Dengan merebah ditengah semak2
rumput, Tik Hun dapat menjaksikan hanja dalam sekedjap sadja Hiat-to Lotjo
sudah berhasil membinasakan enam lawannja, betapa hebat ilmu silatnja dan
betapa ganas tjaranja, sungguh susah untuk dibajangkan. Sekilas terpikir
olehnja: “Djika tjara demikian dia membunuh musuh, sisa ke-11 orang lagi
mungkin hanja sekedjap sadja sudah akan bersih terbinasa olehnja.”
Tiba2 terdengar suara teriakan
seorang: “Piaumoay, Piaumoay! Dimanakah engkau?” ~ Itulah suaranja
Kim-tong-kiam Ong Siau-hong, sipedang djedjaka emas, satu diantara
Leng-kiam-siang-hiap.
Tjui Sing sendiri berdjuluk
Gin-koh-kiam atau sipedang dara perak. Ia sedang menggeletak disamping Tik Hun,
karena Ah-hiat, jaitu Hiat-to pembisu, telah ditutuk oleh Hiat-to Lotjo, maka
ia takdapat bersuara, hanja didalam hati sadja ia ber-teriak2: “Piauko, aku
berada disini!”
Dilain pihak Ong Siau-hong
masih terus mentjari sang Piaumoay dengan menjingkap semak2 rumput jang lebat
itu. Tiba2 angin meniup hingga udjung badju Tjui Sing tersiur keatas, hal mana
segera dapat dilihat oleh Siau-hong, dengan girang pemuda itu berseru; “Inilah
dia, disini!” ~ Segera iapun menubruk madju untuk merangkul bangun Tjui Sing.
Saking girangnja sampai Tjui
Sing meneteskan air mata hampir2 ia djatuh pingsan didalam pelukan sang
kekasih.
“Piaumoay, Piaumoay! Aku telah
ketemukan engkau!” demikian seru Siau-hong kegirangan sambil memeluk
se-kentjang2nja.
Dalam keadaan begitu, segala
tata-tertib dan sopan-santun antara kedua orang jang berlainan djenis itu sudah
dilupakan oleh pemuda itu.
“Piaumoay, bagaimana kau,
tidak apa2 bukan?” demikian Siau-hong menanja pula.
Dan sudah tentu Tjui Sing
takdapat mendjawab. Siau-hong mendjadi tjuriga, tjepat ia letakkan sigadis
ketanah. Tapi baru kaki Tjui Sing berdiri, tubuhnja terus mendojong roboh
kebelakang. Dan baru sekarang Siau-hong tahu apa jang terdjadi atas diri sang Piaumoay,
iapun seorang jang mahir Tiam-hiat, segera ia memidjit beberapa kali dibagian
pinggang dan bahu untuk membuka Hiat-to jang tertutuk itu.
“Piauko-piauko!” segera Tjui
Sing berteriak terharu sesudah merdeka kembali.
Dalam pada itu Tik Hun
menginsafi keadaan berbahaja bagi dirinja ketika Ong Siau-hong mendekat kesitu.
Dikala pemuda itu asjik membuka Hiat-to sang Piaumoay, diam2 Tik Hun Tik
merangkak pergi.
Namun Tjui Sing adalah satu
gadis jang sangat tjermat, begitu mendengar ada suara semak rumput berkeresakan,
segera teringat olehnja hinaan jang diterimanja dari Tik Hun, terus sadja ia
menuding kearah Tik Hun dan berseru kepada sang Piauko: “Itu dia, lekas bunuh
paderi djahat itu!”
Mendengar itu, tanpa pikir
lagi Siau Hong terus lolos pedangnja pula, setjepat kilat ia menusuk kearah Tik
Hun.
Untunglah Tik Hun sebelumnja
sudah tahu gelagat bakal tjelaka. Demi mendengar teriakan Tjui Sing itu, maka
sebelum pedang orang tiba, dengan tjepat ia terus menggulingkan diri kedepan.
Dan ternjata disisi situ adalah tanah tandjakan jang miring, maka seperti tong
gentong sadja ia menggelindingkan diri kebawah.
Dalam pada itu Ong Siau-hong
telah menjusulkan tusukan kedua kalinja dengan tjepat dan tampaknja sudah
hampir mengenai Tik Hun, se-konjong2 terdengar “trang” sekali, tangannja terasa
kesemutan, tusukannja telah tertangkis oleh berkelebatnja sinar merah kemilau.
Tapi ilmu silat Siau-hong
memang lebih tinggi daripada Tjui Sing, kalau tjuma sekali gebrak sadja masih
belum dapat menundukannja. Dalam segala kerepotannja itu, tanpa pikir lagi ia
terus putar pedangnja sedemikian kentjangnja hingga berwudjut sebuah bola sinar
putih untuk melindungi tubuh sendiri. Maka terdengarlah serentetan suara
gemerintjing beradunja pedang dan golok, hanja sekedjap sadja sudah lebih 20-30
kali kedua sendjata saling berbenturan.
Kiranja ilmu pedang Siau-hong
itu sudah hampir memperoleh seluruh kepandaian sang guru, jaitu Tjui Tay,
ajahnja Tjui Sing. Ilmu pedang jang dimainkan itu disebut
“Khong-djiok-khay-peng” (burung merak pentang sajap), gaja ilmu pedang itu
seluruhnja ada sembilan rupa permainan pedang itu sudah dilatihnja dengan
sangat masak, dalam keadaan djiwanja terantjam bahaja oleh serangan golok musuh
jang tjepat luar biasa itu, ia tidak dapat memikirkan apakah mesti menangkisnja
dengan satu djurus demi satu djurus, tapi ia terus memainkan
“Khong-djiok-khay-peng” dengan sendirinja. Dan lantaran itu, meski Hiat-to
Lotjo ber-ulang2 melantjarkan serangan sampai 36 kali dan semakin lama semakin
tjepat namun toh seluruhnja kena ditangkis oleh Siau-hong.
Semua orang sampai terkesima
menjaksikan pertarungan sengit dan tjepat itu. Sementara itu diantara 17 orang
pengedjar itu sudah ada tiga orang pula jang terbinasa dibawah golok berdarah
sipaderi tua, sisanja termasuk Tjui Sing tinggal sembilan orang sadja. Diam2
mereka menahan napas mengikuti pertempuran jang berlangsung itu, pikir mereka:
“Betapapun Leng-kiam-siang-hiap memang tidak bernama kosong, hanja dia sendiri
jang mampu menangkis serangan kilat dari golok paderi djahat itu.”
Padahal bila Hiat-to Lotjo
mengendorkan serangannja, menjusul saling gebrak lagi setjara biasa, dalam
belasan djurus sadja tentu djiwa Ong Siau-hong akan melajang dibawah golok
berdarah Hiat-to Lotjo itu. Untunglah seketika itu sipaderi tua tidak memikirkan
kemungkinan itu, ia masih terus merangsak dan menjerang setjepat kilat dan
setjara ber-tubi2.
Sebenarnja ada maksud para
pendekar lain hendak ikut menerdjang madju untuk membantu mampuskan paderi tua
jang djahat itu, tapi karena pertarungan kedua orang itu dilakukan dengan
terlalu tjepat hingga tiada tempat luang jang dapat mereka masuki.
Sudah tentu diantara semua
orang itu jang paling memperhatikan keselamatan Siau-hong adalah Tjui Sing.
Meski kaki-tangannja masih terasa lemas dan linu, tapi iapun tidak berani
menunggu terlalu lama, segera ia djemput sebatang pedang dari tangan sesatu
majat jang menggeletak ditanah itu, terus sadja ia ikut menjerbu madju untuk
membantu sang Piauko.
Sigadis sudah biasa bekerdja
sama dengan sang Piauko dalam menghadapi musuh, tjara bertempurnja mendjadi
tidak tjanggung2 segera Ong Siau-hong menahan semua serangan Hiat-to Lotjo dan
Tjui Sing jang melakukan serangan dengan mati2an.
Hiat-to Lotjo mulai gopoh
karena sudah puluhan djurus masih takdapat membereskan Ong Siau-hong. Mendadak
ia menggerang sekali, sambil tangan kanan tetap memainkan goloknja, tangan kiri
terus dipakai untuk merebut pedang pemuda itu.
Siau-hong terkedjut, segera ia
putar pedangnja lebih kentjang, harapannja dapatlah memapas beberapa djari tangan
musuh jang berani tjoba2 merebut sendjatanja itu. Tak terduga tangan paderi tua
ini seperti tidak takut kepada tadjamnja pedang, tangan itu mendjentik atau
menjampok dengan tjepat hingga ada lebih dari separoh dari tipu serangan
Siau-hong kena dipatahkan. Dan sebab itu keadaan Siau-hong dan Tjui Sing
mendjadi berbahaja.
Gelagat tidak menguntungkan
itu segera dapat dilihat oleh salah seorang pendekar tua diantaranja, ia insaf
bila sebentar Leng-kiam-siang-hiap sampai terbinasa dibawah golok musuh, maka
sisa kawan2nja djuga tiada seorangpun jang dapat lolos dengan hidup.
Maka ia lantas berseru: “Hajo,
kawan2, marilah kita menerdjang madju semua! Biarlah kita melabrak paderi
tjabul itu dengan mati2an.”
Dan pada saat itulah, tiba2
dari djurusan barat-laut sana terdengar suara teriakan seseorang jang ditarik
pandjang: “Lok-hoa-liu-tjui!”
Menjusul arah barat-daya djuga
ada suara sahutan seorang lain: ”Lok-hoaaa-liu-tjui!” ~ Bahkan belum lenjap
suara itu, kembali dari arah barat ada suara seorang lagi jang bergema
diangkasa: “Lok-hoa-liuuuuu-tjui?”
Begitulah suara ketiga orang itu
berkumandang datang dari tiga djurusan pula, suara mereka ada jang keras
melantang, ada jang njaring melengking, tapi semuanja bertenaga dalam jang
sangat kuat.
Hiat-to Lotjo terkesiap demi
mendengar suara teriakan ketiga orang itu, pikirnja: “Darimanakah muntjulnja
tiga tokoh kosen seperti itu? Dari suaranja sadja mungkin ilmu silat mereka
masing2 tidak berada dibawahku. Pabila mereka bertiga mengerubut madju
sekaligus, pasti aku akan susah melawan mereka.”
Begitulah sambil memikirkan
tjara menghadapi musuh, gerak serangannja sedikitpun tidak mendjadi kendor.
Se-konjong2 dari arah selatan
lagi2 ada suara seruan seorang ”Lok-hoa-liu-tjuiiiiii!”
Kalau tadi suara ketiga orang
itu menarik pandjang seruan mereka mulai dari Lok-hoa-liu, maka orang keempat
ini menarik pandjang huruf keempat “tjui” hingga njaring dan berkumandang
sampai djauh.
Dalam pada itu Tjui Sing
mendjadi girang, segera iapun berteriak2: “Ajah, ajah! Lekas tolong, ajah!”
Segera salah seorang pendekar
itupun ada jang berseru girang: ”Itulah dia Kanglam-su-lo telah datang semua,
Lok-hoa-liu-tjui! Haha..............” ~ Tapi baru dia mulai tertawa,
se-konjong2 darah muntjrat dari dadanja, golok Hiat-to Lotjo telah mampir
didadanja hingga seketika ia terbinasa.
Mendengar bahwa keempat orang
jang datang lagi itu ternjata adalah ajahnja Tjui Sing, tiba2 Hiat-to Lotjo
ingat sesuatu: “Aku pernah mendengar tjerita muridku si Sian-yong, katanja
didalam Bulim didaerah Tionggoan, tokoh jang paling lihay selain Ting Tian
masih terdapat pula apa jang disebut Pak-su-koay dan Lam-su-lo (empat tokoh
aneh diutara dan empat kakek sakti diselatan). Pak-su-koay itu katanja
berdjuluk ‘Hong-hou-in-liong’(angin, harimau, mega, naga), dan Lam-su-lo
katanja berdjuluk ‘Lok-hoa-liu-tjui (gugur bunga air mengalir alias
kotjar-katjir). Waktu mendengar tjerita itu, aku tjuma mengedjeknja dengan
mendengus, kupikir kalau mereka berdjuluk ‘Lok-hoa-liu-tjui’, masakah mereka
memiliki kepandaian jang berarti? Tapi kini dari suara seruan mereka jang
sahut-menjahut ini, njata mereka memang bukan tokoh sembarangan.”
Selagi paderi tua itu memikir,
tiba2 terdengar pula suara keempat orang itu serentak bergema diangkasa,
teriakan “Lok-hoa-liu-tjui” itu berkumandang datang dari empat djurusan jang
begitu keras hingga lembah pegunungan itu se-akan2 terguntjang.
Dari suara itu Hiat-to Lotjo
tahu djarak keempat orang masih tjukup djauh, paling tidak masih 5-6 li
djauhnja. Tapi bila dia mesti membunuh habis sisa kesembilan lawan jang masih
terus mengerubut dengan nekat itu, dan sementara itu keempat tokoh mengepung
tiba, tentu susahlah untuk meloloskan diri.
Tiba2 ia bersuit, lalu
berteriak keras2: “Lok-hoa-liu-tjui, biar kulabrak kalian hingga
kotjar-katjir!”
Berbareng itu djarinja terus
menjelentik, “tjreng”, pedang ditangan Tjui Sing sampai mentjelat keudara oleh
selentikan itu.
“Tik Hun, siapkan kuda, kita
tinggal pergi sadja!” seru Hiat-to Lotjo tiba2.
Tik Hun tidak mendjawab karena
merasa serba sulit, djikalau lari bersama paderi tua itu, mungkin dirinja akan
semakin mendalam kedjeblos kedalam lumpur hingga tidak dapat menarik diri lagi.
Tapi kalau tinggal disitu, bukan mustahil segera akan ditjintjang mendjadi baso
oleh orang banjak, tidak mungkin dia diberi kesempatan untuk bitjara dan
membela diri.
Dalam pada itu terdengar
Hiat-to Lotjo telah mendesak pula: ”Tjutju murid, lekas tuntun kuda kesini!”
Dan segera Tik Hun dapat
mengambil keputusan: “Paling penting sekarang jalah menjelamatkan djiwa dahulu,
apakah orang lain akan salah paham atau tidak, biarlah itu urusan belakang?”
Maka waktu untuk ketiga
kalinja Hiat-to Lotjo mendesak pula, segera ia menjahut sekali, lalu mendjemput
sebatang tumbak sekedar dipakai tongkat, dengan berintjang-intjuk ia terus
ketempat kuda.
“Tjelaka, paderi djahat itu
akan lari, biar aku mentjegat dia!” seru seorang gendut jang bersendjata toja.
Segera iapun tarik tojanja serta memburu kearah Tik Hun.
“Hehe, kau hendak mentjegat
dia, biar aku mentjegat kau!” demikian Hiat-to Lotjo mendjengek, berbareng
goloknja berkelebat, sebelum sigendut sempat berkelit, tahu2 orangnja berikut
tojanja sudah tertabas kutung mendjadi empat potong.
Melihat kawannja mati setjara
mengenaskan, semua orang sama mendjerit ngeri. Memang tudjuan Hiat-to Lotjo
jalah untuk menggertak mundur pengerojok itu, maka pada saat lawan2 itu
tertegun sedjenak, tanpa ajal lagi ia mengulur tangan hingga pinggang Tjui Sing
kena dirangkulnja, segera ia berlari kearah Tik Hun jang sementara itu sudah
menjiapkan kuda tunggangannja.
“Lepaskan aku, lepaskan aku,
Hwesio djahanam!” demikian Tjui Sing ber-teriak2, berbareng kepalannja terus
menghantam serabutan kepunggung Hiat-to Lotjo.
Biarpun ilmu pedang sigadis
tidak lemah, tapi kepalan jang dihudjankan kepunggung musuh itu ternjata tiada
bertenaga, apa lagi kulit-daging Hiat-to Lotjo tjukup kasap dan tebal, beberapa
kali gebukan itu hampir2 tidak terasa olehnja, bahkan paderi tua itu melangkah
dengan sangat tjepat, hanja beberapa kali lompatan sadja ia sudah berada
disamping Tik Hun.
Saat itu Ong Siau-hong masih
terus putar pedangnja dengan mati2an, ia masih terus melontarkan djurus2
“Khong-djiok-khay-peng” jang mirip burung merak beraksi itu. Ketika sang
Piaumoay kembali ditjulik musuh lagi, dengan kalap ia lantas memburu sambil
tetap memutar pedangnja tanpa berhenti, tjuma permainannja sudah katjau tak
keruan.
Sesudah mendekat, lebih dulu
Hiat-to Lotjo menaikan Tik Hun keatas kuda kuning, lalu menaruh Tjui Sing didepan
pemuda itu sambil memberi pesan dengan pelahan: “Orang2 jang berteriak seperti
setan meringkik itu adalah musuh2 tangguh jang tidak sembarangan. Anak dara ini
adalah barang sandera (djaminan), jangan sampai dia melarikan diri.”
Sembari berkata ia terus
mentjemplak keatas kuda putih dan dikeprak kearah timur dengan diikut oleh Tik
Hun dengan kuda kuning.
Dalam pada itu suara teriakan
“Lok-hoa-liu-tjui” itu semakin mendekat, terkadang suara itu tuma seorang
sadja, tempo2 dua orang, tapi sering djuga tiga-empat orang berseru berbareng.
“Piauko, Piauko! Ajah, ajah!
Lekas tolong aku!” demikian Tjui Sing djuga ber-teriak2 ketakutan. Tapi djelas
dilihatnja sang Piauko makin djauh ketinggalan dibelakang kuda.
Kedua ekor kuda kuning dan
putih milik Leng-kiam-siang-hiap itu memangnja adalah kuda2 pilihan jang susah
didapat. Biasanja mereka sangat bangga atas binatang tunggangan mereka itu.
Siapa duga sekarang sendjata makan tuan, kuda2 itu berbalik diperalat oleh musuh
untuk melarikan Tjui Sing. Sudah tentu binatang2 itu tidak kenal kawan atau
lawan, mereka hanja menurut perintah sipenunggang sadja, semakin dikeprak,
semakin kentjang larinja, dan Ong Siau-hong djuga ketinggalan semakin djauh.
Walaupun takdapat menjusul
musuh, namun Siau-hong tidak putus asa, ia masih memburu terus sambil
ber-teriak2 dari djauh: “Piaumoay! Piaumoay!”
Begitulah jang satu berteriak
“Piauko” dan jang lain berseru “Piaumoay”, suara mereka sedih memilukan, bagi
pendengaran Tik Hun, rasanja mendjadi tidak tega, beberapa kali ia hendak
mendorong Tjui Sing kebawah kuda biar berkumpul kembali dengan kekasihnja. Tapi
selalu teringat olehnja pesan Hiat-to Lotjo jang mengatakan musuh jang datang
itu sangat tangguh, anak dara ini adalah barang sandera dan harus didjaganja
djangan sampai lari. Maka ia mendjadi ragu2, bila Tjui Sing dilepaskan tentu
Hiat-to Lotjo akan gusar, paderi jang djahat luar biasa itu, bukan mustahil
akan membunuh dirinja bagai menjembelih seekor ajam sadja. Apalagi bila sampai
disusul oleh ajah Tjui Sing berempat djago tangguh itu, besar kemungkinan
dirinja djuga akan terbunuh setjara sia2 tanpa berdosa.
Seketika Tik Hun mendjadi
bingung apa jang harus dilakukannja, ia dengar suara teriakan Tjui Sing sudah
mulai serak. Mendadak hati Tik Hun terharu: “Ai, betapa tjinta-kasih antara
mereka itu, tapi dengan paksa telah dipisahkan orang. Aku sendiri bukankah
djuga demikian dengan Djik-sumoay? Mestinja kami dapat hidup aman tenteram
berduaan, tapi ada pihak ketiga jang telah menghantjurkan tjita2 kami. Namun
....namun, bilakah Djik-sumoay pernah memperhatikan diriku seperti nona Tjui
ini terhadap Piaukonja itu?”
Berpikir sampai disini Tik Hun
mendjadi berduka, katanja didalam hati: “Bolehlah kau kembali sadja!” ~ dan
sekali mendorong Tjui Sing didorongnja kebawah kuda.
Tak terduga meski Hiat-to
Lotjo berdjalan didepan, namun setiap saat ia memperhatikan gerak-gerik kuda
dibelakangnja. Ketika suara teriakan Tjui Sing mendadak berhenti, menjusul
terdengar suara kaget sigadis dan suara djatuhnja ketanah, ia mengira Tik Hun
jang patah kaki itu tidak kuat menahan terperosotnja Tjui Sing ketanah, maka
tjepat ia memutar balik kudanja.
Dilain pihak, begitu tubuh
Tjui Sing djatuh ketanah, tjepat ia sudah melompat bangun pula, segera iapun angkat
langkah seribu berlari kearah Ong Siau-hong.
Djarak kedua muda-mudi tatkala
itu kira2 ada seratusan meter, jang satu berlari dari sini, jang lain memapak
dari sana, jang satu berteriak: “Piauko!” dan jang lain berseru; “Piaumoay!” ~
Djarak mereka semakin dekat, rasa girang mereka tak terkatakan dan rasa kuatir
merekapun susah dilukiskan.
“Hehe, biarlah mereka gembira
dulu!” demikian djengek Hiat-to Lotjo. Ia sengadja menahan kudanja, ia
membiarkan kedua muda-mudi semakin mendekat satu-sama-lain, waktu djarak mereka
tinggal 20-30 meter djauhnja, mendadak ia kempit kudanja kentjang2 sambil
bersuit, setjepat angin ia membedal kuda putih itu kebelakang Tjui Sing.
Keruan Tik Hun ikut kuatir
bagi sigadis, dalam hati ia ber-teriak2: “Lekas lari, tjepat sedikit, lekas!”
Begitu pula beberapa pendekar
jagn tidak terbunuh tadi ketika melihat Hiat-to Lotjo menggeprak kudanja
kembali sambil mulut menggigit golok berdarahnja, merekapun ber-teriak2 kuatir:
”Tjepat lari, lekas!”
Tjui Sing mendengar suara
derapan kuda dari belakang semakin mendekat, tapi lari mereka djuga semakin
tjepat dan djarak kedua muda-mudi itupun semakin dekat. Saking napsu dan
gugupnja ingin lekas2 mentjapai sang kekasih, sampai dadanja se-akan2 meledak dan
dengkulnja terasa lemas, setiap saat pasti dia akan terbanting roboh. Tapi
sedapat mungkin ia masih bertahan sekuatnja
Lambat laun ia merasa hawa
napas kuda putih seperti sudah menjembur sampai dipunggungnja, terdengar
Hiat-to Lotjo sedang berkata dengan tertawa iblis: “Hehe, masakah kau dapat
lolos?”
Dengan mati2an Tjui Sing
angkat langkahnja selebar mungkin sambil mengulur kedua tangannja kedepan,
namun sang Piauko masih dua-tiga meter djauhnja, sedangkan tangan kiri Hiat-to
Lotjo sudah terasa merangsang keatas kepalanja.
Sekali Tjui Sing mendjerit dan
selagi hendak menangis, tiba2 terdengarlah suara seruan seorang jang penuh
welas-asih serta sangat dikenalnja: “Djangan takut, Sing-dji, ajah datang untuk
menolong kau!”
Mendengar suara itu
tak-lain-tak-bukan adalah sang ajah ~ Tjui Tay ~ jang telah datang, dalam
girangnja semangat Tjui Sing tiba2 terbangkit, entah darimana datangnja
kekuatan, se-konjong2 kakinja meledjit sekuatnja kedepan hingga lebih satu
meter djauhnja, meski saat itu lengan atas sigadis sudah terdjamah oleh tangan
Hiat-to Lotjo, tapi achirnja gadis itu dapat terlepas djuga.
Ketika Ong Siau-hong sekuatnja
melompat madju djuga, tangan kiri kedua muda-mudi itu sudah dapat saling
memegang. Tjepat tangan kanan Siau-hong memutar pedangnja pula, pikirnja:
“Alhamdulillah, sjukur Suhu dapat tiba tepat pada waktunja untuk menolong, maka
sekarang tidak perlu takut kepada iblis paderi djahat itu lagi.”
Sebaliknja Hiat-to Lotjo
ter-kekeh2 edjek melihat pemuda itu berani main kaju padanja lagi, tiba2
goloknja menjabat kedepan.
Melihat berkelebatnja sinar
merah, tjepat Ong Siau-hong ajun pedangnja menangkis. Diluar dugaan, tiba2
golok bersinar merah darah itu dapat melengkung kebawah hingga mirip tali jang
lemas udjung golok terus memotong kedjari tangannja. Bila Ong Siau-hong tidak
lepaskan pedangnja, pasti tangannja jang akan terkutung.
Didalam seribu kerepotannja
itu, perubahan gerakan pemuda itupun sangat tjepat, ia kerahkan tenaga pada
tangannja, pedang terus ditimpukan kearah musuh.
Tapi sekali djari kiri Hiat-to
Lotjo mendjentik, kontan pedang itu terpental dan menjambar kearah seorang
kakek jang sedang berlari setjepat terbang dari arah barat sana. Menjusul golok
ditangan kanan paderi itu terus mengulur kedepan pula mengantjam muka Ong Siau-hong.
Untuk mendojongkan tubuhnja
kebelakang guna menghindar serangan itu, terpaksa Siau-hong harus melepaskan
tangan jang memegang tangan Tjui Sing itu. Dan kesempatan itu tidak di-sia2kan
Hiat-to Lotjo, sekali tangannja merangkul, kembali Tjui Sing tertawan olehnja
terus ditaruh diatas pelana kudanja. Bahkan paderi itu tidak memutar kudanja
dengan segera, tapi malah keprak kuda mentjongklang kedepan, menerdjang kearah
rombongan djago2 silat Tionggoan tadi.
Melihat musuh menerdjang
dengan kudanja, pendekar2 Tiongoan jang menghadang ditengah djalan itu terpaksa
melompat minggir sambil ber-teriak2. Sedangkan Hiat-to Lotjo lantas memutar
kudanja, mengitar kembali kearah Tik Hun sambil mulutnja mengeluarkan suara
gerangan aneh.
Namun sebelum dia mendekat
dengan Tik Hun, se-konjong2 sesosok bajangan kelabu berkelebat, sinar pedang
jang gemerdep menjilaukan mata karena tertimpa tjahaja sinar bulan, tahu2
menjambar kearah dadanja. Tanpa pikir lagi Hiat-to Lotjo ajun goloknja
menjampok, “trang”, golok membentur pedang hingga tjekalannja terasa kesemutan.
“Hebat benar tenaga dalamnja!” diam2 paderi tua itu membatin.
Dan pada saat itulah kembali
dari sebelah kanan sebatang pedang djuga menusuk kearahnja. Gaja serangan
pedang ini datangnja sangat aneh, udjung pedang tampak gemerdep hingga
berwudjut beberapa lingkaran2 besar dan ketjil, hingga seketika tidak djelas
kemana tusukan pedang itu hendak diteruskan.
Kembali Hiat-to Lotjo
terkedjut: “Ah, kiranja tokoh ahli Thay-kek-kiam djuga datang!”
Segera ia himpun tenaga ketangan
kanan, iapun ajun goloknja hingga berupa beberapa lingkaran, begitu lingkaran2
golok dan pedang beradu, terdengarlah “trang-trang-trang” beberapa kali
disertai muntjratnja lelatu api.
“Ilmu golok bagus!” terdengar
pihak lawan membentak. Berbareng orangnja terus melompat kesamping. Waktu
dipandang, kiranja adalah seorang Todjin (imam agama Tao) jang berdjubah kuning
djingga.
“Dan ilmu pedangmu djuga
bagus!” demikian Hiat-to Lotjo balas memudji.
Tapi orang jang disisi kiri
tadi lantas membentak djuga: “Lepaskan puteriku!” ~ Segera pedangnja menusuk
dan tangannja memukul sekaligus.
Disebebelah sana, dari djauh
Tik Hun dapat menjaksikan Tjui Sing kembali telah ditawan Hiat-to Lotjo pula, tapi
akibatnja kini telah dikerubut dua lawan tangguh. Sikakek sebelah kiri itu
berdjenggot putih sebagai perak, wadjahnja putih bersih, ber-ulang2 terdengar
dia berteriak: “Lepaskan puteriku!” ~ Terang ialah ajahnja Tjui Sing. ~ Tjui
Tay.
Tertampak setiap kali Hiat-to
Lotjo menangkis pedang Tjui Tay selalu paderi tua itu tergeliat sedikit,
teranglah tenaga dalam djago she Tjui itu masih lebih kuat daripada lawannja.
Dalam pada itu dari lereng
bukit sebelah barat sana tertampak mendatangi lagi dua orang lain dengan
setjepat angin, terang merekapun djago jang lihay.
Pikir Tik Hun: “Bila kedua
orang itupun tiba dan empat orang mengerojok madju semua, tentu Hiat-to Lotjo
takkan sanggup melawan mereka, kalau tidak terbinasa djuga akan terluka parah.
Maka lebih baik sekarang djuga aku melarikan diri dahulu!” ~ Tetapi segera
terpikir lagi olehnja: “Kalau bukan paderi itu jang menolong djiwaku, mungkin
sedjak tadi2 aku sudah dibunuh oleh Ong Siau-hong. Djika sekarang aku lupa budi
dan mementingkan diri sendiri, terang ini bukan perbuatan seorang laki2
sedjati.”
Begitulah ia mendjadi ragu2
apa mesti menjelamatkan diri sendiri atau tidak. Se-konjong2 terdengar teriakan
Hiat-to Lotjo: “Ini, kukembalikan puterimu.” ~ tahu2 tubuh Tjui Sing
dilemparkan hingga melampaui atas kepala Tjui Tay terus tertudju kearah Tik
Hun.
Kedjadian ini benar2 diluar
dugaan siapapun djuga, sudah tentu Tjui Sing jang tubuhnja me-lajang2 diudara
itu men-djerit2 ketakutan, bahkan orang lain djuga berteriak kaget semua.
Tik Hun mendjadi bingung djuga
ketika melihat tubuh sigadis itu melajang kearahnja. Kalau tak ditangkap
olehnja, tentu gadis itu akan terbanting, kalau ditangkap, datangnja tubuh
sigadis teramat kentjang, boleh djadi ke-dua2nja akan terguling semua ketanah.
Namun Tik Hun tidak sempat banjak memikir lagi, tubuh Tjui Sing sudah melajang
tiba, terpaksa ia pentang tangannja terus merangkul tubuh gadis itu.
Sebenarnja lemparan Hiat-to
Lotjo itu tjukup keras, untung Tik Hun berada diatas kuda, tenaga timpahan itu
sebagian besar dapat dipikul oleh kuda. Pula waktu Hiat-to Lotjo melemparkan
Tjui Sing, berbareng ia sudah menutuk djalan darah gadis itu hingga tidak dapat
berkutik apa2, maka Tik Hun dapat menangkap tubuhnja dengan bebas.
“Hwesio djahat, lepaskan aku!”
demikian Tjui Sing hanja dapat ber-teriak2.
Di sebelah sana mendadak
Hiat-to Lotjo membatjok dua kali kearah Tjui Tay, menjusul dengan tjepat luar
biasa ia membatjok djuga dua kali kepada imam tua tadi, serangan2nja itu lihay
sekali hingga mau-tak-mau lawan2nja harus menghindar dan berkelit. Berbareng
Hiat-to Lotjo berseru pula: “Tik Hun, anak baik, lekas lari, lekas lari dulu,
tak perlu menunggu aku!”
Tik Hun masih bingung, tapi
segera dilihatnja Ong Siau-hong dan beberapa kawannja telah memburu kearahnja
sambil ber-teriak2: “Bunuh dulu bangsat tjabul tjilik itu!” ~ Dilain pihak
Hiat-to Lotjo masih terus mendesak agar dia lekas melarikan diri. Achirnja Tik
Hun pikir memang harus menjelamatkan diri lebih penting. Maka segera ia keprak
kudanja menerdjang kesana.
Tadinja Tik Hun dan Hiat-to
Lotjo sebenarnja berlari kearah timur, tapi dalam keadaan gugup sekarang ia
berbalik lari kearah barat.
Dalam pada itu Hiat-to Lotjo
memutar golok merahnja itu semakin tjepat, seluruh tubuhnja se-akan2 terbungkus
oleh sinar merah, dengan ketawa2 ia masih berkata: “Lebih baik aku akan
mengawani puterimu jang tjantik molek itu daripada menemani tua bangka seperti
kau ini!”
Habis berkata, ia pura2
membatjok sekali, selagi lawan berkelit, terus sadja ia kempit kudanja hingga
binatang itu mendadak melompat kedepan.
Karena kuatir atas diri
puterinja jang telah dilarikan Tik Hun itu, Tjui Tay tidak ingin terlibat lebih
lama dengan Hiat-to Lotjo, segera ia mengeluarkan Ginkang “Ting-ping-toh-tjui”
(menumpang kapu2 meluntjur diatas air) jang hebat, segera ia mengedjar kearah
Tik Hun setjepat orang meluntjur diatas air.
Tapi kuda tunggangan Tik Hun
djusteru adalah kuda pilihan djenis Tay-wan (sedjenis kuda patju Mongol) jang
dibeli Tjui Tay sendiri dengan harga 500 tahil perak, betapa tjepat larinja
ketjuali kuda putih tunggangan Hiat-to Lotjo itu, boleh dikata djarang ada
tandingannja. Maka sekarang meski diatas kuda kuning itu dibebani dua orang,
jaitu Tik Hun dan Tjui Sing, tapi larinja masih sangat tjepat dan Tjui Tay
tetap takdapat menjusulnja.
“Berhenti, berhenti!” demikian
Tjui Tay ber-teriak2. “Bangsat gundul, djika kau tidak berhenti, sebentar
kutjintjang kau hingga mendjadi bergedel!”
Sudah tentu tidak nanti Tik
Hun mau berhenti, sebaliknja ia mengeprak kudanja semakin kentjang.
“Ajah, ajah!” Tjui Sing
ber-teriak2 djuga dengan ketakutan.
Sungguh hati Tjui Tay seperti
di-sajat2, sahutnja: “Djangan kuatir, nak!”
Dan hanja sekedjap sadja
kedjar mengedjar itu sudah dua ~ tiga li djauhnja. Meski Ginkang Tjui Tay
sangat hebat, tapi lama-kelamaan iapun mulai lemas, maklum, usianja sudah
landjut napasnja djadi kempas-kempis dan megap2, djaraknja dengan kuda kuning
itupun semakin mendjauh. Bahkan mendadak dari belakang terdengar ada sambaran
sendjata tadjam. Tanpa pikir ia putar pedangnja menangkis kebelakang, “trang”,
batjokan Hiat-to Lotjo jang sudah dapat menjusulnja itu kena tertangkis, segera
tertampak angin berkesiur lewat diampingnja, paderi tua itu sudah keprak kuda
putihnja sambil ter-bahak2 dan menjusul kearah Tik Hun dengan tjepat
sekali..............
***
Hiat-to Lotjo dan Tik Hun
masih terus melarikan kuda mereka dengan tjepat hingga musuh sudah ketinggalan
sangat djauh dibelakang, setelah jakin musuh pasti takkan mampu menjusul lagi,
kuatir kalau kuda2 itu terlalu tjapek, mereka lantas mengendorkan kendali dan
membiarkan binatang2 itu berdjalan pelahan2.
Sepandjang djalan tiada
henti2nja Hiat-to Lotjo memudji kebaikan hati Tik Hun, katanja pemuda itu
mempunjai Liangsim (hati nurani badjik), biarpun tahu gelagat sangat berbahaja
toh tidak mau melarikan diri meninggalkan sang “Sutjo” (kakek guru).
Tik Hun hanja tersenjum getir
sadja oleh “pudjian” setinggi langit itu. waktu ia melirik Tjui Sing, ia lihat
paras muka sigadis mengundjuk rasa ketakutan tertjampur hina padanja, ia tahu
gadis itu pasti sangat bentji, bahkan geregetan padanja. Ia pikir urusan toh
sudah ketelandjur begini, untuk memberi pendjelasan djuga gadis itu belum tentu
mau pertjaja, ia pikir masa-bodohlah, bagaimana engkau hendak memaki dan
mentjatji aku sebagai bangsat gundul atau paderi tjabul dan apa lagi, silakan
makilah sesukamu.
“Hei anak dara,” tiba2 Hiat-to
Lotjo bersuara, “ilmu silat ajahmu boleh djuga, ja? Tapi, hehe, toh masih kalah
setingkat daripada Tjosuya-mu ini, biarpun dia peras antero tenaganja djuga
tidak mampu menahan diriku.”
Tjui Sing tidak mendjawab,
tapi hanja melototnja sekali.
“Dan siimam tua jang
bersendjata pedang itu, siapakah dia? Termasuk jang mana diantara
‘Lok-hoa-liu-tjui’ itu?”demikian Hiat-to Lotjo menanja pula
Namun Tjui Sing sudah ambil
keputusan takkan mendjawab, biar pun orang menanja terus, tetap ia tidak gubris
padanja.
Achirnja Hiat-to Lotjo
mendjadi djengkel, tiba2 ia tanja Tik Hun dengan tertawa: “Eh, tjutju muridku,
tahukah engkau tempat manakah jang paling berharga bagi kaum wanita?’
Tik Hun terperandjat oleh
pertanjaan itu. “Tjelaka!” pikirnja. “Apakah paderi terkutuk ini akan menodai
kesutjian nona Tjui? Tjara bagaimana baiknja agar aku dapat menolong gadis
itu?”
Tapi terpaksa iapun mendjawab:
“Entahlah, aku tidak tahu!”
“Ah, masih hidjau, kau,” udjar
Hiat-to Lotjo dengan tertawa. “Ini, dengarlah baik2 biar kau tambah
pengalaman.Tempat jang paling berharga bagi kaum wanita adalah terletak pada
........ paras mukanja! Nah, sekarang kau sudah tahu bukan? Makanja bila dia
masih tidak mendjawab pertanjaanku, haha, asal golokku ini kusajat begini dan
kuiris begitu, seketika mukanja akan berwudjut peta djalan simpang, nah,
tjantik tidak kalau begitu, ha?” ~ Habis berkata, sret, segera iapun lolos
goloknja jang terselip dipinggang itu.
Namun Tjui Sing adalah satu
gadis jang berwatak sangat keras, setelah djatuh ditangan kedua “paderi tjabul”
itu, memangnja ia sudah bertekad pati, lebih baik gugur sebagai ratna daripada
hidup menanggung hina. Meski suka kepada paras tjantik adalah mendjadi watak
asli kaum wanita, bila terpikir muka sendiri jang tjantik molek itu bakal
di-sajat2 sedemikian rupa oleh paderi djahanam itu, betapapun ia merasa
merinding djuga. Tapi bila terpikir pula sesudah paras muka sendiri terusak,
boleh djadi kesutjian badannja malah dapat dipertahankan, hal ini masih mending
djuga daripada mati konjol.
Sementara itu Hiat-to Lotjo
telah abat-abitkan udjung goloknja dimuka hidungnja sambil mengantjam: “Nah,
djawablah! Kutanja siapakah imam tua itu? Djika kau tidak mendjawab lagi,
sajatan pertama segera kulakukan. Katakan, lekas!”
“Fui!” semprot Tjui Sing.
“Katakan apa? Katakan kau paderi keparat! Lekas kau bunuh sadja nonamu ini!”
“Sret”, mendadak tangan
Hiat-to Lotjo bekerdja, dimana sinar merah berkelebat, muka Tjui Sing telah
disajatnja sekali.
Tik Hun mendjerit tertahan
sekali dan tidak tega untuk memandang. Sebaliknja Tjui Sing sudah lantas
pingsan.
Hiat-to Lotjo ter-bahak2
sambil melarikan kudanja lebih tjepat.
Tanpa tertahan Tik Hun
memandang djuga kepada Tjui Sing , tapi ia mendjadi melongo sebab muka sinona
ternjata tiada apa2, bahkan luka sedikitpun tidak ada. Keruan ia sangat girang.
Kiranja ilmu permainan golok
Hiat-to Lotjo itu benar2 sudah mentjapai tingkatan jang paling sempurna dan
dapat menurut setiap keinginannja tanpa selisih satu milipun. Tabasannja tadi
memang telah menjambar lewat dipipi Tjui Sing, tapi hanja kena sajat setjomot
rambut dipelipis gadis itu, sedangkan pipinja sedikitpun tidak terluka.
Saat itu pelahan2 Tjui Sing
djuga mulai siuman, tanpa tertahan lagi air matanja bertjutjuran. Ketika
dilihatnja Tik Hun lagi memandangnja dengan tersenjum-simpul girang, ia
mendjadi gusar dan mendongkol, damperatnja: “Kau ........ kau ..........paderi
djahat.” ~ Sebenarnja ia bermaksud mentjatji maki pemuda itu dengan kata2 jang
paling pedas dan kedji, tapi dasar dia seorang gadis sopan dan lembut,
selamanja tidak pernah mengutjapkan kata2 jang kasar dan kotor, maka seketika
itu iapun tidak tahu apa jang harus dimakinja selain kata2 “paderi djahat” itu.
Melihat Tjui Sing sudah
siuman, segera Hiat-to Lotjo menggeraki pula goloknja jang melengkung itu
kemuka sigadis sambil membentak: “Nah, sekarang kau mau mendjawab tidak? Kalau
tidak, segera kusajat pula mukamu!”
Tapi Tjui Sing tetap
membandel, ia pikir toh sudah disajat sekali, biarpun di-sajat2 lagi mukaku
djuga serupa sadja, maka sahutnja dengan mendjerit: “Lekas kau bunuh aku sadja,
Hwesio djahanam!”
“Huh, masakah begitu enak?”
edjek Hiat-to Lotjo sambil menabas pula, kembali goloknja menjerempet lewat
dipipi sigadis.
Tapi sekali ini Tjui Sing
tidak pingsan lagi, ia merasa pipinja njes dingin, namun tidak terasa sakit,
pula tiada darah menetes. Baru sekarang ia tahu Hwesio tua itu tjuma main
gertak sadja, hakikatnja pipi sendiri tidak terluka apa2, tanpa merasa ia menghela
napas lega.
“Eh, tjutju murid jang baik,
kedua kali batjokan Tjosuya barusan ini bagaimana menurut pendapatmu?” tiba2
Hiat-to Lotjo menanja Tik Hun.
“Wah, ilmu sakti, hebat
sekali!” sahut Tik Hun, tanpa ragu2, memang pudjiannja ini bukan pura2 belaka,
tapi timbul dari hati nuraninja, sebab ilmu golok Hwesio tua itu memang luar
biasa.
“Kau ingin beladjar tidak?”
tanja Hiat-to Lotjo pula.
Tik Hun tidak lantas
mendjawab, tapi mendadak timbul suatu pikirannja: “Aku djusteru lagi bingung
bagaimana untuk melindungi kesutjian nona Tjui, bila aku mengalihkan
perhatiannja dengan meretjoki sipaderi tua agar mengadjarkan ilmu silatnja
kepadaku, tentu pikiran menjelewengnja untuk sementara ini dapat ditjegah, lalu
aku dapat mentjari akal untuk menolong sinona. Dan aku harus membuat sipaderi
tua benar2 mentjurahkan antero perhatiannja untuk mengadjar padaku, untuk mana
aku harus berusaha menjenangkan hatinja serta beladjar sungguh2.”
Dengan keputusan itu, maka ia
menjahut: “Tjosuyaya, kepandaianmu memainkan Hiat-to itu, sungguh tjutju-murid
kerandjingan benar2 untuk mempeladjarinja, maka sukalah Tjosuya mengadjarkan
beberapa djurus padaku, agar kelak bila aku bertemu dengan lawan sebangsa
kerotjo seperti Piauko nona ini, paling tidak aku dapat balas melabraknja.”
Habis berkata, pikir punja
pikir Tik Hun mendjadi mengkirik sendiri dan merah djengah mukanja. Maklum,
dasar watak Tik Hun sangat djudjur, selamanja tidak suka pura2, tapi kini demi
untuk menolong sinona, mau-tak-mau ia mesti memanggil “Tjosuya” kepada musuh
jang sebenarnja dibentji itu.
Bahkan Tjui Sing jang
mendengar utjapan Tik Hun jang mendjilat pantat itupun merasa muak, ber-ulang2
ia meludah tanda bentji.
Sebaliknja Hiat-to Lotjo
merasa sangat senang, katanja: “Ilmu permainan Hiat-to ini tidak mungkin dapat
dipeladjari dalam waktu singkat. Tapi bolehlah aku mengadjarkan djurus
‘Pi-tjoa-sia-hu’ (mengupas kertas dan mengiris tahu). Tjara melatihnja begini:
taruhlah setumpuk kertas kira2 seratus helai diatas medja, sekali golokmu
menabas harus tepat mengupas kertas helai pertama, helai kedua sekali2 tidak
boleh ikut terkupas. Habis itu memotong helai kedua, ketiga dan seterusnja,
sekali tabas satu helai, hingga habis seratus helai.”
“Huh membual seperti tukang
obat!” edjek Tjui Sing. Dasar sifat anak muda, ia tidak pertjaja ilmu golok
orang bisa sedemikian lihaynja, makanja ia mengedjek.
“O, djadi kau tidak pertjaja,
baiklah sekarang djuga aku mentjobanja dihadapanmu,” udjar Hiat-to Lotjo dengan
tertawa. Dan mendadak ia bubut seutas rambut sigadis.
Keruan Tjui Sing kaget, “Hai,
mau apa kau?” teriaknja kuatir.
Namun Hiat-to Lotjo tidak
mendjawab, ia taruh utas rambut itu diatas batang hidung Tjui Sing, lalu
melarikan kudanja kedepan sana.
Waktu itu tubuh Tjui Sing
meringkuk dan tertaruh diatas kuda, didepannja Tik Hun, ketika merasa udjung
hidungnja ditaruhi seutas rambut, dengan sendirinja merasa ter-kilik2 geli, ia
tidak tahu sipaderi tua itu akan main gila apa, sedianja terus hendak meniup
rambut diatas hidung itu agar djatuh.
Tapi mendadak terdengar
Hiat-to Lotjo berseru; “Eh, djangan bergerak, lihatlah jang djelas!” ~ Lalu ia
memutar kudanja berlari kembali, dengan tjepat sekali kedua kuda lantas saling
bersimpangan.
Seketika Tjui Sing merasa
pandangannja silau oleh berkelebatnja sinar merah, udjung hidungnja terasa
silir2 dan rambut diatas hidung itu tahu2 sudah lenjap. Menjusul lantas
terdengar Tik Hun ber-teriak2: “Bagus! Bagus!”
Ketika Hiat-to Lotjo
menjodorkan goloknja kedepan Tjui Sing, maka tertampaklah diatas batang golok
itu terdapat seutas rambut pandjang. Hiat-to Lotjo dan Tik Hun berkepala gundul
semua, dengan sendirinja rambut itu adalah milik Tjui Sing jang takdapat
dipalsukan. Keruan sigadis tidak kepalang kedjut dan kagumnja, pikirnja:
“Hwesio tua ini benar2 sangat lihay. Tabasannja barusan ini kalau satu mili
lebih tinggi, tentu rambut itu takkan dapat terkupas oleh goloknja, sebaliknja
kalau rendah sedikit, pasti hidungku sekarang sudah gerumpung, paling tidak
djuga mendjadi pesek. Apalagi dia menabas sambil menaik kuda, namun toh begitu
tepat dan djitu, sungguh kepandaian jang hebat.”
Karena sengadja hendak merebut
hati Hiat-to Lotjo, maka tidak habis2 Tik Hun mengumpak dan memberi pudjian2
setinggi langit atas ilmu golok sang “kakek guru” itu.
Kini Tjui Sing sendiri sudah
menjaksikan betapa sakti ilmu goloknja orang, maka iapun anggap pudjian2 Tik
Hun itu memang tidak terlalu berlebihan. Tjuma ia merasa pemuda itu benar2
terlalu rendah djiwanja, masakah sedemikian pendjilat pantat untuk merebut hati
sang kakek guru.
Begitulah kemudian Hiat-to
Lotjo melandjutkan perdjalanannja dengan mendjadjarkan kudanja dengan Tik Hun,
katanja: “Dan tjara ‘mengiris tahu’ itu jalah taruh sepotong tahu diatas papan,
lalu mengirisnja tipis2, sepotong tahu itu harus disajat mendjadi seratus
irisan ketjil, setiap iris harus utuh dan pipih. Djika hasilnja memuaskan, itu
berarti djurus pertama sudah lulus.”
“Itupun baru merupakan djurus
pertama?” Tik Hun menegas.
“Sudah tentu,” sahut Hiat-to
Lotjo. “Memangnja kau anggap ilmu golok Tjosuyamu ini seperti memotong ajam
gampangnja? Nah, tjobalah kau pikir, lebih sulit mengiris tahu sambil berdiri
tegak atau lebih sulit mengupas rambut diatas udjung hidung anak dara itu?
Hahahahaha!”
Dengan sangat kagum Tik Hun
mengumpak pula: “Ilmu sakti Tjosuya sudah tentu tidak mungkin ditjapai oleh
sembarangan orang. Asalkan tjutju-murid dapat mempeladjari sepersepuluh dari
kepandaian Tjosuya sadja rasanja sudah tjukup puas!”
Hiat-to Lotjo ter-bahak2
senang oleh pudjian itu. Sebaliknja Tjui Sing me-ludah2 hina pula.
Biasanja orang mendjilat itu
paling sulit terletak pada utjapannja jang pertama. Orang djudjur seperti Tik
Hun itu memangnja tidak tjotjok disuruh mengutjapkan kata2 jang penuh pudjian
belaka itu, tapi sesudah banjak diutjapkan, otomatis mendjadi biasa baginja
untuk mentjari kata2 jang enak didengar. Padahal pudjian2 Tik Hun bagi ilmu
golok Hiat-to Lotjo jang sakti itu boleh dikata tidak berlebihan, tjuma kalau
menurut watak asli Tik Hun, seharusnja tidak nanti sudi diutjapkannja.
Begitulah maka Hiat-to Lotjo
telah mendjawab: “Ehm, bakatmu tjukup baik, asal kau mau giat beladjar, pasti
kepandaianku ini dapat kau peladjari. Baiklah, sekarang djuga boleh kau
tjoba2!”
Habis berkata, mendadak ia
bubut pula seutas rambutnja Tjui Sing dan meletakannja diatas udjung hidungnja.
Tentu sadja Tjui Sing
ketakutan, sekali sebul terus sadja ia tiup djatuh rambut itu sambil
ber-teriak2: “He, he, Hwesio tjilik ini tidak bisa, mana boleh suruh dia
sembarangan tjoba!”
“Tidak bisa harus dilatih
sampai bisa, segala kepandaian mesti dilatih dulu baru bisa,” demikian Hiat-to
Lotjo berkata. “Sekali tidak djadi, ulangi sekali lagi, dua kali gagal, ulangi
tiga kali, tiga kali gagal, ulangi sepuluh kali atau duatiga puluh kali,
achirnja pasti djadi!” Habis itu, kembali ia bubut lagi seutas rambut sigadis
dan ditaruh pula diudjung hidungnja, lalu ia serahkan goloknja kepada Tik Hun
dan berkata: “Nah, tjoba kau!”
Sambil menerima golok dari
tangan Hiat-to Lotjo itu, Tik Hun tjoba memandang sekedjap kepada Tjui Sing
jang menggeletak didepan sendiri itu. Ia lihat wadjah sigadis penuh rasa gusar,
tapi dari sinar matanja tetampak pula rasa takutnja. Rupanja gadis itu tahu
kalau Tik Hun tidak pernah melatih ilmu silat jang hebat itu, pabila setjara
semberono menirukan tjara tabasan Hiat-to Lotjo, mungkin kepalanja akan
terbelah mendjadi 2, paling tidak djuga hidung akan terkupas. Dan masih mending
bila kepala terpetjah belah dan seketika mati daripada menerima hinaan kedua
“paderi tjabul” itu, tjelakanja kalau hidungnja jang terkupas mendjadi pesek,
kan bisa runjam untuk selamanja.
Tiba2 pikiran tjerdik Tik Hun
tergugah, ia menanja Hiat-to Lotjo: “Tjosuya, tjara tabasan ini, bagaimana
dengan tenaga tangan jang harus dipakai?”
“Harus pinggang menggerakan
bahu, bahu menembus kelengan, lengan harus tidak bertenaga, dan pergelangan
tangan harus tidak berkekuatan,” demikian sahut Hiat-to Lotjo. Lalu iapun
memberi pendjelasan tentang apa jang dimaksudkan “pinggang menggerakkan bahu”
dan “bahu menembus kelengan” dan apa2 lagi jang kedengarannja susah dimengarti,
tapi sebenarnja mengandung kebenaran jang tepat.
Ber-ulang2 Tik Hun
meng-angguk2 atas petundjuk sang “kakek guru”, kemudian ia berkata: “Tjuma
sajang tjutju murid telah dianiaja orang, Pi-pe-kut dipundak sudah dilubangi,
otot tangan djuga terpotong putus, sudah takdapat mengeluarkan tenaga lagi.”
“Mengapa Pi-pe-kutmu dilubangi
orang? Dan otot tanganmu djuga dipotong?” tanja Hiat-to Lotjo.
“Ja, tjutju murid telah banjak
menderita akibat didjebloskan kedalam pendjara oleh orang,” sahut Tik Hun.
Mendadak Hiat-to Lotjo
ter-bahak2 tawa. Sambil larikan kuda berendeng dengan Tik Hun, ia suruh pemuda
itu memperlihatkan pundaknja. Benar djuga ia lihat tulang pundak Tik Hun
mendekuk kebawah, malahan luka tulang pundak jang dilubangi dengan rantai itu
masih belum rapat benar2. Pula djari tangan kanan pemuda itupun terpapas putus
sebagian, otot lengan djuga terpotong, untuk melatih ilmu silat boleh dikata
sudah tiada harapan lagi.
Diam2 Tik Hun mendongkol oleh
ketawa paderi itu, masakah orang tersiksa seberat itu malah ditertawai.
“Haha, anak muda, tjoba
katakan sudah berapa banjak engkau telah merusak anak perawan orang?” demikian
tiba2 Hiat-to Lotjo menanja. “Hehe, orang muda hanja menuruti napsu belaka
hingga lupa daratan, achirnja kau ketangkap basah dan didjebloskan kebui
bukan?”
“Bukan,” sahut Tik Hun.
“Ala, pakai malu2 segala!
Nagkulah terus terang, engkau dibui oleh orang adalah disebabkan gara2 kaum
wanita bukan?” Hiat-to Lotjo mendesak pula dengan tertawa.
Untuk sedjenak Tik Hun
melengak. Memang benar ia dibui adalah disebabkan pitenahan gundiknja Ban
Tjin-san, hal ini berarti gara2 kaum wanita djuga. Maka dengan gergetan ia
mendjawab: “Ja, memang gara2 perempuan hina itu hingga aku menderita seperti
ini. Pada suatu hari aku pasti akan membalas sakit hati ini.”
“Huh, engkau sendiri berbuat
djahat, tapi malah menjalahkan orang lain, “ tiba2 Tjui Sing mendamperat. “Hm,
manusia jang paling tidak kenal malu didunia ini mungkin adalah bangsat gundul
seperti kau ini.”
“Haha, anak dara ini benar2
terlalu bandel,” kata Hiat-to Lotjo dengan tertawa. “Eh, tjutju murid, tjobalah
kau lutjuti pakaiannja hingga telandjang bulat, tjoba nanti dia masih berani
memaki orang atau tidak.”
“Baik,” sahut Tik Hun tanpa
pikir.
“Bangsat! Kau berani?” maki
Tjui Sing dengan gusar.
Padahal dalam keadaan takdapat
berkutik, bila Tik Hun benar2 mau membuka pakaiannja seperti apa jang dikatakan
Hiat-to Lotjo itu, betapapun Tjui Sing takdapat melawan. Maka damperatannja:
“Kau berani?” itu hakikatnja tjuma gertakan belaka.
Dan sudah tentu tiada niat
sungguh2 Tik Hun hendak melutjuti pakaian Tjui Sing, ketika dilihatnja sipaderi
tua tiada hentinja mengintjar tubuh sigadis dengan ketawa2 tak beres, segera
Tik Hun memikirkan tjara bagaimna agar dapat mengalihkan perhatian paderi tua
itu atas diri sinona. Maka sekenanja ia lantas tanja: “Tjosuya, menurut
pendapatmu, bahan apkiran seperti tjutju murid ini apakah masih dapat melatih
ilmu silat?”
“Mengapa tidak?” sahut Hiat-to
Lotjo. ‘Sekalipun kedua tangan dan kedua kakimu buntung semua djuga masih dapat
melatih ilmu dari Hiat-to-bun kita ini.”
“Ai, bagus sekali kalau
begitu!” teriak Tik Hun dengan girang.
Begitulah sambil bitjara
sembari berdjalan, tanpa merasa mereka telah sampai disuatu djalan besar. Tiba2
terdengar suara gembreng dan terompet jang ramai didepan sana, menjusul
tertampaklah serombongan iring2an pengantin dengan sebuah djoli kembang. Dibelakang
djoli adalah seorang penunggang kuda putih jang berdjubah merah dan berkopiah
emas, pakaiannja mentereng, tentu dia, inilah pengantin laki2nja. Djumlah
pengiring itu ada 40-50 orang banjaknja.
Melihat itu, Tik Hun
membilukan kudanja ketepi djalan dengan hati berkebat-kebit sebab kuatir kalau
dikenali orang2 itu. Sebaliknja Hiat-to Lotjo malah keprak kudanja memampak
kearah iring-iringan pengantin itu.
Maka terdengarlah suara
bentakan orang: “Hai! Minggir, mau apa kau?” ~ “Hwesio busuk, ada iring2an pengantin,
mengapa kau tidak menjingkir?”
Tapi sesudah didepan iring2an
itu, Hiat-to Lotjo lantas berhentikan kudanja, segera ia berseru dengan tertawa
sambil bertolak pinggang: “He, tjoba perlihatkan pengantin wanitanja, tjantik
atau tidak?”
Dari rombongan pengiring itu
lantas madju seorang laki2 kekar tegap dengan membawa sebatang pikulan bambu,
segera laki2 itu membentak dengan galak. “Bangsat gundul, apa kau sudah bosan
hidup, ja?” ~ Sembari menggertak ia terus antjam dengan pikulan bambu jang
bulat tengahnja lebih besar dari lengan manusia dan pandjangnja hampir dua
meter.
“Tjutju murid, lihatlah jang
djelas, ini adalah sedjurus ilmu tunggal dari kaum kita,” kata Hiat-to Lotjo
kepada Tik Hun. Mendadak ia sedikit mendojong kedepan, golok merah bergemetaran
se-akan2 seekor Djik-lian-tjoa (ular rantai merah) jang berkelogetan dan dengan
tjepat luar biasa seperti merajap naik-turun diatas pikulan bambu orang. Ketika
ia menarik kembali goloknja, ia ter-bahak2 senang.
Karena itu pengiring2
pengantin itu be-ramai2 mentjatji maki pula, tapi mendadak laki2 jang membawa
pikulan bambu itu berteriak kaget, ternjata pikulan bambu jang dipegangi itu
kini tinggal sebatang bambu jang pandjangnja tjuma setengah meter sadja,
selebihnja telah terkutung ber-potong2 dan djatuh ketanah hingga mengeluarkan
suara peletak-peletok.
Ternjata hanja dalam sekedjap
sadja sebatang pikulan bambu telah ditabas oleh golok Hiat-to Lotjo hingga
mendjadi berpuluh potongan ketjil2, betapa tjepat dan hebat ilmu golok paderi
tua itu benar2 mirip pemain sunglap sadja, sekalipun djago silat djuga akan
terkesiap menjaksikan itu, djangankan orang2 desa itu, keruan mereka melongo
dan ter-longong2.
Bahkan habis ter-bahak2, tahu2
Hiat-to Lotjo ajun goloknja pula kekanan dan membalik dari atas kebawah,
seketika laki2 tadi tertabas mendjadi empat potong. Tambahan paderi itu lantas
membentak pula: “Aku tjuma ingin melihat bagaimana matjamnja pengantin
perempuan, mengapa kalian mesti geger2 segala?”
Melihat disiang hari bolong
sipaderi berani mengganas, keruan orang2 itu ketakutan setengah mati, ada jang
bernjali besar masih kuat melarikan diri, tapi sebagian besar mendjadi gemetar
ketakutan, bahkan banjak jang ter-kentjing2 tidak berani bergerak.
Ketika Hiat-to Lotjo mendekati
pula djoli pengantin, sekali goloknja berkelebat, tahu2 tirai djoli sudah
tertabas putus. Menjusul tangan kiri paderi itu lantas mendjambret dada
sipengantin perempuan dan menjeretnja keluar.
Keruan pengantin wanita itu
ber-kaok2 ketakutan dan me-ronta2 mati2an. Tapi sekali golok Hiat-to Lotjo
bekerdja lagi, segera kerudung muka sipengantin tertabas djatuh hingga
tertampaklah wadjah pengntin wanita jang penuh ketakutan itu.
Pengantin wanita itu berusia
16-17 tahun sadja, boleh dikata masih kanak2, paras mukanja djuga sangat djelek.
“Tjuh”, mendadak Hiat-to Lotjo meludahi pengantin wanita itu sambil memaki:
“Matjam genderuwo begini djuga djadi pengantin apa segala?” ~ dan sekali
goloknja memotong, tiba2 hidung pengantin wanita itu diirisnja. Saking takut
dan sakitnja pengantin wanita itu sudah lantas semaput.
Sipengantin laki2 saat itu
masih terpaku diatas kudanja sambil bergemetaran.
“Tjutju murid, lihatlah
sedjurus ilmu kita jang lain, ini namanja ‘Au-sim-lik-hwe’ (menembus hati
memantjarkan darah)!” seru Hiat-to Lotjo pula kepada Tik Hun. Berbareng golok
merah terus ditimpukan kearah sipengantin laki2.
Dan begitu menimpukan golok, seketika
djuga Hiat-to Lotjo melarikan kudanja kedepan, setjepat kilat ia telah melalui
kuda pengantin laki2 dan mendadak ia melompat, sekali tangannja meraup, golok
merah itu sudah kena disambarnja kembali.
Waktu Tik Hun dan Tjui Sing
memperhatikan sipengantin laki2, tertampaklah dadanja sudah berlubang dan
sedang menjemburkan darah bagai air mantjur, tubuhnja pelahan2 mendojong dan
achirnja terguling kebawah kuda. Ternjata tubuh pengantin laki2 itu telah
ditembus oleh golok Hiat-to Lotjo, bahkan golok jang masih terus menjambar
kedepan itu segera dapat ditangkap kembali oleh sipaderi.
Sepandjang djalan Tik Hun suka
menjandjung Hiat-to Lotjo, pertama memang djeri padanja, kedua, paderi itu
telah menolong djiwanja, betapapun Tik Hun merasa utang budi walaupun tahu
bahwa sekali2 paderi itu bukan manusia baik2, tapi sebelum menjaksikan sendiri
keganasan orang, dengan sendirinja tidak begitu terasa. Tapi kini ia
menjaksikan, paderi tua itu memotong hidung pengantin wanita, bahkan
membinasakan pula sipengantin laki2, malahan membunuh tiga orang jang tak
berdosa, bahkan kenalpun tidak. Sebagai orang jang berbudi luhur, Tik Hun tidak
tahan lagi, dengan gusar ia berteriak: “Ken.........kenapa engkau membunuh
orang tak berdosa? Apa halangannja orang2 itu kepadamu?”
Hiat-to Lotjo melengak, tapi
lantas djawabnja dengan tertawa: “Haha, memang sudah mendjadi kebiasaanku suka
membunuh orang tak berdosa. Djika membunuh sadja mesti memilih orang, kemana
aku harus memilih?” ~ Habis berkata, sekali goloknja berputar, kembali kepala
seorang pengiring pengantin itu berpisah dengan tuannja.
Sungguh gusar Tik Hun bukan
buatan, segera ia melarikan kudanja kedepan sambil ber-teriak2: “Kau........kau
tidak boleh membunuh orang lagi!”
“Setan tjilik, apakah kau
mendjadi takut melihat darah mantjur? Huh, tidak berguna!” omel Hiat-to Lotjo
dengan tertawa.
Dan pada saat itu djuga dari
djauh terdengar suara derapan kuda jang ramai, ada berpuluh orang sedang
mengedjar dari timur sana. Bahkan terdengar seruan njaring seorang diantaranja:
“Hiat-to Lotjo, lepaskan puteriku dan kita boleh sudahi urusan ini sampai
disini, kalau tidak, biar kau lari keudjung langit djuga akan ku-uber sampai
kepodjok langit!”
Itulah suaranja Tjui Tay,
meski derapan kuda itu kedengaran masih sangat djauh, tapi seruan Tjui Tay itu
dapat terdengar dengan sangat djelas, suatu tanda betapa hebat Lwekang djago
tua itu.
Diam2 Tjui Sing bergirang
djuga mendengar suara sang ajah. Lalu terdengar pula suara tembang dari paduan
suara empat orang: “Lok-hoa-liu-tjui........Tjui-liu-hoa-lok........Lok-hoa-liu-tjui.........Tjui-liu-hoa-lok!”
Nada suara keempat orang itu
ber-beda2, ada jang rendah kuat, ada jang tinggi melengking, ada jang serak
tua, ada jang keras kumandang. Tapi betapa tinggi Lwekang masing2 terang
mempunjai keistimewaannja sendiri2.
“Huh, matjam2 sadja lagak
bangsat2 dari Tionghoa itu,” demikian Hiat-to Lotjo memaki.
Lalu terdengar seruan Tjui Tay
pula dari djauh: “Hiat-to Lotjo, biarpun ilmu silatmu tinggi, masakah kau mampu
melawan “Lam-su-lo” kami berempat? Lepaskanlah puteriku dan urusan akan beres,
seorang laki2 berani berkata berani pegang djandji, pasti aku takkan mengedjar
kau lebih djauh!”
Diam2 Hiat-to Lotjo memikir
djuga: “Aku sudah berkenalan dengan kepandaian Tjui Tay dan imam tua itu, kalau
satu-lawan-satu, tidak nanti aku takut, bila aku melawan mereka berdua, lebih
banjak kalahnja daripada menangnja, terpaksa harus lari. Dan djika aku
dikerojok tiga, sudah pasti aku akan kalah habis2an, untuk laripun mungkin
susah. Lebih2 kalau aku dikerubut empat orang, pasti matipun Hiat-to Lotjo
takkan terkubur. Hehe, apa jang dikatakan orang persilatan Tionggoan itu
dapatkah dipertjaja? Lebih baik aku tetap membawa lari anak dara ini, paling
tidak aku masih dapat memakainja sebagai barang sandera, bila kulepaskan dia,
itu berarti lebih menguntungkan mereka malah!”
Dengan keputusan itu, mendadak
ia membentak sekali sambil mentjambuk bokong kuda putih tunggangan Tik Hun,
terus sadja ia mendahului berlari kearah barat sambil mulutnja berkomat-kamit.
Apa jang diutjapkan itu tak didengar oleh Tik Hun dan Tjui Sing, tapi rombongan
Tjui Tay lantas mendengar kumandangnja sesuatu suara aneh jang berkata:
“Tju-loyatju, Tjiangbundjin dari Hiat-to-bun telah mendjadi anak menantumu.
Tjiangbundjin angkatan keempat sudah mendjadi menantumu. Tjiangbundjin angkatan
ke-enam djuga menantumu, sungguh redjekimu bukan main besarnja, dua
Tjiangbundjin dari kedua angkatan Hiat-to-bun kami telah diborong semua oleh
puterimu ini, tapi mengapa engkau masih terus mengedjar, masakah bapak mertua
mengedjar anak menantu, sungguh lutju, sungguh aneh!”
Kiranja komat-kamit mulut
Hiat-to Lotjo itu adalah sematjam Lwekang djahat dari kaum Hiat-to-bun,
suaranja dapat tersiar djauh hingga sangat mengatjaukan pikiran orang bahkan
membuat kalap pendengarnja, dengan begitu bila nanti saling gebrak, kekuatan lawan
mendjadi banjak terganggu. Apalagi utjapannja membikin Tjui Tay semakin
berdjingkrak dan hampir2 meledak dadanja saking murkanja.
Tjui Tay tahu betapa djahatnja
perbuatan paderi2 dari Hiat-to-bun itu, membunuh dan memperkosa bagi paderi2
itu sudah pekerdjaan biasa, segala kedjahatanpun dapat mereka lakukan.
Bahwasanja antara kakek-guru dan tjutju-murid berkongsi memiliki puterinja
bukan mustahil pula akan terdjadi. Alangkah gemasnja Tjui Tay, masakah seorang
tokoh Bu-lim terkemuka jang telah mendjagoi daerah Tionggoan selama berpuluh
tahun harini mesti mengalami hinaan sebesar ini? Sungguh kalau bisa ia ingin
segera mentjingtjang paderi djahanam itu hingga hantjur luluh.
Maka dengan hilap ia petjut
kudanja semakin kentjang. Tjuma sajang kuda tunggangan mereka tiada satupun
jang dapat menandingi kuda-kuda kuning dan putih bekas milik
Leng-kiam-siang-hiap itu, walaupun mereka mengedjar mati2an, tetap tidak dapat
menjusul musuh.
Dalam pada itu diantara
rombongan pengedjar bersama Tjui Tay itu, selain tokoh2 she Liok, Hoa dan Lau
bertiga kakek jang namanja sedjadjar dengan Tjiu Tay dengan djulukan
‘Lok-hoa-liu-tjui’ itu, masih ada pula lebih 30 djago Tionggoan jang lain.
Mereka terdiri dari berbagai
golongan dan aliran, ada Piausu ternama, ada ketua sesuatu golongan, ada pula
pimpinan organisasi dan tokoh2 silat jang sudah lama mengasingkan diri. Tapi
karena gusar terhadap perbuatan paderi2 Hiat-to-bun jang telah bikin rusuh
didaerah Liang-ou setjara serampangan dan tidak pilih bulu, maka djago2
Tionggoan baik dari Pek-to (kalangan baik2) maupun Hek-to (kalangan djahat),
semuanja lantas ikut menguber serentak untuk membekuk paderi2 djahat itu.
Tjara mengedjar rombongan
djago2 silat itu agak pajah djuga, tapi setiap ada kesempatan, tentu mereka
berganti kuda. Mereka tidak pernah berhenti, tapi makan rangsum dan minum air
sekadarnja diatas kuda sambil terus mengedjar.
Sebaliknja rombongan Hiat-to
Lotjo berkat kuda2 tunggangan mereka lebih bagus, maka setiap ketemu kedai nasi
dan warung wedang, sering mereka berhenti menangsal perut dan mengaso pula.
Tjuma tidak berani bermalam dipenginapan. Dan djusteru oleh karena adanja
pengedjaran terus-menerus dari djago2 silat Tionggoan itulah, maka kesutjian
Tjui Sing selama beberapa hari itu masih dapat dipertahankan.
Kedjar mengedjar itu sudah
berlangsung beberapa hari, dari wilajah Oupak kini sudah masuk kewilajah
Sutjwan. Sebagai sama2 orang persilatan, begitu mendengar berita pengedjaran
itu, segera tokoh2 dan djago2 Sutjwan lantas be-ramai2 ikut serta dalam rombongan
pengedjar itu. Maka sesudah melalui Sutjwan tengah, rombongan pengedjar itu
sudah lebih seratus orang djumlahnja.
Djago silat didaerah Sutjwan
banjak jang berharta, banjak diantara mereka membawa serep kuda-keledai dengan
rangsum dan badju selimut setjara lengkap. Tjuma sajang bila berita diterima
mereka, Hiat-to Lotjo dan rombongannja sudah ketelandjur lalu hingga tidak
sempat untuk mentjegat sebelumnja. Karena itu, djago2 silat Sutjwan hanja dapat
menghibur Tjui Tay agar djangan tjemas dan menjatakan penjesalan mereka sebab
tidak dapat mentjegah pada waktu paderi2 tjabul itu masuk kewilajah mereka.
Sudah tentu Tjui Tay
menjatakan terima kasih atas perhatian kawan2 persilatan itu, tapi dalam
hatipun mendongkol: “Huh, urusan sudah lewat baru dibitjarakan. Apalagi
kepandaian seperti kalian ini masakah mampu mentjegat kedua paderi tua dan muda
itu?”
Begitulah udak-mengudak itu
dengan tjepat telah berlangsung hampir 20 hari. Beberapa kali Hiat-to Lotjo
mengambil djalan simpang untuk menjesatkan pengedjarnja, tapi diantara
rombongan pengejar itu adalah seorang Be-tjat (begal kuda) dari Kwantang
(diluar tembok besar timur laut) jang mahir ilmu mentjari djedjak. Tak peduli
Hiat-to Lotjo berputar kajun kemanapun selalu dapat diikutinja dari belakang.
Dan oleh karena itu djuga rombongan merekapun makin djauh makin memasuki lereng
pegunungan Sutjwan barat jang terkenal tinggi dan tjuram itu.
Para djago silat Tionggoan itu
tahu tudjuan Hiat-to Lotjo jalah ingin lari pulang kesarangnja di Tibet. Dan
bila masuk kewilajah kekuasaan paderi djahat itu, tentu akan terdjadilah
pertarungan sengit menghadapi begundal Hiat-to-bun, untuk mana tentu akan lebih
susah menjelamatkan Tjui Sing dan entah pihak mana jang bakal menang.
Karena itu, para djago
Tionggoan mengedjar semakin kentjang. Pada lohor hari itu, rombongan mereka
telah memasuki sebuah djalanan lembah gunung jang terdjal. Tiba2 tertampak
seekor kuda menggeletak mati ditepi djalan. Njata itu kuda kuning miliknja Ong
Siau-hong.
Dengan girang segera Tjui Tay
dan Siau-hong berseru: “Musuh telah kehilangan seekor kuda, marilah kita
menguber lebih tjepat, pasti paderi tjabul itu takkan dapat lolos!”
Tempat dimana rombongan djago2
Tionggoan itu berada sudah termasuk wilajah Sutjwan paling udjung barat, kalau
kebarat lagi akan masuk keperbatasan Tibet. Tempat itu termasuk lereng gunung
Tay-swat-san (gunung besar bersaldju), tanahnja tinggi terdjal, dinginnja tidak
kepalang hingga bagi orang jang Lwekangnja rendah, tentu akan sesak napas dan
tenaga lemas. Lebih2 djago2 silat Sutjwan itu kebanjakan adalah kaum hartawan
jang biasanja hidup adem-ajem didalam rumah, mereka itulah jang paling
menderita kedinginan.
Tjuma djago2 jang ikut serta
dalam pengedjaran ini adalah orang2 jang ternama semua, dengan sendirinja tiada
jang sudi mengundjuk kelemahan hingga memalukan nama baiknja sendiri.
