
Tapi Tik Hun sedjak mendapat adjaran intisari Lwekang maha hebat dari
“Sin-tjiau-keng” ketika sama2 berada didalam pendjara dengan Ting Tian dulu,
kendati Lwekang itu sangat bagus, untuk melatihnja dengan baik djuga tidak
gampang, maka sampai kapan Tik Hun baru dapat mejakinkan ilmu Lwekang itu
sesungguhnja djuga masih merupakan suatu tanda tanja, apalagi bakat pembawaan
pemuda itu bukan tergolong pilihan, pula tiada petundjuk lagi dari Ting Tian.
Siapa duga disaat djiwanja
tergantung pada udjung rambut ditengah djurang bersaldju itu, se-konjong2
djalan darah kedua urat nadi Im-meh dan Tok-meh jang penting itu dapat
ditembusnja.
Begitulah maka ia mendjadi
segar merasakan hawa dalam itu menerdjang ke “Pek-hwe-hiat” diatas kepala. Hawa
njaman itu kemudian menurun kebagian djidat, hidung, bibir hingga sampai di
“Seng-tjiang-hiat” dibawah bibir. “Seng-tjiang-hiat” itu sudah termasuk urat
nadi “Im-meh” jang meliputi Hiat-to disebelah depan tubuh manusia. Maka dari situ
hawa segar itu terus mengalir melalui Liat-tjoan-hiat, Thian-tut-hiat,
Soan-ki-hiat dan lain2 hingga achirnja sampai “Hwe-im-hiat” lagi.
Djadi hawa segar itu telah
memutar satu kali diantara titik2 Hiat-to ditubuh Tik Hun hingga seketika rasa
sesak tadi hilang sama sekali, bahkan kini merasa nikmat dan segar luar biasa.
Untuk pertama kali djalannja
hawa murni itu agak sulit, tapi sekali sudah lantjar, untuk kedua dan ketiga
kalinja mendjadi sangat gampang dan tjepat djalannja, maka hanja dalam waktu
singkat sadja be-runtun2 hawa murni itu sudah berputar sampai belasan kali.
Sebenarnja setiap djenis ilmu
Lwekang djuga mempunjai tjara2 menembus urat nadi Im-meh dan Tok-meh itu, namun
manfaatnja sesudah berhasil melatihnja satu sama lain ber-beda2. Mirip seperti
orang jang melatih Gwakang, daja pukulan atau tendangan masing2 mempunjai
kekuatannja sendiri2.
Sedangkan Lwekang dari
“Sin-tjiau-keng” itu adalah sematjam ilmu paling gaib dalam ilmu silat. Sudah
tjukup lama Tik Hun menjakinkan Sin-tjiau-kang, jaitu sedjak dia mengeram
didalam pendjara, djadi dasarnja sebenarnja sudah terpupuk kuat. Maka sekali
dia sudah lantjar mendjalankan hawa murni itu, setiap kali hawa itu memutar
titik2 Hiat-to dalam tubuhnja, setiap kali bertambah pula tenaga dalamnja. Ia merasa
anggota badannja seka rang se-akan2 penuh tenaga, semangat me-njala2, bahkan
setiap udjung rambut djuga se-akan2 penuh mengandung tenaga.
Dengan sendirinja hal mana tak
diketahui oleh siapapundjuga, Hiat-to Lotjo tidak menduga bahwa orang jang
sedang ditjekiknja itu sudah terdjadi perubahan jang maha besar. Maka ia tidak
perhatikan keadaan Tik Hun, sebaliknja sambil mentjekik, jang dia perhatikan
adalah golok jang dihunus oleh Tjui Sing itu.
Dalam pada itu tenaga murni
didalam tubuh Tik Hun makin lama bertumbuh makin kuat, mendadak sebelah kakinja
mendepak, “bluk”, tepat sekali perut Hiat-to Lotjo kena ditendang. Tenaga
tendangan itu ternjata tidak alang kepalang kuatnja, tanpa ampun lagi tubuh
paderi tua itu mentjelat dan me-lajang2 keudara.
Keruan Tjui Sing dan Hoa
Tiat-kan mendjerit kaget berbareng, mereka tidak tahu apakah jang terdjadi
sebenarnja? Jang sudah terang jalah tubuh Hiat-to-tjeng mentjelat dan
berdjungkir-balik diudara, habis itu lantas menantjap kedalam saldju dengan
kaki diatas. Begitu keras djatuhnja itu hingga badan paderi tua itu ambles
semua kedalam saldju, hanja sepasang kakinja jang menongol dipermukaan saldju,
dan malahan sudah takbisa bergerak lagi sedikitpun.
Tjui Sing dan Hoa Tiat-kan
sampai terkesima menjaksikan itu. Begitu pula Tik Hun djuga tidak pertjaja
kepada matanja sendiri, ia lebih2 tidak pertjaja pada saat sudah dekat adjalnja
itu mendadak sekali depak bisa membikin Hiat-to Lotjo mentjelat keudara?
Namun iapun tidak mau banjak
pikir lagi, segera ia melompat nbangun, tapi baru ia berdiri, mendadak kakinja
kesakitan, ia mendjerit sekali dan djatuh lagi. Njata ia lupa bahwa sebelah
kakinja sudah patah.
Tapi sekarang tenaga dalamnja
sudah sangat kuat, gerak perubahannja dengan sendirinja sangat tjepat, begitu
djatuh, segera tangan kanan dipakai menahan, lalu melontjat bangun lagi dan
berdiri dengan sebelah kaki. Waktu ia pandang Hiat-to Lotjo, paderi tua itu tampak
masih menantjap didalam saldju dengan kaki diatas tanpa bergerak sedikitpun.
Girang dan kedjut Tik Hun, ia kutjak2 mata sendiri, ia ragu2 akan dirinja bukan
dialam mimpi? Namun sesudah ia tegaskan, memang beanr2 Hiat-to Lotjo itu
menantjap setjara terdjungkir didalam saldju.
Waktu Tik Hun melompat bangun
tadi, karena kuatir dirinja diserang, maka Tjui Sing telah menggeser mundur
sambil siapkan golok didepan dada untuk mendjaga segala kemungkinan. Tapi ia
melihat Tik Hun bersikap kebingungan sambil meng-garuk2 kepala sendiri jang
gundul itu, agaknja kedjadian didepan matanja itu telah membuatnja ter-heran2.
Pada saat itulah tiba2
terdengar Hoat Tiat-kan berseru: “Wah ilmu sakti Siausuhu ini benar2 tiada
tandingannja didjagat ini, sekali depak paderi tua itu sudah terbunuh olehnja,
tenaga tendangannja itu bukan mustahil ada ribuan kati kerasnja. Tindakan
Siausuhu itu benar2 bidjaksana dan tanpa pandang bulu. Manusia djahat dan
kedjam sebagai Hiat-to-tjeng itu memang setiap orang pantas membunuhnja.”
“Huh,” djengek Tjui Sing
saking tidak tahan mendengar otjehan jang tidak kenal malu itu. “Masih kau
berani mengatjo-belo segala, apakah kau tidak kuatir orang merasa mual?
Pengetjut!”
“Ah, kau tahu apa?” balas Hoa
Tiat-kan. “Dalam keadaan bahaja Siausuhu itu berhasil mejakinkan ilmu saktinja,
badannja sekarang sudah memiliki tenaga dalam jang maha kuat, bahkan diwaktu
paderi tua itu masih hidup djuga kalah kuat daripadanja. Itulah tanda orang
baik tentu mempunjai redjeki besar. Selamat bahagialah, Siausuhu!”
Njata, biarpun Hoa Tiat-kan
itu seorang rendah djiwanja, tapi pandangannja memang sangat tadjam. Sekali
melihat air muka Tik Hun bertjahaja dan penuh semangat, dibandingkan keadaan
pemuda itu tadi, perbedaannja boleh dikata seperti langit dan bumi. Maka ia
dapat menduga pasti pada saat menentukan tadi mendadak pemuda itu telah
berhasil mejakinkan sematjam Lwekang jang maha lihay, dari tenaga tendangannja
kepada Hiat-to Lotjo jang luar biasa kerasnja itu, ia menaksir sekalipun
dirinja dalam keadaan bebas dan sehat djuga tiada separoh dari kekuatan
tendangan itu.
Dan Tik Hun sendiri ternjata
masih bingung, ia tanja dengan ter-gagap2: “Kau …… kau bilang aku ……. aku telah
menendang mati dia?”
“Ja, ja, itulah tidak usah
disangsikan lagi,” sahut Hoa Tiat-kan. “Djikalau Siausuhu tidak pertjaja, boleh
tjoba kau tabas dulu kedua kakinja, lalu menariknja keluar dari saldju untuk
diperiksa. Dan nanti tentu Siausuhu akan pertjaja pada omonganku.”
Dasar dia memang litjin, maka
setiap tipu jang dia rentjanakan selalu sangat kedji. Ia suruh Tik Hun tabas
dulu kedua kaki Hiat-to Lotjo, tudjuannja kalau2 dugaannja meleset dan paderi
tua itu masih hidup, namun toh takbisa berkutik lagi karena kakinja sudah
terkutung.
Namun Tik Hu tidak mau turut
sarannja itu, ia pandang Tjui Sing hingga gadis itu mundur ketakutan sebab
mengira pemuda itu hendak merebut goloknja.
Tik Hun menggojang kepala dan
katanja: “Djangan takut, aku takkan bikin susah padamu. Tadi engkau tidak membunuh
aku bersama Hwesio tua itu, terimalah kasihku ini.”
Tjui Sing hanja mendengus
sekali dan tidak mendjawab.
“Tjui-titli, salah kau kalau
begitu,” timbrung Hoa Tiat-kan tiba2. “Siausuhu dengan djudjur mengutjapkan
terima kasih padamu, seharusnja kaupun balas terima kasih padanja. Tadi sewaktu
paderi tua jang djahat itu membatjok kepunggungmu, bila Siausuhu ini tidak
‘lin-hiang-sik-giok’ dan menolong padamu, saat ini djiwamu tentu melajang.”
Mendengar utjapan
“Lin-hiang-sik-giok” (kasih wangi dan sajang pada giok, kiasan kesukaan orang
kepada kaum wanita) itu, Tik Hun dan Tjui Sing mendelik bersama kepada manusia
rendah itu.
Padahal biarpun Tjui Sing
terhitung satu gadis djelita, tapi maksud Tik Hun menolongnja tadi hanja timbul
setjara spontan karena tidak ingin melihat orang baik2 dibunuh sipaderi djahat.
Tapi dengan utjapan Hoa Tiat-kan itu mendjadi se-akan2 maksud tudjuannja
menolong itu tidak sehat.
Sebaliknja Tjui Sing memang
sangsi dan sirik kepada Tik Hun, maka utjapan Hoa Tiat-kan itu djadi menambah
rasa bentjinja kepada pemuda itu. Ia merasa kedua orang itu sama2 djahat dan
rendah. Sekilas dilihatnja djenazah sang ajah, terus sadja ia berlari mendekati
dan mendekap diatas majat itu sembari menangis ter-gerung2.
“Siausuhu, siapakah gelaranmu
jang mulia?” demikian Hoa Tiat-kan menanja dengan tjengar-tjengir.
Tik Hun mendjadi mual
dibuatnja. Sahutnja ketus: “Aku bukan Hwesio, maka djangan panggil2 Suhu
padaku. Aku memakai djubah paderi adalah terpaksa karena harus menjamar untuk
menjelamatkan diri.”
“Aha, bagus djika begitu,”
seru Hoa Tiat-kan. “Kiranja Siausuhu, eh salah, tolol benar aku ini! Eh,
numpang tanja siapakah nama jang mulia dari Tayhiap?”
Meski sedang menangis, tapi
tanja-djawab kedua orang itu samar2 djuga didengar oleh Tjui Sing. Demi
mendengar Tik Hun menjatakan dirinja bukan Hwesio ia mendjadi heran dan sangsi.
Maka terdengar Tik Hun telah
mendjawab: “Aku she Tik, aku hanja seorang ‘Bu-beng-siau-tjut’ (pradjurit tak
bernama alias kerotjo), seorang tjatjat jang beruntung lolos dari tjengkeraman
elmaut, masakah kau sebut Tayhiap segala?”
“Bagus, bagus!” demikian Hoa
Tiat-kan masih mengumpak setinggi langit. “Begitu tangkasnja Tik-tayhiap,
dengan Tjui-titli jang djelita itu benar2 merupakan suatu pasangan jang
tjotjok. Pak tjomblang djuga tidak perlu ditjari lagi, aku inilah sudah siap
sedia. Hahaha, bagus, bagus, kiranja Tik-tayhiap memangnja bukan Tjutkehlang
(kaum paderi), maka tjukup menunggu tumbuhnja rambut lalu salin pakaian, dengan
demikian djadilah engkau seorang biasa, hakikatnja tidak perlu pakai upatjara
kembali kemasjarakat ramai apa segala.”
Rupanja Hoa Tiat-kan jakin
benar2 Tik Hun pasti paderi dari Hiat-to-bun, tapi karena kesemsem pada
ketjantikan Tjui Sing, maka sengadja tidak mau mengaku asal-usulnja.
Lapat2 Tjui Sing djuga
mempunjai pikiran seperti itu, maka ia bertambah kuatir demi mendengar
perkataan Hoa Tiat-kan itu. Ia berbangkit dan siapkan goloknja, pabila
gerak-gerik Tik Hun mengundjuk kekurangadjaran, segera ia akan melabraknja
dengan mati2an.
Namun Tik Hun hanja geleng2
kepala dan menjahut dengan kurang senang: “Rupanja mulutmu perlu dikosek supaja
lebih bersih. Mengapa selalu bitjara tentang hal2 kotor itu? Djikalau kita
dapat keluar djurang ini dengan selamat, selamanja aku tidak sudi melihat
tjetjongormu lagi dan selamanja takkan melihat muka nona Tjui pula.”
Hoa Tiat-kan melengak karena
tidak djelas kemana perkataan Tik Hun itu hendak menudju. Tapi sesudah memikir
sedjenak, segera ia sadar, katanja: “Aha, tahulah aku, tahulah aku!”
“Kau tahu apa?” damperat Tik
Hun dengan melotot.
Maka berbisiklah Tiat-kan
dengan lagak seorang detektip: “Ja, ja, tahulah aku. Tentu didalam kuil
Tik-tayhiap masih ada sitjantik jang mendjadi pilihanmu dan nona Tjui ini tidak
dapat kau bawa pulang untuk mendjadi suami-isteri abadi. Djika demikian, haha,
boleh djuga djadilah suami-isteri sambilan barang beberapa hari, apa
halangannja sih?”
Biarpun bisik2, namun Tjui
Sing dapat mendengarnja djuga. Keruan gusarnja tidak kepalang, terus sadja ia
memburu madju, ‘plak-plok, plak-plok’, kontan ia persen kedua pipi manusia
rendah itu dengan empat kali gamparan.
Dengan atjuh-tak-atjuh Tik Hun
mengikuti kedjadian itu se-akan2 segala itu sama sekali tiada sangkut-paut
dengan dirinja…..
Begitulah sedjam demi sedjam
telah lalu dan Hiat-to Lotjo tetap terdjungkir menantjap didalam saldju tanpa
bergerak. Meski batin ketiga orang jang berada ditengah djurang itu masing2
mempunjai pikirannja sendiri2, tapi rasa sangsi terhadap Hiat-to-tjeng itu
lambat-laun sudah banjak berkurang. Namun begitu, beberapa kali Tjui Sing
bermaksud menabas kedua kaki paderi djahat itu toh tetap tak berani
melakukannja.
Sesudah mengalami peristiwa
hebat itu, Tjui Sing mendjadi lapar sekali. Ia melihat restan daging kuda
panggang tadi masih terserak disitu. Kini ajahnja sudah tewas, djiwa dan
kesutjian sendiri djuga masih terantjam, dengan sendirinja tak terpikir lagi
olehnja apakah daging kuda itu berasal dari kuda kesajangannja atau bukan?
Segera ia mengeluarkan ketikan api, ia menjalakan kaju kering jang berada
disitu dan mulai memanggang daging kuda lagi.
Hoa Tiat-kan sendiri belum
bisa berkutik, maka tanpa bosan2 ia masih terus mengumpak dan mendjilat. Tapi
Tik Hun tidak ambil pusing lagi padanja, ia rebah ditanah saldju itu untuk
memulihkan semangat. Sedang Tjui Sing ter-mangu2 memandang api unggun jang
me-njala2 itu dengan air mata bertjutjuran. Air matanja menetes kesaldju hingga
saldju mentjair, tapi pelahan2 air saldju itu lantas membeku lagi.
Setelah urat nadi Im-meh dan
Tok-meh ditubuh Tik Hun mulai terhubung, semangatnja terasa menjala2, satu arus
hangat terasa mengalir mulai dari dada sampai kepunggung dan dari punggung
kembali kedada setjara ber-ulang2 dan terus mengalir tanpa berhenti. Setiap
kali hawa hangat itu memutar satu kali, setiap bagian tubuh lantas merasa penuh
tenaga, meski kaki jang patah dan tempat2 bekas kena digebuk Tjui Sing masih
kesakitan, tapi dengan timbulnja tenaga dalam itu, rasa sakit itu mendjadi
mudah ditahan.
Kuatir keadaan jang aneh dan
adjaib sekali itu mungkin akan segera hilang, maka Tik Hun tidak berani
bergerak, ia merebah dan membiarkan hawa dalam itu mengalir kian kemari
diantara urat2 nadi Im-meh dan Tok-meh itu.
Begitulah mereka bertiga tiada
seorangpun jang membuka suara. Sesudah lebih dua djam, Tjui Sing jang per-tama2
berbangkit, ia djemput golok merah dari dalam saldju dan tjoba mendekati
Hiat-to-tjeng jang selama itu masih tetap terdjungkir menantjap didalam saldju
tanpa bergerak sedikitpun. Dengan beranikan hati, segera ia membatjok kaki kiri
paderi itu, “tjrat”, kontan sebelah kaki paderi itu tertabas kutung.
Tapi aneh bin heran, kaki
kutung itu ternjata tidak berdarah. Waktu ditegaskan, kiranja darah didalam
tubuh Hiat-to Lotjo itu sudah membeku, ternjata paderi durdjana itu sudah
sedjak tadi tak bernjawa lagi.
Tjui Sing bergirang dan
bersedih pula. Segera ia angkat goloknja dan membatjok serabutan ketubuh paderi
djahat itu. Pikirnja: “Paderi durdjana tua ini sudah mampus, tinggal paderi
djahat jang muda itu entah tjara bagaimana akan menjiksa aku? Ajah sudah
meninggal, sungguh akupun tidak ingin hidup lagi. Asal sedikit aku akan
diperlakukan dengan djahat, segera aku akan membunuh diri dengan golok ini.”
Bahwasanja manusia itu
betapapun tetap ingin hidup daripada mati, maka begitu pula halnja dengan Tjui
Sing. Padahal djika dia benar2 hendak membunuh diri, saat itu adalah kesempatan
jang paling bagus. Tapi sebelum tiba saat jang paling achir, dengan sendirinja
ia tidak mau mati begitu sadja.
Disebelah sana meski badan Hoa
Tiat-kan tak dapat bergeruk, tapi segala apa dapat dilihatnja dengan djelas.
Namun iapun tidak djelas tjara bagaimana Tik Hun telah membinasakan
Hiat-to-tjeng itu, ia sangka mungkin tenaga murni paderi Tibet itu sudah
terkuras habis, keadaannja sudah pajah, maka sekenanja Tik Hun menghantam dan
telah membinasakan dia. Diam2 iapun bergirang, pikirnja: “Hwesio djahat ketjil
ini meski bengis, tapi sangat gampang untuk dihadapi. Sebentar djuga aku sudah
dapat bergerak, sekali tondjok sadja tentu akan kutamatkan riwajatnja.”
Dan sesudah hampir satu djam
pula, Tik Hun merasa hawa hangat jang mengalir didalam tubuhnja itu masih terus
berputar tanpa hilang. Ia tjoba mendjalankan ilmu mengatur tenaga dalam dari
Lwekang “Sin-tjiau-keng” adjaran Ting Tian dahulu, maka timbullah sesuatu jang
diluar dugaan. Hawa dalam jang tadinja susah dikuasai itu kini ternjata dapat
dikendalikan sesuka hatinja, kemana ia ingin mengalirkan hawa murni itu, segera
dapat dilaksanakannja dengan baik.
Keruan TIk Hun sangat girang
segera ia djemput sebatang kaju untuk dipakai tongkat penjanggah ketiak dan
mendekai Hiat-to-tjeng setjara ber-ingsut2. Ia melihat majat paderi itu masih
terdjungkir ambles didalam saldju, kedua kakinja sudah hantjur luluh dibatjok
oleh Tjui Sing tadi, terang sekali paderi itu memang sudah mati. Ia pikir
kedjahatan paderi itu sudah melampaui takaran dan pantas mendapatkan gandjaran
setimpal itu. Tapi sesungguhnja djuga paderi djahat itu pernah menolongnja
pula.
Sebagai seorang jang djudjur
dan kenal budi, Tik Hun lantas seret majat Hiat-to-tjeng dan ditaruh baik2
ditanah saldju, ia menguruknja dengan gundukan saldju sekadar sebagai tanda
kuburan paderi djahat itu.
Melihat perbuatan Tik Hun itu,
timbul djuga rasa ingin meniru Tjui Sing. Iapun mengubur djenazah sang ajah
dengan tjara seperti Tik Hun itu. Sebenarnja ia bermaksud mengubur djuga
djenazahnja Lau Seng-hong dan Liok Thian-dju. Tapi jang seorang itu mati diatas
puntjak karang sana dan jang lain terpendam didasar saldju, terpaksa ia
batalkan niatannja itu.
Tik Hun merasa lapar, ia ambil
dua potong daging kuda panggang dan dimakan.
“Siausuhu, aku sangat
kelaparan, tolong kau suapi aku sepotong daging kuda itu,” pinta Hoa Tiat-kan
tiba2.
Tapi Tik Hun hanja mendjengek
sekali, ia bentji pada martabat orang she Hoa jang rendah itu, maka tak
menggubrisnja.
Namun Hoa Tiat-kan masih terus
memohon tanpa berhenti. Karena tidak tega, selagi Tik Hun hendak djedjalkan
sepotong daging kuda kemulutnja agar manusia pengetjut itu tidak tjerewet
terus, tiba2 Tjui Sing mentjegahnja: “Daging ini berasal dari kudaku, djangan
berikan pada manusia tak kenal malu itu.”
Tik Hun mengangguk tanda
setudju, sebagai gantinja ia melotot sekali pada Hoat Tiat-kan.
Tapi Hoa Tiat-kan tidak putus
asa, ia memohon pula: “Siausuhu....................”
“Sudah kukatakan tadi bahwa
aku bukan Hwesio, kenapa kau masih memanggil setjara ngawur?” bentak Tik Hun
dengan mendongkol.
“Eh, ja, memang tolol benar
aku ini,” tjepat Hoa Tiat-kan merendah diri. “Wah, tadi sekali hantam
Tik-tayhiap telah binasakan Hiat-to-ok-tjeng itu, kelak namamu pasti akan
tersohor diseluruh djagat. Pabila aku sudah keluar dari lembah ini,
pekerdjaanku jang pertama jalah menjiarkan keperkasaan Tik-tayhiap ini, bahwa
Tik-tayhiap telah berusaha menolong nona Tjui tanpa menghiraukan keselamatan
sendiri dan achirnja dapat mampuskan Hiat-to-ok-tjeng, sungguh kedjadian ini
merupakan berita paling penting didunia persilatan.”
“Aku adalah seorang bekas
perantaian jang tak terhormat, siapa jang mau pertjaja pada obrolanmu? Lebih
baik tutup mulutmu sadja,” djengek Tik Hun.
“Djangan kuatir, Tik-tayhiap,”
masih Hoa Tiat-kan mengotjeh. “Berdasarkan sedikit namaku dikalangan Kangouw,
apa jang kukatakan pasti akan dipertjaja oleh siapapun djuga. Eh, Tik-tay-hiap,
kasihlah sepotong dagingmu itu.”
Tik Hun mendjadi sebal
diretjoki terus, bentaknja: “Sudah kukatakan tidak kasih, ja tetap tidak kasih.
Kelak boleh kau siarkan pada orang Kangouw tentang nama djelekku, emangnja aku
ini orang apa? Masakah ada harganja dibuat tjerita?” ~ Sampai disini, ia
mendjadi terkenang pada kisah derita jang telah dialaminja dengan matjam2
hinaan dan siksaan setjara penasaran itu. Saking gusar dan dongkolnja hampir2
ia tak tahan lagi.
Padahal sebenarnja Hoa
Tiat-kan tidak sungguh2 ingin makan daging kuda, biarpun lapar djuga, tapi
kelaparan sehari dua hari baginja sudah tentu bukan soal. Ia kuatir Tik Hun itu
“mewariskan” sifat djahat Hiat-to Lotjo dan mendadak mengamuk serta
membunuhnja, dari itu ia pura2 minta daging kuda sebagai siasat, ia pikir Tik
Hun tidak sudi memberi daging jang diminta, tentu dalam hati akan timbul rasa
gegetun, dan pikiran membunuh itu dengan sendirinja pula akan mendjadi tawar
dan achirnja lenjap.
Melihat tjuatja mulai gelap,
angin meniup dengan keras, segera Tik Hun berkata pada Tjui Sing: “Nona, boleh
kau mengaso didalam gua itu!”
Tjui Sing mendjadi kuatir, ia
sangka pemuda itu bermaksud djahat lagi, maka bukannja menurut, sebaliknja ia
mundur ketakutan, ia siapkan golok didepan dada dan membentak: “Kau paderi
djahat ini, asal kau berani mendekati aku selangkah, segera nonamu ini akan
membunuh diri.”
Tik Hun melengak, tjepat
sahutnja: “Hei, djangan nona salah paham, sekali2 aku tiada punja maksud
djahat!”
“Huh, kau Hwesio tjilik ini
bermuka manusia, tapi hatinja binatang,” damperat Tjui Sing mendadak.
“Tertawamu itu berbisa, djauh lebih djahat dan litjik daripada Hwesio tua
djahanam itu. Huh, djangan harap aku dapat kau tipu.”
“Tik Hun tidak ingin banjak berdebat
lagi, pikirnja: “Besok pagi begitu terang tanah segera aku akan mentjari djalan
keluar untuk meninggalkan lembah ini. Apakah dia Tjui-kohnio dan Hoa-tayhiap
apa segala, selama hidupku ini aku takkan melihat tjetjongor mereka lagi.” ~
Maka tanpa bitjara ia lantas menjingkir djauh2 kesana, ia merebah dan bersandar
disuatu batu padas dan tidur.
Sebaliknja Tjui Sing telah
pandang Tik Hun sebagai seorang paderi tjabul tulen, semakin djauh ia
menjingkir, semakin kedji dan tjulas pula muslihatnja, bukan mustahil nanti
tengah malam mendadak dirinja akan disergap olehnja.
Karena itu, Tjui Sing tidak
berani masuk kedalam gua itu, ia kuatir kalau tengah malam digerajangi Tik Hun,
kan bisa tjelaka? Maka dengan hati tidak aman iapun duduk bersandar sebuah
batu, matanja makin lama makin sepat, kantuk sekali rasanja, tapi selalu ia
memperingatkan dirinja sendiri: “Awas, djangan tidur! Djangan tidur! Djika
tidur, kau akan digerajangi paderi djahat itu!”
Tapi setelah mengalami
kedjadian2 selama beberapa hari ini, sesungguhnja ia sudah sangat lelah, lahir
maupun batin. Walaupun ia bertahan sedapat mungkin agar tidak terpulas, tapi
lama kelamaan, tanpa merasa iapun tertidur achirnja.
Dan tidurnja itu njenjak
benar2 hingga esok paginja. Ia merasa sinar sang surja gilang gemilang, ia
terdjaga bangun. Tjepat ia melompat bangun sambil sambar golok merah jang
semula terletak disampingnja. Tapi tangannja memegang tempat kosong, keruan ia
tambah gugup. Waktu ditegaskan, kiranja Hiat-to itu masih baik2 berada disitu,
tjuma sedikit djauh dari tempatnja tadi. Rupanja dalam tidurnja tanpa merasa ia
membalik tubuh dan menggeser tempat. Ia djemput kembali sendjata tadjam itu,
waktu ia pandang kedepan, ia melihat TIk Hun sedang djalan berintjang-intjut
keluar lembah sana dengan kakinja jang pintjang. Ia mendjadi girang, ia pikir
“Hwesio” djahat itu tentu bermaksud pergi dari lembah bersaldju itu.
Memang benar djuga Tik Hun
ingin mentjari djalan keluar dari lembah itu. Tapi sudah beberapa kali ia
mentjari djalan kedjurusan timur dan udjung timur laut sana, namun semuanja
djalan buntu. Arah barat, utara dan selatan djuga dilingkungi tebing karang
jang tjuram, terang djuga djalan buntu. Ia lihat djurusan tenggara mungkin ada
harapan, tapi disitu saldju bertimbun ber-puluh2 meter tingginja, sebelum hawa
panas dan saldju tjair, terang tak mungkin bisa keluar, apalagi sekarang ia
adalah seorang pintjang, kakinja patah.
Setelah mentjari djalan kian
kemari selama setengah hari, achirnja ia putar balik dengan hasil nihil dan
badan letih. Dengan ter-mangu2 ia memandangi puntjak gunung diatas sana, air
mukanja muram durdja.
“Bagaimana, Tik-tayhiap?”
tanja Hoa Tiat-kan tiba2.
Tik Hun menggeleng kepala,
sahutnja: “Pertjuma, djalan buntu semua!”
Diam2 Hoa Tiat-kan memikir:
“Kakimu patah, dengan sendirinja susah untuk keluar dari lembah kurung ini.
Tapi aku Hoa Tiat-kan masakah sudi dikeram terus disini? Sampai sore hari
nanti, asal djalan darahku sudah lantjar, segera aku akan angkat langkah
seribu.” ~ Hati berpikir begitu, tapi lahirnja ia pura2 tidak terdjadi apa2,
katanja malah: “Kalian djangan kuatir, nanti bila djalan darahku sudah lantjar,
pasti aku akan dapat menjelamatkan kalian dari sini.”
Melihat selama itu TIk Hun
tidak mengganggu padanja, mau-tak-mau rasa takut dan kuatir Tjui Sing mendjadi
berkurang. Tapi sedikitpun ia tidak lengah, ia masih tetap was-was. Selalu ia
mendjauhi pemuda itu dan sepatah-katapun tidak mau bitjara padanja.
Memangnja TIk Hun djuga tidak
sudi minta gadis itu memahami apa jang sebenarnja, jang dia harap adalah selekas
mungkin dapat meninggalkan lembah maut itu. Tapi sekitar lembah terkurung
saldju tebal dan tinggi, ia mendjadi sedih tjara bagaimanakah untuk dapat
keluar dari situ?
Setelah lewat lohor kira2 djam
dua sore, mendadak Hoa Tiat-kan bergelak tertawa, katanja: “Tjui-titli, daging
kudamu itu Hoa-pepek akan pindjam beberapa kati, sesudah makan dan keluar dari
lembah ini, tentu akan kubajar kembali.”
Dan belum lagi Tjui Sing
mendjawab, se-konjong2 Hoa Tiat-kan sudah melompat bangun dan mendekati tempat
daging kuda panggang itu. Terus sadja ia sambar sepotong daging dan dimakan
dengan lahapnja. Njata djangka waktu tertutuk djalan darahnja itu sudah
berachir dan telah terbuka dengan sendirinja.
Tjui Sing tahu pertjuma djuga
hendak merintangi, terpaksa ia tidak gubris padanja.
Sebaliknja demi Hiat-to sudah
lantjar kembali, sikap Hoa Tiat-kan mendjadi berubah aneh. Ia pikir
Hiat-to-tjeng sudah mati, sekarang, biarpun Tik Hun dan Tjui Sing bersatu mengerojoknja
djuga pasti bukan tandingan dirinja. Dan tjara bagaimana dirinja akan
perlakukan kedua muda-mudi itu boleh dikatakan tiada mungkin mereka bisa
melawan. Tapi tiada gunanja djuga tinggal dilembah bersaldju itu terlalu lama,
paling penting sekarang harus mentjari djalan keluar dahulu.
Ia gunakan Ginkang untuk
memeriksa sekitar lembah itu, ia melihat saldju longsor jang luar biasa ini
telah menutup rapat lembah gunung itu. Djalan keluar satu-satunja dari lembah
itupun tertimbun saldju berpuluh meter tingginja. Ada djuga akalnja, jaitu
dengan tjara menggangsir, menerobos dinding saldju itu. Tapi ja kalau tebal
saldju itu tjuma beberapa atau belasan meter sadja, sebaliknja kalau be-ratus2
meter, apakah dia mampu menggangsir sedjauh itu? Apalagi sesudah berada dibawah
saldju, arah djurusannja mendjadi susah dibedakan, bukan mustahil sebelum
berhasil menembus tanah saldju itu lebih dulu orangnja sudah mati kaku didalam
situ.
Sedangkan waktu itu baru
permulaan bulan sebelas, kalau mesti menunggu sampai musim panas tahun depan,
sedikitnja harus menunggu lima bulan lagi. Padahal seluruh lembah pegunungan
itu hanja saldju belaka, selama lima bulan itu harus makan apa untuk bisa terus
hidup?
Begitulah Hoa Tiat-kan memutar
kembali sampai diluar gua batu itu, air mukanja tampak muram dan berkerut.
Sesudah duduk termenung sedjenak, ia sambar sepotong daging kuda panggang dan
dimakan, selesai makan daging kuda itu, barulah ia berkata dengan pelahan:
“Untuk bisa keluar harus tunggu sampai hari Toan-ngo-tje (perajaan Pek-tjun)
tahun depan.”
Waktu itu Tik Hun berada
disebelah kiri dan Tjui Sing berada disisi kanan, djarak mereka dengan Hoa
Tiat-kan kira2 belasan meter djauhnja. Meski apa jang digerundel Hoa Tiat-kan
itu sangat pelahan, tapi bagi pendengaran kedua muda-mudi itu se-olah2 bunji
geledek kerasnja. Tanpa merasa kedua orang sama2 memandang kearah bangkai kuda
jang terletak disamping api unggun itu, hati mereka sama2 memikir: “Apakah
dapat bertahan sampai Toan-ngo-tje tahun depan?”
Meski kuda tunggangan Tjui
Sing itu gemuk lagi besar, tapi dimakan tiga orang, tidak sampai sebulan,
achirnja habis djuga daging kuda itu.
Lewat 7-8 hari pula, bahkan
kepala kuda, kaki dan djerohan kuda djuga termakan ludes.
Selama itu, Hoa Tiat-kan, Tik
Hun dan Tjui Sing sama2 tidak mengadjak bitjara, terkadang sinar mata masing2
suka kebentrok, tapi segera saling melengos.
Sesudah sekian lamanja, rasa
sirik dan tjuriga Tjui Sing kepada Tik Hun sudah banjak berkurang. Achirnja ia
berani tidur didalam gua.
Akan tetapi dengan habisnja
daging kuda, timbul pula sematjam rasa waswas kepada pemuda itu. Bukan kuatir
pemuda itu akan berbuat hal2 jang tidak senonoh atas dirinja, tapi takut kalau2
dirinja akan.......... dimakan oleh “Hwesio” djahat itu.
Sampai bilan ke-12, hawa
dilembah kurung itu semakin dingin, angin men-deru2 sepandjang malam. Biarpun
Tik Hun sudah berhasil mejakinkan “Sin-tjiau-kang”, tenaga dalamnja bertambah
penuh, tapi badjunja tipis dan tjompang-tjamping, ditengah tanah bersaldju
sedingin itu, mau-tak-mau ia tersiksa djuga.
Melihat orang kedinginan, tapi
toh tidak pernah melangkah masuk kedalam gua untuk menolak hawa dingin,
mau-tak-mau Tjui Sing merasa lega djuga. Ia merasa paderi djahat itu memang
“djahat”, tapi tjukup sopan.
Selama lebih sebulan itu, luka
diatas tubuh Tik Hun sudah sembuh seluruhnja, kaki jang patah djuga sudah
tersambung kembali dan telah bisa berdjalan seperti biasa. Tenaga dalamnja
makin hari djuga makin tambah kuat. Sebaliknja hawa djuga makin dingin, tapi
toh tidak begitu dirasakan olehnja.
Habisnja daging kuda sungguh
merupakan suatu persoalan jang maha pelik. Sebenarnja beberapa hari terachir
itu sedapat mungkin Tik Hun telah mengurangi makannja, boleh dikata asal
sekadar mengisi perut sadja. Tapi apa jang dia hemat segera disapu habis oleh
Hoa Tiat-kan jang tidak kenal sungkan2 itu.
Menjasikan itu, diam2 Tjui
Sing membatin: “Hm, seorang pendekar besar jang tersohor di Tionggoan, disaat
menghadapi kesulitan ternjata kalah daripada seorang paderi tjabul tjilik dari
Hiat-to-bun!”
Begitulah Tjui Sing masih
tetap pandang Tik Hun sebagai “paderi tjabul”. Padahal saat itu rambut Tik Hun
sudah tumbuh kembali, dengan sendirinja bukan kepala gundul lagi. Sedangkan
dikatakan tjabul djuga tidak betul, selama itu toh tiada sesuatu perbuatannja
jang membuktikan dia “tjabul”?
Tengah malam itu, tiba2 Tjui
Sing terdjaga dari tidurnja, ia mendengar Tik Hun sedang membentak: “Djenazah
Tjui-tayhiap itu tidak boleh kau kutik2!”
Lalu terdengar Hoa Tiat-kan
mendjawab dengan dingin: “Hm, lewat beberapa hari lagi, djangankan orang mati,
bahkan orang hidup djuga akan kumakan. Sekarang aku makan orang mati dulu,
supaja kau bisa hidup lebih lama beberapa hari lagi!”
“Kita lebih baik makan rumput
atau akar pohon, tapi sekali2 tidak boleh makan daging manusia!” sahut Tik Hun.
“Enjah kau!” bentak Hoa
Tiat-kan mendadak.
Tanpa pikir lagi segera Tjui
Sing berlari keluar gua, ia melihat disamping kuburan sang ajah jang berada
disana itu berdiri dua orang jang sedang bertjektjok, jaitu Tik Hun dan Hoa
Tiat-kan. Segera Tjui Sing ber-teriak2 sambil memburu kesana: “Djangan
mengutik-ngutik ajahku!”
Dan sesudah dekat, Tjui Sing
melihat saldju jang tadinja menguruk diatas djenazah sang ajah itu telah
dibongkar, bahkan tangan kiri Hoa Tiat-kan sudah memegangi djenazah sang ajah.
Selagi Tjui Sing hendak
berteriak pula, tiba2 Tik Hun sudah membentak pada Hoa Tiat-kan: “Taruh
kembali!”
“Baiklah, taruh kembali ja
taruh kembali!” sahut Hoa Tiat-kan. Habis berkata, benar djuga ia lantas
letakan majatnja Tjui Tay.
Melihat itu, Tjui Sing rada
lega, bentaknja: “Hoa Tiat-kan, kau sesungguhnja bukanlah manusia!”
Tapi belum habis ia memaki,
se-konjong2 sinar tadjam berkelebat, tahu2 Hoa Tiat-kan melolos keluar sebatang
tumbak pendek dari badjunja, sekali bergerak, setjepat kilat ia tusuk kedada
Tik Hun.
Serangan itu teramat tjepat,
biarpun Lwekang Tik Hun sekarang sudah sangat tinggi, tapi ilmu silatnja hanja
biasa sadja, tidak lebih tjuma sedikit ilmu pukulan dan permainan pedang jang
pernah diperolehnja dari Djik Tiang-hoat, dengan sendiri ia tidak mampu melawan
serangan kilat diluar dugaan dari Hoa Tiat-kan jang tergolong tokoh kelas satu
itu. Ketika Tik Hun insaf apa jang terdjadi, sementara itu udjung tumbak musuh
sudah sampai didadanja.Keruan Tjui Sing ikut kaget dan mendjerit dengan kuatir.
Dengan berhasilnja serangan
kilat setjara mendadak itu, Hoa Tiat-kan jakin tumbaknja pasti akan menembus
dada lawan dan seketika lawan itu akan terbinasa. Siapa duga, begitu udjung
tumbaknja mentjapai dada Tik Hun, tiba2 seperti terhalang oleh sesuatu dan
takbisa masuk.
Karena tusukan dan dorongan
tumbak itu, Tik Hun terperosot djatuh dan duduk, tapi tangan kirinja sempat
diangkat dan menghantam ke-kuat2nja kebatang tumbak lawan. “Krak”, tahu2 garan
tumbak terhantam patah mendjadi dua, bahkan tenaga pukulan itu sedemikian
kerasnja hingga Hoa Tiat-kan ikut terpental dan djatuh terdjengkang.
Keruan kedjut Hoa Tiat-kan tak
terkatakan, sungguh tak terduga olehnja bahwa ilmu silat Hwesio tjilik itu
ternjata sedemikian aneh dan sakti, bahkan tidak dibawah Hwesio tua jang sudah mati
itu. Tjepat ia menggelundung pergi hingga beberapa kali, lalu melompat bangun
dan lari djauh2 kesana.
Ia tidak tahu bahwa tusukan
tumbak itu tidak menembus badan Tik Hun, tapi saking kerasnja sodokan itu
hingga dada Tik Hun terasa sesak dan napas se-akan2 berhenti. Kontan iapun
djatuh pingsan.........
Sang dewi malam sudah menghias
ditengah tjakrawala jang luas, dua ekor elang besar tampak ber-putar2 diangkasa
karena melihat sesosok tubuh menggeletak ditanah saldju, jaitu Tik Hun.
Melihat Tik Hun menggeletak
dan tak berkutik lagi, Tjui Sing menjangka pemuda itu sudah ditusuk mampus oleh
tumbak Hoa Tiat-kan itu, ia mendjadi girang “Siau-ok-tjeng” (paderi djahat
ketjil) jang ditakuti itu achirnja telah mati, selandjutnja ia tidak perlu
takut diganggu orang lagi. Tapi segera terpikir pula olehnja: “Hoa Tiat-kan
bermaksud makan daging djenazah ajahku, sjukur Siau-ok-tjeng itu jang telah
merintangi sepenuh tenaga, tapi ia berbalik terbunuh oleh Hoa Tiat-kan. Padahal
dia toh tidak perlu merintangi perbuatan Hoa Tiat-kan itu. Apa barangkali dia
sengadja hendak menipu supaja aku pertjaja padanja, tapi kemudian aku akan
di..... hm, tidak nanti aku dapat tertipu. Akan tetapi sesudah dia mati, pabila
djahanam Hoa Tiat-kan itu hendak mengganggu djenazah ajah lagi, lantas
bagaimana? Ai, sebaiknja Siau-ok-tjeng itu djangan mati dulu.”
Begitulah pertentangan pikiran
Tjui Sing pada saat itu, sebentar ia bersjukur Siau-ok-tjeng atau sipaderi
djahat ketjil jang ditakuti itu telah mati, tapi lain saat ia berharap Tik Hun
djangan mati agar dirinja mempunjai sandaran untuk melawan Hoa Tiat-kan.
Sambil memegangi golok merah,
achirnja ia mendekati Tik Hun, ia melihat pemuda itu menggeletak terlentang dan
tidak bergerak sedikitpun, daging mukanja tampak ber-kerut2 pelahan, njata
orangnja belum mati. Tjui Sing mendjadi girang, tjepat ia berdjongkok untuk
memeriksa napas Tik Hun. Tapi waktu tangannja mendjulur sampai didepan hidung
Tik Hun, ia merasa dua rangkum hawa panas dari lubang hidung itu menjembur
ketangannja. Ia terkedjut dan tjepat menarik tangan. Semula ia menjangka napas
Tik Hun tentu kempas-kempis andaikan orangnja belum mati, siapa duga napas jang
keluar-masuk dihidung “Siau-ok-tjeng” itu ternjata begitu keras lagi panas.
Sebab apakah Tik Hun tidak
mempan ditusuk tumbak? Kiranja Tik Hun mengenakan “Oh-djan-kah” pemberian Ting
Tian dahulu, maka tumbak Hoa Tiat-kan itu tidak dapat menembus tubuhnja. Namun
sebagai salah satu tokoh “Lam-su-lo” jang tersohor, ilmu silatnja dan tenaga
dalamnja Hoa Tiat-kan dengan sendirinja luar biasa, meski tusukannja tidak
mempan atas Tik Hun, tapi tusukan itu tepat menjodok didada pemuda itu hingga
seketika Tik Hun lantas kelengar saking tak tahan. Untung sekarang ia sudah
berhasil mejakinkan “Sin-tjiau-kang” hingga djiwanja tidak sampai melajang oleh
tusukan tumbak itu.
Begitulah Tjui Sing baru tahu
bahwa pemuda itu tjuma pingsan sadja, ia merasa rikuh bila sebentar pemuda itu
siuman kembali dan melihat dia berdiri disitu. Dan selagi ia hendak mendjauhi
Tik Hun, baru ia menoleh, ia melihat Hoa Tiat-kan djuga berdiri tidak djauh
dari situ dan sedang memperhatikan gerak-gerik mereka.
Hendaklah diketahui bahwa Hoa
Tiat-kan djuga tidak kurang kagetnja ketika tumbaknja tidak mempan mengenai
sasarannja, bahkan ia sendiri sampai terpental. Tapi demi dilihatnja Tik Hun
menggeletak tak bangun lagi, dengan sendirinja tjepat2 ia ingin mengetahui
pemuda itu sudah mati atau masih hidup.
Selang sebentar, ketika
dilihatnja Tik Hun tetap tidak bergerak, ia menduga kalau tidak mati tentu
pemuda itupun terluka parah. Maka tanpa takut2 lagi segera ia mendekati Tik
Hun.
Keruan jang ketakutan adalah
Tjui Sing, tjepat ia membentak: “Pergi kau, pergi!”
“Kenapa aku mesti pergi?”
sahut Hoa Tiat-kan dengan menjeringai. “Orang hidup tentu lebih lezat daripada
orang mati. Kita sembelih dia dan memakannja bersama, bukankah sama2 baiknja?”
~ Sembari berkata, ia terus melangkah madju.
Tjui Sing mendjadi sibuk,
sekuatnja ia meng-guntjang2 Tik Hun sambil berteriak: “Bangunlah lekas, dia
telah datang, dia telah datang!”
Dan demi nampak Hoa Tiat-kan
sudah angkat sebelah tangannja hendak menghantam ketubuh Tik Hun, tanpa pikir
lagi Tjui Sing putar goloknja, dengan djurus “Kim-tjiam-toh-djiat” (djarum emas
penolong maut), segera ia menusuk dulu keulu hati Hoa Tiat-kan.
Sendjata Hoa Tiat-kan, jaitu
tumbak pendek, sudah dipatahkan oleh hantaman Tik Hun tadi, kini ia hanja
bertangan kosong, walaupun kepandaian Tjui Sing tak dipandang sebelah mata
olehnja, tapi gadis itu bersendjatakan golok merah jang maha tadjam itu,
terpaksa ia tidak berani ajal, segera ia mengeluarkan kepandaian
“Khong-djiu-djip-peh-jim” atau merebut sendjata lawan dengan bertangan kosong.
Ia pusatkan perhatian untuk menempur Tjui Sing dengan tudjuan merebut dulu
sendjata jang lihay itu.
Dalam pingsannja itu, lapat2
Tik Hun mendengar teriakan Tjui Sing tadi jang menjuruhnja bangun, sesaat itu
ia masih samar2 belum sadar dan tidak tahu apa maksud gadis itu. Tapi menjusul
ia lantas dengar suara bentakan2. Waktu ia membuka mata, dibawah sinar bulan ia
melihat Tjui Sing sedang putar goloknja menempur Hoa Tiat-kan dengan sengit.
Meski gadis itu bersendjata, tapi pertama ia tidak biasa memakai golok, kedua,
ilmu silatnja selisih terlalu djauh dibanding Hoa Tiat-kan, maka kelihatan
gadis itu sudah pajah dan terdesak mundur terus, sampai achirnja, jang
diharapkan gadis itu adalah goloknja tidak dirampas musuh, sedangkan untuk
balas menjerang sudah tidak mampu lagi. Dan setiap beberapa djurus, selalu Tjui
Sing menoleh dan berteriak pada Tik Hun: “Lekas bangun, dia hendak membunuh
kau, lekas bangun!”
Mendengar itu, hati Tik Hun
terkesiap, pikirnja: “Wah, hampir sadja aku mati! Djadi tadi dia telah
menjelamatkan djiwaku. Bila dia tidak merintangi Hoa Tiat-kan, tentu aku sudah
dibunuh oleh Hoa Tiat-kan.”
Dalam pada itu dilihatnja Tjui
Sing sedang terdesak dan terantjam bahaja, tanpa pikir lagi Tik Hun lantas
melompat bangun, kontan ia menghantam sekali kearah Hoa Tiat-kan.
Ketika Hoa Tiat-kan memapak
pukulan itu dengan telapak tangannja, “plak”, dua arus tenaga pukulan saling
beradu, “bluk”, tahu2 kedua orang sama2 tergentak djatuh duduk.
Kiranja tenaga dalam Tik Hun
sudah sangat kuat, sebaliknja ilmu pukulan Hoa Tiat-kan lebih lihay, maka
gebrakan itu mendjadi sama kuatnja.
Ilmu silat Hoa Tiat-kan lebih
tinggi, gerak perubahannja mendjadi lebih tjepat. Begitu ia djatuh terpental,
tjepat ia melompat bangun lagi dan pukulan kedua segera dilontarkan pula. Tik
Hun belum sempat berdiri kembali, terpaksa ia sambut pukulan itu dengan
berduduk.
Diluar dugaan, dalam keadaan
berduduk itu tenaga Tik Hun ternjata tidak berkurang sedikitpun, maka “blang”,
kembali kedua pukulan saling bentur, Tik Hun terpental hingga berdjumpalitan
sekali, sebaliknja Hoa Tiat-kan djuga ter-hujung2 dan hampir2 terdjungkal lagi,
darah dirongga dadanja djuga bergolak hebat dan hampir2 muntah darah. Diam2 ia
terkedjut: “Tenaga dalam Siau-ok-tjeng ini ternjata sedemikian hebatnja!”
Tapi sesudah dua kali gebrak
itu Hoa Tiat-kan tahu ilmu pukulan Tik Hun itu hanja biasa sadja dan tak
berarti, maka tanpa takut2 lagi kembali ia menerdjang madju dari samping,
pukulan ketiga segera dilontarkan pula.
Terpaksa Tik Hun menjambut
pula serangan itu. Tapi sekali ini ia ketjele, ternjata Hoa Tiat-kan sangat
litjik, pukulan ketiga ini tidak dihantamkan dengan keras, tapi bergerak
naik-turun dan menjambar lewat didepan muka Tik Hun, dengan sendirinja pukulan
sambutan Tik Hun memapak angin, menjusul mana tahu2 “plak”, dadanja telah kena
digendjot sekali oleh Hoa Tiat-kan.
Untung Tik Hun memakai badju
Oh-djan-kah hingga tidak terluka apa2, tapi toh tidak tahan djuga oleh tenaga
pukulan jang hebat itu, maka baru sadja ia berdiri, kembali ia djatuh terduduk
pula.
Sekali pukulannja mengenai
sasaran, Hoa Tiat-kan mendapat hati, pukulan lain segera disusulkan lagi.
Sebenarnja Hoa Tiat-kan
disegani orang Bu-lim karena ilmu tumbaknja jang lihay, tapi dalam hal ilmu
pukulan toh dia djuga sangat hebat, kini ia telah mainkan “Gak-keh-san-djiu”,
ilmu pukulan warisan Gak Hui, kedua tangannja menjambar kian kemari, maka
terdengarlah “plak-plok” ber-ulang2, Tik Hun kenjang digampar dan dihantam.
Beberapa kali Tik Hun ingin
balas menghantam djuga, tapi setiap kali ia balas menjerang, selalu dapat
dihindarkan Hoa Tiat-kan dengan mudah. Ja maklum, selisih ilmu silat mereka
sesungguhnja terlalu djauh, Tik Hun hanja menang Lwekang sadja sekarang, dalam
hal ilmu silat dan taktik pukulan sama sekali ia tak berdaja.
Sampai achirnja, sesudah
kenjang dihadjar tanpa mampu membalas apa2, terpaksa Tik Hun tjuma dapat
melindungi muka dan kepalanja dengan kedua tangan, sedang bagian badan
membiarkan dihandjut musuh, sekali2 ia djuga berdiri, tapi segera “knock-out”
lagi kena pukulan Hoa Tiat-kan.
Saat itu Hoa Tiat-kan sudah
bertekad harus mampuskan pemuda itu agar tidak menimbulkan bahaja dibelakang
hari, maka ia masih terus menghadjar dengan kedjam tanpa kenal ampun.
Ber-ulang2 Tik Hun sudah muntah darah tiga kali, gerak-geriknja djuga sudah
susah.
Dalam keadaan begitu, Tjui
Sing takbisa tinggal diam lagi, semula ia tidak berani sembarangan menjela
dalam pertarungan kedua orang itu, kini melihat Tik Hun melulu terima digebuk
belaka dan terantjam bahaja, tanpa pikir lagi ia ajun goloknja terus membatjok
kepunggung Hoa Tiat-kan.
Tjepat Hoa Tiat-kan mengegos
kesamping, berbareng tangannja meraup kebelakang untuk merebut sendjata
sigadis. Namun kesempatan itu segera digunakan Tik Hun untuk menghantam
sekuatnja, seketika Hoa Tiat-kan terkurung ditengah pukulan pemuda itu.
Karena takbisa berkelit lagi,
terpaksa Hoa Tiat-kan memapak pukulan Tik Hun itu dengan pukulan djuga. “Plak”,
seketika Hoa Tiat-kan kepala pusing dan mata ber-kunang2, sebagian tubuhnja
serasa kaku. Njata kalau bitjara mengadu tenaga dalam, pasti Hoa Tiat-kan bukan
tandingan Tik Hun sekarang.
“Lekas lari, lekas lari!”
demikian Tjui Sing lantas berseru sambil menarik Tik Hun untuk berlari kedalam
gua. Dengan tjepat mereka mengangkat beberapa potong batu besar untuk ditumpuk
dimulut gua, dengan golok terhunus Tjui Sing berdjaga disitu.
Mulut gua itu agak sempit,
meski beberapa potong batu besar itu tidak dapat menutup rapat mulut gua itu,
tapi untuk bisa masuk kesitu terpaksa Hoa Tiat-kan harus membongkar dulu batu2
itu. Dan bila ia berani mendjamah batu2 itu, segera Tjui Sing akan menabas
tangannja dengan golok.
Selang sedjenak, diluar gua
ternjata tenang2 sadja.
“Siau......... bagaimana
keadaan lukamu?” tanja Tjui Sing tiba2. Sebenarnja ia hendak memanggil “Siau-ok-tjeng”
kepada Tik Hun seperti biasanja, tapi kini mereka sudah mendjadi kawan dan
bukan lawan lagi, ia merasa rikuh dan urung memanggil pojokan jang tidak sedap
didengar itu.
“Tidak berbahaja,” demikian
Tik Hun telah menjahut.
Tiba2 terdengar Hoa Tiat-kan
sedang bergelak ketawa diluar gua dan berteriak: “Ha-hahaha! Dua ekor binatang
tjilik itu main sembunji2 didalam gua, apakah sedang berbuat sesuatu jang tidak
boleh dilihat orang?”
Keruan wadjah Tjui Sing merah
padam, dalam hati ia mendjadi rada takut djuga. Ia telah pandang Tik Hun
sebagai “In-tjeng” (paderi tjabul) jang tidak baik kelakuannja, kini dirinja
malah berada bersama didalam gua, bukankah sangat berbahaja? Karena itu, tanpa
merasa ia menggeser kesamping, ia merasa lebih djauh djaraknja dengan “paderi
tjabul” itu tentu akan lebih aman.
Dalam pada itu terdengar Hoa
Tiat-kan sedang mengotjeh lagi diluar: “Hahaha, sepasang andjing laki2 dan
perempuan itu enak2 bersembunji disitu, ja? Tapi aku mendjadi kedinginan diluar
sini! Hahaha! Biarlah kumakan daging panggang sadja!”
Tjui Sing kaget, keluhnja
didalam hati: “Wah tjelaka! Dia hendak makan daging ajahku! Apa dajaku
sekarang?”
Sebaliknja darah Tik Hun djuga
sedang bergolak. Selama beberapa tahun ini ia telah kenjang dihina dan dianiaja
orang, kini mendengar otjehan Hoa Tiat-kan jang mendjidjikan itu, keruan ia
tidakbisa tahan lagi. Mendadak ia mendorong tumpukan batu jang menutupi mulut
gua itu dan menerdjang keluar bagaikan banteng ketaton, kedua tangannja
menghantam ber-ulang2, sekuatnja ia serang Hoa Tiat-kan setjara kalap.
Tapi dengan gampang Hoa
Tiat-kan dapat menghindarkan beberapa kali serangan Tik Hun itu, menjusul
tangan kirinja berputar sebagai pantjingan, sebaliknja tangan kanan tahu2
menghantam dari belakang, menghantam dari arah jang sama sekali tak terduga
oleh Tik Hun. “Bluk”, tanpa ampun lagi punggung Tik Hun kena digebuk sekali
dengan keras.
Kontan Tik Hun muntah darah
lagi, kepala terasa pusing dan mata se-akan2 lamur, ia melihat Hoa Tiat-kan
dihadapannja itu seperti telah berubah mendjadi Ban Tjin-san, Ban Ka, Leng
Dwe-su, Po-siang dan orang2 djahat lain jang pernah menghina dan menganiaja
dirinja itu. Mendadak ia pentang kedua tangan dan menjeruduk madju, tahu2 Hoa
Tiat-kan didekapnja dengan kentjang sekali.
Dengan gugup Hoa Tiat-kan
lantas mendjotos hingga tepat mengenai batang hidung Tik Hun, “tjrot”, kontan
keras hidung pemuda itu botjor dan keluar ketjapnja.
Namun Tik Hun sudah tidak
merasa sakit lagi, ia mendekap se-kentjang2nja, makin lama makin kentjang.
Napas Hoa Tiat-kan mendjadi
sesak karena pinggangnja didekap sedemikian kuatnja oleh lawan jang kalap itu,
mau-tak-mau ia rada kuatir djuga. Malahan pada saat itu djuga tertampak Tjui
Sing sedang memburu madju dengan golok terhunus.
Keruan Hoa Tiat-kan ketakutan,
tanpa pikir lagi kedua tindjunja menghantam perut Tik Hun sekuatnja. Karena
kesakitan, lengan Tik Hun mendjadi lemas, pelukannja mendjadi kendur.
Kesempatan itu segera digunakan Hoa Tiat-kan untuk meronta dan melepaskan diri,
ia mendjadi kapok dan tidak berani bertempur pula dengan orang kalap, beberapa
kali lompatan tjepat, ia meninggalkan Tik Hun hingga belasan meter djauhnja,
disitulah baru ia berhenti dengan napas megap2.
Melihat Tik Hun ter-hujung2
dengan muka penuh darah, ada maksud Tjui Sing hendak memajang pemuda itu, tapi
toh agak takut djuga kalau2 mendadak “Siau-ok-tjeng” itu mengamuk. Maka dengan
rasa waswas ia melangkah madju.
“Djangan mendekati aku!”
se-konjong2 Tik Hun membentak. “Aku adalah Siau-ok-tjeng, adalah paderi tjabul,
djangan kau mendekati aku, agar aku tidak menodai nama baik puteri seorang
pendekar besar sebagai kau ini! Lekas enjah! Enjahlah!”
Melihat sikap Tik Hun jang
beringas dengan sinar matanja jang buas itu, Tjui Sing mendjadi ketakutan dan
melangkah mundur.
Dengan napas ter-sengal2 Tik
Hun terus berdjalan kearah Hoa Tiat-kan dengan sempojongan, serunja: “Kalian
manusia2 durdjana ini! Ban Tjin-san dan Ban Ka, kalian tidak berhasil membunuh
aku, tidak dapat mematikan aku. Hajolah madju, marilah madju! Tikoan Taydjin,
Tihu Taydjin, kalian hanja pintar menindas jang lemah dan merampas hak rakjat
djelata, hajolah, djika berani, madjulah, hajolah kita bertempur
mati2an..........”
“Wah, orang ini sudah gila!”
demikian Hoat Tiat-kan membatin.
Maka ia melompat pergi lebih
djauh lagi dan tidak berani mendekati Tik Hun.
Tik Hun masih ber-teriak
sambil mendongak: “Kalian manusia2 djahat semua! Hajolah boleh kalian madju
semua padaku, aku Tik Hun tidak gentar! Kalian telah pendjarakan aku, telah
memotong djari tanganku, telah merebut Sumoayku, telah mengindjak patah kakiku,
tapi, semuanja itu aku tidak takut, hajolah madju, biarpun aku ditjintjang hantjur
luluh djuga aku tidak gentar!”
Mendengar teriakan dan
gemboran Tik Hun itu, diantara rasa takutnja, mau-tak-mau timbul djuga rasa
kasihannja Tjui Sing. Terutama demi mendengar seruan pemuda itu tentang: “telah
merebut Sumoayku, telah mengindjak patah kakiku”, hati Tjui Sing semakin
terguntjang, pikirnja: “Kiranja batin Siau-ok-tjeng ini penuh siksa derita,
sedangkan tulang kakinja itu djusteru aku jang mengkeprak kudaku untuk
mengindjaknja hingga patah.”
Begitulah Tik Hun masih
ber-teriak2 terus hingga suaranja mendjadi serak, achirnja ia terdjungkal roboh
ditanah saldju dan tidak bergerak lagi.
Sudah tentu Hoa Tiat-kan tidak
berani mendekati, begitu pula Tjui Sing djuga tidak berani mendekat.....
Melihat sesosok tubuh manusia
jang menggeletak ditanah tanpa bergerak itu, elang jang terbang mengitar
diangkasa itu mengira Tik Hun sudah mati. Se-konjong2 seekor elang itu
menjambar kebawah dan mematuk djidat Tik Hun.
Saat itu Tik Hun masih dalam
keadaan tak sadar, karena patukan elang itu, seketika ia siuman kembali.
Melihat badan mangsanja
bergerak, elang itu mendjadi ketakutan dan tjepat terbang keatas.
Tik Hun mendjadi gusar,
bentaknja: “Kau binatang inipun berani padaku?” ~ Terus sadja sebelah tangannja
dipukulkan.
Tenaga pukulan Tik Hun ini
sangat lihay, djarak elang itu sudah ada tiga-empat meter dari dia, tapi kena
tenaga pukulan itu, seketika bulu sajapnja rontok bertebaran, bahkan elang itu
terus djatuh kebawah.
Tjepat Tik Hun sambar binatang
itu, dengan ketawa ter-bahak2, segera ia gigit perut elang itu. Sudah tentu
binatang itu kerupukan dan me-ronta2 berusaha melepaskan diri. Namun Tik Hun
sudah kadung gemas, ia pentjet elang itu se-keras2nja, ia merasa darah elang
jang asin2 amis menetes terus kedalam mulutnja hingga dia mirip diberi tambah
darah. Sebentar kemudian, setelah kenjang menghirup darah elang, ia
abat-abitkan binatang jang sudah tak bernjawa itu tinggi2 sambil berseru: “Nah,
apa abamu sekarang? Hm, kau ingin makan aku? Tapi aku sudah makan kau lebih
dulu!”
Melihat tjara bagaimana Tik
Hun ganjang mentah2 elang jang ditangkapnja itu, Hoa Tiat-kan dan Tjui Sing
sampai ternganga kesima. Hoa Tiat-kan mendjadi takut sigila itu sebentar akan
mengamuk dan menerdjang kearahnja, djalan paling selamat rasanja menghindar
pergi sadja sedjauh mungkin. Maka tjepat ia mengitar keudjung timur lembah itu,
ia pikir tjara sigila itu menangkap elang sangat praktis djuga, maka ia lantas
menirukan, ia merebah ditanah, ia pura2 mati untuk menantikan sambaran elang.
Memang ada djuga elang jang
tertipu olehnja dan menerdjun kebawah hendak memaruhnja, tapi ketika Hoa
Tiat-kan menghantam, hasilnja ternjata nihil, elang itu tidak kena dihantam.
Kiranja tenaga dalamnja selisih terlalu djauh dibandingkan Tik Hun sekarang,
benar ilmu pukulannja sangat bagus, tapi tjara berkelit elang itupun sangat
gesit dan tjepat, andaikan kena tenaga pukulannja djuga tidak djatuh kebawah,
paling2 berkaok kesakitan terus terbang keangkasa lagi.
Sementara itu setelah Tik Hun
hirup darah elang, namun saking parahnja kena dihadjar Hoa Tiat-kan tadi,
achirnja ia djatuh pingsan pula.
Ketika mendusin, sementara itu
hari sudah terang tanah. Ia merasa kelaparan, segera ia ambil elang mati jang
berada disampingnja itu terus digeragoti. Tapi sekali menggeragot, ia tidak
merasakan amisnja daging mentah lagi, sebaliknja daging elang itu terasa sangat
lezat dan gurih. Waktu ia perhatikan daging elang itu, ia mendjadi melongo.
Kiranja elang itu sekarang
sudah bukan elang kemarin lagi, bulu elang itu kini sudah terbubut bersih,
bahkan sudah terpanggang mateng. Padahal masih djelas teringat olehnja elang
itu tjuma dihisap darahnja sadja, lalu ia terpulas. Lantas siapakah gerangannja
jang memanggang elang itu? Djika bukan Tjui Sing, masakah mungkin adalah
sidjahanam Hoa Tiat-kan? Tapi ia jakin pasti sigadis itulah jang melakukannja.
Sesudah ber-teriak2 seperti
orang gila semalam, rasa sumpak dan kesalnja Tik Hun sudah banjak terlampias.
Kini sesudah sadar, ia merasa dadanja lega, semangat penuh. Waktu ia memandang
kedalam gua, ia melihat Tjui Sing masih tidur sambil mendekap diatas batu.
Pikirnja: “Gadis itupun sudah kelaparan selama beberapa hari, sesudah panggang
elang ini, semuanja ia berikan padaku tanpa mengambil sedikitpun bagi dirinja
sendiri, betapapun hal ini harus dipudji. Tapi, hm, ia anggap dirinja adalah
puteri seorang pendekar besar dan pandang rendah padaku, sebaliknja aku djuga
pandang hina padamu? Apanja sih jang kuharapkan darimu?”
Tapi selang tak lama, kembali
terpikir pula olehnja: “Namun dia telah memanggangkan elang bagiku, suatu tanda
dia toh tidak terlalu memandang rendah padaku. Maka tidak pantas djika dia
dibiarkan mati kelaparan.”
Kira dua djam kemudian,
kembali ia berhasil mendapatkan empat ekor elang dengan tenaga pukulannja.
Sementara itu Tjui Sing sudah mendusin, maka ia melemparkan dua ekor elang
hasil buruannja itu kepada gadis itu.
Tapi Tjui Sing lantas
mendekatinja dan mengambil sekalian kedua ekor elang jang lain, ia sembelih semua
elang itu serta dipanggang pula. Lalu tanpa bitjara apa2 kedua ekor elang
panggang jang sudah masak itu dikembalikan kepada Tik Hun.
Dilembah pegunungan itu
ternjata banjak djuga burung elang, tapi binatang2 itu djusteru sangat tolol.
Biarpun banjak kawannja telah mendjadi korban pukulan Tik Hun dan didjadikan
isi perut, tapi burung2 itu masih terus-menerus menghantarkan diri sendiri
untuk didjadikan makanan.
Dalam pada itu tenaga dalam
Tik Hun djuga semakin tambah kuat, dengan sendirinja tenaga pukulannja djuga
makin hebat. Sampai achirnja, ia tidak perlu pura2 mati untuk memantjing elang
lagi, tapi asal ada burung jang menghinggap dipohon atau terbang lewat
disampingnja, sekali dia hantam, tentu dapatlah ditangkapnja.
Dengan tjepat sang waktu telah
lalu tanpa terasa, sementara itu bulan ke-12 sudah habis. Tjuatja sudah banjak
berubah, saldju jang turun dilembah pegunungan itu kini sudah sangat djarang,
siang-malam hanja tiupan angin jang masih merasuk tulang dinginnja.
Ketjuali kalau mentjari kaju
bakar dan memanggang burung, selalu Tjui Sing bernaung didalam gua. Selama itu
Tik Hun tidak pernah mengadjak bitjara padanja dan tidak pernah masuk
selangkahpun kedalam gua.
Suatu malam, saldju turun
terus-menerus dengan bertebaran. Esok paginja waktu Tik Hun mendusin, ia merasa
badannja hangat2 njaman, waktu ia membuka mata, ia melihat tubuh sendiri
tertutup oleh sesuatu benda jang tjoklat ke-hitam2an. Ia terkedjut dan tjepat
memegangnja, tapi ia mendjadi heran ketika diketahui barang itu adalah sepotong
badju jang aneh.
Badju itu seluruhnja terbuat
dari bulu burung, hampir sebagian besar adalah bulu elang. Pandjang badju itu
sebatas lutut hingga lebih tepat dikatakan mantel. Badju buatan dari bulu itu
entah memerlukan betapa banjak, mungkin berpuluh ribu helai bulu burung.
Sambil memegangi badju bulu
burung itu, mendadak wadjahnja mendjadi merah, ia tahu pasti badju itu adalah
buah tangan Tjui Sing. Untuk membuat badju itu, terang tidak sedikit
djerih-pajah jang telah ditjurahkan sigadis. Apalagi dilembah pegunungan itu tiada
peralatan mendjahit seperti gunting, djarum, benang dan sebagainja, entah tjara
bagaimana gadis itu telah menjelesaikan badju bulu burung itu.
Waktu Tik Hun tjoba memeriksa
badju itu, ia melihat pada pangkal tulang setiap helai bulu itu terdapat sebuah
lubang ketjil, tentu lubang itu ditusuk dengan tusuk-konde Tjui Sing, lalu
lubang itu ditembus dengan benang sutera warna kuning, terang benang itu
diloloskan dari badju sutera kuning jang dipakai Tjui Sing sendiri. Diam2 Tik
Hun heran, pekerdjaan jang sukar dan rumit itu mengapa djusteru sangat disukai
oleh kaum wanita?
Tiba2 terkenang olehnja apa
jang terdjadi pada beberapa tahun jang lalu ditempat tinggal Ban Tjin-san
dikota Hengtjiu dahulu. Pada malam itu, ia telah dikerubut oleh delapan murid
orang she Ban itu, ia dihadjar mereka hingga babak-belur, mata biru dan hidung
botjor, bahkan sehelai badju baru jang sangat disajanginja itu djuga mendjadi
korban dan te-robek2. Sjukur waktu itu Djik-sumoay jang telah menambal dan
mendjahitkan badju baru jang sobek itu.
Tanpa merasa terbajang olehnja
keadaan pada waktu itu: Djik Hong menggelendot disampingnja untuk menambal
badjunja. Rambut sigadis jang pandjang itu meng-gosok2 pipinja hingga
menimbulkan rasa geli, malahan ia mengendus bau harum anak perawan jang selama
hidup baru pertama kali itu dialaminja, dengan perasaan terguntjang ia telah
memanggil: “Sumoay!” ~ Lalu Djik Hong telah menjahut: “Sssst, djangan bersuara,
djangan2 kau akan dipitenah mendjadi maling!”
Terpikir sampai disini,
tenggorokan Tik Hun serasa tersumbat sesuatu, air matanja ber-linang2 dikelopak
matanja hingga segala apa jang berada didepannja mendjadi samar2 kelihatannja.
Pikirnja: “Benar djuga. Kemudian aku telah dipitenah orang sebagai maling. Apa
barangkali karena aku telah bersuara waktu Sumoay menambal badjuku seperti apa
jang dikatakan Sumoay itu?”
Tapi sesudah mengalami godokan
dan gemblengan segala penderitaan selama beberapa tahun ini, ia sudah tidak
pertjaja lagi kepada segala kiasan jang chajal itu. Pikirnja: “Hehe, bila orang
memang bermaksud bikin tjelaka padaku, biarpun aku tidak bersuara atau gagu
sekalipun djuga tetap akan ditjelekai mereka. Tatkala itu Sumoay benar2 sangat
baik padaku, tapi wanita didunia ini semuanja memang takbisa dipertjaja, habis
manis sepah dibuang. Ketika melihat keluarga Ban jang kaja-raja itu, sidjahanam
Ban Ka itu muda lagi lebih ganteng daripadaku, mata Sumoay mendjadi silau dan
balik pikiran. Jang paling tidak pantas jalah aku telah ditipu agar sembunji
digudang kaju, tapi diam2 ia memberitahukan pada suaminja untuk menangkap aku.
Hahaha! Haha-hahahaha!”
Begitulah mendadak ia
ter-bahak2 seperti orang gila. Sambil memegangi badju bulu itu ia menudju
kedepan gua, ia lempar badju itu ketanah dan mengindjaknja beberapa kali dengan
berteriak: “Aku adalah paderi tjabul dan Hwesio djahat, mana aku ada harganja
memakai badju buatan puteri terhormat ini?” ~ dan sekali ia depak, badju bulu
itu ditendangnja kedalam gua. Lalu ia putar tubuh dan tinggal pergi dengan
ter-bahak2.
Dengan susah pajah dan memakan
tempo lebih sebulan barulah Tjui Sing selesai membuatkan badju bulu itu. Ia
pikir “Siau-ok-tjeng” telah berdjasa menjelamatkan djenazah ajah, tapi
sedikitpun djasa itu tidak di-tondjol2kan padanja. Selama ini hidupnja djuga
tergantung dari daging burung buruan “Siau-ok-tjeng” itu. Sebaliknja
tingkah-laku “Siau-ok-tjeng” itu ternjata tjukup “sopan”, biarpun menderita
kedinginan diluar gua toh tidak pernah melangkah kedalam gua setindakpun, maka
sudah sepantasnja badju bulu jang kubikin ini kuhadiahkan dia sekadar membalas
kebaikannja selama ini.
Siapa duga maksud baiknja
telah dibahas dengan djelek, badju bulu itu di-indjak2 dan terus disepak
kembali kedalam gua, bahkan ditjatji maki dan dihina. Saking gusarnja, terus
sadja Tjui Sing djemput kembali badju bulu itu dan di-betot2 dan di-puntir2,
dan saking terguntjang perasaannja, air matanja lantas bertjutjuran.
Sama sekali tak tersangka
olehnja bahwa diwaktu Tik Hun berputar pergi sambil terbahak2 tadi, badju
didadanja itu djuga sudah basah lepek oleh tetesan air mata..........
Mendjelang lohor, kembali Tik
Hun berhasil memburu empat ekor burung, seperti biasa, ia taruh hasil buruan
itu di depan gua. Maka Tjui Sing lantas menjembelih burung2 itu pula dan
dipanggang, lalu membagi separoh pada Tik Hun seperti biasa.
Kedua orang sama sekali tidak
bitjara, bahkan sinar mata masing2 djuga tidak berani kebentrok.
Keduanja duduk ditempat
masing2 dari djarak agak djauh, mereka makan daging burung panggang bagian
sendiri2. Tiba2 dari arah timur laut sana terdengar suara tindakan orang. Waktu
mereka memandang kearah suara itu, tertampaklah Hoa Tiat-kan sedang mendatangi
dengan tjengar-tjengir. Kedua tangan manusia hina itu bersendjata semua, tangan
jang satu membawa golok Kui-thau-to dan tangan lain sebatang pedang.
Seketika Tik Hun dan Tjui Sing
sama melondjak bangun, tjepat Tjui Sing berlari masuk kedalam gua, waktu keluar
lagi tangannja sudah memegangi golok merah tinggalan Hiat-to Lotjo itu. Setelah
ragu2 sedjenak, tiba2 ia lemparkan golok itu kearah Tik Hun sambil berseru:
“Sambutlah ini!”
Dengan sendirinja Tik Hun
tangkap golok jang dilemparkan padanja itu. Ia terkesiap: “Mengapa ia dapat
mempertjajai aku dan menjerahkan golok mestika pelindung djiwanja ini padaku?
Ehm, tentu maksudnja agar supaja aku menjabung djiwa baginja, jaitu dengan
membantu dia melawan Hoa Tiat-kan. Hm, hm, aku toch bukan budakmu?!”
Dan pada saat itulah dengan
langkah lebar Hoa Tiat-kan sudah mendekat. Segera orang she Hoa itu bergelak
ketawa dan berkata: “Kionghi! Kionghi!”
“Kionghi apa?” semprot Tik Hun
dengan melotot.
“Kionghi pada kalian berdua
jang telah djadi suami-isteri,” sahut Hoa Tiat-kan. “Habis, golok mestika
pembela diri sepenting itu djuga sudah diberikan padamu, apalagi barang2 lain
jang dimiliki gadis itu, tentu sadja tanpa tawar2 lagi dipersembahkan padamu.
Betul tidak? Haha-haha!”
“Djahanam,” damperat Tik Hun
dengan gusar, “pertjuma kau mengaku sebagai pendekar besar dari Tionggoan,
njatanja adalah manusia rendah dan kotor!”
“Soal rendah dan kotor,
rasanja orang dari Hiat-to-bun kalian takkan kalah daripada diriku,” udjar Hoa
Tiat-kan dengan tjengar-tjengir. Sambil bitjara iapun melangkah madju lebih
dekat. Tiba2 ia mengendus se-keras2nja dengan hidung hingga mengingatkan orang
pada andjing waktu mengendus sesuatu, lalu katanja: “Ehmmm, alangkah wanginja,
alangkah sedapnja! Bau apakah ini? Eh, kiranja burung panggang! Berikan seekor
padaku, ja?”
Djika dia meminta setjara
baik2, mungkin tanpa banjak bitjara akan diberi oleh Tik Hun. Tapi kini pemuda
itu sudah kadung geram terhadap sikap orang she Hoa jang mendjidjikkan itu,
dengan sendirinja ia tidak sudi memberi makan padanja. Segera djawabnja: “Ilmu
silatmu djauh lebih tinggi dariku, kau toh dapat mentjari burung sendiri.”
“Aku djusteru lagi malas
mengeluarkan tenaga,” sahut Tiat-kan dengan menjengir.
Tengah mereka bitjara,
sementara itu Tjui Sing sudah berada dibelakang Tik Hun, mendadak ia berseru
kaget: “He, Lau-pepek, Liok-pepek!”
Kiranja ia telah melihat
djelas sendjata2 jang dibawa Hoa Tiat-kan itu tak-lain-tak-bukan adalah
pedangnja Lau Seng-hong dan Kui-thau-to milik Liok Thian-dju. Pula waktu angin
meniup hingga udjung badju Hoa Tiat-kan tersingkap, djelas Tjui Sing melihat
didalam badju Hoa Tiat-kan sendiri itu terangkap pula badjunja Liok Thian-dju
dan djubahnja Lau Seng-hong.
“Ada apa?” sahut Hoa Tiat-kan
dengan menarik muka.
“Djadi kau.................
kau telah........... telah makan mereka?” seru Tjui Sing pula dengan suara
gemetar. Ia menduga Hoa Tiat-kan tentu sudah mendapatkan djenazah kedua paman
angkat itu dan besar kemungkinan sudah didjadikan isi perut manusia binatang
she Hoa itu.
“Makan atau tidak, peduli apa
dengan kau?” sahut Tiat-kan atjuh-tak-atjuh.
“Lau-pepek dan Liok-pepek
mereka kan sau.................... saudara angkatmu?” seru Tjui Sing tergagap2.
Namun Hoa Tiat-kan tidak
gubris padanja lagi, sebaliknja ia berpaling dan berkata pada Tik Hun: “Hwesio
tjilik, selama ini aku tidak mengutik-ngutik djenazah bapak mertuamu, itu
berarti aku tjukup menghargai kau. Tapi Hwesio tua itu telah kau bunuh sendiri,
kini aku hendak menggunakannja, tentunja kau tiada perlu banjak bitjara,
bukan?”
Tik Hun mendjadi gusar,
sahutnja: “Dilembah ini tjukup banjak elang dan burung jang dapat kau djadikan
sebagai makanan, mengapa kau.................. kau begini kedjam dan mesti
makan daging manusia?”
Padahal kalau Hoa Tiat-kan
mampu memburu burung, dengan sendirinja iapun tidak tega makan daging saudara
angkat sendiri jang sudah mati itu. Ia sudah berusaha sebisa mungkin untuk
menangkap burung sebagai makanan, semula dapat djuga ditangkapnja satu-dua ekor,
tapi kemudian burung2 itupun mendjadi kapok dan tidak mau masuk perangkapnja
lagi. Sedangkan Hoa Tiat-kan tidak memiliki tenaga pukulan sehebat Tik Hun jang
sudah berhasil mejakinkan tenaga dalam Sin-tjiau-kang jang hebat itu, dengan
sendirinja ia tidak mampu menghantam burung terbang dari djarak djauh seperti
Tik Hun itu.
Kini ia membawa sendjata golok
dan pedang, ia sudah bertekad akan menempur Tik Hun dan Tjui Sing, ia pikir
kedua orang itu harus dibunuh semua, dengan demikian, ditambah lagi dengan
majat Tjui Tay dan Hiat-to Lotjo jang terpendam dibawah saldju itu tentu akan
merupakan rangsum simpanan baginja untuk bertahan sampai musim panas jang akan
datang, lalu dapatlah ia keluar dari lembah maut itu sesudah saldju mentjair.
Begitulah Hoa Tiat-kan
mendjadi ngiler demi mengendus bau daging burung panggang jang lezat itu.
Se-konjong2 ia angkat Kui-thau-to terus membatjok kearah Tik Hun sambil
membentak.
Tjepat Tik Hun ajun golok
merah jang diterimanja dari Tjui Sing itu untuk menangkis. “Trang”, Kui-thau-to
jang dipakai Hoa Tiat-kan itu sampai mendal kembali, tapi tidak patah.
Kiranja Kui-thau-to itupun
merupakan sebuah sendjata pusaka, walaupun tidak setadjam Hiat-to jang
digunakan Tik Hun itu, tapi badan golok itu tjukup tebal, maka golok merah itu
tidak dapat menabas kutung padanja. Tempo hari waktu Liok Thian-dju menggunakan
golok tebal itu untuk menempur Hiat-to Lotjo, pernah djuga Kui-thau-to itu
tergempil beberapa tempat ketika mesti beradu dengan golok merah itu, maka kini
setelah saling bentur lagi, paling2 Kui-thau-to itu bertambah suatu gempilan
baru sadja.
Meski Hoa Tiat-kan tidak
terlalu mahir menggunakan golok, tapi sebagai seorang tokoh persilatan, segala
matjam ilmu silat tentu diketahuinja, dengan dasar ilmu silat jang dimiliki, betapapun
Tik Hun tidak sanggup melawan permainan goloknja itu. Maka hanja beberapa
djurus sadja Tik Hun sudah terdesak mundur.
Sebaliknja Hoa Tiat-kan
ternjata tidak mendesak lebih djauh, tiba2 ia berdjongkok dan mendjemput
sepotong burung panggang sisa makanan Tik Hun tadi terus digeragotinja dengan
lahap, lalu pudjinja tak habis2: “Ehm, lezat benar burung panggang ini, sungguh
lezat sekali!”
Tik Hun menoleh dan saling
pandang sekedjap dengan Tjui Sing. Kedua orang sama2 merasa ngeri. Mereka insaf
kedatangan Hoa Tiat-kan sekali ini dengan sendjata lengkap, terang keadaannja
tidak seperti tempo hari lagi jang bertempur dengan tangan kosong.
Waktu bergebrak dengan tangan
kosong, djika Tik Hun kena digebuk umpamanja, paling2 ia tjuma muntah darah dan
terluka dalam, untuk membinasakannja dengan pukulan atau tendangan sudah tentu
tidak mudah.
Tapi sekarang Tiat-kan
bersendjata, bahkan dua sendjata sekaligus, jaitu golok dan pedang, maka
keadaan mendjadi berbeda djauh, sebab, sedikit Tik Hun meleng sadja, seketika
djiwanja bisa melajang. Malahan tempo hari Tik Hun berkat bantuan Tjui Sing
jang memindjamkan golok merah itu padanja hingga dia masih sanggup bertahan
sebisanja, tapi kini sendjata Hoa Tiat-kan lebih banjak, dengan sendirinja Tik
Hun tidak mungkin dapat melawannja.
Begitulah, selesai makan
setengah ekor burung panggang restan Tik Hun tadi, selera Hoa Tiat-kan ternjata
belum terpenuhi, ketika dilihatnja didekat gua sana masih ada seekor lagi,
segera ia mendekati dan dimakan pula.
Habis melalap burung panggang
itu, Hoa Tiat-kan meng-usap2 mulutnja jang berlepotan minjak itu, lalu katanja:
“Ehm, sangat lezat, kepandaian sikoki jang memanggang burung ini harus diberi
piala.”
Kemudian dengan ke-malas2an ia
memutar tubuh. Mendadak ia melompat madju, tanpa bitjara lagi goloknja
membatjok pula kearah Tik Hun.
Serangan itu dilakukan dengan
sangat tjepat dan diluar dugaan, karena tidak menjangka sama sekali, hampir2
kepala Tik Hun terbelah mendjadi dua, untung ia tjukup sigap, tjepat ia
menangkis dengan golok merah.
Sjukurlah Tiat-kan agak djeri
pada tenaga dalam Tik Hun jang kuat, bila kedua sendjata saling bentur, tentu
lengannja terasa linu pegal, maka lebih baik ia menghindari beradunja kedua
sendjata. Segera ia miringkan goloknja kearah lain, menjusul ia membabat dan
membatjok pula setjara ber-tubi2. Keruan Tik Hun kewalahan dan kelabakan.
“Tjret”, tanpa ampun lagi lengan kiri kena tergurat oleh Kui-thau-to musuh
hingga berwudjut suatu luka pandjang.
“Sudahlah, djangan bertempur
lagi! Hoa-pepek, djangan bertempur lagi, aku akan membagi daging burung
padamu!” demikian Tjui Sing ber-teriak2 dengan kuatir.
Tapi Hoa Tiat-kan sedang
mendapat angin, mana dia mau berhenti. Ia melihat ilmu silat Tik Hun paling2
tjuma tergolong kelas tiga dalam dunia persilatan, kalau kesempatan baik ini
tidak membunuhnja, kelak tentu akan menimbulkan bahaja besar. Dari itu,
bukannja ia berhenti seperti seruan Tjui Sing itu, sebaliknja ia menjerang
lebih kentjang, bahkan mulutnja ikut menggoda: “He, Tjui-titli, kau sajang pada
Siau-ok-tjeng ini ja? Apa kau sudah lupa pada Piaukomu jang pernah berpatjaran
dengan kau itu?”
Sambil berkata, tjepat
goloknja menjerang pula tiga kali beruntun hingga pundak kanan Tik Hun kembali
terbatjok sekali. Untung tempat batjokan itu terlindung oleh Oh-djan-kah jang
dipakainja, kalau tidak, tentu sebelah bahunja sudah tertabas kutung.
“Hoa-pepek, sudahlah, djangan
bertempur lagi!” demikian Tjui Sing ber-teriak2 pula.
Tapi Tik Hun mendjadi gusar,
bentaknja: “Apa jang kau gembar-gemborkan? Kalau aku takbisa menangkan dia,
biarlah aku dibunuh olehnja!”
Dalam murkanja, terus sadja ia
membatjok dan menabas serabutan. Tiba2 golok jang dipegang tangan kanan itu
dipindahkannja ketangan kiri, menjusul tangan kanan itu terus menampar hingga
pipi Hoa Tiat-kan kena ditempeleng sekali dengan keras.
Sudah tentu mimpipun Hoa
Tiat-kan tidak menjangka pemuda jang ilmu silatnja rendah tak berarti itu masih
mempunjai djurus “simpanan” jang bagus itu, ia mendjadi tidak sempat menghindar
dan kena digampar mentah2.
Sebaliknja Tik Hun melengak
djuga oleh hasil pukulannja itu, pikirnja: “Ha, inilah ‘Ni-kong-sik’ (gaja
menempeleng) adjaran pengemis tua tempo dulu itu!”
Dan sekali ingat, be-runtun2
ia lantas mengeluarkan djurus2 lain adjaran sipengemis tua waktu ia bertamu
dirumah Ban Tjin-san dahulu. Kembali ia memainkan “Dji-koh-sik” (gaja menusuk
pundak) dan “Gi-kiam-sik” (gaja mementalkan pedang).
Keruan Hoa Tiat-kan kaget, ia
ber-kaok2: “He, Soh-sim-kiam-hoat! Soh-sim-kiam-hoat!”
Kembali Tik Hun melengak oleh
teriakan Hoa Tiat-kan itu. Teringat olehnja tempo dulu waktu ia bertempur
melawan Ban Ka dan kawan2nja dirumah keluarga Ban itu, ia telah mainkan ketiga
djurus adjaran sipengemis tua untuk menghadjar Ban Ka dan ketudjuh saudara
perguruannja, tatkala itu Ban Tjin-san djuga menjatakan djurus2 serangan itu
adalah “Soh-sim-kiam-hoat”. Tapi hal mana dianggapnja omong kosong dan otjehan
Ban Tjin-san belaka. Namun sekarang Hoa Tiat-kan djuga menjatakan djurus2
serangannja itu adalah Soh-sim-kiam-hoat. Sebagai seorang tokoh terkemuka
didunia persilatan Tionggoan, pengalaman dan pengetahuan Hoa Tiat-kan sudah
tentu sangat luas, masakah iapun sembarangan mengotjeh? Begitulah Tik Hun
mendjadi ragu2 apakah ketiga djurus adjaran pengemis tua itu djangan2 memang
benar adalah Soh-sim-kiam-hoat?
Ber-ulang2 Tik Hun memainkan
ketiga djurus itu pula, ia gunakan golok sebagai gantinja pedang. Tapi ilmu
silat Hoa Tiat-kan sudah tentu takdapat disamakan dengan Ban Ka dan kawan2nja
itu. Ketiga djurus serangan itu sudah tentu tidak dapat diulangi atas diri Hoa
Tiat-kan dan tidak mandjur. Waktu Tik Hun hendak mengulangi djurus
“Gi-kiam-sik”, dengan golok merah ia mentjungkit Kui-thau-to jang dipegang Hoa
Tiat-kan itu, namun Hoa Tiat-kan sudah siap sebelumnja, mendadak sebelah
kakinja melajang hingga urat nadi tangan Tik Hun tepat kena tertendang.
Keruan tjekalan Tik Hun
mendjadi kendur, golok merah terlepas dari tangan. Bahkan Hoa Tiat-kan terus
menambahi pula dengan djurus “Sun-tjui-tui-tjiu” (mendorong perahu menurut
arus), golok dan pedang jang dipegang kedua tangannja berbareng menusuk kedada
Tik Hun sekaligus “Tjrat-tjret”, tanpa ampun lagi dada Tik Hun terkena tusukan
golok dan pedang Hoa Tiat-kan itu, tapi udjung kedua sendjata itu lantas
tertahan semua oleh Oh-djan-kah hingga tidak dapat menembus.
Saat itu Tjui Sing djuga sudah
siap sedia disamping dengan sepotong batu, ia menunggu bila Tik Hun terantjam
bahaja, segera ia akan madju membantu. Kini melihat Hoa Tiat-kan telah menjerang
dengan golok dan pedang sekaligus, tanpa pikir lagi ia angkat batunja terus
mengepruk kebelakang kepala Hoa Tiat-kan.
Dari pengalaman jang sudah
lalu dimana tumbak Hoa Tiat-kan tidak mempan menembus dada Tik Hun, memangnja
Hoa Tiat-kan sudah ter-heran2 dan tidak habis mengarti apa sebabnja? Ia menduga
didalam badju pemuda itu mungkin terdapat sesuatu benda keras sebangsa tameng,
dan udjung tumbaknja tepat menusuk diatas benda keras itu, makanja tidak
mempan. Tapi sekali ini ia menusuk dengan golok dan pedang berbareng, rasanja
tidak mungkin begitu kebetulan pula akan mengenai benda keras itu. Siapa duga
hal jang tak diharapkan itu djusteru berulang pula. Dan tengah ia tertegun
bingung itu, tiba2 Tik Hun sudah balas menghantamnja sekali, bahkan dari
belakang Tjui Sing mengepruknja pula dengan batu.
Tanpa pikir lagi segera ia
berkelit, lalu melompat pergi hingga djauh sambil berseru: “Ada setan! Ada
setan!” ~ Ia mendjadi mengkirik sendiri demi terpikir olehnja mungkin arwah
Liok-toako dan Lau-hiante jang penasaran itu hendak menuntut balas padanja
karena ia telah makan majat mereka. Tanpa terasa keringat dingin membasahi
tubuhnja.
Dalam pada itu kelonggaran itu
lantas digunakan oleh Tik Hun dan Tjui Sing untuk lari kedalam gua, lalu
menjumbat pula mulut gua dengan batu2 besar.
Kemudian terdengarlah Hoa
Tiat-kan telah ber-kaok2 diluar gua: “Hai keluarlah anak kura2, apakah kalian
mampu sembunji selama hidup didalam gua? Dapatkan kalian menangkap burung
didalam gua? Haha-hahaha!”
Meski Hoa Tiat-kan bergelak
ketawa dan mengedjek dengan tjongkak, tapi sebenarnja hatinja djuga sangat
takut, maka tidak berani sembarangan membongkar majat Tjui Tay lagi untuk
dimakan.
Mendengar edjekan Hoa Tiat-kan
itu, mau-tak-mau Tik Hun saling pandang sekedjap dengan Tjui Sing. Pikir
mereka: “Benar djuga apa jang dikatakan keparat itu. Selama sembunji digua, apa
jang harus kami makan? Tapi kalau keluar tentu akan dibunuh olehnja, lantas apa
daja sekarang?”
Padahal kalau benar2 Hoa
Tiat-kan hendak menjerbu kedalam gua, betapapun Tik Hun berdua tidak mampu
merintanginja. Tjuma sesudah dua kali Tik Hun tidak mempan ditusuk olehnja,
Tiat-kan mendjadi djeri dan menjangka benar2 ada arwah halus jang diam2 lagi
mempermainkannja, maka ia tidak berani sembarangan bertindak lagi.
Sesudah berdjaga sekian lamanja
dipintu gua dan Hoa Tiat-kan tidak menjerbu, barulah Tik Hun dan Tjui Sing agak
lega. Waktu Tik Hun periksa luka lengan kiri, ia melihat darah masih mengutjur
terus.
Segera Tjui Sing sobek
sepotong kain badjunja untuk membalut luka pemuda itu.
Ketika Tik Hun mengeluarkan
bungkusan abu tulang Ting Tian, tanpa sengadja dari badjunja itu ikut terdjatuh
sedjilid buku ketjil. Itulah “Hiat-to-keng” (kitab golok berdarah) jang
diperolehnja dari Po-siang dahulu.
Meski pertarungan Tik Hun
melawan Hoa Tiat-kan tadi memakan waktu singkat sadja, tenaga jang
dikeluarkannja djuga tidak banjak, tapi semangatnja ternjata masih tegang
sekali. Kini sesudah mengaso, barulah ia merasa sangat lelah. Teringat olehnja
tempo dulu waktu pertama kalinja membatja Hiat-to-keng itu, pernah ia
bertingkah menurutkan gambar jang terlukis didalam kitab, lalu semangatnja
lantas pulih dan tenaga bertambah. Segera ia membalik2 halaman kitab itu pula
dengan tudjuan akan menirukan gaja jang terlukis didalam kitab itu untuk
memulihkan semangat agar sebentar dapat dipakai menghadapi musuh kuat jang
masih mengintai diluar gua itu.
Ketika ia membuka halaman
pertama kitab itu, ia melihat gambar jang terlukis disitu adalah bentuk manusia
jang berdjungkir balik, kepala menahan ditanah, kaki terangkat keatas, sikap
kedua tangannja djuga sangat aneh. Tanpa pikir lagi segera Tik Hun menirukan
gambar itu, iapun mendjungkir dengan kepala bawah dan kaki diatas.
Melihat pemuda itu mendadak
bertingkah aneh. Tjui Sing menjangka penjakit gila orang telah angot lagi.
Diam2 ia mengeluh, diluar gua ada musuh, didalam gua ada orang gila pula,
bagaimana dirinja harus bertindak? Dalam kuatirnja, kembali ia mewek2 ingin
menangis.
Dalam pada itu Tik Hun masih
terus berlatih, tidak sampai setengah djam, antero tubuhnja terasa panas bagai
dibakar. Tapi nikmat sekali rasanja.
Kemudian ia tjoba membalik
halaman berikutnja, ia melihat gambar ini melukiskan seorang laki2 telandjang
tengkurap ditanah, hanja tangan kirinja jang menahan ditanah, sedangkan kedua
kakinja membalik keatas dan menggantol dibagian leher sendiri.
Gaja menurut gambar itu
sebenarnja sangat susah dilakukan. Tapi sedjak Tik Hun berhasil mejakinkan
Sin-tjiau-kang, ia merasa antero tubuh dan segenap bagian badannja dapat
digerakan dengan bebas, bagaimana keinginannja tentu dapat dilakukannja,
sedikitpun tidak susah2. Maka ia lantas berlatih pula menurut petundjuk gambar
dalam kitab itu, hawa dalam tubuh lantas ikut berdjalan djuga kian kemari
antara urat-nadi satu keurat nadi jang lain sesuai dengan garis2 merah dan
hidjau jang terdapat dalam gambar.
Kiranja “Hiat-to-keng” itu
memuat ichtisar komplit dari ilmu Lwekang dan Gwakang adjaran Hiat-to-bun.
Setiap gambar jang terlukis pada tiap2 halaman itu biasanja harus dilatih
selama setahun atau setengah tahun baru dapat djadi. Tapi sekarang Tik Hun
sudah lantjarkan hubungan antara urat nadi Tok-meh dan Im-meh, ia mempunjai
alas dasar Sin-tjiau-kang jang tiada bandingannja dalam hal tenaga dalam. Maka
ilmu jang betapapun sulitnja baginja boleh dikata tiada artinja lagi, dengan
mudah tentu akan dapat dilatihnja dengan sempurna. Ibaratkan seorang beladjar
membatja, semula memang sulit mengapalkan setiap huruf, tapi bila antero huruf
“Kamus besar” telah dibatja dan diapalkannja dengan baik, dengan sendirinja tiada
sesuatu istilahpun jang sulit baginja untuk dipahaminja.
Begitulah Tik Hun terus
berlatih sedjurus demi sedjurus, makin melatih makin bersamangat.
Semula Tjui Sing sangat
kuatir, sebab mengira penjakit gila pemuda itu kumat lagi, tapi kemudian demi
mengetahui pemuda itu sedah melatih ilmu menurut gambar dalam kitab, barulah
hilang rasa kuatir dan takutnja. Bahkan ketika melihat gaja latihan Tik Hun jang
aneh dan lutju itu, Tjui Sing mendjadi geli dan heran pula. Pikirnja: “Masakah
didunia ini ada orang melatih ilmu setjara begini?”
Achirnja Tjui Sing mendjadi
kepingin tahu djuga, ia tjoba mendekati kitab jang terletak ditanah itu dan
melongoknja, tapi sekali pandang sadja ia mendjadi merah djengah, hatinja
ber-debar2. Kiranja gambar jang terlihat didalam kitab itu melukiskan seorang
laki2 jang telandjang bulat. Keruan ia malu dan takut pula, pikirnja: “Djika
tjara begini Siau-ok-tjeng itu berlatih terus menerus menurut gambar, djangan2
sampai achirnja nanti ia djuga akan menanggalkan pakaiannja hingga telandjang
bulat seperti gambar? Wah, kan tjelaka kalau begitu!”
Sjukurlah adegan jang
dikuatirkan Tjui Sing itu sebegitu djauh tidak muntjul. Sesudah melatih Lwekang
itu sebentar, ketika Tik Hun membalik halaman lain dari kitab itu, ia melihat
gambarnja sekarang melukiskan laki2 itu memegangi sebatang golok melengkung
sedang membatjok miring dan menabas kesamping.
Girang Tik Hun tidak kepalang,
tak tertahan lagi ia berseru: “Hei, inilah Hiat-to-to-hoat (ilmu permainan
golok berdarah)!”
Segera ia menudju kedepan gua,
ia mendjemput sebatang ranting kaju sisa kaju bakar jang dipakai panggang
burung itu. Ia menurutkan gaja gambar dalam kitab dan menirukan untuk melatih
ilmu golok itu.
Ilmu golok permainan Hiat-to
itu benar2 sangat aneh djuga, setiap djurus selalu membatjok dari arah jang
tidak mungkin terpikir menurut akal sehat.
Hanja tiga djurus sadja Tik
Hun berlatih dan segera ia paham duduknja perkara. Kiranja setiap ilmu
permainan golok itu adalah perubahan dari gaja aneh menurut gambar dihalaman
depan tadi. Gambar dihalam depan itu ada jang berdjungkir balik, ada jang
miring, ada jang mendjulur kaki menggantol dileher, ada jang membalik tangan
kebelakang untuk mendjewer telinga sendiri dan matjam2 gaja jang aneh dan
lutju. Dan ilmu permainan Hiat-to itu djuga mentjakup gaja2 serangan jang aneh
dan susah dibajangkan orang itu.
Segera Tik Hun pilih empat
djurus ilmu permainan golok itu dan melatihnja bolak-balik sampai beberapa
kali, ia pikir harus tjepat2 mengapalkan beberapa puluh djurus agar beberapa
hari lagi dapat dipakai modal pertempuran mati2an dengan manusia she Hoa itu.
Tak terduga olehnja bahwa
setengah haripun Hoa Tiat-kan tidak memberi kelonggaran padanja. Baru Tik Hun
tekun mempeladjari djurus kelima, tiba2 Hoa Tiat-kan sudah berseru diluar gua:
“Hai, Hwesio tjilik, kau mau makan hati bapak-mertuamu atau tidak? Tentu sangat
lezat rasanja!”
Keruan Tjui Sing terkedjut.
Tanpa pikir lagi ia dorong batu penutup gua terus menjerobot keluar. Ia melihat
Hoa Tiat-kan sedang menggali kuburan sang ajah dengan Kui-thau-to, bukan
mustahil sekedjap lagi majat sang ajah pasti akan dibongkar olehnja.
“Hoa-pepek, apakah kau
ti........ tidak ingat pada kebaikan sesama sau........ saudara angkat lagi?”
demikian Tjui Sing ber-teriak2 dengan kuatir sembari menerdjang madju.
Memangnja tudjuan Hoa Tiat-kan
djusteru ingin memantjing Tjui Sing keluar lebih dulu, lalu ia akan robohkan
gadis itu, kemudian barulah Tik Hun akan dibereskan olehnja agar gadis itu
tidak mengganggu maksudnja. Maka demi melihat Tjui Sing menjerbu kearahnja, ia
pura2 tidak tahu dan tetap asjik menggali. Setelah Tjui Sing mendekat dan
hendak menghantam punggung, saat itulah Hoa Tiat-kan lantas membaliki
tangannja, setjepat kilat ia pegang sigadis.
Menjusul sebelah tangan Tjui
Sing jang lain menghantam pula, tapi sedikit Hoat Tiat-kan miringkan tubuh, ia
membiarkan bahunja kena digendjot sigadis, pada saat hampir berbareng itu tiba2
Tjui Sing djuga mendjerit tertahan, ternjata pinggangnja telah kena ditutuk Hoa
Tiat-kan hingga djatuh tersungkur dan tak terkutik lagi.
Selesai merobohkan Tjui Sing,
sementara itu Tik Hun tertampak sedang menerdjang pula kearahnja sambil membawa
ranting kaju.
Hoa Tiat-kan ter-bahak2,
katanja: “Hahaha! Apa barangkali kau sudah bosan hidup? Masakan akan melawan
aku dengan sebatang kaju? Baiklah, kau adalah paderi djahat dari Hiat-to-bun,
aku akan menggunakan golok mestika dari Hiat-to-bun kalian ini untuk menghantar
kau pulang keachirat!”
Habis berkata, mendadak ia
lolos golok merah dari pinggang, ia simpan kembali Kui-thau-to, menjusul
goloknja lantas membatjok tiga kali kearah Tik Hun.
Hiat-to itu sangat tipis lagi
enteng, waktu membatjok lantas mengeluarkan suara mendesing jang njaring. Diam2
Hoa Tiat-kan memudji golok mestika jang bagus itu.
Melihat serangan musuh jang
tjepat dan hebat itu, Tik Hun mendjadi ngeri hingga tjara berkelitnja mendjadi
kelabakan pula. Tapi ia mendjadi nekat djuga, pikirnja: “Biarlah aku gugur
bersama dengan kau!” ~ Dan sekali ia balas menjerang, mendadak ia ajun ranting
kaju jang dipegangnja itu dan menjabet dari belakang “plok”, tahu2 tengkuk Hoa
Tiat-kan tepat kena digebuk sekali olehnja.
Tipu serangan ini benar2 aneh
dan bagus sekali, pabila sendjata jang dipakai Tik Hun itu bukan sebatang kaju,
tapi adalah sebatang golok atau pedang, maka tidak perlu disangsikan lagi pasti
kepala Hoa Tiat-kan sudah berpisah dengan tuannja.
Padahal ilmu silat Hoa
Tiat-kan tidak lebih rendah daripada Hiat-to Lotjo, andaikan Hiat-to Lotjo
hidup kembali djuga tidak mampu membunuhnja dengan sedjurus sadja. Soalnja tadi
Hoa Tiat-kan terlalu memandang enteng pada Tik Hun jang dianggapnja tjuma
sebangsa kerotjo jang tiada artinja, dari itu ia telah kena batunja.
Ia tertegun sedjenak, lalu
bermaksud ajun goloknja untuk membatjok pula. Namun batang kaju Tik Hun itu
sudah menjabet dan menghantam setjara membadai kearahnja. “Plok”, kembali Hoa
Tiat-kan kena digebuk lagi, sekali ini kena dibatok kepala belakang.
Keruan hampir2 Hoa Tiat-kan
kelengar, untung ia masih dapat bertahan walaupun dengan kepala pusing tudjuh
keliling. Ia ber-teriak2: “Ada setan! Ada setan!” ~ Tanpa merasa ia menoleh
kebelakang, saking ketakutan sampai tangannja mendjadi lemas, tjekalannja
mendjadi kendur, golok merah jang dipegang itu djatuh ketanah, tanpa memikir
untuk mendjemput kembali sendjata itu terus sadja ia lari pergi dengan
ter-birit2.
Kiranja setelah Hoa Tiat-kan
memakan majat kedua saudara angkat sendiri, betapapun perasaannja tidak
tenteram dan menjesal, senantiasa ia kuatir kalau arwah halus Liok Thian-dju
dan Lau Seng-hong menggoda padanja. Tadi waktu Tik Hun tidak mempan ditusuk
olehnja, memangnja ia sudah sangsi djangan2 ada arwah halus jang telah membantu
musuh itu, kini Tik Hun hanja melawannja dengan sebatang kaju, sudah terang
gamblang lawan itu berdiri didepannja, pula Tjui Sing sudah ditutuk roboh
olehnja, tapi tahu2 tengkuk dan batok kepala belakang be-runtun2 telah kena
dihandjut oleh sesuatu benda keras. Padahal dilembah itu selain mereka bertiga
sudah tiada manusia lain lagi. Lalu mengapa ada jang mampu menjerangnja dari
belakang tanpa kelihatan wudjutnja, habis kalau bukan setan iblis lantas apa?
Dan begitulah ia mendjadi ketakutan setengah mati dan lari sipat-kuping.
Sebaliknja Tik Hun meski
berhasil menggebuk Hoa Tiat-kan dua kali, tapi musuh toh tidak terluka apa2,
mengapa mendadak orang she Hoa itu lari pergi dengan ketakutan? Sungguh hal
inipun diluar dugaannja dan membingungkan dia.
Segera Tik Hun mendjemput
Hiat-to jang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu, ia melihat Tjui Sing masih
menggeletak ditanah takbisa berkutik, tanjanja: “Kenapa kau? Apa tertutuk oleh
keparat itu?”
“Ja,” sahut Tjui Sing.
“Sajang aku tidak paham ilmu
Tiam-hiat dan tjara membukanja, maka takbisa menolong kau,” udjar Tik Hun.
“Asal pinggang dan pahaku
di...........” sebenarnja Tjui Sing hendak memberitahukan Tik Hun tempat djalan
darah jang harus dipidjat untuk melantjarkannja kembali, lalu ia akan dapat
bergerak lagi. Tapi demi berkata tentang pinggang dan paha, ia lantas ingat
djangan2 “Siau-ok-tjeng” itu akan kumat penjakit buasnja dan mendadak
memperlakukan dirinja setjara tidak senonoh dikala dirinja takbisa bergerak,
wah, kan bisa tjelaka?
Ketika mendadak melihat sinar
mata sigadis mengundjuk rasa ketakutan dan bitjara setengah2, Tik Hun mendjadi
heran, pikirnja: “Hoa Tiat-kan toh sudah lari, apa jang kau takuti lagi?” ~
Tapi setelah dipikir pula, segera iapun mengarti dirinja sendirilah djusteru
jang ditakuti gadis itu. Sesaat itu ia mendjadi gusar, teriaknja mendadak:
“Djadi kau takut aku akan menodai kau? Hm, hm, biarlah sedjak kini aku takkan
melihat tampanmu lagi!” ~ Saking gusarnja ia lantas mengamuk, ia menendang dan
menjepak tanah saldju hingga bunga saldju berhamburan bagai hudjan.
Ia kembali kedalam gua,
sesudah mengambil kitab Hiat-to-keng, dengan langkah lebar ia tinggal pergi dan
tidak memandang lagi pada Tjui Sing, bahkan melirikpun tidak.
Diam2 Tjui Sing merasa malu
sendiri, pikirnja: “ Djangan2 aku jang suka tjuriga tak keruan dan telah salah
sangka padanja?”
Begitulah Tjui Sing
menggeletak tak berkutik disitu. Selang lebih satu djam, mendadak seekor elang
menjambar kebawah dan mematuk kemukanja. Keruan Tjui Sing mendjerit kaget.
Se-konjong2 tertampak sinar merah berkelebat, golok merah itu tahu2 menjambar
tiba dari samping sana hingga elang itu terpapas mendjadi dua dan djatuh
dipinggir Tjui Sing.
Meski Tik Hun sangat gusar
karena dirinja ditjurigai gadis itu, tapi ia djuga kuatir Hoa Tiat-kan akan
datang kembali untuk membikin tjelaka mereka, maka ia tidak pergi djauh, tapi
mendjaga disekitar situ sambil meneruskan peladjaran ilmu golok menurut kitab
pusaka Hiat-to-keng itu. Ia tidak menjangka sekali menimpukan golok merah itu,
kontan elang itu tertabas mendjadi dua belah, bahkan golok itu tidak terhalang
oleh elang dan masih terus melajang kedepan hingga sedjauh belasan meter baru
djatuh ketanah. Dengan demikian Tik Hun telah berhasil pula mejakinkan satu
djurus “Liu-sing-keng-thian” atau bintang kemukus melajang diudara.
Mendadak Tjui Sing
ber-teriak2: “Tik-toako, Tik-toako! Ja, aku mengaku salah sudah, seribu kali
aku minta maaf padamu!”
Tapi Tik Hun berlagak tuli
sadja dan tidak gubris. Maka Tjui Sing ber-teriak2 lagi: “Tik-toako, sudilah
kau memaafkan kesemberoanku. Sesudah ajahku meninggal, aku mendjadi
sebatangkara, tjara berpikirku mendjadi agak kurang sehat, harap engkau djangan
marah lagi padaku, ja?”
Namun Tik Hun masih tidak
gubris padanja. Tapi pelahan2 rasa gusarnja mendjadi lenjap djuga.
Dengan menggeletak ditanah,
sampai besok paginja djalan darah Tjui Sing baru lantjar kembali dengan
sendirinja dan dapat bergerak pula. Ia tahu meski Tik Hun sepatah-katapun tidak
bitjara, tapi sepandjang malam toh senantiasa mendjaga disitu tanpa tidur,
sungguh rasa terima kasihnja tak terhingga. Maka begitu badannja bisa bergerak,
segera ia pergi memanggang elang lagi, ia membagi separoh kepada Tik Hun.
Tapi ketika dia sudah
mendekat, Tik Hun sengadja pedjamkan mata untuk mentaati sesumbarnja sendiri
bahwa selandjutnja ia tidak mau melihat tampan gadis itu lagi.
Tjui Sing djuga tidak bitjara
padanja, ia taruh elang panggang itu didepan Tik Hun, lalu menjingkir pergi.
Maksud Tik Hun akan menunggu
sesudah gadis itu pergi agak djauh barulah ia akan membuka mata. Diluar dugaan,
mendadak didengarnja Tjui Sing mendjerit kaget sekali, menjusul gadis itu
mengaduh pula dan terguling ketanah.
Tik Hun terperandjat, tjepat
ia melompat bangun dan memburu ketempat Tjui Sing. Tapi tahu2 gadis itu telah
berbangkit dengan tertawa, katanja: “Aku tjuma menipu kau sadja. Kau menjatakan
selandjutnja takkan melihat aku, tapi sekarang kau sudah melihat lagi, bukan?
Maka pernjataanmu itu sekarang sudah batal!”
Tik Hun tidak mendjawab,
dengan mendongkol ia melotot sekali pada gadis itu. Pikirnja: “Wanita didunia
ini memang litjik semua. Ketjuali nona Leng kekasih Ting-toako itu, selebihnja
suka menipu orang sadja. Sedjak kini tidak nanti aku dapat kau tipu lagi.”
Sebaliknja Tjui Sing masih
mengikik tawa, katanja: “Tik-toako, buru2 kau hendak menolong aku, bukan?
Terima kasih, ja!”
Kembali Tik Hun melototi
sigadis sekali, lalu memutar tubuh dan menjingkir........
Sementara itu rupanja Hoa
Tiat-kan sudah ketakutan pada setan iblis, maka ia tidak berani mengatjau lagi
ketempat gua. Terpaksa ia mentjari kulit pohon dan akar rumput sekadar mengisi
perut agar tidak mati kelaparan. Sudah tentu penghidupan begitu sangat
menderita baginja.
Dalam pada itu setiap hari Tik
Hun asjik melatih sedjurus-dua ilmu permainan golok, baik tenaga dalam, maupun
tenaga luar, setiap hari ia mentjapai kemadjuan jang menondjol.
***
Sang tempo silih berganti
dengan tjepat, tanpa merasa musim dingin sudah lalu dan musim semi telah tiba.
Hawa udara lambat-laun mulai menghangat, saldju tidak turun lagi, sebaliknja
timbunan saldju mulai susut, jaitu mulai tjair.
Selama itu Tik Hun sudah
lengkap mempeladjari Lwekang dan ilmu golok jang terlukis didalam Hiat-to-keng
itu. Kepandaiannja kini sudah mentjakup dua aliran Tjing dan Sia jang paling
tinggi, meski pengalamannja tjetek dan kurang pengetahuan, sedang diantara sari
ilmu2 silat aliran Tjing dan Sia itupun belum ada pembauran jang sempurna, tapi
kalau melulu bitjara tentang ilmu silat sedjati, saat itu djangankan tjuma Hoa
Tiat-kan, bahkan kepandaian Tik Hun sekarangpun sudah lebih tinggi daripada
Ting Tian dulu.
Hal ini adalah berkat
Sin-tjiau-kang jang telah berhasil dijakinkan dengan baik serta terhubungnja
urat2 nadi Tok-meh dan Im-meh.
Selama itu, bila Tjui Sing
mengadjak bitjara padanja, selalu Tik Hun berlagak gagu tanpa mendjawab
sepatahpun. Ketjuali waktu makan, terpaksa mereka berkumpul sebentar, habis
itu, selalu Tik Hun mendjauhi Tjui Sing lagi dan tekun melatih diri. Pada benaknja
tjuma ada tiga harapan: Bila sudah keluar dari lebih saldju ini, tugas pertama
jalah mentjari Suhu ketempat kediaman lama di Hengtjiu; Kedua, mengubur abu
tulang Ting-toako bersama nona Leng sebagaimana ia sendiri telah djandji pada
Ting Tian dahulu dan ketiga jalah menuntut balas.
Maka sangat dia harapkan agar
saldju dilembah itu dapat mentjair selekas mungkin. Ia melihat air saldju sudah
meluber sebagai air kali dan mengalir terus keluar lembah, saldju jang menutupi
djalan keluar lembah itu makin hari makin susut. Ia tidak tahu masih kurang
berapa hari lagi baru akan tiba hari Toan-ngo-tje, jang terang, hari keluarnja
dari lembah itu sudah tidak terlalu lama lagi.
Satu petang, ia menerima dua
ekor burung panggang dari Tjui Sing, selagi ia hendak putar tubuh dan
menjingkir, tiba2 gadis itu berkata: “Tik-toako, lewat beberapa hari lagi kita
sudah dapat keluar dari lembah ini, bukan?”
“Ehm,” sahut Tik Hun tak
atjuh.
“Terima kasih padamu jang
telah mendjaga keselamatanku selama ini, tanpa perlindunganmu, tentu sudah lama
aku dibunuh oleh djahanam Hoa Tiat-kan itu.”
“Tidak apa2,” sahut Tik Hun
sambil menggeleng. Lalu ia bertindak pergi.
Tapi baru beberapa langkah,
tiba2 didengarnja suara sesenggukan dibelakang, waktu menoleh, ia melihat Tjui
Sing mendekap diatas sebuah batu dan sedang menangis. Ia mendjadi heran: “Sudah
hampir bisa pulang, seharusnja merasa senang, mengapa malah menangis? Sungguh
perasaan wanita memang aneh dan susah diraba.”
Malam itu, setelah melatih
sebentar, Tik Hun merebah diatas batu besar jang biasanja dipakai sebagai
balai2.
Djarak batu itu tidak djauh
dari gua untuk mendjaga kalau2 tengah malam mereka disergap Hoa Tiat-kan. Tapi
selama masa terachir ini Hoa Tiat-kan ternjata tidak muntjul lagi. Ia menduga
takkan terdjadi apa2 lagi, maka tidurnja mendjadi sangat njenjak.
Tengah Tik Hun terpulas, tiba2
dari djauh samar2 seperti ada suara tindakan orang. Lwekang Tik Hun sekarang
sudah sangat tinggi, mata-telinganja djuga sangat tadjam, meski suara tindakan
orang itu masih sangat djauh, tapi sudah membuatnja terdjaga bangun.
Tjepat Tik Hun berduduk dan
mendengarkan dengan tjermat, ia merasa djumlah orang jang datang itu tjukup
banjak, paling sedikit ada 50-60 orang dan sedang menudju kearah lembah ini. Ia
terkedjut dan heran: “Mengapa mereka mampu masuk kelembah saldju ini?”
Ia tidak tahu bahwa ditengah
lembah jang dikelilingi puntjak2 gunung jang tinggi itu, tjuatja disitu
mendjadi lebih dingin dan berbeda daripada diluar lembah sana. Timbunan saldju
diluar lembah sudah mulai lumer, tapi saldju didalam lembah belum apa2 dan
paling sedikit harus 13 hari atau setengah bulan lagi baru mentjair.
Segera terpikir pula oleh Tik
Hun: “Orang2 itu pasti adalah djago2 silat Tionggoan jang dahulu ikut
meng-uber2 itu, kini Hiat-to Lotjo sudah mati, segala permusuhan tentu akan
berachir djuga. Dan, ja, Piaukonja nona Tjui tentu djuga ikut datang untuk
membawanja pulang, itulah paling baik. Tapi mereka telah anggap aku sebagai
paderi tjabul dari Hiat-to-bun, untuk memberi pendjelasan rasanja tidaklah
mudah, maka lebih baik aku tidak bertemu dengan mereka, biarkan nona Tjui
dibawa mereka pergi mereka, lalu aku sendiri baru meninggalkan tempat ini.”
Segera ia mengitar kesamping
gua sana dan mengumpet dibelakang sepotong batu karang, ia ingin tahu matjam
apakah orang2 jang datang itu.
Suara tindakan orang banjak
itu makin lama makin dekat. Tiba2 pandangan mata terbeliak, ternjata rombongan
orang2 itu sudah muntjul dari balik bukit sana. Tangan mereka membawa obor
semua.
Djumlah seluruhnja memang
betul kurang lebih 50 orang, semuanja membawa obor dengan tangan kiri dan
tangan kanan bersendjata. Orang jang mengepalai didepan itu tampak berdjenggot
putih, tangannja tidak membawa obor, sebaliknja bersendjata semua, tangan jang
satu membawa golok dan tangan jang lain memegang pedang. Siapa lagi dia kalau
bukan Hoa Tiat-kan adanja.