PENDAHULUAN
BADAI PRAHARA yang melanda
gunung Yausan tetap tak kuasa menahan sesosok tubuh yang pesat mendaki ke
puncak.
Tiba di puncak, ia berhenti
dimuka sebuah gedung kuna yang besar.
Dari pancaran kilat yang
memecah kepekatan malam, tampak orang itu bertubuh gagah. Menyelip pedang di
pinggang dan menyanggul sebuah kantung kulit dibahunya. Yang mengherankan,
kepala dan mukanya tertutup sebuah kedok hitam yang hanya berlubang pada bagian
mata dan mulut.
Gedung itu sebuah bangunan
kuna, besar dan megah. Disekelilingnya dijaga, ketat oleh berpuluh-puluh orang
suku Yau, siap dengan alat supit beracun.
Sejenak berhenti, orang
berkedok itu lanjutkan larinya masuk kedalam gedung, berpuluh-puluh penjaga
orang Yau, serta merta memberi hormat dan membiarkannya masuk.
„Yah .......!" secepat
masuk kedalam gedung orang itu segera berseru.
Dari nadanya, menandAkan dia
masih muda.
Tirai yang menutup dinding
ruang tersingkap.
Tampak beberapa orang Yau
tegak dikanan kiri sebuah kursi yang diduduki seorang lelaki tua.
Wajahnya berwibawa, tubuh
tinggi besar sehingga dalam keadaan duduk, tingginya tak kurang dan satu
setengahmeter!
Dia mengenakan pakaian yang
aneh sekali.
Sebuah jubah panjang dari
kulit harimau, membungkus dari ujung kaki sampai keleher. Bagian kepala dan
muka yang kelihatan itu, ditumbuhi rambut, kumis dan jenggot panjang berwarna
merah.
Orang berkedok tadi cepat maju
memberi bormat.
„Gak Luil" seru orang tua
itu dengan keras.
„Ya !"
„Bagaimana hasilmu turun
gunung kali ini."
„Bagus sekali, yah. Setiap
kugunakan satu jurus saja, pedang musuh tentu sudah dapat kupapas kutung.
Tak kurang dari 100 batang
kutungan pedang, kubawa pulang, yah"
„Cukup banyak ! Lekas
keluarkanlah!"
„Baik,!" sahut pemuda
berkedok itu.
Sekali bahunya mengendap, kantong
kulit bergemerincingan jatuh menumpah kelantai.
Isinya berpuluh-puluh batang
kutungan ujung pedang yang rata sepanjang jari tangan ........
Pemuda bertopeng itu menjemput
sebatang ujung pedang tipis lalu diunjukkan kehadapan siorang tua aneh.
Mata orang tua aneh itu
berkilat-kilat memandang kutungan pedang itu, lalu berseru: „Balikkan
sebelahnya"
Pemuda itu mengia-kan.
la membalikkan ujung pedang
kutung itu, agar kelihatan bagian sebelahnya.
„Bukan !" seru orang tua
itu.
„Kuambil yang lainnya" kata
pemuda itu seraya menjemput sebatang kutungan ujung pedang lainnya.
„Lebih2 bukan tjuma sekali
"
„Ya, ya! Kuganti yang lain
lagi!" seru pemuda itu seraya mengambil kutungan pedang lainnya.
Namun satu demi satu, pemuda
itu mengunjukkan kutungan pedang yang dibawanya, tetap orang tua aneh itu
mengatakan bukan atau salah.
Dalam beberapa kejab, 100
batang kutungan ujung pedang telah ditunjukkan dan ditolak oleh orang tua aneh
itu.
Wajah orang tua aneh itu
memandang setiap ujung pedang yang diperlihatkan kehadapannya dengan penuh
ketegangan.
Wajahnya berobah-robah. Sesaat
tampak berputus asa, sesaat lagi mengerut kecewa dan, akhirnya mendengus rawan.
Huak ...... se-konyong2 ia muntah darah dan terjungkal dari kursinya.
„Yah ...... !" Gak Lui
menjerit ngeri demi melihat keadaan ayahnya.
Seketika ia rasakan
sendi-sendi tulangnya lemas lunglai.
Ayah, yang sejak ia kecil
sampai dewasa, belum pernah menggendong bahkan menjamahnya sekalipun tidak
pernah, ternyata oh ....... ternyata ...... seorang buntung.
Kedua lengannya, sampai
kebatas bahu hilang.
Kedua kakinya sampai kebatas
paha, lenyap.
Hanya badan dan kepala saja
yang masih ada.
Ajahku ternyata seorang
manusia yang tinggal bumbung badan saja ............
Karena terjungkal dari kursi,
ia jatuh kelantai dan tak dapat bangun.
Gak Lui cepat menubruk
ayahnya, memeluk dan mulai memberi pertolongan dengan meng-urut2 jalan
darahnya.
Beberapa saat kemudian,
dapatlah ayahnya itu tersadar.
Sesaat membuka mata, orang tua
cacad itu segera mengingau, memaki-maki dirinya sendiri: „Hari ini barulah
terbuka mataku........ kepandaianmu ternyata .... masih terpaut jauh sekali
.......ah, akulah ....... yang salah........... !"
„Yah, mengapa engkau
bersalah?"
„Karena tak seharusnya kusuruh
engkau turun gunung!"
„Mengapa?" Gak Lui makin
heran.
„Karena bukan saja engkau tak
berhasil, malah memperbanyak musuh2 yang sakti"
„Tetapi mereka dapat
kukalahkan dengan satu jurus saja. Apakah mereka layak dianggap musuh sakti?
Bahkan beberapa jago ............”
„Siapa?" tukas orang tua
buntung itu.
„Imam Hwat Lui dari partai
Bu-tong-pay, Gan Wi dari partai Kong-tong-pay dan masih banyak lagi kalau
kusebutkan"
„Mereka bukan termasuk tokoh
yang benar2 sakti, Hm......., janganlah kau terlalu membanggakan diri karena
dapat memapas kutung pedang lawan-lawanmu itu. Karena tak tahu ilmu permainan
pedang sejurus yang kau yakinkan selama 10-an tahun itu, maka kalahlah mereka.
Tetapi coba engkau bertemu dengan musuh yang dapat melayani sampai
seratus-duaratus jurus, masakan engkau masih dapat pulang kemari !”
„Yah, apakah benar
kepandaianku sekarang ini masih belum mcmad,ai?" tanya Gak Lui.
„Menilik caramu mengurut
jalandarah dan menyalurkan tenaga-dalam tadi, memang begitulah keadaanmu!"
Tergetarlah hati Gak Lui
karena dilanda kecewa yang benar. Serunya: „Ah, Gak Lui memang pantas dibunuh
karena telah menyia-nyiakan jerih payah ayah selama belasan tahun......"
Tiba2 orang tua itu tersenyum
rawan.
„Bukan salahmu Lui,"
ujarnya tetapi karena salah diriku yang sudah tak bertangan dan berkaki ini
sehingga tak dapat mengajarmu seperti mestinya. Delapan belas tahun lamanya,
engkau kusuruh menderita menerima pelajaranku . . . . "
„Tetapi aku akan berlatih
lebih keras lagi. yah"
„Ah, percuma," orang tua
itu menghela napas, „jika tak mendapat guru yang benar2 sakti, percuma saja
segala jerih payahmu belajar ilmu kesaktian!"
„Jika ayah mengidinkan, aku
akan mencari seorang guru yang sakti."
„Ah, sayang sekali. Beberapa
sahabatku lama, tentu sudah banyak yang meninggal dunia. Tetapi jika engkau
hendak mencari guru .... hanya ada seorang saja ......."
„Siapa, yah?”
„Li Liong-ci bergelar si
Maharaja!"
„Bagaimanakah
kesaktiannya?"
„Tatkala baru berumur 19
tahun, dia sudah dapat mengalahkan tokoh2 sakti dari Tujuh partai persilatan
besar. Membasmi 5 Durjana yang mengganggu ketenteraman dunia persilatan.
Menurut penilaian umum, dia merupakan tokoh yang tiada tandingannya didunia
persilatan!"
„Apakah cianpwae itu masih
hidup?"
„Tahun ini, dia baru berusia
40-an, sudah tentu masih hidup."
10-11
„Kalau begitu tentu dapat
kucarinyall"
„Jika • dapat diketemukan,
Empat Pedang dari Busan, tak sampai ...." kemarahan orangtua itu meluap
hingga tak sadarkan diri ia telah kelepasan omong, membocorkan rahasia
peribadinya yang dipendam selama beberapa tahun.
Walaupun orang tua itu cepat
hentikan ucapannya, tetapi Gak Lui sudah terlanjur mendengar.
„Yah, siapakah Empat Pedang
gunung Busan itu?" serunya terkejut.
„Tiba2 wajah orang tua itu
berobah bengis, bentaknya: „persetan dengan obrolan kosong Empat Pedang atau
Lima Pedang "
Tetapi jelas Gak Lui
memperhatikan wajah ayahnya tampak tegang dan lesu.
Dia makin tertarik dan
mendesak: „Tetapi tadi ayah sendlri yang mengatakan, jangan membohongi aku
........Ayah!"
Orangtua aneh itu tetap tak mau
mengatakan.
Tiba2 halilintar meletus
diangkasa.
Bumi serasa tergetar keras.
la rasakan dadanya ikut
berombak karena darahnya bergolak keras.
Ah......, ia menyadari bahwa
malaekat Elmaut tak lama tentu akan menjemputnya.
la gerenyutkan geraham dan dengan
kuatkan hati ditatapnya Gak Lui.
Lalu menghela napas:
„Ah......., memang aku bohong kepadamu bahkan bukan hanya kali ini saja!"
„Yah . . . ? " Gak Luil
menjerit kaget.
„Pertama-tama yang akan
kuberitahukan kepadamu .......”
„Apa..... yah?" Gak Lui
makin tegang.".
„Aku BUKAN ayahmu !"
Seketika menggigillah tubuh
Gak Lui mendengar ucapan ayahnya itu.
Dengan nada tenang dan dingin,
orangtua itu balas bertanya: „Kalau aku mempunyai bukti, engkau mau percaya
atau tidak?"
„Ini ....... ini
.........!"
„Sejak kecil engkau kusuruh
pakai kedok. Apa sebabnya ? Karena ...... karena aku takut...... teringat
pada....... ayahmu! Dan mengapa selama ini aku tak pernah menggendongmu, karena
.... hatiku merasa bersalah....... "
„Tidak membopong aku karena
tangan....... tak leluasa! Memberi kedok pada mukaku, mungkin untuk menjaga
jangan sampai .... musuh mengetahui " tukas Gak Lui.
Sanggahan itu diucapkan dengan
lantang seolah-olah hendak menumpahkan isi hatinya.
Airmata orang tua itu
berderai-derai membasahi kedua pipinya.
Dengan menggigit gigi erat2 ia
berkata pula: „Sekalipun engkau dapat menebak tepat yang separoh bagian tetapi
salah dengan bukti yang kumiliki. Bukti peninggalan ibumu ........."
„Apakah itu " Gak Lui
memekik.
„Surat bertulis darah "
„Di ....... dimana?"
„Di bajuku, ambillah
sendiril"
---oo0oo---
BAB 01
SETAN BUNTUNG
DENGAN TEGANG Gak Lui segera
merabah-rabah baju orangtua itu.
Akhirnya ia menemukan sehelai
pakaian bayi.
Pakaian baji itu bertulis
darah yang sudah menghitam dan berbunyi:
„Bayi ini bernama Gak Lui.
Barang
siapa kasihan, harap dipungut
se –
bagai anak . . . . . . . . . .
„Ibu .......!" seketika
menjeritlah Gak Lui dan rubuh pingsan.
Entah berselang berapa lama,
setelah ditolong beberapa orang Yau, Gak Lui dapat siuman. Lalu dengan nada
rawan2 pilu ia bertanya kepada orangtua aneh itu: „Gihu, siapakah ayah dan ibu
kandungku.......?''
„Akan kuberitahukan tetapi
engkau harus mentaati sebuah hal"
„Jangankan hanya sebuah,
seribu buah perintahpun aku akan melaksanakan pesan gihu!" kata Gak Lui.
Sejak mengetahui orangtua itu bukan ayah kandungnya, Gak Lui berganti memanggil
Gihu atau ayah angkat.
„Simpanlah dahulu janjimu itu.
Sekarang dengarkanlah. Aku hendak memberitahu ibumu .........”
„Siapa nama ibuku
......?"
„Tio Yok-ceng !"
„Sekarang dimana?"
„Tak ketahuan rimbanya, entah
masih hidup entah sudah mati."
„Apak ciri-ciri-nya...?"
„Aku tak tahu, yang kuketaltui
dia seorang gadis yang gemar belajar ilmu sastera. tidak suka ilmu silat!”
„Lalu ayahku ......?"
„Tokoh pertama dari Empat
Pedang Busan. Bernama Gak Tiang-beng bergelar Pedang Malaekat.
„Apakah beliau masih
hidup?"
„Kuyakin dia sudah tiada di dunia lagi.......!"
„Kalau begitu, gihu tentulah
........ "
„Aku .... aku ..... aku
sungguh menyesal sekali kepada ayahmu. Tak usah diungkit lagi!"
„Merawat merupakan budi
sebesar langit. Aku harus mengetahui!" Gak Lui berseru keras.
„Aku merupakan tokoh Empat
Pedang yang paling buncit, bernama Ji Ki-tek dengan gelar si Pedang Laknat !”
„Dan siapakah paman guru yang
masih dua orang itu?''
„Paman gurumu yang kedua
adalah Ho Tiong-ing si Pedang Iblis, sedang yang ketiga adalah seorang
wanita.... Bibi gurumu itu bernama Li Siok-gim bergelar Pedang Bidadari. Sedang
nama2 Malaekat, Iblis, Bidadari dan Laknat itu merupakan empat serangkai jago
pedang dari gunung Busan.”
„Apakah kedua beliau itu juga
........ ?"
„Jika -tidak menggal tentu
sudah menjadi orang cacad......!" sahut siorang tua aneh.
„Huahkkk .......!,” tiba2 Gak
Lui muntah darah.
Rasa pilu dan geram bercampur
aduk mengoyak dadanya.
Namun ia menggerenyutkan gigi
dan bertanya: „Siapakah musuh itu....?"
„Entahlah!."
Jawaban itu membuat Gak Lui
terbeliak. Se
runya menegas: „Gihu telah
menderita luka amat parah, masakan tak dapat mengetahui siapa musuh gihu
itu?"
„Aku diserang oleh empat orang
yang mengenakan kerudung muka hitam. Benar2 aku tak dapat melihat wajah
mereka."
„Masakan Empat Pedang Busan
tak mampu menghadapi gerombolan orang bertopeng itu?"
„Ah .... jika Empat Pedang tak
bercerai, tak mungkin orang berani menyerang!"
„Jadi, Empat Pedang itu
diserang secara terpisah-pisah ......"
„Jangan memutus dulu,
dengarkan aku bercerita dari permulaan. Lebih dulu hendak kututurkan tentang
suasana perguruanku......."
Gak Lui menumpahkan seluruh
perhatian untuk rnendengarkan.
„Sebenarnya bermula kami
berempat ini tak saling mengenal. Dan masing2 mempunyai kepandaian sendiri2.
Tetapi pada 30 tahun berselang, kami berempat telah diambil oleh Busan It-ho.
Karena kami berempat sebelumnya memang sudah memiliki ilmu kepandaian maka guru
Busan It-ho menurunkan pelajaran tanpa ikatan guru dengan murid. Tanpa
membedakan nama dan asal."
„Masakan sebelumnya kakek
guru, tak punya seorang muridpun.......!"
„Seumur hidup beliau hanya
menerima seorang murid.”
„Lalu paman guru itu ......?”
„Aku tak tahu namanya dan tak
pernah melihat wajahnya. Yang kuketahui, murid itu sudah diusir oleh guru dan
tak boleh menggunakan ilmu pelajaran silat ajaran guru untuk
selama-lamanya!"
„Oh....!”
„Takut kalau murid itu kelak
akan melakukan kejahatan, maka guru telah mengambil kami berempat untuk diberi
pelajaran. Agar kelak kami, dapat menundukkan murid itu. Setelah menurunkan
kepandaiannya, beliaupun menutup mata. Kemudian kami beranai-ramai mencari
murid murtad itu. Asal dia tetap menggunakan ajaran dari guru, segera akan kami
berantas!"
„Lalu apakah dapat
bertemu?" tanya Gak Lui.
„Selama 10 tahun didunia
persilatan tak terdapat orang yang menggunakan ilmu ajaran dari perguruan
Busan. Kebalikannya kami Empat Pedang telah tertimpah suatu peristiwa yang tak
tersangka-sangka ....... "
„Peristiwa apakah itu?"
„Bibi gurumu Si Pedang
Bidadari Li Siok-gim semula oleh guru, telah ditunangkan dengan paman gurumu
yang kedua Pedang Iblis Ko Tiong-ing.
Tetapi ternyata bibi gurumu
itu lebih mesra hubungannya dengan, ayahmu ...."
„Karena itu paman guru kedua
marah'' sambut Gak Lui.
„Tidak.... !"
„Masakan ayahku ...... "
„Juga tidak......!" sahut
orangtua aneh itu cepat2.
„Ini ...... benar2.aku tak
mengerti."
„Paman guru keduamu,
menganggap tindakan guru menetapkan perjodohan itu terlalu ter-gesa2. Dan lagi
bibi guru dan ayahmu itu benar2 merupakan sejoli yang pantas sekali. Oleh
karena itu dengan dada lapang, paman guru keduamu rela membatakan tali
pertunangan. Tetapi ayahmu ternyata juga seorang lelaki perwira. Ia anggap
perintah guru tak boleh dilanggar. Pula ia tak mau merampas Cinta orang lain.
Maka dia pun menolak maksud paman guru keduamu. Sedang bibi gurumu terombang
ambing diantara perintah guru dengan suara hatinya. Aku ...... aku.....”
„Gihu bagaimana....?"
„Aku menyetujui tindakan paman
guru keduamu. Karena ayahmu bersikeras menolak, maka timbullah perselisihan
hebat. Kumaki ayahmu sebagai lelaki yang tak bertanggung jawab pada cinta yang
suci......!"
„Lalu...?”
„Karena malu ditolak cintanya,
bibi gurumu marah dan pulang kekampung halamannya. Paman gurumu yang keduapun
menghilang tiada ketahuan jejaknya. Ayahmupun pulang kedesanya sedang aku
mengembara kegunung Yausan sini untuk membasmi binatang buas tetapi akhirnya
aku dipuja dan diangkat mereka sebagai Sin-beng....!"
Sin-beng artinya malaekat.
„Lalu bagaimana dengan
ibuku...?”
„Ayahmu adalah putera tunggal
dari ketuarga Gak. Dia harus mempunyai keturunan penyambung keluarganya. Maka
menikahlah ia dengan Ibumu. Setahun kemudian, lahirlah engkau didunia. Beberapa
bulan kemudian lalu timbul peristiwa yang mencurigakan itu!"
„peristiwa mencurigakan .....
?" Gal Lui mengulang kata2 itu.
„Lalu.....?"
Wajah Pedang Laknat Ji Ki-tek
itu menebar merah. Semangatnya tampak agak baik. Diam2 Gak Lui bersukur dulam
hati karena mengira ayah angkatnya itu makin baik keadaannya.
„Sejak berpisah pada 20 tahun
yang lampau," Pedang Laknat mulai menutur lagi, „tepat pada masa itulah si
Maharaja Li Leng-ci sedang menumpas Lima Durjana dunia persilatan. Tugas untuk
mengikis habis gerombolan orang jahat lain-lainnya dibebankan pada ke 7 Partai
persilatan. Tetapi selama gerakan itu berlangsung, dalam satu dua tahun itu,
bebanapa tokoh persilatan yang ternama telah hilang tanpa bekas sehingga
menimbulkan kegelisahan dan kecurigaan masing2 partai persilatan."
„Masakan Li cianpwe diam saja
?"
„Sejak menumpas kelima durjana
itu, dia lalu mengundurkan diri dari dunia persilatan. Walaupun masih terdengar
desas-desus tentang dirinya tetapi tiada seorangpun tahu dimana keberadaanya.
Pada saat partai2 persilatan itu kebingungan, tiba2 ayahmu menemukan suatu
rahasia. Segera dia suruh suhengmu Gak Ci kegunung Yausan sini memanggil
aku."
„Gak suheng? Apakah bukan
makamnya yang setiap tahun kujenguk itu ?"
„Benar...! Dan lagi dia
sebenarnya masih engkoh misannya sendiri."
Tubuh Gak Lui gemetar, dendam
hatinya makin meluap: „Setelah gihu pergi, lalu ?"
„Mendengar penuturan Gak Ci
tentang pernikahan ayahmu, hatiku makin penasaran. Maka sengaja ku-ulur waktu
dan lebih dulu kusuruh Gak Ci pulang untuk menanyakan hal itu lebih jelas baru
datang ke Yausan lagi. Tetapi pada waktu dia datang kemari untuk yang kedua
kalinya, dia pun membawa engkau ........”
„Ayah-bundaku......?"
„Rumahmu sudah menjadi
tumpukan puing. Ayah dan ibumu tak tampak. Gak Ci menemukan engkau didalam
semak belukar diluar desa. Dan ketika membawamu kemari, ia mengetahui bahwa
dirinya sedang diikuti orang. Demi menjaga keselamatanku dan dirimu, suhengmu
tak mau tinggal disini melainkan terus pergi. Dia hendak gunakan siasat untuk
mengalihkan perhatian musuh. Tetapi ah........, anak itu ........ Tak berapa lama turun dari gunung ini, dia
telah dibunuh orang .......!''
„Oh......!" menjeritlah
Gak Lui meratapi nasib suhengnya yang malang itu.
„Begitu kudengar hal itu,
cepat2 aku menuju ketempat kejadian. Tetapi disitu aku dikepung oleh empat
orang berkedok hitam. Yang seorang hanya melihati di pinggir, sedang yang tiga
menyerang aku. Ternyata ketiga lawanku itu dapat menggunakan ilmu silat dari
golongan Tujuh partai persilatan. Karena marah, aku mainkan jurus yang ganas.
Dalam tiga jurus kemudian, berhasillah kupapas kutung pedang mereka. Dan dalam
kesempatan yang bagus, kukiblatkan pedang untuk menutuk jalan darah pada alis
mereka. Tetapi tak terduga ....... "
„Bagaimana'"
„Ujung pedangku tak mempan
menusuk muka mereka. Disebelah dalam dari kain kerudung hitam, masih dilindungi
dengan topeng baja......!"
„Ah .......”
„Pada saat, ujung pedangku
gagal, mereka cepat menabas dengan pedangnya yang sudah kutung. Cepat2 akupun
gunakan jurus Burung-rajawali-merentang-sayap, melambung keudara. Tetapi pada
saat aku sedang berada di udara, tiba2 terdengar engkau menangis dari dalam
ruangan! Karena perhatianku terpencar, pedang mereka berhasil memapas kutung
kedua kaki dan tanganku ........... !"
Karena dadanya penuh sesak
dilanda luapan kemarahan, Gak Lui sampai tak dapat mengucap apa2.
Dengan wajah mengerut kenangan
waktu lampau yang celaka itu, Pedang Laknat Ji Ki-tek melanjutkan ceritanya
lagi.
„Melihat aku rubuh ditanah,
ketiga orang bertopeng besi itu tak mau menyerang lagi. Tetapi orang yang
melihat dari pinggir gelanggang tadi rupanya takut kalau aku belum mati. la
bergegas lari menghampiri dan secepat kilat menusuk tenggorokanku. Tetapi pada
saat ujung pedangnya berkilat ditingpah sinar matahari saat itu, kulihat
....... kulihat........"
„Melihat apa....? "
„Pada ujung pedangnya terdapat
guratan huruf Sepuluh (berbentuk:pulang)! Lukisan itu merupakan ciri khas yang
terdapat pada pedang ayahmu"
„Hai........'' Gak Lui
menjerit kaget. Kemudian ia menyadari, kata2 nya: „Jelas lukisan huruf 10 itu,
adalah ciri senjata dari musuh ayah. Gihu suruh aku memapasi pedang orang
karena hendak menyelidiki jejak musuh itu, bukan?"
„Dugaanmu tepat
........."
„Tetapi ternyata aku tak
berhasil menemukannya, kelak aku ........"
„Justeru untung engkau tak
bertemu. Jika ketemu dengan orang itu .......ah, dosaku makin,
besar........!"
Gak Lui terkesiap.
Mulutnya mengingau seorang
diri: ,,Aku tentu dapat mencarinya ..... aku......."
„Lui jangan memutuskan
omonganku. Aku masih belum selesai ber-cerita..... !"
Gak Lui tersadar dan bertanya
pula : „Pada waktu gihu terluka, bagaimana dengan pengawal2 orang Yau
itu?"
„Untunglah mereka keburu
datang pada saat yang tepat. Dengan alat2 supit panah beracun, mereka memaksa
kawanan orang berkerudung itu mundur. Tetapi orang yang hendak membunuh aku itu
terlambat menjaga diri. Sebatang panah beracun dari orang Yau berhasil mengenai
ujung hidungnya!"
„Mati ?"
„Orang itu tangkas sekali.
Cepat ia memapas hidungnya sendiri karena tahu. bahwa panah orang Yau itu
beracun. Habis itu iapun segera meloloskan diril"
„Si Hidung Gerumpung! Topeng
Besi! Hmm......, mereka tak mungkin lolos!" Gak Lui menghela na-pas.
„Gihu tadi mengatakan,"
kata Gak Lui pula „ bahwa ketiga orang bertopeng besi itu masing2 berasal dari
partai persilatan besar. Dari partai manakah mereka itu sesungguhnya? "
Pedang Laknat Ji Ki-tek
terkesiap. la gelenglcan kepala : „Pokok asal partai pesilatan yang ternama
dalam ilmu pedang, tak perlu menyebutkan namanya ......!"
„Me .......mengapa ?"
„Setelah merenungkan selama 18
tahun, kuyakin pembunuh yang sebenarnya adalah si Hidung Gerumpung itu. Tentang
ketiga orang bertopeng besi itu, masih belum, dapat dipastikan."
„ Artinya.... ?"
„Karena begitu melihat aku
rubuh ditanah, mereka berhenti menyerang. Hal itu memang mengherankan "
„Tak ada hal yang patut
diherankan, Pendek kata mereka adalah gerombolan mariusia2 murtad, harus
dilenyapkan ....... !"
„Belum tentu....! Jika manusia
murtad, masakan mereka tak sampai hati membunuh aku.... Hanya bagaimana
persoalan yang sesungguhnya memang aku belum dapat menilai ........!"
„Gak Lui berduka sekali
hatinya. Ia mengeratkan gigi sekeras-kerasnya: „Ayah, ibu ...... bibi guru,
paman guru, engkoh Ci ........aku bersumpah hendak menuntut balas pada manusia
yang telah menganiayamu itu .........”
Terkesiaplah Pedamg Laknat Ji
Ki-tek mendengar sumpah yang diikrarkan Gak Lui.
Dari sepasang matanya
memancarlah sinar dendam yang ganas.
Tiba2 halilintar meletus
dahsyat. Gedung seolah-olah tergetar.
„Lui..!, habislah ceritaku.
Engkau harus meluluskan syaratku" kata orangtua itu.
„Silahkan gihu mengatakan, aku
tentu akan melaksanakannya!"
„Bagus, itulah baru seorang
anak yang baik" puji Ji Ki-tek, sekalipun kepandaianmu masih kurang tetapi
diwilayah Yausan sini engkau, sudah tergolong tokoh nomor satu.
Setelah aku mati, warisilah
kedudukanku disini. Jangan engkau turun gunung selama-lamanya, agar kelak
engkau dapat menurunkan anak penyambung keluargamu!"
„Ini...., ini....."
hampir2 Gak Lui tak percaya apa yang didengarnya dari mulut orangtua itu, „Ini
... tak dapat kulaklanakan, aku harus pergi"
Pedang Laknat membentak marah:
„Tidak......!”
Dengan kepandaian yang engkau
miliki saat ini, berarti hendak bunuh diri jika engkau mau cari musuh itu pula
kedua orangtuamu, bibi dan paman gurumu, belum tentu sudah meninggal tetapi
hanya menyembunyikan diri dari kejaran musuh itu. Engkau...... engkau perlu apa
........ "
Gak Lui cepat memeluk
ayah-angkatnya itu. Dengan berlinang-linang airmatanya ia berseru : „ Janganlah
gihu membohongi aku. Ketahuilah, Gak Lui tak takut mati ......! "
„Tidak ....! Aku tak
mengidinkan engkau menempuh bahaya lagi.....!"
„Aku takkan menyebut-nyebut
asal usulku, dan tetap menggunakan kerudung muka. Dengan mengandalkan sebatang
pedang ......... "
„Ilmu pedangmu adalah
ajaranku. Musuh tentu akan mengenalinya ......!"
„Gihu, selamanya aku tak
pernah melanggar peintahmu. Tetapi kali ini, aku hendak mengambil keputusan
sendiri.......," tiba2 ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat
situ tiba-tiba ayah angkatnya muntah darah dan darahnya menyembur kemukanya.
Maka Gak Lui basah kuyup
dengan darah segar .......
Karena menahan kemarahanlah
maka Pedang Laknat sampai menghambur darah lagi. la tundukkan kepala, napas
terengah-engah, serunya : „Engkau . . . bersikeras hendak........pergi.
„ Aku hendak membalaskan sakit
hati orang tuaku !" seru Gak Lui dengan tandas.
Tahu bahwa takkan berhasil
jika mencegah kehendak anak itu. Pedang Laknat Ji Ki-tek paksalkan diri
mengangkat kepala. Lalu berkata dengan terengah-engah : „ Kalau begitu ...
pergilah....... lebih dulu .... ke ...... "
„Kemana? " teriak Gak
Lui.
„Butong-san ..... mencari
.......mencari ......"
„Mencari siapa ? "
„Mencari ....... ketuanya
..... Ji Ih totiang ..... tanya ... . tanyakan ..... ,"
„Tanya apa......?"
Tiba2 kepala Pedang Laknaat Ji
Ki-tek terkulai.
Dari ketujuh lubang inderanya,
mengalir darah.
Orangtua itu sudah meninggal
dalam cengkeraman dendam penasaran ........!
Gak Lui lepaskan pelukannya
dan duduk numprah ditanah.
Kedua matanya
terlongong-longong memandang kehampaan.
Mulutnya terkancing rapat.
Dia tak menangis, tak menyerang.
la rasakan sekeliling penjuru
alam ini hampa, kosong melompong....
Entah berselang berapa lama,
tiba2 dipelupuk matanya terlintas beberapa sosok tubuh orang ...... ayah
angkatnya .... suhengnya yang mati secara mengenaskan itu ....... ayah-bundanya
yang tak ketahuan rimbanya .... dan bibi guru serta paman gurunya .........
Wajah mereka kelihatan samar2
berlumuran darah yang mengerikan.
Darah ....! Seketika
terjagalah Gak Lui dari lamunan duka-nestapanya.
---oo0oo---
BAB 02
CATUR PEDANG
„SIAPAKAH geragan si Hidung
Gerumpung? Mengapa mereka mencelakai Catur Pedang, atau empat jago pedang dari
Busan. Dan mengapa pula menawan beberapa tokoh partai persilatan? Dan siapakah
pula gerombolan Topeng Besi itu? Apakah mereka murid2 murtad dari partainya
atau memang sudah dikuasai oleh si Hidung Gerumpung itu ......... ?”
Demikian pikiran Gak Lui
melalu-lalang dugaan dan tafsiran. Benaknya melamun dan melayang jauh . ............!
Tiba2 dalam lamunan itu,
muncullah tiga orang bertopeng besi.
Mereka tertawa dingin macam
iblis menyeringai ........... Pada lain saat, terbayanglah sebuah wajah yang
aneh menyeramkan.
Dibagian - tengah dari wajah
orang itu, berlubang besar sehingga tak ada hidungnya.
„Heh...., heh......"orang
gerumpung tertawa mengekeh.
„Sedang Catur Pedang dari
Busan saja, dapat kubasmi apalagi bocah kemarin sore seperti macammu. Engkau
hendak mengantar jiwa bukan? Ha... ha... ha . . ha....!"
Gak Lui marah sekali.
Dengan sekuat tenaga ia
meraung: „Kubuauh engkau.......!"
Tring ... ia mencabut pedang
dan disabetkan pada orang gerumpung itu.
Tetapi astaga! Orang gerumpung
itu menghilang, dan iapun hanya menebas angin saja.
Seketika ia tersadar bahwa
saat itu dirinya sedang berdiri didepan makam ayah angkatnya, Pcdang Laknat Ji Ki-tek.
Ternyata karena tak kuat
menahan luapan marah dan kesedihan, Gak Lui jatuh pingsan.
Selagi ia masih belum sadar,
orang2 Yau itu segera mengubur jenazah Pedang Laknat.
Dan saat itu, Gak Lui sedang
berdiri menyembahyangi makam ayah angkatnya.
Tetapi karena teringat akan
peristiwa sakit hati seperti yang diceritakan ayah-angkatnya, kembali benak Gak
Lui terkenang dan terbenam dalam lamunan seperti diatas.
„Ah......., " ia
mengerang ketika tersadar akan keadaan disekelilingnya.
Yang hendak dibunuhnya tadi
adalah tokoh gerumpung menurut ciptaan khayalannya belaka.
Seorang wakil orang Yau maju
menghampiri, ujarnya: „Sekarang engkau meniadi Malaekat pelindung suku Yau,
harap lekas ..........”
........ Gak Lui menyimpan
pedangnya lalu menyahut dalam bahasa Yau : „Terima kasih atas budi dan
kecintaan kalian, tetapi aku harus pergi ke Tiong-goan ! "
„ Apakah bisa balik kembali
kemari ?"
„ Setelah berhasil, sudah
tentu aku akan kembali lagi ......" Gak Lui tak dapat melanjutkan kata2nya
karena seluruh suku Yau yang hadir di muka makam Pedang Laknat, serentak
berlutut memberi hormat kepada anak muda yang diangkatnya sebagai Malaekat
Pelindung itu.
Kemudian dengan kata2 yang
tandas, Gak Lui berdoa dihadapan nisan Pedang Laknat :
„Gak Lui hendak mohon diri.
Aku berjanji pasti dapat mencari ilmu kesaktian yang tiada tandingannya
didunia. Dengan ilmu kepandaian itu aku akan menuntut balas kepada musuh kita.
Setelah itu aku akan kembali lagi kesini dan akan membuka kedok mukaku ini
dihadapan nisan gihu. Harap gihu mengasoh dengan tenang di alam
baka........"
---oo0oo---
Badai Prahara sudah reda
tetapi langit masih, tertutup awan hitam........ rembulan dan bintang tak
tampak sama sekali.
Dibawah sinar api obor, tampak
berpuluh-puluh orang Yau meninggalkan makam Pedang Laknat.
Setelah menunaikan hormat
mereka yang terakhir kepada Malaekat Pelindungnya, merekapun berbondong-bondong
masuk kedalam hutan.
Gak Luipun pergi dengan
membekal dendam penasaran.
Dengan sebilah pedang, ia
hendak berkelana mencari guru sakti.
Mungkin dalam perkelanaannya
itu ia akan mengikat lebih banyak musuh dan lebih besar lagi dendamnya.
Namun baginya, tujuan hidup
hanyalah hendak membalas sakit hati terhadap musuh yang telah membunuh
ayah-bunda, suheng dan ayah angkatnya itu ...........
la arahkan langkahnya menuju
kegunung Busan untuk menemui ketua Bu-tong-pay.
Selama dalam perjalanan itu
tak pernah ia berhenti merenung dan memikirkan, apa tujuan ayah-angkatnya itu
menyuruh dia menemui ketua Bu-tong-pay.
Dan hal apakah yang harus
ditanyakan pada ketua partai itu nanti ?
„Mungkin disuruh menayakan
tentang jejak ayahku, mungkin tentang siapa2 murid Bu-tongpay yang lenyap
......" demikian ia menimang dan menduga- duga kelanjutan kata2 yang belum
sempat diucapkan oleh Pedang Laknat karena sudah keburu menghembuskan napas.
„Ah....., percuma
menduga-duga. Nanti saja kalau sudah bertemu dengan Ji Ih totiang, baru bilang
...... " akhirnya ia menetapkan rencananya.
Sekonyong-konyong, terdengar
suara bentakan yang njaring melengking: „Berhenti! Disini tempat terlarang bagi
setiap pengunjung."
Gak Lui berhenti.
Memandang kemuka, barulah ia
menyadari bahwa saat itu ia sedang berhadapan dengan sebuah sumber air yang
mengalir dari suatu gundukan karang yang tinggi.
Pada dinding karang raksasa
itu terdapat tulisan tiga huruf „Ciat-kiam-coan" atau sumber air Pelecut
Pedang.
„Seorang imam muda berumur
lebih kurang 20-an tahun, tegak berdiri disamping sebuah batu. Dengan menghunus
pedang, imam muda itu memandang Gak Lui tajam2.
,,Aku bernama Gak Lui, sengaja
datang mengunjungi gunung ini. Aku bukan seorang pelancong," Gak Lui
memberi keterangan.
Imam muda itu memperkenalkan
diri sebagai imam Lian Ti.
Kemudian ia menanyakan
siapakah yang hendak dicari Gak Lui.
„Ketua Bu-tong-pay ..........
"
„Ah ........." imam muda
itu memandang kearah kedok muka aneh yang menutupi wajah Gak Lui, lalu menegas:
„Apakah saudara sudah kenal dengan ketua kami?"
„Belum kenal," sahut Gak
Lui, „seorang cian-pwe yang menyuruh aku kemari."
„Mohon tanya, siapakah guru
saudara?"
„Maaf tak dapat
kuberitahukan."
„Dari partai persilatan mana
saudara berasal?"
„ini ...... ini juga maafkan
sajalah," Gak Lui agak tersekat-sekat.
„Ada keperluan apakah saudara
hendak menemui kutua kami?" tanya imam itu pula.
,,Ah, maaf, tak leluasa
kukatakan. Kumohon suhu suka melaporkan kedatanganku ini kepada Ji Ih
totiang........."
„Heh...., heh......!"
imam muda itu tertawa dingin sehingga ucapan Gak Lui terputus,
,,Mengapa suhu tertawa?"
tegur pemuda itu. "Kakek guru Ji lh totiang sudah menutup mata belasan
tahun berselang, tak kira saat ini masih ada orang yang hendak
mencarinya!"
Gak Lui terbeliak.
Kini baru ia menyadari bahwa
karena ayah angkatnya sudah lama tak campur urusan dunia persilatan, maka
akibatnya sekarang ia ditertawakan orang.
„Kalau begitu aku hendak minta
bertemu dengan ketua yang sekarang," kata Gak Lui akhirnya.
Bukan menjawab, kebalikannya
imam muda itu malah balas bertanya: „Saudara ini dari aliran Ceng-pay (putih)
atau Sia-pay (hitam) atau mungkin baru saja keluar dari perguruan sehingga tak
mengerti peraturan "
Gak Lui tertegun.
Beberapa saat kemudian baru ia
berkata: „Apakah arti ucapan suhu itu?"
„Perguruan kami Bu-tong-pay,
sejak kakek guru menutup mata, sampai sekarang sudah 15 tahun menutup pintu tak
berhubungan dengan dunia persilatan lagi.
Ketua yang sekarang, Ceng Ki
Totiang masih menjalankan aturan menutup pintu tak berhubungan dengan dunia
persilatan lagi, dan tentu kami akan melaksanakannya, kecuali ada perubahan
untuk menghapus aturan tersebut. Denikian imam Lian Ti menjelaskan kepada Gak
Lui, dan dia mengajukan pertanyaannya pada Gak Lui, katanya : „Sebenarnya tugas
apa yang sedang sicu kerjakan, sampai harus sicu mencari Ketua kami ......?”
Gak Lui menjadi menjelaskan,
bahwa dia mendapat tugas seorang cianpwee untuk mengambil potongan2 ujung
pedang dari tokoh2 ahli pedang di dunia persilatan ..............” baru sampai
Gak Lui menjawab .... dia sadar telah kelepasan omong ......... karena
sebelumnya dia tidak memberi penjelasan mengenai maksud kedatangannya ke
Butong-pay, selain ingin bertemu dengan Ketua-nya saja.
Mendengar sepotong penjelasan
Gak Lui saja, telah membuat para penjaga disitu, terbeliak dan cepat merobah
kedudukannya, mengepung anakmuda itu.
Dan pada saat itu barulah
terdengar imam Lian Ti berseru dengan nada penuh keheranan: „Si Pemangkas
Pedang yang menggemparkan dunia persilatan itu........ apakah engkau?"
„Tak salah!" sahut Gak
Lui dengan terus terang, Hwat Lui tojin dari perguruan sini, tentu masih ingat."
„Oh....., kiranya paman guru
Hwat Li juga ........” baru imam Lian Ti berkata sampai disitu, tiba2 dari atas
puncak gunung terdengar genta ber-talu2 dengan keras.
Lian Ti dan kawan2nya serentak
berobah pucat –wajahnya.
Rupanya diatas gunung telah terjadi
peristiwa yang genting.
Kesempatan itu digunakan Gak
Lui untuk menganjurkan: „Dari pada mencegat aku, apakah tidak sebaiknya suhu
melapor kepada ketua!"
‘Lian Ti’ merenung sejenak
lalu menjawab: ,,Baik, tunggulah disini"
Habis berkata ia terus lary
keatas.
Sedang ketujuh kawannya masih
tetap mengepung Gak Lui.
Gak Luipun menurut.
Saat menunggu Gak Lui itu
diam2 : „menimang-nimang bagaimana nanti ucapannya apabila berhadapan dengan
ketua Bu- tong- pay”
Tak lama tampak beberapa sosok
bayangan berlarian turun dari puncak.....
Yang paling depan, seorang
imam berwajah bundar, mulut lebar, memelihara jenggot panjang.
Dia bukan lain tokoh
Bu-tong-pay angkatan kedua yani imam Hwat Lui.
Karena pernah bertempur dan
pedangnya terpangkas, kutung oleh Gak Lui, begitu berhadapan dengan pemuda itu,
Hwat Lui terperanjat sekali.
Hwat Lui segera membisiki imam
muda Lian Ti dan kawan-kawannya yang menjaga di sumber air situ.
Setelah Lian Ti dan ketujuh
imam pergi, barulah imam Hwat Lui berkata kepada Gak Lui dengan nada tegang:
„Ah, kiranya engkaulah yang bernama Gak Lui. Tempo hari, engkau pergi keliwat
cepat "
„Soal memangkas pedang, ada
sebab lain. Adakah suhu masih mengingat hal itu?" sahut Gak Lui.
Hwat Lui tojin terpaksa
tertawa: „Karena engkau datang kemari, maka engkaupun. menjadi tetamu kami.
Soal memangkas pedang itu, baik jangan diungkit dulu !"
"Oh ....." karena
tak mengira bahwa peristiwa diterima dengan mudah dan cepat oleh Hwat Lui, Gak
Luipun mendesus kaget, ia menegas pula : „Apakah suhu benar-benar sudi merima
aku?”
„T adi dari sanggar
pertapaannya, ketua telah mengeluarkan perintah : Butong- san akan menghapus
tindakan Menutup pintu. Maka aku turun kemari untuk menyambut
kedatanganmu!"
Gak Lui makin terkejut,
serunya: „Dengan begitu, dapatlah aku menghadap ketua Ceng Ki totiang?"
„Ketua hanya memberi perintah
membuka larangan datang ke gunung. Yang akan menerima engkau adalah imam yang
berpangkat Hou-hwat!”,,Siapakah suhu itu?" tanya Gak Lui.
,.Adik seperguruan dari ketua,
yalah Ceng Suan totiang. Beliaulah yang mengurus segala pekerjaan digunung
ini!"'
Sejenak merenung, Gak Lui
menyatakan persetujuannya dan minta segera, dibawa keatas.
Imam Hwat Lui segera
mengajaknya naik kepuncak.
Tak berapa lama, tampak
beberapa gunduk bangunan.
Yang paling tengah, adalah
sebuah bangunan yang dinamakan Sam-hong-tian, yaitu sebuah gedung besar yang
luas untuk latihan silat.
Kira-kira seratus tombak
jauhnya disebelah kiri gedung latihan silat itu, terdapat gedung Hian bu-gek.
Sebuah tempat yang penting juga.
Saat itu diluar gedung
Sam-hong-tian, tampak berbaris berpuluh-puluh murid Bu-tong-pay. Sikap mereka
seolah-olah seperti, sedang menunggu serbuan musuh yang kuat!
Yang berdiri ditengah, seorang
imam tua berumur 60-an tahun.
Kepala dan lehernya besar,
wajah memancar kewibawaan.
Dia adalah Ceng Suan totiang,
imam yang menjabat sebagai Hou-hwat atau Pelindung Gereja dari Bu-tong-san.
Dibelakang terdapat dua imam
yang lebih muda yani Hwat Tian dan Hwat Ting, Keduanya sederajat dengan Hwat
Lui totiang, yalah termasuk murid angkatan kedua dari Bu-tong-pay.
Melibat2 dirinya disambut oleh
tokoh2 Butong-pay yang sakti, mau tak mau Gak Lui gentar juga hatinya.
Setelah Hwat Lui totiang
memperkenalkan pemuda itu kepada paman gurunya, Ceng Suan totiangpun berkata :
„Kudengar Gak sicu menggemparkan dunia persilatan atas tindakan sicu memangkas
ujung pedang, setiap lawan.
Dengan maksud apakah sicu
berkunjung kemari?"
„Ah, kabar itu terlalu
dibesar-besarkan. Tentang persoalan memangkas ujung pedang, memang ada
sebabnya, " jawab Gak Lui.
„Soal itu nanti saja sicu
boleh menerangkan lagi, yang penting harap sicu suka mengatakan maksud
kedatangan sicu ini, " kata Ceng Suan.
Sicu adalah sebutan yang
diucapkan oleh kaum paderi atau imam kepada tetamu atau orang luar.
„Kedatanganku ini adalah
melaksanakan petunjuk dari seorang cianpwe untuk meminta petunjuk tentang
beberapa soal. "
„ Silahkan ! "
Diam2 Gak Lui menimang.
„Jika langsung menanyakan
tentang peristiwa yang menimpa ayahnya, ia kuatir akan menimbulkan kehebohan.
Lebih baik ia bertanya dulu tentang urusan dalam perguruan Bu-tong-pay.”
„ Mohon tanya, totiang.
Siapakah tokoh partai totiang yang telah lenyap pada 20 tahun yang lalu? Adakah
sudah diketahui beritanya? " Gak Lui mulai mengajukan pertanyaan.
Mendengar itu seketika
menggigillah tubuh Ceng Suan totiang.
Serentak ia memerintahkan para
anakmurid menyingkir.
Setelah rombongan murid
Bu-tong-pay ini mundur sampai 10 tombak jauhnya, Ceng Suan totiang segera
menatap Gak Lui lekat2. Seolah-olah imam tua itu hendak menyelami isi hati Gak
Lui.
Tetapi muka Gak Lui tertutup
oleh topeng warna hitam yang berbentuk aneh.
Pada bagian mulut diberi
lubang empat pesegi.
Waktu bicara gigi Gak Lui
dapat terlihat.
Sedang pada bagian mata, pun
diberi lubang.
Dari kedua lubang mata itu
tampak biji mata sianak muda berkilat-kilat memancarkan sinar tajam sekali.
Beberapa saat kemudian barulah
penjabat ketua partai Bu-tong-pay itu berkata dengan nada serius : „Harap sicu
suka mengatakan perguruan sicu lebih dulu baru nanti dapat kupertimbangkan,
dapat memberi jawaban atau ti dak ! "
„Ini .... maafkan. Benar2 aku
tak dapat memberitahukan !" sahut Gak Lui.
Apakah engkau dapat membuka
kedokmu ?"
„ Akupun sudah melakukan
sumpah sehingga tak dapat membukanya."
Wajah Ceng Suan totiang
menampil ketidak puasan.
Serunya dingin : „Karena sicu
menolak permintaanku untuk memberitahu asal perguruan sicu, bagaimana sicu
meminta aku supaya menjawab pertanyaan sicu tadi ? "
„Tetapi totiang tentu luas
pengalaman. Dapat membedakan antara orang jahat dengan orang baik. "
„Dunia persilatan penuh
beraneka ragam kejahatan dan kelicikan. Apalagi hati orang sukar diduga. Dan
mengingat umurmu baru diantara 20an tahun tetapi menanyakan tentang peristiwa
yang telah terjadi pada 20 tahun berselang, makin menimbulkan kecurigaan orang
! "
„Demi menyelidiki peristiwa
yang aneh itu, terpaksa aku harus membicarakan peristiwa yang lampau ! "
Jawaban Gak Lui itu membuat
Ceng Suan totiang berkilat-kilat matanya.
Secepat kilat mengarahkan
pandangan matanya ke mata Gak Lui.
Ia berkata : „ Baik, dengarkan
!"
„ Silahkan. "
„Yang lenyap itu adalah
suteku, sampai sekarang belum ada beritanya ! „
„Ah......, rupanya totiang
bertiga adalah Tiga Serangkai dari Butong pada masa itu !" seru Gak Lui.
„Benar, tetapi gelar itu kini
sudah tak berguna lagi. "
Gak Lui mengangguk.
Wajahnya agak kecewa.
Tetapi ia berlaku setenang
mungkin sehingga Ceng Suan totiang merasa heran.
Oleh karena sesungguhnya
dengan keterangan tadi ia hendak menyelidiki reaksi anak muda itu.
Dari reaksi itu dapatlah ia
menentukan golongan Putih atau Hitamkah pemuda itu.
Sejenak kerutkan alis, imam
tua itu bertanya : „ Apakah sicu masih ada lain pertanyaan lagi ?
Aku mohon bertemu muka dengan
ketua partai Bu-tong-san, " kata Gak Lui.
Suheng masih menjalankan
pertapaan, tak dapat menerima tetamu !"
,, Jika aku tetap minta
bertemu?"
Seketika marahlah imam dari
Bu-tong-san itu.
Tetapi ia menahan kemarahannya
dan berkata : „ Akulah yang menjabat pimpinan perguruan. Suheng tak mau
mengurus apa2 lagi.
Disamping itu, akupun juga
ingin mengajukan pertanyaan, harap sicu suka menjawab ! "
„Silahkan totiang
bertanya."
,,Apakah hubungan sicu dengan
tokoh yang bergelar si Raja Persilatan itu?"
,,RAJA PERSILATAN ...........
?” Ah........, tak pernah kudengar nama itu. Yang kuketahui hanya seorang tokoh
bergelar Maharaja Persilatan Li Liong-ci ....." Ceng Suan totiang
terkesiap, serunya: „Apakah sicu mempunyai hubungan dengan Maharaja itu?"
,,Tidak....! Hanya mendengar
namanya saja"
Sikap Ceng Suan totiang
berobah tenang kembali lalu bertanya pula: „Kalau sicu tak tahu tentang
Maharaja Persilatan, tentulah sicu juga tak mengetahui tentang peristiwa
pembunuhan atas diri tokoh-tokoh persilatan yang telah menerima Amanat Maut!”
Gak Lui terbeliak.
Serentak ia bertanya:
„Peristiwa itu benar2 aku tak tahu. Pertanyaan totiang sungguh janggal bagiku
"
„Maharaja Persilatan, Amanat
Maut dan peristiwa engkau memapasi pedang lawan, terjadi pada waktu yang
bersamaan. Dengan keterangan tadi, kiranya engkau tentu dapat menarik
kesimpulan sendiri !"
Gak Lui memekik kaget. Diam2
ia merasa, sepak terjang Maharaja Persilatan dengan urusan dendam pembalasan
yang hendak dilaksanakan itu, mempunyai tali hubungan.
Melihat Gak Lui terkejut, Ceng
Suan totiang mendesak Iagi: „Lekas terangkan, bagaimana hubungan yang
sebenarnya!”
Gak Lui balas memandang tajam,
sahutnya : „Ketika tempo hari mengutungi pedang orang, aku sangat terburu-buru
sekali sehingga tak sempat menyelidiki hal itu. Aku sendiripun curiga terhadap
Maharaja dan Amanat Maut.
„Harap totiang suka maklum
persoalannya !”
„Apakah engkau minta aku
supaya menerangkan ?"
„Benar ! "
Ceng Suan totiang sejenak
merenung, lalu berkata: „ Baiklah ! Tapi ada beberapa hal yang perlu kukatakan
lebih dulu. "
„ Silahkan. "
„ Nanti aku hendak menguji
ilmu kepandaianmu, barang beberapa jurus saja!”
„ Itukah syarat totiang?
"
„Entah apa namanya, tetapi
yang penting agar engkau jangan menganggap remeh pada partai Bu-tong-pay!”
„Baiklah, aku sedia menuruti,
harap totiang suka menerangkan asal usul si Maharaja itu!”
„.Siapa namanya tak jelas,
begitupun tak seorang yang pernah melihatnya!”
„ Seorangpun tak ada?,"
Gak Lui menegas.
„.Mungkin hanya tokoh2 sudah
mati dibunuhnya, itulah yang pernah melihatnya.
Tetapi yang masih hidap, tak
pernah ada yang melihatnya !."
„Siapa2 saja yang dibunuhnya
itu? "
„Semuanya dari tokoh golongan
Putih, dan mereka dibunuh bersama seluruh anggota keluarganya!"
„Bagaiman dengan Amanat Maut
itu ?"
,,Orang itu kejam dan ganas
sekali, serta luar biasa congkaknya. Selain menamakan dirinya sebagai Maharaja
Persilatan, pun dalam surat yang dikeluarkannya itu, dia tak mau menggunakan
istilah „persilatan” atau „maklumat" tetapi menggunakan istilah „amanat".
Barangsiapa yang menerima dan tak mau menyerah tentu akan dibasmi bersama
seluruh keluarganya !"
„Adakah tokoh2 yang
menerima-surat itu, tiada ada yang menyerah ?”
„Sudah tentu, ada, tetapi
sukar diketahui siapa”
„Dengan begitu, surat itu
merupakan ancaman yang menyerah, tetap hidup, dan yang menentang pasti
mati!"
„Benar!" sahut imam tua
itu lalu tertawa me-ngekeh, penuh hamburan nada kemarahan.
„Mengapa totiang tertawa
?"
Tiba2 Ceng Suan totiang
hentikan tawanya, wajahnya membeku dingin, ujarnya : „Aku mentertawakan
ucapanmu itu. Sepatahpun tak salah .......!”
„Harap totiang suka bicara
dengan terus terang. Pada Amanat Maut itu, selain bertanda tangan Maharaja
Persilatan, hanya terdapat 8 huruf berbunyi 'Yang menyerah, pasti hidup. Yang
menentang pasti...... mati !’
„Oh......!, totiang mencurigai
aku ............. "
„Yang menimbulkan kecurigaan,
bukan hanya itu saja. Hunuslah pedangmu!"seru Ceng Suan totiang.
Melihat imam itu berkeras
mencurigai dirinya, Guk Lui tak dapat berbuat apa2 lagi.
Sambil meraba tangkai
pedangnya, ia memandang kesekeling penjuru.
Berpuluh-puluh murid
Bu-tong-pay masih tegak berjajar pada jarak jauh
Mereka jelas belum menerima
perintah membubarkan diri.
Diam2 Gak Luipun mengadakan
penilaian.
Bahwa ia masih cukup kuat
untuk menghadapi penjabat ketua Butong-Pay itu.
Ruang Hian-bu-khek yang tinggi
hampir sama dengan bangunan tiga tingkat, tampak sepi2 saja.
Sebaliknya diruang
Sam-hong-tian tampak berserabutan beberapa sosok tubuh.
,,Awas, pedang?" seru Gak
Lui berseru Iantang dan menusuk kedada Ceng Suan totiang.
Ceng Suan mendengus pelahan.
Iapun balas menusuk.
Diam2 Gak Lui girang.
Segera ia taburkan pedang
membentuk lingkaran sinar dan secepat kilat membabat pedang lawan, tring......,
tring .......
Namun Sudah 10 lingkaran sinar
pedang telah dihamburkan, lawan tetap masih utuh pedangnya.
Ternyata tetua Bu-tong-pay
itupun juga mememutar pedang jadi lingkaran sinar jang mengandung pancaran
tenaga-dalam bagai banjir melanda.
Diam2 Gak Lui terkejut.
Ia menyadari bahwa dengan cara
bertempur itu, bukan saja ia pasti tak dapat memangkas kutung senjata lawan,
tetapi pun kebalikannya, pedangnyalah yang akan terbabat jatuh !
Sekonyong-konyong Gak Lui
endakan pedang lalu berganti gerak, tahu2 ia berputar dan menyurut mundur.
Tring ...... terdengar dering
senjata pedang beradu keras, tetapi tahu2 Gak Lui sudah mundur keluar jendela.
Ceng Suan loncat mengejar.
Ujung pedang dibabatkan
kebawah mengarah kaki.
Tetapi Gak Luipun bukan
makanan empuk.
Ia menarik pulang pedangnya,
lalu enjot tubuh melambung ke udara.
Tabasannya luput, Ceng Suan
totiang mendengus.
Kemudian ia robah gerakan
pedangnya dalam jurus Menurut-air-mendayung-rakit.
Ujung pedangnya kembali
mengarah telapak kaki pemuda itu.
Tetapi dalam melambung di
udara itu, punggung Gak Lui seolah-olah tumbuh matanya.
Tring ........ ia tangkiskan
pedangnya.
Dengan meminjam tenaga
benturan pedang itu, ia melayang turun tiga tombak jauhnya lalu tegak berdiri
bersiap.
Da1am waktu sekejab mata,
keduanya saling melancarkan serangan.
Dan kedua-duanya sama
terperanjat !
Gak Lui gunakan jurus istimewa
untuk memangkas pedang lawan.
Ia yakin tentu berhasi!
Tetapi ternyata imam itu dapat
menghalau dengan lancar.
Sedangkan Ceng Suan pun tak
kurang kejutnya.
Dengan peyakinan tenaga-dalam
selama berpuluh tahun dan sudah bersiap, lebih setelah menerima laporan dari
Hwat Lui, namun ternyata lawan yang masih muda belia itu sanggup menghahadapi
tak kurang suatu apa!
Kemudian mereka melanjutkan
pertempurar lagi.
Ceng Suan totiang mengeluarkan
ilmu simpanan dari partai Bu-tong-pay.
Ia, menyerang dulu, mendahului
gerakan lawan.
Pedangnya segera berobah
menjadi dinding sinar pedang yang menelungkupi lawan.
Sasaran utama diarahkan kemuka
pemuda itu.
Gak Lui tak berani lengah.
Dengan mengeluarkan seluruh
kepandaian, ia melawan mati2an.
Pada saat dua lingkaran pedang
itu saling...... bertaut dengan seru disertai dering gemerincing yang nyaring,
tiba2 Ceng Suan mendapat kesempatan untuk menusukkan ujung pedangnya.
Cret........!, dagu Gak Lui
tertusuk . . . .
Pemuda itu terhuyung-huyung
lima langkah.
Peluh dingin mernmbasahi
tubuhnya: Sambil meagarahkan ujung pedang kemuka, ketua Bu-tong-pay itu berseru
marah: ,,Mata2 Maharaja yang berani mati, lekas buang senjatamu dan
menyerah!"
,,Harap totiang jangan bicara
sembarangan."
„Hm, jelas engkau salah
seorang dari gerombolan Topeng Besi itu. Apakah masih hendak
menyangkal?" .
,,Topeng Besi....?!” Gak Lui
tergetar hatinya.
Dia sendiri juga tak senang dengan
sepak terjang tokoh yang mengagulkan diri sebagai Maharaja Persilatan itu.
Tetapi karena Ceng Suan
to-tiang terus memburunya dengan serangan2 yang dahsyat, terpaksa ia harus
melayani lebih dulu.
Kini karena ada kesempatan
bicara, segera ia berseru menjelaskan.
,,Sama sekali aku bukan
anggauta Topeng Besi! Harap totiang jangan salah faham ........ "
„Topengmu itu tak tembus
senjata tajam, apakah artinya itu?" seru Ceng Suan totiang.
,,Dipedalaman gunung terdapat
semacam binatang aneh yang dinamakan Mogh, sejenis oranghutan yang mempunyai
kulit luar biasa kerasnya dan bertenaga kuat sekali. Topengku ini terbuat,
daripada kulit binatang itu ...."
Setengah, kurang percaya, Ceng
Suan totiang berkata dengan nada dingin: ,,Tak peduli bagaimana, engkau tetap
kutahan disini?"
,,Tetapi,aku hendak mencari
gerombolain Topeng Besi dan Maharaja untuk membuat perhitungan ! "
Hm .... ! " Ceng Suan
mendengus marah dan menyerang lagi.
Karena tak senang terlibat
dalam pertempuran di tempat itu, Gak Lui loncat dan meluncur turun gunung.
„ Cepat hadanglah! "
teriak Ceng Suan totiang.
Hwat Lui dan rombongan
anakmurid Butong-pay segera berhamburan menjaga tempat2 yang penting.
Gak Lui terkejut.
Sejenak memandang
kesekeliling, matanya yang tajam ...... segera melihat bahwa gedung
Hian-bu-khek itu sepi tiada orangnya.
Dibelakang geduang itu
merupakan puncak gunung.
Ia memutuskan untuk lari ke
puncak itu kemudian turun dari sebelah belakang lereng gunung.
Maka tiga jurus serangan
segera dilancarkan kearah Ceng Suan totiang.
Kebetulan penjabat ketua
Bu-tong-pay itu kuatir kalau pedangnya terpapas kutung, maka ia menghindar
kesamping.
Kesempatan itu tak
disia-siakan Gak Lui.
Secepat kilat ia menyelinap
lari kearah gedung Hian-bu-khek.
Di luar dugaan, Ceng Suan totiang
berkaok-kaok seperti orang kebakaran jenggot : „ Lekas hadang mata2 itu. Jangan
sampai mengganggu ketua
....."
Mendengar ketua Bu-tong-pay
berada dalam gedung itu.
Gak Lui makin pesatkan
larinya.
Dengan beberapa kali loncatan,
dia sudah mencapai gedung itu !
Tetapi disitu beberapa murid
Bu-tong-pay sudah berbaris menghadang dimuka pintu.
Mereka segera. menyerang
pemuda itu.
Tring....., tring ...... Gak
Lui menangkis.
Dan dengan meminjam tenaga
benturan pedang, ia ayunkan tubuh melambung ke tingkat kadua.
Ketika Ceng Suan totiang tiba,
Gak Luipun sudah melayang lagi ke tingkat yang teratas!
Ceng Suan totiang makin
gelisah.
Karena bingung ia sampai lupa
akan pertahanan diri.
Tanpa banyak pikir lagi, ia
terus loncat keatas.
Lalu menusuk ujung kaki Gak
Lui.
Melihat kesempatan sebagus
itu, Gak Lui tak mau membuang waktu lagi.
Dengan gerakan yang indah, ia
berhasil menindih pedang Ceng Suan.
Betapapun saktinya tetapi saat
itu Ceng Suan kalah posisi.
Ia sedang melayang keudara sehingga
kakinya tak mempunyai pinjakan.
Sudah tentu ia tak dapat
bertahan akan tekanan Gak Lui dari atas.
Tring ........ ujung pedang
Ceng Suan terpapas kutung dan Gak Luipun terus menyusup ke dalam gedung.
Tetapi Ceng Suan totiang
bukanlah seorang lemah.
Dia adalah penjabat ketua dari
Butong-pay yang termasyhur.
Ditengah udara, ia empos
semangat dan bergeliatan melenting keatas atap serambi.
Lalu balikkan tangan kanan
menghantam.
Bagaikan air bah melanda, maka
tenaga-murni Hian bun-cin-gi atau tenaga murni menurut ajaran kaum agama,
mengarah kepunggung Gak Lui.
Saat itu Gak Lui belum sempat
mendorong pintu.
Tahu2 ia rasakan punggung
dilanda oleh tenaga yang ribuan kati beratnya, sehingga bernapaspun sukar
rasanya.
Cepat ia balikkan tangan kiri
untuk menangkis.
,,Bhum..............!”
Terdengar letupan keras dan atap dan berderak-derak berhamburan pecah
Huak......... !Gak Lui
menguak. Mulutnya menyembur darah segar dan tubuhnya - terdampar membentur
pintu.
Brak........! pintu hancur berkeping-keping
dan pemuda itu terlempar kedalam ruangan.
Tenaga sakti dari pukulan Ceng
Suan totiang bukan olah2 hebatnya.
Tubuh Gak Lui yang sudah
membentur pecah pintu, tetap tak berhenti melainkan masih terdampar kebawah
kolong ranjang kayu ..............
Ruangan itu sunyi senyap.
Ketika terlempar kebawah
kolong, samar2 Gak Lui masih melibat diatas ranjang itu duduk seorang tua
berambut putih !
Pada lain saat Ceng Suanpun
menerobos.
,,Ciang bunjin engkau....,
engkau...., co-hwe-jip-mo," melihat keadaan orang tua berambut putih itu,
serentak Ceng Suan totiang menjerit.
Co-hwe-jip-mo adalah istilah
untuk menyebut orang yang telah tersesat dalam pertapaan, sehingga darahnya
meliar dan tubuhnya rusak.
Akibatnya jika orang itu tidak
cacad atau lumpuh pastilah akan gila.
Atau kalau parah, urat2
nadinya putus dan mati scketika!
Airmata Ceng Suan totiang
banjir membasahi mukanya.
Matanya memancar api dendam
kemarahan yang menyala-nyala, memandang kekolong ranjang. "
Saat itu Gak Lui rasakan
tulang belulungnya seperti pecah.
Mata pudar telinga
mengiang-ngiang.
Untuk bergerak saja ia merasa
tak punya tenaga lagi.
Ia hanya deliki mata memandang
apa yang akan dilakukan Ceng Suan terhadap dirinya nanti.
Ceng Suan totiang kalap
sekali.
Sebelum melangkah masuk, ia
taburkan pedangnya yang kutung kekolong ranjang.
Gak Lui yang sudah tak
berdaya, tak dapat berbuat apa2 kecuali menunggu ajal.
Pada saat pedang maut yang
dilontarkan dengan sepenuh tenaga oleh Ceng Suan hendak merenggut nyawa pemuda
itu, sekonyong-konyong terdengar hembusan angin dari atas ranjang.
Trang .......pedang kutung itu
tertampar jatuh dilautan.
Dan menyusul terdengar seruan
perlahan: „Ceng Suan" sute, jangan mengamukl"
„Ciang-bun-jin .... , engkau
.... . ,"
,,Aku tak apa2, harap engkau
menjaga diluar, jangan diidinkan orang mengganggu disini,"
Ceng Suan totiang tak berani
membantah.
Terpaksa ia keluar dari
ruangan.
Kemudian imam tua itu segera
mempersilahkan Gak Lui keluar dari kolong ranjang.
Buru2 Gak Lui mengiakan dan
merangkak keluar.
TETAPI apa yang dilihatnya
saat itu, hampir membuatnya menjerit ngeri.
Ternyata imam berambut putih
itu, wajahnya merah darah menyeramkan sekali.
Jelas dia telah memasuki
Co-hwe-jip-mo sehingga demikian keadaannya!
Gak Lui tak enak hati.
Buru2 ia memberi-tahukan
namanya seraya memberi hormat: „Tanpa sengaja wanpwe telah keliru memasuki
tempat pemujaan totiang. Jika ada obat yang dapat menolong totiang, wanpwe
tentu akan mencari kemanapun juga . . . ."
Ketua Bu-tong-pay itu tertawa
tawar: „Ini memang sudah takdir! Bukan kesalahanmu dan tiada obatnya lagi.
Engkau sendiri menderita luka parah, biarlah kuobati dulu kamu!"
Sudah tentu Gak Lui tak sampai
hati........, Ia menyurut mundur dan lintangkan pedang untuk melindungi
tubuhnya.
„Kalau begitu, silahkan duduk
dan bicara!"
„Kiranya cianpwee tentulah
Ceng Ki totiang ....... ?"
„Benar," sahut imam
berambut putih itu:„dan engkau tentulah murid dari si Pedang Aneh Ji Kitek
!"
„Ah, mengapa lo-cianpwe dapat
mengetahui ? Adakah lo-cianpwe dapat mengetahui barang yang belum
terjadi?"
,,Dari celah jendela tadi
kusaksikan permaian pedangmu, segera kudapat menduga. Bukankah dua jurus
permainan pedang yang engkau mainkan tadi disebut jurus
‘Membelah-emas-memotong-permata-tanpa-suara’ dan ‘Alap2-pentang-sayap-membenci-langit
?’ "
„Benar......! Aku adalah putra
angkat dari beliau, sai siorangtua itu !"
,,Tetapi aku sedikit sangsi
.......!"
,,Dalam hal apa....... ?"
Gak Lui heran.
,,Jika engkau benar2
putera-angkat dari Ji Kitek mengapa kepandaianmu sedemikian rendahnya....!”
Merahlah muka Gak Lui.
Dergan rawan ia menjawab :
,,Ayah-angkatku sudah tak punya kaki dan tangan lagi. Karenanya .... aku tak
dapat mempelajari ilmu kepandaiannya dengan sempurna ........!"
,,Oh...... ! Ceng Ki totiang
terkejut dan buru2 bertanya : „mengapa dia sampai mengalami keadaan yang begitu
menyedihkan?"
Dengan suara penuh
haru-kedukaan, Gak Lui segara menuturkan tentang perbuatan keempat gerombolan
Topeng Besi yang telah menyerang ayah-angkatnya.
Menurut keterangan ayah angkat
ku, tiga dari keempat gerombolan Topeng Besi adalah tokoh2 dari tiga parai
persilatan.
„Partai persilatan yang
mana?" ketua Butong-pay menyeletuk dengan tubuh menggigil.
,,Beliau..., sampai pada detik
menutup mata belum sempat mengatakan..."
„Ah..... Pedang Aneh ....dia ....... sudah mati
?"
,,Meninggal belum lama,"
kata Gak Lui.
Wajah Ceng Ki totiang
berdenyut-denyut.
Dari mata, hidung, mulut dan
telinga mengucur butir2 darah.
Melihat itu hati Gak Lui makin
seperti disayat-sayat.
Whur......! mulutnyapun
menghambur darah.
Tetapi ia tetap hendak
menolong ketua Bu-tong-pay itu.
Segera ia loncat maju untuk
memapah.
Ceng Ki totiang amat
berterimakasih.
Ia paksakan diri untuk
mengambil sebuah botol kumala dari dalam jubah.
Begitu sumbat dibuka, bau
harum segar segera membaur,
Ia menuang sebutir pil untuk
ditelannya sendiri lalu memberikan sebutir yang lain kepada Gak Lui: „Lekas,
minumlah untuk mengobati luka-dalam tubuhmu ....."
Semula Gak Lui segan tetapi
melihat imam itu benar2 bersungguh hati, terpaksa ia menelannya Ah......!,
benarlah.
Rasa sakit pada tubuhnya,
hilang seketika.
Setelah minum obat, keduanya
bersemedhi menyalurkan tenaga-dalam.
Beberapa saat kemudian, Ceng
Ki totiang membuka mulut lebih dulu: „Kedatanganmu kemari tentulah atas
perintah ayah-angkatmu. Tetapi apakah tujuanmu"
„Beliau menyuruh aku menghadap
Ji Ih totiang untuk menanyakan dua buah hal. Sayang sebelum jelas untuk
menanyakan apa, beliau sudah keburu menutup mata.”
Ceng Ki totiang kerutkan alis,
ujarnya: „Belasan tahun berselang, ayah-angkatmu pernah berkunjung pada guruku.
Saat itu akupun berada disisi suhu. Kudengar ayah-angkatmu mengatakan hendak
menuju kegunung Yau-san. Sejak pertemuan itu ayah angkatmu tiada beritanya
tagi. Tetapi sebelum menutup mata, guruku pernah berpesan agar hati2 apabila
ada orang dari Empat Pedang Busan datang berkunjung !"
,,Adakah cianpwe kenal akan
Empat Pedang Busan?" Gak Lui berseru gugup.
„Yang kukenal hanya
ayah-angkatmu Ji Ki Tek itu. Sedang yang tiga, hanya mendengar nama tetapi tak
pernah muka .....!".
„Dan selama ini orang dari
Empat Pedang Busan itu tak pernah datang berkunjung kemari?"
„Ada seorang bernama Gak
Cin-cin datang kemari!"
,,Ah, dia adalah suhengku.
Diapun mati dibunuh gerombolan Topeng Besi dan si Hidung Grumpung....!"
Ceng-Ki totiang makin heran.
Serunya: „Apakah si Hidung
Gerumpung itu yang mengangkat diri sebagai Maharaja? Dan gerombolan Topeng Besi
itu.......apakah benar tokoh2 dari tiga partai persilatan? Jika benar, mereka
tentulah murid2 murtad partai masing2!"
,,Mungkinkah Ceng Ci totiang
juga termasuk salah seorang " tanya Gak Lui.
Ceng Ki totiang menghela
napas: ,,Mungkin......." sejenak kemud;an ia melanjutkan: „Karena telah
menguasai tokoh2 sakti persilatan, tentulah kepandaian dari si Hidung Gerumpung
itu sukar diukur tingginya. Jika benar dia itu si Maharaja, kita tentu tak
dapat berbuat apa2 terhadap keganasannya ......"
„Harap totiang jangan kuatir!
Aku mempunyai dendam sedalam lautan yang harus kubalas!"
„Cita2 yang luhur" seru
ketua Bu-tong-pay itu, „tetapi sayang kepandaianmu masih rendah. Sekalipun
engkau berserikat dengan ke 7 partai persilatan, belum tentu dapat mengalahkan
si Hidung Gerumpung itu....!"
„Kudengar ada seorang tokoh
lain-yang menyebut dirinya sebagai Maharaja juga. Kepandaiannya tiada lawannya:
Jika dapat menemukannya....."
,,Dia menggunakan gelar
Raja-di-raja dan sudah lama mengasingkan diri.
Sekalipun mendengar gerombolan
durjana muncul mengganas di dunia pecsitatan, ia belum tentu dia mau muncul
memberantasnya.
Sedang untuk mencari
gerombolan Topeng Besi itu, bukanlah pekerjaan yang mudah......!"
„Tetapi tak peduli
bagaimanapun juga, aku tetap mencari ilmu kepandaian sakti. Untuk membalas
dendam dan membasmi gerombolan durjana ini........."
(Keterangan : Untuk dapat
membedakan antara dua tokoh, yang sama2 mengangkat diri dengan gelar Maharaja
Persilatan, maka selanjutnya akan digunakan dua macam istilah : Maharaja untuk
yang seorang, Raja-di-raja yang lain. Dimana sebenarnya Raja-di-raja juga
berarti rajanya raja atau maharaja.)
Tergerak hati Ceng Ki totiang
mendengar tekad pemuda itu.
Merenung sejenak ia berkata: „
Setiap 20 tahun, didunia persilatan tentu muncul seorang bintang cemerlang.
Kurasa kali ini engkaulah bintang yang diharap-harapkan itu. Maka sebelum mati,
ingin aku memberimu dua buah bingkisan ! "
Ketua Bu-tong-pay itu mencabut
pedang dipunggungnya.
Sebuah pedang yang bentuknya
aneh.
Ketika diloloskan, batang
pedang memancar sinar berkilau-kemilau memenuhi ruangan.
Mata pedang yang
berkilat-kilat tajam, jelas menunjukkan bahwa pedang itu bukan olah-olah
tajam-nya.
Hanya anehnya, panjang pedang
itu cuma setengah dari pedang biasa.
„Inilah pedang Pelangi, pedang
pusaka partai Bu-tong-pay. Terimalah sebagai bingkisanku, agar kau memiliki
senjata untuk menumpas kawanan durjana itu ! "
Gak Lui terkejut dan
tersipu-sipu menolak : „ Pusaka yang sedemikian keramat, aku tak berani
menerima.........!"
Napas ketua Bu-tong-pay itu
memburu keras dan mendesak menyerahkan pedang : „Jika engkau tak mau menerima,
anggaplah aku minta tolong kepadamu supaya membawa keluar pedang ini dari
Bu-tong-san. Apabila bertemu dengan seorang ahli pembuat pedang yang pandai,
sukalah menyuruhnya membuat pedang itu supaya menjadi pedang panjang. Setelah
itu bolehlah engkau antarkan kemari lagi. Dengan demikian terlaksanalah
keingnanku yang kuidamkan bertahun-tahun........!"
Sebenarnya Gak Lui memang
menyesal sekali, karena telah keliru masuk kedalam sanggar pemujaan ketua
Bu-tong pay itu hingga tanpa sengaja dia telah, merusakkan persemedhian Ceng Ki
totiang yang tengah meyakinkan ilmu kesaktian. Jelaslah, ketua Bu-tong-pay itu
telah menderita Co hwe-jip-mo sehinga keadaanya gawat sekali.
Mendapat kesempatan untuk
menebus dosa, Gak Lui segera menyanggupi permintaan imam tua itu : „ Baiklah,
lo-cianpwe. Kelak tentu akan kukembalikan dengan sebatang pedang seperti yang
lo-cianpwe pesan ........!"
Ketua Bu-tong-pay itu, tertawa
puas.
„Jika hendak menuntut ilmu
kesaktian yang tiada tandingannya, haruslah mencari seorang guru yang benar2
sakti. Kutahu sebuah tempat tetapi berbahaya ........"
„Lo-cianpwe, aku tak takut
bahaya apapun juga......!" seru Gak Lui dengan girang, „harap lo-cianpwe
segera mengatakan tempat itu......!"
,,Harap buka jendela belakang
itu .........!" ka-ta Ceng Ki totiang.
Gak Lui cepat2 loncat untuk
membuka jendela .......... tampak disebelah bawah gedung itu penuh dengan
anakmurid Bu-tong-pay yang siap dengan senjata masing2. Mereka tegang sekali
sikapnva memandang ketingkat tiga.
Memandang kearah lain, Gak Lui
melihat berlapis-lapis puncak gunung tegak berjajar-jajar.
„Cobalah engkau hitung jajaran
puncak gunung yang ke-7. Dilembah gunung itu terdapat seorang aneh yang
memiliki kepandaian sakti sekali. Walaupun belum termasuk orang yang tiada
tandingannya didunia, tetapi didunia persilatan jarang terdapat tokoh seperti
dia ........!"
Gak Lui mengawasi dengan tajam
dan dapatlah ia menemukan puncak gunung ketujuh itu: „Sjapakah tokoh luar biasa
itu " tanyanya.
„Aku pernah adu pukulan satu
kali dengan dia. Tetapi tak tahu namanya. Karena saat itu bukan saja tak sempat
bicara, bahkan tak pernah melihat wajahnya ........!"
„Bertempur tetapi tak melihat
mukanya .....?"
Gak Lui mengulang
heran...........
Ceng Ki totiang batuk2
beberapa kali, katanya: „Lima belas tahun yang lalu ketika Bu-tong menutup
pintu, aku kebetulan meronda sampai kelembah itu, dan melihat dalam sebuah guha
terdapat jejak seorang manusia. Beberapa kali kuteriaki namun tiada jawaban.
Terus hendak kumasuki tetapi baru mendekati mulut guha, aku tersedot oleh suatu
tenaga-tarik yang kuat. Dengan sekuat tenaga aku meronta dan berhasil
membebaskan diri. Karenanya .... tak sempat menanyakan namanya . . . . "
Pada saat Gak Lui sedang
tegang mendengarkan, tiba2 suara Ceng Ki totiang berobah lemah, napasnya
terengah engah.
Buru2 Gak Lui berpaling
memandangnya.
Dilihatnya kasur tempat duduk
ketua Butong-pay berkubang darah segar.
Kejut Gak Lui bukan alang
kepalang.
Bergegas-gegas ia lari
menghampiri untuk mengurut jalandarah imam itu.
Tetapi Ceng Ki totiang
menolaknya
„Aku sudah tak dapat tertolong
lagi. Kelak, bila berhadapan dengan Ceng Ci sute, tak perlu menanyakan
persoalannya ........"
Tetapi Gak Lui gugup hendak
memberi pertotongan.
Sambil mengiakan ia tetap
lekatkan kedua tangannya kejalan darah imam itu.
Tetapi tenaga dalamnya sendiri
juga terbatas.
Mengurut beberapa kali tetap
tak ada hasilnya.
Karena gugup, ia berteriak
sekeras-kerasnya : „Hei...! Ciangbunjin parah sekali ........... lekas kalian
datang menolongnya ..........!”
Belum kumandang suaranya
sirna, arus anak murid Bu-tong-pay melanda masuk.
Yang dimulai sendiri oleh Ceng
Cuan totiang, penjabat ketua partai, lalu Hwat Lui dan Hwat Tiam serempak
menerobos.
Wajah Ceng Suan totiang tegang
dan terlihat seram seperti iblis.
Dia terus langsung menghampiri
suhengnya Ceng Ki totiang.
Gak Luipun segera menyingkir.
Ceng Suan tak menghiraukan
lain2-nya, yang penting ia harus cepat menolong suhengnya.
Dipapahnya tubuh Ceng Ki
totiang lalu mulai menyalurkan tenaga dalam untuk memberi pertongan .........
Sedang Hwat Lui totiang deliki
mata kepada Gak Lui.
Melihat pemuda, itu menyanggul
pedang pusaka Bu-tong-pay, tanpa berkata apa2 ia terus menusuk pemuda itu.
Gak Lui terpaksa menghindar.
Tetapi Hwat Tiam dan Hwat Ko
yang muncul juga, segera ikut menyerang.
Gak Lui serentak diserang
hebat oleh tiga imam Bu-ton-pay!
Gak Lui berturut turut mundur
sampai tiga langkah.
Kini dia sudah terdesak
dipojok tak dapat mundur lagi.
Apa boleh buat.
Dan serentak ia mencabut
pedang Pelangi pusaka Bu-tong-pay itu dan sret..., sret..., sret..., secepat
kilat ia membabat pedang ketiga penyerangnya.
Hwat Lui dan kedua imam itu
tahu ketajaman pedang Pelangi.
Terpaksa mereka mundur.
Dalam kesempatan itu Gak Lui
terus loncat keluat dari jendela tingkat ketiga.
„Tangkap pencuri pedang pusaka
kita" Hwat Lui cepat berseru nyaring.
Dari empat penjuru keliling
gedung Sanggar Pemujaan itu serentak bergemuruh penyahutan mengiakan.
Pada saat tubuh Gak Lui sedang
melayang turun, disebelah bawah sudah siap menyambut dengan lautan ujung
pedang.
Ditengah udara Gak Lui bersuit
nyaring.
Pedang Pelangi ditaburkan
menjadi lingkaran sinar pedang yang rapat.
Tring..., tring .....terdengar
dering gemerincing nyaring ketika ia menabur ditengah lautan pedang itu.
Dengan mengandalkan ketajaman
pedang pusaka Pelangi, berhasillah ia membuka jalan.
Tetapi pada saat anakmurid
Bu-tong mundur kacau balau, Hwat Lui bertigapun muncul.
Tetapi begitu dapat
membobolkan kepungan, Gak Lui terus menerobos dan lari secepat kilat.
Tujuannya yalah ke-puncak
gunung yang ke-7.
Tetapi dengan mati-matian
ketiga imam Bu-tong-pay angkatan Hwat itu tetap mengejarnya.
Mereka menyangka bahwa Gak Lui
telah membunuh ketua mereka dan merebut pedang pusaka partai Bu-tong.
---oo0oo---
BAB 03
PERANTAIAN IBLIS
PUNCAK demi puncak dan tujuh
buah puncak telah dilintasi Gak Lui. kini dia berhadapan dengan dinding karang
yang curam dan melandai kebawah dengan amat berbahaya sekali.
Dibawah kaki karang tinggi itu
terdapat sebuah hutan yang gelap menveramkan. Ketika berpaling, tampak Hwat Lui
dan rombongan anakmicrid Bu-tong tinggal heberapa tombak dibelakang.
Ketika Gak Lui tertegun
beberapa jenak saja, Hwat Lui bertigapun sudah loncat keudara untuk menyerang.
Desis sambaran pedang ketiga
imam itu cepat dapat diketahui Gak Lui.
Segera ia lintangkan kedua
pedangnya, yang satu pedangnya sendiri dan satu pedang Pelangi, untuk menjepit
ketiga pedang lawan.
Saat itu terjadilah adu
tenaga.
Hwat Lui dan kedua imam adik
seperguruannya dalam posisi meluncur dari udara.
Pedangnya dijepit oleh
sepasang pedang Gak Lui.
Memang dalam keadaan terpojok
seperti saat itu, tiada lain jalan bagi, Gak Lui kecuali harus adu kekuatan.
Tetapi ternyata tenaganya
masih lemah.
Beberapa saat kemudian ia
rasakan kedua lengannya gemetar.
Huak..........mulutnya muntah
darah.
Ternyata pil pemberian Ceng Ki
totiang tadi, kekuatan ketahanannya sudah habis.
Seketikta pemuda itu
kehilangan separoh tenaganya lagi.
Sudah tentu Hwat Lui bertiga
girang sekali.
Mereka tak mau lewatkan
kesempatan bagus.
Dengan menambah tenaga-dalam
lagi, mereka memberi tekanan lebih berat.
Pedang merekapun mulai
pe-lahan2 menurun keatas kepala Gak Lui.
Gak Lui kucurkan keringat
dingin.
Ia merasa tak kuat lagi.
Tetapi tiba2 ia terkejut
mendengar suara bergemerincingan tiga kali.
Ah........, ternyata ketiga
pedang dari imam Bu-tong-san telah terpapas kutung oleh pedang Pelangi !
Adu tenaga dengan pedang itu,
walaupun pedang Hwat Lui bertiga telah kutung, tetapi tenaga kedua belah fihak
masih tetap memancar.
Hwat Lui bertiga yang berada
pada posisi menekan dari atas, pedangnya tetap membelah kebawah.
Sedang pedang Gak Lui yang
menyanggah.
Kuatir kalau akan melukai
orang, Gak Lui buru2 menarik pulang pedang untuk melindungi dadanya.
Tetapi ketiga imam itu benar2
kalap.
Lepaskan pedangnya yang sudah
kutung itu, mereka menghantam dengan tinju.
Tinju yang disaluri dengan
tenaga-sakti Man-bun-cin-gi.
Dalam keadaan yang terdesak
sekali itu, Gak Lui terpaksa buang tubuh kebelakang, tetapi ah........ ia tak
dapat berpijak bumi lagi karena dibelakangnya adalah sebuah jurang.
Tubuhnya meluncur terus
kebawah jurang itu .........
Hwat Lui masih penasaran
sekali.
Ia hendak loncat kedalam
jurang untuk menyusul pemuda itu.
Belum puas hatinya kalau belum
menangkap pemuda itu, mati atau hidup.
Melihat itu, Hwat Tian tojin
tergopoh-gopoh memburu seraya meneriaki : „Budak itu tentu hancur lebur
tubuhnya ! Mengapa suheng ........"
„Tidak.......! Kita harus merebut
kembali pedang pusaka partai yang dicurinya !" Hwat Lui meronta untuk
lepaskan diri cekalan Hwat Tian.
Imam Hwat Ko yang sudah tiba,
segera berteriak keras memperingatkan Hwat Lui : „ Mengapa suheng lupa bahwa
ketua kita telah mengeluarkan larangan. Siapapun saja tak boleh sembarangan
masuk kedalam lembah ini ......"
Hwat Lui gelagapan seperti
dijagakan dari tidur.
la tundukkan kepala dan
berlinang-linang airmata : „Kuharap ketua masih hidup. Aku hendak rnohon
hukuman kepada beliau !"
Pada saat ketiga imam itu
kembali kegunung Bu-tong, Gak Lui sedang menjelang maut.
Tubuhnya yang meluncur kebawah
jurang itu menelentang menghadap ke langit.
Kedua tangannya masih
mencckal, sepasang pedang.
Ia tak dapat berbuat apa2
kecuali pejamkan mata dan paserah nasib.
Tubuhnya belumuran darah;
tenaganya lunglai.
Apa dayanya lagi ?
Sekonyong-konyong serangkum
angin lesus bergulung-gulung melanda, membawa tubuhnya berputar-putar,
kesamping, menyusup ke sebuah semak belukar.
Bluk ........ ia menggigil kaget
dan terbeliak.
„Hai...., aku sudah mati
belum?" ia bertanya dalam hati.
Dicobanya untuk menggerakkan
kedua kaki tangannya, ah .... lentuk dan lunglai tak bertenaga.
Bahkan terasa sakit sekali
sampai ke uluhatinva dan ia pingsan lagi.....
Tetapi angin lesus tadi tetap
berhembus.
Makin lama makin keras.
Uh........Gak Lui mendesis
kaget ketika tubuhnya terangkat dan mengapung setengah meter diudara terus
melayang cepat masuk ke dalam guha..!
„Ha..., ha....., ha....., ha
............."
Tiba2 dari dalam guha
menghambur suara orang tertawa keras.
Sedemikian keras suara tawa
itu sehingga Gak Lui tersadar dari pingsannya, dan seketika pula, ia rasakan
telinga seperti pecah.
„Ha...., ha...., akhirnya aku
mendapat kawan.......!”
Gak Lui terkejut mendengar
suara itu, segera ia hendak berusaha mengangkat kepala untuk melihat orang itu.
Tetapi tiba2 orang tak dikenal
itu menamparkan sebelah tangannya menindih dada Gak Lui, sedang tangan
kirinyapun disosongkan ke punggung anak muda itu.
Seketika Gak Lui rasakan
tubuhnya seperti dijepit oleh dua buah tenaga-sakti dari atas dan bawah.
Jangankan Gak Lui hendak
bergerak bangun, sedang untuk menggerakkan kepala saja ia tak mampu lagi
Tetapi aneh.......!
Benar-benar aneh.......!
Tenaga yang menindih diatas dadanya
itu, mengalirkan tenaga dalam ke dalam tubuh Gak Lui.
Dan tenaga yang menyangga
punggungnya itulah yang menyedot tenaga-.sakti dari, atas dada tadi.
Tenaga-sakti yang mengalir ke
dalam tubuh itu mendorong dan menggerakkan tenaga-murni Gak Lui sehingga dapat
melancarkan perederan keseluruh tubuhnya.
Gak Lui benar2 takjub sekali.
Baru pertama kali itu
sepanjang hidupnya, ia mengalami peristiwa yang sedemikian luar biasa.
Benar2 ia tak pernah mendengar
ilmu memancarkan tenaga-dalam yang sedemikian anehnya....!
Setelah mengalami tujuh kali
peredaran tekanan tenaga-dalam didadanya, semangat Gak Lui bertambah segar,
tenaganya berangsur-angsur pu-lih kembal.
Juga, kini pandangan
matanyapun lebih terang sehingga, ia dapat melihat jelas keadaan dalam guha
itu.
Ketika memalingkan kepala,
pertama-tama yang tampak pada matanya jauh empat buah huruf berbunyi : „Guha
batu Iblis perantain"
Keempat huruf itu ditulis
dengan ujung jari.
Bukan diluar tetapi didalam
guha.
„Aneh...., mengapa tulisan itu
tak digurat diluar guha? Apakah memang diperuntukkan orang yang berada didalam
guha?" Gak Lui makin heran.
Mendadak ia rasakan tindihan
pada dada dan sanggahan pada punggungnya tadi lenyap. Ketika ia memandang
kemuka, ah......tak jauh dihadapannya, tampak berdiri seorang orangtua yang tak
keruan wujutnya.
Rambut gimbal kusut masai,
kumis dan jenggotnya memanjang lebat.
Sepintas pandang orang tua itu
mirip dengan seorang manusia liar.
Tetapi dalam wajahnya yang
kotor itu, tampaktah gurat2 dari sebuah wajah yang cakap dan gagah pada masa
mudanya.
Buru2 Gak Lui bangun dan
memberi hormat.
Wanpwe Gak Lui, menghaturkan
banyak terima kasih atas budi pertolongan lo-cianpwe. "
Tak perlu berterima
kasih........!
Sekali-kali perpertolonganku
itu bukan untuk kepentinganmu !" sahut orang gua liar itu.
„Ah......, harrr lo-cianpwe
jangan mengolok.
Masakan menolong itu untuk
diri lo-cianpwce sendiri? kata Gak Lui.
„Sudah bertahun-tahuh Aku
tinggaI seorang diri dalam guha ini. Aku butuh sekali seorang manusia hidup
untuk teman bicara !" sahut orang tua itu.
Untuk membalas budi
lo-cianpwe, aku bersedia melayani
.
„Ha..., ha....., ha....., ha
........" orang tua liar itu menari-nari kegirangan, „ sejak saat ini
hidupku takkan kesepian lagi.......!"
Sebaliknya Gak Lui terbeliak
kaget sekali.
Serunya: „Ah, untuk menemani
lo-cianpwe seumur hidup rasanya terlalu lama. Sebaiknya ada batas waktunya
........"
Orang tua liar itu tertawa
makin terkia-kial.
Sambil mendekap perutnya, ia
berkata :„ Batas waktu .. memang telah kusediakan batas waktu itu.! Yalah
apabila ‘POHON BESI BERBUNGA, AIR MENGALIR TERBALIK’ kita baru
kelua...........!”
„Hai .......! " Gak Lui
menjerit - kaget, „apa.....? Pohon besi berbunga, air mengalir terbalik ......
tak mungkin hal itu akan terjadi, kecuali terjadi sesuatu keajaiban ..........
"
Orangtua liar itu mengangkat
bahu dan berkata dengan nada rawan : „Apa boleh buat. Terpaksa seumur hidup
kita harus tinggal disini !"
„Tetapi aku masih mempunyai
dendam sakit hati yang harus kutuntaskan !" Gak Lui menyanggah.
Urang tua liar itu menegunkan
kepala, tanyanya tegang : „Ha..., ha....., ha....., ha ............."
„Dalam umur begitu muda engkau
sudah mempunyai beban membalas dendam........?"
„Benar.......!" Gak Lui
mengiakan.
„Hah........., akan kuajarkan
engkau untuk melaksanakan tugasmu itu”
„Apakah lo-cianpwe hendak
memberi ilmu kesaktian kepadaku?"
„heh....., heh....,"
orangtua liar mengekeh, marah2 sedih, „demi membalas budi, kupatahkan pedangku
dan kututup diriku dalam guha ini. Kalau engkau hendak membalas dendam,
ikutilah caraku itu.........!"
la menunjuk kearah langit2
guha.
Dan ketika Gak Lui menurutkan
arah pandangannya, kearah yang ditunjuk orangtua liar itu.
Ia melihat sebatang pedang
kutung, menyusup dinding karang tembus sampai keluar. Pedang itu sudah karatan.
Gak Lui tergetar kaget, cepat
ia mencekal sepasang pedangnya erat2.
„Tidak......! Aku tak mau
mematahkan pedangku.......!"
Orangtua liar itu menyurut
mundur ..........
---oo0oo---
BAB 04
ALGOJO DUNIA
ORANG TUA aneh itu tertegun.
„Baiklah, engkau toh tak punya
kemampuan melempar pedang tembus ke dinding batu. Tak apa, engkau boleh
menyimpan pedangmu untuk mainan" serunya
Setelah tenangkan diri, Gak
Lui bertanya: ,,Dengan memiliki kepandaian sehebat itu tentulah cianpwe ini,
tokoh aneh yang dikatakan Ceng Ki totiang . . . ."
,,Siapakah Ceng Ki totiang
itu?" tukas orang tua aneh.
,,Ketua partai Bu tong-pay
yang pernah adu pukulan dengan, locianpwe diguha ini!"
Orangtua aneh merenung
.......: ,,Sudah lama sekali, memang pernah terjadi peristiwa itu, tetapi perlu
apa dia suruh engkau kemari?" serunya sesaat kemudian.
Dengan hormat Gak Lui
menyahut: „Aku hendak belajar ilmu kesaktian yang tiada tandingannya didunia.
Oleh karena itu beliau menyuruh aku seraya menghadap cianpwee katanya.”
„Ohhh....., kiranya engkau
hendak belajar ilmu kesaktian" tukas orang tua itu.
,,Sekiranya lo-cianpwe sudi
memberi pelajaran ...."
,,Bakatmu bagus,
kepandaiankupun luar biasa......!"
,,Jadi lo-cianpwe meluluskan?"
,Tetapi dalam keadaan seperti
sekarang ini, aku tak mau!"
„Mengapa?"
„Setiap orang yang menerima
murid tentu menghendaki supaya murid itu dapat mengangkat nama dalam dunia
persilatan agar harum nama perguruannya. Tetapi sekarang ini, aku menghendaki
supaya engkau tinggal disini menemani aku seumur hidup. Maka tak perlu engkau
bersusah payah belajar ilmu silat lagi !"
Tetapi jika aku dapat mencari
daya supaya, 'POHON BESI BERBUNGA, AIR MENGALIR TERBALIK`, sehingga lo-cianpwe
mendapat kebebasan, bagaimana nanti?"
,,Ucapanmu itu cukup pintar,
sayang tak mungkin terlaksanal"
Pepatah mengatakan : ,,Manusia
harus dapat mengalahkan alam ! Asal ada kemauan, tiada hal yang tak mungkin
!" seru Gak Lui.
Orangtua aneh itu tertawa
masam : „Jika mungkin, tentu dari dulu2 sudah kulakukan, tak perlu menunggu
kedatanganmu ! Tak kira dahulu karena salah sepatah kata saja, diriku celaka
......mencelakai orang lagi."
„Lo-cianpwe tentu mempunyai
latar belakang yang berliku-liku? "
Mata orangtua aneh itu
berkilat, serunya : „Heh, rupanya engkau hendak mengetahui kisahku yang lalu
!"
„Tadi lo-ciannwe mengatakan
bahwa sudah bertahun-tahun lo-cianpwe tak bicara dengan orang. Mengapa sekarang
tak melepaskan kesepian itu agar mulut cianpwee jangan sampai kering "
„Ho, alasanmu bagus juga.....!
Baik, akan kuceritakan sedikit .......”
,,Dahulu ada seorang sahabat
mencari aku untuk minta tolong. Karena seuatu alasan, aku tak dapat meluluskan.
Dan akibatnya aku melarikan diri kedalam guha ini. Tetapi dia tetap mengejar jejakku
kesini dan didepan guha merintih-rintih minta supaya aku suka meluluskan. Dalam
kemarahan, aku menyatakan scjak saat itu tak mau bicara lagi pada orang dan tak
mau keluar lagi dari guha ini, kecuali bilamana nanti POHON BESI BERBUNGA, AIR
MENGALIR TERBALIK, barulah kuakhiri ikrar itu.”
„Dia tentu pergi dengan marah2
...."
„Benar ! Tetapi aku sendiripun
celaka karena harus tinggal disini selama-lamanya!" sahut orang. tua aneh
itu.
Gak Lui makin tertarik akan
kisah itu.
Tanyanya: „Sukakah lo-cianpwe
menceritakan riwayat lo-cianpwe dengan orang itu ?"
„Permintaanmu itu terlalu
jauh! Apalagi engkau sendiri belum mengatakan asal usul perguruanmu "
„Tetapi aku sudah terlanjur
bersumpah takkan mengatakan asal usulku !"
„Kalau begitu, buka sajalah kedok
mukamu itu, bagimana ?"
„Maaf, itupun termasuk dalam
sumpahku !"
„Ha..., ha... Dalam sebuah
guha, terdapat dua insan yang misterius. Kalau begitu, tak perlu kita sating
menuturkan riwayat !"
Gak Lui kecewa dan putus usa.
Orangtua aneh itu tak mau
memberi pelajaran silat bahkan memaksanya supaya tinggal diguha situ seumur
hidup. Ah, bagaimana mungkin .... !"
„Aku benar2 harus membalas
dendam darah. Tak dapat tinggal terus disini. Aku hend ......”
„Engkau hendak mengapa? "
tukas orang tua itu.
„Hendak minta diri
.....!"
,,Heh..., heh..... ! Engkau
kira engkau mampu lolos dari pukulan si Algojo dunia ini?"
„Aku mempunyai cara yang adil
untuk memutuskan persoalan ini "
„Ho..., ho.. ho cara macam
....apa lagi?"
,,Menilik lo-cianpwe mampu
melontontarkan pedang menembus dinding karang, tentulah ilmupedang lo-cianpwe
hebat sekali......... Aku ingin adu ilmu pedang......!"
„Ha...., ha.........! Cara itu
menarik juga. Menilik gelagatnya, engkau mempunyai modal dalam ilmu pedang.
Lalu apa perjanyiannya?"
„Kulau aku menang, aku segera
petgi....!"
„Kalau yang menang aku?"
seru orang itu.
„Silahkan lo-cianpwc sendiri
yang mengajukan pcrjanjian"
„Pertama, engkau harus
menemani aku selama-lamanya."
„Baik, aku tentu dapat mencari
akal untuk menembus pantangan POHON BESI BERBUNGA, AIR MENGALI R TERBALIK itu
!"
,,KEdua engkau harus membuka
kedok muka itu agar mataku dapat melihat wajah manusia lagi!"
„Ini . . . ."
„Huh, takut?"
Serentak timbullah pikiran Gak
Lui bahwa orangtua aneh itu tentu tak mengetahui, kalau ia memiliki ilmupedang
Potong-emas-membelah-kumala.
,,Segera ia menyahut dengan
garang: „Apa yang harus ditakutkan? Mari kita- mulai !"
Gak Lui terus mencabut
sepasang pedang nya dan mempersilahkan orang tua aneh itu memilih sendiri.
„Ho, kesombonganmu boleh
sekali, budak.....! Mana boleh aku gunakan pedang bertempur dengan
engkau.......!" seru orang tua aneh itu penuh dengan kegarangan dan
kecongkakan.
„Lalu mau pakai apa?"
tanya Gak Lui. ,,Ambilkan sebatang dahan pohon dimulut guha itu kemari......!"
Mendengar orangtua itu hendak
menggunakan dahan kayu, diam2 Gak Lui makin gembira.
Namun ia tekan rasa girangnya
itu lalu mematahkan dahan pohon yang tumbuh di mulut guha dan diserahkan kepada
orangtua itu.
Sambil berdiri memasang kuda-kuda
dan mencabut pedang, Gak Lui serentak berseru: „Siap.....!”
Orangtua aneh itu mengangkat
dahan kayu tetapi terus diturunkan lagi, serunya kecewa: „Tak jadi
bertanding"
,,Eh, mengapa kata-kata
lo-cianpwe tak dapat dipegang .........."
,,Pada saat itu aku sudah
menyatakan, tak kan keluar dari guha ini dan takkan menggunakan pedang ........
"
„Jjka lo-cianpwe tak memegang
perjanjian kita, berarti lo-cianpwe sudah mengaku kalah.
Akupun segera tinggalkan
tempat ini dan lo-cianpwe tak berhak menahan aku ........!"
Habis berkata ia terus ayunkan
langkah keIuar guha.
Orangtua aneh itu hanya dapat
deliki mata.
Tetapi baru Gak Lui berjalan
setombak jauhnya, tiba-tiba serangkum tcnaga-tarik yang kuat mencengkeramnya
sehingga ia tak dapat langkahkan kakinya.
„Lo-cianpwe, omonganmu tadi .
. . . ucapan manusia atau bukan!" scrunya.
,,Aku tadi mengatakan tak
dapat bertanding tetapi bukan berarti tidak bertanding.....!”
„Engkau bersumpah takkan
menggunakan pedang, bagaimana bisa . . . . "
„Jangan banyak mulut! Lihatlah
kemari!" sekali tangan orantua aneh itu menarik maka tubuh Gak Lui segera
menyurut mundur kedalam guha lagi.
Gak Lui terkejut dan
berpaling.
Dilihatnya orangtua aneh itu
sedang mengggit dahan pohon, agaknya bersiap-siap.
Jelas ia memakai mulut sebagai
ganti tangan, untuk melayani Gak Lui.
Melihat itu Gak Lui kejut2
girang.
Setelah berhati-hati pasang
kuda-kuda, secepat kilat segera ia taburkan pedang mengarah ke mulut orang.
Orangtua aneh itu
berkilat-kilat matanya, memperhatikan setiap gerakan pedang Gak Lui.
Tiba2 la surutkan kepalanya
dan dahan pohon.
itu segera berobah menjadi
lingkaran sinar yang balas melibat pedang Gak Lui.
Melihat itu diam2 Gak Lui
membatin: „,.Huh paling2 permainan pedangmu serupa dengan Ceng suan totiang
!" '
Cepat ia tambahkan
tenaga-dalam untuk bergeliatan memutar kearah dahan kayu.
Tring .... terdengar bunyi
mendering dan celaka ...... pedang Gak Lui terpukul oleh tenaga-tolak orangtua
itu, terlepas mencelat keudara ........
Dalam gugupnya, Gak Lui cepat
hendak mencabut pedang Pelangi yang, terselip pada bahu sebelah kiri. Tetapi
pada saat tangan hendak bergerak, dahan kayu di mulut orangtua aneh itu secepat
angin menderu, telah meluncur dan menutuk tiga buah jalan darah penting ditubuh
Gak Lui.
Uh......, Gak Lui mengerang
tertahan dan jatuh terlentang.
„Budak ! Dari mana engkau
belajar ilmu pedang tadi?" seru orangtua aneh itu.
„Tak dapat kukatakan!"
„Jurus
Potong-emas-membelah-kumala tadi adalah ilmu simpanan dari Pedang Laknat Ji
Kitek. Engkau mempunyai hubungan apa dengan dia ?"
„Tak perlu kukatakan !"
„Akan kubuka kedokmu tentu
akan tahu siapa engkau. Lalu baru kutanya Iagi............!"
Orangtua aneh itu menutup
kata2nya dengan gerakkan kedua tangannya untuk mcnyingkap kedok muka Gak Lui.
Pemuda itu karena tak berkutik, tak –dapat berbuat suatu apa kecuali deliki
mata dengan penuh dendam kemarahan.
Saat itu tangan orangtua aneh
sudah menjamah kepala Gak Lui
Tetapi ketika pandang matanya
tertumbuk akan mata Gak Lui yang berapi-api dan bibirnya yang gemetar keras,
orang itu terkejut. Buru2 ia palingkan muka tak berani beradu pandang: „Tanpa
kubuka ...pun sudah tahu...!"
Gak Lui gemetar, serunya
gugup: „Apa yang lo-cianpwe ketahui ?"
Orang aneh itu tak menyahut
melainkan berkata seorang diri dengan pilu: „Putera dari Pedang Malaekat Gak
It-bing, murid dari Pedang Laknat Ji Ki-tek ...... mengapa kepandainnya begitu
rendah! Jangankan mereka semua telah dihancurkan orang ......tak seharusnya
melihat bahaya aku tak menolong........ berdosa.......! Berdosa.........."
Seketika tersadarlah pikiran
Gak Lui.
Serentak ia berseru tegang:
„Ah, kiranya Lo-Cianpwe ini paman-guruku kedua Pedang Iblis Ko Tiong-ing
!"
........ Orangtua itu
terhuyung mundur sampai tiga langkah.
Wajahnya, ketakutan seperti
melihat hantu disiang hari.
„Yang paman maksudkan itu
tentulah bibi guru Dewi Pedang Pelangi Li Siok-gin, benar atau tidak!"
seru Gak Lui
Orang aneh itu menjerit ngeri
lalu menutup mukanya dengan kedua tangan dan berteriak: „Jangan mengungkat lagi
! Pergilah ..... pergilah..... engkau!"
,,Gak Lui takkan pergi. Akan
menemani paman disini sampai dapat menemukan daya !"
Orangtua aneh yang ternyata
Pedang Iblis Ko Tiong-ing itu, meraung-raung kalap: .,Aku tak sudi bicara
padamu jika engkau tak mau enyah akulah yang pergi !" tiba2 tubuhnya
berputar dan menjusup kebagian dalam guha.
Saat itu Gak Lui bcrusaha
untuk menggeliat bangun.
Tetapi tenaganya masih
lunglai. Terpaksa ia berteriak-teriak memanggil paman gurunya itu, pun juga
tiada penyahutan.
Hari makin gelap.
Setelah tiga jam tak berkutik,
akhirnya jalan darah Gak Lui yang tertutuk. itu terbuka sendiri.
Buru-buru ia bangun terus
masuk kebagian dalam.
TERNYATA GUHA itu bagian
dalamnya berkeluk-keluk makin lama makin lebar.
Baru ia tiba di ujung
terakhir, tiba2 ia dilanda oleh segelombang tenaga dahsyat.
„Pa .....!" belum sempat
Gak Lui meneriaki nama pamannya, tubuhnya sudah terhuyung-huyung kebelakang dan
sudah terjerumus kedalam sebuah saluran air. Airnya sejuk sekali, mengalir
keluar guha.
Begitu terendam dalam air
dingin, seketika terlintaslah dalam benaknya akan sebuah jurus yang aneh.
Setengah malam lamanya, ia
mondar mandir.
Setelah lelah, ia duduk
bersandar pada dinding batu.
„Hm...., besok pagi akan
kusampaikan hal yang mengejutkan kepada paman, dia tentu akan memperoleh
kebebasan ...., tentu girang sekali. Kemudian kita ......" demikian
lumunan yang berlalu lalang dalam benaknya .......
Karena letih, tertidurlah ia.
Dalam tidurnya itu ia bermimpi
bahwa pamannya telah memberi pelajaran ilmu silat kepadanya.
Kepandaiannya bertambah sakti,
tubuhnya terasa nyaman dan semangat penuh.
Kemudian . . . kemudian ia
membuka mata !
Wahai .., terrowongan guha,itu
sudah terang lagi.
Tentulah hari sudah siang.
Gak Lui loncat berdiri, huh
.......hampir saja kepalanya membentur langit terowongan.
Hai .... aneh, aneh........,
mengapa tenaga-dalamnya kini bertambah hebat.
„Paman......!
Paman.......!" teriaknya.
„Lui ........" terdengar
jawaban Pedang Iblis.
Tetapi suaranya amat lemah.
Sayang Gak Lui tak
memperhatikan hal itu.
la sudah girang setengah mati
karena pamannya sudah mau menyahut.
„POHON BESI SUDAH BERBUNGA dan
AIRPUN SUDAH TERBALIK MENGALIR.......! Lekas kemarilah paman, lihatlah
keajaiban itu dan engkau...... engkau....... tentu bebas........!" seru
Gak Lui tegang tegang.
Terdengar langkah yang sarat
dan ketika pedang Iblis Ko Tiong-ing muncul, Cak Lui terbeliak kaget.
Hanya semalam saja, telah
terjadi suatu perobahan yang besar...........
Saat itu mata No Tiong-ing
sudah tiada bersinar tajam lagi.
Wajahnya penuh keriput.
Sama sekali jauh bedanva
dengan keadaannya tadi malam.
Bergegas Gak Lui menyongsong
dan memapah tubuh Ko Tiong ing, tanyanya cemas: "Paman, engkau
bagaimana?"
„Hek....; hek.....," Ko
Tiong-ing batuk2, aku tak kurang suatu apa.
Hanya sedih memikirkan
peristiwa yang lam-pau ... lalu sedikit tak enak badan!"
,,Tetapi kalau paman
menyaksikan 'keajaiban ini, tentu akan segera sembuh........ !"
Dengan setengah kurang
percaya, Pedang Iblis Ko Tiong-ing melangkah kedalam mulut guha.
Gak Lui menutuk kearah puncak
guha, serunya : „POHON BESI SUDAH BERBUNGA, lekas iihatlah........ !"
Pedang Iblis mengangkat muka
memandang kepundak guha.
Seketika ia tertegun kaget,
kemudian tersenyum : „ Jurus yang bengkok itu, ternyata engkau mampu
memecahkan......... !"
Kiranya batang pedang yang
dilontarkan Pedang Iblis Ko Tiong-ing sampai tembus keluar dinding guha itu,
dihias dengan untaian bunga segar oleh Gak Lui.
Sepintas pendang tampak
seperti sebatang pohon besi sedang bcrbunga ....
„Ya......., paman tentu tak
mungkin mengatakah peristiwa itu bukan suatu kenyataan......... ! Sekarang
marilah lihat lagi AIR TERBALIK MENGALIR."
Mereka menuju kesaluran air
yang berasal dari sumber-air gunung.
Tiba ditepi saluran air itu,
Gak Lui menunjuk kearah parit air itu : ,,Jika kukatakan 'terbalik', air dalam
saluran itu tentu akan segera membalik alirannya. Harap paman perhatikan baik2
.........!"
,,Parit itu lebih dangkal dari
biasanya. Perlu apa dilihat....... !"
Sekonyong-konyong Gak Lui
berseru : „Terbalik"
Secepat kilat ia memapaskan
pedang kemulut saluran air tanah liat yang disumbatkan pada mulut saluran
kemarin malam, pecahlah.
Sumber-sumber air itu segera
mencuruh terjungkir balik kebawah.
Pcdang Iblis tertawa rawan,
serunya : „Lui....!, paman berterima kasih kepadamu. Tetapi aku tak ingin
keluar lagi....... !"
„Me ......... mengapa ?"
„Kasih tahu dulu padaku,
Pedang Malaekat dan Pedang Aneh mati ditangan siapa? "
Dengan nada haru dan sedih,
Gak Lui segera menceritakan semua peristiwa yang diketahuinya.
Begitu pula tentang tokoh yang
bergelar Maharaja, yang telah menyuruh gerombolan Topeng Besi membunuh-bunuhi
orang2 persilatan golongan Putih.
Berulang kali Pedang Iblis
mengerang dan hauk ..... ia mengeluarkan darah.
Ahirnya berkatalah ia dengan
kalap : „Dahulu bibi gurumu Pedang Bidadari Li Siok-gin telah membawa surat
dari ayahmu kemari, memanggil aku kesana.
Tetapi karena msih mendendam
kemarahan, kutolak permintaannya.
Ach.........!, kini kita semua
telah menderita bencana yang begini mengenaskan ........ aku ...........
seharusnya bunuh diri untuk menebus dosa!”
„Tidak...... paman.......! ,”
teriak Gak Lui.
„Engkau telah bebas sekarang!
Eagkau dapat kelua:r mencari balas pada musuh.......!
„Kepandaianku pun tak dapat
mengalahkan musuh itu. Maka semalam telah kusaurkan sembilan bagian dari tenaga
murniku kepadamu. Tetapi tubuhmu sendiri ternyata juga ada penyakitnya. Engkau
harus mencari.....hek....., hek......."
„Paman ..... naman....."
Gak- Lui cemas, katakanlah. Siapa yang harus kucari itu? Paman .......
Pedang Iblis Ko Tiong-ing
bcrusaha untuk menguatkan diri.
Dipandangnya Gak Lui lekat
katanyapula: „Engkau harus mcncari ‘Si-sim-leng-cuan’ atau sumber-air
Pencuci-jiwa ........ air dari sumber itu mempunyai- khasiat untuk membakar
tulang-tulang......., akan dapat mengobati penyakitmu ‘Lubuk hati sempit’ ....
jika tidak begitu ........ tentu sudah kusalurkan seluruh tenaga murniku
kedalam tubuhmu. Tetapi syarat pertama ........."
,,Apa......?"
,,Air sumber itu luar biasa
pahitnya ......." „Gak Lui tak takut........!"
„Sudah banyak tokoh2
persilatan, setelah minum air sumber itu semua muntah2 dan putus usus dan
empedunya lalu mati ditepi sumber itu ......... "
Gak Lui tergetar hatinya.
Dia mengira Pamannya itu tentu
sedang kacau pikirannya sehingga ncapannyapun tak keruan:
Melihat pemuda itu tertegun
kaget, Pedang Iblis segera menyusuli kata2: „Sumber air ‘Si-sim-leng-cuan’
walaupun telah membinasakan banyak tokoh: tokoh persilatan, tetapi hal itu
adalah kakek - gurumu Bu-san It-ho sendiri yang mengatakan. Jelas tentu tak
bohong. Dan lagi beliau mengatakan, khasiat dari air sumber itu memang
benar-benar mujijad sekali. Hanya cara minumlah ...... yang jarang diketahui
orang2 .......!"
,,Tentu ada peraturan minum
yang khusus? Misalnya dalam ilmu pengobatan sering dikatakan ‘dengan racun
untuk mengobati racun’ atau ......."
,,Lui....., engkau dapat
mecmecahkan masalah POHON BESI BERBUNGA, AIR TERBALIK MENGALIR Rahasia dari
sumber air itu, kupercaya engkau pun tentu dapat memecahkannya !
Kuharap penyakitmu segera
sembuh dan berhasil meyakinkan ilmu kepandaian yang tiada tandingannya didunia
........"
Pedang Iblis, berheniti
batuk2.
Darah segar mengucur deras
dari muut dan hidung ....
Gak Lui gugup dan cepat
memeluk pamannya untuk memberi penyaluran tenaga-dalam.
Tetapi sayang walaupun ia
sudah mendapat hawa murni dari Pedang Iblis yang disebut tenaga-sakti
Algojo-dunia, namun sedikitpun ia tak mengerti penggunaannya.
Mencoba sampai setengah hari,
tetap ia tak mampu menghentikan kucuran darah pamannya.
„Anak Lui...., janganlah
membuang tenaga sia-sia. Lekas ...... angkat aku... keluar ......"
„Ya....., ...... ya! Paman
telah bebas, seharusnya lekas tinggalkan guha yang telah paman huni selama 18
tahun ini!"
Habis berkata Gak Lui terus
mengangkat tubuh pamannya.
Tetapi sampai dipintu, Pedang
lblis, suruh Gak Lui berhenti.
Ia menunjuk pada 8 huruf yang
tergurat dibalik pintu, katanya: „itu ...... akulah yang mengguratnya ....
merupakan tempat ajalku ........"
Gak Lui gemetar: „Paman,
engkau harus keluar. Biarlah Gak Lui yang menolongmu!" ia terus hendak
membawanya keluar.
Oleh karena sudah kehabisan
tenaga, sudah tentu Pedang Iblis tak dapat menahan tarikan Gak Lui.
Ia terhuyung-huyung dan
berteriak.
„Engkau ...., engkau lihat
diluar dulu.... aku takut ketemu manusiabidup ....."
„Tak mungkin diluar ada orang
......... "
„Huh........., engkau berani
menentang perintah. pamanmu.......!"
„Tidak......!, paman."
Lekas..... lekas lihat yang
jelas...., aku..... baru ikut engkau keluar.....!"
Terpaksa Gak Lui lepaskan
cekalannya, terus melesat keluar guha.
Uh......., loncatannya
ternyata jauh sekali.
Jauh lebih pesat dari
biasanya.
Buru2 ia balik kepintu gha
lagi.
Bruukk......., terdengar suara benda bergedebuk jatuh
ketanah.
„Paman .......!” Gak-Lui
menjerit ..... lalu menubruk pamannya.
Ketika mengangkatnya, ternyata
kepala Pedang Iblis pecah.
Ia telah bunuh diri dengan
benturkan kepalanya pada dinding batu
Bercak darah masih meneteskan
percikan darah merah pada Dinding itu, tokoh kedua dari Catur Pedang gunung
Bu-san telah mengakhiri jiwanya!
Betapapun sedih hati Gak Lui,
namun hal itu sudah menjadi kenyataan.
Ia harus menanam jenazah
pamannya.
Pada saat menjamah tangan sang
paman, tiba2 ia merasakan sesuatu yang aneh.
Ujung jari telunjuk kanan dari
Pedang Iblis juga hancur sehingga tampak tulangnya.
,,Ah, paman tentu menggurat
tulisan dengan ujung jarinya. Tetapi karena tenaganya sudah habis, ujung jarinyapun
hancur," Gak Lui menduga.
Dalam keadaan duka Gak Lui tak
memikirkan lagi apa yang telah ditulis oleh Pedang Iblis. itu. Cepat ia
membopong tubuh pamannya dibawa keluar.
Dia membuat tempat kuburan
ditengah hutan.
Sambil berlutut, berdoalah Gak
Lui: „Paman, arwahmu sudah bebas. Mohon paman pulang dengan tenteram ketempat
asal .... Hutang darah paman tentu akan kubalaskan !"
Setelah menumpahkan isi
hatinya, Gak Lui bangkit.
Dipandangnya makam itu sampai
beberapa lama.
Matanya penuh dendam penasaran!
Puas.....! berdialoog dengan
arwah -pamannya, Gak Lui lalu tioggalkan tempat itu.
Tetapi baru beberapa langkah,
tiba2 ia berhenti: „Ah..., celaka! Mengapa lupa kututup guha itu? Didalamnya
terdapat banyak benda2 peninggalan paman. Dan apa yang digurat paman itu, belum
kulihat."
Cepat ia balik lagi kedalam
goha.
Pada dinding yang biasa dibuat
tempat latihan oleh pamannya, Gak Lui melihat dua baris huruf:
Menjolok-bintang-memetik-bulan
seperti hujan mencurah,
Algojo-tunggal- dari-dunia mengejutkan
hantu dan iblis.
Dibawah tulisan itu terdapat
banyak gambar2 dan huruf2 kecil.
Walaupun digurat dengan ujung
jari, .tetapi guratannya tak berapa dalam.
Makin lama makin dangkal,
sehingga huruf2 terakhir hanya merupakan guratan darah belaka!
Air mata Gak Lui
berderai-derai mengucur.
Makin dalamlah rasa terima
kasihnya atas jerih payah pamannya.
Mengamati dengan seksama,
barulah ia mengetahui bahwa yang dimaksud dengan Algojo-tunggal dari-dunia itu
adalah tenaga-sakti dari Pedang Iblis yang dapat digunakan untuk mendorong dan
menyedot.
Ilmu tenaga-sakti
Algojo-tunggal dari dunia merupakan suatu ilmu tenaga dalam yang luar biasa.
Lebih dulu menyedot tenaga
lawan dengan telapak tangan.
Lalu dengan menggunakan
telapak tangan yang lain memancarkan lagi tenaga lawan yang disedot itu untuk
menghantam.
Dengan cara itu, tak perlulah
memakai tenaganya sendiri.
Dengan meminjam tenaga lawan,
dapat digunakan untuk menghantam lawan.
Apalagi kalau ditambahi dengan
tenaga-dalamnya sendiri.
Tentu lebih hebat!
Tetapi hal itupun ada
syaratnya.
Yalah harus disesuaikan dengan
bakat dan latihannya sendiri.
Bakat makin bagus, latihan
tentu makin.sempurna dan kemampuan untuk mengalahkan lawan makin hebat.
Apabila, bakat dan latihan
kurang tinggi sedang lawannya lebih kuat, selain tak dapat menyedot tenaga
lawan, malah amat berbaya.
Dirinya sendiri akan remuk di
dalam !
Dan tentang jurus
Menyolok-bintang-memetik-bulan itu, sesungguhnya merupakan salah sebuah ilmu
istimcwa dari Catur Pedang Bu-san.
Jika jurus itu digabung dengan
ilmu Algojo-tunggal dunia, senjata musuh tentu dapat disedot jatuh.
Nama2 yang diberikan untuk
jurus Algojo tunggal dunia dan Menyolok-bintang-rembulan itu, justeru
berlawanan dengan nama Memotong-emasmembelah-kumala.
Gak Lui tak jadi tinggalkan
guha itu.
Ia memutuskan untuk menetap
disitu mempelajari ilmu yang diberikan Pedang Iblis dengan guratan dinding
guha.
Siang malam ia giat sekali
berlatih.
Ia bersumpah, selama belum
dapat menguasai ilmu itu, takkan keluar dari guha.
Tempo berjalan cepat sekali.
Tak terasa sudah 7 hari
lamanya Gak Lui tinggal dalam guha itu.
Dia dapat mempelajari
ilmupedang tetapi masih belum memahami ilmu-tenaga-dalam menyedot dan memancar.
Dan lebih celaka pula,
persedian ransum dalam guha itu sudah habis.
Ia mulai kelaparan.
Pada hari itu dengan menahan
lapar dengan minum air sumber, ia melangkah keluar guha.
Tiba2 ia melihat seekor
serigala berada beberapa meter diluar guha.
Serentak timbullah semangat
Gak Lui.
Ce-pat ia hendak loncat menangkap
tetapi tiba2: „Tidak Aku tak boleh melanggar sumpah" serentak teringat
akan sumpahnya ia berhenti.
Tiba2 ia teringat dan segera
tangan kirinya berayun menggunakan tenaga sakti Algojo tunggal dari dunia.
Diluar dugaan, jurus itu telah
menimbulkan reaksi yang hebat.
Ia rasakan telapak tangannya
menyedot serangkum hawa, terus masuk kedalam jalan darah dan mengalir keseluruh
tubuh.
Serigala itu terkejut dan
hendak lari.
Tetapi kaki belakangaya
menelikung kebawah tak dapat bergerak.
Melihat itu girang Gak Lui
bukan kepalang.
Ia tahu ilmunya tenaga-sakti
menyedot telah berhasil, cepat ia perkeras tangannya.
Serigala itu meraung dan
melolong kalap.
Binatang itu
menggaruk-garukkan kedua kaki depannya ke tanah.
Beberapa saat kemudian tanah
telah berlubang seperti sebuah liang.
Namun tetap binatang itu tak
mampu membebaskan diri dari tenaga-penyedot Gak Lui.
Saat itu terjadilah tarik
menarik antara Gak Lui dengan serigala.
Tapi akhirnya serigala itu
tertarik kedalam guha lalu dibunuh.
Dengan demikian berhasillah
Gak Lui menyelami intisari ilmu tenaga-dalam penyedot.
Disamping itu telah mendapat
ransum makanan.
Sebulan kemudian, setelah
berlatih keras, Gak Lui berhasil mencapai tataran yang tinggi dalam
peryakinannya ilmu pedang dan tenaga-sakti penyedot.
Pada hari itu Gak Lui
mengemasi barang2 peninggalan Pedang Iblis, menutup pintu guha rapat-rapat lalu
minta diri dihadapan kuburan Pedang Iblis dan terus turun gunung.
SAAT ITU hari sudah malam
ketika ia tengah menyusuri jalan besar.
Ia gunakan ilmu lari cepat.
Tujuannya hendak mencari orang
dan menanyakan letak sumber air Pencuci jiwa itu.
Tiba2 disebelah tenggara,
tampak cahaya api memancar dilangit.
„Bagus....!" pikirnya,
„Disana tentu terdapat rumah
penduduk, tetapi aneh, mengapa api sedemikian besarnya?"
Segera Gak Lui lari menuju
tempat itu.
Tak beberapa lama ia melihat
sebuah gedung besar.
Empat penjuru gedung itu
dipasangi berpuluh onggok api unggun sehingga terang benderang seperti siang
hari.
Dilihatnya juga dalam gedung
itu orang sibuk mondar mandir kian kemari dengan membawa senjata terhunus.
Cepat ia pesatkan langkah
menuju ke gedung besar itu.
Ketika tiba dimuka pintu
gerbang, ia terus hendak niinta pintu.
Tetapi belum mulut berkata,
sekonyong-konyong empat sosok tubuh melesat keluar.
Seorang lelaki setengah umur
yang berada paling depan, tanpa bilang suatu apa terus menghantam Gak Lui.
Gak Lui marah.
Tetapi sebelum jelas, siapa
sesungguhnya orang2 itu, terpaksa ia tahan kemarahannya.
Cepat ia gerakkan tangan dalam
jurus, Algojo-tunggal dari-dunia untuk menyedot tenaga pukulan orang.
Semula orang dari dalam gedung
itu mengira kalau Gak Lui tengah lepaskan pukulan Membelah gunung.
Diam2 ia yakin pukulannya itu
tentu dapat mengalahkan Gak Lui.
Amboi........., orang itu
terkejut ketika pukulannya seperti terbenam dalam lautan hilang sirna tak
berbekas...............
Orang itu terkejut dan buru2
menarik pulang tangannya seraya loncat kesamping.
Adalah siorangtua dibelakang
orang pertama itu, karena tak tahu apa yang terjadi, begitu melihat kawannya
menyingkir, ia terus menghantam dada Gak Lui.
Gak Lui menyurut mundur dua
langkah seraya tamparkan tangan kiri.
Wut ... tenaga pukulan
orangtua itu hilang lenyap seketika!
Tetapi jago-tua itu tetap tak
menghiraukan.
Begitu keduanya saling
mendekati, tiba2 ia menarik tangan lalu gerakkan sikunya membentur jalandarah
dilambung Gak Lui.
Jurus itu disebut
membentur-gunung-Thaysan.
Perbawanya dapat menumbuk
pecah batu gunungl
Gak Lui mendengus dingin.
Sambil menangkis dengan tangan
kiri, tangan kanannya memukul.
Bum ..., jago tua itu
mendengus tertahan.
Tubuhnya terhuyung-huyung
sampai lima langkah dan hampir terjerumus kedalam onggok api.
„Kalian tahu aturan atau
tidak!" bentak Gak Lui.
Orang yang menyerang pertama
kali tadi, mencabut pedang dan balas membentak: „Terhadap manusia seperti
engkau, perlu apa pakai aturan !"
„Engkau anggap aku ini manusia
macam apa?'"
„Engkau sendiri tentu sudah
tahu !"
Gak Lui marah, bentaknya : „
Cara omonganmu itu, aku tak mengerti ....... "
Tak usah berpura-pura !
Setelah kuringkus, engkau
tentu akan tahu semua !" orang itu menutup kata dengan gerakkan pedangnya.
Seketika ketiga kawannyapun
ikut serempak menyerang Gak Lui.
Kalian cari mampus sendiri
...!" Gak Lui segera taburkan pedangnya.
Dibawah cahaya api unggun,
sinar pedangnya berkelebat menyapu keempat lawannya.
Keempat orang itu dengan
tangan kanan memainkan pedang sedang tangan kiri melancarkan pukulan.
Selain jurus permainannya
aneh, tenaga pukulan mereka juga hebat.
Sebelum mendapat pelajaran
dari Pedang Iblis Ko Tiong-ing, mungkin Gak Lui tentu celaka.
Karena selama diasuh oleh ayah
angkatnya, karena ayahnya buntung, maka tak dapat menurunkan ilmu tenaga dalam
yang sempurna.
Pedang Iblis Ko Tiong-ing
telah membenamkan diri meyakinkan ilmupedang selama 18 tahun.
Dalam ilmupedang, dia jauh
lebih tinggi dari Pedang Aneh Ji Ki-tek.
Dengan mendapat pelajaran
ilmupedang yang sakti itu, ditambah dengan ilmu tenaga-dalam
Algojo-tunggal-dunia, Gak Lui tak gentar, menghadapi keempat penyerangnya itu.
Bahkan makin hebat lawan
menyerang, makin tangguh daya-perlawanan Gak Lui.
Sepuluh jurus kemudian,
keempat pengeroyok itu terkejut.
Satu demi satu mereka mulai
mengganti permainannya.
Dari menyerang, menjadi bertahan.
Gak Luipun ganti siasat, ia
salurkan tenagadalam sakti Algojo-tunggal dari-dunia, kebatang pedangnya.
Asal pedang lawan membentur
pedangnya, tentu tersedot lekat dan harus mandah bergerak kemana Gak Lui
menginginkan.
Tetapi jika lawan coba untuk
melepaskan, tenaga-dalamnya tentu akan tersedot oleh Gak Lui.
Cepat sekali kelima sinar
pedang itu, satu demi satu mulai lenyap.
Dan pada lain saat, Gak Lui
berteriak: „Lepas!"
Susul menyusul, pedang keempat
orang itu mencelat keudara.
Berkilat-kilat laksana batang
anakpanah meluncur keangkasa.
,,Oh........, kiranya jurus
itu disehut Menjolok-bintang-memetik-bulan.
Bukankah batang pedang yang
membubung keudara dan meluncur lagi ke bumi itu seperti nama jurus itu
keadaannya?" diam2 Gak Lui membatin.
Se-konyong2 pemimpin kawanan
pengeroyok itu berteriak senyaring-nyaringnya: ,,Hayo, lekas bantu meringkus
penjahat "
Dari dalam gedung besar,
berhamburan keluar berpuluh-puluh sosok tubuh manusia.
Gak Lui maju beberapa langkah
dan siap sedia.
Keempat orang itu takut juga.
Mereka sudah kehilangan
pedang.
Terpaksa menyurut mundur dan
tegak berjajar-jajar.
„Mengapa kalian menyerang aku
? Apakah kalian mau menjelaskab sebabnya'!" seru Gak Lui.
„Kami akan mengadu jiwa bukan
bicara!" sahut mereka.
„Aku Gak Lui, datang kemari
sama sekali ......”
Belum Gak Lui selesai bicara,
bala bantuan dari gedung besar itupun tiba.
Mereka dipimpin oleh seorang
wanita pertengahan umur.
Tangannya mencekal sepasang
pedang Mimi dan Mintuna.
Dan tanpa bicara apa2, wanita
itu terus menyerang ganas.
Sudah tentu Gak Lui marah
sekali.
Ia keluarkan jurus ilmupedang
Memotong-emas-membelah-kurma.
Tring ......, pedang wanita
itu dapat ditabas kuntung!
Tetapi anakbuah wanitu itu
cepat menyerbu.
Keempat orang yang kehilangan pedang
tadi, tclah mendapat gantii pedang, ikut menyerang.
Dalam taburan hujan pedang
itu, Gak Lui pun mencabut pedangnya yang lain.
Dengan sepasang panjang, ia
mengamuk.
Tring..., tring...., tring
.....
Kemana pedang Gak Lui
berkelebat, tentu terdapat pedang musuh yang terpapas kutung.
Dering gemerincing dari
benturan pedang itu amat memekakan telinga.
Tetapi kawanan orang itu tak
kenal mundur.
Terlebih- pula siwanita dan
keempat lelaki yang pertama mcnyerang tadi.
Mereka pantang mundur.
Dalam cuaca yang mulai
meremang petang, suasana makin menyeramkan.
„Celaka........! Rupanya
orang2 ini bukan golongan orang jahat! Perlu apa harus membunuh
.........."
Demikian terlintas dalam benak
Gak Lui.
Ia segera robah permainan
pedangnya.
Pedang di sapukan keempat
keliling.
Sctelah mengundurkan musuh,
sekonyong-konyong ia loncat melambung keudara lalu melayang turun, kedalam
semak terus melarikan diri.
Tak berapa saat ia sudah lari
10 li jauhnya.
Berpaling kebelakang, gedung
besar yang diterangi api unggun itu sudah amat jauh sekali.
Segera ia masuk kedalam hutan
duduk bersemedhi memulangkan tenaga.
Tetapi pikirannya sukar
ditenangkan.
Tak henti2nya ia memikirkan
peristiwa yang dialaminya itu.
,,Kawanan orang itu benar tak
kenal, aturan, tetapi dari wajahnya mereka seperti tengah menghadapi
ketegangan. Mungkin akulah yang tak kenal tata-aturan dunia persilatan sehingga
melanggar pantangan mereka ......... ah, lebih baik besok pagi kesana lagi
........... "
Setelah lepaskan kerisauan
pikirannya, akhirnya dapatlah Gak Lui bersemedhi dengan tenang.
Pada saat ia membuka mata,
haripun sudah fajar.
Kembali ia merenungkan
pertempuran semalam, pikirnya : „Untunglah aku tak bertindak ganas. Mereka
hanya terluka luar. Tetapi peristiwa itu memang aneh sekali Aku barus
menyelidiki lagi ........ "
Setelah mengambil keputusan ia
segera menuju kedesa lagi.
Gedung itu tampak sunyi
senyap.
Api unggun sudah padam semua.
Hanya disana sini masih
membekas sisa asap.
Yang aneh, pintu gedung masih
tetap terbuka.
Tetapi tak tampak seorangpun
juga.
Tiba2 mata Gak Lui tertumbuk
akan sesuatu yang aneh.
Pada tembok pintu, terdapat
secarik kertas hitam yang berrtuliskan huruf warna merah dan dibubuhi cap tinta
emas.
Gak Lui maju mcnghampiri.
Astaga.....! Kembali ia terbeliak
kaget.
Ternyata huruf merah pada
kertas hitam itu bukan tinta biasa melainkan dari darah manusia.
Bunyinya:
„Yang taat padaku, hidup. Yang
menentang, mati!"
Maharaja.
„Hai! bukankah ini Amanat
Takdir dari dunia persilatan !" Gak Lui terkejut.
Segera ia merobek surat itu
dan melihat sebaliknya.
Ah, ternyata terdapat 3 buah
huruf besar.
Seketika meng-gigil2-ah tubuh
pemuda itu.
Segera ia menyimpan surat yang
dirobek itu dalam baju lalu melangkah masuk: ,,Hai, mana orangnya ?"
sambil berjalan ia berteriak memanggil.
Namun tiada penyahutan sama
sekali.
Yang menyahut seruannva itu
hanya ceceran noda darah dilantai.
Menurutkan ceceran darah, ia
terus masuk kedalam sebuah ruangan besar.
Kembali ia terbeliak kaget.
Wanita dan keempat laki2 yang
bertempur dengan dia semalam, saat itu terpaku ditengah ruangan dengan senjata
masing-masing.
Senjata itu menusuk dada
tembus sampai kepunggung.
Empat keliling tembok ruang,
penuh terpaku dengan tubuh anak buah gedung itu!
Mata mereka melotot keluar,
wajah menampilkan ketakutan yang mengerikan.
Gak Lui tegak berdiri ditengah
puluhan mayat-mayat yang tegak berdiri terpaku di dinding.
Makin mendalamlah rasa
kebenciannya terhadap Maharaja.
Saat itu iapun segera
menyadari kesalah faham yang terjadi semalam.
,,Mereka tentu menerima Amanat
Takdir dari si Maharaja.
Lalu mereka mengatur penjagaan
keras untuk menghadapi musuh.
Setiap pendatang, tentu
dianggap orang dari Maharaja itu.
Begitu pula terhadap diriku,
mereka duga aku tentu salah seorang dari gerombolan Topeng Besi.
Dan ketika kutinggalkan tempat
ini, gerombolan pengganas itu tentu datang dan membunuh mereka habis-habisan.
Ah........, sehurusnya semalam
aku herada disini, membantu mereka menghadapi pengganas-pengganas itu.
Sekarang aku kehilangan
kesempatan untuk menuntut balas pada musuh....." ia menimang-nimang dalam
hati.
Karena gemas, Gak Lui
mengerunyutkan gerahamnya dengan keras.
Berputar memandang pada mayat2
yang berada dalam ruang itu, ia berdoa pelahan: ,,Saudara2 aku Gak Lui bersumpah
akan membalaskan dendamu saudara. Harap kalian mengasoh di alam baka dengan
tenang. Maaf karena tak sempat menguburkan, terpaksa jenazah saudara2 akan
kubakar saja........!"
Dengan obor itu mulai membakar
ruangan itu. Bau mayat terhakar, membaur kemana-mana, memuakkan perut orang.
Setelah selesai mengadakan
pembakaran mayat, Gak Lui segera menetapkan rencana.
,,Dengan terdapat Amanat
Takdir disini, tentu gerombolan pengganas itu akan melakukan pembunuhan pada
tokoh2 golongan Putih dilain tempat. Dan untuk mencari keterangan tentang letak
sumber air Pencuci Jiwa itu, tak sembarang orang dapat memberitahu. Aku harus
lekas2 mencari tokoh persilatan yang lain ..........."
Secepat kilat ia terus
menerobosIkeluar dari ruang itu.
Tetapi baru beberapa tombak
meninggalkan gedung, dua sosok bayangan melesat cepat kedalam gedung itu.
Baik Gak Lui maupun kedua
orang itu sama2 lari pesat.
Yang satu keluar, yang lain
masuk.
Tubrukan pasti tak dapat
dihindarkan lagi.
Pada saat jarak kedua fihak
tinggal satu meter, dengan kegesitan yang luar biasa, Gak Lui enjot tubuh
melambung ke udara.
Melayang dua tombak tingginya
melampaui kepala kedua pendatang itu....!
Tetapi ternyata kedua
pendatang itu, juga berilmu tinggi.
Salah seorang ternyata seorang
tua yang berjenggot panjang.
Tampak terkejut karena melihat
Gak Lui melambung diatas kepalanya, ia terus lari menerobos kedalam gedung.
Sedangkan kawannya, seorang
tua berwajah hitam, berhenti dan berputar diri lalu mendamprat Gak Lui:
„Hai........., hendak lari kemana engkau Topeng Besi......?!"
Tring .... orang tua berwajah
hitam itu terus mencabut pedang lalu loncat menusuk pungung Gak Lui.
Saat itu Gak Lui masih
melayang di udara.
Dari angin gerakan pedang,
tahulah buhwa penyerangnya itu rnmemiliki tenaga-dalam yang tinggi.
Maka ia gerakkan, kedua.
tangannya, menampar kebelakang dan menggurat dengan tenaga-sakti Algojo-dunia.
Orang tua itu tergetar sampai
miring tubuh-nya.
Ia benar2 terkejut karena
jurus Algojo-dunia yang hebat itu.
......."
Secepat kilat Gak Luipun
berputar diri dan berseru: „Aku........ bukan gerombolan Topeng Besi Engkau
salah, duga .......”
„Jangan ngaco belo.....!"
bentak orangtua berwajah hiiam itu lalu taburkan pedangnya makin dahsyat.
Mau tak mau Gak Lui menghela
napas.
Ia mengkal dan geram:
„Ah........., kembali harus bertemu" dengan manusia yang gila.
Terpaksa harus kupapas
pedangnya dulu baru nanti bicara lagi.....!" pikirnya.
Sengaja ia memhuka sebuah
peluang.
Dadanya dibuka tak dlindungi.
Orangtua berwajah hitam itu
mengira kalau mendapat kesempatan bagus, segera ia menusuk ke tenggorokan
lawan.
,,Tetapi baru pedang menusuk,
secepat kilat Gak Lui sudah taburkan pedangnya, tring .... putuslah seketika
pedang orangtua berwajah hitam itu menjadi dua ....!"
,,Aku akan mengadu jiwa
denganmu !" teriak urangtua berwajah hitam itu.
Membuang pedangnya yang
kutung, ia terus hendak membentur dada Gak Lui dengan kapala ....!
Tepat pada saat itu,
.....orangtua berjenggot panjang yang menerobos masuk kedalam gedung tadi,
muncul keluar.
Mukanya penuh dengan bekas
airmata.
Secepat kilat dia enjot
tubuhnya melayang keudara, menusuk bahu kanan Gak Lui.
Saat itu Gak Lui belum sempat
menarik pulang pedangnya.
Serangan2 dari kedua orangtua
dari bawah dan atas itu, membuatnya terkejut.
Dalam gugupnya ia teruskan
pedangnya dengan jurus Menjolok-bintang- memetik-rembulan.
Menangkis dengan pedang
orangtua berjenggot panjang, serempak dengan itu tangannya kiri menampar
orangtua muka hitam yang hendak meyeruduk.
Tring ... ...pedang orangtua
berjenggot panjang terlempar keudara, dia dan orang muka hitam, terkena
hantaman Gak Lui sampai tersurut mundur dua langkah."
Orang tua muka hitam
terengah-engah napasnya dan terus hendak menyerbu lagi.
Tetapi dicegah orangtua
berjenggot panjang: „Hiante, harap, bersabar dulu"
Kemudian orangtua berjenggot
panjang itu menegur Gak Lui: „Siapakah anda ini? Mengapa hari2 sepagi begini
ini sudah bergegas-gegas keluar dari desa Ngo kiat-cung sini?"
„Maaf, mohon paman berdua
memberitahukan nama dan maksud -kedatangan kemari dulu, baru nanti kujawab
pertanyaan itu," sahut Gak Lui
---oo0oo---
BAB 05
DESA JAGAL
„AKU Hi Liong-hui bergelar
Pedang Samudera dan ini adikku angkat Pedang Gelombang Go Bun Hua.
Dunia persilatan menjuluki
kami sebagai Sepasang Pedang Gelombang Samudera.
Karena kami bersahabat baik
dengan Lima jago, maka begitu mendengar mereka menerima Amanat Maut, kami terus
bergegas datang kemari untuk menjenguk....!" kata orang tua berjenggot
panjang itu.
Melihat wajah kedua orangtua
itu jujur dan kata2nya bersungguh-sungguh, Gak Lui pun segera memberitahukan
namanya.
Ia menuturkan tentang kesalah
fahaman yang terjadi ketika ia datang ke desa Ngo-kiat-cung.
Pada hal maksud tujuannya
hanyalah hendak bertanya tentang letak sumber air Pencuci Jiwa.
Habis menutur, ia mengeluarkan
surat Amanat Maut yang diambilnya dari samping pintu.
Diluar dugaan, begitu melihat
Amanat Maut itu, pucatlah seketika wajah kedua orangtua itu.
Pedang Gelombang Go Bun-hua
serentak menjerit kaget dan meraung : „Ho......., kiranya itulah Amanat Maut!
Dengan membawa surat itu,
siapa lagi engkau kalau bukan anggauta gerombolan Topeng Besi!"
Sudah tentu Gak Lui sendiri
juga terkesiap kaget.
Tetapi sebelum ia sempat
memberi penjelasan, Pedang Samudera Hi Liong-hui sudah mencegah adik-angkatnya:
„Harap hiante jangan lekas bercuriga!
Masakan engkau tak
memperhatikan ilmu permainannya pedang yang aneh tadi?"
,,Aku tak kenal permainannya
itu!"seru Pedang Gelombang Go Bun-hua.
,,Tetapi lain sama sekali
dengan ilmupedang gerombolan Topeng Besi itul"
„Lalu siapakah dia?"
„Tentulah pemuda
Pemangkas-pedang yang telah menggetarkan dunia persilatan itu!" kata
Pedang Samudera Hi Liong-hui.
Saat itu barulah Go Bun-hua
tersadar.
Kini Gak Luilah yang berbalik
heran.
Buru2 ia bertanya: „Tadi Go
lo-cianpwe mengenali surat ini sebagai Amanat Maut.
Lalu apakah bedanya dengan
Amanat Hidup?"
,,Amanat Hidup kertasnya
putihl"
„Mengapa lo-cianpwe tahu
begitu jelas ?"
„Aku....." baru Pedang
mengucap sepatah, Pedang Samudera segera menukas : „Kami hanya mendengar cerita
orang pcrsilatan.
Kini tentang Kelima Jago itu
sudah selesai, kamipun hendak pergi....!"
„Nanti dulu ....!"
Pedang Samudera Hi Liong-hui
kerutkan alisnya yang panjang : „Saudara hendak perlu apa lagi?"
„Masih ada beberap soal yang,
hendak kumintakan keterangan pada cianpwe," kata Gak Lui.
„O ... apakah soal engkau
hendak pergi ke sumber air Pencuci Jiwa itu ?"
Itu salah satunya !"
„Sumber air Pcncuci - Jiwa itu
melalui gunung Thian-gan-san yang jauh.
Dari sini mau menuju kearah
timur.
Kira2 setengah bulan baru akan
tiba disana.
Tetapi banyak sekali orang
persilatan yang mati ditepi telaga itu.
Tiga puluh tahun tak pernah
ada pengunjung yang selamat jiwanya.
Dalam hat ini perlu kujelaskan
padamu lebih dulu I"
„Terima kasih atas keterangan
cianpwe. Lain dari itu, tadi cianpwe mengatakan bahwa jurus permainan pedangku
tak sama dengan gerombolan Topeng Besi. Lalu ilmu pedang aliran manakah yang
digunakan mereka itu?”
„Kabarnya meliputi berbagai
aliran, Siau-lim, Bu-tong, Kong-tong, Ceng-sia dan, Heng-san, kelima partai
persilatan besar..........!"
Seketika gemetarlah Gak Lui.
Tempo hari mendiang ayah
angkatnya mengatakan hanya tiga partai persilatan, ternyata kini si Hidung
Gerumpung itu dapat menundukkan tokoh2 dari lima partai persilatan besar!
Karena marah hampir Gak Lui
hendak mendamprat tokoh2 murtad yang mau diperbudak si hidung Gerumpung.
Namun ditelannya kembali
makiannya lalu bertanya lebih lanjut : „Dari aliran partai manakah ilmu silat
si Maharaja itu?"
Dia memang misterius sekali!
Tiada seorangpun yang mengetahui aliran ilmu silatnya dan sampai berapa tinggi
kepandaiannya itu.
Tentang kekuatannya, mungkin
didunia persilatan tiada yang mampu menandinginya kecuali Raja-di-raja Li
Liong-ci!"
Gak Lui makin terkejut.
Namun ia tak patah hati bahwa
niatnya untuk membalas dendam itu makin keras.
Disamping itu diam2 ia tak
puas dengan Raja-di-raja Li Liong-ci yang tetap menyembunyikan diri itu.
„Pertanyaan yang terakhir
yalah hendak mohon lo-cianpwe suka menjawab sejujurnya. Adakah lo-cianpwe sudah
menerima Amanat Takdir atau belum?"
„Ini ..... ini...., belum
menerima" sahut Pedang Samudra.....!”
„Tetapi Pedang Gelomhang Go
Bun-hua locianpwe mengatakan sudah pernah melihat Amanat Hidup, mengapa
lo-cianpwe menyangkal.......?" desak Gak Lui.
„Ah, umurmu masih muda belia,
jangan keiliwat ingin tahu segala, agar jangan terganggu
perjalananmu........"
„Maharaja dan gerombolan
Topeng Besi, mempunyai dendam sedalam lautan dengan aku. Aku bersedia membantu
lo-cianpwe."
,.Dalam hal itu, aku mempunyai
perhitungan sendiri, baik engkau jangan ikut campur !" sahut Pedang
Samudera.
„Tidak......! Aku tak dapat
berpeluk tangan mengawasi saja. Apakah lo-cianpwe menganggap kepandaianku itu
lebih rendah ......."
„Kami berdua mengagumi
kepandaianmu. Tetapi kalau hendak bcrmusuhan dengan si Maharaja, haruslah
engkau balajar sampai mencapai tataran yang tinggi. Terus terang, dengan
kepandaian yang engkau miliki sekarang ini, masib terlalu jauh jika hendak menempur
mereka...."
„Tetapi keputusanku sudah
tetap, tak perlu lo-cianpwe mencegah....!"
Padang Samudra Hi Liong -
mengkerutkan dahi karena sikap Gak Lui yang keras kepala.
Tiba2 Pedang Gelombang Go
Bun-hua diam2 mendekati Hi Liong-hui dan membisiki beberapa patah kata ke
telinganya.
Pedang Samudra Hi Long-hui
mengangguk-angguk, lalu berkata kepada Gak Lui : „Kalau begitu baiklah, aku
mempunyai sebuah urusan yang amat penting hendak minta tolong kepadamu. Entah
engkau mau atau tidak ?"
,,Silahkan cianpwe mengatakan
.......!"
,,Saat ini umurku sudah hampir
60 tahun dan hanya mempunyai seorang putera yang kunamakan Hi Kiam-gin. Sudah
lama ia keluar mengembara, sampai sekarang belum pulang. Hatiku sungguh ccmas
........ "
„Aku bersedia mencarinya
!" sahut Gak Lui.
Pedang Samudera Hi Liong-hui
terharu mendengar kesediaan anak muda itu.
Serentak ia berlutut
menghaturkan terima kasih.
,,Engkau benar2 merupakan
bintang penolong dari keluarga Hi, hanya saja...... . anakku itu berwatak liar
......."
Gak Lui terkejut karena jago
tua itu berlutut dihadapannya.
Buru2 ia mengangkatnya bangun
: ,,Sudah tentu aku akan mewajibkan diri sebagai seorang saudara untuk mencari
putera lo-cianpwe itu. Tak peduli bagaimana wataknya, aku tetap tak merobah
pendirianku. Tetapi bagaimanakah wajah saudara Hi itu. Apakah ada ciri2
pengenalnya yang khas ?”
„Anakku itu berumur 19 tahun,
wajahnya cukup gagah. Membawa sepasang pedang panjang dan pendek. Pada waktu
meninggalkan rumah dia menuju kearah timur. Sungguh kebetulan engkau hendak
menuju kesumber air Pencuci Jiwa. Mungkin dapat bertemu di tengah jalan."
,,Lalu tentang peristiwa
gerombolan Topeng Besi malam ini ...........”
„Gak siauhiap, kucinta sekali
kepada puteraku. Harap engkau suka melindunginya. Lain2 urusan, tak perlu
engkau hiraukan."
„lni ....... "
,,Desaku merupakan sebuah
tanah datar segi tiga. Dibelakang desa terdapat lembah gunung. Jika engkau
mengikuti aku, tentu segera diketahui orang-orangku. Itu berarti engkau tak
dapat di percaya. Terutama lembah itu, jangan sekali-kali engkau kesana
......" kata Pedang Sumedera Hi Liong-hui dengan nada serius.
Melihat orang begitu
bersungguh-sungguh meminta, Gak Luipun berkata dengan lantang: „Karena cianpwe
menghendaki begitu, baiklah. Silahkan cianpwe berdua pergi dulu. Setengah jam
kemudian baru aku berangkat. Menilik kepandaian berjalan cepat dari cianpwe
berdua, tak mungkin aku dapat mengejar."
Mendengar itu barulah Pedang
Samudera Hi Liong-hui legah hati.
Setelah mengulang lagi
perminntaannya agar Gakl Lui benar2 mau mencarikan jejak puteranya yang hilang
itu, kedua jago pedang tua itu segera melesat pergi.
SETENGAH jam kemudian barulah
Gak Lui berangkat.
Tepat pada saat ia tinggalkan
tempat itu, sesosok bayangan hitam diam2 mengikutinya.
Walaupun terpaut setengah jam
dan saat itu 'Sepasang Pedang Gelombang- Samudera sudah tiba dirumah, tetapi
karena Gak Lui dibesarkan di gunung Yau-san, dia memiliki indera pembau yang
tajam sekali.
Dalam mengenal bau orang
dengan binatang.
Maka sekalipun terpaut
setengah jam ia dapat juga mencium jejak kedua jago pedang tadi.
Memandang kemuka, dilihatnya
sebuah gedung besar tegak dengan megahnya.
Dan dilihat-nya sepasang
Pedang Gelombang-Samudera itu tengah berdiri di muka gedung sambil mencekal
pedang.
„Celaka kalau ketahuan mereka,
sungguh tak enak," pikirnya.
Cepat ia membiluk kekanan dan
lari sekencang-kencangnya.
Melihat itu, orang yang
mengikutinya dari belakang tadi, terkejut lalu buru-buru menyembunyikau diri
dengan rebah ditanah.
Setelah tiga kali membiluk tiga
buah tikungan, tibalah Gak Lui dalam lembah dibelakang gunung.
Lembah itu merupakan tanah
rendah yang menyerupai sebuah lumpang batu.
Ditengah penuh dengan hutan
dan batu2 aneh.
Walaupun pada siang hari,
suasananya tampak menyeramkan.
Kemudian ketika memandang
kelereng gunung, Gak Lui melihat lereng itu terdiri dari karang yang melandai
tinggi.
Tiada hutan dan pepohonan
sehingga tak dapat dibuat tempat bersembunyi.
Terpaksa ia menyusup diantara
gundukan2 batu aneh itu.
Ketika hampir mencapai bagian
tengah lembah, tiba2 dilihat sesosok bayangan muncul diatas gunung, buru2 ia
mengumpat di belakang batu.
„Cetaka...! Kiranya Go Bun-hua
cianpwe!
Jika sampai dilihatnya,
sungguh tak enak ..... lebih baik kutunggu sampai malam hari ........"
setelah memutuskan begitu, ia mencari tempat meneduh dibalik batu besar, ia
mengeluarkan ransum kering lalu memakannya.
Untuk menghadapi pertempuran
nanti malam, ia siapkan sepasang pedangnya.
Lain2 perbekalannya, disimpan
hati2 dalam celah batu.
Ketika tangannya menjamah
batu, ia merasa aneh: „Eh, mengapa batu ini begini licin sekali ?"
Dan serempak dengan itu
hidungnya mencium bahu anyir.
pembau Gak Lui yang tajam
tetap.......tak dapat mengenali bau itu.
Ia segera duduk bersemedhi,
menunggu datangnya malam.
Akhirnya haripun malam.
Tetapi malam itu, tiada
bintang dan bulan sehingga suana amat seram.
Gak Lui terus bangkit.
Dalam beberapa loncatan saja,
ia sudah mencapai puncak gunung.
Melongok kebawah, tampak
rumah2 dibawah gelap pekat2.
Pada empat penjuru, terdapat
10-an lebih api unnggun.
Bukan melainkan rumah2 itu
saja, bahkan lereng gunung disebelah depan pun tampak terang.
Saat itu barulah Gak Lui
menyadari akan kegunaan unggun api itu.
Tetamu tak dapat melihat
kedalam, tetapi orang dalam dapat melihat jelas setiap pendatang.
Ia mulai menuruni gunung.
Karena kuatir jejaknya
ketahuan, terpaksa Gak Lui berjalan hati2 menyusup diantara pohon2 yang
rindang.
Perjalanan yang tak berapa,
jauh itu telah makan waktu yang cukup panjang.
Saat itu sudah menjelang
tengah malam.
Walaupun -musuh belum muncul,
tetapi Gak Lui duga mereka tentu sudah berada disekitar tempat itu.
Sekonyong-konyong terdengar
suara suitan tajam.
Rupanya dari jarak yang cukup
jauh.
Diam2 Gak Lui menggigil.
Pada lain saat tampak beberapa
bayangan hitam bermunculan dari empat penjuru.
Mereka menghampiri tumpukan
api dan tahu2 unggun api itu padam semua.
Malam makin pakat.
Segera Gak Lui keluar dari
tempat persembunyiannya.
Untuk mempersingkat waktu,
dari lereng gunung ia loncat kebawah, terus hendak menuju kegedung kediaman Hi
Liong-hui si Pedang Samudera.
Tetapi ketika masih dua meter
dari atas tanah, sekonyong-konyong kakinya dibabat pedang.
Ia terkejut sekali dan buru2
menekuk lututnya, bergeliatan melambung keudara lagi seraya mencabut pedang.
Tring...., tring.., ia
menangkis pedang penyerang gelap itu.
Dan dengan meminjam tenaga
benturan pedang, ia berjumpalitan melayang turun kebumi.
Begitu tegak ditanah, barulah
ia dapat mengetahui siapa penyerangnya itu.
Seoranga manusia yang mirip
hantu. Dari atas kepala sampai kebawah kaki, tertutup jubah hitam. Hanya pada
bagian mata diberi lubang.
Dari lubang itu tampak
sepasang biji matanya yang aneh.
Meram tidak, melekpun bukan.
Sama sekali tak menyerupai
seorang manusia hidup!
„Adakah yang gihu katakan
tentang Topeng Besi itu, serupa ini dandanan-nya.......!” diam2 is menimang
dalam hati.
Ditatap dua orang aneh itu
dengan tajam.
Ia hendak menyelidiki apakah
pada bagian kepala orang masih terdapat lagi topeng besi.
Tetapi orang aneh itu tak mau
memberi kesempatan kepadanya
Pedang ditaburkan laksana
kembang api berhamburan di udara.
Yang diserang selalu jalan
darah maut pada tubuh Gak Lui.
Dengan hati2 Gak Lui melayani.
Ia tak mau balas menyerang
melainkan bertahan diri.
Ia hendak menyelidiki ilmu
pedang orang itu.
Ah......., ternyata orang itu
menggunakan ilmu istimewa dari partai Bu tong pay.
Kepandaian dan tenaga saktinya
lebih tinggi dari Ceng Suan totiang, pejabat ketua dari Bu-tong-pay !
Gak Lui tak berani berlaku
ayal.
Segera ia keluarkan jurus
Menyolok-bintang- memetik bulan.
Melihat Gak Lui mengisar kaki
kesamping, orang aneh itu segera congkelkan pedangnya dari bawah keatas.
„Bagus......!" diam2 Gak
Lui berseru girang.
Segera ia pancarkan tenaga-saktinya.
Pedangnya berobah laksana
sinar bianglala yang mengurung pedang orang hingga hampir terpental jatuh.
Tetapi, pada saat Gak Lui
hampir berhasil menundukkan pedang lawan, tiba2 dari arah gedung terdengar
ledakan keras.
Gak Lui terkejut, keluhnya :
„Celaka, habislah riwayat kedua cianpwe ........"
Karena perhatiannya
terpengaruh oleh ledakan itu, Gak Lui agak tertegun.
„Kesempatan itu tak
disia-siakan siorang aneh, tiba2 ia kerahkan tenaga untuk menindih pedang Gak
Lui, lalu dikiblatkan memapas muka Gak Lui.
Gak Lui terperanjat sekali,
buru2 ia menyurut mundur dua langah.
Tangan kanan menangkis dengan
pedang, tangan kiri cepat mencabut pedang pusaka Pelangi lalu balas menusuk ke
mata lawan.
Melihat pedang pusaka dari
Bu-tong-pay itu, orang berkedok hitam terbeliak.
Buru2 ia tegak berdiri seraya
menarik pulang pedangnya.
Pada saat itu, secepat kilat
Gak Lui menarik pedang ditangan kanan lalu menusuk alis orang itu.
Krek....., krek .... terdngar
suara logam beradu.
Orang aneh itu mundur tiga
langkah.
Gak Lui tergetar hatinya.
Walaupun ia telah gunakan
tenaga penuh untuk menusuk namun muka orang yang terlindung dengan topeng besi,
tak dapat ditembus pedang.
Kain kerudung bagian muka yang
telah terpapas robek itu, menampakkan sebuah topeng besi yang tebalnya lebih
dari satu dim.
Menilik dari noda karatan pada
topeng besi itu, jelas kalau sudab dipakai selama bertahun-tahun.
„Bunuh........! tiba2 benak
Gak Lui terlintas akan tuntutan kewajibannya membalas dendam.
Ia harus membunuh orang
hertopeng besi itu.
Terus dia tusukkan pedang
Pelangi kemata orang.
Tatapi..........ia terkejut
sendiri karena orang itu tetap diam saja.
Gak Lui serentak terbayang
akan wajah yang penuh welas asih dari Ceng Hi totiang, ketua Bu-tong-pay yang
telah menyerahkan pedang Pelangi kepadanya.
Seketika tak sampailah hatinya
untuk melangsungkan tusukan maut itu.
„Karena rupanya engkau kenal
akan pedang ini, tentulah engkau ini Ceng Ci totiang yang telah menghilang itu
!" serunya dengan bengis.
Tetapi orang aneh itu tak
menyahut.
Melainkan sepasang matanya
yang berkilat-kilat.
„Dalam penyerangan gelap pada
Empat Pedang Busan 18 tahun yang lalu, apakah engkau juga ikut serta !"
seru Gak Lui pula.
„Mengapa membisu saja
........... apakah engkau ......... terkena sihir!" Gak Lui berteriak
lagi.
Tiga kuli Gak Lui bertanya,
tiga kali tak disahut.
Marahlah pemuda itu, serunya :
„Hutang jiwa harus ganti jiwa !
Tak peduli engkau ini imam
Ceng Ci atau bukan.....! pedang di hamburkan dengan jurus Memotong-emas-membelah-kumala.
Tetapi baru pedang bergerak,
tiba2 ia rasakan punggungnya disambar oleh tebasan pedang.
Terpaksa Gak Lui berputar
tubuh untuk menjaga diri.
„Aku disini, jangan salah
lihat" tiba2 terdengar suara orang berseru dengan nada kuat.
Gak Lui berputar tubuh dan
hentikan pedang.
Ah, ia berhadapan lagi dengan
scorang Topeng besi.
,,Siapa engkau....!"
tegurnya.
„AKU adalah imam Bu-tong pay
Ceng Ci totiang ......... "
„Oh ..... !" Gak Lui
terkejut, „lalu siapakah orang bertopeng yang tadi.....?"
„Topeng Besi...... ya...!
Topeng Besi, perlu apa banyak pertanyaan !" bentak si Topeng Besi.
„Sepasang Pedang
Gelombang-Samudera, mereka telah menolak Amanat Hidup dari Maharaja, sudah
tentu merceka harus mati.....!"
„Ho, murid Bu-tong yang murtad”
Aku hendak menuntutkan balas
pada orang, yang telah engkau celakai!" teriak Gak Lui.
„Huh...., betapa tinggikah
kepandaianmu berani bermulut besar ......."
„Lihat pedang......!",
Gak Lui terus menyerang dengan sepasang pedangnya.
Topeng besi yang mengaku
bernama Ceng Ci totiang itu mundur setombak lalu mendengus dingin.
„Jangan kesusu mati......!
Engkau tadi mengatakan hendak mencari aku, kenapa?"
„Bu .... " Gak Lui hendak
menanyakan tentang peristiwa Empat Pedang Busan, tetapi tiba2 ia mengalihkan
kata dengan membentak: ,,Mewakili Ceng Ki totiang untuk memeriksa
penghianatanmu
„ Ha..., ha..., ha..., ha....!
orang itu tertawa gelak2, lalu berseru : „ Atas hak apa? "
„Inilah........!" Gak Lui
mengacungkan pedang Pelangi ke atas kepalanya dan menuding lawan.
Oho......... kiranya engkau
mengandalkan kepandainmu silat cakar kucing itu !" ejek si Topeng Besi.
Gak Lui terkejut.
Sedikitpun orang itu tak
mengindahkan pedang pusaka partainya.
Jelas sudah terlalu besar
kejahatannya.
Harus dibunuh.........!
Tiba2 orang itu berkata pula
dengan congkak: „ Tak lama setelah menerima kedudukan sebagai ketua partai
Bu-tong, cousu-ya akan mengadakan pembersihan.
Karena engkau kenal mereka,
bolehlah membawa surat.
Tetapi ada syaratnya
„Syarat.......?" karena
marah Gak Lui sampai dingin kaki tangannya.
Tetapi menyadari bahwa saat
itu sedang berhadapan dengan musuh besar, terpaksa ia harus menahan
kemarahannya.
Lalu menghela napas.
Topeng Besi Ceng Ci totiang
mengira kalau pemuda itu sudah meluluskan.
Ia melanjutkan kata-katanya :„
Syaratnya sederhana. Asal engkau tunduk pada Maharaja dan menjadi salah seorang
anggauta Topeng Besi.
Mendengar itu tertariklah
perhatian Gak Lui.
la hendak menyelidiki keadaan
Maharaja.
Cobalah engkau terangkan keadaan
Maharaja itu.....!" serunya.
„Apa yang engkau ingin
tahu....?"
„ Namanya, asal usulnya
............. "
„Ini......... engkau tak
pernah bertanya "
„,Hm...., rupanya engkau juga
tak mengerti sendiri ! Coba katakanlah, dia mempunyai hidung atau tidak?"
Mendengar pertanyaan itu
Topeng Besi imam Ceng Ci tertawa menyeringai.
Serunya : „Jangan..... ngaco
belo, dia ... dia .... mustahil tak punya hidung, tanya saja lain hal.....!”
„Ilmu silatnya termasuk aliran
mana? Sebagai kaki tangannya, engkau harus tahu.....!"
„ Segala aliran partai
persilatan, tak ada yang tak faham. Kesempurnaan kepandaiannya, didunia tiada
tandingannya....!"
Gak Lui mendengus, lalu
bertanya tajam : ,,Bagaimana kalau dibanding dengan Raja-diraja?”
„Eh....... engkau kenal pada
Raja-diraja? Apakah engkau mempunyai hubungan?"
„Hanya mendengar namanya saja
!"
Orang bertopeng itu menghela
napas longgar: „Menilik umurmu, tak mungkin kenal ....”
„Tetapi kalian takut seperti
melihat macan kepadanya!”
„Heh..., heh....! Lambat-laun,
dia tentu akan dilenyapkan oleh Maharaja! Nah....., sekarang lekas engkau
nyatakan, mau tunduk atau tidak !"
„Huh, aku mau membawa suratmu.
Tetapi dengan syarat juga !"
„Katakan.....!"
„Aku harus membawa kepalamu
seorang murid penghianat itu, bersama surat itu!"
Topeng-Besi imam Ceng Ci
tertawa nyaring, kumandang tawanya bergema jauh ke langit.
Habis tertawa pedang segera
berhamburan melibat tubuh Gak Lui.
Gak Lui terkejut.
Ia rasakan dirinya diselimuti
oleh sinar pedang yang berhawa dingin.
Jurus2 yang dimainkan imam itu
bukan melainkan ilmu pedang Bu-tong-pay, pun kesempurnaan dan tenaganya, jauh
melebihi dari si Topeng Besi yang tadi.
Gak Lui bersuit nyaring.
Sepasang pedangnya dimainkan
menurut ajaran ilmu pedang ‘Pedang lblis’ dan ‘Pedang Laknat’.
Seluruh kepandaian dan
tenaganya dicurahkan dalam permainan itu.
Cepat sekali tigapuluh jurus
telah berlangsung.
Ketiga batang pedang itu
berhamburan saling mengadu kekuatan.
Rupanya Topeng Besi Ceng Ci
totiang itu terkejut juga.
Ia tak mengira bahwa seorang
pemuda yang mukanya ditutup dengan kedok kulit binatang ternyata memiliki ilmu
pedang yang sedemikian hebat dan aneh.
llmu pedang yang tidak
termasuk ilmu pedang dari ke 7 partai persilatan.
Hampir setengah hari bertempur
tetap ia tak mampu mengetahui dari aliran manakah ilmu pedang lawannya itu.
Dan yang paling mengejutkan
perasaannya yalah, anggauta Topeng Besi yang biasanya selalu tunduk pada
perintahnya saat itu hanya berdiri tertegun disamping.
Anak buah itu sama sekali tak
mau membantu tetapi hanya memandang terIongong-longong mengikuti gerak pedang
Pelangi yang dimainkan Gak Lui.
„Aneh....! Ilmu apakah yang
dimiliki budak ini sehingga dapat membuat anggauta Topeng Besi tak mau
mendengar perintahku lagi ?" diam2 Ceng Ci totiang mengeluh heran.
Tiba2 ia mendapat pikiran.
Bersuitlah ia
senyaring-nyaringnya.
Sebuah suitan yang melengking
tajam, menggigilkan h orang......!
Mendengar itu, anggota Topeng
Besi jadi gelagapan.
Sinar matanya memancar cahaya
lagi, lalu mulai bergerak menyerang punggung Gak Lui.
Gak Lui sibuk juga.
Dalam, tekanan dua musuh yang
berkepandaian tinggi, ia harus kerahkan seluruh tenaganya untuk menghadapi.
Pedang ditangan kanan
dimainkan untuk melayani serangan Ceng Ci totiang.
Sedang pedang Pelangi yang
dicekal ditangan kiri, diputar untuk menghalau serangan auggauta Topeng Besi
dibelakangnya.
Melihat anak muda itu dapat
bertahan diri, timbullah nafsu keganasan Ceng Ci totiang: „Menilik gelagat,
sukar untuk menangkapnya hidup-hidup.
Tak peduli dia anak murid
partai mana, paling perlu harus dilenyapkan.....!"
Cepat ia loncat kesamping
anggauta Topeng Besi tadi.
Kini dengan bahu membahu,
keduanya mulai lancarkan serangan dahsyat kepada Gak Lui.
Lima jurus kemudian, tiba2
Ceng Ci totiang hantamkan tangan kirinya dengan tenaga sakti Hian-bun-cin-gi.
Bagaikan gelombang laut,
pukulan itu memancarkan gelombang tenaga yang melanda Gak Lui.
Betapa tangkas Gak Lui
menangkis, namun tetap ia terpental tiga langkah kebelakang dan muntah darah.
Melihat pukulannya berhasil,
Ceng Ci totiang tak mau memberi ampun lagi.
Pukulan kedua disusulkan
dengan cepat, bum.........
Dada Gak Lui terlanda angin
pukulan dahsyat itu.
Namun dengan menggigit gigi
menahan sakit, ia enjot tubuhnya loncat beberapa langkah jauhnya.
„Hai, hendak lari kemana
engkau......!" teriak Ceng Ci totiang seraya loncat melayang keudara.
Gak Lui nekad.
Tanpa berpaling kebelakang, ia
balikkan pedang Pelangi memapas kebelakang.
Tring ....... putuslah pedang
anggauta Topeng Besi itu.
Ceng Ci totiang terkejut,
teriaknya : „Ho, ternyata engkaulah Pemangkas Pedang itu !"
Saat itu Gak Lui masih
melayang diudara.
Sekalipun ia tak sempat
merenungkan teriakan terkejut dari Ceng Ci totiang, namun tak urung ia agak
tertegun juga.
Dan sedikit kelambatan itu,
harus dibayarnya mahal.
Untuk yang ketiga kali,
dadanya tersambar pukulan sakti dari tenaga Hian-bun-ciu-gi yang dilancarkan
Ceng Ci totiang.
Dalam gugup, Gak Lui menarik
pedang Pelangi lalu menusuk dengan pedang ditangan kanan.
Dengan gerakan itu ia dapat
memaksa Ceng Ci totiang mundur setengah langkah.
Tetapi dia sindiripun muntah
darah beberapa kali lagi ....
Secepat menginjak bumi, Gak
Lui kalap, berputar tubuh ia meraung: „Bangsat, aku hendak mengadu jiwa dengan
engkau........!"
Tetapi pada saat itu juga,
telinganya seolah-olah terngiang oleh suara Pedang Iblis dan Pedang Aneh :
„Anak Lui, larilah dulu.....!, Musuh besar yang sesungguhnya masih belum
muncul, engkau harus mencari ........."
Gak Lui gelagapan tersadar.
Cepat ia batalkan minatnya,
lalu loncat beberapa langkah dan terus melarikan diri
Tetapi Ceng Ci totiang tetap
mengejarnya.
Gak Lui tak dapat menahan
kemarahannya lagi.
Serentak berhenti ia berputar
tubuh lalu gerakkan kedua pedangnya.
Tring .... Ceng Ci totiang
yang amat bernapsu untuk membunuh lawan terkejut sekali, ketika tahu2 pedangnya
terpapas kutung , oleh Gak Lui.
Untung pada saat itu anggauta
Topeng Besi tadipun menyusul tiba.
Dengan pedangnya yang kutung,
cepat ia menusuk tenggorokan Gak Lui.
Crek..... karena terlindung
oleh kedok kulit binatang yang kebal senjata, tusukan anggauta Topeng Besi itu
tak mampu menembus terggorokannya.
Namun sekalipun begitu, tak
urung Gak Lui terhuyung-huyung dan tiba2 kakinya tergelincir jatuh
bergelundungan sepanjang karang, menurun kebawah .
Jika anggauta Topeng Hitam
tertegun dan menarik pedangnya melihat lawan sudah tergelincir jatuh kebawah,
tidak demikian dengan Ceng Ci totiang, Imam itu tertawa nyaring lalu loncat
mengejar kebawah.
Pendek kata, sebelum membunuh
pemuda itu, tak puaslah hatinya.
Ternyata Gak Lui menggelinding
kearah tepi lembah.
Begitu tiba dikaki karang,
cepat ia loncat bangun, lari kebalik batu besar tempat ia menyimpan barang2
bekalannya.
Papa saat ia mengambil
bekalannya itu, tiba2
hidungnya metincium bahu yang
amat anyir sehingga ia hampir muntah.
Sebelum ia sempat mengetahui
bau anyir itu, Ceng Ci totiangpun tiba dan terus menghantamnya.
Tetapi habis menghantam, imam
itu menjerit kaget !
Dari sebelah batu besar,
menghambur sebuah arus tenaga penyedot yang berbau anyir dan dingin.
Seketika menjeritlah Ceng Ci
totiang seperti melihat hantu disiang hari
Gak Lui mendengus tertahan.
Ia dilanda pukulan Ceng Ci
totiang.
Baru tubuh terhuyung tiba-tiba
disedot oleh tenaga-hisap dari belakang.
Wut..... laksaua anak panah,
tubuh Gak Lui melesat masuk kedalam sebuah liang yang gelap dan lembab.
Ia coha meronta, tetapi
dinding lubang itu tiba2 merapat menjepitnya.
Gak Lui terkejut lalu pingsan.
Ternyata Ceng Ci totiang
menjerit tadi karena melihat dua bilah daging merah sebesar kuali dan dua buah
bola api sebesar genggaman tangan.
Ceng Ci totiang cepat2 loncat
mundur sampai tiga tombak.
Ketika memperhatikan dengan
seksama, ternyata daging merah sebesar kuali itu adalah mulut dari seekor ular
besar.
Bau anyir dan tenaga-hisap
yang melancar dari belakang Gak Lui tadi adalah berasal dari semburan mulut
ular besar itu.
Dan pemuda itu telah tersedot
masuk kedalam perut si ular
Namun naga itu tampaknya masih
belum kenyang.
Kepalanya menjulur ke atas,
lidahnya yang runcing merah, tak henti2 nya melelet-lelet :............'
Ceng Ci totiang ngeri.
Ia loncat menghampiri anggauta
Topeng Besi dan menimang : „ Budak itu memang pendek umurnya, tetapi menurut
laporan dari mata2 kita, seharusnya dia berada ditempat 100-an li jauhnya.
Mengapa tiba2 muncul di sini .....? Ah......., tetapi karena ia sudah mati, tak
perlu dikejar lagi ...."
Baru ia hendak mengajak
anggauta Topeng Besi itu angkat kaki, tiba2 ia dapatkan tubuh orang itu
berkisar-kisar pelahan.
Dan scrempak dengan itu, Ceng
Ci totiang seperti mendengar suara suitan yang lemah mengalun di angkasa.
Mirip dengan suitan pertandaan
tetapi pun menyerupai desis bangsa ular.
Karena menghadapi beberara
peristiwa yeng aneh, Ceng Ci totiang tak mau membuang waktu menyelidiki lagi.
Ia bersuit mecmanggil anggauta
Topeng Besi terus loncat tinggalkan tempat itu.
ULAR RAKSASA itupun
bergeliatan masuk ke dalam sarangnya.
Sebuah goha di tepi lembah,
ternyata goha itu dalam sekali, lembab dan berli-liku amat panjang.
Gak Lui masih pingsan di dalam
perut ular.
Ternyata dalam guha itu telah
siap menyambut seekor mahkluk aneh yang berkulit lima warna. Begitu ular masuk,
mahkluk aneh itu segera mendahului berjalan di muka, menjadi penunjuk jalan
ular itu.
Ular itu mengikuti di belakang
mahkluk aneh yang merangkak dan merayap ke atas, ke bawah lalu membiluk ke
kanan dan ke kiri, menyusup kebagian dalam dari guha itu.
Kira2 sepeminum teh lamanya,
mereka telah masuk ke dalam sebuah lubang kuburan yang luar biasa besarnya.
Di atas dinding liang kubur
itu, melekat sejumlah besar mutiara besar2 yang terang gemilang cahayanya.
Sedang di sekeliling liang
kubur itu penuh dengan berpuluh-puluh tulang rangka ular-besar dan longsongan
kulit ular.
Juga pada dinding liang terdapat
banyak sekali lubang besar kecil untuk sarang ular.
Sebenarnya liang kubur itu
bukanlah kuburan untuk manusia mlainkan kuburan dari jenis ular besar yang
hidup ratusan tahun yang lalu.
Mutiara2 yang melekat pada
dinding yang memancarkan cahaya terang itu, sebenarnya berasal dari otak ular
besar yang meleleh dan membeku menjadi semacam kristal yang dapat memancarkan
cahaya terang benderang."
Tiba2 terjadi suatu keanehan.
Mahkluk aneh yang menjadi
penunjuk jalan itu sekonyong-konyong berdiri seperti manusia.
Setelah beberapa kali
menggoyangkan tubuh, tiba2 dia berobah menjadi seorang gadis cantik.
Rambutnya memanjang sampai
kepantat.
Kulitnya berwarna segar
kemerah-merahan.
Tubuhnya hanya terbungkus oleh
sehelai pakaian dari kulit ular yang iiimengkilap.
Setelah berdiri, gadiss itu
menyiak kulit ular yang menutup kepalanya keatas dada, begitu pula
kulit bagian kakinya disingkap
keatas lutut hingga tampaklah kulit kakinya yang putih.
,,Mengapa engkau makan
orang?" pada lain saat gadis itu menegur ular besar tadi.
Ular itu menundukkan kepala
seolah-olah seperti menyesal.
Rupanya binatang itu mengerti
bahasa sigadis.
,,Hm........, jika tak Iekas2
kupanggil kamu, orang itu tentu sudah engkau kunyah dalam perutmu! Hayo lekas
muntahkan keluar........!" seru sigadis pula.
Serta merta Ular Besar itu
segera mengangakan mulutnya.
Setelah badannya bergetaran
dan ekornya bergeliatan, Gak Lui beserta senjatanya, dimuntahkan keluar.
Habis itu, ular besar terus
meluncur masuk kebagian, dalam dari liang kubur.
Rupanya ia takut mendapat
hukuman sigadis, lalu buru2 menyembunyi-kan diri.
,,Hai, kiranya seorang lelaki
...." gadis itu melengking kaget kemudian ia ulurkan tangan mutut Cak Lui
untuk memeriksa pernapasannya.
Ia terkejut karena napas pemuda
itu sudah tak terdengar.
Buru2 ia memeriksa pergelangan
tangan Gak Lui.
Setelah beberapa saat, segera
ia lari ke dalam liang dan mengamhil sebatang kim-cau (rumput emas) yang
bentuknya panjang kurus seperti anak panah.
Lebih dulu rumput kim-cau itu
dikunyahnya sampai halus, lalu ia menundukkan muka, memakankan kunyahan rumput
itu ke mulut Gak Lui, seperti seekor burung sedang memberi makan kepada
anaknya.....
Tetapi Gak Lui sedang pingsan.
Mulutnya terkancing rapat,
napas berhenti sehingga tak dapat menerima susupan rumput halus itu.
Gadis itu tidak gugup.
Tanpa malu2 lagi, ia terus
lekatkan bibirnya kebibir Gak Lui lalu mulai kerahkan tenaga-dalam untuk
meniupkan rumput obat itu kedalam mulut Gak Lui.
Supaya tiupannya berhasil,
tanpa disadari tubuh gadis itupun merapat pada tubuh Gak Lui ....
Beberapa saat kemudian tampak
dada Gak Lui mulai bergerak mengikuti tiupan hawa dari mulut sigadis.
Pelahan-lahan pemuda itu mulai
dapat bernapas.
Dalam keadaan masih belum
sadar, ia rasakan suatu arus hawa hangat yang harum meluncur kedalam
tenggorokan terus memancar keseluruh tubuhnya.
Kunyahan rumput kim-cau itu
cepat sekali menyalur keseluruh jalandarah Gak Lui.
Seketika menimbulkana rangsang
panas yang membakar ubun2nya.
Karena mencurahkan perhatian
untuk meniupkan kunyahan rumput obat kemulut Gak Lui, tanpa disadari pakaian
kulit ular yang menutup tubuh gadis itu meluncur lepas sehingga Gak Lui tak
dapat menahan diri lagi.
Kedua insan itu bagaikan naik
gelombang samudera yang mengayun, berkejar-kejaran menuju kepantai.
Makin lama makin mengalun
tinggi, makin tinggi sekali keangkasa akhirnya, pecah berbamburan tertumbuk
karang.
Bagaikan letusan gunung, ombak
meledak pecah dan terhempaslah kedua insan itu lemah lunglai tak bertenaga
lagi.
Kedua muda mudi itu telah
melanggar makan buah terlarang ....
Karena kesadaran mereka telah
hanyut dibawa rangsang rumput obat.
Disaat, kesadaran hilang
berkuasalah sang Nafsu......!
Beberapa saat kemudian,
tersadarlah Gak Lui akan apa yang telah terjadi.
Pertama yang dilihatnya benar2
menyentuh perasaannya. Bagaikan sekuntum bunga yang habis dilanda hujan, gadis
jelita itu tampak lemah lunglai.
Kedua tangannya mendekap muka,
tersipu-sipu dan terisak-isak......
„Hai....., apakah yang telah
kulakukan" tiba2 ........ Gak Lui loncat bangun.
Ia tcrkejut ketika menyadari
apa yang telah terjadi.
Dengan terhuyung-huyung ia
menunduk dan berkata kepada nona itu: „Nona, maafkan. Aku sungguh menyesal
sekali. Ini ...... ini tak kusengaja ....."
Gadis itu mengangkat mukanya
pelahan-lahan.
Sepasang pipinya tampak
kmerah-merahan dan menyahutlah ia dengan tawar: „Akupun tak sengaja....itu
dikarenakan..........."
„Karena apa......?"
„Karena aku ........ .
menyusurkan rumput kedalam mulutmu."
„Rumput apa?" diam2 Gak Lui
memang bibirnya masih merasakan harum
dan manis dan tubuhnya terasa
panas.
„Rumput itu disebut rumput
Panah-emas-wangi. Khasiatnya dapat melenyapkan racun. Tetapi ..., aku tak tahu
kalau rumput itu, .... dapat membuat
oratig ... kacau balau pikirannya.
Keterangan sijelita secara
jujur itu telah melenyapkan kecurigaan Gak Lui.
Ia percaya karena dara itu
berusaha sungguh2 untuk menolong dirinya tetapi karena tak tahu jelas khasiat
rumput itu. telah menyebabkan mereka berdua terangsang melakukan perbuatan yang
terlarang,
Diam2 Gak Lui berterima kasih
kepada si gadis cantik itu.
Tapi disaat disamping itu,
kini ia bertambah sebuah beban kewadjiban.
„Budi kebaikan nona, pasti tak
kulupakan," kata Gak Lui, kelak tentu akan kubalas sepenuh-penuhnya"
Ucapan itu bahkan menimbulkan
ketegangan sijelita.
Ia menghela napas, katanya:
„Engkau ...... hendak...... membalas ......dengan apa?"
„Silahkan nona mengatakan, aku
tentu akan berusaha melaksanakan !"
„Setelah terjadi hal tadi
..... aku ..... terpaksa .... harus ikut padamu selama-lamanya"
Gadis itu tersipu-sipu malu
ketika mengucapkan isi hatinya.
Gak Lui terperanjat : „Hal ini
.... jangan"
Gadis cantik itu kerutkan alis
: „ Apakah engkau ........ sudah beristeri ?"
„Belum....!"
Apa hendak memberi tahu
orangtuamu ?"
„Sejak kecil aku tak pernah
melihat orangtuaku. Mau melapor kepada siapa? "
„Menilik engkau membekal
senjata, tentulah engkau seorang persilatan. Apakah engkau sedang melakukan
perintah gurumu?"
„Gurukupun sudah meninggal
dunia."
„Oh....," gadis itu
mendengus kejut.
Alisnya makin melekik dalam.
Sepasang biji matanya memancar
rasa iba, serunya sambil menggigit bibir: „Kalau, begitu .... engkau tak mau
bertanggung iawab?"
„Tidak..., tidak.....! Bukan
begitulah. Adalah karena sedang melakukan tugas kewajiban maka aku tak berani
sembarangan meluluskan"
„Omonganmu itu, bertentangan
sendiri! Aku tak mengerti apa maksudmu?"
„Diriku sedang memikul
kewajiban membalas dendam. Untuk itu aku harus menuntut ilmu kesaktian yang
tiada tandingannya. Dengan begitu barulah harapanku tetkabul. Keadaanku saat
ini selain harus giat mencari ilmu kcsaktian, pun tiap saat selalu ditimpah
bahaya2 yang tak ter-duga2"
„Oleh karena itu engkau tak
mau tertindih lain beban lagi.....?"
„Karena aku tak ingin engkau
terlibat dalam bahaya itu!"
Menilik sikap dan ucapan Gak
Lui yang begitu ber-sungguh2, gadis itu mau pcrcaya juga.
Ia tundukkan kepala dan
menghela napas panjang.
„Nona, apakah engkau tiada
lain urusan yang perlu kubantu?" tanya Gak Lui.
„Ibuku sudah meninggal. Aku
bermaksud akan mencari ayah, tetapi ... sekarang aku tak ingin pergi
lagi!"
„Lalu bagimana
kehendakmu?"
„Akan tinggal didalam Liang
kubur ini seumur hidup!"
„Ah......., tak perlu begitu.
Dan dimanakah tempat tinggal ayahmu yang hendak engkau cari itu.”
„Ayah sudah beberapa tahun
menghilang. Tak tahu dimana dia berada!"
„Hilang?"Gak Lui
terbelalak kaget.
Diam2 ia teringat akan keadaan
dunia pesilatan, dimana banyak tokoh2 persilatan, yang hilang tak ketahuan
rimbanya.
Adakah ayah gadis itu juga
salah seorang yang menjadi korban?
,,Apakah ayah nona itu seorang
tokoh sakti?" tanyanya segera.
„Ayahku Li Kok-hua, bukan
tokoh persilatan sakti tetapi seorang tabib nomor satu di dunia.
„Oh, makanya engkau mengerti
ilmu obat-obatan. Jadi engkau puteri seorang tabib sakti!"
„Sedikit2 ilmu pengobatan yang
kumiliki itu bukan kupelajari dari ayah tetapi dari ibuku. Karena pada waktu
ayah menghilang, aku masih dalam kandungan ibu."
„Berapakah umur nona
sekarang?" .
„Tujuh belas!"
„Kalau begitu ayah nona
menghilang sejak 17 tahun yang lalu?"
„Benar,"
„Mengapa beliau
menghilang?"
„Ibu mengatakan, pada malam
itu ayah diundang oleh seorang sastrawan untuk mengobati, tetapi sejak malam
itu, ayah tak pernah pulang, lagi!"
„Ibu nona bagaimana
meainggalnya? Dan mengapa nona berada disini"
„ Ibu menunggu sampai 14
tahun. Karena ayah tetap tak ada beritanya, ibu lalu membawa aku mengembara
mencari jejak ayah, Tetapi sungguh malang. Di tengah perjalannan, ibu menderita
sakit dan meninggal. Seorang diri aku melanjutkan perjalanan dan akhirnya
tersesat masuk ke, dalam guha kuburan sini."
„Apakah nona tak berjumpa
dengan ular ?"
„ Akupun mengalami peristiwa
sepert engkau. Ditelan ular dand dibawa masuk ke dalam liang lalu dimuntahkan
keluar lagi."
Diam2 dalam hati kecil Gak Lui
setengah tak percaya bahwa ia ditolong nona itu ke luar dari perut ular.
Maka makin tidak percaya lagi
ia akan keterangan sinona tentang peristiwa ditelan ular lalu dimuntahkan itu.
Gak Lui kerutkan alis .
---oo0oo---