Tok .... Tak-tok... tok trok
tok ... taaak!
Begitulah bunji serentetan
beradunja dua batang kadju, terkadang berhenti agak lama, menjusul lantas
berbunji pula dengan tjepat.
Tempat itu adalah sebuah
kampung Moa-keh-po diluar kota Wanling di wilajah propinsi Oulam barat. Didepan
tiga buah gubuk jang berderetan itu ada seorang kakek sedang menganjam sepatu
rumput. Trekadang dia mendongak mengikuti pertarungan antara sepasang muda-mudi
dilapangan djemuran padi sana.
Usia kakek itu kira kira
setngah abad namun mukanja sudah penuh keriput, rambutnja lebih separuh sudah
ubanan, suatu tanda banjak penderitaan pedjuangan hidup. Tapi waktu itu tampak
dia mengulum senjum, ia puas terhadap pertandingan pedang sepasang muda-mudi
itu.
Pemudi jang sedang bertanding
itu berumur antara 17-18 tahun berwadjah bundar, bermata djeli. Keringatnja
sudah membasahi keningnja dan mengutjur pula kepipinja. Ketika ia mengusap
keringat dengan lengan badjunja, makin tjantiklah tampaknja gadis itu.
Adapun usia pemuda itu lebih
tua dua-tiga tahun daripada si gadis. Berperawakan djangkung, kulitnja hitam,
tulang pipinja agak menonjol, tangan kasar, kaki besar, itulah tjiri tjiri khas
anak petani.Pedang kadju jang dimainkannja itu tampil sangat tjepat dan
lintjah.
Sekonjong-konjong pedang kadju
pemuda itu menabas dari atas pundak kiri miring kebawah. Menjusul tanpa menoleh
pedangnja berputar dan menusuk kebelakang. Namun si gadis sempat menghindar
dengan mendekan kepalanja, habis itu iapun membalas menusuk beberapa kali.
Mendadak pemuda itu mundur dua
tindak, habis itu ia bersuit panjang sekali, pedangnja berputar, tjepat ia
menebas ke kanan dan kekiri beruntun-runtun tiga kali. Karena kewalahan, tiba
tiba si gadis itu menarik pedangnja dan berdiri tegak tanpa menangkis, bahkan
omelnja: baiklah anggap kau lihai, sudah boleh engkau membatjok mati aku!”
Sama sekali pemuda itu tak
menduga bahwa sigadis bisa mendadak berhenti dan tidak menangkis, padahal
tabasan ketiga itu sedang dilontarkan kepinggang lawan. Dalam kedjutnja, lekas
lekas pemuda itu hendak menarik kembali serangannja, namun tenaga jang
dikeluarkan itu sudah kadung terlalu kuat, “plek”, sekuatnja ia kesampingkan
pedangnja, tapi tidak urung lengan kiri sendiri terketok oleh senjata endiri.
Dalam kaget dan sakitnja tanpa merasa ia menjerit sekali.
Gadis itu tertawa geli,
katanja: “Huh, malu tidak kau? Tjoba kalau senjatamu itu adalah pedang
sungguhan, bukankah lenganmu itu sudah terkutung?”
Wadjah si pemuda jang
kehitam-hitaman itu mendjadi merah, sahutnja: “Aku kuatir tabsanku tadi mengenai
badanmu, karena itu tanganku sendiri jang terkena. Kalau benar2 mau bertempur
dengan musuh, masakan orang mau mengalah padamu? Suhu, haraplah engkau memberi
pendapat jang adil? Apa betul tidak kataku ini?” ~ Kata terachir ini ia
tudjukan pada si kakek jang masih asjik menjelesaikan sepatu rumputnja itu.
Sambil memegangi sepatu
rumputnja jang setengah selesai itu, sikakek berbangkit dan berkata:”Diantara
50-an djurus permulaan kalian itu masih boleh djuga, tapi djurus djurus
belakangan makin lama semakin tak keruan.” Ia ambil pedang kayu dari sigadis,
ia pasang kuda2 dan melontrakan suatu serangan bergaya miring lalu katanja
pula: “Ini adalah djurus “Koh-hong-han-siang-lay” (bandjir datang ber-teriak2),
menjusul ini adalah “Si-heng-put-kan-ko” (ketemu lintang tidak berani lewat).
Karena melintang maka harus menabas dan tidak boleh menusuk kedepan ....”
Sedang kakek itu asyik
mentjerotjos dengan teori ilmu pedangnja, se-konjong2 terdengar suara ketawa
orang ter-bahak2 dibalik timbunan tjermai sana.
Untuk sedjenak sikakek
melengak, tapi setjepat panah ia terus melompat kesana. djangan menjangka
sikakek sudah ubanan gerak-geriknja ternjata sangat gesit dan tjekatan,
sedikitpun tidak kalah daripada anak muda.
Ia mengira suara orang
terbahak itu tentu lagi mentertawai tjaranja dia memberi peladjaran ilmu pedang
pada muridnja tadi. Tapi demi melihat siapa orang itu ia menjadi tahu duduknja
perkara. Kiranja dibalik timbunan djerami itu berduduk seorang pengemis tua
yang lagi sibuk mentjari tuma dari badjunja yang rombeng dan berbau itu
lantaran tidak pernah ditjutji. Sembari mentjari tuma, pengemis itu berjemur
diri dibawah sinar sang surya. Ketika dapat menangkap seekor tuma,
tjepat-tjepat ia masukkan kemulutnja terus dikeletak lalu ia tertawa ter-bahak2
dan berkata:”Huh, lari kemana kau sekali ini. Haha, kembali seekor lagi!”
Kakek itu tersenjum dan putar
balik ketempatnja tadi, ia mengulangi pula permainan beberapa djurus Kiam-hoat
tadi. Njata permainannja djauh berbeda daripada kedua anak muda, gerakannja
tjepat dan gayanja indah, keruan kedua anak muda-mudi itu merasa kagum tak
terhingga hingga bertepuk tangan memudji.
Kakek itu kembalikan pedangnja
kepada sigadis, katanja:”Kalian boleh melatih sekali lagi. A Hong djangan main
kelakar, tadi kalau bukan Suko sengadja mengalah, tentu djiwamu sudah
melayang!”
Gadis itu meleset lidah
sekali, mendadak pedangnja terus menusuk dengan tjepat luar biasa.
Pemuda itu belum lagi
ber-siap2, dalam keadaan kelabakan ia masih sempat menangkis. Tapi karena telah
didahului sigadis ia menjadi ketjetjar hingga untuk semenatar tak mapu
melantjarkan serangan balasan.
Ketika dia sudah terdesak dan
tampaknja segera akan kalah, tiba2 dari arah timur sana ada suara derapan kuda
yang ber-detak2. Seorang penunggang kuda tampak mendatang dengan tjepat sekali.
“Siapakah itu jang datang?”
kata sipemuda.
“Sudah kalah djangan main
belit! Siapapun jang datang tiada sangkutpautnja dengan engkau!” bentak sigadis
dan be-runtun2 ia menjerang tiga kali pula.
Sekuatnja pemuda itu menangkis
sambil mendjawab dengan gusar: “Memangna apa kau sangka aku djeri padamu?”
“Mulutmu jang tidak djeri,
tapi hatimu takut!” sahut sigadis sambil menusuk kekanan dan kekiri, dua
serangan jang tjepat dan indah.
Tatkala itu sipenunggang kuda
tadi sudah dekat dan memberhentikan kudanja, melihat serangan sigadis itu, tak
tertahan lagi ia berseru: “Bagus! Serangan hebat! Thian-hoa-loh-put-tjin,
Kau-dju-niu-ham-hui!” (bunga dilangit bertebaran, di-mana2 burung terbang
mentjari makan).”
Mendengar itu, sigadis
bersuara heran sekali dan mendadak melompat mundur untuk mengamat-amati
pendatang asing itu. Ia lihat orang berusia antara 23-24 tahun, berdandan
perlente sebagai lazimnja putera hartawan dikota. Tanpa merasa wadjah sigadis
mendjadi merah djengah, serunja kepada sikakek: “Tia (ajah), ken............
kenapa dia tahu?”
Memangnja sikakek djuga sedang
heran demi mendengar sipenunggang kuda itu dapat menjebut nama2 tipu serangan
gadisnja tadi, maka ia bermaksud menegurnja.
Sementara itu, sipenunggang
kuda sudah lantas melompat turun dan mendekati sikakek, ia memberi hormat dan
berkata: “Numpang tanja, Lotiang, di Moa-keh-po sini ada seorang ahli pedang,
namanya Djik Tiang-boat, Djik-loyatju, dimanakah tempat tinggalnja?”
“Aku sendirilah Djik
Tiang-hoat,” sahut sikakek itu. “Untuk apakah Toaya (tuan) mentjarinja?”
Segera pemuda gagah itu
mendjura ketanah, katanja: “Wanpwe bernama Bok Heng, dengan ini memberi hormat
kepada Susiok. Wanpwe diperintahkan Suhu untuk mentjari Djik-susiok.”
“Haha, djangan sungkan2, tak
usah banjak adat!” sahut Djik Tiang-hoat dengan tertawa sambil membangunkan
pemuda itu. Ketika tangan memegang tangan, ia sengadja kerahkan sedikit tenaga
dalam hingga separoh tubuh pemuda itu mendjadi kaku linu.
Dengan muka merah Bok Heng
berbangkit, katanja: “Wah, Djik-susiok telah mengudji Wanpwe, sekali ketemu
Wanpwe sudah memalukan.”
“Lwekangmu memang masih kurang
kuat,” udjar Tiang-hoat dengan tertawa. “Kau adalah murid keberapa dari
Ban-suko?”
Kembali muka Bok Heng merah djengah,
sahutnja: “Wanpwe adalah murid Suhu jang kelima. Biasanja Suhu suka memudji
Lwekang Djik-susiok sangat tinggi, mengapa baru ketemu sudah gunakan Wanpwe
sebagai pertjobaan?”
Djik Tiang-hoat ter-bahak2,
katanja: “Apakah Ban-suko baik2 sadja? Sudah belasan tahun kami tidak bertemu.”
“Berkat pudji Susiok, beliau
sangat baik,” sahut Bok Heng. “Kedua Suko dan Sutji ini tentunja murid2 pilihan
Susiok bukan?”
Segera Djik Tiang-hoat
memanggil sipemuda dan sigadis tadi: “A Hun, A Hong, hajo lekas kemari menemui
Bok-suko. Nah, ini adalah muridku satu2nja Tik Hun, dan ini adalah puteriku A
Hong. Ala, dasar gadis desa, pakai malu2 segala, Bok-suko adalah orang sendiri,
kenapa mesti malu?”
Kiranja Djik Hong lagi
mengumpet dibelakangnja Tik Hun, dengan likat ia sedang tersenjum sambil
mengangguk sadja. Sebaliknja Tik Hun lantas menjapa: “Bok-suheng, Kiam-hoat
jang kau peladjari serupa dengan kami punja bukan? Kalau tidak, masakah sekali
lihat engkau lantas dapat menjebutkan tipu serangan Sumoay tadi?”
“Tjuh!” tiba2 Djik Tiang-hoat
meludah keras2 ketanah. “Gurumu dan Suhunja adalah saudara seperguruan,
Kiam-hoat jang dipeladjari dengan sendirinja adalah sama, masakah perlu tanja
lagi?” demikian serunja dengan dongkol oleh ke-tolol2an muridnja itu.
Kemudian Bok Heng mengeluarkan
empat matjam hadiah dari dalam rangsal jang tergantung diatas kuda dan
dipersembahkan kepada Tjiang-hoat, katanja: “Djik-susiok, Suhu mengirim sedikit
hadiah ini, harap Susiok sudi menerimanja.”
Tiang-hoat mengutjapkan terima
kasih, lalu suruh puterinja Djik Hong - menerima barang2 itu.
Waktu Djik Hong membawa
barang2 hadiah itu kedalam kamar dan memeriksanja, ia lihat isinja adalah
sepotong badju kuli domba rangkap kain sutera, sebuah gelang kemala hidjau,
sebuah kopiah beluderu dan sepotong djas tutup laken hitam. Dengan ketawa2
segera Djik Hong membawa barang2 itu keluar sambil berseru: “Tia, tia!
Selamanja engkau tidak pernah memakai badju sebagus ini, kalau dipakai, wah,
engkau bukan lagi pak tani, tapi mirip kaum hartawan dan orang berpangkat!”
Melihat barang2 itu, Djik
Tiang-hoat djuga terpesona.........
Malamnja diadakan perdjamuan
sederhana, empat orang mengelilingi sebuah medja. Sebelumnja Tik Hun pergi
membeli tiga kati arak diwarung kampung sana, Djik Hong menjembelih seekor ajam
gemuk dan memetik pula sajur tanamannja sendiri diladang, ia masak senampan
Pek-tjam-khe (ajam masak dipotong2), sepiring Tjay-sim-keh-kiu (ajam goreng
sawi). Ketjuali itu ada pula satu mangkok atjar tjabe merah jang besar2.
Waktu Djik Tiang-hoat
menanjakan maksud kedatangan Bok Heng. Segera pemuda itu berkata: “Suhu
menjatakan sudah belasan tahun tidak berdjumpa dengan Susiok, beliau sangat
kangen dan sebenarnja susah lama ingin bisa mengundjungi tempat tinggal Susiok
sini, tjuma Suhu setiap hari harus melatih ‘Soh-sim-kiam-hoat’ hingga tak dapat
tinggal pergi .......”
Waktu itu Tiang-hoat sedang
angkat mangkok araknja, baru sadja dihirupnja sekali, se-konjong2 ia mendengar
utjapan Bok Heng itu, seketika arak jang sudah dihirup kedalam mulut itu
dimuntahkan kedalam mangkok lagi dan tjepat menanja: “Apa katamu? Gurumu sedang
melatih ‘Soh-sim-kiam’?”
Wadjah Bok Heng ber-seri2,
sahutnja: “Ja, tanggal lima bulan jang lalu Suhu telah berhasil menjelesaikan
Soh-sim-kiam jang hebat itu.”
Karuan Tiang-hoat bertambah
kaget, ia gabrukan mangkok araknja kemedja hingga sebagian isinja muntjrat
keluar dan membsahi medja dan lengan badjunja. Ia ter-mangu2 sedjenak, tapi
lantas ter-bahak2. Mendadak ia tepuk keras2 diatas pundak Bok Heng sambil
berseru: “Hahaha, dasar Suhumu itu memang sedjak ketjil sudah suka membual.
‘Soh-sim-kiam’ itu bukan sadja kakek-gurumu tidak berhasil melatihnja, bahkan
bujut-gurumu djuga tidak bisa, apalagi kepandaian gurumu djuga tjuma begitu sadja,
hahaha, djangan kau tjoba menipu Susiokmu, haha! Marilah minum!” Segera ia
angkat mangkoknja tadi dan dituang kedalam kerongkongannja. Menjusul ia tjomot
sebuah tjabe merah jang besar terus diganjang mentah2.
Namun Bok Heng tidak
terpengaruh oleh kata2 sang Susiok, katanja pula: “Ja, memang Suhu sudah
menduga pasti Susiok, takkan pertjaja, makanja tanggal 16 bulan jang akan
datang kebetulan adalah ulang tahun Suhu jang ke-50, beliau mengundang Susiok
bersama Sute dan Sumoay sudilah datang ke Hengtjiu untuk menghadiri perdjamuan
sederhana. Pesan Suhu kepada Wanpwe agar Susiok betapapun harus berkundjung
kesana. Kata Suhu, beliau kuatir ‘Soh-sim-kiam’ jang baru djadi dilatihnja itu
mungkin masih ada kekurangannja, maka Susiok diminta suka memberi petundjuk dimana
perlu.”
Wadjah Djik Tiang-hoat agak
berubah, tanjanja kemudian: “Djika begitu, apakah Djisusiok Gian Tat-peng djuga
sudah kau undang kesana?”
“Djedjak Gian-djisusiok tidak
tertentu, maka Suhu sudah mengirim Djisuko, Samsuko dan Sisuko untuk mentjarinja
keberbagai pendjuru. Apakah Djik-susiok sendiri pernah mendengar kabarnja
Gian-djisusiok?”
Tiang-hoat tidak mendjawab, ia
hanja menghela napas, kemudian katanja:” Diantara saudara seperguruan kami
bertiga, ilmu silat Djisuhengku jang paling tinggi. Kalau dia jang berhasil
mejakinkan ‘Soh-sim-kiam-hoat’ mungkin masih dapat kupertjajai. Tetapi sekarang
kau mengatakan Suhumu sudah berhasil mejakinkannja, hehe, aku tidak pertjaja,
aku tidak pertjaja!”
Terus sadja ia samber potji
arak dan menuang penuh mangkoknja, sambil mengangkat mangkok arak itu, ia tidak
lantas meminumnja, tapi mendadak ia berseru: “Baik, tanggal 16 bulan depan aku
pasti datang ke Hengtjiu untuk memberi selamat ulang tahun kepada gurumu
sekalian aku ingin lihat matjam apakah tentang ‘Soh-sim-kiam’ jang katanja
telah berhasil dijakinkannja itu!”
Habis berkata, kembali ia
gabrukan mangkok araknja hingga isinja muntjrat keluar, kembali medja itu
bandjir arak lagi.
***
Tiga hari kemudian sesudah Bok
Heng mohon diri pulang ke Hengtjiu. Pagi itu dengan tjemas Djik Hong membuntuti
seekor sampi jang sedang dituntun sang ajah menudju keluar kampung.
“Tia,” demikian kata sigadis
dengan suara murung, “kalau Tay Hong (sikuning) engkau djual, tahun depan tjara
bagaimana kita harus meluku sawah?”
“Tahun depan adalah urusan
tahun depan, tak usah dipikirkan!” sahut Djik Tiang-hoat.
“Tiatia, bukankah baik2 kita
tinggal disini? Biarpun desa, hidup kita aman tenteram. Untuk apakah mesti
pergi kekota Hengtjiu segala? Peduli apa Ban-supek berulang tahun, masakah
mesti mendjual Tay Hong guna sangu perdjalanan, kukira tidak perlu kita berbuat
begitu.”
“A Hong, ajah sudah berdjandji
pada Bok Heng, maka harus berangkat kesana. Seorang laki2 sedjati sekali sudah
omong, mana boleh didjilat kembali? Biarlah kubawa kau dan A Hun kesana untuk
menambah pengalaman, djangan selama hidup mendjadi gadis desa sadja!”
“Apa djeleknja mendjadi orang
desa? Aku djusteru tidak pingin pengalaman apa segala. Sedjak ketjil aku jang
mengangap Tay Hong hingga besar, Tay Hong adalah satu2nja kawan kita jang
paling setia. Lihatlah, Tiatia, Tay Hong sedang menangis, ia tidak mau digiring
pergi!”
“Nona bodoh! Sampi adalah
binatang, dia tahu apa? Hajolah tinggal dirumah sadja kau!”
“Tidak, Tia, Tay Hong djangan
kau djual, tentu dia akan disembelih jang membeli, aku tidak tega.”
“Tidak, orang takkan
menjembelihnja, tapi orang membelinja untuk meluku sawah.”
“Tiatia berdusta! Apa jang
dibitjarakan sidjagal Ong dengan engkau kemarin? Tentu Tay Hong dibeli olehnja
untuk disembelih. Tia, lihatlah itu, Tay Hong sedang mengangis. O, Tay Hong,
aku tak mau ditinggalkan olehmu. Hun-ko, Hun-ko! Kemarilah lekas, Tiatia hendak
mendjual Tay Hong........”
“A Hong, sebenarnja ajah djuga
tidak tega mendjual Tay Hong. Akan tetapi kita sudah menjanggupi Supekmu untuk
datang kesana memberi selamat ulang tahun padanja, dengan sendirinja kita
takbisa pergi dengan tangan kosong. Pula engkau dan A Hun djuga perlu mendjahit
beberapa potong badju baru agar tidak dipandang hina orang. Supekmu omong besar
katanja sudah berhasil mejakinkan ‘Soh-sim-kiam-hoat’, aku djusteru tidak
pertjaja dan ingin menjaksikannja dengan mata kepala sendiri. Nah, anak baik,
tinggallah engkau dirumah!”
“Tay........ Tay Hong!” ratap
Djik Hong dengan ter-guguk2. “Kalau kau hendak disembelih orang melawanlah
dengan tandukmu, lalu lari...... lari kembali sini. Ti........ tidak! Orang
tentu akan mengedjar kemari, lebih baik kau lari se-djauh2nja, ja, lari sadja
kegunung........”
***
Setengah bulan kemudian,
“Tiat-ho-heng-kang” Djik Tiang-hoat, sirantai badja melintang disungai, bersama
muridnja, Tik Hun dan puterinja, Djik Hong, telah sampai dikota Hengtjiu.
Waktu ia tanja dimana rumahnja
“Ngo-in-djiu” Ban Tjin-san, sitangan pantjawarna, orang jang ditanja mendjawab:
“Masakah rumahnja Ban-loenghiong jang termasjhur masih perlu tanja? Itu dia
gedung jang paling besar, jang pintu gerbangnja bertjat merah!”
Tiang-hoat mengutjapkan terima
kasih dan segera menudju kearah jang ditundjuk.
Ia memakai badju kulit baru
hadiah dari Ban Tjin-san itu. Tik Hun dan Djik Hong djuga memakai badju baru.
Namun demikian ketiga orang itu tidak terlepas dari lagak-lagu orang desa jang
ke-tolol2an.
Ketika sampai didepan gedung
keluarga Ban itu, tertampaklah gedung itu penuh dihias lampion jang
berwarna-warni, tetamu hilir mudik tak ter-putus2. Mereka mendjadi ragu2 untuk
memasuki gedung jang mentereng itu.
Selagi Djik Tiang-hoat hendak
menanja pendjaga, tiba2 dilihatnja Bok Heng lagi berlari keluar, karuan ia
sangat girang, tjepat ia berseru: “Bok-hiantit, aku sudah datang!”
Dengan gembira Bok Heng lantas
menjambut kedatangan mereka sambil menjapa: “Hai, Dji-susiok telah tiba! Selamat
datang, selamat datang! Memangnja Suhu sedang memikirkan Susiok jang belum
djuga kelihatan. Marilah masuk!”
Dan begitu Djik Tiang-hoat
melangkah masuk, rombongan musik lantas membunjikan lagu penjambutan. Ketika
mendadak terompet ditiup, Tik Hun mendjadi kaget, hampir2 ia berlari keluar
lagi. Maklum anak desa!
Sampai diruangan pendopo,
tertampaklah seorang tua bertubuh kekar tegap sedang asjik beramah-tamah dengan
para tamu.
“Toasuko, aku sudah datang!”
segera Djik Tiang-hoat menjapa.
Orang tua tadi tertjengang
sekedjap se-akan2 tidak mengenalnja lagi. Tapi segera iapun menjongsong
kedatangan sang Sute itu dengan ber-seri2, serunja sambil ter-bahak2:
“Hahahaha! Losam, mengapa engkau sudah begini tua nampaknja, hampir2 aku
pangling!”
Dan selagi kedua saudara
seperguruan itu hendak berdjabatan tangan untuk menjatakan kegembiraan masing2,
tiba2 hidung mereka mengendus bau busuk kotoran. Menjusul terdengarlah suara
seorang jang mirip gembreng petjah sedang membentak: “Ban Tjin-san, utangmu
sepitjis padaku belasan tahun jang lalu, sekarang akan kau bajar kembali
tidak?”
Tjepat Djik Tiang-hoat
menoleh, maka tertampaklah ada seorang mendjingdjing satu ember kaju jang
berisi air kotoran manusia sedang digebjurkan kearah Ban Tjin-san.
Gerak-gerik Djik Tiang-hoat
sangat tjepat, segera ia tarik badju kulitnja jang pandjang itu hingga kantjing
badju putus semua, menjusul badju itu lantas ditjopot dan setjepat kilat terus
dipentang hingga mirip lajar dan dialangkan untuk menahan kotoran jang
menghambur tiba itu. Bahkan ia terus dorongkan lajar badju itu kedepan hingga
air kotoran itu berbalik hendak menjiram tuannja.
Tjepat orang itu lemparkan
ember kotoran jang dilawannja sambil melompat kesamping. Maka terdengarlah
suara gemerantang dan gedebukan, ember kaju itu bersama badjunja Tiang-hoat
jang penuh kotoran itu djatuh kelantai semua hingga lantai pendopo itu
berlumuran kotoran jang berbau batjin. Saking tak tahan, banjak tamu jang
terpaksa mesti menekan hidung.
Ternjata orang itu penuh
berewok jang pendek kaku, badannja tinggi besar, dengan gagah ia berdiri tegak
sedang ter-bahak2 mengedjek: “Hahaha! Ban Tjin-san, djauh2 aku datang kemari
untuk memberi selamat ulang tahunmu, karena tidak membawa kado apa2, hanja emas
murni berlaksa tahil inilah jang bisa kupersembahkan!” Ia berkata sambil
menuding “pisang goreng” dan “leleh kuning” jang penuh berserakan dilantai itu.
Karuan murid2 Ban Tjin-san
jang berdjumlah delapan orang itu mendjadi murka. Masakah ruangan perdjamuan
jang sudah dipadjang indah itu mendadak dikatjau orang hingga berbau busuk
sedemikian rupa. Seketika mereka merubung madju hendak membekuk pengatjau itu
untuk dihadjar setengah mati.
Namun Ban Tjin-san keburu
membentak: “Berhenti semua!”
Mendengar perintah sang guru
itu, kedelapan murid itu tidak berani membangkang. Terpaksa mereka berdiri
ditempat masing2 dengan mengepal tangan. Murid kedua, Tjiu Kin, wataknja paling
kasar, terus sadja ia memaki kalang kabut dari anaknja sampai kakek-mojang delapanbelas
keturunan orang itu ditjatjinja habis2an.
Namun Ban Tjin-san telah dapat
mengenali asal-usul siberewok itu, katanja: “E-eh, kukira siapa, tak tahunja
adalah Lu-toatjetju dari Thayheng san jang telah sudi berkundjung kemari.
Agaknja paling achir ini Lu toatjetju telah mendjadi orang kaja mendadak, emas
intan dirumah sudah ber-lebih2an, maka selalu membawa pula untuk sangu setiap
kali bepergian.”
Mendengar bahwa siberewok itu
adalah Lu-toatjetju dari Thay-heng-san, para tamu jang hadir itu mendjadi gempar
dan ramai membitjarakannja.
Kiranja siberewok itu bernama
Lu Thong, seorang begal besar sangat lihay di Thay-heng-san, terutama
kepandaiannja Liok-hap-to dan Liok-hap-kun sangat disegani kaum Kangouw di
sekitar lembah Hongho.
Maka terdengarlah Lu Thong
sedang berkata sambil mendjengek: “Hm, 10 tahun jang lalu, tatkala kami
bersaudara sedang melakukan pekerdjaan biasa di kota Thaygoan, tapi ada orang
jang diam2 telah melapor kepada jang berwadjib hingga usaha kami gagal. Bahkan
saudaraku Lu Ho tertangkap dan djiwanja melajang. Dan barulah tiga tahun jang
lalu aku dapat mengetahui bahwa pelapor jang budiman itu tak-lain-tak-bukan
adalah engkau orang she Ban ini. Nah, bitjaralah betul tidak?”
“Betul! Memang akulah jang
telah melaporkan perbuatan kalian itu,” sahut Tjin-san dengan tenang. “Kita
orang Kangouw mentjari sesuap nasi dengan djalan merampok dan membegal masih
dapat dimengerti. Tetapi saudaramu Lu Ho telah memperkosa anak gadis orang dan
sekaligus membunuh empat orang tak berdosa. Hal ini biarpun siapa djuga akan
murka, maka aku orang she Ban tidak bisa tinggal diam.”
Kembali para tamu gempar pula
oleh keterangan itu. Be-ramai2 mereka memaki: “Bangsat jang terkutuk!” ~
“Perampok andjing, tangkap sadja dia!” ~ “Maling tjabul, berani kau berlagak
kerumah Ban-loenghiong sini?”
Namun Lu Thong tidak
menghiraukan makian orang banjak itu, mendadak ia melompat kedepan ruangan, ia
ajun sebelah tangannja terus memotong keatas pilar, maka terdengarlah suara
gemuruh, pilar kaju jang bulat tengahnja belasan senti itu telah dipatahkan
olehnja hingga atap rumah itu ambruk sebagian, seketika debu pasir bertebaran
diruangan itu.
“Ban Tjin-san, djika engkau
benar2 laki2 sedjati, hajolah madju, mari kita tentukan siapa jang akan mati
dan hidup!” terdengar Lu Thong berteriak menantang.
Melihat Lu Thong pamerkan
kepandaiannja “Tiat-pi-kang” atau ilmu tangan badja, semua orang terkesiap.
Mereka terbajang bagaimana djadinja kalau orang kena dihantam oleh pukulan
sakti itu.
Namun Ban Tjin-san telah
mendjawab dengan tertawa dingin: “Wah, sepuluh tahun tidak bertemu, ternjata
kepandaian Lu-toa-tjetju sudah djauh lebih madju. Tjuma sajang manusia matjam
kau ini, semakin tinggi kepandaianmu, semakin banjak kedjahatan jang kau
lakukan. Meskipun orang she Ban sudah tua bangka djuga ingin minta peladjaran
padamu.” ~ sembari berkata, dengan kalem terus sadja ia melangkah madju.
Tapi tiba2 diantara orang
banjak itu menerobos keluar seorang pemuda bermata besar dan beralis tebal,
diam2 pemuda itu mendekati belakangnja Lu Thong, sekali kedua tangannja
bergerak, tjepat sekali ia gantol kedua tangan lawan sambil tangannja menjikap
tengkuk orang. Bahkan pemuda itu terus berteriak: “Kau telah bikin kotor badju
baru guruku, lekas kau memberi ganti!”
Ternjata pemuda itu adalah Tik
Hun, murid tunggal Djik Tiang-hoat.
Segera Lu Thong pentang
lengannja dengan maksud hendak mementalkan pemuda jang menjingkapnja dari
belakang itu, namun sia2 sadja usahanja, tak terduga olehnja bahwa dasar tenaga
pembawaan Tik Hun teramat hebat, apalagi dengan mati2an pemuda itu menjikap
sekuatnja.
Untuk menjerang pemuda itu
dengan Tiat-pi-kang jang lihay itu terang tidak dapat, sebab pukulan itu harus
dilontarkan kedepan atau kesamping, tapi Tik Hun kini menjikapnja dari belakang.
Dalam keadaan kepepet dan gusar, mendadak tangan kanan Lu Thong merogoh
keselangkangan Tik Hun sambil membentak: “Lepaskan tidak!”
Karuan Tik Hun kaget, kalau
serangan musuh kena sasarannja, kan bisa kelengar dia. Terpaksa ia melepaskan
musuh.
Lu Thong ternjata sangat
tjekatan, begitu terlepas dari sikapan lawan, sekali putar tubuh, kontan ia
menghantam dengan tipu “Oh-liong-tam-hay” atau naga hitam masuk kelaut, dada
Tik Hun jang diintjar.
Namun Tik Hun sempat melompat
mundur sambil berseru: “Aku tidak ingin berkelahi dengan kau. Tapi badju guruku
jang baru itu telah kau bikin kotor, badju itu baru pertama kali ini dipakai,
kau harus ganti..........”
“Anak dogol mengotjeh apa2an?”
bentak Lu Thong dengan gusar.
Tapi Tik Hun tetap tidak mau
terima, ia menubruk madju pula sambil berteriak lagi: “Kau mau ganti atau
tidak?”
Sebagai anak tani umumnja, ia
paling sajang terhadap setiap harta-benda berasal dari hasil keringatnja
sendiri itu. Ia lihat badju baru sang guru jang diperolehnja dengan mendjual
sampi piaraannja, tapi kini telah dibikin kotor begitu rupa, karuan sadja ia
sangat gegetun. Iapun tidak peduli ada perselisihan apa diantara Lu Thong dan
Ban Tjin-san, jang dia pikir tjuma badju baru sang guru itu harus mendapat
ganti.
“Harap mundur, Tik-hiantit,
badju gurumu itu biar nanti aku jang ganti!” segera Tjin-san membudjukinja.
“Tidak, dia jang harus
mengganti, kalau dia nanti menggelojor pergi dan engkau djuga tidak mengaku
utang, kan rugi Suhu,” demikian kata Tik Hun. Sambil berkata, kembali ia hendak
mendjambret dada Lu Thong.
Sudah tentu Lu Thong tidak
gampang lagi dipegang, “blang”, kontan Tik Hun malah kena digendjot sekali
didadanja hingga pemuda itu ter-hujung2 hampir roboh.
“Hiantit mundur sadja!” seru
Tjin-san pula, nadanja sudah agak keras.
Namun Tik Hun sudah kadung
kesakitan, matanja mendjadi merah, bentaknja kepada Lu Thong: “Kau tak mau
ganti badju orang, sekarang malah menghantam orang pula, kau tahu aturan
tidak?”
“Huh, mau apa kalau kuhadjar
anak dogol matjammu?” sahut Lu Thong tertawa.
“Akupun balas hadjar kau!”
bentak Tik Hun sambil dojongkan tubuhnja kedepan sedikit, tapak tangan kiri
pura2 memotong miring, tahu2 tapak tangan kanan jang menjodok kedepan dari bawah.
Lu Thong rada heran djuga,
pikirnja: “Ilmu pukulan anak dogol ini masih boleh djuga.” ~ Segera iapun
keluarkan silatnja untuk balas menjerang.
Serang-menjerang kedua orang
dilakukan tjepat lawan tjepat, maka dalam sekedjap sadja sudah berlangsung belasan
djurus.
Sedjak ketjil Tik Hun mendapat
didikan Djik Tiang-hoat, setiap hari selalu berlatih dengan sang Sumoay, jaitu
Djik Hong, maka pengalamannja dalam hal bertempur sudah banjak baginja. Karena
itu, meski Lu Thong adalah seorang tokoh kalangan bandit jang lihay, untuk
sesaat djuga takbisa mengalahkan pemuda itu. Beberapa kali Lu Thong
mengeluarkan Tiat-pi-kang untuk memukul, namun selalu dapat dihindarkan Tik Hun
dengan gesit, dua kali pundak pemuda itu kena digebuk olehnja, namun dasar
kekar kuat dan keras tulang Tik Hun, maka dianggap sepi sadja hantaman2 itu.
Setelah beberapa djurus pula,
Lu Thong mendjadi gopoh, ia pikir djauh2 dirinja datang kemari hendak membalas
sakit hati, tapi seorang muda kerotjo pihak lawan sadja tak mampu merobohkannja,
kalau kedjadian ini tersiar, kemana mukanja harus disembunjikan?
Segera Lu Thong ganti ilmu
pukulannja, tiba2 ia tjampurkan Kau-kun dan lain2 gaja pukulan kedalam
Liok-hap-kun kebanggaannja itu. Ia mentjakar, meraup, meraih, menarik dan
menendang; lalu ditambah lagi dengan gaja kutjing andjlok, andjing lari,
kelintji mentjolot, elang mabur, kuda mendepak dan gaja lain2nja jang serba
aneh dan lutju perubahannja.
Karuan Tik Hun bingung karena
tidak pernah menjaksikan permainan silat aneh itu, ber-ulang2 ia kena didepak
dua kali dipahanja.
Melihat pemuda itu sudah pasti
bukan tandingan musuh, kembali Ban Tjin-san membentak lagi: “Mundurlah
Tik-hiantit, engkau takdapat menangkan dia!”
Namun watak Tik Hun sangat
bandel, teriaknja: “Takbisa menang djuga mesti lawan dia!”
Tapi “blang”, kembali dadanja
kena digendjot sekali lagi.
Menjaksikan sang Suko berulang
kali dihadjar musuh, Djik Hong mendjadi ikut kuatir, segera iapun berseru:
“Suko, berhentilah kau, biar Ban-supek jang bereskan keparat itu!”
Akan tetapi Tik Hun masih
terus menjeruduk madju dengan mati2an sambil mem-bentak2: “Aku tidak takut, aku
tidak takut!”
“Tjrot”, batang hidung Tik Hun
tepat kena ditojor musuh, karuan sadja terus keluar ketjapnja.
Ban Tjin-san mengkerut kening
melihat kebandelan pemuda itu, katanja kepada Djik Tiang-hoat: “Sute, dia tidak
mau menurut perintahku, harap engkau suruh dia mundur.”
“Biar, dia tahu rasa dulu,
sebentar aku jang madju untuk melajani Djay-hoat-toa-tjat (badjingan perusak
wanita) itu!” sahut Tiang-hoat.
Pada saat itulah tiba2 dari
luar berdjalan masuk seorang pengemis tua jang bermuka kotor, badju dekil dan
rambut kusut, sebelah tangannja membawa sebuah mangkok butut, tangan lain
memegang tongkat bambu dengan suaranja jang serak2 lemah sedang me-minta2: ““Kasihan,
tuan! Harini tuan besar ada hadjat, sudilah memberi sedekah barang sesuap
nasi!”
Tapi karena perhatian semua
orang sedang ditjurahkan untuk mengikuti pertarungan Tik Hun jang mati2an
sedang melawan Lu Thong, maka tiada seorangpun jang gubris pada pengemis tua
itu
“Kasihlah, tuan! Hamba sudah
kelaparan. Kasihlah tuan!” demikian pengemis itu me-rintih2 pula sambil madju
lebih dekat.
Se-konjong2 pengemis itu
terpeleset oleh kotoran jang berlumuran dilantai itu, ia mendjerit dan djatuh
kedepan, tangannja kelabakan se-akan2 dipakai menahan kelantai, dan karena itu
mangkok dan tongkat bambu jang dipegangnja itu ikut mentjelat dari tjekalannja.
Aneh djuga dan setjara sangat
kebetulan, mangkok itu dengan tepat kena timpuk di “Tji-sit-hiat” ditengkuk Lu
Thong, sedangkan tongkat bambu itu djuga menutuk “Kiok-tjoan-hiat” dibalik
lutut.
Seketika Lu Thong merasa
kakinja mendjadi lemas dan tekuk lutut kelantai, berbareng antero tubuhnja
terasa linu pegal se-akan2 kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak di-sia2kan
oleh Tik Hun, kedua kepalannja bekerdja susul-menjusul, “blang-bleng” dua kali,
badan Lu Thong segede kerbau itu kena dihantam mentjelat dan tepat djatuh
tengkurap ketengah petjomberan jang dibawanja sendiri tadi.
Perubahan itu sungguh diluar
dugaan siapapun djuga hingga semua orang ternganga heran. Sementara itu Lu
Thong telah merangkak bangun dengan malu, tanpa menghiraukan lagi badannja jang
bersemir “emas” itu, dengan sipat kuping ia berlari pergi.
Semua tetamu ter-bahak2 geli,
be-ramai2 merekapun mem-bentak2: “Tangkap dia. Djangan lepaskan!” ~ “Tjegat
badjingan itu, tangkap!”
Sudah tentu gemboran orang2
itu hanja sebagai gertakan belaka, tapi Tik Hun sangka sungguh2, iapun ikut
berteriak: “Bangsat, ganti dulu badju guruku!” ~ Sembari berteriak, terus sadja
ia hendak mengedjar benar2.
Tapi baru dua langkah, tiba2
lengannja terasa dipegang orang dengan kuat hingga takbisa berkutik. Waktu
berpaling, ia lihat orang jang memegangnja itu adalah sang guru.
“Kemenanganmu hanja setjara
kebetulan, masih kau hendak mengedjar apa?” kata Djik Tiang-hoat.
Djik Hong lantas keluarkan
saputangannja untuk mengusap darah dimuka Tik Hun. Ketika melihat badju baru
sendiri djuga penuh berlepotan darah, Tik Hun mendjadi kuatir, serunja: “Wah,
tjialat, badjuku djuga kotor!”
Dalam pada itu sipengemis tua
tadi tampak sedang berdjalan keluar sambil mengomel: “Minta nasi tidak dapat,
malahan kehilangan mangkok!”
Tik Hun tahu sebabnja bisa
menangkan Lu Thong tadi adalah berkat djatuhnja pengemis itu. Maka tjepat ia
merogoh keluar segenggam mata uang, ia lari mendekati pengemis itu dan taruh
uangnja ditangan sipengemis.
“Terima kasih, terima kasih!”
kata pengemis itu sambil berdjalan pergi.
Malamnja Ban Tjin-san
mengadakan perdjamuan makan besar2an untuk menghormati tamu jang datang dari
berbagai tempat.
Ditengah perdjamuan sudah
tentu banjak orang membitjarakan kedjadian lutju disiang hati itu. Semuanja
menjatakan redjeki Tik Hun sangat baik, sudah terang akan kalah, kebetulan
datang seorang pengemis dan djatuh terpeleset hingga perhatian Lu Thong
terkatjau dan kena dirobohkan Tik Hun.
Ada pula jang memudji njali
Tik Hun sangat besar, meski semuda itu, namun sudah berani menempur berpuluh
djurus melawan seorang tokoh terkemuka seperti Lu Thong itu. Sudah tentu ada
djuga jang menjatakan kemenangan siang tadi adalah berkat Hokkhi tuan rumah
jang pandjang umur, kalau tidak, masakah begitu kebetulan datang seorang pengemis
dan terpeleset djatuh, lalu musuh dapat dienjahkan.
Dan karena semua orang ramai
membitjarakan kemenangan Tik Hun itu, dengan sendirinja membikin kedelapan
muridnja Ban Tjin-san merasa risih. Kedatangan Lu Thong itu sebenarnja hendak
menuntut balas kepada Ban Tjin-san, tapi anak murid keluarga Ban tidak madju,
sebaliknja seorang murid Susiok jang ke-tolol2an model anak desa itu telah
madju dan melabrak musuh. Diam2 hati kedelapan murid Ban Tjin-san itu sangat
mendongkol, tapi toh tidak terlampiaskan.
Kedelapan murid Ban Tjin-san
itu menurut urut2an masing2 bernama Loh Kun, Tjiu Kin, Ban Ka, Sun Kin, Bok
Heng, Go Him, Pang Tan dan Sim Sia. Maka sesudah Ban Tjin-san sendiri
menjuguhkan arak kepada para tetamu, kemudian bergiliran anak muridnja jang menjuguhkan
arak kepada tetamu2 itu semedja demi semedja.
Murid ketiga jang bernama Ban
Ka itu adalah puteranja Ban Tjin-san sendiri. Ia berperawakan djangkung,
mukanja agak kurus, tapi tjakap hingga mirip seorang pemuda hartawan, berbeda
seperti Toasuheng dan Djisuhengnja jang lebih gagah dan kekar.
Setiba kedelapan murid Ban
Tjin-san itu dimedjanja Djik Tiang-hoat, habis mereka menjuguhkan arak kepada
sang Susiok, kemudian gilirannja Tik Hun menerima suguhan mereka.
Kata Ban-ka: “Harini
Tik-suheng telah banjak berdjasa bagi ajahku, maka sebagai penghormatan,
Tik-suheng harus menerima suguhan kami berdelapan masing2 setjawan!”
Dasarnja Tik Hun memang tidak
biasa minum arak, djangankan delapan tjawan, biarpun setjawanpun sudah tjukup
membuatnja sinting. Tjepatan sadja ia gojang2 kedua tangannja sambil berseru:
“Tidak, tidak, aku tidak biasa minum!”
“Siang tadi ajahku berulang
tiga kali suruh Tik-suheng mundur. Tapi Tik-suheng sama sekali tidak gubris,
anggap suara ajahku seperti angin lalu sadja, sekarang Tik-suheng tidak sudi
pula menerima arak suguhan kami, bukankah engkau terlalu memandang hina kepada
keluarga Ban?”
Tik Hun mendjadi bingung,
sahutnja gelagapan: “Aku...... aku ti....... tidak ....”
Mendengar nada utjapan Ban Ka
itu rada tidak benar, tjepat Tiang-hoat menjela: “Hun-dji, minumlah arak
mereka!”
“Tapi..........tapi aku tidak
biasa,” sahut Tik Hun.
“Minum!” kata Tiang-hoat pula
dengan suara tertahan.
Terpaksa Tik Hun menerima
suguhan mereka, seorang setjawan hingga genap delapan tjawan. Karuan mukanja
mendjadi merah seketika bagai kepiting rebus, telinganja men-denging2 dan
pikiran kabur...............
Malam itu dalam keadaan lajap2
diatas tempat tidurnja, Tik Hun merasa dada, pundak, paha, tempat2 jang terkena
pukulan dan tendangan Lu Thong itu, semuanja terasa bengkak kesakitan.
Sampai tengah malam, tiba2
terdengar suara orang mengetok daun djendela dan suara orang memanggil:
“Tik-suheng, Tik-suheng!”
“Siapa?” tjepat Tik Hun
terdjaga bangun.
“Siaute adalah Ban Ka, ada
sesuatu ingin kubitjarakan dengan Tik-suheng, harap keluar,” demikian sahut
orang diluar djendela.
Tik Hun tertegun sedjenak,
lalu iapun bangkit dari tempat tidurnja dan mengenahkan badju serta sepatu.
Waktu ia membuka djendela, tertampaklah diluar sudah berdiri delapan orang
berdjadjar, setiap orangnja menghunus pedang. Itulah kedelapan muridnja Ban
Tjin-san.
“Ada apakah memanggil aku?”
tanja Tik Hun dengan heran.
“Sebab kami ingin beladjar
kenal dengan ilmu pedang Tik-suheng,” sahut Ban Ka dengan djemawa.
“Tapi aku sudah dipesan Suhu
agar djangan bertanding dengan anak muridnja Ban-supek,” kata Tik Hun.
“Ha, rupanja Djik-susiok tahu
diri djuga,” djengek Ban Ka.
“Tahu diri, apa maksudmu?”
tanja Tik Hun dengan gusar.
“Sret-sret-sret”, se-konjong2
Ban Ka melontarkan tiga kali tusukan, udjung pedangnja selalu menjambar lewat
ditepi pipi Tik Hun, selisihnja tiada satu senti djauhnja. Tik Hun merasakan
pipinja dingin2 silir, ia terkedjut dan sikapnja agak lutju. Karuan anak murid
Ban Tjin-san jang lain ter-kekeh2 geli.
Tik Hun naik darah djuga
achirnja. Tanpa pikir lagi ia samber pedang jang tergantung didinding dan
melompat keluar djendela. Ia lihat kedelapan murid paman gurunja itu berwadjah
djahat semua, diam2 ia mendjadi ragu2 lagi, teringat pula pesan Suhunja agar
djangan sekali2 tjetjok dengan anak murid Supek. Maka dengan heran iapun
menegur: “Sebenarnja kalian mau apa?”
“Tik-suheng,” kata Ban Ka
sambil sabetkan pedangnja keudara hingga mengeluarkan suara mendengung, “harini
kau sengadja menondjolkan diri, apa barangkali kau sangka keluarga Ban kami
sudah kehabisan orang atau kau anggap tiada seorang pun diantara keluarga Ban
jang lebih pandai daripada engkau?”
Hlm. 19: Gambar:
“Hajo, madjulah anak desa!”
edjek Ban Ka.
Tanpa bitjara lagi pedang Tik
Hun terus menusuk.
Tik Hun menggeleng kepala,
sahutnja: “Aku hanja minta ganti kerugian kepada bangsat jang telah bikin kotor
badju baru Suhuku itu, ada sangkut-paut apa dengan kau?”
“Hm, dihadapan para tamu kau
telah djundjung tinggi namamu dan memperoleh pudjian hingga kami berdelapan
saudara kehilangan muka, djangankan lagi hendak mentjari makan dikangouw,
sekalipun dikota Hengtjiu ini djuga nama kami sudah rusak. Tjoba, perbuatanmu
harini itu tidakkah keterlaluan?”
Tik Hun mendjadi heran,
sahutnja bingung: “Mengapa bisa begitu? Aku.......... aku tidak tahu.” ~ Pemuda
tani seperti dia sudah tentu ia tidak mengarti seluk-beluk alasan orang.
Loh Kun, itu murid tertua dari
Ban Tjin-san, mendjadi tidak sabar, katanja: “Samsute, botjah ini pura2 dungu,
buat apa banjak bitjara dengan dia? Berikan sadja hadjaran padanja!”
Terus Ban Ka menusukan
pedangnja kearah pundak kirinja Tik Hun. Namun Tik Hun tahu serangan itu tjuma
pura2 sadja, maka diantapi sadja tanpa bergerak dan tidak menangkis.
Benar djuga Ban Ka lantas
menarik kembali pedangnja. Tapi ia mendjadi gusar karena maksudnja diketahui
lawan, bentaknja: “Bagus, djadi engkau tidak sudi bergebrak dengan aku ja?”
“Suhu telah pesan agar djangan
tjetjok dengan anak muridnja Supek,” sahut Tik Hun.
“Bret”, se-konjong2 Ban Ka
menusuk pula dan sekali ini telah kena lengan badju Tik Hun hingga sobek satu
lubang pandjang.
Sebagai pemuda tani jang
hidupnja sederhana dan hemat, maka terhadap setiap harta bendanja Tik Hun
selalu mendjaganja dengan baik, terutama badju barunja jang baru dibikin dan
baru pertama kali ini dipakai, tapi kini telah dirobek orang, karuan ia
mendjadi naik darah djuga. “Kau berani merusak badjuku? Hajo, kau harus ganti!”
bentaknja tak tahan lagi.
Namun Ban Ka mendjawabnja
dengan tertawa dingin sambil menusuk pula dengan pedangnja kelengan badju jang
lain. Tjepat Tik Hun menangkis dengan pedangnja. “Trang”, ia sampok tusukan
lawan, menjusul iapun balas menjerang.
Dan sekali kedua pemuda itu
sudah mulai bergebrak, segera tertjadilah tjepat lawan tjepat. Ilmu pedang jang
dipeladjari kedua orang itu berasal dari satu sumber jang sama, setelah belasan
djurus lagi, semangat tempur Tik Hun semakin kuat, setiap serangannja selalu
mengintjar tempat bahaja ditubuh Ban Ka.
Melihat itu, Tjiu Kin mendjadi
kuatir, serunja: “Hai! Apa kau benar2 hendak mengadu djiwa? Samsute, tidak
perlu lagi kau sungkan2!”
Tik Hun terkesiap oleh teguran
itu, pikirnja: “Ja, pabila ketelandjur aku membunuh dia, kan bisa runjam!” ~
Karena pikiran itu, daja serangannja mendjadi kendor.
Sebaliknja Ban Ka mendapat
hati malah, disangkanja Tik Hun mulai kewalahan, ia mentjetjar semakin tjepat
dengan serangan2 bagus dan lihay.
Ber-ulang2 Tik Hun terdesak
mundur, bentaknja: “Hai, aku tidak berkelahi sungguh2 dengan kau, tapi mengapa
engkau begini?”
“Begini apa? Aku ingin
melubangi dadamu, tahu?” sahut Ban Ka, tiba2 pedangnja menusuk pula dengan
tjepat.
Sambil mengegos, Tik Hun
melihat kesempatan baik, tjepat pedangnja membalik terus menabas. Kalau tabasan
itu benar2 diteruskan, pundak Ban Ka pasti akan terkupas, namun Tik Hun telah
ajun pedangnja dengan membudjur, “plak”, pundak Ban Ka hanja digeblak sadja
sekali dengan batang pedang.
Dengan kedjadian itu Tik Hun
anggap kalah-menang sudah terang, tentu Ban Ka akan mundur teratur, sebab
biasanja kalau dia sedang latihan dengan Sumoay, Djik Hong,
Asal salah seorang kena
tersenggol sendjata lawan, selesailah sudah pertandingan itu.
Tapi Ban Ka tidak mau peduli,
dari malu ia mendjadi kalap malah, mendadak ia menusuk pula. Karena tidak
ber-djaga2, “tjrat”, Tik Hun merasa pahanja kesakitan sekali.
Maka bersoraklah Loh Kun, Tjiu
Kin dan lain2, mereka meng-olok2: “Nah, robohlah sekarang anak desa!” ~ “Hajo,
minta ampun tidak?” ~ “Huh, murid anak kampung adjaran Djik-susiok tidak lebih
tjuma beberapa djurus tjakar-kutjing seperti ini sadja !”
Memangnja Tik Hun sudah gusar
karena dilukai, mendengar nama Suhunja dihina pula, karuan seperti api disiram
minjak, dengan murka ia putar pedangnja menjerang serabutan.
Melihat Tik Hun mengamuk
seperti banteng ketaton, Ban Ka mendjadi djeri malah. Sedjak ketjil ia sangat
dimadjakan orang tua, meski ilmu pedangnja terlatih dengan bagus, namun
menghadapi pertarungan sengit begitu, betapapun belum pernah dialaminja. Dan
karena bingungnja itu, permainan pedangnja mendjadi katjau.
Diantara murid2 Ban Tjin-san
itu, Bok Heng adalah jang paling tjerdik. Melihat Samsuhengnja ketjetjar,
segera ia djemput sepotong batu dan menimpukan sekuatnja kepunggung Tik Hun.
“Plok”, Tik Hun jang lagi pusatkan perhatiannja untuk merangsak Ban Ka,
punggungnja mendjadi kesakitan tertimpuk batu itu. Ia menoleh sambil memaki: “Tidak
tahu malu! Main membokong, huh!”
“Ada apa? Kau bilang apa?” Bok
Heng berlagak pilon.
Namun Tik Hun sudah nekad, ia
pikir biarpun mereka berdelapan madju semua djuga ia akan lawan mati2an untuk
mendjaga nama baik gurunja. Saking kalapnja permainan Tik Hun mendjadi tak
karuan. Namun kesempatan itu tidak berani digunakan Ban Ka untuk menjerang.
Tiba2 Bok Heng mengedipi
Laksute Go Him, katanja: “Ilmu pedang Samsuheng terlalu hebat, anak desa ini
sudah kewalahan, kalau djiwanja sampai melajang, tentu kita akan dimarahi
Djik-susiok, marilah kita berdua madju untuk mendjaga segala kemungkinan!”
Go Him paham maksud
Gosuhengnja itu, sahutnja: “Benar, kita harus hati2, djangan sampai pedang
Samsuheng mentjelakai anak kampung itu.”
Berbareng mereka terus
melompat madju, tapi pedang mereka terus menusuk Tik Hun dari kanan-kiri
Memangnja ilmu pedang Tik Hun
tidak banjak lebih unggul daripada Ban Ka, tjuma ia merangsak dengan mati2an,
maka Ban Ka terdesak. Tapi kini dikerojok Bok Heng dan Go Him pula, dengan satu
lawan tiga, tentu sadja ia kerepotan, segera paha jang lain tertusuk lagi. Luka
sekali ini sangat berat, ia takbisa berdiri tegak lagi dan djatuh terduduk,
namun pedangnja masih terus dilantjarkan.
Tiba2 Lok Kun mendengus,
sekali kakinja melajang, pedang Tik Hun kontan terpental dari tjekalan. Terus
sadja Ban Ka antjam tenggorokan Tik Hun dengan udjung pedangnja, sedang Bok
Heng dan Go Him ter-bahak2 sambil melompat mundur.
“Sekarang aku takluk tidak,
anak desa?” tanja Ban Ka dengan senang.
“Takluk kentutmu!” semprot Tik
Hun. “Kalian berempat mengerojok aku, terhitung orang gagah matjam apa?”
“Kau masih berani mengotjeh?”
teriak Ban Ka dengan gusar sambil surung sedikit pedangnja hingga udjungnja
masuk beberapa mili didaging leher Tik Hun. “Hm asal sedikit kutusukkan lagi,
tenggorokanmu seketika akan putus!”
“Tusuklah, tusuklah lekas,
kalau tidak berani, kau sendiri adalah anak kura2,” seru Tik Hun.
Karuan Ban Ka semakin murka,
mendadak ia tendang perut Tik Hun sambil memaki: “Mulutmu masih berani kotor
tidak?”
Tendangan itu membuat isi
perut Tik Hun se-akan2 terdjungkir balik, hampir2 ia mendjerit, namun ia
bertahan sedapat mungkin dan tetap memaki: “Haram djadah, anak kura2!”
Kembali Ban Ka menendang pula,
sekali ini kena pilingan Tik Hun hingga matanja ber-kunang-kunag, hampir2
djatuh kelengar. Ia hendak memaki lagi, namun mulutnja sudah tak kuasa lagi.
“Biarlah harini kuampuni kau,
bolehlah kau pergi lapor kepada gurumu, katakanlah kami mengerojok dan
menghadjar kau! Hm, matjammu pasti djuga akan pakai menangis segala!” kata Ban
Ka.
“Menangis apa?” seri Tik Hun.
“Seorang laki2 kalau mau membalas sakit hati, harus dikerdjakan oleh tangan
sendiri, buat apa mesti lapor guru?”
Memang Ban Ka sangat
mengharapkan utjapan seperti itu dari Tik Hun, kembali ia memantjing: “Atau
kutambahi sedikit tanda dimukamu, biar gurumu jang akan tanja padamu.” ~
Berbareng ia ajun kakinja lagi menendang mukanja Tik Hun, kontan sadja mukanja
matang-biru dan air mata hampir menetes.
“Haha, katanja laki2 segala,
begitu sadja sudah menangis! Laki2 telah berubah mendjadi wanita!” sindir Bok
Heng dengan tertawa.
Hampir meledak dada Tik Hun
saking gusarnja. Tempo hari waktu Bok Heng bertamu kerumah gurunja, Tik Hun
telah membelikan arak dan sembelihkan ajam, tapi pembalasannja sekarang
ternjata begitu kedji.
“Nah, kau takbisa menangkan
aku, boleh djuga kau laporkan kepada ajahku agar ajah memarahi aku untuk
melampiaskan rasa dendammu ini,” kata Ban Ka.
“Huh, kau sangka semua orang
pengetjut seperti kau hingga mesti mengadu-biru kepada orang tua?” sahut Tik
Hun.
Ban Ka saling pandang dengan
Loh Kun dan Bok Heng, mereka merasa sudah tjukup melampiaskan dongkol mereka
harini, segera Ban Ka masukan pedangnja dan berkata pula: “Anak desa, kalau
kulitmu tjukup tebal dan ingin dihadjar pula, boleh kau datang kesini lagi
besok malam. Sekarang tuan muda ingin pulang tidur dulu!”
Sambil memandangi bajangan
kedelapan orang itu, hati Tik Hun mendjadi gusar dan gemas, tapi tidak mengarti
pula sebab apakah mereka telah menghadjarnja begitu rupa? Apa barangkali semua
orang kota memang djahat begini?
Ia tjoba merangkak bangun, tapi
terasa pujeng kepalanja, kembali ia terduduk.
“Ai, kalau tidak bisa melawan
orang, seharusnja lekas mendjura dan minta ampun, tapi kalau dihadjar mentah2
seperti ini, bukankah sangat penasaran?” tiba2 suara seorang menggerundel
dibelakangnja.
Tik Hun mendjadi gusar,
teriaknja: “Biarpun dipukul mati orang, tidak nanti aku mendjura dan minta
ampun!” ~ Waktu ia menoleh, ia lihat seorang tua sedang mendekatinja sambil
mem-bungkuk2. Segera dapat dikenalnja sebagai pengemis tua siang tadi.
“Ai, kalau sudah tua, entjok
dipunggung selalu kumat sadja,” demikian pengemis itu mengomel pula. “Eh, anak
muda, maukah kau memidjat punggungku ini?”
Memangnja rasa dongkol Tik Hun
lagi belum terlampiaskan, masakah kini disuruh memidjat seorang pengemis tua
jang kotor? Namun karena wataknja peramah, maka permintaan pengemis itu tak
digubrisnja.
“Ai, dasar orang tidak punja
anak-tjutju, sesudah tua, tiada seorangpun jang sudi memperhatikan aku,
oh........uh........” sambil me-rengek2 pengemis itupun bertindak pergi.
Watak Tik Hun memang polos dan
welas asih, ia lihat pengemis itu menggigil sangat menderita. Apalagi orang
desa sangat mengutamakan gotong-rojong, saling bantu-membantu kalau ada
kesukaran, ditambah lagi barusan dirinja habis dihadjar orang, maka timbul djuga
rasa senasib dan sependerita. Segera serunja: “Oi, aku masih punja beberapa
pitjis, ambillah ini untuk membeli nasi!”
Dengan ber-ingsut2 pengemis
itu mengesak kembali untuk menerima pemberian Tik Hun itu, tiba2 katanja pula:
“Anak muda, punggungku benar2 entjok, sudilah engkau meng-ketuk2nja?”
Kurangadjar, pikir Tik Hun,
sudah dikasih hati, ingin merogoh rempelu pula. Tapi dasarnja dia memang ramah,
segera katanja: “Baiklah, tunggu dulu aku membalut luka dikakiku ini.”
“Huh, kau tjuma pikirkan
kepentingan sendiri dan tidak peduli urusan orang lain, terhitung orang gagah
matjam apa?” djengek pengemis itu.
Karena pantjingan kata2 itu,
terus sadja Tik Hun berseru: “Baiklah, sekarang djuga aku ketuk punggungmu.”
Lalu mereka berduduk dan Tik
Hun memukuli entjok dipunggung sipengemis tua.
“Ehm, enaknja, hajolah keras
sedikit!” kata pengemis itu.
Tik Hun menurut, ia memukul
sedikit keras. Tapi pengemis itu merasa kurang keras pula, segera Tik Hun
tambahi tenaganja.
Namun pengemis itu masih belum
puas, katanja: “Ai, anak jang tak berguna. Baru sadja dihadjar orang begitu
sudah kehilangan tenaga, tjuma mengetuk punggung orang tua sadja tidak kuat.
Huh, orang begini buat apa lagi hidup dunia ini?”
Tik Hun mendjadi gusar, katanja:
“Kalau kukeluarkan tenaga, mungkin beberapa kerat tulangmu jang sudah lapuk ini
bakal berantakan!”
“Kalau engkau beanr2 mampu
meremukan tulangku jang lapuk ini, tentu kau takkan kena dihadjar orang seperti
tadi,” udjar sipengemis dengan tertawa.
Dengan mendongkol benar2 Tik
Hun mengetuk se-keras2nja.
“Nah, beginilah baru
mendingan! Tapi toh masih kurang!”
“Blang”, mendadak Tik Hun
menghantam keras2.
“Ah, masih kurang, masih
kurang keras, pertjuma!” kata sipengemis dengan tertawa.
“Djangan engkau bergurau,
Laupek, aku tidak ingin melukai engkau,” udjar Tik Hun.
“Hm, matjammu djuga mampu
melukai aku?” djengek sipengemis. “Kenapa kau tidak tjoba2 hantam aku sepenuh
tenagamu....”
Dengan dongkol segera Tik Hun
kerahkan tenaga ditangan kanan terus hendak menggebuk kepunggung orang, tapi
demi nampak keadaan pengemis itu sudah lojo, ia mendjadi tidak tega, katanja:
“Ah, buat apa main2 dengan kau.” ~ Lalu perlahan pula ia mengetuk punggung
orang.
Diluar dugaan, entah mengapa
mendadak tubuhnja terpental, “bluk”, ia terbanting ke-semak2 rumput sana hingga
kepala pujeng dan mata ber-kunang2, sampai lama baru ia sanggup merangkak
bangun. Namun Tik Hun tidak marah, sebaliknja ia ter-heran2, ia pandang si
pengemis itu dengan tertjengang. Tanjanja kemudian: “Apakah........apakah
engkau jang membanting aku?”
“Disini toh tiada orang
ketiga, kalau bukan aku, siapa lagi?” sahut pengemis itu.
“Dengan tjara bagaimana engkau
membanting aku?”
“Dengan djurus
‘Ki-thau-bong-beng-goat, keh-thau-su-ko-hiang’ (mendongak memandang rembulan,
menunduk merindukan kampung halaman)!” sahut sipengemis.
“Aneh, bukankah itu adalah
djurus ilmu pedang jang diadjarkan Suhu kepadaku, dari.........darimana engkau
tahu?”
“Ilmu pukulan atau ilmu pedang
semuanja sama. Lagipula tjara mengadjar gurumu itu hakikatnja salah,”
Tik Hun mendjadi gusar:
“Manabisa guruku salah? Hm, pengemis tua seperti kau djuga berani mentjela
guruku?”
“Habis, bila memang benar
adjaran gurumu, mengapa kau dihadjar orang?”
“Aku dikerojok, dengan
sendirinja kewalahan. Tjoba kalau satu-lawan-satu, masakan aku kalah?”
“Hahaha!” sipengemis tertawa.
“Berkelahi masakah pakai aturan segala? Biar kau ingin ‘main single’, kalau
musuh tidak mau, kau bisa berbuat apa? Achirnja kau tentu dihadjar setengah
mati hingga minta ampun. Tapi kalau seorang diri dapat mengalahkan sepuluh atau
duapuluh orang, itulah baru gagah.”
Benar djuga, pikir Tik Hun,
tapi katanja pula: “Mereka adalah anak murid Supek, kepandaian Kiam-hoat mereka
tidak banjak selisih daripada aku, aku dikerojok delapan orang, sudah tentu aku
kalah.”
“Umpama aku adjarkan beberapa
djurus agar engkau seorang dapat mengalahkan mereka berdelapan, kau mau
beladjar tidak?”
“Mau, mau!” seru Tik Hun kegirangan.
Tapi lantas terpikir olehnja didunia ini masakah ada kepandaian sehebat itu,
apalagi pengemis ini sudah tua dan kotor, tidak mirip seorang berilmu.
Tengah ia ragu2, se-konjong2
tubuhnja terpental lagi, sekali ini sampai berdjumpalitan dua kali diudara
hingga mentjelat lebih tinggi barulah kemudian terbanting kebawah terlebih
keras. Masih Tik Hun berusaha hendak menahan dengan tangannja, hampir2 ruas tulangnja
keseleo. Ketika merangkak bangun, sakitnja tak terkatakan. Tapi girangnja dalam
hatipun tak terhingga, serunja: “Laupepek, aku.......... aku ikut beladjar
padamu.”
“Harini biar kuadjarkan
beberapa djurus padamu, besok malam kau berkelahi lagi dengan mereka disini,
kau berani tidak?” tanja pengemis itu.
Tik Hun ragu-ragu, hanja
beladjar beberapa djurus dalam waktu singkat apa tjukup berguna? Tapi demi
terpikir akan berkelahi lagi dengan Ban Ka dan kawan2nja, semangatnja mendjadi
ber-kobar2, kontan djawabnja: “Berani, mengapa tidak berani? Paling banjak aku
akan dihadjar lagi oleh mereka, kenapa mesti takut?”
Se-konjong2 sipengemis tua
mentjengkeram tengkuk Tik Hun dan membantingnja ketanah sambil memaki: “Anak
geblek! Sesudah kuadjarkan ilmu silat padamu, masakan engkau akan kena dihadjar
mereka lagi? Djadi kau tidak pertjaja pada kemampuanku, ja?”
Meski sangat kesakitan karena
dibanting, namun Tik Hun bertambah girang, sahutnja tjepat: “Ja, ja, memang
salahku. Hajolah lekas engkau adjarkan padaku!”
“Kau pernah beladjar
Kiam-hoat, tjoba pertundjukan dulu kepadaku, sebutkan sekalian nama
djurus2nja.”
“Baik,” sahut Tik Hun. Ia
menemukan kembali pedangnja jang terpental tadi, lalu memainkan djurus2 adjaran
Djik Tiang-hoat sambil mengutjapkan kalimat2 setiap djurus ilmu pedangnja.
Sedang Tik Hun asjik memutar
pedangnja, tiba2 terdengar pengemis tua itu ketawa ter-bahak2. Tik Hun mendjadi
heran dan berhenti, tanjanja: “Ada apa? Barangkali permainanku salah?”
Namun pengemis itu tidak
mendjawab, sebaliknja ia masih tertawa sambil pegang perutnja hingga menungging
saking gelinja.
Mau-tak-mau Tik Hun mendjadi
dongkol, katanja: “Seumpama permainanku salah, toh djuga tidak perlu
ditertawai.”
Mendadak pengemis itu berhenti
ketawanja, katanja dengan gegetun: “Ai, Djik Tiang-hoat, djerih-pajahmu ini
memang baik djuga maksudnja, tjuma sajang terlalu tjetek sekolahmu, maka telah
salah tampa.”
“Suhuku adalah petani,
memangnja tidak banjak huruf jang dikenal, apanja jang mesti ditertawai?” udjar
Tik Hun.
“Tjoba pindjamkan pedangmu,”
pinta sipengemis.
Tik Hun sodorkan pedangnja.
Dan sesudah memegang pedang, pelahan2 pengemis itu menjebut:
‘Koh-hong-hay-siang-lay, Ti-heng-put-kam-koh!” ~ Berbareng iapun putar
pedangnja dengan gesit, hanja sekedjap sadja se-akan2 sudah berubah seorang
lain, bukan lagi seorang pengemis tua dan lojo.
Setelah menjaksikan beberapa
djurus, tiba2 Tik Hun seperti tersadar, katanja: “Lau-pek, waktu aku menempur
si Lu Thong tadi, apakah engkau sengadja menimpukan mangkokmu untuk membantu aku?”
“Masakah perlu menanja lagi?”
semprot sipengemis dengan gusar. “Liok-hap-kun Lu Thong itu lebih lihay sepuluh
kali daripada botjah tolol matjammu ini, kalau melulu sedikit kepandaianmu
masakan mampu mengenjahkan dia?” ~ Sembari berkata, ia lalu mainkan pedangnja
dengan tjepat.
Tik Hun mendengar istilah2
setiap djurus ilmu pedang sipengemis toh sama sadja dengan adjaran gurunja,
hanja lafalnja sadja agak sedikit berbeda, tapi gerak pedangnja mirip benar.
Makin dilihat makin heranlah ia.
Tiba2 tangan kiri sipengemis
mendjulur kedepan dengan gerakan pedang, menjusul pedang ditangan kanan
mendadak disodorkan ke tangan kiri itu, saat lain tangan kanan membalik “plak”
ia tampar pipi Tik Hun sekali.
Karuan Tik Hun kaget, sambil
memegangi pipinja jang kesakitan itu ia tanja dengan marah: “Ken.........kenapa
engkau memukul orang?”
“Habis, aku sedang
mengadjarkan ilmu pedang padamu, sebaliknja engkau mengelamun, bukankah harus
dihadjar?”
Tik Hun tjukup bidjaksana, ia
bisa terima alasan itu, sahutnja: “Baik, memang salahku. Memang aku sangat
heran melihat tjermat2 setiap djurus jang kau sebut itu mirip dengan adjaran
guruku, tjuma perubahan permainan pedangnja jang sangat berbeda.”
“Adjaran gurumu lebih bagus
atau adjaranku ini lebih bagus?” tanja sipengemis.
“Aku tidak tahu,” sahut Tik
Hun menggeleng kepala.
Tiba2 pengemis itu melemparkan
kembali pedangnja kepada Tik Hun, katanja: “Mari kita boleh tjoba2 bertanding.”
“Keuletanku terlalu djauh
dibandingkan engkau, manabisa aku melawan engkau,” sahut Tik Hun.
“Huh, belum keliwat geblek
djuga engkau ini. Begini sadja kita tjuma bertanding tentang gerak serangan dan
tidak bertanding tentang kekuatan.”
Habis berkata, terus sadja ia
ajun tongkatnja sebagai pedang dan menusuk kearah Tik Hun. Otomatis pemuda itu
angkat pedangnja menangkis. Tapi mendadak tongkat si pengemis berhenti ditengah
djalan, karena itu, Tik Hun lantas tarik pedangnja untuk balas menusuk. Tak
tersangka baru sadja pedangnja bergerak, tahu2 tongkat sipengemis sudah seperti
pagutan ular tjepatnja menusuk kedepan dan tepat kena tutuk dibahunja.
Sungguh kagum Tik Hun tak
terhingga, serunja memudji: “Bagus!” Menjusul pedangnja lantas menabas lagi.
Namun pengemis itu sempat
putar tongkatnja dan tepat menahan dibatang pedang Tik Hun, sekuatnja Tik Hun
mendorong sendjatanja kedepan, tapi tongkat sipengemis selalu berputar hingga
tenaga dorongannja itu kena dikesampingkan kearah jang berlawanan. Karena itu,
tjekalan Tik Hun mendjadi kendor dan tahu-tahu pedangnja mentjelat ke udara.
Tik Hun terkesima, katanja
kemudian: “Laupek, ilmu pedangmu memang sangat tinggi.”
Waktu tongkat pengemis itu
mendjulur, pedang jang djatuh dari udara itu tepat kena diraihnja kembali. Lalu
katanja: “Sebenarnja gurumu sangat giat melatih silat, salahnja tjuma terlalu
sedikit ia bersekolah. Djustru ilmu pedang dari perguruanmu ini sangat
berlainan dengan ilmu pedang umumnja di dunia persilatan, jaitu sangat
mengutamakan pemikiran. Sama2 mempeladjari satu matjam Kiam-Hoat, ada jang
berlatih puluhan tahun, hasilnja tjuma biasa sadja. Sebaliknja ada jang dapat
memahami intisarinja, dalam waktu satu dua tahun sudah mendjadi ahli pedang
terkemuka.”
Seperti paham seperti tidak
Tik Hun oleh uraian itu, namun ia suka mendengarkannja.
“Kiam-hoat dari perguruanmu ini,
setiap djurusnja adalah perubahan dari sesuatu bait sjair kuno,” demikian
sipengemis menerangkan pula. “Umpamanja djurus ‘Koh-hong-hay-siang-lay,
Ti-heng-put-kam-koh’ tadi, artinja mengatakan ada seekor burung terbang sendiri
dari lautan, terhadap telaga atau rawa2 di daratan tak dihinggapinja. Sjair ini
adalah tjiptaan Thio Kiu-ling, itu perdana mentri di djaman ahala Tong. Dari
bait-bait sjairnja itu telah ditjiptakan mendjadi djurus ilmu pedang. Tapi
gurumu telah adjarkan kau dengan ‘Koh-hong-han-siang-lay, Si-heng-put-kam-koh’.
Bait pertama artinja berubah mendjadi orang berteriak2 dan bait berikut berarti
orang ketakutan. Sudah tentu arti sebenarnja dari ilmu pedang jang tinggi itu
lantas menjeleweng 180 deradjat.”
Dengan kikuk Tik Hun
mendengarkan uraian itu, ia tahu pendjelasan orang tua itu sangat djitu, tapi
biasanja ia sangat hormat dan tjinta pada gurunja, kini mendengar sang guru
ditjela habis2an, betapapun ia tersinggung djuga. Tiba2 ia berbangkit, katanja:
“Sudahlah, aku hendak pergi tidur, tidak mau beladjar lagi!”
“Lho, kenapa? Apakah uraianku
tidak betul?” tanja sipengemis dengan heran.
“Mungkin benar djuga uraianmu
itu,” sahut Tik Hun dengan marah2. “Tapi engkau mentjela kesalahan guruku, maka
lebih baik aku tidak beladjar.”
“Hahaha!” sipengemis
ter-bahak2 sambil mengusap kepala Tik Hun. “Bagus, bagus! Hatimu ternjata
sangat djudjur, aku paling suka orang matjam kau. Baiklah aku mengaku salah
padamu, selandjutnja aku takkan mejinggung lagi nama gurumu, puas tidak?”
Dari marah Tik Hun berubah
girang, sahutnja: “Baiklah, asal engkau tidak menjebut guruku, biarpun aku
mendjura padamu djuga boleh.” Habis berkata, benar djuga ia terus mendjura
beberapa kali.
Dengan tersenjum simpul
sipengemis terima penghormatan itu, lalu ia mengulangi lagi sedjurus demi
sedjurus untuk memberi pendjelasan kepada Tik Hun. Ia benar2 tidak menjinggung
lagi namanja Djik Tiang-hoat, tapi hanja membetulkan kesalahan Tik Hun sadja.
Begitulah jang satu mengadjar
dan jang lain mendengarkan, tanpa terasa suara ajam djago berkokok sudah
terdengar, fadjar sudah hampir menjingsing. Maka berkatalah pengemis itu
akhirnja: “Sekarang akan kuadjarkan tiga djurus kepandaian istimewa kepadamu,
besok kau adjak berkelahi lagi dengan kedelapan anak tak genah itu. Nah,
ingatlah baik2!”
Semangat Tik Hun terbangkit,
dengan tjermat ia mengikuti gerak tongkat pengemis itu. djurus pertama adalah
“Dji-koh-sik” atau gaja menusuk bahu, jaitu seperti sipengemis menusuk bahunja
Tik Hun tadi dengan tongkat. Kalau musuh tidak menjerang dan melainkan berdjaga
diri sadja, tusukan itu takkan berguna. Tetapi bila musuh bergerak, maka
tusukan kilat itu pasti akan mengenai bahu musuh lebih dulu.
Djurus kedua adalah
“Ni-kong-sik”, gaja menampar pipi, tjaranja persis seperti apa jang telah
dirasakan djuga oleh Tik Hun tadi, jaitu pedang berpindah ketangan kiri, tangan
kanan terus membalik dan menampar.
Djurus ketiga bernama
“Gi-kiam-sik” atau gaja menanggalkan pedang lawan, sekali pedang menempel
pedang lawan, diputir terus ditjukit, tjaranja djuga sudah dialami Tik Hun
tadi.
Sebenarnja ketiga djurus itu
masing2 mempunjai nama jang indah berasal dari bait2 sjair kuno. Tapi pengemis
tua itu tahu Tik Hun tidak banjak makan sekolahan, maka sengadja diberinja
nama2 sederhana jang mudah diingat.
Biarpun Tik Hun bukan anak
tjerdas, tapi mempunjai tekad jang teguh. Ketiga djurus itu berulang kali
dilatihnja selama lebih satu djam barulah paham benar2.
“Baiklah sekarang,” kata
sipengemis dengan tertawa. “Dan kau harus berdjandji sesuatu padaku, jaitu
kedjadian malam ini aku mengadjarkan Kiam-hoat padamu tidak boleh engkau
katakan kepada siapapun djuga, sekalipun gurumu djuga tidak boleh.”
Tik Hun mendjadi serba sulit
untuk mendjawab. Biasanja ia sangat menghormati sang guru, terhadap sang Sumoaj
jang tjantik it
Tik Hun mendjadi serba sulit
untuk mendjawab. Biasanja ia sangat menghormati sang guru, terhadap sang Sumoaj
jang tjantik itupun sudah lama ditjintainja, segala apa biasanja pasti
dikatakan kepadanja. Kini disuruh tutup mulut kepada kedua orang itu, keraguan
ia ragu2.
“Tentang sebab musababnja
seketika susah kuterangkan,” kata si pengemis pula. “tjuma rahasia malam ini
kalau kau botjorkan, djiwaku tentu berbahaja, pasti aku akan mati dibawah
tangannja Ban Tjin-san.”
Tik Hun terkedjut, tanjanja
heran: “Laupek, ilmu silatmu setinggi ini, mengapa djeri pada Supekku?”
Namun pengemis itu tidak
mendjawab dan bertindak pergi sambil berkata: “Kau akan bikin tjelaka aku atau
tidak terserahlah kepada dirimu sendiri.”
“Tidak,” seru Tik Hun sambil
lari menjusul sipengemis, “aku Tik Hun pasti takkan melupakan budimu, kalau aku
membotjorkan rahasia ini seketjap sadja, biarlah aku dikutuk langit dan bumi.”
Pengemis tua itu tidak
berhenti, hanja sekedjap sadja sudah menghilang dalam kegelapan.
Tik Hun ter-mangu2 sedjenak
ditempatnja, kemudian ia mendjadi teringat belum lagi menanja siapa nama
pengemis tua itu. Namun orang tua itu sudah tak kelihatan lagi...........
Besok paginja, ketika Djik
Tiang-hoat melihat muka sang murid itu matang-biru, ia mendjadi heran, ia
tanja: “Engkau berkelahi dengan siapa, mengapa abuh begitu rupa?”
Dasar Tik Hun memang tidak
biasa berdusta, maka ia mendjadi gelagapan. Sjukur Djik Hong keburu menjela:
“Ha, tentu karena kena pukulan bangsat Lu Thong itu kemarin.”
Sudah tentu Djik Tiang-hoat
tidak pernah menduga apa jang terdjadi semalam, maka iapun tidak menanja lebih
djauh.
Kemudian Djik Hong menarik Tik
Hun kesamping rumah, setiba dipelataran, dimana terdapat sebuah sumur, karena
tiada orang lain lagi di sekitar situ. Djik Hong adjak sang Suheng berduduk di
tepi perigi itu, lalu tanjanja: “Suko, semalam engkau berkelahi dengan siapa?”
Sudah tentu Tik Hun gelagapan
pula, dan belum ia bersuara Djik Hong sudah berkata lagi: “Kau tidak perlu
membohongi aku. Kemarin waktu kau menempur Lu Thong, dengan djelas aku
menjaksikan pukulan dan tendangannja mengenai badanmu semua, tapi tiada jang
mengenai mukamu.”
Tahu kalau tak bisa membohongi
sang Sumoay, terpaksa Tik Hun menerangkan duduknja perkara, ia pikir asal tidak
bitjara tentang pengemis tua itu kan tidak apa2. Maka ia pun mendjelaskan tjara
bagaimana ia telah dikerojok semalam.
Djik Hong mendjadi gusar djuga
mendengar tjerita itu, serunja murka: “djadi mereka berdelapan mengerojok
engkau seorang? Huh, orang gagah matjam apa itu? Marilah kita mengadu kepada
ajah untuk minta keadilan kepada Ban Tjin-san” Saking marahnja sampai sebutan
Supek tak digunakan olehnja lagi, melainkan langsung menjebut namanja.
“Tidak, djangan!” tjepat Tik
Hun mentjegah. “Kalau aku mengadu kepada Suhu, bukankah malah akan dipandang
hina oleh mereka?”
Djik Hong mendengus sekali dan
tidak berkata lagi. Ia lihat badju sang Suheng banjak sobek, ia ikut merasa
sajang, segera dikeluarkannja bungkusan benang dan djarum, terus sadja ia
mendjahitkan badju Tik Hun jang robek itu. Rambutnja jang meng-gesek2 dipipi
Tik Hun itu mendjangkitkan rasa risih pemuda itu, terendus pula bau harumnja
badan sigadis, mau tak mau terguntjang djuga hati Tik Hun.
Malam itu, karena para tamu
sudah pulang semua, Ban Tjin-san mengadakan satu medja perdjamuan untuk
mendjamu sang Sute, kedelapan muridnja ikut hadir.
Sesudah saling mengadu tjawan,
ketika Tjin-san melihat bibir Tik Hun bengkak merah, tidak leluasa untuk makan,
segera katanja, “Tik-hiantit, kemarin telah bikin susah padamu. Marilah ini
makanlah jang banjak.” Sembari berkata, ia terus menjumpit sepotong paha ajam
ke mangkoknja Tik Hun.
Tiba-tiba Tjiu Kin mendengus
hina sekali.
Memangnja rasa gusar Djik Hong
sudah memuntjak, ia mendjadi tidak tahan lagi, segera ia berteriak: “Ban-supek,
luka Tik-suko ini bukan karena dipukul Lu Thong, tapi adalah perbuatan
kedelapan muridmu jang terpudji itu.”
“Apa katamu?” tanja Ban
Tjin-san dan Djik Tiang-hoat berbareng dengan kedjut.
Sim Sia, itu murid Tjin-san
kedelapan, usianja paling muda tapi mulutnja paling tadjam, tjepat ia
mendahului buka suara, “Sesudah Tik-suko menangkan Lu Thong, ia bilang Suhu
pengetjut, tidak berani bergebrak dengan musuh, untung ada Tik-suko jang madju.
Mendengar itu, saking tak tahan, kami.....”
Wadjah Ban Tjin-san seketika
berubah, tapi ia tjukup sabar, dengan tertawa ia memotong: “Benar, memang
berkat bantuan Tik-hiantit hingga kita tidak sampai dibikin malu musuh.”
“Tapi Ban-suheng tidak tahan
oleh kesombongan Tik-suko itu, maka lantas adjak bertanding padanja, dan
agaknja seperti Ban-suheng mendahului sedikit,” kata Sim Sia.
Sungguh gusar Tik Hun tak
terkatakan. “Kau....kau ngatjo-belo! Kapan aku.....” dasarnja memang tidak
pandai bitjara, dalam gusarnja ia mendjadi lebih gelagapan lagi.
“Ka-dji mendahului sedikit
bagaimana?” tanja Tjin-san.
Maka berkatalah Sim Sia:
“Tjara bagaimana semalam Sam-suheng bertanding dengan Tik-suko kami tidak
mengetahui semua. Tjuma pagi tadi Ban-suheng mentjeritakan kepada kami, katanja
Ban-suheng seperti menggunakan djurus.... djurus....” Ia sengadja menoleh
kepada Ban Ka dan menanja: “Ban-suko, djurus apa jang kau gunakan hingga
Tik-suko dikalahkan olehmu?”
Begitulah kedua orang itu
sengadja main sandiwara, hingga tentang mereka berdelapan mengerojok Tik Hun,
mereka tjutji tangan dengan bersih. Padahal tjara bagaimana Ban Ka menagkan Tik
Hun, orang lain tiada jang menjaksikan, sebenarnja susah untuk dipertjaja.
Namun karena jang bitjara itu adalah Sim Sia jang masih ke-kanak2-an dengan
sendirinja tiada jang mendjangka botjah itu berdusta.
“Kiranja begitu!” Tjin-san
angguk2 djuga oleh keterangan murid2nja itu.
Sebaliknja muka Djik
Tiang-hoat merah padam bahna marahnja. Ia gebrak medja sambil membentak:
“Hun-dji, bukanlah sudah kupesan agar djangan tjektjok dengan para Suhengte,
kenapa kau telah berkelahi malah?”
Melihat sang guru djuga
mempertjajai otjehan Sim Sia, saking gusarnja sampai Tik Hun menggigil, katanja
dengan tak lampias: “Su.....suhu, aku ti......tidak....”
“Sudah berbuat, masih
mungkir?” damperat Tiang-hoat, kontan iapun persen sang murid sekali tamparan.
Seketika pipi Tik Hun merah
begap. tjepat Djik Hong pun berseru: “Tia, kenapa engkau tidak tanja lebih djelas
duduknja perkara?”
Saking murka, watak dogol Tik
Kun lantas kumat, tanpa pikir lagi ia melontjat bangun, ia samber pedang jang
ditaruh dimedja belakangnja dan melompat ketengah ruangan, teriaknja keras2:
“Suhu, Ban Ka itu mengatakan aku ...... aku kalah, biarlah suruh dia madju lagi
sekarang!”
Tiang-hoat mendjadi gusar,
bentaknja: “Kau mau kembali tempatmu tidak?” Segera iapun berbangkit hendak
menghadjar dan mejeret kembali muridnja itu.
Namun Tik Hun sudah kadung
kalap, segera ia berteriak-teriak, “Hajolah kalian delapan orang madju lagi
semua. Kalau tidak berani, kalian adalah anak kura2, haram djadah, anak
andjing!” Sebagai anak tani, dalam gusarnja, ia tidak peduli lagi, semua makian
kotor dikeluarkannja semua.
Karuan Ban tjin-san mengkerut
kening. Katanja kemudian, “Djika begitu, bolehlah kalian madju untuk mentjoba
ilmu pedang Tik-suko.”
Memangnja kata2 sang guru ini
sedang di-tunggu2, tanpa disuruh lagi, segera Loh Kun berdelapan melolos pedang
masing2 dan melompat madju semua hingga Tik Hun terkurung ditengah.
“Bagus!” teriak Tik Hun. “Tadi
malam delapan anak andjing mengerojok aku seorang, sekarang kembali kedelapan
anak andjing lagi....”
“Hun-dji, kau mengotjeh apa?
Kalau bertanding ja bertanding, apa bertanding memaki?” bentak Tiang-hoat.
Gusar Ban Tjin-san djuga tak
terkatakan. Ban Ka diantara kedelapan muridnja itu adalah putra tunggalnja.
Kini Tik Hun memaki kalang kabut anak andjing segala, itu berarti iapun kena
dimaki.
Ia lihat kedelapan muridnja
mengambil kedudukan mengepung, maka bentaknja: “Tik-suheng memandang rendah
pada kita dan berani satu lawan delapan, apakah kita sendiri djuga mesti
memandang rendah dirinja sendiri?”
“Ja, para Sute harap mundur
dulu, biar aku jang beladjar kenal dengan kepandaian Tik-suheng jang tinggi,”
kata Loh Kun, murid jang tertua.
Diantara sesama saudara
perguruan itu, Bok Heng paling pintar berpikir. Ia tahu diantara mereka
berdelapan, bitjara tentang ilmu pedang adalah Sisuheng Sun Kin jang paling
kuat. Semalam ia sudah menjaksikan pertandingan Ban Ka dan Tik Hun, kepandaian
anak desa itu ternjata tidak lemah, apalagi kini dalam keadaan murka, belum
tentu Toasuheng mampu menangkan dia. Maka lebih baik kalau Sun Kin jang madju,
sekali tempur anak desa itu dikalahkan, tentu mulut anak desa itu tidak berani
lagi omong gede.
Maka berkatalah Bok Heng:
“Toasuko adalah pemimpin diantara saudara perguruan kita, buat apa mesti madju
sendiri? Biarkan sadja Sisuko jang memberi hadjaran kepada botjah itu.”
Segera Loh Kun dapat memahami
maksudnja, sahutnja dengan tersenjum: “Baiklah, Sisute, penuhilah tugasmu!”
Berbareng iapun memberi tanda, ketudjuh orang lantas melompat mundur, hanja
ketinggalan Sun Kin jang menghadapi Tik Hun.
Sun Kin itu memang pendiam,
terkadang sehari suntuk tidak bitjara sepatahkatapun, makanja tekun melatih
diri dan ilmu pedangnja terhitung nomor satu diantara para Suhengte. Melihat
dirinja didjagoi oleh para Suhengte, segera iapun angkat pedangnja keatas
sambil membungkuk memberi hormat. Gaja ini disebut “Ban-kok-jang-tjong-tjiu,
Ih-koan-paj-bak-liu”, jaitu satu djurus pembukaan dengan laku sangat hormat
kepada lawan.
Tapi dikala Djik Tiang-hoat
memberi pendjelasan kepada Tik Hun dulu, seperti djuga djurus2 lainnja, djurus pembukaan
inipun telah salah diartikan. Maklum sekolahnja terbatas. Maka sjair jang indah
maknanja itu salah dibatja mendjadi, “Hoan-kak-liang-tjong-tjau,
Ih-koan-pay-ma-liu”, artinja aku adalah pihak jang baik dan engkau adalah orang
busuk, kalau lahirnja aku memberi hormat padamu apa artinja? Aku adalah manusia
dan engkau adalah monjet, manusia menghormat pada monjet, sama seperti
menghormat pada binatang. djadi artinja menjimpang 180 deradjat.
Karuan Tik Hun mendjadi gusar
karena dirinja dianggap sebagai monjet. Segera iapun membungkuk membalas hormat
dengan djurus jang sama sebagai tanda bajar kontan hinaan orang itu. Bahkan
sebelum tubuhnja menegak kembali, terus sadja pedangnja menusuk ke perut lawan.
Para murid Ban tjin-san jang
lain sama mendjerit kegat, namun Sun Kin sempat menangkis djuga, “trang”, kedua
pedang saling bentur dan tangan masing-masing sama-sama kesemutan.
“Lihatlah Suhu, botjah itu
kedji atau tidak?” seru Loh Kun.
Diam2 Ban tjin-san heran djuga
mengapa anak desa itu begitu murka dan bertempur dengan mati2an?
Maka terdengarlah suara
gemerintjing jang riuh. Tik Hun dan Sun Kin saling gebrak dengan tjepat,
setelah belasan djurus, sekali pedang Sun Kin tersampok kesamping, perutnja
mendjadi luang tak terdjaga. Tanpa ajal lagi Tik Hun menusukkan pedangnja
sambil menggertak. Tiba2 Sun Kin tarik pedangnja dan menangkis kebawah,
berbareng tapak tangannja terus menghantam, “plak”, dada Tik Hun tepat kena
digendjot.
Berbareng anak murid Ban
tjin-san jang lain bersorak-sorai, ada jang berteriak2: “Huh, satu lawan satu
sadja tak mampu, masih omong gede hendak melawan delapan orang sekaligus!”
Karena pukulan itu, Tik Hun
terhujung sedikit, tjepat ia tarik pedangnja dan balas menjerang setjepat
kilat, se-konjong2 pedangnja menjendal, “tjrat”, tepat pundak Sun Kin kena
tertusuk. Itulah “Dji-koh-sik” atau gaja menusuk bahu, adjaran sipengemis tua
itu.
Serangan “Dji-koh-sik” itu
datangnja terlalu mendadak sehingga siapapun tidak menduga sebelumnja. Seketika
anak murid Tjin-san jang lain mem-bentak2, Loh Kun dan Tjiu Kin terus melompat
madju berbareng dan mengerubut Tik Hun. Akan tetapi pedang Tik Hun kembali
menusuk pula kekanan dan menikam kekiri, “tjrat - tjrat”, bahu Loh Kun dan Tjiu
Kin berdua djuga tertusuk semua, pedang mereka terdjatuh kelantai.
“Bagus!” teriak Ban Tjin-san
dengan menarik muka.
Dengan menghunus pedangnja,
pelahan2 Ban Ka madju ketengah, ia pandang Tik Hun dengan melotot, se-konjong2
ia membentak dan sekaligus melontarkan tiga tusukan. Namun semuanja dapat
ditangkis Tik Hun dengan baik, tiba2 ia operkan pedang ketangan kiri, tangan
kanan terus membalik dan menampar, “plok”, tepat sekali Ban Ka kena
ditempiling.
Tamparan Tik Hun ini lebih2
tak terduga oleh siapapun. Dalam kagetnja Ban Ka, menjusul Tik Hun sudah ajun
kakinya pula mendjedjak dada lawan. Maka Ban Ka tak tahan lagi, ia djatuh
terduduk.
Tjepat Bok Heng berlari madju
hendak membangunkan sang Suheng. Namun Tik Hun tidak memberi kesempatan
padanja, kontan ia menusuk hingga terpaksa Bok Heng mesti menangkis.
Melihat Tik Hun begitu
perkasa, sedangkan Ban Ka sampai muntah darah dan terduduk dilantai tak sanggup
berdiri lagi. Seketika Go Him, Pang Tan dan Sim Sia bertiga ikut menjerbu
madju. Dalam pada itu demi mendengar suara ribut2 itu, banjak diantara pelajan
keluarga Ban djuga berlari keluar untuk melihat apa jang terjadi.
Djik Tiang-hoat sendiri
mendjadi bingung dan tidak tahu tindakan apa jang harus diambilnja. Sebaliknja
Djik Hong ber-teriak2: “Tia-tia, mereka mengerojok Tik-suko, lekas, lekas
engkau menolong dia!”
Sementara itu terdengarlah
suara “tjrang-tjreng” jang ramai, sinar tadjam berkilauan, ber-batang2 pedang
tampak mentjelat djatuh ketengah pelajan2 jang merubung asjik menonton itu,
karuan keadaan katjau-balau, kawanan pelayan itu berlari kian kemari untuk
menghindar. Hanja sekedjap sadja sendjatanja Bok Heng, Go Him, Pang Tau dan Sim
Sia sudah terlepas dari tjekalan oleh “Gi-kiam-Sik” atau gaja melepaskan
pedang, jang digunakan Tik Hun itu.
“Bagus, bagus!” tiba2 Ban
Tjin-san tepuk tangan sambil tertawa, “Wah, Djik-sute, ternjata engkau sudah
berhasil mejakinkan ‘Soh-sim-kiam-hoat’, Kiong-hi, Kionghi!”
Tiang-hoat tertegun, sahutnja
kemudian: “Soh-sim-kiam apa katamu?”
“Beberapa djurus jang dikeluarkan
Tik-hiantit itu kalau bekan ‘Soh-sim-kiam-hoat’ lantas apa lagi?” kata
Tjin-san. “Kun-dji, Kin-dji, Ka-dji, mundurlah semua. Tik-suheng kalian sudah
diadjarkan ‘Soh-sim-kiam-hoat’ oleh Djik-susiok, mana mampu kalian melawan
dia?” Lalu ia katakan pula kepada Djik Tiang-koat: “Sute, kiranja engkau tjuma
pura2 dungu sadja, tapi sebenarnja maha pintar!”
Dengan tiga djurus jang
dipeladjarinja dari pengemis tua itu, dalam sekedjap sadja Tik Hun sudah
mengalahkan kedelapan lawannja, sudah tentu ia sangat senang. Tapi karena
kemenangannja begitu mudah diperoleh, ia mendjadi bingung malah dan kikuk. Ia
pandang Suhu, pandang sang Sumoay dan lain saat pandang2 lagi kepada sang Supek
dengan melongo.
Tiba2 Djik Tiang-hoat
mendekati Tik Hun, ia ambil pedang dari tangan pemuda itu, mendadak udjung
sendjata itu terus diarahkan ketenggorokan sang murid sambil membentak:
“Beberapa djurus tadi engkau dapat mempeladjari dari siapa?”
Karuan Tik Hun kaget,
sebenarnja ia tidak pernah berdusta, tapi dengan tegas sipengemis tua itu telah
pesan bahwa rahasianja kalau dibotjorkan, tentu akan membahajakan djiwa
pengemis itu. Sebab itu pula dirinja sudah bersumpah tidak akan
membotjorkannja. Maka sahutnya dengan lantjar: “Su.........Suhu, itu adalah
pemi ............. pemikiran Tetju sendiri.”
“Kau dapat mentjiptakan djurus
ilmu pedang sebagus itu?” bentak Tiang-hoat pula. “Kau......... kau berani
omong sembarangan padaku? Pabila kau tidak mengaku, sekali tusuk segera
kuhabiskan njawamu!” berbareng udjung pedang lantas disurung madju sedikit
hingga nantjap beberapa mili kedalam daging leher Tik Hun, seketika darah
merembes keluar.
Tjepat Djik Hong lari madju
untuk menarik tangan sang ajah, serunya: “Tia, sedjengkalpun Suko tidak pernah
berpisah dari kita, darimana dia mendapat adjaran silat orang lain? Beberapa
djurus itu bukankah engkau orang tua yang mengadjarkan padanja?”
“Memangnja buat apa kau masih
berlagak pilon, Sute,” demikian djengek Ban-Tjin-san. “Puterimu sendiri sudah
tjukup djelas mengatakan, apa perlu aku menanja lagi. Marilah, marilah aku
memberi selamat tiga tjawan padamu!” Ia menuang penuh dua tjawan arak, ia
sendiri meneguk habis dulu setjawan, lalu katanja pula, “Nah, Suhengmu ini
sudah mengeringkan tjawan lebih dulu, engkau harus memberi muka padaku.”
Djik Tiang-hoat mendengus
sekali dan membanting pedang kelantai, lalu menerima suguhan tiga tjawan itu.
Ia ter-menung2 ragu2 dan tidak habis mengerti, pikirnja: “Dikala kepepet,
setiap orang memang bisa berlaku nekad dan mendjadi lebih tangkas daripada biasanja.
Tapi Hun-dji tadi bukan lagi kekalapan, tapi djurus2 serangannja itu sangat
indah dan bagus. Aneh, sungguh aneh.”
Ban Tjin-san lantas
berbangkit, katanja: “Djik-sute, ada suatu urusan ingin kurundingkan dengan
engkau. Marilah kita kekamar batja untuk bitjara?”
Tiang-hoat hanja mengangguk
dan ikut berbangkit, lalu kedua saudara seperguruan itu berdjalan kekamar
batja.
Tinggal diruangan itu
kedelapan murid Ban Tjin-san masih melototi Tik Hun, namun Djik Hong lantas
tarik sang Suheng duduk kembali ketempatnja tadi.
“Aku hendak buang air! Wah,
aku sampai ter-kentjing2 oleh kelihayan Tik-suko,” kata Sim Sia tiba2.
“Pat-sute,” bentak Loh Kun,
“apa belum tjukup engkau membikin malu?”
Sim Sia me-melet2 lidah dan
meninggalkan ruangan itu. Tapi ia hanja pura2 menudju kekamar ketjil, lalu ia
memutar keluar kamar batja dengan ber-djengket2. Ia dengar suara gurunja sedang
berkata: “Djik-sute, rahasia jang sudah terpendam selama 20 tahun itu barulah
harini terbongkar.”
“Siaute tidak paham, apa
artinja terbongkar itu?” terdengar Djik Tiang-hoat menjahut.
“Masakah masih perlu
kudjelaskan lagi? Tjoba djawablah, tjara bagaimana Suhu meninggalnja?”
“Suhu kehilangan sedjilid buku
latihan silat, karena di-tjari2 tetap tidak ketemu, beliau mendjadi sedih dan
achirnja meninggal. Hal ini toh kau sendiri tjukup tahu, mengapa tanja
kepadaku?”
“Baik. Lalu tentang kitab jang
hilang itu, apakah namanja?”
“Aku djusteru pernah mendengar
dari Suhu, kitab itu bernama ‘Soh-sim-kiam-boh’.”
“Soh-sim apa segala, aku tidak
paham.”
“Hehehe, haha, hehahaha!”
“Apanja jang menggelikan?”
“Djik-sute, lagakmu benar2
sangat pintar. Sudah terang engkau mahir Soh-sim-kiam itu, tapi kau pura2
dungu”.
“Apakah engkau hendak mengudji
aku?”
“Serahkan sini!”
“Serahkan apa?”
“Kau tahu sendiri, masih pura2
bodoh?”
“Hm, aku Djik Tiang-hoat
djusteru tidak pernah takut padamu.”
Sim Sia mendjadi takut
mendengar pertengkaran sang Suhu dan Susiok itu, tjepat ia berlari kembali
keruangan depan dan membisiki Loh Kun: “Toasuheng, Suhu sedang bertengkar
dengan Susiok, boleh djadi bakal berkelahi.”
Loh Kun terkesiap, ia
berbangkit dan berkata: “Marilah kita tjoba pergi melihatnja!”
Maka ber-bondong2 pergilah
murid2 Ban Tjin-san itu kekamar batja.
“Mari kitapun kesana!” adjak
Djik Hong sambil menarik Tik Hun.
Tik Hun mengangguk. Dan baru
dia berdjalan beberapa tindak, Djik Hong sudah sodorkan sebatang pedang
kepadanja. Waktu menoleh, ia lihat gadis itu membawa pula dia batang pedang.
“Buat apa sampai dua batang?”
tanja Tik Hun.
“Ajah tidak membawa sendjata!”
sahut Djik Hong.
Setiba diluar kamar batja
sana, kedelapan muridnja Ban Tjin-san tampak sedang pasang kuping mengikuti apa
jang terdjadi didalam kamar itu. Djik Hong dan Tik Hun berdiri agar djauh dan
ikut mendengar suara pertengkaran itu.
“Sudah terang sekarang bahwa
djiwa Suhu adalah engkau jang membunuhnja,” demikian Ban Tjin-san sedang
berkata.
“Kentut, kentut busuk!
Darimana kau berani sembarangan menuduh aku?” sahut Djik Tiang-hoat dengan
gusar, suaranja kedengarannja sampai serak.
“Habis, Soh-sim-kiam-boh milik
Suhu itu bukankah ditjuri oleh kau?”
“Aku peduli apa Soh-sim-kiam-boh
segala? Kau bermaksud mempitnah aku ja? Huh, djangan harap!”
“Tapi beberapa djurus jang
dimainkan muridmu itu bukankah Soh-sim-kiam-hoat? Kau masih berani membantah?”
“Bakat pembawaan muridku
memang pintar, itu adalah hasil pemikirannja sendiri, bahkan aku sendiripun
tidak bisa. Masakah itulah Soh-sim-kiam-hoat segala? Kau menjuruh Bok Heng
pergi mengundang aku, katanja engkau sendiri jang sudah berhasil mejakinkan Soh-sim-kiam-hoat,
benar tidak hal ini? Apa perlu panggil Bok Heng untuk didjadikan saksi?”
Maka berpalinglah semua orang
diluar kamar itu kearah Bok Heng, wadjah pemuda itu tampak merengut, terang apa
jang dikatakan Djik Tiang-hoat itu memang tidak salah. Tik Hun pun saling
pandang sekedjap dengan Djik Hong dan meng-angguk2, pikirnja: “Apa jang
dikatakan Bok Heng tempo hari akupun ikut mendengar, tidak mungkin ia bisa
menjangkal.”
Maka terdengar Ban Tjin-san
telah mendjawab dengan ter-bahak2: “Sudah tentu aku jang suruh Bok Heng
menjampaikan kata2 itu kepadamu. Kalau tidak demikian, masakah aku dapat
memantjing engkau kesini. Djik Tiang-hoat, ingin kutanja padamu, kau bilang
tidak pernah mendengar nama ‘Soh-sim-kiam’ segala, tapi mengapa waktu Bok Heng
mengatakan aku sudah berhasil mejakinkan ilmu pedang itu, buru2 engkau lantas
datang kemari? Nah, apa kau masih berani mungkir?”
“Aha, djadi kau sengadja
memantjing aku disini?”
“Benar, maka lekas kau
serahkan Kiam-boh dan mendjura pula kekuburannja Suhu untuk minta maaf.”
“Kenapa mesti diserahkan
padamu?”
“Hm, aku Toasuhengmu atau
bukan!”
Keadaan sunji sedjenak didalam
kamar itu, kemudian terdengar suara Djik Tiang-hoat berkata: “Baik, kuserahkan
padamu.”
Mendengar itu, semua orang
jang mengintip diluar kamar itu tergetar. Tik Hun dan Djik Hong malu sekali.
Loh Kun berdelapan melirik hina pula kearah mereka. Sungguh gemas dan penasaran
sekali Djik Hong, sama sekali tak terpikir olehnja bahwa sang ajah terima
menjerah setjara begitu memalukan.
Tapi mendadak terdengarlah
suara djeritan ngeri sekali, itulah suaranja Ban Tjin-san.
“Ajah!” teriak Ban Ka, tjepat
iapun dobrak pintu kamar dan berlari kedalam. Maka tertampaklah diatas dada Ban
Tjin-san tertantjap sebilah belati jang mengkilap, dan orangnja menggeletak
bermandikan darah. Djendela kamar tampak terpentang, namun bajangan Djik
Tiang-hoat sudah tidak kelihatan.
“Tia, Tia!” seru Ban Ka dengan
menangis sambil menubruk kesamping tubuh sang ajah.
Denagn pelahan Djik Hong pun
memanggil: “Tia, Tia!” Sebaliknja Loh Kun terus berseru: “Lekas, lekas tangkap
pembunuh!”
Be-ramai2 para murid Ban
Tjin-san lantas mengudak keluar sambil ber-teriak2 hendak menangkap pembunuh.
Tik Hun sendiri bingung djuga
oleh kedjadian itu. Ia lihat tubuh Djik Hong agak sempojongan, lekas2
dipajangnja. Waktu menunduk, tertampak wadjah Ban Tjin-san sangat beringas
menakutkan, mungkin sebelum adjalnja telah menderita kesakitan sekali. Tik Hun
tidak berani memandang lagi, ia mengadjak pelahan: “Marilah kita pergi sadja,
Sumoay!”
Tapi belum lagi Djik Hong
mendjawab, tiba2 suara orang telah berkata dibelakang mereka: “Kalian adalah
komplotan pembunuh guruku, djangan tjoba lari!”
Waktu Tik Hun menoleh, ia
lihat udjung pedang Bok Heng sudah mengantjam di belakang punggungnja Djik Hong.
Tik Hun mendjadi gusar dan hendak mendjawab dengan kata2 lebih pedas, tapi demi
mengingat gurunja memang njata telah membunuh Suheng sendiri, perbuatan durhaka
seperti itu benar2 sangat rendah dan djahat, maka ia tidak berani buka suara
lagi dan menunduk.
“Kalian lekas berdiam didalam
kamar sadja dan djanga tjoba melarikan diri, nanti kalau kami sudah dapat
menangkap Djik Tiang-hoat, sekalian akan kami adukan pada pembesar negeri,”
kata Bok Heng.
“Urusan ini adalah gara2ku,
biarlah aku jang bertanggung djawab, hendak dikorek atau disembelih, boleh
silahkan, tapi djangan mengganggu Sumoayku jang tak berdosa,” sahut Tik Hun.
“Tak perlu banjak bitjara,
lekas djalan!” bentak Bok Heng sambil mendorongnja.
Tik Hun dengar diluar sana
masih ribut dengan suara teriakan2 menangkap pembunuh, menjusul didjalan kota
sana djuga riuh ramai dengan suara gembreng. Malu dan sesal rasa hati Tik Hun,
dengan menahan perasaannja itu segera iapun melangkah kekamarnja sendiri.
“Suko, lan......lantas
bagaimana baiknja ini?” seru Djik Hong dengan menangis menjaksikan sang Suheng
digiring pergi.
“Aku.......aku tidak tahu,”
sahut Tik Hun tergagap. “Biarlah aku jang menanggung dosanja Suhu.”
“Tiatia!” seru Djik Hong pula.
“Ke......kemanakah beliau telah pergi?”
***
Seorang diri Tik Hun duduk
termenung didalam kamarnja, waktu itu sudah dua-tiga djam sesudah terdjadi
pembunuhan Ban Tjin-san. Sambil memandang api lilin diatas medjanja, pikiran
Tik Hun sangat kusut. Diatas medja situ masih terdapat sisa setengah botol
arak, walaupun tidak biasa, namun ia terus meneguk setjawan demi setjawan
hingga kepalanja serasa pujeng se-akan2 petjah.
Sementara itu suara2 ribut
diluar sudah sirap, tapi telinga Tik Hun masih mengngiang2 kata2 orang banjak:
“Pembunuh sudah menghilang, biarlah besok kita kedjar ke Oulam, betapapun kita
harus menangkapnja untuk membalas sakit hati Suhu.” “Ja, biarpun dia lari
keudjung langit djuga akan kita tangkap kembali untuk ditjintjang!” “Besok
djuga kita lantas undang tokoh2 Bu-lim untuk dimintai keadilan dan pembunuh
pengetjut itu harus diuber sampai ketemu.” “Benar, mari kita bunuh dulu kedua
andjing ketjil puteri dan muridnja itu untuk dibuat sesadjen arwah Suhu.”
“Sabarlah, biar besok Koamthayya (tuan besar Bupati) memeriksa majat dulu!”
Begitulah Tik Hun terus
tenggelam dalam lamunannja. Ia pikir sang Sumoay dapat disuruh melarikan diri
sadja, tapi seorang gadis, kalau terluntang-lantung dikangouw, kemana dia harus
meneduh? Pikirnja pula: “Biarlah kubawa lari dia! Ah, tidak, tidak! Awal
perkara ini adalah gara2ku, kalau aku tidak berkelahi dengan para Suheng dari
keluarga Ban, masakah Supek bisa mentjurigai Suhu telah mentjuri
‘Soh-sim-kiam-boh’ segala? Padahal Suhu adalah seorang paling djudjur, tidak
mungkin beliau sudi mentjuri. Jang benar ketiga djurus itu adalah adjaran
sipengemis padaku. Tapi Suhu sudah kadung membunuh orang, kalau kukatakan
sekarang, tentu djuga tiada jang mau pertjaja. Ja, memang aku jang salah,
dosaku terlalu besar, besok aku harus menerangkan duduknja perkara dihadapan
orang banjak untuk mentjutji kesalahan Suhu. Akan tetapi, toh sudah terang Suhu
jang membunuh Ban-supek, apakah dapat dosanja ditjutji bersih? Tidak, aku tak
boleh melarikan diri, aku harus tinggal disini untuk memikul dosa Suhu, biar
mereka menghadjar dan membunuh aku sadja!”
Begitulah sedang Tik Hun
dibuai oleh pikiran2 jang ruwet itu, tiba2 terdengar suara keletak sekali
diatas atap rumah. Waktu Tik Hun mendongak, ia lihat sesosok bajang melajang
lewat dari rumah kanan sana kerumah sebelah kiri. Hampir2 ia berseru memanggil
“Suhu”, tapi demi diperhatikan, ia lihat perawakan orang itu tinggi dan kurus,
terang bukan gurunja. Menjusul mana kembali suatu bajangan orang melompat lewat
lagi, malahan sekali itu tampak djelas orang itu menghunus golok.
“Apakah mereka sedang mentjari
Suhu? Mungkinkah Suhu masih berada disekitar sini dan belum lari pergi?”
demikian Tik Hun men-duga2.
Tengah Tik Hun bersangsi,
tiba2 didengarnja suara djeritan kaum wanita dari rumah sebelah kiri sana. Ia
terkedjut, tanpa pikir lagi ia samber pedangnja terus melompat keluar. Jang
terpikir olehnja jalah: “Mereka sedang menganiaja Sumoay?”
Dalam pada itu terdengar pula
djeritan seorang wanita sedang minta tolong! Suara itu seperti bukan suaranja
Djik Hong, tapi Tik Hun terlalu menguatirkan keselamatan sang Sumoay, ia tidak
sempat mem-beda2kan apakah itu suaranja Djik Hong atau bukan, sekali lompat, ia
berdiri tegak diemper rumah, sementara itu suara minta tolong terdengar lagi.
Hlm. 43: Gambar:
“Serahkan njawamu, bangsat!”
bentak Tik Hun sambil melompat masuk kedalam kamar dan menerdjang kedua
badjingan itu.
Segera Tik Hun melompat kearah
datangnja suara, ia lihat diatas loteng gedung itu ada sinar pelita, daun
djendela kamar tampak terbuka. Tjepat ia melajang kepinggir djendela dan
melongok kedalam kamar. Kebetulan ia melihat seorang wanita dalam keadaan
terikat sedang ditelentangkan diatas randjang, dua laki2 jang punggungnja
menggemblok golok sedang hendak berbuat tidak senonoh. Tik Hun tidak kenal
siapakah wanita itu, tapi terang wanita itu sangat ketakutan, wadjahnja putjat
dan sedang me-ronta2 diatas randjang sambil ber-teriak2 minta tolong.
Tik Hun berdjiwa kesatria,
meski ia sendiri dalam kesulitan, tapi melihat keselamatan orang lain
terantjam, ia tidak dapat tinggal diam. Terus sadja ia melompat masuk kedalam
kamar, kontan pedangnja menusuk salah seorang laki2 itu.
Namun laki2 itu jtukup gesit,
tjepat ia berkelit, menjusul ia samber sebuah kursi disampingnja untuk
menangkis. Disebelah sana laki2 jang lain sudah lantas lolos sendjata terus
membatjok.
Tik Hun melihat kedua laki2
itu memakai kedok kain hitam, hanja sepasang mata mereka jang kelihatan. Segera
ia membentak: “Bangsat, serahkan djiwamu!” ~ Berbareng ia menusuk pula tiga
kali be-runtun2.
Tanpa bersuara kedua laki2 itu
menangkis dan balas menjerang. Tiba2 satu diantaranja berseru: “Lu-hiati, mari
pergi!”
“Ja, anggap keparat Ban
Tjin-san itu masih untung, lain kali kita datang lagi menuntut balas,” sahut
laki2 jang lain. Berbareng goloknja lantas membatjok pula keatas
kepala Tik Hun.
Karena serangan itu tjukup
ganas, terpaksa Tik Hun mengegos, kesempatan itu telah digunakan oleh laki2
jang satunja untuk mendepak medja hingga tatakan lilin diatas medja itu djatuh
kelantai dan sirap, seketika kamar itu mendjadi gelap gelita. Menjusul mana
kedua laki2 itu lantas melesat keluar melalui djendela, saat lain terdengarlah
suara gemertakan, beberapa potong genting telah ditimpukan kedalam kamar.
Dalam kegelapan Tik Hun kurang
tjeli, pula ilmu Ginkang bukan mendjadi kemahirannja, maka iapun tidak berani
mengedjar. Ia pikir salah seorang tadi she Lu, tentu adalah begundalnja Lu
Thong jang hendak membalas dendam, tapi mereka tidak tahu kalau Ban-supek sudah
tewas.
Pada saat itu, tiba2 wanita
diatas randjang itu mendjerit lagi: “Aduh, sakitnja, matilah aku, dadaku
tertantjap belati!”
Tik Hun terkedjut, tjepat
tanjanja: “He, apa kau telah ditikam maling itu?”
“Aduh, kena! Dadaku kena!”
rintih wanita itu.
“Biar kunjalakan lilin untuk
memeriksa lukamu,” udjar Tik Hun.
“O.......tolong! Tolonglah
aku, lekas!” rintih pula siwanita.
Mendengar suara orang sangat
menderita, segera Tik Hun mendekatinja.
Diluar dugaan, mendadak wanita
itu terus merangkul erat2 tubuhnja Tik Hun sambil ber-teriak2: “Tolong, tolong!
Ada maling! Tolong!”
Sungguh kedjut Tik Hun tak
terkira. Sudah terang tadi ia melihat wanita itu terikat kaki-tangannja,
mengapa sekarang dapat menjikapnja? Lekas2 ia hendak mendorong pergi orang,
siapa tahu tenaga wanita itu ternjata tidak lemah, bahkan menjikap lebih
kentjang hingga seketika Tik Hun susah melepaskan diri.
Tiba2 keadaan mendjadi terang,
dari luar djendela menjelonong masuk dua obor hingga kamar itu
terang-benderang. Berbareng suara beberapa orang sedang menanja: “Ada apa? Ada
apa?”
“Tolong! Ada Djay-hoa-tjat
(maling tjabul)! Tolong!” masih wanita itu ber-teriak2.
Tik Hun mendjadi gusar,
serunja: “Ken.......kenapa kau sembarangan omong!” ~ berbareng iapun
men-dorong2 hendak melepaskan diri.
Kalau tadi wanita itu menjikap
kentjang2 pinggangnja Tik Hun, adalah sekarang ia malah menolak dorongan Tik
Hun itu sambil berseru: “Djangan pegang2, djangan pegang2 aku!”
Dan selagi Tik Hun hendak
berlari menjingkir, “njes” tahu2 tengkuknja terasa dingin, sebatang pedang
telah mengantjam lehernja. Dan sedang Tik Hun hendak membela diri, se-konjong2
sinar putih berkelebat, ia merasa tangan kanan kesakitan, “trang” pedangnja
sudah djatuh kelantai. Waktu ia memandang kebawah, hampir2 ia djatuh kelengar.
Ternjata kelima djari tangan kanannja telah dipapas orang hingga habis, darah
memantjur keluar bagai mata air.
Waktu Tik Hun melirik, ia
lihat Go Him berdiri disampingnja sambil menghunus pedang jang bernoda darah.
“Kau!” hanja ini sadja tertjetus dari mulutnja Tik Hun, berbareng kakinja terus
mendepak.
Tapi mendadak punggungnja
terasa digebuk orang sekali hingga ia ter-hujung2 dan djatuh menindih diatas
badan wanita tadi. Kembali wanita itu ber-teriak2 pula: “Aduh! Tolong! Tolong!
Ada maling!”
“Ringkus bangsat ketjil ini!”
terdengar Loh Kun berkata.
Tik Hun sudah nekad dan akan
mengadu djiwa dengan mereka. Meski dia tjuma seorang anak desa jang tidak
berpengalaman, tapi kini iapun insjaf dirinja telah terdjebak oleh tipu
muslihat orang. Maka begitu melompat bangun, terus sadja Loh Kun hendak dirangsangnja.
Tapi sekilas dilihatnja satu wadjah jang tjantik dan putjat. Itulah Djik Hong.
Tik Hun tertegun, ia lihat
mimik wadjah Djik Hong penuh mengundjuk rasa duka, marah, dan hina pula.
“Sumoay!” serunja.
Muka Djik Hong merah padam,
sahutnja: “Ken........kenapa kau berbuat begini?”
Meski rasa Tik Hun penuh
penasaran, namun dalam saat demikian ia mendjadi tidak sanggup buka suara.
Maka menangislah Djik Hong,
katanja pula sambil terguguk sedih: “O, le........ lebih baik aku mati sadja!”
~ Dan demi nampak kelima djari tangan Tik Hun terkutung, ia ikut sedih. Tanpa
pikir ia robek udjung badjunja dan mendekati sang Suheng untuk membalut
lukanja.
Saking kesakitan, beberapa
kali hampir2 Tik Hun pingsan, namun ia bertahan sekuat-kuatnja sambil mengertak
gigi hingga bibir sendiri tergigit petjah.
“Siausunio (ibu guru ketjil),
bangsat ini berani berbuat kurang adjar padamu, tentu kami akan tjintjang dia,”
demikian kata Loh Kun kemudian.
Kiranja wanita itu adalah
gundiknja Ban Tjin-san, namanja si Mirah. Dengan aksi ia menutupi mukanja
sendiri sambil menangis pula: “O, matjam2 budjukan jang dia katakan padaku. Ia
bilang gurumu su........sudah mati dan suruh aku mengikut dia. Ia bilang
ajahnja nona Djik telah membunuh orang hingga dia ikut tersangkut urusan. Ia mengatakan
telah banjak mengumpulkan harta benda, sudah kaja-raja mendadak, aku diadjak
ikut minggat........”
Dalam keadaan bingung Tik Hun
tidak sanggup lagi membela diri, ia tjuma bisa menggumam: “Bohong, bohong!”
“Hajo pergi menggeledah kamar
bangsat ketjil ini!” teriak Tjiu Kin.
Maka be-ramai2 Tik Hun lantas
digusur kekamarnja. Dengan bingung Djik Hong ikut djuga dari belakang.
Sebaliknja Ban Ka lantas berkata: “Kalian djangan bikin susah Tik-suko, belum
terang perkaranja, djangan sampai mempitenah orang baik2.”
“Huh, masakah perkaranja masih
kurang djelas?” udjar Tjiu Kin dengan gusar.
“Apakah tadi engkau tidak
mendengar dan menjaksikan sendiri?” kata Tjiu Kin.
“Ja, tapi boleh djadi karena
dia terlalu banjak minum, dalam keadaan mabuk mendjadi silap,” sahut Ban Ka.
Datangnja kedjadian2 itu
sangat tjepat hingga Djik Hong sudah tidak bisa berpikir pula. Diam2 ia sangat
berterima kasih mendengar Ban Ka membela Tik Hun. Dengan pelahan iapun berkata
padanja: “Ban-suko, memang Tik-suheng bukanlah orang sematjam itu.”
“Ja, makanja aku kira dia
terlalu banjak minum, soal mentjuri tentu tak nanti diperbuatnja,” sahut Ban
Ka.
Tengah bitjara, Tik Hun sudah
digusur kedalam kamarnja. Sepasang mata Sim Sia berdjelilatan kian kemari,
tiba2 ia mendekati tempat tidur, ia tarik keluar satu bungkusan jang antap dan
bersuara gemerintjingnja logam.
Karuan Tik Hun bertambah
kaget, ia lihat Sim Sia membuka bungkusan itu dan menuang keluar isinja.
Ternjata semuanja adalah perkakas2 rumah tangga dari emas dan perak.
Kembali Djik Hong mendjerit
sambil memegangi medja. Segera Ban Ka menghiburnja: “Djangan kuatir,
Djik-sumoay, pelahan2 kita mentjari daja lain.”
Menjusul Pang Tan menjingkap
kasur dan tertampak pula dua bungkusan lain, waktu dibuka, isinja adalah emas
intan dan perhiasan permata.
Kini Djik Hong tidak ragu2
lagi, menjesalnja tidak kepalang, sungguh kalau bisa ia ingin membunuh diri
sadja. Sedjak ketjil ia dibesarkan bersama Tik Hun, dalam pandangannja pemuda
itu adalah tjalon suaminja kelak. Siapa duga kekasih jang sangat dihormat dan
ditjintainja itu dikala dirinja sedang dirundung malang lantas akan minggat
bersama wanita lain. Apa benar2 wanita jang genit ini telah berhasil
menggodanja atau dia kuatir tersangkut perkaranja ajah, maka ingin melarikan
diri? Demikian pikirnja.
Dalam pada itu Loh Kun telah
memaki: “Bangsat, bukti2 sudah njata, apakah kau masih berani menjangkal?” ~
Berbareng itu, “plak-plok”, kontan ia tempilling Tik Hun dua kali.
Karena kedua tangannja
dipegangi Sun Kin dan Go Him, Tik Hun tidak dapat menangkis, karuan pipinja
terus merah abuh. Bahkan Loh Kun belum puas, kembali ia djotos sekali pula
didadanja Tik Hun.
“Djangan, djangan memukulnja!
Ada apa bisa dibitjarakan setjara baik2,” seru Djik Hong melerai.
“Mampuskan dulu bangsat ketjil
ini baru diseret kepengadilan negeri,” seru Tjiu Kin. Berbareng iapun
menghantam sekali.
Tak tahan lagi Tik Hun
menjemburkan darah.
Segera Pang Tan pun madju
dengan pedang terhunus, katanja:
“Potong sekalian tangan
kirinja, biar dia buntung!”
Terus sadja Sun Kin angkat
lengan kiri Tik Hun dan Pang Tan ajun pedangnja hendak menabas. Saking
kuatirnja sampai Djik Hong mendjerit sekali. Maka berkatalah Ban Ka: “Sudahlah,
djangan bikin susah dia lagi, biar kita serahkan dia kepada jang berwadjib
sadja.”
Melihat Pang Tan sudah menarik
kembali pedangnja, barulah Djik Hong merasa lega, dengan air mata ber-linang2
ia pandang sekedjap kepada Ban Ka dengan penuh rasa terima kasih.
***
Sudah tentu didepan pembesar
negeri djuga Tik Hun takbisa memberi pengakuan jang memuaskan. Sama sekali tak
tersangka olehnja bahwa sang Sumoay jang ditjintainja itupun pertjaja dirinja
mendjadi maling dan bermaksud membawa minggat perempuan lain..............
“Satu, dua, tiga,
empat............” begitulah rangketan petugas jang menghudjani bebokong Tik
Hun. Walaupun rangketan itu sangat keras, namun kalau dibandingkan hatinja jang
sakit waktu itu, rangketan itu boleh dikata tiada artinja, bahkan rasa sakit
luka tangan kanannjapun takada artinja lagi.
“........sepuluh........limabelas............duapuluh.........”
demikian Tik Hun terus dihudjani rangketan hingga kulit dagingnja melotjot
sampai achirnja iapun tak sadarkan diri.
Ketika Tik Hun siuman didalam
pendjara, ia merasa kepalanja sangat berat, ia tidak tahu dimana dirinja berada
saat itu dan sudah lewat berapa lamanja. Pelahan2 ia merasakan kesakitan luka
djari tangannja itu, kemudian merasakan gigir, paha dan bokong djuga kesakitan
sekali. Ia ingin membalik tubuh supaja tempat jang kesakitan itu tidak
tertindih dibawah, tapi mendadak pundaknja djuga kesakitan luar biasa, kembali
ia djatuh pingsan.
Ketika untuk kedua kalinja ia
siuman, pertama jang terdengar olehnja adalah suara rintihannja sendiri,
menjusul terasalah kesakitan diantero tubuhnja. Ia tidak tahu mengapa pundaknja
sedemikian sakitnja? Apakah disebabkan kedua pundaknja djuga dipapas orang?
Sungguh ia tidak berani memandang lagi.
Mendadak ia mendengar suara
gemerintjingnja benturan besi, waktu ia menunduk, ia lihat ada dua utas rantai
mendjulur turun dari pundaknja sendiri. Karuan ia kaget dan takut. Ketika ia
melirik kepundak, seketika gemetarlah tubuhnja. Dan karena gemetar, pundaknja
mendjadi lebih kesakitan lagi.
Kiranja kedua rantai itu telah
menerobos “Pi-pe-kut” (tulang pundak) dipundaknja dan udjungnja digembok
bersatu dengan rantai belenggu kaki dan tangannja.
Bahwa tulang pundak dilubangi,
ia pernah mendengar tjerita gurunja, tjara itu katanja tjuma dilakukan oleh
pembesar negeri terhadap pendjahat kaliber besar. Sekali Pi-pe-kut ditembus,
sekalipun kepandaianmu setinggi langit djuga tak berguna lagi. Sesaat itu
timbul matjam2 pertanjaan dalam benaknja Tik Hun. “Kenapa aku diperlakukan
begini? Aku terpitenah, apa pembesar negeri tak tahu?”
Ketika diperiksa Tikoan
(Bupati), pernah djuga ia menuturkan apa jang terdjadi sebenarnja. Akan tetapi
ia kalah bukti dan saksi. Si Mirah, itu gundiknja Ban Tjin-san tegas2 menuduh
dia bermaksud memperkosanja. Kedelapan muridnja Ban Tjin-san djuga
menjatakan menemukan bukti2
harta tjuriannja dikamarnja Tik Hun. Opas2 kota Hengtjiu djuga mengatakan tidak
mungkin ada pendjahat jang berani menggerajangi keluarga Ban jang disegani itu.
Tik Hun masih ingat wadjah
Tikoan itu tjukup welas-asih tampaknja, usianja kira2 setengah umur. Ia jakin
tuan besar Tikoan itu tj0uma sementara ini pertjaja pada aduan orang tapi
achirnja pasti dapat menjelidiki duduk perkara jang sebenarnja. Akan tetapi
kelima djari tangannja telah dipapas orang, kelak mana dapat menggunakan pedang
lagi?
Begitulah dengan penuh rasa
gusar, sesal dan sedih, tanpa hiraukan rasa sakit ia terus berbangkit dan
ber-teriak2: “Penasaran! Penasaran!” ~ Tapi mendadak kakinja terasa lemas, ia
terbanting djatuh lagi.
Watak Tik Hun memang sangat
keras kepala, segera ia meronta hendak bangun pula. Tapi baru sadja berdiri,
kembali kakinja lemas, lagi2 ia roboh telungkup. Namun sambil me-rangkak2 ia
masih ber-teriak2: “Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah!”
“Hehe, otot tulangmu telah
dirusak orang, kepandaianmu telah punah semua, hehe, modal jang kau tanam ini
sungguh tidak ketjil!” demikian tiba2 suara seorang berkata dengan dingin
dipodjok kamar pendjara itu.
Namun Tik Hun tidak gubris
pada siapa jang berbitjara itu dan apa artinja kata2 itu, ia masih terus
berteriak: “Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah!”
Mendengar suara ribut itu,
seorang sipir bui mendatanginja dan membentak: “Ada apa kau gembar-gembor,
lekas tutup batjotmu!”
Tapi teriakan Tik Hun semakin
keras: “Aku tidak bersalah!”
“Kau tutup mulut tidak?”
bentak sipir bui itu dengan gusar.
Namun Tik Hun berteriak
terlebih keras lagi. Sipir bui itu menjengir edjek sekali, ia putar pergi dan
datang pula dengan membawa seember air. Dari luar rudji kamar bui itu, terus
sadja ia siramkan air itu kebadan Tik Hun.
Seketika Tik Hun mengendus bau
pesing, hendak menghindar sudah tak keburu lagi, karuan seluruh tubuhnja basah
kujup. Kiranja air jang disiramkan sipir bui itu adalah air kentjing.
Air kentjing mengandung kadar
garam, maka rasa sakit luka2 Tik Hun itu bertambah perih oleh karena tersiram
air kentjing jang asin itu. Matanja mendjadi ber-kunang2 dan gelap, kembali ia
pingsan lagi.
Tik Hun tak tahan lagi oleh
siksaan itu, ia djatuh sakit panas, dalam keadaan tak sadar ia selalu mengigau
memanggil Suhu dan Sumoay. Ber-turut2 tiga hari ia sama sekali tidak makan nasi
jang dihantarkan sipir bui.
Sampai hari keempat, panas
badannja sudah mulai hilang. Luka2nja djuga sudah mulai kaku hingga tidak
terlalu sakit seperti tempo hari. Dan begitu ingat pada penasarannja, kembali
ia berteriak: “Aku tidak bersalah!” ~ Tapi suaranja sekarang sudah terlalu
lemah, ia tjuma bisa me-rintih2 sadja.
Setelah duduk sebentar dan
agak tenang, ia tjoba memeriksa keadaan kamar bui jang terbuat dari batu itu,
luasnja kira2 tiga meter persegi, lantainja batu, dindingnja djuga batu.
Dipodjok sana terdapat sebuah tong kotoran, bau jang tertjium olehnja adalah
bau apek dan batjin melulu. Waktu ia berpaling, ia lihat diudjung sana ada sepasang
mata jang bengis sedang melotot kepadanja.
Ia terkedjut. Tak tersangka
olehnja didalam bui itu masih ada seorang lain lagi. Ia lihat orang itu penuh
berewok, rambutnja pandjang terurai sampai diatas pundak, badjunja
tjompang-tjamping tak keruan hingga lebih mirip orang hutan. Ada djuga
persamaannja dengan dirinja, jaitu kaki-tangan orang itupun diborgol, bahkan
Pi-pe-kut dipundaknja djuga ditembusi dua utas rantai.
Melihat itu, perasaan jang
per-tama2 timbul padanja adalah senang, sebab didunia ini ternjata masih ada
seorang lagi jang tidaak beruntung dan senasib seperti dirinja. Tapi lantas
pikirnja pula: “Orang ini begini bengis, tentu seorang pendjahat kaliber besar.
Ia dihukum karena setimpal dengan dosanja, tapi aku dihukum tanpa salah.
Takdapat aku dipersamakan dia.” ~ Berpikir sampai disini, tanpa merasa air
matanja terus bertjutjuran.
Waktu ia dirangket dan
dipendjarakan, meski sudah banjak derita jang dirasakan, tapi selama itu ia
mengertak gigi bertahan sebisanja dan tidak pernah meneteskan air mata. Tapi
kini mendadak menangis, ia mendjadi tak tahan lagi, achirnja ia menangis
ter-gerung2 dengan keras.
“Hm, permainanmu sungguh hidup
benar, pandai sekali kau! Apa engkau bekas pemain sandiwara, ja?” edjek
sihukuman berewok itu.
Namun Tik Hun tidak
menggubrisnja, ia tetap menangis se-keras2nja. Maka terdengarlah suara sipir
bui itu mendatangi lagi dengan membawa seember air ketjing pula. Melihat itu,
betapa pun Tik Hun kepala batu djuga sudah kapok, kuatir kalau disiram air kentjing
lagi, terpaksa ia berhentikan tangisannja.
Tiba2 sipir itu
mengamat-amatinja sedjenak, lalu katanja: “Badjingan tjilik, itulah ada orang
datang mendjenguk kau!”
Girang tertjampur kedjut Tik
Hun, tjepat tanjanja: “Sia..........siapa?”
Sipir itu memandangnja
sedjenak pula, lalu mengeluarkan kuntji untuk membuka gembok pintu. Kemudian
iapun keluar untuk membuka pintu besi diudjung lorong sana, ketika pintu besi
diluar itu dikuntji lagi, maka terdengarlah suara tindakan tiga orang
mendatangi. Saking girangnja Tik Hun terus melompat bangun, tapi kakinja masih
lemas, ia terguling pula, terpaksa bersandar didinding sambil memandang keluar.
Karena bergeraknja itu, pundaknja mendjadi sangat kesakitan, tapi untuk
sementara sudah dilupakan olehnja, sebab dia jakin orang jang datang itu tentu
Suhu dan Sumoaynja.
Mendadak seruan “Suhu” jang
diutjapkan separoh itu ditelannja kembali hingga mulutnja masih ternganga.
Ternjata ketiga orang jang datang itu per-tama2 memang betul sipir bui itu,
orang kedua djuga benar adalah sang Sumoay, Djik Hong, tapi orang ketiga
ternjata seorang pemuda ganteng berdandan perlente, itulah Ban Ka adanja.
“Suko, Suko!” seru Djik Hong
segera sambil menubruk kepinggir langkan besi.
Tik Hun mendekatinja, ia lihat
pakaian gadis itu terdiri dari bahan sutera, terang bukan lagi badju baru jang
dipakainja dari desa itu. Karena itu ia melangkah mundur lagi. Ia lihat kedua
mata sigadis merah bendul dan masih berseru: “Suko, Suko, kau.........
kau...........”
“Dimana Suhu?” sela Tik Hun.
“Apakah beliau sudah diketemukan?”
Djik Hong menggeleng kepala
dan air matanja ber-linang2 tanpa mendjawab.
“Baikkah engkau? Tinggal
dimana kau?” tanja Tik Hun pula.
“Aku tidak punja tempat
meneduh, maka sementara tinggal di rumah Ban-suko........”
“Tempat itu adalah tempat
tjelaka, djangan engkau tinggal disana, le........lekas pindah keluar!” seru
Tik Hun.
Djik Hong menunduk, sahutnja
dengan pelahan: “Tapi ke.......kemana aku harus pergi? Aku tidak punja uang
pula. Ban-suko djuga sang.........sangat baik padaku. Selama beberapa harini ia
selalu..........selalu mendatangi kantor kabupaten, ia sudah banjak
mengeluarkan uangnja untuk meno........menolong engkau.”
Tik Hun semakin gusar,
teriaknja: “Aku toh tidak bersalah, perlu apa dia membuang uang? Dan tjara
bagaimana kita harus membajar kembali padanja kelak? Nanti kalau Tikoan Tayloya
sudah terang menjelidiki perkaraku, tentu aku akan dibebaskan.”
“O, ken.......kenapa engkau
berbuat begitu? Mengapa hen........hendak meninggalkan aku?” demikian tiba-tiba
Djik Hong menangis pula setengah meratap.
Tik Hun tertjengang sedjenak,
tapi segera iapun paham. Ternjata sampai sekarang sang Sumoay masih pertjaja
dia telah perlip-perlipan dengan wanita lain serta mentjuri harta milik orang.
Sesaat itu rasa sakit hatinja itu djauh lebih menderita daripada sakit segala
siksaan badan. Rasanja be-ribu2 kata hendak didjelaskannja kepada Djik Hong,
tapi toh seketjappun tak sanggup diutjapkannja se-akan2 mulutnja sudah tak
berkuasa lagi.
Melihat sikap Tik Hun jang
luar biasa itu, Djik Hong mendjadi takut, ia berpaling tidak berani
memandangnja lagi.
Melihat sang Sumoay mendadak
melengos, sungguh hantjur luluh hati Tik Hun. Ia sangka sigadis sudah
sedemikian bentji dan dendam padanja karena ia telah main serong dengan wanita
lain dan mentjuri milik orang. “O, Sumoay, djika engkau sudah tidak
mempertjajai diriku lagi, kenapa engkau datang pula mendjenguk aku?” demikian
keluhnja dalam hati. Maka ia tidak berani pandang sigadis pula, pelahan2 iapun
berputar menghadap dinding.
Djik Hong menoleh pula,
katanja: “Suko, apa jang sudah lalu, tak perlu kita bitjarakan lagi sekarang,
jang kuharap semoga selekasnja dapat memperoleh beritanja ajah. Ban-suko djuga
.....djuga akan berdaja untuk mendjamin kau keluar........”\Sebenarnja hati Tik
Hun ingin mengatakan tidak sudi didjamin dan ingin bilang engkau djangan
tinggal dirumahnja, tapi meski mulutnja sudah terpentang, rasanja toh sangat
berat mengeluarkan suara. Saking terguntjang perasaannja hingga badannja
gemetar, rantai belenggunja ikut bersuara gemerintjing.
“Temponja sudah habis, lekas”
desak sipir bui. “Disini adalah pendjara kusus untuk hukuman berat, sebenarnja
dilarang orang mendjenguk, kalau diketahui atasan, tentu kami tjelaka. Nona,
meski orang ini dapat keluar dengan hidup djuga bakal mendjadi tjatjad, maka
lebih baik engkau melupakan dia sadja dan kawinlah dengan seorang pemuda jang
ganteng lagi kaja!” ~ Habis berkata, ia pandang Ban Ka sekedjap dengan senjum
berarti.
“Toasiok sebentar lagi,” mohon
Djik Hong. Lalu ia ulurkan tangannja untuk menarik badju Tik Hun, katanja pula:
“Suko, djanganlah kau kuatir, aku pasti minta Ban-suko menolong keluar kau,
lalu kita bersama akan pergi mentjari ajah.” ~ Ia angsurkan sebuah kerandjang
ketjil kedalam kamar dan katanja: “Didalam kerandjang ada sedikit Siobak, ikan
pindang, telur ajam dan ada lagi dua tahil uang perak. Suko.........”
Sipir bui sudah tidak sabar
lagi, bentaknja: “Nona, djangan omong terus, aku takbisa menunggu lagi!”
Dan baru sekarang Ban Ka ikut
buka suara: “Tik-suheng, djagalah dirimu baik2, perkaramu adalah perkaraku.
Siaute pasti akan berusaha sebisanja untuk minta keringanan pada Koanthayya dan
lain hari kami akan menengok kau lagi.”
Dalam pada itu sipir bui
sedang men-desak2 lagi, terpaksa Djik Hong bertindak keluar sambil menoleh2
memandang Tik Hun, ia lihat pemuda itu menegak bagai patung, sedikitpun tidak
bergerak dan tetap menghadap dinding.
Jang terllihat oleh Tik Hun
waktu itu melulu dekat-dekuk dinding batu jang kasap itu, sungguh ia ingin
menoleh dan ingin memanggil Sumoay, tapi mulutnja serasa gagu dan lehernja
djuga se-akan2 kaku.
Ia dengar tindakan tiga orang
semakin mendjauh, mendengar suara pintu besi dibuka dan ditutup kembali, lalu
tindakan sipir bui jang berdjalan kembali. Ia pikir: “Ia mengatakan akan
mendjenguk aku lagi, apakah esok dia akan datang?”
Tik Hun merasa lapar djuga,
segera ia hendak mengambil penganan dari kerandjang jang ditinggalkan Djik Hong
itu. Tapi tiba2 sebuah tangan jang lebat dengan bulu2 hitam menjamber jang
dipegangnja itu. Itulah dia sihukuman jang bengis itu.
Setelah merebut penganan itu,
terus sadja orang itu mentjomot sepotong daging dan diganjang dengan lahap.
“Itu milikku!” teriak Tik Hun
terus hendak merebut kembali. Tapi sekali perantaian itu mendorongnja, Tik Hun
tak sanggup berdiri tegak lagi, ia djatuh terdjengkang hingga kepalanja
membentur dinding batu. Baru sekarang Tik Hun mendjadi djelas bahwa dirinja
benar2 telah berubah seorang tjatjat sesudah Pi-pe-kut dipundak ditembus dan
otot kaki dipotong orang..........
Besoknja Djik Hong tidak
kelihatan, hari ketiga djuga tidak muntjul, begitu pula hari keempat dan
selandjutnja. Se-hari2 Tik Hun ber-harap2 bisa melihat sang Sumoay lagi, tapi
selalu ketjewa, dari ketjewa mendjadi putus asa. Sampai belasan hari, Tik Hun
benar2 seperti orang gila. Ia ber-teriak2 dan gembar-gembor, ia bentur2kan
kepalanja kedinding hingga bendjut, tapi Djik Hong tetap tidak kundjung tiba,
jang datang adalah siraman air kentjing sipir bui dan hadiah bogem mentah
siperantaian jang ganas itu.
Selang setengah bulan lebih,
pelahan2 Tik Hun mendjadi tenang, tapi sepatah katapun sekarang tak diutjapkan
lagi.
Suatu malam, tiba2 datang empat
petugas pendjara dengan membawa golok, mereka menjeret keluar siberewok jang
ganas itu. Diam2 Tik Hun pikir: “Apakah dia akan dihukum penggal kepala? Djika
begitu malahan lebih baik baginja daripada tersiksa hidup didalam pendjara. Dan
akupun takkan dianiaja lagi olehnja.”
Tengah malam, selagi Tik Hun
tidur, tiba2 terdengar suara gemerintjingnja rantai, keempat petugas bui itu
telah menggusur kembali siganas itu. Dari sinar bulan jang menembus masuk
melalui lankan besi Tik Hun dapat melihat muka, tangan dan pundak siberewok itu
penuh darah, terang habis dihadjar orang hingga babak-belur.
Dan begitu merebah dilantai,
siganas itu lantas tak sadarkan diri. Sesudah petugas2 pendjara pergi, Tik Hun
tjoba mengamat-amati orang, ia lihat muka, lengan, kaki dan pundaknja penuh
luka bekas tjambukan. Dasar hati Tik Hun memang welas-asih, meski selama ini ia
sendiri sering dihadjar orang itu, namun melihat keadaannja jang mengenaskan
itu, ia mendjadi tidak tega. Ia menuang sedikit air dari kendi dan diminumkan
padanja.
Pelahan2 perantaian itu
siuman, dan ketika melihat Tik Hun, mendadak ia angkat belenggu tangannja dan
mengepruk keatas kepala pemuda itu.
Meski Tik Hun sudah kehilangan
tenaga, tapi kegesitannja masih ada, tjepat ia mengegos. Diluar dugaan serangan
perantaiannja itu tidak djadi dilontarkan terus, tapi ditengah djalan mendadak
membiluk kesamping, lalu menghantam kepinggang Tik Hun. Inilah sematjam gaja
serangan jang lihay dari ilmu silat. Tanpa ampun lagi Tik Hun terpental djatuh,
karena gesekan diantara rantai jang menembus tulang pundak dan belenggunja itu,
Tik Hun sampai meringis kesakitan. Saking kedjut dan gusar ia terus memaki:
“Orang gila!”
“Hm, kau memakai akal menjiksa
diri, kau kira mudah mengelabui aku? Huh, djangan kau mimpi!” demikian djengek
siganas itu sambil ter-bahak2.
Tik Hun merasa tulang iganja
se-akan2 patah, saking sakitnja sampai takbisa bitjara. Selang agak lama
barulah ia sanggup berkata: “Orang gila! Kau sendiri dalam pendjara, apanja
jang kuatir diakali orang?”
Tiba2 perantaian itu melompat
madju, ia depak punggung Tik Hun, menjusul menendang pula beberapa kali
dibagian tubuh Tik Hun jang lain sambil membentak: “Kulihat usia kau bangsat
ketjil ini masih muda, belum banjak kedjahatan jang kau lakukan dan tentu kau
diperintah orang lain kesini, kalau tidak, hm, sekali tendang sudah kumampuskan
engkau!”
Sungguh gusar Tik Hun tak
terkatakan hingga lupa rasa sakit dibadannja. Ia pikir dipendjarakan dan
disiksa tanpa bersalah sudah sangat penasaran, kini mesti dikurung lagi sekamar
dengan seorang gila seperti ini, benar2 sial dangkalan.
***
Ketika malam purnama bulan
kedua tiba, perantaian ganas itu digiring keluar lagi oleh petugas pendjara,
setelah dihadjar pula kemudian digusur kembali.
Sekali ini Tik Hun sudah
kapok, ia tidak peduli lagi biarpun luka perantaian itu sangat parah.
Siapa duga sikapnja inipun
salah lagi. Karena habis dihadjar orang, amarah perantaian itu tak
terlampiaskan, meski dalam keadaan babak-belur, kembali Tik Hun jang didjadikan
sasaran pelampias gusarnja, ia menghantam dan menendang serabutan sambil
mentjatji maki hingga djauh malam.
Begitulah maka selandjutnja
tiap2 mendjelang malam purnama, tentu Tik Hun bermuram durdja, sebab ia tahu
hari naas baginja pun sudah mendekat.
Dan memang benar djuga, setiap
tanggal 15, jaitu diwaktu bulan purnama, tentu perantaian itu diseret keluar
untuk dihadjar, dan kembalinja lagi2 Tik Hun mendjadi giliran dihadjar olehnja.
Untunglah usia Tik Hun masih muda, badan kuat tenaga besar, meski setiap bulan
sekali menderita hadjaran, namun ia masih dapat bertahan. Tjuma terkadang ia
suka heran sendiri: “Tulang pundakku ditembusi rantai dan tenagaku lenjap
semua. Sama halnja Pi-pe-kut orang gila inipun ditembus rantai, mengapa dia
masih begini kuat?”
Beberapa kali Tik Hun
bermaksud menanja, tapi asal mulutnja mengap sedikit sadja, segera ia dipersen
pukulan dan tendangan oleh orang gila itu. Karena itu, selandjutnja seketjappun
ia tidak adjak bitjara lagi padanja.
Dengan begitu beberapa bulan
telah lalu dengan tjepat, musim dingin berganti musim semi, Tik Hun
dipendjarakan sudah hampir setahun lamanja. Lambat laun Tik Hun mendjadi biasa
oleh penghidupan dalam pendjara itu, rasa dendam dan gusar serta penderitaan
badan baginja sudah kebal. Selama itu, untuk menghindarkan aniaja perantaian
gila itu, selalu ia tidak berani memandangnja. Asal djangan mengadjak bitjara
dan sorot mata tidak kebentrok dengan pandangannja, ketjuali dimalam bulan
purnama, di-hari2 biasa orang gila itupun tidak meng-utik2 padanja.
Suatu pagi, belum lagi Tik Hun
mendusin, tiba2 ia terdjaga oleh suara men-tjit2nja burung lajang2 diluar kamar
pendjara. Teringat olehnja dimasa kanak2 ia suka mengintai tjara burung lajang2
mebangun sarang. Se-konjong2 pilu hatinja, ia memandang kearah burung itu, ia
lihat sepasang burung lajang2 itu sudah terbang mendjauh melajang lewat dibawah
djendela sebuah loteng jang belasan meter tingginja.
Dalam isengnja sering Tik Hun
memandangi gorden djendela dikedjauhan itu sambil men-duga2 siapakah gerangan
orang jang tinggal dibalik djendela itu. Tapi djendela itu selalu tertutup,
hanja didepan djendela itu setahun suntuk selalu terhias sebuah pot bunga,
dimusim semi jang semarak itu bunga melati dipot bunga itu sedang mekar.
Tengah Tik Hun mengelamun,
tiba2 didengarnja suara menghela napas sigila itu.
Hal ini benar2 sangat
mengherankan Tik Hun. Selama setahun itu, orang gila itu kalau tidak tertawa
keras, tentu mentjatji-maki orang, tapi selamanja tidak pernah mendengar dia
menghela napas, apalagi diantara helaan napasnja itu kedengaran membawa rasa
sedih dan lemah-lembut pula.
Tik Hun tjoba memandangnja, ia
lihat sigila itu lagi ter-senjum2, wadjahnja memantulkan rasa melekat, tidak
lagi matjam sigila jang bengis itu, dan pandangannja lagi menatap pot bunga
melati itu.
Kuatir kalau diketahui orang,
lekas2 Tik Hun berpaling tak berani memandangnja lagi.
Sedjak mengetahui rahasia itu,
setiap pagi Tik Hun tentu mengintip sikap sigila itu. Ia lihat sigila itu
selalu memandangi pot bunga itu dengan rasa lemah-lembut, ia memandang terus
meski bunga didalam pot itu sudah ber-ganti menurut musimnja.
Dalam setengah tahun
berikutnja itu, mereka berdua hampir tidak pernah bitjara. Hadjaran dimalam
purnama pun sudah merupakan atjara biasa bagi mereka. Tik Hun mengetahui asal
dirinja tidak membuka suara, maka rasa gusar sigila itu akan agak reda, pukulan
dan tendangannja pun lebih ringan. Tik Hun pikir kalau lewat beberapa tahun
lagi tersekap dalam pendjara itu, mungkin tjara bagaimana harus bitjarapun akan
terlupa semua olehnja.”
Dan meski sigila itu sangat
kasar dan tidak kenal aturan, namun ada djuga paedahnja, jaitu petugas2 bui
sangat takut padanja dan tidak berani sembarangan datang kekamar pendjara itu.
Sigila itu benar2 seorang jang tidak gentar pada langit dan bumi, setiap orang
dimakinja habis2an. Bila sipir bui mogok tak menghantar daharan padanja,
sebagai gantinja ia lantas rebut bagiannja Tik Hun. Dan kalau ke-dua2nja tak
diberi makanan, biarpun kelaparan beberapa hari djuga sigila itu anggap biasa.
Sampai tanggal 15 bulan
sebelas tahun kedua ini, sesudah sigila itu kembali dihadjar, tiba2 ia sakit
panas, dalam keadaan tak sadar ia mengigau tak keruan. Sampai2 Tik Hun
mendengar dia sering menjebut nama entah “Momo” atau “Maumau”. Semula Tik Hun
tidak berani mengutiknja, tapi sampai besok siangnja, ia dengar sigila
me-rintih2 minta air.
Karena tidak tega, Tik Hun
menuangkan air jang diminta dan diminumkan kepadanja sambil ber-djaga2 kalau
bogem mentah sigila itu melajang pula. Baiknja sekali ini ia minum dengan
lantjar, setelah menjebut lagi entah “Momo” atau “Maumau”, lalu ia tertidur.
Malamnja, ternjata datang lagi
keempat petugas bui dan menjeret keluar sigila untuk dihadjar pula. Kembalinja
suara rintihan sigila itu sudah sangat lemah. Terdengar salah seorang petugas
bui itu membentak dengan gemas: “Kau kepala batu dan tidak mau mengaku, biarlah
besok kami hadjar pula lebih hebat.”
Sudah dua tahun Tik Hun hidup
sekamar dengan perantaian itu, meski selama itu ia kenjang dianiaja olehnja,
namun iapun tidak ingin orang mati disiksa oleh petugas2 bui itu. Besoknja, ada
beberapa kali Tik Hun minumkan air padanja, sigila itu meng-angguk2 tanda
terima kasih.
Malamnja, benar djuga keempat
petugas bui itu datang lagi. Tik Hun pikir kalau sekali ini sigila disiksa
pula, tentu djiwanja akan melajang. Mendadak Tik Hun mendjadi nekad, ia
melompat madju dan merintangi diambang pintu pendjara sambil membentak:
“Dilarang kalian masuk!”
“Minggir, bangsat!” maki salah
seorang petugas jang berbadan tinggi besar sambil melangkah masuk dan hendak
mendorong Tik Hun.
Karena tak bertenaga,
se-konjong2 Tik Hun menunduk terus menggigit hingga kedua djari telundjuk dan
manis petugas itu berdarah dan hampir patah. Keruan petugas itu mendjerit
kesakitan dan tjepat melompat keluar kamar pendjara. Saking gugupnja sampai
golok petugas itupun djatuh kelantai.
Tjepat Tik Hun samber golok
orang, menjusul ia membabat kian kemari tiga kali, meski dia tak bertenaga,
namun mana berani petugas2 itu sembarangan madju? Pada lain saat, ketika
seorang petugas jang gemuk ajun goloknja hendak menerdjang madju, tiba2 Tik Hun
miringkan tubuh kesamping, dengan tjepat goloknja membatjok kekaki lawan,
“tjrot”, tepat paha petugas itu kena dilukai. Dengan ketakutan lekas2 petugas
itu mendjatuhkan diri dan lari keluar.
Dengan tekad bandjir darah
dikamar pendjara itu, apalagi nampak Tik Hun mengamuk bagai banteng ketaton,
keempat petugas bui itu mendjadi djeri dan tidak berani sembarangan madju lagi.
Mereka terus mentjatji-maki Tik Hun habis2an dengan segala matjam kata2 kotor.
Tik Hun tidak menggubrisnja,
bagai malaikat pendjaga pintu, ia djaga pintu kamar pendjara itu dengan kuat.
Ternjata keempat petugas bui itupun tidak pergi minta bala bantuan, melihat
gelagat menjerbu kedalam takkan berhasil, achirnja merekapun tinggal pergi.
Ber-turut2 empat hari sipir
bui sama sekali tidak kelihatan, tidak hantar nasi djuga tidak kasih air.
Sampai hari kelima, rasa dahaga Tik Hun sudah tidak tahan, lebih2 sigila itu,
bibirnja sampai petjah2 saking keringnja. Tiba2 katanja: “Kau boleh pura2
hendak membatjok mati aku, tentu anak andjing itu akan segera membawakan air!”
Tik Hun tidak mengarti apa2an
itu, tapi achirnja toh tiada djeleknja, boleh djuga ditjoba. Maka segera ia
ber-teriak2: “Lekas kasih air, kalau tidak, biar kumampuskan dulu orang gila
ini!” ~ Habis berkata, ia meng-gosok2 punggung goloknja dirudji besi pintu
hingga mengeluarkan suara njaring mirip orang sedang mengasah sendjata.
Eh, benar djuga sipir bui itu
buru2 mendatangi sambil mem-bentak2: “Kau berani mengganggu seudjung rambutnja,
segera kutikam seratus ribu kali ditubuhmu!” ~ Tapi kemudian ia lantas
membawakan air minum dan nasi.
Selesai Tik Hun menjuap sigila
itu, kemudian ia menanja: “Sungguh aneh, mereka menjiksa engkau, tapi kuatir
pula kalau aku membunuh engkau, apakah sebabnja ini?”
Mendadak sigila mendelik, ia
angkat kendi wadah air dan mengepruk kepalanja Tik Hun sambil memaki: “Hm, kau
pura2 mengambil hatiku, apa kau sangka aku mudah tertipu?”
“Prak”, kendi petjah dan
djidat Tik Hun pun melotjot dan darah mengutjur. Dengan bingung ia melompat
mundur, pikirnja: “Penjakit gila orang ini angot lagi!”
Tapi sedjak itu, meski setiap
malam purnama sigila itu masih tetap diseret keluar untuk dihadjar, namun
kembalinja ia tidak membalas hadjar Tik Hun lagi. Tjuma kedua orang tetap tidak
pasang omong, bila Tik Hun banjak memandang padanja, tak terhindarlah dari
pukulan2 sigila lagi..........
Sampai musim dingin tahun
ketiga, harapan keluar pendjara Tik Hun sudah lenjap. Meski dalam mimpi masih
sering terbajang Suhu dan Sumoaynja, namun bajangan sang Suhu sudah mulai
samar2, hanja bentuk tubuh Sumoay jang montok menggiurkan, raut mukanja jang
manis dan matanja jang djeli, selalu masih terbajang olehnja dengan djelas.
Ia tidak berani mengharap lagi
untuk keluar pendjara dan bertemu dengan sang Sumoay, namun setiap hari ia
tidak lupa selalu berdoa semoga Sumoay akan datang mendjenguknja pula, untuk
mana biarpun setiap hari ia akan dihadjar oleh sigila itu djuga rela.
Namun Djik Hong tetap tidak
pernah muntjul.
Tapi pada suatu hari telah
datang seorang hendak menengoknja. Itulah seorang pemuda ganteng tjakap dengan
badju sutera jang mentereng. Hampir Tik Hun tidak kenal pemuda itu. Ia dengar
pemuda itu lagi berkata dengan suara tertawa: “Tik-suheng, apakah engkau masih
kenal padaku? Akulah Sim Sia adanja!”
Hati Tik Hun ber-debar2 keras,
jang dia harap jalah dapat memperoleh sedikit kabarnja Djik Hong. Maka tjepat
tanjanja: “Dimanakah Sumoayku?”
Sebelum mendjawab Sim Sia
menjodorkan sebuah kerandjang ketjil dari luar lankan pendjara, lalu katanja
dengan tertawa: “Ini adalah pemberian dari Ban-suso kami kepadamu. Orang masih
belum melupakan perhubungan dimasa dulu, maka dihari bahagianja sengadja minta
aku menghantarkan dua ekor ajam, empat potong Tite (kaki babi) dan 16 iris
kue-ku kepadamu.”
“Ban-suso (ipar perempuan)
jang mana? Hari bahagia apa?” tanja Tik Hun dengan bingung.
“Ban-suso itu
tak-lain-tak-bukan adalah nona Djik, Sumoaymu itu,” sahut Sim Sia sambil
terbahak dengan mimik wadjah jang memuakkan. “Harini adalah hari pernikahannja
dengan Ban-suko kami. Ia suruh aku menghantar ikan ajam dan kue-ku padamu,
bukankah itu menandakan dia masih ingat pada kebaikanmu dahulu?”
Tubuh Tik Hun sempojongan, ia pegang
kentjang2 lankan pendjara dan teriaknja dengan suara gemetar: “Kau ......kau
mengatjo-belo! Sumoay......Sumoayku mana dapat menikah dengan orang she Ban
itu?”
“Haha,” kembali Sim Sia
tertawa. “Guruku dahulu telah ditikam oleh gurumu, beruntung beliau tidak djadi
meninggal, lukanja telah dapat disembuhkan, maka apa jang terdjadi dahulu tak
diusut lebih djauh. Sumoaymu tinggal dirumah kami, selama tiga tahun ini, wah
alangkah mesranja, boleh djadi .......boleh djadi, haha, lain tahun tanggung
akan melahirkan seorang orok jang gemuk dan mungil.”
Tiga tahun tidak berdjumpa,
Sim Sia ternjata sudah meningkat dewasa, bitjaranja djuga bertambah bangor.
Sesaat itu telinga Tik Hun
se-akan2 mendenging, dan seperti mendengar ia sendiri sedang bertanja: “Dan dimanakah
Suhuku?”
“Siapa tahu? Mungkin dia
sangka telah membunuh orang, maka melarikan diri sedjauh mungkin, masakah dia
masih berani pulang?” demikian seperti didengarnja Sim Sia mendjawab. Dan
seperti didengarnja pemuda itu berkata pula dengan tertawa: “Kata Ban-suso: Hendaklah
kau lapangkan hatimu dan tinggal didalam pendjara, kelak kalau dia sudah punja
beberapa anak, boleh djadi dia kan datang mendjenguk engkau.”
“Bohong kau! Bohong kau!”
teriak Tik Hun mendadak dengan murka, berbareng ia lemparkan kerandjang
penganan tadi hingga isinja berantakan memenuhi lantai. Ia lihat diatas setiap
potong kue-ku itu tertjetak huruf2 merah tanda selamat pernikahan keluarga Ban
dan Djik. Hendak Tik Hun tidak pertjaja kepada omongan Sim Sia itu, namun bukti
itu membuatnja mau-tak-mau harus pertjaja.
Dalam keadaan samar2 ia
mendengar Sim Sia berkata lagi dengan tertawa: “Kata Ban-suso, sajang engkau
tidak dapat hadir dalam upatjara pernikahannja........”
Belum habis utjapannja, tiba2
kedua tangan Tik Hun jang terbelenggu itu mendjulur keluar lankan pendjara dan
tahu2 leher Sim Sia tertjekek.
Dalam kagetnja Sim Sia terus
me-ronta2 ingin melepaskan diri. Namun entah darimana datangnja tenaga Tik Hun,
tjekekannja ternjata semakin kentjang. Sim Sia ber-kaok2 minta tolong,
wadjahnja dari merah mulai berubah gelap, suaranja mulai serak, kedua tangannja
me-ronta2, tapi tetap takbisa melepaskan diri.
Mendengar suara ribut2 itu,
datanglah sipir bui, tjepat ia pegang tubuh Sim Sia dan dibetot sekuatnja,
dengan susah pajah, achirnja dapatlah djiwa Sim Sia diselamatkan dan buru2
ngatjir.
Tik Hun mendoprok kelantai
dengan lemas. Dengan ketawa2 seperti putus lotre sipir bui sedang mendjemputi
ikan ajam, kaki babi dan kue-ku jang berserakan itu. Namun Tik Hun hanja
mendelik doang se-akan2 tidak melihatnja.
Tengah malam, Tik Hun
melepaskan badjunja dan merobeknja dalam potongan ketjil2, ia djadikan seutas
tambang jang pandjang, ia buat sebuah djiratan dan kedua udjung tambang
diikatkannja diatas lankan pendjara, ia masukan leher sendiri kedalam djiratan
itu.
Ia tidak merasakan sedih,
djuga tidak merasakan gusar. Arti orang hidup baginja sudah tamat dan tjara
inilah djalan paling tjepat untuk mengachirinja. Ia merasa djiratan tali
dileher semakin kentjang, napasnja djuga main lama makin tipis. Selang
sebentar, segala apa tak diketahuinja lagi. Tapi achirnja ia dapat merasakan
lagi pelahan2, ia merasa seperti ada sebuah tangan menahan didadanja, tangan
itu mengendor dan mengentjang terus mengusap dadanja, hidungnja lantas dihembus
pula hawa segar. Dan entah sudah berapa lamanja, pelahan2 barulah ia membuka
matanja. Dan jang tertampak olehnja per-tama2 adalah sebuah wadjah jang penuh
berewok sedang memandangnja dengan tertawa lebar.
Melihat muka siberewok gila
itu. Tik Hun mendjadi sangat mendongkol. “Kurangadjar, selalu kau musuhi aku,
sampai aku mentjari mati djuga kau menggangguku,” demikian pikirnja. Niatnja
hendak bangun untuk adu djiwa dengan orang gila itu, tapi Tik Hun merasa
badannja terlalu lemah, semangat ada, tenaga kurang!
Maka berkatalah sigila itu
dengan tertawa: “Napasmu sudah putus hampir setengahan djam, kalau aku tidak
menolong engkau dengan ilmu tunggalku, didunia ini tiada orang kedua lagi jang
mampu menghidupkan kau kembali.”
“Siapa pingin ditolong oleh
kau? Aku djusteru tidak ingin hidup lagi,” sahut Tik Hun dengan gusar.
“Tapi kalau aku melarang
engkau mati, engkau lantas takkan mati,” udjar sigila itu dengan senang2. Tiba2
ia mepet kesamping Tik Hun dan membisikinja: “Ilmu tunggal ini namanja
‘Sin-tjiau-keng’, kau pernah dengar tidak?”
“Jang pasti aku hanja tahu kau
punja Sin-keng-peh (penjakit otak miring), peduli apa kau Sin-tjiau-keng
segala? Selamanja aku tidak pernah mendengar!” demikian sahut Tik Hun dengan
marah2.
Aneh djuga, sekali ini digila
itu ternjata tidak mengamuk pula, sebaliknja malah ber-njanji2 ketjil sambil
tangannja kendor-kentjang mengusap dadanja Tik Hun mirip pompa angin jang
menjalurkan hawa kedalam paru2 pemuda itu. Lalu bisiknja pula: “Terhitung untung
djuga kau ini. Sudah 12 tahun aku melatih ‘Sin-tjiau-keng’ dan baru berhasil
menjelesaikan pada dua bulan jang lalu. Tjoba kalau sebelum dua bulan ini kau
mentjari mati, tentu aku takdapatmenolong engkau.”
Tik Hun merasa sangat kesal,
teringat olehnja Djik Hong sudah kawin pada Ban Ka dan tidak menggubris lagi
padanja. Sungguh rasanja ia lebih suka mati sadja. Karena itu ia melototi
sigila itu dan berkata dengan gemas: “Entah dalam djelmaan hidup jang lalu aku
berbuat dosa apa padamu, makanja sekarang aku mesti kebentur orang djahat
sebagai kau.”
“Aku sangat senang, adik
tjilik, selama tiga tahun ini aku telah salah sangka padamu,” kata sigila itu
dengan tertawa. “Maka terimalah permintaan maafku Ting Tian ini.”
Habis berkata, sigila itu
terus berlutut kelantai dan mendjura tiga kali kepada Tik Hun.
“Orang gila!” kata Tik Hun
sambil menghela napas dan tidak menggubriskan lagi. Tapi tiba2 teringat olehnja
sigila itu mengaku bernama Ting Tian. Selama tiga tahun meringkuk bersama dalam
pendjara baru sekarang ia mengetahui namanja. Karena ketarik, ia tjoba menegas
pula: “Siapa namamu?”
“Ting Tian, she Ting bernama
Tian!” demikian sigila mengulangi. “Prasangkaku terlalu besar dan selalu
pandang engkau sebagai orang djahat, selama tiga tahun ini benar2 aku telah
banjak membikin susah padamu, sungguh aku merasa menjesal.”
Mendengar utjapan orang sangat
teratur dan ramah tamah, sedikitpun tiada tanda2 orang miring otaknja, maka Tik
Hun menanja lagi: “Sebenarnja engkau gila atau tidak?”
Ting Tian terdiam dengan
muram, selang agak lama barulah ia menghela napas pandjang, lalu katanja:
“Sebenarnja gila atau tidak, aku sendiri tak tahu. Jang kuharapkan adalah
tenteramnja pikiran, tapi bagi penglihatan orang lain, mungkin aku dianggapnja
berotak miring.” ~ Lewat sedjenak pula, kembali ia menghibur Tik Hun: “Adik
tjilik, rasa penasaranmu aku sudah dapat meraba sebagian besar. Djikalau orang
toh sudah tidak setia lagi padamu, buat apa engkau mesti memikirkan wanita itu?
Seorang laki2 sedjati mengapa takut tidak bakal mendapat isteri? Apa sulitnja
bila kelak engkau ingin mentjari seorang isteri jang berkali lebih baik
daripada Sumoaymu itu?”
Mendengar uraian itu, rasa
susah selama beberapa tahun tersekam dalam hati Tik Hun itu seketika meletuslah
bagai air bah membandjir. Ia merasa pedih sekali, air matanja bertjutjuran,
sampai achirnja, ia terus menangis sambil djatuhkan diri dipangkuan Ting Tian.
Ting Tian merangkul pemuda itu
sambil pelahan2 mengusap rambutnja, ia tahu sesudah menangis barulah rasa hati
pemuda itu bisa berkurang dari kesedihan dan melenjapkan keinginnja mentjari
mati.
Tiga hari kemudian, semangat
Tik Hun sudah banjak pulih. Ting Tian mulai banjak bertjakap dan bergurau
bersama dia dengan suara lirih, terkadang iapun mentjeritakan kedjadian2 menarik
di kalangan Kangouw untuk menghilangkan rasa kesal Tik Hun. Tapi bila sipir bui
menghantarkan daharan tetap Ting Tian bersikap galak terhadap Tik Hun dan
mentjatji maki sebagaimana sebelumnja.
Seorang musuh jang tadinja
selalu menjiksa kini mendadak berubah mendjadi seorang kawan karib, pabila
perasaan Tik Hun tidak tertekan oleh karena soal Djik Hong menikah dengan orang
lain, tentu penghidupan didalam pendjara sekarang boleh dikata merupakan sorga
baginja kalau dibanding selama tiga tahun jang sudah lalu itu.
Pernah djuga Tik Hun menanja
Ting Tian mengapa dahulu dirinja disangka orang djahat dan mengapa mendadak
mengetahui hal jang sebenarnja. Maka Ting Tian mendjawab: “Sebab kalau engkau
benar2 orang djahat, pasti tidak menggantung diri mentjari mati. Aku telah
membiarkan napasmu sudah putus hingga tubuhnu sudah hampir kaku, baru turun
tangan menolong engkau. Didjagat ini ketjuali aku sendiri, tiada seorang lagi
jang tahu bahwa aku sudah berhasil mejakinkan ilmu “Sin-tjiau-keng” jang hebat
itu. Dan kalau aku tidak memiliki ilmu sakti itu, betapapun tak dapat menolong
engkau. Oleh karena kau benar2 membunuh diri, dengan sendirinja bukanlah orang
djahat jang hendak mengakali diriku sebagaimana kusangka semula.
“Kau menjangka aku hendak
mengakali engkau? Sebab apakah itu?” tanja Tik Hun heran.
Namun Ting Tian hanja
tersenjum tanpa mendjawab Tik Hun, untuk kedua kalinja Tik Hun menanja lagi dan
tetap tidak mendapat djawaban, maka iapun tidak menanja lebih djauh.
Setiap hari Ting Tian hanja
memidjat dan mengurut Tik Hun, hingga kesehatan pemuda itu kembali dengan
sangat tjepat. Satu malam, dengan bisik2 Ting Tian berkata kepada Tik Hun:
“Ilmu ‘Sin-tjiau-keng’ jang kumiliki ini adalah ilmu jang sangat bagus dan paling
kuat Lwekangnja didunia ini. Biarlah mulai hari ini djuga aku mengadjarkan
padamu, engkau harus mengingatnya dengan baik2.”
“Tidak, aku takmau beladjar,”
sahut Tik Hun menggeleng kepala.
Ting Tian mendjadi heran:
“Kesempatan baik jang susah ditjari ini mengapa takmau engkau gunakan?”
Kata Tik Hun: “Penghidupan
seperti ini adalah lebih baik mati. Pula selama hidup kita rasanja djuga tiada
harapan bisa keluar dari sini, biarpun memiliki ilmu silat setinggi langit
djuga tiada gunanja.”
“Haha, ingin keluar pendjara,
apa susahnja?” udjar Ting Tian dengan tertawa. “Marilah aku mulai mengadjarkan
kuntji dasarnja kepadamu, kau harus mengingatnja baik2?”
Akan tetapi watak Tik Hun
sangat kepala batu, keinginnja mentjari matipun belum lenjap, sekali bilang
tidak mau beladjar, tetap ia tidak mau. Ketika Ting Tian menguraikan kuntji
peladjarannja, Tik Hun terus menutup telinganja dan meringkuk tidur.
Sungguh geli dan dongkol pula
Ting Tian, tapi tidak berdaja djuga, saking geregetannja ia mendjadi ingin
menghadjar lagi pemuda itu seperti dulu.
Selang beberapa hari kemudian,
malam bulan purnama sudah mendekati lagi. Perasaan Tik Hun kepada Tiang Tian
sekarang sudah seperti sobat baik, maka diam2 ia berkuatir baginja.
Rupanja Ting Tian dapat
menerka perasaan pemuda itu, katanja: “Tik-hiati, setiap bulan aku akan disiksa
seperti biasa, sekembalinja aku disini, akupun akan tetap membalas hadjar
engkau, djangan sekali2 kita kelihatan bersahabat, sebab hal mana akan tidak
menguntungkan kita berdua.”
“Sebab apakah?” tanja Tik Hun.
“Pabila mereka tjuriga engkau
sudah mendjadi kawanku, pasti kau akan disiksa dengan tjara2 kedji untuk
memaksa engkau menanjakan sesuatu rahasia padaku. Tapi kalau aku tetap memukul
dan memaki engkau, tentu kau akan terhindar dari siksaan badan jang kedjam.”
“Benar,” sahut Tik Hun
mengangguk. “Djika begitu penting perkaramu ini, djanganlah sekali2 engkau
mengatakan padaku, sebab kalau aku kurang waspada hingga membotjorkan
rahasiamu, kan malah akan membikin tjelaka padamu. Ting-toako, aku adalah
seorang anak desa jang bodoh, pabila sampai aku membikin susah padamu karena
ketololanku, bagaimana aku mempertanggung-djawabkannja padamu?”
“Mereka mengurung engkau
bersama aku didalam sekamar, semula aku menjangka engkau dikirim mereka untuk
mendjadi mata2, pura2 mengambil hatiku, lalu memantjing pengakuanku. Sebab
itulah dahulu aku sangat gusar padamu dan banjak menjiksa engkau. Tapi kini aku
sudah tahu engkau bukan mata2 mereka, namun sudah sekian tahun kau tetap
dikurung bersama aku, maksud mereka terang masih mengharap engkau akan mendjadi
mata2 dengan harapan mendapatkan kepertjajaanku dan aku akan mengaku kepadamu,
habis itu mereka dapat menjiksa engkau agar mengaku apa jang kau dapat dengar
dariku. Mereka insaf sulit melajani aku, tapi terhadap pemuda seperti engkau
akan djauh lebih mudah.”
Malam tanggal 15, empat
petugas bui bersendjata datang pula menggiring pergi Ting Tian. Tik Hun
mendjadi tidak tenteram menantikan kembalinja.
Mendjelang fadjar, dengan
babak-belur dan penuh darah Ting Tian digusur balik kependjara.
Sesudah keempat petugas itu
pergi, dengan wadjah sungguh2 Ting Tian berkata dengan suara tertahan kepada
Tik Hun: “Tik-hiati, urusan harini runjam. Setjara kebetulan aku telah dikenali
musuh.”
“Sebab apa?” tanja Tik Hun.
“Seperti biasa, setiap tanggal
15 aku pasti digusur pergi untuk dihadjar, hal ini sudah merupakan perkerdjaan
dinas biasa bagi Tihu-taydjin,” demikian tutur Ting Tian. “Tapi harini
kebetulan ada orang hendak melakukan pembunuhan kepada Tihu, melihat
keselamatan pembesar itu terantjam, aku telah turun tangan menolongnja. Tjuma
sajang aku terbelenggu hingga gerak-gerikku kurang bebas, maka diantara empat
pembunuh gelap itu hanja tiga orang kutewaskan, sisa seorang lagi sempat
melarikan diri, hal itu berarti suatu bibit bentjana bagiku.”
Tik Hun ter-heran2 oleh
tjerita itu, tanjanja tjepat: “Sebenarnja untuk apa Tihu menghadjar dan
menjiksa engkau? Tihu itu begitu kedjam padamu, ketika dia akan dibunuh orang,
mengapa engkau malah menolongnja? Dan siapakah sisa pembunuh jang sempat lolos
itu?”
Ting Tian menggeleng kepala,
sahutnja sambil menghela napas: “Urusanku ini seketika djuga susah didjelaskan.
Tik-hiati, oleh karena ilmu silatmu kurang tinggi, selandjutnja menjaksikan
kedjadian apa sadja, djangan sekali2 engkau turun tangan membantu aku.”
Tik Hun tidak mendjawab, tapi
batinnja berkata: “Huh, masakah aku Tik Hun ini seorang manusia jang takut
mati?”
Untuk beberapa hari
selandjutnja selalu Ting Tian ter-menung2 sadja sambil memandangi pot bunga
didjendela diatas loteng di kedjauhan itu. Terkadang wadjahnja menampilkan
senjuman ketjil dan sepandjang hari ia tjuma menengadah sambil ter-mangu2.
Tengah malam tanggal 19, djadi
tiga hari kemudian, tengah Tik Hun tidur njenjak, tiba2 ia terdjaga bangun oleh
suara “krak-krak” dua kali. Dibawah sinar bulan jang terang Tik Hun melihat dua
laki2 berpakaian singsat sedang mematahkan lankan kamar pendjara itu, sambil
menghunus golok mereka terus menjerbu kedalam. Tapi Ting Tian bersikap
atjuh-tak-atjuh sadja, ia berdiri bersandar dinding sambil ketawa dingin.
“Orang she Ting,” tiba2 salah
satu laki2 jang berperawakan lebih pendek itu membentak: “Kami bersaudara sudah
mendjeladjahi djagat ini untuk mentjari kau, sungguh tidak njana bahwa engkau
djusteru mengkeret seperti kura2 bersembunji didalam pendjara sini. Tapi dasar
adjalmu sudah sampai, achirnja dapat djuga kami menemukan engkau.”
Segera jang seorang lagi ikut
bitjara: “Marilah kita bitjara setjara blak2an sadja, lekas kau keluarkan
halaman kertas itu, kita bertiga membaginja sama-rata, dan kami bersaudara
pasti takkan meretjoki engkau lagi.”
“Kertas apa?” sahun Ting Tian
menggeleng kepala. “Barangnja tiada berada padaku. Sedjak 13 tahun jang lalu
sudah ditjuri oleh Gian Tat-ping.”
Tik Hun terperandjat mendengar
nama “Gian Tat-ping” itu. “Bukankah dia itu adalah aku punja Djisupek? Mengapa
dia tersangkut dalam urusan mereka?” demikian pikirnja.
Sementara itu silelaki pendek
telah membentak pula: “Kau sengadja main muslihat, hm, djangan harap dapat
mengelabui kami. Mampuslah kau!” Habis berkata, terus sadja ia ajun goloknja
dan menusuk ketenggorokan Ting Tian.
Namun Ting Tian tidak
menghindar atau berkelit, ia membiarkan udjung golok orang sudah dekat,
se-konjong2 ia mendak kebawah dan tahu2 melesa kesamping laki2 lain jang
bertubuh lebih tinggi itu, sekali sikutnja bekerdja, tepat perut orang itu kena
disikutnja.
Kontan sadja tanpa mendjengek
sekalipun laki2 itu terus roboh terguling.
Dalam kaget dan gusarnja,
laki2 pendek itu mendjadi nekat. “Ser-ser,” goloknja menabas dua kali dengan
tjepat.
Namun sekali Ting Tian angkat
kedua tangannja keatas, ia gunakan rantai belenggunja untuk menjampok sendjata
lawan, berbareng setjepat kilat ia angkat lututnja dan tepat dengkulnja kena
tumbuk diperut laki2 itu. Seperti nasib kawannja, laki2 pendek itu pun
menggeletak mampus dengan muntah darah.
Melihat betapa perkasanja Ting
Tian, hanja sekedjap sadja sudah membinasakan dua musuh, Tik Hun mendjadi
terkesima malah. Meski ilmu silat Tik Hun sudah punah, tapi pandangannja tetap
tadjam, ia tahu sekalipun ilmu silat sendiri tetap utuh seperti dulu dan
bersendjata, namun djuga takkan mampu menandingi silelaki pendek tadi. Mengenai
laki2 jang lebih djangkung itu, meski ilmu silatnja belum sempat dikeluarkan
sudah keburu dibinasakan lebih dulu oleh Ting Tian, tapi mengingat dia datang
bersama silelaki pendek, dapat ditaksir kepandaiannja tentu djuga tidak rendah.
Namun demikian, dengan terbelenggu dan tulang pundak ditembus rantai toh Ting
Tian dalam sekedjap dan sekali-dua gerakan sudah dapat membinasakan dua musuh,
sungguh Tik Hun merasa tidak habis mengarti akan kepandaian Ting Tian itu.
Ia lihat Ting Tian melemparkan
kedua majat itu keluar kamar pendjara, lalu duduk menjandar dinding terus
tidur.
Dalam keadaan kamar pendjara
jang sudah bobol itu, kalau Ting Tian dan Tik Hun mau melarikan diri sebenarnja
terlalu mudah. Tapi aneh, Ting Tian diam sadja terus tidur. Tik Hun djuga
merasa didunia luar sana belum tentu lebih baik daripada didalam pendjara itu.
Besok paginja, ketika sipir
bui melihat kedua rangka majat itu, ia mendjadi kaget dan geger. Waktu Ting
Tian ditanja, ia tjuma mendelik doang. Tanja Tik Hun, pemuda inipun pura2 tuli.
Karena tidak memperoleh sesuatu keterangan apa2, terpaksa sipir bui menjeret
pergi kedua majat itu.
Selang dua hari pula, malamnja
Tik Hun terdjaga bangun pula oleh suara2 gemerisik jang aneh. Dibawah sinar
bulan jang remang2 ia melihat kedua tangan Ting Tian terangkat lurus sedang
beradu tangan dengan seorang Todjin. Telapak tangan kedua orang saling menempel
dan keduanja sama2 berdiri tak bergerak. Sedjak kapan Todjin itu masuk kesitu
dan tjara bagaimana mengadu tenaga dalam dengan Ting Tian, ternjata sama sekali
Tik Hun tidak tahu.
Pernah Tik Hun mendengar dari
Suhunja bahwa dalam pertandingan silat, mengadu tenaga dalam adalah jang paling
berbahaja, bukan sadja tak mungkin menghindar atau berkelit, bahkan pasti akan
terdjadi ketentuan mati atau hidup.
Tatkala itu sudah djauh malam,
meski ada tjahaja bulan dan bintang, tapi sudah remang2 hingga ada jang
kelihatan tjuma samar2. Tik Hun melihat Todjin itu melangkah setindak kedepan
dengan lambat sekali, berbareng Ting Tian djuga mundur selangkah. Selang agak
lama, kembali Todjin itu madju lagi setindak, begitu pula Ting Tian mundur lagi
satu langkah.
Melihat Todjin itu terus
mendesak madju dan Ting Tian terus mundur, terang Todjin itu sudah lebih
unggul, diam2 Tik Hun merasa kuatir. Tanpa pikir lagi ia berlari madju, ia
angkat belenggu tangannja terus mengepruk keatas kepala Todjin itu. Tapi belum
lagi belenggu besi itu mengenai sasarannja, entah darimana datangnja,
se-konjong2 menjambar tiba serangkum tenaga tak kelihatan dan menumbuk keras
dibadan Tik Hun.
Karena tak menjangka, Tik Hun
mendjadi ter-hujung2 dan terlempar pergi, “bluk”, ia tertumbuk didinding dan
djatuh terduduk. Dengan tangannja menahan kelantai, maksud Tik Hun hendak
berbangkit. Tapi dalam kegelapan tiba2 tangannja menjentuh sebuah mangkok wadah
wedang, “prak”, mangkok itu petjah gempil tertahan oleh tangannja dan basah
kujup oleh wedang jang tertjetjer. Tanpa pikir lagi Tik Hun terus samber
mangkok itu, ia siramkan sisa wedang didalamnja kebelakang kepala si Todjin.
Tenaga dalam Todjin itu sebenarnja
djauh bukan tandingan Ting Tian. Sebabnja Ting Tian mengadu tangan dengan
Todjin itu jalah karena ia ingin mendjadjal “Sin-tjiau-keng” jang baru berhasil
dijakinkan itu sampai betapa daja tempurnja, makanja Todjin itu dipakainja
sebagai barang pertjobaan.
Sebenarnja tenaga Todjin itu
sudah diperas oleh “Sin-tjiau-keng” hingga keadaannja sudah sangat pajah bagai
pelita jang kehabisan minjak, tinggal saat padamnja sadja. Kini ditambah lagi
disiram wedang oleh Tik Hun dari belakang, dalam kagetnja ia merasa tekanan
tenaga Ting Tian semakin membandjir. Maka terdengarlah suara peletak-pelatok
jang berulang2, tulang iganja, tulang lengan, tulang kaki dan lain2 se-akan2
patah semua ber-potong2. Dengan tjemas ia pandang Ting Tian dan berkata dengan
suara ter-putus2 dan tak lampias: “Djadi..... djadi engkau sudah berhasil
mejakinkan “Sin-tjiau-keng” jang hebat dan ..... dan itu ber ..... berarti
engkau tiada ..... tiada tandingannja lagi di ..... didunia ini ......” bitjara
sampai disini, mendadak tubuhnja melingkar bagai tjatjing terus roboh
terbinasa.
Hati Tik Hun ber-debar2
menjaksikan itu, serunja: “Ting-toako kiranja ilmu “Sin-tjiau-keng” itu
sedemikian ..... sedemikian lihaynja. Apa benar2 engkau tiada tandingannja lagi
dunia itu?”
Namun dengan wadjah sungguh2
Ting Tian mendjawab: “Kalau bergebrak satu-lawan-satu, memang tjukup untuk
mendjagoi Kangouw. Tapi kalau musuh main kerojok, mungkin seorang diri susah
melawan orang banjak. Todjin djahat ini sudah tertekan oleh tenaga dalamku,
tapi masih sanggup membuka suara, hal mana menandakan latihanku masih belum
mentjapai tingkatan jang sempurna betul2. Tik-hiati, dalam tiga hari ini pasti
akan datang pula musuh jang benar2 tangguh. Untuk mana sudikah engkau membantu
pakaku?”
Dengan penuh semangat Tik Hun
terus mendjawab: “Tentu sadja aku akan membantu. Tjuma ........ tjuma ilmu
silatku sudah punah semua, andaikan belum punah djuga kepandaianku jang dangkal
ini tidak berguna untuk membantu engkau.”
Ting Tian tersenjum tanpa
berkata, tiba2 ia melolos keluar sebilah golok dari bawah djerami jang
merupakan kasurnja itu. Golok itu adalah tinggalan kedua laki2 jang dibinasakan
oleh Ting Tian tempo hari itu. Lalu katanja: “Tik-hiati, harap engkau mentjukur
berewokku ini. Marilah kita bertipu muslihat sedikit.”
Tanpa pikir lagi Tik Hun terus
sambuti golok itu dan mulai mentjukur kumis dan berewok Ting Tian.
Ternjata golok itu sangat
tadjam melebihi pisau tjukur, maka dengan tjepat sadja berewok Ting Tian jang
kaku bagai lidi itu telah rontok semua. Anehnja Ting Tian menadah semua berewok
jang tertjukur itu ditangannja.
“Ting-toako,” kata Tik Hun
dengan tertawa, “apa kau merasa berat mesti membuang djenggotmu jang sudah
berkawan setia dengan engkau selama beberapa tahun ini?”
“Bukan begitu,” sahut Ting
Tian. “Tapi maksudku, Tik-hiati, aku ingin engkau menjaru sebagai diriku.”
“Menjaru sebagai engkau?”
tanja Tik Hun heran.
“Ja,” sahut Tian. “Dalam waktu
tiga harini pasti akan datang musuh2 jang lebih tangguh, mereka berlima takkan
mampu melawan aku kalau satu-lawan-satu, tapi kalau mengerubut sekaligus, tentu
kekuatan mereka mendjadi sangat lihay. Makanja aku ingin engkau menjaru sebagai
diriku untuk memantjing mereka agar salah sangka, dan disaat mereka meleng, aku
lantas menjerang diluar dugaan mereka, tentu mereka akan kelabakan dan tak
mampu melawan.”
Dasar Tik Hun memang djudjur
dan badjik, ia merasa rentjana Ting Tian itu kurang pantas, maka dengan ragu2
ia berkata: “Rasanja ren.......... rentjanamu ini agak.......... agak kurang
djudjur.”
“Djujur? Hahahaha!” Ting Tian
ter-gelak2. “Betapa kedji dan palsunja orang Kangouw, semuanja berlaku litjik
dan menipu engkau, tapi engkau masih djudjur pada orang, bukankah berarti
engkau mentjari mati sendiri?”
“Meskipun begitu,
namun........... namun........”
“Namun apa?” sela Ting Tian
sebelum Tik Hun menlandjutkan. “Ingin kutanja padamu: Engkau adalah seorang
baik2 tanpa berdosa sesuatu, tapi sebab apa engkau dipendjarakan selama tiga
tahun disini dan selama ini tidak dapat mentjutji bersih pitenahan orang itu?”
“Ja, dalam hal ini
memang......... memang aku merasa tidak mengarti sampai sekarang,” sahut Tik
Hun.
“Dan siapakah jang
mendjebloskan engkau kependjara ini? Sudah tentu perbuatan seseorang pula agar
selamanja engkau tidak bisa keluar dari sini,” udjar Ting Tian dengan
tersenjum.
“Memang sampai saat ini aku
tetap tidak mengarti duduk perkaranja,” kata Tik Hun. “Gundik Ban Tjin-san si
Mirah itu selamanja tidak kenal padaku, tidak bermusuhan dan tiada sakit hati,
mengapa dia telah mempitenah diriku hingga namaku rusak dan hidupku merana oleh
penderitaan2 didalam pendjara sini?”
“Tjara bagaimana engkau telah
dipitenah mereka, tjoba tjeritakan padaku,” pinta Ting Tian.
Sembari mentjukur berewoknja,
maka bertjeritalah Tik Hun sedjak dia ikut sang Suhu datang di Hengtjiu untuk
memberi selamat ulang tahun kepada Ban Tjin-san, dimana dia telah mengatjirkan
begal besar - Lu Thong. Kemudian dia telah ditantang dan dikerojok oleh
murid2nja Ban Tjin-san, lalu apa jang didengarnja tentang pertengkaran sang
guru dengan Supek hingga sesudah melukai Supek, sang Suhu lantas melarikan
diri. Kemudian dilihatnja ada pendjahat hendak memperkosa gundiknja Ban
Tjin-san dan dia telah turun tangan menolong, tapi malah dipitenah dan
didjebloskan kedalam pendjara.
Begitulah Tik Hun
mentjeritakan semua pengalamannja itu, hanja tentang pengemis tua telah
mengadjar ilmu pedang padanja itu sengadja tak diuraikan. Pertama karena dia
telah bersumpah pada pengemis tua itu bahwa rahasia pertemuan mereka pasti
takkan dibotjorkan, kedua ia merasa urusan jang tidak penting itu djuga tida
perlu ditjeritakan.
Hlm. 9: Gambar
“Kruk, kruk”, sambil
mentjeritakan pengalamannja, Tik Hun mentjukur berewok Ting Tian jang kaku
bagai lidi itu dengan golok rampasan jang tadjam itu.
Dan sesudah Tik Hun
bertjerita, berewok dimukanja Ting Tian djuga hampir tertjukur bersih.
“Ting-toako,” kata Tik Hun
sambil menghela napas, “malapetaka jang menimpa diriku ini bukankan membikin
aku sangat penasaran? Tentu disebabkan mereka dendam Suhuku telah membunuh
Ban-supek, akan tetapi Ban-supek toh tidak djadi mati, kinipun sudah sembuh
dari lukanja, sebaliknja aku sudah dipendjarakan selama beberapa tahun masih
belum djuga dibebaskan. Apakah mereka sudah melupakan diriku? Rasanja toh
tidak, buktinja tempo hari Sim-sute itu djuga datang menjambangi aku?”
Ting Tian diam sadja, dengan
lagak lutju ia miringkan kepalanja untuk memandang Tik Hun dari sebelah sini
kesebelah sana, lalu ia tertawa dingin.
“Ting-toako, apa jang
kukatakan ini apakah ada jang salah?” tanja Tik Hun dengan bingung sambil
garuk2 kepala sendiri.
“Benar, benar, semuanja benar,
masakah ada jang salah?” djengek Ting Tian. “Djusteru kalau djalannja tidak
begini, itulah baru salah.”
“Ap............ apa maksudmu,
Ting-toako?” tanja Tik Hun semakin bingung.
“Begini! Seumpama ada seorang
anak tolol telah membawa gadisnja jang tjantik kerumahku, aku mendjadi sir pada
gadisnja, akan tetapi sigadis memang mentjintai sitolol itu. Agar aku bisa
mengangkangi sitjantik, sudah tentu aku harus melenjapkan sitolol itu lebih
dulu. Tjoba katakan, kalau kau, akal apa jang engkau gunakan?”
“Akal apa?” sahut Tik Hun agak
linglung. Diam2 iapun merasa seram sendiri.
“Banjak djalannja,” kata Ting
Tian. “Kalau menggunakan ratjun atau memakai sendjata untuk membunuh sitolol
itu, boleh djadi sitjantik itu seorang wanita jang setia dan mungkin akan
membunuh diri atau menuntut balas bagi sitolol, tentu urusan akan mendjadi
runjam malah, maka djalan2 itu takbisa ditempuh. Maka kurasa djalan paling baik
jalah seret sitolol itu dan didjebloskan kedalam pendjara. Untuk membikin
sitjantik bentji pada sitolol, djalan pertama harus membikin se-akan2 sitolol
itu telah mentjintai wanita lain; kedua, harus menundjukkan sitolol itu
sebenarnja seorang jang djahat, suka mentjuri dan merampok, agar perbuatan2
demikian akan memuakan sitjantik.”
Tik Hun mendjadi gemetar oleh
uraian Ting Tian itu, tanjanja dengan suara tak lantjar: “Apa jang
kau........... kau katakan ini apakah........ apakah memang sengadja telah
diatur oleh si ............. si Ba Ka itu?”
“Aku tidak menjaksikan
sendiri, darimana aku tahu?” sahut Ting Tian tertawa. “Tapi Sumoaymu itu sangat
aju, bukan?”
Pikiran Tik Hun mendjadi
butek, ia hanja memanggut.
Lalu Ting Tian berkata pula:
“Ehm, untuk mengambil hati sinona, dengan sendirinja aku harus kerdja keras,
aku akan keluarkan uang untuk menjogok pembesar disini, kataku untuk menolong
engkau agar lekas dibebaskan. Usahaku itu sengadja kuperlihatkan sendiri kepada
sitjantik agar dia merasa berterima kasih padaku. Dan uang sogokku itu memang
benar2 telah kuserahkan kepada pembesar disini dan petugas2 lain.”
“Dan sesudah membuang uang
sebanjak itu, tentu akan berhasil sedikit bukan?” tanja Tik Hun.
“Sudah tentu, setan pun dojan
duit, mengapa tak berhasil?” sahut Ting Tian.
“Habis, meng.............
mengapa aku masih tetap dikerangkeng disini dan belum dibebaskan?” tanja Tik
Hun.
“Hahahaha!” tiba2 Ting Tian
ber-bahak2. “Kau berbuat salah apa? Tuduhan jang mereka djatuhkan padamu
paling2 djuga tjuma hendak memperkosa wanita dan mentjuri, toh bukan perbuatan
masiat, djuga bukan membunuh orang. Dosamu apa hingga mesti dikurung sampai
ber-tahun2 tanpa diputus perkaranja? Pula djuga tidak perlu tulang pundakmu ditembusi
rantai segala? Dan ketahuilah, kesemuanja ini adalah hasil dari uang sogok itu.
Ja, akal ini memang sangat bagus dan litjin, sinona tinggal dirumahku,
tjintanja pada sitolol itu dengan sendirinja belum terlupakan, tetapi sesudah
ditunggu setahun demu setahun, masakah achirnja sitjantik takkan menikah?”
“Trang,” mendadak Tik Hun
membatjok goloknja kelantai. Serunja: “Ting-toako, djadi aku dikerangkeng
selama ini, semuanja adalah perbuatan si Ban Ka itu?”
Ting Tian tidak mendjawab,
tapi ia menengadah untuk memikir hingga agak lama, tiba2 ia berkata pula: “Ah,
salah, salah, didalam muslihat it masih terdapat suatu kekurangan, salah, salah
besar!”
“Masih kurang apa lagi?” kata
Tik Hun dengan gusar. “Sumoayku achirnja djuga sudah mendjadi isterinja, dan
aku, kalau tidak ditolong olehmu, sudah lama akupun menggantung diri, bukankah
semuanja itu telah memenuhi tjita2nja?”
Namun Ting Tian terus mondar-mandir
didalam kamar pendjara itu sambil geleng2 kepala, katanja: “Didalamnja masih
terdapat satu kepintjangan besar. Mereka begitu litjik dan pintar mengatur,
masakah tidak tahu?”
“Sebenarnja kepintjangan apa
maksudmu?” tanja Tik Hun.
“Suhumu!” sahut Ting Tian
tiba2. “Suhumu telah melarikan diri sehabis melukai Supehmu. Ngo-in-djiu Ban
Tjin-san dari Hentjiu tjukup tenar didalam Bu-lim, tentang dia tjuma terluka
dan tidak binasa, kabar ini dalam waktu singkat sadja tentu tersiar, seumpama
Suhumu malu untuk mendjumpai Suhengnja lagi, paling tidak dia toh dapat
mengirim orang untuk memapak Sumoaymu pulang kerumah? Dan bila Sumoaymu sudah
pulang, bukankah antero tipu muslihat kedji Ban Ka itu akan bangkrut
seluruhnja?”
“Benar, benar!” ber-ulang2 Tik
Hun menggablok pahanja sendiri. Oleh karena tangannja dibelengu, maka terbitlah
suara gemerintjing dari rantai belenggunja itu. Sungguh tak tersangka olehnja
bahwa seorang jang tampaknja kasar seperti Ting Tian itu ternjata tjara
berpikirnja bisa begitu djauh dan teliti. Tik Hun mendjadi kagum tak terhingga.
“Dan sebab apa Suhumu tidak
memapak pulang puterinja itu, didalam situlah pasti ada sesuatu jang
mentjurigakan,” tutur Ting Tian pula dengan suara pelahan. “Kujakin sebelumnja
Ban Ka dan komplotannja pasti djuga sudah dapat menduga akan hal ini,
kegandjilan ini untuk sementara inipun aku merasa tidak mengerti.”
Begitulah Ting Tian terus
memeras otak untuk memikirkan hal itu. Sebaliknja Tik Hun sama sekali tidak
ambil pusing. Baru sekarang ia paham dimana letak persoalannja mengapa dirinja
didjebloskan pendjara oleh orang. Ber-ulang2 ia ketok2 kepalanja sendiri sambil
memaki dirinja sendiri terlalu tolol, urusan jang sederhana bagi orang lain itu
ia sendiri djusteru tidak tahu sama sekali selama ber-tahun2.
Padahal harus dimaklumi djuga,
sedjak ketjil Tik Hun hidup dipedesaan jang suasana masjarakatnja sederhana dan
djudjur, ia tidak kenal betapa litjik dan kedjamnja orang Kangouw. Sebaliknja
Ting Tian biasa berterobosan ditengah rimba sendjata, banjak pengalaman dan
pahit-getir jang telah dirasakannja, dengan sendiri ia lantas tahu duduknja
perkara begitu mendengar tjeritanja Tik Hun. Hal itu bukan soal pintar atau
bodoh seseorang, tapi karena perbedaan pengalaman hidup kedua orang itu selisih
terlalu djauh.
Begitulah sesudah Tik Hun
mengomel dan memaki dirinja sendiri, ketika dilihatnja Ting Tian masih terus
memeras otak, ia lantas berkata: “Sudahlah, Ting-toako, tidak perlu kau
memikirnja lagi. Suhuku adalah seorang desa jang djudjur, tentu saking takutnja
sehabis melukai Ban-supek, ia telah lari djauh2 entah kemana, maka ia tidak
mendengar berita masih hidupnja Ban-supek itu.”
“Apa katamu? Suhumu hanja
seorang desa jang djudjur?” Ting Tian menegas dengan mata membelalak heran.
“Sehabis membunuh orang dia bisa ketakutan dan melarikan diri?”
“Ja, memang Suhuku benar2
seorang jang sangat djudjur,” sahut Tik Hun. “Ban-supek mempitenah dia mentjuri
sesuatu Kiam-boh (kitab ilmu pedang) apa dari Thaysuhu (kakek guru), dalam
gusarnja ia mendjadi kalap hingga melukai Supek, padahal hatinja benar2 sangat
baik.”
Ting Tian hanja mendengus
sekali sadja dan tidak berkata pula, ia duduk kepodjok kamar sana sambil
pelahan2 bernjanji ketjil.
“Sebab apa engkau mendengus?”
tanja Tik Hun heran.
“Tidak apa2,” sahut Ting Tian.
“Tentu ada sebabnja,
Ting-toako, haraplah engkau suka bitjara terus terang sadja,” pinta Tik Hun.
“Baiklah,” kata Ting Hun
achirnja, “Tjoba terangkan dulu, siapakah djulukan gurumu itu?”
“Ehm, dia berdjuluk
‘Tiat-so-heng-kang’,” sahut Tik Hun.
“Apa maksudnja djulukan itu?”
tanja Ting Tian.
Tik Hun mendjadi gelagapan,
maklum kurang makan sekolahan. Tapi djawabnja djuga kemudian: “Aku tidak paham
arti daripada kata2 sastra tinggi itu. Tapi dugaanku mungkin maksudnja
menggambarkan ilmu silat beliau sangat hebat, mahir dalam hal bertahan, musuh
sekali2 tak mampu membobol pertahanannja.”
“Hahahaha!” Ting Tian
terbahak. “Tik-hiati, engkau sendirilah sebenarnja jang terlalu djudjur dan
polos. Tiat-so-heng-kang (rantai besi melintang disungai), supaya orang takbisa
turun djuga tak dapat naik, bagi tokoh kalangan Bu-lim angatan lebih tua siapa
orangnja jang tidak tahu arti daripada djulukan itu? Gurumu itu djusteru pintar
dan tjerdik, lihaynja tidak kepalang, pabila ada orang menjakiti hatinja, pasti
dia akan memeras otak mentjari akal untuk membalasnja, supaja orang serba
sulit, turun tak bisa, naik takdapat, djadi ter-katung2 seperti sebuah kapal
jang mengoleng2 ditengah sungai oleh pusaran air. Djika kau tidak pertjaja
utjapanku ini, kelak kalau kau sudah keluar pendjara, boleh kau tjoba mentjari
tahu betul tidak ramalanku ini.”
Namun Tik Hun masih tidak
pertjaja, pikirnja: “Sedangkan Kiam-hoat jang diadjarkan Suhu padaku djuga
banjak jang salah. Sebenarnja djurus: ‘seekor burung terbang dari lautan tidak
sudi menghinggap di-rawa2’, tapi dia telah salah mengartikan: ‘ada bandjir
orang ber-teriak2, ketemu rintangan tidak berani lewat’, dan lain2 djurus lagi.
Ja, maklumlah, memangnja dia djuga tidak banjak bersekolah, mana dapat
dikatakan dia sangat pintar dan tjerdik!” ~ maka katanja segera: “Tapi suhu
benar2 seorang djudjur, seorang petani jang dangkal sekolahnja.”
“Mana bisa?” sahut Ting Tian
dengan gegetun. “Ia djusteru sangat tinggi sekolahnja dan banjak kepandaiannja,
ia sabar dan pendiam, tentu ada maksud2 tertentu. Tapi mengapa sampai muridnja
sendiri djuga dibohongi, inilah susah dimengerti orang luar. Sudahlah, djangan
kita membitjarakan urusan ini sadja, marilah, biar kutempelkan berewokku ini
kedjanggutmu!”
Habis berkata, Ting Tian
angkat golok membatjok kemajat siTodjin. Karena belum lama matinja Todjin
djahat itu, maka darahnja masih segar dan terus mengutjur keluar dari luka
batjokan itu. Ting Tiang mentjelup setjomot demi setjomot bulu berewoknja
sendiri jang tertjukur tadi untuk ditempelkan didjanggutnja Tik Hun dan kedua
belah pipinja.
Sebenarnja Tik Hun mendjadi
muak dan ngeri ketika mentjium bau anjirnja darah, tapi demi mengingat betapa
akal kedjinja Ban Ka, betapa maksud tertentu sang guru jang tak diketahui orang
itu serta masih banjak lagi hal2 jang tak diketahuinja, ia merasa tempat jang
paling aman didunia ini sebenarnja adalah didalam pendjara malah.
Dengan Ting Tian bahwa didalam
tiga hari pasti akan kedatangan musuh tangguh, ternjata baru saing hari kedua,
didalam pendjara itu sudah ber-turut2 didjebloskan pula pesakitan2 baru jang
beraneka matjam orangnja, ada jang tinggi, ada jang pendek, ada jang kurus, ada
jang gemuk, tua, muda, semuanja ada. Tapi sekali melihat bentuk mereka segera
orang akan tahu bahwa pesakitan2 baru itu pastilah tokoh2 Kangouw, kalau bukan
golongan bandit, tentu adalah pimpinan sesuatu gerombolan.
Melihat djumlah orang jang
dimasukan kekamar pendjara tu semakin banjak, diam2 Tik Hun mulai kuatir. Ia
tahu orang2 ini pasti musuh2 jang hendak mentjari Ting Tian. Bahkan bukan tjuma
lima musuh tangguh seperti kata Ting Tian itu, tapi sekaligus telah datang 17
orang hingga kamar pendjara itu ber-djubel2, sampai merebahpun susah, terpaksa
semua orang tjuma berduduk sadja sambil berpeluk dengkul.
Sebaliknja Ting Tian tetap
berbaring dipodjok kamar itu sambil menghadap dinding, ia tidak ambil pusing
terhadap dinding, ia tidak ambil pusing terhadap orang2 itu.
Pesakitan2 itu tiada hentinja
bergembar-gembor, bertjanda dan ber-olok2, hanja sebentar sadja sudah ada jang
bertengkar segala.
Dari suara2 mereka itu Tik Hun
dapat mengetahui bahwa ke-17 orang itu ternjata terdiri dari tiga golongan dan
sama2 lagi mengintjar sesuatu benda mestika apa.
Ketika tanpa sengadja sinar
mata Tik Hun kebentrok dengan sorot mata orang2 jang bengis itu, ia mendjadi
kaget dan tjepat berpaling kearah lain. Pikirnja: “Aku telah menjaru sebagai
Ting-toako, tapi ilmu silatku sudah punah semua, kalau sebentar mesti bergebrak,
bagaimana aku harus bertindak? Betapapun tingginja ilmu silat Ting-toako
rasanja djuga tidak sanggup sekaligus membinasakan orang2 sebanjak ini.”
Lambat-laun haripun sudah
gelap. Tiba2 seorang laki2 jang bertubuh tegap berteriak: “Marilah kita bitjara
terang2an sebelumnja, sasaran pokok ini nanti harus mendjadi milik
Tong-ting-pang kami, pabila ada jang tidak terima, hajolah lekas kita tentukan
dengan kepandaian masing2, agar nanti tidak perlu banjak rewel lagi.”
Rupanja orang Tong-ting-pang
jang ikut datang disitu ada sembilan orang, 9 daripada 17 orang, itu berarti
lebih dari separoh, dengan sendirinja kekuatannja djauh lebih kuat.
Segera seorang setengah umur
dan rambut sudah ubanan menanggapi dengan suaranja jang bantji: “Diputuskan
dengan kepandaian masing2, itu bagus! Hajolah apa kita mesti main kerubut
didalam sini atau bertarung dipelataran luar situ?”
“Dipelataran djuga boleh,
siapa jang djeri padamu?” sahut laki2 tegap itu.
Habis berkata, segera ia
pegang dua rudji lankan besi terus dipentang sekuatnja, kontan sadja djadilah
sebuah lubang jang tjukup dibuat keluar-masuk orang dengan bebas. Tenaga orang
itu kuat mementang besi hingga bengkok, betapa hebat Gwakangnja dapatlah
dibajangkan.
Dan selagi laki2 itu hendak
menerobos keluar melalui lubang rudji besi jang telah melengkung itu,
se-konjong2 sesosok bajangan berkelebat, seorang telah mengadang ditempat
lubang itu. Itulah dia Ting Tian adanja.
Tanpa berkata lagi Ting Tian
terus djamberet dada orang itu. Aneh djuga, perawakan laki2 itu sebenarnja
lebih tinggi satu kepala daripada Ting Tian, tapi sekali kena dipegang olehnja,
seketika lemas lunglai takbisa berkutik. Terus sadja Ting Tian djedjalkan tubuh
laki2 itu keluar kamar pendjara dan dilemparkan kepelataran. Laki2 itu tjuma
meringkuk sadja ditanah tanpa bergerak sedikit, terang sudah binasa.
Melihat kedjadian jang luar
biasa itu, semua orang jang berada didalam pendjara itu mendjadi kesima
ketakutan. Menjusul Ting Tian mentjengkeram lagi seorang terus dilemparkan pula
keluar. Begitulah ia terus menjambar dan melempar hingga seluruhnja telah
tudjuh orang terlempar keluar. Setiap orang jang kena dipegang olehnja itu
semuanja mati seketika tanpa bersuara sedikitpun.
Sisa 10 orang jang lain
mendjadi lebih ketakutan lagi, tiga diantaranja mengkeret kepodjok dinding,
sebaliknja tudjuh orang lainnja mendjadi nekat. Berbareng mereka mengerubut
madju dan menjerang serabutan kepada Ting Tian. Namun sama sekali Ting Tian
tidak berkelit djuga tidak menangkis, ia tetap ulur tangannja menjambar dan
sekali tangannja bekerdja pasti ada seorang jang kena dipegangnja dan setiap
orang jang terpegang itu pasti mati seketika. Tentang dimana letaknja kematian
mereka tiada seorangpun jang djelas.
Habis ketudjuh orang itupun
terbinasa semua, tiba2 ketiga orang jang meringkuk ketakutan dipodjok itu
lantas berlutut minta ampun. Namun Tian anggap sepi sadja, kembali ia
mentjengkeram dan dilemparkan keluar.
Saking kesima menjaksikan Ting
Tian mengamuk itu, Tik Hun sampai terkesiap melongo seperti orang mimpi.
Habis itu, Ting Tian tepuk2
kedua tangannja dan tertawa dingin: “Huh, tjum abegini sadja kepandaian mereka
djuga berani datang kesini hendak mengintjar Soh-sim-kiam-hoat!”
Tik Hun melengak mendengar
“Soh-sim-kiam-hoat” disinggung. Tanjanja segera: “Apa katamu, Ting-toako,
Soh-sim-kiam-hoat?”
Ting Tian seperti menjesal
telah ketelandjur omong, tapi iapun tidak ingin membohongi Tik Hun, maka ia
tjuma tertawa dingin beberapa kali tanpa mendjawab.
Sungguh selama hidup Tik Hun
belum pernah menjaksikan orang setangkas Ting Tian, hanja sekedjap sadja 17
orang jang tegap kuat itu sudah menggeletak semua mendjadi majat. Dengan
gegetun ia berkata kepada Ting Tian: “Ting-toako, kepandaian apakah jang engkau
gunakan hingga begitu lihay? Apakah orang ini semuanja pantas digandjar
kematian?”
“Pantas digandjar kematian
rasanja djuga tidak semuanja,” sahut Ting Tian. “Jang terang orang2 ini tidak
bermaksud baik kepadaku. Pabila aku belum berhasil mejakinkan ‘Sin-tjiau-keng’
hingga kena ditawan oleh mereka malah, pastilah susah dibajangkan siksaan apa
jang akan kuderita.”
Tik Hun tahu apa jang
dikatakan Ting Tian itu bukanlah omong-kosong, katanja pula: “Sekenanja engkau
memegang mereka, seketika mereka terbinasa ditanganmu, sungguh ilmu kepandaian
ini mendengar sadja aku belum pernah. Pabila kutjeritakan kepada Sumoay, tentu
diapun takkan pertjaja……” ~ teringat kepada sang Sumoay, hatinja mendjadi pilu
dan dadanja se-akan2 kena dipukul orang sekali.
Namun Ting Tian tidak
mentertawainja, bahkan ia menghela napas pandjang dan menggumam sendiri:
“Padahal, sekalipun sudah berhasil mejakinkan imu silat maha tinggi djuga belum
tentu segala tjita2 orang dapat tertjapai……..”
Belum habis utjapannja, tiba2
Tik Hun bersuara heran dan menuding kearah serangka majat dipelataran sana.
“Ada apa?” tanja Ting Tian.
“Orang itu belum mati sama
sekali, kakinja barusan tampak bergerak,” kata Tik Hun.
Sungguh kedjut Ting Tian bukan
kepalang, serunja: “Apa benar?” ~ bahkan suaranja sampai gemetar.
“Ja, barusan aku melihat
kakinja bergerak dua kali,” sahut Tik Hun sambil memikir djuga: “Seorang jang
terluka parah dan tidak lantas mati, mengapa mesti dikuatirkan, masakan masih
mampu berbangkit untuk bertempur?”
Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa Sin-tjiau-kang jang sudah berhasil dijakinkan Ting Tian itu, siapa sadja
asal kena ditjengkeram olehnja, seketika orang itu akan binasa. Kini kalau ada
musuh jang ditjengkeram dan ternjata tidak mati, hal itu menandakan ilmu
saktinja itu masih ada kekurangannja.
Begitulah karena itu, Ting
Tian mendjadi heran dan tjemas, segera ia menerobos keluar dari lubang lankan
itu untuk memeriksa orang jang masih bisa bergerak itu.
Diluar dugaan, tiba2 terdengarlah
suara mentjitjit dua kali, dua sendjata gelap jang sangat ketjil telah
menjambar kearah mukanja. Namun Ting Tian sudah ber-djaga2 sebelumnja, tjepat
sekali ia mendongak kebelakang hingga dua batang panah ketjil menjambar lewat
dimukanja, bahkan hidungnja mengendus bau amis jang busuk, terang diatas panah2
ketjil itu terdapat ratjun djahat.
Dan begitu membidikan
panahnja, orang itu terus melesat keatas emper rumah. Melihat Ginkang orang itu
sangat hebat, sebaliknja dirinja sendiri terbelengu, gerak-gerik kurang
leluasa, untuk mengedjar belum tentu mampu mentjandaknja, terpaksa Ting Tian
menjamber serangka majat sekenanja terus ditimpukan kearah pelarian itu.
Timpukan Ting Tian itu sangat
keras dan tjepat, “bluk”, tepat sekali kepala majat itu menumbuk dipinggang
sipelarian selagi orang itu baru sadja sebelah kakinja mengindjak emper rumah.
Kontan sadja ia terdjungkal kembali kebawah, segera Ting Tian memburu kesana
dan mentjengkeram tengkuknja untuk diseret kembali kedalam kamar pendjara,
ketika diperiksa napasnja, sekali ini orang itu benar2 sudah putus njawanja.
Ting Tian buang majat itu, ia
berduduk dilantai dan bertopang dagu untuk memikirkan: “Sebab apakah
tjengkeramanku tadi tidak membinasakan orang itu? Apakah ilmu jang kulatih itu
masih ada sesuatu jang kurang sempurna?”
Tapi sampai lama sekali tetap
ia tidak memperoleh sesuatu gagasan jang tepat. Saking mendongkol, kembali
tangannja mentjengkeram pula kedada majat disampingnja itu. Mendadak ia
merasakan ada sesuatu tenaga jang lunak tapi ulet telah mementalkan kembali
djarinja. Ting Tian terkedjut tertjampur girang, serunja: “Ja, ja, tahulah aku
sekarang!”
Tjepat ia terus mempelototi
pakaian majat itu, maka terlihatlah
dibadan majat itu memakai
sebuah badju kutang jang berwarna hitam gilap. Maka Ting Tian berkata pula:
“Pantas sadja, sampai aku dibikin terkedjut sekali!”
Tik Hun heran, tanjanja: “Ada
apakah, Ting-toako?”
Ting Tian tidak mendjawab, ia
melutjuti pakaian majat itu dan mentjopot badju kutang didalamnja itu, habis
itu ia lemparkan majat itu keluar kamar pendjara, lalu katanja kepada Tik Hun
dengan tertawa: “Tik-hiati, ini, pakailah badju ini.”
Tik Hun dapat menduga badju
kutang warna hitam itu pasti barang mestika, maka sahutnja: “Badju ini adalah
milik Toako, aku tidak berani mengambilnja.”
“Djadi kalau bukan milikmu,
lantas kau tidak sudi?” tanja Ting Tian dengan nada agak keras.
Tik Hun terkesiap, kuatir
orang mendjadi marah, segera sahutnja: “Tapi kalau Toako mengharuskan aku
memakainja, biarlah aku memakainja.”
“Kutanja padamu: Djika bukan
milikmu, engkau mau tidak?” tanja Ting Tian dengan sungguh2.
“Ketjuali kalau sipemilik
berkeras memberikannja kepadaku, terpaksa aku menerimanja, bila
tidak........... bila tidak, karena bukan milikku, dengan sendirinja aku tidak
mau,” sahut Tik Hun. “Sebab kalau sembarangan mengambil milik orang, bukankah
perbuatan itu mirip perampok dan pentjuri?” ~ Berkata lebih landjut, sikapnja
mendjadi penuh semangat, sambungnja: “Ting-toako, engkau tahu bahwa sebabnja
aku didjebloskan kedalam pendjara ini adalah karena dipitenah orang. Selama
hidupku sutji bersih, selamanja aku tidak pernah berbuat sesuatu kedjahatan.”
Ting Tian meng-angguk2,
katanja: “Ja, bagus, bagus! Tidak pertjumalah aku mempunjai seorang kawan
seperti engkau. Nah, pakailah badju ini dibagian dalam.”
Tik Hun tidak enak untuk
menolaknja, terpaksa ia membuka badju luarnja dan memakai badju kutang hitam
itu dibagian dalam, lalu dirangkap pula dengan badju luarnja sendiri jang
berbau apek lantaran sudah tiga tahun tidak pernah ditjutji.
Karena tangannja terbelenggu,
dengan sendirinja sulitlah untuk berpakaian. Tapi berkat bantuan Ting Tian jang
merobek dulu lengan badjunja jang lama itu, badju kutang hitam itu mendjadi
tidak susahlah untuk dipakainja.
Selesai membantu memakaikan
badju kutang itu, kemudian Ting Tian berkata: “Tik-hiati, badju ini adalah
badju mestika jang kebal sendjata, jaitu dibuat dari sutera ulat hitam jang
tjuma terdapat di Tay-swat-san. Terang keparat itu adalah tokoh penting dari
Swat-san-pay, makanja dia memakai badju kutang Oh-djan-kah pusaka ini.
Hahahaha, dia mengintjar mestika kesini, tak tahunja malah mengantarkan
mestikanja.”
Mendengar badju hitam itu
adalah badju mestika, tjepat Tik Hun berkata: “Toako, musuhmu sangat banjak,
seharusnja badju ini engkau pakai sendiri untuk melindungi badanmu. Pula setiap
tanggal 15.............”
Namun Ting Tian lantas gojang2
tangannja, katanja: “Aku mempunjai ilmu pelindung badan Sin-tjiau-kang, tidak
membutuhkan ‘Oh-djan-kah’ ini. Tentang siksaan setiap tanggal 15, ha, memang
aku sukarela menerimanja, kalau mesti memakai badju pusaka ini malah akan
menundjukan ketidak tulusnja hatiku. Tjuma sedikit penderitaan kulit-daging
sadja kenapa mesti dipikirkan, toh tidak sampai merusak otot-tulang.”
Tik Hun ter-heran2 oleh
djawaban itu. Selagi ia ingin tanja, tiba2 Ting Tian berkata pula: “Meski aku
minta engkau menjaru sebagai aku jang penuh berewok, tapi aku masih kuatir
tidak sempurna melindungi engkau dari samping. Namun sekarang sudahlah baik,
engkau sudah pakai badju pusaka, aku tidak kuatir lagi. Marilah mulai sekarang
djuga aku akan mengadjarkan kuntji dasar Lwekang padamu, harap engkau beladjar
baik2.”
Dahulu bila Ting Tian hendak
mengadjarkan ilmu kepandaiannja kepada Tik Hun, dalam keadaan putus asa, pemuda
itu berkeras tidak mau beladjar silat apa2 lagi. Tapi kini sesudah tahu
seluk-beluk dirinja sendiri telah dipitenah orang, seketika tekadnja ingin
membalas dendam itu ber-kobar2 didalam dadanja, sungguh kalau bisa detik itu
djuga ia ingin terus keluar pendjara untuk membikin perhitungan dengan si Ban
Ka. Dengan mata kepala sendiri Tik Hun telah menjaksikan Ting Tian membinasakan
djago2 silat sebanjak itu dengan begitu mudah, ia pikir asal dirinja mampu
beladjar 3 atau 4 bagian dari kepandaian Ting-toako itu sudahlah tjukup untuk
melolos dari pendjara dan membalas sakit hati.
Saking kusut pikirannja waktu
itu, Tik Hun mendjadi se-akan2 tersumbat mulutnja, ia berdiri termangu dengan
muka merah membara dan darah bergolak.
Ting Tian menjangka pemuda itu
tetap tidak ingin beladjar Lwekang jang akan diadjarkan olehnja itu, selagi dia
hendak memberi nasehat lebih djauh, tiba2 Tik Hun terus berlutut kehadapannja
sambil menangis ter-gerung2, katanja: “Ting-toako, baiklah engkau mengadjarkan
kepandaianmu padaku, aku akan menuntut balas, aku pasti akan membalas sakit
hatiku!”
Maka ter-bahak2lah Ting Tian
hingga suaranja menggetarkan atap rumah, katanja: “Hendak membalas dalam, apa
susahnja?”
Dan sesudah perasaan Tik Hun
tenang kembali, barulah Ting Tian mulai mengadjarkan pengantar ilmu Lwekang
jang hebat itu.
Tik Hun sangat giat beladjar,
sekali diberi petundjuk, segera ia melatihnja tanpa mengenal tjapek.
Melihat ketekunan pemuda itu,
Ting Tian mendjadi geli, katanja dengan tertawa: “Untuk mejakinkan
Sin-tjiau-keng jang tiada tandingannja itu masakan kau sangka begitu gampang?
Aku sendiri kebetulan ada djodoh serta dasar Lwekangku memang sudah kuat, makanja
dapat mejakinkannja dalam 12 tahun. Orang beladjar memang perlu giat,
Tik-hiati, tapi terlalu tjepat mendjadi djelek malah, maka harus madju
setindak-demi-setindak dengan teratur. Hendaklah tjamkan utjapanku ini.”
Walaupun sebegitu djauh Tik
Hun masih memanggil “Toako” kepada Ting Tian, tapi dalam hatinja kini
sebenarnja sudah menganggapnja sebagai “Suhu”, apa jang dikatakannja pasti
diturutnja. Tapi rasa dendam dalam hatinja bergolak bagai ombak mendampar, mana
dapat suruh dia tenang begitu sadja?
Besok paginja kembali geger
pula ketika petugas2 bui melihat ke-17 rangka majat dipelataran pendjara itu,
segera hal itu dilaporkan kepada atasannja dan baru sore harinja majat2 itu
digotong pergi. Ting Tian dan Tik Hun mengaku bahwa orang2 itu saling bunuh-membunuh
sendiri, sipir bui pertjaja penuh pengakuan itu karena mereka berdua tetap
terbelenggu kaki dan tangannja, tidak mungkin orang terbelenggu dapat membunuh
17 orang sekaligus.
Petangnja, kembali Tik Hun
melatih diri menurut adjaran Ting Tian. Pengantar dasar “Sin-tjiau-kang” itu
ternjata sangat mudah, tapi makin lama mendjadi makin sulit. Meski Tik Hun
bukan anak pintar, tapi djuga tidak terlalu bodoh. Setelah melatih satu-dua
djam, lambat-laun perutnja sudah merasa ada reaksi. Sedang tegang perasaannja,
mendadak dada dan punggungnja berbareng se-akan2 kena dihantam sekali dengan
sangat keras.
Begitu keras kedua hantaman
dari muka dan belakang itu hingga mirip gentjetan dua batang godam besi,
seketika Tik Hun merasa matanja ber-kunang2 dan napas sesak, hampir2 ia djatuh
kelenger.
Setelah rasa sakitnja agak
reda, waktu ia mementang matanja, ia lihat dikanan-kirinja sudah berdiri
seorang Hwesio, waktu menoleh, ternjata dibelakangnja dan disamping djuga
terdapat pula tiga Hwesio lain, djadi seluruhnja lima Hwesio telah mengepungnja
di-tengah2.
Diam2 Tik Hun membatin: “Ja,
inilah lima musuh tangguh jang dimaksudkan Ting-toako itu, aku harus bertahan
sekuatnja, djangan sampai penjamaranku diketahui.”
Segera iapun ter-bahak2 dan
berkata: “Hahahaha, kelima Tay-su ini memangnja ada kepentingan apa mentjari
aku orang she Ting?”
Hlm. 21: Gambar:
Tengah Tik Hun merasakan
perutnja mulai timbul reaksi dari latihan Lwekang “Sin-tjiau-kang” jang sakti
itu, se-konjong2 terasa dada dan punggungnja dihantam dari muka dan belakang
dengan sangat keras. Begitu hebat hantaman itu hingga matanja ber-kunang2,
dadanja sesak dan hampir2 semaput.
Waktu sakitnja sudah mereda
dan membuka mata, Tik Hun melihat lima Hwesio sudah mengelilingi dirinja.
Hwesio sebelah kiri itu lantas
mendjawab: “Dimana Soh-sim-kiam-boh itu, lekas serahkan! He, kau...........
kau................”
Belum selesai utjapannja,
tiba2 Hwesio itu sempojongan dan hampir2 terdjatuh. Menjusul Hwesio kedua djuga
memuntahkan darah segar. Keruan Tik Hun sangat heran, ia tjoba memandang kearah
Ting Tian dipodjok sana, tertampak Ting Tian sedang melontarkan pukulannja dari
djauh, pukulannja itu tanpa suara tanpa wudjut, tapi Hwesio ketiga lantas
mendjerit djuga dan terpental menumbuk dinding.
Kedua Hwesio jang lain tjukup
tjerdik, tjepat merekapun menurutkan arah pandangan Tik Hun dan dapat melihat
Ting Tian jang meringkuk dipodjok kamar jang gelap itu, berbareng mereka
mendjerit kaget: “He, Sin-tjiau-kang! Bu-eng-sin-kun!”
Segera Hwesio jang bertubuh
paling tinggi diantaranja lantas menjeret kedua kawannja jang terluka tadi dan
berlari keluar melalui lubang lankan. Sedang Hwesio satunja lagi terus
merangkul kawannja jang muntah darah, berbareng tangannja membalik menghantam kearah
Ting Tian jang saat itu telah berbangkit dan sedang melontarkan pukulannja jang
sakti dan tanpa wudjut itu.
Karena beradunja pukulan,
Hwesio itu lantas tergetar mundur setindak, menjusul pukulan kedua orang saling
bentur lagi dan dia mundur pula setindak, sampai pukulan ketiga, Hwesio itupun
sudah mundur sampai diluar lankan besi.
Ting Tian tidak mengedjarnja,
maka Hwesio itu tampak mulai ter-hujung2, tjuma beberapa langkah ia sanggup
bergerak, habis itu tangannja lantas lemas hingga Hwesio jang dirangkulnja itu
terdjatuh ketanah, lalu maksudnja seperti ingin melarikan diri sendiri, tapi
setiap tindak, kakinja terasa semakin berat bagai diganduli benda beribu kati.
Sesudah melangkah 6 atau 7 tindak dengan susah pajah, achirnja ia tidak tahan
lagi, ia terbanting ketanah dan tidak pernah berbangkit pula.
“Sajang, sajang!” udjar Ting
Tian. “Kalau engkau tidak memandang kearahku, pasti ketiga Hwesio itu takkan
dapat melarikan diri.”
Melihat kedua Hwesio itu
sangat mengerikan matinja, Tik Hun mendjadi tidak tega, pikirnja: “Biarlah
ketiga Hwesio jang lain itu lari, sesungguhnja orang jang dibunuh Ting-toako
djuga sudah terlalu banjak.”
Melihat Tik Hun diam sadja,
Ting Tian menanja pula: “Kau anggap tjara turun tanganku terlalu kedjam bukan?”
“Aku.......... aku..........”
mendadak Tik Hun merasa tenggorokannja se-akan2 tersumbat, ia djatuh mendoprok
kelantai dan tidak sanggup berkata lagi.
Tjepat Ting Tian mengurut dada
Tik Hun untuk mendjalankan pernapasannja, setelah diurut agak lama, barulah
rasa sesak didada pemuda itu terasa longgar.
“Kau anggap aku terlalu
kedjam, tapi begitu datang mereka lantas menghantam engkau dari muka dan
belakang, pabila badanmu tidak memakai badju kutang pusaka, mungkin djiwamu
sekarang sudah melajang,” demikian kata Ting Tian kemudian. “Ai, hal ini adalah
salahku sendiri terlalu gegabah dan tidak menduga bahwa begitu datang mereka
terus menjerang. Aku tjuma menduga mereka pasti akan menanja dulu padaku. Ja,
tahulah aku, sesungguhnja mereka djuga sangat djeri padaku, maka maksud mereka
aku hendak dihantam hingga luka parah, habis itu barulah aku akan dipaksa
mengaku.”
Ia mengusap bersih berewok
dimukanja Tik Hun, lalu berkata pula dengan tertawa: “Sisa ketiga keledai
gundul itu sudah petjah njalinja, pasti mereka tidak berani datang meretjoki
kita lagi.” ~ Kemudian dengan sungguh2 ia berkata: “Tik-hiati, Hwesio jang
paling tinggi itu bernama Po-siang dan jang gemuk itu bergelar Sian-yong. Jang
pertama kali kena dipukul roboh itu paling lihay, namanja Seng-te. Kelima
Hwesio itu berdjuluk ‘Bit-tjong-ngo-hiong’ (lima djago dari sekte Bin-tjong),
ilmu silat mereka sangat tinggi, bila aku tidak menjergap mereka dari samping,
belum tentu aku mampu melawan mereka. Kelak bila engkau ketemukan mereka di
Kangouw, engkau harus hati2. Ja, tapi Ngo-hiong kini sudah tinggal Sam-hiong,
untuk melajani mereka mendjadi djauh lebih gampang.”
Oleh karena tadi Ting Tian
banjak mengeluarkan tenaga murninja untuk menjerang musuh2 tangguh itu, untuk
mana ia perlu bersemadi hingga belasan hari barulah tenaganja pulih kembali.
Sang waktu lewat setjepat anak
panah, tanpa berasa dua tahun sudah lalu pula. Selama itu keadaan aman
tenteram, terkadang ada djuga satu-dua orang Kangouw jang bikin rusuh kekamar
pendjara situ, tapi asal sekali ditjengkeram atau dipegang Ting Tian, dalam
sekedjap sadja djiwa mereka lantas melajang.
Selama beberapa bulan paling
achir ini Sin-tjiau-kang jang dilatih Tik Hun itu se-akan2 matjet, ia bertambah
giat melatihnja, tapi ternjata tiada kemadjuan apa2, rasanja masih tetap seperti
beberapa bulan jang lalu. Biar otak Tik Hun kurang tadjam, namun dia mempunjai
kemauan jang keras, ia tahu ilmu sakti jang tiada tandingannja didjagat itu
tidak mungkin berhasil dilatihnja setjara mudah, maka ia melatihnja lebih tekun
dan lebih sabar agar pada suatu waktu tjita2nja pasti akan tertjapai.
Pagi hari itu, sedang Tik Hun
mendjalankan napas sambil berbaring seperti apa jang dilakukannja setiap bangun
pagi, tiba-tiba didengarnja Ting Tian bersuara heran sekali, nadanja kedengaran
rada kuatir pula. Selang sedjenak, terdengar ia menggumam sendiri: “Harini
agaknja tidak sampai laju, boleh djuga diganti besok pagi.”
Tik Hun heran, ia menoleh dan
melihat Ting Tian sedang ter-mangu2 memandang djauh kepada pot bunga jang
berada diambang djendela diatas loteng sana.
Sedjak Tik Hun mulai melatih
Sin-tjiau-kang, indera penglihatan dan pendengarannja telah banjak lebih
tadjam. Maka begitu memandang segera ia melihat diantara tiga tangkai bunga
mawar kuning jang mekar dipot bunga itu, satu diantaranja telah rontok satu sajap
daun bunganja. Sudah biasa ia melihat Ting Tian ter-mangu2 memandangi bunga
jang mekar dipot itu selama beberapa tahun itu, ia pikir mungkin karena terlalu
kesal terkurung didalam pendjara, hanja bunga jang elok dipot bunga itu dapat
sekadar menghibur hati Ting Tian nan lara.
Namun djuga diperhatikan oleh
Tik Hun bahwa bunga jang tumbuh dipot itu selalu mekar dengan segar dan
senantiasa berganti, tidak sampai laju sudah diganti bunga lain djenis lagi.
Dimusim semi adalah bunga melati, musim rontok berganti bunga mawar dan begitu
seterusnja, pendek kata siang-malam pasti ada satu pot bunga jang segar
tertaruh diambang djendela itu.
Tik Hun ingat ketiga tangkai
mawar itu sudah mekar dipot bunga itu selama enam atau tudjuh hari, biasanja
selama itu pasti sudah diganti bunga jang lebih segar, tapi sekali ini ternjata
tidak pernah diganti.
Hari itu dari pagi sampai
malam Ting Tian tampak sangat kesal dan djengkel. Sampai esok paginja, bunga
mawar dipot itu masih tetap belum diganti, sedangkan daun bunganja sudah hampir
habis rontok tertiup angin. Lapat2 Tik Hun merasakan firasat jang kurang baik,
ketika melihat pikiran Ting Tian semakin tidak tenteram, ia lantas berkata:
“Sekali ini orang itu telah lupa mengganti bunganja, mungkin sore nanti dia
akan menggantinja.”
“Manabisa lupa?” seru Ting
Tian. “Pasti tidak, pasti tidak lupa! Ja, apa barangkali ia.......... ia sakit?
Tapi seumpamanja sakit, toh dia dapat suruhan orang mengganti bunga itu!”
Begitulah Ting Tian terus
berdjalan mondar-mandir dikamar pendjara itu dengan wadjah jang muram dan
perasaan tidak tenteram.
Tik Hun tidak berani banjak
menanja, terpaksa ia duduk bersila untuk memusatkan pikiran dan melatih diri.
Petangnja tiba2 turun hudjan
rintjik2, tertiup angin, kembali daun bunga mawar itu rontok beberapa sajap
pula. Selama beberapa djam itu Ting Tian terus memandangi bunga itu tanpa
berkesip. Setiap daun bunga itu rontok, rasanja se-akan2 menjajat hatinja.
Tik Hun tidak tahan lagi,
segera ia menanja: “Ting-toako, sebab apakah engkau tidak tenteram?”
“Peduli apa?” bentak Ting Tian
dengan gusar. “Tidak perlu usil!”
Sedjak dia mengadjarkan ilmu
silat kepada Tik Hun, belum pernah dia bersikap sekasar itu. Tik Hun mendjadi
menjesal telah bertanja, maksudnja hendak berkata sesuatu pula untuk memberi
pendjelasan, tapi demi nampak wadjah Ting Tian pe-lahan2 mengundjuk rasa pedih
dan sangat berduka, ia urung buka suara pula.
Malam itu sedetikpun Ting Tian
tidak pernah mengaso, Tik Hun mendengar dia mondar-mandir terus, rantai
belenggunja tiada hentinja mengeluarkan suara gemerintjing, karena itu Tik Hun
ikut tidak bisa tidur.
Esok paginja, angin meniup
sajup2, hudjan masih rintjik2, dibawah tjuatja jang remang2 itu tertampak
ketiga tangkai bunga mawar dipot bunga sana sudah rontok semua, tinggal ranting
bunganja jang gundul se-akan2 menggigil kedinginan didampar angin dan air
hudjan.
“Sudah meninggal? Sudah
meninggal? Benarkah engkau sudah meninggal?” tiba2 Ting Tian ber-teriak2, ia
pegang lankan besi dan di-gojang2kan terus.
Saking tak tega, Tik Hun
berkata pula: “Toako, pabila kau kuatir kepada seseorang, marilah kita pergi
mendjenguknja.”
“Mendjenguk apa?” teriak Ting
Tian mendadak. “Kalau dapat pergi, sudah lama aku telah pergi, buat apa mesti
menderita dalam pendjara berbau batjin ini?”
Karena tidak tahu
seluk-beluknja perkara, Tik Hun hanja membelalak bingung, terpaksa ia bungkam
sadja.
Sehari penuh hingga malam Ting
Tian terus mendekap kepalanja sambil duduk termenung2 dilantai, tidak makan dan
tidak minum.
Hari sudah malam dan malam
semakin larut. Kira2 tengah malam, pelahan2 berbangkitlah Ting Tian, katanja
dengan suara tenang: “Marilah sekarang kita tjoba pergi melihatnja, Tik-hiati.”
Tik Hun mengia sambil
berbangkit. Ia lihat Ting Tian telah pegang dua rudji lankan terus dipentang
pelahan, maka melengkunglah rudji besi itu hingga tjukup untuk dibuat
keluar-masuk.
“Angkatlah rantai belenggumu,
supaja tidak mengeluarkan suara,” demikian pesan Ting Tian.
Tik Hun menurut dan gulung
rantai belenggunja terus ikut keluar.
Sampai ditepi pagar tembok,
sekali endjot, dengan enteng Ting Tian sudah melontjat keatas pagar itu.
“Melompat keatas sini!” serunja kepada Tik Hun dengan suara tertahan.
Tik Hun menirukan tjara orang
dan melompat keatas. Tak terduga sedjak otot kakinja dipotong dan tulang
pundaknja tertembus, seluruh tenaganja sudah takbisa dikerahkan lagi. Maka
lontjatannja itu kurang lebih tjuma satu meter tingginja. Untung Ting Tian
tjepat meraup tangannja terus ditarik keatas pagar tembok, lalu mereka melompat
kesebelah luar sana bersama.
Sesudah melintas pagar tembok
itu, diluar pendjara terdapat pula selarik pagar tembok jang lebih tinggi, Ting
Tian dapat melontjat keatasnja, tapi Tik Hun tidak sanggup lagi betapapun.
Karena tiada djalan lain, Ting Tian melompat turun kembali, ia tempelkan
punggungnja memepet tembok, sekali ia mendengar dan mengerahkan tenaga, maka
terdengarlah suara keresak-keresek jang pelahan, debu pasir bertebaran,
menjusul batu batapun berdjatuhan. Pandangan Tik Hun serasa kabur, tahu2 dinding
pagar itu telah amblong berwudjut satu lubang bentuk manusia dan Ting Tiang
sudah menghilang. Kiranja Ting Tian telah menggunakan Sin-tjiau-kang jang maha
sakti itu untuk membobol tembok dan orangnja sudah melesat keluar.
Kedjut dan girang Tik Hun, tjepat
iapun menerobos keluar melalui lubang dinding itu. Diluar ternjata adalah
sebuah gang.
Dari djauh Ting Tian sedang
menggape padanja. Lekas2 Tik Hun berlari keudjung gang sana.
Agaknja Ting Tian sangat apal
terhadap djalanan didalam kota Hengtjiu itu, setelah melintas sebuah djalan dan
membiluk dua gang lain, sampailah mereka didepan sebuah bengkel pandai besi.
Ting Tian tempelkan tangannja kepintu dan mendorongnja sekali, “pletak”, palang
pintu didalam telah patah dan pintupun terpentang.
Pandai besi rupanja sedang
tidur didalam, ia mendjadi kaget dan melompat bangun sambil mendjerit:
“Maling!”
Namun Ting Tian keburu
mentjekek lehernja sambil membentak tertahan: “Diam! Lekas menjalakan api!”
Pandai besi itu tidak berani
membangkang, segera ia menjalakan pelita. Ketika melihat Ting Tian dan Tik Hun
berambut pandjang dan penuh berewok, rupanja menakutkan, keruan lebih ketakutan
dan tidak berani berkutik lagi.
“Tatah putus belenggu kami
ini!” perintah Ting Tian pula.
Sipandai besi tahu kedua tamu
tak diundang ini pasti adalah pelarian pendjara Tihu, kalau membantunja memahat
belenggu mereka, bila kelak diusut dan diketahui oleh alat negara, tentu
dirinja akan tersangkut. Maka ia mendjadi ragu2.
Tiba2 Ting Tian menjambar
sepotong besi, sekali ia remas, besi itu terus mengepal mendjadi satu bola.
Lalu bentaknja: “Kau berani membangkang, apakah kepalamu lebih keras dari besi
ini?”
Sungguh kedjut pandai besi itu
bukan kepalang, disangkanja telah ketemukan malaikat dewasa, sebab dia tidak
pertjaja manusia dapat meremas besi sekeras itu. Dan kalau kepala sendiri
benar2 diremas begitu rupa, wah, runjam. Tjepatan sadja ia mengia terus
mengeluarkan tatah dan palu. Lebih dulu ia membuka belenggunja Ting Tian,
kemudian Tik Hun.
Waktu Ting Tian melorot keluar
rantai besi jang menembusi tulang pundak Tik Hun itu, saking sakitnja hampir2
pemuda itu djatuh kelengar. Paling achir ia mendjadi ter-mangu2 sambil
memegangi rantai putus jang bersedjarah itu, terkenang olehnja masa lima tahun
kebebasannja terkekang dan baru sekarang rantai itu meninggalkan tubuhnja, ia
mendjadi girang dan berduka pula hingga mengalirkan air mata.
Tik Hun simpan rantai putus
itu kedalam badjunja, lalu ikut Ting Tian keluar dari bengkel besi itu. Ia
masih sempat melihat sipandai besi terus melemparkan kedua potong belenggu
mereka jang ditatah itu kedalam tungku untuk digembleng, tentunja takut kalau
meninggalkan bukti jang bisa bikin tjelaka padanja.
Terlepas dari kekangan
belenggu berantai itu, Tik Hun merasa tubuhnja enteng sekali dan kurang biasa,
beberapa kali hampir2 ia terdjungkal karena merasa kepalanja lebih antap
daripada kakinja. Tapi demi nampak Ting Tian berdjalan dengan kuat, bahkan
makin lama makin tjepat, segera Tik Hun menjusulnja, ia kuatir ketinggalan
terlalu djauh dalam kegelapan.
Tidak lama, sampailah mereka
dibawah djendela dimana selalu tertaruh pot bunga itu, Ting Tian mendongak
keatas dengan ragu2 hingga lama.
Tik Hun melihat daun
djendelanja tertutup rapat, diatas loteng djuga sunji senjap. Segera katanja:
“Bolehkah kutjoba melihatnja keatas situ?”
Ting Tian meng-angguk2 tanda
setudju.
Segera Tik Hun memutar kepintu
samping rumah bersusun itu, ia tjoba mendorong pintunja, tapi terpantek dari
dalam. Sjukurlah pagar tembok disitu sangat pendek, satu dahan pohon Liu
kebetulan mendjulur keluar dari sebelah dalam sana, sedikit Tik Hun melontjat,
dapatlah ia menggandul diatas dahan itu terus melompat kedalam pagar tembok.
Pintu masuk kedalam rumah itu
ternjata tidak dikantjing dari dalam, maka dapatlah Tik Hun masuk dengan
leluasa, pelahan2 ia menaiki tangga loteng, dalam kegelapan terdengarlah suara
tindakannja ditangga loteng itu. Ia merasa kakinja se-akan2 terapung dan tidak
leluasa. Maklum selama lima tahun hidupnja tjuma boleh bergerak didalam sebuah
kamar, selama itu tidak pernah mengindjak tangga.
Sampai di atas loteng, keadaan
masih sepi njenjak, dibawah sinar bintang jang remang2, Tik Hun melihat disisi
kiri ada sebuah pintu pula, pelahan2 ia masuk kesana. Tiada sesuatu suara
didalam kamar itu, jang terdengar hanja suara napas sendiri jang agak memburu.
Lapat2 ia melihat diatas medja ada sebuah tatakan lilin, ia me-raba2 diatas
medja dan dapat menemukan batu ketipan api, dengan alat itu ia dapat menjalakan
lilin.
Entah mengapaa, dibawah
tjahaja lilin jang terang itu, mendadak Tik Hun merasakan keadaan jang sunji
dan hampa.
Ternjata didalam kamar itu
memang hampa alias kosong melompong, ketjuali sebuah medja, sebuah kursi, dan
sebuah ranjang, benda lain tak tertampak lagi. Hanja dirandjang itu tergantung
kelambu putih, diatas randjang terdapat sebuah selimut dan sebuah bantal,
diudjung randjang ada pula sepasang sepatu kain wanita. Dari sepatu inilah baru
bisa diketahui bahwa kamar ini adalah tempat tinggal seorang wanita.
Tik Hun tertegun sedjanak,
kemudian ia memeriksa pula kamar kedua, disana lebih hampa lagi, bahkan
medja-kursipun tidak ada. Melihat gelagatnja perabor dalam kamar toh bukan baru
sadja dikosongkan, tetapi memang sudah sedjak lama keadaan telah hampa begitu.
Tik Hun turun kembali kebawah
dan tjoba periksa tempat2 lain, namun bajangan seorangpun tidak kelihatan.
Diam2 ia merasa keadaan demikian agak gandjil, segera ia keluar untuk
memberitahukan kepada Ting Tian apa jang telah dilihatnja itu.
“Djadi keadaan sudah kosong,
tidak sesuatu barang apa2?” Ting Tian menegas.
Tik Hun mengangguk
membenarkan. Agaknja keadaan demikian memang sudah dalam dugaan Ting Tian, maka
sama sekali ia tidak kaget atau heran. Segera katanya:”Marilah kita tjoba
melihat kesuatu tempat lain lagi.”
Suatu tempat lain jang
dikatakn itu ternjata adalah sebuah gedung besar dengan pintu gerabang tjat
merah, diluar pintu tergantung dua tenglong beesar, jang satu djelas tertulis
“Kantor Kang-leng-hu” dan jang lain tertulis “Kediaman keluarga Leng.”
Tik Hun mendjadi kaget,
pikirnja” “Ini adalah kediaman Tihu kota Kang-leng, Leng Dwe-su, untuk apakah
Ting-toako datang kesini? Apakah hendak membunuhnja?”
Sambil meng-gosok2 tangan
sendiri, tanpa bersuara Ting Tian terus melintasi pagar tembok gedung itu dan
masuk kedalam. Terhadap seluk-beluk rumah keluarga Leng itu Ting Tian seperti
sudah sangat apal, ia menjusur kesana dan menerobos kesini seperti berdjalan
didalam rumahnja sendiri sadja.
Setelah menjusur dua serambi
pandjang, achirnja sampailah mereka didepan sebuah ruangan tertutup, mendadak
Ting Tian rada gemetar, katanja kepada Tik Hun: “Tik-hiati, tjobalah engkau
masuk melihatnja dulu.”
Tik Hun terus mendorong pintu
ruangan itu, jang tertampak olehnja per-tama2 jalah api lilin jang terang
benderang menjilaukan, diatas medja tersulut dua batang lilin sembahjangan,
ternjata ruangan ini adalah tempat abu orang mati.
Sedjak mula Tik Hun memang
sudah kuatir akan melihat ruangan abu, peti mati atau majat, achirnja benar2
telah dilihatnja sekarang. Walaupun sudah dalam dugaannja, tidak urung ia
merinding djuga. Ketika diperhatikannja, ia lihat dimedja sembajang itu sebuah
papan kaju tertulis: “Tempat abu puteri kesajangan Leng Siang-hoa.” Dan pada
saat itulah, tiba2 terasa angin berkesiur disampingnja, Ting Tian sudah memburu
kedalam situ. Terlihat ia kesima sedjenak didepan medja abu itu, kemudian ia
terus menubruk keatas medja sambil meng-gerung2 menangis, teriaknja:
“Siang-hoa, o, Siang-hoa, engkau ternjata sudah mendahului aku.”
Sesaat itu dalam benak Tik Hun
timbul matjam2 pikiran, tindak-tanduk Ting-toako jang aneh dan menjendiri itu
dengan tangisannja mendekap diatas medja itu telah membuat Tik Hun mendjadi
paham duduknja perkara. Tapi bila dipikir lebih teliti, ia merasa banjak djuga
segi2 jang ruwet dan susah dimengerti.
Sama sekali Ting Tian tidak
pikirkan bahwa dirinja adalah pelarian dari pendjara, iapun tidak peduli tempat
itu adalah kediamannja tuan besar Tihu. Tapi suara tangisannja makin lama
semakin keras dan bertambah duka.
Tik Hun tahu pertjuma sadja
menghibur sang Toako itu, maka dibiarkannja Ting Tian menangis se-puas2nja.
Lambat-laun Ting Tian
menghentikan tangisannja, pelahan2 ia berbangkit dan membuka tirai dibelakang
medja perabuan itu, maka tertampaklah sebuah peti mati jang masih baru, tanpa
pikir lagi ia menubruk madju dan merangkul peti mati itu dengan kentjang, ia
tempelkan pilinja keatas peti mati dan katanja dengan ter-guguk2: “O,
Siang-hoa, Siang-hoa! Mengapa engkau begitu tega meninggalkan daku? Sebelumnja
mengapa engkau tidak memberi kesempatan padaku untuk melihat engkau sekali
lagi?”
Tiba2 Tik Hun mendengar ada
suara orang berdjalan mendatangi, beberapa orang sudah sampai diluar pintu
ruangan itu, tjepat serunja: “Toako, ada orang jang datang!”
Namun Ting Tian asjik
tempelkan bibirnja untuk mentjium peti mati itu, sama sekali tak dipedulinja
apa ada orang jang datang atau tidak.
Didahului oleh tjahaja obor
jang sangat terang, masuklah dua orang sambil membentak: “Siapakah jang bikin
ribut disini?”
Menjusul kedua orang itu,
masuk pula seorang laki2 setengah umur berdandan sangat mentereng, sikapnja
sangat tjekatan.
Ia memandang sekedjap kepada
Tik Hun, lalu menanja: “Siapakah engkau? Ada keperluan apa datang kesini?”
“Dan engkau sendiri siapa
serta untuk apa datang kemari?” demikian Tik Hun balas menanja dengan penuh
dongkol.
“Bangsat, barangkali matamu
sudah buta, ja?” bentak kedua orang jang membawa obor tadi.
“Ini adalah Leng-taydjin dari
Kang-leng-hu, tengah malam buta kau berani sembarang masuk kesini, tentu kau
tidak bermaksud baik. Hajo lekas berlutut!”
Namun Tik Hun hanja
mendengusnja sekali dan tidak menggubris lagi.
Tiba2 Ting Tian mengusap air
matanja, lalu menanja: “Hari apakah wafatnja Siang-hoa? Ia menderita sakit
apa?”
Tik Hun ter-heran2 mendengar
suara pertanjaan sang Toako itu diutjapkan dengan nada jang tenang dan ramah.
Leng-tihu memandangnja
sekedjap, lalu katanja: “Aha, kukira siapa, tak tahunja adalah Ting-tayhiap.
Tidak beruntung Siauli (putriku) meninggal dunia, penjakit apa jang dideritanja
tabib pun takbisa menerangkan, hanja dikatakan Siauli terlalu menanggung rasa
sedih jang tak terhapus.”
“Dan dengan demikian
tertjapailah tjita2mu bukan?” kata Ting Tian dengan mendongkol.
“Ai, Ting-tayhiap, engkau
sendiripun terlalu kepala batu,” sahut Leng-tihu dengan gegetun.
“Tjoba kalau sedjak dulu
engkau mengatakan padaku, pastilah Siauli takkan meninggal gara2 kebandelanmu
dan kitapun akan terikat mendjadi menantu dan mertua, bukankah hal itu akan
sama2 baiknja?”
Mendadak sorot mata Ting Tian
memantjarkan sinar kebentjian, teriaknja. “Djadi kau anggap aku jang
mengakibatkan matinja Siang-hoa dan bukan engkau sewndiri jang mentjelakainja?”
-- Sembari berkata ia terus mendesak madju selangkah.
Namun Leng-tihu sebaliknja
sangat tenang, sahutnja dengan menggojang kepala: “Urusan sudah ketelandjur
begini, apa jang bisa kuktakan lagi? Siang-hoa, o, Siang-hoa, dialam baka tentu
djuga engkau akan menjalahkan ajahmu ini tidak dapat memmahami isi hatimu.” ~
sambil berkata ia terus mendekati medja perabuan serta mengusap air matanja.
Hlm 31: Gambar
Melihat Ting Tian terantjam
bahaja, tjepat Tik Hun melompat madju dan berhasil menawan Leng-tihu hingga
begundalnja mati kutu dan tidak berani sembarangan bertindak.
“Hm, kalau harini aku membunuh
kau, dialam baka tentu djuga Siang-hoa akan bentji padaku,” demikian kata Ting
Tian dengan gemas. “Leng Dwe-su, mengingat kebaikan puterimu, biarlah derita
selama tudjuh tahun jang kau siksa atas diriku, sekaligus kuhapuskan sekarang
djuga. Tapi kelak kalau engkau kebentur lagi tanganku, djanganlah engkau
menjalahkan orang she Ting tidak kenal budi. Marilah, Tik-hiati, kita pergi!”
“Ting-tayhiap,” sahut
Leng-tihu tiba2 menghela napas, “sudah begini akibat perbuatan kita, apakah
manfaatnja sampai sekarang.
“Kau boleh tanja pada dirimu
sendiri, apakah engkau djuga merasa menjesal?” kata Ting Tian. “Hm, engkau
serakah dan senantiasa mengintjar Soh-sim-kiam-boh, hingga tidak sajang
membikin tjelaka puterinja sendiri.”
“Ting-tayhiap,” kata Leng-tihu
pula, “engkau djangan buru2 pergi, lebih baik engkau katakan lebih dulu tentang
rahasia ilmu pedang itu dan segera kuberi obat penawarnja, supaja djiwamu tidak
melajang pertjuma.”
“Apa katamu? Obat penawar?”
seru Ting Tian terkedjut. Dan pada saat itulah tiba2 terasa pipi, bibir dan
tangannja makin lama makin kaku dan lumpuh. Sadarlah ia telah keratjunan, tapi
mengapa sampai keratjunan, seketika iapun tidak tahu.
“Aku kuatir ada kaum pendjahat
mungkin akan membongkar peti mati untuk menodai lajon puteriku jang sutji
bersih itu, maka.........”
Belum selesai utjapan
Leng-tihu itu, maka tahulah Ting Tian duduknja perkara, serunja dengan gusar:
“Djadi engkau telah memoles ratjun diatas peti mati? Sungguh kedji amat engkau
Leng Dwe-su!” ~ Berbareng ia terus menubruk madju dan mentjengkeram kearah
Leng-tihu.
Tak tersangka kasiat ratjun
itu benar2 lihay luar biasa, seketika telah memunahkan tenaga orang dan
menjesap ketulang. Sin-tjiau-kang jang sakti itu takdapat dikerahkan lagi oleh
Ting Tian.
Sambil berkelit, Leng-tihu
lantas berseru memberi tanda, segera menerobos masuk pula empat laki2
bersendjata dan berbareng mengerubut Ting Tian.
Sekali lihat sadja Tik Hun
lantas tahu bahwa kepandaian empat orang itu adalah pilihan semua. Terlihat
Ting Tian angkat sebelah kakinja hendak menendang pergelangan lawan jang
sebelah kiri, sebenarnja tendangan itu sangat djitu dan tjepat, pasti sendjata
golok orang itu akan terpental dari tjekalannja. Siapa tahu tenaga tendangannja
itu mendadak lenjap sampai ditengah djalan, kedua kakinja tidak mau mendengar
perintah lagi. Ternjata ratjun sudah menjerang sampai dikakinja.
Kesempatan itu tidak
di-sia2kan orang itu, goloknja membalik, “tak”, punggung golok tepat mengetok
dibetis Ting Tian hingga tulang remuk dan orangnja roboh.
Tik Hun terkedjut, dalam
kuatirnja ia tidak sempat lagi memikir, mendadak ia menubruk kearah Leng-tihu.
Ia pikir djalan satu2nja harus menawan Leng-tihu sebagai barang djaminan,
dengan begitu barulah djiwa Ting Tian dapat diselamatkan.
Tak terduga ilmu silat
Leng-tihu itu ternjata bukan kaum lemah, mendadak tangan kirinja memapak kedada
Tik Hun, baik tenaganja maupun ilmu pukulannja terang golongan kelas tinggi.
Namun Tik Hun sudah nekat, ia
tidak menangkis djuga tidak berkelit, tapi tetap menubruk madju. “Plak”, terang
gamblang pukulan Leng-tihu itu mengenai dada sasarannja. Tapi aneh bin heran,
Tik Hun sama sekali tidak bergeming dan tetap menerdjang madju.
Sudah tentu Leng-tihu tidak
tahu bahwa Tik Hun memakai “Oh-djan-kah” atau badju kutang dari sutera ulat
hitam jang tidak mempan sendjata. Karena itu, ia malah menjangka ilmu silat Tik
Hun tingginja susah diukur. Dalam kagetnja, tahu2 “Tan-tiong-hiat” didadanja
telah kena dipegang oleh Tik Hun. Dan karena madjikan mereka tertawan musuh,
orang2 tadi mendjadi mati kutu dan tidak berani sembarangan bertindak.
Sekali berhasil serangannja,
terus sadja Tik Hun menggendong Ting Tian sambil mentjengkeram kentjang2
Hiat-to berbahaja didada Leng-tihu itu. Melihat madjikan hendak ditjulik, laki2
tadi mendjadi djeri dan serba susah, mereka mem-bentak2, tapi tidak berani
sembarangan madju.
“Buang obor kalian dan
padamkan api lilin!” bentak Ting Tian.
Terpaksa laki2 itu menurut,
maka seketika ruang lajon itu mendjadi gelap gelita.
Sambil sebelah tangannja tetap
mentjengkeram Leng-tihu dan diseret keluar, Tik Hun menggunakan tangan lain
untuk menggendong Ting Tian, dengan tjepat ia lari keluar dari gedung pembesar
itu. Ting Tian jang memberi petundjuk djalannja, maka sebentar sadja sudah
sampai dipintu taman. Segera Tik Hun depak pintu itu hingga terpentang, entah
darimana pula datangnja tenaga, terus sadja ia gendjot sekali se-keras2nja di “Tan-tiong-hiat”
didada Leng-tihu, lalu ditinggalkannja untuk lari sambil menggendong Ting Tian.
Ia terus lari se-tjepat2nja dalam kegelapan.
Sebenarnja sebelumnja Leng
Dwe-su sudah menduga Ting Tian pasti akan datang berziarah kepada lajon
puterinja, maka sudah disiapkannja djago2 pilihan untuk menangkap Ting Tian.
Tak tersangka perhitungannja
telah meleset satu tindak, jaitu tak terduga olehnja bahwasanja Ting Tian telah
membawa serta seorang pembantu.
Selama dua tahun Tik Hun giat
melatih Sin-tjiau-kang, walaupun belum dapat dikatakan ada sesuatu hasil jang
hebat, tapi dalam hal tenaga dalam sudah djauh lebih madju dan kuat daripada
dahulu. Apalagi hantamannja ke Tan-tiong-hiat didada Leng Dwe-su itu dilakukan
dalam keadaan kepepet, maka tenaganja mendjadi keras luar biasa. Keruan tanpa
berkutik Leng Dwe-su terus roboh menggeletak. Ketika kemudian begundalnja
memburu datang dan buru2 berusaha menolong madjikan mereka, maka tiada
seorangpun jang sempat memikir pengedjarannja kepada Ting Tian dan Tik Hun.
Berada diatas gendongan Tik
Hun, Ting Tian merasa anggota badannja makin lama makin kaku, tapi pikirannja
masih tetap sangat djernih. Terhadap djalanan didalam kota ia sudah sangat
apal, maka ia jang menundjukan djalannja kepada Tik Hun membiluk kekanan dan
menikung kekiri, achirnja dapatlah mereka meninggalkan pusat kota jang ramai
dan sampai disuatu kebun luas jang tak terawat.
“Leng-tihu pasti akan memberi
perintah pendjagaan rapat dipintu gerbang kota dan diadakan pemeriksaan keras,
keadaanku sudah sangat pajah keratjunan, untuk keluar kota setjara paksa terang
tidak dapat lagi,” demikian kata Ting Tian. “Kebun besar ini katanja ada
setannja hingga tiada berani dikundjungi orang, biarlah kita bersembunji
sementara disini sadja.”
Tik Hun menurut, ia meletakan
Ting Tian dengan pelahan kebawah sebuah pohon Bwe (plum), lalu katanya:
“Ting-toako, ratjun apakah jang telah mengenai badanmu? Tjara bagaimana harus
mengadakan pertolongan?”
Ting Tian menghela napas,
sahutnja dengan tertawa getir: “Djangan dipikir lagi, pertjumalah! Ratjun ini
sangat djahat, namanja ‘Hud-tjo-kim-lian’ (teratai emas tempat duduk Budha),
tiada obat penawar didunia ini jang dapat menjembuhkannja. Biarlah aku bertahan
sebisanja, dapat hidup sedjam lebih lama akan kupertahankan sedjam.”
Kedjut Tik Hun tak terhingga,
serunja dengan gemetar: “Apa ka …….. katamu? Tiada obat penawarnja? Engkau ……..
engkau tjuma bergurau sadja bukan?” ~ Namun demikian, iapun tahu sekali2 Ting
Tian tidak sedang berkelakar dengan dia.
Ting Tian lantas ter-bahak2,
katanja: “Ratjun ‘Hud-tjo-kim-lian’ milik Leng Dwe-su ini terkenal sebagai
ratjun nomor tiga djahatnja didunia ini. Njatanja memang tidak omong kosong!
Hahaha, dia benar2 tjukup sabar, sudah menunggu selama tudjuh tahun dan baru
harini dia berhasil.”
“Ting ……..Ting-toako, djangan
…….. djangan engkau berduka,” udjar Tik Hun kuatir. “Ja, selama masih ada
kesempatan, masakah ……… masakah …….. ai, kembali gara2 wanita lagi, aku ……….
aku djuga begitu, rupanja kita memang ……. memang senasib …… tapi engkau harus
mentjari daja-upaja untuk menghilangkan ratjunmu ini ……… biarlah kupergi
mentjari air untuk mentjutji badanmu jang terkena ratjun.” ~ oleh karena
pikirannja katjau, susunan kata2nja mendjadi tak keruan dan tak teratur.
Ting Tian menggeleng kepala,
katanja: “Sudahlah, usahamu akan sia2 sadja. ‘Hud-tjo-kim-lian’ ini kalau
ditjutji dengan air, seketika kulit daging jang keratjunan akan membengkak dan
membusuk, matinja akan lebih mengerikan. Tik-hiante, banjak sekali ingin
kukatakan padamu, hendaklah engkau djangan sibuk dan bingung, sebab kalau kau
bingung, mungkin akan mengatjaukan pikiranku hingga kata2 penting jang hendak
kuberitahukan padamu ada jang terlupa. Waktunja sekarang sudah mendesak, aku
harus lekas mentjeritakan padamu, maka lekas engkau duduklah jang tenang dan
djangan mengganggu tjeritaku?”
Terpaksa Tik Hun menurut dan
duduk disamping Ting Tian, akan tetapi betapapun hatinja susah ditenangkan.
“Aku berasal kota Hengbun,
keturunan keluarga Bu-lim,” demikian Ting Tian mulai menutur dengan sangat
tenang, ja, tenang dan wadjar, se-akan2 jang ditjeritakan itu adalah urusan
orang lain jang tiada sangkut-paut apa2 dengan dirinja. “Ajahku djuga seorang
tokoh persilatan jang rada terkenal disekitar Oulam dan Oupak. Dasar ilmu
silatku masih lumajan djuga, ketjuali adjaran dari orang tua, aku pernah
mendapat didikan pula dari dua orang guru lain. Diwaktu mudaku, aku suka membela
keadilan dan membasmi kedjahatan. Karena itu namaku lambat-launpun sedikit
terkenal.
“Kira2 delapanbelas tahun jang
lalu aku menumpang kapal dari Sutjwan menudju kemuara, sesudah lewat Sam-kiap
(tiga selat dimuara sungai Tiangkang), kemudian perahu kami berlabuh ditepi
Sam-tau-peng. Malamnja tiba2 kudengar ditepi pantai ada suara ribut orang
berkelahi. Dasar watakku memang gemar silat, tentu sadja aku tertarik oleh
perkelahian jang ramai itu dan melongok kepantai melalui djendela perahu.
“Malam itu bulan sedang
memantjarkan sinarnja jang terang benderang hingga aku dapat melihat djelas
pertarungan dipantai itu. Kiranja ada tiga orang sedang mengerojok seorang tua.
Ternjata ketiga pengerojok itu sudah kukenal semua, mereka adalah tokoh Bu-lim
jang terkenal didaerah Liang-ou (dua propinsi Ou, jaitu Oulam dan Oupak). Jang
pertama bernama Ngo-in-djin Ban-tjing-san...........”
“He, itulah Supekku!” seru Tik
Hun tanpa merasa, walaupun tadi ia telah dipesan djangan mengganggu tjerita
Ting Tian.
Ting Tian hanja melototinja
sekedjap, lalu meneruskan tjeritanja: ......... dan jang kedua adalah
Liok-te-sin-liong (naga sakti di daratan) Gian Tat-peng........”
“Ehm, dia adalah Djisupekku!”
kembali Tik Hun menjela.
Ting Tian tak menggubrisnja
lagi dan tetap meneruskan: “Dan jang ketiga memakai sendjata pedang,
gerak-geriknja sangat gesit, itulah Tiat-so-heng-keng Djik Tiang-hoat.”
“Ha, Suhuku!” seru Tik Hun
sambil melontjat kaget.
“Ja, memang benar ialah
gurumu,” kata Ting Tian dan menjambung pula: “Aku sudah pernah beberapa kali
bertemu dengan Ban Tjin-san, maka tjukup tahu ilmu silatnja sangat hebat.
Melihat mereka bertiga saudara perguruan mengerojok seorang musuh, kujakin
mereka pasti akan menang.
“Waktu aku perhatikan pula
sikakek jang dikerubut itu, kulihat punggungnja sudah terluka, darah mengutjur
terus dari lukanja itu. Ia tak bersendjata pula hingga tjuma menempur ketiga
pengerojoknja itu dengan bertangan kosong. Akan tetapi ilmu silatnja ternjata
djauh lebih tinggi daripada Ban Tjin-san bertiga. Bagaimanapun djuga mereka
bertiga tidak berani mendekati sikakek.
“Makin lama aku melihat, makin
penasaran hatiku, Ban Tjin-san bertiga selalu melontarkan serangan2 jang
mematikan, se-akan2 sikaker itu harus mereka bunuh. Perbuatan mereka bertiga
sesungguhnja tidak pantas, masakah tiga orang muda mengerubut seorang tua. Tapi
sedikitpun aku tidak berani bersuara, kuatir kalau diketahui mereka hingga akan
merugikan diriku sendiri. Sebab dalam urusan bunuh-membunuh dikalangan Kangouw
seperti itu bila dilihat orang luar, bukan mustahil jang melihat itu akan
dibunuhnja djuga agar rahasianja tidak tersiar.
“Setelah lama sekali
pertarungan sengit itu berlangsung, darah jang mengutjur dari punggung kakek
itu semakin banjak, tenaganja lambat-laut mendjadi habis. Se-konjong2 orang tua
itu berseru: “Baiklah, ini kuserahkan pada kalian!” ~ berbareng ia mengulur
tangannja kedalam badju seperti sedang mengambil sesuatu. Buru2 Ban Tjin-san
bertiga merubung madju, satu-sama-lain seakan2 kuatir ketinggalan redjeki.
“Diluar dugaan sikakek
mendadak memukul kedepan dengan kedua telapak tangannja, karena terantjam oleh
serangan itu, terpaksa Ban Tjin-san bertiga melompat mundur. Kesempatan itu
telah digunakan oleh sikakek untuk berlari ketepi sungai, plung, ia menerdjun
kedalam sungai, Ban Tjin-san bertiga tampak mendjerit terkedjut, tjepat mereka
memburu ketepi sungai.
“Akan tetapi arus air jang
mendampar dari arah Sam-kiap itu sangat derasnja, betapa kerasnja arus sungai
dimuara Sam-tau-peng itu, hanja sekedjap sadja bajangan sikakek itu sudah
lenjap. Tapi Suhumu masih belum putus asa, ia melompat keatas perahuku, ia
sambar galah situkang perahu terus digunakan untuk mengaduk ketengah sungai.
Sudah tentu hasilnja nihil alias nol besar!
“Lazimnja sesudah mematikan
kakek itu, seharusnja Suhumu bertiga akan kegirangan. Tapi aneh, wadjah mereka
djusteru muram dan sangat menakutkan. Aku tidak berani mengintip lebih djauh,
tjepat aku merebahkan diri ditempat tidurku sambil berkerudung selimut. Sampai
lama sekali lapat2 aku mendengar mereka bertiga ribut mulut ditepi pantai,
satu-sama-lain saling menjalahkan karena lolosnja musuh.
“Sesudah suara ribut ditepi
pantai lenjap dan menunggu mereka bertiga sudah pergi djauh, kemudian barulah
aku berbangkit. Pada saat itulah tiba2 kudengar situkang perahu diburitan
sedang berseru kaget: “Tolong, ada setan!” ~ Tjepat aku memburu keburitan dan
melihat ada seorang jang basah kujup sedang merangkak, lalu menggeletak
digeladak perahu. Itulah dia sikakek jang menerdjunkan diri kedalam sungai
tadi. Rupanja setelah tjeburkan diri kedalam sungai, kakek itu lantas selulup
kebawah perahu dan memegang kentjang dasar perahu dengan Tay-lik-eng-djiau-kang
jang lihay, setelah musuh pergi, barulah dia keluar dari bawah air.
“Lekas2 aku memajang orang tua
itu kedalam perahu, kulihat keadaannja sudah sangat pajah, napasnja
kempas-kempis, bitjarapun takbisa lagi. Kupikir Ban Tjin-san bertiga boleh
djadi masih belum putus asa dan akan datang kembali, atau mungkin djuga akan
mentjari majat orang tua ini kemuara sungai sana. Terpengaruh oleh djiwaku jang
suka menolong sesamanja dan membela keadilan, kupikir djiwa orang tua ini harus
diselamatkan, dan agar djangan sampai dipergoki Ban Tjin-san bertiga segera aku
minta situkang perahu mendjalankan perahunja kehulu sungai, menudju kearah
Sam-kiap. Mendjalankan perahu menjongsong arus air jang deras, sudah tentu
situkang perahu keberatan dan menolak, pula ditengah malam buta susah mentjari
pandu kapal, menjusur kehulu Sam-kiap bukanlah suatu pekerdjaan mudah. Akan
tetapi, hahaha, uang memang berkuasa. Setanpun dolan duit. Pendek kata,
achirnja situkang perahupun menurut keinginanku.
“Aku membawa obat luka, aku
lantas mengobati luka orang tua itu. Luka dipunggungnja ternjata sangat parah,
bekas tusukan itu menembus paru2nja, teranglah luka separah itu tidak mungkin
disembuhkan. Namun aku berusaha sekuat tenagaku untuk mengobatinja, segala apa
aku tidak tanja padanja, sepandjang djalan aku membelikan arak dan makanan2
jang enak untuknja. Aku sudah menjaksikan ilmu silatnja dan dengan mata kepala
sendiri melihat dia tjeburkan diri kedalam Tiangkang serta selulup dibawah air
begitu lama, dari nilai kepandaiannja serta keperkasaannja itu sudah tjukup
berharga bagiku unuk berkorban djiwa baginja.
“Setelah kurawat orang tua itu
tiga hari, ia telah tanja memaku, lalu katanja dengan tertawa getir: “Bagus,
bagus!” ~ kemudian dikeluarkannja sebungkus kertas minjak dari badjunja dan
diserahkan padaku. Tanpa pikir kukatakan padanja: ‘Silahkan Lotiang (bapak)
beritahu dimana tempat tinggal sanak keluargamu, barang Lotiang ini pasti akan
kuhantarkan padanja, djangan engkau kuatir” ~ Orang tua itu tidak mendjawab,
sebaliknja tanja padaku: “Tahukah kau siapa diriku?” ~ Aku mendjawab tidak
tahu. Maka katanja pula: ‘Aku adalah Bwe Liam-seng.’ ~ Sungguh kedjutku tak
terkatakan demi mengetahui siapa gerangan sikakek itu.”
Dan ketika melihat Tik Hun
mendengarkan tjeritanja itu dengan melongo tanpa mengundjuk sesuatu perasaan
apa2, segera ia menegurnja: “He, engkau tidak heran oleh nama orang tua itu?
Siapakah Bwe Liam-seng itu, apakah engkau tidak tahu? Ialah Tiat-kut-bek-gok
Bwe Liam-seng. Engkau benar2 tidak kenal nama itu?”
Tik Hun menggeleng kepala,
sahutnja: “Selamanja aku tidak pernah mendengar nama orang itu.”
“Hehe, pantas sadja, sudah
tentu Suhumu tak mungkin mengatakan padamu,” djengek Tiang Tian dengan tertawa
dingin. “Tiat-kut-bak-gok Bwe Liam-seng adalah tokoh Bu-lim terkemuka
dipropinsi Oulam. Dia mempunjai tiga orang murid, jang tertua bernama Ban Tjin-san,
murid kedua bernama Gian Tat-peng dan murid ketiga bernama.........”
“Apa katamu Ting........
Ting-taoko? Djadi orang tua itu kakek-guruku?” seru Tik Hun.
“Ja, murid ketiganja memang
Djik Tiang-hoat adanja,” sahut Ting Tian. “Kagetku waktu mendengar dia mengaku
sebagai Bwe Liam-seng djuga kurang kagetnja seperti engkau sekarang ini. Aku
sendiri menjaksikan pertarungan sengit ditepi pantai dibawah sinar bulan
purnama itu dan melihat betapa ganasnja Ban Tjin-san bertiga hendak mematikan
guru mereka, maka tidak heran kagetku djauh diatas kagetmu sekarang.
“Dengan tersenjum getir lalu
Bwee-losiansing berkata kepadaku, ‘Muridku jang ketiga itu paling lihay, lebih
dulu punggungku telah ditusuk olehnja setjara mendadak, terpaka aku menjeburkan
diri kesungai untuk menjelamatkan diri.’ ~ Aku diam sadja, aku tidak tahu tjara
bagaimana harus menghiburnja. Kupikir mereka guru dan murid berempat saling
gebrak dengan mati2an, tentulah disebabkan oleh sesuatu urusan jang maha
penting, aku adalah orang luar, tidak enak untuk ikut tahu urusan dalam mereka,
maka akupun tidak tanja lebih banjak. Tapi Bwe-losiansing lantas berkata pula:
‘Didunia ini aku tjuma mempunjai tiga orang murid jang kuanggap sebagai anak
sendiri. Siapa duga demi untuk mengintjar sedjilid Kiam-boh, mereka tidak
segan2 untuk membunuh guru. Hehe, sungguh murid baik, murid pintar! Kini
Kiam-boh jang diintjar itu memang sudah kena mereka rebut, tapi apa gunanja
kalau tidak ada Kiam-koat (tanda2 rahasia, kuntji daripada ilmu pedang) jang
lebih penting itu? Betapapun bagusnja Soh-sim-kiam-hoat masakah dapat
menandingi Sin-tjiau-kang? Biarlah sekarang djuga kukatakan Kiam-koat dari
Soh-sim-kiam-hoat dan kuberikan djuga Sin-tjiau-keng (kitab ilmu pantjaran
sukma) padamu, harap engkau melatihnja dengan baik2. Pabila Sin-tjiau-kang
berhasil engkau jakinkan, pastilah engkau tiada tandingannja didunia ini, maka
djangan sekali2 salah mengadjarkan lagi kepada orang djahat, ~ demikianlah
asal-usul aku mendapatkan Sin-tjiau-keng hingga berhasil kujakinkan seperti sekarang
ini.
“Selesai Bwe-losiansing
berkata, tiada dua djam kemudian iapun meninggal. Aku telah menguburnja ditepi
pantai Bu-kiap (sehat Bu diantara Sam-kiap). Waktu itu aku tidak sadar bahwa
Kiam-boh dan Kiam-koat dari Soh-sim-kiam jang diperebutkan itu mempunjai latar
belakang jang begitu penting, kusangka tjuma perebutan sedjilid kitab ilmu
pedang diantara perguruan mereka, makanja tidak pikir harus mendjaga rahasia
menginggalnja Bwe-losiansing, tapi aku telah mendirikan batu nisan diatas
kuburannja dengan tulisan: ‘Disinilah kuburan Liang-ou-tayhiap Bwe Liam-seng’.
Dan djusteru karena batu nisan itulah telah mengakibatkan aku kebentur banjak
kesukaran2 jang tiada habis2nja. Segera ada orang mentjari keterangan mulai
dari batu nisan itu, melalui situkang batu, tukang perahu dan achirnja dapat
diketahui akulah jang mendirikan batu nisan itu, diketahui pula akulah jang
mengebumikan Bwe-losiansing, dan dengan sendirinja mereka jakin barang
tinggalan Bwe-losiansing pasti telah djatuh kedalam tanganku semua.
“Benar djuga, tiga bulan
kemudian rumahku lantas kedatangan seorang Kangouw. Pendatang itu sangat sopan,
tapi bitjaranja melantur dan ber-tele2 tak keruan udjung pangkalnja. Tapi
sampai achirnja ketahuan djuga maksud tudjuan kundjungannja itu. Ia mengatakan ada
sebuah peta tentang suatu harta karun berada dalam simpanan Bwe-losiansing,
tentunja peta itu kini sudah berada padaku, maka aku diminta suka mengundjukan
peta itu untuk dipeladjari bersama dengan dia, pabila harta karun itu dapat
diketemukan, aku akan diberi tudjuh bagian dan dia tjukup tiga bagian sadja.
“Kupikir apa jang diberikan
Bwe-losiansing padaku tjuma sematjam kuntji rahasia melatih Lwekang jang tinggi
serta beberapa kalimat rahasia dari Soh-sim-kiam jang hanja terdiri dari
beberapa angka sadja, ketjuali itu tiada apa2 lagi, masakan ada peta harta
karun segala seperti apa jang dikatakan. Karena itu aku lantas mengatakan terus
terang, tapi orang itu tetap tidak pertjaja dan minta aku undjukan kuntji
rahasia ilmu silat itu padanja. Padahal waktu Bwe-losiansing menjerahkan
warisannja itu kepadaku telah memberi pesan agar djangan sekali2 salah
diadjarkan lagi kepada orang djahat. Dengan sendirinja akupun menolak
permintaan orang itu. Maka dengan tidak senang pergilah orang itu. Tapi tiga
hari kemudian ia telah menggerajangi rumahku ditengah malam hingga bergebrak
dengan aku, achirnja pundaknja kulukai dan melarikan diri.
“Dan sekali beritanja tersiar,
orang jang datang mentjari aku mendjadi semakin banjak, keruan aku kewalahan
melajani mereka. Sampai achirnja Ban Tjin-san sendiri djuga datang menjelidiki
diriku. Untuk menetap terus dirumah sendiri terang tidak aman, terpaksa aku
harus menjingkir djauh2 dengan berganti nama dan tukar she. Aku menjingkir
keluar perbatasan dan mengusahakan peternakan disana. Setelah lewat 7-8 tahun,
setelah suasana agak reda, pula sudah sangat merindukan kampung halaman, maka
diam2 aku menjamar dan pulang ke Hengbun. Siapa duga rumah tinggalku sudah lama
dibakar orang mendjadi puing, baiknja aku memang tidak punja sanak-kadang apa2,
dengan demikian aku mendjadi bebas malah dan tidak perlu memikirkan apa2
lagi..........”
Dengan bingung dan kusut
pikirannja Tik Hun mengikuti tjerita Ting Tian tentang asal-usulnja
Sin-tjiau-keng itu. Hendak tidak pertjaja kepada apa jang dikatakan sang Toako
itu, namun selama ini Ting-toako itu tidak pernah sekalipun bohong padanja,
apalagi hubungan mereka sekarang sudah bagai saudara sekandung, untuk apa sang
Toako mendustainja dengan sengadja mengarang dongengan2 bohong itu? Tapi kalau pertjaja,
masakah Suhu jang sangat dihormati dan dikenalnja sangat djudjur dan sederhana
itu ternjata adalah seorang manusia jang begitu kedji dan tjulas?
Hlm.41: Gambar
“Dengan ter-mangu2 aku
mengikuti djedjak nona tjantik itu hingga keluar dari taman pameran itu,”
demikian Ting Tian mentjeritakan pengalamannja.”
Ia lihat muka Ting Tian
ber-kerut2, agaknja ratjun sedang mendjalar dengan hebatnja, maka tjepat
katanja: “Ting-toako, tentang perselisihan antara Suhuku dan Thaysuhu itu tidak
perlu kupusingkan. Jang penting sekarang hendaklah engkau tjoba pikirkan
apakah........... apakah ada sesuatu akal untuk menjembuhkan ratjun ditubuhmu?”
“Sudahlah, aku telah minta
engkau djangan menjela tjeritaku hendaklah engkau mendengarkan dengan diam,”
sahut Ting Tian dan melandjutkan tjeritanja: “Sampai achirnja kira2 didalam
bulan sembilan pada delapan tahun jang lalu, waktu itu aku berada dikota Hankau
untuk mendjual sedikit Djinsom dan bahan obat lainnja jang kubawa dari Kwangwa.
1).
“Pemilik toko obat jang suka
membeli barang daganganku itu adalah seorang jang suka keindahan, selesai
mengadakan transaksi dagang dengan aku, Ia lantas mengadjak aku pergi melihat
‘Kiok-hoa-hwe’ 2) jang terkenal dikota itu. Bunga seruni jang dipamerkan
didalam Kiok-hoa-hwe itu ternjata sangat banjak dan terdiri dan djenis2
pilihan. Jang berwarna kuning antara lain terdapat djenis Ui-ho-ek,
Kim-khong-djiok, Eng-ub-ui dan lain2; jang berwarna putih ada: Gwe-boh-tan,
Tiau-Sian-pay-gwe dan matjam2 lagi; jang ungu terdapat: Tji-giok-lian, Tji-lo-lan,
Tju-hte-sia, dan lain2 dan jang djambon terdapat: Ang-hun-wan, Se-si-hun, dan
banjak lagi lainnja........”
Begitulah Ting Tian
menguraikan nama2 bunga seruni dengan lantjar dan tanpa pikir se-akan2 djauh
lebih apal baginja daripada nama2 gerak tipu ilmu silatnja.
Semula Tik Hun heran oleh
pengetahuan Ting Tian jang luar dalam hal bunga seruni itu, tapi segera ia
mendjadi teringat bahwa Ting-toako itu memang seorang penggemar bunga. Ia
hubungkan pula dengan bunga segar jang selalu menghias didalam pot bunga jang tertaruh
diambang djendela gedung bersusun itu, maka tahulah Tik Hun duduknja perkara,
tentu Ting-toako ini dengan Leng- siotjia itu mempunjai kesukaan jang sama dan
sama2 pula merupakan ahli bunga.
1) Kwangwa = diluar Kwan atau
diluar perbatasan Jang diartikan Kwan adalah tembok besar jang merupakan
perbatasan didjaman itu.
2) Kiok-hoa-hwe = pameran
bunga Seruni. Kegemaran bunga Seruni di Tiongkok sama halnja dengan kegumaran
bunga Anggrek dinegeri lain.
Waktu bertjerita tentang
pameran bunga itu, tertampak Ting Tian selalu mengulum senjuman bahagia,
sikapnja sangat ramah dan lemah lembut. Terdengar ia melandjutkan tjeritanja:
“Sungguh menawan hati pameran bunga Seruni itu sembari menikmati akupun tidak
habis2nja memudji dan menjebut nama2 bunga jang dipamerkan itu. Tapi dimana ada
jang djelek, akupun lantas memberi penilaian jang tegas. Habis menikmati bunga2
itu, ketika hampir keluar dari taman pameran, aku telah berkata kepadaku
kawanku sipemilik toko obat itu: “Pameran ini boleh dikatakan sudahlah berhasil,
tjuma sajang tidak terdapat Seruni warna hidjau.’ ~ Tiba2 kudengar suara
seorang nona ketjil menanggapi utjapanku itu dibelakang: ‘Siotjia, orang ini
tahu djuga kalau Seruni ada jang berwarna hidjau. Memangnja ‘Djun-sui-pek-poh’
dan ‘Lik-giok-dji-ih’ dirumah kita itu masakah dapat sembarangan dinikmati
orang biasa?’
“Tjepat aku menoleh, kulihat
dibelakangku ada seorang gadis djelita sedang menikmati bunga Seruni jang
dipamerkan itu. Gadis itu memakai badju kuning muda, tjantik dan sederhana
seperti Seruni dalam pameran itu. Sungguh selama hidupku belum pernah kulihat
seorang nona setjantik seperti itu. Disampingnja tampak mengiring seorang
pelajan ketjil berumur belasan. Melihat aku berpaling dan memandangnja, Siotjia
itu mendjadi merah mukanja, dengan pelahan ia berkata kepadaku: ‘Maaf tuan,
harap djangan marah karena otjehan budak tjilik jang tidak tahu aturan ini’. ~
Seketika aku terkesima hingga sepatahkatapun aku tidak sanggup bersuara.
“Dengan ter-mangu2 aku
mengikuti djedjak Siotjia itu hingga dia meninggalkan taman pameran itu.
Melihat aku terkesima begitu rupa, kawanku sipemilik toko obat lantas berkata
kepadaku: ‘Siotjia ini adalah anak gadis keluarga Leng-hanlim dikota Buhan
(Budjiang dan Hankau) kita ini. Tentu sadja lain daripada jang lain bunga jang
terdapat dirumahnja itu.’
“Sekeluarnja dari taman
pameran dan berpisah dengan kawanku, sepandjang djalan hingga sampai dikamar
hotelku, dalam benakku waktu itu melulu terbajang kepada Siotjia jang tjantik
itu sadja. Lewat lohor, aku lantas menjeberang ke Budjiang, setelah tanja
tempatnja, aku lantas menudju kerumah Leng-hanlim *). Sudah tentu aku mendjadi
ragu2, tidak mungkin aku masuk kerumah orang begitu sadja, padahal masing2
tidak kenal mengenal. Maka aku tjuma mondar-mandir sadja didepan rumah, kulihat
ada beberapa anak ketjil sedang memain dipelataran situ. Hatiku dak-dik-duk
berdepar2 dengan matjam2 perasaan, aku merasa girang dan merasa takut2 pula.
Aku memaki diriku sendiri jang semberono itu. Tatkala itu usiaku sudah tjukup
dewasa, tapi kelakuanku waktu itu mirip seperti pemuda remadja jang baru sadja
untuk pertama kalinja djatuh kedalam djaring2 asmara!”
*) Hanlim = gelar udjian
sastra djaman khala Beng dan Tjing.
Terkenang kepada masa
pertemuannja dengan puteri Leng-hanlim dipameran bunga Seruni dahulu, wadjah
Ting Tian menampilkan sematjam tjahaja jang aneh, sorot matanja djuga terang
penuh semangat.
Tapi Tik Hun djusteru merasa
kuatir kalau2 sang Toako itu mendadak kehabisan tenaga, maka katanja:
“Ting-toako, lebih baik engkau berbaringlah mengaso dengan tenang. Biarlah
kupergi mentjari seorang tabib, aku tidak pertjaja bahwa engkau benar2 takdapat
disembuhkan.” ~ sembari berkata, terus sadja ia berbangkit hendak pergi.
Tapi tjepat Ting Tian telah
menarik lengannja dan berkata: “Begini dandananmu engkau hendak pergi mentjari
tabib, apa engkau mentjari kematian sendiri?” ~ dan setelah merandek sedjenak,
lalu katanja pula sambil menghela napas: ”Tik-hiante, tempo hari waktu engkau
mengetahui Sumoaymu sudah menikah dengan orang lain, saking menjesalnja sampai
engkau hendak menggantung diri. Sumoaymu itu tak berbudi dan menghianati kau,
tiada harganja engkau mesti mati baginja.”
“Benar, selama beberapa tahun
ini akupun sudah insaf,” sahut Tik Hun.
“Akan tetapi bila Sumoaymu
benar2 tjinta padamu dan achirnja rela mati bagimu, maka engkaupun harus mati
djuga baginja,” udjar Ting Tian.
Mendengar itu, tiba2 Tik Hun
mendjadi sadar, tanjanja segera: “Djadi kematian Leng-siotjia itu adalah demi
engkau?”
“Ja,” sahut Ting Tian tegas.
“Dia mati bagiku, maka sekarang akupun rela mati untuknja. Hatiku kini sangat
senang. Tjintanja padaku sangat mendalam, aku ........ akupun sangat
mentjintainja. Tik-hiante, djangankan ratjun jang mengenai tubuhku ini memang
tiada obat jang dapat menjembuhkannja, sekalipun dapat disembuhkan djuga aku
tidak mau diobati.”
Se-konjong2 perasaan Tik Hun
mendjadi hampa, timbul sematjam rasa duka jang sulit dilukiskan. Jang utama
sudah tentu disebabkan sedih menghadapi adjal sang Toako itu, namun dalam lubuk
hatinja sebaliknja malah rada mengagumi keberuntungannja, sebab paling tidak
didunia ini terdapat seorang gadis jang benar2 telah mentjintainja dengan
hatinja jang sutji murni dan rela mati baginja, sebaliknja sang Toako itupun
membalas tjinta murni kekasihnja dengan sama sutjinja. Tetapi bagaimana dengan
dirinja? Ja, bagaimana dengan dirinja sendiri?
Melihat pemuda itu tepekur,
pelahan2 Ting Tian memegang tangannja dan tenggelam pula dalam lamunannja pada
masa jang lampau. Kemudian tuturnja pula: “Begitulah aku terus mondar-mandir
selama beberapa djam didepan gedung Leng-hanlim itu hingga magrib sudah tiba
masih tidak merasa lelah dan lupa lapar. Aku sendiripun tidak tahu sebenarnja
apakah jang kuharapkan disitu?”
“Hari sudah mulai gelap, tapi
aku tetap belum pikir untuk pergi dari situ. Tiba2 sadja dari pintu ketjil
disamping gedung itu keluar seorang gadis ketjil dan menghampiri aku pelahan2,
lalu bisiknja kepadaku dengan lirih: ‘Tolol, kenapa berada disini terus?
Siotjia mengharapkan engkau pulang sadjalah!’ ~ Ketika kuperhatikan, eh kiranja
adalah pelajan ketjil jang mengiringi Leng-siotjia waktu menonton pameran
Seruni itu. Hatiku mendjadi ber-debar2, dengan ter-gagap2 aku mendjawab:
‘Ap....... Apa katamu?’ ~ Dengan tertawa pelajan ketjil itu berkata pula:
‘Siotjia telah bertaruhan dengan aku mengenai kapan engkau akan pergi dari
sini. Sampai sekarang aku sudah menangkan dua tjintjin perak dan engkau masih
belum mau pergi?’
“Aku bergirang tertjampur
gugup, tanjaku tjepat: ‘Djadi..... djadi Siotjiamu sedjak tadi sudah tahu bahwa
aku berada disini?’ ~ Pelajan tjilik itu tertawa, sahutnja: ‘Malahan sudah
beberapa kali aku melongok keluar, tapi engkau tetap tidak mengetahui aku,
rupanja semangatmu sudah terbang ke-awang2 bukan?’ ~ Habis itu, ia lantas putar
tubuh hendak masuk lagi. Tjepat kuberseru: ‘Nanti dulu, Tjitji!’ ~ Ia berpaling
dan menanja: ‘Ada apa lagi?’ ~ Maka berkatalah aku: ‘Kata Tjitji, didalam
gedung kalian ini terpelihara beberapa djenis Lik-kiok-hoa (seruni hidjau),
maka aku sangat ingin melihatnja.’ ~ Gadis itu angguk2, ia tuding sebuah loteng
berlabur merah diudjung belakang gedung itu dan berkata: ‘Baiklah, akan kusampaikan
permintaanmu kepada Siotjia, pabila beliau meluluskan, tentu akan taruh bunga2
itu diatas ambang djendela diatas loteng berlabur merah itu!’
“Semalam suntuk itu aku duduk
menunggu diluar gedung Leng-hanlim itu. Sungguh Hokkhi-ku memang besar,
Tik-hiante, esok paginja diambang djendela loteng jang dikatakan itu benar2
muntjul dua pot bunga Seruni berwarna hidjau pupus. Kukenal Seruni salah satu pot
itu bernama ‘Djun-tjui-pik-poh’ (air dimusim semi beriak menghidjau) dan pot
jang lain bernama ‘Pek-giok-dju-ih’ (kemala jidjau sesuai keinginan). Kedua pot
bunga Seruni itu benar2 sangat indah, akan tetapi jang terpikir olehku hanja
orang jang menaruh kedua pot bunga itu. Itulah dia, kulihat dibalik tirai
djendela itu ada sebuah wadjah jang paling tjantik didunia ini sedang mengintip
kearahku, hanja separoh wadjahnja kelihatan, ia memandang sekedjap kepadaku,
mendadak mukanja merah djengah terus menghilang dibalik tirai dan untuk
selandjutnja tidak muntjul lagi.”
“Tik-hiante, engkau tahu
sendiri, begini djelek muka Ting-toakomu ini, gagah tidak, ganteng tidak, kaja
tidak, pangkatpun tidak, mana aku berani mengharapkan tjinta seorang gadis
setjantik itu? Akan tetapi sedjak itu setiap pagi aku pasti datang keluar taman
keluarga Leng dan memandang ter-mangu2 hingga lama. Rupanja Leng-siotjia djuga
tidak pernah melupakan daku, setiap hari ia pasti mengganti sebuah pot bunga
jang segar dan ditaruh diambang djendela loteng.”
“Keadaan begitu berlangsung
lebih dari sembilan bulan, tidak peduli hudjan angin atau hudjan saldju, setiap
pagi aku pasti pergi menikmati keindahan bunga, sebaliknja Leng-siotjia djuga
tidak pernah mengenal bosan untuk selalu mengganti sebuah pot bunga jang segar
lagi indah. Setiap hari ia tjuma memandang sekedjap padaku dan tidak lebih.
Setiap kali memandang, tentu wadjahnja bersemu merah, lalu menghilang dibalik
tirai. Dan setiap hari asal kulihat kerlingan matanja dan semu diwadjahnja,
rasaku sudah puas dan bahagia untuk selamanja. Tidak pernah ia bitjara padaku,
akupun tidak berani mengadjak bitjara padanja. Kalau mau, dengan ilmu silatku
sebenarnja aku dapat melompat keatas lotengnja dengan sangat mudah. Akan tetapi
selama itu sedikitpun aku tidak berani mengundjuk kekasaran padanja. Untuk
menulis surat pernjataan tjinta padanja aku lebih2 tidak berani lagi.”
“Suatu malam pada tanggal 5
bulan 2 dalam tahun itu, pondokku telah kedatangan dua orang Hweshio dan
serentak aku diserang. Kiranja Hweshio2 itu telah mendapat kabar dan ingin
merebut Sin-tjiau-keng dan Soh-sim-kiam-koat dariku. Paderi2 itu adalah dua
diantara kelima Hweshio dari Bi-tjong-ngo-hiong itu. Satu diantaranja telah
kubinasakan tempo hari didalam pendjara dan telah disaksikan sendiri olehmu.
Namun tatkala itu aku belum berhasil mejakinkan Sin-tjiau-kang, ilmu silatku
djauh dibawah mereka, aku terluka parah dihadjar mereka, hampir2 djiwaku
melajang, untung aku sempat sembunji ditengah onggok rumput dikandang kuda.
Karena lukaku itu, aku mesti menggeletak selama lebih tiga bulan baru achirnja
dapat paksakan diri berbangkit. Begitu aku dapat berbangkit, segera aku
menggunakan tongkat dan datang keluar taman keluarga Leng dengan
berintjang-intjuk. Akan tetapi aku mendjadi ketjewa, setiba aku disana,
suasananja sudah berubah sama sekali. Kutjoba tanja tetangga disekitar situ dan
mengetahui keluarga Leng itu sudah berpindah rumah pada tiga bulan jang lalu.
Kemana pindahnja ternjata tiada seorangpun jang tahu.”
“Tjoba bajangkanlah,
Tik-hiante, betapa ketjewa dan pedih hatiku pada waktu itu sungguh djauh lebih
hebat daripada ratjun jang mengenai badanku sekarang ini. Aku merasa heran,
Leng-hanlim adalah tokoh kenamaan dikota Budjiang ini, kemana beliau berpindah
rumah masakah sama sekali tiada jang tahu? Namun memang begitulah keadaannja,
meski aku sudah menjelidiki kesana dan kesini, tidak sedikit aku korban harta
dan tenaga, toh tetap tidak memperoleh sesuatu kabar apa2. Aku jakin dibalik
kepindahan keluarga Leng setjara rahasia itu pasti ada sesuatu jang
mentjurigakan, kalau bukan Leng-hanlim ingin menghindari datangnja musuh, tentu
ada sebab2 lain jang luar biasa hingga mesti pindah rumah setjara mendadak. Dan
setjara kebetulan jalah diwaktu aku terluka parah itulah, mereka lantas pindah
rumah.”
“Sedjak itu aku mendjadi
seperti orang linglung, aku tidak dapat bekerdja dengan tenang, achirnja aku
terluntang-lantung di-kangouw tanpa sesuatu pekerdjaan jang benar. Dasar
redjekiku memang setinggi langit, suatu hari, ketika aku sedang minum disuatu
kedai dikota Tiangsah, tanpa sengadja aku telah mendengar pertjakapan dua orang
gembong Pang-hwe (perkumpulan rahasia) jang lagi berunding hendak pergi ke
Hengtjiu untuk mentjari Ban Tjing-san, katanja hendak merebut Soh-sim-kiam-boh
dari orang she Ban itu.”
“Kupikir sebabnja Ban
Tjing-san bertiga saudara perguruan tempo hari berani berdurhaka hendak
membunuh guru mereka, pangkal utamanja adalah karena hendak merebut Kiam-boh
jang dimaksudkan itu. Sebenarnja apa matjamnja Kiam-boh itu, aku mendjadi ingin
melihatnja djuga. Maka diam2 aku menguntit kedua gembong Pang-hwe itu ke
Kangleng (nama lain dari Hengtjiu pada djaman itu). Tjita2 kedua gembong
Pang-hwe itu memang boleh djuga, tapi napsu besar tenaga kurang, begitu
kepergok Ban Tjing-san mereka lantas keok dan kena ditangkap serta digusur
kepada pembesar Kanglenghu. Karena iseng, aku ikut2 pergi melihat keramaian
dalam pemeriksaan kedua pesakitan itu.”
“Setiba didepan kantor
Kanglenghu dan membatja papan pengumuman didepan kantor itu, sungguh girangku
laksana orang putus lotre 10 djuta. Kiranja Leng-tihu itu tak-lain-tak-bukan
adalah ajahnja Leng-siotjia, Leng Dwe-su adanja. Malamnja, diam2 aku membawa
satu pot bunga mawar utk ditaruh didepan djendela diatas loteng belakang tempat
tinggal Leng-siotjia, lalu aku menunggu dibawah loteng situ semalam suntuk.
Esok paginja ketika Leng-siotjia membuka djendela dan melihat pot bunga itu, ia
telah berseru kaget sekali, tapi segera iapun dapat melihat diriku. Sudah lebih
setahun kami tidak bertemu dan masing2 sudah menjangka selama hidup ini takkan
bersua kembali. Kini dapat berdjumpa lagi, sudah tentu sama2 girang tak
terkatakan. Leng-siotjia memandangi aku sedjenak untuk kemudian menutup pula
djendelanja dengan muka merah. Ketika hari kedua bertemu pula, mulailah ia buka
suara, tanjanja padaku: ‘Apakah engkau djatuh sakit? Engkau telah banjak lebih
kurus!’”
“Sungguh rasa bahagiaku waktu
itu susah dilukiskan. Untuk hari2 selandjutnja hidupku bukan lagi hidup
manusia, tapi lebih menjerupai hidup dewata disorga. Ja, sekalipun dewata
rasanja djuga tidak sebahagia seperti aku pada waktu itu. Setiap malam, bila
orang lain sudah pergi tidur, aku lantas mendatangi loteng Leng-siotjia untuk
mengadjaknja keluar dan ber-djalan2 disekitar rimba pegunungan diluar kota
Kangleng. Kami senantiasa bergaul setjara sopan, sedikitpun tidak pernah
menjeleweng dari adat istiadat. Tapi segala isi hati kamipun dibitjarakan
setjara terbuka, djauh lebih akrab daripada sobat karib umumnja.”
“Pada suatu malam Leng-siotjia
telah menuturkan suatu rahasia besar kepadaku. Kiranja ajahnja meski ikut
udjian sastra dan mendapat gelar Hanlim, tapi sebenarnja adalah Toaliongthau
(kepala) dari Liong-soa-pang jang sangat berpengaruh diwilayah Liang-ou (Ouwlam
dan Ouwpak). Karena Leng-siotjia adalah dewi pudjaanku, dengan sendirinja
akupun sangat menghormati ajahnja, maka akupun tidak heran oleh tjeritanja
itu.”
“Pada suatu malam lagi,
kembali Leng-siotjia mentjeritakan padaku bahwa sebabnja ajahnja tidak mau
mendjadi Hanlim jang dihormati tapi tanpa tugas itu, malahan sengadja membuang
ber-laksa2 tahil perak dan dengan susah pajah menjogok pembesar pusat hingga
ajahnja diangkat mendjadi Tihu dari kota Hengtjiu, dibalik itu sebenarnja
memang ada sesuatu maksud tudjuan tertentu.”
“Kiranja ajahnja telah
memperoleh ilham dari kitab sedjarah jang pernah dibatjanja bahwa disesuatu
tempat didalam kota Hengtjiu itu pasti terpendam suatu partai harta karun jang
tak ternilai djumlahnja. Menurut keterangan jang dibatja, didjaman dynasti
Liang (502 ~ 557) dimasa Lak-tiau atau Lam-pak-tiau (Tiongkok selatan dan
utara, 420 ~ 581), setelah kaisar Liang-bu-te wafat oleh karena pemberontakan
Hou Keng, tahta digantikan oleh Liang-bun-te, tapi kaisar ini ditewaskan pula
oleh Hou Keng, kemudian pangeran Siang-tong-ong Siau Tik naik tachta dikota
Kangleng dengan gelar Liang-goan-te. Tapi Liang-goan-te ini terlalu lemah dan
tidak betjus mengurus negaranja, jang dipentingkan tjuma mengumpulkan
harta-benda pribadi atas derita rakjat djelata, hanja tiga tahun ia mendjadi
radja di Kangleng, tapi harta-benda jang dikeduknja sudah tak ternilai
djumlahnja. Pada tahun ketiga itulah keradjaan Gui menjerang Kangleng dan
Liang-goan-te terbunuh. Pada hari tamatnja Liang-goan-te itu, radja jang lalim
itu telah membakar habis perpustakaan negara jang berisi kitab2 berharga tidak
kurang dari 140 ribu djilid djumlahnja. Akan tetapi dimana ia menjembunjikan
harta bendanja hasil pemerasan darah-keringat rakjat itu ternjata tiada
seorangpun jang tahu. Guna menjelidiki harta karun jang besar djumlahnja itu,
panglima tentara Gui jang bernama Ih Kin telah menawan ber-ribu2 orang jang
disangkanja tahu rahasia tempat harta karun itu disembunjikan, namun meski
orang2 itu disiksa dan dibunuh toh tetap tiada sesuatu keterangan jang diperoleh.
Achirnja karena kuatir tempat pendaman harta karun itu dikemudian hari mungkin
akan dikeduk oleh orang jang mengetahui, panglima kedjam itu tidak berbuat
kepalang tanggung lagi, antero penduduk Kangleng lantas digiring semua ke
Tiangan, jaitu ibukota keradjaan Gui. Beratus ribu penduduk Kangleng itu belum
lagi tiba di Tiangan sudah terbunuh atau dipendam hidup2 ditengah djalan hingga
tiada seorangpun jang lolos. Karena itulah, selama be-ratus2 tahun rahasia
tentang harta karun itu tetap tidak terbongkar, dan lambat-laun tiada
seorangpun jang tahu lagi.”
“Menurut tjerita Leng-siotjia,
ajahnja telah mengorbankan temponja selama 7-8 tahun untuk membongkar arsip
sedjarah kota Kangleng serta mempeladjari segala tjatatan dan kitab kuno, maka
dapatlah dipastikan bahwa harta karun jang dikumpulkan Liang-goan-te itu tentu
dipendam di sesuatu tempat di sekitar kota Kangleng ini. Radja Liang-goan-te
itu sangat kedjam, bukan mustahil setelah dia menjembunjikan harta-bendanja
itu, lalu petugas2 jang mengetahui rahasianja itu terus dibunuhnja semua.
Makanja Ih Kin, itu panglima tentara Gui, meski betapapun kedjamnja dia
menjiksa rakjat untuk menjelidiki tempat harta karun itu dipendam, namun tetap
tiada sedikitpun keterangan jang diperolehnja.”
Mendengar sampai disini, satu-persatu
tanda tanja jang meliputi hati Tik Hun mendjadi terdjawab dan terang. Tanjanja
kemudian: “Ting-toako, djika begitu, engkau tentu mengetahui rahasia tempat
harta karun itu bukan? Makanja begitu banjak orang jang mentjari engkau kedalam
pendjara, tentu karena merekapun ingin mendapatkan harta terpendam itu.”
Ting Tian tidak mendjawab,
dengan tersenjum getir ia meneruskan tjeritanja pula: “Setelah mendengar
tjerita Leng-siotjia itu, waktu itu aku merasa ajahnja sesungguhnja terlalu
serakah. Dia sudah ‘Bun-bu-tjoan-tjay’ (serba pandai ilmu silat dan sastra), sudah
kaja lagi berpangkat, kenapa masih mengintjar harta karun apa segala? ~
Kemudian ketika aku berbitjara tentang matjam2 kedjadian dan pengalaman
Kangouw, dengan sendirinja akupun mentjeritakan padanja tentang peristiwa Ban
Tjing-san bertiga saudara perguruan mengerojok guru mereka untuk merebut
Kiam-boh ditepi sungai Tiangkang itu. Dengan terus terang akupun mentjeritakan
tentang Sin-tjiau-keng dan Soh-sim-kiam-koat jang kumiliki itu kepadanja.”
“Dengan begitulah kami telah
lewatkan hari bahagia selama setengahan tahun. Pada hari tanggal 14 bulan
tudjuh tahun itu, Leng-siotjia telah berkata kepadaku: ‘engkoh Tian, hubungan
kita ini betapapun harus dibitjarakan kepada Tiatia untuk minta
persetudjuannja, habis itu kita tidak perlu lagi pakai sembunji2 seperti
sekarang ini..........” ~ baru berkata sekian ia sudah lantas susupkan
kepalanja kepangkuanku saking malunja.”
“Maka aku mendjawab: ‘Tapi
engkau adalah Djian-kim-siotjia (puteri bernilai ribuan emas, maksudnja puteri
keluarga hartawan atau bangsawan), aku kuatir ajahmu akan memandang hina
padaku.’ ~ Leng-siotjia menjahut: ‘Leluhurku sebenarnja djuga orang kalangan
persilatan, hanja ajahku sekarang telah mendjadi pembesar negeri, dan akupun
tidak bisa ilmu silat sedikitpun. Namun ajah paling sajang padaku, sedjak ibuku
meninggal, setiap permintaanku pasti diluluskan oleh beliau.’
“Mendengar utjapannja itu,
sudah tentu girangku tak terkatakan. Siang harinja aku biasanja tidur, tapi
hari tanggal 15 bulan tudjuh itu sehari suntuk aku tidak dapat memedjamkan
mataku barang sedetikpun. Sampai tengah malam, kembali aku mendjumpai
Leng-siotjia diatas lotengnja. Begitu bertemu, dengan wadjah merah ia lantas
berkata: ‘Kata ajah, segala apa terserahlah kepada keinginanku.’ ~ Keruan
girangku melebihi orang putus lotre 100 djuta. Saking senangnja sampai aku tak
sanggup bersuara, untuk beberapa saat lamanja kami tjuma dapat saling pandang
dengan tertawa.
“Kemudian kami bergandengan
tangan turun dari loteng, sampai ditaman, dibawah sinar sang dewi malam jang
terang benderang, tiba2 kulihat diantara bunga2 disitu telah bertambah beberapa
pot bunga jang berwarna kuning indah bagai emas jang gemilapan. Bentuk bunga
kuning itu rada mirip bunga teratai, tjuma lebih ketjil. Kami berdua memangnja
adalah penggemar bunga, segera kami menghampiri bunga kuning itu untuk
menikmatinja. Leng-siotjia ber-ketjak2 merasa heran dan menjatakan tidak pernah
melihat bunga kuning seindah itu. Segera kami bersama mendekatkan hidung untuk
mentjium bunga itu agar mengetahui sampai dimana bau harum bunga itu.......”
Waktu mendengar tjerita sang
Toako ber-djalan2 ditaman bunga dibawah sinar bulan purnama sambil tangan
bergandeng tangan bersama sang kekasih, betapapun Tik Hun ikut kesemsem djuga,
maklum semangat muda. Tapi achirnja demi mendengar nada suara Ting Tian berubah
berat dengan napas jang rada seram, mau-tak-mau Tik Hun mendjadi tegang djuga
hingga dadanja serasa sesak, se-akan2 ditaman bobrok itu penuh dikelilingi
setan iblis jang siap menubruk kepadanja. Se-konjong2 teringat sesuatu nama olehnja,
terus sadja ia berteriak: “He, itulah bunga ‘Hud-tjo-kim-lian’!”
Udjung mulut Ting Tian
menampilkan senjuman pahit. Selang agak lama barulah ia berkata pula: “Njata
engkau sudah tidak bodoh lagi. Selandjutnja engkau takkan mudah ditipu orang
Kangouw pula, untuk mana bolehlah aku merasa lega.”
Mendengar utjapan orang penuh
mengandung rasa kasih sajang dan penuh perhatian melebihi saudara sekandung,
Tik Hun mendjadi terharu hingga air matanja bertjutjuran. Katanja kemudian
dengan gemas: “Sipembesar andjing Leng-tihu itu kalau tidak...... tidak boleh
puterinja diperisteri olehmu, sebenarnja ia bisa katakan sadja terus terang,
tapi mengapa........... mengapa mesti memakai tipu sekedji itu untuk
mentjelakai engkau?”
“Waktu itu darimana aku bisa
mendapat tahu?” sahut Ting Tian. “Darimana pula aku bisa mengetahui bahwa bunga
kuning emas itu tak-lain-tak-bukan adalah Hud-tjo-kim-lian jang berbisa luar
biasa itu? Dan begitu aku mentjium bau harum bunga itu seketika kepalaku terasa
pening, sekilas kulihat Leng-siotjia djuga ter-hujung2 terus roboh, tjepat aku
bermaksud membangunkan dia, tapi aku sendiripun tidak kuat berdiri pula. Selagi
aku mengerahkan Lwekang dan mengatur napas untuk menahan serangan ratjun bunga
itu, tiba2 dari sekitar situ sudah muntjul beberapa laki2 bersendjata. Aku
tjuma sanggup bergebrak beberapa djurus dengan mereka, habis itu pandanganku
mendjadi gelap, menjusul aku tidak tahu lagi apa jang terdjadi.”
“Ketika aku sadar kembali, aku
merasa kaki-tanganku sudah terbelenggu, bahkan Pi-pe-kut dipundak djuga sudah
ditembus dengan rantai. Kulihat Leng-tihu dengan pakaian biasa sedang
mengadakan pemeriksaan atas diriku, petugas2 jang berada disitu djuga bukan
lagi petugas2 negara, tapi adalah anggota2 perkumpulan rahasianja. Sudah tentu
sikapku sangat keras, kontan sadja aku memaki kalang kabut. Segera Leng-tihu
memberi perintah begundalnja menghadjar aku, kemudian aku dipaksa harus
menjerahkan Sin-tjiau-keng dan Soh-sim-kiam-koat.......... Kedjadian
selandjutnja tidak perlu lagi kutjeritakan, engkau sendiripun sudah tahu, jaitu
setiap bulan tanggal 15 aku pasti diseret keluar untuk dihadjar dan memaksa aku
menjerahkan Bu-keng (kitab ilmu silat) dan Kiam-koat (kuntji ilmu pedang). Tapi
tetap aku tidak guris padanja. Sungguh kesabarannja memang luar biasa djuga
hingga bertahan sampai sekarang.”
“Tapi bagaimana dengan
Leng-siotjia waktu itu? Mengapa dia tiak berdaja untuk menolong engkau?” tanja
Tik Hun tjepat. “Pula, kemudian setelah engkau berhasil mejakinkan
Sin-tjiau-kang, engkau dapat pergi-datang dengan bebas, mengapa engkau tidak
pergi mendjenguk padanja? Mengapa engkau terima menunggu pertjuma didalam
pendjara sampai kematiannja?”
Begitulah serentetan
pertanjaan Tik Hun mengenai Leng-siotjia. Tapi saat itu Ting Tian sedang
merasakan pening kepala jang luar biasa, tubuhnja se-akan2 enteng dan terapung
di udara. Ia ulur tangannja meraba dan memegang sekenanja seperti ingin
mendapatkan sesuatu pegangan.
Segera Tik Hun angsurkan
tangannja untuk memegang tangan Toako itu. Tapi mendadak Ting Tian terkedjut
dan mengipatkan tangannja sekuatnja sambil berseru: “Tanganku beratjun, djangan
menjentuh aku!”
Tik Hun terharu pula dan
tjemas melihat keadaan sang Toako itu.
Sesudah pening sebentar,
pelahan2 Ting Tian dapat tenangkan pikirannja lagi, ia membuka mta dan menanja:
“Tadi kau omong apa?”
Tik Hun tidak mendjawab, tapi
mendadak teringat sesuatu olehnja, tjepat ia menanja: “Ting-toako, waktu itu
apakah pernah terpikir olehmu bahwa Leng-siotjia itu mendapat perintah dari
ajahnja dan sengadja menipu engkau untuk..........”
“Omong kosong!” bentak Ting
Tian mendadak dengan gusar sambil angkat tangannja hendak menggablok.
Tik Hun insaf telah kelepasan
omong, maka ia tidak berani menangkis, tapi rela menerima hadjaran sang Toako.
Diluar dugaan kepalan Ting
Tian lantas berhenti ditengah djalan, ia melototi Tik Hun sedjenak dengan
terkesima, kemudian menarik kembali kepalannja pelahan2, lalu katanja:
“Tik-hiante, rupanja engkau sendiri dihianati gadismu, maka kepertjajaanmu
kepada kaum wanita didunia ini sudah hilang, untuk mana memang aku tidak dapat
menjalahkan engkau. Tapi bila Siang-hoa benar2 diperintahkan ajahnja dengan
menggunakan ‘Bi-djin-keh’ (tipu menggunakan wanita tjantik) untuk menipu
Sin-tjiau-keng dan Soh-sim-kiam-koat dariku, hal itu akan sangat gampang aku
tertipu. Bahkan ia tidak perlu berkata apa2, tjukup asal bilang: ‘Ting-toako,
berikanlah kitabmu Sin-tjiau-keng dan Soh-sim-kiam-koat kepadaku.’ ~ Bahkan dia
boleh tidak usah buka suara, tjukup memberi isjarat atau menundjukan sedikit
keinginannja sadja, kontan tanpa tawar2 pasti akan kuberikan segala apa jang
dia minta. Aku takkan pusing apakah kitab itu akan diserahkannja kepada
ajahnja, akan disedekahkan kepada pengemis dipinggir djalan atau akan dia
sobek2 sebagai mainan kanak2, ja, sekalipun akan dia bakar, pasti aku takkan mengkerut
kening sedikitpun. Ketahuilah, Tik-hiante, meski Bu-keng dan Kiam-koat itu
adalah kitab mestika jang tak ternilai di dunia Bu-lim, tapi kalau dibandingkan
diri Leng-siotjia, dalam pandanganku kitab2 mestika itu tidak lebih tjuma
sebangsa sampah belaka. Huh, Leng Dwe-su pertjuma mendjadi seorang
Bun-bu-tjoan-tjay, tapi hakekatnja adalah seorang jang goblok. Tjoba kalau dia
suruh puterinja membuka mulut minta padaku, tidak mungkin aku menolaknja.”
“Boleh djadi ia sudah pernah
bitjara dengan Leng-siotjia, tapi Leng-siotjia tidak mau menurut,” udjar Tik
Hun.
“Tidak mungkin,” sahut Ting
Tian menggeleng kepala. “Andaikan terdjadi begitu, pasti Siang-hoa takkan
membohongi aku.” ~ Ia menghela napas, lalu menjambung pula: “Hm, manusia matjam
Leng Dwe-su itu lebih mementingkan nama dan kedudukan, harta dan kekajaan,
dengan djiwanja jang ketjil itulah dia angap setiap manusia didjagat ini djuga
serupa dirinja jang tidak berpribadi, ia menjangka kalau menjuruh puterinja
minta padaku, tentu aku akan menolaknja, sebaliknja maksud djahatnja mendjadi
ketahuan hingga aku akan lebih waspada. Disamping itu ada pula suatu alasan.
Seperti diketahui, dia adalah seorang Tihu keluaran Hanlim, tapi puterinja
djusteru djatuh hati kepada seorang kasar seperti aku. Ia merasa terhina dan
harus membunuh diriku.”
“Sesudah aku tertangkap,
antero badanku telah digeledah merata, tapi tiada sesuatu jang diketemukan,
pondokku djuga tiak terluput dari penggeledahan teliti, namun djuga tidak
diketemukan apa2. Sedjak itu tiap2 tanggal 15 tentu aku diseret keluar pendjara
untuk disiksa dan ditanjai, sudah banjak sekali usaha mereka, segala budjukan
manis dan kata2 madu sudah habis terpakai, segala paksaan dan antjaman djuga
sudah dilakukan, tapi aku tetap bungkam. Ia pernah mengirim orangnja menjamar
sebagai pesakitan dan dikurung sekamar dengan aku dengan tudjuan memantjing
pembitjaraanku. Orang itu pura2 penasaran karena dipendjarakan tanpa berdosa,
ia mentjatji-maki Leng Dwe-su adalah manusia djahat. Akan tetapi segera aku
dapat mengetahui rahasia penjamarannja, tjuma sajang waktu itu aku belum
berhasil menjakinkan Sin-tjiau-kang, tenagaku tidak seberapa besarnja, maka
kurang keras kuhadjar dia.” ~ berkata sampai disini udjung mulutnja menampilkan
senjuman puas. Lalu melandjutkan: “Nasibmu djuga djelek, telah banjak menderita
hadjaranku setjara penasaran. Pabila engkau tidak bermaksud menggantung diri,
boleh djadi sampai harini djuga sudah mati dihadjar olehku.”
Sahut Tik Hun: “Aku sendiri
menanggung penasaran dan dipitenah orang, pabila tak ditolong Toako .....”
Tiba2 Ting Tian menggojang
tangannja menjetop utjapan pemuda itu, lalu katanja: “Pertemuan kita ini boleh
dikatakan ada ‘djodoh’. Segala kedjadian didunia ini memang tak terlepas dari
‘djodoh’.”
Sekilas ia melihat diudjung
taman bobrok sana bertumbuh setangkai bunga ungu jang ketjil dan sedang
tergontai oleh tiupan angin bagai hidup kesunjian disitu. Katanja segera:
“Petikanlah bunga itu!”
Tik Hun menurut, ia petik
tangkai bunga itu dan menjerahkannja kepada sang Toako.
Sambil memandangi bunga ungu
ditangannja itu, terbajang pula kedjadian2 dimasa lampau, pelahan2 Ting Tian
menutur lagi: “Setelah tulang pundakku ditembus rantai dan dipendjarakan,
segala apa sudah dapat kupikirkan dengan djelas, kujakin Leng Dwe-su pasti akan
menghabiskan njawaku. Sehari lebih tjepat kuserahkan Keng dan Koat*) jang dia
inginkan itu, sehari lebih lekas pula aku akan dibunuh olehnja. Tapi kalau aku
tetap bungkam, mengingat benda2 mestika jang diintjarnja itu tentu ia malah
tidak berani membunuh diriku, sekalipun dihadjar dan disiksa, paling2 djuga
tjuma melukai sedikit kulit sadja, untuk menamatkan njawaku rasanja masih
sajang baginja.”
“Pantas!” udjar Tik Hun.
“Makanja tempo hari waktu Toako suruh aku pura2 hendak membunuh engkau,
seketika sipir bui mendjadi kuatir malah dan tidak berani berlaku se-wenang2
lagi kepada kita.”
“Ja. Setelah lebih sebulan aku
disekap dalam pendjara, saking gusar dan penasaranku, hampir2 aku mendjadi
gila,” tutur Ting Tian pula. “Pada suatu malam, datanglah seorang pelajan
ketjil, ia adalah Kiok Yu (kawan seruni), itu dajang pribadi Leng-siotjia.
Sebabnja aku dapat berkenalan dengan Leng-siotjia adalah gara2 utjapan dajang
itu ditaman pameran seruni di Budjian. Aku tidak tahu betapa banjak
Leng-siotjia memberi sogokan kepada sipir bui hingga Kiok Yu diperbolehkan
menemui aku. Akan tetapi sepatahkatapun Kiok Yu ternjata tidak buka suara dan
tiada membawakan sesuatu benda atau setjarik kertaspun untukku, melainkan
menatap aku dengan ter-mangu2 sadja. Sipir bui itu membawa golok tadjam dan
mengantjam dipunggung Kiok Yu. Maka tahulah aku bahwa sipir bui itu terang
ketakutan atas perbuatannja menerima uang sogok, maka Kiok Yu tjuma
diperbolehkan bertemu muka dengan aku, tapi dilarang berbitjara.”
“Dengan terkesima Kiok Yu
memandangi aku sedjenak, sampai achirnja iapun mengutjurkan air mata. Sementara
itu sipir bui ber-ulang2 memberi tanda mendesaknja lekas keluar dari situ. Kiok
Yu melihat dipelataran diluar kamar pendjara bertumbuh setangkai bunga seruni
jang ketjil, ia terus memetiknja dan diangsurkan kepadaku melalui langkah besi,
lalu ia tuding2 pula kearah djendela diatas suatu loteng dikedjauhan. Diatas
ambang djendela itu ternjata tertaruh sebuah pot bunga jang segar. Aku mendjadi
girang dan tahu bunga itu diletakan oleh Leng-siotjia disitu untuk
menghilangkan rasa hampaku.”
“Kiok Yu tidak berani tinggal
terlalu lama disitu, segera ia putar tubuh bertindak keluar. Siapa duga baru
sadja ia melangkah keluar pintu pendjara, tiba2 dari tempat jang tinggi
menjambar datang sebatang panah, “tjrat”, punggung dajang ketjil itu tepat
tertembus oleh panah itu dan seketika menggeletak terbinasa. Njata Leng Dwe-su
kuatir kalau ada kawanku jang mengatjau kependjara untuk menolong aku, maka
di-mana2 disekitar pendjara itu sudah didjaga dengan kuat. Ketika panah kedua
menjambar pula, sipir bui jang korupsi itupun tidak terluput dari kematian.
Bagitulah djalan pikiran Leng-Dwe-su jang tjulas dan begitulah kedji
rentjananja.”
“Belum lagi bunga seruni
ditanganku itu laju, ternjata Kiok Yu sendiri sudah tewas. Sungguh aku mendjadi
ketakutan, takut kalau Leng Dwe-su mendjadi kalap hingga puterinja sendiripun
dibunuhnja. Maka aku tidak berani membikin marah lagi padanja, setiap kali ia
memeriksa aku pula, aku tjuma membudek dan membisu sadja dan tidak memakinja
lagi.
Hlm. 15: Gambar:
“.................... diluar
dugaan, baru sadja Kiok Yu melangkah keluar kamar pendjara, mendadak dari
tempat jang tinggi menjambar tiba sebatang panah dan tepat menembus punggung
gadis itu.............................”
“Kiok Yu telah mati bagiku,
usianja masih sangat muda, semuda bunga jang baru mekar. Kalau bukan karena
pengorbanannja itu, mana aku sanggup menahan derita selama beberapa tahun ini?
Dan darimana aku bisa tahu bahwa bunga segar dalam pot jang tertaruh diambang
djendela loteng itu adalah kerdjaan Siang-hoa untukku? Akan tetapi Siang-hoa
tetap tidak mengundjuk muka, ia tidak pernah mengintip lagi barang sekedjap
dari balik djendela itu. Sungguh aku merasa tidak mengerti apakah sebabnja?
Terkadang aku mendjadi menjesalkan dia mengapa begitu tega padaku?”
“Maka aku bertambah giat
melatih Sin-tjiau-keng dengan harapan selekasnja dapat terlatih tamat dan
sempurna, lalu takkan terkekang lagi kebebasanku oleh belenggu itu. Kuharap
bisa terlepas dari pendjara untuk membawa kabur Leng-siotjia dari kurungan
ajahnja. Akan tetapi Sin-tjiau-keng itu mengutamakan kesadaran pikiran dan
harus melatih dengan sewadjarnja, sedikitpun takbisa dipaksakan dengan tjepat.
Achirnja djerihpajahku toh tidak ter-sia2, sampai beberapa hari sebelum engkau
hendak menggantung diri barulah ilmu sakti itu berhasil kujakinkan. Selama ini
hanja berkat bunga segar dalam pot jang setiap hari ditaruh diambang djendela
loteng oleh Leng-siotjia itulah dapat sekedar menghibur hatiku nan lara. Dengan
segala tipu-dajanja Leng Dwe-su tetap berusaha memantjing rahasiaku. Engkau
dikurung sekamar bersama aku djuga termasuk tipu-dajanja. Ia tahu aku tidak
mudah terdjebak oleh begundalnja jang disuruhnja menjamar kedalam kamar
pendjara, maka sekali ini ia sengadja mendjebloskan seorang pemuda jang benar2
tak berdosa kedalam kamar pendjara dengan aku.”
“Menurut perhitungannja, lama
kelamaan tentu aku akan dapat mengetahui benar tidaknja engkau berdosa dan
dipendjarakan. Pabila tahu engkau benar2 pemuda jang tak berdosa, dengan
sendirinja aku akan anggap engkau sebagai kawan senasib serta membeberkan
rahasiaku kepadamu. Mereka tidak berhasil mengorek sesuatu apa dari diriku,
besar kemungkinan akan dapat mengorek dari mulutmu. Sebab engkau masih muda dan
kurang pengalaman, djudjur dan polos, engkau akan mudah terperangkap oleh
kepalsuan manusia djahat. Tak terduga oleh mereka bahwa sebegitu djauh aku
djusteru mentjurigai dirimu. Ja, oleh karena pengalamanku jang pahit, ditambah kematian
Kiok Yu jang menjedihkan, maka kepertjajaanku kepada siapapun djuga sudah
lenjap. Apa engkau mengira aku tidak pernah keluar dari pendjara? Ketahuilah
bahwa pada hari Sin-tjiau-kang berhasil kuselesaikan, hari itu djuga aku lantas
keluar pendjara. Tjuma sebelum pergi lebih dulu aku telah menutuk
‘Hun-sui-hiat’ (djalan darah membuat orang tak sadarkan diri) dibadanmu, dengan
sendirinja engkau tidak mengetahui.”
“Malam itu, ketika kulolos
keluar pendjara, kusangka pasti akan menghadapi suatu pertarungan sengit. Tak
terduga keadaan sudah berubah, mungkin sesudah sekian tahun, rasa waspada Leng
Dwe-su kepadaku sudah lenjap, pendjagaan diluar pendjara sudah dihapuskan.
Sudah tentu tak terduga sama sekali olehnja bahwa Sin-tjiau-kang jang
kujakinkan ini bisa begini hebat, orang jang sudah ditembus Pi-pe-kutnja dan
dipotong otot kakinja toh masih dapat menggunakan ilmu silatnja jang hebat.”
“Sesudah aku sampai dibawah
djendela loteng itu, hatiku ber-debar2 dengan keras sekali seperti kembali
kepada perasaanku pada waktu untuk pertama kalinja aku bertemu dengan
Leng-siotjia dibawah djendelanja dulu. Tapi achirnja aku memberanikan diri dan
mengetok djendelanja perlahan2 sambil memanggil: ‘Siang-hoa!’ ~ Ia terdjaga
bangun dari tidurnja terus berseru: ‘Ting-toako, Engkoh Tian, engkaukah jang
datang? Apa aku bukan sedang mimpi?’ ~ Sesudah berpisah sekian lamanja dan kini
dapat mendengar suaranja pula, sungguh girangku melebihi takaran, dengan suara
gemetar aku menjahuti: ‘Ja, Siang-moay, akulah jang datang! Aku telah lolos
keluar dari pendjara!’”
“Aku menunggu djendela itu
dibuka olehnja, sebab biasanja diwaktu kami mengadakan pertemuan, selalu dia
membukakan djendelanja dan barulah aku melompat masuk kedalam kamarnja,
selamanja aku tidak pernah sembarangan masuk kekamarnja itu. Tak tersangka
sekali ini dia tidak lantas membukakan djendelanja, tapi ia menempelkan mukanja
diatas kertas penutup daun djendela sambil berkata dengan perlahan: ‘O, engkoh
Tian, djadi engkau benar2 masih hidup dengan baik? Njata ajah tidak mendustai
aku’ ~ ‘Ehm, ajahmu memang tidak mendustai kau,’ kataku dengan suara pedih.
‘Sampai saat ini djuga aku masih tetap sehat walafiat. Marilah, harap engkau
membuka djendela, aku ingin melihat engkau.’ ~ Tapi tjepat ia mendjawab dengan
gugup: ‘Tidak! Djang ..... djangan!’ ~ ‘Sebab apa?’ tanjaku dengan tjemas. Maka
djawabnja: ‘Sebab aku sudah berdjandji kepada ajah. Beliau mendjamin
keselamatan djiwamu, tapi untuk selamanja aku dilarang berdjumpa dengan engkau
lagi. Ia mengharuskan aku bersumpah, suatu sumpah jang kedji bahwa pabila aku
bertemu pula dengan engkau, arwah ibuku dialam baka akan tersiksa setiap hari
oleh setan djahat,’ ~ berkata sampai disini, suaranja mendjadi sesenggukan.
Sedjak ketjil ia sudah ditinggalkan ibundanja, maka tjinta kasihnja kepada
mendiang ibunja boleh tidak usah diragukan lagi.”
“Sungguh aku bentji kepada
kekedjian Leng Dwe-su itu, dia tidak lantas membunuh aku adalah lantaran
mengintjar kitab pusaka dariku, tapi apa sangkut-pautnja dengan Siang-hoa
hingga puterinja itu diharuskan mengangkat sumpah sedjahat itu? Akan tetapi
Siang-hoa sudah dipaksa mengutjapkan sumpah berat itu dan sumpah itupun telah
melenjapkan segala harapanku. Namun aku tetap meminta: ‘Siang-hoa, marilah kita
minggat sadja bersama. Tutuplah matamu dengan kain supaja tidak melihat aku
untuk selamanja.’ ~ Ia menangis, sahutnja dengan ter-isak2: ‘Itulah ti .......
tidak mungkin, dan akupun tidak ingin engkau melihat aku pula.’ ~ Maka
tertjetuslah rasa dendam jang memenuhi dadaku selama ber-tahun2 itu, seruku:
‘Sebab apa? Aku ...... aku harus melihat engkau.’”
*) Keng = kitab. Kiam-keng =
kitab peladjaran ilmu pedang.
Kang = ilmu, kepandaian.
Koat = tanda2 rahasia atau
kuntji dari sesuatu ilmu. Kiam-koat = kuntji ilmu
pedang.
Hoat = ilmu. Kiam-hoat = ilmu
permainan pedang.
“Mendengar nada suaraku agak
lain, dengan lemah-lembut iapun berkata lagi: ‘Engkoh Tian, kutahu engkau telah
ditawan ajah, ber-ulang2 akupun memohon beliau membebaskan dikau. Tapi semua
permintaanku ditolaknja, bahkan aku lantas dipilihkan djodoh orang lain untuk
mematikan tjintaku kepadamu. Ketika aku membangkang, ajah lantas hendak
menggunakan kekerasan, maka....... maka aku telah menggurat mukaku sendiri
dengan pisau.’”
Mendengar sampai disini, tak
tertahan lagi Tik Hun berseru kaget dengan perasaan jang terguntjang hebat.
Namun Ting Tian menjambung
lagi: “Betapa rasa terima kasih dan kasih-sajangku demi mengetahui kesetiaannja
kepadaku. Terus sadja kuterdjang djendelanja hingga terpentang. Ia mendjerit kaget
sekali dan tjepat memedjamkan kedua matanja sambil menutupi pula mukanja dengan
tangan. Namun aku sudah dapat melihatnja dengan djelas. Selebar wadjah jang
paling tjantik didunia ini kini sudah berubah sedemikian rupa bagai langit dan
bumi bedanja, mukanja tergores malang-melintang belasan guratan pisau hingga
dagingnja membalik keluar. Matanja jang djeli, hidungnja jang mantjung dan
mulutnja jang mungil kini telah penuh dihiasi guratan2 tjodet merah bekas luka,
wadjah jang tjantik bagai bidadari itu kini telah berubah seperti setan. Aku
memeluknja dengan mesra. Biasanja Siang-hoa sangat sajang pada wadjahnja
sendiri jang tjantik itu, pabila bukan disebabkan oleh laki2 sial seperti aku,
mana dia mau merusak mukanja sedikitpun? Maka kataku: ‘Siang-hoa, ketjantikan
lahir mana dapat membandingi ketjantikan batin? Engkau merusak muka sendiri
untukku, dalam pandanganku engkau malah berpuluh kali, bahkan beratus kali
lebih tjantik daripada dahulu.’”
“Ia menangis, katanja:
‘Keadaan sudah begini dapatkah kita hidup berdampingan lagi? Aku sudah
berdjandji kepada ajah untuk selamanja tidak akan mendjumpai engkau lagi. Maka
........... Eangkoh Tian, haraplah engkau pergi dari sini sadja.’ ~ Aku insaf
hal itu tak dapat ditarik kembali lagi, maka sahutku: ‘Siang-moay, aku akan
kembali kedalam pendjara dan setiap hari akan kunikmati bunga segar didepan
djendelamu ini.’ ~ Sebaliknja ia lantas merangkul leherku, katanja setengah
meratap: ‘O, Engkoh Tian, djangan......... djangan engkau pergi!’”
“Begitulah kami saling berpelukan
hingga lama dan tidak berbitjara pula. Ia tidak berani memandang aku, akupun
tidak berani memandang dia. Sudah tentu bukan disebabkan aku tidak sudi kepada
mukanja jang sudah djelek itu, tetapi....... tetapi, ja, mukanja sesungguhnja
terlalu hebat rusaknja. Sampai lama dan lama sekali, dari djauh sudah terdengar
ajam djago berkokok. Achirnja ia berkata pula: ‘Engkoh Tian, aku......... aku
tidak boleh membikin susah ibuku jang sudah meninggal itu, maka...... maka
selandjutnja djanganlah engkau datang menjambangi aku pula.’ ~ Aku mendjawab:
‘Apakah sedjak kini kita takkan berdjumpa pula?’ ~ Dengan menangis ia menjahut:
‘Ja, takkan berdjumpa pula. Jang kuharapkan hanja sesudah kita berdua meninggal
dunia, semoga dapatlah dikubur didalam satu liang. Kuharap ada seseorang jang
baik hati akan sudi melaksanakan tjita2ku ini, untuk mana dialam baka djuga aku
akan berdoa untuk
memberkatinja.’ ~ Aku berkata
pula: ‘Siang-moay, aku mengetahui suatu rahasia besar, menurut tjerita orang
Kang-ouw, katanja rahasia ini ada sangkut-pautnja dengan sesuatu harta karun.
Rahasiaku ini disebut mereka Soh-sim-kiam-koat. Maka rahasia ini akan
kuberitahukan padamu, engkau harus mengingatnja dengan baik2.’ ~ Ia menjahut
tegas: ‘Tidak, aku tidak ingin mendengarnja, untuk apa aku mesti mengingatnja
baik2?’ ~ Kataku: ‘Tapi engkau dapat mentjari seorang jang djudjur dan dapat
dipertjaja untuk minta dia suka mengerdjakan tjita2 kita agar dikubur mendjadi
satu liang, sebagai balas djasanja engkau akan beritahukan Kiam-koat ini kepadanja.’
~ ‘Tapi selama hidupku sudah terang aku takkan turun dari loteng ini lagi,
dengan matjamku ini mana dapat kutemukan orang pula?’ demikian ia menjahut.
Tapi sesudah memikir sedjenak, segera katanja lagi: ‘Baiklah, katakanlah
kepadaku. Engkoh Tian, betapapun aku ingin dikubur bersama dengan engkau.
Biarpun aku harus memohon pertolongan orang dengan mukaku jang buruk ini, aku
takkan takut.’ ~ Dengan begitu akupun lantas memberitahukan kepadanja tentang
rahasia Soh-sim-kiam-koat, ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Sampai ufuk
timur sudah remang2, fadjar sudah hampir menjingsing, barulah aku berpisah
dengan dia dan kembali kedalam pendjara.”
Utjapan Ting Tian itu makin
lama makin berat hingga sampai achirnja suaranja semakin lirih dan hampir2 tak
kedengaran.
“Ting-toako,” kata Tik Hun
kemudian, “djangan engkau kuatir, pabila terdjadi apa2 atas dirimu, aku pasti
akan mengubur engkau bersama dengan Leng-siotjia. Tapi aku tidak mengharapkan
balas djasamu tentang Kiam-koat apa segala, biarpun engkau akan memberitahukan
kepadaku djuga aku tidak mau mendengarkan.”
Wadjah Ting Tian menampilkan
senjuman jang puas dan tulus, katanja: “Saudara jang baik, tidak pertjumalah
aku berkenalan dengan kau. Engkau berdjandji akan mengubur djenazah kami
mendjadi satu liang, matipun aku dapatlah merasa lega. Sungguh aku merasa
sangat girang..........” ~ lalu dengan bisik2 ia menjambung pula: “Sebenarnja
bila harta karun itu dapat engkau ketemukan, kujakin engkau pasti takkan
menjelewengkan penggunaannja, tapi dapat dipakai untuk menolong sesamanja,
untuk membantu kaum miskin, untuk menjokong kaum tertindas didunia ini. Orang2
jang menderita seperti aku, seperti engkau, seperti kita ini, didunia fana ini
masih teramat banjak. Maka Soh-sim-kiam-koat ini bila engkau tidak mau mendengarkan,
setelah aku mati, itu berarti akan musna untuk selamanja dan berarti pula suatu
kerugian besar bagi kaum tertindas, bukankah sangat sajang?”
Tik Hun meng-angguk2 dan
merasa utjapan sang Toako itu ada benarnja djuga.
“Makanja kuharap engkau sudilah
mendengarkan rahasia Soh-sim-kiam-koat ini,” kata Ting Tian lebih djauh. Ketika
dilihatnja Tik Hun sudah siap dan mentjurahkan sepenuh perhatian untuk
mendengarkan, segera ia meneruskan: ‘Nah, dengarkanlah jang baik2. Kuntji
daripada Soh-sim-kiam itu terdiri dari beberapa angka hitung sadja tapi bukan
angka ‘buntut’, djangan engkau salah sangka. Angka pertama adalah 4, angka
kedua adalah 51, angka ketiga 33, dan angka keempat adalah 53 ............”
Tengah Tik Hun mendengarkan
uraian itu dengan bingung, tiba2 terdengar suara tindakan orang mendatangi
diluar taman bobrok itu. Seorang diantaranja sedang berkata: “Hajolah kita
tjoba memeriksa kedalam taman ini!”
Wadjah Ting Tian berubah
seketika, tjepat ia melompat bangun. Segera Tik Hun ikut melompat bangun djuga.
Ia lihat dari pintu belakang taman bobrok itu telah menerobos masuk tiga orang
laki2 kekar. Dua orang diantaranja bersendjata.
Ting Tian melirik sekali
kepada ketiga orang itu, diam2 ia menghela napas gegetun, katanja didalam hati:
“Pabila aku belum keratjunan sedjahat ini, betapapun kuatnja ketiga kaki-tangan
penguasa ini djuga akan kubereskan dengan Sin-tjiau-kang. Tapi kini aku tidak
berani jakin kepada kemampuannja sendiri lagi. Apa barangkali Soh-sim-kiam-koat
akan musna sedjak kini?” ~ Tapi dalam sekedjap sadja ia sudah ambil keputusan:
“Betapapun aku harus berdjuang mati2an.”
Maka segera tanjanja kepada
Tik Hun: “Tik-hiante, keempat angka jang kukatakan tadi apa sudah kau ingat
dengan baik?”
Tapi Tik Hun sendiri lagi
kesima melihat ketiga musuh sudah mendesak madju dan telah mengurung mereka
di-tengah2, jang seorang bersendjata golok dan jang lain bersendjata pedang,
orang ketiga bertangan kosong, tapi bermuka paling litjik dan bengis.
Karena itulah ia mendjadi lupa
untuk mendjawab pertanjaan Ting Tian tadi.
“Tik-hiante, engkau sudah
ingat dengan baik belum?” kembali Ting Tian menggembornja.
Karena itu, barulah Tik Hun
terkedjut dan tjepat menjahut: “Sudah, angka pertama adalah........” sebenarnja
ia hendak mengatakan angka “4” itu, tapi segera teringat olehnja bahwa musuh
sudah didepan mata, kalau dia berkata, bukankah akan didengar musuh? Maka
tjepat ia berdiri mungkur dan atjungkan empat djarinja kearah Ting Tian.
Dalam pada itu lelaki jang
bersendjatakan golok sudah lantas berkata dengan tertawa dingin: “Orang she
Ting, betapapun engkau djuga terhitung seorang gagah, mengapa pada saat
demikian ini engkau masih mengotjeh dan merengek seperti anak ketjil? Hajolah
lebih baik ikut kembali dengan kami sadja, agar kita tidak saling menjusahkan.”
Sedang kawannja jang memakai
pedang lantas ikut bersuara: “Tik-toako, sudah lama tidak berdjumpa, baik2kah
engkau selama ini? Senang sekali bukan hidup didalam pendjara?”
Tik Hun terperandjat oleh
teguran itu, ia merasa suara orang sudah pernah dikenalnja. Waktu ia
mengamat-amati orang, maka teringatlah dia. Kiranja orang ini
tak-lain-tak-bukan adalah murid kedua Ban Tjin-san jang bernama Tjiu Kin. Sudah
berpisah sekian tahun, kini Tjiu Kin telah piara kumis diatas bibir, ditambah
pakaiannja perlente, maka Tik Hun mendjadi pangling.
Teringat Tjiu Kin adalah murid
Ban Tjin-san dan termasuk salah seorang biangkeladi jang menjebabkan dirinja
didjebloskan kedalam pendjara hingga menderita sampai kini, seketika Tik Hun
mendjadi naik darah, dengan gusarnja terus sadja ia membentak: “Hai, kukira
siapa, tak tahunja adalah Tjiu........... Tjiu-djiko!”
Sebenarnja Tik Hun bermaksud
menjebut langsung nama orang tapi achirnja urung dan tetap memanggilnja sebagai
“Tjiu-djiko”.
Rupanja Ting Tian dapat meraba
perasaan Tik Hun, ia berseru: “Bagus!” ~ Ia pikir sebentar lagi pasti akan
terdjadi pertarungan mengadu djiwa, pertarungan jang menentukan mati atau
hidup, tapi Tik Hun toh dapat mengekang perasaan dendamnja kepada Tjiu Kin
dengan memanggil “Tjiu-djiko” padanja, itu suatu tanda pemuda itu sudah tambah
tjerdik dan bukan lagi orang kasar jang tahunja melulu hantam-kromo sadja.
Lalu Ting Tian berkata pula:
“Hm, Tjiu-djiya ini tentunja adalah murid pilihan Ban Tjin-san, Ban-loyatju,
bukan? Bagus, bagus, entah sedjak kapan Tjiu-djiya telah menghamba kepada
Leng-tihu? ~ Ini, Tik-hiante, biarlah aku memperkenalkan padamu. Ini adalah
tokoh terkemuka dari ‘Ban-sing-to’, Ma Tay-beng, Ma-toaya, orang memberi
djulukan ‘Kiap-gi-khek’ kepadanja.’
“Kiap-gi-khek (pendekar
budiman)? Hm, indah amat djulukannja ini? Tapi entah tulen atau palsu, sesuai
tidak perbuatannja dengan namanja?” djengek Tik Hun.
Tentang hal itu, haha, aku
tidak sanggup mengatakan,” kata Ting Tian dengan mengedjeknja. “Dan jang itu
adalah djago djebolan Siau-lim-pay, terkenal karena Tiat-sah-tjiangnja jang
lihay dan bernama ‘Siang-to’ Kheng Thian-pa. Orang Bu-lim mengatakan telapak
tangannja terlalu tadjam bagai sendjata, maka memberikan djulukan ‘Siang-to’
(sepasang golok) padanja. Padahal selamanja dia tidak pernah menggunakan
sendjata.”
“Bagaimana dengan kepandaian
kedua tuan ini?” tanja Tik Hun.
“Hanja djago pilihan diantara
djago2 kelas dua sadja,” sahut Ting Tian. “Untuk bisa naik tingkat mendjadi
kelas satu, ha, selama hidupnja tiada harapan.”
“Sebab apa?’ tanja Tik Hun.
“Habis, bukan bahan dari
kwalitet jang baik,” kata Ting Tian.
“Sudah tiada mendapatkan
didikan guru pandai, bakat merekapun terlalu djelek.”
Begitulah mereka
bertanja-djawab seenaknja se-akan2 disamping mereka sudah tiada orang lain
lagi. Keruan hampir2 meledak dada Kheng Thian-pa dan Ma Tay-beng saking
gusarnja.
Ma Tay-beng wataknja lebih
sabar, ia tjuma mendengus sekali dan diam sadja. Sebaliknja Kheng Thian-pa
takdapat menahan gusarnja lagi, terus sadja ia memaki: “Keparat, adjalmu sudah
sampai, masih berani mengotjeh. Rasakan golokku ini!”
Apa jang dia katakan “golok”
itu sebenarnja adalah telapak tangannja, tjuma tenaganja sangat kuat, asal kena
ditubuh musuh, tadjamnja tidak kalah daripada golok badja. Maka berbareng
dengan bentakannja itu, terus sadja sebelah telapak tangannja memotong kearah
Ting Tian.
Karena badannja keratjunan,
Ting Tian tidak dapat lagi mengerahkan tenaga dalamnja dengan baik, maka ia
tidak berani menangkis, melainkan mengegos untuk menghindar.
Tak terduga dalam hal
Tjiang-hoat atau ilmu pukulan denga telapak tangan, Kheng Thian-pa itu memang
benar2 lihay, sekali hantam luput, segera menjusul serangan kedua dengan
menabas dari samping.
Ting Tian kenal serangan
perubahan lawan itu, tjepat ia turunkan sebelah tangannja untuk menangkis. Akan
tetapi gajanja bagus, tjaranja tepat, hanja tenaganja kurang, hasilnja sama
sekali diluar harapannja. “Plok”, iganja tepat kena disabet sekali oleh telapak
tangan Kheng Thian-pa.
Tiat-sah-tjiang atau ilmu
pukulan pasir besi dari Siauw-lim-pay memang benar2 tidak bernama kosong.
Kontan Ting Tian sempojongan dan muntahkan darah segar.
“Nah, bagaimana? Aku hanja
djago kelas dua, lantas kau kelas berapa?” demikian Kheng Thian-pa mengedjek
dengan tertawa dingin.
Ting Tian menarik napas dalam2
sekali, mendadak ia merasa djalan napasnja sangat lantjar. Kiranja setelah
ratjun “Hud-tjo-kim-lian” jang djahat itu meresap masuk kedalam pembuluh darah,
djalannja makin lama makin lambat. Meski tadi ia memuntahkan darah dan luka
dalam jang dideritanja sangat parah,tapi bekerdjanja ratjun untuk sementara
mendjadi hilang malah. Dalam girangnja, kontan sadja Ting Tian balas menjodokan
sebelah telapak tangannja kedepan.
Ketika Thian-pa menangkis,
mendadak Ting Tian memutar tangannja terus menampar keatas, “plok”, tepat
sekali pipi Thian-pa kena digampar. Menjusul tangan Ting Tian jang lain memutar
pula dan menghantam, “plak”, kepala Thian-pa kena ditabok djuga sekali.
“Mati aku!” djerit Thian-pa
ketika insaf kepalanja susah menghindarkan tabokan lawan itu. Namun begitu,
tjepat ia berusaha mendakan tubuh dan melangkah mundur. Diluar dugaan kembali
sebelah tangan Ting Tian menghantam lagi kedepan dan dadanja digendjot pula.
Kembali Thian-pa mendjerit: “Aduuh!” dan tergentak mundur.
Melihat tiga kali serangan
sendiri tepat mengenai tempat bahaja dibadan sasarannja, tapi musuh tidak
roboh, hanja ter-hujung2 mundur. Diam2 Ting Tian mendjadi tjemas, ia insaf
tenaga dalamnja sudah banjak lenjap akibat keratjunan Hud-tjo-kim-lian itu. Sebenarnja
kalau Sin-tjiau-kang dapat mendorong kekuatan ketiga kali serangannja tadi,
biarpun djago nomor satu didunia ini djuga akan binasa seketika oleh salah satu
serangannja itu. Tapi kini Kheng Thian-pa jang tjuma tergolong djago kelas dua
ternjata sanggup menahan serangan2nja itu tanpa roboh, maka dapatlah
dibajangkan keadaan Ting Tian jang sudah lemah itu.
Ting Tian sendiri tahu
adjalnja sudah dekat, tapi kalau dirinja mesti dibinasakan oleh kerotjo seperti
Kheng Thian-pa, sungguh ia sangat penasaran. Diam2 ia berduka dan gelisah.
Sebaliknja Kheng Thian-pa
sendiri sebenarnja sudah ketakutan dan merasa tak terhindar dari kematian
ketika merasa muka, atas kepala dan dada kena dihantam lawan, padahal ketiga
tempat itu adalah tempat2 berbahaja. Namun ia tjuma ter-hujung2 mundur dan
tidak terbinasa, ia mendjadi heran, tapi njalinja sudah petjah hingga untuk
sementara ia tidak berani merangsang madju pula.
Segera Ma Tay-beng mengedipi
Tjiu Kin sambil berseru: “Tjiu-hiati, marilah kita madju bersama!”
Tjiu Kin mengiakan. Sebenarnja
ia merasa bukan tandingan Tik Hun, tapi mengingat dirinja sendiri bersendjata
pedang, sedang lawan bertangan kosong, ditambah lagi djari tangan kanan pemuda
itu dahulu sudah terpapas, otot kaki telah dipotong dan tulang pundak ditembus
lagi, biarpun ilmu silat setinggi langit djuga takkan mampu dimainkannja.
Karena itulah Tjiu Kin mendjadi tabah, sekali pedangnja bergerak, terus sadja
ia menusuk kepada Tik Hun.
Ting Tian tahu Sin-tjiau-kang
jang dilatih Tik Hun itu belum djadi. Ilmu silatnja kini malah belum setarap
seperti waktu didjebloskan kedalam pendjara dulu. Kalau mesti melawan Tjiu Kin
dengan bertangan kosong, tentu djiwanja akan melajang pertjuma. Segera ia
bertindak, tjepat ia menggeser kesamping, dengan tangan kiri terus sadja ia
hendak merampas pedangnja Tjiu Kin.
Gerak serangan Ting Tian itu
sangat tjepat dan aneh luar biasa hingga sebelum diketahui Tjiu Kin, tahu2
ketiga djari Ting Tian sudah berhasil menggantol dipergelangan tangan murid Ban
Tjin-san itu.
Keruan kedjut Tjiu Kin tak
terkatakan, ia mengeluh sendjatanja pasti akan terlepas dari tjekalan dan
tjelakalah dirinja. Tak terduga meski djari musuh sudah kena pentjet
diurat-nadinja ternjata Hiat-to pergelangan tangan itu tidak terganggu apa2.
Tanpa ajal lagi kesempatan itu
digunakan Tjiu Kin untuk mengipatkan tangannja dan menjusul pedangnja membalik
terus menusuk kedada kiri Ting Tian dengan tjepat.
Ting Tian menghela napas
pandjang sekali dan berkata didalam hati: “Ada tenaga takbisa dikerahkan, apa
dajaku?” ~ namun begitu dengan mudah dapatlah serangan Tjiu Kin itu
dihindarinja.
Diantara ketiga penjatron itu,
Ma Tay-beng adalah paling luas pengalamannja. Ia telah menjaksikan Ting Tian
bergebrak dengan Kheng Tian dan Tjiu Kin, dalam pertarungan itu dua kali Ting
Tian sudah diatas angin, tapi dua kali djuga tidak memperoleh kemenangan
sebagaimana diduganja. Maka sesudah dipikir, segera tahulah dia apa sebabnja.
Dari Leng-tihu ia diberitahu bahwa Ting Tian sudah keratjunan jang tiada
obatnja, maka dapat diduga pasti ratjun dalam tubuhnja itu telah bekerdja
hebat, maka tenaga dalamnja telah banjak berkurang.
Achirnja Keng Thian-pa dapat
mengetahui djuga keadaan Ting Tian jang sudah pajah itu, ia pikir makanan empuk
jang tinggal ditelan sadja itu djangan sampai diganjang lebih dulu oleh
kawannja. Begitu pula Ma Tay-beng djuga mempunjai pikiran jang sama, maka
berbareng mereka terus menubruk madju.
“Huh, katanja djulukanmu
adalah ‘Kiap-gi-khek’, tapi perbuatanmu ini apakah dapat dikatakan kelakuan
seorang Kiap-gi?” bentak Tik Hun dengan gusar. Segera iapun mendjotos kearah Ma
Tay-beng.
Namun Ting Tian sempat
mendorong kepundak Tik Hun sambil berkata padanja: “Engkau mundur sadja,
Tik-hiante!” ~ Menjusul mana tangannja membalik terus mentjengkeram hingga
djidat Ma Tay-beng tepat kena dipegang.
Tjengkeraman Ting Tian ini
djuga serangan jang mematikan, djangankan Ting Tian menggunakan tenaga dalam
jang hebat dari Sin-tjiau-kang, sekalipun Lwekang jang biasa sadja djuga tjukup
membikin njawa sasarannja amblas.
Keruan Ma Tay-beng ketakutan
setengah mati dan tjepat mendjatuhkan diri ketanah terus menggelinding
kesamping.
Dalam keadaan begitu Ting Tian
merasa tenaga dalam sendiri semakin lama semakin lemah, sementara ini tjuma
berkat tipu serangannja jang djauh lebih lihay daripada musuh, maka dapatlah
bertahan sekadarnja, pabila “Soh-sim-kiam-koat” tidak segera diberitahukan
seluruhnja kepada Tik Hun, boleh djadi rahasia maha besar ini selandjutnja akan
musna untuk selamanja, djika demikian rasanja sangatlah sajang. Oleh karena
dirinja bagaimanapun akan mati, maka lebih baik berusaha agar Tik Hun berhasil
menjelesaikan tugas jang diselubung rahasia Kiam-koat itu.