Pedang Kunang Kunang Bab 11-15

Baca Cersil Mandarin Online: Pedang Kunang Kunang Bab 11-15
Pedang Kunang Kunang Bab 11-15

BAB 11 : GELANDANGAN

PADA saat keempat jago itu hendak menerkam gadis ular Li Siu-mey, se-konyong2 dari, balik karang terdengar suara men-desis.

Siu-mey getarkan tubuhnya. Serempak mulut mendesis, ia dorongkan kedua tangannya. Dua ular, emas dan perak, yang melingkar sebagai gelang pada kedua tangannya serentak meluncur ke udara. Dua orang penyerang yang paling depan sendiri, seketika rubuh ketanahl

Dua orang kawannya yang menyusul dibelakang, terkejut dan tertegun melongo.

„Cucu kecoa, hayo mundur!"

Kedua orang itu serta merta menurut.

Tetapi pada saat mereka berputar tubuh, dua batang pedang dari Gak Lui menyongsong dada mereka.

Kedua orang itu rubuh tak bernyawa.

Siu-mey cepat melesat ketempat Gak Lui. Setelah menarik nona itu kesamping, Gak Lui segera memberi hormat kearah karang seraya berseru: „Lo-cianpwe yang berada dibelakang batu karang, Gak Lui menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan lo-cianpwe!"

„Aku siorang desa ini murid Kun-lun-pay jang bernama Se-bun Ciok. Jangan menyebut cianpwe pada diriku!"

„Dengan ketua Kun-lun pay Hong San locia bagaimana cianpwe memanggilnya?" seru Gak Lui pula.

„Hai, itulah mendiang guruku!" orang itu berseru kaget dan terus melangkah keluar dari balik karang.

„Rasanya engkau tak kenal gelagat. Yang menjadi ketua partaiku sekarang ini adalah suheng-ku Tang-hong Giok, digelari orang sebagai Tang Hong Sianseng . . . Sejak tadi Siu-mey belum sempat berpaling muka melihat penolongnya. Kini ketika memandang orang itu, menjeritlah nona itu: „Ai...., engkau tentulah Se-bun Sianseng ......"

„Benar," sahut orang itu, „kami memang sepasang. Satu Tang (timur) satu Se (barat)" Mengawasi dandanan orang itu, diam2 Gak Lui geli juga.

Se-bun Sianseng itu mengenakan sebuah topi butut yang sudah tak begitu je!as lagi warnanya. Jubahnya pun hanya sampai keatas lutut, sepatunya dari rumput, kaos kain kaki kasar. Punggungnya menyanggul sebatang payung. Tangan kiri memegang kipas besi berwarna hitam mengkilap dan tangan kanannya mencekal pipa huncwe.

Ia memelihara kumis dan jenggot, yang dikepang dua, memakai kacamata yang diikat pada telinga dengan pita. Boleh dikata apa yang dipakainya itu barang butut semua. Sukar bagi orang untuk percaya bahwa si gelandangan jembel itu memiliki kepandaian silat yang tinggi.

„Gak laute, tentu tak sedap memandang diriku yang tak keruan ini, bukan?" Se-bun Sianseng batuk2 sehingga kacamatanya ikut bergoncangan naik turun pada batang hidungnya.

„Ah, tidak," buru2 Gak Lui menyahut, „cianpwe seorang sakti yang tak mau unjuk diri. Ilmu tutukan Kek-geng-tiam-hwat yang cianpwe lepaskan tadi, cukup meyakinkan orang!"

„Ah, engkaupun terlalu merendah diri!" seru Se-bun Sianseng, „ilmu tenaga-dalam mendorong dan menyedot, serta melepaskan pedang tadi, aku Se-bun Sianseng yang sudah bergelandangan di dunia persilatan selama berpuluh tahun, tetap tak mampu mengetahui dari sumber mana kepandaianmu itu

Mendengar itu Gak Lui tertegun.

Ilmu melemparkan pedang tadi, sebenarnya baru pertama kali ia gunakan ltu, karena gugup melihat Siu-mey terancam bahaya.

„Ah, tak perlu saudara tertegun," kata Se-bun Sianseng pula: „aku bukan bermaksud hendak mencari penyakit. Apalagi engkau mengenakan kedok muka karena tak ingin dilibat orang, lebih2 aku tak mau bertanya melilit. Hanya mengenai sebuah hal,"

„Apa?" seru Gak Lui.

„Engkau kurang faham akan ilmu tutukan.

Suatu hal yang janggal dan tak seimbang dengan ilmu kepandaianmu!"

Sejak pertama kali di tunjuk hidung kalau kepandaiannya masih readah oleh mendiang ayah angkatnya temoo hari, baru ,itulah Gak Lui memenerima kritikan orang lagi.

„Memang sessungguhnya kepandaian itu tidak banyak ragamnya sehingga sering menimbulkan buah tertawaan orang," sahutnya.

„Kurasa bukan soal itu. Melainkan karena engkau tak faham akan letak jalan darah orang. Jika engkau tak menganggap aku seorang usil, aku hendak mempersembahkan sebuah barang kepadamu!" habis berkata Se-bun Sianseng meletakkan pipa dan kipas. Lalu mengambil selembar gambar dari bungkusannya.

Begitu dibuka, ternyata Lukisan itu merupakan gambar tubuh manusia dengan seluruh letak jalan darahnya.

Gak Lui menyurut mundur seteagah langkah.

„Ah, mana aku berani menerirna pemberian begitu berharga ..." Gak Lui berseru.

„Barang ini bukan milik partaiku Kun-lun-pay melainkan peninggalan dari sahabatku Jari-tunggal-sakti yang mengatakan bahwa benda ini hendaknya diberikan kepada orang yang sesuai," menerangkan Se-bun Sianseng.

„Siapakah cianpwe itu?"

„Menilik tingkatannya, dia adalah paman guru dari Kaisar (Raja diraja) Li Liong-ci. Beliau termahsyur sebagai ahli tutuk jalan darah yang sukar dicari tandingannyal"

Ah, kiranva seorang jago sakti dari partai Thian-liong-pay!" seru Gak Lui.

„Dia tak termasuk tokoh Thian-liong-pay. Pula peta yang berisi gambar dari ke 36 jalan darah besar dan 343 jalandarah kecil pada tubuh manusia ini, hanya untuk pentrenal bagian2 dari tubuh manusia. Tentang penggunaannya, terserah padamu sendiri."

„Mcndengar penjelasan dan karena didesak, akhirnya Gak Lui mau" juga menerima. Setelah menghaturkan terima kasih ia terus mencari tempat yang sepi lalu merentang peta itu dan memeriksanya dengan teliti.

Tiba2 Se Bun Sianseng mengusap jenggot dan banting2 kaki: „Ah, karena terpikat oleh ramai2 aku sampai melupakan sebuah hal yang geating!"

Sambil memandang peta dan merabah-rabah bagian2 jalan darah pada tubuhnya sendiri, Gak Lui bertanya: „Apakah yang lo-cianpwe lupakan itu?"

„Membiarkan kaki tangan Maharaja pergi sehingga tentu menimbulkan kesulitan pada gerakan partai2 persilatan!"

„Partai2 persilatan sudah bergerak?" Gak Lui menegas.

„Masakan engkau tak tahu? "

„Sudah lebih dari sebulan aku masuk kedaerah pedalaman gunung....." „Air, banyak sekali perobahan yang terjadi sebulan itu! " Gak Lui terkejut dan mengangkat muka: „Perobahan apa sajakah itu?"

„Teruskanlah mempelaiari peta gambar itu. Akan kuceritakan dengan pelahan-lahan: Pertama tentang sepak terjang dari kaki tangan Maharaja yang kian hari kian merajalela. Siang hari bolong berani mengirim Amanat Nasib sehingga menimbulkan kegelisahan dan kecurigaan. Ada beberapa, partai persilatan yang mengatakan, engkau menjadi salah seorang anggauta gerombolan Topeng Besi!"

„0, lalu apa lagi? "

„Kecuali partaiku Kun-lun-pay dan partai Go-bi-pay, kelima partai persilatan yang lain semua telah menerima surat rahasia yang telah ditanda-tangani oleh tokoh-tokoh mereka sendiri yang telah menghilang selama baberapa tahun. Dalam surat itu menyatakan hendak mengadakan pembersihan kedalam partai dan memerintahkan ketua mereka, dalam waktu paling lama satu tahun harus sudah mengundurkan diri:"

„Hal itu sudah kudengar," kata Gak Lui, „tetapi bahwa kelima partai dalam waktu serempak telah menerima ancaman semacam itu, memang baru saat ini kudengar!"

Se Bun Sianseng melanjutkan pula: „Ketiga," Kaisar Li Liong-ci sudah muncul lagi ke daerah Tiong-goan!"

„Tentulah hendak turun tangan!"

„Sama sekali tidak begitul Kabarnya dia tidak mau campur tangan."

Mata Gak Lui ber-kilat', serunya: „Mengapa"

„Orang yang menceritakan kepadaku tak berani menerangkan se-jelas2nya. Kamipun tak dapat menerka. Sekalipun Kaisar tak mengacuhkan, asal Empat Putri mau membantu, golongan Putih da-lam dunia psrsilatan tentu masih mempunyai harapan."

„Empat Putri?" Gak Lui mengulang.

„Benar, mereka. terdiri dari Puteri Hijau, Puteri Naga Istana-laut, Puteri Telaga Tongthing dan Bawang Putih."

„Bagaimana dengan kepandaian mereka?"

„Mereka satu kaum. Kepandaian Kaisar Li Liong-ci moncangkum Hud dan Mo (aliran agama dan Iblis).

Sedang Empat Puteri itu meliputi ilmu sakti Ceng-ling, Cek-cui, Tong-ting-kui-ong, Thaysiang-sia-kun dan Liok-hap-mo-cun. Merupakan gabungan antara aliran Putih dan Hitam!...."

Tergerak hati Gak Lui mendengar uraian Se Bun Sianseng itu.

Katanya dengan tandas: „Jika karena sesuatu sebab, mereka tak muncul, aku Gak Lui pasti tetap akan berjuang melaksanakan cita2. Kalau lain orang dapat berlatih sehingga mencapai tataran begitu hebat, masakan aku juga tak mampu!"

„Bagus, bagus! Kekerasan hatimu sungguh mengagumkan sekali. Menurut kata nona ini, kelak engkau tentu menjadi tokoh yang cemerlang!" seru Se Bun Sianseng.

Sambil kicupkan mata, bertanyalah gadis -ular Siu-mey: „ Menurut lo cianpwe, apakah yang dapat kupelajari...?"

„Nona memiliki kecerdasan dan simpanan hawa murni yang kokoh. Kalau mempelajari ilmu tenaga-dalam Lunak, kelak tentu berhasil! "

Nona itu girang sekali dan berpaling memandang ke arah Gak Lui.

Saat itu Gak Lui tengah melipat peta gambar dan menyerahkan kembali kepada Se Bun Sianseng: „Terimat kasih lo-cianpwe, aku sudah dapat menghafal gambar2 itu.

„Budi lo-cianpwe kelak tentu kubalas."

Sambil menyambuti peta gambar, Se Bun Sianseng melolos kaca-matanya dan menyerahkan kepada

===================

Lembar 10-11, hilang

===================

Tujuan pertama itu merupakan suatu pertempuran mati hidup dengan Maharaja. Dan tujuan yang kedua itu untuk mengukur tinggi rendahnya kepandaiaanya yang telah dicapai saatt itu.

Kedua-duanya hanya mengandalkan kekuatannya sendiri untuk menentukan kalah menangnya atau gagal berhasilnya tujuan itu. Dan serentak teringatlah ia akan ucapan emas mendiang bibi gurunya Dewi Pedang bahwa ilmu kepandaiannya itu harus ditempuh dengan kegiatan den jerih payah. Sekali-kali jangan mengandalkan pada suatu rejeki yang tak terduga-duga ........

Seketika tergugahlah semangat Gak Lui. Koberaniannya pun menyala. Dia tak menghiraukan lagi lautan kesulitan yang harus dihadapi dalam melaksanakan tujuannya untuk membalas dendam kematian orangtuanya.

Ditain fibak gadia ular Siu-mey pun terbenam dengan keinginan untuk- belajar silat. Agar dapat mencari ayahnya dan membantu usaha sang kekasih (Gak Lui), bulatlah sudah tekadnya untuk menuntut ilmu kepandaian silat yang sakti.

Ucapan Se Bun siangseng tadi, benar2 telah membangkitkan semangatnya. Tak disadari, Siu-mey merekah senyum bahagia. Tetapi tiba2 dalam benak si nona itu terlintaslah bayangan seorang gadis lain yang menjadi kawan akrab dari Gak Lui.

Gadis lain itu yalah, Hi Kiam-gin. Tetapi Kiam-gin telah hilang jejaknya, entah lenyap ke mana. Apakah gadis itu akan mendapat rejeki luar biasa sehingga mampu memperoleh ilmu silat yang sakti sehingga akan menjadi rintangan hubungannya (Siu-mey) dengan Gak Lui? Adakah ia harus harus membagi cinta kepada gadis itu

Tiba2 Gak Lui batuk2 pelawan dan berseru getun: „ Ah, kulupa untuk menanyakan sebuah soal penting kepada Se Bun sianseng!" Siu-mey tersadar dari lamunan dan cepat menyanggapi: „ Soal apa?"

„Pedang yang kubawa ini adalah pedang Pelangi pusaka pemberian Ceng Ki totiang dan partai Bu-tong-pay. Beliau minta tolong kepadaku supaya mencarikan seorang pandai besi yang jempol untuk merobah bentuk, pedang yang pendek itu menjadi pedang panjang. Tak bertanya pada Se Bun Sianseng, bukankah berarti menyia-nyiakan kesempatan yang bagus ........ "

„Ah, kesempatan selalu masih ada. Tetapi engkau harus ingat akan urusan Ceng Suan totiang dari Bu-tong-pay yang turun gunung itu. Saat ini mereka sedang terancam bahaya. Jika mengembalikan pedang itu kepadanya, berarti engkau membantunya dan berarti takkan menyia-nyiakan harapan Ceng Ki totiang."

Dalam waktu bercakap-cakap itu keduanya sudah berjalan cukup jauh. Gak Lui sejenak berpaling ke arah guha rahasia kediaman mendiang bibi gurunya. Selesai lepaskan tatapan mata yang terakhir, cepat2 ia lanjutkan perjalanan lagi.

SETELAH berjam-jam melintasi daerah pegunungan belantara, akhirnya mereka tiba di tanah datar. Dan pada saat mereka menyusur sebuah jalan besar, tiba2 diiihatnya seorang lelaki pertengahan umur sedang berdiri di bawah sebatang pohon rindang. Orang yang dandanannya seperti orang desa itu rupanya sedang menunggu sesuatu. Tetapi dari sikapnya, orang itu seperti seorang yang memiliki kepandaian ilmusilat.

Cepat sekali Gak Lui dan Siu-mey melintas di samping orang itu. Tiba2 orang itu berpaling dan memandang Gak Lui dan Siu-mey. Dengan matanya yang tajam dapatlah Gak Lui mengetahui gerak gerik orang itu. Diam2 timbul kecurigaannya namun pura2 tidak tahu dan lanjutkan perjalanan.

Sekonyong-konyong orang itu bersuit nyaring. Dari arah muka segera terdengar sambutan orang bersuit. Suitan itu- berasal dari arah hutan.

Jelas suitan itu tentulah suatu pertandaan rahasia dari sebuah gerombolan. Gak Lui berputar tubuh lalu kembali ke tempat orang itu.

Orang itu terkejut dan menyurut mundur tiga langkah, sandarkan punggung pada pohon.

„Engkau anakbuah partai mana?" tegur Gak Lui dengan nada keras.

Saat itu Siu-mey pun tiba.

Orang itu makin terkejut sehingga gemetar dan condongkan tubuh ke arah Gak Lui. Rupanya dia makin ketakutan melihat Siu-mey.

Kini Gak Lui sudah dapat menduga. Gerombolan jago2 silat yang dikalahkan tempo hari, tentu sudah menyiarkan berita tentang dirinya dan Siu-mey. Dan berita itu tentulah suatu tuduhan bahwa dirinya seorang anggauta gerombolan Topeng Besi. Bahkan Siu-mey pun dianggap juga sebagai seorang gadis yang berbahaya.

Setelah meneguk air liurnya yang'nerocos ke luar, orang itu menyahut gentar: „ Aku seorang anggauta partai Gelandangan. "

„Partai Gelandangan? " Gak Lui menegas.

Orang itu mengiakan.

„Partai Gelandangan di daerah selatan dan Partai Pengemis di daerah utara, merupakan partai golongan Ceng-pay (lurus). Siapakah nama saudara?"

Mendengar ucapan Gak Lui begitu, berkuranglah rasa takut orang itu. Buru2 ia memberi hormat: „Maaf, aku telah berlaku kurang hormat kepada Gak siau-hiap dan nona ini. Namaku Tio Cwan, menjabat tugas untuk menyambut setiap tetamu"

„Ah...., jangan merendah diri. Tetapi mengapa saudara begitu tegang sekali tampaknya?"

„Ini..." Tio Cwan tergugu, rahasia partai, aku tak dapat mengata-kan...."

„Ah..., rupanya engkau mencurigai aku sebagai kaki tangan Maharaja sehingga tak mau mengatakan hal itu," kata Gak Lui.

„Memang dalam dunia persilatan tersiar kabar semacam itu!"

„Hm..., tak apalah. Aku tak mau mendesak mu," kata Gak Lui, terus berputar tubuh hendak berlalu. Tetapi tiba2 Tio Cwan mencegah: „Siau-hiap, tunggu dulu. Jika engkau dapat menjawab sebuah pertanyaanku yang tak berarti, tentu akan kuberitahukan kepadamu."

„Katakan!"

„Apakah sau-hiap mempunyai hubungan deugan partai Pengemis cabang selatan?"

„Baik dengan cabang selatan maupun dengan cabang utara, aku tak punya hubungan. Aneh, mengapa engkau bertanya begitu?"

„Kalau tak ada hubungan, itulah yang kami harapkan karena masa ini partaiku sedang berselisih dengan partai Pengemis cabang selatan!"

Heran Gak Lui mendengar kedua partai yang terkenal itu sampai saling bentrok sendiri. Tanyanya: „Bukankah ketua partaimu itu......Raja sungai Gan Ka-ik?"

Tio Cwan mengiakan.

„Kabarnya ilmu pedang dari keluarga Gan itu amat hebat. Masakan takut pada partai Pengemis cabang selatan? Dan lagi partai Pengemis itu mempunyai disiplin keras. Bagaimana mungkin cabang selatan dapat bertindak sendiri!"

Sebagai seorang persilatan yang banyak pe-ngalaman tahulah Tio Cwan bahwa Gak Lui itu seorang pemuda jujur. Maka hilanglah rasa kecurigaannya terhadap pemuda itu.

„Ah...., mungkin siau-hiap tak tahu. Sesungguhnya antara partai Gelandangan dengan partai Pengemis itu tidak saling bermusuhan. Bahwa keduanya saling membantu. Tetapi sejak ketua mereka meninggal dunia, partai Peingemis itu pecah menjadi dua cabang, utara dan selatan. Cabang utara masih baik, tapi yang cabang selatan telah dikuasai oleh dua tokoh yang tak keruan." „Siapakah kedua orang itu?"

„Yang satu yalah. Pengemis Ular dan yang seorang Pengemis Ganas. Dengan mengandalkan ilmu silatnya yang sakti, mereka melakukan perbuatan jahat dimana-mana tempat. Bermula karena mengingat hubungan lama, ketua kami tak mau mencampuri urusan mereka. Tetapi sekarang malah..... "

„Kenapa? "

„Malah dimana-mana tempat kita menderita pengacauan mereka! "

„ Masakan begitu besar pengaruh mereka?"

„Karena ketua kami setengahnya sebagai orang persilatan yang bergerak di perairan dan setengahnya di daratan. Dan pula masih mengurus pangkalan di perairan dan di daratan. Dan lagi Kaisar Persilatan Li Liong-ci itupun menjadi tetua kehormatan dari partaiku. Selama ini tiada sebuah partai persilatan yang berani mengganggu partai kami. Tetapi tak terduga-duga, partai Pengemis cabang Selatan itu sengaja hendak cari perkara dengan tindakan2 yang menantang. Rupanya mereka mempunyai "backing istimewa . . . . "

.. „ O...," Gak Lui mendesus kaget. Ia heran Kaisar Persilatan Li Liong ci mau menjadi Ketua kehormatan dari partai. Gelandangan. Sungguh suatu hal yang tak terduga sama sekali.

Jika Pengemis Ular dan Pengemis Ganas berani cari perkara dengan partai Gelandangan, tentulah mereka mempunyai backing yang kuat. Adakah backing itu bukannya dari .... Maharaja Persilatan dan gerombolan-nya?

Tiba pada dugaan itu cepat2 Gak Lui mengajukan pertanyaan: „Dimanakah partaimu akan mengadakan pertempuran dengan partai Pengemis cabang selatan itu? "

„Ini . . . ini . . . "

„Jangan takut." Kehadiranku - ke sana takkan merugikan partaimu !"

„Di sebuah tanah lapang, kira2 ,10 li jauhnya dari sini ....... "

Mendengar itu Gak Lui segera memberi pesan kepada Siu-mey; „Adik Mey, engkau menyusul pelahan-lahan dan jangan campur tangan !"

Belum sempat Siu-mey menyahut, Gak Lui sudah loncat beberapa tombak jauhnya. Dengan gunakan ilmu meringankan tubuh istimewa, ia lari pesat.

Tio Cwan terkejut, serunya kepada Siu-mey; „Nona .... !".

Tetapi nona itupun sudah bergerak dan tahu2 sudah berada dua tombak jauhnya. Bagaikan bayangan ia terus mengejar Gak Lui. Tio Cwan hanya terlongong-longong sambil leletkan lidah. Beberapa saat kemudian barulah ia bersuit memberi pertandaan yang kedua kalinya lagi.

Di sebuah. tanah lapang yang luas, tampak dua orang tokoh silat yang berilmu tinggi, sedang berhadapan.

Yang di sebelah selatan adalah serombongan 9 orang pengemis yang masing2 memegang tongkat penggebuk anjing. Pemimpinnya bukan lain adalah Pengemis Ganas. Seorang tokoh pemimpin partai Pengemis cabang selatan yang berwajah merah dan memelihara jenggot runcing.

Sedang yang di sebelah utara pun berdiri seorang lelaki berumur 50-an tahun, di belakangnya berjajar 8 orang jago2 dari partai Gelandangan.

Sambil mengangkat tongkat Pengebuk anjing yang merupakan senjata dari anakbuah partai Pengemis. Dengan suara kasar dan bengis ia membentak: „ Bagaimana dengan permintaanku supaya kalian mundur dari setiap pangkalan darat maupun perairan dan kembali ke tempat kalian masing2. Syarat itu sudah longgar sekali. Apa yang harus dipertimbangkan lagi.....

Sahut lelaki yang memimpin rombongan anak buah partai Gelandangan: „Bukan aku yang harus mempertimbangkan sebaliknya engkaulah yang harus pikir2. Adakah ilmu Pedang-kilat dari keluarga Gan dan Pukulan Geledek itu, mudah dihina atau tidak!"

„Ha..., ha..., ha... ! Kukuatir kedua macam medalimu itu takkan muncul lagi. Jangan lagi hanya ilmu kepandaian cakar kucing itu sekalipun engkau panggil Kaisar Li Liong-ci ke mari, partaiku tentu dapat menghadapinya!"

Jago pedang jenggot panjang, yang ternyata pemimpin partai Gelandangan yakni Gan Ka-ik, melangkah maju dan berseru keras: „ Siapa yagomu itu! "

„Sudah tentu .... Pengemis Ular. Dia akan membawa 12 pengemis Pemain-ular dan beratus-ratus ekor ular berbisa. Masakan engkau tak tahu hal itu!"

Nama Pengemis ular itu telah membuat Gan Ka-ik, gemetar. Tadi ia telah mendengar suit per-tandaan dari Tio Cwan, ia duga bala bantuan musuh tentu sudah tiba. Maka sambil rangkapkan kedua tangannya ke atas, ia berdo’a ke arah langit: „Cousu yang berada di alam baka, hari ini murid terpaksa melanggar pantangan membunuh......."

Mendengar doa itu, tahulah Pengemis Ganas bahwa gertakannya tadi tak berhasil. Maka tanpa mempedulikan tata susila dunia persilatan lagi, ia terus menyerang dengan tongkat Penggebuk-anjing.

Tetapi ilmu pedang keluarga Gan itu, termasyhur karena kecepatannya. Sekali kaki jago berjenggot panjang itu menyilang, ia -sudah meluncur setengah tombak dan dengan kecepatan yang luar biasa, ia sudah mencabut pedang dan membabat tongkat lawan.

Seketika tongkat dan pedang berhamburan merapat ketat. Dua orang tokoh yang berilmu tinggi, saling bertempur dengan seru. Masing2 megeluarkan kepandaiannya. Cepat lawan tangkas, keras lawan keras. Ternyata kekuatan keduanya berimbang.

Tetapi dalam hati Gan Ka-ik tetap dibayangi dugaan bahwa bala bantuan musuh akan segera datang. Pikirannya agak terpecah memikirkan hal itu. Dan kelengahan itu cepat digunakan lawan sebaik-baiknya untuk menguasai permainan. Dalam 10 jurus, jago she Gan itu terus menerus mundur sampai tiga langkah. Pukulan Geledek-nya tak sempat dilepaskan.

Saat itu serangan tongkat Pengemis Ganas makin gencar dan dahsyat. Setapak demi setapak ia mendesak maju. Wajahnya menyeringai tawa karena yakin tentu menang.

Tetapi pada saat ketua partai Gelandangan Gan Ka-ik terancam maut, dari jauh terdengar pula suitan pertandaan. Rupanya dari petugas partai Gelandangan yang memberitahu bahwa yang akan datang itu bukanlah musuh.

Seketika timbullah semangat ketua Gelandangan itu. Sret..., sret..., sret..., tiga kali ia kiblatkan pedangnya. Setelah berhasil menyisihkan tongkat, tiba2 ia ayunkan tangan kiri dan bum .... terdengar letupan disusul oleh tubuh Pengemis Ganas yang terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.

Pengemis Ganas berkaok-kaok seperti orang gila: „Awas, pembalasanku !"

Kedelapan pengemis, galak yang berada dibelakangnya segera melepas kantong yang tersanggul pada bahunya, terus ditaburkan.

Di udara berhamburan sinar berkilau-kilauan bercampur dengan suitan yang mendesing-desing aneh, menuju ke arah rombongan partai Gelandangan . . . .

Sebenarnya anak buah partai Gelandangan tadi sudah hendak bergerak menolong ketuanya yang tampak terdesak.

Tetapi baru mereka hendak bergerak, rombongan anak buah partai Pengemis telah menabur senjata rahasia yang terbuat dari bahan peledak.

Pemimpin partai Gelandangan cepat memutar pedang sambil menghantam dengan tangan kiri. Terdengar beberapa ledakan keras dari beberapa butir senjata rahasia yang berhamburan jatuh ke tanah.

Juga anak buah partai Gelandangan serempak lontarkan hantaman untuk menghalau serangan itu. Tetapi senjata rahasia dari rombongan partai Pengemis itu amat banyak jumlahnya sehingga hanya setengahnya yang dapat dihantam jatuh. Tetapi yang lolos dari hantaman tetap menyambar sasarannya.

Terdengar beberapa jeritan ngeri dan orang tertahan dari anak buah partai Gelandangan itu. Sambil menutup muka, mereka terhuyung-huyung dan merintih kesakitan.

Ketua partai Gelandangan terkejut dan terpecah perhatiannya. Pipinya, sebelah kiripun termakan renjata rahasia itu, sakitnya bukan alang kepalang. Separoh dari mukanya mati rasa seketika.

Cepat ia menampar pipinya sendiri, uh.... seekor kutu yang keras kulitnya hinggap pada pipinya. Cepat ia menarik dan memeriksanya. Ternyata seekor lalat hijau yang bermulut tajam dan mempunyai sengat yang sangat keras sekali. Dari warnanya yang agak kehijau hijauan gelap, tentulah lalat itu yang telah diberi makanan racun ganas. Sehingga begitu menggigit orang, orang itu pasti mati.

Melihat senjata-rahasianya berhasil membuat rombongan orang partai Gelandangan kacau balau terhuyung-huyung rubuh ke tanah, Pengemis Ganas tertawa seram. la nantikan pada saat pemimpin partai Gelandangan itu juga terhuyung-huyung dicengkam racun, barulah ia akan -memberi gebukan yang mematikan.

SAAT ITU jago pedang dari partai Gelandangan sedang dikerumuni oleh lalat2 beracun sehingga betapapun ilmu kepandaiannya, namun akhirnya dapat juga digigit oleh beberapa ekor lalat. Akibatnya, permainan pedangnya mulai lambat dan orangnya pun tampak terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Tak lama lagi dia tentu rubuh.

„Ha..., ha..., ha...! Biarlah kutambahi dengan sebuah gebukan agar jangan membuang waktuku!" Pengemis Ganas tertawa iblis lalu melesat ke muka. Aneh sekali, kawanan lalat beracun itu cepat menyingkir untuk memberi jalan kepada Pengemis Ganas.

Sebatang tongkat berwarna hitam melayang kearah mata pemimpin partai Gelandangan yang sudah tak berdaya itu.

Sekonyong konyong dua gelombang sinar pedang melayang bagaikan meluncur dari langit. Ternyata dua buah sinar pedang itu berasal dari Gak Lui yang karena melihat kelicikan serta keganasan si Pengemis Ganas, tak dapat menahan kemarahannya lagi.

Serentak ia melambung ke udara dan meluncur ke muka pemimpin partai Gelandangan. Dengan pedang ditangan kanan, ia menangkis tongkat Penggebuk-anjing dari Pengemis Ganas dan pedang ditangah kiri diputar melingkar-lingkar.

Kawanan lalat beracun itu tersedot ke dalam lingkar perputaran pedang. Seperti dihanyut oleh prahara, mereka berhamburan jatuh beberapa tombak" jauhnya keempat penjuru! .

Mimpipun tidak Pengemis Ganas itu bahwa bakal muncul seorang bintang penolong bagi pemimpin partai Gelandangan. Karena munculnya tak terduga-duga, ia tak keburu menarik tongkatnya dan menghindar lagi. Tring ... tongkatnya hampir terpental jatuh. Untunglah ia cepat menyurut mundur lalu berteriak nyaring: „ Budak, engkau .....Gak Lui .....?"

„Benar!" sahut Gak Lui seraya tetap memutar sepasang pedangnya untuk menghalau sisa2 lalat beracun.

„Aku justeru hendak mencarimu !"

„Heh, memang sudah kuduga begitu!."

„Bagaimana engkau tahu .... ? "

Dengan mata berkila-kilat Gak Lui menatap pengemis itu seraya menggertakkan gigi berseru: „Manusia tingkatan semacam engkau hendak mencari aku? Tentulah engkau mendapat perintah dari si Maharaja!"

„Oh, aku ..... aku......."

„Engkau bagaimana!"

„Aku bukan!"

„Kalau menyangkal, kamu akan kugeledah!"

„Apa yang akan engkau geledah?"

„Apakah engkau mempunyai tada-tandanya! "

Jelas dilihatnya betapa cepat dan deras Gak Lui memutar pedangnya sehingga kawanan lalat beracun itu terdampar ke luar. Beberapa ekor lalat yang coba2 berani menerobos lingkaran sinar pedang itu, tentu hancur seketika.

Ilmu permainan pedang Gak Lui yang luar biasa itu sesungguhnya membuat nyali Pengemis Ganas pecah. Tetapi dasar seorang licik dan banyak akal. Cepat dia memperhatakan bahwa dalam serbuan lalat beracun yang begitu banyak, tak mungkin Gak Lui berani menghentikan putaran pedangnya. Maka tertawalah ia menyeringai dan menantang: „Kalau mau menggeledah, silahkanlah.........."

Habis berkata ia melolos, kantong lalu dikebutkan sekeras-kerasnya: Kedelapan pengemis rombongannya pun segera meniru. Beribu-ribu lalat hijau yang amat beracun, mendengung dengung diudara.

Gak Lui terkejut, ia tertegun sehingga lingkaran pedangnya menjadi kecil. Kesempatan itu tak disia-siakan Pengemis Ganas yang terus dengan cepat menyerang dengan tongkat penggebuk anjing. Sedemikian hebatnya tongkat itu melanda pedang Gak Lui sehingga memberi kesempatan pada berpuluh lalat itu menerobos lingkaran sinar pedang.

Jago pedang yang memimpin rombongan partai Gelandangan itu sedang menggeletak di bawah kaki Gak Lui. Jika pemuda itu mengisar kaki, tentulah pemimpin partai Gelandangan itu akan dibunuh musuhnya. Tetapi jika tetap berdiri di situ, dirinyalah yang akan celaka.

Dalam gugupnya, Gak Lui mainkan sepasang pedang lebih gencar sambil mengeluarkan pandangan matanya ke sekeliling.

Diperhatikan walaupun lalat hijau itu hanya jenis binatang serangga, tetapi ternyata telah dilatih dengan sempurna. Seciap ke 9 anak buah partai Pengemis itu bergerak, kawanan lalat itu tentu menyingkir. Oleh karena saat itu ke 9 pengerras sedang berjajar-jajar menjadi sebuah lingkaran, kawanan lalat itu terpaksa menyerbu ke tengah.

Melihat keadaan lawan, timbullah seketika pikiran Gak Lui. Cepat ia mengganti gaya permainan pedangnya. Dengan pedang Pelangi, la melindungi tubuh, sedang pedang di tangan kanan tiba2 ditaburkan, kearah salah seorang pengemis yang jauh dari tempatnya.

Huak....., pengemis itu menjerit ngeri, tubuhnya terhuyung-huyung dan tongkatnyapun terlepas jatuh.

Dadanya tertusuk pedang, tangan meronta-ronta tetapi tak berani. mencabutnya. Ia kuatkan diri untuk berdiri tegak tetapi sakitnya bukan alang kepalang.

Dalam pada, itu diam2 Gak Lui kerahkan tenaga-dalam. Seketika pedang Pelangi memancarkan tenaga-sedot, menyedot kawanan lalat beracun lekat pada batang pedang.

Kemudian ia arahkan telapgk tangan kanan untuk menyedot pedang yang tercantum pada dada orang tadi.

„Auh....." pedang seperti ditarik ke luar dari dada dan melayang ketangan Gak Lui. Sedang orang itu menjerit ngeri dan rubuh bermandi darah.

Mendapat hasil, secepat kilat Gak Lui lancarkan tiga kali serangan. Tiga sosok tubuh orang partai Pengemis, rubuh di tanah.

Melihat ilmu permainan Gak Lui yang belum pernah disaksikan. Pengemis Ganas pucat lesi. Segera ia memberi isyarat dengan tangan, dan dengan sisa kelima anak buah-nyaterus melarikan diri kedalam hutan.

Kuatir kalau kawanan lalat itu akan mengamuk anak buah partai Gelandangan, Gak Lui terpaksa tak mengejar melainkan menghabiskan sisa kawanan lalat. Setelah itu baru ia memeriksa luka yang diderita anak buah partai Gelandangan itu. Luka mereka berwarna biru gelap. Dari lubang luka mengalir darah, merah gelap.

Pemimpin partai Gelandangan mukanya bengkak besar dan tak dapat berkutik lagi. Sedang lain2-nya pun payah sekali keadaannya.

Gak Lui teringat, kemungkinan Siu-mey tentu dapat mengobati luka mereka. Ia memaadang ke sekelling penjuru tetapi tak melihat bayangan nona itu. Akhirnya la berteriak memanggilnya: „Adik Mey . . . . !"

„Ya...,....ya, ...aku datang....... tiba2.dari gerumbul hutau bambu, muncullah 'Siu-mey, berlarilarian menghampiri.

Ketika melihat korban2 yang berada di tanah lapang, ia berseru kaget: „Engkoh Lui, partai Gelandangan kalah"

„Partai Gelandangan tidak kalah!" sahut Gak Lui, „nyatanya Pengemis Ganas itu curang dan mengeluarkan lalat beracun. Orang2 Partai Gelandangan itu hanya pingsan. Apakah engkau dapat menolong mereka?"

Gadis ular itu segera memeriksa lalat2 yang mati di tanah. Lalu ia memeriksa luka korban2 itu. Beberapa saat kemudian ia menghelanapas: „Ah..., aku tak tahu racun apakah yang menyerang korban2 ini..."

„Engkau tak tahu!"

„Memang sukar untuk menentukan. Karena kemungkinan lalat itu,-diberi makan beberapa macam racun yang istimewa. Racun. itu harus melalui pencernaan lalat baru daoat mengeluarkan daya khasiatnya. Sedang lalat itu sendiri tak sampai mati. Aku tak dapat cepat2 menentukan jenis racun itu, kecuali ..... "

„Kecuali bagaimana?"

„Kecuali harus mengadakan percobaan beberapa waktu!"

„Tetapi sampai pada waktu engkau menemukan jenis racun itu, mereka tentu sudah mati ...!"

Siu-mey hanya geleng2 kepala tak menyahut.

Setelah memandang lagi ke arah korban2 itu, Gak Lui segera berieru memanggil kepada Tio Cwan. Tak berapa lama terdengar suitan riuh dari empat penjuru dan belasan -orang yang dipimpin Tio Cwan segera berlari-larian mendatangi.

Gak Lui memberi keterangan kepada mereka. Tio Cwan menghaturkan terima kasih lalu menghampiri pimpinannya. Ia sibuk menolongnya dengan memberi minum pil.

Beberapa saat kemudian, Tio Cwan dan anak.buahnya segera hendak mengangkut mereka.

„Hendak engkau bawa kemana?" tegur Siu-mey.

Ke markas Tin-ciu!"

Berapa lama perjalanannya?"

„Kira2 tiga hari."

Kurasa tak sempat lagi, tentu terlambat! "

Maksud nona ....."

„Jika obat yang kalian berikan itu benar2 manjur, luka mereka tentu agak baik. Tetapi jelas warna kulit mereka masih tetap merah gelap dan darahnya masih bergolak keras. Tentu hanya dapat hidup 3 hari saja!"

Tio Cwan tersadar. Ia menghela napas: „0bat itu adalah obat Pemunah racun buatan, partai kami. Jika tak dapat menyembuhkan, terpaksa harus ke tempat manapun, kita jalani ...." habis berkata anak murid partai Gelandangan itu terkulai duduk di tanah. Beberapa airmata menitik turun dari pelapuknya....." Mendengar ucapan yang penuh keputus asaan dari Tio Cwan itu, Gak Lui maju dua langkah, seru-nya: „Aku mempunyai sebuah daya, tetapi entah"

„Silahkan siau-hiap mengatakan! " cepat2 Tio Cwan menyanggupi.

„Tadi ketika bertempur dengan Pengemis Celandangan, kuperhatikan setiap kali mereka menerjang, kawanan lalat beracun itu tentu menyingkir. Tentulah binatang2 itu takut akan bau yang berlumur pada tubuh pengemis itu. Tentu dilumuni dengan obat ......"

„Benar....!" tiba2 Siu-mey berseru, „mereka tentu mempunyai obat penawarnya. Engkoh Lui, lekaslah engkau periksa tubuh mayat mereka!"

Gak Lui segera menghampiri tiga mayat pengemis. Setelah menggeledah dengan teliti, ia berhasil mendapat dua botol obat bubuk pada setiap kantong mereka.

IA SERAHKAN botol itu kepada Siu mey. Setelah membauinya, nona itu menerangkan: „Botol yang ini memang berisi dengan bau secerti tubuh mereka. Tetapi yang botol ini tidak sama. Mungkin obat untuk makanan lalat itu. Yang ke-satu itu tentulah obat penawar. Tetapi aku belum yakin benar. Lebih baik kalian sendiri yang memutuskan."

Setelah menimang beberapa saat, berkatalah Tio Cwan : „Dalam hal ini, akulah yang bertanggungjawab sepenuhnya. Silahkan nona mengobatinya. Selain itu . . . . memang sudah tiada harapan lagi !"

Siu-mey pun tak mau bersangsi lagi. Ia segera meminumkan obat itu kepada anak buah partai Gelandangan. Dengan penuh ketegangan sekalian orang menunggu perkembangannya.

Beberapa saat kemudian, luka mereka malah membengkak besar dan berwarna hijau gelap seperti warna lalat itu. Dari lubang lukapun darah makin memancur deras.

Sudah tentu Tio Cwan dan kawan-kawannya makin gelisah sekali. Bahkan Gak Lui sendiripun.

Juga tak tahan lagi dan berteriak: „Celaka ...!"

Tetapi Siu-mey tenang2 saja menerangkan : „Harap jangan gelisah! Setelah darah kotor itu mengalir habis, tentu darah bersih yang mancur. Dan saat itu luka mereka sembuh. Silahkan saudara2 tunggu saja.

Dengan mata tak berkedip, sekalian anakbuah partai Gelandangan itupun mengawasi perkembangannya dengan lekat.

„Darah segar...! Darah segar....!" tiba2 Tio Cwan berteriak girang. Dan beberapa saat kemudian, luka merekapun mulai susut dan mulut mulai mengerang.

Atas permintaan Siu-mey, Gak Lui segera mengurut tubuh mereka. Begitupun Tio Cwan juga segera menolong kawan-kawannya yang terluka.

Pada saat membuka mata, pemimpin partai. Gelandangan itu terkesiap melihat topeng muka Gak Lui dan makin timbul curiganya ketika melihat punggung pemuda itu menyanggul pedang pusaka Pelangi.

Gak Lui juga heran melihat sikap orang itu. Tetapi belum sempat ia, membuka mulut, Tio Cwan sudah menghampiri pemimpinnya dan kemudian meberi salam. Kemudian ia menuturkan tentang pertolongan yang dilakukan Gak Lui kepada pemimpin dan anakbuah partai Gelandangan.

Sambil berbangkit, pemimpin partai Gelandangan itu segera menghaturkan terima kasih kepada Gak Lui.

Setelah menerangkan tentang Pengemis Ganas yang melarikan diri, Gak Lui menanyakan nama jago pedang itu"

„Aku Raja sungai Cek-kiang Gan Ka-lin." „Oh..., kalau begitu pemimpin partai itu......" „Adikku Raja sungai Tiang-kang Gan Ka-ik!" Entah apa sehabnya dalam pertempuran dengan partai Pengemis ini, Gan pangcu tak mau datang sendiri?"

„Adikku karena mendengar berita bahwa Kaisar Persilatan Li Liong-ci muncul di daerah Tionggoan maka ia pergi mencarinya. Tak terduga selagi adikku pergi itu, Partai Pengemis telah menggunakan kesempatan untuk menantang pertempuran ini."

„Jika dia ada?"

„Pengemis Ganas dan gerombolannya itu tentu tak berani menantang!"

„Kalau begitu, ketua partai paman itu jauh lebih hebat dari paman sendiri? "

Merah wajah Raja-sungai-Cek-kiang, sahutnya: „Dia pernah ikut belajar ilmusilat dan pedang pada Kaisar Persilatan. Dibanding dengan kepandaianku .... hh, jauh lebih kuat!"

„Oh ...," Gak Lui mendengus heran. Diam2 la ingin berkenalan dengan ketua Partai Gelandangan yang semula diduganya orang tua itu tetapi ternyata adiknya.

„Siau-hiap, maaf sebelumnya. Ada sebuah hal yang tak dapat kusembunyikan kepadamu ..."

„Soal apa? " Gak Lui heran.

„Partai kami mempunyai hubungan rapat dedgan partai Heng-san-pay. Mereka memberitahu bahwa siau-hiap pernah memapas kutung pedang seorang muridnya dan melukainya. Dan lagi .... "

„Mengatakan kalau diriku ini seorang anggauta gerombolan Topeng Besi yang menjadi kaki tangan Maharaja Persilatan, bukan?"

„Siau-hiap menerka tepat, " kata Gan Ka-lin, „untuk soal itulah maka Heng-san-pay telah mengirim beberapa anakmuridnya yang tangguh untuk mencarimu! "

„Kudengar keterangan Se Bun Sianseng. Bahwa setiap partai persilatan telah menerima surat dari masing2 murid yang telah lenyap jejaknya itu. Minta agar ketua partai persilatan yang sekarang ini mengundurkan diri. Diantara partai yang menerima surat semacam itu, termasuk Heng-san-pay juga. Nah, mengapa mereka tak mengurus soal itu dulu tetapi malah mengurus soal lain yang lebih tak penting?"

„Hal itu disebabkan karena gerak gerik Maharaja itu sukar diketahui jejaknya. Sampai sekarang tiada sebuah partai persilatan yang berhasil menyelidikinya. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk menjadikan siau-hiap sebagai kunci petunjuk penS•elidikan itu! "     '               . .

Gak Lui menghela napas, ujarnya:. „ Menilik g~ela.gatnya, prtai2 Nersila1an itu niasih memberat kan aoal gengsi saja. Dalam soal menyelidiki jeiak Maharija,:terpaksa aku harus berusaha sendiri ..."

„Apakah siau-hiap juga mempunyai dendam .permusuhan kepadanya?"

„Dendam itu sedalam lautan. Aku tak mau hidup, bersama dia di bawah sinar matahari!"

„Kalau begitu kenyataannya, segera akan kukirim berita itu kepada Heng-san-pay. Tetapi apabila di tengah2 jalan siau-hiap berjumpa dengan tokoh2 persilatan, atau mungkin dengan ketua partai kami, harap siau-hiap suka bersabar dan mengalah sedikit. Agar jangan menimbulkan salah faham yang lebih dalam."

„Aku bukan orang yang tak kenal aturan. Harap Gan tianglo jangan kuatir. Kurasa kalian perlu beristirahat maka akupun hendak minta diri."

Tetapi Gan Ka-lin cepat maju memberi hprmat •„Budi pertolongan -siau-hiap kepada kami, menyesal kami tak dapat membalas. Tetapi apabila siau-hiap memerlukan bantuan tenaga, aku tentu siap sedia !"

Mendadak timbullah suatu pikiran dalam benak Gak Lui, tanyanya : „Aku masih mohon sedikit soal."

„Silahkan...!"

„Kurasa Gan tianglo luas pengetahuan dan banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Apakah Gan tianglo tahu siapakah ahli pembuat pedang yang ternama?"

Mata Gan Ka-lin beralih memandang pedang Pelangi yang di.bawa Gak Lui. Tanyanya: „Apa siau-hiap hendak merobah bentuk pedang pendek siau-hiap ?"

„Benar," sahut Gak Lui, „tetapi agaknya Gan tianglo tahu pedangku, ini !"

Dengan wajah berseri berserulah Gan Ka-lin.: „Memang aku kenal sekali akan pedang siau-hiap. itu !"

„Oh ... , " Gak Lui mendesis.

„Pedang itu adalah pusaka milik Bu-tong-pay. Empatpuluh tahun yang silam. Empat Ksatrya dari Empat Durjana telah bertempur di Lembah Jiwa-tenteram untuk memperebutkan buah Ban-lian-leng-ci. Pedang itu telah dipatahkan oleh ke Empat Ksatrya itu. Kemudian jatuh di tangan Kaisar-persilatan Li Liong-ci dan terjadi pula persekutuan Bu tong-pay dengan tujuh partai persilatan besar. Hal itu sangat menggemparkan dunia persilatan. Oleh karena partai kami mempunyai hubungan erat dengan Kaisar persilatan Li Liong-ci, maka akupun dapat mengenali pedang itu. Hanya...."

„Mengapa ?"

„Kaisar mengembalikan pedang itu kepada Bu-tong-pay. Sejak saat itu timbullah sebuah kepercayaan."

„Kepercayaan apa?"

„Bahwa sekali pedang itu muncul, dunia persilatan tentu akan timbul pembunuhan berdarah !"

„Oh...," Gak Lui mendesah, lalu berkata dengan nada serius: „Pedang itu diserahkan kepada-ku karena Ceng Ki totiang minta tolong aku. Dengan pesan bahwa pedang ini hanya boleh digunakan untuk membunuh orang jahat saja. Tak nanti membunuh orang yang tak berdosa."

Raja-sungai-Ce-kiang mengangguk: „KudGakan engkau akan dapat mengikuti jejak Kaisar Persilatan, mencapai: tataran ilmusilat yang tinggi dan membasmi kaum jahat! "

Gak Lui menghaturkan terima kasih lalu mendesak supaya orang tua itu segera memberitahukan nama dari ahli pembuat pedang yang ternama itu.

Setelah merenung beberapa jenak, berkatalah Raja-sungai-Ce-kiang Gan Ka-lin: „Yang kuketahui hanyalah seorang Bok Kiam-su. Seorang ahli pembuat pedang yang boleh dikata tiada bandingannya di dunia persdatan... Tetapi entah bagaimana sejak 18 tahun yang lalu, dia sengaja. menjadi orang bisu tuli, tak mau membuat pedang lagi!"

„Kalau begitu berarti tiada harapan? " kata Gak Lui. Tetapi sesaat kemudian ia menimang-nimang: „Mengapa orang she Bok itu pura2 menjadi orang bisu tuli? Dan mengapa justeru 18 tahun lamanya? Adakah dia mempunyai hubungan dengan persoalan balas dendam yang hendak kulakukan ini?

„Maka bertanyalah ia kepada Raja-sungai Gan Ka-lin: „Apakah sebabnya ia pura2 menjadi orang bisu tuli?"

„Hmmm....., entah apa sebabnya. Tetapi jika engkau benar2 hendak mencarinya, aku mempunyai cara...!"

Setelah Gak Lui menyatakan bahwa ia tetap akan mencari ahli pembuat pedang itu maka Gan Ka-lin segera memberitahukan caranya: „Pertama kali, beritahukan kepadanya bahwa akulah yang mengenalkan. padamu. Jika dia tetap tak mengacuhkan, panggil saja namanya Bok Tiat-san. Namanya yang aseli itu hanya kami berdua saudara yang tahu. Dan nama itu merupakan suatu tanda rahasia (kode) Tak mungkin dia tak menghiraukan lagi."

„Kalau dia tetap menolak""         .

„Kukira tidak." jawab Gan Kan-lin, „karena didunia ini terdapat dua orang yang benar2 mencintai pedang. Yang seorang adalah si pemakai. Dan yang seorang si pembuat pedang. Apalagi pedang Pelangi yang engkau bawa itu, memang sebuah pusaka dunia persilatan"


Gak Lui menghaturkan terima kasih dan setelah menanyakan letak tempat orang she Bok itu, ia segera ajak Siu-mey lanjutkan perjalanan.

Sejak mempelajari ilmu meringankan tubuh Angin-meniup-seribu-li, lari Gak Lui makin pesat sekali. Menurut tingkat dunia persilatan dia sudah melebihi seorang jago kelas satu.

Untunglah karena Siu-mey memiliki ilmu tenaga-dalam yang luar biasa, maka iapun dapat mengikuti kekasihnya. Apabila pada saat Gak Lui lupa dan secara tak sadar mempercepat larinya, Siu-mey tetap dapat membaui jejaknya dan menyusul.

Demikianlah selama dalam perjalanan merelra tak menemui suatu halangan dan beberapa hari kemudian tibalah mereka ketempat yang dituju.

Diatas gunung itu hanya terdapat sebuah rumah kayu. Dihalaman rumah itu terdapat sebuah perapisn besi dan penempaan serta beberapa alat untuk membuat pedang. Tetapi benda serta alat2 itu sudah tertutup debu dan berkarat. Menandakan kalau sudah beberapa tahun tak digunakan.

Saat itu orang tua yang rambut dan jenggotnya sudah putih, sedang duduk , diserambi sambil memandang kearah awan yang ber-arak di langit. Rupanya dia tak tahu akan kedatangan Gak Lui bersama Siu-mey.

„Mohon tanya, adakah paman ini yang bernama Bok Kiam-su?" tegur Gak Lui.

Orang tua itu diam saja.

„Hm, pura2 menjadi orang bisu tuli, tentu benar dia," pikir Gak Lui. la segera memberi hormat: „Aku Gak Lui, atas perantara Raja-sungai Ce-kiang sengaja mengbadap Bok Tiat-san ciapwe kemari ....."

Sengaja Gak Lui menekan kata Tiat-san dengan nada keras dan nyaring.

Orang itu cepat berpaling muka dan menjawab dingin: „Kalau pulang, tolong sampaikan salamku kepada kedua saudara Gan itu Tentang urusan pedang, harap jangan dibicarakanl"

---oo0oo---

BAB 12 : HENG SAN PAY

DIAM DIAM GAK LUI GELI. Segera ia melolos pedang Pelangi. Ditimpah oleh sinar matahari, pedang yang hanya dua inci panjangnya itu, memancarkan sinar hijau bening. Lebih jernih dari air telaga.

Mata Bok Kiam-su ber-kilat tak berkedip memandang pedang itu.

Tetapi wajahnya tetap mengerut dingin.

Baik Gak Lui manpun orang she Bok itu sama2 diam tak bicara. Mereka menunggu , dan menunggu. Bocah apa yang ditunggu.......

Setengah jam kemudian, Siu-mey tak sabar lagi. Hidungnya mulai mengembang kempis. Tetapi Bok Kiam-su tetap mematung. Rambutnya ber-derai2 tertiup angin. Matanya sebentar memejam dan merentang sambil meoggigit gigi kencang2.

Gak Lui kicdpkan ekor mata lalu menggaedeng tangan Siu•mey terus diajak pergi.

„Engkau menang!" tiba2 Bok Kiam-su menjerit tegang.

Gak Lui dan Siu-mey berhenti dan berpaling. Wajah kedua anakmuda itu berseru tawa.

Jenggot putih dari Bok Kiam-su menjungkat naik dan mukanya menenggadah ke langit seraya tertawa nyaring: „Silahkan kalian berdua duduk di dalam pondokku. Tadi aku kurang menghormat kedatangan kalian."

Gak Luipun mengucapkan kata2 merendah dan minta maaf karena mengganggu orangtua itu.

Ketika duduk di dalam ruangan, ternyata perbot rumah amat sederhana sekali. Sunyi senyap tiada lain penghuninya lagi.

Sebagai seorang anak perempuan, Siu-mey berseru heran: „Paman, engkau sudah begini tua masakan hanya hidup seorang diri?"

Dengan hati bersyukur, Bok Kiam-su gelengkan kepala: „Disinilah tempatku dahulu menempa pedang. Anak-anakku tinggal di desa. Aku hanya mempunyai dua orang murid. Tetapi merekapun tak tinggal di sini."

„Di mana?"

„Kedua muridku itu berganti haluan menjadi pemburu. Tinggal tak jauh dari sini. Setiap hari mereka yang mengantar makanan untukku!"

Mendengar penuturan tuan rumah dan cara hidupnya, yang tak mau campur gaul dengan orang itu, Gak Lui tergerak hatinya hendak bertanya. Tetapi belum ia membuka mulut, tuanrumah sudah mendahului bicara lagi.

„Bolehkah kupinjam sebentar pedang Pelangi saudara itu?" kata tuanrumah.

„Adalah untuk pedang ini maka aku sengaja berkunjung ke mari untuk meminta petunjuk," sambil berkata Gak Lui melolos pedang Pelangi dan dengan kedua tangann ia serahkan kepada Bok Kiam-su.

„Pedang bagus...! Sungguh bagus...!" 'tak'henti2-nya orangtua itu memuji seraya mengusap batang pedang Pelangi. Tiba2 ia menghela napas: „Sayang pedang ini kutung separoh : „Apakah paman dapat membuatnya baru lagi ?

„Aku?"

„Aku bersedia membayar" dengan batu mustika yang mahal. Kalau perlu lain barang lagi, silahkan mengatakan."

Bok Kiam-su menghela-napas dalam, ujarnya: „Seumnr hidupku kuabdikan diri pada ilmu pembuatan pedang. Pedang pusaka yang tiada keduanya di dunia itu, jangankan aku disuruh membuat, sedang untuk melihat saja, darahku sudah bergolak keras, hatiku seperti dikili-kili

„Kalau begitu paman meluluskan?"

„Sayang aku tak dapat meluluskan!"

„Mengapa?"

Hal ini .....leblh baik aka .•: : *alc hilan8." Teringat Gak_ Lui akan kelakuan aneh dari orangtua yang telah menyembunyikan diri dan bertapa membisu selama 18 tahun. Diam2 timbullah kecurigaannya. Tetapi demi melihat wajah tuanrumah yang rawan dan rambut serta jenggotnya yang sudah putih semua itu, Gak Lui tak enak untuk mendesak.

Tiba2 Siu-mey mengambil segenggam permata, diletakkan di hadapan orangtua itu: „Paman, sedikit Pemberian yang tak berarti ini harap paman terima, Kami memerlukan pedang itu untuk melakukan balas dendam. Kecuali paman rasanya dada lain orang yang mampu.

„Nona mempunyai dendam apa?"

„Ayahku telah hilang pada l8 tahuh yang lalu.

Dan ibuku karena sakit memikirkannya, pun meninggal. Sekarang aku ikut pada engkoh Lui mencari ayah .... aku minta dia melindungi diriku dan dia memerlukan pedang ...:"

„Bagaimana dengan saudara sendiri?" tanya Bok Kiam-su kepada Gak Lui.

„Akupun juga mempunyai dendam sedalam lautan. Dihitung-hitung sampai hari ini, peristiwa itupun sudah berlangsung 18 tahun lamanya!"

„Oh...!" Bok Kiam-su tendesuh. Sepasang alisnya mengerut tegang.

„Jarak waktu itu kebetuian sekali sama de• ngsa tindakan paman menghentikan pekerjaan membuat pedang itu !" kata Gak Lui pula.

„Kalau..... begitu silahkan saudara mengatakan asal-usul perguruan mu!"

„Aku sudah mengucap ikrar maka tak dapat mengatakan hal itu.

„Kalau begitu, maka akupun tak dapat membantu !" kata tuan rumah.

„Ah..., mengapa paman........ " baru Siu-may berkata begitu, orangtua itu sudah menukasnya: „Aku sudah mengucapkan sumpah dan sebagai jaminan adalah jiwa keluargaku. Untuk selama-lamanya aku takkan membuat pedang lagi !"

„Jiwa seluruh keluarga ?"

„ya...!"

„Kepada siapakah paman mengucapkan sumpah itu ? Mengapa begitu berat ?"

Tampak Bok Kiam-su meragu.

„Adik Mey, karena paman Bok mempunyai keberatan, janganlah engkau kelewat mendesaknya," buru2 Gak Lui mencegah Siu-mey.

„Gak siau-hiap," kata Bok Kiam-su, „tadi engkau mengatakan bahwa waktu 18 tahun itu ternyata suatu, waktu yang kebetulan sekali. Apakah maksudmu ? Apakah dalam dunia persilatan telah terjadi sesuatu ?"

„Apakah pawan tak mendengar tentang sepak terjang seorang tokoh persilatan yang menamakan dirinya sebagai Maharaja dan berusaha hendak menghancurkan kaum Ceng-pay ?"

„Sudah belasan tahun aku tak campur urusan dunia luar. Harap engkau suka menuturkan!"

„Gak Lui segera menceritakan rencana sepak terjang Maharaja yang mengganas tokoh2 persilatan golongan Ceng-pay : Maharaja itu hendak berusaha menguasai dunia persilatan!"

Mendengar dunia persilatan sedang dilanda malapetaka banjir darah, gemetarlah tubuh, orang tua itu.

„Apakah engkau pernah melihat bagaima wujud si Maharaja itu?" tanyanya.

„Dalam dunia ...persilatan tiada seorangpun yang pernah melihatnya!"

„Apakah tak: punya ciri2 pengenal?"

Dalam pengertian Gak Lui yang disebut Maharaja itu tentulah si Hidung Gerumpung. Maka menyahutlah ia: „Kurasa dia mempunyai dua buah ciri"

„Bagaimana?" Bok Kiam-su mendesak tegang.

„Pertama, hidungnya...... hilang terpapas pedang!"

„Hmm....." mata Bok Kiam-su berkicup-kicup seperti menggali ingatan akan seseorang.

„Kedua, pada pedangnya terdapat tanda Palang"

„Oh .....!"

Bok Kiam-su berteriak kaget.

Tubuhnya menggigil keras: „Kiranya dia..... !"

„Siapa?"

Bok Kiam-su menarik napas beberapa kali, mengertak gigi berkata : „Mengapa panjang cerita nya. Tetapi pokoknya, karena hal itulah maka aku sampai tak membuat pedang dan bertapa bisu! !"

„Dapatkah paman menceritakan dengan jelas?"

„Delapan belas tahun yang lalu, dataanglah kepadaku seorang lelaki berkerudung muka. Dengan upah 10 tail mas, ia minta padaku supaya membikin betul pedangnya!"

„Bukankah pedangnya terdapat tanda Palang?" tukas Gak Lui.

„Benar! Menurut pengetahuanku, tanda itu merupakan bekas cacad karena digurat oleh ujung pedang seorang tokoh sakti !"

Apakah paman menanyai namanya?"

„Tidak"

„Wajahnya ?"

„Tak kelihatan jelas. Tetapi berani kupastikan dia tak mempunyai hidung!"

„Bagaimana dapat memastikan?"

„Seorang yang tak berhidung, jika bicara tentu sumbang suaranya. Tetapi dia tak begitu maka kupastikan tentu tak cacad hidungnya !"

„Lalu mengapa paman mengangkat sumpah diatas jaminan seluruh keluarga paman ?"

„Setelah kubikin betul pedangnya, tiba-tiba kulihat wajah orang itu memancar sinar pembunuhan. Jelas dia mengandung maksud untuk membunuhku agar rahasianya tertutup

„Demi keselamatan keluargaku, terpaksa tanpa : diminta aku segera mengikrarkan sumpah itu. "

„Apakah dia menerimanya?"

„Ah, mana begitu mudah"

„Lalu dengan cara bagaimana pamairi dapat menghalaunya pergi?"

„Kuperingatkan kepadanya bahwa aku.lah satu2nya ahli pembuat pedang yang tiada tandingannya di dunia persilatan. Jika lain, kali terjadi peristiwa semacam itu, bukankah dia tak dapat mencari aku lagi?"

Mendengar uraian itu, timbullah kecurigaan Gak Lui. Ahli pembuat pedang itu mengatakan bahwa tetamunya berkerudung muka itu datang pada musim dingin. Tetapi tempo hari ayah-angkat Gak Lui yakni Pedang Aneh telah dicelakai orang sebelum musim dingin, Jika tetamu aneh itu benar yang mencelakai Pedang Aneh, tentulah dia seorang yang tak mempunyai hidung.

Tetapi menurut keterangan Bok Kiam-su, orang itu masih utuh hidungnya.

Ah, apakah pembunuh itu telah menyuruh lain orang untuk mendatangi Bok Kiam-su?

Tidak Pembunuh itu seorang manusia julig yani banyak curiga. Tentu dia tak mau membocorkan rahasia dirinya kepada orang lain. Demikian benak Gak Lui membayangkan segala kemungkinan pada diri musuh yang misterius itu. Tetapi analisanya, belum menemui jawaban.

Meiihat pemuda itu termenung diam, ahli pembuat pedang itu segera berdiri: „Gak siau-hiap, kini barulah aku menyesal atas tindakanku dahulu. Karena mengingat kepentingan peribadi 'maka aku sampai menutup peristiwa ini. Sekarang sekalipun harus mempertaruhkan jiwa keluargaku tetapi aku tetap akan membuat pedang untukmu."

„Tetapi aku tak jadi membuatkaa!"

„Mengapa?"

„Aku tak mau mengorbankan keluarga paman!"

„Tetapi kuharapkan engkau dapat membasmi kejahatan dan kedua kalinya engkau harus ingat. Kecuali aku, tiada lain orang yang mampumem buat pedang itu! "

Tetapi dengan tegas Gak Lui menolak: „Tak peduli paman mengemukakan alasan apapun juga, tetapi aku tetap tak mau membuatkan pada paman!

Habis' berkata tiba2 ia gunakan tenaga isap dari pukulan sakti Algojo-dunia, menyedot kembali pedang Pelangi ditangan Bok Kiam-su.

Orangtua itu hendak mencekal kencang pedang Pelangi tetapi sudah terlambat. Pedang itu molayang ketangan Gak Lui lagi.

„Siau-hiap, mengapa engkau berkeras begitu .... : " teriak Bok Kiam-su gugup.

„Putusanku sudah tetap, terima kasih atas kesediaan paman!" sahut Gak Lui.

„Apakah engkau hendak melewatkan kesempatan satu satunya ini?"

„Kurasa dalam dunia yang begini luas, tentu masih ada lain orang yang dapat membuatkan pedang itu. Kalau tidak biarlah kesempatan ini hilang!"

Tergerak hati Bok Kiam-su atas keluhuran budi pemuda itu. Setelah termenung sesaat, tiba-tiba ia bertepuk tangan „Ada...! Ada....!"

„Ada apa?"

„Aku teringat akan seorang ahli lain!"

„Siapa?"

„Dia adalah tokoh persilatan ternama Pukulan sakti Tek Thay!"

„Bagaimana keahliannya?"

„Tidak kalah dengan aku !"

„Dimana tempat tinggal Tek lo-cianpwe itu?"

„Kabarnya bersembunyi digunung Pek-wan-san.

Baru tuan rumah mengucap begitu, tiba2 dari luar rumah terdengar derap kaki belasan orang mengepung rumah itu. Menyusul terdengar suara orang membentak marah: „Gak Lui, hayo keluar!"

Gak Lui terkejut dan cepat melesat keluar.

Dilihatnya seorang paderi tua bertubuh gemuk tegak berdiri di tengah halaman.

Di sampingnya terdapat dua orang paderi pertengahan umur.

Sedang di sekeliling rumah Bok Kiam-su, telah dikepung ketat oleh belasan paderi dengan senjata terhunus.

„GAK LUI maju tiga langkah, berseru nyaring: „Siapakah gelaran dari kuil-taysu? "

„Aku Hwat Hong ketua perguruan Heng-san-pay .......... ,"

„Oh..., kiranya Hwat Hong taysu, maaf.... aku berlaku kurang hormat: „Gak Lui memberi hormat. Suatu hal yang membuat paderi ketua Heng-san-pay itu terkesiap karena tak menduga hal itu.

Mohon tanya, apakah keperluan taysu mencari aku? " tanya Gak Lui pula.

„ Engkau telah memapas kutung pedang dari Tio-lam-san, seorang murid Heng san-pay dan dua kali melukainya. Bukankah engkau hendak menantang Heng-san-pay?"

„Soal memapas pedang, untuk saat ini belum dapat kuterangkan alasannya. Sedang mengenai pertempuran dalam paseban tempat arwah Heng-san, sama sekali tak kuduga akan terjadi begitu. Sedikitpun aku tak mengandung maksud memandang rendah Heng-san-pay!"

„Heh..., heh..., heh..., ". Hwat Hong taysu mengekeh marah. Sepasang matanya ber -kilat2 bengis, „sungguh tajam benar...mulutmu! Diam2 kalian berani mengirim surat kaleng untuk memaksa Heng-san-pay supaya mencopot ketuanya yang sekarang. Masakan masih berani-mengatakan tidak memandang rendah Heng-san-pay! "

„Taysu keliru ..... "

„Keliru? "

„Yang menyuruh taysu diganti itu adalah anak buah Maharaja Persilatan. Sama sekali tak ada hubungannya dengan diriku !"

„Tutup mulut! Jelas engkau ini anggauta gerombolan Topeng Besi, masakan masih berani menyangkal!" bentak Hwat Hong taysu.

Diam2 Gak Lui mengeluh „Celaka! Dia belum menerima surat si Raja-sungai-Ce-kiang. Aneh, mengapa dia dapat mencari ke sini ?"

„Taysu," katanya, „apakah engkau belum menerima surat dari partai Gelandangan ?"

„Sudah tentu menerimanya. Kalau tidak masakan kami dapat mengejar kemari !"

„Lalu mengapa taysu masih salah faham? Hwat Hong taysu melangkah maju dua tindak, katanya dengan bengis : „Surat Raja sungaiCe-kiang itu mengatakan jelas bahwa engkau ini memang kaki tangan Maharaja!"

„Hai ...!" Gak Lui tergetar hatinya.

Ia percaya Raja-sungai-Ce-kiang itu bukan manusia rendah.

Tetapi mengapa menulis surat semacam itu ?

Gak Lui benar2 tak mengerti !

Melihat sikap pemuda itu gelisah, Hwat Hong taysu berteriak : „Gak Hui, Kak Hoan siaplah menerima perintah ........ "

„Tunggu dulu !" cepat Gak Lui mencegah kedua paderi pertengahan umur yang hendak menyerangnya, „dalam soal itu terdapat tipu muslihatnya !"

„Yang menggunakan tipu muslihat adalah engkau sendiri, budak hina!"

Gak Lui kerutkan dahi dan menyahut dingin: „Jangan terburu mengeluarkan emosi, taysu ! Sebelum tangan berbicara, baiklah mulut dulu yang berbicara. Agar janganlah sampai kawan menjadi lawan, lawanlah yang akan tertawa gembira !"

Hwat Hong taysu menghela napas dan merenung beberapa jenak. Pada lain saat ia berkata: „Karena kamu tak mau berkelahi, mungkin mempunyai alasan. Sebagai penganut Agama Buddha yang menjunjung budi asih, bukanlah menjadi tujuanku untuk membunuh        "

„Ah...., taysu benar2 berpandangan dalam: „Tetapi ada sebuah syarat!"

„Silahkan mengatakan."

„Engkau harus ikut aku ke dalam kuil kami di Heng-san !"

„Keperluan ?"

„Tinggal dulu dalam kuil. Setelah Maharaja dan gerombolannya terbasmi, barulah kami pertimbangkan dirimu !"

Sudah sejak semula Gak Lui menekan perasaannya.

Tetapi sewaktu mendengar omongan besar dari paderi itu, meluaplah darahnya.

„Syarat taysu itu terlalu kelewatan !"

,,Engkau menolak ?" Hwat Hong menegas.

„Kenyataannya memang tak mungkin !"

„Ah, kiranya nyalimu kecil sehingga tak mau berkelahi !" Gak Lui menghela napas pelahan, serunya : „Taysu terlalu berkelebihan mencurigai orang. Terpaksa aku menentang!"

„0h...., Aku bukanlah manusia yang senang menindas orang. Asal eugkau mampu lolos dari ilmupedang Mi-to-kiam-hwat, urusan ini kuanggap selesai !"

Karena pembicaraan telah mencapai ketegangangan, suasanapun menjadi panas:

Tiba2 telinga Gak Lui terngiang suara dari Siu-mey yang menggunakan ilmu Menyusup suara: „Engkoh Lui, paman Bok meminta kalian cari tempat lain. Dan kalau bertempur cukup asal sudah kena tertutuk saja. Jangan sampai mengucurkan darah!"

Kuatir akan membuat kaget Bok Kiam-su dan Siu-mey dan menerima peringatan ahli pembuat pedang itu supaya jangan sampai melukai tokoh Heng san-pay, maka Gak Lui menatap Hwat Hong taysu.

Karena ilmu Menyusup suara yang digunakan Siu-mey itu bukan seperti ilmu. Menyusup suara, yang biasa terdapat dalam kalangan persilatan, maka Hwat Hong taysupun dapat menangkap pembicaraan Siu-mey tadi.

Memandang ke sekeliling penjuru, paderi itu menunjuk ke arah barat: „ Baik, mari kita ke lembah gunung itu!"

Setelah pasang kuda2, Gak Lui terus gunakan ilmu Meringankan tubuh, melesat ke lembah sebelah barat.

Melihat gerakan pemuda itu, diam2 terkejutlah Hwat Hong taysu. Rencananya untuk menyuruh beberapa anak buahnya turun tangan, dihapus seketika. Kemudian ia mengajak rombongannnya untuk menyusul Gak Lui.

Gak Lui memilih sebuah tempat yang datar dan menunggu dengan siap siaga. Tak lama Hwat Hong taysupun datang. Dengan pedang terhunus, ia berseru: „ Engkau yang menyerang dulu!"

„Lebih baik taysu dulu, silahkan!" sahut Gak Lui.

„Heh..., heh..., aku mengerti engkau memang mempunyai ilmu permainan yang luar biasa. Keluarkan saja seadanya! " seru Hwat Hong.

Gak Lui pelahan-lahan mulai merabah tangkai pedangnya. Belasan jago2 Heng-san-pay mengawasi gerak gerik pemuda itu dengan penuh perhatian.

Suasanapun hening2 tenang. Kecuali deru angin pegunungan, sekalipun ada sebatang jarum jatuh, tentu akan kedengaran.

„Tring . . . . !"

Bagaikan kilat menyambar, pedang Hwat Hong taysu segera menabur Gak Lui.

Melihat serangan yang begitu dahsyat serta cepat, diam2 Gak Lui terkesiap juga. Saat itu haru ia membuktikan bahwa ilmu pedang Mi-to-Kiam-hwat memang benar2 luar biasa.

Gak Lui tak berani berayal. Cepat ia menca-

but pedang dan menangkis. Terdengar dering yang tajam. Secepat pedang saling menyurut kebelakang, terus maju berhantam pula.

Hwat Hong taysu terkejut karena merasa kecele atas penilaiannya terhadap kepandaian Gak Lui. Maka timbullah tekadnya untuk mengadu jiwa dengan pemuda itu.

Begitulah keduanya segera saling kerahkan tenaga dalam.

Hwat Hong taysu dengan ilmu pedang Mi-to-kiam melancarkan serangan yang kedua kalinya, menusuk dada Gak Lui.

Serangan paderi itu didasari dengan tenagadalam yang kuat dan merupakan ilmupedang yang telah diyakinkan dengan susah payah selama ber-tahun2. Sambaran pedang yang berhawa dingin itu dapat menembus dada Gak Lui.

Tetapi kebalikannya Gak Lui malah gembira.

Ia mengharap lawan segera merapat maju agar ia dapat melancarkan pukulan Algojo Dunia jurus Memetik-bintang-menjolok-bulan untuk memukul jatuh pedang paderi itu              .

Seketika itu Hwat Hong rasakan pedangnya seperti melekat pada pedang lawan, sukar ditarik kembali. Tanpa banyak pikir lagi, ketua Hengsan-pay itu segera gerakkan tangan kiri menghaatam dengan pukulan Hi-mi-kang. Sebuah ilmu pukulan tenaga dalam aliran kuil.

Gak Luipun mengalami kesukaran. Ia rasakan tangan orang seberat besi sehingga pedangnya sukai dibawa berputar. Bahkan paderi itu

masih mampu mendesakkaa pedangnya maju. Suatu tenaga sakti yang belum dialami Gak Lui selama menghadapi ber-puluh2 lawan. Dan yang lebih hebat lagi, ketua Heng-san-pay itu masih mampu melancarkan pukulan tangan kiri kearah dadanya.

Terdengar letupan kecil ketika kedua tangana mereka beradu.

Pukulan maut Hwat Hong taysu dapat ditahan dengan ilmu tenaga-dalam penyedot oleh Gak Lui.

Ternyata kekuatannya berimbang.

Hwat Hong taysu makin kalap.

Dengan menggerung keras laksana seekor singa, ia menyerang dengan segenap tenaganya. Pedang dan tinju dilancarkan sederas hujan mencurah.

Gak Lui yang sudah dipesan Bok Kiam-su, tak mau bertempur mati2-an. Dengan tenang ia mewgganti ilmu pedangnya dengan jurus Cenderawasih-merentang-sayap.

Lingkaran sinar pedangnya mengembang sampai se tombak luasnya.

Sepintas pandang memang mirip dengan burung Cendrawasih yang sedang merentang sayap .......

Sesaat pecahlah suatu pertempuran dahsyat yang bermutu tinggi.

Debu berhamburan, daun2 berguguran karena dihambur deru angin kedua lawan, yang sedang bertempur sengit itu.

Cepat sekali dibawah sorot mata rombongan murid Heng-sain-pay yang tercengang-cengang cepat sekali pertempuran itu sudah mencapai 100 jurus.

Saat itu keduanya mulai lambat gerakannya. Wajah Hwat Hong merah padam, kepala mandi keringat, Sedang Gak Luipun berkembang kempis dadanya. Lingkaran pedangnyapun makin menyurut sempit.

Tetapi kedua-duanya mempunyai kesulitan untuk menarik diri. Hwat Hong taysu menjaga gengsinya sebagai seorang ketua Heng-san-pay. Disaksikan oleh anakmuridnya, ia malu kalau sampai kalah dengan seorang anak muda saja. Gak Lui memikirkan keselamatan Siu-mey dan Bok Kiamsu, terpaksa ia harus melayani serangan lawan.

Akhirnya pertempuran itu menjurus ke suatu pertempuran mengadu jiwa. Salah satu tentu akan mati atau paling tidak tentu terluka berat.

Dalam suatu kesempatan setelah dapat meng empos napas untuk mengerahkan tenaga-dalam, Hwat Hong taysu segera lancarkan serangan pedang dan pukulan. Serangan itu merupakan pengerahan tenaga-dalamnya yang terakhir.

Melihat itu Gak Luipun terpaksa menangkis dengan sekuat kemampuannya.

Bum ... letupan dan erang tertahan segera terdengar, disusul dengan dua sosok tubuh yang terhuyung-huyung mundur.

Huak ..., Hwat Hong taysu muntah darah

Karena dia cepat gunakan cara pinjam tenaga unk mengembalikan tenaga, lukanyapun agak ringan. Tetapi tak urung, darahnya meluap, mata kunang-kunang.

Ketua Heng-san-pay itu menggertak gig. Bulat sudah tekadnya untuk mengadu jiwa dengan anak muda itu. Kakinyapun mulai bergerak maju.

Pun saat itu Gak Lui benar2 naik darah. Sepasang matanya memancar sinar dendam. Ia lupa akan pesan Bok kiam-su tadi. Yang ada dihadapannya hanya seorang musuh yang harus dihancurkan.

Pada saat kedua fihak sedang dirasuk setan hendak melampiaskan kemarahannya, sekonyong-konyong dari arah puncak terdengar seruan meraung nyaring : „Berhenti !"

Setitik benda hitam meluncur dari arah puncak sebelah barat cepat sekali benda itu meluncur turun kearah tempat pertempuran.

Gak Lui terkejut ketika mengetahui bahwa benda hitam merupakan sesosok tubuh manusia. Hampir ia tak percaya bahwa orang itu melayang turun dari puncak ketinggian 300-an tombak. 0rang itu pasti hancur tulangnya.

Gak Lui tertegun...... Tetapi Hwat Hong taysu tak ambit peduli. Ia tetap hendak tumpahkan kemarahannya kepada Gak Lui. Sambil kepalkan tangan ia maju dua langkah.

CEPAT sekali sosok tubuh itu telah meluncur turun. Kira2 masih kurang 20-an tombak dari tanah, tiba2 orang itu mengembangkan sesosok payung sehingga luncur tubuhnya tertahan, Tak berapa lama iapun melayang tepat di tengah kedua prang yang sedang beftempur. , .               .

„Se Bun sianseng !" teriak Gak Lui ketika inelihat siapa pendatang itu.

Memang pertdatang itu bukan lain adalah Se Bun Giok, tokoh sakti dari gunung Kunlun. Tangannya mencekal sesosok payung besi. Dengan alat itulah tadi ia meluncur turun dari puncak yang tinggi. Dan saat itu ia putar payung besinya untuk menghentikan pertempuran.

Terpaksa Hwat Hong taysu menarik pulang tinjunya, serunya: „Se Bun, mengapa ..... engkau membantu ..... , sumpah dunia persilatan ini ..... "

Se Bun Giok hentikan gerakan payung lalu memberi salam: „ Uh, jarang sekali engkau marah begitu rupa, paderi"

„Lebik baik engkau menyingkirlah"

„Uh....., tak perlu berkelahi, engkau salah faham"

„Salah faham?" Hwat Hong taysu terkesiap.

„Engkau termakan tipu dari Maharaja yang menggunakan siasat pinjam golok membunuh orang agar sekali tepuk dua lalat!"

„Hai .... !" baik Hwat Hong taysu maupun Gak Lui berteriak seraya mundur selangkah.

Se Bun Giok tertawa nyaring: „Simpan dulu pedang kalian. Sambil beristirahat sambil dengarkan penjelasanku!"

Gak Lui cepat masukkan pedangnya ke dalam sarung. Tetapi Hwat Hong walaupun juga menyarungkan pedang tapi masih penasaran, serunya :

„Se Bun, kalau penjelasanmu itu beralasan, ya sudah. Tetapi kalau tidak, aku tentu masih ...."

„Peristiwa itu sungguh tak kusangka. Karena kebetulan aku menemukan mayat orang partai Gelandangan yang disuruh mengantar surat kepadamu, paderi. Dengan, begitu barulah kuketahui siasat mereka!"

„Pengantar surat itu mati?" Hwat Hong terkejut.

„Paderi, engkau telah ditipu orang! Pengantar surat dari partai Gelandangan yang sebenarnva, telah dibunuh orang. Dan yang mengantar surat kepadamu itu adalah anakbuah Maharaja yang menyaru "

„Kalau begitu surat yang kuterima itu juga surat palsu? " Hwat Hong menegas.

„Benar" sahut Se Bun Giok, „kebetulan aku telah berjumpa dengan Raja-sungai-Ce-kiang yang mengatakan bahwa Gak Lui telah menolong mereka dalam pertempuran dengan orang Kay-pang. Dan kini pemuda itu hendak mengunjungi Bok Kiam-su. Tokoh partai Gelandangan itu mengatakan pula bahwa ia telah menyuruh seorang muridnya untuk mengantar surat kepadamu agar jangan timbul salah faham."

„Entah bagaimana hatiku tak tenteram. Kukuatir pengantar surat itu akan tertimpa sesuatu. Maka aku segera menyusul kemari. Ah..., ternyata firasatku itu benar. Di dalam hutan kuketemukan mayat murid partai Gelandangan yang mengantar surat itu. Seketika itu gamblanglah pikiranku. Musuh tentu hendak menggunakan siasat adu domba agar- kalian bertempur sendiri. Untung aku cepat tiba pada saat yang tepat, kalau tidak ......." Gak Lui menghaturkan terima kasih atas bantuan tokoh dari gunung Kun-lun itu. Dan ternyata Hwat Hong taysu pun berlapang dada. Ia merasa telah khilaf maka segera ia minta maaf kepada Gak Lui.

Gak Luipun menghaturkan maaf karena telah berlaku kurang hormat kepada ketua Hengsan-pay itu.

Setelah keduanya saling memaafkan, maka berkatalah Se Bun Giok : „Paderi, ilmu pukulan sakti dari partai Heng-san-pay yang disebut Hi-mi-kang-kia termasyhur di seluruh dunia. Tetapi mengapa tadi engkau menggunakaa pedang? Sungguh aneh !"

„Seorang gerombolatl Maharaja ita menggunakan : senjata pedang. Muka mereka ditutup kain kerudung dan kedok. Merekapun dapat menggunakan ilmupedang partai Heng-san-pay yakni Mi-to-kiam-hwat. Maka terpaksa aku harus berhati-hati!" kata Hwat Hong.

Se Bun Giok tertawa meloroh: „Oh..., kiranya begitu! Tak heran kalau paderi tua juga main pedang"

Hwat Hong taysu tertawa juga: Sesaat ia menghela napas: „Ah..., . jangan bergurau Se Bun! Berhadapan dengan lawan yang seimbang kepandaiannya, pedang tentu lebih unggul dari tinju! Punja ... engkau sendiri juga begitu. Walaupua tenaga-sakti Sian-ing-ki-kang dari Kun-lun-pay itu sudah tersohor didunia persilatan, tetapi engkau toh tetap membawa payung besi dan kipas tembaga masih ditambah dengan sebuah kantong asap.

Bukankah kalau dibanding dengan aku yang membawa sebatang pedang, engkau lebih banyak tiga kali lipat?"

„Eh...., paderi tua, apakah engkau tak tahu bahwa barang itu memang alat yang kupakai se-hari2"

„Jangan membual Siapa mau menerima salah satu dari barang2 itu? Menikmati sedikit saja, orang tentu sudah lari ter-birit2!". .

Mendengar pembicaraan itu tiba2 Gak Lui teringat sesuatu.

Cepat ia bertanya kepada Hwat Hong: „Taysu, kali ini' Heng-san-pay turun gunung membekal pedang, tentulah mempunyai lain sebab!"

„Maksud Gak sicu ..... ?"

„Tadi taysu mengatakam anakbuah Maharaja juga menggunakan pedang. Entah berapakah jumlah mereka yang mahir menggunakan pedang itu?"

„Murid Maharaja yang ahli dalam tenaga-dalam dan tenaga luar, amat banyak jumlahnya!"

„Taysu mengatakan pula bahwa melawan 0rang yang berimbang kepandaiannya, menggunakan pedang lebih unggul dari pukulan. Dalam kata2 taysu tadi, agaknya masih ada kelanjutannya yang taysu belum menyelesaikan seluruhnya."

„Ini...."

„Berdasar ucapan taysu tadi, aku berani memastikan bahwa dalam kalangan murid Maharaja tentu terdapat seorang tokoh yang selain mahir menggunakan pedang, pun dia sudah beberapa tahun meninggalkan Heng-san. Oleh karena itulah maka taysu selalu membekal pedang agar dapat menghadapinya apabila bertemu orang itu."

„Sicu menduga tepat!" sahut Hwat Hong.

„Siapakah orang itu? Dapatkah taysu memberitahu kepadaku?".

„Hm .. karena sudah sampai keadaan begini, tak perlulah kiranya untuk menutupi rahasia itu. Yang sudah ber-tahun2 meninggalkan perguruan Heng-san-pay itu, bukan lain adalah suhengku sendiri yani Hwat Gong taysu!"

„Bagaimana ilmu kepandaiannya?".

„Dahulu dia menjabat sebagai pimpinan kuil sedang aku hanya sebagai Ti-khek ( penyambut tetamu ): Kepandaiaonya tiga kali lebih unEgul dari aku."           .               .

Kali ini yang mengirim surat supaya taysu mengundurkan 'diri sebagai ketua, tentulah dial".

„Benar, sungguh suatu peristiwa              yang menyedihkan hati bahwa suhengku sampai hati untuk hianati perguruannya !" kata Hwat Hong sambil menghela napas rawan.

Memang dalam kalangan perguruan atau partai persilatan, sudah wajar kalau terjadi perebutan kedudukan. Tetapi Heng-san-pay mengalami peristiwa perebutan itu secara aneh. Karena yang menghalangi adalah orang luar, yalah Maharaja. Dan tokoh itu mempunyai maksud untuk menaruh orangnya kedalam setiap partai agar dapat menguasai.

Setelah berdiam beberapa saat, maka Hwat Hong taysu segera minta diri kepada Gak Lui. la kuatir dalam kuil terjadi sesuatu, maka ia harus lekas2 kembali.

Melihat ketua Heng-san-pay itu sudah tenang kembali, Se Bun Giok tertawa: „Paderi, tak usah gelisah. Semua orang kini sama menggunakan pedang Kong-tong-pay, Bu-tong-pay dan Ceng-sia-pay tak usah dikata. Bahkan sekarang beberapa partai yang biasanya tak menggunakan pedang seperti Heng-san-pay, Siauw-lim-pay dan Go-bie-pay sama-sama menggunakan pedang. Tentang ketua Kun-lun-pay;, Tang-hong Giok ...."

„Benar, dia dan engkau adalah jago2 pedang yang hebat!" Hwat Hong nyeletuk.

„Jangan menyebut diriku. Adalah karena gara-gara belajar ilmu pedang maka kuganti dengan payung bobrok," sahut Se Bun Giok .

„Ah..., tak perlu merendahkan diri. Silahkan engkau mengatakan usulmu!"

„Menurut hematku, setelah partai2 persilatan sama turun gunung dengan membawa pedang alangkah bagusnya bila dipertemukan dalam suatu permusyawarahan besar untuk menentukan rencana menghadapi sepak terjang kaki tangan Maharaja!" kata Se Bun Giok.

Serentak tergugahlah semangat Hwat Hong mendengar usul itu, serunya: „Ketika partai2 persilatan mau bersatu padu dan Kaisar mau meminmpin, pertemuan itu tentu berarti sekali!"

Juga Gak Lui terpengaruh dengan saran itu.

Serentak ia tegak berdiri denaan dada membusng. Suatu sikap dari kesiap-sediaannya menghadapi pertemuan besar itu.

Se Bun Giok menepuk bahu pemuda itu katanya: „Terus terang kukatakan, belum tentu Kaisar mau muncul memimpin. Tentang penyelenggaraan pertemuan besar itu, akulah yang akan mengusahakan.

Tetapi tentang diri Gak Lui ini, taysu harus sudah mengerti jelas......"

„Ya.... ya, aku sudah jelas sekarang, kata Hwat Hong taysu.

„Gak siau-hiap jika bertemu dengan suhengku Hwat Gong tentu takkan melukainya dan harap mengantarnya pulang ke Heng-san-pay......"

Gak Lui mengiakan.

Setelah rombongan Hwat Hong taysu pergi, Se Bun Giok bertanya kepada Gak Lui apakah telah bertemu dengan Bok Kiam-su.

„Sudah, dia tinggal digunung sebelah timur sahut Gak Lui.

Se Bun Giok mengajak Gak Lui ketempat si pembuat pedang itu. Ketika tiba dipondok Bok Kiam-su. Gak Lui terus bendak berseru memanggil, Siu-mey. . Tetapi tiba2 ia katupkan lagi mulutnya yang sudah dingangakan. Ternyata.....hidugnya mencium bau orang mati.

Se Bun Giok amat cerdas dan cermat.

Melihat Gak Lui tertegun dimuka pintu, iapun segera hentikan langkah. Tampak pemuda itu memberi isarat tangan kabelakang, lalu secepat kilat menerobos masuk. kedalam pondok.

Se Bun Giok merasakan sesuatu yang tak wajar.

Cepat ia mencabut pipanya dan siap menunggu tanda dari Gak Lui.

„Se Bun ciaepwe, lekaslah masuk!" tak berapa lama kedengaran Gak Lui berseru.

Ketika masuk, Se Bun Giok melihat Gak Lui sedang ...tegak berdiri termanggu disebelah mayat seorang lelaki tua.

„Tentulah Bok Kiam-sul" serunya. Gak Lui mengikan ..

Se Bun Giok memeriksa tubuh ahli pembuat pedang itu. Dadanya berlubang darah dengan di kelilingi oleh lima buah bekas telapak jari. Luka itu menembus kedalam dan jantung hati korban diremas hancur lebur.

„Hai, kiranya perbuatan Iblis Tulang-putih!" serunya gemetar.

„lblis Tulang-putih?" Gak Lui menegas.

„Benar, ini hasil ilmu kesaktiannya yang istimewa, yani Petik-hati-mencabut nyawa !"

Dua butir airmata menitik turun dari pelupuk mata Gak Lui, ujarnya terharu :„Akulah yang mencelakai Bok Kiam-su ....."

„Mengapa begitu ?" Se Bun Giok terbeliak.

„Setan Keluyuran, murid Iblis Tulang-putih telah kubunuh. Dan lagi jika aku tak mencarinya, iblis itu tentu tak mencari kemari."

Se Bun Giok tertegun, keluhnya: „Celaka...! Iblis itu juga kaki tangan Maharaja!"

„Oh..... "

„Pengantar-surat yang disuruh Raja-sungai-Ce-kiang itu juga hancur lebur dadanya. Bermula aku tak mengerti ilmu apa yang digunakan pembunuh itu. Tetapi kini setelah dipadu dengan mayat Bok Kiam-su, pengantar surat itu juga termakan tangan ganas dari si Iblis Tulang-putih!" kata Se Bun Giok:             „Hm...., kelak tentu kucincang tubuh iblis itu untuk membalaskan sakit hati Bok Kiam-su dan Gadis Ular!"

„Gadis Ular...? Siapakah dia ?"

Gak Lui mengeluarkan sehelai kain. Tanpa bicara apa2, ia Serahkan kepada Se Bun Giok. Ketika merentang, kain itu ternyata berisi tulisan yang berbunyi :



Kiam-su sudah meninggal

Setan kecil melarikan diri

Gadis ular terluka parah

Lain hari jumpa kembali

Dewi Tong Ting.



Habis membaca wajah Se Bun Giok terkejut nyaring, serunya: „Kawanmu berhasil baik . . . "

„Baik?" ulang Gak Lui heran.

„Dewi telaga Tong-Ting itu adalah salah seorang dari Empat Permaisuri. Kepandaiannya amat sakti sekali. Bahkan dimatanya, Iblis Tulang-putih .....hanya dianggap sebagai setan cilik belaka.

Dengan ditolong olehnya, selain luka Gadis Ular itu menjadi sembuh, kelak pasti akan menjadi tokoh wanita yang sakti."

Gak- Lui agak terhibur. Ia menghela napas longgar, katanya: „Ya ..... syukurlah. Sejak saat ini, aku dapat mencari jejak musuh dengan hati lapang! "

„Aku mempunyai usul, entah engkau dapat menyetujui atau tidak," kata Se Bun Giok.

Setelah Gak Lui mempersilahkan, berkata pula jago dari gunung Kun-lun itu: „Engkau dan aku hendak menyelidiki jejak Maharaja. Aku lebih banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Jika bersama sama, tentu dapat saling bantu membantu.

„Tak perlu ini dan itu. Jangan menolak. Menolak berarti engkau memandang rendah padaku " desak Se Bun Giok.

Akhirnya Gak Lui setuju.

Setelah mengubur jenazah Bok Kiam-su, mereka segera turun gunung. Tujuan pertama, menurut Gak Lui, akan mencari Pukulan-sakti Tek Thay, digunung Pek-wan-san.

Hari itu ketika habis melintasi puncak gunung yang tinggi, mereka turun kesebuah bukit dan mencapai sebuah desa.

Tiba2 dari dalam hutan didekat jalan, mereka dikejutkan oleh suara orang me-rintih2.

Gak Lui tak asing dengan suara itu. Cepat ia menerobos kedalam hutan. Se Bun Giok mengikutinya. Seratus tombak dalamnya, mereka membau anyir darah. Cepat mereka menuju kearah bau itu. Setelah melintasi sebuah tanah lapang yang luas, mereka melihat disebelah depan tumbuh sebatang pohon besar. Pada pohon yang tiga perneluk tangan orang itu, terpaku sesosok tubuh imam tua.

„ Hai...! Ceng Suan totiang ....... !"

---oo0oo---

BAB 13 : MAHARAJA

SE BUN GIOK pun menyusul tiba. Dia terbeliak kaget juga, serunya: „Apakah bukan ketua partai Bu-tong-pay?"

Gak Lui dan Se Bun Giok cepat melesat ke samping pohon. Tampak separoh tubuh Ceng Suan totiang berlumuran darah. Dadanya tertembus pedangnya sendiri, nancap ke pohon. Dia terpaku dengan pedang ......

Gak Lui ngeri dan bendak mencabut pedang itu. Tetapi dicegah Se Bun Giok.

Jangan! Totiang memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi. Kalau tak dicabut, masih dapat bertahan diri untuk beberapa seat. Tetapi, kalau dicabut, tentu akan binasa !"

„Apakah dibiarkan begitu saja !"

Se Bun Giok yang banyak pengalaman, sesaat tak dapat memperoleh akal.

Tiba2 Ceng Suan totiang mendengus pelahan dan membuka mata. Demi melihat Gak Lui dihadapannya, bibirnya ber-gerak2 tetapi tak dapat mengeluarkan kata2, melainkan mengeluarkan darah.......

Gak Lui berbisik kedekat telinga totiang itu:

„Totiang tak perlu bicara. Aku akan berusaha menolongmu dulu." ia berpaling dan berkata kepada Se Bun Giok: „Harap pegang batang pedang. Begitu kusuruh cabut, harap segera mencabutnya"

„Itu ...... berbahaya!"

„Aku mempunyai ilmu Menyongsong-tenagamurni. Dapat membuat tenaga-dalamnya tak sampai berhamburan....." kata Gak Lui seraya lekatkan tangan ke perut dan paha Ceng Suan totiang.

Ia segera salurkan tenaga-murni ketubuh paderi itu. Setelah tenaga-murni Ceng Suan totiang berputar keperut, barulah ia suruh Se Bun Giok mencabut.

Se Bun Giok sudah siap Cepat ia melakukan perintah itu. Sesaat pedang tercabut keluar, Gak Lui memberi perintah lagi: „Tutuk jalandarahnya untuk menghentikan pendarahan."

Dengan ilmu tutuk partai Kun-lun-pay yang istimewa, Se Bun Giokpun segera menutuk ke 16 jalandarah penting ditubuh paderi itu. Darahpun berhenti mengalir.

Gak Lui letakkan tubuh Ceng Suan ketanah. Kedua tangannya masih tetap melekat pada perut dan paha paderi itu. Se Bun Giok mengeluarkan pil dari perguruannya dan disusupkan kemulut Ceng Suan. Tak berapa lama paderi itupun dapat bernapas serta membuka mata. Ia memandang dengan rasa terima kasih kepada Se Bun Giok, lalu berkata tersendat-sendat kepada Gak Lui: „Gak .. . . Gak . . . kucari engkau . . . lama sekali....!"

„Apakah karena pedang Pelangi itu?" cepat Gak Lui menyanggapi.

„Ya......!"

„Pedang itu adalah Ceng ki totiang yang minta tolong kepadaku. Tempo hari sama sekali aku tak bermaksud menerobos ke dalam sanggar Pemujaannya sehingga menyebabkan Ceng Ki totiang sampai menderita Co-hwe-jip-mo. Sampai saat ini aku tetap merasa berdosa. Oleh karena itu, aku pasti akan melakukan pesannya untuk membikin baru pedang itu agar menjadi pedang pusaka dunia persilatan. Harap totiang jangan salah faham."

„Ku ...... kutahu ....... semua ...... "

„Totiang tahu semua?"

„Suheng ....... pada saat ...... menutup mata ...... mengatakan hal itu ....., semua ...... "

Lalu apa maksud totiang mencari aku? "

„Takut engkau ... dicelakai orang dan dirampas .....pedang itu ....."

„Jangan kuatir! Jiwaku boleh melayang tetapi pedang itu tak nanti dapat dirampas orang. Dan lagi ... sampai sekarang belum ada orang yang berusaha merampasnya!"

Setelah minum obat, semangat Ceng Suan totiang makin baik: Mendengar ucapan Gak Lui, ia kerutkan dahi :„Apakah ... murid murtad Ceng Ci itu ... tidak merebut? Mungkin engkau belum berjumpa ......."

Gak Lui masih ingat ketika bertempur lawan Ceng Ci. Anggauta Topeng Besi terkesiap melihat pedang pusaka itu tetapi Ceng Ci tidak mengacuhkan.

„Aku sudah bertempur lawan Ceng Ci tetapi tampaknya tak mengacuhkan pedang itu," katanya. „Tidak mungkin!"

„Mengapa ?"

„Dua jam yang lalu, dia datang ... mendesak aku ... bertanya melilit.., dimana engkau bera.da . . . karena hendak . . . merebut pedang itu . . . . "

„Berapa jumlah mereka ?"

„Bermula dua orang " .

Gak Lui merenung. Ia duga kedua orang itu

tentulah si Topeng Besi dan Ceng Ci. „Lalu berapa lagi ?" tanyanya.

„Kemudian saorang lagi."

„Seorang ? Siapakah yang melukai totiang ?"

Wajah Ceng Suan tot:ang berobah tegang. Deagan memancar sinar kemarahan ia berkata : „Bermula murid murtad itu bersama seorang bertopeng mengeroyok aku. Beberapa puluh jurus kemudian, akupun terdesak ......"

Se Bun Giok kerutkan kening dan menyelutuk : „Totiang, sebagai seorang ketua Bu-tong-pay, mengapa tak memikirkan kepentingan seluruh partai hingga totiang pergi seorang diri dan bertempur mengadu jiwa ?"

„Akupun menyadari hal itu. Tetapi setelah aku mundur sampai di samping pohon ini, tiba-tiba muncul pula seorang bertopeng. Gerakannya amat cepat sekali, ya, memang luar biasa cepatnya. Belum selesai satu jurus saja, dia sudah dapat merebut pedangku ......."

„Oh! Jadi dia hanya bertangan kosong merebut pedang totiang lalu menusuk...."

„Benar .....!"

„Gak Lui gemetar, tanyanya tegang : „Apakah dia meninggalkan nama?"

„Sekalipun tidak meninggalkan nama tetapi akupun dapat menduganya"

„Siapakah orang itu? "

„Maharaja! Selain dia, tak mungkin terdapat orang yang memiliki kesaktian semacam itu !"

Se Bun Giok, ternganga. Gak Lui terbelalak, giginya menggigil keras.

Ceng Suan totiang adalah ketua partai Bu-tong-pay. Kepandaiannya tergolong tokoh kelas satu. Tetapi mengapa dalam setengah jurus saja, pedangnya sudah dapat direbut dan orangnya pun ditusuk. Dengan begitu jelas kepandaian orang itu teramatlah saktinya !

„Tak perlu kalian marah. Aku hendak-mohon, bantuan kalian untuk beberapa hal," kata Ceng Suan totiang.

„Silahkan totiang mengatakan," hampir Gak Lui dan Se Bun Giok berkata serempak.

„Kurasa, selain Kaisar, dewasa ini tiada seorang tokoh persilatan yang mampu menandingi kesaktian Maharaja. Sayang Kaisar belum muncul dalam dunia persilatan. Oleh karena itu kuharap kalian ..... terutama Gak siau-hiap, harap hati2 selama berada dalam-dunia persilatan ......."

Se Bun Giok menghibur : „Andaikata Kaisar, tak muncul, pun tak apalah. Aku sudah bicara dengan ketua Heng-san-pay Hwat Hong taysu agar menyelenggarakan suatu persekutuan segenap kaum persilatan golongan Putih untuk menghadapi durjana besar itu!"

„Ah, kurasa tak mudah untuk menyelenggarakan gerakan itu. Taruh kata berhasil mengumpulkan tenaga kaum persilatan, pun belum tentu dapat menang."

„Manusia harus berdaya. Kita tak boleh tinggal diam saja menunggu kematian!" kata Se Bun Giok.

„Ah, saudara memang bersungguh-sungguh dan serius. Tetapi ada sedikit hal yang perlu saudara pertimbangkan"

Dalam hal apa?"

„Murid2 yang mengkhianati itu, telah mendesak pada partai perguruannya masing2 agar ketua partai yang sekarang sama mengundur-kan diri. Jika partai2 persilatan itu sampai berkumpul dalam sebuah rapat, bukankah akan terjerumus dalam, jebakan mereka? Bukankah musuh amat mudah sekali untuk menjaringnya? Dan pada waktu menghadiri rapat, markas tentu kosong dan mudah diserbu ........"

„Soal itu aku dapat merundingkan dengan para pimpinan partai persilatan bagaimana mengatur langkah yang sesuai. Harap totiang jangan kuatir," kata Se Bun Giok. .

„Muridku Hwat Lui bertiga, saat ini menjaga di Bu-tong-san. Harap memberitahukan kepadanya. Segala urusan di markas, terserah pada Hwat Lui. Harus tetap menjaga markas perguruan dan berlatih ilmu dengan giat"

Gak Lui mengiakan: „ Baik, kami tentu akan menyampaikan. Dan kelak apabila pedang Pelangi sudah selesai di buat baru, tentu akan kuserahkan kepada Hwat Lui totiang .. . . "

„Jangan...! Jangan....!"

„Mengapa...?"

„Kepandaian Hwat Lui masih rendah. Jika murid penghianat itu sampai kemarkas meminta pedang, Hwat Lui tentu tak mampu menghadapi. Kulihat baru berpisah belum berapa lama, kepandaian Gak siau-hiap maju pesat sekali. Lebih baik ...... tiba2 wajah paderi itu mengerut sesal.

Seperti orang yang kelepasan omong lalu tak mau melanjutkan kata-katanya lagi.

Ceng Suan totiang merasa bahwa pedang pusaka dari perguruannya itu telah menjadi sasaran dari murid Bu-tong-san yang hianat. Sebagai seorang ketua Bu-tong-pay sudah tentu ia merasa malu ,anak muridnya tak mampu menjaga pusaka perguruannya dan hendak minta tolong kepada orang luar.

Gak Lui dapat menangkap isi hati paderi itu. Cepat ia berseru lantang: „Aku pasti akan bertanggung jawab sepenuhnya Tentu akan menunggu sampai tiba saatnya yarg tepat, baru akan kuserahkan pedang itu kepada Bu-tong-pay.

Wajah - Ceng Suan totiang cerah seketika. Ia menghaturkan terima kasih kepada Gak Lui. Sesaat kemudian dengan wajah rawan, kembali ia melanjutkan kata-katanya: „Dan permintaanku yang terakhir tak lain, agar kalian suka segera mengubur mayatku ......"

„Totiang, engkau ......"

„Aku telah menodai nama Bu-tong-pay. Tiada muka lagi aku bertemu dengan para cousu dan leluhur Bu-tong-pay ..... tiba2 Ceng Suan meraung keras, mirip seekor singa yang kelaparan. Sekonyong-konyong tangan kanannya berayun menampar pelipisnya, plak . . .

Melihat itu Gak Lui tak dapat lepaskan cekalannya sehingga tak dapat mencegah perbuatan Ceng Suan yang kala itu, Se Bun Giok cepat menampar dengan jurus Benang-emas-melihat-siku lengan. Angin tamparan itu berhasil menahan tangan Ceng Suan totiang.

Tetapi Ceng Suan sudah kalap benar2. Tamparannya untuk menghabisi jiwanya tadi, dilancarkan dengan, tenaga penuh. Ketika terbentur angin tamparan Se Bun Giok, ia mendesuh tertahan dan pingsan seketika.

Gak Lui cepat menambahi saluran tenaga dalam nya seraya berkata: „Kurasa baiklah cianpwe yang mengantar totiang di pulang ke Butong-san. Soal mengejar si pembunuh, biarlah kulakukau, sendiri."

Sekalipun tak tegah, karena kenyataan sudah begitu rupa, terpaksa ia menjawab: „Luka totiang amat parah sekali. Mungkin tak dapat mencapai markas Bu-tong-pay. Maka dapat kubawa sampai berapa jauh, terserah keadaannya. Aadai kata di tengah jalan menemui ajal, jenazah totiang tetap akan kuantar ke Bu-tong-san supaya ditanam dengan baik."

Cepat mereka bertindak. Luka di dada yang tembus punggung Ceng Suan totiang, dibalut dan dilumuri obat. Setelah diminumi pil lalu diikat di atas punggung Se Bun Giok. Pedang Ceng Suan totiang yang berlumuran darah itupun dibawa Se Bun Giok. Setelah saling mengucap selamat jalan, tokoh sakti dari partai Kun-lun-pay itu segera lari secepat terbang menuju ke Bu-tong-san.

Setelah Se Bun Giok lenyap dari pandangan mata, Gak Lui masih tetap mondar mandir di situ. Dicobanya untuk menggunakan ketajaman hidungnya, mencium jejak kepergian Maharaja.

Tetapi Maharaja itu keliwat sakti. Langkah kakinya selain seringan kapas, pun cepatnya seperti terbang. Apalagi dalam hutan sekeliling amat lebat dan, pelik. Sekalipun hanya tercium pun sukar untuk mencarinya. Maka setelah bersusah payah lebih dari sejam, barulah ia dapat menduga-duga arahnya.

Tetapi Gak Lui seorang pemuda yang keras hati. Ia pantang mundur setapakpun dari usahanya mengejar Maharaja. Walaupun setiap kali ia harus berhenti untuk menentukan arah, tetapi ia tetap lanjutkan pengejarannya.

Saat itu udara tertutup awan. Sinar rembulan yang teraling, menimbulkan pemandangan yang menyeramkan dalam hutan.

Gak Lui tiba di mulut sebuah lembah gu-nung. Diam2 ia menimang: „Ah...., sudah dua hari dua malam kulakukan pengejaran. Tetapi makin lama makin kabur. Bagaimanakah aku harus bertindak sekarang ini ....?"

Memandang ke muka, tampak sebuah jalanan gunung yang hanya setengah meter lebarnya. Ia ayunkan langkah ke sana dan pada waktu masih 10-an tombak jauhnya dari jalanan gunung itu, tiba2 sesosok tubuh lari secepat anakpanah terlepas dari busur. Meluncur sepanjang jalanan gunung itu.

Gak Lui terkesiap. Ia rentangkan mata lebar untuk memandang dengan seksama. Tetapi ah...., segumpal awan hitam berarak menutup rembulan. Seketika pandang matanyapun gelap. Matanya hanya dapat melihat samar-samar, orang itu lari bergegas-gegas dan tak henti-hentinya berpaling kemuka belakang, seperti dikejar setan.

Cepat sekali Gak Lui melesat ke jalan, tetapi orang itu sudah jauh.

„Hai..., bayangan orang itu seperti Se Bun Giok. Mengapa dia datang kemari ? Dan mengapa pula tampaknya ia begitu terburu-buru sekali? Siapakah yang mengejarnya...?" pikirnya dan berpalinglah ia ke belakang untuk melihat siapakah yang mengejar bayangan tadi.

Dan astaga ! Bukan main kejutnya ketika melihat sesosok tubuh yang menyeramkan. Dari kepala sampai ke ujung kaki, orang itu tertutup jubah yang aneh bentuknya. Kaki tangannya tak bergerak hanya tubuhnya yang melonjak-lonjak naik turun maju kemuka.

Kalau orang biasa mengenakan kerudung kain hitam, tentu bagian mata diberi lubang. Tetapi tidak dengan orang itu. Seluruh muka tertutup kain hitam. Tetapi anehnya jika tiba di tikungan atau jalan yang berbiluk, ia tetap dapat mengikuti dengan tepat. Seolah-olah tanpa mata, ia dapat melihat jalan.

Aneh, benar2 aneh !

Jika dia manusia biasa, jelas dia memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dengan mata tertutup dapat melihat segala benda.

Tetapi kalau dia itu suatu makhluk aneh, sungguh mustahil sekali. Tetapi kalau bukan jenis makhluk aneh, mengapa seorang tokoh macam Se Bun Giok sampai lari terbirit-birit begitu rupa ?

PADA SAAT Gak Lui sedang terbenam dalam keheranan, makhluk aneh itu sudah tiba. Ternyata tubuh makhluk aneh itu mengeluarkan semacam hawa. Dan hawa itupun bergulung-gulung melanda kearah Gak Lui. Seketika Gak Lui mencium suatu bau yang amat busuk dan anyir.

„Hai, bau darah anyir dari Ceng Suan totiang! Mengapa dia berobah menjadi makhluk aneh begitu ? Ah, tak mungkin dia akan mengejar Se Bun Giok begitu rupa kalau tak terkena semacam ilmu Hitam. Tentu Ceng Suan totiang telah disesatkan oleh seorang durjana sehingga lupa pada Se Bun Giok ...." belum sempat ia melanjutkan analisanya, tiba2 dari arah ujung jalan muncul sesosok tubuh manusia.

Saat itu rembulan menyiak tabir awan. Sinarnya menerangi seluruh penjuru. Dan tampaklah perwujudan orang itu.

Dia mengenakan kopiah emas, pinggang menyalut sebatang pedang, rambutnya terurai ke bawah mencapai pundak. Memakai jubah kebesaran warna kuning. Sikapnya keagung-agungan.

Wajahnyapun gagah dan berwibawa. Usianya disekitar 40-an tahun tetapi masih gagah segar. Terutama sepasang matanya yang tajam, mengunjukkan,keperbawaan seorang gagah.

Melihat sikapnya, sepintas pandang orang tentu dapat memastikan bahwa pasti seorang ksatrya besar dalam dunia persilatan.

Dan yang paling menakjubkan, orang itu tak kelihatan bergerak tetapi tubuhnya dapat melesat ke muka. Benar2 suatu ilmu meringankan-tubuh yang jarang terdapat dalam dunia persilatan.

Tergetar hati Gak Lui melihat orang itu, geramnya : „Hm..., tak heran kalau Se Bun Giok sampai ketakutan begitu rupa. Kiranya si Maharaja sendiri yang muncul !"

Diam2 ia serempak mencabut pedang. Saat itu siorang aneh sudah berada 3 tombak jauhnya. Gak Lui melihat jelas bagahnana tangan kiri orang itu sedang bergerak-gerak aneh, matanya setengah memejam dan wajahnya tampak serius sekali. Dan ketika tiba di samping tempat Gak Lui bersembunyi, tiba2 orang itu membuka mata lebar2 lalu memandang ke sekeliling. Rupanya la mengetahui kalau di sekeliling tempat itu terdapat orang yang bersembunyi.

Gak Lui tak mau membuang waktu lagi. Dari pada didahului lebih baik ia mendahului. Dengan jurus Rajawali pentang sayap, ia apungkan tubuh ke udara, bergeliatan menukik seraya ayunkan pedang sekuat-kuatnya kearah kepala orang itu.

Serangan itu dilambari dengan seluruh.tenaganya. Dahsyatnya bagai gunung Thay-san rubuh.

Tetapi orang itu bukan sembarang tokoh. Pada saat pedang Gak Lui hampir mengenai, tahu2 dengan gerakan yang aneh, orang itu berputar tubuh dan tring...., tangan kanannya sudah mencabut pedang dan menangkis serangan Gak Lui. Tetapi anehnya, orang itu tetap lanjutkan langkah mengejar Ceng Suan totiang.

„Hai, hendak lari ke mana engkau!" teriak Gak Lui seraya bergeliatan di udara lalu melayang turun menghadang di muka jalan.

Melihat mata Gak Lui memancar dendam kemarahan yang berapi-api, orang itupun tertegun.

Saat itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Gak Lui yang segera gunakan jurus Menjolok-bintang-memetik-bulan, menusuk perut orang.

Melihat dirinya dihadang lalu diserang hebat, orang itupun kerutkan alis. Dengan gerak laksana ular meliar, dari arah yang tak diduga-duga, pedang orang itu menabas pergelangan tangan Gak Lui dan serempak dengan itu, tubuhnya meluncur lagi ke muka untuk mengejar Ceng Suan totiang.

Dengan geram Gak Lui lancarkan serangan ganas lagi: „Maharaja bangsat, jangan harap engkau dapat lolos !"

Seruan Gak Lui itu makin membuat orang itu kcrutkan dahi. Tetapi kaiena diserang, tanpa bicara apa2, ia gerakkan pedangnya. Dalarn sekejab saja, ia sudah lancarkan tiga buah serangan sekali gus. : elain tenayanya yang luar 1~iasa, pun jurus Tedangnya aneh sekali Tidak sama dengan ilmupedang dari partai perpilatan umumnya.

Sinar pedang yang mencurah bagai hujan lebat disertai deru angin yang menyambar-nyambar seperti badai. Serangan itu berhenti membendung kekuatan Gak Lui dan memaksa pemuda itu mundur sampai setombak jauhnya.

Gak Lui terkejut. Dalam gugup ia cepat lancarkan jurus Cendrawasih-kibaskan-sayap. Pedang berhamburan laksana bianglala mengarungi cakrawala dan dapat menahan serangan lawan.

Tiba2 Gak Lui gerakkan tangan kiri dalam pukulan sakti Algojo dunia. Pukulan yang timbul karena kemarahan itu, hebatnya bukan alang kepalang.

Hati orang itu benar2 terperanjat sekali. Pedangnya serasa tercekik dalam kisaran tenagadalam yang memancar hebat. Tak dapat ditarik pulang, tak dapat digerakkan menangkis dan tak dapat menghindar pula.

Dalam keadaan terancam maut itu, terpaksa siorang aneh hentikan gerakan aneh dari tangan kirinya dan terus digerakkan untuk balas menghantam.

Bum....., terdengar letupan keras. Seketika Gak Lui rasakan telapak tangannya panas seperti terbakar sehingga mau tak mau ia terpaksa harus mundur dua langkah.

Dan serempak dengan itu terdengarlah seruan rawan dari orang aneh itu: „Gak Lui, engkau telah mencelakai Ceng Suan totiang. Ha...., engkau harus ganti jiwanya !"

Mendengar tuduhan orang kalau ia yang mencelakai Ceng Suan totiang, bukan main marah Gak Lui. Bentaknya : „Ngaco belo !"

Cepat ia mencabut pedang pusaka Pelangi lalu dengan sekuat tenaga ia menyerang orang itu.

Melihat pedang Pelangi, ibarat api disiram minyak, makin berkobarlah amarah orang aneh itu, bentaknya : „Ho...., kiranya engkau maling kecil yang mencuri pedang pusaka. Makanya engkau hendak mencelakai Ceng Suan totiang !"

Ucapan itu diikuti dengan gerakan tubuh yang berputar amat aneh dan cepat. Tabasan Gak Luipun menemui tempat kosong. Dan sebelum pemuda itu sempat mengganti jurus, lawan sudah . menyerang dari samping dengan jurus Menggurat-taaah, -mamapas langit.

Melihat tubuh lawan seolah- olah pecah menjadi empat lima sosok tubuh, Gak Luipun segera hamburkan pedang untuk membentengi diri seraya gunakan ilmu Meringankan tubuh untuk mengikuti langkah orang yang hendak melanjutkan perjalanan.

„Orang itu tak tahu menahu tentang Ceng Ki totiang minta tolong padaku supaya memperbaiki pedang Pelangi, tetapi mengapa tampaknya ia terkejut melihat pedang Pelangi ini. Walaupun dia menuduh aku mencelakai Ceng Suan totiang, tetapi dia sendiri jelas adalah Maharaja!" pikir Gak Lui.

Orang aneh itu sendiripun menimang dalam hati: „Rupanya budak ini hebat sekali kepandaiannya. Kalau tak menggunakan jurus istimewa tentu akan memakan waktu panjaag."

Setelah mengambil keputusan, ia berhenti tegak membelakangi Gak Lui. Punggungnya seolah-olah terbuka.

Kesempatan itu tak disia-siakan Gak Lui. Cepat ia maju gerakkan kedua pedangnya menusuk ke atas dan ke bawah.

Tepat pada waktu kedua ujung pedang itu hendak menyentuh tubuh, tiba2 pedang orang aneh itu menjungkir ke belakang. Dengan jurus Naga-sakti-kibaskan-ekor untuk menangkis pedang sebelah kanan dari Gak Lui. Lalu dilanjutkan dengan jurus Salju-berhamburan-mencabut-nyawa, untuk menebas punggung pedang Gak Lui di tangan kiri. Dan serempak itu, ia berputar melesat ke luar lalu menghantam dengan tangan kiri.

Dua buah pukulan, sekali gus dilepaskan susul menyusul. Pukulan pertama, bagaikan lima buah halilintar memecah angkasa. Hawa panas berhamburan. Pukulan kedua, memancarkan sinar putih kemilau yang menyilaukan mata.

Gak Lui segera putar pedang pusaka Pelangi untuk melindungi diri. lapun salurkan tenaga-sakti umtuk menyedot tenaga lawan.

Tetapi sudah terlambat. Tubuh Gak Lui melengkung ke samping kiri dan terpental sampai beberapa langkah.

„Huak ......" mulutnya menguak, menyemburkan darah segar yang panas.

Tetapi hal itu tidak meruntuhkan nyali Gak Lui. Bahkan kebalikannya malah, kemarahannya menyala nyala seperti terbakar api. Dengan tertawa geram, ia silangkan kedua pedangnya untuk siap menyambut serangan.

Sepasang matanya tak berkedep memandang tajam kepada lawan.

Orang aneh itu dingin sekali wajahnya. Sambil tujukan ujung pedangnya ke tenggorokan Gak Lui, tangan kiri meregang keras, majulah ia selangkah demi selangkah menghampiri Gak Lui.

Malam makin larut dan makin menyeramkan. Seolah-olah suatu alamat dari kedatangan Malaekat Pencabut nyawa di tempat itu.

Kedua orang itu sama membisu. Jarak yang memisahkan keduanyapun makin ciut. Dari dua tombak menyurut jadi satu tombak. Dari satu tombak menjadi satu meter. Keduanya tak mau bergerak menyerang dulu. Karena barang siapa yang mulai menyerang tentu akan ada yang binasa."

Sekonyong-konyong terdengar, derap langkah lari orang. Dalam beberapa kejab, orang itupun sudah tiba beberapa tombak dari tempat Gak Lui.

Gak Lui dan lawannya tahu hal itu. Tetapi mereka tak berani berpaling melihatnya. Karena jarak keduanya hanya sepanjang pedang.

Suatu jarak yang memberi kesempatan untuk menusuk apabila ada salah seorang yang berpaling muka.

Yang tampak hanya sebatang pipa huncwe (panjang) berwarna kuning emas. Tahu2 sesosok tubuh melesat dan tegak di depan kedua orang yang sedang hendak mengadu jiwa itu.

Baik Gak Lui maupun orang aneh itu. terpaksa berpaling dan serempak berserulah keduanya dengan nada kaget: „Oh...., Se Bun sianseng datang!"

Nada Gak Lui penuh dengan kecurigaan Sedang nada orang aneh itu penuh dengan kerawanan.

Ternyata kedatangan Se Bun Giok itu bukan seorang diri melainkan memanggul Ceng Suan totiang. Jago dari Kun-lun itu geleng2 kepala: „Ah..., kiranya benar kalian berdua. Tetapi mengapa hendak berkelahi2"

„Apakah dia bukan Maharaja?" seru Gak Lui penuh keheranan.

„Apa itu Maharaja atau Kaisar! Dia adalah ketua partai Gelandangan yang bernama Raja-sungai Gan Ke-ik" kata Se Bun Giok.

„ Oh....," Gak Lui mendesuh dan mundur setengah langkah.

Kemudian Se Bun Giok bertanya kepada Gan Ke-ik: „Apakan pangcu tak tahu kalau dia ini Gak....."

„Dia Gak Lui, kutahu! " sahut ketua partai Gelandangan.

Lalu mengapa berkelahi? "

„Mengapa aku tak harus berkelahi?" Gan Ke-ik ketua partai Gelandangan balas bertanya.

„Dia pernah menolong kakak saudara beserta rombongan anak murid partai saudara! "

„Oh ..... tetapi bukankah dia anak buah Maharaja dan mencuri, pedang pusaka partai Butong san ....."

„Ah...., saudara ketua Gan, engkau benar2 tak mengetahui jelas !"

„Kalau begitu harap engkau menerangkannya. "

„Apakah masih perlu kuterangkan iagi?"

„Kapan engkau sudah pernah menerangkan?" balas Gan Ke-ik.

Se Bun Giok lebih dulu letakkan tubuh Ceng Suan ke tanah. Ia kerutkan kening merenung sejenak lalu menyapu keringat pada kepalanya. Kemudian menghunjamkan kakinya ke tanah seraya memaki dirinya sendiri: „Sungguh celaka, celaka sekali. Kiranya aku belum pernah mengatakan hal itu kepadamu!"

„Memang belum," jawab Gan Ke-ik.

Terpaksa Se Bun Giok menceritakan lagi peristiwa Gak Lui menolong orang partai Gelandangan menghadapi tantangan orang2 partai Pengemis.

Seketika Gan Ke-ik. Meminta maaf kepada Gak Lui.

Tetapi ternyata saat itu Gak Lui sedang berjongkok memeriksa keadaan Ceng Suan totiang. Anak muda itu mengucurkan airmata. Ia tak menghiraukan permintaan maaf dari ketua partai Gelandangan tadi.

Gan Ke-ik buru2 menghampiri lalu menjurah di hadapan Gak Lui: „Atas budi saudara Gak menolong kakandaku beserta anak muridku, Gan Ke-ik terlebih dulu menghaturkan terima kasih sedalam-dalamnya dan pasti takkan melupakan budi saudara itu!"

Tersipu-sipu Gak Lui balas memberi hormat lalu bertanya: „ Mengapa totiang meninggal?"

Se Bun Giok maju memberi keterangan: „Sehari kupanggulnya, menempuh perjalanan, totiang telah menghembuskan napas yang terakhir."

Masih Gak Lui tak jelas akan: keterangan Se-bun Giok itu. Ia alihkan pandang matanya kepada Raja-sungai Gan Ke-ik.

Rupanya ketua partai Gelandangan itu tahu isi hati Gak Lui, maka ia memberi keterangan tambahan.

„Kami kaum partai Gelandangan mememiliki sebuah kitab yang berisi ilmu yang aneh2. Saat itu kulihat Ceng Suan totiang masih berdenyut jantungnya. Aku mempunyai harapan untuk menolongnya. Kukira arwahnya masih belum meninggalkan raganya. Maka kugunakan ilmu Lima Halilintar untuk mengantar saudara Se-bun agar jenazah itu dapat mencapai gunung Bu tong dalam keadaan masih baik. Mungkin ......."

„Mungkin dapat membangkitkan ia hidup lagi?" tukas Gak Lui.

„Hal itu hanya kemungkinan yang terkecil sendiri. Tentang tuduhanku hanyalah timbul karena kemarahnku. Harap saudara Gak jangan menyesal."

„Jika masih ada setitik kecil harapan, akulah yang telah mencelakainya," Gak Lui menghela napas. Wajahnya rawan, mata redup bagaikan rembulan tertutup awan gelap.

„Ah...., saudara Gak tak perlu menyesali diri sendiri. Aku dan engkau sama2 di buru ketegangan untuk menolong orang sehingga sampai terjadi salah faham," Gan Ke-ik menghiburnya.

Se-bun Giok pun ikut menghibur: „Gak laute, engkau seorang pemuda yang gagah perkasa. Janganlah pikiran engkau isi dengan hal2 yang keliwat rumit. Dua hari yang lalu ketika Bok kiam-su terbunuh, engkau menyatakan dirimulah yang menyebabkannya. Sekarans kembali engkau mengatakan kalau engkaulah yang mencelakai Ceng Suan totiang .Padahal, kesemuanya itu memang sudah ditakdirkan nasib!"

Ucapan Se-bun Giok yang bermaksud untuk megghibur itu kebalikannya malah menyinggung perasaan Gak Lui. Seketika ia teringat akan kematian Bok Kiam-su. Lalu terkenang akan nasib yang menimpah bibi gurunya Pedang Bidadari Li Siok Gim, paman gurunya yang kedua Pedang Iblis Kau Tiong-ing dan paman gurunya yang nomor empat Pedang Aneh Ji Ki-tek.

Sebelumnya mereka masih segar bugar.

Tetapi setelah berjumpa dengan dirinya, susul menyusul mereka mati dengan cara yang mengenaskan.

Kematian mereka meninggalkan kesan yang tak mudah dilupakan seumur hidup. Dan kesan2 itu makin memupuk dendam kebenciannya terhadap tokoh Maharaja.

Ah....., apakah memang suratan nasibnya.

Bahwa ia harus berpisah dengan orang2 yang menjadi keluarganya itu, Gak Lui terbenam dalam renungan.

Saat itu Gan-ke-ik dan Se-bun Giok pun sudah selesai mengemasi jsnazah Ceng Suan totiang lalu duduk merundingkan rencana yang akan datang.

Setelah melihat Gak Lui, sudah tersadar dari lamunan, Se-bun Giok memanggilnya: „Saudara Gak, engkaupun barus beristirahat. Bagaimana dengan lukamu tadi"

„Ah...., tak apa. Setelah melakukan pernapasan tentu sembuh," seru Gak Lui seraya menghampiri ketempat kedua orang itu. Bertanyalah ia dengan serius kepada Gan Ke-ik: „Tolong tanya pada Gan pangcu, apakah kalian percaya akan nasib atau takdir?"

„Ooo...., memang dari dahulu sampai sekarang, orang mengatakan begitu. Pula perguruan gelandangan memang memiliki beberapa macam ilmu mistik (aneh) yang aneh dan manjur. Sekali-kali bahkan mengelabui orang."

„Sukalah pangcu memberi contoh padaku?....".

„Kim ambil contoh jurus yang. kuserangkaa padamu tadi: Engkau ten.u sudah mendapat tiga macam bukti."

„0oo...., apakah dalam ilmusilat juga terdapat ilmu gaib semacam itu?"

„Benar! Bukankah engkau tadi melihat diriku bisa pecah menjadi beberapa sosok?"

„Benar, seranganku dengan sepasang pedang tak dapat mengenai!"

„Ilmu itu disebut Malaekat-pindah-tempat. Menggunakan landasan semangat dan tenaga. Agar lawan mengira yang passu itu seperti tulen. Lebih aneh dan istimewa dari gerakan Mengisar-tubuh-berganti-tempat yang terdapat dalam dunia persilatan."

„Mohon tanya, apakah bukti yang kedua itu?" tanya Gak Lui.

„Bahwa Ceng Suan totiang dapat berlari cepat adalah karena kugunakan ilmu Lima-halilintar agar dia tak sampai jatuh. Sampai pada saat engkau menyerang dan akupun terpaksa tak dapat mendorong Ceng Suan totiang lagi. Saat itu aku sudah menyadari bahwa totiang lantas rubuh. Kalau tak percaya, cabalah engkau tanya pada Se-bun bagaimana keadaaa Ceng Suan totiang saat itu"

„Benar," sahut Se-bun Giok, tiba2 totiang rubuh.

Kalau tidak begitu, aku tentu takkan kembali kemari."

Gak Lui tergetar batinya.

la menanyakan bukti yang ketiga

„Serangaaku tadi, apakah engkau tak merasa seperti tersambar 5 halilintar yang memancarkan hawa panas?"

„Ya, memang ada"

„Itulah ilmu pukulan Api-halilintar dari perguruanku. Selain dapat melukai orang, pun mengandung tenaga sihir!"

„Tetapi mengapa pukulan kedua yang menyusul; ,tak 'sama der-gan pukulan yang kesatu?"

„Benar" sahut Gan Ke-ik, „pukulan itu memang bukan ilmu dari perguruanku."

„Lalu dari ajaran Partai mana?"

„Partai Thian-liong-pay"

„Oh...., kiranya ilmu istimewa dari Kaisar Li Liong-ci! " teriak Gak Lui.

„Benar, ilmu pukulan itu disebut Pukulan sakti iblis gaib. Dengan ketiga jurus ilmu pedang yang kumainkan itu, memang ajaran dari Kaisar Li Liong-ci. Ilmu itu ciptaan dari gurunya, yakni paderi-sakti Thian Liong. Sayang aku tak mampu mempelajari dengan giat sehingga menelantarkan ilmu ajaib dari gurunya aliran Suci dan Jahat."

Gak Lui sangat berkesan sekali terhadap sebuah pukulan dan tiga serangan pedang dari Gan Ke-ik tadi. Maka ia menanyakan nama jurus2 itu dan diam2 mengingat-ingat gerakan Gan Ke-ik tadi. Ia mencatat baik2 dalam hati.

Gan Ke-ik mendapat kesan bahwa Gak Lui itu masih muda dan berhati lurus. Tak mudah untuk menerima penjelasan mengenai hal2 yang khayal.

Maka la segera menambah keterangan: „Agama dan Syaitan itu, sebenarnya dapat diketahui. Oleh karena itu, beda Manusia dengan Syaitan itu hanya perbedaan antara Mati dan Hidup. Atau lebih jelas lagi, antara Raga dengan Jiwa. Selama jiwa masih bersemayam dalam raga, kita hidup. Tetapi, setelah jiwa meninggalkan raga, kita pun mati. Tentang mati dan hidup, memang sudah digariskan dalam nasib."

„Kalau begitu, Roh dan Nasib itu memang dapat dipercaya?"

„Kalau tak percaya, tak ada. Kalau percaya, ada. Luasnya tiada. terbatas, dapat mencangkum masa dahulu dan yang akan datang."

Gak Lui tak sempat menanya lebih jauh karena Se-bun Giok sudah mendahului. „Benar, memang ilmu petangan dari partai Gelandangan termasyhur dalam dunia persilatan. Untuk mencari barang yang hilang dan orang, manjur dan tepat sekali."

Serentak tergeraklah pikiran Gak Lui, tanyanya: „Gan pangcu, aku hendak mencari beberapa orang. Dapatkah engkau memberitahukan?"

„Boleh...., boleh..... Tetapi dalam nujuman itu hanya dapat memberi jejaknya saja."

„Ada jejak, cukuplah...."

Gan Ke-ik segera mengeluarkan sebuah Cermin, katanya: „Silahkan melihat cermin ini. Setelah kuucapkan doa, tentu akan akan muncul gambaran orang pada kaca itu. Tetapi kalau hendak mencari orang, harus memberitahukan nama dan hari lahirnya!"

Seketika Gak Lni tertegun. Karena apa yang dilihatnya pada cermin itu hanyalah ayah-bunda, taci angkat. Tetapi dia tak tahu hari kelahiran mereka. Dan tentang siapa musuhnya, sama sekali ia tak tahu namanya.

Gak Lui hanya termenung-menung tak dapat bicara. Melihat itu Gan Ke-ik segera menegur: „Apakah Gak siau-hiap tak mau bertanya apa?"

„Aku tak tahu hari lahir mereka! "

Se-bun Giok tahu akan kekecewaan Gak Lui maka buru2 ia memberi anjuran supaya pemuda itu menanyakan saja tentang peristiwa yang akan datang.

AKHIRNYA Gak Lui menurut. Bertanyalah ia kepada Gan Ke-ik: „Kalau kutanyakan tentang hal2 yang akan datang, apakah juga manjur....?"

„Sudah tentu manjur juga. Tetapi bayang2 pada cermin itu, mungkin saat itu sukar dimengerti. Tetapi kelak tentu terbukti semua."

Gak Lui segera menanyakan peristiwa.yang akan dialami pada masa yang akan datang.

Gan Ke-ik menyerahkan cermin kepada Se-bun Giok, katanya: „Menanyakan nasib diri sendiri, tak boleh orang itu melihatnya sendiri.

Karena setiap orang tentang prasangka, mudah salah faham.

Misalnya, kalau sekarang ini saja hendak mencari Kaisar Persilatan, juga lain caranya. Maka harap saudara Se-bun yang melihat dan mengatakan, kita berdua yang mendengarkan."

Demikian ketiga orang itu lalu pejamkan mata. Pikiran Gak Lui melayang pada gerombolan Topeng Besi dan si Hidung Gerumpung serta si Maharaja. Oleh karena tak dapat menanyakan diri kedua orang tuanya, maka ia mengharap dapat mengetahui tentang musuh besarnya. Gan Ke-ik setengah pejamkan mata. Tangannya menekuk-nekuk jari, mulut berkemak-kemik membaca doa. Sedang Se-bun Giok memandang penuh perhatian pada kaca.

Beberapa saat kemudian, tiba2 Se-bun Giok berseru : „Aku melihat sesuatu !"

„Cianpwe melihat apa ?" tanya Gak Lui.

„Seorang yang berkerudung muka ..... pedangnya menonjol ke atas, kakinya menginjak beratus-ratus tulang mayat ........ sikapnya congkak dan angkuh sekali ........ "

Diam2 Gak Lui terkejut. Ia duga tentulah si durjana Maharaja Persilatan. Maka berserulah ia: Dia: mempunyai hidung atau tidak ?"

„Ah, karena mukanya ditutupi kain kerudung, mana dapat kelihatan       " sahut Se-bun Giole seraya kerutkan alis, „hai..., kelihatan seorang lagi!"

„Seorang lagi ?"

„Sebuah gunung: belantara ........ sebuah guha, hai...., kain kerudung orang itu tiba2 melayang jatuh."

„Bagaimana ?" teriak Gak Lui tegang sekali.

„Dia ....... dia memang tak punya hidung!" teriak Se-bun Giok tegang juga. Seketika menggigillah Gak Lui, serunya : „Harap perhatikan wajahnya dengan seksama !"

„Batang hidungnya terpapas semua hingga tinggal lubangnya saja. Wajahnya... celaka! Dia terjungkal rubuh dan mati ........!"

„Benar, dia memang harus mati !"-teriak GA Lui kalap.

Seketika Se-bun Giok melihat permukaan cermin itu seperti tertutup sinar merah darah. Serentak ia membentak Gak Lui : „Jangan berteriak....! Teriakanmu itu melenyapkan bayangan yang berada di sampingnya!"

„Apakah sudah tak kelihatan!" tanya Gak Lui gugup.

Se-bun Giok memandang dengan seksama. Permukaan cermin bagai tertutup gumpalan awan. Sebentar terang, sebentar gelap. Lewat beberapa seat barulah wajah Se-bun Giok cerah.

„Nah, sudah muncul, sudah muncul. Ah....., masih dia saja ...."

„Siapa?...."

„O....rang berkerudung yang menyanggul pedang tadi !"

„Oh....., dia belum mati?"

„Ah....., bukan hanya seorang .. dua orang.

„Ooo...., tetapi muncul beberapa orang yang merupaian sekelompok besar. Mereka semua mengenakan kerudung muka dan membawa pedang. Gerombolan itu mengitari sekeliling orang berkerudung yang muncul pertama tadi, seperti sedang menari-nari mengelilinginya ....... "

„Lalu?"

„Dari kejauhan muncul seseorang yang mencekal sepasang pedang. Gerekannya secepat angin meniup. Dia hanya seorang diri ..... tidak, ah.... di belakangnya menyusul banyak sekali tokoh2 silat yang hebat......... kedua fihak segera bertempur hebat ..... pedang berkiblat deras, darah membasahi bumi .......Ah....., ada beberapa orang yang rubu......... lagi beberapa yang rubuh ......."

Permukaan kaca itu penuh dengan bayangan yang cepat muncul lenyap sehingga Se-bun Giok tak keburu menerangkan. Tetapi dari kerut wajahnya, dapatlah disimpulkan bahwa Se-bun Giok sedang menyaksikan sesuatu yang ngeri.

Gak Lui tak berani mengganggu. Setelah melihat wajah Se-bun Giok agak tenang, barulah is bertanya: „Bagaimana akhirnya?"

„Akhirnya sebuah lautan darah, penuh dengan mayat yang timbul tenggelam "

„Adakah si Topeng Besi di situ?"

„Belum diketahui .... Sekarang tampak lima sosok mayat terdampar di tepi laut, ah ....... memang mengenakan topeng besi !"

Itulah upahnya penghianat !" seru Gak Lui.

„Heran ?"

„Mengapa ?"

„Beberapa berlutut menangis dengan sedih sekali !"

„Siapakah yang menangisi mereka?

„Rupanya tokoh2 dari Lima partai persilatan besar !"

Gak Lui pening kepalanya dan mulutnyapun berseru heran. Dilihatnya Se-bun Giok tengah memandang kaca itu dengan wajah tegang. Wajahnya pucat lesi dan tiba2 mendekap cermin itu ke .dada. Jelas din melihat sesuatu yang ngeri.

Gak Lui tak tahan lagi. Segera ia mencekal tangan orang yang bergemetar : „Se-bun sianseng, apakah yang sesungguhnya engkau lihat?"

„Tidak . ... tidak apa2.

„Mengapa tak berani mengatakan?"

„Harap jangari tersendat-sendat. Ada hal yang burukpun aku tak takut! "'

„Se-bun sianseng tak dapat mengelak lagi. Terpaksa dengan tersekat ia menyahut: „ Kulihat dalam hutan terdapat sebatang pohon besar, sebuah gedung mewah . . . . " diatasnya tertulis 4 buah huruf ....."

Bukankah berbunyi „Paseban agung Yau-san Se-bun Giok terkejut: „Hai....., mengapa engkau tahu?"

Aku hanya menduga-dugal "

„Tak mungkin! Rupanya engkau faham akan tempat itu."

Sudahlah, jangan menanyakan soal itu. Harap lanjutkan keterangan saja!"

Di dekat Paseban-agung Yau-san itu terdapat sebuah puncak gunung. Di samping gunung ada sebuah guha batu ........ "

„Apa isinya?"

Seorang pemuda cakap sedang duduk bersila, dia ......" tiba2 Se-bun Giok memandang Gak Lui beberapa saat lalu menelan air liur .......

„Dia bagaimana?"

Dengan mengertak gigi, Se-bun Giok menyahut dingin: „Dia tak apa2!"

Tanpa disadari, karena tegang perasaan, Gak Lui mencengkeram, keras tangan Se-bun Giok: „Aku tak percaya, cianpwe harus bilang!"

Melihat itu Gan-Ke-ikpun hentikan gerakan tangannya. lapun segera mencegah: „Harap Gak siau-hiap jangan memaksa. Apa yang tampak pada cermin itu adalah gambaran dari isi hatimu. Tetapipun hanya secara samar2, tak dapat jelas sekali. Misalnya, pertempuran dahsyat dari dua fihak partai. Belum tentu terjadi dalam sebuah tempat. Tetapi dalam cermin itu diperlihatkan suatu pertumpahan darah hebat. Asal musuhmu yang utama sudah tampak, yang lain2 tak perlu engkau pikirkan terlalu serius."

Diam2 Gak Lui menimang: ,,Maharaja, Hidung-Gerumpung dan Topeng Besi, sudah bermunculan. Tentang yang dilihat Se-bun Giok paling akhir, mungkin tentu peristiwa malang yang akan menimpah diriku. Tetapi pokok asal sudah terlaksana membalas dendam, aku tak peduli nasib apa yang akan menimpah diriku! "'Dengan pemikiran itu, ia lepaskan cengkeramanvya pada tangan Se-bun Giok dan menjawab kata2 ketua partai Gelandangan tadi:. „Ucapan pangcu memang benar. Terima kasih!"

Sesaat kemudian Se-bun Glok berkata: „Rasanya saat ini sudah menjelang fajar, baiklah kita segera mengantar jenazah Ceng Suan totiang.

Gan Ke-ik menyetujui.....

Rupanya Gak Lui masih tak enak hati atas kematian Ceng Suan totiang. Maka ia menyatakan bersedia untuk membantu mengantaran jenazah.

Se-bun Giok mengatakan bahwa peraturan Antar Jenazah itu amat banyak. Dia memperingatkan bahwa pemuda itu masih perlu menuju ke gunung Pek-wan-san. Maka lebih baik membagi tugas saja.

Pendapat itu disetujui. Maka Se-bun Giokpun segera mulai mengangkat jenazah Ceng Suan lalu ditegakkan pada pohon.

Gan Ke-ik lalu berkata kepada Gak Lui : „Harap engkau kosongkan pikiran dan menutup kedua mata dengan tangan. Jika hendak melihat, silahkan dari sela2 jari saja."

Memang Gak Lui agak tak percaya. Maka ia tak mau melewatkan kesempatan itu. Ia ingin menyaksikan apakah orang yang sudah mati masih dapat berlari. Muka dan kepala didekap dengan kedua tangan dan hanya diberi sebuah lubang celah jari untuk mengintai keluar.

Gan Ke-ik pun segera bersiap. Tangan kiri bergerak-gerak, mulut berkomat-kamit mengucap doa. Sedang Se-bun Giok sudah menerobos keluar hutap untuk menjaga jangan sampai ada orang yang masuk ke dalam hutan situ.

Gan Ke-ik bergerak makin lama makin ce-pat.

Ia berputar-putar.

Akibat putaran tubuh itu, anginpun timbul keras.

Tiba2 ia berhenti dan membentak pelahan : „Gerak.!"

Sekali tangan kanan menunjuk, ber-hamburanlah angin deras kearah jenazanh Ceng Suan totiang dan mayat itupun melonjak ke muka sampai tiga langkah.

„Jalan !" seru Gan Ke-ik pula dan mayat Ceng Suan totiang itu segera berjalan keluar hutan.

Melihat itu Se-bun Giok tak keburu mengucap selamat jalan kepada Gak Lui karena ia harus cepat2 mendahului untuk menunjukkan jalan.

Selama mengunakkun ilmu menjalankan mayat Gan Ke-ik tak dapat bicara dengan orang. Maka ia hanya melambaikan tangan kepada Gak Lui lalu menerobos keluar hutan.

Setelah ketiga orang itu lenyap, barulah Gak Lui membuka tangannya. Dia tak percaya akan segala ketahayulan. Tetapi apa yang disaksikan tadi, memang benar2 suatu kenyataan. Ia tak percaya akan cermin ajaib dari Gan Ke-ik tadi. Namun diam2 ia bersyukur juga karena mengetahui hal2 mengenai musuhnya. Jika gerombolan Topeng Besi itu terdiri dari lima orang, tentulah mereka itu tokoh2 berilmu tinggi dari kelima partai persilatan. Yang jelas paderi Ceng Ci dari Bu-tong-pay telah menjadi kaki tangan si Maharaya dan membunuh Ceng Suan totiang, ketua Bu-tong-pay saat ini.

Tokoh Kong-tong-pay yang hilang yalah Wi Cun totiang. Saudara sepergguannya yakni Wi Ti dau Wi Tun merasa cemas.

Teringat akan bayang2 yang muncul pada cermin ajaib tadi, diam2 Gak Lui merasa heran juga. Mengapa kelima tokoh partai persilatan yang lenyap dan menjadi kaki tangan Maharaja itu menangisi mayat2 yang bergelimpangan pada lautan darah akibat dari pembunuhan yang mereka lakukan ?"

Dan orang yang menyanggul pedang, berjalan diatas gunung bangkai manusia, tentulah si durjana Maharaja Persilatan. Anehnya, ketika si Hidung Gerumpong mati, orang yang diduga sebagai Maharaja itu muncul pula dalam cermin. Apakah itu bukan menyatakan bahwa cermin ajaib itu hanya khayalan yang tak keruan dan tak dapat dipertanggungan jawabkan kebenarannya? Atau, apakah memang ada dua orang tokoh yang berlainan orangnya?

Menurut keterangan ayah-angkatnya, pembunuh yang pedangnya memakai tanda burung Palang, hidungnya telah terpapas kutung. Tetapi me

keterangan Bok kiam-su, orang yang mukanya berkerudung itu, hidungnya masih utuh, Disesuaikan dengan bayang-bayarg pada cermin ajaib, jelas kalau antara orang yang hidungnya gerumpung dan memiliki pedang pertanda palang, dengan orang yang mengenakan kerudung muka dan mendatangi Bok Kiamsu itu, adalah dua orang.

Tetapi kini tanda guratan palang pada pedang pembunuh itu sudah, diperbaiki. Dengan begitu ia telah kehilangan sebuah jejak untuk mengejar pembunuh orang tuanya. Misteri yang menyelubungi diri Maharaja dan si Hidung Gerumpung makin gelap baginya.

Kemudian Gak Lui teringat akan Se-bun Giok vang tak mau mengatakan tentang Gedung keramat gunung Yau-san dan guha batu di puncak gunung serta pemuda cakap yang duduk bersemedhi dalam-guha batu itu.

„Aku tak pernah melihat wajahku," pikir Gak Lui, „tetapi ayah adalah pemuda cakap pada masa itu. Ah, mungkin wajahku mirip dengan Ayah.

Bahwa Se-bun Giok memandang aku dan tak berani berkata apa2 adalah karena ia melihat mataku ..... mulutku ..... serupa dengan wajah pada cermin itu."

Makin merenungkan tingkah laku Se-bun Giok pada saat melihat bayang2 wajah orang pada cermin ajaib, makin teganglah hati Gak Lui.

„Mengapa tadi mendadak wajah Se-bun Giok berubah pucat ? Ah....., tentulah karena pemuda cakap. yang bersemedhi dalam guha batu itu ... atau dirinya (Gala Lui) .,. tentu akan meneroui ajal secara menge - naskan."

„Mengapa aku harus mati secara mengenss - han?"bertanya Gak Lui dalam hati, „ah....., tentulah karena aku telah banyak dosa membunuh orang ...."

Gak Lui menengadah memandang langit.

Tiba2 ia tertawa mengekeh : „Heh..., heh..., heh...., asal dapat membalas dendam orang tuaku, aku tak peduli akan mati secara bagaimana!"

Kematian orang tuanya, para paman perguruan serta bibi perguruannya, serentak membangkitkan rasa dendam yang membakar hangus sanubari Gak Lui.

Saat itu perasaan Gak Lui amat tegang sekali.

Begitu tegang, sehingga hampir saja ia kehilangan kesadaran pikirannya. Dan apabila sampai pada tingkat yang memuncak -begitu, hawa amarah yang penuh den.gan'nafsu, keganasan itu akan menyerang ke dalam uluhatinya dan dia 'paLti akan tertimpah Co-hwe-jip-mo. Kalau tidak rusak tubuh nya, tentu mati seketika.

Gak Lui tak menyadari hal itu. Dadanya sesak, pikiran linglung dan matapun kabur. Memandang kesekeliling, ia seperti melihat gerumbol pohon di sekeliling itu seperti sosok tubuh dari musuh-musuhnya yang hendak mengepung dirinya.

Serentak ia mencabut sepasang pedangnya dan memekik keras: „Bunuh!" Tetapi makin lama suaranya makin lemah dan akhirnya lenyap.

Tiba2 pula ia memandang pada pedang pusaka Pelangi yang dicekal di tangan kiri. Pedang itu memancarkan sinar yang amat bening tetapi penuh dengan hawa pembunuhan. Akhirnya ia sadar dan pikirannya pun makin tenang. Teringat bahwa pedang itu sudah membunuh tiga jiwa, ia merasa menyesal. Orang tentu akan menuduhnya sebagai seorang manusia ganas yang tak kenal peri-kemanusiaan!

Memandang kearah timur, tampak mentari mulai memancarkan sinarnya yang kekuning-kuningan emas.

Dan samar-samar dalam gumpalan halimun pagi, ia serasa mendengar kumandang doa kaum agama Budha. Seketika pikirannya tersadar.

„Demi membalas sakit hati orang tuaku, mau tak mau aku harus membunuh. Tetapi aku bersumpah takkan membunuh orang yang tak berdosa" Dari lubuk nuraninya, memancarkan hati yang penuh welas asih. Nafsu membunuh yang bampir saja membakar hangus dirinya, mulai reda. Gak Lui terhindar dari sebutan sebagai Durjana dunia persilatan.

„Tetapi tidak mudah untuk membedakan mana orang baik dan mana yang jahat. Ada orang yang bersikap pura2 baik. Ada pula yang setengah, baik setengah jahat," diam2 Gak Lui mongeluh dalam hati

Setelah pikiran agak tenang dan nafsu kemarahannya agak reda, Gak Lui mulai menarik napas untuk menghirup hawa pagi yang segar.

Setelah itu ia menyarungkan kembali kedua pedangnya. Lalu ayunkan-langkah menuju ke gunung Pek-wan-san.

Gunung Pek-wan-san atau gunung Monyet putih disebut dengan nama itu karena bentuk puncak gunung itu hampir menyerupai binatang monyet.

BAB 14 : RAJA IBLIS TULANG PUTIH

LEMBAH GUNUNG Pek-wan-san sunyi senyap. Tetapi, hutan belantara gunung itu tampak hiruk-pikuk dengan margasatwa yang terbang berseliweran. Suatu tanda bahwa mereka tertejut karena kedatangan manusia.

Dan memang pada jalan kecil yang menjurus ke dalam lembah, tiba2 meluncur sebatang anak panah perak. Anak panah pertandaan itu, melayang ke dalam hutan. Menyusul tampak beberapa sosok bayangan memencar bersembunyi ke dalam gerombolan orang. Gerombolan orang itu semua mengenakan jubah dan kerudung muka hitam. Persia seperti anak buah Maharaja.

Setelah mereka bersembunyi, dari arah jalan muncul sesosok tubuh tegak. Sambil memandang keadaan gunung, mulut pendatang itu berseru: „Rupanya inilah gunung Pek-wan-san !"

Pendatang yang bertubuh tegap itu bukan lain adalah Gak Lui. Dengan gembira ia mulai menuruni lembah, tangkas dan lincah sekali langkahnya. Tak terasa ia sedang menuju kearah bariaan pendam.

Sesaat tiba di tepi lembah, tiba2 ia berhenti dan menjamah pedangnya: „Hmm....., mengapa di sini terdapat bau manusia ?"

Kemudian ia memandang ke sekeliling penjuru. Ia heran mengapa unggas dan burung2 itu berterbangan kacau balau.

Katanya: „Burung2 itu berterbangan kaget, tentu ada manusia di sekeliling sini ......."

Ia memandang dan memperhatikan lagi keadaan sekeliling tempat itu. Tetapi tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Pada lain saat ia mengambil kesimpulan : „Ah...., kalau ada jalanan, tentu sering digunakan orang berjalan. Kemungkinan tentu rakyat daerah ini. Mengapa aku berauriga sendiri ........." habia berkata ia terus lanjutkan langkah, menuju ke tengah lembah.

Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan orang : „Gak Lui, bechentilah !"

Gak Lui berhenti dan cepat betpaling ke belakang. Dilihatnya dua orang berkerudung hitam tegak 5 tombak jauhnya dengan menghunus pedang berkilau-kilauan.

„Huh....., kiranya budak2 Maharaja !" dengus Gak Lui, seraya maju menghampiri.

Diam2 Gak Lui menggunakan hidungnya untuk menyelidiki. Ia mendapat kesimpulan bahwa yang menghadangnya itu bukan melainkan kedua orang itu saja, tetapi masih ada lagi. Mungkin jumlahnya cukup banyak. Ia memutuskan untuk cepat2, membereskan kedua orang itu agar menghemat tenaga.

Saat itu ia hanya terpisah tiga tombak dari kedua penghadangnya. Kedua orang itu berkerudung hitam itu segera tudingkan ujung pedangnya dan membentak : „Berhenti !"

Gak Lui berhenti dan berseru :„Mau apa cari aku ?"

„Maharaja memberi perintah, suruh engkau......."

„Suruh aku....?" teriak Gak Lui.

„Benar, suruh kau ikut kami menghadapnya."

„Dia dimana ?"

,,Nanti engkau akan tahu sendiri!"

,,Heh..., heh..., heh...!" Gak Lui tertawa iblis. Penuh dendam kemarahan yang meluap-luap.

Tetapi kedua orang itu tak gentar. Mereka maju tiga langkah dan membentak : „Jangan tertawa-tawa, lekas ikut.

„Aku hendak mengerjakan sebuah urusan !"

„Urusan apa ? "

Sebenarnya Gak Lui sudah menetapkan pendiriannya. Tak mau mencelakai orang yang tak bersalah. Tak membunuh yang tak berdosa.

Tetapi menghadapi kaki tangan Maharaja, ia tak dapat mengendalikan diri lagi, bentaknya : „Akan kuwakili dunia persilatan untuk membasmi kalian pengganggu rakyat !"

Kedua orang berkerudung itu mundur dua langkah, serunya terkejut : „Engkau ....."

Tetapi sebelum mereka sempat bicara lebih lanjut, Gak Lui sudah taburkan pedangnya. Ia gunakan tenaga-sakti Algojo-dunia untuk melepaskan pedang dengan jurus Tho jiu-hui-kiam.

Terdengar, suara mendesis dan pedangpun menancap di dada orang yang berdiri di sebelah kanan.

Kawannya tesentak kaget dan cepat putar pedangnya untuk melindungi diri seraya berseru : „Engkau bukan ........"

Tetapi Gak Lui, lebih cepat lagi. Secepat tangan kanan mencabut pedang di dada korbannya tadi, tangan kiripun segera menaburkan pedang Pelangi.

Orang berkerudung hitam itu makin terkejut. Dalam gugup, ia cepat menangkis. Tring ...., pedangnya terpapas kutung ketika menangkis sambaran pedang Pelangi. Dan pedang Pelangi itu tetap menyusup ke perutnya. Terdengar jeritan ngeri dan terkaparlah orang itu mengge!etak di tanah!

Dalam sekejab mata dua jiwa telah dilalap Gak Lui, kawan2 gerombolan yang bersembunyi di balik batu dan dalam gerombol, terkejut bukan kepalang. Cepat mereka berhamburan loncat keluar dan menyerang Gak Lui.

Gak Lui makin beringas. Maharaja adalah musuh besarnya.

Anak buah Maharaja harus dibasmi habis-habisan.

Dengan sepasang pedang ia mengamuk. laksana banteng ketaton.

Tiba2 terdengar suara gemerincing keras dan tahu2 pedang di tangan kanan Gak Lui telah mencelat sampai tujuh delapan tombak tingginya.

Serempak dua sosok tubuh melambung ke udara untuk merebut pedang itu. Yang satu adalah Gak Lui sendiri. Ia gunakan gerak Rajawalipentang-sayap. Dan yang seorang adalah seorang berkerudung hitam. Gerak orang itupun seringan burung walet.

Pada saat keduanya melambung ke atas, orang berkerudung itu masih dapat memapas kedua kaki Gak Lui.

Pedang Pelangi walaupun tajamnya bukan alang kepalang tetapi sayang agak pendek. Maka Gak Lui tak mau menangkis melainkan terus bergeliatan melambung ke atas. Dan pada saat pedang orang itu hampir tiba, cepat2 Gak Lui menarik kedua kakinya ke atas. Wut ....... pedang menyambar, hanya setengah dim di bawah telapak kakinya.

Gak Lui melakukan suatu gerakan yang istimewa. Dalam melambung tadi, ia gunakan pedang Pelangi untuk menempel pedang yang melayang ke atas tadi. Sedang tangan kanan dihantamkan ke ubun2 kepala musuh.

Orang itu terkejut dan buru2 menangkis dengan tangan kiri: Plak ...... keduanya sama2 meluncur ke bawah lagi. Dan ketika turun ke bumi, mereka terpisah dua tombak jauhnya.

Saat itu pedang yang ditempel dengan pedang Pelangi tadi, ikut terbawanya. Gak Lui lalu mengambilnya lagi. Saat itu ia sudah siap lagi dengan sepasang pedangnya. Setelah itu ia hendak maju menyerang.

Tetapi ia terkejut menyaksikan orang berkerudung itu. Begitu tegak di tanah, orang berkerudung itu terus merobek-robek jubah hitamnya. Kawannyapun juga meniru. Suatu hal yang tak lazim dilakukan oleh anak buah Maharaja.

Gak Lui menatap orang itu tajam2. Seorang lelaki yang berwajah terang dan sikapnya berwibawa. Walaupun kerut wajahnya diliputi dendam

kemarahan, tetapi tak mengunjuk tanda2 sebagai orang jahat.

Gak Lui hendak menegur tetapi orang itu cepat mendahului berteriak: „ Engkau ...... bukan kaki tangan Maharaja? "

Kalian ...... apakah juga bukan?" sahut Gak Lui tak kurang terkejutnya

„Aku adalah ketua perguruan Kiu-hoan-bun!"

„Kiu-hoan-bun? Kalau begitu namamu ........ Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci-jin!"

„Mengapa engkau menyaru sebagai gerombolan jahat?"

„Kaki tangan Maharaja itu sukar diketahui jaknya maka kami terpaksa menyamar untuk mencari mereka! "

„Mengapa menyerang aku? "

„Hanya suruh engkau ikut kami!"

„Dengan tujuan ........."

„Menyelidiki dirimu termasuk aliran Hitam atau Putih "

„Setelah terjadi pertumpahan darah ini, seharusnya engkau tentu sudah jelas! Tetapi......."

„Bagaimana? "

„Dengan cara apa aku mendapat keyakinaa bahwa kalian ini dari Partai Kiu-hoan-bun dan bukannya gerombolan yang memalsu nama perguruan itu?" seru Gak Lui.

Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci-jin tertawa mengekeh. Serunya dengan nada rawan: „Sudah tentu ada bukti yang jelas!"

„Apa ....?"

„Orang ini engkau tentu kenal!" tiba2 ketua perguruan Kim-hoan-bun itu melesat ke samping setombak jauhnya dan cret...,. cret..., ia menyabet hancur kerudung dan jubah sesosok mayat. Yalah salah seorang penghadang yang dibunuh Gak Lui tadi.

„Lihatlah sendiri!" serunya.

Gak Lui maju menghampiri. Ketika memandangi mayat itu berserulah ia dengan getar: „Benar, sudah dua kali aku melihatnya!"

„Dia adalah muridku yang bernama Ji Kok-ceng. Pertama, pedangnya engkau papas kutung tanpa sebab. Kedua kali, ketika di ruang penyimpan mayat Leng-koan-tian, engkau hantam dia sampai terluka .......!"

„Ah...., harap Ji ciangbun jangan sa!ah faham.

Aku mempvnyai dendam sedalam lautan kepada Maharaja.

Perbuatanku memapas pedang dan peristiwa tadi, adalah serupa tujuanku. Sayang muridmu bersitegang leher dan tetap salah faham"

Rajawali tanpa bayangan dapat menyelami penjelasan Gak Lui. Namun dengan mengertak gigi ia berkata: „Walaupun begitu, tetapi tindakanmu itu memang kelewat ganas !"

Sambil memandang korban yang menggeletak di tanah itu, Gak Lui menjawab: „Memang harus disesalkan ketidak jelasnya antara kawan dan lawan...... aku sungguh menyesal sekali atas periatiwa itu."

„Korban begini banyak, apakah cukup dengan pernyataan menyesal saja ?"

Melibat orang makin keras bicaranya, Gak Lui segera bertanya : „Ji ciangbun, andaikata aku membawa sejumlah besar anakbuah dan menyaru sebagai gerombolan Maharaja lalu menyuruhmu ikut. Apakah Engkau menurut atau melawan ....?"

„ini.... "

„Engkau dan aku sama2 sehaluan. Sama2 hendak membasmi kawanan durjana. Seharusnya kita bersatu padu melaksanakan tujuan itu. Kalau tidak, bukankah kita akan ditertawai kawanan penjahat itu ....... !" tukas Gak Lui.

Wajah Rajawali tanpa-bayangan berobah-robah tak menentu. Terbit pertentangan dalam batinnya Akhirnya dengan menahan segala rasa sakit hatinya, ia berkata: „ Demi menghadapi musuh bersama, untuk sementara baiklah kita jangan bentrok sendiri

Tetapi ingat, kami takkan membiarkan anakmurid perguruan Kiu-hoan-bun mati secara begitu saja !"

„Maksud ciangbun ....... "

Setelah berhasil membasmi gerombolan Maharaja, kita nanti selesaikan lagi urusan ini. Dengan mengandalkan kepandaian kita masing2, kita nanti tentukan siapa yang kalah dan menang !"

Terhadap tantangan yang adil, Gak Lui selalu menerima. Terpaksa ia anggukkan kepala :„ Jika Ji ciangbun tetap menhendaki penyelesaian begitu, akupun hanya menurut saja. Namun atas kematian murid Kiu-hoan bun, dengan ini sekali lagi aku menyatakan rasa, sesal yang tak terhingga!"

Setelah terjadi kesepakatan damai itu, keduanyapun mundur dan menyarungkan senjatanya.

Tiba2 dari atas pohon sejauh 10-an tombak, terdengar suara tertawa seram. Nadanya mirip burung hantu mengukuk di tengah malam. Sekalian orang tersentak kaget.

Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci-jin memandang ke arah suara tertawa itu. Bahkan salah seorang marid Kiu-hoan-bun sudah cepat2 ayunkan tubuh melayang ke arah pohon itu.

Tetapi baru tubuh murid Kiu-hoan-bun itu melambung di tengah udara, tiba2 dari arah pohon yang lebat daunnya itu melayang selembar daun. Daun itu menyambar murid Kiu-hoan-bun dan memaksanya jatuh ke tanah lagi.

Ilmu melontar daun itu, benar2 mengejutkan sekali. Pelepasnya tentu seorang ahli tenaga-dalam yang sakti.

Tring..., Rajawali-tanpa-bayangan mencabut pedang terus hendak enjot tubunya menyerang ke atas pohon.

„Ih ciangbun, jangan bergerak....!" tiba2 orang diatas pahon itu berseru perlahan namun amat kuat nadanya, „muridmu tidak terluka. Kalau tak percaya, dia tentu segera bangun."

Rajawali-tanpa-bayangan tertegun. Dan ah...., benar juga, muridnya yang terkena timpukan daun tadi segera loncat bangun tak kurang suatu apa.

Siapa engkau !" seru ketua Kiu-hoan-bun.

„Jangan hiraukan aku ini siapa. Pokoknya, aku seorang yang bermaksud hendak membantumu!" sahut orang aneh itu.

„Bermaksud baik membantuku?" ulang Ih Ci-jin ketua Kiu-hoan-bun.

„ Aku sengaja datang kemari karena hendak menelanjangi kedok Gak Lui !"

„Oh....." Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci-jin serentak berpaling memandang Gak Lui.

„Dia memang kaki tangan si Maharaja! Harap Ih ciangbun jangan mudah melepaskannya !" seru orang di atas pohon itu pula.

Rajawali-tanpa- bayangan menegas : „Saudara sendiri main sembunyi tak berani unjuk muka.

„Bagaimana aku dapat mempercayaimu...?"

Dengan tenang, orang itu menyahut: „Setiap kaki tangan Maharaja, tentu membawa sehelai lencana kecil dari emas. Tak percaya, silahkan ciangbun menggeledah badannya!"

Gak Lui terkejut, pikirnya: „Aku memang masih membawa lencana emas milik Setan Keluyuran, tetapi mengapa dia bisa tahu ...?"

Ia tak dapat melanjutkan penimangannya karena saat itu dilihatnya Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci jin berputar tubuh dan memandangnya lekat2. Gak Lui terpaksa memberi penjelasan, „lh ciangbun, memang lencana itu ada padaku. Tetapi kudapatnya dari murid Pek-kut Mo-kun ......"

„Mengapa tadi tak bilang?"

„Kuanggap hal itu tak perlu ....."

„HEH..., HEH...., HEH ....." terdengar orang misterius yang bersembunyi di atas pohon itu tertawa mengejek dan menukas pembicaraan Gak Lui. „Gak Lui, engkau memang anak yang pandai. Tetapi sok pintar. Jelas engkau sudah mengetahui ketua partai Kiu-hoan-bun tetapi engkau, toh membunuh anak muridnya. Masakan di dunia terdapat seorang ketua perguruan silat yang mau menerima begitu saja murid2nya dibunuh orang ......"

Mendengar itu, sepasang mata Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci-jin merah membara. Ia berpaling ke arah pohon.

„Oh...., ciangbun jangan deliki mata kepada ku! sama sekali aku tak bermaksud mengejek perguruan Kiu-hoan-bun. Tetapi jelas dia adalah kaki tangan Maharaja yang tak dapat diberi ampun. Kalau engkau takut, baiklah diatur secara begini saja.

„Secara bagaimana!" teriak ketua Kiu-hoan-bun, dengan murka.

„Silahkan engkau" membawa pergi anak muridmu. Nanti aku sendiri yang membereskan budak itu!"

„Ngacol" bentak Ih Ci-jin.

„Kalau ciangbun memang berani turun tangan sendiri, aku bersedia membantu agar engkau jangan sampai menjadi mayat!"

„Fui!" ketua Kiu-hoan-bun itu seperti meledak dadanya. Dengan kalap ia segera menyerang Gak Lui.

Gak Lui loncat melayang melalui atas kepala ketua Kiu-hoan-bun, menuju kepohon tempat bersembunyi-nya orang itu.

„Huh, engkau hendak melenyapkan mulut agar jejakmu tak di ketahui orang? Hm....., aku bukan sebangsa ketua Kiu-hoan-bun yang mudah engkau hina......"

Kata2 orang itu benar2 seperti minyak yang menyiram kemarahan ketua Kiu-hoan-bun. Akibatnya, ketika Gak Lui masih kurang dua tombak dari pohon, tiba2 ia rasakan punggungnya dilanda hawa dingin dari sebuah pedang tajam.

Ternyata ketua Kiu-hoan-bun sudah tak tahan lagi mendengar kata2 ejekan orang diatas pohon itu. Serentak ia enjot tubuh melayang keudara dan menyerang punggung Gak Lui.

Gak Lui diam2 mengeluh. Ia tahu bahwa karena memiliki ilmu meringankan tubuh yang sakti, maka ketua Kiu-hoan-bun itu mendapat julukan Rajawali-tanpa-bayangan.

Namun Gak Lui tak mau unjuk kelemahan. Berserulah ia dengan garang: „Bagus ....." sambil menekuk kedua lututnya untuk menghindari serangan, pedangnyapun ditabaskan kebelakang. Wut..., wut..... tabasan itu tak berhasil menghalau pedang lawan. Dalam gugup ia bergeliatan melambung lebih tinggi lagi. Dengan gerakan itu, dapatlah ia menghindari pedang ketua Kiu hoan-bun.

Tetapi ketua Kiu-hoan-bun itu tetap membayanginya. Tiga buah serangan sekaligus dilancarkan kearah perut dan punggung Gak Lui.

Gak Lui makin gugup. Keringat dingin membasahi jidatnya. Ia cepat gunakan ilmu sakti Rajawali-pentang-sayap. Seklipun ilmu itu amat dahsyat tetapi hanya mampu menangkis sekali dua kali serangan lawan.

Dalam detik2 terancam maut, tiba2 Gak Lui teringat akan suatu jurus permainan yang istimewa.

Tring...., tring...., tring...... Bukan hanya dapat menghalau ketiga serangan kilat dari ketua Kiu-hoan-bun, bahkan masih dapat balas menyerang juga.

Ketua Kiu-hoan-bun benar2 terkejut dan terpaksa melayang turun kebumi.

Dalam pada itu Gak Lui pun tak dapat bertahan lebih lama lagi.

Ia melayang turun tak jauh dari tempat ketua Kiu-hoan-bun.

Serunya: „Harap berhenti dulu. Jangan sampai terkena tipu muslihat orang ......"

„Kentut! Gantilah jiwa muridku!", dengan geram ketua Kiu-hoan-bun menyerang lagi.

Karena putus-asa memberi penjelasan, terpaksa Gak Lui gunakan jurus Burung hong-pentang-sayap untuk menangkis. Sambil berlincahan menghindar, diam2 Gak Lui menimang: „Ketua Kiu-hoan-bun ini memang tak bersalah. Aku tak boleh melukainya. Memang yang harus diberantas adalah orang yang bersembunyi diatas pohon itu. Aku harus berdaya untuk membuat perhitungan dengan manusia itu ....."

„Budak Gak, jika engkau tak mau menyerah aku terpaksa hendak mendatangkan bala bantuan." seruketua Kiu-hoan-bun.

„Ooo...., engkau mempunyai bala bantuan?"

„Partai Ceng-sia-pay memang sudah berserekat dengan partaiku.

Engkau tentu tahu betapa kesaktian imam Thian Lok itu!"

„Dia juga berada disini?"

„Dekat sekali!"

„Celaka!" diam2 Gak Lui mengeluh. Seorang Ih Ci-jin saja sudah repot, apalagi masih ditambah deugan ketua Geng-sia-pay. Apabila sampai tambah musuh dengan Ceng-sia-pay, jahanam diatas pohon itu tentu akan menggunakan siasat untuk mencelakai diriku !"

Akhirnya Gak Lui mengambil keputusan. Ia harus cepat2 menyelesaikan pertempuran sebelum keadaan bertambah berbahaya.

Serangan Ih Cin-jin tadi jelas menggunakan ilmu pedang ajaran paderi sakti Thian Liong. Tetapi Ih Cin-jin baru menggunakan dua jurus. Dan ilmu pedang dari Thian Liong itu terdiri dari empat jurus.

Tanpa banyak pikir lagi, Gak Lui segera gunakan sisa kedua jurus ilmu ajaran Than Liong dengan dilambari ilmu tenaga dalam. Sekali mengeluarkan jurus permainan itu, Ih Cin-jin terpaksa barus mundur tiga langkah.

Menggunakan kesempatan pada saat gerakan pedang ketua Kiu-hoan-bun itu agak lambat, Gak Lui cepat menyerang dengan jurus Menjolok-bintang-memetik-bulan. Tring....., tiba2 pedang ketua Kiu-hoan-bun itu terlepas dari tangan dan, secepat itu juga Gak Lui sudah lekatkan ujung pedangnya ketenggorokan ketua Kiu-hoan-bun.

Gerakan itu berlangsung, teramat cepatnya sehingga anak murid Kiu-hoan-bun tak sempat ma-nolong ketuanya -lagi,

„Karena sudah menand, lekaslah bunuh $to .... 1" seru* ketua Kiu-hoan-bun.

„Ih ciangbun," seru Gak Lui dengan dingin, „aku takkan mencelakai kaum Putih. Hanya kuminta engkau suka menerima peringatanku, yang sungguh-sungguh !"

„Hmm......           "

„Peristiwa hari ini, kuharap habis sampai dicini saja Tak perlu menyeret partai Ceng-sia-pay kemari. Kelak apabila kita langsungkan pertempuran yang menentukan, bolehlah engkau panggil mereka!"

„Benar ?"

,,Tentu!" sahut Gak-Lui tegas, „jangankan hanya Ceng-sia-pay, tambah yang lain2 lagi pun kuterima."

Walaupun malu dan marah tetapi ketua Kiu-hoan-bun itu terpaksa menerima.

Gak Lui pun menyarungkan pedang dan memandang kearah pohon.

Aneh..., mengapa tak tampak suatu gerakan apa2. Ia duga orang itu tentu sudah pergi karena rencananya mengadu domba gagal.

Karena tak ingin bentrok dengan orang Ceng-sia-pay, Gak Lui pun segera lanjutkan perjalanan.

Sepeminum teh lamanya, ia mencapai puncak gunung yang kedua.

Berpaling ke belakang, rombongan orang Kiu-hoan-bun tadi sudah tidak kelihatan.

„Untunglah aku mengerti ilmu pedang Tiga jurus ajaran Thian Liong locianpwe sehingga tak sampai menemui kesukaran. Rasanya petuah mendiang bibi-guru supaya aku mempelajari berbagai ilmu pedang partai persilatan lalu berusaha menciptakan sebuah ilmu pedang sendiri, memang benar sekali . . . . " pikirnya.

Memandang ke muka, jarak gunung Pek-wan-san hanya tinggal separo. Setelah melintasi sebuah lembah, tentu sudah tiba. Maka iapun segera percepat langkah untuk menuruni lamping gunung.

Tetapi alangkah terkejutnya memandang ke bawah, tampak belasan sosok tubuh sedang berlincahan dalam sinar pedang. Ah, kiranya di lembah itu sedang berlangsung pertempuran.

Seorang imam tua berambut putih sedang bertempbr seru, dengan seorang berjubak kelabu. ilmu pedang si imam tua dahsyat dan ganas. Masih ditambah pula dengan gerakan tangan kirinya yang ikut menyerang dengan pukulan yang bertubi-tubi. Walaupun terpisah jauh, tetapi Gak Lui dapat merasakan betapa hebat serangan imam tua itu.

Tetapi ternyata orang aneh berjubah kelabu itupun hebat sekali. Sepintas pandang ia seperti tak memakai senjata dan hanya menggunakan sepasang tangan untuk menghadapi serangan pedang si iman tua.

Dengan berlincahan, jubah kelabu itu taburkan jubahnya. Taburan itu menimbulkan deru angin yang membangkitkan debu tebal.

„Imam tua yang menggunakan pedang itu apakah bukan ketua Ceng-sia-pay, tetapi siapakah orang berjubah kelabu itu?" Gak Lui bertanya seorang diri.

Kemungkinan Gak Lui itu rupanya diketahui oleh siorang berjubah kelabu. Dia kendorkan gerakannya dan mengucap beberapa patah kata ke - pada si imam tua. Imam tua itu serentak berpaling memandang ke arah- Gak Lui

„Ha..., apakah artinya itu....." tiba2 orang ber jubah kelabu itu berseru lalu loncat menghampiri Gak Lui seraya berseru nyaring: „Gak Lui, mengapa engkau baru datang sekarang? Si imam tua Thian Lok ini kuserahkan padamulah!"

Kedua orang itu bergerak cepat sekali. Dalam sekejab saja mereka sudah tinggal berpuluh tombak dari Gak Lui.

Di luar dugaan, habis berseru tiba2 orang berjubah kelabu itu terus loncat menyusup masuk ke dalam hutan. Dengan demikian, si imam tua terlanjur berhadapan dengan Gak Lui.

Imam itu tanpa,banyak bicara lagi terus me-nyerang Gak Lui. Tetapi Gak Lui tak mau melayani. Cepat ia loncat ke udara dan melayang ke dalam hutan, mengejar orang berjubah kelabu tadi.

Imam tua Thian Lok totiang heran, pikirnya: „Jika mereka berdua bersatu mengeroyok aku, tentu mereka akan menang. Tetapi mengapa mereka malah melarikan diri ......? "

Karena tak tahu siasat orang, imam itupun tak mau mengejar.

Ia memutuskan mencari ketua Kiu-hoan-bun untuk berunding.

Mengapa Gak Lui mengejar arang berjubah kelabu itu?.

Karena setelah mendengar suaranya, tahulah Gak Lui, bahwa orang itu bukan lain adalah orang yang bersembunyi di atas pohon dan mengadu dombanya dengan ketua Kiu-hoan-bun tadi.

Dengan mengandalkan penciuman hidungnya yang tajam, Gak Lui lanjutkan pengejaran.

Saat itu ia tiba di sebuah gerombol pohon yang menjulang tinggi, di bawah kaki gunung Pek-wan-san.

Gak Lui menyusup ke dalam hutan kecil itu dan dapatlah orang baju kelabu itu tegak berdiri di sebelah muka. la terkesiap melihat perwujutan orang itu. Sepasang pipinya kempot tak berdaging. Wajahnya menyeramkan. Tubuhnya tinggi kurus. Kedua lengannya yang panjang, menjulai sampai ke bawah lutut."

Begitu melihat Gak Lui, orang itu segera bersiap.

Ia tertawa iblis: „ Heh..., heh..., he...., kiranya boleh juga engkau ini.

Dapat melintasi dua lapis tokoh Kiu-hoan-bun dan Ceng-sia-pay ...."

„Pek-kut Mo-kun jangan mimpi, siasatmu yang licik itu mampu merintangi aku!" bentak Gak Lui.

„0oo...!," orang itu mundur setengah langkah, „mengapa engkau tahu diriku ?"

„Bukan hanya kenal tetapi pun tahu bahwa engkau adalah kaki tangan si Maharaja!"

„Selain itu apalagi, yang engkau ketahui ?"

„Tipu muslihatmu yang hendak mencelakai diriku. Muridniu si Setan Keluyuran telah membunuh sepasang Jago Pedang Samudera dan Pedang Gelombang. Kemudian engkau memikat murid2 partai persilatan untuk menjepit ruang gerakku. Dan engkau sendiri lalu membunuh Bok Kiam-su, melukai kawanku lalu mengadu domba Kiu-hoan-bun dan Ceng-sia-pay dengan aku. Benar engkau seorang bajingan tengik ........"

„Pek-kut Mo-kun tertawa iblis: „Heh..., heh..., heh..., belum aku membuat perhitungan padamu tentang muridku yang engkau bunuh itu, engkau sudah mendahului menagih hutang paddku !"

„Jangan ngaco belo! Lekas cabut senjatamu, aku segera hendak membereskan engkau !" bentak Gak Lui.

„Aku sih tak bermaksud hendak berkelahi," sahut Pek-kut Mo-kun seenaknya.

„Apakah engkau, hendak bunuh diri sendiri?"

„Jangan lancang mulut! Kalau hendak membunuhmu, adalah semudah orang membalikkan telapak tangan. Tetapi aku meadapat perintah supaya menangkapmu hidup2!"

„Siapa yang memerintahkan engkau?"

„Maharaja! "

„Dia suruh engkau mencari aku?"

„Ya!"

Gak Lui terkesiap, pikirnya: „Menilik gelagat memang ucapannya itu benar. Ditilik dengan akalnya untuk mengadu domba Kiu-hoan-bun tetapi tak mau turun tangan sendiri, kemudian ia sengaja merintangi Thian Lok totiang agar bentrok dengan aku, memang rupanya dia hendak menghabiskan tenagaku, baru diringkus!"

„Justeru aku memang hendak mencarinya. Katakanlah dulu di mana ia berada?" serunya.

Lebih dulu engkau menanyakan tempatnya, setelah itu baru engkau membunuh aku. Tetapi ho, tak semudah itulah! " ejek Thian Lok totiang.

Lalu bagaimana kemauanmu?"

Pek-kut Mo-kun keliarkan mata memandang -keempat penjuru lalu berkata: „Engkau harus menjawab beberapa pertanyaanku dulu!"

„Katakanlah!"

„Pada waktu kubunuh Bok Kiam-su. hanya si wanita Bidadari Tong-ting yang tahu. Karena engkau tahu juga, jelas engkau tentu mempunyai hubungan dengan Kaisar dan Empat permaisuri: Benar atau tidak?"

„Aku tak mempunyai hubungan apa2 dengan mereka berlima," sahut Gak Lui, „tetapi mengapa engkau membunuh Bok Kiam-su? Apakah juga atas perintah Maharaja?"

„Tukang bikin pedang itu tak mau mendengar kata-kataku. Terpaksa kubunuh. Orang se macam begitu, masakan Maharaja sudi mengurus!"

Mendengar itu Gak Lui agak kecewa. Karena kalau pembunuhan Bok Kiam-su itu dilakukan atas perintah Maharaja, jelas-sudah, bahwa Bok Kiam-su itu memang orang yang dahulu pernah membikin betul pedang Maharaja.

„Engkau mengatakan tak punya hubungan apa2 dengan Kaisar dan Empat Permaisuri. Tetapi jurus permainan pedangmu melambung keudara dan menyerang itu tadi, mirip dengan itmu ajaran Kaisar Persilatan yang bernama jurus Naga-sakti-mengibas ekor. Cobalah engkau terangkan?"

Tetapi Gak Lui tak mau menyebut sumber dari ilmu pedang itu. Maka ia hanya tertawa: „Menurta anggapanmu, sampai dimanakah tingkat ilmu pedang yang ku gunakan tadi?"

„Hm ....., baru mencapai empat lima bagian saja !"

„Kenapa engkau memastikan ilmu pedang itu dari ajaran Kaisar Persilatan? "

„Hai.., apakah bukan dia yang mengajarkan?" Pek-kut Mo-kun terbeliak, „ku!ihat semua jurus permainan pedangmu aneh. Apakah memang dari sumber ajaran yang istimewa"

Gak Lui tertawa makin keras: „Pintar juga engkau, dapat menduga"

„Kalau begitu ... apakah namanya ilmu pedang itu?"

„Pedang Halilntar"

„PEDANG .......HALILINTAR ....... ?" Pek-kut Mo-kun menyurut mundur tiga langkah.

„Ya...., Thian-lui-koay-kiam atau Pedang Halilintar aneh. Ilmu pedang yang khusus untuk melenyapkan kaum durjana dan siluman!"

Seketika berobahlah wajah Pek-kut Mo-kun: „ Ilmu pedang itu bukan olah2 dahsyatnya Kecuali ilmu sakti Liok-to-sin-thong dari kaum agama, tak mungkin ada yang dapat memecahkan ilmu pedang itu ...... Dan ternyata engkau dapat mempelajari.. Ah...., makanya engkau dinamakan Gak- Lui si halilintar ........"

Rupanya Gak Lui juga terpengaruh oleh kata2 orang itu, diam2 ia terkejut sendiri: „Memang aneh benar. Mengapa di-dunia, persilatan terdapat ilmu pedang yang bernama begitu. Kalau menurut omongan iblis tua ini, nama itu mengandung sesuatu rahasia ......... apakah nama itu mempunyai sangkut paut dengan perguruan Bu-san? Sehingga ayah lalu menggunakan nama jurus itu untuk namaku?"

Jika benar hal itu merupakan rahasia dari perguruan Bu-san, tentu sedikit sekali orang yang tahu. Ayahnya tak meninggalkan pesan apa2.

Taruh kata ia tahu, pun sukar untuk menyelidiki rahasia itu.

Ayah-angkatnya, Pedang Aneh, paman gurunya Pedang Iblis dan bibi gurunya Pedang Bidadari, juga tak pernah membicarakan soul itu. Kini mereka sudah meninggal. Tak dapat ia bertanya lagi ........

Setelah termenung-menung beberapa saat, Gak Lui melangkah maju dan menegur Pek-kut Mo kun : „Dari mana engkau mendengar hal itu, lekas bilang!"

„Maha ........" baru Pek-kut Mo-kun berkata sepatah kata, tiba2 ia teringat kalau kelepasan omong. Maka cepat2 ia berhenti.

„Ho..., kiranya si Maharaja yang bilang. Selain itu masih ada apa lagi?

Suruh, aku menangkapmu hidup-hidup, untuk dibawa menghadap kepadanya !"

„Hm..., engkau yakin mampu melakukan!"

Pek-kut Mo-kun tenangkan diri lalu menyahut sinis : „Budak she Gak, jika engkau anggap aku takut kepadamu, engkau salah. Pula kalau engkau membangkang akan kubawa menghadap . Maharaja, engkaupun salah hitung!"

Diam2 Gak Lui menimang: „Kalau kubunuhnya, tentu aku kehilangan petunjuk untuk mancari jejak si Mabaraja. Baiklah kubiarkan dia hidup.

Kelak apabila sudah dapat menemukan Maharaja, masih ada waktu kubunuhnya lagi !"

Setelah menetapkan rencana, berserulah Gak Lui : „Baik bawalah aku!"

Tetapi Pek-kut Mo-kun tertawa seram. Ia melangkah maju: „Membawamu dengan cara begini, kurang leluasa ........."

Pek-kut Mo-kun maju beberapa langkah, ulurkan tangannya yang panjang menuding Gak Lui: „Serahkan dulu pedangmu itu kepadaku"

„Kentut......." belum Gak Lui selesai memaki dengan gerak secepat kilat ia mencengkeram kedua bahu Gak Lui.

Gak Lui terkejut.

la tak menyangka sama sekali akan diserang begitu tiba2.

Tak mungkin ia menghindar lagi.

Satu2nya jalan ia harus berlaku tenang dan endapkan bahunya kebawah.

Pek-Kut Mo-kun sudah mengekeh girang karena melihat pemuda itu tak dapat menghindar lagi. Ia salurkan tenaga dalam kearah jari2 yang hendak dicengkeramkan itu. Tetapi betapa kejutnya ketika Gak Lui mengendap kebawah dan tiba2 babatkan pedang kelengannya.

Cret..., cret..., cret..., cret.... kedua lengan jubah Pek-kut Mo-kun berhamburan sepeirti gumpalan salju turun dari langit.

Seketika tampaklah sepasang lengan yang aseli dari durjana itu.

Gak Lui terkejut juga.

Dengan jurus Membelah-emas-memotong-kumala yang lihay, ternyata ia masih belum mampu membabat kutung lengan orang.

Tetapi ketika mengawasi lawan, barulah ia mengetahui sebabnya.

Ternyata Pek-kut Mo-kun mencekal sepasang senjata aneh....., yaitu sepasang tangan palsu terbuat dari logam.

Tangan palsu itu sebesar mangkuk dan jari-jarinya merentang terbuka mirip cakar ayam.

Kerasnya bukan kepalang, sehingga pedang atau senjata yang bagaima:na tajamnya pun tak mampu memapasnya.

Tetapi sekalipun tak sampai terluka, Pek-kut Mo-kun marah juga.

Serangannya gagal, lengannya hampir kutung.

Serentak ia menyerang hebat dengan sepasang tangan palsu itu.

Gak Lui juga marah sekali.

Cepat ia cabut pedang Pelangi dan tangan kiri mencekal pedangnya sendiri.

Yang satu, menyerang dengan jurus Burung-cenderwasih-pentang-sayap. Sedang pedang di tangan kiri bergerak dalam jurus Salju-berhamburan-mencabut-nyawa.

Tetapi Pek-kut Mo-kun memang bukan tokoh sembarangan.

Tangan besi yang disebut Cakar-pemetik-hati, juga tak kalah hebatnya.

Dan yang lebih mengerikan.

Taburan Cakar-pemetik-hati itu menghamburkan hawa yang amat busuk sekali sehingga orang hampir muntah.

Cepat sekali pertempuran itu berlangsung sampai 100 jurus.

Pek-kut Mo-kun mulai gelisah.

Kepalanya bercucuran keringat dingin.

la telah mendapat perintah untuk menangkap hidup Gak Lui. Tetapi ternyata ilmu pedang pemuda itu bukan olah2 hebatnya.

Begitu pula ia memiliki ilmu yang aneh.

Yalah tenaga-dalam yang dapat meminjam tenaga-lawan untuk mengembalikan lagi pada lawan.

Dapat pula tenaga-dalam itu digunakan-untuk menyedot dan mendorong.

Dan yang lebih mencemaskan hati Pek-kut Mo-kun adalah, ia duga kemungkinan pemuda itu masih belum mengeluarkan ilmu pedang Halilintar yang luar biasa hebatnya. Sekali pemuda lawannya itu menggunakan ilmu pedang itu, tentulah ia akan menderita kekalahan.

Dengan mengandalkan ketajaman pedang pusaka Pelangi, dapatlah Gak Lui memapas kutung tangan palsu Cakar-pemetik-hati lawan. Tetapi untuk beberapa waktu, ia tetap belum mampu mengalahkan. Dan memang ia, mempunyai rencana untuk menangkapnya hidup agar dapat dikorek keterangannya.

Pemikiran itupun dimiliki oleh Pek-kut Mo-kun juga.

lapun ingin menangkap Gak Lui hidup-hidup agar tak melanggar perintah Maharaja.

Sesaat kemudian tampak sepasang mata Pekkut Mo-kun menyala.

Jubahnyapun lalu menggelembung besar.

Rupanya ia tengah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.

„Hm...., dia mau mengeluarkan acara baru apa lagi ...." baru Gak Lui memikir begitu, tiba2 Pek-kut Mo-kun taburkan sepasang cakar besi kepadanya.

Melihat lawan berlaku kalap, lemparkan sepasang senjata dari jarak dua tombak, Gak Lui hendak menangkis dengan pedangnya. Tetapi ketika melihat sepasang cakar itu memancarkan AL nar aneh, diam2 ia menimang: „Ah..., cakar itu tentu mengandung gerakan yang tak terduga-duga"

Maka ketika cakar itu hampir tiba, iapun cepat menggembor dan gunakan ilmu menimpuk pedang. Kedua pedangnya ditaburkan untuk menyongsong.

Tring..., tring..... terdengar ledakan keras dari dua pasang senjata yang saling berbentur.

Pedang milik Gak Lui sendiri, terlempar ke tanah dan kutung menjadi dua. Tetapi pedang pusaka Pelangi berhasil menghancurkan sebuah cakar.

Begitu terpapas kutung, jari2 cakar itu segera berhamburan di udara seluas tiga tombak.

Melihat itu Gak Lui cepat enjot tubuh melambung ke udara.

Tetapi ternyata ia terlambat sedikit.

Dan batang jari cakar telah menancap dikedok kulit yang menutupi mukanya Dengan gugup Gak Lui segera lepaskan dua buah pukulan ke samping. Dengan pukulan itu ia beruntung dapat menghalau taburan jari cakar yang beracun.

Setelah itu sambil mencabut kedua batang jari cakar yang menancap di kedok mukanya, ia loncat ke samping.

Tetapi karena kaget terkena taburan jari cakar itu, gerakan Gak Lui agak terlalu lambat. Dan memang Pek-kut Mo-kun sudah siap.

Secepat taburkan cakar besi, ia terus menyusali dengan sebuah hantaman.

Plak..... bahu Gak Lui yang sebelah kiri kena termakan.

Seketika pemuda itu rasakan hawa murni dalam tubuhnya bergolak keras dan huak .... ia muntah darah.

Pada saat melayang ke bumi, ia harus terhuyung sampai dua tombak.

Tetapi dalam keadaan sempoyongan itu, ia masih dapat hantamkan tangan kanannya.

Bum....... terdengar bunyi macam tambur dipukul dan pakulan itu tepat mengenai ketiak Pek-kutMo-kun.

Durjana itu berkuik-kuik seperti babi di-sembelih.

Dadanya berlumuran darah dan jatuhlah ia terduduk di tanah.

Untung tak jatuh di atas sebuah cakar besi yang menggeletak di tanah.

Pek-kut Mo-kun benar2 gelagapan sekali.

Sebelum Gak Lui sempat berdiri tegak dan menghantam lagi, cepat ia menyambar senjata cakar besi dan dengan menahan rasa kesakitan, ia nekad menyerbu maju.

Tetapi baru maju selangkah tiba ia melibat tiga tombak di belakang Gak Lui, muncul seorang gadis cantik. Gadis itu mengenakan pakaian warna merah segar dan tengah memandangnya dengan marah.

Pek-kut Mo-kun terkesiap kaget.

Bahwa gadis cantik itu dapat muncul dengan tiba2 tanpa diketahui, dan didengar gerakannya, tergetarlah hati durjana itu.

„Siapa engkaau!" bentak Pek-kut Mo-kun.

Dengan pelahan berserulah gadis cantik. itu menegurnya: „Apakah engkau tak pernah mendengar Kaisar dan Empat Permaisuri ?"

„Hai......." mendengar itu menjeritlah Pek-kut Mo-kun terus loncat melarikan diri masuk kedalam gerombolan pohon.

Karena darahnya yang bergolak itu masih belum tenang, Gak Lui terpaksa melakukan pernapasan beberapa saat.

Setelah dapat menenangkan hawa murninya, barulah ia memungut pedang pusaka Pelangi lalu berputar tubuh menghadapi gadis yang berdiri di belakang.

la sudah mendengar bahwa gadis itu, menyebut dirinya sebagai salah satu dari Empat Permaisuri.

Dan teringatlah ia bahwa salah seorang tokoh Empat Permaisuri yakni Dewi telaga Tong thong telah menolong gadis ular Siu-mey.

Ia merasa berutang budi kepada gadis itu.

Maka pada saat ia hendak menghaturkan terima kasih, ia hendak gu-nakan sebutan 'cianpwe'.

Tetapi baru mulut mengatakan ‘Cian ........' , ia sudah berhenti lagi.

Gadis yang di hadapannya itu sedang menjingjing sebuah bakul berisi bunga dan rumput. Dan ketika maju menghampiri langkahnya pun ringan dan gesit sekali.

Ia duga tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi.

Tetapi kalau gadis itu dikata sebagai salah seorang Empat Permaisuri, ah....., jauh sekali ya...., jauh sekali kecantikan gadis itu dengan mereka.

Sepasang bibir dari gadis itu merekah semerah delima, tertawa: „Gak Lui, bagaimana dengan lukamu ?"

„Ah...., tak jadi apa...... tetapi ....., cian...... eh, nona mengapa kau tahu namaku?"

„Hi..., hi...., hi.....," gadis itu tertawa. Nada-nya mirip dengan suara burung kenari, „kudengar dari pembicaraan kalian tadi."

„Kalau .......... begitu, kapankah engkau berada di sini ?"

„Aku lebih dulu dari kalian. Tetapi aku bersembunyi dan kalian tak melihatku."

„Perlu apa ke gunung Pek-wan-san sini ?"

„lh, rumahku di atas gunung. Karena mencari dedaunan obat maka aku turun kemari."

„Kalau begitu engkau bukan salah seorangdari Empat Permaisuri ?"

Gadis jelita itu tertawa.......

BAB 15: PERTARUNGAN DI TELAGA PEDANG

„MEMANG sebenarnya bukan !" seru gadis jelita itu," kutahu siluman tua itu hendak mencelakai dirimu. Aku merasa kalah sakti dengannya tetapi kudengar dia takut setengah mati kepada Kaisar dan Empat permaisuri. Maka kucoba untuk menggertaknya dengan nama itu dan ternyata berhasil !"

„Nona, tindakanmu tadi sungguh berbahaya. Kelak tentu akan kubalas budimu," kata Gak Lui.

Gadis itu hanya mendengus dengan pipi kemerah2an: „Ah..., aku tak berani mengharap balas. Tetapi aku mempunyai sebuah permintaan . . . . entah engkau dapat meluluskan atau tidak !"

„Asal aku mampu melakukan saja"

„Maukah engkau membuka kedok mukanya yang aneh itu bararg sebentar saja?"

„Maaf, hal itu diluar kemampuankul"

Gadis itu mengeliarkan mata beberapa jenak lalu tersenyum: „Tak percaya! Dengan mudah sekali engkau dapat melakukannya, mengapa tak mau?"

„Nona, aku telah bersumpah. Sebelum tiba waktunya, aku takkan melanggar sumpah itu itu"

„Apakah engkau tak pernah membukanya? Apakah tak parnah orang melihat mukamu?"

„Jargankan orang lain, sedang aku sendiripun tak tahu bagaimana tampang mukaku ini !"

Sigadis tersenyum: „Hm...., tak apalah. Sekali pun wajahmu merupakan sebuah teka-teki, tetapi berguna juga untuk sementara orang!"

„Maksudmu . . . . "

Kembali pipi dara itu bersemu merah, tampil selargkah dan berkata: „Misalnya, siapa yang sungguh2 suka kepadamu ...... ia tentu tak perlu kuatir apa2 lagi karena orang lain tak pernah melihatmu ........ "

Dari pancaran mata dara itu, Gak Lui seperti melihat bayangan kedua nona Hi Kiam-gin dan Gadis ular Li Siu-mey. Kedua nona itupun pernah memandangnya dengan pancaran mata begitu.

Pada lain saat, iapun seperti melihat bayangan wajah bibi gurunya yang menyeramkan.

Pikiran Gak Lui melayang kemasa yang lalu. Adalah demi ayahvya Pedang dewa Gak Yang-beng maka bibi gurunya telah merusak wajahnya sendiri. Dan karena kuatir musuh akan mengenali dirinya (Gak Lui) maka ayah angkatnya telah memakaikan kedok muka. Tetapi sakalipun begitu, orang tetap memperhatikannya.

Tiba2 dara itu berputar tubuh dan berkata seorang diri: „Aku harus pulang. Silahkan engkau beristirahat sendiri .... sampai jumpa!"

„Tunggu dulu ......," Gak Lui berseru kaget.

„Masih ada urusan apa lagi ?"

„Harap nona memberitahukan nama nona agar kelak aku dapat menghaturkan terima kasih "

„Namaku The Hong-lian."

Hai....., engkau orang she The. Apakah engkau masih keluarga dengan Pukulan Sakti The Thay ?"

Dia ayahku, masakan engkau tak kenal?"

„Walaupun tak kenal, tetapi aku justeru hendak menemuinya !"

„Sukar . . . . "

„Mengapa sukar ?"

„Dia berwatak terus terang dan sikapnya angkuh, mudah menyingkung perasaan orang lain!"

„Aku cukup sabar."

„Dan yang mencarinya kebanyakan ada dua macam orang. Pertama, karena ilmu silat ...... kalau tidak hendak belajar tentu akan minta bantuan-nya. Ayah tak mau menemuinya."

„Tetapi aku tak membawa maksud begitu!"

„Kalau tak karena ilmusilat tentu karena hendak membuatkan. pedang."

„Apakah The cianpwe tak mau?"

„Mau sih mau tetapi ...... "

„Katakan terus terang sajalah, tak usah disembunyikan."

„Beliau menghendaki bayaran yang tinggi dan suruh pemesan itu membantu pekerjaan yang sangat menyiksa."

„Apakah hanya itu saja?"

„Ya...... eh.... tidak...., tidak ....! Masih ada beberapa syarat lagi." tiba2 nona itu berhenti.

„Syarat apa lagi?" tanya Gak Lui gopoh.

„Harus ada, yang seorang sahabatnya memperkenalkan."

„Itu mudah," Gak Lui tertawa gembira.

„Sungguh?" sidara menegas.

„Kalau menghendaki pembayaran tinggi, aku membawa permata. Mau menyiksa, aku cukup tahan. Minta seorarg sahabat yang memperkenalkan akupun punya, karena kedatanganku kemari ini adalah Bok Kiam-su yang menunjukkan. Kiranya semua syarat telah terpenuhi, harap nona suka bawa-aku menghadap ayah nona"

Dahi The Hong-lian mengerut lalu jungkatkan alis dan berkata pelahan: „Cukup baik tetapi masih kurang sebuah. Apakah engkau sedia?"

„Apa?"

„Surat yang ditulis sendiri oleh Bok Kiam-su"

„Ini ......"

„Hm...., rupanya engkau tak punya, Kalau ditanya ayah dan engkau tak mampu mengunjukkan, dia tentu marah dan menolak!"

„Celakal"

The Hong-lian kicupkan ekor mata, bisiknya: „Jangan gugup! Aku punya daya, tetapi entah engkau setuju atau tidak?"

„Asal sesuai, tentu setuju."

„ Beliau hanya mempunyai seoraag anak perempuan aku ini. Asal kita mengangkat saudara, beliau tentu meluluskan."

Melihat kewajaran sidara dan kesungguhannya hendak membantu, Gak Lui dapat menyetujui. Demikianlah kedua muda mudi itu segera melakukan upacara mengangkat saudara. Karena Gak Lui lebih tua tiga bu!an, dia dipanggil engkoh.

Dengan riang gembira, Hong-lian segera mengajak Gak Lui naik keatas puncak Pek-wan-san.

Puncak tertutup awan putih Dalam selubung awan itu terdapat sebuah pondok yang setengahnya seperti guha setengahnya mirip rumah. Tetapi sama sekali tak ada alat2 untuk membuat pedang.

Melintasi gumpalan awan itu, „Hong-lian suruh Gak Lui menunggu diluar pondok: „Engkoh Lui, tunggulah diluar sini. Biarlah aku yang bicara dengan ayah dulu nanti baru kupanggilmu!"

Gak Lui mengangguk. Dan Hong-lian pun segera menyelinap masuk. Tetapi sampai sepeminum teh lamanya, belum juga dara itu keluar dan pondok pun sunyi senyap saja.

Gak Lui tetap menunggu.

Tetapi karena terlalu lama akhirnya ia tak sabar lagi.

Tetapi tepat pada saat itu juga terdengar suara Hong-lian menguak keras .........

Gak Lui terkejut dan cepat menerobos masuk.

Tetapi baru tiba diambang pintu mendadak ia disambut serangkum angin yang dabsyat.

Dalam gugup, ia tamparkan tangan kiri untuk menyedot.

Tetapi baru tangan kirinya diangkat, orangpun sudah lepaskan beberapa kali pukulan ber-tubi2.

Karena luka-dalamnya belum sembuh sama sekali, tubuh Gak Lui ter- putar2 dan terlempar kebelakang sampai dua tombak jauhnya.

Menyusul sesosok tubuh yang tinggi perkasa segera melesat keluar. Seorang lelaki bermuka brewok sambil memukul kalang kabut sambil berkaok2: „Budak busuk, enyah.... enyah....! Enyah ..!"

Gak Lui cepat dapat mengenali orang itu sebagai Pukulan Sakti The Thay.

Segera ia gunakan gerak langkah Awan-berarak-seribu-li untuk berputar putar menghindari seraya berseru ter-gopoh2 : „The cianpwe. harap jangan marah. Aku datang menghadap dengan maksud baik ........"

„Kentut....!, Kalau engkau bermaksud baik masakan engkau memikat puteriku!"

Gak Lui gelagapan malu Lalu marahlah ia.

Baru ia berseru sepatah memanggil cianpwe, tiba-tiba ia melihat Hong-lian muncul di luar pintu...... Mata gadis itu berlinang-linang dan memberi isyarat kicupan mata kepadanya.

Terpaksa Gak Lui tekan kemarahannya, sahutnya :" „Sedikitpun aku tak mengandung maksud begitu ......."

„Huh, masakan akal bulus yang engkau mainkan itu aku tak tahu. Jika tak mempunyai maksud buruk mengapa tanpa sebab engkau mengangkat saudara dengan anakku?"

„Hal itu...., puteri lo cianpwe yang......." Karena marah hampir saja Gak Lui membuka rencana Hong lian. Tetapi sesungguhnya gadis itu bermaksud hendak membantunya. Sudah tentu ia tak mau mencelakainya dan lebih baik ia yang bar-tanggung jawab sendiri.

„Harap cianpwe jangan marah. Hendak kujelaskan," buru2 ia beralih kata.

Tetapi The Thay tak noau menghiraukan. Sekali kepalkan tangan ia terus menghantam bum..., bum..., bum .... ia lepaskan hantaman dari jarak

jauh. Tinju berhamburan dan anginpun bergulung-gulung melanda Gak Lui sehingga memaksa pemuda itu mundur beberapa langkah.

„Jika cianpwe terus menyerang, maaf, aku terpaksa berlaku kurang adat!" serunya memberi peringatan.

Tetapi The Thay tak menggubris: „Hm..., kalau Eerani, balaslah!"

Saat itu Gak Lui terus menghindar mundur.

Tetapi akhirnya ia tak dapat mundur lagi karena sudah tiba di ujung karang. Selangkah lagi ia tentu kecemplung kebawah karang yang dalamnya tak kurang dari tiga-empat ratus tombak. Di bawah karang itu terbentang sebuah jurang yang berisi air. Luasnya beberapa bahu. Airnya berkilauan kehitam-hitaman. Walaupun dari atas, karang yang begitu tinggi, namun terasa juga hawa dingin yang menguap dari air itu.

Sejak kecil Gak Lui tak pernah main di air.

Ia terpaksa harus waspada jangan sampai terjatuh ke dalam telaga kecil itu. Tetapi saat itu ia diserang dari tiga jurusan oleh Pukulan sakti The Thay. Kalau tadi ia cepat gunakan ilmu meringankan tubuh, ia masih dapat melayang melampaui kepala lawan.

Tetapi saat itu ia sudah terdesak di tepi karang.

Ia tak berani gegabah mengambil resiko untuk loncat melayang ke udara.

Diam2 ia menghela napas dan tenangkan pikirannya untuk bertahan diri. Tangan kirinya diputar melingkar di udara. Tangan kanan pelahan disongsongkan ke arah orang.

Seketika itu The Thay terkejut.

Pukulannya dilepaskan bertubi-lubi itu tiba2 seperti disedot oleh suatu tenaga aneh yang memancar dari gerakan Gak Lui.

Pukulannya yang bertenaga dahsyat itu, setiap kali membentur Gak Lui tentu seperti terbenan dalam laut dan lenyap.

Selain itu, tangan kanan Gak Lui itupun menghamburkan tenaga dahsyat sehingga memaksanya mundur selangkah.

Melihat pemuda itu benar2 balas menyerang tiba2 timbullah kelapangan hati The Thay.

Kecuali, tidak marah, orang itu adalah puas.

Ia anggap cara Gak Lui menghindar lalu balas menyerang itu, mencocoki seleranya.

Tiba2 ia menggembor keras: „Begitulah, baru sesuai. Tetapi selain ilmu pukulan tadi, apakah engkau masih punga simpanan yang lain........"

„Jika cianpwe masih punya ilmu yang lebih lihay, silahkan gunakan saja. Ilmu gerakan tanganku ini masih dapat menghadapinya" sahut Gak Lui.

„Sombong benar engkau, budak ! Coba akan kulihat sampai berapa lama engkau mampu bertahan" teriak Pukulan-sakti The Thay seraya lancarkan serangan yang lebih dahsyat.

Kedua tinjunya menyerang sederas hujan mencurah.

Perbawanya mengejutkan sekali.

Tetapi Gak Lui tetap tenang.

Kakinya laksana tertanam di karang.

Dan kedua tangannyapun bergerak-gerak menggunakan tenaga-sakti Algojo-dunia, untuk meminjam tenaga lawan mengembalikan serangannya.

Pertempuran makin berlangsung seru. Berulang-ulang terdengar letupan keras dari benturan tenaga-pukulan.

Kedua fihak saling ngotot berbaku bantam.

Tak seorangpun yang mau mengalah mundur.

Cepat sekali 100 jurus telah berlangsung.

Yang paling sibuk adalah gadis Hong Lian.

la cemas kalau ayahnya sampai menderita luka.

Tetapi ia pun gelisah kalau Gak Lui sampai celaka.

Namun ia tak dapat berbuat apa2, karena kepandaiannya amat terbatas dan tak mampu untuk melesai mereka.

Hong-lian menarik-narik bajunya sendiri, menggosok-gosok tangan.

Dia bingung setengah mati.

Keringatnya bercucuran menganak sungai.

Baiknya ia tak mengecewakan diri sebagai puteri dari seorang tokoh silat yang sakti. Walaupun bingung tak keruan tetapi ia tak mau menjerit-jerit dan mengganggu perhatian mereka.

Ia melihat wajah ayahnya merah membara. Ubun2 kepalanva menguap asap. Suatu pertanda bahwa tenaga dalamnya sudah hampir habis tetapi tetap tak mau mengaku kalah. Tetap melancarkan serangan dahsyat dan mati-matian.

Kemudian memandang kearah Gak Lui, dilihatnya pemuda itu tetap bersemangat. Walaupun menderita luka akibat pertempurannya dengan Pek-Kut Mo-kun, tetapi ternyata dia tetap gagah.

Pukulannya tampak seperti orang yang tak menderita luka.

Cepat sekali pertempuran itu sudah berlangsung sampai 500 jurus.

Pukulan-sakti The Thay pun sudah mengulang setiap jurus pukulannya sampai tiga kali

Dari cepat, gerakannyapun makin lambat.

Dari lambat akhirnya terhuyung-huyung.

Sepasang tinjunya yang terkenal keras seperti besi, saat itu sudah lemah lunglai.

Karena keliwat memaksa diri, napas jago tua itu memburu keras dan bluk ....... akhirnya ia jatuh ngedumpruk di tanah.

Dalam pertempuran itu Gak Lui malah mendapat keuntungan.

la gunakan ilmu Menyalurkan tenaga murni untuk menyembuhkan luka-lukanya, sembari menghadapi serangan lawan. Begitu melihat The Thay jatuh, cepat ia loncat ke hadapannya dan terus mengurut tubuhnya.

Hong-lian pun tergopoh menghampiri: „Yah..., apakah engkau letih"

Dengan napas ter-engah2, The Thay berseru: „Letih apa? Ngaco....."

„Yah..., sudah kukatakan bahwa ilmu kepandaiannya tinggi. Bahkan Pek-Kut Mo-kun pun dapat dipukulnya terbirit-birit, tetapi engkau tetap tak percaya. Bukankah soal angkat saudara itu harus diakui?"

„Hm.... !" The Thay mendengus.

Tetapi mu!utnya menyeringai tawa gembira.

Kira2 sepeminum teh lamanya, keringatnya pun sudah berhenti.

Lalu ia mendorong Gak Li dan terus bangkit.

Kuatir orang tua itu akan menyerangnya lagi, buru2 Gak Lui menyurut mundur tiga langkah dan bersiap.

Tetapi gerakan tangan The Thay itu hanya untuk melemaskan urat2nya yang kaku, serunya: „Uh...., kaku, sungguh kaku karena sudah lama tak pernah dibuat gerak. Kali ini puas benar2."

Hong-lian menghampiri ayahnya: „Eh...., ayah.... ha..... nya memikirkan berkelahi tetapi aku yang jadi anak perempuannya takut setengah mati ...."

„Ha..., ha..., ha..... tidak jadi apa," The Thay tertawa gelak-gelak. Kemudian memandang Gak Lui ia berseru memuji: „Sungguh tak nyana, engkau ternyata memiliki kepandaian yang hebat!"

„Ah..., cianpwe keliwat memuji!"

„Sudahlah, tak usah sungkan. Kalau mau bicara. Mari kita masukl" kata The Thay terus memimpin tangan puterinya dan menyambar tangan Gak Lui untuk diajak masuk ke dalam pondok.

Sinona tertawa: „Engkoh Lui, perangai ayah memang begitulah. Kalau marah seperti angin prahara, tetapi setelah itupun terus reda. Harap engkau jangan terkejut ........"

Terhadap sifat The Thay yang terus terang, Gak Lui merasa suka.

la membiarkan dirinya ditarik masuk.

TERNYATA dalam pondok itu penuh bergantungan pedang pusaka.

Ada yang panjang, ada yang hanya beberapa dim panjangnya.

Jumlahnya tak kurang dari beberapa ratus batang.

Sedang bentuknya pun terdiri dari beraneka macam, yang aneh2.

Sekalipun sejak kecil Gak Lui sudah belajar ilmu pedang dan pengalamannya tentang perangpun cukup banyak, tetapi ketika melihat koleksi pedang yang sedemikian banyak dan beraneka ragam, diam2 ia tcrkejut dan kagum.

Melihat pemuda itu, tertawalah The Thay: „Engkau tentu tertarik dengan kumpulan pedang pusaka itu, bukan? "

Gak Lui menghela napas: „Setiap orang tentu suka akan barang pusaka. Sungguh, tak kira kalau cianpwe menyimpan sekian banyak pedang pusakal"

„Ha, ha, apa gunanya pedang sekian banyak itu. Kebanyakan hanya barang palsu!"

„Oh......!" Gak Lui mendesah kaget. Kembali ia memandang koleksi pedang itu dengan seksama. Setiap batang pedang memancarkan sinar ke milau. Bentuknya kuno.

„Tak ada yang aseli ? Apakah semua itu palsu?" serunya heran.

The Thay memandang kearah kedua batang, pedangnya: „Dengan membawa pedang pusaka, Pedang Pelangi dari Partai Bu-tong-pay tentulah pedang itu mempunyai ciri2 yang istimewa. Maka dengan dasar apa engkau tak percaya keteranganku tadi?"

Sambil menuding kearah sebatang pedang aneh yang tergantung pada dinding, Gak Lui kerkata: „Misalnya pedang yang panjangnya dua meter itu. Tentulah pedang milik baginda Cin Si-ong. Dan pedang pendek itu tentuah milik baginda Cin Ong. Kemudian pedang yang, panjangnya dua dim itu tentulah pedang pusaka milik Co Pi. Kemudian yang lain2 seperti pedang Ken-ciang, Bok-sia dan Ki-kwat, merupakan pedang pusaka yang termasyhur. Sekalipun tidak semuanya tulen, tetapi pun tidak semuanya palsu ........ "

Diam2 The Thay kagum atas peadapat anak muda itu.

Sebelum ia sampai berkata, Hong-lian sudah melengking tertawa: „Engkoh Lui, kumpulan pedang itu bukan pedang kuno melainkan buatan ayah sendiri menurut pengetahuan dan pengalamannya .........."

Gak Lui tertegun, lalu tertawa nyaring: „Karena The cianpwe mempunyai kepandaian yang sedemikian hebat, keinginanku pasti terlaksana", The Thay memukul lututnya sendiri dan dengan mata berkilat-kilat bertanya: „Katanya engkau hendak minta aku membuatkan pedang. Apakah engkau hendak merobah pedang Pelangi itu?"

Gak Lui mengiakan.

„Tetapi aku mempunyaI beberapa syarat!"

„Dalam hal itu aku memang sudah bersedia dan dapat memenuhi semua!"

„Oh, engkau sudah tahu syarat2 yang kukehendaki itu? " tanya The Thay.

„Aku bersedia menyerahkan seluruh benda berharga sebagai balas jasa lo-cianpwe. Begitu pula, apapun pesan cianpwe, tentu akan kulaksanakan" kata Gak Lui seraya mengeluarkan batu permata dan diletakkan di hadapan tuan rumah.

Permata berlian hasil keluaran Lembah Mati itu, merupakan permata yang jarang terdapat di dunia. Harganya tak ternilai. Cahaya tajam yang memancar dari berlianl itu, menyilaukan mata The Thay, terutama sebutir berlian pemberian Siu-mey. Sinarnya hebat sekali. Sehingga Hong-lian tak mau melepaskannya.

Tetapi diluar dugaan, The Thay mengembalikan tumpukan berlian itu kepada Gak Lui. Serunya dengan wajah serius: „Aku tak suka menerma benda2 ini.

„Apakah masih kurang?"

„Aku bukan seorang mata duitan. Jangan salah faham!"

„Kutahu hal itu memang menjadi peraturan dari lo-cianpwe. Sudah seharusnya ........."

„Aturan apa?, itu hanya siasatku untuk merintangi orang2 iseng yang hendak mengganggu aku. Dengan peraturan ttu belasa tahun, tak ada ada orang yang datang lagi................"

„Lalu, tentulah cianpwe mempunyai lain2 pesanan !"

„Benar, memang aku mempunyai lain syarat. Sesungguhnya hal itu pun hanya merupakan beberapa pertanyaan saja ......."

„Asal tahu tentu kukatakan. Asal yang, kukatakan tentu, benar2 sesungguhnya. "

„Pertama, pedang itu sebenarnja pusaka Butong-pay. Mengapa dapat jatuh ketanganmu?"

Gak Lui setera menuturkan riwayat pedang itu sampai jatuh ketangannya. The Thay mendengarkan dengan penuh perhatian lalu bertanya penuh gairah: „Kiranya Ceng Ki totiang dari Butong-pay, itu mempunya hubungan dengan engkau. Lalu apakah nama Perguruanmu?"

„lni... aku benar2 sukar mengatakan."

Hong-lian kerutkan alis. Ia kuatir ayahnya kurang senang mendengar jawaban Gak Lui.

Tetapi Gak Lui sudah terlanjur mmberi jawaban begitu maka ia pun melanjutkaa lagi!. Asal-usul diriku sama dengan kedok muka yang kukenakan ini. Apabila belum tiba saatnya, tak dapat kuterangkan. Harap cianpwe, suka maafkan."

Diluar dugaan, The Thay tidak marah, malah menganggukkan kepala: „Tark perlu melihat mukamu. Cukup kulihat sinar mata dan gigimu yang putin itu. Tentang asal usulmu .... berikanlah pedang yang lain itu kepadaku."

„Yah....." tiba2 Hong-lian melengking," pedangnya yang itupun kutung juga Harap ayah bantu membuatkannya "

Gak Lui menyerahkan pedang itu dan The Thay pun lalu meletakkan kedua pedang kutung itu diatas meja.

Setelah memeriksa beberapa saat, ia berseru memuji: „Sekalipun bukan jenis pusaka, tetapi pedang ini termasuk pedang yang luar biasa tajamnya.

Pemiliknya dahulu......jaitu seorang pendekar pedang yang....... Kemudian ia menjentik batang pedang dengan jarinya lalu berpaling memberi pesan kepada Hong-lian: „Ambilkan alat2ku, pedang ini hendak kubongkar!"

Hong-lian segera membawakan alat ayahnya. Tak berapa lama, tangkai pedangpun sudah dibongkar. Tiba2 Pukulan-sakti The Thay berteriak kaget: „Pedang Aneh Ji Ki-tek!"

„Ah....., kiranya engkau keturunan dari Empat Pedang Busan!"

„Bagaimana ciaopwe tahu.... !" Gak Lui pun memekik tegang.

„Karena dapat membuat pedang, sudah tentu aku dapat mengetahui perabot dan tanda2 pada pedang. Karena setiap pemilik pedang, tentu meninggalkan tanda pengenal dari pada pedangnya. Kalau tidak dibatang pedang tentu dalam tangkai Pedang ...... !"

Kini tersadarlah Gak Lui. Ia segera memandang kearah tangkai pedang yang sudah dibongkar itu. Ah..., memang benar. Diatas tangkai itu terdapat ukiran beberapa huruf yang kecil sekali yang berbunyi nama ayahnya. Seketika ber-cucuranlah air matanya.

„Ah....., rupanya engkau memang mempunyai kesukaran dalam hati.

Baiklah, aku tak mau bertanya lagi. Bahkan apa yang kulihat saat ini, takkan kukatakan kepada siapapun juga. Dan pedang -ini, akan kusambung selesai dalam tiga hari"

Gak Lui menghaturkan terima kasih lalu bertanya: „Entah berapa lamakah waktu yang diperperlukan untuk membikin Pedang Pelangi itu? Dan apakah masih ada syarat lagi?"

„Waktunya kira2 setengah bulan. Dan syaratnya pun sederhana.... Tetapi panjang kalau diterangkan........"

Gak Lui minta supaya tuan rumah mengatakan.

„Pedang Pelangi. ini banya tinggal separoh. Jika menghendaki dibuat yang utuh, tentu harus memerlukan bahan baja yang murni. Kalau tidak, kecuali takkan menjadi pedang pusaka, pun malah akan merusakkannya. Maka soal pertama, yalah mengenai bahan .........."

Gak Lui tergetar hatinya, serunya tegang: „Kudengar Han-thiat" (besi dingin) dan Bian-thiat (besi keluaran Burma), merupakan bahan yang paling bagus untuk pembuatan pedang. Tetapi tak tahu kemanakah aku harus mencarinya ......."

„Ah..., tak perlu harus mencari sekarang ini. Aku sudah mempunyai bahan Han-thiat. Tetapi aku tak berhak memberikan kepadamu"

„Siapakah yang berhak?"

„Dia!" tiba2 Pukulan-sakti The Thay menuding ke arah puterinya.

„Ah......, kiranya adik Lian. Relakah engkau menyerahkan kepadaku?" seru Gak Lui.

Hong-lian, seketika merah mukanya. Dengan malu ia berkata; „Rela sih rela, tapi Han-thiat itu pemberian ayah kepadaku untuk dijadikan...... "

„Apa? ......... "

„Buat......." si-dara memainkan ujung bajunya sambil tartawa.... Matanya menggelora ........ memandang ayahnya. Tetapi Pukulan-sakti The Thay hanya tertawa gelak-gelak.

„Budak tolol, engkau biasanya begitu-genit, mengapa hari ini engkau tak bisa omong. Ai....., biarlah ayah yang mengomongkan.......nya." The Thay berpaling ke-arah Gak Lui dan ber-seru tertawa : „Ak gemar belajar silat dansedang membuat pedang. Maka bahwa besi Han-thiat yang kukumpulkan selama hidup ini, akan kuberikan kepada putetiku untuk mas-kawin.

Jika engkau suka pakai, terpaksa........, biarkan ia yang memberi putusan ....... Mas-kawin!" Gak Lui berseru kaget. Seketika benaknya melintas bayangan gadis ular Siu-mey yang.....secara tak resmi sudah menjadi isterinya.

Mclihat Gak Lui tertegun, wajah Hong-lian tampak kecewa. Saat itu sunyi senyap. Ketiganya terbenam dalam renungan masing2.

Tiba2 Pukulan-sakti The Thay, tertawa riang memecah kesunyian: „Gak hiantit tak perlu gelisah. Sekali-kali bukan maksudku hendak menekan engkau dengan syarat itu. Meskipun engkau sudah mengangkat saudara dengan Lian-ji, tetapi tak usah engkau menyebut aku sebagai Gi-hu (Ayah-angkat).

Saat itu tampak mata Hong-lian bercucuran airmata memandang ayahnya. Tetapi The Thay tak menghiraukan dan tetap melanjutkan perkataannya. Karena perjodohan pria wanita itu harus disetujui kedua belah fihak. Tak dapat dipaksa. Kalau terlalu buru2 malah akan menimbulkan banyak kesulitan. Lebih baik tunggu saja bagaimana perkembangannya kelak"

Habis berhata orang tua itu berpaling memandang puterinya.

Rupanya, -Hong-lian dapat menangkap maksud ayahnya

la hapus, kerut dahinya dan deagan, nada riang berkata kepada Gak- Lui: „ Engkoh Lui", kuberikan Han-thiat itu kepadamu dan bolehlah engkau kasihkan batu berlian ini sebagai penukarnya!"

Pada saat Gak Lui longgar perasaannya, tiba2 ia teringat bahwa batu berliun i u adalah pemberian Siu-mey. Ia terbeliak, serunya: „Karena aku sendiri yang mengeluarkan, seharusnya aku tak menyesal untuk menyerahkan batu berlian ini. Tetapi .......batu. ini ada sedikit.... kesulitannya. Kelak kuganti saja dengan 10 kali lipat. Apakah adik Lian setuju? "

Hong- lan kerut-kan alisnya dan menunjuk batu berlian, ia bertanya: „Engkau bilang berlian ini mempunyai persoalan. Apakah soal tanda yang berada di atasnya itu? "

„Tanda?" Gak Lui. terkejut terus mengambil batu itu dan memeriksanya. Ah, memang benar. Pada sebelah permukaan batu berlian itu terdapat sebuah huruf sehalus rambut berbunyi BU.

Karena selamanya tak senang akan batu2 permata, maka Gak Lui tak memperhatikan ciri2 itu. Dan ketika saat itu mengetahui, gemetarlah tubuhnya.

Berlian ini jelas berasal dari Siu-may yang menggeledah dari tubuh Tabib-jahat Li Hui-ting. Jika tak dibuat orang, tak mungkin bertanda huruf BU. Apakah itu bukan ciri tanda dari anak buah si Maharaja?" pikirnya.

„Benar, memang tanda ini penting sekali bagiku," katanya kepada Hong-lian.

„Kalau engkau memerlukan, biarlah kukembalikan saja kepadamu. Tak perlu engkau pikirkan untuk menggantinya!" kata Hong-lian.

The Thay tertawa: „Begitu baru tak mengewakan dirimu sebagai anakku. Nah, marilah kita menuju kedapur pedang."

MEREKA bertiga segera menuju ke ruang belakang tempat penempaan pedang.

Keluar dari rumah belakang, mereka menuju ke sebuah guha yang kuat. Di puncak wuwungan guha terdapat sebuah lubang seluas dua tombak sehingga guha menjadi terang bendarang. Dalam guha itu terdapat sebuah perapian besi. Disebelah-nya sebuah kolam yang jernih airnya. Kesemuanya itu tentu untuk peralatan pembuatan pedang.

Setelah menghidupkan api, maka The Thay lalu memasukkan pedang dari Gak Lui tadi kedalam perapian. Api berkobar besar, asap bergulungguluing membubung ke atas.

Beberapa saat kemudian, Gak Lui tampil mendekati The Thay: „Paman The, apa,kah engkau tak keberatan untuk membuatkan Pedang Pe langi lebih dulu baru nanti ...... ," „Tidak! " sahut The Tbay dengan bengis, „aku mempuayai maksud tertentu mengapa membuat pedang ini lebih dulu. Karena begitu pedang Pelangi dan bahan Han-thiat masuk ke dalam api, sinarnya tentu memancar tinggi ke atas langit sehingga dalam jarak 100 li akan kelihatan. Sinar pembuatan pedang pusaka itu pasti akan mengundang kawanan durjana kemari. Maka akan kutempa dulu pedangmu agar engkau mempunyai .senjata untuk menjaga keamanan pembuatan pedang Pelangi nanti!"

Saat itu barulah Gak Lui tersadar.

„Selain itu masih ada sebuah tugas penting yang harus engkau kerjakan sendiri," kata The Thay pula

„Silahkan paman bilang !"

„Kelak apabila pedang Pelangi sudah jadi, harus lekas2 dibenam dalam air dingin. Kolam air disini tak cukup besar. Harus dilempar kedalam Telaga-pedang dibawah gunung. Apakah engkau dapat mengerjakan ?"

„Tetapi Telaga-pedang itu amat dalam sekali. Jika membiarkan pedang itu sampai terbenam kedasar telaga, tentu sukar diketemukan. Apakah engkau dapat melontarkan pedang itu kedalam telaga lalu secepatnya mengambilnya keluar lagi"

„Aku dapat menqgunakan gerakan Rajawali-pentang-sayap untuk melayang kepermukaan telaga" sabut Gak Lui dengan semangat menyala. Sama sekali ia lupa bahwa ia tak dapat berenang.

Sudah tentu The Thay tak mengetahui kekurangan pemuda itu. Dengan gembira ia melangkah maju dan menunjuk keatas puncak guha.

„Baiklah, lebih dulu kita buat perjanjian. Pada waktunya, engkau harus berdiri diatas puncak guha ini lalu kulemparkan pedang kepadamu dan engkau harus..... cepat lontarkan kedalam telaga Pedang.

Dengan cara itu barulah kita dapat bekerja cepat.

Hong-lian pun memberi pesan juga dengan penuh perhatian: „Engkoh Lui, jangan lupa pakai sarung pelindung tangan agar tanganmu jangan terbakar !"

Demikianlah hari demi hari, dipuncak gunung Pek-wan-san siang malam selalu tampak cahaya api marong kelangit. Cahaya itu dapat terlihat sampai 100-an li jauhnya.

Pada malam itu sinar pedang yang ditempat dalam perapian itu makin hebat memancar kelangit. Seolah olah seperti sebuah pelangi. Hampir seluruh puncak gunung menjadi terang benderang.

Selama setengah bulan ini, Gak Lui selalu menjaga diguha itu dengan podang terhunus. Pembuatan pedang Pelangi pasti akan berhasil jika pada hari2 terakhir tak terjadi suatu halangan.

Tiba2 Gak Lui. mendengar suara letupan keras yang muncrat keudara dan berhamburan mencurah keatas hutan. Datam saat2 timbulnya pemandangan yang anah itu, tiba2 terdengar The Thay berseru nyaring: „Sambutilah !"

Pedang Pelangi yang masih merah marong, meluncur keluar dari puncak guha terus melambung keudara.

Gak Lui cepat bertindak.

Tubuhnya berputarn keras dan terus melambung keudara.

Disambarnya Pedang Pelangi itu terus dilontarkannya kedalam Telaga Pedang. Setalah itu ia melingkarkan kedua lengannya dalam bentuk macam lenekung-busur, lalu meluncur kearah Telaga Pedang dibawah jurang.

Air telaga itu hitam gelap, dinginnya bukan kepalang.

Tetapi karena kemasukan Pedang Pelangi, airnyapun hangat sehingga Gak Lui tak merasa kedinginan... Begitu pula sinar gemilang dari pedang Pelangi itu memancar dan menerangi telaga sampai seluas 5 tombak dalamnya.

Pada saat pedang Pelangi jatuh kebawah telaga Gak Luipun sudah menukik kepermukaan air. Dengan kepala dibawah dan kaki diatas, ia terus menyusup kedaham air. Matanya tak berkedip memandang pedang itu. Selekas batang pedang itu sudah dingin, ia terus akan menyambarnya.

Karena menumpahkan seluruh perhatian pada pedang itu, sampai lupalah pemuda itu bahwa sesungguhnya ia tak pandai berenang. Begitu juga ia lalai untuk memperhatikan keadaan disekeliling tempat situ.

Pedang Pelangi terus meluncur kedasar air. Cahayanya marong merah makin lama makin redup Gak Lui anggap sudah tiba saatnya untuk menyambar pedang itu dan iapun segera gerakkan tangan kanannya.

„Uh.....!" ia mendengus kaget karena sambarannya luput. Terpaksa ia terus selulup kedalam air. Tetapi karena tak pandai berenang, seketika tu-buhnya terasa berat sekali dan ikut tersedot kedalam telaga.

Saat itu barulah ia terkejut dan menyadari kalau tak pandai berenang tetapi karena pedang itu makin lama makin meluncur kedasar telaga, dalam gugupnya, Gak Lui tak menghiraukan segala apa ..... Ia terus menukik kebawah. Tetapi karena tak pandai berenang, ia kalah cepat dengan gerakan pedang yang menyelam kedasar telaga. Saking marahnya, Gak Lui hampir2 pingsan.

Tetapi tiba2 timbulah suatu peristiwa yang aneh. Pedang yang sinarnya makin gelap itu tiba2 berhenti mengenap kebawah.

„Ah...., mungkin sudah tiba didasar telaga," diam2 Gak Lui girang sekali. Tetapi pada lain saat ia tersentak kaget, „tak mungkin. Kalau sudah tiba didasar telaga tentu benda itu tak bergerak. Tetapi mengapa pedang itu masih bergerak naik turun dan seperti pecah menjadi tiga buah?

Gak Lui tak peduli segala apa. Ia terus ber geliatan menyelam kebawah sampai tiga tombak jauhnya. Haup ....... la terminum air.

Ternyata telaga itu amat dalam sekali.....

Pedang Pelangi belum mencapai dasar telaga tetapi digigit oleh seekor binatang raksasa seperti buaya yang berumur seribu tahun. Binatang itu bergigi runcing tajam, bersisik dan matanya berkilat-kilat memancar api. Besar tubuhnya hampir satu meter dan panjangnya mencapai lima tombak.

Begitu melihat Gak Lui meluncur kebawah, binatang itu segera kibaskan ekornya lalu meluncur secepat kilat kearah pemuda itu.

Setelah terminum air dingin hati Gak Lui terasa agak tenang.

Pikirnya : „Tak bisa barenang, tak apalah. Asal kututup jalan darahku beberapa saat, aku tentu dapat bertahan didalam air untuk melihat gerakan2 lihay dari binatang buaya purba itu

Setelah mengambil keputusan, ia segera kerahkan tenaga dalam dan siapkan pedang.

Cepat sekali buaya itu sudah tiba dihadapannya: Diam2 Gak Lui menduga binatang itu pasti akan membuka mulut. Pada saat itulah ia akan bergerak secepat-cepatnya untuk merebut Pedang Pelangi.

Tetapi kurang ajar Buaya itu ternyata cerdik juga. Dia tak mau membuka mulutnya melainkan miringkan kepalanya kesamping, lalu gerakkan Pedang Pelangi membabat dibagian perut Gak Lui.

Gak lui terkejut sekali. Pedang Pelangi tajamnya bukan kepalang. Dapat memapas logam seperti membelah tanah liat saja. Dengan tenaganya yang begitu dahsyat. Pedang Pelangi itu tentu makin hebat.

Tak mungkin ia akan dapat menangkis dengan pedangnya.

Maka Gak Lui berganti siasat.

Tak mau ia adu kekerasan.

Dengan gerak Rajawali-pentaog-sayap, ia surutkan kedua kakinya lalu menyabet dengan pedangnya. Tring.....h                ampir saja pedangnya menutuk batang pedang Pedang Pelangi. Berbareng, dengan itu tangan kirinyapun berbalik dengan cepat untuk merebut batang Pedang Pelangi.

Diserang dari samping kanan....... kiri oleh Gak Lui, buaya itu kelabakan, kepalanya dimiringkan.

Pedang Pelangi yang masih digigit dalam mulutnya; pada saat itu sudah dapat dipegang oleh Gak Lui.

Buaya purba itu tiba2 deliki matanya, seketika berhamburanlah beribu-ribu titik bintang dari matanya, dan tubuhnya yang sepanjang lima tombak itupun, ikut menjulur sampai dua kali panjangnya. Sisiknya berkilat-kilat memancarkan sinar kilau kemilau.

Karena memegang tangkai Pedang Pelangi dan buaya itu meregangkan tubuhnya, maka Gak Lui gemetar tubuhnya. Tulang tulangnya terasa sakit sekali.

„Huh...., buaya besar!" Gak Lui mengeluh dan tanpa terasa tangannya yang mencekal tangkai pedang itupun terlepas.

Bum..... ekor buaya yang menyerupai daun pintu besi besar, menampar kearah punggung Gak Lui.

Gak Lui terlempar sampai dua tombak jauhnya.

Tenggorokannya serasa tersumbat, hidungnyapun memancurkan darah.

Hitam........ sekelilingnya tampak hitam.

Sekalipun setelah ia dapat menenangkan pikirannya dan memandang dengan seksama, namun tetap gelap. Air berkisaran, dia tetap tenggelam kebawah.

Sedangkan si buaya setelah menyabat dengan ekornya tadi, segera buaya itu meluncur ....... kedasar telaga.

„Heran...... ! Apakah binatang itu hendak melarikan diri? „diam2 Gak Lui heran dan mengamati kebawah dasar telaga dengan seksama.

Beberapa saat kemudian barulah ia melihat tiga sinar bintang. Entah berapa dalamnya bintang itu berada ..........

Belum sempat ia bergerak, tiba2 buaya ........itu muncul pula dengan gerakan berputar-putar seperti kisaran air, binatang itu meluncur kebawah kaki Gak Lui.

Ternyata panjang badan buaya itu tak kurang dari 10 tombak.

Karena merasa air telaga terlalu deras arusnya, maka ia segera mengendap ke bawah dan tenggelam dalam kisaran arus itu.

Kiranya setiap memancarkan tenaga-kilat, buaya itu harus menunggu sampai beberapa waktu lagi baru dapat memancar tenaga kilat lagi. Biasanya, setiap kali menghamburkan tenaga-kilat lawan tentu binasa. Tetapi sosok manusia kecil Gak Lui, dapat bertahan. Sekalipun hanya seekor binatang, tetapi rupanya buaya itu memiliki naluri tajam bahwa yang dihadapinya itu tentu musuh yang tangguh ........

Maka buaya itu lalu menggunakan kisaran arus untuk menyeret lawan ke bawah lalu dibawanya ke dalam sarang.

Gerakan buaya itu telah menimbulkan gelombang arus, yang hebat. Karena tak pandai berenang. Gak Luipun tak dapat menyerangkan pedangnya dengan tepat.

Sesaat kemudian ia rasakan kepalanya ber-putar2 mata pedar dan telinga mengiang. Tubuhnyapun segera terbawa oleh putaran arus. Berputar dan berputar sampai kesadaran pikirannya hampir lenyap. Dalam saat ia hampir pingsan, tiba-tiba matanya tersilau oleh secercah sinar biru yang rpmenyambar ke tenggorokannya.

„Pedang Pelangi ........ !" dalam kejutnya ia gelagapan dan terus hendak menyabat dengan pedangnya. Tetapi auh...... arus air tiba2 bergelombang keras sekali. Sekeliling penjuru terasa gelap dan tahu2 ia tak ingat diri lagi. Ketika tubuhnya diseret oleh buaya ke dasar telaga.

Walaupun hanya beberapa kejab, tetapi bagi Gak Lui sudah seperti bertahun-tahun lamanya.

Ketika sadar, ia merasa gerak tubuhnya tak secepat tadi lagi.

Rupanya saat itu sudah berada di tanah datar.

Ketika memandang sekeliling, ia da.patkan dirinya berada di sebuah guha seluas dua tiga meter.

Rupanya karena takut membentur karang, buaya itu meluncur pelahan-lahan.

Diluar dugaan, ternyata saat itu tangan kirinya masih tetap mencekal tangkai pedang Pelangi dan tangan kanannya pedangnya sendiri.

Karena dapat memapas sehelai sirip, saat itu Gak Lui telentang melekat di bawah perut buaya. Dilihatnya di bawah leher binatang itu mereka merupakan selembar kulit lunak yang berwarna putih.

Kulit itu tak henti2nya bergerak.

„Celaka ....! Kalau kubiarkan diriku diseret binatang ini ke bawah, aku pasti mati !" diam2 Gal Lui menimang.

Diam2 Gak Lui kerahkan tenaga-dalam. Dengan sekuat tenaga ia putar sepasang pedangnya.

Crek..., crek..., crek... terdengar air tersibak pedang dan gigi buaya yang tajam dan keras itu ber hamburan putus terbabat pedang. Karena sulit, mulutnya terbuka dan tubuh Gak Luipun meluncur ke bawah.

Tetapi guha itu terlalu sempit.

Gak Lui sukar untuk lancarkan serangan.

Buaya itupun sukar bergerak, juga.

Sebelum Gak Lui sempat bertindak, buaya itu sudah meluncur ke bawah untuk menindih tubuh Gak Lui.

Gak Lui tak mengira bakal diserang secara begitu.

Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri.

Tetapi makin lama dadanya terasa makin sakit.

Karena tak tahan lagi ia lepaskan pernapasannya dan terus menggigit kulit tipis pada tenggorokan buaya itu.

Pertarungan mati hidup segera berlangsung.

Tenggorokan buaya itu memancur darah dan bergeliatan kesakitan.

Gak Lui makin nekad. Dibuangnya kedua pedangnya, lalu dengan sekuat-kuatnya ia nimencengkeram tubuh buaya dan tetap menggigit tenggorokan binatang itu sekencangnya.

Gluk..., gluk..., gluk...., ia sedat dan meminum darah buaya itu terus menerus sampai perutnya penuh.

Heran .......... Setelah perutnya penuh dengan darah buaya, Gak Lui rasakan tenaganya malah bertambah besar. Sama sekali ia tak takut pada bahaya air lagi. Kedua matanyapun bertambah terang sekali. Dapat melihat jelas keadaan dalam air seluas 10 tombak.

Kebalikannya setelah mengucurkan darah, gerakan buaya itu makin lama makin lambat Dan akhirnya tak dapat tergerak. Luka pada tenggorokannya masih mengalir darah.

Sekali Gak Lui mendorong, buaya raksasa itu tumbang seperti pohon besar yang ditebang. Tubuh binatang itu berguling-guling ditelan air keruh dalam dasar telaga.

Gak Lui cepat menyambar kedua pedang dan terus hendak melambung kepermukaan telaga. Tetapi sesaat itu ia bingung katena tak tahu jalan keluar dari guba itu.

„Buaya itu tentu menyusup masuk. Kepalanya tentu yang lebih dulu. Dengan begitu arah letak ekornya saat ini tentu menunjukkan jalan keluar dari guba ini," tiba2 ia dapat memecahkan kebingungannya.

Pyuh...... sekonyong-konyong ia menyiakkankan kedua tangannya. Hampir ia tak percaya bahwa gerakan tangannya itu dapat mengangkat tubuhnya begitu ringan sekali seperti seorang juara renang yang sangat hebat. Hanya dalam beberapa waktu, ia sudah mencapai tepi telaga.

Sekali menyiak lagi, iapun sudah muncul dipermukaan air.

TETAPI ia heran karena disekeliling telaga itu sunyi saia.

„Eh...., kemanakah adik Lian ? Mengapa ia tak menjaga ditepi telaga ...... ah, mungkin karena aku terlalu lama berada didasar telaga ....."

Sekali enjot tubuh, ia melambung keudara dan melayang ketepi telaga, terus hendak naik ke puncak pek-wan-san lagi.

Tetapi baru beberapa puluh tombak berlari, dari empat penjuru tampak beberapa sosok tubuh berhamburan menyongsong dan terus mengepungnya.

Gak Lui terkejut. Seketika beringaslah ia.

Karena yang memimpin pengepungan itu bukan lain adalah Pek-Kut Mo-kun dengan enam orang berpakaian dan berkerudung kain hitam, menghunus pedang.

„heh..., heh..., heh...! Engkau Gak Lui, sudah masuk kedalam perangkop maut, mengapa tak mau buang senjatamu saja!" bentak Pek-Kut Mo-kun seraya tertawa mengekeh.

„Nyawa dari pedangku, engkau masih berani ..... "

„Jangan bermulut besar !" bentak Pek-Kut Mo- kun," karena ingin mendapat saksi hidup, maka kuberi ampun. Tetapi kali ini tambah tiga ketua partai persilatan. Jangan harapkan engkau dapat lolos !"

„Siapa ketiga ketua partai itu?"

„Paderi Ceng Ki dari Bu-tong-pay" Pet-Kut Mo-kun menuding dan baru mulut berkata ...... belum selesai, Gak Lui cepat berpaling kearah orang itu dan mendampratnya : „Hm......., murid murtad yang menghina perguruan sendiri. Hari kematianmu sudah tiba !"

Dan orang berkerudung hitam tampil selangkah.

Salah seorang berseru nyaring : „Hm, engkaulah sendiri setan gentayangan yang lolos dari ujung pedangku ! Hayo serahkan pedang Pelangi dan ikut kami menghadap maharaja. Mungkin engkau mendapat ampun! "

Gak Lui melengking dingin ketika matanya memandang kearah orang yang berdiri dibelakang orang yang bicara itu, seketika tergetarlah jantungnya.

Jelas dia tentu si topeng besi. Karena tempo hari begitu melibat pedang Pelangi, dia terpesona. Teka teki ini, harus lekas kupecahkan.

Dan pula keempat orang itu, harus kuselidiki sampai terang !

Maka tanpa menghiraukan paderi yang disebut sebagai Ceng Ki itu, ia terus membentuk Pek-Kut Mo-kun : "Siapakah yang lains itu !"

„Thiat Wan totiang dari partai Ceng-sia-pay, Wi Cun totiang dari partay Kong-tong-pay, Engkau tentu sudah mendensar nama mereka.

„Huh..., terbadap mutid2 murtad yang menghianati perguruannya itu, hari ini hendak kusikat bersih semua !" seru Gak Lui.

Lalu ia pasang kudw2

Orang yang berkeruduog hitam, yang menyebut dirinya sebagai Ceng Ki totiang itu berkilat-kilat matanya. Serunya tegang : „Ah.., pedang Pelangi ternyata telah selesai diperbaiki. Benar3 tak kecewa jerih payahku untuk mencarinya !"

Seru Gak Lui Pedang ini baru akan kucoba ketajamannya.

Sungguh kebetulan sekali mendapat benda percobaan berupa dirimu.

Tiba2 Gak Lui teringat sesuatu dan serentak menggigillah tubuhnya serunya : „Hai, engkau pengapakan ayah dan puteri keluarga The itu ?"

Orang berkerudung yang menyebut diri sebagai Wi Cun totiang dari Kong-tong-pay, segera melayang maju dan berseru ; „Partaiku juga mempunyai sebatang pedang yang putus dan perlu diperbaiki. Dia sudah kutangkap hidup2!"

„Puterinya? "

Tiba2 Pek-Kut Mo-kun tertawa sinia; „Disini !"

Gak Lui kucurkan keringat dingin.

Ia tudingkan pedangnya dan membentak : „Lekas lepaskan mereka !"

„Mudah saja melepaskannya tetapi engkau harus memenuhi sebuah permintaanku."

„Hm........"

Lemparkan pedangmu kepadaku. Dan lemparkan pedang Pelangi kepada Ceng Ki totiang. Lalu ikutlah kami dengan serta merta !"

Gak Lui menengadahkan kepala, tertawa seram.

Belum habis ia tertawa, Pek-Kut Mo-kun bergerak cepat sekali.

la menyusup kedalam, hutan lalu keluar dengan membawa sidara Hong-Lian. Menilik keadaannya yang tak ingat diri, tentulah gadis itu ditutuk jalan darahnya.

„Adik Lian!" teriak Gak Lui dengan tegang.

Tetapi gadis, itu tak mendengar.

Ia berdiri seperti patung.

„Hai..., budak she Gak! Jika tak lekas menurut perintahku menyerahkan pedangmu itu, jangan sesalkan aku berlaku ganas !" seru Ceng Ki totiang memberi peringatan.

„Barang siapa melukai selembar rambutnya saja, tentu mati !" seru Gak Lui.

„Hm...., rupanya kalau belum melihat peti mati engkau tentu tak menangis. Hayo, mulai !" seru orang berkerudung itu. tiba2 dari sekeliling penjuru terdengar suara suitan aneh. Dan selekas suitan berhenti maka berhamburanlah sinar pedang mencurah seperti hujan.

Cret...... pedang berayun membabat kaki Hong Lian. Darah muncrat keudara, Hong Lian menjerit ngeri dan terus rubuh ketanah.

„Hai, budak! Engka!imelihat atau tidak! Kedua kakinya sudah putus.

Jika kau masih berkeras kepala, kedua tangannyapun akan kukutungi!

Gak Lui benar seperti gila melihat kekejaman yang diluar batas itu. Hatinya seperti mengucurkan darah.

Ingin sekali ia mencincang tubuh orang itu.

Tetapi saat itu Hong-lian masih dikuasai musuh.

Sekali salah langkah, gadis itu pasti akan lebih celaka.

„Ah..., hanya menggunakan Lontaran-pedang terbang ..... "

„Akan kuhitung sampai 10, jika engkau tetap ........"

„Baik, kululuskan..." seru Gak Lui, majulah kalian berdua untuk menerima pedang ini !"

Kedua orang berkerudung cepat melesat dua tombak jauhnya. Sedang Pek-Kut Mo-kun dengan tenang menghampiri, serunya : „Totiang, budak itu mahir menggunakan ilmu Lontaran-pedang terbang, harap ber hati-hati."

„Lontaran pedang terbang ?" orang berkerudung itu menegas.

„Benar," Pek- Kut Mo-kun mengiakan. Sambil memandang Gak Lui, ia memberikan sedikit gambaran tentang gerak Lontaran-pedang-terbang itu.

„Hm..., kutahu tangannya belum memadai. Harap jangan kuatir" kata orang berkerudung yang menyebut diri sebagai Ceng Ki totiang itu .

„Ya...., akupun memang sudah tahu. Tetapi peribahasa mengatakan : 'anjing yang kebingungan dapat loncat melampaui dinding tembok'.

Mustahil

kalau dia tak melakukan gerakan itu lagi !"

Gak Lui benar2 hampir meledak dadanya. Pek-Kut Mo-kun sengaja membakar hatinya dan menggambarkan ilmu kepandaian yang dimilikinya.

„Baik," sahut Ceng Ki totiang, „kita semua tak ada jeleknya untuk berhati-bati."

Kemudian ketua partai Bu-tong-pay itu memandang Gak Lui, serunya : „Kalau melemparkan pedang, tangkainya yang diarahkan kemari. Jangan coba2 main kayu!"

„Hm.......," dengus Gak Lui.,

Ia segera condongkan ujung pedang ke belakang dan mencekal tangkainya.

„Lekas lemparkan kemari !"

„Baik..., sambutilah ... !"

Gak Lui terkejut sendiri mengapa suaranya saat itu berobah berkumandang keras sekali. Kemudian mulailah ia lontarkan pedangnya.

Di tengah jalan sekonyong-konyong pedang itu dapat berbalik sendiri.

Ujung pedang itu menyambar jalan darah lawan.

Pek-Kut Mo-kun terkejut sekali.

Setitikpun ia tak menyangka bahwa pemuda itu dalam waktu yang relatif singkat telah mencapai kemajuan pesat dalam tenaganya.

Pada saat ia menyadari harus, memberi pertolongan pada siorang, berkerudung, ternyata sudah terlambat.

Orang berkerudung itu menjerit ngeri.

Tubuhnya berputar-putar hendak menghindar tetapi dadanya sudah tertembus ujung pedang.

Seketika rubuhlah ia .......

Sedangkan orang berkerudung yang menyebut diri sebagai Ceng Ki totiang itu dalam kagetnya, cepat mencabut pedang dan menangkis. Tetapi pedang Pelangi terlampau tajam.

Tring.... pedang Ceng Ki totiang terpapas kutung seketika dan menyusul darahnya memancer deras.

Bahu berikut lengan kirinya hingga sampai pada lambung, terbabat babis........"

Ceng Ki totiang mendekap lengannya kiri yang hilang terus memutar tubuhnya dan melarikan diri.

Gak Lui masih gemas sekali.

Laksana bayangan ia lari mengejar dan hendak menyusul, lagi dengan sebuahhantaman.

Tetapi si Topeng Besi cerdik sekali.

Setelah mengetahui daya kekuatan pedang Pelangi sudah berkurang, cepatnya ia menyambarnya dengan tangan kiri.

Dan secepat kilat ia terus hadangkan, kedua pedang.

Berbareng dengan itu, Thian Wat totiang dan Wi Cun totiang berempat, serempak berhamburan menyerang Gak Lui"

Gak Lui seperti orang gila. Dengan me-raung sedahsyat singa lapar, ia menghantam sekuat-kuatnya.

Bum......Thian Wat totiang dan kawan2nya terhuyung mundur.

Tangkas sekali Gak Lui terus melesat menyusup lubang kepungan musuh, menghampiri Hong-lian. Dengan sebat pula ia segera membuka jalan darah sinona.

Hong-lian tersadar.

Sesaat membuka mata ia menjerit lemah: „Engkoh Lui...." terus ia hendak bangkit. Tetapi ah......, terkulailah ke tanah lagi. Ia baru menyadari bahwa kedua kakinya telah dikutungi orang!

Bagi seorang gadis, cacad buntung kedua kakinya itu jauh lebih dari pada mati. Dengan putus asa ia menggertakkan gigi lalu berseru memperingatkan Gak Lui.

„Engkoh Lui, awas di belakangmu, aku ......"

Gak Lui tahu bahwa musuh tentu sudah menyerang di belakangnya. Cepat ia mencabut pedang yang menancap di dada Pek-Kut Mo-kun lalu dengan Gerak Burung-hong-pentang-sayap, ia berbalik tubuh untuk menyerang, kelima penyerangnya.

Saat itu Hong lian memandang sejenak. ke arah pernuda yang menjadi tambatan hatinya. Dengan hati hancur berkeping-keping dan airmata seperti banjir, ia segera meranakak ke. dalam hutan.

Rombongan Pek-Kut Mo-kun dan orang berkerudung kain hitam itu semua berjumlah 7 orang. Mereka benar2 tak mengira bahwa Gak Lui ternyata memiliki tenaga-sakti yang begitu dahsyat.

Bermula mereka memandang rendah.

Tetapi setelah dalam satu gebrak saja Pek-Kut Mo-kun tembus dadanya dan Ceng Ki totiang hilang lengannya, barulah Thian Wat totiang dan Wi Cun totiang merasa gentar.

Kebalikannya, Gak Lui sendiripun heran mengapa tenaganya mendadak bertambah begitu sakti. Tetapi setelah bertempur beberapa saat, barulah ia menyadari bahwa hal itu dikarenakan ia minum darah dari buaya raksasa didasar Telaga Pedang.

Tetapi saat itu ia diserang oleh lima tokoh darit partai persilatan yang termashyur dalam ilmu pedang. Terutama si Topeng besi.

Bukan saja orang itu tak gentar menghadapi Pedang Pelangi, pun masih dapat menyerang dengan hebat sekali.

„Dia tentulah tak kenal dengan pedang ini.

Dan dialah tentu yang membikin cacad adik Lian.

Kalau tak kucincang tubuhnya, aku malu bertemu adik Lian!" diam- diam Gak Lui menimang dalam hati.

Segera ia pergencar serangannnya.

Pedang berhamburan mcmbentuk lingkaran sinar seluas satu tombak untuk melindungi tubuhnya. Sesaat kemudian, tiba2 ia lepaskan sebuah pukulan keras kepada si Topeng Besi.

Tetapi Topeng Besi seperti tak mengacuhkan.

Dia malah tusukkan kedua pedangnya dan melangkah maju.

Kalau dia begitu peka terhadap pukulan Gak Lui, tidaklah demikian dengan Thiat Wat dan Wi Cun totiang.

Kedua tokoh itu meregang bulu romanya.

Mereka terkejut sampai mengucurkan keringat dingin.

„Cepat mereka bersuit aneh dan bersama dua orang berkerudung, mereka berempat segera melancarkan pukulan.

Betapa dahsyatnya hujan pukulan yang sedang melanda diri Gak Lui saat itu dapat dibayangkan.

Diantaranya berisi pukulan tenaga sakti Thay-ceng-cin-gi dari partai Kong-tong-pay dan tenaga sakti Tun-yang-cin-gi dari Ceng-sia pay.

Dua duanya termasuk tenaga-dalam dari perguruan aliran agama yang hebat.

Bum .... terdengar letupan keras ketika terjadi benturan antara pukulan tokoh2 itu dengan hantaman Gak Lui.

Sisa dari benturan itu masih berhamburan hebat seluas lima tombak jauhnya.

Tubuh si Topeng Besi terhuyung-huyung sampai lima langkah.

Sedang Thiat Wat, Wi Cun terdampar mundur sampai satu meter.

Bekas tanah yang ditempati, melesak sampai beberapa dim dalamnya.

Sedangkan Gak Lui sendiri, tampak tegak seperti karang.

Sedikitpun tak berguncang darit tempatnya.

Pada saat terhuyung ke belakang, Wi Cun totiang terus melesat satu tombak jauhnya dan bersuit beberapa kali. Kemudian dengan malu bercampur marah ia membentak: „Budak she Gak, apakah engkau berani menerima kedatangan Tiga algojo dari Maharaja?"

Gak Lui mendengus, teriaknya. „Jangankan hanya algojonya, bahkan Maharaja sendiri yang maju, lebih menggembirakan hatiku!"

„Dia......"

„Bagaimana?"

„Juga tak jauh dari tempat ini. Lambat atau laun engkau pasti akan bertemu juga' "

„Heh.... heh...., heh....," Gak Lui mengekeh hina, diam2 ia menyedot "napas dan kerahkan tenaga sakti-nya.

Saat itu Topeng Besi berlima sudah tegak berjajar.

Mendengar Gak Lui tertawa, Wi Cun totiang segera menegur: „Mengapa engkau tertawa?"

„Kutertawakan engkau yang sok pintar tetapi malah hanya mengantar jiwa saja!" sahut Gak Lui.

„Mengapa ?"

„Karena perlu untuk mencari. Maharaja maka kutinggalkan sebuah mulut hidup. Tetapi sekarang rasanya tak perlu lagi!" sahut Gak Lui.

la menutup katanya dengan gerakan pedang dalam. sebuah lingkaran.

Dalam sekejab saja, ia sudah lontarkan tiga buah pukulan dan enam buah serangan pedang.

Kembali terjadi pertarungan hebat antara pukulan dan pedang.

Pedang Wi Cun totiang terpapas lima dim.

Sedang Thian Wat totiang hanya tinggal bertangan kosong saja.

Dua orang berkerudung telah tersingkap kain kerudungnya, hingga tampak topeng besi warna merah karatan menutup muka mereka.

Yang masih tetap dapat bertahan hanyalah tinggal si Topeng Besi yang pertama tadi. Dengan mengandalkan Pedang Pelangi, ia dapat melindungi tubuhnya hingga tak sampai menderita luka.

Terhadap ketiga musuh bertopeng besi, Gak Lui menaruh perhatian istimewa. Cepat ia susuli lagi dengan pukulan yang dapat memaksa, mereka mundur sampai dua tombak. Kemudian ia bersiap melancarkan pukulan yang terakhir.

TETAPI belum sempat Gak Lui bertindak, sekonyong-konyong dari jauh terdengar dua buah suitan yang berbeda nadanya. Yang satu berasal daril puncak Pek-wan-san. Sedang suitan yang lain berasal dari beberapa puncak gunung dibelakang Pek-wan-san. Sekalipun begitu nadanya amat kuat sekali. Suatu pertanda betapa hebat tenaga dalam orang itu.

Gak Lui terkejut, pikirnya: „Kedua suitan itu benar2 luar biasa. Yang pertama, terang dari seorang tokoh yang lebih unggul ilmu tenaga dalamnya dari rombongan orang berkerudung yang mengeroyoknya itu.

Kemungkinan besar tentulah di antara mereka yang disebut sebagai Tiga algojo Maharaja!

Tetapi suitan dari belakang puncak Pek-wan-san itu jauh lebih hebat lagi. Adakah si Maharaja sendiri?

Dendam darah yang dikandung Gak Lui, benar2 sudah meresap kedalam tulang sungsumnya.

Sekalipun menghadapi bahaya yang bagaimana mengerikan, ia tetap tak peduli. Dia harus membereskan beberapa kaki tangan musuh yang dihadapinya saat itu!"

Cepat ia memandang kawanan penghadangnya itu.

Ah..., ternyata Thian Wat dan Wi Cun totiang telah membawa kedua orang Topeng Besi mundur ketepi hutan.

Hanya si Topeng Besi yang memegang pedang Pelangi itu rupanya agak lambat jalannya. Tampaknya, ia tak mau diperintah dan hanya mundur sampai lima tombak jauhnya dari tempat Gak Lui.

„Hai....., hendak lari kemana engkau!" bentak Gak Lui, seraya loncat mengejar. Tetapi baru ia mencapai tiga tombak jauhnya, Thian Wat totiang berempat sudah. menyelinap masuk,kedalam hutan.

Topeng Besi yang agak ayal jalannya tadi, hendak menangkis serangan Gak Lui. Tetapi terlambat.

Tring..., secepat kilat ujung pedang Gak Lui sudah menusuk kebelakang tengkuk orang itu.

Tetapi tusukan itu tak dapat menembus tengkuk orang.

Ternyata Topeng Besi itu mengenakan topeng besi yang melindungi kepala bagian muka sampai belakang.

Hanya saja tenaga tusukan Gak Lui yang dahsyat itu dapat melemparkan tubuh orang itu sampai setombak lebih jauhnya. Sebelum orang itu rubuh, secepat kilat Gak Lui sudah merebut pedang Pelangi dari tangan orang itu.

Kemudian diteruspkannya dengan tebasan pedang ditangan kirinya, dan disusul dengan gerakan membelah dengan pedang Pelangi yang sudah berada ditangan kanannya.

Sebelum sampai menjerit, si Topeng Besi itu sudah kehilangan kepalanya, menggelinding ke tanah.

Rupanya Gak Lui masih belum puas.

Ia benci sekali kepada manusia yang telah menghianati partai perguruannya itu.

Sekalipun kepala orang itu sudah hilang, Gak Lui tetap masih membelah badannya.

Darah muncrat seperti sumber air dan dua keping tubuh orang itu berbamburan jatuh ke tanah.

Masih Gak Lui belum puas lagi.

Ia hendak mengutungi perut orang itu.

Tring ........ begitu pedang menebas, dari perut orang itu melesat keluar sebatang pedang kutung yang berlumuran darah.

„Aneh....!" pikir Gak Lui seraya hentikan pedangnya dan memeriksa pedang kutung itu.

Ah...., kiranya berasal dari Wi Cun totiang.

Saat itu baru ia tersadar.

Bahwa sebelum ditusuk tengkuknya tadi, orang itu memang sudah dilontari pedang oleh Wi Cun totiang sendiri.

„Hm...., rupanya mereka takut kalau Topeng Besi ini dapat kutawan hidup-hidup. Maka mereka mendahului membunuhnya ....... tetapi apakah kepentingannya melenyapkan orang ini?" tanya Gak Lui dalam hati.

Seketika timbullah rasa ingin mengetahui siapakah sebenarnya yang bersembunyi dalam topeng besi itu. Ia hendak membuka topeng besi dan me lihat tampang muka orang itu.

Tetapi tiba2 dari hutan di sebelah belakang muncullah sesosok tubuh baju biru muda.

Gerakannya sama sekali tak bersuara.

Mirip dengan kapas yang berhamburan.

Dan dengan sebuah gerak melesat yang aneh, orang, itu sudah berada di belakang Gak Lui.

Gak Lui terkejut menyaksikan gerakan orang.

Tanpa banyak pikir, ia terus menyerang dengan sepasang pedangnya.

Sret..., sret..., sret...., tiga buah serangan dalam jurus Naga-sakti-kibarkan-ekor, Halimun-pencabut-nyawa dan Menggurat-bumi-membelah-langit.

Ketiga jurus itu hebatnya bukan main, cepatnya seperti kilat.

Tetapi pendatang itu sama sekali tak menghindar maupun menangkis. Ia hanya bergeliatan dan berputar-putar tubuh dengan indah sekali.

Sepintas pandang mirip dengan seekor kupu2 yang berlincahan dalam taburan hujan. Selain itu, tubuhnya seperti memancar semacam tenaga-sakti yang tak kelihatan. Ujung pedang Gak Lui selalu tersiak ke samping, tak dapat menembus tubuh orang itu.

Gak Lul makin terkejut. Apalagi setelah memperhatikan perawakan tubuh orang itu.

Dia benar2 terkesiap kaget.

„Heran...! Jelas yang terdengar tadi adalah suitan dari dua orang pria tetapi mengapa yang muncul hanya seorang wanita?" pikirnya.

Belum sempat ia menyatakan apa2, terdengarlah orang itu tertawa nyaring: „Benar, ketiga jurus serangan tadi, masih belum sempurna!"

„Engkau ..... tahu jurus itu ...... ?"

„Sudah tentu tahu. Ketiga jurus ilmu pedang itu, kecuali Kaisar Persilatan, hanya ketuga Partai Gelandangan yang telah dapat menggunakan-nya.

Dan karena engkau gabungkan dengan ilmu pedang dari Busan, maka lahirlah ilmu pedang yang baru !"

„Apakah hubunganmu dengan Kaisar Persilatan......."

„Orang serumah !"

„Oh...," Gak Lui mendengus kejut dan memandang orang itu dengan seksama.

Orang itu mengenakan jubah panjang sampai menutup ketanah. Rambutnya menjurai kebahu. Wajahnya bertutup kain sutera biru muda. Pada rambut diatasnya dahinya, tersanggul sebuah cunduk kumala berselaput emas. Ditingkah sinar mentari, cunduk itu memancarkan sinar berbentuk Swatika. Suatu pertanda dari kaum agama. Wajahnya memancar cahaya welas asih.

Sikap Gak Lui segera berobah delapan puluh derajat kepada orang itu: „Jika cianpwe serumah dengan Kaisar Persilatan, tentulah cianpwe ini salah seorang dari Empat Permaisuri ?"

„Engkau menduga tepat. Akuadalah Permaisuri-biru Li Bu-ho!"

„Kalau begitu: Bidadari telaga-Totiang itu masih keluarga cianpwe?"

„Ui Leng itu adakah adik angkatku."

Mendengar itu serta merta Gak Lui berlutut memberi hormat: „Ui Cianpwe telah menolong jiwa adik-angkatku gadis ular Siu-mey. Baru sekarang aku sempat mengbaturkan terima kasih kepada cianpwe....."

Permaisuri-biru kebutkan lengan jubahnya. Serangkum angin bertenaga lunak telah mengangkat tubuh Gak Lui bangun.

„Kami orang serumah itu, sudah lama sekali tak bertemu, Apabila nanti berjumpa pasti akan kusampaikan terima kusihmu kepadanya. Mengenai adik angkatmu, ditengah hutan itu akupun telah menolong seorang ........ "

„Itu adik Lian. Aku baru mencarinya. Gak Lui terus melesat kearah hutan. Tetapi Permaisuri-biarpun cepat loncat manghadang, seraya: „Jangan kesana ........ "

Tiba2 dari arah puncak Pek-wan-san terdengar pula sebuah suitan yang dahsyat, Sedang suitan yang berasal dari beberapa puncak dibalakang Pek-wan-san itu, juga terdengar lagi tetapi nadanya seperti berasal dari, beberapa li jauhnya.

Gak Lui gemetar terus hendak bersuit juga.

Tetapi saat itu juga dari sebelah timur terdengar suara bentakan dari kedua paderi Thian Wat dan Wi Cun.

Dan tiba2 pula Permaisuri biru menjentikkan jarinya kearah Gak Lui.

Seketika jalan darah pembisu ditengkuk Gak Lui mengejang kencang sehingga walaupun mulut ternganga tetapi tak mengeluarkan suara apa2.

„Jangan bergerak dan lekas mundur selangkah dulu!" terdengar Permaisuri biru berseru pelahan memberi peringatan.

Serempak dengan itu, hawa yang melindungi tubuhnya tadi, makin mengembang...... jauh lebih luas hingga Gak Lui seperti terjaring lalu diangkat masuk hutan.

Ketiga macam suitan, tadi, tiba2 seperti ber-kumpul di-puncak Pek-wan-san terus berkumandang menuju ke barat. Tak berapa lama lenyap tak kedengaran lagi.

Selekas suitan itu lenyap, Permaisuri Birupun menarik pancaran tenaga-saktinya juga.

„Bagaimana maksud cianpwe mencegah aku? Siapakah yang bersuit itu, kawan atau lawan?" Gak Lui mengajukan pertanyaan.

„Menurut pendapatmu?" Permaisuri Biru balas bertanya.

„Kukira tenaga-saktinya yang paling hebat itu, tentulah si Maharaja!" sahut Gak Lui.

„Maharaja....? Ah...., belum pernah kudengar nama itu. Tetapi menilik tenaga saktinya, dia tentu seorang tokoh sakti!"

„Ah...., mempunyai dendam permusuhan sedalam laut dengan dia. Harus kukejarnya"

„Tunggu dulu! Karena mempunyai dendam darah yang hebat, apakah engkau ingin membalas dendam atau tidak?"

„Biarpun tubuh itu hancur, tetapi aku tetap hendak menuntut balas kepadanya !"

„Kalau bercita-cita hendak menuntut balas, jangan sekali-kali bertindak hanya karena menuruti rangsang perasaan saja !"

„Tetapi cianpwe, sudah lama sekali kucari musuh yang bergelar Maharaja-persilatan itu.

Tetapi sampai sekarang belum berhasil menemukan orang itu.

Apalagi dia mempunyai jago2, seperti Tiga algojo Maharaja dan lima orang tokoh yang berhianat kepada partai perguruannya sendiri.

Tujuan dari Maharaja itu tak lain yalah hendak menguasai dunia persilatan. Bahkan ia sama sekali tak memandang mata kepada Kaisar.

Saat ini dia berbasil menguasai 5 ketua partai persilatan.

Thian wat totiang ketua Bu-tong-pay yang ditawan oleh Maharaja, telah memberi peringatan kepada semua partai persilatan agar lekas mengadakan pembersihan dalam kalangannya sendiri, serta mengganti ketua-nya.

Menghadapi peristiwa begitu, sudah barang tentu aku tak dapat berpeluk tangan saja!"

Permaisuri Biru tertawa ramah, serunya: „Omonganmu beralasan juga. Sekarang akan kusimpulkan siapakah diantara tokoh2 dunia persilatan yang paling hebat kepandaiannya. Walaupun orang yang bersuit dari beberapa puncak disebelah sana, tetapi ilmu tenaga dalamnya masih berimbang dengan engkau. Apabila dia sampai kemari dan ditambah dengan rombongan Thian Wat totiang.

Engkau pasti sukar menghadapi mereka.

Mengenai orang yang engkau sebut sebagai maharaja persilatan itu, menilik dari nada suitannya, mungkin lebih sakti dari pada diriku.

Jika engkau akan membalas dendam kepadanya, diapun akan berusaha juga untuk melenyaptan cita-citamu itu.

Jika begitu keluar dari perguruan engkau akan terus binasa, apakah engkau tak merasa telah mengecewakan perguruan dan harapan orang tuamu ?"

Kata-kata yang tajam itu telah membuat Gak Lui gelagapan sadar. Buru2 menjura, memberi hormat : „Terima kasih atas petuah cianpwe. Akan segera membawa adik Lian pergi ....."

„Tak usahlah," kata Permaisuri Biru, dia tak ingin bertemu denganmu, Sekurang-kurangnya untuk masa ini."

„Mengapa ?" Gak Lui terkejut.

„Lalu bagaimana dengan lukanya itu?"

„Telah kutolong seperlunya untuk menghentikan pendarahannya. Setelah tidur secukupnya, dia segera akan kubawanya untuk mencari tabib pandai !"

„Siapakah kiral yang cianpwe hendak cari itu?"

„Sekarang belum tahu, siapa tabib yang pandai itu. Tetapi setelah ia sembuh, akan ku ajari ilmu silat agar dia dapat menuntut balas atas kematian orang tuanya. Tetapi bila ........ "

„Bila tak bisa sembuh?"

„Dia sudah memutuskan untuk masuk menjadi rahib dan takkan menikah selama-lamanya."

Serasa ter:ayatlah hati Gak Lui meodsngar keterangan itu. Dua butir airmata menitik keluar.

„Dia. . . amat baik sekali ...... baiklah, untuk sementara waktu ini aku takkan menemuinya...... kedua adik-angkatku telah cianpwe tolong semua. Budi besar itu pasti ..... akan kubalas"

„Itu suatu kewajiban didalam dunia persilalatan. Tak perlu membalas budi, hanya saja..... "

„Silahkan cianpwes mengatakan, harap jangan sungkan!"

„Berapakah sebenarnya adik angkatmu itu?" tanya Permaisuri Biru dengan nada agak keras.

Merah telinga Gak Lui, sahutnya ; „Aku Puaya taci-angkat dan dua orang adik angkat.

„Banyak juga!" ,,              .

„Bagaimana hubunganmu dengan mereka ?"

„Baik sekali"

„Justeru ini ....... Permaisuri Biru hentikan kata2-nya lalu beralih soal :„Kita tak kenal sebelumnya. Aku tak berhak mencampuri urusan pribadimu. Hanya menilik pancaran matamu, kelak engkau tentu berhasil gemilang dalam ilmu silat. Usiamupun cukup panjang. Tetapi engkau akan menderita didalam soal asmara. Jika.......

„Jika bagaimana? "

„Jika dalam hidupmu timbul lagi seoreng wanita, engkau pasti akan mengalami penderitaan hebat.

„Benarkah?"

„Ilmu mengarang dari tampang muka, mengatakan begitu. Catat sajalah dalam hatimu. Mungkin wanita yang keempat itu takkan muncul dalam kehidupanmu. "

Sesaat tersiraplah darab Gak Lui. la teringatlah akan ramalan si Raja Sungai. Juga mengatakan bahwa dia bakal mengalami peristiwa kehidupan yang aneh.

„Dapatkah cianpwe mengatakan sedikit tentang hal2 yang akan kuderita itu?" tanyanya setengah kurang percaya.

„Kepandaianku ....... masih belum mencapai tingkatan itu. Jika engkau berjumpa dengan suamiku Kaisar Persilatan. Dia tentu dapat memberi keterangan yang lebih jelas lagi."

„Oh....." Gak Lui mendengus. Kemudian ia bertanya apakah Ki cianpwe benar2 datang ke Tiong-goan?

„Sudah setengah tahun yang lalu."

„Ah....., aku tak tahu ........"

„Tak-apa, lanjutkan saja ceriteramu," kata Permaicnri Biru agak ramah. Setalah merenung sejenak, Gak Lui melanjutkan kata2nya : „Dalam soal membalas sakit hati ini, sesungguhnya aku tak ingin mencari bantuan orang. Tetapi Maharaja persilatan dengan gerombolannya, memang mengganas di dunia persilatan ....... "           .

„Ya, kutahu. Bukankah maksudmu hendak mengatak mengapa Kaisar tinggal diam saja?" tukas Permaisuri Biru.

„Benar, apabila Ki cianpwe tak menghendaki nama partai Thian-liong-pay dan pribadinya tercemar, beliau pasti takkan berpeluk tangan membiarkan gerombolan Maharaja malang melintang dalam dunia persilatan"

Permaisuri Biru menghela napas. Merenung beberapa saat, ia berkata tenang : „Sekali-kali bukan karena kami Kaisar dan Empat Permaisuri itu tak punya rasa Keadilan. Tetapi sesungguhnya memang tak berdaya turun tangan."

"Aku tak, mengerti !"

Kepala Permaisuri Biru itu agak berguncang sehingga tanda swastika bergemerlapan.

Semangat Gak Lui serentak tertarik oleh pertandaan itu.

„Alasannya sederhana sekali. Tetapi pada waktu sekarang merupakan rahasia besar dalam dunia persilatan. Setelah kuberitahu kepadamu, engkau tak boleh bilang kepada siapapun juga."

„Baik, aku berjanji takkan mengatakan kepada lain orang," kata Gak Lui.

Maka berceritalah Permaisuri Biru : „Suhu dari Kaisar Persilatan yalah paderi sakti Thian Liong, pada masa itu kepandaiannya menjagoi dunia persilatan.

Sudah tentu-dia-banyak membunuh tokohl jahat.

Dua-puluh tahun yang lalu, Kaisar telah menumpas ke Lima aliran Jahat. Merupakan suatu pertempuran berdarah yang hebat sekali.

Sejak itu ia sadar.

Sepuluh tahun yang lalu ia menghadap gurunya untuk menerima ajaran2 ke-agama-an.

Pada saat itu ia bersumpah bahwa partai Thian-liong-pay takkan-membunuh orang lagi." .

„Oohh......!" desus Gak Lui.

„Itulah sebabnya maka kami tak dapat turun tangan. Bahkan tak berani menerima murid karena kuatir akan terlibat pergo!akan berdarah sehingga melanggar sumpah itu"

„Lalu bagaimana cianpwe hendak memberi pelajaran ilmusilat kepada Siu-mey dan adik Lian?"

„Sebenarnya aku adalah murid dari Ceng Ling lolo. Dapatlah kuajarkan dia ilmupedang Ceng-ling kiam-hwat. Bidadari Tong-ting anak-murid perguruan Raja-setan Im Hong. Dapat memberikan kepandaiannya kepada gadis ular Siu-mey."

„Aliran Baik atau Jahatkah Raja-setan Im Hong itu" tanya Gak Lui.

„Pada masa itu merupakan momok besar yang hebat sekali kepandaiannya. Pernah mengusir partai. Gelandangan dari telaga Tong Ting!"

„Kalau begitu, jangan sajal" teriak Gak Lui, betapapun hebatnya kepandaian itu tetapi aku tak memperbolehkan Siu-mey menganut aliran jahat!" Permaisuri Biru gelengkan kepala: „Jangan merangsang dulu! Dalam hal, itu memang ada persoa!aanya."

„Aliran Putih dan Jahat laksana api dengan air. Tak mungkin berkumpul"

„Ilmu jahat untuk mengorbankan jiwa orang lain. Dewi Tong Ting sudah tak mau menggunakan lagi Tak nanti ia akan mengajarkan kepada Siu-mey. Selain ilmu jahat itu, Bidadari Tong Ting masih memiliki lain2 ilmu yang sakti dan tak tergolong aliran jahat"


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar