Pedang Hati Suci Jilid 16-20

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pedang Hati Suci Jilid 16-20 Dengan merebah ditengah semak2 rumput, Tik Hun dapat menjaksikan hanja dalam sekedjap sadja Hiat-to Lotjo sudah berhasil membinasakan enam lawannja, betapa hebat ilmu silatnja dan betapa ganas tjaranja,
Dengan merebah ditengah semak2 rumput, Tik Hun dapat menjaksikan hanja dalam sekedjap sadja Hiat-to Lotjo sudah berhasil membinasakan enam lawannja, betapa hebat ilmu silatnja dan betapa ganas tjaranja, sungguh susah untuk dibajangkan. Sekilas terpikir olehnja: “Djika tjara demikian dia membunuh musuh, sisa ke-11 orang lagi mungkin hanja sekedjap sadja sudah akan bersih terbinasa olehnja.”

Tiba2 terdengar suara teriakan seorang: “Piaumoay, Piaumoay! Dimanakah engkau?” ~ Itulah suaranja Kim-tong-kiam Ong Siau-hong, sipedang djedjaka emas, satu diantara Leng-kiam-siang-hiap.

Tjui Sing sendiri berdjuluk Gin-koh-kiam atau sipedang dara perak. Ia sedang menggeletak disamping Tik Hun, karena Ah-hiat, jaitu Hiat-to pembisu, telah ditutuk oleh Hiat-to Lotjo, maka ia takdapat bersuara, hanja didalam hati sadja ia ber-teriak2: “Piauko, aku berada disini!”

Dilain pihak Ong Siau-hong masih terus mentjari sang Piaumoay dengan menjingkap semak2 rumput jang lebat itu. Tiba2 angin meniup hingga udjung badju Tjui Sing tersiur keatas, hal mana segera dapat dilihat oleh Siau-hong, dengan girang pemuda itu berseru; “Inilah dia, disini!” ~ Segera iapun menubruk madju untuk merangkul bangun Tjui Sing.

Saking girangnja sampai Tjui Sing meneteskan air mata hampir2 ia djatuh pingsan didalam pelukan sang kekasih.

“Piaumoay, Piaumoay! Aku telah ketemukan engkau!” demikian seru Siau-hong kegirangan sambil memeluk se-kentjang2nja.

Dalam keadaan begitu, segala tata-tertib dan sopan-santun antara kedua orang jang berlainan djenis itu sudah dilupakan oleh pemuda itu.

“Piaumoay, bagaimana kau, tidak apa2 bukan?” demikian Siau-hong menanja pula.

Dan sudah tentu Tjui Sing takdapat mendjawab. Siau-hong mendjadi tjuriga, tjepat ia letakkan sigadis ketanah. Tapi baru kaki Tjui Sing berdiri, tubuhnja terus mendojong roboh kebelakang. Dan baru sekarang Siau-hong tahu apa jang terdjadi atas diri sang Piaumoay, iapun seorang jang mahir Tiam-hiat, segera ia memidjit beberapa kali dibagian pinggang dan bahu untuk membuka Hiat-to jang tertutuk itu.

“Piauko-piauko!” segera Tjui Sing berteriak terharu sesudah merdeka kembali.

Dalam pada itu Tik Hun menginsafi keadaan berbahaja bagi dirinja ketika Ong Siau-hong mendekat kesitu. Dikala pemuda itu asjik membuka Hiat-to sang Piaumoay, diam2 Tik Hun Tik merangkak pergi.

Namun Tjui Sing adalah satu gadis jang sangat tjermat, begitu mendengar ada suara semak rumput berkeresakan, segera teringat olehnja hinaan jang diterimanja dari Tik Hun, terus sadja ia menuding kearah Tik Hun dan berseru kepada sang Piauko: “Itu dia, lekas bunuh paderi djahat itu!”

Mendengar itu, tanpa pikir lagi Siau Hong terus lolos pedangnja pula, setjepat kilat ia menusuk kearah Tik Hun.

Untunglah Tik Hun sebelumnja sudah tahu gelagat bakal tjelaka. Demi mendengar teriakan Tjui Sing itu, maka sebelum pedang orang tiba, dengan tjepat ia terus menggulingkan diri kedepan. Dan ternjata disisi situ adalah tanah tandjakan jang miring, maka seperti tong gentong sadja ia menggelindingkan diri kebawah.

Dalam pada itu Ong Siau-hong telah menjusulkan tusukan kedua kalinja dengan tjepat dan tampaknja sudah hampir mengenai Tik Hun, se-konjong2 terdengar “trang” sekali, tangannja terasa kesemutan, tusukannja telah tertangkis oleh berkelebatnja sinar merah kemilau.

Tapi ilmu silat Siau-hong memang lebih tinggi daripada Tjui Sing, kalau tjuma sekali gebrak sadja masih belum dapat menundukannja. Dalam segala kerepotannja itu, tanpa pikir lagi ia terus putar pedangnja sedemikian kentjangnja hingga berwudjut sebuah bola sinar putih untuk melindungi tubuh sendiri. Maka terdengarlah serentetan suara gemerintjing beradunja pedang dan golok, hanja sekedjap sadja sudah lebih 20-30 kali kedua sendjata saling berbenturan.
Kiranja ilmu pedang Siau-hong itu sudah hampir memperoleh seluruh kepandaian sang guru, jaitu Tjui Tay, ajahnja Tjui Sing. Ilmu pedang jang dimainkan itu disebut “Khong-djiok-khay-peng” (burung merak pentang sajap), gaja ilmu pedang itu seluruhnja ada sembilan rupa permainan pedang itu sudah dilatihnja dengan sangat masak, dalam keadaan djiwanja terantjam bahaja oleh serangan golok musuh jang tjepat luar biasa itu, ia tidak dapat memikirkan apakah mesti menangkisnja dengan satu djurus demi satu djurus, tapi ia terus memainkan “Khong-djiok-khay-peng” dengan sendirinja. Dan lantaran itu, meski Hiat-to Lotjo ber-ulang2 melantjarkan serangan sampai 36 kali dan semakin lama semakin tjepat namun toh seluruhnja kena ditangkis oleh Siau-hong.

Semua orang sampai terkesima menjaksikan pertarungan sengit dan tjepat itu. Sementara itu diantara 17 orang pengedjar itu sudah ada tiga orang pula jang terbinasa dibawah golok berdarah sipaderi tua, sisanja termasuk Tjui Sing tinggal sembilan orang sadja. Diam2 mereka menahan napas mengikuti pertempuran jang berlangsung itu, pikir mereka: “Betapapun Leng-kiam-siang-hiap memang tidak bernama kosong, hanja dia sendiri jang mampu menangkis serangan kilat dari golok paderi djahat itu.”

Padahal bila Hiat-to Lotjo mengendorkan serangannja, menjusul saling gebrak lagi setjara biasa, dalam belasan djurus sadja tentu djiwa Ong Siau-hong akan melajang dibawah golok berdarah Hiat-to Lotjo itu. Untunglah seketika itu sipaderi tua tidak memikirkan kemungkinan itu, ia masih terus merangsak dan menjerang setjepat kilat dan setjara ber-tubi2.

Sebenarnja ada maksud para pendekar lain hendak ikut menerdjang madju untuk membantu mampuskan paderi tua jang djahat itu, tapi karena pertarungan kedua orang itu dilakukan dengan terlalu tjepat hingga tiada tempat luang jang dapat mereka masuki.

Sudah tentu diantara semua orang itu jang paling memperhatikan keselamatan Siau-hong adalah Tjui Sing. Meski kaki-tangannja masih terasa lemas dan linu, tapi iapun tidak berani menunggu terlalu lama, segera ia djemput sebatang pedang dari tangan sesatu majat jang menggeletak ditanah itu, terus sadja ia ikut menjerbu madju untuk membantu sang Piauko.

Sigadis sudah biasa bekerdja sama dengan sang Piauko dalam menghadapi musuh, tjara bertempurnja mendjadi tidak tjanggung2 segera Ong Siau-hong menahan semua serangan Hiat-to Lotjo dan Tjui Sing jang melakukan serangan dengan mati2an.

Hiat-to Lotjo mulai gopoh karena sudah puluhan djurus masih takdapat membereskan Ong Siau-hong. Mendadak ia menggerang sekali, sambil tangan kanan tetap memainkan goloknja, tangan kiri terus dipakai untuk merebut pedang pemuda itu.
Siau-hong terkedjut, segera ia putar pedangnja lebih kentjang, harapannja dapatlah memapas beberapa djari tangan musuh jang berani tjoba2 merebut sendjatanja itu. Tak terduga tangan paderi tua ini seperti tidak takut kepada tadjamnja pedang, tangan itu mendjentik atau menjampok dengan tjepat hingga ada lebih dari separoh dari tipu serangan Siau-hong kena dipatahkan. Dan sebab itu keadaan Siau-hong dan Tjui Sing mendjadi berbahaja.

Gelagat tidak menguntungkan itu segera dapat dilihat oleh salah seorang pendekar tua diantaranja, ia insaf bila sebentar Leng-kiam-siang-hiap sampai terbinasa dibawah golok musuh, maka sisa kawan2nja djuga tiada seorangpun jang dapat lolos dengan hidup.

Maka ia lantas berseru: “Hajo, kawan2, marilah kita menerdjang madju semua! Biarlah kita melabrak paderi tjabul itu dengan mati2an.”

Dan pada saat itulah, tiba2 dari djurusan barat-laut sana terdengar suara teriakan seseorang jang ditarik pandjang: “Lok-hoa-liu-tjui!”
Menjusul arah barat-daya djuga ada suara sahutan seorang lain: ”Lok-hoaaa-liu-tjui!” ~ Bahkan belum lenjap suara itu, kembali dari arah barat ada suara seorang lagi jang bergema diangkasa: “Lok-hoa-liuuuuu-tjui?”

Begitulah suara ketiga orang itu berkumandang datang dari tiga djurusan pula, suara mereka ada jang keras melantang, ada jang njaring melengking, tapi semuanja bertenaga dalam jang sangat kuat.

Hiat-to Lotjo terkesiap demi mendengar suara teriakan ketiga orang itu, pikirnja: “Darimanakah muntjulnja tiga tokoh kosen seperti itu? Dari suaranja sadja mungkin ilmu silat mereka masing2 tidak berada dibawahku. Pabila mereka bertiga mengerubut madju sekaligus, pasti aku akan susah melawan mereka.”

Begitulah sambil memikirkan tjara menghadapi musuh, gerak serangannja sedikitpun tidak mendjadi kendor.

Se-konjong2 dari arah selatan lagi2 ada suara seruan seorang ”Lok-hoa-liu-tjuiiiiii!”

Kalau tadi suara ketiga orang itu menarik pandjang seruan mereka mulai dari Lok-hoa-liu, maka orang keempat ini menarik pandjang huruf keempat “tjui” hingga njaring dan berkumandang sampai djauh.

Dalam pada itu Tjui Sing mendjadi girang, segera iapun berteriak2: “Ajah, ajah! Lekas tolong, ajah!”
Segera salah seorang pendekar itupun ada jang berseru girang: ”Itulah dia Kanglam-su-lo telah datang semua, Lok-hoa-liu-tjui! Haha..............” ~ Tapi baru dia mulai tertawa, se-konjong2 darah muntjrat dari dadanja, golok Hiat-to Lotjo telah mampir didadanja hingga seketika ia terbinasa.

Mendengar bahwa keempat orang jang datang lagi itu ternjata adalah ajahnja Tjui Sing, tiba2 Hiat-to Lotjo ingat sesuatu: “Aku pernah mendengar tjerita muridku si Sian-yong, katanja didalam Bulim didaerah Tionggoan, tokoh jang paling lihay selain Ting Tian masih terdapat pula apa jang disebut Pak-su-koay dan Lam-su-lo (empat tokoh aneh diutara dan empat kakek sakti diselatan). Pak-su-koay itu katanja berdjuluk ‘Hong-hou-in-liong’(angin, harimau, mega, naga), dan Lam-su-lo katanja berdjuluk ‘Lok-hoa-liu-tjui (gugur bunga air mengalir alias kotjar-katjir). Waktu mendengar tjerita itu, aku tjuma mengedjeknja dengan mendengus, kupikir kalau mereka berdjuluk ‘Lok-hoa-liu-tjui’, masakah mereka memiliki kepandaian jang berarti? Tapi kini dari suara seruan mereka jang sahut-menjahut ini, njata mereka memang bukan tokoh sembarangan.”

Selagi paderi tua itu memikir, tiba2 terdengar pula suara keempat orang itu serentak bergema diangkasa, teriakan “Lok-hoa-liu-tjui” itu berkumandang datang dari empat djurusan jang begitu keras hingga lembah pegunungan itu se-akan2 terguntjang.
Dari suara itu Hiat-to Lotjo tahu djarak keempat orang masih tjukup djauh, paling tidak masih 5-6 li djauhnja. Tapi bila dia mesti membunuh habis sisa kesembilan lawan jang masih terus mengerubut dengan nekat itu, dan sementara itu keempat tokoh mengepung tiba, tentu susahlah untuk meloloskan diri.

Tiba2 ia bersuit, lalu berteriak keras2: “Lok-hoa-liu-tjui, biar kulabrak kalian hingga kotjar-katjir!”

Berbareng itu djarinja terus menjelentik, “tjreng”, pedang ditangan Tjui Sing sampai mentjelat keudara oleh selentikan itu.

“Tik Hun, siapkan kuda, kita tinggal pergi sadja!” seru Hiat-to Lotjo tiba2.

Tik Hun tidak mendjawab karena merasa serba sulit, djikalau lari bersama paderi tua itu, mungkin dirinja akan semakin mendalam kedjeblos kedalam lumpur hingga tidak dapat menarik diri lagi. Tapi kalau tinggal disitu, bukan mustahil segera akan ditjintjang mendjadi baso oleh orang banjak, tidak mungkin dia diberi kesempatan untuk bitjara dan membela diri.

Dalam pada itu terdengar Hiat-to Lotjo telah mendesak pula: ”Tjutju murid, lekas tuntun kuda kesini!”
Dan segera Tik Hun dapat mengambil keputusan: “Paling penting sekarang jalah menjelamatkan djiwa dahulu, apakah orang lain akan salah paham atau tidak, biarlah itu urusan belakang?”

Maka waktu untuk ketiga kalinja Hiat-to Lotjo mendesak pula, segera ia menjahut sekali, lalu mendjemput sebatang tumbak sekedar dipakai tongkat, dengan berintjang-intjuk ia terus ketempat kuda.

“Tjelaka, paderi djahat itu akan lari, biar aku mentjegat dia!” seru seorang gendut jang bersendjata toja. Segera iapun tarik tojanja serta memburu kearah Tik Hun.

“Hehe, kau hendak mentjegat dia, biar aku mentjegat kau!” demikian Hiat-to Lotjo mendjengek, berbareng goloknja berkelebat, sebelum sigendut sempat berkelit, tahu2 orangnja berikut tojanja sudah tertabas kutung mendjadi empat potong.

Melihat kawannja mati setjara mengenaskan, semua orang sama mendjerit ngeri. Memang tudjuan Hiat-to Lotjo jalah untuk menggertak mundur pengerojok itu, maka pada saat lawan2 itu tertegun sedjenak, tanpa ajal lagi ia mengulur tangan hingga pinggang Tjui Sing kena dirangkulnja, segera ia berlari kearah Tik Hun jang sementara itu sudah menjiapkan kuda tunggangannja.
“Lepaskan aku, lepaskan aku, Hwesio djahanam!” demikian Tjui Sing ber-teriak2, berbareng kepalannja terus menghantam serabutan kepunggung Hiat-to Lotjo.

Biarpun ilmu pedang sigadis tidak lemah, tapi kepalan jang dihudjankan kepunggung musuh itu ternjata tiada bertenaga, apa lagi kulit-daging Hiat-to Lotjo tjukup kasap dan tebal, beberapa kali gebukan itu hampir2 tidak terasa olehnja, bahkan paderi tua itu melangkah dengan sangat tjepat, hanja beberapa kali lompatan sadja ia sudah berada disamping Tik Hun.

Saat itu Ong Siau-hong masih terus putar pedangnja dengan mati2an, ia masih terus melontarkan djurus2 “Khong-djiok-khay-peng” jang mirip burung merak beraksi itu. Ketika sang Piaumoay kembali ditjulik musuh lagi, dengan kalap ia lantas memburu sambil tetap memutar pedangnja tanpa berhenti, tjuma permainannja sudah katjau tak keruan.

Sesudah mendekat, lebih dulu Hiat-to Lotjo menaikan Tik Hun keatas kuda kuning, lalu menaruh Tjui Sing didepan pemuda itu sambil memberi pesan dengan pelahan: “Orang2 jang berteriak seperti setan meringkik itu adalah musuh2 tangguh jang tidak sembarangan. Anak dara ini adalah barang sandera (djaminan), jangan sampai dia melarikan diri.”

Sembari berkata ia terus mentjemplak keatas kuda putih dan dikeprak kearah timur dengan diikut oleh Tik Hun dengan kuda kuning.

Dalam pada itu suara teriakan “Lok-hoa-liu-tjui” itu semakin mendekat, terkadang suara itu tuma seorang sadja, tempo2 dua orang, tapi sering djuga tiga-empat orang berseru berbareng.


“Piauko, Piauko! Ajah, ajah! Lekas tolong aku!” demikian Tjui Sing djuga ber-teriak2 ketakutan. Tapi djelas dilihatnja sang Piauko makin djauh ketinggalan dibelakang kuda.

Kedua ekor kuda kuning dan putih milik Leng-kiam-siang-hiap itu memangnja adalah kuda2 pilihan jang susah didapat. Biasanja mereka sangat bangga atas binatang tunggangan mereka itu. Siapa duga sekarang sendjata makan tuan, kuda2 itu berbalik diperalat oleh musuh untuk melarikan Tjui Sing. Sudah tentu binatang2 itu tidak kenal kawan atau lawan, mereka hanja menurut perintah sipenunggang sadja, semakin dikeprak, semakin kentjang larinja, dan Ong Siau-hong djuga ketinggalan semakin djauh.

Walaupun takdapat menjusul musuh, namun Siau-hong tidak putus asa, ia masih memburu terus sambil ber-teriak2 dari djauh: “Piaumoay! Piaumoay!”

Begitulah jang satu berteriak “Piauko” dan jang lain berseru “Piaumoay”, suara mereka sedih memilukan, bagi pendengaran Tik Hun, rasanja mendjadi tidak tega, beberapa kali ia hendak mendorong Tjui Sing kebawah kuda biar berkumpul kembali dengan kekasihnja. Tapi selalu teringat olehnja pesan Hiat-to Lotjo jang mengatakan musuh jang datang itu sangat tangguh, anak dara ini adalah barang sandera dan harus didjaganja djangan sampai lari. Maka ia mendjadi ragu2, bila Tjui Sing dilepaskan tentu Hiat-to Lotjo akan gusar, paderi jang djahat luar biasa itu, bukan mustahil akan membunuh dirinja bagai menjembelih seekor ajam sadja. Apalagi bila sampai disusul oleh ajah Tjui Sing berempat djago tangguh itu, besar kemungkinan dirinja djuga akan terbunuh setjara sia2 tanpa berdosa.
Seketika Tik Hun mendjadi bingung apa jang harus dilakukannja, ia dengar suara teriakan Tjui Sing sudah mulai serak. Mendadak hati Tik Hun terharu: “Ai, betapa tjinta-kasih antara mereka itu, tapi dengan paksa telah dipisahkan orang. Aku sendiri bukankah djuga demikian dengan Djik-sumoay? Mestinja kami dapat hidup aman tenteram berduaan, tapi ada pihak ketiga jang telah menghantjurkan tjita2 kami. Namun ....namun, bilakah Djik-sumoay pernah memperhatikan diriku seperti nona Tjui ini terhadap Piaukonja itu?”

Berpikir sampai disini Tik Hun mendjadi berduka, katanja didalam hati: “Bolehlah kau kembali sadja!” ~ dan sekali mendorong Tjui Sing didorongnja kebawah kuda.

Tak terduga meski Hiat-to Lotjo berdjalan didepan, namun setiap saat ia memperhatikan gerak-gerik kuda dibelakangnja. Ketika suara teriakan Tjui Sing mendadak berhenti, menjusul terdengar suara kaget sigadis dan suara djatuhnja ketanah, ia mengira Tik Hun jang patah kaki itu tidak kuat menahan terperosotnja Tjui Sing ketanah, maka tjepat ia memutar balik kudanja.

Dilain pihak, begitu tubuh Tjui Sing djatuh ketanah, tjepat ia sudah melompat bangun pula, segera iapun angkat langkah seribu berlari kearah Ong Siau-hong.
Djarak kedua muda-mudi tatkala itu kira2 ada seratusan meter, jang satu berlari dari sini, jang lain memapak dari sana, jang satu berteriak: “Piauko!” dan jang lain berseru; “Piaumoay!” ~ Djarak mereka semakin dekat, rasa girang mereka tak terkatakan dan rasa kuatir merekapun susah dilukiskan.

“Hehe, biarlah mereka gembira dulu!” demikian djengek Hiat-to Lotjo. Ia sengadja menahan kudanja, ia membiarkan kedua muda-mudi semakin mendekat satu-sama-lain, waktu djarak mereka tinggal 20-30 meter djauhnja, mendadak ia kempit kudanja kentjang2 sambil bersuit, setjepat angin ia membedal kuda putih itu kebelakang Tjui Sing.

Keruan Tik Hun ikut kuatir bagi sigadis, dalam hati ia ber-teriak2: “Lekas lari, tjepat sedikit, lekas!”

Begitu pula beberapa pendekar jagn tidak terbunuh tadi ketika melihat Hiat-to Lotjo menggeprak kudanja kembali sambil mulut menggigit golok berdarahnja, merekapun ber-teriak2 kuatir: ”Tjepat lari, lekas!”

Tjui Sing mendengar suara derapan kuda dari belakang semakin mendekat, tapi lari mereka djuga semakin tjepat dan djarak kedua muda-mudi itupun semakin dekat. Saking napsu dan gugupnja ingin lekas2 mentjapai sang kekasih, sampai dadanja se-akan2 meledak dan dengkulnja terasa lemas, setiap saat pasti dia akan terbanting roboh. Tapi sedapat mungkin ia masih bertahan sekuatnja

Lambat laun ia merasa hawa napas kuda putih seperti sudah menjembur sampai dipunggungnja, terdengar Hiat-to Lotjo sedang berkata dengan tertawa iblis: “Hehe, masakah kau dapat lolos?”
Dengan mati2an Tjui Sing angkat langkahnja selebar mungkin sambil mengulur kedua tangannja kedepan, namun sang Piauko masih dua-tiga meter djauhnja, sedangkan tangan kiri Hiat-to Lotjo sudah terasa merangsang keatas kepalanja.

Sekali Tjui Sing mendjerit dan selagi hendak menangis, tiba2 terdengarlah suara seruan seorang jang penuh welas-asih serta sangat dikenalnja: “Djangan takut, Sing-dji, ajah datang untuk menolong kau!”

Mendengar suara itu tak-lain-tak-bukan adalah sang ajah ~ Tjui Tay ~ jang telah datang, dalam girangnja semangat Tjui Sing tiba2 terbangkit, entah darimana datangnja kekuatan, se-konjong2 kakinja meledjit sekuatnja kedepan hingga lebih satu meter djauhnja, meski saat itu lengan atas sigadis sudah terdjamah oleh tangan Hiat-to Lotjo, tapi achirnja gadis itu dapat terlepas djuga.

Ketika Ong Siau-hong sekuatnja melompat madju djuga, tangan kiri kedua muda-mudi itu sudah dapat saling memegang. Tjepat tangan kanan Siau-hong memutar pedangnja pula, pikirnja: “Alhamdulillah, sjukur Suhu dapat tiba tepat pada waktunja untuk menolong, maka sekarang tidak perlu takut kepada iblis paderi djahat itu lagi.”

Sebaliknja Hiat-to Lotjo ter-kekeh2 edjek melihat pemuda itu berani main kaju padanja lagi, tiba2 goloknja menjabat kedepan.
Melihat berkelebatnja sinar merah, tjepat Ong Siau-hong ajun pedangnja menangkis. Diluar dugaan, tiba2 golok bersinar merah darah itu dapat melengkung kebawah hingga mirip tali jang lemas udjung golok terus memotong kedjari tangannja. Bila Ong Siau-hong tidak lepaskan pedangnja, pasti tangannja jang akan terkutung.

Didalam seribu kerepotannja itu, perubahan gerakan pemuda itupun sangat tjepat, ia kerahkan tenaga pada tangannja, pedang terus ditimpukan kearah musuh.

Tapi sekali djari kiri Hiat-to Lotjo mendjentik, kontan pedang itu terpental dan menjambar kearah seorang kakek jang sedang berlari setjepat terbang dari arah barat sana. Menjusul golok ditangan kanan paderi itu terus mengulur kedepan pula mengantjam muka Ong Siau-hong.

Untuk mendojongkan tubuhnja kebelakang guna menghindar serangan itu, terpaksa Siau-hong harus melepaskan tangan jang memegang tangan Tjui Sing itu. Dan kesempatan itu tidak di-sia2kan Hiat-to Lotjo, sekali tangannja merangkul, kembali Tjui Sing tertawan olehnja terus ditaruh diatas pelana kudanja. Bahkan paderi itu tidak memutar kudanja dengan segera, tapi malah keprak kuda mentjongklang kedepan, menerdjang kearah rombongan djago2 silat Tionggoan tadi.

Melihat musuh menerdjang dengan kudanja, pendekar2 Tiongoan jang menghadang ditengah djalan itu terpaksa melompat minggir sambil ber-teriak2. Sedangkan Hiat-to Lotjo lantas memutar kudanja, mengitar kembali kearah Tik Hun sambil mulutnja mengeluarkan suara gerangan aneh.
Namun sebelum dia mendekat dengan Tik Hun, se-konjong2 sesosok bajangan kelabu berkelebat, sinar pedang jang gemerdep menjilaukan mata karena tertimpa tjahaja sinar bulan, tahu2 menjambar kearah dadanja. Tanpa pikir lagi Hiat-to Lotjo ajun goloknja menjampok, “trang”, golok membentur pedang hingga tjekalannja terasa kesemutan. “Hebat benar tenaga dalamnja!” diam2 paderi tua itu membatin.

Dan pada saat itulah kembali dari sebelah kanan sebatang pedang djuga menusuk kearahnja. Gaja serangan pedang ini datangnja sangat aneh, udjung pedang tampak gemerdep hingga berwudjut beberapa lingkaran2 besar dan ketjil, hingga seketika tidak djelas kemana tusukan pedang itu hendak diteruskan.

Kembali Hiat-to Lotjo terkedjut: “Ah, kiranja tokoh ahli Thay-kek-kiam djuga datang!”

Segera ia himpun tenaga ketangan kanan, iapun ajun goloknja hingga berupa beberapa lingkaran, begitu lingkaran2 golok dan pedang beradu, terdengarlah “trang-trang-trang” beberapa kali disertai muntjratnja lelatu api.

“Ilmu golok bagus!” terdengar pihak lawan membentak. Berbareng orangnja terus melompat kesamping. Waktu dipandang, kiranja adalah seorang Todjin (imam agama Tao) jang berdjubah kuning djingga.

“Dan ilmu pedangmu djuga bagus!” demikian Hiat-to Lotjo balas memudji.
Tapi orang jang disisi kiri tadi lantas membentak djuga: “Lepaskan puteriku!” ~ Segera pedangnja menusuk dan tangannja memukul sekaligus.

Disebebelah sana, dari djauh Tik Hun dapat menjaksikan Tjui Sing kembali telah ditawan Hiat-to Lotjo pula, tapi akibatnja kini telah dikerubut dua lawan tangguh. Sikakek sebelah kiri itu berdjenggot putih sebagai perak, wadjahnja putih bersih, ber-ulang2 terdengar dia berteriak: “Lepaskan puteriku!” ~ Terang ialah ajahnja Tjui Sing. ~ Tjui Tay.

Tertampak setiap kali Hiat-to Lotjo menangkis pedang Tjui Tay selalu paderi tua itu tergeliat sedikit, teranglah tenaga dalam djago she Tjui itu masih lebih kuat daripada lawannja.

Dalam pada itu dari lereng bukit sebelah barat sana tertampak mendatangi lagi dua orang lain dengan setjepat angin, terang merekapun djago jang lihay.

Pikir Tik Hun: “Bila kedua orang itupun tiba dan empat orang mengerojok madju semua, tentu Hiat-to Lotjo takkan sanggup melawan mereka, kalau tidak terbinasa djuga akan terluka parah. Maka lebih baik sekarang djuga aku melarikan diri dahulu!” ~ Tetapi segera terpikir lagi olehnja: “Kalau bukan paderi itu jang menolong djiwaku, mungkin sedjak tadi2 aku sudah dibunuh oleh Ong Siau-hong. Djika sekarang aku lupa budi dan mementingkan diri sendiri, terang ini bukan perbuatan seorang laki2 sedjati.”
Begitulah ia mendjadi ragu2 apa mesti menjelamatkan diri sendiri atau tidak. Se-konjong2 terdengar teriakan Hiat-to Lotjo: “Ini, kukembalikan puterimu.” ~ tahu2 tubuh Tjui Sing dilemparkan hingga melampaui atas kepala Tjui Tay terus tertudju kearah Tik Hun.

Kedjadian ini benar2 diluar dugaan siapapun djuga, sudah tentu Tjui Sing jang tubuhnja me-lajang2 diudara itu men-djerit2 ketakutan, bahkan orang lain djuga berteriak kaget semua.

Tik Hun mendjadi bingung djuga ketika melihat tubuh sigadis itu melajang kearahnja. Kalau tak ditangkap olehnja, tentu gadis itu akan terbanting, kalau ditangkap, datangnja tubuh sigadis teramat kentjang, boleh djadi ke-dua2nja akan terguling semua ketanah. Namun Tik Hun tidak sempat banjak memikir lagi, tubuh Tjui Sing sudah melajang tiba, terpaksa ia pentang tangannja terus merangkul tubuh gadis itu.

Sebenarnja lemparan Hiat-to Lotjo itu tjukup keras, untung Tik Hun berada diatas kuda, tenaga timpahan itu sebagian besar dapat dipikul oleh kuda. Pula waktu Hiat-to Lotjo melemparkan Tjui Sing, berbareng ia sudah menutuk djalan darah gadis itu hingga tidak dapat berkutik apa2, maka Tik Hun dapat menangkap tubuhnja dengan bebas.

“Hwesio djahat, lepaskan aku!” demikian Tjui Sing hanja dapat ber-teriak2.
Di sebelah sana mendadak Hiat-to Lotjo membatjok dua kali kearah Tjui Tay, menjusul dengan tjepat luar biasa ia membatjok djuga dua kali kepada imam tua tadi, serangan2nja itu lihay sekali hingga mau-tak-mau lawan2nja harus menghindar dan berkelit. Berbareng Hiat-to Lotjo berseru pula: “Tik Hun, anak baik, lekas lari, lekas lari dulu, tak perlu menunggu aku!”

Tik Hun masih bingung, tapi segera dilihatnja Ong Siau-hong dan beberapa kawannja telah memburu kearahnja sambil ber-teriak2: “Bunuh dulu bangsat tjabul tjilik itu!” ~ Dilain pihak Hiat-to Lotjo masih terus mendesak agar dia lekas melarikan diri. Achirnja Tik Hun pikir memang harus menjelamatkan diri lebih penting. Maka segera ia keprak kudanja menerdjang kesana.

Tadinja Tik Hun dan Hiat-to Lotjo sebenarnja berlari kearah timur, tapi dalam keadaan gugup sekarang ia berbalik lari kearah barat.

Dalam pada itu Hiat-to Lotjo memutar golok merahnja itu semakin tjepat, seluruh tubuhnja se-akan2 terbungkus oleh sinar merah, dengan ketawa2 ia masih berkata: “Lebih baik aku akan mengawani puterimu jang tjantik molek itu daripada menemani tua bangka seperti kau ini!”

Habis berkata, ia pura2 membatjok sekali, selagi lawan berkelit, terus sadja ia kempit kudanja hingga binatang itu mendadak melompat kedepan.
Karena kuatir atas diri puterinja jang telah dilarikan Tik Hun itu, Tjui Tay tidak ingin terlibat lebih lama dengan Hiat-to Lotjo, segera ia mengeluarkan Ginkang “Ting-ping-toh-tjui” (menumpang kapu2 meluntjur diatas air) jang hebat, segera ia mengedjar kearah Tik Hun setjepat orang meluntjur diatas air.

Tapi kuda tunggangan Tik Hun djusteru adalah kuda pilihan djenis Tay-wan (sedjenis kuda patju Mongol) jang dibeli Tjui Tay sendiri dengan harga 500 tahil perak, betapa tjepat larinja ketjuali kuda putih tunggangan Hiat-to Lotjo itu, boleh dikata djarang ada tandingannja. Maka sekarang meski diatas kuda kuning itu dibebani dua orang, jaitu Tik Hun dan Tjui Sing, tapi larinja masih sangat tjepat dan Tjui Tay tetap takdapat menjusulnja.

“Berhenti, berhenti!” demikian Tjui Tay ber-teriak2. “Bangsat gundul, djika kau tidak berhenti, sebentar kutjintjang kau hingga mendjadi bergedel!”

Sudah tentu tidak nanti Tik Hun mau berhenti, sebaliknja ia mengeprak kudanja semakin kentjang.

“Ajah, ajah!” Tjui Sing ber-teriak2 djuga dengan ketakutan.
Sungguh hati Tjui Tay seperti di-sajat2, sahutnja: “Djangan kuatir, nak!”

Dan hanja sekedjap sadja kedjar mengedjar itu sudah dua ~ tiga li djauhnja. Meski Ginkang Tjui Tay sangat hebat, tapi lama-kelamaan iapun mulai lemas, maklum, usianja sudah landjut napasnja djadi kempas-kempis dan megap2, djaraknja dengan kuda kuning itupun semakin mendjauh. Bahkan mendadak dari belakang terdengar ada sambaran sendjata tadjam. Tanpa pikir ia putar pedangnja menangkis kebelakang, “trang”, batjokan Hiat-to Lotjo jang sudah dapat menjusulnja itu kena tertangkis, segera tertampak angin berkesiur lewat diampingnja, paderi tua itu sudah keprak kuda putihnja sambil ter-bahak2 dan menjusul kearah Tik Hun dengan tjepat sekali..............

***
Hiat-to Lotjo dan Tik Hun masih terus melarikan kuda mereka dengan tjepat hingga musuh sudah ketinggalan sangat djauh dibelakang, setelah jakin musuh pasti takkan mampu menjusul lagi, kuatir kalau kuda2 itu terlalu tjapek, mereka lantas mengendorkan kendali dan membiarkan binatang2 itu berdjalan pelahan2.

Sepandjang djalan tiada henti2nja Hiat-to Lotjo memudji kebaikan hati Tik Hun, katanja pemuda itu mempunjai Liangsim (hati nurani badjik), biarpun tahu gelagat sangat berbahaja toh tidak mau melarikan diri meninggalkan sang “Sutjo” (kakek guru).

Tik Hun hanja tersenjum getir sadja oleh “pudjian” setinggi langit itu. waktu ia melirik Tjui Sing, ia lihat paras muka sigadis mengundjuk rasa ketakutan tertjampur hina padanja, ia tahu gadis itu pasti sangat bentji, bahkan geregetan padanja. Ia pikir urusan toh sudah ketelandjur begini, untuk memberi pendjelasan djuga gadis itu belum tentu mau pertjaja, ia pikir masa-bodohlah, bagaimana engkau hendak memaki dan mentjatji aku sebagai bangsat gundul atau paderi tjabul dan apa lagi, silakan makilah sesukamu.

“Hei anak dara,” tiba2 Hiat-to Lotjo bersuara, “ilmu silat ajahmu boleh djuga, ja? Tapi, hehe, toh masih kalah setingkat daripada Tjosuya-mu ini, biarpun dia peras antero tenaganja djuga tidak mampu menahan diriku.”

Tjui Sing tidak mendjawab, tapi hanja melototnja sekali.

“Dan siimam tua jang bersendjata pedang itu, siapakah dia? Termasuk jang mana diantara ‘Lok-hoa-liu-tjui’ itu?”demikian Hiat-to Lotjo menanja pula
Namun Tjui Sing sudah ambil keputusan takkan mendjawab, biar pun orang menanja terus, tetap ia tidak gubris padanja.

Achirnja Hiat-to Lotjo mendjadi djengkel, tiba2 ia tanja Tik Hun dengan tertawa: “Eh, tjutju muridku, tahukah engkau tempat manakah jang paling berharga bagi kaum wanita?’

Tik Hun terperandjat oleh pertanjaan itu. “Tjelaka!” pikirnja. “Apakah paderi terkutuk ini akan menodai kesutjian nona Tjui? Tjara bagaimana baiknja agar aku dapat menolong gadis itu?”

Tapi terpaksa iapun mendjawab: “Entahlah, aku tidak tahu!”

“Ah, masih hidjau, kau,” udjar Hiat-to Lotjo dengan tertawa. “Ini, dengarlah baik2 biar kau tambah pengalaman.Tempat jang paling berharga bagi kaum wanita adalah terletak pada ........ paras mukanja! Nah, sekarang kau sudah tahu bukan? Makanja bila dia masih tidak mendjawab pertanjaanku, haha, asal golokku ini kusajat begini dan kuiris begitu, seketika mukanja akan berwudjut peta djalan simpang, nah, tjantik tidak kalau begitu, ha?” ~ Habis berkata, sret, segera iapun lolos goloknja jang terselip dipinggang itu.
Namun Tjui Sing adalah satu gadis jang berwatak sangat keras, setelah djatuh ditangan kedua “paderi tjabul” itu, memangnja ia sudah bertekad pati, lebih baik gugur sebagai ratna daripada hidup menanggung hina. Meski suka kepada paras tjantik adalah mendjadi watak asli kaum wanita, bila terpikir muka sendiri jang tjantik molek itu bakal di-sajat2 sedemikian rupa oleh paderi djahanam itu, betapapun ia merasa merinding djuga. Tapi bila terpikir pula sesudah paras muka sendiri terusak, boleh djadi kesutjian badannja malah dapat dipertahankan, hal ini masih mending djuga daripada mati konjol.

Sementara itu Hiat-to Lotjo telah abat-abitkan udjung goloknja dimuka hidungnja sambil mengantjam: “Nah, djawablah! Kutanja siapakah imam tua itu? Djika kau tidak mendjawab lagi, sajatan pertama segera kulakukan. Katakan, lekas!”

“Fui!” semprot Tjui Sing. “Katakan apa? Katakan kau paderi keparat! Lekas kau bunuh sadja nonamu ini!”

“Sret”, mendadak tangan Hiat-to Lotjo bekerdja, dimana sinar merah berkelebat, muka Tjui Sing telah disajatnja sekali.

Tik Hun mendjerit tertahan sekali dan tidak tega untuk memandang. Sebaliknja Tjui Sing sudah lantas pingsan.

Hiat-to Lotjo ter-bahak2 sambil melarikan kudanja lebih tjepat.

Tanpa tertahan Tik Hun memandang djuga kepada Tjui Sing , tapi ia mendjadi melongo sebab muka sinona ternjata tiada apa2, bahkan luka sedikitpun tidak ada. Keruan ia sangat girang.

Kiranja ilmu permainan golok Hiat-to Lotjo itu benar2 sudah mentjapai tingkatan jang paling sempurna dan dapat menurut setiap keinginannja tanpa selisih satu milipun. Tabasannja tadi memang telah menjambar lewat dipipi Tjui Sing, tapi hanja kena sajat setjomot rambut dipelipis gadis itu, sedangkan pipinja sedikitpun tidak terluka.
Saat itu pelahan2 Tjui Sing djuga mulai siuman, tanpa tertahan lagi air matanja bertjutjuran. Ketika dilihatnja Tik Hun lagi memandangnja dengan tersenjum-simpul girang, ia mendjadi gusar dan mendongkol, damperatnja: “Kau ........ kau ..........paderi djahat.” ~ Sebenarnja ia bermaksud mentjatji maki pemuda itu dengan kata2 jang paling pedas dan kedji, tapi dasar dia seorang gadis sopan dan lembut, selamanja tidak pernah mengutjapkan kata2 jang kasar dan kotor, maka seketika itu iapun tidak tahu apa jang harus dimakinja selain kata2 “paderi djahat” itu.

Melihat Tjui Sing sudah siuman, segera Hiat-to Lotjo menggeraki pula goloknja jang melengkung itu kemuka sigadis sambil membentak: “Nah, sekarang kau mau mendjawab tidak? Kalau tidak, segera kusajat pula mukamu!”

Tapi Tjui Sing tetap membandel, ia pikir toh sudah disajat sekali, biarpun di-sajat2 lagi mukaku djuga serupa sadja, maka sahutnja dengan mendjerit: “Lekas kau bunuh aku sadja, Hwesio djahanam!”

“Huh, masakah begitu enak?” edjek Hiat-to Lotjo sambil menabas pula, kembali goloknja menjerempet lewat dipipi sigadis.

Tapi sekali ini Tjui Sing tidak pingsan lagi, ia merasa pipinja njes dingin, namun tidak terasa sakit, pula tiada darah menetes. Baru sekarang ia tahu Hwesio tua itu tjuma main gertak sadja, hakikatnja pipi sendiri tidak terluka apa2, tanpa merasa ia menghela napas lega.

“Eh, tjutju murid jang baik, kedua kali batjokan Tjosuya barusan ini bagaimana menurut pendapatmu?” tiba2 Hiat-to Lotjo menanja Tik Hun.

“Wah, ilmu sakti, hebat sekali!” sahut Tik Hun, tanpa ragu2, memang pudjiannja ini bukan pura2 belaka, tapi timbul dari hati nuraninja, sebab ilmu golok Hwesio tua itu memang luar biasa.

“Kau ingin beladjar tidak?” tanja Hiat-to Lotjo pula.

Tik Hun tidak lantas mendjawab, tapi mendadak timbul suatu pikirannja: “Aku djusteru lagi bingung bagaimana untuk melindungi kesutjian nona Tjui, bila aku mengalihkan perhatiannja dengan meretjoki sipaderi tua agar mengadjarkan ilmu silatnja kepadaku, tentu pikiran menjelewengnja untuk sementara ini dapat ditjegah, lalu aku dapat mentjari akal untuk menolong sinona. Dan aku harus membuat sipaderi tua benar2 mentjurahkan antero perhatiannja untuk mengadjar padaku, untuk mana aku harus berusaha menjenangkan hatinja serta beladjar sungguh2.”

Dengan keputusan itu, maka ia menjahut: “Tjosuyaya, kepandaianmu memainkan Hiat-to itu, sungguh tjutju-murid kerandjingan benar2 untuk mempeladjarinja, maka sukalah Tjosuya mengadjarkan beberapa djurus padaku, agar kelak bila aku bertemu dengan lawan sebangsa kerotjo seperti Piauko nona ini, paling tidak aku dapat balas melabraknja.”

Habis berkata, pikir punja pikir Tik Hun mendjadi mengkirik sendiri dan merah djengah mukanja. Maklum, dasar watak Tik Hun sangat djudjur, selamanja tidak suka pura2, tapi kini demi untuk menolong sinona, mau-tak-mau ia mesti memanggil “Tjosuya” kepada musuh jang sebenarnja dibentji itu.

Bahkan Tjui Sing jang mendengar utjapan Tik Hun jang mendjilat pantat itupun merasa muak, ber-ulang2 ia meludah tanda bentji.

Sebaliknja Hiat-to Lotjo merasa sangat senang, katanja: “Ilmu permainan Hiat-to ini tidak mungkin dapat dipeladjari dalam waktu singkat. Tapi bolehlah aku mengadjarkan djurus ‘Pi-tjoa-sia-hu’ (mengupas kertas dan mengiris tahu). Tjara melatihnja begini: taruhlah setumpuk kertas kira2 seratus helai diatas medja, sekali golokmu menabas harus tepat mengupas kertas helai pertama, helai kedua sekali2 tidak boleh ikut terkupas. Habis itu memotong helai kedua, ketiga dan seterusnja, sekali tabas satu helai, hingga habis seratus helai.”

“Huh membual seperti tukang obat!” edjek Tjui Sing. Dasar sifat anak muda, ia tidak pertjaja ilmu golok orang bisa sedemikian lihaynja, makanja ia mengedjek.

“O, djadi kau tidak pertjaja, baiklah sekarang djuga aku mentjobanja dihadapanmu,” udjar Hiat-to Lotjo dengan tertawa. Dan mendadak ia bubut seutas rambut sigadis.

Keruan Tjui Sing kaget, “Hai, mau apa kau?” teriaknja kuatir.

Namun Hiat-to Lotjo tidak mendjawab, ia taruh utas rambut itu diatas batang hidung Tjui Sing, lalu melarikan kudanja kedepan sana.

Waktu itu tubuh Tjui Sing meringkuk dan tertaruh diatas kuda, didepannja Tik Hun, ketika merasa udjung hidungnja ditaruhi seutas rambut, dengan sendirinja merasa ter-kilik2 geli, ia tidak tahu sipaderi tua itu akan main gila apa, sedianja terus hendak meniup rambut diatas hidung itu agar djatuh.

Tapi mendadak terdengar Hiat-to Lotjo berseru; “Eh, djangan bergerak, lihatlah jang djelas!” ~ Lalu ia memutar kudanja berlari kembali, dengan tjepat sekali kedua kuda lantas saling bersimpangan.

Seketika Tjui Sing merasa pandangannja silau oleh berkelebatnja sinar merah, udjung hidungnja terasa silir2 dan rambut diatas hidung itu tahu2 sudah lenjap. Menjusul lantas terdengar Tik Hun ber-teriak2: “Bagus! Bagus!”

Ketika Hiat-to Lotjo menjodorkan goloknja kedepan Tjui Sing, maka tertampaklah diatas batang golok itu terdapat seutas rambut pandjang. Hiat-to Lotjo dan Tik Hun berkepala gundul semua, dengan sendirinja rambut itu adalah milik Tjui Sing jang takdapat dipalsukan. Keruan sigadis tidak kepalang kedjut dan kagumnja, pikirnja: “Hwesio tua ini benar2 sangat lihay. Tabasannja barusan ini kalau satu mili lebih tinggi, tentu rambut itu takkan dapat terkupas oleh goloknja, sebaliknja kalau rendah sedikit, pasti hidungku sekarang sudah gerumpung, paling tidak djuga mendjadi pesek. Apalagi dia menabas sambil menaik kuda, namun toh begitu tepat dan djitu, sungguh kepandaian jang hebat.”

Karena sengadja hendak merebut hati Hiat-to Lotjo, maka tidak habis2 Tik Hun mengumpak dan memberi pudjian2 setinggi langit atas ilmu golok sang “kakek guru” itu.

Kini Tjui Sing sendiri sudah menjaksikan betapa sakti ilmu goloknja orang, maka iapun anggap pudjian2 Tik Hun itu memang tidak terlalu berlebihan. Tjuma ia merasa pemuda itu benar2 terlalu rendah djiwanja, masakah sedemikian pendjilat pantat untuk merebut hati sang kakek guru.

Begitulah kemudian Hiat-to Lotjo melandjutkan perdjalanannja dengan mendjadjarkan kudanja dengan Tik Hun, katanja: “Dan tjara ‘mengiris tahu’ itu jalah taruh sepotong tahu diatas papan, lalu mengirisnja tipis2, sepotong tahu itu harus disajat mendjadi seratus irisan ketjil, setiap iris harus utuh dan pipih. Djika hasilnja memuaskan, itu berarti djurus pertama sudah lulus.”

“Itupun baru merupakan djurus pertama?” Tik Hun menegas.

“Sudah tentu,” sahut Hiat-to Lotjo. “Memangnja kau anggap ilmu golok Tjosuyamu ini seperti memotong ajam gampangnja? Nah, tjobalah kau pikir, lebih sulit mengiris tahu sambil berdiri tegak atau lebih sulit mengupas rambut diatas udjung hidung anak dara itu? Hahahahaha!”

Dengan sangat kagum Tik Hun mengumpak pula: “Ilmu sakti Tjosuya sudah tentu tidak mungkin ditjapai oleh sembarangan orang. Asalkan tjutju-murid dapat mempeladjari sepersepuluh dari kepandaian Tjosuya sadja rasanja sudah tjukup puas!”

Hiat-to Lotjo ter-bahak2 senang oleh pudjian itu. Sebaliknja Tjui Sing me-ludah2 hina pula.

Biasanja orang mendjilat itu paling sulit terletak pada utjapannja jang pertama. Orang djudjur seperti Tik Hun itu memangnja tidak tjotjok disuruh mengutjapkan kata2 jang penuh pudjian belaka itu, tapi sesudah banjak diutjapkan, otomatis mendjadi biasa baginja untuk mentjari kata2 jang enak didengar. Padahal pudjian2 Tik Hun bagi ilmu golok Hiat-to Lotjo jang sakti itu boleh dikata tidak berlebihan, tjuma kalau menurut watak asli Tik Hun, seharusnja tidak nanti sudi diutjapkannja.

Begitulah maka Hiat-to Lotjo telah mendjawab: “Ehm, bakatmu tjukup baik, asal kau mau giat beladjar, pasti kepandaianku ini dapat kau peladjari. Baiklah, sekarang djuga boleh kau tjoba2!”

Habis berkata, mendadak ia bubut pula seutas rambutnja Tjui Sing dan meletakannja diatas udjung hidungnja.

Tentu sadja Tjui Sing ketakutan, sekali sebul terus sadja ia tiup djatuh rambut itu sambil ber-teriak2: “He, he, Hwesio tjilik ini tidak bisa, mana boleh suruh dia sembarangan tjoba!”

“Tidak bisa harus dilatih sampai bisa, segala kepandaian mesti dilatih dulu baru bisa,” demikian Hiat-to Lotjo berkata. “Sekali tidak djadi, ulangi sekali lagi, dua kali gagal, ulangi tiga kali, tiga kali gagal, ulangi sepuluh kali atau duatiga puluh kali, achirnja pasti djadi!” Habis itu, kembali ia bubut lagi seutas rambut sigadis dan ditaruh pula diudjung hidungnja, lalu ia serahkan goloknja kepada Tik Hun dan berkata: “Nah, tjoba kau!”

Sambil menerima golok dari tangan Hiat-to Lotjo itu, Tik Hun tjoba memandang sekedjap kepada Tjui Sing jang menggeletak didepan sendiri itu. Ia lihat wadjah sigadis penuh rasa gusar, tapi dari sinar matanja tetampak pula rasa takutnja. Rupanja gadis itu tahu kalau Tik Hun tidak pernah melatih ilmu silat jang hebat itu, pabila setjara semberono menirukan tjara tabasan Hiat-to Lotjo, mungkin kepalanja akan terbelah mendjadi 2, paling tidak djuga hidung akan terkupas. Dan masih mending bila kepala terpetjah belah dan seketika mati daripada menerima hinaan kedua “paderi tjabul” itu, tjelakanja kalau hidungnja jang terkupas mendjadi pesek, kan bisa runjam untuk selamanja.

Tiba2 pikiran tjerdik Tik Hun tergugah, ia menanja Hiat-to Lotjo: “Tjosuya, tjara tabasan ini, bagaimana dengan tenaga tangan jang harus dipakai?”

“Harus pinggang menggerakan bahu, bahu menembus kelengan, lengan harus tidak bertenaga, dan pergelangan tangan harus tidak berkekuatan,” demikian sahut Hiat-to Lotjo. Lalu iapun memberi pendjelasan tentang apa jang dimaksudkan “pinggang menggerakkan bahu” dan “bahu menembus kelengan” dan apa2 lagi jang kedengarannja susah dimengarti, tapi sebenarnja mengandung kebenaran jang tepat.

Ber-ulang2 Tik Hun meng-angguk2 atas petundjuk sang “kakek guru”, kemudian ia berkata: “Tjuma sajang tjutju murid telah dianiaja orang, Pi-pe-kut dipundak sudah dilubangi, otot tangan djuga terpotong putus, sudah takdapat mengeluarkan tenaga lagi.”

“Mengapa Pi-pe-kutmu dilubangi orang? Dan otot tanganmu djuga dipotong?” tanja Hiat-to Lotjo.

“Ja, tjutju murid telah banjak menderita akibat didjebloskan kedalam pendjara oleh orang,” sahut Tik Hun.

Mendadak Hiat-to Lotjo ter-bahak2 tawa. Sambil larikan kuda berendeng dengan Tik Hun, ia suruh pemuda itu memperlihatkan pundaknja. Benar djuga ia lihat tulang pundak Tik Hun mendekuk kebawah, malahan luka tulang pundak jang dilubangi dengan rantai itu masih belum rapat benar2. Pula djari tangan kanan pemuda itupun terpapas putus sebagian, otot lengan djuga terpotong, untuk melatih ilmu silat boleh dikata sudah tiada harapan lagi.

Diam2 Tik Hun mendongkol oleh ketawa paderi itu, masakah orang tersiksa seberat itu malah ditertawai.

“Haha, anak muda, tjoba katakan sudah berapa banjak engkau telah merusak anak perawan orang?” demikian tiba2 Hiat-to Lotjo menanja. “Hehe, orang muda hanja menuruti napsu belaka hingga lupa daratan, achirnja kau ketangkap basah dan didjebloskan kebui bukan?”

“Bukan,” sahut Tik Hun.

“Ala, pakai malu2 segala! Nagkulah terus terang, engkau dibui oleh orang adalah disebabkan gara2 kaum wanita bukan?” Hiat-to Lotjo mendesak pula dengan tertawa.

Untuk sedjenak Tik Hun melengak. Memang benar ia dibui adalah disebabkan pitenahan gundiknja Ban Tjin-san, hal ini berarti gara2 kaum wanita djuga. Maka dengan gergetan ia mendjawab: “Ja, memang gara2 perempuan hina itu hingga aku menderita seperti ini. Pada suatu hari aku pasti akan membalas sakit hati ini.”

“Huh, engkau sendiri berbuat djahat, tapi malah menjalahkan orang lain, “ tiba2 Tjui Sing mendamperat. “Hm, manusia jang paling tidak kenal malu didunia ini mungkin adalah bangsat gundul seperti kau ini.”

“Haha, anak dara ini benar2 terlalu bandel,” kata Hiat-to Lotjo dengan tertawa. “Eh, tjutju murid, tjobalah kau lutjuti pakaiannja hingga telandjang bulat, tjoba nanti dia masih berani memaki orang atau tidak.”

“Baik,” sahut Tik Hun tanpa pikir.

“Bangsat! Kau berani?” maki Tjui Sing dengan gusar.

Padahal dalam keadaan takdapat berkutik, bila Tik Hun benar2 mau membuka pakaiannja seperti apa jang dikatakan Hiat-to Lotjo itu, betapapun Tjui Sing takdapat melawan. Maka damperatannja: “Kau berani?” itu hakikatnja tjuma gertakan belaka.

Dan sudah tentu tiada niat sungguh2 Tik Hun hendak melutjuti pakaian Tjui Sing, ketika dilihatnja sipaderi tua tiada hentinja mengintjar tubuh sigadis dengan ketawa2 tak beres, segera Tik Hun memikirkan tjara bagaimna agar dapat mengalihkan perhatian paderi tua itu atas diri sinona. Maka sekenanja ia lantas tanja: “Tjosuya, menurut pendapatmu, bahan apkiran seperti tjutju murid ini apakah masih dapat melatih ilmu silat?”

“Mengapa tidak?” sahut Hiat-to Lotjo. ‘Sekalipun kedua tangan dan kedua kakimu buntung semua djuga masih dapat melatih ilmu dari Hiat-to-bun kita ini.”

“Ai, bagus sekali kalau begitu!” teriak Tik Hun dengan girang.

Begitulah sambil bitjara sembari berdjalan, tanpa merasa mereka telah sampai disuatu djalan besar. Tiba2 terdengar suara gembreng dan terompet jang ramai didepan sana, menjusul tertampaklah serombongan iring2an pengantin dengan sebuah djoli kembang. Dibelakang djoli adalah seorang penunggang kuda putih jang berdjubah merah dan berkopiah emas, pakaiannja mentereng, tentu dia, inilah pengantin laki2nja. Djumlah pengiring itu ada 40-50 orang banjaknja.

Melihat itu, Tik Hun membilukan kudanja ketepi djalan dengan hati berkebat-kebit sebab kuatir kalau dikenali orang2 itu. Sebaliknja Hiat-to Lotjo malah keprak kudanja memampak kearah iring-iringan pengantin itu.

Maka terdengarlah suara bentakan orang: “Hai! Minggir, mau apa kau?” ~ “Hwesio busuk, ada iring2an pengantin, mengapa kau tidak menjingkir?”

Tapi sesudah didepan iring2an itu, Hiat-to Lotjo lantas berhentikan kudanja, segera ia berseru dengan tertawa sambil bertolak pinggang: “He, tjoba perlihatkan pengantin wanitanja, tjantik atau tidak?”

Dari rombongan pengiring itu lantas madju seorang laki2 kekar tegap dengan membawa sebatang pikulan bambu, segera laki2 itu membentak dengan galak. “Bangsat gundul, apa kau sudah bosan hidup, ja?” ~ Sembari menggertak ia terus antjam dengan pikulan bambu jang bulat tengahnja lebih besar dari lengan manusia dan pandjangnja hampir dua meter.

“Tjutju murid, lihatlah jang djelas, ini adalah sedjurus ilmu tunggal dari kaum kita,” kata Hiat-to Lotjo kepada Tik Hun. Mendadak ia sedikit mendojong kedepan, golok merah bergemetaran se-akan2 seekor Djik-lian-tjoa (ular rantai merah) jang berkelogetan dan dengan tjepat luar biasa seperti merajap naik-turun diatas pikulan bambu orang. Ketika ia menarik kembali goloknja, ia ter-bahak2 senang.

Karena itu pengiring2 pengantin itu be-ramai2 mentjatji maki pula, tapi mendadak laki2 jang membawa pikulan bambu itu berteriak kaget, ternjata pikulan bambu jang dipegangi itu kini tinggal sebatang bambu jang pandjangnja tjuma setengah meter sadja, selebihnja telah terkutung ber-potong2 dan djatuh ketanah hingga mengeluarkan suara peletak-peletok.

Ternjata hanja dalam sekedjap sadja sebatang pikulan bambu telah ditabas oleh golok Hiat-to Lotjo hingga mendjadi berpuluh potongan ketjil2, betapa tjepat dan hebat ilmu golok paderi tua itu benar2 mirip pemain sunglap sadja, sekalipun djago silat djuga akan terkesiap menjaksikan itu, djangankan orang2 desa itu, keruan mereka melongo dan ter-longong2.

Bahkan habis ter-bahak2, tahu2 Hiat-to Lotjo ajun goloknja pula kekanan dan membalik dari atas kebawah, seketika laki2 tadi tertabas mendjadi empat potong. Tambahan paderi itu lantas membentak pula: “Aku tjuma ingin melihat bagaimana matjamnja pengantin perempuan, mengapa kalian mesti geger2 segala?”

Melihat disiang hari bolong sipaderi berani mengganas, keruan orang2 itu ketakutan setengah mati, ada jang bernjali besar masih kuat melarikan diri, tapi sebagian besar mendjadi gemetar ketakutan, bahkan banjak jang ter-kentjing2 tidak berani bergerak.

Ketika Hiat-to Lotjo mendekati pula djoli pengantin, sekali goloknja berkelebat, tahu2 tirai djoli sudah tertabas putus. Menjusul tangan kiri paderi itu lantas mendjambret dada sipengantin perempuan dan menjeretnja keluar.

Keruan pengantin wanita itu ber-kaok2 ketakutan dan me-ronta2 mati2an. Tapi sekali golok Hiat-to Lotjo bekerdja lagi, segera kerudung muka sipengantin tertabas djatuh hingga tertampaklah wadjah pengntin wanita jang penuh ketakutan itu.

Pengantin wanita itu berusia 16-17 tahun sadja, boleh dikata masih kanak2, paras mukanja djuga sangat djelek. “Tjuh”, mendadak Hiat-to Lotjo meludahi pengantin wanita itu sambil memaki: “Matjam genderuwo begini djuga djadi pengantin apa segala?” ~ dan sekali goloknja memotong, tiba2 hidung pengantin wanita itu diirisnja. Saking takut dan sakitnja pengantin wanita itu sudah lantas semaput.

Sipengantin laki2 saat itu masih terpaku diatas kudanja sambil bergemetaran.

“Tjutju murid, lihatlah sedjurus ilmu kita jang lain, ini namanja ‘Au-sim-lik-hwe’ (menembus hati memantjarkan darah)!” seru Hiat-to Lotjo pula kepada Tik Hun. Berbareng golok merah terus ditimpukan kearah sipengantin laki2.

Dan begitu menimpukan golok, seketika djuga Hiat-to Lotjo melarikan kudanja kedepan, setjepat kilat ia telah melalui kuda pengantin laki2 dan mendadak ia melompat, sekali tangannja meraup, golok merah itu sudah kena disambarnja kembali.

Waktu Tik Hun dan Tjui Sing memperhatikan sipengantin laki2, tertampaklah dadanja sudah berlubang dan sedang menjemburkan darah bagai air mantjur, tubuhnja pelahan2 mendojong dan achirnja terguling kebawah kuda. Ternjata tubuh pengantin laki2 itu telah ditembus oleh golok Hiat-to Lotjo, bahkan golok jang masih terus menjambar kedepan itu segera dapat ditangkap kembali oleh sipaderi.

Sepandjang djalan Tik Hun suka menjandjung Hiat-to Lotjo, pertama memang djeri padanja, kedua, paderi itu telah menolong djiwanja, betapapun Tik Hun merasa utang budi walaupun tahu bahwa sekali2 paderi itu bukan manusia baik2, tapi sebelum menjaksikan sendiri keganasan orang, dengan sendirinja tidak begitu terasa. Tapi kini ia menjaksikan, paderi tua itu memotong hidung pengantin wanita, bahkan membinasakan pula sipengantin laki2, malahan membunuh tiga orang jang tak berdosa, bahkan kenalpun tidak. Sebagai orang jang berbudi luhur, Tik Hun tidak tahan lagi, dengan gusar ia berteriak: “Ken.........kenapa engkau membunuh orang tak berdosa? Apa halangannja orang2 itu kepadamu?”

Hiat-to Lotjo melengak, tapi lantas djawabnja dengan tertawa: “Haha, memang sudah mendjadi kebiasaanku suka membunuh orang tak berdosa. Djika membunuh sadja mesti memilih orang, kemana aku harus memilih?” ~ Habis berkata, sekali goloknja berputar, kembali kepala seorang pengiring pengantin itu berpisah dengan tuannja.

Sungguh gusar Tik Hun bukan buatan, segera ia melarikan kudanja kedepan sambil ber-teriak2: “Kau........kau tidak boleh membunuh orang lagi!”

“Setan tjilik, apakah kau mendjadi takut melihat darah mantjur? Huh, tidak berguna!” omel Hiat-to Lotjo dengan tertawa.

Dan pada saat itu djuga dari djauh terdengar suara derapan kuda jang ramai, ada berpuluh orang sedang mengedjar dari timur sana. Bahkan terdengar seruan njaring seorang diantaranja: “Hiat-to Lotjo, lepaskan puteriku dan kita boleh sudahi urusan ini sampai disini, kalau tidak, biar kau lari keudjung langit djuga akan ku-uber sampai kepodjok langit!”

Itulah suaranja Tjui Tay, meski derapan kuda itu kedengaran masih sangat djauh, tapi seruan Tjui Tay itu dapat terdengar dengan sangat djelas, suatu tanda betapa hebat Lwekang djago tua itu.

Diam2 Tjui Sing bergirang djuga mendengar suara sang ajah. Lalu terdengar pula suara tembang dari paduan suara empat orang: “Lok-hoa-liu-tjui........Tjui-liu-hoa-lok........Lok-hoa-liu-tjui.........Tjui-liu-hoa-lok!”

Nada suara keempat orang itu ber-beda2, ada jang rendah kuat, ada jang tinggi melengking, ada jang serak tua, ada jang keras kumandang. Tapi betapa tinggi Lwekang masing2 terang mempunjai keistimewaannja sendiri2.

“Huh, matjam2 sadja lagak bangsat2 dari Tionghoa itu,” demikian Hiat-to Lotjo memaki.

Lalu terdengar seruan Tjui Tay pula dari djauh: “Hiat-to Lotjo, biarpun ilmu silatmu tinggi, masakah kau mampu melawan “Lam-su-lo” kami berempat? Lepaskanlah puteriku dan urusan akan beres, seorang laki2 berani berkata berani pegang djandji, pasti aku takkan mengedjar kau lebih djauh!”

Diam2 Hiat-to Lotjo memikir djuga: “Aku sudah berkenalan dengan kepandaian Tjui Tay dan imam tua itu, kalau satu-lawan-satu, tidak nanti aku takut, bila aku melawan mereka berdua, lebih banjak kalahnja daripada menangnja, terpaksa harus lari. Dan djika aku dikerojok tiga, sudah pasti aku akan kalah habis2an, untuk laripun mungkin susah. Lebih2 kalau aku dikerubut empat orang, pasti matipun Hiat-to Lotjo takkan terkubur. Hehe, apa jang dikatakan orang persilatan Tionggoan itu dapatkah dipertjaja? Lebih baik aku tetap membawa lari anak dara ini, paling tidak aku masih dapat memakainja sebagai barang sandera, bila kulepaskan dia, itu berarti lebih menguntungkan mereka malah!”

Dengan keputusan itu, mendadak ia membentak sekali sambil mentjambuk bokong kuda putih tunggangan Tik Hun, terus sadja ia mendahului berlari kearah barat sambil mulutnja berkomat-kamit. Apa jang diutjapkan itu tak didengar oleh Tik Hun dan Tjui Sing, tapi rombongan Tjui Tay lantas mendengar kumandangnja sesuatu suara aneh jang berkata: “Tju-loyatju, Tjiangbundjin dari Hiat-to-bun telah mendjadi anak menantumu. Tjiangbundjin angkatan keempat sudah mendjadi menantumu. Tjiangbundjin angkatan ke-enam djuga menantumu, sungguh redjekimu bukan main besarnja, dua Tjiangbundjin dari kedua angkatan Hiat-to-bun kami telah diborong semua oleh puterimu ini, tapi mengapa engkau masih terus mengedjar, masakah bapak mertua mengedjar anak menantu, sungguh lutju, sungguh aneh!”

Kiranja komat-kamit mulut Hiat-to Lotjo itu adalah sematjam Lwekang djahat dari kaum Hiat-to-bun, suaranja dapat tersiar djauh hingga sangat mengatjaukan pikiran orang bahkan membuat kalap pendengarnja, dengan begitu bila nanti saling gebrak, kekuatan lawan mendjadi banjak terganggu. Apalagi utjapannja membikin Tjui Tay semakin berdjingkrak dan hampir2 meledak dadanja saking murkanja.

Tjui Tay tahu betapa djahatnja perbuatan paderi2 dari Hiat-to-bun itu, membunuh dan memperkosa bagi paderi2 itu sudah pekerdjaan biasa, segala kedjahatanpun dapat mereka lakukan. Bahwasanja antara kakek-guru dan tjutju-murid berkongsi memiliki puterinja bukan mustahil pula akan terdjadi. Alangkah gemasnja Tjui Tay, masakah seorang tokoh Bu-lim terkemuka jang telah mendjagoi daerah Tionggoan selama berpuluh tahun harini mesti mengalami hinaan sebesar ini? Sungguh kalau bisa ia ingin segera mentjingtjang paderi djahanam itu hingga hantjur luluh.

Maka dengan hilap ia petjut kudanja semakin kentjang. Tjuma sajang kuda tunggangan mereka tiada satupun jang dapat menandingi kuda-kuda kuning dan putih bekas milik Leng-kiam-siang-hiap itu, walaupun mereka mengedjar mati2an, tetap tidak dapat menjusul musuh.

Dalam pada itu diantara rombongan pengedjar bersama Tjui Tay itu, selain tokoh2 she Liok, Hoa dan Lau bertiga kakek jang namanja sedjadjar dengan Tjiu Tay dengan djulukan ‘Lok-hoa-liu-tjui’ itu, masih ada pula lebih 30 djago Tionggoan jang lain.

Mereka terdiri dari berbagai golongan dan aliran, ada Piausu ternama, ada ketua sesuatu golongan, ada pula pimpinan organisasi dan tokoh2 silat jang sudah lama mengasingkan diri. Tapi karena gusar terhadap perbuatan paderi2 Hiat-to-bun jang telah bikin rusuh didaerah Liang-ou setjara serampangan dan tidak pilih bulu, maka djago2 Tionggoan baik dari Pek-to (kalangan baik2) maupun Hek-to (kalangan djahat), semuanja lantas ikut menguber serentak untuk membekuk paderi2 djahat itu.

Tjara mengedjar rombongan djago2 silat itu agak pajah djuga, tapi setiap ada kesempatan, tentu mereka berganti kuda. Mereka tidak pernah berhenti, tapi makan rangsum dan minum air sekadarnja diatas kuda sambil terus mengedjar.

Sebaliknja rombongan Hiat-to Lotjo berkat kuda2 tunggangan mereka lebih bagus, maka setiap ketemu kedai nasi dan warung wedang, sering mereka berhenti menangsal perut dan mengaso pula. Tjuma tidak berani bermalam dipenginapan. Dan djusteru oleh karena adanja pengedjaran terus-menerus dari djago2 silat Tionggoan itulah, maka kesutjian Tjui Sing selama beberapa hari itu masih dapat dipertahankan.

Kedjar mengedjar itu sudah berlangsung beberapa hari, dari wilajah Oupak kini sudah masuk kewilajah Sutjwan. Sebagai sama2 orang persilatan, begitu mendengar berita pengedjaran itu, segera tokoh2 dan djago2 Sutjwan lantas be-ramai2 ikut serta dalam rombongan pengedjar itu. Maka sesudah melalui Sutjwan tengah, rombongan pengedjar itu sudah lebih seratus orang djumlahnja.

Djago silat didaerah Sutjwan banjak jang berharta, banjak diantara mereka membawa serep kuda-keledai dengan rangsum dan badju selimut setjara lengkap. Tjuma sajang bila berita diterima mereka, Hiat-to Lotjo dan rombongannja sudah ketelandjur lalu hingga tidak sempat untuk mentjegat sebelumnja. Karena itu, djago2 silat Sutjwan hanja dapat menghibur Tjui Tay agar djangan tjemas dan menjatakan penjesalan mereka sebab tidak dapat mentjegah pada waktu paderi2 tjabul itu masuk kewilajah mereka.

Sudah tentu Tjui Tay menjatakan terima kasih atas perhatian kawan2 persilatan itu, tapi dalam hatipun mendongkol: “Huh, urusan sudah lewat baru dibitjarakan. Apalagi kepandaian seperti kalian ini masakah mampu mentjegat kedua paderi tua dan muda itu?”

Begitulah udak-mengudak itu dengan tjepat telah berlangsung hampir 20 hari. Beberapa kali Hiat-to Lotjo mengambil djalan simpang untuk menjesatkan pengedjarnja, tapi diantara rombongan pengejar itu adalah seorang Be-tjat (begal kuda) dari Kwantang (diluar tembok besar timur laut) jang mahir ilmu mentjari djedjak. Tak peduli Hiat-to Lotjo berputar kajun kemanapun selalu dapat diikutinja dari belakang. Dan oleh karena itu djuga rombongan merekapun makin djauh makin memasuki lereng pegunungan Sutjwan barat jang terkenal tinggi dan tjuram itu.

Para djago silat Tionggoan itu tahu tudjuan Hiat-to Lotjo jalah ingin lari pulang kesarangnja di Tibet. Dan bila masuk kewilajah kekuasaan paderi djahat itu, tentu akan terdjadilah pertarungan sengit menghadapi begundal Hiat-to-bun, untuk mana tentu akan lebih susah menjelamatkan Tjui Sing dan entah pihak mana jang bakal menang.

Karena itu, para djago Tionggoan mengedjar semakin kentjang. Pada lohor hari itu, rombongan mereka telah memasuki sebuah djalanan lembah gunung jang terdjal. Tiba2 tertampak seekor kuda menggeletak mati ditepi djalan. Njata itu kuda kuning miliknja Ong Siau-hong.

Dengan girang segera Tjui Tay dan Siau-hong berseru: “Musuh telah kehilangan seekor kuda, marilah kita menguber lebih tjepat, pasti paderi tjabul itu takkan dapat lolos!”

Tempat dimana rombongan djago2 Tionggoan itu berada sudah termasuk wilajah Sutjwan paling udjung barat, kalau kebarat lagi akan masuk keperbatasan Tibet. Tempat itu termasuk lereng gunung Tay-swat-san (gunung besar bersaldju), tanahnja tinggi terdjal, dinginnja tidak kepalang hingga bagi orang jang Lwekangnja rendah, tentu akan sesak napas dan tenaga lemas. Lebih2 djago2 silat Sutjwan itu kebanjakan adalah kaum hartawan jang biasanja hidup adem-ajem didalam rumah, mereka itulah jang paling menderita kedinginan.

Tjuma djago2 jang ikut serta dalam pengedjaran ini adalah orang2 jang ternama semua, dengan sendirinja tiada jang sudi mengundjuk kelemahan hingga memalukan nama baiknja sendiri.

Kini demi melihat kuda kuning tunggangan Hiat-to Lotjo itu mati ditepi djalan, terang paderi itu tidak mampu lari djauh, seketika semangat semua orang terbangkit dan siap2 untuk menguber lebih djauh.

Diluar dugaan, perubahan tjuatja dipegunungan itu ternjata sangat tjepat. Tiba2 tertampak diatas puntjak diseberang selat jang dalam sana, segumpal saldju mendadak longsor kebawah.

“Tjelaka!” tjepat seorang kakek dari Sutjwan barat berteriak: “Akan terdjadi gugur saldju, hajolah lekas mundur!”

Belum lenjap suaranja, mendadak terdengarlah suara gemuruh, saldju jang longsor dari puntjak gunung itu semakin hebat.

Djago2 Tionggoan jang tidak pernah melihat saldju itu seketika masih belum tahu duduknja perkara, banjak diantara mereka malah tanja: “Apakah itu?” ~ “Tjuma saldju longsor sadja kenapa mesti kuatir, hajolah kedjar terus!” ~ “Tjepat uber lagi, lintas dulu puntjak sebelah sana itu!”

Namun hanja sebentar sadja suara gemuruh jang menggelegar itu sudah bertambah hebat dan memekak telinga. Dan baru sekarang orang2 itu merasa takut.

Gugur saldju itu djaraknja semula memang sangat djauh, tapi saldju jang longsor dari atas itu, setiap djatuh disesuatu tempat, selalu menggondol timbunan saldju ditempat itu dan longsor pula kebawah, dari itu, suaranja semakin lama semakin gemuruh, dan setiba ditengah gunung, suasana boleh dikata se-akan2 gugur gunung benar2, bagaikan ombak samudera dahsjatnja, sungguh sangat mengerikan keadaannja.

Maka sekali berteriak, beberapa djago2 Tionggoan itu lantas putar kuda dan mendahului lari. Dari belakang suara gemuruh itu semakin hebat hingga mirip dunia sudah kiamat, se-akan2 langit telah ambruk dan menindih kebawah. Saking ketakutan mereka keprak kuda melarikan diri mati2an. Ada beberapa kuda jang djuga ketakutan hingga kaki mendjadi lemas dan tidak mau djalan, terpaksa penunggangnja melompat turun dan menjelamatkan diri dengan Ginkang.

Namun gugur saldju itu tjepatnja melebihi kuda dan orang lari, hanja sekedjap sadja lautan saldju itu sudah membandjir kekaki gunung. Ada 7-8 orang jang terlambat larinja terus sadja terkubur hidup2 ditengah saldju. Dalam keadaan begitu, betapapun gagah perkasa seseorang djuga takkan mampu melawan bentjana alam jang dahsjat itu.

Dan sesudah melintasi sebuah bukit, barulah bandjir saldju itu tertahan oleh lereng bukit itu. Dengan demikian barulah pendekar2 itu dapat bernapas lega. Namun saldju longsor itu masih terus membandjir bagai air bah dahsjatnja, hanja sekedjap sadja antero lembah djalan pegunungan itu sudah tertutup buntu semua hingga berwudjut bukit saldju jang ber-puluh2 meter tingginja, kalau bukan burung, betapapun tidak dapat melintasinja.

Begitulah kemudian semua orang sama ramai membitjarakan nasib Hiat-to Lotjo bersama tjutju muridnja itu, tentu kedua paderi itu telah menerima gandjaran atas kedjahatan mereka dan terkubur dibawah saldju. Merekapun menjesalkan Tjui Sing jang tjantik molek itupun ikut berkorban tanpa berdosa. Dan sudah tentu banjak pula jang berduka karena ada kawan2 mereka jang telah terkubur ditengah saldju, tapi betapapun mereka bersjkur djuga bagi diri sendiri jang terhindar dari malapetaka.

Setelah keadaan tenteram kembali, lalu mereka memeriksa kawan2 jang hilang itu. Ternjata seluruhnja ada 12 orang jang hilang, diantaranja termasuk Ong Siau-hong dan keempat kakek sakti “Lok-hoa-liu-tjui” itu. Sungguh tidak njana bahwa “Lam-su-lo” jang ilmu silatnja tiada tandingannja itu kini terpendam semua dibawah saldju pegunungan Tay-swat-san. Begitulah semua orang menghela napas gegetun, kemudian lantas mentjari djalan untuk keluar dari kepungan dinding saldju itu. Mereka beranggapan saldju jang membukit itu tidak nanti mentjair sebelum musim panas tahun depan, untuk bisa mentjari majat jang terpendam saldju itu, keluarga si-korban paling tidak djuga harus menunggu setengah tahun lagi. Tapi diam2 didalam hati semua orang djuga mempunjai suatu pikiran jang tak terkatakan, jaitu: “Nama kebesaran Lam-su-lo dan Leng-kiam-siang-hiap paling achir ini sangat terkenal, djika sekarang mereka sudah mati semua, itu berarti lebih menguntungkan bagiku, maka biarkanlah mereka mati sadja!” ..........

***

Lantas kemanakah perginja Hiat-to Lotjo bersama Tik Hun dan Tjui Sing itu? Apa benar mereka terkubur didalam saldju longsor? ~ Tidak!

Bahkan waktu itu Hiat-to Lotjo sangat senang sebab makin lama semakin dekat dengan sarangnja di Tibet, walaupun djumlah pengedjar waktu itupun semakin bertambah. Tjuma saking lelahnja karena berlari tidak pernah berhenti, achirnja kuda kuning tunggangan Hiat-to Lotjo itu terbinasa ditepi djalan. Sedangkan kuda putih djuga sangat pajah keadaannja, mungkin dalam waktu singkatpun akan menjusul kawannja keachirat.

Hlm. 49 Gambar:
Waktu Tjui Sing siuman kembali, segera ia mengendus bau sedap daging panggang, ketika ia perhatikan ternjata kuda putih kesajangannja sudah disembelih oleh Hiat-to Lotjo dan telah dipanggang dan sedang dilalap mereka.

Diam2 Hiat-to Lotjo memikir sambil mengkerut kening: “Kalau aku sendiri hendak melarikan diri adalah terlalu mudah, namun tjutju-murid kakinja pintjang, anak dara jang tjantik-molek ini djuga sajang kalau ditinggalkan.” ~ Berpikir sampai disini, mendadak ia mendjadi beringas, begitu ia putar tubuh, terus sadja Tjui Sing dipeluknja dan hendak mentjopot badjunja.

Keruan Tjui Sing ketakutan sambil ber-teriak2: “Hai, kau.......kau mau apa?”

“Lotju tidak mau membawa lari kau lagi, masakah kau tidak tahu maksudku?” sahut Hiat-to Lotjo dengan menjeringai.

Tik Hun ikut kuatir djuga melihat sang “kakek-guru” berubah liar, tjepat iapun berteriak: “Sutjo, sebentar musuh tentu akan memburu tiba!”

“Setan alas, kau djuga ikut tjerewet?” bentak sipaderi tua.

Dan pada saat itu djuga, tiba2 terdengar suara gemerasak jang aneh diatas udara. Hiat-to Lotjo sudah lama tinggal didaerah Tibet, sudah banjak bentjana gugur saldju jang telah dilihatnja, dalam keadaan demikian, betapapun nekat napsu binatangnja djuga tidak berani tjoba menantang bentjana alam itu. Tjepat ia berseru: “Wah, tjelaka! Lekas lari, lekas!”

Ia lihat arah membandjirnja saldju itu mungkin akan tertahan oleh sebuah bukit disebelah selatan sana, maka tjepat ia menarik kuda putih dan berlari kedjurusan selatan. Biarpun paderi itu biasanja sangat ganas dan kedjam, menghadapi saldju longsor itupun wadjahnja berubah putjat. Ia tahu diatas puntjak gunung sekitar mereka berdiri itupun penuh tertimbun saldju, bila suara getaran saldju longsor itu melampaui batas, tentu timbunan saldju di-puntjak2 lain djuga akan ikut gugur dan tentu mereka akan terkubur didasar lembah situ.

Dengan pajah kuda putih itu dibebani Tik Hun dan Tjui Sing, setiba ditengah lembah, mendadak binatang itu keserimpet, hampir Tik Hun terbanting kebawah. Sementara itu suara gemuruh saldju longsor itu makin menghebat, sambil memandangi puntjak gunung disisi mereka, Hiat-to Lotjo tampak sangat kuatir, pabila saldju diatas puntjak itupun ikut gugur, pasti tjelakalah mereka.

Gugur saldju itu sebenarnja tidak berlangsung terlalu lama, paling2 djuga tjuma belasan menit. Tapi dalam waktu sesingkat itu Hiat-to Lotjo, Tik Hun dan Tjui Sing sudah dihinggapi rasa takut jang tak kepalang. Tjui Sing sendiri mendjadi lupa barusan ia sendiri mengharap bisa segera mati sadja agar terhindar dari hinaan kedua paderi tjabul itu. Tapi kini berbalik timbul rasa ketergantung hidupnja kepada kedua orang itu, ia berharap kedua orang laki2 itu dapat mentjari djalan untuk membantunja terhindar dari bentjana alam itu.

Se-konjong2 dari atas puntjak disisi mereka terdjatuh sepotong batu, saking kagetnja sampai Tjui Sing mendjerit. Tjepat Hiat-to Lotjo mendekap mulut sigadis, sedang tangan lain terus memberi persen dua kali tamparan dipipinja hingga seketika muka Tjui Sing merah bengap. Untung timbunan saldju diatas puntjak itu rupanja tidak terlalu tebal, maka tidak mudah untuk longsor.

Selang tak lama, suara gemuruh gugur saldju itu mulai mereda lalu Hiat-to Lotjo melepaskan tangannja dari mulut Tjui Sing. Gadis itu menutupi mukanja dengan kedua tangannja, entah karena merasa lega, entah merasa gusar atau takut.

Kemudian Hiat-to Lotjo tjoba meronda kemulut lembah sana, kembalinja tertampak air muka paderi itu mengundjuk rasa sedih dan gusar. Ia terus duduk mendjublek diatas sebuah batu padas dengan muka muram.

“Tjosuya, bagaimanakah keadaaan diluar sana?” tanja Tik Hun.

“Bagaimana? Hm, semuanja gara2mu setan tjilik ini!” damperat sipaderi mendadak.

Maka Tik Hun tidak berani menanja lagi, ia tahu tentu gelagat tidak menguntungkan, makanja paderi tua itu marah2. Tapi achirnja ia mendjadi tidaktahan lagi, kembali ia tanja: “Tjosuya, apakah karena ada musuh mendjaga dimulut lembah sana? Djika demikian, silakan engkau menjelamatkan sendiri sadja dan tidak perlu lagi memikirkan diriku.”

Selama hidup Hiat-to Lotjo hanja bergaul dengan manusia2 tjulas dan djahat, bukan sadja semua sobat-andainja begitu, bahkan anak muridnja seperti Po-siang, Siang-yong dan lain2 djuga manusia2 litjik dan tjulas, hanja mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. Tapi kini Tik Hun telah menjuruhnja menjelamatkan diri sendiri sadja, tanpa merasa timbul rasa senangnja, wadjahnja menampilkan senjuman, katanja kemudian: “Anak baik, kau memang mempunjai Liangsim jang terpudji! Tapi bukan karena ada musuh mendjaga dimulut lembah sana, melainkan lembah ini telah buntu tertutup oleh timbunan saldju jang berpuluh meter tingginja dan beribu meter luasnja. Sebelum musim semi, saldju tetap akan membeku, dan kitapun takdapat keluar dari sini. Padahal ditengah lembah sunji ini, segala makanan tidak ada, masakah kita dapat tahan sampai tahun depan?”

Mendengar pendjelasan itu, Tik Hun merasa keadaan memang berbahaja, tetapi karena saat jang paling gawat tadi sudah lalu, maka ia tidak terlalu kuatir lagi. Katanja: “Tjosuya djangan kuatir, asal mau berusaha, tentu ada djalannja. Seumpama kita akan mati kelaparan disini djuga lebih baik daripada kita mati tersiksa ditangan musuh.”

“Benar djuga utjapanmu, anak baik,” pudji sipaderi dengan tertawa lebar. Lalu ia berbangkit, tiba2 ia lolos goloknja dan mendekati kuda putih itu.

“Hai, hai! Engkau mau apa?” teriak Tjui Sing dengan kuatir.

“Mau apa? Boleh tjoba engkau terka,” sahut sipaderi.

Padahal tidak usah diterka djuga Tjui Sing sudah tahu kalau paderi itu hendak menjembelih kuda putih itu untuk dimakan. Kuda itu dibesarkan bersama dia, sudah tentu ia pandang kuda putih itu sebagai kawan-baiknja, dan dengan sendirinja ia mendjadi kautir dan gusar pula melihat paderi djahat itu hendak mendjagal kuda kesajangannja itu. Kembali ia ber-teriak2: “Tidak, tidak! Itu adalah kudaku, kau tidak boleh memotongnja.”

“Haha, malahan kalau habis makan daging kuda, tentu akan bergilir makan dagingmu,” sahut sipaderi dengan tertawa. “Sedangkan daging manusia sadja kumakan, apalagi daging kuda?”

“Mohon belas-kasihanmu, djanganlah membunuh kudaku,” pinta Tjui Sing dengan sangat. Dan pada saat terpaksa itu, iapun berpaling kepada Tik Hun: “Harap engkau mohon padanja, djanganlah membunuh kudaku.”

Melihat wadjah sigadis jang penuh kuatir dan kasihan itu, sebenarnja Tik Hun tidak tega, tapi mengingat keadaan sudah terpaksa, kalau tidak makan daging kuda, apa jang dapat dimakan, malahan boleh djadi kalau sudah kehabisan makanan, mungkin pelana kuda terbuat dari kulit itupun akan digodok untuk dimakan. Tapi karena tidak tega melihat wadjah sigadis jang sedih itu, terpaksa ia berpaling kedjurusan lain.

Dalam pada itu Tjui Sing sedang memohon pula: “Djangan..........djanganlah membunuh kudaku.”

“Baiklah, aku takkan membunuh kudamu,” demikian kata Hiat-to Lotjo tiba2.

Keruan Tjui Sing kegirangan, ber-ulang2 ia mengutjapkan terima kasih. Tapi mendadak terdengar suara “sret” sekali, ditengah gelak ketawa sipaderi tua, tahu2 kepala kuda sudah menggelinding ketanah, darahpun menjembur keluar sebagai air mantjur. Saking kaget dan sesalnja hingga Tjui Sing seketika pingsan.

Waktu pelahan2 Tjui Sing siuman kembali, lebih dulu ia lantas mengendus bau sedap, memangnja perutnja sangat kelaparan, ia mendjadi girang mengendus bau lezat daging itu. Tapi begitu pikirannja djernih kembali, segera ia ingat bau sedap itu adalah bau panggang daging kuda kesajangannja itu. Ketika ia membuka mata, ia lihat Hiat-to Lotjo dan Tik Hun sedang berduduk diatas batu padas dan lagi asjik melalap daging kuda, ditepi batu terdapat segunduk api unggun, diatas sebatang kaju jang melintang diatas api itu tergantung sepotong paha kuda.

Hlm. 53 Gambar:
Ketika Tik Hun dan Tjui Sing mendongak dan memandang kearah datangnja suara njaring itu, maka tertampaklah diatas sebuah tebing jang tjuram ada dua orang sedang bertempur.

Saking dukanja Tjui Sing lantas menangis.

“Kau mau makan tidak?” tanja Hiat-to Lotjo dengan tertawa.

“Kalian terlalu djahat, sampai kudaku djuga dibunuh, kelak aku pasti.........pasti membalas sakit hati ini!” demikian seru Tjui Sing sambil tersedu-sedan.

Tik Hun merasa menjesal djuga, katanja: “Nona Tjui, ditengah lembah bersaldju ini, kita tiada punja makanan apa2, terpaksa kami menjembelih kudamu. Bila engkau suka pada kuda bagus, kelak kalau kita dapat keluar dari lembah ini tentu masih dapat membeli pula.”

“Kau paderi tjilik ini pura2 berhati badjik, padahal kau lebih2 djahat daripada paderi tua djahanam itu, aku bentji padamu, kubentji padamu!” seru Tjui Sing.

Tik Hun tidak dapat mendjawab lagi. Pikirnja: “Agar tidak mati kelaparan, meski kau bentji padaku djuga terpaksa aku harus makan daging kudamu ini.” ~ Maka kembali ia sebret sepotong daging kuda lagi terus dimakan pula.

Sambil menggeragoti daging kuda, Hiat-to Lotjo melirik2 pula mengintjar Tjui sing, dengan samar2 ia menggumam sendiri: “Ehm, rasa daging kuda ini sangat lezat. Ha, lewat beberapa hari lagi kalau anak dara ini mesti dipanggang djuga untuk dimakan, rasanja belum tentu selezat daging kuda ini.” ~ dan didalam hati diam2 ia pikir pula: “Dan habis makan anak dara itu, terpaksa achirnja mesti makan djuga tjutju muridku jang tersajang itu.”

Sesudah kenjang makan daging kuda, lalu Tik Hun menambahi sedikit kaju bakar diunggun api, kemudian merekapun tertidur sambil bersandar dibatu padas itu. Dalam keadaan lajap2 Tik Hun mendengar suara sesenggukan Tjui Sing jang masih menangis tiada henti2nja, tiba2 timbul rasa duka padanja: “Nona ini hanja kehilangan seekor kuda dan dia sudah menangis sesedih itu. Sebaliknja hidupku didunia ini ternjata tiada seorangpun jang menangis bagiku, sungguh malang nasibku ini, lebih tjelaka daripada seekor binatang.”

Sampai tengah malam, tiba2 Tik Hun merasa pundaknja di-dorong2 orang, segera ia terdjaga bangun, ia dengar Hiat-to Lotjo sedang membisikinja: “Diam! Ada orang datang!”

Tik Hun terkesiap, tapi lantas bergirang pula, pikirnja: “Djika ada orang datang, tentu kitapun dapat keluar.” ~ Maka dengan secara bisik2 tjepat ia menanja: “Dimana?”

Hiat-to Lotjo menuding kearah barat dan berkata: “Disana, kau merebah sadja dan djangan bersuara, kepandaian musuh sangat tangguh.”

Tik Hun tjoba mendengarkan dengan tjermat, tapi tiada terdengar sesuatu apapun.

Sambil menghunus golok Hiat-to Lotjo berdjongkok untuk sekian lamanja ditempatnja, se-konjong2 ia melesat pergi setjepat anak panah terlepas dari busurnja. Hanja sekedjap sadja bajangannja sudah menghilang dibalik lereng bukit sana.

Sungguh kagum tidak kepalang Tik Hun: “Ilmu silat paderi ini benar2 djarang ada bandingannja. Djikalau Ting-toako masih hidup dan bertanding dengan dia, entah siapa lebih unggul?” ~ Demi ingat kepada sang Toako itu, tanpa merasa iapun meraba punggungnja, njata buntalan abu tulang Ting Tian itu masih tergembol baik2 disitu.

Ditengah malam sunji senjap itu, tiba2 terdengar suara “trang-trang” dua kali, terang itulah suara beradunja sendjata. Dan sesudah bunji njaring itu, keadaan kembali sepi njenjak. Lewat agak lama, lagi2 terdengar suara njaring dua kali pula.

Tik Hun menduga pasti sipaderi tidak berhasil menjergap musuh dan kini sudah saling gebrak. Dari suara beradunja sendjata itu, njata ilmu silat musuh tidak berada dibawahnja.

Sedjenak kemudian, tiba2 suara njaring itu mendering sampai empat-lima kali hingga Tjui Sing djuga terdjaga bangun.

Waktu itu dataran dilembah pegunungan itu hanja saldju belaka, dibawah tjahaja bulan, terpantjarlah sinar repleksi dari saldju hingga tjuatja mirip fadjar menjingsing.

Tjui Sing memandang sekedjap kearah Tik Hun, bibirnja ber-gerak2 seperti ingin menanja, tapi karena ia masih bentji dan muak kepada pemuda itu, pula pertanjaannja belum tentu didjawab, maka utjapannja jang sudah diambang mulut itu ditelannja kembali mentah2.

Tiba2 terdengar suara “trang-trang” jang riuh pula, bunjinja semakin keras dan semakin tinggi. Waktu Tjui Sing dan Tik Hun mendongak berbareng kearah datangnja suara, maka tertampaklah dibawah sinar bulan, didinding suatu tebing jang tjuram disebelah timur-laut sana ada dua bajangan orang jang sedang berputar kian kemari. Tebing itu sangat terdjal, pula penuh timbunan saldju, kalau dipandang, tidak mungkin orang sanggup memandjat keatas. Tetapi sambil bergebrak kedua orang itu ternjata tidak pernah berhenti, mereka terus merajap keatas tebing.

Tik Hun tjoba memandang dengan tjermat, ia lihat lawan Hiat-to Lotjo itu adalah seorang berdjubah imam dan bersendjata pedang. Itulah imam tua jang tempo hari sudah pernah bergebrak dengan sipaderi itu. Ia masih ingat Hiat-to Lotjo telah memudji kebagusan ilmu pedang imam tua itu, katanja adalah djago dari Thay-kek-bun. Entah tjara bagaimana imam tua itu dapat menerobos masuk ketengah lembah jang dikelilingi dinding saldju ini?

Segera Tjui Sing djuga dapat mengenali imam tua itu, saking girangnja ia terus berseru: “Itu dia Lau Seng-hong Totiang! He, ada Lau-pepek, tentu ajah djuga ada. Hai, ajah, ajah! Anak berada disini!”

Tik Hun kaget demi mendengar Tjui Sing ber-teriak2 memanggil ajahnja. Pikirnja: “Hiat-to Lotjo sedang bertempur dengan imam tua itu, melihat gelagatnja susah untuk terdjadi kalah menang dalam waktu singkat. Dan bila ajahnja mendengar suaranja serta memburu kemari, bukankah aku akan dibunuh olehnja?”

Maka tjepat ia mentjegah teriakan Tjui Sing: “Hei, djangan engkau ber-teriak2, bila saldju mendjadi longsor lagi, djiwa kita pasti akan melajang bersama?”

“Aku djusteru ingin mati bersama Hwesio djahanam seperti kau ini,” damperat Tjui Sing dengan gemas. Dan kembali ia ber-teriak2: “Ajah, ajah! Aku berada disini!”

“Tutup mulutmu!” bentak Tik Hun. “Djika saldju longsor lagi, bukankah djiwa kita melajang, bahkan ajahmu djuga akan mampus. Apakah kau hendak membunuh ajahmu? Kau benar2 puteri djahat jang Put-hau (tak berbakti).”

Rupanja tjertjaan Tik Hun itu kena dihati sigadis, sebab Tjui Sing lantas berpikir: “Ja, betul djuga. Bila ajahpun sampai berkorban, aku jang berdosa.” ~ Tapi segera terpikir pula olehnja: “Ah, betapa hebat kepandaian ajah? Saldju longsor tadi telah menakutkan orang lain hingga lari ter-birit2, sebaliknja Lau-pepek toh mampu melintasi lautan saldju setinggi itu, dan kalau Lu-pepek dapat kemari, dengan sendirinja ajahpun dapat. Andaikan teriakanku akan membikin saldju longsor lagi, paling2 djuga aku jang akan teruruk mati, ajah pasti takkan berhalangan apa2. Paderi tua itu terlalu lihay, bila Lau-pepek terbunuh olehnja, pasti jang paling tjelaka adalah diriku karena tertjengkeram ditangan kedua paderi djahat ini.”

Berpikir begitu, maka kembali ia ber-teriak2 lagi: “Ajah, ajah! Aku berada disini, lekas datang menolong aku!”

Semula ketika gadis itu sudah diam, Tik Hun mengira ia takkan bersuara lagi. Siapa duga mendadak ia berteriak pula, bahkan semakin keras, seketika Tik Hun mendjadi tidak tahu tjara bagaimana harus menjetopnja. Waktu menengadah, ia lihat Hiat-to Lotjo masih menempur imam tua itu denan sengit. Golok merah jang diputar dengan tjepat itu berwudjut selingkar sinar merah jang bertebaran diatas saldju jang memutih perak. Gerak-gerik imam tua Lau Seng-hong itu tampaknja tidak terlalu tjepat, tapi pendjagaannja rapat sekali, meski Hiat-to Lotjo tampaknja takkan kalah, tapi untuk menang djuga susah terdjadi dalam waktu singkat.
Dalam pada itu didengarnja Tjui Sing masih terus ber-teriak2 pada sang ajah, kemudian tiba2 berganti memanggil: “Piauko, Piauko! Lekas kemari!”

Lama-kelamaan Tik Hun mendjadi sebal dibuatnja, bentaknja pula: “Budak bawel, lekas tutup mulutmu bila engkau tidak ingin kupotong lidahmu!”

“Aku djusteru ingin berteriak, aku djusteru akan berteriak!” demikian sahut Tjui Sing. Dan kembali ia berteriak lebih keras: “Ajah, ajah! Aku berada disini!”

Karena kuatir Tik Hun benar2 mendekatinja, maka ia lantas berbangkit sambil memegang sepotong batu. Selang sedjenak, ia lihat Tik Hun masih menggeletak ditanah tanpa berkutik, mendadak teringat olehnja: “Ja, Hwesio djahat ini telah patah kakinja, kalau tiada ditolong oleh paderi tua itu, sudah lama ia dibunuh oleh Piauko. Gerak-geriknja terang tidak leluasa, mengapa aku takut padanja?” ~ Demi dapat membedakan kedudukan masing2, segera Tjui Sing membatin pula: “Hwesio tua itu terang takkan datang kesini, kenapa aku tidak lantas membunuh Hwesio muda ini sekarang djuga?” ~ Dengan mata mendelik segera ia angkat batu jang dipegang itu dan mendekati Tik Hun terus sadja ia keprukan batu itu keatas kepala pemuda itu.
Sudah sedjak tadi Tik Hun mengikuti gerak-gerik Tjui Sing, ketika tiba2 dilihat sikap sigadis mendjadi beringas, diam2 ia sudah mengeluh. Maka ketika gadis itu mendekati dirinja, segera ia tahu gelagat tidak menguntungkan. Dan ketika batu itu menimpa keatas kepalanja, terpaksa ia berguling kesamping. “Bluk”, batu itu menghantam ditanah saldju, selisih dari mukanja tjuma beberapa senti sadja.

Sekali menimpuk tidak kena, kembali Tjui Sing djemput batu jang lain dan menjambit pula, sekali ini mengarah keperut Tik Hun.

Terpaksa Tik Hun mengkerut tubuh dan berguling pula. Tapi karena tulang kaki patah, gerak-gerik tidak leluasa, achirnja tulang betis kena tertimpuk pula oleh batu itu, “krak”, kembali tulang betis petjah tertimpuk batu, saking kesakitan sampai Tik Hun mendjerit.

Sudah tentu Tjui Sing sangat girang, lagi2 ia angkat sepotong batu hendak menimpuk pula.

Tik Hun insaf dirinja sudah merupakan makanan empuk bagi orang, kalau be-runtun2 kena ditimpuk beberapa kali lagi, pasti tamatlah riwajatnja. Dalam kehilangan akalnja, mendadak iapun sambar sepotong batu dan balas menggertak: “Budak setan, kau berani menimpuk batu pula, biar kukepruk mampus kau dahulu!”

Meski kaki Tik Hun patah, tapi tenaga tangannja masih kuat, ketika Tjui Sing benar2 menimpuknja lagi, dengan kelabakan ia mengegos lagi sambil berguling, lalu kontan balas menjambitkan batu jang disambarnja tadi.

Lekas2 Tjui Sing melompat kesamping, tapi batu itupun menjerempet lewat disisi telinga membuatnja kaget. Ia tidak berani main timpuk batu lagi, tapi segera ia djemput sebatang ranting kaju, dengan gerakan “Sun-tjui-tui-tjiu” (mendorong perahu menurut arus) ia terus tusuk pundak Tik Hun.

Ilmu pedang keturunan keluarga Tjui memang sangat hebat, meski sendjata jang digunakan hanja sebatang kaju, tapi tjara menusuknja sangat tjepat, sekalipun Tik Hun dalam keadaan sehat walafiat djuga bukan tandingannja, apalagi sekarang. Maka begitu tusukan itu tiba, sedapat mungkin ia miringkan pundak untuk menghindar. Namun mendadak Tjui Sing ganti tipu serangan, dengan “Oh-liong-tam-djiau” (naga hitam mendjulur tjakar), “plok”, dengan tepat udjung kaju kena “tjakar” dikening Tik Hun.

Pabila sendjata jang dipakai Tjui Sing adalah pedang benar2, maka djiwa Tik Hun

pasti sudah melajang. Namun demikian, biarpun tjuma sebatang kaju sadja toh djuga sudah membikin Tik Hun kesakitan setengah mati hingga mata ber-kunang2.
“Sepandjang djalan kau Hwesio djahanam ini telah menjiksa nonamu, kini dapatkah kau menjiksa aku lagi? Katanja kau hendak memotong lidahku, hajolah, mengapa tidak tjoba2 potong?” demikian damperat Tjui Sing.

Habis itu, kembali ia angkat ranting kaju itu menghantam dan menjabat keatas kepala, pundak dan pinggang Tik Hun, setiap kali kena dihadjar, kontan tubuh Tik Hun bertambah babak belur,

“Hajolah, mengapa kau tidak minta tolong Tjosuyamu? Hm, biarlah kuhadjar mampus dulu kau Hwesio djahat ini!” begitulah sambil memaki Tjui Sing terus menghudjani Tik Hun dengan hadjaran ranting kaju itu.

Karena takdapat melawan, terpaksa Tik Hun hanja tutupi kepala dan mukanja dengan kedua tangan. Namun begitu tangan dan lengannja mendjadi ikut babak-belur djuga hingga darah bertjetjeran. Saking sakitnja Tik Hun mendjadi nekat. Mendadak ia pegang ranting kaju orang waktu Tjui Sing menjabatnja lagi, lalu dibetot se-kuat2nja. Kalau Tjui Sing tidak lepas tangan, bukan mustahil ia akan dipeluk oleh Tik Hun. Terpaksa ia lepas tangan, dan mendadak Tik Hun lantas balas menjabatkan ranting kaju itu.

Tjui Sing terkedjut dan tjepat2 melompat mundur. Kemudian ia djemput sebatang kaju jang lain dan madju pula hendak melabrak Tik Hun.
Dalam bahaja mendadak timbul suatu akal Tik Hun, tiba2 teringat suatu akal badjingan olehnja, ia berteriak: “Djangan madju lagi! Selangkah kau berani madju, segera aku membuka tjelana! ~ Dan sambil berteriak, kedua tangannja lantas me-raba2 pinggang dengan lagak hendak membuka tjelana.

Keruan Tjui Sing kaget, lekas2 ia berpaling kearah lain dengan muka merah djengah. Pikirnja: “Segala kedjahatan djuga dapat dilakukan Hwesio djahat ini, bukan mustahil dia akan menggunakan kelakuan rendah ini untuk menghina diriku.”

“Hajolah, lekas kau melangkah kesana, lebih djauh lebih baik!” segera Tik Hun ber-teriak2 pula.

Hati Tjui Sing berdebaran, ia tidak berani membangkang, benar-benar ia melangkah madju kesana.

Tik Hun sangat girang karena akal badjingannja berhasil menakutkan sigadis. Segera ia menggembor lagi: “Nah, sudahlah, aku sudah tjopot tjelanaku sekarang, djika kau masih ingin menghadjar aku, silakan datang kemari!”

Keruan Tjui Sing bertambah kaget. Masakan pantas seorang gadis disuruh hadjar orang telandjang. Tanpa pikir lagi ia terus melompat kesana, djangankan mendekat, sekalipun menoleh djuga tidak berani. Ia menjingkir djauh2 kebalik gundukan saldju sana.

Padahal Tik Hun sebenarnja tidak melepas tjelana segala. Apa jang dikatakan itu hanja untuk menggertak sadja. Pikir punja pikir ia mendjadi geli sendiri dan gegetun pula akan nasibnja jang apes. Hadjaran jang kenjang dirasakan tadi paling sedikit ada 50 kali banjaknja dan antero badannja hampir2 rata penuh babak-belur, tulang betis jang petjah ditimpuk batu itu, lebih2 kesakitan pula. Pikirnja: “Tjoba kalau aku tidak gunakan akal badjingan, mungkin saat ini riwajatku sudah tamat. Ha, aku Tik Hun adalah seorang laki2 sedjati, tapi sekarang telah berlaku serendah dan sekotor ini, biarpun djiwaku ini selamat, tjara bagaimana aku harus berhadapan dengan orang kelak?”

Waktu ia memperhatikan suasana ditebing karang sana, ia lihat pertarungan Hiat-to Lotjo dan Lau Seng-hong masih berlangsung dengan sengit.

Puntjak karang jang dipakai gelanggang pertarungan itu menondjol keluar dari sebuah dinding tebing jang terdjal. Tingginja dari tanah paling sedikit ada ratusan meter tingginja. Diatas karang jang luasnja tjuma beberapa meter itu penuh tertimbun saldju, asal salah seorang terpeleset sedikit sadja hingga tergelintjir djatuh kebawah, biarpun setinggi langit ilmu silatnja djuga akan terbanting hantjur lebur.
Dipandang dari bawah, Tik Hun merasa perawakan kedua orang itupun banjak lebih ketjil daripada tubuh mereka jang sebenarnja. Lengan badju kedua orang itu tampak berkibaran hingga mirip dua dewa sedang me-lajang2 ditengah awang2, sungguh indah pemandangan itu. Meski Tik Hun tidak terlalu djelas menjaksikan djalannja pertarungan mereka, tapi dapat diduga setiap djurusnja pasti menjangkut mati atau hidup masing2.

Dalam pada itu tiba2 terdengar Tjui Sing ber-teriak2 pula dibalik gundukan saldju sana: “Ajah, ajah! Lekas kemari!”

Setelah berteriak beberapa kali, mendadak dari arah timur-laut ada suara seorang tua mendjawabnja: “Apakah Tjui-titli disitu? Ajahmu mengalami sedikit tjidera, sebentar lagipun akan menjusul tiba!”

Dari suara itu Tjui Sing dapat mengenali orang itu adalah Hoa Tiat-kan, jaitu tokoh kedua daripada empat kakek “Lok-hoa-liu-tjui”. Dengan girang segera ia berseru menanja: “Apakah Hoa-pepek disitu? Dimanakah ajah? Bagaimana lukanja?”

“Wah, tjelaka, sekali ini benar2 tjelaka!” demikian diam2 Tik Hun mengeluh. “Dia kedatangan bala bantuan, tamatlah riwajatku tentu!”

Dan hanja sekedjap sadja sikakek she Hoa itu sudah berlari sampai ditempat Tjui Sing, terdengar katanja: “Tadi mendadak sepotong batu jang djatuh dari atas pntjak gunung telah menindih keatas kepala Liok-pepek, karena ajahmu hendak menjelamatkan Liok-pepek, ia telah hantam batu itu. Tapi karena batu itu terlalu besar dan berat, maka tangan ajahmu mengalami sedikit tjidera, tapi tiada berhalangan apa2.”
“Eh, Hoa-pepek, ada seorang Hwesio djahat disana, lekas .......lekas Hoa-pepek pergi kesana dan membunuhnja, tapi dia .....dia telah buka......” begitulah Tjui Sing mendjadi malu untuk mendjelaskan Tik Hun telah membuka tjelananja.

“Baiklah, akan kubunuh dia, dimana tempatnja?” terdengar Hoa Tiat-kan menjahut.

Tjui Sing lantas menundjukkan tempat beradanja Tik Hun, tapi kuatir kalau mendadak melihat pemuda itu dalam keadaan telandjang, sambil djarinja menuding kebelakang, kakinja berbalik melangkah kesana.

Dan selagi Hoa Tiat-kan mendekati Tik Hun untuk membunuhnja, tiba2 terdengar suara njaring “tring-ting-ting-ting” empat kali, suara njaring beradunja sendjata dari atas tebing tjuram itu. Waktu ia menengadah, ia melihat golok dan pedang Hiat-to Lotjo dan Lau Seng-hong saling bertahan mendjadi satu, kedua orang sedikitpun tidak bergerak se-olah2 sudah mati beku oleh dinginnja saldju.

Kiranja ilmu golok dan ilmu pedang kedua orang itu ada keunggulannja sendiri2, saking seru pertempuran itu, sampai achirnja terpaksa kedua orang mesti mengadu Lwekang dengan mati-matian.

Sudah tentu Hoa Tiat-kan tahu tjara mengadu Lwekang begitu adalah tjara jang paling bahaja. Sekali sudah terdjadi kalah dan menang, jang kalah tentu akan terluka parah bila tidak mati.

Tiba2 tergerak pikirannja: “Hiat-to Ok-tjeng itu sedemikian tangkas dan ganasnja, belum tentu Lau-hiante dapat mendjatuhkan dia. Dalam keadaan demikian bila aku tidak lantas mengerojoknja, mau menunggu kapan lagi?”

Meski kedudukan dan nama baiknja di Bu-lim sangat tinggi, sebenarnja ia tidak sudi mendapat nama djelek karena main kerojok. Tapi kedjadian para kesatria Tionggoan menguber dua paderi Hiat-to-bun itu sudah menggemparkan antero dunia persilatan, djikalau sekarang ia dapat membunuh Hiat-to-tjeng itu dengan tangan sendiri, nama harumnja tentu tjukup untuk menutupi nama djeleknja karena telah main kerojok.

Karena pikiran itu, mendadak ia putar tubuh dan berlari kebalik tebing tjuram itu. Dengan demikian selamatlah djiwa Tik Hun.

Sebaliknja Tjui Sing mendjadi heran dan kuatir. “Hai, Hoa-pepek, apa jang hendak kau lakukan?” serunja. Dan begitu tertjetus pertanjaannja itu, segera iapun tahu sendiri akan djawabannja.

Ia lihat setjara diam2 Hoa Tiat-kan sedang merajap keatas tebing jang terdjal itu. Tangan djago she Hoa itu memegang sebatang tumbak pendek dari badja murni, sekali udjung tumbak digunakan menutul didinding karang, segera tubuhnja melompat keatas dua-tiga meter tingginja. Waktu tubuh menurun, tumbak pendek itu lantas menutul dinding karang lagi untuk menahan, lalu mentjelat naik keatas lagi. Tjara mandjatnja itu djauh lebih tjepat daripada Hiat-to-tjeng dan Lau Seng-hong tadi. Dipihak lain demi mendengar tindakan orang sudah makin mendjauh, dirinja tidak djadi akan dibunuhnja, maka legalah hati Tik Hun.

Tapi rasa lega itu hanja terdjadi sekedjap sadja, sebab lantas dilihatnja djuga Hoa Tiat-kan sedang melompat dan merajap keatas karang jang terdjal itu. Sudah tentu ia mendjadi kuatir. Harapan satu2nja baginja sekarang jalah semoga sebelum Hoa Tiat-kan mentjapai puntjak karang itu, lebih dulu dapatlah Hiat-to-tjeng membunuh Lau Seng-hong, habis itu dapat segera bertempur melawan Hoa Tiat-kan. Kalau tidak, bila nanti dikerojok oleh Hoa Tiat-kan berdua, pasti paderi tua itu akan dirobohkan.

Tapi kemudian lantas terpikir pula olehnja: “Lau Seng-hong dan Hoa Tiat-kan itu adalah kesatria jang berbudi luhur, sedangkan Hiat-to-tjeng itu sudah terang gamblang adalah seorang jang maha djahat, namun aku malah mengharapkan orang djahat membunuh orang baik. Ai, Tik Hun, wahai, Tik Hun, ternjata sudah sedemikian bedjatnja moralmu! ~ Begitulah disamping kuatir bagi keselamatan sendiri, ia mentjela pula dirinja sendiri, perasaannja mendjadi kusut sekali. Dan pada saat itulah dilihatnja Hoa Tiat-kan sudah melompat naik keatas karang itu.

Tatkala itu Hiat-to-tjeng sedang mengadu tenaga dalam dengan mati2an kepada Lau Seng-hong, setjara ber-gelombang2 tenaga dalamnja sedang dikerahkan bagaikan ombak jang men-dampar2 hebatnja. Sebaliknja Lau Seng-hong adalah tokoh terkemuka dari Thay-kek-bun, selama hidupnja jang dilatih jalah tjara menggunakan kelunakan untuk melawan kekerasan. Maka walaupun tenaga dalam Hiat-to-tjeng terus membandjir, namun dengan tenang iapun gunakan tenaga dalamnja jang lunak itu untuk mematahkan setiap desakan lawan. Lebih dulu ia bertahan, habis itu akan terus balas menjerang bila musuh sudah lelah.

Dengan demikian, biarpun tenaga dalam Hiat-to Lotjo sangat kuat, titik serangannja jang diarah djuga ber-ubah2, namun sesudah saling ngotot sekian lamanja, tetap ia takdapat meng-apa2kan Lau Seng-hong. Dengan memusatkan semangat dalam mengadu Lwekang itu, kedua orang itu sudah melupakan apa jang terdjadi disekitarnja. Maklum, kalah-menang dalam keadaan demikian tergantung sedetik sadja, siapa lengah sedikit, seketika akan memberi kesempatan kepada lawan untuk melantjarkan tenaga dalamnja lebih kuat.

Waktu Hoa Tiat-kan melompat keatas karang itu, kedua orang itu tiada satupun jang tahu. Ia lihat Hiat-to-tjeng dan Lau Seng-hong masih sendjata mengadu sendjata dan tangan mendempel tangan, diatas kepala mereka mengepulkan hawa, pertanda tenaga dalam mereka sudah penuh dikerahkan. Diam2 Hoa Tiat-kan memudji djuga ketangkasan kedua orang itu.

Dengan diam2 ia menggermet kebelakang Hiat-to Lotjo, ia angkat tumbak badjanja jang pendek itu, ia himpun segenap tenaga kelengan jang memegang sendjata itu, sekali sinar tumbak berkelebat, dengan tjepat dan keras ia terus menusuk kepunggung Hiat-to Lotjo.

Pada waktu Hoa Tiat-kan mulai mengangkat tumbaknja tadi, sinar tumbak jang kemilauan telah menimbulkan tjahaja repleksi pada tanah saldju jang putih bersih itu hingga menjilaukan Tik Hun. Ia terkedjut dan tjepat berteriak sepenuh tenaganja: “Awas, dibelakang ada orang!”

Mendengar djeritan jang mengguntjangkan kalbu itu, mendadak Hiat-to Lotjo tersadar, tiba2 ia merasa serangkum angin tadjam telah menjambar dari belakang. Padahal saat itu ia sedang mengadu tenaga dalam dengan Lau Seng-hong, untuk berkelit atau mengganti tempat terang sangat sulit, djangankan hendak menarik sendjata untuk menangkis serangan dari belakang itu.

Tapi paderi tua itu dapat berpikir tjepat: “Daripada mati konjol, lebih baik aku mati terbanting sadja. Aku tidak boleh mati ditangan musuh!”

Karena pikiran itu, mendadak ia mendakan tubuh dan melesat kesamping, ia sengadja terdjun kebawah djurang.

Dalam pada itu tusukan tumbak Hoa Tiat-kan itu sudah bertekad harus membinasakan Hiat-to-tjeng itu. Maka tusukan itu luar biasa kerasnja dan tak tertahankan lagi. Siapa tahu mendadak ada perubahan jang tak terduga oleh siapapun djuga. Pada detik menentukan itu mendadak Hiat-to-tjeng terdjun kebawah djurang. Maka terdengarlah “tjrat” sekali, udjung tumbak menantjap ditubuh kawan sendiri, jaitu diatas dada Lau Seng-hong. Begitu kuat tusukan itu hingga udjung tumbak menembus dari dada kepunggung. Sudah tentu kedjadian itupun se-kali2 tidak tersangka oleh Lau Seng-hong hingga iapun tidak sempat menghindar.

Dalam pada itu Hiat-to Lotjo jang menerdjun kedalam djurang itu semakin dekat dengan tanah. Se-konjong2 ia menggertak sekali sambil ajun goloknja membatjok kebawah. Dasar djiwanja mungkin belum ditakdirkan mampus, batjokan itu tepat mengenai batu karang jang menondjol hingga lelatu api bertjipratan dan daja turunnja mendjadi tertahan sedikit. Menjusul sebelah tangannja terus memukul pula kebawah, “brak”, saldju bertebaran kena tenaga pukulannja itu, sedjenak kemudian Hiat-to Lotjo dapat pula menantjapkan kakinja ketanah dengan enteng dan tak kurang sesuatu apapun.

“Ehm, tjutju murid jang baik, untunglah engkau telah mendjerit hingga djiwa kakek gurumu ini tertolong!” demikian ia mengangguk kepada Tik Hun sebagai tanda pudjian.

“Rasakan golokku!” tiba2 seorang membentak dibelakangnja.

Dengan ilmu “Thing-hong-pian-gi” atau mendengarkan suara membedakan arah sendjata, dengan tjepat dan tanpa balik tubuh paderi itu terus putar golok kebelakang untuk menangkis. “Trang”, dua golok saling bentur dengan keras. Kontan Hiat-to Lotjo merasakan dadanja sesak, hampir2 golok terlepas dari tjekalan. Keruan kedjutnja tak terkatakan.

Waktu ia menoleh, ia lihat penjerang itu adalah seorang kakek jang bertubuh tegap kekar, berdjenggot pandjang dan sudah putih semua. Tangan memegang sebatang “Kui-thau-to”, jaitu golok tebal jang berudjung dalam bentuk kepala setan. Sikapnja sangat gagah.

Hanja sekali gebrak itu sadja, maka Hiat-to Lotjo mendjadi djeri. Sama sekali tak tersangka olehnja bahwa tenaga dalamnja sudah banjak terbuang ketika mengadu Lwekang dengan Lau Seng-hong tadi, ditambah lagi menerdjun dari atas, ia mesti menggunakan tenaga pukulannja untuk menahan daja turunnja tubuh hingga tidak terbanting mati. Tjoba kalau orang lain, andaikata tidak terbanting mampus, paling sedikit djuga akan tangan patah atau remuk isi perutnja dan terluka parah.

Ia tjoba mendjalankan tenaga murninja, ia merasa didalam perut agak sakit, tenaga susah dikerahkan.

“Liok-toako, paderi tjabul itu telah membunuh Lau-hiante, kalau kita tidak mentjingtjang dia hingga mendjadi baso, sungguh tak terlampias dendam kita,” demikian tiba2 seorang berseru dari sisi kiri sana.

Pembitjara itu bukan lain daripada Hoa Tiat-kan. Sesudah dia salah membunuh kawan sendiri, jaitu imam tua Lau Seng-hong, sudah tentu ia sangat berduka dan murka pula kepada musuh jang litjik itu. Setjepat terbang iapun memburu kebawah djurang dengan maksud hendak mengadu djiwa dengan Hiat-to Lotjo. Kebetulan saat itu Liok Thian-dju, jaitu sikakek pertama dari “Lam-su-lo”, djuga telah menjusul tiba. Maka kedudukan Hiat-to Lotjo kembali terdjepit lagi dari dua djurusan.

Mau-tak-mau Hiat-to Lotjo mendjadi kuatir djuga. Ia insaf tenaga dalam sendiri sudah terkuras sebagian besar, melawan seorang Liok Thian-dju sadja belum tentu menang, apalagi kini ditambah Hoa Tiat-kan jang tampak sudah mendekat dengan mata membara se-akan2 hendak menelannja mentah2. Kalau sebentar sampai terlibat lagi dalam kerojokan mereka, pasti djiwanja akan melajang. Ia pikir tenaga dalam sendiri sudah lemas, untuk laripun tentu susah, djalan satu2nja sekarang jalah menggunakan Tjui Sing sebagai sandera agar musuh tidak berani terlalu mendesak padanja. Dan sesudah awak sendiri dapat mengaso barang sedjam dua djam, tentu akan kuat untuk bertempur lagi.

Keputusan itu ditetapkannja dalam sekilas pikir sadja, dalam pada itu dilihatnja golok tebal Liok Thian-dju sudah terangkat dan hendak membatjok pula. Tjepat Hiat-to Lotjo mendakan tubuh, be-runtun2 ia menjerang tiga kali kebagian bawah musuh.

Perawakan Liok Thian-dju tinggi besar, terpaksa ia mesti mengajun goloknja untuk menangkis kebawah. Padahal serangan2 Hiat-to-tjeng itu tjuma pantjingan belaka. Tapi djuga bukan sembarangan serangan kosong, sebab kalau sedikit salah tangkisan Liok Thian-dju itu, pasti djiwanja akan segera melajang. Namun tangkisan2 itu ternjata sangat rapat hingga tiada lubang kesempatan bagi Hiat-to-tjeng untuk menjerang lebih djauh.

Mendadak paderi tua itu mendesak madju selangkah, tapi baru setengah djalan, tahu2 ia menarik diri dan melompat kebelakang malah. Dengan tjara “Seng-tang-kek-se” (bersuara ketimur, tapi menjerang kebarat), barulah Hiat-to-tjeng dapat melepaskan diri dari kurungan sinar golok Liok Thian-dju jang lihay itu.

Dan sekali sudah melompat mundur, hanja beberapa kali naik turun sadja ia sudah sampai disamping Tik Hun. Ketika Tjui Sing tak kelihatan, segera ia menanja: “Dimanakah anak dara itu?”

“Disana!” sahut Tik Hun sambil menuding.

Keruan Hiat-to lotjo mendjadi gusar. “Kenapa kau tak tawan dia dan membiarkan dia lari?” damperatnja dengan beringas.

“Aku......... aku tak kuat........ tak kuat menangkapnja,” sahut Tik Hun gelagapan.

Hiat-to Lotjo semakin murka, dasarnja memang seorang jang kedjam, pada saat menentukan bagi mati-hidupnja itu ia mendjadi lebih buas lagi. Sekali kakinja bergerak, terus sadja ia tendang kepinggang Tik Hun. Pemuda itu mendjerit tertahan dan badannja mentjelat dan terguling kedepan.

Tempat dimana mereka berada itu memangnja djurang jang dikelilingi puntjak2 gunung jang tinggi, siapa duga dibawah djurang masih ada djurang lagi. Dan karena tergulingnja Tik Hun itu, tubuhnja terus tergelintjir kebawah djurang jang lebih dalam itu.

Ketika mendengar suara Tik Hun tadi, segera Tjui Sing menoleh. Demi dilihatnja Tik Hun sedang terdjerumus kebawah djurang, dalam kagetnja dilihatnja Hiat-to Lotjo lagi memburu kearahnja pula. Dan pada saat itu djuga tiba2 dari samping kanan sana ada suara seruan orang: “Sing-dji! Sing-dji!”

Itulah suara ajahnja, Tjui Tay. Keruan Tjui Sing sangat girang, segera iapun balas berteriak: “Ajah!”

Sungguh sajang perbuatan Tjui Sing ini. Padahal waktu itu djaraknja dengan sang ajah terlalu djauh, sebaliknja djaraknja dengan Hiat-to Lotjo lebih dekat, selisih djarak kedua pihak itu ada beberapa meter djauhnja. Pabila Tjui Sing tidak berteriak misalnja, sekali melihat ajahnja muntjul, segera ia berlari kearahnja, dengan demikian djaraknja dengan sang ajah akan mendjadi lebih dekat daripada djaraknja dengan Hiat-to Lotjo. Tapi karena teriakannja itu, nasib hidupnja mendjadi banjak perubahannja.

Begitulah saking girangnja ia berteriak ajah, seketika ia mendjadi lupa Hiat-to Lotjo djuga sedang memburu kearahnja.

Dalam pada itu lingkaran kepungan Tjui Tay, Liok Thian-dju dan Hoa Tiat-kan dari tiga djurusan djuga semakin sempit, tampaknja dalam waktu singkat Hiat-to Lotjo pasti akan tergentjet. Tapi kalau lebih dulu Tjui sing kena ditangkap oleh paderi tua itu, kedudukan masing2 tentu akan berubah, dengan mempunjai sandera tawanannja itu, tentu sipaderi akan dapat angin lagi.

Karena itu tjepat Tjui Tay lantas ber-teriak2 djuga: “Sing-dji, lekas kemari, lekas!”

Maka tersadarlah Tjui Sing, tjepat ia berlari kedepan bagaikan orang keselurupan.

Diam2 Hiat-to Lotjo gegetun, tjepat ia sambar setjomot saldju, ia kepal mendjadi sepotong batu saldju terus disambitkan lebih dulu kearah Tjui Tay, menjusul sepotong lagi ia timpuk “Leng-tay-hiat” dipunggung Tjui Sing. Tanpa ampun lagi gadis itu roboh tak berkutik lagi. Sedangkan lari Hiat-to Lotjo tidak pernah berhenti, begitu mendekat, terus sadja ia pegang gadis itu. Hampir berbareng dengan itu, terdengarlah suara angin menjambar dari samping, udjung tumbak Hoa Tiat-kan sudah menusuk tiba.

Djago she Hoa itu sudah terlalu gemas karena paderi tua itu telah mengakibatkan dia menusuk mati saudara angkat sendiri, jaitu Lau Seng-hong, maka ia mendjadi kalap tanpa menghiraukan mati hidupnja Tjui Sing jang tertawan musuh itu, tapi begitu tiba terus sadja ia menusuk dengan tumbak.

Tjepat Hiat-to-tjeng menangkis, “trang”, tahu2 goloknja mendal kembali. Kiranja tumbak Hoa Tiat-kan itupun bukan sembarangan tumbak, tapi adalah buatan badja murni hingga tak terkutung oleh sembarangan golok atau pedang mestika.

Dengan memaki segera Hiat-to Lotjo melangkah mundur sambil menggondol Tjui Sing. Tapi dari sana tampak Liok Thian-dju telah membatjoknja djuga dengan Kui-thau-to. Oleh karena terkepung, untuk mundur lagi tentu djuga akan terdjerumus kedjurang.

Ttapi sekilas Hiat-to-tjeng melihat Tik Hun jang didepaknja kedalam djurang tadi bukannja terbanting mampus, tapi pemuda itu sedang berduduk dibawah situ sambil menengadah menjaksikan pertarungan mereka. Tergerak pikiran Hiat-to-tjeng: “Ternjata timbunan saldju dibawah djurang itu sangat tebal, makanja botjah itu tidak terbanting mati.” ~ Tanpa pikir lagi iapun menerdjun kebawah sambil merangkul Tjui Sing.

Ditengah djeritan Tjui Sing jang ketakutan, kedua orang itu sudah terdjerumus kebawah djurang. Tinggi djurang itu ada ratusan meter tapi timbunan saldju ada berpuluh meter tebalnja. Saldju jang bawah sudah membeku, tapi lapisan atas saldju masih tjerna dan empuk laksana kasur, maka kedua orang itu sedikitpun tidak terluka apa2.

Tjepat Hiat-to Lotjo terus merangkak bangun dari gundukan saldju, ia sudah pilih tempat jang baik dan berdiri diatas sebuah batu karang dimulut djurang itu sambil menghunus golok. Ia ter-bahak2 dan berseru: “Hajolah, kalau berani, turun kemarilah dan kita boleh bertempur lagi!”

Kebetulan batu karang itu sangat strategis tempatnja. Kalau Tjui Tay dan lain2 melompat turun, tubuh mereka pasti akan melajang lewat batu karang itu. Dalam keadaan begitu tjukup Hiat-to-tjeng ajun goloknja sekali dan kontan tubuh sipenerdjun itu pasti akan terkutung mendjadi dua.

Dengan susah pajah Liok Thian-dju berempat achirnja dapat menjusul Hiat-to Lotjo, tapi sesudah ketjandak, seorang saudara angkat mereka mendjadi korban, sekarang paderi djahat itu lolos lagi. Keruan mereka mendjadi gemas dan geregetan. Lebih2 Tjui Tay jang puterinja masih berada dibawah tjengkeram tangan paderi iblis itu, sedang Hoa Tiat-kan djuga salah membunuh saudara angkat sendiri, mereka berdua inilah paling pedih hatinja. Segera mereka bertiga bisik2 untuk berunding tjara bagaimana harus membunuh musuh.

Liok Thian-dju itu berdjuluk “Djin-gi Liok Toa-to” atau sigolok besar she Liok jang berbudi luhur. Sedangkan Hoa Tiat-kan bergelar “Tjong-peng-bu-tik” atau situmbak badja tanpa tandingan, Tiong-peng-djiang adalah nama tumbaknja itu.

Tjui Tay sendiri berdjuluk “Leng-goat-kiam”, sipedang bulan purnama. Ditambah lagi imam tua Lau Seng-hong, mereka disebut “Lok-hoa-liu-tjui”. Apa jang disebut “Lok-hoa-liu-tjui” sebenarnja adalah “Liok-hoa-lau-tjui”, jaitu diambil dari suara she mereka.

Bitjara tentang ilmu silat belum pasti Liok Thian-dju jang paling tinggi, namun pertama karena usianja paling tua, kedua, hubungannja dengan kawan Kangouw sangat luas, maka namanja adalah urutan pertama dalam “Lam su-lo” atau empat kakek dari selatan. Watak Liok Thian-dju paling keras, dia paling bentji kepada perbuatan rendah dan memalukan, apalagi mengenai perbuatan melanggar kehormatan kaum wanita segala. Kini melihat tingkah pola Hiat-to Lotjo jang mentang2 diatas batu karang se-akan2 dunia ini aku punja, sedangkan tubuh Tjui Sing lemas lunglai menjandar badan Tik Hun. Ia tidak tahu bahwa Hiat-to gadis itu telah tertutuk dan takbisa berkutik, sebaliknja ia sangka djiwa Tjui Sing itupun rendah, tak kuat mempertahankan imannja, berada dibawah tjengkeraman paderi2 tjabul itu ternjata tidak melawan sedikitpun. Saking gemasnja ia terus djemput beberapa potong batu dan ditimpukan kebawah.

Dasar tenaganja memang besar, dari atas menimpuk kebawah pula, keruan hudjan batu itu sangat hebat. Maka terdengarlah suara gemuruh disana-sini, lembah pegunungan sekeliling situpun menggemakan suara kumandang jang memekak telinga.

Dibawah hudjan batu dengan saldju berhamburan, tjepat Hiat-to Lotjo mendakan tubuh dan menjeret Tik Hun dan Tjui Sing bersembunji kebalik sebuah batu karang jang besar. Sementara ini ia sudah lolos dari bahaja, rasa gusarnja kepada Tik Hun tadi mendjadi reda djuga, maka ia tidak ingin “tjutju murid” itu mati tertimpuk batu.

Habis itu, ia sendiri kembali melontjat keatas batu karang, ia tuding Liok Thian-dju bertiga dan mentjatji-maki. Bila ditimpuk dengan batu, ia lantas berkelit atau menjampok dengan goloknja.

Dalam pada itu Tik Hun dan Tjui Sing jang diseret Hiat-to Lotjo dan disembunjikan dibalik batu karang itu, setelah rasa takut mereka agak tenang, ketika mereka melihat sekitar situ, ternjata dinding dibelakang batu karang itu mendekuk masuk kedalam hingga berwudjut sebuah gua jang besar. Karena tertahan oleh batu karang itu, maka saldju jang tertimbun didalam gua itu sangat tipis hingga merupakan sebuah tempat meneduh jang sangat bagus.

Oleh karena dari atas masih dihudjani batu oleh Liok Thian-dju, Tik Hun kuatir ada batu njasar hingga melukai Tjui Sing, segera ia rangkul sigadis dan menjeretnja lebih djauh kedalam gua.

Keruan Tjui Sing ketakutan, ia men-djerit2: “Djangan sentuh aku, lepaskan aku!”

“Ha-hahaha!” Hiat-to Lotjo ter-bahak2. “Tjutju murid jang baik. Tjosuya sendiri lagi mati2an menghadapi musuh diluar sini, kau sendiri malah mendahului senang2 didalam situ! Hahaha, kurang-adjar!”

Sungguh dada Tjui Tay bertiga hampir2 meledak saking gusarnja mendengar otjehan itu.

Sebaliknja Tjui Sing djuga menjangka Tik Hun hendak berbuat tidak senonoh setjara paksa padanja, keruan ia bertambah takut. Tapi demi kemudian melihat pakaian “Hwesio” itu dalam keadaan radjin, meski bukan pakaian baru, tapi terpakai dengan betul ditubuhnja, barulah sekarang ia tahu orang mengantjam hendak melepas tjelana tadi sebenarnja tjuma untuk menipu sadja. Mukanja mendjadi merah teringat kedjadian tadi, segera ia mendamperat: “Hwesio djahat penipu, hajo, lekas menjingkir kesana!”

Memangnja Tik Hun tiada punja maksud djahat, sebaliknja bermaksud baik menjelamatkan gadis itu, maka segera ia berdjalan menjingkir. Dalam keadaan tulang paha patah dan tulang betis petjah, hakikatnja takbisa dikatakan “berdjalan” lagi, paling2 hanja dapat disebut “mengesot”.

Begitulah kedua pihak saling bertahan dengan ngotot, tiga diatas dan satu dibawah, tanpa terasa fadjar sudah menjingsing, hari sudah terang tanah. Pelahan2 tenaga Hiat-to Lotjo djuga sudah pulih kembali. Sedangkan hatinja tiada hentinja merantjang rentjana: “Tjara bagaimana aku harus menghadapi mereka? Tjara bagaimana supaja aku dapat menjelamatkan diri?”

Padahal ketiga lawan didepan mata itu ilmu silat setiap orangnja adalah sepadan dengan dia, djangankan hendak menangkan mereka, untuk lolos dari kedjaran merekapun maha sulit. Bahkan asal dirinja meninggalkan batu karang itu hingga kehilangan tempat pendjagaan jang menguntungkan, seketika djuga musuh pasti akan memburu turun dan akan dikerubut lagi.

Oleh karena tiada djalan lain, terpaksa ia terus menunggui batu karang itu. Tapi ia sengadja ber-djingkrak2 dan me-nari2 dengan matjam2 lagak dan aksi jang di-buat2 untuk menggoda dan mengedjek musuh sekadar untuk menghibur diri pula.

Melihat tingkah-pola musuh jang memualkan itu, semakin ditonton semakin menggemaskan, tiba2 Liok Thian-dju mendapat satu akal. Bisiknja segera kepada Tjui Tay: “Tjui-hiante, tjoba engkau berdjalan kearah timur pura2 hendak merosot kebawah. Dan Hoa-hiante, engkau pura2 hendak menjerang dari sebelah barat untuk memantjing Hwesio djahat itu, aku sendiri mendjadi ada kesempatan untuk menerdjang kebawah.”

“Akal bagus,” sahut Tjui Tay. “Bila musuh tidak pusingkan kita, segera kita menerdjang kebawah sungguh2.”

Habis berkata, ia saling memberi tanda dengan Hoa Tiat-kan, lalu berlari kedjurusannja masing2.

Berpuluh meter disekitar situ adalah dinding karang jang tjuram, kalau ingin meluntjur saldju kebawah djurang harus memutar djauh kesana untuk kemudian melingkar kembali.

Rupanja akal itu telah membingungkan Hiat-totjeng djuga. Demi melihat kedua lawan mementjarkan diri kedua djurusan, terang orang bermaksud memutar djalan untuk mendekati tempatnja. Tjara bagaimana harus merintanginja, seketika ia mendjadi mati kutu. Pikirnja: “Wah, tjelaka! Djika mereka benar2 memutar kemari, meski makan tempo agak lama, tapi achirnja tentu akan tertjapai maksud mereka. Dalam keadaan demikian, kalau aku tidak menggelojor pergi mau tunggu kapan lagi? Mereka bermaksud memutar djalan untuk menjerang, aku lantas memutar djuga untuk angkat langkah seribu.”

Ia lihat Liok Thian-dju sedang menjaksikan kepergian kedua kawannja, diam2 Hiat-to Lotjo lantas memberosot kebawah batu karang dan merat kearah barat-laut tanpa memberitahukan Tik Hun.

Ketika mendadak tidak mendengar suara otjehan Hiat-to-tjeng lagi, segera Liok Thian-dju melongok kebawah, tapi tahu2 paderi tersebut sudah menghilang. Ia lihat diatas tanah saldju itu ada segaris bekas tapak kaki jang menudju kearah barat. Ia pikir bila paderi djahanam itu sampai lolos, maka runtuhlah nama baik djago silat Tionggoan. Segera ia ber-teriak2: “Hoa-hiante, Tjui-hiante, lekas kembali. Ok-tjeng (hweshio djahat) itu telah merat!”

Mendengar seruan itu, segera Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan berlari kembali. Dalam pada itu tanpa pikir lagi Liok Thian-dju terus terdjun kebawah djurang menirukan tjara musuh tadi, seketika iapun menghilang, ambles kedalam lautan saldju.

Diwaktu menerdjun Liok Thian-dju sudah tutup napasnja. Ia merasa badannja terus ambles kebawah, menjusul kakinja lantas menjentuh tempat keras, jaitu lapisan saldju jang sudah beku. Segera ia tutul kakinja sekuatnja hingga badannja mumbul keatas. Pengalaman demikian djuga telah dialami Tik Hun dan Hiat-to Lotjo tadi, sesudah kepala menongol keluar, lalu mereka merangkak naik.

Diluar dugaan, baru sadja kepala Thian-dju hendak menongol, se-konjong2 dadanja terasa kesakitan, njata ia sudah kena sergapan musuh. Oleh karena kepala belum berada diluar saldju, dengan sendirinja ia takdapat mendjerit. Tapi kontan setjepat kilat iapun balas membabat dengan goloknja.

Rupanja serangan balasan jang teramat tjepat itupun diluar perhitungan musuh hingga terasa djuga kena sasarannja. Namun menjusul musuh jang bersembunji dibawah saldju itu lantas menjerang pula.

Waktu Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan kembali diatas puntjak karang tadi, mereka menjaksikan timbunan saldju dibawah djurang itu bergolak dengan hebat, tapi tiada menampak bajangan seorangpun. Hanja sekedjap sadja dari dalam saldju tampak merembes keluar air darah

“Tjelaka, Liok-toako telah bertempur dengan Ok-tjeng itu dibawah saldju!” seru Tjui Tay dengan kuatir.

“Ja, benar! Sekali ini Ok-tjeng itu harus kita binasakan!” sahut Hoa Tiat-kan.

Mengapa mendadak Hiat-to Lotjo bisa berada dibawah saldju dan bertempur dengan Liok Thian-dju? Kiranja tadi waktu mendengar seruan Thian-dju kepada kedua kawannja, paderi itu menaksir segera lawan itupun akan menerdjun kebawah untuk mengedjarnja. Tiba2 ia mendapat satu akal, tjepat ia putar balik dan menjusup kedalam saldju disekitar batu karang itu.

Terhadap djago silat jang lihay dengan pengalaman luas seperti Liok Thian-dju itu, hendak melakukan penjergapan padanja boleh dikata adalah tidak mungkin berhasil. Tapi kini ia menerdjun kedalam saldju dari tempat yang tinggi, pengalaman itu selama hidupnja belum pernah ada, dengan sendirinja jang ia pikirkan jalah tjara bagaimana harus menahan napas dan mengerahkan tenaga selama ambles kedalam saldju serta timbul kembali keatas. Apalagi dengan terang diketahui Hiat-to-tjeng sudah merat, sudah tentu mimpipun tak tersangka bahwa didalam saldju ada sembunji seorang musuh. Dari itulah baru kepala Liok Thian-dju hendak menongol kepermukaan saldju, tahu2 dadanja sudah kena serangan golok Hiat-to-tjeng.

Tapi betapapun Liok Thian-dju adalah kepala dari “Lam-su-lo”, terhitung djago kelas wahid diantara djago silat Tionggoan. Meski dadanja sudah terluka, menjusul iapun dapat balas melukai musuh. Ia tahu gerak-gerik Hiat-to-tjeng itu laksana hantu tjepatnja, ia tidak boleh meleng barang sekedjappun, kalau mesti menunggu kepala menongol keatas saldju lalu balas menjerang, tentu serangan musuh jang lain segera akan tiba pula lebih dulu.

Benar djuga baru Hiat-to Lotjo hendak menjerang pula, tak terduga serangan balasan Liok Thian-dju sudah dilontarkan dengan tjepat luar biasa hingga iapun terluka. Sekuat tenaga ia menangkis tiga kali serangan Kui-thau-to lawan sambil melangkah mundur. Diluar dugaan mendadak kakinja mengindjak tempat kosong, saldju dimana kakinja berpidjak itu tidak beku hingga badannja terdjeblos kebawah lagi.

Dalam pada itu serangan Thian-dju masih terus dilantjarkan tanpa memberi kesempatan bernapas bagi lawan, tiga kali serangan disusul tiga kali serangan lain lagi. Ia tahu musuh pasti akan terdesak mundur, maka iapun merangsak madju. Tak terduga mendadak kakinja merasa “blong”, tubuhnja lantas andjlok kebawah.

Hiat-to Lotjo dan Liok Thian-dju adalah djago2 silat kelas atas pada djaman itu, meski terdjerumus dalam keadaan jang benar-benar maha sulit itu, namun pikiran mereka sama sekali tidak katjau. Mereka sama2 tidak dapat memandang dan mendengar, tapi mereka mempunjai pendapat jang serupa, begitu kaki mengindjak tanah, segera masing2 memainkan ilmu golok sendiri dengan kentjang. Tatkala itu tebal saldju diatas kepala mereka ada belasan meter tingginja, ketjuali musuh dapat dibinasakan, kalau tidak, siapapun tiada berani menongol dulu keatas, sebab bila timbul maksud hendak menjelamatkan diri, tentu akan segera dibatjok mati oleh lawan……….

Sementara itu Tik Hun mendjadi heran karena mendadak diluar gua mendjadi sunji, padahal baru sadja Hiat-to Lotjo masih mentjak2 dan mengotjeh. Waktu ia melongok keluar ternjata Hiat-to Lotjo sudah tidak kelihatan lagi, sebaliknja saldju disekitar batu karang tadi tampak bergolak dengan hebat bagai ombak samudera. Keruan ia ter-heran2.

Setelah menjaksikan sedjenak, achirnja tahulah dia bahwa dibawah saldju itu ada orang sedang bertempur. Waktu ia mendongak, ia lihat Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan berdiri ditepi karang dan sedang memperhatikan keadaan didasar djurang, sikap mereka tampaknja sangat tegang. Maka dapatlah Tik Hun menduga jang bertempur dibawah saldju itu pasti adalah Hiat-to Lotjo melawan sikakek berdjenggot, jaitu Liok Thian-dju. Ia lihat Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan bernapsu sekali hendak membantu tapi agak bingung karena tidak tahu tjara bagaimana harus turun tangan.

“Hoa-djiko, biarlah aku terdjun kebawah,” demikian Tjui Tay berkata kepada Hoa Tiat-kan.

“Djangan,” tjepat Tiat-kan mentjegah. “Djika engkau djuga terdjun kedalam saldju, lantas tjara bagaimana kau akan membantu? Didalam saldju dengan sendirinja tidak kelihatan apa2, djangan2 tragedi tadi akan terulang hingga Liok-toako akan salah ditjelakai engkau.” ~ Njata karena tumbaknja tadi salah membinasakan saudara angkatnja sendiri, maka rasa duka dan sesalnja tak terkatakan hebatnja.

Tjiu Tay pikir peringatan itu memang beanr, djika dirinja djuga terdjun kedalam saldju selain sendjatanja memotong dan menjabat serabutan, masakah dapat membedakan siapa kawan dan siapa lawan? Kemungkinan Hiat-to-tjeng atau Liok Thian-dju akan dibunuh olehnja adalah sama besarnja, sebaliknja kemungkinan dirinja akan terbinasa dibawah sendjata mereka djuga tidak berkurang kesempatannja.

Akan tetapi bila tidak turun tangan membantu, hal inipun sangat keterlaluan. Sudah terang dipihak sendiri ada dua djago jang menganggur, tapi sedikitpun takdapat berbuat apa2. Sungguh mereka mendjadi tak sabar hingga mirip semut ditengah wadjan panas, mereka hanja kelabakan sendiri tanpa berdaja sedikitpun.

Apabila nekat menerdjun kebawah, namun didasar djurang itu saldju masih bergolak dengan hebat, siapa tahu terdjun itu takkan menindih diatas kepala Liok Thian-dju.

Sjukurlah tidak seberapa lama, pergolakan saldju itu lambat-laun mulai reda, Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan jang diatas tebing serta Tik Hun dan Tjui Sing jang berada didalam gua djadi makin kuatir, sebab tidak tahu bagaimana hasil pertarungan dibawah saldju itu. Maka dengan penuh perhatian dan menahan napas mereka menantikan gerangan siapa jang muntjul dari bawah saldju?

Benar djuga, selang sedjenak, gumpalan saldju disuatu tempat itu tampak tersundul keatas, makin lama makin tinggi hingga achirnja satu kepala menausia kelihatan menongol. Tapi diatas kepala itu penuh saldju, maka seketika susah dibedakan apakah kepala gundul Hweshio atau kepala jang berambut?

Makin lama makin tinggi kepala jang menjundul saldju itu. Achirnja dapatlah kelihatan dengan djelas diatas kepala itu penuh tumbuh rambut putih. Njata itulah kepalanja Liok Thian-dju.

Saking girangnja Tjui Sing terus bersorak sekali.

Sebaliknja Tik Hun mendjadi gusar. “Sorak2 apa?” damperatnja.

“Sorak apa? Sorak karena kakek-gurumu itu sudah mampus, tahu? Dan djiwamu sebentar tentu djuga akan tamat!” sahut Tjui Sing dengan sengit.

Tidak usah diberitahu djuga Tik Hun mengarti akan hal itu. Selama ini setiap hari ia berkumpul dengan Hiat-to-tjeng, seperti kata pribahasa “dekat merah akan mendjadi merah, dekat hitam mendjadi hitam”, maka tanpa merasa Tik Hun ketularan sedikit watak kasar seperti paderi Tibet itu. Apalagi dilihatnja Liok Thian-dju mendapat kemenangan, akibatnja ia sendiri pasti djuga akan tjelaka ditangan ketiga kakek itu nanti. Dalam kuatirnja ia mendjadi aseran, maka bentaknja segera: “Djika kau berani tjerewet lagi, segera kubunuh kau lebih dulu.”

Tjui Sing mendjadi takut dan tidak berani buka suara lagi. Ia masih tertutuk oleh Hiat-to-tjeng tadi dan takbisa berkutik. Meski Tik Hun patah kakinja, tapi kalau mau bunuh dia boleh dikata tidaklah susah.

Dalam pada itu sesudah kepala menongol dipermukaan saldju, napas Liok Thian-dju tampak megap2 sambil me-ronta2 sekuatnja dengan hendak merajap keluar dari dalam saldju.

“Liok-heng kami akan membantu kau!” seru Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan bersama. Berbareng mereka lantas terdjun kedalam saldju itu, menjusul terus melontjat keatas pula dan menjingkir kesamping batu karang tadi.

Dan pada saat itulah tiba2 nampak Liok Thian-dju ambles pula kedalam saldju, tahu2 kepalanja sudah menghilang lagi kebawah seperti kakinja mendadak ditarik sekuatnja oleh orang. Dan sesudah ambles kebawah, lalu tidak muntjul lagi. Sedangkan Hiat-to-tjeng sama sekali tidak kelihatan batang-hidungnja.

Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan saling pandang dengan penuh pertanjaan. Mereka menjaksikan menghilangnja Liok Thian-dju kedalam saldju itu tjepatnja luar biasa, tampaknja seperti tak berkuasa karena ditarik orang dari bawah, mereka menduga besar kemungkinan sang Toako itu sudah kena disergap oleh Hiat-to-tjeng.

“Pluk”, mendadak sebuah kepala menongol pula dari bawah saldju. Waktu diperhatikan, kepala itu gundul, kiranja adalah Hiat-to Lotjo. Paderi itu mengakah tawa sekali, lalu menghilang lagi kebawah saldju.

“Paderi keparat!” maki Tjui Tay.

Dan baru ia hunus pedangnja hendak menubruk madju, se-konjong2 dari dalam saldju mentjelat keluar pula sebuah kepala.

Tapi kepala itu melulu kepala belaka, kepala jang sudah berpisah dengan badannja. Kepala itu berdjenggot, itulah kepalanja Liok Thian-dju.

Buah kepala itu terbang keudara setinggi beberapa meter, kemudian djatuh kebawah dan ambles menghilang kedalam saldju.

Menjaksikan pemandangan jang seram dan aneh itu, saking ketakutan sampai Tjui Sing hampir2 semaput. Pikirnja mau mendjerit, tapi tenggorokan se-akan2 tersumbat dan takdapat bersuara.

Tjui Tay djuga sangat pedih dan gusar pula, teriaknja keras2: “Wahai, Liok-toako! Engkau telah berkorban bagiku, biarlah Siaute membalaskan sakit hatimu.”

Tapi sebelum ia melangkah, tjepat Hoa Tiat-kan mentjegahnja: “Nanti dulu! Paderi setan itu bersembunji didalam saldju, dia terang, kita gelap, kalau kita menerdjang setjara serampangan, djangan2 akan masuk perangkapnja lagi.

Benar djuga pikir Tjui Tay, maka ia menahan bergolaknja perasaan sedapat mungkin dan menanja: “Habis, apa tindakan kita sekarang?”

“Kita tunggu sadja disini,” udjar Tiat-kan. “Paderi itu dapat tahan berapa lama berada didalam saldju? Achirnja tentu dia akan muntjul keatas. Tatkala mana kita lantas mengerubutinja, betapapun kita harus membedah dadanja dan mengkorek hatinja untuk sesadjen kedua saudara kita.”

Terpaksa Tjui Tay menuruti saran sang kawan. Dengan air mata ber-linang2 ia bersabar sedapat mungkin dan menahan pedihnja perasaan. Namun dua kawan karib selama berpuluh tahun itu kini terbinasa begitu mengenaskan, betapapun ia tetap sangat berduka.

Hlm. 23 Gambar:

Mendadak dari bawah saldju jang bergolak itu menongol keluar sebuah kepala manusia jang berdjenggot. Njata itulah Liok Thian-dju. Napas djago tua itu tampak ter-engah2, rupanja saking tidak tahan dikotjok didalam saldju oleh Hiat-to Lotjo, maka terpaksa ia mesti menongol kepermukaan saldju untuk ganti napas.

Dengan mengintjar tempat dimana kepala Hiat-to-tjeng menongol tadi, pelahan2 Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan melompat dari batu karang satu kebatu jang lain, tanpa merasa mereka semakin mendekat dengan gua tempat sembunji Tik Hun dan Tjui Sing.

Ber-ulang2 Tjui Sing melirik Tik Hun, diam2 ia ambil keputusan bila sang ajah sudah dekat segera ia akan berteriak minta tolong. Tapi kalau terlalu buru2 teriaknja hingga djarak sang ajah terlalu djauh, tentu dirinja akan dibunuh dulu oleh “Hweshio tjabul” itu sebelum tertolong ajahnja.

Dari sikap sigadis jang tidak tenteram serta sinar matanja jang berkerlingan, Tik Hun sudah lantas tahu djuga maksudnja. Tiba2 ia sengadja bikin napasnja ter-engah2 seperti orang jang kepajahan, pelahan2 ia mengesot kemulut gua seperti hendak mengambil saldju untuk dimakan sekadar menghilangkan rasa dahaga.

Dengan sendirinja Tjui Sing tidak tjuriga, jang diperhatikan ialah ajahnja. Se-konjong2 Tik Hun menahan badannja dengan tangan kiri, sekali endjot, mendadak tubuhnja melompat bangun, dengan tjepat sekali lengan kanannja terus menjikap dari belakang hingga leher Tjui Sing terdjepit.

Keruan Tjui Sing kaget, segera ia hendak berteriak, tapi sudah telat. Ia merasa lengan Tik Hun itu sekeras besi hingga lehernja kesakitan dan bernapaspun susah. Memangnja badannja tertutuk dan takbisa berkutik, ditambah lagi leher tertjekik, sebentar lagi pasti djiwanja melajang. Tapi tiba2 terdengar Tik Hun membisikinja: “Asal kau berdjandji takkan bersuara, aku lantas tak djadi mentjekik mampus kau.” ~ Habis itu, sedikit ia kendurkan lengannja agar Tjui Sing dapat bernapas sedikit. Tapi lengannja jang kasar dan kuat itu tetap menjilang dileher sigadis jang putih halus itu.

Sudah tentu Tjui Sing gemas tidak kepalang, tapi apa daja? Hanja dalam hati ia mentjutji maki habis2an.

Diluar sana Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan sedang mendekam diatas sebuah batu karang, mereka ter-heran2 karena tiada melihat sesuatu gerak-gerik lagi dari bawah saldju. Mereka tidak tahu permainan apa jang sedang dilakukan Hiat-to-tjeng jang sekian lamanja terpendam didasar saldju itu.

Sudah tentu mereka tidak tahu bahwa sedjak ketjil Hiat-to Lotjo hidup ditanah bersaldju sebagai Tibet itu, maka tentang tjiri2 chas dari saldju itu tjukup dipahaminja. Waktu djatuh ketengah saldju tadi, segera ia menggunakan goloknja untuk mengkorek sebuah liang, ia tepuk2 pinggir liang itu dengan tangan hingga keras, dan liang saldju itu lantas tersimpan sedikit hawa. Dalam hal ilmu silat sedjati, sebenarnja kepandaian Hiat-to-tjeng dengan Liok Thian-dju adalah sepadan. Tapi sebelumnja paderi itu sudah lama menempur Lau Seng-hong, tenaga murninja sudah banjak terbuang, maka ia mendjadi kalah kuat daripada Liok Thian-dju. Tapi berkat simpanan hawa dilubang saldju itu, setiap kali kalau ia merasa pajah dan napas sesak, segera ia melongok kelubang saldju itu untuk menghirup hawa segar.

Dengan sedirinja Liok Thian-dju tidak paham rahasia saldju itu. Ia terus main hantam-kromo dengan mati2an. Dengan demikian biarpun dia sanggup menahan napas dengan lama djuga takbisa menangkan Hiat-to-tjeng jang sering2 dapat mengganti napas. Teori ini sama seperti dua orang berkelahi didalam air, jang satu sering2 mumbul kepermukaan air untuk mengganti napas, sebaliknja jang lain terus silam didasar air, dengan sendirinja mudah ditentukan siapa akan unggul dan siapa asor.

Pada achirnja, oleh karena Liok Thian-dju sudah tidak tahan lagi, terpaksa ia mesti menempuh bahaja dan menongol kepermukaan saldju untuk bernapas. Dan karena itu badan bagian bawah lantas kena dibatjok tiga kali oleh Hiat-to-tjeng hingga tewas didasar saldju.

Begitulah Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan masih terus menunggu, tapi sudah lebih satu djam, tetap tidak nampak bajangan Hiat-to-tjeng. “Besar kemungkinan Ok-tjeng itu terluka parah dan terbinasa djuga didasar saldju,” udjar Tjui Tay.

“Kukira memang begitulah,” sahut Tiat-kan. “Betapa hebat kepandaian Liok-toako, masakah ia begitu gampang dibunuh musuh tanpa melukai musuh lebih dulu? Apalagi tadi paderi iblis itu sudah bertempur sekian lamanja melawan Lau-hiante, mestinja ia bukan lagi tandingan Liok-toako.”

“Ja, pasti dia menggunakan tipu kedji hingga Liok-toako masuk perangkapnja,” kata Tjui Tay. Berkata sampai disini ia tidak tahan lagi rasa duka dan murkanja. Teriaknja segera: “Biar kuturun kebawah sana untuk melihatnja.”

“Baiklah, tapi hendaklah hati2, aku akan mengawasi kau disini,” sahut Tiat-kan

Tjui Tay terkesiap, katanja didalam hati: “Aneh, sebagai seorang ksatria sedjati mengapa kau tidak menjatakan hendak pergi bersama?”

Namun saat itu ia sudah bertekad hendak menemukan majat Hiat-to-tjeng, lalu akan ditjintjangnja hingga hantjur luluh untuk melampiaskan dendamnja. Paling baik kalau napas paderi djahat itu belum lagi putus, dengan demikian ia dapat menjiksanja se-puas2nja sebelum paderi itu dibunuhnja.

Begitulah segera ia menghunus pedangnja, ia menarik napas pandjang2 sekali, dengan Ginkangnja jang tinggi ia terus meluntjur kesana, tapi baru meluntjur beberapa meter djauhnja, mendadak “pluk”, dari bawah saldju disebelahnja melontjar keluar seorang jang bukan lain adalah Hiat-to Lotjo, tapi bertangan kosong, goloknja entah kemana perginja.

Begitu muntjul diatas saldju, segera paderi itu melajang kesamping hingga beberapa meter djauhnja sambil ber-teriak2: “Seorang laki2 sedjati harus mengutamakan keadilan. Kau bersendjata dan aku bertangan kosong, tjara bagaimana kita harus berkelahi?”

Dan belum lagi Tjui Tay mendjawab, dikedjauhan sana Hoa Tiat-kan sudah menjahut: “Untuk membunuh paderi djahat ini masakah perlu bitjara tentang keadilan apa segala?”

Habis berkata, ia terus memburu madju djuga untuk menggentjet musuh.

Tjui Tay menaksir golok merah paderi itu tentu sudah hilang ditengah saldju waktu menempur Liok-toako tadi, untuk mentjari kembali tentu tidak mudah. Ia mendjadi lega demi nampak musuh tak bersendjata, ia jakin sekarang pasti akan menang, jang harus didjaga sekarang jalah paderi itu sekali2 djangan sampai lolos lagi untuk kemudian menjusup pula kedalam saldju. Segera serunja: “Hai, Hweshio djahanam, dimanakah puteriku? Asal kau katakan terus terang, segera akan kubunuh kau dengan sekali tabas, supaja kau takkan merasakan siksaan lebih djauh.”

“Tempat sembunji anak dara itu sangat sulit untuk kau ketemukan, asal kau berikan djalan lari padaku, segera akan kukatakan padamu,” udjar Hiat-to Lotjo sambil terus berlari, kuatir kalau disusul oleh Tjui Tay.

Diam2 Tjui Tay pikir: “Biarlah kutipu dia agar mengaku lebih dulu.” ~ Maka ia lantas berkata: “Disekitar sini djuga melulu tebing tjuram belaka, meski kau diberi djalan djuga takbisa pergi?”

“Itulah gampang,” sahut Hiat-to-tjeng. “Bila engkau memberi djalan hidup padaku, segera kita dapat berunding untuk mentjari akal bersama. Bila kau bunuh aku, tetap kau akan susah keluar dari djurang kurung ini. Maka lebih baik kita mendjadi kawan sadja dan aku akan berdaja menolong kalian keluar dari lembah ini?”

“Huh, paderi djahat seperti kau ini masakah dapat dipertjaja?” damperat Hoa Tiat-kan dengan gusar. “Hajo, lekas kau berlutut dan menjerah, tjara bagaimana kau akan diadili tergantung kami, kau barani banjak tjerewet?” ~ Sembari berkata ia terus mendesak main dekat.

“Djika begitu maafkan aku takdapat menemani kalian lagi,” seru Hiat-to-tjeng. Segera ia angkat kaki dan berlari kearah timur laut sana.

“Lari kemana, Hweshio djahanam!” damperat Tjui Tay sambil mengudak.

Tapi lari Hiat-to Lotjo semakin kentjang. Ketika sampai dipodjok sana, karena terhalang oleh tebing jang tinggi, mendadak ia putar kembali dan menjelinap lewat disamping Tjui Tay. Kontan pedang Tjui Tay menabas sekali, namun selisih satu-dua senti dari sasarannja hingga tidak kena. Kembali Hiat-to-tjeng itu berlari ketempat tadi.

Melihat itu, diam2 Tjui Tay membatin: “Djika terus udak2an ditengah djurang ini, susah djuga untuk menangkap djahanam jang punja Ginkang lihay itu. Pula Sing-dji entah disembunjikan dimana?” ~ Karena gopohnja itu, ia mengudak terlebih kentjang lagi.

Se-konjong2 terdengar Hiat-to-tjeng mendjerit sekali, kakinja lemas dan orangnja terus djatuh tengkurap kedepan, kedua tangannja tampak men-tjakar2 saldju seperti ingin merangkak bangun, tapi terang sekali tenaganja sudah habis, sesduah merangkak dua kali, lalu terbanting pula dan tak sanggup bangun lagi.

Tentu sadja Tjui Tay tidak sia2kan kesempatan bagus itu, setjepat terbang ia memburu madju terus menikam dengan pedangnja. Karena dia ingin menjiksa paderi itu lebih dulu sebelum membinasakannja, maka tusukannja itu diarahkan kebagian bokong, asal paderi itu takbisa lari lagi, kemudian akan disiksa untuk ditanja tempat sembunji Tjui Sing.

Tak terduga, baru pedangnja diangkat, se-konjong2 kakinja merasa “blong”, indjak tempat kosong, berbareng tubuhnja terus kedjeblos kebawah.

Dalam pada itu Tik Hun dan Tjui Sing djuga sedang mengikuti kedjadian diluar gua itu dengan perasaan jang ber-beda2, jang satu kuatir dan jang lain senang. Siapa tahu mendadak Tjui Tay menghilang dari tanah saldju itu. Menjusul mana lantas terdengar pula suara djeritan jang mengerikan dibawah tanah itulah suaranja Tjui Tay jang sangat ketakutan se-olah2 ketemukan sesuatu jang mengerikan.

Keruan kedjadian itu membuat Tjui Sing terperandjat tak terhingga, begitu pula Tik Hun pun ter-heran2. Ia tidak ingin Hiat-to-tjeng pada saat itu terbunuh, sebab hal mana berarti dia sendiripun akan terbinasa. Tapi iapun tidak ingin Tjui Tay dan kawannja mendjadi korban, sebab ia tahu djago2 tua itu adalah tokoh-tokoh “Hiap-gi” (kaum kesatria) jang terpudja di Tionggoan, jaitu sealiran dengan Ting Tian. Maka demi mendengar djeritan Tjui Tay itu, sama sekali tiada rasa sjukur atau gembira pada hatinja.

Sementara itu Hiat-to-tjeng tampak sudah melompat bangun lagi dengan tjepat dan gesit sekali, suatu bukti bahwa kelakuannja tadi hanja pura2 belaka. Dan begitu melompat bangun, begitu kakinja mengandjlok, tahu2 tubuhnja lantas menghilang kedalam saldju. Ketika sedjenak lagi ia muntjul kembali keatas, tangannja tampak mengempit sesosok badan manusia jang bermandikan darah. Siapa lagi manusia berdarah itu kalau bukan Tjui Tay jang kedua kakinja tampak kutung sebatas lutut.

Melihat keadaan sang ajah jang mengerikan itu, Tjui Sing ber-teriak2 sambil menangis: “Ajah, ajah! O, ajah!”

Tik Hun merasa tidak tega djuga, dalam kedjut dan ngerinja, ia mendjadi lupa mentjekik leher sigadis lagi, bahkan ia melepas tangan dan menghiburnja malah: “Nona Tjui, ajahmu belum meninggal, djanganlah menangis!”

Ketika tangan Hiat-to Lotjo bergerak, tahu2 selarik sinar merah berkemilauan, ternjata golok merah itu sudah kembali berada ditangannja lagi.

Kiranja tadi ia sembunji dibawah saldju hingga sekian lamanja, diam2 ia telah menggali sebuah lubang djebakan, ia taruh goloknja jang tadjam itu melintang dimulut lubang dengan mata golok menghadap keatas. Lalu ia menjusup keluar dengan pura2 kehilangan sendjata. Ketika musuh mengedjar, ia lantas memantjingnja ketempat lubang perangkap itu.

Biarpun Tjui Tay tergolong tokoh Kangouw jang ulung, namun djebakan dibawah saldju itu sekali2 tak terduga olehnja hingga achirnja dia terdjebak. Ketika ia kedjeblos kebawah maka kontan kedua kakinja tertabas kutung oleh golok jang sangat tadjam itu.

Begitulah dengan tipu muslihatnja itu, ber-runtun2 Hiat-to Lotjo telah membinasakan dua lawan dan meluka-parahkan satu. Sisa Hoa Tiat-kan seorang sudah tentu tak dipandang berat olehnja. Ia lemparkan tubuh Tjui Tay ketanah saldju, lalu angkat goloknja mendesak madju kehadapan Hoa Tiat-kan sambil berteriak: “Hajolah, djika kau berani, marilah kita bertempur tiga ratus djurus lagi!”

Melihat Tjui Tay ter-guling2 ditanah saldju karena kedua kakinja sudah buntung, pemandangan ngeri itu benar2 telah memetjahkan njalinja, mana ia berani bertempur lagi? Sambil memegang tumbaknja jang pendek itu ia mengkeret mundur kebelakang. Tumbak itu tampak gemetar, suatu tanda betapa takutnja Hoa Tiat-kan.

Mendadak Hiat-to Lotjo mengertak sekali sambil mendesak madju dua langkah. Dengan kaget Hoa Tiat-kan melompat mundur dua langkah, saking gemetarnja hingga tangannja terasa lemas, tumbaknja djatuh ketanah, tjepat ia djemput kembali dan main mundur pula.

Padahal Hiat-to Lotjo sesudah ber-turut2 menempur tiga djago kelas wahid, keadaannja djuga sudah pajah, tenaga habis dan badan lemas. Kalau benar2 Hoa Tiat-kan bergebrak dengan dia, tak mungkin dia mampu menang. Apalagi kepandaian Hoa Tiat-kan sesungguhnja djuga tidak dibawah Hiat-to-tjeng, djikalau dia mempunjai rasa senasib dan setanggungan dengan para kawan, dengan penuh semangat menerdjang madju, pasti paderi Tibet itu akan mati dibawah tumbaknja.

Sajangnja sesudah Hoa Tiat-kan salah membunuh kawan sendiri, jaitu imam tua Lau Seng-hong, pikirannja mendjadi katjau dan semangat lesu, apalagi dilihatnja kedua kawan jang lain djuga djatuh mendjadi korban. Liok Thian-dju terpenggal kepalanja dan kedua kaki Tjui Tay terkutung. Kesemuanja itu benar2 telah bikin petjah njalinja, semangat tempurnja boleh dikata sudah lenjap sama sekali.

Dengan sendirinja Hiat-to Lotjo sangat senang melihat Hoa Tiat-kan sangat ketakutan. Segera katanja: “Tipu akalku seluruhnja ada 72 matjam, harini hanja tiga matjam tipu jang kugunakan dan tiga kawanmu sudah mendjadi korban, masih sisa lagi 69 matjam tipu akalku, kesemuanja itu akan kulaksanakan atas dirimu.”

Sebagai seorang tokoh Bu-lim jang terkemuka, pengalaman Hoa Tiat-kan sudah tentu sangat luas, gertakan Hiat-to-tjeng itu sebenarnja tidak mempan baginja. Tapi kini ia sudah petjah njalinja, setiap gerak dan setiap kata Hiat-to-tjeng penuh membawa rasa seram dan ngeri baginja. Ketika mendengar paderi itu menjatakan masih ada 69 matjam tipu kedji jang akan dilaksanakan atas dirinja, segera telinganja meng-ngiang2 dengan kata2 “69 tipu kedji”, dan karena itu tangannja semakin bergemetar.

Padahal waktu itu Hiat-to Lotjo djuga sudah pajah benar2, kalau dapat ia ingin bisa lantas merebah ditanah saldju itu untuk tidur se-puas2nja. Tapi ia insaf saat itu iapun sedang menghadapi suatu pertarungan mati2an jang menentukan, dahsjatnja hakikatnja tidak kalah serunja daripada pertempurannja melawan Lau Seng-hong dan Liok Thian-dju. Maka tjelakalah dia, sekali djago she Hoa itu menjerang pasti orang akan segera tahu keadaannja jang pajah itu, dan untuk selandjutnja pasti dia akan mati dibawah tumbak musuh itu. Oleh karena itu, sekuat mungkin ia kerahkan semangatnja sambil memainkan golok jang dipegangnja itu dengan lagak seorang jang masih tangkas.

Dan ketika melihat Hoa Tiat-kan tjuma main undur2 sadja dan tidak mau lari, diam2 dia men-desak2 didalam hati: “Hajolah lari! Hajolah lari! Keparat, kenapa kau tidak lari!”

Tapi waktu itu ternjata keberanian melarikan diripun sudah tidak dimiliki lagi oleh Hoa Tiat-kan.

Di sebelah sana Tjui Tay jang sudah buntung kedua kakinja itu masih menggeletak di tanah saldju dalam keadaan senen-kemis. Ia mendjadi lebih2 tjemas demi menjaksikan begitu rupa ketakutannja Hoa Tiat-kan.

Meski dalam keadaan terluka parah, namun Tjui Tay masih dapat melihat djelas bahwa tenaga Hiat-to-tjeng itu sebenarnja sudah habis seperti pelita jang kehabisan minjak, asal sang kawan berani madju melabraknja, sekali gebrak pasti dapat membinasakan musuh djahanam itu. Maka sekuat tenaga ia tjoba menteriakinja: “Hoa-djiko, hajolah madju labrak dia, tenaga paderi djahat itu sudah ludes, terlalu mudah bagimu untuk membunuhnja……….”

Hiat-to Lotjo terperandjat mendengar seruan Tjui Tay itu. Pikirnja: “Tua bangka ini benar2 lihay, mungkin aku bisa tjelaka.”

Tapi ia sengadja busungkan dada dan mendesak madju malah sambil berkata kepada Hoa Tiat-kan: “Ja, ja, memang benar! Tenagaku sudah habis, hajolah kita pergi keatas tebing sana untuk bertempur 300 djurus lagi! Hajolah, siapa jang tidak berani anggaplah dia anak haram tjutju kura2.”

Pada saat itulah mendadak dari gua terdengar suara Tjui Sing sedang berteriak: “Ajah, ajah!”

Tiba2 pikiran Hiat-to-tjeng tergerak: “Djika saat ini aku membunuh Tjui Tay, tentu akan menimbulkan tjuriga Hoa Tiat-kan akan kebenaran seruan kawannja itu. Biarlah kuseret keluar anak dara itu untuk mementjarkan perhatian Tjui Tay. Kalau melulu melawan orang she Hoa itu sadja tentu akan djauh lebih mudah.”

Karena itu, ia sengadja mengedjek Hoa Tiat-kan lagi: “Hajo, kau berani tidak, marilah kita bertempur lagi 300 djurus!”

Namun Hoa Tiat-kan telah mendjawabnja dengan geleng kepala.

“Lawanlah dia, lawanlah dia! Apakah kau tidak ingin membalas sakit hati Liok-toako dan Lau-samko?” seru Tjui Tay pula.

“Hahahaha! Hajo lawanlah, lawanlah!” Hiat-to Lotjo ter-bahak2 lagi. “Aku djusteru sedang menunggu untuk melaksanakan 69 matjam tipuku jang kedjam atas dirimu! Hajolah madju!” ~ Dan ketika dilihatnja Hoa Tiat-kan malah mengkeret mundur, segera iapun putar tubuh dan masuk kedalam gua, ia djambak rambut Tjui Sing dan menjeretnja keluar.

Ia tahu ilmu silat Hoa Tiat-kan sangat lihay, djalan satu2nja sekarang harus menggunakan segala tjara siksaan kedjam atas diri Tjui Tay dan puterinja itu agar lawan tangguh itu selalu dalam keadaan ketakutan hingga tidak berani berkutik. Maka segera ia menjeret Tjui Sing kehadapan Tjui Tay, bentaknja: “Nah, kau bilang tenagaku sudah habis, baiklah sekarang akan kupertontonkan padamu apakah tenagaku sudah habis atau belum?”

Habis berkata, “bret”, mendadak ia tarik sekuatnja hingga lengan badju kanan Tjui Sing terobek sebagian besar, maka tertampaklah lengan sigadis jang putih halus laksana saldju itu.

Keruan Tjui Sing mendjerit ketakutan, tapi karena djalan darahnja tertutuk, hanja mulut jang bisa bersuara untuk melawan sama sekali tak bisa.

Dalam pada itu Tik Hun djuga sudah ikut merajap keluar dari gua, ketika menjaksikan adegan mengerikan itu, ia mendjadi tak tega, terus sadja ia berteriak: “Djang ..……. djangan kau menghina nona itu!”

“Hahahaha!” Hiat-to Lotjo ter-bahak2 malah: “Djangan kuatir, tjutju-muridku jang baik, pasti Tjosuya takkan mentjelakai njawanja.”

Habis itu, ia putar tubuh sedikit, sekali goloknja berkelebat, tahu2 bahu kiri Tjui Tay telah dipapasnja sebagian, lalu tanjanja: “Nah, katakanlah, tenagaku sudah habis atau belum?”

Keruan darah segar seketika muntjrat keluar dari bahu Tjui Tay, sebaliknja Hoa Tiat-kan dan Tjui Sing berbareng mendjerit kaget.

Dan ketika Hiat-to Lotjo membetot sekali pula, kembali badju Tjui Sing terobek sebagian lagi. Kemudian katanja kepada Tjui Tay: “Asal kau panggil Tjosuyaya tiga kali kepadaku, segera puterimu akan kuampuni. Nah, kau mau panggil tidak?”

“Tjuh”, mendadak Tjiu Tay meludahi paderi itu sepenuh tenaga. Tapi sedikit mengegos, dapatlah Hiat-to-tjeng menghindar, dan karena gerakannja itu, tanpa kuasa tubuhnja mendjadi sempojongan, kepala pening dan mata ber-kunang2, hampir2 ia roboh terdjungkal.

Keadaan itu dapat dilihat dengan djelas oleh Tjui Tay, terus sadja ia ber-teriak2: “Hoa-djiko, hajolah lekas turun tangan, lekas serang dia!”

Tentang keadaan Hiat-to-tjeng jang sempojongan itu dengan sendirinja djuga dilihat oleh Hoa Tiat-kan. Tapi ia djusteru berpikir: “Djangan2 paderi djahat itu tjuma pura2 sadja untuk memantjing aku. Ok-tjeng itu banjak tipu muslihatnja, betapapun aku harus waspada.”

Dan sesudah tenangkan diri, kembali Hiat-to-tjeng membatjok pula dengan goloknja hingga lengan kanan Tjui Tay tergurat suatu luka dalam. “Kau mau panggil Tjosuyaya padaku atau tidak?” demikian bentaknja pula.

Saking kesakitan, hampir2 Tjui Tay kelengar. Tapi ia sangat perwira, matipun ia tidak sudi takluk. Kembali ia memaki: “Hwesio bangsat, biar mati orang she Tjui tidak nanti menjerah padamu! Lekas kau bunuh aku sadja!”

“Huh, enak?” djengek Hiat-to-tjeng. “Aku djusteru hendak menjajat lenganmu, aku akan potong dagingmu selapis demi selapis. Tapi asal kau panggil Tjosuyaya tiga kali dan minta ampun padaku, djiwamu lantas kuampuni.”

“Tjuh”, kembali Tjui Tay meludahi musuh, damperatnja: “Djangan kau mimpi disiang bolong, Hwesio durdjana!”

Hiat-to-tjeng tahu watak situa itu sangat bandel, sekalipun mentjatjah badannja hingga hantjur luluh djuga tidak mungkin membuatnja takluk. Maka katanja segera: “Baiklah, aku akan kerdjakan puterimu ini, tjoba nanti kau akan memanggil Tjosuyaya padaku tidak?”

Habis berkata, kembali tangannja menarik, “bret”, lagi2 sebagian badju Tjui Sing kena disobeknja. Kali ini adalah sebagian gaunnja.

Sudah tentu Tjui Tay sangat murka. Sebagai seorang kesatria sedjati, biarpun musuh menghudjani batjokan atas badannja djuga takkan menaklukannja. Tapi paderi djahat itu sengadja menghina puterinja didepan orang banjak, perbuatan ini benar2 tak bisa dibiarkan olehnja. Tapi apa daja, kakinja sudah buntung, bahkan djiwa sendiri djuga tergantung ditangan musuh. Melihat gelagatnja, terang paderi djahat itu hendak melutjuti pakaian Tjui Sing sepotong demi sepotong hingga telandjang bulat, bahkan bukan mustahil akan diperlakukan setjara tidak senonoh pula dihadapannja dan dihadapan Hoa Tiat-kan.

Maka terdengar Hiat-to-tjeng berkata pula dengan tertawa iblis. “Segera orang she Hoa ini akan tekuk lutut dan minta ampun padaku, segera aku akan melepaskan dia, biar dia menjiarkan kedjadian ini kekalangan Kangouw bahwa puterimu telandjang bulat dihadapanmu. Hahahah! Bagus, bagus! Hoa Tiat-kan, kau akan berlutut minta ampun? Ja, ja boleh, boleh, tentu aku akan mengampuni djiwamu!”

Mendengar otjehan itu, semangat tempur Hoa Tiat-kan lebih2 bujar lagi. Memangnja maksud tudjuannja tiada lain jalah mentjari hidup. Meski berlutut minta ampun adalah perbuatan jang memalukan, tapi toh djauh lebih enak daripada badan di-sajat2 oleh golok musuh. Sama sekali tak terlintas pikirannja akan bertempur pula dengan sepenuh tenaga, hal mana sebenarnja tidak susah baginja untuk membunuh musuh, tapi jang terbajang olehnja sekarang jalah Hiat-to-tjeng dihadapannja itu terlalu seram, terlalu menakutkan.

Ia dengar Hiat-to-tjeng sedang berkata pula: “Kau djangan kuatir, djangan takut, asal kau sudah berlutut dan minta ampun, pasti djiwamu takkan kuganggu.”

Utjapan jang membesarkan hati itu bagi pendengaran Hoa Tiat-kan rasanja sangat enak dan sedap.

Sudah tentu kesempatan baik itu tak di-sia2kan Hiat-to-tjeng melihat air muka Hoa Tiat-kan mengundjuk rasa terhibur, segera ia tinggalkan Tjui Sing dan mendekati Tiat-kan dengan golok terhunus, katanja: “Bagus, bagus! Kau hendak berlutut dan minta ampun, nah, buanglah tumbakmu dulu. Ja, ja, aku pasti takkan mengganggu djiwamu, nah, nah, taruhlah tumbakmu ketanah, nah, begitulah!”

Begitulah nada suara Hiat-to-tjeng itu sangat lemah lembut dan menimbulkan daja pengaruh jang takdapat dilawan. Benar djuga, sekali tjekalan Hoa Tiat-kan kendur, tumbaknya lantas terlempar ketanah saldju. Dan sekali sendjatanja sudah terlepas dari tangan, dengan hati bulat ia benar2 sudah takluk pada musuh.

Dengan wadjah tersenjum simpul Hiat-to-tjeng berkata: “Bagus, bagus! Engkau sangat penurut, aku sangat suka padamu. Eh, tumbakmu itu boleh djuga, tjoba kulihat! Kau mundur dulu kesana tiga tindak, nah, nah, begitulah, ja mundur lagi tiga tindak!”

Begitulah seperti orang jang sudah kehilangan sukma, Hoa Tiat-kan hanja menurut belaka apa jang dikehendaki musuh.

Maka pelahan2 Hiat-to Lotjo mendjemput tumbak jang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu. Sambil memegangi tumbak pendek itu, ia merasa tenaga murninja setitik demi setitik djuga sedang menghilang lagi, beruntun ia tjoba kerahkan tenaganja dua kali, tapi hasilnja nihil, tenaga murni itu takdapat dihimpun kembali lagi. Diam2 ia terkedjut: “Djadi sesudah bertempur melawan tiga djago tangguh tadi, tenagaku sudah habis terkuras benar2, untuk dapat memulihkan tenagaku ini mungkin perlu mengaso setengah atau satu bulan lamanja.” ~ Dari itu, meski ia sudah memegang sedjata Hoa Tiat-kan, tapi ia masih kuatir bila lawan itu mendadak tabahkan diri dan menjerangnja, sekali gontok sadja pasti dirinja akan dirobohkan.

Sementara itu ketika Tjui Tay melihat Hiat-to-tjeng lagi berusaha menaklukkan Hoa Tiat-kan, segera ia membisiki sang puteri: “Sing-dji, lekaslah kau bunuh aku sadja!”

“Aj …….ajah! Aku ……. Aku tak dapat!” sahut Tjui Sing dengan ter-guguk2.

Tiba2 Tjui Tay melirik sekedjap pada Tik Hun, lalu katanja: “Siausuhu, sudilah kau berbuat badjik, lekas kau membunuh aku sadja!”

Tik Hun tahu maksud djago tua itu, daripada hidup tersiksa dan dihina, lebih baik lekas2 terbinasa sadja.

Sesungguhnja Tik Hun memang tidak tega dan sangat ingin membantu tamatkan riwajat Tjui Tay. Tapi bila dirinja turun tangan, hal mana pasti akan menimbulkan kemurkaan Hiat-to Lotjo. Padahal ia sudah saksikan dengan mata kepala sendiri betapa akan buas dan kedjamnja paderi Tibet itu. Makanja iapun tidak berani sembarangan membikin marah padanja.

“Sing-dji, boleh kau mohonlah belas kasihan Siausuhu ini agar suka lekasan membunuh aku sadja, kalau terlambat sebentar lagi tentu akan kasip.” Pinta Tjui Tay kepada puterinja.

Tapi pikiran Tjui Sing sedang kusut dan bingung, sahutnja: “Ajah, engkau tak boleh meninggal, engkau tak boleh meninggal!”

“Dalam keadaan demikian, aku lebih baik mati daripada hidup, masakah kau tidak melihat penderitaanku ini?” kata Tjui Tay dengan gusar.

Dan baru sekarang Tjui Sing tersadar, sahutnja: “Ja, benar! Ajah, biarlah kumati bersama engkau!”

“Siausuhu,” segera Tjui Tay meminta lagi kepada Tik Hun, “mohon belas kasihanmu, sudilah lekas membunuh aku. Suruh aku takluk dan minta ampun pada paderi tua bangka itu, masakah orang she Tjui ini sudi buka mulut? Pula aku takdapat menjaksikan puteriku dihina olehnja!”

Meski selama ini Tik Hun menjelamatkan diri dengan membontjeng Hiat-to Lotjo serta bermusuhan dengan para djago silat dari Tionggoan, namun hati ketjilnja sebenarnja tidak suka kepada paderi djahat itu. Dasar djiwanja memang luhur dan bersemangat kesatria, kini mendadak timbul djuga djiwa kepahlawanannja, dengan suara tertahan segera ia terima baik permintaan Tjui Tay. “Baiklah, akan kubunuh kau, meski nanti akan diamuk oleh paderi tua djuga aku tidak peduli lagi!”

Tjui Tay bergirang, memangnja ia seorang jang banjak tipu akalnja, meski dalam keadaan terluka parah, namun ia masih bisa mengatur siasat, bisiknja kepada Tik Hun: “Aku akan pura2 memaki kau dengan suara keras, lalu sekali kemplang boleh kau binasakan aku, paderi tua bangka itu pasti tidak mentjurigai kau lagi!” ~ Dan tanpa menunggu djawaban Tik Hun, terus sadja ia memaki kalang kabut: “Hwesio tjabul ketjil, Hwesio keparat! Djika kau tidak mau sadar dan tetap meniru perbuatan Hwesio tua bangka jang terkutuk itu, kelak kau psti akan mendapatkan gandjaran jang setimpal. Bila hati nuranimu masih baik, seharusnja lekas2 kau tinggalkan Hiat-to-bun! Hwesio tjabul ketjil, kau anak djadah, tjutju kura2!”

Diantara tjatji-maki itu dapat didengar Tik Hun bahwa ada bagian2 jang menasihatkan dirinja agar menudju kedjalan jang baik. Diam2 ia merasa berterima kasih, segera ia angkat sepotong kaju, tapi toh tidak tega dikemplangkan begitu sadja.

Keruan Tjui Tay mendjadi gopoh, dengan tak sabar ia memaki lebih kedji lagi.

Disebelah sana tertampak Hoa Tiat-kan sudah tak berdaja, mendadak kakinja lemas terus bertekuk lutut dan menjembah kepada Hiat-to Lotjo.

Dengan ter-bahak2 Hiat-to Lotjo tidak sia2kan kesempatan bagus itu, sekali tutuk “Leng-tay-hiat” dipunggung Hoa Tiat-kan jang sedang menjembah itu kena ditutuknja. Dan karena tutukan itu adalah sisa antero tenaganja jang masih tinggal setitik itu, maka habis itu, iapun lemas benar2. Hoa Tiat-kan tertutuk roboh, Hiat-to-tjeng sendiri djuga lemas lunglai sampai dengkulnja hampir tak kuat menahan sang tubuh.

Melihat Hoa Tiat-kan bertekuk lutut, hati Tjui Tay mendjadi pedih, kawan itu sudah takluk pada musuh, kalau dirinja mati pula, maka tiada seorangpun jang dapat melindungi sang puteri lagi, diam2 ia sesalkan nasib puterinja jang buruk itu. Mendadak ia membentak; “Hwesio tjilik keparat! Mengapa kau tidak berani hantam aku?”

Tik Hun sendiri djuga menjaksikan Hoa Tiat-kan menjerah tanpa sjarat kepada Hiat-to-tjeng, ia pikir sedjenak lagi paderi tua itu pasti akan putar balik, maka dengan mengkertak gigi, terus sadja ia ajun alu kayu tadi keatas kepala Tjui Tay.

“Prak”, kontan batok kepala pendekar besar itu petjah dan binasa seketika.

“Ajah!” Tjui Sing mendjerit sekali, lalu iapun djatuh pingsan.

Hiat-to Lotjo djuga mendengar suara tjatji-maki Tjui Tay tadi, maka ia sangka Tik Hun tidak tahan makian itu, maka telah membunuh djago tua itu. Ia pikir sekarang toh Hoa Tiat-kan sudah takbisa berkutik, mati-hidupnja Tjui Tay sudah tidak mendjadi soal lagi baginja. Dan karena rasa lega dan saking gembiranja; terus sadja ia ter-bahak2 keras.

Namun ia lantas merasa suara tertawa sendiri itu tidak beres, suara itu tjuma “hoh-hoh-hoh” belaka, suara parau jang lemah, suara itu lebih tepat dikatakan merintih daripada disebut tertawa.

Ia tjoba berdjalan dengan sempojongan, tapi hanja dua-tiga langkah sadja, tiba2 terasa pinggang pegal linu, achirnja ia terdjatuh mendoprok lagi ketanah saldju.

Melihat kedjadian begitu, baru sekarang Hoa Tiat-kan sangat menjesal: “Ja, apa jang dikatakan Tjui-hiante memang tidak salah, paderi djahat itu ternjata benar sudah kehabisan tenaga. Tahu begitu, tadi kuhantam sekali tentu dapat membinasakan dia, tapi mengapa aku mendjadi begini pengetjut serta berlutut dan minta ampun padanja?” ~ Sungguh ia mendjadi malu tak terhingga mengingat nama baiknja sebagai seorang pendekar besar jang tersohor selama berpuluh tahun, kini ternjata mandah bertekuk lutut menjerah pada musuh, noda dan hina perbuatannja ini betapapun susah dihapus lagi. Kini ia sudah tertutuk, untuk bisa bergerak lagi harus tunggu 12 djam kemudian. Sebagai seorang Kangouw ulung, ia tahu selama Hiat-to-tjeng masih berlagak perkasa, djiwanja mungkin masih dapat diselamatkan, tapi kini kelemahan Hiat-to-tjeng sudah ketahuan, terhadap padanja tentu djuga tiada kenal ampun lagi. Sebab kalau masih bitjara tentang ampun segala, bila 12 djam kemudian hingga dirinja dapat bergerak, mustahil takkan balas turun tangan kepada paderi itu.

Dan benar djuga, segera terdengar Hiat-to-tjeng berkata kepada Tik Hun: “Tjutju murid jang baik, hajolah lekas kau kemplang mampus orang itu. Orang itu teramat litjik dan kedji, djangan dibiarkan hidup.”

“Bukankah kau sudah berdjandji akan mengampuni djiwaku, mengapa kau ingkar djandji?” seru Hoa Tiat-kan. Sudah terang diketahui protesnja itu takkan berguna, tapi sebelum adjal ia pantang mati, sedapat mungkin ia ingin hidup.

“Hm, paderi keluaran Hiat-to-bun kami masakah bitjara tentang kepertjajaan apa segala?” djengek Hiat-to Lotjo dengan tertawa iblis. “Kau tekuk lutut dan minta ampun padaku adalah karena kau telah tertipu olehku. Haha, hahaha! Nah, tjutju-murid jang baik, lekas sekali kemplang mampuskan dia sadja. Kalau dibiarkan hidup, akibatnja sangat berbahaja bagi kita.”

Sesungguhnja Hat-to-tjeng djuga sangat djeri kepada Hoa Tiat-kan, ia tahu tutukan jang dilakukannja tadi karena kurang kuat tenaganja, belum tentu tutukan itu dapat mengenai tempat jang paling dalam, bukan mustahil setiap saat akan dapat ditembus oleh tenaga dalam Hoa Tiat-kan, tatkala itu keadaan akan berbalik mendjadi dirinja jang merupakan makanan empuk bagi djago she Hoa itu.

Namun Tik Hun tidak tahu kalau tenaga dalam Hiat-to Lotjo sudah kering benar2,, ia sangka sesudah sekian lamanja mengalahkan lawan2 tangguh, maka paderi tua itu perlu mengaso sebentar. Diam2 ia pikir: “Sebabnja aku membunuh Tjui-tayhiap tadi adalah karena aku ingin membantu dia terhindar dari siksaan lebih djauh. Sedangkan Hoa-tayhiap itu toh tidak kurang apa2, mengapa aku mesti membunuh dia?”

Karena pikiran itu, ia lantas berkata: “Tjosuya, dia toh sudah menjerah dan tertutuk olehmu, kukira boleh mengampuni djiwanja sadja!”

“Benar! Benar utjapan Siausuhu itu!” seru Hoa Tiat-kan segera. “Memang tepat perkataan Siausuhu, aku sudah ditaklukan kalian, sedikitpun tiada maksud melawan lagi, mengapa kalian akan membunuh aku pula?”

Tatkala itu Tjui Sing mulai siuman sambil menangis dan me-rintih2 nama sang ajah. Ketika mendengar permintaan ampun Hoa Tiat-kan setjara tidak kenal malu itu, sungguh bentjinja setengah mati, kontan ia memaki: “Hoa-pepek, engkau sendiri terhitung satu djago kelas satu jang gilang-gemilang di Tionggoan, mengapa engkau begitu rendah dan tanpa malu2 minta ampun kepada musuh? Se-mata2 engkau melihat ajahku tersiksa, tapi kau ………. kau malah …………” ~ Sampai disini ia tidak sanggup meneruskan lagi karena tangisnja jang teramat pilu.

“Tapi………..tapi ilmu silat kedua Toasuhu itu terlalu tinggi, kita tak mampu menangkan mereka, maka lebih …………. lebih baik kita menjerah sadja dan ikut pada mereka, kita akan tunduk pada perintah mereka,” demikian kata Hoa Tiat-kan dengan tidak malu2 lagi.

Hiat-to-tjeng pikir makin lama menunggu makin berbahaja baginja. Tapi tjelaka, sedikitpun ia tidak bertenaga. Maksudnja hendak berdiri djuga tidak sanggup lagi. Maka katanja pula: “Anak baik, turutlah pada Tjosuya, lekaslah bunuh manusia rendah itu!”

Akan tetapi sambil memegangi alu jang telah digunakan mengemplang Tjui Tay tadi, Tik Hun hanja bergemetar sadja dengan ragu2.

Ketika Tjui Sing menoleh dan melihat kepala sang ajah petjah penuh darah, tewasnja sangat mengenaskan, teringat betapa kasih sajang sang ajah kepadanja dimasa hisupnja, sungguh hantjurlah hatinja dan hampir2 kelengar lagi.

Tentang Tjui Tay minta pertolongan pada Tik Hun agar suka membunuhnja, hal itu telah didengar djuga oleh Tjui Sing. Tapi saking dukanja sekarang ia tidak dapat membedakan salah atau benar lagi, jang diketahui olehnja adalah kepala sang ajah jang petjah itu lantaran dikemplang oleh Tik Hun. Rasa duka dan murkanja tak tertahan lagi, se-konjong2 satu arus hawa panas menerdjang naik dari bagian perut.

Seorang djago silat jang Lwekangnja sudah terlatih sempurna, biasanja memang mampu mengunakan hawa murni sendiri untuk membuka Hiat-to jang tertutuk. Tapi untuk mentjapai tingkatan jang hebat itu bukanlah suatu tjara jang mudah. Sedangkan Hoa Tiat-kan sadja takbisa, apalagi Tjui Sing?

Tapi setiap orang dalam saat menghadapi mara bahaja, pada waktu mengalami suatu pergolakan perasaan jang luar biasa, maka sering2 akan dapat timbul suatu kemampuam jang tak terduga, kemampuan jang dapat melakukan sesuatu jang biasanja sangat sulit dilaksanakan. Jaitu misalnja waktu terdjadi kebakaran, tanpa merasa seorang dapat mengangkat benda berat jang biasanja tidak kuat diangkatnja atau melompat tempat tinggi jang biasanja tidak mungkin dilampauinja.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar