Bab 21. Pertempuran di Neraka.
“Menilik naga-naganya, si
Maharaja datang sendiri. Tio cianpwe tentu terancam bahaya!" kata Gak Lui
seorang diri.
Lau Yan-lan tak mengerti apa
yang dikatakan. Ia segera meminta penjelasan.
Gak Lui tak mau mengelabuhi.
Ia menuturkan kejahatan si Maharaja dan bagaimana ia bertemu dengan Tio
Bik-lui.
Ketika mendengar bahwa guha
neraka itu tak mungkin diterobos keluar, sinona agak putus asa. Sambil menepuk
bahu Gak Lui, ia berseru: “Lalu bagaimana ini, bukankah cita2 membalas dendam
akan gagal ?"
“Jangan tergesa-gesa,"
kata Gak Lui. “kalau kita memikirkan dengan tenang, mungkin tentu bisa mendapat
jalan. Tetapi ada satu hal yang engkau harus menurut padaku."
“Segala apa aku akan menurut
padamu. Bahkan aku akan…”
“Tidak, tidak ! Bukan begitu
maksudku !" buru2 Gak Lui menukas karena orang salah terima, “kuminta
janganlah engkau mengambil pedang Thian-lui-koay-kiam itu. Biarlah aku yang
mengerjakan semuanya."
“Tetapi tanpa pedang pusaka,
aku tentu tak dapat melakukan pembalasan," seru sinona.
“Sudah tiga turunan kita
bersahabat, sudah tentu semua aku yang bertanggung jawab!"
“Ah ... adik Lui," seru
sinona, "engkau sungguh terlampau baik sekali. Entah bagaimana kelak aku
dapat membalas budimu ...." :))
“Tak usah memikirkan soal itu.
Cukuplah kalau engkau sebut nama musuhmu itu!"
“Aku tak tahu namanya !"
“Apakah ibumu tak mau menyebut
nama orang itu ?"
“Sudah berulang kali
kutanyakan tetapi beliau tetap tak mengatakan."
“Hm, kalau namanya saja tak
mau mengatakan, jelas tentu ada persoalan lain. Dan mencari musuh yang tak
diketahui namanya, tak ubah seperti orang buta yang berjalan di
kegelapan," Gak Lui menggerutu. Tiba2 terlintas sesuatu dalam benaknya. Ia
merenung dan akhirnya memperoleh akal, katanya: “Taci Yan, tadi engkau
mengatakan musuhmu itu telah mencuri kitab pusaka milik ibumu? Nah, apakah nama
dari dua macam ilmu istimewa itu?"
“Juga tak tahu !"
“Eh, apakah sedikit jejak saja
engkau sama sekali tak tahu? Misalnya, apabila dalam dunia persilatan terdapat
orang yang menggunakan ilmu itu, apakah engkau dapat mengenalnya?"
Burung-hong-cantik dari Bu-san
itu menundukkan kepala merenung. Sesaat kemudian ia menyahut perlahan: “Aku
juga tak tahu. Tetapi kabarnya yang sebuah yalah ilmu tutukan jari yang dapat
menyebabkan orang kehilangan kesadaran pikirannya. Dan yang sebuah lagi yalah
ilmu Suitan yang dapat membuat pikiran orang kacau balau ...."
“Ilmu tutukan jari, ilmu
suitan....benar! Aku ingat !" tiba2 Gak Lui berteriak sambil menampar
lututnya. Dia seperti telah menemukan suatu jejak.
“Apa yang engkau ingat ?"
teriak sinona dengan nada tegang.
“Maharaja itu memang memiliki
ilmu Suitan yang luar biasa hebatnya. Dan mungkin diapun mempunyai ilmu jari
yang lihay dan telah digunakan untuk membunuh orang yang mengetahui rahasianya
!"
“Kalau begitu dialah orang
yang telah mencelakai ibuku. Tak heran kalau kaki tangannya hendak menangkap
aku ....”
“Benar, aku memang mempunyai
anggapan begitu juga."
”Adik Lui, kalau begitu kita
ini senasib!"
“Maka kita harus bersatu padu
untuk membalas musuh kita itu !"
“Baik, kita bersatulah!"
Kedua saling berpandangan dan
berjabat tangan. Karena tegang, mereka tak mengucap sepatah kata apa2. Tetapi
jelas dari pancaran mata, sepasang muda mudi itu telah memancarkan luapan hati
yang diselubungi cinta dan kebencian.
Beberapa saat kemudian, Lau
Yan-Lan tiba2 terengah-engah napasnya dan mandi keringat.
Gak Lui cepat menyadari
keadaan nona itu. Buru2 ia salurkan tenaga-dalam kearah jalan darah sinona
seraya bertanya dengan mesra : “Taci Yan, apakah engkau merasa guha ini terlalu
panas?"
“Ya,.... ya .... panas ....
panas ...." sinona menyahut tersendat-sendat. Tetapi sesungguhnya bukanlah
se-mata2 disebabkan karena hawa panas, pun juga karena baru pertama kali itu ia
bersentuhan dengan seorang pria. Sudah tentu ia sungkan mengatakan. Untunglah
karena guha gelap, Gak Lui tak dapat melihat perobahan wajah nona itu.
Demikian setelah menerima
penyaluran tenaga-dalam, barulah Lau Yan-Lan dapat menekan ketegangan hatinya
dan napasnya mulai normal lagi.
”Adik Lui, lekas engkau
pikirkan daya agar kita lekas dapat keluar dari sini. Kalau terlalu lama di
sini, aku tentu merepotkan engkau saja."
“Sebenarnya aku memerlukan 4
batang pedang ...." :((
“Sayang aku tak punya dan
engkaupun hanya punya dua batang, bukankah masih kurang sekali?" tukas
sinona.
“Tidak !" tiba2 Gak Lui
berkata setelah merenung sejenak, "kita sekarang dua orang, dapat
menggunakan cara saling pinjam tenaga. Apalagi di hadapan kerangka ayah, aku
mendapat lagi sebatang pedang."
“Ah, benar," seru sinona,
“hampir aku lupa untuk mengunjuk hormat kepada beliau. Lekas bawa kesana."
Dengan hati2 Gak Lui segera
berbangkit. Tanah amat licin dan ia harus memimpin Lau Yan-Lan yang tak faham
keadaan guha situ maka ia berjalan dengan hati2 dan dengan langkah kaki yang
kokoh.
Sesaat Lau Yan-Lan habis
menjalankan penghormatan kepada tulang kerangka ayah Gak Lui, pemuda itupun
sudah bersiap. Dengan gunakan pedang Pelangi ditancapkan ke tanah untuk
mendapat penerangan, ia segera berlutut dan memberi hormat kepada tulang
kerangka ayahnya. Setelah itu ia ulurkan tangan, rencananya hendak membawa
keluar.
Tetapi begitu menyentuh ia
segera dapatkan tulang kerangka itu mengepal seperti bubuk. Hawa panas dalam
guha itu menyebabkan tulang kerangka menjadi abu yang keras. Terpaksa Gak Lui
batalkan niatnya. Kemudian bersama Lau Yan-Lan, ia bersujud sekali lagi di
hadapan kerangka ayahnya.
Tampak mulut sinona
berkemak-kemik memanjatkan doa dengan khidmat. Setelah itu baru ia bersama Gak
Lui bangun dan ayunkan langkah. Setelah agak jauh maka bertanyalah Gak Lui:
“Taci Yan, apa sajakah yang engkau katakan dalam doamu tadi ?"
Nona itu bersenyum manis,
sahutnya: “Kumohon agar arwah beliau suka melindungi kita dalam usaha untuk
membalas dendam ini. Dan lagi .... suka memberkahi kita agar selama-lamanya
.... bisa berkumpul."
“Ini….." baru mulut Gak
Lui berseru begitu, tiba2 ia mendengar bunyi dering senjata beradu. Cepat2 ia
pasang telinga, tetapi rupanya Lau Yan-Lan tak mendengar bunyi itu maka dengan heran
ia bertanya: “Adik Lui, mengapa engkau ...."
“Stt !" cepat2 Gak Lui
memberi isyarat supaya nona itu jangan bicara. Tetapi dering senjata itu sudah
menghilang pada saat Yan-Lan bicara tadi.
“Mungkin salah dengar,"
diam2 Gak Lui menimang lalu melangkah menyusul sinona.
Gak Lui tak sempat lagi untuk
menjelaskan perasaannya kepada Yan-Lan. Sedang sinona itupun merasa telah
kelepasan omong dan malu untuk mengatakan lagi, sekalipun ia belum melihat
bagaimana wajah aseli dari Gak Lui yang ditutup dengan topeng kulit kera itu,
namun dari matanya yang bundar dan bibirnya yang merah, dapatlah ia memastikan
bahwa Gak Lui itu tentu seorang pemuda yang tampan. Bahwa pemuda itu telah
mengucapkan kata2 menghibur yang bernada ramah, menandakan bahwa pemuda itu tentu
diam2 telah menyambut cintanya.....
Saat itu mereka sudah tiba di
bawah mulut guha. Bayang2 batu menonjol di atas dinding guha itu merebah ke
bawah.
Setelah memandang ke atas
sejenak, Gak Lui lalu gunakan ilmu lemparkan pedang. Ia lontarkan pedang Pelangi
untuk mencari tahu berapakah tingginya mulut guha itu.
Pada saat ia menyambuti lagi
pedang itu, segera ia lontarkan ke atas dinding karang setinggi lima tombak.
Lontaran itu diperuntukkan tempat pos pertama dalam pendakiannya nanti.
Kemudian ia lontarkan pedang
pemberian ayah-angkatnya dan yang terakhir pedang berkarat peninggalan kerangka
ayahnya.
Melihat cara Gak Lui mengatur
langkah itu, berdebarlah hati Lau Yan-Lan. Ia melihat pedang ketiga itu masih
terlalu jauh dari mulut guha. Dan lagi ia tak tahu bagaimana cara untuk
menggunakan ilmu penyambung tenaga itu.
“Marilah !” Gak Lui berpaling
dan berseru dengan nada yakin, “rangkullah bahuku erat2. Begitu aku berseru,
kita harus serempak kerahkan tenaga melambung ke atas batang pedang yang ketiga
itu ....”
“Lalu ?"
“Kerahkan tenagamu nanti
kutarik engkau ke atas !"
“Tetapi di atas licin sekali
...."
”Kita merangkak dengan kaki
dan tangan dan lekatkan dada menyedot tanah itu."
“Dan engkau ?"
“Harap engkau merobek lengan
bajumu dan gunakan sebagai tali, luncurkan ke bawah ..."
“Bagus !" seru Lau
Yan-Lan setelah jelas akan rencana pemuda itu. Segera dengan gembira ia rentang
sepasang lengan lalu memeluk bahu pemuda itu.
Kedengaran Gak Lui menggembor
lalu tubuhnya berputar deras, menyentuh tangkai pedang Pelangi. Pedang pusaka
itu agak tergetar. Lebih dulu melengkung ke bawah lalu tiba2 balik melayang ke
atas lagi.
Dengan cara itu, dapatlah Gak
Lui dan Yan-Lan mencapai pedang yang ketiga. Secepat kilat Gak Lui menyambar
kaki sinona akan didorong ke atas. Lau Yan-Lanpun dapat mengimbangi gerakan Gak
Lui. Dengan mengempos semangat untuk meringankan tubuh, ia dapat berdiri diatas
sebuah telapak tangan Gak Lui.
Setelah keduanya saling
kerahkan semangat, Gak Lui terus hendak melontarkan sinona ke atas. Tetapi di
luar dugaan tiba2 kaki Gak Lui tergelincir dan tak ampun lagi, keduanya segera
melayang jatuh ke bawah. Untung dalam saat berbahaya itu, Gak Lui tak gugup.
Lebih dulu ia dorongkan tangan ke bawah. Begitu ia menginjak tanah dengan tak
kurang suatu apa, ia segera ulurkan sepasang tangan untuk menyanggapi tubuh si
nona.
“Adik Lui, ini ....
bagaimana," seru Lau Yan-lan dengan pucat.
“Pedang itu sudah terlalu
karatan sekali sehingga putus."
“Ah, bukankah kita tak punya
harapan lagi?”
”......" dalam keadaan
seperti saat itu Gak Lui tak dapat bicara apa2.
Guha terasa panas sekali, jauh
lebih panas dari tadi. Kecuali napas Yan-lan yang memburu keras, suasana penuh
dicengkam kesunyian mati.
Tiba2 terdengar suara
mendering keras. Kali ini Yan-lanpun mendengarnya. Ia segera bertanya kepada
Gak Lui.
“Suara rantai besi,"
sahut Gak Lui.
“Aneh !"
“Ih ...," tiba2 suara
bergerontangan itu terdengar pula bahkan makin keras dan deras tak
henti-hentinya. Selain itu pun terdengar juga suara bentakan yang tak jelas.
Gemuruh berkumandang. Suatu pertanda bahwa orang yang menggemborkan suara itu
memiliki tenaga dalam yang kuat. Dan lagi jumlah suara gemboran itu tak
sedikit.
Lau Yan-lan terkejut dan
menggigil. Buru2 ia rapatkan tubuhnya ke dada Gak Lui. Pemuda itu sedang
menumpahkan perhatiannya untuk menghitung suara orang yang menggembor itu dan
derap kaki mereka. Diam2 ia menghitung: “Tigapuluh delapan, tigapuluh
sembilan.....empatpuluh !"
“Uh, banyak benar, tentulah
kawanan kaki tangan Maharaja yang hendak memburu taci Yan..." diam2 Gak
Lui menimang. Segera ia mengajak nona itu bersembunyi di tempat yang gelap
seraya menghiburnya: “Jangan takut, justeru kita bakal mendapat kesempatan.
Jangan engkau tampakkan diri ...."
“Uh, sekian banyak musuh
engkau anggap suatu kesempatan?"
“Mereka tentu membekal senjata
dan pedang. Aku memang justeru membutuhkan."
“Orang gagah pada musuh yang
berjumlah banyak, apakah engkau...."
“Aku mempunyai rencana."
”Harap yang hati2 saja,” kata
Yan-lan tetapi Gak Lui sudah mengisar beberapa langkah dan kembali ke tempatnya
semula tadi. Ia loncat menyambar sepasang pedang di atas dinding.
Wut ... keempat puluh orang
yang menyerbu guha itu telah menimbulkan deru angin yang keras. Tetapi Gak Lui
tegak berdiri dengan garang, menunggu kawanan penyerbu dengan sepasang pedang
di tangan.
Benar juga tak berapa lama,
ditingkah oleh sinar remang yang menerobos di mulut guha, tampak kawanan orang
yang berjalan cepat sekali sehingga tak dapat diketahui jelas wajah mereka.
Tangan mereka membawa rantai besi, menyusur dinding karang terus melorot ke
bawah. Mereka tak mengetahui bahwa di bawah telah menunggu malaekat elmaut yang
berupa Gak Lui.
Ketika tubuh2 mereka
berhamburan turun ke tanah, Gak Lui segera menyambutnya dengan lontarkan pedang-terbang,
siut, siut….. pedang Pelangi itu berhamburan memancar sinar yang menyurut wajah
mereka. Kerut wajah mereka yang seperti kawanan setan itu, tampak terkejut
ketakutan.
Huak, huak ... terdengar jerit
teriakan yang ngeri disusul oleh muncratan darah segar. Gak Lui mengamuk
seperti kerbau gila. Kawanan pendatang yang masuk ke bawah guha itu, laksana
kawanan anak-anak yang terbakar api. Mayat bergelimpangan tumpang tindih dalam
genangan darah ....
Tetapi kawanan orang itu
datang dengan jumlah banyak dan menyusup masuk seperti air bah. Betapapun Gak
Lui membabat mereka, karena diantara empatpuluh orang itu terdapat juga tiga
empatbelas yang berkepandaian tinggi. Mereka beruntung dapat menghindar dari
babatan pedang Gak Lui dan berhasil melayang turun ke tanah.
Tetapi merekapun segera
mengeluh karena tanah amat licin sekali sehingga mereka tak dapat berdiri
tegak, lalu tergelincir jatuh.
Kembali tubuh Gak Lui
berputar-putar dengan gerak yang istimewa. Begitu mereka jatuh, cepat pedang
Gak Lui pun sudah mengantar jiwa mereka ke neraka. Dalam beberapa kejab saja,
tanah-pun penuh dengan kutungan senjata dan mayat yang bergelimpangan darah.
Hanya ada seorang yang dengan
gunakan kaki dan tangan, jatuh bangun nekad hendak melarikan diri.
Melihat keadaan orang yang
sudah seperti setan kelaparan itu, Gak Lui tak sampai hati. Ia hentikan
pedangnya.
Tetapi rupanya Lau Yan-lan
yang pernah merasakan penderitaan dari neraka, dengan hati2 ia loncat
menghampiri terus hendak menghantam tengkuk orang itu.
“Tahan !" seru Gak Lui.
“Mengapa ?" seru sinona
sambil hentikan tangan.
“Biarkan dia hidup agar dapat
kita tanyai keterangan !"
“Apa yang perlu ditanyakan
lagi ?"
“Karena kawanan kaki tangannya
datang, mungkin Maharaja juga datang. Apabila dia menjaga di mulut guha, kita
harus berpikir lagi," kata Gak Lui seraya maju dua langkah dan secepat
kilat menutuk jalan darah orang itu, serunya: “Di mana si iblis Maharaja
itu?"
“………….”
“Kalau tak mau bilang tentu
akan kusiksa!"
“…………………”
Dua kali bertanya tak dijawab,
marahlah Gak Lui. Sekali ia salurkan tenaga dalam ke telapak tangannya, orang
itu segera menjerit ngeri.
“Ya, bilang...." baru
mulut orang itu berkata begitu, tiba2 ia tersentak berhenti. Gak Lui heran.
Cepat ia lepaskan tangan dan memeriksa wajah orang itu. Ternyata wajahnya
seperti sebuah mayat yang tak memancar kerut2 perasaan dan sepasang matanyapun
seperti orang tolol.
“Aneh...."
“Apa yang aneh ?" tanya
Yan-lan.
“Akan kuperiksa jalan darahnya
dulu baru tahu sebabnya," kata Gak Lui seraya meraba ubun2 kepala orang
itu. Dalam sekejab saja, tangannya mengurut tiba di jalan darah Nau-hu-hiat
atau bagian otak. Serentak Gak Lui tergetar hatinya.
“Aneh, mengapa jalan darah
Nau-hu-hiatnya penuh dengan hawa Im dingin. Terang tentu ditutuk orang. Ilmu
tutukan itu hampir sama dengan ilmu tutukan yang diderita si Penjaga Neraka
tempo hari. Jelas Maharaja tentu datang ...."
Tengah Gak Lui berpikir
demikian, sinona memandang dengan heran tetapi tak berani bertanya.
“Apabila musuh menjaga di
luar, jika menerobos keluar aku dan taci Yan tentu celaka. Namun kalau tetap
berada di sini, taci Yan tak kuat bertahan hawa panas di sini ..." kembali
Gak Lui merenung.
Akhirnya ia mengambil
keputusan, katanya: “Taci Yan, orang ini telah kututuk terluka, percuma saja
menanyainya. Lebih baik kita pergi !"
Setelah mengempaskan tubuh
orang yang sudah setengah mati itu ke tanah, Gak Lui mengambil senjata orang
itu lalu mulai merayap ke atas. Dan karena mendapat rantai besi dari kawanan
orang itu. Gak Lui dan Yan-lan dapat mendaki dengan lancar.
Lau Yan-lan tak menyadari
bahwa saat itu masih terkurung dalam bahaya maut. Ia merasa gembira bahagia
karena bersama dengan seorang pemuda yang dicintainya.
Tetapi Gak Lui tak mempunyai
pikiran begitu. Ia ingin sekali lekas2 dapat keluar dari guha neraka itu. Dan
apabila berjumpa dengan musuh, ia segera dapat menempurnya.
Saat itu sinar dari atas makin
terang dan anginpun terasa berhembus menampar muka. Gak Lui memperhitungkan
bahwa dari mulut guha di sebelah atas, hanya terpisah 20-an tombak. Maka ia
segera empos semangat dan pesatkan jalannya. Ia menarik rantai itu kuat2.
Tetapi makin menarik keras, rantai itu bahkan makin malah menjulai ke bawah.
Jelas bahwa seorang sakti yang tengah menarik rantai itu.
“Celaka !" Gak Lui
mengeluh. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Cepat ia lepaskan tangan kiri,
menunduk kepala ke bawah sembari mencabut pedang Pelangi.
Saat itu sinona berada di
bawah kaki Gak Lui. Melihat Gak Lui tiba2 berhenti dan menghunus pedang, ia
duga tentu terjadi sesuatu. Tetapi ia tak melihat barang seorangpun juga dalam
guha itu. Apa guna ia ikut mencabut pedang !
Pada saat ia sedang meragu,
Gak Luipun sudah tancapkan pedangnya pada batu, lalu ulurkan tangan menarik
tubuh sinona ke tempatnya. Sedang ia sendiripun lalu tegak berdiri dengan
sebelah ujung kakinya. Ia tak mau ngotot menarik rantai itu lagi dan biarkan
terkatung-katung ke bawah.
Siasat Gak Lui itu membuat
orang yang berada di luar guha menjadi bingung, tak dapat menduga apa yang
berada di bawah guha itu.
Rantai tampak berayun-ayun.
Rupanya orang di atas itu sedang memancing mancing reaksi dari dalam guha.
Kini Lau Yan-lan dapat
mengetahui jelas. Ia tak berani buka suara apa-apa melainkan memandang Gak Lui
dengan pandang ketakutan.
Gak Lui tetap tenang2 saja. Setelah
mengerahkan tenaga-dalam maka berserulah ia dengan nada dingin ke atas mulut
guha: “Hai, siapa yang main2 di atas itu ?"
“Hai, kiranya Gak Lui ...
?" tiba2 terdengar suara orang berseru kaget di atas mulut guha.
“O, apakah Tio Bik-lui cianpwe
?"
“Benar, akulah !"
Gak Lui menghembus napas
longgar. Walaupun hatinya lega tetapi tak urung diam2 ia heran: “Apakah dia
mengikuti aku saja?"
Tiba2 rantai bergoncangan dan
dengan nada seruan yang ramah, terdengar Tio Bik lui berteriak: “Lekas
keluarlah !"
“Cianpwe, apakah diluar
terdapat kaki tangan si Maharaja ?" teriak Gak Lui.
“Ini....," berhenti
sejenak orang itu berseru: “ada beberapa penjahat kecil tetapi sudah kuhalau
pergi semua !"
“Kalau begitu silahkan cianpwe
mundur sepemanah jauhnya, kami akan keluar."
“Kami ? Apakah nona itu juga
masih selamat?"
“Aku dapat menolong tepat pada
waktu ia terjatuh."
“Bagus, bagus... ," jawab
orang itu dengan nada tegang dan agak jauh. Rupanya ia memang sudah mundur
belasan tombak.
Gak Lui tak mau buang tempo lagi.
Ia segera bersama Lau Yan-lan kerahkan tenaga dalam. Lebih dulu Gak Lui
lemparkan rantai besi ke tengah guha untuk menyelidiki. Ternyata batu2 karang
guha itu tetap seperti bermula, datar dan terpisah dari mulut guha hanya
setombak jauhnya.
Saat itu Lau Yan lan pun tiba
di sampingnya lalu membisiki ke dekat telinganya: “Adik Lui, ikut akulah. Aku
tahu jalan singkat.”
“Jalan singkat? Apakah bukan
ilmu berjalan Tiga-langkah-membiluk-kiri ?"
“Ah, itu kan cara untuk
melalui barisan. Selain itu memang masih terdapat jalan rahasia lagi. Kalau
tidak, masakan dengan kepandaian yang begini rendah aku mampu lolos dari
kejaran mereka dan masuk ke dalam guha ini?"
“Tetapi aku perlu menemui Tio
cianpwe....." baru Gak Lui berkata begitu, Tio Bik-lui tampak ulurkan
tangan dari balik batu dan melambai. Gak Lui segera menghampiri. Akhirnya
mereka bertiga berkumpul lalu bersama-sama memimpin sinona lari menuju ke
puncak lapisan luar.
Sejak mempelajari ilmu pukulan
Menundukkan-iblis, tenaga-dalam Gak Luipun bertambah maju pesat. Maka dalam
berjalan itu, ia mampu bertahan atas deru angin yang mengandung tenaga kong-gi.
Setengah jam kemudian, mereka sudah keluar dari gunung Bu-san.
Memandang ke sekeliling dengan
hati gembira, lalu diam2 mengangguk: ”Ah, apa yang kuduga memang tepat. Tempat
ini berbeda sama sekali dengan tempat mulai aku masuk ke pegunungan ini...”
Dengan berbatuk-batuk, Tio
Bik-lui menukas kata2nya: “Gak siauhiap, sejak tiga hari engkau masuk ke
pegunungan ini, membuat aku bingung sekali. Apabila terjadi sesuatu pada
dirimu, aku sungguh tak enak sekali terhadap sahabatku lama Empat-pedang
Busan."
Gak Lui serta merta
menghaturkan terima kasih lalu memperkenalkan Lau Yan-lan. Mata Tio Bik lui
berkilat-kilat memandang sinona sejenak lalu tertawa nyaring: “Ah, kalian
benar2 merupakan pasangan yang sejoli benar .... ha.....ha .... ha... ha,
ha!"
Gak Lui tak memperhatikan
ucapan itu. Sebaliknya Yan-lan gembira sekali. Selebar wajahnya merah dan
hampir tak kuasa menahan senyum tawanya. Melihat itu Tio Bik-luipun hentikan
tertawanya.
“Kalian tadi terjerumus
kedalam guha, apakah melihat sesuatu yang aneh ?" tanyanya.
Gak Lui tak mau mengatakan
tentang nasib ayahnya yang menemui kematian ngeri dalam guha itu. Ia menyahut
dingin: “Memang tidak menemukan apa2, hanya ada beberapa hal yang aku tak
jelas.......”
“Silahkan bertanya."
“Apakah selama tiga hari
menunggu dalam barisan itu, cianpwe pernah berjumpa Maharaja?”
“Ini ... tak pernah. Mungkin
karena jalanan berliku-liku, dia masuk dari lain tempat."
“Lalu anak buahnya yang
cianpwe bunuh itu?"
“Mereka ... sudah berada dalam
barisan."
Mendengar jawaban itu
beralasan, Gak Lui maju selangkah, tanyanya pula: “Apakah cianpwe melihat ke 40
orang yang menyerbu ke dalam guha itu ?"
“Ini ... aku harus
menceritakan dari permulaan bertemu dengan Burung-hong cantik dari Bu-san. Saat
itu aku sedang duduk menyalurkan tenaga-dalam. Kulihat bayangan tubuh nona Lau
menyelinap masuk ke dalam barisan. Sekalipun ada beberapa orang aneh
mengikutinya, saat itu aku tak jelas keadaannya dan tak bertanya apa-apa
...."
“Hm, benar juga. Dia seorang
pendekar yang menyembunyikan diri, tentu tak suka campur tangan urusan
dunia," pikir Gak Lui.
“Tetapi setelah itu, kulihat
berpuluh-puluh orang membawa rantai panjang. Kuduga beberapa orang yang masuk
lebih dulu tadi tentu mendapatkan sesuatu lalu keluar dari jalanan lain dan
memanggil kawan-kawannya. Pada saat itu aku tak dapat berpeluk tangan lebih
lama lagi karena memikirkan keselamatanmu ....." kata Tio Bik-lui lebih
lanjut.
“Karena itu cianpwe lalu masuk
kemari ?”
“Benar," jawab Tio Bik
lui, “semula aku hendak memberi bantuan tetapi tak kira kalian sudah dapat
keluar sendiri."
“Kalau begitu si Maharaja itu
belum menampakkan diri ?”
“Kurasa belum. Kalau memang
sudah....ingin kujajal kesaktiannya."
“Hm ... aneh ?"
“Apa yang aneh ?”
“Ke 40 orang yang menyerbu
kedalam guha itu sebelumnya telah dirusak urat syarafnya. Apa sebabnya, belum
diketahui."
“Kurasa…..” Tio Bik lui
kerutkan sepasang alis dan merenung beberapa saat, ujarnya: “Tentu si Maharaja
yang melakukan."
“Menurut cianpwe, apa
alasannya Maharaja merusak anak buahnya sendiri itu ?"
“Misalnya, karena hendak
menangkap nona Lau ia telah menyuruh sekian banyak orang. Tetapi karena tak
mengetahui keadaan dalam guha, dan kuatir kalau gagal kawanan anak buah itu
akan dipergunakan lawan, maka Maharaja lalu turun tangan lebih dulu."
“Hm, beralasan juga...,"
kata Gak Lui mengangguk, pikirnya: “Dari kejadian itu makin meyakinkan bahwa si
Maharajalah orang yang menipu kitab pusaka orang Bu-kau itu. Begitu melihat
anak dari ketua Bu kau, maka ia bernafsu sekali hendak membunuhnya.”
Tiba Tio Bik-lui berkata
kepada Lau Yan-lan : “Nona Lau, mengapa Maharaja hendak mencelakai engkau
?"
“Entah," sahut Yan lan
dengan dingin. Suatu hal yang membuat Gak Lui heran.
Tetapi Tio Bik-lui mendesak
pertanyaan lagi: “Apakah sedikit alasan saja nona tak mengatakan? Misalnya
apakah nona tak dapat mengatakan tentang asal usul perguruan nona ? Mungkin
dari situ, aku dapat mempunyai gambaran agar dapat memecahkan teka teki
itu."
“Terima kasih! Keluargaku
berantakan dan aku sudah sebatang kara. Tiada yang perlu kukatakan apa2 lagi
...."
“Ya, ya," kata Tio
Bik-lui dengan mata berkilat-kilat. Kemudian ia bertanya kepada Gak Lui apa
tindakannya lebih lanjut.
Gak Lui serentak teringat akan
pesan mendiang ayahnya, ia menghela napas.....
Bab 22. Budi dan Dendam.
Gak Lui teringat akan pesan
mendiang ayahnya. Ia menghela napas dan menyahut: “Aku hanya mempunyai sebuah
cara."
“Bagaimana?" tanya Tio
Bik-lui.
“Mencari Kaisar-persilatan Li
Liong-ci untuk meminta ajaran ilmu Ngo-heng-tay-hwat terbalik.”
“Apakah engkau tahu
tempatnya?"
“Tidak jelas."
“Kalau begitu apakah bukan
seperti memburu bayangan saja?"
“Pernah aku ditolong oleh doa
nyanyiannya ketika aku berada di istana Lok-ong-kiong."
“Rencana itu memang bagus.
Tetapi mengingat Tiong-goan itu negara yang begini luas, apabila hanya
mengandalkan pada kebetulan saja, adalah ibarat orang menjolok rembulan dalam
dasar laut."
Gak Lui tertawa: “Masakan aku
akan bekerja secara begitu."
“Kalau begitu engkau sudah
mempunyai jejak yang dapat engkau ikuti?" tanya Tio Bik-lui.
“Menilik dari kumandang doa
nyanyiannya itu, kuperkirakan dia mungkin berada di daerah pegunungan yang
terkenal misalnya gunung Heng-san, gunung Kosan,” jawab Gak Lui.
“Beralasan juga! Tetapi tempo
hari engkau pernah menyatakan kalau terlibat salah faham dengan fihak
Siau-lim-si......”
“Ah, salah faham dapat
dijelaskan. Apalagi ketua Siau-lim-si terkena racun, seharusnya aku menjenguk
keadaannya.”
“Kalau begitu, silahkanlah.
Akupun hendak minta diri," kata Tio Bik-lui seraya memberi selamat tinggal
lalu tinggalkan tempat itu.
Setelah orang itu pergi, Gak
Lui berpaling ke arah burung Hong-cantik dari Bu-san, Lau Yan-lan, serunya :
“Taci Yan, tadi engkau bersikap dingin, apakah tidak kurang hormat?”
Saat itu Yan-lan masih
memandang ke muka, cepat ia menyahut: “Dengan orang yang belum kenal, tiada
alasan untuk ikut bicara .....”
“Dia pernah membantu aku, jadi
tak dapat dianggap orang asing."
“Ini .... kurasa dia .... dia
tak jujur bicaranya."
“Dalam soal apa ?”
“Dia mengatakan Maharaja
mengirim orang untuk mengejar aku. Itu memang benar. Tetapi kiranya tak perlu
Maharaja mengirim sampai 40 orang.”
“Lalu maksudmu?”
“Dengan membesar-besarkan hal
itu, seperti Maharaja itu sudah menduga kalau akan berhadapan dengan lain musuh
yang tangguh.”
“Memang seharusnya tidak tahu.
Karena ketika aku jatuh dalam guha neraka itu, hanya Tio Bik-lui seorang yang
tahu.....”
“Di situlah letak kecurigaanku!”
seru sinona.
“Hm....." Gak Lui
terkesiap. Setelah merenung beberapa jenak, ia tertawa pula: “Kurasa Tio
cianpwe bukanlah orang semacam itu. Apalagi Maharaja itu memang manusia yang
banyak curiga. Tindakannya itu memang sudah menjadi adat kebiasaannya. Selain
itu apakah engkau dapat menunjukkan lain2 yang menimbulkan kecurigaan lagi
?"
“Lain2 bukti memang tak ada.
Tetapi terhadap orang itu aku memang mempunyai kesan yang tak baik."
“Mengapa ?"
“Wanita memang punya naluri
istimewa...”
“Terlalu perasa, maaf !"
“Benar !" sahut Yan-lan.
“Ha, ha, wanita memang suka
memikir yang tidak2, sering tidak menurut kenyataan...."
“Adik Lui, apakah engkau
menertawakan aku ?” Yan-lan menyeringaikan hidung. Ia merasa kalau dirinya
ditertawakan Gak Lui.
“Tidak, tidak! Aku hanya
bicara sekedarnya saja, sekali-kali bukan kutujukan kepadamu," buru2 Gak
Lui memberi penjelasan, “taci Yan, aku hendak lekas2 menuju ke Siau-lim, nah,
kitapun terpaksa harus berpisah sampai di sini.”
“Berpisah? Engkau tak membawa aku
serta?”
“Ah, sebaiknya jangan ikut
saja."
“Eh, apakah engkau menganggap
karena aku murid perguruan Bu-kau lalu tentu ..... tak suci ?"
“Itu soal lain, harap jangan
dicampur aduk!” kata Gak Lui. Tetapi bagi sinona jawaban itu lain lagi artinya.
Gak Lui berkata menurut urusan yang hendak dilakukan. Tetapi Lau Yan-lan
menerimanya lain. Ia anggap Gak Lui tak mempercayai kesuciannya maka diam2 ia
telah mengambil keputusan.
“Apapun yang hendak engkau
lakukan, boleh saja. Tetapi aku mempunyai sebuah syarat,” kata Yan-lan dengan
wajah berseri.
“Harap mengatakan.”
“Ijinkanlah kutemani engkau
berjalan satu hari, baru nanti kita berpisah."
“Hanya sehari ?” Gak Lui
menegas.
“Ya, artinya sehari semalam!”
“Bolehlah !”
Mendengar Gak Lui menyetujui,
berserilah Yan-lan. Gadis itu tampak makin cantik. Demikian kedua muda mudi itu
segera berangkat menuju ke gunung Ko-san tempat markas Siau-lim-si.
“Adik Lui, pandanglah aku !”
kata sinona setelah berjalan sehari, mereka berdua duduk di bawah sebatang
pohon dalam hutan. Saat itu rembulan bersinar terang. Cahayanya menyusup di
antara celah2 daun dan tepat meningkah ke arah kedua muda mudi itu.
Sekeliling penjuru sunyi
senyap. Ucapan Yan-lan yang merdu merayu itu menambah suasana makin romantic.
Gak Lui menurut. Begitu memandang, hatinya berdebar keras. Untunglah kesadaran
pikirannya cepat mengilas dan cepat pula berpaling lagi.
“Hm, mengapa engkau tak mau
memandang aku? Apakah engkau menganggap diriku jelek?"
“Tidak, engkau amat
cantik."
“Lalu mengapa engkau tak mau
memandang?"
“Aku ... sudah memandang
tadi.”
“Pandanglah sekali lagi!”
“Apa perlunya?"
Yan-lan menggeliat dan
merapatkan tubuh ke hadapan Gak Lui. Gak Lui hendak menyurut mundur. Tetapi ia
terkesiap melihat pancaran mata Yan lan yang penuh mengandung permohonan serta
bibirnya yang menghamburkan napas harum sehingga membuat bibir Gak Lui gemetar.
“Adik Lui, pandanglah mataku,
sekali saja!”
“Ya, kalau hanya sekali, tak
apalah," sahut Gak Lui lalu menatapnya.
Tetapi begitu empat mata
saling beradu, tiba-tiba ia terpikat pesona. Darah bergolak-golak dan meluaplah
nafsu berahinya.
Memang Lau Yan-lan telah
mendapat pelajaran ilmu Memikat-hati dari ibunya. Gak Lui terkena ilmu itu dan
tak dapat menguasai diri lagi. Saat itu sepasang tangan sinona mengulur ke
arahnya dan diluar kesadarannya iapun ulurkan tangan menyambutinya.
Awan berarak-arak menutupi
sang Dewi Rembulan agar dewi malam itu jangan tersinggung perasaannya
menyaksikan kedua muda mudi itu tenggelam dalam buaian nafsu insani, nafsu yang
dimiliki setiap insan, pria maupun wanita.
Beberapa saat kemudian,
setelah mereka terkulai lelah, terdengarlah suara Yan-lan membisiki ke dekat
telinga Gak Lui: “Adik Lui, engkau harus percaya....aku....tak
membohongimu...."
“Tidak....." sahut Gak
Lui, tetapi kata itu tersekat oleh mulutnya yang gemetar. Saat itu tersadarlah
ia apa yang telah terjadi. Segera ia mengemasi pakaiannya lalu duduk. Dalam
benaknya mulai melalu lalang beberapa sosok bayangan dari: Gadis-ular Li
Sau-mey.....The Hong-lian .... Hi Kiam-gin ....Dan akhirnya terbayanglah ia
akan diri Permaisuri Biru pun mengilas dalam benaknya. Masih terngiang dalam
telinganya bagaimana Permaisuri Biru itu dengan nada keibuan pernah memberi
peringatan: “Dalam kehidupanmu apabila muncul gadis yang keempat, engkau tentu
akan mengalami keakhiran yang menyedihkan….”
Teringat akan hal itu
tersentaklah Gak Lui seperti disambar petir. Darahnya menyalur deras dan
terpukaulah ia tak dapat bicara.
Melihat Gak Lui diam seperti
patung, Yan-lan segera bertanya dengan bisik2: “Adik Lui, apakah engkau tak
senang hati ....?”
“Bukan, aku tengah merenungkan
sebuah hal, harap jangan mengganggu dulu," sahut Gak Lui.
Yan-lan tak berani bicara lagi
dan Gak Lui pun sudah menetapkan keputusan, pikirnya: “Ah, tak kira kalau gadis
keempat itu ternyata jatuh pada diri taci Yan. Oleh karena nasi sudah menjadi
bubur, biarlah aku yang bertanggung jawab. Apalagi si Maharaja itu menjadi
musuh kita berdua. Yang penting sekarang ini aku harus berusaha untuk mengambil
kembali pedang pusaka Thian-lui koay-kiam. Lebih dulu membalas sakit-hati.
Lain2 urusan, besok dipikir lagi ...."
Merenung sampai disitu
teringatlah ia akan pesan mendiang ayahnya.
“Apabila keempat jurus ilmu
pedang perguruan kita itu digabungkan satu, dapatlah digunakan untuk menghadapi
pemilik pedang Thian-lui-koay-kiam. Pula sebaiknya yang menjadi pewaris dari
keempat ilmu pedang itu adalah kaum wanita,” demikian pesan mendiang ayahnya.
“Sekarang taci Hi Kiam-gim
sudah dapat mempelajari ilmu pedang itu. Jika kuajarkan ilmu pedang itu kepada
taci Yan ini, adik Siu-mey dan The Hong-lian, bukankah tepat empat orang gadis?
Walaupun mereka terpaut 20an tahun dalam pelajaran itu dengan musuh tetapi
sekurang-kurangnya mereka pasti dapat membela diri. Pula apabila aku berhasil mendapatkan
pedang pusaka itu, kukuatir seperti halnya dengan kakek guru, aku tak dapat
mengendalikan kekuatan daya iblis dari pedang itu. Apabila keempat gadis itu
dapat mempelajari ilmu pedang Bu-san-kiam-hwat, mereka tentu dapat mengatasi
aku...." demikian semakin jauh Gak Lui menjelajah dalam renungan2nya.
“Taci Yan," tiba2 ia
mengakhiri renungannya, "jika kuajarkan engkau ilmu pedang perguruanku,
apakah engkau mau mempelajari ?"
Hampir Yan-lan tak percaya apa
yang didengarnya. Dalam girangnya ia melengking nyaring: “Sudah tentu mau!
Sungguh tak kira apa yang kuikrarkan di depan arwah ayahmu, benar-benar menjadi
kenyataan...”
Setelah menentukan keputusan
untuk mengajarkan keempat jurus ilmu pedang Bu-san- kiam-hwat kepada keempat
gadis itu, maka Gak Lui segera memberikan pelajaran jurus
Hawa-pedang-menembus-malam kepada Lau Yan-lan. Menilik kecerdasan nona itu,
dalam waktu yang singkat ia sudah dapat memahami. Dan setelah berlatih serta
diberi petunjuk seperlunya oleh Gak Lui, akhirnya Yan-lan sudah dapat
mengetahui jelas intisarinya.
Tetapi tepat pada saat
pelajaran itu selesai, berakhir jugalah waktu berkumpul mereka. Betapapun berat
hatinya namun karena sudah janji maka Yan-lanpun tak mau ingkar. Ia menyadari
bahwa perjalanan hidup mereka berdua memang masih penuh dengan lingkaran
bahaya.
“Adik Lui, jurus ilmu pedang
ini, aku tentu akan giat berlatih. Kuharap engkau menjaga dirimu baik-baik
dalam perjalanan,” kata nona itu.
“Taci Yan, kemanakah rencanamu
?" tanya Gak Lui dengan nada penuh perhatian.
“Aku hendak ke Bu-san."
“Tujuannya.....?"
“Di samping menunggu
kedatanganmu, pun untuk menjaga apabila ada orang yang datang ke gunung itu.
Atau mungkin siapa tahu aku dapat menemukan sesuatu jejak ....”
Tetapi Gak Lui tak begitu
menyetujui rencana Yan-lan itu. Ia kuatir Maharaja akan mengirim beberapa jago2
yang sakti lagi. Sudah tentu Yan-lan seorang diri tentu tak mampu menghadapi
mereka.
Tetapi apabila ditinjau dari
sudut lain, Yan-lan faham akan jalan2 dan keadaan keenam puncak gunung Bu-san
itu. Apabila bertemu musuh kuat, dapat menghindarkan diri.
Akhirnya ia tak menentang
rencana nona itu. Begitu berputar tubuh, sambil mengayun langkah ia memberi
salam: “Harap jaga diri baik2 !"
Bagaikan segulung asap, Gak
Lui terus meluncur turun menuju ke gunung Ko-san.
Selama dalam perjalanan itu
Gak Lui tak lepas dari lamunan2. Tujuannya hendak mencari Kaisar Persilatan Li
Liong ci. Ia tahu bahwa tokoh itu sudah lama masuk ke daerah Tiong-goan. Tetapi
wilayah Tiong-goan amat luas sekali, bagaimana mungkin ia dapat mencarinya
dalam waktu yang singkat.
Karena pikirannya melayang, ia
lengah memperhatikan bahwa dari arah belakang, sesosok bayangan tengah
mengejarnya.
Setelah orang itu berteriak
memanggilnya beberapa kali, barulah Gak Lui berhenti dan berpaling.
Kiranya orang itu bukan lain
yalah kenalannya lama, Sebun siangseng, tokoh sakti dari Kun-lun-pay.
“Saudara Gak, baik sajakah
engkau selama ini ? Kepandaian maju pesat sekali rupanya, tentulah engkau
mendapat banyak hal2 yang luar biasa," seru tokoh Kun-lun-pay itu.
Gak Lui menghela napas: “Ah,
sekalipun ada kemajuan tetapi masih terpaut jauh sekali dengan lawan !"
“Oh, apakah engkau sudah
bertemu ?"
“Sungguh mengecewakan, kalau
tiada Kaisar Persilatan tak muncul dengan doa pujiannya, aku tentu sudah mati
ditangan Maharaja."
“Ho, kedua datuk Hitam dan
Putih itu kiranya sudah bertempur. Lalu siapakah yang menang? Atau belum
diketahui kesudahannya..." dalam tegangnya Sebun siangseng mencurah
pertanyaan. Karena merasa bahwa menuturkan cerita itu memakan waktu panjang,
maka Gak Lui lalu menceritakan dari permulaan. Sejak digunung Pek-wan-san
menemui Sin-kun The Thay untuk memesan pembuatan pedang tetapi akhirnya pedang
itu direbut oleh tokoh Wi Cun dari partai Kong-tong-pay. Kemudian bagaimana ia
membunuh Pek Kat Mo kun dan seorang anggauta Topeng Besi, lalu peristiwa
kutungnya lengan imam Ceng Ki dari Bu-tong-pay. Kemudian ia bertemu dengan
Permaisuri Biru dan Li Hud-kong sampai terakhir tiba di istana Lok-ong kiong
dan dikurung dalam lingkaran suitan iblis si Maharaja .... setelah itu seorang
diri ia menempur Sam-ciat atau Tiga Algojo dari Maharaja. Untunglah datang Tio
Bik-lui memberi memberi bantuan dan memberi petunjuk jalan-singkat ke Bu-san.
Akhirnya barulah ia mengetahui nama dari murid hianat itu yalah
Lengan-besi-hati-baik yang kini masih bersembunyi di istana Bi-kiong ....
Mendengar cerita itu tak
henti2nya Sebun Sianseng leletkan lidah dan berulang-ulang mengangguk-angguk
kepala.
“Kalau begitu, sekalipun sudah
unjuk diri tetapi Maharaja belum menampakkan wajahnya. Oleh karena itu apakah
dia itu sipembunuh dahulu, masih belum dapat dipastikan," kata Sebun
siangseng.
“Kurasa tentu dia," kata
Gak Lui.
“Tetapi tadi engkau mengatakan
bahwa hidungnya masih utuh."
“Soal itu setelah ketemu
dengan si Lengan-besi-hati-baik baru dapat diketahui jelas !"
“Kurasa ilmu kepandaiannya
tentu lebih tinggi dari Maharaja. Sekalipun Maharaja mampu masuk kedalam istana
Bi-kiong, mungkin .....”
“Tak ada yang dikata
'mungkin’. Apabila menunggu sampai Maharaja melenyapkan partai2 persilatan
besar, tentu akan lebih sukar lagi," kata Gak Lui.
Sebun sianseng tampak kerutkan
alis, ujarnya: “Saudara Gak, dalam usahaku untuk mengajak partai persilatan
bersama-sama menghancurkan maharaja, ternyata juga menemui banyak kesulitan
...”
“O ...” desuh Gak Lui.
“Aku sudah pergi Bu-tong-san.
Murid kepala, imam Hwat Lui, sesungguhnya juga dapat mengerti keadaanmu. Tetapi
kemudian ia bersangsi lagi."
“Kenapa ?"
“Kabarnya ada seorang cianpwe
persilatan secara diam2 telah mengirim batang kepala dari imam Ceng
Ki...."
“Tak mungkin ! Jelas Ceng Ki
totiang telah lolos dengan menderita luka saja," seru Gak Lui dengan
tegang.
“Saudara Gak, engkau tentu
salah sangka. Mungkin karena sedang menghadapi pertempuran, sehingga salah
lihat...."
“Apakah engkau sendiri juga
tak percaya kepadaku ?" tanya Gak Lui.
“Terus terang saja, aku memang
kenal dengan Ceng Ki totiang. Demi menyelidiki peristiwa itu, sengaja aku naik
ke gunung Bu-tong-san untuk mengenali kepala orang itu. Dan kudapati memang
benar2 kepala dari imam itu sendiri !"
“Oh ...” kembali Gak Lui
mendesuh terkejut dan menyurut mundur selangkah. Ia memang tak mengetahui
sendiri bagaimana Permaisuri Biru telah mendapatkan batang kepala itu. Maka
diam2 iapun meragu dalam hati.
Tetapi secepat ia menggali
ingatannya, ia berkata dalam hati: “Jelas mereka berdua selalu bersama. Sama2
muncul dan lenyap. Pula Topeng Besi itu seperti diberi komando oleh suatu
suitan misterius. Dan suitan itu sama dengan suitan dari Maharaja. Dahulu dari
ibunya Lau Yan-lan, Maharaja telah berhasil secara licin mempelajari ilmu
suitan untuk menghancurkan kesadaran pikiran orang ... !"
Berpikir sampai kesitu, awan
yang menutupi kegelapan benak Gak Lui seperti tersingkap terang. Ia dapat
memecahkan beberapa teka teki yang selama ini seperti diselubungi kabut gelap.
Pertama, dahulu mendiang
ayahnya yakni Dewa-pedang Gak Tiang-beng, pernah melihat murid perguruan
Heng-san mati dibunuh. Kabarnya murid Heng-san itu diajak oleh paman gurunya
yang bergelar imam Hwat Gong. Sedang waktu murid Heng-san itu dibunuh oleh
seorang tak dikenal, peristiwa itu terjadi didepan hidung Hwat Gong dan Hwat
Gong hanya berpeluk tangan mengawasi saja.
Padahal Hwat Gong kala itu
merupakan murid kepala dari Heng-san, murid yang bakal menjadi pengganti ketua
Heng-san-pay. Seharusnya dalam kedudukan itu, ia tak boleh menghianat partai
perguruannya dan masuk dalam gerombolan kaum Hitam.
Menilik hal itu jelas kalau
Hwat Gong telah dihapus kesadaran pikirannya oleh suitan sihir dari Maharaja sehingga
ia tak berkutik seperti patung melihat murid Heng-san dibunuh orang.
Tentang sepak terjang
Maharaja, Gak Lui mendapat gambaran jelas: Maharaja takut kalau Keempat tokoh
pedang dari Bu-san itu akan bersatu untuk menyerangnya dan ia tak mampu menguasai
mereka. Karena ia tak berani terang-terangan menggunakan ilmu pedang dari
perguruan Bu san.
Demi untuk menghapus
kemungkinan kalau Keempat pedang dari Bu-san itu akan merajai dunia persilatan,
lebih dulu Maharaja hendak mencari pembantu. Kemudian ia harus meyakinkan ilmu
kepandaian yang tersakti di dunia persilatan. Sekarang ia telah berhasil
memperbudak tokoh2 sakti dari lima buah partai persilatan. Sekali mendayung dua
tepian. Disatu fihak mendapat pembantu yang boleh diandalkan, pun dilain fihak
ia dapat mencuri belajar beberapa ilmu sakti dari partai2 persilatan itu.
Demikianlah kesimpulan yang
dibuat Gak Lui dari peristiwa penyerangan terhadap ayah-angkatnya dahulu oleh
seorang berselubung muka bersama tiga orang Topeng Besi. Begitu pula mengapa Maharaja
mampu memiliki beberapa ilmu kepandaian dari beberapa partai persilatan, kini
mulailah ia dapat membayangkan jelas.
Kedua, menilik hal2 itu,
dapatlah disimpulkan bahwa Ceng Hi totiang itu bukanlah seorang murid hianat,
demikianpun dengan keempat anggauta Topeng Besi itu. Mereka bertindak diluar
kesadaran karena pikiran mereka dilimbungkan oleh Maharaja. Oleh karena itu
tokoh2 dari partai persilatan yang diperbudak Maharaja selalu mengenakan
selubung muka warna hitam agar jangan diketahui orang.
Tiba pada kesimpulan pikiran
itu, diam2 Gak Lui kucurkan keringat dingin. Karena ia menyadari kalau telah
salah membunuh Ceng Ki totiang yang walaupun menjadi pembantu Maharaja tetapi
karena pikirannya limbung disihir oleh Maharaja. Jadi kesalahan imam Ceng Ki
itu sebenarnya tak perlu sampai harus mendapat hukuman mati.
“Ah....." diam2 Gak Lui
menghela napas panjang. Hatinya gundah resah.
Sebun sianseng tak mengerti
mengapa anak-muda itu tampak gelisah. Tanyanya: “Orang yang mati tak mungkin
hidup lagi. Lebih baik engkau curahkan pikiran untuk berusaha menghimpaskan
hutang darah itu dari pada memikirkan hal2 yang sudah lalu. Tetapi ... memang
usaha itu tak mudah."
Dengan tandas, berkatalah Gak
Lui: “Seorang lelaki akan membedakan mana budi mana dendam. Salah faham itu aku
dapat menebusnya dengan balas jasa yang bertubi-tubi !"
Mendengar ucapan Gak Lui itu,
tiba2 Sebun sianseng teringat akan pemandangan ngeri dalam Kaca ajaib tempo
hari. Diam-diam ia menggigil dan bertanya: “Dengan cara bagaimana engkau hendak
membalas jasa itu? Apakah tak mungkin dirimu sendiri akan .... lenyap!”
“Rencana belum kupikirkan
masak, tetapi-pun takkan bertindak dengan serampangan ..."
Sebun sianseng menghela napas
longgar, serunya: “Bagus, memang seharusnya begitu. Kini hendak kututurkan
tentang sikap orang Ceng-sia-pay."
“Apakah Thian Lok totiang yang
terkena kabut beracun itu sudah sembuh?" tukas Gak Lui.
“Ah, masakan begitu cepat.
Mereka kekurangan obat maka terpaksa menutup markas. Tetapi menurut keterangan
para muridnya, begitu Thian Lok totiang sudah sembuh, dia tentu akan mencarimu
!"
Gak Lui tertawa hambar lalu
beralih pertanyaan: “Lalu bagaimana Kong-tong-pay? Apakah sianseng sudah ke
sana?"
“Sudah," sahut sianseng,
“ketuanya, Wi Ih mendendam kepadamu karena engkau telah membunuh Wi Ti dan Wi
Tun. Ketua Wi Ih itu hendak menuntut balas…..”
“Bukan aku yang melakukan.
Peristiwa itu kabarnya suheng anda, yalah Tanghong sianseng menyaksikan
sendiri. Entah apakah anda sudah berjumpa atau belum dengan Tanghong
sianseng?"
“Sudah lama kami tak berjumpa.
Sekarang ia ikut Hwat Hong taysu dari perguruan Hengsan-pay berada di gereja
Siau-lim-si. Maka sengaja aku datang kemari memberitahu, dan lagi ...."
“Dan lagi bagaimana?"
“Tek Yan tianglo dari
Go-bi-san yang sudah lama tak muncul, saat ini juga sudah berada disekitar
tempat ini. Aku harus lekas2 mencarinya untuk memberi penjelasan. Kalau tidak
dikuatirkan dia akan salah mendapat keterangan dari orang sehingga salah faham
kepadamu."
Gak Lui amat berterima kasih
atas kebaikan hati Sebun sianseng: “Ah, bagaimana aku harus mengucapkan terima
kasih kepada anda yang sudah begitu jerih payah lari sana sini ...."
“Ah, tak apalah," sahut
Sebun sianseng lalu bertanya: “Saudara Gak, tampaknya engkau tergopoh2, hendak
kemanakah?"
“Siau-lim-si !"
“Tujuan ?"
“Pertama, hendak menjenguk
sakitnya ketua Siau-lim-si. Dan kedua kalinya, menyelidiki jejak Kaisar
Persilatan."
“Ah, tak benar. Belum tentu
Hui Gong taysu tahu. Dan kedua kalinya suhengku tentu sukar bicara. Kurasa ....
lebih baik ikut kepada kami ...."
“Ke tempat Tek Yan totiang itu
?"
“Lebih baik hal itu untuk
sementara waktu ditangguhkan dulu. Urusanmu lebih penting."
“Tidak! Baiklah sianseng cari
dulu Tek Yan totiang itu dan biarlah aku sendiri yang pergi ke
Siau-lim-si."
Sebun sianseng sukar untuk
melayani dua buah masalah sekaligus, ia hendak menyetujui tetapi hatinya tak
tega.
Melihat itu Gak Lui tertawa
rawan ! “Apakah anda lupa ? Bukankah dahulu anda pernah menghadiahkan kepadaku
sebuah kaca cermin ? Dengan benda itu dapatlah kuberi penjelasan kepada su-heng
anda. Sedang tentang Hwat Hong taysu dari Heng-san-pay, pagi2 dia sudah
mengetahui diriku. Sudah tentu dia akan memberi penjelasan kepada fihak
Siau-lim-si ...."
Sebun sianseng seperti
disadarkan. Setelah merenung sejenak, ia anggukkan kepala.
Demikian keduanya segera
mengambil selamat berpisah dan bergegas menempuh perjalanan masing2.
“Ah, Sebun sianseng, kelak
apabila aku sudah menunaikan dendam sakit hatiku, aku tentu akan membalas budi
kebaikanmu......” diam2 Gak Lui mengantar kepergian orang itu dengan janji
dalam hati.
Setiba didaerah gereja
Siau-lim-si, Gak Lui tak henti2nya pasang mata. Setiap orang yang dijumpai
dalam perjalanan tentu diawasi dengan seksama. Ia mengharap mudah-mudahan
diantara mereka itu terdapat tokoh Kaisar Persilatan yang termasyhur itu.
Tetapi harapannya itu sia2
belaka. Karena makin dekat gereja Siau-lim, orangpun makin sedikit. Jangankan
orang persilatan, bahkan tetamu yang hendak bersembahyang ke gereja itu pun
sudah jarang sekali.
Warung dalam daerah situ,
penuh dengan tempelan kertas yang bertuliskan “Urusan dalam belum selesai,
harap tetamu jangan singgah dulu”.
Timbullah gagasan dalam benak
Gak Lui, pikirnya: “Menilik naga-naganya, rupanya demi menyembunyikan jejaknya,
Kaisar Persilatan tentu takkan datang kemari.... tetapi menilik kepandaiannya,
orangpun sukar untuk mengenali dirinya. Lalu bagaimana baiknya, ataukah aku
lebih dulu masuk ke gunung atau melakukan lain pekerjaan ?”
Habis berpikir, Gak Lui
memandang kemuka. Pada gerumbul hutan tampak menonjol genteng gereja yang
berwarna merah. Sedang dibawah kaki gunung tampak berbondong-bondong sosok
bayangan orang. Jelas mereka itu sedang mengadakan penjagaan keatas gunung.
Melihat pemandangan itu,
tergeraklah hati Gak Lui. Ia segera memutuskan, “Walaupun tiada sangkut
pautnya, tetapi ketua Siau-lim si saat ini masih belum terlepas dari bahaya.
Aku harus menjenguknya...."
Cepat ia lanjutkan langkah.
Tetapi baru berjalan satu li jauhnya, tiba2 disebelah muka tampak sesosok tubuh
manusia berjalan menghampiri. Diam2 Gak Lui terkejut heran karena tadi ia tak
dapat melihatnya.
Cepat sekali orang itupun
sudah tiba. Gak Lui memandangnya tajam2. Tetapi karena melihat itu makin
besarlah kecurigaannya.
Orang itu memakai rambut yang
menjulai kebelakang. Sepatu robek, pakaian butut. Langkah kakinya tidak
tangkas, sinar matanyapun tak tajam. Pendek kata, seorang miskin yang sederhana
sekali.
“Tolong tanya, apakah saudara
baru kembali dari gereja Siau-lim-si ?" Gak Lui berhenti dan bertanya
kepada orang itu.
Rupanya orang itupun terkesiap
kaget melihat Gak Lui. Ia berhenti dan menyahut: “Benar!"
“Gunung dijaga ketat,
bagaimana saudara dapat bergerak bebas ?"
Orang itu tertawa : “Aku faham
sekali akan jalanan digunung ini. Aku mengambil jalan singkat."
“Hm....." orang itu
mendesus dan merenung. Beberapa saat kemudian baru berkata: “Selama ketua sakit
suasana disini amat perihatin. Tetapi tak lama penyakitnya tentu sembuh. Kalau
saudara akan menyambangi, lebih baik lain hari saja."
Gak Lui gelengkan kepala
tertawa. Kembali di bawah kaki gunung muncul beberapa bayangan dan berseru :
“Hai, berhenti dululah...."
Orang miskin itu terperanjat.
Gak Lui cepat bergerak untuk melindungi orang itu.
“Harap jangan
bergerak....." seru pendatang yang belakangan itu. Dan cepat sekali
orangnya pun sudah tiba.
Seorang yang memiliki sepasang
alis melengkung bagus dan hidung lempang lurus. Sepasang matanya berkilat-kilat
tajam. Suatu pertanda bahwa dia tentu memiliki ilmu tenaga-dalam yang tinggi.
Dengan tertawa, Gak Lui
menyambut: “Tanghong sianseng ketua Kun-lun-pay, tentulah anda ini bukan
?"
Tanghong sianseng tertegun:
“Benar, dan kalau menurut topeng mukamu itu sedemikian anehnya, engkau tentulah
Gak Lui."
Gak Lui cepat mengeluarkan
kaca cermin pemberian Sebun sianseng : “Aku membawa kaca pemberian Sebun
sianseng. Silahkan anda memeriksa dulu agar kita dapat bicara dengan
leluasa."
Tanghong sianseng menerima
kaca cermin itu. Setelah diamat-amati beberapa jenak, iapun menyerahkan
kembali.
“O, kiranya engkau mempunyai
hubungan baik sekali dengan sute-ku. Kalau begitu apa yang tersiar dalam dunia
persilatan tentang dirimu itu, tentulah tak benar."
“Ah, hal itu hanya suatu
kesalahan faham saja," sahut Gak Lui.
“Bagaimana soal peristiwa
pembunuhan terhadap kedua totiang dari Kong-tong-pay itu ?"
“Sekali-kali bukan perbuatanku
!"
“Maksudmu perbuatan dari anak
buah Maharaja ?"
“Tentunya sudah mengerti
sendiri?"
Mata Tanghong sianseng
berkilat tajam lalu bertanya : “Ketika kedua totiang itu hendak menghembuskan
napas terakhir, waktu kutanya siapa yang mencelakai mereka, mereka menyebut
namamu. Bagaimanakah hal itu ?"
“Ini ...."
“Ini bagaimana ?"
“Kurasa pada permulaan dan
akhir keterangan dari kedua totiang itu tentu masih terselip lain kata. Sayang
karena mereka berdua sudah menderita luka parah sehingga tak sempat mengatakan
lagi. Silahkan anda merenungkan kembali keadaan saat itu, tentu anda akan
mendapat kesan lain," kata Gak Lui.
Tanghong sianseng termenung
diam2. Ia membayangkan pula keadaan pada saat ia menyaksikan kedua totiang itu
menutup mata. Memang ada kesan yang seperti dikatakan Gak Lui itu. Sambil
mengusap jenggot, ia mengangguk : “Baiklah, soal itu kelak pasti akan
tersingkap. Kemudian mengenai partai Ceng-sia-pay...."
“Harap jangan kuatir. Nanti
setelah Thian Lok totiang jelas akan persoalannya, keadaan tentu akan baik
kembali."
Mendengar keterangan Gak Lui,
wajah Tanghong sianseng yang semula tegang, saat itu mulai ramah. Kemudian
setelah mendapat keterangan tentang maksud kedatangan Gak Lui, tiba2 alis
Tanghong sianseng menjungkat pula.
“Karena kedatanganmu dengan
maksud baik, aku pun takkan merintangi. Tetapi siapakah yang engkau ajak bicara
tadi ?”
“Katanya seorang tetamu yang
habis bersembahyang ...."
“Tidak !" cepat Tanghong
sianseng menukas, “jika ia sungguh turun dari Siau-lim-si, masakan aku tak
dapat melihatnya.”
“Dia faham akan jalanan
digunung ini dan mengambil jalan yang singkat."
“Hm, pikiranmu terlalu
singkat," gumam Tanghong sianseng, “sepanjang jalan keatas gunung,
sekalipun jalan singkat, tetap dijaga oleh murid Siau-lim. Jangan lagi manusia,
sedangkan seekor burung pun sukar untuk melintasinya !"
“O, kapankah anda melihatnya
?" seru Gak Lui terkejut.
“Pada saat dia sedang bicara
dengan engkau!"
“Heran !" Gak Lui cepat
berpaling kebelakang. Tetapi orang itupun sudah lenyap. Pada semak rumput
ditepi jalan, terdapat bekas2 telapak kaki yang menuju kedalam lembah, “ah,
kiranya dia meluncur turun ...."
“Heh, heh, heh, heh!"
Tanghong sianseng mengekeh marah, “hm, besar sekali nyalimu berani
mempermainkan aku !”
“Akan kujelaskan ..."
“Jelaskan ? Aku dapat
mewakilimu memberi penjelasan. Engkau sengaja menahannya supaya aku tak dapat
melihat jelas. Dan engkau sengaja menggunakan barang pertandaan dari suteku
untuk mengaburkan perhatianku ...."
Karena dituduh begitu,
meluaplah kemarahan Gak Lui, serunya dengan gemetar : “Jadi engkau mencurigai
aku membawa mata2 ?”
“Bukan hanya mata2 dari luar,
pun mata2 dari dalam!"
“Dari dalam ?" Gak Lui
terkejut.
“Ha, ha, kembali berpura-pura
tak tahu..."
“Aku tak pernah bohong, kalau
hendak bicara harap terus terang saja !" seru Gak Lui.
“Ya, baiklah, akan kukatakan
dengan terus terang. Tiga hari yang lalu, datanglah seorang gadis kegunung ini.
Katanya ia murid dari Empat Permaisuri dan membawa obat untuk Hui Hong taysu.
Mengingat ia seorang dara, aku lengah untuk memeriksa dan memberikan obat itu
kepada Hui Hong taysu...."
“Setelah minum lalu bagaimana
?"
“Taysu terus tak sadarkan diri
sampai sekarang ini !"
“Siapakah nama dari dara itu
?"
“Gadis-ular Li Siau-mey
!"
“Hai... !" Gak Lui
berteriak girang, “kiranya adik Siau-mey ... dia .... berada dimana?"
“Ditahan dalam ruang Koan
Im...”
“Kenapa ?" Gak Lui
terkejut.
“Ia mengatakan bahwa dalam
waktu tiga hari taysu pasti tersadar. Hari ini sudah tiba waktunya. Jika taysu
tak dapat sadar, ia harus mengganti jiwa!"
Mendengar itu murkalah Gak
Lui, serunya: “Ah, anda memang keterlaluan. Lebih baik lepaskan dia !"
“Kalau tidak ?”
“Aku sendiri yang akan
mengusahakan kebebasannya.”
“Heh, heh," Tanghong
sianseng mengekeh. “rupanya engkau memang harus diberi hajaran!"
“Apakah engkau mampu melakukan
?" ejek Gak Lui.
“Budak, engkau hanya
mengandalkan sebatang pedang pusaka dari perguruan Bu-tong-pay. Tetapi aku tak
memandang mata sama sekali!"
“Aku takkan mengunakan pedang
tetapi hanya sepasang tinju saja, bagaimana ?"
“Tidak ada pertanyaan semacam
itu! Kalau aku sampai salah lepas seorang, tentu takkan mengulangi melepaskan
dua orang. Maka akupun terpaksa harus menangkapmu hidup !"
Waktu mengatakan kata
'menangkapmu' itu, Tanghong sianseng sudah menghantam. Ilmu pukulan tenaga
Sian-ying-ki-kang yang menjadi kebanggaan perguruan Kun-lun-pay, segera
memancar dari tangan Tanghong sianseng. Gelombang dahsyat berlambar tenaga sakti
Sin-ying-khi kang segera melanda dada dan pinggang Gak Lui. Ganasnya bukan
kepalang!
Bab 23. Badai di gunung
Kunlun.
Melihat pukulan Tanghong
sianseng mengandung tenaga yang dahsyat, apalagi dalam jarak yang begitu dekat,
diam2 Gak Lui terkejut. Cepat ia berputar tubuh dan balas menyerang tiga kali.
Bum .... bum .... bum ....
terdengar letupan keras ketika pukulan mereka beradu.
Karena termakan
tenaga-penyedot lalu didorong oleh Gak Lui, Tanghong sianseng terperanjat
sekali. Dengan menggeram marah ia lingkarkan tangannya. Bagai gunung roboh,
kelima jarinya menelungkupi Gak Lui.
Baru pertama kali itu Gak Lui
berhadapan dengan ilmu kepandaian perguruan Kun-lun-pay. Ia benar2 tertarik
akan ilmu kesaktian dari partai perguruan itu. Terutama tenaga-dalam yang
sekeras gunung meledak dan tenaga-dalam halus bagaikan daun kering rontok ke
tanah.....
Kemudian ketika teringat bahwa
ia harus lekas menolong Siu-mey yang ditahan di ruang Koan im, Gak Lui makin
terburu-buru. Dengan menggeram ia segera dorong kedua tangan. Dengan
tenaga-dalam pukulan Menundukkan-iblis, ia menangkis pukulan orang.
Kembali dua buah pukulan sakti
saling menguji kekuatan. Perbawanya sedahsyat halilintar memekik-mekik di
angkasa.....
Bermula tak percaya Tanghong
sianseng bahwa anak semuda itu memiliki kepandaian sakti. Tetapi setelah
bertempur 10 jurus kemudian, barulah ia percaya bahwa memang Gak Lui tak
bernama kosong.
Demikianlah keduanya
melanjutkan pertempuran dengan jurus2 pukulan yang jarang tampak dalam dunia
persilatan. Jika Gak Lui menggunakan ilmu pukulan Menundukkan-iblis, adalah
Tanghong sianseng mengeluarkan ilmu Liong-hou-sam-ciang atau tiga pukulan Naga
dan Harimau.
Karena gerakan lawan itu
hendak menerkam lengannya, Gak Luipun berhenti. Ia terkesiap menyaksikan ilmu aneh
dari lawan itu. Sesaat ia tertegun dan agak bingung bagaimana harus
menghadapinya.
Kebalikannya Tanghong sianseng
diam2 gembira sekali. Cepat ia lancarkan tiga jurus serangan istimewa lagi.
Tetapi ternyata dia terlalu
cepat bergembira.
Tiba2 tubuh Gak Lui
bergeliatan, seperti ke kanan seperti ke kiri. Dengan gerak yang aneh itu, ia
berhasil menghindarkan diri dari ketiga pukulan Tanghong sianseng. Dan laksana
sesosok iblis, tiba-tiba ia menyelinap ke belakang orang.
Gerakan itu benar2 membuat Tanghong
sianseng tertegun. Cepat2 ia menggelincirkan langkah dan balikkan tangan
menghalau. Tetapi baru bergerak setengah jalan, tiba-tiba bum .... sebuah
hantaman dari ilmu pukulan Penakluk-iblis, mengenai tepat punggung Tanghong
sianseng.
Untung Gak Lui masih mempunyai
pertimbangan, ia tak mau membunuh orang itu. Tetapi sekalipun begitu, ketua
Kun-lun-pay yang angkuh dan congkak itu, mata berkunang-kunang dan kepalanyapun
terasa berbinar-binar gelap, kaki terhuyung-huyung dan jatuhlah ia ke tanah.
Cepat Gak Lui menyambarnya terus dibawa masuk ke dalam hutan.
Kawanan murid Siau-lim-si tadi
menyaksikan pertempuran itu dengan terlongong-longong kesima. Mereka begitu
tertarik sekali perhatiannya sehingga tak menyadari bahwa tahu-tahu Tanghong
sianseng sudah rubuh dan dibawa si anak muda. Pada saat mereka menyadari,
ternyata sudah terlambat. Laksana seekor burung garuda, Gak Lui loncat melayang
ke arah mereka. Dengan taburkan jari2 tangannya, ke 8 murid Sian-lim-si itu
mengerang dan mengaduh dan sama rubuh ke tanah .....
Setelah melihat kawanan paderi
itu jerih, Gak Lui turunkan Tanghong sianseng lalu berseru kepada kawanan
paderi itu: “Harap kalian jangan takut. Beritahukan kepadaku, di manakah letak
ruang Koan-im-khek itu?”
Salah seorang paderi karena
melihat keadaan Tanghong sianseng, timbul kekuatiran kalau orang itu sampai
dilukai Gak Lui. Maka ia segera memberitahu : “Terus naik ke atas, di tepi
jalan besar ....”
“Siapa yang menjaga di situ?”
“Hwat Hong taysu ketua
perguruan Ceng-san-pay.....”
“Bagus !" seru Gak Lui.
Tetapi diam-diam ia menimang : “kalau benar Hwat Hong taysu, tentu mudah kita
berunding.”
Maka ia segera menepuk jalan
darah Tanghong sianseng supaya sadar lalu berkata: “Maaf, terpaksa kuminta anda
rebah dulu di sini untuk sementara waktu. Bila nanti aku sudah kembali menolong
orang, lain2 jalan darah anda yang tertutuk itu tentu dapat terbuka sendiri.
Dan kujamin bahwa obat pemberian Gadis-ular Li Siau-mey itu pasti takkan
membahayakan ketua Siau-lim-si, janganlah kuatir !"
Habis berkata Gak Lui terus
berputar tubuh dan melesat ke jalan besar yang menuju ke atas gunung.
Karena jalan darahnya
tertutuk, Tanghong sianseng tak dapat berkutik. Karena marahnya wajah pucat
lesi, kaki tangannya dingin. Diam2 ia menimang : “Gak Lui, engkau benar2
menghina aku sehingga namaku yang sudah harum berpuluh tahun itu akan lenyap
kelaut. Hinaan ini pada suatu hari pasti akan kutagih. Kalau engkau mengira
paseban Koan im-khek itu dapat engkau masuki dengan bebas, engkau hanya
bermimpi. Nanti apabila 500 anggauta barisan Lo-han-tin itu sudah bergerak
mengepungmu, aku pasti sudah dapat datang untuk membekukmu ....”
Selagi ketua Kun lun-pay itu
menghamburkan sumpahnya dalam hati, adalah saat itu Gak Lui dengan gunakan ilmu
lari cepat Awan-berarak-seribu-li tengah mendaki keatas gunung.
Kawanan paderi yang tengah
mengadakan patroli disepanjang jalan, hanya melihat sesosok bayangan hitam
melanda datang. Mereka buru2 menyingkir kesamping. Yang agak lambat menyingkir,
sama terpelanting terdampar angin keras.
Lebih kurang sepeminum teh
lamanya, tampaklah sebuah bangunan tinggi yang bertembok merah. Dengan matanya
yang tajam dapatlah Gak Lui segera membaca papan nama pada bangunan itu yang
berbunyi Koam-im-khek atau ruang paseban Dewi Koan Im.
Gak Lui girang sekali. Ia
terus gunakan ilmu Burung-elang-pentang-sayap untuk melambung 10 tombak
tingginya kedalam hutan terus meluncur kemuka.
Pada saat ia meluncur kebawah
itu, tiba2 ia tersirap kaget. Ternyata disekeliling paseban Koan-im-khek itu
penuh dijaga oleh barisan paderi dalam bentuk barisan pat-kwa. Dan pada tiap
sudut, diam2 telah siap pula dengan barisan pendam. Karena ia sedang melambung
ke udara maka sukarlah untuk menyembunyikan jejaknya lagi.
Serentak terdengarlah suitan
melengking bertubi-tubi. Dan menyusul berpuluh-puluh sosok tubuh dan sinar
pedang segera berhamburan menyongsong kedatangannya.
Gak Lui menyadari kesalahan
langkahnya tetapi sudah tak dapat menghindari lagi.
“Cepat! Hanya dengan kecepatan
saja barulah aku dapat terhindar dari kepungan mereka !” diam2 Gak Lui berkata
kepada hatinya sendiri. Kemudian ia kerahkan tenaga dan meluncur lebih laju.
Saat itu hanya terpisah 100-an
tombak dari ruang paseban Koan-im. Tetapi pada saat itu juga dari samping jalan
terdengar suara orang berseru O-mi-to-hud dan menyusul muncullah seorang paderi
berjubah kelabu menghadangnya.
“Taysu, harap memberi jalan
!" seru Gak Lui yang dengan matanya tajam segera mengenali bahwa yang
menghadang itu adalah Hwat Hong taysu, kepala dari perguruan Heng-san-pay. Sambil
berseru, iapun sudah menyelinap kesamping hendak mengitari paderi itu.
“Berhenti !” bentak Hwat Hong
taysu seraya kebutkan lengan jubahnya menyapu.
Tetapi gerak tubuh Gak Lui
yang istimewa itu, tak mungkin dapat ditahan Hwat Hong. Padri ketua Heng-san-pay
itu terkejut dan buru2 salurkan Bu-ying-keng atau aliran tenaga tak kelihatan,
untuk menahan pemuda itu.
Tetapi dengan mengempos
semangat, Gak Lui pun sudah melambung keudara dan terus meluncur kearah paseban
itu. Tetapi karena dirintangi Hwat Hong itu maka Gak Lui sampai tak sempat
memperhatikan keadaan dalam ruang paseban. Tiang dan jendela ruang itu penuh
dengan lubang2 kecil. Dan pada saat Gak Lui sedang melayang diudara itu,
terdengarlah berdetak detak dari 16 buah jendela yang terpentang keluar.
Menyusul berhamburanlah kabut dan asap lalu tampak Gadis-ular Li Siau-mey tegak
diambang jendela dengan wajah yang ketakutan.
Ternyata disamping mendengar
hiruk pikuk suitan para paderi, iapun mendengar juga suara sang kekasih dating.
Karena tegangnya, ia terus mendorong jendela. Tetapi begitu jendela terdorong
maka berhamburan ke 16 jendela lainnya terbuka lebar2....
Siu-mey tak menduga sama
sekali bahwa ruang paseban Koam-im-khek itu dilengkapi dengan alat2 rahasia
semacam itu. Dan alat pembuka dari pekakas rahasia itu ternyata daun jendela
yang direntangnya itu.
“Engkoh Lui, lekas putar
kembali!" teriaknya cepat2.
Tetapi sayang teriakannya itu
terlambat. Saat itu Gak Lui sudah melayang kearah serambi. Dan ketika berpaling
kebelakang, dilihatnya Hwat Hong taysu sudah tegak berdiri ditempatnya tadi.
Sedang beratus-ratus paderi Siau-lim-si pun sudah siap dengan senjata terhunus.
Ternyata mereka telah membentuk diri dalam barisan Lo-han-tin.
Gak Lui terjepit dalam dua
kesukaran. Kalau ia menurut anjuran Siau-mey untuk kembali, ia tentu terkurung
dalam barisa Lo-han-tin. Apabila, masuk kedalam Koan-im-khek ia tentu akan
berhadapan dengan taburan senjata rahasia. Gak Lui memilih maju terus.
Dengan lingkarkan sepasang
lengan untuk melindungi tubuh, ia terus cepat meluncur masuk kedalam ruang
paseban. Kira2 pada jarak tiga tombak, ia segera disambut oleh benda2 yang
mendesis-desis dan mendengung-dengung tajam.
“Ah, senjata
rahasia....." serunya.
Memang benar, beribu-ribu
senjata rahasia yang meluncur dengan kekuatan hebat dan sederas hujan mencurah
sedang menyongsong kepadanya. Melihat itu, betapa besar nyali dan kegalauannya,
namun Gak Lui gentar juga. Ia menyadari bahwa taburan senjata rahasia itu tak
mungkin dapat dihalau dengan tangan kosong. Maka cepat ia memutar pedang untuk
menghantam. Tetapi hujan senjata rahasia itu terlampau deras dan cepat.
Beberapa biji telah lolos dari sabatan pedang dan menyusup ke beberapa jalan
darah di tubuh pemuda itu. Seketika ia rasakan tubuhnya kesemutan dan mulai
kaku. Saat itu baru ia menyadari bahwa senjata rahasia itu mengandung racun.
Karena terluka, terpaksa Gak
Lui meluncur turun. Melihat itu menjeritlah Siau mey. Gadis itu tak tahan
melihat kekasihnya terluka. Ia menutup mukanya dan rubuh pingsan.
Dalam kepungan beribu senjata
rahasia itu Gak Lui tak dapat menyerbu masuk. Maka dengan mengempos semangat,
ia terus apungkan tubuh berjumpalitan ke arah barisan Lo-han-tin yang terdiri
dari 500 paderi Siau-lim-si itu.
Hwat Hong taysu yang berada di
depan barisan segera berseru: “Gak sauhiap, menilik keadaanmu engkau sudah
terkena jarum emas Pencabut Nyawa!"
Sebenarnya saat itu dengan
mengerahkan tenaga-murni, Gak Lui sedang menyedot jarum emas yang lembut itu
pada tubuhnya supaya masuk ke dalam saluran darahnya. Tetapi karena sakit dan
kejutnya, ia sampai gemetar.
“Hm, tak nyana kalau gereja
suci semacam Siau-lim-si ternyata menggunakan alat2 rahasia yang dilumuri
racun!" serunya marah.
Dampratan tajam itu membuat
Hwat Hong taysu menyurut mundur setengah langkah, serunya gopoh: “Dalam gereja
Siau-lim-si hanya ada dua tempat yang dilengkapi pekakas rahasia, hal itu
setiap orang sudah tahu ....”
“Dua tempat yang mana ?”
“Sauhiap, waktu amat berharga.
Harap suka mendengarkan kata-kataku dulu..!”
”Tak apa, harap taysu suka
mengatakan soal tempat pekakas rahasia itu, baru nanti membicarakan lain2 soal
!”
“Ini ....," Hwat Hong
taysu merenung sejenak, ia tahu anak muda itu berhati keras, maka lebih baik
menerangkan saja kepadanya agar dapat menghemat waktu.
“Yang satu di ruang
Koan-im-khek sini dan yang satu di paseban Lo han tong," katanya.
“Hm....,” dengus Gak Lui.
“Karena sudah kuberi
keterangan maka sekarang harap sauhiap suka mendengar nasehatku.”
“Silahkan taysu
mengatakan."
“Sauhiap telah terkena senjata
yang amat beracun. Racun itu khusus untuk menghancurkan tenaga-murni orang.
Mengenai obatnya, hanya disimpan oleh ketua Hui Hong taysu sendiri. Oleh karena
itu, kurasa…”
“Bagaimana ?”
“Lebih baik sauhiap hentikan
gerakan dan tunggu sampai nanti Hui Hong taysu sadar agar dapat memberi
pertolongan."
“Ini......” melihat
kesungguhan sikap paderi itu, terpaksa Gak Lui tahankan kemarahannya. Namun
tampaknya ia masih meragu.
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
Melihat itu Hwat Hong segera
maju melangkah menandaskan: “tak usah sauhiap meragui. Setelah makan obat dari
kawanmu itu, tak lama Hui Hong taysu tentu akan bangun. Aku yakin bahwa obat
dari nona itu tentu mujarab, kiranya engkaupun tentu beranggapan begitu
juga."
“Baiklah," kata Gak Lui.
Memang ia percaya penuh kepada Siu-mey. Setelah itu ia terus hendak
menyarungkan pedang. Tetapi sekonyong-konyong di luar barisan Lo-han-tin
terdengar suara orang menggembur keras. Dan menyusul tampak sesosok tubuh
berkelebat menyusup dalam barisan paderi itu terus menerjang maju.
Gak Lui dan Hwat Hong taysu
terkejut dan cepat berpaling. Ah, ternyata pendatang itu adalah Tanghong
sianseng, ketua perguruan Kun-lun-pay. Dengan wajah pucat lesi, tokoh itu
melesat dengan pedang melintang di dada. Sikapnya perkasa, wajah bermuram
kemurkaan.
Melihat itu Hwat Hong taysu
segera dapat menduga. Cepat ia maju menyambut. Dan Gak Lui pun lebih tahu lagi
sebabnya. Diam2 ia menindas perasaan hatinya: “Sabar, sabar! Harus mengingat
diri Hwat Hong taysu dan Sebun sianseng. Jangan berkelahi dengan dia ....”
Saat itu Hwat Hong taysu dan
Tanghong siansengpun sudah saling berhadapan dan bicara perlahan. Rupanya ketua
perguruan Heng-san-pay itu tengah memberi penjelasan kepada Tanghong sianseng
tentang diri Gak Lui.
Lebih kurang sepeminum teh
lamanya, tiba2 kepala Gak Lui terasa pusing, tubuh terhuyung seperti pohon
kering tertiup angin. Ketika ia dapat menguatkan diri untuk menahan penderitaan
itu, tampak ketua Heng-san pay dan Kun-lun-pay sudah berdiri di hadapannya.
“Kudengar engkau sudah
menerima perjanjian," kata Tanghong sianseng, “demi melihat hubungan baik
dengan Heng-san-pay dan Siau-lim-si, aku tak mau memaksa orang dengan
kesukaran. Kami hendak menempatkan engkau di paseban Lo-han-tong, agar menjaga
lain2 kemungkinan yang tak diinginkan.”
Kata2 itu tak sedap di telinga
tetapi Gak Lui sudah memutuskan untuk bersabar. Sahutnya: “Baik, akupun juga
karena mengingat hubungan baik dengan Heng-san dan menjunjung gereja
Siau-lim-si sebagai tempat yang suci, setuju untuk menunggu di paseban Lo
han-tong sampai nanti Hui Hong taysu bangun dan memberi penjelasan
kepadanya!"
“Hm, engkau pandai melihat
gelagat. Tetapi engkau masih harus menyerahkan ....." tiba2 tokoh
Kun-lun-pay itu mendengus dingin. Dengus itu terasa menusuk tajam perasaan Gak
Lui dan marahlah ia. Luapan amarah itu menyebabkan darahnya bergolak keras.
Mata pudar, telinga mendenging-denging sehingga ia tak dapat mendengar jelas
apa yang diucapkan Tanghong sianseng lebih lanjut.
Setelah ia dapat menenangkan
diri, barulah ia bertanya menegas: “Toa ciangbun, engkau minta aku menyerahkan
apa ?"
“Pedang pusaka."
“Pedang pusaka?" Gak Lui
menegas.
“Benar, pedang pusaka yang
engkau suruh aku mengatakan berulang kali itu!" sahut Tanghong sianseng.
“Toheng, itu agak
keterlaluan!" tiba2 Hwat Hong taysu menyelutuk seraya maju selangkah. Ia
minta Tanghong sianseng merobah permintaannya.
“Lalu bagaimana kalau menurut
pendapat taysu?"
“Suruh dia menunggu di paseban
Lo-han-tong saja. Di situ penuh dengan pekakas rahasia, pedang pusakapun tak
mampu menahannya.”
“Tidak! Pedang pusakanya itu
semula pusaka perguruan Bu-tong-pay. Aku hendak mewakili perguruan itu
mengambilkannya!"
Gak Lui makin marah mendengar
kata2 tokoh Kun-lun-pay itu. Walaupun tak ikut bicara tetapi diam2 ia tetap
menyalurkan tenaga-dalam bahkan lebih deras, ia kembangkan tenaga-dalamnya
untuk memaksa menghalau keluar jarum2 emas dari dalam tubuhnya ...
Ucapan Tanghong sianseng itu
benar2 mempesonakan sekalian orang. Bahkan Hwat Hong taysu yang ramah dan luhur
budi itu, pun terdiam tak dapat bicara apa2 lagi. Sedang barisan 500 paderi
Siau-lim-si itupun tegak dalam sikap siap menerima perintah.
Dalam suasana yang penuh
diliputi ketegangan itu tiba2 terdengar suara melengking macam bunyi ketinting
bergemerincing: “Engkoh Lui, kedua ciang-bun jin, harap jangan menuruti luapan
perasaan sendiri2. Aku mempunyai sebuah usul ...."
Kiranya yang berteriak itu
yalah Gadis ular Li Siu mey yang saat itu sudah siuman dari pingsannya.
Gak Lui, Tanghong sianseng dan
Hwat Hong taysu serempak mencurah pandang mata kearah nona.
Berkata pula Siu-mey:
“Kedatangan ke Siau-lim-si ini memang atas kemauanku sendiri masuk ke dalam
paseban Koan-im-tong ini. Agar aku dapat membuktikan kebersihan hatiku. Harap
engkoh Lui jangan salah faham.....”
Gak Lui mengangguk: “Baiklah,
aku takkan bertindak sembarangan."
Hati Siu-mey longgar mendengar
pernyataan pemuda itu. Ia tertawa lalu berkata kepada Tanghong sianseng: “Soal
engkoh Lui, kuharap ciang-bun-jin berdua suka memaklumi. Harap jangan
memaksanya supaya menyerahkan pedang. Jika tak percaya, suruhlah dia masuk ke
dalam paseban Koan-im-tong sini sekali….”
"Ha, ha, ha…..” tiba2
Tanghong sianceng tertawa gelak2 dan pada lain saat wajahnya berobah serius,
serunya, “ho, sungguh bagus benar rencanamu! Bukankah engkau hendak bersatu
untuk meloloskan diri ?"
Mendengar ucapan yang
menyinggung perasaan Siu-mey itu, Gak Lui tak kuat menahan kemarahannya,
serunya: “Tanghong sianseng, bahwa aku bersikap sabar itu adalah karena
menghormati kedudukan partai perguruan Kun-lun-pay serta sute anda, Sebun
sianseng. Tetapi tampaknya anda tetap mendesak saja seperti hendak membalas
dendam. Rupanya pukulan yang sebuah tadi masih belum memuaskan hati anda
...."
Tanghong siansengpun marah
juga sehingga tangannya gemetar: “Memang, lalu engkau mau apa? Aku memang
hendak memberi pelajaran padamu !"
Belum kata-katanya berakhir,
tokoh Kun-lun-pay itupun sudah lontar sebuah hantaman dari jarak tiga meter,
mengarah jalan darah Hiat-bun dan Gi hay.
Mendengar desus angin yang
dahsyat, Hwat Hong taysu cepat lindungkan sebelah tangan ke dada. Sedang Gak
Lui yang sudah siap, segera ayunkan tangan kanan untuk balas menabas serangan
lawan.
Tiga gerakan dari ketiga orang
yang cepatnya hampir tak dapat diikuti oleh pandang mata itu saling bertemu di
tengah jalan, bum, bum, bum .....
Angin berputar-putar macam
lesus, letupan sedahsyat gunung meledak. Dalam bayang2 berseliwernya tubuh dan
tangan, dari telapak tangan Gak Luipun berhamburan berpuluh batang jarum emas
yang menyusup ke punggung tangan Tanghong sianseng dan Hwat Hong taysu.
Hwat Hong taysu dan Tanghong
sianseng segera menyadari bahwa dirinya telah terkena jarum maut Pencabut
Nyawa. Karena kejut, kedua ketua perguruan itu terus menyurut mundur ke dalam
barisan.
Sekalipun sama2 mundur tetapi
bedalah sikap mereka. Hwat Hong taysu mencekal pergelangan tangannya sendiri
untuk menutup menjalarnya racun dari jarum emas. Ia hendak mencari Hui Hong
taysu agar dapat menjernihkan ketegangan. Tetapi tidaklah demikian dengan
Tanghong sianseng. Ia segera mengeluarkan aba2 agar barisan Lo-han-tin
bergerak. Mendengar komando itu, barisan Lo-han-tin pun segera berhamburan
bergerak menyerang.
Dalam pada itu setelah dapat
menaburkan jarum emas yang berhasil dikeluarkan dari telapak tangannya, Gak
Luipun rasakan tubuhnya kesemutan. Hal itu disebabkan karena racun jarum emas
yang masih tertinggal dalam tubuhnya. Ia cepat memandang ke arah Siu-mey yang
berada dalam ruang paseban Koan-im-khek. Tampak nona itu sedang bersiap
membantu pertempuran. Buru2 Gak Lui mencegah: “Jangan sembarangan
bergerak...!"
Habis berseru, Gak Lui
lingkarkan sepasang tangannya untuk menghalau serbuan barisan paderi. Tetapi
500 paderi itu, membentuk diri dalam barisan Lo-han-tin yang sakti. Ke 500
ratus paderi itu dibagi menjadi 25 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 20
orang. Mereka menghunus pedang ditangan kanan. Gerak langkahnya rapi sekali.
Bukan saja perbawa barisan itu amat seram, pun mereka dapat bergerak maju
mundur kanan kiri dengan teratur.
Dan yang lebih mengherankan
pula yalah cara mereka bertempur. Mereka menggunakan rantai hubungan satu sama
lain sehingga rapatnya bukan alang kepalang.
Pada saat kelompok pertama
menerjang keluar, kelompok keduapun sudah cepat menyusul. Barisan itu amat
rapat dan pelik.
Menghadapi barisan ketat itu,
Gak Lui tetap gunakan kedua tangannya untuk menghantam dan menghajar. Sepintas
pandang mirip dengan seekor naga yang tengah marah ditengah samudera. Seorang
diri ia harus menghadapi serbuan limaratus orang paderi.
Pada saat mencapai jurus ke
100, barisan Lo-han-tin itu makin lama makin perkasa. Jumlah orangnyapun
tampaknya lebih banyak.
Makin lama napas Gak Lui makin
memburu keras, tubuh bermandi keringat, mata tak henti-hentinya berkeliaran
kian kemari. Tiba2 ia rasakan pandang matanya berbinar-binar. Semua benda yang
dilihatnya seperti pecah dua. Ia menyadari kalau racun dalam tubuhnya mulai
bekerja.
Tanghong sianseng yang
memperhatikan keadaan pemuda itu, hanya tertawa dingin lalu melesat kesamping
Gak Lui dan ayunkan tangannya. Rupanya ketua Kun-lun-pay itu tak menghiraukan
dirinya kena racun jarum emas. Dia hanya ingin menumpahkan balas dendam atas
pukulan yang diterimanya dari Gak Lui tadi.
Sudah tentu Gak Lui amat
marah. Diapun terpaksa kerahkan seluruh sisa tenaganya untuk membalas. Beberapa
saat kemudian ia rasakan Tanghong sianseng itu seperti pecah berhamburan
menjadi berpuluh sosok bayangan. Dan kelima ratus paderi anggauta barisan
Lo-han-tin itu tampaknya bagai gelombang samudera yang mendampar. Bumi
berputar-putar, angin menderu dan gempa melanda. Ia rasakan dirinya seperti
berada dalam sebuah perahu yang terombang-ambing di-tengah samudera raya.
Pada saat antara sadar tak
sadar itu tiba2 terdengar pekik melengking dari sesosok tubuh ramping yang
melayang keluar dari Koan-im-khek. “Siu-mey ... !" keluh Gak Lui dalam
hati setelah mengetahui siapa pendatang itu.
Memang bermula Siu-mey tak mau
keluar dari paseban Koan-im-khek itu. Tetapi karena melihat kekasihnya terancam
bahaya, ia tak dapat berpeluk tangan mengawasi lebih lanjut. Maka setelah alat2
rahasia dari dalam paseban itu muntah keluar semua, ia segera melayang.
Namun Tanghong sianseng tak
memandang mata kepada nona itu. Dengan tangan ia meringkus Gak Lui lalu tangan
kiri ditebaskan kearah Siu-mey.
Gadis-ular Li Siu-mey ketika
ikut pada Dewi Tong Thing telah mendapat beberapa macam ilmu pelajaran. Begitu
melihat musuh menyerang, ia pun segera berputar-putar tubuh seraya ayunkan
tangan, wut, wut, wut.... setiup hawa dingin segera berhamburan melanda
Tanghong sianseng. Dalam pertempuran itu sebenarnya Tanghong Giok atau Tanghong
sianseng itu sudah menderita luka terkena jarum emas yang ditaburkan Gak Lui
tadi. Sudah tentu ia tak kuat menghadapi seorang lawan yang masih segar
tenaganya. Apalagi ilmu kepandaian gadis ular Siu-mey itu setengahnya termasuk
pelajaran silat sejati, setengahnya termasuk ilmu Bi-hun-toa-hwat atau semacam
ilmu hitam.
Maka setelah berlangsung 10
jurus saja, tangan dan kaki Tanghong Giokpun melentuk, tubuh menggigil dan
rubuhlah ia ketanah.
Gak Lui juga serupa. Setelah
menghela napas panjang pandang matanyapun gelap dan lenyaplah kesadaran
pikirannya.
Siu-mey tak gugup. Setelah
mengangkut kedua orang itu, ia berkata kepada rombongan paderi Siau-lim-si:
“Berhati semua ! Aku hendak masuk kedalam ruang besar untuk mengobati luka
kedua orang ini...”
Oleh karena Tanghong sianseng
dikuasai, maka kawanan paderi itupun tak berani berbuat apa2 terhadap nona itu.
Sekonyong-konyong dari dalam
barisan tampil murid kepala dari Siau-lim-si yalah paderi Hoan Gong. Ketika
Siu-mey masuk ke gunung Ko-san, ia sudah melihatnya. Maka sambil pejamkan mata
dan rangkapkan kedua tangan ke dada, paderi itu berkata : “Nona, sesungguhnya
aku tak berani merintangimu. Tetapi adalah karena dari pimpinan gereja sudah
memberi perintah, kecuali ketua gereja sendiri yang datang, siapapun harus
dibatasi kebebasan geraknya ..."
“Urusan jiwa itu amat penting,
seharusnya dapat diberi kelonggaran," jawab Siu-mey.
”Harap maafkan, aku sungguh
tak berani bertindak sembarangan sendiri."
“Lalu bagaimana ?"
“Soal ini... lebih baik nona
kembali kedalam paseban Koan-im-tong saja."
Sebenarnya Gadis-ular Siu-mey
itu baik budinya. Ia tak mau membikin susah orang. Tetapi karena hal itu
menyangkut jiwa kekasihnya, ia tak mau bersangsi lagi.
“Kembali kedalam paseban
Koan-im-tong tiada gunanya. Baiklah engkau gunakan barisan Lo-han-tin untuk
merintangi aku," serunya kemudian. Habis berkata ia terus melesat beberapa
tombak dan langsung menuju ke paseban Tay-hiong-po-tian.
“Nona ....! Nona ….!" teriak
Hoan Gong dengan gemetar. Keringat dingin membasahi tubuh. Ia tak berdaya lagi
mencegah Siu-mey yang saat itu sudah melesat seperti angin. Karena tertegun ia
tak sempat memberi komando kepada barisan Lo-han-tin supaya merintangi nona
itu. Mulutnya serasa terkancing. Hendak mengucapkan komando rasanya amat berat
sekali.
Tetapi akhirnya ia paksakan
diri untuk berteriak sekuatnya: “Mundur !"
Barisan dari 500 paderi
Siau-lim itu serentak berhamburan memecah diri bersembunyi di tempat masing2.
Maka dengan leluasa dapatlah Siu-mey melintasi jalan.
Tiba di paseban
Tay-hiong-po-tian, tiba2 Hui Hong taysu ketua Siau-lim-si sudah menyambut di
ambang pintu dengan ucapan yang ramah dan penuh rasa terima kasih: “Nona,
obatmu itu benar2 manjur sekali. Terima kasih, terima kasih .....”
Saat itu paderi Hoan Gongpun
menyusul tiba. Ia sudah melihat kalau ketua gereja sembuh maka ia berani
membubarkan barisan Lo han-tin. Setelah itu ia bergegas menuju ke paseban
Tay-hiong-po-tian untuk menghadap Hui Hong taysu.
Bab 24. Penjernihan.
Ketika Gak Lui tersadar
membuka mata, pertama-tama ia dapatkan dirinya rebah di atas sebuah
pembaringan. Sedang di sampingnya Gadis-ular Siu-mey tengah duduk memandangnya
dengan penuh kemesraan.
“Oh, terima kasih Tuhan!
Engkau dapat siuman lebih cepat dari yang diduga, sayang..." seru nona itu
kegirangan.
“Sayang? Sayang apa?" Gak
Lui heran.
“Sayang Tanghong sianseng….”
“Dia bagaimana?"
“Mati ....!”
Seperti mendengar halilintar
berbunyi di siang hari, serentak Gak Lui loncat bangun.
“Tak mungkin! Dia memiliki
kepandaian yang sakti !" serunya tak percaya.
“Jarum Pencabut Nyawa dari
Siau-lim-si itu luar biasa hebatnya. Dia tak seharusnya menggunakan
tenaga-murni untuk menahan. Dengan begitu racun menyusup ke dalam urat2
jantungnya!"
Gak Lui seperti disambar
petir, seketika ia pejamkan mata merunduk diam. Sikapnya seperti seorang jago
yang kalah bertempur. Hatinya penuh berkabut sesal. Sekalipun ia tak senang
atas sikap Tanghong sianseng yang congkak tetapi ia berhutang budi kepada
sutenya yalah Sebun sianseng. Belum ia dapat membalas Sebun Sianseng, sekarang
ia malah salah membunuh Tanghong sianseng, suheng dari Sebun sianseng itu.
Bukankah dengan begitu ia dapat dianggap sebagai air susu dibalas dengan air
tuba atau kebaikan dibalas dengan kejahatan?
“Engkoh Lui, yang mati tak
mungkin dapat hidup kembali. Dan hal itupun tak dapat menyalahkan engkau ...
terus terang, lukamu sendiri itu jauh lebih hebat dari dia. Tetapi ternyata
engkau tetap hidup. Benar2 memang sudah suratan takdir !" Siu-mey
menghibur.
“Bukan suratan nasib yang
mujijat !" bantah Gak Lui tertawa hambar. Ia segera menuturkan pengalaman
ketika dahulu pernah makan darah buaya raksasa yang berumur seribu tahun.
Siu-mey makin terpikat
perhatiannya. Ia menggunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang keadaan sang
kekasih selama berpisah ini.
Sudah tentu Gak Lui
menceriterakannya dengan terus terang. Hanya soal bertemu dengan kedua The
Hong-lian dan Lau Yan-lan, tak diceritakan.
Siu-mey mendengarkan dengan
penuh perhatian dan perasaannyapun ikut tegang, rawan, sedih dan gembira.
Kemudian iapun menceritakan tentang pengalamannya selama berpisah itu.
Bagaimana ia ikut Permaisuri Biru ke gunung Kun-san untuk belajar ilmu silat,
bagaimana ia mencari jejak ayahnya yalah si Tabib-sakti Li Kok-hwa tetapi tak
ketemu. Menuturkan peristiwa itu, Siu-meypun kucurkan airmata.
“Tak usah berduka, adik
Mey," Gak Lui menghiburnya. “Kelak pada suatu hari kita pasti dapat
berjumpa dengan beliau ....” tiba2 ia berhenti karena membau asap dupa dan
mendengar suara genta gereja bertalu talu. Ia duga genta itu tentu berasal dari
Siau-lim-si maka iapun melanjutkan pula kata-katanya: “Ah, rupanya sudah
terlalu lama, mari kita menjenguk ke luar….”
“Tunggu !” Siu-mey cepat
mencegah, “saat ini ketua Siau lim-si dan Hwat Hong taysu tengah mengadakan doa
sembahyangan untuk Tanghong sianseng. Karena kuatir engkau tak leluasa, maka
beliau mengatakan nanti saja akan mengundangmu."
“Ini ... demi memandang Sebun
sianseng kita berdua seharusnya ikut bersembahyang juga," kata Gak Lui
seraya melangkah keluar.
Siu-mey cepat menarik baju
pemuda itu: “Ah, perlu apa ter-buru2? Aku masih mempunyai suatu urusan penting
yang belum sempat kukatakan kepadamu !"
“O," Gak Lui terkejut dan
hentikan langkah, “urusan apakah itu ?"
“Aku hendak bertanya kepadamu.
Engkau kenal pada sumoay-ku tetapi mengapa engkau tadi tak mengatakannya
!"
Gak Lui menyahut gelagapan :
“Sumoay-mu yang mana ? Aku sungguh tak kenal !"
“Baiklah," Siu-mey
merajuk dan pura2 marah, “puteri dari Pukulan-sakti The Thay yang bernama The
Hong-lian itu telah angkat saudara denganmu, mengapa engkau mengaku tak
kenal?"
Merah selebar muka Gak Lui
ketika mendengar kata2 itu. Saat itu iapun seperti orang disadarkan. The
Hong-lian telah diterima menjadi murid oleh Permaisuri Biru, sedang Permaisuri
Biru tinggal serumah dengan Dewi Tong-ting yang menjadi guru dari Siu-mey.
Sudah tentu Siu-mey kenal dengan gadis itu. Teringat pula Gak Lui bahwa kedua
kaki gadis Hong- lian itu sudah kutung. Seketika timbullah rasa kasihan dalam
hatinya.
“Karena dapat mempelajari ilmu
pedang, tentu luka pada kaki adik Lian itu sudah sembuh. Dimanakah sekarang ia
berada?" serunya gopoh.
Siu-mey kerutkan alis dan
tertawa: “Ih, menilik engkau begitu tegang, tentulah hubungan kalian sudah erat
sekali.... sebenarnya akupun hanya mendengar penuturan suhu tetapi belum pernah
berjumpa sendiri."
“O...!" Gak Lui menghela
napas kecewa. Tiba2 matanya berkeliar dan menggumam: “Aneh..."
“Mengapa aneh ?" tanya
Siu-mey.
“Kedua lututnya telah terpapas
kutung dengan pedang. Seharusnya sukar untuk mempelajari ilmu pedang ..."
Siu-mey yang faham akan ilmu
obat-obatan, setelah merenung sejenak lalu menyahut: “Kukira .....mungkin
Permaisuri Biru itu .... mereka ... pandai akan ilmu obat-obatan."
“Tidak !" bantah Gak Lui,
“kala itu Permaisuri Biru mengatakan kepadaku akan mengusahakan tabib sakti
untuk mengobati luka adik Lian. Dengan begitu jelas beliau tak mengerti ilmu
pengobatan. Dan ahli yang dapat menyambung tulang dan urat, jarang sekali...."
“Ayahku termasuk salah
seorang...." saking tegangnya, Siu-mey segera menyebut nama ayahnya.
“Benar," kata Gak Lui,
“memang akupun berpendapat demikian. Sekalipun bukan ayahmu sendiri yang
mengobati, tetapi ayahmu dapat memberi keterangan tentang tabib sakti lain yang
dapat menyembuhkan luka adik Lian itu."
Siu-mey menghela napas
beberapa kali, katanya : “Kabarnya adik Lian sudah tinggalkan perguruan. Kita
harus lekas2 mencarinya. Tetapi dunia begini luas, ah kemanakah kita akan
menemukannya."
”Ini.....," Gak Lui
tertegun sejenak lalu berkata dengan tandas, ”aku punya cara yang bagus!"
“Bagaimana?"
“Dahulu anak buah Maharaja
menawan hidup Pukulan-sakti The Thay, tujuannya tentulah supaya dia dapat
membuatkan pedang itu."
“Hm ..."
“Dan setelah tinggalkan
perguruan, adik Lian tentu akan mencari ketempat ayahnya itu !"
“Benar, tetapi apakah
hubungannya hal itu dengan usaha kita mencarinya ?" tanya Siu-mey.
“Menilik kepandaian Permaisuri
Biru, beliau tentu faham akan ilmu petangan. Tentulah takkan menyuruh adik Lian
secara membabi buta. Dan tentu akan memberi petunjuk di mana tempat tahanan
ayahnya itu ...."
Mendengar itu tertawalah
Siu-mey : “Benar, memang beralasan juga. Kedatanganku ke Siau-lim-si kali ini
memang atas perintah suhuku Dewi Tong-thing. Beliau mengatakan, siapa tahu
nanti disini akan berjumpa dengan engkau. Kalau begitu, kita pergi mencari
tempat penahanan ayah adik Lian, tentulah dapat bertemu dengan adik Lian.
Setelah itu kita mendatangi tabib sakti yang ditunjukkan ayah adik Lian
itu."
“Uraianmu tepat sekali !"
seru Gak Lui. Siu-mey tertawa gembira. Tiba2 ia merenung lalu mengajukan
pertanyaan lagi: “Engkoh Lui, engkau belum tahu tempat The Thay cianpwe,
bagaimana engkau hendak mencarinya ?"
Gak Lui tertawa gelak2,
serunya nyaring: “Sudah tentu caranya telah kupikir tetapi untuk sementara ini
belum dapat kuberitahukan kepadamu."
“Mengapa harus main sembunyi
?"
“Eh, bukankah kita sama2
pergi. Tentu nanti engkau akan tahu sendiri !"
“Tetapi apakah hal itu takkan
mengganggu waktumu untuk mencari Kaisar Persilatan?"
“Tidak," sahut Gak Lui,
“aku mempunyai suatu perasaan bahwa beberapa masalah itu tentu dapat
kuselesaikan, hanya….”
“Hanya bagaimana ?"
Berkata soal 'perasaan', tiba2
Gak Lui teringat akan perkataan Permaisuri Biru dahulu. Bahwa apabila ia
berjumpa dengan gadis keempat, tentu akan mengalami kesudahan yang mengenaskan.
Ditambah pula dengan lukisan
yang tertera pada Cermin gaib dari si Raja-bengawan tempo hari, dan korban2
yang secara langsung maupun tak langsung jatuh akibat perbuatannya itu...bahkan
peristiwa matinya Tanghong sianseng kemarin, benar2 membuat Gak Lui tak dapat
mengerti. Dan yang lebih mengerikan, yalah pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam
dari perguruan Bu-san-pay itu. Sudah jelas bahwa pedang itu senjata pembawa
maut yang ganas dan sukar dikendalikan. Tetapi demi menuntut balas dan demi
menyapu bersih kawanan durjana dari dunia persilatan, terpaksa ia harus tetap
berusaha untuk mendapat pedang itu.
“Eh, mengapa engkau diam?
Bagaimana kelanjutan dari kata-katamu itu?" tiba2 Siu-mey menegurnya.
Diam2 Gak Lui telah menetapkan
keputusan dalam hati: “Jika memang akan mendapat kesudahan yang buruk, aku
sendiri yang menanggungnya. Aku tak mau melimpahkan pada orang lain!”
Maka ia mengangkat muka dan
tertawa: “Maksudku aku hendak mengajarmu sebuah ilmu pedang dari perguruanku,
setelah itu baru kita bersama-sama berangkat ...."
“Hai, bagus sekali !"
Siu-mey berseru girang, “dulu kuminta engkau tak mau memberikan. Sudah tentu
aku senang sekali menerimanya."
Karena diluap kegembiraan,
Siu-mey sampai lupa untuk menanyakan apa sebab pemuda itu berbuat demikian.
Sudah tentu ia tak tahu apa rencana Gak Lui. Pemuda itu menghendaki agar
keempat nona itu, setelah masing2 meyakinkan sebuah ilmu pedang dari
perguruannya, tentulah mereka akan sanggup menghadapi Maharaja. Pula setelah
kelak ia sudah berhasil memperoleh pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam yang ganas
itu, apabila ia lupa diri, dapatlah keempat nona itu menundukkannya .....
Demikianlah Gak Lui segera
menurunkan pelajaran ilmu pedang Menabas-emas-memotong-kuda, ilmu istimewa
untuk memapas pedang lawan dan ilmu gerak meringankan tubuh
Rajawali-rentang-sayap.
Berkat kecerdasan otak
Siu-mey, setelah mengulang pelajaran itu sampai 10 kali, ia sudah dapat
mengetahui inti pokoknya.
Tepat pada saat Siu-mey sudah
menyelesaikan pelajarannya, terdengarlah derap kaki orang tiba di muka pintu.
Gelang penutup pintupun diguncang tiga kali dan menyusul terdengar seseorang
berseru dengan nada menghormat: “Atas titah ciang-bun-jin, tuan berdua
dipersilahkan datang ke paseban Tay-hiong-po-tian !”
Gak Lui dan Siu-meypun keluar.
Tiba di paseban Tay-hiong-po tian, keduanya bersembahyang di hadapan jenazah
Tanghong sianseng. Sikap dan tindakan kedua muda mudi itu menimbulkan kesan baik
di hati Hui Hong taysu dan Hwat Hong taysu.
Setelah habis melakukan
sembahyang, Gak Lui dan Siu mey dipersilahkan duduk bersama kedua ketua
perguruan itu.
“Nona Li,” Hui Hong taysu
ketua Siau-lim-si mulai membuka pembicaraan, “berkat pemberian obat nonalah
maka jiwa kami dapat tertolong. Seluruh warga Siau-lim-si amat berterima kasih
sekali kepadamu. Soal terpaksa memintamu tinggal di dalam paseban Koan-im-khek
tadi, adalah karena sudah banyak tahun suhumu tak pernah muncul di dunia
persilatan. Karena takut termakan siasat Maharaja, maka terpaksa kami harus
berlaku hati2. Dalam hal itu kami harap nona suka memaafkan.”
“Ah, taysu keliwat merendah,”
sahut Siu-mey, “memang hal itu sudah sewajarnya. Harap taysu jangan sungkan.”
“Soal kematian Tanghong sianseng,
kami merasa berduka sekali," kata ketua Siau-lim-si pula, “maka...sedianya
.... hendak kepada sutenya...”
Berkata sampai di situ, suara
Hui Hong taysu tersekat-sekat. Jelas ketua Siau-lim-si itu tengah menghadapi
persoalan yang amat pelik sehingga sukar untuk menyelesaikan.
Cepat Gak Lui menyelutuk:
“Soal itu aku dapat memberi penjelasan kepada Sebun sianseng. Harap taysu
jangan resah...."
Tetapi walaupun mulut
mengatakan begitu, diam2 hati Gak Lui tetap gelisah. Sampai saat itu ia belum
menemukan cara yang sesuai untuk menyelesaikan soal itu.
Hwat Hong taysu, ketua
perguruan Heng-san-pay, segera memecahkan kesunyian suasana pembicaraan, ia
alihkan pada lain soal: “Gak sauhiap, petunjuk apakah yang hendak engkau
berikan kepada Siau lim-si ?”
“Ah, berat sekali kalau dikata
akan memberi petunjuk, taysu,” jawab Gak Lui, “tujuanku kemari hanyalah dengan
harapan.....supaya berjumpa dengan Kaisar Persilatan."
“O," seru kedua paderi
itu serempak, “adakah sauhiap memastikan kalau dia akan datang ke gereja sini
?”
“Aku tak berani memastikan.”
“Lalu apakah sudah bertemu?”
“Ini ... ," Gak Lui
tertegun sejenak lalu berkata pula, “rupanya belum. Tetapi ketika naik ke atas
gunung memang telah bertemu dengan seorang pengunjung yang katanya habis
bersembahyang di dalam gereja.”
“Tak mungkin," seru Hwat
Hong taysu terkejut, “gunung ini telah dijaga ketat sekali. Orang biasa tentu
sukar masuk keluar .... tetapi silahkan sauhiap menggambarkan wajah orang itu.
Jika memang Kaisar Persilatan, aku tentu mengenalnya."
“Pakaiannya kedodoran, wajah
biasa pun kedua matanya tak bersinar. Tak mirip sama sekali dengan orang yang
berilmu silat tinggi," kata Gak Lui.
“Kalau begitu, bukan!"
seru Hui Hong taysu.
“Lalu bagaimanakah sebenarnya
wajah Kaisar itu ?”
“Cukup dengan kata2
perumpamaan. Dia memiliki tubuh yang lemah gemulai dan wajah berwibawa laksana
naga dan burung cenderawasih. Sekalipun sudah 20 tahun yang lalu aku ketemu
padanya, tetapi begitu melihat lagi pasti aku segera dapat mengenalinya!"
”Hm,” Gak Lui mendesis dan
bertanyalah ia dalam hati: “Masakan dia tak dapat menyamar? Tokoh setingkat
dia, tentu tak mau sembarangan unjuk diri. Maka aku harus waspada ....”
“Ah, waktu sudah mendesak
sekali. Pemberian obat nona Li itu segera akan kukirimkan ke Ceng-sia-san. Bila
tak ada lain2 keperluan, aku hendak segera berangkat," tiba2 Hwat Hong
taysu ketua perguruan Heng-san-pay berkata.
“Harap tunggu dulu,
taysu," buru2 Gak Lui mencegah, “kamipun juga hendak berangkat dan
sekalian mengantar taysu."
“Ah, tak perlu sauhiap capekan
diri. Aku membawa serombongan murid, cukup untuk menjaga keselamatan dalam
perjalanan," kata Hwat Hong.
“Bukan begitu," kata Gak
Lui, “sejak murid Hong-san-pay yang berhianat itu mendesak taysu supaya
mengundurkan diri, memang sampai saat ini belum mengunjuk gerakan apa2. Tetapi
hal itu kurasa bukan karena dia membatalkan rencananya melainkan tentu berganti
siasat. Mungkin secara diam2 mengadakan gerakan rahasia. Oleh karena waktu yang
dituntut itu sudah tak berapa lama, sebaiknya taysu suka berhati-hati pula
...."
Berkata sampai disitu, Gak Lui
tekankan nada ucapannya : “Pula sudah kuketahui bahwa terdapat lima orang
berkerudung muka yang pura2 menyaru jadi murid penghianat. Mereka bergerak
secara sembunyi karena takut diketahui!"
Kata2 itu bagai halilintar
berbunyi disiang hari sehingga membuat kedua ketua partai perguruan itu
terbeliak kaget dan serempak berseru : “Itu...itu....benarkah ?...Dan berada
dimana ?"
“Memang benar! Mereka menjadi
anggauta Topeng Besi yang kesadaran pikirannya sudah dilenyapkan Maharaja
!" sahut Gak Lui.
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
“Tidak.... tidak mungkin
!" seru kedua ketua itu. Mereka masih tak percaya atas keterangan pemuda
itu.
“Kalau begitu Geng Ci totiang
dari perguruan Bu-tong-pay itu engkau yang membunuhnya?” sesaat Hwat Hong taysu
bertanya tegang.
“Benar !" jawab Gak Lui,
“bermula kukira dia itu seorang anggauta Topeng Besi. Tetapi setelah
kulenyapkan ternyata baru ketahuan kalau Ceng Ci totiang !"
“Ah,” seru kedua ketua itu.
Mereka berbeliak dan geleng2 kepala : “Sungguh tak tersangka sama sekali. Demi
memulihkan keamanan dunia persilatan, sauhiap telah mengikat sekian banyak
dendam permusuhan dengan berbagai fihak. Entah bagaimana kelak kita akan....
menjelaskan salah faham mereka itu !"
“Singkat saja," sahut Gak
Lui dengan geram, “untuk melenyapkan dendam permusuhan yang berliku-liku itu,
aku dapat menyelesaikannya sendiri. Tetapi kuminta partai persilatan, masing2
mentaati dua buah hal !”
“Dua buah hal apa ?"
“Pertama, semua partai
persilatan harus bersatu menjaga diri. Hati2 terhadap Maharaja !”
“Aku sanggup melakukan hal
itu," kata Hwat Hong taysu.
“Yang kedua, gerombolan Topeng
Besi itu biarlah aku sendiri yang menghadapinya !"
“Ini.... karena kawanan Topeng
Besi itu terdiri dari murid2 kepala dari tiap2 partai persilatan, mengapa
sauhiap tak menyerahkan saja kepada kita yang turun tangan ? Jika sampai
terjadi salah faham lagi, bukankah itu....lebih mendalam..."
Gak Lui tertawa rawan, lalu
menukas: “Memang salah faham tak dapat dihindari ! Apalagi pengaruh fihak lawan
amat besar. Maka masing2 partai perguruan harus simpan tenaga. Atau dengan lain
kata, apabila kalian saudara seperguruan saling bertempur, tentu sukar untuk
turun tangan. Lebih baik aku sebagai fihak ketiga yang keluar. Segala dendam
salah faham, kelak kita bicarakan lagi."
Kedua paderi ketua partai
perguruan itu terkesiap dan tak dapat bicara apa2 lagi. Mereka bersikap diam.
Suatu sikap yang dapat diartikan tidak setuju, pun tidak menentang.
Diam2 Gak Lui menghela napas.
Ia berbangkit lalu minta diri: “Hwat Hong taysu, marilah kita
berangkat...."
Ketua perguruan gereja
Siau-lim-si bersama seluruh paderi Siau-lim-si mengantar sampai turun gunung.
Suatu pawai yang megah dan khidmat.
Dalam saat perpisahan, Hui
Hong taysu ketua Siau-lim-si masih menyampaikan kata2: “Gak sauhiap, terhadap
perguruan Bu-tong, Ceng-sia, Go-bi dan lain2, aku dapat mewakilimu memberi
penjelasan. Sekurang-kurangnya sebelum usaha membasmi Maharaja berhasil, tentu
mereka takkan membikin susah dirimu. Selamat jalan, semoga terkabul segala
cita-citamu ....”
Gak Lui percaya pada ucapan
ketua Siau-lim-si itu. Sekalipun kata2 paderi itu sukar ditafsirkan dengan
jelas. Karena setelah nanti Maharaja dapat ditumpas, tindakan apakah dari
partai2 persilatan itu terhadap Gak Lui, masih belum diketahui jelas. Jadi
masih ada ekornya yang panjang.
Demikian mereka segera
berpisah. Gak Lui dan Gadis-ular Li Siu-mey serta rombongan wakil Hong-san-pay
yang dipimpin oleh ketuanya sendiri yakni Hwat Hong taysu, menuju ke Ceng-sia.
Berjalan berpuluh li kemudian,
berkatalah Gak Lui kepada Hwat Hong taysu : “Taysu, kita tak dapat menempuh
perjalanan dengan cara begini. Harus dirobah caranya."
“Berjalan bersama-sama dapat
menyebabkan musuh takut dan mengundurkan diri. Perlu apa harus dirobah
lagi....?"
“Justeru karena menyebabkan
mereka mundur itulah yang merusakkan acara. Aku justeru hendak membuat mereka
supaya unjuk diri !” kata Gak Lui.
“O, kiranya hendak menggunakan
siasat memancing musuh keluar," seru Hwat Hong taysu tertawa. Diam2 ia
mengakui memang demikianlah adat orang muda. Suka unjuk keberanian dan
kegagahan. Tidak seperti orangtua yang bertindak hati2 dan tak mau gegabah.
“Bagaimanakah rencana Gak
sauhiap untuk mengatur rombongan kita ? Aku menurut saja !"
“Ah, harap taysu jangan
merendah diri. Aku pun hanya sekedar mengatur sedikit. Silahkan taysu dan
rombongan berjalan lebih dulu. Apabila bertemu dengan kawanan Topeng Besi,
harap taysu jangan menindak mereka," kata Gak Lui.
“Diam saja?" Hwat Hong
taysu terbeliak heran.
“Harap segera mundur dan
kembali kearah tempatku. Biarlah nanti aku yang menghadapi mereka !"
“Jika berjumpa dengan lain
orang tetapi yang mencurigakan ?"
“Tanyakan dulu asal usul orang
itu. Apabila anak buah Maharaja, harap taysu jangan turun tangan."
“Baik," Hwat Hong taysu
mengiakan lalu memimpin rombongannya berjalan lebih dulu.
Setelah rombongan Heng-san-pay
itu pergi, barulah Siu-mey berbisik kepada Gak Lui: “Engkoh Lui, apakah artinya
tindakanmu itu ?"
“Mencari sumoay-mu The Hong-lian
!"
Siu-mey geleng2 kepala:
“Benar2 aku tak dapat mengerti apa yang sedang engkau mainkan itu !”
“Sederhana sekali," sahut
Gak Lui, “untuk mencari adik Lian, lebih dulu harus menemukan The Thay
cianpwe."
“Benar!"
“Untuk mencari The cianpwe,
harus mencari anak buah Maharaja dan paling baik yalah kawanan Topeng Besi yang
mengaku sebagai murid hianat dari beberapa partai perguruan itu!"
“Ih, kalau sudah dapat
menemukan, apakah mereka mampu menunjukkan kepadamu tempat tinggal The
cianpwe?"
“Tentu bisa!"
Mata Siu-mey berkeliaran
sejenak lalu berseru tak percaya: “Aneh sekali! Cobalah, andaikata bisa bertemu
dengan orang itu, dengan cara bagaimanakah engkau hendak menanyainya?"
“Tak perlu ditanya!"
“Aneh! Dibunuh?"
“Juga tidak!"
“Tidak ditanya dan tidak
dibunuh, habis diapakan ?" tanya Siu-mey makin heran.
“Merusak pedang tetapi jangan
melukai orangnya. Kemudian diam2 mengikutinya ketat!" sahut Gak Lui.
Siu mey terkesiap tetapi pada
lain saat ia tertawa riang: “Hai, aku mengerti sekarang ! Mereka tentu akan
minta The cianpwe membikin betul pedangnya sehingga dengan sendirinya menjadi
petunjuk jalan kita!"
Dalam pada bercakap-cakap itu,
ternyata rombongan Hwat Hong taysu sudah tak tampak. Gak Lui dan Siu-mey
mengambil jarak yang cukup jauh mengikuti di belakang mereka.
Sampai beberapa lama menempuh
perjalanan, tetap tiada berjumpa dengan seorang manusiapun jua.
Rupanya Siu-mey sudah mulai
goyah pikirannya akan hasil rencana yang dilakukan Gak Lui itu. Pada saat ia
hendak membuka mulur, tiba2 Gak Lui hentikan langkah dan memandang kemuka
tajam2. Siu-meypun ikut berhenti dan memandang kearah pandang mata kekasihnya
itu.
Apa yang dilihat Siu-mey pada
saat itu hampir membuatnya memekik kaget. Kiranya disebelah muka telah muncul
dua buah rombongan orang. Yang serombongan berhamburan keluar dari hutan dan
yang satu rombongan adalah rombongan Hwat Hong taysu yang berlari-lari kembali
menyongsong ketempat Gak Lui.
Beberapa kejab mata, paderi
itupun sudah tiba dimuka Gak Lui. Wajahnya mengerut keheranan dan tangannya
mengunjukkan sehelai kertas putih.
“Taysu, tentu tantangan
bertempur!" seru Gak Lui mendahului orang memberi keterangan.
“Benar," sahut Hwat Hong
seraya menyerahkan surat itu. Setelah menyambuti, Gak Lui lalu membacanya:
Menjelang fajar, di puncak
Hun-hong.
Gak Lui kerutkan alis lalu
bertanya: “Taysu, surat ini tiada tanda tangannya. Siapakah pengirimnya ?"
“Orang itu engkau sudah pernah
tahu. Yalah si Pengemis-jahat yang tempo hari hendak menghancurkan partai
Gelandangan !” sahut Hwat Hong.
“Hm, kiranya dia," gumam
Gak Lui, Segera ia teringat akan peristiwa tempo hari dimana Pengemis-jahat itu
hendak membunuh ketua partai Gelandangan Gan Ke-ji gelar Raja-sungai-Cekiang.
Untung saat itu ia keburu datang menolong.
Melihat Gak Lui hendak menerima
tantangan itu, Hwat Hong segera menerangkan bahwa yang ditantang itu adalah
dirinya, bukan Gak Lui.
“Tidak, Gan Ke ji ketua partai
Gelandangan mempunyai hubungan baik dengan aku. Maka biarlah aku yang
menghadapi Pengemis-jahat itu !”
Hwat Hong menerangkan bahwa
Pengemis-jahat itu mempunyai seorang suheng Pengemis-Ular yang memelihara
beratus-ratus ular berbisa. Tetapi Gak Lui tetap tak gentar......
Bab 25. Setan Menara
Melihat Gak Lui dan Hwat Hong
taysu saling berebut hendak menghadapi tantangan si Pengemis Jahat, Gadis ular
Li Siu-mey tertawa.
“Jika membicarakan soal ular,
aku lebih berpengalaman. Daripada menghadapi bahaya serbuan ular, biarlah aku
saja yang mengatasinya," kata nona itu kepada Hwat Hong taysu.
“Benarkah ....?"
“Kalau tidak masakan aku
diberi gelar Ratu-ular!" sahut Li Siu-mey.
“Hm,” Hwat Hong taysu mendesuh
seraya anggukkan kepala. Suatu tanda ia dapat menyetujui pernyataan nona itu.
Melihat itu Siu-mey maju
selangkah, ujarnya: “Dan lagi engkoh Lui sudah mempunyai rencana. Jika taysu
yang pergi, dia tentu kecewa, karena sia2 jerih payahnya. Hal itu bukan berarti
memandang rendah pada perguruan Heng san ..."
Ucapan itu kena sekali
sehingga Hwat Hong taysu tak dapat berkeras kepala. Ia menghela napas:
“Kepandaianku sesungguhnya memang tak seperti kalian berdua. Mari kutunjukkan
jalan, semoga kalian dapat menang !"
Dinihari menjelang terang
tanah, cuaca masih gelap. Dalam cuaca gelap itu, Gak Lui melihat sebuah menara
yang puncaknya menjulang tinggi. Tetapi di sekeliling menara itu tiada tampak
barang seorangpun juga. Diam2 timbullah kecurigaannya.
“Adik Mey, kurasa keadaan
menara itu agak aneh. Mungkin mereka memasang perangkap," katanya.
“Kita serang bersama-sama
!" sahut Siu-mey.
“Tidak, engkau tunggu disini
bersama Hwat Hong taysu. Jika terjadi sesuatu dalam menara itu, aku segera
memanggilmu !" kata Gak Lui.
Sejak mendapat gemblengan dari
Dewi Tong-thong, Siu-mey memiliki kepandaian silat yang cukup. Saran Gak Lui
itu memang tepat maka iapun menyetujui.
Gak Lui segera kembangkan ilmu
Cian-li-hun-liu atau Awah-berarak-seribu-li. Suatu ilmu kepandaian istimewa
untuk mempertajam mata, telinga dan hidung. Dengan lincah mulailah ia
berloncatan menuju ke bawah menara.
Memandang ke atas, dilihatnya
menara itu terdiri dari tujuh tingkat. Megah dan perkasa tetapi sudah penuh
lumut (pakis) dan rusak keadaannya.
Papan nama yang tergantung di
atas pintu-pun sudah kabur tulisannya. Bekas2 tulisannya berbunyi: “Hun Hong
Tha" atau menara Pencakar-langit.
“Sebuah tempat yang bagus, sayang
tiada orangnya !" diam2 Gak Lui memuji. Dengan perlahan ia dorong pintu
menara itu.
Amboi .... pintu yang begitu
besar dan berat, sekali dorong saja, sudah terbuka. Dan serempak dengan itu
serangkum hawa beracun melanda hidung. Apabila orang biasa, tentu sudah pening
dan pingsan.
Tetapi Gak Lui malah mendengus
dan bagaikan sesosok setan, ia terus menyelundup masuk ke dalam menara yang
gelap gulita itu.
Tiba2 ia merasa seuntai rambut
kasar dan panjang melanda daun telinganya. Betapa besar nyalinya, tetapi pada
saat dan tempat seperti itu mau tak mau mereganglah bulu kuduknya. Buru2 ia
salurkan tenaga dalam untuk menenangkan hati.
Setelah memandang beberapa
saat, barulah ia dapat mengetahui bahwa yang menyentuh telinganya itu bukan
lain yalah sesosok Setan Gantung atau sebuah mahluk tergantung di atas, kepala
menjulai ke bawah. Lidahnya menjulur keluar, mata melotot, hidung, mulut dan
telinga penuh berlumuran darah merah. Dan tubuhnya masih bergelantungan kian
kemari di udara !
“Setan....?" serentak berdirilah
bulu kuduk Gak Lui. Matanyapun berkeliaran memandang ke sekeliling.
Tampak seluruh tembok ruang
disitu penuh dengan berbagai pemandangan yang seram dan aneh. Gak Lui terpukau
dan tegak berdiri seperti patung.
Beberapa saat kemudian baru ia
melangkah perlahan-lahan menuju ke tangga tingkat kedua.
Tetapi baru berjalan lima
langkah, sekonyong-konyong terdengar sebuah auman dahsyat. Cepat ia berputar
tubuh. Tetapi dalam ruang yang gelap pekat itu tiada tampak suatu apapun
kecuali desir angin yang berhembus dari pintu.
Dalam sekejab mata, ruang
itupun kembali sunyi senyap seperti sebuah kuburan di malam hari. Tetapi di
lantai telah tambah lagi dengan beberapa sosok mayat. Dari ketujuh lubang
indera mereka, masih mengalir darah yang segar ....
Gak Lui tak menghiraukan hal
itu. Cepat ia naik ke tingkat kedua. Di situpun ia menghadapi pemandangan yang
serupa dengan ruang bawah tadi.
Tetapi Gak Lui tabahkan nyali
dan tak mempedulikan kesemuanya itu. Ia terus lanjutkan naik ketingkat ketiga
dan keempat.
Tetapi pada waktu ia hendak
naik ketingkat yang lebih atas, terdengarlah suatu hembusan suara orang yang
bernada kasar: “Siapakah engkau ?"
Gak Lui hentikan langkah.
Tetapi ia tak mau cepat2 menyahut melainkan menimang dalam hati: “Uh, apakah
ini bukan suara si Pengemis Jahat....."
Tiba2 serempak dengan suara
orang itu, segulung api memancar menerangi empat penjuru dinding. Begitu
melihat lantai penuh dengan mayat dan seorang pemuda tegak berdiri di bawah
tangga, orang itu bergemerutukan giginya dan memekik dengan nada gemetar:
“Engkau ... engkau bukan paderi Heng san! Engkau .... engkau ini .... siapa
.... siapa ....?"
“Gak Lui !" sahut pemuda
itu.
“Huah ....!" orang itu
menjerit kaget dan terus lari naik ke atas tingkat.
Gak Lui mendongkol tetapi ia
merasa kasihan juga kepada orang itu. Belum ia sempat bertindak, tiba2
terdengar serangkum ketawa aneh yang menusuk telinga: “Heh, heh, heh... budak
kecil, kalau berani naiklah ke sini !"
Kali ini Gak Lui tak ragu
lagi. Suara itu adalah suara si Pengemis Jahat. Dengan nada dingin ia menyahut:
“Memang aku hendak ke situ...."
Serempak dengan derap langkah
kaki lari naik ke atas, serangkum anginpun melanda. Kawanan murid dari Pengemis
Jahat yang berada di-tingkat kelima dan keenam hanya merasakan angin yang
meniup datang dan tahu2 obor yang mereka pasang di ruang tingkat itu padam.
Belum sempat mereka menyulut lagi, tahu2 Gak Lui sudah tiba ditingkat yang
tertinggi.
Tetapi dalam tingkat ketujuh
itupun kosong melompong. Hanya ada seorang penghuninya yalah si Pengemis Jahat
sendiri. Dia tegak berdiri dengan wajah gelap. Demi melihat Gak Lui, ia cepat
membentaknya: “Dimana si kepala gundul Hwat Hong? Mengapa dia tak datang
memenuhi janji ?"
“Taysu tak berapa jauh dari
tempat ini. Sekali-kali dia tak ingkar janji !" sahut Gak Lui.
“Kalau begitu pergilah. Yang
kucari yalah Hwat Hong !"
Gak Lui tertawa dingin: “Kita
selesaikan dulu perhitungan kita yang belum beres tempo hari!"
Pengemis Jahat gemetar,
serunya tersendat: ”Soal ini .... belum bisa dibereskan sekarang."
“Mengapa ?"
“Maharaja memerintahkan supaya
engkau jangan mati dulu."
“Kalau begitu engkau tak
berani turun tangan kepadaku ?"
“Jangan bermulut besar ! Untuk
membunuhmu, adalah semudah membalikkan telapak tanganku. Tetapi aku hanya
menurut perintah saja.”
“Ha, ha, ha, ha !" Gak
Lui tertawa sekeras-kerasnya untuk menghamburkan kemarahannya.
“Mengapa engkau tertawa
?" tegur orang itu.
“Hm, aku tertawa karena
lagakmu. Kematian sudah didepan mata, tetapi engkau masih bertingkah sebagai
kawanan budak anjing kepada tuannya !"
Pengemis Jahat itu memang
buruk wataknya. Mendengar hinaan Gak Lui, bangkitlah amarahnya: “Kalau begitu,
engkau memang sengaja hendak mencari aku!" bentaknya.
“Benar! Kalau engkau sudah
sadar, lekaslah habisi nyawamu sendiri. Kalau tidak, terpaksa aku akan turun
tangan. Dan sekali turun tangan, tak mungkin kulepaskan seorang yang jahat.
Mayat yang malang melintang di tingkat bawah itu adalah contohnya!"
Mendengar ucapan itu,
tergetarlah hati Pengemis Jahat. Seketika ia memutuskan untuk tak mentaati
perintah Maharaja. Lebih dulu ia hendak turun tangan membasmi pemuda yang
dianggapnya sebagai musuh berat.
Ia menyeringai iblis, serunya:
“Baiklah! Kalau engkau hendak mewakili Hwat Hong jadi setan gentayangan, akupun
tak dapat mencegah. Di sini juga kita dapat adu kepandaian!"
“Sambutlah pukulanku !” Gak
Lui segera berseru seraya hendak menyerang.
“Tunggu dulu !” tetapi
Pengemis Jahat mencegah lalu duduk bersila di bawah jendela.
“Eh, bagaimana ? Apakah engkau
takut ?” Gak Lui tak tahu apa yang hendak dilakukan pengemis itu. Tetapi ia tak
mau menyerang orang yang duduk.
Pengemis Jahat mengangkat muka
dan menyahut : “Kita tidak bertempur tetapi adu ilmu duduk!”
Gak Lui terkesiap. Ia
menghadapi kesulitan. Jika tak menerima tantangan itu, lawan tentu mempunyai
dalih untuk mengatakan aku kalah. Namun kalau menerima, walaupun ia dapat
melayani, tetapi akan makan waktu lama.
Beberapa saat kemudian,
Pengemis Jahat berseru pula dengan nada girang: “Kalau engkau tak setuju, lain
kali saja kita berhadapan lagi.”
Terpaksa dengan kertak gigi,
Gak Lui menyahut: “Engkau sudah tak mempunyai kesempatan lain kali lagi.
Duduklah!"
Gak Lui serentak duduk di
hadapan Pengemis Jahat. Keduanya pejamkan mata dan tenangkan napas.
Pertandingan adu duduk, segera berlangsung.
Suasana dalam menara itu sumyi
senyap. Keduanya saling menyalurkan darah. Tetapi tiba2 Gak Lui curiga,
pikirnya: “Ilmu tenaga-dalam dari Pengemis Jahat ini tak menang dari aku.
Tetapi mengapa ia menantang melakukan pertandingan begitu? Bukankah berarti
cari mati sendiri ? Ah, kemungkinan tentu suatu siasat saja ...."
Segera ia kerahkan alat
pendengarannya. Samar2 di bawah menara, terdengar suara derap kaki kawanan
pengemis. Rupanya mereka sibuk mengangkat mayat2. Tak berapa lama mereka sudah
tinggalkan menara.
“Hm, mengangkati mayat untuk
dikubur memang sudah layak. Tetapi.... apakah mereka tak mungkin mengangkat
lain benda.... ?” pikirnya seraya kerahkan indera pembauannya. Ia menyedot
napas panjang. Tetapi sayang, bau mayat2 di bawah itu campur baur tak keruan
sehingga ia tak dapat mengenal dengan jelas.
Ketika membuka mata, ia
melihat Pengemis Jahat masih duduk pejamkan mata dengan sungguh2. Diam2 ia
merasa pikirannya terlalu gelisah sehingga melanggar pantangan orang yang tengah
melakukan penyaluran tenaga-dalam. Buru2 ia tenangkan pikirannya dan menguasai
penyaluran tenaga dalam.
Tetapi tiba2 terdengar suara
angin menderu. Ternyata Pengemis Jahat melonjak bangun dan menyerangnya. Gak
Lui terkejut tetapi terlambat.
Ternyata Pengemis Jahat itu
memang menggunakan siasat licik. Diam2 ia memperhatikan gerak gerik Gak Lui.
Pada saat Gak Lui gelisah karena gangguan suara di bawah tadi, peredaran
darahnya bergolak. Dan pada saat pemuda itu hendak menenangkan diri,
sekonyong-konyong Pengemis Jahatpun kerahkan seluruh tenaganya untuk
menghantam.
Pukulan yang dilancarkan
Pengemis Jabat itu menggunakan kedua tangan. Tetapi anehnya, pukulan itu tak
ditujukan kepada Gak Lui melainkan pada ruangan di situ. Tangan kiri menghantam
ke atas, tangan kanan memukul ke bawah, tepat pada lantai di tengah mereka
berdua.
Sudah tentu menara yang sudah
tua dan rusak itu tak dapat menahan pukulannya. Brak, bum .... tiang penglari
roboh, debu berhamburan memenuhi ruang.
Gak Lui terkejut dan cepat
melonjak bangun. Tetapi pengemis itu sudah lolos keluar dari jendela. Sedang
dinding tembok dan tiang penglari yang berhamburan rubuh itu, menghalangi
jalan.
Tetapi Gak Lui tak mau
lepaskan pengemis jahat itu. Dengan tangkas ia menyelinap keluar, Ia menghantam
lantai sehingga berlubang. Dari lubang itu ia meluncur turun ke bawah. Tepat
pada saat ia mencapai tingkat bawah, Pengemis Jahatpun sudah lari sepuluh
tombak jauhnya, menuju sebuah parit di bawah pohon.
“Aneh, mengapa dia tak terus
melarikan diri tetapi bersembunyi dalam parit? Apakah dia masakan bisa lolos
?" pikir Gak Lui. Namun ia tak peduli dan terus putar pedangnya ke atas
lalu diarahkan ke punggung si Pengemis Jahat. Serempak dengan itu, kakinyapun
bergerak hendak menendang.
Sekonyong konyong terdengar
ledakan yang dahsyat. Gak Lui terkejut dan berpaling. Apa yang disaksikan saat
itu, benar2 membuat semangatnya terbang.
Ternyata menara itu telah
meledak dan hancur bertebaran keseluruh penjuru, saat itu ia berada empat lima
tombak jauhnya dari menara itu. Tak mungkin ia terhindar dari robohan tembok.
Gak Lui terlempar jatuh berguling-guling. Badan berlumuran darah dan rebah di
samping si Pengemis Jahat.
Gak Lui termakan siasat si
Pengemis Jahat. Tetapi pengemis itupun tak luput dari kematian. Pedang yang
dilontarkan Gak Lui dengan ilmu Melontar-pedang tadi, tepat sekali menembus
punggung Pengemis Jahat, terus ke dada. Pengemis Jahat itu rubuh, tubuhnya
tersanggah pedang.
Setelah asap menipis, tak
kurang dari tiga-puluh anak buah Partai Pengemis segera menerobos keluar dari
tempat persembunyiannya. Mereka hendak menolong Pengemis Jahat. Tetapi setelah
melihat keadaan pengemis itu, mereka menjerit kaget: “Hai, wakil ketua mati !”
“Celaka ! Habis bagaimana ?”
“Lebih baik kita lekas lari
!"
Demikian hiruk pikuk sekalian
anak buah Partai Pengemis ketika mengetahui wakil ketua mereka yalah si
Pengemis Jahat telah mati.
“Diam!" tiba2 seorang
pengemis berteriak keras. “kita lihat dulu anak she Gak itu sudah mati atau
belum!"
Ketika melihat yang bicara itu
adalah Pengemis Kepala besar, sekalian pengemis itu tak berani buka suara lagi.
Segera beberapa pengemis memeriksa Gak Lui dan berseru: “Dia masih hidup
!"
“Menyingkirlah !" seru
Pengemis Kepala-besar itu, “lihat saja bagaimana kuhantam pecah kepala bocah
itu !"
Ia terus mengangkat tinju dan
dilayangkan kepada Gak Lui. Tetapi belum tinju mendarat di tubuh Gak Lui, tiba2
pengemis itu menjerit ngeri. Batang kepalanya telah mencelat setombak jauhnya.
Dari lehernya menyembur darah segar.....
Ketika sekalian orang
memandang kepadanya, ternyata di muka pengemis Kepala-besar itu tegak seorang
nona yang tak dikenal. Belum sempat menegur siapa nona itu, tiba2 nona itu
memutar pedang dan tinju, mengamuk.
Serentak terdengarlah jerit
pekik yang seram dari sekalian anak buah Partai Pengemis.
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
Kutungan lengan, kaki dan jari
serta anggauta2 badan orang, beterbangan menghambur darah. Suasanya seperti
dalam neraka.
Sudah tentu kawanan anak murid
Partai Pengemis itu tak mampu melawan amukan nona atau Ratu ular Li Siu-mey.
Beberapa pengemis yang agak jauh jaraknya segera melarikan diri. Tetapi baru
sepemanah jauhnya, muncullah Hwat Hong taysu beserta delapan orang muridnya.
Dan secepat kilat mereka segera menyongsong anak buah pengemis itu dengan
serangan.
Sesungguhnya sebagai anak
murid agama, murid2 perguruan gunung Heng-san itu menjunjung welas asih dan
peri-kemanusiaan. Tetapi demi melihat menara ambruk dan Gak Lui tak muncul
keluar, mereka marah sekali. Kemarahan itu ditumpahkan kepada anak buah Partai
Pengemis, sehingga mereka yang beruntung lolos dari amukan pedang Siu-mey,
akhirnyapun melayang jiwanya di tangan murid2 Heng-san-pay.
Hwat Hong taysu cepat
menghampiri ke tempat Siu-mey, tanyanya: “ Nona Li, bagaimana dengan Gak
sauhiap ?"
Saat itu Siu-mey tengah
berjongkok untuk mengangkat kepala Gak Lui. Airmata nona itu bercucuran sebagai
hujan dan menumpah menjadi satu dengan darah di tubuh Gak Lui.
Melihat keadaan Gak Lui, Hwat
Hong menyurut selangkah dan berseru cemas: “Apakah lukanya berbahaya?”
Siu-mey hanya terisak-isak.
Beberapa saat kemudian baru ia mengangkat muka tetapi mulutnya tetap terkancing
oleh rasa kedukaan yang hebat.
Melihat itu tahulah Hwat Hong
bahwa keadaan Gak Lui tentu buruk sekali, iapun berjongkok dan memeriksa
pernapasan Gak Lui. Dua butir airmata menitik dari pelupuk ketua Heng san pay
itu dan dengan suara yang rawan ia berkata: “Denyut jantungnya tak keruan,
napasnya lemah kemampuan manusia tak dapat menolongnya..."
Ucapan itu makin menambah
kesedihan Siu mey. Dan serentak pecahlah tangis nona itu bagaikan seorang anak
yang ditinggal mati orang-tuanya. Sekalian orang yang berada di situ sama
terharu dan mengucurkan airmata.
Menyadari salah omong, buru2
Hwat Hong menyusuli kata2 pula: “Nona Li, engkau pandai sekali dalam ilmu
pengobatan. Apakah engkau mempunyai obat untuk menolongnya ?"
“Tidak .... punya...."
“Kalau begitu .... tiada baik
kalau dibiarkan di sini. Bagaimanapun kita harus cari daya untuk menolongnya
!" kata Hwat Hong.
Siu-mey pejamkan mata dan
gelengkan kepala: “Paling banyak dia hanya dapat bertahan sehari saja, aku tak
mampu berdaya !”
Mendengar keterangan sinona,
timbullah harapan Hwat Hong. Diam2 ia menimang: “Bagaimana kalau
mengantarkannya ke Siau-lim-si ?"
Tetapi pikiran itu cepat dibantahnya
sendiri. Perjalanan ke Siau-lim, amatlah jauh. Andaikata dapat mendapat gereja
itu, belum tentu ada yang mampu menolong. Demikianpun dengan partai persilatan
Ceng-sia-pay dan Heng-san-pay, percuma saja.
Akhirnya ketua perguruan
Heng-san itu hanya menghela napas: “Ah, akulah yang bersalah. Kalau aku yang
menghadapi tantangan si Pengemis Jahat, sekalipun terjadi sesuatu, tetap aku
sendiri yang memikul akibatnya ...."
Mendengar itu Siu-mey berkata
terharu: “Tak dapat menyalahkan taysu karena semuanya itu adalah menurut
rencana engkoh Lui sendiri ...."
Tiba2 nona itu terkilas
sesuatu. Untuk menolong Gak Lui ia harus mencari dua orang tokoh sakti. Bukan
Siau-lim-si ataupun partai Ceng-sia-pay. Asal bisa mendapat pertolongan salah
satu dari kedua tokoh itu, tentu ada harapan Gak Lui dapat ditolong. Yang satu
adalah gurunya sendiri yalah Dewi Tong Thing. Dengan ilmu kepandaiannya yang
sakti, mungkin Dewi Tong Thing dapat menolong. Tetapi sayang telaga Tong Thing
di gunung Kun-san itu jauh sekali.
Sedang orang yang kedua bukan
lain yalah Kaisar-persilatan Li Liong ci. Apabila dapat bertemu dengan tokoh
itu, tentulah Gak Lui tertolong. Tetapi pun sayang, bayangan tokoh itu saja,
tak pernah ia melihat. Apalagi orangnya…
Kini Siu-mey mengarahkan
harapannya kepada tokoh ketiga yalah ayahnya sendiri, Tabib-sakti Li Kok-hoa.
Dan justeru rencana Gak Lui-pun hendak mencari Tabib-sakti itu. Apabila Siu-mey
bertindak menurut rencana Gak Lui, kemungkinan tentu dapat bertemu dengan
ayahnya.
Tentang tempat beradanya sang
ayah itu dimana dan berapa jauhnya serta apakah dapat dicapai dalam waktu
sehari, Siu-mey tak sempat memikirkan dan memang ia tak berani membayangkan hal
itu.
“Taysu, walaupun engkoh Lui
terluka tetapi rencana kita tetap tak berobah....," katanya kepada ketua
perguruan Heng-san.
“Mengapa ?"
“Karena rencana itu juga suatu
usaha untuk menolong jiwanya !"
“O .... apakah nona suka
menerangkan rencana itu?"
“Rasanya tak perlu, tetapi
caranya perlu dirobah yang sesuai."
Karena tiada lain jalan lagi,
Hwat Hong taysu pun setuju: “Bagus, bagus! Tetapi bagaimanakah caranya
itu?"
“Harap taysu beserta kedelapan
murid taysu melindungi engkoh Lui. Ikutilah aku pada jarak tertentu. Apapun
yang terjadi, biarlah aku yang menghadapi!"
Hwat Hong taysu tak mau banyak
bicara. Ia segera suruh kedelapan muridnya membuka jubah untuk dirangkai
menjadi sebuah tempat tidur yang hangat lalu meletakkan Gak Lui di situ.
Setelah persiapan selesai,
Siu-mey segera mendahului berjalan dengan gunakan ilmu meringankan tubuh. Secepat
larinya secepat itu pula matahari-pun terbenam di balik gunung. Hari pun malam.
Perjalanan itupun memang tak
lancar. Disamping harus hati2 untuk menjaga kemungkinan munculnya musuh, pun
setiap kali Siu-mey berpaling ke belakang untuk melihat keadaan Gak Lui. Dan
setiap kali memandang, keadaan Gak Lui makin memburuk.
Saat itu mereka memasuki
daerah pegunungan. Tubuh mereka basah kuyup dengan peluh. Mereka berhenti
sejenak untuk memulangkan napas.
Tampak oleh Hwat Hong taysu
bahwa empat penjuru tempat itu hanyalah puncak gunung dengan lembahnya yang
luas. Tiada suatu jejak manusia yang tampak. Bahkan biara tua yang berdiri di
puncak gunung sebelah muka, selain condong pun juga sudah rusak dan tak
terawat.
Sesungguhnya dalam hati tak
sabar berdiam diri tetapi terpaksa Hwat Hong tak mau banyak bertanya. Hanya
diam2 ia memanjatkan doa, semoga kekuasaan Buddha dapat menciptakan suatu
keajaiban.
Saat itu Siu-mey sedang sibuk
memeriksa denyut pergelangan Gak Lui. Didapatinya denyut jantung pemuda itu seperti
berhenti. Begitu pula pernapasannya.
“Ah, terlambat ...."
segera nona itu menangis terisak-isak.
Mendengar itu, Hwat Hong
mengira Gak Lui tentu sudah putus jiwanya. Maka ketua Heng-san-pay itu segera
berseru dengan nada duka: ”Omitohud !"
Kedelapan muridnyapun serempak
mengikuti Hwat Hong taysu untuk menyanyikan doa pengantar arwah.
Saat itu suasana pegunungan
yang sunyi senyap seperti tercengkam oleh kumandang doa pujian para anak murid
Heng-san-pay untuk mengantarkan kepergian arwah Gak Lui. Dan tangis Siu-meypun
makin keras.....
Tiba2 doa dan tangisan dari
kesepuluh orang itu tersusup oleh sebuah suara yang nadanya amat kuat dan penuh
ketenangan, sekalian orang terkesiap, suara doa dan tangisanpun sirap seketika.
Bahkan Gak Lui yang masih belum sadar itu, dadanya tampak berombak seperti
menyedot napas.
Peristiwa itu benar2 ajaib!
Dan sekalian orang itu, karena
luapan rasa kejut2 girang, sampai tak dapat bicara. Mereka menumpahkan
perhatian untuk mendengarkan lebih lanjut. Dan yang makin mengherankan yalah,
seruan pendatang yang tak dikenal itupun bernada: “Omitohud !"
Cepat Hwat Hong taysu
melangkah maju tiga tindak. Dengan nada yang sungguh2 dan hormat, ia berseru
nyaring ke arah puncak gunung: “Hwat Hong taysu dari Heng san, mohon bertanya,
apakah saudara ini bukan Kaisar Persilatan ....”
Ucapan itu membuat Ratu-ular
Siu-mey gemetar. Karena apabila benar Kaisar Persilatan yang datang, itulah
suatu rejeki yang hampir tak dapat dipercayainya. Tetapi ia tahu bahwa Hwat
Hong tak mungkin salah mengenal orang.
Sesungguhnya memang Hwat Hong
tak salah kenal. Karena ia cukup faham akan suara Kaisar Persilatan. Walaupun
sudah 20 tahun lamanya namun ia tetap tak lupa akan tokoh itu.
Sebuah suara yang nadanya
bening segera terdengar: “Aku memang Li Liong-ci. Adakah selama ini Hwat Hong
taysu baik2 saja ?"
“Oh .... ," seru ketua
Heng san-pay dengan penuh kegirangan. Ia kerutkan dahi, mengharap agar dapat
melihat tokoh itu.
Sayang puncak itu terlampau
tinggi dan hutan amat lebat sehingga ia tak mampu melihat jelas. Apalagi ilmu
tenaga-dalam tokoh itu tinggi sekali sehingga sukar diketahui orang dari arah
mana ia bersuara.
Karena tak mampu menemukan
sasaran, Hwat Hong taysu tertegun. Melihat itu Siu-mey tak menghiraukan segala
apa lagi. Ia terus berlutut di tanah menghadap ke puncak, serunya dengan
gemetar: “Paman guru, murid Li Siu-mey menghaturkan hormat…"
“Bangunlah, engkau tentu murid
dari Dewi Tong Thing !"
“Benar !" sahut Siu-mey.
Tetapi diam2 nona itu heran. Pada waktu suhunya menerima ia sebagai murid,
paman gurunya itu tak mengetahui, “memang dengan kepandaiannya ia dapat melihat
diriku tetapi mengapa dia dapat mengetahui asal usulku juga...."
“Dari ilmu Menembus-hati,
dapat kurasakan bahwa di antara kalian ini tentu ada yang sedang menderita luka
parah...."
Kembali Siu-mey terkejut,
sahutnya gopoh: “Benar, engkoh Lui.... eh, tidak. Gak Lui... terluka parah
sekali, mohon supeh suka segera menolongnya !"
“Aku sudah terlanjur
mengangkat sumpah. Saat ini aku tak dapat berhadapan muka dengan kalian….”
”Tetapi supeh harus kemari,
kalau tidak, dia tentu....” seru Siu-mey gelisah. Sebenarnya kata2 yang
terakhir itu yalah ‘mati'. Tetapi Siu-mey tak sanggup mengucapkan. Juga Hwat
Hong taysu menyurut mundur karena terkejut dan gelisah.
Tetapi tokoh itu tetap berkata
dengan nada setenang lautan: “Tak perlu kuatir. Aku hanya tak dapat berhadapan
muka dengan kalian. Tetapi bukan menolak untuk menolong."
“Kalau tak berhadapan muka,
bagaimana paman dapat menolong ?" seru Siu-mey makin tegang.
“Akan kuminta seorang sahabat
untuk mewakili…”
“Kalau begitu harap paman
lekas suruh orang itu turun kemari," seru Siu-mey.
Tetapi jawaban Kaisar Li
Liong-ci sungguh diluar dugaan: “Sahabatku itu tak mengerti ilmu-silat.
Silahkan kalian membawa Gak Lui ke dalam biara, dia nanti akan ke situ."
Walaupun heran tetapi apa
boleh buat, Siu-mey dan Hwat Hong taysu segera mengangkat Gak Lui ke biara tua.
Sesungguhnya biara tua yang
rusak itu sudah tampak oleh mereka sejak tadi. Tetapi mereka sama sekali tak
menduga bahwa Kaisar Li Liong-ci ternyata berada dalam biara itu.
“Sampai ketemu lagi !"
tiba2 terdengar tokoh itu berseru. Sekalian orang terkejut. Namun karena sudah
mendapat janji dari tokoh itu merekapun tetap mengangkut Gak Lui ke biara.
Sepenanak nasi kemudian,
tibalah mereka di biara tua itu. Memang sudah rusak sekali keadaan biara itu.
Bahkan kedua pintunyapun sudah hilang.
Siu-mey dan rombongannya
terkejut ketika melihat sesosok tubuh berdiri diambang pintu. Ingin sekali
mereka segera mengetahui siapakah gerangan sahabat yang disuruh mewakili Kaisar
Li Liong-ci itu.
Mereka menduga orang itu tentu
sakti. Tetapi apa yang mereka dapatkan, hampir saja membuat mereka putus asa.
Ternyata orang itu hanya seorang lelaki jembel, wajahnyapun biasa saja, tiada
sesuatu yang luar biasa pada dirinya.
Diam2 Siu-mey meragu. Adakah
orang semacam itu mampu mewakili Kaisar Persilatan untuk menolong jiwa Gak Lui
? Tetapi karena Kaisar Persilatan sudah menaruh kepercayaan, tentulah dia
memiliki kemampuan itu.
Cepat Siu-mey mendahului maju
memberi hormat. Demikianpun Hwat Hong taysu. Setelah memberi hormat, ia segera
bertanya: “Mohon tanya siapakah nama anda yang mulia?"
Walaupun lahiriyah orang itu
tampak rudin, tetapi kata2nya bernada tinggi dan sopan. Setelah balas memberi hormat,
dengan tertawa ia menyahut: “Aku yang rendah bernama Ke Bing mendapat
permintaan dari saudara Li Liong ci untuk mengobati seorang kawannya. Silahkan
kalian lekas mengangkut dia kedalam biara !"
Anak murid Heng san segera
melakukan perintah itu, membawa Gak Lui ke dalam biara.
“Letakkan di depan
patung...," Ke Bing memberi perintah seraya suruh Hwat Hong taysu menunggu
di samping.
Siu mey makin heran, Ia merasa
keadaan dalam biara itu lain dari luarnya. Walaupun ruang sudah tua bangunannya
tetapi keadaannya masih bersih sekali. Bahkan sampai lantai pun berkilat-kilat.
Setelah selesai mengatur, Ke
Bingpun duduk di samping Gak Lui. Sekalian orang menumpahkan seluruh
perhatiannya untuk mengikuti cara orang itu hendak mulai mengobati Gak Lui.
Suasana sunyi senyap. Ke Bing
merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah benda. Siu-mey dan Hwat Hong
menduga tentulah orang itu mengeluarkan obat.
Tetapi alangkah kejutnya
ketika mereka melihat benda yang dikeluarkan Ke Bing itu bukan obat melainkan
sebuah Kim-jiu atau Tangan-Emas.
Melihat itu Siu-mey serta
merta berlutut memberi hormat. Ia pernah mendengar suhunya bercerita tentang
benda itu. Benda itu yalah sebuah benda peninggalan kakek gurunya dan kini
merupakan yang keramat dalam dunia persilatan.
Begitu pula Hwat Hong yang
luas pengalaman, segera mengetahui asal usul benda itu. Buru2 iapun pejamkan
mata dan berseru: “Omitohud !"
Tetapi Ke Bing hanya tenang2
saja. Ia meletakkan Tangan Emas itu di dada Gak Lui. Kelima jari tangan itu
tepat melekat pada kelima jalan darah di dada Gak Lui.
Kini Siu-mey dan Hwat Hong
taysu baru mengetahui khasiat dari Tangan Emas itu. Diam2 mereka mengagumi
sekali.
Ke Bing mengangkat muka dan
tersenyum : “Dalam satu jam lagi Gak Lui tentu sudah sadar, harap kalian berdua
jangan kuatir."
Siu mey mengiakan dengan
girang sekali lalu dengan nada menghormat ia bertanya: “Ke sian-seng, engkau
adalah sahabat dari paman guruku. Adakah engkau tahu apa sebab paman guru tak
mau mengunjukkan diri kepada orang?"
Siu-mey menunggu jawaban
dengan hati berdebar. Ia kuatir orang tak mau menerangkan. Tetapi diluar dugaan
ternyata Ke Bing ramah sekali sikapnya. Sambil mengangguk kepala ia tertawa :
“Alasannya sederhana sekali. Dia mendapat tugas dari guru untuk mengunjungi
arca2 yang dipuja dalam biara maupun gereja. Ia hendak menyembahyangkan para
arwah dari orang2 yang telah mati dibunuhnya. Oleh karena di daerah Tionggoan
jumlah rumah suci tak terhitung banyaknya. Setiap gereja harus sembahyang,
setiap arca harus bersujut. Sekalipun ilmu kepandaiannya sangat tinggi, pun tak
mungkin mampu melakukan muhibah itu dalam waktu yang singkat. Dan selama dalam
perjalanan muhibah itu dia tak boleh melakukan pertumpahan darah lagi. itulah
sebabnya maka ia tak mau unjuk diri pada orang agar jangan sampai mengganggu
waktunya."
---oo~dwkz^0^Tah~oo---
Mendengar itu Hwat Hong
kerutkan alis, serunya : “Ke sianseng, aku kenal lama dengan Kaisar Persilatan.
Akupun cukup jelas akan pribadinya yang sangat membenci pada kejahatan. Tetapi
kini si Maharaja telah muncul dengan perbuatannya yang jahat. Jika Kaisar
Persilatan takut terganggu waktunya dalam perjalanan dan tak bertindak apa2,
apakah itu sesuai dengan pribadinya ?"
“Ini.... akupun pernah
mendengar ucapannya. Dia mengatakan dunia persilatan akan tertimpa malapetaka
pembunuhan lagi dan ia pun berhasrat untuk membantu. Justeru karena itu, ia
harus cepat2 menyelesaikan muhibahnya, baru nanti akan datang ...."
”Bilakah dia akan datang itu
?"
“Kalau tiada halangan suatu
apa, kira2 dalam waktu tiga bulan. Tetapi kalau ada aral melintang, ah, sukar
ditentukan ...."
“O...” seru Hwat Hong
terkejut, “mengapa begitu lama? Mungkin sudah tak keburu lagi !"
Siu-meypun berseru dengan nada
putus asa: “Sekalipun keburu waktunya, tetapi kalau beliau siorang tua tak mau
turun tangan, pun percuma juga."
“Ah, tidak begitu !" seru
Ke Bing.
“Mengapa ?"
“Dia mengatakan bahwa dalam
dunia persilatan kelak bakal muncul orang baru yang akan dapat melenyapkan
malapetaka itu !”
“Adakah yang dimaksud itu
engkoh Lui ?"
“Benar! Memang dia."
“Oh…” Siu-mey mendesuh tegang.
Ia tersenyum rawan seraya melirik ke arah Gak Lui yang masih belum sadar. Suatu
perasaan bahagia tersenyum bangga menyerbak di hati nona itu.
Tetapi Hwat Hong mempunyai
pemikiran lain, serunya: “Walaupun kepandaian Gak sauhiap bukan kepalang tetapi
kalau bertanding lawan Maharaja, rasanya masih terpaut jauh. Entah bagaimanakah
cara untuk meningkatkan kepandaian Gak sauhiap itu ?"
“Untuk meningkatkan, tentu
bisa. Tetapi ilmu kepandaian dari Maharaja itu mencangkum kedua aliran Putih
dan Hitam. Tak mungkin dalam setengah sampai satu tahun dia dapat
menyamainya."
“Lalu bagaimana ?"
“Kelak Gak Lui bakal
memperoleh sebuah senjata yang amat sakti. Maharaja pasti akan terbasmi dengan
senjata istimewa itu !"
“Aneh !" gumam Siu-mey
seraya berpikir dalam hati: “Rencana engkoh Lui untuk mencari pedang pusaka
Thian-lui-koay-kiam, rupanya Ke Bing ini sudah mengetahui. Tetapi dia hanya
seorang biasa. Dengan dasar apa ia dapat menerka hal itu ?"
Rasa heran mendorong Siu-mey
mengarahkan pandang matanya kepada orang yang mengaku bernama Ke Bing itu. Dari
sinar matanya jelas Ke Bing itu tiada memiliki ilmu tenaga dalam tetapi
memancarkan kecerdasan yang tajam.
Rupanya Ke Bing dapat menduga
isi hati si nona, serunya: “Nona Li, soal itu saudara Li Liong-ci yang
memberitahukan kepadaku. Aku hanya menyampaikan saja."
“Benarkah ?"
“Dia sudah meyakinkan ilmu
Liok-to-sin-thong (Menembus enam indera). Ilmu pelajaran dari perguruan agama
yang tinggi itu, termasuk juga ilmu Thian sim-thong (menembus hati),
Thian-gan-thong (menembus mata), Thian-ji-thong .... enam macam. Tentang isi
hati orang dan kejadian yang akan datang, dapat menebak dengan jitu sekali
...."
“Dan anda sendiri ?”
"Aku tetap hanya seorang
biasa. Tetapi dia pernah mengajarkan ilmu Thian-gan-thong kepadaku. Itulah
sebabnya maka aku mempunyai sedikit kepandaian."
Mendengar uraian itu timbullah
gairah Hwat Hong taysu. Karena Liok-to-sin thong, memang sangat sukar
dipelajari. Maka bertanyalah ia dengan rasa heran: “Ke sianseng, dengan rasa
malu kepada diri sendiri karena berpengetahuan dangkal, aku tak mengerti
tentang ilmu Liok-to-sin-thong itu. Maka mohon tanya, adakah aku dapat berhasil
mempelajari ilmu itu?"
“Ini.....," Ke Bing
terkesiap, “ah, taysu tentu akan berhasil dan tak berapa lama lagi taysu
tentu....akan mendapat kesempatan untuk mengenyam penerangan sari2 pelajaran
agama."
“Dan aku bagaimana?"
Siu-mey menyeletuk.
“Nona? Kelak engkau tentu jadi
seorang pendekar wanita yang menggetarkan dunia persilatan.”
“Dan engkoh Lui ?"
Ke Bing tak mau langsung
menyahut melainkan tertawa: “Tentang dia biarlah dia sendiri yang menjawab
!"
Rupanya Siu-mey menyadari
kalau pertanyaannya terlalu mesra maka merahlah wajahnya dan terus tundukkan
kepala, beralih memandang ke arah Gak Lui.
Saat itu tampak wajah Gak Lui
berseri kemerah-merahan dan napasnyapun sudah normal lagi. Jelas bahwa pemuda
itu sudah terlepas dari bahaya maut. Tenaganyapun sudah pulih.
Sekalian orang diam-diam
bersyukur atas peristiwa itu dan mereka menantikan dengan penuh perhatian
sampai pemuda itu akan sadarkan diri.
Sekonyong-konyong terdengar
teriakan nyaring memecah kesunyian. Ternyata Gak Lui sudah sadar dan loncat
bangun. Ia tak tahu dimana saat itu ia berada. Ia memandang kepada sekalian orang
yang berada di situ. Begitu pandang matanya tertumbuk pada Ke Bing, berserulah
ia dengan suara tersendat: “Engkau .... engkau bukankah .....yang muncul dari
gereja Siau-lim si itu !"
“Benar," sahut Ke Bing
seraya dengan hati-hati mengemasi Kim-jiu.
“Mengapa tempo hari engkau
pergi tanpa pamit sehingga menimbulkan salah faham Tanghong sianseng sehingga
dia mendapat kecelakaan ?"
Melihat Gak Lui mendesak orang
itu dengan pertanyaan dan seolah-olah tak menghiraukan Siu-mey serta Hwat Hong
taysu, Siu-mey cepat menyelutuk dan memberi keterangan apa yang telah terjadi
pada diri pemuda itu.
Mendengar itu serta merta Gak
Lui menjurah menghaturkan terima kasih: “Ke cianpwe, mohon cianpwe suka
memaafkan keliaranku. Dan kumohon cianpwe sudi menyampaikan terima kasihku
kepada Kaisar Persilatan atas budi pertolongannya kepada diriku."
“Ah, engkau terlalu
sungkan," kata Ke Bing seraya balas memberi hormat, “Mengapa tempo hari
aku pergi tanpa pamit adalah karena diajak Kaisar. Kalau tidak masakan aku
mampu melintasi sekian banyak penjagaan ...."
“O…" Gak Lui menghela
napas. Saat itu baru ia menyadari betapa luas dan tingginya ilmu silat itu. Di
atas gunung masih ada langit. Orang yang pandai masih ada yang lebih pandai.
“Lalu apakah tujuan cianpwe
naik ke gunung ini ?" tanyanya pula.
“Karena Kaisar hendak
berziarah menghadap Ji-lay titisan ketiga. Dan saat itu ia melihat hawa
pembunuhan menutup gereja Siau-lim-si, tentu akan mencelakai seorang tokoh
persilatan ... hanya karena tak mau dirinya diketahui orang maka ia segera
membawa aku agar dapat mengalihkan perhatian orang."
“O, kiranya begitu," kata
Gak Lui, “tetapi aku memang hendak menghadap kepadanya. Sayang aku tiada rejeki
sehingga tertimpa peristiwa ini ...."
“Apakah maksudmu hendak
menemuinya? Apakah hendak menanyakan tentang ilmu Ngo heng-tay-hwat yang
terbalik itu ?" tanya Ke Bing.
”Benar, benar," seru Gak
Lui dengan rasa keheranan yang tak kunjung habis. Disamping mengagumi ilmu
Liok-to-sin-thong dari Kaisar Persilatan, diam2 ia meragukan diri Ke Bing. Ke
Bing seorang yang tak mengerti ilmu silat. Adakah ia mampu mengingat semua
pesan dari Kaisar Persilatan ?
Melihat keraguan orang, Ke
Bing serentak menjulurkan Kim-jiu. Melihat itu timbullah gagasan Gak Lui.
Mengapa setelah membicarakan ilmu Ngo-heng-tay hwat terbalik, lalu tiba2 Ke
Bing menyodorkan Kim-jiu ? Pikiran Gak Lui yang cerdas cepat dapat menduga
bahwa Kim-jiu itu kecuali sebuah benda mujijad yang mampu memberi pengobatan
dan tenaga, pun tentu mengandung ilmu pelajaran yang sakti.
Maka dengan wajah serius dan
khidmat, ia segera menyambuti benda itu dengan gemetar.
“Saudara Li mengatakan, segala
ilmu kesaktian berada dalam Thian-liong-kim-jiu ini. Dengan kecerdasanmu,
tentulah engkau dapat menyelaminya," kata Ke Bing.
Gak Lui tersipu-sipu mengiakan.
“Tetapi benda ini adalah
pusaka warisan dari partai perguruan Thian-liong-pay. Engkau harus hati2
menjaganya."
“Sudah tentu akan kujaganya
dengan baik. Hanya setelah selesai mempelajari, kemanakah aku harus
mengembalikan ?" tanya Gak Lui.
“Pada waktunya, saudara Li
Liong-ci tentu akan datang sendiri untuk mengambilnya."
“O, apakah beliau mau bertemu
dengan aku ?”
“Kelak pada suatu ketika pasti
akan bertemu.”
“Ah, sungguh beruntung sekali!
Aku masih ingin meminta banyak sekali pelajaran kepada beliau !" seru Gak
Lui dengan girang. Semangatnya pun bangun kembali. Memang ia mempunyai angan2
untuk menjagoi dunia persilatan. Oleh karena Kaisar Persilatan tak mau muncul
dalam masyarakat ramai, maka itulah suatu kesempatan baik baginya untuk menonjolkan
diri.
Tetapi adakah ia mampu
mencapai tingkat pelajaran sehebat itu, harus dilihat dari ketekunannya
belajar.
Tiba2 Ke Bing berkata: “Cita2
memang membuat orang kagum. Aku berani memastikan, saudara Li Liong-ci tentu
akan meluluskan. Kuharap engkau belajar sungguh2, agar apabila tiba saatnya
dapat diuji."
Kata2 itu menggembirakan Gak
Lui. Bahkan Hwat Hong taysu dan Siu-mey ikut bergembira.
“Maaf," kata Ke Bing,
“aku tak mengerti ilmu silat seperti kalian. Setengah hari ini, aku benar2 agak
letih. Aku hendak beristirahat dulu di sini. Jika kalian mempunyai urusan,
silahkan berangkat dulu."
Sekalian orangpun segera
berbangkit dan memberi hormat minta diri kepada Ke Bing.
Kepada setiap orang Ke Bing
selalu menjawab, “Sampai berjumpa lagi" atau “Harap menjaga diri
baik2". Tetapi ketika berhadapan dengan Hwat Hong taysu, ia berkata:
“Selamat tinggal! Selamat tinggal !"
Demikian dengan Gak Lui
sebagai penunjuk jalan, rombongan orang Heng-san pun segera turun gunung.
Selama dalam perjalanan itu, tak hentinya Gak Lui merenungkan peruntungan besar
yang diterimanya itu. Ia merasa sangat berhutang budi kepada Kaisar Persilatan.
Ia merasa sekalipun dengan jiwa, ia tak dapat membayar budi tokoh itu. Pun
kepada Ke Bing ia juga merasa berhutang budi. Tetapi ia percaya tentu dapat
membalasnya.
Untuk mengingat namanya agar
jangan sampai lupa, Gak Lui berulang-ulang menyebut: “Ke Bing! Ke Bing! Ke
Bing.... hai, janggal benar! Ke Bing itu tentu bukan nama yang aseli tetapi
nama palsu! Lalu siapakah dia ... apakah dia itu……?"
Sekonyong-konyong pemuda itu
menggentakkan kakinya ke tanah dan tanpa bicara sepatah-pun, ia terus lari
kebalik biara tua tadi. Sudah tentu Hwat Hong dan Siu-mey tercengang. Terpaksa
mereka lari menyusul pemuda itu. Tak berapa lama merekapun sudah tiba kembali
di biara tua itu.
Tampak Gak Lui tegak berdiri
diam dan sikapnya seperti orang yang kecewa.
“Engkoh Lui, kenapa engkau
?" tanya Siu-mey.
“Kalian lihatlah....!"
seru Gak Lui seraya menunjuk kedalam biara.
“Apakah Ke sianseng tertimpa
sesuatu?" tanya Hwat Hong taysu. Tetapi ketika pandang matanya terarah
kedalam biara, ketua Heng-san-pay itupun segera berteriak kaget: “Hai, dia
lenyap!"
“Aneh, mengapa kalau tidak
bisa ilmu silat, dia dapat bergerak sedemikian cepatnya?"
Gak Lui gentakkan kakinya
berulang kali ke tanah. Sambil geleng2 kepala ia menghela napas: “Tiada yang
harus dibuat heran! Kalau terasa aneh itu adalah kita yang tak dapat melihat
orang!"
“Maksudmu.... ?"
“Ke Bing itu berarti Nama
Palsu. Yang betul dia adalah Kaisar Persilatan sendiri !"
“Amboi ....!" teriak Siu
mey terkejut. Sejenak tertegun, ia menggerutu seorang diri: “Ah, memang tak
dapat menyalahkan kita. Engkau dan kita semua belum pernah
melihatnya....."
Wajah Hwat Hong taysu serentak
berobah merah, ujarnya: “Aku yang merasa sudah faham dan pasti akan mengenalnya
apabila bertemu. Siapa tahu kepandaian Li tayhiap Kaisar Persilatan begitu
lihay, mencapai tingkat dimana pandangan mata orang benar2 dapat disesatkan. Ah
... aku benar merasa malu kepada diriku."
Demikian sekalian merasa
sangat getun.
Betapapun halnya, Kaisar
Persilatan sudah unjuk diri dan lenyap lagi. Beberapa saat kemudian Siu-mey
tertawa nyaring, serunya: “Engkoh Lui, jangan cemas. Tadi beliau siorang tua
mengatakan, begitu engkau sudah selesai mempelajari ilmu Ni-coan-ngo-heng,
beliau tentu akan menjumpai engkau lagi untuk menguji kepandaianmu. Mengapa
engkau tak dapat bersabar...."
“Hm ...," teringat bahwa
kelak masih banyak kesempatan, Gak Luipun menghela napas: “Ah, sayang masih
kurang sesuatu !"
“Kurang apa ?"
“Aku tak mengerti ilmu
Ngo-heng-ki-bun. Tentu sukar sekali untuk mempelajari ilmu Ni-coan-ngo-heng
itu."
“Hi, hi, hi, hi," Siu-mey
tertawa mengikik, “dalam soal itu aku dapat membantumu."
“Apakah engkau dapat ?"
“Sudah tentu, sebagai murid
dari Dewi Tong thing, masakan begitu saja tak bisa ?"
“Baik, sekarang silahkan
engkau mengajarkan dasar2 ilmu itu."
“Hm, tak semudah itu, bung.
Sedikit banyak harus ada pernyataan."
“Pernyataan bagaimana ?"
“Mengangkat guru meminta
pelajaran, harus memakai penghormatan !"
“Ha, ha, ha, ha," Gak Lui
tertawa geli, “rupanya engkau lupa, akupun pernah mengajarkan sejurus ilmu
pedang kepadamu. Kan ini namanya sudah lunas.”
Demikian mereka duduk di dalam
biara tua itu dan Siu meypun mulai menguraikan tentang ilmu Kian-gun-pat-kwa
dengan segala perobahannya. Hwat Hong taysupun ikut menambahkan penjelasan yang
perlu.
Gak Lui memang cerdas. Apa
yang diajarkan Siu-mey itu dapat dicatat dalam hati dengan baik. Setelah itu ia
mengeluarkan Thian-liong-kim-jiu, disongsongkan pada sinar rembulan untuk
memeriksa guratan2 halus yang terdapat pada benda itu.
Dengan pengamatan yang
seksama, dapatlah ia mengetahui bahwa guratan pada Thian- liong-kim jiu itu
memang merupakan tanda2 dari susunan Pat-kwa.
Bermula memang mudah. Dengan
pelajaran yang didapatnya dari Siu-mey tadi, ia dapat mengerti susunan gurat2
itu. Tetapi setelah meningkat pada kelompok guratan yang lain, macetlah
pikirannya. Benar2 ia tak dapat mengetahui inti keindahannya. Dicobanya untuk
mengasah olak memecahkan rahasia itu, tetapi tetap sia2. Mata berkunang, kepala
pening dan keringatpun bercucuran deras.
---oo~dwkz^0^Tah~oo---
Selama itu Siu-mey tak berani
buka suara karena kuatir akan mengganggu pemusatan semangat Gak Lui. Tidak
demikian dengan Hwat Hong taysu yang banyak pengalaman. Kuatir kalau terlalu
ngotot nanti Gak Lui akan menjurus ke arah akibat yang disebut Co-hwa-jip-mo
atau darahnya meliar deras sehingga tak berjalan pada saluran yang semestinya.
Co-hwe-jip-mo akan mengakibatkan tubuh orang rusak dan cacat, pikiranpun tak
waras lagi.
“Sauhiap," cepat ketua
Heng-san-pay itu menyelutuk, “bahkan Kaisar Persilatanpun sudah mengatakan
bahwa untuk mempelajari ilmu itu, harus memerlukan waktu yang cukup lama. Maka
janganlah engkau terburu-buru begitu rupa ...."
Gak Lui mengiakan. Ia menghela
napas untuk melonggarkan ketegangan syarafnya. Tetapi beberapa saat kemudian,
ia mulai membenam diri untuk memecahkan rahasia gurat2 pada Thian-liong-kim-jiu
itu lagi.
Melihat itu Siu-mey segera
mengalihkan perhatian pemuda itu, serunya: "Engkoh Lui, kita masih
mempunyai rencana lain. Marilah kita berangkat !"
“Hm, hm...,” Gak Lui hanya
mendengus. Rupanya dia tetap enggan.
Melihat itu Siu-mey segera
cari akal agar dapat mengalihkan perhatian Gak Lui. Segera ia menceritakan apa
yang Kaisar Persilatan mengatakan kepadanya. Bahkan menurut Kaisar Persilatan,
kelak ia akan menjadi seorang pendekar wanita yang amat termasyhur. Lalu Kaisar
Persilatanpun mengatakan bahwa tak lama lagi Hwat Hong taysu tentu bakal
mencapai kesempurnaan dalam ilmu agama yang dianutnya.
“Apakah…. engkau tak salah
.... dengar?" serentak Gak Lui bertanya dengan tegang.
“Tidak !"
Mendengar itu hati Hwat Hong
taysupun tergetar rawan. Ia dapat menyelami apa arti kata2 itu. Dan lagi ketika
saling berpisah, khusus kepada dirinya, Kaisar Persilatan tidak mengucapkan
'sampai jumpa lagi', tetapi 'selamat tinggal'.
Hwat Hong taysu dan Gak Lui
saling bertukar pandang. Rupanya keduanya sama2 mempunyai pengertian dalam hal
itu.
“Mari kita pergi.... toh dalam
waktu semalam tak mungkin aku dapat mengetahui rahasia pelajaran itu
....." akhirnya Gak Lui berkata.
“Benar, kita harus berangkat
dan melaksanakan rencana semula," sahut Hwat Hong taysu.
Sejenak merenung Gak Lui
mengatakan bahwa sebaiknya rencana semula itu perlu dirobah sedikit.
“Sejak saat ini kita jangan
berpencar dan bersama-sama menuju ke Ceng-sia !" katanya.
“Ah, tak perlu," sambut
Hwat Hong, “walaupun aku tak tahu isi rencana itu, tetapi aku tak setuju kalau
dirobah."
Gak Lui hendak membantah
tetapi tiba2 Siu mey menarik lengan baju Gak Lui: “Engkoh Lui, kurasa memang
tak perlu dirobah. Rencana memikat lawan, rasanya yang paling tepat untuk kita
jalankan!"
Nona itu terpaksa hentikan
kata2nya karena Gak Lui cepat berpaling menatapnya. Tetapi Hwat Hong taysu
sudah terlanjur mendengar tentang siasat 'memikat musuh' itu. Maka berkatalah
ia: “Sauhiap, ditilik dari urusan Pengemis Jahat, sekalipun engkau tak bilang,
tetapi aku dapat menduga. Demi supaya dapat memikat musuh, harap engkau jangan
menghalangi."
“Taysu ...."
“Jangan kuatir, tak nanti aku
bertindak sembarangan. Tak peduli akan berjumpa dengan murid hianat yang palsu
ataupun dengan Topeng Besi, aku takkan bertindak sembarangan!"
Karena sungkan menolak dan
karena mendapat jaminan Hwat Hong, terpaksa Gak Lui menerima. Sekalipun begitu
ia tetap memberi pesan: “Taysu, ingatlah bahwa kita masih akan ke
Ceng-sia."
“Baiklah, itu berarti sekali
dayung dua tepian," sahut kepala gunung Heng-san itu. Habis berkata dengan
diikuti ke delapan anak murid, ia segera turun gunung.
Setelah jauh, barulah Siu-mey
bertanya kepada Gak Lui: “Engkoh Lui, rupanya kalian seperti ada sesuatu yang
tersembunyi dalam hati ...."
“Benar ! Ucapan Kaisar
Persilatan seolah-olah memberi petunjuk bahwa tak lama.... taysu akan
meninggalkan dunia fana."
“Hm, hanya suatu ramalan yang
belum terjadi. Tak perlu kita terlalu percaya."
Gak Lui tersenyum hambar: “Aku
memang tak suka akan tahayul. Tetapi dengan terjadinya peristiwa Tanghong
sianseng, sebaiknya kita berjaga-jaga saja."
Diam2 Siu meypun tergetar
dalam hati. Namun ia cepat menghibur diri. Asal Hwat Hong taysu benar2 pegang
janjinya tak bergerak sembarangan, tentulah akan terhindar dari bahaya.
Waktu berjalan dengan cepat.
Gunung Ceng-sia-sanpun makin dekat. Sehari berjalan lagi, tentu akan tiba.
Dalam pada itu timbul
pertentangan dalam hati Gak Lui. Kemudian ia menghela napas: “Untuk mencari
adik Lian, rupanya harus mencari daya lain. Tetapi membiarkan taysu mencapai
gunung Ceng-sia, pun suatu hal yang baik juga ...."
Siu-mey mengiakan: “Benar,
setelah mengantarkan obat, kita mencari lagi....."
Memandang ke muka, tampak anak
buah Heng-san-pay tadi menyusup ke dalam hutan. Mungkin untuk menyelidiki
barangkali dalam hutan itu terdapat musuh yang bersembunyi.
Ketika Gak Lui dan Siu-mey
tiba di tepi hutan, tiba2 terdengar Hwat Hong taysu berteriak kaget seperti
melihat sesuatu yang aneh.
Gak Lui cepat menghampiri dan
saat itu terdengar suara senjata beradu amat gencar.
“Celaka !" Gak Lui makin
gugup. Cepat ia mencabut sepasang pedang dan terus secepat kilat menyerbu ke
dalam hutan.
Gak Lui bergerak cepat sekali
tetapi ternyata peristiwa telah berlangsung lebih cepat. Ketika tiba di tempat
Hwat Hong, ia termangu-mangu seperti patung. Wajahnya memberingas dan dua butir
airmata menitik turun.....
Saat itu Siu-meypun tiba,
serunya meneriaki Gak Lui: “Engkoh Lui...." tetapi ketika melihat keadaan
di tempat itu, seketika iapun terlongong-longong.
Kiranya saat itu Hwat Hong
taysu menggeletak mati ditanah dengan dada tertembus tusukan pedang. Dan dari
kedelapan anak muridnya, yang kurang hanya seorang. Karena yang tujuh orang-pun
sudah rebah menjadi mayat.
“Engkoh Lui !" Siu-mey
akhirnya dapat menahan kegoncangan hatinya, "bagaimanakah... ini?"
Gak Lui memandang ke
sekeliling dan menajamkan hidungnya beberapa jenak, lalu berkata dengan dingin:
“Inilah perbuatan kejam dari si orang berkerudung muka dan Topeng Besi
itu!"
“Salah !" seru Siu-mey
sembari menunjuk pada mayat Hwat Hong, “kalau bertemu musuh, sekalipun Hwat
Hong tak sempat mundur, tetapi paling tidak dia tentu sudah mencabut pedang !”
Ketika mengikuti yang ditunjuk
Siu-mey, memang Gak Lui melihat pedang Hwat Hong taysu masih menyarung di
kerangka. Jelas paderi itu belum mencabutnya. Hal itu memang mengherankan.
“Kurasa taysu tentu tak ingkar
janji. Tentulah telah terjadi sesuatu yang diluar dugaan sehingga ia tak
memikir untuk mundur. Dan lawan menggunakan kesempatan selagi dia tak berjaga,
terus menyerangnya ...." kata Gak Lui sambil menghitung jumlah mayat
murid2 Heng-san-pay.
Mayat2 itu malang melintang di
tanah dalam keadaan yang mengerikan. Gak Lui hanya mendapatkan jumlah tujuh
orang saja. Dan yang seorang jelas lenyap.
Gak Lui terperanjat. Tubuhnya
menggigil tegang. Melihat itu Siu-mey segera bertanya: “Tentulah yang seorang
itu ditawan musuh. Kalau kuatir dia nanti membocorkan tentang peristiwa engkau
mendapat Kim jiu, marilah kita cepat mengejarnya !"
“Mengejar ?”
“Ya !"
“Tak mungkin terkejar."
“Mengapa ?"
“Pertama, mengantar obat ke
Ceng-sia itu, harus kita yang melakukan. Dan hal itu tak boleh ditunda waktunya
!"
“Aku yang pergi ke Ceng-sia
dan engkau yang mengejar mereka !"
“Tidak, aku tak dapat mengejar
!"
“O...," Siu-mey
terheran-heran, “apakah engkau takut ?"
“Hm, masakan aku bisa
takut?"
“Lalu mengapa engkau tak
mengejar ?"
Gak Lui maju selangkah:
“Dengan menawan seorang murid Heng-san-pay itu, mereka tentu menggunakan cara
yang ganas dan menjaganya dengan ketat. Kaisar Persilatan memberiku pusaka
Kim-jiu itu, tak lama tentu akan sampai pada Maharaja,..."
“Hm....." desis Siu-mey.
“Berulang kali Maharaja
berusaha hendak menangkap aku hidup. Kali ini mungkin dia akan berusaha lebih
keras lagi untuk menangkap aku!"
“Apa alasannya ?"
“Mudah sekali," sahut Gak
Lui, “dia sesungguhnya tak tahu bagaimana kematian ayah-angkat dan bibi guruku.
Maka dia selalu kuatir kalau mereka Empat Pedang dari Busan akan membasminya.
Selain itu, dia masih hendak ...."
Tiba2 Gak Lui berhenti dan
serempak dengan itu terlintaslah sesuatu dalam benaknya. Ia seperti telah
menemukan pemecahan dari suatu rahasia yang selama ini masih gelap baginya.
Dan berkatalah ia seorang
diri: “Ya, benar, dia masih ingin menggunakan aku untuk mengambil pedang
Thian-lui koay-kiam !"
“Untuk apakah pedang itu
?" tanya Siu-mey.
“Untuk mengadu jiwa dengan
Kaisar Persilatan !"
“Hai !" Siu-mey serentak
tersadar, “kalau begitu jelas engkau tak boleh sembarangan mengejar. Karena
apabila lawan dapat merebut benda Thian-liong-kim-jiu itu, bahayanya tentu
besar sekali !"
Demikian setelah menanam mayat
murid2 Heng-san-pay, lalu Gak Lui membawa jenazah Hwat Hong menuju ke Ceng-sia.
Dalam perjalanan itu yang
menjadi pemikiran Gak Lui tak lain yalah bagaimana ia dapat mempelajari ilmu
Ni-coan-ngo-heng dan selekasnya dapat merebut pedang pusaka
Thian-lui-koay-kiam.
Selama itu iapun merasa
tenaga-dalamnya bertambah maju. Sudah tentu hal itu disebabkan karena hasil
pengobatan yang diberikan Kaisar Persilatan kepadanya.
Mengenai pengobatan itu, Gak
Lui teringat bahwa Kaisar Persilatan tidak langsung menyalurkan tenaga dalam,
melainkan hanya menggunakan Thian-liong-kim-jiu. Ternyata Kim-jiu itu dapat
melekat pada jalan darah yang tepat dan menyalurkan tenaga-dalam ke tubuh Gak
Lui. Sungguh suatu benda pusaka yang ajaib.
Makin besarlah rasa kagum Gak
Lui kepada tokoh Kaisar Persilatan. Diam2 iapun girang karena tenaga-dalamnya
bertambah. Tetapi kegirangannya itu segera tertutup oleh awan kedukaan atas
kematian Hwat Hong taysu serta ketujuh anak muridnya.
Tengah ia berjalan dengan
melamun, tiba2 Siu mey berteriak: “Engkoh Lui, kita sudah sampai...."
Gak Lui terkejut girang.
Memang benar, tak jauh di sebelah muka tampak gunung Ceng-sia san yang
terbungkus rimba hijau, ia menduga gunung itupun tentu didirikan beberapa pos
penjagaan dari Ceng-sia-pay.
Ketika ia bersama Siu-mey
melanjutkan perjalanan untuk mendaki, sekonyong-konyong di udara tampak
meluncur seuntai api. Api itu pecah berhamburan dan lenyap.
“Engkoh Lui, orang sudah
mengetahui kedatangan kita dan mereka melepas api pertandaan. Harap hati2
!"
Gak Lui menurunkan jenazah
Hwat Hong taysu dan menyembunyikan di tempat yang aman. Setelah itu ia berkata:
“Ada apa2 biarlah aku yang maju, jangan engkau sembarangan ikut turun tangan
!"
Siu-mey mengiakan: “Baik, Hui
Gong taysu dari Siau-lim-si sudah menyanggupi untuk memberitahukan tentang
dirimu kepada sekalian partai persilatan. Kuharap siarannya itu sudah tiba pada
mereka. Agar jangan timbul salah faham lagi.”
“Mudah-mudahan begitu,"
kata Gak Lui.
Tepat Gak Lui habis berkata,
dari hutan gunung Ceng-sia-san bermunculan beberapa sosok tubuh orang. Mereka
menghampiri ke tempat kedua pemuda itu. Yang berjalan di sebelah depan terdiri
dari empat orang imam yang sudah tua usianya. Jelas keempat imam tua itu tentu
memiliki kepandaian tinggi.
Cepat sekali rombongan itu
sudah tiba di hadapan Gak Lui. Barulah saat itu Gak Lui dapat melihat jelas
bahwa keempat imam tua itu memelihara jenggot panjang dan jidat lebar serta
berwibawa. Mereka mengenakan jubah seragam dan membekal pedang yang sama
bentuknya.
Melihat wajah mereka menampil
kemarahan, Gak Lui cepat mendahului berkata: “Totiang berempat ini tentulah
dari partai Kong-tong-pay ?"
“Ya," sahut keempat
totiang itu seraya mengisar kaki dan membentuk diri dalam setengah lingkaran, menghadang
jalan Gak Lui dan Siu-Mey.
“Tolong tanya, siapakah
diantara totiang yang disebut Wi Ih totiang?"
“Akulah !" sahut salah
seorang imam tua itu seraya maju selangkah. Wi Ih menunjuk pada ketiga
kawannya: “Yang ini suteku Wi Jing, Wi Li dan Wi Beng ....” dalam pada
memperkenalkan nama ketiga sutenya itu, mata Wi Ihpun segera tertumbuk akan
jenazah Hwat Hong taysu yang dipanggul Gak Lui. Seketika merahlah matanya
dengan sinar kemarahan, bentaknya: “Engkau pengapakan taysu itu?”
“Pada waktu dalam perjalanan
bersama taysu untuk mengantar obat, di tengah jalan telah diserang musuh gelap
sehingga taysu mendapat bencana ...."
“O, apakah kalian dari gereja
Siau-lim?"
“Benar ...."
“Bagaimana keadaan penyakit
ketua Siau-lim?"
“Sudah dapat kami sembuhkan
!"
“Hm ....," wajah Wi Ih
yang berbentuk panjang seperti kuda itu agak kendor, katanya: “Gak Lui, adanya
kali ini kami tinggalkan markas Kong-tong, tak lain karena hendak mencarimu
guna membuat perhitungan. Tetapi karena kalian telah menyembuhkan Hui Gong
taysu dari Siau-lim, sekarang kami beri engkau kesempatan untuk mengadakan
penjelasan !"
“Penjelasan itu sederhana
sekali. Wi Ti dan Wi Tun berdua totiang itu amat baik sekali hubungannya dengan
aku. Mereka mati dibunuh anak buah Maharaja Persilatan dan untuk itu aku
berusaha hendak menuntut balas !"
“Dengan begitu bukan engkau
yang membunuh mereka ?"
“Sudah tentu bukan !"
“Tetapi ketua Kun-lun-pay
mengatakan kalau .... engkau. Tentulah kalian sudah bertemu dengan mereka di
gereja Siau-lim ...."
Dengan ucapan yang bernada
ramah itu jelas mengunjukkan bahwa salah faham antara partai Kong-tong-pay
dengan Gak Lui, saat itu sudah dapat dihapuskan.
“Lalu bagaimanakah dengan
Tanghong sianseng ?" bertanya ketua Kong-tong-pay pula.
“Dia ...." Gak Lui berkata
dengan suara sember.
“Mengapa ?" desak Wi Ih
mulai tegang.
“Dia sudah meninggal !"
“Meninggal ? Kenapa ?"
“Terkena jarum emas Pencabut
Nyawa dari Siau-lim-si."
“Hai, aneh !" Wi Ti
totiang maju selangkah, serunya: “Apakah Siau-lim-si menggunakan senjata
rahasia untuk mencelakainya? Bicaralah yang jelas !"
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
Setelah menghela napas, Gak
Lui lalu menuturkan apa yang telah terjadi pada Tanghong sianseng secara jujur,
Gak Lui menceritakan bahwa kematian Tanghong sianseng itu adalah karena terkena
jarum emas Pencabut Nyawa yang tak sengaja telah dilepaskannya, seketika
membelalakkan mata Wi Ih totiang.
Tring, tring,
tring.....serentak mereka mencabut pedang. Melihat itu Siu-meypun cepat melolos
pedang dan melindungi di muka kekasihnya.
Gak Lui sendiri tenang2 saja,
serunya: “Harap totiang jangan turun tangan. Apa yang kututurkan memang
sesungguhnya. Harap totiang suka menimbang masak2 !"
“Menimbang ?" teriak Wi
Ih totiang, “kedua ketua partai persilatan itu telah mati terbunuh secara
berturut-turut. Orang mati memang tiada buktinya. Apalagi yang harus
dipikirkan."
“Harap totiang memikirkan
tentang keselamatan jiwa ketua Ceng-sia-pay. Apabila terlambat, mungkin sukar
ditolong."
“Heh, heh! Adakah kalian sudah
mengunjungi gereja Siau-lim, masih satu pertanyaan. Taruh sudah ke sana, pun
apa yang engkau ceritakan itu, memang sukar dipercaya !"
“Lalu bagaimana dengan maksud
totiang ?"
“Tiga macam hutang darah,
sekali dibayar lunas !"
Gak Lui kerutkan alis dan
berseru dengan sarat: “Kedatanganku kemari adalah hendak mengantar obat. Tidak
bertujuan berkelahi dengan totiang. Dan memang aku sudah berketetapan untuk
datang ke Ceng-sia-san. Harap totiang suka memberi jalan....."
“Ngaco belo!" bentak imam
Wi Ih dengan marah lalu mengangkat tangan kiri dan lepaskan sebuah hantaman
dahsyat yang dilambari tenaga-dalam Thay jin-cin gi, terarah ke dada Gak Lui.
“Bagus!" seru Gak Lui
seraya menyongsong dengan gerakan tangan kiri dalam jurus Ciang-mo-ciang-hwat
atau pukulan menundukkan iblis.
Wi lh totiang terkejut. Ketika
pukulannya melancar setengah jalan ia sudah merasa bahwa pukulan pemuda itu
mengeluarkan tenaga-penyedot yang aneh. Buru2 ia tarik pulang tenaga-dalamnya,
berbareng itu dengan gerak yang menyerupai jurus Ular-keluar-guha, pedang di
tangan kananpun segera menusuk bahu lawan.
Tetapi Gak Lui tetap tenang.
Dengan gerakan yang indah, ia miringkan tubuh seraya balikkan tangan kanan dan
mendorong kepada lawan, bum.... terdengar deru angin yang dahsyat, jauh lebih
dahsyat dari pukulan Wi Ih tadi.
Wi Ih totiang benar2 tak
pernah membayangkan bahwa dalam dunia ternyata terdapat jenis pukulan yang
mengandung tenaga-penyedot, ia hendak mengganti jurus serangannya tetapi sudah
terlambat.
Seketika tubuhnya terhuyung
sampai lima enam langkah. Darah pada kepala dan dadanya bergolak keras. Hampir
saja ia terluka dalam.
Melihat saudara seperguruannya
terdesak, Wi Ceng, Wi Li dan Wi Beng cepat hendak turun tangan membantu.
Tetapi ternyata Gak Lui tak
mau melukai orang. Maka setelah berhasil mengundurkan orang, ia segera menarik
pulang tangannya dan tak mau menyerang lagi melainkan berseru: “Harap totiang
sekalian suka mendengarkan! Jika aku memang mempunyai hati hendak membunuh
orang, ketua kalian tadi kalau tidak mati tentu sudah menderita luka. Maka
kuminta totiang sekalian suka tenang dan memikirkan tentang keselamatan jiwa
ketua Ceng-sia-pay....."
Nasehat itu keluar dari hati
nurani yang baik, tetapi sayang para imam partai Kong-tong-pay itu tak mau
mengerti. Setelah menjalankan pernapasan sejenak, maka berserulah Wi Ih
totiang: “Tidak mudah untuk naik ke atas gunung Ceng-sia. Lebih dulu harus
mencoba barisan Tujuh Bintang dari partai Kong tong-pay baru nanti engkau boleh
naik ...."
Habis berkata ketua Kong-tong
itupun segera memberi isyarat kepada kawan2nya. Tiga orang imam muda yang
berdiri di belakangnya, segera tampil ke muka dan dengan keempat imam tua itu
kini mereka genap berjumlah tujuh orang. Mereka bergerak gerak mengitari
lapangan dan pada lain kejab telah membentuk diri dalam barisan Tujuh bintang.
Saat itu kedua fihak seperti
orang yang naik punggung harimau. Sukar untuk turun lagi. Apa boleh buat, Gak
Luipun terpaksa bersiap dengan pedangnya.
Pada saat suasana ketegangan
memuncak, sekonyong-konyong terdengar seruan nyaring yang bergetar tegang:
“Tahan! Berhenti !"
Sekalian orang terkejut dan
berpaling ke arah asal suara itu. Seorang paderi tergopoh-gopoh lari
menghampiri seraya melambai-lambaikan sepucuk surat.
Gak Lui yang bermata tajam
cepat dapat mengenali bahwa yang datang itu adalah Hoan Gong paderi dari
Siau-lim-si.
Begitu tiba dengan napas
terengah-engah paderi itu memberi hormat kepada sekalian orang. Lalu dengan
hati2 menyerahkan surat kepada Wi Ih totiang: “Ketua kami menghaturkan surat
penting kepada cianpwe!"
Melihat sikap sipaderi yang
begitu tegang, Wi Ih menduga tentu membawa urusan penting. Segera ia merobek
sampul dan membaca isinya. Wajah ketua Kong-tong-pay itu berobah-obah mimiknya.
Gak Lui dan Siu-mey menduga
surat dari Hui Gong taysu itu tentu berisi penjelasan tentang dirinya kepada
ketua Kong-tong-pay.
Memang dugaan itu tak salah.
Setelah merenung beberapa saat, seri wajah ketua Kong-tong-pay itu berobah
tenang, ujarnya: “Gak ... surat dari ketua Siau-lim-si ini menyatakan bahwa
keterangan kalian tadi memang benar. Demi menghadapi musuh2 dunia persilatan,
segala perselisihan diantara kita, kelak saja kita perhitungkan lagi ...."
“Baik," jawab Gak Lui,
“mari kita lekas2 menghadap Thian Lok totiang!"
Demikian ketegangan yang sudah
meruncing itu akhirnya dapat diredakan dan merekapun segera mendaki ke atas
menuju ke biara Ceng sia. Tetapi hal itu bukan berarti kemarahan keempat tokoh
Kong tong-pay sudah hapus. Mereka tetap mendendam kepada Gak Lui dan menunggu
kelak pada suatu hari akan dibereskan lagi.
Dalam perjalanan itu diam2
Siu-mey telah mengisiki telinga Gak Lui: “Engkoh Lui, mengapa engkau tak mau
menyerahkan saja obat dan jenazah Hwat Hong taysu kepada keempat imam itu?
Bukankah dengan mengantarkan sendiri berarti engkau membuang waktu untuk
mempelajari ilmu Ni-coan-ngo-heng tay hwat itu?"
“Aku kuatir kaki tangan
Maharaja menyusul kemari dan merebut obat itu. Apalagi...."
“Apalagi bagaimana ?"
“Sejak saat ini aku akan
membasmi mereka habis-habisan !"
“O," desus Siu-mey,
“engkau hendak membasmi alat2 berita dari Maharaja!"
“Benar, dengan begitu partai2
persilatan mempunyai waktu untuk mengatur persiapan dan aku sendiripun
mempunyai kesempatan untuk meyakinkan ilmu yang tersimpan dalam Thian-liong-kim
jiu itu !"
Dalam pada bicara itu
merekapun sudah tiba di ruang besar biara Ceng-sia-kwan. Murid kepala dari
Ceng-sia-pay yakni Hian Wi totiang menyambut dan mempersilahkan tetamu2nya
masuk.
Dahulu ketika baru turun
gunung, Gak Lui pernah bertempur dengan Hian Wi totiang itu. Kepandaian mereka
berimbang dan hanya mengandalkan jurus ilmu pedang yang aneh, maka pemuda itu
dapat memapas kutung pedang lawan.
Tetapi kali ini, memang lain
halnya. Ilmu kepandaian Gak Lui jauh lebih tinggi dari imam itu. Sebenarnya Gak
Lui sendiri tak membangga2kan soal itu. Tetapi bagi Hian Wi totiang tidaklah
demikian. Diam2 ia penasaran kepada pemuda itu. Dalam mengambil tempat duduk
itu, menurut urut2an tinggi rendahnya kedudukan dalam perguruan, terpaksa Hian
Wi totiang tidak mendapat tempat duduk melainkan tegak berdiri.
Maka dengan menekan
perasaannya, menyambutlah Hian Wi totiang atas kedatangan Gak Lui: “Atas nama
suhu, kami menghaturkan terima kasih kepada Gak sauhiap yang telah memerlukan
datang kemari mengantar obat. Mohon tanya, bagaimanakah cara meminumnya? Dan
harus menunggu berapa lama obat itu baru bekerja ?"
Dalam hal itu Siu-mey lebih
mengerti dari Gak Lui. Apalagi obat itu memang dia yang membawanya. Maka
cepatlah ia mewakili Gak Lui menyahut: “Cara meminumnya biasa saja. Tentang
daya khasiatnya, sehari atau paling lambat dalam tiga hari tentu sudah
kelihatan."
“Mengapa waktunya terpaut
begitu jauh ?"
“Dibantu dengan penyaluran
tenaga-dalam tentu cepat kalau mengandalkan obat itu bekerja sendiri memang
lebih lambat !"
Hian Wi kerutkan dahi,
sahutnya: “Sudah tentu aku lebih senang kalau suhu lekas sembuh. Soal
penyaluran tenaga dalam itu kuharap tuan2 suka membantu....” ia berhenti dan
memandang ke sekeliling tetamu yang hadir.
“Aku bersedia membantu
tenaga," pertama tama adalah Gak Lui yang memberi pernyataan. Tetapi Wi Ih
totiang cepat mencegah: “Nanti dulu."
Cepat Gak Lui dapat menduga
apa yang dipikirkan paderi itu. Imam tua itu curiga dan iri hati. Maka sebelum
orang itu membuka mulut, Gak Lui sudah mendahului: “Totiang, aku bukan seorang
yang suka usil dan jauh dari maksudku memandang rendah pada totiang. Tetapi
yang jelas, saat ini kita berkejaran dengan waktu, setiap detik amat berharga.
Jika aku yang memberi penyaluran itu, tentu hasilnya lebih cepat !"
“Ini ... ini ... sekalipun tempo
amat berharga tetapi terpautnya hanya beberapa jam saja."
“Kuduga kawanan kaki tangan
Maharaja mungkin akan menyerang gunung ini. Apakah engkau senang melihat ketua
Ceng-sia-pay menghadapi musuh dalam keadaan terbaring di tempat tidur ?” Gak
Lui mengecam tajam.
“Ini…."
“Dan sekiranya totiang masih
kuatir, pada waktu aku melakukan penyaluran tenaga-dalam nanti, silahkan
totiang dan sekalian murid2 totiang mengamati aku di samping!" seru Gak
Lui pula.
Ucapan Gak Lui yang secara
blak-blakan itu membuat ketua Kong-tong-pay tak dapat berkata apa2 lagi.
Beramai-ramai rombongan tetamu
itu segera dibawa masuk ke ruang tempat Thian Lok totiang sakit.
Atas petunjuk Gak Lui maka
Hian Wi tosu mengambil jenazah Hwat Hong taysu lalu mengatur upacara penguburan.
Dalam pada itu ia memberi perintah kepada anak murid Ceng-sia-pay supaya
melakukan penjagaan yang lebih keras. Menjaga kemungkinan musuh menyelundup.
Pada hari kedua waktu pagi,
keadaan Thian Lok totiang sudah jauh lebih baik. Semangatnya sudah pulih
kembali. Ia menemani Gak Lui dan sekalian tetamu duduk di ruang besar. Kini
kecurigaan orang pada diri pemuda itu sudah lenyap sama sekali. Sebagai
gantinya, maka orang-orang Ceng-sia-pay berterima kasih kepadanya.
Ketika mendengar tentang
kepandaian Maharaja yang begitu hebat, mata Thian Lok totiang berkilat-kilat
menyapu ke arah para murid perguruan Kong-tong-pay. Kemudian berkata dengan
nada serius: “Menghadapi Maharaja yang begitu sakti, kita bertujuh partai
persilatan harus bersatu padu untuk melawannya. Kini aku mempunyai sebuah cara,
entah apakah toheng sekalian dapat menyetujuinya ?"
“Silahkan toheng menguraikan
rencana itu, kami dengan senang hati akan mendengarkan," sahut Wi Ih
totiang, “tetapi mengingat musuh begitu sakti, jika memang tak punya rencana
yang meyakinkan, daripada kita serempak bersama-sama, lebih baik kita berpencar
menjaga diri sendiri-sendiri, agar jangan sampai kita semua dilenyapkan !"
Thian Lok totiang tersenyum:
“Toheng, adakah engkau sudah melupakan rencana hebat dari para kakek-guru
ketujuh partai persilatan dahulu itu ?"
“Rencana apa? Ah, aku sudah
lupa!"
“Para leluhur partai perguruan
kita pada seabad yang lalu, terbagi dalam dua golongan, kaum pendeta dan kaum
imam. Kedua golongan itu berkumpul untuk saling tukar kepandaian dan berhasil
menciptakan sebuah rencana barisan Thian lo te ong tin. Kalau barisan itu kita
laksanakan sekarang masakan kita takut menghadapi Maharaja !"
“Hm...," semangat Wi Ih
totiang seketika timbul. Tetapi beberapa saat kemudian, ia masih bersangsi,
katanya: “Rencana itu memang bagus, tetapi sayang sedikit…..”
“Sayang sedikit apa ?"
“Barisan Thian-lo-te ong itu
sesungguhnya ciptaan dari inti keindahan beberapa barisan, yalah barisan Tujuh
Bintang dari partai Kong-tong-pay, barisan Sam-jay-tin dari partai Bu-tong-pay
dan Go-peh-lo han-tin dari perguruan Siau-lim-si. Disamping itu masih dibantu
pula oleh jago2 utama dari keempat partai besar. Tetapi kini para ketua partai2
Heng-san pay, Kun-lun-pay, bu-tong-pay telah meninggal dunia dan dalam partaiku
aku sudah kehilangan toa suheng lalu akhir2 ini kehilangan dua orang sute lagi,
sudah tentu barisan Tujuh Bintang partai Kong-tong pay sudah kehilangan daya
kesaktiannya. Maka sekalipun kami menggabung, belum tentu akan berhasil
baik."
Ucapan dari ketua Kong
tong-pay itu bagaikan air dingin yang mengguyur kepala sekalian orang. Thian
Lok totiang bahkan sampai gemetar dan gelisah tak keruan.
Melihat suasana mulai suram,
berserulah Gak Lui dengan lantang: “Harap ciang-bun-jin berdua jangan putus asa.
Tentang gerak gerik dan akal muslihat musuh, rasanya aku sudah jelas. Asal
barisan itu sudah dapat terbentuk, kiranya dapatlah untuk menjaga keselamatan
diri...."
“Kalau Maharaja itu datang
sendiri ?" kedua ketua perguruan silat itu serempak bertanya.
“Akulah yang
menghadapinya," sahut Gak Lui garang.
“Tetapi....," Thian Lok
totiang tak melanjutkan kata2nya. Tetapi jelas ia menyangsikan kesanggupan Gak
Lui.
“Totiang tentu menyangsikan
apakah aku sanggup menghadapinya, bukan ? Ah, kesangsian totiang itu memang
beralasan. Tetapi aku berani memberi jaminan, sekurang-kurangnya aku tentu
mampu menahannya sehingga ia tak sempat untuk menyerang kelain tempat!"
“Siauhiap bersedia menghadapi
bahaya itu?"
“Ya!" sahut Gak Lui
dengan mantap.
“Baik," kata Thian Lok
totiang, “kita bulatkan janji ini. Siau-lim, Kong-tong dan Ceng-sia akan
mempelopori usaha itu untuk berlatih bersama dalam suatu barisan!"
Tiba2 muncullah murid kepala
dari Ceng-sia-pay yakni imam Hian Wi. Ia tergopoh-gopoh masuk dan menghadap Thian
Lok dengan kata2 yang terengah-engah: “Memberitahukan kepada ciang-bun-jin
bahwa Sebun sianseng dari Kun-lun dan Tek Goan taysu dari Gobi, datang
berkunjung karena suatu urusan yang amat penting !”
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
Mendengar kedatangan kedua tokoh
lihay itu, sekalian orang tampak gembira. Tetapi mereka heran atas sikap dan
gerak gerik Hian Wi pada saat itu.
“Lekas silahkan mereka.....”
baru Thian Lok totiang berkata begitu, kedua tokoh itupun sudah melangkah masuk
ke dalam ruang. Ketua Ceng-sia-pay itu tersipu-sipu bangkit dari tempat duduk
dan menyambut kedua tetamu itu.
Demikian setelah dipersilahkan
duduk, mereka saling bertukar salam keselamatan. Setelah memberi hormat dan
bicara beberapa patah kepada Tek Goan taysu, Gak Lui lalu beralih kepada Sebun
sianseng. Tetapi setelah mengucap kata-kata salam keselamatan, kerongkongan Gak
Lui serasa tersumbat. Ia tak tahu bagaimana hendak merangkai kata kata untuk
menghibur kedukaan Sebun Giok.
Walaupun seorang periang,
tetapi saat itu Sebun sianseng juga merasa tersekat lidahnya. Beberapa saat
kemudian barulah ia dapat mengucap: “Orang mati tak dapat hidup kembali, soal
diri suhengku .... aku sudah mendengar ceritanya dari Siau-lim-si ....
Engkau...tak perlu bersedih....”
Gak Lui mempunyai hati nurani
yang baik. Makin diminta jangan bersedih, makin besarlah rasa sesal hatinya.
Kematian Tanghong sianseng benar2 membuatnya tak habis bersedih. Rela ia
menukar dengan jiwanya.
Tiba2 terdengar Tek Goan taysu
berseru nyaring: “Saudara2, celaka ! Kawanan anak buah Maharaja sudah muncul
dan tak lama tentu akan datang menantang kita !"
“Oh, baru saja kita mengatur
siasat, mereka sudah datang. Sungguh terlalu cepat sekali...," Thian Lok
totiang berseru kaget.
Ketua Kong-tong-paypun membuka
mulut: “Musuh yang datang harus dihadapi. Kurasa musuh tentu datang dengan
gopoh dan tak mungkin mempersiapkan tokoh2nya yang sakti. Inilah kesempatan
baik bagi kita untuk melenyapkan mereka agar kelak jangan menjadi bahaya di
kemudian hari !"
“Belum tentu!" sambut Sebun
sianseng dengan wajah serius, “aku dan Tek Goan taysu telah berjumpa dengan
Garuda-sakti-cakar-emas. Dia adalah salah seorang dari Tiga Algojonya Maharaja
Persilatan. Di samping itu tentu masih ada lain2 jago yang berkepandaian tinggi
dalam barisan mereka!"
Ucapan Sebun sianseng itu
menimbulkan kegemparan. Para ketua partai2 persilatan yang hadir di situ, diam2
tergetar hatinya.
Lebih2 Tiga Algojo Maharaja
itu, membuat mereka terkejut sekali. Gereja Siau-lim dan gunung Ceng-sia pernah
menderita amukan ketiga Algojo Maharaja itu. Andaikata Gak Lui tak datang
menolong pada waktunya, tentulah kedua perguruan itu menderita kerugian besar.
Dan kini dalam rombongan kaki
tangan Maharaja itu ditambah lagi dengan Tiga-siluman-guha-darah. Tiga tokoh
dunia Hitam yang terkenal ganas sekali. Kaum persilatan golongan Putih segan
untuk berurusan dengan mereka.
Dalam suasana yang dicengkam
rasa panik itu, tiba2 Gak Lui berseru dengan dingin: “Mereka adalah gerombolan2
penjahat yang harus dilenyapkan. Jika mereka datang sendiri kemari, sungguh
suatu kesempatan yang baik. Sebelum menghadapi mereka, lebih dulu kita harus
mengatur barisan kita ...."
“Bagaimana engkau hendak
mengatur barisan kita ?" tanya Sebun sianseng.
“Aku tak punya rencana apa2,
kecuali minta kepada taysu dan totiang sekalian, bahwa kawanan murid2 partai
persilatan yang berhianat menggabung dalam gerombolan Maharaja itu supaya
diberikan kepadaku !"
Serempak bertanyalah Thian Lok
totiang dan Wi Ih totiang dengan nada bersangsi: “Mengapa engkau menghendaki
begitu ?”
Segera Gak Lui menuturkan
tentang rahasia gerombolan Topeng Besi dan rahasia yang tersembunyi di balik
penyaruan mereka itu. Juga tentang kematian Hwat Hong taysu yang aneh, ia
berjanji akan melakukan penyelidikan.
Dengan penjelasan itu Gak Lui
mengharap agar para ketua partai persilatan tak sampai salah membunuh saudara2
seperguruannya sendiri.
Tiba2 untuk yang kedua kalinya
masuklah Hian Wi tojin ke dalam ruang dan berseru nyaring: “Musuh sudah tiba di
luar gunung, mohon ciang-bunjin suka memberi petunjuk....”
Thian Lok totiang tak sempat
memikirkan lain2 lagi. Cepat ia menjawab: “Segera perintahkan kepada seluruh
anak murid Ceng-sia, kecuali yang bertugas menjaga paseban, supaya ikut aku
untuk menghadapi musuh !"
Sambil berkata ketua
Ceng-sia-pay itupun terus melesat ke luar ruang. Gak Lui hendak memburu karena
ia belum lega hatinya sebelum mendapat jawaban dari ketua Ceng-sia-pay itu
tentang rencana yang diajukan tadi. Tetapi rupanya Siu-mey mempunyai lain
rencana. Dicegahnya sang kekasih.
Demikian berturut-turut Sebun
Giok, Tek Goan taysu, keempat imam tua dari Kong-tong menuju keluar semua.
Setelah ruangan sunyi maka
berbisiklah Siu-mey kepada Gak Lui: “Engkoh Lui, aku mempunyai suatu rencana
...."
“Katakanlah! "
“Dalam rangka melakukan
penyelidikan pembunuh Hwat Hong taysu nanti dalam pertempuran janganlah engkau
mengunjuk diri dulu."
“Jadi harus secara tak
langsung ?"
“Ya," sahut Siu-mey,
“pada saat kedua belah fihak saling berhadapan, engkau dapat memperhatikan
ucapan dan gerak gerik mereka. Dan tentulah dari situ engkau dapat menemukan
sesuatu !"
“Hm, baik juga cara itu."
“Karena itu kita tak dapat
ikut mereka agar jangan diketahui !"
Demikian kedua pemuda itu
menyelinap keluar dan menjalankan rencananya.
Dalam pada itu, lembah dan
lereng gunung Ceng-sia-san, penuh dengan manusia2 yang bersenjata lengkap.
Mereka tegak berjajar dengan serius. Suasana hening tegang.
Dalam kedudukan sebagai tuan
rumah, Thian Lok totiang mengambil tempat ditengah-tengah. Sebelah kanan dan kiri,
diapit oleh tokoh2 partai Kun-lun, Gobi dan Kong-tong. Di belakang mereka tegak
beratus-ratus anak murid.
Sedang lawan yang dihadapinya,
juga mengatur diri dalam tiga kelompok. Yang di tengah, delapan orang berjubah
biru dan berkerudung muka. Mereka yalah empat orang murid hianat yang palsu dan
empat orang Topeng Besi.
Di sebelah kiri yalah Tiga
Algojo Maharaja dan di sebelah kanan, yalah Tiga-siluman-guha-darah. Ketiga
tokoh ini bertubuh tinggi kurus. Keningnya yang cekung mengunjukkan bahwa
mereka memiliki ilmu tenaga-dalam yang tinggi.
Kecuali kedelapan tokoh
berjubah biru atau gerombolan Topeng Besi itu, semua kaki tangan Maharaja yang
berjumlah ratusan orang itu, tiada yang mengenakan kain kerudung muka. Hal itu
berarti bahwa Maharaja telah memutuskan untuk melakukan pertempuran yang
menentukan. Oleh karena itu mereka tak perlu menyembunyikan muka lagi kepada
musuh.
Tampak wajah ketua
Ceng-sia-pay mengerut serius dan dengan nada suara yang sarat, berseru kepada
kedelapan orang berkerudung muka: “Penjahat bernyali besar ! Kamu telah
menculik dan membius tokoh2 sakti dari tiap partai persilatan lalu masih berani
memakai kedok muka untuk merebut kedudukan ketua. Kedatangan kalian ke gunung
Ceng-sia-san ini, apakah ...."
“Apakah bagaimana ?" seru
salah seorang dari kedelapan muka berkerudung itu.
Karena marahnya tangan Thian
Lok sampai gemetar, serunya marah: “Akan membuka kedok yang menutupi mukamu itu
lalu mencincang tubuhmu menjadi berkeping-keping !"
Ucapan yang dilantang dengan
lambaran tenaga-dalam itu, benar-benar menggetarkan lembah dan gunung.
Kumandangnya memanjang sampai jauh.
Tetapi acuh tak acuh,
terdengarlah dua buah suara penyahutan: “Heh, heh, dengan kepandaian silat
cakar ayam itu, masakan engkau mampu membuka kedok muka kami. Dan lagi sikapmu
yang congkak ini, sungguh tak menghormat kepada suheng, menghina orang yang
lebih tua !"
“Huh, siapakah suheng engkau
ini ?"
“Aku adalah Hwat Gong dari
Heng-san. Kedudukanku lebih tinggi seangkatan dari engkau !"
Mendengar nama itu, terkejutlah
sekalian rombongan tuan rumah. Tetapi secepat itu Wi Ih totiang ketua
Kong-tong-pay melangkah maju dan berseru nyaring: “Bangsat, engkau berani
mencelakai Hwat Hong taysu ?”
“Dia tak mau turun kursi,
terpaksa harus dilenyapkan !"
“Engkau.....Goan Lo dari
Heng-san ?"
“Begitulah."
Wi Ih segera menantang: “Kalau
berani, hayo, bukalah kedok mukamu.....!"
“Heh, heh, apa sukarnya
?" orang itu tertakwa mengekeh, “bila kalian sudah menyerah, tentu dapat
melihat wajahku !"
Tiba2 Sebun sianseng kebutkan kipas
dan memandang ke sekeliling seraya berseru: “Harap saudara jangan bersikap
congkak. Kalau saudara menghendaki supaya sekalian partai perguruan dan tokoh2
persilatan tunduk, tetapi saudara tetap tak mau unjuk muka. Lalu.....apakah
nama dari partai persilatan yang saudara hendak bentuk ?"
“Aku sudah mengumumkan
...."
“Ho, aku Sebun Giok masih
ingat jelas. Menilik mulutmu yang lancung itu, aku sudah tahu kalau engkau ini
palsu !" katanya seraya menatap orang itu dengan tajam.
Tetapi orang yang mengaku
sebagai Hwat Gong itu tetap tak tahu malu. Ia berbalik tanya: “Urusan ini tiada
sangkut pautnya dengan perguruan Kun-lun-pay. Mengapa engkau turut campur?”
“Benar, justeru karena tiada
sangkut pautnya dengan perguruan Kun-lun maka aku hendak bertanya !" sahut
Sebun Giok.
“Jangan usil !"
“Ha, ha," Sebun Giok
tertawa. Ia lontarkan pandang matanya ke seluruh hadirin. Sikapnya seperti
memandang ke arah rombongan orang Ceng-sia-pay, Kong-tong-pay, ketiga tokoh
Sam-yau dan Sam-coat. Tetapi sesungguhnya ia sedang mencari Gak Lui. Karena
sejak keluar dari ruang besar tadi, ia tak melihat kedua anak muda itu lagi.
Bahkan sampai detik itu baik Gak Lui maupun Siu-mey tak tampak sama sekali.
Tetapi ketiga tokoh Sam-yau
dan Sam-coat itupun berkeliaran memandang ke sekeliling. Rupanya iapun sama
tujuannya dengan Sebun Giok.
Setelah gagal mendapatkan
kedua anak muda itu maka Sebun sianseng hentikan tawanya dan berkata dengan
nada bersungguh: “Di antara yang datang terdapat juga rombongan murid2
Ceng-sia-pay dan Kong-tong-pay. Maksud mereka tentulah hendak menerima
kedudukan ketua itu, bukan ?"
“Benar," sahut orang itu.
“Kalau begitu seharusnya ketua
kedua perguruan itu berunding dengan para saudara2 seperguruannya untuk
menetapkan keputusan penyerahan kedudukan itu !"
“Ini bagaimana! Apakah tak
boleh melihat wajah orang ?" tukas Sebun sianseng.
“Heh, heh, heh….” orang itu
mengekeh, “boleh saja melihat. Tetapi aku mempunyai syarat!”
Dalam pada berkata-kata, orang
itu melirik Sebun sianseng dan Tek Gong taysu.
Sebun Giok dengan tangkas
cepat menjawab: “Syaratmu itu justeru sesuai dengan keinginanku. Biarlah aku
yang mengaturnya !"
“Oh...."
“Perguruan Ceng-sia-pay dan
Kong-tong-pay akan memberesi murid2nya yang berhianat. Dari fihak Heng-san-pay,
tiada yang hadir di sini. Maka akulah yang akan menghadapimu. Sedang dari fihak
Siau-lim-si, akan kuminta Tek Yan taysu yang tampil mewakili. Rencana ini
tentulah sesuai dengan keinginanmu !"
“Bagus !" seru Hwat Gong
palsu itu dengan mata berkilat-kilat girang. Karena rencana itu akan
menyempatkan ia bersatu-padu dengan gerombolan Topeng Besi. Apabila satu
melawan dua, tentulah ia dapat mengatasi tokoh dari Kun-lun-pay itu.
Tetapi disamping keuntungan,
pun ia melihat kelemahan dari rencana itu. Karena fihak Kong-tong diwakili oleh
empat orang totiang, maka gerombolannya yalah murid2 perguruan yang palsu itu,
kalah kuat dan harus dua orang lawan empat orang.
Ah, ia tak memperdulikan hal
itu. Pokok ia sendiri memperoleh keuntungan dalam pertempuran nanti.
Sebun sianseng, tokoh dari
Kun-lun, dapat memperhitungkan rencana dalam hati orang. Ia memperhatikan
kawanan Tiga Algojo Maharaja dan Tiga-siluman-guha-darah, lalu berseru nyaring:
“Karena engkau setuju, janganlah minta bantuan orang luar."
Belum Hwat Gong palsu itu
menyahut, ketiga Algojo Maharaja sudah melantang: “Selama Gak Lui tak muncul,
kami tentu akan bersikap sebagai penonton saja."
“Baik," sahut Sebun Giok
dengan agak sarat. Ia segera mengambil payung besi dari punggung dan berkata:
“Hai, kalian yang menyaru sebagai anak murid Ceng-sia-pay dan Kong-tong-pay,
lekas enyah !"
Termasuk orang yang mengenakan
kerudung muka maka beberapa orang segera melesat memenuhi permintaan Sebun
sianseng.
Orang yang menyamar sebagai
Hwat Gong taysu dengan tertawa menyeringai, berdiri tegak di hadapan Sebun
sianseng.
Kemudian seorang lain
berhadapan dengan Tek Yan taysu dari Siau-lim-si. Paderi itu kerutkan alis dan
mengerut wajah kemarahan. Rupanya saat itu ia sudah tahu bahwa yang berdiri di
hadapannya itu bukan Hui Ki taysu dari Siau-lim-si tetapi seorang lain yang
menyaru dan mengaku sebagai Hui Ki taysu.
Sedang kelompok ketiga yang
berhadapan dengan fihak Ceng-sia pay, telah dibentur oleh Thian Lok totiang
ketua perguruan Ceng-sia-pay: “Adakah anda ini Thian Wat murid perguruan kami
?"
Tetapi orang itu hanya gemetar
dan tak menyahut. Jelas mengunjuk bahwa yang ditanyakan itu memang benar
sekalipun tiada dijawab.
Sementara di lain fihak, Wi Ih
totiang dari perguruan Kong-tong-pay segera memanggil ketiga adik
seperguruannya dan tiga orang anak muridnya untuk membentuk barisan
Tujuh-bintang guna menyambut kelompok keempat dari lawan.
Pada saat Wi Ih totiang hendak
menegur, fihak lawan sudah mendahului tertawa iblis dan berseru: “Wi Ih sute,
apakah selama ini engkau baik2 saja ?"
Walaupun teguran itu bernada
ramah dan perlahan tetapi kumandangnya telah mengejutkan para ketua partai
persilatan yang berada di tempat itu. Karena nada itu tak asing lagi bagi
mereka. Ya, itulah suara Wi Cun totiang dahulu.
Wi Ih totiangpun tertegun seperti
disambar petir. Rasa kejutnya sedemikian besar sehingga ia sampai menyurut
mundur setengah langkah.
Tiba2 orang yang berada di
hadapannya itu bersuit aneh, nadanya seperti menusuk ulu hati.
Sekonyong-konyong delapan buah sinar pedang serempak berhamburan menusuk dada
para ketua partai persilatan yang berada di situ!
Kedelapan sinar pedang itu
berasal dari kedelapan orang berkerudung muka. Mereka menyerang secara mendadak
sekali sehingga betapapun tingginya kepandaian dari para ketua perguruan silat yang
diserang itu, namun sukar bagi mereka untuk menghindar.
Tetapi pada detik2 nyawa
keempat ketua partai persilatan itu hendak direnggut maut, sekonyong-konyong
dari belakang Thian Lok totiang, meluncur keluar dua sosok tubuh yang
terbungkus sinar pedang.
Yang di muka, memancar sinar
kebiru-biruan dan menghambur angin tajam yang menderu-deru. Langsung sinar
pedang itu menerjang barisan pedang dari empat orang berkerudung muka. Keempat
orang berkerudung muka terkejut sekali. Mereka tak asing lagi dengan warna
sinar pedang itu. Ya, itulah sinar yang berasal dari pedang Pelangi pusaka
partai Bu-tong-pay. Dan taburan pedang itu jelas dimainkan dalam jurus ilmu
pedang yang hanya dipunyai oleh Gak Lui.
Keempat orang berkerudung muka
itu pecah nyalinya dan berhamburan menyingkir. Tetapi empat orang kawannya yang
belum menerima komando apa-apa, tak mau hentikan serangannya.
Tring, tring, tring, terdengar
dering gemerincing tajam dan serentak kutunglah keempat pedang orang
berkerudung muka itu dan serempak dengan kutungnya pedang, Gak Lui gerakkan
tangan kiri dalam ilmu pukulan Menundukkan-iblis, sedang pedang di tangan kanan
dimainkan dalam ilmu pedang Bu-san kiam. Pukulan dan pedang itu sedahsyat
gunung Thay-san yang menindih roboh.
Belum pukulan tiba, anginnya
telah membuat keempat orang berkerudung itu terhuyung-huyung. Untunglah Gak Lui
menyadari bahwa keempat orang berkerudung itu hanya digunakan sebagai alat oleh
Maharaja Persilatan. Maka ia tak mau menurunkan tangan jahat. Gak Lui cepat
mengalihkan sasarannya kepada keempat orang berkerudung yang dapat menyingkir
dari serbuannya tadi.
Thian Lok totiang dan ketiga
ketua partai perguruan cepat menyadari apa yang terjadi. Jiwa mereka telah
diselamatkan oleh Gak Lui. Begitu terbebas dari ancaman maut, mereka berempatpun
serempak memutar senjata untuk membebaskan diri dari serangan lawan.
Kelompok empat orang
berkerudung muka yang dapat terhindar dari tebasan pedang Gak Lui tadi,
terkejut sekali menyaksikan kesaktian Gak Lui. Mereka serentak mengerahkan
seluruh tenaga dan menghantam kearah Gak Lui.
Bum ... terdengar letupan. Gak
Lui berputar2 dengan suatu gerakan yang aneh. Ternyata ia menggunakan ilmu
untuk meminjam tenaga lawan sehingga ia tak menderita luka apa2. Dan sambil
berputar-putar itu, pedangnyapun berhamburan menusuk lawan. Tring, tring ....
pedang keempat orang itu tak sempat dimainkan karena tahu-tahu batangnya telah
disabat pedang Gak Lui.
Tangan keempat orang itu
terasa linu dan pedangnyapun rompal. Kejut mereka bukan kepalang dan sadarlah
mereka bahwa sia2 saja untuk melanjutkan pertempuran yang tentu akan
membahayakan jiwa mereka.
Dan di samping serangan Gak
Lui, saat itu sigadis ular Siu-meypun tiba dengan taburan pedang dalam jurus
permainan Memapas-emas-memotong-kumala. Yalah jurus yang khusus untuk membabat
pedang lawan.
Keempat orang berkerudung itu
runtuh nyalinya. Segera mereka bersuit memberi isyarat kepada keempat Topeng
Besi supaya keluar dari gelanggang pertempuran.
Gak Lui tak mempedulikan
keempat Topeng Besi itu. Yang diburunya yalah keempat orang berkerudung muka.
Siu-mey dan keempat ketua partai persilatan mengikuti pemuda itu.
Melihat fihaknya kalah, ketiga
Algojo Maharaja itu tak mau tinggal diam. Cepat mereka lepaskan pukulan kepada
musuh.
Kedua anggauta Algojo
Maharaja, yani Setan-angin-hitam dan Malaekat-rambut-merah, dalam saat2 yang
tegang itu cepat mengeluarkan senjata simpanannya. Mereka loncat ke udara
sambil taburkan bubuk kabut beracun.
Thian Lok totiang pernah
menderita dari kabut beracun, ia terkejut dan cepat berpaling untuk mencegah
Sebun siangseng dan Tek Yan taysu serta rombongannya.
Gak Luipun terhalang oleh
kabut beracun itu. Pada saat ia berhasil menghantam lenyap kabut, ternyata
orang berkerudung dan Topeng Besi sudah kabur sampai 100-an tombak jauhnya.
Saat itu ketiga Algojo
Maharaja tegak berjajar. Garuda-cakar-emas, salah seorang dari kawanan algojo
itu, mendahului berseru: “Harap hentikan pertempuran dan marilah kita bicara
dengan tenang ..."
Gak Lui berputar-putar dan
berhenti di muka ketiga Algojo Maharaja itu. Serunya dingin: “Kalau mau bicara,
lekaslah!"
Garuda-cakar-emas tertawa
seram: “Urusan hari ini sesungguhnya hanya mengenai dua buah hal. Pertama,
tentang pembersihan di dalam tubuh masing2 perguruan. Dan yang sebuah aku
hendak dengan engkau ...."
“Dengan aku bagaimana?"
tukas Gak Lui.
“Dengan engkau akan meminta
sebuah benda kecil!"
Gak Lui terkejut. Ucapan orang
itu membuktikan bahwa murid Heng-san-pay yang telah ditawan oleh Maharaja
Persilatan itu, telah membocorkan tentang pusaka Thian-liong kim-jiu atau
Tangan-emas-naga-langit.
“Kalau aku tak mau
menyerahkan?" Gak Lui balas bertanya, “engkau mau bertindak bagaimana ?”
“Mungkin engkau sukar lolos
dari tangan kami bertiga !" baru berkata begitu, Garuda-cakar-emas
hentikan kata2nya. Ia ngeri melihat wajah pemuda itu menampil hawa pembunuhan.
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
Buru2 ia melanjutkan kata2
lagi: ”......dan lagi ketiga Siluman-goha-darah itu juga telah datang untuk
menghadapimu..”
Dalam kemarahannya, Gak Lui
masih berusaha untuk menghias tertawa, ia maju setengah langkah : “Kalau
begitu, lalu bagaimana kesimpulannya?"
“Kesimpulannya ?"
“Hm!"
“Sudah jelas," sahut
Garuda-cakar-emas seraya menyapu pandang mata kepada keempat ketua partai
persilatan, sahutnya: “mereka hanya mengandalkan pada dirimu. Begitu engkau
kalah, merekapun takkan hidup juga !"
Gak Lui bercekat dalam hati.
Diam2 ia mengakui kebenaran kata2 orang itu. Karena memang kenyataannya,
kekuatan kedua fihak itu terpaut jauh. Bila Ketiga Algojo-Maharaja dan dan ketiga
Siluman goha-darah, sekali ikut dalam pertempuran, tokoh2 partai persilatan itu
tentu hancur....
Gak Lui cepat mengambil
keputusan. Lebih dulu ia hendak membasmi ketiga Algojo. Bagaimana kepandaian
ketiga siluman-goha-darah itu akan ditinjaunya lebih lanjut.
Melihat pemuda itu diam saja,
Garuda-cakar-emas menyangka kalau Gak Lui ketakutan. Maka dengan tersenyum
menyeringai ia berseru pula: “Bagaimana kalau engkau serahkan benda itu,
pertempuranpun akan berhenti sampai di sini ...."
Sambil diam2 mengerahkan
tenaga-dalam, Gak Lui memandang ke sekelilingnya lalu menyahut dengan
pertanyaan: “Lalu bagaimana urusan partai2 persilatan akan diselesaikan?"
“Biarkan mereka sendiri yang
menyelesaikan !"
“Aku?"
“Silahkan berkelana bebas di
dunia persilatan."
“Ah, syarat itu memang pantas
juga," seru Gak Lui.
“Heh, heh,"
Garuda-cakar-emas mengekeh.
Sambil maju selangkah, Gak Lui
bertanya pula: “Tetapi .... apakah engkau dapat memutuskan soal ini ?"
“Hal itu merupakan amanat
Maharaja Persilatan. Aku hanya mewakili menyampaikannya !"
“Sayang kurang sempurna
!"
“Yang mana ?"
“Permintaanmu untuk meminta
benda itu, tak dapat kululuskan !"
“Lalu hendak engkau serahkan
siapa ?"
“Lain orangpun bisa. Misalnya
.... ketiga Siluman-guha-darah itupun dapat menerimanya."
“Alasanmu ?"
“Dendam lama antara engkau dan
aku belum selesai. Perhitungan itu saat ini harus kita selesaikan. Sedang
ketiga Siluman-guha-darah tiada mempunyai hubungan suatu apa dengan aku. Maka
kurasa, benda itu dapat kuserahkan kepada mereka."
Dalam pada berkata-kata itu,
Gak Lui lepaskan pandang matanya ke arah ketiga Siluman-guha-darah yang berada
di belakang ketiga Algojo. Tampak wajah ketiga Siluman itu, tak menampil suatu
reaksi apa2 kecuali hanya tersenyum iblis.
Sikap itu mengunjukkan bahwa
mereka tak begitu memandang mata kepada ketiga Algojo. Demikianpun mereka yakin
tentu dapat mengambil benda pusaka itu dari tangan Gak Lui.
Keadaan itu membuat Gak Lui
diam2 tertawa. Jika ketiga Algojo itu bersatu dengan ketiga Siluman, memang
sukar dihadapi. Tetapi ditilik dari sikap ketiga Siluman itu rupanya mereka
mengandung rencana sendiri. Mereka hendak merebut sendiri benda pusaka Kim-jiu,
agar memperoleh jasa dari Maharaja.
Tetapi si Garuda-cakar-emas
rupanya tak dapat meneliti sikap ketiga Siluman itu. Setelah tertawa iblis, ia
segera mulai melancarkan serangan. Sepuluh buah cakar yang berkilat-kilat sinar
emas, bagaikan hujan mencurah ke tubuh Gak Lui. Dada dan perut pemuda itu
diserang dengan serempak.
Jurus yang dilancarkan itu dilambari
dengan tenaga-dalam yang penuh. Sekali kena tercengkeram, dada dan perut Gak
Lui tentu pecah berhamburan .....
Tampak mulut Garuda-cakar-emas
itu mengerut tawa. Tetapi sayang bukan tawa kegembiraan melainkan tawa
kecemasan dan kesakitan. Karena ternyata Gak Lui dapat bergerak lebih cepat. Ia
geliatkan telapak tangan keatas dan tepat sekali dapat menangkap cakar2 emas
lawannya. Segera ia pancarkan tenaga-dalam di tangan kiri untuk menyedot
tenaga-dalam orang.
Garuda-cakar-emas terkejut
bukan kepalang. Ia tak menyangka sama sekali Gak Lui sedemikian lihaynya.
Tetapi untuk membebaskan tangannya, sudah tak keburu lagi. Saat itu ia rasakan
lengannya kesemutan, separo tubuhnya seperti mati dan mulutpun sudah siap
berteriak.
Tetapi sebelum ia mampu menjerit,
dari tangan kanan pemuda itu mengalirkan suatu tenaga-dalam yang keras ke dalam
jalan darahnya. Aliran tenaga-dalam itu membuat Garuda-cakar-emas pusing dan
berkunang kunang matanya. Sekujur tubuhnya kesemutan dan mulut yang sudah
menganga itupun tak dapat mengeluarkan suara.
Garuda cakar-emas sudah tak
berdaya lagi. Ia sudah jatuh ke dalam kekuasaan Gak Lui. Asal pemuda itu
menambah saluran tenaga-dalamnya, dia tentu binasa.
Tetapi Gak Lui memang tak mau
sekaligus membunuh orang itu. Ia hendak menggunakan tenaga ketiga Algojo itu.
Setelah itu barulah ia menghancurkan mereka bertiga dengan serempak.
Sungguh kebetulan sekali kedua
Algojo yang lain yalah Setan-angin-hitam dan Malaekat-rambut merah tak
mengetahui keadaan kawannya. Mereka berdua berdiri agak jauh dan teraling oleh
para ketua partai persilatan. Mereka hanya melihat Garuda cakar-emas saling
bercekalan tangan dengan Gak-Lui. Mereka sangka tentulah Garuda-cakar-emas
sedang adu tenaga dalam dengan Gak Lui dan menilik kedudukan kakinya rupanya
Garuda-cakar-emas lebih unggul.
Beberapa saat kemudian barulah
kedua Algojo itu terkejut melihat tubuh kawannya gemetar. Kaki Garuda-cakar
emas walaupun masih tegak berdiri tetapi sudah tak bertenaga lagi. Garuda
cakar-emas masih dapat berdiri karena dipegang Gak Lui.
Saat itu barulah
Setan-angin-hitam dan Malaekat-rambut-merah terbeliak kaget. Hendak menaburkan
kabut beracun mereka kuatir akan melukai si Garuda-cakar-emas sendiri. Maka
mereka berduapun terus bergerak menyerang Gak Lui.
Tetapi selagi masih berada
pada jarak setombak jauhnya, mereka berdua mendengar suara berdetak2 macam
tulang putus. Dan lebih terkejut pula ketika tahu2 Gak Lui mengangkat tubuh
Garuda-emas dan melemparkan kepada kedua orang itu.
Sebelum kedua Algojo itu
sempat membebaskan diri dari lontaran mayat si Garuda-cakar-emas,
sekonyong-konyong Gak Lui sudah gerakkan senjata cakar-emas milik Garuda-cakar
emas yang direbutnya, menghunjam ke arah kedua lawannya.
Jarak yang sedemikian dekat
dan pula masih sibuk menghindar dari lontaran tubuh Garuda-emas, membuat kedua
Algojo itu tak mampu menghindar lagi. Terdengar dua buah jeritan ngeri dan
disusul dengan muncratan darah yang bertebaran keempat penjuru. Setan
angin-hitam terkena empat buah jari cakar-emas. Yang dua biji, tepat menyusup
kedua matanya hingga gundu matanya hancur. Sedang dua buah jari yang lain tepat
bersarang ke tenggorokannya. Seketika habislah riwayat si Setan-angin-hitam!
Sedang si
Malaekat-rambut-merah dalam gugup, menangkis dengan kedua tangannya. Pikirnya,
ia hendak menyapu jatuh jari2 cakar-emas yang menabur dirinya itu. Tetapi baru
tangannya bergerak setengah jalan, iapun sudah menjerit ngeri dan
terhuyung-huyung rubuh dengan usus berhamburan ke luar .....
Peristiwa sekaligus dapat
menghancurkan ketiga Algojo Maharaja, benar2 membuat sekalian ketua partai
persilatan terlongong-longong heran.
Ketiga Siluman-guha-darah yang
sikapnya angkuhpun terkejut. Serempak mereka berhamburan loncat ke muka Gak
Lui.
Dengan tertawa dingin, Gak Lui
terus hendak maju. Tetapi Thian Lok totiang ketua Ceng-sia-pay cepat maju
membisiki: “Sauhiap, ketiga siluman itu amat ganas sekali. Entah mereka akan
menggunakan senjata rahasia apa. Kami sudah dapat mengatasi kawanan murid
murtad itu, adakah engkau ...."
“Bagaimana ?"
“Pancing mereka ke lain
tempat."
“Hm," Gak Lui mengiakan.
Saat itu ketiga
Siluman-goha-darah sudah tiba di hadapannya. Serangkum bau darah yang anyir
berhembus terbawa angin. Gak Lui terkejut. Ia duga ketiga siluman itu tentu
memiliki ilmu kepandaian hitam.
“Orang she Gak, lekaslah
engkau serahkan benda yang engkau bawa itu !"
“Kepadamu ?"
“Sudah tentu !"
“Di sini ?" masih Gak Lui
bertanya.
“Ini ...."
“Ini bagaimana ?" desak
Gak Lui.
“Demi menjaga rahasia, marilah
kita pergi ke sana," sahut orang itu seraya merenung. Rupanya mereka tak
menghendaki rahasia Kim-jiu itu diketahui orang.
Justeru itulah yang
dikehendaki Gak Lui. Sejenak ia berpaling dan tersenyum kepada para ketua
partai persilatan. Mereka terdiri dari Thian Lok totiang, Tek Gong taysu, Sebun
sianseng dan ketua Kong-tong-pay Wi Ih totiang beserta empat saudara
seperguruannya dan tiga orang murid. Jumlah itu kiranya cukup untuk menghadapi
orang berkerudung muka dan gerombolan Topeng Besi yang berjumlah delapan orang.
Namun Gak Lui masih kuatir
mereka tak dapat melayani musuh. Maka ia berpaling dan memberi isyarat ekor
mata kepada Siu-mey. Maksudnya suruh nona itu tinggal membantu barisan tokoh2
partai persilatan.
“Mari !” akhirnya ia berkata
kepada ketiga Siluman-guha-darah dan terus melesat ke pedalaman gunung.
Tak berapa lama tibalah mereka
di sebuah lembah yang amat terpencil. Gunungnya tak berapa tinggi tetapi
merupakan sebuah pegunungan karang sehingga banyaklah terdapat guha2 batu
karang dengan tiang2 batu kerucut yang runcing dan kokoh.
Melihat pemuda itu lari
kedalam lembah, ketiga Siluman-goha-darah itu tertawa menyeringai. Mereka
segera mengatur diri untuk menghadang dari tiga jurusan apabila Gak Lui sampai
mundur.
“Berhenti !" serempak
mereka membentak.
Melihat keadaan gunung karang
itu, diam2 Gak Lui terkejut juga. Ia duga ketiga siluman itu sudah mengetahui
keadaan tempat itu maka mereka sengaja memancing kesitu.
Namun pemuda itu tak gentar.
Ia memperhitungkan ketiga siluman itu tentu akan menggunakan puluhan guha
karang yang menghias dikaki gunung itu untuk melancarkan siasat mereka. Tetapi
mereka tentu tak mengetahui bahwa ia memiliki indera penglihatan dan
pendengaran yang jauh melebihi orang biasa. Begitupun indera penciumannya, luar
biasa tajam.
Gak Lui hentikan langkah dan
berpaling menghadapi ketiga siluman itu.
“Orang she Gak," Seru
pemimpin dari gerombolan tiga serangkai Siluman-goha darah itu, “sekarang
serahkan pusaka Thian-hong-kim-jiu itu kepadaku ...."
“Mengapa terburu-buru?"
sahut Gak Lui tenang, “kalau kalian berani datang meminta pusaka itu, masakan
kalian tak mau memberitahukan nama kalian....."
Orang itu meneguk air liur
lalu berseru bangga: “Aku adalah kepala dari tiga serangkai Siluman-goha-darah,
yalah Thian Hong si Pukulan-darah-pemburu-nyawa !"
“Dan kedua kawanmu itu ?"
Pukulan-darah-pemburu-nyawa
menunjuk kepada kedua kawannya: “Yang ini Ci Yong gelar
Panah-darah-pelenyap-nyawa !"
“Hm !" dengus Gak Lui.
“Dan yang itu, Ih Cing gelar
Tongkat-darah-penggebuk-nyawa."
“Hm ..." tiba2 Gak Lui
mendengus lalu tengadahkan kepala tertawa nyaring. Nadanya berkumandang bagai
naga meringkik di udara.
Tenaga-dalam yang berhamburan
dari nada tertawa itu membuat wajah ketiga Siluman-goha-darah tak berketentuan
warnanya.
Akhirnya
Pukulan-darah-pemburu-nyawa maju selangkah dan berseru dengan nada sarat: “Apa
yang engkau tertawakan? Mengapa tak lekas ....."
“Huh, aku menertawakan kalian
bertiga yang punya mata tetapi tak dapat melihat apa2 !"
“Tak dapat melihat apa?"
Thian Hong si Pukulan-darah-pemburu-nyawa membelalakkan mata, “apakah engkau
hendak ingkar ?"
Gak Lui balas menatap orang
dengan pandang mata berapi-api: “Aku toh belum meluluskan!"
“Jelas engkau mengatakan
kepada ketiga Algojo tadi kalau hendak menyerahkan benda itu kepada kami
bertiga !"
“Thian-liong kim ciang
merupakan pusaka dunia persilatan. Jangankan diserahkan, bahkan menjamah saja
kalian jangan harap kuijinkan !" seru Gak Lui.
Impian Pukulan darah-pemburu
nyawa untuk memperoleh jasa dari Maharaja Persilatan, seketika buyar seperti awan
tertiup angin. Karena malu ia marah sekali. Wajahnya membesi gelap.
“Budak! Ketahuilah bahwa
lembah Hian-sim-koh atau penjerumus orang ini, tak mungkin memberi kesempatan
padamu meloloskan diri !" serunya.
“O," seru Gak Lui,
“kiranya lembah ini disebut Hian-sim-koh.”
“Benar !"
“Keadaan lembah ini rumit dan
berbahaya sekali. Tepat untuk tempat pengubur kalian !"
Belum Gak Lui sempat
menyelesaikan kata2nya, Pukulan-darah-pemburu-nyawa menggerung marah dan terus
ayunkan kedua tangannya menghantam bahu Gak Lui.
“Bagus !” seru Gak Lui sambil
masih tenang2 tegak ditempat lalu secepat kilat songsongkan tangannya
menangkis. Ia pancarkan tenaga dalam Penakluk-dunia untuk mengimbangi gerak
sambaran menangkap tangan musuh.
Tetapi pada saat tangan
bergerak setengah jalan, tiba2 ia terkejut sehingga wajahnya sampai berobah
warna.
Ternyata ia sempat
memperhatikan bahwa telapak tangan si Pukulan-darah-pemburu-nyawa itu tiba2
berobah merah darah. Bermula hanya setitik kecil tetapi cepat sekali warna
merah itu menebar memenuhi seluruh telapak tangannya.
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
Serentak Gak Lui teringat akan
peringatan Thian Lok totiang tadi. Sebelum mengetahui ilmu kepandaian kawanan
siluman itu, janganlah ia sampai gegabah adu pukulan.
Tetapi saat itu kedua fihak
hanya terpisah dua tiga langkah. Dalam sibuknya, Gak Lui miringkan tubuh ke
samping. Tangan kirinya yang diayunkan tadi diangkat ke atas dan berbareng itu
tangan kanannya menjulur lurus ke muka, menghamburkan tenaga-dalam yang keras.
Semula Pukulan-darah-pemburu-nyawa
sudah hampir bersorak kegirangan karena Gak Lui berani menangkis. Dan ia yakin
dalam jarak sedekat itu tak mungkin Gak Lui dapat menghindar atau menarik
pulang tangannya. Maka ia segera salurkan seluruh tenaga-dalam sehingga telapak
tangannva berobah semerah darah. Angin yang memancar dari telapak-tangannya itu
membaurkan hawa yang anyir.....
Bum.......terdengar letupan
keras ketika kedua pukulan itu saling beradu. Baik Gak Lui maupun Pukulan-darah
pemburu-nyawa sama2 terhuyung2 ke belakang.
Karena sebuah pukulan beradu
dengan dua pukulan, Gak Lui tersurut mundur tiga langkah. Telapak kakinya
menyusup meninggalkan bekas setengah dim di tanah. Dan karena ia agak lambat
menarik pulang tangan kirinya, lengan bajunya kena terlumur tetesan darah.
Walaupun hanya terluka kecil tetapi baunya memuakkan sekali.
Adalah karena melontarkan dua
pukulan, barulah Pukulan-darah-pemburu-nyawa itu dapat bertahan. Tetapi tak
urung ia harus terhuyung mundur lima langkah baru dapat berdiri tegak.
Jelas dalam adu pukulan itu,
Gak Lui lebih unggul. Tetapi diam2 Gak Luipun tergetar hatinya.
Saat itu barulah ia mengetahui
bahwa tenaga-dalam kawanan siluman goha-darah itu lebih tinggi dari ketiga
Algojo Maharaja. Dan pula bau darah yang anyir itu benar2 merupakan racun yang
luar biasa.
Sedang ilmu kepandaian para
ketua persilatan kebanyakan adalah bersumber pada ilmu silat kaum gereja.
Justeru ilmu hitam dari ketiga Siluman-goha-darah itu adalah ilmu yang dapat
mengatasi tenaga dalam Tun-yang atau keras dari para tokoh2 ketua partai. Maka
tak heran bila ketua2 partai persilatan itu terkejut gentar menghadapi ketiga
Siluman-goha-darah.
Dan lagi lawan berjumlah tiga
orang. Walaupun mereka angkuh dan congkak tetapi dalam kesukaran mereka tentu
akan bersatu. Satu lawan tiga, memang beratlah.
Tetapi Gak Lui tak sempat
menimang lebih lanjut karena saat itu Panah-darah pelenyap-nyawa melesat dan
tamparkan lengan jubahnya yang besar dan keras ke muka Gak Lui.
Gak Luipun cepat mengangkat
tangan kiri untuk menabas siku lengan orang. Tetapi ternyata gerakan
Panah-darah-pelenyap-nyawa itu hanya suatu siasat untuk menipu. Karena secepat
itu pula, ia putar lengan bajunya dan sing, sing, sing .... berdesinganlah
hujan anak panah-darah melanda Gak Lui.
Gak Lui terkejut sekali. Cepat
ia putar tubuh dan melesat beberapa tombak jauhnya seraya hantamkan tangan kiri
ke arah anak panah itu. Sedang tangan kanan siap mencabut pedang Pelangi.
Tetapi belum sempat ia
mencabut ke luar pedang, tiba2 terdengar angin menderu-deru dan pada lain
kejab, tubuhnya telah dilingkupi oleh beratus-ratus sinar tongkat yang berwarna
merah.
Jelas taburan sinar tongkat
darah itu berasal dari serangan Tongkat-darah-pelebur-nyawa.
Pada saat Gak Lui berputaran
tubuh untuk melindungi tubuh, Pukulan-darah pemburu-nyawa-pun sudah menyerbunya
lagi. Dua buah tinjunya yang berlumuran darah, menyerang pinggang dan
punggungnya.
Dalam keadaan seperti itu
betapa lihay kepandaian Gak Lui sekalipun, tetapi karena diserang oleh tiga
tokoh kuat, ia menjadi kelabakan juga. Dengan mengertak gigi, segera ia mainkan
pedang pusaka Pelangi, menyapu hujan anak panah yang mencurah dari atas. Lalu
kisarkan kuda2 kaki ke belakang, menyongsong serangan dari belakang dari
Pukulan-darah-pemburu-nyawa tadi.
Terdengar suara mendering riuh
dari anak panah yang tersapu pedang dan berbareng itu, serangan
Pukulan-darah-pemburu-nyawapun dapat dihalau. Tetapi tepat pada saat itu,
tongkat si Tongkat-darah-pelebur-nyawa menghunjam ke dadanya.
Duk .... dada pemuda itu
termakan hantaman tongkat. Ketiga Siluman-goha-darah itu girang sekali ketika
melihat tubuh Gak Lui mengendap ke bawah. Mereka yakin pemuda itu tentu terluka
dadanya. Tetapi ketika Tongkat-darah pelebur-nyawa hendak maju menghantam lagi,
tiba2 ia mengeluh dan cepat2 menutup matanya dengan lengan baju.
Pusaka Thian-liong-kim-jiu
disimpan Gak Lui dalam dadanya. Rupanya si Tongkat-darah tahu akan hal itu.
Maka ia tujukan tongkat ke dada Gak Lui. Ia berhasil membuat benda pusaka itu
menonjol ke atas dada Gak Lui. Tetapi ketika hendak menyusuli serangan lagi,
tiba2 benda pusaka itu memancarkan sinar yang luar biasa tajamnya sehingga
silau mata kawanan siluman-goha-darah itu dibuatnya. Mereka cepat2 menutup mata
dengan lengan bajunya.
Tring .... Gak Lui membabat
kutung tongkat lawan dan berbareng itu si Tongkat-darahpun terhuyung-huyung
mundur sampai dua langkah.
Gak Lui telah diselamatkan
oleh pusaka Thian-liong-kim-jiu yang disimpan dalam dada. Pada saat ketiga
siluman itu menyerang lagi, Gak Luipun sudah siap. Kini ia gunakan
gerak-langkah yang aneh. Seolah-olah ia malah menuju ke tempat serangan lawan.
Dahulu dengan gerak langkah
itu, Gak Lui dapat menghindari tiga buah serangan pedang dari Permaisuri Biru
dan tiga buah serangan dari Maharaja Persilatan.
Panah-darah, Tongkat-darah dan
Pukulan-darah pun serupa. Mereka hanya menyerang angin kosong ketika pemuda itu
berputar-putar tubuh dan melejit keluar dari kepungan mereka.
Setelah bebas, Gak Luipun
cepat mencabut pedang lagi. Kini tangan kiri mencekal pedang Ko-hong-cin-ik
(burung rajawali rentang sayap) dan tangan kanan memegang pedang Pelangi.
Pedang Ko-hong diputar deras
untuk melindungi diri dari serangan senjata rahasia. Pedang Pelangi dimainkan
untuk menyerang ketiga lawan.
Walaupun ketiga Siluman goha
darah itu telah menumplak seluruh kepandaiannya, namun mereka terpaksa harus
menekan nafsu karena perlu menjaga diri dari serangan pemuda itu.
Melihat gelagat tak enak,
tiba2 Pukulan darah memperdengarkan dua buah suitan aneh dan pada lain saat
mereka bertiga serempak loncat mundur: “Berhenti !"
Melihat ketiga lawan mundur
jauh dan sukar diburu, Gak Luipun hentikan pedang dan berseru dingin: “Apakah
kalian hendak lari ?"
“Aku bukan manusia semacam itu
!" sahut kawanan siluman itu.
“Mau bicara?"
“Benar ...."
“Baik, sebelum mati, kuberi
kalian kesempatan bicara !"
Pukulan-darah-pemburu-nyawa
tertawa sinis: “Gak Lui, menilik sikapmu, rupanya engkau hendak membunuh orang,
bukan ??”
“Heh, heh," Gak Lui
mengekeh, “pintar juga engkau melihat sikap orang."
“Tetapi seharusnya engkau
memakai cara yang adil !”
“Dalam hal apa aku tak
adil?"
“Engkau menggunakan pusaka
Thian-liong-kim-jiu untuk melindungi dirimu. Itu tak adil !"
“Mengapa ?" tanya Gak
Lui.
“Kalau tiada benda itu, engkau
tentu sudah mati di bawah tongkatku !"
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
Gak Lui tahu apa yang
dikehendaki lawan. Ia tak mau mudah disiasati, serunya: “Lalu bagaimana menurut
keinginanmu."
Pukulan-darah-pemburu-nyawa
maju tiga langkah, serunya: “Sudah tentu aku tak dapat menyuruhmu meletakkan
benda itu di samping, tetapi ....”
“Tetapi bagaimana ?"
desak Gak Lui.
“Seharusnya engkau sembunyikan
benda itu dalam pakaianmu."
Gak Lui menundukkan kepala.
Dilihatnya pusaka Kim-jiu itu menonjol keluar ke atas dadanya. Ia kerutkan alis
dan cepat menangkap maksud orang.
“O, kiranya kalian takut akan
perbawanya sehingga kalian tak dapat menggunakan ilmu hitam, bukan ?" seru
Gak Lui.
“Benar! Kalau engkau
menghendaki pertempuran yang ramai dan adil, haruslah engkau menurut usulku
tadi ...."
Gak Lui tertawa menukas: “Ha,
ha, omongan begitu, tak malu engkau ucapkan! Kalau aku tak mau balas menyerang,
tentulah kalian akan lebih girang lagi, bukan?”
Karena siasatnya tak mempan,
Pukulan-darah berobah wajahnya. Ia maju dua langkah pula: “Ho, pintar juga engkau
menebak. Tetapi seharusnya engkau pernah mendengar kata orang bahwa kami tiga
serangkai Siluman-goha-darah ini memiliki ilmu yang khusus untuk menghancurkan
ilmu kepandaian golongan kaum gereja. Pun termasuk pusaka Thian-liong kim-jiu
itu !"
“Apakah kepandaianmu itu
?"
“Dengan darah.....,"
tiba2 Pukulan-darah menggigit ujung lidahnya lalu menyembur pemuda itu.
Untung Gak Lui cukup tangkas
untuk meluncur ke samping. Tetapi tepat pada saat itu Panah-darah dan
Tongkat-darah juga serempak bergerak menyemburkan darah.
Untuk melindungi pusaka
Thian-liong-kim-jiu, Gak Lui berputar-putar tubuh sambil mendekap pusaka itu
dengan tangan kiri agar jangan sampai terlumur darah. Walaupun dia sendiri
terkena beberapa percikan darah tetapi pusaka Kim-jiu itu masih selamat.
Tengah pemuda itu sibuk
melindungi diri dari semburan hujan darah, ketiga Siluman-goha-darahpun sudah
berloncat sampai 10 tombak jauhnya dan terus menyusup ke dalam sebuah goha
karang.
“Heh, heh, heh, heh, aku tak
dapat menemani engkau lebih lama !" terdengar Pukulan-darah tertawa
mengekeh. Kumandangnya bergemuruh memenuhi guha.
“Hai, hendak lari kemana
engkau !" teriak Gak Lui seraya mengejar ke dalam gerumbul hutan. Arah
yang diperkirakannya sebagai tempat pelarian ketiga siluman itu.
Dengan beberapa kali loncatan
ia menyusup ke dalam hutan batu karang. Tetapi setelah tiba di tempat itu, ia
tertegun heran.
Beratus-ratus tiang2 batu
karang yang tak terhitung jumlahnya, besarnya sepemeluk tangan orang dan ada
yang sekecil benang atau memanjang kecil seperti tubuh ular dan ada juga yang
berbentuk seperti kelopak bunga. Dan yang menakjubkan, setiap tiang batu karang
itu memancarkan sinar yang aneh, menyilaukan mata orang.
Makin melangkah lebih dalam
makin Gak Lui berada di sebuah hutan batu karang yang lebat. Sempitnya jarak
antara tiang2 karang itu menyebabkan Gak Lui tak leluasa bergerak. Dan hal itu
berbahaya baginya. Jika setiap saat ketiga siluman itu menggunakan senjata
rahasia, tentulah sukar untuk menangkis.
Gak Lui berhenti untuk lepaskan
pandang mata ke sekeliling penjuru. Terdengar kumandang tertawa si
Pukulan-darah mengumandang memenuhi tempat itu sehingga sukar ditentukan tempat
persembunyiannya.
Pun indera pendengarannya yang
tajam, tak dapat digunakan di tempat itu. Dan yang lebih aneh pula ketika ia
memandang pedang, ternyata batang pedang yang bersinar putih mengkilap, saat
itu berobah warna merah darah. Dan pedang pusaka Pelangi yang bersinar biru,
berobah menjadi merah kehitam-hitaman. Dan percikan darah pada pakaiannya tadi,
saat itu tak tampak, seperti lenyap dengan tiba2.
“Aneh .....” pikir Gak Lui.
Padahal pakaiannya itu masih berbau anyir tetapi mengapa noda darahnya tak
tampak? Ah, ternyata semua perobahan warna itu berasal dari pancaran aneh dari
tiang batu karang. Warna putih berobah merah, biru menjadi wungu dan merah
malah lenyap.
Ketika menyadari hal itu,
diam2 menggigillah hati Gak Lui. Di bawah pancaran sinar batu karang yang
begitu aneh, apabila ketiga siluman itu menyemburkan hujan darah lagi, ia pasti
tak dapat melihatnya. Sekalipun ia dapat mengandalkan penciumannya yang tajam,
tetapi apabila bertempur, tentulah ia tetap akan menderita kerugian.
Tiba2 terdengar deru angin
berbau anyir meniup dari sebelah kanan dan kirinya. Gak Lui berpaling tetapi
tak melihat suatu apa. Terpaksa ia gunakan alat hidungnya untuk menentukan arah
penyerangnya itu, lalu bum, bum, ia lepaskan dua buah hantaman dahsyat.
Dari empat penjuru angin
menderu keras dan berhamburanlah ujung2 batu runcing dan lembut kemana mana.
Suara tertawa mengekeh yang menyeramkan, tak henti hentinya berkumandang tiada
berketentuan arahnya.
Gak Lui tetap mengejar. Tetapi
baru dua tombak jauhnya, ia rasakan tubuh gemetar dan cepat hentikan langkah.
Dengan hidungnya yang tajam, dapatlah ia merasakan sesuatu bau yang tak wajar
dari angin pukulan lawan. Apabila ia tak waspada, bau beracun itu tentu akan
menyerang ke jantungnya.
la meraba pakaian. Ternyata
bajupun terasa basah lembab, demikianpun dengan pusaka Thian-liong-kim jiu.
Jelas sudah bahwa ketiga Siluman-goha darah itu menggunakan siasat membuat
silau mata orang lalu diam2 menyemburkan darah. Percikan darah yang melekat di
lobang pori tubuh Gak Lui, menyusup masuk sehingga ia rasakan tubuhnya gatal
dan kesemutan.
“Hm, kalau ketiga siluman itu
tak kulenyapkan, percuma aku hidup !" Gak Lui menggeram serta diam2
menyalurkan tenaga-dalam untuk menghalau racun dalam tubuhnya.
Keadaan dalam lembah batu
karang itu sunyi sekali. Ia memandang kesekeliling tetapi tak tampak suatu apa.
“Celaka! Mereka tentu
menyembunyikan barisan rahasia,” ia mulai curiga seraya maju menghampiri
barisan tiang karang itu. Iapun hentikan penyaluran tenaga-dalam dan karena
itu, ia segera menghirup hawa. Seketika ia rasakan kepalanya pening. Hampir
saja ia muntah. Bau yang disedotnya itu luar biasa anyirnya. Suatu tanda, bahwa
musuh berada di dekatnya.
“Celaka...," diam2 ia
mengeluh kaget. Belum sempat ia mengatur langkah lebih lanjut, tiba2 sepercik
hujan darah, mencurah ke arahnya sehingga kepala dan mukanya kena. Segera ia
mengisar beberapa langkah ke samping.
Dengan indera penglihatannya
yang tajam, sayup2 ia melihat Pukulan-darah-pemburu-nyawa menerobos keluar dari
balik barisan tiang, siluman itu serempak menyerangnya. Tangan kiri menghantam
kepala, tangan kanan menjulur hendak mencengkeram dada.
Gak Lui terkejut sehingga
mengucurkan keringat dingin. Ia tak dapat melihat jelas pada musuh tetapi musuh
dapat melihatnya dengan jelas. Dalam bingung, Gak Lui menggembor dan silangkan
kedua tangannya. Ia menggapit tangan lawan yang hendak merebut pusaka Kim-jiu,
sedang untuk pukulan lawan, ia gunakan bahu kiri untuk menangkisnya.
Bum .... pukulan itu membuat
Gak Lui terhuyung2 tiga tindak. Tetapi fihak lawan pun menjerit ngeri. Tiga
buah jarinya telah putus tergunting gerakan tangan Gak Lui.
Setelah berdiri tegak, Gak Lui
menghela napas longgar, katanya dalam hati: “Ah, masih untung pusaka Thian
liong-kim-jiu tak sampai direbut lawan....."
Belum sempat ia memikir lain2,
kembali terdengar angin menderu. Cepat ia berpaling dan terkejutlah ia melihat
bergulung gulung asap melanda kearahnya. Ah, ternyata si Panah-darah diam2
telah meluncurkan senjatanya. Disamping itu Tongkat-darahpun menyerangnya.
Tongkatnya yang tinggal separo itu malah menguntungkan baginya. Tempat amat sempit,
senjata panjang tak leluasa digunakan.
Gak Luipun tak dapat
menggunakan pedangnya. Terpaksa ia gunakan pukulan. Dengan tangan kiri memukul
Panah-darah, tangan kanan secepat kilat mengambil pusaka Thian-liong-kim-jiu
untuk menyambut serangan si Tongkat-darah.
Pertempuran berlangsung seru
sekali. Sampai mencapai 30 jurus, masih belum diketahui siapa yang lebih
unggul. Tetapi yang nyata, sekujur tubuh Gak Lui basah dengan darah yang berbau
anyir.
Pun di belakangnya terdengar
siuran yang aneh. Pukulan-darah-pemburu-nyawa menyerang lagi. Serangan itu
cepat dan mendadak sekali datangnya, sedang saat itu Gak Lui tengah melayani
Tongkat-darah dan Panah-darah. Maka ia tak sempat menghindar dan menangkis.
Dalam sibuknya, ia
menggertakkan gigi, mengisar tubuh lalu secepat kilat menghantam sekuat-kuatnya
kepada kedua lawan.
Panah darah dan tongkat-darah
terkejut melihat kenekadan pemuda itu. Tetapi mereka segera menginsyafi siasat
pemuda itu. Kalau mereka mundur, pemuda itu tentu mempunyai kesempatan untuk
berputar tubuh dan menangkis serangan Pukulan-darah-pemburu nyawa. Maka kedua
siluman itupun nekad kerahkan tenaga untuk adu kekerasan. Dengan begitu mereka
mengharap agar Pukulan darah dapat leluasa menghancurkan punggung Gak Lui.
Terdengar letupan keras. Karena
kelewat banyak menyedot hawa beracun, tenaga-dalam Gak Luipun tertekan. Maka ia
terlempar kebelakang dan menyusup ke dalam barisan batu karang.
Kedua siluman itu heran
mengapa kawannya yakni Pukulan darah-pemburu nyawa tak menghantam pemuda itu.
Cepat keduanya berpaling ke tempat Pukulan-darah-pemburu-nyawa itu. Tetapi apa
yang disaksikan, membuat mereka terbeliak kaget.
Dibelakang
Pukulan-darah-pemburu-nyawa itu tampak beberapa orang, sedang di mukanya tegak
berdiri seorang nona yang cantik. Nona itu bukan lain yalah Li Siu-mey.
Kemunculannya secara tiba2 itu
membuat sekalian orang terkejut sekali. Diam2 Gak Lui merasa girang. Dengan
kedatangan para ketua partai persilatan itu, jelas bahwa mereka tentu sudah
dapat mengalahkan gerombolan Topeng Besi dan orang berkerudung muka.
Di lain fihak, ketiga
Siluman-goha-darah itu diam2 kuatir. Dalam keadaan seperti saat itu, apabila
mereka nekad hendak merebut pusaka Thian-liong-kim-jiu, tentu takkan berhasil.
Sebelum mereka mengambil
keputusan, tiba2 Pukulan-darah pemburu-nyawa menyembur hujan darah ke arah
Siu-mey. Rupanya ia masih ingin berusaha yang terakhir kalinya untuk mencelakai
nona itu.
Tetapi apa yang terjadi,
benar2 diluar dugaan orang. Nona itu tak kaget, tak gugup. Dengan tenang
dipandangnya siluman itu lalu tiba2 mulutnya menghembuskan napas keluar. Angin
yang dihembuskan sinona itu, bukan melainkan dapat melenyapkan hujan darah dari
si Pukulan-darah, pun dapat pula menghilangkan sinar aneh yang menyelubungi
tubuh lawan.
Seharusnya dengan hal itu,
kawanan siluman itu sadar bahwa kepandaian lawan jauh lebih tinggi dari mereka.
Tetapi tidak demikian dengan pikiran Pukulan-darah pemburu-nyawa. Dia
memperhitungkan bahwa kepandaian nona itu tentu terbatas. Maka ia akan
bertindak untuk menangkap nona itu sebagai tawanan.
Dengan gerak secepat kilat, ia
segera menyambar lengan nona itu. Gak Lui terkejut. Ia tahu ilmu silat Siu-mey
memang tidak begitu tinggi. Ia tak menghiraukan suatu apa lagi, terus menerobos
keluar dari barisan batu karang. Tetapi secepat kilat, Panah-darah dan
Tongkat-darah segera keluar menghadangnya.
Saat itu Pukulan-darah sudah
tebarkan kelima jari dan hendak menguasai jalan darah di tubuh Siu-mey. Tiba2
terdengar jeritan ngeri dan tampak Pukulan-darah menyurut mundur setengah langkah
lalu rubuh ke tanah dan tak berkutik untuk selama-lamanya lagi.
Kiranya iblis itu telah
digigit ular berbisa yang melingkar di lengan sinona.
Peristiwa itu membuat kedua
siluman tertegun seperti patung. Gak Lui tak mau memberi kesempatan lagi. Ia
terus menghantam mereka. Kedua siluman itu gelagapan. Buru2 mereka kerahkan
tenaga untuk menangkis.
Tampak siu-mey berputar-putar
tubuh menuju ke belakang Panah-berdarah. Ia segera menyemburkan nafas untuk
menghilangkan sinar aneh yang membungkus tubuh kedua iblis itu.
Kedua siluman itu pucat dan
gentar sekali. Gerakan tangan mereka agak lambat dan pada saat itu pusaka
Thian-liong-kim-jiupun tepat sekali menghantam dada.
Huak .... terdengar pula
jeritan ngeri disusul dengan robohnya sesosok tubuh ke tanah. Panah-berdarah-pencabut-nyawa
telah menyusul Pukulan-darah-pemburu-nyawa ke Neraka.
Kini hanya tinggal Tongkat
darah seorang. Setelah kedua saudaranya mati, ia tak berani melanjutkan
pertempuran lagi dan merencanakan untuk lari. Cepat ia menyemburkan hujan darah
lalu loncat menyusup ke dalam barisan tiang karang.
Tetapi Gak Lui tak mau memberi
ampun lagi. Ia melambai kepada Siu-mey untuk diajak mengejar. Tetapi dengan
gunakan ilmu Menyusup-suara, nona itu menjawab: “Engkoh Lui, jangan terburu
nafsu. Tak mungkin dia dapat meloloskan diri!"
“Rupanya engkau mampu
mengatasi ilmu hitam mereka itu, bukan ?"
“Ya."
“Lalu bagaimana kita harus
mengejarnya ?"
“Ilmu kepandaian mereka tak
lain yalah yang disebut Hoan-ing tun heng (sinar bayangan pembungkus diri), untuk
menyesatkan pandangan orang. Ilmu itu bukan ilmu yang hebat karena aku dapat
melihat mereka dengan jelas. Pun sekali turun tangan, aku dapat memulihkan
tubuh mereka dalam keadaan yang sebenarnya ...."
Dalam pada berkata kata itu
mata Siu-mey tak henti2nya memandang ke sekeliling penjuru. Tiba-tiba ia
berhenti berkata lalu ayunkan tangan menghantam. Dimana angin pukulannya tiba
maka segera tampak bentuk sebuah tiang karang dan si Tongkat-darah sedang
menyembunyikan diri di situ.
Siluman itu masih belum mau
melarikan diri. Dia masih menunggu kesempatan untuk menyerang lagi. Tetapi demi
sinar yang membungkus tempatnya telah dilenyapkan, ia terkejut sekali lalu
melarikan diri ke sebuah guha yang berada di belakangnya.
Tetapi Gak Lui dan Siu mey
sudah mengejar. Kedua anak muda itu ternyata dapat bergerak lebih cepat. Saat
itu si Tongkat darah sudah terkepung. Tak mungkin ia dapat meloloskan diri
lagi. Tetapi sebelum ajal, ia tetap berpantang maut. Sebelum mati, ia nekad
hendak berjuang agar musuhpun mati bersama-sama.
Cepat ia mengeluarkan panah
lalu ditaburkan ke seluruh penjuru. Dia tak mengarah musuh tetapi menghancurkan
tiang2 karang. Setiap tiang karang yang terkena panah tentu rubuh dan
mengeluarkan ledakan keras. Bum, bum .... terdengar ledakan berulang-ulang.
Lembah karang itu seolah-olah hancur.
“Mari pergi!" melihat
siasat lawan, Gak Lui cepat mengajak Siu-mey tinggalkan tempat itu.
Tepat pada saat mereka keluar
dari lembah, terdengarlah jeritan ngeri. Mereka melihat tubuh Panah-darah
hancur tertimbun tiang karang.
Beberapa saat kemudian barulah
Siu-mey menghela napas, lalu bertanya: “Engkoh Lui, apakah tadi engkau terluka
?"
“Tidak," sahut Gak Lui,
“bahkan tadi waktu bersembunyi dalam barisan tiang karang, aku telah menemukan
suatu rejeki yang luar biasa !"
“Apa ?" Siu-mey heran.
Gak Lui mengangsurkan pusaka
Thian-liong-kim-jiu: “Lihatlah !"
Siu-mey memandang pusaka itu
dan meneliti sampai beberapa jenak. Ia kerutkan dahi, tanyanya: “Ih, mengapa
tak ada apa2nya .... aneh, kemanakah gurat2 Pat-kwa pada batang pusaka ini
?"
Gak Lui tertawa: “Sudah lenyap
!"
“Benar ?"
“Siapa membohongi? Kulihat
sendiri gurat2 itu seperti bergerak berhamburan dan membentuk berbagai
perobahan yang menakjubkan ...."
“O, kalau begitu engkau sudah
mengetahui tentang ilmu Ngo-heng-terbalik?" tanya Siu-mey pula.
“Benar, ketika aku bersembunyi
dalam barisan karang tadi, timbullah semacam hawa panas yang berwarna merah.
Tiba2 kulihat gurat2 Pat-kwa pada pusaka Thian-liong-kiam-jiu itu
bergerak-gerak memecah dan membentuk beberapa macam perobahan. Kuperhatikan dan
barulah kusadari bahwa gerak2 guratan itu adalah ilmu pelajaran
Ni-coan-ngo-heng. Ah, jika tiada hal yang tak disengaja itu, tak mungkin aku
dapat mempelajari ilmu itu !"
Siu-mey turut bergirang atas
rejeki yang diperoleh Gak Lui. Kemudian Gak Lui berkata pula: “Mari kita keluar
dari lembah ini agar aku segera dapat membereskan murid hianat si
Lengan-besi-hati-baik dan mengambil pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Dengan
pedang itu, tentulah dapat kucincang tubuh si Maharaja .... eh, bagaimana
dengan ketua partai persilatan waktu menghadapi gerombolan orang berkerudung
muka dan Topeng Besi?"
“Pada waktu engkau mengejar
kawanan Siluman-goha-darah, karena melihat gelagat tak baik, merekapun mundur
teratur dengan meninggalkan beberapa patah omongan ....”
“Apa kata mereka?"
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
“Sebelum kemudian, mereka akan
ke gunung Ceng-sia-san untuk melakukan pertempuran yang menentukan!"
“Apakah para ketua partai
persilatan menerima tantangan itu?"
“Ya, karena tak tahu musuh
menyiapkan barisan rahasia atau tidak, mereka terpaksa menerima tantangan itu
dan tak mau mengejar."
Tiba2 mereka mendengar suara
senjata berdering. Buru2 mereka hentikan langkah dan lekatkan telinga ke tanah.
Dengan ilmu mendengar suara
yang tajam, dapatlah mereka mengetahui bahwa di sebelah luar sedang berlangsung
penggalian yang dilakukan oleh berpuluh-puluh orang. Rupanya mereka hendak
membobol dinding lembah.
“Aneh, siapakah mereka ?"
Siu-mey heran.
“Kalau tidak musuh tentu
kawan," sahut Gak Lui, “tak peduli siapa mereka, kita harus tinggalkan
lembah ini."
“Siapa yang mau tetap tinggal
di sini ?" Siu-mey melengking, “tetapi lebih dulu kita harus dapat menduga
siapakah mereka itu, barulah kita dapat keluar dengan tenang."
“Tak perlu, karena sukar
diduga.”
“Mengapa ?"
“Karena mereka tentu tak mampu
mengetahui kalau aku sedang mengejar ketiga siluman itu. Hanya engkau berkat
ketajaman hidungmu, dapat menyusul....."
“Tetapi setelah lewat beberapa
hari, merekapun tentu dapat mencari juga !"
“Benar, maka orang2 di luar
lembah itu hanya ada dua kemungkinan. Kalau bukan rombongan orang Ceng-sia-pay
yang datang menolong tentulah anak buah Maharaja. Tetapi kedua-duanya sama
tujuannya !"
“Maksudmu ... mereka hendak
mencari mayatmu ?"
“Benar ! Kalau dari golongan
Ceng-pay, tentu hendak mengurus mayatku. Tetapi kalau dari golongan Hitam tentu
hendak mencari pusaka Thian-liong-kim-jiu itu apakah masih berada pada
mayatku.”
“Kalau begitu kita harus hati2
menghadapi mereka," kata Siu-mey dengan cemas.
Gak Lui tertawa: “Sudah tentu
kita harus hati2 .... sebaiknya kita gunakan kesempatan ketika mereka sedang
asyik menggali, lalu kita menerobos keluar.”
Saat itu terdengar dering
alat2 penggali makin jelas dan makin dekat. Gak Lui dan Siu-mey-pun
bersiap-siap. Gak Lui gunakan pusaka Thian-liong-kim-jiu untuk membuat lubang
pada dinding karang. Setelah cukup lebar, ia segera ajak Siu-mey loncat ke
atas.
Ah.....kiranya yang berada di
atas itu bukan lain adalah Thian Lok totiang ketua Ceng-sia-pay dan rombongan
anak muridnya serta Sebun sianseng.
Sudah tentu pertemuan itu amat
menggirangkan. Gak Lui haturkan terima kasih atas bantuan mereka sehingga ia
dapat keluar dari lembah batu karang.
Selain menghaturkan terima
kasih, pun Gak Lui menghaturkan maaf yang sebesar-besarnya kepada Sebun
sianseng atas kematian adik seperguruannya yakni Tanghong sianseng.
“Ah, mati hidup itu memang
sudah suratan takdir .... harap tak usah mengungkat hal itu," kata Sebun
sianseng.
Melihat pembicaraan menyinggung
soal itu lagi, buru2 Thian Lok totiang alihkan persoalan: “Gak sauhiap,
kabarnya Kaisar Persilatan sudah muncul di Tiong-goan dan memberikan pusaka
Thian-liong-kim-jiu kepadamu. Benarkah itu?"
“Ya."
“Boleh kami beramai-ramai
melihat benda itu?"
Sebagai seorang pemuda yang
tak berhati sempit, sebenarnya Gak Lui tak keberatan. Tetapi ia tak mau
menunjukkan pusaka itu di depan orang banyak. Akhirnya ia mengangguk dan
mengambil pusaka itu.
Ketua perguruan Ceng-sia-pay
dan Kun-lun-pay serempak membungkuk tubuh memberi hormat. Demikianpun dengan
berpuluh-puluh anak murid kedua partai perguruan itu. Dengan khidmat mereka
tegak berdiri memandang pusaka itu.
Suasana hening khidmat.
Sekonyong-konyong terdengar
suara tertawa yang keras, angkuh dan gembira. Tenaga-dalam yang memancar dari
ketawa itu, mengejutkan sekalian orang.
Thian Lok totiang dan
rombongan serentak berpaling ke arah suara tawa itu. Di atas sebuah puncak
gunduk tanah, tegak berdiri seorang lelaki yang luar biasa tingginya. Matanya
besar, rambutnya terurai berhamburan di atas bahu. Sikapnya menyeramkan.
Sebun sianseng memang banyak
pengalaman dalam dunia persilatan. Melihat orang itu, serentak berobahlah
wajahnya, tegurnya: “Apakah engkau bukan.... Hui-lin-kiam Bok Tin?”
Dengan dua tiga langkah,
raksasa itu sudah berada beberapa tombak jauhnya dari rombongan Thian Lok
totiang. Pada waktu berjalan, bahu dan pinggangnya berhias 12 batang pedang.
“Ah, pandanganmu cukup tajam
juga. Ya, benar, aku memang si Pedang terbang Bok Tin," sahut raksasa itu.
Mendengar itu diam2 Thian Lok
totiang terkejut. Sejenak meraba tangkai pedangnya, ia melangkah maju setengah
langkah, serunya: “Sudah lama engkau tak muncul di dunia persilatan. Mengapa
hari ini engkau datang kemari ?"
“Mengambil Thian liong-kim
jiu!"
“Huh, mampukah engkau ?"
Gak Lui mendengus dingin seraya menyimpan pusaka itu ke dalam baju lalu
melangkah maju.
Tetapi Thian Lok totiang sudah
mendahului mencabut pedang dan membentak: “Bok Tin, engkau benar2 tak memandang
mata pada orang. Di hadapan kedua partai Ceng-sia-pay dan Kun lun-pay, engkau
berani mengumbar tingkah ?"
Pedang-terbang Bok Tin
kicupkan mata lalu menyengir kuda: “Ho, engkau mau ikut campur?"
“Apabila melihat ketidak
adilan, terpaksa aku harus membantu ...."
“Sudahlah," sahut raksasa
itu acuh tak acuh, “dengan ilmu kepandaian yang engkau miliki, adalah seperti
anai2 membentur lampu. Masakan kalian masih pura2 sebagai ksatrya hendak
memberantas yang tidak adil. Menyingkirlah kesamping, agar jangan mengganggu
urusanku !"
Ucapannya yang amat tekebur
seolah-olah tak memandang mata pada orang itu benar2 membuat ketua Ceng-sia-pay
merah padam karena marah. Pada waktu ia hendak menyerang, tiba2 Gak Lui sudah
melesat maju dan membentak: “Hai, Bok Tin, manusia macam apakah engkau ini?
Apakah engkau juga ingin cari mati !"
Dingin2 saja Bok Tin menyambut
makian itu. Sebun sianseng cepat berseru kepada Gak Lui: “Dia mahir menggunakan
duabelas batang pedang-terbang. Memang jarang ketemu tandingannya. Maka dia
amat jumawa sekali. Pedangnya pandak itu dapat ditaburkan kepada orang. Harap
engkau berhati-hati....."
“Apakah engkau ini benar Gak
Lui ?" belum sebun sianseng selesai berkata, Bok Tin sudah menegur Gak
Lui.
“Hm, kalau benar, mau apa
engkau ?" sahut pemuda itu.
“O...,” seru Bok Tin. Rupanya
ia kaget karena tak menduga bahwa tokoh Gak Lui yang terkenal itu ternyata
masih seorang pemuda. Sambil menatap wajah pemuda yang ditutup dengan topeng
dari kulit binatang itu. Masih dengan nada setengah tak percaya ia berseru:
“Tokoh pemapas pedang yang menggemparkan dunia persilatan dahulu itu…. apakah
engkau sendiri ?"
“Benar !"
“Kudengar juga orang
mengatakan bahwa engkau mahir akan ilmu melontar pedang ?"
Rupanya Gak Lui tak sabar
terus menerus ditanya, bentaknya: “Semua benar! Engkau hanya disuruh si
Maharaja untuk mengantarkan jiwamu kemari, perlu apa bertanya ini itu !"
“Maharaja ?" Bok Tin
mendengus, “manusia apakah dia berani menyuruh aku !"
“O, kalau begitu engkau bukan
anak buahnya ?"
“Sudah tentu bukan! Dan lagi
aku malah akan mencarinya untuk adu ilmu pedang !"
Mendengar keterangan itu,
lenyaplah kemarahan Gak Lui, tanyanya pula, “Lalu untuk apa engkau menghendaki
pusaka Thian-liong-kim-jiu ?"
“Hendak kuperiksa dimana
keistimewaannya !"
“Terus terang kuberitahukan,
memang benda itu adalah sebuah pusaka dunia persilatan yang amat keramat. Kalau
mencari keistimewaannya ... sekarang sudah hilang."
“Benarkah itu ?" Bok Tin
menegas.
“Perlu apa aku membohongimu
!"
Melihat kesungguhan wajah
pemuda itu, Bok Tin percaya kalau pemuda itu tentu tak bohong. Sejenak
merenung, ia berkata: “Baiklah, sekarang tak perlu mempersoalkan benda Kim-jiu
itu. Tetapi.....”
“Bagaimana ?"
“Aku hendak menguji ilmu
pedangmu !" Mendengar keterangan Sebun sianseng bahwa Bok Tin mahir
menggunakan selusin pedang dan dapat menaburkan dengan mahir, diam2 Gak Lui
gembira: “Baik, silahkan engkau mulai !" serunya.
Bok Tin menggulung lengan baju
dan suruh Thian Lok totiang serta rombongannya menyingkir. Siu mey sebenarnya
hendak membangkang tetapi Gak Lui memberi isyarat dengan anggukan kepala.
Terpaksa nona itu menurut. Sebelum menyingkir ia memberi pesan dengan berbisik:
“Harap berhati hati !"
Setelah orang2 itu menyingkir,
Gak Luipun mencabut sepasang pedangnya. Dengan tenang ia menatap lawan. Rupanya
Bok Tin yang semula memandang rendah kepada lawan, tercekat juga hatinya
melihat sikap Gak Lui yang bengis.
Setelah kedua fihak berhadapan
beberapa saat, tiba2 Bok Tin rentangkan kedua tangan dan secepat kilat mencabut
pedang kedua bahunya seraya membentak: “Lihat pedang ....!"
Dua batang pedang yang
berkilau-kilauan memancar cahaya terang, segera meluncur ke arah Gak Lui.
Gak Luipun cepat menyambutnya
dengan suatu gerak jurus yang istimewa, hendak memapas pedang lawan.
Tetapi sebelum jurus itu
selesai, tiba2 kedua batang pedang yang dilepas Bok Tin itu berpencar melayang
kekanan kiri, melingkar lingkar dan melayang kembali kepada Bok Tin. Serempak
dengan itu empat batang pedang lagi, meluncur dari tangan Bok Tin.
Gak Lui terkejut. Buru2 ia
gunakan jurus Burung-hong-pentang-sayap untuk menangkis. Tring, tring ....
sinar pedang berhamburan ke udara dan keenam batang pedang itu seperti
mempunyai nyawa, dapat melayang kembali kepada tuannya.
“Hai, tak sangka engkau berisi
juga !" teriak Bok Tin seraya mencabut pedang yang pandak pada bahunya:
“Sekarang, cobalah engkau jajal yang ini !"
Gak Lui tegak bersiap. Sepuluh
batang pedang meluncur dari tangan orang she Bok itu. Tetapi pedang2 itu tak
langsung menuju ke arahnya melainkan melayang dan berputar putar di udara dulu
baru kemudian dari delapan penjuru, mereka perlahan lahan meluncur kearah Gak
Lui.
Dalam soal ilmu melontar
pedang, Gak Lui memang ahli. Ia tahu bahwa sekalipun gerakan pedang itu lambat
tampaknya tetapi sesungguhnya berisi dengan tenaga-dalam yang hebat. Rupanya
karena kewalahan maka lawan lalu mengeluarkan ilmu kepandaian simpanan.
Dalam pada itu satu demi satu
pedang2 itu meluncur dari udara. Menimbulkan sinar yang menyilaukan mata dan
angin yang menderu-deru. Pedang2 itu meluncur kearah jalan darah maut ditubuh
Gak Lui.
“Hebat !" seru Gak Lui
seraya memutar sepasang pedangnya. Dengan putaran pedang itu, pedang pandak Bok
Tin tertahan. Tetapi anehnya, pedang2 pandak itu tetap melingkar-lingkar. Tidak
jatuh, pun tidak melayang kembali kepada Bok Tin. Pedang2 pandak itu seperti
mempunyai mata. Setiap saat mereka hendak mencari lubang kesempatan untuk
menyusup ketubuh Gak Lui.
Ilmu permainan pedang seaneh
itu, benar2 membuat Gak Lui terkejut heran. Lawan menabur 10 batang pedang
pandak dan ia hanya mempunyai dua batang pedang untuk melindungi diri. Pikirnya
iapun hendak menggunakan ilmu menabur pedang. Tetapi ia kuatir, pedangnya kalah
jumlah dengan pedang lawan. Apalagi lawan masih mempunyai simpanan dua batang
pedang lagi.
Tampak Bok Tin tak henti2nya
ayunkan kedua tangannya. Begitu pedang2 pandak itu melayang kembali kepadanya,
cepat ia menamparnya lagi.
Demikian sampai beberapa saat,
Gak Lui tetap terancam dengan 10 batang pedang terbang itu.
Tiba2 ia mendapat akal. Pedang
ditangan kanan tetap dimainkan seperti biasa. Tetapi pedang di tangan kiri
tiba2 ditaburkan kearah dua batang pedang dari barisan pedang terbang itu.
Tring, tring .... terdengar
lengking nyaring dari dua buah benturan senjata pedang. Kedua pedang pandak
beradu dengan sebatang pedang panjang. Karena kalah besar dan panjang, kedua
pedang pandak itu terpental sampai dua tombak jauhnya. Dengan terpentalnya
kedua pedang pandak itu maka delapan pedang pandak yang lain pun ikut melayang
ke belakang.
Dengan hasil itu, berobahlah
situasi pertempuran. Hal itu membuat Siu-mey dan lain2 tokoh partai persilatan
yang bermula menahan napas, saat itu dapat menghela napas longgar.
Tetapi mereka heran melihat
wajah Gak Lui masih tampak tegang. Sedangkan si Pedang-terbang Bok Tin masih
tertawa-tawa. Suatu pertanda bahwa pertempuran maut masih tetap akan
berlangsung.
Apa yang diduga itu memang
benar. Tak berapa lama, sekonyong-konyong tubuh Bok Tin berputar deras.
Kemudian bagai seekor singa marah, dia loncat menerjang Gak Lui. Dan tangannyapun
sudah mencekal sebatang pedang pandak.
Sing .... sing .... ia bolang
balingkan pedang menusuk tubuh Gak Lui. Dan serempak dengan itu barisan 10
pedang pandak tadi pun berhamburan melayang dan menerjang pedang Gak Lui yang
dilontarkan tadi.
Benar2 suatu ilmu pedang yang
aneh dan belum pernah Gak Lui saksikan selama ini.
Untuk menghadapi serangan
istimewa itu, Gak Lui kembangkan pedangnya dalam lingkaran makin lebar.
Kemudian tangan kirinya menggunakan tenaga-dalam-penyedot untuk menyedot
kembali pedang yang dilontarkan tadi.
Tetapi lawanpun tak tinggal
diam. Ia perhebat serangan kedua pedangnya disamping mengendalikan kesepuluh
batang pedang terbang tadi, berhamburan menyerang dari celah2 pertahanan Gak
Lui.
Cepat sekali pertempuran itu
telah mencapai tigapuluh jurus. Tampaknya memang masih bertimbang tetapi
sesungguhya Pedang-terbang Bok Tin lebih dapat menguasai permainan.
Sudah tentu hal itu dapat
diketahui juga oleh seorang tokoh semacam Thian Lok totiang, Sebun sianseng dan
lain2 tokoh yang hadir di-situ.
Yang paling gelisah adalah
Siu-mey. Dahinya sampai mengucur keringat. Dan kejutnya makin memuncak ketika
melihat Gak Lui telah melakukan sebuah serangan yang salah.
Pemuda itu taburkan pedang
Pelangi yang berada ditangan kanannya. Maksudnya hendak menghancurkan gerumbul
pedang terbang yang melayang-layang mengancam dirinya itu. Tetapi
perhitungannya meleset. Gerumbul pedang pandak itu berpencar kesamping, secepat
pedang Pelangi melintas, ke 10 pedang pandak itupun segera merapat kembali dan
terus memburu Pedang Pelangi.
“Celaka !" Siau-mey
menjerit tertahan. Tetapi kebalikannya Pedang-terbang Bok Tin malah tertawa
mengekeh. Ia gerakkan sepasang pedangnya makin deras untuk menghancurkan
lingkaran sinar pedang Gak Lui yang tinggal sebatang itu.
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
“Celaka...!" kali ini
Thian Lok totiang juga berteriak kaget. Sedang sekalian tokohpun terlongong.
Mereka duga dalam waktu yang singkat Gak Lui tentu akan menderita kekalahan.
Tetapi sekonyong-konyong bahu
pemuda itu bergerak dan tangan kanannya membalik, wut......ia lepaskan
tenaga-dalam Algojo-dunia untuk menyedot pedang Pelangi tadi.
Kesepuluh batang pedang pandak
pun ikut mengejar tetapi tenaga-dalam-penyedot yang dipancarkan Gak Lui itu
terlampau kuat sehingga pedang2 pandak itu melekat pada pedang Pelangi dan tak
dapat bergerak lagi !
Gak Lui masih tak berhenti
sampai disitu. Ia alihkan saluran tenaga-dalam-penyedot ketangan kanan untuk
menempel senjata lawan. Dengan gerakan itu, kesepuluh pedang pandak dari Bok
Tin mati kutu lalu terlempar sampai tujuh delapan tombak jauhnya.
Pedang-terbang Bok Tin
menjerit kaget. Dengan menggembor keras, ia kerahkan seluruh tenaga untuk
loncat kebelakang dan menarik sepasang pedangnya dari sedotan pedang Gak Lui.
Justeru itulah yang
dikehendaki Gak Lui. Ia kendorkan tenaga-dalam penyedot lalu diganti
mendorongkan ujung pedang kepada lawan. Seketika itu tampak tubuh Bok Tin yang
tinggi besar bagaikan layang2 putus tali, terhuyung-huyung mundur sampai
beberapa langkah.
Sebelum raksasa itu sempat
berdiri tegak, Gak Lui sudah loncat keudara dan dengan gerak
burung-rajawali-pentang-sayap, ia menghantam pedang lawan. Tring, tring....
pedang Bok Tin terpapas kutung. Jago pedang yang bertubuh tinggi besar seperti
raksasa itu, mendelik matanya. Dengan marah ia berteriak : “Kalah ....!"
Ia berputar tubuh dan tanpa
menghiraukan pedang2 pandaknya yang berhamburan ditanah, ia terus lari ngiprit.
Sikap yang polos dan jujur
dari Bok Tin, meninggalkan kesan baik pada Gak Lui. Selama mengembara di dunia
persilatan belum pernah ia berjumpa dengan seorang jujur seperti Bok Tin. Bok
Tin seorang tokoh pedang yang berkepandaian tinggi. Tetapi karena kalah, iapun
dengan terus terang mengaku kalah.
Karena tertarik akan kejujuran
si raksasa, Gak Lui cepat loncat menghadang : “Sekalipun kalah, tetapi mengapa
anda tak mau mengambil pedang anda itu ?"
Sepasang mata besar dari Bok
Tin merentang lebar: “Kabarnya engkau gemar mengutungi pedang orang mengapa
engkau tak menghendaki pedangku ?"
“Itu dulu, tetapi sekarang
tidak lagi."
“Kalau engkau tak mau, akupun
tak mau juga,” kata Bok Tin.
Gak Lui terkejut: “Senjata itu
adalah senjata yang telah mengangkat namamu, masakan engkau tak sayang ?"
“Masakan tak sayang ...."
“Lalu mengapa tak mau."
“Peraturan dalam dunia
persilatan menetapkan, dalam pertempuran apabila yang menang tak mau melukai
yang kalah maka yang kalah harus meninggalkan senjatanya."
Gak Lui tertawa gelak2: “Ah,
anda benar2 taat akan peraturan....."
Pada saat itu Thian Lok
totiang dan rombongan orang gagah, menghampiri datang. Mereka-pun memuji atas
sikap Bok Tin. Kesan baik pada raksasa itu telah merobah sikap permusuhan dari
tokoh2 persilatan tersebut.
Sebun sianseng memberi hormat,
serunya: “Saudara jarang sekali muncul didunia persilatan. Sungguh tak terduga
kalau hari ini dapat berjumpa. Dan ternyata saudara tetap memegang teguh
peraturan dunia persilatan. Aku Sebun Giok menghaturkan hormat kepada
saudara....."
Ucapan tokoh dari Kun-lun-pay
itu laksana angin segar yang menghembus lenyap kegelisahan hati sekalian orang.
Pedang-terbang Bok Tin
terkejut girang, serunya : ”Kalau begitu, akulah yang salah. Perbuatanku
mengintai kalian dan hendak melihat pusaka Thian-liong-kim-jiu tadi hanyalah
terdorong oleh rasa ingin tahu saja. Harap saudara Gak suka maafkan
......"
Gak Lui cepat menyambut :
“Jika tak bertempur tentu tak kenal. Sudahlah kita habisi soal itu sampai
disini. Harap saudara mengambil senjata saudara itu !"
Demikian mereka dari lawan
menjadi kawan. Selang beberapa saat kemudian, berkata pula Bok Tin :
"Kudengar berita dalam dunia persilatan bahwa Maharaja persilatan itu,
dengan mengandalkan ilmu pedangnya yang sakti telah melindas tokoh2 persilatan
dan melakukan kejahatan. Maka aku ingin mencarinya. Siapa tahu waktu bertempur
dengan saudara Gak Lui tadi, baru kutahu bahwa didunia persilatan telah muncul
seorang tunas muda yang cemerlang. Aku yang sudah meyakinkan ilmu pedang
berpuluh tahun, ternyata tak mampu menghadapinya. Menilik hal itu, rasanya aku
lebih baik tak muncul saja....."
”Kalau saudara mengandung
cita2 hendak menumpas kejahatan, mengapa saudara tak bergabung dengan kita saja
?" kata Sebun Sianseng.
“Ah, aku sudah biasa hidup
mengembara. Mungkin akan mengecewakan harapan saudara2," kata Bok Tin lalu
memandang kearah Gak Lui, “tetapi demi membalas terima kasih kepada saudara
Gak, jika diperlukan aku tentu bersedia membantu.”
Gak Lui diam merenung : “Aku
sudah berhasil memahamkan ilmu Ni coan-ngo-heng. Dan harus menuju ke istana
Bi-kiong di Busan. Rencana mencari Pukulan-sakti The Thay, dan Tabib sakti Li
Kok-hua terpaksa kutunda dulu, Pedang-terbang Bok Tin ini hebat sekali
kepandaiannya dan pula musuh belum mengenalnya. Ah, seorang pembantu yang
tepat..."
Setelah menetapkan keputusan,
berkatalah ia dengan terus terang : “Aku mempunyai suatu hal yang hendak
kumintakan bantuan saudara. Entah apakah saudara tak berkeberatan ?"
“Jangan sungkan, aku tentu
akan membantu dengan sekuat tenaga. Apakah keperluan saudara itu ?”
“Maharaja Persilatan mempunyai
anak buah, sekelompok Orang berkerudung muka. Kuminta saudara suka menyelidiki
gerombolan orang aneh itu !"
“Orang berkerudung muka ? Ya,
memang aku pernah mendengarnya. Jika engkau bermusuhan kepada mereka, pedangku
tentu takkan memberi ampun mereka ...."
“Bukan, aku hanya perlu tahu
tempatnya dan jangan sembarangan bertindak sendiri," cepat Gak Lui
mencegah.
“Mengapa ?"
“Aku hendak mencari seorang
sahabat yang bernama Pukulan-sakti The Thay. Dia seorang ahli pembuat pedang
yang terkenal dan ditawan oleh gerombolan Maharaja Persilatan. Karena pedang
dari beberapa anggauta gerombolan Orang berkerudung itu telah kubikin cacad,
mereka tentu akan mencari The Thay untuk menyuruhnya memperbaiki."
“Ho, kutahu! Bukankah engkau
hendak menggunakan beberapa Orang berkerudung itu untuk mencari sarang mereka
?"
“Benar !"
“Jangan kuatir, serahkan saja
padaku. Tetapi kalau sudah ketemu lalu bagaimana aku dapat mencarimu ?"
tanya raksasa Bok Tin.
“Hm, aku berada disekitar
gunung Bu-san."
”Baik, aku segera
berangkat....." kata Bok Tin terus minta diri. Dengan langkah lebar tak
berapa lama orang yang bertubuh tinggi besar itupun sudah lenyap dari pandangan
mata.
Setelah orang itu jauh, Thian
Lok totiang dan lain2 tokoh sama tersenyum. Hanya Gak Lui sendiri yang merasa
tak enak dalam hati. Diam2 ia menduga bahwa sembarang waktu dan tempat,
Maharaja Persilatan itu tentu dapat muncul. Apabila sampai bertempur dengan
Pedang-terbang Bok Tin, tentu besar bahayanya. Bukankah berarti ia mengorbankan
jiwa Bok Tin...
“Saudara Gak, perjanjian di
Ceng-sia pada bulan mendatang ini, tentulah engkau sudah mengetahui. Sekarang
kita akan berpisah untuk bersiap dan tak lama lagi akan berkumpul pula dalam
sebuah kubu barisan besar. Dalam hal itu bagaimanakah rencanamu ?"
Sejenak Gak Lui merenung lalu
menyatakan bahwa ia hendak menuju ke Busan untuk mendapatkan pedang
Thia-lui-kiam. Setelah itu baru akan menggabungkan diri dengan mereka.
Sebun sianseng mengangguk :
“Baiklah, hanya ada sebuah hal....."
“Hal apa ?"
“Kabarnya Pengemis Ular dari
golongan partai Pengemis daerah selatan, mahir menggunakan ular berbisa sebagai
senjata, akan muncul juga. Dia amat ganas ...."
Gak Lui cepat tertawa nyaring
: “Berbicara tentang Pengemis Ular itu, aku sudah memperoleh seorang ahli yang
mampu menandinginya.”
“O," Sebun sianseng
mendesuh sadar, “tentulah nona Li yang engkau maksudkan itu. Dengan gelar
Gadis-ular, tentulah dugaanku kepadanya itu takkan meleset.”
“Benar," Gak Lui
mengiakan, “demi keselamatan partai2 persilatan akan kumintanya membantu
barisan itu.”
Sesungguhnya Siu-mey tak
senang tinggal digunung Ceng-sia. Tetapi karena Gak Lui yang meminta, terpaksa
ia menurut saja. Hanya untuk menumpaskan kemengkalan hatinya.
Selesai mengatur, Gak Lui lalu
menuturkan tentang diri Hi Kiam-gin, agar apabila tokoh2 yang hadir disitu
berjumpa dengan nona itu, janganlah sampai timbul salah faham.
Setelah itu Gak Lui lalu
mengambil selamat berpisah dan menuju ke istana Bi-kiong digunung Busan.
Gunung Busan mempunyai
duabelas buah puncak. Alam pemandangannya indah tetapi berbahaya.
Tiba ditempat tujuannya, dia
agak terkejut. Ternyata tempat itu bukanlah tempat yang tempo hari
didatanginya. Ia masih ingat akan Bu-san-yan-hong atau si Burung Hong cantik
dari Busan yang menjaga dipuncak Gwa-liok-hong atau enam puncak lapisan luar.
Tetapi Busan amat luas dan
lebat. Ia tak dapat melihat apa yang terdapat pada barisan batu2 aneh disitu.
Pun kalau berteriak, ia kuatir akan didengar oleh murid hianat yang bersembunyi
dalam istana Bi-kiong.
Demikian setelah merenung
sejenak, lalu ia mengatur langkah dalam gerak Ngo heng-seng-kek, menyusup masuk
kedalam barisan alam di situ.
“Aneh......" setelah
berjalan beberapa lama ia terkejut. Karena tempat yang dicapainya itu tiada
terdapat angin keras. Tanah dan batu karang disitu pun datar, tak berbentuk
aneh seperti yang pernah dialaminya tempo hari.
Tetapi setelah merenung
beberapa saat, tiba2 ia geli sendiri dan dapat menemukan jawabannya. Ya, tempo
hari ia tak mengerti cara untuk memasuki barisan batu itu. Ia hanya menurut
petunjuk orang yang bernama Tio Bik-lui. Dan kepandaian orang she Tio itu pun
belum sempurna. Maka sekalipun ia dapat melintasi barisan batu karang, namun
tetap menghadapi kesulitan sehingga harus mengerahkan seluruh tenaga dan
pikirannya.
Tetapi kini bukan saja ia
sudah dapat memahamkan inti rahasia ilmu Ngo-heng, pun tenaga-dalamnya juga
berlipat ganda. Dengan begitu, mudahlah ia melintasi barisan batu itu.
Setelah hampir setengah hari
berjalan dan tak lama akan tiba didekat istana Bi-kiong, diam2 ia heran mengapa
tetap belum melihat si nona itu.
Akhirnya ia memutuskan untuk
mengitari gunung dan mencari tempat di mana dahulu ia terjeblus didalam liang
tanah. Beberapa saat kemudian tibalah ia ditempat pemakaman kerangka ayahnya.
Hati Gak Lui seperti disayat. Beberapa airmata menitik turun. Setelah itu baru
ia lanjutkan hendak menuruni liang & bawah tanah.
Ia terkejut melihat mulut
lubang itu tertimbun ranting2 pohon. Sepintas memang seperti kacau balau tetapi
setelah diperhatikan, nyatalah kalau ranting2 itu diletakkan dalam susunan yang
teratur.
“Hm, tentu diatur orang.
Apabila tersentuh, orang yang mengatur ranting2 itu tentu segera mengetahui.
Tetapi siapakah yang memasang ranting2 itu ?" diam2 ia menimang.
Tiba2 dari puncak Busan
terdengar suara orang menggerung dahsyat. Tak dapat diragukan lagi, orang itu
tentulah si Lengan-besi hati-baik. Dia tak mau bertanya lagi melainkan
memancarkan ilmu gemboran dahsyat yang menggetarkan nyali orang.
Gak Lui memutuskan hendak
gunakan ilmu gerak Ni-coan-ngo-heng untuk mendaki keatas. Tetapi tiba2 dari
celah batu dibelakangnya terdengar suitan perlahan. Dengan girang cepat ia
berpaling dan dilihatnya sidara cantik bersembunyi dibalik sebuah batu karang.
Ia unjukkan separoh mukanya dan memberi isyarat supaya Gak Lui menghampirinya.
Gak Lui terkejut heran.
Tentulah ada sesuatu yang terjadi pada istana Bi-kiong. Cepat ia menyelinap
ketempat sinona.
“Adik Lui....." Cepat
nona itu menyambutnya dengan memeluk erat2.
“Taci Yan, apakah yang terjadi
sehingga engkau tampak begitu berhati-hati sekali ?"
“Benar, aku telah melihat
suatu keanehan sehingga aku takut sekali.”
“Apakah engkau melihat murid
hianat si Lengan-besi atau Maharaja Persilatan ?"
“Tidak ! Aku tak melihat
seseorangpun....."
“Lalu mengapa ?"
“Adik Lui, adakah engkau
melihat timbunan ranting pohon diatas mulut terowongan itu ?" Gak Lui
mengiakan.
”Kemungkinan tentu ada orang
yang masuk dan dengan hati2 dia meninggalkan pertandaan."
“Jadi memang benar2 dia orang
yang datang kemari ?" tanya Gak Lui.
“Benar, sayang saat itu aku
tak berada di-dekat guha sehingga tak dapat mengetahui orang itu.
Tetapi...."
“Tetapi bagaimana ?"
“Kuragukan dia.....orang she
Tio ....Tio Bik lui itu sendiri !"
“Apa alasanmu mengatakan
demikian ?"
“Karena dahulu dia pernah
datang kemari dan lagi.... kurasa gerak geriknya memang tak wajar."
“Hm," Gak Lui mendesah
lalu merenung, “Tio Bik-lui telah membantu aku menghalau ketiga Algojo itu. Dan
juga dialah yang memberi petunjuk jalan sehingga aku dapat tiba kemari. Ah,
janganlah kita sembarangan menduga orang..."
“O....." Bu- san-yan-hong
mendesuh lalu menatapnya dengan pandang menuntut.
Rupanya terkesan juga Gak Lui
akan sikap nona yang tak mau lepaskan kecurigaannya itu. Tiba2 ia teringat
beberapa hal.
Kesatu, Tio Bik-lui begitu
memperhatikan sekali akan jejak keempat Bu san-su kiam. Setiap kali berjumpa,
langsung atau tak langsung, dia selalu menanyakan hal itu. Adakah ada udang
dibalik batu dalam pertanyaan itu ....?
Kedua, waktu tempo hari Tio
Bik lui menjaga disekitar gunung Busan, Tio Bik-lui telah mengantarnya memasuki
gunung itu dan menunggu sampai ia keluar lagi. Adakah tindakannya itu suatu
bantuan atau memang mempunyai maksud lain...?
Walaupun sampai beberapa saat,
tak dapat juga Gak Lui memecahkan persoalan itu. Apabila Tio Bik-lui itu memang
palsu dan bermaksud jahat, tujuannya tentulah tak lepas dari mencari pedang
pusaka Thian lui-koay-kiam itu. Tetapi apabila dia memang bermaksud baik, Gak
Lui merasa berhutang budi besar kepadanya.
“Adik Lui, kedatanganmu
sekarang tentu sudah membekal pengetahuan ilmu Ni-coan-ngo-heng. Maukah engkau
membawaku serta memasuki istana Bu-san-bi-kiong itu?"
“Sayang ....”
---oo~dwkz^0^Yah~oo---
“Istana Bi-kiong adalah
peninggalan leluhurku. Aku benar2 ingin menjenguknya!"
“Jangan sekarang ! Ilmu
kepandaian si Lengan-besi-hati-baik itu hebat sekali. Aku tak dapat membiarkan
engkau tertimpa bahaya.”
“Tetapi disinipun belum tentu
aman.”
“Ini ....,” Gak Lui merenung
sejenak, “kalau begitu lebih baik engkau ke gunung Ceng-sia-san menunggu aku.
Kelak partai2 persilatan akan berkumpul disana. Dan lagi ada seorang Nona-ular
Li Siu-mey yang selain dapat menjadi sahabat, pun kalian dapat ber-sama2
mempelajari ilmu pedang Bu-san kiam-hwat, untuk persiapan di kemudian hari.”
Bu san-yan-hong mengiakan. Ia
minta Gak Lui mendaki dan setelah itu baru ia nanti akan tinggalkan gunung. Gak
Lui pun tak mau banyak bicara lagi. Ia terus lari mendaki keatas.
Enam puncak yang menjadi
lapisan dalam dari gunung Busan, jauh lebih dahsyat dan berbahaya dari keenam
puncak lapisan luar. Ia loncat keudara. Tetapi sebelum kakinya turun ke-bumi,
matanya seperti ber-kunang2. Setiap keping batu karang, setiap jengkal tanah
tampak ber-putar2.
Saat itu ia masih setombak
dari tanah. Buru2 ia kerahkan tenaga-murni lalu menggeliat keatas hampir
beberapa tombak tingginya.
Dalam pada itu diam2 ia
menghafalkan perobahan2 dalam ilmu Ni-coan-ngo-heng. Kemudian ia meluncur
keatas sebuah jalan kecil. Tapi begitu menginjak bumi, iapun ikut terputar2
seperti angin lesus. Tetapi ia menyadari bahwa hal itu hanyalah sugesti atau
menurut pikirannya sendiri. Cepat ia menginjak tata Kiu-kiong-pat-kwa dan diam2
menghitung keadaan barisan Thian-kang-ki-bun yang dihadapinya. Setelah itu
dengan tenang ia melesat kemuka.
Lebih kurang sejam lamanya,
berhasillah ia melintasi barisan itu dan tiba dipuncak lapisan dalam atau yang
disebut Lwe-liok-hong.
Keenam puncak batu karang
disitu, sepintas pandang memang menyerupai sebuah istana alam. Disebelah
luarnya dikelilingi oleh tanah datar seluas sepuluh tombak.
“Ini tentulah istana Bi-kiong
itu !" diam2 ia menimang. Dengan cepat ia mengitari tanah yang disebut
istana Bi-kiong itu ternyata hanya sebuah batu gunung yang tak berpintu.
Kecuali dinding karang yang terdapat tanda2 aneh boleh dikata tiada setitik
celah pada batu itu.
Dan yang paling aneh pula, si
Lengan-besi-hati-baik itu tak kelihatan sama sekali. Bahkan gemborannya yang
dahsyat tadi pun tak kedengaran lagi.
Gak Lui benar2 heran. Ia
merasa ilmu kepandaiannya sudah dapat digolongkan sebagai jago2 kelas satu
dalam dunia persilatan. Memang kalau dibanding dengan si Maharaja Persilatan
memang kalah jauh. Demikian dengan Tio Bik-liong juga kalah setingkat. Dan kini
ternyata si Lengan-besi-hati-baik itu begitu lihay, sampai tak dapat diduga
sampai berapa tinggi kepandaiannya.
Kalau bertempur berhadapan,
mungkin dengan menggunakan kecerdasan otak, ia masih dapat menghadapi murid
hianat itu. Tetapi bahwa ternyata saat itu ia sama sekali tak dapat menemukan
apa2 pada batu itu, bukankah berarti ia sudah menderita kekalahan? Bukankah
lawan berada di tempat gelap dan ia di tempat terang?
Gak Lui marah. Ia segera
kerahkan tenaga-dalam Algojo-dunia dan menghantam batu itu, seraya memaki:
“Hai, murid hianat Busan! Mengapa tak lekas keluar menerima kematianmu...!”