BAB 06. SI GADIS DARI GUHA
ULAR
,,Eh, engkau ta Percaya?"
tegur dara itu demi melihat Gak Lui bersangsi, „kutahu berjenis bunga dan
rumput yang aneh. Ketika berada di luar guha aku telah makan rumput
Panah-mas-wangi. Setelah menelan diriku, ular itu terpaksa memuntahkannya lagi.
Akhirnya kami jadi sahabat. Selama bertahun-tahun ini, aku banyak belajar
darinya mengenai cara tidur dimusim rontok, bernafas ....... "
„Tidak, itu bukan ilmu
bernafas!" tukas Gak Lui, ,,memang dalam ilmu silat terdapat suatu
pelajaran yang disebut KURA2 BERNAPAS. Pelajaran itu diambil dari cara2
binatang bulus bernafas dalam air. Teori kura2 dan ular tidaklah sejenis.
Dengan begitu engkau telah meyakinkan suatu ilmu yang istimewa. Kelak tentu
amat berguna dalam usaha mencari ayahmu ........."
,,Sayang aku tak dapat silat
....., tetapi maukah engkau mengajari aku?"
„Ilmu-silatku, termasuk sebuah
aliran istimewa yang mungkin dapat mengundang perhatian musuh. Oleh karena itu
lebih haik jangan"
„O......., ini tak boleh, itu
tak boleh! Kalau begitu lebih baik aku tak keluar dari sini saja!" sidara
mendesah geram....., kelak apabila ketemu ayah, dengan ilmu pengobatannya tentu
dapat mengenali diriku ....... "
Dengan ucapan itu sidara
hendak mengatakan bahwa ia kuatir kalau ayahnya dapat mengetahui dirinya sudah
bukan gadis lagi. Tetapi karena sungkan mengatakan kata2 itu, ia berkata dengan
tak jelas.
Tetapi Gak Lui tak menyadari
hal itu. Dengan terus terang, ia berkata: „Orang tuaku telah dicelakai orang.
Dan untuk itu aku bersumpah hendak menuntut balas. Seharusnya engkaupun
mempunyai penderian begitu juga!"
„Kalau begitu engkau suka
membawa aku ke luar ?"
,,Ya, akan kubawa kamu keluar,
kemudian aku tetap akan menuju ketempat tujuanku dan engkaupun mencari jejak
ayahmu."
„Kalau begitu, tentang soal
pertama yang kukatakan tadi, engkau ........"
„Sekarang aku tak mau
mengucapkan kata2 manis hanya sekedar untuk mengelabuhi engkau. Tetapi setelah
sakit hati orang tuaku himpas, tentu....... tentulah ...... "
„Tentu, bagaimana.....?"
tukas gadis itu.
„ Tentu akan meluluskan
!"
Gadis itu menggigit bihir,
merenung beberapa jenak lalu bertanya dengan nada sarat: „Kalau mengembara di
dunia persilatan, apakah engkau tak jatuh cinta pada lain orang?
„Tak mungkin....!
percayalah.....!"
„Sungguh......?"
„ Dengan pedang sebagai
sumpah. Jika aku sampai berbalik haluan, biarlah mati di bawah tusukan pedang
....... "
„Dara itu bagaikan meneguk
sari madu. Cepat-cepat ia mendekap mulut Gak Lui dan rebahkan diri ke dada
pemuda itu.
Beberapa waktu kemudian
barulah mereka berpisah walaupun dengan hati berat.
Dengan wajah berseri merah dan
bertanyalah gadis itu dengan berbisik : „Sudah hampir setengah hari siapakah
namamu?"
Aku Gak Lui dan engkau? "
,,Si Ular .....”
„Huh, itu bukan namamu !"
„Aku tinggal didalam lubang
ular, hidup sebagai ular, sudah tentu bernama si Ular"
Gak Lui berbangkit serentak
dan berkata : „Jika engkau tak mau bilang, aku akan pergi sekarang juga!"
„Hi...., hi...., hi ..."
gadis ular itu tertawa geli, serunya: ,,Aku tak takut engkau pergi. Kalau tak
kutunjukkan jalannya, mungkin seumur hidup engkau tak mampu keluar dari tempat
ini.......!"
„Masakah?" seru Gak Lui
seraya memandang kesekeliling guha itu.
„Siapa membohongimu? Dalam
makam ular ini, tiada jalan keluar sama sekali. Hanya lubang terowongan untuk
jalan ular saja. Betapapun tinggi kepandaianmu, jika tak kutunjukkan jalannya,
engkau tentu akan tersesat dalam terowongan yang pelik dan tak dapat keluar
!"
Melihat tulang2 ular dan
kulit2 ular yang menumpuk setinggi bukit, diam2 mengigilah perasaan Gak Lui.
Si Ular buru2 melangkah
kemukanya dan tertawa: „Ih, hanya bersendau gurau saja, tak boleh marah! Namaku
Li Siau mey ...."
Gak Lui pun tertawa: „Hu....,
indah sekali nama itu. Apakah engkau takut kuketahui?"
„Romanku cakap tetapi engkau
tutupi dengan kedok yang mengerikan.
Apakah itu tak menakutkan aku
juga?" balas Siau-mey.
Gak Lui terkejut dan cepat2
meraba mukanya Engkau membuka kedok mukaku ini?" „Tidak! Aku hanya menduga
saja." ,,Benarkah begitu"
„Sudah tentu benar, semula aku
sibuk menolongmu, kemudian ... tak ingat memcnbuka kedok muka itu lagi."
Legalah hati Gak Lui.
Ia, menghela napas longgar.
Suatu hal yang membuat heran
Siau-mey sigadis ular, tanyanya: „Mengapa engkau takut membuka kedokmu. ,,Apakah
engkau tak angap ......"
„Aku telah bersumpah sebelum
mendapat ilmu sakti tanpa tanding tak akan membuka kedokku ini. Membuka kedok
berarti melanggar sumpah!”
Apakah aku ..... sekarang ini
engkau anggap orang luar?"
„Jangankan engkau.....sedang
aku sendiripun tak, pernah melihat muka sendiri "
,, Ai ..." Siau-mey
melengking tak percaya.
„Itu benar2 hal yang paling
aneh didunia, masakan engkau tak kenal wadjahmu sendiri!"
Gak Lui menghela napas.
„Keteranganku itu memang
benar," katanya, „aku memang tak pernah melihat wajahku sendiri. Memang
satu waktu ingin kubuka kedok ini agar dapat kuduga bagaimana raut wajah orang
tuaku itu."
„Seorang manusia tak mungkin
tak tahu wajahnya sendiri. Misalnya diwaktu cuci muka dan berkaca..........
"
„Aku dipelihara oleh ayah
angkatku. Beliau takut kalau melihat wajahku lantas teringat akan ayahku. Oleh
karena sejak kecil aku diberi kedok muka ini. Selama itu tak diperbolehkan aku
berkaca dan mencuci muka. Beliaupun berpesan apabila melintasi sungai, dilarang
menundukkan muka kepermukaan air sungai dan jangan sekali- kali membuka kedok
muka ini !"
„Ah, riwayatmu benar2 gaib
sekali !" seru sigadis ular Siau-mey.
„Sekarang masih belum dapat
diketahui jelas !”
„Musuh keluargamu itu teritu
lihay sekali !"
„Kabarnya memang amat sakti
dan ganas
luar biasa. "
„Kalau begitu........., akupun
hendak belajar silat !"
„Mengapa ? "
,,Untuk membantu engkau
menuntut balas !"
„Tak perlu!"
„Orang tuamu pun orang tuaku
juga, mengapa engkau tak memperbolehkan? "
,,Belajar silat, bukan hal
yang mudah. Harus sudah mempunyai dasar latihan yang kokoh !"
Sesungguhnya diam2 Gak Lui
memperhatikan bahwa gadis itu secara tak sengaja sudah mempelajari suatu ilmu
tenaga-dalam yang istimewa.
Tetapi kalau menilik wajahnya
yang sedemikian ayu, tak mungkin gadis itu mempunyai bakat belajar silat.
Maka sekalipun mulutnya
mengucap kata2 tadi, dalam hati diam2 ia bersangsi.
Tiba2 gadis itu melesat.
Sekali gerak dapat melesat
sampai dua tombak jauhnya. Saat itu ia berada di tepi guha.
Sambil menunjuk pada tumpukan
tulang2 ular, ia berseru : „Kalau tak percaya, lihatlah ini !"
Habis berkata gadis itu terus
mengangkat setumpuk tulang belulang ular yang beratnya tak kurang dari beberapa
ratus kati . . . . . .
Gak Lui terkejut.
Setelah Siau-mey letakkan
tumpukau tulang ular itu ketanah, barulah ia berkata dengan nada menyesal:
„Sayang aku tak dapat memberi pelajaran ilmu silat kepadamu. Apalagi anak
perempuan belajar siklat pun .... kurangleluasa !"
„Engkau tak dapat memberi pelajaran,
aku bisa berguru pada lain orang. Dan hendak kucari seorang cianpwe wanita,
masakan tak leluasa!"
„Baiklah kalau begitu. Kurasa
kita harus lekas tinggalkan tempat ini," kata Gak Lui.
„Ah..., mana boleh begitu
cepat. Aku harus berkemas kemas dan memberi selamat tinggal kepada ular naga
........ dan lagi . . . ."
„Dan lagi bagaimana?”
„Aku harus membawa dua kawan
kecil untuk kuajak pergi."
Gak Lui meluluskan.
Siau-mey cepat meluncur
kedalam persembunyian ular, sedang Gak Lui mengemasi sepasang pedang dan barang
bekalannya.
„Ah...., pedang-samudera Hi
Liong-hui dan pedang-gelombang Go Sun-hua tentu sudah celaka ditangan musuh
ganas itu. Putera tunggal dari Hi-cianpwe yang bernama Hi Kiam-gim, harus
kubantu untuk membalaskan sakit hati orang tuanya ............. demikian Gak
Lui merenung.
Kemudian pikirannya melayang
pada, Ceng Ci totiang dan anggauta Topeng besi yang bertempur dengannya itu.
Kedua orang itu benar aneh sekali.
Ceng Ci totiang memang sakti
ilmusilatnya, tetapi mengapa sama sekali tak kenal pada pedang Pelangi pusaka
partai Bu-tong-pay?
Bukankah hal itu mustahil
sekali kalau mengingat bahwa Ceng Ci itu paderi tingkatan tinggi dari partai
Bu-tong-pay!
Sedang si Topeng Besi itu,
ilmu silatnya jelas dari aliran Bu-tong-pay. Pula dia bahkan mengenali pedang
Pelangi. Begitu melihat pedang pusaka Bu-tong-pay, dia tertegun dan tak dapat
bicara ....
Terutama topeng besi yang
dikenakannya itu.
Selain aneh bentuk dan amat
tebal besinya pun penuh dengan karatan.
Apakah topeng besi itu terus
dipakaianya dan tak pernah dilepas?
Benar2 kedua orang itu
diliputi oleh kabut rahasia. Kabut itu sekarang Gak Lui belum dapat
menyingkapnya.
Tiba2 Gak Lui terkesiap ketika
ia teringat akan kata2 Ceng Ci totiang yang aneh. Paderi itu berkata: „Engkau si
Pemangkas pedang, mengapa sebentar saja sudah berada di sini?"
Jika direnungkan, jelas paderi
itu heran atas kemunculan Gak Lui di tempat itu. Jika demikian, apakah terdapat
seorang tokoh Pemangkas Pedang yang muncul dilain tempat lagi?
Benak Gak Lui dilalu lalang
oleh hal2 yang misterius sekali. Semua teka teki yang dihadapi itu, ia tak
mampu memecahkannya.
„Ah......, betapapun halnya,
yang penting aku harus mencari sumber air Pencuci Jiwa lebih dulu!"
akhirnya ia menetapkan keputusannya.
---oo0oo---
Pada saat ia masih termenung
dilamun kenangan perististiwa2 yang aneh itu, tiba2 terdengar suara desis yang
tajam.
Empat penjuru penuh dengan
gemercik sisik ular bergesek dengan tanah, menimbulkan suatu bunyi-bunyian yang
menyeramkan!
Gak Lui bergidik bulu romanya.
Ketika memandang kesekeliling, tiba-tiba hidungnya terbaur angin yang amat
anyir dan pada lain saat lima ekor ular besar meluncur tiba.
Badan ular yang sebesar dahan
kayu, bergeliatan membentuk sebuah barisan ular yang cukup tinggi.
Kelima ular besar mengangkat
kepala, menjulurkan lidah dan mengipas-ngipaskan ekornya dihadapan Gak Lui.
Karena tak tahan akan bau yang
anyir Gak Lui hampir muntah dan pingsan.
Dia tak dapat mengenali ular
mana yang telah menelan dirinya tadi.
Dalam gugup cepat ia siapkan
pedang dan memandang kearah liang makam ular sebelah dalam.
Tetapi ia tak melihat bayangan
Siau-mey.
Gak Lui makin gemetar.
Cepat ia menarik batang pedang
dari sarungnya.........
Dalam saat2 yang amat tegang
itu, tiba2 dari arah lubang sebelah dalam terdengar suitan melengking. Bagaikan
terbang sigadis ular Siau-mey meluncur keluar. Begitu melihat gadis itu, kedua
ular naga tadi segera bergeliatan memberi jalan. Pada lain kejab, gadis itupun
suduh berada disamping Gak Lui.
Gak Lui menghela napas
longgar, lalu susupkan pedang ke dalam sarung lagi.
Dengan dada berombak keras,
gadis itu bertanya: „Engkoh Lui, aku terlambat, apakah engkau kaget?"
„Ah, tak apa. Tetapi melihat
kelima ular besar itu saja, hatiku sudah goncang keras!"
„Ah...., kelima ular penjaga
makam ini, memang keluar hendak mengantar perjalanan kita. Mereka tak makan
orang. apalagi setelah makan rumput Panah-mas-harum, seharusnya engkau jangan
takut kepada kawanan ular itu!"
„Ya..., ya...., kutahu. Tetapi
mana kawan kecilmu itu? Apa sudah ketemu?"
„sudah!"
Sambil bercakap-cakap itu, Gak
Lui memperhatikan keadaan Siau-mey.
Dilihatnya gadis itu masih
mengenakan pakaian kulit ular yang gilang gemilang menyilaukan mata.
Kakinya telanjang, begitu pula
bagian dadanya. Hanya pada pergelangan tangan kiri, memakai sebuah gelang warna
emas yang aneh bentuknya.
Sedang tangan kanan memakai
gelang batu kumala putih.
Gak Lui kerutkan alis,
tanyanya : „Apakah engkau sudah selesai berkemas?"
Siau-mey mengiakan.
„Kalau begitu, mari kita
berangkat !"
Gadis ular Siau-mey segera
memberi selamat tinggal satu demi satu kepada kelima ular naga itu. Setelah itu
ia cepat menyusul Gak Lui.
Mereka menuju ke sebuah guha
berbentuk bundar yang luasnya bebarapa tombak.
Dengan lincah sekali, Siau-mey
menyusup ke dalam lubang guha seraya berseru menyuruh Gak Lui mengikuti.
Pemuda itupun segera
mengikutinya.
Ternyata dinding guha itu
sangat licin dan mengkilap sekali seperti kaca.
Dan lagi sebentar dinding kaca
itu melayang ke-atas sebentar meluncur turun.
Sesaat menggeser ke-kanan,
sesaat ke-kiri.
Tak ubahnya seperti sebuah
barisan yang amat hebat.
Dalam berjalan sebagai
penunjuk jalan itu, tak henti-hentinya mulut Siau-mey mendesis-desis pelahan.
Gak Lui pun terpaksa meniru
gerakan Siau-mey untuk merayap dengan tangan dan kakinya.
Diam2 ia mengakui, jika tiada
penunjuk gadis ular itu, tak mungkin dia mampu ke luar dari makam ular situ.
Entah berapa lama mereka
merayap itu, tiba2 Gak Lui tertiup hembusan angin dan semangatnya terasa segar.
Setelah merayap dua tiga
tombak jauhnya lagi, mereka telah keluar dari tanah.
Memandang kemuka, kira2 dua li
jauhnya tampak api penerangan dari sebuah pedesaan.
„Adik Mey.....”
„Hm ......" mendengar
kekasihnya memanggil dengan, sebutan yang mesra, gadis ular itu cepat menyahut
dengan penuh rasa bahagia.
„Sekarang kita berada
dimana?"
„Entah apa nama tempatnya,
tetapi yang jelas berada ditempat yang berlawanan arah dengan lembah."
Gak Lui tertegun, katanya:
„Sebenarnya aku ingin kembali ketempat bermula aku jatuh kedalam lembah. Ingin
kulihat keadaannya. Tetapi tak nyana engkau telah membawaku kemari."
„Aku kuatir orang yang
mencelakaimu itu masih menunggu diluar lembah. Dan lagi gunung bagian sebelah
itu ..........bukankah sudah terbakar api?"
Gak Lui serentak teringat pada
waktu melintasi puncak gunung, ia melihat dusun keluarga Hi telah menjadi
lautan api.
„Ah ..... " ia menghela
napas panjang, „baiklah tak perlu melihat. Mari kita mepuju ke desa itu"
Tetapi Siau-mey tampak meragu,
katanya: „Sudah bertahun-tahun aku tak melihat orang, Aku agak ngeri .........
"
„Kalau begitu, biarlah kupergi
membeli pakaian untukmu. Setelah itu kita cari tempat yang sepi untuk
beristirahat. Tentu engkau takkan ngeri bertemu dengan orang!"
---oo0oo---
Demikian tak berapa lama
setelah Gak Lui kembali membawa pakaian, mereka segera mencari tempat meneduh.
Kebetulan sekali mereka
mendapatkan sebuah kuil kuno yang belum begitu rusak keadaannya.
Ditingkah oleh sinar rembulan,
kedua kekasih itu duduk berdampingan. Siau-mey sandarkan kepala pada bahu Gak
Lui, sambil memandang rembulan dengan senyum bahagia.
Dalam genggaman cinta, gadis
itu seperti dimabuk kepayang.
Berada dalam sebuah kuil kuno
di tengah hutan belantara, ia merasa seperti di dalam nirwarna . . . .
Tetapi pada umumnya, detik2
bahagia itu selalu terasa berjalan cepat sekali. Tak berapa lama sudah
menjelang tengah malam.
Tiba2 bertanyalah gadis itu:
„Engkoh Lui, hendak kemanakah engkau besok pagi itu ...?"
„Kegunung Thian-gan-san mencari
sumber air Pencuci Jiwa !"
„Apakah engkau sungguh2 . . .
. tak dapat . . . . membawa aku kesana?"
„Sungguh tak dapat!" „Aku
merasa berat berpisah dengan engkau.”
„Ah, masakan manusia hidup
takan berjumpa lagi. Kuharap engkaupun mencari ayahmu dan akupun bisa
memperoleh jejak kedua orangtuaku lalu membalaskan sakithati mereka !"
„Engkoh Lui, engkau belum
memberitahukan nama ayah dan ibu !"
,,Tetapi apakah kepentingannya
kepadamu ?"
„Ih...., engkau ini memang
keterlaluan, engkoh Lui. Masakan seorang menantu tak tahu nama kedua mertuanya
........." jawab Siau-mey tersipu-sipu merah dan menunduklah gadis itu.
„Baik, tetapi sekali-kali
jangan memberitahukan kepada orang lain !"
„Sudah tentu."
„Ayahku adalah Bu-san
........”
Baru mengatakan begitu, tiba2
diluar kuil terdengar suara derap langkah orang.
Dari derap langkahnya, bukan
seorang tetapi belasan orang.
Tak berapa lama, orang2 itupun
melangkah masuk ke dalam kuil.
Sekali lihat dan dengar nada
suara mereka, tahulah Gak Lui kalau yang datang itu rombongan orang persilatan
yang memiliki kepandaian tinggi.
Salah seorang yang suaranya
kasar garang, meraung-raung dengan geram: „Celaka...! Sungguh menjengkelkan
sekali bocah Pemangkas Pedang itu.
Kita mencarinya dia menghilang
!"
„Habis memangkas pedang orang,
dia terus melarikan diri. Tentulah takut dilihat orang ........."
Demikian terdengar ocehan
beberapa orang itu yang membuat panas hati Gak Lui tetapi terpaksa menahan
kemarahannya.
Tiba2 terdengar derap langkah
seorang yang datang lagi dan berscru dengan tegang: „Kabar baik! Pemangkas
Pedang itu telah ditelan ular besar!"
Mendengar itu tergetarlah hati
Gak Lui.
Mengapa orang itu tahu
peristitiwa tersebut?
„Ah, dia tentulah mata2 dari
Maharaja!" pikiran Gak Lui dan serentak ia tak dapat menahan kemarahannya
lagi.
Mencabut pedangnya, ia
serentak menerjang keluar!
Tetapi baru pemuda itu hendak
bergerak, gadis ular Siau-mey dapat memegang lengan Gak Lui: „Engkoh Lui,
mengapa engkau ini?"
„Jangan pedulikan aku!"
Gak Lui meronta.
Walaupun tidak menggunakan
tenaga penuh tetapi tetap ia tak dapat melepaskan lengannya dari cekalan
sigadis.
,,Apakah orang yang mencelakai
dirimu itu?"
„Ya...!, mereka anak buahnya,
lekas lepaskan aku!"
Gak Lui kerahkan tenaga dalam,
siap hendak meronta.
Sekalipun tak pernah belajar
silat tetapi tanpa sengaja Siau-mey telah mempelajari ilmu mengatur pernapasan
dan tenaga-dalam dari ular naga.
Pada saat Gak Lui kerahkan
tenaga, Siau-mey pun ikut mengerahkan tenaga. Cekalannya masih kencang sekali.
„Engkoh Lui, Perlu apa engkau
mencarinya?"
„Untuk menanyakan dimana
musuhku."
„Kalau mau sungguh2 bertauya,
tak seharusnya engkau keluar."
,,Apa maksudmu?"
,,Kalau engkau yang bertanya,
mereka tentu akan memberi jawaban yang bohong. Lebih baik biarkan mereka bilang
sendiri. Nah, itulah baru boleh dipercaya!"
,,Benar juga......." Gak
Lui segera menutup pernapasan dan mencurahkan mendengarannya.
Karena lama tinggal diliang
ular, telinga Siau-mey pun lebih tajam dari orang biasa. Ia pun curahkan
perhatiannya.
Orang2 persilatan itu segera
masuk kedalam ruangan besar.
Setelah mengatur tempat duduk
masing2, maka terdengar pula suara orang yang bernada kasar dan parau itu,
membentak: „Setan Keluyuran, kemarilah!"
,,Pedang Api, menunggu
perintahmu!" terdengar orang yang dipanggil sebagai Setan Kelunyuran itu
menyahut.
„Tadi engkau mengatakan
bagaimana dengan si Pemangkas Pedang itu? Ceritakan lagi!" „Budak hina itu
sudah dimakan ular besar!"
„Ngaco belo engkau! Mungkin
karena tak berhasil mendapat berita, engkau lantas merangkai cerita yang
tidak2"
,,Percaya atau tidak, terserah
padamu. Tetapi aku bicara sesungguhnya !"
„Apakah engkau menyaksikan
sendiri?"
,,Tidak”
„Tetapi mengapa engkau begitu
yakin?"
„ Aku .... aku ..... faham
akan daerah ini.
„Semua peristiwa yang terjadi
di situ, tentu kuketahui !"
Rupanya Pedang Api tetap tak
percaya.
Wajahnya tampak muram seperti
mau marah. Tetapi salah seorang lainnya cepat melerai: „Ah..., kurasa kalian
jangan begitu. Bukankah kita bekerjasama. Jika budak hina itu memang sudah
mati, kita boleh melampiaskan kesesakan dada."
„Ah, jangan bicara seperti itu
!"
Bertanyalah Setan Keluyuran
dengan nada dingin: „Cara bagaimana saudara hendak melampiaskan penasaran
itu?"
„Aku Pedang Api, senang sekali
dapat menghajar budak itu lalu mencincangnya."
„Kalau menurut ucapanmu itu,
kita harus menarik tubuh budak itu ke luar dari perut ular. Setelah itu baru
ditantang berkelahi?"
Kata2 Setan Keluyuran itu
menimbulkan gelak tertawa orang.
Tiba2 serangkum angin keras
meniup ke arah tempat persembunyian Gak Lui.
Dengan kepandaiannya mencium
angin mengenal benda, Gak Lui mengetahui bahwa tamparan angin keras itu berasal
dari gerakan tubuh belasan orang yang berdatangan ke tempat situ.
Mereka adalah musuh2 dari Gak
Lui ketika pemuda itu berkelana ke dalam dunia persilatan untuk memamapas
pedang orang.
Gelak suara tawa dari Setan
Keluyuran masih belum lenyap kumandangnya.
Tiba2 Pedang Api menghantam
meja sembahyangan, meja berhamburan ke mana-mana.
Lalu menjerit murka : „Setan
Keluyuran, engkau berani menyindir aku ?”
Namun Setan Keluyuran au masih
tetap tertawa aneh : „Tak perlu saudara menggertak aku. Jika engkau benar2
sakti, masakan engkau sampai dikalahkan pemuda Pemangkas-pedang itu."
Bum...., bum .... terdengar
suara keras dari adu pukulan antara Setan Keluyuran lawan Pedang Api.
Kawannya yang tadi, cepat
mencegah : „Ah...., janganlah kalian berkelahi sungguh2. Kita semua orang2
gagah dari tiap2 partai persilatan. Tujuan kita bersama adalah untuk mencari
jejak budak Pemangkas-pedang itu. Tetapi jika dia memang sudah mati, besok pagi
kita tinggalkan tempat ini."
Siau-liong membisiki Siau-mey
: „Aku hendak menjenguk mereka, jangan engkau ke luar dari sini.”
„Engkoh Lui, jika engkau
sampai berkelahi dengan orang, bagai mana aku harus berbuat” tanya sigadis.
„Cepatlah engkau pergi, jangan
cemaskan diriku ....!”
Gak Lui secepat kilat sudah
melesat kemuka ruangan.
Dilihatnya dalam ruangan
terdapat 13 tokoh persilatan.
Tapi ia tak dapat mengetahui
yang manakah Setan Keluyuran itu.
Pedang Api yang sedang ribut
mulut dengan Setan Keluyuran itu, ketika melihat seorang muncul dimuka ruangan,
terkejut dan hentikan perkelahiannya.
Belasan oraung itu segera
berhamburan keluar.
„Berhenti!" bentak Gak
Lui, jangan bergerak, aku hendak bicara !"
Ketiga belas orang itu segera
mengepung Gak Lui.
Mereka menghunus senjata
masing2. Sikapnya tegang sekali.
„Aku Gak Lui, memang tempo
hari yang memapas kutung senjata saudara2. Tetapi hal itu ada sebabnya. Saat
ini hendak kuakhiri perselisihan itu!"
Mendengar itu Pedang Api
segera maju selangkah, serunya: „Dengan cara bagaimana engkau berhak mengakhiri
hal itu?"
„Jika saudara2 suka menyambut
tawaranku berdamai, kelak tentu akan kukatakan sebab-sebab-nya aku memapas
senjata saudara2 itu, agar saudara jangan penasaran!"
„Jika kami tak mau?"
„Silahkan menetapkan waktu dan
tempat, aku tentu akan melayani keinginan saudara2!"
„Beranikah engkau melawan kami
ke 13 jago pedang ini,"
„Sedikitpun aku tak gentar,
tetapi ......."
„Mengapa?”
„Aku hanya mau menghadapi yang
ke 12 orang karena yang seorang harus lenyap."
„Yang mana?"
„Setan Keluyuran!"
„Mengapa?”
„Dia adalah kaki tangan
Maharaja. Aku hendak menanyainya"
Kata2 Gak Lui itu membuat
mereka tersentak kaget.
Duabelas pasang mata mencurah
kearah seorang tinggi yang berhidung kakaktua.
Gak Lui segera menuding orang
itu, serunya: „Mengapa engkau tak lekas keluar? Tunggu apa lagi!"
Bermula Setan Keluyuran itu
terkejut gemetar tetapi pada lain saat ia tertawa mengejek.
„Atas dasar apakah engkau
memfitnah diriku?" serunya.
„Ketika aku berjumpa dengan
ular naga, hanya si Topeng Besi dan si-imam jahat Ceng Ci yang mengetahui.
Tetapi mengapa engkau tahu juga? Bukankah itu suatu bukti bahwa engkau adalah
kaki tangan durjana yang telah mengganas dunia persilatan itu!" sahut Gak
Lui.
Setan Keluyuran itu batuk2
sebentar lalu memandang kepada orang- orang disekeliling serunya:
„Saudara-saudara sudah menyatakan hendak mencincang si Pemangkas Pedang itu.
Tetapi mengapa setelah budak itu datang, saudara2 membiarkan dia mengoceh tak
keruan ........"
Pedang Api mendengus,
teriaknya: „Gak Lui cukup kuat alasannya. Jika engkau tak dapat memberi
penjelasan, hm ....... "
„Wah..., wah...., wah....,
mengapa saudara membawa perselisihan peribadi ke dalam persengketaan umum? Ah,
tak sedap dilihatlah!" seru Setan Keluyuran mengejek.
Gak Lui tak dapat menahan
kesabarannya lagi.
Memandang dengan mata
berkilat-kilat kepada sekalian orang gagah, ia berkata: „Harap saudara saudara
suka memikir selangkah. Aku hendak membalaskan kematian Lima-orang gagah dan
kedua jago Pedang Samudera dan Pedang Gelombang"
Habis berkata pemuda itu terus
bersiap hendak lancarkan pukulan Algojo-dunia untuk meringkus Setan Keluyuran.
Tetapi baru saja tangan hendak
mengayun, tiba2 dari belakang ia merasa dilanda tiupan augin keras.
Pedang Api dan rombongannya
tak mengetahui hal itu, tecapi Gak Lui segera menarik pulang tangannya dan
membentak: ,,Hai, siapakah kalian itu? Mengapa tak turun kemari, bicara terus
terang !"
Terdengar dua buah penyahutan
yang parau dari atas serambi: „Kami berdua adalah imam Wi Tun dan Wi Ti dari
Kong-tong-pay!"
Kedua imam tua itu, sederajat
kedudukannya dengan ketua Kho-tong-pay.
Kesaktiannya dalam ilmu pedang
menggetarkan sampai keempat samudra. Maka kemunculannya, benar2 sangat
mengejutkan sekalian orang.
Tersipu-sipu sekalian orang
gagah memberi hormat kepada kedua imam tua itu.
Pedang Api segera memberi
hormat dan memperkenalkan diri.
„Murid orang biasa dari
Siau-lim-pay, Tan Tay-kong, memberi hormat kepada lo cianpwe berdua!"
Setelah itu berturut-turut
mereka memperkenalkan diri sebagai Tio Lam san murid Heng-san pay, Oh Hek-bu
murid Ceng-sia pay, Ci Kok-ceng murid Kiu-hoan-bun dan lain-2...
Kebanyakan mereka adalah anak
murid partai golongan Ceng-pay.
Dan kedua imam tua itu pun
satu demi satu membalas hormat.
Kemudian yang terakhir adalah
orang yang digelar sebagai Setan Keluyuran itu.
Dengan hormat ia berkata:
„Wanpwe Lim Yan, menghaturkan hormat dan selamat datang kepada lo-cianpwe
berdua "
Melihat dia tak menyebut
partai perguruannya, imam tua Wi Ti segera bertanya: „Siapakah nama gurumu
,,Wanpwe adalah anakmurid . .
. . Hantu tulang putih . . . ."
„Oh...." seru imam tua Wi
Ti dengan dingin, kemudian memandang sekalian orang gagah
„Menilik gelagatnya, kalian
ini benar2 rombongan naga dan ular, tidak membedakan putih dengan Hitam.
Sungguh tak urus."
Mendengar dampratan imam tua
itu, Pedang Api malu dalam hati.
Buru2 ia memberi penjelasan:
„Adalah karena tak paham jalanan maka terpaksa kami mengijinkan dia ikut. Dan
lagi diapun, pernah dipapas kutung pedangnya ......"
Kedua imam tua Wi Ti dan Wi
Tun tetap. tak, senang.
Tiba2 mereka berpaling kepada
Gak Lui. Sudah tentu pemuda itu terkejut.
„Adakah, cianpwe berdua juga
hendak mencari aku?" tanya Gak Lui.
„Murid keponakanku Hian Wi
tojin telah di papas kutung pedangnya. Tentulah engkau yang memapas itu!"
„Memang benar . . . . "
„Sesungguhnya karena apa
sampai terjadi perkelahiau itu?"
„Aku mempunyai suatu sebab.
Sayang tak leluasa kuberitahukan!"
„Pedang merupakan nyawa kedua
dari seorang persilatan. Bukan saja bagi yang terpapas pedangnya tentu malu,
pun bagi perguruannya merupakan suatu hinaan besar. Sekarang murid keponakanku
telah menerima hukuman dari ketua. Kami menerima tugas untuk menyelidiki hal
itu. Jika engkau tak mau mengatakan sebanya, murid keponakanku Hian Wi itu
tentu akan menerima hukuman berat. Dilenyapkan ilmu kepandaiannya dan diusir
dari perguruan !"
Mendengar itu dengan nada
penuh sesal Gak Lui berkata : „Dapatkah kumohon pada cianpwe supaya kembali ke
gunung dan tolong sampaikan pada ketua. Peristiwa pemangkasan pedang itu bukan
tanggung jawab Hian Wi tojin. Kelak aku tentu akan datang menghadap untuk
memberi penjelasan !"
„Karena bukan tanggung jawab
murid keponakanku, maka jelas engkaulah yang bertanggung jawab. Dalam hal ini
terpaksa aku harus mencari keterangan sampai jelas!"
„Tetapi saat ini aku masih
mempunyai lain urusan yang penting. Dapatkah lain hari........”
,,Dengan susah payah, kami
baru dapat mencarimu di sini. Kurasa lebih baik sekarang juga engkau memberi
penjelasan !" desak imam tua itu.
Gak Lui merenung.
Rombongan yang dihadapinya itu
terdiri dari campuran antara Putih dan Hitam.
Dan lagi Siau-mey masih
bersembunyi di samping ruang. Berhadapan dengan sekian banyak orang dari
berbagai aliran yang berbeda-beda itu, memang memungkinkan terjadinya hal-hal
di luar dugaan ...............
Tiba-tiba Setan Keluyuran
mendapat pikiran untuk menggunakan kesempatan saat itu. Dengan tertawa ia
berkata kepada ke dua imam tua Wi Ti dan Wi Tun: „ Kata2 cianpwe tadi memang
tepat sekali. Kami kemari karena hendak mencari budak itu. Tetapi sanyang ada
beberapa kawan yang takut kepadanya. Syukur cianpwe berdua datang sehingga
urusan tentu beres ...."
Tetapi Setan Keluyuran kecele.
Kedua imam tua dari Kong-tong-pay itu membenci orang2 golongan Hitam.
Mendengar sanjung pujian Setan
Keluyuran, ke dua imam tua itu deliki mata dan menyahut dingin: „ Kalian guru
dan murid, tersohor buruk nama. Kami Kong-tong-pay tak berani menerima
petunjukmu!"
Kemudian ke dua imam itu
berpaling kepada Gak Lui, serunya : „Baiklah, kami berdua akan menonton di
samping sini. Silahkan engkau membereskan urusanmu dahulu !"
Habis berkata ke dua imam itu
terus melayang ke atas atap serambi lagi.
Tetapi Setan Keluyuran itu
memang julig sekali.
Siasat yang satutr gagal, ia
sudah siap dengan siasat lain lagi.
Tanpa malu-malu lagi ia
berseru keras : „Lain orang takut kepada budak itu, memang dapat dimengerti.
Tetapi kalau cianpwe berdua juga gentar kepadanya, benar-benar menghilangkan
muka. Dan lagi Gak Lui sebenarnya adalah anggota Topeng Besi, mata2 dari
Maharaja!"
Sudah tentu kata2 itu seperti
halilintar meledak disiang hari.
Kedua imam dari Konglong-pay
terbeliak kaget!
Begitupun sekalian orang gagah
yang hadir disitu.
Tadi Gak Lui menuduh Setan
Keluyuran itu kaki tangan Maharaja, tetapi sekarang Setan Keluyuran berbalik
menuduhnya sehingga salah seorang anggauta gerombolan Topeng Besi !
Dalam kehiruk pikukan sebagai
reaksi atas kata2 Setan Keluyuran itu, maka Pedang Api Tau Tay-kong murid
Siau-lim-si segera melangkah maju dan membentak dengan suara menggeledek:
,,Kalian berdua saling tuduh menuduh. Sebenarnya siapakah yang mempunyai bukti
yang kuat!"
Dengan tangkas, Setan
Keluyuran segera menggembor sekeras-kerasnya: „Anakbuah Maharaja tentu membawa
Amanat Takdir. Silahkan kalian menggeledah, siapakah diantara kami berdua yang
menyimpan surat amanat itu, dialah mata-mata!"
Mendengar itu Gak Lui seperti
disambar kilat kejutnya, pikirannya; „Kuambil Amanat Mati ditempat kediaman
Kelima Jago, mengapa dia tahu juga!"
Berfikir sampai hal itu, cepat
ia merabah saku bajunya . . .
„Hai, budak, kalau memang
seorang jantan hayo keluarkanlah sendiri!" teriak Setan Keluyuran.
Karena marahnya, Gak Lui
sampai gemetar.
Cepat ia mengambil keluar
Amanat Mati itu.
Seketika berobahlah wajah
sekalian orang gagah.
„Benar!, memang Amanat Mati
ini kusimpan. Tetapi Amanat Mati itu kuambil dari tempat kediaman Kelima Jago.
Hai!, Setan Keluyuran, engkau harus mengganti jiwa . . . ."
Tetapi Setan Kelujuran yang
licin bagi belut, cepat melengking: „Pembunuh sudah terang berada disini,
kalian masih tunggu apa lagi !"
Bahkan sehabis berseru, Setan
Keluyuran terus mencabut pedang hendak menyerang.
Tetapi kalah cepat dengan Gak
Lui.
Pemuda yang terbakar oleh
dendam kemarahan itu, segera hantamkan tangan kirinya keudara. Serangkum
gelombang penyedot segera melanda Setan Keluyuran.
Tubuh orang itu melengkung dan
tertarik dua langkah kemuka.
Dengan sekuat tenaga ia
berontak dan barulah dapat berdiri tegak lagi.
Tring .......! pedangnya
berhambhuran melayang keudara dan tahu-tahu meluncur ketangan Gak Lui.
Sekali hantamkan ujung pedang
ketanah, pedang Setan Keluyuran itu kutung menjadi dua.
Ilmu kepandaian merebut
senjata dari jarak jauh itu, benar2 mengejutkan sekalian orang.
Mereka belum pernah
menyaksikan ilmu yang seluar biasa itu.
Pedang Api dan rombongan
benar2 tercekam dalam kerisauan.
Antara rasa kejut, malu, dan
marah.
Tetapi beberapa orang yang
terkena pengaruh kata2 Setan Keluyuran tadi, segera maju menyerang Gak Lui.
„Menyingkirlah, jangan cari
penyakit sendiri .......!" teriak Gak Lui seraya gerakkan tangannya dalam
ilmu Algojo Dunia untk melindungi diri.
Tetapi sayang, sekalian orang
telah kehilangan daya pikir yang sadar, tidak ada seorangpun yang mendengar
seruan Gak Lui.
Sepuluh desiran angin pukulan
dahsyat dan hujan sinar pedang sama menluncur kearah Gak Lui.
Betapapun Gak Lui dengan ilmu
kesaktiannya yang aneh itu, tetap kewalahan menghadapi serangan dari 13 takoh
berilmu tinggi.
Darahnya bergolak keras,
gerakannya menjadi kacau.
Dalam keadaan secara terpaksa,
ia mencabut sepasang pedang panjang dan pendak.
Dengan demikian,
berlangsunglah suatu pertempuran berdarah yang seru.
Pedang Api Tan Tay-kong
mengeluarkan ilmu istimewa dari perguruan-nya, menyerang dengan mati-matian.
Setan Keluyuran menyerang
dengan tangan kosong.
Ia gunakan ilmu Im-Jan-jiu
atau ilmu pukulan membuat orang cacad.
Beberapa kali dalam kesempatan
yang baik, iau mencuri serangan.
Pedang panjang yang dicekal
tangan kanan, dimainkan Gak Lui dalam ilmu Menjolok-bintang-memetik-bulan. Dari
arah kedudukan yang tak terduga-duga, Gak Lui dapat gerakan pedangnya untuk
mencongkel pedang lawannya.
Sementara Pedang Pelangi yang
dimainkan dengan tangan kiri dalam ilmu Membelah-emas-memotong-kumala, bagaikan
ular yang sedang menjulur-julurkan lidahnya untuk memagut.
Hanya pagutan ujung pedang Gak
Lui itu adalah untuk memapas kutung pedang orang.
Saat itu didalam ruang biara
telah berlangsung suatu pertempuran senjata yang dahsyat sekali.
Menimbulkan sambaran angin
yang menderu-deru . . . .
Dering gemerincing dari
benturan senjata tajam, terdengar amat tajam sekali sampai memekakkan telinga.
Ilmu pedang
Menjolok-bintang-memetik-rembulan yang dimainkan Gak Lui itu memang luar biasa
sekali.
Beberapa pedang lawannya dapat
dipentalkan keudara, melambung tinggi sampai beberapa tombak.
Dibawah sinar rembulan,
pedang2 yang melayang keudara itu, sepintas pandang menyerupai bintang jatuh
dari langit ....
Ada juga yang pedangnya kena
terpapas kutung sampai pendak dan makin pendak, terpaksa harus buang tangkai
pedangnya.
Karena jika dilanjutkan,
setelah tangkai pedang pun terpapas, tentulah tangannya yang akan menjadi
korban.
Hanya dalam waktu sepenanak
nasi saja, pertempuran telah berjalan 100-an jurus.
Saat itu ke 13 tokoh2 lihay
yang semula menggunakan pedang, saat itu terpaksa hanya tinggal tangan kosong
saja.
Tetapi rupanya karena malu
campur marah, mereka semakin kalap.
Pedang terpapas habis, mereka
tetap gunakan tangan kosong untuk melancarkan serangan.
Kedua imam tua Wi Ti dan Wi
Tun, diam2 terperanjat menyaksikan kesaktian pemuda Gak Lui.
Wi Ti terus hendak turun
membantu tetapi dicegah Wi Tun.
„Melihat kepandaiannya, dia
mungkin anggauta Topeng Besi ..." kata Wi Ti.
Tetapi sambil menuding kearah
Pedang Pelangi yang digunakan Gak Lui, Wi Tun berbisik: „Dengan memakai pedang
itu jelas dia tentu pernah ke Bu-tong-san dan tak mungkin menjadi anggauta kaki
tangan Maharaja!
Dan lagi orang2 itu campur
baur tak keruan dengan golongan Hitam, biarlah mereka merasakan sedikit kopi
pahit!"
Pada saat kedua imam
Kong-tong-pay itu bercakap-cakap, Gak Luipun sudah menyarungkan pedang dan
gunakan tangan kosong untuk menghadapi serangan lawan.
Berbeda dengan pedang.
Pukutan lebih lincah dan sukar
dikuasai lawan.
Maka serangan ke 13 orang itu,
membuat Gak Lui sibuk sekali.
Pemuda itu gunakan ilmu
meringankan tubuh Burung-rajawali-pentang- sayap untuk menghindari serangan.
Gerakan pemuda itu ber-putar2
laksana seekor burung rajawali yang sedang berpesta-pora diantara kawanan
kambing.
Berulang kali susul menyusul
terdengar erang dan dengus tertahan dari beberapa orang yang terkena pukulan.
Dalam bebcrapa saat, hampir
separoh dari pengeroyok itu dapat dipukul terhuyung-huyung oleh Gak Lui.
Melihat pemuda itu makin lama
semakin perkasa bahkan lebih hebat daripada menggunakan pedang tadi, Setan
KeIuyuran menyadari bahwa apabila di lanjutkan, jelas pertempuran itu tentu
akan dimenangkan Gak Lui.
Diam2 tergetarlah hati Setan
Keluyuran.
Serentak timbul rencananya
untuk meloloskan diri.
Maka setelah melakukan sebuah
gerak serangan kosong, cepat ia melesat ke ruang samping.
Gak Lui terkejut, ia kuatir
Siau-mey masih berada dalam ruang samping itu dan tentu ditangkap Setan
Keluyuran.
Tetapi begitu perhatiannya
terpecah, saat itu juga musuh telah memburu dengan pukulan yang dahsyat dan
menguasainya lagi.
Tiba2 dari samping ruang
terdengar gelak tertawa yang cabul.
Dan menyusul terdengar
lengking jeritan ngeri dari seorang gadis.
„Celaka!" diam2 Gak Lui
mengeluh dan tertegun kaget.
Bluk..., bluk..., bluk...,
tiga buah pukulan telah melanda tubuh pemuda itu.
Seketika Ia muntah darah
........
Tetapi pemuda itu mendadak
tampak beringas sekali. Sepasang matanya berkilat-kilat memancarkan api.
Dengan kalap ia segera
melancarkan 6 buah jurus dahsyat.
Seperti mendapat kekualan
gaib, pemuda itu mengamuk laksana banteng terluka.
Dua belas jago-jago silat yang
tangguh, dalam beberapa waktu, telah berantakan.
Sebagian dapat di hantam
terhuyung-huyung oleh Gak Lui dan sebagian dapat disedot tenaga-murninya
sehingga kehabisan tenaga.
Juga Gak Lui sendiri tak
keruan keadaannya.
Mulutnya mengumut darah.
Namun dengan nekad, sehabis
merubuhkan pengeroyoknya, ia terus menyerbu keruangan samping.
Tetapi baru ia hendak
bergerak, gadis ular Siau-mey sudah melesat keluar dari ruang samping itu.
Setan Keluyuran mengejarnya.
Dengan cepat ia menutuk dua
buah jalan darah gadis itu tetapi entah bagaimana tutukannya itu selalu meleset
. . . .
„Engkoh Lui, tolonglah
aku!" teriak Siau-mey dengan ketakutan. Tetapi pada saat itu juga
tangannya dapat dicengkeram Setan Keluyuran.
Dan tepat pada saat itu, Wi Ti
totiangpun melayang turun dari atas serambi terus menutuk kedua orang, Siau-mey
dan Setan Keluyuran.
Saat Siau-mey terancam bahaya,
sekonyong-konyong Siau-mey gerakkan kedua lengannya dan bersuit aneh.
Seketika dua buah sinar emas
dan perak berhamburan dari kedua lengannya dan tahu2 gadis ular itu terlepas,
dari bahaya, terus djatuhkan diri kedada kekasihnya.
Tetapl pada saat itu juga
Setan Keluyuran tegak seperti patung, tubuhnya menggigil seperti orang
terserang penyakit malaria.
Wajahnyapun turut
berkerenyutan.
Bluk ...... tiba2 dia rubuh ke
tanah.
Demikianpun imam tua Wi Ti
totiang.
Wajahnya menampil rasa kejut
ketakutan.
Baru berjalan tiga langkah,
iapun rubuh ....
Sebelum Gak Lui tahu apa yang
terjadi dan belum sempat berbuat apa2, sekonyong-konyong Wi Tun totiang sudah
lontarkan pukulan tenaga sakti kearah mereka berdua.
Karena sedang memeluk
Siau-mey, Gak Lui tak sempat menangkis.
Terpaksa sambil melindungi
gadis itu, ia terus enjot tubuhnya melambung keudara..............
Tetapi baru melambung beberapa
meter, pinggangnya telah tersapu angin pukulan si-imam.
Bum ,.... ia terlempar
beberapa tombak.
Mata ber-kunang2 dan gelaplah
disekeliling penjuru.
Darahnya bergolak keras.
Setelah dapat meruhuhkan Gak
Lui, Wi Tun cepat melayang kesamping Wi Ti.
Dilihatnya wajah suhengnya itu
pucat lesi, napas berhenti.
Jelas terkena sebuah jenis
racun yang hebat !
Wi Tun yang biasanya amat
sabar, saat itu lupa segala apa.
Tring .....!, ia mencabut
pedang lalu menyerbu Gak Lui.
Gak Lui buru-buru
menyingkirkan Siau-mey dan mencabut pedang untuk menangkis. Cepat sekali mereka
sudah bertempur 10 jurus.
Tiba2 sigadis ular Siau-mey
seperti teringat sesuatu.
Buru2 ia menghampiri ke tempat
imam Wi Ti untuk memeriksa lukanya
Saat itu Wi Tun totiang sedang
menumpahkan seluruh tenaganya dalam ilmu pedang partai Kong-tong pay.
Hebatnya bukan alang kepalang.
Sedang Pedang Api Tan Tay keng
dan kawan sedang sibuk menolong kawan2nya yang menggeletak di tanah.
Seluruh mata rombangan Pedang
Api itu tercurah dengan penuh kebencian kepada Gak Lui.
Juga terhadap sikap kedua imam
tua Kong-tong-pay yang hanya berpeluk tangan melihat pertempuran tadi,
merekapun tak puas.
Mereka mulai makin percaya
akan keterangan Setan Keluyuran tadi bahwa Gak Lui ini seorang anggota
gerombolan Topeng Besi.
Buktinya, pemuda itu membawa
Amanat Mati dari Maharaja dan memusuhi tokoh2 golongan Putih.
Anggapan mereka terhadap sikap
kedua imam tua Kong-tong-pay itupun, agak mencurigakan.
Tentu ada maksud tertentu
mengapa kedua imam tua itu tak mau campur tangan dalam pertempuran tadi!
Dalam pada itu, pertempuran
antara Wi Tun totiang dengan Gak Lui masih berlangsung seru sekali.
Karena tak mampu mengalahkan
Gak Lui yang sudah menderita luka itu, Wi Tun totiang merasa malu dan marah.
Segera ia tumpahkan seluruh
tenaga-saktinya untuk menghantam dada lawan.
Gak Lui terkejut.
Setitik iapun tak pernah
mengira bahwa imam tua itu akan mati-matian hendak mengadu jiwa.
Dalam keadaan yang tak mungkin
dihindarinya ini, terpaksa Ia menangkis dengan tangan kiri.
Krak .... terdengar benturan
yang keras dan tersurutlah Gak Lui tiga langkah kebelakang.
Tubuhnya terhuyung-huyung
sambil tetap mencekal pedang yang dilintangkan kemuka untuk melindungi diri.
Tetapi difihak Wi Tun totiang
lebih mengenaskan. Kedua tangan imam tua itu melentuk lunglai, kedua kaki lemas
dan rubuhlah imam itu ketanah . . . .
Hening lelap. Suasana ruangan
tampak menyeramkan.
Beberapa sosok tubuh malang
melintang menggeletak dilantai.
Beberapa saat kemudian, tampak
gadis ular Siau-mey bangkit terus menghampiri ketempat Gak Lui.
Dilihatnya dada sang kekasih
itu berombak keras; wajah merah membara dan tegak seperti patung.
Jelas kekasihnya itu tentu
menderita kesakitan yang hebat.
,,Engkoh Lui, engkau ......
bagaimana?"
,,Lekas . . . papahlah aku
........ duduk........."
BAB 07
SEPASANG MANUSIA BERKEDOK
Siau-mey segera membantu
kekasihnya duduk disamping Wi Tun totiang. Dengan susah payah Gak Lui letakkan
pedang lalu lekatkan tangannya keperut imam itu.
Dengan pelahan ia salurkan tenaga-murni
Wi Tun yang disedotnya itu ke dalam tubuh siimam itu.
Tak berapa lama, Gak Lui
merasakan getaran hatinya agak tenang dan rasa sakitnyapun berkurang.
Juga Wi Tun totiangpun mulai
kembali tenaganya, Akhirnya tersadar dan membuka mata. Sebelum kedua orang
saling berbicara, Wi Ti totiangpun yang tadi telah ditolong Siau-mey sudah
bangun lalu menghampiri ketempat mereka.
Demikianlah, keempat orang itu
saling menuturkan pengalaman masing2. Wi Ti totiang mengatakan bahwa tutukannya
tadi sebenarnya hendak mencegah Setan Keluyaran mencelakai Siau-mey.
Tetapi dalam gugup, Siau-mey
telah meronta dan membalas menutuknya hingga rubuh.
Gak Luipun segera menuturkan
tentang Amanat Mati yang diambilnya dari desa kediaman Kelima jago. Kini kedua
imam Kong-tong-pay itu menyadari kesalahan faham mereka. Mereka memberi hormat,
menghaturkun terima kasih karena telah ditolong dari bencana maut. Setelah itu
mereka minta diri dan tinggalkan tempat itu.
Tetapi. tiba-tiba Gak Lui
teringat sesuatu serunya: „Harap totiang berdua suka berhenti sebentar. Aku
hendak mohon bertanya."
„Ah, Gak siauhiap tak perlu
sungkan ..."
„Mohon tanya, apakah diantara
anak murid partai totiang ada yang lenyap pada 18 tahun yang lalu ?"
Kedua imam tua itu saling
bertukar pandang lalu berkatalah Wi Ti totiang: „Jika lain orang yang tanya,
kami tak leluasa memberi keterangan, Tetapi karena kalian berdua telah menolong
kami, maka tak enaklah kalau kami merahasiakan soal itu . . . . "
Demi kehormatanku, tak nanti
kubocorkan rahasia itu kepada lain orang. Pula akupun masih ada soal yang
penting akan kuberitahukan kepada totiang"
„Yang lenyap dari salah
seorang Tujuh-jago-pedang Kong-tong-pay itu adalah toa suheng kami Wi Cun
totiang"
„Oh ......, bagaimana dengan
kelakuan Wi Cun totiang?"
„Cukup baik, tetapi
.........."
„Tetapi bagaimana"
„Perangainya keras sekali,
kurang ramah tamah."
„Mungkin dia telah berobah
perangainya sehingga melakukan sesuatu hal yang diluar dugaan, benarkah?"
„Hal itu .... aku tak berani
memastikan, pun tak dapat menyangkal . . ."
Gak Lui merenung sejenak lalu
berkata dengan nada sungguh2: „Adaikata dia telah menggabungkan diri pada
golongan hitam, misalnya menjadi kaki tangan Maharaja, bagaimanakah tindakan
partai totiang terhadap dirinya?"
„Sudah tentu akan dijatuhi
hukuman sebagai murid murtad! Tetapi hal itu harus ada bukti yang benar2
meyakinkan!"
„Bukti ...... ?”
,,Sudah tentu hurus ada bukti
itu. Dan ucapanmu itu seperti memberi isyarat secara diam2 tentang sesuatu
hal!"
Gak Lui menuturkan tentang perjumpaannya
dengan imam Ceng Ci totiang yang menyatakan hendak mengadakan pembersihan pada
partai Bu-tong-pay.
Wi Ti dan Wi Tun terkejut
sekali.
Berserulah kedua imam itu
dengan serempak: „Hubungan Kong-tong-pay dengan Bu-tong-pay boleh dikatakan
adalah seperti kaki dengan tangan. Soal itu kami tak dapat tak mengurusnya
......... Dan lagi turunnya Ceng Suan tutiang dari gunung pastilah untuk hal
itu juga!"
Kali ini Gak Lui lah yang
tergetar hatinya. Bukan karena takut rombongan Bu-tong-pay akan meminta kembali
pedang pusaka Pelangi dari tangannya. Melainkan cemas akan tindakan Ceng Suan
totiang itu. Dengan kepergian ketua Bu-tong-pay dari gunung, musuh mudah
menggunakan kesempatan itu untuk mengganggu markas Butong-pay.
Setelah menenangkan
perasaannya, Gak Lui berkata: „Karena Bu-tong-pay telah mengalami peristiwa
itu, kuharap partai Kong-tong-pay juga barus meningkatkan kewaspadaan agar
jangan tertimpah sesuatu yang tak diharapkan"
„Terima kasih atas peringatan
Gak sauhiap. Kami tentu akan segera melaporkan hal itu kepada ketua!" kata
kedua imam itu lalu memberi hormat dan terus pergi.
Pada saat. Gak Lui berputar
tubuh, barulah ia teringat akan Setan Keluyuran. Ketika diperiksanya ternyata
orang itu sudah mati. Kaki tangannya menyurut kecil, wajahnya perot dan
lulitnyapun pucat seperti kertas Apabila disentuh jari, kulit mukanya itu sudah
membusuk.
„Aneh .... mengapa dia mati
sengeri begitu?" diam2 Gak Lui bertanya kepada dirinya.
„Dia mati digigit si
Kumala!" tiba2 sigadis ular Siau-mey menyahut..........
„Kumala?”
Siau-mey geliatkan tangan
kanannya lalu melolos rantai kumala yang melingkar ditangannya itu.
,,Ho....., itulah . . . sahabat kecil-mu?"
Siau-mey mengiakan, lalu
bersuit nyaring. Nadanya tak kalah nyaring dari suitan Ceng Ci totiang ketika
memanggil anggauta Topeng Besi.
Begitu mendengar suitan
Siau-mey, rantai kumala ditangan Siau-mey itu, hergerak. Rantai itu dapat
mengangkat keatas, memantulkan sebuah kepala binatang yang berbentulk segi
tiga.
„Oh, kiranya seekor ular berbisa!"
seru Gak Lui.
„Benar, racunnya memang ganas
sekali. Apabila menggigit orang, dalam waktu paling lama satu jam, orang tentu
cair jadi air!"
„Kalau begitu, Wi Ti totiang
rubuh tadi bukan karena engkau totok tetapi karena digigit ular emas
itu?!"
„Ya, benar! Imam itu memang
digigit si-Emas. Karena Wi Ti totiang itu tergolong aliran Putih maka kuberinya
pertolongan!"
„Ah........" Gak Lui
menghela napas, „Setan Keluyuran itu sebaiknya jangan mati dan harusditolong.
Dia adalah kunci rahasia dari musuhku. Aku dapat mengorek keterangan dari
mulutnya........"
Siau-mey tersipu-sipu merah.
Sejenak merenung ia berkata: „Tetapi dia tak dapat ditolong lagi ......... eh,
mengapa engkau tak coba2 menggeledah badannya? Mungkin dapat diketemukan suatu
petunjuk!"
Gak Lui menurut. Ketika
mengeledah pakaian Setan Keluyuran, ia berhasil menemukan sebuah lencana emas
yang aneh bentuknya. Diatas lencana itu diukir huruf : „Menteri dari
Maharaja".
„Hm, kiranya lencana ini
merupakan tanda pengenal mereka ......" pikir Gak Lui. Dan ketika membuka
bekal Setan Keluyuran, ia menemukan lagi sehelai kain 'biru penutup kepala dan
muka. Itulah sarung kepala yang biasa dikenakan anggauta Topeng Besi !
Gak Lui menyimpan kedua benda
itu dibajunya.
Tiba2 Siau-mey menanyakan
perihal Amanat Mati yang menyebabkan Gak Lui diserang rombongan Pedang Api
tadi.
„Engkoh Lui, perlu apa engkau
menyimpan benda2 itu? Bukankah hal itu akan menimbulkan faham orang?" kata
Siau-mey.
„Soal itu tak perlu engkau
tanyakan. Kelak tentu ada gunanya bagiku!"
Perangai gadis ular Siau-mey
memang lemah lembut. Ia tak mau berbantah lagi. Kemudian ia menarik tangan
kekasihnya dan berkata dengan mesra : „Engkoh Lui, orang2 sudah pergi, mari
kita masuk dan beristirahat ke dalam ruangan."
Tetapi saat itu hari sudah
fajar.
Gak Lui gelengkan kepala:
„Kita . . . . saat ini harus berpisah."
„Berpisah ?" Siau-mey
terkejut.
„Sesungguhnya aku tak tega
kalau engkau seorang diri berkelana. Lebih baik cari suatu temtpat yang aman
dan engkau menetap sementara disitu.”
„Tidak..., tidak....!"
rupanya Siau-mey mempunyai lain rencana, „aku mempunyai si Kumala, si Emas dan
ular Pelangi serta akupun memiliki ilmu jaga diri. Aku dapat pergi, seorang
diri!”
„Kapan engkau memiliki
kepandaian jaga diri itu ?"
„Dulu sewaktu masih tinggal di
makam ular, sering kulihat kawanan ular besar itu saling bergurau. Tanpa
sengaja mereka masing2 mengeluarkan kepandaian berkelahinya. Tadipun telah
kugunakan sebuah sapuan tangan dan kaki untuk merubuhkan Setan Keluyuran. Kalau
tidak, masakan aku dapat lolos dari ruang samping !”
Kalau begitu sebenarnya engkau
memang mempunyai kepandaian bela diri. Hanya saja karena gugup menghadapi
musuh, hampir saja engkau kena disergap orang ....... "
„Kelak aku takkan takut lagi.
Barang siapa menghinaku, tentu takkan kuberi ampun!" kata Siau-mey.
„Bagus" Gak Lui memuji.
Keduanya segera keluar dari ruang itu. Setelah tiba di-jalan besar, mereka
segera berpisah.
„Kudoakan engkau dapat
menemukan ayah-mu !" kata Gak Lui.
„Kuharap engkaupun dapat
menemukan sumber air. Pencuci Jiwa!" balas Siau-mey.
Setelah saling berpelukan,
kedua kekasih ini segera berpisah. Gak Lui bergegas-gegas menuju kearah tempat
sumber air Pencuci Jiwa.
SETELAH kekasihnya itu lenyap
dari pandangan mata, Siau-mey berkata dalam hati : „Engkoh Lui, aku benar2 tak
tega. Akan kuikuti engkau secara diam2 Tak peduli ke Nirwana atau ke
Neraka............
Betapapun jauh larimu, tetapi
dengan membaui napasmu aku tentu dapat mencarimu!"
Setelah menentukan rencananya,
gadis ular itupun segera melesat menyusul kearah tujuan Gak Lui.
Setelah dua hari metaempuh
perjalanan, barulah Gak Lui menyadari bahwa lukanya masih belum sembuh sama
sekali. Tenaganya belum pulih. Ia merasa cemas lalu membiluk ke sebuah tikungan
gunting. Maksudnya hendak mencari tempat yang aman untuk melakukan penyaluran
napas.
Pada saat ia menyusup ke dalam
sebuah hutan untuk mencari tempat beristirahat, tiba2 dari belakang menghembus
serangkum angin dan menyusul terdengar suara orang membentak: „Hai, pendatang,
lekas hunus pedangmu!"
„Menghunus pedang?" Gak
Lui heran.
„Benar, dan engkau boleh mulai
menyerang dulu!" kata orang itu.
Gak Lui makin kaget. Nada
ucapan itu persis seperti ketika ia turun gunung dahulu dalam rangka memapas
pedang tokoh2 persilatan untuk dibawa menghadap ayah angkatnya.
Secepat kilat Gak Lui berputar
tubuh untuk melihat orang yang menggertaknya itu. Dan astaga .... hampir saja
ia menjerit kaget!
Dan orang itupun juga menjerit
kaget!
Kiranya yang dihadapi Gak Lui
itu juga seorang yang memakai kerudung hitam. Kepala dan mukanya tertutup.
Dandananya persis seperti dirinya.
Orang itupun demikian juga. Ia
terkejut karena Gak Lui menyerupai dirinya.
Memang sepintas pandang
keduanya hampir menyerupai satu sama lain. Tetapi sesungguhnya ada juga bedanya.
Gak Lui lebih tinggi dari orang itu. Dan kedok muka yang dipakainya itu agak
beda bentuknya dengan orang itu. Begitu pula orang itu pedangnya hanya
sebatang. Sekalipun hegitu, memang sukar membedakan mereka.
„Siapa engkau!" orang itu
menegur lebih dulu. Dari nada dan sinar matanya serta baris gigi yang masih
penuh dan putih, jelas orang itu masih muda.
,,Aku Gak Lui sahut Gak Lui.
Diam2 ia menimang, tentulah orang itulah yang telah keliru disangka oleh Ceng
Ci totiang sebagai si Pemangkas Pedang.
„Hm, bangsa kerucuk yang tak
berharga. Lekas hunus pedangmu!" seru orang itu.
„Siapa engkau " seru Gak
Lui.
„Tuanmu ini adalah si
Pemangkas Pedang, mengapa masih bertanya lagi!"
„Ha, ha, ha . . . !" Gak
Lui tertawa ter-gelak2
„kalau engkau benar2 dia,
engkau telah melanggar sebuah peraturannya!"
„Peraturan apa?"
„Selama berkelana memapas
pedang orang, dia tak pernah menanyakan nama orang. Kecuali orang itu
mengatakan sendiri !"
„Oh ...... apakah engkau
......" orang itu gemetar tubuhnya dan maju tiga langkah kemuka.
„Tak usah engkau tanya! Mari
kita sama2 menghunus pedang dan lihatlah siapa yang lebih tangkas
Tring ........ secepat menarik
pedang orang itu terus menyerang Gak Lui. Gak Luipun mencabut pedangnya tetapi
tak sampai mengeluarkan suara begitu gemerincing.
Cepat kedua sudah
melangsungkan 10 jurus serangan, Gak Lui dapatkan tenaga-dalam orang itu masih
lemah tetapi permainan pedangnya hebat dan aneh sekali. laksuna gelombang
samudera yang susul menyusul mendampar. Menyerang tetapi lincah bertahan.
Sesaat Gak Lui tak mampu menemukan kelemahan lawan.
Berhadapan dengan seorang
lawan yang dandanan dan umurnya sebaya, timbullah kegembiraan Gak Lui untuk
memenangkan pertempuran itu. Pikirnya: „Hm, engkau mengaku sebagai si Pemangkas
Pedang. Akan kuberi contoh bagaimana cara memangkas pedang orang!"
Seketika Gak Lui robah
permainan pedangnya, menjadi hujan sinar yang mencurah kepedang lawan.
Orang itu mendengus hina dan
berani menangkis.
„Bagus!" seru Gak Lui
seraya menambahkan tenaga-dalamnya. Pedang berputar laksana angin puyuh dan
ujung pedang orang itu pasti terpapas.
Tetapi ternyata orang itu
sudah siap. Pada saat pedangnya terancam kutung, dia malah maju selangkah dan
secepat kilat merogoh baju.
Tring . . . . terdengar suara
berdering dan tahu2 sebatang pedang pendek secepat kilat memapas pedang Gak
Lui. Cepat bukan kepalang sehingga lawan tentu tak sempat menarik pedangnya
lagi.
Dalam gugup, Gak Lui cepat
menarik pedang Pelangi dari bahunya dan terus disongsongkan.
Tring ...........terdengar
benturan pedang yang melengking nyaring sekali sehingga telinga kedua orang itu
serasa mau pecah. Mereka sama2 loncat mundur setombak lalu memeriksa senjata
masing2. Ternyata pedang mereka itu sama2 tak kurang suatu apa.
Pemuda yang mengaku sebagai Pemangkas
Pedang itu menyadari bahwa dirinya takkan menang melawan Gak Lui. Setelah
mendengus geram, tiba2 ia berputar diri terus lari ........
Cepat Gak Lui loncat dan
mencekal tangan pemuda,itu, serunya : „Saudara Hi, jangan pergi...."
„Siapakah saudaramu itu!"
bentak pemuda itu seraya meronta sekuat-kuatnya.
Gak Lui terpaksa lepaskan
cekalannya dan dengan menahan kemarahan berkata; „Engkau tentu Hi Kiam-gin,
putera dari Hi Liong-hui Locianpwe."
„Mengapa engkau tahu?"
pemuda itu gemetar bibirnya.
„Aku bernama Gak Lui. Ayahmu
minta tolong kepadaku ....... "
„Minta tolong apa?"
„Beliau mengatakan perangaimu
......." „Perangaimu agak keras.
Dikuatirkan di luarkan akan
menimbulkan keonaran.
„Apakah beliau ..... minta
engkau memanggilku pulang?"
„Tidak!" teringat hahwa
keluarga Hi Lionghui sudah berantakan dan pemuda itu tiada mempunyai rumah
lagi, maka Gak Lui terpaksa me.nyangkal, katanya: „Hi cianpwe hanya minta
kepadaku supaya melindungi engkau."
Orang berkedok dan mengaku
sebagai Pemangkas Pedang memang ternyata, adalah Hi Kiam-gin, putera dari
Pedang Samudera Hi Liong-hui.
Pemuda itu tertawa ewah:
„Ah..., kita tak jauh terpautnya .... kepandaian kita berdua, ditambah dengan
pedang yang dapat memapas segala logam, sama2 mempunyai kemampuan untuk berdiri
dengan kaki sndiri. Baiklah, buka kedokmu dan beritahukan umurmu. Entah
siapa.yang lebih tua"
„Maaf, aku tak dapat membuka
kedokku ini. Mengenai umur, engkau lebih tua setahun dari aku......"
„Ha..., ha..., ha .... kalau
begitu aku menjadi toako. Sejak saat ini dalam segala hal engkau harus
mendengar perintahku."
Kareni gembira menjadi toako
atau engkoh, sampai lupalah Kiam-gin tentang permintaannya kepada Gak Lui
supaya membuka kedoknya itu.
„Memang seharusnya aku
menyebut engkoh Gin, tetapi ada beberapa hal yang engkau harus meluluskan
!"
„Gak- te silahkan
bilang!" kata Kiam-gin seraya menyimpan pedangnya Ia membahasakan Gak Lui
dengan sebutan Gak-te atau adik Gak. Mereka berdua duduk bercakap-cakap.
„Pertama, harap engkau, suka
kembali mengenakan pakaian seperti semula"
„O.......!" Kiam-gin
menjerit kaget, „kembali dalam pakaian semula yang bagaimana?"
„Mudah saja! Lepas kedok
mukamu dan tak usah menyebut dirimu sebagai si Pemangkas-pedang. Karena itu
berbahaya sekali!"
Hi Kiam-gin menghela napas
longgar. Ia segera melepaskan kedoknya, tampak alis yang melengkung indah dan
bibir merah berisi gigi putih mengkilap. Benar2 seorang pria yang cakap sekali.
Malah lebih tepat dikata cantik.
„Kedua, siapa saja yang telah
kau papas pedangnya ? Dan apakah selama itu pernah terjadi sesuatu" tanya
Gak Lui pula
„Sebatangpun belum pernah
dapat kupapas .... karena begitu kuberitahukan nama Pemangkas pedang, orang2
itu terus ngacir pergi ...."
„Apakah tak pernah ada yang
lebih sakti dari engkau?"
„Ada juga . . . "
„Lalu bagaimana engkau dapat
meloloskan diri"
„Kecuali pedang, Hi-jong-kiam
(Usus ikan), aku masih mempunyai dua macam pusaka lagi!"
„Apa ?”
„Engkau kenal ayahku, mengapa
engkau tak tahu akan dua macam senjata api dari keluarga Hi?”
„Waktu amat singkat, tak dapat
banyak bercakap-cakap”
„Kalau begitu, aku beritahu
padamu!" Kiam-gin mengambil sebuah Kim-long atau kantong-kantong dan
mengeluarkan dua butir pelor. Yang satu hitam, satu merah.
„Yang merah ini disebut
Api-sakti dan yang hitam disebut Kabut penyesat. Bukan saja, aku dapat melempar
dengan tetpat pun juga dapat membuatnya sendiri. Cobalah engkau lihat dayanya
dulu!”
Ia terus lontarkan kedua pelor
itu kearah sebatang pohon kecil yang berada 10 tombak jauhnya. Bum . . . bum .
. . terdengar dua buah letusan. Api-sakti memuntahkan sinar terang seluas satu
tombak, membakar habis pohon itu. Dan menyusul Kabut-penyesat tadipun
mengembangkan gumpalan kabut tebal. sehingga-keadaan sekelilingnya gelap
gulita.
Kiam-gin tertawa dan menepuk
bahu Gak Lui: „Bagus sekali, bukan? Dulu ketika, berhadapan dengan musuh yang
lihay, kuhadiahkan dia sebuah pelor Asap-penyesat. Dia pusing dan menyasar
kelain jurusan ........eh, kalau engkau suka, kuberimu beberapa butir!"
„Tak usahlah, aku tak memerlukannya,
pakailah sendiri saja!"
„Akn punya banyak sekali.
Sewaktu pergi dari rumah, diam2 kubawa setengah kantong!"
„Oh...., jadi engkau pergi
secara diam2"
„Ayahku tak mengdinkan aku
keluar, terpaksa kuambil langkah begitu!"
Seketika Gak Lui teringat
ketika tempat kediaman kedua jago Pedang Gelombang dan Pedang Samudera
terdengar ledakan. Kiranya mereka memang mempunyai persedian pelor semacam itu.
Diam2 Gak Lui tak setuju akan
tindakan
Kiam-gin yang minggat dari
rumah. Tetapi dilain pihak, diam2 ia girang. Karena dengan kepergiannya itu,
Kiam-gin lolos dari bencana pembunuhan yang menimpa keluarganya.
Sesaat Gak Lui agak bingung
Haruskah ia memberitahukan tentang keadaan keluarga Hi itu kepada Kiam-gin?
Ia merasa telah menerima
permintaan tolong dari Hi Liong-hui untuk melindungi puteranya. Tetapi dengan
cara, bagaimanakah ia akan melaksanakan hal itu. Demikian Gak Lui
termenung-menung memikirkan hal itu..........
„Eh, mengapa engkau tak
bicara?" tiba2 Kiam-gin menegurnya. Gak Lui gelagapan dan dengan gugup
berkata: „Aku tak menghendaki senjata gelap. Aku hendak belajar ilmu kesaktian
yang tanpa tanding didunia. Membunuh si Hidung Gerumpung dan membalas sakit
hati keluargaku ......"
„lh, siapakah Hidung Gerumpung
itu? Mengapa terdapat tokoh persilatan yang begitu lucu namanya? Hayo, lekas
ceritakan kepada engkohmu. Gin!" seru Kiam-gin.
Gak Lui merasa kelepasan
ornong. Tetapi karena sudah terlanjur ia tak dapat menyangkal lagi. Terpaksa ia
merangkai sebuah cerita tentang si Gerumpung yang misterius itu.
„Hm..., sungguh aneh dan ganas
benar manusia itu! Aku akan menemani engkau keliling keseluruh pelosok dunia
untuk mencarinya. Jika belum ketemu, aku takkau meninggalkan engkau...."
Tetapi belum selesai ia
berkata, Asap penyesat yang dilepaskan tadi mcmuncratkan api, panasnya bukan
main. Beberapa pohon disekeliling hancur meledak.
,,Api akan merangas kemari,
hayo kita cari lain tempat ....!" kiam-gin terus menyeret lengan Gak Lui.
Setelah lari lima enam li, barulah mereka mendapat sebuah tempat yang sesuai.
Tetapi asap hitam itu telah
menyulitkan si gadis ular Siau-mey. Ketika ia tiba di tempat itu, ternyata Gak
Lui sudah pergi sehingga Siau-mey kehilangan jejak Barulah setelah makan waktu
lama sekali, ia berhasil ketemu dengan kekasihnya lagi.
SETELAH beristirahat ditempat
yang baru, berkatalah Kiam-gin dengan wajah sungguh2: „Sekarang kita harus
melakukan upacara mengangkat saudara!"
Demikian kedua pemuda itu
segera mengikrarkan sumpah mengangkat saudara. Senang bersama, susah berdua.
Setelah selesai, Kiam-gin
menghampiri Gak Lui, ujarnya: „Gak-te, demi kepentingan membalas sakit-hati
musuhmu, sukalah engkau mengajarkan ilmu pedangmu yang istimewa itu, kepadaku,
agar kita dapat sama2 menghadapi musuh!"
„Ini . . . . tak bisa. . .
."
„Eh, engkau sudah tak mau
mengakui aku sebagai engkoh lagi?"
„Bukan begitu! Tetapi ilmu
pedang itu, hanya menimbulkan bahaya padamu!"
„Tadi kuminta engkau lepaskan
kedokmu, engkau menolak. Sekarang kuminta engkau mengajarkan ilmupedangmu,
engkaupun tak mau. Kalau begitu, sama saja seperti oraug asing. Hm ...... akan
kutanyakan pada ayah, bagaimana baiknya!"
„Tunggu! Jangan pergi!"
Gak Lui kaget karena Kiam-gin hendak pergi......
„Kenapa?" Kiam-gin
kerutkan alis.
„Engkau . . . . tak dapat . .
. tak usah pulang menanyakan hal itu!" „Engkau meluluskan?"
„Kita toh sudah menjadi
saudara angkat? Kelak tentu akan kuajarkan padamu. Tetapi kalau engkau memaksa
sekarang, lebih baik kita berpisah saja !"
Semula Kiam-gin tak mau tetapi
sejenak memandang wajah gak Lui, berobahlah pendiriannya.
„Ya, terpaksa kuturut,"
kata Kiam-gin, „tetapi ada perjanjiannya!"
„Adik, katakanlah"
„Gak-te sejak saat ini, engkau
tak boleh bergaul dengan orang perempuan!"
„O, itu tak apa, kuterima
perjanjianmu itu"
„Hih, engkau benar2 seorang
adik yang baik! Lalu kemana sekarang kita akan pergi?"`
„Sumber air Pencuci Jiwa di
gunung Thian-gan-san!"
„Kudengar ayah pernah
mengatakan bahwa sumber air itu amat beracun sekali. Tetapi aku tak percaya.
Hayo, kita buktikan kesana!" habis berkata ia terus ayunkan langkah.
Teiapi sebaliknya Gak Lui
masih tertegun.
Dia mencegah Kiam-gin pulang
tetapi pun tak dapat membawanya ke Thian-gan-san.
Pada saat ia masih termenung
belum menemukan pikiran untuk memecahkan kesulitan itu, tiba2 Kiam-gin teringat
sesuatu dan bertanya.
„Tadi engkau mengatakan ...
aku tak boleh pulang. Omonganmu itu . . . "
„Bukan, aku hanya mengatakan
engkau tak usah pulang ...." sahut Gak Lui. Tetapi orang yang biasanya tak
pernah bohong, walaupun wajahnya tertutup kedok tetapi nada suaranya masih
kentara kaku dan tersendat-sendat.
Kiam-gin bermata tajam sekali.
Cepat ia dapat mengetahui
kelemahan Gak Lui, serunya: „Hm, telingamu merah, engkau tentu bohong!"
Sebelum Gak Lui menyahut,
pemuda itu berseru pula: „Tidak Aku akan pulang menjenguk ayah dan paman
berlima!"
Dalam keadaan terdesak, apa
boleh buat.
Terpaksa Gak Lui menceritakan
apa yang telah terjadi ditempat keluarga Hi Liong-hui.
Mendengar itu menangislah
Kiam-gin seperti anak kecil.
Gak Lui terharu.
Seketika timbullah
semangatnya.
Makin bulat tekadnya untuk
menghancurkan manusia yang telah membinasakan keluarganya dan keluarga Hi itu.
Setelah puas menumpahkan
airmata, tiba2 Kiam-gin bangkit.
„Karena jelas pembunuh
keluarga kita itu terdapat juga gerombolan Topeng Besi, maka lebih baik kita
berpencar untuk mencari mereka !" katanya.
„Jangan...!" Gak Lui
mencegah karena ia tahu kepandaian saudara angkatnya itu masih rendah, „aku
tentu dapat membalaskan sakit hatimu. Lebih baik engkoh Gin menetap di suatu
tempat yang aman . . . . "
„Paling tidak, kita harus
bersama-sama mencari musuh kita itu !" Kiam-gin tetap berkeras.
„Baiklah . . . . mari kita
berangkat !"
Keduanya segera keluar dari
hutan.
Mereka menuju ke gunung
Thian-gan-san mencari sumber air Pencuci jiwa.
Dengan membawa saudara angkat
yang bertabiat manja-membawa kehendaknya sendiri itu, Gak Lui tak berani ambil
jalan besar. Ia lebih senang mengambil jalan di gunung dan hutan belantara.
Sepuluh hari kemudian, mereka
tiba di sebuah lembah gunung.
Memandang ke sekeliling
penjuru, hanya jajaran gunung yang tampak. Lembah berwarna merah bahkan pohon2
nyapun menguning kering.
,,Aneh, tempat ini panas
sekali. Aku haus....!" kata Kiam-gin seraya mengusap peluh.
Wajahnya merah padam dan
sewaktu bicara napasnya terengah-engah.
Gak Luipun merasa panas juga,
katataya : „ Mari kita cari sumber air ...."
Mereka menyusur sebuah, jalan
kecil yang merupakan satu-satunya jalanan di situ.
Tetapi hampir setengah hari
mencari, mereka tetap tak bersua dengan sumber atau saluran air.
Parit2 kering, sumber tak
mengeluarkan air.
Ketika tiba di sebuah pedesaan
gunung, pun di situ sunyi sekali.
Tiada barang seorang penduduk.
Rupanya desa itu sudah lama tak dihuni.
Sambil mengalingkan ke dua
tangan untuk menutupi sinar matahari yang menyilaukan mata, Kiam-gin hentikan
langkah lalu berteriak-teriak : „ Air...! Air...! Gak-te aku minta
air...!"
Gak Lui memapahnya.
Memandang ke sekeliling
penjuru, tiba2 Gak Lui berseru : „Engkoh Gin, di bawah pohon itu terdapat
seseorang! "
Aku minta ..... air! "
Jika ada orang, tentu mudah
bertanya. Hayo kita ke sana ...!"
Mendengar itu timbullah lagi
semangat Kiam-gin.
Mereka menuju ke pohon yang
dikatakan Gak Lui.
Memang di bawah Pohon itu
terdapat seorang tua yang duduk.
Rambutnya kusut masai.
Cepat Gak Lui menjelajahi
tubuh orang tua itu dengan pandangan mata yang tajam.
Dilihatnya orang tua itu tak
memakai baju.
Tubuhnya mandi keringat. Jelas
orang itu tak mengerti ilmusilat.
Di samping terletak sebuah
kantong kulit besar dan separoh gelembung kulit genderang.
„Paman, tolong tanya. Apakah
nama tempat ini dan di manakah aku bisa memperoleh air?" tanya Gak Lui.
Orangtua itu pelahan-lahan
mementang mata dan menyahut : „Mundur lagi 3 li, baru terdapat air!"
„Bagaimana kalau di sekeliling
yang, dekat sini ..?"
„Apakah engkau tak melihat
kanan kiri tiada jalan dan di sebelah mukapun tak dapat dilalui ...?"
„Mengapa ...?"
„Dari kata-katamu, terang
engkau bukan orang sini sehingga tak kenal sama sekali keadaan tempat ini
...!"
„Itulah maka kumohon tanya
pada paman ...!"
„Tempat ini dinamkan Lembah
Mati. Iklimnya panas luar biasa. Dan beberapa tahun terakhir ini semua sumber
air kering. Hanya beberapa orang desa tolol yang coba2 berani masuk kemari.
Akhirnya mereka mati semua ...."
,,Mengapa mendadak tak ada
air? Dan apa sebabnya orang2 itu tak kembali lagi ?"
Dengan wajah tegang, orangtua
itu memandang ke sekeliling lalu berkata dengan bisik-bisik : „Kareua muncul
Siluman Kering sehingga air habis. Setan Kering itupun menelan manusia
juga...!"
„Apakah Setan Kering
itu?"
„Sett...., jangan keras-keras!
Makhluk itu memiliki alat indera yang tajam sekali. Mungkin dia dapat menangkap
pembicaraan kita...!"
„Maukah paman menceritakan
makhluk itu...?"
Orang tua itu memberi isyarat
supaya Gak Lui duduk.
Melihat mata Kiam-gin merah
dan bibirnya kering orangtua itu memberikan kantong kulitnya: „Minumlah kalian
lebih dulu, baru nanti kuceritakan ........"
Sudah tentu tawaran itu tak
perlu diulang lagi.
Dalam keadaan tenggorokan
hampir kering, Kiam-gin terus menyambuti dan meneguknya sampai puas.
Lalu diberikan kepada Gak Lui.
Setelah minum, semangat kedua
pemuda itu tampak lebih segar.
„Engkoh kecil, orang itu
setelah mati apabila tidak dikubur ditempat yang sesuai, akan menjadi Kiang-si
(mayat hidup). Dari Kiang-si lalu menjadi Setan Kering. Rupanya menyeramkan,
ganasnya bukan main. Dapat menyembur api dan makan orang. Sejak, keluar Setan
Kering itu maka sungai, palung, dan sumur2 kering semua ....."
Gak Lui tak percaya. Cepat ia
menukas : „Siapakah yang pernah melihat mahluk itu. "
„Memang ada orang yang benar2
melihatnya. Apa engkau kira aku seorang tua ini, akan bicara buhong.....!"
„Lalu dimana makhluk
itu?"
„Kira2 tigapuluh li dari sini,
adalah pusar Lembah Mati. Mungkin dia tinggal disitu ......."
Kiam-gin tertarik dan cepat
berseru: „Gak-te, mari kita lihat kesana. Jika memang ada, kita bunuh saja
supaya rakyat terhindar dari bahaya"
Orangtua itu terbeliak,
serunya: „Kalian masih begitu muda, mengapa tak ingin hidup? Disebelah muka,
sama sekali tidak ada air. Semua kering !"
Kata Gak Lui : ,,Apa boleh
buat, kita terpaksa harus melanjutkan perjalanan, sekalian ......"
„Hai, apakah kalian juga
hendak mencari batu berharga itu?"
„Tidak, kami hendak menuju ke
sumber air Pencuci Jiwa!"
„Apalagi kesana! Sumbcr air
Pencuci Jiwa itu mengandung racun yang ganas sekali. Apalagi kalian harus
melalui sarang Setan Kering. Benar-benar kalian hendak cari mati
..........."
„Paman terima kasih atas
petunjukmu. Maaf, kami hendak mohon diri ...." kata Gak Lui.
Tetapi Kiam-gin masih belum
mau pergi, dan minta keterangan lagi kepada si orangtua.
„Apakah yang engkau katakan
tentang batu berharga itu?" serunya.
„Dibagian tengah Lembah Mati
ini terdapat hasil batu berharga jenis berlian: Kabarnya batu berlian itu amat
mahal sekali harganya!"
„Apakah ada orang yang pernah
datang mencarinya?"
„Tentu ada. Tetapi entah
berapa orang yang datang pada setiap tahun, aku tak mengerti!"
Setelah menghaturkan terima
kasih kepada orangtua itu, Kiam-gin lalu menarik tangan Gak Lui diajak
melanjutkan perjalanan.
TAK BERAPA lama tibalah mereka
dibagian tengah lembah itu.
Orangtua itupun segera
memanggul kantong kulitnya dan melangkah keluar lembah. Mulutnya tak henti2
mengingku: „Sayang, kedua anak muda itu! Ah..., habis..., habis....!"
Memang benar, dibagian tengah
lembah ini amat panas sekali. Untung lah mereka sudah minum sehingga masih
dapat bertahan.
Baru beberapa langkah
berjalan, tiba2 Gak Lui berhenti. Hidungnya berulang kali menyedot hawa.
„Gak-te, kenapa engkau?"
tegur Kiam-gin. „Aku mencium bau orang hidup." „Memang orangtua tadi
mengatakan, ada orang yang pernah masuk ke lembah ini."
„Tetapi kalau Setan Kering itu
benar2 makan manusia, orang itu tak mungkin hidup!"
„Mungkin ada seorang dua orang
yang masih dapat hidup ......."
Keadaan tengah lembah itu
penuh batu2 yang aneh bentuknya. Seolah-olah merupakan sebuah hutan batu. Pada
gundukan batu itu, terdapat sebuah guha.
Mulut guha penuh tapak2 kaki
orang. Tetapi lebih besar dari tapak kaki orang biasa. Bahkan Gak Lui yang
tinggal di gunung Yau-san, tak dapat menentukan telapak kaki itu.
„Gak-te, mengapa engkau selalu
berada di, bawah angin saja!"
„Dengan begitu aku dapat
mencium bau orang atau binatang...!"
„Tetapi telapak kaki itu,
bukan telapak kaki orang biasa. Tentulah bekas telapak kaki Setan Kering itu.
Makhluk itu tentu berada disekeliling tempat ini. Karena makhluk itu dapat
menyembur api, lebih baik jangan berada di tempat yang terlanda angin. Agar sewaktu-waktu
dapat menghindar dari semburan makhluk itu!"
Tahu Kiam-gin mahir dalam soal
api, Gak Luipun menurut. Setelah membiluk dua tiga buah tikungan, mereka tiba
di sebuah guha yang gelap sekali.
Selain gelap, guha itu
ternyata amat dalam sekali dan panasnya bukan kepalang.
„Kemungkinan makhluk itu
berada di dalam Gak-te, cobalah engkau periksa telapak kaki itu lebih
jelas" seru Kiam-gin.
„Tetapi bau hawa orang• Dan
lagi disebelah sana terdapat juga beberapa tapak kaki,” Gak Lui menunjuk ke
sebuah arah. Ternyata memang pada beberapa tempat terdapat telapak kaki orang.
Tetapi ukurannya amat kecil, menyerupai teIapak kaki seorang anak kecil.
Gak Lui terus hendak memasuki
guha itu. Ia ingin tahu apakah sebenarnya yang berada dalam goha. Tetapi Kiam-gin
menceghnya.
„Kurasa, lebih baik jangan
masuk. Sebelum kita kehausan lebih baik cepat2 meneruskan perjalanan ke sumber
air Pencuci Jiwa ...."
Belum ....... selesai. tiba2
dari belakang terdengar suara letupan kecil. Kedua pemuda itu cepat memutar
tubuh: „Setan Kering ...!" Kiam-gin menjerit kaget ketika melihat pada
jarak setumbak jauhnya, muncul kepala besar, rambut terurai tak keruan. Wajah
seseram hantu malam, hidung menonjol keluar, gigi runcing2 seperti pagar pisau.
Makhluk aneh itu menatap kedua
pemuda dengan tajam. Bulu roma Gak Lui meremang. Cepat ia mencabut pedang dan
membacok kepala makhluk aneh itu.
Awas! Semburan api .......
" teriak „Kiam-gin. Dan tepat pada saat itu juga, makhluk aneh itupun
ngangakan mulut, wut.......segulung asap segera menyembur ke arah Gak Lui.
Gak Lui terkejut. Tangan kiri
menghantam ke atas dan serempak dengan gunakan jurus Rajawali-rentang-sayap, ia
melambung beberapa tombak tingginya.
Karena gugup hendak memberi
pertolongan, Kiam-ginpun secepat kilat mencabut pedang dan menabas makhluk itu.
Tring ... pedang Gak Lui terpental setombak jauhnya ketika makhluk aneh itu
menangkis dengan tangan kiri. Tetapi pada saat itu juga, pedang pusaka
Usus-ikan dari Kiam-gin sudah tiba dan menusuk tangan kanan makhluk itu.
Tetapi makhluk aneh itu dapat
menangkisnya sedemikian keras hingga tangan Kiam-gin terasa kesemutan dan
pedangnya hampir terlepas jatuh.
Untunglah Kiam-gin cukup
tangkas dan tak sampai kehilangan kesadaran. Sambil loncat mundur, ia merogoh
kantongnya.
„ Jangan ...." tiba2 Gak
Lui berseru mencegahnya tetapi pada saat itu. Setan Kering sudah loncat
setombak tingginya dan Kiam-gin pun cepat menaburkan pelor api. Pelor itu tepat
mengenai dada simakhluk aneh.
Rupanya makhluk itu masih tak
menyadari bahaya maut. Ia masih gerakkan tangannya untuk menyerang. Tetapi pada
saat pelor itu meletus, jatuhlah makluk aneh itu ke tanah .......
Makhluk itu meraung-raung dan
menggeIepar-gelepar ditanah. Bau daging bakar meruak keseluruh lembah.
„Jelas bau dan suaranya seorang
manusia. Entah dapat ditolong atau tidak? Aku perlu menayainya .......”
„Sekalipun disini ada air pun
tak dapat menolongnya. Apalagi disini kering kerontang!" sahut Kiam- gin.
Tak berapa lama makhluk itu
diam tak bersuara. Asap menipis dan api yang membakar dirinyapun padam. Tetapi
makhluk itupun berobah menjadi seonggok abu hitam.
Ketika Gak Lui dan Kiam-gin
memeriksa, pada onggok abu hitam itu terdapat sepasang tangan dari baja murni.
„Hm..., kiranya hanya sebangsa
penjahat dalam dunia persilatan yang menyaru sebagai setan jejadian!" kata
Gak Lui.
„Kulihat tadi ia menyemburkan
api yang terbuat dari bahan belirang. Maka terpaksa kupersen dengan pelor api
juga" kata Kiam-gin.
„Tetapi kita kehilangan sebuah
jejak!"
„Tak apa," sahut
Kiam-gin, „kita masih dapat menyelidiki dari telapak kaki kecil itu!"
Gak Lui menyatakan akan masuk
ke dalam guha untuk menyelidiki lebih lanjut. Demikian keduanya segera
melangkah masuk.
Ternyata guha itu sempit
sekali. Beberapa tombak kebagian dalam, selain amat gelap, pun orang harus
berjalan merangkak" Ketambahan pula, panasnya bukan alang kepalang.
Sambil merangkak, Kiam-gin
ber- sungut2 : „Gak-te, mari kita keluar sajalah ........"
„Sudah terlanjur masuk,
mengapa ......”
„Ini sebuah liang. Jika dari
sebelah dalam terdapat orang kita tak dapat berjaga diri. Dan kalau mulut guha
ditutup, kita tentu terkubur hidup2 disini!"
Gak Lui berhenti. Diam2 ia
mengakui ucapan Kiam-gin itu benar. Tetapi seketika itu terdengar suara orang
dari sebelah dalam. Menilik nadanya yang berisik, jelas jumlahnya tak sedikit.
„Mundur, cepat." seru Gak
Lui seraya merangkak mundur. Setelah keluar dari guha, mereka berdiri, siap
dengan pedang.
Suara berisik itu jelas
berasal dari sejumlah besar kaki orang yang sedang merangkak keluar. Tetapi
gerakannya amat lambat sekali
Hampir sepeminum rokok,
barulah tampak sesosok bayangan orang melesat keluar guha.
Gak Lui dan Kiam-gin terkejut,
menjerit dan menyurut mundur selangkah.
Kiranya orang yang muncul dari
guha itu hanya satu meter tingginya. Kepalanya seperti orang dewasa tetapi kaki
dan tangannya kecil sekali. Tubuhnya hitam seperti pantat kuali.
Orang pendek itu sungguh
mengerikan. Entah apakah darahnya dingin sekali sehingga tak takut panas
....... " seru Kiam-gin.
Tetapi karena ngeri, Gak Lui
tak menyahut.
Tak berapa lama,
bermunculanlah tak kurang dari 300 orang pendek. Mereka melangkah
terhuyung-huyung. Dengan matanya yang putih memandang ke sekeliling penjuru.
Sedikitpun tak silau memandang sinar matahari.
Melihat itu menjeritlah
Kiam-gin dengan nada gemetar : „ Mereka ...... buta semua... !"
„Dan tuli juga !" sahut
Gak Lui.
„Lalu bagaimana...?"
Dengan amat hati2 sekali, Gak
Lui maju menghampiri. Rupanya rombongan orang pendek itu telah menemukan suatu
Plan. Berbondong-bondong mereka berjalan ke suatu arah.
Gak Lui cepat mencekal salah
seorang yang paling belakang sendiri. Orang itu terkejut dan ngangakan mulut.
Tetapi tak bersuara.
„Hai ! Mereka juga gagu
.......!"
---oo0oo---
BAB 08 : SETAN KERING
GAK LUI terpaksa lepaskan
cekalannya. 0rang kerdil berkulit hitam itu segera merangkak bangun menyusul
kawan2nya. Tetapi dari bajunya yang robek itu, berbamburan jatuh dua butir batu
berkilau.
Kiam-gin memungutnya dan
berserulah ia ke-pada Gak Lui; „Adik Lui, lihatlah betapa indah batu ini
....... "
Tetapi saat itu Gak Lui sedang
memandang kearah kawanan orang kerdil sambil berpikir. la heran mengapa kawanan
orang kerdil itu mencari batu berlian dan kemanakah pergi mereka. Apakah masih
ada seorang lain yang tinggal di Lembah Mati itu kecuali si Setan Kering?
„Hai, mengapa engkau
ter-menung2 saja?" tiba2 Kiam-gin menegurnya.
„Kukira .... mereka tentu
menuju kesuatu tempat tertentu. Hayo, kita ikuti!" sahut Gak Lui.
„Tetapi mereka berjalan begitu
pelahan sekali. Dan hawanya begini kering tak ada air. Masakan kita mampu
menunggu!" sahut Kiam-gin.
Mendengar kata2 air, seketika
Gak Lui rasakan tenggorokannya kering. Tadi ia hanya minum sedikit. Sekarang
barulah ia rasakan haus sekali.
„Ya, kita tak perlu menunggu
mereka. Bayangan yang ditinggalkannya, dapat kujadikan jejak untuk mengejar
mereka," kata Gak Lui.
Tetapi sebelum keduanya angkat
kaki, sesosok tubuh melesat tiga, tombak disebelah muka. Dari gerakannya yang
begitu tangkas, tentulah seorang berilmu. Gak Lui terkejut. Dipandangnya orang
itu dengan cermat.
Ternyata pendatang itu seorang
tua berurnur 50-an tahun. Berwajah putih dan jenggot jarang. Seorang yang
memiliki perbawa.
Pendatang itu memandang kearah
tumpukan kerangka Setan Kering.
Wajahnya tampak berkerenyutan.
Kemudian ia beralih memandang
kedua pemuda itu. Terutama ketika memandang Kiam-gin, biji matanya
berputar-putar, seperti terpikat.
Cepat orang itu memberi hormat
dan berkata: „Aku Li Hui-ting, mohon tanya siapakah saudara berdua ini . . .
"
Gak Lui dan Kiam-gin balas
memberi hormat lalu memperkenalkan diri.
„Ah, lama sudah kukagumi nama
saudara yang termasyhur," Li Hui-ting tersenyum seraya maju selangkah,
terutama setelah saudara berdua dapat melenyapkan Setan Kering ini, sungguh
amat berjasa kepada rakyat!"
Setengah meragu, berkatalah
dengan dingin: „Saudara juga berilmu tinggi, mengapa. tak mau membunuhnya. Dan
mengapa pula pada saat ini kebetulan sakali saudara datang kesini?
Jawab Li Hui-ting: „Walaupun
aku mempunyai beberapa kepandaian tetapi tak dapat melawan semburanapi nya.
Maka kuharap datangnya seorang sakti untuk melenyapkannya. Tadi karena
mendengar jeritan ngeri dan bau daging terbakar, cepat2 aku menjenguk
kemari!"
„Hm ....... , dan siapakah
gerombolan orang hitam kate itu?"
„Tawanan2 dari Setan
Kering!"
„Apa maksudnya?"
„Panjang sekali ceritanya.
Marilah mampir kepondokku. Nanti kuceritakan hal itu!"
Gak Lui serentak mengiakan.
Memang ia kepingin mengetahui.
Demikian dengan Li Hui-ting
sebagai penunjuk jalan, mereka bertiga berjalan cepat dan berapa lama sudah
melampaui rombongan orang2 kate hitam.
Beberapa li jauhnya, tibalah
mereka disebuah pondok.
Perabotnya sederhana tetapi
terdapat suatu benda yang menarik perhatian. Yalah sebuah gentong, besar berisi
air yang terletak diatas meja besar.
Gak Lui rasakan tenggorokannya
kering sekali. Begitu melihat air, biji kerongkongannya segera naik turun.
Rupanya Li Hui-ting itu sudah
berpengalaman. Melihat tetamu sedemikian rupa, segera ia mengambil mangkuk dan
diletakan dihadapan Gak Lui. „Ditempat gunung yang begini sunyi, tiada yang
dapat kuhidangkan untuk tetamu kecuali air jernih ini. Harap- dimaafkan
........"
Gak Lui menyatakan „bahwa yang
perlu yalah supaya tuan rumah segera menuturkan tentang asal mula Setan Kering
itu. Tentang penyambutan dan hidangan, tak perlu diributkan."
„Asal usul dan nama orang itu
tak diketahui jelas. Tetapi yang jelas dia seorang ahli dalam soal
pertambangan. Dia dapat mengetahui bahwa dalam Lembah Mati sini terdapat
tambang batu berlian yang tak ternilai harganya. Dia, dapat membujuk dan menipu
beberapa orang dari luar daerah untuk mengambil batu berharga itu!"
„Oh, orang2 kate berkulit
hitam itu bermula juga orang biasa!" tanya Siau-liong.
„Benar, tetapi mereka telah
diminumi semacam racun oleh Setan Kering itu lalu berobah begitu, mereka tak
takut pada hawa panas dalam bumi !"
„Kudengar, keterangan orang,
bahwa dahulu tempat ini terdapat air, tetapi mengapa sekarang kering sama
sekali?" tanya Gak Lui.
„Itu juga akibat siasatnya.
yang licik. Disatu fihak ia men-jelma menjadi Setan Kering, dilain fihak ia
secara diam2 telah menutup sumber air. Dengan tindakan itu ia mengharap
penduduk tempat ini pindah kelain tempat dan mereka tak mempunyai kemungkinan
menyelidiki berlian itu!"
Tetapi mengapa engkau tak
dicelakai Setan itu dan tak pula" meninggalkan tempat ini?" Gak Lui
menyatakan keherananya.
„Aku telah belajar ilmu
obat-obatan. Beberapa tahun yang lalu aku tiba dilembah ini dan berjumpa dengan
setan itu. Dia tak mampu mencelakai aku, akupun tak dapat menindasnya. Dengan
demikian kami tak saling ganggu sampai sekarang ini . . . . "
„Kalau tak mampu menindasnya,
mengapa engkau tak berusaha tinggalkan tempat ini?" desak Gak Lui pula.
„Jalanan sebelah muka, dijaga
oleh setan itu sendiri!"
„Mengapa tak ambil jalan dari
sumber air Pencuci Jiwa saja?",
„Gunung itu lebih berbahaya
lagi. Disana muncul seorang manusia aneh yang lihay sekali. Jalan disitu
ditutup dengan tumpukan tulang manusia. Sama sekali tak dapat dilalui !"
„Siapakah manusia aneh
itu?"
„Setempo tampak mengunjukkan
diri, setempo menghilang. Tiada dapat melihat bagaimana tampang mukanya. Tetapi
yang jelas dia memang memiliki kepandaian sakti. Walaupun aku menjelma tiga
kali lagi, tak mungkin dapat menyamai nya .....!"
„Hm ......." Gak Lui
mendesah. Sekonyong-konyong ia menyambar pergelangan tangan tuan rumah. Li
Hui-ting terkejut. Cepat2 ia miringkan bahunya. Gerakannyapun luar biasa
cepatnya sehingga cengkeraman Gak Lui dapat dihindari.
„Heh..., heh .... "
Gak Lui mengekeh lalu
membentak bengis: „Walaupun kepandaianmu terpaut sedikit dengan Setan Kering,
tetapi tak masuk akal kalau selama beberapa tahun disini, engkau tak memperoleh
kemajuan sedikitpun!"
Li Hui-ting terperanjat tetapi
pada lain kejab wajahnya tampak mengerut gelap dan menyabutlah ia dengan
lantang: „Sudah tentu aku mempunyai alasan. Tetapi orang tentu tak
percaya!"
„Katakan!" bentak Gak
Lui.
Selama beberapa tahun ini
orang2 yang terminum racun dan berobah menjadi orang kate berkulit hitam, sudah
mencapai jumlah lima enam ratus. Selain tak takut panas, mereka mudah sekali
terkena penyakit.
Separoh dari mereka sudah mati
karena menderita sakit.
Karena tak mampu membasmi
Setan Kering, terpaksa kulakukan pengobatan kepada rombongan pekerja paksa itu.
Dengan begitu akupun makin memperoleh banyak kemajuan dalam ilmu
pengobatan"
Mendengar itu tersipu-sipulah
Gak Lui.
la malu dalam hati karena
terlalu mencurigai orang itu.
la mengucapkan beberapa kata
pujian kepada Li Hui-ting yang tinggi rasa peri-kemanusiannya.
„Berbicara tentang tabib
pandai, aku segera teringat akan seseorang, kata Gak Lui........ "
„Siapa?"
„Tabib-sakti Li Kok-hoa,
kenalkah engkau?"
Biji mata Li Hui-ting
berkeliaran beberapa kali lalu menyahut: „Seperti pernah mendengar, tetapi tak
ingat jelas ...... apakah dia keluarga saudara?"
Tujuan Gak Lui menanyakan
tabib sakti itu adalah hendak menyirapi jejak ayah dari gadis ular Li Siau-mey
Atas pertanyaan orang ia menjawab sekenanya: „Ah, tidak, akupun hanya mendengar
cerita orang saja.
Huk.....! Huh .....!"
karena terlalu banyak bicara, tenggorokan Gak Lui mulai kering dan terbatuklah
ia beberapa kali.
Li Hui-ting segera
mempersilahkan tetatmunya minum lagi dan Gak Lui pun tak sungkan juga.
Sekali teguk habis air
semangkuk. „Ah....., sungguh segar .......!" seru Gak Lui, pejamkan mata
dan geleng2 kepala.
Melihat itu Kiam-gin pun,
mengecup-ngecup bibir walaupun tiada ludah yang dapat ditelannya, lalu berkata
kepada tuan rumah; „Apakah aku boleh minum juga?"
Tetapi entah bagaimana, tuan
rumah memandang tajam kepadanya lalu ge!engkan kepala, tertawa: „Itu bukan
untukmu ! Dalam kamarku masih tersedia air jernih ......"
„Mengapa?'
„Tak usah bertanya, nanti
engkau tentu tahu kebaikan hatiku."
„Kebaikan hati? Lalu mengapa engkau
berikan minuman itu kepada saudara Gak-te ...." serentak Kiam-gin
berpaling. Astaga .... Dilihatnya kelopak mata, bibir Gak Lui menjadi hitam dan
tengah duduk dengan tubuh menggigil!
„Bangsat, lihatlah
pedangku!" Kiam-gin serentak mencabut sepasang pedang dan menyerang Li
Hui-ting.
Tetapi dengan tertawa
mengejek, orang itu sudah melesat kesudut ruang. Dan sekali berputar diri ia
sudah mencekal sepasang senjata Tangan besi yang besar. Serupa dengan yang
digunakan si Setan Kering.
„Heh.., heh.., heh.., heh ....
kalian telah membunuh adik angkatku tetapi engkau masib kuberi hidup, masakan
engkau tak tahu berterima kasih...?"
Dengan mata memancar
kebencian, Kiam-gin mendampratnya : „Akan kucincang tubuhmu menjadi bakso untuk
mengganti jiwa adikku!"
Laksana gelombang laut
mendampar, enam jurus serangan telah dilancarkan ber-turut2 oleh Kiam-gin.
Tetapi Li Hui-ting dengan
lincah menghindar seraya berseru; „Budak itu takkan segera mati! Jangan bingung
dulu, aku hendak menanyainya......"
„Aku Tabib-jahat Li Hui-ting
adalah ahli racun. Kukatakan tidak mati tentu tak kan mati. Tetapi dia takkan
terhindar dari penyakit aneh...."
Dalam pada berkata-kata itu
mereka telah berputar-putar sampai tiga jurus lagi.
Karena ruang itu sempit.
Kiam-gin kuatir akan mengenai Gak Lui, maka berserulah ia menantang: „Hayo,
kalau berani, kita bertempur di luar!"
„Ho, kalian memiliki pelor
api, tak mungkin aku tertipu.........." Tabib jahat itu tertawa mengejek
seraya berputar-putar mengitari ruang, dan lagi terhadap seorang tampan seperti
engkau, aku sungguh merasa sayang sekali!"
Karena marahnya, Kiam-gin
sampai tak dapat bicara melainkan dadanya yang berombak keras. Serangan
pedangnya dicurahkan makin deras dan dahsyat.
Tetapi rupanya si Tabib jahat
tak berniat mulukainya. Dia hanya berputar-putar mundur kesamping Gak Lui.
Terdengar gemerincing pedang
beradu dengan Tangan-besi, tiba2 tengkuk Li Hui-ting meregang kencang dan ia
rasakan kepalanya telah tercengkeram oleh lima buah jari yang keras.
Kiranya setelah menyadari
bahwa air yang diminum itu mengandung racun, diam2 Gak Lui gunakan ilmu-sakti
Algojo-dunia untuk menyalurkan racun itu dari tangannya. Kini dalam
kemarahannya ia telah mendesak racun itu kearah ujung jari lalu ditamparkan
kekepala sitabib. Racun itu cepat menyalur ke jalan darah dikepala sitabib.
Seketika Tabib jahat Li
Hui-ting menggigil tubuhnya. Tanpa menjerit sepatahpun juga, ia rubuh pingsan.
KIAM GIN terkejut girang.
Cepat ia melesat menghampiri dan berseru: „Gak-te, engkau tak kurang suatu apa
......"
Gak Lui berputar diri. Tampak
kulit muka sudah tidak sehitam tadi melainkan agak gelap sedikit.
Tetapi suaranya berobah parau
ketika ia menyahut: „Belum sembuh sama sekali. Mata telinga dan alat penciaman,
masih belum pulih ketajamannya. Begitupun lidahku terasa kaku dan mati-rasa
......"
„Lalu bagaimana?"
„Kita paksa tabib jahat ini
untuk mengobati. Dia tentu mempunyai obat penawarnya!"
Gak Lui segera membuka jalan
darah Li Hui-ting.
Tabib itu terengah-engah dan
membuka mata.
Wajahnya pucat kebiru-biruan.
Begitu melihat Gak Lui dan
Kiam-gin, cepat2 ia meram lagi.
Hanya gerahamnya
berderak-derak gemetar.
Melihat itu, Gak Lui
membentaknya: „Jangan coba. unjuk kepala batu. Jika tak mau menjawab dengan
baik, engkau tentu mati!"
Mendengar itu Li Hui-ting
membuka mata, lalu tertawa sinis: „Siapa yang minum racun Penyurut-tulang itu
yang tiada obatnya itu, tentu akan menjadi orang kate seperti orang2 tawanan
itu. Terima kasih kalau engkau hendak membunuh aku!"
Kiam-gin terbeliak, serunya:
„Engkau .... engkau..... tiada obat penawarnya?"
„Tidak punya!"
„Adikku Gak Lui ini ... apakah
juga...."
„Dia serupa dengan aku nanti,
setiap saat tentu akan menjadi orang kate. Pada saat itu, coba saja engkau
masih suka kepadanya atau tidak"
Dalam murkanya Gak Lui terus
mencengkemram pinggang dan tenguk tabib itu lalu salurkan tenaga-dalamnya untuk
menggencet tubuh Li Hui-ting.
Sudah tentu tabib jahat itu
tak kuat menahan tanaga-sakti Algojo dunia, ia meraung-raung nyeri, keringat
bercucuran bagaikan hujan.
Lebih payah dari rasa sakit
menerima siksaan Jo-kut-hun-kin atau Tulang-meleset, urat berpencar.
„Hayo, engkau mau bilang atau
tidak!" bentak Gak Lui.
„Tidak!"
Dada Gak Lui serasa meledak.
Segera ia tekankan tangan
kanannya.
Gluduk .... terdengar bunyi
menggelembung seperti pelembungan ditiup. Biji mata tabib itu menonjol keluar.
Lubang ke tujuh, inderanya, memancurkan darah.
„Ti ..... dak ...." tabib
itu tetap keras kepala.
Gak Lui mendengus.
Ia kuatir kalau dilanjutkan,
tabib itu tentu mati.
Maka ia hentikan tekanannya
dan berganti dengan tangan kiri untuk menyedot tenaga-dalam orang itu.
Kini biji mata Li Hui-ting
menyurut kedalam, dadanyapun mengempis seperti pelembungan karet yang kempes.
Semua tenaga murninya tersedot habis.
Sejak mempelajari ilmu
Algojo-dunia, sekalipun tenaganya bertamhah maju, tetapi dalam penggunaan untuk
menyalurkan dan menyedot- tenaga, ia masih belum faham sungguh2.
Diluar dugaan, saat itu
pikirannya terang dan mengerti rahasia dari ilmu itu.
Demikian setelah tiga kali
dilakukan penekanan dan penyedotan, Li Hui- ting sudah setengah mati rasanya.
Dia tak kuat bertahan lagi.
Napasnya makin mengap-engap
dan berkata dengan ter- sendat2: „Aku .... akan ..... bilang ....."
„Apa hubunganmu dengan Setan
Kering itu?"
„Saudara angkat ......"
„Demi mencari permata, kalian
telah mencelakai sekian banyak orang.
Apakah tujuanmu?"
„Aku hanya menerima perintah
......"
„Dari siapa?"
„Ini .... ini ..... aku tak
berani mengatakan ....."
„Tidak berani bilang ! Kalau
begitu engkau rasakan lagi siksaan tadi!"
„Nanti dulu!" Kiam-gin
mencegah, „tadi hendak bertanya kepadamu, entah apa yang akan ditanyakan
itu?"
Gak Lui pun teringat lalu
membentak: „Ya...!, hayo lekas katakan pertanyaanmu itu!"
„Aku . . . hanya akan bertanya
.... , engkau dengan Tabib-sakti Li Kok-hoa ......" sekiranya engkau kenal
padanya: „Lekas katakan bagaimana hubungan kalian!"
„Dia ..... adalah ..... guruku
"
„Dahulu Li Kok-hoa diundang
oleh salah seorang muridnya untuk mengobati tetapi akhirnya tak, pernah pulang
lagi. Apakah murid itu eng kau sendiri?"
„Ya ...... ya.....!"
„Lalu dimana dia
sekarang?"
„Aku tak tahu, tetapi dia
tentu masih hidup.....!"
„Hmm..... dahulu engkau undang
ia untuk mengobati siapa?"
„Ini...."
„Bagaimana?"
„Bunuh aku sajalah, aku tak
berani mengatakan ......" tiba2 tabib jahat itu menggigit lidahnya sendiri
sampai putus dan seketika putus jugalah nyawanya.
---oo0oo---
Melihat itu, marah sekali Gak
Lui. Wajahnya memberingas dan matanya memacarkan api. Tetapi tiba2 dilihatnya
belasan sosok tubuh bermunculan dimuka pondok. Terpaksa ia tak ,jadi'
melanjutkan mabsudnya mengamuk.
Ternyata yang berkumpul di
luar pondok itu adalah ratusan pekerja tambang yang bertubuh kate dan hitam
itu. Mereka berbaris rapi seperti seekor ular panjang, lalu berjalan kemuka
meja
Setiap orang kedua tangannya
membawa batu berlian. Mereka tak henti2nya mengangguk kepala seperti orang yang
memohon sesuatu. Danyang tak membawa apa? lalu berlutut di luar pondok dengan
kepala menunduk ketanah.
„Mau apa engkau ini!"
tegur Kiam-gin kepada salah seorang.
Tetapi orang itu buta, tuli
dan gagu. Dia tak mempedulikan pertanyaan orang.
Setelah menutuk jalan darah Li
Hui-ting, Gag Lui pun menghampiri, katarnya: „Rupanya mereka datang untuk
menyerahan hasil penemuannya, tetapi entah mereka menghendaki apa?"
„Celaka! Kita tak dapat
menanyai mereka!" keluh Kiam-gin.
Sejenak merenung Gak Lui
mendapat akal, serunya: „Aku tahu caranya!" - ia segera memegang tangan
orang kate hitam itu.
Orang itu sedikitpun tak
terkejut malah terus serahkan batu permata ketangan Gak Lui. Lalu ngangakan
mulut dan tengadahkan kepala seperti orang menunggu.
Gak Lui gunakan ujung jari
untuk menulis ditelapak tangan, orang itu: „Engkau minta apa?"
Sungguh kebetulan sekali.
Orang itu mengenal huruf juga. Segera ia menulis ditelapak tangan Gak Lui:
„Harap diberi Air-dewa!"
„Air- dewa?" Gak Lui
terkejut. la cepat menyadari bahwa yang dimaksud dengan Air-dewa itu tentulah
air dalam gentong. Segera ia menulis lagi ditelapak tangan orang itu: „Air itu
beracun, tak boleh diminum!" -
Orang kate itu geleng2 kepala
dan merintih: „Kalau tidak minum, tidak bisa hidup!"
Serentak Gak Lui menarik
tangannya dan orang itupun segera berlutut ditanah. Beberapa kali kepalanya
dibenturkan kelantai sehingga berlumuran darah.
Ketika Kiam-gin mengetahui apa
yang dibicarakan mereka, ia berkata: „Didalam ruang dalam, ada air jernih. Akan
kucoba kuberikan kepadanya, bagaimana nanti perobahannya."
Segera ia masuk ke dalam lalu
membawa keluar sebuah kantong air dan dibagikan kepada orang2 kate itu. Mereka
menyerahkan batu berlian lalu minum.
Kiam-gin tak memperbolehkan
mereka kembali kedalam tambang. la menepuk bahu orang2 kate itu beristirahat.
Setelah itu ia-menunggu bersama Gak Lui.
Kira2 sepeminum teh lamanya,
tiba2 kawanan orang kate itu gemetar tubuhnya. Mereka merangkak-rangkak
dilantai. Mulut mengeluarkan busa putih, mencakari dadanya sendiri dan menekan
perut.
Dalam sekejab saja, ruang
pondok itu penuh bergelimpangan orang2 kate yang meregang dan bergeliatan
seperti ular. Rupanya mereka sedang menderita kesakitan hebat. Mereka nekat
merangkak masuk kedalam pondok.
„Gak-te, racun ditubuh mereka
mulai bekerja!" seru Kiam-gin
Tetapi Gak Lui tak menyahut.
Matanya memandang lekat2 pada
guci air diatas meja itu.
Gigi berderuk-deruk saling
bergosok.
Tiba2 ia menyambar guci air
itu.
„Hai, Gak-te, mau apa
engkau?" Kiam-gin berseru kaget.
„Aku .... aku ....."
„Engkau bagaimana?"
„Kurasakan sekujur tubuhku
seperti dirayapi kutu. Mulutku sangat haus sekali!"
Kiam-gin cepat merebut guci
itu dan ber teriak bengis: „Tak boleh diminum!"
Wajah Gak Lui berobah.
Ia terkesiap tetapi guci itu
tetap dipegangnya erat2.
Melihat itu, Kiamgin terus
menghantam, bruk ..... guci pecah air berhamburan membasahi sekujur tubuh
sitabib-jahat Li Hui-ting.
Pecahnya guci dan muncratnya
air dan berhamburan kemana-mana, ada sebagian yang mengenai tubuh orang kate
Seketika timbullah, kehirukan. Mereka seperti orang gila menjilati pakaian
sendiri untuk menghisap air yang menumpah dipakaian itu. Babkan bagian baju
yang terkena siraman air racun tadi, terus dirobek dan dikunyah dengan -mulut.
Setelah itu tiba2 mereka
merangkak ketubuh Li Hui-ting dan segera menggigit dagingnya. Bagaikan kawanan
serigala yang tengah menerkam anak kambing, tak berapa lama tubuh tabib jahat
itu habis dimakan oleh kawanan orang kate. Lebih dulu mereka memakan pakaian :
sitabib, lalu dagingnya dan kemudian menghisap darahnya.
Sikap dan cara mereka memakan
tubuh Li Hui-ting itu benar2 menegakkan bulu, roma orang.
Setelah kawanan orang kate itu
mundur, yang tinggal hanya setumpuk tulang kerangka sitabib jahat Li Iiui-ting.
Beberapa orang kate yang tak
kebagian, mati kaku semua secara mengenaskan sekali.
Setabah-tabah nyali Gak Lui,
tetapi demi menyaksikan adegan makan orang itu, tak urung hatinya menggigil
ngeri juga.
Tiba2 tampak sekilas sinar
emas memancar. Gak Lui tertarik perhatiannya. Ketika mengamati, ternyata
seorang kate yang berlutut dibawah kakinya, sedang menggigit sebuah Lencana
emas. Talc henti-bentinya orang itu menjilat dan menghisap Lencana emas itu.
Gak Lui hendak mengambil
lencana itu tetapi secepat kilat orang kate itu sudah menelannya. Gak Lui hanya
banting2 kaki.
„Gak-te, perlu apa engkau
menghendaki lencana emas itu?" tegur Kiam-gin.
„Lencana itu merupakan tanda
sebagai anakbuah Maharaja!"
Seketika berobahlah waiah
Kiam-gin., serunya geram: „O, kiranya kawanan budak musuh kita !"
„Benar," kata Gak Lui,
„Li Hui-ting lebih baik mati dari pada mengatakan nama pemimpinnya. Memang ada
dua buah hal yang perlu diselidiki!"
„Bagai mana?"
„Kesatu, hendak kutanya
padanya, apakah ia pernah melihat wajah Maharaja itu? Jika sudah, apakah
Maharaja itu memiliki hidung yang lengkap.
„Kuduga keduanya tentu hanya
seorang saja. Si Grumpung tak lain juga Maharaja itu!"
Lalu yang kedua?" tanya
Kiam-gin.
„Li Hui-ting telah menipu
gurunya untuk datang mengobati- seseorang. Entah siapakah yang diobatinya
itu?"
„Kedua soal itu kukira tiada
hubungan satu sama lain. Tetapi mengapa engkau begitu memperhatikan sekali
kepada Tabib-sakti Li Kokhoa?" tanya Kiam-gin.
„Dia adalah ..., kawan ayahku.
Aku sudah berjanji akan mencarinya!" sahut Gak Lui.
„Membalas sakit hati adalah
yang pokok. Dan mencari orang itu hanya sambilan saja. Kita segera akan
tinggalkan tempat neraka ini dan menuju ke gunung Thian-gan-san!" kata
Kiam-gin
Gak Lui memandang kearah
kawanan orang kate hitam itu. Tetapi ia merasa tenaganya sendiri sudah tak
mengidinkan. Terpaksa ia menghela napas lalu melesat keluar pondok dan lari
menuju kearah gunung Thian-gan-san mencari sumber air Pencuci Jiwa!.
GUNUNG THIAN GAN SAN atau Mata
Langit, penuh hutan belantara yang lebat. Iklim disitu tak sepanas seperti di
lembah tadi.
Ketika tiba dikaki gunung,
tiba2,mereka terkejut. Karang gunung disebelah mukanya gundul tiada tanaman
sama sekali. Tetapi pada karang itu disusun tulang2 manusia menjadi 4 baris
tulisan. Terkejutlah Gak Lui ketika membaca 4 baris tulisan itu.
Demikian bunyinya:
Sumber air Pencuci Jiwa
Siapa minum tentu binasa
Yang datang pulang saja
Agar jangan ..... hilang jiwa.
Kiam-ginpun terperanjat juga,
serunya agak gentar: „Tentu muncul orang aneh ditempat ini ! Dia tentu
sakti!"
„Tiada seorang manusia yang
dapat menghalangi aku ! Apalagi tulisan ini mengandungg itikad tidak
baik!" kata Gak Lui seraya mendahului maju.
Sepanjang jalan, ia melihat
tulang2 manusia. Ada yang masih utuh sebuah kerangka. Ada yang bersandar pada
pohon atau rebah diatas rumput. Dari posisi rerangka2 manusia itu, mereka tentu
mati akibat muntah2.
Gak Lui makin bersemangat.
Ia kencangkan larinya.
Setelah melintasi sebuah
tanjakan gunung, baru berjalan dua langkah, tiba2 ia terkejut mendengar
Kiam-gin menjerit..........."
„Engkoh Gin, jangan takut,
lekas ikut aku!" saat itu keadaan Gak Lui agak berobah. Pendengarannya
berkurang sekali sehingga ia tak mendengar bahwa teriakan Kiam-gin itu adalah
jeritan minta tolong.
Setelah berloncatan sampai
berpuluh-puluh tombak jauhnya barulah ia berpaling kebelakang dan hai ..... ia
tersentak kaget.
Kiam-gin lenyap dan sebagai
gantinya, seorang wanita tegak berdiri dihadapannya. Ketika beradu pandang
dengan wajah wanita itu, Gak Lui hampir menjerit kaget.
Rambut wanita itu melongsor
panjang sampai ketanah. Tangannya mencekal sebatang senjata cempuling. Panjang
satu meter. Potongan tubuh wanita itu elok sekali. Tetapi wajahnya .....
ah..... Wajahnya memang luar biasa cantiknya Bagaikan sebuah gambar bidadari
dalam lukisan. Tetapi sayang kaca pigura dari lukisan itu penuh dengan retak goresan.
Karena wajah cantik dari
wanita itu penuh berhias dengan goresan luka2 senjata tajam. Dan yang paling
menyeramkan, hidungnyapun telah terpapas hilang . . . .
Serta melihat hidung wanita
itu hilang, serentak, beringaslah Gak Lui.
„Ho, kiranya si Gerumpung!
Bersiaplah menerima kematianmu!" bentaknya.
la menutup kata2nya dengan
gerakkan kedua pedangnya menusuk dahsyat.
Tetapi wanita itu hanya
dingin2 saja. Tak menangkis, pun tak menghindar. Dan ketika pedang Gak Lui
tiba, dengan suatu geliatan tubuh yang lemah gemulai, ia dapat menyingkir
setengah dim dari ujung pedang.
Serangan Gak Lui, yang
dahsyat, tak mampu sama sekali menyentuh- ujung baju wanita itu !
Gerak geliatan dan ketenangan
yang luar biasa itu benar2 membuat Gak Lui terkejut sekali. Apalagi walaupun
tak balas menyerang, tetapi wanita itu dapat membuat Gak Lui tak berdaya
melancarkan serangannya lagi.
Namun pemuda itu masih
penasaran. Serentak ia gunakan jurus Rajawali-pentang-sayap untuk melambung
keudara. la menukik seraya lancarkan jurus Menjolok-bulan- memetik-bintang.
Dahsyat dan cepatnya bukan alang kepalang !
Rupanya wanita itu terpojok
dan tak dapat menghindar. Terpaksa ia gunakan pedang untuk menangkis.
Melihat itu semangat Gak Lui
tambah menyala. Ia taburkan pedang bagaikan bunga api berhamburan dan serentak
terdengarlah dering senjata beradu, tring..., tring .....
Gak Lui yakin sebentar lagi
pedang lawan tentu dapat dipapasnya kutung.
Tetapi pada saat gerakan Gak
Lui untuk melibat kemudian memapas itu akan berhasil, tiba tiba wanita aneh
mendengus pelahan dan merobah gerakan pedangnya. Tahu2 serangan Gak Lui itu
berantakan dan siwanita melesat mundur satu tombak jauhnya Gak Lui benar2
tercengang-cengang!
Berpuluh-puluh jago silat yang
pernah ditempurnya, asal ia gunakan jurus itu, tentu pedangnya dapat terpapas
kutung. Paling-paling ada beberapa tokoh yang karena memiliki tenagsa dalam
sakti, masih mampu bertahan dan menghindar.
Tetapi baru sekali inilah Gak.
Lui bertemu dengan seorang lawan yang menggunakan ilmu serangan pedangnya yang
istimewa itu.
Siapakah gerangan wanita aneh
itu? Mengapa wanita itu memiliki ilmu pedang yang sedemikian luar biasanya?
Tengah Gak Lui
menimang-nimang, tiba2 wanita itu berseru dengan dingin: „Budak, engkau salah
alamat! Lekas pulanglah!"
Hanya kata2 begitu yang
diucapkannya. Sedikitpun wanita itu tak mau bertanya apa2 lagi kepada Gak Lui.
Sikap dan nadanya sedingin patung. Seolah-olah menganggap manusia di dunia ini
hanya tanah liat belaka.
Terpengaruhlah Gak Lui melihat
sikap wanita aneh itu. Ia menyimpan pedangnya lalu bertanya: „Mohon tanya,
siapakah cianpwe? Aku....".
„Kita tak perlu saling
memberitahukan nama. Lekas tinggalkan gunung ini agar jangan mengganggu
ketenteramanku!" tukas wanita itu.
Diperlakukan dengan sikap
sedingin begitu, panaslah hati Gak Lui, serunya: „kha, kawanku yang seorang itu
. . . . dimana?" .
„Tak perlu banyak tanya lekas
pergilah!"
„Dia engkoh angkatku. Jika dia
sampai terganggu selembar bulunya, engkau harus memberi pertanggungan
jawab!"
„Engkoh angkat?"
„Benar!"
„Heh..., ..... heh:"
tiba2 wanita aneh itu mendesah muak, sepasang matanya memancar sinar hina dan
berserulah ia dengan nada marah: „Ngaco belo! Jika tak lekas angkat, kaki dari
sini tentu kubunuh kau, seorang manusia rendah!"
Sudah tentu Gak Lni tak mau
menerima makian semacam itu. Dengan menggembor marah ia menabas pedang wanita
itu dengan jurus membelah-emas- memotong kumala.
Rupanya wanita aneh itipun
marah juga. Sekali gerakkan pedang, berhamburanlah sinar putih laksana petir
menyambar-nyambar diangkasa.
Tubuhnya seolah-olah
terbungkus oleh gumpalan sinar pedang yang rapat sekali. Sedemikian rapatnya
sehingga air hujan tentu tak mampu mencurah masuk.
Ketika pedang Gak Lui
membentuk tembok sinar yang menyelubungi tubuh wanita itu, serentak ia rasakan
suatu tenaga mental menolak pedangnya sehingga ia tak mampu untuk melancarkan
jurus serangannya.
Gak Lui masih penasaran. Cepat
ia salurkan tenaga-sakti Algojo-dunia untuk menyedot dan mendorong. Dengan
perobahan itu, dapatlah ia menyiakkan sedikit lubang pada dinding sumur yang
membungkus tubuh wanita itu.
Wanita aneh terkesiap, heran.
Sepasang. matanya berkilat-kilat. Jurus vang dimainkan makin deras dan indah.
Tak ubah seperti burung cendrawasih tebarkan sayap.
Tak henti-hentinya terdengar
dering gemerincing dari senjata beradu. Serangan pedang Gak Lui yang sederas
hujan mencurah, tetap tak mampu menerobos ke dalam lingkaran sinar pedang
siwanita. Bahkan pemuda itu mulai mundur setapak demi setapak.
„Apakah racun dalam tubuhku
sudah mulai bekerja sehingga tenagaku berkurang?" diam2, ia merasa heran
pada dirinya.
Pada saat pikiran Gak Lui
sedang lengah, se-konyong2 wanita itu menarik pedangnya, diganti dengan gerakan
kelima jari tangan kiri untuk mencengkeram dada Gak Lui.
Gak Lui menyadari bahaya. itu:
„Jika ia balikkan pedang untuk memapas tangan lawan, kemungkinan akan termakan
siasat. Maka ebih baik ia hadapi dengan tangan kosong juga. Secepat pindahkan
pedang Pelangi ketangan kanan, ia segera balikkan telapak tangan kirinya untuk
menyongsong tangaw lawan.
Plak...!
Terdengar benturan keras dari
dua telapak langan dan seketika itu Gak Lui rasakan suatu arus tenaga hebat
menyusup kedalam telapak tangan aneh melanda kedadanya."
Gak Lui rasakan debur
jantungnya lemah dan napas engap.
la terhuyung- huyung 5-6
langkah baru dapat berdiri tegak lagi.
Tetapi tetap dadanya terasa
sakit, kedua mata mulai menghitam.
Dan pada saat ia terhuyung
kebelakang itu, wanita wajah rusak telah julurkan ujung pedangnya kearah Gak
Lui. Tetapi tiba2 ujung pedang digeliatkan untuk mencongkel pedang pemuda itu.
Tring...., tring..., sepasang pedang Gak Lui terkapar jatuh.
Kernudian dengan gerak
putaran,yang luar biasa indahnya, wanita itu meluncur kehadapan Gak Lui lalu
membentaknya: „Siapa namumu!"
Diam2 Gak Lui kerahkan
tenaga-dalam untuk bersiap-siap lalu menjawab dengan nada dingin: „Gak Lui
......."
„0....!, wanita itu terkejut
dan menyurut mundur dua langkah, alisnya mengerut keatas. ,,Engkau .... hendak
mencari aku?" serunya. ,
„Aku mencari sumber air
peucuci iiwal" Wajah tegang dari wanita itu mulai mereda.
Lalu berkata dengan masih
bernada dingin; „Orang yang sudah menyerang dua kali kepadaku, tentu takkan
kuampuni lagi...., tetapi kali ini engkau kuistimewakan .... terhadap saudara-angkatmu
itu, aku mempunyai cara lain !"
„Cara lain bagaimana
.......?"
„Barang siapa masuk ke gunung
sini, akan ku tindak menurut sekehendak hatiku. Orang lain tak boleh
bertanya!"
Gak Lui sudah menemukan
pengertian. Gerakan wanita mencongkel sepasang pedangnya tadi, jelas hampir
sama dengan ilmu permainannya sendiri. Serentak tergetarlah hatinya.
„Engkau . . . . cianpwe
siapakah? Mengapa jurus permainan pedangmu sama dengan aku?" serunya
tegang.
„Tak usah ngoceh ! Kusuruh
engkau pergi, demi kebaikanmu. Masakan perlu harus kupukul!" ,,Tetapi ilmu
permainan pedang cianpwe tadi
sungguh tak asing lagi . . . .
engkau . . . . engkau tentulah . . . . bibi guruku ketiga Pedang Bidadari Li.
Siok-gim . . . . !"
Mendengar ucapan itu, siwanita
aneh terkejut sehingga wajahnya berkerunyutan tegang sekali.
Tetapi samar2 dalam ketegangan
itu bersinarlah rasa dendam penasaran.
,,Bibi-guru, aku bukan orang
luar . . . ."
„Kutahu!"
,,Bibi-guru tahu?"
„Sudah tentu aku mengenalmu!
Perawakmu terang sebagai putera dari Pedang Malaekat Gak It-beng. Sedang jurus
permainan silat dan pedangmu adalah ajaran Pedang Laknat, tetapi....."
„Tetapi bagaimana ....."
„Kepandaianmu yang begitu
rendah, membuat orang kecewa!"
,,Aku telah terkena racun
Penyurut-tulang...... "
„Bibirmu hitam, tenggorokanmu
parau, memang akibat keracunan. Tetapi jurus permainan pedangmu tadi, seperti
asli .... seperti bukan. Banyak bagian2 yang tak tepat. Entah bagaimana cara
mereka mengajarinya!"
Merahlah muka Gak Lui,
sahutnya dengan nada sarat: „Bukan karena salah paman guru, karena beliau tak
dapat memberi petunjuk yang nyata!"
Pedang Bidadari Li Siok-gin
gemetar, serunya: „Mengapa?"
Gak Lui segera menuturkan
riwayatnya dengan ayah angkat atau paman guru si Pedang Laknat Ji Ki-tek selama
ini. Kemudian ia bertemu dengan Pedang Iblis Ko Tiong-ing. Bagaimana keadaan
dan pengalamannya selama bertemu dengan paman gurunya itu, pun diceritakan
dengan jelas.
Dalam membawakan ceritanya itu
karena terharu, airmata Gak Luipun bercucuran membasahi mukanya.
Wajah Pedang Bidadari Li
Siok-gim yang penuh dengan guratan pedang itu, selain tampak tua, pun telah
meneteskan dua titik airmata juga.
SETELAH menghela napas dalam2,
tiba2 ia menengadahkan muka dan tertawa dingin: „Memang jauh2 aku sudah
meramalkan bakal menemui peristiwa yang menyedihkan itu. Tetapi sungguh
menjengkelkan sekali karena saat itu Pedang Iblis tetap tak mau mendengarkan
sungguh-sungguh mengecewakan harapan suhu Bu-san It-ho yang telah berjerih
payah memberi pelajaran...."
„Bibi, dengan munculnya orang
yang menyebut dirinya sebagai Maharaja, jelas dia seorang durjana yang ganas.
Tetapi mengapa bibi hanya berdiam disi tak keluar menghadapi durjana itu?"
Pedang Bidadari bergelora
hatinya. Dengan mata berkilat-kilat, ia berkata: „Aneh! Dahulu ayahmu telah
meninggalkan surat supaya mencari aku. Tetapi mengapa engkau tak pernah
mengungkat hal itu? Mengenai sepak terjang Maharaja itu, memang tampaknya
selalu memusuhi perguruan kita Bu-san-kiam-pay. Tetapi sekalipun kekuatan dari
keempat jago pedang Bu-san itu tak lemah, namanya belum cukup termasyhur!"
,,Hal itu . . . . tentulah
orang yang mempunyai sangkut paut dengan partai Bu-san-kiam-pay!"
,,Hm, tetapi orang yang
mempunyai hubungan . . . . terlalu sedikit sekali!"
Gak Lui menggigil. Tiba-tiba
ia berseru: ,,Menurut keterangan, gi-hu, aku masih mempunyai paman guru yang
tertua yang telah diusir dari perguruan!"
,,Ah, tak mungkin dia !
Walaupun aku tak kenal namanya tetapi sebab-sebab dia diusir dari perguruan
kita, walaupun secara tak sengaja suhu telah kelepasan mengomongkan hal
itu!"
,,Oh, apakah sebabnya
itu?"
„Karena sebelum mendapat
perintah suhu, dia berani bertindak sendiri . . . ."
,,Bagaimana?" Gak Lui
menegas.
,,Ini aku telah mengangkat
sumpah dihadapan suhu, takkan membocorkan kepada lain orang!"
Mendengar itu Gak Lui amat
kecewa. Jika tetap mendesak, tentu bibi gurunya akan melanggar sumpah. Namun
kalau tak bertanya lebih jauh, tentulah usaha untuk menyelidiki musuhnya itu
sukar tercapai.
Pedang Bidadari tak
memperhatikan keresahan Gak Lui.
la balas bertanya: „Apakah
engkau pernah mendengar atau bertemu dengan orang yang menggunakan jurus ilmu
pedang Bu-san-kiam-pay?"
,,Tidak!" Gak Lui, diam2
ia memperhatikan perobahan wajah bibi gurunya itu. Tak dapat disangsikan lagi,
satu-satunya orang yang dapat melakukan jurus ilmu pedang Bu-san-kiam pay,
siapa lagi kalau bukan paman gurunya yang kesatu itu. Apalagi .... dia telah
diusir dari perguruan.
Merenung sampai disitu,
serentak ia mendesak dengan nada tegang: „Bibi, dapatkah bibi merenungkan lebih
lanjut. Adakah sebab dari pengusiran paman guru kesatu itu mempunyai hubungan
dengan sakit hati yang sedang kutuntut?
Banyak tokoh2 persilatan yang
dicelakai. Saudara angkatku Hi Kiam-gin itu salah seorang korbannya . . .
."
„Hm, lagi2 engkoh angkatmu itu
......" tiba2 Pedang Bidadari mendengus dan berobah wajahnya.
„Bukan melainkan dia, masih
ada ......'
,,Siapa lagi?"
„Masih ada seorang Li
Siau-mey. Ayahnya telah hilang bertahun-tahun. Mungkin ada hubungannya juga . .
. ."
Tanpa menunggu Gak Lui selesai
bicara, Pedang Bidadari menukas bengis : „Li Siau-mey tentu seorang gadis.
Engkau mempunyai hubungan apa dengan dia?"
„Ini ...." tiba2 muka Gak
Lui merah. Sesaat ia tak dapat menyahut.
Melihat sikapnya, Pedang
Bidadari segera menyadari.
Ditatapnya pemuda itu dan
dengan nada yang muak2, marah ia berteriak: „Ah...., kiranya engkau begitu,
sungguh memalukan....! Sungguh hina....!"
„Aku mempunyai sebab . . .
."
„Manusia jahat didunia, tiada
seorangpun tak punya alasan. Aku tak sudi mendengar dan tak sudi mengakui
engkau sebagai murid-jCeponakan!"
„Oh ...." Gak Lui
mendesuh. Mengira kalau bibi-gurunya malu mengakui dirinya sebagai
murid-keponakan karena menganggap dirinya rendah kepandaian, buru- buru
berseru: „Walaupun aku bodoh dan tak berguna, tetapi sudilah bibi memandang
muka ayah dan paman ..."
Mendengar itu bukan reda
tetapi kemarahan Pedang Bidadari malah berkobar.
„Ayahmu telah putus hubungan
kasih dengan aku. Pedang Anehpun -telah menghapus ikatan menikah dengan aku.
Pedang lbispun putus hu- bungan saudara seperguruan dengan aku. Aku.......
telah bersumpah takkan mengurus persoalan mereka. Engkau seorang budak kecil
tetapi terlalu bertingkah . . . . "
„Aku tak mengerti maksud
bibi-guru."
„Hm, berani terus terang
berbohong, menambab setingkat dosa !. Engkau benar2 harus minum air Pencuci
Jiwa supaya isi dadamu bersih!"
„Mohon tanya, dimanakah letak
sumber air itu?"
„Disebuah guha pada puncak
gunung, engkau carilah sendiri!"
Habis berkata Pedang Bidadari
terus berputar tubuh dan melesat keluar.
Gak Lui terkejut dan
memburu:,,Bibi .... bibi . . . ."
Tetapi ilmu meringankan tubuh
dari Pedang Bidadari itu terlampau tinggi. Dalam beberapa loncatan wanita itu
sudah 100-an tombak jauhnya.
Gak Lui mati-matian mengejar.
Ia menyusur jalanan yang merupakan satu-satunya jalanan disitu dan kembali tiba
dikarang kaki gunung yang berhias huruf2 tulang manusia.
Tetapi ia tetap tak menemukan
bibi gurunya, pun tidak Hi Kiam-gin.
Gak Lui tegak-termenung dikaki
karang gunung itu.
Pikirnya: „Mungkin bibi tak
dapat memaafkan ayah dan kedua pamanku. Tetapi mengapa dia memandang hina
padaku? Dari sinar matanya, jelas ia bukan hanya menghina kepandaianku yang
rendah, pun masih ada sebab lain lagi! Entah adakah sebab itu! Bibi tahu apa
sebabnya paman.kesatu diusir dari perguruan oleh kakek-guru. Juga bibi-guru itu
tahu tentang suatu rahasia dari kakek-guru. Apakah sesunghnya dibalik peristiwa
itu? Apakah hal itu mempunyai hubungan dengan si Gerumpung?"
Demikian pikiran Gak Lui
melayang-layang menganalisa peristiwa pertemuannya dengan Pedang Bidadari Li
Siok-gim yang menjadi bibi-gurunya.
Dan kemanakah gerangan
lenyapnya Hi Kiam-gin tadi? Ah, kesemuanya itu hanya bibi-gurunya, yang tahu.
Tetapi bibi-gurunya telah lari dan melenyapkan diri . . . .
Tiba2 Gak Lui tersentak kaget.
Tubuhnya terasa menggigil kedinginan. Dan matanyapun terasa berkunang-kunang.
Ada sesuatu perobahan yang tak wajar pada dirinya.
„Celaka! Racun Penyurut-tulang
mulai bekerja! Aku harus lekas2 mencari sumber air Pencuci Jiwa itu!" ia
terkejut dan gelagapan dari la munannya.
Diatas puncak gunung
Thian-gan-san atau Mata Langit memang terdapat sebuah guha. Guha itu berasal
dari pecahan batu gunung yang retak. Pada jalan muka guha, penuh dijajar
tulang2 manusia.
Dengan langkah terhuyung dan
mata suram, kulit berwarna hitam, Gak Lui dapat juga mencapai, puncak gunung
itu.
Antara sadar tak sadar, ia
berseru parau: „Air...! Air...! Mana ...... !"
Ketika mendengar gemericik air
memancar ke luar dari guha, seketika mata Gak Lui berbalik. Dengan tersenyum
simpul, ia berseru gembira: „Oh, kiranya . . . . disini!"
Sekali melesat ia terus
meiangkah. Tetapi bukan berjalan maju melainkan terus terjungkal rubuh ketanah!
Namun ia menggertakkan gigi
dan paksakan diri untuk merangkak bangun lalu nekad masuk ke dalam guha itu.
Guha itu ternyata amat dalam
dan lembab. Baru melangkah tiga empat tindak, ia mendapatkan beberapa rerangka
tengkorak malang melintang ditanah.
Saat itu racun dalam tubuh Gak
Lui sudah mulai bekerja. Ia rasakan sekujur tubuhnya seperti digeremeti ribuan
semut dan kutu2. Tulang2 sama mengejang. Seketika gelaplah matanya, kedua lutut
lemas dan bluk .... jatuhlah ia diatas salah sesosok tengkorakl
Tengkorak itu hancur
berantakan. Tetapi giginya yang runcing menjulur kebawah, menganga seperti
hendak berkata . . . .
„Apa katamu !" teriak Gak
Lui dalam keadaan tak sadar pikiran. Suaranya parau, tenggorokan kering, „Ah ..
engkau mengatakan air sumber disini tak boleh diminum ! Terima kasih ....
peringatanmu. Aku. .. hendak ... mencobanya . . . "
Dia merayap sampai keujung
dalam guha.
Pada puncak guha yang tinggi,
menjulur sebuah batu besar.
Bentuknya menyerupai hati
seorang manusia.
Warnanya merah seperti api.
Sejalur air jernih, memaocur
keluar dari ujung batu berbentuk hati itu, jatuh kebawah tanah yang membentuk
seperti empang batu.
Empang batu itu luasnya dua
tombak lebih. Dibagian tengah terdapat lobang bundar yang tembus kebawah entah
berapa dalamnya.
Tampak pada permukaan empang
yang penuh air itu, tertutup oleh uap tebal. Air berputar mengalir kebawah
lubang. Dengan lubang saluran itu empang tetap penuh tetapi tak meluap.
Hati Gak Lui amat tegang
sekali menyaksikan pemandangan yang hebat itu. la berhenti ditepi empang.
Matanya memandang tak berkedip pada empang itu.
Melihat air yang jernih dan
segar, tak dapat lagi Gak Lui menahan tenggorokan yang serasa kering terbakar
kehausan.
Tiba2 ia seperti melihat wajah
paman guru-nya si Pedang Iblis tersembul dari dalam sumber air ............
„Anak Lui, jika ingin
menyakinkan ilmu kepandaian yang tiada lawannya di dunia, engkau harus mencuci
hatimu dengan air disini. Karena sudah datang kemari, apa yang masih engkau
tunggu lagi ?" .... Gak Lui merasa paman gurunya itu berka!a kepadanya,
„Baik..., baik.... ! aku
segera minum !" sahut Gak Lui, lalu menunduk ketepi empang. Dengan kedua
telapak tangan, ia menyerok air.
Seketika ia rasakan serangkum
tenaga panas menembus tangannya hingga jari2 yang membeku dingin terasa seperci
terbakar.
„Jangan minum ! Air sumber itu
entah telah membunuh beberapa banyak manusia. Mengapa engkau juga akan
mencobanya !"
Sekonyong-konyong terdengar
suara orang berseru.
„Siapa engkau !"
„Aku Pedang Samudera Hi
Liong-hui, sengaja kemari untuk memperingatkan engkau !"
Saat itu racun dalam tubuh Gak
Lui makin merangsang keras. Dia benar2 hilang kesadaran pikirannya.
la berpaling dan melihat tanah
penuh berserakan tengkorak. Cepat ia bangkit, serunya : „Tidak boleh diminum
?"
„Tidak boleh !"
„Kami adalah contoltnya . . .
."
Kedua tangan Gak Lui gemetar.
Seaaat tak tahu ia bagaimana harus bertindak.
.
Tiba2 ia melihat bibi gurunya
muncul dan mengamuk. la bolang-balingkan pedangnya menabas kawanan tengkorak
yang berada dalam guha situ seraya memaki : „Hatimu harus disuci, mengapa
kalian usil mencampuri urusan orang ....... !"
Pikiran Gak Lui makin kosong.
Tiba2 ia membuka kedua
tangannya dan jatuhlah air berhamburan ketanah.
la rasakan tanah yang dipijak
itu seperti berputar-putar.
Gelap .... gelap diseluruh
penjuru.
Tubuhnya terhuyung kian-kemari
dan sekali tergelincir, blung .... ia kecemplung kedalam empang !
la tak bisa berenang. Maka
begitu terbenam kedalam air, mulutnya segera berbunyi bergemerutukan karena air
masuk kedalamperutnya.
Air dari sumber Pencuci Jiwa berbeda
dengan racun Penyurut-tulang.
Seketika ia rasakan
tenggorokannya seperti dibakar api, terus menyusup kedalam urat2. Ketika aliran
panas itu mergalir kedadanya, ia megap-megap tak dapat bernapas. Dan kesadaran
otaknyapun melayang .....
Pada saat ia pingsan beberapa
jenak, Pedang Bidadari Li Siok-gim menyusup masuk.
Melihat keadaan Gak Lui,
seketika berobah ngerilah wajah wanita itu. Cepat ia gunakan pedang untuk
mengangkat tubuh Gak Lui dari empang. Ketika memeriksa hidung dan denyut
pergelangan tangannya, ia dapatkan pemuda itu sudah mati ..........
---oo0oo---
Tetapi Pedang Bidadari masih
tak putus asa. Ia hendak merebut jiwa Gak Lui dari genggaman Elmaut. Cepat ia
mengurut dan menutuk jalandarah pemuda itu. Lalu menyaluri dengan tenaga murninya.
la percaya dengan ilmu
kepadanya yang tinggi, tentulah pemuda itu tertolong yiwanya.
Tetapi ternyata saluran tenaga
murni itu bagaikan air mengalir kelaut. Sampai menghabiskan 7 bagian dari
tenaga murninya, tetap Gak Lui tak dapat sadar.
Lewat beberapa saat kemudian,
napas Pedang Bidadari terengah-engah. Terpaksa ia menyudahi penyaluran tenaga
murni. Air matanya mengucur deras dan dengan menangis tersedu-sedan ia berkata:
„Anak Lui, tadi telah kutanyai Hi Kiam-gin, ternyata engkau ...... masih suci .......
tetapi...... kecurigaanku telah menyebabkan engkau mati...... Kini empat Pedang
Gunung Bu-san, telah putus keturunannya .... hanya kematianlah yang pantas
untuk menebus kedosaanku . . . ."
Wanita yang rusak wajahnya itu
mengangkat tubuh Gak Lui lalu melangkah keluar menuju ke terowongan kecil
dibelakang guha. Diletakkan tubuh Gak Lui dalam terowongan kecil itu lalu
ulurkan tangannya hendak mewbuka kedok muka Gak Lui. Tetapi tiba2 tangannya
gemetar. Terpaksa ia menarik kembali dan menghela napas.
„Ah, wajahmu tentu mirip
dengan Gak Tiang-beng. Aku o... tak .... tak perlu melihat. Biarlah engkau
berkubur dengan dandanan sewaktu engkau datang kemari ! "
Setelah memandang Gak Lui
beberapa saat, ia melesat ke luar. Dihantamnya dinding karang mulut terowongan
itu. Karang berhamburan jatuh menutup pintu terowongan.
Setelah itu ia menulis
beberapa patah kata : „ Makam Gak Lui"
Setelah selesai melakukan
penguburan, ia kembali ke tempatnya semula. Diam2 ia merasa heran: „ Ah,
mengapa Hi Kiam-gin belum menyusur kemari ? Memang, luka yang kuberikan padanya
dengan tusukan pedang itu tentu cukup parah .... ah, kini Gak Lui sudah
meninggal, benar-benar aku tak ada muka untuk menemuinya lebih baik
kutinggalkan surat pesananku yang terakhir . . . . ."
Cepat ia mencabut pedang,
menggurat lengannya kiri. Merobek bajunya lalu menulis dengan ujung jari yang
dilumurkan pada darah di lengannya itu. Selesai menulis, diletakkan robekan
baju itu di bawah batu.
Setelah itu ia berputar diri.
Tiba2 pandangan matanya tertumbuk pada sumber air Pencuci Jiwa. Seketika
meluaplah kemarahannya.
„Engkau . . . . engkaulah . .
. yang telah membunuh keponakanku. Rasakan pembalasanku.. .. !" .
Dengan mengerutkan geraham, ia
loncat masuk keadam guha dan membabat batu merah berbentuk Hati yang
memancarkan air.
Bruk .... walaupun batu
berbentuk Hati itu setebal lengan bocah, tetapi tetap tak kuat menerima tabasan
pedang yang diancarkan dengan sepenuh tenaga oleh wanita itu.
Pedangpun putus tetapi batu
berbentuk hati itupun hancur seketika. Terdengar ledakan keras disusul dengan
gelombang air yang berhamburan laksana gelombang mendampar.
Batu berbentuk Hati itu
berguguran jatuh kedalam empang batu.
Menyusup kedalam lubang
ditengah empang batu terus tenggelam kebawah.
Sejak saat itu putuslah sumur
air Pencuci jiwa.
Empang batu kering sama sekali
....
Setelah menghancurkan bangunan
yang istimewa itu, Pedang Bidadari menghela napas.. la, rasakan dunia ini hampa
......
la tak menghiraukan darah yang
mengalir deras dari lengannya yang ditusuknya sendiri tadi. la sudah memutuskan
untuk bunuh diri. Asal darah dalam tubuhnya mengalir sampai habis melalui luka
tengannya itu, tentulah ia segera terbebas dari derita Dendam dan Kasih !
Tiba2 ia melesat masuk kedalam
ruang tempat tinggalnya, selama ber-tahun2 ia meuyembunyikan diri itu.
---oo0oo---
BAB 09 : KEMBALI DARI AHIRAT
PADA SAAT PEDANG BIDADARI
kembali ke guha kediamannya, Hi Kiang-gin pun dengan terhuyung-huyung langkah
tiba di sumber air Pencuci Jiwa.
Tetapi keadaan pemuda itu
tidak seperti beberapa waktu yang lalu. Rambutnya terurai ke bahu. Dan
wajahnyapun berobah menjadi seorang gadis yang cantik. Ah, ternyata Hi Kiam-gin
itu seorang gadis yang menyamar sebagai pemuda.
Kakinya berlumuran darah,
langkahnya terhuyung-huyung .........
Kiranya waktu dihadang oleh
Pedang Bidadari tak boleh mengikuti Gak Lui naik ke sumber Pencuci Jiwa,
terjadilah bentrokan antara gadis itu dengan Pedang Bidadari.
Sudah tentu Kiam-gin bukan
lawan Pedang Bidadari. Dalam keadaan terdesak, gadis itu taburkan senjatanya
rahasia Pelor Api.
Tindakan Kiam-gin itu telah
menimbulkan kemarahan Pedang Bidadari. Diberinya sebuah tusukan lalu ditutuk
jalan darahnya dan diletakkan dalam hutan. Setelah itu Pedang Bidadari mencari
Gak Lui. Tujuannyapun hendak mengenyahkan pemuda itu dari gunung Thian-gan-san.
Walaupun dalam pertempuran
dengan Pedang Bidadari tadi, Gak Lui sudah mengetahui bahwa wanita berwajah
rusak itu adalah bibi gurunya sendiri namun tanpa disadari, dalam kata-katanya
pemuda itu telah menyinggung perasaan bibi gurunya. Pada hal yang disinggung
Gak Lui itu justeru merupakan pantangan besar bagi Pedang Bidadari.
Demi 'Asmara', maka Pedang
Bidadari sampai mengalami derita hidup yang berlarut-larut. Dia membenci kaum
pria, terutama. pria yang merasa sok - pintar, bencinya bukan kepalang. Dan Gak
Lui pun dianggapnya seorang pemuda yang berlagak pintar. Maka Pedang Bidadari
marah. Apalagi diketahuinya bahwa Hi Kiam-gin itu hanyalah seorang gadis yang
menyamar sebagai seorang pemuda.
Timbullah kecurigaan Pedang
Bidadari terhadap pemuda yang menjadi murid keponakannya itu. la auggap pemuda
itu seorang pemuda yang serong berani mengatakan Hi Kiam-gin sebagai engkoh
angkatnya, pada hal hanya seorang gadis.
Dan kemarahan wanita patah
hati itu makin menjadi-jadi ketika Gak lui menyebut-nyebut tentang seorang
gadis bernama Li Siu-mey. Dalam murkanya, Pedang Bidadari terus melesat pergi.
Tetapi setiba diguha
kediamannya, terkenanglah ia akan kekasihnya dahulu Gak Tiang-beng (ayah Gak
Lui) yang bersama kedua saudara seperguruannya Pedang Iblis dan Pedang Aneh
telah menderita kematian yang mrigenaskan. Seketika redalah kemar'ahan Pedang
Bidadari. Kemudian setelah memikir dengan kepala - dingin, ia anggap Gak Lui
itu bukan seorang pemuda yang bermoral tipis suka menyia-nyiakaa kasih,
mempermainkan kaum gadis.
Buru2 wanita itu menuju
kehutan dan menolong Hi Kiam-gin. Setelah mengadakan tanya jawab dengan
Kiam-gin barulah Pedang Bidadari, menyadari bahwa Gak Lui itu seorang pemuda
yang berkelakuan bersih.
Segera ia menyuruh Kiam-gin
berjalan mendaki sendiri ke puncak. Sedang ia dengan gunakan ilmu lari cepat
segera menuju ke sumber air Pencuci Jiwa. Tetapi ternyata tetap
terlambat...........
Mendengar keterangan Pedang
Bidadari bahwa kemungkinan Gak Lui tentu menemui kesukaran bahaya, Kiam-gin
gelisah. Tanpa menghiraukan lukanya yang masih belum sembuh, ia terus menuju ke
sumber air mencari Gak Lui. Ketika ia tiba ditempat itu ternyata Pedang
Bidadari sudah mengubur Gak Lui dan tinggalkan tempat itu.
Betapa kejutnya ketika ia
dapatkan empang batu sudah hancur berantakan dan ditanah terdapat kutungan
pedang serta ceceran darah.....
Seketika menggigiliah perasaan
Kiam-gin. Airmatanya berderai-derai seperti hujan. Dan ketika melangkah keluar
melihat pada dinding karang terdapat tulisan 'Makam Gak Lui', pecahlah tangis
gadis itu.
la menangis tersedu-sedu
seperti kehilangan orangtuanya. Ia menyesal karena telah menyamar sebagai
seorang pria sehingga Gak Lui menganggapnya sebagai seorang engkoh. Dan karena
anggapan itulah maka Gak Lui tak mengerti akan rasa cinta Kiam-gin
kepadanya.........
Rasa sesal dan sedih
ditumpahkan dalam banjir mata Kiam-gin telah menguras habis airmatanya sehingga
kering. Dan karena airmatanya habis, maka mulailah darah yang
bercucuran.........
Tiba2 ia menghantam pintu
terowongan dan tanpa sengaja telah menemukan robekan kain. Cepat2 dibukanya
kain itu. Ternyata terdapat tulisan darah yang ditujukan kepadanya :
Hi Kiam -gin,
Keponakanku Gak Lui mati dalam
sumber Pencuci Jiwa. Tak dapat ditolong lagi. Dendam sakit hati kalian berdua,
memang pelik sekali. Lekas pergilah ke gunung Busan puncak Cap-ji-hong dan
berserulah 'Thian Lui' senyaring-nyaringnya.
Mungkin mendapat suatu
keajaiban. Jika saat itu menemukan sesuatu jejak musuh, engkau harus berlatih
silat dengan segiat-giatnya. Demi untuk membalaskan sakit hati kami semua.
Surat itu tiada bertanda
tangan, melainkan disudahi dengan dua buah kata 'Tulisan Akhir'.
Tahulah Kiam-gin bahwa yang
menulis surat darah itu tentu sudah mati juga. Kembali ia kucurkan airmata.
Diulanginya surat itu sampai beberapa kali. Sekalipun tak mengerti apa maksud
sebenarnya dari surat itu, tetapi ia sudah mendapat sedikit harapan yang cukup
membangkitkan kekuatannya.
Segera ia bulatkan tekad dan
tengadahkan kepala keatas, berdoa :
„Cianpwe, tanpa menghiraukan bahaya apapun jugs, aku tentu akan
melaksanakan pecan cianpwe. Aku segera akan menuju kepuncak Cap-ji-hong gunung
Bu-san untuk mencari jejak dan menghimpaskan dendam cianpwe !"
Kemudian iapun berdoa kepada
arwah ayah dan paman gurunya Ngo Bun-hwa
„Anak memang tak berbakti,
diam2 telah tinggalkin rumah menyaru menjadi pria. Sehingga menyebabkan ayah
dan paman menderita perasaan. Sejak saat ini, anak akan kembali menjadi scorang
gadis itu dan bertekad bulat untuk membalaskan sakithati keluarga kita,
Harap arwah ayah dan paman
mengasoh dengan tenteram di alam baka !"
Yang terakhir ia merabah nama
Gak Lui seraya berseru dengan hati pilu : „Adik Lui .... jangan kuatir. Setelah
nanti musuh kita bersama itu dapat kutumpas, aku tentu akan kembali kemari lagi
untuk menemanimu .... menemani engkau untuk selama-lamanya ........ takkan
barpisah lagi ........"
Duka dan dendam, memenuhi
rongga dadanya. Ia memutar tubuh terus lari terhuyung-huyung.
Suasana disekeliling guha
hening lelap. Hanya tulang belulang, ceceran darah...... hancuran batu dan
kutungan pedang yang berserakkan ditanah ....
Sejam kemudian tiba2 terdengar
deraip langkah kaki yang halus. Dan dalam keremangan suasana, muncullah seorang
dara cantik mengurai rambut.
Gadis itu berjalan dengan
hati2 sambil memandang kian kemari sambil pasang telinga. Jelas dia bukan Hi
Kiam-gin yang datang kembali. Melainkan gadis ular Li Siu-mey.
Waktu memasuki guha, ia
memperhatikan sekali setiap benda yang berada disitu, bahkan sebatang rumputpun
tak, luput dari pengawasannya.
Ceceran darah ditanah,
kutungan pedang dan empang batu yang hancur, semua diketahuinya. Hanya pada
saat matanya tertumbuk akan tulisan
yang berbunyi : MAKAM GAK LUI,
serentak meraunglah ia seperti seekor singa betina yang kehilangan anaknya !
Tetapi beberapa saat kemudian
ia terkesiap meragu „Aah....! Engkoh Lui tak mungkin sudah mati. Karena baik
manusia maupun binatang, apabila mati tentu meninggalkan bau yang istiwewa.
Tetapi terowongan ini sama sekali tak mengeluarkan bau semacam itu. Apakah
terowongan itu hanya sebuah tipu muslihat saja, sebuah jebakan ....... "
Cepat ia memeriksa semua bekas
benda peninggalan disitu. Kutungan pedang itu diambil dan dibaunya.
„Ahh...., pedang ini bukan
milik engkoh Lui! Tetapi milik seorang perempuan ...... dan bukan milik
kawannya itu! Dan empang batu yang rusak itu adalah bekas reruntuk sumber air
Pencuci Jiwa. Tak mungkin engkoh Lui menghancurkannya. Tentulah kedua perempuan
itu!"
Gadis ular Siu-mey mengadakan
analisa. Kemudian ia melanjutkan pula: „Dan yang paling aneh adalah bekas
ceceran darah ini. Darah itu tidak berhamburan kemana-mana, bukan menyerupai
kucuran luka. Kalau begitu, orang itu tentulah bersahabat. Mungkin sudah tahu
tentang kematian engkoh Lui.... tetapi ahh...., mungtin juga suatu
perangkap!"
Dua macam penilaian terlintas
tak menentu dalam benaknya. Sambil mencekal kutungan pedang, tak tahu bagaimana
ia harus bertindak.
la merenung sampai lama
sekali. Akhirnya rssa Cinta telah mendapat tempat yang utama dalam sanubarinya.
Segera ia gunakan kutungan
pedang itu untuk menggali batu yang menutup lubang makam Gak Lui. Dengan sekuat
tenaga ia menggali batu dan akhirnya dapatlah ia membuat sebuah lubang sebesar
setengah meter.
la segera susupkan kepalanya
kedalam. Ah, sama sekali ia tak mencium bahu mayat. Jelas kekasihnya itu belum
mati.
Setelah mendapat kepastian
itu, mulailah ia bertindak untuk menolong Gak Lui. Dengan bergeliatan macam
ular, tubuhnya yang lemas gemulai segera menyusup kedalam terowongan. Akhirnya
berhasillah ia masuk kadalam.
Terdengar beberapa kali ia
meneriaki „engkoh Lui..., engkoh Lui..." Setelah itu hening lelap.
Kira2 sepenanak nasi lamanya,
gadis itu menyusur keluar lagi. Wajahnya penuh tanda tanya. Rupanya ia telah
menemukan sesuatu yang mencurigakan. Segera ia menurutkan bekas ceceran darah
itu.............
---oo0oo---
BAB 10 : AKHIR HAYAT PEDANG
BIDADARI LI SIOK GIM
„ENGKOH GIN ...." tiba2
terdengar suara seseorang.
„Aku bukan engkoh Gin tetapi
adikmu Siumey!" sahut lain suara.
„,Hai, aku bermimpi ..... atau
mati ....?"
„Tidak bermimpi, pun tidak
mati !"
„Lalu aku ....... "
„Engkau telah pingsan selama
satu bulan tak ingot diri. Untung aku segera dating pada waktu yang tepat.
Kalau tidak, engkau tentu tak akan ingat diri selama-lamanya !"
Sesosok tubuh melenting bangun
diri tanah. Dia bukan lain adalah Gak Lui dan yang rebah disamping itu adalah
sigadis ular Siu-mey.
„Hai .... !" Gak Lui
mendesis kaget, ketika rasakan tubuhnya seringan bulu. Hampir tak percaya ia
akan apa yang dialaminya itu.
„Aku terminum racun. Penyurut
tulang, lalu kecebur dalam sumber air Pencuci Jiwa. Seharusnya aku muntah?.
Tetapi mengapa tidak ..."
„Engkau tak pernah muntah
!" kata Siu-mey.
„Sungguh aneh ......"
„Ditilik dari ilmu pengobatan,
hal itu memang tak aneh. Ketika aku datang kemari, aku melintasi lembah yang
panas itu ......."
„Itu!ah Lembah Mati !"
tukas Gak Lui, apakah engkau juga melihat kawanan orang pendek berkulit hitam
itu.
„Mereka diminumi racun
Penyurut tulang !" sahut Siu-mey," rupanya racun itu terbuat diri
ramuan pohon Laci, kepala burung bangau dan bangkai ulat .. . racun bersifat
dingin dan berkhasiat membius !"
„Itu benar," kata Gak
Lui.
„ketika termakan racun, bukan
saja aku ingin makan lagi, pancainderaku pun berkurang ketajamannya. Sedang
mulutkupun seperti mati rasa !"
„Jelas hal itu memang benar
sekali !" kata Siu-mey, „air sumber Pencuci Jiwa itu panas, dan pahitnya
bukan kepalang. Orang minum tentu akan muntah. Tetapi bagimu air sumber itu
dapat menghapus racun dan menambah tenaga !"
„Oh ... ," seru Gak Lui,
„kalau dipikir-pikir, semua perbuatan jahat itu tentu mendapat pembalasan yang
setimpal. Li Hui-ting yang meracuni aku itu, ternyata adalah murid yang telah
menipu ayahmu. Menurut keterangannya, ayahmu masih hidup ..."
,,Hai ! Dia ... dia ... dimana
?" sera Siu-mey.
„Sayang Li Hui-ting sampai
mati tak mau menerangkan. Sebelum selesai kutanya, dia sudah menggigit putus
lidahnya dan mati "
Siu-mey Girang2 sedih. Dengan
air mata bercuccran ia berkata : „Jika ayah benar masih hidup, syukurlah. Pada
suatu hari aku pasti dapat menemukannya . . ."
Gak Lui merghiburnya. Setelah
nona itu mengusap airmata, berkatalah Gak Lui : „Adik Mey, waktu engkau mendaki
gunung apakah engkau bertemu dengan bibi guruku ?"
Mendengar pertanyaan itu,
airmata Siu-mey bercucuran lagi : „Ia karena .... tak mengerti ilmu pengobatan,
megira engkau mati keracunan air sumber lalu marah dan menghancurkan sumber
ini, kemudian ia sendiri juga ...
„Bagaimana ?" teriak. Gak
Lui tegang.
„Memotong urat pergelangan
tangah dan akhirnya meninggal karena kehabisan darah."
„Mengapa ... engkau . . . .
tak menolong ?"
„Kuturutkan bekas ceceran
darah dan akhirriya sampai pada tempat rahasia kediamannya. Kudapati lukanya
amat parah tetapi ia tak mau kuobati. Baru setelah kuterangkan bahwa engkau tak
mati ia tampak tenang dan mau memakan rumput harum. Semangatnya seketika segar
lalu suruh aku kemari menjengukmu . . . ."
„Ah, tak seharusnya engkau
tinggaikan dia !"
Pipi gadis itu bersemu merah,
sahutnya pelahan : „Aku ... aku mencemaskan dirimu dan lagi, tak kira pada
waktu aku kembali kesaoa lagi, ternyata beliau sudah meninggal ....."
Gak Lui menghela napas
panjang.
Airmata-nya mengalir deras.
Beberapa saat kemudian baru ia bertanya : „Adakah beliau pernah mengatakan
tentang engkoh angkatku Hi Kiam-gin ?"
„Waktunya amat singkat sekali,
tak mengatakan hal itu ......."
„Adakah engkoh angkatku itu
juga tertimpal3 sesuatu ?"
Tiba2 wajah Siu-mey berobah
dan menyahut dengan kurang senang : „Engkoh Lui, terus terang kukatakan
kepadamu. Selama ini aku selalu mengikuti perjalananmu. Sekalipun karena
kebakaran di hutan itu telah menangguhkan waktuku selama setengah hari, tetapi
sejak saat itu kulihat engkau selalu berjalan bersams seorang gadis remaja
!"
„Gadis ?" Gak Lui
terbeliak.
„Benar!, Dari baunya.....
dapat kuketahui jelas, dia seorang anak perempuan !"
Gak Lui terkejut dan seketika
meayadari. Diapun dapat mencium bau untuk membedakan sesuatu.. Tetapi ia agak
lalai untuk membedakan bau Hi Kiam-gin. Kini baru ia mengetahui mengapa tiba2
wajah bibi gurunya berobah bengis. Bibinya itu seorang penderita Asmara yang
gagal. Sudah tentu membenci kalau seorang pemuda hendak mempermainkan seorang
gadis.
Kemudian bcrkata pula Siu-mey
: „Dari bekas bau, jelas ia pernah menjenguk kemari :.. engkau .... harus
merasa puas !"
Gak Lui segera menuturkan
tentang peristiwa ia mengangkat saudara dengan Hi Kiam-gin.
„Aku telah menerima permintaan
tolong dari ayahnya. Mau tak mau terpaksa mengurusnya. Dan lagi ia berwatak
terus terang. Jika dia sudah pergi, kelak aku tetap akan membalaskan sakit
hatinya !" kata Gak Lui pula.
Melihat sikap kekasihnya yang
jujur dan ternyata tak menaruh maksud apa2 terhadap Kiam-gin, berkatalah
Siu-mey dengan nada minta maaf „Asal engkau tak melupakan aku, tambah seorang
taci angkat, pun tak apalah. Dan lagi bibi gurupun telah meninggalkan surat
pesan . . .
„Lekas berikan padaku !"
sera Gak Lui.
„Jangan sekarang !"
„Mengapa ?" .
„Beliau menulis Jelas, supaya
aku yang membacakan dihadapan makamnya !"
„Ohh...., tentu penting
sekali. Hayo kita kesana seru Gak Lui sambil mengamasi sepasang pedang nya
terus hendak keluar.....
„Engkoh Lui, mungkin engkau
tak dapat menyusup keluar. Lebih baik engkau membuat lubang," kata
Siu-mey.
Gak Lui merasa tenaganya
bertambah besar.
Ia hendak mencobanya.
Segera ia menjamah batu
dinding dan menekannya, Ah...., ternyata pada batu itu tertinggal bekas telapak
tangannya.
„Adik Mey, mundurlah sedikit
!" serunya gembira.
Setelah gadis itu menyingkir,
Gak Lui kerahkan tenaga dan menghantam. Bum ..., batu yang diletakkan Pedang
Bidadari untuk menutup terowongan, meledak hancur dan terbukalah sebuah lubang
besar.
„Mari!" seru Gak Lui
seraya menerobos keluar.
Sejenak mereka memandang
kearah-tumpukan tulang2 tengkorak dan kepingan sumber air setelah itu mereka
bergandengan tangan lari keluar guha.
Memang yang dikatakan Siu-mey
itu benar.
Pedang Bidadari Li Siok-gim
telah binasa.
Betapa sedih hati Gak Lui, sukar
dilukiskan.
Berulang kali, ia bertemu
dengan paman dan bibi gurunya.
Setiap kali paman dan bibi
gurunya itu tentu meninggal.
Setelah mengubur, maka
berlututlah Gak Lui dihadapan makam bibinya. Memberi hormat yang terakhir dan
mendengarkan Siu-mey akan membaca surat wasiat bibi gurunya.
„Kepada murid keponakanku Gak
Lui ........" demikian Siu mey mulai membaca, hidup manusia itu sudah
diientukan o!eh garis nasib. Wanita yang berwajah cantik tentu, malang
nasibnya. Sehingga menyebabkan Empat Pedang Busan tercerai berai. Oleh karena
itu maka, kurusaklah wajahku dan tinggal mengasingkan diri dalam guha. Untuk
menebus dosa..."
„Siu-mey berhenti sejenak lalu
melanjutkan.
„Ternyata tiga dari keempat
pedang Bu-san telah berturut-turut mati ditangan musuh. Aku makin jemu hidup.
Maka kuberikan kepadamu -apa yang telah kupelajari selama ini. Kuharap engkau
belajar dengan giat. Demi untuk membalas sakit-hati . . . .
Ilmu istimewa yang akan
kuajarkan kepada mu hanya terdiri dari dua jurus, yani :
1. Cenderawasih pentang sayap
menutup matahari dan rembulan.
2. Awan berarak bertebaran
ribuan li tiada berbekas.
Yang pertama itu adalah ilmu
pedang dan yang kedua ilmu meringankan-tubuh. Merupakan ilmu simpanan dari
perguruan Empat Pedang Busan.
Dengan tenaga yang engkau
miliki saat ini, boleh engkau d anggap sebagai jago muda yang tangguh. Tetapi
ilmu kepandaian itu, kecuali mengandalkan bakat dan latihan tekun, juga
memerlukan penjelasan dari seorang guru kenamaan.
Sayang paman gurumu Pedang Aneh
dan Pedang Iblis, sudah tak dapat memberi pelajaran lagi.
Maka terpaksa engkau harus
giat berlatih sendiri.
„Mengenai ........ mengenai
........."
Membaca, sampai disitu, tiba2
pipi Siu-mey merah. Ia berhenti karena sungkan.
Setelah menunggu sampai sekian
jenak belum juga nona itu melanjutkan pembacaannya, Gak Lui mengangkat muka dan
memandang Siu-mey.
Siu-mey loncat menghampiri,
serunya tersekat : „Engkoh Lui, bangunlah dan eagkau baca sendiri saja!"
Dengan khidmat, Gak Lui
menyambuti surat itu lalu membacanya.
„Mengenai diri Gadis Ular Li
Siu-mey. Ia seorang gadis yang berwatak murni. Cintanya tulus ikhlas. Merupakan
pasangan yang setimpal sekali dengan engkau. Tetapi anak muda itu memang masih
berdarah panas. Jangan sekali-kali engkau berpaling haluan dan, beralih hati
kepada lain gadis. Terkutuklah..., terkutuklah.....!"
Dibalik robekan kain itu
terdapat tulisan berbunyi : „Pesan terakhir bibi gurumu."
Habis membaca, airmata Gak Lui
berlinang-linang.
Ia tegak termenung-menung,
Kiranya barulah ia mengetahui bahwu bibi gurunya itu memang sengaja merusak
wajahnya sendiri.
Hal itu tentulah disebabkan
karena kisah Asmaranya dengan Gak Tiang-beng atau ayah Gak Lui dan memutus
kasih pada paman gurunya Pedang Iblis
Seketika terbayang lagi wajah
bibi-gurunya
penuh luka guratan pedang itu.
Seolah-olah, bibi gurunya mondaskan pesan agar dia jangan sembarangan bermain
cinta .
Merenung hal itu, tiba2 ujung
mata Gak Lui berkilat cahaya.
Dengan wajah kemerah-merahan,
Siu-mey menghaturkan sebutir batu berlian besar ke hadapannya.
„Adik Mey, rupanya, berlian
ini berasal dari Lembah Maut" tegur Gak Lui.
Siu-mey mengiakan: „ Benar,
semua simpanan mereka kuambil! "
„Baik juga! Daripada jatuh
ditangan gerombolan orang jahat" kata Gak Lui,
„eh...., apa, artinya ini?
" .
„Kuhaturkan kepadamu! "
sahut Siu-mey.
„Ah, lebih baik engkau yang
menyimpan saja"
Wajah nona itu makin merah.
Setelah ber-diam diri beberapa saat, akhirnya ia memberanikan diri berkata:
„Apa yang ditulis dalam surat pesan bibi guru, sudah jelas. Kita ...,
seharusnya memberi-tanda."
Mendengar itu tersadarlah Gak
Lui. Dan dengan tersipu-sipu malu, Siu-mey susupkan mutiara itu ke dalam tangan
Gak Lui seraya menarik lengan baju pemuda itu: „ Engkoh Lui, mari kita keluar.
Di sana terdapat banyak benda yang aneh."
Gak Lui sekali lagi memberi
hormat ke arah makam Pedang Bidadari Li Siok-gim, lalu bangkit dan tinggalkan
guha rahasia itu.
SEBELAH SELATAN dari puncak
gunung situ, adalah sebuah hutan bambu. Sebuah bangunan bertingkat dari bambu,
didirikan pada karang gunung.
Dari sebelah luar, memang
bangunan bambu bertingkat itu tak tampak. Tetapi dari dalam bangunan bambu
bertingkat itu dapat melihat dengan jelas ke seluruh penjuru.
Satu-satunya jalan menuju ke rumah
bambu bertingkat itu hanya melalui sebuah jembatan-goyang terbuat dari bambu
dan rotan.
Pada saat tiba di jembatan
itu, Gak Lui menjerit ngeri. Ternyata jembatan itu tak kurang dari 10 tombak
panjangnya. Di bawahnya terbentang lembah yang curam sekali. Sebelum kaki
melangkah ke jembatan, tubuh sudah seperti bergoyang-goyang mau jatuh. Kecuali
memiliki ilmu Meringankan-tubuh yang tingg orang harus merangkak melalui
jembatan itu.
Pula di atas jembatan gantung
itu penuh dihias dengan bambu yang runcing. Bambu2 runcing itu sengaja dipasang
miring. Seolah-olah untuk menyongsong tubuh orang yang bergontai.
Setelah memperhatikan beberapa
saat, Gak Lui kerutkan alis.
„Adik Mey, pada waktu engkau
datang, apakah engkau melihat jembatan ini? " tanyanya.
„Pertama kali mengobati bibi
guru, belum ada. Tetapi datang yang kedua kalinya untuk mengubur bibi guru baru
terpasang. "
„Lalu bagaimana engkau
melintasinya?"
„Aku tak melintasi karena bibi
guru menggeletak rubuh di kaki karang ini," sahut Siu-mey seraya menunjuk
ke sebuah batu karang besar:
„Dan di situ bibi guru telah
meninggalkan cara untuk melintasi jembatan," tambahnya.
Gak Lui berpaling. Dilihatnya
pada karang itu memang terdapat beberapa tulisan:
Tabahkan nyali, melintasi
jembatan. Tak boleh berloncatan, pun tak boleh berhenti.
Harus gunakan pedang menyiak
bambu, tetapi jangan sampai dipapas kutung. Jika tak mampu melakukan, tak boleh
masuk!.
Gak Lui kucurkan keringat
dingin. Diperhatikannya bambu2 runcing yang menghias jembatan itu rapat sekali
dan amat kokoh. Ilmu melayang jauh dengan jurus Rajawali-pentang-sayap, hanya
dapat digunakan untuk melambung ke udara. Sukar untuk dilakukan melayang secara
mendatar.
Pula ilmu pedangnya, mempunyai
daya gerak istimewa untuk memapas pedang. Jika tak diperbolehkan memapas kutung
bambu itu, memang sukar sekali.
Gak Lui termenung-menung.
„Engkoh Lui, apakah engkau
mempunyai daya untuk melintasi ....."
„Engkau tak mengerti, biarlah
kupikirnya sendiri!" tukas Gak Lui.
Merah wajah Siu-mey. Diam2
tekadnya untuk belajar ilmu silat makin besar.
Gak Lui tak menghiraukan. la
terus memeriksa jembatan itu. Tetapi sampai hampir setengah hari, belum juga ia
menemukan akal.
Tiba2 pandang matanya. seperti
melihat bibi gurunya muncul. Dan bibi guru itu berlincahan seperti tatkala
bertempur dengan ia di gunung. Gerak langkahnya amat lstimewa, tangkasnya bukan
kepalang. Pedang bibi gurunya waktu itu seperti dimainkan dalam jurus
Burung-merah-merentang-sayap dan tahu2 pedangnya Gak Lui dapat dihalau.
„Ya, benarlah!" tiba2 Gak
Lui berseru girang.
Jelas bambu runcing pada
jembatan itu merupakan seperti gerakan pedang lawan. Segera ia meniru gerakan
bibi gurunya, maju menyerang.
Cepat sekali ia sudah tiba di
muka jembatan. Matanya tetap tak berkesip memandang ke muka. Seolah-olah sedang
menerjang sebuah hutan pedang yang merintangi jalannya.
Selangkah .... dua langkah
.... tiga langkah. Gak Lui seperti tenggelam dalam alam persemedhian. Ia tak
menghiraukan bahwa saat itu matahari mulai terbenam di balik gunung dan malampun
mulai merayap datang.
---oo0oo---
DIA BAGAIKAN SEBUAH PATUNG
yang tegak pejamkan mata.
Barisan bambu runcing itu
terbayang melekat ke dalam benaknya.
Siu-mey tak mau mengganggunya.
Akhirnya fajar menyingsing.
Hampir semalam suntuk Gak Lui
mempelajari keadaan jembatan itu dan akhirnya mulailah ia melangkah.
Pedangnya berkelebat
kian-kemari.
Begitu membentur bambu
penghias jembatan, tersiak tetapi tak sampai putus. Sedang jembatannya sendiri
tak goncang.
Girang Siu-mey bukan kepalang,
serunya : „Bagus, engkoh Lui, engkau berhasil memecahkan rahasia jembatan itu
......"
Baru ia berteriak begitu,
tiba2 terdengar suara gemertak dari rumah bambu bertingkat diseberang jembatan.
Tiang2 penyangga rumah bambu itu, putus dan meluncur ke dalam jurang.
„Hai . . . !". Siu-mey
menjerit ngeri.
Ternyata Gak Lui sudah
berhasil melintasi jembatan terus masuk kedalam rumah bambu bertingkat. Tetapi
begitu hendak mendaki ke atas, tiang rumah patah dan rumah bambu itu pun
ambruk. Cepat Gak Lui loncat melambung ke udara lalu melayang ke ujung
jembatan. Dengan gerak yang mahir, ia melintasi jembatan itu lagi. Dan cepat
sekali ia sudah kembali ke tempat semula lagi.
„Adik Mey, dalam rumah bambu
itu tiada isinya apa2, seru Gak Lui dengan gembira," tetapi rahasianya
terletak pada jembatan itu. Kira-nya bibi guru kuatir aku tak dapat mempelajari
ilmu yang telah diberikan ketika bertempur dengan aku di guha, maka beliau
menggunakan cara itu ......... hai, kenapa engkau !"
Tiba2 Gak Lui hentikan bicara
dan berseru kaget ketika melihat Siu-mey tegak seperti patung dan mata tak
berkedip. Gadis itu berdiri didepan karang.
Gak Lui cepat dapat menduga
bahwa nona itu telah ditutuk jalan darah-nya. Dan cepat pula ia mengetahui
bahwa beberapa orang yang tak dikenal, bersembunyi dibalik batu karang itu.
Demi keselamatan Siu-mey, Gak
Lui tak berani gegabah turun tangan. Tiba2 ia mendapat akal. Dengan wajah tetap
tenang, ia berseru : „Adik Mey, mengapa engkau terlongong saja? Masih banyak
hal yang hendak kuberitahukan. kepadamu ......" secepat kilat ia lekatkan
tangan kirinya kedada gadis itu lalu gunakan tenaga sakti Algojo dunia untuk
menyedot. Pikirnya hendak membuka jalan darah sinona yang tertutuk.
Tetapi dalam gugupnya, ia
telah salah tafsir. Dia tak ingat bahwa nona itu mengenakan baju kulit ular
yang tak tembus penyaluran tenagadalam. Karena tergesa-gesa ia tak sempat
mencari lain jalan darah ditubuh sinona. Tangannya meluncur kearah ketiak.
Tiba2 dari balik karang
terdengar gelak tawa bergemurnh.
Seorang bertubuh tinggi besar
melesat keluar dari balik karang itu.
Dan menyusul 8 orang menghunus
pedang tegak berjajar dibelakang sitinggi besar itu.
Dari tindakan orang yang telah
menutuk jalan darah Siu-mey dari jarak jauh, tahulah Gak Lui bahwa orang2 itu
tentu tak bermaksud baik.
Dipandangnya sitinggi besar
itu dengan seksama.
Wajahnya merah seperti tembaga
dan bentuknya aneh.
Cepat Gak Lui melesat kedepan
Siu-mey untuk melindunginya. Tetapi ternyata sitinggi besar itu hanya ganda
tertawa dan mengangkat tangan memberi hormat: „Gak sauhiap, engkau tangkas
sekali ....."
„Mengapa engkau kenal
padaku?" tegur Gak Lui.
„Namamu amat menggetarkan
dunia persilatan. Siapakah yang tak mendengar ...."
„Mengapa angkau melukai
kawanku"
„Kulihat engkau sedang
melintasi jembatan gantung itu. Kuatir kawanmu menjerit kaget sehingga
mengganggu pemusatan pikiranmu, maka kututuk jalandarahnya. Sekarang biarlah
kubukan lagi."
Tetapi Gak Lui menolak dan
mengatakan: „ia dapat membukanya sendiri."
Orang itu tertegun lalu
bertanya: „Mohon tanya, apakah orang yang meninggalkan tulisan pada karang itu
apa masih disini? Dan siapakah kiranya locianpwe itu ?"
,,Beliau ....." tiba2 Gak
Lui merasa bahwa orang itu memang mencurigakan maka cepat ia beralih jawaban:
„Sekalipun disini tetapi tak mau bertemu orang. Bahkan namanya pun tak mau
–memberitahukan.
„Lalu apakah dia juga yang
membunuh rombongan Lembah mati itu ?"
„Ada hubungan apakah engkau
dengan mereka? Mengapa engkau begitu memperhatikan sekali ?" Gak Lui Was
bertanya.
„Kami kebetulan lalu disana
dan merasa heran."
Gak Lui makin curiga.
Dipandangnya orang itu dengan tajam, tanyanya: „Siapakah saudara ini ? Maukah
saudara memberitahukan nama?"
„Aku
Rajawali-mas-bersayap-besi Oh Toa-hay," kata sitinggi besar lalu menunjuk
kearah delapan orang yang berada dibelaknngnya: „dan kawan2 ini adalah
Delapan-jago-pedang besi !"
Gak Lui mengangguk lalu
berseru lantang : „Kalau kalian hendak bertanya tentang peristiwa gerombolan,
Setan kering itu, terus terang saja, akulah yang membunuhnya. Batu2 permata
merekapun telah kusimpan!"
Tetap sitinggi besar tertawa
tebang; „Benarlah, dengan kepandaian sauhiap, tentu mudah sekali melakukannya
... Tetapi wajah kedelapan orang cepat berobah memberingas, Ada beberapa yang
segera mencabut pedang.
Gak Lui tertawa dingin ;
„Ho...!, kiranya kalian ini anak buah Maharaja, makanya bernyali besar datarg
kemari !"
Wajah sitinggi
Rajawali-emas-sayap-besi berobah seketika dan mundur setengah langkah, serunya
„Harap sauhiap jangan menghambur fitnah aku ....."
„Sikap kalian sudah mengunjuk
warna diri, tak perlu menyangkal !" tukas Gak Lui.
Tinggi besar Rajawali-emas
mendengus : „Hm, tajam benar matamu! Mengapa tak lekas menyerahkan batu berlian
itu .... !"
„Ha..., ha..., ha..., ha ...
terimalah baik2 ini! Gak Lui merogoh kedalam saku baju lalu lemparkan sebuah
benda kekaki sitinggi besar"
Melihat benda itu, sitinggi
besar menyurut mundur tiga langkah, serunya tergagap : „Itu ... Amanat mati
!"
„Benar...!, kalian biasa
menggunakan benda itu untuk menggertak orang persilatan. Hari ini aku hendak
memintakan mereka ganti jiwa kepada kalian !"
Wajah sitinggi besar makin
beringas bengis. Tangan kanan mencabut pedang, tangan kiri terus hendak
menyambar Amanat itu.
Tetapi Gak Lui lebih cepat.
Sekali gerakkan tangan kiri, kertas Amanat itu melambung keudara dan secepat
kilat pedang ditangan kanan menusuk tangan sitinggi besar.
Si Tinggi besar terkejut
loncat mundur sampai satu tombak dan dengan gugup mencabut pedang, lalu memutar
untuk melindungi diri.
Sebenarnya Gak Lui hendak
menyusuli serangan lebih lanjut tetapi ia diserbu oleh kedelapan orang itu.
Mereka menyerang dari delapan jurusan. Terpaksa Gak Lui melayani mereka.
„Hayo, kalau berani, engkau
maju sekali !" serunya kepada si tinggi besar.
Rajawali-emas-sayap-besi
acungkan ujung pedangnya kemuka Gak Lui. Sikapnya seperti hendak menyerang
tetapi matanya mengicup ke arah kedelapan jago pedang itu.
Cepat Gak Lui mengetahui. Ia
duga orang itu tentu mempunyai tujuan lain. Kemungkinan si tinggi besar hendak
suruh kedelapan jago itu menawan Siau-mey.
Terpaksa ia tahan kemarahannya
dan berseru: „Kalau kalian menghendaki berlian, mengapa tak mau maju mengambil
kemari!"
„Jika engkau takut, aku segera
tinggalkan tempat ini !" balas si tinggi• besar.
„Kalau pulang dengan tangan
hampa, apakah kalian tak takut mendapat hukuman ?" ejek Gak Lui.
Ucapan itu tepat menyentuh
hati rombongan Rajawali-emas-sayap-besi. Si tinggi besar mendengus lalu bersama
kedelapan jago menyerang Gak Lui.
Serangan sembilan jago itu, hebatnya
bukan kepalang. Batu dan debu berhamburan ke-empat penjuru. Tetapi Gak Lui tak
gentar.
„Bagus....!" teriaknya,
seraya mainkan pedang laksana bianglala bercengkerama di angkasa.
Tiga jurus kemudian, ia dapat
mengetahui bahwa sesungguhnya si tinggi besar itu memang hebat tenaga dalamnya.
Jurus serangannyapun amat ganas sekali. Apalagi ke Delapan-jago-pedang-besi itu
mahir sekali bergerak secara keroyokan. Rupanya mereka terlatih dalam barisan
yang lihay. Tanpa memberi isyarat, mereka masing2 dapat bergerak secara
otomatis dan rapi. Maju mundur, menyerang dan bertahan sealu teratur rapi dan
cepat.
Karena ditabur oleh 9 pedang
yang mencurah lebat, Gak Lui tak sempat mengembangkan permainan pedangnya, dan
terpaksa terdesak mundur.
Melihat itu, sambil perhebat
serangan pedangnya, si tinggi besar tertawa mengekeh : „Orang she Gak, hatimu
nanti hendak kukorek keluar untuk menyembahyangi adikku Setan Kering, heh...,
heh..., heh..., heh ......"
Tetapi belum kumandang
tertawanya sirap, terdengarlah dering gemerincing yang tajam sekali. Tubuh Gak
Lui tiba2 berputar-putar dan pedang-nya berobah seperti segulung sinar yang
membungkus dirinya.
Gulungan, sinar pedang itu
merupakan bentuk sekuntum bunga Teratai yang tengah berhamburan mekar . . . .
Ke 9 pedang lawan yang
meayerang ganas itu, terpental dan hanya berkelebatan di luar gulungan sinar
pedang Gak Lui.
Ternyata Gak Lui telah
mempraktekkan ilmupedang Cenderawasih-pentang-sayap-ajaran bibi gurunya si
Pedang Bidadari Li Siok-gim. Dan hasilnya sungguh mengagumkan. Lawan terpancang
sukar menggerakkan pedang sehingga posisinya sekarang terbalik. Dari menyerang
menjadi bertahan.
Pada saat si tinggi hesar
terkesiap kaget, tiba2 matanya silau akan kelebat sinar pedang, dan tring...,
tring..., tring .... berhamburan pedang dari kawanan jago pedang itu. Kalau
tidak terpapas kutung, pedang merekapun terlepas jatuh.
Melihat itu patahlah nyali si
tinggi-besar. Secepat kilat ia berputar dan terus lari....
„Hai...!, hendak lari ke mana
engkau!" dengan gunakan ilmum eringankan tubuh Awan-berarak-ribuan-li, Gak
Lui apungkan tubuhnya mengejar.
Pada saat punggung
Rajawali-emas-sayap-besi terancam maut, tiba2 kedelapan jago rombongan nya itu
mendapat akal.
Cepat mereka lari menghampiri
ke tempat Siu-mey.
Gak Lui terkejut.
Cepat ia betjumpalitan
melayang balik.
Pada saat berjumpalitan di
udara itu iapun mencabut pedang pusaka Pelangi. Kemudian ia taburkan kedua buah
pedangnya kepada mereka.
„ Auhhh ....." terdengar
dua _buah jeritar. ngeri dan dua orang. yang lari paling depan rubuh dengan
dada tertembus pedang.
Setelah itu Gak Lui lontarkan
pula pukulan sakti Algojo-dunia. Seketika terdengar pula dua buah jeritan
ngeri. Seorang terlempar ke dalam lembah dan seorang mudur terhuyung-huyung
sampai lima enam langkah, lalu rubuh dengan kepala pecah ........
Tetapi Gak Lui niasih kalah
cepat dengan sisa keempat ;ago pedang yang tetap lari ke tempat Siu-mey atu.
Apalagi Gak Lui sudah melayang turun dan harus menginjak tanah lagi untuk
melakukan loncatan yang kedua.
Keempat anggauta Delapan
jago-pedaag-besi itu dengan buas larl menyergap gadis-ular Siu-mey yang saat
itu tetap masih tak berkutik.
Gak Lui kucurkan keringat
dingin ...........
---oo0oo---