Kini demi melihat kuda kuning
tunggangan Hiat-to Lotjo itu mati ditepi djalan, terang paderi itu tidak mampu
lari djauh, seketika semangat semua orang terbangkit dan siap2 untuk menguber
lebih djauh.
Diluar dugaan, perubahan
tjuatja dipegunungan itu ternjata sangat tjepat. Tiba2 tertampak diatas puntjak
diseberang selat jang dalam sana, segumpal saldju mendadak longsor kebawah.
“Tjelaka!” tjepat seorang
kakek dari Sutjwan barat berteriak: “Akan terdjadi gugur saldju, hajolah lekas
mundur!”
Belum lenjap suaranja,
mendadak terdengarlah suara gemuruh, saldju jang longsor dari puntjak gunung
itu semakin hebat.
Djago2 Tionggoan jang tidak
pernah melihat saldju itu seketika masih belum tahu duduknja perkara, banjak
diantara mereka malah tanja: “Apakah itu?” ~ “Tjuma saldju longsor sadja kenapa
mesti kuatir, hajolah kedjar terus!” ~ “Tjepat uber lagi, lintas dulu puntjak
sebelah sana itu!”
Namun hanja sebentar sadja
suara gemuruh jang menggelegar itu sudah bertambah hebat dan memekak telinga.
Dan baru sekarang orang2 itu merasa takut.
Gugur saldju itu djaraknja
semula memang sangat djauh, tapi saldju jang longsor dari atas itu, setiap
djatuh disesuatu tempat, selalu menggondol timbunan saldju ditempat itu dan
longsor pula kebawah, dari itu, suaranja semakin lama semakin gemuruh, dan
setiba ditengah gunung, suasana boleh dikata se-akan2 gugur gunung benar2,
bagaikan ombak samudera dahsjatnja, sungguh sangat mengerikan keadaannja.
Maka sekali berteriak,
beberapa djago2 Tionggoan itu lantas putar kuda dan mendahului lari. Dari
belakang suara gemuruh itu semakin hebat hingga mirip dunia sudah kiamat,
se-akan2 langit telah ambruk dan menindih kebawah. Saking ketakutan mereka
keprak kuda melarikan diri mati2an. Ada beberapa kuda jang djuga ketakutan
hingga kaki mendjadi lemas dan tidak mau djalan, terpaksa penunggangnja
melompat turun dan menjelamatkan diri dengan Ginkang.
Namun gugur saldju itu
tjepatnja melebihi kuda dan orang lari, hanja sekedjap sadja lautan saldju itu
sudah membandjir kekaki gunung. Ada 7-8 orang jang terlambat larinja terus
sadja terkubur hidup2 ditengah saldju. Dalam keadaan begitu, betapapun gagah
perkasa seseorang djuga takkan mampu melawan bentjana alam jang dahsjat itu.
Dan sesudah melintasi sebuah
bukit, barulah bandjir saldju itu tertahan oleh lereng bukit itu. Dengan
demikian barulah pendekar2 itu dapat bernapas lega. Namun saldju longsor itu
masih terus membandjir bagai air bah dahsjatnja, hanja sekedjap sadja antero
lembah djalan pegunungan itu sudah tertutup buntu semua hingga berwudjut bukit
saldju jang ber-puluh2 meter tingginja, kalau bukan burung, betapapun tidak
dapat melintasinja.
Begitulah kemudian semua orang
sama ramai membitjarakan nasib Hiat-to Lotjo bersama tjutju muridnja itu, tentu
kedua paderi itu telah menerima gandjaran atas kedjahatan mereka dan terkubur
dibawah saldju. Merekapun menjesalkan Tjui Sing jang tjantik molek itupun ikut
berkorban tanpa berdosa. Dan sudah tentu banjak pula jang berduka karena ada
kawan2 mereka jang telah terkubur ditengah saldju, tapi betapapun mereka
bersjkur djuga bagi diri sendiri jang terhindar dari malapetaka.
Setelah keadaan tenteram
kembali, lalu mereka memeriksa kawan2 jang hilang itu. Ternjata seluruhnja ada
12 orang jang hilang, diantaranja termasuk Ong Siau-hong dan keempat kakek
sakti “Lok-hoa-liu-tjui” itu. Sungguh tidak njana bahwa “Lam-su-lo” jang ilmu
silatnja tiada tandingannja itu kini terpendam semua dibawah saldju pegunungan
Tay-swat-san. Begitulah semua orang menghela napas gegetun, kemudian lantas
mentjari djalan untuk keluar dari kepungan dinding saldju itu. Mereka
beranggapan saldju jang membukit itu tidak nanti mentjair sebelum musim panas
tahun depan, untuk bisa mentjari majat jang terpendam saldju itu, keluarga
si-korban paling tidak djuga harus menunggu setengah tahun lagi. Tapi diam2
didalam hati semua orang djuga mempunjai suatu pikiran jang tak terkatakan,
jaitu: “Nama kebesaran Lam-su-lo dan Leng-kiam-siang-hiap paling achir ini
sangat terkenal, djika sekarang mereka sudah mati semua, itu berarti lebih
menguntungkan bagiku, maka biarkanlah mereka mati sadja!” ..........
***
Lantas kemanakah perginja
Hiat-to Lotjo bersama Tik Hun dan Tjui Sing itu? Apa benar mereka terkubur
didalam saldju longsor? ~ Tidak!
Bahkan waktu itu Hiat-to Lotjo
sangat senang sebab makin lama semakin dekat dengan sarangnja di Tibet,
walaupun djumlah pengedjar waktu itupun semakin bertambah. Tjuma saking
lelahnja karena berlari tidak pernah berhenti, achirnja kuda kuning tunggangan
Hiat-to Lotjo itu terbinasa ditepi djalan. Sedangkan kuda putih djuga sangat
pajah keadaannja, mungkin dalam waktu singkatpun akan menjusul kawannja
keachirat.
Hlm. 49 Gambar:
Waktu Tjui Sing siuman
kembali, segera ia mengendus bau sedap daging panggang, ketika ia perhatikan
ternjata kuda putih kesajangannja sudah disembelih oleh Hiat-to Lotjo dan telah
dipanggang dan sedang dilalap mereka.
Diam2 Hiat-to Lotjo memikir
sambil mengkerut kening: “Kalau aku sendiri hendak melarikan diri adalah
terlalu mudah, namun tjutju-murid kakinja pintjang, anak dara jang
tjantik-molek ini djuga sajang kalau ditinggalkan.” ~ Berpikir sampai disini,
mendadak ia mendjadi beringas, begitu ia putar tubuh, terus sadja Tjui Sing
dipeluknja dan hendak mentjopot badjunja.
Keruan Tjui Sing ketakutan
sambil ber-teriak2: “Hai, kau.......kau mau apa?”
“Lotju tidak mau membawa lari
kau lagi, masakah kau tidak tahu maksudku?” sahut Hiat-to Lotjo dengan
menjeringai.
Tik Hun ikut kuatir djuga
melihat sang “kakek-guru” berubah liar, tjepat iapun berteriak: “Sutjo,
sebentar musuh tentu akan memburu tiba!”
“Setan alas, kau djuga ikut
tjerewet?” bentak sipaderi tua.
Dan pada saat itu djuga, tiba2
terdengar suara gemerasak jang aneh diatas udara. Hiat-to Lotjo sudah lama
tinggal didaerah Tibet, sudah banjak bentjana gugur saldju jang telah
dilihatnja, dalam keadaan demikian, betapapun nekat napsu binatangnja djuga
tidak berani tjoba menantang bentjana alam itu. Tjepat ia berseru: “Wah,
tjelaka! Lekas lari, lekas!”
Ia lihat arah membandjirnja
saldju itu mungkin akan tertahan oleh sebuah bukit disebelah selatan sana, maka
tjepat ia menarik kuda putih dan berlari kedjurusan selatan. Biarpun paderi itu
biasanja sangat ganas dan kedjam, menghadapi saldju longsor itupun wadjahnja
berubah putjat. Ia tahu diatas puntjak gunung sekitar mereka berdiri itupun
penuh tertimbun saldju, bila suara getaran saldju longsor itu melampaui batas,
tentu timbunan saldju di-puntjak2 lain djuga akan ikut gugur dan tentu mereka
akan terkubur didasar lembah situ.
Dengan pajah kuda putih itu
dibebani Tik Hun dan Tjui Sing, setiba ditengah lembah, mendadak binatang itu
keserimpet, hampir Tik Hun terbanting kebawah. Sementara itu suara gemuruh
saldju longsor itu makin menghebat, sambil memandangi puntjak gunung disisi
mereka, Hiat-to Lotjo tampak sangat kuatir, pabila saldju diatas puntjak itupun
ikut gugur, pasti tjelakalah mereka.
Gugur saldju itu sebenarnja
tidak berlangsung terlalu lama, paling2 djuga tjuma belasan menit. Tapi dalam
waktu sesingkat itu Hiat-to Lotjo, Tik Hun dan Tjui Sing sudah dihinggapi rasa
takut jang tak kepalang. Tjui Sing sendiri mendjadi lupa barusan ia sendiri mengharap
bisa segera mati sadja agar terhindar dari hinaan kedua paderi tjabul itu. Tapi
kini berbalik timbul rasa ketergantung hidupnja kepada kedua orang itu, ia
berharap kedua orang laki2 itu dapat mentjari djalan untuk membantunja
terhindar dari bentjana alam itu.
Se-konjong2 dari atas puntjak
disisi mereka terdjatuh sepotong batu, saking kagetnja sampai Tjui Sing
mendjerit. Tjepat Hiat-to Lotjo mendekap mulut sigadis, sedang tangan lain
terus memberi persen dua kali tamparan dipipinja hingga seketika muka Tjui Sing
merah bengap. Untung timbunan saldju diatas puntjak itu rupanja tidak terlalu
tebal, maka tidak mudah untuk longsor.
Selang tak lama, suara gemuruh
gugur saldju itu mulai mereda lalu Hiat-to Lotjo melepaskan tangannja dari
mulut Tjui Sing. Gadis itu menutupi mukanja dengan kedua tangannja, entah
karena merasa lega, entah merasa gusar atau takut.
Kemudian Hiat-to Lotjo tjoba
meronda kemulut lembah sana, kembalinja tertampak air muka paderi itu
mengundjuk rasa sedih dan gusar. Ia terus duduk mendjublek diatas sebuah batu
padas dengan muka muram.
“Tjosuya, bagaimanakah
keadaaan diluar sana?” tanja Tik Hun.
“Bagaimana? Hm, semuanja
gara2mu setan tjilik ini!” damperat sipaderi mendadak.
Maka Tik Hun tidak berani
menanja lagi, ia tahu tentu gelagat tidak menguntungkan, makanja paderi tua itu
marah2. Tapi achirnja ia mendjadi tidaktahan lagi, kembali ia tanja: “Tjosuya,
apakah karena ada musuh mendjaga dimulut lembah sana? Djika demikian, silakan
engkau menjelamatkan sendiri sadja dan tidak perlu lagi memikirkan diriku.”
Selama hidup Hiat-to Lotjo
hanja bergaul dengan manusia2 tjulas dan djahat, bukan sadja semua
sobat-andainja begitu, bahkan anak muridnja seperti Po-siang, Siang-yong dan
lain2 djuga manusia2 litjik dan tjulas, hanja mementingkan diri sendiri tanpa
memikirkan orang lain. Tapi kini Tik Hun telah menjuruhnja menjelamatkan diri
sendiri sadja, tanpa merasa timbul rasa senangnja, wadjahnja menampilkan
senjuman, katanja kemudian: “Anak baik, kau memang mempunjai Liangsim jang
terpudji! Tapi bukan karena ada musuh mendjaga dimulut lembah sana, melainkan
lembah ini telah buntu tertutup oleh timbunan saldju jang berpuluh meter
tingginja dan beribu meter luasnja. Sebelum musim semi, saldju tetap akan
membeku, dan kitapun takdapat keluar dari sini. Padahal ditengah lembah sunji
ini, segala makanan tidak ada, masakah kita dapat tahan sampai tahun depan?”
Mendengar pendjelasan itu, Tik
Hun merasa keadaan memang berbahaja, tetapi karena saat jang paling gawat tadi
sudah lalu, maka ia tidak terlalu kuatir lagi. Katanja: “Tjosuya djangan
kuatir, asal mau berusaha, tentu ada djalannja. Seumpama kita akan mati
kelaparan disini djuga lebih baik daripada kita mati tersiksa ditangan musuh.”
“Benar djuga utjapanmu, anak
baik,” pudji sipaderi dengan tertawa lebar. Lalu ia berbangkit, tiba2 ia lolos
goloknja dan mendekati kuda putih itu.
“Hai, hai! Engkau mau apa?”
teriak Tjui Sing dengan kuatir.
“Mau apa? Boleh tjoba engkau
terka,” sahut sipaderi.
Padahal tidak usah diterka
djuga Tjui Sing sudah tahu kalau paderi itu hendak menjembelih kuda putih itu
untuk dimakan. Kuda itu dibesarkan bersama dia, sudah tentu ia pandang kuda
putih itu sebagai kawan-baiknja, dan dengan sendirinja ia mendjadi kautir dan
gusar pula melihat paderi djahat itu hendak mendjagal kuda kesajangannja itu.
Kembali ia ber-teriak2: “Tidak, tidak! Itu adalah kudaku, kau tidak boleh
memotongnja.”
“Haha, malahan kalau habis
makan daging kuda, tentu akan bergilir makan dagingmu,” sahut sipaderi dengan
tertawa. “Sedangkan daging manusia sadja kumakan, apalagi daging kuda?”
“Mohon belas-kasihanmu,
djanganlah membunuh kudaku,” pinta Tjui Sing dengan sangat. Dan pada saat
terpaksa itu, iapun berpaling kepada Tik Hun: “Harap engkau mohon padanja,
djanganlah membunuh kudaku.”
Melihat wadjah sigadis jang
penuh kuatir dan kasihan itu, sebenarnja Tik Hun tidak tega, tapi mengingat
keadaan sudah terpaksa, kalau tidak makan daging kuda, apa jang dapat dimakan,
malahan boleh djadi kalau sudah kehabisan makanan, mungkin pelana kuda terbuat
dari kulit itupun akan digodok untuk dimakan. Tapi karena tidak tega melihat
wadjah sigadis jang sedih itu, terpaksa ia berpaling kedjurusan lain.
Dalam pada itu Tjui Sing
sedang memohon pula: “Djangan..........djanganlah membunuh kudaku.”
“Baiklah, aku takkan membunuh
kudamu,” demikian kata Hiat-to Lotjo tiba2.
Keruan Tjui Sing kegirangan,
ber-ulang2 ia mengutjapkan terima kasih. Tapi mendadak terdengar suara “sret”
sekali, ditengah gelak ketawa sipaderi tua, tahu2 kepala kuda sudah
menggelinding ketanah, darahpun menjembur keluar sebagai air mantjur. Saking kaget
dan sesalnja hingga Tjui Sing seketika pingsan.
Waktu pelahan2 Tjui Sing
siuman kembali, lebih dulu ia lantas mengendus bau sedap, memangnja perutnja
sangat kelaparan, ia mendjadi girang mengendus bau lezat daging itu. Tapi
begitu pikirannja djernih kembali, segera ia ingat bau sedap itu adalah bau
panggang daging kuda kesajangannja itu. Ketika ia membuka mata, ia lihat
Hiat-to Lotjo dan Tik Hun sedang berduduk diatas batu padas dan lagi asjik
melalap daging kuda, ditepi batu terdapat segunduk api unggun, diatas sebatang
kaju jang melintang diatas api itu tergantung sepotong paha kuda.
Hlm. 53 Gambar:
Ketika Tik Hun dan Tjui Sing
mendongak dan memandang kearah datangnja suara njaring itu, maka tertampaklah
diatas sebuah tebing jang tjuram ada dua orang sedang bertempur.
Saking dukanja Tjui Sing
lantas menangis.
“Kau mau makan tidak?” tanja
Hiat-to Lotjo dengan tertawa.
“Kalian terlalu djahat, sampai
kudaku djuga dibunuh, kelak aku pasti.........pasti membalas sakit hati ini!”
demikian seru Tjui Sing sambil tersedu-sedan.
Tik Hun merasa menjesal djuga,
katanja: “Nona Tjui, ditengah lembah bersaldju ini, kita tiada punja makanan
apa2, terpaksa kami menjembelih kudamu. Bila engkau suka pada kuda bagus, kelak
kalau kita dapat keluar dari lembah ini tentu masih dapat membeli pula.”
“Kau paderi tjilik ini pura2
berhati badjik, padahal kau lebih2 djahat daripada paderi tua djahanam itu, aku
bentji padamu, kubentji padamu!” seru Tjui Sing.
Tik Hun tidak dapat mendjawab
lagi. Pikirnja: “Agar tidak mati kelaparan, meski kau bentji padaku djuga
terpaksa aku harus makan daging kudamu ini.” ~ Maka kembali ia sebret sepotong
daging kuda lagi terus dimakan pula.
Sambil menggeragoti daging
kuda, Hiat-to Lotjo melirik2 pula mengintjar Tjui sing, dengan samar2 ia menggumam
sendiri: “Ehm, rasa daging kuda ini sangat lezat. Ha, lewat beberapa hari lagi
kalau anak dara ini mesti dipanggang djuga untuk dimakan, rasanja belum tentu
selezat daging kuda ini.” ~ dan didalam hati diam2 ia pikir pula: “Dan habis
makan anak dara itu, terpaksa achirnja mesti makan djuga tjutju muridku jang
tersajang itu.”
Sesudah kenjang makan daging
kuda, lalu Tik Hun menambahi sedikit kaju bakar diunggun api, kemudian
merekapun tertidur sambil bersandar dibatu padas itu. Dalam keadaan lajap2 Tik Hun
mendengar suara sesenggukan Tjui Sing jang masih menangis tiada henti2nja,
tiba2 timbul rasa duka padanja: “Nona ini hanja kehilangan seekor kuda dan dia
sudah menangis sesedih itu. Sebaliknja hidupku didunia ini ternjata tiada
seorangpun jang menangis bagiku, sungguh malang nasibku ini, lebih tjelaka
daripada seekor binatang.”
Sampai tengah malam, tiba2 Tik
Hun merasa pundaknja di-dorong2 orang, segera ia terdjaga bangun, ia dengar
Hiat-to Lotjo sedang membisikinja: “Diam! Ada orang datang!”
Tik Hun terkesiap, tapi lantas
bergirang pula, pikirnja: “Djika ada orang datang, tentu kitapun dapat keluar.”
~ Maka dengan secara bisik2 tjepat ia menanja: “Dimana?”
Hiat-to Lotjo menuding kearah
barat dan berkata: “Disana, kau merebah sadja dan djangan bersuara, kepandaian
musuh sangat tangguh.”
Tik Hun tjoba mendengarkan
dengan tjermat, tapi tiada terdengar sesuatu apapun.
Sambil menghunus golok Hiat-to
Lotjo berdjongkok untuk sekian lamanja ditempatnja, se-konjong2 ia melesat
pergi setjepat anak panah terlepas dari busurnja. Hanja sekedjap sadja
bajangannja sudah menghilang dibalik lereng bukit sana.
Sungguh kagum tidak kepalang
Tik Hun: “Ilmu silat paderi ini benar2 djarang ada bandingannja. Djikalau
Ting-toako masih hidup dan bertanding dengan dia, entah siapa lebih unggul?” ~
Demi ingat kepada sang Toako itu, tanpa merasa iapun meraba punggungnja, njata
buntalan abu tulang Ting Tian itu masih tergembol baik2 disitu.
Ditengah malam sunji senjap
itu, tiba2 terdengar suara “trang-trang” dua kali, terang itulah suara
beradunja sendjata. Dan sesudah bunji njaring itu, keadaan kembali sepi
njenjak. Lewat agak lama, lagi2 terdengar suara njaring dua kali pula.
Tik Hun menduga pasti sipaderi
tidak berhasil menjergap musuh dan kini sudah saling gebrak. Dari suara
beradunja sendjata itu, njata ilmu silat musuh tidak berada dibawahnja.
Sedjenak kemudian, tiba2 suara
njaring itu mendering sampai empat-lima kali hingga Tjui Sing djuga terdjaga
bangun.
Waktu itu dataran dilembah
pegunungan itu hanja saldju belaka, dibawah tjahaja bulan, terpantjarlah sinar
repleksi dari saldju hingga tjuatja mirip fadjar menjingsing.
Tjui Sing memandang sekedjap
kearah Tik Hun, bibirnja ber-gerak2 seperti ingin menanja, tapi karena ia masih
bentji dan muak kepada pemuda itu, pula pertanjaannja belum tentu didjawab,
maka utjapannja jang sudah diambang mulut itu ditelannja kembali mentah2.
Tiba2 terdengar suara
“trang-trang” jang riuh pula, bunjinja semakin keras dan semakin tinggi. Waktu
Tjui Sing dan Tik Hun mendongak berbareng kearah datangnja suara, maka
tertampaklah dibawah sinar bulan, didinding suatu tebing jang tjuram disebelah
timur-laut sana ada dua bajangan orang jang sedang berputar kian kemari. Tebing
itu sangat terdjal, pula penuh timbunan saldju, kalau dipandang, tidak mungkin
orang sanggup memandjat keatas. Tetapi sambil bergebrak kedua orang itu
ternjata tidak pernah berhenti, mereka terus merajap keatas tebing.
Tik Hun tjoba memandang dengan
tjermat, ia lihat lawan Hiat-to Lotjo itu adalah seorang berdjubah imam dan
bersendjata pedang. Itulah imam tua jang tempo hari sudah pernah bergebrak
dengan sipaderi itu. Ia masih ingat Hiat-to Lotjo telah memudji kebagusan ilmu
pedang imam tua itu, katanja adalah djago dari Thay-kek-bun. Entah tjara
bagaimana imam tua itu dapat menerobos masuk ketengah lembah jang dikelilingi
dinding saldju ini?
Segera Tjui Sing djuga dapat
mengenali imam tua itu, saking girangnja ia terus berseru: “Itu dia Lau
Seng-hong Totiang! He, ada Lau-pepek, tentu ajah djuga ada. Hai, ajah, ajah!
Anak berada disini!”
Tik Hun kaget demi mendengar
Tjui Sing ber-teriak2 memanggil ajahnja. Pikirnja: “Hiat-to Lotjo sedang
bertempur dengan imam tua itu, melihat gelagatnja susah untuk terdjadi kalah
menang dalam waktu singkat. Dan bila ajahnja mendengar suaranja serta memburu
kemari, bukankah aku akan dibunuh olehnja?”
Maka tjepat ia mentjegah
teriakan Tjui Sing: “Hei, djangan engkau ber-teriak2, bila saldju mendjadi
longsor lagi, djiwa kita pasti akan melajang bersama?”
“Aku djusteru ingin mati
bersama Hwesio djahanam seperti kau ini,” damperat Tjui Sing dengan gemas. Dan
kembali ia ber-teriak2: “Ajah, ajah! Aku berada disini!”
“Tutup mulutmu!” bentak Tik
Hun. “Djika saldju longsor lagi, bukankah djiwa kita melajang, bahkan ajahmu
djuga akan mampus. Apakah kau hendak membunuh ajahmu? Kau benar2 puteri djahat
jang Put-hau (tak berbakti).”
Rupanja tjertjaan Tik Hun itu
kena dihati sigadis, sebab Tjui Sing lantas berpikir: “Ja, betul djuga. Bila
ajahpun sampai berkorban, aku jang berdosa.” ~ Tapi segera terpikir pula
olehnja: “Ah, betapa hebat kepandaian ajah? Saldju longsor tadi telah
menakutkan orang lain hingga lari ter-birit2, sebaliknja Lau-pepek toh mampu
melintasi lautan saldju setinggi itu, dan kalau Lu-pepek dapat kemari, dengan
sendirinja ajahpun dapat. Andaikan teriakanku akan membikin saldju longsor
lagi, paling2 djuga aku jang akan teruruk mati, ajah pasti takkan berhalangan
apa2. Paderi tua itu terlalu lihay, bila Lau-pepek terbunuh olehnja, pasti jang
paling tjelaka adalah diriku karena tertjengkeram ditangan kedua paderi djahat
ini.”
Berpikir begitu, maka kembali
ia ber-teriak2 lagi: “Ajah, ajah! Aku berada disini, lekas datang menolong
aku!”
Semula ketika gadis itu sudah
diam, Tik Hun mengira ia takkan bersuara lagi. Siapa duga mendadak ia berteriak
pula, bahkan semakin keras, seketika Tik Hun mendjadi tidak tahu tjara
bagaimana harus menjetopnja. Waktu menengadah, ia lihat Hiat-to Lotjo masih
menempur imam tua itu denan sengit. Golok merah jang diputar dengan tjepat itu
berwudjut selingkar sinar merah jang bertebaran diatas saldju jang memutih
perak. Gerak-gerik imam tua Lau Seng-hong itu tampaknja tidak terlalu tjepat,
tapi pendjagaannja rapat sekali, meski Hiat-to Lotjo tampaknja takkan kalah,
tapi untuk menang djuga susah terdjadi dalam waktu singkat.
Dalam pada itu didengarnja
Tjui Sing masih terus ber-teriak2 pada sang ajah, kemudian tiba2 berganti
memanggil: “Piauko, Piauko! Lekas kemari!”
Lama-kelamaan Tik Hun mendjadi
sebal dibuatnja, bentaknja pula: “Budak bawel, lekas tutup mulutmu bila engkau
tidak ingin kupotong lidahmu!”
“Aku djusteru ingin berteriak,
aku djusteru akan berteriak!” demikian sahut Tjui Sing. Dan kembali ia
berteriak lebih keras: “Ajah, ajah! Aku berada disini!”
Karena kuatir Tik Hun benar2
mendekatinja, maka ia lantas berbangkit sambil memegang sepotong batu. Selang
sedjenak, ia lihat Tik Hun masih menggeletak ditanah tanpa berkutik, mendadak
teringat olehnja: “Ja, Hwesio djahat ini telah patah kakinja, kalau tiada
ditolong oleh paderi tua itu, sudah lama ia dibunuh oleh Piauko. Gerak-geriknja
terang tidak leluasa, mengapa aku takut padanja?” ~ Demi dapat membedakan
kedudukan masing2, segera Tjui Sing membatin pula: “Hwesio tua itu terang
takkan datang kesini, kenapa aku tidak lantas membunuh Hwesio muda ini sekarang
djuga?” ~ Dengan mata mendelik segera ia angkat batu jang dipegang itu dan
mendekati Tik Hun terus sadja ia keprukan batu itu keatas kepala pemuda itu.
Sudah sedjak tadi Tik Hun
mengikuti gerak-gerik Tjui Sing, ketika tiba2 dilihat sikap sigadis mendjadi
beringas, diam2 ia sudah mengeluh. Maka ketika gadis itu mendekati dirinja,
segera ia tahu gelagat tidak menguntungkan. Dan ketika batu itu menimpa keatas
kepalanja, terpaksa ia berguling kesamping. “Bluk”, batu itu menghantam ditanah
saldju, selisih dari mukanja tjuma beberapa senti sadja.
Sekali menimpuk tidak kena,
kembali Tjui Sing djemput batu jang lain dan menjambit pula, sekali ini
mengarah keperut Tik Hun.
Terpaksa Tik Hun mengkerut
tubuh dan berguling pula. Tapi karena tulang kaki patah, gerak-gerik tidak
leluasa, achirnja tulang betis kena tertimpuk pula oleh batu itu, “krak”,
kembali tulang betis petjah tertimpuk batu, saking kesakitan sampai Tik Hun
mendjerit.
Sudah tentu Tjui Sing sangat
girang, lagi2 ia angkat sepotong batu hendak menimpuk pula.
Tik Hun insaf dirinja sudah
merupakan makanan empuk bagi orang, kalau be-runtun2 kena ditimpuk beberapa
kali lagi, pasti tamatlah riwajatnja. Dalam kehilangan akalnja, mendadak iapun
sambar sepotong batu dan balas menggertak: “Budak setan, kau berani menimpuk
batu pula, biar kukepruk mampus kau dahulu!”
Meski kaki Tik Hun patah, tapi
tenaga tangannja masih kuat, ketika Tjui Sing benar2 menimpuknja lagi, dengan
kelabakan ia mengegos lagi sambil berguling, lalu kontan balas menjambitkan
batu jang disambarnja tadi.
Lekas2 Tjui Sing melompat
kesamping, tapi batu itupun menjerempet lewat disisi telinga membuatnja kaget.
Ia tidak berani main timpuk batu lagi, tapi segera ia djemput sebatang ranting
kaju, dengan gerakan “Sun-tjui-tui-tjiu” (mendorong perahu menurut arus) ia
terus tusuk pundak Tik Hun.
Ilmu pedang keturunan keluarga
Tjui memang sangat hebat, meski sendjata jang digunakan hanja sebatang kaju,
tapi tjara menusuknja sangat tjepat, sekalipun Tik Hun dalam keadaan sehat
walafiat djuga bukan tandingannja, apalagi sekarang. Maka begitu tusukan itu
tiba, sedapat mungkin ia miringkan pundak untuk menghindar. Namun mendadak Tjui
Sing ganti tipu serangan, dengan “Oh-liong-tam-djiau” (naga hitam mendjulur
tjakar), “plok”, dengan tepat udjung kaju kena “tjakar” dikening Tik Hun.
Pabila sendjata jang dipakai
Tjui Sing adalah pedang benar2, maka djiwa Tik Hun
pasti sudah melajang. Namun
demikian, biarpun tjuma sebatang kaju sadja toh djuga sudah membikin Tik Hun
kesakitan setengah mati hingga mata ber-kunang2.
“Sepandjang djalan kau Hwesio
djahanam ini telah menjiksa nonamu, kini dapatkah kau menjiksa aku lagi?
Katanja kau hendak memotong lidahku, hajolah, mengapa tidak tjoba2 potong?”
demikian damperat Tjui Sing.
Habis itu, kembali ia angkat
ranting kaju itu menghantam dan menjabat keatas kepala, pundak dan pinggang Tik
Hun, setiap kali kena dihadjar, kontan tubuh Tik Hun bertambah babak belur,
“Hajolah, mengapa kau tidak
minta tolong Tjosuyamu? Hm, biarlah kuhadjar mampus dulu kau Hwesio djahat
ini!” begitulah sambil memaki Tjui Sing terus menghudjani Tik Hun dengan
hadjaran ranting kaju itu.
Karena takdapat melawan,
terpaksa Tik Hun hanja tutupi kepala dan mukanja dengan kedua tangan. Namun
begitu tangan dan lengannja mendjadi ikut babak-belur djuga hingga darah
bertjetjeran. Saking sakitnja Tik Hun mendjadi nekat. Mendadak ia pegang
ranting kaju orang waktu Tjui Sing menjabatnja lagi, lalu dibetot se-kuat2nja.
Kalau Tjui Sing tidak lepas tangan, bukan mustahil ia akan dipeluk oleh Tik
Hun. Terpaksa ia lepas tangan, dan mendadak Tik Hun lantas balas menjabatkan
ranting kaju itu.
Tjui Sing terkedjut dan
tjepat2 melompat mundur. Kemudian ia djemput sebatang kaju jang lain dan madju
pula hendak melabrak Tik Hun.
Dalam bahaja mendadak timbul
suatu akal Tik Hun, tiba2 teringat suatu akal badjingan olehnja, ia berteriak:
“Djangan madju lagi! Selangkah kau berani madju, segera aku membuka tjelana! ~
Dan sambil berteriak, kedua tangannja lantas me-raba2 pinggang dengan lagak
hendak membuka tjelana.
Keruan Tjui Sing kaget, lekas2
ia berpaling kearah lain dengan muka merah djengah. Pikirnja: “Segala
kedjahatan djuga dapat dilakukan Hwesio djahat ini, bukan mustahil dia akan
menggunakan kelakuan rendah ini untuk menghina diriku.”
“Hajolah, lekas kau melangkah
kesana, lebih djauh lebih baik!” segera Tik Hun ber-teriak2 pula.
Hati Tjui Sing berdebaran, ia
tidak berani membangkang, benar-benar ia melangkah madju kesana.
Tik Hun sangat girang karena
akal badjingannja berhasil menakutkan sigadis. Segera ia menggembor lagi: “Nah,
sudahlah, aku sudah tjopot tjelanaku sekarang, djika kau masih ingin menghadjar
aku, silakan datang kemari!”
Keruan Tjui Sing bertambah
kaget. Masakan pantas seorang gadis disuruh hadjar orang telandjang. Tanpa
pikir lagi ia terus melompat kesana, djangankan mendekat, sekalipun menoleh
djuga tidak berani. Ia menjingkir djauh2 kebalik gundukan saldju sana.
Padahal Tik Hun sebenarnja tidak
melepas tjelana segala. Apa jang dikatakan itu hanja untuk menggertak sadja.
Pikir punja pikir ia mendjadi geli sendiri dan gegetun pula akan nasibnja jang
apes. Hadjaran jang kenjang dirasakan tadi paling sedikit ada 50 kali banjaknja
dan antero badannja hampir2 rata penuh babak-belur, tulang betis jang petjah
ditimpuk batu itu, lebih2 kesakitan pula. Pikirnja: “Tjoba kalau aku tidak
gunakan akal badjingan, mungkin saat ini riwajatku sudah tamat. Ha, aku Tik Hun
adalah seorang laki2 sedjati, tapi sekarang telah berlaku serendah dan sekotor
ini, biarpun djiwaku ini selamat, tjara bagaimana aku harus berhadapan dengan
orang kelak?”
Waktu ia memperhatikan suasana
ditebing karang sana, ia lihat pertarungan Hiat-to Lotjo dan Lau Seng-hong
masih berlangsung dengan sengit.
Puntjak karang jang dipakai
gelanggang pertarungan itu menondjol keluar dari sebuah dinding tebing jang
terdjal. Tingginja dari tanah paling sedikit ada ratusan meter tingginja.
Diatas karang jang luasnja tjuma beberapa meter itu penuh tertimbun saldju,
asal salah seorang terpeleset sedikit sadja hingga tergelintjir djatuh kebawah,
biarpun setinggi langit ilmu silatnja djuga akan terbanting hantjur lebur.
Dipandang dari bawah, Tik Hun
merasa perawakan kedua orang itupun banjak lebih ketjil daripada tubuh mereka
jang sebenarnja. Lengan badju kedua orang itu tampak berkibaran hingga mirip
dua dewa sedang me-lajang2 ditengah awang2, sungguh indah pemandangan itu.
Meski Tik Hun tidak terlalu djelas menjaksikan djalannja pertarungan mereka,
tapi dapat diduga setiap djurusnja pasti menjangkut mati atau hidup masing2.
Dalam pada itu tiba2 terdengar
Tjui Sing ber-teriak2 pula dibalik gundukan saldju sana: “Ajah, ajah! Lekas
kemari!”
Setelah berteriak beberapa
kali, mendadak dari arah timur-laut ada suara seorang tua mendjawabnja: “Apakah
Tjui-titli disitu? Ajahmu mengalami sedikit tjidera, sebentar lagipun akan
menjusul tiba!”
Dari suara itu Tjui Sing dapat
mengenali orang itu adalah Hoa Tiat-kan, jaitu tokoh kedua daripada empat kakek
“Lok-hoa-liu-tjui”. Dengan girang segera ia berseru menanja: “Apakah Hoa-pepek
disitu? Dimanakah ajah? Bagaimana lukanja?”
“Wah, tjelaka, sekali ini
benar2 tjelaka!” demikian diam2 Tik Hun mengeluh. “Dia kedatangan bala bantuan,
tamatlah riwajatku tentu!”
Dan hanja sekedjap sadja
sikakek she Hoa itu sudah berlari sampai ditempat Tjui Sing, terdengar katanja:
“Tadi mendadak sepotong batu jang djatuh dari atas pntjak gunung telah menindih
keatas kepala Liok-pepek, karena ajahmu hendak menjelamatkan Liok-pepek, ia
telah hantam batu itu. Tapi karena batu itu terlalu besar dan berat, maka
tangan ajahmu mengalami sedikit tjidera, tapi tiada berhalangan apa2.”
“Eh, Hoa-pepek, ada seorang
Hwesio djahat disana, lekas .......lekas Hoa-pepek pergi kesana dan
membunuhnja, tapi dia .....dia telah buka......” begitulah Tjui Sing mendjadi
malu untuk mendjelaskan Tik Hun telah membuka tjelananja.
“Baiklah, akan kubunuh dia,
dimana tempatnja?” terdengar Hoa Tiat-kan menjahut.
Tjui Sing lantas menundjukkan
tempat beradanja Tik Hun, tapi kuatir kalau mendadak melihat pemuda itu dalam
keadaan telandjang, sambil djarinja menuding kebelakang, kakinja berbalik
melangkah kesana.
Dan selagi Hoa Tiat-kan
mendekati Tik Hun untuk membunuhnja, tiba2 terdengar suara njaring
“tring-ting-ting-ting” empat kali, suara njaring beradunja sendjata dari atas
tebing tjuram itu. Waktu ia menengadah, ia melihat golok dan pedang Hiat-to Lotjo
dan Lau Seng-hong saling bertahan mendjadi satu, kedua orang sedikitpun tidak
bergerak se-olah2 sudah mati beku oleh dinginnja saldju.
Kiranja ilmu golok dan ilmu
pedang kedua orang itu ada keunggulannja sendiri2, saking seru pertempuran itu,
sampai achirnja terpaksa kedua orang mesti mengadu Lwekang dengan mati-matian.
Sudah tentu Hoa Tiat-kan tahu
tjara mengadu Lwekang begitu adalah tjara jang paling bahaja. Sekali sudah
terdjadi kalah dan menang, jang kalah tentu akan terluka parah bila tidak mati.
Tiba2 tergerak pikirannja:
“Hiat-to Ok-tjeng itu sedemikian tangkas dan ganasnja, belum tentu Lau-hiante
dapat mendjatuhkan dia. Dalam keadaan demikian bila aku tidak lantas
mengerojoknja, mau menunggu kapan lagi?”
Meski kedudukan dan nama
baiknja di Bu-lim sangat tinggi, sebenarnja ia tidak sudi mendapat nama djelek
karena main kerojok. Tapi kedjadian para kesatria Tionggoan menguber dua paderi
Hiat-to-bun itu sudah menggemparkan antero dunia persilatan, djikalau sekarang
ia dapat membunuh Hiat-to-tjeng itu dengan tangan sendiri, nama harumnja tentu
tjukup untuk menutupi nama djeleknja karena telah main kerojok.
Karena pikiran itu, mendadak
ia putar tubuh dan berlari kebalik tebing tjuram itu. Dengan demikian
selamatlah djiwa Tik Hun.
Sebaliknja Tjui Sing mendjadi
heran dan kuatir. “Hai, Hoa-pepek, apa jang hendak kau lakukan?” serunja. Dan
begitu tertjetus pertanjaannja itu, segera iapun tahu sendiri akan djawabannja.
Ia lihat setjara diam2 Hoa
Tiat-kan sedang merajap keatas tebing jang terdjal itu. Tangan djago she Hoa
itu memegang sebatang tumbak pendek dari badja murni, sekali udjung tumbak
digunakan menutul didinding karang, segera tubuhnja melompat keatas dua-tiga
meter tingginja. Waktu tubuh menurun, tumbak pendek itu lantas menutul dinding
karang lagi untuk menahan, lalu mentjelat naik keatas lagi. Tjara mandjatnja
itu djauh lebih tjepat daripada Hiat-to-tjeng dan Lau Seng-hong tadi. Dipihak
lain demi mendengar tindakan orang sudah makin mendjauh, dirinja tidak djadi
akan dibunuhnja, maka legalah hati Tik Hun.
Tapi rasa lega itu hanja
terdjadi sekedjap sadja, sebab lantas dilihatnja djuga Hoa Tiat-kan sedang
melompat dan merajap keatas karang jang terdjal itu. Sudah tentu ia mendjadi
kuatir. Harapan satu2nja baginja sekarang jalah semoga sebelum Hoa Tiat-kan
mentjapai puntjak karang itu, lebih dulu dapatlah Hiat-to-tjeng membunuh Lau
Seng-hong, habis itu dapat segera bertempur melawan Hoa Tiat-kan. Kalau tidak,
bila nanti dikerojok oleh Hoa Tiat-kan berdua, pasti paderi tua itu akan
dirobohkan.
Tapi kemudian lantas terpikir
pula olehnja: “Lau Seng-hong dan Hoa Tiat-kan itu adalah kesatria jang berbudi
luhur, sedangkan Hiat-to-tjeng itu sudah terang gamblang adalah seorang jang
maha djahat, namun aku malah mengharapkan orang djahat membunuh orang baik. Ai,
Tik Hun, wahai, Tik Hun, ternjata sudah sedemikian bedjatnja moralmu! ~
Begitulah disamping kuatir bagi keselamatan sendiri, ia mentjela pula dirinja
sendiri, perasaannja mendjadi kusut sekali. Dan pada saat itulah dilihatnja Hoa
Tiat-kan sudah melompat naik keatas karang itu.
Tatkala itu Hiat-to-tjeng
sedang mengadu tenaga dalam dengan mati2an kepada Lau Seng-hong, setjara
ber-gelombang2 tenaga dalamnja sedang dikerahkan bagaikan ombak jang
men-dampar2 hebatnja. Sebaliknja Lau Seng-hong adalah tokoh terkemuka dari
Thay-kek-bun, selama hidupnja jang dilatih jalah tjara menggunakan kelunakan
untuk melawan kekerasan. Maka walaupun tenaga dalam Hiat-to-tjeng terus
membandjir, namun dengan tenang iapun gunakan tenaga dalamnja jang lunak itu
untuk mematahkan setiap desakan lawan. Lebih dulu ia bertahan, habis itu akan
terus balas menjerang bila musuh sudah lelah.
Dengan demikian, biarpun
tenaga dalam Hiat-to Lotjo sangat kuat, titik serangannja jang diarah djuga
ber-ubah2, namun sesudah saling ngotot sekian lamanja, tetap ia takdapat
meng-apa2kan Lau Seng-hong. Dengan memusatkan semangat dalam mengadu Lwekang
itu, kedua orang itu sudah melupakan apa jang terdjadi disekitarnja. Maklum,
kalah-menang dalam keadaan demikian tergantung sedetik sadja, siapa lengah
sedikit, seketika akan memberi kesempatan kepada lawan untuk melantjarkan
tenaga dalamnja lebih kuat.
Waktu Hoa Tiat-kan melompat
keatas karang itu, kedua orang itu tiada satupun jang tahu. Ia lihat
Hiat-to-tjeng dan Lau Seng-hong masih sendjata mengadu sendjata dan tangan
mendempel tangan, diatas kepala mereka mengepulkan hawa, pertanda tenaga dalam
mereka sudah penuh dikerahkan. Diam2 Hoa Tiat-kan memudji djuga ketangkasan
kedua orang itu.
Dengan diam2 ia menggermet
kebelakang Hiat-to Lotjo, ia angkat tumbak badjanja jang pendek itu, ia himpun
segenap tenaga kelengan jang memegang sendjata itu, sekali sinar tumbak
berkelebat, dengan tjepat dan keras ia terus menusuk kepunggung Hiat-to Lotjo.
Pada waktu Hoa Tiat-kan mulai
mengangkat tumbaknja tadi, sinar tumbak jang kemilauan telah menimbulkan
tjahaja repleksi pada tanah saldju jang putih bersih itu hingga menjilaukan Tik
Hun. Ia terkedjut dan tjepat berteriak sepenuh tenaganja: “Awas, dibelakang ada
orang!”
Mendengar djeritan jang
mengguntjangkan kalbu itu, mendadak Hiat-to Lotjo tersadar, tiba2 ia merasa
serangkum angin tadjam telah menjambar dari belakang. Padahal saat itu ia
sedang mengadu tenaga dalam dengan Lau Seng-hong, untuk berkelit atau mengganti
tempat terang sangat sulit, djangankan hendak menarik sendjata untuk menangkis
serangan dari belakang itu.
Tapi paderi tua itu dapat
berpikir tjepat: “Daripada mati konjol, lebih baik aku mati terbanting sadja.
Aku tidak boleh mati ditangan musuh!”
Karena pikiran itu, mendadak
ia mendakan tubuh dan melesat kesamping, ia sengadja terdjun kebawah djurang.
Dalam pada itu tusukan tumbak
Hoa Tiat-kan itu sudah bertekad harus membinasakan Hiat-to-tjeng itu. Maka
tusukan itu luar biasa kerasnja dan tak tertahankan lagi. Siapa tahu mendadak
ada perubahan jang tak terduga oleh siapapun djuga. Pada detik menentukan itu
mendadak Hiat-to-tjeng terdjun kebawah djurang. Maka terdengarlah “tjrat”
sekali, udjung tumbak menantjap ditubuh kawan sendiri, jaitu diatas dada Lau
Seng-hong. Begitu kuat tusukan itu hingga udjung tumbak menembus dari dada
kepunggung. Sudah tentu kedjadian itupun se-kali2 tidak tersangka oleh Lau
Seng-hong hingga iapun tidak sempat menghindar.
Dalam pada itu Hiat-to Lotjo
jang menerdjun kedalam djurang itu semakin dekat dengan tanah. Se-konjong2 ia
menggertak sekali sambil ajun goloknja membatjok kebawah. Dasar djiwanja
mungkin belum ditakdirkan mampus, batjokan itu tepat mengenai batu karang jang
menondjol hingga lelatu api bertjipratan dan daja turunnja mendjadi tertahan
sedikit. Menjusul sebelah tangannja terus memukul pula kebawah, “brak”, saldju
bertebaran kena tenaga pukulannja itu, sedjenak kemudian Hiat-to Lotjo dapat
pula menantjapkan kakinja ketanah dengan enteng dan tak kurang sesuatu apapun.
“Ehm, tjutju murid jang baik,
untunglah engkau telah mendjerit hingga djiwa kakek gurumu ini tertolong!”
demikian ia mengangguk kepada Tik Hun sebagai tanda pudjian.
“Rasakan golokku!” tiba2
seorang membentak dibelakangnja.
Dengan ilmu
“Thing-hong-pian-gi” atau mendengarkan suara membedakan arah sendjata, dengan
tjepat dan tanpa balik tubuh paderi itu terus putar golok kebelakang untuk
menangkis. “Trang”, dua golok saling bentur dengan keras. Kontan Hiat-to Lotjo
merasakan dadanja sesak, hampir2 golok terlepas dari tjekalan. Keruan kedjutnja
tak terkatakan.
Waktu ia menoleh, ia lihat
penjerang itu adalah seorang kakek jang bertubuh tegap kekar, berdjenggot
pandjang dan sudah putih semua. Tangan memegang sebatang “Kui-thau-to”, jaitu
golok tebal jang berudjung dalam bentuk kepala setan. Sikapnja sangat gagah.
Hanja sekali gebrak itu sadja,
maka Hiat-to Lotjo mendjadi djeri. Sama sekali tak tersangka olehnja bahwa
tenaga dalamnja sudah banjak terbuang ketika mengadu Lwekang dengan Lau
Seng-hong tadi, ditambah lagi menerdjun dari atas, ia mesti menggunakan tenaga
pukulannja untuk menahan daja turunnja tubuh hingga tidak terbanting mati.
Tjoba kalau orang lain, andaikata tidak terbanting mampus, paling sedikit djuga
akan tangan patah atau remuk isi perutnja dan terluka parah.
Ia tjoba mendjalankan tenaga
murninja, ia merasa didalam perut agak sakit, tenaga susah dikerahkan.
“Liok-toako, paderi tjabul itu
telah membunuh Lau-hiante, kalau kita tidak mentjingtjang dia hingga mendjadi
baso, sungguh tak terlampias dendam kita,” demikian tiba2 seorang berseru dari
sisi kiri sana.
Pembitjara itu bukan lain
daripada Hoa Tiat-kan. Sesudah dia salah membunuh kawan sendiri, jaitu imam tua
Lau Seng-hong, sudah tentu ia sangat berduka dan murka pula kepada musuh jang
litjik itu. Setjepat terbang iapun memburu kebawah djurang dengan maksud hendak
mengadu djiwa dengan Hiat-to Lotjo. Kebetulan saat itu Liok Thian-dju, jaitu
sikakek pertama dari “Lam-su-lo”, djuga telah menjusul tiba. Maka kedudukan
Hiat-to Lotjo kembali terdjepit lagi dari dua djurusan.
Mau-tak-mau Hiat-to Lotjo
mendjadi kuatir djuga. Ia insaf tenaga dalam sendiri sudah terkuras sebagian
besar, melawan seorang Liok Thian-dju sadja belum tentu menang, apalagi kini
ditambah Hoa Tiat-kan jang tampak sudah mendekat dengan mata membara se-akan2
hendak menelannja mentah2. Kalau sebentar sampai terlibat lagi dalam kerojokan
mereka, pasti djiwanja akan melajang. Ia pikir tenaga dalam sendiri sudah
lemas, untuk laripun tentu susah, djalan satu2nja sekarang jalah menggunakan
Tjui Sing sebagai sandera agar musuh tidak berani terlalu mendesak padanja. Dan
sesudah awak sendiri dapat mengaso barang sedjam dua djam, tentu akan kuat
untuk bertempur lagi.
Keputusan itu ditetapkannja
dalam sekilas pikir sadja, dalam pada itu dilihatnja golok tebal Liok Thian-dju
sudah terangkat dan hendak membatjok pula. Tjepat Hiat-to Lotjo mendakan tubuh,
be-runtun2 ia menjerang tiga kali kebagian bawah musuh.
Perawakan Liok Thian-dju
tinggi besar, terpaksa ia mesti mengajun goloknja untuk menangkis kebawah.
Padahal serangan2 Hiat-to-tjeng itu tjuma pantjingan belaka. Tapi djuga bukan
sembarangan serangan kosong, sebab kalau sedikit salah tangkisan Liok Thian-dju
itu, pasti djiwanja akan segera melajang. Namun tangkisan2 itu ternjata sangat
rapat hingga tiada lubang kesempatan bagi Hiat-to-tjeng untuk menjerang lebih
djauh.
Mendadak paderi tua itu
mendesak madju selangkah, tapi baru setengah djalan, tahu2 ia menarik diri dan
melompat kebelakang malah. Dengan tjara “Seng-tang-kek-se” (bersuara ketimur,
tapi menjerang kebarat), barulah Hiat-to-tjeng dapat melepaskan diri dari
kurungan sinar golok Liok Thian-dju jang lihay itu.
Dan sekali sudah melompat
mundur, hanja beberapa kali naik turun sadja ia sudah sampai disamping Tik Hun.
Ketika Tjui Sing tak kelihatan, segera ia menanja: “Dimanakah anak dara itu?”
“Disana!” sahut Tik Hun sambil
menuding.
Keruan Hiat-to lotjo mendjadi
gusar. “Kenapa kau tak tawan dia dan membiarkan dia lari?” damperatnja dengan
beringas.
“Aku......... aku tak
kuat........ tak kuat menangkapnja,” sahut Tik Hun gelagapan.
Hiat-to Lotjo semakin murka,
dasarnja memang seorang jang kedjam, pada saat menentukan bagi mati-hidupnja
itu ia mendjadi lebih buas lagi. Sekali kakinja bergerak, terus sadja ia
tendang kepinggang Tik Hun. Pemuda itu mendjerit tertahan dan badannja mentjelat
dan terguling kedepan.
Tempat dimana mereka berada
itu memangnja djurang jang dikelilingi puntjak2 gunung jang tinggi, siapa duga
dibawah djurang masih ada djurang lagi. Dan karena tergulingnja Tik Hun itu,
tubuhnja terus tergelintjir kebawah djurang jang lebih dalam itu.
Ketika mendengar suara Tik Hun
tadi, segera Tjui Sing menoleh. Demi dilihatnja Tik Hun sedang terdjerumus
kebawah djurang, dalam kagetnja dilihatnja Hiat-to Lotjo lagi memburu kearahnja
pula. Dan pada saat itu djuga tiba2 dari samping kanan sana ada suara seruan
orang: “Sing-dji! Sing-dji!”
Itulah suara ajahnja, Tjui
Tay. Keruan Tjui Sing sangat girang, segera iapun balas berteriak: “Ajah!”
Sungguh sajang perbuatan Tjui
Sing ini. Padahal waktu itu djaraknja dengan sang ajah terlalu djauh,
sebaliknja djaraknja dengan Hiat-to Lotjo lebih dekat, selisih djarak kedua
pihak itu ada beberapa meter djauhnja. Pabila Tjui Sing tidak berteriak
misalnja, sekali melihat ajahnja muntjul, segera ia berlari kearahnja, dengan
demikian djaraknja dengan sang ajah akan mendjadi lebih dekat daripada
djaraknja dengan Hiat-to Lotjo. Tapi karena teriakannja itu, nasib hidupnja
mendjadi banjak perubahannja.
Begitulah saking girangnja ia
berteriak ajah, seketika ia mendjadi lupa Hiat-to Lotjo djuga sedang memburu
kearahnja.
Dalam pada itu lingkaran
kepungan Tjui Tay, Liok Thian-dju dan Hoa Tiat-kan dari tiga djurusan djuga
semakin sempit, tampaknja dalam waktu singkat Hiat-to Lotjo pasti akan
tergentjet. Tapi kalau lebih dulu Tjui sing kena ditangkap oleh paderi tua itu,
kedudukan masing2 tentu akan berubah, dengan mempunjai sandera tawanannja itu,
tentu sipaderi akan dapat angin lagi.
Karena itu tjepat Tjui Tay
lantas ber-teriak2 djuga: “Sing-dji, lekas kemari, lekas!”
Maka tersadarlah Tjui Sing,
tjepat ia berlari kedepan bagaikan orang keselurupan.
Diam2 Hiat-to Lotjo gegetun,
tjepat ia sambar setjomot saldju, ia kepal mendjadi sepotong batu saldju terus
disambitkan lebih dulu kearah Tjui Tay, menjusul sepotong lagi ia timpuk
“Leng-tay-hiat” dipunggung Tjui Sing. Tanpa ampun lagi gadis itu roboh tak
berkutik lagi. Sedangkan lari Hiat-to Lotjo tidak pernah berhenti, begitu
mendekat, terus sadja ia pegang gadis itu. Hampir berbareng dengan itu,
terdengarlah suara angin menjambar dari samping, udjung tumbak Hoa Tiat-kan
sudah menusuk tiba.
Djago she Hoa itu sudah
terlalu gemas karena paderi tua itu telah mengakibatkan dia menusuk mati
saudara angkat sendiri, jaitu Lau Seng-hong, maka ia mendjadi kalap tanpa
menghiraukan mati hidupnja Tjui Sing jang tertawan musuh itu, tapi begitu tiba
terus sadja ia menusuk dengan tumbak.
Tjepat Hiat-to-tjeng
menangkis, “trang”, tahu2 goloknja mendal kembali. Kiranja tumbak Hoa Tiat-kan
itupun bukan sembarangan tumbak, tapi adalah buatan badja murni hingga tak
terkutung oleh sembarangan golok atau pedang mestika.
Dengan memaki segera Hiat-to
Lotjo melangkah mundur sambil menggondol Tjui Sing. Tapi dari sana tampak Liok
Thian-dju telah membatjoknja djuga dengan Kui-thau-to. Oleh karena terkepung,
untuk mundur lagi tentu djuga akan terdjerumus kedjurang.
Ttapi sekilas Hiat-to-tjeng
melihat Tik Hun jang didepaknja kedalam djurang tadi bukannja terbanting
mampus, tapi pemuda itu sedang berduduk dibawah situ sambil menengadah
menjaksikan pertarungan mereka. Tergerak pikiran Hiat-to-tjeng: “Ternjata timbunan
saldju dibawah djurang itu sangat tebal, makanja botjah itu tidak terbanting
mati.” ~ Tanpa pikir lagi iapun menerdjun kebawah sambil merangkul Tjui Sing.
Ditengah djeritan Tjui Sing
jang ketakutan, kedua orang itu sudah terdjerumus kebawah djurang. Tinggi
djurang itu ada ratusan meter tapi timbunan saldju ada berpuluh meter tebalnja.
Saldju jang bawah sudah membeku, tapi lapisan atas saldju masih tjerna dan
empuk laksana kasur, maka kedua orang itu sedikitpun tidak terluka apa2.
Tjepat Hiat-to Lotjo terus
merangkak bangun dari gundukan saldju, ia sudah pilih tempat jang baik dan
berdiri diatas sebuah batu karang dimulut djurang itu sambil menghunus golok.
Ia ter-bahak2 dan berseru: “Hajolah, kalau berani, turun kemarilah dan kita
boleh bertempur lagi!”
Kebetulan batu karang itu
sangat strategis tempatnja. Kalau Tjui Tay dan lain2 melompat turun, tubuh
mereka pasti akan melajang lewat batu karang itu. Dalam keadaan begitu tjukup
Hiat-to-tjeng ajun goloknja sekali dan kontan tubuh sipenerdjun itu pasti akan
terkutung mendjadi dua.
Dengan susah pajah Liok
Thian-dju berempat achirnja dapat menjusul Hiat-to Lotjo, tapi sesudah
ketjandak, seorang saudara angkat mereka mendjadi korban, sekarang paderi
djahat itu lolos lagi. Keruan mereka mendjadi gemas dan geregetan. Lebih2 Tjui
Tay jang puterinja masih berada dibawah tjengkeram tangan paderi iblis itu,
sedang Hoa Tiat-kan djuga salah membunuh saudara angkat sendiri, mereka berdua
inilah paling pedih hatinja. Segera mereka bertiga bisik2 untuk berunding tjara
bagaimana harus membunuh musuh.
Liok Thian-dju itu berdjuluk
“Djin-gi Liok Toa-to” atau sigolok besar she Liok jang berbudi luhur. Sedangkan
Hoa Tiat-kan bergelar “Tjong-peng-bu-tik” atau situmbak badja tanpa tandingan,
Tiong-peng-djiang adalah nama tumbaknja itu.
Tjui Tay sendiri berdjuluk
“Leng-goat-kiam”, sipedang bulan purnama. Ditambah lagi imam tua Lau Seng-hong,
mereka disebut “Lok-hoa-liu-tjui”. Apa jang disebut “Lok-hoa-liu-tjui”
sebenarnja adalah “Liok-hoa-lau-tjui”, jaitu diambil dari suara she mereka.
Bitjara tentang ilmu silat
belum pasti Liok Thian-dju jang paling tinggi, namun pertama karena usianja
paling tua, kedua, hubungannja dengan kawan Kangouw sangat luas, maka namanja
adalah urutan pertama dalam “Lam su-lo” atau empat kakek dari selatan. Watak
Liok Thian-dju paling keras, dia paling bentji kepada perbuatan rendah dan
memalukan, apalagi mengenai perbuatan melanggar kehormatan kaum wanita segala.
Kini melihat tingkah pola Hiat-to Lotjo jang mentang2 diatas batu karang
se-akan2 dunia ini aku punja, sedangkan tubuh Tjui Sing lemas lunglai menjandar
badan Tik Hun. Ia tidak tahu bahwa Hiat-to gadis itu telah tertutuk dan takbisa
berkutik, sebaliknja ia sangka djiwa Tjui Sing itupun rendah, tak kuat
mempertahankan imannja, berada dibawah tjengkeraman paderi2 tjabul itu ternjata
tidak melawan sedikitpun. Saking gemasnja ia terus djemput beberapa potong batu
dan ditimpukan kebawah.
Dasar tenaganja memang besar,
dari atas menimpuk kebawah pula, keruan hudjan batu itu sangat hebat. Maka
terdengarlah suara gemuruh disana-sini, lembah pegunungan sekeliling situpun
menggemakan suara kumandang jang memekak telinga.
Dibawah hudjan batu dengan
saldju berhamburan, tjepat Hiat-to Lotjo mendakan tubuh dan menjeret Tik Hun
dan Tjui Sing bersembunji kebalik sebuah batu karang jang besar. Sementara ini
ia sudah lolos dari bahaja, rasa gusarnja kepada Tik Hun tadi mendjadi reda
djuga, maka ia tidak ingin “tjutju murid” itu mati tertimpuk batu.
Habis itu, ia sendiri kembali
melontjat keatas batu karang, ia tuding Liok Thian-dju bertiga dan
mentjatji-maki. Bila ditimpuk dengan batu, ia lantas berkelit atau menjampok
dengan goloknja.
Dalam pada itu Tik Hun dan
Tjui Sing jang diseret Hiat-to Lotjo dan disembunjikan dibalik batu karang itu,
setelah rasa takut mereka agak tenang, ketika mereka melihat sekitar situ,
ternjata dinding dibelakang batu karang itu mendekuk masuk kedalam hingga
berwudjut sebuah gua jang besar. Karena tertahan oleh batu karang itu, maka
saldju jang tertimbun didalam gua itu sangat tipis hingga merupakan sebuah
tempat meneduh jang sangat bagus.
Oleh karena dari atas masih
dihudjani batu oleh Liok Thian-dju, Tik Hun kuatir ada batu njasar hingga
melukai Tjui Sing, segera ia rangkul sigadis dan menjeretnja lebih djauh
kedalam gua.
Keruan Tjui Sing ketakutan, ia
men-djerit2: “Djangan sentuh aku, lepaskan aku!”
“Ha-hahaha!” Hiat-to Lotjo
ter-bahak2. “Tjutju murid jang baik. Tjosuya sendiri lagi mati2an menghadapi
musuh diluar sini, kau sendiri malah mendahului senang2 didalam situ! Hahaha,
kurang-adjar!”
Sungguh dada Tjui Tay bertiga
hampir2 meledak saking gusarnja mendengar otjehan itu.
Sebaliknja Tjui Sing djuga
menjangka Tik Hun hendak berbuat tidak senonoh setjara paksa padanja, keruan ia
bertambah takut. Tapi demi kemudian melihat pakaian “Hwesio” itu dalam keadaan
radjin, meski bukan pakaian baru, tapi terpakai dengan betul ditubuhnja,
barulah sekarang ia tahu orang mengantjam hendak melepas tjelana tadi
sebenarnja tjuma untuk menipu sadja. Mukanja mendjadi merah teringat kedjadian
tadi, segera ia mendamperat: “Hwesio djahat penipu, hajo, lekas menjingkir
kesana!”
Memangnja Tik Hun tiada punja
maksud djahat, sebaliknja bermaksud baik menjelamatkan gadis itu, maka segera
ia berdjalan menjingkir. Dalam keadaan tulang paha patah dan tulang betis
petjah, hakikatnja takbisa dikatakan “berdjalan” lagi, paling2 hanja dapat
disebut “mengesot”.
Begitulah kedua pihak saling
bertahan dengan ngotot, tiga diatas dan satu dibawah, tanpa terasa fadjar sudah
menjingsing, hari sudah terang tanah. Pelahan2 tenaga Hiat-to Lotjo djuga sudah
pulih kembali. Sedangkan hatinja tiada hentinja merantjang rentjana: “Tjara
bagaimana aku harus menghadapi mereka? Tjara bagaimana supaja aku dapat
menjelamatkan diri?”
Padahal ketiga lawan didepan
mata itu ilmu silat setiap orangnja adalah sepadan dengan dia, djangankan
hendak menangkan mereka, untuk lolos dari kedjaran merekapun maha sulit. Bahkan
asal dirinja meninggalkan batu karang itu hingga kehilangan tempat pendjagaan
jang menguntungkan, seketika djuga musuh pasti akan memburu turun dan akan
dikerubut lagi.
Oleh karena tiada djalan lain,
terpaksa ia terus menunggui batu karang itu. Tapi ia sengadja ber-djingkrak2
dan me-nari2 dengan matjam2 lagak dan aksi jang di-buat2 untuk menggoda dan
mengedjek musuh sekadar untuk menghibur diri pula.
Melihat tingkah-pola musuh
jang memualkan itu, semakin ditonton semakin menggemaskan, tiba2 Liok Thian-dju
mendapat satu akal. Bisiknja segera kepada Tjui Tay: “Tjui-hiante, tjoba engkau
berdjalan kearah timur pura2 hendak merosot kebawah. Dan Hoa-hiante, engkau
pura2 hendak menjerang dari sebelah barat untuk memantjing Hwesio djahat itu,
aku sendiri mendjadi ada kesempatan untuk menerdjang kebawah.”
“Akal bagus,” sahut Tjui Tay.
“Bila musuh tidak pusingkan kita, segera kita menerdjang kebawah sungguh2.”
Habis berkata, ia saling
memberi tanda dengan Hoa Tiat-kan, lalu berlari kedjurusannja masing2.
Berpuluh meter disekitar situ
adalah dinding karang jang tjuram, kalau ingin meluntjur saldju kebawah djurang
harus memutar djauh kesana untuk kemudian melingkar kembali.
Rupanja akal itu telah
membingungkan Hiat-totjeng djuga. Demi melihat kedua lawan mementjarkan diri
kedua djurusan, terang orang bermaksud memutar djalan untuk mendekati
tempatnja. Tjara bagaimana harus merintanginja, seketika ia mendjadi mati kutu.
Pikirnja: “Wah, tjelaka! Djika mereka benar2 memutar kemari, meski makan tempo
agak lama, tapi achirnja tentu akan tertjapai maksud mereka. Dalam keadaan
demikian, kalau aku tidak menggelojor pergi mau tunggu kapan lagi? Mereka
bermaksud memutar djalan untuk menjerang, aku lantas memutar djuga untuk angkat
langkah seribu.”
Ia lihat Liok Thian-dju sedang
menjaksikan kepergian kedua kawannja, diam2 Hiat-to Lotjo lantas memberosot
kebawah batu karang dan merat kearah barat-laut tanpa memberitahukan Tik Hun.
Ketika mendadak tidak
mendengar suara otjehan Hiat-to-tjeng lagi, segera Liok Thian-dju melongok
kebawah, tapi tahu2 paderi tersebut sudah menghilang. Ia lihat diatas tanah
saldju itu ada segaris bekas tapak kaki jang menudju kearah barat. Ia pikir
bila paderi djahanam itu sampai lolos, maka runtuhlah nama baik djago silat Tionggoan.
Segera ia ber-teriak2: “Hoa-hiante, Tjui-hiante, lekas kembali. Ok-tjeng
(hweshio djahat) itu telah merat!”
Mendengar seruan itu, segera
Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan berlari kembali. Dalam pada itu tanpa pikir lagi Liok
Thian-dju terus terdjun kebawah djurang menirukan tjara musuh tadi, seketika
iapun menghilang, ambles kedalam lautan saldju.
Diwaktu menerdjun Liok
Thian-dju sudah tutup napasnja. Ia merasa badannja terus ambles kebawah,
menjusul kakinja lantas menjentuh tempat keras, jaitu lapisan saldju jang sudah
beku. Segera ia tutul kakinja sekuatnja hingga badannja mumbul keatas.
Pengalaman demikian djuga telah dialami Tik Hun dan Hiat-to Lotjo tadi, sesudah
kepala menongol keluar, lalu mereka merangkak naik.
Diluar dugaan, baru sadja
kepala Thian-dju hendak menongol, se-konjong2 dadanja terasa kesakitan, njata
ia sudah kena sergapan musuh. Oleh karena kepala belum berada diluar saldju,
dengan sendirinja ia takdapat mendjerit. Tapi kontan setjepat kilat iapun balas
membabat dengan goloknja.
Rupanja serangan balasan jang
teramat tjepat itupun diluar perhitungan musuh hingga terasa djuga kena
sasarannja. Namun menjusul musuh jang bersembunji dibawah saldju itu lantas
menjerang pula.
Waktu Tjui Tay dan Hoa
Tiat-kan kembali diatas puntjak karang tadi, mereka menjaksikan timbunan saldju
dibawah djurang itu bergolak dengan hebat, tapi tiada menampak bajangan
seorangpun. Hanja sekedjap sadja dari dalam saldju tampak merembes keluar air darah
“Tjelaka, Liok-toako telah
bertempur dengan Ok-tjeng itu dibawah saldju!” seru Tjui Tay dengan kuatir.
“Ja, benar! Sekali ini
Ok-tjeng itu harus kita binasakan!” sahut Hoa Tiat-kan.
Mengapa mendadak Hiat-to Lotjo
bisa berada dibawah saldju dan bertempur dengan Liok Thian-dju? Kiranja tadi
waktu mendengar seruan Thian-dju kepada kedua kawannja, paderi itu menaksir
segera lawan itupun akan menerdjun kebawah untuk mengedjarnja. Tiba2 ia
mendapat satu akal, tjepat ia putar balik dan menjusup kedalam saldju disekitar
batu karang itu.
Terhadap djago silat jang
lihay dengan pengalaman luas seperti Liok Thian-dju itu, hendak melakukan
penjergapan padanja boleh dikata adalah tidak mungkin berhasil. Tapi kini ia
menerdjun kedalam saldju dari tempat yang tinggi, pengalaman itu selama
hidupnja belum pernah ada, dengan sendirinja jang ia pikirkan jalah tjara
bagaimana harus menahan napas dan mengerahkan tenaga selama ambles kedalam
saldju serta timbul kembali keatas. Apalagi dengan terang diketahui
Hiat-to-tjeng sudah merat, sudah tentu mimpipun tak tersangka bahwa didalam
saldju ada sembunji seorang musuh. Dari itulah baru kepala Liok Thian-dju
hendak menongol kepermukaan saldju, tahu2 dadanja sudah kena serangan golok
Hiat-to-tjeng.
Tapi betapapun Liok Thian-dju adalah
kepala dari “Lam-su-lo”, terhitung djago kelas wahid diantara djago silat
Tionggoan. Meski dadanja sudah terluka, menjusul iapun dapat balas melukai
musuh. Ia tahu gerak-gerik Hiat-to-tjeng itu laksana hantu tjepatnja, ia tidak
boleh meleng barang sekedjappun, kalau mesti menunggu kepala menongol keatas
saldju lalu balas menjerang, tentu serangan musuh jang lain segera akan tiba
pula lebih dulu.
Benar djuga baru Hiat-to Lotjo
hendak menjerang pula, tak terduga serangan balasan Liok Thian-dju sudah dilontarkan
dengan tjepat luar biasa hingga iapun terluka. Sekuat tenaga ia menangkis tiga
kali serangan Kui-thau-to lawan sambil melangkah mundur. Diluar dugaan mendadak
kakinja mengindjak tempat kosong, saldju dimana kakinja berpidjak itu tidak
beku hingga badannja terdjeblos kebawah lagi.
Dalam pada itu serangan
Thian-dju masih terus dilantjarkan tanpa memberi kesempatan bernapas bagi
lawan, tiga kali serangan disusul tiga kali serangan lain lagi. Ia tahu musuh
pasti akan terdesak mundur, maka iapun merangsak madju. Tak terduga mendadak
kakinja merasa “blong”, tubuhnja lantas andjlok kebawah.
Hiat-to Lotjo dan Liok
Thian-dju adalah djago2 silat kelas atas pada djaman itu, meski terdjerumus
dalam keadaan jang benar-benar maha sulit itu, namun pikiran mereka sama sekali
tidak katjau. Mereka sama2 tidak dapat memandang dan mendengar, tapi mereka
mempunjai pendapat jang serupa, begitu kaki mengindjak tanah, segera masing2
memainkan ilmu golok sendiri dengan kentjang. Tatkala itu tebal saldju diatas
kepala mereka ada belasan meter tingginja, ketjuali musuh dapat dibinasakan,
kalau tidak, siapapun tiada berani menongol dulu keatas, sebab bila timbul
maksud hendak menjelamatkan diri, tentu akan segera dibatjok mati oleh
lawan……….
Sementara itu Tik Hun mendjadi
heran karena mendadak diluar gua mendjadi sunji, padahal baru sadja Hiat-to
Lotjo masih mentjak2 dan mengotjeh. Waktu ia melongok keluar ternjata Hiat-to
Lotjo sudah tidak kelihatan lagi, sebaliknja saldju disekitar batu karang tadi
tampak bergolak dengan hebat bagai ombak samudera. Keruan ia ter-heran2.
Setelah menjaksikan sedjenak,
achirnja tahulah dia bahwa dibawah saldju itu ada orang sedang bertempur. Waktu
ia mendongak, ia lihat Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan berdiri ditepi karang dan
sedang memperhatikan keadaan didasar djurang, sikap mereka tampaknja sangat
tegang. Maka dapatlah Tik Hun menduga jang bertempur dibawah saldju itu pasti
adalah Hiat-to Lotjo melawan sikakek berdjenggot, jaitu Liok Thian-dju. Ia
lihat Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan bernapsu sekali hendak membantu tapi agak
bingung karena tidak tahu tjara bagaimana harus turun tangan.
“Hoa-djiko, biarlah aku
terdjun kebawah,” demikian Tjui Tay berkata kepada Hoa Tiat-kan.
“Djangan,” tjepat Tiat-kan
mentjegah. “Djika engkau djuga terdjun kedalam saldju, lantas tjara bagaimana
kau akan membantu? Didalam saldju dengan sendirinja tidak kelihatan apa2,
djangan2 tragedi tadi akan terulang hingga Liok-toako akan salah ditjelakai
engkau.” ~ Njata karena tumbaknja tadi salah membinasakan saudara angkatnja sendiri,
maka rasa duka dan sesalnja tak terkatakan hebatnja.
Tjiu Tay pikir peringatan itu
memang beanr, djika dirinja djuga terdjun kedalam saldju selain sendjatanja
memotong dan menjabat serabutan, masakah dapat membedakan siapa kawan dan siapa
lawan? Kemungkinan Hiat-to-tjeng atau Liok Thian-dju akan dibunuh olehnja
adalah sama besarnja, sebaliknja kemungkinan dirinja akan terbinasa dibawah
sendjata mereka djuga tidak berkurang kesempatannja.
Akan tetapi bila tidak turun
tangan membantu, hal inipun sangat keterlaluan. Sudah terang dipihak sendiri
ada dua djago jang menganggur, tapi sedikitpun takdapat berbuat apa2. Sungguh
mereka mendjadi tak sabar hingga mirip semut ditengah wadjan panas, mereka
hanja kelabakan sendiri tanpa berdaja sedikitpun.
Apabila nekat menerdjun
kebawah, namun didasar djurang itu saldju masih bergolak dengan hebat, siapa
tahu terdjun itu takkan menindih diatas kepala Liok Thian-dju.
Sjukurlah tidak seberapa lama,
pergolakan saldju itu lambat-laun mulai reda, Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan jang
diatas tebing serta Tik Hun dan Tjui Sing jang berada didalam gua djadi makin
kuatir, sebab tidak tahu bagaimana hasil pertarungan dibawah saldju itu. Maka
dengan penuh perhatian dan menahan napas mereka menantikan gerangan siapa jang
muntjul dari bawah saldju?
Benar djuga, selang sedjenak,
gumpalan saldju disuatu tempat itu tampak tersundul keatas, makin lama makin
tinggi hingga achirnja satu kepala menausia kelihatan menongol. Tapi diatas
kepala itu penuh saldju, maka seketika susah dibedakan apakah kepala gundul
Hweshio atau kepala jang berambut?
Makin lama makin tinggi kepala
jang menjundul saldju itu. Achirnja dapatlah kelihatan dengan djelas diatas
kepala itu penuh tumbuh rambut putih. Njata itulah kepalanja Liok Thian-dju.
Saking girangnja Tjui Sing
terus bersorak sekali.
Sebaliknja Tik Hun mendjadi
gusar. “Sorak2 apa?” damperatnja.
“Sorak apa? Sorak karena
kakek-gurumu itu sudah mampus, tahu? Dan djiwamu sebentar tentu djuga akan
tamat!” sahut Tjui Sing dengan sengit.
Tidak usah diberitahu djuga
Tik Hun mengarti akan hal itu. Selama ini setiap hari ia berkumpul dengan
Hiat-to-tjeng, seperti kata pribahasa “dekat merah akan mendjadi merah, dekat
hitam mendjadi hitam”, maka tanpa merasa Tik Hun ketularan sedikit watak kasar
seperti paderi Tibet itu. Apalagi dilihatnja Liok Thian-dju mendapat
kemenangan, akibatnja ia sendiri pasti djuga akan tjelaka ditangan ketiga kakek
itu nanti. Dalam kuatirnja ia mendjadi aseran, maka bentaknja segera: “Djika
kau berani tjerewet lagi, segera kubunuh kau lebih dulu.”
Tjui Sing mendjadi takut dan
tidak berani buka suara lagi. Ia masih tertutuk oleh Hiat-to-tjeng tadi dan
takbisa berkutik. Meski Tik Hun patah kakinja, tapi kalau mau bunuh dia boleh
dikata tidaklah susah.
Dalam pada itu sesudah kepala
menongol dipermukaan saldju, napas Liok Thian-dju tampak megap2 sambil
me-ronta2 sekuatnja dengan hendak merajap keluar dari dalam saldju.
“Liok-heng kami akan membantu
kau!” seru Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan bersama. Berbareng mereka lantas terdjun
kedalam saldju itu, menjusul terus melontjat keatas pula dan menjingkir
kesamping batu karang tadi.
Dan pada saat itulah tiba2
nampak Liok Thian-dju ambles pula kedalam saldju, tahu2 kepalanja sudah
menghilang lagi kebawah seperti kakinja mendadak ditarik sekuatnja oleh orang.
Dan sesudah ambles kebawah, lalu tidak muntjul lagi. Sedangkan Hiat-to-tjeng
sama sekali tidak kelihatan batang-hidungnja.
Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan
saling pandang dengan penuh pertanjaan. Mereka menjaksikan menghilangnja Liok
Thian-dju kedalam saldju itu tjepatnja luar biasa, tampaknja seperti tak
berkuasa karena ditarik orang dari bawah, mereka menduga besar kemungkinan sang
Toako itu sudah kena disergap oleh Hiat-to-tjeng.
“Pluk”, mendadak sebuah kepala
menongol pula dari bawah saldju. Waktu diperhatikan, kepala itu gundul, kiranja
adalah Hiat-to Lotjo. Paderi itu mengakah tawa sekali, lalu menghilang lagi
kebawah saldju.
“Paderi keparat!” maki Tjui
Tay.
Dan baru ia hunus pedangnja
hendak menubruk madju, se-konjong2 dari dalam saldju mentjelat keluar pula
sebuah kepala.
Tapi kepala itu melulu kepala
belaka, kepala jang sudah berpisah dengan badannja. Kepala itu berdjenggot,
itulah kepalanja Liok Thian-dju.
Buah kepala itu terbang
keudara setinggi beberapa meter, kemudian djatuh kebawah dan ambles menghilang
kedalam saldju.
Menjaksikan pemandangan jang
seram dan aneh itu, saking ketakutan sampai Tjui Sing hampir2 semaput. Pikirnja
mau mendjerit, tapi tenggorokan se-akan2 tersumbat dan takdapat bersuara.
Tjui Tay djuga sangat pedih
dan gusar pula, teriaknja keras2: “Wahai, Liok-toako! Engkau telah berkorban
bagiku, biarlah Siaute membalaskan sakit hatimu.”
Tapi sebelum ia melangkah,
tjepat Hoa Tiat-kan mentjegahnja: “Nanti dulu! Paderi setan itu bersembunji
didalam saldju, dia terang, kita gelap, kalau kita menerdjang setjara
serampangan, djangan2 akan masuk perangkapnja lagi.
Benar djuga pikir Tjui Tay,
maka ia menahan bergolaknja perasaan sedapat mungkin dan menanja: “Habis, apa
tindakan kita sekarang?”
“Kita tunggu sadja disini,”
udjar Tiat-kan. “Paderi itu dapat tahan berapa lama berada didalam saldju?
Achirnja tentu dia akan muntjul keatas. Tatkala mana kita lantas
mengerubutinja, betapapun kita harus membedah dadanja dan mengkorek hatinja
untuk sesadjen kedua saudara kita.”
Terpaksa Tjui Tay menuruti
saran sang kawan. Dengan air mata ber-linang2 ia bersabar sedapat mungkin dan
menahan pedihnja perasaan. Namun dua kawan karib selama berpuluh tahun itu kini
terbinasa begitu mengenaskan, betapapun ia tetap sangat berduka.
Hlm. 23 Gambar:
Mendadak dari bawah saldju
jang bergolak itu menongol keluar sebuah kepala manusia jang berdjenggot. Njata
itulah Liok Thian-dju. Napas djago tua itu tampak ter-engah2, rupanja saking
tidak tahan dikotjok didalam saldju oleh Hiat-to Lotjo, maka terpaksa ia mesti
menongol kepermukaan saldju untuk ganti napas.
Dengan mengintjar tempat
dimana kepala Hiat-to-tjeng menongol tadi, pelahan2 Tjui Tay dan Hoa Tiat-kan
melompat dari batu karang satu kebatu jang lain, tanpa merasa mereka semakin
mendekat dengan gua tempat sembunji Tik Hun dan Tjui Sing.
Ber-ulang2 Tjui Sing melirik
Tik Hun, diam2 ia ambil keputusan bila sang ajah sudah dekat segera ia akan
berteriak minta tolong. Tapi kalau terlalu buru2 teriaknja hingga djarak sang
ajah terlalu djauh, tentu dirinja akan dibunuh dulu oleh “Hweshio tjabul” itu
sebelum tertolong ajahnja.
Dari sikap sigadis jang tidak
tenteram serta sinar matanja jang berkerlingan, Tik Hun sudah lantas tahu djuga
maksudnja. Tiba2 ia sengadja bikin napasnja ter-engah2 seperti orang jang
kepajahan, pelahan2 ia mengesot kemulut gua seperti hendak mengambil saldju
untuk dimakan sekadar menghilangkan rasa dahaga.
Dengan sendirinja Tjui Sing
tidak tjuriga, jang diperhatikan ialah ajahnja. Se-konjong2 Tik Hun menahan
badannja dengan tangan kiri, sekali endjot, mendadak tubuhnja melompat bangun,
dengan tjepat sekali lengan kanannja terus menjikap dari belakang hingga leher
Tjui Sing terdjepit.
Keruan Tjui Sing kaget, segera
ia hendak berteriak, tapi sudah telat. Ia merasa lengan Tik Hun itu sekeras
besi hingga lehernja kesakitan dan bernapaspun susah. Memangnja badannja
tertutuk dan takbisa berkutik, ditambah lagi leher tertjekik, sebentar lagi
pasti djiwanja melajang. Tapi tiba2 terdengar Tik Hun membisikinja: “Asal kau
berdjandji takkan bersuara, aku lantas tak djadi mentjekik mampus kau.” ~ Habis
itu, sedikit ia kendurkan lengannja agar Tjui Sing dapat bernapas sedikit. Tapi
lengannja jang kasar dan kuat itu tetap menjilang dileher sigadis jang putih
halus itu.
Sudah tentu Tjui Sing gemas
tidak kepalang, tapi apa daja? Hanja dalam hati ia mentjutji maki habis2an.
Diluar sana Tjui Tay dan Hoa
Tiat-kan sedang mendekam diatas sebuah batu karang, mereka ter-heran2 karena
tiada melihat sesuatu gerak-gerik lagi dari bawah saldju. Mereka tidak tahu
permainan apa jang sedang dilakukan Hiat-to-tjeng jang sekian lamanja terpendam
didasar saldju itu.
Sudah tentu mereka tidak tahu
bahwa sedjak ketjil Hiat-to Lotjo hidup ditanah bersaldju sebagai Tibet itu,
maka tentang tjiri2 chas dari saldju itu tjukup dipahaminja. Waktu djatuh
ketengah saldju tadi, segera ia menggunakan goloknja untuk mengkorek sebuah
liang, ia tepuk2 pinggir liang itu dengan tangan hingga keras, dan liang saldju
itu lantas tersimpan sedikit hawa. Dalam hal ilmu silat sedjati, sebenarnja
kepandaian Hiat-to-tjeng dengan Liok Thian-dju adalah sepadan. Tapi sebelumnja
paderi itu sudah lama menempur Lau Seng-hong, tenaga murninja sudah banjak
terbuang, maka ia mendjadi kalah kuat daripada Liok Thian-dju. Tapi berkat
simpanan hawa dilubang saldju itu, setiap kali kalau ia merasa pajah dan napas
sesak, segera ia melongok kelubang saldju itu untuk menghirup hawa segar.
Dengan sedirinja Liok
Thian-dju tidak paham rahasia saldju itu. Ia terus main hantam-kromo dengan
mati2an. Dengan demikian biarpun dia sanggup menahan napas dengan lama djuga
takbisa menangkan Hiat-to-tjeng jang sering2 dapat mengganti napas. Teori ini
sama seperti dua orang berkelahi didalam air, jang satu sering2 mumbul
kepermukaan air untuk mengganti napas, sebaliknja jang lain terus silam didasar
air, dengan sendirinja mudah ditentukan siapa akan unggul dan siapa asor.
Pada achirnja, oleh karena
Liok Thian-dju sudah tidak tahan lagi, terpaksa ia mesti menempuh bahaja dan
menongol kepermukaan saldju untuk bernapas. Dan karena itu badan bagian bawah
lantas kena dibatjok tiga kali oleh Hiat-to-tjeng hingga tewas didasar saldju.
Begitulah Tjui Tay dan Hoa
Tiat-kan masih terus menunggu, tapi sudah lebih satu djam, tetap tidak nampak
bajangan Hiat-to-tjeng. “Besar kemungkinan Ok-tjeng itu terluka parah dan
terbinasa djuga didasar saldju,” udjar Tjui Tay.
“Kukira memang begitulah,”
sahut Tiat-kan. “Betapa hebat kepandaian Liok-toako, masakah ia begitu gampang
dibunuh musuh tanpa melukai musuh lebih dulu? Apalagi tadi paderi iblis itu
sudah bertempur sekian lamanja melawan Lau-hiante, mestinja ia bukan lagi
tandingan Liok-toako.”
“Ja, pasti dia menggunakan
tipu kedji hingga Liok-toako masuk perangkapnja,” kata Tjui Tay. Berkata sampai
disini ia tidak tahan lagi rasa duka dan murkanja. Teriaknja segera: “Biar
kuturun kebawah sana untuk melihatnja.”
“Baiklah, tapi hendaklah
hati2, aku akan mengawasi kau disini,” sahut Tiat-kan
Tjui Tay terkesiap, katanja
didalam hati: “Aneh, sebagai seorang ksatria sedjati mengapa kau tidak
menjatakan hendak pergi bersama?”
Namun saat itu ia sudah
bertekad hendak menemukan majat Hiat-to-tjeng, lalu akan ditjintjangnja hingga
hantjur luluh untuk melampiaskan dendamnja. Paling baik kalau napas paderi
djahat itu belum lagi putus, dengan demikian ia dapat menjiksanja se-puas2nja
sebelum paderi itu dibunuhnja.
Begitulah segera ia menghunus
pedangnja, ia menarik napas pandjang2 sekali, dengan Ginkangnja jang tinggi ia
terus meluntjur kesana, tapi baru meluntjur beberapa meter djauhnja, mendadak
“pluk”, dari bawah saldju disebelahnja melontjar keluar seorang jang bukan lain
adalah Hiat-to Lotjo, tapi bertangan kosong, goloknja entah kemana perginja.
Begitu muntjul diatas saldju,
segera paderi itu melajang kesamping hingga beberapa meter djauhnja sambil
ber-teriak2: “Seorang laki2 sedjati harus mengutamakan keadilan. Kau
bersendjata dan aku bertangan kosong, tjara bagaimana kita harus berkelahi?”
Dan belum lagi Tjui Tay
mendjawab, dikedjauhan sana Hoa Tiat-kan sudah menjahut: “Untuk membunuh paderi
djahat ini masakah perlu bitjara tentang keadilan apa segala?”
Habis berkata, ia terus
memburu madju djuga untuk menggentjet musuh.
Tjui Tay menaksir golok merah
paderi itu tentu sudah hilang ditengah saldju waktu menempur Liok-toako tadi,
untuk mentjari kembali tentu tidak mudah. Ia mendjadi lega demi nampak musuh
tak bersendjata, ia jakin sekarang pasti akan menang, jang harus didjaga
sekarang jalah paderi itu sekali2 djangan sampai lolos lagi untuk kemudian
menjusup pula kedalam saldju. Segera serunja: “Hai, Hweshio djahanam, dimanakah
puteriku? Asal kau katakan terus terang, segera akan kubunuh kau dengan sekali
tabas, supaja kau takkan merasakan siksaan lebih djauh.”
“Tempat sembunji anak dara itu
sangat sulit untuk kau ketemukan, asal kau berikan djalan lari padaku, segera
akan kukatakan padamu,” udjar Hiat-to Lotjo sambil terus berlari, kuatir kalau
disusul oleh Tjui Tay.
Diam2 Tjui Tay pikir: “Biarlah
kutipu dia agar mengaku lebih dulu.” ~ Maka ia lantas berkata: “Disekitar sini
djuga melulu tebing tjuram belaka, meski kau diberi djalan djuga takbisa
pergi?”
“Itulah gampang,” sahut
Hiat-to-tjeng. “Bila engkau memberi djalan hidup padaku, segera kita dapat
berunding untuk mentjari akal bersama. Bila kau bunuh aku, tetap kau akan susah
keluar dari djurang kurung ini. Maka lebih baik kita mendjadi kawan sadja dan
aku akan berdaja menolong kalian keluar dari lembah ini?”
“Huh, paderi djahat seperti
kau ini masakah dapat dipertjaja?” damperat Hoa Tiat-kan dengan gusar. “Hajo,
lekas kau berlutut dan menjerah, tjara bagaimana kau akan diadili tergantung
kami, kau barani banjak tjerewet?” ~ Sembari berkata ia terus mendesak main
dekat.
“Djika begitu maafkan aku
takdapat menemani kalian lagi,” seru Hiat-to-tjeng. Segera ia angkat kaki dan
berlari kearah timur laut sana.
“Lari kemana, Hweshio
djahanam!” damperat Tjui Tay sambil mengudak.
Tapi lari Hiat-to Lotjo
semakin kentjang. Ketika sampai dipodjok sana, karena terhalang oleh tebing
jang tinggi, mendadak ia putar kembali dan menjelinap lewat disamping Tjui Tay.
Kontan pedang Tjui Tay menabas sekali, namun selisih satu-dua senti dari sasarannja
hingga tidak kena. Kembali Hiat-to-tjeng itu berlari ketempat tadi.
Melihat itu, diam2 Tjui Tay
membatin: “Djika terus udak2an ditengah djurang ini, susah djuga untuk
menangkap djahanam jang punja Ginkang lihay itu. Pula Sing-dji entah
disembunjikan dimana?” ~ Karena gopohnja itu, ia mengudak terlebih kentjang
lagi.
Se-konjong2 terdengar
Hiat-to-tjeng mendjerit sekali, kakinja lemas dan orangnja terus djatuh
tengkurap kedepan, kedua tangannja tampak men-tjakar2 saldju seperti ingin
merangkak bangun, tapi terang sekali tenaganja sudah habis, sesduah merangkak
dua kali, lalu terbanting pula dan tak sanggup bangun lagi.
Tentu sadja Tjui Tay tidak
sia2kan kesempatan bagus itu, setjepat terbang ia memburu madju terus menikam
dengan pedangnja. Karena dia ingin menjiksa paderi itu lebih dulu sebelum
membinasakannja, maka tusukannja itu diarahkan kebagian bokong, asal paderi itu
takbisa lari lagi, kemudian akan disiksa untuk ditanja tempat sembunji Tjui
Sing.
Tak terduga, baru pedangnja
diangkat, se-konjong2 kakinja merasa “blong”, indjak tempat kosong, berbareng
tubuhnja terus kedjeblos kebawah.
Dalam pada itu Tik Hun dan
Tjui Sing djuga sedang mengikuti kedjadian diluar gua itu dengan perasaan jang
ber-beda2, jang satu kuatir dan jang lain senang. Siapa tahu mendadak Tjui Tay
menghilang dari tanah saldju itu. Menjusul mana lantas terdengar pula suara
djeritan jang mengerikan dibawah tanah itulah suaranja Tjui Tay jang sangat
ketakutan se-olah2 ketemukan sesuatu jang mengerikan.
Keruan kedjadian itu membuat
Tjui Sing terperandjat tak terhingga, begitu pula Tik Hun pun ter-heran2. Ia
tidak ingin Hiat-to-tjeng pada saat itu terbunuh, sebab hal mana berarti dia
sendiripun akan terbinasa. Tapi iapun tidak ingin Tjui Tay dan kawannja
mendjadi korban, sebab ia tahu djago2 tua itu adalah tokoh-tokoh “Hiap-gi”
(kaum kesatria) jang terpudja di Tionggoan, jaitu sealiran dengan Ting Tian.
Maka demi mendengar djeritan Tjui Tay itu, sama sekali tiada rasa sjukur atau
gembira pada hatinja.
Sementara itu Hiat-to-tjeng tampak
sudah melompat bangun lagi dengan tjepat dan gesit sekali, suatu bukti bahwa
kelakuannja tadi hanja pura2 belaka. Dan begitu melompat bangun, begitu kakinja
mengandjlok, tahu2 tubuhnja lantas menghilang kedalam saldju. Ketika sedjenak
lagi ia muntjul kembali keatas, tangannja tampak mengempit sesosok badan
manusia jang bermandikan darah. Siapa lagi manusia berdarah itu kalau bukan
Tjui Tay jang kedua kakinja tampak kutung sebatas lutut.
Melihat keadaan sang ajah jang
mengerikan itu, Tjui Sing ber-teriak2 sambil menangis: “Ajah, ajah! O, ajah!”
Tik Hun merasa tidak tega
djuga, dalam kedjut dan ngerinja, ia mendjadi lupa mentjekik leher sigadis
lagi, bahkan ia melepas tangan dan menghiburnja malah: “Nona Tjui, ajahmu belum
meninggal, djanganlah menangis!”
Ketika tangan Hiat-to Lotjo
bergerak, tahu2 selarik sinar merah berkemilauan, ternjata golok merah itu
sudah kembali berada ditangannja lagi.
Kiranja tadi ia sembunji
dibawah saldju hingga sekian lamanja, diam2 ia telah menggali sebuah lubang
djebakan, ia taruh goloknja jang tadjam itu melintang dimulut lubang dengan
mata golok menghadap keatas. Lalu ia menjusup keluar dengan pura2 kehilangan
sendjata. Ketika musuh mengedjar, ia lantas memantjingnja ketempat lubang
perangkap itu.
Biarpun Tjui Tay tergolong
tokoh Kangouw jang ulung, namun djebakan dibawah saldju itu sekali2 tak terduga
olehnja hingga achirnja dia terdjebak. Ketika ia kedjeblos kebawah maka kontan
kedua kakinja tertabas kutung oleh golok jang sangat tadjam itu.
Begitulah dengan tipu muslihatnja
itu, ber-runtun2 Hiat-to Lotjo telah membinasakan dua lawan dan meluka-parahkan
satu. Sisa Hoa Tiat-kan seorang sudah tentu tak dipandang berat olehnja. Ia
lemparkan tubuh Tjui Tay ketanah saldju, lalu angkat goloknja mendesak madju
kehadapan Hoa Tiat-kan sambil berteriak: “Hajolah, djika kau berani, marilah
kita bertempur tiga ratus djurus lagi!”
Melihat Tjui Tay ter-guling2
ditanah saldju karena kedua kakinja sudah buntung, pemandangan ngeri itu benar2
telah memetjahkan njalinja, mana ia berani bertempur lagi? Sambil memegang
tumbaknja jang pendek itu ia mengkeret mundur kebelakang. Tumbak itu tampak
gemetar, suatu tanda betapa takutnja Hoa Tiat-kan.
Mendadak Hiat-to Lotjo
mengertak sekali sambil mendesak madju dua langkah. Dengan kaget Hoa Tiat-kan
melompat mundur dua langkah, saking gemetarnja hingga tangannja terasa lemas,
tumbaknja djatuh ketanah, tjepat ia djemput kembali dan main mundur pula.
Padahal Hiat-to Lotjo sesudah
ber-turut2 menempur tiga djago kelas wahid, keadaannja djuga sudah pajah,
tenaga habis dan badan lemas. Kalau benar2 Hoa Tiat-kan bergebrak dengan dia,
tak mungkin dia mampu menang. Apalagi kepandaian Hoa Tiat-kan sesungguhnja
djuga tidak dibawah Hiat-to-tjeng, djikalau dia mempunjai rasa senasib dan
setanggungan dengan para kawan, dengan penuh semangat menerdjang madju, pasti
paderi Tibet itu akan mati dibawah tumbaknja.
Sajangnja sesudah Hoa Tiat-kan
salah membunuh kawan sendiri, jaitu imam tua Lau Seng-hong, pikirannja mendjadi
katjau dan semangat lesu, apalagi dilihatnja kedua kawan jang lain djuga djatuh
mendjadi korban. Liok Thian-dju terpenggal kepalanja dan kedua kaki Tjui Tay
terkutung. Kesemuanja itu benar2 telah bikin petjah njalinja, semangat
tempurnja boleh dikata sudah lenjap sama sekali.
Dengan sendirinja Hiat-to
Lotjo sangat senang melihat Hoa Tiat-kan sangat ketakutan. Segera katanja:
“Tipu akalku seluruhnja ada 72 matjam, harini hanja tiga matjam tipu jang
kugunakan dan tiga kawanmu sudah mendjadi korban, masih sisa lagi 69 matjam
tipu akalku, kesemuanja itu akan kulaksanakan atas dirimu.”
Sebagai seorang tokoh Bu-lim
jang terkemuka, pengalaman Hoa Tiat-kan sudah tentu sangat luas, gertakan
Hiat-to-tjeng itu sebenarnja tidak mempan baginja. Tapi kini ia sudah petjah
njalinja, setiap gerak dan setiap kata Hiat-to-tjeng penuh membawa rasa seram
dan ngeri baginja. Ketika mendengar paderi itu menjatakan masih ada 69 matjam
tipu kedji jang akan dilaksanakan atas dirinja, segera telinganja meng-ngiang2
dengan kata2 “69 tipu kedji”, dan karena itu tangannja semakin bergemetar.
Padahal waktu itu Hiat-to
Lotjo djuga sudah pajah benar2, kalau dapat ia ingin bisa lantas merebah
ditanah saldju itu untuk tidur se-puas2nja. Tapi ia insaf saat itu iapun sedang
menghadapi suatu pertarungan mati2an jang menentukan, dahsjatnja hakikatnja
tidak kalah serunja daripada pertempurannja melawan Lau Seng-hong dan Liok
Thian-dju. Maka tjelakalah dia, sekali djago she Hoa itu menjerang pasti orang
akan segera tahu keadaannja jang pajah itu, dan untuk selandjutnja pasti dia
akan mati dibawah tumbak musuh itu. Oleh karena itu, sekuat mungkin ia kerahkan
semangatnja sambil memainkan golok jang dipegangnja itu dengan lagak seorang
jang masih tangkas.
Dan ketika melihat Hoa
Tiat-kan tjuma main undur2 sadja dan tidak mau lari, diam2 dia men-desak2
didalam hati: “Hajolah lari! Hajolah lari! Keparat, kenapa kau tidak lari!”
Tapi waktu itu ternjata
keberanian melarikan diripun sudah tidak dimiliki lagi oleh Hoa Tiat-kan.
Di sebelah sana Tjui Tay jang
sudah buntung kedua kakinja itu masih menggeletak di tanah saldju dalam keadaan
senen-kemis. Ia mendjadi lebih2 tjemas demi menjaksikan begitu rupa
ketakutannja Hoa Tiat-kan.
Meski dalam keadaan terluka
parah, namun Tjui Tay masih dapat melihat djelas bahwa tenaga Hiat-to-tjeng itu
sebenarnja sudah habis seperti pelita jang kehabisan minjak, asal sang kawan
berani madju melabraknja, sekali gebrak pasti dapat membinasakan musuh djahanam
itu. Maka sekuat tenaga ia tjoba menteriakinja: “Hoa-djiko, hajolah madju
labrak dia, tenaga paderi djahat itu sudah ludes, terlalu mudah bagimu untuk
membunuhnja……….”
Hiat-to Lotjo terperandjat
mendengar seruan Tjui Tay itu. Pikirnja: “Tua bangka ini benar2 lihay, mungkin
aku bisa tjelaka.”
Tapi ia sengadja busungkan
dada dan mendesak madju malah sambil berkata kepada Hoa Tiat-kan: “Ja, ja,
memang benar! Tenagaku sudah habis, hajolah kita pergi keatas tebing sana untuk
bertempur 300 djurus lagi! Hajolah, siapa jang tidak berani anggaplah dia anak
haram tjutju kura2.”
Pada saat itulah mendadak dari
gua terdengar suara Tjui Sing sedang berteriak: “Ajah, ajah!”
Tiba2 pikiran Hiat-to-tjeng
tergerak: “Djika saat ini aku membunuh Tjui Tay, tentu akan menimbulkan tjuriga
Hoa Tiat-kan akan kebenaran seruan kawannja itu. Biarlah kuseret keluar anak
dara itu untuk mementjarkan perhatian Tjui Tay. Kalau melulu melawan orang she
Hoa itu sadja tentu akan djauh lebih mudah.”
Karena itu, ia sengadja
mengedjek Hoa Tiat-kan lagi: “Hajo, kau berani tidak, marilah kita bertempur
lagi 300 djurus!”
Namun Hoa Tiat-kan telah
mendjawabnja dengan geleng kepala.
“Lawanlah dia, lawanlah dia!
Apakah kau tidak ingin membalas sakit hati Liok-toako dan Lau-samko?” seru Tjui
Tay pula.
“Hahahaha! Hajo lawanlah,
lawanlah!” Hiat-to Lotjo ter-bahak2 lagi. “Aku djusteru sedang menunggu untuk
melaksanakan 69 matjam tipuku jang kedjam atas dirimu! Hajolah madju!” ~ Dan
ketika dilihatnja Hoa Tiat-kan malah mengkeret mundur, segera iapun putar tubuh
dan masuk kedalam gua, ia djambak rambut Tjui Sing dan menjeretnja keluar.
Ia tahu ilmu silat Hoa
Tiat-kan sangat lihay, djalan satu2nja sekarang harus menggunakan segala tjara
siksaan kedjam atas diri Tjui Tay dan puterinja itu agar lawan tangguh itu
selalu dalam keadaan ketakutan hingga tidak berani berkutik. Maka segera ia
menjeret Tjui Sing kehadapan Tjui Tay, bentaknja: “Nah, kau bilang tenagaku sudah
habis, baiklah sekarang akan kupertontonkan padamu apakah tenagaku sudah habis
atau belum?”
Habis berkata, “bret”,
mendadak ia tarik sekuatnja hingga lengan badju kanan Tjui Sing terobek
sebagian besar, maka tertampaklah lengan sigadis jang putih halus laksana
saldju itu.
Keruan Tjui Sing mendjerit
ketakutan, tapi karena djalan darahnja tertutuk, hanja mulut jang bisa bersuara
untuk melawan sama sekali tak bisa.
Dalam pada itu Tik Hun djuga
sudah ikut merajap keluar dari gua, ketika menjaksikan adegan mengerikan itu,
ia mendjadi tak tega, terus sadja ia berteriak: “Djang ..……. djangan kau
menghina nona itu!”
“Hahahaha!” Hiat-to Lotjo
ter-bahak2 malah: “Djangan kuatir, tjutju-muridku jang baik, pasti Tjosuya
takkan mentjelakai njawanja.”
Habis itu, ia putar tubuh
sedikit, sekali goloknja berkelebat, tahu2 bahu kiri Tjui Tay telah dipapasnja
sebagian, lalu tanjanja: “Nah, katakanlah, tenagaku sudah habis atau belum?”
Keruan darah segar seketika
muntjrat keluar dari bahu Tjui Tay, sebaliknja Hoa Tiat-kan dan Tjui Sing
berbareng mendjerit kaget.
Dan ketika Hiat-to Lotjo
membetot sekali pula, kembali badju Tjui Sing terobek sebagian lagi. Kemudian
katanja kepada Tjui Tay: “Asal kau panggil Tjosuyaya tiga kali kepadaku, segera
puterimu akan kuampuni. Nah, kau mau panggil tidak?”
“Tjuh”, mendadak Tjiu Tay
meludahi paderi itu sepenuh tenaga. Tapi sedikit mengegos, dapatlah
Hiat-to-tjeng menghindar, dan karena gerakannja itu, tanpa kuasa tubuhnja
mendjadi sempojongan, kepala pening dan mata ber-kunang2, hampir2 ia roboh
terdjungkal.
Keadaan itu dapat dilihat
dengan djelas oleh Tjui Tay, terus sadja ia ber-teriak2: “Hoa-djiko, hajolah
lekas turun tangan, lekas serang dia!”
Tentang keadaan Hiat-to-tjeng
jang sempojongan itu dengan sendirinja djuga dilihat oleh Hoa Tiat-kan. Tapi ia
djusteru berpikir: “Djangan2 paderi djahat itu tjuma pura2 sadja untuk
memantjing aku. Ok-tjeng itu banjak tipu muslihatnja, betapapun aku harus waspada.”
Dan sesudah tenangkan diri,
kembali Hiat-to-tjeng membatjok pula dengan goloknja hingga lengan kanan Tjui
Tay tergurat suatu luka dalam. “Kau mau panggil Tjosuyaya padaku atau tidak?”
demikian bentaknja pula.
Saking kesakitan, hampir2 Tjui
Tay kelengar. Tapi ia sangat perwira, matipun ia tidak sudi takluk. Kembali ia
memaki: “Hwesio bangsat, biar mati orang she Tjui tidak nanti menjerah padamu!
Lekas kau bunuh aku sadja!”
“Huh, enak?” djengek
Hiat-to-tjeng. “Aku djusteru hendak menjajat lenganmu, aku akan potong dagingmu
selapis demi selapis. Tapi asal kau panggil Tjosuyaya tiga kali dan minta ampun
padaku, djiwamu lantas kuampuni.”
“Tjuh”, kembali Tjui Tay
meludahi musuh, damperatnja: “Djangan kau mimpi disiang bolong, Hwesio
durdjana!”
Hiat-to-tjeng tahu watak situa
itu sangat bandel, sekalipun mentjatjah badannja hingga hantjur luluh djuga
tidak mungkin membuatnja takluk. Maka katanja segera: “Baiklah, aku akan
kerdjakan puterimu ini, tjoba nanti kau akan memanggil Tjosuyaya padaku tidak?”
Habis berkata, kembali
tangannja menarik, “bret”, lagi2 sebagian badju Tjui Sing kena disobeknja. Kali
ini adalah sebagian gaunnja.
Sudah tentu Tjui Tay sangat
murka. Sebagai seorang kesatria sedjati, biarpun musuh menghudjani batjokan
atas badannja djuga takkan menaklukannja. Tapi paderi djahat itu sengadja
menghina puterinja didepan orang banjak, perbuatan ini benar2 tak bisa
dibiarkan olehnja. Tapi apa daja, kakinja sudah buntung, bahkan djiwa sendiri
djuga tergantung ditangan musuh. Melihat gelagatnja, terang paderi djahat itu
hendak melutjuti pakaian Tjui Sing sepotong demi sepotong hingga telandjang
bulat, bahkan bukan mustahil akan diperlakukan setjara tidak senonoh pula
dihadapannja dan dihadapan Hoa Tiat-kan.
Maka terdengar Hiat-to-tjeng
berkata pula dengan tertawa iblis. “Segera orang she Hoa ini akan tekuk lutut
dan minta ampun padaku, segera aku akan melepaskan dia, biar dia menjiarkan
kedjadian ini kekalangan Kangouw bahwa puterimu telandjang bulat dihadapanmu.
Hahahah! Bagus, bagus! Hoa Tiat-kan, kau akan berlutut minta ampun? Ja, ja
boleh, boleh, tentu aku akan mengampuni djiwamu!”
Mendengar otjehan itu,
semangat tempur Hoa Tiat-kan lebih2 bujar lagi. Memangnja maksud tudjuannja
tiada lain jalah mentjari hidup. Meski berlutut minta ampun adalah perbuatan
jang memalukan, tapi toh djauh lebih enak daripada badan di-sajat2 oleh golok
musuh. Sama sekali tak terlintas pikirannja akan bertempur pula dengan sepenuh
tenaga, hal mana sebenarnja tidak susah baginja untuk membunuh musuh, tapi jang
terbajang olehnja sekarang jalah Hiat-to-tjeng dihadapannja itu terlalu seram,
terlalu menakutkan.
Ia dengar Hiat-to-tjeng sedang
berkata pula: “Kau djangan kuatir, djangan takut, asal kau sudah berlutut dan
minta ampun, pasti djiwamu takkan kuganggu.”
Utjapan jang membesarkan hati
itu bagi pendengaran Hoa Tiat-kan rasanja sangat enak dan sedap.
Sudah tentu kesempatan baik
itu tak di-sia2kan Hiat-to-tjeng melihat air muka Hoa Tiat-kan mengundjuk rasa
terhibur, segera ia tinggalkan Tjui Sing dan mendekati Tiat-kan dengan golok
terhunus, katanja: “Bagus, bagus! Kau hendak berlutut dan minta ampun, nah,
buanglah tumbakmu dulu. Ja, ja, aku pasti takkan mengganggu djiwamu, nah, nah,
taruhlah tumbakmu ketanah, nah, begitulah!”
Begitulah nada suara
Hiat-to-tjeng itu sangat lemah lembut dan menimbulkan daja pengaruh jang
takdapat dilawan. Benar djuga, sekali tjekalan Hoa Tiat-kan kendur, tumbaknya
lantas terlempar ketanah saldju. Dan sekali sendjatanja sudah terlepas dari
tangan, dengan hati bulat ia benar2 sudah takluk pada musuh.
Dengan wadjah tersenjum simpul
Hiat-to-tjeng berkata: “Bagus, bagus! Engkau sangat penurut, aku sangat suka
padamu. Eh, tumbakmu itu boleh djuga, tjoba kulihat! Kau mundur dulu kesana
tiga tindak, nah, nah, begitulah, ja mundur lagi tiga tindak!”
Begitulah seperti orang jang
sudah kehilangan sukma, Hoa Tiat-kan hanja menurut belaka apa jang dikehendaki
musuh.
Maka pelahan2 Hiat-to Lotjo
mendjemput tumbak jang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu. Sambil memegangi tumbak
pendek itu, ia merasa tenaga murninja setitik demi setitik djuga sedang
menghilang lagi, beruntun ia tjoba kerahkan tenaganja dua kali, tapi hasilnja
nihil, tenaga murni itu takdapat dihimpun kembali lagi. Diam2 ia terkedjut:
“Djadi sesudah bertempur melawan tiga djago tangguh tadi, tenagaku sudah habis
terkuras benar2, untuk dapat memulihkan tenagaku ini mungkin perlu mengaso
setengah atau satu bulan lamanja.” ~ Dari itu, meski ia sudah memegang sedjata
Hoa Tiat-kan, tapi ia masih kuatir bila lawan itu mendadak tabahkan diri dan
menjerangnja, sekali gontok sadja pasti dirinja akan dirobohkan.
Sementara itu ketika Tjui Tay
melihat Hiat-to-tjeng lagi berusaha menaklukkan Hoa Tiat-kan, segera ia
membisiki sang puteri: “Sing-dji, lekaslah kau bunuh aku sadja!”
“Aj …….ajah! Aku ……. Aku tak
dapat!” sahut Tjui Sing dengan ter-guguk2.
Tiba2 Tjui Tay melirik
sekedjap pada Tik Hun, lalu katanja: “Siausuhu, sudilah kau berbuat badjik,
lekas kau membunuh aku sadja!”
Tik Hun tahu maksud djago tua
itu, daripada hidup tersiksa dan dihina, lebih baik lekas2 terbinasa sadja.
Sesungguhnja Tik Hun memang
tidak tega dan sangat ingin membantu tamatkan riwajat Tjui Tay. Tapi bila
dirinja turun tangan, hal mana pasti akan menimbulkan kemurkaan Hiat-to Lotjo.
Padahal ia sudah saksikan dengan mata kepala sendiri betapa akan buas dan
kedjamnja paderi Tibet itu. Makanja iapun tidak berani sembarangan membikin
marah padanja.
“Sing-dji, boleh kau mohonlah
belas kasihan Siausuhu ini agar suka lekasan membunuh aku sadja, kalau
terlambat sebentar lagi tentu akan kasip.” Pinta Tjui Tay kepada puterinja.
Tapi pikiran Tjui Sing sedang
kusut dan bingung, sahutnja: “Ajah, engkau tak boleh meninggal, engkau tak
boleh meninggal!”
“Dalam keadaan demikian, aku
lebih baik mati daripada hidup, masakah kau tidak melihat penderitaanku ini?”
kata Tjui Tay dengan gusar.
Dan baru sekarang Tjui Sing
tersadar, sahutnja: “Ja, benar! Ajah, biarlah kumati bersama engkau!”
“Siausuhu,” segera Tjui Tay
meminta lagi kepada Tik Hun, “mohon belas kasihanmu, sudilah lekas membunuh
aku. Suruh aku takluk dan minta ampun pada paderi tua bangka itu, masakah orang
she Tjui ini sudi buka mulut? Pula aku takdapat menjaksikan puteriku dihina
olehnja!”
Meski selama ini Tik Hun
menjelamatkan diri dengan membontjeng Hiat-to Lotjo serta bermusuhan dengan
para djago silat dari Tionggoan, namun hati ketjilnja sebenarnja tidak suka
kepada paderi djahat itu. Dasar djiwanja memang luhur dan bersemangat kesatria,
kini mendadak timbul djuga djiwa kepahlawanannja, dengan suara tertahan segera
ia terima baik permintaan Tjui Tay. “Baiklah, akan kubunuh kau, meski nanti
akan diamuk oleh paderi tua djuga aku tidak peduli lagi!”
Tjui Tay bergirang, memangnja
ia seorang jang banjak tipu akalnja, meski dalam keadaan terluka parah, namun
ia masih bisa mengatur siasat, bisiknja kepada Tik Hun: “Aku akan pura2 memaki
kau dengan suara keras, lalu sekali kemplang boleh kau binasakan aku, paderi
tua bangka itu pasti tidak mentjurigai kau lagi!” ~ Dan tanpa menunggu djawaban
Tik Hun, terus sadja ia memaki kalang kabut: “Hwesio tjabul ketjil, Hwesio
keparat! Djika kau tidak mau sadar dan tetap meniru perbuatan Hwesio tua bangka
jang terkutuk itu, kelak kau psti akan mendapatkan gandjaran jang setimpal.
Bila hati nuranimu masih baik, seharusnja lekas2 kau tinggalkan Hiat-to-bun!
Hwesio tjabul ketjil, kau anak djadah, tjutju kura2!”
Diantara tjatji-maki itu dapat
didengar Tik Hun bahwa ada bagian2 jang menasihatkan dirinja agar menudju
kedjalan jang baik. Diam2 ia merasa berterima kasih, segera ia angkat sepotong
kaju, tapi toh tidak tega dikemplangkan begitu sadja.
Keruan Tjui Tay mendjadi
gopoh, dengan tak sabar ia memaki lebih kedji lagi.
Disebelah sana tertampak Hoa
Tiat-kan sudah tak berdaja, mendadak kakinja lemas terus bertekuk lutut dan
menjembah kepada Hiat-to Lotjo.
Dengan ter-bahak2 Hiat-to
Lotjo tidak sia2kan kesempatan bagus itu, sekali tutuk “Leng-tay-hiat”
dipunggung Hoa Tiat-kan jang sedang menjembah itu kena ditutuknja. Dan karena
tutukan itu adalah sisa antero tenaganja jang masih tinggal setitik itu, maka
habis itu, iapun lemas benar2. Hoa Tiat-kan tertutuk roboh, Hiat-to-tjeng
sendiri djuga lemas lunglai sampai dengkulnja hampir tak kuat menahan sang
tubuh.
Melihat Hoa Tiat-kan bertekuk
lutut, hati Tjui Tay mendjadi pedih, kawan itu sudah takluk pada musuh, kalau
dirinja mati pula, maka tiada seorangpun jang dapat melindungi sang puteri
lagi, diam2 ia sesalkan nasib puterinja jang buruk itu. Mendadak ia membentak;
“Hwesio tjilik keparat! Mengapa kau tidak berani hantam aku?”
Tik Hun sendiri djuga
menjaksikan Hoa Tiat-kan menjerah tanpa sjarat kepada Hiat-to-tjeng, ia pikir
sedjenak lagi paderi tua itu pasti akan putar balik, maka dengan mengkertak
gigi, terus sadja ia ajun alu kayu tadi keatas kepala Tjui Tay.
“Prak”, kontan batok kepala
pendekar besar itu petjah dan binasa seketika.
“Ajah!” Tjui Sing mendjerit sekali,
lalu iapun djatuh pingsan.
Hiat-to Lotjo djuga mendengar
suara tjatji-maki Tjui Tay tadi, maka ia sangka Tik Hun tidak tahan makian itu,
maka telah membunuh djago tua itu. Ia pikir sekarang toh Hoa Tiat-kan sudah
takbisa berkutik, mati-hidupnja Tjui Tay sudah tidak mendjadi soal lagi
baginja. Dan karena rasa lega dan saking gembiranja; terus sadja ia ter-bahak2
keras.
Namun ia lantas merasa suara
tertawa sendiri itu tidak beres, suara itu tjuma “hoh-hoh-hoh” belaka, suara
parau jang lemah, suara itu lebih tepat dikatakan merintih daripada disebut
tertawa.
Ia tjoba berdjalan dengan
sempojongan, tapi hanja dua-tiga langkah sadja, tiba2 terasa pinggang pegal
linu, achirnja ia terdjatuh mendoprok lagi ketanah saldju.
Melihat kedjadian begitu, baru
sekarang Hoa Tiat-kan sangat menjesal: “Ja, apa jang dikatakan Tjui-hiante
memang tidak salah, paderi djahat itu ternjata benar sudah kehabisan tenaga.
Tahu begitu, tadi kuhantam sekali tentu dapat membinasakan dia, tapi mengapa
aku mendjadi begini pengetjut serta berlutut dan minta ampun padanja?” ~
Sungguh ia mendjadi malu tak terhingga mengingat nama baiknja sebagai seorang
pendekar besar jang tersohor selama berpuluh tahun, kini ternjata mandah
bertekuk lutut menjerah pada musuh, noda dan hina perbuatannja ini betapapun
susah dihapus lagi. Kini ia sudah tertutuk, untuk bisa bergerak lagi harus
tunggu 12 djam kemudian. Sebagai seorang Kangouw ulung, ia tahu selama
Hiat-to-tjeng masih berlagak perkasa, djiwanja mungkin masih dapat
diselamatkan, tapi kini kelemahan Hiat-to-tjeng sudah ketahuan, terhadap
padanja tentu djuga tiada kenal ampun lagi. Sebab kalau masih bitjara tentang
ampun segala, bila 12 djam kemudian hingga dirinja dapat bergerak, mustahil
takkan balas turun tangan kepada paderi itu.
Dan benar djuga, segera
terdengar Hiat-to-tjeng berkata kepada Tik Hun: “Tjutju murid jang baik,
hajolah lekas kau kemplang mampus orang itu. Orang itu teramat litjik dan
kedji, djangan dibiarkan hidup.”
“Bukankah kau sudah berdjandji
akan mengampuni djiwaku, mengapa kau ingkar djandji?” seru Hoa Tiat-kan. Sudah
terang diketahui protesnja itu takkan berguna, tapi sebelum adjal ia pantang
mati, sedapat mungkin ia ingin hidup.
“Hm, paderi keluaran
Hiat-to-bun kami masakah bitjara tentang kepertjajaan apa segala?” djengek
Hiat-to Lotjo dengan tertawa iblis. “Kau tekuk lutut dan minta ampun padaku
adalah karena kau telah tertipu olehku. Haha, hahaha! Nah, tjutju-murid jang
baik, lekas sekali kemplang mampuskan dia sadja. Kalau dibiarkan hidup,
akibatnja sangat berbahaja bagi kita.”
Sesungguhnja Hat-to-tjeng
djuga sangat djeri kepada Hoa Tiat-kan, ia tahu tutukan jang dilakukannja tadi
karena kurang kuat tenaganja, belum tentu tutukan itu dapat mengenai tempat
jang paling dalam, bukan mustahil setiap saat akan dapat ditembus oleh tenaga
dalam Hoa Tiat-kan, tatkala itu keadaan akan berbalik mendjadi dirinja jang
merupakan makanan empuk bagi djago she Hoa itu.
Namun Tik Hun tidak tahu kalau
tenaga dalam Hiat-to Lotjo sudah kering benar2,, ia sangka sesudah sekian
lamanja mengalahkan lawan2 tangguh, maka paderi tua itu perlu mengaso sebentar.
Diam2 ia pikir: “Sebabnja aku membunuh Tjui-tayhiap tadi adalah karena aku
ingin membantu dia terhindar dari siksaan lebih djauh. Sedangkan Hoa-tayhiap
itu toh tidak kurang apa2, mengapa aku mesti membunuh dia?”
Karena pikiran itu, ia lantas
berkata: “Tjosuya, dia toh sudah menjerah dan tertutuk olehmu, kukira boleh
mengampuni djiwanja sadja!”
“Benar! Benar utjapan Siausuhu
itu!” seru Hoa Tiat-kan segera. “Memang tepat perkataan Siausuhu, aku sudah
ditaklukan kalian, sedikitpun tiada maksud melawan lagi, mengapa kalian akan
membunuh aku pula?”
Tatkala itu Tjui Sing mulai
siuman sambil menangis dan me-rintih2 nama sang ajah. Ketika mendengar
permintaan ampun Hoa Tiat-kan setjara tidak kenal malu itu, sungguh bentjinja
setengah mati, kontan ia memaki: “Hoa-pepek, engkau sendiri terhitung satu
djago kelas satu jang gilang-gemilang di Tionggoan, mengapa engkau begitu
rendah dan tanpa malu2 minta ampun kepada musuh? Se-mata2 engkau melihat ajahku
tersiksa, tapi kau ………. kau malah …………” ~ Sampai disini ia tidak sanggup
meneruskan lagi karena tangisnja jang teramat pilu.
“Tapi………..tapi ilmu silat
kedua Toasuhu itu terlalu tinggi, kita tak mampu menangkan mereka, maka lebih
…………. lebih baik kita menjerah sadja dan ikut pada mereka, kita akan tunduk
pada perintah mereka,” demikian kata Hoa Tiat-kan dengan tidak malu2 lagi.
Hiat-to-tjeng pikir makin lama
menunggu makin berbahaja baginja. Tapi tjelaka, sedikitpun ia tidak bertenaga.
Maksudnja hendak berdiri djuga tidak sanggup lagi. Maka katanja pula: “Anak
baik, turutlah pada Tjosuya, lekaslah bunuh manusia rendah itu!”
Akan tetapi sambil memegangi
alu jang telah digunakan mengemplang Tjui Tay tadi, Tik Hun hanja bergemetar
sadja dengan ragu2.
Ketika Tjui Sing menoleh dan
melihat kepala sang ajah petjah penuh darah, tewasnja sangat mengenaskan,
teringat betapa kasih sajang sang ajah kepadanja dimasa hisupnja, sungguh
hantjurlah hatinja dan hampir2 kelengar lagi.
Tentang Tjui Tay minta
pertolongan pada Tik Hun agar suka membunuhnja, hal itu telah didengar djuga
oleh Tjui Sing. Tapi saking dukanja sekarang ia tidak dapat membedakan salah
atau benar lagi, jang diketahui olehnja adalah kepala sang ajah jang petjah itu
lantaran dikemplang oleh Tik Hun. Rasa duka dan murkanja tak tertahan lagi,
se-konjong2 satu arus hawa panas menerdjang naik dari bagian perut.
Seorang djago silat jang
Lwekangnja sudah terlatih sempurna, biasanja memang mampu mengunakan hawa murni
sendiri untuk membuka Hiat-to jang tertutuk. Tapi untuk mentjapai tingkatan
jang hebat itu bukanlah suatu tjara jang mudah. Sedangkan Hoa Tiat-kan sadja
takbisa, apalagi Tjui Sing?
Tapi setiap orang dalam saat
menghadapi mara bahaja, pada waktu mengalami suatu pergolakan perasaan jang
luar biasa, maka sering2 akan dapat timbul suatu kemampuam jang tak terduga,
kemampuan jang dapat melakukan sesuatu jang biasanja sangat sulit dilaksanakan.
Jaitu misalnja waktu terdjadi kebakaran, tanpa merasa seorang dapat mengangkat
benda berat jang biasanja tidak kuat diangkatnja atau melompat tempat tinggi
jang biasanja tidak mungkin dilampauinja.