Pedang Kunang Kunang Bab 21-25

Baca Cersil Mandarin Online: Pedang Kunang Kunang Bab 21-25
Pedang Kunang Kunang Bab 21-25

Bab 21. Pertempuran di Neraka.

“Menilik naga-naganya, si Maharaja datang sendiri. Tio cianpwe tentu terancam bahaya!" kata Gak Lui seorang diri.

Lau Yan-lan tak mengerti apa yang dikatakan. Ia segera meminta penjelasan.

Gak Lui tak mau mengelabuhi. Ia menuturkan kejahatan si Maharaja dan bagaimana ia bertemu dengan Tio Bik-lui.

Ketika mendengar bahwa guha neraka itu tak mungkin diterobos keluar, sinona agak putus asa. Sambil menepuk bahu Gak Lui, ia berseru: “Lalu bagaimana ini, bukankah cita2 membalas dendam akan gagal ?"

“Jangan tergesa-gesa," kata Gak Lui. “kalau kita memikirkan dengan tenang, mungkin tentu bisa mendapat jalan. Tetapi ada satu hal yang engkau harus menurut padaku."

“Segala apa aku akan menurut padamu. Bahkan aku akan…”

“Tidak, tidak ! Bukan begitu maksudku !" buru2 Gak Lui menukas karena orang salah terima, “kuminta janganlah engkau mengambil pedang Thian-lui-koay-kiam itu. Biarlah aku yang mengerjakan semuanya."

“Tetapi tanpa pedang pusaka, aku tentu tak dapat melakukan pembalasan," seru sinona.

“Sudah tiga turunan kita bersahabat, sudah tentu semua aku yang bertanggung jawab!"

“Ah ... adik Lui," seru sinona, "engkau sungguh terlampau baik sekali. Entah bagaimana kelak aku dapat membalas budimu ...."  :))

“Tak usah memikirkan soal itu. Cukuplah kalau engkau sebut nama musuhmu itu!"

“Aku tak tahu namanya !"

“Apakah ibumu tak mau menyebut nama orang itu ?"

“Sudah berulang kali kutanyakan tetapi beliau tetap tak mengatakan."

“Hm, kalau namanya saja tak mau mengatakan, jelas tentu ada persoalan lain. Dan mencari musuh yang tak diketahui namanya, tak ubah seperti orang buta yang berjalan di kegelapan," Gak Lui menggerutu. Tiba2 terlintas sesuatu dalam benaknya. Ia merenung dan akhirnya memperoleh akal, katanya: “Taci Yan, tadi engkau mengatakan musuhmu itu telah mencuri kitab pusaka milik ibumu? Nah, apakah nama dari dua macam ilmu istimewa itu?"

“Juga tak tahu !"

“Eh, apakah sedikit jejak saja engkau sama sekali tak tahu? Misalnya, apabila dalam dunia persilatan terdapat orang yang menggunakan ilmu itu, apakah engkau dapat mengenalnya?"

Burung-hong-cantik dari Bu-san itu menundukkan kepala merenung. Sesaat kemudian ia menyahut perlahan: “Aku juga tak tahu. Tetapi kabarnya yang sebuah yalah ilmu tutukan jari yang dapat menyebabkan orang kehilangan kesadaran pikirannya. Dan yang sebuah lagi yalah ilmu Suitan yang dapat membuat pikiran orang kacau balau ...."

“Ilmu tutukan jari, ilmu suitan....benar! Aku ingat !" tiba2 Gak Lui berteriak sambil menampar lututnya. Dia seperti telah menemukan suatu jejak.

“Apa yang engkau ingat ?" teriak sinona dengan nada tegang.

“Maharaja itu memang memiliki ilmu Suitan yang luar biasa hebatnya. Dan mungkin diapun mempunyai ilmu jari yang lihay dan telah digunakan untuk membunuh orang yang mengetahui rahasianya !"

“Kalau begitu dialah orang yang telah mencelakai ibuku. Tak heran kalau kaki tangannya hendak menangkap aku ....”

“Benar, aku memang mempunyai anggapan begitu juga."

”Adik Lui, kalau begitu kita ini senasib!"

“Maka kita harus bersatu padu untuk membalas musuh kita itu !"

“Baik, kita bersatulah!"

Kedua saling berpandangan dan berjabat tangan. Karena tegang, mereka tak mengucap sepatah kata apa2. Tetapi jelas dari pancaran mata, sepasang muda mudi itu telah memancarkan luapan hati yang diselubungi cinta dan kebencian.

Beberapa saat kemudian, Lau Yan-Lan tiba2 terengah-engah napasnya dan mandi keringat.

Gak Lui cepat menyadari keadaan nona itu. Buru2 ia salurkan tenaga-dalam kearah jalan darah sinona seraya bertanya dengan mesra : “Taci Yan, apakah engkau merasa guha ini terlalu panas?"

“Ya,.... ya .... panas .... panas ...." sinona menyahut tersendat-sendat. Tetapi sesungguhnya bukanlah se-mata2 disebabkan karena hawa panas, pun juga karena baru pertama kali itu ia bersentuhan dengan seorang pria. Sudah tentu ia sungkan mengatakan. Untunglah karena guha gelap, Gak Lui tak dapat melihat perobahan wajah nona itu.

Demikian setelah menerima penyaluran tenaga-dalam, barulah Lau Yan-Lan dapat menekan ketegangan hatinya dan napasnya mulai normal lagi.

”Adik Lui, lekas engkau pikirkan daya agar kita lekas dapat keluar dari sini. Kalau terlalu lama di sini, aku tentu merepotkan engkau saja."

“Sebenarnya aku memerlukan 4 batang pedang ...." :((

“Sayang aku tak punya dan engkaupun hanya punya dua batang, bukankah masih kurang sekali?" tukas sinona.

“Tidak !" tiba2 Gak Lui berkata setelah merenung sejenak, "kita sekarang dua orang, dapat menggunakan cara saling pinjam tenaga. Apalagi di hadapan kerangka ayah, aku mendapat lagi sebatang pedang."

“Ah, benar," seru sinona, “hampir aku lupa untuk mengunjuk hormat kepada beliau. Lekas bawa kesana."

Dengan hati2 Gak Lui segera berbangkit. Tanah amat licin dan ia harus memimpin Lau Yan-Lan yang tak faham keadaan guha situ maka ia berjalan dengan hati2 dan dengan langkah kaki yang kokoh.

Sesaat Lau Yan-Lan habis menjalankan penghormatan kepada tulang kerangka ayah Gak Lui, pemuda itupun sudah bersiap. Dengan gunakan pedang Pelangi ditancapkan ke tanah untuk mendapat penerangan, ia segera berlutut dan memberi hormat kepada tulang kerangka ayahnya. Setelah itu ia ulurkan tangan, rencananya hendak membawa keluar.

Tetapi begitu menyentuh ia segera dapatkan tulang kerangka itu mengepal seperti bubuk. Hawa panas dalam guha itu menyebabkan tulang kerangka menjadi abu yang keras. Terpaksa Gak Lui batalkan niatnya. Kemudian bersama Lau Yan-Lan, ia bersujud sekali lagi di hadapan kerangka ayahnya.

Tampak mulut sinona berkemak-kemik memanjatkan doa dengan khidmat. Setelah itu baru ia bersama Gak Lui bangun dan ayunkan langkah. Setelah agak jauh maka bertanyalah Gak Lui: “Taci Yan, apa sajakah yang engkau katakan dalam doamu tadi ?"

Nona itu bersenyum manis, sahutnya: “Kumohon agar arwah beliau suka melindungi kita dalam usaha untuk membalas dendam ini. Dan lagi .... suka memberkahi kita agar selama-lamanya .... bisa berkumpul."

“Ini….." baru mulut Gak Lui berseru begitu, tiba2 ia mendengar bunyi dering senjata beradu. Cepat2 ia pasang telinga, tetapi rupanya Lau Yan-Lan tak mendengar bunyi itu maka dengan heran ia bertanya: “Adik Lui, mengapa engkau ...."

“Stt !" cepat2 Gak Lui memberi isyarat supaya nona itu jangan bicara. Tetapi dering senjata itu sudah menghilang pada saat Yan-Lan bicara tadi.

“Mungkin salah dengar," diam2 Gak Lui menimang lalu melangkah menyusul sinona.

Gak Lui tak sempat lagi untuk menjelaskan perasaannya kepada Yan-Lan. Sedang sinona itupun merasa telah kelepasan omong dan malu untuk mengatakan lagi, sekalipun ia belum melihat bagaimana wajah aseli dari Gak Lui yang ditutup dengan topeng kulit kera itu, namun dari matanya yang bundar dan bibirnya yang merah, dapatlah ia memastikan bahwa Gak Lui itu tentu seorang pemuda yang tampan. Bahwa pemuda itu telah mengucapkan kata2 menghibur yang bernada ramah, menandakan bahwa pemuda itu tentu diam2 telah menyambut cintanya.....

Saat itu mereka sudah tiba di bawah mulut guha. Bayang2 batu menonjol di atas dinding guha itu merebah ke bawah.

Setelah memandang ke atas sejenak, Gak Lui lalu gunakan ilmu lemparkan pedang. Ia lontarkan pedang Pelangi untuk mencari tahu berapakah tingginya mulut guha itu.

Pada saat ia menyambuti lagi pedang itu, segera ia lontarkan ke atas dinding karang setinggi lima tombak. Lontaran itu diperuntukkan tempat pos pertama dalam pendakiannya nanti.

Kemudian ia lontarkan pedang pemberian ayah-angkatnya dan yang terakhir pedang berkarat peninggalan kerangka ayahnya.

Melihat cara Gak Lui mengatur langkah itu, berdebarlah hati Lau Yan-Lan. Ia melihat pedang ketiga itu masih terlalu jauh dari mulut guha. Dan lagi ia tak tahu bagaimana cara untuk menggunakan ilmu penyambung tenaga itu.

“Marilah !” Gak Lui berpaling dan berseru dengan nada yakin, “rangkullah bahuku erat2. Begitu aku berseru, kita harus serempak kerahkan tenaga melambung ke atas batang pedang yang ketiga itu ....”

“Lalu ?"

“Kerahkan tenagamu nanti kutarik engkau ke atas !"

“Tetapi di atas licin sekali ...."

”Kita merangkak dengan kaki dan tangan dan lekatkan dada menyedot tanah itu."

“Dan engkau ?"

“Harap engkau merobek lengan bajumu dan gunakan sebagai tali, luncurkan ke bawah ..."

“Bagus !" seru Lau Yan-Lan setelah jelas akan rencana pemuda itu. Segera dengan gembira ia rentang sepasang lengan lalu memeluk bahu pemuda itu.

Kedengaran Gak Lui menggembor lalu tubuhnya berputar deras, menyentuh tangkai pedang Pelangi. Pedang pusaka itu agak tergetar. Lebih dulu melengkung ke bawah lalu tiba2 balik melayang ke atas lagi.

Dengan cara itu, dapatlah Gak Lui dan Yan-Lan mencapai pedang yang ketiga. Secepat kilat Gak Lui menyambar kaki sinona akan didorong ke atas. Lau Yan-Lanpun dapat mengimbangi gerakan Gak Lui. Dengan mengempos semangat untuk meringankan tubuh, ia dapat berdiri diatas sebuah telapak tangan Gak Lui.

Setelah keduanya saling kerahkan semangat, Gak Lui terus hendak melontarkan sinona ke atas. Tetapi di luar dugaan tiba2 kaki Gak Lui tergelincir dan tak ampun lagi, keduanya segera melayang jatuh ke bawah. Untung dalam saat berbahaya itu, Gak Lui tak gugup. Lebih dulu ia dorongkan tangan ke bawah. Begitu ia menginjak tanah dengan tak kurang suatu apa, ia segera ulurkan sepasang tangan untuk menyanggapi tubuh si nona.

“Adik Lui, ini .... bagaimana," seru Lau Yan-lan dengan pucat.

“Pedang itu sudah terlalu karatan sekali sehingga putus."

“Ah, bukankah kita tak punya harapan lagi?”

”......" dalam keadaan seperti saat itu Gak Lui tak dapat bicara apa2.

Guha terasa panas sekali, jauh lebih panas dari tadi. Kecuali napas Yan-lan yang memburu keras, suasana penuh dicengkam kesunyian mati.

Tiba2 terdengar suara mendering keras. Kali ini Yan-lanpun mendengarnya. Ia segera bertanya kepada Gak Lui.

“Suara rantai besi," sahut Gak Lui.

“Aneh !"

“Ih ...," tiba2 suara bergerontangan itu terdengar pula bahkan makin keras dan deras tak henti-hentinya. Selain itu pun terdengar juga suara bentakan yang tak jelas. Gemuruh berkumandang. Suatu pertanda bahwa orang yang menggemborkan suara itu memiliki tenaga dalam yang kuat. Dan lagi jumlah suara gemboran itu tak sedikit.

Lau Yan-lan terkejut dan menggigil. Buru2 ia rapatkan tubuhnya ke dada Gak Lui. Pemuda itu sedang menumpahkan perhatiannya untuk menghitung suara orang yang menggembor itu dan derap kaki mereka. Diam2 ia menghitung: “Tigapuluh delapan, tigapuluh sembilan.....empatpuluh !"

“Uh, banyak benar, tentulah kawanan kaki tangan Maharaja yang hendak memburu taci Yan..." diam2 Gak Lui menimang. Segera ia mengajak nona itu bersembunyi di tempat yang gelap seraya menghiburnya: “Jangan takut, justeru kita bakal mendapat kesempatan. Jangan engkau tampakkan diri ...."

“Uh, sekian banyak musuh engkau anggap suatu kesempatan?"

“Mereka tentu membekal senjata dan pedang. Aku memang justeru membutuhkan."

“Orang gagah pada musuh yang berjumlah banyak, apakah engkau...."

“Aku mempunyai rencana."

”Harap yang hati2 saja,” kata Yan-lan tetapi Gak Lui sudah mengisar beberapa langkah dan kembali ke tempatnya semula tadi. Ia loncat menyambar sepasang pedang di atas dinding.

Wut ... keempat puluh orang yang menyerbu guha itu telah menimbulkan deru angin yang keras. Tetapi Gak Lui tegak berdiri dengan garang, menunggu kawanan penyerbu dengan sepasang pedang di tangan.

Benar juga tak berapa lama, ditingkah oleh sinar remang yang menerobos di mulut guha, tampak kawanan orang yang berjalan cepat sekali sehingga tak dapat diketahui jelas wajah mereka. Tangan mereka membawa rantai besi, menyusur dinding karang terus melorot ke bawah. Mereka tak mengetahui bahwa di bawah telah menunggu malaekat elmaut yang berupa Gak Lui.

Ketika tubuh2 mereka berhamburan turun ke tanah, Gak Lui segera menyambutnya dengan lontarkan pedang-terbang, siut, siut….. pedang Pelangi itu berhamburan memancar sinar yang menyurut wajah mereka. Kerut wajah mereka yang seperti kawanan setan itu, tampak terkejut ketakutan.

Huak, huak ... terdengar jerit teriakan yang ngeri disusul oleh muncratan darah segar. Gak Lui mengamuk seperti kerbau gila. Kawanan pendatang yang masuk ke bawah guha itu, laksana kawanan anak-anak yang terbakar api. Mayat bergelimpangan tumpang tindih dalam genangan darah ....

Tetapi kawanan orang itu datang dengan jumlah banyak dan menyusup masuk seperti air bah. Betapapun Gak Lui membabat mereka, karena diantara empatpuluh orang itu terdapat juga tiga empatbelas yang berkepandaian tinggi. Mereka beruntung dapat menghindar dari babatan pedang Gak Lui dan berhasil melayang turun ke tanah.

Tetapi merekapun segera mengeluh karena tanah amat licin sekali sehingga mereka tak dapat berdiri tegak, lalu tergelincir jatuh.

Kembali tubuh Gak Lui berputar-putar dengan gerak yang istimewa. Begitu mereka jatuh, cepat pedang Gak Lui pun sudah mengantar jiwa mereka ke neraka. Dalam beberapa kejab saja, tanah-pun penuh dengan kutungan senjata dan mayat yang bergelimpangan darah.

Hanya ada seorang yang dengan gunakan kaki dan tangan, jatuh bangun nekad hendak melarikan diri.

Melihat keadaan orang yang sudah seperti setan kelaparan itu, Gak Lui tak sampai hati. Ia hentikan pedangnya.

Tetapi rupanya Lau Yan-lan yang pernah merasakan penderitaan dari neraka, dengan hati2 ia loncat menghampiri terus hendak menghantam tengkuk orang itu.

“Tahan !" seru Gak Lui.

“Mengapa ?" seru sinona sambil hentikan tangan.

“Biarkan dia hidup agar dapat kita tanyai keterangan !"

“Apa yang perlu ditanyakan lagi ?"

“Karena kawanan kaki tangannya datang, mungkin Maharaja juga datang. Apabila dia menjaga di mulut guha, kita harus berpikir lagi," kata Gak Lui seraya maju dua langkah dan secepat kilat menutuk jalan darah orang itu, serunya: “Di mana si iblis Maharaja itu?"

“………….”

“Kalau tak mau bilang tentu akan kusiksa!"

“…………………”

Dua kali bertanya tak dijawab, marahlah Gak Lui. Sekali ia salurkan tenaga dalam ke telapak tangannya, orang itu segera menjerit ngeri.

“Ya, bilang...." baru mulut orang itu berkata begitu, tiba2 ia tersentak berhenti. Gak Lui heran. Cepat ia lepaskan tangan dan memeriksa wajah orang itu. Ternyata wajahnya seperti sebuah mayat yang tak memancar kerut2 perasaan dan sepasang matanyapun seperti orang tolol.

“Aneh...."

“Apa yang aneh ?" tanya Yan-lan.

“Akan kuperiksa jalan darahnya dulu baru tahu sebabnya," kata Gak Lui seraya meraba ubun2 kepala orang itu. Dalam sekejab saja, tangannya mengurut tiba di jalan darah Nau-hu-hiat atau bagian otak. Serentak Gak Lui tergetar hatinya.

“Aneh, mengapa jalan darah Nau-hu-hiatnya penuh dengan hawa Im dingin. Terang tentu ditutuk orang. Ilmu tutukan itu hampir sama dengan ilmu tutukan yang diderita si Penjaga Neraka tempo hari. Jelas Maharaja tentu datang ...."

Tengah Gak Lui berpikir demikian, sinona memandang dengan heran tetapi tak berani bertanya.

“Apabila musuh menjaga di luar, jika menerobos keluar aku dan taci Yan tentu celaka. Namun kalau tetap berada di sini, taci Yan tak kuat bertahan hawa panas di sini ..." kembali Gak Lui merenung.

Akhirnya ia mengambil keputusan, katanya: “Taci Yan, orang ini telah kututuk terluka, percuma saja menanyainya. Lebih baik kita pergi !"

Setelah mengempaskan tubuh orang yang sudah setengah mati itu ke tanah, Gak Lui mengambil senjata orang itu lalu mulai merayap ke atas. Dan karena mendapat rantai besi dari kawanan orang itu. Gak Lui dan Yan-lan dapat mendaki dengan lancar.

Lau Yan-lan tak menyadari bahwa saat itu masih terkurung dalam bahaya maut. Ia merasa gembira bahagia karena bersama dengan seorang pemuda yang dicintainya.

Tetapi Gak Lui tak mempunyai pikiran begitu. Ia ingin sekali lekas2 dapat keluar dari guha neraka itu. Dan apabila berjumpa dengan musuh, ia segera dapat menempurnya.

Saat itu sinar dari atas makin terang dan anginpun terasa berhembus menampar muka. Gak Lui memperhitungkan bahwa dari mulut guha di sebelah atas, hanya terpisah 20-an tombak. Maka ia segera empos semangat dan pesatkan jalannya. Ia menarik rantai itu kuat2. Tetapi makin menarik keras, rantai itu bahkan makin malah menjulai ke bawah. Jelas bahwa seorang sakti yang tengah menarik rantai itu.

“Celaka !" Gak Lui mengeluh. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Cepat ia lepaskan tangan kiri, menunduk kepala ke bawah sembari mencabut pedang Pelangi.

Saat itu sinona berada di bawah kaki Gak Lui. Melihat Gak Lui tiba2 berhenti dan menghunus pedang, ia duga tentu terjadi sesuatu. Tetapi ia tak melihat barang seorangpun juga dalam guha itu. Apa guna ia ikut mencabut pedang !

Pada saat ia sedang meragu, Gak Luipun sudah tancapkan pedangnya pada batu, lalu ulurkan tangan menarik tubuh sinona ke tempatnya. Sedang ia sendiripun lalu tegak berdiri dengan sebelah ujung kakinya. Ia tak mau ngotot menarik rantai itu lagi dan biarkan terkatung-katung ke bawah.

Siasat Gak Lui itu membuat orang yang berada di luar guha menjadi bingung, tak dapat menduga apa yang berada di bawah guha itu.

Rantai tampak berayun-ayun. Rupanya orang di atas itu sedang memancing mancing reaksi dari dalam guha.

Kini Lau Yan-lan dapat mengetahui jelas. Ia tak berani buka suara apa-apa melainkan memandang Gak Lui dengan pandang ketakutan.

Gak Lui tetap tenang2 saja. Setelah mengerahkan tenaga-dalam maka berserulah ia dengan nada dingin ke atas mulut guha: “Hai, siapa yang main2 di atas itu ?"

“Hai, kiranya Gak Lui ... ?" tiba2 terdengar suara orang berseru kaget di atas mulut guha.

“O, apakah Tio Bik-lui cianpwe ?"

“Benar, akulah !"

Gak Lui menghembus napas longgar. Walaupun hatinya lega tetapi tak urung diam2 ia heran: “Apakah dia mengikuti aku saja?"

Tiba2 rantai bergoncangan dan dengan nada seruan yang ramah, terdengar Tio Bik lui berteriak: “Lekas keluarlah !"

“Cianpwe, apakah diluar terdapat kaki tangan si Maharaja ?" teriak Gak Lui.

“Ini....," berhenti sejenak orang itu berseru: “ada beberapa penjahat kecil tetapi sudah kuhalau pergi semua !"

“Kalau begitu silahkan cianpwe mundur sepemanah jauhnya, kami akan keluar."

“Kami ? Apakah nona itu juga masih selamat?"

“Aku dapat menolong tepat pada waktu ia terjatuh."

“Bagus, bagus... ," jawab orang itu dengan nada tegang dan agak jauh. Rupanya ia memang sudah mundur belasan tombak.

Gak Lui tak mau buang tempo lagi. Ia segera bersama Lau Yan-lan kerahkan tenaga dalam. Lebih dulu Gak Lui lemparkan rantai besi ke tengah guha untuk menyelidiki. Ternyata batu2 karang guha itu tetap seperti bermula, datar dan terpisah dari mulut guha hanya setombak jauhnya.

Saat itu Lau Yan lan pun tiba di sampingnya lalu membisiki ke dekat telinganya: “Adik Lui, ikut akulah. Aku tahu jalan singkat.”

“Jalan singkat? Apakah bukan ilmu berjalan Tiga-langkah-membiluk-kiri ?"

“Ah, itu kan cara untuk melalui barisan. Selain itu memang masih terdapat jalan rahasia lagi. Kalau tidak, masakan dengan kepandaian yang begini rendah aku mampu lolos dari kejaran mereka dan masuk ke dalam guha ini?"

“Tetapi aku perlu menemui Tio cianpwe....." baru Gak Lui berkata begitu, Tio Bik-lui tampak ulurkan tangan dari balik batu dan melambai. Gak Lui segera menghampiri. Akhirnya mereka bertiga berkumpul lalu bersama-sama memimpin sinona lari menuju ke puncak lapisan luar.

Sejak mempelajari ilmu pukulan Menundukkan-iblis, tenaga-dalam Gak Luipun bertambah maju pesat. Maka dalam berjalan itu, ia mampu bertahan atas deru angin yang mengandung tenaga kong-gi. Setengah jam kemudian, mereka sudah keluar dari gunung Bu-san.

Memandang ke sekeliling dengan hati gembira, lalu diam2 mengangguk: ”Ah, apa yang kuduga memang tepat. Tempat ini berbeda sama sekali dengan tempat mulai aku masuk ke pegunungan ini...”

Dengan berbatuk-batuk, Tio Bik-lui menukas kata2nya: “Gak siauhiap, sejak tiga hari engkau masuk ke pegunungan ini, membuat aku bingung sekali. Apabila terjadi sesuatu pada dirimu, aku sungguh tak enak sekali terhadap sahabatku lama Empat-pedang Busan."

Gak Lui serta merta menghaturkan terima kasih lalu memperkenalkan Lau Yan-lan. Mata Tio Bik lui berkilat-kilat memandang sinona sejenak lalu tertawa nyaring: “Ah, kalian benar2 merupakan pasangan yang sejoli benar .... ha.....ha .... ha... ha, ha!"

Gak Lui tak memperhatikan ucapan itu. Sebaliknya Yan-lan gembira sekali. Selebar wajahnya merah dan hampir tak kuasa menahan senyum tawanya. Melihat itu Tio Bik-luipun hentikan tertawanya.

“Kalian tadi terjerumus kedalam guha, apakah melihat sesuatu yang aneh ?" tanyanya.

Gak Lui tak mau mengatakan tentang nasib ayahnya yang menemui kematian ngeri dalam guha itu. Ia menyahut dingin: “Memang tidak menemukan apa2, hanya ada beberapa hal yang aku tak jelas.......”

“Silahkan bertanya."

“Apakah selama tiga hari menunggu dalam barisan itu, cianpwe pernah berjumpa Maharaja?”

“Ini ... tak pernah. Mungkin karena jalanan berliku-liku, dia masuk dari lain tempat."

“Lalu anak buahnya yang cianpwe bunuh itu?"

“Mereka ... sudah berada dalam barisan."

Mendengar jawaban itu beralasan, Gak Lui maju selangkah, tanyanya pula: “Apakah cianpwe melihat ke 40 orang yang menyerbu ke dalam guha itu ?"

“Ini ... aku harus menceritakan dari permulaan bertemu dengan Burung-hong cantik dari Bu-san. Saat itu aku sedang duduk menyalurkan tenaga-dalam. Kulihat bayangan tubuh nona Lau menyelinap masuk ke dalam barisan. Sekalipun ada beberapa orang aneh mengikutinya, saat itu aku tak jelas keadaannya dan tak bertanya apa-apa ...."

“Hm, benar juga. Dia seorang pendekar yang menyembunyikan diri, tentu tak suka campur tangan urusan dunia," pikir Gak Lui.

“Tetapi setelah itu, kulihat berpuluh-puluh orang membawa rantai panjang. Kuduga beberapa orang yang masuk lebih dulu tadi tentu mendapatkan sesuatu lalu keluar dari jalanan lain dan memanggil kawan-kawannya. Pada saat itu aku tak dapat berpeluk tangan lebih lama lagi karena memikirkan keselamatanmu ....." kata Tio Bik-lui lebih lanjut.

“Karena itu cianpwe lalu masuk kemari ?”

“Benar," jawab Tio Bik lui, “semula aku hendak memberi bantuan tetapi tak kira kalian sudah dapat keluar sendiri."

“Kalau begitu si Maharaja itu belum menampakkan diri ?”

“Kurasa belum. Kalau memang sudah....ingin kujajal kesaktiannya."

“Hm ... aneh ?"

“Apa yang aneh ?”

“Ke 40 orang yang menyerbu kedalam guha itu sebelumnya telah dirusak urat syarafnya. Apa sebabnya, belum diketahui."

“Kurasa…..” Tio Bik lui kerutkan sepasang alis dan merenung beberapa saat, ujarnya: “Tentu si Maharaja yang melakukan."

“Menurut cianpwe, apa alasannya Maharaja merusak anak buahnya sendiri itu ?"

“Misalnya, karena hendak menangkap nona Lau ia telah menyuruh sekian banyak orang. Tetapi karena tak mengetahui keadaan dalam guha, dan kuatir kalau gagal kawanan anak buah itu akan dipergunakan lawan, maka Maharaja lalu turun tangan lebih dulu."

“Hm, beralasan juga...," kata Gak Lui mengangguk, pikirnya: “Dari kejadian itu makin meyakinkan bahwa si Maharajalah orang yang menipu kitab pusaka orang Bu-kau itu. Begitu melihat anak dari ketua Bu kau, maka ia bernafsu sekali hendak membunuhnya.”

Tiba Tio Bik-lui berkata kepada Lau Yan-lan : “Nona Lau, mengapa Maharaja hendak mencelakai engkau ?"

“Entah," sahut Yan lan dengan dingin. Suatu hal yang membuat Gak Lui heran.

Tetapi Tio Bik-lui mendesak pertanyaan lagi: “Apakah sedikit alasan saja nona tak mengatakan? Misalnya apakah nona tak dapat mengatakan tentang asal usul perguruan nona ? Mungkin dari situ, aku dapat mempunyai gambaran agar dapat memecahkan teka teki itu."

“Terima kasih! Keluargaku berantakan dan aku sudah sebatang kara. Tiada yang perlu kukatakan apa2 lagi ...."

“Ya, ya," kata Tio Bik-lui dengan mata berkilat-kilat. Kemudian ia bertanya kepada Gak Lui apa tindakannya lebih lanjut.

Gak Lui serentak teringat akan pesan mendiang ayahnya, ia menghela napas.....

Bab 22. Budi dan Dendam.

Gak Lui teringat akan pesan mendiang ayahnya. Ia menghela napas dan menyahut: “Aku hanya mempunyai sebuah cara."

“Bagaimana?" tanya Tio Bik-lui.

“Mencari Kaisar-persilatan Li Liong-ci untuk meminta ajaran ilmu Ngo-heng-tay-hwat terbalik.”

“Apakah engkau tahu tempatnya?"

“Tidak jelas."

“Kalau begitu apakah bukan seperti memburu bayangan saja?"

“Pernah aku ditolong oleh doa nyanyiannya ketika aku berada di istana Lok-ong-kiong."

“Rencana itu memang bagus. Tetapi mengingat Tiong-goan itu negara yang begini luas, apabila hanya mengandalkan pada kebetulan saja, adalah ibarat orang menjolok rembulan dalam dasar laut."

Gak Lui tertawa: “Masakan aku akan bekerja secara begitu."

“Kalau begitu engkau sudah mempunyai jejak yang dapat engkau ikuti?" tanya Tio Bik-lui.

“Menilik dari kumandang doa nyanyiannya itu, kuperkirakan dia mungkin berada di daerah pegunungan yang terkenal misalnya gunung Heng-san, gunung Kosan,” jawab Gak Lui.

“Beralasan juga! Tetapi tempo hari engkau pernah menyatakan kalau terlibat salah faham dengan fihak Siau-lim-si......”

“Ah, salah faham dapat dijelaskan. Apalagi ketua Siau-lim-si terkena racun, seharusnya aku menjenguk keadaannya.”

“Kalau begitu, silahkanlah. Akupun hendak minta diri," kata Tio Bik-lui seraya memberi selamat tinggal lalu tinggalkan tempat itu.

Setelah orang itu pergi, Gak Lui berpaling ke arah burung Hong-cantik dari Bu-san, Lau Yan-lan, serunya : “Taci Yan, tadi engkau bersikap dingin, apakah tidak kurang hormat?”

Saat itu Yan-lan masih memandang ke muka, cepat ia menyahut: “Dengan orang yang belum kenal, tiada alasan untuk ikut bicara .....”

“Dia pernah membantu aku, jadi tak dapat dianggap orang asing."

“Ini .... kurasa dia .... dia tak jujur bicaranya."

“Dalam soal apa ?”

“Dia mengatakan Maharaja mengirim orang untuk mengejar aku. Itu memang benar. Tetapi kiranya tak perlu Maharaja mengirim sampai 40 orang.”

“Lalu maksudmu?”

“Dengan membesar-besarkan hal itu, seperti Maharaja itu sudah menduga kalau akan berhadapan dengan lain musuh yang tangguh.”

“Memang seharusnya tidak tahu. Karena ketika aku jatuh dalam guha neraka itu, hanya Tio Bik-lui seorang yang tahu.....”

“Di situlah letak kecurigaanku!” seru sinona.

“Hm....." Gak Lui terkesiap. Setelah merenung beberapa jenak, ia tertawa pula: “Kurasa Tio cianpwe bukanlah orang semacam itu. Apalagi Maharaja itu memang manusia yang banyak curiga. Tindakannya itu memang sudah menjadi adat kebiasaannya. Selain itu apakah engkau dapat menunjukkan lain2 yang menimbulkan kecurigaan lagi ?"

“Lain2 bukti memang tak ada. Tetapi terhadap orang itu aku memang mempunyai kesan yang tak baik."

“Mengapa ?"

“Wanita memang punya naluri istimewa...”

“Terlalu perasa, maaf !"

“Benar !" sahut Yan-lan.

“Ha, ha, wanita memang suka memikir yang tidak2, sering tidak menurut kenyataan...."

“Adik Lui, apakah engkau menertawakan aku ?” Yan-lan menyeringaikan hidung. Ia merasa kalau dirinya ditertawakan Gak Lui.

“Tidak, tidak! Aku hanya bicara sekedarnya saja, sekali-kali bukan kutujukan kepadamu," buru2 Gak Lui memberi penjelasan, “taci Yan, aku hendak lekas2 menuju ke Siau-lim, nah, kitapun terpaksa harus berpisah sampai di sini.”

“Berpisah? Engkau tak membawa aku serta?”

“Ah, sebaiknya jangan ikut saja."

“Eh, apakah engkau menganggap karena aku murid perguruan Bu-kau lalu tentu ..... tak suci ?"

“Itu soal lain, harap jangan dicampur aduk!” kata Gak Lui. Tetapi bagi sinona jawaban itu lain lagi artinya. Gak Lui berkata menurut urusan yang hendak dilakukan. Tetapi Lau Yan-lan menerimanya lain. Ia anggap Gak Lui tak mempercayai kesuciannya maka diam2 ia telah mengambil keputusan.

“Apapun yang hendak engkau lakukan, boleh saja. Tetapi aku mempunyai sebuah syarat,” kata Yan-lan dengan wajah berseri.

“Harap mengatakan.”

“Ijinkanlah kutemani engkau berjalan satu hari, baru nanti kita berpisah."

“Hanya sehari ?” Gak Lui menegas.

“Ya, artinya sehari semalam!”

“Bolehlah !”

Mendengar Gak Lui menyetujui, berserilah Yan-lan. Gadis itu tampak makin cantik. Demikian kedua muda mudi itu segera berangkat menuju ke gunung Ko-san tempat markas Siau-lim-si.

“Adik Lui, pandanglah aku !” kata sinona setelah berjalan sehari, mereka berdua duduk di bawah sebatang pohon dalam hutan. Saat itu rembulan bersinar terang. Cahayanya menyusup di antara celah2 daun dan tepat meningkah ke arah kedua muda mudi itu.

Sekeliling penjuru sunyi senyap. Ucapan Yan-lan yang merdu merayu itu menambah suasana makin romantic. Gak Lui menurut. Begitu memandang, hatinya berdebar keras. Untunglah kesadaran pikirannya cepat mengilas dan cepat pula berpaling lagi.

“Hm, mengapa engkau tak mau memandang aku? Apakah engkau menganggap diriku jelek?"

“Tidak, engkau amat cantik."

“Lalu mengapa engkau tak mau memandang?"

“Aku ... sudah memandang tadi.”

“Pandanglah sekali lagi!”

“Apa perlunya?"

Yan-lan menggeliat dan merapatkan tubuh ke hadapan Gak Lui. Gak Lui hendak menyurut mundur. Tetapi ia terkesiap melihat pancaran mata Yan lan yang penuh mengandung permohonan serta bibirnya yang menghamburkan napas harum sehingga membuat bibir Gak Lui gemetar.

“Adik Lui, pandanglah mataku, sekali saja!”

“Ya, kalau hanya sekali, tak apalah," sahut Gak Lui lalu menatapnya.

Tetapi begitu empat mata saling beradu, tiba-tiba ia terpikat pesona. Darah bergolak-golak dan meluaplah nafsu berahinya.

Memang Lau Yan-lan telah mendapat pelajaran ilmu Memikat-hati dari ibunya. Gak Lui terkena ilmu itu dan tak dapat menguasai diri lagi. Saat itu sepasang tangan sinona mengulur ke arahnya dan diluar kesadarannya iapun ulurkan tangan menyambutinya.

Awan berarak-arak menutupi sang Dewi Rembulan agar dewi malam itu jangan tersinggung perasaannya menyaksikan kedua muda mudi itu tenggelam dalam buaian nafsu insani, nafsu yang dimiliki setiap insan, pria maupun wanita.

Beberapa saat kemudian, setelah mereka terkulai lelah, terdengarlah suara Yan-lan membisiki ke dekat telinga Gak Lui: “Adik Lui, engkau harus percaya....aku....tak membohongimu...."

“Tidak....." sahut Gak Lui, tetapi kata itu tersekat oleh mulutnya yang gemetar. Saat itu tersadarlah ia apa yang telah terjadi. Segera ia mengemasi pakaiannya lalu duduk. Dalam benaknya mulai melalu lalang beberapa sosok bayangan dari: Gadis-ular Li Sau-mey.....The Hong-lian .... Hi Kiam-gin ....Dan akhirnya terbayanglah ia akan diri Permaisuri Biru pun mengilas dalam benaknya. Masih terngiang dalam telinganya bagaimana Permaisuri Biru itu dengan nada keibuan pernah memberi peringatan: “Dalam kehidupanmu apabila muncul gadis yang keempat, engkau tentu akan mengalami keakhiran yang menyedihkan….”

Teringat akan hal itu tersentaklah Gak Lui seperti disambar petir. Darahnya menyalur deras dan terpukaulah ia tak dapat bicara.

Melihat Gak Lui diam seperti patung, Yan-lan segera bertanya dengan bisik2: “Adik Lui, apakah engkau tak senang hati ....?”

“Bukan, aku tengah merenungkan sebuah hal, harap jangan mengganggu dulu," sahut Gak Lui.

Yan-lan tak berani bicara lagi dan Gak Lui pun sudah menetapkan keputusan, pikirnya: “Ah, tak kira kalau gadis keempat itu ternyata jatuh pada diri taci Yan. Oleh karena nasi sudah menjadi bubur, biarlah aku yang bertanggung jawab. Apalagi si Maharaja itu menjadi musuh kita berdua. Yang penting sekarang ini aku harus berusaha untuk mengambil kembali pedang pusaka Thian-lui koay-kiam. Lebih dulu membalas sakit-hati. Lain2 urusan, besok dipikir lagi ...."

Merenung sampai disitu teringatlah ia akan pesan mendiang ayahnya.

“Apabila keempat jurus ilmu pedang perguruan kita itu digabungkan satu, dapatlah digunakan untuk menghadapi pemilik pedang Thian-lui-koay-kiam. Pula sebaiknya yang menjadi pewaris dari keempat ilmu pedang itu adalah kaum wanita,” demikian pesan mendiang ayahnya.

“Sekarang taci Hi Kiam-gim sudah dapat mempelajari ilmu pedang itu. Jika kuajarkan ilmu pedang itu kepada taci Yan ini, adik Siu-mey dan The Hong-lian, bukankah tepat empat orang gadis? Walaupun mereka terpaut 20an tahun dalam pelajaran itu dengan musuh tetapi sekurang-kurangnya mereka pasti dapat membela diri. Pula apabila aku berhasil mendapatkan pedang pusaka itu, kukuatir seperti halnya dengan kakek guru, aku tak dapat mengendalikan kekuatan daya iblis dari pedang itu. Apabila keempat gadis itu dapat mempelajari ilmu pedang Bu-san-kiam-hwat, mereka tentu dapat mengatasi aku...." demikian semakin jauh Gak Lui menjelajah dalam renungan2nya.

“Taci Yan," tiba2 ia mengakhiri renungannya, "jika kuajarkan engkau ilmu pedang perguruanku, apakah engkau mau mempelajari ?"

Hampir Yan-lan tak percaya apa yang didengarnya. Dalam girangnya ia melengking nyaring: “Sudah tentu mau! Sungguh tak kira apa yang kuikrarkan di depan arwah ayahmu, benar-benar menjadi kenyataan...”

Setelah menentukan keputusan untuk mengajarkan keempat jurus ilmu pedang Bu-san- kiam-hwat kepada keempat gadis itu, maka Gak Lui segera memberikan pelajaran jurus Hawa-pedang-menembus-malam kepada Lau Yan-lan. Menilik kecerdasan nona itu, dalam waktu yang singkat ia sudah dapat memahami. Dan setelah berlatih serta diberi petunjuk seperlunya oleh Gak Lui, akhirnya Yan-lan sudah dapat mengetahui jelas intisarinya.

Tetapi tepat pada saat pelajaran itu selesai, berakhir jugalah waktu berkumpul mereka. Betapapun berat hatinya namun karena sudah janji maka Yan-lanpun tak mau ingkar. Ia menyadari bahwa perjalanan hidup mereka berdua memang masih penuh dengan lingkaran bahaya.

“Adik Lui, jurus ilmu pedang ini, aku tentu akan giat berlatih. Kuharap engkau menjaga dirimu baik-baik dalam perjalanan,” kata nona itu.

“Taci Yan, kemanakah rencanamu ?" tanya Gak Lui dengan nada penuh perhatian.

“Aku hendak ke Bu-san."

“Tujuannya.....?"

“Di samping menunggu kedatanganmu, pun untuk menjaga apabila ada orang yang datang ke gunung itu. Atau mungkin siapa tahu aku dapat menemukan sesuatu jejak ....”

Tetapi Gak Lui tak begitu menyetujui rencana Yan-lan itu. Ia kuatir Maharaja akan mengirim beberapa jago2 yang sakti lagi. Sudah tentu Yan-lan seorang diri tentu tak mampu menghadapi mereka.

Tetapi apabila ditinjau dari sudut lain, Yan-lan faham akan jalan2 dan keadaan keenam puncak gunung Bu-san itu. Apabila bertemu musuh kuat, dapat menghindarkan diri.

Akhirnya ia tak menentang rencana nona itu. Begitu berputar tubuh, sambil mengayun langkah ia memberi salam: “Harap jaga diri baik2 !"

Bagaikan segulung asap, Gak Lui terus meluncur turun menuju ke gunung Ko-san.

Selama dalam perjalanan itu Gak Lui tak lepas dari lamunan2. Tujuannya hendak mencari Kaisar Persilatan Li Liong ci. Ia tahu bahwa tokoh itu sudah lama masuk ke daerah Tiong-goan. Tetapi wilayah Tiong-goan amat luas sekali, bagaimana mungkin ia dapat mencarinya dalam waktu yang singkat.

Karena pikirannya melayang, ia lengah memperhatikan bahwa dari arah belakang, sesosok bayangan tengah mengejarnya.

Setelah orang itu berteriak memanggilnya beberapa kali, barulah Gak Lui berhenti dan berpaling.

Kiranya orang itu bukan lain yalah kenalannya lama, Sebun siangseng, tokoh sakti dari Kun-lun-pay.

“Saudara Gak, baik sajakah engkau selama ini ? Kepandaian maju pesat sekali rupanya, tentulah engkau mendapat banyak hal2 yang luar biasa," seru tokoh Kun-lun-pay itu.

Gak Lui menghela napas: “Ah, sekalipun ada kemajuan tetapi masih terpaut jauh sekali dengan lawan !"

“Oh, apakah engkau sudah bertemu ?"

“Sungguh mengecewakan, kalau tiada Kaisar Persilatan tak muncul dengan doa pujiannya, aku tentu sudah mati ditangan Maharaja."

“Ho, kedua datuk Hitam dan Putih itu kiranya sudah bertempur. Lalu siapakah yang menang? Atau belum diketahui kesudahannya..." dalam tegangnya Sebun siangseng mencurah pertanyaan. Karena merasa bahwa menuturkan cerita itu memakan waktu panjang, maka Gak Lui lalu menceritakan dari permulaan. Sejak digunung Pek-wan-san menemui Sin-kun The Thay untuk memesan pembuatan pedang tetapi akhirnya pedang itu direbut oleh tokoh Wi Cun dari partai Kong-tong-pay. Kemudian bagaimana ia membunuh Pek Kat Mo kun dan seorang anggauta Topeng Besi, lalu peristiwa kutungnya lengan imam Ceng Ki dari Bu-tong-pay. Kemudian ia bertemu dengan Permaisuri Biru dan Li Hud-kong sampai terakhir tiba di istana Lok-ong kiong dan dikurung dalam lingkaran suitan iblis si Maharaja .... setelah itu seorang diri ia menempur Sam-ciat atau Tiga Algojo dari Maharaja. Untunglah datang Tio Bik-lui memberi memberi bantuan dan memberi petunjuk jalan-singkat ke Bu-san. Akhirnya barulah ia mengetahui nama dari murid hianat itu yalah Lengan-besi-hati-baik yang kini masih bersembunyi di istana Bi-kiong ....

Mendengar cerita itu tak henti2nya Sebun Sianseng leletkan lidah dan berulang-ulang mengangguk-angguk kepala.

“Kalau begitu, sekalipun sudah unjuk diri tetapi Maharaja belum menampakkan wajahnya. Oleh karena itu apakah dia itu sipembunuh dahulu, masih belum dapat dipastikan," kata Sebun siangseng.

“Kurasa tentu dia," kata Gak Lui.

“Tetapi tadi engkau mengatakan bahwa hidungnya masih utuh."

“Soal itu setelah ketemu dengan si Lengan-besi-hati-baik baru dapat diketahui jelas !"

“Kurasa ilmu kepandaiannya tentu lebih tinggi dari Maharaja. Sekalipun Maharaja mampu masuk kedalam istana Bi-kiong, mungkin .....”

“Tak ada yang dikata 'mungkin’. Apabila menunggu sampai Maharaja melenyapkan partai2 persilatan besar, tentu akan lebih sukar lagi," kata Gak Lui.

Sebun sianseng tampak kerutkan alis, ujarnya: “Saudara Gak, dalam usahaku untuk mengajak partai persilatan bersama-sama menghancurkan maharaja, ternyata juga menemui banyak kesulitan ...”

“O ...” desuh Gak Lui.

“Aku sudah pergi Bu-tong-san. Murid kepala, imam Hwat Lui, sesungguhnya juga dapat mengerti keadaanmu. Tetapi kemudian ia bersangsi lagi."

“Kenapa ?"

“Kabarnya ada seorang cianpwe persilatan secara diam2 telah mengirim batang kepala dari imam Ceng Ki...."

“Tak mungkin ! Jelas Ceng Ki totiang telah lolos dengan menderita luka saja," seru Gak Lui dengan tegang.

“Saudara Gak, engkau tentu salah sangka. Mungkin karena sedang menghadapi pertempuran, sehingga salah lihat...."

“Apakah engkau sendiri juga tak percaya kepadaku ?" tanya Gak Lui.

“Terus terang saja, aku memang kenal dengan Ceng Ki totiang. Demi menyelidiki peristiwa itu, sengaja aku naik ke gunung Bu-tong-san untuk mengenali kepala orang itu. Dan kudapati memang benar2 kepala dari imam itu sendiri !"

“Oh ...” kembali Gak Lui mendesuh terkejut dan menyurut mundur selangkah. Ia memang tak mengetahui sendiri bagaimana Permaisuri Biru telah mendapatkan batang kepala itu. Maka diam2 iapun meragu dalam hati.

Tetapi secepat ia menggali ingatannya, ia berkata dalam hati: “Jelas mereka berdua selalu bersama. Sama2 muncul dan lenyap. Pula Topeng Besi itu seperti diberi komando oleh suatu suitan misterius. Dan suitan itu sama dengan suitan dari Maharaja. Dahulu dari ibunya Lau Yan-lan, Maharaja telah berhasil secara licin mempelajari ilmu suitan untuk menghancurkan kesadaran pikiran orang ... !"

Berpikir sampai kesitu, awan yang menutupi kegelapan benak Gak Lui seperti tersingkap terang. Ia dapat memecahkan beberapa teka teki yang selama ini seperti diselubungi kabut gelap.

Pertama, dahulu mendiang ayahnya yakni Dewa-pedang Gak Tiang-beng, pernah melihat murid perguruan Heng-san mati dibunuh. Kabarnya murid Heng-san itu diajak oleh paman gurunya yang bergelar imam Hwat Gong. Sedang waktu murid Heng-san itu dibunuh oleh seorang tak dikenal, peristiwa itu terjadi didepan hidung Hwat Gong dan Hwat Gong hanya berpeluk tangan mengawasi saja.

Padahal Hwat Gong kala itu merupakan murid kepala dari Heng-san, murid yang bakal menjadi pengganti ketua Heng-san-pay. Seharusnya dalam kedudukan itu, ia tak boleh menghianat partai perguruannya dan masuk dalam gerombolan kaum Hitam.

Menilik hal itu jelas kalau Hwat Gong telah dihapus kesadaran pikirannya oleh suitan sihir dari Maharaja sehingga ia tak berkutik seperti patung melihat murid Heng-san dibunuh orang.

Tentang sepak terjang Maharaja, Gak Lui mendapat gambaran jelas: Maharaja takut kalau Keempat tokoh pedang dari Bu-san itu akan bersatu untuk menyerangnya dan ia tak mampu menguasai mereka. Karena ia tak berani terang-terangan menggunakan ilmu pedang dari perguruan Bu san.

Demi untuk menghapus kemungkinan kalau Keempat pedang dari Bu-san itu akan merajai dunia persilatan, lebih dulu Maharaja hendak mencari pembantu. Kemudian ia harus meyakinkan ilmu kepandaian yang tersakti di dunia persilatan. Sekarang ia telah berhasil memperbudak tokoh2 sakti dari lima buah partai persilatan. Sekali mendayung dua tepian. Disatu fihak mendapat pembantu yang boleh diandalkan, pun dilain fihak ia dapat mencuri belajar beberapa ilmu sakti dari partai2 persilatan itu.

Demikianlah kesimpulan yang dibuat Gak Lui dari peristiwa penyerangan terhadap ayah-angkatnya dahulu oleh seorang berselubung muka bersama tiga orang Topeng Besi. Begitu pula mengapa Maharaja mampu memiliki beberapa ilmu kepandaian dari beberapa partai persilatan, kini mulailah ia dapat membayangkan jelas.

Kedua, menilik hal2 itu, dapatlah disimpulkan bahwa Ceng Hi totiang itu bukanlah seorang murid hianat, demikianpun dengan keempat anggauta Topeng Besi itu. Mereka bertindak diluar kesadaran karena pikiran mereka dilimbungkan oleh Maharaja. Oleh karena itu tokoh2 dari partai persilatan yang diperbudak Maharaja selalu mengenakan selubung muka warna hitam agar jangan diketahui orang.

Tiba pada kesimpulan pikiran itu, diam2 Gak Lui kucurkan keringat dingin. Karena ia menyadari kalau telah salah membunuh Ceng Ki totiang yang walaupun menjadi pembantu Maharaja tetapi karena pikirannya limbung disihir oleh Maharaja. Jadi kesalahan imam Ceng Ki itu sebenarnya tak perlu sampai harus mendapat hukuman mati.

“Ah....." diam2 Gak Lui menghela napas panjang. Hatinya gundah resah.

Sebun sianseng tak mengerti mengapa anak-muda itu tampak gelisah. Tanyanya: “Orang yang mati tak mungkin hidup lagi. Lebih baik engkau curahkan pikiran untuk berusaha menghimpaskan hutang darah itu dari pada memikirkan hal2 yang sudah lalu. Tetapi ... memang usaha itu tak mudah."

Dengan tandas, berkatalah Gak Lui: “Seorang lelaki akan membedakan mana budi mana dendam. Salah faham itu aku dapat menebusnya dengan balas jasa yang bertubi-tubi !"

Mendengar ucapan Gak Lui itu, tiba2 Sebun sianseng teringat akan pemandangan ngeri dalam Kaca ajaib tempo hari. Diam-diam ia menggigil dan bertanya: “Dengan cara bagaimana engkau hendak membalas jasa itu? Apakah tak mungkin dirimu sendiri akan .... lenyap!”

“Rencana belum kupikirkan masak, tetapi-pun takkan bertindak dengan serampangan ..."

Sebun sianseng menghela napas longgar, serunya: “Bagus, memang seharusnya begitu. Kini hendak kututurkan tentang sikap orang Ceng-sia-pay."

“Apakah Thian Lok totiang yang terkena kabut beracun itu sudah sembuh?" tukas Gak Lui.

“Ah, masakan begitu cepat. Mereka kekurangan obat maka terpaksa menutup markas. Tetapi menurut keterangan para muridnya, begitu Thian Lok totiang sudah sembuh, dia tentu akan mencarimu !"

Gak Lui tertawa hambar lalu beralih pertanyaan: “Lalu bagaimana Kong-tong-pay? Apakah sianseng sudah ke sana?"

“Sudah," sahut sianseng, “ketuanya, Wi Ih mendendam kepadamu karena engkau telah membunuh Wi Ti dan Wi Tun. Ketua Wi Ih itu hendak menuntut balas…..”

“Bukan aku yang melakukan. Peristiwa itu kabarnya suheng anda, yalah Tanghong sianseng menyaksikan sendiri. Entah apakah anda sudah berjumpa atau belum dengan Tanghong sianseng?"

“Sudah lama kami tak berjumpa. Sekarang ia ikut Hwat Hong taysu dari perguruan Hengsan-pay berada di gereja Siau-lim-si. Maka sengaja aku datang kemari memberitahu, dan lagi ...."

“Dan lagi bagaimana?"

“Tek Yan tianglo dari Go-bi-san yang sudah lama tak muncul, saat ini juga sudah berada disekitar tempat ini. Aku harus lekas2 mencarinya untuk memberi penjelasan. Kalau tidak dikuatirkan dia akan salah mendapat keterangan dari orang sehingga salah faham kepadamu."

Gak Lui amat berterima kasih atas kebaikan hati Sebun sianseng: “Ah, bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih kepada anda yang sudah begitu jerih payah lari sana sini ...."

“Ah, tak apalah," sahut Sebun sianseng lalu bertanya: “Saudara Gak, tampaknya engkau tergopoh2, hendak kemanakah?"

“Siau-lim-si !"

“Tujuan ?"

“Pertama, hendak menjenguk sakitnya ketua Siau-lim-si. Dan kedua kalinya, menyelidiki jejak Kaisar Persilatan."

“Ah, tak benar. Belum tentu Hui Gong taysu tahu. Dan kedua kalinya suhengku tentu sukar bicara. Kurasa .... lebih baik ikut kepada kami ...."

“Ke tempat Tek Yan totiang itu ?"

“Lebih baik hal itu untuk sementara waktu ditangguhkan dulu. Urusanmu lebih penting."

“Tidak! Baiklah sianseng cari dulu Tek Yan totiang itu dan biarlah aku sendiri yang pergi ke Siau-lim-si."

Sebun sianseng sukar untuk melayani dua buah masalah sekaligus, ia hendak menyetujui tetapi hatinya tak tega.

Melihat itu Gak Lui tertawa rawan ! “Apakah anda lupa ? Bukankah dahulu anda pernah menghadiahkan kepadaku sebuah kaca cermin ? Dengan benda itu dapatlah kuberi penjelasan kepada su-heng anda. Sedang tentang Hwat Hong taysu dari Heng-san-pay, pagi2 dia sudah mengetahui diriku. Sudah tentu dia akan memberi penjelasan kepada fihak Siau-lim-si ...."

Sebun sianseng seperti disadarkan. Setelah merenung sejenak, ia anggukkan kepala.

Demikian keduanya segera mengambil selamat berpisah dan bergegas menempuh perjalanan masing2.

“Ah, Sebun sianseng, kelak apabila aku sudah menunaikan dendam sakit hatiku, aku tentu akan membalas budi kebaikanmu......” diam2 Gak Lui mengantar kepergian orang itu dengan janji dalam hati.

Setiba didaerah gereja Siau-lim-si, Gak Lui tak henti2nya pasang mata. Setiap orang yang dijumpai dalam perjalanan tentu diawasi dengan seksama. Ia mengharap mudah-mudahan diantara mereka itu terdapat tokoh Kaisar Persilatan yang termasyhur itu.

Tetapi harapannya itu sia2 belaka. Karena makin dekat gereja Siau-lim, orangpun makin sedikit. Jangankan orang persilatan, bahkan tetamu yang hendak bersembahyang ke gereja itu pun sudah jarang sekali.

Warung dalam daerah situ, penuh dengan tempelan kertas yang bertuliskan “Urusan dalam belum selesai, harap tetamu jangan singgah dulu”.

Timbullah gagasan dalam benak Gak Lui, pikirnya: “Menilik naga-naganya, rupanya demi menyembunyikan jejaknya, Kaisar Persilatan tentu takkan datang kemari.... tetapi menilik kepandaiannya, orangpun sukar untuk mengenali dirinya. Lalu bagaimana baiknya, ataukah aku lebih dulu masuk ke gunung atau melakukan lain pekerjaan ?”

Habis berpikir, Gak Lui memandang kemuka. Pada gerumbul hutan tampak menonjol genteng gereja yang berwarna merah. Sedang dibawah kaki gunung tampak berbondong-bondong sosok bayangan orang. Jelas mereka itu sedang mengadakan penjagaan keatas gunung.

Melihat pemandangan itu, tergeraklah hati Gak Lui. Ia segera memutuskan, “Walaupun tiada sangkut pautnya, tetapi ketua Siau-lim si saat ini masih belum terlepas dari bahaya. Aku harus menjenguknya...."

Cepat ia lanjutkan langkah. Tetapi baru berjalan satu li jauhnya, tiba2 disebelah muka tampak sesosok tubuh manusia berjalan menghampiri. Diam2 Gak Lui terkejut heran karena tadi ia tak dapat melihatnya.

Cepat sekali orang itupun sudah tiba. Gak Lui memandangnya tajam2. Tetapi karena melihat itu makin besarlah kecurigaannya.

Orang itu memakai rambut yang menjulai kebelakang. Sepatu robek, pakaian butut. Langkah kakinya tidak tangkas, sinar matanyapun tak tajam. Pendek kata, seorang miskin yang sederhana sekali.

“Tolong tanya, apakah saudara baru kembali dari gereja Siau-lim-si ?" Gak Lui berhenti dan bertanya kepada orang itu.

Rupanya orang itupun terkesiap kaget melihat Gak Lui. Ia berhenti dan menyahut: “Benar!"

“Gunung dijaga ketat, bagaimana saudara dapat bergerak bebas ?"

Orang itu tertawa : “Aku faham sekali akan jalanan digunung ini. Aku mengambil jalan singkat."

“Hm....." orang itu mendesus dan merenung. Beberapa saat kemudian baru berkata: “Selama ketua sakit suasana disini amat perihatin. Tetapi tak lama penyakitnya tentu sembuh. Kalau saudara akan menyambangi, lebih baik lain hari saja."

Gak Lui gelengkan kepala tertawa. Kembali di bawah kaki gunung muncul beberapa bayangan dan berseru : “Hai, berhenti dululah...."

Orang miskin itu terperanjat. Gak Lui cepat bergerak untuk melindungi orang itu.

“Harap jangan bergerak....." seru pendatang yang belakangan itu. Dan cepat sekali orangnya pun sudah tiba.

Seorang yang memiliki sepasang alis melengkung bagus dan hidung lempang lurus. Sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Suatu pertanda bahwa dia tentu memiliki ilmu tenaga-dalam yang tinggi.

Dengan tertawa, Gak Lui menyambut: “Tanghong sianseng ketua Kun-lun-pay, tentulah anda ini bukan ?"

Tanghong sianseng tertegun: “Benar, dan kalau menurut topeng mukamu itu sedemikian anehnya, engkau tentulah Gak Lui."

Gak Lui cepat mengeluarkan kaca cermin pemberian Sebun sianseng : “Aku membawa kaca pemberian Sebun sianseng. Silahkan anda memeriksa dulu agar kita dapat bicara dengan leluasa."

Tanghong sianseng menerima kaca cermin itu. Setelah diamat-amati beberapa jenak, iapun menyerahkan kembali.

“O, kiranya engkau mempunyai hubungan baik sekali dengan sute-ku. Kalau begitu apa yang tersiar dalam dunia persilatan tentang dirimu itu, tentulah tak benar."

“Ah, hal itu hanya suatu kesalahan faham saja," sahut Gak Lui.

“Bagaimana soal peristiwa pembunuhan terhadap kedua totiang dari Kong-tong-pay itu ?"

“Sekali-kali bukan perbuatanku !"

“Maksudmu perbuatan dari anak buah Maharaja ?"

“Tentunya sudah mengerti sendiri?"

Mata Tanghong sianseng berkilat tajam lalu bertanya : “Ketika kedua totiang itu hendak menghembuskan napas terakhir, waktu kutanya siapa yang mencelakai mereka, mereka menyebut namamu. Bagaimanakah hal itu ?"

“Ini ...."

“Ini bagaimana ?"

“Kurasa pada permulaan dan akhir keterangan dari kedua totiang itu tentu masih terselip lain kata. Sayang karena mereka berdua sudah menderita luka parah sehingga tak sempat mengatakan lagi. Silahkan anda merenungkan kembali keadaan saat itu, tentu anda akan mendapat kesan lain," kata Gak Lui.

Tanghong sianseng termenung diam2. Ia membayangkan pula keadaan pada saat ia menyaksikan kedua totiang itu menutup mata. Memang ada kesan yang seperti dikatakan Gak Lui itu. Sambil mengusap jenggot, ia mengangguk : “Baiklah, soal itu kelak pasti akan tersingkap. Kemudian mengenai partai Ceng-sia-pay...."

“Harap jangan kuatir. Nanti setelah Thian Lok totiang jelas akan persoalannya, keadaan tentu akan baik kembali."

Mendengar keterangan Gak Lui, wajah Tanghong sianseng yang semula tegang, saat itu mulai ramah. Kemudian setelah mendapat keterangan tentang maksud kedatangan Gak Lui, tiba2 alis Tanghong sianseng menjungkat pula.

“Karena kedatanganmu dengan maksud baik, aku pun takkan merintangi. Tetapi siapakah yang engkau ajak bicara tadi ?”

“Katanya seorang tetamu yang habis bersembahyang ...."

“Tidak !" cepat Tanghong sianseng menukas, “jika ia sungguh turun dari Siau-lim-si, masakan aku tak dapat melihatnya.”

“Dia faham akan jalanan digunung ini dan mengambil jalan yang singkat."

“Hm, pikiranmu terlalu singkat," gumam Tanghong sianseng, “sepanjang jalan keatas gunung, sekalipun jalan singkat, tetap dijaga oleh murid Siau-lim. Jangan lagi manusia, sedangkan seekor burung pun sukar untuk melintasinya !"

“O, kapankah anda melihatnya ?" seru Gak Lui terkejut.

“Pada saat dia sedang bicara dengan engkau!"

“Heran !" Gak Lui cepat berpaling kebelakang. Tetapi orang itupun sudah lenyap. Pada semak rumput ditepi jalan, terdapat bekas2 telapak kaki yang menuju kedalam lembah, “ah, kiranya dia meluncur turun ...."

“Heh, heh, heh, heh!" Tanghong sianseng mengekeh marah, “hm, besar sekali nyalimu berani mempermainkan aku !”

“Akan kujelaskan ..."

“Jelaskan ? Aku dapat mewakilimu memberi penjelasan. Engkau sengaja menahannya supaya aku tak dapat melihat jelas. Dan engkau sengaja menggunakan barang pertandaan dari suteku untuk mengaburkan perhatianku ...."

Karena dituduh begitu, meluaplah kemarahan Gak Lui, serunya dengan gemetar : “Jadi engkau mencurigai aku membawa mata2 ?”

“Bukan hanya mata2 dari luar, pun mata2 dari dalam!"

“Dari dalam ?" Gak Lui terkejut.

“Ha, ha, kembali berpura-pura tak tahu..."

“Aku tak pernah bohong, kalau hendak bicara harap terus terang saja !" seru Gak Lui.

“Ya, baiklah, akan kukatakan dengan terus terang. Tiga hari yang lalu, datanglah seorang gadis kegunung ini. Katanya ia murid dari Empat Permaisuri dan membawa obat untuk Hui Hong taysu. Mengingat ia seorang dara, aku lengah untuk memeriksa dan memberikan obat itu kepada Hui Hong taysu...."

“Setelah minum lalu bagaimana ?"

“Taysu terus tak sadarkan diri sampai sekarang ini !"

“Siapakah nama dari dara itu ?"

“Gadis-ular Li Siau-mey !"

“Hai... !" Gak Lui berteriak girang, “kiranya adik Siau-mey ... dia .... berada dimana?"

“Ditahan dalam ruang Koan Im...”

“Kenapa ?" Gak Lui terkejut.

“Ia mengatakan bahwa dalam waktu tiga hari taysu pasti tersadar. Hari ini sudah tiba waktunya. Jika taysu tak dapat sadar, ia harus mengganti jiwa!"

Mendengar itu murkalah Gak Lui, serunya: “Ah, anda memang keterlaluan. Lebih baik lepaskan dia !"

“Kalau tidak ?”

“Aku sendiri yang akan mengusahakan kebebasannya.”

“Heh, heh," Tanghong sianseng mengekeh. “rupanya engkau memang harus diberi hajaran!"

“Apakah engkau mampu melakukan ?" ejek Gak Lui.

“Budak, engkau hanya mengandalkan sebatang pedang pusaka dari perguruan Bu-tong-pay. Tetapi aku tak memandang mata sama sekali!"

“Aku takkan mengunakan pedang tetapi hanya sepasang tinju saja, bagaimana ?"

“Tidak ada pertanyaan semacam itu! Kalau aku sampai salah lepas seorang, tentu takkan mengulangi melepaskan dua orang. Maka akupun terpaksa harus menangkapmu hidup !"

Waktu mengatakan kata 'menangkapmu' itu, Tanghong sianseng sudah menghantam. Ilmu pukulan tenaga Sian-ying-ki-kang yang menjadi kebanggaan perguruan Kun-lun-pay, segera memancar dari tangan Tanghong sianseng. Gelombang dahsyat berlambar tenaga sakti Sin-ying-khi kang segera melanda dada dan pinggang Gak Lui. Ganasnya bukan kepalang!

Bab 23. Badai di gunung Kunlun.

Melihat pukulan Tanghong sianseng mengandung tenaga yang dahsyat, apalagi dalam jarak yang begitu dekat, diam2 Gak Lui terkejut. Cepat ia berputar tubuh dan balas menyerang tiga kali.

Bum .... bum .... bum .... terdengar letupan keras ketika pukulan mereka beradu.

Karena termakan tenaga-penyedot lalu didorong oleh Gak Lui, Tanghong sianseng terperanjat sekali. Dengan menggeram marah ia lingkarkan tangannya. Bagai gunung roboh, kelima jarinya menelungkupi Gak Lui.

Baru pertama kali itu Gak Lui berhadapan dengan ilmu kepandaian perguruan Kun-lun-pay. Ia benar2 tertarik akan ilmu kesaktian dari partai perguruan itu. Terutama tenaga-dalam yang sekeras gunung meledak dan tenaga-dalam halus bagaikan daun kering rontok ke tanah.....

Kemudian ketika teringat bahwa ia harus lekas menolong Siu-mey yang ditahan di ruang Koan im, Gak Lui makin terburu-buru. Dengan menggeram ia segera dorong kedua tangan. Dengan tenaga-dalam pukulan Menundukkan-iblis, ia menangkis pukulan orang.

Kembali dua buah pukulan sakti saling menguji kekuatan. Perbawanya sedahsyat halilintar memekik-mekik di angkasa.....

Bermula tak percaya Tanghong sianseng bahwa anak semuda itu memiliki kepandaian sakti. Tetapi setelah bertempur 10 jurus kemudian, barulah ia percaya bahwa memang Gak Lui tak bernama kosong.

Demikianlah keduanya melanjutkan pertempuran dengan jurus2 pukulan yang jarang tampak dalam dunia persilatan. Jika Gak Lui menggunakan ilmu pukulan Menundukkan-iblis, adalah Tanghong sianseng mengeluarkan ilmu Liong-hou-sam-ciang atau tiga pukulan Naga dan Harimau.

Karena gerakan lawan itu hendak menerkam lengannya, Gak Luipun berhenti. Ia terkesiap menyaksikan ilmu aneh dari lawan itu. Sesaat ia tertegun dan agak bingung bagaimana harus menghadapinya.

Kebalikannya Tanghong sianseng diam2 gembira sekali. Cepat ia lancarkan tiga jurus serangan istimewa lagi.

Tetapi ternyata dia terlalu cepat bergembira.

Tiba2 tubuh Gak Lui bergeliatan, seperti ke kanan seperti ke kiri. Dengan gerak yang aneh itu, ia berhasil menghindarkan diri dari ketiga pukulan Tanghong sianseng. Dan laksana sesosok iblis, tiba-tiba ia menyelinap ke belakang orang.

Gerakan itu benar2 membuat Tanghong sianseng tertegun. Cepat2 ia menggelincirkan langkah dan balikkan tangan menghalau. Tetapi baru bergerak setengah jalan, tiba-tiba bum .... sebuah hantaman dari ilmu pukulan Penakluk-iblis, mengenai tepat punggung Tanghong sianseng.

Untung Gak Lui masih mempunyai pertimbangan, ia tak mau membunuh orang itu. Tetapi sekalipun begitu, ketua Kun-lun-pay yang angkuh dan congkak itu, mata berkunang-kunang dan kepalanyapun terasa berbinar-binar gelap, kaki terhuyung-huyung dan jatuhlah ia ke tanah. Cepat Gak Lui menyambarnya terus dibawa masuk ke dalam hutan.

Kawanan murid Siau-lim-si tadi menyaksikan pertempuran itu dengan terlongong-longong kesima. Mereka begitu tertarik sekali perhatiannya sehingga tak menyadari bahwa tahu-tahu Tanghong sianseng sudah rubuh dan dibawa si anak muda. Pada saat mereka menyadari, ternyata sudah terlambat. Laksana seekor burung garuda, Gak Lui loncat melayang ke arah mereka. Dengan taburkan jari2 tangannya, ke 8 murid Sian-lim-si itu mengerang dan mengaduh dan sama rubuh ke tanah .....

Setelah melihat kawanan paderi itu jerih, Gak Lui turunkan Tanghong sianseng lalu berseru kepada kawanan paderi itu: “Harap kalian jangan takut. Beritahukan kepadaku, di manakah letak ruang Koan-im-khek itu?”

Salah seorang paderi karena melihat keadaan Tanghong sianseng, timbul kekuatiran kalau orang itu sampai dilukai Gak Lui. Maka ia segera memberitahu : “Terus naik ke atas, di tepi jalan besar ....”

“Siapa yang menjaga di situ?”

“Hwat Hong taysu ketua perguruan Ceng-san-pay.....”

“Bagus !" seru Gak Lui. Tetapi diam-diam ia menimang : “kalau benar Hwat Hong taysu, tentu mudah kita berunding.”

Maka ia segera menepuk jalan darah Tanghong sianseng supaya sadar lalu berkata: “Maaf, terpaksa kuminta anda rebah dulu di sini untuk sementara waktu. Bila nanti aku sudah kembali menolong orang, lain2 jalan darah anda yang tertutuk itu tentu dapat terbuka sendiri. Dan kujamin bahwa obat pemberian Gadis-ular Li Siau-mey itu pasti takkan membahayakan ketua Siau-lim-si, janganlah kuatir !"

Habis berkata Gak Lui terus berputar tubuh dan melesat ke jalan besar yang menuju ke atas gunung.

Karena jalan darahnya tertutuk, Tanghong sianseng tak dapat berkutik. Karena marahnya wajah pucat lesi, kaki tangannya dingin. Diam2 ia menimang : “Gak Lui, engkau benar2 menghina aku sehingga namaku yang sudah harum berpuluh tahun itu akan lenyap kelaut. Hinaan ini pada suatu hari pasti akan kutagih. Kalau engkau mengira paseban Koan im-khek itu dapat engkau masuki dengan bebas, engkau hanya bermimpi. Nanti apabila 500 anggauta barisan Lo-han-tin itu sudah bergerak mengepungmu, aku pasti sudah dapat datang untuk membekukmu ....”

Selagi ketua Kun lun-pay itu menghamburkan sumpahnya dalam hati, adalah saat itu Gak Lui dengan gunakan ilmu lari cepat Awan-berarak-seribu-li tengah mendaki keatas gunung.

Kawanan paderi yang tengah mengadakan patroli disepanjang jalan, hanya melihat sesosok bayangan hitam melanda datang. Mereka buru2 menyingkir kesamping. Yang agak lambat menyingkir, sama terpelanting terdampar angin keras.

Lebih kurang sepeminum teh lamanya, tampaklah sebuah bangunan tinggi yang bertembok merah. Dengan matanya yang tajam dapatlah Gak Lui segera membaca papan nama pada bangunan itu yang berbunyi Koam-im-khek atau ruang paseban Dewi Koan Im.

Gak Lui girang sekali. Ia terus gunakan ilmu Burung-elang-pentang-sayap untuk melambung 10 tombak tingginya kedalam hutan terus meluncur kemuka.

Pada saat ia meluncur kebawah itu, tiba2 ia tersirap kaget. Ternyata disekeliling paseban Koan-im-khek itu penuh dijaga oleh barisan paderi dalam bentuk barisan pat-kwa. Dan pada tiap sudut, diam2 telah siap pula dengan barisan pendam. Karena ia sedang melambung ke udara maka sukarlah untuk menyembunyikan jejaknya lagi.

Serentak terdengarlah suitan melengking bertubi-tubi. Dan menyusul berpuluh-puluh sosok tubuh dan sinar pedang segera berhamburan menyongsong kedatangannya.

Gak Lui menyadari kesalahan langkahnya tetapi sudah tak dapat menghindari lagi.

“Cepat! Hanya dengan kecepatan saja barulah aku dapat terhindar dari kepungan mereka !” diam2 Gak Lui berkata kepada hatinya sendiri. Kemudian ia kerahkan tenaga dan meluncur lebih laju.

Saat itu hanya terpisah 100-an tombak dari ruang paseban Koan-im. Tetapi pada saat itu juga dari samping jalan terdengar suara orang berseru O-mi-to-hud dan menyusul muncullah seorang paderi berjubah kelabu menghadangnya.

“Taysu, harap memberi jalan !" seru Gak Lui yang dengan matanya tajam segera mengenali bahwa yang menghadang itu adalah Hwat Hong taysu, kepala dari perguruan Heng-san-pay. Sambil berseru, iapun sudah menyelinap kesamping hendak mengitari paderi itu.

“Berhenti !” bentak Hwat Hong taysu seraya kebutkan lengan jubahnya menyapu.

Tetapi gerak tubuh Gak Lui yang istimewa itu, tak mungkin dapat ditahan Hwat Hong. Padri ketua Heng-san-pay itu terkejut dan buru2 salurkan Bu-ying-keng atau aliran tenaga tak kelihatan, untuk menahan pemuda itu.

Tetapi dengan mengempos semangat, Gak Lui pun sudah melambung keudara dan terus meluncur kearah paseban itu. Tetapi karena dirintangi Hwat Hong itu maka Gak Lui sampai tak sempat memperhatikan keadaan dalam ruang paseban. Tiang dan jendela ruang itu penuh dengan lubang2 kecil. Dan pada saat Gak Lui sedang melayang diudara itu, terdengarlah berdetak detak dari 16 buah jendela yang terpentang keluar. Menyusul berhamburanlah kabut dan asap lalu tampak Gadis-ular Li Siau-mey tegak diambang jendela dengan wajah yang ketakutan.

Ternyata disamping mendengar hiruk pikuk suitan para paderi, iapun mendengar juga suara sang kekasih dating. Karena tegangnya, ia terus mendorong jendela. Tetapi begitu jendela terdorong maka berhamburan ke 16 jendela lainnya terbuka lebar2....

Siu-mey tak menduga sama sekali bahwa ruang paseban Koam-im-khek itu dilengkapi dengan alat2 rahasia semacam itu. Dan alat pembuka dari pekakas rahasia itu ternyata daun jendela yang direntangnya itu.

“Engkoh Lui, lekas putar kembali!" teriaknya cepat2.

Tetapi sayang teriakannya itu terlambat. Saat itu Gak Lui sudah melayang kearah serambi. Dan ketika berpaling kebelakang, dilihatnya Hwat Hong taysu sudah tegak berdiri ditempatnya tadi. Sedang beratus-ratus paderi Siau-lim-si pun sudah siap dengan senjata terhunus. Ternyata mereka telah membentuk diri dalam barisan Lo-han-tin.

Gak Lui terjepit dalam dua kesukaran. Kalau ia menurut anjuran Siau-mey untuk kembali, ia tentu terkurung dalam barisa Lo-han-tin. Apabila, masuk kedalam Koan-im-khek ia tentu akan berhadapan dengan taburan senjata rahasia. Gak Lui memilih maju terus.

Dengan lingkarkan sepasang lengan untuk melindungi tubuh, ia terus cepat meluncur masuk kedalam ruang paseban. Kira2 pada jarak tiga tombak, ia segera disambut oleh benda2 yang mendesis-desis dan mendengung-dengung tajam.

“Ah, senjata rahasia....." serunya.

Memang benar, beribu-ribu senjata rahasia yang meluncur dengan kekuatan hebat dan sederas hujan mencurah sedang menyongsong kepadanya. Melihat itu, betapa besar nyali dan kegalauannya, namun Gak Lui gentar juga. Ia menyadari bahwa taburan senjata rahasia itu tak mungkin dapat dihalau dengan tangan kosong. Maka cepat ia memutar pedang untuk menghantam. Tetapi hujan senjata rahasia itu terlampau deras dan cepat. Beberapa biji telah lolos dari sabatan pedang dan menyusup ke beberapa jalan darah di tubuh pemuda itu. Seketika ia rasakan tubuhnya kesemutan dan mulai kaku. Saat itu baru ia menyadari bahwa senjata rahasia itu mengandung racun.

Karena terluka, terpaksa Gak Lui meluncur turun. Melihat itu menjeritlah Siau mey. Gadis itu tak tahan melihat kekasihnya terluka. Ia menutup mukanya dan rubuh pingsan.

Dalam kepungan beribu senjata rahasia itu Gak Lui tak dapat menyerbu masuk. Maka dengan mengempos semangat, ia terus apungkan tubuh berjumpalitan ke arah barisan Lo-han-tin yang terdiri dari 500 paderi Siau-lim-si itu.

Hwat Hong taysu yang berada di depan barisan segera berseru: “Gak sauhiap, menilik keadaanmu engkau sudah terkena jarum emas Pencabut Nyawa!"

Sebenarnya saat itu dengan mengerahkan tenaga-murni, Gak Lui sedang menyedot jarum emas yang lembut itu pada tubuhnya supaya masuk ke dalam saluran darahnya. Tetapi karena sakit dan kejutnya, ia sampai gemetar.

“Hm, tak nyana kalau gereja suci semacam Siau-lim-si ternyata menggunakan alat2 rahasia yang dilumuri racun!" serunya marah.

Dampratan tajam itu membuat Hwat Hong taysu menyurut mundur setengah langkah, serunya gopoh: “Dalam gereja Siau-lim-si hanya ada dua tempat yang dilengkapi pekakas rahasia, hal itu setiap orang sudah tahu ....”

“Dua tempat yang mana ?”

“Sauhiap, waktu amat berharga. Harap suka mendengarkan kata-kataku dulu..!”

”Tak apa, harap taysu suka mengatakan soal tempat pekakas rahasia itu, baru nanti membicarakan lain2 soal !”

“Ini ....," Hwat Hong taysu merenung sejenak, ia tahu anak muda itu berhati keras, maka lebih baik menerangkan saja kepadanya agar dapat menghemat waktu.

“Yang satu di ruang Koan-im-khek sini dan yang satu di paseban Lo han tong," katanya.

“Hm....,” dengus Gak Lui.

“Karena sudah kuberi keterangan maka sekarang harap sauhiap suka mendengar nasehatku.”

“Silahkan taysu mengatakan."

“Sauhiap telah terkena senjata yang amat beracun. Racun itu khusus untuk menghancurkan tenaga-murni orang. Mengenai obatnya, hanya disimpan oleh ketua Hui Hong taysu sendiri. Oleh karena itu, kurasa…”

“Bagaimana ?”

“Lebih baik sauhiap hentikan gerakan dan tunggu sampai nanti Hui Hong taysu sadar agar dapat memberi pertolongan."

“Ini......” melihat kesungguhan sikap paderi itu, terpaksa Gak Lui tahankan kemarahannya. Namun tampaknya ia masih meragu.

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



Melihat itu Hwat Hong segera maju melangkah menandaskan: “tak usah sauhiap meragui. Setelah makan obat dari kawanmu itu, tak lama Hui Hong taysu tentu akan bangun. Aku yakin bahwa obat dari nona itu tentu mujarab, kiranya engkaupun tentu beranggapan begitu juga."

“Baiklah," kata Gak Lui. Memang ia percaya penuh kepada Siu-mey. Setelah itu ia terus hendak menyarungkan pedang. Tetapi sekonyong-konyong di luar barisan Lo-han-tin terdengar suara orang menggembur keras. Dan menyusul tampak sesosok tubuh berkelebat menyusup dalam barisan paderi itu terus menerjang maju.

Gak Lui dan Hwat Hong taysu terkejut dan cepat berpaling. Ah, ternyata pendatang itu adalah Tanghong sianseng, ketua perguruan Kun-lun-pay. Dengan wajah pucat lesi, tokoh itu melesat dengan pedang melintang di dada. Sikapnya perkasa, wajah bermuram kemurkaan.

Melihat itu Hwat Hong taysu segera dapat menduga. Cepat ia maju menyambut. Dan Gak Lui pun lebih tahu lagi sebabnya. Diam2 ia menindas perasaan hatinya: “Sabar, sabar! Harus mengingat diri Hwat Hong taysu dan Sebun sianseng. Jangan berkelahi dengan dia ....”

Saat itu Hwat Hong taysu dan Tanghong siansengpun sudah saling berhadapan dan bicara perlahan. Rupanya ketua perguruan Heng-san-pay itu tengah memberi penjelasan kepada Tanghong sianseng tentang diri Gak Lui.

Lebih kurang sepeminum teh lamanya, tiba2 kepala Gak Lui terasa pusing, tubuh terhuyung seperti pohon kering tertiup angin. Ketika ia dapat menguatkan diri untuk menahan penderitaan itu, tampak ketua Heng-san pay dan Kun-lun-pay sudah berdiri di hadapannya.

“Kudengar engkau sudah menerima perjanjian," kata Tanghong sianseng, “demi melihat hubungan baik dengan Heng-san-pay dan Siau-lim-si, aku tak mau memaksa orang dengan kesukaran. Kami hendak menempatkan engkau di paseban Lo-han-tong, agar menjaga lain2 kemungkinan yang tak diinginkan.”

Kata2 itu tak sedap di telinga tetapi Gak Lui sudah memutuskan untuk bersabar. Sahutnya: “Baik, akupun juga karena mengingat hubungan baik dengan Heng-san dan menjunjung gereja Siau-lim-si sebagai tempat yang suci, setuju untuk menunggu di paseban Lo han-tong sampai nanti Hui Hong taysu bangun dan memberi penjelasan kepadanya!"

“Hm, engkau pandai melihat gelagat. Tetapi engkau masih harus menyerahkan ....." tiba2 tokoh Kun-lun-pay itu mendengus dingin. Dengus itu terasa menusuk tajam perasaan Gak Lui dan marahlah ia. Luapan amarah itu menyebabkan darahnya bergolak keras. Mata pudar, telinga mendenging-denging sehingga ia tak dapat mendengar jelas apa yang diucapkan Tanghong sianseng lebih lanjut.

Setelah ia dapat menenangkan diri, barulah ia bertanya menegas: “Toa ciangbun, engkau minta aku menyerahkan apa ?"

“Pedang pusaka."

“Pedang pusaka?" Gak Lui menegas.

“Benar, pedang pusaka yang engkau suruh aku mengatakan berulang kali itu!" sahut Tanghong sianseng.

“Toheng, itu agak keterlaluan!" tiba2 Hwat Hong taysu menyelutuk seraya maju selangkah. Ia minta Tanghong sianseng merobah permintaannya.

“Lalu bagaimana kalau menurut pendapat taysu?"

“Suruh dia menunggu di paseban Lo-han-tong saja. Di situ penuh dengan pekakas rahasia, pedang pusakapun tak mampu menahannya.”

“Tidak! Pedang pusakanya itu semula pusaka perguruan Bu-tong-pay. Aku hendak mewakili perguruan itu mengambilkannya!"

Gak Lui makin marah mendengar kata2 tokoh Kun-lun-pay itu. Walaupun tak ikut bicara tetapi diam2 ia tetap menyalurkan tenaga-dalam bahkan lebih deras, ia kembangkan tenaga-dalamnya untuk memaksa menghalau keluar jarum2 emas dari dalam tubuhnya ...

Ucapan Tanghong sianseng itu benar2 mempesonakan sekalian orang. Bahkan Hwat Hong taysu yang ramah dan luhur budi itu, pun terdiam tak dapat bicara apa2 lagi. Sedang barisan 500 paderi Siau-lim-si itupun tegak dalam sikap siap menerima perintah.

Dalam suasana yang penuh diliputi ketegangan itu tiba2 terdengar suara melengking macam bunyi ketinting bergemerincing: “Engkoh Lui, kedua ciang-bun jin, harap jangan menuruti luapan perasaan sendiri2. Aku mempunyai sebuah usul ...."

Kiranya yang berteriak itu yalah Gadis ular Li Siu mey yang saat itu sudah siuman dari pingsannya.

Gak Lui, Tanghong sianseng dan Hwat Hong taysu serempak mencurah pandang mata kearah nona.

Berkata pula Siu-mey: “Kedatangan ke Siau-lim-si ini memang atas kemauanku sendiri masuk ke dalam paseban Koan-im-tong ini. Agar aku dapat membuktikan kebersihan hatiku. Harap engkoh Lui jangan salah faham.....”

Gak Lui mengangguk: “Baiklah, aku takkan bertindak sembarangan."

Hati Siu-mey longgar mendengar pernyataan pemuda itu. Ia tertawa lalu berkata kepada Tanghong sianseng: “Soal engkoh Lui, kuharap ciang-bun-jin berdua suka memaklumi. Harap jangan memaksanya supaya menyerahkan pedang. Jika tak percaya, suruhlah dia masuk ke dalam paseban Koan-im-tong sini sekali….”

"Ha, ha, ha…..” tiba2 Tanghong sianceng tertawa gelak2 dan pada lain saat wajahnya berobah serius, serunya, “ho, sungguh bagus benar rencanamu! Bukankah engkau hendak bersatu untuk meloloskan diri ?"

Mendengar ucapan yang menyinggung perasaan Siu-mey itu, Gak Lui tak kuat menahan kemarahannya, serunya: “Tanghong sianseng, bahwa aku bersikap sabar itu adalah karena menghormati kedudukan partai perguruan Kun-lun-pay serta sute anda, Sebun sianseng. Tetapi tampaknya anda tetap mendesak saja seperti hendak membalas dendam. Rupanya pukulan yang sebuah tadi masih belum memuaskan hati anda ...."

Tanghong siansengpun marah juga sehingga tangannya gemetar: “Memang, lalu engkau mau apa? Aku memang hendak memberi pelajaran padamu !"

Belum kata-katanya berakhir, tokoh Kun-lun-pay itupun sudah lontar sebuah hantaman dari jarak tiga meter, mengarah jalan darah Hiat-bun dan Gi hay.

Mendengar desus angin yang dahsyat, Hwat Hong taysu cepat lindungkan sebelah tangan ke dada. Sedang Gak Lui yang sudah siap, segera ayunkan tangan kanan untuk balas menabas serangan lawan.

Tiga gerakan dari ketiga orang yang cepatnya hampir tak dapat diikuti oleh pandang mata itu saling bertemu di tengah jalan, bum, bum, bum .....

Angin berputar-putar macam lesus, letupan sedahsyat gunung meledak. Dalam bayang2 berseliwernya tubuh dan tangan, dari telapak tangan Gak Luipun berhamburan berpuluh batang jarum emas yang menyusup ke punggung tangan Tanghong sianseng dan Hwat Hong taysu.


Hwat Hong taysu dan Tanghong sianseng segera menyadari bahwa dirinya telah terkena jarum maut Pencabut Nyawa. Karena kejut, kedua ketua perguruan itu terus menyurut mundur ke dalam barisan.

Sekalipun sama2 mundur tetapi bedalah sikap mereka. Hwat Hong taysu mencekal pergelangan tangannya sendiri untuk menutup menjalarnya racun dari jarum emas. Ia hendak mencari Hui Hong taysu agar dapat menjernihkan ketegangan. Tetapi tidaklah demikian dengan Tanghong sianseng. Ia segera mengeluarkan aba2 agar barisan Lo-han-tin bergerak. Mendengar komando itu, barisan Lo-han-tin pun segera berhamburan bergerak menyerang.

Dalam pada itu setelah dapat menaburkan jarum emas yang berhasil dikeluarkan dari telapak tangannya, Gak Luipun rasakan tubuhnya kesemutan. Hal itu disebabkan karena racun jarum emas yang masih tertinggal dalam tubuhnya. Ia cepat memandang ke arah Siu-mey yang berada dalam ruang paseban Koan-im-khek. Tampak nona itu sedang bersiap membantu pertempuran. Buru2 Gak Lui mencegah: “Jangan sembarangan bergerak...!"

Habis berseru, Gak Lui lingkarkan sepasang tangannya untuk menghalau serbuan barisan paderi. Tetapi 500 paderi itu, membentuk diri dalam barisan Lo-han-tin yang sakti. Ke 500 ratus paderi itu dibagi menjadi 25 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 20 orang. Mereka menghunus pedang ditangan kanan. Gerak langkahnya rapi sekali. Bukan saja perbawa barisan itu amat seram, pun mereka dapat bergerak maju mundur kanan kiri dengan teratur.

Dan yang lebih mengherankan pula yalah cara mereka bertempur. Mereka menggunakan rantai hubungan satu sama lain sehingga rapatnya bukan alang kepalang.

Pada saat kelompok pertama menerjang keluar, kelompok keduapun sudah cepat menyusul. Barisan itu amat rapat dan pelik.

Menghadapi barisan ketat itu, Gak Lui tetap gunakan kedua tangannya untuk menghantam dan menghajar. Sepintas pandang mirip dengan seekor naga yang tengah marah ditengah samudera. Seorang diri ia harus menghadapi serbuan limaratus orang paderi.

Pada saat mencapai jurus ke 100, barisan Lo-han-tin itu makin lama makin perkasa. Jumlah orangnyapun tampaknya lebih banyak.

Makin lama napas Gak Lui makin memburu keras, tubuh bermandi keringat, mata tak henti-hentinya berkeliaran kian kemari. Tiba2 ia rasakan pandang matanya berbinar-binar. Semua benda yang dilihatnya seperti pecah dua. Ia menyadari kalau racun dalam tubuhnya mulai bekerja.

Tanghong sianseng yang memperhatikan keadaan pemuda itu, hanya tertawa dingin lalu melesat kesamping Gak Lui dan ayunkan tangannya. Rupanya ketua Kun-lun-pay itu tak menghiraukan dirinya kena racun jarum emas. Dia hanya ingin menumpahkan balas dendam atas pukulan yang diterimanya dari Gak Lui tadi.

Sudah tentu Gak Lui amat marah. Diapun terpaksa kerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membalas. Beberapa saat kemudian ia rasakan Tanghong sianseng itu seperti pecah berhamburan menjadi berpuluh sosok bayangan. Dan kelima ratus paderi anggauta barisan Lo-han-tin itu tampaknya bagai gelombang samudera yang mendampar. Bumi berputar-putar, angin menderu dan gempa melanda. Ia rasakan dirinya seperti berada dalam sebuah perahu yang terombang-ambing di-tengah samudera raya.

Pada saat antara sadar tak sadar itu tiba2 terdengar pekik melengking dari sesosok tubuh ramping yang melayang keluar dari Koan-im-khek. “Siu-mey ... !" keluh Gak Lui dalam hati setelah mengetahui siapa pendatang itu.

Memang bermula Siu-mey tak mau keluar dari paseban Koan-im-khek itu. Tetapi karena melihat kekasihnya terancam bahaya, ia tak dapat berpeluk tangan mengawasi lebih lanjut. Maka setelah alat2 rahasia dari dalam paseban itu muntah keluar semua, ia segera melayang.

Namun Tanghong sianseng tak memandang mata kepada nona itu. Dengan tangan ia meringkus Gak Lui lalu tangan kiri ditebaskan kearah Siu-mey.

Gadis-ular Li Siu-mey ketika ikut pada Dewi Tong Thing telah mendapat beberapa macam ilmu pelajaran. Begitu melihat musuh menyerang, ia pun segera berputar-putar tubuh seraya ayunkan tangan, wut, wut, wut.... setiup hawa dingin segera berhamburan melanda Tanghong sianseng. Dalam pertempuran itu sebenarnya Tanghong Giok atau Tanghong sianseng itu sudah menderita luka terkena jarum emas yang ditaburkan Gak Lui tadi. Sudah tentu ia tak kuat menghadapi seorang lawan yang masih segar tenaganya. Apalagi ilmu kepandaian gadis ular Siu-mey itu setengahnya termasuk pelajaran silat sejati, setengahnya termasuk ilmu Bi-hun-toa-hwat atau semacam ilmu hitam.

Maka setelah berlangsung 10 jurus saja, tangan dan kaki Tanghong Giokpun melentuk, tubuh menggigil dan rubuhlah ia ketanah.

Gak Lui juga serupa. Setelah menghela napas panjang pandang matanyapun gelap dan lenyaplah kesadaran pikirannya.

Siu-mey tak gugup. Setelah mengangkut kedua orang itu, ia berkata kepada rombongan paderi Siau-lim-si: “Berhati semua ! Aku hendak masuk kedalam ruang besar untuk mengobati luka kedua orang ini...”

Oleh karena Tanghong sianseng dikuasai, maka kawanan paderi itupun tak berani berbuat apa2 terhadap nona itu.

Sekonyong-konyong dari dalam barisan tampil murid kepala dari Siau-lim-si yalah paderi Hoan Gong. Ketika Siu-mey masuk ke gunung Ko-san, ia sudah melihatnya. Maka sambil pejamkan mata dan rangkapkan kedua tangan ke dada, paderi itu berkata : “Nona, sesungguhnya aku tak berani merintangimu. Tetapi adalah karena dari pimpinan gereja sudah memberi perintah, kecuali ketua gereja sendiri yang datang, siapapun harus dibatasi kebebasan geraknya ..."

“Urusan jiwa itu amat penting, seharusnya dapat diberi kelonggaran," jawab Siu-mey.

”Harap maafkan, aku sungguh tak berani bertindak sembarangan sendiri."

“Lalu bagaimana ?"

“Soal ini... lebih baik nona kembali kedalam paseban Koan-im-tong saja."

Sebenarnya Gadis-ular Siu-mey itu baik budinya. Ia tak mau membikin susah orang. Tetapi karena hal itu menyangkut jiwa kekasihnya, ia tak mau bersangsi lagi.

“Kembali kedalam paseban Koan-im-tong tiada gunanya. Baiklah engkau gunakan barisan Lo-han-tin untuk merintangi aku," serunya kemudian. Habis berkata ia terus melesat beberapa tombak dan langsung menuju ke paseban Tay-hiong-po-tian.

“Nona ....! Nona ….!" teriak Hoan Gong dengan gemetar. Keringat dingin membasahi tubuh. Ia tak berdaya lagi mencegah Siu-mey yang saat itu sudah melesat seperti angin. Karena tertegun ia tak sempat memberi komando kepada barisan Lo-han-tin supaya merintangi nona itu. Mulutnya serasa terkancing. Hendak mengucapkan komando rasanya amat berat sekali.

Tetapi akhirnya ia paksakan diri untuk berteriak sekuatnya: “Mundur !"

Barisan dari 500 paderi Siau-lim itu serentak berhamburan memecah diri bersembunyi di tempat masing2. Maka dengan leluasa dapatlah Siu-mey melintasi jalan.

Tiba di paseban Tay-hiong-po-tian, tiba2 Hui Hong taysu ketua Siau-lim-si sudah menyambut di ambang pintu dengan ucapan yang ramah dan penuh rasa terima kasih: “Nona, obatmu itu benar2 manjur sekali. Terima kasih, terima kasih .....”

Saat itu paderi Hoan Gongpun menyusul tiba. Ia sudah melihat kalau ketua gereja sembuh maka ia berani membubarkan barisan Lo han-tin. Setelah itu ia bergegas menuju ke paseban Tay-hiong-po-tian untuk menghadap Hui Hong taysu.

Bab 24. Penjernihan.

Ketika Gak Lui tersadar membuka mata, pertama-tama ia dapatkan dirinya rebah di atas sebuah pembaringan. Sedang di sampingnya Gadis-ular Siu-mey tengah duduk memandangnya dengan penuh kemesraan.

“Oh, terima kasih Tuhan! Engkau dapat siuman lebih cepat dari yang diduga, sayang..." seru nona itu kegirangan.

“Sayang? Sayang apa?" Gak Lui heran.

“Sayang Tanghong sianseng….”

“Dia bagaimana?"

“Mati ....!”

Seperti mendengar halilintar berbunyi di siang hari, serentak Gak Lui loncat bangun.

“Tak mungkin! Dia memiliki kepandaian yang sakti !" serunya tak percaya.

“Jarum Pencabut Nyawa dari Siau-lim-si itu luar biasa hebatnya. Dia tak seharusnya menggunakan tenaga-murni untuk menahan. Dengan begitu racun menyusup ke dalam urat2 jantungnya!"

Gak Lui seperti disambar petir, seketika ia pejamkan mata merunduk diam. Sikapnya seperti seorang jago yang kalah bertempur. Hatinya penuh berkabut sesal. Sekalipun ia tak senang atas sikap Tanghong sianseng yang congkak tetapi ia berhutang budi kepada sutenya yalah Sebun sianseng. Belum ia dapat membalas Sebun Sianseng, sekarang ia malah salah membunuh Tanghong sianseng, suheng dari Sebun sianseng itu. Bukankah dengan begitu ia dapat dianggap sebagai air susu dibalas dengan air tuba atau kebaikan dibalas dengan kejahatan?

“Engkoh Lui, yang mati tak mungkin dapat hidup kembali. Dan hal itupun tak dapat menyalahkan engkau ... terus terang, lukamu sendiri itu jauh lebih hebat dari dia. Tetapi ternyata engkau tetap hidup. Benar2 memang sudah suratan takdir !" Siu-mey menghibur.

“Bukan suratan nasib yang mujijat !" bantah Gak Lui tertawa hambar. Ia segera menuturkan pengalaman ketika dahulu pernah makan darah buaya raksasa yang berumur seribu tahun.

Siu-mey makin terpikat perhatiannya. Ia menggunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang keadaan sang kekasih selama berpisah ini.

Sudah tentu Gak Lui menceriterakannya dengan terus terang. Hanya soal bertemu dengan kedua The Hong-lian dan Lau Yan-lan, tak diceritakan.

Siu-mey mendengarkan dengan penuh perhatian dan perasaannyapun ikut tegang, rawan, sedih dan gembira. Kemudian iapun menceritakan tentang pengalamannya selama berpisah itu. Bagaimana ia ikut Permaisuri Biru ke gunung Kun-san untuk belajar ilmu silat, bagaimana ia mencari jejak ayahnya yalah si Tabib-sakti Li Kok-hwa tetapi tak ketemu. Menuturkan peristiwa itu, Siu-meypun kucurkan airmata.

“Tak usah berduka, adik Mey," Gak Lui menghiburnya. “Kelak pada suatu hari kita pasti dapat berjumpa dengan beliau ....” tiba2 ia berhenti karena membau asap dupa dan mendengar suara genta gereja bertalu talu. Ia duga genta itu tentu berasal dari Siau-lim-si maka iapun melanjutkan pula kata-katanya: “Ah, rupanya sudah terlalu lama, mari kita menjenguk ke luar….”

“Tunggu !” Siu-mey cepat mencegah, “saat ini ketua Siau lim-si dan Hwat Hong taysu tengah mengadakan doa sembahyangan untuk Tanghong sianseng. Karena kuatir engkau tak leluasa, maka beliau mengatakan nanti saja akan mengundangmu."

“Ini ... demi memandang Sebun sianseng kita berdua seharusnya ikut bersembahyang juga," kata Gak Lui seraya melangkah keluar.

Siu-mey cepat menarik baju pemuda itu: “Ah, perlu apa ter-buru2? Aku masih mempunyai suatu urusan penting yang belum sempat kukatakan kepadamu !"

“O," Gak Lui terkejut dan hentikan langkah, “urusan apakah itu ?"

“Aku hendak bertanya kepadamu. Engkau kenal pada sumoay-ku tetapi mengapa engkau tadi tak mengatakannya !"

Gak Lui menyahut gelagapan : “Sumoay-mu yang mana ? Aku sungguh tak kenal !"

“Baiklah," Siu-mey merajuk dan pura2 marah, “puteri dari Pukulan-sakti The Thay yang bernama The Hong-lian itu telah angkat saudara denganmu, mengapa engkau mengaku tak kenal?"

Merah selebar muka Gak Lui ketika mendengar kata2 itu. Saat itu iapun seperti orang disadarkan. The Hong-lian telah diterima menjadi murid oleh Permaisuri Biru, sedang Permaisuri Biru tinggal serumah dengan Dewi Tong-ting yang menjadi guru dari Siu-mey. Sudah tentu Siu-mey kenal dengan gadis itu. Teringat pula Gak Lui bahwa kedua kaki gadis Hong- lian itu sudah kutung. Seketika timbullah rasa kasihan dalam hatinya.

“Karena dapat mempelajari ilmu pedang, tentu luka pada kaki adik Lian itu sudah sembuh. Dimanakah sekarang ia berada?" serunya gopoh.

Siu-mey kerutkan alis dan tertawa: “Ih, menilik engkau begitu tegang, tentulah hubungan kalian sudah erat sekali.... sebenarnya akupun hanya mendengar penuturan suhu tetapi belum pernah berjumpa sendiri."

“O...!" Gak Lui menghela napas kecewa. Tiba2 matanya berkeliar dan menggumam: “Aneh..."

“Mengapa aneh ?" tanya Siu-mey.

“Kedua lututnya telah terpapas kutung dengan pedang. Seharusnya sukar untuk mempelajari ilmu pedang ..."

Siu-mey yang faham akan ilmu obat-obatan, setelah merenung sejenak lalu menyahut: “Kukira .....mungkin Permaisuri Biru itu .... mereka ... pandai akan ilmu obat-obatan."

“Tidak !" bantah Gak Lui, “kala itu Permaisuri Biru mengatakan kepadaku akan mengusahakan tabib sakti untuk mengobati luka adik Lian. Dengan begitu jelas beliau tak mengerti ilmu pengobatan. Dan ahli yang dapat menyambung tulang dan urat, jarang sekali...."

“Ayahku termasuk salah seorang...." saking tegangnya, Siu-mey segera menyebut nama ayahnya.

“Benar," kata Gak Lui, “memang akupun berpendapat demikian. Sekalipun bukan ayahmu sendiri yang mengobati, tetapi ayahmu dapat memberi keterangan tentang tabib sakti lain yang dapat menyembuhkan luka adik Lian itu."

Siu-mey menghela napas beberapa kali, katanya : “Kabarnya adik Lian sudah tinggalkan perguruan. Kita harus lekas2 mencarinya. Tetapi dunia begini luas, ah kemanakah kita akan menemukannya."

”Ini.....," Gak Lui tertegun sejenak lalu berkata dengan tandas, ”aku punya cara yang bagus!"

“Bagaimana?"

“Dahulu anak buah Maharaja menawan hidup Pukulan-sakti The Thay, tujuannya tentulah supaya dia dapat membuatkan pedang itu."

“Hm ..."

“Dan setelah tinggalkan perguruan, adik Lian tentu akan mencari ketempat ayahnya itu !"

“Benar, tetapi apakah hubungannya hal itu dengan usaha kita mencarinya ?" tanya Siu-mey.

“Menilik kepandaian Permaisuri Biru, beliau tentu faham akan ilmu petangan. Tentulah takkan menyuruh adik Lian secara membabi buta. Dan tentu akan memberi petunjuk di mana tempat tahanan ayahnya itu ...."

Mendengar itu tertawalah Siu-mey : “Benar, memang beralasan juga. Kedatanganku ke Siau-lim-si kali ini memang atas perintah suhuku Dewi Tong-thing. Beliau mengatakan, siapa tahu nanti disini akan berjumpa dengan engkau. Kalau begitu, kita pergi mencari tempat penahanan ayah adik Lian, tentulah dapat bertemu dengan adik Lian. Setelah itu kita mendatangi tabib sakti yang ditunjukkan ayah adik Lian itu."

“Uraianmu tepat sekali !" seru Gak Lui. Siu-mey tertawa gembira. Tiba2 ia merenung lalu mengajukan pertanyaan lagi: “Engkoh Lui, engkau belum tahu tempat The Thay cianpwe, bagaimana engkau hendak mencarinya ?"

Gak Lui tertawa gelak2, serunya nyaring: “Sudah tentu caranya telah kupikir tetapi untuk sementara ini belum dapat kuberitahukan kepadamu."

“Mengapa harus main sembunyi ?"

“Eh, bukankah kita sama2 pergi. Tentu nanti engkau akan tahu sendiri !"

“Tetapi apakah hal itu takkan mengganggu waktumu untuk mencari Kaisar Persilatan?"

“Tidak," sahut Gak Lui, “aku mempunyai suatu perasaan bahwa beberapa masalah itu tentu dapat kuselesaikan, hanya….”

“Hanya bagaimana ?"

Berkata soal 'perasaan', tiba2 Gak Lui teringat akan perkataan Permaisuri Biru dahulu. Bahwa apabila ia berjumpa dengan gadis keempat, tentu akan mengalami kesudahan yang mengenaskan.

Ditambah pula dengan lukisan yang tertera pada Cermin gaib dari si Raja-bengawan tempo hari, dan korban2 yang secara langsung maupun tak langsung jatuh akibat perbuatannya itu...bahkan peristiwa matinya Tanghong sianseng kemarin, benar2 membuat Gak Lui tak dapat mengerti. Dan yang lebih mengerikan, yalah pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam dari perguruan Bu-san-pay itu. Sudah jelas bahwa pedang itu senjata pembawa maut yang ganas dan sukar dikendalikan. Tetapi demi menuntut balas dan demi menyapu bersih kawanan durjana dari dunia persilatan, terpaksa ia harus tetap berusaha untuk mendapat pedang itu.

“Eh, mengapa engkau diam? Bagaimana kelanjutan dari kata-katamu itu?" tiba2 Siu-mey menegurnya.

Diam2 Gak Lui telah menetapkan keputusan dalam hati: “Jika memang akan mendapat kesudahan yang buruk, aku sendiri yang menanggungnya. Aku tak mau melimpahkan pada orang lain!”

Maka ia mengangkat muka dan tertawa: “Maksudku aku hendak mengajarmu sebuah ilmu pedang dari perguruanku, setelah itu baru kita bersama-sama berangkat ...."

“Hai, bagus sekali !" Siu-mey berseru girang, “dulu kuminta engkau tak mau memberikan. Sudah tentu aku senang sekali menerimanya."

Karena diluap kegembiraan, Siu-mey sampai lupa untuk menanyakan apa sebab pemuda itu berbuat demikian. Sudah tentu ia tak tahu apa rencana Gak Lui. Pemuda itu menghendaki agar keempat nona itu, setelah masing2 meyakinkan sebuah ilmu pedang dari perguruannya, tentulah mereka akan sanggup menghadapi Maharaja. Pula setelah kelak ia sudah berhasil memperoleh pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam yang ganas itu, apabila ia lupa diri, dapatlah keempat nona itu menundukkannya .....

Demikianlah Gak Lui segera menurunkan pelajaran ilmu pedang Menabas-emas-memotong-kuda, ilmu istimewa untuk memapas pedang lawan dan ilmu gerak meringankan tubuh Rajawali-rentang-sayap.

Berkat kecerdasan otak Siu-mey, setelah mengulang pelajaran itu sampai 10 kali, ia sudah dapat mengetahui inti pokoknya.

Tepat pada saat Siu-mey sudah menyelesaikan pelajarannya, terdengarlah derap kaki orang tiba di muka pintu. Gelang penutup pintupun diguncang tiga kali dan menyusul terdengar seseorang berseru dengan nada menghormat: “Atas titah ciang-bun-jin, tuan berdua dipersilahkan datang ke paseban Tay-hiong-po-tian !”

Gak Lui dan Siu-meypun keluar. Tiba di paseban Tay-hiong-po tian, keduanya bersembahyang di hadapan jenazah Tanghong sianseng. Sikap dan tindakan kedua muda mudi itu menimbulkan kesan baik di hati Hui Hong taysu dan Hwat Hong taysu.

Setelah habis melakukan sembahyang, Gak Lui dan Siu mey dipersilahkan duduk bersama kedua ketua perguruan itu.

“Nona Li,” Hui Hong taysu ketua Siau-lim-si mulai membuka pembicaraan, “berkat pemberian obat nonalah maka jiwa kami dapat tertolong. Seluruh warga Siau-lim-si amat berterima kasih sekali kepadamu. Soal terpaksa memintamu tinggal di dalam paseban Koan-im-khek tadi, adalah karena sudah banyak tahun suhumu tak pernah muncul di dunia persilatan. Karena takut termakan siasat Maharaja, maka terpaksa kami harus berlaku hati2. Dalam hal itu kami harap nona suka memaafkan.”

“Ah, taysu keliwat merendah,” sahut Siu-mey, “memang hal itu sudah sewajarnya. Harap taysu jangan sungkan.”

“Soal kematian Tanghong sianseng, kami merasa berduka sekali," kata ketua Siau-lim-si pula, “maka...sedianya .... hendak kepada sutenya...”

Berkata sampai di situ, suara Hui Hong taysu tersekat-sekat. Jelas ketua Siau-lim-si itu tengah menghadapi persoalan yang amat pelik sehingga sukar untuk menyelesaikan.

Cepat Gak Lui menyelutuk: “Soal itu aku dapat memberi penjelasan kepada Sebun sianseng. Harap taysu jangan resah...."

Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu, diam2 hati Gak Lui tetap gelisah. Sampai saat itu ia belum menemukan cara yang sesuai untuk menyelesaikan soal itu.

Hwat Hong taysu, ketua perguruan Heng-san-pay, segera memecahkan kesunyian suasana pembicaraan, ia alihkan pada lain soal: “Gak sauhiap, petunjuk apakah yang hendak engkau berikan kepada Siau lim-si ?”

“Ah, berat sekali kalau dikata akan memberi petunjuk, taysu,” jawab Gak Lui, “tujuanku kemari hanyalah dengan harapan.....supaya berjumpa dengan Kaisar Persilatan."

“O," seru kedua paderi itu serempak, “adakah sauhiap memastikan kalau dia akan datang ke gereja sini ?”

“Aku tak berani memastikan.”

“Lalu apakah sudah bertemu?”

“Ini ... ," Gak Lui tertegun sejenak lalu berkata pula, “rupanya belum. Tetapi ketika naik ke atas gunung memang telah bertemu dengan seorang pengunjung yang katanya habis bersembahyang di dalam gereja.”

“Tak mungkin," seru Hwat Hong taysu terkejut, “gunung ini telah dijaga ketat sekali. Orang biasa tentu sukar masuk keluar .... tetapi silahkan sauhiap menggambarkan wajah orang itu. Jika memang Kaisar Persilatan, aku tentu mengenalnya."

“Pakaiannya kedodoran, wajah biasa pun kedua matanya tak bersinar. Tak mirip sama sekali dengan orang yang berilmu silat tinggi," kata Gak Lui.

“Kalau begitu, bukan!" seru Hui Hong taysu.

“Lalu bagaimanakah sebenarnya wajah Kaisar itu ?”

“Cukup dengan kata2 perumpamaan. Dia memiliki tubuh yang lemah gemulai dan wajah berwibawa laksana naga dan burung cenderawasih. Sekalipun sudah 20 tahun yang lalu aku ketemu padanya, tetapi begitu melihat lagi pasti aku segera dapat mengenalinya!"

”Hm,” Gak Lui mendesis dan bertanyalah ia dalam hati: “Masakan dia tak dapat menyamar? Tokoh setingkat dia, tentu tak mau sembarangan unjuk diri. Maka aku harus waspada ....”

“Ah, waktu sudah mendesak sekali. Pemberian obat nona Li itu segera akan kukirimkan ke Ceng-sia-san. Bila tak ada lain2 keperluan, aku hendak segera berangkat," tiba2 Hwat Hong taysu ketua perguruan Heng-san-pay berkata.

“Harap tunggu dulu, taysu," buru2 Gak Lui mencegah, “kamipun juga hendak berangkat dan sekalian mengantar taysu."

“Ah, tak perlu sauhiap capekan diri. Aku membawa serombongan murid, cukup untuk menjaga keselamatan dalam perjalanan," kata Hwat Hong.

“Bukan begitu," kata Gak Lui, “sejak murid Hong-san-pay yang berhianat itu mendesak taysu supaya mengundurkan diri, memang sampai saat ini belum mengunjuk gerakan apa2. Tetapi hal itu kurasa bukan karena dia membatalkan rencananya melainkan tentu berganti siasat. Mungkin secara diam2 mengadakan gerakan rahasia. Oleh karena waktu yang dituntut itu sudah tak berapa lama, sebaiknya taysu suka berhati-hati pula ...."

Berkata sampai disitu, Gak Lui tekankan nada ucapannya : “Pula sudah kuketahui bahwa terdapat lima orang berkerudung muka yang pura2 menyaru jadi murid penghianat. Mereka bergerak secara sembunyi karena takut diketahui!"

Kata2 itu bagai halilintar berbunyi disiang hari sehingga membuat kedua ketua partai perguruan itu terbeliak kaget dan serempak berseru : “Itu...itu....benarkah ?...Dan berada dimana ?"

“Memang benar! Mereka menjadi anggauta Topeng Besi yang kesadaran pikirannya sudah dilenyapkan Maharaja !" sahut Gak Lui.

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



“Tidak.... tidak mungkin !" seru kedua ketua itu. Mereka masih tak percaya atas keterangan pemuda itu.

“Kalau begitu Geng Ci totiang dari perguruan Bu-tong-pay itu engkau yang membunuhnya?” sesaat Hwat Hong taysu bertanya tegang.

“Benar !" jawab Gak Lui, “bermula kukira dia itu seorang anggauta Topeng Besi. Tetapi setelah kulenyapkan ternyata baru ketahuan kalau Ceng Ci totiang !"

“Ah,” seru kedua ketua itu. Mereka berbeliak dan geleng2 kepala : “Sungguh tak tersangka sama sekali. Demi memulihkan keamanan dunia persilatan, sauhiap telah mengikat sekian banyak dendam permusuhan dengan berbagai fihak. Entah bagaimana kelak kita akan.... menjelaskan salah faham mereka itu !"

“Singkat saja," sahut Gak Lui dengan geram, “untuk melenyapkan dendam permusuhan yang berliku-liku itu, aku dapat menyelesaikannya sendiri. Tetapi kuminta partai persilatan, masing2 mentaati dua buah hal !”

“Dua buah hal apa ?"

“Pertama, semua partai persilatan harus bersatu menjaga diri. Hati2 terhadap Maharaja !”

“Aku sanggup melakukan hal itu," kata Hwat Hong taysu.

“Yang kedua, gerombolan Topeng Besi itu biarlah aku sendiri yang menghadapinya !"

“Ini.... karena kawanan Topeng Besi itu terdiri dari murid2 kepala dari tiap2 partai persilatan, mengapa sauhiap tak menyerahkan saja kepada kita yang turun tangan ? Jika sampai terjadi salah faham lagi, bukankah itu....lebih mendalam..."

Gak Lui tertawa rawan, lalu menukas: “Memang salah faham tak dapat dihindari ! Apalagi pengaruh fihak lawan amat besar. Maka masing2 partai perguruan harus simpan tenaga. Atau dengan lain kata, apabila kalian saudara seperguruan saling bertempur, tentu sukar untuk turun tangan. Lebih baik aku sebagai fihak ketiga yang keluar. Segala dendam salah faham, kelak kita bicarakan lagi."

Kedua paderi ketua partai perguruan itu terkesiap dan tak dapat bicara apa2 lagi. Mereka bersikap diam. Suatu sikap yang dapat diartikan tidak setuju, pun tidak menentang.

Diam2 Gak Lui menghela napas. Ia berbangkit lalu minta diri: “Hwat Hong taysu, marilah kita berangkat...."

Ketua perguruan gereja Siau-lim-si bersama seluruh paderi Siau-lim-si mengantar sampai turun gunung. Suatu pawai yang megah dan khidmat.

Dalam saat perpisahan, Hui Hong taysu ketua Siau-lim-si masih menyampaikan kata2: “Gak sauhiap, terhadap perguruan Bu-tong, Ceng-sia, Go-bi dan lain2, aku dapat mewakilimu memberi penjelasan. Sekurang-kurangnya sebelum usaha membasmi Maharaja berhasil, tentu mereka takkan membikin susah dirimu. Selamat jalan, semoga terkabul segala cita-citamu ....”

Gak Lui percaya pada ucapan ketua Siau-lim-si itu. Sekalipun kata2 paderi itu sukar ditafsirkan dengan jelas. Karena setelah nanti Maharaja dapat ditumpas, tindakan apakah dari partai2 persilatan itu terhadap Gak Lui, masih belum diketahui jelas. Jadi masih ada ekornya yang panjang.

Demikian mereka segera berpisah. Gak Lui dan Gadis-ular Li Siu-mey serta rombongan wakil Hong-san-pay yang dipimpin oleh ketuanya sendiri yakni Hwat Hong taysu, menuju ke Ceng-sia.

Berjalan berpuluh li kemudian, berkatalah Gak Lui kepada Hwat Hong taysu : “Taysu, kita tak dapat menempuh perjalanan dengan cara begini. Harus dirobah caranya."

“Berjalan bersama-sama dapat menyebabkan musuh takut dan mengundurkan diri. Perlu apa harus dirobah lagi....?"

“Justeru karena menyebabkan mereka mundur itulah yang merusakkan acara. Aku justeru hendak membuat mereka supaya unjuk diri !” kata Gak Lui.

“O, kiranya hendak menggunakan siasat memancing musuh keluar," seru Hwat Hong taysu tertawa. Diam2 ia mengakui memang demikianlah adat orang muda. Suka unjuk keberanian dan kegagahan. Tidak seperti orangtua yang bertindak hati2 dan tak mau gegabah.

“Bagaimanakah rencana Gak sauhiap untuk mengatur rombongan kita ? Aku menurut saja !"

“Ah, harap taysu jangan merendah diri. Aku pun hanya sekedar mengatur sedikit. Silahkan taysu dan rombongan berjalan lebih dulu. Apabila bertemu dengan kawanan Topeng Besi, harap taysu jangan menindak mereka," kata Gak Lui.

“Diam saja?" Hwat Hong taysu terbeliak heran.

“Harap segera mundur dan kembali kearah tempatku. Biarlah nanti aku yang menghadapi mereka !"

“Jika berjumpa dengan lain orang tetapi yang mencurigakan ?"

“Tanyakan dulu asal usul orang itu. Apabila anak buah Maharaja, harap taysu jangan turun tangan."

“Baik," Hwat Hong taysu mengiakan lalu memimpin rombongannya berjalan lebih dulu.

Setelah rombongan Heng-san-pay itu pergi, barulah Siu-mey berbisik kepada Gak Lui: “Engkoh Lui, apakah artinya tindakanmu itu ?"

“Mencari sumoay-mu The Hong-lian !"

Siu-mey geleng2 kepala: “Benar2 aku tak dapat mengerti apa yang sedang engkau mainkan itu !”

“Sederhana sekali," sahut Gak Lui, “untuk mencari adik Lian, lebih dulu harus menemukan The Thay cianpwe."

“Benar!"

“Untuk mencari The cianpwe, harus mencari anak buah Maharaja dan paling baik yalah kawanan Topeng Besi yang mengaku sebagai murid hianat dari beberapa partai perguruan itu!"

“Ih, kalau sudah dapat menemukan, apakah mereka mampu menunjukkan kepadamu tempat tinggal The cianpwe?"

“Tentu bisa!"

Mata Siu-mey berkeliaran sejenak lalu berseru tak percaya: “Aneh sekali! Cobalah, andaikata bisa bertemu dengan orang itu, dengan cara bagaimanakah engkau hendak menanyainya?"

“Tak perlu ditanya!"

“Aneh! Dibunuh?"

“Juga tidak!"

“Tidak ditanya dan tidak dibunuh, habis diapakan ?" tanya Siu-mey makin heran.

“Merusak pedang tetapi jangan melukai orangnya. Kemudian diam2 mengikutinya ketat!" sahut Gak Lui.

Siu mey terkesiap tetapi pada lain saat ia tertawa riang: “Hai, aku mengerti sekarang ! Mereka tentu akan minta The cianpwe membikin betul pedangnya sehingga dengan sendirinya menjadi petunjuk jalan kita!"

Dalam pada bercakap-cakap itu, ternyata rombongan Hwat Hong taysu sudah tak tampak. Gak Lui dan Siu-mey mengambil jarak yang cukup jauh mengikuti di belakang mereka.

Sampai beberapa lama menempuh perjalanan, tetap tiada berjumpa dengan seorang manusiapun jua.

Rupanya Siu-mey sudah mulai goyah pikirannya akan hasil rencana yang dilakukan Gak Lui itu. Pada saat ia hendak membuka mulur, tiba2 Gak Lui hentikan langkah dan memandang kemuka tajam2. Siu-meypun ikut berhenti dan memandang kearah pandang mata kekasihnya itu.

Apa yang dilihat Siu-mey pada saat itu hampir membuatnya memekik kaget. Kiranya disebelah muka telah muncul dua buah rombongan orang. Yang serombongan berhamburan keluar dari hutan dan yang satu rombongan adalah rombongan Hwat Hong taysu yang berlari-lari kembali menyongsong ketempat Gak Lui.

Beberapa kejab mata, paderi itupun sudah tiba dimuka Gak Lui. Wajahnya mengerut keheranan dan tangannya mengunjukkan sehelai kertas putih.

“Taysu, tentu tantangan bertempur!" seru Gak Lui mendahului orang memberi keterangan.

“Benar," sahut Hwat Hong seraya menyerahkan surat itu. Setelah menyambuti, Gak Lui lalu membacanya:

Menjelang fajar, di puncak Hun-hong.

Gak Lui kerutkan alis lalu bertanya: “Taysu, surat ini tiada tanda tangannya. Siapakah pengirimnya ?"

“Orang itu engkau sudah pernah tahu. Yalah si Pengemis-jahat yang tempo hari hendak menghancurkan partai Gelandangan !” sahut Hwat Hong.

“Hm, kiranya dia," gumam Gak Lui, Segera ia teringat akan peristiwa tempo hari dimana Pengemis-jahat itu hendak membunuh ketua partai Gelandangan Gan Ke-ji gelar Raja-sungai-Cekiang. Untung saat itu ia keburu datang menolong.

Melihat Gak Lui hendak menerima tantangan itu, Hwat Hong segera menerangkan bahwa yang ditantang itu adalah dirinya, bukan Gak Lui.

“Tidak, Gan Ke ji ketua partai Gelandangan mempunyai hubungan baik dengan aku. Maka biarlah aku yang menghadapi Pengemis-jahat itu !”

Hwat Hong menerangkan bahwa Pengemis-jahat itu mempunyai seorang suheng Pengemis-Ular yang memelihara beratus-ratus ular berbisa. Tetapi Gak Lui tetap tak gentar......

Bab 25. Setan Menara

Melihat Gak Lui dan Hwat Hong taysu saling berebut hendak menghadapi tantangan si Pengemis Jahat, Gadis ular Li Siu-mey tertawa.

“Jika membicarakan soal ular, aku lebih berpengalaman. Daripada menghadapi bahaya serbuan ular, biarlah aku saja yang mengatasinya," kata nona itu kepada Hwat Hong taysu.

“Benarkah ....?"

“Kalau tidak masakan aku diberi gelar Ratu-ular!" sahut Li Siu-mey.

“Hm,” Hwat Hong taysu mendesuh seraya anggukkan kepala. Suatu tanda ia dapat menyetujui pernyataan nona itu.

Melihat itu Siu-mey maju selangkah, ujarnya: “Dan lagi engkoh Lui sudah mempunyai rencana. Jika taysu yang pergi, dia tentu kecewa, karena sia2 jerih payahnya. Hal itu bukan berarti memandang rendah pada perguruan Heng san ..."

Ucapan itu kena sekali sehingga Hwat Hong taysu tak dapat berkeras kepala. Ia menghela napas: “Kepandaianku sesungguhnya memang tak seperti kalian berdua. Mari kutunjukkan jalan, semoga kalian dapat menang !"

Dinihari menjelang terang tanah, cuaca masih gelap. Dalam cuaca gelap itu, Gak Lui melihat sebuah menara yang puncaknya menjulang tinggi. Tetapi di sekeliling menara itu tiada tampak barang seorangpun juga. Diam2 timbullah kecurigaannya.

“Adik Mey, kurasa keadaan menara itu agak aneh. Mungkin mereka memasang perangkap," katanya.

“Kita serang bersama-sama !" sahut Siu-mey.

“Tidak, engkau tunggu disini bersama Hwat Hong taysu. Jika terjadi sesuatu dalam menara itu, aku segera memanggilmu !" kata Gak Lui.

Sejak mendapat gemblengan dari Dewi Tong-thong, Siu-mey memiliki kepandaian silat yang cukup. Saran Gak Lui itu memang tepat maka iapun menyetujui.

Gak Lui segera kembangkan ilmu Cian-li-hun-liu atau Awah-berarak-seribu-li. Suatu ilmu kepandaian istimewa untuk mempertajam mata, telinga dan hidung. Dengan lincah mulailah ia berloncatan menuju ke bawah menara.

Memandang ke atas, dilihatnya menara itu terdiri dari tujuh tingkat. Megah dan perkasa tetapi sudah penuh lumut (pakis) dan rusak keadaannya.

Papan nama yang tergantung di atas pintu-pun sudah kabur tulisannya. Bekas2 tulisannya berbunyi: “Hun Hong Tha" atau menara Pencakar-langit.

“Sebuah tempat yang bagus, sayang tiada orangnya !" diam2 Gak Lui memuji. Dengan perlahan ia dorong pintu menara itu.

Amboi .... pintu yang begitu besar dan berat, sekali dorong saja, sudah terbuka. Dan serempak dengan itu serangkum hawa beracun melanda hidung. Apabila orang biasa, tentu sudah pening dan pingsan.

Tetapi Gak Lui malah mendengus dan bagaikan sesosok setan, ia terus menyelundup masuk ke dalam menara yang gelap gulita itu.

Tiba2 ia merasa seuntai rambut kasar dan panjang melanda daun telinganya. Betapa besar nyalinya, tetapi pada saat dan tempat seperti itu mau tak mau mereganglah bulu kuduknya. Buru2 ia salurkan tenaga dalam untuk menenangkan hati.

Setelah memandang beberapa saat, barulah ia dapat mengetahui bahwa yang menyentuh telinganya itu bukan lain yalah sesosok Setan Gantung atau sebuah mahluk tergantung di atas, kepala menjulai ke bawah. Lidahnya menjulur keluar, mata melotot, hidung, mulut dan telinga penuh berlumuran darah merah. Dan tubuhnya masih bergelantungan kian kemari di udara !

“Setan....?" serentak berdirilah bulu kuduk Gak Lui. Matanyapun berkeliaran memandang ke sekeliling.

Tampak seluruh tembok ruang disitu penuh dengan berbagai pemandangan yang seram dan aneh. Gak Lui terpukau dan tegak berdiri seperti patung.

Beberapa saat kemudian baru ia melangkah perlahan-lahan menuju ke tangga tingkat kedua.

Tetapi baru berjalan lima langkah, sekonyong-konyong terdengar sebuah auman dahsyat. Cepat ia berputar tubuh. Tetapi dalam ruang yang gelap pekat itu tiada tampak suatu apapun kecuali desir angin yang berhembus dari pintu.

Dalam sekejab mata, ruang itupun kembali sunyi senyap seperti sebuah kuburan di malam hari. Tetapi di lantai telah tambah lagi dengan beberapa sosok mayat. Dari ketujuh lubang indera mereka, masih mengalir darah yang segar ....

Gak Lui tak menghiraukan hal itu. Cepat ia naik ke tingkat kedua. Di situpun ia menghadapi pemandangan yang serupa dengan ruang bawah tadi.

Tetapi Gak Lui tabahkan nyali dan tak mempedulikan kesemuanya itu. Ia terus lanjutkan naik ketingkat ketiga dan keempat.

Tetapi pada waktu ia hendak naik ketingkat yang lebih atas, terdengarlah suatu hembusan suara orang yang bernada kasar: “Siapakah engkau ?"

Gak Lui hentikan langkah. Tetapi ia tak mau cepat2 menyahut melainkan menimang dalam hati: “Uh, apakah ini bukan suara si Pengemis Jahat....."

Tiba2 serempak dengan suara orang itu, segulung api memancar menerangi empat penjuru dinding. Begitu melihat lantai penuh dengan mayat dan seorang pemuda tegak berdiri di bawah tangga, orang itu bergemerutukan giginya dan memekik dengan nada gemetar: “Engkau ... engkau bukan paderi Heng san! Engkau .... engkau ini .... siapa .... siapa ....?"

“Gak Lui !" sahut pemuda itu.

“Huah ....!" orang itu menjerit kaget dan terus lari naik ke atas tingkat.

Gak Lui mendongkol tetapi ia merasa kasihan juga kepada orang itu. Belum ia sempat bertindak, tiba2 terdengar serangkum ketawa aneh yang menusuk telinga: “Heh, heh, heh... budak kecil, kalau berani naiklah ke sini !"

Kali ini Gak Lui tak ragu lagi. Suara itu adalah suara si Pengemis Jahat. Dengan nada dingin ia menyahut: “Memang aku hendak ke situ...."

Serempak dengan derap langkah kaki lari naik ke atas, serangkum anginpun melanda. Kawanan murid dari Pengemis Jahat yang berada di-tingkat kelima dan keenam hanya merasakan angin yang meniup datang dan tahu2 obor yang mereka pasang di ruang tingkat itu padam. Belum sempat mereka menyulut lagi, tahu2 Gak Lui sudah tiba ditingkat yang tertinggi.

Tetapi dalam tingkat ketujuh itupun kosong melompong. Hanya ada seorang penghuninya yalah si Pengemis Jahat sendiri. Dia tegak berdiri dengan wajah gelap. Demi melihat Gak Lui, ia cepat membentaknya: “Dimana si kepala gundul Hwat Hong? Mengapa dia tak datang memenuhi janji ?"

“Taysu tak berapa jauh dari tempat ini. Sekali-kali dia tak ingkar janji !" sahut Gak Lui.

“Kalau begitu pergilah. Yang kucari yalah Hwat Hong !"

Gak Lui tertawa dingin: “Kita selesaikan dulu perhitungan kita yang belum beres tempo hari!"

Pengemis Jahat gemetar, serunya tersendat: ”Soal ini .... belum bisa dibereskan sekarang."

“Mengapa ?"

“Maharaja memerintahkan supaya engkau jangan mati dulu."

“Kalau begitu engkau tak berani turun tangan kepadaku ?"

“Jangan bermulut besar ! Untuk membunuhmu, adalah semudah membalikkan telapak tanganku. Tetapi aku hanya menurut perintah saja.”

“Ha, ha, ha, ha !" Gak Lui tertawa sekeras-kerasnya untuk menghamburkan kemarahannya.

“Mengapa engkau tertawa ?" tegur orang itu.

“Hm, aku tertawa karena lagakmu. Kematian sudah didepan mata, tetapi engkau masih bertingkah sebagai kawanan budak anjing kepada tuannya !"

Pengemis Jahat itu memang buruk wataknya. Mendengar hinaan Gak Lui, bangkitlah amarahnya: “Kalau begitu, engkau memang sengaja hendak mencari aku!" bentaknya.

“Benar! Kalau engkau sudah sadar, lekaslah habisi nyawamu sendiri. Kalau tidak, terpaksa aku akan turun tangan. Dan sekali turun tangan, tak mungkin kulepaskan seorang yang jahat. Mayat yang malang melintang di tingkat bawah itu adalah contohnya!"

Mendengar ucapan itu, tergetarlah hati Pengemis Jahat. Seketika ia memutuskan untuk tak mentaati perintah Maharaja. Lebih dulu ia hendak turun tangan membasmi pemuda yang dianggapnya sebagai musuh berat.

Ia menyeringai iblis, serunya: “Baiklah! Kalau engkau hendak mewakili Hwat Hong jadi setan gentayangan, akupun tak dapat mencegah. Di sini juga kita dapat adu kepandaian!"

“Sambutlah pukulanku !” Gak Lui segera berseru seraya hendak menyerang.

“Tunggu dulu !” tetapi Pengemis Jahat mencegah lalu duduk bersila di bawah jendela.

“Eh, bagaimana ? Apakah engkau takut ?” Gak Lui tak tahu apa yang hendak dilakukan pengemis itu. Tetapi ia tak mau menyerang orang yang duduk.

Pengemis Jahat mengangkat muka dan menyahut : “Kita tidak bertempur tetapi adu ilmu duduk!”

Gak Lui terkesiap. Ia menghadapi kesulitan. Jika tak menerima tantangan itu, lawan tentu mempunyai dalih untuk mengatakan aku kalah. Namun kalau menerima, walaupun ia dapat melayani, tetapi akan makan waktu lama.

Beberapa saat kemudian, Pengemis Jahat berseru pula dengan nada girang: “Kalau engkau tak setuju, lain kali saja kita berhadapan lagi.”

Terpaksa dengan kertak gigi, Gak Lui menyahut: “Engkau sudah tak mempunyai kesempatan lain kali lagi. Duduklah!"

Gak Lui serentak duduk di hadapan Pengemis Jahat. Keduanya pejamkan mata dan tenangkan napas. Pertandingan adu duduk, segera berlangsung.

Suasana dalam menara itu sumyi senyap. Keduanya saling menyalurkan darah. Tetapi tiba2 Gak Lui curiga, pikirnya: “Ilmu tenaga-dalam dari Pengemis Jahat ini tak menang dari aku. Tetapi mengapa ia menantang melakukan pertandingan begitu? Bukankah berarti cari mati sendiri ? Ah, kemungkinan tentu suatu siasat saja ...."

Segera ia kerahkan alat pendengarannya. Samar2 di bawah menara, terdengar suara derap kaki kawanan pengemis. Rupanya mereka sibuk mengangkat mayat2. Tak berapa lama mereka sudah tinggalkan menara.

“Hm, mengangkati mayat untuk dikubur memang sudah layak. Tetapi.... apakah mereka tak mungkin mengangkat lain benda.... ?” pikirnya seraya kerahkan indera pembauannya. Ia menyedot napas panjang. Tetapi sayang, bau mayat2 di bawah itu campur baur tak keruan sehingga ia tak dapat mengenal dengan jelas.

Ketika membuka mata, ia melihat Pengemis Jahat masih duduk pejamkan mata dengan sungguh2. Diam2 ia merasa pikirannya terlalu gelisah sehingga melanggar pantangan orang yang tengah melakukan penyaluran tenaga-dalam. Buru2 ia tenangkan pikirannya dan menguasai penyaluran tenaga dalam.

Tetapi tiba2 terdengar suara angin menderu. Ternyata Pengemis Jahat melonjak bangun dan menyerangnya. Gak Lui terkejut tetapi terlambat.

Ternyata Pengemis Jahat itu memang menggunakan siasat licik. Diam2 ia memperhatikan gerak gerik Gak Lui. Pada saat Gak Lui gelisah karena gangguan suara di bawah tadi, peredaran darahnya bergolak. Dan pada saat pemuda itu hendak menenangkan diri, sekonyong-konyong Pengemis Jahatpun kerahkan seluruh tenaganya untuk menghantam.

Pukulan yang dilancarkan Pengemis Jabat itu menggunakan kedua tangan. Tetapi anehnya, pukulan itu tak ditujukan kepada Gak Lui melainkan pada ruangan di situ. Tangan kiri menghantam ke atas, tangan kanan memukul ke bawah, tepat pada lantai di tengah mereka berdua.

Sudah tentu menara yang sudah tua dan rusak itu tak dapat menahan pukulannya. Brak, bum .... tiang penglari roboh, debu berhamburan memenuhi ruang.

Gak Lui terkejut dan cepat melonjak bangun. Tetapi pengemis itu sudah lolos keluar dari jendela. Sedang dinding tembok dan tiang penglari yang berhamburan rubuh itu, menghalangi jalan.

Tetapi Gak Lui tak mau lepaskan pengemis jahat itu. Dengan tangkas ia menyelinap keluar, Ia menghantam lantai sehingga berlubang. Dari lubang itu ia meluncur turun ke bawah. Tepat pada saat ia mencapai tingkat bawah, Pengemis Jahatpun sudah lari sepuluh tombak jauhnya, menuju sebuah parit di bawah pohon.

“Aneh, mengapa dia tak terus melarikan diri tetapi bersembunyi dalam parit? Apakah dia masakan bisa lolos ?" pikir Gak Lui. Namun ia tak peduli dan terus putar pedangnya ke atas lalu diarahkan ke punggung si Pengemis Jahat. Serempak dengan itu, kakinyapun bergerak hendak menendang.

Sekonyong konyong terdengar ledakan yang dahsyat. Gak Lui terkejut dan berpaling. Apa yang disaksikan saat itu, benar2 membuat semangatnya terbang.

Ternyata menara itu telah meledak dan hancur bertebaran keseluruh penjuru, saat itu ia berada empat lima tombak jauhnya dari menara itu. Tak mungkin ia terhindar dari robohan tembok. Gak Lui terlempar jatuh berguling-guling. Badan berlumuran darah dan rebah di samping si Pengemis Jahat.

Gak Lui termakan siasat si Pengemis Jahat. Tetapi pengemis itupun tak luput dari kematian. Pedang yang dilontarkan Gak Lui dengan ilmu Melontar-pedang tadi, tepat sekali menembus punggung Pengemis Jahat, terus ke dada. Pengemis Jahat itu rubuh, tubuhnya tersanggah pedang.

Setelah asap menipis, tak kurang dari tiga-puluh anak buah Partai Pengemis segera menerobos keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka hendak menolong Pengemis Jahat. Tetapi setelah melihat keadaan pengemis itu, mereka menjerit kaget: “Hai, wakil ketua mati !”

“Celaka ! Habis bagaimana ?”

“Lebih baik kita lekas lari !"

Demikian hiruk pikuk sekalian anak buah Partai Pengemis ketika mengetahui wakil ketua mereka yalah si Pengemis Jahat telah mati.

“Diam!" tiba2 seorang pengemis berteriak keras. “kita lihat dulu anak she Gak itu sudah mati atau belum!"

Ketika melihat yang bicara itu adalah Pengemis Kepala besar, sekalian pengemis itu tak berani buka suara lagi. Segera beberapa pengemis memeriksa Gak Lui dan berseru: “Dia masih hidup !"

“Menyingkirlah !" seru Pengemis Kepala-besar itu, “lihat saja bagaimana kuhantam pecah kepala bocah itu !"

Ia terus mengangkat tinju dan dilayangkan kepada Gak Lui. Tetapi belum tinju mendarat di tubuh Gak Lui, tiba2 pengemis itu menjerit ngeri. Batang kepalanya telah mencelat setombak jauhnya. Dari lehernya menyembur darah segar.....

Ketika sekalian orang memandang kepadanya, ternyata di muka pengemis Kepala-besar itu tegak seorang nona yang tak dikenal. Belum sempat menegur siapa nona itu, tiba2 nona itu memutar pedang dan tinju, mengamuk.

Serentak terdengarlah jerit pekik yang seram dari sekalian anak buah Partai Pengemis.

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



Kutungan lengan, kaki dan jari serta anggauta2 badan orang, beterbangan menghambur darah. Suasanya seperti dalam neraka.

Sudah tentu kawanan anak murid Partai Pengemis itu tak mampu melawan amukan nona atau Ratu ular Li Siu-mey. Beberapa pengemis yang agak jauh jaraknya segera melarikan diri. Tetapi baru sepemanah jauhnya, muncullah Hwat Hong taysu beserta delapan orang muridnya. Dan secepat kilat mereka segera menyongsong anak buah pengemis itu dengan serangan.

Sesungguhnya sebagai anak murid agama, murid2 perguruan gunung Heng-san itu menjunjung welas asih dan peri-kemanusiaan. Tetapi demi melihat menara ambruk dan Gak Lui tak muncul keluar, mereka marah sekali. Kemarahan itu ditumpahkan kepada anak buah Partai Pengemis, sehingga mereka yang beruntung lolos dari amukan pedang Siu-mey, akhirnyapun melayang jiwanya di tangan murid2 Heng-san-pay.

Hwat Hong taysu cepat menghampiri ke tempat Siu-mey, tanyanya: “ Nona Li, bagaimana dengan Gak sauhiap ?"

Saat itu Siu-mey tengah berjongkok untuk mengangkat kepala Gak Lui. Airmata nona itu bercucuran sebagai hujan dan menumpah menjadi satu dengan darah di tubuh Gak Lui.

Melihat keadaan Gak Lui, Hwat Hong menyurut selangkah dan berseru cemas: “Apakah lukanya berbahaya?”

Siu-mey hanya terisak-isak. Beberapa saat kemudian baru ia mengangkat muka tetapi mulutnya tetap terkancing oleh rasa kedukaan yang hebat.

Melihat itu tahulah Hwat Hong bahwa keadaan Gak Lui tentu buruk sekali, iapun berjongkok dan memeriksa pernapasan Gak Lui. Dua butir airmata menitik dari pelupuk ketua Heng san pay itu dan dengan suara yang rawan ia berkata: “Denyut jantungnya tak keruan, napasnya lemah kemampuan manusia tak dapat menolongnya..."

Ucapan itu makin menambah kesedihan Siu mey. Dan serentak pecahlah tangis nona itu bagaikan seorang anak yang ditinggal mati orang-tuanya. Sekalian orang yang berada di situ sama terharu dan mengucurkan airmata.

Menyadari salah omong, buru2 Hwat Hong menyusuli kata2 pula: “Nona Li, engkau pandai sekali dalam ilmu pengobatan. Apakah engkau mempunyai obat untuk menolongnya ?"

“Tidak .... punya...."

“Kalau begitu .... tiada baik kalau dibiarkan di sini. Bagaimanapun kita harus cari daya untuk menolongnya !" kata Hwat Hong.

Siu-mey pejamkan mata dan gelengkan kepala: “Paling banyak dia hanya dapat bertahan sehari saja, aku tak mampu berdaya !”

Mendengar keterangan sinona, timbullah harapan Hwat Hong. Diam2 ia menimang: “Bagaimana kalau mengantarkannya ke Siau-lim-si ?"

Tetapi pikiran itu cepat dibantahnya sendiri. Perjalanan ke Siau-lim, amatlah jauh. Andaikata dapat mendapat gereja itu, belum tentu ada yang mampu menolong. Demikianpun dengan partai persilatan Ceng-sia-pay dan Heng-san-pay, percuma saja.

Akhirnya ketua perguruan Heng-san itu hanya menghela napas: “Ah, akulah yang bersalah. Kalau aku yang menghadapi tantangan si Pengemis Jahat, sekalipun terjadi sesuatu, tetap aku sendiri yang memikul akibatnya ...."

Mendengar itu Siu-mey berkata terharu: “Tak dapat menyalahkan taysu karena semuanya itu adalah menurut rencana engkoh Lui sendiri ...."

Tiba2 nona itu terkilas sesuatu. Untuk menolong Gak Lui ia harus mencari dua orang tokoh sakti. Bukan Siau-lim-si ataupun partai Ceng-sia-pay. Asal bisa mendapat pertolongan salah satu dari kedua tokoh itu, tentu ada harapan Gak Lui dapat ditolong. Yang satu adalah gurunya sendiri yalah Dewi Tong Thing. Dengan ilmu kepandaiannya yang sakti, mungkin Dewi Tong Thing dapat menolong. Tetapi sayang telaga Tong Thing di gunung Kun-san itu jauh sekali.

Sedang orang yang kedua bukan lain yalah Kaisar-persilatan Li Liong ci. Apabila dapat bertemu dengan tokoh itu, tentulah Gak Lui tertolong. Tetapi pun sayang, bayangan tokoh itu saja, tak pernah ia melihat. Apalagi orangnya…

Kini Siu-mey mengarahkan harapannya kepada tokoh ketiga yalah ayahnya sendiri, Tabib-sakti Li Kok-hoa. Dan justeru rencana Gak Lui-pun hendak mencari Tabib-sakti itu. Apabila Siu-mey bertindak menurut rencana Gak Lui, kemungkinan tentu dapat bertemu dengan ayahnya.

Tentang tempat beradanya sang ayah itu dimana dan berapa jauhnya serta apakah dapat dicapai dalam waktu sehari, Siu-mey tak sempat memikirkan dan memang ia tak berani membayangkan hal itu.

“Taysu, walaupun engkoh Lui terluka tetapi rencana kita tetap tak berobah....," katanya kepada ketua perguruan Heng-san.

“Mengapa ?"

“Karena rencana itu juga suatu usaha untuk menolong jiwanya !"

“O .... apakah nona suka menerangkan rencana itu?"

“Rasanya tak perlu, tetapi caranya perlu dirobah yang sesuai."

Karena tiada lain jalan lagi, Hwat Hong taysu pun setuju: “Bagus, bagus! Tetapi bagaimanakah caranya itu?"

“Harap taysu beserta kedelapan murid taysu melindungi engkoh Lui. Ikutilah aku pada jarak tertentu. Apapun yang terjadi, biarlah aku yang menghadapi!"

Hwat Hong taysu tak mau banyak bicara. Ia segera suruh kedelapan muridnya membuka jubah untuk dirangkai menjadi sebuah tempat tidur yang hangat lalu meletakkan Gak Lui di situ.

Setelah persiapan selesai, Siu-mey segera mendahului berjalan dengan gunakan ilmu meringankan tubuh. Secepat larinya secepat itu pula matahari-pun terbenam di balik gunung. Hari pun malam.

Perjalanan itupun memang tak lancar. Disamping harus hati2 untuk menjaga kemungkinan munculnya musuh, pun setiap kali Siu-mey berpaling ke belakang untuk melihat keadaan Gak Lui. Dan setiap kali memandang, keadaan Gak Lui makin memburuk.

Saat itu mereka memasuki daerah pegunungan. Tubuh mereka basah kuyup dengan peluh. Mereka berhenti sejenak untuk memulangkan napas.

Tampak oleh Hwat Hong taysu bahwa empat penjuru tempat itu hanyalah puncak gunung dengan lembahnya yang luas. Tiada suatu jejak manusia yang tampak. Bahkan biara tua yang berdiri di puncak gunung sebelah muka, selain condong pun juga sudah rusak dan tak terawat.

Sesungguhnya dalam hati tak sabar berdiam diri tetapi terpaksa Hwat Hong tak mau banyak bertanya. Hanya diam2 ia memanjatkan doa, semoga kekuasaan Buddha dapat menciptakan suatu keajaiban.

Saat itu Siu-mey sedang sibuk memeriksa denyut pergelangan Gak Lui. Didapatinya denyut jantung pemuda itu seperti berhenti. Begitu pula pernapasannya.

“Ah, terlambat ...." segera nona itu menangis terisak-isak.

Mendengar itu, Hwat Hong mengira Gak Lui tentu sudah putus jiwanya. Maka ketua Heng-san-pay itu segera berseru dengan nada duka: ”Omitohud !"

Kedelapan muridnyapun serempak mengikuti Hwat Hong taysu untuk menyanyikan doa pengantar arwah.

Saat itu suasana pegunungan yang sunyi senyap seperti tercengkam oleh kumandang doa pujian para anak murid Heng-san-pay untuk mengantarkan kepergian arwah Gak Lui. Dan tangis Siu-meypun makin keras.....

Tiba2 doa dan tangisan dari kesepuluh orang itu tersusup oleh sebuah suara yang nadanya amat kuat dan penuh ketenangan, sekalian orang terkesiap, suara doa dan tangisanpun sirap seketika. Bahkan Gak Lui yang masih belum sadar itu, dadanya tampak berombak seperti menyedot napas.

Peristiwa itu benar2 ajaib!

Dan sekalian orang itu, karena luapan rasa kejut2 girang, sampai tak dapat bicara. Mereka menumpahkan perhatian untuk mendengarkan lebih lanjut. Dan yang makin mengherankan yalah, seruan pendatang yang tak dikenal itupun bernada: “Omitohud !"

Cepat Hwat Hong taysu melangkah maju tiga tindak. Dengan nada yang sungguh2 dan hormat, ia berseru nyaring ke arah puncak gunung: “Hwat Hong taysu dari Heng san, mohon bertanya, apakah saudara ini bukan Kaisar Persilatan ....”

Ucapan itu membuat Ratu-ular Siu-mey gemetar. Karena apabila benar Kaisar Persilatan yang datang, itulah suatu rejeki yang hampir tak dapat dipercayainya. Tetapi ia tahu bahwa Hwat Hong tak mungkin salah mengenal orang.

Sesungguhnya memang Hwat Hong tak salah kenal. Karena ia cukup faham akan suara Kaisar Persilatan. Walaupun sudah 20 tahun lamanya namun ia tetap tak lupa akan tokoh itu.

Sebuah suara yang nadanya bening segera terdengar: “Aku memang Li Liong-ci. Adakah selama ini Hwat Hong taysu baik2 saja ?"

“Oh .... ," seru ketua Heng san-pay dengan penuh kegirangan. Ia kerutkan dahi, mengharap agar dapat melihat tokoh itu.

Sayang puncak itu terlampau tinggi dan hutan amat lebat sehingga ia tak mampu melihat jelas. Apalagi ilmu tenaga-dalam tokoh itu tinggi sekali sehingga sukar diketahui orang dari arah mana ia bersuara.

Karena tak mampu menemukan sasaran, Hwat Hong taysu tertegun. Melihat itu Siu-mey tak menghiraukan segala apa lagi. Ia terus berlutut di tanah menghadap ke puncak, serunya dengan gemetar: “Paman guru, murid Li Siu-mey menghaturkan hormat…"

“Bangunlah, engkau tentu murid dari Dewi Tong Thing !"

“Benar !" sahut Siu-mey. Tetapi diam2 nona itu heran. Pada waktu suhunya menerima ia sebagai murid, paman gurunya itu tak mengetahui, “memang dengan kepandaiannya ia dapat melihat diriku tetapi mengapa dia dapat mengetahui asal usulku juga...."

“Dari ilmu Menembus-hati, dapat kurasakan bahwa di antara kalian ini tentu ada yang sedang menderita luka parah...."

Kembali Siu-mey terkejut, sahutnya gopoh: “Benar, engkoh Lui.... eh, tidak. Gak Lui... terluka parah sekali, mohon supeh suka segera menolongnya !"

“Aku sudah terlanjur mengangkat sumpah. Saat ini aku tak dapat berhadapan muka dengan kalian….”

”Tetapi supeh harus kemari, kalau tidak, dia tentu....” seru Siu-mey gelisah. Sebenarnya kata2 yang terakhir itu yalah ‘mati'. Tetapi Siu-mey tak sanggup mengucapkan. Juga Hwat Hong taysu menyurut mundur karena terkejut dan gelisah.

Tetapi tokoh itu tetap berkata dengan nada setenang lautan: “Tak perlu kuatir. Aku hanya tak dapat berhadapan muka dengan kalian. Tetapi bukan menolak untuk menolong."

“Kalau tak berhadapan muka, bagaimana paman dapat menolong ?" seru Siu-mey makin tegang.

“Akan kuminta seorang sahabat untuk mewakili…”

“Kalau begitu harap paman lekas suruh orang itu turun kemari," seru Siu-mey.

Tetapi jawaban Kaisar Li Liong-ci sungguh diluar dugaan: “Sahabatku itu tak mengerti ilmu-silat. Silahkan kalian membawa Gak Lui ke dalam biara, dia nanti akan ke situ."

Walaupun heran tetapi apa boleh buat, Siu-mey dan Hwat Hong taysu segera mengangkat Gak Lui ke biara tua.

Sesungguhnya biara tua yang rusak itu sudah tampak oleh mereka sejak tadi. Tetapi mereka sama sekali tak menduga bahwa Kaisar Li Liong-ci ternyata berada dalam biara itu.

“Sampai ketemu lagi !" tiba2 terdengar tokoh itu berseru. Sekalian orang terkejut. Namun karena sudah mendapat janji dari tokoh itu merekapun tetap mengangkut Gak Lui ke biara.

Sepenanak nasi kemudian, tibalah mereka di biara tua itu. Memang sudah rusak sekali keadaan biara itu. Bahkan kedua pintunyapun sudah hilang.

Siu-mey dan rombongannya terkejut ketika melihat sesosok tubuh berdiri diambang pintu. Ingin sekali mereka segera mengetahui siapakah gerangan sahabat yang disuruh mewakili Kaisar Li Liong-ci itu.

Mereka menduga orang itu tentu sakti. Tetapi apa yang mereka dapatkan, hampir saja membuat mereka putus asa. Ternyata orang itu hanya seorang lelaki jembel, wajahnyapun biasa saja, tiada sesuatu yang luar biasa pada dirinya.

Diam2 Siu-mey meragu. Adakah orang semacam itu mampu mewakili Kaisar Persilatan untuk menolong jiwa Gak Lui ? Tetapi karena Kaisar Persilatan sudah menaruh kepercayaan, tentulah dia memiliki kemampuan itu.

Cepat Siu-mey mendahului maju memberi hormat. Demikianpun Hwat Hong taysu. Setelah memberi hormat, ia segera bertanya: “Mohon tanya siapakah nama anda yang mulia?"

Walaupun lahiriyah orang itu tampak rudin, tetapi kata2nya bernada tinggi dan sopan. Setelah balas memberi hormat, dengan tertawa ia menyahut: “Aku yang rendah bernama Ke Bing mendapat permintaan dari saudara Li Liong ci untuk mengobati seorang kawannya. Silahkan kalian lekas mengangkut dia kedalam biara !"

Anak murid Heng san segera melakukan perintah itu, membawa Gak Lui ke dalam biara.

“Letakkan di depan patung...," Ke Bing memberi perintah seraya suruh Hwat Hong taysu menunggu di samping.

Siu mey makin heran, Ia merasa keadaan dalam biara itu lain dari luarnya. Walaupun ruang sudah tua bangunannya tetapi keadaannya masih bersih sekali. Bahkan sampai lantai pun berkilat-kilat.

Setelah selesai mengatur, Ke Bingpun duduk di samping Gak Lui. Sekalian orang menumpahkan seluruh perhatiannya untuk mengikuti cara orang itu hendak mulai mengobati Gak Lui.

Suasana sunyi senyap. Ke Bing merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah benda. Siu-mey dan Hwat Hong menduga tentulah orang itu mengeluarkan obat.

Tetapi alangkah kejutnya ketika mereka melihat benda yang dikeluarkan Ke Bing itu bukan obat melainkan sebuah Kim-jiu atau Tangan-Emas.

Melihat itu Siu-mey serta merta berlutut memberi hormat. Ia pernah mendengar suhunya bercerita tentang benda itu. Benda itu yalah sebuah benda peninggalan kakek gurunya dan kini merupakan yang keramat dalam dunia persilatan.

Begitu pula Hwat Hong yang luas pengalaman, segera mengetahui asal usul benda itu. Buru2 iapun pejamkan mata dan berseru: “Omitohud !"

Tetapi Ke Bing hanya tenang2 saja. Ia meletakkan Tangan Emas itu di dada Gak Lui. Kelima jari tangan itu tepat melekat pada kelima jalan darah di dada Gak Lui.

Kini Siu-mey dan Hwat Hong taysu baru mengetahui khasiat dari Tangan Emas itu. Diam2 mereka mengagumi sekali.

Ke Bing mengangkat muka dan tersenyum : “Dalam satu jam lagi Gak Lui tentu sudah sadar, harap kalian berdua jangan kuatir."

Siu mey mengiakan dengan girang sekali lalu dengan nada menghormat ia bertanya: “Ke sian-seng, engkau adalah sahabat dari paman guruku. Adakah engkau tahu apa sebab paman guru tak mau mengunjukkan diri kepada orang?"

Siu-mey menunggu jawaban dengan hati berdebar. Ia kuatir orang tak mau menerangkan. Tetapi diluar dugaan ternyata Ke Bing ramah sekali sikapnya. Sambil mengangguk kepala ia tertawa : “Alasannya sederhana sekali. Dia mendapat tugas dari guru untuk mengunjungi arca2 yang dipuja dalam biara maupun gereja. Ia hendak menyembahyangkan para arwah dari orang2 yang telah mati dibunuhnya. Oleh karena di daerah Tionggoan jumlah rumah suci tak terhitung banyaknya. Setiap gereja harus sembahyang, setiap arca harus bersujut. Sekalipun ilmu kepandaiannya sangat tinggi, pun tak mungkin mampu melakukan muhibah itu dalam waktu yang singkat. Dan selama dalam perjalanan muhibah itu dia tak boleh melakukan pertumpahan darah lagi. itulah sebabnya maka ia tak mau unjuk diri pada orang agar jangan sampai mengganggu waktunya."

---oo~dwkz^0^Tah~oo---



Mendengar itu Hwat Hong kerutkan alis, serunya : “Ke sianseng, aku kenal lama dengan Kaisar Persilatan. Akupun cukup jelas akan pribadinya yang sangat membenci pada kejahatan. Tetapi kini si Maharaja telah muncul dengan perbuatannya yang jahat. Jika Kaisar Persilatan takut terganggu waktunya dalam perjalanan dan tak bertindak apa2, apakah itu sesuai dengan pribadinya ?"

“Ini.... akupun pernah mendengar ucapannya. Dia mengatakan dunia persilatan akan tertimpa malapetaka pembunuhan lagi dan ia pun berhasrat untuk membantu. Justeru karena itu, ia harus cepat2 menyelesaikan muhibahnya, baru nanti akan datang ...."

”Bilakah dia akan datang itu ?"

“Kalau tiada halangan suatu apa, kira2 dalam waktu tiga bulan. Tetapi kalau ada aral melintang, ah, sukar ditentukan ...."

“O...” seru Hwat Hong terkejut, “mengapa begitu lama? Mungkin sudah tak keburu lagi !"

Siu-meypun berseru dengan nada putus asa: “Sekalipun keburu waktunya, tetapi kalau beliau siorang tua tak mau turun tangan, pun percuma juga."

“Ah, tidak begitu !" seru Ke Bing.

“Mengapa ?"

“Dia mengatakan bahwa dalam dunia persilatan kelak bakal muncul orang baru yang akan dapat melenyapkan malapetaka itu !”

“Adakah yang dimaksud itu engkoh Lui ?"

“Benar! Memang dia."

“Oh…” Siu-mey mendesuh tegang. Ia tersenyum rawan seraya melirik ke arah Gak Lui yang masih belum sadar. Suatu perasaan bahagia tersenyum bangga menyerbak di hati nona itu.

Tetapi Hwat Hong mempunyai pemikiran lain, serunya: “Walaupun kepandaian Gak sauhiap bukan kepalang tetapi kalau bertanding lawan Maharaja, rasanya masih terpaut jauh. Entah bagaimanakah cara untuk meningkatkan kepandaian Gak sauhiap itu ?"

“Untuk meningkatkan, tentu bisa. Tetapi ilmu kepandaian dari Maharaja itu mencangkum kedua aliran Putih dan Hitam. Tak mungkin dalam setengah sampai satu tahun dia dapat menyamainya."

“Lalu bagaimana ?"

“Kelak Gak Lui bakal memperoleh sebuah senjata yang amat sakti. Maharaja pasti akan terbasmi dengan senjata istimewa itu !"

“Aneh !" gumam Siu-mey seraya berpikir dalam hati: “Rencana engkoh Lui untuk mencari pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam, rupanya Ke Bing ini sudah mengetahui. Tetapi dia hanya seorang biasa. Dengan dasar apa ia dapat menerka hal itu ?"

Rasa heran mendorong Siu-mey mengarahkan pandang matanya kepada orang yang mengaku bernama Ke Bing itu. Dari sinar matanya jelas Ke Bing itu tiada memiliki ilmu tenaga dalam tetapi memancarkan kecerdasan yang tajam.

Rupanya Ke Bing dapat menduga isi hati si nona, serunya: “Nona Li, soal itu saudara Li Liong-ci yang memberitahukan kepadaku. Aku hanya menyampaikan saja."

“Benarkah ?"

“Dia sudah meyakinkan ilmu Liok-to-sin-thong (Menembus enam indera). Ilmu pelajaran dari perguruan agama yang tinggi itu, termasuk juga ilmu Thian sim-thong (menembus hati), Thian-gan-thong (menembus mata), Thian-ji-thong .... enam macam. Tentang isi hati orang dan kejadian yang akan datang, dapat menebak dengan jitu sekali ...."

“Dan anda sendiri ?”

"Aku tetap hanya seorang biasa. Tetapi dia pernah mengajarkan ilmu Thian-gan-thong kepadaku. Itulah sebabnya maka aku mempunyai sedikit kepandaian."

Mendengar uraian itu timbullah gairah Hwat Hong taysu. Karena Liok-to-sin thong, memang sangat sukar dipelajari. Maka bertanyalah ia dengan rasa heran: “Ke sianseng, dengan rasa malu kepada diri sendiri karena berpengetahuan dangkal, aku tak mengerti tentang ilmu Liok-to-sin-thong itu. Maka mohon tanya, adakah aku dapat berhasil mempelajari ilmu itu?"

“Ini.....," Ke Bing terkesiap, “ah, taysu tentu akan berhasil dan tak berapa lama lagi taysu tentu....akan mendapat kesempatan untuk mengenyam penerangan sari2 pelajaran agama."

“Dan aku bagaimana?" Siu-mey menyeletuk.

“Nona? Kelak engkau tentu jadi seorang pendekar wanita yang menggetarkan dunia persilatan.”

“Dan engkoh Lui ?"

Ke Bing tak mau langsung menyahut melainkan tertawa: “Tentang dia biarlah dia sendiri yang menjawab !"

Rupanya Siu-mey menyadari kalau pertanyaannya terlalu mesra maka merahlah wajahnya dan terus tundukkan kepala, beralih memandang ke arah Gak Lui.

Saat itu tampak wajah Gak Lui berseri kemerah-merahan dan napasnyapun sudah normal lagi. Jelas bahwa pemuda itu sudah terlepas dari bahaya maut. Tenaganyapun sudah pulih.

Sekalian orang diam-diam bersyukur atas peristiwa itu dan mereka menantikan dengan penuh perhatian sampai pemuda itu akan sadarkan diri.

Sekonyong-konyong terdengar teriakan nyaring memecah kesunyian. Ternyata Gak Lui sudah sadar dan loncat bangun. Ia tak tahu dimana saat itu ia berada. Ia memandang kepada sekalian orang yang berada di situ. Begitu pandang matanya tertumbuk pada Ke Bing, berserulah ia dengan suara tersendat: “Engkau .... engkau bukankah .....yang muncul dari gereja Siau-lim si itu !"

“Benar," sahut Ke Bing seraya dengan hati-hati mengemasi Kim-jiu.

“Mengapa tempo hari engkau pergi tanpa pamit sehingga menimbulkan salah faham Tanghong sianseng sehingga dia mendapat kecelakaan ?"

Melihat Gak Lui mendesak orang itu dengan pertanyaan dan seolah-olah tak menghiraukan Siu-mey serta Hwat Hong taysu, Siu-mey cepat menyelutuk dan memberi keterangan apa yang telah terjadi pada diri pemuda itu.

Mendengar itu serta merta Gak Lui menjurah menghaturkan terima kasih: “Ke cianpwe, mohon cianpwe suka memaafkan keliaranku. Dan kumohon cianpwe sudi menyampaikan terima kasihku kepada Kaisar Persilatan atas budi pertolongannya kepada diriku."

“Ah, engkau terlalu sungkan," kata Ke Bing seraya balas memberi hormat, “Mengapa tempo hari aku pergi tanpa pamit adalah karena diajak Kaisar. Kalau tidak masakan aku mampu melintasi sekian banyak penjagaan ...."

“O…" Gak Lui menghela napas. Saat itu baru ia menyadari betapa luas dan tingginya ilmu silat itu. Di atas gunung masih ada langit. Orang yang pandai masih ada yang lebih pandai.

“Lalu apakah tujuan cianpwe naik ke gunung ini ?" tanyanya pula.

“Karena Kaisar hendak berziarah menghadap Ji-lay titisan ketiga. Dan saat itu ia melihat hawa pembunuhan menutup gereja Siau-lim-si, tentu akan mencelakai seorang tokoh persilatan ... hanya karena tak mau dirinya diketahui orang maka ia segera membawa aku agar dapat mengalihkan perhatian orang."

“O, kiranya begitu," kata Gak Lui, “tetapi aku memang hendak menghadap kepadanya. Sayang aku tiada rejeki sehingga tertimpa peristiwa ini ...."

“Apakah maksudmu hendak menemuinya? Apakah hendak menanyakan tentang ilmu Ngo heng-tay-hwat yang terbalik itu ?" tanya Ke Bing.

”Benar, benar," seru Gak Lui dengan rasa keheranan yang tak kunjung habis. Disamping mengagumi ilmu Liok-to-sin-thong dari Kaisar Persilatan, diam2 ia meragukan diri Ke Bing. Ke Bing seorang yang tak mengerti ilmu silat. Adakah ia mampu mengingat semua pesan dari Kaisar Persilatan ?

Melihat keraguan orang, Ke Bing serentak menjulurkan Kim-jiu. Melihat itu timbullah gagasan Gak Lui. Mengapa setelah membicarakan ilmu Ngo-heng-tay hwat terbalik, lalu tiba2 Ke Bing menyodorkan Kim-jiu ? Pikiran Gak Lui yang cerdas cepat dapat menduga bahwa Kim-jiu itu kecuali sebuah benda mujijad yang mampu memberi pengobatan dan tenaga, pun tentu mengandung ilmu pelajaran yang sakti.

Maka dengan wajah serius dan khidmat, ia segera menyambuti benda itu dengan gemetar.

“Saudara Li mengatakan, segala ilmu kesaktian berada dalam Thian-liong-kim-jiu ini. Dengan kecerdasanmu, tentulah engkau dapat menyelaminya," kata Ke Bing.

Gak Lui tersipu-sipu mengiakan.

“Tetapi benda ini adalah pusaka warisan dari partai perguruan Thian-liong-pay. Engkau harus hati2 menjaganya."

“Sudah tentu akan kujaganya dengan baik. Hanya setelah selesai mempelajari, kemanakah aku harus mengembalikan ?" tanya Gak Lui.

“Pada waktunya, saudara Li Liong-ci tentu akan datang sendiri untuk mengambilnya."

“O, apakah beliau mau bertemu dengan aku ?”

“Kelak pada suatu ketika pasti akan bertemu.”

“Ah, sungguh beruntung sekali! Aku masih ingin meminta banyak sekali pelajaran kepada beliau !" seru Gak Lui dengan girang. Semangatnya pun bangun kembali. Memang ia mempunyai angan2 untuk menjagoi dunia persilatan. Oleh karena Kaisar Persilatan tak mau muncul dalam masyarakat ramai, maka itulah suatu kesempatan baik baginya untuk menonjolkan diri.

Tetapi adakah ia mampu mencapai tingkat pelajaran sehebat itu, harus dilihat dari ketekunannya belajar.

Tiba2 Ke Bing berkata: “Cita2 memang membuat orang kagum. Aku berani memastikan, saudara Li Liong-ci tentu akan meluluskan. Kuharap engkau belajar sungguh2, agar apabila tiba saatnya dapat diuji."

Kata2 itu menggembirakan Gak Lui. Bahkan Hwat Hong taysu dan Siu-mey ikut bergembira.

“Maaf," kata Ke Bing, “aku tak mengerti ilmu silat seperti kalian. Setengah hari ini, aku benar2 agak letih. Aku hendak beristirahat dulu di sini. Jika kalian mempunyai urusan, silahkan berangkat dulu."

Sekalian orangpun segera berbangkit dan memberi hormat minta diri kepada Ke Bing.

Kepada setiap orang Ke Bing selalu menjawab, “Sampai berjumpa lagi" atau “Harap menjaga diri baik2". Tetapi ketika berhadapan dengan Hwat Hong taysu, ia berkata: “Selamat tinggal! Selamat tinggal !"

Demikian dengan Gak Lui sebagai penunjuk jalan, rombongan orang Heng-san pun segera turun gunung. Selama dalam perjalanan itu, tak hentinya Gak Lui merenungkan peruntungan besar yang diterimanya itu. Ia merasa sangat berhutang budi kepada Kaisar Persilatan. Ia merasa sekalipun dengan jiwa, ia tak dapat membayar budi tokoh itu. Pun kepada Ke Bing ia juga merasa berhutang budi. Tetapi ia percaya tentu dapat membalasnya.

Untuk mengingat namanya agar jangan sampai lupa, Gak Lui berulang-ulang menyebut: “Ke Bing! Ke Bing! Ke Bing.... hai, janggal benar! Ke Bing itu tentu bukan nama yang aseli tetapi nama palsu! Lalu siapakah dia ... apakah dia itu……?"

Sekonyong-konyong pemuda itu menggentakkan kakinya ke tanah dan tanpa bicara sepatah-pun, ia terus lari kebalik biara tua tadi. Sudah tentu Hwat Hong dan Siu-mey tercengang. Terpaksa mereka lari menyusul pemuda itu. Tak berapa lama merekapun sudah tiba kembali di biara tua itu.

Tampak Gak Lui tegak berdiri diam dan sikapnya seperti orang yang kecewa.

“Engkoh Lui, kenapa engkau ?" tanya Siu-mey.

“Kalian lihatlah....!" seru Gak Lui seraya menunjuk kedalam biara.

“Apakah Ke sianseng tertimpa sesuatu?" tanya Hwat Hong taysu. Tetapi ketika pandang matanya terarah kedalam biara, ketua Heng-san-pay itupun segera berteriak kaget: “Hai, dia lenyap!"

“Aneh, mengapa kalau tidak bisa ilmu silat, dia dapat bergerak sedemikian cepatnya?"

Gak Lui gentakkan kakinya berulang kali ke tanah. Sambil geleng2 kepala ia menghela napas: “Tiada yang harus dibuat heran! Kalau terasa aneh itu adalah kita yang tak dapat melihat orang!"

“Maksudmu.... ?"

“Ke Bing itu berarti Nama Palsu. Yang betul dia adalah Kaisar Persilatan sendiri !"

“Amboi ....!" teriak Siu mey terkejut. Sejenak tertegun, ia menggerutu seorang diri: “Ah, memang tak dapat menyalahkan kita. Engkau dan kita semua belum pernah melihatnya....."

Wajah Hwat Hong taysu serentak berobah merah, ujarnya: “Aku yang merasa sudah faham dan pasti akan mengenalnya apabila bertemu. Siapa tahu kepandaian Li tayhiap Kaisar Persilatan begitu lihay, mencapai tingkat dimana pandangan mata orang benar2 dapat disesatkan. Ah ... aku benar merasa malu kepada diriku."

Demikian sekalian merasa sangat getun.

Betapapun halnya, Kaisar Persilatan sudah unjuk diri dan lenyap lagi. Beberapa saat kemudian Siu-mey tertawa nyaring, serunya: “Engkoh Lui, jangan cemas. Tadi beliau siorang tua mengatakan, begitu engkau sudah selesai mempelajari ilmu Ni-coan-ngo-heng, beliau tentu akan menjumpai engkau lagi untuk menguji kepandaianmu. Mengapa engkau tak dapat bersabar...."

“Hm ...," teringat bahwa kelak masih banyak kesempatan, Gak Luipun menghela napas: “Ah, sayang masih kurang sesuatu !"

“Kurang apa ?"

“Aku tak mengerti ilmu Ngo-heng-ki-bun. Tentu sukar sekali untuk mempelajari ilmu Ni-coan-ngo-heng itu."

“Hi, hi, hi, hi," Siu-mey tertawa mengikik, “dalam soal itu aku dapat membantumu."

“Apakah engkau dapat ?"

“Sudah tentu, sebagai murid dari Dewi Tong thing, masakan begitu saja tak bisa ?"

“Baik, sekarang silahkan engkau mengajarkan dasar2 ilmu itu."

“Hm, tak semudah itu, bung. Sedikit banyak harus ada pernyataan."

“Pernyataan bagaimana ?"

“Mengangkat guru meminta pelajaran, harus memakai penghormatan !"

“Ha, ha, ha, ha," Gak Lui tertawa geli, “rupanya engkau lupa, akupun pernah mengajarkan sejurus ilmu pedang kepadamu. Kan ini namanya sudah lunas.”

Demikian mereka duduk di dalam biara tua itu dan Siu meypun mulai menguraikan tentang ilmu Kian-gun-pat-kwa dengan segala perobahannya. Hwat Hong taysupun ikut menambahkan penjelasan yang perlu.

Gak Lui memang cerdas. Apa yang diajarkan Siu-mey itu dapat dicatat dalam hati dengan baik. Setelah itu ia mengeluarkan Thian-liong-kim-jiu, disongsongkan pada sinar rembulan untuk memeriksa guratan2 halus yang terdapat pada benda itu.

Dengan pengamatan yang seksama, dapatlah ia mengetahui bahwa guratan pada Thian- liong-kim jiu itu memang merupakan tanda2 dari susunan Pat-kwa.

Bermula memang mudah. Dengan pelajaran yang didapatnya dari Siu-mey tadi, ia dapat mengerti susunan gurat2 itu. Tetapi setelah meningkat pada kelompok guratan yang lain, macetlah pikirannya. Benar2 ia tak dapat mengetahui inti keindahannya. Dicobanya untuk mengasah olak memecahkan rahasia itu, tetapi tetap sia2. Mata berkunang, kepala pening dan keringatpun bercucuran deras.

---oo~dwkz^0^Tah~oo---



Selama itu Siu-mey tak berani buka suara karena kuatir akan mengganggu pemusatan semangat Gak Lui. Tidak demikian dengan Hwat Hong taysu yang banyak pengalaman. Kuatir kalau terlalu ngotot nanti Gak Lui akan menjurus ke arah akibat yang disebut Co-hwa-jip-mo atau darahnya meliar deras sehingga tak berjalan pada saluran yang semestinya. Co-hwe-jip-mo akan mengakibatkan tubuh orang rusak dan cacat, pikiranpun tak waras lagi.

“Sauhiap," cepat ketua Heng-san-pay itu menyelutuk, “bahkan Kaisar Persilatanpun sudah mengatakan bahwa untuk mempelajari ilmu itu, harus memerlukan waktu yang cukup lama. Maka janganlah engkau terburu-buru begitu rupa ...."

Gak Lui mengiakan. Ia menghela napas untuk melonggarkan ketegangan syarafnya. Tetapi beberapa saat kemudian, ia mulai membenam diri untuk memecahkan rahasia gurat2 pada Thian-liong-kim-jiu itu lagi.

Melihat itu Siu-mey segera mengalihkan perhatian pemuda itu, serunya: "Engkoh Lui, kita masih mempunyai rencana lain. Marilah kita berangkat !"

“Hm, hm...,” Gak Lui hanya mendengus. Rupanya dia tetap enggan.

Melihat itu Siu-mey segera cari akal agar dapat mengalihkan perhatian Gak Lui. Segera ia menceritakan apa yang Kaisar Persilatan mengatakan kepadanya. Bahkan menurut Kaisar Persilatan, kelak ia akan menjadi seorang pendekar wanita yang amat termasyhur. Lalu Kaisar Persilatanpun mengatakan bahwa tak lama lagi Hwat Hong taysu tentu bakal mencapai kesempurnaan dalam ilmu agama yang dianutnya.

“Apakah…. engkau tak salah .... dengar?" serentak Gak Lui bertanya dengan tegang.

“Tidak !"

Mendengar itu hati Hwat Hong taysupun tergetar rawan. Ia dapat menyelami apa arti kata2 itu. Dan lagi ketika saling berpisah, khusus kepada dirinya, Kaisar Persilatan tidak mengucapkan 'sampai jumpa lagi', tetapi 'selamat tinggal'.

Hwat Hong taysu dan Gak Lui saling bertukar pandang. Rupanya keduanya sama2 mempunyai pengertian dalam hal itu.

“Mari kita pergi.... toh dalam waktu semalam tak mungkin aku dapat mengetahui rahasia pelajaran itu ....." akhirnya Gak Lui berkata.

“Benar, kita harus berangkat dan melaksanakan rencana semula," sahut Hwat Hong taysu.

Sejenak merenung Gak Lui mengatakan bahwa sebaiknya rencana semula itu perlu dirobah sedikit.

“Sejak saat ini kita jangan berpencar dan bersama-sama menuju ke Ceng-sia !" katanya.

“Ah, tak perlu," sambut Hwat Hong, “walaupun aku tak tahu isi rencana itu, tetapi aku tak setuju kalau dirobah."

Gak Lui hendak membantah tetapi tiba2 Siu mey menarik lengan baju Gak Lui: “Engkoh Lui, kurasa memang tak perlu dirobah. Rencana memikat lawan, rasanya yang paling tepat untuk kita jalankan!"

Nona itu terpaksa hentikan kata2nya karena Gak Lui cepat berpaling menatapnya. Tetapi Hwat Hong taysu sudah terlanjur mendengar tentang siasat 'memikat musuh' itu. Maka berkatalah ia: “Sauhiap, ditilik dari urusan Pengemis Jahat, sekalipun engkau tak bilang, tetapi aku dapat menduga. Demi supaya dapat memikat musuh, harap engkau jangan menghalangi."

“Taysu ...."

“Jangan kuatir, tak nanti aku bertindak sembarangan. Tak peduli akan berjumpa dengan murid hianat yang palsu ataupun dengan Topeng Besi, aku takkan bertindak sembarangan!"

Karena sungkan menolak dan karena mendapat jaminan Hwat Hong, terpaksa Gak Lui menerima. Sekalipun begitu ia tetap memberi pesan: “Taysu, ingatlah bahwa kita masih akan ke Ceng-sia."

“Baiklah, itu berarti sekali dayung dua tepian," sahut kepala gunung Heng-san itu. Habis berkata dengan diikuti ke delapan anak murid, ia segera turun gunung.

Setelah jauh, barulah Siu-mey bertanya kepada Gak Lui: “Engkoh Lui, rupanya kalian seperti ada sesuatu yang tersembunyi dalam hati ...."

“Benar ! Ucapan Kaisar Persilatan seolah-olah memberi petunjuk bahwa tak lama.... taysu akan meninggalkan dunia fana."

“Hm, hanya suatu ramalan yang belum terjadi. Tak perlu kita terlalu percaya."

Gak Lui tersenyum hambar: “Aku memang tak suka akan tahayul. Tetapi dengan terjadinya peristiwa Tanghong sianseng, sebaiknya kita berjaga-jaga saja."

Diam2 Siu meypun tergetar dalam hati. Namun ia cepat menghibur diri. Asal Hwat Hong taysu benar2 pegang janjinya tak bergerak sembarangan, tentulah akan terhindar dari bahaya.

Waktu berjalan dengan cepat. Gunung Ceng-sia-sanpun makin dekat. Sehari berjalan lagi, tentu akan tiba.

Dalam pada itu timbul pertentangan dalam hati Gak Lui. Kemudian ia menghela napas: “Untuk mencari adik Lian, rupanya harus mencari daya lain. Tetapi membiarkan taysu mencapai gunung Ceng-sia, pun suatu hal yang baik juga ...."

Siu-mey mengiakan: “Benar, setelah mengantarkan obat, kita mencari lagi....."

Memandang ke muka, tampak anak buah Heng-san-pay tadi menyusup ke dalam hutan. Mungkin untuk menyelidiki barangkali dalam hutan itu terdapat musuh yang bersembunyi.

Ketika Gak Lui dan Siu-mey tiba di tepi hutan, tiba2 terdengar Hwat Hong taysu berteriak kaget seperti melihat sesuatu yang aneh.

Gak Lui cepat menghampiri dan saat itu terdengar suara senjata beradu amat gencar.

“Celaka !" Gak Lui makin gugup. Cepat ia mencabut sepasang pedang dan terus secepat kilat menyerbu ke dalam hutan.

Gak Lui bergerak cepat sekali tetapi ternyata peristiwa telah berlangsung lebih cepat. Ketika tiba di tempat Hwat Hong, ia termangu-mangu seperti patung. Wajahnya memberingas dan dua butir airmata menitik turun.....

Saat itu Siu-meypun tiba, serunya meneriaki Gak Lui: “Engkoh Lui...." tetapi ketika melihat keadaan di tempat itu, seketika iapun terlongong-longong.

Kiranya saat itu Hwat Hong taysu menggeletak mati ditanah dengan dada tertembus tusukan pedang. Dan dari kedelapan anak muridnya, yang kurang hanya seorang. Karena yang tujuh orang-pun sudah rebah menjadi mayat.

“Engkoh Lui !" Siu-mey akhirnya dapat menahan kegoncangan hatinya, "bagaimanakah... ini?"

Gak Lui memandang ke sekeliling dan menajamkan hidungnya beberapa jenak, lalu berkata dengan dingin: “Inilah perbuatan kejam dari si orang berkerudung muka dan Topeng Besi itu!"

“Salah !" seru Siu-mey sembari menunjuk pada mayat Hwat Hong, “kalau bertemu musuh, sekalipun Hwat Hong tak sempat mundur, tetapi paling tidak dia tentu sudah mencabut pedang !”

Ketika mengikuti yang ditunjuk Siu-mey, memang Gak Lui melihat pedang Hwat Hong taysu masih menyarung di kerangka. Jelas paderi itu belum mencabutnya. Hal itu memang mengherankan.

“Kurasa taysu tentu tak ingkar janji. Tentulah telah terjadi sesuatu yang diluar dugaan sehingga ia tak memikir untuk mundur. Dan lawan menggunakan kesempatan selagi dia tak berjaga, terus menyerangnya ...." kata Gak Lui sambil menghitung jumlah mayat murid2 Heng-san-pay.

Mayat2 itu malang melintang di tanah dalam keadaan yang mengerikan. Gak Lui hanya mendapatkan jumlah tujuh orang saja. Dan yang seorang jelas lenyap.

Gak Lui terperanjat. Tubuhnya menggigil tegang. Melihat itu Siu-mey segera bertanya: “Tentulah yang seorang itu ditawan musuh. Kalau kuatir dia nanti membocorkan tentang peristiwa engkau mendapat Kim jiu, marilah kita cepat mengejarnya !"

“Mengejar ?”

“Ya !"

“Tak mungkin terkejar."

“Mengapa ?"

“Pertama, mengantar obat ke Ceng-sia itu, harus kita yang melakukan. Dan hal itu tak boleh ditunda waktunya !"

“Aku yang pergi ke Ceng-sia dan engkau yang mengejar mereka !"

“Tidak, aku tak dapat mengejar !"

“O...," Siu-mey terheran-heran, “apakah engkau takut ?"

“Hm, masakan aku bisa takut?"

“Lalu mengapa engkau tak mengejar ?"

Gak Lui maju selangkah: “Dengan menawan seorang murid Heng-san-pay itu, mereka tentu menggunakan cara yang ganas dan menjaganya dengan ketat. Kaisar Persilatan memberiku pusaka Kim-jiu itu, tak lama tentu akan sampai pada Maharaja,..."

“Hm....." desis Siu-mey.

“Berulang kali Maharaja berusaha hendak menangkap aku hidup. Kali ini mungkin dia akan berusaha lebih keras lagi untuk menangkap aku!"

“Apa alasannya ?"

“Mudah sekali," sahut Gak Lui, “dia sesungguhnya tak tahu bagaimana kematian ayah-angkat dan bibi guruku. Maka dia selalu kuatir kalau mereka Empat Pedang dari Busan akan membasminya. Selain itu, dia masih hendak ...."

Tiba2 Gak Lui berhenti dan serempak dengan itu terlintaslah sesuatu dalam benaknya. Ia seperti telah menemukan pemecahan dari suatu rahasia yang selama ini masih gelap baginya.

Dan berkatalah ia seorang diri: “Ya, benar, dia masih ingin menggunakan aku untuk mengambil pedang Thian-lui koay-kiam !"

“Untuk apakah pedang itu ?" tanya Siu-mey.

“Untuk mengadu jiwa dengan Kaisar Persilatan !"

“Hai !" Siu-mey serentak tersadar, “kalau begitu jelas engkau tak boleh sembarangan mengejar. Karena apabila lawan dapat merebut benda Thian-liong-kim-jiu itu, bahayanya tentu besar sekali !"

Demikian setelah menanam mayat murid2 Heng-san-pay, lalu Gak Lui membawa jenazah Hwat Hong menuju ke Ceng-sia.

Dalam perjalanan itu yang menjadi pemikiran Gak Lui tak lain yalah bagaimana ia dapat mempelajari ilmu Ni-coan-ngo-heng dan selekasnya dapat merebut pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam.

Selama itu iapun merasa tenaga-dalamnya bertambah maju. Sudah tentu hal itu disebabkan karena hasil pengobatan yang diberikan Kaisar Persilatan kepadanya.

Mengenai pengobatan itu, Gak Lui teringat bahwa Kaisar Persilatan tidak langsung menyalurkan tenaga dalam, melainkan hanya menggunakan Thian-liong-kim-jiu. Ternyata Kim-jiu itu dapat melekat pada jalan darah yang tepat dan menyalurkan tenaga-dalam ke tubuh Gak Lui. Sungguh suatu benda pusaka yang ajaib.

Makin besarlah rasa kagum Gak Lui kepada tokoh Kaisar Persilatan. Diam2 iapun girang karena tenaga-dalamnya bertambah. Tetapi kegirangannya itu segera tertutup oleh awan kedukaan atas kematian Hwat Hong taysu serta ketujuh anak muridnya.

Tengah ia berjalan dengan melamun, tiba2 Siu mey berteriak: “Engkoh Lui, kita sudah sampai...."

Gak Lui terkejut girang. Memang benar, tak jauh di sebelah muka tampak gunung Ceng-sia san yang terbungkus rimba hijau, ia menduga gunung itupun tentu didirikan beberapa pos penjagaan dari Ceng-sia-pay.

Ketika ia bersama Siu-mey melanjutkan perjalanan untuk mendaki, sekonyong-konyong di udara tampak meluncur seuntai api. Api itu pecah berhamburan dan lenyap.

“Engkoh Lui, orang sudah mengetahui kedatangan kita dan mereka melepas api pertandaan. Harap hati2 !"

Gak Lui menurunkan jenazah Hwat Hong taysu dan menyembunyikan di tempat yang aman. Setelah itu ia berkata: “Ada apa2 biarlah aku yang maju, jangan engkau sembarangan ikut turun tangan !"

Siu-mey mengiakan: “Baik, Hui Gong taysu dari Siau-lim-si sudah menyanggupi untuk memberitahukan tentang dirimu kepada sekalian partai persilatan. Kuharap siarannya itu sudah tiba pada mereka. Agar jangan timbul salah faham lagi.”

“Mudah-mudahan begitu," kata Gak Lui.

Tepat Gak Lui habis berkata, dari hutan gunung Ceng-sia-san bermunculan beberapa sosok tubuh orang. Mereka menghampiri ke tempat kedua pemuda itu. Yang berjalan di sebelah depan terdiri dari empat orang imam yang sudah tua usianya. Jelas keempat imam tua itu tentu memiliki kepandaian tinggi.

Cepat sekali rombongan itu sudah tiba di hadapan Gak Lui. Barulah saat itu Gak Lui dapat melihat jelas bahwa keempat imam tua itu memelihara jenggot panjang dan jidat lebar serta berwibawa. Mereka mengenakan jubah seragam dan membekal pedang yang sama bentuknya.

Melihat wajah mereka menampil kemarahan, Gak Lui cepat mendahului berkata: “Totiang berempat ini tentulah dari partai Kong-tong-pay ?"

“Ya," sahut keempat totiang itu seraya mengisar kaki dan membentuk diri dalam setengah lingkaran, menghadang jalan Gak Lui dan Siu-Mey.

“Tolong tanya, siapakah diantara totiang yang disebut Wi Ih totiang?"

“Akulah !" sahut salah seorang imam tua itu seraya maju selangkah. Wi Ih menunjuk pada ketiga kawannya: “Yang ini suteku Wi Jing, Wi Li dan Wi Beng ....” dalam pada memperkenalkan nama ketiga sutenya itu, mata Wi Ihpun segera tertumbuk akan jenazah Hwat Hong taysu yang dipanggul Gak Lui. Seketika merahlah matanya dengan sinar kemarahan, bentaknya: “Engkau pengapakan taysu itu?”

“Pada waktu dalam perjalanan bersama taysu untuk mengantar obat, di tengah jalan telah diserang musuh gelap sehingga taysu mendapat bencana ...."

“O, apakah kalian dari gereja Siau-lim?"

“Benar ...."

“Bagaimana keadaan penyakit ketua Siau-lim?"

“Sudah dapat kami sembuhkan !"

“Hm ....," wajah Wi Ih yang berbentuk panjang seperti kuda itu agak kendor, katanya: “Gak Lui, adanya kali ini kami tinggalkan markas Kong-tong, tak lain karena hendak mencarimu guna membuat perhitungan. Tetapi karena kalian telah menyembuhkan Hui Gong taysu dari Siau-lim, sekarang kami beri engkau kesempatan untuk mengadakan penjelasan !"

“Penjelasan itu sederhana sekali. Wi Ti dan Wi Tun berdua totiang itu amat baik sekali hubungannya dengan aku. Mereka mati dibunuh anak buah Maharaja Persilatan dan untuk itu aku berusaha hendak menuntut balas !"

“Dengan begitu bukan engkau yang membunuh mereka ?"

“Sudah tentu bukan !"

“Tetapi ketua Kun-lun-pay mengatakan kalau .... engkau. Tentulah kalian sudah bertemu dengan mereka di gereja Siau-lim ...."

Dengan ucapan yang bernada ramah itu jelas mengunjukkan bahwa salah faham antara partai Kong-tong-pay dengan Gak Lui, saat itu sudah dapat dihapuskan.

“Lalu bagaimanakah dengan Tanghong sianseng ?" bertanya ketua Kong-tong-pay pula.

“Dia ...." Gak Lui berkata dengan suara sember.

“Mengapa ?" desak Wi Ih mulai tegang.

“Dia sudah meninggal !"

“Meninggal ? Kenapa ?"

“Terkena jarum emas Pencabut Nyawa dari Siau-lim-si."

“Hai, aneh !" Wi Ti totiang maju selangkah, serunya: “Apakah Siau-lim-si menggunakan senjata rahasia untuk mencelakainya? Bicaralah yang jelas !"

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



Setelah menghela napas, Gak Lui lalu menuturkan apa yang telah terjadi pada Tanghong sianseng secara jujur, Gak Lui menceritakan bahwa kematian Tanghong sianseng itu adalah karena terkena jarum emas Pencabut Nyawa yang tak sengaja telah dilepaskannya, seketika membelalakkan mata Wi Ih totiang.

Tring, tring, tring.....serentak mereka mencabut pedang. Melihat itu Siu-meypun cepat melolos pedang dan melindungi di muka kekasihnya.

Gak Lui sendiri tenang2 saja, serunya: “Harap totiang jangan turun tangan. Apa yang kututurkan memang sesungguhnya. Harap totiang suka menimbang masak2 !"

“Menimbang ?" teriak Wi Ih totiang, “kedua ketua partai persilatan itu telah mati terbunuh secara berturut-turut. Orang mati memang tiada buktinya. Apalagi yang harus dipikirkan."

“Harap totiang memikirkan tentang keselamatan jiwa ketua Ceng-sia-pay. Apabila terlambat, mungkin sukar ditolong."

“Heh, heh! Adakah kalian sudah mengunjungi gereja Siau-lim, masih satu pertanyaan. Taruh sudah ke sana, pun apa yang engkau ceritakan itu, memang sukar dipercaya !"

“Lalu bagaimana dengan maksud totiang ?"

“Tiga macam hutang darah, sekali dibayar lunas !"

Gak Lui kerutkan alis dan berseru dengan sarat: “Kedatanganku kemari adalah hendak mengantar obat. Tidak bertujuan berkelahi dengan totiang. Dan memang aku sudah berketetapan untuk datang ke Ceng-sia-san. Harap totiang suka memberi jalan....."

“Ngaco belo!" bentak imam Wi Ih dengan marah lalu mengangkat tangan kiri dan lepaskan sebuah hantaman dahsyat yang dilambari tenaga-dalam Thay jin-cin gi, terarah ke dada Gak Lui.

“Bagus!" seru Gak Lui seraya menyongsong dengan gerakan tangan kiri dalam jurus Ciang-mo-ciang-hwat atau pukulan menundukkan iblis.

Wi lh totiang terkejut. Ketika pukulannya melancar setengah jalan ia sudah merasa bahwa pukulan pemuda itu mengeluarkan tenaga-penyedot yang aneh. Buru2 ia tarik pulang tenaga-dalamnya, berbareng itu dengan gerak yang menyerupai jurus Ular-keluar-guha, pedang di tangan kananpun segera menusuk bahu lawan.

Tetapi Gak Lui tetap tenang. Dengan gerakan yang indah, ia miringkan tubuh seraya balikkan tangan kanan dan mendorong kepada lawan, bum.... terdengar deru angin yang dahsyat, jauh lebih dahsyat dari pukulan Wi Ih tadi.

Wi Ih totiang benar2 tak pernah membayangkan bahwa dalam dunia ternyata terdapat jenis pukulan yang mengandung tenaga-penyedot, ia hendak mengganti jurus serangannya tetapi sudah terlambat.

Seketika tubuhnya terhuyung sampai lima enam langkah. Darah pada kepala dan dadanya bergolak keras. Hampir saja ia terluka dalam.

Melihat saudara seperguruannya terdesak, Wi Ceng, Wi Li dan Wi Beng cepat hendak turun tangan membantu.

Tetapi ternyata Gak Lui tak mau melukai orang. Maka setelah berhasil mengundurkan orang, ia segera menarik pulang tangannya dan tak mau menyerang lagi melainkan berseru: “Harap totiang sekalian suka mendengarkan! Jika aku memang mempunyai hati hendak membunuh orang, ketua kalian tadi kalau tidak mati tentu sudah menderita luka. Maka kuminta totiang sekalian suka tenang dan memikirkan tentang keselamatan jiwa ketua Ceng-sia-pay....."

Nasehat itu keluar dari hati nurani yang baik, tetapi sayang para imam partai Kong-tong-pay itu tak mau mengerti. Setelah menjalankan pernapasan sejenak, maka berserulah Wi Ih totiang: “Tidak mudah untuk naik ke atas gunung Ceng-sia. Lebih dulu harus mencoba barisan Tujuh Bintang dari partai Kong tong-pay baru nanti engkau boleh naik ...."

Habis berkata ketua Kong-tong itupun segera memberi isyarat kepada kawan2nya. Tiga orang imam muda yang berdiri di belakangnya, segera tampil ke muka dan dengan keempat imam tua itu kini mereka genap berjumlah tujuh orang. Mereka bergerak gerak mengitari lapangan dan pada lain kejab telah membentuk diri dalam barisan Tujuh bintang.

Saat itu kedua fihak seperti orang yang naik punggung harimau. Sukar untuk turun lagi. Apa boleh buat, Gak Luipun terpaksa bersiap dengan pedangnya.

Pada saat suasana ketegangan memuncak, sekonyong-konyong terdengar seruan nyaring yang bergetar tegang: “Tahan! Berhenti !"

Sekalian orang terkejut dan berpaling ke arah asal suara itu. Seorang paderi tergopoh-gopoh lari menghampiri seraya melambai-lambaikan sepucuk surat.

Gak Lui yang bermata tajam cepat dapat mengenali bahwa yang datang itu adalah Hoan Gong paderi dari Siau-lim-si.

Begitu tiba dengan napas terengah-engah paderi itu memberi hormat kepada sekalian orang. Lalu dengan hati2 menyerahkan surat kepada Wi Ih totiang: “Ketua kami menghaturkan surat penting kepada cianpwe!"

Melihat sikap sipaderi yang begitu tegang, Wi Ih menduga tentu membawa urusan penting. Segera ia merobek sampul dan membaca isinya. Wajah ketua Kong-tong-pay itu berobah-obah mimiknya.

Gak Lui dan Siu-mey menduga surat dari Hui Gong taysu itu tentu berisi penjelasan tentang dirinya kepada ketua Kong-tong-pay.

Memang dugaan itu tak salah. Setelah merenung beberapa saat, seri wajah ketua Kong-tong-pay itu berobah tenang, ujarnya: “Gak ... surat dari ketua Siau-lim-si ini menyatakan bahwa keterangan kalian tadi memang benar. Demi menghadapi musuh2 dunia persilatan, segala perselisihan diantara kita, kelak saja kita perhitungkan lagi ...."

“Baik," jawab Gak Lui, “mari kita lekas2 menghadap Thian Lok totiang!"

Demikian ketegangan yang sudah meruncing itu akhirnya dapat diredakan dan merekapun segera mendaki ke atas menuju ke biara Ceng sia. Tetapi hal itu bukan berarti kemarahan keempat tokoh Kong tong-pay sudah hapus. Mereka tetap mendendam kepada Gak Lui dan menunggu kelak pada suatu hari akan dibereskan lagi.

Dalam perjalanan itu diam2 Siu-mey telah mengisiki telinga Gak Lui: “Engkoh Lui, mengapa engkau tak mau menyerahkan saja obat dan jenazah Hwat Hong taysu kepada keempat imam itu? Bukankah dengan mengantarkan sendiri berarti engkau membuang waktu untuk mempelajari ilmu Ni-coan-ngo-heng tay hwat itu?"

“Aku kuatir kaki tangan Maharaja menyusul kemari dan merebut obat itu. Apalagi...."

“Apalagi bagaimana ?"

“Sejak saat ini aku akan membasmi mereka habis-habisan !"

“O," desus Siu-mey, “engkau hendak membasmi alat2 berita dari Maharaja!"

“Benar, dengan begitu partai2 persilatan mempunyai waktu untuk mengatur persiapan dan aku sendiripun mempunyai kesempatan untuk meyakinkan ilmu yang tersimpan dalam Thian-liong-kim jiu itu !"

Dalam pada bicara itu merekapun sudah tiba di ruang besar biara Ceng-sia-kwan. Murid kepala dari Ceng-sia-pay yakni Hian Wi totiang menyambut dan mempersilahkan tetamu2nya masuk.

Dahulu ketika baru turun gunung, Gak Lui pernah bertempur dengan Hian Wi totiang itu. Kepandaian mereka berimbang dan hanya mengandalkan jurus ilmu pedang yang aneh, maka pemuda itu dapat memapas kutung pedang lawan.

Tetapi kali ini, memang lain halnya. Ilmu kepandaian Gak Lui jauh lebih tinggi dari imam itu. Sebenarnya Gak Lui sendiri tak membangga2kan soal itu. Tetapi bagi Hian Wi totiang tidaklah demikian. Diam2 ia penasaran kepada pemuda itu. Dalam mengambil tempat duduk itu, menurut urut2an tinggi rendahnya kedudukan dalam perguruan, terpaksa Hian Wi totiang tidak mendapat tempat duduk melainkan tegak berdiri.

Maka dengan menekan perasaannya, menyambutlah Hian Wi totiang atas kedatangan Gak Lui: “Atas nama suhu, kami menghaturkan terima kasih kepada Gak sauhiap yang telah memerlukan datang kemari mengantar obat. Mohon tanya, bagaimanakah cara meminumnya? Dan harus menunggu berapa lama obat itu baru bekerja ?"

Dalam hal itu Siu-mey lebih mengerti dari Gak Lui. Apalagi obat itu memang dia yang membawanya. Maka cepatlah ia mewakili Gak Lui menyahut: “Cara meminumnya biasa saja. Tentang daya khasiatnya, sehari atau paling lambat dalam tiga hari tentu sudah kelihatan."

“Mengapa waktunya terpaut begitu jauh ?"

“Dibantu dengan penyaluran tenaga-dalam tentu cepat kalau mengandalkan obat itu bekerja sendiri memang lebih lambat !"

Hian Wi kerutkan dahi, sahutnya: “Sudah tentu aku lebih senang kalau suhu lekas sembuh. Soal penyaluran tenaga dalam itu kuharap tuan2 suka membantu....” ia berhenti dan memandang ke sekeliling tetamu yang hadir.

“Aku bersedia membantu tenaga," pertama tama adalah Gak Lui yang memberi pernyataan. Tetapi Wi Ih totiang cepat mencegah: “Nanti dulu."

Cepat Gak Lui dapat menduga apa yang dipikirkan paderi itu. Imam tua itu curiga dan iri hati. Maka sebelum orang itu membuka mulut, Gak Lui sudah mendahului: “Totiang, aku bukan seorang yang suka usil dan jauh dari maksudku memandang rendah pada totiang. Tetapi yang jelas, saat ini kita berkejaran dengan waktu, setiap detik amat berharga. Jika aku yang memberi penyaluran itu, tentu hasilnya lebih cepat !"

“Ini ... ini ... sekalipun tempo amat berharga tetapi terpautnya hanya beberapa jam saja."

“Kuduga kawanan kaki tangan Maharaja mungkin akan menyerang gunung ini. Apakah engkau senang melihat ketua Ceng-sia-pay menghadapi musuh dalam keadaan terbaring di tempat tidur ?” Gak Lui mengecam tajam.

“Ini…."

“Dan sekiranya totiang masih kuatir, pada waktu aku melakukan penyaluran tenaga-dalam nanti, silahkan totiang dan sekalian murid2 totiang mengamati aku di samping!" seru Gak Lui pula.

Ucapan Gak Lui yang secara blak-blakan itu membuat ketua Kong-tong-pay tak dapat berkata apa2 lagi.

Beramai-ramai rombongan tetamu itu segera dibawa masuk ke ruang tempat Thian Lok totiang sakit.

Atas petunjuk Gak Lui maka Hian Wi tosu mengambil jenazah Hwat Hong taysu lalu mengatur upacara penguburan. Dalam pada itu ia memberi perintah kepada anak murid Ceng-sia-pay supaya melakukan penjagaan yang lebih keras. Menjaga kemungkinan musuh menyelundup.

Pada hari kedua waktu pagi, keadaan Thian Lok totiang sudah jauh lebih baik. Semangatnya sudah pulih kembali. Ia menemani Gak Lui dan sekalian tetamu duduk di ruang besar. Kini kecurigaan orang pada diri pemuda itu sudah lenyap sama sekali. Sebagai gantinya, maka orang-orang Ceng-sia-pay berterima kasih kepadanya.

Ketika mendengar tentang kepandaian Maharaja yang begitu hebat, mata Thian Lok totiang berkilat-kilat menyapu ke arah para murid perguruan Kong-tong-pay. Kemudian berkata dengan nada serius: “Menghadapi Maharaja yang begitu sakti, kita bertujuh partai persilatan harus bersatu padu untuk melawannya. Kini aku mempunyai sebuah cara, entah apakah toheng sekalian dapat menyetujuinya ?"

“Silahkan toheng menguraikan rencana itu, kami dengan senang hati akan mendengarkan," sahut Wi Ih totiang, “tetapi mengingat musuh begitu sakti, jika memang tak punya rencana yang meyakinkan, daripada kita serempak bersama-sama, lebih baik kita berpencar menjaga diri sendiri-sendiri, agar jangan sampai kita semua dilenyapkan !"

Thian Lok totiang tersenyum: “Toheng, adakah engkau sudah melupakan rencana hebat dari para kakek-guru ketujuh partai persilatan dahulu itu ?"

“Rencana apa? Ah, aku sudah lupa!"

“Para leluhur partai perguruan kita pada seabad yang lalu, terbagi dalam dua golongan, kaum pendeta dan kaum imam. Kedua golongan itu berkumpul untuk saling tukar kepandaian dan berhasil menciptakan sebuah rencana barisan Thian lo te ong tin. Kalau barisan itu kita laksanakan sekarang masakan kita takut menghadapi Maharaja !"

“Hm...," semangat Wi Ih totiang seketika timbul. Tetapi beberapa saat kemudian, ia masih bersangsi, katanya: “Rencana itu memang bagus, tetapi sayang sedikit…..”

“Sayang sedikit apa ?"

“Barisan Thian-lo-te ong itu sesungguhnya ciptaan dari inti keindahan beberapa barisan, yalah barisan Tujuh Bintang dari partai Kong-tong-pay, barisan Sam-jay-tin dari partai Bu-tong-pay dan Go-peh-lo han-tin dari perguruan Siau-lim-si. Disamping itu masih dibantu pula oleh jago2 utama dari keempat partai besar. Tetapi kini para ketua partai2 Heng-san pay, Kun-lun-pay, bu-tong-pay telah meninggal dunia dan dalam partaiku aku sudah kehilangan toa suheng lalu akhir2 ini kehilangan dua orang sute lagi, sudah tentu barisan Tujuh Bintang partai Kong-tong pay sudah kehilangan daya kesaktiannya. Maka sekalipun kami menggabung, belum tentu akan berhasil baik."

Ucapan dari ketua Kong tong-pay itu bagaikan air dingin yang mengguyur kepala sekalian orang. Thian Lok totiang bahkan sampai gemetar dan gelisah tak keruan.

Melihat suasana mulai suram, berserulah Gak Lui dengan lantang: “Harap ciang-bun-jin berdua jangan putus asa. Tentang gerak gerik dan akal muslihat musuh, rasanya aku sudah jelas. Asal barisan itu sudah dapat terbentuk, kiranya dapatlah untuk menjaga keselamatan diri...."

“Kalau Maharaja itu datang sendiri ?" kedua ketua perguruan silat itu serempak bertanya.

“Akulah yang menghadapinya," sahut Gak Lui garang.

“Tetapi....," Thian Lok totiang tak melanjutkan kata2nya. Tetapi jelas ia menyangsikan kesanggupan Gak Lui.

“Totiang tentu menyangsikan apakah aku sanggup menghadapinya, bukan ? Ah, kesangsian totiang itu memang beralasan. Tetapi aku berani memberi jaminan, sekurang-kurangnya aku tentu mampu menahannya sehingga ia tak sempat untuk menyerang kelain tempat!"

“Siauhiap bersedia menghadapi bahaya itu?"

“Ya!" sahut Gak Lui dengan mantap.

“Baik," kata Thian Lok totiang, “kita bulatkan janji ini. Siau-lim, Kong-tong dan Ceng-sia akan mempelopori usaha itu untuk berlatih bersama dalam suatu barisan!"

Tiba2 muncullah murid kepala dari Ceng-sia-pay yakni imam Hian Wi. Ia tergopoh-gopoh masuk dan menghadap Thian Lok dengan kata2 yang terengah-engah: “Memberitahukan kepada ciang-bun-jin bahwa Sebun sianseng dari Kun-lun dan Tek Goan taysu dari Gobi, datang berkunjung karena suatu urusan yang amat penting !”

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



Mendengar kedatangan kedua tokoh lihay itu, sekalian orang tampak gembira. Tetapi mereka heran atas sikap dan gerak gerik Hian Wi pada saat itu.

“Lekas silahkan mereka.....” baru Thian Lok totiang berkata begitu, kedua tokoh itupun sudah melangkah masuk ke dalam ruang. Ketua Ceng-sia-pay itu tersipu-sipu bangkit dari tempat duduk dan menyambut kedua tetamu itu.

Demikian setelah dipersilahkan duduk, mereka saling bertukar salam keselamatan. Setelah memberi hormat dan bicara beberapa patah kepada Tek Goan taysu, Gak Lui lalu beralih kepada Sebun sianseng. Tetapi setelah mengucap kata-kata salam keselamatan, kerongkongan Gak Lui serasa tersumbat. Ia tak tahu bagaimana hendak merangkai kata kata untuk menghibur kedukaan Sebun Giok.

Walaupun seorang periang, tetapi saat itu Sebun sianseng juga merasa tersekat lidahnya. Beberapa saat kemudian barulah ia dapat mengucap: “Orang mati tak dapat hidup kembali, soal diri suhengku .... aku sudah mendengar ceritanya dari Siau-lim-si .... Engkau...tak perlu bersedih....”

Gak Lui mempunyai hati nurani yang baik. Makin diminta jangan bersedih, makin besarlah rasa sesal hatinya. Kematian Tanghong sianseng benar2 membuatnya tak habis bersedih. Rela ia menukar dengan jiwanya.

Tiba2 terdengar Tek Goan taysu berseru nyaring: “Saudara2, celaka ! Kawanan anak buah Maharaja sudah muncul dan tak lama tentu akan datang menantang kita !"

“Oh, baru saja kita mengatur siasat, mereka sudah datang. Sungguh terlalu cepat sekali...," Thian Lok totiang berseru kaget.

Ketua Kong-tong-paypun membuka mulut: “Musuh yang datang harus dihadapi. Kurasa musuh tentu datang dengan gopoh dan tak mungkin mempersiapkan tokoh2nya yang sakti. Inilah kesempatan baik bagi kita untuk melenyapkan mereka agar kelak jangan menjadi bahaya di kemudian hari !"

“Belum tentu!" sambut Sebun sianseng dengan wajah serius, “aku dan Tek Goan taysu telah berjumpa dengan Garuda-sakti-cakar-emas. Dia adalah salah seorang dari Tiga Algojonya Maharaja Persilatan. Di samping itu tentu masih ada lain2 jago yang berkepandaian tinggi dalam barisan mereka!"

Ucapan Sebun sianseng itu menimbulkan kegemparan. Para ketua partai2 persilatan yang hadir di situ, diam2 tergetar hatinya.

Lebih2 Tiga Algojo Maharaja itu, membuat mereka terkejut sekali. Gereja Siau-lim dan gunung Ceng-sia pernah menderita amukan ketiga Algojo Maharaja itu. Andaikata Gak Lui tak datang menolong pada waktunya, tentulah kedua perguruan itu menderita kerugian besar.

Dan kini dalam rombongan kaki tangan Maharaja itu ditambah lagi dengan Tiga-siluman-guha-darah. Tiga tokoh dunia Hitam yang terkenal ganas sekali. Kaum persilatan golongan Putih segan untuk berurusan dengan mereka.

Dalam suasana yang dicengkam rasa panik itu, tiba2 Gak Lui berseru dengan dingin: “Mereka adalah gerombolan2 penjahat yang harus dilenyapkan. Jika mereka datang sendiri kemari, sungguh suatu kesempatan yang baik. Sebelum menghadapi mereka, lebih dulu kita harus mengatur barisan kita ...."

“Bagaimana engkau hendak mengatur barisan kita ?" tanya Sebun sianseng.

“Aku tak punya rencana apa2, kecuali minta kepada taysu dan totiang sekalian, bahwa kawanan murid2 partai persilatan yang berhianat menggabung dalam gerombolan Maharaja itu supaya diberikan kepadaku !"

Serempak bertanyalah Thian Lok totiang dan Wi Ih totiang dengan nada bersangsi: “Mengapa engkau menghendaki begitu ?”

Segera Gak Lui menuturkan tentang rahasia gerombolan Topeng Besi dan rahasia yang tersembunyi di balik penyaruan mereka itu. Juga tentang kematian Hwat Hong taysu yang aneh, ia berjanji akan melakukan penyelidikan.

Dengan penjelasan itu Gak Lui mengharap agar para ketua partai persilatan tak sampai salah membunuh saudara2 seperguruannya sendiri.

Tiba2 untuk yang kedua kalinya masuklah Hian Wi tojin ke dalam ruang dan berseru nyaring: “Musuh sudah tiba di luar gunung, mohon ciang-bunjin suka memberi petunjuk....”

Thian Lok totiang tak sempat memikirkan lain2 lagi. Cepat ia menjawab: “Segera perintahkan kepada seluruh anak murid Ceng-sia, kecuali yang bertugas menjaga paseban, supaya ikut aku untuk menghadapi musuh !"

Sambil berkata ketua Ceng-sia-pay itupun terus melesat ke luar ruang. Gak Lui hendak memburu karena ia belum lega hatinya sebelum mendapat jawaban dari ketua Ceng-sia-pay itu tentang rencana yang diajukan tadi. Tetapi rupanya Siu-mey mempunyai lain rencana. Dicegahnya sang kekasih.

Demikian berturut-turut Sebun Giok, Tek Goan taysu, keempat imam tua dari Kong-tong menuju keluar semua.

Setelah ruangan sunyi maka berbisiklah Siu-mey kepada Gak Lui: “Engkoh Lui, aku mempunyai suatu rencana ...."

“Katakanlah! "

“Dalam rangka melakukan penyelidikan pembunuh Hwat Hong taysu nanti dalam pertempuran janganlah engkau mengunjuk diri dulu."

“Jadi harus secara tak langsung ?"

“Ya," sahut Siu-mey, “pada saat kedua belah fihak saling berhadapan, engkau dapat memperhatikan ucapan dan gerak gerik mereka. Dan tentulah dari situ engkau dapat menemukan sesuatu !"

“Hm, baik juga cara itu."

“Karena itu kita tak dapat ikut mereka agar jangan diketahui !"

Demikian kedua pemuda itu menyelinap keluar dan menjalankan rencananya.

Dalam pada itu, lembah dan lereng gunung Ceng-sia-san, penuh dengan manusia2 yang bersenjata lengkap. Mereka tegak berjajar dengan serius. Suasana hening tegang.

Dalam kedudukan sebagai tuan rumah, Thian Lok totiang mengambil tempat ditengah-tengah. Sebelah kanan dan kiri, diapit oleh tokoh2 partai Kun-lun, Gobi dan Kong-tong. Di belakang mereka tegak beratus-ratus anak murid.

Sedang lawan yang dihadapinya, juga mengatur diri dalam tiga kelompok. Yang di tengah, delapan orang berjubah biru dan berkerudung muka. Mereka yalah empat orang murid hianat yang palsu dan empat orang Topeng Besi.

Di sebelah kiri yalah Tiga Algojo Maharaja dan di sebelah kanan, yalah Tiga-siluman-guha-darah. Ketiga tokoh ini bertubuh tinggi kurus. Keningnya yang cekung mengunjukkan bahwa mereka memiliki ilmu tenaga-dalam yang tinggi.

Kecuali kedelapan tokoh berjubah biru atau gerombolan Topeng Besi itu, semua kaki tangan Maharaja yang berjumlah ratusan orang itu, tiada yang mengenakan kain kerudung muka. Hal itu berarti bahwa Maharaja telah memutuskan untuk melakukan pertempuran yang menentukan. Oleh karena itu mereka tak perlu menyembunyikan muka lagi kepada musuh.

Tampak wajah ketua Ceng-sia-pay mengerut serius dan dengan nada suara yang sarat, berseru kepada kedelapan orang berkerudung muka: “Penjahat bernyali besar ! Kamu telah menculik dan membius tokoh2 sakti dari tiap partai persilatan lalu masih berani memakai kedok muka untuk merebut kedudukan ketua. Kedatangan kalian ke gunung Ceng-sia-san ini, apakah ...."

“Apakah bagaimana ?" seru salah seorang dari kedelapan muka berkerudung itu.

Karena marahnya tangan Thian Lok sampai gemetar, serunya marah: “Akan membuka kedok yang menutupi mukamu itu lalu mencincang tubuhmu menjadi berkeping-keping !"

Ucapan yang dilantang dengan lambaran tenaga-dalam itu, benar-benar menggetarkan lembah dan gunung. Kumandangnya memanjang sampai jauh.

Tetapi acuh tak acuh, terdengarlah dua buah suara penyahutan: “Heh, heh, dengan kepandaian silat cakar ayam itu, masakan engkau mampu membuka kedok muka kami. Dan lagi sikapmu yang congkak ini, sungguh tak menghormat kepada suheng, menghina orang yang lebih tua !"

“Huh, siapakah suheng engkau ini ?"

“Aku adalah Hwat Gong dari Heng-san. Kedudukanku lebih tinggi seangkatan dari engkau !"

Mendengar nama itu, terkejutlah sekalian rombongan tuan rumah. Tetapi secepat itu Wi Ih totiang ketua Kong-tong-pay melangkah maju dan berseru nyaring: “Bangsat, engkau berani mencelakai Hwat Hong taysu ?”

“Dia tak mau turun kursi, terpaksa harus dilenyapkan !"

“Engkau.....Goan Lo dari Heng-san ?"

“Begitulah."

Wi Ih segera menantang: “Kalau berani, hayo, bukalah kedok mukamu.....!"

“Heh, heh, apa sukarnya ?" orang itu tertakwa mengekeh, “bila kalian sudah menyerah, tentu dapat melihat wajahku !"

Tiba2 Sebun sianseng kebutkan kipas dan memandang ke sekeliling seraya berseru: “Harap saudara jangan bersikap congkak. Kalau saudara menghendaki supaya sekalian partai perguruan dan tokoh2 persilatan tunduk, tetapi saudara tetap tak mau unjuk muka. Lalu.....apakah nama dari partai persilatan yang saudara hendak bentuk ?"

“Aku sudah mengumumkan ...."

“Ho, aku Sebun Giok masih ingat jelas. Menilik mulutmu yang lancung itu, aku sudah tahu kalau engkau ini palsu !" katanya seraya menatap orang itu dengan tajam.

Tetapi orang yang mengaku sebagai Hwat Gong itu tetap tak tahu malu. Ia berbalik tanya: “Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan perguruan Kun-lun-pay. Mengapa engkau turut campur?”

“Benar, justeru karena tiada sangkut pautnya dengan perguruan Kun-lun maka aku hendak bertanya !" sahut Sebun Giok.

“Jangan usil !"

“Ha, ha," Sebun Giok tertawa. Ia lontarkan pandang matanya ke seluruh hadirin. Sikapnya seperti memandang ke arah rombongan orang Ceng-sia-pay, Kong-tong-pay, ketiga tokoh Sam-yau dan Sam-coat. Tetapi sesungguhnya ia sedang mencari Gak Lui. Karena sejak keluar dari ruang besar tadi, ia tak melihat kedua anak muda itu lagi. Bahkan sampai detik itu baik Gak Lui maupun Siu-mey tak tampak sama sekali.

Tetapi ketiga tokoh Sam-yau dan Sam-coat itupun berkeliaran memandang ke sekeliling. Rupanya iapun sama tujuannya dengan Sebun Giok.

Setelah gagal mendapatkan kedua anak muda itu maka Sebun sianseng hentikan tawanya dan berkata dengan nada bersungguh: “Di antara yang datang terdapat juga rombongan murid2 Ceng-sia-pay dan Kong-tong-pay. Maksud mereka tentulah hendak menerima kedudukan ketua itu, bukan ?"

“Benar," sahut orang itu.

“Kalau begitu seharusnya ketua kedua perguruan itu berunding dengan para saudara2 seperguruannya untuk menetapkan keputusan penyerahan kedudukan itu !"

“Ini bagaimana! Apakah tak boleh melihat wajah orang ?" tukas Sebun sianseng.

“Heh, heh, heh….” orang itu mengekeh, “boleh saja melihat. Tetapi aku mempunyai syarat!”

Dalam pada berkata-kata, orang itu melirik Sebun sianseng dan Tek Gong taysu.

Sebun Giok dengan tangkas cepat menjawab: “Syaratmu itu justeru sesuai dengan keinginanku. Biarlah aku yang mengaturnya !"

“Oh...."

“Perguruan Ceng-sia-pay dan Kong-tong-pay akan memberesi murid2nya yang berhianat. Dari fihak Heng-san-pay, tiada yang hadir di sini. Maka akulah yang akan menghadapimu. Sedang dari fihak Siau-lim-si, akan kuminta Tek Yan taysu yang tampil mewakili. Rencana ini tentulah sesuai dengan keinginanmu !"

“Bagus !" seru Hwat Gong palsu itu dengan mata berkilat-kilat girang. Karena rencana itu akan menyempatkan ia bersatu-padu dengan gerombolan Topeng Besi. Apabila satu melawan dua, tentulah ia dapat mengatasi tokoh dari Kun-lun-pay itu.

Tetapi disamping keuntungan, pun ia melihat kelemahan dari rencana itu. Karena fihak Kong-tong diwakili oleh empat orang totiang, maka gerombolannya yalah murid2 perguruan yang palsu itu, kalah kuat dan harus dua orang lawan empat orang.

Ah, ia tak memperdulikan hal itu. Pokok ia sendiri memperoleh keuntungan dalam pertempuran nanti.

Sebun sianseng, tokoh dari Kun-lun, dapat memperhitungkan rencana dalam hati orang. Ia memperhatikan kawanan Tiga Algojo Maharaja dan Tiga-siluman-guha-darah, lalu berseru nyaring: “Karena engkau setuju, janganlah minta bantuan orang luar."

Belum Hwat Gong palsu itu menyahut, ketiga Algojo Maharaja sudah melantang: “Selama Gak Lui tak muncul, kami tentu akan bersikap sebagai penonton saja."

“Baik," sahut Sebun Giok dengan agak sarat. Ia segera mengambil payung besi dari punggung dan berkata: “Hai, kalian yang menyaru sebagai anak murid Ceng-sia-pay dan Kong-tong-pay, lekas enyah !"

Termasuk orang yang mengenakan kerudung muka maka beberapa orang segera melesat memenuhi permintaan Sebun sianseng.

Orang yang menyamar sebagai Hwat Gong taysu dengan tertawa menyeringai, berdiri tegak di hadapan Sebun sianseng.

Kemudian seorang lain berhadapan dengan Tek Yan taysu dari Siau-lim-si. Paderi itu kerutkan alis dan mengerut wajah kemarahan. Rupanya saat itu ia sudah tahu bahwa yang berdiri di hadapannya itu bukan Hui Ki taysu dari Siau-lim-si tetapi seorang lain yang menyaru dan mengaku sebagai Hui Ki taysu.

Sedang kelompok ketiga yang berhadapan dengan fihak Ceng-sia pay, telah dibentur oleh Thian Lok totiang ketua perguruan Ceng-sia-pay: “Adakah anda ini Thian Wat murid perguruan kami ?"

Tetapi orang itu hanya gemetar dan tak menyahut. Jelas mengunjuk bahwa yang ditanyakan itu memang benar sekalipun tiada dijawab.

Sementara di lain fihak, Wi Ih totiang dari perguruan Kong-tong-pay segera memanggil ketiga adik seperguruannya dan tiga orang anak muridnya untuk membentuk barisan Tujuh-bintang guna menyambut kelompok keempat dari lawan.

Pada saat Wi Ih totiang hendak menegur, fihak lawan sudah mendahului tertawa iblis dan berseru: “Wi Ih sute, apakah selama ini engkau baik2 saja ?"

Walaupun teguran itu bernada ramah dan perlahan tetapi kumandangnya telah mengejutkan para ketua partai persilatan yang berada di tempat itu. Karena nada itu tak asing lagi bagi mereka. Ya, itulah suara Wi Cun totiang dahulu.

Wi Ih totiangpun tertegun seperti disambar petir. Rasa kejutnya sedemikian besar sehingga ia sampai menyurut mundur setengah langkah.

Tiba2 orang yang berada di hadapannya itu bersuit aneh, nadanya seperti menusuk ulu hati. Sekonyong-konyong delapan buah sinar pedang serempak berhamburan menusuk dada para ketua partai persilatan yang berada di situ!

Kedelapan sinar pedang itu berasal dari kedelapan orang berkerudung muka. Mereka menyerang secara mendadak sekali sehingga betapapun tingginya kepandaian dari para ketua perguruan silat yang diserang itu, namun sukar bagi mereka untuk menghindar.

Tetapi pada detik2 nyawa keempat ketua partai persilatan itu hendak direnggut maut, sekonyong-konyong dari belakang Thian Lok totiang, meluncur keluar dua sosok tubuh yang terbungkus sinar pedang.

Yang di muka, memancar sinar kebiru-biruan dan menghambur angin tajam yang menderu-deru. Langsung sinar pedang itu menerjang barisan pedang dari empat orang berkerudung muka. Keempat orang berkerudung muka terkejut sekali. Mereka tak asing lagi dengan warna sinar pedang itu. Ya, itulah sinar yang berasal dari pedang Pelangi pusaka partai Bu-tong-pay. Dan taburan pedang itu jelas dimainkan dalam jurus ilmu pedang yang hanya dipunyai oleh Gak Lui.

Keempat orang berkerudung muka itu pecah nyalinya dan berhamburan menyingkir. Tetapi empat orang kawannya yang belum menerima komando apa-apa, tak mau hentikan serangannya.

Tring, tring, tring, terdengar dering gemerincing tajam dan serentak kutunglah keempat pedang orang berkerudung muka itu dan serempak dengan kutungnya pedang, Gak Lui gerakkan tangan kiri dalam ilmu pukulan Menundukkan-iblis, sedang pedang di tangan kanan dimainkan dalam ilmu pedang Bu-san kiam. Pukulan dan pedang itu sedahsyat gunung Thay-san yang menindih roboh.

Belum pukulan tiba, anginnya telah membuat keempat orang berkerudung itu terhuyung-huyung. Untunglah Gak Lui menyadari bahwa keempat orang berkerudung itu hanya digunakan sebagai alat oleh Maharaja Persilatan. Maka ia tak mau menurunkan tangan jahat. Gak Lui cepat mengalihkan sasarannya kepada keempat orang berkerudung yang dapat menyingkir dari serbuannya tadi.

Thian Lok totiang dan ketiga ketua partai perguruan cepat menyadari apa yang terjadi. Jiwa mereka telah diselamatkan oleh Gak Lui. Begitu terbebas dari ancaman maut, mereka berempatpun serempak memutar senjata untuk membebaskan diri dari serangan lawan.

Kelompok empat orang berkerudung muka yang dapat terhindar dari tebasan pedang Gak Lui tadi, terkejut sekali menyaksikan kesaktian Gak Lui. Mereka serentak mengerahkan seluruh tenaga dan menghantam kearah Gak Lui.

Bum ... terdengar letupan. Gak Lui berputar2 dengan suatu gerakan yang aneh. Ternyata ia menggunakan ilmu untuk meminjam tenaga lawan sehingga ia tak menderita luka apa2. Dan sambil berputar-putar itu, pedangnyapun berhamburan menusuk lawan. Tring, tring .... pedang keempat orang itu tak sempat dimainkan karena tahu-tahu batangnya telah disabat pedang Gak Lui.

Tangan keempat orang itu terasa linu dan pedangnyapun rompal. Kejut mereka bukan kepalang dan sadarlah mereka bahwa sia2 saja untuk melanjutkan pertempuran yang tentu akan membahayakan jiwa mereka.

Dan di samping serangan Gak Lui, saat itu sigadis ular Siu-meypun tiba dengan taburan pedang dalam jurus permainan Memapas-emas-memotong-kumala. Yalah jurus yang khusus untuk membabat pedang lawan.

Keempat orang berkerudung itu runtuh nyalinya. Segera mereka bersuit memberi isyarat kepada keempat Topeng Besi supaya keluar dari gelanggang pertempuran.

Gak Lui tak mempedulikan keempat Topeng Besi itu. Yang diburunya yalah keempat orang berkerudung muka. Siu-mey dan keempat ketua partai persilatan mengikuti pemuda itu.

Melihat fihaknya kalah, ketiga Algojo Maharaja itu tak mau tinggal diam. Cepat mereka lepaskan pukulan kepada musuh.

Kedua anggauta Algojo Maharaja, yani Setan-angin-hitam dan Malaekat-rambut-merah, dalam saat2 yang tegang itu cepat mengeluarkan senjata simpanannya. Mereka loncat ke udara sambil taburkan bubuk kabut beracun.

Thian Lok totiang pernah menderita dari kabut beracun, ia terkejut dan cepat berpaling untuk mencegah Sebun siangseng dan Tek Yan taysu serta rombongannya.

Gak Luipun terhalang oleh kabut beracun itu. Pada saat ia berhasil menghantam lenyap kabut, ternyata orang berkerudung dan Topeng Besi sudah kabur sampai 100-an tombak jauhnya.

Saat itu ketiga Algojo Maharaja tegak berjajar. Garuda-cakar-emas, salah seorang dari kawanan algojo itu, mendahului berseru: “Harap hentikan pertempuran dan marilah kita bicara dengan tenang ..."

Gak Lui berputar-putar dan berhenti di muka ketiga Algojo Maharaja itu. Serunya dingin: “Kalau mau bicara, lekaslah!"

Garuda-cakar-emas tertawa seram: “Urusan hari ini sesungguhnya hanya mengenai dua buah hal. Pertama, tentang pembersihan di dalam tubuh masing2 perguruan. Dan yang sebuah aku hendak dengan engkau ...."

“Dengan aku bagaimana?" tukas Gak Lui.

“Dengan engkau akan meminta sebuah benda kecil!"

Gak Lui terkejut. Ucapan orang itu membuktikan bahwa murid Heng-san-pay yang telah ditawan oleh Maharaja Persilatan itu, telah membocorkan tentang pusaka Thian-liong kim-jiu atau Tangan-emas-naga-langit.

“Kalau aku tak mau menyerahkan?" Gak Lui balas bertanya, “engkau mau bertindak bagaimana ?”

“Mungkin engkau sukar lolos dari tangan kami bertiga !" baru berkata begitu, Garuda-cakar-emas hentikan kata2nya. Ia ngeri melihat wajah pemuda itu menampil hawa pembunuhan.

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



Buru2 ia melanjutkan kata2 lagi: ”......dan lagi ketiga Siluman-goha-darah itu juga telah datang untuk menghadapimu..”

Dalam kemarahannya, Gak Lui masih berusaha untuk menghias tertawa, ia maju setengah langkah : “Kalau begitu, lalu bagaimana kesimpulannya?"

“Kesimpulannya ?"

“Hm!"

“Sudah jelas," sahut Garuda-cakar-emas seraya menyapu pandang mata kepada keempat ketua partai persilatan, sahutnya: “mereka hanya mengandalkan pada dirimu. Begitu engkau kalah, merekapun takkan hidup juga !"

Gak Lui bercekat dalam hati. Diam2 ia mengakui kebenaran kata2 orang itu. Karena memang kenyataannya, kekuatan kedua fihak itu terpaut jauh. Bila Ketiga Algojo-Maharaja dan dan ketiga Siluman goha-darah, sekali ikut dalam pertempuran, tokoh2 partai persilatan itu tentu hancur....

Gak Lui cepat mengambil keputusan. Lebih dulu ia hendak membasmi ketiga Algojo. Bagaimana kepandaian ketiga siluman-goha-darah itu akan ditinjaunya lebih lanjut.

Melihat pemuda itu diam saja, Garuda-cakar-emas menyangka kalau Gak Lui ketakutan. Maka dengan tersenyum menyeringai ia berseru pula: “Bagaimana kalau engkau serahkan benda itu, pertempuranpun akan berhenti sampai di sini ...."

Sambil diam2 mengerahkan tenaga-dalam, Gak Lui memandang ke sekelilingnya lalu menyahut dengan pertanyaan: “Lalu bagaimana urusan partai2 persilatan akan diselesaikan?"

“Biarkan mereka sendiri yang menyelesaikan !"

“Aku?"

“Silahkan berkelana bebas di dunia persilatan."

“Ah, syarat itu memang pantas juga," seru Gak Lui.

“Heh, heh," Garuda-cakar-emas mengekeh.

Sambil maju selangkah, Gak Lui bertanya pula: “Tetapi .... apakah engkau dapat memutuskan soal ini ?"

“Hal itu merupakan amanat Maharaja Persilatan. Aku hanya mewakili menyampaikannya !"

“Sayang kurang sempurna !"

“Yang mana ?"

“Permintaanmu untuk meminta benda itu, tak dapat kululuskan !"

“Lalu hendak engkau serahkan siapa ?"

“Lain orangpun bisa. Misalnya .... ketiga Siluman-guha-darah itupun dapat menerimanya."

“Alasanmu ?"

“Dendam lama antara engkau dan aku belum selesai. Perhitungan itu saat ini harus kita selesaikan. Sedang ketiga Siluman-guha-darah tiada mempunyai hubungan suatu apa dengan aku. Maka kurasa, benda itu dapat kuserahkan kepada mereka."

Dalam pada berkata-kata itu, Gak Lui lepaskan pandang matanya ke arah ketiga Siluman-guha-darah yang berada di belakang ketiga Algojo. Tampak wajah ketiga Siluman itu, tak menampil suatu reaksi apa2 kecuali hanya tersenyum iblis.

Sikap itu mengunjukkan bahwa mereka tak begitu memandang mata kepada ketiga Algojo. Demikianpun mereka yakin tentu dapat mengambil benda pusaka itu dari tangan Gak Lui.

Keadaan itu membuat Gak Lui diam2 tertawa. Jika ketiga Algojo itu bersatu dengan ketiga Siluman, memang sukar dihadapi. Tetapi ditilik dari sikap ketiga Siluman itu rupanya mereka mengandung rencana sendiri. Mereka hendak merebut sendiri benda pusaka Kim-jiu, agar memperoleh jasa dari Maharaja.

Tetapi si Garuda-cakar-emas rupanya tak dapat meneliti sikap ketiga Siluman itu. Setelah tertawa iblis, ia segera mulai melancarkan serangan. Sepuluh buah cakar yang berkilat-kilat sinar emas, bagaikan hujan mencurah ke tubuh Gak Lui. Dada dan perut pemuda itu diserang dengan serempak.

Jurus yang dilancarkan itu dilambari dengan tenaga-dalam yang penuh. Sekali kena tercengkeram, dada dan perut Gak Lui tentu pecah berhamburan .....

Tampak mulut Garuda-cakar-emas itu mengerut tawa. Tetapi sayang bukan tawa kegembiraan melainkan tawa kecemasan dan kesakitan. Karena ternyata Gak Lui dapat bergerak lebih cepat. Ia geliatkan telapak tangan keatas dan tepat sekali dapat menangkap cakar2 emas lawannya. Segera ia pancarkan tenaga-dalam di tangan kiri untuk menyedot tenaga-dalam orang.

Garuda-cakar-emas terkejut bukan kepalang. Ia tak menyangka sama sekali Gak Lui sedemikian lihaynya. Tetapi untuk membebaskan tangannya, sudah tak keburu lagi. Saat itu ia rasakan lengannya kesemutan, separo tubuhnya seperti mati dan mulutpun sudah siap berteriak.

Tetapi sebelum ia mampu menjerit, dari tangan kanan pemuda itu mengalirkan suatu tenaga-dalam yang keras ke dalam jalan darahnya. Aliran tenaga-dalam itu membuat Garuda-cakar-emas pusing dan berkunang kunang matanya. Sekujur tubuhnya kesemutan dan mulut yang sudah menganga itupun tak dapat mengeluarkan suara.

Garuda cakar-emas sudah tak berdaya lagi. Ia sudah jatuh ke dalam kekuasaan Gak Lui. Asal pemuda itu menambah saluran tenaga-dalamnya, dia tentu binasa.

Tetapi Gak Lui memang tak mau sekaligus membunuh orang itu. Ia hendak menggunakan tenaga ketiga Algojo itu. Setelah itu barulah ia menghancurkan mereka bertiga dengan serempak.

Sungguh kebetulan sekali kedua Algojo yang lain yalah Setan-angin-hitam dan Malaekat-rambut merah tak mengetahui keadaan kawannya. Mereka berdua berdiri agak jauh dan teraling oleh para ketua partai persilatan. Mereka hanya melihat Garuda cakar-emas saling bercekalan tangan dengan Gak-Lui. Mereka sangka tentulah Garuda-cakar-emas sedang adu tenaga dalam dengan Gak Lui dan menilik kedudukan kakinya rupanya Garuda-cakar-emas lebih unggul.

Beberapa saat kemudian barulah kedua Algojo itu terkejut melihat tubuh kawannya gemetar. Kaki Garuda-cakar emas walaupun masih tegak berdiri tetapi sudah tak bertenaga lagi. Garuda cakar-emas masih dapat berdiri karena dipegang Gak Lui.

Saat itu barulah Setan-angin-hitam dan Malaekat-rambut-merah terbeliak kaget. Hendak menaburkan kabut beracun mereka kuatir akan melukai si Garuda-cakar-emas sendiri. Maka mereka berduapun terus bergerak menyerang Gak Lui.

Tetapi selagi masih berada pada jarak setombak jauhnya, mereka berdua mendengar suara berdetak2 macam tulang putus. Dan lebih terkejut pula ketika tahu2 Gak Lui mengangkat tubuh Garuda-emas dan melemparkan kepada kedua orang itu.

Sebelum kedua Algojo itu sempat membebaskan diri dari lontaran mayat si Garuda-cakar-emas, sekonyong-konyong Gak Lui sudah gerakkan senjata cakar-emas milik Garuda-cakar emas yang direbutnya, menghunjam ke arah kedua lawannya.

Jarak yang sedemikian dekat dan pula masih sibuk menghindar dari lontaran tubuh Garuda-emas, membuat kedua Algojo itu tak mampu menghindar lagi. Terdengar dua buah jeritan ngeri dan disusul dengan muncratan darah yang bertebaran keempat penjuru. Setan angin-hitam terkena empat buah jari cakar-emas. Yang dua biji, tepat menyusup kedua matanya hingga gundu matanya hancur. Sedang dua buah jari yang lain tepat bersarang ke tenggorokannya. Seketika habislah riwayat si Setan-angin-hitam!

Sedang si Malaekat-rambut-merah dalam gugup, menangkis dengan kedua tangannya. Pikirnya, ia hendak menyapu jatuh jari2 cakar-emas yang menabur dirinya itu. Tetapi baru tangannya bergerak setengah jalan, iapun sudah menjerit ngeri dan terhuyung-huyung rubuh dengan usus berhamburan ke luar .....

Peristiwa sekaligus dapat menghancurkan ketiga Algojo Maharaja, benar2 membuat sekalian ketua partai persilatan terlongong-longong heran.

Ketiga Siluman-guha-darah yang sikapnya angkuhpun terkejut. Serempak mereka berhamburan loncat ke muka Gak Lui.

Dengan tertawa dingin, Gak Lui terus hendak maju. Tetapi Thian Lok totiang ketua Ceng-sia-pay cepat maju membisiki: “Sauhiap, ketiga siluman itu amat ganas sekali. Entah mereka akan menggunakan senjata rahasia apa. Kami sudah dapat mengatasi kawanan murid murtad itu, adakah engkau ...."

“Bagaimana ?"

“Pancing mereka ke lain tempat."

“Hm," Gak Lui mengiakan.

Saat itu ketiga Siluman-goha-darah sudah tiba di hadapannya. Serangkum bau darah yang anyir berhembus terbawa angin. Gak Lui terkejut. Ia duga ketiga siluman itu tentu memiliki ilmu kepandaian hitam.

“Orang she Gak, lekaslah engkau serahkan benda yang engkau bawa itu !"

“Kepadamu ?"

“Sudah tentu !"

“Di sini ?" masih Gak Lui bertanya.

“Ini ...."

“Ini bagaimana ?" desak Gak Lui.

“Demi menjaga rahasia, marilah kita pergi ke sana," sahut orang itu seraya merenung. Rupanya mereka tak menghendaki rahasia Kim-jiu itu diketahui orang.

Justeru itulah yang dikehendaki Gak Lui. Sejenak ia berpaling dan tersenyum kepada para ketua partai persilatan. Mereka terdiri dari Thian Lok totiang, Tek Gong taysu, Sebun sianseng dan ketua Kong-tong-pay Wi Ih totiang beserta empat saudara seperguruannya dan tiga orang murid. Jumlah itu kiranya cukup untuk menghadapi orang berkerudung muka dan gerombolan Topeng Besi yang berjumlah delapan orang.

Namun Gak Lui masih kuatir mereka tak dapat melayani musuh. Maka ia berpaling dan memberi isyarat ekor mata kepada Siu-mey. Maksudnya suruh nona itu tinggal membantu barisan tokoh2 partai persilatan.

“Mari !” akhirnya ia berkata kepada ketiga Siluman-guha-darah dan terus melesat ke pedalaman gunung.

Tak berapa lama tibalah mereka di sebuah lembah yang amat terpencil. Gunungnya tak berapa tinggi tetapi merupakan sebuah pegunungan karang sehingga banyaklah terdapat guha2 batu karang dengan tiang2 batu kerucut yang runcing dan kokoh.

Melihat pemuda itu lari kedalam lembah, ketiga Siluman-goha-darah itu tertawa menyeringai. Mereka segera mengatur diri untuk menghadang dari tiga jurusan apabila Gak Lui sampai mundur.

“Berhenti !" serempak mereka membentak.

Melihat keadaan gunung karang itu, diam2 Gak Lui terkejut juga. Ia duga ketiga siluman itu sudah mengetahui keadaan tempat itu maka mereka sengaja memancing kesitu.

Namun pemuda itu tak gentar. Ia memperhitungkan ketiga siluman itu tentu akan menggunakan puluhan guha karang yang menghias dikaki gunung itu untuk melancarkan siasat mereka. Tetapi mereka tentu tak mengetahui bahwa ia memiliki indera penglihatan dan pendengaran yang jauh melebihi orang biasa. Begitupun indera penciumannya, luar biasa tajam.

Gak Lui hentikan langkah dan berpaling menghadapi ketiga siluman itu.

“Orang she Gak," Seru pemimpin dari gerombolan tiga serangkai Siluman-goha darah itu, “sekarang serahkan pusaka Thian-hong-kim-jiu itu kepadaku ...."

“Mengapa terburu-buru?" sahut Gak Lui tenang, “kalau kalian berani datang meminta pusaka itu, masakan kalian tak mau memberitahukan nama kalian....."

Orang itu meneguk air liur lalu berseru bangga: “Aku adalah kepala dari tiga serangkai Siluman-goha-darah, yalah Thian Hong si Pukulan-darah-pemburu-nyawa !"

“Dan kedua kawanmu itu ?"

Pukulan-darah-pemburu-nyawa menunjuk kepada kedua kawannya: “Yang ini Ci Yong gelar Panah-darah-pelenyap-nyawa !"

“Hm !" dengus Gak Lui.

“Dan yang itu, Ih Cing gelar Tongkat-darah-penggebuk-nyawa."

“Hm ..." tiba2 Gak Lui mendengus lalu tengadahkan kepala tertawa nyaring. Nadanya berkumandang bagai naga meringkik di udara.

Tenaga-dalam yang berhamburan dari nada tertawa itu membuat wajah ketiga Siluman-goha-darah tak berketentuan warnanya.

Akhirnya Pukulan-darah-pemburu-nyawa maju selangkah dan berseru dengan nada sarat: “Apa yang engkau tertawakan? Mengapa tak lekas ....."

“Huh, aku menertawakan kalian bertiga yang punya mata tetapi tak dapat melihat apa2 !"

“Tak dapat melihat apa?" Thian Hong si Pukulan-darah-pemburu-nyawa membelalakkan mata, “apakah engkau hendak ingkar ?"

Gak Lui balas menatap orang dengan pandang mata berapi-api: “Aku toh belum meluluskan!"

“Jelas engkau mengatakan kepada ketiga Algojo tadi kalau hendak menyerahkan benda itu kepada kami bertiga !"

“Thian-liong kim ciang merupakan pusaka dunia persilatan. Jangankan diserahkan, bahkan menjamah saja kalian jangan harap kuijinkan !" seru Gak Lui.

Impian Pukulan darah-pemburu nyawa untuk memperoleh jasa dari Maharaja Persilatan, seketika buyar seperti awan tertiup angin. Karena malu ia marah sekali. Wajahnya membesi gelap.

“Budak! Ketahuilah bahwa lembah Hian-sim-koh atau penjerumus orang ini, tak mungkin memberi kesempatan padamu meloloskan diri !" serunya.

“O," seru Gak Lui, “kiranya lembah ini disebut Hian-sim-koh.”

“Benar !"

“Keadaan lembah ini rumit dan berbahaya sekali. Tepat untuk tempat pengubur kalian !"

Belum Gak Lui sempat menyelesaikan kata2nya, Pukulan-darah-pemburu-nyawa menggerung marah dan terus ayunkan kedua tangannya menghantam bahu Gak Lui.

“Bagus !” seru Gak Lui sambil masih tenang2 tegak ditempat lalu secepat kilat songsongkan tangannya menangkis. Ia pancarkan tenaga dalam Penakluk-dunia untuk mengimbangi gerak sambaran menangkap tangan musuh.

Tetapi pada saat tangan bergerak setengah jalan, tiba2 ia terkejut sehingga wajahnya sampai berobah warna.

Ternyata ia sempat memperhatikan bahwa telapak tangan si Pukulan-darah-pemburu-nyawa itu tiba2 berobah merah darah. Bermula hanya setitik kecil tetapi cepat sekali warna merah itu menebar memenuhi seluruh telapak tangannya.

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



Serentak Gak Lui teringat akan peringatan Thian Lok totiang tadi. Sebelum mengetahui ilmu kepandaian kawanan siluman itu, janganlah ia sampai gegabah adu pukulan.

Tetapi saat itu kedua fihak hanya terpisah dua tiga langkah. Dalam sibuknya, Gak Lui miringkan tubuh ke samping. Tangan kirinya yang diayunkan tadi diangkat ke atas dan berbareng itu tangan kanannya menjulur lurus ke muka, menghamburkan tenaga-dalam yang keras.

Semula Pukulan-darah-pemburu-nyawa sudah hampir bersorak kegirangan karena Gak Lui berani menangkis. Dan ia yakin dalam jarak sedekat itu tak mungkin Gak Lui dapat menghindar atau menarik pulang tangannya. Maka ia segera salurkan seluruh tenaga-dalam sehingga telapak tangannva berobah semerah darah. Angin yang memancar dari telapak-tangannya itu membaurkan hawa yang anyir.....

Bum.......terdengar letupan keras ketika kedua pukulan itu saling beradu. Baik Gak Lui maupun Pukulan-darah pemburu-nyawa sama2 terhuyung2 ke belakang.

Karena sebuah pukulan beradu dengan dua pukulan, Gak Lui tersurut mundur tiga langkah. Telapak kakinya menyusup meninggalkan bekas setengah dim di tanah. Dan karena ia agak lambat menarik pulang tangan kirinya, lengan bajunya kena terlumur tetesan darah. Walaupun hanya terluka kecil tetapi baunya memuakkan sekali.

Adalah karena melontarkan dua pukulan, barulah Pukulan-darah-pemburu-nyawa itu dapat bertahan. Tetapi tak urung ia harus terhuyung mundur lima langkah baru dapat berdiri tegak.

Jelas dalam adu pukulan itu, Gak Lui lebih unggul. Tetapi diam2 Gak Luipun tergetar hatinya.

Saat itu barulah ia mengetahui bahwa tenaga-dalam kawanan siluman goha-darah itu lebih tinggi dari ketiga Algojo Maharaja. Dan pula bau darah yang anyir itu benar2 merupakan racun yang luar biasa.

Sedang ilmu kepandaian para ketua persilatan kebanyakan adalah bersumber pada ilmu silat kaum gereja. Justeru ilmu hitam dari ketiga Siluman-goha-darah itu adalah ilmu yang dapat mengatasi tenaga dalam Tun-yang atau keras dari para tokoh2 ketua partai. Maka tak heran bila ketua2 partai persilatan itu terkejut gentar menghadapi ketiga Siluman-goha-darah.

Dan lagi lawan berjumlah tiga orang. Walaupun mereka angkuh dan congkak tetapi dalam kesukaran mereka tentu akan bersatu. Satu lawan tiga, memang beratlah.

Tetapi Gak Lui tak sempat menimang lebih lanjut karena saat itu Panah-darah pelenyap-nyawa melesat dan tamparkan lengan jubahnya yang besar dan keras ke muka Gak Lui.

Gak Luipun cepat mengangkat tangan kiri untuk menabas siku lengan orang. Tetapi ternyata gerakan Panah-darah-pelenyap-nyawa itu hanya suatu siasat untuk menipu. Karena secepat itu pula, ia putar lengan bajunya dan sing, sing, sing .... berdesinganlah hujan anak panah-darah melanda Gak Lui.

Gak Lui terkejut sekali. Cepat ia putar tubuh dan melesat beberapa tombak jauhnya seraya hantamkan tangan kiri ke arah anak panah itu. Sedang tangan kanan siap mencabut pedang Pelangi.

Tetapi belum sempat ia mencabut ke luar pedang, tiba2 terdengar angin menderu-deru dan pada lain kejab, tubuhnya telah dilingkupi oleh beratus-ratus sinar tongkat yang berwarna merah.

Jelas taburan sinar tongkat darah itu berasal dari serangan Tongkat-darah-pelebur-nyawa.

Pada saat Gak Lui berputaran tubuh untuk melindungi tubuh, Pukulan-darah pemburu-nyawa-pun sudah menyerbunya lagi. Dua buah tinjunya yang berlumuran darah, menyerang pinggang dan punggungnya.

Dalam keadaan seperti itu betapa lihay kepandaian Gak Lui sekalipun, tetapi karena diserang oleh tiga tokoh kuat, ia menjadi kelabakan juga. Dengan mengertak gigi, segera ia mainkan pedang pusaka Pelangi, menyapu hujan anak panah yang mencurah dari atas. Lalu kisarkan kuda2 kaki ke belakang, menyongsong serangan dari belakang dari Pukulan-darah-pemburu-nyawa tadi.

Terdengar suara mendering riuh dari anak panah yang tersapu pedang dan berbareng itu, serangan Pukulan-darah-pemburu-nyawapun dapat dihalau. Tetapi tepat pada saat itu, tongkat si Tongkat-darah-pelebur-nyawa menghunjam ke dadanya.

Duk .... dada pemuda itu termakan hantaman tongkat. Ketiga Siluman-goha-darah itu girang sekali ketika melihat tubuh Gak Lui mengendap ke bawah. Mereka yakin pemuda itu tentu terluka dadanya. Tetapi ketika Tongkat-darah pelebur-nyawa hendak maju menghantam lagi, tiba2 ia mengeluh dan cepat2 menutup matanya dengan lengan baju.

Pusaka Thian-liong-kim-jiu disimpan Gak Lui dalam dadanya. Rupanya si Tongkat-darah tahu akan hal itu. Maka ia tujukan tongkat ke dada Gak Lui. Ia berhasil membuat benda pusaka itu menonjol ke atas dada Gak Lui. Tetapi ketika hendak menyusuli serangan lagi, tiba2 benda pusaka itu memancarkan sinar yang luar biasa tajamnya sehingga silau mata kawanan siluman-goha-darah itu dibuatnya. Mereka cepat2 menutup mata dengan lengan bajunya.

Tring .... Gak Lui membabat kutung tongkat lawan dan berbareng itu si Tongkat-darahpun terhuyung-huyung mundur sampai dua langkah.

Gak Lui telah diselamatkan oleh pusaka Thian-liong-kim-jiu yang disimpan dalam dada. Pada saat ketiga siluman itu menyerang lagi, Gak Luipun sudah siap. Kini ia gunakan gerak-langkah yang aneh. Seolah-olah ia malah menuju ke tempat serangan lawan.

Dahulu dengan gerak langkah itu, Gak Lui dapat menghindari tiga buah serangan pedang dari Permaisuri Biru dan tiga buah serangan dari Maharaja Persilatan.

Panah-darah, Tongkat-darah dan Pukulan-darah pun serupa. Mereka hanya menyerang angin kosong ketika pemuda itu berputar-putar tubuh dan melejit keluar dari kepungan mereka.

Setelah bebas, Gak Luipun cepat mencabut pedang lagi. Kini tangan kiri mencekal pedang Ko-hong-cin-ik (burung rajawali rentang sayap) dan tangan kanan memegang pedang Pelangi.

Pedang Ko-hong diputar deras untuk melindungi diri dari serangan senjata rahasia. Pedang Pelangi dimainkan untuk menyerang ketiga lawan.

Walaupun ketiga Siluman goha darah itu telah menumplak seluruh kepandaiannya, namun mereka terpaksa harus menekan nafsu karena perlu menjaga diri dari serangan pemuda itu.

Melihat gelagat tak enak, tiba2 Pukulan darah memperdengarkan dua buah suitan aneh dan pada lain saat mereka bertiga serempak loncat mundur: “Berhenti !"

Melihat ketiga lawan mundur jauh dan sukar diburu, Gak Luipun hentikan pedang dan berseru dingin: “Apakah kalian hendak lari ?"

“Aku bukan manusia semacam itu !" sahut kawanan siluman itu.

“Mau bicara?"

“Benar ...."

“Baik, sebelum mati, kuberi kalian kesempatan bicara !"

Pukulan-darah-pemburu-nyawa tertawa sinis: “Gak Lui, menilik sikapmu, rupanya engkau hendak membunuh orang, bukan ??”

“Heh, heh," Gak Lui mengekeh, “pintar juga engkau melihat sikap orang."

“Tetapi seharusnya engkau memakai cara yang adil !”

“Dalam hal apa aku tak adil?"

“Engkau menggunakan pusaka Thian-liong-kim-jiu untuk melindungi dirimu. Itu tak adil !"

“Mengapa ?" tanya Gak Lui.

“Kalau tiada benda itu, engkau tentu sudah mati di bawah tongkatku !"

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



Gak Lui tahu apa yang dikehendaki lawan. Ia tak mau mudah disiasati, serunya: “Lalu bagaimana menurut keinginanmu."

Pukulan-darah-pemburu-nyawa maju tiga langkah, serunya: “Sudah tentu aku tak dapat menyuruhmu meletakkan benda itu di samping, tetapi ....”

“Tetapi bagaimana ?" desak Gak Lui.

“Seharusnya engkau sembunyikan benda itu dalam pakaianmu."

Gak Lui menundukkan kepala. Dilihatnya pusaka Kim-jiu itu menonjol keluar ke atas dadanya. Ia kerutkan alis dan cepat menangkap maksud orang.

“O, kiranya kalian takut akan perbawanya sehingga kalian tak dapat menggunakan ilmu hitam, bukan ?" seru Gak Lui.

“Benar! Kalau engkau menghendaki pertempuran yang ramai dan adil, haruslah engkau menurut usulku tadi ...."

Gak Lui tertawa menukas: “Ha, ha, omongan begitu, tak malu engkau ucapkan! Kalau aku tak mau balas menyerang, tentulah kalian akan lebih girang lagi, bukan?”

Karena siasatnya tak mempan, Pukulan-darah berobah wajahnya. Ia maju dua langkah pula: “Ho, pintar juga engkau menebak. Tetapi seharusnya engkau pernah mendengar kata orang bahwa kami tiga serangkai Siluman-goha-darah ini memiliki ilmu yang khusus untuk menghancurkan ilmu kepandaian golongan kaum gereja. Pun termasuk pusaka Thian-liong kim-jiu itu !"

“Apakah kepandaianmu itu ?"

“Dengan darah.....," tiba2 Pukulan-darah menggigit ujung lidahnya lalu menyembur pemuda itu.

Untung Gak Lui cukup tangkas untuk meluncur ke samping. Tetapi tepat pada saat itu Panah-darah dan Tongkat-darah juga serempak bergerak menyemburkan darah.

Untuk melindungi pusaka Thian-liong-kim-jiu, Gak Lui berputar-putar tubuh sambil mendekap pusaka itu dengan tangan kiri agar jangan sampai terlumur darah. Walaupun dia sendiri terkena beberapa percikan darah tetapi pusaka Kim-jiu itu masih selamat.

Tengah pemuda itu sibuk melindungi diri dari semburan hujan darah, ketiga Siluman-goha-darahpun sudah berloncat sampai 10 tombak jauhnya dan terus menyusup ke dalam sebuah goha karang.

“Heh, heh, heh, heh, aku tak dapat menemani engkau lebih lama !" terdengar Pukulan-darah tertawa mengekeh. Kumandangnya bergemuruh memenuhi guha.

“Hai, hendak lari kemana engkau !" teriak Gak Lui seraya mengejar ke dalam gerumbul hutan. Arah yang diperkirakannya sebagai tempat pelarian ketiga siluman itu.

Dengan beberapa kali loncatan ia menyusup ke dalam hutan batu karang. Tetapi setelah tiba di tempat itu, ia tertegun heran.

Beratus-ratus tiang2 batu karang yang tak terhitung jumlahnya, besarnya sepemeluk tangan orang dan ada yang sekecil benang atau memanjang kecil seperti tubuh ular dan ada juga yang berbentuk seperti kelopak bunga. Dan yang menakjubkan, setiap tiang batu karang itu memancarkan sinar yang aneh, menyilaukan mata orang.

Makin melangkah lebih dalam makin Gak Lui berada di sebuah hutan batu karang yang lebat. Sempitnya jarak antara tiang2 karang itu menyebabkan Gak Lui tak leluasa bergerak. Dan hal itu berbahaya baginya. Jika setiap saat ketiga siluman itu menggunakan senjata rahasia, tentulah sukar untuk menangkis.

Gak Lui berhenti untuk lepaskan pandang mata ke sekeliling penjuru. Terdengar kumandang tertawa si Pukulan-darah mengumandang memenuhi tempat itu sehingga sukar ditentukan tempat persembunyiannya.

Pun indera pendengarannya yang tajam, tak dapat digunakan di tempat itu. Dan yang lebih aneh pula ketika ia memandang pedang, ternyata batang pedang yang bersinar putih mengkilap, saat itu berobah warna merah darah. Dan pedang pusaka Pelangi yang bersinar biru, berobah menjadi merah kehitam-hitaman. Dan percikan darah pada pakaiannya tadi, saat itu tak tampak, seperti lenyap dengan tiba2.

“Aneh .....” pikir Gak Lui. Padahal pakaiannya itu masih berbau anyir tetapi mengapa noda darahnya tak tampak? Ah, ternyata semua perobahan warna itu berasal dari pancaran aneh dari tiang batu karang. Warna putih berobah merah, biru menjadi wungu dan merah malah lenyap.

Ketika menyadari hal itu, diam2 menggigillah hati Gak Lui. Di bawah pancaran sinar batu karang yang begitu aneh, apabila ketiga siluman itu menyemburkan hujan darah lagi, ia pasti tak dapat melihatnya. Sekalipun ia dapat mengandalkan penciumannya yang tajam, tetapi apabila bertempur, tentulah ia tetap akan menderita kerugian.

Tiba2 terdengar deru angin berbau anyir meniup dari sebelah kanan dan kirinya. Gak Lui berpaling tetapi tak melihat suatu apa. Terpaksa ia gunakan alat hidungnya untuk menentukan arah penyerangnya itu, lalu bum, bum, ia lepaskan dua buah hantaman dahsyat.


Dari empat penjuru angin menderu keras dan berhamburanlah ujung2 batu runcing dan lembut kemana mana. Suara tertawa mengekeh yang menyeramkan, tak henti hentinya berkumandang tiada berketentuan arahnya.

Gak Lui tetap mengejar. Tetapi baru dua tombak jauhnya, ia rasakan tubuh gemetar dan cepat hentikan langkah. Dengan hidungnya yang tajam, dapatlah ia merasakan sesuatu bau yang tak wajar dari angin pukulan lawan. Apabila ia tak waspada, bau beracun itu tentu akan menyerang ke jantungnya.

la meraba pakaian. Ternyata bajupun terasa basah lembab, demikianpun dengan pusaka Thian-liong-kim jiu. Jelas sudah bahwa ketiga Siluman-goha darah itu menggunakan siasat membuat silau mata orang lalu diam2 menyemburkan darah. Percikan darah yang melekat di lobang pori tubuh Gak Lui, menyusup masuk sehingga ia rasakan tubuhnya gatal dan kesemutan.

“Hm, kalau ketiga siluman itu tak kulenyapkan, percuma aku hidup !" Gak Lui menggeram serta diam2 menyalurkan tenaga-dalam untuk menghalau racun dalam tubuhnya.

Keadaan dalam lembah batu karang itu sunyi sekali. Ia memandang kesekeliling tetapi tak tampak suatu apa.

“Celaka! Mereka tentu menyembunyikan barisan rahasia,” ia mulai curiga seraya maju menghampiri barisan tiang karang itu. Iapun hentikan penyaluran tenaga-dalam dan karena itu, ia segera menghirup hawa. Seketika ia rasakan kepalanya pening. Hampir saja ia muntah. Bau yang disedotnya itu luar biasa anyirnya. Suatu tanda, bahwa musuh berada di dekatnya.

“Celaka...," diam2 ia mengeluh kaget. Belum sempat ia mengatur langkah lebih lanjut, tiba2 sepercik hujan darah, mencurah ke arahnya sehingga kepala dan mukanya kena. Segera ia mengisar beberapa langkah ke samping.

Dengan indera penglihatannya yang tajam, sayup2 ia melihat Pukulan-darah-pemburu-nyawa menerobos keluar dari balik barisan tiang, siluman itu serempak menyerangnya. Tangan kiri menghantam kepala, tangan kanan menjulur hendak mencengkeram dada.

Gak Lui terkejut sehingga mengucurkan keringat dingin. Ia tak dapat melihat jelas pada musuh tetapi musuh dapat melihatnya dengan jelas. Dalam bingung, Gak Lui menggembor dan silangkan kedua tangannya. Ia menggapit tangan lawan yang hendak merebut pusaka Kim-jiu, sedang untuk pukulan lawan, ia gunakan bahu kiri untuk menangkisnya.

Bum .... pukulan itu membuat Gak Lui terhuyung2 tiga tindak. Tetapi fihak lawan pun menjerit ngeri. Tiga buah jarinya telah putus tergunting gerakan tangan Gak Lui.

Setelah berdiri tegak, Gak Lui menghela napas longgar, katanya dalam hati: “Ah, masih untung pusaka Thian liong-kim-jiu tak sampai direbut lawan....."

Belum sempat ia memikir lain2, kembali terdengar angin menderu. Cepat ia berpaling dan terkejutlah ia melihat bergulung gulung asap melanda kearahnya. Ah, ternyata si Panah-darah diam2 telah meluncurkan senjatanya. Disamping itu Tongkat-darahpun menyerangnya. Tongkatnya yang tinggal separo itu malah menguntungkan baginya. Tempat amat sempit, senjata panjang tak leluasa digunakan.

Gak Luipun tak dapat menggunakan pedangnya. Terpaksa ia gunakan pukulan. Dengan tangan kiri memukul Panah-darah, tangan kanan secepat kilat mengambil pusaka Thian-liong-kim-jiu untuk menyambut serangan si Tongkat-darah.

Pertempuran berlangsung seru sekali. Sampai mencapai 30 jurus, masih belum diketahui siapa yang lebih unggul. Tetapi yang nyata, sekujur tubuh Gak Lui basah dengan darah yang berbau anyir.

Pun di belakangnya terdengar siuran yang aneh. Pukulan-darah-pemburu-nyawa menyerang lagi. Serangan itu cepat dan mendadak sekali datangnya, sedang saat itu Gak Lui tengah melayani Tongkat-darah dan Panah-darah. Maka ia tak sempat menghindar dan menangkis.

Dalam sibuknya, ia menggertakkan gigi, mengisar tubuh lalu secepat kilat menghantam sekuat-kuatnya kepada kedua lawan.

Panah darah dan tongkat-darah terkejut melihat kenekadan pemuda itu. Tetapi mereka segera menginsyafi siasat pemuda itu. Kalau mereka mundur, pemuda itu tentu mempunyai kesempatan untuk berputar tubuh dan menangkis serangan Pukulan-darah-pemburu nyawa. Maka kedua siluman itupun nekad kerahkan tenaga untuk adu kekerasan. Dengan begitu mereka mengharap agar Pukulan darah dapat leluasa menghancurkan punggung Gak Lui.

Terdengar letupan keras. Karena kelewat banyak menyedot hawa beracun, tenaga-dalam Gak Luipun tertekan. Maka ia terlempar kebelakang dan menyusup ke dalam barisan batu karang.

Kedua siluman itu heran mengapa kawannya yakni Pukulan darah-pemburu nyawa tak menghantam pemuda itu. Cepat keduanya berpaling ke tempat Pukulan-darah-pemburu-nyawa itu. Tetapi apa yang disaksikan, membuat mereka terbeliak kaget.

Dibelakang Pukulan-darah-pemburu-nyawa itu tampak beberapa orang, sedang di mukanya tegak berdiri seorang nona yang cantik. Nona itu bukan lain yalah Li Siu-mey.

Kemunculannya secara tiba2 itu membuat sekalian orang terkejut sekali. Diam2 Gak Lui merasa girang. Dengan kedatangan para ketua partai persilatan itu, jelas bahwa mereka tentu sudah dapat mengalahkan gerombolan Topeng Besi dan orang berkerudung muka.

Di lain fihak, ketiga Siluman-goha-darah itu diam2 kuatir. Dalam keadaan seperti saat itu, apabila mereka nekad hendak merebut pusaka Thian-liong-kim-jiu, tentu takkan berhasil.

Sebelum mereka mengambil keputusan, tiba2 Pukulan-darah pemburu-nyawa menyembur hujan darah ke arah Siu-mey. Rupanya ia masih ingin berusaha yang terakhir kalinya untuk mencelakai nona itu.

Tetapi apa yang terjadi, benar2 diluar dugaan orang. Nona itu tak kaget, tak gugup. Dengan tenang dipandangnya siluman itu lalu tiba2 mulutnya menghembuskan napas keluar. Angin yang dihembuskan sinona itu, bukan melainkan dapat melenyapkan hujan darah dari si Pukulan-darah, pun dapat pula menghilangkan sinar aneh yang menyelubungi tubuh lawan.

Seharusnya dengan hal itu, kawanan siluman itu sadar bahwa kepandaian lawan jauh lebih tinggi dari mereka. Tetapi tidak demikian dengan pikiran Pukulan-darah pemburu-nyawa. Dia memperhitungkan bahwa kepandaian nona itu tentu terbatas. Maka ia akan bertindak untuk menangkap nona itu sebagai tawanan.

Dengan gerak secepat kilat, ia segera menyambar lengan nona itu. Gak Lui terkejut. Ia tahu ilmu silat Siu-mey memang tidak begitu tinggi. Ia tak menghiraukan suatu apa lagi, terus menerobos keluar dari barisan batu karang. Tetapi secepat kilat, Panah-darah dan Tongkat-darah segera keluar menghadangnya.

Saat itu Pukulan-darah sudah tebarkan kelima jari dan hendak menguasai jalan darah di tubuh Siu-mey. Tiba2 terdengar jeritan ngeri dan tampak Pukulan-darah menyurut mundur setengah langkah lalu rubuh ke tanah dan tak berkutik untuk selama-lamanya lagi.

Kiranya iblis itu telah digigit ular berbisa yang melingkar di lengan sinona.

Peristiwa itu membuat kedua siluman tertegun seperti patung. Gak Lui tak mau memberi kesempatan lagi. Ia terus menghantam mereka. Kedua siluman itu gelagapan. Buru2 mereka kerahkan tenaga untuk menangkis.

Tampak siu-mey berputar-putar tubuh menuju ke belakang Panah-berdarah. Ia segera menyemburkan nafas untuk menghilangkan sinar aneh yang membungkus tubuh kedua iblis itu.

Kedua siluman itu pucat dan gentar sekali. Gerakan tangan mereka agak lambat dan pada saat itu pusaka Thian-liong-kim-jiupun tepat sekali menghantam dada.

Huak .... terdengar pula jeritan ngeri disusul dengan robohnya sesosok tubuh ke tanah. Panah-berdarah-pencabut-nyawa telah menyusul Pukulan-darah-pemburu-nyawa ke Neraka.

Kini hanya tinggal Tongkat darah seorang. Setelah kedua saudaranya mati, ia tak berani melanjutkan pertempuran lagi dan merencanakan untuk lari. Cepat ia menyemburkan hujan darah lalu loncat menyusup ke dalam barisan tiang karang.

Tetapi Gak Lui tak mau memberi ampun lagi. Ia melambai kepada Siu-mey untuk diajak mengejar. Tetapi dengan gunakan ilmu Menyusup-suara, nona itu menjawab: “Engkoh Lui, jangan terburu nafsu. Tak mungkin dia dapat meloloskan diri!"

“Rupanya engkau mampu mengatasi ilmu hitam mereka itu, bukan ?"

“Ya."

“Lalu bagaimana kita harus mengejarnya ?"

“Ilmu kepandaian mereka tak lain yalah yang disebut Hoan-ing tun heng (sinar bayangan pembungkus diri), untuk menyesatkan pandangan orang. Ilmu itu bukan ilmu yang hebat karena aku dapat melihat mereka dengan jelas. Pun sekali turun tangan, aku dapat memulihkan tubuh mereka dalam keadaan yang sebenarnya ...."

Dalam pada berkata kata itu mata Siu-mey tak henti2nya memandang ke sekeliling penjuru. Tiba-tiba ia berhenti berkata lalu ayunkan tangan menghantam. Dimana angin pukulannya tiba maka segera tampak bentuk sebuah tiang karang dan si Tongkat-darah sedang menyembunyikan diri di situ.

Siluman itu masih belum mau melarikan diri. Dia masih menunggu kesempatan untuk menyerang lagi. Tetapi demi sinar yang membungkus tempatnya telah dilenyapkan, ia terkejut sekali lalu melarikan diri ke sebuah guha yang berada di belakangnya.

Tetapi Gak Lui dan Siu mey sudah mengejar. Kedua anak muda itu ternyata dapat bergerak lebih cepat. Saat itu si Tongkat darah sudah terkepung. Tak mungkin ia dapat meloloskan diri lagi. Tetapi sebelum ajal, ia tetap berpantang maut. Sebelum mati, ia nekad hendak berjuang agar musuhpun mati bersama-sama.

Cepat ia mengeluarkan panah lalu ditaburkan ke seluruh penjuru. Dia tak mengarah musuh tetapi menghancurkan tiang2 karang. Setiap tiang karang yang terkena panah tentu rubuh dan mengeluarkan ledakan keras. Bum, bum .... terdengar ledakan berulang-ulang. Lembah karang itu seolah-olah hancur.

“Mari pergi!" melihat siasat lawan, Gak Lui cepat mengajak Siu-mey tinggalkan tempat itu.

Tepat pada saat mereka keluar dari lembah, terdengarlah jeritan ngeri. Mereka melihat tubuh Panah-darah hancur tertimbun tiang karang.

Beberapa saat kemudian barulah Siu-mey menghela napas, lalu bertanya: “Engkoh Lui, apakah tadi engkau terluka ?"

“Tidak," sahut Gak Lui, “bahkan tadi waktu bersembunyi dalam barisan tiang karang, aku telah menemukan suatu rejeki yang luar biasa !"

“Apa ?" Siu-mey heran.

Gak Lui mengangsurkan pusaka Thian-liong-kim-jiu: “Lihatlah !"

Siu-mey memandang pusaka itu dan meneliti sampai beberapa jenak. Ia kerutkan dahi, tanyanya: “Ih, mengapa tak ada apa2nya .... aneh, kemanakah gurat2 Pat-kwa pada batang pusaka ini ?"

Gak Lui tertawa: “Sudah lenyap !"

“Benar ?"

“Siapa membohongi? Kulihat sendiri gurat2 itu seperti bergerak berhamburan dan membentuk berbagai perobahan yang menakjubkan ...."

“O, kalau begitu engkau sudah mengetahui tentang ilmu Ngo-heng-terbalik?" tanya Siu-mey pula.

“Benar, ketika aku bersembunyi dalam barisan karang tadi, timbullah semacam hawa panas yang berwarna merah. Tiba2 kulihat gurat2 Pat-kwa pada pusaka Thian-liong-kiam-jiu itu bergerak-gerak memecah dan membentuk beberapa macam perobahan. Kuperhatikan dan barulah kusadari bahwa gerak2 guratan itu adalah ilmu pelajaran Ni-coan-ngo-heng. Ah, jika tiada hal yang tak disengaja itu, tak mungkin aku dapat mempelajari ilmu itu !"

Siu-mey turut bergirang atas rejeki yang diperoleh Gak Lui. Kemudian Gak Lui berkata pula: “Mari kita keluar dari lembah ini agar aku segera dapat membereskan murid hianat si Lengan-besi-hati-baik dan mengambil pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Dengan pedang itu, tentulah dapat kucincang tubuh si Maharaja .... eh, bagaimana dengan ketua partai persilatan waktu menghadapi gerombolan orang berkerudung muka dan Topeng Besi?"

“Pada waktu engkau mengejar kawanan Siluman-goha-darah, karena melihat gelagat tak baik, merekapun mundur teratur dengan meninggalkan beberapa patah omongan ....”

“Apa kata mereka?"

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



“Sebelum kemudian, mereka akan ke gunung Ceng-sia-san untuk melakukan pertempuran yang menentukan!"

“Apakah para ketua partai persilatan menerima tantangan itu?"

“Ya, karena tak tahu musuh menyiapkan barisan rahasia atau tidak, mereka terpaksa menerima tantangan itu dan tak mau mengejar."

Tiba2 mereka mendengar suara senjata berdering. Buru2 mereka hentikan langkah dan lekatkan telinga ke tanah.

Dengan ilmu mendengar suara yang tajam, dapatlah mereka mengetahui bahwa di sebelah luar sedang berlangsung penggalian yang dilakukan oleh berpuluh-puluh orang. Rupanya mereka hendak membobol dinding lembah.

“Aneh, siapakah mereka ?" Siu-mey heran.

“Kalau tidak musuh tentu kawan," sahut Gak Lui, “tak peduli siapa mereka, kita harus tinggalkan lembah ini."

“Siapa yang mau tetap tinggal di sini ?" Siu-mey melengking, “tetapi lebih dulu kita harus dapat menduga siapakah mereka itu, barulah kita dapat keluar dengan tenang."

“Tak perlu, karena sukar diduga.”

“Mengapa ?"

“Karena mereka tentu tak mampu mengetahui kalau aku sedang mengejar ketiga siluman itu. Hanya engkau berkat ketajaman hidungmu, dapat menyusul....."

“Tetapi setelah lewat beberapa hari, merekapun tentu dapat mencari juga !"

“Benar, maka orang2 di luar lembah itu hanya ada dua kemungkinan. Kalau bukan rombongan orang Ceng-sia-pay yang datang menolong tentulah anak buah Maharaja. Tetapi kedua-duanya sama tujuannya !"

“Maksudmu ... mereka hendak mencari mayatmu ?"

“Benar ! Kalau dari golongan Ceng-pay, tentu hendak mengurus mayatku. Tetapi kalau dari golongan Hitam tentu hendak mencari pusaka Thian-liong-kim-jiu itu apakah masih berada pada mayatku.”

“Kalau begitu kita harus hati2 menghadapi mereka," kata Siu-mey dengan cemas.

Gak Lui tertawa: “Sudah tentu kita harus hati2 .... sebaiknya kita gunakan kesempatan ketika mereka sedang asyik menggali, lalu kita menerobos keluar.”

Saat itu terdengar dering alat2 penggali makin jelas dan makin dekat. Gak Lui dan Siu-mey-pun bersiap-siap. Gak Lui gunakan pusaka Thian-liong-kim-jiu untuk membuat lubang pada dinding karang. Setelah cukup lebar, ia segera ajak Siu-mey loncat ke atas.

Ah.....kiranya yang berada di atas itu bukan lain adalah Thian Lok totiang ketua Ceng-sia-pay dan rombongan anak muridnya serta Sebun sianseng.

Sudah tentu pertemuan itu amat menggirangkan. Gak Lui haturkan terima kasih atas bantuan mereka sehingga ia dapat keluar dari lembah batu karang.

Selain menghaturkan terima kasih, pun Gak Lui menghaturkan maaf yang sebesar-besarnya kepada Sebun sianseng atas kematian adik seperguruannya yakni Tanghong sianseng.

“Ah, mati hidup itu memang sudah suratan takdir .... harap tak usah mengungkat hal itu," kata Sebun sianseng.

Melihat pembicaraan menyinggung soal itu lagi, buru2 Thian Lok totiang alihkan persoalan: “Gak sauhiap, kabarnya Kaisar Persilatan sudah muncul di Tiong-goan dan memberikan pusaka Thian-liong-kim-jiu kepadamu. Benarkah itu?"

“Ya."

“Boleh kami beramai-ramai melihat benda itu?"

Sebagai seorang pemuda yang tak berhati sempit, sebenarnya Gak Lui tak keberatan. Tetapi ia tak mau menunjukkan pusaka itu di depan orang banyak. Akhirnya ia mengangguk dan mengambil pusaka itu.

Ketua perguruan Ceng-sia-pay dan Kun-lun-pay serempak membungkuk tubuh memberi hormat. Demikianpun dengan berpuluh-puluh anak murid kedua partai perguruan itu. Dengan khidmat mereka tegak berdiri memandang pusaka itu.

Suasana hening khidmat.

Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa yang keras, angkuh dan gembira. Tenaga-dalam yang memancar dari ketawa itu, mengejutkan sekalian orang.

Thian Lok totiang dan rombongan serentak berpaling ke arah suara tawa itu. Di atas sebuah puncak gunduk tanah, tegak berdiri seorang lelaki yang luar biasa tingginya. Matanya besar, rambutnya terurai berhamburan di atas bahu. Sikapnya menyeramkan.

Sebun sianseng memang banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Melihat orang itu, serentak berobahlah wajahnya, tegurnya: “Apakah engkau bukan.... Hui-lin-kiam Bok Tin?”

Dengan dua tiga langkah, raksasa itu sudah berada beberapa tombak jauhnya dari rombongan Thian Lok totiang. Pada waktu berjalan, bahu dan pinggangnya berhias 12 batang pedang.

“Ah, pandanganmu cukup tajam juga. Ya, benar, aku memang si Pedang terbang Bok Tin," sahut raksasa itu.

Mendengar itu diam2 Thian Lok totiang terkejut. Sejenak meraba tangkai pedangnya, ia melangkah maju setengah langkah, serunya: “Sudah lama engkau tak muncul di dunia persilatan. Mengapa hari ini engkau datang kemari ?"

“Mengambil Thian liong-kim jiu!"

“Huh, mampukah engkau ?" Gak Lui mendengus dingin seraya menyimpan pusaka itu ke dalam baju lalu melangkah maju.

Tetapi Thian Lok totiang sudah mendahului mencabut pedang dan membentak: “Bok Tin, engkau benar2 tak memandang mata pada orang. Di hadapan kedua partai Ceng-sia-pay dan Kun lun-pay, engkau berani mengumbar tingkah ?"

Pedang-terbang Bok Tin kicupkan mata lalu menyengir kuda: “Ho, engkau mau ikut campur?"

“Apabila melihat ketidak adilan, terpaksa aku harus membantu ...."

“Sudahlah," sahut raksasa itu acuh tak acuh, “dengan ilmu kepandaian yang engkau miliki, adalah seperti anai2 membentur lampu. Masakan kalian masih pura2 sebagai ksatrya hendak memberantas yang tidak adil. Menyingkirlah kesamping, agar jangan mengganggu urusanku !"

Ucapannya yang amat tekebur seolah-olah tak memandang mata pada orang itu benar2 membuat ketua Ceng-sia-pay merah padam karena marah. Pada waktu ia hendak menyerang, tiba2 Gak Lui sudah melesat maju dan membentak: “Hai, Bok Tin, manusia macam apakah engkau ini? Apakah engkau juga ingin cari mati !"

Dingin2 saja Bok Tin menyambut makian itu. Sebun sianseng cepat berseru kepada Gak Lui: “Dia mahir menggunakan duabelas batang pedang-terbang. Memang jarang ketemu tandingannya. Maka dia amat jumawa sekali. Pedangnya pandak itu dapat ditaburkan kepada orang. Harap engkau berhati-hati....."

“Apakah engkau ini benar Gak Lui ?" belum sebun sianseng selesai berkata, Bok Tin sudah menegur Gak Lui.

“Hm, kalau benar, mau apa engkau ?" sahut pemuda itu.

“O...,” seru Bok Tin. Rupanya ia kaget karena tak menduga bahwa tokoh Gak Lui yang terkenal itu ternyata masih seorang pemuda. Sambil menatap wajah pemuda yang ditutup dengan topeng dari kulit binatang itu. Masih dengan nada setengah tak percaya ia berseru: “Tokoh pemapas pedang yang menggemparkan dunia persilatan dahulu itu…. apakah engkau sendiri ?"

“Benar !"

“Kudengar juga orang mengatakan bahwa engkau mahir akan ilmu melontar pedang ?"

Rupanya Gak Lui tak sabar terus menerus ditanya, bentaknya: “Semua benar! Engkau hanya disuruh si Maharaja untuk mengantarkan jiwamu kemari, perlu apa bertanya ini itu !"

“Maharaja ?" Bok Tin mendengus, “manusia apakah dia berani menyuruh aku !"

“O, kalau begitu engkau bukan anak buahnya ?"

“Sudah tentu bukan! Dan lagi aku malah akan mencarinya untuk adu ilmu pedang !"

Mendengar keterangan itu, lenyaplah kemarahan Gak Lui, tanyanya pula, “Lalu untuk apa engkau menghendaki pusaka Thian-liong-kim-jiu ?"

“Hendak kuperiksa dimana keistimewaannya !"

“Terus terang kuberitahukan, memang benda itu adalah sebuah pusaka dunia persilatan yang amat keramat. Kalau mencari keistimewaannya ... sekarang sudah hilang."

“Benarkah itu ?" Bok Tin menegas.

“Perlu apa aku membohongimu !"

Melihat kesungguhan wajah pemuda itu, Bok Tin percaya kalau pemuda itu tentu tak bohong. Sejenak merenung, ia berkata: “Baiklah, sekarang tak perlu mempersoalkan benda Kim-jiu itu. Tetapi.....”

“Bagaimana ?"

“Aku hendak menguji ilmu pedangmu !" Mendengar keterangan Sebun sianseng bahwa Bok Tin mahir menggunakan selusin pedang dan dapat menaburkan dengan mahir, diam2 Gak Lui gembira: “Baik, silahkan engkau mulai !" serunya.

Bok Tin menggulung lengan baju dan suruh Thian Lok totiang serta rombongannya menyingkir. Siu mey sebenarnya hendak membangkang tetapi Gak Lui memberi isyarat dengan anggukan kepala. Terpaksa nona itu menurut. Sebelum menyingkir ia memberi pesan dengan berbisik: “Harap berhati hati !"

Setelah orang2 itu menyingkir, Gak Luipun mencabut sepasang pedangnya. Dengan tenang ia menatap lawan. Rupanya Bok Tin yang semula memandang rendah kepada lawan, tercekat juga hatinya melihat sikap Gak Lui yang bengis.

Setelah kedua fihak berhadapan beberapa saat, tiba2 Bok Tin rentangkan kedua tangan dan secepat kilat mencabut pedang kedua bahunya seraya membentak: “Lihat pedang ....!"

Dua batang pedang yang berkilau-kilauan memancar cahaya terang, segera meluncur ke arah Gak Lui.

Gak Luipun cepat menyambutnya dengan suatu gerak jurus yang istimewa, hendak memapas pedang lawan.

Tetapi sebelum jurus itu selesai, tiba2 kedua batang pedang yang dilepas Bok Tin itu berpencar melayang kekanan kiri, melingkar lingkar dan melayang kembali kepada Bok Tin. Serempak dengan itu empat batang pedang lagi, meluncur dari tangan Bok Tin.

Gak Lui terkejut. Buru2 ia gunakan jurus Burung-hong-pentang-sayap untuk menangkis. Tring, tring .... sinar pedang berhamburan ke udara dan keenam batang pedang itu seperti mempunyai nyawa, dapat melayang kembali kepada tuannya.

“Hai, tak sangka engkau berisi juga !" teriak Bok Tin seraya mencabut pedang yang pandak pada bahunya: “Sekarang, cobalah engkau jajal yang ini !"

Gak Lui tegak bersiap. Sepuluh batang pedang meluncur dari tangan orang she Bok itu. Tetapi pedang2 itu tak langsung menuju ke arahnya melainkan melayang dan berputar putar di udara dulu baru kemudian dari delapan penjuru, mereka perlahan lahan meluncur kearah Gak Lui.

Dalam soal ilmu melontar pedang, Gak Lui memang ahli. Ia tahu bahwa sekalipun gerakan pedang itu lambat tampaknya tetapi sesungguhnya berisi dengan tenaga-dalam yang hebat. Rupanya karena kewalahan maka lawan lalu mengeluarkan ilmu kepandaian simpanan.

Dalam pada itu satu demi satu pedang2 itu meluncur dari udara. Menimbulkan sinar yang menyilaukan mata dan angin yang menderu-deru. Pedang2 itu meluncur kearah jalan darah maut ditubuh Gak Lui.

“Hebat !" seru Gak Lui seraya memutar sepasang pedangnya. Dengan putaran pedang itu, pedang pandak Bok Tin tertahan. Tetapi anehnya, pedang2 pandak itu tetap melingkar-lingkar. Tidak jatuh, pun tidak melayang kembali kepada Bok Tin. Pedang2 pandak itu seperti mempunyai mata. Setiap saat mereka hendak mencari lubang kesempatan untuk menyusup ketubuh Gak Lui.

Ilmu permainan pedang seaneh itu, benar2 membuat Gak Lui terkejut heran. Lawan menabur 10 batang pedang pandak dan ia hanya mempunyai dua batang pedang untuk melindungi diri. Pikirnya iapun hendak menggunakan ilmu menabur pedang. Tetapi ia kuatir, pedangnya kalah jumlah dengan pedang lawan. Apalagi lawan masih mempunyai simpanan dua batang pedang lagi.

Tampak Bok Tin tak henti2nya ayunkan kedua tangannya. Begitu pedang2 pandak itu melayang kembali kepadanya, cepat ia menamparnya lagi.

Demikian sampai beberapa saat, Gak Lui tetap terancam dengan 10 batang pedang terbang itu.

Tiba2 ia mendapat akal. Pedang ditangan kanan tetap dimainkan seperti biasa. Tetapi pedang di tangan kiri tiba2 ditaburkan kearah dua batang pedang dari barisan pedang terbang itu.

Tring, tring .... terdengar lengking nyaring dari dua buah benturan senjata pedang. Kedua pedang pandak beradu dengan sebatang pedang panjang. Karena kalah besar dan panjang, kedua pedang pandak itu terpental sampai dua tombak jauhnya. Dengan terpentalnya kedua pedang pandak itu maka delapan pedang pandak yang lain pun ikut melayang ke belakang.

Dengan hasil itu, berobahlah situasi pertempuran. Hal itu membuat Siu-mey dan lain2 tokoh partai persilatan yang bermula menahan napas, saat itu dapat menghela napas longgar.

Tetapi mereka heran melihat wajah Gak Lui masih tampak tegang. Sedangkan si Pedang-terbang Bok Tin masih tertawa-tawa. Suatu pertanda bahwa pertempuran maut masih tetap akan berlangsung.

Apa yang diduga itu memang benar. Tak berapa lama, sekonyong-konyong tubuh Bok Tin berputar deras. Kemudian bagai seekor singa marah, dia loncat menerjang Gak Lui. Dan tangannyapun sudah mencekal sebatang pedang pandak.

Sing .... sing .... ia bolang balingkan pedang menusuk tubuh Gak Lui. Dan serempak dengan itu barisan 10 pedang pandak tadi pun berhamburan melayang dan menerjang pedang Gak Lui yang dilontarkan tadi.

Benar2 suatu ilmu pedang yang aneh dan belum pernah Gak Lui saksikan selama ini.

Untuk menghadapi serangan istimewa itu, Gak Lui kembangkan pedangnya dalam lingkaran makin lebar. Kemudian tangan kirinya menggunakan tenaga-dalam-penyedot untuk menyedot kembali pedang yang dilontarkan tadi.

Tetapi lawanpun tak tinggal diam. Ia perhebat serangan kedua pedangnya disamping mengendalikan kesepuluh batang pedang terbang tadi, berhamburan menyerang dari celah2 pertahanan Gak Lui.

Cepat sekali pertempuran itu telah mencapai tigapuluh jurus. Tampaknya memang masih bertimbang tetapi sesungguhya Pedang-terbang Bok Tin lebih dapat menguasai permainan.

Sudah tentu hal itu dapat diketahui juga oleh seorang tokoh semacam Thian Lok totiang, Sebun sianseng dan lain2 tokoh yang hadir di-situ.

Yang paling gelisah adalah Siu-mey. Dahinya sampai mengucur keringat. Dan kejutnya makin memuncak ketika melihat Gak Lui telah melakukan sebuah serangan yang salah.

Pemuda itu taburkan pedang Pelangi yang berada ditangan kanannya. Maksudnya hendak menghancurkan gerumbul pedang terbang yang melayang-layang mengancam dirinya itu. Tetapi perhitungannya meleset. Gerumbul pedang pandak itu berpencar kesamping, secepat pedang Pelangi melintas, ke 10 pedang pandak itupun segera merapat kembali dan terus memburu Pedang Pelangi.

“Celaka !" Siau-mey menjerit tertahan. Tetapi kebalikannya Pedang-terbang Bok Tin malah tertawa mengekeh. Ia gerakkan sepasang pedangnya makin deras untuk menghancurkan lingkaran sinar pedang Gak Lui yang tinggal sebatang itu.

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



“Celaka...!" kali ini Thian Lok totiang juga berteriak kaget. Sedang sekalian tokohpun terlongong. Mereka duga dalam waktu yang singkat Gak Lui tentu akan menderita kekalahan.

Tetapi sekonyong-konyong bahu pemuda itu bergerak dan tangan kanannya membalik, wut......ia lepaskan tenaga-dalam Algojo-dunia untuk menyedot pedang Pelangi tadi.

Kesepuluh batang pedang pandak pun ikut mengejar tetapi tenaga-dalam-penyedot yang dipancarkan Gak Lui itu terlampau kuat sehingga pedang2 pandak itu melekat pada pedang Pelangi dan tak dapat bergerak lagi !

Gak Lui masih tak berhenti sampai disitu. Ia alihkan saluran tenaga-dalam-penyedot ketangan kanan untuk menempel senjata lawan. Dengan gerakan itu, kesepuluh pedang pandak dari Bok Tin mati kutu lalu terlempar sampai tujuh delapan tombak jauhnya.

Pedang-terbang Bok Tin menjerit kaget. Dengan menggembor keras, ia kerahkan seluruh tenaga untuk loncat kebelakang dan menarik sepasang pedangnya dari sedotan pedang Gak Lui.

Justeru itulah yang dikehendaki Gak Lui. Ia kendorkan tenaga-dalam penyedot lalu diganti mendorongkan ujung pedang kepada lawan. Seketika itu tampak tubuh Bok Tin yang tinggi besar bagaikan layang2 putus tali, terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah.

Sebelum raksasa itu sempat berdiri tegak, Gak Lui sudah loncat keudara dan dengan gerak burung-rajawali-pentang-sayap, ia menghantam pedang lawan. Tring, tring.... pedang Bok Tin terpapas kutung. Jago pedang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu, mendelik matanya. Dengan marah ia berteriak : “Kalah ....!"

Ia berputar tubuh dan tanpa menghiraukan pedang2 pandaknya yang berhamburan ditanah, ia terus lari ngiprit.

Sikap yang polos dan jujur dari Bok Tin, meninggalkan kesan baik pada Gak Lui. Selama mengembara di dunia persilatan belum pernah ia berjumpa dengan seorang jujur seperti Bok Tin. Bok Tin seorang tokoh pedang yang berkepandaian tinggi. Tetapi karena kalah, iapun dengan terus terang mengaku kalah.

Karena tertarik akan kejujuran si raksasa, Gak Lui cepat loncat menghadang : “Sekalipun kalah, tetapi mengapa anda tak mau mengambil pedang anda itu ?"

Sepasang mata besar dari Bok Tin merentang lebar: “Kabarnya engkau gemar mengutungi pedang orang mengapa engkau tak menghendaki pedangku ?"

“Itu dulu, tetapi sekarang tidak lagi."

“Kalau engkau tak mau, akupun tak mau juga,” kata Bok Tin.

Gak Lui terkejut: “Senjata itu adalah senjata yang telah mengangkat namamu, masakan engkau tak sayang ?"

“Masakan tak sayang ...."

“Lalu mengapa tak mau."

“Peraturan dalam dunia persilatan menetapkan, dalam pertempuran apabila yang menang tak mau melukai yang kalah maka yang kalah harus meninggalkan senjatanya."

Gak Lui tertawa gelak2: “Ah, anda benar2 taat akan peraturan....."

Pada saat itu Thian Lok totiang dan rombongan orang gagah, menghampiri datang. Mereka-pun memuji atas sikap Bok Tin. Kesan baik pada raksasa itu telah merobah sikap permusuhan dari tokoh2 persilatan tersebut.

Sebun sianseng memberi hormat, serunya: “Saudara jarang sekali muncul didunia persilatan. Sungguh tak terduga kalau hari ini dapat berjumpa. Dan ternyata saudara tetap memegang teguh peraturan dunia persilatan. Aku Sebun Giok menghaturkan hormat kepada saudara....."

Ucapan tokoh dari Kun-lun-pay itu laksana angin segar yang menghembus lenyap kegelisahan hati sekalian orang.

Pedang-terbang Bok Tin terkejut girang, serunya : ”Kalau begitu, akulah yang salah. Perbuatanku mengintai kalian dan hendak melihat pusaka Thian-liong-kim-jiu tadi hanyalah terdorong oleh rasa ingin tahu saja. Harap saudara Gak suka maafkan ......"

Gak Lui cepat menyambut : “Jika tak bertempur tentu tak kenal. Sudahlah kita habisi soal itu sampai disini. Harap saudara mengambil senjata saudara itu !"

Demikian mereka dari lawan menjadi kawan. Selang beberapa saat kemudian, berkata pula Bok Tin : "Kudengar berita dalam dunia persilatan bahwa Maharaja persilatan itu, dengan mengandalkan ilmu pedangnya yang sakti telah melindas tokoh2 persilatan dan melakukan kejahatan. Maka aku ingin mencarinya. Siapa tahu waktu bertempur dengan saudara Gak Lui tadi, baru kutahu bahwa didunia persilatan telah muncul seorang tunas muda yang cemerlang. Aku yang sudah meyakinkan ilmu pedang berpuluh tahun, ternyata tak mampu menghadapinya. Menilik hal itu, rasanya aku lebih baik tak muncul saja....."

”Kalau saudara mengandung cita2 hendak menumpas kejahatan, mengapa saudara tak bergabung dengan kita saja ?" kata Sebun Sianseng.

“Ah, aku sudah biasa hidup mengembara. Mungkin akan mengecewakan harapan saudara2," kata Bok Tin lalu memandang kearah Gak Lui, “tetapi demi membalas terima kasih kepada saudara Gak, jika diperlukan aku tentu bersedia membantu.”

Gak Lui diam merenung : “Aku sudah berhasil memahamkan ilmu Ni coan-ngo-heng. Dan harus menuju ke istana Bi-kiong di Busan. Rencana mencari Pukulan-sakti The Thay, dan Tabib sakti Li Kok-hua terpaksa kutunda dulu, Pedang-terbang Bok Tin ini hebat sekali kepandaiannya dan pula musuh belum mengenalnya. Ah, seorang pembantu yang tepat..."

Setelah menetapkan keputusan, berkatalah ia dengan terus terang : “Aku mempunyai suatu hal yang hendak kumintakan bantuan saudara. Entah apakah saudara tak berkeberatan ?"

“Jangan sungkan, aku tentu akan membantu dengan sekuat tenaga. Apakah keperluan saudara itu ?”

“Maharaja Persilatan mempunyai anak buah, sekelompok Orang berkerudung muka. Kuminta saudara suka menyelidiki gerombolan orang aneh itu !"

“Orang berkerudung muka ? Ya, memang aku pernah mendengarnya. Jika engkau bermusuhan kepada mereka, pedangku tentu takkan memberi ampun mereka ...."

“Bukan, aku hanya perlu tahu tempatnya dan jangan sembarangan bertindak sendiri," cepat Gak Lui mencegah.

“Mengapa ?"

“Aku hendak mencari seorang sahabat yang bernama Pukulan-sakti The Thay. Dia seorang ahli pembuat pedang yang terkenal dan ditawan oleh gerombolan Maharaja Persilatan. Karena pedang dari beberapa anggauta gerombolan Orang berkerudung itu telah kubikin cacad, mereka tentu akan mencari The Thay untuk menyuruhnya memperbaiki."

“Ho, kutahu! Bukankah engkau hendak menggunakan beberapa Orang berkerudung itu untuk mencari sarang mereka ?"

“Benar !"

“Jangan kuatir, serahkan saja padaku. Tetapi kalau sudah ketemu lalu bagaimana aku dapat mencarimu ?" tanya raksasa Bok Tin.

“Hm, aku berada disekitar gunung Bu-san."

”Baik, aku segera berangkat....." kata Bok Tin terus minta diri. Dengan langkah lebar tak berapa lama orang yang bertubuh tinggi besar itupun sudah lenyap dari pandangan mata.

Setelah orang itu jauh, Thian Lok totiang dan lain2 tokoh sama tersenyum. Hanya Gak Lui sendiri yang merasa tak enak dalam hati. Diam2 ia menduga bahwa sembarang waktu dan tempat, Maharaja Persilatan itu tentu dapat muncul. Apabila sampai bertempur dengan Pedang-terbang Bok Tin, tentu besar bahayanya. Bukankah berarti ia mengorbankan jiwa Bok Tin...

“Saudara Gak, perjanjian di Ceng-sia pada bulan mendatang ini, tentulah engkau sudah mengetahui. Sekarang kita akan berpisah untuk bersiap dan tak lama lagi akan berkumpul pula dalam sebuah kubu barisan besar. Dalam hal itu bagaimanakah rencanamu ?"

Sejenak Gak Lui merenung lalu menyatakan bahwa ia hendak menuju ke Busan untuk mendapatkan pedang Thia-lui-kiam. Setelah itu baru akan menggabungkan diri dengan mereka.

Sebun sianseng mengangguk : “Baiklah, hanya ada sebuah hal....."

“Hal apa ?"

“Kabarnya Pengemis Ular dari golongan partai Pengemis daerah selatan, mahir menggunakan ular berbisa sebagai senjata, akan muncul juga. Dia amat ganas ...."

Gak Lui cepat tertawa nyaring : “Berbicara tentang Pengemis Ular itu, aku sudah memperoleh seorang ahli yang mampu menandinginya.”

“O," Sebun sianseng mendesuh sadar, “tentulah nona Li yang engkau maksudkan itu. Dengan gelar Gadis-ular, tentulah dugaanku kepadanya itu takkan meleset.”

“Benar," Gak Lui mengiakan, “demi keselamatan partai2 persilatan akan kumintanya membantu barisan itu.”

Sesungguhnya Siu-mey tak senang tinggal digunung Ceng-sia. Tetapi karena Gak Lui yang meminta, terpaksa ia menurut saja. Hanya untuk menumpaskan kemengkalan hatinya.

Selesai mengatur, Gak Lui lalu menuturkan tentang diri Hi Kiam-gin, agar apabila tokoh2 yang hadir disitu berjumpa dengan nona itu, janganlah sampai timbul salah faham.

Setelah itu Gak Lui lalu mengambil selamat berpisah dan menuju ke istana Bi-kiong digunung Busan.

Gunung Busan mempunyai duabelas buah puncak. Alam pemandangannya indah tetapi berbahaya.

Tiba ditempat tujuannya, dia agak terkejut. Ternyata tempat itu bukanlah tempat yang tempo hari didatanginya. Ia masih ingat akan Bu-san-yan-hong atau si Burung Hong cantik dari Busan yang menjaga dipuncak Gwa-liok-hong atau enam puncak lapisan luar.

Tetapi Busan amat luas dan lebat. Ia tak dapat melihat apa yang terdapat pada barisan batu2 aneh disitu. Pun kalau berteriak, ia kuatir akan didengar oleh murid hianat yang bersembunyi dalam istana Bi-kiong.

Demikian setelah merenung sejenak, lalu ia mengatur langkah dalam gerak Ngo heng-seng-kek, menyusup masuk kedalam barisan alam di situ.

“Aneh......" setelah berjalan beberapa lama ia terkejut. Karena tempat yang dicapainya itu tiada terdapat angin keras. Tanah dan batu karang disitu pun datar, tak berbentuk aneh seperti yang pernah dialaminya tempo hari.

Tetapi setelah merenung beberapa saat, tiba2 ia geli sendiri dan dapat menemukan jawabannya. Ya, tempo hari ia tak mengerti cara untuk memasuki barisan batu itu. Ia hanya menurut petunjuk orang yang bernama Tio Bik-lui. Dan kepandaian orang she Tio itu pun belum sempurna. Maka sekalipun ia dapat melintasi barisan batu karang, namun tetap menghadapi kesulitan sehingga harus mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya.

Tetapi kini bukan saja ia sudah dapat memahamkan inti rahasia ilmu Ngo-heng, pun tenaga-dalamnya juga berlipat ganda. Dengan begitu, mudahlah ia melintasi barisan batu itu.

Setelah hampir setengah hari berjalan dan tak lama akan tiba didekat istana Bi-kiong, diam2 ia heran mengapa tetap belum melihat si nona itu.

Akhirnya ia memutuskan untuk mengitari gunung dan mencari tempat di mana dahulu ia terjeblus didalam liang tanah. Beberapa saat kemudian tibalah ia ditempat pemakaman kerangka ayahnya. Hati Gak Lui seperti disayat. Beberapa airmata menitik turun. Setelah itu baru ia lanjutkan hendak menuruni liang & bawah tanah.

Ia terkejut melihat mulut lubang itu tertimbun ranting2 pohon. Sepintas memang seperti kacau balau tetapi setelah diperhatikan, nyatalah kalau ranting2 itu diletakkan dalam susunan yang teratur.

“Hm, tentu diatur orang. Apabila tersentuh, orang yang mengatur ranting2 itu tentu segera mengetahui. Tetapi siapakah yang memasang ranting2 itu ?" diam2 ia menimang.

Tiba2 dari puncak Busan terdengar suara orang menggerung dahsyat. Tak dapat diragukan lagi, orang itu tentulah si Lengan-besi hati-baik. Dia tak mau bertanya lagi melainkan memancarkan ilmu gemboran dahsyat yang menggetarkan nyali orang.

Gak Lui memutuskan hendak gunakan ilmu gerak Ni-coan-ngo-heng untuk mendaki keatas. Tetapi tiba2 dari celah batu dibelakangnya terdengar suitan perlahan. Dengan girang cepat ia berpaling dan dilihatnya sidara cantik bersembunyi dibalik sebuah batu karang. Ia unjukkan separoh mukanya dan memberi isyarat supaya Gak Lui menghampirinya.

Gak Lui terkejut heran. Tentulah ada sesuatu yang terjadi pada istana Bi-kiong. Cepat ia menyelinap ketempat sinona.

“Adik Lui....." Cepat nona itu menyambutnya dengan memeluk erat2.

“Taci Yan, apakah yang terjadi sehingga engkau tampak begitu berhati-hati sekali ?"

“Benar, aku telah melihat suatu keanehan sehingga aku takut sekali.”

“Apakah engkau melihat murid hianat si Lengan-besi atau Maharaja Persilatan ?"

“Tidak ! Aku tak melihat seseorangpun....."

“Lalu mengapa ?"

“Adik Lui, adakah engkau melihat timbunan ranting pohon diatas mulut terowongan itu ?" Gak Lui mengiakan.

”Kemungkinan tentu ada orang yang masuk dan dengan hati2 dia meninggalkan pertandaan."

“Jadi memang benar2 dia orang yang datang kemari ?" tanya Gak Lui.

“Benar, sayang saat itu aku tak berada di-dekat guha sehingga tak dapat mengetahui orang itu. Tetapi...."

“Tetapi bagaimana ?"

“Kuragukan dia.....orang she Tio ....Tio Bik lui itu sendiri !"

“Apa alasanmu mengatakan demikian ?"

“Karena dahulu dia pernah datang kemari dan lagi.... kurasa gerak geriknya memang tak wajar."

“Hm," Gak Lui mendesah lalu merenung, “Tio Bik-lui telah membantu aku menghalau ketiga Algojo itu. Dan juga dialah yang memberi petunjuk jalan sehingga aku dapat tiba kemari. Ah, janganlah kita sembarangan menduga orang..."

“O....." Bu- san-yan-hong mendesuh lalu menatapnya dengan pandang menuntut.

Rupanya terkesan juga Gak Lui akan sikap nona yang tak mau lepaskan kecurigaannya itu. Tiba2 ia teringat beberapa hal.

Kesatu, Tio Bik-lui begitu memperhatikan sekali akan jejak keempat Bu san-su kiam. Setiap kali berjumpa, langsung atau tak langsung, dia selalu menanyakan hal itu. Adakah ada udang dibalik batu dalam pertanyaan itu ....?

Kedua, waktu tempo hari Tio Bik lui menjaga disekitar gunung Busan, Tio Bik-lui telah mengantarnya memasuki gunung itu dan menunggu sampai ia keluar lagi. Adakah tindakannya itu suatu bantuan atau memang mempunyai maksud lain...?

Walaupun sampai beberapa saat, tak dapat juga Gak Lui memecahkan persoalan itu. Apabila Tio Bik-lui itu memang palsu dan bermaksud jahat, tujuannya tentulah tak lepas dari mencari pedang pusaka Thian lui-koay-kiam itu. Tetapi apabila dia memang bermaksud baik, Gak Lui merasa berhutang budi besar kepadanya.

“Adik Lui, kedatanganmu sekarang tentu sudah membekal pengetahuan ilmu Ni-coan-ngo-heng. Maukah engkau membawaku serta memasuki istana Bu-san-bi-kiong itu?"

“Sayang ....”

---oo~dwkz^0^Yah~oo---



“Istana Bi-kiong adalah peninggalan leluhurku. Aku benar2 ingin menjenguknya!"

“Jangan sekarang ! Ilmu kepandaian si Lengan-besi-hati-baik itu hebat sekali. Aku tak dapat membiarkan engkau tertimpa bahaya.”

“Tetapi disinipun belum tentu aman.”

“Ini ....,” Gak Lui merenung sejenak, “kalau begitu lebih baik engkau ke gunung Ceng-sia-san menunggu aku. Kelak partai2 persilatan akan berkumpul disana. Dan lagi ada seorang Nona-ular Li Siu-mey yang selain dapat menjadi sahabat, pun kalian dapat ber-sama2 mempelajari ilmu pedang Bu-san kiam-hwat, untuk persiapan di kemudian hari.”

Bu san-yan-hong mengiakan. Ia minta Gak Lui mendaki dan setelah itu baru ia nanti akan tinggalkan gunung. Gak Lui pun tak mau banyak bicara lagi. Ia terus lari mendaki keatas.

Enam puncak yang menjadi lapisan dalam dari gunung Busan, jauh lebih dahsyat dan berbahaya dari keenam puncak lapisan luar. Ia loncat keudara. Tetapi sebelum kakinya turun ke-bumi, matanya seperti ber-kunang2. Setiap keping batu karang, setiap jengkal tanah tampak ber-putar2.

Saat itu ia masih setombak dari tanah. Buru2 ia kerahkan tenaga-murni lalu menggeliat keatas hampir beberapa tombak tingginya.

Dalam pada itu diam2 ia menghafalkan perobahan2 dalam ilmu Ni-coan-ngo-heng. Kemudian ia meluncur keatas sebuah jalan kecil. Tapi begitu menginjak bumi, iapun ikut terputar2 seperti angin lesus. Tetapi ia menyadari bahwa hal itu hanyalah sugesti atau menurut pikirannya sendiri. Cepat ia menginjak tata Kiu-kiong-pat-kwa dan diam2 menghitung keadaan barisan Thian-kang-ki-bun yang dihadapinya. Setelah itu dengan tenang ia melesat kemuka.

Lebih kurang sejam lamanya, berhasillah ia melintasi barisan itu dan tiba dipuncak lapisan dalam atau yang disebut Lwe-liok-hong.

Keenam puncak batu karang disitu, sepintas pandang memang menyerupai sebuah istana alam. Disebelah luarnya dikelilingi oleh tanah datar seluas sepuluh tombak.

“Ini tentulah istana Bi-kiong itu !" diam2 ia menimang. Dengan cepat ia mengitari tanah yang disebut istana Bi-kiong itu ternyata hanya sebuah batu gunung yang tak berpintu. Kecuali dinding karang yang terdapat tanda2 aneh boleh dikata tiada setitik celah pada batu itu.

Dan yang paling aneh pula, si Lengan-besi-hati-baik itu tak kelihatan sama sekali. Bahkan gemborannya yang dahsyat tadi pun tak kedengaran lagi.

Gak Lui benar2 heran. Ia merasa ilmu kepandaiannya sudah dapat digolongkan sebagai jago2 kelas satu dalam dunia persilatan. Memang kalau dibanding dengan si Maharaja Persilatan memang kalah jauh. Demikian dengan Tio Bik-liong juga kalah setingkat. Dan kini ternyata si Lengan-besi-hati-baik itu begitu lihay, sampai tak dapat diduga sampai berapa tinggi kepandaiannya.

Kalau bertempur berhadapan, mungkin dengan menggunakan kecerdasan otak, ia masih dapat menghadapi murid hianat itu. Tetapi bahwa ternyata saat itu ia sama sekali tak dapat menemukan apa2 pada batu itu, bukankah berarti ia sudah menderita kekalahan? Bukankah lawan berada di tempat gelap dan ia di tempat terang?

Gak Lui marah. Ia segera kerahkan tenaga-dalam Algojo-dunia dan menghantam batu itu, seraya memaki: “Hai, murid hianat Busan! Mengapa tak lekas keluar menerima kematianmu...!”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar