Pedang Hati Suci Jilid 1-5

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pedang Hati Suci Jilid 1-5 Begitulah bunji serentetan beradunja dua batang kadju, terkadang berhenti agak lama, menjusul lantas berbunji pula dengan tjepat.
Tok .... Tak-tok... tok trok tok ... taaak!

Begitulah bunji serentetan beradunja dua batang kadju, terkadang berhenti agak lama, menjusul lantas berbunji pula dengan tjepat.

Tempat itu adalah sebuah kampung Moa-keh-po diluar kota Wanling di wilajah propinsi Oulam barat. Didepan tiga buah gubuk jang berderetan itu ada seorang kakek sedang menganjam sepatu rumput. Trekadang dia mendongak mengikuti pertarungan antara sepasang muda-mudi dilapangan djemuran padi sana.

Usia kakek itu kira kira setngah abad namun mukanja sudah penuh keriput, rambutnja lebih separuh sudah ubanan, suatu tanda banjak penderitaan pedjuangan hidup. Tapi waktu itu tampak dia mengulum senjum, ia puas terhadap pertandingan pedang sepasang muda-mudi itu.

Pemudi jang sedang bertanding itu berumur antara 17-18 tahun berwadjah bundar, bermata djeli. Keringatnja sudah membasahi keningnja dan mengutjur pula kepipinja. Ketika ia mengusap keringat dengan lengan badjunja, makin tjantiklah tampaknja gadis itu.

Adapun usia pemuda itu lebih tua dua-tiga tahun daripada si gadis. Berperawakan djangkung, kulitnja hitam, tulang pipinja agak menonjol, tangan kasar, kaki besar, itulah tjiri tjiri khas anak petani.Pedang kadju jang dimainkannja itu tampil sangat tjepat dan lintjah.

Sekonjong-konjong pedang kadju pemuda itu menabas dari atas pundak kiri miring kebawah. Menjusul tanpa menoleh pedangnja berputar dan menusuk kebelakang. Namun si gadis sempat menghindar dengan mendekan kepalanja, habis itu iapun membalas menusuk beberapa kali.

Mendadak pemuda itu mundur dua tindak, habis itu ia bersuit panjang sekali, pedangnja berputar, tjepat ia menebas ke kanan dan kekiri beruntun-runtun tiga kali. Karena kewalahan, tiba tiba si gadis itu menarik pedangnja dan berdiri tegak tanpa menangkis, bahkan omelnja: baiklah anggap kau lihai, sudah boleh engkau membatjok mati aku!”

Sama sekali pemuda itu tak menduga bahwa sigadis bisa mendadak berhenti dan tidak menangkis, padahal tabasan ketiga itu sedang dilontarkan kepinggang lawan. Dalam kedjutnja, lekas lekas pemuda itu hendak menarik kembali serangannja, namun tenaga jang dikeluarkan itu sudah kadung terlalu kuat, “plek”, sekuatnja ia kesampingkan pedangnja, tapi tidak urung lengan kiri sendiri terketok oleh senjata endiri. Dalam kaget dan sakitnja tanpa merasa ia menjerit sekali.

Gadis itu tertawa geli, katanja: “Huh, malu tidak kau? Tjoba kalau senjatamu itu adalah pedang sungguhan, bukankah lenganmu itu sudah terkutung?”

Wadjah si pemuda jang kehitam-hitaman itu mendjadi merah, sahutnja: “Aku kuatir tabsanku tadi mengenai badanmu, karena itu tanganku sendiri jang terkena. Kalau benar2 mau bertempur dengan musuh, masakan orang mau mengalah padamu? Suhu, haraplah engkau memberi pendapat jang adil? Apa betul tidak kataku ini?” ~ Kata terachir ini ia tudjukan pada si kakek jang masih asjik menjelesaikan sepatu rumputnja itu.

Sambil memegangi sepatu rumputnja jang setengah selesai itu, sikakek berbangkit dan berkata:”Diantara 50-an djurus permulaan kalian itu masih boleh djuga, tapi djurus djurus belakangan makin lama semakin tak keruan.” Ia ambil pedang kayu dari sigadis, ia pasang kuda2 dan melontrakan suatu serangan bergaya miring lalu katanja pula: “Ini adalah djurus “Koh-hong-han-siang-lay” (bandjir datang ber-teriak2), menjusul ini adalah “Si-heng-put-kan-ko” (ketemu lintang tidak berani lewat). Karena melintang maka harus menabas dan tidak boleh menusuk kedepan ....”

Sedang kakek itu asyik mentjerotjos dengan teori ilmu pedangnja, se-konjong2 terdengar suara ketawa orang ter-bahak2 dibalik timbunan tjermai sana.

Untuk sedjenak sikakek melengak, tapi setjepat panah ia terus melompat kesana. djangan menjangka sikakek sudah ubanan gerak-geriknja ternjata sangat gesit dan tjekatan, sedikitpun tidak kalah daripada anak muda.

Ia mengira suara orang terbahak itu tentu lagi mentertawai tjaranja dia memberi peladjaran ilmu pedang pada muridnja tadi. Tapi demi melihat siapa orang itu ia menjadi tahu duduknja perkara. Kiranja dibalik timbunan djerami itu berduduk seorang pengemis tua yang lagi sibuk mentjari tuma dari badjunja yang rombeng dan berbau itu lantaran tidak pernah ditjutji. Sembari mentjari tuma, pengemis itu berjemur diri dibawah sinar sang surya. Ketika dapat menangkap seekor tuma, tjepat-tjepat ia masukkan kemulutnja terus dikeletak lalu ia tertawa ter-bahak2 dan berkata:”Huh, lari kemana kau sekali ini. Haha, kembali seekor lagi!”

Kakek itu tersenjum dan putar balik ketempatnja tadi, ia mengulangi pula permainan beberapa djurus Kiam-hoat tadi. Njata permainannja djauh berbeda daripada kedua anak muda, gerakannja tjepat dan gayanja indah, keruan kedua anak muda-mudi itu merasa kagum tak terhingga hingga bertepuk tangan memudji.

Kakek itu kembalikan pedangnja kepada sigadis, katanja:”Kalian boleh melatih sekali lagi. A Hong djangan main kelakar, tadi kalau bukan Suko sengadja mengalah, tentu djiwamu sudah melayang!”

Gadis itu meleset lidah sekali, mendadak pedangnja terus menusuk dengan tjepat luar biasa.

Pemuda itu belum lagi ber-siap2, dalam keadaan kelabakan ia masih sempat menangkis. Tapi karena telah didahului sigadis ia menjadi ketjetjar hingga untuk semenatar tak mapu melantjarkan serangan balasan.

Ketika dia sudah terdesak dan tampaknja segera akan kalah, tiba2 dari arah timur sana ada suara derapan kuda yang ber-detak2. Seorang penunggang kuda tampak mendatang dengan tjepat sekali.

“Siapakah itu jang datang?” kata sipemuda.

“Sudah kalah djangan main belit! Siapapun jang datang tiada sangkutpautnja dengan engkau!” bentak sigadis dan be-runtun2 ia menjerang tiga kali pula.

Sekuatnja pemuda itu menangkis sambil mendjawab dengan gusar: “Memangna apa kau sangka aku djeri padamu?”

“Mulutmu jang tidak djeri, tapi hatimu takut!” sahut sigadis sambil menusuk kekanan dan kekiri, dua serangan jang tjepat dan indah.

Tatkala itu sipenunggang kuda tadi sudah dekat dan memberhentikan kudanja, melihat serangan sigadis itu, tak tertahan lagi ia berseru: “Bagus! Serangan hebat! Thian-hoa-loh-put-tjin, Kau-dju-niu-ham-hui!” (bunga dilangit bertebaran, di-mana2 burung terbang mentjari makan).”

Mendengar itu, sigadis bersuara heran sekali dan mendadak melompat mundur untuk mengamat-amati pendatang asing itu. Ia lihat orang berusia antara 23-24 tahun, berdandan perlente sebagai lazimnja putera hartawan dikota. Tanpa merasa wadjah sigadis mendjadi merah djengah, serunja kepada sikakek: “Tia (ajah), ken............ kenapa dia tahu?”

Memangnja sikakek djuga sedang heran demi mendengar sipenunggang kuda itu dapat menjebut nama2 tipu serangan gadisnja tadi, maka ia bermaksud menegurnja.

Sementara itu, sipenunggang kuda sudah lantas melompat turun dan mendekati sikakek, ia memberi hormat dan berkata: “Numpang tanja, Lotiang, di Moa-keh-po sini ada seorang ahli pedang, namanya Djik Tiang-boat, Djik-loyatju, dimanakah tempat tinggalnja?”

“Aku sendirilah Djik Tiang-hoat,” sahut sikakek itu. “Untuk apakah Toaya (tuan) mentjarinja?”

Segera pemuda gagah itu mendjura ketanah, katanja: “Wanpwe bernama Bok Heng, dengan ini memberi hormat kepada Susiok. Wanpwe diperintahkan Suhu untuk mentjari Djik-susiok.”

“Haha, djangan sungkan2, tak usah banjak adat!” sahut Djik Tiang-hoat dengan tertawa sambil membangunkan pemuda itu. Ketika tangan memegang tangan, ia sengadja kerahkan sedikit tenaga dalam hingga separoh tubuh pemuda itu mendjadi kaku linu.

Dengan muka merah Bok Heng berbangkit, katanja: “Wah, Djik-susiok telah mengudji Wanpwe, sekali ketemu Wanpwe sudah memalukan.”

“Lwekangmu memang masih kurang kuat,” udjar Tiang-hoat dengan tertawa. “Kau adalah murid keberapa dari Ban-suko?”

Kembali muka Bok Heng merah djengah, sahutnja: “Wanpwe adalah murid Suhu jang kelima. Biasanja Suhu suka memudji Lwekang Djik-susiok sangat tinggi, mengapa baru ketemu sudah gunakan Wanpwe sebagai pertjobaan?”

Djik Tiang-hoat ter-bahak2, katanja: “Apakah Ban-suko baik2 sadja? Sudah belasan tahun kami tidak bertemu.”

“Berkat pudji Susiok, beliau sangat baik,” sahut Bok Heng. “Kedua Suko dan Sutji ini tentunja murid2 pilihan Susiok bukan?”

Segera Djik Tiang-hoat memanggil sipemuda dan sigadis tadi: “A Hun, A Hong, hajo lekas kemari menemui Bok-suko. Nah, ini adalah muridku satu2nja Tik Hun, dan ini adalah puteriku A Hong. Ala, dasar gadis desa, pakai malu2 segala, Bok-suko adalah orang sendiri, kenapa mesti malu?”

Kiranja Djik Hong lagi mengumpet dibelakangnja Tik Hun, dengan likat ia sedang tersenjum sambil mengangguk sadja. Sebaliknja Tik Hun lantas menjapa: “Bok-suheng, Kiam-hoat jang kau peladjari serupa dengan kami punja bukan? Kalau tidak, masakah sekali lihat engkau lantas dapat menjebutkan tipu serangan Sumoay tadi?”

“Tjuh!” tiba2 Djik Tiang-hoat meludah keras2 ketanah. “Gurumu dan Suhunja adalah saudara seperguruan, Kiam-hoat jang dipeladjari dengan sendirinja adalah sama, masakah perlu tanja lagi?” demikian serunja dengan dongkol oleh ke-tolol2an muridnja itu.

Kemudian Bok Heng mengeluarkan empat matjam hadiah dari dalam rangsal jang tergantung diatas kuda dan dipersembahkan kepada Tjiang-hoat, katanja: “Djik-susiok, Suhu mengirim sedikit hadiah ini, harap Susiok sudi menerimanja.”

Tiang-hoat mengutjapkan terima kasih, lalu suruh puterinja Djik Hong - menerima barang2 itu.

Waktu Djik Hong membawa barang2 hadiah itu kedalam kamar dan memeriksanja, ia lihat isinja adalah sepotong badju kuli domba rangkap kain sutera, sebuah gelang kemala hidjau, sebuah kopiah beluderu dan sepotong djas tutup laken hitam. Dengan ketawa2 segera Djik Hong membawa barang2 itu keluar sambil berseru: “Tia, tia! Selamanja engkau tidak pernah memakai badju sebagus ini, kalau dipakai, wah, engkau bukan lagi pak tani, tapi mirip kaum hartawan dan orang berpangkat!”

Melihat barang2 itu, Djik Tiang-hoat djuga terpesona.........

Malamnja diadakan perdjamuan sederhana, empat orang mengelilingi sebuah medja. Sebelumnja Tik Hun pergi membeli tiga kati arak diwarung kampung sana, Djik Hong menjembelih seekor ajam gemuk dan memetik pula sajur tanamannja sendiri diladang, ia masak senampan Pek-tjam-khe (ajam masak dipotong2), sepiring Tjay-sim-keh-kiu (ajam goreng sawi). Ketjuali itu ada pula satu mangkok atjar tjabe merah jang besar2.

Waktu Djik Tiang-hoat menanjakan maksud kedatangan Bok Heng. Segera pemuda itu berkata: “Suhu menjatakan sudah belasan tahun tidak berdjumpa dengan Susiok, beliau sangat kangen dan sebenarnja susah lama ingin bisa mengundjungi tempat tinggal Susiok sini, tjuma Suhu setiap hari harus melatih ‘Soh-sim-kiam-hoat’ hingga tak dapat tinggal pergi .......”

Waktu itu Tiang-hoat sedang angkat mangkok araknja, baru sadja dihirupnja sekali, se-konjong2 ia mendengar utjapan Bok Heng itu, seketika arak jang sudah dihirup kedalam mulut itu dimuntahkan kedalam mangkok lagi dan tjepat menanja: “Apa katamu? Gurumu sedang melatih ‘Soh-sim-kiam’?”

Wadjah Bok Heng ber-seri2, sahutnja: “Ja, tanggal lima bulan jang lalu Suhu telah berhasil menjelesaikan Soh-sim-kiam jang hebat itu.”

Karuan Tiang-hoat bertambah kaget, ia gabrukan mangkok araknja kemedja hingga sebagian isinja muntjrat keluar dan membsahi medja dan lengan badjunja. Ia ter-mangu2 sedjenak, tapi lantas ter-bahak2. Mendadak ia tepuk keras2 diatas pundak Bok Heng sambil berseru: “Hahaha, dasar Suhumu itu memang sedjak ketjil sudah suka membual. ‘Soh-sim-kiam’ itu bukan sadja kakek-gurumu tidak berhasil melatihnja, bahkan bujut-gurumu djuga tidak bisa, apalagi kepandaian gurumu djuga tjuma begitu sadja, hahaha, djangan kau tjoba menipu Susiokmu, haha! Marilah minum!” Segera ia angkat mangkoknja tadi dan dituang kedalam kerongkongannja. Menjusul ia tjomot sebuah tjabe merah jang besar terus diganjang mentah2.

Namun Bok Heng tidak terpengaruh oleh kata2 sang Susiok, katanja pula: “Ja, memang Suhu sudah menduga pasti Susiok, takkan pertjaja, makanja tanggal 16 bulan jang akan datang kebetulan adalah ulang tahun Suhu jang ke-50, beliau mengundang Susiok bersama Sute dan Sumoay sudilah datang ke Hengtjiu untuk menghadiri perdjamuan sederhana. Pesan Suhu kepada Wanpwe agar Susiok betapapun harus berkundjung kesana. Kata Suhu, beliau kuatir ‘Soh-sim-kiam’ jang baru djadi dilatihnja itu mungkin masih ada kekurangannja, maka Susiok diminta suka memberi petundjuk dimana perlu.”

Wadjah Djik Tiang-hoat agak berubah, tanjanja kemudian: “Djika begitu, apakah Djisusiok Gian Tat-peng djuga sudah kau undang kesana?”

“Djedjak Gian-djisusiok tidak tertentu, maka Suhu sudah mengirim Djisuko, Samsuko dan Sisuko untuk mentjarinja keberbagai pendjuru. Apakah Djik-susiok sendiri pernah mendengar kabarnja Gian-djisusiok?”

Tiang-hoat tidak mendjawab, ia hanja menghela napas, kemudian katanja:” Diantara saudara seperguruan kami bertiga, ilmu silat Djisuhengku jang paling tinggi. Kalau dia jang berhasil mejakinkan ‘Soh-sim-kiam-hoat’ mungkin masih dapat kupertjajai. Tetapi sekarang kau mengatakan Suhumu sudah berhasil mejakinkannja, hehe, aku tidak pertjaja, aku tidak pertjaja!”

Terus sadja ia samber potji arak dan menuang penuh mangkoknja, sambil mengangkat mangkok arak itu, ia tidak lantas meminumnja, tapi mendadak ia berseru: “Baik, tanggal 16 bulan depan aku pasti datang ke Hengtjiu untuk memberi selamat ulang tahun kepada gurumu sekalian aku ingin lihat matjam apakah tentang ‘Soh-sim-kiam’ jang katanja telah berhasil dijakinkannja itu!”

Habis berkata, kembali ia gabrukan mangkok araknja hingga isinja muntjrat keluar, kembali medja itu bandjir arak lagi.

***

Tiga hari kemudian sesudah Bok Heng mohon diri pulang ke Hengtjiu. Pagi itu dengan tjemas Djik Hong membuntuti seekor sampi jang sedang dituntun sang ajah menudju keluar kampung.

“Tia,” demikian kata sigadis dengan suara murung, “kalau Tay Hong (sikuning) engkau djual, tahun depan tjara bagaimana kita harus meluku sawah?”

“Tahun depan adalah urusan tahun depan, tak usah dipikirkan!” sahut Djik Tiang-hoat.

“Tiatia, bukankah baik2 kita tinggal disini? Biarpun desa, hidup kita aman tenteram. Untuk apakah mesti pergi kekota Hengtjiu segala? Peduli apa Ban-supek berulang tahun, masakah mesti mendjual Tay Hong guna sangu perdjalanan, kukira tidak perlu kita berbuat begitu.”

“A Hong, ajah sudah berdjandji pada Bok Heng, maka harus berangkat kesana. Seorang laki2 sedjati sekali sudah omong, mana boleh didjilat kembali? Biarlah kubawa kau dan A Hun kesana untuk menambah pengalaman, djangan selama hidup mendjadi gadis desa sadja!”

“Apa djeleknja mendjadi orang desa? Aku djusteru tidak pingin pengalaman apa segala. Sedjak ketjil aku jang mengangap Tay Hong hingga besar, Tay Hong adalah satu2nja kawan kita jang paling setia. Lihatlah, Tiatia, Tay Hong sedang menangis, ia tidak mau digiring pergi!”

“Nona bodoh! Sampi adalah binatang, dia tahu apa? Hajolah tinggal dirumah sadja kau!”

“Tidak, Tia, Tay Hong djangan kau djual, tentu dia akan disembelih jang membeli, aku tidak tega.”

“Tidak, orang takkan menjembelihnja, tapi orang membelinja untuk meluku sawah.”

“Tiatia berdusta! Apa jang dibitjarakan sidjagal Ong dengan engkau kemarin? Tentu Tay Hong dibeli olehnja untuk disembelih. Tia, lihatlah itu, Tay Hong sedang mengangis. O, Tay Hong, aku tak mau ditinggalkan olehmu. Hun-ko, Hun-ko! Kemarilah lekas, Tiatia hendak mendjual Tay Hong........”

“A Hong, sebenarnja ajah djuga tidak tega mendjual Tay Hong. Akan tetapi kita sudah menjanggupi Supekmu untuk datang kesana memberi selamat ulang tahun padanja, dengan sendirinja kita takbisa pergi dengan tangan kosong. Pula engkau dan A Hun djuga perlu mendjahit beberapa potong badju baru agar tidak dipandang hina orang. Supekmu omong besar katanja sudah berhasil mejakinkan ‘Soh-sim-kiam-hoat’, aku djusteru tidak pertjaja dan ingin menjaksikannja dengan mata kepala sendiri. Nah, anak baik, tinggallah engkau dirumah!”

“Tay........ Tay Hong!” ratap Djik Hong dengan ter-guguk2. “Kalau kau hendak disembelih orang melawanlah dengan tandukmu, lalu lari...... lari kembali sini. Ti........ tidak! Orang tentu akan mengedjar kemari, lebih baik kau lari se-djauh2nja, ja, lari sadja kegunung........”

***

Setengah bulan kemudian, “Tiat-ho-heng-kang” Djik Tiang-hoat, sirantai badja melintang disungai, bersama muridnja, Tik Hun dan puterinja, Djik Hong, telah sampai dikota Hengtjiu.

Waktu ia tanja dimana rumahnja “Ngo-in-djiu” Ban Tjin-san, sitangan pantjawarna, orang jang ditanja mendjawab: “Masakah rumahnja Ban-loenghiong jang termasjhur masih perlu tanja? Itu dia gedung jang paling besar, jang pintu gerbangnja bertjat merah!”

Tiang-hoat mengutjapkan terima kasih dan segera menudju kearah jang ditundjuk.

Ia memakai badju kulit baru hadiah dari Ban Tjin-san itu. Tik Hun dan Djik Hong djuga memakai badju baru. Namun demikian ketiga orang itu tidak terlepas dari lagak-lagu orang desa jang ke-tolol2an.

Ketika sampai didepan gedung keluarga Ban itu, tertampaklah gedung itu penuh dihias lampion jang berwarna-warni, tetamu hilir mudik tak ter-putus2. Mereka mendjadi ragu2 untuk memasuki gedung jang mentereng itu.

Selagi Djik Tiang-hoat hendak menanja pendjaga, tiba2 dilihatnja Bok Heng lagi berlari keluar, karuan ia sangat girang, tjepat ia berseru: “Bok-hiantit, aku sudah datang!”

Dengan gembira Bok Heng lantas menjambut kedatangan mereka sambil menjapa: “Hai, Dji-susiok telah tiba! Selamat datang, selamat datang! Memangnja Suhu sedang memikirkan Susiok jang belum djuga kelihatan. Marilah masuk!”

Dan begitu Djik Tiang-hoat melangkah masuk, rombongan musik lantas membunjikan lagu penjambutan. Ketika mendadak terompet ditiup, Tik Hun mendjadi kaget, hampir2 ia berlari keluar lagi. Maklum anak desa!

Sampai diruangan pendopo, tertampaklah seorang tua bertubuh kekar tegap sedang asjik beramah-tamah dengan para tamu.

“Toasuko, aku sudah datang!” segera Djik Tiang-hoat menjapa.

Orang tua tadi tertjengang sekedjap se-akan2 tidak mengenalnja lagi. Tapi segera iapun menjongsong kedatangan sang Sute itu dengan ber-seri2, serunja sambil ter-bahak2: “Hahahaha! Losam, mengapa engkau sudah begini tua nampaknja, hampir2 aku pangling!”

Dan selagi kedua saudara seperguruan itu hendak berdjabatan tangan untuk menjatakan kegembiraan masing2, tiba2 hidung mereka mengendus bau busuk kotoran. Menjusul terdengarlah suara seorang jang mirip gembreng petjah sedang membentak: “Ban Tjin-san, utangmu sepitjis padaku belasan tahun jang lalu, sekarang akan kau bajar kembali tidak?”

Tjepat Djik Tiang-hoat menoleh, maka tertampaklah ada seorang mendjingdjing satu ember kaju jang berisi air kotoran manusia sedang digebjurkan kearah Ban Tjin-san.

Gerak-gerik Djik Tiang-hoat sangat tjepat, segera ia tarik badju kulitnja jang pandjang itu hingga kantjing badju putus semua, menjusul badju itu lantas ditjopot dan setjepat kilat terus dipentang hingga mirip lajar dan dialangkan untuk menahan kotoran jang menghambur tiba itu. Bahkan ia terus dorongkan lajar badju itu kedepan hingga air kotoran itu berbalik hendak menjiram tuannja.

Tjepat orang itu lemparkan ember kotoran jang dilawannja sambil melompat kesamping. Maka terdengarlah suara gemerantang dan gedebukan, ember kaju itu bersama badjunja Tiang-hoat jang penuh kotoran itu djatuh kelantai semua hingga lantai pendopo itu berlumuran kotoran jang berbau batjin. Saking tak tahan, banjak tamu jang terpaksa mesti menekan hidung.

Ternjata orang itu penuh berewok jang pendek kaku, badannja tinggi besar, dengan gagah ia berdiri tegak sedang ter-bahak2 mengedjek: “Hahaha! Ban Tjin-san, djauh2 aku datang kemari untuk memberi selamat ulang tahunmu, karena tidak membawa kado apa2, hanja emas murni berlaksa tahil inilah jang bisa kupersembahkan!” Ia berkata sambil menuding “pisang goreng” dan “leleh kuning” jang penuh berserakan dilantai itu.

Karuan murid2 Ban Tjin-san jang berdjumlah delapan orang itu mendjadi murka. Masakah ruangan perdjamuan jang sudah dipadjang indah itu mendadak dikatjau orang hingga berbau busuk sedemikian rupa. Seketika mereka merubung madju hendak membekuk pengatjau itu untuk dihadjar setengah mati.

Namun Ban Tjin-san keburu membentak: “Berhenti semua!”

Mendengar perintah sang guru itu, kedelapan murid itu tidak berani membangkang. Terpaksa mereka berdiri ditempat masing2 dengan mengepal tangan. Murid kedua, Tjiu Kin, wataknja paling kasar, terus sadja ia memaki kalang kabut dari anaknja sampai kakek-mojang delapanbelas keturunan orang itu ditjatjinja habis2an.

Namun Ban Tjin-san telah dapat mengenali asal-usul siberewok itu, katanja: “E-eh, kukira siapa, tak tahunja adalah Lu-toatjetju dari Thayheng san jang telah sudi berkundjung kemari. Agaknja paling achir ini Lu toatjetju telah mendjadi orang kaja mendadak, emas intan dirumah sudah ber-lebih2an, maka selalu membawa pula untuk sangu setiap kali bepergian.”

Mendengar bahwa siberewok itu adalah Lu-toatjetju dari Thay-heng-san, para tamu jang hadir itu mendjadi gempar dan ramai membitjarakannja.

Kiranja siberewok itu bernama Lu Thong, seorang begal besar sangat lihay di Thay-heng-san, terutama kepandaiannja Liok-hap-to dan Liok-hap-kun sangat disegani kaum Kangouw di sekitar lembah Hongho.

Maka terdengarlah Lu Thong sedang berkata sambil mendjengek: “Hm, 10 tahun jang lalu, tatkala kami bersaudara sedang melakukan pekerdjaan biasa di kota Thaygoan, tapi ada orang jang diam2 telah melapor kepada jang berwadjib hingga usaha kami gagal. Bahkan saudaraku Lu Ho tertangkap dan djiwanja melajang. Dan barulah tiga tahun jang lalu aku dapat mengetahui bahwa pelapor jang budiman itu tak-lain-tak-bukan adalah engkau orang she Ban ini. Nah, bitjaralah betul tidak?”

“Betul! Memang akulah jang telah melaporkan perbuatan kalian itu,” sahut Tjin-san dengan tenang. “Kita orang Kangouw mentjari sesuap nasi dengan djalan merampok dan membegal masih dapat dimengerti. Tetapi saudaramu Lu Ho telah memperkosa anak gadis orang dan sekaligus membunuh empat orang tak berdosa. Hal ini biarpun siapa djuga akan murka, maka aku orang she Ban tidak bisa tinggal diam.”

Kembali para tamu gempar pula oleh keterangan itu. Be-ramai2 mereka memaki: “Bangsat jang terkutuk!” ~ “Perampok andjing, tangkap sadja dia!” ~ “Maling tjabul, berani kau berlagak kerumah Ban-loenghiong sini?”

Namun Lu Thong tidak menghiraukan makian orang banjak itu, mendadak ia melompat kedepan ruangan, ia ajun sebelah tangannja terus memotong keatas pilar, maka terdengarlah suara gemuruh, pilar kaju jang bulat tengahnja belasan senti itu telah dipatahkan olehnja hingga atap rumah itu ambruk sebagian, seketika debu pasir bertebaran diruangan itu.

“Ban Tjin-san, djika engkau benar2 laki2 sedjati, hajolah madju, mari kita tentukan siapa jang akan mati dan hidup!” terdengar Lu Thong berteriak menantang.

Melihat Lu Thong pamerkan kepandaiannja “Tiat-pi-kang” atau ilmu tangan badja, semua orang terkesiap. Mereka terbajang bagaimana djadinja kalau orang kena dihantam oleh pukulan sakti itu.

Namun Ban Tjin-san telah mendjawab dengan tertawa dingin: “Wah, sepuluh tahun tidak bertemu, ternjata kepandaian Lu-toa-tjetju sudah djauh lebih madju. Tjuma sajang manusia matjam kau ini, semakin tinggi kepandaianmu, semakin banjak kedjahatan jang kau lakukan. Meskipun orang she Ban sudah tua bangka djuga ingin minta peladjaran padamu.” ~ sembari berkata, dengan kalem terus sadja ia melangkah madju.

Tapi tiba2 diantara orang banjak itu menerobos keluar seorang pemuda bermata besar dan beralis tebal, diam2 pemuda itu mendekati belakangnja Lu Thong, sekali kedua tangannja bergerak, tjepat sekali ia gantol kedua tangan lawan sambil tangannja menjikap tengkuk orang. Bahkan pemuda itu terus berteriak: “Kau telah bikin kotor badju baru guruku, lekas kau memberi ganti!”

Ternjata pemuda itu adalah Tik Hun, murid tunggal Djik Tiang-hoat.

Segera Lu Thong pentang lengannja dengan maksud hendak mementalkan pemuda jang menjingkapnja dari belakang itu, namun sia2 sadja usahanja, tak terduga olehnja bahwa dasar tenaga pembawaan Tik Hun teramat hebat, apalagi dengan mati2an pemuda itu menjikap sekuatnja.

Untuk menjerang pemuda itu dengan Tiat-pi-kang jang lihay itu terang tidak dapat, sebab pukulan itu harus dilontarkan kedepan atau kesamping, tapi Tik Hun kini menjikapnja dari belakang. Dalam keadaan kepepet dan gusar, mendadak tangan kanan Lu Thong merogoh keselangkangan Tik Hun sambil membentak: “Lepaskan tidak!”

Karuan Tik Hun kaget, kalau serangan musuh kena sasarannja, kan bisa kelengar dia. Terpaksa ia melepaskan musuh.

Lu Thong ternjata sangat tjekatan, begitu terlepas dari sikapan lawan, sekali putar tubuh, kontan ia menghantam dengan tipu “Oh-liong-tam-hay” atau naga hitam masuk kelaut, dada Tik Hun jang diintjar.

Namun Tik Hun sempat melompat mundur sambil berseru: “Aku tidak ingin berkelahi dengan kau. Tapi badju guruku jang baru itu telah kau bikin kotor, badju itu baru pertama kali ini dipakai, kau harus ganti..........”

“Anak dogol mengotjeh apa2an?” bentak Lu Thong dengan gusar.

Tapi Tik Hun tetap tidak mau terima, ia menubruk madju pula sambil berteriak lagi: “Kau mau ganti atau tidak?”

Sebagai anak tani umumnja, ia paling sajang terhadap setiap harta-benda berasal dari hasil keringatnja sendiri itu. Ia lihat badju baru sang guru jang diperolehnja dengan mendjual sampi piaraannja, tapi kini telah dibikin kotor begitu rupa, karuan sadja ia sangat gegetun. Iapun tidak peduli ada perselisihan apa diantara Lu Thong dan Ban Tjin-san, jang dia pikir tjuma badju baru sang guru itu harus mendapat ganti.

“Harap mundur, Tik-hiantit, badju gurumu itu biar nanti aku jang ganti!” segera Tjin-san membudjukinja.

“Tidak, dia jang harus mengganti, kalau dia nanti menggelojor pergi dan engkau djuga tidak mengaku utang, kan rugi Suhu,” demikian kata Tik Hun. Sambil berkata, kembali ia hendak mendjambret dada Lu Thong.

Sudah tentu Lu Thong tidak gampang lagi dipegang, “blang”, kontan Tik Hun malah kena digendjot sekali didadanja hingga pemuda itu ter-hujung2 hampir roboh.

“Hiantit mundur sadja!” seru Tjin-san pula, nadanja sudah agak keras.

Namun Tik Hun sudah kadung kesakitan, matanja mendjadi merah, bentaknja kepada Lu Thong: “Kau tak mau ganti badju orang, sekarang malah menghantam orang pula, kau tahu aturan tidak?”

“Huh, mau apa kalau kuhadjar anak dogol matjammu?” sahut Lu Thong tertawa.

“Akupun balas hadjar kau!” bentak Tik Hun sambil dojongkan tubuhnja kedepan sedikit, tapak tangan kiri pura2 memotong miring, tahu2 tapak tangan kanan jang menjodok kedepan dari bawah.

Lu Thong rada heran djuga, pikirnja: “Ilmu pukulan anak dogol ini masih boleh djuga.” ~ Segera iapun keluarkan silatnja untuk balas menjerang.

Serang-menjerang kedua orang dilakukan tjepat lawan tjepat, maka dalam sekedjap sadja sudah berlangsung belasan djurus.

Sedjak ketjil Tik Hun mendapat didikan Djik Tiang-hoat, setiap hari selalu berlatih dengan sang Sumoay, jaitu Djik Hong, maka pengalamannja dalam hal bertempur sudah banjak baginja. Karena itu, meski Lu Thong adalah seorang tokoh kalangan bandit jang lihay, untuk sesaat djuga takbisa mengalahkan pemuda itu. Beberapa kali Lu Thong mengeluarkan Tiat-pi-kang untuk memukul, namun selalu dapat dihindarkan Tik Hun dengan gesit, dua kali pundak pemuda itu kena digebuk olehnja, namun dasar kekar kuat dan keras tulang Tik Hun, maka dianggap sepi sadja hantaman2 itu.

Setelah beberapa djurus pula, Lu Thong mendjadi gopoh, ia pikir djauh2 dirinja datang kemari hendak membalas sakit hati, tapi seorang muda kerotjo pihak lawan sadja tak mampu merobohkannja, kalau kedjadian ini tersiar, kemana mukanja harus disembunjikan?

Segera Lu Thong ganti ilmu pukulannja, tiba2 ia tjampurkan Kau-kun dan lain2 gaja pukulan kedalam Liok-hap-kun kebanggaannja itu. Ia mentjakar, meraup, meraih, menarik dan menendang; lalu ditambah lagi dengan gaja kutjing andjlok, andjing lari, kelintji mentjolot, elang mabur, kuda mendepak dan gaja lain2nja jang serba aneh dan lutju perubahannja.

Karuan Tik Hun bingung karena tidak pernah menjaksikan permainan silat aneh itu, ber-ulang2 ia kena didepak dua kali dipahanja.

Melihat pemuda itu sudah pasti bukan tandingan musuh, kembali Ban Tjin-san membentak lagi: “Mundurlah Tik-hiantit, engkau takdapat menangkan dia!”

Namun watak Tik Hun sangat bandel, teriaknja: “Takbisa menang djuga mesti lawan dia!”

Tapi “blang”, kembali dadanja kena digendjot sekali lagi.

Menjaksikan sang Suko berulang kali dihadjar musuh, Djik Hong mendjadi ikut kuatir, segera iapun berseru: “Suko, berhentilah kau, biar Ban-supek jang bereskan keparat itu!”

Akan tetapi Tik Hun masih terus menjeruduk madju dengan mati2an sambil mem-bentak2: “Aku tidak takut, aku tidak takut!”

“Tjrot”, batang hidung Tik Hun tepat kena ditojor musuh, karuan sadja terus keluar ketjapnja.

Ban Tjin-san mengkerut kening melihat kebandelan pemuda itu, katanja kepada Djik Tiang-hoat: “Sute, dia tidak mau menurut perintahku, harap engkau suruh dia mundur.”

“Biar, dia tahu rasa dulu, sebentar aku jang madju untuk melajani Djay-hoat-toa-tjat (badjingan perusak wanita) itu!” sahut Tiang-hoat.

Pada saat itulah tiba2 dari luar berdjalan masuk seorang pengemis tua jang bermuka kotor, badju dekil dan rambut kusut, sebelah tangannja membawa sebuah mangkok butut, tangan lain memegang tongkat bambu dengan suaranja jang serak2 lemah sedang me-minta2: ““Kasihan, tuan! Harini tuan besar ada hadjat, sudilah memberi sedekah barang sesuap nasi!”

Tapi karena perhatian semua orang sedang ditjurahkan untuk mengikuti pertarungan Tik Hun jang mati2an sedang melawan Lu Thong, maka tiada seorangpun jang gubris pada pengemis tua itu

“Kasihlah, tuan! Hamba sudah kelaparan. Kasihlah tuan!” demikian pengemis itu me-rintih2 pula sambil madju lebih dekat.

Se-konjong2 pengemis itu terpeleset oleh kotoran jang berlumuran dilantai itu, ia mendjerit dan djatuh kedepan, tangannja kelabakan se-akan2 dipakai menahan kelantai, dan karena itu mangkok dan tongkat bambu jang dipegangnja itu ikut mentjelat dari tjekalannja.

Aneh djuga dan setjara sangat kebetulan, mangkok itu dengan tepat kena timpuk di “Tji-sit-hiat” ditengkuk Lu Thong, sedangkan tongkat bambu itu djuga menutuk “Kiok-tjoan-hiat” dibalik lutut.

Seketika Lu Thong merasa kakinja mendjadi lemas dan tekuk lutut kelantai, berbareng antero tubuhnja terasa linu pegal se-akan2 kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak di-sia2kan oleh Tik Hun, kedua kepalannja bekerdja susul-menjusul, “blang-bleng” dua kali, badan Lu Thong segede kerbau itu kena dihantam mentjelat dan tepat djatuh tengkurap ketengah petjomberan jang dibawanja sendiri tadi.

Perubahan itu sungguh diluar dugaan siapapun djuga hingga semua orang ternganga heran. Sementara itu Lu Thong telah merangkak bangun dengan malu, tanpa menghiraukan lagi badannja jang bersemir “emas” itu, dengan sipat kuping ia berlari pergi.

Semua tetamu ter-bahak2 geli, be-ramai2 merekapun mem-bentak2: “Tangkap dia. Djangan lepaskan!” ~ “Tjegat badjingan itu, tangkap!”

Sudah tentu gemboran orang2 itu hanja sebagai gertakan belaka, tapi Tik Hun sangka sungguh2, iapun ikut berteriak: “Bangsat, ganti dulu badju guruku!” ~ Sembari berteriak, terus sadja ia hendak mengedjar benar2.

Tapi baru dua langkah, tiba2 lengannja terasa dipegang orang dengan kuat hingga takbisa berkutik. Waktu berpaling, ia lihat orang jang memegangnja itu adalah sang guru.

“Kemenanganmu hanja setjara kebetulan, masih kau hendak mengedjar apa?” kata Djik Tiang-hoat.

Djik Hong lantas keluarkan saputangannja untuk mengusap darah dimuka Tik Hun. Ketika melihat badju baru sendiri djuga penuh berlepotan darah, Tik Hun mendjadi kuatir, serunja: “Wah, tjialat, badjuku djuga kotor!”

Dalam pada itu sipengemis tua tadi tampak sedang berdjalan keluar sambil mengomel: “Minta nasi tidak dapat, malahan kehilangan mangkok!”

Tik Hun tahu sebabnja bisa menangkan Lu Thong tadi adalah berkat djatuhnja pengemis itu. Maka tjepat ia merogoh keluar segenggam mata uang, ia lari mendekati pengemis itu dan taruh uangnja ditangan sipengemis.

“Terima kasih, terima kasih!” kata pengemis itu sambil berdjalan pergi.

Malamnja Ban Tjin-san mengadakan perdjamuan makan besar2an untuk menghormati tamu jang datang dari berbagai tempat.

Ditengah perdjamuan sudah tentu banjak orang membitjarakan kedjadian lutju disiang hati itu. Semuanja menjatakan redjeki Tik Hun sangat baik, sudah terang akan kalah, kebetulan datang seorang pengemis dan djatuh terpeleset hingga perhatian Lu Thong terkatjau dan kena dirobohkan Tik Hun.

Ada pula jang memudji njali Tik Hun sangat besar, meski semuda itu, namun sudah berani menempur berpuluh djurus melawan seorang tokoh terkemuka seperti Lu Thong itu. Sudah tentu ada djuga jang menjatakan kemenangan siang tadi adalah berkat Hokkhi tuan rumah jang pandjang umur, kalau tidak, masakah begitu kebetulan datang seorang pengemis dan terpeleset djatuh, lalu musuh dapat dienjahkan.

Dan karena semua orang ramai membitjarakan kemenangan Tik Hun itu, dengan sendirinja membikin kedelapan muridnja Ban Tjin-san merasa risih. Kedatangan Lu Thong itu sebenarnja hendak menuntut balas kepada Ban Tjin-san, tapi anak murid keluarga Ban tidak madju, sebaliknja seorang murid Susiok jang ke-tolol2an model anak desa itu telah madju dan melabrak musuh. Diam2 hati kedelapan murid Ban Tjin-san itu sangat mendongkol, tapi toh tidak terlampiaskan.

Kedelapan murid Ban Tjin-san itu menurut urut2an masing2 bernama Loh Kun, Tjiu Kin, Ban Ka, Sun Kin, Bok Heng, Go Him, Pang Tan dan Sim Sia. Maka sesudah Ban Tjin-san sendiri menjuguhkan arak kepada para tetamu, kemudian bergiliran anak muridnja jang menjuguhkan arak kepada tetamu2 itu semedja demi semedja.

Murid ketiga jang bernama Ban Ka itu adalah puteranja Ban Tjin-san sendiri. Ia berperawakan djangkung, mukanja agak kurus, tapi tjakap hingga mirip seorang pemuda hartawan, berbeda seperti Toasuheng dan Djisuhengnja jang lebih gagah dan kekar.

Setiba kedelapan murid Ban Tjin-san itu dimedjanja Djik Tiang-hoat, habis mereka menjuguhkan arak kepada sang Susiok, kemudian gilirannja Tik Hun menerima suguhan mereka.

Kata Ban-ka: “Harini Tik-suheng telah banjak berdjasa bagi ajahku, maka sebagai penghormatan, Tik-suheng harus menerima suguhan kami berdelapan masing2 setjawan!”

Dasarnja Tik Hun memang tidak biasa minum arak, djangankan delapan tjawan, biarpun setjawanpun sudah tjukup membuatnja sinting. Tjepatan sadja ia gojang2 kedua tangannja sambil berseru: “Tidak, tidak, aku tidak biasa minum!”

“Siang tadi ajahku berulang tiga kali suruh Tik-suheng mundur. Tapi Tik-suheng sama sekali tidak gubris, anggap suara ajahku seperti angin lalu sadja, sekarang Tik-suheng tidak sudi pula menerima arak suguhan kami, bukankah engkau terlalu memandang hina kepada keluarga Ban?”

Tik Hun mendjadi bingung, sahutnja gelagapan: “Aku...... aku ti....... tidak ....”

Mendengar nada utjapan Ban Ka itu rada tidak benar, tjepat Tiang-hoat menjela: “Hun-dji, minumlah arak mereka!”

“Tapi..........tapi aku tidak biasa,” sahut Tik Hun.

“Minum!” kata Tiang-hoat pula dengan suara tertahan.

Terpaksa Tik Hun menerima suguhan mereka, seorang setjawan hingga genap delapan tjawan. Karuan mukanja mendjadi merah seketika bagai kepiting rebus, telinganja men-denging2 dan pikiran kabur...............

Malam itu dalam keadaan lajap2 diatas tempat tidurnja, Tik Hun merasa dada, pundak, paha, tempat2 jang terkena pukulan dan tendangan Lu Thong itu, semuanja terasa bengkak kesakitan.

Sampai tengah malam, tiba2 terdengar suara orang mengetok daun djendela dan suara orang memanggil: “Tik-suheng, Tik-suheng!”

“Siapa?” tjepat Tik Hun terdjaga bangun.

“Siaute adalah Ban Ka, ada sesuatu ingin kubitjarakan dengan Tik-suheng, harap keluar,” demikian sahut orang diluar djendela.

Tik Hun tertegun sedjenak, lalu iapun bangkit dari tempat tidurnja dan mengenahkan badju serta sepatu. Waktu ia membuka djendela, tertampaklah diluar sudah berdiri delapan orang berdjadjar, setiap orangnja menghunus pedang. Itulah kedelapan muridnja Ban Tjin-san.

“Ada apakah memanggil aku?” tanja Tik Hun dengan heran.

“Sebab kami ingin beladjar kenal dengan ilmu pedang Tik-suheng,” sahut Ban Ka dengan djemawa.

“Tapi aku sudah dipesan Suhu agar djangan bertanding dengan anak muridnja Ban-supek,” kata Tik Hun.

“Ha, rupanja Djik-susiok tahu diri djuga,” djengek Ban Ka.

“Tahu diri, apa maksudmu?” tanja Tik Hun dengan gusar.

“Sret-sret-sret”, se-konjong2 Ban Ka melontarkan tiga kali tusukan, udjung pedangnja selalu menjambar lewat ditepi pipi Tik Hun, selisihnja tiada satu senti djauhnja. Tik Hun merasakan pipinja dingin2 silir, ia terkedjut dan sikapnja agak lutju. Karuan anak murid Ban Tjin-san jang lain ter-kekeh2 geli.

Tik Hun naik darah djuga achirnja. Tanpa pikir lagi ia samber pedang jang tergantung didinding dan melompat keluar djendela. Ia lihat kedelapan murid paman gurunja itu berwadjah djahat semua, diam2 ia mendjadi ragu2 lagi, teringat pula pesan Suhunja agar djangan sekali2 tjetjok dengan anak murid Supek. Maka dengan heran iapun menegur: “Sebenarnja kalian mau apa?”

“Tik-suheng,” kata Ban Ka sambil sabetkan pedangnja keudara hingga mengeluarkan suara mendengung, “harini kau sengadja menondjolkan diri, apa barangkali kau sangka keluarga Ban kami sudah kehabisan orang atau kau anggap tiada seorang pun diantara keluarga Ban jang lebih pandai daripada engkau?”

Hlm. 19: Gambar:
“Hajo, madjulah anak desa!” edjek Ban Ka.
Tanpa bitjara lagi pedang Tik Hun terus menusuk.

Tik Hun menggeleng kepala, sahutnja: “Aku hanja minta ganti kerugian kepada bangsat jang telah bikin kotor badju baru Suhuku itu, ada sangkut-paut apa dengan kau?”

“Hm, dihadapan para tamu kau telah djundjung tinggi namamu dan memperoleh pudjian hingga kami berdelapan saudara kehilangan muka, djangankan lagi hendak mentjari makan dikangouw, sekalipun dikota Hengtjiu ini djuga nama kami sudah rusak. Tjoba, perbuatanmu harini itu tidakkah keterlaluan?”

Tik Hun mendjadi heran, sahutnja bingung: “Mengapa bisa begitu? Aku.......... aku tidak tahu.” ~ Pemuda tani seperti dia sudah tentu ia tidak mengarti seluk-beluk alasan orang.

Loh Kun, itu murid tertua dari Ban Tjin-san, mendjadi tidak sabar, katanja: “Samsute, botjah ini pura2 dungu, buat apa banjak bitjara dengan dia? Berikan sadja hadjaran padanja!”

Terus Ban Ka menusukan pedangnja kearah pundak kirinja Tik Hun. Namun Tik Hun tahu serangan itu tjuma pura2 sadja, maka diantapi sadja tanpa bergerak dan tidak menangkis.

Benar djuga Ban Ka lantas menarik kembali pedangnja. Tapi ia mendjadi gusar karena maksudnja diketahui lawan, bentaknja: “Bagus, djadi engkau tidak sudi bergebrak dengan aku ja?”

“Suhu telah pesan agar djangan tjetjok dengan anak muridnja Supek,” sahut Tik Hun.

“Bret”, se-konjong2 Ban Ka menusuk pula dan sekali ini telah kena lengan badju Tik Hun hingga sobek satu lubang pandjang.

Sebagai pemuda tani jang hidupnja sederhana dan hemat, maka terhadap setiap harta bendanja Tik Hun selalu mendjaganja dengan baik, terutama badju barunja jang baru dibikin dan baru pertama kali ini dipakai, tapi kini telah dirobek orang, karuan ia mendjadi naik darah djuga. “Kau berani merusak badjuku? Hajo, kau harus ganti!” bentaknja tak tahan lagi.

Namun Ban Ka mendjawabnja dengan tertawa dingin sambil menusuk pula dengan pedangnja kelengan badju jang lain. Tjepat Tik Hun menangkis dengan pedangnja. “Trang”, ia sampok tusukan lawan, menjusul iapun balas menjerang.

Dan sekali kedua pemuda itu sudah mulai bergebrak, segera tertjadilah tjepat lawan tjepat. Ilmu pedang jang dipeladjari kedua orang itu berasal dari satu sumber jang sama, setelah belasan djurus lagi, semangat tempur Tik Hun semakin kuat, setiap serangannja selalu mengintjar tempat bahaja ditubuh Ban Ka.

Melihat itu, Tjiu Kin mendjadi kuatir, serunja: “Hai! Apa kau benar2 hendak mengadu djiwa? Samsute, tidak perlu lagi kau sungkan2!”

Tik Hun terkesiap oleh teguran itu, pikirnja: “Ja, pabila ketelandjur aku membunuh dia, kan bisa runjam!” ~ Karena pikiran itu, daja serangannja mendjadi kendor.

Sebaliknja Ban Ka mendapat hati malah, disangkanja Tik Hun mulai kewalahan, ia mentjetjar semakin tjepat dengan serangan2 bagus dan lihay.

Ber-ulang2 Tik Hun terdesak mundur, bentaknja: “Hai, aku tidak berkelahi sungguh2 dengan kau, tapi mengapa engkau begini?”

“Begini apa? Aku ingin melubangi dadamu, tahu?” sahut Ban Ka, tiba2 pedangnja menusuk pula dengan tjepat.

Sambil mengegos, Tik Hun melihat kesempatan baik, tjepat pedangnja membalik terus menabas. Kalau tabasan itu benar2 diteruskan, pundak Ban Ka pasti akan terkupas, namun Tik Hun telah ajun pedangnja dengan membudjur, “plak”, pundak Ban Ka hanja digeblak sadja sekali dengan batang pedang.

Dengan kedjadian itu Tik Hun anggap kalah-menang sudah terang, tentu Ban Ka akan mundur teratur, sebab biasanja kalau dia sedang latihan dengan Sumoay, Djik Hong,

Asal salah seorang kena tersenggol sendjata lawan, selesailah sudah pertandingan itu.

Tapi Ban Ka tidak mau peduli, dari malu ia mendjadi kalap malah, mendadak ia menusuk pula. Karena tidak ber-djaga2, “tjrat”, Tik Hun merasa pahanja kesakitan sekali.

Maka bersoraklah Loh Kun, Tjiu Kin dan lain2, mereka meng-olok2: “Nah, robohlah sekarang anak desa!” ~ “Hajo, minta ampun tidak?” ~ “Huh, murid anak kampung adjaran Djik-susiok tidak lebih tjuma beberapa djurus tjakar-kutjing seperti ini sadja !”

Memangnja Tik Hun sudah gusar karena dilukai, mendengar nama Suhunja dihina pula, karuan seperti api disiram minjak, dengan murka ia putar pedangnja menjerang serabutan.

Melihat Tik Hun mengamuk seperti banteng ketaton, Ban Ka mendjadi djeri malah. Sedjak ketjil ia sangat dimadjakan orang tua, meski ilmu pedangnja terlatih dengan bagus, namun menghadapi pertarungan sengit begitu, betapapun belum pernah dialaminja. Dan karena bingungnja itu, permainan pedangnja mendjadi katjau.

Diantara murid2 Ban Tjin-san itu, Bok Heng adalah jang paling tjerdik. Melihat Samsuhengnja ketjetjar, segera ia djemput sepotong batu dan menimpukan sekuatnja kepunggung Tik Hun. “Plok”, Tik Hun jang lagi pusatkan perhatiannja untuk merangsak Ban Ka, punggungnja mendjadi kesakitan tertimpuk batu itu. Ia menoleh sambil memaki: “Tidak tahu malu! Main membokong, huh!”

“Ada apa? Kau bilang apa?” Bok Heng berlagak pilon.

Namun Tik Hun sudah nekad, ia pikir biarpun mereka berdelapan madju semua djuga ia akan lawan mati2an untuk mendjaga nama baik gurunja. Saking kalapnja permainan Tik Hun mendjadi tak karuan. Namun kesempatan itu tidak berani digunakan Ban Ka untuk menjerang.

Tiba2 Bok Heng mengedipi Laksute Go Him, katanja: “Ilmu pedang Samsuheng terlalu hebat, anak desa ini sudah kewalahan, kalau djiwanja sampai melajang, tentu kita akan dimarahi Djik-susiok, marilah kita berdua madju untuk mendjaga segala kemungkinan!”

Go Him paham maksud Gosuhengnja itu, sahutnja: “Benar, kita harus hati2, djangan sampai pedang Samsuheng mentjelakai anak kampung itu.”

Berbareng mereka terus melompat madju, tapi pedang mereka terus menusuk Tik Hun dari kanan-kiri

Memangnja ilmu pedang Tik Hun tidak banjak lebih unggul daripada Ban Ka, tjuma ia merangsak dengan mati2an, maka Ban Ka terdesak. Tapi kini dikerojok Bok Heng dan Go Him pula, dengan satu lawan tiga, tentu sadja ia kerepotan, segera paha jang lain tertusuk lagi. Luka sekali ini sangat berat, ia takbisa berdiri tegak lagi dan djatuh terduduk, namun pedangnja masih terus dilantjarkan.

Tiba2 Lok Kun mendengus, sekali kakinja melajang, pedang Tik Hun kontan terpental dari tjekalan. Terus sadja Ban Ka antjam tenggorokan Tik Hun dengan udjung pedangnja, sedang Bok Heng dan Go Him ter-bahak2 sambil melompat mundur.

“Sekarang aku takluk tidak, anak desa?” tanja Ban Ka dengan senang.

“Takluk kentutmu!” semprot Tik Hun. “Kalian berempat mengerojok aku, terhitung orang gagah matjam apa?”

“Kau masih berani mengotjeh?” teriak Ban Ka dengan gusar sambil surung sedikit pedangnja hingga udjungnja masuk beberapa mili didaging leher Tik Hun. “Hm asal sedikit kutusukkan lagi, tenggorokanmu seketika akan putus!”

“Tusuklah, tusuklah lekas, kalau tidak berani, kau sendiri adalah anak kura2,” seru Tik Hun.

Karuan Ban Ka semakin murka, mendadak ia tendang perut Tik Hun sambil memaki: “Mulutmu masih berani kotor tidak?”

Tendangan itu membuat isi perut Tik Hun se-akan2 terdjungkir balik, hampir2 ia mendjerit, namun ia bertahan sedapat mungkin dan tetap memaki: “Haram djadah, anak kura2!”

Kembali Ban Ka menendang pula, sekali ini kena pilingan Tik Hun hingga matanja ber-kunang-kunag, hampir2 djatuh kelengar. Ia hendak memaki lagi, namun mulutnja sudah tak kuasa lagi.

“Biarlah harini kuampuni kau, bolehlah kau pergi lapor kepada gurumu, katakanlah kami mengerojok dan menghadjar kau! Hm, matjammu pasti djuga akan pakai menangis segala!” kata Ban Ka.

“Menangis apa?” seri Tik Hun. “Seorang laki2 kalau mau membalas sakit hati, harus dikerdjakan oleh tangan sendiri, buat apa mesti lapor guru?”

Memang Ban Ka sangat mengharapkan utjapan seperti itu dari Tik Hun, kembali ia memantjing: “Atau kutambahi sedikit tanda dimukamu, biar gurumu jang akan tanja padamu.” ~ Berbareng ia ajun kakinja lagi menendang mukanja Tik Hun, kontan sadja mukanja matang-biru dan air mata hampir menetes.

“Haha, katanja laki2 segala, begitu sadja sudah menangis! Laki2 telah berubah mendjadi wanita!” sindir Bok Heng dengan tertawa.

Hampir meledak dada Tik Hun saking gusarnja. Tempo hari waktu Bok Heng bertamu kerumah gurunja, Tik Hun telah membelikan arak dan sembelihkan ajam, tapi pembalasannja sekarang ternjata begitu kedji.

“Nah, kau takbisa menangkan aku, boleh djuga kau laporkan kepada ajahku agar ajah memarahi aku untuk melampiaskan rasa dendammu ini,” kata Ban Ka.

“Huh, kau sangka semua orang pengetjut seperti kau hingga mesti mengadu-biru kepada orang tua?” sahut Tik Hun.

Ban Ka saling pandang dengan Loh Kun dan Bok Heng, mereka merasa sudah tjukup melampiaskan dongkol mereka harini, segera Ban Ka masukan pedangnja dan berkata pula: “Anak desa, kalau kulitmu tjukup tebal dan ingin dihadjar pula, boleh kau datang kesini lagi besok malam. Sekarang tuan muda ingin pulang tidur dulu!”

Sambil memandangi bajangan kedelapan orang itu, hati Tik Hun mendjadi gusar dan gemas, tapi tidak mengarti pula sebab apakah mereka telah menghadjarnja begitu rupa? Apa barangkali semua orang kota memang djahat begini?

Ia tjoba merangkak bangun, tapi terasa pujeng kepalanja, kembali ia terduduk.

“Ai, kalau tidak bisa melawan orang, seharusnja lekas mendjura dan minta ampun, tapi kalau dihadjar mentah2 seperti ini, bukankah sangat penasaran?” tiba2 suara seorang menggerundel dibelakangnja.

Tik Hun mendjadi gusar, teriaknja: “Biarpun dipukul mati orang, tidak nanti aku mendjura dan minta ampun!” ~ Waktu ia menoleh, ia lihat seorang tua sedang mendekatinja sambil mem-bungkuk2. Segera dapat dikenalnja sebagai pengemis tua siang tadi.

“Ai, kalau sudah tua, entjok dipunggung selalu kumat sadja,” demikian pengemis itu mengomel pula. “Eh, anak muda, maukah kau memidjat punggungku ini?”

Memangnja rasa dongkol Tik Hun lagi belum terlampiaskan, masakah kini disuruh memidjat seorang pengemis tua jang kotor? Namun karena wataknja peramah, maka permintaan pengemis itu tak digubrisnja.

“Ai, dasar orang tidak punja anak-tjutju, sesudah tua, tiada seorangpun jang sudi memperhatikan aku, oh........uh........” sambil me-rengek2 pengemis itupun bertindak pergi.

Watak Tik Hun memang polos dan welas asih, ia lihat pengemis itu menggigil sangat menderita. Apalagi orang desa sangat mengutamakan gotong-rojong, saling bantu-membantu kalau ada kesukaran, ditambah lagi barusan dirinja habis dihadjar orang, maka timbul djuga rasa senasib dan sependerita. Segera serunja: “Oi, aku masih punja beberapa pitjis, ambillah ini untuk membeli nasi!”

Dengan ber-ingsut2 pengemis itu mengesak kembali untuk menerima pemberian Tik Hun itu, tiba2 katanja pula: “Anak muda, punggungku benar2 entjok, sudilah engkau meng-ketuk2nja?”

Kurangadjar, pikir Tik Hun, sudah dikasih hati, ingin merogoh rempelu pula. Tapi dasarnja dia memang ramah, segera katanja: “Baiklah, tunggu dulu aku membalut luka dikakiku ini.”

“Huh, kau tjuma pikirkan kepentingan sendiri dan tidak peduli urusan orang lain, terhitung orang gagah matjam apa?” djengek pengemis itu.

Karena pantjingan kata2 itu, terus sadja Tik Hun berseru: “Baiklah, sekarang djuga aku ketuk punggungmu.”

Lalu mereka berduduk dan Tik Hun memukuli entjok dipunggung sipengemis tua.

“Ehm, enaknja, hajolah keras sedikit!” kata pengemis itu.

Tik Hun menurut, ia memukul sedikit keras. Tapi pengemis itu merasa kurang keras pula, segera Tik Hun tambahi tenaganja.

Namun pengemis itu masih belum puas, katanja: “Ai, anak jang tak berguna. Baru sadja dihadjar orang begitu sudah kehilangan tenaga, tjuma mengetuk punggung orang tua sadja tidak kuat. Huh, orang begini buat apa lagi hidup dunia ini?”

Tik Hun mendjadi gusar, katanja: “Kalau kukeluarkan tenaga, mungkin beberapa kerat tulangmu jang sudah lapuk ini bakal berantakan!”

“Kalau engkau beanr2 mampu meremukan tulangku jang lapuk ini, tentu kau takkan kena dihadjar orang seperti tadi,” udjar sipengemis dengan tertawa.

Dengan mendongkol benar2 Tik Hun mengetuk se-keras2nja.

“Nah, beginilah baru mendingan! Tapi toh masih kurang!”

“Blang”, mendadak Tik Hun menghantam keras2.

“Ah, masih kurang, masih kurang keras, pertjuma!” kata sipengemis dengan tertawa.

“Djangan engkau bergurau, Laupek, aku tidak ingin melukai engkau,” udjar Tik Hun.

“Hm, matjammu djuga mampu melukai aku?” djengek sipengemis. “Kenapa kau tidak tjoba2 hantam aku sepenuh tenagamu....”

Dengan dongkol segera Tik Hun kerahkan tenaga ditangan kanan terus hendak menggebuk kepunggung orang, tapi demi nampak keadaan pengemis itu sudah lojo, ia mendjadi tidak tega, katanja: “Ah, buat apa main2 dengan kau.” ~ Lalu perlahan pula ia mengetuk punggung orang.

Diluar dugaan, entah mengapa mendadak tubuhnja terpental, “bluk”, ia terbanting ke-semak2 rumput sana hingga kepala pujeng dan mata ber-kunang2, sampai lama baru ia sanggup merangkak bangun. Namun Tik Hun tidak marah, sebaliknja ia ter-heran2, ia pandang si pengemis itu dengan tertjengang. Tanjanja kemudian: “Apakah........apakah engkau jang membanting aku?”

“Disini toh tiada orang ketiga, kalau bukan aku, siapa lagi?” sahut pengemis itu.

“Dengan tjara bagaimana engkau membanting aku?”

“Dengan djurus ‘Ki-thau-bong-beng-goat, keh-thau-su-ko-hiang’ (mendongak memandang rembulan, menunduk merindukan kampung halaman)!” sahut sipengemis.

“Aneh, bukankah itu adalah djurus ilmu pedang jang diadjarkan Suhu kepadaku, dari.........darimana engkau tahu?”

“Ilmu pukulan atau ilmu pedang semuanja sama. Lagipula tjara mengadjar gurumu itu hakikatnja salah,”

Tik Hun mendjadi gusar: “Manabisa guruku salah? Hm, pengemis tua seperti kau djuga berani mentjela guruku?”

“Habis, bila memang benar adjaran gurumu, mengapa kau dihadjar orang?”

“Aku dikerojok, dengan sendirinja kewalahan. Tjoba kalau satu-lawan-satu, masakan aku kalah?”

“Hahaha!” sipengemis tertawa. “Berkelahi masakah pakai aturan segala? Biar kau ingin ‘main single’, kalau musuh tidak mau, kau bisa berbuat apa? Achirnja kau tentu dihadjar setengah mati hingga minta ampun. Tapi kalau seorang diri dapat mengalahkan sepuluh atau duapuluh orang, itulah baru gagah.”

Benar djuga, pikir Tik Hun, tapi katanja pula: “Mereka adalah anak murid Supek, kepandaian Kiam-hoat mereka tidak banjak selisih daripada aku, aku dikerojok delapan orang, sudah tentu aku kalah.”

“Umpama aku adjarkan beberapa djurus agar engkau seorang dapat mengalahkan mereka berdelapan, kau mau beladjar tidak?”

“Mau, mau!” seru Tik Hun kegirangan. Tapi lantas terpikir olehnja didunia ini masakah ada kepandaian sehebat itu, apalagi pengemis ini sudah tua dan kotor, tidak mirip seorang berilmu.

Tengah ia ragu2, se-konjong2 tubuhnja terpental lagi, sekali ini sampai berdjumpalitan dua kali diudara hingga mentjelat lebih tinggi barulah kemudian terbanting kebawah terlebih keras. Masih Tik Hun berusaha hendak menahan dengan tangannja, hampir2 ruas tulangnja keseleo. Ketika merangkak bangun, sakitnja tak terkatakan. Tapi girangnja dalam hatipun tak terhingga, serunja: “Laupepek, aku.......... aku ikut beladjar padamu.”

“Harini biar kuadjarkan beberapa djurus padamu, besok malam kau berkelahi lagi dengan mereka disini, kau berani tidak?” tanja pengemis itu.

Tik Hun ragu-ragu, hanja beladjar beberapa djurus dalam waktu singkat apa tjukup berguna? Tapi demi terpikir akan berkelahi lagi dengan Ban Ka dan kawan2nja, semangatnja mendjadi ber-kobar2, kontan djawabnja: “Berani, mengapa tidak berani? Paling banjak aku akan dihadjar lagi oleh mereka, kenapa mesti takut?”

Se-konjong2 sipengemis tua mentjengkeram tengkuk Tik Hun dan membantingnja ketanah sambil memaki: “Anak geblek! Sesudah kuadjarkan ilmu silat padamu, masakan engkau akan kena dihadjar mereka lagi? Djadi kau tidak pertjaja pada kemampuanku, ja?”

Meski sangat kesakitan karena dibanting, namun Tik Hun bertambah girang, sahutnja tjepat: “Ja, ja, memang salahku. Hajolah lekas engkau adjarkan padaku!”

“Kau pernah beladjar Kiam-hoat, tjoba pertundjukan dulu kepadaku, sebutkan sekalian nama djurus2nja.”

“Baik,” sahut Tik Hun. Ia menemukan kembali pedangnja jang terpental tadi, lalu memainkan djurus2 adjaran Djik Tiang-hoat sambil mengutjapkan kalimat2 setiap djurus ilmu pedangnja.

Sedang Tik Hun asjik memutar pedangnja, tiba2 terdengar pengemis tua itu ketawa ter-bahak2. Tik Hun mendjadi heran dan berhenti, tanjanja: “Ada apa? Barangkali permainanku salah?”

Namun pengemis itu tidak mendjawab, sebaliknja ia masih tertawa sambil pegang perutnja hingga menungging saking gelinja.

Mau-tak-mau Tik Hun mendjadi dongkol, katanja: “Seumpama permainanku salah, toh djuga tidak perlu ditertawai.”

Mendadak pengemis itu berhenti ketawanja, katanja dengan gegetun: “Ai, Djik Tiang-hoat, djerih-pajahmu ini memang baik djuga maksudnja, tjuma sajang terlalu tjetek sekolahmu, maka telah salah tampa.”

“Suhuku adalah petani, memangnja tidak banjak huruf jang dikenal, apanja jang mesti ditertawai?” udjar Tik Hun.

“Tjoba pindjamkan pedangmu,” pinta sipengemis.

Tik Hun sodorkan pedangnja. Dan sesudah memegang pedang, pelahan2 pengemis itu menjebut: ‘Koh-hong-hay-siang-lay, Ti-heng-put-kam-koh!” ~ Berbareng iapun putar pedangnja dengan gesit, hanja sekedjap sadja se-akan2 sudah berubah seorang lain, bukan lagi seorang pengemis tua dan lojo.

Setelah menjaksikan beberapa djurus, tiba2 Tik Hun seperti tersadar, katanja: “Lau-pek, waktu aku menempur si Lu Thong tadi, apakah engkau sengadja menimpukan mangkokmu untuk membantu aku?”

“Masakah perlu menanja lagi?” semprot sipengemis dengan gusar. “Liok-hap-kun Lu Thong itu lebih lihay sepuluh kali daripada botjah tolol matjammu ini, kalau melulu sedikit kepandaianmu masakan mampu mengenjahkan dia?” ~ Sembari berkata, ia lalu mainkan pedangnja dengan tjepat.

Tik Hun mendengar istilah2 setiap djurus ilmu pedang sipengemis toh sama sadja dengan adjaran gurunja, hanja lafalnja sadja agak sedikit berbeda, tapi gerak pedangnja mirip benar. Makin dilihat makin heranlah ia.

Tiba2 tangan kiri sipengemis mendjulur kedepan dengan gerakan pedang, menjusul pedang ditangan kanan mendadak disodorkan ke tangan kiri itu, saat lain tangan kanan membalik “plak” ia tampar pipi Tik Hun sekali.

Karuan Tik Hun kaget, sambil memegangi pipinja jang kesakitan itu ia tanja dengan marah: “Ken.........kenapa engkau memukul orang?”

“Habis, aku sedang mengadjarkan ilmu pedang padamu, sebaliknja engkau mengelamun, bukankah harus dihadjar?”

Tik Hun tjukup bidjaksana, ia bisa terima alasan itu, sahutnja: “Baik, memang salahku. Memang aku sangat heran melihat tjermat2 setiap djurus jang kau sebut itu mirip dengan adjaran guruku, tjuma perubahan permainan pedangnja jang sangat berbeda.”

“Adjaran gurumu lebih bagus atau adjaranku ini lebih bagus?” tanja sipengemis.

“Aku tidak tahu,” sahut Tik Hun menggeleng kepala.

Tiba2 pengemis itu melemparkan kembali pedangnja kepada Tik Hun, katanja: “Mari kita boleh tjoba2 bertanding.”

“Keuletanku terlalu djauh dibandingkan engkau, manabisa aku melawan engkau,” sahut Tik Hun.

“Huh, belum keliwat geblek djuga engkau ini. Begini sadja kita tjuma bertanding tentang gerak serangan dan tidak bertanding tentang kekuatan.”

Habis berkata, terus sadja ia ajun tongkatnja sebagai pedang dan menusuk kearah Tik Hun. Otomatis pemuda itu angkat pedangnja menangkis. Tapi mendadak tongkat si pengemis berhenti ditengah djalan, karena itu, Tik Hun lantas tarik pedangnja untuk balas menusuk. Tak tersangka baru sadja pedangnja bergerak, tahu2 tongkat sipengemis sudah seperti pagutan ular tjepatnja menusuk kedepan dan tepat kena tutuk dibahunja.

Sungguh kagum Tik Hun tak terhingga, serunja memudji: “Bagus!” Menjusul pedangnja lantas menabas lagi.

Namun pengemis itu sempat putar tongkatnja dan tepat menahan dibatang pedang Tik Hun, sekuatnja Tik Hun mendorong sendjatanja kedepan, tapi tongkat sipengemis selalu berputar hingga tenaga dorongannja itu kena dikesampingkan kearah jang berlawanan. Karena itu, tjekalan Tik Hun mendjadi kendor dan tahu-tahu pedangnja mentjelat ke udara.

Tik Hun terkesima, katanja kemudian: “Laupek, ilmu pedangmu memang sangat tinggi.”

Waktu tongkat pengemis itu mendjulur, pedang jang djatuh dari udara itu tepat kena diraihnja kembali. Lalu katanja: “Sebenarnja gurumu sangat giat melatih silat, salahnja tjuma terlalu sedikit ia bersekolah. Djustru ilmu pedang dari perguruanmu ini sangat berlainan dengan ilmu pedang umumnja di dunia persilatan, jaitu sangat mengutamakan pemikiran. Sama2 mempeladjari satu matjam Kiam-Hoat, ada jang berlatih puluhan tahun, hasilnja tjuma biasa sadja. Sebaliknja ada jang dapat memahami intisarinja, dalam waktu satu dua tahun sudah mendjadi ahli pedang terkemuka.”

Seperti paham seperti tidak Tik Hun oleh uraian itu, namun ia suka mendengarkannja.

“Kiam-hoat dari perguruanmu ini, setiap djurusnja adalah perubahan dari sesuatu bait sjair kuno,” demikian sipengemis menerangkan pula. “Umpamanja djurus ‘Koh-hong-hay-siang-lay, Ti-heng-put-kam-koh’ tadi, artinja mengatakan ada seekor burung terbang sendiri dari lautan, terhadap telaga atau rawa2 di daratan tak dihinggapinja. Sjair ini adalah tjiptaan Thio Kiu-ling, itu perdana mentri di djaman ahala Tong. Dari bait-bait sjairnja itu telah ditjiptakan mendjadi djurus ilmu pedang. Tapi gurumu telah adjarkan kau dengan ‘Koh-hong-han-siang-lay, Si-heng-put-kam-koh’. Bait pertama artinja berubah mendjadi orang berteriak2 dan bait berikut berarti orang ketakutan. Sudah tentu arti sebenarnja dari ilmu pedang jang tinggi itu lantas menjeleweng 180 deradjat.”

Dengan kikuk Tik Hun mendengarkan uraian itu, ia tahu pendjelasan orang tua itu sangat djitu, tapi biasanja ia sangat hormat dan tjinta pada gurunja, kini mendengar sang guru ditjela habis2an, betapapun ia tersinggung djuga. Tiba2 ia berbangkit, katanja: “Sudahlah, aku hendak pergi tidur, tidak mau beladjar lagi!”

“Lho, kenapa? Apakah uraianku tidak betul?” tanja sipengemis dengan heran.

“Mungkin benar djuga uraianmu itu,” sahut Tik Hun dengan marah2. “Tapi engkau mentjela kesalahan guruku, maka lebih baik aku tidak beladjar.”

“Hahaha!” sipengemis ter-bahak2 sambil mengusap kepala Tik Hun. “Bagus, bagus! Hatimu ternjata sangat djudjur, aku paling suka orang matjam kau. Baiklah aku mengaku salah padamu, selandjutnja aku takkan mejinggung lagi nama gurumu, puas tidak?”

Dari marah Tik Hun berubah girang, sahutnja: “Baiklah, asal engkau tidak menjebut guruku, biarpun aku mendjura padamu djuga boleh.” Habis berkata, benar djuga ia terus mendjura beberapa kali.

Dengan tersenjum simpul sipengemis terima penghormatan itu, lalu ia mengulangi lagi sedjurus demi sedjurus untuk memberi pendjelasan kepada Tik Hun. Ia benar2 tidak menjinggung lagi namanja Djik Tiang-hoat, tapi hanja membetulkan kesalahan Tik Hun sadja.

Begitulah jang satu mengadjar dan jang lain mendengarkan, tanpa terasa suara ajam djago berkokok sudah terdengar, fadjar sudah hampir menjingsing. Maka berkatalah pengemis itu akhirnja: “Sekarang akan kuadjarkan tiga djurus kepandaian istimewa kepadamu, besok kau adjak berkelahi lagi dengan kedelapan anak tak genah itu. Nah, ingatlah baik2!”

Semangat Tik Hun terbangkit, dengan tjermat ia mengikuti gerak tongkat pengemis itu. djurus pertama adalah “Dji-koh-sik” atau gaja menusuk bahu, jaitu seperti sipengemis menusuk bahunja Tik Hun tadi dengan tongkat. Kalau musuh tidak menjerang dan melainkan berdjaga diri sadja, tusukan itu takkan berguna. Tetapi bila musuh bergerak, maka tusukan kilat itu pasti akan mengenai bahu musuh lebih dulu.

Djurus kedua adalah “Ni-kong-sik”, gaja menampar pipi, tjaranja persis seperti apa jang telah dirasakan djuga oleh Tik Hun tadi, jaitu pedang berpindah ketangan kiri, tangan kanan terus membalik dan menampar.

Djurus ketiga bernama “Gi-kiam-sik” atau gaja menanggalkan pedang lawan, sekali pedang menempel pedang lawan, diputir terus ditjukit, tjaranja djuga sudah dialami Tik Hun tadi.

Sebenarnja ketiga djurus itu masing2 mempunjai nama jang indah berasal dari bait2 sjair kuno. Tapi pengemis tua itu tahu Tik Hun tidak banjak makan sekolahan, maka sengadja diberinja nama2 sederhana jang mudah diingat.

Biarpun Tik Hun bukan anak tjerdas, tapi mempunjai tekad jang teguh. Ketiga djurus itu berulang kali dilatihnja selama lebih satu djam barulah paham benar2.

“Baiklah sekarang,” kata sipengemis dengan tertawa. “Dan kau harus berdjandji sesuatu padaku, jaitu kedjadian malam ini aku mengadjarkan Kiam-hoat padamu tidak boleh engkau katakan kepada siapapun djuga, sekalipun gurumu djuga tidak boleh.”

Tik Hun mendjadi serba sulit untuk mendjawab. Biasanja ia sangat menghormati sang guru, terhadap sang Sumoaj jang tjantik it

Tik Hun mendjadi serba sulit untuk mendjawab. Biasanja ia sangat menghormati sang guru, terhadap sang Sumoaj jang tjantik itupun sudah lama ditjintainja, segala apa biasanja pasti dikatakan kepadanja. Kini disuruh tutup mulut kepada kedua orang itu, keraguan ia ragu2.

“Tentang sebab musababnja seketika susah kuterangkan,” kata si pengemis pula. “tjuma rahasia malam ini kalau kau botjorkan, djiwaku tentu berbahaja, pasti aku akan mati dibawah tangannja Ban Tjin-san.”

Tik Hun terkedjut, tanjanja heran: “Laupek, ilmu silatmu setinggi ini, mengapa djeri pada Supekku?”

Namun pengemis itu tidak mendjawab dan bertindak pergi sambil berkata: “Kau akan bikin tjelaka aku atau tidak terserahlah kepada dirimu sendiri.”

“Tidak,” seru Tik Hun sambil lari menjusul sipengemis, “aku Tik Hun pasti takkan melupakan budimu, kalau aku membotjorkan rahasia ini seketjap sadja, biarlah aku dikutuk langit dan bumi.”

Pengemis tua itu tidak berhenti, hanja sekedjap sadja sudah menghilang dalam kegelapan.

Tik Hun ter-mangu2 sedjenak ditempatnja, kemudian ia mendjadi teringat belum lagi menanja siapa nama pengemis tua itu. Namun orang tua itu sudah tak kelihatan lagi...........

Besok paginja, ketika Djik Tiang-hoat melihat muka sang murid itu matang-biru, ia mendjadi heran, ia tanja: “Engkau berkelahi dengan siapa, mengapa abuh begitu rupa?”

Dasar Tik Hun memang tidak biasa berdusta, maka ia mendjadi gelagapan. Sjukur Djik Hong keburu menjela: “Ha, tentu karena kena pukulan bangsat Lu Thong itu kemarin.”

Sudah tentu Djik Tiang-hoat tidak pernah menduga apa jang terdjadi semalam, maka iapun tidak menanja lebih djauh.

Kemudian Djik Hong menarik Tik Hun kesamping rumah, setiba dipelataran, dimana terdapat sebuah sumur, karena tiada orang lain lagi di sekitar situ. Djik Hong adjak sang Suheng berduduk di tepi perigi itu, lalu tanjanja: “Suko, semalam engkau berkelahi dengan siapa?”

Sudah tentu Tik Hun gelagapan pula, dan belum ia bersuara Djik Hong sudah berkata lagi: “Kau tidak perlu membohongi aku. Kemarin waktu kau menempur Lu Thong, dengan djelas aku menjaksikan pukulan dan tendangannja mengenai badanmu semua, tapi tiada jang mengenai mukamu.”

Tahu kalau tak bisa membohongi sang Sumoay, terpaksa Tik Hun menerangkan duduknja perkara, ia pikir asal tidak bitjara tentang pengemis tua itu kan tidak apa2. Maka ia pun mendjelaskan tjara bagaimana ia telah dikerojok semalam.

Djik Hong mendjadi gusar djuga mendengar tjerita itu, serunja murka: “djadi mereka berdelapan mengerojok engkau seorang? Huh, orang gagah matjam apa itu? Marilah kita mengadu kepada ajah untuk minta keadilan kepada Ban Tjin-san” Saking marahnja sampai sebutan Supek tak digunakan olehnja lagi, melainkan langsung menjebut namanja.

“Tidak, djangan!” tjepat Tik Hun mentjegah. “Kalau aku mengadu kepada Suhu, bukankah malah akan dipandang hina oleh mereka?”

Djik Hong mendengus sekali dan tidak berkata lagi. Ia lihat badju sang Suheng banjak sobek, ia ikut merasa sajang, segera dikeluarkannja bungkusan benang dan djarum, terus sadja ia mendjahitkan badju Tik Hun jang robek itu. Rambutnja jang meng-gesek2 dipipi Tik Hun itu mendjangkitkan rasa risih pemuda itu, terendus pula bau harumnja badan sigadis, mau tak mau terguntjang djuga hati Tik Hun.

Malam itu, karena para tamu sudah pulang semua, Ban Tjin-san mengadakan satu medja perdjamuan untuk mendjamu sang Sute, kedelapan muridnja ikut hadir.

Sesudah saling mengadu tjawan, ketika Tjin-san melihat bibir Tik Hun bengkak merah, tidak leluasa untuk makan, segera katanja, “Tik-hiantit, kemarin telah bikin susah padamu. Marilah ini makanlah jang banjak.” Sembari berkata, ia terus menjumpit sepotong paha ajam ke mangkoknja Tik Hun.

Tiba-tiba Tjiu Kin mendengus hina sekali.

Memangnja rasa gusar Djik Hong sudah memuntjak, ia mendjadi tidak tahan lagi, segera ia berteriak: “Ban-supek, luka Tik-suko ini bukan karena dipukul Lu Thong, tapi adalah perbuatan kedelapan muridmu jang terpudji itu.”

“Apa katamu?” tanja Ban Tjin-san dan Djik Tiang-hoat berbareng dengan kedjut.

Sim Sia, itu murid Tjin-san kedelapan, usianja paling muda tapi mulutnja paling tadjam, tjepat ia mendahului buka suara, “Sesudah Tik-suko menangkan Lu Thong, ia bilang Suhu pengetjut, tidak berani bergebrak dengan musuh, untung ada Tik-suko jang madju. Mendengar itu, saking tak tahan, kami.....”

Wadjah Ban Tjin-san seketika berubah, tapi ia tjukup sabar, dengan tertawa ia memotong: “Benar, memang berkat bantuan Tik-hiantit hingga kita tidak sampai dibikin malu musuh.”

“Tapi Ban-suheng tidak tahan oleh kesombongan Tik-suko itu, maka lantas adjak bertanding padanja, dan agaknja seperti Ban-suheng mendahului sedikit,” kata Sim Sia.

Sungguh gusar Tik Hun tak terkatakan. “Kau....kau ngatjo-belo! Kapan aku.....” dasarnja memang tidak pandai bitjara, dalam gusarnja ia mendjadi lebih gelagapan lagi.

“Ka-dji mendahului sedikit bagaimana?” tanja Tjin-san.

Maka berkatalah Sim Sia: “Tjara bagaimana semalam Sam-suheng bertanding dengan Tik-suko kami tidak mengetahui semua. Tjuma pagi tadi Ban-suheng mentjeritakan kepada kami, katanja Ban-suheng seperti menggunakan djurus.... djurus....” Ia sengadja menoleh kepada Ban Ka dan menanja: “Ban-suko, djurus apa jang kau gunakan hingga Tik-suko dikalahkan olehmu?”

Begitulah kedua orang itu sengadja main sandiwara, hingga tentang mereka berdelapan mengerojok Tik Hun, mereka tjutji tangan dengan bersih. Padahal tjara bagaimana Ban Ka menagkan Tik Hun, orang lain tiada jang menjaksikan, sebenarnja susah untuk dipertjaja. Namun karena jang bitjara itu adalah Sim Sia jang masih ke-kanak2-an dengan sendirinja tiada jang mendjangka botjah itu berdusta.

“Kiranja begitu!” Tjin-san angguk2 djuga oleh keterangan murid2nja itu.

Sebaliknja muka Djik Tiang-hoat merah padam bahna marahnja. Ia gebrak medja sambil membentak: “Hun-dji, bukanlah sudah kupesan agar djangan tjektjok dengan para Suhengte, kenapa kau telah berkelahi malah?”

Melihat sang guru djuga mempertjajai otjehan Sim Sia, saking gusarnja sampai Tik Hun menggigil, katanja dengan tak lampias: “Su.....suhu, aku ti......tidak....”

“Sudah berbuat, masih mungkir?” damperat Tiang-hoat, kontan iapun persen sang murid sekali tamparan.

Seketika pipi Tik Hun merah begap. tjepat Djik Hong pun berseru: “Tia, kenapa engkau tidak tanja lebih djelas duduknja perkara?”

Saking murka, watak dogol Tik Kun lantas kumat, tanpa pikir lagi ia melontjat bangun, ia samber pedang jang ditaruh dimedja belakangnja dan melompat ketengah ruangan, teriaknja keras2: “Suhu, Ban Ka itu mengatakan aku ...... aku kalah, biarlah suruh dia madju lagi sekarang!”

Tiang-hoat mendjadi gusar, bentaknja: “Kau mau kembali tempatmu tidak?” Segera iapun berbangkit hendak menghadjar dan mejeret kembali muridnja itu.

Namun Tik Hun sudah kadung kalap, segera ia berteriak-teriak, “Hajolah kalian delapan orang madju lagi semua. Kalau tidak berani, kalian adalah anak kura2, haram djadah, anak andjing!” Sebagai anak tani, dalam gusarnja, ia tidak peduli lagi, semua makian kotor dikeluarkannja semua.

Karuan Ban tjin-san mengkerut kening. Katanja kemudian, “Djika begitu, bolehlah kalian madju untuk mentjoba ilmu pedang Tik-suko.”

Memangnja kata2 sang guru ini sedang di-tunggu2, tanpa disuruh lagi, segera Loh Kun berdelapan melolos pedang masing2 dan melompat madju semua hingga Tik Hun terkurung ditengah.

“Bagus!” teriak Tik Hun. “Tadi malam delapan anak andjing mengerojok aku seorang, sekarang kembali kedelapan anak andjing lagi....”

“Hun-dji, kau mengotjeh apa? Kalau bertanding ja bertanding, apa bertanding memaki?” bentak Tiang-hoat.

Gusar Ban Tjin-san djuga tak terkatakan. Ban Ka diantara kedelapan muridnja itu adalah putra tunggalnja. Kini Tik Hun memaki kalang kabut anak andjing segala, itu berarti iapun kena dimaki.

Ia lihat kedelapan muridnja mengambil kedudukan mengepung, maka bentaknja: “Tik-suheng memandang rendah pada kita dan berani satu lawan delapan, apakah kita sendiri djuga mesti memandang rendah dirinja sendiri?”

“Ja, para Sute harap mundur dulu, biar aku jang beladjar kenal dengan kepandaian Tik-suheng jang tinggi,” kata Loh Kun, murid jang tertua.

Diantara sesama saudara perguruan itu, Bok Heng paling pintar berpikir. Ia tahu diantara mereka berdelapan, bitjara tentang ilmu pedang adalah Sisuheng Sun Kin jang paling kuat. Semalam ia sudah menjaksikan pertandingan Ban Ka dan Tik Hun, kepandaian anak desa itu ternjata tidak lemah, apalagi kini dalam keadaan murka, belum tentu Toasuheng mampu menangkan dia. Maka lebih baik kalau Sun Kin jang madju, sekali tempur anak desa itu dikalahkan, tentu mulut anak desa itu tidak berani lagi omong gede.

Maka berkatalah Bok Heng: “Toasuko adalah pemimpin diantara saudara perguruan kita, buat apa mesti madju sendiri? Biarkan sadja Sisuko jang memberi hadjaran kepada botjah itu.”

Segera Loh Kun dapat memahami maksudnja, sahutnja dengan tersenjum: “Baiklah, Sisute, penuhilah tugasmu!” Berbareng iapun memberi tanda, ketudjuh orang lantas melompat mundur, hanja ketinggalan Sun Kin jang menghadapi Tik Hun.

Sun Kin itu memang pendiam, terkadang sehari suntuk tidak bitjara sepatahkatapun, makanja tekun melatih diri dan ilmu pedangnja terhitung nomor satu diantara para Suhengte. Melihat dirinja didjagoi oleh para Suhengte, segera iapun angkat pedangnja keatas sambil membungkuk memberi hormat. Gaja ini disebut “Ban-kok-jang-tjong-tjiu, Ih-koan-paj-bak-liu”, jaitu satu djurus pembukaan dengan laku sangat hormat kepada lawan.

Tapi dikala Djik Tiang-hoat memberi pendjelasan kepada Tik Hun dulu, seperti djuga djurus2 lainnja, djurus pembukaan inipun telah salah diartikan. Maklum sekolahnja terbatas. Maka sjair jang indah maknanja itu salah dibatja mendjadi, “Hoan-kak-liang-tjong-tjau, Ih-koan-pay-ma-liu”, artinja aku adalah pihak jang baik dan engkau adalah orang busuk, kalau lahirnja aku memberi hormat padamu apa artinja? Aku adalah manusia dan engkau adalah monjet, manusia menghormat pada monjet, sama seperti menghormat pada binatang. djadi artinja menjimpang 180 deradjat.

Karuan Tik Hun mendjadi gusar karena dirinja dianggap sebagai monjet. Segera iapun membungkuk membalas hormat dengan djurus jang sama sebagai tanda bajar kontan hinaan orang itu. Bahkan sebelum tubuhnja menegak kembali, terus sadja pedangnja menusuk ke perut lawan.

Para murid Ban tjin-san jang lain sama mendjerit kegat, namun Sun Kin sempat menangkis djuga, “trang”, kedua pedang saling bentur dan tangan masing-masing sama-sama kesemutan.

“Lihatlah Suhu, botjah itu kedji atau tidak?” seru Loh Kun.

Diam2 Ban tjin-san heran djuga mengapa anak desa itu begitu murka dan bertempur dengan mati2an?

Maka terdengarlah suara gemerintjing jang riuh. Tik Hun dan Sun Kin saling gebrak dengan tjepat, setelah belasan djurus, sekali pedang Sun Kin tersampok kesamping, perutnja mendjadi luang tak terdjaga. Tanpa ajal lagi Tik Hun menusukkan pedangnja sambil menggertak. Tiba2 Sun Kin tarik pedangnja dan menangkis kebawah, berbareng tapak tangannja terus menghantam, “plak”, dada Tik Hun tepat kena digendjot.

Berbareng anak murid Ban tjin-san jang lain bersorak-sorai, ada jang berteriak2: “Huh, satu lawan satu sadja tak mampu, masih omong gede hendak melawan delapan orang sekaligus!”

Karena pukulan itu, Tik Hun terhujung sedikit, tjepat ia tarik pedangnja dan balas menjerang setjepat kilat, se-konjong2 pedangnja menjendal, “tjrat”, tepat pundak Sun Kin kena tertusuk. Itulah “Dji-koh-sik” atau gaja menusuk bahu, adjaran sipengemis tua itu.

Serangan “Dji-koh-sik” itu datangnja terlalu mendadak sehingga siapapun tidak menduga sebelumnja. Seketika anak murid Tjin-san jang lain mem-bentak2, Loh Kun dan Tjiu Kin terus melompat madju berbareng dan mengerubut Tik Hun. Akan tetapi pedang Tik Hun kembali menusuk pula kekanan dan menikam kekiri, “tjrat - tjrat”, bahu Loh Kun dan Tjiu Kin berdua djuga tertusuk semua, pedang mereka terdjatuh kelantai.

“Bagus!” teriak Ban Tjin-san dengan menarik muka.

Dengan menghunus pedangnja, pelahan2 Ban Ka madju ketengah, ia pandang Tik Hun dengan melotot, se-konjong2 ia membentak dan sekaligus melontarkan tiga tusukan. Namun semuanja dapat ditangkis Tik Hun dengan baik, tiba2 ia operkan pedang ketangan kiri, tangan kanan terus membalik dan menampar, “plok”, tepat sekali Ban Ka kena ditempiling.

Tamparan Tik Hun ini lebih2 tak terduga oleh siapapun. Dalam kagetnja Ban Ka, menjusul Tik Hun sudah ajun kakinya pula mendjedjak dada lawan. Maka Ban Ka tak tahan lagi, ia djatuh terduduk.

Tjepat Bok Heng berlari madju hendak membangunkan sang Suheng. Namun Tik Hun tidak memberi kesempatan padanja, kontan ia menusuk hingga terpaksa Bok Heng mesti menangkis.

Melihat Tik Hun begitu perkasa, sedangkan Ban Ka sampai muntah darah dan terduduk dilantai tak sanggup berdiri lagi. Seketika Go Him, Pang Tan dan Sim Sia bertiga ikut menjerbu madju. Dalam pada itu demi mendengar suara ribut2 itu, banjak diantara pelajan keluarga Ban djuga berlari keluar untuk melihat apa jang terjadi.

Djik Tiang-hoat sendiri mendjadi bingung dan tidak tahu tindakan apa jang harus diambilnja. Sebaliknja Djik Hong ber-teriak2: “Tia-tia, mereka mengerojok Tik-suko, lekas, lekas engkau menolong dia!”

Sementara itu terdengarlah suara “tjrang-tjreng” jang ramai, sinar tadjam berkilauan, ber-batang2 pedang tampak mentjelat djatuh ketengah pelajan2 jang merubung asjik menonton itu, karuan keadaan katjau-balau, kawanan pelayan itu berlari kian kemari untuk menghindar. Hanja sekedjap sadja sendjatanja Bok Heng, Go Him, Pang Tau dan Sim Sia sudah terlepas dari tjekalan oleh “Gi-kiam-Sik” atau gaja melepaskan pedang, jang digunakan Tik Hun itu.

“Bagus, bagus!” tiba2 Ban Tjin-san tepuk tangan sambil tertawa, “Wah, Djik-sute, ternjata engkau sudah berhasil mejakinkan ‘Soh-sim-kiam-hoat’, Kiong-hi, Kionghi!”

Tiang-hoat tertegun, sahutnja kemudian: “Soh-sim-kiam apa katamu?”

“Beberapa djurus jang dikeluarkan Tik-hiantit itu kalau bekan ‘Soh-sim-kiam-hoat’ lantas apa lagi?” kata Tjin-san. “Kun-dji, Kin-dji, Ka-dji, mundurlah semua. Tik-suheng kalian sudah diadjarkan ‘Soh-sim-kiam-hoat’ oleh Djik-susiok, mana mampu kalian melawan dia?” Lalu ia katakan pula kepada Djik Tiang-koat: “Sute, kiranja engkau tjuma pura2 dungu sadja, tapi sebenarnja maha pintar!”

Dengan tiga djurus jang dipeladjarinja dari pengemis tua itu, dalam sekedjap sadja Tik Hun sudah mengalahkan kedelapan lawannja, sudah tentu ia sangat senang. Tapi karena kemenangannja begitu mudah diperoleh, ia mendjadi bingung malah dan kikuk. Ia pandang Suhu, pandang sang Sumoay dan lain saat pandang2 lagi kepada sang Supek dengan melongo.

Tiba2 Djik Tiang-hoat mendekati Tik Hun, ia ambil pedang dari tangan pemuda itu, mendadak udjung sendjata itu terus diarahkan ketenggorokan sang murid sambil membentak: “Beberapa djurus tadi engkau dapat mempeladjari dari siapa?”

Karuan Tik Hun kaget, sebenarnja ia tidak pernah berdusta, tapi dengan tegas sipengemis tua itu telah pesan bahwa rahasianja kalau dibotjorkan, tentu akan membahajakan djiwa pengemis itu. Sebab itu pula dirinja sudah bersumpah tidak akan membotjorkannja. Maka sahutnya dengan lantjar: “Su.........Suhu, itu adalah pemi ............. pemikiran Tetju sendiri.”

“Kau dapat mentjiptakan djurus ilmu pedang sebagus itu?” bentak Tiang-hoat pula. “Kau......... kau berani omong sembarangan padaku? Pabila kau tidak mengaku, sekali tusuk segera kuhabiskan njawamu!” berbareng udjung pedang lantas disurung madju sedikit hingga nantjap beberapa mili kedalam daging leher Tik Hun, seketika darah merembes keluar.

Tjepat Djik Hong lari madju untuk menarik tangan sang ajah, serunya: “Tia, sedjengkalpun Suko tidak pernah berpisah dari kita, darimana dia mendapat adjaran silat orang lain? Beberapa djurus itu bukankah engkau orang tua yang mengadjarkan padanja?”

“Memangnja buat apa kau masih berlagak pilon, Sute,” demikian djengek Ban-Tjin-san. “Puterimu sendiri sudah tjukup djelas mengatakan, apa perlu aku menanja lagi. Marilah, marilah aku memberi selamat tiga tjawan padamu!” Ia menuang penuh dua tjawan arak, ia sendiri meneguk habis dulu setjawan, lalu katanja pula, “Nah, Suhengmu ini sudah mengeringkan tjawan lebih dulu, engkau harus memberi muka padaku.”

Djik Tiang-hoat mendengus sekali dan membanting pedang kelantai, lalu menerima suguhan tiga tjawan itu. Ia ter-menung2 ragu2 dan tidak habis mengerti, pikirnja: “Dikala kepepet, setiap orang memang bisa berlaku nekad dan mendjadi lebih tangkas daripada biasanja. Tapi Hun-dji tadi bukan lagi kekalapan, tapi djurus2 serangannja itu sangat indah dan bagus. Aneh, sungguh aneh.”

Ban Tjin-san lantas berbangkit, katanja: “Djik-sute, ada suatu urusan ingin kurundingkan dengan engkau. Marilah kita kekamar batja untuk bitjara?”

Tiang-hoat hanja mengangguk dan ikut berbangkit, lalu kedua saudara seperguruan itu berdjalan kekamar batja.

Tinggal diruangan itu kedelapan murid Ban Tjin-san masih melototi Tik Hun, namun Djik Hong lantas tarik sang Suheng duduk kembali ketempatnja tadi.

“Aku hendak buang air! Wah, aku sampai ter-kentjing2 oleh kelihayan Tik-suko,” kata Sim Sia tiba2.

“Pat-sute,” bentak Loh Kun, “apa belum tjukup engkau membikin malu?”

Sim Sia me-melet2 lidah dan meninggalkan ruangan itu. Tapi ia hanja pura2 menudju kekamar ketjil, lalu ia memutar keluar kamar batja dengan ber-djengket2. Ia dengar suara gurunja sedang berkata: “Djik-sute, rahasia jang sudah terpendam selama 20 tahun itu barulah harini terbongkar.”

“Siaute tidak paham, apa artinja terbongkar itu?” terdengar Djik Tiang-hoat menjahut.

“Masakah masih perlu kudjelaskan lagi? Tjoba djawablah, tjara bagaimana Suhu meninggalnja?”

“Suhu kehilangan sedjilid buku latihan silat, karena di-tjari2 tetap tidak ketemu, beliau mendjadi sedih dan achirnja meninggal. Hal ini toh kau sendiri tjukup tahu, mengapa tanja kepadaku?”

“Baik. Lalu tentang kitab jang hilang itu, apakah namanja?”

“Aku djusteru pernah mendengar dari Suhu, kitab itu bernama ‘Soh-sim-kiam-boh’.”

“Soh-sim apa segala, aku tidak paham.”

“Hehehe, haha, hehahaha!”

“Apanja jang menggelikan?”

“Djik-sute, lagakmu benar2 sangat pintar. Sudah terang engkau mahir Soh-sim-kiam itu, tapi kau pura2 dungu”.

“Apakah engkau hendak mengudji aku?”

“Serahkan sini!”

“Serahkan apa?”

“Kau tahu sendiri, masih pura2 bodoh?”

“Hm, aku Djik Tiang-hoat djusteru tidak pernah takut padamu.”

Sim Sia mendjadi takut mendengar pertengkaran sang Suhu dan Susiok itu, tjepat ia berlari kembali keruangan depan dan membisiki Loh Kun: “Toasuheng, Suhu sedang bertengkar dengan Susiok, boleh djadi bakal berkelahi.”

Loh Kun terkesiap, ia berbangkit dan berkata: “Marilah kita tjoba pergi melihatnja!”

Maka ber-bondong2 pergilah murid2 Ban Tjin-san itu kekamar batja.

“Mari kitapun kesana!” adjak Djik Hong sambil menarik Tik Hun.

Tik Hun mengangguk. Dan baru dia berdjalan beberapa tindak, Djik Hong sudah sodorkan sebatang pedang kepadanja. Waktu menoleh, ia lihat gadis itu membawa pula dia batang pedang.

“Buat apa sampai dua batang?” tanja Tik Hun.

“Ajah tidak membawa sendjata!” sahut Djik Hong.

Setiba diluar kamar batja sana, kedelapan muridnja Ban Tjin-san tampak sedang pasang kuping mengikuti apa jang terdjadi didalam kamar itu. Djik Hong dan Tik Hun berdiri agar djauh dan ikut mendengar suara pertengkaran itu.

“Sudah terang sekarang bahwa djiwa Suhu adalah engkau jang membunuhnja,” demikian Ban Tjin-san sedang berkata.

“Kentut, kentut busuk! Darimana kau berani sembarangan menuduh aku?” sahut Djik Tiang-hoat dengan gusar, suaranja kedengarannja sampai serak.

“Habis, Soh-sim-kiam-boh milik Suhu itu bukankah ditjuri oleh kau?”

“Aku peduli apa Soh-sim-kiam-boh segala? Kau bermaksud mempitnah aku ja? Huh, djangan harap!”

“Tapi beberapa djurus jang dimainkan muridmu itu bukankah Soh-sim-kiam-hoat? Kau masih berani membantah?”

“Bakat pembawaan muridku memang pintar, itu adalah hasil pemikirannja sendiri, bahkan aku sendiripun tidak bisa. Masakah itulah Soh-sim-kiam-hoat segala? Kau menjuruh Bok Heng pergi mengundang aku, katanja engkau sendiri jang sudah berhasil mejakinkan Soh-sim-kiam-hoat, benar tidak hal ini? Apa perlu panggil Bok Heng untuk didjadikan saksi?”

Maka berpalinglah semua orang diluar kamar itu kearah Bok Heng, wadjah pemuda itu tampak merengut, terang apa jang dikatakan Djik Tiang-hoat itu memang tidak salah. Tik Hun pun saling pandang sekedjap dengan Djik Hong dan meng-angguk2, pikirnja: “Apa jang dikatakan Bok Heng tempo hari akupun ikut mendengar, tidak mungkin ia bisa menjangkal.”

Maka terdengar Ban Tjin-san telah mendjawab dengan ter-bahak2: “Sudah tentu aku jang suruh Bok Heng menjampaikan kata2 itu kepadamu. Kalau tidak demikian, masakah aku dapat memantjing engkau kesini. Djik Tiang-hoat, ingin kutanja padamu, kau bilang tidak pernah mendengar nama ‘Soh-sim-kiam’ segala, tapi mengapa waktu Bok Heng mengatakan aku sudah berhasil mejakinkan ilmu pedang itu, buru2 engkau lantas datang kemari? Nah, apa kau masih berani mungkir?”

“Aha, djadi kau sengadja memantjing aku disini?”

“Benar, maka lekas kau serahkan Kiam-boh dan mendjura pula kekuburannja Suhu untuk minta maaf.”

“Kenapa mesti diserahkan padamu?”

“Hm, aku Toasuhengmu atau bukan!”

Keadaan sunji sedjenak didalam kamar itu, kemudian terdengar suara Djik Tiang-hoat berkata: “Baik, kuserahkan padamu.”

Mendengar itu, semua orang jang mengintip diluar kamar itu tergetar. Tik Hun dan Djik Hong malu sekali. Loh Kun berdelapan melirik hina pula kearah mereka. Sungguh gemas dan penasaran sekali Djik Hong, sama sekali tak terpikir olehnja bahwa sang ajah terima menjerah setjara begitu memalukan.

Tapi mendadak terdengarlah suara djeritan ngeri sekali, itulah suaranja Ban Tjin-san.

“Ajah!” teriak Ban Ka, tjepat iapun dobrak pintu kamar dan berlari kedalam. Maka tertampaklah diatas dada Ban Tjin-san tertantjap sebilah belati jang mengkilap, dan orangnja menggeletak bermandikan darah. Djendela kamar tampak terpentang, namun bajangan Djik Tiang-hoat sudah tidak kelihatan.

“Tia, Tia!” seru Ban Ka dengan menangis sambil menubruk kesamping tubuh sang ajah.

Denagn pelahan Djik Hong pun memanggil: “Tia, Tia!” Sebaliknja Loh Kun terus berseru: “Lekas, lekas tangkap pembunuh!”

Be-ramai2 para murid Ban Tjin-san lantas mengudak keluar sambil ber-teriak2 hendak menangkap pembunuh.

Tik Hun sendiri bingung djuga oleh kedjadian itu. Ia lihat tubuh Djik Hong agak sempojongan, lekas2 dipajangnja. Waktu menunduk, tertampak wadjah Ban Tjin-san sangat beringas menakutkan, mungkin sebelum adjalnja telah menderita kesakitan sekali. Tik Hun tidak berani memandang lagi, ia mengadjak pelahan: “Marilah kita pergi sadja, Sumoay!”

Tapi belum lagi Djik Hong mendjawab, tiba2 suara orang telah berkata dibelakang mereka: “Kalian adalah komplotan pembunuh guruku, djangan tjoba lari!”

Waktu Tik Hun menoleh, ia lihat udjung pedang Bok Heng sudah mengantjam di belakang punggungnja Djik Hong. Tik Hun mendjadi gusar dan hendak mendjawab dengan kata2 lebih pedas, tapi demi mengingat gurunja memang njata telah membunuh Suheng sendiri, perbuatan durhaka seperti itu benar2 sangat rendah dan djahat, maka ia tidak berani buka suara lagi dan menunduk.

“Kalian lekas berdiam didalam kamar sadja dan djanga tjoba melarikan diri, nanti kalau kami sudah dapat menangkap Djik Tiang-hoat, sekalian akan kami adukan pada pembesar negeri,” kata Bok Heng.

“Urusan ini adalah gara2ku, biarlah aku jang bertanggung djawab, hendak dikorek atau disembelih, boleh silahkan, tapi djangan mengganggu Sumoayku jang tak berdosa,” sahut Tik Hun.

“Tak perlu banjak bitjara, lekas djalan!” bentak Bok Heng sambil mendorongnja.

Tik Hun dengar diluar sana masih ribut dengan suara teriakan2 menangkap pembunuh, menjusul didjalan kota sana djuga riuh ramai dengan suara gembreng. Malu dan sesal rasa hati Tik Hun, dengan menahan perasaannja itu segera iapun melangkah kekamarnja sendiri.

“Suko, lan......lantas bagaimana baiknja ini?” seru Djik Hong dengan menangis menjaksikan sang Suheng digiring pergi.

“Aku.......aku tidak tahu,” sahut Tik Hun tergagap. “Biarlah aku jang menanggung dosanja Suhu.”

“Tiatia!” seru Djik Hong pula. “Ke......kemanakah beliau telah pergi?”

***

Seorang diri Tik Hun duduk termenung didalam kamarnja, waktu itu sudah dua-tiga djam sesudah terdjadi pembunuhan Ban Tjin-san. Sambil memandang api lilin diatas medjanja, pikiran Tik Hun sangat kusut. Diatas medja situ masih terdapat sisa setengah botol arak, walaupun tidak biasa, namun ia terus meneguk setjawan demi setjawan hingga kepalanja serasa pujeng se-akan2 petjah.

Sementara itu suara2 ribut diluar sudah sirap, tapi telinga Tik Hun masih mengngiang2 kata2 orang banjak: “Pembunuh sudah menghilang, biarlah besok kita kedjar ke Oulam, betapapun kita harus menangkapnja untuk membalas sakit hati Suhu.” “Ja, biarpun dia lari keudjung langit djuga akan kita tangkap kembali untuk ditjintjang!” “Besok djuga kita lantas undang tokoh2 Bu-lim untuk dimintai keadilan dan pembunuh pengetjut itu harus diuber sampai ketemu.” “Benar, mari kita bunuh dulu kedua andjing ketjil puteri dan muridnja itu untuk dibuat sesadjen arwah Suhu.” “Sabarlah, biar besok Koamthayya (tuan besar Bupati) memeriksa majat dulu!”

Begitulah Tik Hun terus tenggelam dalam lamunannja. Ia pikir sang Sumoay dapat disuruh melarikan diri sadja, tapi seorang gadis, kalau terluntang-lantung dikangouw, kemana dia harus meneduh? Pikirnja pula: “Biarlah kubawa lari dia! Ah, tidak, tidak! Awal perkara ini adalah gara2ku, kalau aku tidak berkelahi dengan para Suheng dari keluarga Ban, masakah Supek bisa mentjurigai Suhu telah mentjuri ‘Soh-sim-kiam-boh’ segala? Padahal Suhu adalah seorang paling djudjur, tidak mungkin beliau sudi mentjuri. Jang benar ketiga djurus itu adalah adjaran sipengemis padaku. Tapi Suhu sudah kadung membunuh orang, kalau kukatakan sekarang, tentu djuga tiada jang mau pertjaja. Ja, memang aku jang salah, dosaku terlalu besar, besok aku harus menerangkan duduknja perkara dihadapan orang banjak untuk mentjutji kesalahan Suhu. Akan tetapi, toh sudah terang Suhu jang membunuh Ban-supek, apakah dapat dosanja ditjutji bersih? Tidak, aku tak boleh melarikan diri, aku harus tinggal disini untuk memikul dosa Suhu, biar mereka menghadjar dan membunuh aku sadja!”

Begitulah sedang Tik Hun dibuai oleh pikiran2 jang ruwet itu, tiba2 terdengar suara keletak sekali diatas atap rumah. Waktu Tik Hun mendongak, ia lihat sesosok bajang melajang lewat dari rumah kanan sana kerumah sebelah kiri. Hampir2 ia berseru memanggil “Suhu”, tapi demi diperhatikan, ia lihat perawakan orang itu tinggi dan kurus, terang bukan gurunja. Menjusul mana kembali suatu bajangan orang melompat lewat lagi, malahan sekali itu tampak djelas orang itu menghunus golok.

“Apakah mereka sedang mentjari Suhu? Mungkinkah Suhu masih berada disekitar sini dan belum lari pergi?” demikian Tik Hun men-duga2.

Tengah Tik Hun bersangsi, tiba2 didengarnja suara djeritan kaum wanita dari rumah sebelah kiri sana. Ia terkedjut, tanpa pikir lagi ia samber pedangnja terus melompat keluar. Jang terpikir olehnja jalah: “Mereka sedang menganiaja Sumoay?”

Dalam pada itu terdengar pula djeritan seorang wanita sedang minta tolong! Suara itu seperti bukan suaranja Djik Hong, tapi Tik Hun terlalu menguatirkan keselamatan sang Sumoay, ia tidak sempat mem-beda2kan apakah itu suaranja Djik Hong atau bukan, sekali lompat, ia berdiri tegak diemper rumah, sementara itu suara minta tolong terdengar lagi.

Hlm. 43: Gambar:
“Serahkan njawamu, bangsat!” bentak Tik Hun sambil melompat masuk kedalam kamar dan menerdjang kedua badjingan itu.

Segera Tik Hun melompat kearah datangnja suara, ia lihat diatas loteng gedung itu ada sinar pelita, daun djendela kamar tampak terbuka. Tjepat ia melajang kepinggir djendela dan melongok kedalam kamar. Kebetulan ia melihat seorang wanita dalam keadaan terikat sedang ditelentangkan diatas randjang, dua laki2 jang punggungnja menggemblok golok sedang hendak berbuat tidak senonoh. Tik Hun tidak kenal siapakah wanita itu, tapi terang wanita itu sangat ketakutan, wadjahnja putjat dan sedang me-ronta2 diatas randjang sambil ber-teriak2 minta tolong.

Tik Hun berdjiwa kesatria, meski ia sendiri dalam kesulitan, tapi melihat keselamatan orang lain terantjam, ia tidak dapat tinggal diam. Terus sadja ia melompat masuk kedalam kamar, kontan pedangnja menusuk salah seorang laki2 itu.

Namun laki2 itu jtukup gesit, tjepat ia berkelit, menjusul ia samber sebuah kursi disampingnja untuk menangkis. Disebelah sana laki2 jang lain sudah lantas lolos sendjata terus membatjok.

Tik Hun melihat kedua laki2 itu memakai kedok kain hitam, hanja sepasang mata mereka jang kelihatan. Segera ia membentak: “Bangsat, serahkan djiwamu!” ~ Berbareng ia menusuk pula tiga kali be-runtun2.

Tanpa bersuara kedua laki2 itu menangkis dan balas menjerang. Tiba2 satu diantaranja berseru: “Lu-hiati, mari pergi!”

“Ja, anggap keparat Ban Tjin-san itu masih untung, lain kali kita datang lagi menuntut balas,” sahut laki2 jang lain. Berbareng goloknja lantas membatjok pula keatas

kepala Tik Hun.

Karena serangan itu tjukup ganas, terpaksa Tik Hun mengegos, kesempatan itu telah digunakan oleh laki2 jang satunja untuk mendepak medja hingga tatakan lilin diatas medja itu djatuh kelantai dan sirap, seketika kamar itu mendjadi gelap gelita. Menjusul mana kedua laki2 itu lantas melesat keluar melalui djendela, saat lain terdengarlah suara gemertakan, beberapa potong genting telah ditimpukan kedalam kamar.

Dalam kegelapan Tik Hun kurang tjeli, pula ilmu Ginkang bukan mendjadi kemahirannja, maka iapun tidak berani mengedjar. Ia pikir salah seorang tadi she Lu, tentu adalah begundalnja Lu Thong jang hendak membalas dendam, tapi mereka tidak tahu kalau Ban-supek sudah tewas.

Pada saat itu, tiba2 wanita diatas randjang itu mendjerit lagi: “Aduh, sakitnja, matilah aku, dadaku tertantjap belati!”

Tik Hun terkedjut, tjepat tanjanja: “He, apa kau telah ditikam maling itu?”

“Aduh, kena! Dadaku kena!” rintih wanita itu.

“Biar kunjalakan lilin untuk memeriksa lukamu,” udjar Tik Hun.

“O.......tolong! Tolonglah aku, lekas!” rintih pula siwanita.

Mendengar suara orang sangat menderita, segera Tik Hun mendekatinja.

Diluar dugaan, mendadak wanita itu terus merangkul erat2 tubuhnja Tik Hun sambil ber-teriak2: “Tolong, tolong! Ada maling! Tolong!”

Sungguh kedjut Tik Hun tak terkira. Sudah terang tadi ia melihat wanita itu terikat kaki-tangannja, mengapa sekarang dapat menjikapnja? Lekas2 ia hendak mendorong pergi orang, siapa tahu tenaga wanita itu ternjata tidak lemah, bahkan menjikap lebih kentjang hingga seketika Tik Hun susah melepaskan diri.

Tiba2 keadaan mendjadi terang, dari luar djendela menjelonong masuk dua obor hingga kamar itu terang-benderang. Berbareng suara beberapa orang sedang menanja: “Ada apa? Ada apa?”

“Tolong! Ada Djay-hoa-tjat (maling tjabul)! Tolong!” masih wanita itu ber-teriak2.

Tik Hun mendjadi gusar, serunja: “Ken.......kenapa kau sembarangan omong!” ~ berbareng iapun men-dorong2 hendak melepaskan diri.

Kalau tadi wanita itu menjikap kentjang2 pinggangnja Tik Hun, adalah sekarang ia malah menolak dorongan Tik Hun itu sambil berseru: “Djangan pegang2, djangan pegang2 aku!”

Dan selagi Tik Hun hendak berlari menjingkir, “njes” tahu2 tengkuknja terasa dingin, sebatang pedang telah mengantjam lehernja. Dan sedang Tik Hun hendak membela diri, se-konjong2 sinar putih berkelebat, ia merasa tangan kanan kesakitan, “trang” pedangnja sudah djatuh kelantai. Waktu ia memandang kebawah, hampir2 ia djatuh kelengar. Ternjata kelima djari tangan kanannja telah dipapas orang hingga habis, darah memantjur keluar bagai mata air.

Waktu Tik Hun melirik, ia lihat Go Him berdiri disampingnja sambil menghunus pedang jang bernoda darah. “Kau!” hanja ini sadja tertjetus dari mulutnja Tik Hun, berbareng kakinja terus mendepak.

Tapi mendadak punggungnja terasa digebuk orang sekali hingga ia ter-hujung2 dan djatuh menindih diatas badan wanita tadi. Kembali wanita itu ber-teriak2 pula: “Aduh! Tolong! Tolong! Ada maling!”

“Ringkus bangsat ketjil ini!” terdengar Loh Kun berkata.

Tik Hun sudah nekad dan akan mengadu djiwa dengan mereka. Meski dia tjuma seorang anak desa jang tidak berpengalaman, tapi kini iapun insjaf dirinja telah terdjebak oleh tipu muslihat orang. Maka begitu melompat bangun, terus sadja Loh Kun hendak dirangsangnja. Tapi sekilas dilihatnja satu wadjah jang tjantik dan putjat. Itulah Djik Hong.

Tik Hun tertegun, ia lihat mimik wadjah Djik Hong penuh mengundjuk rasa duka, marah, dan hina pula. “Sumoay!” serunja.

Muka Djik Hong merah padam, sahutnja: “Ken........kenapa kau berbuat begini?”

Meski rasa Tik Hun penuh penasaran, namun dalam saat demikian ia mendjadi tidak sanggup buka suara.

Maka menangislah Djik Hong, katanja pula sambil terguguk sedih: “O, le........ lebih baik aku mati sadja!” ~ Dan demi nampak kelima djari tangan Tik Hun terkutung, ia ikut sedih. Tanpa pikir ia robek udjung badjunja dan mendekati sang Suheng untuk membalut lukanja.

Saking kesakitan, beberapa kali hampir2 Tik Hun pingsan, namun ia bertahan sekuat-kuatnja sambil mengertak gigi hingga bibir sendiri tergigit petjah.

“Siausunio (ibu guru ketjil), bangsat ini berani berbuat kurang adjar padamu, tentu kami akan tjintjang dia,” demikian kata Loh Kun kemudian.

Kiranja wanita itu adalah gundiknja Ban Tjin-san, namanja si Mirah. Dengan aksi ia menutupi mukanja sendiri sambil menangis pula: “O, matjam2 budjukan jang dia katakan padaku. Ia bilang gurumu su........sudah mati dan suruh aku mengikut dia. Ia bilang ajahnja nona Djik telah membunuh orang hingga dia ikut tersangkut urusan. Ia mengatakan telah banjak mengumpulkan harta benda, sudah kaja-raja mendadak, aku diadjak ikut minggat........”

Dalam keadaan bingung Tik Hun tidak sanggup lagi membela diri, ia tjuma bisa menggumam: “Bohong, bohong!”

“Hajo pergi menggeledah kamar bangsat ketjil ini!” teriak Tjiu Kin.

Maka be-ramai2 Tik Hun lantas digusur kekamarnja. Dengan bingung Djik Hong ikut djuga dari belakang. Sebaliknja Ban Ka lantas berkata: “Kalian djangan bikin susah Tik-suko, belum terang perkaranja, djangan sampai mempitenah orang baik2.”

“Huh, masakah perkaranja masih kurang djelas?” udjar Tjiu Kin dengan gusar.

“Apakah tadi engkau tidak mendengar dan menjaksikan sendiri?” kata Tjiu Kin.

“Ja, tapi boleh djadi karena dia terlalu banjak minum, dalam keadaan mabuk mendjadi silap,” sahut Ban Ka.

Datangnja kedjadian2 itu sangat tjepat hingga Djik Hong sudah tidak bisa berpikir pula. Diam2 ia sangat berterima kasih mendengar Ban Ka membela Tik Hun. Dengan pelahan iapun berkata padanja: “Ban-suko, memang Tik-suheng bukanlah orang sematjam itu.”

“Ja, makanja aku kira dia terlalu banjak minum, soal mentjuri tentu tak nanti diperbuatnja,” sahut Ban Ka.

Tengah bitjara, Tik Hun sudah digusur kedalam kamarnja. Sepasang mata Sim Sia berdjelilatan kian kemari, tiba2 ia mendekati tempat tidur, ia tarik keluar satu bungkusan jang antap dan bersuara gemerintjingnja logam.

Karuan Tik Hun bertambah kaget, ia lihat Sim Sia membuka bungkusan itu dan menuang keluar isinja. Ternjata semuanja adalah perkakas2 rumah tangga dari emas dan perak.

Kembali Djik Hong mendjerit sambil memegangi medja. Segera Ban Ka menghiburnja: “Djangan kuatir, Djik-sumoay, pelahan2 kita mentjari daja lain.”

Menjusul Pang Tan menjingkap kasur dan tertampak pula dua bungkusan lain, waktu dibuka, isinja adalah emas intan dan perhiasan permata.

Kini Djik Hong tidak ragu2 lagi, menjesalnja tidak kepalang, sungguh kalau bisa ia ingin membunuh diri sadja. Sedjak ketjil ia dibesarkan bersama Tik Hun, dalam pandangannja pemuda itu adalah tjalon suaminja kelak. Siapa duga kekasih jang sangat dihormat dan ditjintainja itu dikala dirinja sedang dirundung malang lantas akan minggat bersama wanita lain. Apa benar2 wanita jang genit ini telah berhasil menggodanja atau dia kuatir tersangkut perkaranja ajah, maka ingin melarikan diri? Demikian pikirnja.

Dalam pada itu Loh Kun telah memaki: “Bangsat, bukti2 sudah njata, apakah kau masih berani menjangkal?” ~ Berbareng itu, “plak-plok”, kontan ia tempilling Tik Hun dua kali.

Karena kedua tangannja dipegangi Sun Kin dan Go Him, Tik Hun tidak dapat menangkis, karuan pipinja terus merah abuh. Bahkan Loh Kun belum puas, kembali ia djotos sekali pula didadanja Tik Hun.

“Djangan, djangan memukulnja! Ada apa bisa dibitjarakan setjara baik2,” seru Djik Hong melerai.

“Mampuskan dulu bangsat ketjil ini baru diseret kepengadilan negeri,” seru Tjiu Kin. Berbareng iapun menghantam sekali.

Tak tahan lagi Tik Hun menjemburkan darah.

Segera Pang Tan pun madju dengan pedang terhunus, katanja:

“Potong sekalian tangan kirinja, biar dia buntung!”

Terus sadja Sun Kin angkat lengan kiri Tik Hun dan Pang Tan ajun pedangnja hendak menabas. Saking kuatirnja sampai Djik Hong mendjerit sekali. Maka berkatalah Ban Ka: “Sudahlah, djangan bikin susah dia lagi, biar kita serahkan dia kepada jang berwadjib sadja.”

Melihat Pang Tan sudah menarik kembali pedangnja, barulah Djik Hong merasa lega, dengan air mata ber-linang2 ia pandang sekedjap kepada Ban Ka dengan penuh rasa terima kasih.

***

Sudah tentu didepan pembesar negeri djuga Tik Hun takbisa memberi pengakuan jang memuaskan. Sama sekali tak tersangka olehnja bahwa sang Sumoay jang ditjintainja itupun pertjaja dirinja mendjadi maling dan bermaksud membawa minggat perempuan lain..............

“Satu, dua, tiga, empat............” begitulah rangketan petugas jang menghudjani bebokong Tik Hun. Walaupun rangketan itu sangat keras, namun kalau dibandingkan hatinja jang sakit waktu itu, rangketan itu boleh dikata tiada artinja, bahkan rasa sakit luka tangan kanannjapun takada artinja lagi.

“........sepuluh........limabelas............duapuluh.........” demikian Tik Hun terus dihudjani rangketan hingga kulit dagingnja melotjot sampai achirnja iapun tak sadarkan diri.

Ketika Tik Hun siuman didalam pendjara, ia merasa kepalanja sangat berat, ia tidak tahu dimana dirinja berada saat itu dan sudah lewat berapa lamanja. Pelahan2 ia merasakan kesakitan luka djari tangannja itu, kemudian merasakan gigir, paha dan bokong djuga kesakitan sekali. Ia ingin membalik tubuh supaja tempat jang kesakitan itu tidak tertindih dibawah, tapi mendadak pundaknja djuga kesakitan luar biasa, kembali ia djatuh pingsan.

Ketika untuk kedua kalinja ia siuman, pertama jang terdengar olehnja adalah suara rintihannja sendiri, menjusul terasalah kesakitan diantero tubuhnja. Ia tidak tahu mengapa pundaknja sedemikian sakitnja? Apakah disebabkan kedua pundaknja djuga dipapas orang? Sungguh ia tidak berani memandang lagi.

Mendadak ia mendengar suara gemerintjingnja benturan besi, waktu ia menunduk, ia lihat ada dua utas rantai mendjulur turun dari pundaknja sendiri. Karuan ia kaget dan takut. Ketika ia melirik kepundak, seketika gemetarlah tubuhnja. Dan karena gemetar, pundaknja mendjadi lebih kesakitan lagi.

Kiranja kedua rantai itu telah menerobos “Pi-pe-kut” (tulang pundak) dipundaknja dan udjungnja digembok bersatu dengan rantai belenggu kaki dan tangannja.

Bahwa tulang pundak dilubangi, ia pernah mendengar tjerita gurunja, tjara itu katanja tjuma dilakukan oleh pembesar negeri terhadap pendjahat kaliber besar. Sekali Pi-pe-kut ditembus, sekalipun kepandaianmu setinggi langit djuga tak berguna lagi. Sesaat itu timbul matjam2 pertanjaan dalam benaknja Tik Hun. “Kenapa aku diperlakukan begini? Aku terpitenah, apa pembesar negeri tak tahu?”

Ketika diperiksa Tikoan (Bupati), pernah djuga ia menuturkan apa jang terdjadi sebenarnja. Akan tetapi ia kalah bukti dan saksi. Si Mirah, itu gundiknja Ban Tjin-san tegas2 menuduh dia bermaksud memperkosanja. Kedelapan muridnja Ban Tjin-san djuga

menjatakan menemukan bukti2 harta tjuriannja dikamarnja Tik Hun. Opas2 kota Hengtjiu djuga mengatakan tidak mungkin ada pendjahat jang berani menggerajangi keluarga Ban jang disegani itu.

Tik Hun masih ingat wadjah Tikoan itu tjukup welas-asih tampaknja, usianja kira2 setengah umur. Ia jakin tuan besar Tikoan itu tj0uma sementara ini pertjaja pada aduan orang tapi achirnja pasti dapat menjelidiki duduk perkara jang sebenarnja. Akan tetapi kelima djari tangannja telah dipapas orang, kelak mana dapat menggunakan pedang lagi?

Begitulah dengan penuh rasa gusar, sesal dan sedih, tanpa hiraukan rasa sakit ia terus berbangkit dan ber-teriak2: “Penasaran! Penasaran!” ~ Tapi mendadak kakinja terasa lemas, ia terbanting djatuh lagi.

Watak Tik Hun memang sangat keras kepala, segera ia meronta hendak bangun pula. Tapi baru sadja berdiri, kembali kakinja lemas, lagi2 ia roboh telungkup. Namun sambil me-rangkak2 ia masih ber-teriak2: “Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah!”

“Hehe, otot tulangmu telah dirusak orang, kepandaianmu telah punah semua, hehe, modal jang kau tanam ini sungguh tidak ketjil!” demikian tiba2 suara seorang berkata dengan dingin dipodjok kamar pendjara itu.

Namun Tik Hun tidak gubris pada siapa jang berbitjara itu dan apa artinja kata2 itu, ia masih terus berteriak: “Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah!”

Mendengar suara ribut itu, seorang sipir bui mendatanginja dan membentak: “Ada apa kau gembar-gembor, lekas tutup batjotmu!”

Tapi teriakan Tik Hun semakin keras: “Aku tidak bersalah!”

“Kau tutup mulut tidak?” bentak sipir bui itu dengan gusar.

Namun Tik Hun berteriak terlebih keras lagi. Sipir bui itu menjengir edjek sekali, ia putar pergi dan datang pula dengan membawa seember air. Dari luar rudji kamar bui itu, terus sadja ia siramkan air itu kebadan Tik Hun.

Seketika Tik Hun mengendus bau pesing, hendak menghindar sudah tak keburu lagi, karuan seluruh tubuhnja basah kujup. Kiranja air jang disiramkan sipir bui itu adalah air kentjing.

Air kentjing mengandung kadar garam, maka rasa sakit luka2 Tik Hun itu bertambah perih oleh karena tersiram air kentjing jang asin itu. Matanja mendjadi ber-kunang2 dan gelap, kembali ia pingsan lagi.

Tik Hun tak tahan lagi oleh siksaan itu, ia djatuh sakit panas, dalam keadaan tak sadar ia selalu mengigau memanggil Suhu dan Sumoay. Ber-turut2 tiga hari ia sama sekali tidak makan nasi jang dihantarkan sipir bui.

Sampai hari keempat, panas badannja sudah mulai hilang. Luka2nja djuga sudah mulai kaku hingga tidak terlalu sakit seperti tempo hari. Dan begitu ingat pada penasarannja, kembali ia berteriak: “Aku tidak bersalah!” ~ Tapi suaranja sekarang sudah terlalu lemah, ia tjuma bisa me-rintih2 sadja.

Setelah duduk sebentar dan agak tenang, ia tjoba memeriksa keadaan kamar bui jang terbuat dari batu itu, luasnja kira2 tiga meter persegi, lantainja batu, dindingnja djuga batu. Dipodjok sana terdapat sebuah tong kotoran, bau jang tertjium olehnja adalah bau apek dan batjin melulu. Waktu ia berpaling, ia lihat diudjung sana ada sepasang mata jang bengis sedang melotot kepadanja.

Ia terkedjut. Tak tersangka olehnja didalam bui itu masih ada seorang lain lagi. Ia lihat orang itu penuh berewok, rambutnja pandjang terurai sampai diatas pundak, badjunja tjompang-tjamping tak keruan hingga lebih mirip orang hutan. Ada djuga persamaannja dengan dirinja, jaitu kaki-tangan orang itupun diborgol, bahkan Pi-pe-kut dipundaknja djuga ditembusi dua utas rantai.

Melihat itu, perasaan jang per-tama2 timbul padanja adalah senang, sebab didunia ini ternjata masih ada seorang lagi jang tidaak beruntung dan senasib seperti dirinja. Tapi lantas pikirnja pula: “Orang ini begini bengis, tentu seorang pendjahat kaliber besar. Ia dihukum karena setimpal dengan dosanja, tapi aku dihukum tanpa salah. Takdapat aku dipersamakan dia.” ~ Berpikir sampai disini, tanpa merasa air matanja terus bertjutjuran.

Waktu ia dirangket dan dipendjarakan, meski sudah banjak derita jang dirasakan, tapi selama itu ia mengertak gigi bertahan sebisanja dan tidak pernah meneteskan air mata. Tapi kini mendadak menangis, ia mendjadi tak tahan lagi, achirnja ia menangis ter-gerung2 dengan keras.

“Hm, permainanmu sungguh hidup benar, pandai sekali kau! Apa engkau bekas pemain sandiwara, ja?” edjek sihukuman berewok itu.

Namun Tik Hun tidak menggubrisnja, ia tetap menangis se-keras2nja. Maka terdengarlah suara sipir bui itu mendatangi lagi dengan membawa seember air ketjing pula. Melihat itu, betapa pun Tik Hun kepala batu djuga sudah kapok, kuatir kalau disiram air kentjing lagi, terpaksa ia berhentikan tangisannja.

Tiba2 sipir itu mengamat-amatinja sedjenak, lalu katanja: “Badjingan tjilik, itulah ada orang datang mendjenguk kau!”

Girang tertjampur kedjut Tik Hun, tjepat tanjanja: “Sia..........siapa?”

Sipir itu memandangnja sedjenak pula, lalu mengeluarkan kuntji untuk membuka gembok pintu. Kemudian iapun keluar untuk membuka pintu besi diudjung lorong sana, ketika pintu besi diluar itu dikuntji lagi, maka terdengarlah suara tindakan tiga orang mendatangi. Saking girangnja Tik Hun terus melompat bangun, tapi kakinja masih lemas, ia terguling pula, terpaksa bersandar didinding sambil memandang keluar. Karena bergeraknja itu, pundaknja mendjadi sangat kesakitan, tapi untuk sementara sudah dilupakan olehnja, sebab dia jakin orang jang datang itu tentu Suhu dan Sumoaynja.

Mendadak seruan “Suhu” jang diutjapkan separoh itu ditelannja kembali hingga mulutnja masih ternganga. Ternjata ketiga orang jang datang itu per-tama2 memang betul sipir bui itu, orang kedua djuga benar adalah sang Sumoay, Djik Hong, tapi orang ketiga ternjata seorang pemuda ganteng berdandan perlente, itulah Ban Ka adanja.

“Suko, Suko!” seru Djik Hong segera sambil menubruk kepinggir langkan besi.

Tik Hun mendekatinja, ia lihat pakaian gadis itu terdiri dari bahan sutera, terang bukan lagi badju baru jang dipakainja dari desa itu. Karena itu ia melangkah mundur lagi. Ia lihat kedua mata sigadis merah bendul dan masih berseru: “Suko, Suko, kau......... kau...........”

“Dimana Suhu?” sela Tik Hun. “Apakah beliau sudah diketemukan?”

Djik Hong menggeleng kepala dan air matanja ber-linang2 tanpa mendjawab.

“Baikkah engkau? Tinggal dimana kau?” tanja Tik Hun pula.

“Aku tidak punja tempat meneduh, maka sementara tinggal di rumah Ban-suko........”

“Tempat itu adalah tempat tjelaka, djangan engkau tinggal disana, le........lekas pindah keluar!” seru Tik Hun.

Djik Hong menunduk, sahutnja dengan pelahan: “Tapi ke.......kemana aku harus pergi? Aku tidak punja uang pula. Ban-suko djuga sang.........sangat baik padaku. Selama beberapa harini ia selalu..........selalu mendatangi kantor kabupaten, ia sudah banjak mengeluarkan uangnja untuk meno........menolong engkau.”

Tik Hun semakin gusar, teriaknja: “Aku toh tidak bersalah, perlu apa dia membuang uang? Dan tjara bagaimana kita harus membajar kembali padanja kelak? Nanti kalau Tikoan Tayloya sudah terang menjelidiki perkaraku, tentu aku akan dibebaskan.”

“O, ken.......kenapa engkau berbuat begitu? Mengapa hen........hendak meninggalkan aku?” demikian tiba-tiba Djik Hong menangis pula setengah meratap.

Tik Hun tertjengang sedjenak, tapi segera iapun paham. Ternjata sampai sekarang sang Sumoay masih pertjaja dia telah perlip-perlipan dengan wanita lain serta mentjuri harta milik orang. Sesaat itu rasa sakit hatinja itu djauh lebih menderita daripada sakit segala siksaan badan. Rasanja be-ribu2 kata hendak didjelaskannja kepada Djik Hong, tapi toh seketjappun tak sanggup diutjapkannja se-akan2 mulutnja sudah tak berkuasa lagi.

Melihat sikap Tik Hun jang luar biasa itu, Djik Hong mendjadi takut, ia berpaling tidak berani memandangnja lagi.

Melihat sang Sumoay mendadak melengos, sungguh hantjur luluh hati Tik Hun. Ia sangka sigadis sudah sedemikian bentji dan dendam padanja karena ia telah main serong dengan wanita lain dan mentjuri milik orang. “O, Sumoay, djika engkau sudah tidak mempertjajai diriku lagi, kenapa engkau datang pula mendjenguk aku?” demikian keluhnja dalam hati. Maka ia tidak berani pandang sigadis pula, pelahan2 iapun berputar menghadap dinding.

Djik Hong menoleh pula, katanja: “Suko, apa jang sudah lalu, tak perlu kita bitjarakan lagi sekarang, jang kuharap semoga selekasnja dapat memperoleh beritanja ajah. Ban-suko djuga .....djuga akan berdaja untuk mendjamin kau keluar........”\Sebenarnja hati Tik Hun ingin mengatakan tidak sudi didjamin dan ingin bilang engkau djangan tinggal dirumahnja, tapi meski mulutnja sudah terpentang, rasanja toh sangat berat mengeluarkan suara. Saking terguntjang perasaannja hingga badannja gemetar, rantai belenggunja ikut bersuara gemerintjing.

“Temponja sudah habis, lekas” desak sipir bui. “Disini adalah pendjara kusus untuk hukuman berat, sebenarnja dilarang orang mendjenguk, kalau diketahui atasan, tentu kami tjelaka. Nona, meski orang ini dapat keluar dengan hidup djuga bakal mendjadi tjatjad, maka lebih baik engkau melupakan dia sadja dan kawinlah dengan seorang pemuda jang ganteng lagi kaja!” ~ Habis berkata, ia pandang Ban Ka sekedjap dengan senjum berarti.

“Toasiok sebentar lagi,” mohon Djik Hong. Lalu ia ulurkan tangannja untuk menarik badju Tik Hun, katanja pula: “Suko, djanganlah kau kuatir, aku pasti minta Ban-suko menolong keluar kau, lalu kita bersama akan pergi mentjari ajah.” ~ Ia angsurkan sebuah kerandjang ketjil kedalam kamar dan katanja: “Didalam kerandjang ada sedikit Siobak, ikan pindang, telur ajam dan ada lagi dua tahil uang perak. Suko.........”

Sipir bui sudah tidak sabar lagi, bentaknja: “Nona, djangan omong terus, aku takbisa menunggu lagi!”

Dan baru sekarang Ban Ka ikut buka suara: “Tik-suheng, djagalah dirimu baik2, perkaramu adalah perkaraku. Siaute pasti akan berusaha sebisanja untuk minta keringanan pada Koanthayya dan lain hari kami akan menengok kau lagi.”

Dalam pada itu sipir bui sedang men-desak2 lagi, terpaksa Djik Hong bertindak keluar sambil menoleh2 memandang Tik Hun, ia lihat pemuda itu menegak bagai patung, sedikitpun tidak bergerak dan tetap menghadap dinding.

Jang terllihat oleh Tik Hun waktu itu melulu dekat-dekuk dinding batu jang kasap itu, sungguh ia ingin menoleh dan ingin memanggil Sumoay, tapi mulutnja serasa gagu dan lehernja djuga se-akan2 kaku.

Ia dengar tindakan tiga orang semakin mendjauh, mendengar suara pintu besi dibuka dan ditutup kembali, lalu tindakan sipir bui jang berdjalan kembali. Ia pikir: “Ia mengatakan akan mendjenguk aku lagi, apakah esok dia akan datang?”

Tik Hun merasa lapar djuga, segera ia hendak mengambil penganan dari kerandjang jang ditinggalkan Djik Hong itu. Tapi tiba2 sebuah tangan jang lebat dengan bulu2 hitam menjamber jang dipegangnja itu. Itulah dia sihukuman jang bengis itu.

Setelah merebut penganan itu, terus sadja orang itu mentjomot sepotong daging dan diganjang dengan lahap.

“Itu milikku!” teriak Tik Hun terus hendak merebut kembali. Tapi sekali perantaian itu mendorongnja, Tik Hun tak sanggup berdiri tegak lagi, ia djatuh terdjengkang hingga kepalanja membentur dinding batu. Baru sekarang Tik Hun mendjadi djelas bahwa dirinja benar2 telah berubah seorang tjatjat sesudah Pi-pe-kut dipundak ditembus dan otot kaki dipotong orang..........

Besoknja Djik Hong tidak kelihatan, hari ketiga djuga tidak muntjul, begitu pula hari keempat dan selandjutnja. Se-hari2 Tik Hun ber-harap2 bisa melihat sang Sumoay lagi, tapi selalu ketjewa, dari ketjewa mendjadi putus asa. Sampai belasan hari, Tik Hun benar2 seperti orang gila. Ia ber-teriak2 dan gembar-gembor, ia bentur2kan kepalanja kedinding hingga bendjut, tapi Djik Hong tetap tidak kundjung tiba, jang datang adalah siraman air kentjing sipir bui dan hadiah bogem mentah siperantaian jang ganas itu.

Selang setengah bulan lebih, pelahan2 Tik Hun mendjadi tenang, tapi sepatah katapun sekarang tak diutjapkan lagi.

Suatu malam, tiba2 datang empat petugas pendjara dengan membawa golok, mereka menjeret keluar siberewok jang ganas itu. Diam2 Tik Hun pikir: “Apakah dia akan dihukum penggal kepala? Djika begitu malahan lebih baik baginja daripada tersiksa hidup didalam pendjara. Dan akupun takkan dianiaja lagi olehnja.”

Tengah malam, selagi Tik Hun tidur, tiba2 terdengar suara gemerintjingnja rantai, keempat petugas bui itu telah menggusur kembali siganas itu. Dari sinar bulan jang menembus masuk melalui lankan besi Tik Hun dapat melihat muka, tangan dan pundak siberewok itu penuh darah, terang habis dihadjar orang hingga babak-belur.

Dan begitu merebah dilantai, siganas itu lantas tak sadarkan diri. Sesudah petugas2 pendjara pergi, Tik Hun tjoba mengamat-amati orang, ia lihat muka, lengan, kaki dan pundaknja penuh luka bekas tjambukan. Dasar hati Tik Hun memang welas-asih, meski selama ini ia sendiri sering dihadjar orang itu, namun melihat keadaannja jang mengenaskan itu, ia mendjadi tidak tega. Ia menuang sedikit air dari kendi dan diminumkan padanja.

Pelahan2 perantaian itu siuman, dan ketika melihat Tik Hun, mendadak ia angkat belenggu tangannja dan mengepruk keatas kepala pemuda itu.

Meski Tik Hun sudah kehilangan tenaga, tapi kegesitannja masih ada, tjepat ia mengegos. Diluar dugaan serangan perantaiannja itu tidak djadi dilontarkan terus, tapi ditengah djalan mendadak membiluk kesamping, lalu menghantam kepinggang Tik Hun. Inilah sematjam gaja serangan jang lihay dari ilmu silat. Tanpa ampun lagi Tik Hun terpental djatuh, karena gesekan diantara rantai jang menembus tulang pundak dan belenggunja itu, Tik Hun sampai meringis kesakitan. Saking kedjut dan gusar ia terus memaki: “Orang gila!”

“Hm, kau memakai akal menjiksa diri, kau kira mudah mengelabui aku? Huh, djangan kau mimpi!” demikian djengek siganas itu sambil ter-bahak2.

Tik Hun merasa tulang iganja se-akan2 patah, saking sakitnja sampai takbisa bitjara. Selang agak lama barulah ia sanggup berkata: “Orang gila! Kau sendiri dalam pendjara, apanja jang kuatir diakali orang?”

Tiba2 perantaian itu melompat madju, ia depak punggung Tik Hun, menjusul menendang pula beberapa kali dibagian tubuh Tik Hun jang lain sambil membentak: “Kulihat usia kau bangsat ketjil ini masih muda, belum banjak kedjahatan jang kau lakukan dan tentu kau diperintah orang lain kesini, kalau tidak, hm, sekali tendang sudah kumampuskan engkau!”

Sungguh gusar Tik Hun tak terkatakan hingga lupa rasa sakit dibadannja. Ia pikir dipendjarakan dan disiksa tanpa bersalah sudah sangat penasaran, kini mesti dikurung lagi sekamar dengan seorang gila seperti ini, benar2 sial dangkalan.

***

Ketika malam purnama bulan kedua tiba, perantaian ganas itu digiring keluar lagi oleh petugas pendjara, setelah dihadjar pula kemudian digusur kembali.

Sekali ini Tik Hun sudah kapok, ia tidak peduli lagi biarpun luka perantaian itu sangat parah.

Siapa duga sikapnja inipun salah lagi. Karena habis dihadjar orang, amarah perantaian itu tak terlampiaskan, meski dalam keadaan babak-belur, kembali Tik Hun jang didjadikan sasaran pelampias gusarnja, ia menghantam dan menendang serabutan sambil mentjatji maki hingga djauh malam.

Begitulah maka selandjutnja tiap2 mendjelang malam purnama, tentu Tik Hun bermuram durdja, sebab ia tahu hari naas baginja pun sudah mendekat.

Dan memang benar djuga, setiap tanggal 15, jaitu diwaktu bulan purnama, tentu perantaian itu diseret keluar untuk dihadjar, dan kembalinja lagi2 Tik Hun mendjadi giliran dihadjar olehnja. Untunglah usia Tik Hun masih muda, badan kuat tenaga besar, meski setiap bulan sekali menderita hadjaran, namun ia masih dapat bertahan. Tjuma terkadang ia suka heran sendiri: “Tulang pundakku ditembusi rantai dan tenagaku lenjap semua. Sama halnja Pi-pe-kut orang gila inipun ditembus rantai, mengapa dia masih begini kuat?”

Beberapa kali Tik Hun bermaksud menanja, tapi asal mulutnja mengap sedikit sadja, segera ia dipersen pukulan dan tendangan oleh orang gila itu. Karena itu, selandjutnja seketjappun ia tidak adjak bitjara lagi padanja.

Dengan begitu beberapa bulan telah lalu dengan tjepat, musim dingin berganti musim semi, Tik Hun dipendjarakan sudah hampir setahun lamanja. Lambat laun Tik Hun mendjadi biasa oleh penghidupan dalam pendjara itu, rasa dendam dan gusar serta penderitaan badan baginja sudah kebal. Selama itu, untuk menghindarkan aniaja perantaian gila itu, selalu ia tidak berani memandangnja. Asal djangan mengadjak bitjara dan sorot mata tidak kebentrok dengan pandangannja, ketjuali dimalam bulan purnama, di-hari2 biasa orang gila itupun tidak meng-utik2 padanja.

Suatu pagi, belum lagi Tik Hun mendusin, tiba2 ia terdjaga oleh suara men-tjit2nja burung lajang2 diluar kamar pendjara. Teringat olehnja dimasa kanak2 ia suka mengintai tjara burung lajang2 mebangun sarang. Se-konjong2 pilu hatinja, ia memandang kearah burung itu, ia lihat sepasang burung lajang2 itu sudah terbang mendjauh melajang lewat dibawah djendela sebuah loteng jang belasan meter tingginja.

Dalam isengnja sering Tik Hun memandangi gorden djendela dikedjauhan itu sambil men-duga2 siapakah gerangan orang jang tinggal dibalik djendela itu. Tapi djendela itu selalu tertutup, hanja didepan djendela itu setahun suntuk selalu terhias sebuah pot bunga, dimusim semi jang semarak itu bunga melati dipot bunga itu sedang mekar.

Tengah Tik Hun mengelamun, tiba2 didengarnja suara menghela napas sigila itu.

Hal ini benar2 sangat mengherankan Tik Hun. Selama setahun itu, orang gila itu kalau tidak tertawa keras, tentu mentjatji-maki orang, tapi selamanja tidak pernah mendengar dia menghela napas, apalagi diantara helaan napasnja itu kedengaran membawa rasa sedih dan lemah-lembut pula.

Tik Hun tjoba memandangnja, ia lihat sigila itu lagi ter-senjum2, wadjahnja memantulkan rasa melekat, tidak lagi matjam sigila jang bengis itu, dan pandangannja lagi menatap pot bunga melati itu.

Kuatir kalau diketahui orang, lekas2 Tik Hun berpaling tak berani memandangnja lagi.

Sedjak mengetahui rahasia itu, setiap pagi Tik Hun tentu mengintip sikap sigila itu. Ia lihat sigila itu selalu memandangi pot bunga itu dengan rasa lemah-lembut, ia memandang terus meski bunga didalam pot itu sudah ber-ganti menurut musimnja.

Dalam setengah tahun berikutnja itu, mereka berdua hampir tidak pernah bitjara. Hadjaran dimalam purnama pun sudah merupakan atjara biasa bagi mereka. Tik Hun mengetahui asal dirinja tidak membuka suara, maka rasa gusar sigila itu akan agak reda, pukulan dan tendangannja pun lebih ringan. Tik Hun pikir kalau lewat beberapa tahun lagi tersekap dalam pendjara itu, mungkin tjara bagaimana harus bitjarapun akan terlupa semua olehnja.”

Dan meski sigila itu sangat kasar dan tidak kenal aturan, namun ada djuga paedahnja, jaitu petugas2 bui sangat takut padanja dan tidak berani sembarangan datang kekamar pendjara itu. Sigila itu benar2 seorang jang tidak gentar pada langit dan bumi, setiap orang dimakinja habis2an. Bila sipir bui mogok tak menghantar daharan padanja, sebagai gantinja ia lantas rebut bagiannja Tik Hun. Dan kalau ke-dua2nja tak diberi makanan, biarpun kelaparan beberapa hari djuga sigila itu anggap biasa.

Sampai tanggal 15 bulan sebelas tahun kedua ini, sesudah sigila itu kembali dihadjar, tiba2 ia sakit panas, dalam keadaan tak sadar ia mengigau tak keruan. Sampai2 Tik Hun mendengar dia sering menjebut nama entah “Momo” atau “Maumau”. Semula Tik Hun tidak berani mengutiknja, tapi sampai besok siangnja, ia dengar sigila me-rintih2 minta air.

Karena tidak tega, Tik Hun menuangkan air jang diminta dan diminumkan kepadanja sambil ber-djaga2 kalau bogem mentah sigila itu melajang pula. Baiknja sekali ini ia minum dengan lantjar, setelah menjebut lagi entah “Momo” atau “Maumau”, lalu ia tertidur.

Malamnja, ternjata datang lagi keempat petugas bui dan menjeret keluar sigila untuk dihadjar pula. Kembalinja suara rintihan sigila itu sudah sangat lemah. Terdengar salah seorang petugas bui itu membentak dengan gemas: “Kau kepala batu dan tidak mau mengaku, biarlah besok kami hadjar pula lebih hebat.”

Sudah dua tahun Tik Hun hidup sekamar dengan perantaian itu, meski selama itu ia kenjang dianiaja olehnja, namun iapun tidak ingin orang mati disiksa oleh petugas2 bui itu. Besoknja, ada beberapa kali Tik Hun minumkan air padanja, sigila itu meng-angguk2 tanda terima kasih.

Malamnja, benar djuga keempat petugas bui itu datang lagi. Tik Hun pikir kalau sekali ini sigila disiksa pula, tentu djiwanja akan melajang. Mendadak Tik Hun mendjadi nekad, ia melompat madju dan merintangi diambang pintu pendjara sambil membentak: “Dilarang kalian masuk!”

“Minggir, bangsat!” maki salah seorang petugas jang berbadan tinggi besar sambil melangkah masuk dan hendak mendorong Tik Hun.

Karena tak bertenaga, se-konjong2 Tik Hun menunduk terus menggigit hingga kedua djari telundjuk dan manis petugas itu berdarah dan hampir patah. Keruan petugas itu mendjerit kesakitan dan tjepat melompat keluar kamar pendjara. Saking gugupnja sampai golok petugas itupun djatuh kelantai.

Tjepat Tik Hun samber golok orang, menjusul ia membabat kian kemari tiga kali, meski dia tak bertenaga, namun mana berani petugas2 itu sembarangan madju? Pada lain saat, ketika seorang petugas jang gemuk ajun goloknja hendak menerdjang madju, tiba2 Tik Hun miringkan tubuh kesamping, dengan tjepat goloknja membatjok kekaki lawan, “tjrot”, tepat paha petugas itu kena dilukai. Dengan ketakutan lekas2 petugas itu mendjatuhkan diri dan lari keluar.

Dengan tekad bandjir darah dikamar pendjara itu, apalagi nampak Tik Hun mengamuk bagai banteng ketaton, keempat petugas bui itu mendjadi djeri dan tidak berani sembarangan madju lagi. Mereka terus mentjatji-maki Tik Hun habis2an dengan segala matjam kata2 kotor.

Tik Hun tidak menggubrisnja, bagai malaikat pendjaga pintu, ia djaga pintu kamar pendjara itu dengan kuat. Ternjata keempat petugas bui itupun tidak pergi minta bala bantuan, melihat gelagat menjerbu kedalam takkan berhasil, achirnja merekapun tinggal pergi.

Ber-turut2 empat hari sipir bui sama sekali tidak kelihatan, tidak hantar nasi djuga tidak kasih air. Sampai hari kelima, rasa dahaga Tik Hun sudah tidak tahan, lebih2 sigila itu, bibirnja sampai petjah2 saking keringnja. Tiba2 katanja: “Kau boleh pura2 hendak membatjok mati aku, tentu anak andjing itu akan segera membawakan air!”

Tik Hun tidak mengarti apa2an itu, tapi achirnja toh tiada djeleknja, boleh djuga ditjoba. Maka segera ia ber-teriak2: “Lekas kasih air, kalau tidak, biar kumampuskan dulu orang gila ini!” ~ Habis berkata, ia meng-gosok2 punggung goloknja dirudji besi pintu hingga mengeluarkan suara njaring mirip orang sedang mengasah sendjata.

Eh, benar djuga sipir bui itu buru2 mendatangi sambil mem-bentak2: “Kau berani mengganggu seudjung rambutnja, segera kutikam seratus ribu kali ditubuhmu!” ~ Tapi kemudian ia lantas membawakan air minum dan nasi.

Selesai Tik Hun menjuap sigila itu, kemudian ia menanja: “Sungguh aneh, mereka menjiksa engkau, tapi kuatir pula kalau aku membunuh engkau, apakah sebabnja ini?”

Mendadak sigila mendelik, ia angkat kendi wadah air dan mengepruk kepalanja Tik Hun sambil memaki: “Hm, kau pura2 mengambil hatiku, apa kau sangka aku mudah tertipu?”

“Prak”, kendi petjah dan djidat Tik Hun pun melotjot dan darah mengutjur. Dengan bingung ia melompat mundur, pikirnja: “Penjakit gila orang ini angot lagi!”

Tapi sedjak itu, meski setiap malam purnama sigila itu masih tetap diseret keluar untuk dihadjar, namun kembalinja ia tidak membalas hadjar Tik Hun lagi. Tjuma kedua orang tetap tidak pasang omong, bila Tik Hun banjak memandang padanja, tak terhindarlah dari pukulan2 sigila lagi..........

Sampai musim dingin tahun ketiga, harapan keluar pendjara Tik Hun sudah lenjap. Meski dalam mimpi masih sering terbajang Suhu dan Sumoaynja, namun bajangan sang Suhu sudah mulai samar2, hanja bentuk tubuh Sumoay jang montok menggiurkan, raut mukanja jang manis dan matanja jang djeli, selalu masih terbajang olehnja dengan djelas.

Ia tidak berani mengharap lagi untuk keluar pendjara dan bertemu dengan sang Sumoay, namun setiap hari ia tidak lupa selalu berdoa semoga Sumoay akan datang mendjenguknja pula, untuk mana biarpun setiap hari ia akan dihadjar oleh sigila itu djuga rela.

Namun Djik Hong tetap tidak pernah muntjul.

Tapi pada suatu hari telah datang seorang hendak menengoknja. Itulah seorang pemuda ganteng tjakap dengan badju sutera jang mentereng. Hampir Tik Hun tidak kenal pemuda itu. Ia dengar pemuda itu lagi berkata dengan suara tertawa: “Tik-suheng, apakah engkau masih kenal padaku? Akulah Sim Sia adanja!”

Hati Tik Hun ber-debar2 keras, jang dia harap jalah dapat memperoleh sedikit kabarnja Djik Hong. Maka tjepat tanjanja: “Dimanakah Sumoayku?”

Sebelum mendjawab Sim Sia menjodorkan sebuah kerandjang ketjil dari luar lankan pendjara, lalu katanja dengan tertawa: “Ini adalah pemberian dari Ban-suso kami kepadamu. Orang masih belum melupakan perhubungan dimasa dulu, maka dihari bahagianja sengadja minta aku menghantarkan dua ekor ajam, empat potong Tite (kaki babi) dan 16 iris kue-ku kepadamu.”

“Ban-suso (ipar perempuan) jang mana? Hari bahagia apa?” tanja Tik Hun dengan bingung.

“Ban-suso itu tak-lain-tak-bukan adalah nona Djik, Sumoaymu itu,” sahut Sim Sia sambil terbahak dengan mimik wadjah jang memuakkan. “Harini adalah hari pernikahannja dengan Ban-suko kami. Ia suruh aku menghantar ikan ajam dan kue-ku padamu, bukankah itu menandakan dia masih ingat pada kebaikanmu dahulu?”

Tubuh Tik Hun sempojongan, ia pegang kentjang2 lankan pendjara dan teriaknja dengan suara gemetar: “Kau ......kau mengatjo-belo! Sumoay......Sumoayku mana dapat menikah dengan orang she Ban itu?”

“Haha,” kembali Sim Sia tertawa. “Guruku dahulu telah ditikam oleh gurumu, beruntung beliau tidak djadi meninggal, lukanja telah dapat disembuhkan, maka apa jang terdjadi dahulu tak diusut lebih djauh. Sumoaymu tinggal dirumah kami, selama tiga tahun ini, wah alangkah mesranja, boleh djadi .......boleh djadi, haha, lain tahun tanggung akan melahirkan seorang orok jang gemuk dan mungil.”

Tiga tahun tidak berdjumpa, Sim Sia ternjata sudah meningkat dewasa, bitjaranja djuga bertambah bangor.

Sesaat itu telinga Tik Hun se-akan2 mendenging, dan seperti mendengar ia sendiri sedang bertanja: “Dan dimanakah Suhuku?”

“Siapa tahu? Mungkin dia sangka telah membunuh orang, maka melarikan diri sedjauh mungkin, masakah dia masih berani pulang?” demikian seperti didengarnja Sim Sia mendjawab. Dan seperti didengarnja pemuda itu berkata pula dengan tertawa: “Kata Ban-suso: Hendaklah kau lapangkan hatimu dan tinggal didalam pendjara, kelak kalau dia sudah punja beberapa anak, boleh djadi dia kan datang mendjenguk engkau.”

“Bohong kau! Bohong kau!” teriak Tik Hun mendadak dengan murka, berbareng ia lemparkan kerandjang penganan tadi hingga isinja berantakan memenuhi lantai. Ia lihat diatas setiap potong kue-ku itu tertjetak huruf2 merah tanda selamat pernikahan keluarga Ban dan Djik. Hendak Tik Hun tidak pertjaja kepada omongan Sim Sia itu, namun bukti itu membuatnja mau-tak-mau harus pertjaja.

Dalam keadaan samar2 ia mendengar Sim Sia berkata lagi dengan tertawa: “Kata Ban-suso, sajang engkau tidak dapat hadir dalam upatjara pernikahannja........”

Belum habis utjapannja, tiba2 kedua tangan Tik Hun jang terbelenggu itu mendjulur keluar lankan pendjara dan tahu2 leher Sim Sia tertjekek.

Dalam kagetnja Sim Sia terus me-ronta2 ingin melepaskan diri. Namun entah darimana datangnja tenaga Tik Hun, tjekekannja ternjata semakin kentjang. Sim Sia ber-kaok2 minta tolong, wadjahnja dari merah mulai berubah gelap, suaranja mulai serak, kedua tangannja me-ronta2, tapi tetap takbisa melepaskan diri.

Mendengar suara ribut2 itu, datanglah sipir bui, tjepat ia pegang tubuh Sim Sia dan dibetot sekuatnja, dengan susah pajah, achirnja dapatlah djiwa Sim Sia diselamatkan dan buru2 ngatjir.

Tik Hun mendoprok kelantai dengan lemas. Dengan ketawa2 seperti putus lotre sipir bui sedang mendjemputi ikan ajam, kaki babi dan kue-ku jang berserakan itu. Namun Tik Hun hanja mendelik doang se-akan2 tidak melihatnja.

Tengah malam, Tik Hun melepaskan badjunja dan merobeknja dalam potongan ketjil2, ia djadikan seutas tambang jang pandjang, ia buat sebuah djiratan dan kedua udjung tambang diikatkannja diatas lankan pendjara, ia masukan leher sendiri kedalam djiratan itu.

Ia tidak merasakan sedih, djuga tidak merasakan gusar. Arti orang hidup baginja sudah tamat dan tjara inilah djalan paling tjepat untuk mengachirinja. Ia merasa djiratan tali dileher semakin kentjang, napasnja djuga main lama makin tipis. Selang sebentar, segala apa tak diketahuinja lagi. Tapi achirnja ia dapat merasakan lagi pelahan2, ia merasa seperti ada sebuah tangan menahan didadanja, tangan itu mengendor dan mengentjang terus mengusap dadanja, hidungnja lantas dihembus pula hawa segar. Dan entah sudah berapa lamanja, pelahan2 barulah ia membuka matanja. Dan jang tertampak olehnja per-tama2 adalah sebuah wadjah jang penuh berewok sedang memandangnja dengan tertawa lebar.

Melihat muka siberewok gila itu. Tik Hun mendjadi sangat mendongkol. “Kurangadjar, selalu kau musuhi aku, sampai aku mentjari mati djuga kau menggangguku,” demikian pikirnja. Niatnja hendak bangun untuk adu djiwa dengan orang gila itu, tapi Tik Hun merasa badannja terlalu lemah, semangat ada, tenaga kurang!

Maka berkatalah sigila itu dengan tertawa: “Napasmu sudah putus hampir setengahan djam, kalau aku tidak menolong engkau dengan ilmu tunggalku, didunia ini tiada orang kedua lagi jang mampu menghidupkan kau kembali.”

“Siapa pingin ditolong oleh kau? Aku djusteru tidak ingin hidup lagi,” sahut Tik Hun dengan gusar.

“Tapi kalau aku melarang engkau mati, engkau lantas takkan mati,” udjar sigila itu dengan senang2. Tiba2 ia mepet kesamping Tik Hun dan membisikinja: “Ilmu tunggal ini namanja ‘Sin-tjiau-keng’, kau pernah dengar tidak?”

“Jang pasti aku hanja tahu kau punja Sin-keng-peh (penjakit otak miring), peduli apa kau Sin-tjiau-keng segala? Selamanja aku tidak pernah mendengar!” demikian sahut Tik Hun dengan marah2.

Aneh djuga, sekali ini digila itu ternjata tidak mengamuk pula, sebaliknja malah ber-njanji2 ketjil sambil tangannja kendor-kentjang mengusap dadanja Tik Hun mirip pompa angin jang menjalurkan hawa kedalam paru2 pemuda itu. Lalu bisiknja pula: “Terhitung untung djuga kau ini. Sudah 12 tahun aku melatih ‘Sin-tjiau-keng’ dan baru berhasil menjelesaikan pada dua bulan jang lalu. Tjoba kalau sebelum dua bulan ini kau mentjari mati, tentu aku takdapatmenolong engkau.”

Tik Hun merasa sangat kesal, teringat olehnja Djik Hong sudah kawin pada Ban Ka dan tidak menggubris lagi padanja. Sungguh rasanja ia lebih suka mati sadja. Karena itu ia melototi sigila itu dan berkata dengan gemas: “Entah dalam djelmaan hidup jang lalu aku berbuat dosa apa padamu, makanja sekarang aku mesti kebentur orang djahat sebagai kau.”

“Aku sangat senang, adik tjilik, selama tiga tahun ini aku telah salah sangka padamu,” kata sigila itu dengan tertawa. “Maka terimalah permintaan maafku Ting Tian ini.”

Habis berkata, sigila itu terus berlutut kelantai dan mendjura tiga kali kepada Tik Hun.

“Orang gila!” kata Tik Hun sambil menghela napas dan tidak menggubriskan lagi. Tapi tiba2 teringat olehnja sigila itu mengaku bernama Ting Tian. Selama tiga tahun meringkuk bersama dalam pendjara baru sekarang ia mengetahui namanja. Karena ketarik, ia tjoba menegas pula: “Siapa namamu?”

“Ting Tian, she Ting bernama Tian!” demikian sigila mengulangi. “Prasangkaku terlalu besar dan selalu pandang engkau sebagai orang djahat, selama tiga tahun ini benar2 aku telah banjak membikin susah padamu, sungguh aku merasa menjesal.”

Mendengar utjapan orang sangat teratur dan ramah tamah, sedikitpun tiada tanda2 orang miring otaknja, maka Tik Hun menanja lagi: “Sebenarnja engkau gila atau tidak?”

Ting Tian terdiam dengan muram, selang agak lama barulah ia menghela napas pandjang, lalu katanja: “Sebenarnja gila atau tidak, aku sendiri tak tahu. Jang kuharapkan adalah tenteramnja pikiran, tapi bagi penglihatan orang lain, mungkin aku dianggapnja berotak miring.” ~ Lewat sedjenak pula, kembali ia menghibur Tik Hun: “Adik tjilik, rasa penasaranmu aku sudah dapat meraba sebagian besar. Djikalau orang toh sudah tidak setia lagi padamu, buat apa engkau mesti memikirkan wanita itu? Seorang laki2 sedjati mengapa takut tidak bakal mendapat isteri? Apa sulitnja bila kelak engkau ingin mentjari seorang isteri jang berkali lebih baik daripada Sumoaymu itu?”

Mendengar uraian itu, rasa susah selama beberapa tahun tersekam dalam hati Tik Hun itu seketika meletuslah bagai air bah membandjir. Ia merasa pedih sekali, air matanja bertjutjuran, sampai achirnja, ia terus menangis sambil djatuhkan diri dipangkuan Ting Tian.

Ting Tian merangkul pemuda itu sambil pelahan2 mengusap rambutnja, ia tahu sesudah menangis barulah rasa hati pemuda itu bisa berkurang dari kesedihan dan melenjapkan keinginnja mentjari mati.

Tiga hari kemudian, semangat Tik Hun sudah banjak pulih. Ting Tian mulai banjak bertjakap dan bergurau bersama dia dengan suara lirih, terkadang iapun mentjeritakan kedjadian2 menarik di kalangan Kangouw untuk menghilangkan rasa kesal Tik Hun. Tapi bila sipir bui menghantarkan daharan tetap Ting Tian bersikap galak terhadap Tik Hun dan mentjatji maki sebagaimana sebelumnja.

Seorang musuh jang tadinja selalu menjiksa kini mendadak berubah mendjadi seorang kawan karib, pabila perasaan Tik Hun tidak tertekan oleh karena soal Djik Hong menikah dengan orang lain, tentu penghidupan didalam pendjara sekarang boleh dikata merupakan sorga baginja kalau dibanding selama tiga tahun jang sudah lalu itu.

Pernah djuga Tik Hun menanja Ting Tian mengapa dahulu dirinja disangka orang djahat dan mengapa mendadak mengetahui hal jang sebenarnja. Maka Ting Tian mendjawab: “Sebab kalau engkau benar2 orang djahat, pasti tidak menggantung diri mentjari mati. Aku telah membiarkan napasmu sudah putus hingga tubuhnu sudah hampir kaku, baru turun tangan menolong engkau. Didjagat ini ketjuali aku sendiri, tiada seorang lagi jang tahu bahwa aku sudah berhasil mejakinkan ilmu “Sin-tjiau-keng” jang hebat itu. Dan kalau aku tidak memiliki ilmu sakti itu, betapapun tak dapat menolong engkau. Oleh karena kau benar2 membunuh diri, dengan sendirinja bukanlah orang djahat jang hendak mengakali diriku sebagaimana kusangka semula.

“Kau menjangka aku hendak mengakali engkau? Sebab apakah itu?” tanja Tik Hun heran.

Namun Ting Tian hanja tersenjum tanpa mendjawab Tik Hun, untuk kedua kalinja Tik Hun menanja lagi dan tetap tidak mendapat djawaban, maka iapun tidak menanja lebih djauh.

Setiap hari Ting Tian hanja memidjat dan mengurut Tik Hun, hingga kesehatan pemuda itu kembali dengan sangat tjepat. Satu malam, dengan bisik2 Ting Tian berkata kepada Tik Hun: “Ilmu ‘Sin-tjiau-keng’ jang kumiliki ini adalah ilmu jang sangat bagus dan paling kuat Lwekangnja didunia ini. Biarlah mulai hari ini djuga aku mengadjarkan padamu, engkau harus mengingatnya dengan baik2.”

“Tidak, aku takmau beladjar,” sahut Tik Hun menggeleng kepala.

Ting Tian mendjadi heran: “Kesempatan baik jang susah ditjari ini mengapa takmau engkau gunakan?”

Kata Tik Hun: “Penghidupan seperti ini adalah lebih baik mati. Pula selama hidup kita rasanja djuga tiada harapan bisa keluar dari sini, biarpun memiliki ilmu silat setinggi langit djuga tiada gunanja.”

“Haha, ingin keluar pendjara, apa susahnja?” udjar Ting Tian dengan tertawa. “Marilah aku mulai mengadjarkan kuntji dasarnja kepadamu, kau harus mengingatnja baik2?”

Akan tetapi watak Tik Hun sangat kepala batu, keinginnja mentjari matipun belum lenjap, sekali bilang tidak mau beladjar, tetap ia tidak mau. Ketika Ting Tian menguraikan kuntji peladjarannja, Tik Hun terus menutup telinganja dan meringkuk tidur.

Sungguh geli dan dongkol pula Ting Tian, tapi tidak berdaja djuga, saking geregetannja ia mendjadi ingin menghadjar lagi pemuda itu seperti dulu.

Selang beberapa hari kemudian, malam bulan purnama sudah mendekati lagi. Perasaan Tik Hun kepada Tiang Tian sekarang sudah seperti sobat baik, maka diam2 ia berkuatir baginja.

Rupanja Ting Tian dapat menerka perasaan pemuda itu, katanja: “Tik-hiati, setiap bulan aku akan disiksa seperti biasa, sekembalinja aku disini, akupun akan tetap membalas hadjar engkau, djangan sekali2 kita kelihatan bersahabat, sebab hal mana akan tidak menguntungkan kita berdua.”

“Sebab apakah?” tanja Tik Hun.

“Pabila mereka tjuriga engkau sudah mendjadi kawanku, pasti kau akan disiksa dengan tjara2 kedji untuk memaksa engkau menanjakan sesuatu rahasia padaku. Tapi kalau aku tetap memukul dan memaki engkau, tentu kau akan terhindar dari siksaan badan jang kedjam.”

“Benar,” sahut Tik Hun mengangguk. “Djika begitu penting perkaramu ini, djanganlah sekali2 engkau mengatakan padaku, sebab kalau aku kurang waspada hingga membotjorkan rahasiamu, kan malah akan membikin tjelaka padamu. Ting-toako, aku adalah seorang anak desa jang bodoh, pabila sampai aku membikin susah padamu karena ketololanku, bagaimana aku mempertanggung-djawabkannja padamu?”

“Mereka mengurung engkau bersama aku didalam sekamar, semula aku menjangka engkau dikirim mereka untuk mendjadi mata2, pura2 mengambil hatiku, lalu memantjing pengakuanku. Sebab itulah dahulu aku sangat gusar padamu dan banjak menjiksa engkau. Tapi kini aku sudah tahu engkau bukan mata2 mereka, namun sudah sekian tahun kau tetap dikurung bersama aku, maksud mereka terang masih mengharap engkau akan mendjadi mata2 dengan harapan mendapatkan kepertjajaanku dan aku akan mengaku kepadamu, habis itu mereka dapat menjiksa engkau agar mengaku apa jang kau dapat dengar dariku. Mereka insaf sulit melajani aku, tapi terhadap pemuda seperti engkau akan djauh lebih mudah.”

Malam tanggal 15, empat petugas bui bersendjata datang pula menggiring pergi Ting Tian. Tik Hun mendjadi tidak tenteram menantikan kembalinja.

Mendjelang fadjar, dengan babak-belur dan penuh darah Ting Tian digusur balik kependjara.

Sesudah keempat petugas itu pergi, dengan wadjah sungguh2 Ting Tian berkata dengan suara tertahan kepada Tik Hun: “Tik-hiati, urusan harini runjam. Setjara kebetulan aku telah dikenali musuh.”

“Sebab apa?” tanja Tik Hun.

“Seperti biasa, setiap tanggal 15 aku pasti digusur pergi untuk dihadjar, hal ini sudah merupakan perkerdjaan dinas biasa bagi Tihu-taydjin,” demikian tutur Ting Tian. “Tapi harini kebetulan ada orang hendak melakukan pembunuhan kepada Tihu, melihat keselamatan pembesar itu terantjam, aku telah turun tangan menolongnja. Tjuma sajang aku terbelenggu hingga gerak-gerikku kurang bebas, maka diantara empat pembunuh gelap itu hanja tiga orang kutewaskan, sisa seorang lagi sempat melarikan diri, hal itu berarti suatu bibit bentjana bagiku.”

Tik Hun ter-heran2 oleh tjerita itu, tanjanja tjepat: “Sebenarnja untuk apa Tihu menghadjar dan menjiksa engkau? Tihu itu begitu kedjam padamu, ketika dia akan dibunuh orang, mengapa engkau malah menolongnja? Dan siapakah sisa pembunuh jang sempat lolos itu?”

Ting Tian menggeleng kepala, sahutnja sambil menghela napas: “Urusanku ini seketika djuga susah didjelaskan. Tik-hiati, oleh karena ilmu silatmu kurang tinggi, selandjutnja menjaksikan kedjadian apa sadja, djangan sekali2 engkau turun tangan membantu aku.”

Tik Hun tidak mendjawab, tapi batinnja berkata: “Huh, masakah aku Tik Hun ini seorang manusia jang takut mati?”

Untuk beberapa hari selandjutnja selalu Ting Tian ter-menung2 sadja sambil memandangi pot bunga didjendela diatas loteng di kedjauhan itu. Terkadang wadjahnja menampilkan senjuman ketjil dan sepandjang hari ia tjuma menengadah sambil ter-mangu2.

Tengah malam tanggal 19, djadi tiga hari kemudian, tengah Tik Hun tidur njenjak, tiba2 ia terdjaga bangun oleh suara “krak-krak” dua kali. Dibawah sinar bulan jang terang Tik Hun melihat dua laki2 berpakaian singsat sedang mematahkan lankan kamar pendjara itu, sambil menghunus golok mereka terus menjerbu kedalam. Tapi Ting Tian bersikap atjuh-tak-atjuh sadja, ia berdiri bersandar dinding sambil ketawa dingin.

“Orang she Ting,” tiba2 salah satu laki2 jang berperawakan lebih pendek itu membentak: “Kami bersaudara sudah mendjeladjahi djagat ini untuk mentjari kau, sungguh tidak njana bahwa engkau djusteru mengkeret seperti kura2 bersembunji didalam pendjara sini. Tapi dasar adjalmu sudah sampai, achirnja dapat djuga kami menemukan engkau.”

Segera jang seorang lagi ikut bitjara: “Marilah kita bitjara setjara blak2an sadja, lekas kau keluarkan halaman kertas itu, kita bertiga membaginja sama-rata, dan kami bersaudara pasti takkan meretjoki engkau lagi.”

“Kertas apa?” sahun Ting Tian menggeleng kepala. “Barangnja tiada berada padaku. Sedjak 13 tahun jang lalu sudah ditjuri oleh Gian Tat-ping.”

Tik Hun terperandjat mendengar nama “Gian Tat-ping” itu. “Bukankah dia itu adalah aku punja Djisupek? Mengapa dia tersangkut dalam urusan mereka?” demikian pikirnja.

Sementara itu silelaki pendek telah membentak pula: “Kau sengadja main muslihat, hm, djangan harap dapat mengelabui kami. Mampuslah kau!” Habis berkata, terus sadja ia ajun goloknja dan menusuk ketenggorokan Ting Tian.

Namun Ting Tian tidak menghindar atau berkelit, ia membiarkan udjung golok orang sudah dekat, se-konjong2 ia mendak kebawah dan tahu2 melesa kesamping laki2 lain jang bertubuh lebih tinggi itu, sekali sikutnja bekerdja, tepat perut orang itu kena disikutnja.

Kontan sadja tanpa mendjengek sekalipun laki2 itu terus roboh terguling.

Dalam kaget dan gusarnja, laki2 pendek itu mendjadi nekat. “Ser-ser,” goloknja menabas dua kali dengan tjepat.

Namun sekali Ting Tian angkat kedua tangannja keatas, ia gunakan rantai belenggunja untuk menjampok sendjata lawan, berbareng setjepat kilat ia angkat lututnja dan tepat dengkulnja kena tumbuk diperut laki2 itu. Seperti nasib kawannja, laki2 pendek itu pun menggeletak mampus dengan muntah darah.

Melihat betapa perkasanja Ting Tian, hanja sekedjap sadja sudah membinasakan dua musuh, Tik Hun mendjadi terkesima malah. Meski ilmu silat Tik Hun sudah punah, tapi pandangannja tetap tadjam, ia tahu sekalipun ilmu silat sendiri tetap utuh seperti dulu dan bersendjata, namun djuga takkan mampu menandingi silelaki pendek tadi. Mengenai laki2 jang lebih djangkung itu, meski ilmu silatnja belum sempat dikeluarkan sudah keburu dibinasakan lebih dulu oleh Ting Tian, tapi mengingat dia datang bersama silelaki pendek, dapat ditaksir kepandaiannja tentu djuga tidak rendah. Namun demikian, dengan terbelenggu dan tulang pundak ditembus rantai toh Ting Tian dalam sekedjap dan sekali-dua gerakan sudah dapat membinasakan dua musuh, sungguh Tik Hun merasa tidak habis mengarti akan kepandaian Ting Tian itu.

Ia lihat Ting Tian melemparkan kedua majat itu keluar kamar pendjara, lalu duduk menjandar dinding terus tidur.

Dalam keadaan kamar pendjara jang sudah bobol itu, kalau Ting Tian dan Tik Hun mau melarikan diri sebenarnja terlalu mudah. Tapi aneh, Ting Tian diam sadja terus tidur. Tik Hun djuga merasa didunia luar sana belum tentu lebih baik daripada didalam pendjara itu.

Besok paginja, ketika sipir bui melihat kedua rangka majat itu, ia mendjadi kaget dan geger. Waktu Ting Tian ditanja, ia tjuma mendelik doang. Tanja Tik Hun, pemuda inipun pura2 tuli. Karena tidak memperoleh sesuatu keterangan apa2, terpaksa sipir bui menjeret pergi kedua majat itu.

Selang dua hari pula, malamnja Tik Hun terdjaga bangun pula oleh suara2 gemerisik jang aneh. Dibawah sinar bulan jang remang2 ia melihat kedua tangan Ting Tian terangkat lurus sedang beradu tangan dengan seorang Todjin. Telapak tangan kedua orang saling menempel dan keduanja sama2 berdiri tak bergerak. Sedjak kapan Todjin itu masuk kesitu dan tjara bagaimana mengadu tenaga dalam dengan Ting Tian, ternjata sama sekali Tik Hun tidak tahu.

Pernah Tik Hun mendengar dari Suhunja bahwa dalam pertandingan silat, mengadu tenaga dalam adalah jang paling berbahaja, bukan sadja tak mungkin menghindar atau berkelit, bahkan pasti akan terdjadi ketentuan mati atau hidup.

Tatkala itu sudah djauh malam, meski ada tjahaja bulan dan bintang, tapi sudah remang2 hingga ada jang kelihatan tjuma samar2. Tik Hun melihat Todjin itu melangkah setindak kedepan dengan lambat sekali, berbareng Ting Tian djuga mundur selangkah. Selang agak lama, kembali Todjin itu madju lagi setindak, begitu pula Ting Tian mundur lagi satu langkah.

Melihat Todjin itu terus mendesak madju dan Ting Tian terus mundur, terang Todjin itu sudah lebih unggul, diam2 Tik Hun merasa kuatir. Tanpa pikir lagi ia berlari madju, ia angkat belenggu tangannja terus mengepruk keatas kepala Todjin itu. Tapi belum lagi belenggu besi itu mengenai sasarannja, entah darimana datangnja, se-konjong2 menjambar tiba serangkum tenaga tak kelihatan dan menumbuk keras dibadan Tik Hun.

Karena tak menjangka, Tik Hun mendjadi ter-hujung2 dan terlempar pergi, “bluk”, ia tertumbuk didinding dan djatuh terduduk. Dengan tangannja menahan kelantai, maksud Tik Hun hendak berbangkit. Tapi dalam kegelapan tiba2 tangannja menjentuh sebuah mangkok wadah wedang, “prak”, mangkok itu petjah gempil tertahan oleh tangannja dan basah kujup oleh wedang jang tertjetjer. Tanpa pikir lagi Tik Hun terus samber mangkok itu, ia siramkan sisa wedang didalamnja kebelakang kepala si Todjin.

Tenaga dalam Todjin itu sebenarnja djauh bukan tandingan Ting Tian. Sebabnja Ting Tian mengadu tangan dengan Todjin itu jalah karena ia ingin mendjadjal “Sin-tjiau-keng” jang baru berhasil dijakinkan itu sampai betapa daja tempurnja, makanja Todjin itu dipakainja sebagai barang pertjobaan.

Sebenarnja tenaga Todjin itu sudah diperas oleh “Sin-tjiau-keng” hingga keadaannja sudah sangat pajah bagai pelita jang kehabisan minjak, tinggal saat padamnja sadja. Kini ditambah lagi disiram wedang oleh Tik Hun dari belakang, dalam kagetnja ia merasa tekanan tenaga Ting Tian semakin membandjir. Maka terdengarlah suara peletak-pelatok jang berulang2, tulang iganja, tulang lengan, tulang kaki dan lain2 se-akan2 patah semua ber-potong2. Dengan tjemas ia pandang Ting Tian dan berkata dengan suara ter-putus2 dan tak lampias: “Djadi..... djadi engkau sudah berhasil mejakinkan “Sin-tjiau-keng” jang hebat dan ..... dan itu ber ..... berarti engkau tiada ..... tiada tandingannja lagi di ..... didunia ini ......” bitjara sampai disini, mendadak tubuhnja melingkar bagai tjatjing terus roboh terbinasa.

Hati Tik Hun ber-debar2 menjaksikan itu, serunja: “Ting-toako kiranja ilmu “Sin-tjiau-keng” itu sedemikian ..... sedemikian lihaynja. Apa benar2 engkau tiada tandingannja lagi dunia itu?”

Namun dengan wadjah sungguh2 Ting Tian mendjawab: “Kalau bergebrak satu-lawan-satu, memang tjukup untuk mendjagoi Kangouw. Tapi kalau musuh main kerojok, mungkin seorang diri susah melawan orang banjak. Todjin djahat ini sudah tertekan oleh tenaga dalamku, tapi masih sanggup membuka suara, hal mana menandakan latihanku masih belum mentjapai tingkatan jang sempurna betul2. Tik-hiati, dalam tiga hari ini pasti akan datang pula musuh jang benar2 tangguh. Untuk mana sudikah engkau membantu pakaku?”

Dengan penuh semangat Tik Hun terus mendjawab: “Tentu sadja aku akan membantu. Tjuma ........ tjuma ilmu silatku sudah punah semua, andaikan belum punah djuga kepandaianku jang dangkal ini tidak berguna untuk membantu engkau.”

Ting Tian tersenjum tanpa berkata, tiba2 ia melolos keluar sebilah golok dari bawah djerami jang merupakan kasurnja itu. Golok itu adalah tinggalan kedua laki2 jang dibinasakan oleh Ting Tian tempo hari itu. Lalu katanja: “Tik-hiati, harap engkau mentjukur berewokku ini. Marilah kita bertipu muslihat sedikit.”

Tanpa pikir lagi Tik Hun terus sambuti golok itu dan mulai mentjukur kumis dan berewok Ting Tian.

Ternjata golok itu sangat tadjam melebihi pisau tjukur, maka dengan tjepat sadja berewok Ting Tian jang kaku bagai lidi itu telah rontok semua. Anehnja Ting Tian menadah semua berewok jang tertjukur itu ditangannja.

“Ting-toako,” kata Tik Hun dengan tertawa, “apa kau merasa berat mesti membuang djenggotmu jang sudah berkawan setia dengan engkau selama beberapa tahun ini?”

“Bukan begitu,” sahut Ting Tian. “Tapi maksudku, Tik-hiati, aku ingin engkau menjaru sebagai diriku.”

“Menjaru sebagai engkau?” tanja Tik Hun heran.

“Ja,” sahut Tian. “Dalam waktu tiga harini pasti akan datang musuh2 jang lebih tangguh, mereka berlima takkan mampu melawan aku kalau satu-lawan-satu, tapi kalau mengerubut sekaligus, tentu kekuatan mereka mendjadi sangat lihay. Makanja aku ingin engkau menjaru sebagai diriku untuk memantjing mereka agar salah sangka, dan disaat mereka meleng, aku lantas menjerang diluar dugaan mereka, tentu mereka akan kelabakan dan tak mampu melawan.”

Dasar Tik Hun memang djudjur dan badjik, ia merasa rentjana Ting Tian itu kurang pantas, maka dengan ragu2 ia berkata: “Rasanja ren.......... rentjanamu ini agak.......... agak kurang djudjur.”

“Djujur? Hahahaha!” Ting Tian ter-gelak2. “Betapa kedji dan palsunja orang Kangouw, semuanja berlaku litjik dan menipu engkau, tapi engkau masih djudjur pada orang, bukankah berarti engkau mentjari mati sendiri?”

“Meskipun begitu, namun........... namun........”

“Namun apa?” sela Ting Tian sebelum Tik Hun menlandjutkan. “Ingin kutanja padamu: Engkau adalah seorang baik2 tanpa berdosa sesuatu, tapi sebab apa engkau dipendjarakan selama tiga tahun disini dan selama ini tidak dapat mentjutji bersih pitenahan orang itu?”

“Ja, dalam hal ini memang......... memang aku merasa tidak mengarti sampai sekarang,” sahut Tik Hun.

“Dan siapakah jang mendjebloskan engkau kependjara ini? Sudah tentu perbuatan seseorang pula agar selamanja engkau tidak bisa keluar dari sini,” udjar Ting Tian dengan tersenjum.

“Memang sampai saat ini aku tetap tidak mengarti duduk perkaranja,” kata Tik Hun. “Gundik Ban Tjin-san si Mirah itu selamanja tidak kenal padaku, tidak bermusuhan dan tiada sakit hati, mengapa dia telah mempitenah diriku hingga namaku rusak dan hidupku merana oleh penderitaan2 didalam pendjara sini?”

“Tjara bagaimana engkau telah dipitenah mereka, tjoba tjeritakan padaku,” pinta Ting Tian.

Sembari mentjukur berewoknja, maka bertjeritalah Tik Hun sedjak dia ikut sang Suhu datang di Hengtjiu untuk memberi selamat ulang tahun kepada Ban Tjin-san, dimana dia telah mengatjirkan begal besar - Lu Thong. Kemudian dia telah ditantang dan dikerojok oleh murid2nja Ban Tjin-san, lalu apa jang didengarnja tentang pertengkaran sang guru dengan Supek hingga sesudah melukai Supek, sang Suhu lantas melarikan diri. Kemudian dilihatnja ada pendjahat hendak memperkosa gundiknja Ban Tjin-san dan dia telah turun tangan menolong, tapi malah dipitenah dan didjebloskan kedalam pendjara.

Begitulah Tik Hun mentjeritakan semua pengalamannja itu, hanja tentang pengemis tua telah mengadjar ilmu pedang padanja itu sengadja tak diuraikan. Pertama karena dia telah bersumpah pada pengemis tua itu bahwa rahasia pertemuan mereka pasti takkan dibotjorkan, kedua ia merasa urusan jang tidak penting itu djuga tida perlu ditjeritakan.

Hlm. 9: Gambar
“Kruk, kruk”, sambil mentjeritakan pengalamannja, Tik Hun mentjukur berewok Ting Tian jang kaku bagai lidi itu dengan golok rampasan jang tadjam itu.

Dan sesudah Tik Hun bertjerita, berewok dimukanja Ting Tian djuga hampir tertjukur bersih.

“Ting-toako,” kata Tik Hun sambil menghela napas, “malapetaka jang menimpa diriku ini bukankan membikin aku sangat penasaran? Tentu disebabkan mereka dendam Suhuku telah membunuh Ban-supek, akan tetapi Ban-supek toh tidak djadi mati, kinipun sudah sembuh dari lukanja, sebaliknja aku sudah dipendjarakan selama beberapa tahun masih belum djuga dibebaskan. Apakah mereka sudah melupakan diriku? Rasanja toh tidak, buktinja tempo hari Sim-sute itu djuga datang menjambangi aku?”

Ting Tian diam sadja, dengan lagak lutju ia miringkan kepalanja untuk memandang Tik Hun dari sebelah sini kesebelah sana, lalu ia tertawa dingin.

“Ting-toako, apa jang kukatakan ini apakah ada jang salah?” tanja Tik Hun dengan bingung sambil garuk2 kepala sendiri.

“Benar, benar, semuanja benar, masakah ada jang salah?” djengek Ting Tian. “Djusteru kalau djalannja tidak begini, itulah baru salah.”

“Ap............ apa maksudmu, Ting-toako?” tanja Tik Hun semakin bingung.

“Begini! Seumpama ada seorang anak tolol telah membawa gadisnja jang tjantik kerumahku, aku mendjadi sir pada gadisnja, akan tetapi sigadis memang mentjintai sitolol itu. Agar aku bisa mengangkangi sitjantik, sudah tentu aku harus melenjapkan sitolol itu lebih dulu. Tjoba katakan, kalau kau, akal apa jang engkau gunakan?”

“Akal apa?” sahut Tik Hun agak linglung. Diam2 iapun merasa seram sendiri.

“Banjak djalannja,” kata Ting Tian. “Kalau menggunakan ratjun atau memakai sendjata untuk membunuh sitolol itu, boleh djadi sitjantik itu seorang wanita jang setia dan mungkin akan membunuh diri atau menuntut balas bagi sitolol, tentu urusan akan mendjadi runjam malah, maka djalan2 itu takbisa ditempuh. Maka kurasa djalan paling baik jalah seret sitolol itu dan didjebloskan kedalam pendjara. Untuk membikin sitjantik bentji pada sitolol, djalan pertama harus membikin se-akan2 sitolol itu telah mentjintai wanita lain; kedua, harus menundjukkan sitolol itu sebenarnja seorang jang djahat, suka mentjuri dan merampok, agar perbuatan2 demikian akan memuakan sitjantik.”

Tik Hun mendjadi gemetar oleh uraian Ting Tian itu, tanjanja dengan suara tak lantjar: “Apa jang kau........... kau katakan ini apakah........ apakah memang sengadja telah diatur oleh si ............. si Ba Ka itu?”

“Aku tidak menjaksikan sendiri, darimana aku tahu?” sahut Ting Tian tertawa. “Tapi Sumoaymu itu sangat aju, bukan?”

Pikiran Tik Hun mendjadi butek, ia hanja memanggut.

Lalu Ting Tian berkata pula: “Ehm, untuk mengambil hati sinona, dengan sendirinja aku harus kerdja keras, aku akan keluarkan uang untuk menjogok pembesar disini, kataku untuk menolong engkau agar lekas dibebaskan. Usahaku itu sengadja kuperlihatkan sendiri kepada sitjantik agar dia merasa berterima kasih padaku. Dan uang sogokku itu memang benar2 telah kuserahkan kepada pembesar disini dan petugas2 lain.”

“Dan sesudah membuang uang sebanjak itu, tentu akan berhasil sedikit bukan?” tanja Tik Hun.

“Sudah tentu, setan pun dojan duit, mengapa tak berhasil?” sahut Ting Tian.

“Habis, meng............. mengapa aku masih tetap dikerangkeng disini dan belum dibebaskan?” tanja Tik Hun.

“Hahahaha!” tiba2 Ting Tian ber-bahak2. “Kau berbuat salah apa? Tuduhan jang mereka djatuhkan padamu paling2 djuga tjuma hendak memperkosa wanita dan mentjuri, toh bukan perbuatan masiat, djuga bukan membunuh orang. Dosamu apa hingga mesti dikurung sampai ber-tahun2 tanpa diputus perkaranja? Pula djuga tidak perlu tulang pundakmu ditembusi rantai segala? Dan ketahuilah, kesemuanja ini adalah hasil dari uang sogok itu. Ja, akal ini memang sangat bagus dan litjin, sinona tinggal dirumahku, tjintanja pada sitolol itu dengan sendirinja belum terlupakan, tetapi sesudah ditunggu setahun demu setahun, masakah achirnja sitjantik takkan menikah?”

“Trang,” mendadak Tik Hun membatjok goloknja kelantai. Serunja: “Ting-toako, djadi aku dikerangkeng selama ini, semuanja adalah perbuatan si Ban Ka itu?”

Ting Tian tidak mendjawab, tapi ia menengadah untuk memikir hingga agak lama, tiba2 ia berkata pula: “Ah, salah, salah, didalam muslihat it masih terdapat suatu kekurangan, salah, salah besar!”

“Masih kurang apa lagi?” kata Tik Hun dengan gusar. “Sumoayku achirnja djuga sudah mendjadi isterinja, dan aku, kalau tidak ditolong olehmu, sudah lama akupun menggantung diri, bukankah semuanja itu telah memenuhi tjita2nja?”

Namun Ting Tian terus mondar-mandir didalam kamar pendjara itu sambil geleng2 kepala, katanja: “Didalamnja masih terdapat satu kepintjangan besar. Mereka begitu litjik dan pintar mengatur, masakah tidak tahu?”

“Sebenarnja kepintjangan apa maksudmu?” tanja Tik Hun.

“Suhumu!” sahut Ting Tian tiba2. “Suhumu telah melarikan diri sehabis melukai Supehmu. Ngo-in-djiu Ban Tjin-san dari Hentjiu tjukup tenar didalam Bu-lim, tentang dia tjuma terluka dan tidak binasa, kabar ini dalam waktu singkat sadja tentu tersiar, seumpama Suhumu malu untuk mendjumpai Suhengnja lagi, paling tidak dia toh dapat mengirim orang untuk memapak Sumoaymu pulang kerumah? Dan bila Sumoaymu sudah pulang, bukankah antero tipu muslihat kedji Ban Ka itu akan bangkrut seluruhnja?”

“Benar, benar!” ber-ulang2 Tik Hun menggablok pahanja sendiri. Oleh karena tangannja dibelengu, maka terbitlah suara gemerintjing dari rantai belenggunja itu. Sungguh tak tersangka olehnja bahwa seorang jang tampaknja kasar seperti Ting Tian itu ternjata tjara berpikirnja bisa begitu djauh dan teliti. Tik Hun mendjadi kagum tak terhingga.

“Dan sebab apa Suhumu tidak memapak pulang puterinja itu, didalam situlah pasti ada sesuatu jang mentjurigakan,” tutur Ting Tian pula dengan suara pelahan. “Kujakin sebelumnja Ban Ka dan komplotannja pasti djuga sudah dapat menduga akan hal ini, kegandjilan ini untuk sementara inipun aku merasa tidak mengerti.”

Begitulah Ting Tian terus memeras otak untuk memikirkan hal itu. Sebaliknja Tik Hun sama sekali tidak ambil pusing. Baru sekarang ia paham dimana letak persoalannja mengapa dirinja didjebloskan pendjara oleh orang. Ber-ulang2 ia ketok2 kepalanja sendiri sambil memaki dirinja sendiri terlalu tolol, urusan jang sederhana bagi orang lain itu ia sendiri djusteru tidak tahu sama sekali selama ber-tahun2.

Padahal harus dimaklumi djuga, sedjak ketjil Tik Hun hidup dipedesaan jang suasana masjarakatnja sederhana dan djudjur, ia tidak kenal betapa litjik dan kedjamnja orang Kangouw. Sebaliknja Ting Tian biasa berterobosan ditengah rimba sendjata, banjak pengalaman dan pahit-getir jang telah dirasakannja, dengan sendiri ia lantas tahu duduknja perkara begitu mendengar tjeritanja Tik Hun. Hal itu bukan soal pintar atau bodoh seseorang, tapi karena perbedaan pengalaman hidup kedua orang itu selisih terlalu djauh.

Begitulah sesudah Tik Hun mengomel dan memaki dirinja sendiri, ketika dilihatnja Ting Tian masih terus memeras otak, ia lantas berkata: “Sudahlah, Ting-toako, tidak perlu kau memikirnja lagi. Suhuku adalah seorang desa jang djudjur, tentu saking takutnja sehabis melukai Ban-supek, ia telah lari djauh2 entah kemana, maka ia tidak mendengar berita masih hidupnja Ban-supek itu.”

“Apa katamu? Suhumu hanja seorang desa jang djudjur?” Ting Tian menegas dengan mata membelalak heran. “Sehabis membunuh orang dia bisa ketakutan dan melarikan diri?”

“Ja, memang Suhuku benar2 seorang jang sangat djudjur,” sahut Tik Hun. “Ban-supek mempitenah dia mentjuri sesuatu Kiam-boh (kitab ilmu pedang) apa dari Thaysuhu (kakek guru), dalam gusarnja ia mendjadi kalap hingga melukai Supek, padahal hatinja benar2 sangat baik.”

Ting Tian hanja mendengus sekali sadja dan tidak berkata pula, ia duduk kepodjok kamar sana sambil pelahan2 bernjanji ketjil.

“Sebab apa engkau mendengus?” tanja Tik Hun heran.

“Tidak apa2,” sahut Ting Tian.

“Tentu ada sebabnja, Ting-toako, haraplah engkau suka bitjara terus terang sadja,” pinta Tik Hun.

“Baiklah,” kata Ting Hun achirnja, “Tjoba terangkan dulu, siapakah djulukan gurumu itu?”

“Ehm, dia berdjuluk ‘Tiat-so-heng-kang’,” sahut Tik Hun.

“Apa maksudnja djulukan itu?” tanja Ting Tian.

Tik Hun mendjadi gelagapan, maklum kurang makan sekolahan. Tapi djawabnja djuga kemudian: “Aku tidak paham arti daripada kata2 sastra tinggi itu. Tapi dugaanku mungkin maksudnja menggambarkan ilmu silat beliau sangat hebat, mahir dalam hal bertahan, musuh sekali2 tak mampu membobol pertahanannja.”

“Hahahaha!” Ting Tian terbahak. “Tik-hiati, engkau sendirilah sebenarnja jang terlalu djudjur dan polos. Tiat-so-heng-kang (rantai besi melintang disungai), supaya orang takbisa turun djuga tak dapat naik, bagi tokoh kalangan Bu-lim angatan lebih tua siapa orangnja jang tidak tahu arti daripada djulukan itu? Gurumu itu djusteru pintar dan tjerdik, lihaynja tidak kepalang, pabila ada orang menjakiti hatinja, pasti dia akan memeras otak mentjari akal untuk membalasnja, supaja orang serba sulit, turun tak bisa, naik takdapat, djadi ter-katung2 seperti sebuah kapal jang mengoleng2 ditengah sungai oleh pusaran air. Djika kau tidak pertjaja utjapanku ini, kelak kalau kau sudah keluar pendjara, boleh kau tjoba mentjari tahu betul tidak ramalanku ini.”

Namun Tik Hun masih tidak pertjaja, pikirnja: “Sedangkan Kiam-hoat jang diadjarkan Suhu padaku djuga banjak jang salah. Sebenarnja djurus: ‘seekor burung terbang dari lautan tidak sudi menghinggap di-rawa2’, tapi dia telah salah mengartikan: ‘ada bandjir orang ber-teriak2, ketemu rintangan tidak berani lewat’, dan lain2 djurus lagi. Ja, maklumlah, memangnja dia djuga tidak banjak bersekolah, mana dapat dikatakan dia sangat pintar dan tjerdik!” ~ maka katanja segera: “Tapi suhu benar2 seorang djudjur, seorang petani jang dangkal sekolahnja.”

“Mana bisa?” sahut Ting Tian dengan gegetun. “Ia djusteru sangat tinggi sekolahnja dan banjak kepandaiannja, ia sabar dan pendiam, tentu ada maksud2 tertentu. Tapi mengapa sampai muridnja sendiri djuga dibohongi, inilah susah dimengerti orang luar. Sudahlah, djangan kita membitjarakan urusan ini sadja, marilah, biar kutempelkan berewokku ini kedjanggutmu!”

Habis berkata, Ting Tian angkat golok membatjok kemajat siTodjin. Karena belum lama matinja Todjin djahat itu, maka darahnja masih segar dan terus mengutjur keluar dari luka batjokan itu. Ting Tiang mentjelup setjomot demi setjomot bulu berewoknja sendiri jang tertjukur tadi untuk ditempelkan didjanggutnja Tik Hun dan kedua belah pipinja.

Sebenarnja Tik Hun mendjadi muak dan ngeri ketika mentjium bau anjirnja darah, tapi demi mengingat betapa akal kedjinja Ban Ka, betapa maksud tertentu sang guru jang tak diketahui orang itu serta masih banjak lagi hal2 jang tak diketahuinja, ia merasa tempat jang paling aman didunia ini sebenarnja adalah didalam pendjara malah.

Dengan Ting Tian bahwa didalam tiga hari pasti akan kedatangan musuh tangguh, ternjata baru saing hari kedua, didalam pendjara itu sudah ber-turut2 didjebloskan pula pesakitan2 baru jang beraneka matjam orangnja, ada jang tinggi, ada jang pendek, ada jang kurus, ada jang gemuk, tua, muda, semuanja ada. Tapi sekali melihat bentuk mereka segera orang akan tahu bahwa pesakitan2 baru itu pastilah tokoh2 Kangouw, kalau bukan golongan bandit, tentu adalah pimpinan sesuatu gerombolan.

Melihat djumlah orang jang dimasukan kekamar pendjara tu semakin banjak, diam2 Tik Hun mulai kuatir. Ia tahu orang2 ini pasti musuh2 jang hendak mentjari Ting Tian. Bahkan bukan tjuma lima musuh tangguh seperti kata Ting Tian itu, tapi sekaligus telah datang 17 orang hingga kamar pendjara itu ber-djubel2, sampai merebahpun susah, terpaksa semua orang tjuma berduduk sadja sambil berpeluk dengkul.

Sebaliknja Ting Tian tetap berbaring dipodjok kamar itu sambil menghadap dinding, ia tidak ambil pusing terhadap dinding, ia tidak ambil pusing terhadap orang2 itu.

Pesakitan2 itu tiada hentinja bergembar-gembor, bertjanda dan ber-olok2, hanja sebentar sadja sudah ada jang bertengkar segala.

Dari suara2 mereka itu Tik Hun dapat mengetahui bahwa ke-17 orang itu ternjata terdiri dari tiga golongan dan sama2 lagi mengintjar sesuatu benda mestika apa.

Ketika tanpa sengadja sinar mata Tik Hun kebentrok dengan sorot mata orang2 jang bengis itu, ia mendjadi kaget dan tjepat berpaling kearah lain. Pikirnja: “Aku telah menjaru sebagai Ting-toako, tapi ilmu silatku sudah punah semua, kalau sebentar mesti bergebrak, bagaimana aku harus bertindak? Betapapun tingginja ilmu silat Ting-toako rasanja djuga tidak sanggup sekaligus membinasakan orang2 sebanjak ini.”

Lambat-laun haripun sudah gelap. Tiba2 seorang laki2 jang bertubuh tegap berteriak: “Marilah kita bitjara terang2an sebelumnja, sasaran pokok ini nanti harus mendjadi milik Tong-ting-pang kami, pabila ada jang tidak terima, hajolah lekas kita tentukan dengan kepandaian masing2, agar nanti tidak perlu banjak rewel lagi.”

Rupanja orang Tong-ting-pang jang ikut datang disitu ada sembilan orang, 9 daripada 17 orang, itu berarti lebih dari separoh, dengan sendirinja kekuatannja djauh lebih kuat.

Segera seorang setengah umur dan rambut sudah ubanan menanggapi dengan suaranja jang bantji: “Diputuskan dengan kepandaian masing2, itu bagus! Hajolah apa kita mesti main kerubut didalam sini atau bertarung dipelataran luar situ?”

“Dipelataran djuga boleh, siapa jang djeri padamu?” sahut laki2 tegap itu.

Habis berkata, segera ia pegang dua rudji lankan besi terus dipentang sekuatnja, kontan sadja djadilah sebuah lubang jang tjukup dibuat keluar-masuk orang dengan bebas. Tenaga orang itu kuat mementang besi hingga bengkok, betapa hebat Gwakangnja dapatlah dibajangkan.

Dan selagi laki2 itu hendak menerobos keluar melalui lubang rudji besi jang telah melengkung itu, se-konjong2 sesosok bajangan berkelebat, seorang telah mengadang ditempat lubang itu. Itulah dia Ting Tian adanja.

Tanpa berkata lagi Ting Tian terus djamberet dada orang itu. Aneh djuga, perawakan laki2 itu sebenarnja lebih tinggi satu kepala daripada Ting Tian, tapi sekali kena dipegang olehnja, seketika lemas lunglai takbisa berkutik. Terus sadja Ting Tian djedjalkan tubuh laki2 itu keluar kamar pendjara dan dilemparkan kepelataran. Laki2 itu tjuma meringkuk sadja ditanah tanpa bergerak sedikit, terang sudah binasa.

Melihat kedjadian jang luar biasa itu, semua orang jang berada didalam pendjara itu mendjadi kesima ketakutan. Menjusul Ting Tian mentjengkeram lagi seorang terus dilemparkan pula keluar. Begitulah ia terus menjambar dan melempar hingga seluruhnja telah tudjuh orang terlempar keluar. Setiap orang jang kena dipegang olehnja itu semuanja mati seketika tanpa bersuara sedikitpun.

Sisa 10 orang jang lain mendjadi lebih ketakutan lagi, tiga diantaranja mengkeret kepodjok dinding, sebaliknja tudjuh orang lainnja mendjadi nekat. Berbareng mereka mengerubut madju dan menjerang serabutan kepada Ting Tian. Namun sama sekali Ting Tian tidak berkelit djuga tidak menangkis, ia tetap ulur tangannja menjambar dan sekali tangannja bekerdja pasti ada seorang jang kena dipegangnja dan setiap orang jang terpegang itu pasti mati seketika. Tentang dimana letaknja kematian mereka tiada seorangpun jang djelas.

Habis ketudjuh orang itupun terbinasa semua, tiba2 ketiga orang jang meringkuk ketakutan dipodjok itu lantas berlutut minta ampun. Namun Tian anggap sepi sadja, kembali ia mentjengkeram dan dilemparkan keluar.

Saking kesima menjaksikan Ting Tian mengamuk itu, Tik Hun sampai terkesiap melongo seperti orang mimpi.

Habis itu, Ting Tian tepuk2 kedua tangannja dan tertawa dingin: “Huh, tjum abegini sadja kepandaian mereka djuga berani datang kesini hendak mengintjar Soh-sim-kiam-hoat!”

Tik Hun melengak mendengar “Soh-sim-kiam-hoat” disinggung. Tanjanja segera: “Apa katamu, Ting-toako, Soh-sim-kiam-hoat?”

Ting Tian seperti menjesal telah ketelandjur omong, tapi iapun tidak ingin membohongi Tik Hun, maka ia tjuma tertawa dingin beberapa kali tanpa mendjawab.

Sungguh selama hidup Tik Hun belum pernah menjaksikan orang setangkas Ting Tian, hanja sekedjap sadja 17 orang jang tegap kuat itu sudah menggeletak semua mendjadi majat. Dengan gegetun ia berkata kepada Ting Tian: “Ting-toako, kepandaian apakah jang engkau gunakan hingga begitu lihay? Apakah orang ini semuanja pantas digandjar kematian?”

“Pantas digandjar kematian rasanja djuga tidak semuanja,” sahut Ting Tian. “Jang terang orang2 ini tidak bermaksud baik kepadaku. Pabila aku belum berhasil mejakinkan ‘Sin-tjiau-keng’ hingga kena ditawan oleh mereka malah, pastilah susah dibajangkan siksaan apa jang akan kuderita.”

Tik Hun tahu apa jang dikatakan Ting Tian itu bukanlah omong-kosong, katanja pula: “Sekenanja engkau memegang mereka, seketika mereka terbinasa ditanganmu, sungguh ilmu kepandaian ini mendengar sadja aku belum pernah. Pabila kutjeritakan kepada Sumoay, tentu diapun takkan pertjaja……” ~ teringat kepada sang Sumoay, hatinja mendjadi pilu dan dadanja se-akan2 kena dipukul orang sekali.

Namun Ting Tian tidak mentertawainja, bahkan ia menghela napas pandjang dan menggumam sendiri: “Padahal, sekalipun sudah berhasil mejakinkan imu silat maha tinggi djuga belum tentu segala tjita2 orang dapat tertjapai……..”

Belum habis utjapannja, tiba2 Tik Hun bersuara heran dan menuding kearah serangka majat dipelataran sana.

“Ada apa?” tanja Ting Tian.

“Orang itu belum mati sama sekali, kakinja barusan tampak bergerak,” kata Tik Hun.

Sungguh kedjut Ting Tian bukan kepalang, serunja: “Apa benar?” ~ bahkan suaranja sampai gemetar.

“Ja, barusan aku melihat kakinja bergerak dua kali,” sahut Tik Hun sambil memikir djuga: “Seorang jang terluka parah dan tidak lantas mati, mengapa mesti dikuatirkan, masakan masih mampu berbangkit untuk bertempur?”

Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Sin-tjiau-kang jang sudah berhasil dijakinkan Ting Tian itu, siapa sadja asal kena ditjengkeram olehnja, seketika orang itu akan binasa. Kini kalau ada musuh jang ditjengkeram dan ternjata tidak mati, hal itu menandakan ilmu saktinja itu masih ada kekurangannja.

Begitulah karena itu, Ting Tian mendjadi heran dan tjemas, segera ia menerobos keluar dari lubang lankan itu untuk memeriksa orang jang masih bisa bergerak itu.

Diluar dugaan, tiba2 terdengarlah suara mentjitjit dua kali, dua sendjata gelap jang sangat ketjil telah menjambar kearah mukanja. Namun Ting Tian sudah ber-djaga2 sebelumnja, tjepat sekali ia mendongak kebelakang hingga dua batang panah ketjil menjambar lewat dimukanja, bahkan hidungnja mengendus bau amis jang busuk, terang diatas panah2 ketjil itu terdapat ratjun djahat.

Dan begitu membidikan panahnja, orang itu terus melesat keatas emper rumah. Melihat Ginkang orang itu sangat hebat, sebaliknja dirinja sendiri terbelengu, gerak-gerik kurang leluasa, untuk mengedjar belum tentu mampu mentjandaknja, terpaksa Ting Tian menjamber serangka majat sekenanja terus ditimpukan kearah pelarian itu.

Timpukan Ting Tian itu sangat keras dan tjepat, “bluk”, tepat sekali kepala majat itu menumbuk dipinggang sipelarian selagi orang itu baru sadja sebelah kakinja mengindjak emper rumah. Kontan sadja ia terdjungkal kembali kebawah, segera Ting Tian memburu kesana dan mentjengkeram tengkuknja untuk diseret kembali kedalam kamar pendjara, ketika diperiksa napasnja, sekali ini orang itu benar2 sudah putus njawanja.

Ting Tian buang majat itu, ia berduduk dilantai dan bertopang dagu untuk memikirkan: “Sebab apakah tjengkeramanku tadi tidak membinasakan orang itu? Apakah ilmu jang kulatih itu masih ada sesuatu jang kurang sempurna?”

Tapi sampai lama sekali tetap ia tidak memperoleh sesuatu gagasan jang tepat. Saking mendongkol, kembali tangannja mentjengkeram pula kedada majat disampingnja itu. Mendadak ia merasakan ada sesuatu tenaga jang lunak tapi ulet telah mementalkan kembali djarinja. Ting Tian terkedjut tertjampur girang, serunja: “Ja, ja, tahulah aku sekarang!”

Tjepat ia terus mempelototi pakaian majat itu, maka terlihatlah

dibadan majat itu memakai sebuah badju kutang jang berwarna hitam gilap. Maka Ting Tian berkata pula: “Pantas sadja, sampai aku dibikin terkedjut sekali!”

Tik Hun heran, tanjanja: “Ada apakah, Ting-toako?”

Ting Tian tidak mendjawab, ia melutjuti pakaian majat itu dan mentjopot badju kutang didalamnja itu, habis itu ia lemparkan majat itu keluar kamar pendjara, lalu katanja kepada Tik Hun dengan tertawa: “Tik-hiati, ini, pakailah badju ini.”

Tik Hun dapat menduga badju kutang warna hitam itu pasti barang mestika, maka sahutnja: “Badju ini adalah milik Toako, aku tidak berani mengambilnja.”

“Djadi kalau bukan milikmu, lantas kau tidak sudi?” tanja Ting Tian dengan nada agak keras.

Tik Hun terkesiap, kuatir orang mendjadi marah, segera sahutnja: “Tapi kalau Toako mengharuskan aku memakainja, biarlah aku memakainja.”

“Kutanja padamu: Djika bukan milikmu, engkau mau tidak?” tanja Ting Tian dengan sungguh2.

“Ketjuali kalau sipemilik berkeras memberikannja kepadaku, terpaksa aku menerimanja, bila tidak........... bila tidak, karena bukan milikku, dengan sendirinja aku tidak mau,” sahut Tik Hun. “Sebab kalau sembarangan mengambil milik orang, bukankah perbuatan itu mirip perampok dan pentjuri?” ~ Berkata lebih landjut, sikapnja mendjadi penuh semangat, sambungnja: “Ting-toako, engkau tahu bahwa sebabnja aku didjebloskan kedalam pendjara ini adalah karena dipitenah orang. Selama hidupku sutji bersih, selamanja aku tidak pernah berbuat sesuatu kedjahatan.”

Ting Tian meng-angguk2, katanja: “Ja, bagus, bagus! Tidak pertjumalah aku mempunjai seorang kawan seperti engkau. Nah, pakailah badju ini dibagian dalam.”

Tik Hun tidak enak untuk menolaknja, terpaksa ia membuka badju luarnja dan memakai badju kutang hitam itu dibagian dalam, lalu dirangkap pula dengan badju luarnja sendiri jang berbau apek lantaran sudah tiga tahun tidak pernah ditjutji.

Karena tangannja terbelenggu, dengan sendirinja sulitlah untuk berpakaian. Tapi berkat bantuan Ting Tian jang merobek dulu lengan badjunja jang lama itu, badju kutang hitam itu mendjadi tidak susahlah untuk dipakainja.

Selesai membantu memakaikan badju kutang itu, kemudian Ting Tian berkata: “Tik-hiati, badju ini adalah badju mestika jang kebal sendjata, jaitu dibuat dari sutera ulat hitam jang tjuma terdapat di Tay-swat-san. Terang keparat itu adalah tokoh penting dari Swat-san-pay, makanja dia memakai badju kutang Oh-djan-kah pusaka ini. Hahahaha, dia mengintjar mestika kesini, tak tahunja malah mengantarkan mestikanja.”

Mendengar badju hitam itu adalah badju mestika, tjepat Tik Hun berkata: “Toako, musuhmu sangat banjak, seharusnja badju ini engkau pakai sendiri untuk melindungi badanmu. Pula setiap tanggal 15.............”

Namun Ting Tian lantas gojang2 tangannja, katanja: “Aku mempunjai ilmu pelindung badan Sin-tjiau-kang, tidak membutuhkan ‘Oh-djan-kah’ ini. Tentang siksaan setiap tanggal 15, ha, memang aku sukarela menerimanja, kalau mesti memakai badju pusaka ini malah akan menundjukan ketidak tulusnja hatiku. Tjuma sedikit penderitaan kulit-daging sadja kenapa mesti dipikirkan, toh tidak sampai merusak otot-tulang.”

Tik Hun ter-heran2 oleh djawaban itu. Selagi ia ingin tanja, tiba2 Ting Tian berkata pula: “Meski aku minta engkau menjaru sebagai aku jang penuh berewok, tapi aku masih kuatir tidak sempurna melindungi engkau dari samping. Namun sekarang sudahlah baik, engkau sudah pakai badju pusaka, aku tidak kuatir lagi. Marilah mulai sekarang djuga aku akan mengadjarkan kuntji dasar Lwekang padamu, harap engkau beladjar baik2.”

Dahulu bila Ting Tian hendak mengadjarkan ilmu kepandaiannja kepada Tik Hun, dalam keadaan putus asa, pemuda itu berkeras tidak mau beladjar silat apa2 lagi. Tapi kini sesudah tahu seluk-beluk dirinja sendiri telah dipitenah orang, seketika tekadnja ingin membalas dendam itu ber-kobar2 didalam dadanja, sungguh kalau bisa detik itu djuga ia ingin terus keluar pendjara untuk membikin perhitungan dengan si Ban Ka. Dengan mata kepala sendiri Tik Hun telah menjaksikan Ting Tian membinasakan djago2 silat sebanjak itu dengan begitu mudah, ia pikir asal dirinja mampu beladjar 3 atau 4 bagian dari kepandaian Ting-toako itu sudahlah tjukup untuk melolos dari pendjara dan membalas sakit hati.

Saking kusut pikirannja waktu itu, Tik Hun mendjadi se-akan2 tersumbat mulutnja, ia berdiri termangu dengan muka merah membara dan darah bergolak.

Ting Tian menjangka pemuda itu tetap tidak ingin beladjar Lwekang jang akan diadjarkan olehnja itu, selagi dia hendak memberi nasehat lebih djauh, tiba2 Tik Hun terus berlutut kehadapannja sambil menangis ter-gerung2, katanja: “Ting-toako, baiklah engkau mengadjarkan kepandaianmu padaku, aku akan menuntut balas, aku pasti akan membalas sakit hatiku!”

Maka ter-bahak2lah Ting Tian hingga suaranja menggetarkan atap rumah, katanja: “Hendak membalas dalam, apa susahnja?”

Dan sesudah perasaan Tik Hun tenang kembali, barulah Ting Tian mulai mengadjarkan pengantar ilmu Lwekang jang hebat itu.

Tik Hun sangat giat beladjar, sekali diberi petundjuk, segera ia melatihnja tanpa mengenal tjapek.

Melihat ketekunan pemuda itu, Ting Tian mendjadi geli, katanja dengan tertawa: “Untuk mejakinkan Sin-tjiau-keng jang tiada tandingannja itu masakan kau sangka begitu gampang? Aku sendiri kebetulan ada djodoh serta dasar Lwekangku memang sudah kuat, makanja dapat mejakinkannja dalam 12 tahun. Orang beladjar memang perlu giat, Tik-hiati, tapi terlalu tjepat mendjadi djelek malah, maka harus madju setindak-demi-setindak dengan teratur. Hendaklah tjamkan utjapanku ini.”

Walaupun sebegitu djauh Tik Hun masih memanggil “Toako” kepada Ting Tian, tapi dalam hatinja kini sebenarnja sudah menganggapnja sebagai “Suhu”, apa jang dikatakannja pasti diturutnja. Tapi rasa dendam dalam hatinja bergolak bagai ombak mendampar, mana dapat suruh dia tenang begitu sadja?

Besok paginja kembali geger pula ketika petugas2 bui melihat ke-17 rangka majat dipelataran pendjara itu, segera hal itu dilaporkan kepada atasannja dan baru sore harinja majat2 itu digotong pergi. Ting Tian dan Tik Hun mengaku bahwa orang2 itu saling bunuh-membunuh sendiri, sipir bui pertjaja penuh pengakuan itu karena mereka berdua tetap terbelenggu kaki dan tangannja, tidak mungkin orang terbelenggu dapat membunuh 17 orang sekaligus.

Petangnja, kembali Tik Hun melatih diri menurut adjaran Ting Tian. Pengantar dasar “Sin-tjiau-kang” itu ternjata sangat mudah, tapi makin lama mendjadi makin sulit. Meski Tik Hun bukan anak pintar, tapi djuga tidak terlalu bodoh. Setelah melatih satu-dua djam, lambat-laun perutnja sudah merasa ada reaksi. Sedang tegang perasaannja, mendadak dada dan punggungnja berbareng se-akan2 kena dihantam sekali dengan sangat keras.

Begitu keras kedua hantaman dari muka dan belakang itu hingga mirip gentjetan dua batang godam besi, seketika Tik Hun merasa matanja ber-kunang2 dan napas sesak, hampir2 ia djatuh kelenger.

Setelah rasa sakitnja agak reda, waktu ia mementang matanja, ia lihat dikanan-kirinja sudah berdiri seorang Hwesio, waktu menoleh, ternjata dibelakangnja dan disamping djuga terdapat pula tiga Hwesio lain, djadi seluruhnja lima Hwesio telah mengepungnja di-tengah2.

Diam2 Tik Hun membatin: “Ja, inilah lima musuh tangguh jang dimaksudkan Ting-toako itu, aku harus bertahan sekuatnja, djangan sampai penjamaranku diketahui.”

Segera iapun ter-bahak2 dan berkata: “Hahahaha, kelima Tay-su ini memangnja ada kepentingan apa mentjari aku orang she Ting?”

Hlm. 21: Gambar:
Tengah Tik Hun merasakan perutnja mulai timbul reaksi dari latihan Lwekang “Sin-tjiau-kang” jang sakti itu, se-konjong2 terasa dada dan punggungnja dihantam dari muka dan belakang dengan sangat keras. Begitu hebat hantaman itu hingga matanja ber-kunang2, dadanja sesak dan hampir2 semaput.

Waktu sakitnja sudah mereda dan membuka mata, Tik Hun melihat lima Hwesio sudah mengelilingi dirinja.

Hwesio sebelah kiri itu lantas mendjawab: “Dimana Soh-sim-kiam-boh itu, lekas serahkan! He, kau........... kau................”

Belum selesai utjapannja, tiba2 Hwesio itu sempojongan dan hampir2 terdjatuh. Menjusul Hwesio kedua djuga memuntahkan darah segar. Keruan Tik Hun sangat heran, ia tjoba memandang kearah Ting Tian dipodjok sana, tertampak Ting Tian sedang melontarkan pukulannja dari djauh, pukulannja itu tanpa suara tanpa wudjut, tapi Hwesio ketiga lantas mendjerit djuga dan terpental menumbuk dinding.

Kedua Hwesio jang lain tjukup tjerdik, tjepat merekapun menurutkan arah pandangan Tik Hun dan dapat melihat Ting Tian jang meringkuk dipodjok kamar jang gelap itu, berbareng mereka mendjerit kaget: “He, Sin-tjiau-kang! Bu-eng-sin-kun!”

Segera Hwesio jang bertubuh paling tinggi diantaranja lantas menjeret kedua kawannja jang terluka tadi dan berlari keluar melalui lubang lankan. Sedang Hwesio satunja lagi terus merangkul kawannja jang muntah darah, berbareng tangannja membalik menghantam kearah Ting Tian jang saat itu telah berbangkit dan sedang melontarkan pukulannja jang sakti dan tanpa wudjut itu.

Karena beradunja pukulan, Hwesio itu lantas tergetar mundur setindak, menjusul pukulan kedua orang saling bentur lagi dan dia mundur pula setindak, sampai pukulan ketiga, Hwesio itupun sudah mundur sampai diluar lankan besi.

Ting Tian tidak mengedjarnja, maka Hwesio itu tampak mulai ter-hujung2, tjuma beberapa langkah ia sanggup bergerak, habis itu tangannja lantas lemas hingga Hwesio jang dirangkulnja itu terdjatuh ketanah, lalu maksudnja seperti ingin melarikan diri sendiri, tapi setiap tindak, kakinja terasa semakin berat bagai diganduli benda beribu kati. Sesudah melangkah 6 atau 7 tindak dengan susah pajah, achirnja ia tidak tahan lagi, ia terbanting ketanah dan tidak pernah berbangkit pula.

“Sajang, sajang!” udjar Ting Tian. “Kalau engkau tidak memandang kearahku, pasti ketiga Hwesio itu takkan dapat melarikan diri.”

Melihat kedua Hwesio itu sangat mengerikan matinja, Tik Hun mendjadi tidak tega, pikirnja: “Biarlah ketiga Hwesio jang lain itu lari, sesungguhnja orang jang dibunuh Ting-toako djuga sudah terlalu banjak.”

Melihat Tik Hun diam sadja, Ting Tian menanja pula: “Kau anggap tjara turun tanganku terlalu kedjam bukan?”

“Aku.......... aku..........” mendadak Tik Hun merasa tenggorokannja se-akan2 tersumbat, ia djatuh mendoprok kelantai dan tidak sanggup berkata lagi.

Tjepat Ting Tian mengurut dada Tik Hun untuk mendjalankan pernapasannja, setelah diurut agak lama, barulah rasa sesak didada pemuda itu terasa longgar.

“Kau anggap aku terlalu kedjam, tapi begitu datang mereka lantas menghantam engkau dari muka dan belakang, pabila badanmu tidak memakai badju kutang pusaka, mungkin djiwamu sekarang sudah melajang,” demikian kata Ting Tian kemudian. “Ai, hal ini adalah salahku sendiri terlalu gegabah dan tidak menduga bahwa begitu datang mereka terus menjerang. Aku tjuma menduga mereka pasti akan menanja dulu padaku. Ja, tahulah aku, sesungguhnja mereka djuga sangat djeri padaku, maka maksud mereka aku hendak dihantam hingga luka parah, habis itu barulah aku akan dipaksa mengaku.”

Ia mengusap bersih berewok dimukanja Tik Hun, lalu berkata pula dengan tertawa: “Sisa ketiga keledai gundul itu sudah petjah njalinja, pasti mereka tidak berani datang meretjoki kita lagi.” ~ Kemudian dengan sungguh2 ia berkata: “Tik-hiati, Hwesio jang paling tinggi itu bernama Po-siang dan jang gemuk itu bergelar Sian-yong. Jang pertama kali kena dipukul roboh itu paling lihay, namanja Seng-te. Kelima Hwesio itu berdjuluk ‘Bit-tjong-ngo-hiong’ (lima djago dari sekte Bin-tjong), ilmu silat mereka sangat tinggi, bila aku tidak menjergap mereka dari samping, belum tentu aku mampu melawan mereka. Kelak bila engkau ketemukan mereka di Kangouw, engkau harus hati2. Ja, tapi Ngo-hiong kini sudah tinggal Sam-hiong, untuk melajani mereka mendjadi djauh lebih gampang.”

Oleh karena tadi Ting Tian banjak mengeluarkan tenaga murninja untuk menjerang musuh2 tangguh itu, untuk mana ia perlu bersemadi hingga belasan hari barulah tenaganja pulih kembali.

Sang waktu lewat setjepat anak panah, tanpa berasa dua tahun sudah lalu pula. Selama itu keadaan aman tenteram, terkadang ada djuga satu-dua orang Kangouw jang bikin rusuh kekamar pendjara situ, tapi asal sekali ditjengkeram atau dipegang Ting Tian, dalam sekedjap sadja djiwa mereka lantas melajang.

Selama beberapa bulan paling achir ini Sin-tjiau-kang jang dilatih Tik Hun itu se-akan2 matjet, ia bertambah giat melatihnja, tapi ternjata tiada kemadjuan apa2, rasanja masih tetap seperti beberapa bulan jang lalu. Biar otak Tik Hun kurang tadjam, namun dia mempunjai kemauan jang keras, ia tahu ilmu sakti jang tiada tandingannja didjagat itu tidak mungkin berhasil dilatihnja setjara mudah, maka ia melatihnja lebih tekun dan lebih sabar agar pada suatu waktu tjita2nja pasti akan tertjapai.

Pagi hari itu, sedang Tik Hun mendjalankan napas sambil berbaring seperti apa jang dilakukannja setiap bangun pagi, tiba-tiba didengarnja Ting Tian bersuara heran sekali, nadanja kedengaran rada kuatir pula. Selang sedjenak, terdengar ia menggumam sendiri: “Harini agaknja tidak sampai laju, boleh djuga diganti besok pagi.”

Tik Hun heran, ia menoleh dan melihat Ting Tian sedang ter-mangu2 memandang djauh kepada pot bunga jang berada diambang djendela diatas loteng sana.

Sedjak Tik Hun mulai melatih Sin-tjiau-kang, indera penglihatan dan pendengarannja telah banjak lebih tadjam. Maka begitu memandang segera ia melihat diantara tiga tangkai bunga mawar kuning jang mekar dipot bunga itu, satu diantaranja telah rontok satu sajap daun bunganja. Sudah biasa ia melihat Ting Tian ter-mangu2 memandangi bunga jang mekar dipot itu selama beberapa tahun itu, ia pikir mungkin karena terlalu kesal terkurung didalam pendjara, hanja bunga jang elok dipot bunga itu dapat sekadar menghibur hati Ting Tian nan lara.

Namun djuga diperhatikan oleh Tik Hun bahwa bunga jang tumbuh dipot itu selalu mekar dengan segar dan senantiasa berganti, tidak sampai laju sudah diganti bunga lain djenis lagi. Dimusim semi adalah bunga melati, musim rontok berganti bunga mawar dan begitu seterusnja, pendek kata siang-malam pasti ada satu pot bunga jang segar tertaruh diambang djendela itu.

Tik Hun ingat ketiga tangkai mawar itu sudah mekar dipot bunga itu selama enam atau tudjuh hari, biasanja selama itu pasti sudah diganti bunga jang lebih segar, tapi sekali ini ternjata tidak pernah diganti.

Hari itu dari pagi sampai malam Ting Tian tampak sangat kesal dan djengkel. Sampai esok paginja, bunga mawar dipot itu masih tetap belum diganti, sedangkan daun bunganja sudah hampir habis rontok tertiup angin. Lapat2 Tik Hun merasakan firasat jang kurang baik, ketika melihat pikiran Ting Tian semakin tidak tenteram, ia lantas berkata: “Sekali ini orang itu telah lupa mengganti bunganja, mungkin sore nanti dia akan menggantinja.”

“Manabisa lupa?” seru Ting Tian. “Pasti tidak, pasti tidak lupa! Ja, apa barangkali ia.......... ia sakit? Tapi seumpamanja sakit, toh dia dapat suruhan orang mengganti bunga itu!”

Begitulah Ting Tian terus berdjalan mondar-mandir dikamar pendjara itu dengan wadjah jang muram dan perasaan tidak tenteram.

Tik Hun tidak berani banjak menanja, terpaksa ia duduk bersila untuk memusatkan pikiran dan melatih diri.

Petangnja tiba2 turun hudjan rintjik2, tertiup angin, kembali daun bunga mawar itu rontok beberapa sajap pula. Selama beberapa djam itu Ting Tian terus memandangi bunga itu tanpa berkesip. Setiap daun bunga itu rontok, rasanja se-akan2 menjajat hatinja.

Tik Hun tidak tahan lagi, segera ia menanja: “Ting-toako, sebab apakah engkau tidak tenteram?”

“Peduli apa?” bentak Ting Tian dengan gusar. “Tidak perlu usil!”

Sedjak dia mengadjarkan ilmu silat kepada Tik Hun, belum pernah dia bersikap sekasar itu. Tik Hun mendjadi menjesal telah bertanja, maksudnja hendak berkata sesuatu pula untuk memberi pendjelasan, tapi demi nampak wadjah Ting Tian pe-lahan2 mengundjuk rasa pedih dan sangat berduka, ia urung buka suara pula.

Malam itu sedetikpun Ting Tian tidak pernah mengaso, Tik Hun mendengar dia mondar-mandir terus, rantai belenggunja tiada hentinja mengeluarkan suara gemerintjing, karena itu Tik Hun ikut tidak bisa tidur.

Esok paginja, angin meniup sajup2, hudjan masih rintjik2, dibawah tjuatja jang remang2 itu tertampak ketiga tangkai bunga mawar dipot bunga sana sudah rontok semua, tinggal ranting bunganja jang gundul se-akan2 menggigil kedinginan didampar angin dan air hudjan.

“Sudah meninggal? Sudah meninggal? Benarkah engkau sudah meninggal?” tiba2 Ting Tian ber-teriak2, ia pegang lankan besi dan di-gojang2kan terus.

Saking tak tega, Tik Hun berkata pula: “Toako, pabila kau kuatir kepada seseorang, marilah kita pergi mendjenguknja.”

“Mendjenguk apa?” teriak Ting Tian mendadak. “Kalau dapat pergi, sudah lama aku telah pergi, buat apa mesti menderita dalam pendjara berbau batjin ini?”

Karena tidak tahu seluk-beluknja perkara, Tik Hun hanja membelalak bingung, terpaksa ia bungkam sadja.

Sehari penuh hingga malam Ting Tian terus mendekap kepalanja sambil duduk termenung2 dilantai, tidak makan dan tidak minum.

Hari sudah malam dan malam semakin larut. Kira2 tengah malam, pelahan2 berbangkitlah Ting Tian, katanja dengan suara tenang: “Marilah sekarang kita tjoba pergi melihatnja, Tik-hiati.”

Tik Hun mengia sambil berbangkit. Ia lihat Ting Tian telah pegang dua rudji lankan terus dipentang pelahan, maka melengkunglah rudji besi itu hingga tjukup untuk dibuat keluar-masuk.

“Angkatlah rantai belenggumu, supaja tidak mengeluarkan suara,” demikian pesan Ting Tian.

Tik Hun menurut dan gulung rantai belenggunja terus ikut keluar.

Sampai ditepi pagar tembok, sekali endjot, dengan enteng Ting Tian sudah melontjat keatas pagar itu. “Melompat keatas sini!” serunja kepada Tik Hun dengan suara tertahan.

Tik Hun menirukan tjara orang dan melompat keatas. Tak terduga sedjak otot kakinja dipotong dan tulang pundaknja tertembus, seluruh tenaganja sudah takbisa dikerahkan lagi. Maka lontjatannja itu kurang lebih tjuma satu meter tingginja. Untung Ting Tian tjepat meraup tangannja terus ditarik keatas pagar tembok, lalu mereka melompat kesebelah luar sana bersama.

Sesudah melintas pagar tembok itu, diluar pendjara terdapat pula selarik pagar tembok jang lebih tinggi, Ting Tian dapat melontjat keatasnja, tapi Tik Hun tidak sanggup lagi betapapun. Karena tiada djalan lain, Ting Tian melompat turun kembali, ia tempelkan punggungnja memepet tembok, sekali ia mendengar dan mengerahkan tenaga, maka terdengarlah suara keresak-keresek jang pelahan, debu pasir bertebaran, menjusul batu batapun berdjatuhan. Pandangan Tik Hun serasa kabur, tahu2 dinding pagar itu telah amblong berwudjut satu lubang bentuk manusia dan Ting Tiang sudah menghilang. Kiranja Ting Tian telah menggunakan Sin-tjiau-kang jang maha sakti itu untuk membobol tembok dan orangnja sudah melesat keluar.

Kedjut dan girang Tik Hun, tjepat iapun menerobos keluar melalui lubang dinding itu. Diluar ternjata adalah sebuah gang.

Dari djauh Ting Tian sedang menggape padanja. Lekas2 Tik Hun berlari keudjung gang sana.

Agaknja Ting Tian sangat apal terhadap djalanan didalam kota Hengtjiu itu, setelah melintas sebuah djalan dan membiluk dua gang lain, sampailah mereka didepan sebuah bengkel pandai besi. Ting Tian tempelkan tangannja kepintu dan mendorongnja sekali, “pletak”, palang pintu didalam telah patah dan pintupun terpentang.

Pandai besi rupanja sedang tidur didalam, ia mendjadi kaget dan melompat bangun sambil mendjerit: “Maling!”

Namun Ting Tian keburu mentjekek lehernja sambil membentak tertahan: “Diam! Lekas menjalakan api!”

Pandai besi itu tidak berani membangkang, segera ia menjalakan pelita. Ketika melihat Ting Tian dan Tik Hun berambut pandjang dan penuh berewok, rupanja menakutkan, keruan lebih ketakutan dan tidak berani berkutik lagi.

“Tatah putus belenggu kami ini!” perintah Ting Tian pula.

Sipandai besi tahu kedua tamu tak diundang ini pasti adalah pelarian pendjara Tihu, kalau membantunja memahat belenggu mereka, bila kelak diusut dan diketahui oleh alat negara, tentu dirinja akan tersangkut. Maka ia mendjadi ragu2.

Tiba2 Ting Tian menjambar sepotong besi, sekali ia remas, besi itu terus mengepal mendjadi satu bola. Lalu bentaknja: “Kau berani membangkang, apakah kepalamu lebih keras dari besi ini?”

Sungguh kedjut pandai besi itu bukan kepalang, disangkanja telah ketemukan malaikat dewasa, sebab dia tidak pertjaja manusia dapat meremas besi sekeras itu. Dan kalau kepala sendiri benar2 diremas begitu rupa, wah, runjam. Tjepatan sadja ia mengia terus mengeluarkan tatah dan palu. Lebih dulu ia membuka belenggunja Ting Tian, kemudian Tik Hun.

Waktu Ting Tian melorot keluar rantai besi jang menembusi tulang pundak Tik Hun itu, saking sakitnja hampir2 pemuda itu djatuh kelengar. Paling achir ia mendjadi ter-mangu2 sambil memegangi rantai putus jang bersedjarah itu, terkenang olehnja masa lima tahun kebebasannja terkekang dan baru sekarang rantai itu meninggalkan tubuhnja, ia mendjadi girang dan berduka pula hingga mengalirkan air mata.

Tik Hun simpan rantai putus itu kedalam badjunja, lalu ikut Ting Tian keluar dari bengkel besi itu. Ia masih sempat melihat sipandai besi terus melemparkan kedua potong belenggu mereka jang ditatah itu kedalam tungku untuk digembleng, tentunja takut kalau meninggalkan bukti jang bisa bikin tjelaka padanja.

Terlepas dari kekangan belenggu berantai itu, Tik Hun merasa tubuhnja enteng sekali dan kurang biasa, beberapa kali hampir2 ia terdjungkal karena merasa kepalanja lebih antap daripada kakinja. Tapi demi nampak Ting Tian berdjalan dengan kuat, bahkan makin lama makin tjepat, segera Tik Hun menjusulnja, ia kuatir ketinggalan terlalu djauh dalam kegelapan.

Tidak lama, sampailah mereka dibawah djendela dimana selalu tertaruh pot bunga itu, Ting Tian mendongak keatas dengan ragu2 hingga lama.

Tik Hun melihat daun djendelanja tertutup rapat, diatas loteng djuga sunji senjap. Segera katanja: “Bolehkah kutjoba melihatnja keatas situ?”

Ting Tian meng-angguk2 tanda setudju.

Segera Tik Hun memutar kepintu samping rumah bersusun itu, ia tjoba mendorong pintunja, tapi terpantek dari dalam. Sjukurlah pagar tembok disitu sangat pendek, satu dahan pohon Liu kebetulan mendjulur keluar dari sebelah dalam sana, sedikit Tik Hun melontjat, dapatlah ia menggandul diatas dahan itu terus melompat kedalam pagar tembok.

Pintu masuk kedalam rumah itu ternjata tidak dikantjing dari dalam, maka dapatlah Tik Hun masuk dengan leluasa, pelahan2 ia menaiki tangga loteng, dalam kegelapan terdengarlah suara tindakannja ditangga loteng itu. Ia merasa kakinja se-akan2 terapung dan tidak leluasa. Maklum selama lima tahun hidupnja tjuma boleh bergerak didalam sebuah kamar, selama itu tidak pernah mengindjak tangga.

Sampai di atas loteng, keadaan masih sepi njenjak, dibawah sinar bintang jang remang2, Tik Hun melihat disisi kiri ada sebuah pintu pula, pelahan2 ia masuk kesana. Tiada sesuatu suara didalam kamar itu, jang terdengar hanja suara napas sendiri jang agak memburu. Lapat2 ia melihat diatas medja ada sebuah tatakan lilin, ia me-raba2 diatas medja dan dapat menemukan batu ketipan api, dengan alat itu ia dapat menjalakan lilin.

Entah mengapaa, dibawah tjahaja lilin jang terang itu, mendadak Tik Hun merasakan keadaan jang sunji dan hampa.

Ternjata didalam kamar itu memang hampa alias kosong melompong, ketjuali sebuah medja, sebuah kursi, dan sebuah ranjang, benda lain tak tertampak lagi. Hanja dirandjang itu tergantung kelambu putih, diatas randjang terdapat sebuah selimut dan sebuah bantal, diudjung randjang ada pula sepasang sepatu kain wanita. Dari sepatu inilah baru bisa diketahui bahwa kamar ini adalah tempat tinggal seorang wanita.

Tik Hun tertegun sedjanak, kemudian ia memeriksa pula kamar kedua, disana lebih hampa lagi, bahkan medja-kursipun tidak ada. Melihat gelagatnja perabor dalam kamar toh bukan baru sadja dikosongkan, tetapi memang sudah sedjak lama keadaan telah hampa begitu.

Tik Hun turun kembali kebawah dan tjoba periksa tempat2 lain, namun bajangan seorangpun tidak kelihatan. Diam2 ia merasa keadaan demikian agak gandjil, segera ia keluar untuk memberitahukan kepada Ting Tian apa jang telah dilihatnja itu.

“Djadi keadaan sudah kosong, tidak sesuatu barang apa2?” Ting Tian menegas.

Tik Hun mengangguk membenarkan. Agaknja keadaan demikian memang sudah dalam dugaan Ting Tian, maka sama sekali ia tidak kaget atau heran. Segera katanya:”Marilah kita tjoba melihat kesuatu tempat lain lagi.”

Suatu tempat lain jang dikatakn itu ternjata adalah sebuah gedung besar dengan pintu gerabang tjat merah, diluar pintu tergantung dua tenglong beesar, jang satu djelas tertulis “Kantor Kang-leng-hu” dan jang lain tertulis “Kediaman keluarga Leng.”

Tik Hun mendjadi kaget, pikirnja” “Ini adalah kediaman Tihu kota Kang-leng, Leng Dwe-su, untuk apakah Ting-toako datang kesini? Apakah hendak membunuhnja?”

Sambil meng-gosok2 tangan sendiri, tanpa bersuara Ting Tian terus melintasi pagar tembok gedung itu dan masuk kedalam. Terhadap seluk-beluk rumah keluarga Leng itu Ting Tian seperti sudah sangat apal, ia menjusur kesana dan menerobos kesini seperti berdjalan didalam rumahnja sendiri sadja.

Setelah menjusur dua serambi pandjang, achirnja sampailah mereka didepan sebuah ruangan tertutup, mendadak Ting Tian rada gemetar, katanja kepada Tik Hun: “Tik-hiati, tjobalah engkau masuk melihatnja dulu.”

Tik Hun terus mendorong pintu ruangan itu, jang tertampak olehnja per-tama2 jalah api lilin jang terang benderang menjilaukan, diatas medja tersulut dua batang lilin sembahjangan, ternjata ruangan ini adalah tempat abu orang mati.

Sedjak mula Tik Hun memang sudah kuatir akan melihat ruangan abu, peti mati atau majat, achirnja benar2 telah dilihatnja sekarang. Walaupun sudah dalam dugaannja, tidak urung ia merinding djuga. Ketika diperhatikannja, ia lihat dimedja sembajang itu sebuah papan kaju tertulis: “Tempat abu puteri kesajangan Leng Siang-hoa.” Dan pada saat itulah, tiba2 terasa angin berkesiur disampingnja, Ting Tian sudah memburu kedalam situ. Terlihat ia kesima sedjenak didepan medja abu itu, kemudian ia terus menubruk keatas medja sambil meng-gerung2 menangis, teriaknja: “Siang-hoa, o, Siang-hoa, engkau ternjata sudah mendahului aku.”

Sesaat itu dalam benak Tik Hun timbul matjam2 pikiran, tindak-tanduk Ting-toako jang aneh dan menjendiri itu dengan tangisannja mendekap diatas medja itu telah membuat Tik Hun mendjadi paham duduknja perkara. Tapi bila dipikir lebih teliti, ia merasa banjak djuga segi2 jang ruwet dan susah dimengerti.

Sama sekali Ting Tian tidak pikirkan bahwa dirinja adalah pelarian dari pendjara, iapun tidak peduli tempat itu adalah kediamannja tuan besar Tihu. Tapi suara tangisannja makin lama semakin keras dan bertambah duka.

Tik Hun tahu pertjuma sadja menghibur sang Toako itu, maka dibiarkannja Ting Tian menangis se-puas2nja.

Lambat-laun Ting Tian menghentikan tangisannja, pelahan2 ia berbangkit dan membuka tirai dibelakang medja perabuan itu, maka tertampaklah sebuah peti mati jang masih baru, tanpa pikir lagi ia menubruk madju dan merangkul peti mati itu dengan kentjang, ia tempelkan pilinja keatas peti mati dan katanja dengan ter-guguk2: “O, Siang-hoa, Siang-hoa! Mengapa engkau begitu tega meninggalkan daku? Sebelumnja mengapa engkau tidak memberi kesempatan padaku untuk melihat engkau sekali lagi?”

Tiba2 Tik Hun mendengar ada suara orang berdjalan mendatangi, beberapa orang sudah sampai diluar pintu ruangan itu, tjepat serunja: “Toako, ada orang jang datang!”

Namun Ting Tian asjik tempelkan bibirnja untuk mentjium peti mati itu, sama sekali tak dipedulinja apa ada orang jang datang atau tidak.

Didahului oleh tjahaja obor jang sangat terang, masuklah dua orang sambil membentak: “Siapakah jang bikin ribut disini?”

Menjusul kedua orang itu, masuk pula seorang laki2 setengah umur berdandan sangat mentereng, sikapnja sangat tjekatan.

Ia memandang sekedjap kepada Tik Hun, lalu menanja: “Siapakah engkau? Ada keperluan apa datang kesini?”

“Dan engkau sendiri siapa serta untuk apa datang kemari?” demikian Tik Hun balas menanja dengan penuh dongkol.

“Bangsat, barangkali matamu sudah buta, ja?” bentak kedua orang jang membawa obor tadi.

“Ini adalah Leng-taydjin dari Kang-leng-hu, tengah malam buta kau berani sembarang masuk kesini, tentu kau tidak bermaksud baik. Hajo lekas berlutut!”

Namun Tik Hun hanja mendengusnja sekali dan tidak menggubris lagi.

Tiba2 Ting Tian mengusap air matanja, lalu menanja: “Hari apakah wafatnja Siang-hoa? Ia menderita sakit apa?”

Tik Hun ter-heran2 mendengar suara pertanjaan sang Toako itu diutjapkan dengan nada jang tenang dan ramah.

Leng-tihu memandangnja sekedjap, lalu katanja: “Aha, kukira siapa, tak tahunja adalah Ting-tayhiap. Tidak beruntung Siauli (putriku) meninggal dunia, penjakit apa jang dideritanja tabib pun takbisa menerangkan, hanja dikatakan Siauli terlalu menanggung rasa sedih jang tak terhapus.”

“Dan dengan demikian tertjapailah tjita2mu bukan?” kata Ting Tian dengan mendongkol.

“Ai, Ting-tayhiap, engkau sendiripun terlalu kepala batu,” sahut Leng-tihu dengan gegetun.

“Tjoba kalau sedjak dulu engkau mengatakan padaku, pastilah Siauli takkan meninggal gara2 kebandelanmu dan kitapun akan terikat mendjadi menantu dan mertua, bukankah hal itu akan sama2 baiknja?”

Mendadak sorot mata Ting Tian memantjarkan sinar kebentjian, teriaknja. “Djadi kau anggap aku jang mengakibatkan matinja Siang-hoa dan bukan engkau sewndiri jang mentjelakainja?” -- Sembari berkata ia terus mendesak madju selangkah.

Namun Leng-tihu sebaliknja sangat tenang, sahutnja dengan menggojang kepala: “Urusan sudah ketelandjur begini, apa jang bisa kuktakan lagi? Siang-hoa, o, Siang-hoa, dialam baka tentu djuga engkau akan menjalahkan ajahmu ini tidak dapat memmahami isi hatimu.” ~ sambil berkata ia terus mendekati medja perabuan serta mengusap air matanja.

Hlm 31: Gambar
Melihat Ting Tian terantjam bahaja, tjepat Tik Hun melompat madju dan berhasil menawan Leng-tihu hingga begundalnja mati kutu dan tidak berani sembarangan bertindak.

“Hm, kalau harini aku membunuh kau, dialam baka tentu djuga Siang-hoa akan bentji padaku,” demikian kata Ting Tian dengan gemas. “Leng Dwe-su, mengingat kebaikan puterimu, biarlah derita selama tudjuh tahun jang kau siksa atas diriku, sekaligus kuhapuskan sekarang djuga. Tapi kelak kalau engkau kebentur lagi tanganku, djanganlah engkau menjalahkan orang she Ting tidak kenal budi. Marilah, Tik-hiati, kita pergi!”

“Ting-tayhiap,” sahut Leng-tihu tiba2 menghela napas, “sudah begini akibat perbuatan kita, apakah manfaatnja sampai sekarang.

“Kau boleh tanja pada dirimu sendiri, apakah engkau djuga merasa menjesal?” kata Ting Tian. “Hm, engkau serakah dan senantiasa mengintjar Soh-sim-kiam-boh, hingga tidak sajang membikin tjelaka puterinja sendiri.”

“Ting-tayhiap,” kata Leng-tihu pula, “engkau djangan buru2 pergi, lebih baik engkau katakan lebih dulu tentang rahasia ilmu pedang itu dan segera kuberi obat penawarnja, supaja djiwamu tidak melajang pertjuma.”

“Apa katamu? Obat penawar?” seru Ting Tian terkedjut. Dan pada saat itulah tiba2 terasa pipi, bibir dan tangannja makin lama makin kaku dan lumpuh. Sadarlah ia telah keratjunan, tapi mengapa sampai keratjunan, seketika iapun tidak tahu.

“Aku kuatir ada kaum pendjahat mungkin akan membongkar peti mati untuk menodai lajon puteriku jang sutji bersih itu, maka.........”

Belum selesai utjapan Leng-tihu itu, maka tahulah Ting Tian duduknja perkara, serunja dengan gusar: “Djadi engkau telah memoles ratjun diatas peti mati? Sungguh kedji amat engkau Leng Dwe-su!” ~ Berbareng ia terus menubruk madju dan mentjengkeram kearah Leng-tihu.

Tak tersangka kasiat ratjun itu benar2 lihay luar biasa, seketika telah memunahkan tenaga orang dan menjesap ketulang. Sin-tjiau-kang jang sakti itu takdapat dikerahkan lagi oleh Ting Tian.

Sambil berkelit, Leng-tihu lantas berseru memberi tanda, segera menerobos masuk pula empat laki2 bersendjata dan berbareng mengerubut Ting Tian.

Sekali lihat sadja Tik Hun lantas tahu bahwa kepandaian empat orang itu adalah pilihan semua. Terlihat Ting Tian angkat sebelah kakinja hendak menendang pergelangan lawan jang sebelah kiri, sebenarnja tendangan itu sangat djitu dan tjepat, pasti sendjata golok orang itu akan terpental dari tjekalannja. Siapa tahu tenaga tendangannja itu mendadak lenjap sampai ditengah djalan, kedua kakinja tidak mau mendengar perintah lagi. Ternjata ratjun sudah menjerang sampai dikakinja.

Kesempatan itu tidak di-sia2kan orang itu, goloknja membalik, “tak”, punggung golok tepat mengetok dibetis Ting Tian hingga tulang remuk dan orangnja roboh.

Tik Hun terkedjut, dalam kuatirnja ia tidak sempat lagi memikir, mendadak ia menubruk kearah Leng-tihu. Ia pikir djalan satu2nja harus menawan Leng-tihu sebagai barang djaminan, dengan begitu barulah djiwa Ting Tian dapat diselamatkan.

Tak terduga ilmu silat Leng-tihu itu ternjata bukan kaum lemah, mendadak tangan kirinja memapak kedada Tik Hun, baik tenaganja maupun ilmu pukulannja terang golongan kelas tinggi.

Namun Tik Hun sudah nekat, ia tidak menangkis djuga tidak berkelit, tapi tetap menubruk madju. “Plak”, terang gamblang pukulan Leng-tihu itu mengenai dada sasarannja. Tapi aneh bin heran, Tik Hun sama sekali tidak bergeming dan tetap menerdjang madju.

Sudah tentu Leng-tihu tidak tahu bahwa Tik Hun memakai “Oh-djan-kah” atau badju kutang dari sutera ulat hitam jang tidak mempan sendjata. Karena itu, ia malah menjangka ilmu silat Tik Hun tingginja susah diukur. Dalam kagetnja, tahu2 “Tan-tiong-hiat” didadanja telah kena dipegang oleh Tik Hun. Dan karena madjikan mereka tertawan musuh, orang2 tadi mendjadi mati kutu dan tidak berani sembarangan bertindak.

Sekali berhasil serangannja, terus sadja Tik Hun menggendong Ting Tian sambil mentjengkeram kentjang2 Hiat-to berbahaja didada Leng-tihu itu. Melihat madjikan hendak ditjulik, laki2 tadi mendjadi djeri dan serba susah, mereka mem-bentak2, tapi tidak berani sembarangan madju.

“Buang obor kalian dan padamkan api lilin!” bentak Ting Tian.

Terpaksa laki2 itu menurut, maka seketika ruang lajon itu mendjadi gelap gelita.

Sambil sebelah tangannja tetap mentjengkeram Leng-tihu dan diseret keluar, Tik Hun menggunakan tangan lain untuk menggendong Ting Tian, dengan tjepat ia lari keluar dari gedung pembesar itu. Ting Tian jang memberi petundjuk djalannja, maka sebentar sadja sudah sampai dipintu taman. Segera Tik Hun depak pintu itu hingga terpentang, entah darimana pula datangnja tenaga, terus sadja ia gendjot sekali se-keras2nja di “Tan-tiong-hiat” didada Leng-tihu, lalu ditinggalkannja untuk lari sambil menggendong Ting Tian. Ia terus lari se-tjepat2nja dalam kegelapan.

Sebenarnja sebelumnja Leng Dwe-su sudah menduga Ting Tian pasti akan datang berziarah kepada lajon puterinja, maka sudah disiapkannja djago2 pilihan untuk menangkap Ting Tian.

Tak tersangka perhitungannja telah meleset satu tindak, jaitu tak terduga olehnja bahwasanja Ting Tian telah membawa serta seorang pembantu.

Selama dua tahun Tik Hun giat melatih Sin-tjiau-kang, walaupun belum dapat dikatakan ada sesuatu hasil jang hebat, tapi dalam hal tenaga dalam sudah djauh lebih madju dan kuat daripada dahulu. Apalagi hantamannja ke Tan-tiong-hiat didada Leng Dwe-su itu dilakukan dalam keadaan kepepet, maka tenaganja mendjadi keras luar biasa. Keruan tanpa berkutik Leng Dwe-su terus roboh menggeletak. Ketika kemudian begundalnja memburu datang dan buru2 berusaha menolong madjikan mereka, maka tiada seorangpun jang sempat memikir pengedjarannja kepada Ting Tian dan Tik Hun.

Berada diatas gendongan Tik Hun, Ting Tian merasa anggota badannja makin lama makin kaku, tapi pikirannja masih tetap sangat djernih. Terhadap djalanan didalam kota ia sudah sangat apal, maka ia jang menundjukan djalannja kepada Tik Hun membiluk kekanan dan menikung kekiri, achirnja dapatlah mereka meninggalkan pusat kota jang ramai dan sampai disuatu kebun luas jang tak terawat.

“Leng-tihu pasti akan memberi perintah pendjagaan rapat dipintu gerbang kota dan diadakan pemeriksaan keras, keadaanku sudah sangat pajah keratjunan, untuk keluar kota setjara paksa terang tidak dapat lagi,” demikian kata Ting Tian. “Kebun besar ini katanja ada setannja hingga tiada berani dikundjungi orang, biarlah kita bersembunji sementara disini sadja.”

Tik Hun menurut, ia meletakan Ting Tian dengan pelahan kebawah sebuah pohon Bwe (plum), lalu katanya: “Ting-toako, ratjun apakah jang telah mengenai badanmu? Tjara bagaimana harus mengadakan pertolongan?”

Ting Tian menghela napas, sahutnja dengan tertawa getir: “Djangan dipikir lagi, pertjumalah! Ratjun ini sangat djahat, namanja ‘Hud-tjo-kim-lian’ (teratai emas tempat duduk Budha), tiada obat penawar didunia ini jang dapat menjembuhkannja. Biarlah aku bertahan sebisanja, dapat hidup sedjam lebih lama akan kupertahankan sedjam.”

Kedjut Tik Hun tak terhingga, serunja dengan gemetar: “Apa ka …….. katamu? Tiada obat penawarnja? Engkau …….. engkau tjuma bergurau sadja bukan?” ~ Namun demikian, iapun tahu sekali2 Ting Tian tidak sedang berkelakar dengan dia.

Ting Tian lantas ter-bahak2, katanja: “Ratjun ‘Hud-tjo-kim-lian’ milik Leng Dwe-su ini terkenal sebagai ratjun nomor tiga djahatnja didunia ini. Njatanja memang tidak omong kosong! Hahaha, dia benar2 tjukup sabar, sudah menunggu selama tudjuh tahun dan baru harini dia berhasil.”

“Ting ……..Ting-toako, djangan …….. djangan engkau berduka,” udjar Tik Hun kuatir. “Ja, selama masih ada kesempatan, masakah ……… masakah …….. ai, kembali gara2 wanita lagi, aku ………. aku djuga begitu, rupanja kita memang ……. memang senasib …… tapi engkau harus mentjari daja-upaja untuk menghilangkan ratjunmu ini ……… biarlah kupergi mentjari air untuk mentjutji badanmu jang terkena ratjun.” ~ oleh karena pikirannja katjau, susunan kata2nja mendjadi tak keruan dan tak teratur.

Ting Tian menggeleng kepala, katanja: “Sudahlah, usahamu akan sia2 sadja. ‘Hud-tjo-kim-lian’ ini kalau ditjutji dengan air, seketika kulit daging jang keratjunan akan membengkak dan membusuk, matinja akan lebih mengerikan. Tik-hiante, banjak sekali ingin kukatakan padamu, hendaklah engkau djangan sibuk dan bingung, sebab kalau kau bingung, mungkin akan mengatjaukan pikiranku hingga kata2 penting jang hendak kuberitahukan padamu ada jang terlupa. Waktunja sekarang sudah mendesak, aku harus lekas mentjeritakan padamu, maka lekas engkau duduklah jang tenang dan djangan mengganggu tjeritaku?”

Terpaksa Tik Hun menurut dan duduk disamping Ting Tian, akan tetapi betapapun hatinja susah ditenangkan.

“Aku berasal kota Hengbun, keturunan keluarga Bu-lim,” demikian Ting Tian mulai menutur dengan sangat tenang, ja, tenang dan wadjar, se-akan2 jang ditjeritakan itu adalah urusan orang lain jang tiada sangkut-paut apa2 dengan dirinja. “Ajahku djuga seorang tokoh persilatan jang rada terkenal disekitar Oulam dan Oupak. Dasar ilmu silatku masih lumajan djuga, ketjuali adjaran dari orang tua, aku pernah mendapat didikan pula dari dua orang guru lain. Diwaktu mudaku, aku suka membela keadilan dan membasmi kedjahatan. Karena itu namaku lambat-launpun sedikit terkenal.

“Kira2 delapanbelas tahun jang lalu aku menumpang kapal dari Sutjwan menudju kemuara, sesudah lewat Sam-kiap (tiga selat dimuara sungai Tiangkang), kemudian perahu kami berlabuh ditepi Sam-tau-peng. Malamnja tiba2 kudengar ditepi pantai ada suara ribut orang berkelahi. Dasar watakku memang gemar silat, tentu sadja aku tertarik oleh perkelahian jang ramai itu dan melongok kepantai melalui djendela perahu.

“Malam itu bulan sedang memantjarkan sinarnja jang terang benderang hingga aku dapat melihat djelas pertarungan dipantai itu. Kiranja ada tiga orang sedang mengerojok seorang tua. Ternjata ketiga pengerojok itu sudah kukenal semua, mereka adalah tokoh Bu-lim jang terkenal didaerah Liang-ou (dua propinsi Ou, jaitu Oulam dan Oupak). Jang pertama bernama Ngo-in-djin Ban-tjing-san...........”

“He, itulah Supekku!” seru Tik Hun tanpa merasa, walaupun tadi ia telah dipesan djangan mengganggu tjerita Ting Tian.

Ting Tian hanja melototinja sekedjap, lalu meneruskan tjeritanja: ......... dan jang kedua adalah Liok-te-sin-liong (naga sakti di daratan) Gian Tat-peng........”

“Ehm, dia adalah Djisupekku!” kembali Tik Hun menjela.

Ting Tian tak menggubrisnja lagi dan tetap meneruskan: “Dan jang ketiga memakai sendjata pedang, gerak-geriknja sangat gesit, itulah Tiat-so-heng-keng Djik Tiang-hoat.”

“Ha, Suhuku!” seru Tik Hun sambil melontjat kaget.

“Ja, memang benar ialah gurumu,” kata Ting Tian dan menjambung pula: “Aku sudah pernah beberapa kali bertemu dengan Ban Tjin-san, maka tjukup tahu ilmu silatnja sangat hebat. Melihat mereka bertiga saudara perguruan mengerojok seorang musuh, kujakin mereka pasti akan menang.

“Waktu aku perhatikan pula sikakek jang dikerubut itu, kulihat punggungnja sudah terluka, darah mengutjur terus dari lukanja itu. Ia tak bersendjata pula hingga tjuma menempur ketiga pengerojoknja itu dengan bertangan kosong. Akan tetapi ilmu silatnja ternjata djauh lebih tinggi daripada Ban Tjin-san bertiga. Bagaimanapun djuga mereka bertiga tidak berani mendekati sikakek.

“Makin lama aku melihat, makin penasaran hatiku, Ban Tjin-san bertiga selalu melontarkan serangan2 jang mematikan, se-akan2 sikaker itu harus mereka bunuh. Perbuatan mereka bertiga sesungguhnja tidak pantas, masakah tiga orang muda mengerubut seorang tua. Tapi sedikitpun aku tidak berani bersuara, kuatir kalau diketahui mereka hingga akan merugikan diriku sendiri. Sebab dalam urusan bunuh-membunuh dikalangan Kangouw seperti itu bila dilihat orang luar, bukan mustahil jang melihat itu akan dibunuhnja djuga agar rahasianja tidak tersiar.

“Setelah lama sekali pertarungan sengit itu berlangsung, darah jang mengutjur dari punggung kakek itu semakin banjak, tenaganja lambat-laut mendjadi habis. Se-konjong2 orang tua itu berseru: “Baiklah, ini kuserahkan pada kalian!” ~ berbareng ia mengulur tangannja kedalam badju seperti sedang mengambil sesuatu. Buru2 Ban Tjin-san bertiga merubung madju, satu-sama-lain seakan2 kuatir ketinggalan redjeki.

“Diluar dugaan sikakek mendadak memukul kedepan dengan kedua telapak tangannja, karena terantjam oleh serangan itu, terpaksa Ban Tjin-san bertiga melompat mundur. Kesempatan itu telah digunakan oleh sikakek untuk berlari ketepi sungai, plung, ia menerdjun kedalam sungai, Ban Tjin-san bertiga tampak mendjerit terkedjut, tjepat mereka memburu ketepi sungai.

“Akan tetapi arus air jang mendampar dari arah Sam-kiap itu sangat derasnja, betapa kerasnja arus sungai dimuara Sam-tau-peng itu, hanja sekedjap sadja bajangan sikakek itu sudah lenjap. Tapi Suhumu masih belum putus asa, ia melompat keatas perahuku, ia sambar galah situkang perahu terus digunakan untuk mengaduk ketengah sungai. Sudah tentu hasilnja nihil alias nol besar!

“Lazimnja sesudah mematikan kakek itu, seharusnja Suhumu bertiga akan kegirangan. Tapi aneh, wadjah mereka djusteru muram dan sangat menakutkan. Aku tidak berani mengintip lebih djauh, tjepat aku merebahkan diri ditempat tidurku sambil berkerudung selimut. Sampai lama sekali lapat2 aku mendengar mereka bertiga ribut mulut ditepi pantai, satu-sama-lain saling menjalahkan karena lolosnja musuh.

“Sesudah suara ribut ditepi pantai lenjap dan menunggu mereka bertiga sudah pergi djauh, kemudian barulah aku berbangkit. Pada saat itulah tiba2 kudengar situkang perahu diburitan sedang berseru kaget: “Tolong, ada setan!” ~ Tjepat aku memburu keburitan dan melihat ada seorang jang basah kujup sedang merangkak, lalu menggeletak digeladak perahu. Itulah dia sikakek jang menerdjunkan diri kedalam sungai tadi. Rupanja setelah tjeburkan diri kedalam sungai, kakek itu lantas selulup kebawah perahu dan memegang kentjang dasar perahu dengan Tay-lik-eng-djiau-kang jang lihay, setelah musuh pergi, barulah dia keluar dari bawah air.

“Lekas2 aku memajang orang tua itu kedalam perahu, kulihat keadaannja sudah sangat pajah, napasnja kempas-kempis, bitjarapun takbisa lagi. Kupikir Ban Tjin-san bertiga boleh djadi masih belum putus asa dan akan datang kembali, atau mungkin djuga akan mentjari majat orang tua ini kemuara sungai sana. Terpengaruh oleh djiwaku jang suka menolong sesamanja dan membela keadilan, kupikir djiwa orang tua ini harus diselamatkan, dan agar djangan sampai dipergoki Ban Tjin-san bertiga segera aku minta situkang perahu mendjalankan perahunja kehulu sungai, menudju kearah Sam-kiap. Mendjalankan perahu menjongsong arus air jang deras, sudah tentu situkang perahu keberatan dan menolak, pula ditengah malam buta susah mentjari pandu kapal, menjusur kehulu Sam-kiap bukanlah suatu pekerdjaan mudah. Akan tetapi, hahaha, uang memang berkuasa. Setanpun dolan duit. Pendek kata, achirnja situkang perahupun menurut keinginanku.

“Aku membawa obat luka, aku lantas mengobati luka orang tua itu. Luka dipunggungnja ternjata sangat parah, bekas tusukan itu menembus paru2nja, teranglah luka separah itu tidak mungkin disembuhkan. Namun aku berusaha sekuat tenagaku untuk mengobatinja, segala apa aku tidak tanja padanja, sepandjang djalan aku membelikan arak dan makanan2 jang enak untuknja. Aku sudah menjaksikan ilmu silatnja dan dengan mata kepala sendiri melihat dia tjeburkan diri kedalam Tiangkang serta selulup dibawah air begitu lama, dari nilai kepandaiannja serta keperkasaannja itu sudah tjukup berharga bagiku unuk berkorban djiwa baginja.

“Setelah kurawat orang tua itu tiga hari, ia telah tanja memaku, lalu katanja dengan tertawa getir: “Bagus, bagus!” ~ kemudian dikeluarkannja sebungkus kertas minjak dari badjunja dan diserahkan padaku. Tanpa pikir kukatakan padanja: ‘Silahkan Lotiang (bapak) beritahu dimana tempat tinggal sanak keluargamu, barang Lotiang ini pasti akan kuhantarkan padanja, djangan engkau kuatir” ~ Orang tua itu tidak mendjawab, sebaliknja tanja padaku: “Tahukah kau siapa diriku?” ~ Aku mendjawab tidak tahu. Maka katanja pula: ‘Aku adalah Bwe Liam-seng.’ ~ Sungguh kedjutku tak terkatakan demi mengetahui siapa gerangan sikakek itu.”

Dan ketika melihat Tik Hun mendengarkan tjeritanja itu dengan melongo tanpa mengundjuk sesuatu perasaan apa2, segera ia menegurnja: “He, engkau tidak heran oleh nama orang tua itu? Siapakah Bwe Liam-seng itu, apakah engkau tidak tahu? Ialah Tiat-kut-bek-gok Bwe Liam-seng. Engkau benar2 tidak kenal nama itu?”

Tik Hun menggeleng kepala, sahutnja: “Selamanja aku tidak pernah mendengar nama orang itu.”

“Hehe, pantas sadja, sudah tentu Suhumu tak mungkin mengatakan padamu,” djengek Tiang Tian dengan tertawa dingin. “Tiat-kut-bak-gok Bwe Liam-seng adalah tokoh Bu-lim terkemuka dipropinsi Oulam. Dia mempunjai tiga orang murid, jang tertua bernama Ban Tjin-san, murid kedua bernama Gian Tat-peng dan murid ketiga bernama.........”

“Apa katamu Ting........ Ting-taoko? Djadi orang tua itu kakek-guruku?” seru Tik Hun.

“Ja, murid ketiganja memang Djik Tiang-hoat adanja,” sahut Ting Tian. “Kagetku waktu mendengar dia mengaku sebagai Bwe Liam-seng djuga kurang kagetnja seperti engkau sekarang ini. Aku sendiri menjaksikan pertarungan sengit ditepi pantai dibawah sinar bulan purnama itu dan melihat betapa ganasnja Ban Tjin-san bertiga hendak mematikan guru mereka, maka tidak heran kagetku djauh diatas kagetmu sekarang.

“Dengan tersenjum getir lalu Bwee-losiansing berkata kepadaku, ‘Muridku jang ketiga itu paling lihay, lebih dulu punggungku telah ditusuk olehnja setjara mendadak, terpaka aku menjeburkan diri kesungai untuk menjelamatkan diri.’ ~ Aku diam sadja, aku tidak tahu tjara bagaimana harus menghiburnja. Kupikir mereka guru dan murid berempat saling gebrak dengan mati2an, tentulah disebabkan oleh sesuatu urusan jang maha penting, aku adalah orang luar, tidak enak untuk ikut tahu urusan dalam mereka, maka akupun tidak tanja lebih banjak. Tapi Bwe-losiansing lantas berkata pula: ‘Didunia ini aku tjuma mempunjai tiga orang murid jang kuanggap sebagai anak sendiri. Siapa duga demi untuk mengintjar sedjilid Kiam-boh, mereka tidak segan2 untuk membunuh guru. Hehe, sungguh murid baik, murid pintar! Kini Kiam-boh jang diintjar itu memang sudah kena mereka rebut, tapi apa gunanja kalau tidak ada Kiam-koat (tanda2 rahasia, kuntji daripada ilmu pedang) jang lebih penting itu? Betapapun bagusnja Soh-sim-kiam-hoat masakah dapat menandingi Sin-tjiau-kang? Biarlah sekarang djuga kukatakan Kiam-koat dari Soh-sim-kiam-hoat dan kuberikan djuga Sin-tjiau-keng (kitab ilmu pantjaran sukma) padamu, harap engkau melatihnja dengan baik2. Pabila Sin-tjiau-kang berhasil engkau jakinkan, pastilah engkau tiada tandingannja didunia ini, maka djangan sekali2 salah mengadjarkan lagi kepada orang djahat, ~ demikianlah asal-usul aku mendapatkan Sin-tjiau-keng hingga berhasil kujakinkan seperti sekarang ini.

“Selesai Bwe-losiansing berkata, tiada dua djam kemudian iapun meninggal. Aku telah menguburnja ditepi pantai Bu-kiap (sehat Bu diantara Sam-kiap). Waktu itu aku tidak sadar bahwa Kiam-boh dan Kiam-koat dari Soh-sim-kiam jang diperebutkan itu mempunjai latar belakang jang begitu penting, kusangka tjuma perebutan sedjilid kitab ilmu pedang diantara perguruan mereka, makanja tidak pikir harus mendjaga rahasia menginggalnja Bwe-losiansing, tapi aku telah mendirikan batu nisan diatas kuburannja dengan tulisan: ‘Disinilah kuburan Liang-ou-tayhiap Bwe Liam-seng’. Dan djusteru karena batu nisan itulah telah mengakibatkan aku kebentur banjak kesukaran2 jang tiada habis2nja. Segera ada orang mentjari keterangan mulai dari batu nisan itu, melalui situkang batu, tukang perahu dan achirnja dapat diketahui akulah jang mendirikan batu nisan itu, diketahui pula akulah jang mengebumikan Bwe-losiansing, dan dengan sendirinja mereka jakin barang tinggalan Bwe-losiansing pasti telah djatuh kedalam tanganku semua.

“Benar djuga, tiga bulan kemudian rumahku lantas kedatangan seorang Kangouw. Pendatang itu sangat sopan, tapi bitjaranja melantur dan ber-tele2 tak keruan udjung pangkalnja. Tapi sampai achirnja ketahuan djuga maksud tudjuan kundjungannja itu. Ia mengatakan ada sebuah peta tentang suatu harta karun berada dalam simpanan Bwe-losiansing, tentunja peta itu kini sudah berada padaku, maka aku diminta suka mengundjukan peta itu untuk dipeladjari bersama dengan dia, pabila harta karun itu dapat diketemukan, aku akan diberi tudjuh bagian dan dia tjukup tiga bagian sadja.

“Kupikir apa jang diberikan Bwe-losiansing padaku tjuma sematjam kuntji rahasia melatih Lwekang jang tinggi serta beberapa kalimat rahasia dari Soh-sim-kiam jang hanja terdiri dari beberapa angka sadja, ketjuali itu tiada apa2 lagi, masakan ada peta harta karun segala seperti apa jang dikatakan. Karena itu aku lantas mengatakan terus terang, tapi orang itu tetap tidak pertjaja dan minta aku undjukan kuntji rahasia ilmu silat itu padanja. Padahal waktu Bwe-losiansing menjerahkan warisannja itu kepadaku telah memberi pesan agar djangan sekali2 salah diadjarkan lagi kepada orang djahat. Dengan sendirinja akupun menolak permintaan orang itu. Maka dengan tidak senang pergilah orang itu. Tapi tiga hari kemudian ia telah menggerajangi rumahku ditengah malam hingga bergebrak dengan aku, achirnja pundaknja kulukai dan melarikan diri.

“Dan sekali beritanja tersiar, orang jang datang mentjari aku mendjadi semakin banjak, keruan aku kewalahan melajani mereka. Sampai achirnja Ban Tjin-san sendiri djuga datang menjelidiki diriku. Untuk menetap terus dirumah sendiri terang tidak aman, terpaksa aku harus menjingkir djauh2 dengan berganti nama dan tukar she. Aku menjingkir keluar perbatasan dan mengusahakan peternakan disana. Setelah lewat 7-8 tahun, setelah suasana agak reda, pula sudah sangat merindukan kampung halaman, maka diam2 aku menjamar dan pulang ke Hengbun. Siapa duga rumah tinggalku sudah lama dibakar orang mendjadi puing, baiknja aku memang tidak punja sanak-kadang apa2, dengan demikian aku mendjadi bebas malah dan tidak perlu memikirkan apa2 lagi..........”

Dengan bingung dan kusut pikirannja Tik Hun mengikuti tjerita Ting Tian tentang asal-usulnja Sin-tjiau-keng itu. Hendak tidak pertjaja kepada apa jang dikatakan sang Toako itu, namun selama ini Ting-toako itu tidak pernah sekalipun bohong padanja, apalagi hubungan mereka sekarang sudah bagai saudara sekandung, untuk apa sang Toako mendustainja dengan sengadja mengarang dongengan2 bohong itu? Tapi kalau pertjaja, masakah Suhu jang sangat dihormati dan dikenalnja sangat djudjur dan sederhana itu ternjata adalah seorang manusia jang begitu kedji dan tjulas?

Hlm.41: Gambar
“Dengan ter-mangu2 aku mengikuti djedjak nona tjantik itu hingga keluar dari taman pameran itu,” demikian Ting Tian mentjeritakan pengalamannja.”

Ia lihat muka Ting Tian ber-kerut2, agaknja ratjun sedang mendjalar dengan hebatnja, maka tjepat katanja: “Ting-toako, tentang perselisihan antara Suhuku dan Thaysuhu itu tidak perlu kupusingkan. Jang penting sekarang hendaklah engkau tjoba pikirkan apakah........... apakah ada sesuatu akal untuk menjembuhkan ratjun ditubuhmu?”

“Sudahlah, aku telah minta engkau djangan menjela tjeritaku hendaklah engkau mendengarkan dengan diam,” sahut Ting Tian dan melandjutkan tjeritanja: “Sampai achirnja kira2 didalam bulan sembilan pada delapan tahun jang lalu, waktu itu aku berada dikota Hankau untuk mendjual sedikit Djinsom dan bahan obat lainnja jang kubawa dari Kwangwa. 1).

“Pemilik toko obat jang suka membeli barang daganganku itu adalah seorang jang suka keindahan, selesai mengadakan transaksi dagang dengan aku, Ia lantas mengadjak aku pergi melihat ‘Kiok-hoa-hwe’ 2) jang terkenal dikota itu. Bunga seruni jang dipamerkan didalam Kiok-hoa-hwe itu ternjata sangat banjak dan terdiri dan djenis2 pilihan. Jang berwarna kuning antara lain terdapat djenis Ui-ho-ek, Kim-khong-djiok, Eng-ub-ui dan lain2; jang berwarna putih ada: Gwe-boh-tan, Tiau-Sian-pay-gwe dan matjam2 lagi; jang ungu terdapat: Tji-giok-lian, Tji-lo-lan, Tju-hte-sia, dan lain2 dan jang djambon terdapat: Ang-hun-wan, Se-si-hun, dan banjak lagi lainnja........”

Begitulah Ting Tian menguraikan nama2 bunga seruni dengan lantjar dan tanpa pikir se-akan2 djauh lebih apal baginja daripada nama2 gerak tipu ilmu silatnja.

Semula Tik Hun heran oleh pengetahuan Ting Tian jang luar dalam hal bunga seruni itu, tapi segera ia mendjadi teringat bahwa Ting-toako itu memang seorang penggemar bunga. Ia hubungkan pula dengan bunga segar jang selalu menghias didalam pot bunga jang tertaruh diambang djendela gedung bersusun itu, maka tahulah Tik Hun duduknja perkara, tentu Ting-toako ini dengan Leng- siotjia itu mempunjai kesukaan jang sama dan sama2 pula merupakan ahli bunga.

1) Kwangwa = diluar Kwan atau diluar perbatasan Jang diartikan Kwan adalah tembok besar jang merupakan perbatasan didjaman itu.

2) Kiok-hoa-hwe = pameran bunga Seruni. Kegemaran bunga Seruni di Tiongkok sama halnja dengan kegumaran bunga Anggrek dinegeri lain.

Waktu bertjerita tentang pameran bunga itu, tertampak Ting Tian selalu mengulum senjuman bahagia, sikapnja sangat ramah dan lemah lembut. Terdengar ia melandjutkan tjeritanja: “Sungguh menawan hati pameran bunga Seruni itu sembari menikmati akupun tidak habis2nja memudji dan menjebut nama2 bunga jang dipamerkan itu. Tapi dimana ada jang djelek, akupun lantas memberi penilaian jang tegas. Habis menikmati bunga2 itu, ketika hampir keluar dari taman pameran, aku telah berkata kepadaku kawanku sipemilik toko obat itu: “Pameran ini boleh dikatakan sudahlah berhasil, tjuma sajang tidak terdapat Seruni warna hidjau.’ ~ Tiba2 kudengar suara seorang nona ketjil menanggapi utjapanku itu dibelakang: ‘Siotjia, orang ini tahu djuga kalau Seruni ada jang berwarna hidjau. Memangnja ‘Djun-sui-pek-poh’ dan ‘Lik-giok-dji-ih’ dirumah kita itu masakah dapat sembarangan dinikmati orang biasa?’

“Tjepat aku menoleh, kulihat dibelakangku ada seorang gadis djelita sedang menikmati bunga Seruni jang dipamerkan itu. Gadis itu memakai badju kuning muda, tjantik dan sederhana seperti Seruni dalam pameran itu. Sungguh selama hidupku belum pernah kulihat seorang nona setjantik seperti itu. Disampingnja tampak mengiring seorang pelajan ketjil berumur belasan. Melihat aku berpaling dan memandangnja, Siotjia itu mendjadi merah mukanja, dengan pelahan ia berkata kepadaku: ‘Maaf tuan, harap djangan marah karena otjehan budak tjilik jang tidak tahu aturan ini’. ~ Seketika aku terkesima hingga sepatahkatapun aku tidak sanggup bersuara.

“Dengan ter-mangu2 aku mengikuti djedjak Siotjia itu hingga dia meninggalkan taman pameran itu. Melihat aku terkesima begitu rupa, kawanku sipemilik toko obat lantas berkata kepadaku: ‘Siotjia ini adalah anak gadis keluarga Leng-hanlim dikota Buhan (Budjiang dan Hankau) kita ini. Tentu sadja lain daripada jang lain bunga jang terdapat dirumahnja itu.’

“Sekeluarnja dari taman pameran dan berpisah dengan kawanku, sepandjang djalan hingga sampai dikamar hotelku, dalam benakku waktu itu melulu terbajang kepada Siotjia jang tjantik itu sadja. Lewat lohor, aku lantas menjeberang ke Budjiang, setelah tanja tempatnja, aku lantas menudju kerumah Leng-hanlim *). Sudah tentu aku mendjadi ragu2, tidak mungkin aku masuk kerumah orang begitu sadja, padahal masing2 tidak kenal mengenal. Maka aku tjuma mondar-mandir sadja didepan rumah, kulihat ada beberapa anak ketjil sedang memain dipelataran situ. Hatiku dak-dik-duk berdepar2 dengan matjam2 perasaan, aku merasa girang dan merasa takut2 pula. Aku memaki diriku sendiri jang semberono itu. Tatkala itu usiaku sudah tjukup dewasa, tapi kelakuanku waktu itu mirip seperti pemuda remadja jang baru sadja untuk pertama kalinja djatuh kedalam djaring2 asmara!”

*) Hanlim = gelar udjian sastra djaman khala Beng dan Tjing.

Terkenang kepada masa pertemuannja dengan puteri Leng-hanlim dipameran bunga Seruni dahulu, wadjah Ting Tian menampilkan sematjam tjahaja jang aneh, sorot matanja djuga terang penuh semangat.

Tapi Tik Hun djusteru merasa kuatir kalau2 sang Toako itu mendadak kehabisan tenaga, maka katanja: “Ting-toako, lebih baik engkau berbaringlah mengaso dengan tenang. Biarlah kupergi mentjari seorang tabib, aku tidak pertjaja bahwa engkau benar2 takdapat disembuhkan.” ~ sembari berkata, terus sadja ia berbangkit hendak pergi.

Tapi tjepat Ting Tian telah menarik lengannja dan berkata: “Begini dandananmu engkau hendak pergi mentjari tabib, apa engkau mentjari kematian sendiri?” ~ dan setelah merandek sedjenak, lalu katanja pula sambil menghela napas: ”Tik-hiante, tempo hari waktu engkau mengetahui Sumoaymu sudah menikah dengan orang lain, saking menjesalnja sampai engkau hendak menggantung diri. Sumoaymu itu tak berbudi dan menghianati kau, tiada harganja engkau mesti mati baginja.”

“Benar, selama beberapa tahun ini akupun sudah insaf,” sahut Tik Hun.

“Akan tetapi bila Sumoaymu benar2 tjinta padamu dan achirnja rela mati bagimu, maka engkaupun harus mati djuga baginja,” udjar Ting Tian.

Mendengar itu, tiba2 Tik Hun mendjadi sadar, tanjanja segera: “Djadi kematian Leng-siotjia itu adalah demi engkau?”

“Ja,” sahut Ting Tian tegas. “Dia mati bagiku, maka sekarang akupun rela mati untuknja. Hatiku kini sangat senang. Tjintanja padaku sangat mendalam, aku ........ akupun sangat mentjintainja. Tik-hiante, djangankan ratjun jang mengenai tubuhku ini memang tiada obat jang dapat menjembuhkannja, sekalipun dapat disembuhkan djuga aku tidak mau diobati.”

Se-konjong2 perasaan Tik Hun mendjadi hampa, timbul sematjam rasa duka jang sulit dilukiskan. Jang utama sudah tentu disebabkan sedih menghadapi adjal sang Toako itu, namun dalam lubuk hatinja sebaliknja malah rada mengagumi keberuntungannja, sebab paling tidak didunia ini terdapat seorang gadis jang benar2 telah mentjintainja dengan hatinja jang sutji murni dan rela mati baginja, sebaliknja sang Toako itupun membalas tjinta murni kekasihnja dengan sama sutjinja. Tetapi bagaimana dengan dirinja? Ja, bagaimana dengan dirinja sendiri?

Melihat pemuda itu tepekur, pelahan2 Ting Tian memegang tangannja dan tenggelam pula dalam lamunannja pada masa jang lampau. Kemudian tuturnja pula: “Begitulah aku terus mondar-mandir selama beberapa djam didepan gedung Leng-hanlim itu hingga magrib sudah tiba masih tidak merasa lelah dan lupa lapar. Aku sendiripun tidak tahu sebenarnja apakah jang kuharapkan disitu?”

“Hari sudah mulai gelap, tapi aku tetap belum pikir untuk pergi dari situ. Tiba2 sadja dari pintu ketjil disamping gedung itu keluar seorang gadis ketjil dan menghampiri aku pelahan2, lalu bisiknja kepadaku dengan lirih: ‘Tolol, kenapa berada disini terus? Siotjia mengharapkan engkau pulang sadjalah!’ ~ Ketika kuperhatikan, eh kiranja adalah pelajan ketjil jang mengiringi Leng-siotjia waktu menonton pameran Seruni itu. Hatiku mendjadi ber-debar2, dengan ter-gagap2 aku mendjawab: ‘Ap....... Apa katamu?’ ~ Dengan tertawa pelajan ketjil itu berkata pula: ‘Siotjia telah bertaruhan dengan aku mengenai kapan engkau akan pergi dari sini. Sampai sekarang aku sudah menangkan dua tjintjin perak dan engkau masih belum mau pergi?’

“Aku bergirang tertjampur gugup, tanjaku tjepat: ‘Djadi..... djadi Siotjiamu sedjak tadi sudah tahu bahwa aku berada disini?’ ~ Pelajan tjilik itu tertawa, sahutnja: ‘Malahan sudah beberapa kali aku melongok keluar, tapi engkau tetap tidak mengetahui aku, rupanja semangatmu sudah terbang ke-awang2 bukan?’ ~ Habis itu, ia lantas putar tubuh hendak masuk lagi. Tjepat kuberseru: ‘Nanti dulu, Tjitji!’ ~ Ia berpaling dan menanja: ‘Ada apa lagi?’ ~ Maka berkatalah aku: ‘Kata Tjitji, didalam gedung kalian ini terpelihara beberapa djenis Lik-kiok-hoa (seruni hidjau), maka aku sangat ingin melihatnja.’ ~ Gadis itu angguk2, ia tuding sebuah loteng berlabur merah diudjung belakang gedung itu dan berkata: ‘Baiklah, akan kusampaikan permintaanmu kepada Siotjia, pabila beliau meluluskan, tentu akan taruh bunga2 itu diatas ambang djendela diatas loteng berlabur merah itu!’

“Semalam suntuk itu aku duduk menunggu diluar gedung Leng-hanlim itu. Sungguh Hokkhi-ku memang besar, Tik-hiante, esok paginja diambang djendela loteng jang dikatakan itu benar2 muntjul dua pot bunga Seruni berwarna hidjau pupus. Kukenal Seruni salah satu pot itu bernama ‘Djun-tjui-pik-poh’ (air dimusim semi beriak menghidjau) dan pot jang lain bernama ‘Pek-giok-dju-ih’ (kemala jidjau sesuai keinginan). Kedua pot bunga Seruni itu benar2 sangat indah, akan tetapi jang terpikir olehku hanja orang jang menaruh kedua pot bunga itu. Itulah dia, kulihat dibalik tirai djendela itu ada sebuah wadjah jang paling tjantik didunia ini sedang mengintip kearahku, hanja separoh wadjahnja kelihatan, ia memandang sekedjap kepadaku, mendadak mukanja merah djengah terus menghilang dibalik tirai dan untuk selandjutnja tidak muntjul lagi.”

“Tik-hiante, engkau tahu sendiri, begini djelek muka Ting-toakomu ini, gagah tidak, ganteng tidak, kaja tidak, pangkatpun tidak, mana aku berani mengharapkan tjinta seorang gadis setjantik itu? Akan tetapi sedjak itu setiap pagi aku pasti datang keluar taman keluarga Leng dan memandang ter-mangu2 hingga lama. Rupanja Leng-siotjia djuga tidak pernah melupakan daku, setiap hari ia pasti mengganti sebuah pot bunga jang segar dan ditaruh diambang djendela loteng.”

“Keadaan begitu berlangsung lebih dari sembilan bulan, tidak peduli hudjan angin atau hudjan saldju, setiap pagi aku pasti pergi menikmati keindahan bunga, sebaliknja Leng-siotjia djuga tidak pernah mengenal bosan untuk selalu mengganti sebuah pot bunga jang segar lagi indah. Setiap hari ia tjuma memandang sekedjap padaku dan tidak lebih. Setiap kali memandang, tentu wadjahnja bersemu merah, lalu menghilang dibalik tirai. Dan setiap hari asal kulihat kerlingan matanja dan semu diwadjahnja, rasaku sudah puas dan bahagia untuk selamanja. Tidak pernah ia bitjara padaku, akupun tidak berani mengadjak bitjara padanja. Kalau mau, dengan ilmu silatku sebenarnja aku dapat melompat keatas lotengnja dengan sangat mudah. Akan tetapi selama itu sedikitpun aku tidak berani mengundjuk kekasaran padanja. Untuk menulis surat pernjataan tjinta padanja aku lebih2 tidak berani lagi.”

“Suatu malam pada tanggal 5 bulan 2 dalam tahun itu, pondokku telah kedatangan dua orang Hweshio dan serentak aku diserang. Kiranja Hweshio2 itu telah mendapat kabar dan ingin merebut Sin-tjiau-keng dan Soh-sim-kiam-koat dariku. Paderi2 itu adalah dua diantara kelima Hweshio dari Bi-tjong-ngo-hiong itu. Satu diantaranja telah kubinasakan tempo hari didalam pendjara dan telah disaksikan sendiri olehmu. Namun tatkala itu aku belum berhasil mejakinkan Sin-tjiau-kang, ilmu silatku djauh dibawah mereka, aku terluka parah dihadjar mereka, hampir2 djiwaku melajang, untung aku sempat sembunji ditengah onggok rumput dikandang kuda. Karena lukaku itu, aku mesti menggeletak selama lebih tiga bulan baru achirnja dapat paksakan diri berbangkit. Begitu aku dapat berbangkit, segera aku menggunakan tongkat dan datang keluar taman keluarga Leng dengan berintjang-intjuk. Akan tetapi aku mendjadi ketjewa, setiba aku disana, suasananja sudah berubah sama sekali. Kutjoba tanja tetangga disekitar situ dan mengetahui keluarga Leng itu sudah berpindah rumah pada tiga bulan jang lalu. Kemana pindahnja ternjata tiada seorangpun jang tahu.”

“Tjoba bajangkanlah, Tik-hiante, betapa ketjewa dan pedih hatiku pada waktu itu sungguh djauh lebih hebat daripada ratjun jang mengenai badanku sekarang ini. Aku merasa heran, Leng-hanlim adalah tokoh kenamaan dikota Budjiang ini, kemana beliau berpindah rumah masakah sama sekali tiada jang tahu? Namun memang begitulah keadaannja, meski aku sudah menjelidiki kesana dan kesini, tidak sedikit aku korban harta dan tenaga, toh tetap tidak memperoleh sesuatu kabar apa2. Aku jakin dibalik kepindahan keluarga Leng setjara rahasia itu pasti ada sesuatu jang mentjurigakan, kalau bukan Leng-hanlim ingin menghindari datangnja musuh, tentu ada sebab2 lain jang luar biasa hingga mesti pindah rumah setjara mendadak. Dan setjara kebetulan jalah diwaktu aku terluka parah itulah, mereka lantas pindah rumah.”

“Sedjak itu aku mendjadi seperti orang linglung, aku tidak dapat bekerdja dengan tenang, achirnja aku terluntang-lantung di-kangouw tanpa sesuatu pekerdjaan jang benar. Dasar redjekiku memang setinggi langit, suatu hari, ketika aku sedang minum disuatu kedai dikota Tiangsah, tanpa sengadja aku telah mendengar pertjakapan dua orang gembong Pang-hwe (perkumpulan rahasia) jang lagi berunding hendak pergi ke Hengtjiu untuk mentjari Ban Tjing-san, katanja hendak merebut Soh-sim-kiam-boh dari orang she Ban itu.”

“Kupikir sebabnja Ban Tjing-san bertiga saudara perguruan tempo hari berani berdurhaka hendak membunuh guru mereka, pangkal utamanja adalah karena hendak merebut Kiam-boh jang dimaksudkan itu. Sebenarnja apa matjamnja Kiam-boh itu, aku mendjadi ingin melihatnja djuga. Maka diam2 aku menguntit kedua gembong Pang-hwe itu ke Kangleng (nama lain dari Hengtjiu pada djaman itu). Tjita2 kedua gembong Pang-hwe itu memang boleh djuga, tapi napsu besar tenaga kurang, begitu kepergok Ban Tjing-san mereka lantas keok dan kena ditangkap serta digusur kepada pembesar Kanglenghu. Karena iseng, aku ikut2 pergi melihat keramaian dalam pemeriksaan kedua pesakitan itu.”

“Setiba didepan kantor Kanglenghu dan membatja papan pengumuman didepan kantor itu, sungguh girangku laksana orang putus lotre 10 djuta. Kiranja Leng-tihu itu tak-lain-tak-bukan adalah ajahnja Leng-siotjia, Leng Dwe-su adanja. Malamnja, diam2 aku membawa satu pot bunga mawar utk ditaruh didepan djendela diatas loteng belakang tempat tinggal Leng-siotjia, lalu aku menunggu dibawah loteng situ semalam suntuk. Esok paginja ketika Leng-siotjia membuka djendela dan melihat pot bunga itu, ia telah berseru kaget sekali, tapi segera iapun dapat melihat diriku. Sudah lebih setahun kami tidak bertemu dan masing2 sudah menjangka selama hidup ini takkan bersua kembali. Kini dapat berdjumpa lagi, sudah tentu sama2 girang tak terkatakan. Leng-siotjia memandangi aku sedjenak untuk kemudian menutup pula djendelanja dengan muka merah. Ketika hari kedua bertemu pula, mulailah ia buka suara, tanjanja padaku: ‘Apakah engkau djatuh sakit? Engkau telah banjak lebih kurus!’”

“Sungguh rasa bahagiaku waktu itu susah dilukiskan. Untuk hari2 selandjutnja hidupku bukan lagi hidup manusia, tapi lebih menjerupai hidup dewata disorga. Ja, sekalipun dewata rasanja djuga tidak sebahagia seperti aku pada waktu itu. Setiap malam, bila orang lain sudah pergi tidur, aku lantas mendatangi loteng Leng-siotjia untuk mengadjaknja keluar dan ber-djalan2 disekitar rimba pegunungan diluar kota Kangleng. Kami senantiasa bergaul setjara sopan, sedikitpun tidak pernah menjeleweng dari adat istiadat. Tapi segala isi hati kamipun dibitjarakan setjara terbuka, djauh lebih akrab daripada sobat karib umumnja.”

“Pada suatu malam Leng-siotjia telah menuturkan suatu rahasia besar kepadaku. Kiranja ajahnja meski ikut udjian sastra dan mendapat gelar Hanlim, tapi sebenarnja adalah Toaliongthau (kepala) dari Liong-soa-pang jang sangat berpengaruh diwilayah Liang-ou (Ouwlam dan Ouwpak). Karena Leng-siotjia adalah dewi pudjaanku, dengan sendirinja akupun sangat menghormati ajahnja, maka akupun tidak heran oleh tjeritanja itu.”

“Pada suatu malam lagi, kembali Leng-siotjia mentjeritakan padaku bahwa sebabnja ajahnja tidak mau mendjadi Hanlim jang dihormati tapi tanpa tugas itu, malahan sengadja membuang ber-laksa2 tahil perak dan dengan susah pajah menjogok pembesar pusat hingga ajahnja diangkat mendjadi Tihu dari kota Hengtjiu, dibalik itu sebenarnja memang ada sesuatu maksud tudjuan tertentu.”

“Kiranja ajahnja telah memperoleh ilham dari kitab sedjarah jang pernah dibatjanja bahwa disesuatu tempat didalam kota Hengtjiu itu pasti terpendam suatu partai harta karun jang tak ternilai djumlahnja. Menurut keterangan jang dibatja, didjaman dynasti Liang (502 ~ 557) dimasa Lak-tiau atau Lam-pak-tiau (Tiongkok selatan dan utara, 420 ~ 581), setelah kaisar Liang-bu-te wafat oleh karena pemberontakan Hou Keng, tahta digantikan oleh Liang-bun-te, tapi kaisar ini ditewaskan pula oleh Hou Keng, kemudian pangeran Siang-tong-ong Siau Tik naik tachta dikota Kangleng dengan gelar Liang-goan-te. Tapi Liang-goan-te ini terlalu lemah dan tidak betjus mengurus negaranja, jang dipentingkan tjuma mengumpulkan harta-benda pribadi atas derita rakjat djelata, hanja tiga tahun ia mendjadi radja di Kangleng, tapi harta-benda jang dikeduknja sudah tak ternilai djumlahnja. Pada tahun ketiga itulah keradjaan Gui menjerang Kangleng dan Liang-goan-te terbunuh. Pada hari tamatnja Liang-goan-te itu, radja jang lalim itu telah membakar habis perpustakaan negara jang berisi kitab2 berharga tidak kurang dari 140 ribu djilid djumlahnja. Akan tetapi dimana ia menjembunjikan harta bendanja hasil pemerasan darah-keringat rakjat itu ternjata tiada seorangpun jang tahu. Guna menjelidiki harta karun jang besar djumlahnja itu, panglima tentara Gui jang bernama Ih Kin telah menawan ber-ribu2 orang jang disangkanja tahu rahasia tempat harta karun itu disembunjikan, namun meski orang2 itu disiksa dan dibunuh toh tetap tiada sesuatu keterangan jang diperoleh. Achirnja karena kuatir tempat pendaman harta karun itu dikemudian hari mungkin akan dikeduk oleh orang jang mengetahui, panglima kedjam itu tidak berbuat kepalang tanggung lagi, antero penduduk Kangleng lantas digiring semua ke Tiangan, jaitu ibukota keradjaan Gui. Beratus ribu penduduk Kangleng itu belum lagi tiba di Tiangan sudah terbunuh atau dipendam hidup2 ditengah djalan hingga tiada seorangpun jang lolos. Karena itulah, selama be-ratus2 tahun rahasia tentang harta karun itu tetap tidak terbongkar, dan lambat-laun tiada seorangpun jang tahu lagi.”

“Menurut tjerita Leng-siotjia, ajahnja telah mengorbankan temponja selama 7-8 tahun untuk membongkar arsip sedjarah kota Kangleng serta mempeladjari segala tjatatan dan kitab kuno, maka dapatlah dipastikan bahwa harta karun jang dikumpulkan Liang-goan-te itu tentu dipendam di sesuatu tempat di sekitar kota Kangleng ini. Radja Liang-goan-te itu sangat kedjam, bukan mustahil setelah dia menjembunjikan harta-bendanja itu, lalu petugas2 jang mengetahui rahasianja itu terus dibunuhnja semua. Makanja Ih Kin, itu panglima tentara Gui, meski betapapun kedjamnja dia menjiksa rakjat untuk menjelidiki tempat harta karun itu dipendam, namun tetap tiada sedikitpun keterangan jang diperolehnja.”

Mendengar sampai disini, satu-persatu tanda tanja jang meliputi hati Tik Hun mendjadi terdjawab dan terang. Tanjanja kemudian: “Ting-toako, djika begitu, engkau tentu mengetahui rahasia tempat harta karun itu bukan? Makanja begitu banjak orang jang mentjari engkau kedalam pendjara, tentu karena merekapun ingin mendapatkan harta terpendam itu.”

Ting Tian tidak mendjawab, dengan tersenjum getir ia meneruskan tjeritanja pula: “Setelah mendengar tjerita Leng-siotjia itu, waktu itu aku merasa ajahnja sesungguhnja terlalu serakah. Dia sudah ‘Bun-bu-tjoan-tjay’ (serba pandai ilmu silat dan sastra), sudah kaja lagi berpangkat, kenapa masih mengintjar harta karun apa segala? ~ Kemudian ketika aku berbitjara tentang matjam2 kedjadian dan pengalaman Kangouw, dengan sendirinja akupun mentjeritakan padanja tentang peristiwa Ban Tjing-san bertiga saudara perguruan mengerojok guru mereka untuk merebut Kiam-boh ditepi sungai Tiangkang itu. Dengan terus terang akupun mentjeritakan tentang Sin-tjiau-keng dan Soh-sim-kiam-koat jang kumiliki itu kepadanja.”

“Dengan begitulah kami telah lewatkan hari bahagia selama setengahan tahun. Pada hari tanggal 14 bulan tudjuh tahun itu, Leng-siotjia telah berkata kepadaku: ‘engkoh Tian, hubungan kita ini betapapun harus dibitjarakan kepada Tiatia untuk minta persetudjuannja, habis itu kita tidak perlu lagi pakai sembunji2 seperti sekarang ini..........” ~ baru berkata sekian ia sudah lantas susupkan kepalanja kepangkuanku saking malunja.”

“Maka aku mendjawab: ‘Tapi engkau adalah Djian-kim-siotjia (puteri bernilai ribuan emas, maksudnja puteri keluarga hartawan atau bangsawan), aku kuatir ajahmu akan memandang hina padaku.’ ~ Leng-siotjia menjahut: ‘Leluhurku sebenarnja djuga orang kalangan persilatan, hanja ajahku sekarang telah mendjadi pembesar negeri, dan akupun tidak bisa ilmu silat sedikitpun. Namun ajah paling sajang padaku, sedjak ibuku meninggal, setiap permintaanku pasti diluluskan oleh beliau.’

“Mendengar utjapannja itu, sudah tentu girangku tak terkatakan. Siang harinja aku biasanja tidur, tapi hari tanggal 15 bulan tudjuh itu sehari suntuk aku tidak dapat memedjamkan mataku barang sedetikpun. Sampai tengah malam, kembali aku mendjumpai Leng-siotjia diatas lotengnja. Begitu bertemu, dengan wadjah merah ia lantas berkata: ‘Kata ajah, segala apa terserahlah kepada keinginanku.’ ~ Keruan girangku melebihi orang putus lotre 100 djuta. Saking senangnja sampai aku tak sanggup bersuara, untuk beberapa saat lamanja kami tjuma dapat saling pandang dengan tertawa.

“Kemudian kami bergandengan tangan turun dari loteng, sampai ditaman, dibawah sinar sang dewi malam jang terang benderang, tiba2 kulihat diantara bunga2 disitu telah bertambah beberapa pot bunga jang berwarna kuning indah bagai emas jang gemilapan. Bentuk bunga kuning itu rada mirip bunga teratai, tjuma lebih ketjil. Kami berdua memangnja adalah penggemar bunga, segera kami menghampiri bunga kuning itu untuk menikmatinja. Leng-siotjia ber-ketjak2 merasa heran dan menjatakan tidak pernah melihat bunga kuning seindah itu. Segera kami bersama mendekatkan hidung untuk mentjium bunga itu agar mengetahui sampai dimana bau harum bunga itu.......”

Waktu mendengar tjerita sang Toako ber-djalan2 ditaman bunga dibawah sinar bulan purnama sambil tangan bergandeng tangan bersama sang kekasih, betapapun Tik Hun ikut kesemsem djuga, maklum semangat muda. Tapi achirnja demi mendengar nada suara Ting Tian berubah berat dengan napas jang rada seram, mau-tak-mau Tik Hun mendjadi tegang djuga hingga dadanja serasa sesak, se-akan2 ditaman bobrok itu penuh dikelilingi setan iblis jang siap menubruk kepadanja. Se-konjong2 teringat sesuatu nama olehnja, terus sadja ia berteriak: “He, itulah bunga ‘Hud-tjo-kim-lian’!”

Udjung mulut Ting Tian menampilkan senjuman pahit. Selang agak lama barulah ia berkata pula: “Njata engkau sudah tidak bodoh lagi. Selandjutnja engkau takkan mudah ditipu orang Kangouw pula, untuk mana bolehlah aku merasa lega.”

Mendengar utjapan orang penuh mengandung rasa kasih sajang dan penuh perhatian melebihi saudara sekandung, Tik Hun mendjadi terharu hingga air matanja bertjutjuran. Katanja kemudian dengan gemas: “Sipembesar andjing Leng-tihu itu kalau tidak...... tidak boleh puterinja diperisteri olehmu, sebenarnja ia bisa katakan sadja terus terang, tapi mengapa........... mengapa mesti memakai tipu sekedji itu untuk mentjelakai engkau?”

“Waktu itu darimana aku bisa mendapat tahu?” sahut Ting Tian. “Darimana pula aku bisa mengetahui bahwa bunga kuning emas itu tak-lain-tak-bukan adalah Hud-tjo-kim-lian jang berbisa luar biasa itu? Dan begitu aku mentjium bau harum bunga itu seketika kepalaku terasa pening, sekilas kulihat Leng-siotjia djuga ter-hujung2 terus roboh, tjepat aku bermaksud membangunkan dia, tapi aku sendiripun tidak kuat berdiri pula. Selagi aku mengerahkan Lwekang dan mengatur napas untuk menahan serangan ratjun bunga itu, tiba2 dari sekitar situ sudah muntjul beberapa laki2 bersendjata. Aku tjuma sanggup bergebrak beberapa djurus dengan mereka, habis itu pandanganku mendjadi gelap, menjusul aku tidak tahu lagi apa jang terdjadi.”

“Ketika aku sadar kembali, aku merasa kaki-tanganku sudah terbelenggu, bahkan Pi-pe-kut dipundak djuga sudah ditembus dengan rantai. Kulihat Leng-tihu dengan pakaian biasa sedang mengadakan pemeriksaan atas diriku, petugas2 jang berada disitu djuga bukan lagi petugas2 negara, tapi adalah anggota2 perkumpulan rahasianja. Sudah tentu sikapku sangat keras, kontan sadja aku memaki kalang kabut. Segera Leng-tihu memberi perintah begundalnja menghadjar aku, kemudian aku dipaksa harus menjerahkan Sin-tjiau-keng dan Soh-sim-kiam-koat.......... Kedjadian selandjutnja tidak perlu lagi kutjeritakan, engkau sendiripun sudah tahu, jaitu setiap bulan tanggal 15 aku pasti diseret keluar untuk dihadjar dan memaksa aku menjerahkan Bu-keng (kitab ilmu silat) dan Kiam-koat (kuntji ilmu pedang). Tapi tetap aku tidak guris padanja. Sungguh kesabarannja memang luar biasa djuga hingga bertahan sampai sekarang.”

“Tapi bagaimana dengan Leng-siotjia waktu itu? Mengapa dia tiak berdaja untuk menolong engkau?” tanja Tik Hun tjepat. “Pula, kemudian setelah engkau berhasil mejakinkan Sin-tjiau-kang, engkau dapat pergi-datang dengan bebas, mengapa engkau tidak pergi mendjenguk padanja? Mengapa engkau terima menunggu pertjuma didalam pendjara sampai kematiannja?”

Begitulah serentetan pertanjaan Tik Hun mengenai Leng-siotjia. Tapi saat itu Ting Tian sedang merasakan pening kepala jang luar biasa, tubuhnja se-akan2 enteng dan terapung di udara. Ia ulur tangannja meraba dan memegang sekenanja seperti ingin mendapatkan sesuatu pegangan.

Segera Tik Hun angsurkan tangannja untuk memegang tangan Toako itu. Tapi mendadak Ting Tian terkedjut dan mengipatkan tangannja sekuatnja sambil berseru: “Tanganku beratjun, djangan menjentuh aku!”

Tik Hun terharu pula dan tjemas melihat keadaan sang Toako itu.

Sesudah pening sebentar, pelahan2 Ting Tian dapat tenangkan pikirannja lagi, ia membuka mta dan menanja: “Tadi kau omong apa?”

Tik Hun tidak mendjawab, tapi mendadak teringat sesuatu olehnja, tjepat ia menanja: “Ting-toako, waktu itu apakah pernah terpikir olehmu bahwa Leng-siotjia itu mendapat perintah dari ajahnja dan sengadja menipu engkau untuk..........”

“Omong kosong!” bentak Ting Tian mendadak dengan gusar sambil angkat tangannja hendak menggablok.

Tik Hun insaf telah kelepasan omong, maka ia tidak berani menangkis, tapi rela menerima hadjaran sang Toako.

Diluar dugaan kepalan Ting Tian lantas berhenti ditengah djalan, ia melototi Tik Hun sedjenak dengan terkesima, kemudian menarik kembali kepalannja pelahan2, lalu katanja: “Tik-hiante, rupanja engkau sendiri dihianati gadismu, maka kepertjajaanmu kepada kaum wanita didunia ini sudah hilang, untuk mana memang aku tidak dapat menjalahkan engkau. Tapi bila Siang-hoa benar2 diperintahkan ajahnja dengan menggunakan ‘Bi-djin-keh’ (tipu menggunakan wanita tjantik) untuk menipu Sin-tjiau-keng dan Soh-sim-kiam-koat dariku, hal itu akan sangat gampang aku tertipu. Bahkan ia tidak perlu berkata apa2, tjukup asal bilang: ‘Ting-toako, berikanlah kitabmu Sin-tjiau-keng dan Soh-sim-kiam-koat kepadaku.’ ~ Bahkan dia boleh tidak usah buka suara, tjukup memberi isjarat atau menundjukan sedikit keinginannja sadja, kontan tanpa tawar2 pasti akan kuberikan segala apa jang dia minta. Aku takkan pusing apakah kitab itu akan diserahkannja kepada ajahnja, akan disedekahkan kepada pengemis dipinggir djalan atau akan dia sobek2 sebagai mainan kanak2, ja, sekalipun akan dia bakar, pasti aku takkan mengkerut kening sedikitpun. Ketahuilah, Tik-hiante, meski Bu-keng dan Kiam-koat itu adalah kitab mestika jang tak ternilai di dunia Bu-lim, tapi kalau dibandingkan diri Leng-siotjia, dalam pandanganku kitab2 mestika itu tidak lebih tjuma sebangsa sampah belaka. Huh, Leng Dwe-su pertjuma mendjadi seorang Bun-bu-tjoan-tjay, tapi hakekatnja adalah seorang jang goblok. Tjoba kalau dia suruh puterinja membuka mulut minta padaku, tidak mungkin aku menolaknja.”

“Boleh djadi ia sudah pernah bitjara dengan Leng-siotjia, tapi Leng-siotjia tidak mau menurut,” udjar Tik Hun.

“Tidak mungkin,” sahut Ting Tian menggeleng kepala. “Andaikan terdjadi begitu, pasti Siang-hoa takkan membohongi aku.” ~ Ia menghela napas, lalu menjambung pula: “Hm, manusia matjam Leng Dwe-su itu lebih mementingkan nama dan kedudukan, harta dan kekajaan, dengan djiwanja jang ketjil itulah dia angap setiap manusia didjagat ini djuga serupa dirinja jang tidak berpribadi, ia menjangka kalau menjuruh puterinja minta padaku, tentu aku akan menolaknja, sebaliknja maksud djahatnja mendjadi ketahuan hingga aku akan lebih waspada. Disamping itu ada pula suatu alasan. Seperti diketahui, dia adalah seorang Tihu keluaran Hanlim, tapi puterinja djusteru djatuh hati kepada seorang kasar seperti aku. Ia merasa terhina dan harus membunuh diriku.”

“Sesudah aku tertangkap, antero badanku telah digeledah merata, tapi tiada sesuatu jang diketemukan, pondokku djuga tiak terluput dari penggeledahan teliti, namun djuga tidak diketemukan apa2. Sedjak itu tiap2 tanggal 15 tentu aku diseret keluar pendjara untuk disiksa dan ditanjai, sudah banjak sekali usaha mereka, segala budjukan manis dan kata2 madu sudah habis terpakai, segala paksaan dan antjaman djuga sudah dilakukan, tapi aku tetap bungkam. Ia pernah mengirim orangnja menjamar sebagai pesakitan dan dikurung sekamar dengan aku dengan tudjuan memantjing pembitjaraanku. Orang itu pura2 penasaran karena dipendjarakan tanpa berdosa, ia mentjatji-maki Leng Dwe-su adalah manusia djahat. Akan tetapi segera aku dapat mengetahui rahasia penjamarannja, tjuma sajang waktu itu aku belum berhasil menjakinkan Sin-tjiau-kang, tenagaku tidak seberapa besarnja, maka kurang keras kuhadjar dia.” ~ berkata sampai disini udjung mulutnja menampilkan senjuman puas. Lalu melandjutkan: “Nasibmu djuga djelek, telah banjak menderita hadjaranku setjara penasaran. Pabila engkau tidak bermaksud menggantung diri, boleh djadi sampai harini djuga sudah mati dihadjar olehku.”

Sahut Tik Hun: “Aku sendiri menanggung penasaran dan dipitenah orang, pabila tak ditolong Toako .....”

Tiba2 Ting Tian menggojang tangannja menjetop utjapan pemuda itu, lalu katanja: “Pertemuan kita ini boleh dikatakan ada ‘djodoh’. Segala kedjadian didunia ini memang tak terlepas dari ‘djodoh’.”

Sekilas ia melihat diudjung taman bobrok sana bertumbuh setangkai bunga ungu jang ketjil dan sedang tergontai oleh tiupan angin bagai hidup kesunjian disitu. Katanja segera: “Petikanlah bunga itu!”

Tik Hun menurut, ia petik tangkai bunga itu dan menjerahkannja kepada sang Toako.

Sambil memandangi bunga ungu ditangannja itu, terbajang pula kedjadian2 dimasa lampau, pelahan2 Ting Tian menutur lagi: “Setelah tulang pundakku ditembus rantai dan dipendjarakan, segala apa sudah dapat kupikirkan dengan djelas, kujakin Leng Dwe-su pasti akan menghabiskan njawaku. Sehari lebih tjepat kuserahkan Keng dan Koat*) jang dia inginkan itu, sehari lebih lekas pula aku akan dibunuh olehnja. Tapi kalau aku tetap bungkam, mengingat benda2 mestika jang diintjarnja itu tentu ia malah tidak berani membunuh diriku, sekalipun dihadjar dan disiksa, paling2 djuga tjuma melukai sedikit kulit sadja, untuk menamatkan njawaku rasanja masih sajang baginja.”

“Pantas!” udjar Tik Hun. “Makanja tempo hari waktu Toako suruh aku pura2 hendak membunuh engkau, seketika sipir bui mendjadi kuatir malah dan tidak berani berlaku se-wenang2 lagi kepada kita.”

“Ja. Setelah lebih sebulan aku disekap dalam pendjara, saking gusar dan penasaranku, hampir2 aku mendjadi gila,” tutur Ting Tian pula. “Pada suatu malam, datanglah seorang pelajan ketjil, ia adalah Kiok Yu (kawan seruni), itu dajang pribadi Leng-siotjia. Sebabnja aku dapat berkenalan dengan Leng-siotjia adalah gara2 utjapan dajang itu ditaman pameran seruni di Budjian. Aku tidak tahu betapa banjak Leng-siotjia memberi sogokan kepada sipir bui hingga Kiok Yu diperbolehkan menemui aku. Akan tetapi sepatahkatapun Kiok Yu ternjata tidak buka suara dan tiada membawakan sesuatu benda atau setjarik kertaspun untukku, melainkan menatap aku dengan ter-mangu2 sadja. Sipir bui itu membawa golok tadjam dan mengantjam dipunggung Kiok Yu. Maka tahulah aku bahwa sipir bui itu terang ketakutan atas perbuatannja menerima uang sogok, maka Kiok Yu tjuma diperbolehkan bertemu muka dengan aku, tapi dilarang berbitjara.”

“Dengan terkesima Kiok Yu memandangi aku sedjenak, sampai achirnja iapun mengutjurkan air mata. Sementara itu sipir bui ber-ulang2 memberi tanda mendesaknja lekas keluar dari situ. Kiok Yu melihat dipelataran diluar kamar pendjara bertumbuh setangkai bunga seruni jang ketjil, ia terus memetiknja dan diangsurkan kepadaku melalui langkah besi, lalu ia tuding2 pula kearah djendela diatas suatu loteng dikedjauhan. Diatas ambang djendela itu ternjata tertaruh sebuah pot bunga jang segar. Aku mendjadi girang dan tahu bunga itu diletakan oleh Leng-siotjia disitu untuk menghilangkan rasa hampaku.”

“Kiok Yu tidak berani tinggal terlalu lama disitu, segera ia putar tubuh bertindak keluar. Siapa duga baru sadja ia melangkah keluar pintu pendjara, tiba2 dari tempat jang tinggi menjambar datang sebatang panah, “tjrat”, punggung dajang ketjil itu tepat tertembus oleh panah itu dan seketika menggeletak terbinasa. Njata Leng Dwe-su kuatir kalau ada kawanku jang mengatjau kependjara untuk menolong aku, maka di-mana2 disekitar pendjara itu sudah didjaga dengan kuat. Ketika panah kedua menjambar pula, sipir bui jang korupsi itupun tidak terluput dari kematian. Bagitulah djalan pikiran Leng-Dwe-su jang tjulas dan begitulah kedji rentjananja.”

“Belum lagi bunga seruni ditanganku itu laju, ternjata Kiok Yu sendiri sudah tewas. Sungguh aku mendjadi ketakutan, takut kalau Leng Dwe-su mendjadi kalap hingga puterinja sendiripun dibunuhnja. Maka aku tidak berani membikin marah lagi padanja, setiap kali ia memeriksa aku pula, aku tjuma membudek dan membisu sadja dan tidak memakinja lagi.

Hlm. 15: Gambar:

“.................... diluar dugaan, baru sadja Kiok Yu melangkah keluar kamar pendjara, mendadak dari tempat jang tinggi menjambar tiba sebatang panah dan tepat menembus punggung gadis itu.............................”

“Kiok Yu telah mati bagiku, usianja masih sangat muda, semuda bunga jang baru mekar. Kalau bukan karena pengorbanannja itu, mana aku sanggup menahan derita selama beberapa tahun ini? Dan darimana aku bisa tahu bahwa bunga segar dalam pot jang tertaruh diambang djendela loteng itu adalah kerdjaan Siang-hoa untukku? Akan tetapi Siang-hoa tetap tidak mengundjuk muka, ia tidak pernah mengintip lagi barang sekedjap dari balik djendela itu. Sungguh aku merasa tidak mengerti apakah sebabnja? Terkadang aku mendjadi menjesalkan dia mengapa begitu tega padaku?”

“Maka aku bertambah giat melatih Sin-tjiau-keng dengan harapan selekasnja dapat terlatih tamat dan sempurna, lalu takkan terkekang lagi kebebasanku oleh belenggu itu. Kuharap bisa terlepas dari pendjara untuk membawa kabur Leng-siotjia dari kurungan ajahnja. Akan tetapi Sin-tjiau-keng itu mengutamakan kesadaran pikiran dan harus melatih dengan sewadjarnja, sedikitpun takbisa dipaksakan dengan tjepat. Achirnja djerihpajahku toh tidak ter-sia2, sampai beberapa hari sebelum engkau hendak menggantung diri barulah ilmu sakti itu berhasil kujakinkan. Selama ini hanja berkat bunga segar dalam pot jang setiap hari ditaruh diambang djendela loteng oleh Leng-siotjia itulah dapat sekedar menghibur hatiku nan lara. Dengan segala tipu-dajanja Leng Dwe-su tetap berusaha memantjing rahasiaku. Engkau dikurung sekamar bersama aku djuga termasuk tipu-dajanja. Ia tahu aku tidak mudah terdjebak oleh begundalnja jang disuruhnja menjamar kedalam kamar pendjara, maka sekali ini ia sengadja mendjebloskan seorang pemuda jang benar2 tak berdosa kedalam kamar pendjara dengan aku.”

“Menurut perhitungannja, lama kelamaan tentu aku akan dapat mengetahui benar tidaknja engkau berdosa dan dipendjarakan. Pabila tahu engkau benar2 pemuda jang tak berdosa, dengan sendirinja aku akan anggap engkau sebagai kawan senasib serta membeberkan rahasiaku kepadamu. Mereka tidak berhasil mengorek sesuatu apa dari diriku, besar kemungkinan akan dapat mengorek dari mulutmu. Sebab engkau masih muda dan kurang pengalaman, djudjur dan polos, engkau akan mudah terperangkap oleh kepalsuan manusia djahat. Tak terduga oleh mereka bahwa sebegitu djauh aku djusteru mentjurigai dirimu. Ja, oleh karena pengalamanku jang pahit, ditambah kematian Kiok Yu jang menjedihkan, maka kepertjajaanku kepada siapapun djuga sudah lenjap. Apa engkau mengira aku tidak pernah keluar dari pendjara? Ketahuilah bahwa pada hari Sin-tjiau-kang berhasil kuselesaikan, hari itu djuga aku lantas keluar pendjara. Tjuma sebelum pergi lebih dulu aku telah menutuk ‘Hun-sui-hiat’ (djalan darah membuat orang tak sadarkan diri) dibadanmu, dengan sendirinja engkau tidak mengetahui.”

“Malam itu, ketika kulolos keluar pendjara, kusangka pasti akan menghadapi suatu pertarungan sengit. Tak terduga keadaan sudah berubah, mungkin sesudah sekian tahun, rasa waspada Leng Dwe-su kepadaku sudah lenjap, pendjagaan diluar pendjara sudah dihapuskan. Sudah tentu tak terduga sama sekali olehnja bahwa Sin-tjiau-kang jang kujakinkan ini bisa begini hebat, orang jang sudah ditembus Pi-pe-kutnja dan dipotong otot kakinja toh masih dapat menggunakan ilmu silatnja jang hebat.”

“Sesudah aku sampai dibawah djendela loteng itu, hatiku ber-debar2 dengan keras sekali seperti kembali kepada perasaanku pada waktu untuk pertama kalinja aku bertemu dengan Leng-siotjia dibawah djendelanja dulu. Tapi achirnja aku memberanikan diri dan mengetok djendelanja perlahan2 sambil memanggil: ‘Siang-hoa!’ ~ Ia terdjaga bangun dari tidurnja terus berseru: ‘Ting-toako, Engkoh Tian, engkaukah jang datang? Apa aku bukan sedang mimpi?’ ~ Sesudah berpisah sekian lamanja dan kini dapat mendengar suaranja pula, sungguh girangku melebihi takaran, dengan suara gemetar aku menjahuti: ‘Ja, Siang-moay, akulah jang datang! Aku telah lolos keluar dari pendjara!’”

“Aku menunggu djendela itu dibuka olehnja, sebab biasanja diwaktu kami mengadakan pertemuan, selalu dia membukakan djendelanja dan barulah aku melompat masuk kedalam kamarnja, selamanja aku tidak pernah sembarangan masuk kekamarnja itu. Tak tersangka sekali ini dia tidak lantas membukakan djendelanja, tapi ia menempelkan mukanja diatas kertas penutup daun djendela sambil berkata dengan perlahan: ‘O, engkoh Tian, djadi engkau benar2 masih hidup dengan baik? Njata ajah tidak mendustai aku’ ~ ‘Ehm, ajahmu memang tidak mendustai kau,’ kataku dengan suara pedih. ‘Sampai saat ini djuga aku masih tetap sehat walafiat. Marilah, harap engkau membuka djendela, aku ingin melihat engkau.’ ~ Tapi tjepat ia mendjawab dengan gugup: ‘Tidak! Djang ..... djangan!’ ~ ‘Sebab apa?’ tanjaku dengan tjemas. Maka djawabnja: ‘Sebab aku sudah berdjandji kepada ajah. Beliau mendjamin keselamatan djiwamu, tapi untuk selamanja aku dilarang berdjumpa dengan engkau lagi. Ia mengharuskan aku bersumpah, suatu sumpah jang kedji bahwa pabila aku bertemu pula dengan engkau, arwah ibuku dialam baka akan tersiksa setiap hari oleh setan djahat,’ ~ berkata sampai disini, suaranja mendjadi sesenggukan. Sedjak ketjil ia sudah ditinggalkan ibundanja, maka tjinta kasihnja kepada mendiang ibunja boleh tidak usah diragukan lagi.”

“Sungguh aku bentji kepada kekedjian Leng Dwe-su itu, dia tidak lantas membunuh aku adalah lantaran mengintjar kitab pusaka dariku, tapi apa sangkut-pautnja dengan Siang-hoa hingga puterinja itu diharuskan mengangkat sumpah sedjahat itu? Akan tetapi Siang-hoa sudah dipaksa mengutjapkan sumpah berat itu dan sumpah itupun telah melenjapkan segala harapanku. Namun aku tetap meminta: ‘Siang-hoa, marilah kita minggat sadja bersama. Tutuplah matamu dengan kain supaja tidak melihat aku untuk selamanja.’ ~ Ia menangis, sahutnja dengan ter-isak2: ‘Itulah ti ....... tidak mungkin, dan akupun tidak ingin engkau melihat aku pula.’ ~ Maka tertjetuslah rasa dendam jang memenuhi dadaku selama ber-tahun2 itu, seruku: ‘Sebab apa? Aku ...... aku harus melihat engkau.’”

*) Keng = kitab. Kiam-keng = kitab peladjaran ilmu pedang.

Kang = ilmu, kepandaian.

Koat = tanda2 rahasia atau kuntji dari sesuatu ilmu. Kiam-koat = kuntji ilmu

pedang.

Hoat = ilmu. Kiam-hoat = ilmu permainan pedang.

“Mendengar nada suaraku agak lain, dengan lemah-lembut iapun berkata lagi: ‘Engkoh Tian, kutahu engkau telah ditawan ajah, ber-ulang2 akupun memohon beliau membebaskan dikau. Tapi semua permintaanku ditolaknja, bahkan aku lantas dipilihkan djodoh orang lain untuk mematikan tjintaku kepadamu. Ketika aku membangkang, ajah lantas hendak menggunakan kekerasan, maka....... maka aku telah menggurat mukaku sendiri dengan pisau.’”

Mendengar sampai disini, tak tertahan lagi Tik Hun berseru kaget dengan perasaan jang terguntjang hebat.

Namun Ting Tian menjambung lagi: “Betapa rasa terima kasih dan kasih-sajangku demi mengetahui kesetiaannja kepadaku. Terus sadja kuterdjang djendelanja hingga terpentang. Ia mendjerit kaget sekali dan tjepat memedjamkan kedua matanja sambil menutupi pula mukanja dengan tangan. Namun aku sudah dapat melihatnja dengan djelas. Selebar wadjah jang paling tjantik didunia ini kini sudah berubah sedemikian rupa bagai langit dan bumi bedanja, mukanja tergores malang-melintang belasan guratan pisau hingga dagingnja membalik keluar. Matanja jang djeli, hidungnja jang mantjung dan mulutnja jang mungil kini telah penuh dihiasi guratan2 tjodet merah bekas luka, wadjah jang tjantik bagai bidadari itu kini telah berubah seperti setan. Aku memeluknja dengan mesra. Biasanja Siang-hoa sangat sajang pada wadjahnja sendiri jang tjantik itu, pabila bukan disebabkan oleh laki2 sial seperti aku, mana dia mau merusak mukanja sedikitpun? Maka kataku: ‘Siang-hoa, ketjantikan lahir mana dapat membandingi ketjantikan batin? Engkau merusak muka sendiri untukku, dalam pandanganku engkau malah berpuluh kali, bahkan beratus kali lebih tjantik daripada dahulu.’”

“Ia menangis, katanja: ‘Keadaan sudah begini dapatkah kita hidup berdampingan lagi? Aku sudah berdjandji kepada ajah untuk selamanja tidak akan mendjumpai engkau lagi. Maka ........... Eangkoh Tian, haraplah engkau pergi dari sini sadja.’ ~ Aku insaf hal itu tak dapat ditarik kembali lagi, maka sahutku: ‘Siang-moay, aku akan kembali kedalam pendjara dan setiap hari akan kunikmati bunga segar didepan djendelamu ini.’ ~ Sebaliknja ia lantas merangkul leherku, katanja setengah meratap: ‘O, Engkoh Tian, djangan......... djangan engkau pergi!’”

“Begitulah kami saling berpelukan hingga lama dan tidak berbitjara pula. Ia tidak berani memandang aku, akupun tidak berani memandang dia. Sudah tentu bukan disebabkan aku tidak sudi kepada mukanja jang sudah djelek itu, tetapi....... tetapi, ja, mukanja sesungguhnja terlalu hebat rusaknja. Sampai lama dan lama sekali, dari djauh sudah terdengar ajam djago berkokok. Achirnja ia berkata pula: ‘Engkoh Tian, aku......... aku tidak boleh membikin susah ibuku jang sudah meninggal itu, maka...... maka selandjutnja djanganlah engkau datang menjambangi aku pula.’ ~ Aku mendjawab: ‘Apakah sedjak kini kita takkan berdjumpa pula?’ ~ Dengan menangis ia menjahut: ‘Ja, takkan berdjumpa pula. Jang kuharapkan hanja sesudah kita berdua meninggal dunia, semoga dapatlah dikubur didalam satu liang. Kuharap ada seseorang jang baik hati akan sudi melaksanakan tjita2ku ini, untuk mana dialam baka djuga aku akan berdoa untuk

memberkatinja.’ ~ Aku berkata pula: ‘Siang-moay, aku mengetahui suatu rahasia besar, menurut tjerita orang Kang-ouw, katanja rahasia ini ada sangkut-pautnja dengan sesuatu harta karun. Rahasiaku ini disebut mereka Soh-sim-kiam-koat. Maka rahasia ini akan kuberitahukan padamu, engkau harus mengingatnja dengan baik2.’ ~ Ia menjahut tegas: ‘Tidak, aku tidak ingin mendengarnja, untuk apa aku mesti mengingatnja baik2?’ ~ Kataku: ‘Tapi engkau dapat mentjari seorang jang djudjur dan dapat dipertjaja untuk minta dia suka mengerdjakan tjita2 kita agar dikubur mendjadi satu liang, sebagai balas djasanja engkau akan beritahukan Kiam-koat ini kepadanja.’ ~ ‘Tapi selama hidupku sudah terang aku takkan turun dari loteng ini lagi, dengan matjamku ini mana dapat kutemukan orang pula?’ demikian ia menjahut. Tapi sesudah memikir sedjenak, segera katanja lagi: ‘Baiklah, katakanlah kepadaku. Engkoh Tian, betapapun aku ingin dikubur bersama dengan engkau. Biarpun aku harus memohon pertolongan orang dengan mukaku jang buruk ini, aku takkan takut.’ ~ Dengan begitu akupun lantas memberitahukan kepadanja tentang rahasia Soh-sim-kiam-koat, ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Sampai ufuk timur sudah remang2, fadjar sudah hampir menjingsing, barulah aku berpisah dengan dia dan kembali kedalam pendjara.”

Utjapan Ting Tian itu makin lama makin berat hingga sampai achirnja suaranja semakin lirih dan hampir2 tak kedengaran.

“Ting-toako,” kata Tik Hun kemudian, “djangan engkau kuatir, pabila terdjadi apa2 atas dirimu, aku pasti akan mengubur engkau bersama dengan Leng-siotjia. Tapi aku tidak mengharapkan balas djasamu tentang Kiam-koat apa segala, biarpun engkau akan memberitahukan kepadaku djuga aku tidak mau mendengarkan.”

Wadjah Ting Tian menampilkan senjuman jang puas dan tulus, katanja: “Saudara jang baik, tidak pertjumalah aku berkenalan dengan kau. Engkau berdjandji akan mengubur djenazah kami mendjadi satu liang, matipun aku dapatlah merasa lega. Sungguh aku merasa sangat girang..........” ~ lalu dengan bisik2 ia menjambung pula: “Sebenarnja bila harta karun itu dapat engkau ketemukan, kujakin engkau pasti takkan menjelewengkan penggunaannja, tapi dapat dipakai untuk menolong sesamanja, untuk membantu kaum miskin, untuk menjokong kaum tertindas didunia ini. Orang2 jang menderita seperti aku, seperti engkau, seperti kita ini, didunia fana ini masih teramat banjak. Maka Soh-sim-kiam-koat ini bila engkau tidak mau mendengarkan, setelah aku mati, itu berarti akan musna untuk selamanja dan berarti pula suatu kerugian besar bagi kaum tertindas, bukankah sangat sajang?”

Tik Hun meng-angguk2 dan merasa utjapan sang Toako itu ada benarnja djuga.

“Makanja kuharap engkau sudilah mendengarkan rahasia Soh-sim-kiam-koat ini,” kata Ting Tian lebih djauh. Ketika dilihatnja Tik Hun sudah siap dan mentjurahkan sepenuh perhatian untuk mendengarkan, segera ia meneruskan: ‘Nah, dengarkanlah jang baik2. Kuntji daripada Soh-sim-kiam itu terdiri dari beberapa angka hitung sadja tapi bukan angka ‘buntut’, djangan engkau salah sangka. Angka pertama adalah 4, angka kedua adalah 51, angka ketiga 33, dan angka keempat adalah 53 ............”

Tengah Tik Hun mendengarkan uraian itu dengan bingung, tiba2 terdengar suara tindakan orang mendatangi diluar taman bobrok itu. Seorang diantaranja sedang berkata: “Hajolah kita tjoba memeriksa kedalam taman ini!”

Wadjah Ting Tian berubah seketika, tjepat ia melompat bangun. Segera Tik Hun ikut melompat bangun djuga. Ia lihat dari pintu belakang taman bobrok itu telah menerobos masuk tiga orang laki2 kekar. Dua orang diantaranja bersendjata.

Ting Tian melirik sekali kepada ketiga orang itu, diam2 ia menghela napas gegetun, katanja didalam hati: “Pabila aku belum keratjunan sedjahat ini, betapapun kuatnja ketiga kaki-tangan penguasa ini djuga akan kubereskan dengan Sin-tjiau-kang. Tapi kini aku tidak berani jakin kepada kemampuannja sendiri lagi. Apa barangkali Soh-sim-kiam-koat akan musna sedjak kini?” ~ Tapi dalam sekedjap sadja ia sudah ambil keputusan: “Betapapun aku harus berdjuang mati2an.”

Maka segera tanjanja kepada Tik Hun: “Tik-hiante, keempat angka jang kukatakan tadi apa sudah kau ingat dengan baik?”

Tapi Tik Hun sendiri lagi kesima melihat ketiga musuh sudah mendesak madju dan telah mengurung mereka di-tengah2, jang seorang bersendjata golok dan jang lain bersendjata pedang, orang ketiga bertangan kosong, tapi bermuka paling litjik dan bengis.

Karena itulah ia mendjadi lupa untuk mendjawab pertanjaan Ting Tian tadi.

“Tik-hiante, engkau sudah ingat dengan baik belum?” kembali Ting Tian menggembornja.

Karena itu, barulah Tik Hun terkedjut dan tjepat menjahut: “Sudah, angka pertama adalah........” sebenarnja ia hendak mengatakan angka “4” itu, tapi segera teringat olehnja bahwa musuh sudah didepan mata, kalau dia berkata, bukankah akan didengar musuh? Maka tjepat ia berdiri mungkur dan atjungkan empat djarinja kearah Ting Tian.

Dalam pada itu lelaki jang bersendjatakan golok sudah lantas berkata dengan tertawa dingin: “Orang she Ting, betapapun engkau djuga terhitung seorang gagah, mengapa pada saat demikian ini engkau masih mengotjeh dan merengek seperti anak ketjil? Hajolah lebih baik ikut kembali dengan kami sadja, agar kita tidak saling menjusahkan.”

Sedang kawannja jang memakai pedang lantas ikut bersuara: “Tik-toako, sudah lama tidak berdjumpa, baik2kah engkau selama ini? Senang sekali bukan hidup didalam pendjara?”

Tik Hun terperandjat oleh teguran itu, ia merasa suara orang sudah pernah dikenalnja. Waktu ia mengamat-amati orang, maka teringatlah dia. Kiranja orang ini tak-lain-tak-bukan adalah murid kedua Ban Tjin-san jang bernama Tjiu Kin. Sudah berpisah sekian tahun, kini Tjiu Kin telah piara kumis diatas bibir, ditambah pakaiannja perlente, maka Tik Hun mendjadi pangling.

Teringat Tjiu Kin adalah murid Ban Tjin-san dan termasuk salah seorang biangkeladi jang menjebabkan dirinja didjebloskan kedalam pendjara hingga menderita sampai kini, seketika Tik Hun mendjadi naik darah, dengan gusarnja terus sadja ia membentak: “Hai, kukira siapa, tak tahunja adalah Tjiu........... Tjiu-djiko!”

Sebenarnja Tik Hun bermaksud menjebut langsung nama orang tapi achirnja urung dan tetap memanggilnja sebagai “Tjiu-djiko”.

Rupanja Ting Tian dapat meraba perasaan Tik Hun, ia berseru: “Bagus!” ~ Ia pikir sebentar lagi pasti akan terdjadi pertarungan mengadu djiwa, pertarungan jang menentukan mati atau hidup, tapi Tik Hun toh dapat mengekang perasaan dendamnja kepada Tjiu Kin dengan memanggil “Tjiu-djiko” padanja, itu suatu tanda pemuda itu sudah tambah tjerdik dan bukan lagi orang kasar jang tahunja melulu hantam-kromo sadja.

Lalu Ting Tian berkata pula: “Hm, Tjiu-djiya ini tentunja adalah murid pilihan Ban Tjin-san, Ban-loyatju, bukan? Bagus, bagus, entah sedjak kapan Tjiu-djiya telah menghamba kepada Leng-tihu? ~ Ini, Tik-hiante, biarlah aku memperkenalkan padamu. Ini adalah tokoh terkemuka dari ‘Ban-sing-to’, Ma Tay-beng, Ma-toaya, orang memberi djulukan ‘Kiap-gi-khek’ kepadanja.’

“Kiap-gi-khek (pendekar budiman)? Hm, indah amat djulukannja ini? Tapi entah tulen atau palsu, sesuai tidak perbuatannja dengan namanja?” djengek Tik Hun.

Tentang hal itu, haha, aku tidak sanggup mengatakan,” kata Ting Tian dengan mengedjeknja. “Dan jang itu adalah djago djebolan Siau-lim-pay, terkenal karena Tiat-sah-tjiangnja jang lihay dan bernama ‘Siang-to’ Kheng Thian-pa. Orang Bu-lim mengatakan telapak tangannja terlalu tadjam bagai sendjata, maka memberikan djulukan ‘Siang-to’ (sepasang golok) padanja. Padahal selamanja dia tidak pernah menggunakan sendjata.”

“Bagaimana dengan kepandaian kedua tuan ini?” tanja Tik Hun.

“Hanja djago pilihan diantara djago2 kelas dua sadja,” sahut Ting Tian. “Untuk bisa naik tingkat mendjadi kelas satu, ha, selama hidupnja tiada harapan.”

“Sebab apa?’ tanja Tik Hun.

“Habis, bukan bahan dari kwalitet jang baik,” kata Ting Tian.

“Sudah tiada mendapatkan didikan guru pandai, bakat merekapun terlalu djelek.”

Begitulah mereka bertanja-djawab seenaknja se-akan2 disamping mereka sudah tiada orang lain lagi. Keruan hampir2 meledak dada Kheng Thian-pa dan Ma Tay-beng saking gusarnja.

Ma Tay-beng wataknja lebih sabar, ia tjuma mendengus sekali dan diam sadja. Sebaliknja Kheng Thian-pa takdapat menahan gusarnja lagi, terus sadja ia memaki: “Keparat, adjalmu sudah sampai, masih berani mengotjeh. Rasakan golokku ini!”

Apa jang dia katakan “golok” itu sebenarnja adalah telapak tangannja, tjuma tenaganja sangat kuat, asal kena ditubuh musuh, tadjamnja tidak kalah daripada golok badja. Maka berbareng dengan bentakannja itu, terus sadja sebelah telapak tangannja memotong kearah Ting Tian.

Karena badannja keratjunan, Ting Tian tidak dapat lagi mengerahkan tenaga dalamnja dengan baik, maka ia tidak berani menangkis, melainkan mengegos untuk menghindar.

Tak terduga dalam hal Tjiang-hoat atau ilmu pukulan denga telapak tangan, Kheng Thian-pa itu memang benar2 lihay, sekali hantam luput, segera menjusul serangan kedua dengan menabas dari samping.

Ting Tian kenal serangan perubahan lawan itu, tjepat ia turunkan sebelah tangannja untuk menangkis. Akan tetapi gajanja bagus, tjaranja tepat, hanja tenaganja kurang, hasilnja sama sekali diluar harapannja. “Plok”, iganja tepat kena disabet sekali oleh telapak tangan Kheng Thian-pa.

Tiat-sah-tjiang atau ilmu pukulan pasir besi dari Siauw-lim-pay memang benar2 tidak bernama kosong. Kontan Ting Tian sempojongan dan muntahkan darah segar.

“Nah, bagaimana? Aku hanja djago kelas dua, lantas kau kelas berapa?” demikian Kheng Thian-pa mengedjek dengan tertawa dingin.

Ting Tian menarik napas dalam2 sekali, mendadak ia merasa djalan napasnja sangat lantjar. Kiranja setelah ratjun “Hud-tjo-kim-lian” jang djahat itu meresap masuk kedalam pembuluh darah, djalannja makin lama makin lambat. Meski tadi ia memuntahkan darah dan luka dalam jang dideritanja sangat parah,tapi bekerdjanja ratjun untuk sementara mendjadi hilang malah. Dalam girangnja, kontan sadja Ting Tian balas menjodokan sebelah telapak tangannja kedepan.

Ketika Thian-pa menangkis, mendadak Ting Tian memutar tangannja terus menampar keatas, “plok”, tepat sekali pipi Thian-pa kena digampar. Menjusul tangan Ting Tian jang lain memutar pula dan menghantam, “plak”, kepala Thian-pa kena ditabok djuga sekali.

“Mati aku!” djerit Thian-pa ketika insaf kepalanja susah menghindarkan tabokan lawan itu. Namun begitu, tjepat ia berusaha mendakan tubuh dan melangkah mundur. Diluar dugaan kembali sebelah tangan Ting Tian menghantam lagi kedepan dan dadanja digendjot pula. Kembali Thian-pa mendjerit: “Aduuh!” dan tergentak mundur.

Melihat tiga kali serangan sendiri tepat mengenai tempat bahaja dibadan sasarannja, tapi musuh tidak roboh, hanja ter-hujung2 mundur. Diam2 Ting Tian mendjadi tjemas, ia insaf tenaga dalamnja sudah banjak lenjap akibat keratjunan Hud-tjo-kim-lian itu. Sebenarnja kalau Sin-tjiau-kang dapat mendorong kekuatan ketiga kali serangannja tadi, biarpun djago nomor satu didunia ini djuga akan binasa seketika oleh salah satu serangannja itu. Tapi kini Kheng Thian-pa jang tjuma tergolong djago kelas dua ternjata sanggup menahan serangan2nja itu tanpa roboh, maka dapatlah dibajangkan keadaan Ting Tian jang sudah lemah itu.

Ting Tian sendiri tahu adjalnja sudah dekat, tapi kalau dirinja mesti dibinasakan oleh kerotjo seperti Kheng Thian-pa, sungguh ia sangat penasaran. Diam2 ia berduka dan gelisah.

Sebaliknja Kheng Thian-pa sendiri sebenarnja sudah ketakutan dan merasa tak terhindar dari kematian ketika merasa muka, atas kepala dan dada kena dihantam lawan, padahal ketiga tempat itu adalah tempat2 berbahaja. Namun ia tjuma ter-hujung2 mundur dan tidak terbinasa, ia mendjadi heran, tapi njalinja sudah petjah hingga untuk sementara ia tidak berani merangsang madju pula.

Segera Ma Tay-beng mengedipi Tjiu Kin sambil berseru: “Tjiu-hiati, marilah kita madju bersama!”

Tjiu Kin mengiakan. Sebenarnja ia merasa bukan tandingan Tik Hun, tapi mengingat dirinja sendiri bersendjata pedang, sedang lawan bertangan kosong, ditambah lagi djari tangan kanan pemuda itu dahulu sudah terpapas, otot kaki telah dipotong dan tulang pundak ditembus lagi, biarpun ilmu silat setinggi langit djuga takkan mampu dimainkannja. Karena itulah Tjiu Kin mendjadi tabah, sekali pedangnja bergerak, terus sadja ia menusuk kepada Tik Hun.

Ting Tian tahu Sin-tjiau-kang jang dilatih Tik Hun itu belum djadi. Ilmu silatnja kini malah belum setarap seperti waktu didjebloskan kedalam pendjara dulu. Kalau mesti melawan Tjiu Kin dengan bertangan kosong, tentu djiwanja akan melajang pertjuma. Segera ia bertindak, tjepat ia menggeser kesamping, dengan tangan kiri terus sadja ia hendak merampas pedangnja Tjiu Kin.

Gerak serangan Ting Tian itu sangat tjepat dan aneh luar biasa hingga sebelum diketahui Tjiu Kin, tahu2 ketiga djari Ting Tian sudah berhasil menggantol dipergelangan tangan murid Ban Tjin-san itu.

Keruan kedjut Tjiu Kin tak terkatakan, ia mengeluh sendjatanja pasti akan terlepas dari tjekalan dan tjelakalah dirinja. Tak terduga meski djari musuh sudah kena pentjet diurat-nadinja ternjata Hiat-to pergelangan tangan itu tidak terganggu apa2.

Tanpa ajal lagi kesempatan itu digunakan Tjiu Kin untuk mengipatkan tangannja dan menjusul pedangnja membalik terus menusuk kedada kiri Ting Tian dengan tjepat.

Ting Tian menghela napas pandjang sekali dan berkata didalam hati: “Ada tenaga takbisa dikerahkan, apa dajaku?” ~ namun begitu dengan mudah dapatlah serangan Tjiu Kin itu dihindarinja.

Diantara ketiga penjatron itu, Ma Tay-beng adalah paling luas pengalamannja. Ia telah menjaksikan Ting Tian bergebrak dengan Kheng Tian dan Tjiu Kin, dalam pertarungan itu dua kali Ting Tian sudah diatas angin, tapi dua kali djuga tidak memperoleh kemenangan sebagaimana diduganja. Maka sesudah dipikir, segera tahulah dia apa sebabnja. Dari Leng-tihu ia diberitahu bahwa Ting Tian sudah keratjunan jang tiada obatnja, maka dapat diduga pasti ratjun dalam tubuhnja itu telah bekerdja hebat, maka tenaga dalamnja telah banjak berkurang.

Achirnja Keng Thian-pa dapat mengetahui djuga keadaan Ting Tian jang sudah pajah itu, ia pikir makanan empuk jang tinggal ditelan sadja itu djangan sampai diganjang lebih dulu oleh kawannja. Begitu pula Ma Tay-beng djuga mempunjai pikiran jang sama, maka berbareng mereka terus menubruk madju.

“Huh, katanja djulukanmu adalah ‘Kiap-gi-khek’, tapi perbuatanmu ini apakah dapat dikatakan kelakuan seorang Kiap-gi?” bentak Tik Hun dengan gusar. Segera iapun mendjotos kearah Ma Tay-beng.

Namun Ting Tian sempat mendorong kepundak Tik Hun sambil berkata padanja: “Engkau mundur sadja, Tik-hiante!” ~ Menjusul mana tangannja membalik terus mentjengkeram hingga djidat Ma Tay-beng tepat kena dipegang.

Tjengkeraman Ting Tian ini djuga serangan jang mematikan, djangankan Ting Tian menggunakan tenaga dalam jang hebat dari Sin-tjiau-kang, sekalipun Lwekang jang biasa sadja djuga tjukup membikin njawa sasarannja amblas.

Keruan Ma Tay-beng ketakutan setengah mati dan tjepat mendjatuhkan diri ketanah terus menggelinding kesamping.

Dalam keadaan begitu Ting Tian merasa tenaga dalam sendiri semakin lama semakin lemah, sementara ini tjuma berkat tipu serangannja jang djauh lebih lihay daripada musuh, maka dapatlah bertahan sekadarnja, pabila “Soh-sim-kiam-koat” tidak segera diberitahukan seluruhnja kepada Tik Hun, boleh djadi rahasia maha besar ini selandjutnja akan musna untuk selamanja, djika demikian rasanja sangatlah sajang. Oleh karena dirinja bagaimanapun akan mati, maka lebih baik berusaha agar Tik Hun berhasil menjelesaikan tugas jang diselubung rahasia Kiam-koat itu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar