Pedang Kunang Kunang Bab 06-10

Baca Cersil Mandarin Online: Pedang Kunang Kunang Bab 06-10
Pedang Kunang Kunang Bab 06-10

BAB 06. SI GADIS DARI GUHA ULAR

,,Eh, engkau ta Percaya?" tegur dara itu demi melihat Gak Lui bersangsi, „kutahu berjenis bunga dan rumput yang aneh. Ketika berada di luar guha aku telah makan rumput Panah-mas-wangi. Setelah menelan diriku, ular itu terpaksa memuntahkannya lagi. Akhirnya kami jadi sahabat. Selama bertahun-tahun ini, aku banyak belajar darinya mengenai cara tidur dimusim rontok, bernafas ....... "

„Tidak, itu bukan ilmu bernafas!" tukas Gak Lui, ,,memang dalam ilmu silat terdapat suatu pelajaran yang disebut KURA2 BERNAPAS. Pelajaran itu diambil dari cara2 binatang bulus bernafas dalam air. Teori kura2 dan ular tidaklah sejenis. Dengan begitu engkau telah meyakinkan suatu ilmu yang istimewa. Kelak tentu amat berguna dalam usaha mencari ayahmu ........."

,,Sayang aku tak dapat silat ....., tetapi maukah engkau mengajari aku?"

„Ilmu-silatku, termasuk sebuah aliran istimewa yang mungkin dapat mengundang perhatian musuh. Oleh karena itu lebih haik jangan"

„O......., ini tak boleh, itu tak boleh! Kalau begitu lebih baik aku tak keluar dari sini saja!" sidara mendesah geram....., kelak apabila ketemu ayah, dengan ilmu pengobatannya tentu dapat mengenali diriku ....... "

Dengan ucapan itu sidara hendak mengatakan bahwa ia kuatir kalau ayahnya dapat mengetahui dirinya sudah bukan gadis lagi. Tetapi karena sungkan mengatakan kata2 itu, ia berkata dengan tak jelas.

Tetapi Gak Lui tak menyadari hal itu. Dengan terus terang, ia berkata: „Orang tuaku telah dicelakai orang. Dan untuk itu aku bersumpah hendak menuntut balas. Seharusnya engkaupun mempunyai penderian begitu juga!"

„Kalau begitu engkau suka membawa aku ke luar ?"

,,Ya, akan kubawa kamu keluar, kemudian aku tetap akan menuju ketempat tujuanku dan engkaupun mencari jejak ayahmu."

„Kalau begitu, tentang soal pertama yang kukatakan tadi, engkau ........"

„Sekarang aku tak mau mengucapkan kata2 manis hanya sekedar untuk mengelabuhi engkau. Tetapi setelah sakit hati orang tuaku himpas, tentu....... tentulah ...... "

„Tentu, bagaimana.....?" tukas gadis itu.

„ Tentu akan meluluskan !"

Gadis itu menggigit bihir, merenung beberapa jenak lalu bertanya dengan nada sarat: „Kalau mengembara di dunia persilatan, apakah engkau tak jatuh cinta pada lain orang?

„Tak mungkin....! percayalah.....!"

„Sungguh......?"

„ Dengan pedang sebagai sumpah. Jika aku sampai berbalik haluan, biarlah mati di bawah tusukan pedang ....... "

„Dara itu bagaikan meneguk sari madu. Cepat-cepat ia mendekap mulut Gak Lui dan rebahkan diri ke dada pemuda itu.

Beberapa waktu kemudian barulah mereka berpisah walaupun dengan hati berat.

Dengan wajah berseri merah dan bertanyalah gadis itu dengan berbisik : „Sudah hampir setengah hari siapakah namamu?"

Aku Gak Lui dan engkau? "

,,Si Ular .....”

„Huh, itu bukan namamu !"

„Aku tinggal didalam lubang ular, hidup sebagai ular, sudah tentu bernama si Ular"

Gak Lui berbangkit serentak dan berkata : „Jika engkau tak mau bilang, aku akan pergi sekarang juga!"

„Hi...., hi...., hi ..." gadis ular itu tertawa geli, serunya: ,,Aku tak takut engkau pergi. Kalau tak kutunjukkan jalannya, mungkin seumur hidup engkau tak mampu keluar dari tempat ini.......!"

„Masakah?" seru Gak Lui seraya memandang kesekeliling guha itu.

„Siapa membohongimu? Dalam makam ular ini, tiada jalan keluar sama sekali. Hanya lubang terowongan untuk jalan ular saja. Betapapun tinggi kepandaianmu, jika tak kutunjukkan jalannya, engkau tentu akan tersesat dalam terowongan yang pelik dan tak dapat keluar !"

Melihat tulang2 ular dan kulit2 ular yang menumpuk setinggi bukit, diam2 mengigilah perasaan Gak Lui.

Si Ular buru2 melangkah kemukanya dan tertawa: „Ih, hanya bersendau gurau saja, tak boleh marah! Namaku Li Siau mey ...."

Gak Lui pun tertawa: „Hu...., indah sekali nama itu. Apakah engkau takut kuketahui?"

„Romanku cakap tetapi engkau tutupi dengan kedok yang mengerikan.

Apakah itu tak menakutkan aku juga?" balas Siau-mey.

Gak Lui terkejut dan cepat2 meraba mukanya Engkau membuka kedok mukaku ini?" „Tidak! Aku hanya menduga saja." ,,Benarkah begitu"

„Sudah tentu benar, semula aku sibuk menolongmu, kemudian ... tak ingat memcnbuka kedok muka itu lagi."

Legalah hati Gak Lui.

Ia, menghela napas longgar.

Suatu hal yang membuat heran Siau-mey sigadis ular, tanyanya: „Mengapa engkau takut membuka kedokmu. ,,Apakah engkau tak angap ......"

„Aku telah bersumpah sebelum mendapat ilmu sakti tanpa tanding tak akan membuka kedokku ini. Membuka kedok berarti melanggar sumpah!”

Apakah aku ..... sekarang ini engkau anggap orang luar?"

„Jangankan engkau.....sedang aku sendiripun tak, pernah melihat muka sendiri "

,, Ai ..." Siau-mey melengking tak percaya.

„Itu benar2 hal yang paling aneh didunia, masakan engkau tak kenal wadjahmu sendiri!"

Gak Lui menghela napas.

„Keteranganku itu memang benar," katanya, „aku memang tak pernah melihat wajahku sendiri. Memang satu waktu ingin kubuka kedok ini agar dapat kuduga bagaimana raut wajah orang tuaku itu."

„Seorang manusia tak mungkin tak tahu wajahnya sendiri. Misalnya diwaktu cuci muka dan berkaca.......... "

„Aku dipelihara oleh ayah angkatku. Beliau takut kalau melihat wajahku lantas teringat akan ayahku. Oleh karena sejak kecil aku diberi kedok muka ini. Selama itu tak diperbolehkan aku berkaca dan mencuci muka. Beliaupun berpesan apabila melintasi sungai, dilarang menundukkan muka kepermukaan air sungai dan jangan sekali- kali membuka kedok muka ini !"

„Ah, riwayatmu benar2 gaib sekali !" seru sigadis ular Siau-mey.

„Sekarang masih belum dapat diketahui jelas !”

„Musuh keluargamu itu teritu lihay sekali !"

„Kabarnya memang amat sakti dan ganas

luar biasa. "

„Kalau begitu........., akupun hendak belajar silat !"

„Mengapa ? "

,,Untuk membantu engkau menuntut balas !"

„Tak perlu!"

„Orang tuamu pun orang tuaku juga, mengapa engkau tak memperbolehkan? "

,,Belajar silat, bukan hal yang mudah. Harus sudah mempunyai dasar latihan yang kokoh !"

Sesungguhnya diam2 Gak Lui memperhatikan bahwa gadis itu secara tak sengaja sudah mempelajari suatu ilmu tenaga-dalam yang istimewa.

Tetapi kalau menilik wajahnya yang sedemikian ayu, tak mungkin gadis itu mempunyai bakat belajar silat.

Maka sekalipun mulutnya mengucap kata2 tadi, dalam hati diam2 ia bersangsi.

Tiba2 gadis itu melesat.

Sekali gerak dapat melesat sampai dua tombak jauhnya. Saat itu ia berada di tepi guha.

Sambil menunjuk pada tumpukan tulang2 ular, ia berseru : „Kalau tak percaya, lihatlah ini !"

Habis berkata gadis itu terus mengangkat setumpuk tulang belulang ular yang beratnya tak kurang dari beberapa ratus kati . . . . . .

Gak Lui terkejut.

Setelah Siau-mey letakkan tumpukau tulang ular itu ketanah, barulah ia berkata dengan nada menyesal: „Sayang aku tak dapat memberi pelajaran ilmu silat kepadamu. Apalagi anak perempuan belajar siklat pun .... kurangleluasa !"

„Engkau tak dapat memberi pelajaran, aku bisa berguru pada lain orang. Dan hendak kucari seorang cianpwe wanita, masakan tak leluasa!"

„Baiklah kalau begitu. Kurasa kita harus lekas tinggalkan tempat ini," kata Gak Lui.

„Ah..., mana boleh begitu cepat. Aku harus berkemas kemas dan memberi selamat tinggal kepada ular naga ........ dan lagi . . . ."

„Dan lagi bagaimana?”

„Aku harus membawa dua kawan kecil untuk kuajak pergi."

Gak Lui meluluskan.

Siau-mey cepat meluncur kedalam persembunyian ular, sedang Gak Lui mengemasi sepasang pedang dan barang bekalannya.

„Ah...., pedang-samudera Hi Liong-hui dan pedang-gelombang Go Sun-hua tentu sudah celaka ditangan musuh ganas itu. Putera tunggal dari Hi-cianpwe yang bernama Hi Kiam-gim, harus kubantu untuk membalaskan sakit hati orang tuanya ............. demikian Gak Lui merenung.

Kemudian pikirannya melayang pada, Ceng Ci totiang dan anggauta Topeng besi yang bertempur dengannya itu. Kedua orang itu benar aneh sekali.

Ceng Ci totiang memang sakti ilmusilatnya, tetapi mengapa sama sekali tak kenal pada pedang Pelangi pusaka partai Bu-tong-pay?

Bukankah hal itu mustahil sekali kalau mengingat bahwa Ceng Ci itu paderi tingkatan tinggi dari partai Bu-tong-pay!

Sedang si Topeng Besi itu, ilmu silatnya jelas dari aliran Bu-tong-pay. Pula dia bahkan mengenali pedang Pelangi. Begitu melihat pedang pusaka Bu-tong-pay, dia tertegun dan tak dapat bicara ....

Terutama topeng besi yang dikenakannya itu.

Selain aneh bentuk dan amat tebal besinya pun penuh dengan karatan.

Apakah topeng besi itu terus dipakaianya dan tak pernah dilepas?

Benar2 kedua orang itu diliputi oleh kabut rahasia. Kabut itu sekarang Gak Lui belum dapat menyingkapnya.

Tiba2 Gak Lui terkesiap ketika ia teringat akan kata2 Ceng Ci totiang yang aneh. Paderi itu berkata: „Engkau si Pemangkas pedang, mengapa sebentar saja sudah berada di sini?"

Jika direnungkan, jelas paderi itu heran atas kemunculan Gak Lui di tempat itu. Jika demikian, apakah terdapat seorang tokoh Pemangkas Pedang yang muncul dilain tempat lagi?

Benak Gak Lui dilalu lalang oleh hal2 yang misterius sekali. Semua teka teki yang dihadapi itu, ia tak mampu memecahkannya.

„Ah......, betapapun halnya, yang penting aku harus mencari sumber air Pencuci Jiwa lebih dulu!" akhirnya ia menetapkan keputusannya.

---oo0oo---

Pada saat ia masih termenung dilamun kenangan perististiwa2 yang aneh itu, tiba2 terdengar suara desis yang tajam.

Empat penjuru penuh dengan gemercik sisik ular bergesek dengan tanah, menimbulkan suatu bunyi-bunyian yang menyeramkan!

Gak Lui bergidik bulu romanya. Ketika memandang kesekeliling, tiba-tiba hidungnya terbaur angin yang amat anyir dan pada lain saat lima ekor ular besar meluncur tiba.

Badan ular yang sebesar dahan kayu, bergeliatan membentuk sebuah barisan ular yang cukup tinggi.

Kelima ular besar mengangkat kepala, menjulurkan lidah dan mengipas-ngipaskan ekornya dihadapan Gak Lui.

Karena tak tahan akan bau yang anyir Gak Lui hampir muntah dan pingsan.

Dia tak dapat mengenali ular mana yang telah menelan dirinya tadi.

Dalam gugup cepat ia siapkan pedang dan memandang kearah liang makam ular sebelah dalam.

Tetapi ia tak melihat bayangan Siau-mey.

Gak Lui makin gemetar.

Cepat ia menarik batang pedang dari sarungnya.........

Dalam saat2 yang amat tegang itu, tiba2 dari arah lubang sebelah dalam terdengar suitan melengking. Bagaikan terbang sigadis ular Siau-mey meluncur keluar. Begitu melihat gadis itu, kedua ular naga tadi segera bergeliatan memberi jalan. Pada lain kejab, gadis itupun suduh berada disamping Gak Lui.

Gak Lui menghela napas longgar, lalu susupkan pedang ke dalam sarung lagi.

Dengan dada berombak keras, gadis itu bertanya: „Engkoh Lui, aku terlambat, apakah engkau kaget?"

„Ah, tak apa. Tetapi melihat kelima ular besar itu saja, hatiku sudah goncang keras!"

„Ah...., kelima ular penjaga makam ini, memang keluar hendak mengantar perjalanan kita. Mereka tak makan orang. apalagi setelah makan rumput Panah-mas-harum, seharusnya engkau jangan takut kepada kawanan ular itu!"

„Ya..., ya...., kutahu. Tetapi mana kawan kecilmu itu? Apa sudah ketemu?"

„sudah!"

Sambil bercakap-cakap itu, Gak Lui memperhatikan keadaan Siau-mey.

Dilihatnya gadis itu masih mengenakan pakaian kulit ular yang gilang gemilang menyilaukan mata.

Kakinya telanjang, begitu pula bagian dadanya. Hanya pada pergelangan tangan kiri, memakai sebuah gelang warna emas yang aneh bentuknya.

Sedang tangan kanan memakai gelang batu kumala putih.

Gak Lui kerutkan alis, tanyanya : „Apakah engkau sudah selesai berkemas?"

Siau-mey mengiakan.

„Kalau begitu, mari kita berangkat !"

Gadis ular Siau-mey segera memberi selamat tinggal satu demi satu kepada kelima ular naga itu. Setelah itu ia cepat menyusul Gak Lui.

Mereka menuju ke sebuah guha berbentuk bundar yang luasnya bebarapa tombak.

Dengan lincah sekali, Siau-mey menyusup ke dalam lubang guha seraya berseru menyuruh Gak Lui mengikuti.

Pemuda itupun segera mengikutinya.

Ternyata dinding guha itu sangat licin dan mengkilap sekali seperti kaca.

Dan lagi sebentar dinding kaca itu melayang ke-atas sebentar meluncur turun.

Sesaat menggeser ke-kanan, sesaat ke-kiri.

Tak ubahnya seperti sebuah barisan yang amat hebat.

Dalam berjalan sebagai penunjuk jalan itu, tak henti-hentinya mulut Siau-mey mendesis-desis pelahan.

Gak Lui pun terpaksa meniru gerakan Siau-mey untuk merayap dengan tangan dan kakinya.

Diam2 ia mengakui, jika tiada penunjuk gadis ular itu, tak mungkin dia mampu ke luar dari makam ular situ.

Entah berapa lama mereka merayap itu, tiba2 Gak Lui tertiup hembusan angin dan semangatnya terasa segar.

Setelah merayap dua tiga tombak jauhnya lagi, mereka telah keluar dari tanah.

Memandang kemuka, kira2 dua li jauhnya tampak api penerangan dari sebuah pedesaan.

„Adik Mey.....”

„Hm ......" mendengar kekasihnya memanggil dengan, sebutan yang mesra, gadis ular itu cepat menyahut dengan penuh rasa bahagia.

„Sekarang kita berada dimana?"

„Entah apa nama tempatnya, tetapi yang jelas berada ditempat yang berlawanan arah dengan lembah."

Gak Lui tertegun, katanya: „Sebenarnya aku ingin kembali ketempat bermula aku jatuh kedalam lembah. Ingin kulihat keadaannya. Tetapi tak nyana engkau telah membawaku kemari."

„Aku kuatir orang yang mencelakaimu itu masih menunggu diluar lembah. Dan lagi gunung bagian sebelah itu ..........bukankah sudah terbakar api?"

Gak Lui serentak teringat pada waktu melintasi puncak gunung, ia melihat dusun keluarga Hi telah menjadi lautan api.

„Ah ..... " ia menghela napas panjang, „baiklah tak perlu melihat. Mari kita mepuju ke desa itu"

Tetapi Siau-mey tampak meragu, katanya: „Sudah bertahun-tahun aku tak melihat orang, Aku agak ngeri ......... "

„Kalau begitu, biarlah kupergi membeli pakaian untukmu. Setelah itu kita cari tempat yang sepi untuk beristirahat. Tentu engkau takkan ngeri bertemu dengan orang!"

---oo0oo---

Demikian tak berapa lama setelah Gak Lui kembali membawa pakaian, mereka segera mencari tempat meneduh.

Kebetulan sekali mereka mendapatkan sebuah kuil kuno yang belum begitu rusak keadaannya.

Ditingkah oleh sinar rembulan, kedua kekasih itu duduk berdampingan. Siau-mey sandarkan kepala pada bahu Gak Lui, sambil memandang rembulan dengan senyum bahagia.

Dalam genggaman cinta, gadis itu seperti dimabuk kepayang.

Berada dalam sebuah kuil kuno di tengah hutan belantara, ia merasa seperti di dalam nirwarna . . . .

Tetapi pada umumnya, detik2 bahagia itu selalu terasa berjalan cepat sekali. Tak berapa lama sudah menjelang tengah malam.

Tiba2 bertanyalah gadis itu: „Engkoh Lui, hendak kemanakah engkau besok pagi itu ...?"

„Kegunung Thian-gan-san mencari sumber air Pencuci Jiwa !"

„Apakah engkau sungguh2 . . . . tak dapat . . . . membawa aku kesana?"

„Sungguh tak dapat!" „Aku merasa berat berpisah dengan engkau.”

„Ah, masakan manusia hidup takan berjumpa lagi. Kuharap engkaupun mencari ayahmu dan akupun bisa memperoleh jejak kedua orangtuaku lalu membalaskan sakithati mereka !"

„Engkoh Lui, engkau belum memberitahukan nama ayah dan ibu !"

,,Tetapi apakah kepentingannya kepadamu ?"

„Ih...., engkau ini memang keterlaluan, engkoh Lui. Masakan seorang menantu tak tahu nama kedua mertuanya ........." jawab Siau-mey tersipu-sipu merah dan menunduklah gadis itu.

„Baik, tetapi sekali-kali jangan memberitahukan kepada orang lain !"

„Sudah tentu."

„Ayahku adalah Bu-san ........”

Baru mengatakan begitu, tiba2 diluar kuil terdengar suara derap langkah orang.

Dari derap langkahnya, bukan seorang tetapi belasan orang.

Tak berapa lama, orang2 itupun melangkah masuk ke dalam kuil.

Sekali lihat dan dengar nada suara mereka, tahulah Gak Lui kalau yang datang itu rombongan orang persilatan yang memiliki kepandaian tinggi.

Salah seorang yang suaranya kasar garang, meraung-raung dengan geram: „Celaka...! Sungguh menjengkelkan sekali bocah Pemangkas Pedang itu.

Kita mencarinya dia menghilang !"

„Habis memangkas pedang orang, dia terus melarikan diri. Tentulah takut dilihat orang ........."

Demikian terdengar ocehan beberapa orang itu yang membuat panas hati Gak Lui tetapi terpaksa menahan kemarahannya.

Tiba2 terdengar derap langkah seorang yang datang lagi dan berscru dengan tegang: „Kabar baik! Pemangkas Pedang itu telah ditelan ular besar!"

Mendengar itu tergetarlah hati Gak Lui.

Mengapa orang itu tahu peristitiwa tersebut?

„Ah, dia tentulah mata2 dari Maharaja!" pikiran Gak Lui dan serentak ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Mencabut pedangnya, ia serentak menerjang keluar!

Tetapi baru pemuda itu hendak bergerak, gadis ular Siau-mey dapat memegang lengan Gak Lui: „Engkoh Lui, mengapa engkau ini?"

„Jangan pedulikan aku!" Gak Lui meronta.

Walaupun tidak menggunakan tenaga penuh tetapi tetap ia tak dapat melepaskan lengannya dari cekalan sigadis.

,,Apakah orang yang mencelakai dirimu itu?"

„Ya...!, mereka anak buahnya, lekas lepaskan aku!"

Gak Lui kerahkan tenaga dalam, siap hendak meronta.

Sekalipun tak pernah belajar silat tetapi tanpa sengaja Siau-mey telah mempelajari ilmu mengatur pernapasan dan tenaga-dalam dari ular naga.

Pada saat Gak Lui kerahkan tenaga, Siau-mey pun ikut mengerahkan tenaga. Cekalannya masih kencang sekali.

„Engkoh Lui, Perlu apa engkau mencarinya?"

„Untuk menanyakan dimana musuhku."

„Kalau mau sungguh2 bertauya, tak seharusnya engkau keluar."

,,Apa maksudmu?"

,,Kalau engkau yang bertanya, mereka tentu akan memberi jawaban yang bohong. Lebih baik biarkan mereka bilang sendiri. Nah, itulah baru boleh dipercaya!"

,,Benar juga......." Gak Lui segera menutup pernapasan dan mencurahkan mendengarannya.

Karena lama tinggal diliang ular, telinga Siau-mey pun lebih tajam dari orang biasa. Ia pun curahkan perhatiannya.

Orang2 persilatan itu segera masuk kedalam ruangan besar.

Setelah mengatur tempat duduk masing2, maka terdengar pula suara orang yang bernada kasar dan parau itu, membentak: „Setan Keluyuran, kemarilah!"

,,Pedang Api, menunggu perintahmu!" terdengar orang yang dipanggil sebagai Setan Kelunyuran itu menyahut.

„Tadi engkau mengatakan bagaimana dengan si Pemangkas Pedang itu? Ceritakan lagi!" „Budak hina itu sudah dimakan ular besar!"

„Ngaco belo engkau! Mungkin karena tak berhasil mendapat berita, engkau lantas merangkai cerita yang tidak2"

,,Percaya atau tidak, terserah padamu. Tetapi aku bicara sesungguhnya !"

„Apakah engkau menyaksikan sendiri?"

,,Tidak”

„Tetapi mengapa engkau begitu yakin?"

„ Aku .... aku ..... faham akan daerah ini.

„Semua peristiwa yang terjadi di situ, tentu kuketahui !"

Rupanya Pedang Api tetap tak percaya.

Wajahnya tampak muram seperti mau marah. Tetapi salah seorang lainnya cepat melerai: „Ah..., kurasa kalian jangan begitu. Bukankah kita bekerjasama. Jika budak hina itu memang sudah mati, kita boleh melampiaskan kesesakan dada."

„Ah, jangan bicara seperti itu !"

Bertanyalah Setan Keluyuran dengan nada dingin: „Cara bagaimana saudara hendak melampiaskan penasaran itu?"

„Aku Pedang Api, senang sekali dapat menghajar budak itu lalu mencincangnya."

„Kalau menurut ucapanmu itu, kita harus menarik tubuh budak itu ke luar dari perut ular. Setelah itu baru ditantang berkelahi?"

Kata2 Setan Keluyuran itu menimbulkan gelak tertawa orang.

Tiba2 serangkum angin keras meniup ke arah tempat persembunyian Gak Lui.

Dengan kepandaiannya mencium angin mengenal benda, Gak Lui mengetahui bahwa tamparan angin keras itu berasal dari gerakan tubuh belasan orang yang berdatangan ke tempat situ.

Mereka adalah musuh2 dari Gak Lui ketika pemuda itu berkelana ke dalam dunia persilatan untuk memamapas pedang orang.

Gelak suara tawa dari Setan Keluyuran masih belum lenyap kumandangnya.

Tiba2 Pedang Api menghantam meja sembahyangan, meja berhamburan ke mana-mana.

Lalu menjerit murka : „Setan Keluyuran, engkau berani menyindir aku ?”

Namun Setan Keluyuran au masih tetap tertawa aneh : „Tak perlu saudara menggertak aku. Jika engkau benar2 sakti, masakan engkau sampai dikalahkan pemuda Pemangkas-pedang itu."

Bum...., bum .... terdengar suara keras dari adu pukulan antara Setan Keluyuran lawan Pedang Api.

Kawannya yang tadi, cepat mencegah : „Ah...., janganlah kalian berkelahi sungguh2. Kita semua orang2 gagah dari tiap2 partai persilatan. Tujuan kita bersama adalah untuk mencari jejak budak Pemangkas-pedang itu. Tetapi jika dia memang sudah mati, besok pagi kita tinggalkan tempat ini."

Siau-liong membisiki Siau-mey : „Aku hendak menjenguk mereka, jangan engkau ke luar dari sini.”

„Engkoh Lui, jika engkau sampai berkelahi dengan orang, bagai mana aku harus berbuat” tanya sigadis.

„Cepatlah engkau pergi, jangan cemaskan diriku ....!”

Gak Lui secepat kilat sudah melesat kemuka ruangan.

Dilihatnya dalam ruangan terdapat 13 tokoh persilatan.

Tapi ia tak dapat mengetahui yang manakah Setan Keluyuran itu.

Pedang Api yang sedang ribut mulut dengan Setan Keluyuran itu, ketika melihat seorang muncul dimuka ruangan, terkejut dan hentikan perkelahiannya.

Belasan oraung itu segera berhamburan keluar.

„Berhenti!" bentak Gak Lui, jangan bergerak, aku hendak bicara !"

Ketiga belas orang itu segera mengepung Gak Lui.

Mereka menghunus senjata masing2. Sikapnya tegang sekali.

„Aku Gak Lui, memang tempo hari yang memapas kutung senjata saudara2. Tetapi hal itu ada sebabnya. Saat ini hendak kuakhiri perselisihan itu!"

Mendengar itu Pedang Api segera maju selangkah, serunya: „Dengan cara bagaimana engkau berhak mengakhiri hal itu?"

„Jika saudara2 suka menyambut tawaranku berdamai, kelak tentu akan kukatakan sebab-sebab-nya aku memapas senjata saudara2 itu, agar saudara jangan penasaran!"

„Jika kami tak mau?"

„Silahkan menetapkan waktu dan tempat, aku tentu akan melayani keinginan saudara2!"

„Beranikah engkau melawan kami ke 13 jago pedang ini,"

„Sedikitpun aku tak gentar, tetapi ......."

„Mengapa?”

„Aku hanya mau menghadapi yang ke 12 orang karena yang seorang harus lenyap."

„Yang mana?"

„Setan Keluyuran!"

„Mengapa?”

„Dia adalah kaki tangan Maharaja. Aku hendak menanyainya"

Kata2 Gak Lui itu membuat mereka tersentak kaget.

Duabelas pasang mata mencurah kearah seorang tinggi yang berhidung kakaktua.

Gak Lui segera menuding orang itu, serunya: „Mengapa engkau tak lekas keluar? Tunggu apa lagi!"

Bermula Setan Keluyuran itu terkejut gemetar tetapi pada lain saat ia tertawa mengejek.

„Atas dasar apakah engkau memfitnah diriku?" serunya.

„Ketika aku berjumpa dengan ular naga, hanya si Topeng Besi dan si-imam jahat Ceng Ci yang mengetahui. Tetapi mengapa engkau tahu juga? Bukankah itu suatu bukti bahwa engkau adalah kaki tangan durjana yang telah mengganas dunia persilatan itu!" sahut Gak Lui.

Setan Keluyuran itu batuk2 sebentar lalu memandang kepada orang- orang disekeliling serunya: „Saudara-saudara sudah menyatakan hendak mencincang si Pemangkas Pedang itu. Tetapi mengapa setelah budak itu datang, saudara2 membiarkan dia mengoceh tak keruan ........"

Pedang Api mendengus, teriaknya: „Gak Lui cukup kuat alasannya. Jika engkau tak dapat memberi penjelasan, hm ....... "

„Wah..., wah...., wah...., mengapa saudara membawa perselisihan peribadi ke dalam persengketaan umum? Ah, tak sedap dilihatlah!" seru Setan Keluyuran mengejek.

Gak Lui tak dapat menahan kesabarannya lagi.

Memandang dengan mata berkilat-kilat kepada sekalian orang gagah, ia berkata: „Harap saudara saudara suka memikir selangkah. Aku hendak membalaskan kematian Lima-orang gagah dan kedua jago Pedang Samudera dan Pedang Gelombang"

Habis berkata pemuda itu terus bersiap hendak lancarkan pukulan Algojo-dunia untuk meringkus Setan Keluyuran.

Tetapi baru saja tangan hendak mengayun, tiba2 dari belakang ia merasa dilanda tiupan augin keras.

Pedang Api dan rombongannya tak mengetahui hal itu, tecapi Gak Lui segera menarik pulang tangannya dan membentak: ,,Hai, siapakah kalian itu? Mengapa tak turun kemari, bicara terus terang !"

Terdengar dua buah penyahutan yang parau dari atas serambi: „Kami berdua adalah imam Wi Tun dan Wi Ti dari Kong-tong-pay!"

Kedua imam tua itu, sederajat kedudukannya dengan ketua Kho-tong-pay.

Kesaktiannya dalam ilmu pedang menggetarkan sampai keempat samudra. Maka kemunculannya, benar2 sangat mengejutkan sekalian orang.

Tersipu-sipu sekalian orang gagah memberi hormat kepada kedua imam tua itu.

Pedang Api segera memberi hormat dan memperkenalkan diri.

„Murid orang biasa dari Siau-lim-pay, Tan Tay-kong, memberi hormat kepada lo cianpwe berdua!"

Setelah itu berturut-turut mereka memperkenalkan diri sebagai Tio Lam san murid Heng-san pay, Oh Hek-bu murid Ceng-sia pay, Ci Kok-ceng murid Kiu-hoan-bun dan lain-2...

Kebanyakan mereka adalah anak murid partai golongan Ceng-pay.

Dan kedua imam tua itu pun satu demi satu membalas hormat.

Kemudian yang terakhir adalah orang yang digelar sebagai Setan Keluyuran itu.

Dengan hormat ia berkata: „Wanpwe Lim Yan, menghaturkan hormat dan selamat datang kepada lo-cianpwe berdua "

Melihat dia tak menyebut partai perguruannya, imam tua Wi Ti segera bertanya: „Siapakah nama gurumu

,,Wanpwe adalah anakmurid . . . . Hantu tulang putih . . . ."

„Oh...." seru imam tua Wi Ti dengan dingin, kemudian memandang sekalian orang gagah

„Menilik gelagatnya, kalian ini benar2 rombongan naga dan ular, tidak membedakan putih dengan Hitam. Sungguh tak urus."

Mendengar dampratan imam tua itu, Pedang Api malu dalam hati.

Buru2 ia memberi penjelasan: „Adalah karena tak paham jalanan maka terpaksa kami mengijinkan dia ikut. Dan lagi diapun, pernah dipapas kutung pedangnya ......"

Kedua imam tua Wi Ti dan Wi Tun tetap. tak, senang.

Tiba2 mereka berpaling kepada Gak Lui. Sudah tentu pemuda itu terkejut.

„Adakah, cianpwe berdua juga hendak mencari aku?" tanya Gak Lui.

„Murid keponakanku Hian Wi tojin telah di papas kutung pedangnya. Tentulah engkau yang memapas itu!"

„Memang benar . . . . "

„Sesungguhnya karena apa sampai terjadi perkelahiau itu?"

„Aku mempunyai suatu sebab. Sayang tak leluasa kuberitahukan!"

„Pedang merupakan nyawa kedua dari seorang persilatan. Bukan saja bagi yang terpapas pedangnya tentu malu, pun bagi perguruannya merupakan suatu hinaan besar. Sekarang murid keponakanku telah menerima hukuman dari ketua. Kami menerima tugas untuk menyelidiki hal itu. Jika engkau tak mau mengatakan sebanya, murid keponakanku Hian Wi itu tentu akan menerima hukuman berat. Dilenyapkan ilmu kepandaiannya dan diusir dari perguruan !"

Mendengar itu dengan nada penuh sesal Gak Lui berkata : „Dapatkah kumohon pada cianpwe supaya kembali ke gunung dan tolong sampaikan pada ketua. Peristiwa pemangkasan pedang itu bukan tanggung jawab Hian Wi tojin. Kelak aku tentu akan datang menghadap untuk memberi penjelasan !"

„Karena bukan tanggung jawab murid keponakanku, maka jelas engkaulah yang bertanggung jawab. Dalam hal ini terpaksa aku harus mencari keterangan sampai jelas!"

„Tetapi saat ini aku masih mempunyai lain urusan yang penting. Dapatkah lain hari........”

,,Dengan susah payah, kami baru dapat mencarimu di sini. Kurasa lebih baik sekarang juga engkau memberi penjelasan !" desak imam tua itu.

Gak Lui merenung.

Rombongan yang dihadapinya itu terdiri dari campuran antara Putih dan Hitam.

Dan lagi Siau-mey masih bersembunyi di samping ruang. Berhadapan dengan sekian banyak orang dari berbagai aliran yang berbeda-beda itu, memang memungkinkan terjadinya hal-hal di luar dugaan ...............

Tiba-tiba Setan Keluyuran mendapat pikiran untuk menggunakan kesempatan saat itu. Dengan tertawa ia berkata kepada ke dua imam tua Wi Ti dan Wi Tun: „ Kata2 cianpwe tadi memang tepat sekali. Kami kemari karena hendak mencari budak itu. Tetapi sanyang ada beberapa kawan yang takut kepadanya. Syukur cianpwe berdua datang sehingga urusan tentu beres ...."

Tetapi Setan Keluyuran kecele. Kedua imam tua dari Kong-tong-pay itu membenci orang2 golongan Hitam.

Mendengar sanjung pujian Setan Keluyuran, ke dua imam tua itu deliki mata dan menyahut dingin: „ Kalian guru dan murid, tersohor buruk nama. Kami Kong-tong-pay tak berani menerima petunjukmu!"

Kemudian ke dua imam itu berpaling kepada Gak Lui, serunya : „Baiklah, kami berdua akan menonton di samping sini. Silahkan engkau membereskan urusanmu dahulu !"

Habis berkata ke dua imam itu terus melayang ke atas atap serambi lagi.

Tetapi Setan Keluyuran itu memang julig sekali.

Siasat yang satutr gagal, ia sudah siap dengan siasat lain lagi.

Tanpa malu-malu lagi ia berseru keras : „Lain orang takut kepada budak itu, memang dapat dimengerti. Tetapi kalau cianpwe berdua juga gentar kepadanya, benar-benar menghilangkan muka. Dan lagi Gak Lui sebenarnya adalah anggota Topeng Besi, mata2 dari Maharaja!"

Sudah tentu kata2 itu seperti halilintar meledak disiang hari.

Kedua imam dari Konglong-pay terbeliak kaget!

Begitupun sekalian orang gagah yang hadir disitu.

Tadi Gak Lui menuduh Setan Keluyuran itu kaki tangan Maharaja, tetapi sekarang Setan Keluyuran berbalik menuduhnya sehingga salah seorang anggauta gerombolan Topeng Besi !

Dalam kehiruk pikukan sebagai reaksi atas kata2 Setan Keluyuran itu, maka Pedang Api Tau Tay-kong murid Siau-lim-si segera melangkah maju dan membentak dengan suara menggeledek: ,,Kalian berdua saling tuduh menuduh. Sebenarnya siapakah yang mempunyai bukti yang kuat!"

Dengan tangkas, Setan Keluyuran segera menggembor sekeras-kerasnya: „Anakbuah Maharaja tentu membawa Amanat Takdir. Silahkan kalian menggeledah, siapakah diantara kami berdua yang menyimpan surat amanat itu, dialah mata-mata!"

Mendengar itu Gak Lui seperti disambar kilat kejutnya, pikirannya; „Kuambil Amanat Mati ditempat kediaman Kelima Jago, mengapa dia tahu juga!"

Berfikir sampai hal itu, cepat ia merabah saku bajunya . . .

„Hai, budak, kalau memang seorang jantan hayo keluarkanlah sendiri!" teriak Setan Keluyuran.

Karena marahnya, Gak Lui sampai gemetar.

Cepat ia mengambil keluar Amanat Mati itu.

Seketika berobahlah wajah sekalian orang gagah.

„Benar!, memang Amanat Mati ini kusimpan. Tetapi Amanat Mati itu kuambil dari tempat kediaman Kelima Jago. Hai!, Setan Keluyuran, engkau harus mengganti jiwa . . . ."

Tetapi Setan Kelujuran yang licin bagi belut, cepat melengking: „Pembunuh sudah terang berada disini, kalian masih tunggu apa lagi !"

Bahkan sehabis berseru, Setan Keluyuran terus mencabut pedang hendak menyerang.

Tetapi kalah cepat dengan Gak Lui.

Pemuda yang terbakar oleh dendam kemarahan itu, segera hantamkan tangan kirinya keudara. Serangkum gelombang penyedot segera melanda Setan Keluyuran.

Tubuh orang itu melengkung dan tertarik dua langkah kemuka.

Dengan sekuat tenaga ia berontak dan barulah dapat berdiri tegak lagi.

Tring .......! pedangnya berhambhuran melayang keudara dan tahu-tahu meluncur ketangan Gak Lui.

Sekali hantamkan ujung pedang ketanah, pedang Setan Keluyuran itu kutung menjadi dua.

Ilmu kepandaian merebut senjata dari jarak jauh itu, benar2 mengejutkan sekalian orang.

Mereka belum pernah menyaksikan ilmu yang seluar biasa itu.

Pedang Api dan rombongan benar2 tercekam dalam kerisauan.

Antara rasa kejut, malu, dan marah.

Tetapi beberapa orang yang terkena pengaruh kata2 Setan Keluyuran tadi, segera maju menyerang Gak Lui.

„Menyingkirlah, jangan cari penyakit sendiri .......!" teriak Gak Lui seraya gerakkan tangannya dalam ilmu Algojo Dunia untk melindungi diri.

Tetapi sayang, sekalian orang telah kehilangan daya pikir yang sadar, tidak ada seorangpun yang mendengar seruan Gak Lui.

Sepuluh desiran angin pukulan dahsyat dan hujan sinar pedang sama menluncur kearah Gak Lui.

Betapapun Gak Lui dengan ilmu kesaktiannya yang aneh itu, tetap kewalahan menghadapi serangan dari 13 takoh berilmu tinggi.

Darahnya bergolak keras, gerakannya menjadi kacau.

Dalam keadaan secara terpaksa, ia mencabut sepasang pedang panjang dan pendak.

Dengan demikian, berlangsunglah suatu pertempuran berdarah yang seru.

Pedang Api Tan Tay-kong mengeluarkan ilmu istimewa dari perguruan-nya, menyerang dengan mati-matian.

Setan Keluyuran menyerang dengan tangan kosong.

Ia gunakan ilmu Im-Jan-jiu atau ilmu pukulan membuat orang cacad.

Beberapa kali dalam kesempatan yang baik, iau mencuri serangan.

Pedang panjang yang dicekal tangan kanan, dimainkan Gak Lui dalam ilmu Menjolok-bintang-memetik-bulan. Dari arah kedudukan yang tak terduga-duga, Gak Lui dapat gerakan pedangnya untuk mencongkel pedang lawannya.

Sementara Pedang Pelangi yang dimainkan dengan tangan kiri dalam ilmu Membelah-emas-memotong-kumala, bagaikan ular yang sedang menjulur-julurkan lidahnya untuk memagut.

Hanya pagutan ujung pedang Gak Lui itu adalah untuk memapas kutung pedang orang.

Saat itu didalam ruang biara telah berlangsung suatu pertempuran senjata yang dahsyat sekali.

Menimbulkan sambaran angin yang menderu-deru . . . .

Dering gemerincing dari benturan senjata tajam, terdengar amat tajam sekali sampai memekakkan telinga.

Ilmu pedang Menjolok-bintang-memetik-rembulan yang dimainkan Gak Lui itu memang luar biasa sekali.

Beberapa pedang lawannya dapat dipentalkan keudara, melambung tinggi sampai beberapa tombak.

Dibawah sinar rembulan, pedang2 yang melayang keudara itu, sepintas pandang menyerupai bintang jatuh dari langit ....

Ada juga yang pedangnya kena terpapas kutung sampai pendak dan makin pendak, terpaksa harus buang tangkai pedangnya.

Karena jika dilanjutkan, setelah tangkai pedang pun terpapas, tentulah tangannya yang akan menjadi korban.

Hanya dalam waktu sepenanak nasi saja, pertempuran telah berjalan 100-an jurus.

Saat itu ke 13 tokoh2 lihay yang semula menggunakan pedang, saat itu terpaksa hanya tinggal tangan kosong saja.

Tetapi rupanya karena malu campur marah, mereka semakin kalap.

Pedang terpapas habis, mereka tetap gunakan tangan kosong untuk melancarkan serangan.

Kedua imam tua Wi Ti dan Wi Tun, diam2 terperanjat menyaksikan kesaktian pemuda Gak Lui.

Wi Ti terus hendak turun membantu tetapi dicegah Wi Tun.

„Melihat kepandaiannya, dia mungkin anggauta Topeng Besi ..." kata Wi Ti.

Tetapi sambil menuding kearah Pedang Pelangi yang digunakan Gak Lui, Wi Tun berbisik: „Dengan memakai pedang itu jelas dia tentu pernah ke Bu-tong-san dan tak mungkin menjadi anggauta kaki tangan Maharaja!

Dan lagi orang2 itu campur baur tak keruan dengan golongan Hitam, biarlah mereka merasakan sedikit kopi pahit!"

Pada saat kedua imam Kong-tong-pay itu bercakap-cakap, Gak Luipun sudah menyarungkan pedang dan gunakan tangan kosong untuk menghadapi serangan lawan.

Berbeda dengan pedang.

Pukutan lebih lincah dan sukar dikuasai lawan.

Maka serangan ke 13 orang itu, membuat Gak Lui sibuk sekali.

Pemuda itu gunakan ilmu meringankan tubuh Burung-rajawali-pentang- sayap untuk menghindari serangan.

Gerakan pemuda itu ber-putar2 laksana seekor burung rajawali yang sedang berpesta-pora diantara kawanan kambing.

Berulang kali susul menyusul terdengar erang dan dengus tertahan dari beberapa orang yang terkena pukulan.

Dalam bebcrapa saat, hampir separoh dari pengeroyok itu dapat dipukul terhuyung-huyung oleh Gak Lui.

Melihat pemuda itu makin lama semakin perkasa bahkan lebih hebat daripada menggunakan pedang tadi, Setan KeIuyuran menyadari bahwa apabila di lanjutkan, jelas pertempuran itu tentu akan dimenangkan Gak Lui.

Diam2 tergetarlah hati Setan Keluyuran.

Serentak timbul rencananya untuk meloloskan diri.

Maka setelah melakukan sebuah gerak serangan kosong, cepat ia melesat ke ruang samping.

Gak Lui terkejut, ia kuatir Siau-mey masih berada dalam ruang samping itu dan tentu ditangkap Setan Keluyuran.

Tetapi begitu perhatiannya terpecah, saat itu juga musuh telah memburu dengan pukulan yang dahsyat dan menguasainya lagi.

Tiba2 dari samping ruang terdengar gelak tertawa yang cabul.

Dan menyusul terdengar lengking jeritan ngeri dari seorang gadis.

„Celaka!" diam2 Gak Lui mengeluh dan tertegun kaget.

Bluk..., bluk..., bluk..., tiga buah pukulan telah melanda tubuh pemuda itu.

Seketika Ia muntah darah ........

Tetapi pemuda itu mendadak tampak beringas sekali. Sepasang matanya berkilat-kilat memancarkan api.

Dengan kalap ia segera melancarkan 6 buah jurus dahsyat.

Seperti mendapat kekualan gaib, pemuda itu mengamuk laksana banteng terluka.

Dua belas jago-jago silat yang tangguh, dalam beberapa waktu, telah berantakan.

Sebagian dapat di hantam terhuyung-huyung oleh Gak Lui dan sebagian dapat disedot tenaga-murninya sehingga kehabisan tenaga.

Juga Gak Lui sendiri tak keruan keadaannya.

Mulutnya mengumut darah.

Namun dengan nekad, sehabis merubuhkan pengeroyoknya, ia terus menyerbu keruangan samping.

Tetapi baru ia hendak bergerak, gadis ular Siau-mey sudah melesat keluar dari ruang samping itu. Setan Keluyuran mengejarnya.

Dengan cepat ia menutuk dua buah jalan darah gadis itu tetapi entah bagaimana tutukannya itu selalu meleset . . . .

„Engkoh Lui, tolonglah aku!" teriak Siau-mey dengan ketakutan. Tetapi pada saat itu juga tangannya dapat dicengkeram Setan Keluyuran.

Dan tepat pada saat itu, Wi Ti totiangpun melayang turun dari atas serambi terus menutuk kedua orang, Siau-mey dan Setan Keluyuran.

Saat Siau-mey terancam bahaya, sekonyong-konyong Siau-mey gerakkan kedua lengannya dan bersuit aneh.

Seketika dua buah sinar emas dan perak berhamburan dari kedua lengannya dan tahu2 gadis ular itu terlepas, dari bahaya, terus djatuhkan diri kedada kekasihnya.

Tetapl pada saat itu juga Setan Keluyuran tegak seperti patung, tubuhnya menggigil seperti orang terserang penyakit malaria.

Wajahnyapun turut berkerenyutan.

Bluk ...... tiba2 dia rubuh ke tanah.

Demikianpun imam tua Wi Ti totiang.

Wajahnya menampil rasa kejut ketakutan.

Baru berjalan tiga langkah, iapun rubuh ....

Sebelum Gak Lui tahu apa yang terjadi dan belum sempat berbuat apa2, sekonyong-konyong Wi Tun totiang sudah lontarkan pukulan tenaga sakti kearah mereka berdua.

Karena sedang memeluk Siau-mey, Gak Lui tak sempat menangkis.

Terpaksa sambil melindungi gadis itu, ia terus enjot tubuhnya melambung keudara..............

Tetapi baru melambung beberapa meter, pinggangnya telah tersapu angin pukulan si-imam.

Bum ,.... ia terlempar beberapa tombak.

Mata ber-kunang2 dan gelaplah disekeliling penjuru.

Darahnya bergolak keras.

Setelah dapat meruhuhkan Gak Lui, Wi Tun cepat melayang kesamping Wi Ti.

Dilihatnya wajah suhengnya itu pucat lesi, napas berhenti.

Jelas terkena sebuah jenis racun yang hebat !

Wi Tun yang biasanya amat sabar, saat itu lupa segala apa.

Tring .....!, ia mencabut pedang lalu menyerbu Gak Lui.

Gak Lui buru-buru menyingkirkan Siau-mey dan mencabut pedang untuk menangkis. Cepat sekali mereka sudah bertempur 10 jurus.

Tiba2 sigadis ular Siau-mey seperti teringat sesuatu.

Buru2 ia menghampiri ke tempat imam Wi Ti untuk memeriksa lukanya

Saat itu Wi Tun totiang sedang menumpahkan seluruh tenaganya dalam ilmu pedang partai Kong-tong pay.

Hebatnya bukan alang kepalang.

Sedang Pedang Api Tan Tay keng dan kawan sedang sibuk menolong kawan2nya yang menggeletak di tanah.

Seluruh mata rombangan Pedang Api itu tercurah dengan penuh kebencian kepada Gak Lui.

Juga terhadap sikap kedua imam tua Kong-tong-pay yang hanya berpeluk tangan melihat pertempuran tadi, merekapun tak puas.

Mereka mulai makin percaya akan keterangan Setan Keluyuran tadi bahwa Gak Lui ini seorang anggota gerombolan Topeng Besi.

Buktinya, pemuda itu membawa Amanat Mati dari Maharaja dan memusuhi tokoh2 golongan Putih.

Anggapan mereka terhadap sikap kedua imam tua Kong-tong-pay itupun, agak mencurigakan.

Tentu ada maksud tertentu mengapa kedua imam tua itu tak mau campur tangan dalam pertempuran tadi!

Dalam pada itu, pertempuran antara Wi Tun totiang dengan Gak Lui masih berlangsung seru sekali.

Karena tak mampu mengalahkan Gak Lui yang sudah menderita luka itu, Wi Tun totiang merasa malu dan marah.

Segera ia tumpahkan seluruh tenaga-saktinya untuk menghantam dada lawan.

Gak Lui terkejut.

Setitik iapun tak pernah mengira bahwa imam tua itu akan mati-matian hendak mengadu jiwa.

Dalam keadaan yang tak mungkin dihindarinya ini, terpaksa Ia menangkis dengan tangan kiri.

Krak .... terdengar benturan yang keras dan tersurutlah Gak Lui tiga langkah kebelakang.

Tubuhnya terhuyung-huyung sambil tetap mencekal pedang yang dilintangkan kemuka untuk melindungi diri.

Tetapi difihak Wi Tun totiang lebih mengenaskan. Kedua tangan imam tua itu melentuk lunglai, kedua kaki lemas dan rubuhlah imam itu ketanah . . . .

Hening lelap. Suasana ruangan tampak menyeramkan.

Beberapa sosok tubuh malang melintang menggeletak dilantai.

Beberapa saat kemudian, tampak gadis ular Siau-mey bangkit terus menghampiri ketempat Gak Lui.

Dilihatnya dada sang kekasih itu berombak keras; wajah merah membara dan tegak seperti patung.

Jelas kekasihnya itu tentu menderita kesakitan yang hebat.

,,Engkoh Lui, engkau ...... bagaimana?"

,,Lekas . . . papahlah aku ........ duduk........."

BAB 07

SEPASANG MANUSIA BERKEDOK

Siau-mey segera membantu kekasihnya duduk disamping Wi Tun totiang. Dengan susah payah Gak Lui letakkan pedang lalu lekatkan tangannya keperut imam itu.

Dengan pelahan ia salurkan tenaga-murni Wi Tun yang disedotnya itu ke dalam tubuh siimam itu.

Tak berapa lama, Gak Lui merasakan getaran hatinya agak tenang dan rasa sakitnyapun berkurang.

Juga Wi Tun totiangpun mulai kembali tenaganya, Akhirnya tersadar dan membuka mata. Sebelum kedua orang saling berbicara, Wi Ti totiangpun yang tadi telah ditolong Siau-mey sudah bangun lalu menghampiri ketempat mereka.

Demikianlah, keempat orang itu saling menuturkan pengalaman masing2. Wi Ti totiang mengatakan bahwa tutukannya tadi sebenarnya hendak mencegah Setan Keluyaran mencelakai Siau-mey.

Tetapi dalam gugup, Siau-mey telah meronta dan membalas menutuknya hingga rubuh.

Gak Luipun segera menuturkan tentang Amanat Mati yang diambilnya dari desa kediaman Kelima jago. Kini kedua imam Kong-tong-pay itu menyadari kesalahan faham mereka. Mereka memberi hormat, menghaturkun terima kasih karena telah ditolong dari bencana maut. Setelah itu mereka minta diri dan tinggalkan tempat itu.

Tetapi. tiba-tiba Gak Lui teringat sesuatu serunya: „Harap totiang berdua suka berhenti sebentar. Aku hendak mohon bertanya."

„Ah, Gak siauhiap tak perlu sungkan ..."

„Mohon tanya, apakah diantara anak murid partai totiang ada yang lenyap pada 18 tahun yang lalu ?"

Kedua imam tua itu saling bertukar pandang lalu berkatalah Wi Ti totiang: „Jika lain orang yang tanya, kami tak leluasa memberi keterangan, Tetapi karena kalian berdua telah menolong kami, maka tak enaklah kalau kami merahasiakan soal itu . . . . "

Demi kehormatanku, tak nanti kubocorkan rahasia itu kepada lain orang. Pula akupun masih ada soal yang penting akan kuberitahukan kepada totiang"

„Yang lenyap dari salah seorang Tujuh-jago-pedang Kong-tong-pay itu adalah toa suheng kami Wi Cun totiang"

„Oh ......, bagaimana dengan kelakuan Wi Cun totiang?"

„Cukup baik, tetapi .........."

„Tetapi bagaimana"

„Perangainya keras sekali, kurang ramah tamah."

„Mungkin dia telah berobah perangainya sehingga melakukan sesuatu hal yang diluar dugaan, benarkah?"

„Hal itu .... aku tak berani memastikan, pun tak dapat menyangkal . . ."

Gak Lui merenung sejenak lalu berkata dengan nada sungguh2: „Adaikata dia telah menggabungkan diri pada golongan hitam, misalnya menjadi kaki tangan Maharaja, bagaimanakah tindakan partai totiang terhadap dirinya?"

„Sudah tentu akan dijatuhi hukuman sebagai murid murtad! Tetapi hal itu harus ada bukti yang benar2 meyakinkan!"

„Bukti ...... ?”

,,Sudah tentu hurus ada bukti itu. Dan ucapanmu itu seperti memberi isyarat secara diam2 tentang sesuatu hal!"

Gak Lui menuturkan tentang perjumpaannya dengan imam Ceng Ci totiang yang menyatakan hendak mengadakan pembersihan pada partai Bu-tong-pay.

Wi Ti dan Wi Tun terkejut sekali.

Berserulah kedua imam itu dengan serempak: „Hubungan Kong-tong-pay dengan Bu-tong-pay boleh dikatakan adalah seperti kaki dengan tangan. Soal itu kami tak dapat tak mengurusnya ......... Dan lagi turunnya Ceng Suan tutiang dari gunung pastilah untuk hal itu juga!"

Kali ini Gak Lui lah yang tergetar hatinya. Bukan karena takut rombongan Bu-tong-pay akan meminta kembali pedang pusaka Pelangi dari tangannya. Melainkan cemas akan tindakan Ceng Suan totiang itu. Dengan kepergian ketua Bu-tong-pay dari gunung, musuh mudah menggunakan kesempatan itu untuk mengganggu markas Butong-pay.

Setelah menenangkan perasaannya, Gak Lui berkata: „Karena Bu-tong-pay telah mengalami peristiwa itu, kuharap partai Kong-tong-pay juga barus meningkatkan kewaspadaan agar jangan tertimpah sesuatu yang tak diharapkan"

„Terima kasih atas peringatan Gak sauhiap. Kami tentu akan segera melaporkan hal itu kepada ketua!" kata kedua imam itu lalu memberi hormat dan terus pergi.

Pada saat. Gak Lui berputar tubuh, barulah ia teringat akan Setan Keluyuran. Ketika diperiksanya ternyata orang itu sudah mati. Kaki tangannya menyurut kecil, wajahnya perot dan lulitnyapun pucat seperti kertas Apabila disentuh jari, kulit mukanya itu sudah membusuk.

„Aneh .... mengapa dia mati sengeri begitu?" diam2 Gak Lui bertanya kepada dirinya.

„Dia mati digigit si Kumala!" tiba2 sigadis ular Siau-mey menyahut..........

„Kumala?”

Siau-mey geliatkan tangan kanannya lalu melolos rantai kumala yang melingkar ditangannya itu.

,,Ho....., itulah . . .            sahabat kecil-mu?"

Siau-mey mengiakan, lalu bersuit nyaring. Nadanya tak kalah nyaring dari suitan Ceng Ci totiang ketika memanggil anggauta Topeng Besi.

Begitu mendengar suitan Siau-mey, rantai kumala ditangan Siau-mey itu, hergerak. Rantai itu dapat mengangkat keatas, memantulkan sebuah kepala binatang yang berbentulk segi tiga.

„Oh, kiranya seekor ular berbisa!" seru Gak Lui.

„Benar, racunnya memang ganas sekali. Apabila menggigit orang, dalam waktu paling lama satu jam, orang tentu cair jadi air!"

„Kalau begitu, Wi Ti totiang rubuh tadi bukan karena engkau totok tetapi karena digigit ular emas itu?!"

„Ya, benar! Imam itu memang digigit si-Emas. Karena Wi Ti totiang itu tergolong aliran Putih maka kuberinya pertolongan!"

„Ah........" Gak Lui menghela napas, „Setan Keluyuran itu sebaiknya jangan mati dan harusditolong. Dia adalah kunci rahasia dari musuhku. Aku dapat mengorek keterangan dari mulutnya........"

Siau-mey tersipu-sipu merah. Sejenak merenung ia berkata: „Tetapi dia tak dapat ditolong lagi ......... eh, mengapa engkau tak coba2 menggeledah badannya? Mungkin dapat diketemukan suatu petunjuk!"

Gak Lui menurut. Ketika mengeledah pakaian Setan Keluyuran, ia berhasil menemukan sebuah lencana emas yang aneh bentuknya. Diatas lencana itu diukir huruf : „Menteri dari Maharaja".

„Hm, kiranya lencana ini merupakan tanda pengenal mereka ......" pikir Gak Lui. Dan ketika membuka bekal Setan Keluyuran, ia menemukan lagi sehelai kain 'biru penutup kepala dan muka. Itulah sarung kepala yang biasa dikenakan anggauta Topeng Besi !

Gak Lui menyimpan kedua benda itu dibajunya.

Tiba2 Siau-mey menanyakan perihal Amanat Mati yang menyebabkan Gak Lui diserang rombongan Pedang Api tadi.

„Engkoh Lui, perlu apa engkau menyimpan benda2 itu? Bukankah hal itu akan menimbulkan faham orang?" kata Siau-mey.

„Soal itu tak perlu engkau tanyakan. Kelak tentu ada gunanya bagiku!"

Perangai gadis ular Siau-mey memang lemah lembut. Ia tak mau berbantah lagi. Kemudian ia menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan mesra : „Engkoh Lui, orang2 sudah pergi, mari kita masuk dan beristirahat ke dalam ruangan."

Tetapi saat itu hari sudah fajar.

Gak Lui gelengkan kepala: „Kita . . . . saat ini harus berpisah."

„Berpisah ?" Siau-mey terkejut.

„Sesungguhnya aku tak tega kalau engkau seorang diri berkelana. Lebih baik cari suatu temtpat yang aman dan engkau menetap sementara disitu.”

„Tidak..., tidak....!" rupanya Siau-mey mempunyai lain rencana, „aku mempunyai si Kumala, si Emas dan ular Pelangi serta akupun memiliki ilmu jaga diri. Aku dapat pergi, seorang diri!”

„Kapan engkau memiliki kepandaian jaga diri itu ?"

„Dulu sewaktu masih tinggal di makam ular, sering kulihat kawanan ular besar itu saling bergurau. Tanpa sengaja mereka masing2 mengeluarkan kepandaian berkelahinya. Tadipun telah kugunakan sebuah sapuan tangan dan kaki untuk merubuhkan Setan Keluyuran. Kalau tidak, masakan aku dapat lolos dari ruang samping !”

Kalau begitu sebenarnya engkau memang mempunyai kepandaian bela diri. Hanya saja karena gugup menghadapi musuh, hampir saja engkau kena disergap orang ....... "

„Kelak aku takkan takut lagi. Barang siapa menghinaku, tentu takkan kuberi ampun!" kata Siau-mey.

„Bagus" Gak Lui memuji. Keduanya segera keluar dari ruang itu. Setelah tiba di-jalan besar, mereka segera berpisah.

„Kudoakan engkau dapat menemukan ayah-mu !" kata Gak Lui.

„Kuharap engkaupun dapat menemukan sumber air. Pencuci Jiwa!" balas Siau-mey.

Setelah saling berpelukan, kedua kekasih ini segera berpisah. Gak Lui bergegas-gegas menuju kearah tempat sumber air Pencuci Jiwa.

SETELAH kekasihnya itu lenyap dari pandangan mata, Siau-mey berkata dalam hati : „Engkoh Lui, aku benar2 tak tega. Akan kuikuti engkau secara diam2 Tak peduli ke Nirwana atau ke Neraka............

Betapapun jauh larimu, tetapi dengan membaui napasmu aku tentu dapat mencarimu!"

Setelah menentukan rencananya, gadis ular itupun segera melesat menyusul kearah tujuan Gak Lui.

Setelah dua hari metaempuh perjalanan, barulah Gak Lui menyadari bahwa lukanya masih belum sembuh sama sekali. Tenaganya belum pulih. Ia merasa cemas lalu membiluk ke sebuah tikungan gunting. Maksudnya hendak mencari tempat yang aman untuk melakukan penyaluran napas.

Pada saat ia menyusup ke dalam sebuah hutan untuk mencari tempat beristirahat, tiba2 dari belakang menghembus serangkum angin dan menyusul terdengar suara orang membentak: „Hai, pendatang, lekas hunus pedangmu!"

„Menghunus pedang?" Gak Lui heran.

„Benar, dan engkau boleh mulai menyerang dulu!" kata orang itu.

Gak Lui makin kaget. Nada ucapan itu persis seperti ketika ia turun gunung dahulu dalam rangka memapas pedang tokoh2 persilatan untuk dibawa menghadap ayah angkatnya.

Secepat kilat Gak Lui berputar tubuh untuk melihat orang yang menggertaknya itu. Dan astaga .... hampir saja ia menjerit kaget!

Dan orang itupun juga menjerit kaget!

Kiranya yang dihadapi Gak Lui itu juga seorang yang memakai kerudung hitam. Kepala dan mukanya tertutup. Dandananya persis seperti dirinya.

Orang itupun demikian juga. Ia terkejut karena Gak Lui menyerupai dirinya.

Memang sepintas pandang keduanya hampir menyerupai satu sama lain. Tetapi sesungguhnya ada juga bedanya. Gak Lui lebih tinggi dari orang itu. Dan kedok muka yang dipakainya itu agak beda bentuknya dengan orang itu. Begitu pula orang itu pedangnya hanya sebatang. Sekalipun hegitu, memang sukar membedakan mereka.

„Siapa engkau!" orang itu menegur lebih dulu. Dari nada dan sinar matanya serta baris gigi yang masih penuh dan putih, jelas orang itu masih muda.

,,Aku Gak Lui sahut Gak Lui. Diam2 ia menimang, tentulah orang itulah yang telah keliru disangka oleh Ceng Ci totiang sebagai si Pemangkas Pedang.

„Hm, bangsa kerucuk yang tak berharga. Lekas hunus pedangmu!" seru orang itu.

„Siapa engkau " seru Gak Lui.

„Tuanmu ini adalah si Pemangkas Pedang, mengapa masih bertanya lagi!"

„Ha, ha, ha . . . !" Gak Lui tertawa ter-gelak2

„kalau engkau benar2 dia, engkau telah melanggar sebuah peraturannya!"

„Peraturan apa?"

„Selama berkelana memapas pedang orang, dia tak pernah menanyakan nama orang. Kecuali orang itu mengatakan sendiri !"

„Oh ...... apakah engkau ......" orang itu gemetar tubuhnya dan maju tiga langkah kemuka.

„Tak usah engkau tanya! Mari kita sama2 menghunus pedang dan lihatlah siapa yang lebih tangkas

Tring ........ secepat menarik pedang orang itu terus menyerang Gak Lui. Gak Luipun mencabut pedangnya tetapi tak sampai mengeluarkan suara begitu gemerincing.

Cepat kedua sudah melangsungkan 10 jurus serangan, Gak Lui dapatkan tenaga-dalam orang itu masih lemah tetapi permainan pedangnya hebat dan aneh sekali. laksuna gelombang samudera yang susul menyusul mendampar. Menyerang tetapi lincah bertahan. Sesaat Gak Lui tak mampu menemukan kelemahan lawan.

Berhadapan dengan seorang lawan yang dandanan dan umurnya sebaya, timbullah kegembiraan Gak Lui untuk memenangkan pertempuran itu. Pikirnya: „Hm, engkau mengaku sebagai si Pemangkas Pedang. Akan kuberi contoh bagaimana cara memangkas pedang orang!"

Seketika Gak Lui robah permainan pedangnya, menjadi hujan sinar yang mencurah kepedang lawan.

Orang itu mendengus hina dan berani menangkis.

„Bagus!" seru Gak Lui seraya menambahkan tenaga-dalamnya. Pedang berputar laksana angin puyuh dan ujung pedang orang itu pasti terpapas.

Tetapi ternyata orang itu sudah siap. Pada saat pedangnya terancam kutung, dia malah maju selangkah dan secepat kilat merogoh baju.

Tring . . . . terdengar suara berdering dan tahu2 sebatang pedang pendek secepat kilat memapas pedang Gak Lui. Cepat bukan kepalang sehingga lawan tentu tak sempat menarik pedangnya lagi.

Dalam gugup, Gak Lui cepat menarik pedang Pelangi dari bahunya dan terus disongsongkan.

Tring ...........terdengar benturan pedang yang melengking nyaring sekali sehingga telinga kedua orang itu serasa mau pecah. Mereka sama2 loncat mundur setombak lalu memeriksa senjata masing2. Ternyata pedang mereka itu sama2 tak kurang suatu apa.

Pemuda yang mengaku sebagai Pemangkas Pedang itu menyadari bahwa dirinya takkan menang melawan Gak Lui. Setelah mendengus geram, tiba2 ia berputar diri terus lari ........

Cepat Gak Lui loncat dan mencekal tangan pemuda,itu, serunya : „Saudara Hi, jangan pergi...."

„Siapakah saudaramu itu!" bentak pemuda itu seraya meronta sekuat-kuatnya.

Gak Lui terpaksa lepaskan cekalannya dan dengan menahan kemarahan berkata; „Engkau tentu Hi Kiam-gin, putera dari Hi Liong-hui Locianpwe."

„Mengapa engkau tahu?" pemuda itu gemetar bibirnya.

„Aku bernama Gak Lui. Ayahmu minta tolong kepadaku ....... "

„Minta tolong apa?"

„Beliau mengatakan perangaimu ......." „Perangaimu agak keras.

Dikuatirkan di luarkan akan menimbulkan keonaran.

„Apakah beliau ..... minta engkau memanggilku pulang?"

„Tidak!" teringat hahwa keluarga Hi Lionghui sudah berantakan dan pemuda itu tiada mempunyai rumah lagi, maka Gak Lui terpaksa me.nyangkal, katanya: „Hi cianpwe hanya minta kepadaku supaya melindungi engkau."

Orang berkedok dan mengaku sebagai Pemangkas Pedang memang ternyata, adalah Hi Kiam-gin, putera dari Pedang Samudera Hi Liong-hui.

Pemuda itu tertawa ewah: „Ah..., kita tak jauh terpautnya .... kepandaian kita berdua, ditambah dengan pedang yang dapat memapas segala logam, sama2 mempunyai kemampuan untuk berdiri dengan kaki sndiri. Baiklah, buka kedokmu dan beritahukan umurmu. Entah siapa.yang lebih tua"

„Maaf, aku tak dapat membuka kedokku ini. Mengenai umur, engkau lebih tua setahun dari aku......"

„Ha..., ha..., ha .... kalau begitu aku menjadi toako. Sejak saat ini dalam segala hal engkau harus mendengar perintahku."

Kareni gembira menjadi toako atau engkoh, sampai lupalah Kiam-gin tentang permintaannya kepada Gak Lui supaya membuka kedoknya itu.

„Memang seharusnya aku menyebut engkoh Gin, tetapi ada beberapa hal yang engkau harus meluluskan !"

„Gak- te silahkan bilang!" kata Kiam-gin seraya menyimpan pedangnya Ia membahasakan Gak Lui dengan sebutan Gak-te atau adik Gak. Mereka berdua duduk bercakap-cakap.

„Pertama, harap engkau, suka kembali mengenakan pakaian seperti semula"

„O.......!" Kiam-gin menjerit kaget, „kembali dalam pakaian semula yang bagaimana?"

„Mudah saja! Lepas kedok mukamu dan tak usah menyebut dirimu sebagai si Pemangkas-pedang. Karena itu berbahaya sekali!"

Hi Kiam-gin menghela napas longgar. Ia segera melepaskan kedoknya, tampak alis yang melengkung indah dan bibir merah berisi gigi putih mengkilap. Benar2 seorang pria yang cakap sekali. Malah lebih tepat dikata cantik.

„Kedua, siapa saja yang telah kau papas pedangnya ? Dan apakah selama itu pernah terjadi sesuatu" tanya Gak Lui pula

„Sebatangpun belum pernah dapat kupapas .... karena begitu kuberitahukan nama Pemangkas pedang, orang2 itu terus ngacir pergi ...."

„Apakah tak pernah ada yang lebih sakti dari engkau?"

„Ada juga . . . "

„Lalu bagaimana engkau dapat meloloskan diri"

„Kecuali pedang, Hi-jong-kiam (Usus ikan), aku masih mempunyai dua macam pusaka lagi!"

„Apa ?”

„Engkau kenal ayahku, mengapa engkau tak tahu akan dua macam senjata api dari keluarga Hi?”

„Waktu amat singkat, tak dapat banyak bercakap-cakap”

„Kalau begitu, aku beritahu padamu!" Kiam-gin mengambil sebuah Kim-long atau kantong-kantong dan mengeluarkan dua butir pelor. Yang satu hitam, satu merah.

„Yang merah ini disebut Api-sakti dan yang hitam disebut Kabut penyesat. Bukan saja, aku dapat melempar dengan tetpat pun juga dapat membuatnya sendiri. Cobalah engkau lihat dayanya dulu!”

Ia terus lontarkan kedua pelor itu kearah sebatang pohon kecil yang berada 10 tombak jauhnya. Bum . . . bum . . . terdengar dua buah letusan. Api-sakti memuntahkan sinar terang seluas satu tombak, membakar habis pohon itu. Dan menyusul Kabut-penyesat tadipun mengembangkan gumpalan kabut tebal. sehingga-keadaan sekelilingnya gelap gulita.

Kiam-gin tertawa dan menepuk bahu Gak Lui: „Bagus sekali, bukan? Dulu ketika, berhadapan dengan musuh yang lihay, kuhadiahkan dia sebuah pelor Asap-penyesat. Dia pusing dan menyasar kelain jurusan ........eh, kalau engkau suka, kuberimu beberapa butir!"

„Tak usahlah, aku tak memerlukannya, pakailah sendiri saja!"

„Akn punya banyak sekali. Sewaktu pergi dari rumah, diam2 kubawa setengah kantong!"

„Oh...., jadi engkau pergi secara diam2"

„Ayahku tak mengdinkan aku keluar, terpaksa kuambil langkah begitu!"

Seketika Gak Lui teringat ketika tempat kediaman kedua jago Pedang Gelombang dan Pedang Samudera terdengar ledakan. Kiranya mereka memang mempunyai persedian pelor semacam itu.

Diam2 Gak Lui tak setuju akan tindakan

Kiam-gin yang minggat dari rumah. Tetapi dilain pihak, diam2 ia girang. Karena dengan kepergiannya itu, Kiam-gin lolos dari bencana pembunuhan yang menimpa keluarganya.

Sesaat Gak Lui agak bingung Haruskah ia memberitahukan tentang keadaan keluarga Hi itu kepada Kiam-gin?

Ia merasa telah menerima permintaan tolong dari Hi Liong-hui untuk melindungi puteranya. Tetapi dengan cara, bagaimanakah ia akan melaksanakan hal itu. Demikian Gak Lui termenung-menung memikirkan hal itu..........

„Eh, mengapa engkau tak bicara?" tiba2 Kiam-gin menegurnya. Gak Lui gelagapan dan dengan gugup berkata: „Aku tak menghendaki senjata gelap. Aku hendak belajar ilmu kesaktian yang tanpa tanding didunia. Membunuh si Hidung Gerumpung dan membalas sakit hati keluargaku ......"

„lh, siapakah Hidung Gerumpung itu? Mengapa terdapat tokoh persilatan yang begitu lucu namanya? Hayo, lekas ceritakan kepada engkohmu. Gin!" seru Kiam-gin.

Gak Lui merasa kelepasan ornong. Tetapi karena sudah terlanjur ia tak dapat menyangkal lagi. Terpaksa ia merangkai sebuah cerita tentang si Gerumpung yang misterius itu.

„Hm..., sungguh aneh dan ganas benar manusia itu! Aku akan menemani engkau keliling keseluruh pelosok dunia untuk mencarinya. Jika belum ketemu, aku takkau meninggalkan engkau...."

Tetapi belum selesai ia berkata, Asap penyesat yang dilepaskan tadi mcmuncratkan api, panasnya bukan main. Beberapa pohon disekeliling hancur meledak.

,,Api akan merangas kemari, hayo kita cari lain tempat ....!" kiam-gin terus menyeret lengan Gak Lui. Setelah lari lima enam li, barulah mereka mendapat sebuah tempat yang sesuai.

Tetapi asap hitam itu telah menyulitkan si gadis ular Siau-mey. Ketika ia tiba di tempat itu, ternyata Gak Lui sudah pergi sehingga Siau-mey kehilangan jejak Barulah setelah makan waktu lama sekali, ia berhasil ketemu dengan kekasihnya lagi.

SETELAH beristirahat ditempat yang baru, berkatalah Kiam-gin dengan wajah sungguh2: „Sekarang kita harus melakukan upacara mengangkat saudara!"

Demikian kedua pemuda itu segera mengikrarkan sumpah mengangkat saudara. Senang bersama, susah berdua.

Setelah selesai, Kiam-gin menghampiri Gak Lui, ujarnya: „Gak-te, demi kepentingan membalas sakit-hati musuhmu, sukalah engkau mengajarkan ilmu pedangmu yang istimewa itu, kepadaku, agar kita dapat sama2 menghadapi musuh!"

„Ini . . . . tak bisa. . . ."

„Eh, engkau sudah tak mau mengakui aku sebagai engkoh lagi?"

„Bukan begitu! Tetapi ilmu pedang itu, hanya menimbulkan bahaya padamu!"

„Tadi kuminta engkau lepaskan kedokmu, engkau menolak. Sekarang kuminta engkau mengajarkan ilmupedangmu, engkaupun tak mau. Kalau begitu, sama saja seperti oraug asing. Hm ...... akan kutanyakan pada ayah, bagaimana baiknya!"

„Tunggu! Jangan pergi!" Gak Lui kaget karena Kiam-gin hendak pergi......

„Kenapa?" Kiam-gin kerutkan alis.

„Engkau . . . . tak dapat . . . tak usah pulang menanyakan hal itu!" „Engkau meluluskan?"

„Kita toh sudah menjadi saudara angkat? Kelak tentu akan kuajarkan padamu. Tetapi kalau engkau memaksa sekarang, lebih baik kita berpisah saja !"

Semula Kiam-gin tak mau tetapi sejenak memandang wajah gak Lui, berobahlah pendiriannya.

„Ya, terpaksa kuturut," kata Kiam-gin, „tetapi ada perjanjiannya!"

„Adik, katakanlah"

„Gak-te sejak saat ini, engkau tak boleh bergaul dengan orang perempuan!"

„O, itu tak apa, kuterima perjanjianmu itu"

„Hih, engkau benar2 seorang adik yang baik! Lalu kemana sekarang kita akan pergi?"`

„Sumber air Pencuci Jiwa di gunung Thian-gan-san!"

„Kudengar ayah pernah mengatakan bahwa sumber air itu amat beracun sekali. Tetapi aku tak percaya. Hayo, kita buktikan kesana!" habis berkata ia terus ayunkan langkah.

Teiapi sebaliknya Gak Lui masih tertegun.

Dia mencegah Kiam-gin pulang tetapi pun tak dapat membawanya ke Thian-gan-san.

Pada saat ia masih termenung belum menemukan pikiran untuk memecahkan kesulitan itu, tiba2 Kiam-gin teringat sesuatu dan bertanya.

„Tadi engkau mengatakan ... aku tak boleh pulang. Omonganmu itu . . . "

„Bukan, aku hanya mengatakan engkau tak usah pulang ...." sahut Gak Lui. Tetapi orang yang biasanya tak pernah bohong, walaupun wajahnya tertutup kedok tetapi nada suaranya masih kentara kaku dan tersendat-sendat.

Kiam-gin bermata tajam sekali.

Cepat ia dapat mengetahui kelemahan Gak Lui, serunya: „Hm, telingamu merah, engkau tentu bohong!"

Sebelum Gak Lui menyahut, pemuda itu berseru pula: „Tidak Aku akan pulang menjenguk ayah dan paman berlima!"

Dalam keadaan terdesak, apa boleh buat.

Terpaksa Gak Lui menceritakan apa yang telah terjadi ditempat keluarga Hi Liong-hui.

Mendengar itu menangislah Kiam-gin seperti anak kecil.

Gak Lui terharu.

Seketika timbullah semangatnya.

Makin bulat tekadnya untuk menghancurkan manusia yang telah membinasakan keluarganya dan keluarga Hi itu.

Setelah puas menumpahkan airmata, tiba2 Kiam-gin bangkit.

„Karena jelas pembunuh keluarga kita itu terdapat juga gerombolan Topeng Besi, maka lebih baik kita berpencar untuk mencari mereka !" katanya.

„Jangan...!" Gak Lui mencegah karena ia tahu kepandaian saudara angkatnya itu masih rendah, „aku tentu dapat membalaskan sakit hatimu. Lebih baik engkoh Gin menetap di suatu tempat yang aman . . . . "

„Paling tidak, kita harus bersama-sama mencari musuh kita itu !" Kiam-gin tetap berkeras.

„Baiklah . . . . mari kita berangkat !"

Keduanya segera keluar dari hutan.

Mereka menuju ke gunung Thian-gan-san mencari sumber air Pencuci jiwa.

Dengan membawa saudara angkat yang bertabiat manja-membawa kehendaknya sendiri itu, Gak Lui tak berani ambil jalan besar. Ia lebih senang mengambil jalan di gunung dan hutan belantara.

Sepuluh hari kemudian, mereka tiba di sebuah lembah gunung.

Memandang ke sekeliling penjuru, hanya jajaran gunung yang tampak. Lembah berwarna merah bahkan pohon2 nyapun menguning kering.

,,Aneh, tempat ini panas sekali. Aku haus....!" kata Kiam-gin seraya mengusap peluh.

Wajahnya merah padam dan sewaktu bicara napasnya terengah-engah.

Gak Luipun merasa panas juga, katataya : „ Mari kita cari sumber air ...."

Mereka menyusur sebuah, jalan kecil yang merupakan satu-satunya jalanan di situ.

Tetapi hampir setengah hari mencari, mereka tetap tak bersua dengan sumber atau saluran air.

Parit2 kering, sumber tak mengeluarkan air.

Ketika tiba di sebuah pedesaan gunung, pun di situ sunyi sekali.

Tiada barang seorang penduduk. Rupanya desa itu sudah lama tak dihuni.

Sambil mengalingkan ke dua tangan untuk menutupi sinar matahari yang menyilaukan mata, Kiam-gin hentikan langkah lalu berteriak-teriak : „ Air...! Air...! Gak-te aku minta air...!"

Gak Lui memapahnya.

Memandang ke sekeliling penjuru, tiba2 Gak Lui berseru : „Engkoh Gin, di bawah pohon itu terdapat seseorang! "

Aku minta ..... air! "

Jika ada orang, tentu mudah bertanya. Hayo kita ke sana ...!"

Mendengar itu timbullah lagi semangat Kiam-gin.

Mereka menuju ke pohon yang dikatakan Gak Lui.

Memang di bawah Pohon itu terdapat seorang tua yang duduk.

Rambutnya kusut masai.

Cepat Gak Lui menjelajahi tubuh orang tua itu dengan pandangan mata yang tajam.

Dilihatnya orang tua itu tak memakai baju.

Tubuhnya mandi keringat. Jelas orang itu tak mengerti ilmusilat.

Di samping terletak sebuah kantong kulit besar dan separoh gelembung kulit genderang.

„Paman, tolong tanya. Apakah nama tempat ini dan di manakah aku bisa memperoleh air?" tanya Gak Lui.

Orangtua itu pelahan-lahan mementang mata dan menyahut : „Mundur lagi 3 li, baru terdapat air!"

„Bagaimana kalau di sekeliling yang, dekat sini ..?"

„Apakah engkau tak melihat kanan kiri tiada jalan dan di sebelah mukapun tak dapat dilalui ...?"

„Mengapa ...?"

„Dari kata-katamu, terang engkau bukan orang sini sehingga tak kenal sama sekali keadaan tempat ini ...!"

„Itulah maka kumohon tanya pada paman ...!"

„Tempat ini dinamkan Lembah Mati. Iklimnya panas luar biasa. Dan beberapa tahun terakhir ini semua sumber air kering. Hanya beberapa orang desa tolol yang coba2 berani masuk kemari. Akhirnya mereka mati semua ...."

,,Mengapa mendadak tak ada air? Dan apa sebabnya orang2 itu tak kembali lagi ?"

Dengan wajah tegang, orangtua itu memandang ke sekeliling lalu berkata dengan bisik-bisik : „Kareua muncul Siluman Kering sehingga air habis. Setan Kering itupun menelan manusia juga...!"

„Apakah Setan Kering itu?"

„Sett...., jangan keras-keras! Makhluk itu memiliki alat indera yang tajam sekali. Mungkin dia dapat menangkap pembicaraan kita...!"

„Maukah paman menceritakan makhluk itu...?"

Orang tua itu memberi isyarat supaya Gak Lui duduk.

Melihat mata Kiam-gin merah dan bibirnya kering orangtua itu memberikan kantong kulitnya: „Minumlah kalian lebih dulu, baru nanti kuceritakan ........"

Sudah tentu tawaran itu tak perlu diulang lagi.

Dalam keadaan tenggorokan hampir kering, Kiam-gin terus menyambuti dan meneguknya sampai puas.

Lalu diberikan kepada Gak Lui.

Setelah minum, semangat kedua pemuda itu tampak lebih segar.

„Engkoh kecil, orang itu setelah mati apabila tidak dikubur ditempat yang sesuai, akan menjadi Kiang-si (mayat hidup). Dari Kiang-si lalu menjadi Setan Kering. Rupanya menyeramkan, ganasnya bukan main. Dapat menyembur api dan makan orang. Sejak, keluar Setan Kering itu maka sungai, palung, dan sumur2 kering semua ....."

Gak Lui tak percaya. Cepat ia menukas : „Siapakah yang pernah melihat mahluk itu. "

„Memang ada orang yang benar2 melihatnya. Apa engkau kira aku seorang tua ini, akan bicara buhong.....!"

„Lalu dimana makhluk itu?"

„Kira2 tigapuluh li dari sini, adalah pusar Lembah Mati. Mungkin dia tinggal disitu ......."

Kiam-gin tertarik dan cepat berseru: „Gak-te, mari kita lihat kesana. Jika memang ada, kita bunuh saja supaya rakyat terhindar dari bahaya"

Orangtua itu terbeliak, serunya: „Kalian masih begitu muda, mengapa tak ingin hidup? Disebelah muka, sama sekali tidak ada air. Semua kering !"

Kata Gak Lui : ,,Apa boleh buat, kita terpaksa harus melanjutkan perjalanan, sekalian ......"

„Hai, apakah kalian juga hendak mencari batu berharga itu?"

„Tidak, kami hendak menuju ke sumber air Pencuci Jiwa!"

„Apalagi kesana! Sumbcr air Pencuci Jiwa itu mengandung racun yang ganas sekali. Apalagi kalian harus melalui sarang Setan Kering. Benar-benar kalian hendak cari mati ..........."

„Paman terima kasih atas petunjukmu. Maaf, kami hendak mohon diri ...." kata Gak Lui.

Tetapi Kiam-gin masih belum mau pergi, dan minta keterangan lagi kepada si orangtua.

„Apakah yang engkau katakan tentang batu berharga itu?" serunya.

„Dibagian tengah Lembah Mati ini terdapat hasil batu berharga jenis berlian: Kabarnya batu berlian itu amat mahal sekali harganya!"

„Apakah ada orang yang pernah datang mencarinya?"

„Tentu ada. Tetapi entah berapa orang yang datang pada setiap tahun, aku tak mengerti!"

Setelah menghaturkan terima kasih kepada orangtua itu, Kiam-gin lalu menarik tangan Gak Lui diajak melanjutkan perjalanan.

TAK BERAPA lama tibalah mereka dibagian tengah lembah itu.

Orangtua itupun segera memanggul kantong kulitnya dan melangkah keluar lembah. Mulutnya tak henti2 mengingku: „Sayang, kedua anak muda itu! Ah..., habis..., habis....!"

Memang benar, dibagian tengah lembah ini amat panas sekali. Untung lah mereka sudah minum sehingga masih dapat bertahan.

Baru beberapa langkah berjalan, tiba2 Gak Lui berhenti. Hidungnya berulang kali menyedot hawa.

„Gak-te, kenapa engkau?" tegur Kiam-gin. „Aku mencium bau orang hidup." „Memang orangtua tadi mengatakan, ada orang yang pernah masuk ke lembah ini."

„Tetapi kalau Setan Kering itu benar2 makan manusia, orang itu tak mungkin hidup!"

„Mungkin ada seorang dua orang yang masih dapat hidup ......."

Keadaan tengah lembah itu penuh batu2 yang aneh bentuknya. Seolah-olah merupakan sebuah hutan batu. Pada gundukan batu itu, terdapat sebuah guha.

Mulut guha penuh tapak2 kaki orang. Tetapi lebih besar dari tapak kaki orang biasa. Bahkan Gak Lui yang tinggal di gunung Yau-san, tak dapat menentukan telapak kaki itu.

„Gak-te, mengapa engkau selalu berada di, bawah angin saja!"

„Dengan begitu aku dapat mencium bau orang atau binatang...!"

„Tetapi telapak kaki itu, bukan telapak kaki orang biasa. Tentulah bekas telapak kaki Setan Kering itu. Makhluk itu tentu berada disekeliling tempat ini. Karena makhluk itu dapat menyembur api, lebih baik jangan berada di tempat yang terlanda angin. Agar sewaktu-waktu dapat menghindar dari semburan makhluk itu!"

Tahu Kiam-gin mahir dalam soal api, Gak Luipun menurut. Setelah membiluk dua tiga buah tikungan, mereka tiba di sebuah guha yang gelap sekali.

Selain gelap, guha itu ternyata amat dalam sekali dan panasnya bukan kepalang.

„Kemungkinan makhluk itu berada di dalam Gak-te, cobalah engkau periksa telapak kaki itu lebih jelas" seru Kiam-gin.

„Tetapi bau hawa orang• Dan lagi disebelah sana terdapat juga beberapa tapak kaki,” Gak Lui menunjuk ke sebuah arah. Ternyata memang pada beberapa tempat terdapat telapak kaki orang. Tetapi ukurannya amat kecil, menyerupai teIapak kaki seorang anak kecil.


Gak Lui terus hendak memasuki guha itu. Ia ingin tahu apakah sebenarnya yang berada dalam goha. Tetapi Kiam-gin menceghnya.

„Kurasa, lebih baik jangan masuk. Sebelum kita kehausan lebih baik cepat2 meneruskan perjalanan ke sumber air Pencuci Jiwa ...."

Belum ....... selesai. tiba2 dari belakang terdengar suara letupan kecil. Kedua pemuda itu cepat memutar tubuh: „Setan Kering ...!" Kiam-gin menjerit kaget ketika melihat pada jarak setumbak jauhnya, muncul kepala besar, rambut terurai tak keruan. Wajah seseram hantu malam, hidung menonjol keluar, gigi runcing2 seperti pagar pisau.

Makhluk aneh itu menatap kedua pemuda dengan tajam. Bulu roma Gak Lui meremang. Cepat ia mencabut pedang dan membacok kepala makhluk aneh itu.

Awas! Semburan api ....... " teriak „Kiam-gin. Dan tepat pada saat itu juga, makhluk aneh itupun ngangakan mulut, wut.......segulung asap segera menyembur ke arah Gak Lui.

Gak Lui terkejut. Tangan kiri menghantam ke atas dan serempak dengan gunakan jurus Rajawali-rentang-sayap, ia melambung beberapa tombak tingginya.

Karena gugup hendak memberi pertolongan, Kiam-ginpun secepat kilat mencabut pedang dan menabas makhluk itu. Tring ... pedang Gak Lui terpental setombak jauhnya ketika makhluk aneh itu menangkis dengan tangan kiri. Tetapi pada saat itu juga, pedang pusaka Usus-ikan dari Kiam-gin sudah tiba dan menusuk tangan kanan makhluk itu.

Tetapi makhluk aneh itu dapat menangkisnya sedemikian keras hingga tangan Kiam-gin terasa kesemutan dan pedangnya hampir terlepas jatuh.

Untunglah Kiam-gin cukup tangkas dan tak sampai kehilangan kesadaran. Sambil loncat mundur, ia merogoh kantongnya.

„ Jangan ...." tiba2 Gak Lui berseru mencegahnya tetapi pada saat itu. Setan Kering sudah loncat setombak tingginya dan Kiam-gin pun cepat menaburkan pelor api. Pelor itu tepat mengenai dada simakhluk aneh.

Rupanya makhluk itu masih tak menyadari bahaya maut. Ia masih gerakkan tangannya untuk menyerang. Tetapi pada saat pelor itu meletus, jatuhlah makluk aneh itu ke tanah .......

Makhluk itu meraung-raung dan menggeIepar-gelepar ditanah. Bau daging bakar meruak keseluruh lembah.

„Jelas bau dan suaranya seorang manusia. Entah dapat ditolong atau tidak? Aku perlu menayainya .......”

„Sekalipun disini ada air pun tak dapat menolongnya. Apalagi disini kering kerontang!" sahut Kiam- gin.

Tak berapa lama makhluk itu diam tak bersuara. Asap menipis dan api yang membakar dirinyapun padam. Tetapi makhluk itupun berobah menjadi seonggok abu hitam.

Ketika Gak Lui dan Kiam-gin memeriksa, pada onggok abu hitam itu terdapat sepasang tangan dari baja murni.

„Hm..., kiranya hanya sebangsa penjahat dalam dunia persilatan yang menyaru sebagai setan jejadian!" kata Gak Lui.

„Kulihat tadi ia menyemburkan api yang terbuat dari bahan belirang. Maka terpaksa kupersen dengan pelor api juga" kata Kiam-gin.

„Tetapi kita kehilangan sebuah jejak!"

„Tak apa," sahut Kiam-gin, „kita masih dapat menyelidiki dari telapak kaki kecil itu!"

Gak Lui menyatakan akan masuk ke dalam guha untuk menyelidiki lebih lanjut. Demikian keduanya segera melangkah masuk.

Ternyata guha itu sempit sekali. Beberapa tombak kebagian dalam, selain amat gelap, pun orang harus berjalan merangkak" Ketambahan pula, panasnya bukan alang kepalang.

Sambil merangkak, Kiam-gin ber- sungut2 : „Gak-te, mari kita keluar sajalah ........"

„Sudah terlanjur masuk, mengapa ......”

„Ini sebuah liang. Jika dari sebelah dalam terdapat orang kita tak dapat berjaga diri. Dan kalau mulut guha ditutup, kita tentu terkubur hidup2 disini!"

Gak Lui berhenti. Diam2 ia mengakui ucapan Kiam-gin itu benar. Tetapi seketika itu terdengar suara orang dari sebelah dalam. Menilik nadanya yang berisik, jelas jumlahnya tak sedikit.

„Mundur, cepat." seru Gak Lui seraya merangkak mundur. Setelah keluar dari guha, mereka berdiri, siap dengan pedang.

Suara berisik itu jelas berasal dari sejumlah besar kaki orang yang sedang merangkak keluar. Tetapi gerakannya amat lambat sekali

Hampir sepeminum rokok, barulah tampak sesosok bayangan orang melesat keluar guha.

Gak Lui dan Kiam-gin terkejut, menjerit dan menyurut mundur selangkah.

Kiranya orang yang muncul dari guha itu hanya satu meter tingginya. Kepalanya seperti orang dewasa tetapi kaki dan tangannya kecil sekali. Tubuhnya hitam seperti pantat kuali.

Orang pendek itu sungguh mengerikan. Entah apakah darahnya dingin sekali sehingga tak takut panas ....... " seru Kiam-gin.

Tetapi karena ngeri, Gak Lui tak menyahut.

Tak berapa lama, bermunculanlah tak kurang dari 300 orang pendek. Mereka melangkah terhuyung-huyung. Dengan matanya yang putih memandang ke sekeliling penjuru. Sedikitpun tak silau memandang sinar matahari.

Melihat itu menjeritlah Kiam-gin dengan nada gemetar : „ Mereka ...... buta semua... !"

„Dan tuli juga !" sahut Gak Lui.

„Lalu bagaimana...?"

Dengan amat hati2 sekali, Gak Lui maju menghampiri. Rupanya rombongan orang pendek itu telah menemukan suatu Plan. Berbondong-bondong mereka berjalan ke suatu arah.

Gak Lui cepat mencekal salah seorang yang paling belakang sendiri. Orang itu terkejut dan ngangakan mulut. Tetapi tak bersuara.

„Hai ! Mereka juga gagu .......!"

---oo0oo---

BAB 08 : SETAN KERING

GAK LUI terpaksa lepaskan cekalannya. 0rang kerdil berkulit hitam itu segera merangkak bangun menyusul kawan2nya. Tetapi dari bajunya yang robek itu, berbamburan jatuh dua butir batu berkilau.

Kiam-gin memungutnya dan berserulah ia ke-pada Gak Lui; „Adik Lui, lihatlah betapa indah batu ini ....... "

Tetapi saat itu Gak Lui sedang memandang kearah kawanan orang kerdil sambil berpikir. la heran mengapa kawanan orang kerdil itu mencari batu berlian dan kemanakah pergi mereka. Apakah masih ada seorang lain yang tinggal di Lembah Mati itu kecuali si Setan Kering?

„Hai, mengapa engkau ter-menung2 saja?" tiba2 Kiam-gin menegurnya.

„Kukira .... mereka tentu menuju kesuatu tempat tertentu. Hayo, kita ikuti!" sahut Gak Lui.

„Tetapi mereka berjalan begitu pelahan sekali. Dan hawanya begini kering tak ada air. Masakan kita mampu menunggu!" sahut Kiam-gin.

Mendengar kata2 air, seketika Gak Lui rasakan tenggorokannya kering. Tadi ia hanya minum sedikit. Sekarang barulah ia rasakan haus sekali.

„Ya, kita tak perlu menunggu mereka. Bayangan yang ditinggalkannya, dapat kujadikan jejak untuk mengejar mereka," kata Gak Lui.

Tetapi sebelum keduanya angkat kaki, sesosok tubuh melesat tiga, tombak disebelah muka. Dari gerakannya yang begitu tangkas, tentulah seorang berilmu. Gak Lui terkejut. Dipandangnya orang itu dengan cermat.

Ternyata pendatang itu seorang tua berurnur 50-an tahun. Berwajah putih dan jenggot jarang. Seorang yang memiliki perbawa.

Pendatang itu memandang kearah tumpukan kerangka Setan Kering.

Wajahnya tampak berkerenyutan.

Kemudian ia beralih memandang kedua pemuda itu. Terutama ketika memandang Kiam-gin, biji matanya berputar-putar, seperti terpikat.

Cepat orang itu memberi hormat dan berkata: „Aku Li Hui-ting, mohon tanya siapakah saudara berdua ini . . . "

Gak Lui dan Kiam-gin balas memberi hormat lalu memperkenalkan diri.

„Ah, lama sudah kukagumi nama saudara yang termasyhur," Li Hui-ting tersenyum seraya maju selangkah, terutama setelah saudara berdua dapat melenyapkan Setan Kering ini, sungguh amat berjasa kepada rakyat!"

Setengah meragu, berkatalah dengan dingin: „Saudara juga berilmu tinggi, mengapa. tak mau membunuhnya. Dan mengapa pula pada saat ini kebetulan sakali saudara datang kesini?

Jawab Li Hui-ting: „Walaupun aku mempunyai beberapa kepandaian tetapi tak dapat melawan semburanapi nya. Maka kuharap datangnya seorang sakti untuk melenyapkannya. Tadi karena mendengar jeritan ngeri dan bau daging terbakar, cepat2 aku menjenguk kemari!"

„Hm ....... , dan siapakah gerombolan orang hitam kate itu?"

„Tawanan2 dari Setan Kering!"

„Apa maksudnya?"

„Panjang sekali ceritanya. Marilah mampir kepondokku. Nanti kuceritakan hal itu!"

Gak Lui serentak mengiakan. Memang ia kepingin mengetahui.

Demikian dengan Li Hui-ting sebagai penunjuk jalan, mereka bertiga berjalan cepat dan berapa lama sudah melampaui rombongan orang2 kate hitam.

Beberapa li jauhnya, tibalah mereka disebuah pondok.

Perabotnya sederhana tetapi terdapat suatu benda yang menarik perhatian. Yalah sebuah gentong, besar berisi air yang terletak diatas meja besar.

Gak Lui rasakan tenggorokannya kering sekali. Begitu melihat air, biji kerongkongannya segera naik turun.

Rupanya Li Hui-ting itu sudah berpengalaman. Melihat tetamu sedemikian rupa, segera ia mengambil mangkuk dan diletakan dihadapan Gak Lui. „Ditempat gunung yang begini sunyi, tiada yang dapat kuhidangkan untuk tetamu kecuali air jernih ini. Harap- dimaafkan ........"

Gak Lui menyatakan „bahwa yang perlu yalah supaya tuan rumah segera menuturkan tentang asal mula Setan Kering itu. Tentang penyambutan dan hidangan, tak perlu diributkan."

„Asal usul dan nama orang itu tak diketahui jelas. Tetapi yang jelas dia seorang ahli dalam soal pertambangan. Dia dapat mengetahui bahwa dalam Lembah Mati sini terdapat tambang batu berlian yang tak ternilai harganya. Dia, dapat membujuk dan menipu beberapa orang dari luar daerah untuk mengambil batu berharga itu!"

„Oh, orang2 kate berkulit hitam itu bermula juga orang biasa!" tanya Siau-liong.

„Benar, tetapi mereka telah diminumi semacam racun oleh Setan Kering itu lalu berobah begitu, mereka tak takut pada hawa panas dalam bumi !"

„Kudengar, keterangan orang, bahwa dahulu tempat ini terdapat air, tetapi mengapa sekarang kering sama sekali?" tanya Gak Lui.

„Itu juga akibat siasatnya. yang licik. Disatu fihak ia men-jelma menjadi Setan Kering, dilain fihak ia secara diam2 telah menutup sumber air. Dengan tindakan itu ia mengharap penduduk tempat ini pindah kelain tempat dan mereka tak mempunyai kemungkinan menyelidiki berlian itu!"

Tetapi mengapa engkau tak dicelakai Setan itu dan tak pula" meninggalkan tempat ini?" Gak Lui menyatakan keherananya.

„Aku telah belajar ilmu obat-obatan. Beberapa tahun yang lalu aku tiba dilembah ini dan berjumpa dengan setan itu. Dia tak mampu mencelakai aku, akupun tak dapat menindasnya. Dengan demikian kami tak saling ganggu sampai sekarang ini . . . . "

„Kalau tak mampu menindasnya, mengapa engkau tak berusaha tinggalkan tempat ini?" desak Gak Lui pula.

„Jalanan sebelah muka, dijaga oleh setan itu sendiri!"

„Mengapa tak ambil jalan dari sumber air Pencuci Jiwa saja?",

„Gunung itu lebih berbahaya lagi. Disana muncul seorang manusia aneh yang lihay sekali. Jalan disitu ditutup dengan tumpukan tulang manusia. Sama sekali tak dapat dilalui !"

„Siapakah manusia aneh itu?"

„Setempo tampak mengunjukkan diri, setempo menghilang. Tiada dapat melihat bagaimana tampang mukanya. Tetapi yang jelas dia memang memiliki kepandaian sakti. Walaupun aku menjelma tiga kali lagi, tak mungkin dapat menyamai nya .....!"

„Hm ......." Gak Lui mendesah. Sekonyong-konyong ia menyambar pergelangan tangan tuan rumah. Li Hui-ting terkejut. Cepat2 ia miringkan bahunya. Gerakannyapun luar biasa cepatnya sehingga cengkeraman Gak Lui dapat dihindari.

„Heh..., heh .... "

Gak Lui mengekeh lalu membentak bengis: „Walaupun kepandaianmu terpaut sedikit dengan Setan Kering, tetapi tak masuk akal kalau selama beberapa tahun disini, engkau tak memperoleh kemajuan sedikitpun!"

Li Hui-ting terperanjat tetapi pada lain kejab wajahnya tampak mengerut gelap dan menyabutlah ia dengan lantang: „Sudah tentu aku mempunyai alasan. Tetapi orang tentu tak percaya!"

„Katakan!" bentak Gak Lui.

Selama beberapa tahun ini orang2 yang terminum racun dan berobah menjadi orang kate berkulit hitam, sudah mencapai jumlah lima enam ratus. Selain tak takut panas, mereka mudah sekali terkena penyakit.

Separoh dari mereka sudah mati karena menderita sakit.

Karena tak mampu membasmi Setan Kering, terpaksa kulakukan pengobatan kepada rombongan pekerja paksa itu. Dengan begitu akupun makin memperoleh banyak kemajuan dalam ilmu pengobatan"

Mendengar itu tersipu-sipulah Gak Lui.

la malu dalam hati karena terlalu mencurigai orang itu.

la mengucapkan beberapa kata pujian kepada Li Hui-ting yang tinggi rasa peri-kemanusiannya.

„Berbicara tentang tabib pandai, aku segera teringat akan seseorang, kata Gak Lui........ "

„Siapa?"

„Tabib-sakti Li Kok-hoa, kenalkah engkau?"

Biji mata Li Hui-ting berkeliaran beberapa kali lalu menyahut: „Seperti pernah mendengar, tetapi tak ingat jelas ...... apakah dia keluarga saudara?"

Tujuan Gak Lui menanyakan tabib sakti itu adalah hendak menyirapi jejak ayah dari gadis ular Li Siau-mey Atas pertanyaan orang ia menjawab sekenanya: „Ah, tidak, akupun hanya mendengar cerita orang saja.

Huk.....! Huh .....!" karena terlalu banyak bicara, tenggorokan Gak Lui mulai kering dan terbatuklah ia beberapa kali.

Li Hui-ting segera mempersilahkan tetatmunya minum lagi dan Gak Lui pun tak sungkan juga.

Sekali teguk habis air semangkuk. „Ah....., sungguh segar .......!" seru Gak Lui, pejamkan mata dan geleng2 kepala.

Melihat itu Kiam-gin pun, mengecup-ngecup bibir walaupun tiada ludah yang dapat ditelannya, lalu berkata kepada tuan rumah; „Apakah aku boleh minum juga?"

Tetapi entah bagaimana, tuan rumah memandang tajam kepadanya lalu ge!engkan kepala, tertawa: „Itu bukan untukmu ! Dalam kamarku masih tersedia air jernih ......"

„Mengapa?'

„Tak usah bertanya, nanti engkau tentu tahu kebaikan hatiku."

„Kebaikan hati? Lalu mengapa engkau berikan minuman itu kepada saudara Gak-te ...." serentak Kiam-gin berpaling. Astaga .... Dilihatnya kelopak mata, bibir Gak Lui menjadi hitam dan tengah duduk dengan tubuh menggigil!

„Bangsat, lihatlah pedangku!" Kiam-gin serentak mencabut sepasang pedang dan menyerang Li Hui-ting.

Tetapi dengan tertawa mengejek, orang itu sudah melesat kesudut ruang. Dan sekali berputar diri ia sudah mencekal sepasang senjata Tangan besi yang besar. Serupa dengan yang digunakan si Setan Kering.

„Heh.., heh.., heh.., heh .... kalian telah membunuh adik angkatku tetapi engkau masib kuberi hidup, masakan engkau tak tahu berterima kasih...?"

Dengan mata memancar kebencian, Kiam-gin mendampratnya : „Akan kucincang tubuhmu menjadi bakso untuk mengganti jiwa adikku!"

Laksana gelombang laut mendampar, enam jurus serangan telah dilancarkan ber-turut2 oleh Kiam-gin.

Tetapi Li Hui-ting dengan lincah menghindar seraya berseru; „Budak itu takkan segera mati! Jangan bingung dulu, aku hendak menanyainya......"

„Aku Tabib-jahat Li Hui-ting adalah ahli racun. Kukatakan tidak mati tentu tak kan mati. Tetapi dia takkan terhindar dari penyakit aneh...."

Dalam pada berkata-kata itu mereka telah berputar-putar sampai tiga jurus lagi.

Karena ruang itu sempit. Kiam-gin kuatir akan mengenai Gak Lui, maka berserulah ia menantang: „Hayo, kalau berani, kita bertempur di luar!"

„Ho, kalian memiliki pelor api, tak mungkin aku tertipu.........." Tabib jahat itu tertawa mengejek seraya berputar-putar mengitari ruang, dan lagi terhadap seorang tampan seperti engkau, aku sungguh merasa sayang sekali!"

Karena marahnya, Kiam-gin sampai tak dapat bicara melainkan dadanya yang berombak keras. Serangan pedangnya dicurahkan makin deras dan dahsyat.

Tetapi rupanya si Tabib jahat tak berniat mulukainya. Dia hanya berputar-putar mundur kesamping Gak Lui.

Terdengar gemerincing pedang beradu dengan Tangan-besi, tiba2 tengkuk Li Hui-ting meregang kencang dan ia rasakan kepalanya telah tercengkeram oleh lima buah jari yang keras.

Kiranya setelah menyadari bahwa air yang diminum itu mengandung racun, diam2 Gak Lui gunakan ilmu-sakti Algojo-dunia untuk menyalurkan racun itu dari tangannya. Kini dalam kemarahannya ia telah mendesak racun itu kearah ujung jari lalu ditamparkan kekepala sitabib. Racun itu cepat menyalur ke jalan darah dikepala sitabib.

Seketika Tabib jahat Li Hui-ting menggigil tubuhnya. Tanpa menjerit sepatahpun juga, ia rubuh pingsan.

KIAM GIN terkejut girang. Cepat ia melesat menghampiri dan berseru: „Gak-te, engkau tak kurang suatu apa ......"

Gak Lui berputar diri. Tampak kulit muka sudah tidak sehitam tadi melainkan agak gelap sedikit.

Tetapi suaranya berobah parau ketika ia menyahut: „Belum sembuh sama sekali. Mata telinga dan alat penciaman, masih belum pulih ketajamannya. Begitupun lidahku terasa kaku dan mati-rasa ......"

„Lalu bagaimana?"

„Kita paksa tabib jahat ini untuk mengobati. Dia tentu mempunyai obat penawarnya!"

Gak Lui segera membuka jalan darah Li Hui-ting.

Tabib itu terengah-engah dan membuka mata.

Wajahnya pucat kebiru-biruan.

Begitu melihat Gak Lui dan Kiam-gin, cepat2 ia meram lagi.

Hanya gerahamnya berderak-derak gemetar.

Melihat itu, Gak Lui membentaknya: „Jangan coba. unjuk kepala batu. Jika tak mau menjawab dengan baik, engkau tentu mati!"

Mendengar itu Li Hui-ting membuka mata, lalu tertawa sinis: „Siapa yang minum racun Penyurut-tulang itu yang tiada obatnya itu, tentu akan menjadi orang kate seperti orang2 tawanan itu. Terima kasih kalau engkau hendak membunuh aku!"

Kiam-gin terbeliak, serunya: „Engkau .... engkau..... tiada obat penawarnya?"

„Tidak punya!"

„Adikku Gak Lui ini ... apakah juga...."

„Dia serupa dengan aku nanti, setiap saat tentu akan menjadi orang kate. Pada saat itu, coba saja engkau masih suka kepadanya atau tidak"

Dalam murkanya Gak Lui terus mencengkemram pinggang dan tenguk tabib itu lalu salurkan tenaga-dalamnya untuk menggencet tubuh Li Hui-ting.

Sudah tentu tabib jahat itu tak kuat menahan tanaga-sakti Algojo dunia, ia meraung-raung nyeri, keringat bercucuran bagaikan hujan.

Lebih payah dari rasa sakit menerima siksaan Jo-kut-hun-kin atau Tulang-meleset, urat berpencar.

„Hayo, engkau mau bilang atau tidak!" bentak Gak Lui.

„Tidak!"

Dada Gak Lui serasa meledak.

Segera ia tekankan tangan kanannya.

Gluduk .... terdengar bunyi menggelembung seperti pelembungan ditiup. Biji mata tabib itu menonjol keluar. Lubang ke tujuh, inderanya, memancurkan darah.

„Ti ..... dak ...." tabib itu tetap keras kepala.

Gak Lui mendengus.

Ia kuatir kalau dilanjutkan, tabib itu tentu mati.

Maka ia hentikan tekanannya dan berganti dengan tangan kiri untuk menyedot tenaga-dalam orang itu.

Kini biji mata Li Hui-ting menyurut kedalam, dadanyapun mengempis seperti pelembungan karet yang kempes. Semua tenaga murninya tersedot habis.

Sejak mempelajari ilmu Algojo-dunia, sekalipun tenaganya bertamhah maju, tetapi dalam penggunaan untuk menyalurkan dan menyedot- tenaga, ia masih belum faham sungguh2.

Diluar dugaan, saat itu pikirannya terang dan mengerti rahasia dari ilmu itu.

Demikian setelah tiga kali dilakukan penekanan dan penyedotan, Li Hui- ting sudah setengah mati rasanya. Dia tak kuat bertahan lagi.

Napasnya makin mengap-engap dan berkata dengan ter- sendat2: „Aku .... akan ..... bilang ....."

„Apa hubunganmu dengan Setan Kering itu?"

„Saudara angkat ......"

„Demi mencari permata, kalian telah mencelakai sekian banyak orang.

Apakah tujuanmu?"

„Aku hanya menerima perintah ......"

„Dari siapa?"

„Ini .... ini ..... aku tak berani mengatakan ....."

„Tidak berani bilang ! Kalau begitu engkau rasakan lagi siksaan tadi!"

„Nanti dulu!" Kiam-gin mencegah, „tadi hendak bertanya kepadamu, entah apa yang akan ditanyakan itu?"

Gak Lui pun teringat lalu membentak: „Ya...!, hayo lekas katakan pertanyaanmu itu!"

„Aku . . . hanya akan bertanya .... , engkau dengan Tabib-sakti Li Kok-hoa ......" sekiranya engkau kenal padanya: „Lekas katakan bagaimana hubungan kalian!"

„Dia ..... adalah ..... guruku "

„Dahulu Li Kok-hoa diundang oleh salah seorang muridnya untuk mengobati tetapi akhirnya tak, pernah pulang lagi. Apakah murid itu eng kau sendiri?"

„Ya ...... ya.....!"

„Lalu dimana dia sekarang?"

„Aku tak tahu, tetapi dia tentu masih hidup.....!"

„Hmm..... dahulu engkau undang ia untuk mengobati siapa?"

„Ini...."

„Bagaimana?"

„Bunuh aku sajalah, aku tak berani mengatakan ......" tiba2 tabib jahat itu menggigit lidahnya sendiri sampai putus dan seketika putus jugalah nyawanya.

---oo0oo---

Melihat itu, marah sekali Gak Lui. Wajahnya memberingas dan matanya memacarkan api. Tetapi tiba2 dilihatnya belasan sosok tubuh bermunculan dimuka pondok. Terpaksa ia tak ,jadi' melanjutkan mabsudnya mengamuk.

Ternyata yang berkumpul di luar pondok itu adalah ratusan pekerja tambang yang bertubuh kate dan hitam itu. Mereka berbaris rapi seperti seekor ular panjang, lalu berjalan kemuka meja

Setiap orang kedua tangannya membawa batu berlian. Mereka tak henti2nya mengangguk kepala seperti orang yang memohon sesuatu. Danyang tak membawa apa? lalu berlutut di luar pondok dengan kepala menunduk ketanah.

„Mau apa engkau ini!" tegur Kiam-gin kepada salah seorang.

Tetapi orang itu buta, tuli dan gagu. Dia tak mempedulikan pertanyaan orang.

Setelah menutuk jalan darah Li Hui-ting, Gag Lui pun menghampiri, katarnya: „Rupanya mereka datang untuk menyerahan hasil penemuannya, tetapi entah mereka menghendaki apa?"

„Celaka! Kita tak dapat menanyai mereka!" keluh Kiam-gin.

Sejenak merenung Gak Lui mendapat akal, serunya: „Aku tahu caranya!" - ia segera memegang tangan orang kate hitam itu.

Orang itu sedikitpun tak terkejut malah terus serahkan batu permata ketangan Gak Lui. Lalu ngangakan mulut dan tengadahkan kepala seperti orang menunggu.

Gak Lui gunakan ujung jari untuk menulis ditelapak tangan, orang itu: „Engkau minta apa?"

Sungguh kebetulan sekali. Orang itu mengenal huruf juga. Segera ia menulis ditelapak tangan Gak Lui: „Harap diberi Air-dewa!"

„Air- dewa?" Gak Lui terkejut. la cepat menyadari bahwa yang dimaksud dengan Air-dewa itu tentulah air dalam gentong. Segera ia menulis lagi ditelapak tangan orang itu: „Air itu beracun, tak boleh diminum!" -

Orang kate itu geleng2 kepala dan merintih: „Kalau tidak minum, tidak bisa hidup!"

Serentak Gak Lui menarik tangannya dan orang itupun segera berlutut ditanah. Beberapa kali kepalanya dibenturkan kelantai sehingga berlumuran darah.

Ketika Kiam-gin mengetahui apa yang dibicarakan mereka, ia berkata: „Didalam ruang dalam, ada air jernih. Akan kucoba kuberikan kepadanya, bagaimana nanti perobahannya."

Segera ia masuk ke dalam lalu membawa keluar sebuah kantong air dan dibagikan kepada orang2 kate itu. Mereka menyerahkan batu berlian lalu minum.

Kiam-gin tak memperbolehkan mereka kembali kedalam tambang. la menepuk bahu orang2 kate itu beristirahat. Setelah itu ia-menunggu bersama Gak Lui.

Kira2 sepeminum teh lamanya, tiba2 kawanan orang kate itu gemetar tubuhnya. Mereka merangkak-rangkak dilantai. Mulut mengeluarkan busa putih, mencakari dadanya sendiri dan menekan perut.

Dalam sekejab saja, ruang pondok itu penuh bergelimpangan orang2 kate yang meregang dan bergeliatan seperti ular. Rupanya mereka sedang menderita kesakitan hebat. Mereka nekat merangkak masuk kedalam pondok.

„Gak-te, racun ditubuh mereka mulai bekerja!" seru Kiam-gin

Tetapi Gak Lui tak menyahut.

Matanya memandang lekat2 pada guci air diatas meja itu.

Gigi berderuk-deruk saling bergosok.

Tiba2 ia menyambar guci air itu.

„Hai, Gak-te, mau apa engkau?" Kiam-gin berseru kaget.

„Aku .... aku ....."

„Engkau bagaimana?"

„Kurasakan sekujur tubuhku seperti dirayapi kutu. Mulutku sangat haus sekali!"

Kiam-gin cepat merebut guci itu dan ber teriak bengis: „Tak boleh diminum!"

Wajah Gak Lui berobah.

Ia terkesiap tetapi guci itu tetap dipegangnya erat2.

Melihat itu, Kiamgin terus menghantam, bruk ..... guci pecah air berhamburan membasahi sekujur tubuh sitabib-jahat Li Hui-ting.

Pecahnya guci dan muncratnya air dan berhamburan kemana-mana, ada sebagian yang mengenai tubuh orang kate Seketika timbullah, kehirukan. Mereka seperti orang gila menjilati pakaian sendiri untuk menghisap air yang menumpah dipakaian itu. Babkan bagian baju yang terkena siraman air racun tadi, terus dirobek dan dikunyah dengan -mulut.

Setelah itu tiba2 mereka merangkak ketubuh Li Hui-ting dan segera menggigit dagingnya. Bagaikan kawanan serigala yang tengah menerkam anak kambing, tak berapa lama tubuh tabib jahat itu habis dimakan oleh kawanan orang kate. Lebih dulu mereka memakan pakaian : sitabib, lalu dagingnya dan kemudian menghisap darahnya.

Sikap dan cara mereka memakan tubuh Li Hui-ting itu benar2 menegakkan bulu, roma orang.

Setelah kawanan orang kate itu mundur, yang tinggal hanya setumpuk tulang kerangka sitabib jahat Li Iiui-ting.

Beberapa orang kate yang tak kebagian, mati kaku semua secara mengenaskan sekali.

Setabah-tabah nyali Gak Lui, tetapi demi menyaksikan adegan makan orang itu, tak urung hatinya menggigil ngeri juga.

Tiba2 tampak sekilas sinar emas memancar. Gak Lui tertarik perhatiannya. Ketika mengamati, ternyata seorang kate yang berlutut dibawah kakinya, sedang menggigit sebuah Lencana emas. Talc henti-bentinya orang itu menjilat dan menghisap Lencana emas itu.

Gak Lui hendak mengambil lencana itu tetapi secepat kilat orang kate itu sudah menelannya. Gak Lui hanya banting2 kaki.

„Gak-te, perlu apa engkau menghendaki lencana emas itu?" tegur Kiam-gin.

„Lencana itu merupakan tanda sebagai anakbuah Maharaja!"

Seketika berobahlah waiah Kiam-gin., serunya geram: „O, kiranya kawanan budak musuh kita !"

„Benar," kata Gak Lui, „Li Hui-ting lebih baik mati dari pada mengatakan nama pemimpinnya. Memang ada dua buah hal yang perlu diselidiki!"

„Bagai mana?"

„Kesatu, hendak kutanya padanya, apakah ia pernah melihat wajah Maharaja itu? Jika sudah, apakah Maharaja itu memiliki hidung yang lengkap.

„Kuduga keduanya tentu hanya seorang saja. Si Grumpung tak lain juga Maharaja itu!"

Lalu yang kedua?" tanya Kiam-gin.

„Li Hui-ting telah menipu gurunya untuk datang mengobati- seseorang. Entah siapakah yang diobatinya itu?"

„Kedua soal itu kukira tiada hubungan satu sama lain. Tetapi mengapa engkau begitu memperhatikan sekali kepada Tabib-sakti Li Kokhoa?" tanya Kiam-gin.

„Dia adalah ..., kawan ayahku. Aku sudah berjanji akan mencarinya!" sahut Gak Lui.

„Membalas sakit hati adalah yang pokok. Dan mencari orang itu hanya sambilan saja. Kita segera akan tinggalkan tempat neraka ini dan menuju ke gunung Thian-gan-san!" kata Kiam-gin

Gak Lui memandang kearah kawanan orang kate hitam itu. Tetapi ia merasa tenaganya sendiri sudah tak mengidinkan. Terpaksa ia menghela napas lalu melesat keluar pondok dan lari menuju kearah gunung Thian-gan-san mencari sumber air Pencuci Jiwa!.

GUNUNG THIAN GAN SAN atau Mata Langit, penuh hutan belantara yang lebat. Iklim disitu tak sepanas seperti di lembah tadi.

Ketika tiba dikaki gunung, tiba2,mereka terkejut. Karang gunung disebelah mukanya gundul tiada tanaman sama sekali. Tetapi pada karang itu disusun tulang2 manusia menjadi 4 baris tulisan. Terkejutlah Gak Lui ketika membaca 4 baris tulisan itu.

Demikian bunyinya:

Sumber air Pencuci Jiwa

Siapa minum tentu binasa

Yang datang pulang saja

Agar jangan ..... hilang jiwa.

Kiam-ginpun terperanjat juga, serunya agak gentar: „Tentu muncul orang aneh ditempat ini ! Dia tentu sakti!"

„Tiada seorang manusia yang dapat menghalangi aku ! Apalagi tulisan ini mengandungg itikad tidak baik!" kata Gak Lui seraya mendahului maju.

Sepanjang jalan, ia melihat tulang2 manusia. Ada yang masih utuh sebuah kerangka. Ada yang bersandar pada pohon atau rebah diatas rumput. Dari posisi rerangka2 manusia itu, mereka tentu mati akibat muntah2.

Gak Lui makin bersemangat.

Ia kencangkan larinya.

Setelah melintasi sebuah tanjakan gunung, baru berjalan dua langkah, tiba2 ia terkejut mendengar Kiam-gin menjerit..........."

„Engkoh Gin, jangan takut, lekas ikut aku!" saat itu keadaan Gak Lui agak berobah. Pendengarannya berkurang sekali sehingga ia tak mendengar bahwa teriakan Kiam-gin itu adalah jeritan minta tolong.

Setelah berloncatan sampai berpuluh-puluh tombak jauhnya barulah ia berpaling kebelakang dan hai ..... ia tersentak kaget.

Kiam-gin lenyap dan sebagai gantinya, seorang wanita tegak berdiri dihadapannya. Ketika beradu pandang dengan wajah wanita itu, Gak Lui hampir menjerit kaget.

Rambut wanita itu melongsor panjang sampai ketanah. Tangannya mencekal sebatang senjata cempuling. Panjang satu meter. Potongan tubuh wanita itu elok sekali. Tetapi wajahnya ..... ah..... Wajahnya memang luar biasa cantiknya Bagaikan sebuah gambar bidadari dalam lukisan. Tetapi sayang kaca pigura dari lukisan itu penuh dengan retak goresan.

Karena wajah cantik dari wanita itu penuh berhias dengan goresan luka2 senjata tajam. Dan yang paling menyeramkan, hidungnyapun telah terpapas hilang . . . .

Serta melihat hidung wanita itu hilang, serentak, beringaslah Gak Lui.

„Ho, kiranya si Gerumpung! Bersiaplah menerima kematianmu!" bentaknya.

la menutup kata2nya dengan gerakkan kedua pedangnya menusuk dahsyat.

Tetapi wanita itu hanya dingin2 saja. Tak menangkis, pun tak menghindar. Dan ketika pedang Gak Lui tiba, dengan suatu geliatan tubuh yang lemah gemulai, ia dapat menyingkir setengah dim dari ujung pedang.

Serangan Gak Lui, yang dahsyat, tak mampu sama sekali menyentuh- ujung baju wanita itu !

Gerak geliatan dan ketenangan yang luar biasa itu benar2 membuat Gak Lui terkejut sekali. Apalagi walaupun tak balas menyerang, tetapi wanita itu dapat membuat Gak Lui tak berdaya melancarkan serangannya lagi.

Namun pemuda itu masih penasaran. Serentak ia gunakan jurus Rajawali-pentang-sayap untuk melambung keudara. la menukik seraya lancarkan jurus Menjolok-bulan- memetik-bintang. Dahsyat dan cepatnya bukan alang kepalang !

Rupanya wanita itu terpojok dan tak dapat menghindar. Terpaksa ia gunakan pedang untuk menangkis.

Melihat itu semangat Gak Lui tambah menyala. Ia taburkan pedang bagaikan bunga api berhamburan dan serentak terdengarlah dering senjata beradu, tring..., tring .....

Gak Lui yakin sebentar lagi pedang lawan tentu dapat dipapasnya kutung.

Tetapi pada saat gerakan Gak Lui untuk melibat kemudian memapas itu akan berhasil, tiba tiba wanita aneh mendengus pelahan dan merobah gerakan pedangnya. Tahu2 serangan Gak Lui itu berantakan dan siwanita melesat mundur satu tombak jauhnya Gak Lui benar2 tercengang-cengang!

Berpuluh-puluh jago silat yang pernah ditempurnya, asal ia gunakan jurus itu, tentu pedangnya dapat terpapas kutung. Paling-paling ada beberapa tokoh yang karena memiliki tenagsa dalam sakti, masih mampu bertahan dan menghindar.

Tetapi baru sekali inilah Gak. Lui bertemu dengan seorang lawan yang menggunakan ilmu serangan pedangnya yang istimewa itu.

Siapakah gerangan wanita aneh itu? Mengapa wanita itu memiliki ilmu pedang yang sedemikian luar biasanya?

Tengah Gak Lui menimang-nimang, tiba2 wanita itu berseru dengan dingin: „Budak, engkau salah alamat! Lekas pulanglah!"

Hanya kata2 begitu yang diucapkannya. Sedikitpun wanita itu tak mau bertanya apa2 lagi kepada Gak Lui. Sikap dan nadanya sedingin patung. Seolah-olah menganggap manusia di dunia ini hanya tanah liat belaka.

Terpengaruhlah Gak Lui melihat sikap wanita aneh itu. Ia menyimpan pedangnya lalu bertanya: „Mohon tanya, siapakah cianpwe? Aku....".

„Kita tak perlu saling memberitahukan nama. Lekas tinggalkan gunung ini agar jangan mengganggu ketenteramanku!" tukas wanita itu.

Diperlakukan dengan sikap sedingin begitu, panaslah hati Gak Lui, serunya: „kha, kawanku yang seorang itu . . . . dimana?"                .

„Tak perlu banyak tanya lekas pergilah!"

„Dia engkoh angkatku. Jika dia sampai terganggu selembar bulunya, engkau harus memberi pertanggungan jawab!"

„Engkoh angkat?"

„Benar!"

„Heh..., ..... heh:" tiba2 wanita aneh itu mendesah muak, sepasang matanya memancar sinar hina dan berserulah ia dengan nada marah: „Ngaco belo! Jika tak lekas angkat, kaki dari sini tentu kubunuh kau, seorang manusia rendah!"

Sudah tentu Gak Lni tak mau menerima makian semacam itu. Dengan menggembor marah ia menabas pedang wanita itu dengan jurus membelah-emas- memotong kumala.

Rupanya wanita aneh itipun marah juga. Sekali gerakkan pedang, berhamburanlah sinar putih laksana petir menyambar-nyambar diangkasa.

Tubuhnya seolah-olah terbungkus oleh gumpalan sinar pedang yang rapat sekali. Sedemikian rapatnya sehingga air hujan tentu tak mampu mencurah masuk.

Ketika pedang Gak Lui membentuk tembok sinar yang menyelubungi tubuh wanita itu, serentak ia rasakan suatu tenaga mental menolak pedangnya sehingga ia tak mampu untuk melancarkan jurus serangannya.

Gak Lui masih penasaran. Cepat ia salurkan tenaga-sakti Algojo-dunia untuk menyedot dan mendorong. Dengan perobahan itu, dapatlah ia menyiakkan sedikit lubang pada dinding sumur yang membungkus tubuh wanita itu.

Wanita aneh terkesiap, heran. Sepasang. matanya berkilat-kilat. Jurus vang dimainkan makin deras dan indah. Tak ubah seperti burung cendrawasih tebarkan sayap.

Tak henti-hentinya terdengar dering gemerincing dari senjata beradu. Serangan pedang Gak Lui yang sederas hujan mencurah, tetap tak mampu menerobos ke dalam lingkaran sinar pedang siwanita. Bahkan pemuda itu mulai mundur setapak demi setapak.

„Apakah racun dalam tubuhku sudah mulai bekerja sehingga tenagaku berkurang?" diam2, ia merasa heran pada dirinya.

Pada saat pikiran Gak Lui sedang lengah, se-konyong2 wanita itu menarik pedangnya, diganti dengan gerakan kelima jari tangan kiri untuk mencengkeram dada Gak Lui.

Gak Lui menyadari bahaya. itu: „Jika ia balikkan pedang untuk memapas tangan lawan, kemungkinan akan termakan siasat. Maka ebih baik ia hadapi dengan tangan kosong juga. Secepat pindahkan pedang Pelangi ketangan kanan, ia segera balikkan telapak tangan kirinya untuk menyongsong tangaw lawan.

Plak...!

Terdengar benturan keras dari dua telapak langan dan seketika itu Gak Lui rasakan suatu arus tenaga hebat menyusup kedalam telapak tangan aneh melanda kedadanya."

Gak Lui rasakan debur jantungnya lemah dan napas engap.

la terhuyung- huyung 5-6 langkah baru dapat berdiri tegak lagi.

Tetapi tetap dadanya terasa sakit, kedua mata mulai menghitam.

Dan pada saat ia terhuyung kebelakang itu, wanita wajah rusak telah julurkan ujung pedangnya kearah Gak Lui. Tetapi tiba2 ujung pedang digeliatkan untuk mencongkel pedang pemuda itu. Tring...., tring..., sepasang pedang Gak Lui terkapar jatuh.

Kernudian dengan gerak putaran,yang luar biasa indahnya, wanita itu meluncur kehadapan Gak Lui lalu membentaknya: „Siapa namumu!"

Diam2 Gak Lui kerahkan tenaga-dalam untuk bersiap-siap lalu menjawab dengan nada dingin: „Gak Lui ......."

„0....!, wanita itu terkejut dan menyurut mundur dua langkah, alisnya mengerut keatas. ,,Engkau .... hendak mencari aku?" serunya. ,

„Aku mencari sumber air peucuci iiwal" Wajah tegang dari wanita itu mulai mereda.

Lalu berkata dengan masih bernada dingin; „Orang yang sudah menyerang dua kali kepadaku, tentu takkan kuampuni lagi...., tetapi kali ini engkau kuistimewakan .... terhadap saudara-angkatmu itu, aku mempunyai cara lain !"

„Cara lain bagaimana .......?"

„Barang siapa masuk ke gunung sini, akan ku tindak menurut sekehendak hatiku. Orang lain tak boleh bertanya!"

Gak Lui sudah menemukan pengertian. Gerakan wanita mencongkel sepasang pedangnya tadi, jelas hampir sama dengan ilmu permainannya sendiri. Serentak tergetarlah hatinya.

„Engkau . . . . cianpwe siapakah? Mengapa jurus permainan pedangmu sama dengan aku?" serunya tegang.

„Tak usah ngoceh ! Kusuruh engkau pergi, demi kebaikanmu. Masakan perlu harus kupukul!" ,,Tetapi ilmu permainan pedang cianpwe tadi

sungguh tak asing lagi . . . . engkau . . . . engkau tentulah . . . . bibi guruku ketiga Pedang Bidadari Li. Siok-gim . . . . !"

Mendengar ucapan itu, siwanita aneh terkejut sehingga wajahnya berkerunyutan tegang sekali.

Tetapi samar2 dalam ketegangan itu bersinarlah rasa dendam penasaran.

,,Bibi-guru, aku bukan orang luar . . . ."

„Kutahu!"

,,Bibi-guru tahu?"

„Sudah tentu aku mengenalmu! Perawakmu terang sebagai putera dari Pedang Malaekat Gak It-beng. Sedang jurus permainan silat dan pedangmu adalah ajaran Pedang Laknat, tetapi....." „Tetapi bagaimana ....."

„Kepandaianmu yang begitu rendah, membuat orang kecewa!"

,,Aku telah terkena racun Penyurut-tulang...... "

„Bibirmu hitam, tenggorokanmu parau, memang akibat keracunan. Tetapi jurus permainan pedangmu tadi, seperti asli .... seperti bukan. Banyak bagian2 yang tak tepat. Entah bagaimana cara mereka mengajarinya!"

Merahlah muka Gak Lui, sahutnya dengan nada sarat: „Bukan karena salah paman guru, karena beliau tak dapat memberi petunjuk yang nyata!"

Pedang Bidadari Li Siok-gin gemetar, serunya: „Mengapa?"

Gak Lui segera menuturkan riwayatnya dengan ayah angkat atau paman guru si Pedang Laknat Ji Ki-tek selama ini. Kemudian ia bertemu dengan Pedang Iblis Ko Tiong-ing. Bagaimana keadaan dan pengalamannya selama bertemu dengan paman gurunya itu, pun diceritakan dengan jelas.

Dalam membawakan ceritanya itu karena terharu, airmata Gak Luipun bercucuran membasahi mukanya.

Wajah Pedang Bidadari Li Siok-gim yang penuh dengan guratan pedang itu, selain tampak tua, pun telah meneteskan dua titik airmata juga.

SETELAH menghela napas dalam2, tiba2 ia menengadahkan muka dan tertawa dingin: „Memang jauh2 aku sudah meramalkan bakal menemui peristiwa yang menyedihkan itu. Tetapi sungguh menjengkelkan sekali karena saat itu Pedang Iblis tetap tak mau mendengarkan sungguh-sungguh mengecewakan harapan suhu Bu-san It-ho yang telah berjerih payah memberi pelajaran...."

„Bibi, dengan munculnya orang yang menyebut dirinya sebagai Maharaja, jelas dia seorang durjana yang ganas. Tetapi mengapa bibi hanya berdiam disi tak keluar menghadapi durjana itu?"

Pedang Bidadari bergelora hatinya. Dengan mata berkilat-kilat, ia berkata: „Aneh! Dahulu ayahmu telah meninggalkan surat supaya mencari aku. Tetapi mengapa engkau tak pernah mengungkat hal itu? Mengenai sepak terjang Maharaja itu, memang tampaknya selalu memusuhi perguruan kita Bu-san-kiam-pay. Tetapi sekalipun kekuatan dari keempat jago pedang Bu-san itu tak lemah, namanya belum cukup termasyhur!"

,,Hal itu . . . . tentulah orang yang mempunyai sangkut paut dengan partai Bu-san-kiam-pay!"

,,Hm, tetapi orang yang mempunyai hubungan . . . . terlalu sedikit sekali!"

Gak Lui menggigil. Tiba-tiba ia berseru: ,,Menurut keterangan, gi-hu, aku masih mempunyai paman guru yang tertua yang telah diusir dari perguruan!"

,,Ah, tak mungkin dia ! Walaupun aku tak kenal namanya tetapi sebab-sebab dia diusir dari perguruan kita, walaupun secara tak sengaja suhu telah kelepasan mengomongkan hal itu!"

,,Oh, apakah sebabnya itu?"

„Karena sebelum mendapat perintah suhu, dia berani bertindak sendiri . . . ."

,,Bagaimana?" Gak Lui menegas.

,,Ini aku telah mengangkat sumpah dihadapan suhu, takkan membocorkan kepada lain orang!"

Mendengar itu Gak Lui amat kecewa. Jika tetap mendesak, tentu bibi gurunya akan melanggar sumpah. Namun kalau tak bertanya lebih jauh, tentulah usaha untuk menyelidiki musuhnya itu sukar tercapai.

Pedang Bidadari tak memperhatikan keresahan Gak Lui.

la balas bertanya: „Apakah engkau pernah mendengar atau bertemu dengan orang yang menggunakan jurus ilmu pedang Bu-san-kiam-pay?"

,,Tidak!" Gak Lui, diam2 ia memperhatikan perobahan wajah bibi gurunya itu. Tak dapat disangsikan lagi, satu-satunya orang yang dapat melakukan jurus ilmu pedang Bu-san-kiam pay, siapa lagi kalau bukan paman gurunya yang kesatu itu. Apalagi .... dia telah diusir dari perguruan.

Merenung sampai disitu, serentak ia mendesak dengan nada tegang: „Bibi, dapatkah bibi merenungkan lebih lanjut. Adakah sebab dari pengusiran paman guru kesatu itu mempunyai hubungan dengan sakit hati yang sedang kutuntut?

Banyak tokoh2 persilatan yang dicelakai. Saudara angkatku Hi Kiam-gin itu salah seorang korbannya . . . ."

„Hm, lagi2 engkoh angkatmu itu ......" tiba2 Pedang Bidadari mendengus dan berobah wajahnya.

„Bukan melainkan dia, masih ada ......'

,,Siapa lagi?"

„Masih ada seorang Li Siau-mey. Ayahnya telah hilang bertahun-tahun. Mungkin ada hubungannya juga . . . ."

Tanpa menunggu Gak Lui selesai bicara, Pedang Bidadari menukas bengis : „Li Siau-mey tentu seorang gadis. Engkau mempunyai hubungan apa dengan dia?"

„Ini ...." tiba2 muka Gak Lui merah. Sesaat ia tak dapat menyahut.

Melihat sikapnya, Pedang Bidadari segera menyadari.

Ditatapnya pemuda itu dan dengan nada yang muak2, marah ia berteriak: „Ah...., kiranya engkau begitu, sungguh memalukan....! Sungguh hina....!"

„Aku mempunyai sebab . . . ."

„Manusia jahat didunia, tiada seorangpun tak punya alasan. Aku tak sudi mendengar dan tak sudi mengakui engkau sebagai murid-jCeponakan!"

„Oh ...." Gak Lui mendesuh. Mengira kalau bibi-gurunya malu mengakui dirinya sebagai murid-keponakan karena menganggap dirinya rendah kepandaian, buru- buru berseru: „Walaupun aku bodoh dan tak berguna, tetapi sudilah bibi memandang muka ayah dan paman ..."

Mendengar itu bukan reda tetapi kemarahan Pedang Bidadari malah berkobar.

„Ayahmu telah putus hubungan kasih dengan aku. Pedang Anehpun -telah menghapus ikatan menikah dengan aku. Pedang lbispun putus hu- bungan saudara seperguruan dengan aku. Aku....... telah bersumpah takkan mengurus persoalan mereka. Engkau seorang budak kecil tetapi terlalu bertingkah . . . . "

„Aku tak mengerti maksud bibi-guru."

„Hm, berani terus terang berbohong, menambab setingkat dosa !. Engkau benar2 harus minum air Pencuci Jiwa supaya isi dadamu bersih!"

„Mohon tanya, dimanakah letak sumber air itu?"

„Disebuah guha pada puncak gunung, engkau carilah sendiri!"

Habis berkata Pedang Bidadari terus berputar tubuh dan melesat keluar.

Gak Lui terkejut dan memburu:,,Bibi .... bibi . . . ."

Tetapi ilmu meringankan tubuh dari Pedang Bidadari itu terlampau tinggi. Dalam beberapa loncatan wanita itu sudah 100-an tombak jauhnya.

Gak Lui mati-matian mengejar. Ia menyusur jalanan yang merupakan satu-satunya jalanan disitu dan kembali tiba dikarang kaki gunung yang berhias huruf2 tulang manusia.

Tetapi ia tetap tak menemukan bibi gurunya, pun tidak Hi Kiam-gin.

Gak Lui tegak-termenung dikaki karang gunung itu.

Pikirnya: „Mungkin bibi tak dapat memaafkan ayah dan kedua pamanku. Tetapi mengapa dia memandang hina padaku? Dari sinar matanya, jelas ia bukan hanya menghina kepandaianku yang rendah, pun masih ada sebab lain lagi! Entah adakah sebab itu! Bibi tahu apa sebabnya paman.kesatu diusir dari perguruan oleh kakek-guru. Juga bibi-guru itu tahu tentang suatu rahasia dari kakek-guru. Apakah sesunghnya dibalik peristiwa itu? Apakah hal itu mempunyai hubungan dengan si Gerumpung?"

Demikian pikiran Gak Lui melayang-layang menganalisa peristiwa pertemuannya dengan Pedang Bidadari Li Siok-gim yang menjadi bibi-gurunya.

Dan kemanakah gerangan lenyapnya Hi Kiam-gin tadi? Ah, kesemuanya itu hanya bibi-gurunya, yang tahu. Tetapi bibi-gurunya telah lari dan melenyapkan diri . . . .

Tiba2 Gak Lui tersentak kaget. Tubuhnya terasa menggigil kedinginan. Dan matanyapun terasa berkunang-kunang. Ada sesuatu perobahan yang tak wajar pada dirinya.

„Celaka! Racun Penyurut-tulang mulai bekerja! Aku harus lekas2 mencari sumber air Pencuci Jiwa itu!" ia terkejut dan gelagapan dari la munannya.

Diatas puncak gunung Thian-gan-san atau Mata Langit memang terdapat sebuah guha. Guha itu berasal dari pecahan batu gunung yang retak. Pada jalan muka guha, penuh dijajar tulang2 manusia.

Dengan langkah terhuyung dan mata suram, kulit berwarna hitam, Gak Lui dapat juga mencapai, puncak gunung itu.

Antara sadar tak sadar, ia berseru parau: „Air...! Air...! Mana ...... !"

Ketika mendengar gemericik air memancar ke luar dari guha, seketika mata Gak Lui berbalik. Dengan tersenyum simpul, ia berseru gembira: „Oh, kiranya . . . . disini!"

Sekali melesat ia terus meiangkah. Tetapi bukan berjalan maju melainkan terus terjungkal rubuh ketanah!

Namun ia menggertakkan gigi dan paksakan diri untuk merangkak bangun lalu nekad masuk ke dalam guha itu.

Guha itu ternyata amat dalam dan lembab. Baru melangkah tiga empat tindak, ia mendapatkan beberapa rerangka tengkorak malang melintang ditanah.

Saat itu racun dalam tubuh Gak Lui sudah mulai bekerja. Ia rasakan sekujur tubuhnya seperti digeremeti ribuan semut dan kutu2. Tulang2 sama mengejang. Seketika gelaplah matanya, kedua lutut lemas dan bluk .... jatuhlah ia diatas salah sesosok tengkorakl

Tengkorak itu hancur berantakan. Tetapi giginya yang runcing menjulur kebawah, menganga seperti hendak berkata . . . .

„Apa katamu !" teriak Gak Lui dalam keadaan tak sadar pikiran. Suaranya parau, tenggorokan kering, „Ah .. engkau mengatakan air sumber disini tak boleh diminum ! Terima kasih .... peringatanmu. Aku. .. hendak ... mencobanya . . . "

Dia merayap sampai keujung dalam guha.

Pada puncak guha yang tinggi, menjulur sebuah batu besar.

Bentuknya menyerupai hati seorang manusia.

Warnanya merah seperti api.

Sejalur air jernih, memaocur keluar dari ujung batu berbentuk hati itu, jatuh kebawah tanah yang membentuk seperti empang batu.

Empang batu itu luasnya dua tombak lebih. Dibagian tengah terdapat lobang bundar yang tembus kebawah entah berapa dalamnya.

Tampak pada permukaan empang yang penuh air itu, tertutup oleh uap tebal. Air berputar mengalir kebawah lubang. Dengan lubang saluran itu empang tetap penuh tetapi tak meluap.

Hati Gak Lui amat tegang sekali menyaksikan pemandangan yang hebat itu. la berhenti ditepi empang. Matanya memandang tak berkedip pada empang itu.

Melihat air yang jernih dan segar, tak dapat lagi Gak Lui menahan tenggorokan yang serasa kering terbakar kehausan.

Tiba2 ia seperti melihat wajah paman guru-nya si Pedang Iblis tersembul dari dalam sumber air ............

„Anak Lui, jika ingin menyakinkan ilmu kepandaian yang tiada lawannya di dunia, engkau harus mencuci hatimu dengan air disini. Karena sudah datang kemari, apa yang masih engkau tunggu lagi ?" .... Gak Lui merasa paman gurunya itu berka!a kepadanya,

„Baik..., baik.... ! aku segera minum !" sahut Gak Lui, lalu menunduk ketepi empang. Dengan kedua telapak tangan, ia menyerok air.

Seketika ia rasakan serangkum tenaga panas menembus tangannya hingga jari2 yang membeku dingin terasa seperci terbakar.

„Jangan minum ! Air sumber itu entah telah membunuh beberapa banyak manusia. Mengapa engkau juga akan mencobanya !"

Sekonyong-konyong terdengar suara orang berseru.

„Siapa engkau !"

„Aku Pedang Samudera Hi Liong-hui, sengaja kemari untuk memperingatkan engkau !"

Saat itu racun dalam tubuh Gak Lui makin merangsang keras. Dia benar2 hilang kesadaran pikirannya.

la berpaling dan melihat tanah penuh berserakan tengkorak. Cepat ia bangkit, serunya : „Tidak boleh diminum ?"

„Tidak boleh !"

„Kami adalah contoltnya . . . ."

Kedua tangan Gak Lui gemetar. Seaaat tak tahu ia bagaimana harus bertindak.   .

Tiba2 ia melihat bibi gurunya muncul dan mengamuk. la bolang-balingkan pedangnya menabas kawanan tengkorak yang berada dalam guha situ seraya memaki : „Hatimu harus disuci, mengapa kalian usil mencampuri urusan orang ....... !"

Pikiran Gak Lui makin kosong.

Tiba2 ia membuka kedua tangannya dan jatuhlah air berhamburan ketanah.

la rasakan tanah yang dipijak itu seperti berputar-putar.

Gelap .... gelap diseluruh penjuru.

Tubuhnya terhuyung kian-kemari dan sekali tergelincir, blung .... ia kecemplung kedalam empang !

la tak bisa berenang. Maka begitu terbenam kedalam air, mulutnya segera berbunyi bergemerutukan karena air masuk kedalamperutnya.

Air dari sumber Pencuci Jiwa berbeda dengan racun Penyurut-tulang.

Seketika ia rasakan tenggorokannya seperti dibakar api, terus menyusup kedalam urat2. Ketika aliran panas itu mergalir kedadanya, ia megap-megap tak dapat bernapas. Dan kesadaran otaknyapun melayang .....

Pada saat ia pingsan beberapa jenak, Pedang Bidadari Li Siok-gim menyusup masuk.

Melihat keadaan Gak Lui, seketika berobah ngerilah wajah wanita itu. Cepat ia gunakan pedang untuk mengangkat tubuh Gak Lui dari empang. Ketika memeriksa hidung dan denyut pergelangan tangannya, ia dapatkan pemuda itu sudah mati ..........

---oo0oo---

Tetapi Pedang Bidadari masih tak putus asa. Ia hendak merebut jiwa Gak Lui dari genggaman Elmaut. Cepat ia mengurut dan menutuk jalandarah pemuda itu. Lalu menyaluri dengan tenaga murninya.

la percaya dengan ilmu kepadanya yang tinggi, tentulah pemuda itu tertolong yiwanya.

Tetapi ternyata saluran tenaga murni itu bagaikan air mengalir kelaut. Sampai menghabiskan 7 bagian dari tenaga murninya, tetap Gak Lui tak dapat sadar.

Lewat beberapa saat kemudian, napas Pedang Bidadari terengah-engah. Terpaksa ia menyudahi penyaluran tenaga murni. Air matanya mengucur deras dan dengan menangis tersedu-sedan ia berkata: „Anak Lui, tadi telah kutanyai Hi Kiam-gin, ternyata engkau ...... masih suci ....... tetapi...... kecurigaanku telah menyebabkan engkau mati...... Kini empat Pedang Gunung Bu-san, telah putus keturunannya .... hanya kematianlah yang pantas untuk menebus kedosaanku . . . ."

Wanita yang rusak wajahnya itu mengangkat tubuh Gak Lui lalu melangkah keluar menuju ke terowongan kecil dibelakang guha. Diletakkan tubuh Gak Lui dalam terowongan kecil itu lalu ulurkan tangannya hendak mewbuka kedok muka Gak Lui. Tetapi tiba2 tangannya gemetar. Terpaksa ia menarik kembali dan menghela napas.

„Ah, wajahmu tentu mirip dengan Gak Tiang-beng. Aku o... tak .... tak perlu melihat. Biarlah engkau berkubur dengan dandanan sewaktu engkau datang kemari ! "

Setelah memandang Gak Lui beberapa saat, ia melesat ke luar. Dihantamnya dinding karang mulut terowongan itu. Karang berhamburan jatuh menutup pintu terowongan.

Setelah itu ia menulis beberapa patah kata : „ Makam Gak Lui"

Setelah selesai melakukan penguburan, ia kembali ke tempatnya semula. Diam2 ia merasa heran: „ Ah, mengapa Hi Kiam-gin belum menyusur kemari ? Memang, luka yang kuberikan padanya dengan tusukan pedang itu tentu cukup parah .... ah, kini Gak Lui sudah meninggal, benar-benar aku tak ada muka untuk menemuinya lebih baik kutinggalkan surat pesananku yang terakhir . . . . ."

Cepat ia mencabut pedang, menggurat lengannya kiri. Merobek bajunya lalu menulis dengan ujung jari yang dilumurkan pada darah di lengannya itu. Selesai menulis, diletakkan robekan baju itu di bawah batu.

Setelah itu ia berputar diri. Tiba2 pandangan matanya tertumbuk pada sumber air Pencuci Jiwa. Seketika meluaplah kemarahannya.

„Engkau . . . . engkaulah . . . yang telah membunuh keponakanku. Rasakan pembalasanku.. .. !" .

Dengan mengerutkan geraham, ia loncat masuk keadam guha dan membabat batu merah berbentuk Hati yang memancarkan air.

Bruk .... walaupun batu berbentuk Hati itu setebal lengan bocah, tetapi tetap tak kuat menerima tabasan pedang yang diancarkan dengan sepenuh tenaga oleh wanita itu.

Pedangpun putus tetapi batu berbentuk hati itupun hancur seketika. Terdengar ledakan keras disusul dengan gelombang air yang berhamburan laksana gelombang mendampar.

Batu berbentuk Hati itu berguguran jatuh kedalam empang batu.

Menyusup kedalam lubang ditengah empang batu terus tenggelam kebawah.

Sejak saat itu putuslah sumur air Pencuci jiwa.

Empang batu kering sama sekali ....

Setelah menghancurkan bangunan yang istimewa itu, Pedang Bidadari menghela napas.. la, rasakan dunia ini hampa ......

la tak menghiraukan darah yang mengalir deras dari lengannya yang ditusuknya sendiri tadi. la sudah memutuskan untuk bunuh diri. Asal darah dalam tubuhnya mengalir sampai habis melalui luka tengannya itu, tentulah ia segera terbebas dari derita Dendam dan Kasih !

Tiba2 ia melesat masuk kedalam ruang tempat tinggalnya, selama ber-tahun2 ia meuyembunyikan diri itu.

---oo0oo---

BAB 09 : KEMBALI DARI AHIRAT

PADA SAAT PEDANG BIDADARI kembali ke guha kediamannya, Hi Kiang-gin pun dengan terhuyung-huyung langkah tiba di sumber air Pencuci Jiwa.

Tetapi keadaan pemuda itu tidak seperti beberapa waktu yang lalu. Rambutnya terurai ke bahu. Dan wajahnyapun berobah menjadi seorang gadis yang cantik. Ah, ternyata Hi Kiam-gin itu seorang gadis yang menyamar sebagai pemuda.

Kakinya berlumuran darah, langkahnya terhuyung-huyung .........

Kiranya waktu dihadang oleh Pedang Bidadari tak boleh mengikuti Gak Lui naik ke sumber Pencuci Jiwa, terjadilah bentrokan antara gadis itu dengan Pedang Bidadari.

Sudah tentu Kiam-gin bukan lawan Pedang Bidadari. Dalam keadaan terdesak, gadis itu taburkan senjatanya rahasia Pelor Api.

Tindakan Kiam-gin itu telah menimbulkan kemarahan Pedang Bidadari. Diberinya sebuah tusukan lalu ditutuk jalan darahnya dan diletakkan dalam hutan. Setelah itu Pedang Bidadari mencari Gak Lui. Tujuannyapun hendak mengenyahkan pemuda itu dari gunung Thian-gan-san.

Walaupun dalam pertempuran dengan Pedang Bidadari tadi, Gak Lui sudah mengetahui bahwa wanita berwajah rusak itu adalah bibi gurunya sendiri namun tanpa disadari, dalam kata-katanya pemuda itu telah menyinggung perasaan bibi gurunya. Pada hal yang disinggung Gak Lui itu justeru merupakan pantangan besar bagi Pedang Bidadari.

Demi 'Asmara', maka Pedang Bidadari sampai mengalami derita hidup yang berlarut-larut. Dia membenci kaum pria, terutama. pria yang merasa sok - pintar, bencinya bukan kepalang. Dan Gak Lui pun dianggapnya seorang pemuda yang berlagak pintar. Maka Pedang Bidadari marah. Apalagi diketahuinya bahwa Hi Kiam-gin itu hanyalah seorang gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda.

Timbullah kecurigaan Pedang Bidadari terhadap pemuda yang menjadi murid keponakannya itu. la auggap pemuda itu seorang pemuda yang serong berani mengatakan Hi Kiam-gin sebagai engkoh angkatnya, pada hal hanya seorang gadis.

Dan kemarahan wanita patah hati itu makin menjadi-jadi ketika Gak lui menyebut-nyebut tentang seorang gadis bernama Li Siu-mey. Dalam murkanya, Pedang Bidadari terus melesat pergi.

Tetapi setiba diguha kediamannya, terkenanglah ia akan kekasihnya dahulu Gak Tiang-beng (ayah Gak Lui) yang bersama kedua saudara seperguruannya Pedang Iblis dan Pedang Aneh telah menderita kematian yang mrigenaskan. Seketika redalah kemar'ahan Pedang Bidadari. Kemudian setelah memikir dengan kepala - dingin, ia anggap Gak Lui itu bukan seorang pemuda yang bermoral tipis suka menyia-nyiakaa kasih, mempermainkan kaum gadis.

Buru2 wanita itu menuju kehutan dan menolong Hi Kiam-gin. Setelah mengadakan tanya jawab dengan Kiam-gin barulah Pedang Bidadari, menyadari bahwa Gak Lui itu seorang pemuda yang berkelakuan bersih.

Segera ia menyuruh Kiam-gin berjalan mendaki sendiri ke puncak. Sedang ia dengan gunakan ilmu lari cepat segera menuju ke sumber air Pencuci Jiwa. Tetapi ternyata tetap terlambat...........

Mendengar keterangan Pedang Bidadari bahwa kemungkinan Gak Lui tentu menemui kesukaran bahaya, Kiam-gin gelisah. Tanpa menghiraukan lukanya yang masih belum sembuh, ia terus menuju ke sumber air mencari Gak Lui. Ketika ia tiba ditempat itu ternyata Pedang Bidadari sudah mengubur Gak Lui dan tinggalkan tempat itu.

Betapa kejutnya ketika ia dapatkan empang batu sudah hancur berantakan dan ditanah terdapat kutungan pedang serta ceceran darah.....

Seketika menggigiliah perasaan Kiam-gin. Airmatanya berderai-derai seperti hujan. Dan ketika melangkah keluar melihat pada dinding karang terdapat tulisan 'Makam Gak Lui', pecahlah tangis gadis itu.

la menangis tersedu-sedu seperti kehilangan orangtuanya. Ia menyesal karena telah menyamar sebagai seorang pria sehingga Gak Lui menganggapnya sebagai seorang engkoh. Dan karena anggapan itulah maka Gak Lui tak mengerti akan rasa cinta Kiam-gin kepadanya.........

Rasa sesal dan sedih ditumpahkan dalam banjir mata Kiam-gin telah menguras habis airmatanya sehingga kering. Dan karena airmatanya habis, maka mulailah darah yang bercucuran.........

Tiba2 ia menghantam pintu terowongan dan tanpa sengaja telah menemukan robekan kain. Cepat2 dibukanya kain itu. Ternyata terdapat tulisan darah yang ditujukan kepadanya :



Hi Kiam -gin,

Keponakanku Gak Lui mati dalam sumber Pencuci Jiwa. Tak dapat ditolong lagi. Dendam sakit hati kalian berdua, memang pelik sekali. Lekas pergilah ke gunung Busan puncak Cap-ji-hong dan berserulah 'Thian Lui' senyaring-nyaringnya.

Mungkin mendapat suatu keajaiban. Jika saat itu menemukan sesuatu jejak musuh, engkau harus berlatih silat dengan segiat-giatnya. Demi untuk membalaskan sakit hati kami semua.



Surat itu tiada bertanda tangan, melainkan disudahi dengan dua buah kata 'Tulisan Akhir'.

Tahulah Kiam-gin bahwa yang menulis surat darah itu tentu sudah mati juga. Kembali ia kucurkan airmata. Diulanginya surat itu sampai beberapa kali. Sekalipun tak mengerti apa maksud sebenarnya dari surat itu, tetapi ia sudah mendapat sedikit harapan yang cukup membangkitkan kekuatannya.

Segera ia bulatkan tekad dan tengadahkan kepala keatas, berdoa :          „Cianpwe, tanpa menghiraukan bahaya apapun jugs, aku tentu akan melaksanakan pecan cianpwe. Aku segera akan menuju kepuncak Cap-ji-hong gunung Bu-san untuk mencari jejak dan menghimpaskan dendam cianpwe !"

Kemudian iapun berdoa kepada arwah ayah dan paman gurunya Ngo Bun-hwa

„Anak memang tak berbakti, diam2 telah tinggalkin rumah menyaru menjadi pria. Sehingga menyebabkan ayah dan paman menderita perasaan. Sejak saat ini, anak akan kembali menjadi scorang gadis itu dan bertekad bulat untuk membalaskan sakithati keluarga kita,


Harap arwah ayah dan paman mengasoh dengan tenteram di alam baka !"

Yang terakhir ia merabah nama Gak Lui seraya berseru dengan hati pilu : „Adik Lui .... jangan kuatir. Setelah nanti musuh kita bersama itu dapat kutumpas, aku tentu akan kembali kemari lagi untuk menemanimu .... menemani engkau untuk selama-lamanya ........ takkan barpisah lagi ........"

Duka dan dendam, memenuhi rongga dadanya. Ia memutar tubuh terus lari terhuyung-huyung.

Suasana disekeliling guha hening lelap. Hanya tulang belulang, ceceran darah...... hancuran batu dan kutungan pedang yang berserakkan ditanah ....

Sejam kemudian tiba2 terdengar deraip langkah kaki yang halus. Dan dalam keremangan suasana, muncullah seorang dara cantik mengurai rambut.

Gadis itu berjalan dengan hati2 sambil memandang kian kemari sambil pasang telinga. Jelas dia bukan Hi Kiam-gin yang datang kembali. Melainkan gadis ular Li Siu-mey.

Waktu memasuki guha, ia memperhatikan sekali setiap benda yang berada disitu, bahkan sebatang rumputpun tak, luput dari pengawasannya.

Ceceran darah ditanah, kutungan pedang dan empang batu yang hancur, semua diketahuinya. Hanya pada saat matanya tertumbuk akan tulisan

yang berbunyi : MAKAM GAK LUI, serentak meraunglah ia seperti seekor singa betina yang kehilangan anaknya !

Tetapi beberapa saat kemudian ia terkesiap meragu „Aah....! Engkoh Lui tak mungkin sudah mati. Karena baik manusia maupun binatang, apabila mati tentu meninggalkan bau yang istiwewa. Tetapi terowongan ini sama sekali tak mengeluarkan bau semacam itu. Apakah terowongan itu hanya sebuah tipu muslihat saja, sebuah jebakan ....... "

Cepat ia memeriksa semua bekas benda peninggalan disitu. Kutungan pedang itu diambil dan dibaunya.

„Ahh...., pedang ini bukan milik engkoh Lui! Tetapi milik seorang perempuan ...... dan bukan milik kawannya itu! Dan empang batu yang rusak itu adalah bekas reruntuk sumber air Pencuci Jiwa. Tak mungkin engkoh Lui menghancurkannya. Tentulah kedua perempuan itu!"

Gadis ular Siu-mey mengadakan analisa. Kemudian ia melanjutkan pula: „Dan yang paling aneh adalah bekas ceceran darah ini. Darah itu tidak berhamburan kemana-mana, bukan menyerupai kucuran luka. Kalau begitu, orang itu tentulah bersahabat. Mungkin sudah tahu tentang kematian engkoh Lui.... tetapi ahh...., mungtin juga suatu perangkap!"

Dua macam penilaian terlintas tak menentu dalam benaknya. Sambil mencekal kutungan pedang, tak tahu bagaimana ia harus bertindak.

la merenung sampai lama sekali. Akhirnya rssa Cinta telah mendapat tempat yang utama dalam sanubarinya.

Segera ia gunakan kutungan pedang itu untuk menggali batu yang menutup lubang makam Gak Lui. Dengan sekuat tenaga ia menggali batu dan akhirnya dapatlah ia membuat sebuah lubang sebesar setengah meter.

la segera susupkan kepalanya kedalam. Ah, sama sekali ia tak mencium bahu mayat. Jelas kekasihnya itu belum mati.

Setelah mendapat kepastian itu, mulailah ia bertindak untuk menolong Gak Lui. Dengan bergeliatan macam ular, tubuhnya yang lemas gemulai segera menyusup kedalam terowongan. Akhirnya berhasillah ia masuk kadalam.

Terdengar beberapa kali ia meneriaki „engkoh Lui..., engkoh Lui..." Setelah itu hening lelap.

Kira2 sepenanak nasi lamanya, gadis itu menyusur keluar lagi. Wajahnya penuh tanda tanya. Rupanya ia telah menemukan sesuatu yang mencurigakan. Segera ia menurutkan bekas ceceran darah itu.............

---oo0oo---

BAB 10 : AKHIR HAYAT PEDANG BIDADARI LI SIOK GIM

„ENGKOH GIN ...." tiba2 terdengar suara seseorang.

„Aku bukan engkoh Gin tetapi adikmu Siumey!" sahut lain suara.

„,Hai, aku bermimpi ..... atau mati ....?"

„Tidak bermimpi, pun tidak mati !"

„Lalu aku ....... "

„Engkau telah pingsan selama satu bulan tak ingot diri. Untung aku segera dating pada waktu yang tepat. Kalau tidak, engkau tentu tak akan ingat diri selama-lamanya !"

Sesosok tubuh melenting bangun diri tanah. Dia bukan lain adalah Gak Lui dan yang rebah disamping itu adalah sigadis ular Siu-mey.

„Hai .... !" Gak Lui mendesis kaget, ketika rasakan tubuhnya seringan bulu. Hampir tak percaya ia akan apa yang dialaminya itu.

„Aku terminum racun. Penyurut tulang, lalu kecebur dalam sumber air Pencuci Jiwa. Seharusnya aku muntah?. Tetapi mengapa tidak ..."

„Engkau tak pernah muntah !" kata Siu-mey.

„Sungguh aneh ......"

„Ditilik dari ilmu pengobatan, hal itu memang tak aneh. Ketika aku datang kemari, aku melintasi lembah yang panas itu ......."

„Itu!ah Lembah Mati !" tukas Gak Lui, apakah engkau juga melihat kawanan orang pendek berkulit hitam itu.

„Mereka diminumi racun Penyurut tulang !" sahut Siu-mey," rupanya racun itu terbuat diri ramuan pohon Laci, kepala burung bangau dan bangkai ulat .. . racun bersifat dingin dan berkhasiat membius !"

„Itu benar," kata Gak Lui.

„ketika termakan racun, bukan saja aku ingin makan lagi, pancainderaku pun berkurang ketajamannya. Sedang mulutkupun seperti mati rasa !"

„Jelas hal itu memang benar sekali !" kata Siu-mey, „air sumber Pencuci Jiwa itu panas, dan pahitnya bukan kepalang. Orang minum tentu akan muntah. Tetapi bagimu air sumber itu dapat menghapus racun dan menambah tenaga !"

„Oh ... ," seru Gak Lui, „kalau dipikir-pikir, semua perbuatan jahat itu tentu mendapat pembalasan yang setimpal. Li Hui-ting yang meracuni aku itu, ternyata adalah murid yang telah menipu ayahmu. Menurut keterangannya, ayahmu masih hidup ..."

,,Hai ! Dia ... dia ... dimana ?" sera Siu-mey.

„Sayang Li Hui-ting sampai mati tak mau menerangkan. Sebelum selesai kutanya, dia sudah menggigit putus lidahnya dan mati "

Siu-mey Girang2 sedih. Dengan air mata bercuccran ia berkata : „Jika ayah benar masih hidup, syukurlah. Pada suatu hari aku pasti dapat menemukannya . . ."

Gak Lui merghiburnya. Setelah nona itu mengusap airmata, berkatalah Gak Lui : „Adik Mey, waktu engkau mendaki gunung apakah engkau bertemu dengan bibi guruku ?"

Mendengar pertanyaan itu, airmata Siu-mey bercucuran lagi : „Ia karena .... tak mengerti ilmu pengobatan, megira engkau mati keracunan air sumber lalu marah dan menghancurkan sumber ini, kemudian ia sendiri juga ...

„Bagaimana ?" teriak. Gak Lui tegang.

„Memotong urat pergelangan tangah dan akhirnya meninggal karena kehabisan darah."

„Mengapa ... engkau . . . . tak menolong ?"

„Kuturutkan bekas ceceran darah dan akhirriya sampai pada tempat rahasia kediamannya. Kudapati lukanya amat parah tetapi ia tak mau kuobati. Baru setelah kuterangkan bahwa engkau tak mati ia tampak tenang dan mau memakan rumput harum. Semangatnya seketika segar lalu suruh aku kemari menjengukmu . . . ."

„Ah, tak seharusnya engkau tinggaikan dia !"

Pipi gadis itu bersemu merah, sahutnya pelahan : „Aku ... aku mencemaskan dirimu dan lagi, tak kira pada waktu aku kembali kesaoa lagi, ternyata beliau sudah meninggal ....."

Gak Lui menghela napas panjang.

Airmata-nya mengalir deras. Beberapa saat kemudian baru ia bertanya : „Adakah beliau pernah mengatakan tentang engkoh angkatku Hi Kiam-gin ?"

„Waktunya amat singkat sekali, tak mengatakan hal itu ......."

„Adakah engkoh angkatku itu juga tertimpal3 sesuatu ?"

Tiba2 wajah Siu-mey berobah dan menyahut dengan kurang senang : „Engkoh Lui, terus terang kukatakan kepadamu. Selama ini aku selalu mengikuti perjalananmu. Sekalipun karena kebakaran di hutan itu telah menangguhkan waktuku selama setengah hari, tetapi sejak saat itu kulihat engkau selalu berjalan bersams seorang gadis remaja !"

„Gadis ?" Gak Lui terbeliak.

„Benar!, Dari baunya..... dapat kuketahui jelas, dia seorang anak perempuan !"

Gak Lui terkejut dan seketika meayadari. Diapun dapat mencium bau untuk membedakan sesuatu.. Tetapi ia agak lalai untuk membedakan bau Hi Kiam-gin. Kini baru ia mengetahui mengapa tiba2 wajah bibi gurunya berobah bengis. Bibinya itu seorang penderita Asmara yang gagal. Sudah tentu membenci kalau seorang pemuda hendak mempermainkan seorang gadis.

Kemudian bcrkata pula Siu-mey : „Dari bekas bau, jelas ia pernah menjenguk kemari :.. engkau .... harus merasa puas !"

Gak Lui segera menuturkan tentang peristiwa ia mengangkat saudara dengan Hi Kiam-gin.

„Aku telah menerima permintaan tolong dari ayahnya. Mau tak mau terpaksa mengurusnya. Dan lagi ia berwatak terus terang. Jika dia sudah pergi, kelak aku tetap akan membalaskan sakit hatinya !" kata Gak Lui pula.

Melihat sikap kekasihnya yang jujur dan ternyata tak menaruh maksud apa2 terhadap Kiam-gin, berkatalah Siu-mey dengan nada minta maaf „Asal engkau tak melupakan aku, tambah seorang taci angkat, pun tak apalah. Dan lagi bibi gurupun telah meninggalkan surat pesan . . .

„Lekas berikan padaku !" sera Gak Lui.

„Jangan sekarang !"

„Mengapa ?"     .

„Beliau menulis Jelas, supaya aku yang membacakan dihadapan makamnya !"

„Ohh...., tentu penting sekali. Hayo kita kesana seru Gak Lui sambil mengamasi sepasang pedang nya terus hendak keluar.....

„Engkoh Lui, mungkin engkau tak dapat menyusup keluar. Lebih baik engkau membuat lubang," kata Siu-mey.

Gak Lui merasa tenaganya bertambah besar.

Ia hendak mencobanya.

Segera ia menjamah batu dinding dan menekannya, Ah...., ternyata pada batu itu tertinggal bekas telapak tangannya.

„Adik Mey, mundurlah sedikit !" serunya gembira.

Setelah gadis itu menyingkir, Gak Lui kerahkan tenaga dan menghantam. Bum ..., batu yang diletakkan Pedang Bidadari untuk menutup terowongan, meledak hancur dan terbukalah sebuah lubang besar.

„Mari!" seru Gak Lui seraya menerobos keluar.

Sejenak mereka memandang kearah-tumpukan tulang2 tengkorak dan kepingan sumber air setelah itu mereka bergandengan tangan lari keluar guha.

Memang yang dikatakan Siu-mey itu benar.

Pedang Bidadari Li Siok-gim telah binasa.

Betapa sedih hati Gak Lui, sukar dilukiskan.

Berulang kali, ia bertemu dengan paman dan bibi gurunya.

Setiap kali paman dan bibi gurunya itu tentu meninggal.

Setelah mengubur, maka berlututlah Gak Lui dihadapan makam bibinya. Memberi hormat yang terakhir dan mendengarkan Siu-mey akan membaca surat wasiat bibi gurunya.

„Kepada murid keponakanku Gak Lui ........" demikian Siu mey mulai membaca, hidup manusia itu sudah diientukan o!eh garis nasib. Wanita yang berwajah cantik tentu, malang nasibnya. Sehingga menyebabkan Empat Pedang Busan tercerai berai. Oleh karena itu maka, kurusaklah wajahku dan tinggal mengasingkan diri dalam guha. Untuk menebus dosa..."

„Siu-mey berhenti sejenak lalu melanjutkan.

„Ternyata tiga dari keempat pedang Bu-san telah berturut-turut mati ditangan musuh. Aku makin jemu hidup. Maka kuberikan kepadamu -apa yang telah kupelajari selama ini. Kuharap engkau belajar dengan giat. Demi untuk membalas sakit-hati             . . . .

Ilmu istimewa yang akan kuajarkan kepada mu hanya terdiri dari dua jurus, yani :

1. Cenderawasih pentang sayap menutup matahari dan rembulan.

2. Awan berarak bertebaran ribuan li tiada berbekas.

Yang pertama itu adalah ilmu pedang dan yang kedua ilmu meringankan-tubuh. Merupakan ilmu simpanan dari perguruan Empat Pedang Busan.

Dengan tenaga yang engkau miliki saat ini, boleh engkau d anggap sebagai jago muda yang tangguh. Tetapi ilmu kepandaian itu, kecuali mengandalkan bakat dan latihan tekun, juga memerlukan penjelasan dari seorang guru kenamaan.

Sayang paman gurumu Pedang Aneh dan Pedang Iblis, sudah tak dapat memberi pelajaran lagi.

Maka terpaksa engkau harus giat berlatih sendiri.

„Mengenai ........ mengenai ........."

Membaca, sampai disitu, tiba2 pipi Siu-mey merah. Ia berhenti karena sungkan.

Setelah menunggu sampai sekian jenak belum juga nona itu melanjutkan pembacaannya, Gak Lui mengangkat muka dan memandang Siu-mey.

Siu-mey loncat menghampiri, serunya tersekat : „Engkoh Lui, bangunlah dan eagkau baca sendiri saja!"

Dengan khidmat, Gak Lui menyambuti surat itu lalu membacanya.

„Mengenai diri Gadis Ular Li Siu-mey. Ia seorang gadis yang berwatak murni. Cintanya tulus ikhlas. Merupakan pasangan yang setimpal sekali dengan engkau. Tetapi anak muda itu memang masih berdarah panas. Jangan sekali-kali engkau berpaling haluan dan, beralih hati kepada lain gadis. Terkutuklah..., terkutuklah.....!"

Dibalik robekan kain itu terdapat tulisan berbunyi : „Pesan terakhir bibi gurumu."

Habis membaca, airmata Gak Lui berlinang-linang.

Ia tegak termenung-menung, Kiranya barulah ia mengetahui bahwu bibi gurunya itu memang sengaja merusak wajahnya sendiri.

Hal itu tentulah disebabkan karena kisah Asmaranya dengan Gak Tiang-beng atau ayah Gak Lui dan memutus kasih pada paman gurunya Pedang Iblis

Seketika terbayang lagi wajah bibi-gurunya

penuh luka guratan pedang itu. Seolah-olah, bibi gurunya mondaskan pesan agar dia jangan sembarangan bermain cinta                .

Merenung hal itu, tiba2 ujung mata Gak Lui berkilat cahaya.

Dengan wajah kemerah-merahan, Siu-mey menghaturkan sebutir batu berlian besar ke hadapannya.

„Adik Mey, rupanya, berlian ini berasal dari Lembah Maut" tegur Gak Lui.

Siu-mey mengiakan: „ Benar, semua simpanan mereka kuambil! "

„Baik juga! Daripada jatuh ditangan gerombolan orang jahat" kata Gak Lui,

„eh...., apa, artinya ini? "              .

„Kuhaturkan kepadamu! " sahut Siu-mey.

„Ah, lebih baik engkau yang menyimpan saja"

Wajah nona itu makin merah. Setelah ber-diam diri beberapa saat, akhirnya ia memberanikan diri berkata: „Apa yang ditulis dalam surat pesan bibi guru, sudah jelas. Kita ..., seharusnya memberi-tanda."

Mendengar itu tersadarlah Gak Lui. Dan dengan tersipu-sipu malu, Siu-mey susupkan mutiara itu ke dalam tangan Gak Lui seraya menarik lengan baju pemuda itu: „ Engkoh Lui, mari kita keluar. Di sana terdapat banyak benda yang aneh."

Gak Lui sekali lagi memberi hormat ke arah makam Pedang Bidadari Li Siok-gim, lalu bangkit dan tinggalkan guha rahasia itu.

SEBELAH SELATAN dari puncak gunung situ, adalah sebuah hutan bambu. Sebuah bangunan bertingkat dari bambu, didirikan pada karang gunung.

Dari sebelah luar, memang bangunan bambu bertingkat itu tak tampak. Tetapi dari dalam bangunan bambu bertingkat itu dapat melihat dengan jelas ke seluruh penjuru.

Satu-satunya jalan menuju ke rumah bambu bertingkat itu hanya melalui sebuah jembatan-goyang terbuat dari bambu dan rotan.

Pada saat tiba di jembatan itu, Gak Lui menjerit ngeri. Ternyata jembatan itu tak kurang dari 10 tombak panjangnya. Di bawahnya terbentang lembah yang curam sekali. Sebelum kaki melangkah ke jembatan, tubuh sudah seperti bergoyang-goyang mau jatuh. Kecuali memiliki ilmu Meringankan-tubuh yang tingg orang harus merangkak melalui jembatan itu.

Pula di atas jembatan gantung itu penuh dihias dengan bambu yang runcing. Bambu2 runcing itu sengaja dipasang miring. Seolah-olah untuk menyongsong tubuh orang yang bergontai.

Setelah memperhatikan beberapa saat, Gak Lui kerutkan alis.

„Adik Mey, pada waktu engkau datang, apakah engkau melihat jembatan ini? " tanyanya.

„Pertama kali mengobati bibi guru, belum ada. Tetapi datang yang kedua kalinya untuk mengubur bibi guru baru terpasang. "

„Lalu bagaimana engkau melintasinya?"

„Aku tak melintasi karena bibi guru menggeletak rubuh di kaki karang ini," sahut Siu-mey seraya menunjuk ke sebuah batu karang besar:

„Dan di situ bibi guru telah meninggalkan cara untuk melintasi jembatan," tambahnya.

Gak Lui berpaling. Dilihatnya pada karang itu memang terdapat beberapa tulisan:

Tabahkan nyali, melintasi jembatan. Tak boleh berloncatan, pun tak boleh berhenti.

Harus gunakan pedang menyiak bambu, tetapi jangan sampai dipapas kutung. Jika tak mampu melakukan, tak boleh masuk!.

Gak Lui kucurkan keringat dingin. Diperhatikannya bambu2 runcing yang menghias jembatan itu rapat sekali dan amat kokoh. Ilmu melayang jauh dengan jurus Rajawali-pentang-sayap, hanya dapat digunakan untuk melambung ke udara. Sukar untuk dilakukan melayang secara mendatar.

Pula ilmu pedangnya, mempunyai daya gerak istimewa untuk memapas pedang. Jika tak diperbolehkan memapas kutung bambu itu, memang sukar sekali.

Gak Lui termenung-menung.

„Engkoh Lui, apakah engkau mempunyai daya untuk melintasi ....."

„Engkau tak mengerti, biarlah kupikirnya sendiri!" tukas Gak Lui.

Merah wajah Siu-mey. Diam2 tekadnya untuk belajar ilmu silat makin besar.

Gak Lui tak menghiraukan. la terus memeriksa jembatan itu. Tetapi sampai hampir setengah hari, belum juga ia menemukan akal.

Tiba2 pandang matanya. seperti melihat bibi gurunya muncul. Dan bibi guru itu berlincahan seperti tatkala bertempur dengan ia di gunung. Gerak langkahnya amat lstimewa, tangkasnya bukan kepalang. Pedang bibi gurunya waktu itu seperti dimainkan dalam jurus Burung-merah-merentang-sayap dan tahu2 pedangnya Gak Lui dapat dihalau.

„Ya, benarlah!" tiba2 Gak Lui berseru girang.

Jelas bambu runcing pada jembatan itu merupakan seperti gerakan pedang lawan. Segera ia meniru gerakan bibi gurunya, maju menyerang.

Cepat sekali ia sudah tiba di muka jembatan. Matanya tetap tak berkesip memandang ke muka. Seolah-olah sedang menerjang sebuah hutan pedang yang merintangi jalannya.

Selangkah .... dua langkah .... tiga langkah. Gak Lui seperti tenggelam dalam alam persemedhian. Ia tak menghiraukan bahwa saat itu matahari mulai terbenam di balik gunung dan malampun mulai merayap datang.

---oo0oo---

DIA BAGAIKAN SEBUAH PATUNG yang tegak pejamkan mata.

Barisan bambu runcing itu terbayang melekat ke dalam benaknya.

Siu-mey tak mau mengganggunya.

Akhirnya fajar menyingsing.

Hampir semalam suntuk Gak Lui mempelajari keadaan jembatan itu dan akhirnya mulailah ia melangkah.

Pedangnya berkelebat kian-kemari.

Begitu membentur bambu penghias jembatan, tersiak tetapi tak sampai putus. Sedang jembatannya sendiri tak goncang.

Girang Siu-mey bukan kepalang, serunya : „Bagus, engkoh Lui, engkau berhasil memecahkan rahasia jembatan itu ......"

Baru ia berteriak begitu, tiba2 terdengar suara gemertak dari rumah bambu bertingkat diseberang jembatan. Tiang2 penyangga rumah bambu itu, putus dan meluncur ke dalam jurang.

„Hai . . . !". Siu-mey menjerit ngeri.

Ternyata Gak Lui sudah berhasil melintasi jembatan terus masuk kedalam rumah bambu bertingkat. Tetapi begitu hendak mendaki ke atas, tiang rumah patah dan rumah bambu itu pun ambruk. Cepat Gak Lui loncat melambung ke udara lalu melayang ke ujung jembatan. Dengan gerak yang mahir, ia melintasi jembatan itu lagi. Dan cepat sekali ia sudah kembali ke tempat semula lagi.

„Adik Mey, dalam rumah bambu itu tiada isinya apa2, seru Gak Lui dengan gembira," tetapi rahasianya terletak pada jembatan itu. Kira-nya bibi guru kuatir aku tak dapat mempelajari ilmu yang telah diberikan ketika bertempur dengan aku di guha, maka beliau menggunakan cara itu ......... hai, kenapa engkau !"

Tiba2 Gak Lui hentikan bicara dan berseru kaget ketika melihat Siu-mey tegak seperti patung dan mata tak berkedip. Gadis itu berdiri didepan karang.

Gak Lui cepat dapat menduga bahwa nona itu telah ditutuk jalan darah-nya. Dan cepat pula ia mengetahui bahwa beberapa orang yang tak dikenal, bersembunyi dibalik batu karang itu.

Demi keselamatan Siu-mey, Gak Lui tak berani gegabah turun tangan. Tiba2 ia mendapat akal. Dengan wajah tetap tenang, ia berseru : „Adik Mey, mengapa engkau terlongong saja? Masih banyak hal yang hendak kuberitahukan. kepadamu ......" secepat kilat ia lekatkan tangan kirinya kedada gadis itu lalu gunakan tenaga sakti Algojo dunia untuk menyedot. Pikirnya hendak membuka jalan darah sinona yang tertutuk.

Tetapi dalam gugupnya, ia telah salah tafsir. Dia tak ingat bahwa nona itu mengenakan baju kulit ular yang tak tembus penyaluran tenagadalam. Karena tergesa-gesa ia tak sempat mencari lain jalan darah ditubuh sinona. Tangannya meluncur kearah ketiak.

Tiba2 dari balik karang terdengar gelak tawa bergemurnh.

Seorang bertubuh tinggi besar melesat keluar dari balik karang itu.

Dan menyusul 8 orang menghunus pedang tegak berjajar dibelakang sitinggi besar itu.

Dari tindakan orang yang telah menutuk jalan darah Siu-mey dari jarak jauh, tahulah Gak Lui bahwa orang2 itu tentu tak bermaksud baik.

Dipandangnya sitinggi besar itu dengan seksama.

Wajahnya merah seperti tembaga dan bentuknya aneh.

Cepat Gak Lui melesat kedepan Siu-mey untuk melindunginya. Tetapi ternyata sitinggi besar itu hanya ganda tertawa dan mengangkat tangan memberi hormat: „Gak sauhiap, engkau tangkas sekali ....."

„Mengapa engkau kenal padaku?" tegur Gak Lui.

„Namamu amat menggetarkan dunia persilatan. Siapakah yang tak mendengar ...."

„Mengapa angkau melukai kawanku"

„Kulihat engkau sedang melintasi jembatan gantung itu. Kuatir kawanmu menjerit kaget sehingga mengganggu pemusatan pikiranmu, maka kututuk jalandarahnya. Sekarang biarlah kubukan lagi."

Tetapi Gak Lui menolak dan mengatakan: „ia dapat membukanya sendiri."

Orang itu tertegun lalu bertanya: „Mohon tanya, apakah orang yang meninggalkan tulisan pada karang itu apa masih disini? Dan siapakah kiranya locianpwe itu ?"

,,Beliau ....." tiba2 Gak Lui merasa bahwa orang itu memang mencurigakan maka cepat ia beralih jawaban: „Sekalipun disini tetapi tak mau bertemu orang. Bahkan namanya pun tak mau –memberitahukan.

„Lalu apakah dia juga yang membunuh rombongan Lembah mati itu ?"

„Ada hubungan apakah engkau dengan mereka? Mengapa engkau begitu memperhatikan sekali ?" Gak Lui Was bertanya.

„Kami kebetulan lalu disana dan merasa heran."

Gak Lui makin curiga. Dipandangnya orang itu dengan tajam, tanyanya: „Siapakah saudara ini ? Maukah saudara memberitahukan nama?"

„Aku Rajawali-mas-bersayap-besi Oh Toa-hay," kata sitinggi besar lalu menunjuk kearah delapan orang yang berada dibelaknngnya: „dan kawan2 ini adalah Delapan-jago-pedang besi !"

Gak Lui mengangguk lalu berseru lantang : „Kalau kalian hendak bertanya tentang peristiwa gerombolan, Setan kering itu, terus terang saja, akulah yang membunuhnya. Batu2 permata merekapun telah kusimpan!"

Tetap sitinggi besar tertawa tebang; „Benarlah, dengan kepandaian sauhiap, tentu mudah sekali melakukannya ... Tetapi wajah kedelapan orang cepat berobah memberingas, Ada beberapa yang segera mencabut pedang.

Gak Lui tertawa dingin ; „Ho...!, kiranya kalian ini anak buah Maharaja, makanya bernyali besar datarg kemari !"

Wajah sitinggi Rajawali-emas-sayap-besi berobah seketika dan mundur setengah langkah, serunya „Harap sauhiap jangan menghambur fitnah aku ....."

„Sikap kalian sudah mengunjuk warna diri, tak perlu menyangkal !" tukas Gak Lui.

Tinggi besar Rajawali-emas mendengus : „Hm, tajam benar matamu! Mengapa tak lekas menyerahkan batu berlian itu .... !"

„Ha..., ha..., ha..., ha ... terimalah baik2 ini! Gak Lui merogoh kedalam saku baju lalu lemparkan sebuah benda kekaki sitinggi besar"

Melihat benda itu, sitinggi besar menyurut mundur tiga langkah, serunya tergagap : „Itu ... Amanat mati !"

„Benar...!, kalian biasa menggunakan benda itu untuk menggertak orang persilatan. Hari ini aku hendak memintakan mereka ganti jiwa kepada kalian !"

Wajah sitinggi besar makin beringas bengis. Tangan kanan mencabut pedang, tangan kiri terus hendak menyambar Amanat itu.

Tetapi Gak Lui lebih cepat. Sekali gerakkan tangan kiri, kertas Amanat itu melambung keudara dan secepat kilat pedang ditangan kanan menusuk tangan sitinggi besar.

Si Tinggi besar terkejut loncat mundur sampai satu tombak dan dengan gugup mencabut pedang, lalu memutar untuk melindungi diri.

Sebenarnya Gak Lui hendak menyusuli serangan lebih lanjut tetapi ia diserbu oleh kedelapan orang itu. Mereka menyerang dari delapan jurusan. Terpaksa Gak Lui melayani mereka.

„Hayo, kalau berani, engkau maju sekali !" serunya kepada si tinggi besar.

Rajawali-emas-sayap-besi acungkan ujung pedangnya kemuka Gak Lui. Sikapnya seperti hendak menyerang tetapi matanya mengicup ke arah kedelapan jago pedang itu.

Cepat Gak Lui mengetahui. Ia duga orang itu tentu mempunyai tujuan lain. Kemungkinan si tinggi besar hendak suruh kedelapan jago itu menawan Siau-mey.

Terpaksa ia tahan kemarahannya dan berseru: „Kalau kalian menghendaki berlian, mengapa tak mau maju mengambil kemari!"

„Jika engkau takut, aku segera tinggalkan tempat ini !" balas si tinggi• besar.

„Kalau pulang dengan tangan hampa, apakah kalian tak takut mendapat hukuman ?" ejek Gak Lui.

Ucapan itu tepat menyentuh hati rombongan Rajawali-emas-sayap-besi. Si tinggi besar mendengus lalu bersama kedelapan jago menyerang Gak Lui.

Serangan sembilan jago itu, hebatnya bukan kepalang. Batu dan debu berhamburan ke-empat penjuru. Tetapi Gak Lui tak gentar.

„Bagus....!" teriaknya, seraya mainkan pedang laksana bianglala bercengkerama di angkasa.

Tiga jurus kemudian, ia dapat mengetahui bahwa sesungguhnya si tinggi besar itu memang hebat tenaga dalamnya. Jurus serangannyapun amat ganas sekali. Apalagi ke Delapan-jago-pedang-besi itu mahir sekali bergerak secara keroyokan. Rupanya mereka terlatih dalam barisan yang lihay. Tanpa memberi isyarat, mereka masing2 dapat bergerak secara otomatis dan rapi. Maju mundur, menyerang dan bertahan sealu teratur rapi dan cepat.

Karena ditabur oleh 9 pedang yang mencurah lebat, Gak Lui tak sempat mengembangkan permainan pedangnya, dan terpaksa terdesak mundur.

Melihat itu, sambil perhebat serangan pedangnya, si tinggi besar tertawa mengekeh : „Orang she Gak, hatimu nanti hendak kukorek keluar untuk menyembahyangi adikku Setan Kering, heh..., heh..., heh..., heh ......"

Tetapi belum kumandang tertawanya sirap, terdengarlah dering gemerincing yang tajam sekali. Tubuh Gak Lui tiba2 berputar-putar dan pedang-nya berobah seperti segulung sinar yang membungkus dirinya.

Gulungan, sinar pedang itu merupakan bentuk sekuntum bunga Teratai yang tengah berhamburan mekar . . . .

Ke 9 pedang lawan yang meayerang ganas itu, terpental dan hanya berkelebatan di luar gulungan sinar pedang Gak Lui.

Ternyata Gak Lui telah mempraktekkan ilmupedang Cenderawasih-pentang-sayap-ajaran bibi gurunya si Pedang Bidadari Li Siok-gim. Dan hasilnya sungguh mengagumkan. Lawan terpancang sukar menggerakkan pedang sehingga posisinya sekarang terbalik. Dari menyerang menjadi bertahan.

Pada saat si tinggi hesar terkesiap kaget, tiba2 matanya silau akan kelebat sinar pedang, dan tring..., tring..., tring .... berhamburan pedang dari kawanan jago pedang itu. Kalau tidak terpapas kutung, pedang merekapun terlepas jatuh.

Melihat itu patahlah nyali si tinggi-besar. Secepat kilat ia berputar dan terus lari....

„Hai...!, hendak lari ke mana engkau!" dengan gunakan ilmum eringankan tubuh Awan-berarak-ribuan-li, Gak Lui apungkan tubuhnya mengejar.

Pada saat punggung Rajawali-emas-sayap-besi terancam maut, tiba2 kedelapan jago rombongan nya itu mendapat akal.

Cepat mereka lari menghampiri ke tempat Siu-mey.

Gak Lui terkejut.

Cepat ia betjumpalitan melayang balik.

Pada saat berjumpalitan di udara itu iapun mencabut pedang pusaka Pelangi. Kemudian ia taburkan kedua buah pedangnya kepada mereka.

„ Auhhh ....." terdengar dua _buah jeritar. ngeri dan dua orang. yang lari paling depan rubuh dengan dada tertembus pedang.

Setelah itu Gak Lui lontarkan pula pukulan sakti Algojo-dunia. Seketika terdengar pula dua buah jeritan ngeri. Seorang terlempar ke dalam lembah dan seorang mudur terhuyung-huyung sampai lima enam langkah, lalu rubuh dengan kepala pecah ........

Tetapi Gak Lui niasih kalah cepat dengan sisa keempat ;ago pedang yang tetap lari ke tempat Siu-mey atu. Apalagi Gak Lui sudah melayang turun dan harus menginjak tanah lagi untuk melakukan loncatan yang kedua.

Keempat anggauta Delapan jago-pedaag-besi itu dengan buas larl menyergap gadis-ular Siu-mey yang saat itu tetap masih tak berkutik.

Gak Lui kucurkan keringat dingin ...........

---oo0oo---


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar