Pedang Kunang Kunang Bab 01-05

Baca Cersil Mandarin Online: Pedang Kunang Kunang Bab 01-05
Pedang Kunang Kunang Bab 01-05

PENDAHULUAN

BADAI PRAHARA yang melanda gunung Yausan tetap tak kuasa menahan sesosok tubuh yang pesat mendaki ke puncak.

Tiba di puncak, ia berhenti dimuka sebuah gedung kuna yang besar.

Dari pancaran kilat yang memecah kepekatan malam, tampak orang itu bertubuh gagah. Menyelip pedang di pinggang dan menyanggul sebuah kantung kulit dibahunya. Yang mengherankan, kepala dan mukanya tertutup sebuah kedok hitam yang hanya berlubang pada bagian mata dan mulut.

Gedung itu sebuah bangunan kuna, besar dan megah. Disekelilingnya dijaga, ketat oleh berpuluh-puluh orang suku Yau, siap dengan alat supit beracun.

Sejenak berhenti, orang berkedok itu lanjutkan larinya masuk kedalam gedung, berpuluh-puluh penjaga orang Yau, serta merta memberi hormat dan membiarkannya masuk.

„Yah .......!" secepat masuk kedalam gedung orang itu segera berseru.

Dari nadanya, menandAkan dia masih muda.

Tirai yang menutup dinding ruang tersingkap.

Tampak beberapa orang Yau tegak dikanan kiri sebuah kursi yang diduduki seorang lelaki tua.

Wajahnya berwibawa, tubuh tinggi besar sehingga dalam keadaan duduk, tingginya tak kurang dan satu setengahmeter!

Dia mengenakan pakaian yang aneh sekali.

Sebuah jubah panjang dari kulit harimau, membungkus dari ujung kaki sampai keleher. Bagian kepala dan muka yang kelihatan itu, ditumbuhi rambut, kumis dan jenggot panjang berwarna merah.

Orang berkedok tadi cepat maju memberi bormat.

„Gak Luil" seru orang tua itu dengan keras.

„Ya !"

„Bagaimana hasilmu turun gunung kali ini."

„Bagus sekali, yah. Setiap kugunakan satu jurus saja, pedang musuh tentu sudah dapat kupapas kutung.

Tak kurang dari 100 batang kutungan pedang, kubawa pulang, yah"

„Cukup banyak ! Lekas keluarkanlah!"

„Baik,!" sahut pemuda berkedok itu.

Sekali bahunya mengendap, kantong kulit bergemerincingan jatuh menumpah kelantai.

Isinya berpuluh-puluh batang kutungan ujung pedang yang rata sepanjang jari tangan ........

Pemuda bertopeng itu menjemput sebatang ujung pedang tipis lalu diunjukkan kehadapan siorang tua aneh.

Mata orang tua aneh itu berkilat-kilat memandang kutungan pedang itu, lalu berseru: „Balikkan sebelahnya"

Pemuda itu mengia-kan.

la membalikkan ujung pedang kutung itu, agar kelihatan bagian sebelahnya.

„Bukan !" seru orang tua itu.

„Kuambil yang lainnya" kata pemuda itu seraya menjemput sebatang kutungan ujung pedang lainnya.

„Lebih2 bukan tjuma sekali "

„Ya, ya! Kuganti yang lain lagi!" seru pemuda itu seraya mengambil kutungan pedang lainnya.

Namun satu demi satu, pemuda itu mengunjukkan kutungan pedang yang dibawanya, tetap orang tua aneh itu mengatakan bukan atau salah.

Dalam beberapa kejab, 100 batang kutungan ujung pedang telah ditunjukkan dan ditolak oleh orang tua aneh itu.

Wajah orang tua aneh itu memandang setiap ujung pedang yang diperlihatkan kehadapannya dengan penuh ketegangan.

Wajahnya berobah-robah. Sesaat tampak berputus asa, sesaat lagi mengerut kecewa dan, akhirnya mendengus rawan. Huak ...... se-konyong2 ia muntah darah dan terjungkal dari kursinya.

„Yah ...... !" Gak Lui menjerit ngeri demi melihat keadaan ayahnya.

Seketika ia rasakan sendi-sendi tulangnya lemas lunglai.

Ayah, yang sejak ia kecil sampai dewasa, belum pernah menggendong bahkan menjamahnya sekalipun tidak pernah, ternyata oh ....... ternyata ...... seorang buntung.

Kedua lengannya, sampai kebatas bahu hilang.

Kedua kakinya sampai kebatas paha, lenyap.

Hanya badan dan kepala saja yang masih ada.

Ajahku ternyata seorang manusia yang tinggal bumbung badan saja ............

Karena terjungkal dari kursi, ia jatuh kelantai dan tak dapat bangun.

Gak Lui cepat menubruk ayahnya, memeluk dan mulai memberi pertolongan dengan meng-urut2 jalan darahnya.

Beberapa saat kemudian, dapatlah ayahnya itu tersadar.

Sesaat membuka mata, orang tua cacad itu segera mengingau, memaki-maki dirinya sendiri: „Hari ini barulah terbuka mataku........ kepandaianmu ternyata .... masih terpaut jauh sekali .......ah, akulah ....... yang salah........... !"

„Yah, mengapa engkau bersalah?"

„Karena tak seharusnya kusuruh engkau turun gunung!"

„Mengapa?" Gak Lui makin heran.

„Karena bukan saja engkau tak berhasil, malah memperbanyak musuh2 yang sakti"

„Tetapi mereka dapat kukalahkan dengan satu jurus saja. Apakah mereka layak dianggap musuh sakti? Bahkan beberapa jago ............”

„Siapa?" tukas orang tua buntung itu.

„Imam Hwat Lui dari partai Bu-tong-pay, Gan Wi dari partai Kong-tong-pay dan masih banyak lagi kalau kusebutkan"

„Mereka bukan termasuk tokoh yang benar2 sakti, Hm......., janganlah kau terlalu membanggakan diri karena dapat memapas kutung pedang lawan-lawanmu itu. Karena tak tahu ilmu permainan pedang sejurus yang kau yakinkan selama 10-an tahun itu, maka kalahlah mereka. Tetapi coba engkau bertemu dengan musuh yang dapat melayani sampai seratus-duaratus jurus, masakan engkau masih dapat pulang kemari !”

„Yah, apakah benar kepandaianku sekarang ini masih belum mcmad,ai?" tanya Gak Lui.

„Menilik caramu mengurut jalandarah dan menyalurkan tenaga-dalam tadi, memang begitulah keadaanmu!"

Tergetarlah hati Gak Lui karena dilanda kecewa yang benar. Serunya: „Ah, Gak Lui memang pantas dibunuh karena telah menyia-nyiakan jerih payah ayah selama belasan tahun......"

Tiba2 orang tua itu tersenyum rawan.

„Bukan salahmu Lui," ujarnya tetapi karena salah diriku yang sudah tak bertangan dan berkaki ini sehingga tak dapat mengajarmu seperti mestinya. Delapan belas tahun lamanya, engkau kusuruh menderita menerima pelajaranku . . . . "

„Tetapi aku akan berlatih lebih keras lagi. yah"

„Ah, percuma," orang tua itu menghela napas, „jika tak mendapat guru yang benar2 sakti, percuma saja segala jerih payahmu belajar ilmu kesaktian!"

„Jika ayah mengidinkan, aku akan mencari seorang guru yang sakti."

„Ah, sayang sekali. Beberapa sahabatku lama, tentu sudah banyak yang meninggal dunia. Tetapi jika engkau hendak mencari guru .... hanya ada seorang saja ......."

„Siapa, yah?”

„Li Liong-ci bergelar si Maharaja!"

„Bagaimanakah kesaktiannya?"

„Tatkala baru berumur 19 tahun, dia sudah dapat mengalahkan tokoh2 sakti dari Tujuh partai persilatan besar. Membasmi 5 Durjana yang mengganggu ketenteraman dunia persilatan. Menurut penilaian umum, dia merupakan tokoh yang tiada tandingannya didunia persilatan!"

„Apakah cianpwae itu masih hidup?"

„Tahun ini, dia baru berusia 40-an, sudah tentu masih hidup."

10-11

„Kalau begitu tentu dapat kucarinyall"

„Jika • dapat diketemukan, Empat Pedang dari Busan, tak sampai ...." kemarahan orangtua itu meluap hingga tak sadarkan diri ia telah kelepasan omong, membocorkan rahasia peribadinya yang dipendam selama beberapa tahun.

Walaupun orang tua itu cepat hentikan ucapannya, tetapi Gak Lui sudah terlanjur mendengar.

„Yah, siapakah Empat Pedang gunung Busan itu?" serunya terkejut.

„Tiba2 wajah orang tua itu berobah bengis, bentaknya: „persetan dengan obrolan kosong Empat Pedang atau Lima Pedang "

Tetapi jelas Gak Lui memperhatikan wajah ayahnya tampak tegang dan lesu.

Dia makin tertarik dan mendesak: „Tetapi tadi ayah sendlri yang mengatakan, jangan membohongi aku ........Ayah!"

Orangtua aneh itu tetap tak mau mengatakan.

Tiba2 halilintar meletus diangkasa.

Bumi serasa tergetar keras.

la rasakan dadanya ikut berombak karena darahnya bergolak keras.

Ah......, ia menyadari bahwa malaekat Elmaut tak lama tentu akan menjemputnya.

la gerenyutkan geraham dan dengan kuatkan hati ditatapnya Gak Lui.

Lalu menghela napas: „Ah......., memang aku bohong kepadamu bahkan bukan hanya kali ini saja!"

„Yah . . . ? " Gak Luil menjerit kaget.

„Pertama-tama yang akan kuberitahukan kepadamu .......”

„Apa..... yah?" Gak Lui makin tegang.".

„Aku BUKAN ayahmu !"

Seketika menggigillah tubuh Gak Lui mendengar ucapan ayahnya itu.

Dengan nada tenang dan dingin, orangtua itu balas bertanya: „Kalau aku mempunyai bukti, engkau mau percaya atau tidak?"

„Ini ....... ini .........!"

„Sejak kecil engkau kusuruh pakai kedok. Apa sebabnya ? Karena ...... karena aku takut...... teringat pada....... ayahmu! Dan mengapa selama ini aku tak pernah menggendongmu, karena .... hatiku merasa bersalah....... "

„Tidak membopong aku karena tangan....... tak leluasa! Memberi kedok pada mukaku, mungkin untuk menjaga jangan sampai .... musuh mengetahui " tukas Gak Lui.

Sanggahan itu diucapkan dengan lantang seolah-olah hendak menumpahkan isi hatinya.

Airmata orang tua itu berderai-derai membasahi kedua pipinya.

Dengan menggigit gigi erat2 ia berkata pula: „Sekalipun engkau dapat menebak tepat yang separoh bagian tetapi salah dengan bukti yang kumiliki. Bukti peninggalan ibumu ........."

„Apakah itu " Gak Lui memekik.

„Surat bertulis darah "

„Di ....... dimana?"

„Di bajuku, ambillah sendiril"

---oo0oo---

BAB 01
SETAN BUNTUNG

DENGAN TEGANG Gak Lui segera merabah-rabah baju orangtua itu.

Akhirnya ia menemukan sehelai pakaian bayi.

Pakaian baji itu bertulis darah yang sudah menghitam dan berbunyi:

„Bayi ini bernama Gak Lui. Barang

siapa kasihan, harap dipungut se –

bagai anak . . . . . . . . . .

„Ibu .......!" seketika menjeritlah Gak Lui dan rubuh pingsan.

Entah berselang berapa lama, setelah ditolong beberapa orang Yau, Gak Lui dapat siuman. Lalu dengan nada rawan2 pilu ia bertanya kepada orangtua aneh itu: „Gihu, siapakah ayah dan ibu kandungku.......?''

„Akan kuberitahukan tetapi engkau harus mentaati sebuah hal"

„Jangankan hanya sebuah, seribu buah perintahpun aku akan melaksanakan pesan gihu!" kata Gak Lui. Sejak mengetahui orangtua itu bukan ayah kandungnya, Gak Lui berganti memanggil Gihu atau ayah angkat.

„Simpanlah dahulu janjimu itu. Sekarang dengarkanlah. Aku hendak memberitahu ibumu .........”

„Siapa nama ibuku ......?"

„Tio Yok-ceng !"

„Sekarang dimana?"

„Tak ketahuan rimbanya, entah masih hidup entah sudah mati."

„Apak ciri-ciri-nya...?"

„Aku tak tahu, yang kuketaltui dia seorang gadis yang gemar belajar ilmu sastera. tidak suka ilmu silat!”

„Lalu ayahku ......?"

„Tokoh pertama dari Empat Pedang Busan. Bernama Gak Tiang-beng bergelar Pedang Malaekat.

„Apakah beliau masih hidup?"

„Kuyakin dia       sudah tiada di dunia lagi.......!"

„Kalau begitu, gihu tentulah ........ "

„Aku .... aku ..... aku sungguh menyesal sekali kepada ayahmu. Tak usah diungkit lagi!"

„Merawat merupakan budi sebesar langit. Aku harus mengetahui!" Gak Lui berseru keras.

„Aku merupakan tokoh Empat Pedang yang paling buncit, bernama Ji Ki-tek dengan gelar si Pedang Laknat !”

„Dan siapakah paman guru yang masih dua orang itu?''

„Paman gurumu yang kedua adalah Ho Tiong-ing si Pedang Iblis, sedang yang ketiga adalah seorang wanita.... Bibi gurumu itu bernama Li Siok-gim bergelar Pedang Bidadari. Sedang nama2 Malaekat, Iblis, Bidadari dan Laknat itu merupakan empat serangkai jago pedang dari gunung Busan.”

„Apakah kedua beliau itu juga ........ ?"

„Jika -tidak menggal tentu sudah menjadi orang cacad......!" sahut siorang tua aneh.

„Huahkkk .......!,” tiba2 Gak Lui muntah darah.

Rasa pilu dan geram bercampur aduk mengoyak dadanya.

Namun ia menggerenyutkan gigi dan bertanya: „Siapakah musuh itu....?"

„Entahlah!."

Jawaban itu membuat Gak Lui terbeliak. Se

runya menegas: „Gihu telah menderita luka amat parah, masakan tak dapat mengetahui siapa musuh gihu itu?"

„Aku diserang oleh empat orang yang mengenakan kerudung muka hitam. Benar2 aku tak dapat melihat wajah mereka."

„Masakan Empat Pedang Busan tak mampu menghadapi gerombolan orang bertopeng itu?"

„Ah .... jika Empat Pedang tak bercerai, tak mungkin orang berani menyerang!"

„Jadi, Empat Pedang itu diserang secara terpisah-pisah ......"

„Jangan memutus dulu, dengarkan aku bercerita dari permulaan. Lebih dulu hendak kututurkan tentang suasana perguruanku......."

Gak Lui menumpahkan seluruh perhatian untuk rnendengarkan.

„Sebenarnya bermula kami berempat ini tak saling mengenal. Dan masing2 mempunyai kepandaian sendiri2. Tetapi pada 30 tahun berselang, kami berempat telah diambil oleh Busan It-ho. Karena kami berempat sebelumnya memang sudah memiliki ilmu kepandaian maka guru Busan It-ho menurunkan pelajaran tanpa ikatan guru dengan murid. Tanpa membedakan nama dan asal."

„Masakan sebelumnya kakek guru, tak punya seorang muridpun.......!"

„Seumur hidup beliau hanya menerima seorang murid.”

„Lalu paman guru itu ......?”

„Aku tak tahu namanya dan tak pernah melihat wajahnya. Yang kuketahui, murid itu sudah diusir oleh guru dan tak boleh menggunakan ilmu pelajaran silat ajaran guru untuk selama-lamanya!"

„Oh....!”

„Takut kalau murid itu kelak akan melakukan kejahatan, maka guru telah mengambil kami berempat untuk diberi pelajaran. Agar kelak kami, dapat menundukkan murid itu. Setelah menurunkan kepandaiannya, beliaupun menutup mata. Kemudian kami beranai-ramai mencari murid murtad itu. Asal dia tetap menggunakan ajaran dari guru, segera akan kami berantas!"

„Lalu apakah dapat bertemu?" tanya Gak Lui.

„Selama 10 tahun didunia persilatan tak terdapat orang yang menggunakan ilmu ajaran dari perguruan Busan. Kebalikannya kami Empat Pedang telah tertimpah suatu peristiwa yang tak tersangka-sangka ....... "

„Peristiwa apakah itu?"

„Bibi gurumu Si Pedang Bidadari Li Siok-gim semula oleh guru, telah ditunangkan dengan paman gurumu yang kedua Pedang Iblis Ko Tiong-ing.

Tetapi ternyata bibi gurumu itu lebih mesra hubungannya dengan, ayahmu ...."

„Karena itu paman guru kedua marah'' sambut Gak Lui.

„Tidak.... !"

„Masakan ayahku ...... "

„Juga tidak......!" sahut orangtua aneh itu cepat2.

„Ini ...... benar2.aku tak mengerti."

„Paman guru keduamu, menganggap tindakan guru menetapkan perjodohan itu terlalu ter-gesa2. Dan lagi bibi guru dan ayahmu itu benar2 merupakan sejoli yang pantas sekali. Oleh karena itu dengan dada lapang, paman guru keduamu rela membatakan tali pertunangan. Tetapi ayahmu ternyata juga seorang lelaki perwira. Ia anggap perintah guru tak boleh dilanggar. Pula ia tak mau merampas Cinta orang lain. Maka dia pun menolak maksud paman guru keduamu. Sedang bibi gurumu terombang ambing diantara perintah guru dengan suara hatinya. Aku ...... aku.....”

„Gihu bagaimana....?"

„Aku menyetujui tindakan paman guru keduamu. Karena ayahmu bersikeras menolak, maka timbullah perselisihan hebat. Kumaki ayahmu sebagai lelaki yang tak bertanggung jawab pada cinta yang suci......!"

„Lalu...?”

„Karena malu ditolak cintanya, bibi gurumu marah dan pulang kekampung halamannya. Paman gurumu yang keduapun menghilang tiada ketahuan jejaknya. Ayahmupun pulang kedesanya sedang aku mengembara kegunung Yausan sini untuk membasmi binatang buas tetapi akhirnya aku dipuja dan diangkat mereka sebagai Sin-beng....!"

Sin-beng artinya malaekat.

„Lalu bagaimana dengan ibuku...?”

„Ayahmu adalah putera tunggal dari ketuarga Gak. Dia harus mempunyai keturunan penyambung keluarganya. Maka menikahlah ia dengan Ibumu. Setahun kemudian, lahirlah engkau didunia. Beberapa bulan kemudian lalu timbul peristiwa yang mencurigakan itu!"

„peristiwa mencurigakan ..... ?" Gal Lui mengulang kata2 itu.

„Lalu.....?"

Wajah Pedang Laknat Ji Ki-tek itu menebar merah. Semangatnya tampak agak baik. Diam2 Gak Lui bersukur dulam hati karena mengira ayah angkatnya itu makin baik keadaannya.

„Sejak berpisah pada 20 tahun yang lampau," Pedang Laknat mulai menutur lagi, „tepat pada masa itulah si Maharaja Li Leng-ci sedang menumpas Lima Durjana dunia persilatan. Tugas untuk mengikis habis gerombolan orang jahat lain-lainnya dibebankan pada ke 7 Partai persilatan. Tetapi selama gerakan itu berlangsung, dalam satu dua tahun itu, bebanapa tokoh persilatan yang ternama telah hilang tanpa bekas sehingga menimbulkan kegelisahan dan kecurigaan masing2 partai persilatan."

„Masakan Li cianpwe diam saja ?"

„Sejak menumpas kelima durjana itu, dia lalu mengundurkan diri dari dunia persilatan. Walaupun masih terdengar desas-desus tentang dirinya tetapi tiada seorangpun tahu dimana keberadaanya. Pada saat partai2 persilatan itu kebingungan, tiba2 ayahmu menemukan suatu rahasia. Segera dia suruh suhengmu Gak Ci kegunung Yausan sini memanggil aku."

„Gak suheng? Apakah bukan makamnya yang setiap tahun kujenguk itu ?"

„Benar...! Dan lagi dia sebenarnya masih engkoh misannya sendiri."

Tubuh Gak Lui gemetar, dendam hatinya makin meluap: „Setelah gihu pergi, lalu ?"

„Mendengar penuturan Gak Ci tentang pernikahan ayahmu, hatiku makin penasaran. Maka sengaja ku-ulur waktu dan lebih dulu kusuruh Gak Ci pulang untuk menanyakan hal itu lebih jelas baru datang ke Yausan lagi. Tetapi pada waktu dia datang kemari untuk yang kedua kalinya, dia pun membawa engkau ........”

„Ayah-bundaku......?"

„Rumahmu sudah menjadi tumpukan puing. Ayah dan ibumu tak tampak. Gak Ci menemukan engkau didalam semak belukar diluar desa. Dan ketika membawamu kemari, ia mengetahui bahwa dirinya sedang diikuti orang. Demi menjaga keselamatanku dan dirimu, suhengmu tak mau tinggal disini melainkan terus pergi. Dia hendak gunakan siasat untuk mengalihkan perhatian musuh. Tetapi ah........, anak itu ........     Tak berapa lama turun dari gunung ini, dia telah dibunuh orang .......!''

„Oh......!" menjeritlah Gak Lui meratapi nasib suhengnya yang malang itu.

„Begitu kudengar hal itu, cepat2 aku menuju ketempat kejadian. Tetapi disitu aku dikepung oleh empat orang berkedok hitam. Yang seorang hanya melihati di pinggir, sedang yang tiga menyerang aku. Ternyata ketiga lawanku itu dapat menggunakan ilmu silat dari golongan Tujuh partai persilatan. Karena marah, aku mainkan jurus yang ganas. Dalam tiga jurus kemudian, berhasillah kupapas kutung pedang mereka. Dan dalam kesempatan yang bagus, kukiblatkan pedang untuk menutuk jalan darah pada alis mereka. Tetapi tak terduga ....... "

„Bagaimana'"

„Ujung pedangku tak mempan menusuk muka mereka. Disebelah dalam dari kain kerudung hitam, masih dilindungi dengan topeng baja......!"

„Ah .......”

„Pada saat, ujung pedangku gagal, mereka cepat menabas dengan pedangnya yang sudah kutung. Cepat2 akupun gunakan jurus Burung-rajawali-merentang-sayap, melambung keudara. Tetapi pada saat aku sedang berada di udara, tiba2 terdengar engkau menangis dari dalam ruangan! Karena perhatianku terpencar, pedang mereka berhasil memapas kutung kedua kaki dan tanganku ........... !"

Karena dadanya penuh sesak dilanda luapan kemarahan, Gak Lui sampai tak dapat mengucap apa2.

Dengan wajah mengerut kenangan waktu lampau yang celaka itu, Pedang Laknat Ji Ki-tek melanjutkan ceritanya lagi.

„Melihat aku rubuh ditanah, ketiga orang bertopeng besi itu tak mau menyerang lagi. Tetapi orang yang melihat dari pinggir gelanggang tadi rupanya takut kalau aku belum mati. la bergegas lari menghampiri dan secepat kilat menusuk tenggorokanku. Tetapi pada saat ujung pedangnya berkilat ditingpah sinar matahari saat itu, kulihat ....... kulihat........"

„Melihat apa....? "

„Pada ujung pedangnya terdapat guratan huruf Sepuluh (berbentuk:pulang)! Lukisan itu merupakan ciri khas yang terdapat pada pedang ayahmu"

„Hai........'' Gak Lui menjerit kaget. Kemudian ia menyadari, kata2 nya: „Jelas lukisan huruf 10 itu, adalah ciri senjata dari musuh ayah. Gihu suruh aku memapasi pedang orang karena hendak menyelidiki jejak musuh itu, bukan?"

„Dugaanmu tepat ........."

„Tetapi ternyata aku tak berhasil menemukannya, kelak aku ........"

„Justeru untung engkau tak bertemu. Jika ketemu dengan orang itu .......ah, dosaku makin, besar........!"

Gak Lui terkesiap.

Mulutnya mengingau seorang diri: ,,Aku tentu dapat mencarinya ..... aku......."

„Lui jangan memutuskan omonganku. Aku masih belum selesai ber-cerita..... !"

Gak Lui tersadar dan bertanya pula : „Pada waktu gihu terluka, bagaimana dengan pengawal2 orang Yau itu?"

„Untunglah mereka keburu datang pada saat yang tepat. Dengan alat2 supit panah beracun, mereka memaksa kawanan orang berkerudung itu mundur. Tetapi orang yang hendak membunuh aku itu terlambat menjaga diri. Sebatang panah beracun dari orang Yau berhasil mengenai ujung hidungnya!"

„Mati ?"

„Orang itu tangkas sekali. Cepat ia memapas hidungnya sendiri karena tahu. bahwa panah orang Yau itu beracun. Habis itu iapun segera meloloskan diril"

„Si Hidung Gerumpung! Topeng Besi! Hmm......, mereka tak mungkin lolos!" Gak Lui menghela na-pas.

„Gihu tadi mengatakan," kata Gak Lui pula „ bahwa ketiga orang bertopeng besi itu masing2 berasal dari partai persilatan besar. Dari partai manakah mereka itu sesungguhnya? "

Pedang Laknat Ji Ki-tek terkesiap. la gelenglcan kepala : „Pokok asal partai pesilatan yang ternama dalam ilmu pedang, tak perlu menyebutkan namanya ......!"

„Me .......mengapa ?"

„Setelah merenungkan selama 18 tahun, kuyakin pembunuh yang sebenarnya adalah si Hidung Gerumpung itu. Tentang ketiga orang bertopeng besi itu, masih belum, dapat dipastikan."

„ Artinya.... ?"

„Karena begitu melihat aku rubuh ditanah, mereka berhenti menyerang. Hal itu memang mengherankan "

„Tak ada hal yang patut diherankan, Pendek kata mereka adalah gerombolan mariusia2 murtad, harus dilenyapkan ....... !"

„Belum tentu....! Jika manusia murtad, masakan mereka tak sampai hati membunuh aku.... Hanya bagaimana persoalan yang sesungguhnya memang aku belum dapat menilai ........!"

„Gak Lui berduka sekali hatinya. Ia mengeratkan gigi sekeras-kerasnya: „Ayah, ibu ...... bibi guru, paman guru, engkoh Ci ........aku bersumpah hendak menuntut balas pada manusia yang telah menganiayamu itu .........”

Terkesiaplah Pedamg Laknat Ji Ki-tek mendengar sumpah yang diikrarkan Gak Lui.

Dari sepasang matanya memancarlah sinar dendam yang ganas.

Tiba2 halilintar meletus dahsyat. Gedung seolah-olah tergetar.

„Lui..!, habislah ceritaku. Engkau harus meluluskan syaratku" kata orangtua itu.

„Silahkan gihu mengatakan, aku tentu akan melaksanakannya!"

„Bagus, itulah baru seorang anak yang baik" puji Ji Ki-tek, sekalipun kepandaianmu masih kurang tetapi diwilayah Yausan sini engkau, sudah tergolong tokoh nomor satu.

Setelah aku mati, warisilah kedudukanku disini. Jangan engkau turun gunung selama-lamanya, agar kelak engkau dapat menurunkan anak penyambung keluargamu!"

„Ini...., ini....." hampir2 Gak Lui tak percaya apa yang didengarnya dari mulut orangtua itu, „Ini ... tak dapat kulaklanakan, aku harus pergi"

Pedang Laknat membentak marah: „Tidak......!”

Dengan kepandaian yang engkau miliki saat ini, berarti hendak bunuh diri jika engkau mau cari musuh itu pula kedua orangtuamu, bibi dan paman gurumu, belum tentu sudah meninggal tetapi hanya menyembunyikan diri dari kejaran musuh itu. Engkau...... engkau perlu apa ........ "

Gak Lui cepat memeluk ayah-angkatnya itu. Dengan berlinang-linang airmatanya ia berseru : „ Janganlah gihu membohongi aku. Ketahuilah, Gak Lui tak takut mati ......! "

„Tidak ....! Aku tak mengidinkan engkau menempuh bahaya lagi.....!"

„Aku takkan menyebut-nyebut asal usulku, dan tetap menggunakan kerudung muka. Dengan mengandalkan sebatang pedang ......... "

„Ilmu pedangmu adalah ajaranku. Musuh tentu akan mengenalinya ......!"

„Gihu, selamanya aku tak pernah melanggar peintahmu. Tetapi kali ini, aku hendak mengambil keputusan sendiri.......," tiba2 ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat situ tiba-tiba ayah angkatnya muntah darah dan darahnya menyembur kemukanya.

Maka Gak Lui basah kuyup dengan darah segar .......

Karena menahan kemarahanlah maka Pedang Laknat sampai menghambur darah lagi. la tundukkan kepala, napas terengah-engah, serunya : „Engkau . . . bersikeras hendak........pergi.

„ Aku hendak membalaskan sakit hati orang tuaku !" seru Gak Lui dengan tandas.

Tahu bahwa takkan berhasil jika mencegah kehendak anak itu. Pedang Laknat Ji Ki-tek paksalkan diri mengangkat kepala. Lalu berkata dengan terengah-engah : „ Kalau begitu ... pergilah....... lebih dulu .... ke ...... "

„Kemana? " teriak Gak Lui.

„Butong-san ..... mencari .......mencari ......"

„Mencari siapa ? "

„Mencari ....... ketuanya ..... Ji Ih totiang ..... tanya ... . tanyakan ..... ,"

„Tanya apa......?"

Tiba2 kepala Pedang Laknaat Ji Ki-tek terkulai.

Dari ketujuh lubang inderanya, mengalir darah.

Orangtua itu sudah meninggal dalam cengkeraman dendam penasaran ........!

Gak Lui lepaskan pelukannya dan duduk numprah ditanah.

Kedua matanya terlongong-longong memandang kehampaan.

Mulutnya terkancing rapat.

Dia tak menangis, tak menyerang.

la rasakan sekeliling penjuru alam ini hampa, kosong melompong....

Entah berselang berapa lama, tiba2 dipelupuk matanya terlintas beberapa sosok tubuh orang ...... ayah angkatnya .... suhengnya yang mati secara mengenaskan itu ....... ayah-bundanya yang tak ketahuan rimbanya .... dan bibi guru serta paman gurunya .........

Wajah mereka kelihatan samar2 berlumuran darah yang mengerikan.

Darah ....! Seketika terjagalah Gak Lui dari lamunan duka-nestapanya.

---oo0oo---

BAB 02
CATUR PEDANG

„SIAPAKAH geragan si Hidung Gerumpung? Mengapa mereka mencelakai Catur Pedang, atau empat jago pedang dari Busan. Dan mengapa pula menawan beberapa tokoh partai persilatan? Dan siapakah pula gerombolan Topeng Besi itu? Apakah mereka murid2 murtad dari partainya atau memang sudah dikuasai oleh si Hidung Gerumpung itu ......... ?”

Demikian pikiran Gak Lui melalu-lalang dugaan dan tafsiran. Benaknya melamun dan melayang jauh .     ............!

Tiba2 dalam lamunan itu, muncullah tiga orang bertopeng besi.

Mereka tertawa dingin macam iblis menyeringai ........... Pada lain saat, terbayanglah sebuah wajah yang aneh menyeramkan.

Dibagian - tengah dari wajah orang itu, berlubang besar sehingga tak ada hidungnya.

„Heh...., heh......"orang gerumpung tertawa mengekeh.

„Sedang Catur Pedang dari Busan saja, dapat kubasmi apalagi bocah kemarin sore seperti macammu. Engkau hendak mengantar jiwa bukan? Ha... ha... ha . . ha....!"

Gak Lui marah sekali.

Dengan sekuat tenaga ia meraung: „Kubuauh engkau.......!"

Tring ... ia mencabut pedang dan disabetkan pada orang gerumpung itu.

Tetapi astaga! Orang gerumpung itu menghilang, dan iapun hanya menebas angin saja.

Seketika ia tersadar bahwa saat itu dirinya sedang berdiri didepan makam ayah angkatnya, Pcdang Laknat Ji Ki-tek.

Ternyata karena tak kuat menahan luapan marah dan kesedihan, Gak Lui jatuh pingsan.

Selagi ia masih belum sadar, orang2 Yau itu segera mengubur jenazah Pedang Laknat.

Dan saat itu, Gak Lui sedang berdiri menyembahyangi makam ayah angkatnya.

Tetapi karena teringat akan peristiwa sakit hati seperti yang diceritakan ayah-angkatnya, kembali benak Gak Lui terkenang dan terbenam dalam lamunan seperti diatas.

„Ah......., " ia mengerang ketika tersadar akan keadaan disekelilingnya.

Yang hendak dibunuhnya tadi adalah tokoh gerumpung menurut ciptaan khayalannya belaka.

Seorang wakil orang Yau maju menghampiri, ujarnya: „Sekarang engkau meniadi Malaekat pelindung suku Yau, harap lekas ..........”

........ Gak Lui menyimpan pedangnya lalu menyahut dalam bahasa Yau : „Terima kasih atas budi dan kecintaan kalian, tetapi aku harus pergi ke Tiong-goan ! "

„ Apakah bisa balik kembali kemari ?"

„ Setelah berhasil, sudah tentu aku akan kembali lagi ......" Gak Lui tak dapat melanjutkan kata2nya karena seluruh suku Yau yang hadir di muka makam Pedang Laknat, serentak berlutut memberi hormat kepada anak muda yang diangkatnya sebagai Malaekat Pelindung itu.

Kemudian dengan kata2 yang tandas, Gak Lui berdoa dihadapan nisan Pedang Laknat :

„Gak Lui hendak mohon diri. Aku berjanji pasti dapat mencari ilmu kesaktian yang tiada tandingannya didunia. Dengan ilmu kepandaian itu aku akan menuntut balas kepada musuh kita. Setelah itu aku akan kembali lagi kesini dan akan membuka kedok mukaku ini dihadapan nisan gihu. Harap gihu mengasoh dengan tenang di alam baka........"

---oo0oo---

Badai Prahara sudah reda tetapi langit masih, tertutup awan hitam........ rembulan dan bintang tak tampak sama sekali.

Dibawah sinar api obor, tampak berpuluh-puluh orang Yau meninggalkan makam Pedang Laknat.

Setelah menunaikan hormat mereka yang terakhir kepada Malaekat Pelindungnya, merekapun berbondong-bondong masuk kedalam hutan.

Gak Luipun pergi dengan membekal dendam penasaran.

Dengan sebilah pedang, ia hendak berkelana mencari guru sakti.

Mungkin dalam perkelanaannya itu ia akan mengikat lebih banyak musuh dan lebih besar lagi dendamnya.

Namun baginya, tujuan hidup hanyalah hendak membalas sakit hati terhadap musuh yang telah membunuh ayah-bunda, suheng dan ayah angkatnya itu ...........

la arahkan langkahnya menuju kegunung Busan untuk menemui ketua Bu-tong-pay.

Selama dalam perjalanan itu tak pernah ia berhenti merenung dan memikirkan, apa tujuan ayah-angkatnya itu menyuruh dia menemui ketua Bu-tong-pay.

Dan hal apakah yang harus ditanyakan pada ketua partai itu nanti ?

„Mungkin disuruh menayakan tentang jejak ayahku, mungkin tentang siapa2 murid Bu-tongpay yang lenyap ......" demikian ia menimang dan menduga- duga kelanjutan kata2 yang belum sempat diucapkan oleh Pedang Laknat karena sudah keburu menghembuskan napas.

„Ah....., percuma menduga-duga. Nanti saja kalau sudah bertemu dengan Ji Ih totiang, baru bilang ...... " akhirnya ia menetapkan rencananya.

Sekonyong-konyong, terdengar suara bentakan yang njaring melengking: „Berhenti! Disini tempat terlarang bagi setiap pengunjung."

Gak Lui berhenti.

Memandang kemuka, barulah ia menyadari bahwa saat itu ia sedang berhadapan dengan sebuah sumber air yang mengalir dari suatu gundukan karang yang tinggi.

Pada dinding karang raksasa itu terdapat tulisan tiga huruf „Ciat-kiam-coan" atau sumber air Pelecut Pedang.

„Seorang imam muda berumur lebih kurang 20-an tahun, tegak berdiri disamping sebuah batu. Dengan menghunus pedang, imam muda itu memandang Gak Lui tajam2.

,,Aku bernama Gak Lui, sengaja datang mengunjungi gunung ini. Aku bukan seorang pelancong," Gak Lui memberi keterangan.

Imam muda itu memperkenalkan diri sebagai imam Lian Ti.

Kemudian ia menanyakan siapakah yang hendak dicari Gak Lui.

„Ketua Bu-tong-pay .......... "

„Ah ........." imam muda itu memandang kearah kedok muka aneh yang menutupi wajah Gak Lui, lalu menegas: „Apakah saudara sudah kenal dengan ketua kami?"

„Belum kenal," sahut Gak Lui, „seorang cian-pwe yang menyuruh aku kemari."

„Mohon tanya, siapakah guru saudara?"

„Maaf tak dapat kuberitahukan."

„Dari partai persilatan mana saudara berasal?"

„ini ...... ini juga maafkan sajalah," Gak Lui agak tersekat-sekat.

„Ada keperluan apakah saudara hendak menemui kutua kami?" tanya imam itu pula.

,,Ah, maaf, tak leluasa kukatakan. Kumohon suhu suka melaporkan kedatanganku ini kepada Ji Ih totiang........."

„Heh...., heh......!" imam muda itu tertawa dingin sehingga ucapan Gak Lui terputus,

,,Mengapa suhu tertawa?" tegur pemuda itu. "Kakek guru Ji lh totiang sudah menutup mata belasan tahun berselang, tak kira saat ini masih ada orang yang hendak mencarinya!"

Gak Lui terbeliak.

Kini baru ia menyadari bahwa karena ayah angkatnya sudah lama tak campur urusan dunia persilatan, maka akibatnya sekarang ia ditertawakan orang.

„Kalau begitu aku hendak minta bertemu dengan ketua yang sekarang," kata Gak Lui akhirnya.

Bukan menjawab, kebalikannya imam muda itu malah balas bertanya: „Saudara ini dari aliran Ceng-pay (putih) atau Sia-pay (hitam) atau mungkin baru saja keluar dari perguruan sehingga tak mengerti peraturan "

Gak Lui tertegun.

Beberapa saat kemudian baru ia berkata: „Apakah arti ucapan suhu itu?"

„Perguruan kami Bu-tong-pay, sejak kakek guru menutup mata, sampai sekarang sudah 15 tahun menutup pintu tak berhubungan dengan dunia persilatan lagi.

Ketua yang sekarang, Ceng Ki Totiang masih menjalankan aturan menutup pintu tak berhubungan dengan dunia persilatan lagi, dan tentu kami akan melaksanakannya, kecuali ada perubahan untuk menghapus aturan tersebut. Denikian imam Lian Ti menjelaskan kepada Gak Lui, dan dia mengajukan pertanyaannya pada Gak Lui, katanya : „Sebenarnya tugas apa yang sedang sicu kerjakan, sampai harus sicu mencari Ketua kami ......?”

Gak Lui menjadi menjelaskan, bahwa dia mendapat tugas seorang cianpwee untuk mengambil potongan2 ujung pedang dari tokoh2 ahli pedang di dunia persilatan ..............” baru sampai Gak Lui menjawab .... dia sadar telah kelepasan omong ......... karena sebelumnya dia tidak memberi penjelasan mengenai maksud kedatangannya ke Butong-pay, selain ingin bertemu dengan Ketua-nya saja.

Mendengar sepotong penjelasan Gak Lui saja, telah membuat para penjaga disitu, terbeliak dan cepat merobah kedudukannya, mengepung anakmuda itu.

Dan pada saat itu barulah terdengar imam Lian Ti berseru dengan nada penuh keheranan: „Si Pemangkas Pedang yang menggemparkan dunia persilatan itu........ apakah engkau?"

„Tak salah!" sahut Gak Lui dengan terus terang, Hwat Lui tojin dari perguruan sini, tentu masih ingat."

„Oh....., kiranya paman guru Hwat Li juga ........” baru imam Lian Ti berkata sampai disitu, tiba2 dari atas puncak gunung terdengar genta ber-talu2 dengan keras.

Lian Ti dan kawan2nya serentak berobah pucat –wajahnya.

Rupanya diatas gunung telah terjadi peristiwa yang genting.

Kesempatan itu digunakan Gak Lui untuk menganjurkan: „Dari pada mencegat aku, apakah tidak sebaiknya suhu melapor kepada ketua!"

‘Lian Ti’ merenung sejenak lalu menjawab: ,,Baik, tunggulah disini"

Habis berkata ia terus lary keatas.

Sedang ketujuh kawannya masih tetap mengepung Gak Lui.

Gak Luipun menurut.

Saat menunggu Gak Lui itu diam2 : „menimang-nimang bagaimana nanti ucapannya apabila berhadapan dengan ketua Bu- tong- pay”

Tak lama tampak beberapa sosok bayangan berlarian turun dari puncak.....

Yang paling depan, seorang imam berwajah bundar, mulut lebar, memelihara jenggot panjang.

Dia bukan lain tokoh Bu-tong-pay angkatan kedua yani imam Hwat Lui.

Karena pernah bertempur dan pedangnya terpangkas, kutung oleh Gak Lui, begitu berhadapan dengan pemuda itu, Hwat Lui terperanjat sekali.

Hwat Lui segera membisiki imam muda Lian Ti dan kawan-kawannya yang menjaga di sumber air situ.

Setelah Lian Ti dan ketujuh imam pergi, barulah imam Hwat Lui berkata kepada Gak Lui dengan nada tegang: „Ah, kiranya engkaulah yang bernama Gak Lui. Tempo hari, engkau pergi keliwat cepat "

„Soal memangkas pedang, ada sebab lain. Adakah suhu masih mengingat hal itu?" sahut Gak Lui.

Hwat Lui tojin terpaksa tertawa: „Karena engkau datang kemari, maka engkaupun. menjadi tetamu kami. Soal memangkas pedang itu, baik jangan diungkit dulu !"

"Oh ....." karena tak mengira bahwa peristiwa diterima dengan mudah dan cepat oleh Hwat Lui, Gak Luipun mendesus kaget, ia menegas pula : „Apakah suhu benar-benar sudi merima aku?”

„T adi dari sanggar pertapaannya, ketua telah mengeluarkan perintah : Butong- san akan menghapus tindakan Menutup pintu. Maka aku turun kemari untuk menyambut kedatanganmu!"

Gak Lui makin terkejut, serunya: „Dengan begitu, dapatlah aku menghadap ketua Ceng Ki totiang?"

„Ketua hanya memberi perintah membuka larangan datang ke gunung. Yang akan menerima engkau adalah imam yang berpangkat Hou-hwat!”,,Siapakah suhu itu?" tanya Gak Lui.

,.Adik seperguruan dari ketua, yalah Ceng Suan totiang. Beliaulah yang mengurus segala pekerjaan digunung ini!"'

Sejenak merenung, Gak Lui menyatakan persetujuannya dan minta segera, dibawa keatas.

Imam Hwat Lui segera mengajaknya naik kepuncak.

Tak berapa lama, tampak beberapa gunduk bangunan.

Yang paling tengah, adalah sebuah bangunan yang dinamakan Sam-hong-tian, yaitu sebuah gedung besar yang luas untuk latihan silat.

Kira-kira seratus tombak jauhnya disebelah kiri gedung latihan silat itu, terdapat gedung Hian bu-gek. Sebuah tempat yang penting juga.

Saat itu diluar gedung Sam-hong-tian, tampak berbaris berpuluh-puluh murid Bu-tong-pay. Sikap mereka seolah-olah seperti, sedang menunggu serbuan musuh yang kuat!

Yang berdiri ditengah, seorang imam tua berumur 60-an tahun.

Kepala dan lehernya besar, wajah memancar kewibawaan.

Dia adalah Ceng Suan totiang, imam yang menjabat sebagai Hou-hwat atau Pelindung Gereja dari Bu-tong-san.

Dibelakang terdapat dua imam yang lebih muda yani Hwat Tian dan Hwat Ting, Keduanya sederajat dengan Hwat Lui totiang, yalah termasuk murid angkatan kedua dari Bu-tong-pay.

Melibat2 dirinya disambut oleh tokoh2 Butong-pay yang sakti, mau tak mau Gak Lui gentar juga hatinya.

Setelah Hwat Lui totiang memperkenalkan pemuda itu kepada paman gurunya, Ceng Suan totiangpun berkata : „Kudengar Gak sicu menggemparkan dunia persilatan atas tindakan sicu memangkas ujung pedang, setiap lawan.

Dengan maksud apakah sicu berkunjung kemari?"

„Ah, kabar itu terlalu dibesar-besarkan. Tentang persoalan memangkas ujung pedang, memang ada sebabnya, " jawab Gak Lui.

„Soal itu nanti saja sicu boleh menerangkan lagi, yang penting harap sicu suka mengatakan maksud kedatangan sicu ini, " kata Ceng Suan.

Sicu adalah sebutan yang diucapkan oleh kaum paderi atau imam kepada tetamu atau orang luar.

„Kedatanganku ini adalah melaksanakan petunjuk dari seorang cianpwe untuk meminta petunjuk tentang beberapa soal. "

„ Silahkan ! "

Diam2 Gak Lui menimang.

„Jika langsung menanyakan tentang peristiwa yang menimpa ayahnya, ia kuatir akan menimbulkan kehebohan. Lebih baik ia bertanya dulu tentang urusan dalam perguruan Bu-tong-pay.”

„ Mohon tanya, totiang. Siapakah tokoh partai totiang yang telah lenyap pada 20 tahun yang lalu? Adakah sudah diketahui beritanya? " Gak Lui mulai mengajukan pertanyaan.

Mendengar itu seketika menggigillah tubuh Ceng Suan totiang.

Serentak ia memerintahkan para anakmurid menyingkir.

Setelah rombongan murid Bu-tong-pay ini mundur sampai 10 tombak jauhnya, Ceng Suan totiang segera menatap Gak Lui lekat2. Seolah-olah imam tua itu hendak menyelami isi hati Gak Lui.

Tetapi muka Gak Lui tertutup oleh topeng warna hitam yang berbentuk aneh.

Pada bagian mulut diberi lubang empat pesegi.

Waktu bicara gigi Gak Lui dapat terlihat.

Sedang pada bagian mata, pun diberi lubang.

Dari kedua lubang mata itu tampak biji mata sianak muda berkilat-kilat memancarkan sinar tajam sekali.

Beberapa saat kemudian barulah penjabat ketua partai Bu-tong-pay itu berkata dengan nada serius : „Harap sicu suka mengatakan perguruan sicu lebih dulu baru nanti dapat kupertimbangkan, dapat memberi jawaban atau ti dak ! "

„Ini .... maafkan. Benar2 aku tak dapat memberitahukan !" sahut Gak Lui.

Apakah engkau dapat membuka kedokmu ?"

„ Akupun sudah melakukan sumpah sehingga tak dapat membukanya."

Wajah Ceng Suan totiang menampil ketidak puasan.

Serunya dingin : „Karena sicu menolak permintaanku untuk memberitahu asal perguruan sicu, bagaimana sicu meminta aku supaya menjawab pertanyaan sicu tadi ? "

„Tetapi totiang tentu luas pengalaman. Dapat membedakan antara orang jahat dengan orang baik. "

„Dunia persilatan penuh beraneka ragam kejahatan dan kelicikan. Apalagi hati orang sukar diduga. Dan mengingat umurmu baru diantara 20an tahun tetapi menanyakan tentang peristiwa yang telah terjadi pada 20 tahun berselang, makin menimbulkan kecurigaan orang ! "

„Demi menyelidiki peristiwa yang aneh itu, terpaksa aku harus membicarakan peristiwa yang lampau ! "

Jawaban Gak Lui itu membuat Ceng Suan totiang berkilat-kilat matanya.

Secepat kilat mengarahkan pandangan matanya ke mata Gak Lui.

Ia berkata : „ Baik, dengarkan !"

„ Silahkan. "

„Yang lenyap itu adalah suteku, sampai sekarang belum ada beritanya ! „

„Ah......, rupanya totiang bertiga adalah Tiga Serangkai dari Butong pada masa itu !" seru Gak Lui.

„Benar, tetapi gelar itu kini sudah tak berguna lagi. "

Gak Lui mengangguk.

Wajahnya agak kecewa.

Tetapi ia berlaku setenang mungkin sehingga Ceng Suan totiang merasa heran.

Oleh karena sesungguhnya dengan keterangan tadi ia hendak menyelidiki reaksi anak muda itu.

Dari reaksi itu dapatlah ia menentukan golongan Putih atau Hitamkah pemuda itu.

Sejenak kerutkan alis, imam tua itu bertanya : „ Apakah sicu masih ada lain pertanyaan lagi ?

Aku mohon bertemu muka dengan ketua partai Bu-tong-san, " kata Gak Lui.

Suheng masih menjalankan pertapaan, tak dapat menerima tetamu !"

,, Jika aku tetap minta bertemu?"

Seketika marahlah imam dari Bu-tong-san itu.

Tetapi ia menahan kemarahannya dan berkata : „ Akulah yang menjabat pimpinan perguruan. Suheng tak mau mengurus apa2 lagi.

Disamping itu, akupun juga ingin mengajukan pertanyaan, harap sicu suka menjawab ! "

„Silahkan totiang bertanya."

,,Apakah hubungan sicu dengan tokoh yang bergelar si Raja Persilatan itu?"

,,RAJA PERSILATAN ........... ?” Ah........, tak pernah kudengar nama itu. Yang kuketahui hanya seorang tokoh bergelar Maharaja Persilatan Li Liong-ci ....." Ceng Suan totiang terkesiap, serunya: „Apakah sicu mempunyai hubungan dengan Maharaja itu?"

,,Tidak....! Hanya mendengar namanya saja"

Sikap Ceng Suan totiang berobah tenang kembali lalu bertanya pula: „Kalau sicu tak tahu tentang Maharaja Persilatan, tentulah sicu juga tak mengetahui tentang peristiwa pembunuhan atas diri tokoh-tokoh persilatan yang telah menerima Amanat Maut!”

Gak Lui terbeliak.

Serentak ia bertanya: „Peristiwa itu benar2 aku tak tahu. Pertanyaan totiang sungguh janggal bagiku "

„Maharaja Persilatan, Amanat Maut dan peristiwa engkau memapasi pedang lawan, terjadi pada waktu yang bersamaan. Dengan keterangan tadi, kiranya engkau tentu dapat menarik kesimpulan sendiri !"

Gak Lui memekik kaget. Diam2 ia merasa, sepak terjang Maharaja Persilatan dengan urusan dendam pembalasan yang hendak dilaksanakan itu, mempunyai tali hubungan.

Melihat Gak Lui terkejut, Ceng Suan totiang mendesak Iagi: „Lekas terangkan, bagaimana hubungan yang sebenarnya!”

Gak Lui balas memandang tajam, sahutnya : „Ketika tempo hari mengutungi pedang orang, aku sangat terburu-buru sekali sehingga tak sempat menyelidiki hal itu. Aku sendiripun curiga terhadap Maharaja dan Amanat Maut.

„Harap totiang suka maklum persoalannya !”

„Apakah engkau minta aku supaya menerangkan ?"

„Benar ! "

Ceng Suan totiang sejenak merenung, lalu berkata: „ Baiklah ! Tapi ada beberapa hal yang perlu kukatakan lebih dulu. "

„ Silahkan. "

„ Nanti aku hendak menguji ilmu kepandaianmu, barang beberapa jurus saja!”

„ Itukah syarat totiang? "

„Entah apa namanya, tetapi yang penting agar engkau jangan menganggap remeh pada partai Bu-tong-pay!”

„Baiklah, aku sedia menuruti, harap totiang suka menerangkan asal usul si Maharaja itu!”

„.Siapa namanya tak jelas, begitupun tak seorang yang pernah melihatnya!”

„ Seorangpun tak ada?," Gak Lui menegas.

„.Mungkin hanya tokoh2 sudah mati dibunuhnya, itulah yang pernah melihatnya.

Tetapi yang masih hidap, tak pernah ada yang melihatnya !."

„Siapa2 saja yang dibunuhnya itu? "

„Semuanya dari tokoh golongan Putih, dan mereka dibunuh bersama seluruh anggota keluarganya!"

„Bagaiman dengan Amanat Maut itu ?"

,,Orang itu kejam dan ganas sekali, serta luar biasa congkaknya. Selain menamakan dirinya sebagai Maharaja Persilatan, pun dalam surat yang dikeluarkannya itu, dia tak mau menggunakan istilah „persilatan” atau „maklumat" tetapi menggunakan istilah „amanat". Barangsiapa yang menerima dan tak mau menyerah tentu akan dibasmi bersama seluruh keluarganya !"

„Adakah tokoh2 yang menerima-surat itu, tiada ada yang menyerah ?”

„Sudah tentu, ada, tetapi sukar diketahui siapa”

„Dengan begitu, surat itu merupakan ancaman yang menyerah, tetap hidup, dan yang menentang pasti mati!"

„Benar!" sahut imam tua itu lalu tertawa me-ngekeh, penuh hamburan nada kemarahan.

„Mengapa totiang tertawa ?"

Tiba2 Ceng Suan totiang hentikan tawanya, wajahnya membeku dingin, ujarnya : „Aku mentertawakan ucapanmu itu. Sepatahpun tak salah .......!”

„Harap totiang suka bicara dengan terus terang. Pada Amanat Maut itu, selain bertanda tangan Maharaja Persilatan, hanya terdapat 8 huruf berbunyi 'Yang menyerah, pasti hidup. Yang menentang pasti...... mati !’

„Oh......!, totiang mencurigai aku ............. "

„Yang menimbulkan kecurigaan, bukan hanya itu saja. Hunuslah pedangmu!"seru Ceng Suan totiang.

Melihat imam itu berkeras mencurigai dirinya, Guk Lui tak dapat berbuat apa2 lagi.

Sambil meraba tangkai pedangnya, ia memandang kesekeling penjuru.

Berpuluh-puluh murid Bu-tong-pay masih tegak berjajar pada jarak jauh

Mereka jelas belum menerima perintah membubarkan diri.

Diam2 Gak Luipun mengadakan penilaian.

Bahwa ia masih cukup kuat untuk menghadapi penjabat ketua Butong-Pay itu.

Ruang Hian-bu-khek yang tinggi hampir sama dengan bangunan tiga tingkat, tampak sepi2 saja.

Sebaliknya diruang Sam-hong-tian tampak berserabutan beberapa sosok tubuh.

,,Awas, pedang?" seru Gak Lui berseru Iantang dan menusuk kedada Ceng Suan totiang.

Ceng Suan mendengus pelahan.

Iapun balas menusuk.

Diam2 Gak Lui girang.

Segera ia taburkan pedang membentuk lingkaran sinar dan secepat kilat membabat pedang lawan, tring......, tring .......

Namun Sudah 10 lingkaran sinar pedang telah dihamburkan, lawan tetap masih utuh pedangnya.

Ternyata tetua Bu-tong-pay itupun juga mememutar pedang jadi lingkaran sinar jang mengandung pancaran tenaga-dalam bagai banjir melanda.

Diam2 Gak Lui terkejut.

Ia menyadari bahwa dengan cara bertempur itu, bukan saja ia pasti tak dapat memangkas kutung senjata lawan, tetapi pun kebalikannya, pedangnyalah yang akan terbabat jatuh !

Sekonyong-konyong Gak Lui endakan pedang lalu berganti gerak, tahu2 ia berputar dan menyurut mundur.

Tring ...... terdengar dering senjata pedang beradu keras, tetapi tahu2 Gak Lui sudah mundur keluar jendela.

Ceng Suan loncat mengejar.

Ujung pedang dibabatkan kebawah mengarah kaki.

Tetapi Gak Luipun bukan makanan empuk.

Ia menarik pulang pedangnya, lalu enjot tubuh melambung ke udara.

Tabasannya luput, Ceng Suan totiang mendengus.

Kemudian ia robah gerakan pedangnya dalam jurus Menurut-air-mendayung-rakit.

Ujung pedangnya kembali mengarah telapak kaki pemuda itu.

Tetapi dalam melambung di udara itu, punggung Gak Lui seolah-olah tumbuh matanya.

Tring ........ ia tangkiskan pedangnya.

Dengan meminjam tenaga benturan pedang itu, ia melayang turun tiga tombak jauhnya lalu tegak berdiri bersiap.

Da1am waktu sekejab mata, keduanya saling melancarkan serangan.

Dan kedua-duanya sama terperanjat !

Gak Lui gunakan jurus istimewa untuk memangkas pedang lawan.

Ia yakin tentu berhasi!

Tetapi ternyata imam itu dapat menghalau dengan lancar.

Sedangkan Ceng Suan pun tak kurang kejutnya.

Dengan peyakinan tenaga-dalam selama berpuluh tahun dan sudah bersiap, lebih setelah menerima laporan dari Hwat Lui, namun ternyata lawan yang masih muda belia itu sanggup menghahadapi tak kurang suatu apa!

Kemudian mereka melanjutkan pertempurar lagi.

Ceng Suan totiang mengeluarkan ilmu simpanan dari partai Bu-tong-pay.

Ia, menyerang dulu, mendahului gerakan lawan.

Pedangnya segera berobah menjadi dinding sinar pedang yang menelungkupi lawan.

Sasaran utama diarahkan kemuka pemuda itu.

Gak Lui tak berani lengah.

Dengan mengeluarkan seluruh kepandaian, ia melawan mati2an.

Pada saat dua lingkaran pedang itu saling...... bertaut dengan seru disertai dering gemerincing yang nyaring, tiba2 Ceng Suan mendapat kesempatan untuk menusukkan ujung pedangnya.

Cret........!, dagu Gak Lui tertusuk . . . .

Pemuda itu terhuyung-huyung lima langkah.

Peluh dingin mernmbasahi tubuhnya: Sambil meagarahkan ujung pedang kemuka, ketua Bu-tong-pay itu berseru marah: ,,Mata2 Maharaja yang berani mati, lekas buang senjatamu dan menyerah!"

,,Harap totiang jangan bicara sembarangan."

„Hm, jelas engkau salah seorang dari gerombolan Topeng Besi itu. Apakah masih hendak menyangkal?"               .

,,Topeng Besi....?!” Gak Lui tergetar hatinya.

Dia sendiri juga tak senang dengan sepak terjang tokoh yang mengagulkan diri sebagai Maharaja Persilatan itu.

Tetapi karena Ceng Suan to-tiang terus memburunya dengan serangan2 yang dahsyat, terpaksa ia harus melayani lebih dulu.

Kini karena ada kesempatan bicara, segera ia berseru menjelaskan.

,,Sama sekali aku bukan anggauta Topeng Besi! Harap totiang jangan salah faham ........ "

„Topengmu itu tak tembus senjata tajam, apakah artinya itu?" seru Ceng Suan totiang.

,,Dipedalaman gunung terdapat semacam binatang aneh yang dinamakan Mogh, sejenis oranghutan yang mempunyai kulit luar biasa kerasnya dan bertenaga kuat sekali. Topengku ini terbuat, daripada kulit binatang itu ...."

Setengah, kurang percaya, Ceng Suan totiang berkata dengan nada dingin: ,,Tak peduli bagaimana, engkau tetap kutahan disini?"

,,Tetapi,aku hendak mencari gerombolain Topeng Besi dan Maharaja untuk membuat perhitungan ! "

Hm .... ! " Ceng Suan mendengus marah dan menyerang lagi.

Karena tak senang terlibat dalam pertempuran di tempat itu, Gak Lui loncat dan meluncur turun gunung.

„ Cepat hadanglah! " teriak Ceng Suan totiang.

Hwat Lui dan rombongan anakmurid Butong-pay segera berhamburan menjaga tempat2 yang penting.

Gak Lui terkejut.

Sejenak memandang kesekeliling, matanya yang tajam ...... segera melihat bahwa gedung Hian-bu-khek itu sepi tiada orangnya.

Dibelakang geduang itu merupakan puncak gunung.

Ia memutuskan untuk lari ke puncak itu kemudian turun dari sebelah belakang lereng gunung.

Maka tiga jurus serangan segera dilancarkan kearah Ceng Suan totiang.

Kebetulan penjabat ketua Bu-tong-pay itu kuatir kalau pedangnya terpapas kutung, maka ia menghindar kesamping.

Kesempatan itu tak disia-siakan Gak Lui.

Secepat kilat ia menyelinap lari kearah gedung Hian-bu-khek.

Di luar dugaan, Ceng Suan totiang berkaok-kaok seperti orang kebakaran jenggot : „ Lekas hadang mata2 itu. Jangan sampai mengganggu ketua         ....."

Mendengar ketua Bu-tong-pay berada dalam gedung itu.

Gak Lui makin pesatkan larinya.

Dengan beberapa kali loncatan, dia sudah mencapai gedung itu !

Tetapi disitu beberapa murid Bu-tong-pay sudah berbaris menghadang dimuka pintu.

Mereka segera. menyerang pemuda itu.

Tring....., tring ...... Gak Lui menangkis.

Dan dengan meminjam tenaga benturan pedang, ia ayunkan tubuh melambung ke tingkat kadua.

Ketika Ceng Suan totiang tiba, Gak Luipun sudah melayang lagi ke tingkat yang teratas!

Ceng Suan totiang makin gelisah.

Karena bingung ia sampai lupa akan pertahanan diri.

Tanpa banyak pikir lagi, ia terus loncat keatas.

Lalu menusuk ujung kaki Gak Lui.

Melihat kesempatan sebagus itu, Gak Lui tak mau membuang waktu lagi.

Dengan gerakan yang indah, ia berhasil menindih pedang Ceng Suan.

Betapapun saktinya tetapi saat itu Ceng Suan kalah posisi.

Ia sedang melayang keudara sehingga kakinya tak mempunyai pinjakan.

Sudah tentu ia tak dapat bertahan akan tekanan Gak Lui dari atas.

Tring ........ ujung pedang Ceng Suan terpapas kutung dan Gak Luipun terus menyusup ke dalam gedung.

Tetapi Ceng Suan totiang bukanlah seorang lemah.

Dia adalah penjabat ketua dari Butong-pay yang termasyhur.

Ditengah udara, ia empos semangat dan bergeliatan melenting keatas atap serambi.

Lalu balikkan tangan kanan menghantam.

Bagaikan air bah melanda, maka tenaga-murni Hian bun-cin-gi atau tenaga murni menurut ajaran kaum agama, mengarah kepunggung Gak Lui.

Saat itu Gak Lui belum sempat mendorong pintu.

Tahu2 ia rasakan punggung dilanda oleh tenaga yang ribuan kati beratnya, sehingga bernapaspun sukar rasanya.

Cepat ia balikkan tangan kiri untuk menangkis.

,,Bhum..............!” Terdengar letupan keras dan atap dan berderak-derak berhamburan pecah

Huak......... !Gak Lui menguak. Mulutnya menyembur darah segar dan tubuhnya - terdampar membentur pintu.

Brak........! pintu hancur berkeping-keping dan pemuda itu terlempar kedalam ruangan.

Tenaga sakti dari pukulan Ceng Suan totiang bukan olah2 hebatnya.

Tubuh Gak Lui yang sudah membentur pecah pintu, tetap tak berhenti melainkan masih terdampar kebawah kolong ranjang kayu ..............

Ruangan itu sunyi senyap.

Ketika terlempar kebawah kolong, samar2 Gak Lui masih melibat diatas ranjang itu duduk seorang tua berambut putih !

Pada lain saat Ceng Suanpun menerobos.

,,Ciang bunjin engkau...., engkau...., co-hwe-jip-mo," melihat keadaan orang tua berambut putih itu, serentak Ceng Suan totiang menjerit.

Co-hwe-jip-mo adalah istilah untuk menyebut orang yang telah tersesat dalam pertapaan, sehingga darahnya meliar dan tubuhnya rusak.

Akibatnya jika orang itu tidak cacad atau lumpuh pastilah akan gila.

Atau kalau parah, urat2 nadinya putus dan mati scketika!

Airmata Ceng Suan totiang banjir membasahi mukanya.

Matanya memancar api dendam kemarahan yang menyala-nyala, memandang kekolong ranjang. "

Saat itu Gak Lui rasakan tulang belulungnya seperti pecah.

Mata pudar telinga mengiang-ngiang.

Untuk bergerak saja ia merasa tak punya tenaga lagi.

Ia hanya deliki mata memandang apa yang akan dilakukan Ceng Suan terhadap dirinya nanti.

Ceng Suan totiang kalap sekali.

Sebelum melangkah masuk, ia taburkan pedangnya yang kutung kekolong ranjang.

Gak Lui yang sudah tak berdaya, tak dapat berbuat apa2 kecuali menunggu ajal.

Pada saat pedang maut yang dilontarkan dengan sepenuh tenaga oleh Ceng Suan hendak merenggut nyawa pemuda itu, sekonyong-konyong terdengar hembusan angin dari atas ranjang.

Trang .......pedang kutung itu tertampar jatuh dilautan.

Dan menyusul terdengar seruan perlahan: „Ceng Suan" sute, jangan mengamukl"

„Ciang-bun-jin .... , engkau .... . ,"

,,Aku tak apa2, harap engkau menjaga diluar, jangan diidinkan orang mengganggu disini,"

Ceng Suan totiang tak berani membantah.

Terpaksa ia keluar dari ruangan.

Kemudian imam tua itu segera mempersilahkan Gak Lui keluar dari kolong ranjang.

Buru2 Gak Lui mengiakan dan merangkak keluar.

TETAPI apa yang dilihatnya saat itu, hampir membuatnya menjerit ngeri.

Ternyata imam berambut putih itu, wajahnya merah darah menyeramkan sekali.

Jelas dia telah memasuki Co-hwe-jip-mo sehingga demikian keadaannya!

Gak Lui tak enak hati.

Buru2 ia memberi-tahukan namanya seraya memberi hormat: „Tanpa sengaja wanpwe telah keliru memasuki tempat pemujaan totiang. Jika ada obat yang dapat menolong totiang, wanpwe tentu akan mencari kemanapun juga . . . ."

Ketua Bu-tong-pay itu tertawa tawar: „Ini memang sudah takdir! Bukan kesalahanmu dan tiada obatnya lagi. Engkau sendiri menderita luka parah, biarlah kuobati dulu kamu!"

Sudah tentu Gak Lui tak sampai hati........, Ia menyurut mundur dan lintangkan pedang untuk melindungi tubuhnya.

„Kalau begitu, silahkan duduk dan bicara!"

„Kiranya cianpwee tentulah Ceng Ki totiang ....... ?"

„Benar," sahut imam berambut putih itu:„dan engkau tentulah murid dari si Pedang Aneh Ji Kitek !"

„Ah, mengapa lo-cianpwe dapat mengetahui ? Adakah lo-cianpwe dapat mengetahui barang yang belum terjadi?"

,,Dari celah jendela tadi kusaksikan permaian pedangmu, segera kudapat menduga. Bukankah dua jurus permainan pedang yang engkau mainkan tadi disebut jurus ‘Membelah-emas-memotong-permata-tanpa-suara’ dan ‘Alap2-pentang-sayap-membenci-langit ?’ "

„Benar......! Aku adalah putra angkat dari beliau, sai siorangtua itu !"

,,Tetapi aku sedikit sangsi .......!"

,,Dalam hal apa....... ?" Gak Lui heran.

,,Jika engkau benar2 putera-angkat dari Ji Kitek mengapa kepandaianmu sedemikian rendahnya....!”

Merahlah muka Gak Lui.

Dergan rawan ia menjawab : ,,Ayah-angkatku sudah tak punya kaki dan tangan lagi. Karenanya .... aku tak dapat mempelajari ilmu kepandaiannya dengan sempurna ........!"

,,Oh...... ! Ceng Ki totiang terkejut dan buru2 bertanya : „mengapa dia sampai mengalami keadaan yang begitu menyedihkan?"

Dengan suara penuh haru-kedukaan, Gak Lui segara menuturkan tentang perbuatan keempat gerombolan Topeng Besi yang telah menyerang ayah-angkatnya.

Menurut keterangan ayah angkat ku, tiga dari keempat gerombolan Topeng Besi adalah tokoh2 dari tiga parai persilatan.

„Partai persilatan yang mana?" ketua Butong-pay menyeletuk dengan tubuh menggigil.

,,Beliau..., sampai pada detik menutup mata belum sempat mengatakan..."

„Ah.....  Pedang Aneh ....dia ....... sudah mati ?"

,,Meninggal belum lama," kata Gak Lui.

Wajah Ceng Ki totiang berdenyut-denyut.

Dari mata, hidung, mulut dan telinga mengucur butir2 darah.

Melihat itu hati Gak Lui makin seperti disayat-sayat.

Whur......! mulutnyapun menghambur darah.

Tetapi ia tetap hendak menolong ketua Bu-tong-pay itu.

Segera ia loncat maju untuk memapah.

Ceng Ki totiang amat berterimakasih.

Ia paksakan diri untuk mengambil sebuah botol kumala dari dalam jubah.

Begitu sumbat dibuka, bau harum segar segera membaur,

Ia menuang sebutir pil untuk ditelannya sendiri lalu memberikan sebutir yang lain kepada Gak Lui: „Lekas, minumlah untuk mengobati luka-dalam tubuhmu ....."

Semula Gak Lui segan tetapi melihat imam itu benar2 bersungguh hati, terpaksa ia menelannya Ah......!, benarlah.

Rasa sakit pada tubuhnya, hilang seketika.

Setelah minum obat, keduanya bersemedhi menyalurkan tenaga-dalam.

Beberapa saat kemudian, Ceng Ki totiang membuka mulut lebih dulu: „Kedatanganmu kemari tentulah atas perintah ayah-angkatmu. Tetapi apakah tujuanmu"

„Beliau menyuruh aku menghadap Ji Ih totiang untuk menanyakan dua buah hal. Sayang sebelum jelas untuk menanyakan apa, beliau sudah keburu menutup mata.”

Ceng Ki totiang kerutkan alis, ujarnya: „Belasan tahun berselang, ayah-angkatmu pernah berkunjung pada guruku. Saat itu akupun berada disisi suhu. Kudengar ayah-angkatmu mengatakan hendak menuju kegunung Yau-san. Sejak pertemuan itu ayah angkatmu tiada beritanya tagi. Tetapi sebelum menutup mata, guruku pernah berpesan agar hati2 apabila ada orang dari Empat Pedang Busan datang berkunjung !"

,,Adakah cianpwe kenal akan Empat Pedang Busan?" Gak Lui berseru gugup.

„Yang kukenal hanya ayah-angkatmu Ji Ki Tek itu. Sedang yang tiga, hanya mendengar nama tetapi tak pernah muka .....!".

„Dan selama ini orang dari Empat Pedang Busan itu tak pernah datang berkunjung kemari?"

„Ada seorang bernama Gak Cin-cin datang kemari!"

,,Ah, dia adalah suhengku. Diapun mati dibunuh gerombolan Topeng Besi dan si Hidung Grumpung....!"

Ceng-Ki totiang makin heran.

Serunya: „Apakah si Hidung Gerumpung itu yang mengangkat diri sebagai Maharaja? Dan gerombolan Topeng Besi itu.......apakah benar tokoh2 dari tiga partai persilatan? Jika benar, mereka tentulah murid2 murtad partai masing2!"

,,Mungkinkah Ceng Ci totiang juga termasuk salah seorang " tanya Gak Lui.

Ceng Ki totiang menghela napas: ,,Mungkin......." sejenak kemud;an ia melanjutkan: „Karena telah menguasai tokoh2 sakti persilatan, tentulah kepandaian dari si Hidung Gerumpung itu sukar diukur tingginya. Jika benar dia itu si Maharaja, kita tentu tak dapat berbuat apa2 terhadap keganasannya ......"

„Harap totiang jangan kuatir! Aku mempunyai dendam sedalam lautan yang harus kubalas!"

„Cita2 yang luhur" seru ketua Bu-tong-pay itu, „tetapi sayang kepandaianmu masih rendah. Sekalipun engkau berserikat dengan ke 7 partai persilatan, belum tentu dapat mengalahkan si Hidung Gerumpung itu....!"

„Kudengar ada seorang tokoh lain-yang menyebut dirinya sebagai Maharaja juga. Kepandaiannya tiada lawannya: Jika dapat menemukannya....."

,,Dia menggunakan gelar Raja-di-raja dan sudah lama mengasingkan diri.

Sekalipun mendengar gerombolan durjana muncul mengganas di dunia pecsitatan, ia belum tentu dia mau muncul memberantasnya.

Sedang untuk mencari gerombolan Topeng Besi itu, bukanlah pekerjaan yang mudah......!"

„Tetapi tak peduli bagaimanapun juga, aku tetap mencari ilmu kepandaian sakti. Untuk membalas dendam dan membasmi gerombolan durjana ini........."

(Keterangan : Untuk dapat membedakan antara dua tokoh, yang sama2 mengangkat diri dengan gelar Maharaja Persilatan, maka selanjutnya akan digunakan dua macam istilah : Maharaja untuk yang seorang, Raja-di-raja yang lain. Dimana sebenarnya Raja-di-raja juga berarti rajanya raja atau maharaja.)

Tergerak hati Ceng Ki totiang mendengar tekad pemuda itu.

Merenung sejenak ia berkata: „ Setiap 20 tahun, didunia persilatan tentu muncul seorang bintang cemerlang. Kurasa kali ini engkaulah bintang yang diharap-harapkan itu. Maka sebelum mati, ingin aku memberimu dua buah bingkisan ! "

Ketua Bu-tong-pay itu mencabut pedang dipunggungnya.

Sebuah pedang yang bentuknya aneh.

Ketika diloloskan, batang pedang memancar sinar berkilau-kemilau memenuhi ruangan.

Mata pedang yang berkilat-kilat tajam, jelas menunjukkan bahwa pedang itu bukan olah-olah tajam-nya.

Hanya anehnya, panjang pedang itu cuma setengah dari pedang biasa.

„Inilah pedang Pelangi, pedang pusaka partai Bu-tong-pay. Terimalah sebagai bingkisanku, agar kau memiliki senjata untuk menumpas kawanan durjana itu ! "

Gak Lui terkejut dan tersipu-sipu menolak : „ Pusaka yang sedemikian keramat, aku tak berani menerima.........!"

Napas ketua Bu-tong-pay itu memburu keras dan mendesak menyerahkan pedang : „Jika engkau tak mau menerima, anggaplah aku minta tolong kepadamu supaya membawa keluar pedang ini dari Bu-tong-san. Apabila bertemu dengan seorang ahli pembuat pedang yang pandai, sukalah menyuruhnya membuat pedang itu supaya menjadi pedang panjang. Setelah itu bolehlah engkau antarkan kemari lagi. Dengan demikian terlaksanalah keingnanku yang kuidamkan bertahun-tahun........!"

Sebenarnya Gak Lui memang menyesal sekali, karena telah keliru masuk kedalam sanggar pemujaan ketua Bu-tong pay itu hingga tanpa sengaja dia telah, merusakkan persemedhian Ceng Ki totiang yang tengah meyakinkan ilmu kesaktian. Jelaslah, ketua Bu-tong-pay itu telah menderita Co hwe-jip-mo sehinga keadaanya gawat sekali.

Mendapat kesempatan untuk menebus dosa, Gak Lui segera menyanggupi permintaan imam tua itu : „ Baiklah, lo-cianpwe. Kelak tentu akan kukembalikan dengan sebatang pedang seperti yang lo-cianpwe pesan ........!"

Ketua Bu-tong-pay itu, tertawa puas.

„Jika hendak menuntut ilmu kesaktian yang tiada tandingannya, haruslah mencari seorang guru yang benar2 sakti. Kutahu sebuah tempat tetapi berbahaya ........"

„Lo-cianpwe, aku tak takut bahaya apapun juga......!" seru Gak Lui dengan girang, „harap lo-cianpwe segera mengatakan tempat itu......!"

,,Harap buka jendela belakang itu .........!" ka-ta Ceng Ki totiang.

Gak Lui cepat2 loncat untuk membuka jendela .......... tampak disebelah bawah gedung itu penuh dengan anakmurid Bu-tong-pay yang siap dengan senjata masing2. Mereka tegang sekali sikapnva memandang ketingkat tiga.

Memandang kearah lain, Gak Lui melihat berlapis-lapis puncak gunung tegak berjajar-jajar.

„Cobalah engkau hitung jajaran puncak gunung yang ke-7. Dilembah gunung itu terdapat seorang aneh yang memiliki kepandaian sakti sekali. Walaupun belum termasuk orang yang tiada tandingannya didunia, tetapi didunia persilatan jarang terdapat tokoh seperti dia ........!"

Gak Lui mengawasi dengan tajam dan dapatlah ia menemukan puncak gunung ketujuh itu: „Sjapakah tokoh luar biasa itu " tanyanya.

„Aku pernah adu pukulan satu kali dengan dia. Tetapi tak tahu namanya. Karena saat itu bukan saja tak sempat bicara, bahkan tak pernah melihat wajahnya ........!"

„Bertempur tetapi tak melihat mukanya .....?"

Gak Lui mengulang heran...........

Ceng Ki totiang batuk2 beberapa kali, katanya: „Lima belas tahun yang lalu ketika Bu-tong menutup pintu, aku kebetulan meronda sampai kelembah itu, dan melihat dalam sebuah guha terdapat jejak seorang manusia. Beberapa kali kuteriaki namun tiada jawaban. Terus hendak kumasuki tetapi baru mendekati mulut guha, aku tersedot oleh suatu tenaga-tarik yang kuat. Dengan sekuat tenaga aku meronta dan berhasil membebaskan diri. Karenanya .... tak sempat menanyakan namanya . . . . "

Pada saat Gak Lui sedang tegang mendengarkan, tiba2 suara Ceng Ki totiang berobah lemah, napasnya terengah engah.

Buru2 Gak Lui berpaling memandangnya.

Dilihatnya kasur tempat duduk ketua Butong-pay berkubang darah segar.

Kejut Gak Lui bukan alang kepalang.

Bergegas-gegas ia lari menghampiri untuk mengurut jalandarah imam itu.

Tetapi Ceng Ki totiang menolaknya

„Aku sudah tak dapat tertolong lagi. Kelak, bila berhadapan dengan Ceng Ci sute, tak perlu menanyakan persoalannya ........"

Tetapi Gak Lui gugup hendak memberi pertotongan.

Sambil mengiakan ia tetap lekatkan kedua tangannya kejalan darah imam itu.

Tetapi tenaga dalamnya sendiri juga terbatas.

Mengurut beberapa kali tetap tak ada hasilnya.

Karena gugup, ia berteriak sekeras-kerasnya : „Hei...! Ciangbunjin parah sekali ........... lekas kalian datang menolongnya ..........!”

Belum kumandang suaranya sirna, arus anak murid Bu-tong-pay melanda masuk.

Yang dimulai sendiri oleh Ceng Cuan totiang, penjabat ketua partai, lalu Hwat Lui dan Hwat Tiam serempak menerobos.

Wajah Ceng Suan totiang tegang dan terlihat seram seperti iblis.

Dia terus langsung menghampiri suhengnya Ceng Ki totiang.

Gak Luipun segera menyingkir.

Ceng Suan tak menghiraukan lain2-nya, yang penting ia harus cepat menolong suhengnya.

Dipapahnya tubuh Ceng Ki totiang lalu mulai menyalurkan tenaga dalam untuk memberi pertongan .........

Sedang Hwat Lui totiang deliki mata kepada Gak Lui.

Melihat pemuda, itu menyanggul pedang pusaka Bu-tong-pay, tanpa berkata apa2 ia terus menusuk pemuda itu.

Gak Lui terpaksa menghindar.

Tetapi Hwat Tiam dan Hwat Ko yang muncul juga, segera ikut menyerang.

Gak Lui serentak diserang hebat oleh tiga imam Bu-ton-pay!

Gak Lui berturut turut mundur sampai tiga langkah.

Kini dia sudah terdesak dipojok tak dapat mundur lagi.

Apa boleh buat.

Dan serentak ia mencabut pedang Pelangi pusaka Bu-tong-pay itu dan sret..., sret..., sret..., secepat kilat ia membabat pedang ketiga penyerangnya.

Hwat Lui dan kedua imam itu tahu ketajaman pedang Pelangi.

Terpaksa mereka mundur.

Dalam kesempatan itu Gak Lui terus loncat keluat dari jendela tingkat ketiga.

„Tangkap pencuri pedang pusaka kita" Hwat Lui cepat berseru nyaring.

Dari empat penjuru keliling gedung Sanggar Pemujaan itu serentak bergemuruh penyahutan mengiakan.

Pada saat tubuh Gak Lui sedang melayang turun, disebelah bawah sudah siap menyambut dengan lautan ujung pedang.

Ditengah udara Gak Lui bersuit nyaring.

Pedang Pelangi ditaburkan menjadi lingkaran sinar pedang yang rapat.

Tring..., tring .....terdengar dering gemerincing nyaring ketika ia menabur ditengah lautan pedang itu.

Dengan mengandalkan ketajaman pedang pusaka Pelangi, berhasillah ia membuka jalan.

Tetapi pada saat anakmurid Bu-tong mundur kacau balau, Hwat Lui bertigapun muncul.

Tetapi begitu dapat membobolkan kepungan, Gak Lui terus menerobos dan lari secepat kilat.

Tujuannya yalah ke-puncak gunung yang ke-7.

Tetapi dengan mati-matian ketiga imam Bu-tong-pay angkatan Hwat itu tetap mengejarnya.

Mereka menyangka bahwa Gak Lui telah membunuh ketua mereka dan merebut pedang pusaka partai Bu-tong.

---oo0oo---

BAB 03
PERANTAIAN IBLIS

PUNCAK demi puncak dan tujuh buah puncak telah dilintasi Gak Lui. kini dia berhadapan dengan dinding karang yang curam dan melandai kebawah dengan amat berbahaya sekali.

Dibawah kaki karang tinggi itu terdapat sebuah hutan yang gelap menveramkan. Ketika berpaling, tampak Hwat Lui dan rombongan anakmicrid Bu-tong tinggal heberapa tombak dibelakang.

Ketika Gak Lui tertegun beberapa jenak saja, Hwat Lui bertigapun sudah loncat keudara untuk menyerang.

Desis sambaran pedang ketiga imam itu cepat dapat diketahui Gak Lui.

Segera ia lintangkan kedua pedangnya, yang satu pedangnya sendiri dan satu pedang Pelangi, untuk menjepit ketiga pedang lawan.

Saat itu terjadilah adu tenaga.

Hwat Lui dan kedua imam adik seperguruannya dalam posisi meluncur dari udara.

Pedangnya dijepit oleh sepasang pedang Gak Lui.

Memang dalam keadaan terpojok seperti saat itu, tiada lain jalan bagi, Gak Lui kecuali harus adu kekuatan.

Tetapi ternyata tenaganya masih lemah.

Beberapa saat kemudian ia rasakan kedua lengannya gemetar.

Huak..........mulutnya muntah darah.

Ternyata pil pemberian Ceng Ki totiang tadi, kekuatan ketahanannya sudah habis.

Seketikta pemuda itu kehilangan separoh tenaganya lagi.

Sudah tentu Hwat Lui bertiga girang sekali.

Mereka tak mau lewatkan kesempatan bagus.

Dengan menambah tenaga-dalam lagi, mereka memberi tekanan lebih berat.

Pedang merekapun mulai pe-lahan2 menurun keatas kepala Gak Lui.

Gak Lui kucurkan keringat dingin.

Ia merasa tak kuat lagi.

Tetapi tiba2 ia terkejut mendengar suara bergemerincingan tiga kali.

Ah........, ternyata ketiga pedang dari imam Bu-tong-san telah terpapas kutung oleh pedang Pelangi !

Adu tenaga dengan pedang itu, walaupun pedang Hwat Lui bertiga telah kutung, tetapi tenaga kedua belah fihak masih tetap memancar.

Hwat Lui bertiga yang berada pada posisi menekan dari atas, pedangnya tetap membelah kebawah.

Sedang pedang Gak Lui yang menyanggah.

Kuatir kalau akan melukai orang, Gak Lui buru2 menarik pulang pedang untuk melindungi dadanya.

Tetapi ketiga imam itu benar2 kalap.

Lepaskan pedangnya yang sudah kutung itu, mereka menghantam dengan tinju.

Tinju yang disaluri dengan tenaga-sakti Man-bun-cin-gi.

Dalam keadaan yang terdesak sekali itu, Gak Lui terpaksa buang tubuh kebelakang, tetapi ah........ ia tak dapat berpijak bumi lagi karena dibelakangnya adalah sebuah jurang.

Tubuhnya meluncur terus kebawah jurang itu .........

Hwat Lui masih penasaran sekali.

Ia hendak loncat kedalam jurang untuk menyusul pemuda itu.

Belum puas hatinya kalau belum menangkap pemuda itu, mati atau hidup.

Melihat itu, Hwat Tian tojin tergopoh-gopoh memburu seraya meneriaki : „Budak itu tentu hancur lebur tubuhnya ! Mengapa suheng ........"

„Tidak.......! Kita harus merebut kembali pedang pusaka partai yang dicurinya !" Hwat Lui meronta untuk lepaskan diri cekalan Hwat Tian.

Imam Hwat Ko yang sudah tiba, segera berteriak keras memperingatkan Hwat Lui : „ Mengapa suheng lupa bahwa ketua kita telah mengeluarkan larangan. Siapapun saja tak boleh sembarangan masuk kedalam lembah ini ......"

Hwat Lui gelagapan seperti dijagakan dari tidur.

la tundukkan kepala dan berlinang-linang airmata : „Kuharap ketua masih hidup. Aku hendak rnohon hukuman kepada beliau !"

Pada saat ketiga imam itu kembali kegunung Bu-tong, Gak Lui sedang menjelang maut.

Tubuhnya yang meluncur kebawah jurang itu menelentang menghadap ke langit.

Kedua tangannya masih mencckal, sepasang pedang.

Ia tak dapat berbuat apa2 kecuali pejamkan mata dan paserah nasib.

Tubuhnya belumuran darah; tenaganya lunglai.

Apa dayanya lagi ?

Sekonyong-konyong serangkum angin lesus bergulung-gulung melanda, membawa tubuhnya berputar-putar, kesamping, menyusup ke sebuah semak belukar.

Bluk ........ ia menggigil kaget dan terbeliak.

„Hai...., aku sudah mati belum?" ia bertanya dalam hati.

Dicobanya untuk menggerakkan kedua kaki tangannya, ah .... lentuk dan lunglai tak bertenaga.

Bahkan terasa sakit sekali sampai ke uluhatinva dan ia pingsan lagi.....

Tetapi angin lesus tadi tetap berhembus.

Makin lama makin keras.

Uh........Gak Lui mendesis kaget ketika tubuhnya terangkat dan mengapung setengah meter diudara terus melayang cepat masuk ke dalam guha..!

„Ha..., ha....., ha....., ha ............."

Tiba2 dari dalam guha menghambur suara orang tertawa keras.

Sedemikian keras suara tawa itu sehingga Gak Lui tersadar dari pingsannya, dan seketika pula, ia rasakan telinga seperti pecah.

„Ha...., ha...., akhirnya aku mendapat kawan.......!”

Gak Lui terkejut mendengar suara itu, segera ia hendak berusaha mengangkat kepala untuk melihat orang itu.

Tetapi tiba2 orang tak dikenal itu menamparkan sebelah tangannya menindih dada Gak Lui, sedang tangan kirinyapun disosongkan ke punggung anak muda itu.

Seketika Gak Lui rasakan tubuhnya seperti dijepit oleh dua buah tenaga-sakti dari atas dan bawah.

Jangankan Gak Lui hendak bergerak bangun, sedang untuk menggerakkan kepala saja ia tak mampu lagi

Tetapi aneh.......!

Benar-benar aneh.......!

Tenaga yang menindih diatas dadanya itu, mengalirkan tenaga dalam ke dalam tubuh Gak Lui.

Dan tenaga yang menyangga punggungnya itulah yang menyedot tenaga-.sakti dari, atas dada tadi.

Tenaga-sakti yang mengalir ke dalam tubuh itu mendorong dan menggerakkan tenaga-murni Gak Lui sehingga dapat melancarkan perederan keseluruh tubuhnya.

Gak Lui benar2 takjub sekali.

Baru pertama kali itu sepanjang hidupnya, ia mengalami peristiwa yang sedemikian luar biasa.

Benar2 ia tak pernah mendengar ilmu memancarkan tenaga-dalam yang sedemikian anehnya....!

Setelah mengalami tujuh kali peredaran tekanan tenaga-dalam didadanya, semangat Gak Lui bertambah segar, tenaganya berangsur-angsur pu-lih kembal.

Juga, kini pandangan matanyapun lebih terang sehingga, ia dapat melihat jelas keadaan dalam guha itu.

Ketika memalingkan kepala, pertama-tama yang tampak pada matanya jauh empat buah huruf berbunyi : „Guha batu Iblis perantain"

Keempat huruf itu ditulis dengan ujung jari.

Bukan diluar tetapi didalam guha.

„Aneh...., mengapa tulisan itu tak digurat diluar guha? Apakah memang diperuntukkan orang yang berada didalam guha?" Gak Lui makin heran.

Mendadak ia rasakan tindihan pada dada dan sanggahan pada punggungnya tadi lenyap. Ketika ia memandang kemuka, ah......tak jauh dihadapannya, tampak berdiri seorang orangtua yang tak keruan wujutnya.

Rambut gimbal kusut masai, kumis dan jenggotnya memanjang lebat.

Sepintas pandang orang tua itu mirip dengan seorang manusia liar.

Tetapi dalam wajahnya yang kotor itu, tampaktah gurat2 dari sebuah wajah yang cakap dan gagah pada masa mudanya.

Buru2 Gak Lui bangun dan memberi hormat.

Wanpwe Gak Lui, menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lo-cianpwe. "

Tak perlu berterima kasih........!

Sekali-kali perpertolonganku itu bukan untuk kepentinganmu !" sahut orang gua liar itu.

„Ah......, harrr lo-cianpwe jangan mengolok.

Masakan menolong itu untuk diri lo-cianpwce sendiri? kata Gak Lui.

„Sudah bertahun-tahuh Aku tinggaI seorang diri dalam guha ini. Aku butuh sekali seorang manusia hidup untuk teman bicara !" sahut orang tua itu.

Untuk membalas budi lo-cianpwe, aku bersedia melayani            .

„Ha..., ha....., ha....., ha ........" orang tua liar itu menari-nari kegirangan, „ sejak saat ini hidupku takkan kesepian lagi.......!"

Sebaliknya Gak Lui terbeliak kaget sekali.

Serunya: „Ah, untuk menemani lo-cianpwe seumur hidup rasanya terlalu lama. Sebaiknya ada batas waktunya ........"

Orang tua liar itu tertawa makin terkia-kial.

Sambil mendekap perutnya, ia berkata :„ Batas waktu .. memang telah kusediakan batas waktu itu.! Yalah apabila ‘POHON BESI BERBUNGA, AIR MENGALIR TERBALIK’ kita baru kelua...........!”

„Hai .......! " Gak Lui menjerit - kaget, „apa.....? Pohon besi berbunga, air mengalir terbalik ...... tak mungkin hal itu akan terjadi, kecuali terjadi sesuatu keajaiban .......... "

Orangtua liar itu mengangkat bahu dan berkata dengan nada rawan : „Apa boleh buat. Terpaksa seumur hidup kita harus tinggal disini !"

„Tetapi aku masih mempunyai dendam sakit hati yang harus kutuntaskan !" Gak Lui menyanggah.

Urang tua liar itu menegunkan kepala, tanyanya tegang : „Ha..., ha....., ha....., ha ............."

„Dalam umur begitu muda engkau sudah mempunyai beban membalas dendam........?"

„Benar.......!" Gak Lui mengiakan.

„Hah........., akan kuajarkan engkau untuk melaksanakan tugasmu itu”

„Apakah lo-cianpwe hendak memberi ilmu kesaktian kepadaku?"

„heh....., heh....," orangtua liar mengekeh, marah2 sedih, „demi membalas budi, kupatahkan pedangku dan kututup diriku dalam guha ini. Kalau engkau hendak membalas dendam, ikutilah caraku itu.........!"

la menunjuk kearah langit2 guha.

Dan ketika Gak Lui menurutkan arah pandangannya, kearah yang ditunjuk orangtua liar itu.

Ia melihat sebatang pedang kutung, menyusup dinding karang tembus sampai keluar. Pedang itu sudah karatan.

Gak Lui tergetar kaget, cepat ia mencekal sepasang pedangnya erat2.

„Tidak......! Aku tak mau mematahkan pedangku.......!"

Orangtua liar itu menyurut mundur ..........

---oo0oo---

BAB 04
ALGOJO DUNIA

ORANG TUA aneh itu tertegun.

„Baiklah, engkau toh tak punya kemampuan melempar pedang tembus ke dinding batu. Tak apa, engkau boleh menyimpan pedangmu untuk mainan" serunya

Setelah tenangkan diri, Gak Lui bertanya: ,,Dengan memiliki kepandaian sehebat itu tentulah cianpwe ini, tokoh aneh yang dikatakan Ceng Ki totiang . . . ."

,,Siapakah Ceng Ki totiang itu?" tukas orang tua aneh.

,,Ketua partai Bu tong-pay yang pernah adu pukulan dengan, locianpwe diguha ini!"

Orangtua aneh merenung .......: ,,Sudah lama sekali, memang pernah terjadi peristiwa itu, tetapi perlu apa dia suruh engkau kemari?" serunya sesaat kemudian.

Dengan hormat Gak Lui menyahut: „Aku hendak belajar ilmu kesaktian yang tiada tandingannya didunia. Oleh karena itu beliau menyuruh aku seraya menghadap cianpwee katanya.”

„Ohhh....., kiranya engkau hendak belajar ilmu kesaktian" tukas orang tua itu.

,,Sekiranya lo-cianpwe sudi memberi pelajaran ...."

,,Bakatmu bagus, kepandaiankupun luar biasa......!"

,,Jadi lo-cianpwe meluluskan?"

,Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tak mau!"

„Mengapa?"

„Setiap orang yang menerima murid tentu menghendaki supaya murid itu dapat mengangkat nama dalam dunia persilatan agar harum nama perguruannya. Tetapi sekarang ini, aku menghendaki supaya engkau tinggal disini menemani aku seumur hidup. Maka tak perlu engkau bersusah payah belajar ilmu silat lagi !"

Tetapi jika aku dapat mencari daya supaya, 'POHON BESI BERBUNGA, AIR MENGALIR TERBALIK`, sehingga lo-cianpwe mendapat kebebasan, bagaimana nanti?"

,,Ucapanmu itu cukup pintar, sayang tak mungkin terlaksanal"

Pepatah mengatakan : ,,Manusia harus dapat mengalahkan alam ! Asal ada kemauan, tiada hal yang tak mungkin !" seru Gak Lui.

Orangtua aneh itu tertawa masam : „Jika mungkin, tentu dari dulu2 sudah kulakukan, tak perlu menunggu kedatanganmu ! Tak kira dahulu karena salah sepatah kata saja, diriku celaka ......mencelakai orang lagi."

„Lo-cianpwe tentu mempunyai latar belakang yang berliku-liku? "

Mata orangtua aneh itu berkilat, serunya : „Heh, rupanya engkau hendak mengetahui kisahku yang lalu !"

„Tadi lo-ciannwe mengatakan bahwa sudah bertahun-tahun lo-cianpwe tak bicara dengan orang. Mengapa sekarang tak melepaskan kesepian itu agar mulut cianpwee jangan sampai kering "

„Ho, alasanmu bagus juga.....! Baik, akan kuceritakan sedikit .......”

,,Dahulu ada seorang sahabat mencari aku untuk minta tolong. Karena seuatu alasan, aku tak dapat meluluskan. Dan akibatnya aku melarikan diri kedalam guha ini. Tetapi dia tetap mengejar jejakku kesini dan didepan guha merintih-rintih minta supaya aku suka meluluskan. Dalam kemarahan, aku menyatakan scjak saat itu tak mau bicara lagi pada orang dan tak mau keluar lagi dari guha ini, kecuali bilamana nanti POHON BESI BERBUNGA, AIR MENGALIR TERBALIK, barulah kuakhiri ikrar itu.”

„Dia tentu pergi dengan marah2 ...."

„Benar ! Tetapi aku sendiripun celaka karena harus tinggal disini selama-lamanya!" sahut orang. tua aneh itu.

Gak Lui makin tertarik akan kisah itu.

Tanyanya: „Sukakah lo-cianpwe menceritakan riwayat lo-cianpwe dengan orang itu ?"

„Permintaanmu itu terlalu jauh! Apalagi engkau sendiri belum mengatakan asal usul perguruanmu "

„Tetapi aku sudah terlanjur bersumpah takkan mengatakan asal usulku !"

„Kalau begitu, buka sajalah kedok mukamu itu, bagimana ?"

„Maaf, itupun termasuk dalam sumpahku !"

„Ha..., ha... Dalam sebuah guha, terdapat dua insan yang misterius. Kalau begitu, tak perlu kita sating menuturkan riwayat !"

Gak Lui kecewa dan putus usa.

Orangtua aneh itu tak mau memberi pelajaran silat bahkan memaksanya supaya tinggal diguha situ seumur hidup. Ah, bagaimana mungkin .... !"

„Aku benar2 harus membalas dendam darah. Tak dapat tinggal terus disini. Aku hend ......”

„Engkau hendak mengapa? " tukas orang tua itu.

„Hendak minta diri .....!"

,,Heh..., heh..... ! Engkau kira engkau mampu lolos dari pukulan si Algojo dunia ini?"

„Aku mempunyai cara yang adil untuk memutuskan persoalan ini "

„Ho..., ho.. ho cara macam ....apa lagi?"

,,Menilik lo-cianpwe mampu melontontarkan pedang menembus dinding karang, tentulah ilmupedang lo-cianpwe hebat sekali......... Aku ingin adu ilmu pedang......!"

„Ha...., ha.........! Cara itu menarik juga. Menilik gelagatnya, engkau mempunyai modal dalam ilmu pedang. Lalu apa perjanyiannya?"

„Kulau aku menang, aku segera petgi....!"

„Kalau yang menang aku?" seru orang itu.

„Silahkan lo-cianpwc sendiri yang mengajukan pcrjanjian"

„Pertama, engkau harus menemani aku selama-lamanya."

„Baik, aku tentu dapat mencari akal untuk menembus pantangan POHON BESI BERBUNGA, AIR MENGALI R TERBALIK itu !"

,,KEdua engkau harus membuka kedok muka itu agar mataku dapat melihat wajah manusia lagi!"

„Ini . . . ."

„Huh, takut?"

Serentak timbullah pikiran Gak Lui bahwa orangtua aneh itu tentu tak mengetahui, kalau ia memiliki ilmupedang Potong-emas-membelah-kumala.

,,Segera ia menyahut dengan garang: „Apa yang harus ditakutkan? Mari kita- mulai !"

Gak Lui terus mencabut sepasang pedang nya dan mempersilahkan orang tua aneh itu memilih sendiri.

„Ho, kesombonganmu boleh sekali, budak.....! Mana boleh aku gunakan pedang bertempur dengan engkau.......!" seru orang tua aneh itu penuh dengan kegarangan dan kecongkakan.

„Lalu mau pakai apa?" tanya Gak Lui. ,,Ambilkan sebatang dahan pohon dimulut guha itu kemari......!"

Mendengar orangtua itu hendak menggunakan dahan kayu, diam2 Gak Lui makin gembira.

Namun ia tekan rasa girangnya itu lalu mematahkan dahan pohon yang tumbuh di mulut guha dan diserahkan kepada orangtua itu.

Sambil berdiri memasang kuda-kuda dan mencabut pedang, Gak Lui serentak berseru: „Siap.....!”

Orangtua aneh itu mengangkat dahan kayu tetapi terus diturunkan lagi, serunya kecewa: „Tak jadi bertanding"

,,Eh, mengapa kata-kata lo-cianpwe tak dapat dipegang .........."

,,Pada saat itu aku sudah menyatakan, tak kan keluar dari guha ini dan takkan menggunakan pedang ........ "

„Jjka lo-cianpwe tak memegang perjanjian kita, berarti lo-cianpwe sudah mengaku kalah.

Akupun segera tinggalkan tempat ini dan lo-cianpwe tak berhak menahan aku ........!"

Habis berkata ia terus ayunkan langkah keIuar guha.

Orangtua aneh itu hanya dapat deliki mata.

Tetapi baru Gak Lui berjalan setombak jauhnya, tiba-tiba serangkum tcnaga-tarik yang kuat mencengkeramnya sehingga ia tak dapat langkahkan kakinya.

„Lo-cianpwe, omonganmu tadi . . . . ucapan manusia atau bukan!" scrunya.

,,Aku tadi mengatakan tak dapat bertanding tetapi bukan berarti tidak bertanding.....!”

„Engkau bersumpah takkan menggunakan pedang, bagaimana bisa . . . . "

„Jangan banyak mulut! Lihatlah kemari!" sekali tangan orantua aneh itu menarik maka tubuh Gak Lui segera menyurut mundur kedalam guha lagi.

Gak Lui terkejut dan berpaling.

Dilihatnya orangtua aneh itu sedang mengggit dahan pohon, agaknya bersiap-siap.

Jelas ia memakai mulut sebagai ganti tangan, untuk melayani Gak Lui.

Melihat itu Gak Lui kejut2 girang.

Setelah berhati-hati pasang kuda-kuda, secepat kilat segera ia taburkan pedang mengarah ke mulut orang.

Orangtua aneh itu berkilat-kilat matanya, memperhatikan setiap gerakan pedang Gak Lui.

Tiba2 la surutkan kepalanya dan dahan pohon.

itu segera berobah menjadi lingkaran sinar yang balas melibat pedang Gak Lui.

Melihat itu diam2 Gak Lui membatin: „,.Huh paling2 permainan pedangmu serupa dengan Ceng suan totiang !" '

Cepat ia tambahkan tenaga-dalam untuk bergeliatan memutar kearah dahan kayu.

Tring .... terdengar bunyi mendering dan celaka ...... pedang Gak Lui terpukul oleh tenaga-tolak orangtua itu, terlepas mencelat keudara ........

Dalam gugupnya, Gak Lui cepat hendak mencabut pedang Pelangi yang, terselip pada bahu sebelah kiri. Tetapi pada saat tangan hendak bergerak, dahan kayu di mulut orangtua aneh itu secepat angin menderu, telah meluncur dan menutuk tiga buah jalan darah penting ditubuh Gak Lui.

Uh......, Gak Lui mengerang tertahan dan jatuh terlentang.

„Budak ! Dari mana engkau belajar ilmu pedang tadi?" seru orangtua aneh itu.

„Tak dapat kukatakan!"

„Jurus Potong-emas-membelah-kumala tadi adalah ilmu simpanan dari Pedang Laknat Ji Kitek. Engkau mempunyai hubungan apa dengan dia ?"

„Tak perlu kukatakan !"

„Akan kubuka kedokmu tentu akan tahu siapa engkau. Lalu baru kutanya Iagi............!"

Orangtua aneh itu menutup kata2nya dengan gerakkan kedua tangannya untuk mcnyingkap kedok muka Gak Lui. Pemuda itu karena tak berkutik, tak –dapat berbuat suatu apa kecuali deliki mata dengan penuh dendam kemarahan.

Saat itu tangan orangtua aneh sudah menjamah kepala Gak Lui

Tetapi ketika pandang matanya tertumbuk akan mata Gak Lui yang berapi-api dan bibirnya yang gemetar keras, orang itu terkejut. Buru2 ia palingkan muka tak berani beradu pandang: „Tanpa kubuka ...pun sudah tahu...!"

Gak Lui gemetar, serunya gugup: „Apa yang lo-cianpwe ketahui ?"

Orang aneh itu tak menyahut melainkan berkata seorang diri dengan pilu: „Putera dari Pedang Malaekat Gak It-bing, murid dari Pedang Laknat Ji Ki-tek ...... mengapa kepandainnya begitu rendah! Jangankan mereka semua telah dihancurkan orang ......tak seharusnya melihat bahaya aku tak menolong........ berdosa.......! Berdosa.........."

Seketika tersadarlah pikiran Gak Lui.

Serentak ia berseru tegang: „Ah, kiranya Lo-Cianpwe ini paman-guruku kedua Pedang Iblis Ko Tiong-ing !"

........ Orangtua itu terhuyung mundur sampai tiga langkah.

Wajahnya, ketakutan seperti melihat hantu disiang hari.

„Yang paman maksudkan itu tentulah bibi guru Dewi Pedang Pelangi Li Siok-gin, benar atau tidak!" seru Gak Lui

Orang aneh itu menjerit ngeri lalu menutup mukanya dengan kedua tangan dan berteriak: „Jangan mengungkat lagi ! Pergilah ..... pergilah..... engkau!"

,,Gak Lui takkan pergi. Akan menemani paman disini sampai dapat menemukan daya !"

Orangtua aneh yang ternyata Pedang Iblis Ko Tiong-ing itu, meraung-raung kalap: .,Aku tak sudi bicara padamu jika engkau tak mau enyah akulah yang pergi !" tiba2 tubuhnya berputar dan menjusup kebagian dalam guha.

Saat itu Gak Lui bcrusaha untuk menggeliat bangun.

Tetapi tenaganya masih lunglai. Terpaksa ia berteriak-teriak memanggil paman gurunya itu, pun juga tiada penyahutan.

Hari makin gelap.

Setelah tiga jam tak berkutik, akhirnya jalan darah Gak Lui yang tertutuk. itu terbuka sendiri.

Buru-buru ia bangun terus masuk kebagian dalam.

TERNYATA GUHA itu bagian dalamnya berkeluk-keluk makin lama makin lebar.

Baru ia tiba di ujung terakhir, tiba2 ia dilanda oleh segelombang tenaga dahsyat.

„Pa .....!" belum sempat Gak Lui meneriaki nama pamannya, tubuhnya sudah terhuyung-huyung kebelakang dan sudah terjerumus kedalam sebuah saluran air. Airnya sejuk sekali, mengalir keluar guha.

Begitu terendam dalam air dingin, seketika terlintaslah dalam benaknya akan sebuah jurus yang aneh.

Setengah malam lamanya, ia mondar mandir.

Setelah lelah, ia duduk bersandar pada dinding batu.

„Hm...., besok pagi akan kusampaikan hal yang mengejutkan kepada paman, dia tentu akan memperoleh kebebasan ...., tentu girang sekali. Kemudian kita ......" demikian lumunan yang berlalu lalang dalam benaknya .......

Karena letih, tertidurlah ia.

Dalam tidurnya itu ia bermimpi bahwa pamannya telah memberi pelajaran ilmu silat kepadanya.

Kepandaiannya bertambah sakti, tubuhnya terasa nyaman dan semangat penuh.

Kemudian . . . kemudian ia membuka mata !

Wahai .., terrowongan guha,itu sudah terang lagi.

Tentulah hari sudah siang.

Gak Lui loncat berdiri, huh .......hampir saja kepalanya membentur langit terowongan.

Hai .... aneh, aneh........, mengapa tenaga-dalamnya kini bertambah hebat.

„Paman......! Paman.......!" teriaknya.

„Lui ........" terdengar jawaban Pedang Iblis.

Tetapi suaranya amat lemah.

Sayang Gak Lui tak memperhatikan hal itu.

la sudah girang setengah mati karena pamannya sudah mau menyahut.

„POHON BESI SUDAH BERBUNGA dan AIRPUN SUDAH TERBALIK MENGALIR.......! Lekas kemarilah paman, lihatlah keajaiban itu dan engkau...... engkau....... tentu bebas........!" seru Gak Lui tegang tegang.

Terdengar langkah yang sarat dan ketika pedang Iblis Ko Tiong-ing muncul, Cak Lui terbeliak kaget.

Hanya semalam saja, telah terjadi suatu perobahan yang besar...........

Saat itu mata No Tiong-ing sudah tiada bersinar tajam lagi.

Wajahnya penuh keriput.

Sama sekali jauh bedanva dengan keadaannya tadi malam.

Bergegas Gak Lui menyongsong dan memapah tubuh Ko Tiong ing, tanyanya cemas: "Paman, engkau bagaimana?"

„Hek....; hek.....," Ko Tiong-ing batuk2, aku tak kurang suatu apa.

Hanya sedih memikirkan peristiwa yang lam-pau ... lalu sedikit tak enak badan!"

,,Tetapi kalau paman menyaksikan 'keajaiban ini, tentu akan segera sembuh........ !"

Dengan setengah kurang percaya, Pedang Iblis Ko Tiong-ing melangkah kedalam mulut guha.

Gak Lui menutuk kearah puncak guha, serunya : „POHON BESI SUDAH BERBUNGA, lekas iihatlah........ !"

Pedang Iblis mengangkat muka memandang kepundak guha.

Seketika ia tertegun kaget, kemudian tersenyum : „ Jurus yang bengkok itu, ternyata engkau mampu memecahkan......... !"

Kiranya batang pedang yang dilontarkan Pedang Iblis Ko Tiong-ing sampai tembus keluar dinding guha itu, dihias dengan untaian bunga segar oleh Gak Lui.

Sepintas pendang tampak seperti sebatang pohon besi sedang bcrbunga ....

„Ya......., paman tentu tak mungkin mengatakah peristiwa itu bukan suatu kenyataan......... ! Sekarang marilah lihat lagi AIR TERBALIK MENGALIR."

Mereka menuju kesaluran air yang berasal dari sumber-air gunung.

Tiba ditepi saluran air itu, Gak Lui menunjuk kearah parit air itu : ,,Jika kukatakan 'terbalik', air dalam saluran itu tentu akan segera membalik alirannya. Harap paman perhatikan baik2 .........!"

,,Parit itu lebih dangkal dari biasanya. Perlu apa dilihat....... !"

Sekonyong-konyong Gak Lui berseru : „Terbalik"

Secepat kilat ia memapaskan pedang kemulut saluran air tanah liat yang disumbatkan pada mulut saluran kemarin malam, pecahlah.

Sumber-sumber air itu segera mencuruh terjungkir balik kebawah.

Pcdang Iblis tertawa rawan, serunya : „Lui....!, paman berterima kasih kepadamu. Tetapi aku tak ingin keluar lagi....... !"

„Me ......... mengapa ?"

„Kasih tahu dulu padaku, Pedang Malaekat dan Pedang Aneh mati ditangan siapa? "

Dengan nada haru dan sedih, Gak Lui segera menceritakan semua peristiwa yang diketahuinya.

Begitu pula tentang tokoh yang bergelar Maharaja, yang telah menyuruh gerombolan Topeng Besi membunuh-bunuhi orang2 persilatan golongan Putih.

Berulang kali Pedang Iblis mengerang dan hauk ..... ia mengeluarkan darah.

Ahirnya berkatalah ia dengan kalap : „Dahulu bibi gurumu Pedang Bidadari Li Siok-gin telah membawa surat dari ayahmu kemari, memanggil aku kesana.

Tetapi karena msih mendendam kemarahan, kutolak permintaannya.

Ach.........!, kini kita semua telah menderita bencana yang begini mengenaskan ........ aku ........... seharusnya bunuh diri untuk menebus dosa!”

„Tidak...... paman.......! ,” teriak Gak Lui.

„Engkau telah bebas sekarang! Eagkau dapat kelua:r mencari balas pada musuh.......!

„Kepandaianku pun tak dapat mengalahkan musuh itu. Maka semalam telah kusaurkan sembilan bagian dari tenaga murniku kepadamu. Tetapi tubuhmu sendiri ternyata juga ada penyakitnya. Engkau harus mencari.....hek....., hek......."

„Paman ..... naman....." Gak- Lui cemas, katakanlah. Siapa yang harus kucari itu? Paman .......

Pedang Iblis Ko Tiong-ing bcrusaha untuk menguatkan diri.

Dipandangnya Gak Lui lekat katanyapula: „Engkau harus mcncari ‘Si-sim-leng-cuan’ atau sumber-air Pencuci-jiwa ........ air dari sumber itu mempunyai- khasiat untuk membakar tulang-tulang......., akan dapat mengobati penyakitmu ‘Lubuk hati sempit’ .... jika tidak begitu ........ tentu sudah kusalurkan seluruh tenaga murniku kedalam tubuhmu. Tetapi syarat pertama ........."

,,Apa......?"

,,Air sumber itu luar biasa pahitnya ......." „Gak Lui tak takut........!"

„Sudah banyak tokoh2 persilatan, setelah minum air sumber itu semua muntah2 dan putus usus dan empedunya lalu mati ditepi sumber itu ......... "

Gak Lui tergetar hatinya.

Dia mengira Pamannya itu tentu sedang kacau pikirannya sehingga ncapannyapun tak keruan:

Melihat pemuda itu tertegun kaget, Pedang Iblis segera menyusuli kata2: „Sumber air ‘Si-sim-leng-cuan’ walaupun telah membinasakan banyak tokoh: tokoh persilatan, tetapi hal itu adalah kakek - gurumu Bu-san It-ho sendiri yang mengatakan. Jelas tentu tak bohong. Dan lagi beliau mengatakan, khasiat dari air sumber itu memang benar-benar mujijad sekali. Hanya cara minumlah ...... yang jarang diketahui orang2 .......!"

,,Tentu ada peraturan minum yang khusus? Misalnya dalam ilmu pengobatan sering dikatakan ‘dengan racun untuk mengobati racun’ atau ......."

,,Lui....., engkau dapat mecmecahkan masalah POHON BESI BERBUNGA, AIR TERBALIK MENGALIR Rahasia dari sumber air itu, kupercaya engkau pun tentu dapat memecahkannya             !

Kuharap penyakitmu segera sembuh dan berhasil meyakinkan ilmu kepandaian yang tiada tandingannya didunia ........"

Pedang Iblis, berheniti batuk2.

Darah segar mengucur deras dari muut dan hidung ....

Gak Lui gugup dan cepat memeluk pamannya untuk memberi penyaluran tenaga-dalam.

Tetapi sayang walaupun ia sudah mendapat hawa murni dari Pedang Iblis yang disebut tenaga-sakti Algojo-dunia, namun sedikitpun ia tak mengerti penggunaannya.

Mencoba sampai setengah hari, tetap ia tak mampu menghentikan kucuran darah pamannya.

„Anak Lui...., janganlah membuang tenaga sia-sia. Lekas ...... angkat aku... keluar ......"

„Ya....., ...... ya! Paman telah bebas, seharusnya lekas tinggalkan guha yang telah paman huni selama 18 tahun ini!"

Habis berkata Gak Lui terus mengangkat tubuh pamannya.

Tetapi sampai dipintu, Pedang lblis, suruh Gak Lui berhenti.

Ia menunjuk pada 8 huruf yang tergurat dibalik pintu, katanya: „itu ...... akulah yang mengguratnya .... merupakan tempat ajalku ........"

Gak Lui gemetar: „Paman, engkau harus keluar. Biarlah Gak Lui yang menolongmu!" ia terus hendak membawanya keluar.

Oleh karena sudah kehabisan tenaga, sudah tentu Pedang Iblis tak dapat menahan tarikan Gak Lui.

Ia terhuyung-huyung dan berteriak.

„Engkau ...., engkau lihat diluar dulu.... aku takut ketemu manusiabidup ....."

„Tak mungkin diluar ada orang ......... "

„Huh........., engkau berani menentang perintah. pamanmu.......!"

„Tidak......!, paman."

Lekas..... lekas lihat yang jelas...., aku..... baru ikut engkau keluar.....!"

Terpaksa Gak Lui lepaskan cekalannya, terus melesat keluar guha.

Uh......., loncatannya ternyata jauh sekali.

Jauh lebih pesat dari biasanya.

Buru2 ia balik kepintu gha lagi.

Bruukk.......,       terdengar suara benda bergedebuk jatuh ketanah.

„Paman .......!” Gak-Lui menjerit ..... lalu menubruk pamannya.

Ketika mengangkatnya, ternyata kepala Pedang Iblis pecah.

Ia telah bunuh diri dengan benturkan kepalanya pada dinding batu

Bercak darah masih meneteskan percikan darah merah pada Dinding itu, tokoh kedua dari Catur Pedang gunung Bu-san telah mengakhiri jiwanya!

Betapapun sedih hati Gak Lui, namun hal itu sudah menjadi kenyataan.

Ia harus menanam jenazah pamannya.

Pada saat menjamah tangan sang paman, tiba2 ia merasakan sesuatu yang aneh.

Ujung jari telunjuk kanan dari Pedang Iblis juga hancur sehingga tampak tulangnya.

,,Ah, paman tentu menggurat tulisan dengan ujung jarinya. Tetapi karena tenaganya sudah habis, ujung jarinyapun hancur," Gak Lui menduga.

Dalam keadaan duka Gak Lui tak memikirkan lagi apa yang telah ditulis oleh Pedang Iblis. itu. Cepat ia membopong tubuh pamannya dibawa keluar.

Dia membuat tempat kuburan ditengah hutan.

Sambil berlutut, berdoalah Gak Lui: „Paman, arwahmu sudah bebas. Mohon paman pulang dengan tenteram ketempat asal .... Hutang darah paman tentu akan kubalaskan !"

Setelah menumpahkan isi hatinya, Gak Lui bangkit.

Dipandangnya makam itu sampai beberapa lama.

Matanya penuh dendam penasaran!

Puas.....! berdialoog dengan arwah -pamannya, Gak Lui lalu tioggalkan tempat itu.

Tetapi baru beberapa langkah, tiba2 ia berhenti: „Ah..., celaka! Mengapa lupa kututup guha itu? Didalamnya terdapat banyak benda2 peninggalan paman. Dan apa yang digurat paman itu, belum kulihat."

Cepat ia balik lagi kedalam goha.

Pada dinding yang biasa dibuat tempat latihan oleh pamannya, Gak Lui melihat dua baris huruf:



Menjolok-bintang-memetik-bulan seperti hujan mencurah,

Algojo-tunggal- dari-dunia mengejutkan hantu dan iblis.



Dibawah tulisan itu terdapat banyak gambar2 dan huruf2 kecil.

Walaupun digurat dengan ujung jari, .tetapi guratannya tak berapa dalam.

Makin lama makin dangkal, sehingga huruf2 terakhir hanya merupakan guratan darah belaka!

Air mata Gak Lui berderai-derai mengucur.

Makin dalamlah rasa terima kasihnya atas jerih payah pamannya.

Mengamati dengan seksama, barulah ia mengetahui bahwa yang dimaksud dengan Algojo-tunggal dari-dunia itu adalah tenaga-sakti dari Pedang Iblis yang dapat digunakan untuk mendorong dan menyedot.

Ilmu tenaga-sakti Algojo-tunggal dari dunia merupakan suatu ilmu tenaga dalam yang luar biasa.

Lebih dulu menyedot tenaga lawan dengan telapak tangan.

Lalu dengan menggunakan telapak tangan yang lain memancarkan lagi tenaga lawan yang disedot itu untuk menghantam.

Dengan cara itu, tak perlulah memakai tenaganya sendiri.

Dengan meminjam tenaga lawan, dapat digunakan untuk menghantam lawan.

Apalagi kalau ditambahi dengan tenaga-dalamnya sendiri.

Tentu lebih hebat!

Tetapi hal itupun ada syaratnya.

Yalah harus disesuaikan dengan bakat dan latihannya sendiri.

Bakat makin bagus, latihan tentu makin.sempurna dan kemampuan untuk mengalahkan lawan makin hebat.

Apabila, bakat dan latihan kurang tinggi sedang lawannya lebih kuat, selain tak dapat menyedot tenaga lawan, malah amat berbaya.

Dirinya sendiri akan remuk di dalam !

Dan tentang jurus Menyolok-bintang-memetik-bulan itu, sesungguhnya merupakan salah sebuah ilmu istimcwa dari Catur Pedang Bu-san.

Jika jurus itu digabung dengan ilmu Algojo-tunggal dunia, senjata musuh tentu dapat disedot jatuh.

Nama2 yang diberikan untuk jurus Algojo tunggal dunia dan Menyolok-bintang-rembulan itu, justeru berlawanan dengan nama Memotong-emasmembelah-kumala.

Gak Lui tak jadi tinggalkan guha itu.

Ia memutuskan untuk menetap disitu mempelajari ilmu yang diberikan Pedang Iblis dengan guratan dinding guha.

Siang malam ia giat sekali berlatih.

Ia bersumpah, selama belum dapat menguasai ilmu itu, takkan keluar dari guha.

Tempo berjalan cepat sekali.

Tak terasa sudah 7 hari lamanya Gak Lui tinggal dalam guha itu.

Dia dapat mempelajari ilmupedang tetapi masih belum memahami ilmu-tenaga-dalam menyedot dan memancar.

Dan lebih celaka pula, persedian ransum dalam guha itu sudah habis.

Ia mulai kelaparan.

Pada hari itu dengan menahan lapar dengan minum air sumber, ia melangkah keluar guha.

Tiba2 ia melihat seekor serigala berada beberapa meter diluar guha.

Serentak timbullah semangat Gak Lui.

Ce-pat ia hendak loncat menangkap tetapi tiba2: „Tidak Aku tak boleh melanggar sumpah" serentak teringat akan sumpahnya ia berhenti.

Tiba2 ia teringat dan segera tangan kirinya berayun menggunakan tenaga sakti Algojo tunggal dari dunia.

Diluar dugaan, jurus itu telah menimbulkan reaksi yang hebat.

Ia rasakan telapak tangannya menyedot serangkum hawa, terus masuk kedalam jalan darah dan mengalir keseluruh tubuh.

Serigala itu terkejut dan hendak lari.

Tetapi kaki belakangaya menelikung kebawah tak dapat bergerak.

Melihat itu girang Gak Lui bukan kepalang.

Ia tahu ilmunya tenaga-sakti menyedot telah berhasil, cepat ia perkeras tangannya.

Serigala itu meraung dan melolong kalap.

Binatang itu menggaruk-garukkan kedua kaki depannya ke tanah.

Beberapa saat kemudian tanah telah berlubang seperti sebuah liang.

Namun tetap binatang itu tak mampu membebaskan diri dari tenaga-penyedot Gak Lui.

Saat itu terjadilah tarik menarik antara Gak Lui dengan serigala.

Tapi akhirnya serigala itu tertarik kedalam guha lalu dibunuh.

Dengan demikian berhasillah Gak Lui menyelami intisari ilmu tenaga-dalam penyedot.

Disamping itu telah mendapat ransum makanan.

Sebulan kemudian, setelah berlatih keras, Gak Lui berhasil mencapai tataran yang tinggi dalam peryakinannya ilmu pedang dan tenaga-sakti penyedot.

Pada hari itu Gak Lui mengemasi barang2 peninggalan Pedang Iblis, menutup pintu guha rapat-rapat lalu minta diri dihadapan kuburan Pedang Iblis dan terus turun gunung.

SAAT ITU hari sudah malam ketika ia tengah menyusuri jalan besar.

Ia gunakan ilmu lari cepat.

Tujuannya hendak mencari orang dan menanyakan letak sumber air Pencuci jiwa itu.

Tiba2 disebelah tenggara, tampak cahaya api memancar dilangit.

„Bagus....!" pikirnya,

„Disana tentu terdapat rumah penduduk, tetapi aneh, mengapa api sedemikian besarnya?"

Segera Gak Lui lari menuju tempat itu.

Tak beberapa lama ia melihat sebuah gedung besar.

Empat penjuru gedung itu dipasangi berpuluh onggok api unggun sehingga terang benderang seperti siang hari.

Dilihatnya juga dalam gedung itu orang sibuk mondar mandir kian kemari dengan membawa senjata terhunus.

Cepat ia pesatkan langkah menuju ke gedung besar itu.

Ketika tiba dimuka pintu gerbang, ia terus hendak niinta pintu.

Tetapi belum mulut berkata, sekonyong-konyong empat sosok tubuh melesat keluar.

Seorang lelaki setengah umur yang berada paling depan, tanpa bilang suatu apa terus menghantam Gak Lui.

Gak Lui marah.

Tetapi sebelum jelas, siapa sesungguhnya orang2 itu, terpaksa ia tahan kemarahannya.

Cepat ia gerakkan tangan dalam jurus, Algojo-tunggal dari-dunia untuk menyedot tenaga pukulan orang.

Semula orang dari dalam gedung itu mengira kalau Gak Lui tengah lepaskan pukulan Membelah gunung.

Diam2 ia yakin pukulannya itu tentu dapat mengalahkan Gak Lui.

Amboi........., orang itu terkejut ketika pukulannya seperti terbenam dalam lautan hilang sirna tak berbekas...............

Orang itu terkejut dan buru2 menarik pulang tangannya seraya loncat kesamping.

Adalah siorangtua dibelakang orang pertama itu, karena tak tahu apa yang terjadi, begitu melihat kawannya menyingkir, ia terus menghantam dada Gak Lui.

Gak Lui menyurut mundur dua langkah seraya tamparkan tangan kiri.

Wut ... tenaga pukulan orangtua itu hilang lenyap seketika!

Tetapi jago-tua itu tetap tak menghiraukan.

Begitu keduanya saling mendekati, tiba2 ia menarik tangan lalu gerakkan sikunya membentur jalandarah dilambung Gak Lui.

Jurus itu disebut membentur-gunung-Thaysan.

Perbawanya dapat menumbuk pecah batu gunungl

Gak Lui mendengus dingin.

Sambil menangkis dengan tangan kiri, tangan kanannya memukul.

Bum ..., jago tua itu mendengus tertahan.

Tubuhnya terhuyung-huyung sampai lima langkah dan hampir terjerumus kedalam onggok api.

„Kalian tahu aturan atau tidak!" bentak Gak Lui.

Orang yang menyerang pertama kali tadi, mencabut pedang dan balas membentak: „Terhadap manusia seperti engkau, perlu apa pakai aturan !"

„Engkau anggap aku ini manusia macam apa?'"

„Engkau sendiri tentu sudah tahu !"

Gak Lui marah, bentaknya : „ Cara omonganmu itu, aku tak mengerti ....... "

Tak usah berpura-pura !

Setelah kuringkus, engkau tentu akan tahu semua !" orang itu menutup kata dengan gerakkan pedangnya.

Seketika ketiga kawannyapun ikut serempak menyerang Gak Lui.

Kalian cari mampus sendiri ...!" Gak Lui segera taburkan pedangnya.

Dibawah cahaya api unggun, sinar pedangnya berkelebat menyapu keempat lawannya.

Keempat orang itu dengan tangan kanan memainkan pedang sedang tangan kiri melancarkan pukulan.

Selain jurus permainannya aneh, tenaga pukulan mereka juga hebat.

Sebelum mendapat pelajaran dari Pedang Iblis Ko Tiong-ing, mungkin Gak Lui tentu celaka.

Karena selama diasuh oleh ayah angkatnya, karena ayahnya buntung, maka tak dapat menurunkan ilmu tenaga dalam yang sempurna.

Pedang Iblis Ko Tiong-ing telah membenamkan diri meyakinkan ilmupedang selama 18 tahun.

Dalam ilmupedang, dia jauh lebih tinggi dari Pedang Aneh Ji Ki-tek.

Dengan mendapat pelajaran ilmupedang yang sakti itu, ditambah dengan ilmu tenaga-dalam Algojo-tunggal-dunia, Gak Lui tak gentar, menghadapi keempat penyerangnya itu.

Bahkan makin hebat lawan menyerang, makin tangguh daya-perlawanan Gak Lui.

Sepuluh jurus kemudian, keempat pengeroyok itu terkejut.

Satu demi satu mereka mulai mengganti permainannya.

Dari menyerang, menjadi bertahan.

Gak Luipun ganti siasat, ia salurkan tenagadalam sakti Algojo-tunggal dari-dunia, kebatang pedangnya.

Asal pedang lawan membentur pedangnya, tentu tersedot lekat dan harus mandah bergerak kemana Gak Lui menginginkan.

Tetapi jika lawan coba untuk melepaskan, tenaga-dalamnya tentu akan tersedot oleh Gak Lui.

Cepat sekali kelima sinar pedang itu, satu demi satu mulai lenyap.

Dan pada lain saat, Gak Lui berteriak: „Lepas!"

Susul menyusul, pedang keempat orang itu mencelat keudara.

Berkilat-kilat laksana batang anakpanah meluncur keangkasa.

,,Oh........, kiranya jurus itu disehut Menjolok-bintang-memetik-bulan.

Bukankah batang pedang yang membubung keudara dan meluncur lagi ke bumi itu seperti nama jurus itu keadaannya?" diam2 Gak Lui membatin.

Se-konyong2 pemimpin kawanan pengeroyok itu berteriak senyaring-nyaringnya: ,,Hayo, lekas bantu meringkus penjahat "

Dari dalam gedung besar, berhamburan keluar berpuluh-puluh sosok tubuh manusia.

Gak Lui maju beberapa langkah dan siap sedia.

Keempat orang itu takut juga.

Mereka sudah kehilangan pedang.

Terpaksa menyurut mundur dan tegak berjajar-jajar.

„Mengapa kalian menyerang aku ? Apakah kalian mau menjelaskab sebabnya'!" seru Gak Lui.

„Kami akan mengadu jiwa bukan bicara!" sahut mereka.

„Aku Gak Lui, datang kemari sama sekali ......”

Belum Gak Lui selesai bicara, bala bantuan dari gedung besar itupun tiba.

Mereka dipimpin oleh seorang wanita pertengahan umur.

Tangannya mencekal sepasang pedang Mimi dan Mintuna.

Dan tanpa bicara apa2, wanita itu terus menyerang ganas.

Sudah tentu Gak Lui marah sekali.

Ia keluarkan jurus ilmupedang Memotong-emas-membelah-kurma.

Tring ......, pedang wanita itu dapat ditabas kuntung!

Tetapi anakbuah wanitu itu cepat menyerbu.

Keempat orang yang kehilangan pedang tadi, tclah mendapat gantii pedang, ikut menyerang.

Dalam taburan hujan pedang itu, Gak Lui pun mencabut pedangnya yang lain.

Dengan sepasang panjang, ia mengamuk.

Tring..., tring...., tring .....

Kemana pedang Gak Lui berkelebat, tentu terdapat pedang musuh yang terpapas kutung.

Dering gemerincing dari benturan pedang itu amat memekakan telinga.

Tetapi kawanan orang itu tak kenal mundur.

Terlebih- pula siwanita dan keempat lelaki yang pertama mcnyerang tadi.

Mereka pantang mundur.

Dalam cuaca yang mulai meremang petang, suasana makin menyeramkan.

„Celaka........! Rupanya orang2 ini bukan golongan orang jahat! Perlu apa harus membunuh .........."

Demikian terlintas dalam benak Gak Lui.

Ia segera robah permainan pedangnya.

Pedang di sapukan keempat keliling.

Sctelah mengundurkan musuh, sekonyong-konyong ia loncat melambung keudara lalu melayang turun, kedalam semak terus melarikan diri.

Tak berapa saat ia sudah lari 10 li jauhnya.

Berpaling kebelakang, gedung besar yang diterangi api unggun itu sudah amat jauh sekali.

Segera ia masuk kedalam hutan duduk bersemedhi memulangkan tenaga.

Tetapi pikirannya sukar ditenangkan.

Tak henti2nya ia memikirkan peristiwa yang dialaminya itu.

,,Kawanan orang itu benar tak kenal, aturan, tetapi dari wajahnya mereka seperti tengah menghadapi ketegangan. Mungkin akulah yang tak kenal tata-aturan dunia persilatan sehingga melanggar pantangan mereka ......... ah, lebih baik besok pagi kesana lagi ........... "

Setelah lepaskan kerisauan pikirannya, akhirnya dapatlah Gak Lui bersemedhi dengan tenang.

Pada saat ia membuka mata, haripun sudah fajar.

Kembali ia merenungkan pertempuran semalam, pikirnya : „Untunglah aku tak bertindak ganas. Mereka hanya terluka luar. Tetapi peristiwa itu memang aneh sekali Aku barus menyelidiki lagi ........ "

Setelah mengambil keputusan ia segera menuju kedesa lagi.

Gedung itu tampak sunyi senyap.

Api unggun sudah padam semua.

Hanya disana sini masih membekas sisa asap.

Yang aneh, pintu gedung masih tetap terbuka.

Tetapi tak tampak seorangpun juga.

Tiba2 mata Gak Lui tertumbuk akan sesuatu yang aneh.

Pada tembok pintu, terdapat secarik kertas hitam yang berrtuliskan huruf warna merah dan dibubuhi cap tinta emas.

Gak Lui maju mcnghampiri.

Astaga.....! Kembali ia terbeliak kaget.

Ternyata huruf merah pada kertas hitam itu bukan tinta biasa melainkan dari darah manusia.

Bunyinya:

„Yang taat padaku, hidup. Yang menentang, mati!"

Maharaja.

„Hai! bukankah ini Amanat Takdir dari dunia persilatan !" Gak Lui terkejut.

Segera ia merobek surat itu dan melihat sebaliknya.

Ah, ternyata terdapat 3 buah huruf besar.

Seketika meng-gigil2-ah tubuh pemuda itu.

Segera ia menyimpan surat yang dirobek itu dalam baju lalu melangkah masuk: ,,Hai, mana orangnya ?" sambil berjalan ia berteriak memanggil.

Namun tiada penyahutan sama sekali.

Yang menyahut seruannva itu hanya ceceran noda darah dilantai.

Menurutkan ceceran darah, ia terus masuk kedalam sebuah ruangan besar.

Kembali ia terbeliak kaget.

Wanita dan keempat laki2 yang bertempur dengan dia semalam, saat itu terpaku ditengah ruangan dengan senjata masing-masing.

Senjata itu menusuk dada tembus sampai kepunggung.

Empat keliling tembok ruang, penuh terpaku dengan tubuh anak buah gedung itu!

Mata mereka melotot keluar, wajah menampilkan ketakutan yang mengerikan.

Gak Lui tegak berdiri ditengah puluhan mayat-mayat yang tegak berdiri terpaku di dinding.

Makin mendalamlah rasa kebenciannya terhadap Maharaja.

Saat itu iapun segera menyadari kesalah faham yang terjadi semalam.

,,Mereka tentu menerima Amanat Takdir dari si Maharaja.

Lalu mereka mengatur penjagaan keras untuk menghadapi musuh.

Setiap pendatang, tentu dianggap orang dari Maharaja itu.

Begitu pula terhadap diriku, mereka duga aku tentu salah seorang dari gerombolan Topeng Besi.

Dan ketika kutinggalkan tempat ini, gerombolan pengganas itu tentu datang dan membunuh mereka habis-habisan.

Ah........, sehurusnya semalam aku herada disini, membantu mereka menghadapi pengganas-pengganas itu.

Sekarang aku kehilangan kesempatan untuk menuntut balas pada musuh....." ia menimang-nimang dalam hati.

Karena gemas, Gak Lui mengerunyutkan gerahamnya dengan keras.

Berputar memandang pada mayat2 yang berada dalam ruang itu, ia berdoa pelahan: ,,Saudara2 aku Gak Lui bersumpah akan membalaskan dendamu saudara. Harap kalian mengasoh di alam baka dengan tenang. Maaf karena tak sempat menguburkan, terpaksa jenazah saudara2 akan kubakar saja........!"

Dengan obor itu mulai membakar ruangan itu. Bau mayat terhakar, membaur kemana-mana, memuakkan perut orang.

Setelah selesai mengadakan pembakaran mayat, Gak Lui segera menetapkan rencana.

,,Dengan terdapat Amanat Takdir disini, tentu gerombolan pengganas itu akan melakukan pembunuhan pada tokoh2 golongan Putih dilain tempat. Dan untuk mencari keterangan tentang letak sumber air Pencuci Jiwa itu, tak sembarang orang dapat memberitahu. Aku harus lekas2 mencari tokoh persilatan yang lain ..........."

Secepat kilat ia terus menerobosIkeluar dari ruang itu.

Tetapi baru beberapa tombak meninggalkan gedung, dua sosok bayangan melesat cepat kedalam gedung itu.

Baik Gak Lui maupun kedua orang itu sama2 lari pesat.

Yang satu keluar, yang lain masuk.

Tubrukan pasti tak dapat dihindarkan lagi.

Pada saat jarak kedua fihak tinggal satu meter, dengan kegesitan yang luar biasa, Gak Lui enjot tubuh melambung ke udara.

Melayang dua tombak tingginya melampaui kepala kedua pendatang itu....!

Tetapi ternyata kedua pendatang itu, juga berilmu tinggi.

Salah seorang ternyata seorang tua yang berjenggot panjang.

Tampak terkejut karena melihat Gak Lui melambung diatas kepalanya, ia terus lari menerobos kedalam gedung.

Sedangkan kawannya, seorang tua berwajah hitam, berhenti dan berputar diri lalu mendamprat Gak Lui: „Hai........., hendak lari kemana engkau Topeng Besi......?!"

Tring .... orang tua berwajah hitam itu terus mencabut pedang lalu loncat menusuk pungung Gak Lui.

Saat itu Gak Lui masih melayang di udara.

Dari angin gerakan pedang, tahulah buhwa penyerangnya itu rnmemiliki tenaga-dalam yang tinggi.

Maka ia gerakkan, kedua. tangannya, menampar kebelakang dan menggurat dengan tenaga-sakti Algojo-dunia.

Orang tua itu tergetar sampai miring tubuh-nya.

Ia benar2 terkejut karena jurus Algojo-dunia yang hebat itu.       ......."

Secepat kilat Gak Luipun berputar diri dan berseru: „Aku........ bukan gerombolan Topeng Besi Engkau salah, duga .......”

„Jangan ngaco belo.....!" bentak orangtua berwajah hiiam itu lalu taburkan pedangnya makin dahsyat.

Mau tak mau Gak Lui menghela napas.

Ia mengkal dan geram: „Ah........., kembali harus bertemu" dengan manusia yang gila.

Terpaksa harus kupapas pedangnya dulu baru nanti bicara lagi.....!" pikirnya.

Sengaja ia memhuka sebuah peluang.

Dadanya dibuka tak dlindungi.

Orangtua berwajah hitam itu mengira kalau mendapat kesempatan bagus, segera ia menusuk ke tenggorokan lawan.

,,Tetapi baru pedang menusuk, secepat kilat Gak Lui sudah taburkan pedangnya, tring .... putuslah seketika pedang orangtua berwajah hitam itu menjadi dua ....!"

,,Aku akan mengadu jiwa denganmu !" teriak urangtua berwajah hitam itu.

Membuang pedangnya yang kutung, ia terus hendak membentur dada Gak Lui dengan kapala ....!

Tepat pada saat itu, .....orangtua berjenggot panjang yang menerobos masuk kedalam gedung tadi, muncul keluar.

Mukanya penuh dengan bekas airmata.

Secepat kilat dia enjot tubuhnya melayang keudara, menusuk bahu kanan Gak Lui.

Saat itu Gak Lui belum sempat menarik pulang pedangnya.

Serangan2 dari kedua orangtua dari bawah dan atas itu, membuatnya terkejut.

Dalam gugupnya ia teruskan pedangnya dengan jurus Menjolok-bintang- memetik-rembulan.

Menangkis dengan pedang orangtua berjenggot panjang, serempak dengan itu tangannya kiri menampar orangtua muka hitam yang hendak meyeruduk.

Tring ... ...pedang orangtua berjenggot panjang terlempar keudara, dia dan orang muka hitam, terkena hantaman Gak Lui sampai tersurut mundur dua langkah."

Orang tua muka hitam terengah-engah napasnya dan terus hendak menyerbu lagi.

Tetapi dicegah orangtua berjenggot panjang: „Hiante, harap, bersabar dulu"

Kemudian orangtua berjenggot panjang itu menegur Gak Lui: „Siapakah anda ini? Mengapa hari2 sepagi begini ini sudah bergegas-gegas keluar dari desa Ngo kiat-cung sini?"

„Maaf, mohon paman berdua memberitahukan nama dan maksud -kedatangan kemari dulu, baru nanti kujawab pertanyaan itu," sahut Gak Lui

---oo0oo---

BAB 05
DESA JAGAL

„AKU Hi Liong-hui bergelar Pedang Samudera dan ini adikku angkat Pedang Gelombang Go Bun Hua.

Dunia persilatan menjuluki kami sebagai Sepasang Pedang Gelombang Samudera.

Karena kami bersahabat baik dengan Lima jago, maka begitu mendengar mereka menerima Amanat Maut, kami terus bergegas datang kemari untuk menjenguk....!" kata orang tua berjenggot panjang itu.

Melihat wajah kedua orangtua itu jujur dan kata2nya bersungguh-sungguh, Gak Lui pun segera memberitahukan namanya.

Ia menuturkan tentang kesalah fahaman yang terjadi ketika ia datang ke desa Ngo-kiat-cung.

Pada hal maksud tujuannya hanyalah hendak bertanya tentang letak sumber air Pencuci Jiwa.

Habis menutur, ia mengeluarkan surat Amanat Maut yang diambilnya dari samping pintu.

Diluar dugaan, begitu melihat Amanat Maut itu, pucatlah seketika wajah kedua orangtua itu.

Pedang Gelombang Go Bun-hua serentak menjerit kaget dan meraung : „Ho......., kiranya itulah Amanat Maut!

Dengan membawa surat itu, siapa lagi engkau kalau bukan anggauta gerombolan Topeng Besi!"

Sudah tentu Gak Lui sendiri juga terkesiap kaget.

Tetapi sebelum ia sempat memberi penjelasan, Pedang Samudera Hi Liong-hui sudah mencegah adik-angkatnya: „Harap hiante jangan lekas bercuriga!

Masakan engkau tak memperhatikan ilmu permainannya pedang yang aneh tadi?"

,,Aku tak kenal permainannya itu!"seru Pedang Gelombang Go Bun-hua.

,,Tetapi lain sama sekali dengan ilmupedang gerombolan Topeng Besi itul"

„Lalu siapakah dia?"

„Tentulah pemuda Pemangkas-pedang yang telah menggetarkan dunia persilatan itu!" kata Pedang Samudera Hi Liong-hui.

Saat itu barulah Go Bun-hua tersadar.

Kini Gak Luilah yang berbalik heran.

Buru2 ia bertanya: „Tadi Go lo-cianpwe mengenali surat ini sebagai Amanat Maut.

Lalu apakah bedanya dengan Amanat Hidup?"

,,Amanat Hidup kertasnya putihl"

„Mengapa lo-cianpwe tahu begitu jelas ?"

„Aku....." baru Pedang mengucap sepatah, Pedang Samudera segera menukas : „Kami hanya mendengar cerita orang pcrsilatan.

Kini tentang Kelima Jago itu sudah selesai, kamipun hendak pergi....!"

„Nanti dulu ....!"

Pedang Samudera Hi Liong-hui kerutkan alisnya yang panjang : „Saudara hendak perlu apa lagi?"

„Masih ada beberap soal yang, hendak kumintakan keterangan pada cianpwe," kata Gak Lui.

„O ... apakah soal engkau hendak pergi ke sumber air Pencuci Jiwa itu ?"

Itu salah satunya !"

„Sumber air Pcncuci - Jiwa itu melalui gunung Thian-gan-san yang jauh.

Dari sini mau menuju kearah timur.

Kira2 setengah bulan baru akan tiba disana.

Tetapi banyak sekali orang persilatan yang mati ditepi telaga itu.

Tiga puluh tahun tak pernah ada pengunjung yang selamat jiwanya.

Dalam hat ini perlu kujelaskan padamu lebih dulu I"

„Terima kasih atas keterangan cianpwe. Lain dari itu, tadi cianpwe mengatakan bahwa jurus permainan pedangku tak sama dengan gerombolan Topeng Besi. Lalu ilmu pedang aliran manakah yang digunakan mereka itu?”

„Kabarnya meliputi berbagai aliran, Siau-lim, Bu-tong, Kong-tong, Ceng-sia dan, Heng-san, kelima partai persilatan besar..........!"

Seketika gemetarlah Gak Lui.

Tempo hari mendiang ayah angkatnya mengatakan hanya tiga partai persilatan, ternyata kini si Hidung Gerumpung itu dapat menundukkan tokoh2 dari lima partai persilatan besar!

Karena marah hampir Gak Lui hendak mendamprat tokoh2 murtad yang mau diperbudak si hidung Gerumpung.

Namun ditelannya kembali makiannya lalu bertanya lebih lanjut : „Dari aliran partai manakah ilmu silat si Maharaja itu?"

Dia memang misterius sekali! Tiada seorangpun yang mengetahui aliran ilmu silatnya dan sampai berapa tinggi kepandaiannya itu.

Tentang kekuatannya, mungkin didunia persilatan tiada yang mampu menandinginya kecuali Raja-di-raja Li Liong-ci!"

Gak Lui makin terkejut.

Namun ia tak patah hati bahwa niatnya untuk membalas dendam itu makin keras.

Disamping itu diam2 ia tak puas dengan Raja-di-raja Li Liong-ci yang tetap menyembunyikan diri itu.

„Pertanyaan yang terakhir yalah hendak mohon lo-cianpwe suka menjawab sejujurnya. Adakah lo-cianpwe sudah menerima Amanat Takdir atau belum?"

„Ini ..... ini...., belum menerima" sahut Pedang Samudra.....!”

„Tetapi Pedang Gelomhang Go Bun-hua locianpwe mengatakan sudah pernah melihat Amanat Hidup, mengapa lo-cianpwe menyangkal.......?" desak Gak Lui.

„Ah, umurmu masih muda belia, jangan keiliwat ingin tahu segala, agar jangan terganggu perjalananmu........"

„Maharaja dan gerombolan Topeng Besi, mempunyai dendam sedalam lautan dengan aku. Aku bersedia membantu lo-cianpwe."

,.Dalam hal itu, aku mempunyai perhitungan sendiri, baik engkau jangan ikut campur !" sahut Pedang Samudera.

„Tidak......! Aku tak dapat berpeluk tangan mengawasi saja. Apakah lo-cianpwe menganggap kepandaianku itu lebih rendah ......."

„Kami berdua mengagumi kepandaianmu. Tetapi kalau hendak bcrmusuhan dengan si Maharaja, haruslah engkau balajar sampai mencapai tataran yang tinggi. Terus terang, dengan kepandaian yang engkau miliki sekarang ini, masib terlalu jauh jika hendak menempur mereka...."

„Tetapi keputusanku sudah tetap, tak perlu lo-cianpwe mencegah....!"

Padang Samudra Hi Liong - mengkerutkan dahi karena sikap Gak Lui yang keras kepala.

Tiba2 Pedang Gelombang Go Bun-hua diam2 mendekati Hi Liong-hui dan membisiki beberapa patah kata ke telinganya.

Pedang Samudra Hi Long-hui mengangguk-angguk, lalu berkata kepada Gak Lui : „Kalau begitu baiklah, aku mempunyai sebuah urusan yang amat penting hendak minta tolong kepadamu. Entah engkau mau atau tidak ?"

,,Silahkan cianpwe mengatakan .......!"

,,Saat ini umurku sudah hampir 60 tahun dan hanya mempunyai seorang putera yang kunamakan Hi Kiam-gin. Sudah lama ia keluar mengembara, sampai sekarang belum pulang. Hatiku sungguh ccmas ........ "

„Aku bersedia mencarinya !" sahut Gak Lui.

Pedang Samudera Hi Liong-hui terharu mendengar kesediaan anak muda itu.

Serentak ia berlutut menghaturkan terima kasih.

,,Engkau benar2 merupakan bintang penolong dari keluarga Hi, hanya saja...... . anakku itu berwatak liar ......."

Gak Lui terkejut karena jago tua itu berlutut dihadapannya.

Buru2 ia mengangkatnya bangun : ,,Sudah tentu aku akan mewajibkan diri sebagai seorang saudara untuk mencari putera lo-cianpwe itu. Tak peduli bagaimana wataknya, aku tetap tak merobah pendirianku. Tetapi bagaimanakah wajah saudara Hi itu. Apakah ada ciri2 pengenalnya yang khas ?”

„Anakku itu berumur 19 tahun, wajahnya cukup gagah. Membawa sepasang pedang panjang dan pendek. Pada waktu meninggalkan rumah dia menuju kearah timur. Sungguh kebetulan engkau hendak menuju kesumber air Pencuci Jiwa. Mungkin dapat bertemu di tengah jalan."

,,Lalu tentang peristiwa gerombolan Topeng Besi malam ini ...........”

„Gak siauhiap, kucinta sekali kepada puteraku. Harap engkau suka melindunginya. Lain2 urusan, tak perlu engkau hiraukan."

„lni ....... "

,,Desaku merupakan sebuah tanah datar segi tiga. Dibelakang desa terdapat lembah gunung. Jika engkau mengikuti aku, tentu segera diketahui orang-orangku. Itu berarti engkau tak dapat di percaya. Terutama lembah itu, jangan sekali-kali engkau kesana ......" kata Pedang Sumedera Hi Liong-hui dengan nada serius.

Melihat orang begitu bersungguh-sungguh meminta, Gak Luipun berkata dengan lantang: „Karena cianpwe menghendaki begitu, baiklah. Silahkan cianpwe berdua pergi dulu. Setengah jam kemudian baru aku berangkat. Menilik kepandaian berjalan cepat dari cianpwe berdua, tak mungkin aku dapat mengejar."

Mendengar itu barulah Pedang Samudera Hi Liong-hui legah hati.

Setelah mengulang lagi perminntaannya agar Gakl Lui benar2 mau mencarikan jejak puteranya yang hilang itu, kedua jago pedang tua itu segera melesat pergi.

SETENGAH jam kemudian barulah Gak Lui berangkat.

Tepat pada saat ia tinggalkan tempat itu, sesosok bayangan hitam diam2 mengikutinya.

Walaupun terpaut setengah jam dan saat itu 'Sepasang Pedang Gelombang- Samudera sudah tiba dirumah, tetapi karena Gak Lui dibesarkan di gunung Yau-san, dia memiliki indera pembau yang tajam sekali.

Dalam mengenal bau orang dengan binatang.

Maka sekalipun terpaut setengah jam ia dapat juga mencium jejak kedua jago pedang tadi.

Memandang kemuka, dilihatnya sebuah gedung besar tegak dengan megahnya.

Dan dilihat-nya sepasang Pedang Gelombang-Samudera itu tengah berdiri di muka gedung sambil mencekal pedang.

„Celaka kalau ketahuan mereka, sungguh tak enak," pikirnya.

Cepat ia membiluk kekanan dan lari sekencang-kencangnya.

Melihat itu, orang yang mengikutinya dari belakang tadi, terkejut lalu buru-buru menyembunyikau diri dengan rebah ditanah.

Setelah tiga kali membiluk tiga buah tikungan, tibalah Gak Lui dalam lembah dibelakang gunung.

Lembah itu merupakan tanah rendah yang menyerupai sebuah lumpang batu.

Ditengah penuh dengan hutan dan batu2 aneh.

Walaupun pada siang hari, suasananya tampak menyeramkan.

Kemudian ketika memandang kelereng gunung, Gak Lui melihat lereng itu terdiri dari karang yang melandai tinggi.

Tiada hutan dan pepohonan sehingga tak dapat dibuat tempat bersembunyi.

Terpaksa ia menyusup diantara gundukan2 batu aneh itu.

Ketika hampir mencapai bagian tengah lembah, tiba2 dilihat sesosok bayangan muncul diatas gunung, buru2 ia mengumpat di belakang batu.

„Cetaka...! Kiranya Go Bun-hua cianpwe!

Jika sampai dilihatnya, sungguh tak enak ..... lebih baik kutunggu sampai malam hari ........" setelah memutuskan begitu, ia mencari tempat meneduh dibalik batu besar, ia mengeluarkan ransum kering lalu memakannya.

Untuk menghadapi pertempuran nanti malam, ia siapkan sepasang pedangnya.

Lain2 perbekalannya, disimpan hati2 dalam celah batu.

Ketika tangannya menjamah batu, ia merasa aneh: „Eh, mengapa batu ini begini licin sekali ?"

Dan serempak dengan itu hidungnya mencium bahu anyir.

pembau Gak Lui yang tajam tetap.......tak dapat mengenali bau itu.

Ia segera duduk bersemedhi, menunggu datangnya malam.

Akhirnya haripun malam.

Tetapi malam itu, tiada bintang dan bulan sehingga suana amat seram.

Gak Lui terus bangkit.

Dalam beberapa loncatan saja, ia sudah mencapai puncak gunung.

Melongok kebawah, tampak rumah2 dibawah gelap pekat2.

Pada empat penjuru, terdapat 10-an lebih api unnggun.

Bukan melainkan rumah2 itu saja, bahkan lereng gunung disebelah depan pun tampak terang.

Saat itu barulah Gak Lui menyadari akan kegunaan unggun api itu.

Tetamu tak dapat melihat kedalam, tetapi orang dalam dapat melihat jelas setiap pendatang.

Ia mulai menuruni gunung.

Karena kuatir jejaknya ketahuan, terpaksa Gak Lui berjalan hati2 menyusup diantara pohon2 yang rindang.

Perjalanan yang tak berapa, jauh itu telah makan waktu yang cukup panjang.

Saat itu sudah menjelang tengah malam.

Walaupun -musuh belum muncul, tetapi Gak Lui duga mereka tentu sudah berada disekitar tempat itu.

Sekonyong-konyong terdengar suara suitan tajam.

Rupanya dari jarak yang cukup jauh.

Diam2 Gak Lui menggigil.

Pada lain saat tampak beberapa bayangan hitam bermunculan dari empat penjuru.

Mereka menghampiri tumpukan api dan tahu2 unggun api itu padam semua.

Malam makin pakat.

Segera Gak Lui keluar dari tempat persembunyiannya.

Untuk mempersingkat waktu, dari lereng gunung ia loncat kebawah, terus hendak menuju kegedung kediaman Hi Liong-hui si Pedang Samudera.

Tetapi ketika masih dua meter dari atas tanah, sekonyong-konyong kakinya dibabat pedang.

Ia terkejut sekali dan buru2 menekuk lututnya, bergeliatan melambung keudara lagi seraya mencabut pedang.

Tring...., tring.., ia menangkis pedang penyerang gelap itu.

Dan dengan meminjam tenaga benturan pedang, ia berjumpalitan melayang turun kebumi.

Begitu tegak ditanah, barulah ia dapat mengetahui siapa penyerangnya itu.

Seoranga manusia yang mirip hantu. Dari atas kepala sampai kebawah kaki, tertutup jubah hitam. Hanya pada bagian mata diberi lubang.

Dari lubang itu tampak sepasang biji matanya yang aneh.

Meram tidak, melekpun bukan.

Sama sekali tak menyerupai seorang manusia hidup!

„Adakah yang gihu katakan tentang Topeng Besi itu, serupa ini dandanan-nya.......!” diam2 is menimang dalam hati.

Ditatap dua orang aneh itu dengan tajam.

Ia hendak menyelidiki apakah pada bagian kepala orang masih terdapat lagi topeng besi.

Tetapi orang aneh itu tak mau memberi kesempatan kepadanya

Pedang ditaburkan laksana kembang api berhamburan di udara.

Yang diserang selalu jalan darah maut pada tubuh Gak Lui.

Dengan hati2 Gak Lui melayani.

Ia tak mau balas menyerang melainkan bertahan diri.

Ia hendak menyelidiki ilmu pedang orang itu.

Ah......., ternyata orang itu menggunakan ilmu istimewa dari partai Bu tong pay.

Kepandaian dan tenaga saktinya lebih tinggi dari Ceng Suan totiang, pejabat ketua dari Bu-tong-pay !

Gak Lui tak berani berlaku ayal.

Segera ia keluarkan jurus Menyolok-bintang- memetik bulan.

Melihat Gak Lui mengisar kaki kesamping, orang aneh itu segera congkelkan pedangnya dari bawah keatas.

„Bagus......!" diam2 Gak Lui berseru girang.

Segera ia pancarkan tenaga-saktinya.

Pedangnya berobah laksana sinar bianglala yang mengurung pedang orang hingga hampir terpental jatuh.

Tetapi, pada saat Gak Lui hampir berhasil menundukkan pedang lawan, tiba2 dari arah gedung terdengar ledakan keras.

Gak Lui terkejut, keluhnya : „Celaka, habislah riwayat kedua cianpwe ........"

Karena perhatiannya terpengaruh oleh ledakan itu, Gak Lui agak tertegun.

„Kesempatan itu tak disia-siakan siorang aneh, tiba2 ia kerahkan tenaga untuk menindih pedang Gak Lui, lalu dikiblatkan memapas muka Gak Lui.

Gak Lui terperanjat sekali, buru2 ia menyurut mundur dua langah.

Tangan kanan menangkis dengan pedang, tangan kiri cepat mencabut pedang pusaka Pelangi lalu balas menusuk ke mata lawan.

Melihat pedang pusaka dari Bu-tong-pay itu, orang berkedok hitam terbeliak.

Buru2 ia tegak berdiri seraya menarik pulang pedangnya.

Pada saat itu, secepat kilat Gak Lui menarik pedang ditangan kanan lalu menusuk alis orang itu.

Krek....., krek .... terdngar suara logam beradu.

Orang aneh itu mundur tiga langkah.

Gak Lui tergetar hatinya.

Walaupun ia telah gunakan tenaga penuh untuk menusuk namun muka orang yang terlindung dengan topeng besi, tak dapat ditembus pedang.

Kain kerudung bagian muka yang telah terpapas robek itu, menampakkan sebuah topeng besi yang tebalnya lebih dari satu dim.

Menilik dari noda karatan pada topeng besi itu, jelas kalau sudab dipakai selama bertahun-tahun.

„Bunuh........! tiba2 benak Gak Lui terlintas akan tuntutan kewajibannya membalas dendam.

Ia harus membunuh orang hertopeng besi itu.

Terus dia tusukkan pedang Pelangi kemata orang.

Tatapi..........ia terkejut sendiri karena orang itu tetap diam saja.

Gak Lui serentak terbayang akan wajah yang penuh welas asih dari Ceng Hi totiang, ketua Bu-tong-pay yang telah menyerahkan pedang Pelangi kepadanya.

Seketika tak sampailah hatinya untuk melangsungkan tusukan maut itu.

„Karena rupanya engkau kenal akan pedang ini, tentulah engkau ini Ceng Ci totiang yang telah menghilang itu !" serunya dengan bengis.

Tetapi orang aneh itu tak menyahut.

Melainkan sepasang matanya yang berkilat-kilat.

„Dalam penyerangan gelap pada Empat Pedang Busan 18 tahun yang lalu, apakah engkau juga ikut serta !" seru Gak Lui pula.

„Mengapa membisu saja ........... apakah engkau ......... terkena sihir!" Gak Lui berteriak lagi.

Tiga kuli Gak Lui bertanya, tiga kali tak disahut.

Marahlah pemuda itu, serunya : „Hutang jiwa harus ganti jiwa !

Tak peduli engkau ini imam Ceng Ci atau bukan.....! pedang di hamburkan dengan jurus Memotong-emas-membelah-kumala.

Tetapi baru pedang bergerak, tiba2 ia rasakan punggungnya disambar oleh tebasan pedang.

Terpaksa Gak Lui berputar tubuh untuk menjaga diri.

„Aku disini, jangan salah lihat" tiba2 terdengar suara orang berseru dengan nada kuat.

Gak Lui berputar tubuh dan hentikan pedang.

Ah, ia berhadapan lagi dengan scorang Topeng besi.

,,Siapa engkau....!" tegurnya.

„AKU adalah imam Bu-tong pay Ceng Ci totiang ......... "

„Oh ..... !" Gak Lui terkejut, „lalu siapakah orang bertopeng yang tadi.....?"

„Topeng Besi...... ya...! Topeng Besi, perlu apa banyak pertanyaan !" bentak si Topeng Besi.

„Sepasang Pedang Gelombang-Samudera, mereka telah menolak Amanat Hidup dari Maharaja, sudah tentu merceka harus mati.....!"

„Ho, murid Bu-tong yang murtad”

Aku hendak menuntutkan balas pada orang, yang telah engkau celakai!" teriak Gak Lui.

„Huh...., betapa tinggikah kepandaianmu berani bermulut besar ......."

„Lihat pedang......!", Gak Lui terus menyerang dengan sepasang pedangnya.

Topeng besi yang mengaku bernama Ceng Ci totiang itu mundur setombak lalu mendengus dingin.

„Jangan kesusu mati......! Engkau tadi mengatakan hendak mencari aku, kenapa?"

„Bu .... " Gak Lui hendak menanyakan tentang peristiwa Empat Pedang Busan, tetapi tiba2 ia mengalihkan kata dengan membentak: ,,Mewakili Ceng Ki totiang untuk memeriksa penghianatanmu

„ Ha..., ha..., ha..., ha....! orang itu tertawa gelak2, lalu berseru : „ Atas hak apa? "

„Inilah........!" Gak Lui mengacungkan pedang Pelangi ke atas kepalanya dan menuding lawan.

Oho......... kiranya engkau mengandalkan kepandainmu silat cakar kucing itu !" ejek si Topeng Besi.

Gak Lui terkejut.

Sedikitpun orang itu tak mengindahkan pedang pusaka partainya.

Jelas sudah terlalu besar kejahatannya.

Harus dibunuh.........!

Tiba2 orang itu berkata pula dengan congkak: „ Tak lama setelah menerima kedudukan sebagai ketua partai Bu-tong, cousu-ya akan mengadakan pembersihan.

Karena engkau kenal mereka, bolehlah membawa surat.

Tetapi ada syaratnya

„Syarat.......?" karena marah Gak Lui sampai dingin kaki tangannya.

Tetapi menyadari bahwa saat itu sedang berhadapan dengan musuh besar, terpaksa ia harus menahan kemarahannya.

Lalu menghela napas.

Topeng Besi Ceng Ci totiang mengira kalau pemuda itu sudah meluluskan.

Ia melanjutkan kata-katanya :„ Syaratnya sederhana. Asal engkau tunduk pada Maharaja dan menjadi salah seorang anggauta Topeng Besi.

Mendengar itu tertariklah perhatian Gak Lui.

la hendak menyelidiki keadaan Maharaja.

Cobalah engkau terangkan keadaan Maharaja itu.....!" serunya.

„Apa yang engkau ingin tahu....?"

„ Namanya, asal usulnya ............. "

„Ini......... engkau tak pernah bertanya "

„,Hm...., rupanya engkau juga tak mengerti sendiri ! Coba katakanlah, dia mempunyai hidung atau tidak?"

Mendengar pertanyaan itu Topeng Besi imam Ceng Ci tertawa menyeringai.

Serunya : „Jangan..... ngaco belo, dia ... dia .... mustahil tak punya hidung, tanya saja lain hal.....!”

„Ilmu silatnya termasuk aliran mana? Sebagai kaki tangannya, engkau harus tahu.....!"

„ Segala aliran partai persilatan, tak ada yang tak faham. Kesempurnaan kepandaiannya, didunia tiada tandingannya....!"

Gak Lui mendengus, lalu bertanya tajam : ,,Bagaimana kalau dibanding dengan Raja-diraja?”

„Eh....... engkau kenal pada Raja-diraja? Apakah engkau mempunyai hubungan?"

„Hanya mendengar namanya saja !"

Orang bertopeng itu menghela napas longgar: „Menilik umurmu, tak mungkin kenal ....”

„Tetapi kalian takut seperti melihat macan kepadanya!”

„Heh..., heh....! Lambat-laun, dia tentu akan dilenyapkan oleh Maharaja! Nah....., sekarang lekas engkau nyatakan, mau tunduk atau tidak !"

„Huh, aku mau membawa suratmu. Tetapi dengan syarat juga !"

„Katakan.....!"

„Aku harus membawa kepalamu seorang murid penghianat itu, bersama surat itu!"

Topeng-Besi imam Ceng Ci tertawa nyaring, kumandang tawanya bergema jauh ke langit.

Habis tertawa pedang segera berhamburan melibat tubuh Gak Lui.

Gak Lui terkejut.

Ia rasakan dirinya diselimuti oleh sinar pedang yang berhawa dingin.

Jurus2 yang dimainkan imam itu bukan melainkan ilmu pedang Bu-tong-pay, pun kesempurnaan dan tenaganya, jauh melebihi dari si Topeng Besi yang tadi.

Gak Lui bersuit nyaring.

Sepasang pedangnya dimainkan menurut ajaran ilmu pedang ‘Pedang lblis’ dan ‘Pedang Laknat’.

Seluruh kepandaian dan tenaganya dicurahkan dalam permainan itu.

Cepat sekali tigapuluh jurus telah berlangsung.

Ketiga batang pedang itu berhamburan saling mengadu kekuatan.

Rupanya Topeng Besi Ceng Ci totiang itu terkejut juga.

Ia tak mengira bahwa seorang pemuda yang mukanya ditutup dengan kedok kulit binatang ternyata memiliki ilmu pedang yang sedemikian hebat dan aneh.

llmu pedang yang tidak termasuk ilmu pedang dari ke 7 partai persilatan.

Hampir setengah hari bertempur tetap ia tak mampu mengetahui dari aliran manakah ilmu pedang lawannya itu.

Dan yang paling mengejutkan perasaannya yalah, anggauta Topeng Besi yang biasanya selalu tunduk pada perintahnya saat itu hanya berdiri tertegun disamping.

Anak buah itu sama sekali tak mau membantu tetapi hanya memandang terIongong-longong mengikuti gerak pedang Pelangi yang dimainkan Gak Lui.

„Aneh....! Ilmu apakah yang dimiliki budak ini sehingga dapat membuat anggauta Topeng Besi tak mau mendengar perintahku lagi ?" diam2 Ceng Ci totiang mengeluh heran.

Tiba2 ia mendapat pikiran.

Bersuitlah ia senyaring-nyaringnya.

Sebuah suitan yang melengking tajam, menggigilkan h orang......!

Mendengar itu, anggota Topeng Besi jadi gelagapan.

Sinar matanya memancar cahaya lagi, lalu mulai bergerak menyerang punggung Gak Lui.

Gak Lui sibuk juga.

Dalam, tekanan dua musuh yang berkepandaian tinggi, ia harus kerahkan seluruh tenaganya untuk menghadapi.

Pedang ditangan kanan dimainkan untuk melayani serangan Ceng Ci totiang.

Sedang pedang Pelangi yang dicekal ditangan kiri, diputar untuk menghalau serangan auggauta Topeng Besi dibelakangnya.

Melihat anak muda itu dapat bertahan diri, timbullah nafsu keganasan Ceng Ci totiang: „Menilik gelagat, sukar untuk menangkapnya hidup-hidup.

Tak peduli dia anak murid partai mana, paling perlu harus dilenyapkan.....!"

Cepat ia loncat kesamping anggauta Topeng Besi tadi.

Kini dengan bahu membahu, keduanya mulai lancarkan serangan dahsyat kepada Gak Lui.

Lima jurus kemudian, tiba2 Ceng Ci totiang hantamkan tangan kirinya dengan tenaga sakti Hian-bun-cin-gi.

Bagaikan gelombang laut, pukulan itu memancarkan gelombang tenaga yang melanda Gak Lui.

Betapa tangkas Gak Lui menangkis, namun tetap ia terpental tiga langkah kebelakang dan muntah darah.

Melihat pukulannya berhasil, Ceng Ci totiang tak mau memberi ampun lagi.

Pukulan kedua disusulkan dengan cepat, bum.........

Dada Gak Lui terlanda angin pukulan dahsyat itu.

Namun dengan menggigit gigi menahan sakit, ia enjot tubuhnya loncat beberapa langkah jauhnya.

„Hai, hendak lari kemana engkau......!" teriak Ceng Ci totiang seraya loncat melayang keudara.

Gak Lui nekad.

Tanpa berpaling kebelakang, ia balikkan pedang Pelangi memapas kebelakang.

Tring ....... putuslah pedang anggauta Topeng Besi itu.

Ceng Ci totiang terkejut, teriaknya : „Ho, ternyata engkaulah Pemangkas Pedang itu !"

Saat itu Gak Lui masih melayang diudara.

Sekalipun ia tak sempat merenungkan teriakan terkejut dari Ceng Ci totiang, namun tak urung ia agak tertegun juga.

Dan sedikit kelambatan itu, harus dibayarnya mahal.

Untuk yang ketiga kali, dadanya tersambar pukulan sakti dari tenaga Hian-bun-ciu-gi yang dilancarkan Ceng Ci totiang.

Dalam gugup, Gak Lui menarik pedang Pelangi lalu menusuk dengan pedang ditangan kanan.

Dengan gerakan itu ia dapat memaksa Ceng Ci totiang mundur setengah langkah.

Tetapi dia sindiripun muntah darah beberapa kali lagi ....

Secepat menginjak bumi, Gak Lui kalap, berputar tubuh ia meraung: „Bangsat, aku hendak mengadu jiwa dengan engkau........!"

Tetapi pada saat itu juga, telinganya seolah-olah terngiang oleh suara Pedang Iblis dan Pedang Aneh : „Anak Lui, larilah dulu.....!, Musuh besar yang sesungguhnya masih belum muncul, engkau harus mencari ........."

Gak Lui gelagapan tersadar.

Cepat ia batalkan minatnya, lalu loncat beberapa langkah dan terus melarikan diri

Tetapi Ceng Ci totiang tetap mengejarnya.

Gak Lui tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Serentak berhenti ia berputar tubuh lalu gerakkan kedua pedangnya.

Tring .... Ceng Ci totiang yang amat bernapsu untuk membunuh lawan terkejut sekali, ketika tahu2 pedangnya terpapas kutung , oleh Gak Lui.

Untung pada saat itu anggauta Topeng Besi tadipun menyusul tiba.

Dengan pedangnya yang kutung, cepat ia menusuk tenggorokan Gak Lui.

Crek..... karena terlindung oleh kedok kulit binatang yang kebal senjata, tusukan anggauta Topeng Besi itu tak mampu menembus terggorokannya.

Namun sekalipun begitu, tak urung Gak Lui terhuyung-huyung dan tiba2 kakinya tergelincir jatuh bergelundungan sepanjang karang, menurun kebawah .

Jika anggauta Topeng Hitam tertegun dan menarik pedangnya melihat lawan sudah tergelincir jatuh kebawah, tidak demikian dengan Ceng Ci totiang, Imam itu tertawa nyaring lalu loncat mengejar kebawah.

Pendek kata, sebelum membunuh pemuda itu, tak puaslah hatinya.

Ternyata Gak Lui menggelinding kearah tepi lembah.

Begitu tiba dikaki karang, cepat ia loncat bangun, lari kebalik batu besar tempat ia menyimpan barang2 bekalannya.

Papa saat ia mengambil bekalannya itu, tiba2

hidungnya metincium bahu yang amat anyir sehingga ia hampir muntah.

Sebelum ia sempat mengetahui bau anyir itu, Ceng Ci totiangpun tiba dan terus menghantamnya.

Tetapi habis menghantam, imam itu menjerit kaget !

Dari sebelah batu besar, menghambur sebuah arus tenaga penyedot yang berbau anyir dan dingin.

Seketika menjeritlah Ceng Ci totiang seperti melihat hantu disiang hari

Gak Lui mendengus tertahan.

Ia dilanda pukulan Ceng Ci totiang.

Baru tubuh terhuyung tiba-tiba disedot oleh tenaga-hisap dari belakang.

Wut..... laksaua anak panah, tubuh Gak Lui melesat masuk kedalam sebuah liang yang gelap dan lembab.

Ia coha meronta, tetapi dinding lubang itu tiba2 merapat menjepitnya.

Gak Lui terkejut lalu pingsan.

Ternyata Ceng Ci totiang menjerit tadi karena melihat dua bilah daging merah sebesar kuali dan dua buah bola api sebesar genggaman tangan.

Ceng Ci totiang cepat2 loncat mundur sampai tiga tombak.

Ketika memperhatikan dengan seksama, ternyata daging merah sebesar kuali itu adalah mulut dari seekor ular besar.

Bau anyir dan tenaga-hisap yang melancar dari belakang Gak Lui tadi adalah berasal dari semburan mulut ular besar itu.

Dan pemuda itu telah tersedot masuk kedalam perut si ular

Namun naga itu tampaknya masih belum kenyang.

Kepalanya menjulur ke atas, lidahnya yang runcing merah, tak henti2 nya melelet-lelet :............'

Ceng Ci totiang ngeri.

Ia loncat menghampiri anggauta Topeng Besi dan menimang : „ Budak itu memang pendek umurnya, tetapi menurut laporan dari mata2 kita, seharusnya dia berada ditempat 100-an li jauhnya. Mengapa tiba2 muncul di sini .....? Ah......., tetapi karena ia sudah mati, tak perlu dikejar lagi ...."

Baru ia hendak mengajak anggauta Topeng Besi itu angkat kaki, tiba2 ia dapatkan tubuh orang itu berkisar-kisar pelahan.

Dan scrempak dengan itu, Ceng Ci totiang seperti mendengar suara suitan yang lemah mengalun di angkasa.

Mirip dengan suitan pertandaan tetapi pun menyerupai desis bangsa ular.

Karena menghadapi beberara peristiwa yeng aneh, Ceng Ci totiang tak mau membuang waktu menyelidiki lagi.

Ia bersuit mecmanggil anggauta Topeng Besi terus loncat tinggalkan tempat itu.

ULAR RAKSASA itupun bergeliatan masuk ke dalam sarangnya.

Sebuah goha di tepi lembah, ternyata goha itu dalam sekali, lembab dan berli-liku amat panjang.

Gak Lui masih pingsan di dalam perut ular.

Ternyata dalam guha itu telah siap menyambut seekor mahkluk aneh yang berkulit lima warna. Begitu ular masuk, mahkluk aneh itu segera mendahului berjalan di muka, menjadi penunjuk jalan ular itu.

Ular itu mengikuti di belakang mahkluk aneh yang merangkak dan merayap ke atas, ke bawah lalu membiluk ke kanan dan ke kiri, menyusup kebagian dalam dari guha itu.

Kira2 sepeminum teh lamanya, mereka telah masuk ke dalam sebuah lubang kuburan yang luar biasa besarnya.

Di atas dinding liang kubur itu, melekat sejumlah besar mutiara besar2 yang terang gemilang cahayanya.

Sedang di sekeliling liang kubur itu penuh dengan berpuluh-puluh tulang rangka ular-besar dan longsongan kulit ular.

Juga pada dinding liang terdapat banyak sekali lubang besar kecil untuk sarang ular.

Sebenarnya liang kubur itu bukanlah kuburan untuk manusia mlainkan kuburan dari jenis ular besar yang hidup ratusan tahun yang lalu.

Mutiara2 yang melekat pada dinding yang memancarkan cahaya terang itu, sebenarnya berasal dari otak ular besar yang meleleh dan membeku menjadi semacam kristal yang dapat memancarkan cahaya terang benderang."

Tiba2 terjadi suatu keanehan.

Mahkluk aneh yang menjadi penunjuk jalan itu sekonyong-konyong berdiri seperti manusia.

Setelah beberapa kali menggoyangkan tubuh, tiba2 dia berobah menjadi seorang gadis cantik.

Rambutnya memanjang sampai kepantat.

Kulitnya berwarna segar kemerah-merahan.

Tubuhnya hanya terbungkus oleh sehelai pakaian dari kulit ular yang iiimengkilap.

Setelah berdiri, gadiss itu menyiak kulit ular yang menutup kepalanya keatas dada, begitu pula

kulit bagian kakinya disingkap keatas lutut hingga tampaklah kulit kakinya yang putih.

,,Mengapa engkau makan orang?" pada lain saat gadis itu menegur ular besar tadi.

Ular itu menundukkan kepala seolah-olah seperti menyesal.

Rupanya binatang itu mengerti bahasa sigadis.

,,Hm........, jika tak Iekas2 kupanggil kamu, orang itu tentu sudah engkau kunyah dalam perutmu! Hayo lekas muntahkan keluar........!" seru sigadis pula.

Serta merta Ular Besar itu segera mengangakan mulutnya.

Setelah badannya bergetaran dan ekornya bergeliatan, Gak Lui beserta senjatanya, dimuntahkan keluar.

Habis itu, ular besar terus meluncur masuk kebagian, dalam dari liang kubur.

Rupanya ia takut mendapat hukuman sigadis, lalu buru2 menyembunyi-kan diri.

,,Hai, kiranya seorang lelaki ...." gadis itu melengking kaget kemudian ia ulurkan tangan mutut Cak Lui untuk memeriksa pernapasannya.

Ia terkejut karena napas pemuda itu sudah tak terdengar.

Buru2 ia memeriksa pergelangan tangan Gak Lui.

Setelah beberapa saat, segera ia lari ke dalam liang dan mengamhil sebatang kim-cau (rumput emas) yang bentuknya panjang kurus seperti anak panah.

Lebih dulu rumput kim-cau itu dikunyahnya sampai halus, lalu ia menundukkan muka, memakankan kunyahan rumput itu ke mulut Gak Lui, seperti seekor burung sedang memberi makan kepada anaknya.....

Tetapi Gak Lui sedang pingsan.

Mulutnya terkancing rapat, napas berhenti sehingga tak dapat menerima susupan rumput halus itu.

Gadis itu tidak gugup.

Tanpa malu2 lagi, ia terus lekatkan bibirnya kebibir Gak Lui lalu mulai kerahkan tenaga-dalam untuk meniupkan rumput obat itu kedalam mulut Gak Lui.

Supaya tiupannya berhasil, tanpa disadari tubuh gadis itupun merapat pada tubuh Gak Lui ....

Beberapa saat kemudian tampak dada Gak Lui mulai bergerak mengikuti tiupan hawa dari mulut sigadis.

Pelahan-lahan pemuda itu mulai dapat bernapas.

Dalam keadaan masih belum sadar, ia rasakan suatu arus hawa hangat yang harum meluncur kedalam tenggorokan terus memancar keseluruh tubuhnya.

Kunyahan rumput kim-cau itu cepat sekali menyalur keseluruh jalandarah Gak Lui.

Seketika menimbulkana rangsang panas yang membakar ubun2nya.

Karena mencurahkan perhatian untuk meniupkan kunyahan rumput obat kemulut Gak Lui, tanpa disadari pakaian kulit ular yang menutup tubuh gadis itu meluncur lepas sehingga Gak Lui tak dapat menahan diri lagi.

Kedua insan itu bagaikan naik gelombang samudera yang mengayun, berkejar-kejaran menuju kepantai.

Makin lama makin mengalun tinggi, makin tinggi sekali keangkasa akhirnya, pecah berbamburan tertumbuk karang.

Bagaikan letusan gunung, ombak meledak pecah dan terhempaslah kedua insan itu lemah lunglai tak bertenaga lagi.

Kedua muda mudi itu telah melanggar makan buah terlarang ....

Karena kesadaran mereka telah hanyut dibawa rangsang rumput obat.

Disaat, kesadaran hilang berkuasalah sang Nafsu......!

Beberapa saat kemudian, tersadarlah Gak Lui akan apa yang telah terjadi.

Pertama yang dilihatnya benar2 menyentuh perasaannya. Bagaikan sekuntum bunga yang habis dilanda hujan, gadis jelita itu tampak lemah lunglai.

Kedua tangannya mendekap muka, tersipu-sipu dan terisak-isak......

„Hai....., apakah yang telah kulakukan" tiba2 ........ Gak Lui loncat bangun.

Ia tcrkejut ketika menyadari apa yang telah terjadi.

Dengan terhuyung-huyung ia menunduk dan berkata kepada nona itu: „Nona, maafkan. Aku sungguh menyesal sekali. Ini ...... ini tak kusengaja ....."

Gadis itu mengangkat mukanya pelahan-lahan.

Sepasang pipinya tampak kmerah-merahan dan menyahutlah ia dengan tawar: „Akupun tak sengaja....itu dikarenakan..........."

„Karena apa......?"

„Karena aku ........ . menyusurkan rumput kedalam mulutmu."

„Rumput apa?" diam2 Gak Lui memang bibirnya masih merasakan harum

dan manis dan tubuhnya terasa panas.

„Rumput itu disebut rumput Panah-emas-wangi. Khasiatnya dapat melenyapkan racun. Tetapi ..., aku tak tahu kalau rumput itu, .... dapat membuat

oratig ... kacau balau pikirannya.

Keterangan sijelita secara jujur itu telah melenyapkan kecurigaan Gak Lui.

Ia percaya karena dara itu berusaha sungguh2 untuk menolong dirinya tetapi karena tak tahu jelas khasiat rumput itu. telah menyebabkan mereka berdua terangsang melakukan perbuatan yang terlarang,

Diam2 Gak Lui berterima kasih kepada si gadis cantik itu.

Tapi disaat disamping itu, kini ia bertambah sebuah beban kewadjiban.

„Budi kebaikan nona, pasti tak kulupakan," kata Gak Lui, kelak tentu akan kubalas sepenuh-penuhnya"

Ucapan itu bahkan menimbulkan ketegangan sijelita.

Ia menghela napas, katanya: „Engkau ...... hendak...... membalas ......dengan apa?"

„Silahkan nona mengatakan, aku tentu akan berusaha melaksanakan !"

„Setelah terjadi hal tadi ..... aku ..... terpaksa .... harus ikut padamu selama-lamanya"

Gadis itu tersipu-sipu malu ketika mengucapkan isi hatinya.

Gak Lui terperanjat : „Hal ini .... jangan"

Gadis cantik itu kerutkan alis : „ Apakah engkau ........ sudah beristeri ?"

„Belum....!"

Apa hendak memberi tahu orangtuamu ?"

„Sejak kecil aku tak pernah melihat orangtuaku. Mau melapor kepada siapa? "

„Menilik engkau membekal senjata, tentulah engkau seorang persilatan. Apakah engkau sedang melakukan perintah gurumu?"

„Gurukupun sudah meninggal dunia."

„Oh....," gadis itu mendengus kejut.

Alisnya makin melekik dalam.

Sepasang biji matanya memancar rasa iba, serunya sambil menggigit bibir: „Kalau, begitu .... engkau tak mau bertanggung iawab?"

„Tidak..., tidak.....! Bukan begitulah. Adalah karena sedang melakukan tugas kewajiban maka aku tak berani sembarangan meluluskan"

„Omonganmu itu, bertentangan sendiri! Aku tak mengerti apa maksudmu?"

„Diriku sedang memikul kewajiban membalas dendam. Untuk itu aku harus menuntut ilmu kesaktian yang tiada tandingannya. Dengan begitu barulah harapanku tetkabul. Keadaanku saat ini selain harus giat mencari ilmu kcsaktian, pun tiap saat selalu ditimpah bahaya2 yang tak ter-duga2"

„Oleh karena itu engkau tak mau tertindih lain beban lagi.....?"

„Karena aku tak ingin engkau terlibat dalam bahaya itu!"

Menilik sikap dan ucapan Gak Lui yang begitu ber-sungguh2, gadis itu mau pcrcaya juga.

Ia tundukkan kepala dan menghela napas panjang.

„Nona, apakah engkau tiada lain urusan yang perlu kubantu?" tanya Gak Lui.

„Ibuku sudah meninggal. Aku bermaksud akan mencari ayah, tetapi ... sekarang aku tak ingin pergi lagi!"

„Lalu bagimana kehendakmu?"

„Akan tinggal didalam Liang kubur ini seumur hidup!"

„Ah......., tak perlu begitu. Dan dimanakah tempat tinggal ayahmu yang hendak engkau cari itu.”

„Ayah sudah beberapa tahun menghilang. Tak tahu dimana dia berada!"

„Hilang?"Gak Lui terbelalak kaget.

Diam2 ia teringat akan keadaan dunia pesilatan, dimana banyak tokoh2 persilatan, yang hilang tak ketahuan rimbanya.

Adakah ayah gadis itu juga salah seorang yang menjadi korban?

,,Apakah ayah nona itu seorang tokoh sakti?" tanyanya segera.

„Ayahku Li Kok-hua, bukan tokoh persilatan sakti tetapi seorang tabib nomor satu di dunia.

„Oh, makanya engkau mengerti ilmu obat-obatan. Jadi engkau puteri seorang tabib sakti!"

„Sedikit2 ilmu pengobatan yang kumiliki itu bukan kupelajari dari ayah tetapi dari ibuku. Karena pada waktu ayah menghilang, aku masih dalam kandungan ibu."

„Berapakah umur nona sekarang?" .

„Tujuh belas!"

„Kalau begitu ayah nona menghilang sejak 17 tahun yang lalu?"

„Benar,"

„Mengapa beliau menghilang?"

„Ibu mengatakan, pada malam itu ayah diundang oleh seorang sastrawan untuk mengobati, tetapi sejak malam itu, ayah tak pernah pulang, lagi!"

„Ibu nona bagaimana meainggalnya? Dan mengapa nona berada disini"

„ Ibu menunggu sampai 14 tahun. Karena ayah tetap tak ada beritanya, ibu lalu membawa aku mengembara mencari jejak ayah, Tetapi sungguh malang. Di tengah perjalannan, ibu menderita sakit dan meninggal. Seorang diri aku melanjutkan perjalanan dan akhirnya tersesat masuk ke, dalam guha kuburan sini."

„Apakah nona tak berjumpa dengan ular ?"

„ Akupun mengalami peristiwa sepert engkau. Ditelan ular dand dibawa masuk ke dalam liang lalu dimuntahkan keluar lagi."

Diam2 dalam hati kecil Gak Lui setengah tak percaya bahwa ia ditolong nona itu ke luar dari perut ular.

Maka makin tidak percaya lagi ia akan keterangan sinona tentang peristiwa ditelan ular lalu dimuntahkan itu.

Gak Lui kerutkan alis .

---oo0oo---
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar