BAB 11 : GELANDANGAN
PADA saat keempat jago itu
hendak menerkam gadis ular Li Siu-mey, se-konyong2 dari, balik karang terdengar
suara men-desis.
Siu-mey getarkan tubuhnya.
Serempak mulut mendesis, ia dorongkan kedua tangannya. Dua ular, emas dan
perak, yang melingkar sebagai gelang pada kedua tangannya serentak meluncur ke
udara. Dua orang penyerang yang paling depan sendiri, seketika rubuh ketanahl
Dua orang kawannya yang
menyusul dibelakang, terkejut dan tertegun melongo.
„Cucu kecoa, hayo
mundur!"
Kedua orang itu serta merta
menurut.
Tetapi pada saat mereka
berputar tubuh, dua batang pedang dari Gak Lui menyongsong dada mereka.
Kedua orang itu rubuh tak
bernyawa.
Siu-mey cepat melesat ketempat
Gak Lui. Setelah menarik nona itu kesamping, Gak Lui segera memberi hormat
kearah karang seraya berseru: „Lo-cianpwe yang berada dibelakang batu karang,
Gak Lui menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan lo-cianpwe!"
„Aku siorang desa ini murid
Kun-lun-pay jang bernama Se-bun Ciok. Jangan menyebut cianpwe pada
diriku!"
„Dengan ketua Kun-lun pay Hong
San locia bagaimana cianpwe memanggilnya?" seru Gak Lui pula.
„Hai, itulah mendiang
guruku!" orang itu berseru kaget dan terus melangkah keluar dari balik
karang.
„Rasanya engkau tak kenal
gelagat. Yang menjadi ketua partaiku sekarang ini adalah suheng-ku Tang-hong
Giok, digelari orang sebagai Tang Hong Sianseng . . . Sejak tadi Siu-mey belum
sempat berpaling muka melihat penolongnya. Kini ketika memandang orang itu,
menjeritlah nona itu: „Ai...., engkau tentulah Se-bun Sianseng ......"
„Benar," sahut orang itu,
„kami memang sepasang. Satu Tang (timur) satu Se (barat)" Mengawasi
dandanan orang itu, diam2 Gak Lui geli juga.
Se-bun Sianseng itu mengenakan
sebuah topi butut yang sudah tak begitu je!as lagi warnanya. Jubahnya pun hanya
sampai keatas lutut, sepatunya dari rumput, kaos kain kaki kasar. Punggungnya
menyanggul sebatang payung. Tangan kiri memegang kipas besi berwarna hitam
mengkilap dan tangan kanannya mencekal pipa huncwe.
Ia memelihara kumis dan
jenggot, yang dikepang dua, memakai kacamata yang diikat pada telinga dengan
pita. Boleh dikata apa yang dipakainya itu barang butut semua. Sukar bagi orang
untuk percaya bahwa si gelandangan jembel itu memiliki kepandaian silat yang
tinggi.
„Gak laute, tentu tak sedap
memandang diriku yang tak keruan ini, bukan?" Se-bun Sianseng batuk2
sehingga kacamatanya ikut bergoncangan naik turun pada batang hidungnya.
„Ah, tidak," buru2 Gak
Lui menyahut, „cianpwe seorang sakti yang tak mau unjuk diri. Ilmu tutukan
Kek-geng-tiam-hwat yang cianpwe lepaskan tadi, cukup meyakinkan orang!"
„Ah, engkaupun terlalu
merendah diri!" seru Se-bun Sianseng, „ilmu tenaga-dalam mendorong dan
menyedot, serta melepaskan pedang tadi, aku Se-bun Sianseng yang sudah
bergelandangan di dunia persilatan selama berpuluh tahun, tetap tak mampu
mengetahui dari sumber mana kepandaianmu itu
Mendengar itu Gak Lui
tertegun.
Ilmu melemparkan pedang tadi,
sebenarnya baru pertama kali ia gunakan ltu, karena gugup melihat Siu-mey
terancam bahaya.
„Ah, tak perlu saudara
tertegun," kata Se-bun Sianseng pula: „aku bukan bermaksud hendak mencari
penyakit. Apalagi engkau mengenakan kedok muka karena tak ingin dilibat orang,
lebih2 aku tak mau bertanya melilit. Hanya mengenai sebuah hal,"
„Apa?" seru Gak Lui.
„Engkau kurang faham akan ilmu
tutukan.
Suatu hal yang janggal dan tak
seimbang dengan ilmu kepandaianmu!"
Sejak pertama kali di tunjuk
hidung kalau kepandaiannya masih readah oleh mendiang ayah angkatnya temoo
hari, baru ,itulah Gak Lui memenerima kritikan orang lagi.
„Memang sessungguhnya
kepandaian itu tidak banyak ragamnya sehingga sering menimbulkan buah tertawaan
orang," sahutnya.
„Kurasa bukan soal itu.
Melainkan karena engkau tak faham akan letak jalan darah orang. Jika engkau tak
menganggap aku seorang usil, aku hendak mempersembahkan sebuah barang
kepadamu!" habis berkata Se-bun Sianseng meletakkan pipa dan kipas. Lalu
mengambil selembar gambar dari bungkusannya.
Begitu dibuka, ternyata
Lukisan itu merupakan gambar tubuh manusia dengan seluruh letak jalan darahnya.
Gak Lui menyurut mundur
seteagah langkah.
„Ah, mana aku berani menerirna
pemberian begitu berharga ..." Gak Lui berseru.
„Barang ini bukan milik
partaiku Kun-lun-pay melainkan peninggalan dari sahabatku Jari-tunggal-sakti
yang mengatakan bahwa benda ini hendaknya diberikan kepada orang yang
sesuai," menerangkan Se-bun Sianseng.
„Siapakah cianpwe itu?"
„Menilik tingkatannya, dia
adalah paman guru dari Kaisar (Raja diraja) Li Liong-ci. Beliau termahsyur
sebagai ahli tutuk jalan darah yang sukar dicari tandingannyal"
Ah, kiranva seorang jago sakti
dari partai Thian-liong-pay!" seru Gak Lui.
„Dia tak termasuk tokoh
Thian-liong-pay. Pula peta yang berisi gambar dari ke 36 jalan darah besar dan
343 jalandarah kecil pada tubuh manusia ini, hanya untuk pentrenal bagian2 dari
tubuh manusia. Tentang penggunaannya, terserah padamu sendiri."
„Mcndengar penjelasan dan
karena didesak, akhirnya Gak Lui mau" juga menerima. Setelah menghaturkan
terima kasih ia terus mencari tempat yang sepi lalu merentang peta itu dan
memeriksanya dengan teliti.
Tiba2 Se Bun Sianseng mengusap
jenggot dan banting2 kaki: „Ah, karena terpikat oleh ramai2 aku sampai
melupakan sebuah hal yang geating!"
Sambil memandang peta dan
merabah-rabah bagian2 jalan darah pada tubuhnya sendiri, Gak Lui bertanya:
„Apakah yang lo-cianpwe lupakan itu?"
„Membiarkan kaki tangan
Maharaja pergi sehingga tentu menimbulkan kesulitan pada gerakan partai2
persilatan!"
„Partai2 persilatan sudah
bergerak?" Gak Lui menegas.
„Masakan engkau tak tahu?
"
„Sudah lebih dari sebulan aku
masuk kedaerah pedalaman gunung....." „Air, banyak sekali perobahan yang
terjadi sebulan itu! " Gak Lui terkejut dan mengangkat muka: „Perobahan
apa sajakah itu?"
„Teruskanlah mempelaiari peta gambar
itu. Akan kuceritakan dengan pelahan-lahan: Pertama tentang sepak terjang dari
kaki tangan Maharaja yang kian hari kian merajalela. Siang hari bolong berani
mengirim Amanat Nasib sehingga menimbulkan kegelisahan dan kecurigaan. Ada
beberapa, partai persilatan yang mengatakan, engkau menjadi salah seorang
anggauta gerombolan Topeng Besi!"
„0, lalu apa lagi? "
„Kecuali partaiku Kun-lun-pay
dan partai Go-bi-pay, kelima partai persilatan yang lain semua telah menerima
surat rahasia yang telah ditanda-tangani oleh tokoh-tokoh mereka sendiri yang
telah menghilang selama baberapa tahun. Dalam surat itu menyatakan hendak
mengadakan pembersihan kedalam partai dan memerintahkan ketua mereka, dalam
waktu paling lama satu tahun harus sudah mengundurkan diri:"
„Hal itu sudah kudengar,"
kata Gak Lui, „tetapi bahwa kelima partai dalam waktu serempak telah menerima
ancaman semacam itu, memang baru saat ini kudengar!"
Se Bun Sianseng melanjutkan
pula: „Ketiga," Kaisar Li Liong-ci sudah muncul lagi ke daerah Tiong-goan!"
„Tentulah hendak turun
tangan!"
„Sama sekali tidak begitul
Kabarnya dia tidak mau campur tangan."
Mata Gak Lui ber-kilat',
serunya: „Mengapa"
„Orang yang menceritakan
kepadaku tak berani menerangkan se-jelas2nya. Kamipun tak dapat menerka. Sekalipun
Kaisar tak mengacuhkan, asal Empat Putri mau membantu, golongan Putih da-lam
dunia psrsilatan tentu masih mempunyai harapan."
„Empat Putri?" Gak Lui
mengulang.
„Benar, mereka. terdiri dari
Puteri Hijau, Puteri Naga Istana-laut, Puteri Telaga Tongthing dan Bawang
Putih."
„Bagaimana dengan kepandaian
mereka?"
„Mereka satu kaum. Kepandaian
Kaisar Li Liong-ci moncangkum Hud dan Mo (aliran agama dan Iblis).
Sedang Empat Puteri itu
meliputi ilmu sakti Ceng-ling, Cek-cui, Tong-ting-kui-ong, Thaysiang-sia-kun
dan Liok-hap-mo-cun. Merupakan gabungan antara aliran Putih dan
Hitam!...."
Tergerak hati Gak Lui
mendengar uraian Se Bun Sianseng itu.
Katanya dengan tandas: „Jika
karena sesuatu sebab, mereka tak muncul, aku Gak Lui pasti tetap akan berjuang
melaksanakan cita2. Kalau lain orang dapat berlatih sehingga mencapai tataran
begitu hebat, masakan aku juga tak mampu!"
„Bagus, bagus! Kekerasan
hatimu sungguh mengagumkan sekali. Menurut kata nona ini, kelak engkau tentu
menjadi tokoh yang cemerlang!" seru Se Bun Sianseng.
Sambil kicupkan mata,
bertanyalah gadis -ular Siu-mey: „ Menurut lo cianpwe, apakah yang dapat
kupelajari...?"
„Nona memiliki kecerdasan dan
simpanan hawa murni yang kokoh. Kalau mempelajari ilmu tenaga-dalam Lunak,
kelak tentu berhasil! "
Nona itu girang sekali dan
berpaling memandang ke arah Gak Lui.
Saat itu Gak Lui tengah
melipat peta gambar dan menyerahkan kembali kepada Se Bun Sianseng: „Terimat
kasih lo-cianpwe, aku sudah dapat menghafal gambar2 itu.
„Budi lo-cianpwe kelak tentu
kubalas."
Sambil menyambuti peta gambar,
Se Bun Sianseng melolos kaca-matanya dan menyerahkan kepada
===================
Lembar 10-11, hilang
===================
Tujuan pertama itu merupakan
suatu pertempuran mati hidup dengan Maharaja. Dan tujuan yang kedua itu untuk
mengukur tinggi rendahnya kepandaiaanya yang telah dicapai saatt itu.
Kedua-duanya hanya
mengandalkan kekuatannya sendiri untuk menentukan kalah menangnya atau gagal
berhasilnya tujuan itu. Dan serentak teringatlah ia akan ucapan emas mendiang
bibi gurunya Dewi Pedang bahwa ilmu kepandaiannya itu harus ditempuh dengan
kegiatan den jerih payah. Sekali-kali jangan mengandalkan pada suatu rejeki
yang tak terduga-duga ........
Seketika tergugahlah semangat
Gak Lui. Koberaniannya pun menyala. Dia tak menghiraukan lagi lautan kesulitan
yang harus dihadapi dalam melaksanakan tujuannya untuk membalas dendam kematian
orangtuanya.
Ditain fibak gadia ular
Siu-mey pun terbenam dengan keinginan untuk- belajar silat. Agar dapat mencari
ayahnya dan membantu usaha sang kekasih (Gak Lui), bulatlah sudah tekadnya
untuk menuntut ilmu kepandaian silat yang sakti.
Ucapan Se Bun siangseng tadi,
benar2 telah membangkitkan semangatnya. Tak disadari, Siu-mey merekah senyum
bahagia. Tetapi tiba2 dalam benak si nona itu terlintaslah bayangan seorang
gadis lain yang menjadi kawan akrab dari Gak Lui.
Gadis lain itu yalah, Hi
Kiam-gin. Tetapi Kiam-gin telah hilang jejaknya, entah lenyap ke mana. Apakah
gadis itu akan mendapat rejeki luar biasa sehingga mampu memperoleh ilmu silat
yang sakti sehingga akan menjadi rintangan hubungannya (Siu-mey) dengan Gak
Lui? Adakah ia harus harus membagi cinta kepada gadis itu
Tiba2 Gak Lui batuk2 pelawan
dan berseru getun: „ Ah, kulupa untuk menanyakan sebuah soal penting kepada Se
Bun sianseng!" Siu-mey tersadar dari lamunan dan cepat menyanggapi: „ Soal
apa?"
„Pedang yang kubawa ini adalah
pedang Pelangi pusaka pemberian Ceng Ki totiang dan partai Bu-tong-pay. Beliau
minta tolong kepadaku supaya mencarikan seorang pandai besi yang jempol untuk
merobah bentuk, pedang yang pendek itu menjadi pedang panjang. Tak bertanya
pada Se Bun Sianseng, bukankah berarti menyia-nyiakan kesempatan yang bagus
........ "
„Ah, kesempatan selalu masih
ada. Tetapi engkau harus ingat akan urusan Ceng Suan totiang dari Bu-tong-pay
yang turun gunung itu. Saat ini mereka sedang terancam bahaya. Jika
mengembalikan pedang itu kepadanya, berarti engkau membantunya dan berarti
takkan menyia-nyiakan harapan Ceng Ki totiang."
Dalam waktu bercakap-cakap itu
keduanya sudah berjalan cukup jauh. Gak Lui sejenak berpaling ke arah guha
rahasia kediaman mendiang bibi gurunya. Selesai lepaskan tatapan mata yang
terakhir, cepat2 ia lanjutkan perjalanan lagi.
SETELAH berjam-jam melintasi
daerah pegunungan belantara, akhirnya mereka tiba di tanah datar. Dan pada saat
mereka menyusur sebuah jalan besar, tiba2 diiihatnya seorang lelaki pertengahan
umur sedang berdiri di bawah sebatang pohon rindang. Orang yang dandanannya
seperti orang desa itu rupanya sedang menunggu sesuatu. Tetapi dari sikapnya,
orang itu seperti seorang yang memiliki kepandaian ilmusilat.
Cepat sekali Gak Lui dan
Siu-mey melintas di samping orang itu. Tiba2 orang itu berpaling dan memandang
Gak Lui dan Siu-mey. Dengan matanya yang tajam dapatlah Gak Lui mengetahui
gerak gerik orang itu. Diam2 timbul kecurigaannya namun pura2 tidak tahu dan
lanjutkan perjalanan.
Sekonyong-konyong orang itu
bersuit nyaring. Dari arah muka segera terdengar sambutan orang bersuit. Suitan
itu- berasal dari arah hutan.
Jelas suitan itu tentulah
suatu pertandaan rahasia dari sebuah gerombolan. Gak Lui berputar tubuh lalu
kembali ke tempat orang itu.
Orang itu terkejut dan
menyurut mundur tiga langkah, sandarkan punggung pada pohon.
„Engkau anakbuah partai mana?"
tegur Gak Lui dengan nada keras.
Saat itu Siu-mey pun tiba.
Orang itu makin terkejut
sehingga gemetar dan condongkan tubuh ke arah Gak Lui. Rupanya dia makin
ketakutan melihat Siu-mey.
Kini Gak Lui sudah dapat
menduga. Gerombolan jago2 silat yang dikalahkan tempo hari, tentu sudah
menyiarkan berita tentang dirinya dan Siu-mey. Dan berita itu tentulah suatu
tuduhan bahwa dirinya seorang anggauta gerombolan Topeng Besi. Bahkan Siu-mey
pun dianggap juga sebagai seorang gadis yang berbahaya.
Setelah meneguk air liurnya
yang'nerocos ke luar, orang itu menyahut gentar: „ Aku seorang anggauta partai
Gelandangan. "
„Partai Gelandangan? "
Gak Lui menegas.
Orang itu mengiakan.
„Partai Gelandangan di daerah
selatan dan Partai Pengemis di daerah utara, merupakan partai golongan Ceng-pay
(lurus). Siapakah nama saudara?"
Mendengar ucapan Gak Lui
begitu, berkuranglah rasa takut orang itu. Buru2 ia memberi hormat: „Maaf, aku
telah berlaku kurang hormat kepada Gak siau-hiap dan nona ini. Namaku Tio Cwan,
menjabat tugas untuk menyambut setiap tetamu"
„Ah...., jangan merendah diri.
Tetapi mengapa saudara begitu tegang sekali tampaknya?"
„Ini..." Tio Cwan
tergugu, rahasia partai, aku tak dapat mengata-kan...."
„Ah..., rupanya engkau
mencurigai aku sebagai kaki tangan Maharaja sehingga tak mau mengatakan hal
itu," kata Gak Lui.
„Memang dalam dunia persilatan
tersiar kabar semacam itu!"
„Hm..., tak apalah. Aku tak
mau mendesak mu," kata Gak Lui, terus berputar tubuh hendak berlalu.
Tetapi tiba2 Tio Cwan mencegah: „Siau-hiap, tunggu dulu. Jika engkau dapat
menjawab sebuah pertanyaanku yang tak berarti, tentu akan kuberitahukan
kepadamu."
„Katakan!"
„Apakah sau-hiap mempunyai
hubungan deugan partai Pengemis cabang selatan?"
„Baik dengan cabang selatan
maupun dengan cabang utara, aku tak punya hubungan. Aneh, mengapa engkau
bertanya begitu?"
„Kalau tak ada hubungan,
itulah yang kami harapkan karena masa ini partaiku sedang berselisih dengan
partai Pengemis cabang selatan!"
Heran Gak Lui mendengar kedua
partai yang terkenal itu sampai saling bentrok sendiri. Tanyanya: „Bukankah
ketua partaimu itu......Raja sungai Gan Ka-ik?"
Tio Cwan mengiakan.
„Kabarnya ilmu pedang dari
keluarga Gan itu amat hebat. Masakan takut pada partai Pengemis cabang selatan?
Dan lagi partai Pengemis itu mempunyai disiplin keras. Bagaimana mungkin cabang
selatan dapat bertindak sendiri!"
Sebagai seorang persilatan
yang banyak pe-ngalaman tahulah Tio Cwan bahwa Gak Lui itu seorang pemuda
jujur. Maka hilanglah rasa kecurigaannya terhadap pemuda itu.
„Ah...., mungkin siau-hiap tak
tahu. Sesungguhnya antara partai Gelandangan dengan partai Pengemis itu tidak
saling bermusuhan. Bahwa keduanya saling membantu. Tetapi sejak ketua mereka
meninggal dunia, partai Peingemis itu pecah menjadi dua cabang, utara dan
selatan. Cabang utara masih baik, tapi yang cabang selatan telah dikuasai oleh
dua tokoh yang tak keruan." „Siapakah kedua orang itu?"
„Yang satu yalah. Pengemis
Ular dan yang seorang Pengemis Ganas. Dengan mengandalkan ilmu silatnya yang
sakti, mereka melakukan perbuatan jahat dimana-mana tempat. Bermula karena
mengingat hubungan lama, ketua kami tak mau mencampuri urusan mereka. Tetapi
sekarang malah..... "
„Kenapa? "
„Malah dimana-mana tempat kita
menderita pengacauan mereka! "
„ Masakan begitu besar
pengaruh mereka?"
„Karena ketua kami setengahnya
sebagai orang persilatan yang bergerak di perairan dan setengahnya di daratan.
Dan pula masih mengurus pangkalan di perairan dan di daratan. Dan lagi Kaisar
Persilatan Li Liong-ci itupun menjadi tetua kehormatan dari partaiku. Selama
ini tiada sebuah partai persilatan yang berani mengganggu partai kami. Tetapi
tak terduga-duga, partai Pengemis cabang Selatan itu sengaja hendak cari
perkara dengan tindakan2 yang menantang. Rupanya mereka mempunyai "backing
istimewa . . . . "
.. „ O...," Gak Lui
mendesus kaget. Ia heran Kaisar Persilatan Li Liong ci mau menjadi Ketua
kehormatan dari partai. Gelandangan. Sungguh suatu hal yang tak terduga sama
sekali.
Jika Pengemis Ular dan
Pengemis Ganas berani cari perkara dengan partai Gelandangan, tentulah mereka
mempunyai backing yang kuat. Adakah backing itu bukannya dari .... Maharaja
Persilatan dan gerombolan-nya?
Tiba pada dugaan itu cepat2
Gak Lui mengajukan pertanyaan: „Dimanakah partaimu akan mengadakan pertempuran
dengan partai Pengemis cabang selatan itu? "
„Ini . . . ini . . . "
„Jangan takut."
Kehadiranku - ke sana takkan merugikan partaimu !"
„Di sebuah tanah lapang, kira2
,10 li jauhnya dari sini ....... "
Mendengar itu Gak Lui segera memberi
pesan kepada Siu-mey; „Adik Mey, engkau menyusul pelahan-lahan dan jangan
campur tangan !"
Belum sempat Siu-mey menyahut,
Gak Lui sudah loncat beberapa tombak jauhnya. Dengan gunakan ilmu meringankan
tubuh istimewa, ia lari pesat.
Tio Cwan terkejut, serunya
kepada Siu-mey; „Nona .... !".
Tetapi nona itupun sudah
bergerak dan tahu2 sudah berada dua tombak jauhnya. Bagaikan bayangan ia terus
mengejar Gak Lui. Tio Cwan hanya terlongong-longong sambil leletkan lidah.
Beberapa saat kemudian barulah ia bersuit memberi pertandaan yang kedua kalinya
lagi.
Di sebuah. tanah lapang yang
luas, tampak dua orang tokoh silat yang berilmu tinggi, sedang berhadapan.
Yang di sebelah selatan adalah
serombongan 9 orang pengemis yang masing2 memegang tongkat penggebuk anjing.
Pemimpinnya bukan lain adalah Pengemis Ganas. Seorang tokoh pemimpin partai
Pengemis cabang selatan yang berwajah merah dan memelihara jenggot runcing.
Sedang yang di sebelah utara
pun berdiri seorang lelaki berumur 50-an tahun, di belakangnya berjajar 8 orang
jago2 dari partai Gelandangan.
Sambil mengangkat tongkat
Pengebuk anjing yang merupakan senjata dari anakbuah partai Pengemis. Dengan
suara kasar dan bengis ia membentak: „ Bagaimana dengan permintaanku supaya
kalian mundur dari setiap pangkalan darat maupun perairan dan kembali ke tempat
kalian masing2. Syarat itu sudah longgar sekali. Apa yang harus dipertimbangkan
lagi.....
Sahut lelaki yang memimpin
rombongan anak buah partai Gelandangan: „Bukan aku yang harus mempertimbangkan sebaliknya
engkaulah yang harus pikir2. Adakah ilmu Pedang-kilat dari keluarga Gan dan
Pukulan Geledek itu, mudah dihina atau tidak!"
„Ha..., ha..., ha... !
Kukuatir kedua macam medalimu itu takkan muncul lagi. Jangan lagi hanya ilmu
kepandaian cakar kucing itu sekalipun engkau panggil Kaisar Li Liong-ci ke
mari, partaiku tentu dapat menghadapinya!"
Jago pedang jenggot panjang,
yang ternyata pemimpin partai Gelandangan yakni Gan Ka-ik, melangkah maju dan
berseru keras: „ Siapa yagomu itu! "
„Sudah tentu .... Pengemis
Ular. Dia akan membawa 12 pengemis Pemain-ular dan beratus-ratus ekor ular
berbisa. Masakan engkau tak tahu hal itu!"
Nama Pengemis ular itu telah
membuat Gan Ka-ik, gemetar. Tadi ia telah mendengar suit per-tandaan dari Tio
Cwan, ia duga bala bantuan musuh tentu sudah tiba. Maka sambil rangkapkan kedua
tangannya ke atas, ia berdo’a ke arah langit: „Cousu yang berada di alam baka,
hari ini murid terpaksa melanggar pantangan membunuh......."
Mendengar doa itu, tahulah
Pengemis Ganas bahwa gertakannya tadi tak berhasil. Maka tanpa mempedulikan
tata susila dunia persilatan lagi, ia terus menyerang dengan tongkat
Penggebuk-anjing.
Tetapi ilmu pedang keluarga
Gan itu, termasyhur karena kecepatannya. Sekali kaki jago berjenggot panjang
itu menyilang, ia -sudah meluncur setengah tombak dan dengan kecepatan yang
luar biasa, ia sudah mencabut pedang dan membabat tongkat lawan.
Seketika tongkat dan pedang
berhamburan merapat ketat. Dua orang tokoh yang berilmu tinggi, saling
bertempur dengan seru. Masing2 megeluarkan kepandaiannya. Cepat lawan tangkas,
keras lawan keras. Ternyata kekuatan keduanya berimbang.
Tetapi dalam hati Gan Ka-ik
tetap dibayangi dugaan bahwa bala bantuan musuh akan segera datang. Pikirannya
agak terpecah memikirkan hal itu. Dan kelengahan itu cepat digunakan lawan
sebaik-baiknya untuk menguasai permainan. Dalam 10 jurus, jago she Gan itu
terus menerus mundur sampai tiga langkah. Pukulan Geledek-nya tak sempat
dilepaskan.
Saat itu serangan tongkat
Pengemis Ganas makin gencar dan dahsyat. Setapak demi setapak ia mendesak maju.
Wajahnya menyeringai tawa karena yakin tentu menang.
Tetapi pada saat ketua partai
Gelandangan Gan Ka-ik terancam maut, dari jauh terdengar pula suitan
pertandaan. Rupanya dari petugas partai Gelandangan yang memberitahu bahwa yang
akan datang itu bukanlah musuh.
Seketika timbullah semangat
ketua Gelandangan itu. Sret..., sret..., sret..., tiga kali ia kiblatkan
pedangnya. Setelah berhasil menyisihkan tongkat, tiba2 ia ayunkan tangan kiri
dan bum .... terdengar letupan disusul oleh tubuh Pengemis Ganas yang
terhuyung-huyung dua langkah ke belakang.
Pengemis Ganas berkaok-kaok
seperti orang gila: „Awas, pembalasanku !"
Kedelapan pengemis, galak yang
berada dibelakangnya segera melepas kantong yang tersanggul pada bahunya, terus
ditaburkan.
Di udara berhamburan sinar
berkilau-kilauan bercampur dengan suitan yang mendesing-desing aneh, menuju ke
arah rombongan partai Gelandangan . . . .
Sebenarnya anak buah partai
Gelandangan tadi sudah hendak bergerak menolong ketuanya yang tampak terdesak.
Tetapi baru mereka hendak
bergerak, rombongan anak buah partai Pengemis telah menabur senjata rahasia
yang terbuat dari bahan peledak.
Pemimpin partai Gelandangan
cepat memutar pedang sambil menghantam dengan tangan kiri. Terdengar beberapa
ledakan keras dari beberapa butir senjata rahasia yang berhamburan jatuh ke
tanah.
Juga anak buah partai
Gelandangan serempak lontarkan hantaman untuk menghalau serangan itu. Tetapi
senjata rahasia dari rombongan partai Pengemis itu amat banyak jumlahnya
sehingga hanya setengahnya yang dapat dihantam jatuh. Tetapi yang lolos dari
hantaman tetap menyambar sasarannya.
Terdengar beberapa jeritan
ngeri dan orang tertahan dari anak buah partai Gelandangan itu. Sambil menutup
muka, mereka terhuyung-huyung dan merintih kesakitan.
Ketua partai Gelandangan
terkejut dan terpecah perhatiannya. Pipinya, sebelah kiripun termakan renjata
rahasia itu, sakitnya bukan alang kepalang. Separoh dari mukanya mati rasa
seketika.
Cepat ia menampar pipinya
sendiri, uh.... seekor kutu yang keras kulitnya hinggap pada pipinya. Cepat ia
menarik dan memeriksanya. Ternyata seekor lalat hijau yang bermulut tajam dan
mempunyai sengat yang sangat keras sekali. Dari warnanya yang agak kehijau
hijauan gelap, tentulah lalat itu yang telah diberi makanan racun ganas.
Sehingga begitu menggigit orang, orang itu pasti mati.
Melihat senjata-rahasianya
berhasil membuat rombongan orang partai Gelandangan kacau balau
terhuyung-huyung rubuh ke tanah, Pengemis Ganas tertawa seram. la nantikan pada
saat pemimpin partai Gelandangan itu juga terhuyung-huyung dicengkam racun,
barulah ia akan -memberi gebukan yang mematikan.
SAAT ITU jago pedang dari
partai Gelandangan sedang dikerumuni oleh lalat2 beracun sehingga betapapun ilmu
kepandaiannya, namun akhirnya dapat juga digigit oleh beberapa ekor lalat.
Akibatnya, permainan pedangnya mulai lambat dan orangnya pun tampak
terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Tak lama lagi dia tentu rubuh.
„Ha..., ha..., ha...! Biarlah
kutambahi dengan sebuah gebukan agar jangan membuang waktuku!" Pengemis
Ganas tertawa iblis lalu melesat ke muka. Aneh sekali, kawanan lalat beracun
itu cepat menyingkir untuk memberi jalan kepada Pengemis Ganas.
Sebatang tongkat berwarna
hitam melayang kearah mata pemimpin partai Gelandangan yang sudah tak berdaya
itu.
Sekonyong konyong dua
gelombang sinar pedang melayang bagaikan meluncur dari langit. Ternyata dua
buah sinar pedang itu berasal dari Gak Lui yang karena melihat kelicikan serta
keganasan si Pengemis Ganas, tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Serentak ia melambung ke udara
dan meluncur ke muka pemimpin partai Gelandangan. Dengan pedang ditangan kanan,
ia menangkis tongkat Penggebuk-anjing dari Pengemis Ganas dan pedang ditangah
kiri diputar melingkar-lingkar.
Kawanan lalat beracun itu
tersedot ke dalam lingkar perputaran pedang. Seperti dihanyut oleh prahara,
mereka berhamburan jatuh beberapa tombak" jauhnya keempat penjuru! .
Mimpipun tidak Pengemis Ganas
itu bahwa bakal muncul seorang bintang penolong bagi pemimpin partai
Gelandangan. Karena munculnya tak terduga-duga, ia tak keburu menarik
tongkatnya dan menghindar lagi. Tring ... tongkatnya hampir terpental jatuh.
Untunglah ia cepat menyurut mundur lalu berteriak nyaring: „ Budak, engkau .....Gak
Lui .....?"
„Benar!" sahut Gak Lui
seraya tetap memutar sepasang pedangnya untuk menghalau sisa2 lalat beracun.
„Aku justeru hendak mencarimu
!"
„Heh, memang sudah kuduga
begitu!."
„Bagaimana engkau tahu .... ?
"
Dengan mata berkila-kilat Gak
Lui menatap pengemis itu seraya menggertakkan gigi berseru: „Manusia tingkatan
semacam engkau hendak mencari aku? Tentulah engkau mendapat perintah dari si
Maharaja!"
„Oh, aku .....
aku......."
„Engkau bagaimana!"
„Aku bukan!"
„Kalau menyangkal, kamu akan
kugeledah!"
„Apa yang akan engkau
geledah?"
„Apakah engkau mempunyai
tada-tandanya! "
Jelas dilihatnya betapa cepat
dan deras Gak Lui memutar pedangnya sehingga kawanan lalat beracun itu
terdampar ke luar. Beberapa ekor lalat yang coba2 berani menerobos lingkaran
sinar pedang itu, tentu hancur seketika.
Ilmu permainan pedang Gak Lui
yang luar biasa itu sesungguhnya membuat nyali Pengemis Ganas pecah. Tetapi
dasar seorang licik dan banyak akal. Cepat dia memperhatakan bahwa dalam
serbuan lalat beracun yang begitu banyak, tak mungkin Gak Lui berani
menghentikan putaran pedangnya. Maka tertawalah ia menyeringai dan menantang:
„Kalau mau menggeledah, silahkanlah.........."
Habis berkata ia melolos,
kantong lalu dikebutkan sekeras-kerasnya: Kedelapan pengemis rombongannya pun
segera meniru. Beribu-ribu lalat hijau yang amat beracun, mendengung dengung
diudara.
Gak Lui terkejut, ia tertegun
sehingga lingkaran pedangnya menjadi kecil. Kesempatan itu tak disia-siakan
Pengemis Ganas yang terus dengan cepat menyerang dengan tongkat penggebuk
anjing. Sedemikian hebatnya tongkat itu melanda pedang Gak Lui sehingga memberi
kesempatan pada berpuluh lalat itu menerobos lingkaran sinar pedang.
Jago pedang yang memimpin
rombongan partai Gelandangan itu sedang menggeletak di bawah kaki Gak Lui. Jika
pemuda itu mengisar kaki, tentulah pemimpin partai Gelandangan itu akan dibunuh
musuhnya. Tetapi jika tetap berdiri di situ, dirinyalah yang akan celaka.
Dalam gugupnya, Gak Lui
mainkan sepasang pedang lebih gencar sambil mengeluarkan pandangan matanya ke
sekeliling.
Diperhatikan walaupun lalat
hijau itu hanya jenis binatang serangga, tetapi ternyata telah dilatih dengan
sempurna. Seciap ke 9 anak buah partai Pengemis itu bergerak, kawanan lalat itu
tentu menyingkir. Oleh karena saat itu ke 9 pengerras sedang berjajar-jajar
menjadi sebuah lingkaran, kawanan lalat itu terpaksa menyerbu ke tengah.
Melihat keadaan lawan,
timbullah seketika pikiran Gak Lui. Cepat ia mengganti gaya permainan
pedangnya. Dengan pedang Pelangi, la melindungi tubuh, sedang pedang di tangan
kanan tiba2 ditaburkan, kearah salah seorang pengemis yang jauh dari tempatnya.
Huak....., pengemis itu
menjerit ngeri, tubuhnya terhuyung-huyung dan tongkatnyapun terlepas jatuh.
Dadanya tertusuk pedang,
tangan meronta-ronta tetapi tak berani. mencabutnya. Ia kuatkan diri untuk
berdiri tegak tetapi sakitnya bukan alang kepalang.
Dalam pada, itu diam2 Gak Lui
kerahkan tenaga-dalam. Seketika pedang Pelangi memancarkan tenaga-sedot,
menyedot kawanan lalat beracun lekat pada batang pedang.
Kemudian ia arahkan telapgk
tangan kanan untuk menyedot pedang yang tercantum pada dada orang tadi.
„Auh....." pedang seperti
ditarik ke luar dari dada dan melayang ketangan Gak Lui. Sedang orang itu
menjerit ngeri dan rubuh bermandi darah.
Mendapat hasil, secepat kilat
Gak Lui lancarkan tiga kali serangan. Tiga sosok tubuh orang partai Pengemis,
rubuh di tanah.
Melihat ilmu permainan Gak Lui
yang belum pernah disaksikan. Pengemis Ganas pucat lesi. Segera ia memberi
isyarat dengan tangan, dan dengan sisa kelima anak buah-nyaterus melarikan diri
kedalam hutan.
Kuatir kalau kawanan lalat itu
akan mengamuk anak buah partai Gelandangan, Gak Lui terpaksa tak mengejar
melainkan menghabiskan sisa kawanan lalat. Setelah itu baru ia memeriksa luka
yang diderita anak buah partai Gelandangan itu. Luka mereka berwarna biru
gelap. Dari lubang luka mengalir darah, merah gelap.
Pemimpin partai Gelandangan
mukanya bengkak besar dan tak dapat berkutik lagi. Sedang lain2-nya pun payah
sekali keadaannya.
Gak Lui teringat, kemungkinan
Siu-mey tentu dapat mengobati luka mereka. Ia memaadang ke sekelling penjuru
tetapi tak melihat bayangan nona itu. Akhirnya la berteriak memanggilnya: „Adik
Mey . . . . !"
„Ya...,....ya, ...aku
datang....... tiba2.dari gerumbul hutau bambu, muncullah 'Siu-mey,
berlarilarian menghampiri.
Ketika melihat korban2 yang
berada di tanah lapang, ia berseru kaget: „Engkoh Lui, partai Gelandangan
kalah"
„Partai Gelandangan tidak
kalah!" sahut Gak Lui, „nyatanya Pengemis Ganas itu curang dan
mengeluarkan lalat beracun. Orang2 Partai Gelandangan itu hanya pingsan. Apakah
engkau dapat menolong mereka?"
Gadis ular itu segera
memeriksa lalat2 yang mati di tanah. Lalu ia memeriksa luka korban2 itu.
Beberapa saat kemudian ia menghelanapas: „Ah..., aku tak tahu racun apakah yang
menyerang korban2 ini..."
„Engkau tak tahu!"
„Memang sukar untuk
menentukan. Karena kemungkinan lalat itu,-diberi makan beberapa macam racun
yang istimewa. Racun. itu harus melalui pencernaan lalat baru daoat
mengeluarkan daya khasiatnya. Sedang lalat itu sendiri tak sampai mati. Aku tak
dapat cepat2 menentukan jenis racun itu, kecuali ..... "
„Kecuali bagaimana?"
„Kecuali harus mengadakan
percobaan beberapa waktu!"
„Tetapi sampai pada waktu
engkau menemukan jenis racun itu, mereka tentu sudah mati ...!"
Siu-mey hanya geleng2 kepala
tak menyahut.
Setelah memandang lagi ke arah
korban2 itu, Gak Lui segera berieru memanggil kepada Tio Cwan. Tak berapa lama
terdengar suitan riuh dari empat penjuru dan belasan -orang yang dipimpin Tio
Cwan segera berlari-larian mendatangi.
Gak Lui memberi keterangan
kepada mereka. Tio Cwan menghaturkan terima kasih lalu menghampiri pimpinannya.
Ia sibuk menolongnya dengan memberi minum pil.
Beberapa saat kemudian, Tio Cwan
dan anak.buahnya segera hendak mengangkut mereka.
„Hendak engkau bawa
kemana?" tegur Siu-mey.
Ke markas Tin-ciu!"
Berapa lama
perjalanannya?"
„Kira2 tiga hari."
Kurasa tak sempat lagi, tentu
terlambat! "
Maksud nona ....."
„Jika obat yang kalian berikan
itu benar2 manjur, luka mereka tentu agak baik. Tetapi jelas warna kulit mereka
masih tetap merah gelap dan darahnya masih bergolak keras. Tentu hanya dapat
hidup 3 hari saja!"
Tio Cwan tersadar. Ia menghela
napas: „0bat itu adalah obat Pemunah racun buatan, partai kami. Jika tak dapat
menyembuhkan, terpaksa harus ke tempat manapun, kita jalani ...." habis
berkata anak murid partai Gelandangan itu terkulai duduk di tanah. Beberapa
airmata menitik turun dari pelapuknya....." Mendengar ucapan yang penuh
keputus asaan dari Tio Cwan itu, Gak Lui maju dua langkah, seru-nya: „Aku
mempunyai sebuah daya, tetapi entah"
„Silahkan siau-hiap
mengatakan! " cepat2 Tio Cwan menyanggupi.
„Tadi ketika bertempur dengan
Pengemis Celandangan, kuperhatikan setiap kali mereka menerjang, kawanan lalat
beracun itu tentu menyingkir. Tentulah binatang2 itu takut akan bau yang
berlumur pada tubuh pengemis itu. Tentu dilumuni dengan obat ......"
„Benar....!" tiba2
Siu-mey berseru, „mereka tentu mempunyai obat penawarnya. Engkoh Lui, lekaslah
engkau periksa tubuh mayat mereka!"
Gak Lui segera menghampiri
tiga mayat pengemis. Setelah menggeledah dengan teliti, ia berhasil mendapat
dua botol obat bubuk pada setiap kantong mereka.
IA SERAHKAN botol itu kepada
Siu mey. Setelah membauinya, nona itu menerangkan: „Botol yang ini memang
berisi dengan bau secerti tubuh mereka. Tetapi yang botol ini tidak sama.
Mungkin obat untuk makanan lalat itu. Yang ke-satu itu tentulah obat penawar.
Tetapi aku belum yakin benar. Lebih baik kalian sendiri yang memutuskan."
Setelah menimang beberapa
saat, berkatalah Tio Cwan : „Dalam hal ini, akulah yang bertanggungjawab
sepenuhnya. Silahkan nona mengobatinya. Selain itu . . . . memang sudah tiada
harapan lagi !"
Siu-mey pun tak mau bersangsi
lagi. Ia segera meminumkan obat itu kepada anak buah partai Gelandangan. Dengan
penuh ketegangan sekalian orang menunggu perkembangannya.
Beberapa saat kemudian, luka
mereka malah membengkak besar dan berwarna hijau gelap seperti warna lalat itu.
Dari lubang lukapun darah makin memancur deras.
Sudah tentu Tio Cwan dan
kawan-kawannya makin gelisah sekali. Bahkan Gak Lui sendiripun.
Juga tak tahan lagi dan
berteriak: „Celaka ...!"
Tetapi Siu-mey tenang2 saja
menerangkan : „Harap jangan gelisah! Setelah darah kotor itu mengalir habis,
tentu darah bersih yang mancur. Dan saat itu luka mereka sembuh. Silahkan
saudara2 tunggu saja.
Dengan mata tak berkedip,
sekalian anakbuah partai Gelandangan itupun mengawasi perkembangannya dengan
lekat.
„Darah segar...! Darah
segar....!" tiba2 Tio Cwan berteriak girang. Dan beberapa saat kemudian,
luka merekapun mulai susut dan mulut mulai mengerang.
Atas permintaan Siu-mey, Gak
Lui segera mengurut tubuh mereka. Begitupun Tio Cwan juga segera menolong
kawan-kawannya yang terluka.
Pada saat membuka mata,
pemimpin partai. Gelandangan itu terkesiap melihat topeng muka Gak Lui dan
makin timbul curiganya ketika melihat punggung pemuda itu menyanggul pedang
pusaka Pelangi.
Gak Lui juga heran melihat
sikap orang itu. Tetapi belum sempat ia, membuka mulut, Tio Cwan sudah
menghampiri pemimpinnya dan kemudian meberi salam. Kemudian ia menuturkan
tentang pertolongan yang dilakukan Gak Lui kepada pemimpin dan anakbuah partai
Gelandangan.
Sambil berbangkit, pemimpin
partai Gelandangan itu segera menghaturkan terima kasih kepada Gak Lui.
Setelah menerangkan tentang
Pengemis Ganas yang melarikan diri, Gak Lui menanyakan nama jago pedang
itu"
„Aku Raja sungai Cek-kiang Gan
Ka-lin." „Oh..., kalau begitu pemimpin partai itu......" „Adikku Raja
sungai Tiang-kang Gan Ka-ik!" Entah apa sehabnya dalam pertempuran dengan
partai Pengemis ini, Gan pangcu tak mau datang sendiri?"
„Adikku karena mendengar
berita bahwa Kaisar Persilatan Li Liong-ci muncul di daerah Tionggoan maka ia
pergi mencarinya. Tak terduga selagi adikku pergi itu, Partai Pengemis telah
menggunakan kesempatan untuk menantang pertempuran ini."
„Jika dia ada?"
„Pengemis Ganas dan
gerombolannya itu tentu tak berani menantang!"
„Kalau begitu, ketua partai
paman itu jauh lebih hebat dari paman sendiri? "
Merah wajah
Raja-sungai-Cek-kiang, sahutnya: „Dia pernah ikut belajar ilmusilat dan pedang
pada Kaisar Persilatan. Dibanding dengan kepandaianku .... hh, jauh lebih
kuat!"
„Oh ...," Gak Lui
mendengus heran. Diam2 la ingin berkenalan dengan ketua Partai Gelandangan yang
semula diduganya orang tua itu tetapi ternyata adiknya.
„Siau-hiap, maaf sebelumnya.
Ada sebuah hal yang tak dapat kusembunyikan kepadamu ..."
„Soal apa? " Gak Lui
heran.
„Partai kami mempunyai
hubungan rapat dedgan partai Heng-san-pay. Mereka memberitahu bahwa siau-hiap
pernah memapas kutung pedang seorang muridnya dan melukainya. Dan lagi ....
"
„Mengatakan kalau diriku ini
seorang anggauta gerombolan Topeng Besi yang menjadi kaki tangan Maharaja
Persilatan, bukan?"
„Siau-hiap menerka tepat,
" kata Gan Ka-lin, „untuk soal itulah maka Heng-san-pay telah mengirim
beberapa anakmuridnya yang tangguh untuk mencarimu! "
„Kudengar keterangan Se Bun
Sianseng. Bahwa setiap partai persilatan telah menerima surat dari masing2
murid yang telah lenyap jejaknya itu. Minta agar ketua partai persilatan yang
sekarang ini mengundurkan diri. Diantara partai yang menerima surat semacam
itu, termasuk Heng-san-pay juga. Nah, mengapa mereka tak mengurus soal itu dulu
tetapi malah mengurus soal lain yang lebih tak penting?"
„Hal itu disebabkan karena
gerak gerik Maharaja itu sukar diketahui jejaknya. Sampai sekarang tiada sebuah
partai persilatan yang berhasil menyelidikinya. Oleh karena itu mereka
memutuskan untuk menjadikan siau-hiap sebagai kunci petunjuk penS•elidikan itu!
" ' . .
Gak Lui menghela napas,
ujarnya:. „ Menilik g~ela.gatnya, prtai2 Nersila1an itu niasih memberat kan
aoal gengsi saja. Dalam soal menyelidiki jeiak Maharija,:terpaksa aku harus
berusaha sendiri ..."
„Apakah siau-hiap juga
mempunyai dendam .permusuhan kepadanya?"
„Dendam itu sedalam lautan.
Aku tak mau hidup, bersama dia di bawah sinar matahari!"
„Kalau begitu kenyataannya,
segera akan kukirim berita itu kepada Heng-san-pay. Tetapi apabila di tengah2
jalan siau-hiap berjumpa dengan tokoh2 persilatan, atau mungkin dengan ketua
partai kami, harap siau-hiap suka bersabar dan mengalah sedikit. Agar jangan
menimbulkan salah faham yang lebih dalam."
„Aku bukan orang yang tak
kenal aturan. Harap Gan tianglo jangan kuatir. Kurasa kalian perlu beristirahat
maka akupun hendak minta diri."
Tetapi Gan Ka-lin cepat maju
memberi hprmat •„Budi pertolongan -siau-hiap kepada kami, menyesal kami tak
dapat membalas. Tetapi apabila siau-hiap memerlukan bantuan tenaga, aku tentu
siap sedia !"
Mendadak timbullah suatu
pikiran dalam benak Gak Lui, tanyanya : „Aku masih mohon sedikit soal."
„Silahkan...!"
„Kurasa Gan tianglo luas
pengetahuan dan banyak pengalaman dalam dunia persilatan. Apakah Gan tianglo tahu
siapakah ahli pembuat pedang yang ternama?"
Mata Gan Ka-lin beralih
memandang pedang Pelangi yang di.bawa Gak Lui. Tanyanya: „Apa siau-hiap hendak
merobah bentuk pedang pendek siau-hiap ?"
„Benar," sahut Gak Lui,
„tetapi agaknya Gan tianglo tahu pedangku, ini !"
Dengan wajah berseri
berserulah Gan Ka-lin.: „Memang aku kenal sekali akan pedang siau-hiap. itu
!"
„Oh ... , " Gak Lui
mendesis.
„Pedang itu adalah pusaka
milik Bu-tong-pay. Empatpuluh tahun yang silam. Empat Ksatrya dari Empat
Durjana telah bertempur di Lembah Jiwa-tenteram untuk memperebutkan buah
Ban-lian-leng-ci. Pedang itu telah dipatahkan oleh ke Empat Ksatrya itu.
Kemudian jatuh di tangan Kaisar-persilatan Li Liong-ci dan terjadi pula
persekutuan Bu tong-pay dengan tujuh partai persilatan besar. Hal itu sangat
menggemparkan dunia persilatan. Oleh karena partai kami mempunyai hubungan erat
dengan Kaisar persilatan Li Liong-ci, maka akupun dapat mengenali pedang itu.
Hanya...."
„Mengapa ?"
„Kaisar mengembalikan pedang
itu kepada Bu-tong-pay. Sejak saat itu timbullah sebuah kepercayaan."
„Kepercayaan apa?"
„Bahwa sekali pedang itu
muncul, dunia persilatan tentu akan timbul pembunuhan berdarah !"
„Oh...," Gak Lui
mendesah, lalu berkata dengan nada serius: „Pedang itu diserahkan kepada-ku
karena Ceng Ki totiang minta tolong aku. Dengan pesan bahwa pedang ini hanya
boleh digunakan untuk membunuh orang jahat saja. Tak nanti membunuh orang yang
tak berdosa."
Raja-sungai-Ce-kiang
mengangguk: „KudGakan engkau akan dapat mengikuti jejak Kaisar Persilatan,
mencapai: tataran ilmusilat yang tinggi dan membasmi kaum jahat! "
Gak Lui menghaturkan terima
kasih lalu mendesak supaya orang tua itu segera memberitahukan nama dari ahli
pembuat pedang yang ternama itu.
Setelah merenung beberapa jenak,
berkatalah Raja-sungai-Ce-kiang Gan Ka-lin: „Yang kuketahui hanyalah seorang
Bok Kiam-su. Seorang ahli pembuat pedang yang boleh dikata tiada bandingannya
di dunia persdatan... Tetapi entah bagaimana sejak 18 tahun yang lalu, dia
sengaja. menjadi orang bisu tuli, tak mau membuat pedang lagi!"
„Kalau begitu berarti tiada
harapan? " kata Gak Lui. Tetapi sesaat kemudian ia menimang-nimang:
„Mengapa orang she Bok itu pura2 menjadi orang bisu tuli? Dan mengapa justeru
18 tahun lamanya? Adakah dia mempunyai hubungan dengan persoalan balas dendam
yang hendak kulakukan ini?
„Maka bertanyalah ia kepada
Raja-sungai Gan Ka-lin: „Apakah sebabnya ia pura2 menjadi orang bisu
tuli?"
„Hmmm....., entah apa
sebabnya. Tetapi jika engkau benar2 hendak mencarinya, aku mempunyai
cara...!"
Setelah Gak Lui menyatakan
bahwa ia tetap akan mencari ahli pembuat pedang itu maka Gan Ka-lin segera
memberitahukan caranya: „Pertama kali, beritahukan kepadanya bahwa akulah yang
mengenalkan. padamu. Jika dia tetap tak mengacuhkan, panggil saja namanya Bok
Tiat-san. Namanya yang aseli itu hanya kami berdua saudara yang tahu. Dan nama
itu merupakan suatu tanda rahasia (kode) Tak mungkin dia tak menghiraukan
lagi."
„Kalau dia tetap
menolak"" .
„Kukira tidak." jawab Gan
Kan-lin, „karena didunia ini terdapat dua orang yang benar2 mencintai pedang.
Yang seorang adalah si pemakai. Dan yang seorang si pembuat pedang. Apalagi
pedang Pelangi yang engkau bawa itu, memang sebuah pusaka dunia
persilatan"
Gak Lui menghaturkan terima kasih
dan setelah menanyakan letak tempat orang she Bok itu, ia segera ajak Siu-mey
lanjutkan perjalanan.
Sejak mempelajari ilmu
meringankan tubuh Angin-meniup-seribu-li, lari Gak Lui makin pesat sekali.
Menurut tingkat dunia persilatan dia sudah melebihi seorang jago kelas satu.
Untunglah karena Siu-mey
memiliki ilmu tenaga-dalam yang luar biasa, maka iapun dapat mengikuti
kekasihnya. Apabila pada saat Gak Lui lupa dan secara tak sadar mempercepat
larinya, Siu-mey tetap dapat membaui jejaknya dan menyusul.
Demikianlah selama dalam
perjalanan merelra tak menemui suatu halangan dan beberapa hari kemudian
tibalah mereka ketempat yang dituju.
Diatas gunung itu hanya
terdapat sebuah rumah kayu. Dihalaman rumah itu terdapat sebuah perapisn besi
dan penempaan serta beberapa alat untuk membuat pedang. Tetapi benda serta
alat2 itu sudah tertutup debu dan berkarat. Menandakan kalau sudah beberapa
tahun tak digunakan.
Saat itu orang tua yang rambut
dan jenggotnya sudah putih, sedang duduk , diserambi sambil memandang kearah
awan yang ber-arak di langit. Rupanya dia tak tahu akan kedatangan Gak Lui
bersama Siu-mey.
„Mohon tanya, adakah paman ini
yang bernama Bok Kiam-su?" tegur Gak Lui.
Orang tua itu diam saja.
„Hm, pura2 menjadi orang bisu
tuli, tentu benar dia," pikir Gak Lui. la segera memberi hormat: „Aku Gak
Lui, atas perantara Raja-sungai Ce-kiang sengaja mengbadap Bok Tiat-san ciapwe
kemari ....."
Sengaja Gak Lui menekan kata
Tiat-san dengan nada keras dan nyaring.
Orang itu cepat berpaling muka
dan menjawab dingin: „Kalau pulang, tolong sampaikan salamku kepada kedua
saudara Gan itu Tentang urusan pedang, harap jangan dibicarakanl"
---oo0oo---
BAB 12 : HENG SAN PAY
DIAM DIAM GAK LUI GELI. Segera
ia melolos pedang Pelangi. Ditimpah oleh sinar matahari, pedang yang hanya dua
inci panjangnya itu, memancarkan sinar hijau bening. Lebih jernih dari air
telaga.
Mata Bok Kiam-su ber-kilat tak
berkedip memandang pedang itu.
Tetapi wajahnya tetap mengerut
dingin.
Baik Gak Lui manpun orang she
Bok itu sama2 diam tak bicara. Mereka menunggu , dan menunggu. Bocah apa yang
ditunggu.......
Setengah jam kemudian, Siu-mey
tak sabar lagi. Hidungnya mulai mengembang kempis. Tetapi Bok Kiam-su tetap
mematung. Rambutnya ber-derai2 tertiup angin. Matanya sebentar memejam dan
merentang sambil meoggigit gigi kencang2.
Gak Lui kicdpkan ekor mata
lalu menggaedeng tangan Siu•mey terus diajak pergi.
„Engkau menang!" tiba2
Bok Kiam-su menjerit tegang.
Gak Lui dan Siu-mey berhenti
dan berpaling. Wajah kedua anakmuda itu berseru tawa.
Jenggot putih dari Bok Kiam-su
menjungkat naik dan mukanya menenggadah ke langit seraya tertawa nyaring:
„Silahkan kalian berdua duduk di dalam pondokku. Tadi aku kurang menghormat
kedatangan kalian."
Gak Luipun mengucapkan kata2
merendah dan minta maaf karena mengganggu orangtua itu.
Ketika duduk di dalam ruangan,
ternyata perbot rumah amat sederhana sekali. Sunyi senyap tiada lain
penghuninya lagi.
Sebagai seorang anak
perempuan, Siu-mey berseru heran: „Paman, engkau sudah begini tua masakan hanya
hidup seorang diri?"
Dengan hati bersyukur, Bok
Kiam-su gelengkan kepala: „Disinilah tempatku dahulu menempa pedang.
Anak-anakku tinggal di desa. Aku hanya mempunyai dua orang murid. Tetapi
merekapun tak tinggal di sini."
„Di mana?"
„Kedua muridku itu berganti
haluan menjadi pemburu. Tinggal tak jauh dari sini. Setiap hari mereka yang
mengantar makanan untukku!"
Mendengar penuturan tuan rumah
dan cara hidupnya, yang tak mau campur gaul dengan orang itu, Gak Lui tergerak
hatinya hendak bertanya. Tetapi belum ia membuka mulut, tuanrumah sudah
mendahului bicara lagi.
„Bolehkah kupinjam sebentar
pedang Pelangi saudara itu?" kata tuanrumah.
„Adalah untuk pedang ini maka
aku sengaja berkunjung ke mari untuk meminta petunjuk," sambil berkata Gak
Lui melolos pedang Pelangi dan dengan kedua tangann ia serahkan kepada Bok
Kiam-su.
„Pedang bagus...! Sungguh
bagus...!" 'tak'henti2-nya orangtua itu memuji seraya mengusap batang
pedang Pelangi. Tiba2 ia menghela napas: „Sayang pedang ini kutung separoh :
„Apakah paman dapat membuatnya baru lagi ?
„Aku?"
„Aku bersedia membayar"
dengan batu mustika yang mahal. Kalau perlu lain barang lagi, silahkan
mengatakan."
Bok Kiam-su menghela-napas
dalam, ujarnya: „Seumnr hidupku kuabdikan diri pada ilmu pembuatan pedang.
Pedang pusaka yang tiada keduanya di dunia itu, jangankan aku disuruh membuat,
sedang untuk melihat saja, darahku sudah bergolak keras, hatiku seperti
dikili-kili
„Kalau begitu paman
meluluskan?"
„Sayang aku tak dapat
meluluskan!"
„Mengapa?"
Hal ini .....leblh baik aka
.•: : *alc hilan8." Teringat Gak_ Lui akan kelakuan aneh dari orangtua
yang telah menyembunyikan diri dan bertapa membisu selama 18 tahun. Diam2
timbullah kecurigaannya. Tetapi demi melihat wajah tuanrumah yang rawan dan
rambut serta jenggotnya yang sudah putih semua itu, Gak Lui tak enak untuk
mendesak.
Tiba2 Siu-mey mengambil
segenggam permata, diletakkan di hadapan orangtua itu: „Paman, sedikit
Pemberian yang tak berarti ini harap paman terima, Kami memerlukan pedang itu
untuk melakukan balas dendam. Kecuali paman rasanya dada lain orang yang mampu.
„Nona mempunyai dendam
apa?"
„Ayahku telah hilang pada l8
tahuh yang lalu.
Dan ibuku karena sakit
memikirkannya, pun meninggal. Sekarang aku ikut pada engkoh Lui mencari ayah
.... aku minta dia melindungi diriku dan dia memerlukan pedang ...:"
„Bagaimana dengan saudara
sendiri?" tanya Bok Kiam-su kepada Gak Lui.
„Akupun juga mempunyai dendam
sedalam lautan. Dihitung-hitung sampai hari ini, peristiwa itupun sudah
berlangsung 18 tahun lamanya!"
„Oh...!" Bok Kiam-su
tendesuh. Sepasang alisnya mengerut tegang.
„Jarak waktu itu kebetuian
sekali sama de• ngsa tindakan paman menghentikan pekerjaan membuat pedang itu
!" kata Gak Lui pula.
„Kalau..... begitu silahkan
saudara mengatakan asal-usul perguruan mu!"
„Aku sudah mengucap ikrar maka
tak dapat mengatakan hal itu.
„Kalau begitu, maka akupun tak
dapat membantu !" kata tuan rumah.
„Ah..., mengapa paman........
" baru Siu-may berkata begitu, orangtua itu sudah menukasnya: „Aku sudah
mengucapkan sumpah dan sebagai jaminan adalah jiwa keluargaku. Untuk
selama-lamanya aku takkan membuat pedang lagi !"
„Jiwa seluruh keluarga ?"
„ya...!"
„Kepada siapakah paman
mengucapkan sumpah itu ? Mengapa begitu berat ?"
Tampak Bok Kiam-su meragu.
„Adik Mey, karena paman Bok
mempunyai keberatan, janganlah engkau kelewat mendesaknya," buru2 Gak Lui
mencegah Siu-mey.
„Gak siau-hiap," kata Bok
Kiam-su, „tadi engkau mengatakan bahwa waktu 18 tahun itu ternyata suatu, waktu
yang kebetulan sekali. Apakah maksudmu ? Apakah dalam dunia persilatan telah
terjadi sesuatu ?"
„Apakah pawan tak mendengar
tentang sepak terjang seorang tokoh persilatan yang menamakan dirinya sebagai
Maharaja dan berusaha hendak menghancurkan kaum Ceng-pay ?"
„Sudah belasan tahun aku tak
campur urusan dunia luar. Harap engkau suka menuturkan!"
„Gak Lui segera menceritakan
rencana sepak terjang Maharaja yang mengganas tokoh2 persilatan golongan
Ceng-pay : Maharaja itu hendak berusaha menguasai dunia persilatan!"
Mendengar dunia persilatan
sedang dilanda malapetaka banjir darah, gemetarlah tubuh, orang tua itu.
„Apakah engkau pernah melihat
bagaima wujud si Maharaja itu?" tanyanya.
„Dalam dunia ...persilatan
tiada seorangpun yang pernah melihatnya!"
„Apakah tak: punya ciri2
pengenal?"
Dalam pengertian Gak Lui yang
disebut Maharaja itu tentulah si Hidung Gerumpung. Maka menyahutlah ia: „Kurasa
dia mempunyai dua buah ciri"
„Bagaimana?" Bok Kiam-su
mendesak tegang.
„Pertama, hidungnya......
hilang terpapas pedang!"
„Hmm....." mata Bok
Kiam-su berkicup-kicup seperti menggali ingatan akan seseorang.
„Kedua, pada pedangnya
terdapat tanda Palang"
„Oh .....!"
Bok Kiam-su berteriak kaget.
Tubuhnya menggigil keras:
„Kiranya dia..... !"
„Siapa?"
Bok Kiam-su menarik napas
beberapa kali, mengertak gigi berkata : „Mengapa panjang cerita nya. Tetapi
pokoknya, karena hal itulah maka aku sampai tak membuat pedang dan bertapa
bisu! !"
„Dapatkah paman menceritakan
dengan jelas?"
„Delapan belas tahun yang
lalu, dataanglah kepadaku seorang lelaki berkerudung muka. Dengan upah 10 tail
mas, ia minta padaku supaya membikin betul pedangnya!"
„Bukankah pedangnya terdapat
tanda Palang?" tukas Gak Lui.
„Benar! Menurut pengetahuanku,
tanda itu merupakan bekas cacad karena digurat oleh ujung pedang seorang tokoh
sakti !"
Apakah paman menanyai
namanya?"
„Tidak"
„Wajahnya ?"
„Tak kelihatan jelas. Tetapi
berani kupastikan dia tak mempunyai hidung!"
„Bagaimana dapat
memastikan?"
„Seorang yang tak berhidung,
jika bicara tentu sumbang suaranya. Tetapi dia tak begitu maka kupastikan tentu
tak cacad hidungnya !"
„Lalu mengapa paman mengangkat
sumpah diatas jaminan seluruh keluarga paman ?"
„Setelah kubikin betul
pedangnya, tiba-tiba kulihat wajah orang itu memancar sinar pembunuhan. Jelas
dia mengandung maksud untuk membunuhku agar rahasianya tertutup
„Demi keselamatan keluargaku,
terpaksa tanpa : diminta aku segera mengikrarkan sumpah itu. "
„Apakah dia menerimanya?"
„Ah, mana begitu mudah"
„Lalu dengan cara bagaimana
pamairi dapat menghalaunya pergi?"
„Kuperingatkan kepadanya bahwa
aku.lah satu2nya ahli pembuat pedang yang tiada tandingannya di dunia
persilatan. Jika lain, kali terjadi peristiwa semacam itu, bukankah dia tak
dapat mencari aku lagi?"
Mendengar uraian itu,
timbullah kecurigaan Gak Lui. Ahli pembuat pedang itu mengatakan bahwa
tetamunya berkerudung muka itu datang pada musim dingin. Tetapi tempo hari
ayah-angkat Gak Lui yakni Pedang Aneh telah dicelakai orang sebelum musim
dingin, Jika tetamu aneh itu benar yang mencelakai Pedang Aneh, tentulah dia
seorang yang tak mempunyai hidung.
Tetapi menurut keterangan Bok
Kiam-su, orang itu masih utuh hidungnya.
Ah, apakah pembunuh itu telah
menyuruh lain orang untuk mendatangi Bok Kiam-su?
Tidak Pembunuh itu seorang
manusia julig yani banyak curiga. Tentu dia tak mau membocorkan rahasia dirinya
kepada orang lain. Demikian benak Gak Lui membayangkan segala kemungkinan pada
diri musuh yang misterius itu. Tetapi analisanya, belum menemui jawaban.
Meiihat pemuda itu termenung
diam, ahli pembuat pedang itu segera berdiri: „Gak siau-hiap, kini barulah aku
menyesal atas tindakanku dahulu. Karena mengingat kepentingan peribadi 'maka
aku sampai menutup peristiwa ini. Sekarang sekalipun harus mempertaruhkan jiwa
keluargaku tetapi aku tetap akan membuat pedang untukmu."
„Tetapi aku tak jadi
membuatkaa!"
„Mengapa?"
„Aku tak mau mengorbankan
keluarga paman!"
„Tetapi kuharapkan engkau
dapat membasmi kejahatan dan kedua kalinya engkau harus ingat. Kecuali aku,
tiada lain orang yang mampumem buat pedang itu! "
Tetapi dengan tegas Gak Lui
menolak: „Tak peduli paman mengemukakan alasan apapun juga, tetapi aku tetap
tak mau membuatkan pada paman!
Habis' berkata tiba2 ia
gunakan tenaga isap dari pukulan sakti Algojo-dunia, menyedot kembali pedang
Pelangi ditangan Bok Kiam-su.
Orangtua itu hendak mencekal
kencang pedang Pelangi tetapi sudah terlambat. Pedang itu molayang ketangan Gak
Lui lagi.
„Siau-hiap, mengapa engkau
berkeras begitu .... : " teriak Bok Kiam-su gugup.
„Putusanku sudah tetap, terima
kasih atas kesediaan paman!" sahut Gak Lui.
„Apakah engkau hendak
melewatkan kesempatan satu satunya ini?"
„Kurasa dalam dunia yang
begini luas, tentu masih ada lain orang yang dapat membuatkan pedang itu. Kalau
tidak biarlah kesempatan ini hilang!"
Tergerak hati Bok Kiam-su atas
keluhuran budi pemuda itu. Setelah termenung sesaat, tiba-tiba ia bertepuk
tangan „Ada...! Ada....!"
„Ada apa?"
„Aku teringat akan seorang
ahli lain!"
„Siapa?"
„Dia adalah tokoh persilatan
ternama Pukulan sakti Tek Thay!"
„Bagaimana keahliannya?"
„Tidak kalah dengan aku
!"
„Dimana tempat tinggal Tek
lo-cianpwe itu?"
„Kabarnya bersembunyi digunung
Pek-wan-san.
Baru tuan rumah mengucap
begitu, tiba2 dari luar rumah terdengar derap kaki belasan orang mengepung
rumah itu. Menyusul terdengar suara orang membentak marah: „Gak Lui, hayo
keluar!"
Gak Lui terkejut dan cepat
melesat keluar.
Dilihatnya seorang paderi tua
bertubuh gemuk tegak berdiri di tengah halaman.
Di sampingnya terdapat dua
orang paderi pertengahan umur.
Sedang di sekeliling rumah Bok
Kiam-su, telah dikepung ketat oleh belasan paderi dengan senjata terhunus.
„GAK LUI maju tiga langkah,
berseru nyaring: „Siapakah gelaran dari kuil-taysu? "
„Aku Hwat Hong ketua perguruan
Heng-san-pay .......... ,"
„Oh..., kiranya Hwat Hong
taysu, maaf.... aku berlaku kurang hormat: „Gak Lui memberi hormat. Suatu hal
yang membuat paderi ketua Heng-san-pay itu terkesiap karena tak menduga hal
itu.
Mohon tanya, apakah keperluan
taysu mencari aku? " tanya Gak Lui pula.
„ Engkau telah memapas kutung
pedang dari Tio-lam-san, seorang murid Heng san-pay dan dua kali melukainya.
Bukankah engkau hendak menantang Heng-san-pay?"
„Soal memapas pedang, untuk
saat ini belum dapat kuterangkan alasannya. Sedang mengenai pertempuran dalam
paseban tempat arwah Heng-san, sama sekali tak kuduga akan terjadi begitu.
Sedikitpun aku tak mengandung maksud memandang rendah Heng-san-pay!"
„Heh..., heh..., heh...,
". Hwat Hong taysu mengekeh marah. Sepasang matanya ber -kilat2 bengis,
„sungguh tajam benar...mulutmu! Diam2 kalian berani mengirim surat kaleng untuk
memaksa Heng-san-pay supaya mencopot ketuanya yang sekarang. Masakan masih
berani-mengatakan tidak memandang rendah Heng-san-pay! "
„Taysu keliru ..... "
„Keliru? "
„Yang menyuruh taysu diganti
itu adalah anak buah Maharaja Persilatan. Sama sekali tak ada hubungannya
dengan diriku !"
„Tutup mulut! Jelas engkau ini
anggauta gerombolan Topeng Besi, masakan masih berani menyangkal!" bentak
Hwat Hong taysu.
Diam2 Gak Lui mengeluh „Celaka!
Dia belum menerima surat si Raja-sungai-Ce-kiang. Aneh, mengapa dia dapat
mencari ke sini ?"
„Taysu," katanya, „apakah
engkau belum menerima surat dari partai Gelandangan ?"
„Sudah tentu menerimanya.
Kalau tidak masakan kami dapat mengejar kemari !"
„Lalu mengapa taysu masih
salah faham? Hwat Hong taysu melangkah maju dua tindak, katanya dengan bengis :
„Surat Raja sungaiCe-kiang itu mengatakan jelas bahwa engkau ini memang kaki
tangan Maharaja!"
„Hai ...!" Gak Lui
tergetar hatinya.
Ia percaya Raja-sungai-Ce-kiang
itu bukan manusia rendah.
Tetapi mengapa menulis surat
semacam itu ?
Gak Lui benar2 tak mengerti !
Melihat sikap pemuda itu
gelisah, Hwat Hong taysu berteriak : „Gak Hui, Kak Hoan siaplah menerima
perintah ........ "
„Tunggu dulu !" cepat Gak
Lui mencegah kedua paderi pertengahan umur yang hendak menyerangnya, „dalam
soal itu terdapat tipu muslihatnya !"
„Yang menggunakan tipu
muslihat adalah engkau sendiri, budak hina!"
Gak Lui kerutkan dahi dan
menyahut dingin: „Jangan terburu mengeluarkan emosi, taysu ! Sebelum tangan
berbicara, baiklah mulut dulu yang berbicara. Agar janganlah sampai kawan
menjadi lawan, lawanlah yang akan tertawa gembira !"
Hwat Hong taysu menghela napas
dan merenung beberapa jenak. Pada lain saat ia berkata: „Karena kamu tak mau
berkelahi, mungkin mempunyai alasan. Sebagai penganut Agama Buddha yang
menjunjung budi asih, bukanlah menjadi tujuanku untuk membunuh "
„Ah...., taysu benar2
berpandangan dalam: „Tetapi ada sebuah syarat!"
„Silahkan mengatakan."
„Engkau harus ikut aku ke
dalam kuil kami di Heng-san !"
„Keperluan ?"
„Tinggal dulu dalam kuil.
Setelah Maharaja dan gerombolannya terbasmi, barulah kami pertimbangkan dirimu
!"
Sudah sejak semula Gak Lui
menekan perasaannya.
Tetapi sewaktu mendengar
omongan besar dari paderi itu, meluaplah darahnya.
„Syarat taysu itu terlalu
kelewatan !"
,,Engkau menolak ?" Hwat
Hong menegas.
„Kenyataannya memang tak
mungkin !"
„Ah, kiranya nyalimu kecil
sehingga tak mau berkelahi !" Gak Lui menghela napas pelahan, serunya :
„Taysu terlalu berkelebihan mencurigai orang. Terpaksa aku menentang!"
„0h...., Aku bukanlah manusia
yang senang menindas orang. Asal eugkau mampu lolos dari ilmupedang
Mi-to-kiam-hwat, urusan ini kuanggap selesai !"
Karena pembicaraan telah
mencapai ketegangangan, suasanapun menjadi panas:
Tiba2 telinga Gak Lui
terngiang suara dari Siu-mey yang menggunakan ilmu Menyusup suara: „Engkoh Lui,
paman Bok meminta kalian cari tempat lain. Dan kalau bertempur cukup asal sudah
kena tertutuk saja. Jangan sampai mengucurkan darah!"
Kuatir akan membuat kaget Bok
Kiam-su dan Siu-mey dan menerima peringatan ahli pembuat pedang itu supaya
jangan sampai melukai tokoh Heng san-pay, maka Gak Lui menatap Hwat Hong taysu.
Karena ilmu Menyusup suara
yang digunakan Siu-mey itu bukan seperti ilmu. Menyusup suara, yang biasa
terdapat dalam kalangan persilatan, maka Hwat Hong taysupun dapat menangkap
pembicaraan Siu-mey tadi.
Memandang ke sekeliling
penjuru, paderi itu menunjuk ke arah barat: „ Baik, mari kita ke lembah gunung
itu!"
Setelah pasang kuda2, Gak Lui
terus gunakan ilmu Meringankan tubuh, melesat ke lembah sebelah barat.
Melihat gerakan pemuda itu,
diam2 terkejutlah Hwat Hong taysu. Rencananya untuk menyuruh beberapa anak
buahnya turun tangan, dihapus seketika. Kemudian ia mengajak rombongannnya
untuk menyusul Gak Lui.
Gak Lui memilih sebuah tempat
yang datar dan menunggu dengan siap siaga. Tak lama Hwat Hong taysupun datang.
Dengan pedang terhunus, ia berseru: „ Engkau yang menyerang dulu!"
„Lebih baik taysu dulu,
silahkan!" sahut Gak Lui.
„Heh..., heh..., aku mengerti
engkau memang mempunyai ilmu permainan yang luar biasa. Keluarkan saja
seadanya! " seru Hwat Hong.
Gak Lui pelahan-lahan mulai
merabah tangkai pedangnya. Belasan jago2 Heng-san-pay mengawasi gerak gerik
pemuda itu dengan penuh perhatian.
Suasanapun hening2 tenang.
Kecuali deru angin pegunungan, sekalipun ada sebatang jarum jatuh, tentu akan
kedengaran.
„Tring . . . . !"
Bagaikan kilat menyambar,
pedang Hwat Hong taysu segera menabur Gak Lui.
Melihat serangan yang begitu
dahsyat serta cepat, diam2 Gak Lui terkesiap juga. Saat itu haru ia membuktikan
bahwa ilmu pedang Mi-to-Kiam-hwat memang benar2 luar biasa.
Gak Lui tak berani berayal.
Cepat ia menca-
but pedang dan menangkis.
Terdengar dering yang tajam. Secepat pedang saling menyurut kebelakang, terus
maju berhantam pula.
Hwat Hong taysu terkejut
karena merasa kecele atas penilaiannya terhadap kepandaian Gak Lui. Maka
timbullah tekadnya untuk mengadu jiwa dengan pemuda itu.
Begitulah keduanya segera
saling kerahkan tenaga dalam.
Hwat Hong taysu dengan ilmu
pedang Mi-to-kiam melancarkan serangan yang kedua kalinya, menusuk dada Gak
Lui.
Serangan paderi itu didasari
dengan tenagadalam yang kuat dan merupakan ilmupedang yang telah diyakinkan
dengan susah payah selama ber-tahun2. Sambaran pedang yang berhawa dingin itu
dapat menembus dada Gak Lui.
Tetapi kebalikannya Gak Lui
malah gembira.
Ia mengharap lawan segera
merapat maju agar ia dapat melancarkan pukulan Algojo Dunia jurus
Memetik-bintang-menjolok-bulan untuk memukul jatuh pedang paderi itu .
Seketika itu Hwat Hong rasakan
pedangnya seperti melekat pada pedang lawan, sukar ditarik kembali. Tanpa
banyak pikir lagi, ketua Hengsan-pay itu segera gerakkan tangan kiri menghaatam
dengan pukulan Hi-mi-kang. Sebuah ilmu pukulan tenaga dalam aliran kuil.
Gak Luipun mengalami
kesukaran. Ia rasakan tangan orang seberat besi sehingga pedangnya sukai dibawa
berputar. Bahkan paderi itu
masih mampu mendesakkaa pedangnya
maju. Suatu tenaga sakti yang belum dialami Gak Lui selama menghadapi
ber-puluh2 lawan. Dan yang lebih hebat lagi, ketua Heng-san-pay itu masih mampu
melancarkan pukulan tangan kiri kearah dadanya.
Terdengar letupan kecil ketika
kedua tangana mereka beradu.
Pukulan maut Hwat Hong taysu
dapat ditahan dengan ilmu tenaga-dalam penyedot oleh Gak Lui.
Ternyata kekuatannya
berimbang.
Hwat Hong taysu makin kalap.
Dengan menggerung keras
laksana seekor singa, ia menyerang dengan segenap tenaganya. Pedang dan tinju
dilancarkan sederas hujan mencurah.
Gak Lui yang sudah dipesan Bok
Kiam-su, tak mau bertempur mati2-an. Dengan tenang ia mewgganti ilmu pedangnya
dengan jurus Cenderawasih-merentang-sayap.
Lingkaran sinar pedangnya
mengembang sampai se tombak luasnya.
Sepintas pandang memang mirip
dengan burung Cendrawasih yang sedang merentang sayap .......
Sesaat pecahlah suatu
pertempuran dahsyat yang bermutu tinggi.
Debu berhamburan, daun2
berguguran karena dihambur deru angin kedua lawan, yang sedang bertempur sengit
itu.
Cepat sekali dibawah sorot
mata rombongan murid Heng-sain-pay yang tercengang-cengang cepat sekali
pertempuran itu sudah mencapai 100 jurus.
Saat itu keduanya mulai lambat
gerakannya. Wajah Hwat Hong merah padam, kepala mandi keringat, Sedang Gak
Luipun berkembang kempis dadanya. Lingkaran pedangnyapun makin menyurut sempit.
Tetapi kedua-duanya mempunyai
kesulitan untuk menarik diri. Hwat Hong taysu menjaga gengsinya sebagai seorang
ketua Heng-san-pay. Disaksikan oleh anakmuridnya, ia malu kalau sampai kalah
dengan seorang anak muda saja. Gak Lui memikirkan keselamatan Siu-mey dan Bok
Kiamsu, terpaksa ia harus melayani serangan lawan.
Akhirnya pertempuran itu
menjurus ke suatu pertempuran mengadu jiwa. Salah satu tentu akan mati atau
paling tidak tentu terluka berat.
Dalam suatu kesempatan setelah
dapat meng empos napas untuk mengerahkan tenaga-dalam, Hwat Hong taysu segera
lancarkan serangan pedang dan pukulan. Serangan itu merupakan pengerahan
tenaga-dalamnya yang terakhir.
Melihat itu Gak Luipun
terpaksa menangkis dengan sekuat kemampuannya.
Bum ... letupan dan erang
tertahan segera terdengar, disusul dengan dua sosok tubuh yang terhuyung-huyung
mundur.
Huak ..., Hwat Hong taysu
muntah darah
Karena dia cepat gunakan cara
pinjam tenaga unk mengembalikan tenaga, lukanyapun agak ringan. Tetapi tak
urung, darahnya meluap, mata kunang-kunang.
Ketua Heng-san-pay itu
menggertak gig. Bulat sudah tekadnya untuk mengadu jiwa dengan anak muda itu.
Kakinyapun mulai bergerak maju.
Pun saat itu Gak Lui benar2
naik darah. Sepasang matanya memancar sinar dendam. Ia lupa akan pesan Bok
kiam-su tadi. Yang ada dihadapannya hanya seorang musuh yang harus dihancurkan.
Pada saat kedua fihak sedang
dirasuk setan hendak melampiaskan kemarahannya, sekonyong-konyong dari arah
puncak terdengar seruan meraung nyaring : „Berhenti !"
Setitik benda hitam meluncur
dari arah puncak sebelah barat cepat sekali benda itu meluncur turun kearah
tempat pertempuran.
Gak Lui terkejut ketika
mengetahui bahwa benda hitam merupakan sesosok tubuh manusia. Hampir ia tak
percaya bahwa orang itu melayang turun dari puncak ketinggian 300-an tombak.
0rang itu pasti hancur tulangnya.
Gak Lui tertegun...... Tetapi
Hwat Hong taysu tak ambit peduli. Ia tetap hendak tumpahkan kemarahannya kepada
Gak Lui. Sambil kepalkan tangan ia maju dua langkah.
CEPAT sekali sosok tubuh itu
telah meluncur turun. Kira2 masih kurang 20-an tombak dari tanah, tiba2 orang
itu mengembangkan sesosok payung sehingga luncur tubuhnya tertahan, Tak berapa
lama iapun melayang tepat di tengah kedua prang yang sedang beftempur. , . .
„Se Bun sianseng !"
teriak Gak Lui ketika inelihat siapa pendatang itu.
Memang pertdatang itu bukan
lain adalah Se Bun Giok, tokoh sakti dari gunung Kunlun. Tangannya mencekal
sesosok payung besi. Dengan alat itulah tadi ia meluncur turun dari puncak yang
tinggi. Dan saat itu ia putar payung besinya untuk menghentikan pertempuran.
Terpaksa Hwat Hong taysu
menarik pulang tinjunya, serunya: „Se Bun, mengapa ..... engkau membantu .....
, sumpah dunia persilatan ini ..... "
Se Bun Giok hentikan gerakan
payung lalu memberi salam: „ Uh, jarang sekali engkau marah begitu rupa,
paderi"
„Lebik baik engkau
menyingkirlah"
„Uh....., tak perlu berkelahi,
engkau salah faham"
„Salah faham?" Hwat Hong
taysu terkesiap.
„Engkau termakan tipu dari
Maharaja yang menggunakan siasat pinjam golok membunuh orang agar sekali tepuk
dua lalat!"
„Hai .... !" baik Hwat
Hong taysu maupun Gak Lui berteriak seraya mundur selangkah.
Se Bun Giok tertawa nyaring:
„Simpan dulu pedang kalian. Sambil beristirahat sambil dengarkan
penjelasanku!"
Gak Lui cepat masukkan
pedangnya ke dalam sarung. Tetapi Hwat Hong walaupun juga menyarungkan pedang
tapi masih penasaran, serunya :
„Se Bun, kalau penjelasanmu
itu beralasan, ya sudah. Tetapi kalau tidak, aku tentu masih ...."
„Peristiwa itu sungguh tak
kusangka. Karena kebetulan aku menemukan mayat orang partai Gelandangan yang
disuruh mengantar surat kepadamu, paderi. Dengan, begitu barulah kuketahui
siasat mereka!"
„Pengantar surat itu
mati?" Hwat Hong terkejut.
„Paderi, engkau telah ditipu
orang! Pengantar surat dari partai Gelandangan yang sebenarnva, telah dibunuh
orang. Dan yang mengantar surat kepadamu itu adalah anakbuah Maharaja yang menyaru
"
„Kalau begitu surat yang
kuterima itu juga surat palsu? " Hwat Hong menegas.
„Benar" sahut Se Bun
Giok, „kebetulan aku telah berjumpa dengan Raja-sungai-Ce-kiang yang mengatakan
bahwa Gak Lui telah menolong mereka dalam pertempuran dengan orang Kay-pang.
Dan kini pemuda itu hendak mengunjungi Bok Kiam-su. Tokoh partai Gelandangan
itu mengatakan pula bahwa ia telah menyuruh seorang muridnya untuk mengantar
surat kepadamu agar jangan timbul salah faham."
„Entah bagaimana hatiku tak
tenteram. Kukuatir pengantar surat itu akan tertimpa sesuatu. Maka aku segera
menyusul kemari. Ah..., ternyata firasatku itu benar. Di dalam hutan
kuketemukan mayat murid partai Gelandangan yang mengantar surat itu. Seketika
itu gamblanglah pikiranku. Musuh tentu hendak menggunakan siasat adu domba
agar- kalian bertempur sendiri. Untung aku cepat tiba pada saat yang tepat,
kalau tidak ......." Gak Lui menghaturkan terima kasih atas bantuan tokoh
dari gunung Kun-lun itu. Dan ternyata Hwat Hong taysu pun berlapang dada. Ia merasa
telah khilaf maka segera ia minta maaf kepada Gak Lui.
Gak Luipun menghaturkan maaf
karena telah berlaku kurang hormat kepada ketua Hengsan-pay itu.
Setelah keduanya saling
memaafkan, maka berkatalah Se Bun Giok : „Paderi, ilmu pukulan sakti dari partai
Heng-san-pay yang disebut Hi-mi-kang-kia termasyhur di seluruh dunia. Tetapi
mengapa tadi engkau menggunakaa pedang? Sungguh aneh !"
„Seorang gerombolatl Maharaja
ita menggunakan : senjata pedang. Muka mereka ditutup kain kerudung dan kedok.
Merekapun dapat menggunakan ilmupedang partai Heng-san-pay yakni
Mi-to-kiam-hwat. Maka terpaksa aku harus berhati-hati!" kata Hwat Hong.
Se Bun Giok tertawa meloroh:
„Oh..., kiranya begitu! Tak heran kalau paderi tua juga main pedang"
Hwat Hong taysu tertawa juga:
Sesaat ia menghela napas: „Ah..., . jangan bergurau Se Bun! Berhadapan dengan
lawan yang seimbang kepandaiannya, pedang tentu lebih unggul dari tinju! Punja
... engkau sendiri juga begitu. Walaupua tenaga-sakti Sian-ing-ki-kang dari
Kun-lun-pay itu sudah tersohor didunia persilatan, tetapi engkau toh tetap
membawa payung besi dan kipas tembaga masih ditambah dengan sebuah kantong
asap.
Bukankah kalau dibanding
dengan aku yang membawa sebatang pedang, engkau lebih banyak tiga kali
lipat?"
„Eh...., paderi tua, apakah
engkau tak tahu bahwa barang itu memang alat yang kupakai se-hari2"
„Jangan membual Siapa mau
menerima salah satu dari barang2 itu? Menikmati sedikit saja, orang tentu sudah
lari ter-birit2!". .
Mendengar pembicaraan itu
tiba2 Gak Lui teringat sesuatu.
Cepat ia bertanya kepada Hwat
Hong: „Taysu, kali ini' Heng-san-pay turun gunung membekal pedang, tentulah
mempunyai lain sebab!"
„Maksud Gak sicu ..... ?"
„Tadi taysu mengatakam
anakbuah Maharaja juga menggunakan pedang. Entah berapakah jumlah mereka yang
mahir menggunakan pedang itu?"
„Murid Maharaja yang ahli
dalam tenaga-dalam dan tenaga luar, amat banyak jumlahnya!"
„Taysu mengatakan pula bahwa
melawan 0rang yang berimbang kepandaiannya, menggunakan pedang lebih unggul
dari pukulan. Dalam kata2 taysu tadi, agaknya masih ada kelanjutannya yang
taysu belum menyelesaikan seluruhnya."
„Ini...."
„Berdasar ucapan taysu tadi,
aku berani memastikan bahwa dalam kalangan murid Maharaja tentu terdapat
seorang tokoh yang selain mahir menggunakan pedang, pun dia sudah beberapa
tahun meninggalkan Heng-san. Oleh karena itulah maka taysu selalu membekal
pedang agar dapat menghadapinya apabila bertemu orang itu."
„Sicu menduga tepat!"
sahut Hwat Hong.
„Siapakah orang itu? Dapatkah
taysu memberitahu kepadaku?".
„Hm .. karena sudah sampai
keadaan begini, tak perlulah kiranya untuk menutupi rahasia itu. Yang sudah
ber-tahun2 meninggalkan perguruan Heng-san-pay itu, bukan lain adalah suhengku
sendiri yani Hwat Gong taysu!"
„Bagaimana ilmu kepandaiannya?".
„Dahulu dia menjabat sebagai
pimpinan kuil sedang aku hanya sebagai Ti-khek ( penyambut tetamu ):
Kepandaiaonya tiga kali lebih unEgul dari aku." . .
Kali ini yang mengirim surat
supaya taysu mengundurkan 'diri sebagai ketua, tentulah dial".
„Benar, sungguh suatu
peristiwa yang menyedihkan
hati bahwa suhengku sampai hati untuk hianati perguruannya !" kata Hwat
Hong sambil menghela napas rawan.
Memang dalam kalangan
perguruan atau partai persilatan, sudah wajar kalau terjadi perebutan
kedudukan. Tetapi Heng-san-pay mengalami peristiwa perebutan itu secara aneh.
Karena yang menghalangi adalah orang luar, yalah Maharaja. Dan tokoh itu
mempunyai maksud untuk menaruh orangnya kedalam setiap partai agar dapat menguasai.
Setelah berdiam beberapa saat,
maka Hwat Hong taysu segera minta diri kepada Gak Lui. la kuatir dalam kuil
terjadi sesuatu, maka ia harus lekas2 kembali.
Melihat ketua Heng-san-pay itu
sudah tenang kembali, Se Bun Giok tertawa: „Paderi, tak usah gelisah. Semua
orang kini sama menggunakan pedang Kong-tong-pay, Bu-tong-pay dan Ceng-sia-pay
tak usah dikata. Bahkan sekarang beberapa partai yang biasanya tak menggunakan
pedang seperti Heng-san-pay, Siauw-lim-pay dan Go-bie-pay sama-sama menggunakan
pedang. Tentang ketua Kun-lun-pay;, Tang-hong Giok ...."
„Benar, dia dan engkau adalah
jago2 pedang yang hebat!" Hwat Hong nyeletuk.
„Jangan menyebut diriku.
Adalah karena gara-gara belajar ilmu pedang maka kuganti dengan payung
bobrok," sahut Se Bun Giok .
„Ah..., tak perlu merendahkan
diri. Silahkan engkau mengatakan usulmu!"
„Menurut hematku, setelah
partai2 persilatan sama turun gunung dengan membawa pedang alangkah bagusnya
bila dipertemukan dalam suatu permusyawarahan besar untuk menentukan rencana menghadapi
sepak terjang kaki tangan Maharaja!" kata Se Bun Giok.
Serentak tergugahlah semangat
Hwat Hong mendengar usul itu, serunya: „Ketika partai2 persilatan mau bersatu
padu dan Kaisar mau meminmpin, pertemuan itu tentu berarti sekali!"
Juga Gak Lui terpengaruh
dengan saran itu.
Serentak ia tegak berdiri
denaan dada membusng. Suatu sikap dari kesiap-sediaannya menghadapi pertemuan
besar itu.
Se Bun Giok menepuk bahu
pemuda itu katanya: „Terus terang kukatakan, belum tentu Kaisar mau muncul
memimpin. Tentang penyelenggaraan pertemuan besar itu, akulah yang akan
mengusahakan.
Tetapi tentang diri Gak Lui
ini, taysu harus sudah mengerti jelas......"
„Ya.... ya, aku sudah jelas
sekarang, kata Hwat Hong taysu.
„Gak siau-hiap jika bertemu
dengan suhengku Hwat Gong tentu takkan melukainya dan harap mengantarnya pulang
ke Heng-san-pay......"
Gak Lui mengiakan.
Setelah rombongan Hwat Hong
taysu pergi, Se Bun Giok bertanya kepada Gak Lui apakah telah bertemu dengan
Bok Kiam-su.
„Sudah, dia tinggal digunung
sebelah timur sahut Gak Lui.
Se Bun Giok mengajak Gak Lui
ketempat si pembuat pedang itu. Ketika tiba dipondok Bok Kiam-su. Gak Lui terus
bendak berseru memanggil, Siu-mey. . Tetapi tiba2 ia katupkan lagi mulutnya
yang sudah dingangakan. Ternyata.....hidugnya mencium bau orang mati.
Se Bun Giok amat cerdas dan
cermat.
Melihat Gak Lui tertegun
dimuka pintu, iapun segera hentikan langkah. Tampak pemuda itu memberi isarat
tangan kabelakang, lalu secepat kilat menerobos masuk. kedalam pondok.
Se Bun Giok merasakan sesuatu
yang tak wajar.
Cepat ia mencabut pipanya dan
siap menunggu tanda dari Gak Lui.
„Se Bun ciaepwe, lekaslah
masuk!" tak berapa lama kedengaran Gak Lui berseru.
Ketika masuk, Se Bun Giok
melihat Gak Lui sedang ...tegak berdiri termanggu disebelah mayat seorang
lelaki tua.
„Tentulah Bok Kiam-sul"
serunya. Gak Lui mengikan ..
Se Bun Giok memeriksa tubuh
ahli pembuat pedang itu. Dadanya berlubang darah dengan di kelilingi oleh lima
buah bekas telapak jari. Luka itu menembus kedalam dan jantung hati korban
diremas hancur lebur.
„Hai, kiranya perbuatan Iblis
Tulang-putih!" serunya gemetar.
„lblis Tulang-putih?" Gak
Lui menegas.
„Benar, ini hasil ilmu
kesaktiannya yang istimewa, yani Petik-hati-mencabut nyawa !"
Dua butir airmata menitik turun
dari pelupuk mata Gak Lui, ujarnya terharu :„Akulah yang mencelakai Bok Kiam-su
....."
„Mengapa begitu ?" Se Bun
Giok terbeliak.
„Setan Keluyuran, murid Iblis
Tulang-putih telah kubunuh. Dan lagi jika aku tak mencarinya, iblis itu tentu
tak mencari kemari."
Se Bun Giok tertegun,
keluhnya: „Celaka...! Iblis itu juga kaki tangan Maharaja!"
„Oh..... "
„Pengantar-surat yang disuruh
Raja-sungai-Ce-kiang itu juga hancur lebur dadanya. Bermula aku tak mengerti
ilmu apa yang digunakan pembunuh itu. Tetapi kini setelah dipadu dengan mayat
Bok Kiam-su, pengantar surat itu juga termakan tangan ganas dari si Iblis
Tulang-putih!" kata Se Bun Giok: „Hm...., kelak tentu kucincang
tubuh iblis itu untuk membalaskan sakit hati Bok Kiam-su dan Gadis Ular!"
„Gadis Ular...? Siapakah dia
?"
Gak Lui mengeluarkan sehelai
kain. Tanpa bicara apa2, ia Serahkan kepada Se Bun Giok. Ketika merentang, kain
itu ternyata berisi tulisan yang berbunyi :
Kiam-su sudah meninggal
Setan kecil melarikan diri
Gadis ular terluka parah
Lain hari jumpa kembali
Dewi Tong Ting.
Habis membaca wajah Se Bun
Giok terkejut nyaring, serunya: „Kawanmu berhasil baik . . . "
„Baik?" ulang Gak Lui
heran.
„Dewi telaga Tong-Ting itu
adalah salah seorang dari Empat Permaisuri. Kepandaiannya amat sakti sekali.
Bahkan dimatanya, Iblis Tulang-putih .....hanya dianggap sebagai setan cilik
belaka.
Dengan ditolong olehnya,
selain luka Gadis Ular itu menjadi sembuh, kelak pasti akan menjadi tokoh
wanita yang sakti."
Gak- Lui agak terhibur. Ia
menghela napas longgar, katanya: „Ya ..... syukurlah. Sejak saat ini, aku dapat
mencari jejak musuh dengan hati lapang! "
„Aku mempunyai usul, entah
engkau dapat menyetujui atau tidak," kata Se Bun Giok.
Setelah Gak Lui
mempersilahkan, berkata pula jago dari gunung Kun-lun itu: „Engkau dan aku
hendak menyelidiki jejak Maharaja. Aku lebih banyak pengalaman dalam dunia
persilatan. Jika bersama sama, tentu dapat saling bantu membantu.
„Tak perlu ini dan itu. Jangan
menolak. Menolak berarti engkau memandang rendah padaku " desak Se Bun
Giok.
Akhirnya Gak Lui setuju.
Setelah mengubur jenazah Bok
Kiam-su, mereka segera turun gunung. Tujuan pertama, menurut Gak Lui, akan
mencari Pukulan-sakti Tek Thay, digunung Pek-wan-san.
Hari itu ketika habis melintasi
puncak gunung yang tinggi, mereka turun kesebuah bukit dan mencapai sebuah
desa.
Tiba2 dari dalam hutan didekat
jalan, mereka dikejutkan oleh suara orang me-rintih2.
Gak Lui tak asing dengan suara
itu. Cepat ia menerobos kedalam hutan. Se Bun Giok mengikutinya. Seratus tombak
dalamnya, mereka membau anyir darah. Cepat mereka menuju kearah bau itu.
Setelah melintasi sebuah tanah lapang yang luas, mereka melihat disebelah depan
tumbuh sebatang pohon besar. Pada pohon yang tiga perneluk tangan orang itu,
terpaku sesosok tubuh imam tua.
„ Hai...! Ceng Suan totiang
....... !"
---oo0oo---
BAB 13 : MAHARAJA
SE BUN GIOK pun menyusul tiba.
Dia terbeliak kaget juga, serunya: „Apakah bukan ketua partai
Bu-tong-pay?"
Gak Lui dan Se Bun Giok cepat
melesat ke samping pohon. Tampak separoh tubuh Ceng Suan totiang berlumuran
darah. Dadanya tertembus pedangnya sendiri, nancap ke pohon. Dia terpaku dengan
pedang ......
Gak Lui ngeri dan bendak
mencabut pedang itu. Tetapi dicegah Se Bun Giok.
Jangan! Totiang memiliki ilmu
tenaga dalam yang tinggi. Kalau tak dicabut, masih dapat bertahan diri untuk
beberapa seat. Tetapi, kalau dicabut, tentu akan binasa !"
„Apakah dibiarkan begitu saja
!"
Se Bun Giok yang banyak
pengalaman, sesaat tak dapat memperoleh akal.
Tiba2 Ceng Suan totiang
mendengus pelahan dan membuka mata. Demi melihat Gak Lui dihadapannya, bibirnya
ber-gerak2 tetapi tak dapat mengeluarkan kata2, melainkan mengeluarkan
darah.......
Gak Lui berbisik kedekat
telinga totiang itu:
„Totiang tak perlu bicara. Aku
akan berusaha menolongmu dulu." ia berpaling dan berkata kepada Se Bun
Giok: „Harap pegang batang pedang. Begitu kusuruh cabut, harap segera
mencabutnya"
„Itu ...... berbahaya!"
„Aku mempunyai ilmu
Menyongsong-tenagamurni. Dapat membuat tenaga-dalamnya tak sampai
berhamburan....." kata Gak Lui seraya lekatkan tangan ke perut dan paha
Ceng Suan totiang.
Ia segera salurkan
tenaga-murni ketubuh paderi itu. Setelah tenaga-murni Ceng Suan totiang
berputar keperut, barulah ia suruh Se Bun Giok mencabut.
Se Bun Giok sudah siap Cepat
ia melakukan perintah itu. Sesaat pedang tercabut keluar, Gak Lui memberi
perintah lagi: „Tutuk jalandarahnya untuk menghentikan pendarahan."
Dengan ilmu tutuk partai
Kun-lun-pay yang istimewa, Se Bun Giokpun segera menutuk ke 16 jalandarah
penting ditubuh paderi itu. Darahpun berhenti mengalir.
Gak Lui letakkan tubuh Ceng
Suan ketanah. Kedua tangannya masih tetap melekat pada perut dan paha paderi
itu. Se Bun Giok mengeluarkan pil dari perguruannya dan disusupkan kemulut Ceng
Suan. Tak berapa lama paderi itupun dapat bernapas serta membuka mata. Ia
memandang dengan rasa terima kasih kepada Se Bun Giok, lalu berkata
tersendat-sendat kepada Gak Lui: „Gak .. . . Gak . . . kucari engkau . . . lama
sekali....!"
„Apakah karena pedang Pelangi
itu?" cepat Gak Lui menyanggapi.
„Ya......!"
„Pedang itu adalah Ceng ki
totiang yang minta tolong kepadaku. Tempo hari sama sekali aku tak bermaksud
menerobos ke dalam sanggar Pemujaannya sehingga menyebabkan Ceng Ki totiang
sampai menderita Co-hwe-jip-mo. Sampai saat ini aku tetap merasa berdosa. Oleh
karena itu, aku pasti akan melakukan pesannya untuk membikin baru pedang itu
agar menjadi pedang pusaka dunia persilatan. Harap totiang jangan salah
faham."
„Ku ...... kutahu ....... semua
...... "
„Totiang tahu semua?"
„Suheng ....... pada saat
...... menutup mata ...... mengatakan hal itu ....., semua ...... "
Lalu apa maksud totiang
mencari aku? "
„Takut engkau ... dicelakai
orang dan dirampas .....pedang itu ....."
„Jangan kuatir! Jiwaku boleh
melayang tetapi pedang itu tak nanti dapat dirampas orang. Dan lagi ... sampai
sekarang belum ada orang yang berusaha merampasnya!"
Setelah minum obat, semangat
Ceng Suan totiang makin baik: Mendengar ucapan Gak Lui, ia kerutkan dahi :„Apakah
... murid murtad Ceng Ci itu ... tidak merebut? Mungkin engkau belum berjumpa
......."
Gak Lui masih ingat ketika
bertempur lawan Ceng Ci. Anggauta Topeng Besi terkesiap melihat pedang pusaka
itu tetapi Ceng Ci tidak mengacuhkan.
„Aku sudah bertempur lawan
Ceng Ci tetapi tampaknya tak mengacuhkan pedang itu," katanya. „Tidak
mungkin!"
„Mengapa ?"
„Dua jam yang lalu, dia datang
... mendesak aku ... bertanya melilit.., dimana engkau bera.da . . . karena
hendak . . . merebut pedang itu . . . . "
„Berapa jumlah mereka ?"
„Bermula dua orang " .
Gak Lui merenung. Ia duga
kedua orang itu
tentulah si Topeng Besi dan
Ceng Ci. „Lalu berapa lagi ?" tanyanya.
„Kemudian saorang lagi."
„Seorang ? Siapakah yang
melukai totiang ?"
Wajah Ceng Suan tot:ang
berobah tegang. Deagan memancar sinar kemarahan ia berkata : „Bermula murid
murtad itu bersama seorang bertopeng mengeroyok aku. Beberapa puluh jurus
kemudian, akupun terdesak ......"
Se Bun Giok kerutkan kening
dan menyelutuk : „Totiang, sebagai seorang ketua Bu-tong-pay, mengapa tak
memikirkan kepentingan seluruh partai hingga totiang pergi seorang diri dan
bertempur mengadu jiwa ?"
„Akupun menyadari hal itu.
Tetapi setelah aku mundur sampai di samping pohon ini, tiba-tiba muncul pula
seorang bertopeng. Gerakannya amat cepat sekali, ya, memang luar biasa
cepatnya. Belum selesai satu jurus saja, dia sudah dapat merebut pedangku
......."
„Oh! Jadi dia hanya bertangan
kosong merebut pedang totiang lalu menusuk...."
„Benar .....!"
„Gak Lui gemetar, tanyanya
tegang : „Apakah dia meninggalkan nama?"
„Sekalipun tidak meninggalkan
nama tetapi akupun dapat menduganya"
„Siapakah orang itu? "
„Maharaja! Selain dia, tak
mungkin terdapat orang yang memiliki kesaktian semacam itu !"
Se Bun Giok, ternganga. Gak
Lui terbelalak, giginya menggigil keras.
Ceng Suan totiang adalah ketua
partai Bu-tong-pay. Kepandaiannya tergolong tokoh kelas satu. Tetapi mengapa
dalam setengah jurus saja, pedangnya sudah dapat direbut dan orangnya pun
ditusuk. Dengan begitu jelas kepandaian orang itu teramatlah saktinya !
„Tak perlu kalian marah. Aku
hendak-mohon, bantuan kalian untuk beberapa hal," kata Ceng Suan totiang.
„Silahkan totiang
mengatakan," hampir Gak Lui dan Se Bun Giok berkata serempak.
„Kurasa, selain Kaisar, dewasa
ini tiada seorang tokoh persilatan yang mampu menandingi kesaktian Maharaja.
Sayang Kaisar belum muncul dalam dunia persilatan. Oleh karena itu kuharap
kalian ..... terutama Gak siau-hiap, harap hati2 selama berada dalam-dunia
persilatan ......."
Se Bun Giok menghibur :
„Andaikata Kaisar, tak muncul, pun tak apalah. Aku sudah bicara dengan ketua
Heng-san-pay Hwat Hong taysu agar menyelenggarakan suatu persekutuan segenap
kaum persilatan golongan Putih untuk menghadapi durjana besar itu!"
„Ah, kurasa tak mudah untuk
menyelenggarakan gerakan itu. Taruh kata berhasil mengumpulkan tenaga kaum
persilatan, pun belum tentu dapat menang."
„Manusia harus berdaya. Kita
tak boleh tinggal diam saja menunggu kematian!" kata Se Bun Giok.
„Ah, saudara memang bersungguh-sungguh
dan serius. Tetapi ada sedikit hal yang perlu saudara pertimbangkan"
Dalam hal apa?"
„Murid2 yang mengkhianati itu,
telah mendesak pada partai perguruannya masing2 agar ketua partai yang sekarang
sama mengundur-kan diri. Jika partai2 persilatan itu sampai berkumpul dalam
sebuah rapat, bukankah akan terjerumus dalam, jebakan mereka? Bukankah musuh
amat mudah sekali untuk menjaringnya? Dan pada waktu menghadiri rapat, markas
tentu kosong dan mudah diserbu ........"
„Soal itu aku dapat merundingkan
dengan para pimpinan partai persilatan bagaimana mengatur langkah yang sesuai.
Harap totiang jangan kuatir," kata Se Bun Giok. .
„Muridku Hwat Lui bertiga,
saat ini menjaga di Bu-tong-san. Harap memberitahukan kepadanya. Segala urusan
di markas, terserah pada Hwat Lui. Harus tetap menjaga markas perguruan dan
berlatih ilmu dengan giat"
Gak Lui mengiakan: „ Baik,
kami tentu akan menyampaikan. Dan kelak apabila pedang Pelangi sudah selesai di
buat baru, tentu akan kuserahkan kepada Hwat Lui totiang .. . . "
„Jangan...! Jangan....!"
„Mengapa...?"
„Kepandaian Hwat Lui masih
rendah. Jika murid penghianat itu sampai kemarkas meminta pedang, Hwat Lui
tentu tak mampu menghadapi. Kulihat baru berpisah belum berapa lama, kepandaian
Gak siau-hiap maju pesat sekali. Lebih baik ...... tiba2 wajah paderi itu
mengerut sesal.
Seperti orang yang kelepasan
omong lalu tak mau melanjutkan kata-katanya lagi.
Ceng Suan totiang merasa bahwa
pedang pusaka dari perguruannya itu telah menjadi sasaran dari murid Bu-tong-san
yang hianat. Sebagai seorang ketua Bu-tong-pay sudah tentu ia merasa malu ,anak
muridnya tak mampu menjaga pusaka perguruannya dan hendak minta tolong kepada
orang luar.
Gak Lui dapat menangkap isi
hati paderi itu. Cepat ia berseru lantang: „Aku pasti akan bertanggung jawab
sepenuhnya Tentu akan menunggu sampai tiba saatnya yarg tepat, baru akan
kuserahkan pedang itu kepada Bu-tong-pay.
Wajah - Ceng Suan totiang
cerah seketika. Ia menghaturkan terima kasih kepada Gak Lui. Sesaat kemudian
dengan wajah rawan, kembali ia melanjutkan kata-katanya: „Dan permintaanku yang
terakhir tak lain, agar kalian suka segera mengubur mayatku ......"
„Totiang, engkau ......"
„Aku telah menodai nama
Bu-tong-pay. Tiada muka lagi aku bertemu dengan para cousu dan leluhur
Bu-tong-pay ..... tiba2 Ceng Suan meraung keras, mirip seekor singa yang
kelaparan. Sekonyong-konyong tangan kanannya berayun menampar pelipisnya, plak
. . .
Melihat itu Gak Lui tak dapat
lepaskan cekalannya sehingga tak dapat mencegah perbuatan Ceng Suan yang kala
itu, Se Bun Giok cepat menampar dengan jurus Benang-emas-melihat-siku lengan.
Angin tamparan itu berhasil menahan tangan Ceng Suan totiang.
Tetapi Ceng Suan sudah kalap
benar2. Tamparannya untuk menghabisi jiwanya tadi, dilancarkan dengan, tenaga
penuh. Ketika terbentur angin tamparan Se Bun Giok, ia mendesuh tertahan dan
pingsan seketika.
Gak Lui cepat menambahi
saluran tenaga dalam nya seraya berkata: „Kurasa baiklah cianpwe yang mengantar
totiang di pulang ke Butong-san. Soal mengejar si pembunuh, biarlah kulakukau,
sendiri."
Sekalipun tak tegah, karena
kenyataan sudah begitu rupa, terpaksa ia menjawab: „Luka totiang amat parah
sekali. Mungkin tak dapat mencapai markas Bu-tong-pay. Maka dapat kubawa sampai
berapa jauh, terserah keadaannya. Aadai kata di tengah jalan menemui ajal,
jenazah totiang tetap akan kuantar ke Bu-tong-san supaya ditanam dengan
baik."
Cepat mereka bertindak. Luka
di dada yang tembus punggung Ceng Suan totiang, dibalut dan dilumuri obat.
Setelah diminumi pil lalu diikat di atas punggung Se Bun Giok. Pedang Ceng Suan
totiang yang berlumuran darah itupun dibawa Se Bun Giok. Setelah saling
mengucap selamat jalan, tokoh sakti dari partai Kun-lun-pay itu segera lari
secepat terbang menuju ke Bu-tong-san.
Setelah Se Bun Giok lenyap
dari pandangan mata, Gak Lui masih tetap mondar mandir di situ. Dicobanya untuk
menggunakan ketajaman hidungnya, mencium jejak kepergian Maharaja.
Tetapi Maharaja itu keliwat
sakti. Langkah kakinya selain seringan kapas, pun cepatnya seperti terbang.
Apalagi dalam hutan sekeliling amat lebat dan, pelik. Sekalipun hanya tercium
pun sukar untuk mencarinya. Maka setelah bersusah payah lebih dari sejam,
barulah ia dapat menduga-duga arahnya.
Tetapi Gak Lui seorang pemuda
yang keras hati. Ia pantang mundur setapakpun dari usahanya mengejar Maharaja.
Walaupun setiap kali ia harus berhenti untuk menentukan arah, tetapi ia tetap
lanjutkan pengejarannya.
Saat itu udara tertutup awan.
Sinar rembulan yang teraling, menimbulkan pemandangan yang menyeramkan dalam
hutan.
Gak Lui tiba di mulut sebuah
lembah gu-nung. Diam2 ia menimang: „Ah...., sudah dua hari dua malam kulakukan
pengejaran. Tetapi makin lama makin kabur. Bagaimanakah aku harus bertindak
sekarang ini ....?"
Memandang ke muka, tampak
sebuah jalanan gunung yang hanya setengah meter lebarnya. Ia ayunkan langkah ke
sana dan pada waktu masih 10-an tombak jauhnya dari jalanan gunung itu, tiba2
sesosok tubuh lari secepat anakpanah terlepas dari busur. Meluncur sepanjang
jalanan gunung itu.
Gak Lui terkesiap. Ia
rentangkan mata lebar untuk memandang dengan seksama. Tetapi ah...., segumpal
awan hitam berarak menutup rembulan. Seketika pandang matanyapun gelap. Matanya
hanya dapat melihat samar-samar, orang itu lari bergegas-gegas dan tak
henti-hentinya berpaling kemuka belakang, seperti dikejar setan.
Cepat sekali Gak Lui melesat
ke jalan, tetapi orang itu sudah jauh.
„Hai..., bayangan orang itu
seperti Se Bun Giok. Mengapa dia datang kemari ? Dan mengapa pula tampaknya ia
begitu terburu-buru sekali? Siapakah yang mengejarnya...?" pikirnya dan
berpalinglah ia ke belakang untuk melihat siapakah yang mengejar bayangan tadi.
Dan astaga ! Bukan main
kejutnya ketika melihat sesosok tubuh yang menyeramkan. Dari kepala sampai ke
ujung kaki, orang itu tertutup jubah yang aneh bentuknya. Kaki tangannya tak
bergerak hanya tubuhnya yang melonjak-lonjak naik turun maju kemuka.
Kalau orang biasa mengenakan
kerudung kain hitam, tentu bagian mata diberi lubang. Tetapi tidak dengan orang
itu. Seluruh muka tertutup kain hitam. Tetapi anehnya jika tiba di tikungan
atau jalan yang berbiluk, ia tetap dapat mengikuti dengan tepat. Seolah-olah
tanpa mata, ia dapat melihat jalan.
Aneh, benar2 aneh !
Jika dia manusia biasa, jelas
dia memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dengan mata tertutup dapat
melihat segala benda.
Tetapi kalau dia itu suatu
makhluk aneh, sungguh mustahil sekali. Tetapi kalau bukan jenis makhluk aneh,
mengapa seorang tokoh macam Se Bun Giok sampai lari terbirit-birit begitu rupa
?
PADA SAAT Gak Lui sedang
terbenam dalam keheranan, makhluk aneh itu sudah tiba. Ternyata tubuh makhluk
aneh itu mengeluarkan semacam hawa. Dan hawa itupun bergulung-gulung melanda
kearah Gak Lui. Seketika Gak Lui mencium suatu bau yang amat busuk dan anyir.
„Hai, bau darah anyir dari
Ceng Suan totiang! Mengapa dia berobah menjadi makhluk aneh begitu ? Ah, tak
mungkin dia akan mengejar Se Bun Giok begitu rupa kalau tak terkena semacam
ilmu Hitam. Tentu Ceng Suan totiang telah disesatkan oleh seorang durjana
sehingga lupa pada Se Bun Giok ...." belum sempat ia melanjutkan
analisanya, tiba2 dari arah ujung jalan muncul sesosok tubuh manusia.
Saat itu rembulan menyiak
tabir awan. Sinarnya menerangi seluruh penjuru. Dan tampaklah perwujudan orang
itu.
Dia mengenakan kopiah emas,
pinggang menyalut sebatang pedang, rambutnya terurai ke bawah mencapai pundak.
Memakai jubah kebesaran warna kuning. Sikapnya keagung-agungan.
Wajahnyapun gagah dan
berwibawa. Usianya disekitar 40-an tahun tetapi masih gagah segar. Terutama
sepasang matanya yang tajam, mengunjukkan,keperbawaan seorang gagah.
Melihat sikapnya, sepintas
pandang orang tentu dapat memastikan bahwa pasti seorang ksatrya besar dalam
dunia persilatan.
Dan yang paling menakjubkan,
orang itu tak kelihatan bergerak tetapi tubuhnya dapat melesat ke muka. Benar2
suatu ilmu meringankan-tubuh yang jarang terdapat dalam dunia persilatan.
Tergetar hati Gak Lui melihat
orang itu, geramnya : „Hm..., tak heran kalau Se Bun Giok sampai ketakutan
begitu rupa. Kiranya si Maharaja sendiri yang muncul !"
Diam2 ia serempak mencabut
pedang. Saat itu siorang aneh sudah berada 3 tombak jauhnya. Gak Lui melihat
jelas bagahnana tangan kiri orang itu sedang bergerak-gerak aneh, matanya
setengah memejam dan wajahnya tampak serius sekali. Dan ketika tiba di samping
tempat Gak Lui bersembunyi, tiba2 orang itu membuka mata lebar2 lalu memandang
ke sekeliling. Rupanya la mengetahui kalau di sekeliling tempat itu terdapat
orang yang bersembunyi.
Gak Lui tak mau membuang waktu
lagi. Dari pada didahului lebih baik ia mendahului. Dengan jurus Rajawali
pentang sayap, ia apungkan tubuh ke udara, bergeliatan menukik seraya ayunkan
pedang sekuat-kuatnya kearah kepala orang itu.
Serangan itu dilambari dengan
seluruh.tenaganya. Dahsyatnya bagai gunung Thay-san rubuh.
Tetapi orang itu bukan
sembarang tokoh. Pada saat pedang Gak Lui hampir mengenai, tahu2 dengan gerakan
yang aneh, orang itu berputar tubuh dan tring...., tangan kanannya sudah
mencabut pedang dan menangkis serangan Gak Lui. Tetapi anehnya, orang itu tetap
lanjutkan langkah mengejar Ceng Suan totiang.
„Hai, hendak lari ke mana
engkau!" teriak Gak Lui seraya bergeliatan di udara lalu melayang turun
menghadang di muka jalan.
Melihat mata Gak Lui memancar
dendam kemarahan yang berapi-api, orang itupun tertegun.
Saat itu dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Gak Lui yang segera gunakan jurus
Menjolok-bintang-memetik-bulan, menusuk perut orang.
Melihat dirinya dihadang lalu
diserang hebat, orang itupun kerutkan alis. Dengan gerak laksana ular meliar,
dari arah yang tak diduga-duga, pedang orang itu menabas pergelangan tangan Gak
Lui dan serempak dengan itu, tubuhnya meluncur lagi ke muka untuk mengejar Ceng
Suan totiang.
Dengan geram Gak Lui lancarkan
serangan ganas lagi: „Maharaja bangsat, jangan harap engkau dapat lolos !"
Seruan Gak Lui itu makin
membuat orang itu kcrutkan dahi. Tetapi kaiena diserang, tanpa bicara apa2, ia
gerakkan pedangnya. Dalarn sekejab saja, ia sudah lancarkan tiga buah serangan
sekali gus. : elain tenayanya yang luar 1~iasa, pun jurus Tedangnya aneh sekali
Tidak sama dengan ilmupedang dari partai perpilatan umumnya.
Sinar pedang yang mencurah
bagai hujan lebat disertai deru angin yang menyambar-nyambar seperti badai.
Serangan itu berhenti membendung kekuatan Gak Lui dan memaksa pemuda itu mundur
sampai setombak jauhnya.
Gak Lui terkejut. Dalam gugup
ia cepat lancarkan jurus Cendrawasih-kibaskan-sayap. Pedang berhamburan laksana
bianglala mengarungi cakrawala dan dapat menahan serangan lawan.
Tiba2 Gak Lui gerakkan tangan
kiri dalam pukulan sakti Algojo dunia. Pukulan yang timbul karena kemarahan
itu, hebatnya bukan alang kepalang.
Hati orang itu benar2
terperanjat sekali. Pedangnya serasa tercekik dalam kisaran tenagadalam yang
memancar hebat. Tak dapat ditarik pulang, tak dapat digerakkan menangkis dan
tak dapat menghindar pula.
Dalam keadaan terancam maut
itu, terpaksa siorang aneh hentikan gerakan aneh dari tangan kirinya dan terus
digerakkan untuk balas menghantam.
Bum....., terdengar letupan
keras. Seketika Gak Lui rasakan telapak tangannya panas seperti terbakar
sehingga mau tak mau ia terpaksa harus mundur dua langkah.
Dan serempak dengan itu
terdengarlah seruan rawan dari orang aneh itu: „Gak Lui, engkau telah
mencelakai Ceng Suan totiang. Ha...., engkau harus ganti jiwanya !"
Mendengar tuduhan orang kalau
ia yang mencelakai Ceng Suan totiang, bukan main marah Gak Lui. Bentaknya :
„Ngaco belo !"
Cepat ia mencabut pedang
pusaka Pelangi lalu dengan sekuat tenaga ia menyerang orang itu.
Melihat pedang Pelangi, ibarat
api disiram minyak, makin berkobarlah amarah orang aneh itu, bentaknya :
„Ho...., kiranya engkau maling kecil yang mencuri pedang pusaka. Makanya engkau
hendak mencelakai Ceng Suan totiang !"
Ucapan itu diikuti dengan
gerakan tubuh yang berputar amat aneh dan cepat. Tabasan Gak Luipun menemui
tempat kosong. Dan sebelum pemuda itu sempat mengganti jurus, lawan sudah .
menyerang dari samping dengan jurus Menggurat-taaah, -mamapas langit.
Melihat tubuh lawan seolah-
olah pecah menjadi empat lima sosok tubuh, Gak Luipun segera hamburkan pedang
untuk membentengi diri seraya gunakan ilmu Meringankan tubuh untuk mengikuti
langkah orang yang hendak melanjutkan perjalanan.
„Orang itu tak tahu menahu
tentang Ceng Ki totiang minta tolong padaku supaya memperbaiki pedang Pelangi,
tetapi mengapa tampaknya ia terkejut melihat pedang Pelangi ini. Walaupun dia
menuduh aku mencelakai Ceng Suan totiang, tetapi dia sendiri jelas adalah
Maharaja!" pikir Gak Lui.
Orang aneh itu sendiripun
menimang dalam hati: „Rupanya budak ini hebat sekali kepandaiannya. Kalau tak
menggunakan jurus istimewa tentu akan memakan waktu panjaag."
Setelah mengambil keputusan,
ia berhenti tegak membelakangi Gak Lui. Punggungnya seolah-olah terbuka.
Kesempatan itu tak
disia-siakan Gak Lui. Cepat ia maju gerakkan kedua pedangnya menusuk ke atas
dan ke bawah.
Tepat pada waktu kedua ujung
pedang itu hendak menyentuh tubuh, tiba2 pedang orang aneh itu menjungkir ke
belakang. Dengan jurus Naga-sakti-kibaskan-ekor untuk menangkis pedang sebelah
kanan dari Gak Lui. Lalu dilanjutkan dengan jurus
Salju-berhamburan-mencabut-nyawa, untuk menebas punggung pedang Gak Lui di
tangan kiri. Dan serempak itu, ia berputar melesat ke luar lalu menghantam
dengan tangan kiri.
Dua buah pukulan, sekali gus
dilepaskan susul menyusul. Pukulan pertama, bagaikan lima buah halilintar
memecah angkasa. Hawa panas berhamburan. Pukulan kedua, memancarkan sinar putih
kemilau yang menyilaukan mata.
Gak Lui segera putar pedang
pusaka Pelangi untuk melindungi diri. lapun salurkan tenaga-sakti umtuk
menyedot tenaga lawan.
Tetapi sudah terlambat. Tubuh
Gak Lui melengkung ke samping kiri dan terpental sampai beberapa langkah.
„Huak ......" mulutnya
menguak, menyemburkan darah segar yang panas.
Tetapi hal itu tidak
meruntuhkan nyali Gak Lui. Bahkan kebalikannya malah, kemarahannya menyala
nyala seperti terbakar api. Dengan tertawa geram, ia silangkan kedua pedangnya
untuk siap menyambut serangan.
Sepasang matanya tak berkedep
memandang tajam kepada lawan.
Orang aneh itu dingin sekali wajahnya.
Sambil tujukan ujung pedangnya ke tenggorokan Gak Lui, tangan kiri meregang
keras, majulah ia selangkah demi selangkah menghampiri Gak Lui.
Malam makin larut dan makin
menyeramkan. Seolah-olah suatu alamat dari kedatangan Malaekat Pencabut nyawa di
tempat itu.
Kedua orang itu sama membisu.
Jarak yang memisahkan keduanyapun makin ciut. Dari dua tombak menyurut jadi
satu tombak. Dari satu tombak menjadi satu meter. Keduanya tak mau bergerak
menyerang dulu. Karena barang siapa yang mulai menyerang tentu akan ada yang
binasa."
Sekonyong-konyong terdengar,
derap langkah lari orang. Dalam beberapa kejab, orang itupun sudah tiba
beberapa tombak dari tempat Gak Lui.
Gak Lui dan lawannya tahu hal
itu. Tetapi mereka tak berani berpaling melihatnya. Karena jarak keduanya hanya
sepanjang pedang.
Suatu jarak yang memberi
kesempatan untuk menusuk apabila ada salah seorang yang berpaling muka.
Yang tampak hanya sebatang
pipa huncwe (panjang) berwarna kuning emas. Tahu2 sesosok tubuh melesat dan
tegak di depan kedua orang yang sedang hendak mengadu jiwa itu.
Baik Gak Lui maupun orang aneh
itu. terpaksa berpaling dan serempak berserulah keduanya dengan nada kaget:
„Oh...., Se Bun sianseng datang!"
Nada Gak Lui penuh dengan
kecurigaan Sedang nada orang aneh itu penuh dengan kerawanan.
Ternyata kedatangan Se Bun
Giok itu bukan seorang diri melainkan memanggul Ceng Suan totiang. Jago dari
Kun-lun itu geleng2 kepala: „Ah..., kiranya benar kalian berdua. Tetapi mengapa
hendak berkelahi2"
„Apakah dia bukan Maharaja?"
seru Gak Lui penuh keheranan.
„Apa itu Maharaja atau Kaisar!
Dia adalah ketua partai Gelandangan yang bernama Raja-sungai Gan Ke-ik"
kata Se Bun Giok.
„ Oh....," Gak Lui
mendesuh dan mundur setengah langkah.
Kemudian Se Bun Giok bertanya
kepada Gan Ke-ik: „Apakan pangcu tak tahu kalau dia ini Gak....."
„Dia Gak Lui, kutahu! "
sahut ketua partai Gelandangan.
Lalu mengapa berkelahi? "
„Mengapa aku tak harus
berkelahi?" Gan Ke-ik ketua partai Gelandangan balas bertanya.
„Dia pernah menolong kakak saudara
beserta rombongan anak murid partai saudara! "
„Oh ..... tetapi bukankah dia
anak buah Maharaja dan mencuri, pedang pusaka partai Butong san ....."
„Ah...., saudara ketua Gan,
engkau benar2 tak mengetahui jelas !"
„Kalau begitu harap engkau
menerangkannya. "
„Apakah masih perlu
kuterangkan iagi?"
„Kapan engkau sudah pernah
menerangkan?" balas Gan Ke-ik.
Se Bun Giok lebih dulu
letakkan tubuh Ceng Suan ke tanah. Ia kerutkan kening merenung sejenak lalu
menyapu keringat pada kepalanya. Kemudian menghunjamkan kakinya ke tanah seraya
memaki dirinya sendiri: „Sungguh celaka, celaka sekali. Kiranya aku belum
pernah mengatakan hal itu kepadamu!"
„Memang belum," jawab Gan
Ke-ik.
Terpaksa Se Bun Giok
menceritakan lagi peristiwa Gak Lui menolong orang partai Gelandangan
menghadapi tantangan orang2 partai Pengemis.
Seketika Gan Ke-ik. Meminta
maaf kepada Gak Lui.
Tetapi ternyata saat itu Gak
Lui sedang berjongkok memeriksa keadaan Ceng Suan totiang. Anak muda itu
mengucurkan airmata. Ia tak menghiraukan permintaan maaf dari ketua partai
Gelandangan tadi.
Gan Ke-ik buru2 menghampiri
lalu menjurah di hadapan Gak Lui: „Atas budi saudara Gak menolong kakandaku
beserta anak muridku, Gan Ke-ik terlebih dulu menghaturkan terima kasih
sedalam-dalamnya dan pasti takkan melupakan budi saudara itu!"
Tersipu-sipu Gak Lui balas
memberi hormat lalu bertanya: „ Mengapa totiang meninggal?"
Se Bun Giok maju memberi
keterangan: „Sehari kupanggulnya, menempuh perjalanan, totiang telah
menghembuskan napas yang terakhir."
Masih Gak Lui tak jelas akan:
keterangan Se-bun Giok itu. Ia alihkan pandang matanya kepada Raja-sungai Gan
Ke-ik.
Rupanya ketua partai
Gelandangan itu tahu isi hati Gak Lui, maka ia memberi keterangan tambahan.
„Kami kaum partai Gelandangan
mememiliki sebuah kitab yang berisi ilmu yang aneh2. Saat itu kulihat Ceng Suan
totiang masih berdenyut jantungnya. Aku mempunyai harapan untuk menolongnya.
Kukira arwahnya masih belum meninggalkan raganya. Maka kugunakan ilmu Lima
Halilintar untuk mengantar saudara Se-bun agar jenazah itu dapat mencapai
gunung Bu tong dalam keadaan masih baik. Mungkin ......."
„Mungkin dapat membangkitkan
ia hidup lagi?" tukas Gak Lui.
„Hal itu hanya kemungkinan
yang terkecil sendiri. Tentang tuduhanku hanyalah timbul karena kemarahnku.
Harap saudara Gak jangan menyesal."
„Jika masih ada setitik kecil
harapan, akulah yang telah mencelakainya," Gak Lui menghela napas.
Wajahnya rawan, mata redup bagaikan rembulan tertutup awan gelap.
„Ah...., saudara Gak tak perlu
menyesali diri sendiri. Aku dan engkau sama2 di buru ketegangan untuk menolong
orang sehingga sampai terjadi salah faham," Gan Ke-ik menghiburnya.
Se-bun Giok pun ikut
menghibur: „Gak laute, engkau seorang pemuda yang gagah perkasa. Janganlah
pikiran engkau isi dengan hal2 yang keliwat rumit. Dua hari yang lalu ketika
Bok kiam-su terbunuh, engkau menyatakan dirimulah yang menyebabkannya. Sekarans
kembali engkau mengatakan kalau engkaulah yang mencelakai Ceng Suan totiang
.Padahal, kesemuanya itu memang sudah ditakdirkan nasib!"
Ucapan Se-bun Giok yang
bermaksud untuk megghibur itu kebalikannya malah menyinggung perasaan Gak Lui.
Seketika ia teringat akan kematian Bok Kiam-su. Lalu terkenang akan nasib yang
menimpah bibi gurunya Pedang Bidadari Li Siok Gim, paman gurunya yang kedua
Pedang Iblis Kau Tiong-ing dan paman gurunya yang nomor empat Pedang Aneh Ji
Ki-tek.
Sebelumnya mereka masih segar
bugar.
Tetapi setelah berjumpa dengan
dirinya, susul menyusul mereka mati dengan cara yang mengenaskan.
Kematian mereka meninggalkan
kesan yang tak mudah dilupakan seumur hidup. Dan kesan2 itu makin memupuk
dendam kebenciannya terhadap tokoh Maharaja.
Ah....., apakah memang suratan
nasibnya.
Bahwa ia harus berpisah dengan
orang2 yang menjadi keluarganya itu, Gak Lui terbenam dalam renungan.
Saat itu Gan-ke-ik dan Se-bun
Giok pun sudah selesai mengemasi jsnazah Ceng Suan totiang lalu duduk
merundingkan rencana yang akan datang.
Setelah melihat Gak Lui, sudah
tersadar dari lamunan, Se-bun Giok memanggilnya: „Saudara Gak, engkaupun barus
beristirahat. Bagaimana dengan lukamu tadi"
„Ah...., tak apa. Setelah
melakukan pernapasan tentu sembuh," seru Gak Lui seraya menghampiri
ketempat kedua orang itu. Bertanyalah ia dengan serius kepada Gan Ke-ik:
„Tolong tanya pada Gan pangcu, apakah kalian percaya akan nasib atau
takdir?"
„Ooo...., memang dari dahulu
sampai sekarang, orang mengatakan begitu. Pula perguruan gelandangan memang
memiliki beberapa macam ilmu mistik (aneh) yang aneh dan manjur. Sekali-kali
bahkan mengelabui orang."
„Sukalah pangcu memberi contoh
padaku?....".
„Kim ambil contoh jurus yang.
kuserangkaa padamu tadi: Engkau ten.u sudah mendapat tiga macam bukti."
„0oo...., apakah dalam
ilmusilat juga terdapat ilmu gaib semacam itu?"
„Benar! Bukankah engkau tadi
melihat diriku bisa pecah menjadi beberapa sosok?"
„Benar, seranganku dengan
sepasang pedang tak dapat mengenai!"
„Ilmu itu disebut
Malaekat-pindah-tempat. Menggunakan landasan semangat dan tenaga. Agar lawan
mengira yang passu itu seperti tulen. Lebih aneh dan istimewa dari gerakan
Mengisar-tubuh-berganti-tempat yang terdapat dalam dunia persilatan."
„Mohon tanya, apakah bukti
yang kedua itu?" tanya Gak Lui.
„Bahwa Ceng Suan totiang dapat
berlari cepat adalah karena kugunakan ilmu Lima-halilintar agar dia tak sampai
jatuh. Sampai pada saat engkau menyerang dan akupun terpaksa tak dapat
mendorong Ceng Suan totiang lagi. Saat itu aku sudah menyadari bahwa totiang
lantas rubuh. Kalau tak percaya, cabalah engkau tanya pada Se-bun bagaimana
keadaaa Ceng Suan totiang saat itu"
„Benar," sahut Se-bun
Giok, tiba2 totiang rubuh.
Kalau tidak begitu, aku tentu
takkan kembali kemari."
Gak Lui tergetar batinya.
la menanyakan bukti yang
ketiga
„Serangaaku tadi, apakah
engkau tak merasa seperti tersambar 5 halilintar yang memancarkan hawa
panas?"
„Ya, memang ada"
„Itulah ilmu pukulan
Api-halilintar dari perguruanku. Selain dapat melukai orang, pun mengandung
tenaga sihir!"
„Tetapi mengapa pukulan kedua
yang menyusul; ,tak 'sama der-gan pukulan yang kesatu?"
„Benar" sahut Gan Ke-ik,
„pukulan itu memang bukan ilmu dari perguruanku."
„Lalu dari ajaran Partai
mana?"
„Partai Thian-liong-pay"
„Oh...., kiranya ilmu istimewa
dari Kaisar Li Liong-ci! " teriak Gak Lui.
„Benar, ilmu pukulan itu
disebut Pukulan sakti iblis gaib. Dengan ketiga jurus ilmu pedang yang
kumainkan itu, memang ajaran dari Kaisar Li Liong-ci. Ilmu itu ciptaan dari
gurunya, yakni paderi-sakti Thian Liong. Sayang aku tak mampu mempelajari
dengan giat sehingga menelantarkan ilmu ajaib dari gurunya aliran Suci dan
Jahat."
Gak Lui sangat berkesan sekali
terhadap sebuah pukulan dan tiga serangan pedang dari Gan Ke-ik tadi. Maka ia
menanyakan nama jurus2 itu dan diam2 mengingat-ingat gerakan Gan Ke-ik tadi. Ia
mencatat baik2 dalam hati.
Gan Ke-ik mendapat kesan bahwa
Gak Lui itu masih muda dan berhati lurus. Tak mudah untuk menerima penjelasan
mengenai hal2 yang khayal.
Maka la segera menambah
keterangan: „Agama dan Syaitan itu, sebenarnya dapat diketahui. Oleh karena
itu, beda Manusia dengan Syaitan itu hanya perbedaan antara Mati dan Hidup.
Atau lebih jelas lagi, antara Raga dengan Jiwa. Selama jiwa masih bersemayam
dalam raga, kita hidup. Tetapi, setelah jiwa meninggalkan raga, kita pun mati.
Tentang mati dan hidup, memang sudah digariskan dalam nasib."
„Kalau begitu, Roh dan Nasib
itu memang dapat dipercaya?"
„Kalau tak percaya, tak ada.
Kalau percaya, ada. Luasnya tiada. terbatas, dapat mencangkum masa dahulu dan
yang akan datang."
Gak Lui tak sempat menanya
lebih jauh karena Se-bun Giok sudah mendahului. „Benar, memang ilmu petangan
dari partai Gelandangan termasyhur dalam dunia persilatan. Untuk mencari barang
yang hilang dan orang, manjur dan tepat sekali."
Serentak tergeraklah pikiran
Gak Lui, tanyanya: „Gan pangcu, aku hendak mencari beberapa orang. Dapatkah
engkau memberitahukan?"
„Boleh...., boleh..... Tetapi
dalam nujuman itu hanya dapat memberi jejaknya saja."
„Ada jejak, cukuplah...."
Gan Ke-ik segera mengeluarkan
sebuah Cermin, katanya: „Silahkan melihat cermin ini. Setelah kuucapkan doa, tentu
akan akan muncul gambaran orang pada kaca itu. Tetapi kalau hendak mencari
orang, harus memberitahukan nama dan hari lahirnya!"
Seketika Gak Lni tertegun.
Karena apa yang dilihatnya pada cermin itu hanyalah ayah-bunda, taci angkat.
Tetapi dia tak tahu hari kelahiran mereka. Dan tentang siapa musuhnya, sama
sekali ia tak tahu namanya.
Gak Lui hanya termenung-menung
tak dapat bicara. Melihat itu Gan Ke-ik segera menegur: „Apakah Gak siau-hiap
tak mau bertanya apa?"
„Aku tak tahu hari lahir
mereka! "
Se-bun Giok tahu akan
kekecewaan Gak Lui maka buru2 ia memberi anjuran supaya pemuda itu menanyakan
saja tentang peristiwa yang akan datang.
AKHIRNYA Gak Lui menurut.
Bertanyalah ia kepada Gan Ke-ik: „Kalau kutanyakan tentang hal2 yang akan
datang, apakah juga manjur....?"
„Sudah tentu manjur juga.
Tetapi bayang2 pada cermin itu, mungkin saat itu sukar dimengerti. Tetapi kelak
tentu terbukti semua."
Gak Lui segera menanyakan
peristiwa.yang akan dialami pada masa yang akan datang.
Gan Ke-ik menyerahkan cermin
kepada Se-bun Giok, katanya: „Menanyakan nasib diri sendiri, tak boleh orang
itu melihatnya sendiri.
Karena setiap orang tentang
prasangka, mudah salah faham.
Misalnya, kalau sekarang ini
saja hendak mencari Kaisar Persilatan, juga lain caranya. Maka harap saudara
Se-bun yang melihat dan mengatakan, kita berdua yang mendengarkan."
Demikian ketiga orang itu lalu
pejamkan mata. Pikiran Gak Lui melayang pada gerombolan Topeng Besi dan si
Hidung Gerumpung serta si Maharaja. Oleh karena tak dapat menanyakan diri kedua
orang tuanya, maka ia mengharap dapat mengetahui tentang musuh besarnya. Gan
Ke-ik setengah pejamkan mata. Tangannya menekuk-nekuk jari, mulut
berkemak-kemik membaca doa. Sedang Se-bun Giok memandang penuh perhatian pada
kaca.
Beberapa saat kemudian, tiba2
Se-bun Giok berseru : „Aku melihat sesuatu !"
„Cianpwe melihat apa ?"
tanya Gak Lui.
„Seorang yang berkerudung muka
..... pedangnya menonjol ke atas, kakinya menginjak beratus-ratus tulang mayat
........ sikapnya congkak dan angkuh sekali ........ "
Diam2 Gak Lui terkejut. Ia
duga tentulah si durjana Maharaja Persilatan. Maka berserulah ia: Dia:
mempunyai hidung atau tidak ?"
„Ah, karena mukanya ditutupi
kain kerudung, mana dapat kelihatan
" sahut Se-bun Giole seraya kerutkan alis, „hai..., kelihatan
seorang lagi!"
„Seorang lagi ?"
„Sebuah gunung: belantara
........ sebuah guha, hai...., kain kerudung orang itu tiba2 melayang
jatuh."
„Bagaimana ?" teriak Gak
Lui tegang sekali.
„Dia ....... dia memang tak
punya hidung!" teriak Se-bun Giok tegang juga. Seketika menggigillah Gak
Lui, serunya : „Harap perhatikan wajahnya dengan seksama !"
„Batang hidungnya terpapas
semua hingga tinggal lubangnya saja. Wajahnya... celaka! Dia terjungkal rubuh
dan mati ........!"
„Benar, dia memang harus mati
!"-teriak GA Lui kalap.
Seketika Se-bun Giok melihat
permukaan cermin itu seperti tertutup sinar merah darah. Serentak ia membentak
Gak Lui : „Jangan berteriak....! Teriakanmu itu melenyapkan bayangan yang
berada di sampingnya!"
„Apakah sudah tak
kelihatan!" tanya Gak Lui gugup.
Se-bun Giok memandang dengan
seksama. Permukaan cermin bagai tertutup gumpalan awan. Sebentar terang,
sebentar gelap. Lewat beberapa seat barulah wajah Se-bun Giok cerah.
„Nah, sudah muncul, sudah
muncul. Ah....., masih dia saja ...."
„Siapa?...."
„O....rang berkerudung yang
menyanggul pedang tadi !"
„Oh....., dia belum
mati?"
„Ah....., bukan hanya seorang
.. dua orang.
„Ooo...., tetapi muncul
beberapa orang yang merupaian sekelompok besar. Mereka semua mengenakan
kerudung muka dan membawa pedang. Gerombolan itu mengitari sekeliling orang
berkerudung yang muncul pertama tadi, seperti sedang menari-nari
mengelilinginya ....... "
„Lalu?"
„Dari kejauhan muncul
seseorang yang mencekal sepasang pedang. Gerekannya secepat angin meniup. Dia
hanya seorang diri ..... tidak, ah.... di belakangnya menyusul banyak sekali
tokoh2 silat yang hebat......... kedua fihak segera bertempur hebat .....
pedang berkiblat deras, darah membasahi bumi .......Ah....., ada beberapa orang
yang rubu......... lagi beberapa yang rubuh ......."
Permukaan kaca itu penuh
dengan bayangan yang cepat muncul lenyap sehingga Se-bun Giok tak keburu
menerangkan. Tetapi dari kerut wajahnya, dapatlah disimpulkan bahwa Se-bun Giok
sedang menyaksikan sesuatu yang ngeri.
Gak Lui tak berani mengganggu.
Setelah melihat wajah Se-bun Giok agak tenang, barulah is bertanya: „Bagaimana
akhirnya?"
„Akhirnya sebuah lautan darah,
penuh dengan mayat yang timbul tenggelam "
„Adakah si Topeng Besi di
situ?"
„Belum diketahui .... Sekarang
tampak lima sosok mayat terdampar di tepi laut, ah ....... memang mengenakan
topeng besi !"
Itulah upahnya penghianat
!" seru Gak Lui.
„Heran ?"
„Mengapa ?"
„Beberapa berlutut menangis
dengan sedih sekali !"
„Siapakah yang menangisi
mereka?
„Rupanya tokoh2 dari Lima
partai persilatan besar !"
Gak Lui pening kepalanya dan
mulutnyapun berseru heran. Dilihatnya Se-bun Giok tengah memandang kaca itu
dengan wajah tegang. Wajahnya pucat lesi dan tiba2 mendekap cermin itu ke .dada.
Jelas din melihat sesuatu yang ngeri.
Gak Lui tak tahan lagi. Segera
ia mencekal tangan orang yang bergemetar : „Se-bun sianseng, apakah yang
sesungguhnya engkau lihat?"
„Tidak . ... tidak apa2.
„Mengapa tak berani
mengatakan?"
„Harap jangari tersendat-sendat.
Ada hal yang burukpun aku tak takut! "'
„Se-bun sianseng tak dapat
mengelak lagi. Terpaksa dengan tersekat ia menyahut: „ Kulihat dalam hutan
terdapat sebatang pohon besar, sebuah gedung mewah . . . . " diatasnya
tertulis 4 buah huruf ....."
Bukankah berbunyi „Paseban
agung Yau-san Se-bun Giok terkejut: „Hai....., mengapa engkau tahu?"
Aku hanya menduga-dugal "
„Tak mungkin! Rupanya engkau
faham akan tempat itu."
Sudahlah, jangan menanyakan
soal itu. Harap lanjutkan keterangan saja!"
Di dekat Paseban-agung Yau-san
itu terdapat sebuah puncak gunung. Di samping gunung ada sebuah guha batu
........ "
„Apa isinya?"
Seorang pemuda cakap sedang
duduk bersila, dia ......" tiba2 Se-bun Giok memandang Gak Lui beberapa
saat lalu menelan air liur .......
„Dia bagaimana?"
Dengan mengertak gigi, Se-bun
Giok menyahut dingin: „Dia tak apa2!"
Tanpa disadari, karena tegang
perasaan, Gak Lui mencengkeram, keras tangan Se-bun Giok: „Aku tak percaya,
cianpwe harus bilang!"
Melihat itu Gan-Ke-ikpun hentikan
gerakan tangannya. lapun segera mencegah: „Harap Gak siau-hiap jangan memaksa.
Apa yang tampak pada cermin itu adalah gambaran dari isi hatimu. Tetapipun
hanya secara samar2, tak dapat jelas sekali. Misalnya, pertempuran dahsyat dari
dua fihak partai. Belum tentu terjadi dalam sebuah tempat. Tetapi dalam cermin
itu diperlihatkan suatu pertumpahan darah hebat. Asal musuhmu yang utama sudah
tampak, yang lain2 tak perlu engkau pikirkan terlalu serius."
Diam2 Gak Lui menimang:
,,Maharaja, Hidung-Gerumpung dan Topeng Besi, sudah bermunculan. Tentang yang
dilihat Se-bun Giok paling akhir, mungkin tentu peristiwa malang yang akan
menimpah diriku. Tetapi pokok asal sudah terlaksana membalas dendam, aku tak
peduli nasib apa yang akan menimpah diriku! "'Dengan pemikiran itu, ia
lepaskan cengkeramanvya pada tangan Se-bun Giok dan menjawab kata2 ketua partai
Gelandangan tadi:. „Ucapan pangcu memang benar. Terima kasih!"
Sesaat kemudian Se-bun Glok
berkata: „Rasanya saat ini sudah menjelang fajar, baiklah kita segera mengantar
jenazah Ceng Suan totiang.
Gan Ke-ik menyetujui.....
Rupanya Gak Lui masih tak enak
hati atas kematian Ceng Suan totiang. Maka ia menyatakan bersedia untuk
membantu mengantaran jenazah.
Se-bun Giok mengatakan bahwa
peraturan Antar Jenazah itu amat banyak. Dia memperingatkan bahwa pemuda itu
masih perlu menuju ke gunung Pek-wan-san. Maka lebih baik membagi tugas saja.
Pendapat itu disetujui. Maka
Se-bun Giokpun segera mulai mengangkat jenazah Ceng Suan lalu ditegakkan pada
pohon.
Gan Ke-ik lalu berkata kepada
Gak Lui : „Harap engkau kosongkan pikiran dan menutup kedua mata dengan tangan.
Jika hendak melihat, silahkan dari sela2 jari saja."
Memang Gak Lui agak tak
percaya. Maka ia tak mau melewatkan kesempatan itu. Ia ingin menyaksikan apakah
orang yang sudah mati masih dapat berlari. Muka dan kepala didekap dengan kedua
tangan dan hanya diberi sebuah lubang celah jari untuk mengintai keluar.
Gan Ke-ik pun segera bersiap.
Tangan kiri bergerak-gerak, mulut berkomat-kamit mengucap doa. Sedang Se-bun
Giok sudah menerobos keluar hutap untuk menjaga jangan sampai ada orang yang
masuk ke dalam hutan situ.
Gan Ke-ik bergerak makin lama
makin ce-pat.
Ia berputar-putar.
Akibat putaran tubuh itu,
anginpun timbul keras.
Tiba2 ia berhenti dan membentak
pelahan : „Gerak.!"
Sekali tangan kanan menunjuk,
ber-hamburanlah angin deras kearah jenazanh Ceng Suan totiang dan mayat itupun
melonjak ke muka sampai tiga langkah.
„Jalan !" seru Gan Ke-ik
pula dan mayat Ceng Suan totiang itu segera berjalan keluar hutan.
Melihat itu Se-bun Giok tak
keburu mengucap selamat jalan kepada Gak Lui karena ia harus cepat2 mendahului
untuk menunjukkan jalan.
Selama mengunakkun ilmu
menjalankan mayat Gan Ke-ik tak dapat bicara dengan orang. Maka ia hanya
melambaikan tangan kepada Gak Lui lalu menerobos keluar hutan.
Setelah ketiga orang itu
lenyap, barulah Gak Lui membuka tangannya. Dia tak percaya akan segala
ketahayulan. Tetapi apa yang disaksikan tadi, memang benar2 suatu kenyataan. Ia
tak percaya akan cermin ajaib dari Gan Ke-ik tadi. Namun diam2 ia bersyukur
juga karena mengetahui hal2 mengenai musuhnya. Jika gerombolan Topeng Besi itu
terdiri dari lima orang, tentulah mereka itu tokoh2 berilmu tinggi dari kelima
partai persilatan. Yang jelas paderi Ceng Ci dari Bu-tong-pay telah menjadi
kaki tangan si Maharaya dan membunuh Ceng Suan totiang, ketua Bu-tong-pay saat
ini.
Tokoh Kong-tong-pay yang
hilang yalah Wi Cun totiang. Saudara sepergguannya yakni Wi Ti dau Wi Tun
merasa cemas.
Teringat akan bayang2 yang muncul
pada cermin ajaib tadi, diam2 Gak Lui merasa heran juga. Mengapa kelima tokoh
partai persilatan yang lenyap dan menjadi kaki tangan Maharaja itu menangisi
mayat2 yang bergelimpangan pada lautan darah akibat dari pembunuhan yang mereka
lakukan ?"
Dan orang yang menyanggul
pedang, berjalan diatas gunung bangkai manusia, tentulah si durjana Maharaja
Persilatan. Anehnya, ketika si Hidung Gerumpong mati, orang yang diduga sebagai
Maharaja itu muncul pula dalam cermin. Apakah itu bukan menyatakan bahwa cermin
ajaib itu hanya khayalan yang tak keruan dan tak dapat dipertanggungan jawabkan
kebenarannya? Atau, apakah memang ada dua orang tokoh yang berlainan orangnya?
Menurut keterangan
ayah-angkatnya, pembunuh yang pedangnya memakai tanda burung Palang, hidungnya
telah terpapas kutung. Tetapi me
keterangan Bok kiam-su, orang
yang mukanya berkerudung itu, hidungnya masih utuh, Disesuaikan dengan
bayang-bayarg pada cermin ajaib, jelas kalau antara orang yang hidungnya
gerumpung dan memiliki pedang pertanda palang, dengan orang yang mengenakan
kerudung muka dan mendatangi Bok Kiamsu itu, adalah dua orang.
Tetapi kini tanda guratan
palang pada pedang pembunuh itu sudah, diperbaiki. Dengan begitu ia telah
kehilangan sebuah jejak untuk mengejar pembunuh orang tuanya. Misteri yang
menyelubungi diri Maharaja dan si Hidung Gerumpung makin gelap baginya.
Kemudian Gak Lui teringat akan
Se-bun Giok vang tak mau mengatakan tentang Gedung keramat gunung Yau-san dan
guha batu di puncak gunung serta pemuda cakap yang duduk bersemedhi dalam-guha
batu itu.
„Aku tak pernah melihat
wajahku," pikir Gak Lui, „tetapi ayah adalah pemuda cakap pada masa itu.
Ah, mungkin wajahku mirip dengan Ayah.
Bahwa Se-bun Giok memandang
aku dan tak berani berkata apa2 adalah karena ia melihat mataku ..... mulutku
..... serupa dengan wajah pada cermin itu."
Makin merenungkan tingkah laku
Se-bun Giok pada saat melihat bayang2 wajah orang pada cermin ajaib, makin
teganglah hati Gak Lui.
„Mengapa tadi mendadak wajah
Se-bun Giok berubah pucat ? Ah....., tentulah karena pemuda cakap. yang
bersemedhi dalam guha batu itu ... atau dirinya (Gala Lui) .,. tentu akan
meneroui ajal secara menge - naskan."
„Mengapa aku harus mati secara
mengenss - han?"bertanya Gak Lui dalam hati, „ah....., tentulah karena aku
telah banyak dosa membunuh orang ...."
Gak Lui menengadah memandang
langit.
Tiba2 ia tertawa mengekeh :
„Heh..., heh..., heh...., asal dapat membalas dendam orang tuaku, aku tak
peduli akan mati secara bagaimana!"
Kematian orang tuanya, para
paman perguruan serta bibi perguruannya, serentak membangkitkan rasa dendam
yang membakar hangus sanubari Gak Lui.
Saat itu perasaan Gak Lui amat
tegang sekali.
Begitu tegang, sehingga hampir
saja ia kehilangan kesadaran pikirannya. Dan apabila sampai pada tingkat yang
memuncak -begitu, hawa amarah yang penuh den.gan'nafsu, keganasan itu akan
menyerang ke dalam uluhatinya dan dia 'paLti akan tertimpah Co-hwe-jip-mo.
Kalau tidak rusak tubuh nya, tentu mati seketika.
Gak Lui tak menyadari hal itu.
Dadanya sesak, pikiran linglung dan matapun kabur. Memandang kesekeliling, ia
seperti melihat gerumbol pohon di sekeliling itu seperti sosok tubuh dari
musuh-musuhnya yang hendak mengepung dirinya.
Serentak ia mencabut sepasang
pedangnya dan memekik keras: „Bunuh!" Tetapi makin lama suaranya makin
lemah dan akhirnya lenyap.
Tiba2 pula ia memandang pada
pedang pusaka Pelangi yang dicekal di tangan kiri. Pedang itu memancarkan sinar
yang amat bening tetapi penuh dengan hawa pembunuhan. Akhirnya ia sadar dan
pikirannya pun makin tenang. Teringat bahwa pedang itu sudah membunuh tiga
jiwa, ia merasa menyesal. Orang tentu akan menuduhnya sebagai seorang manusia
ganas yang tak kenal peri-kemanusiaan!
Memandang kearah timur, tampak
mentari mulai memancarkan sinarnya yang kekuning-kuningan emas.
Dan samar-samar dalam gumpalan
halimun pagi, ia serasa mendengar kumandang doa kaum agama Budha. Seketika
pikirannya tersadar.
„Demi membalas sakit hati
orang tuaku, mau tak mau aku harus membunuh. Tetapi aku bersumpah takkan membunuh
orang yang tak berdosa" Dari lubuk nuraninya, memancarkan hati yang penuh
welas asih. Nafsu membunuh yang bampir saja membakar hangus dirinya, mulai
reda. Gak Lui terhindar dari sebutan sebagai Durjana dunia persilatan.
„Tetapi tidak mudah untuk membedakan
mana orang baik dan mana yang jahat. Ada orang yang bersikap pura2 baik. Ada
pula yang setengah, baik setengah jahat," diam2 Gak Lui mongeluh dalam
hati
Setelah pikiran agak tenang
dan nafsu kemarahannya agak reda, Gak Lui mulai menarik napas untuk menghirup
hawa pagi yang segar.
Setelah itu ia menyarungkan
kembali kedua pedangnya. Lalu ayunkan-langkah menuju ke gunung Pek-wan-san.
Gunung Pek-wan-san atau gunung
Monyet putih disebut dengan nama itu karena bentuk puncak gunung itu hampir
menyerupai binatang monyet.
BAB 14 : RAJA IBLIS TULANG
PUTIH
LEMBAH GUNUNG Pek-wan-san
sunyi senyap. Tetapi, hutan belantara gunung itu tampak hiruk-pikuk dengan
margasatwa yang terbang berseliweran. Suatu tanda bahwa mereka tertejut karena
kedatangan manusia.
Dan memang pada jalan kecil
yang menjurus ke dalam lembah, tiba2 meluncur sebatang anak panah perak. Anak
panah pertandaan itu, melayang ke dalam hutan. Menyusul tampak beberapa sosok
bayangan memencar bersembunyi ke dalam gerombolan orang. Gerombolan orang itu
semua mengenakan jubah dan kerudung muka hitam. Persia seperti anak buah
Maharaja.
Setelah mereka bersembunyi,
dari arah jalan muncul sesosok tubuh tegak. Sambil memandang keadaan gunung,
mulut pendatang itu berseru: „Rupanya inilah gunung Pek-wan-san !"
Pendatang yang bertubuh tegap
itu bukan lain adalah Gak Lui. Dengan gembira ia mulai menuruni lembah, tangkas
dan lincah sekali langkahnya. Tak terasa ia sedang menuju kearah bariaan
pendam.
Sesaat tiba di tepi lembah,
tiba2 ia berhenti dan menjamah pedangnya: „Hmm....., mengapa di sini terdapat
bau manusia ?"
Kemudian ia memandang ke
sekeliling penjuru. Ia heran mengapa unggas dan burung2 itu berterbangan kacau
balau.
Katanya: „Burung2 itu
berterbangan kaget, tentu ada manusia di sekeliling sini ......."
Ia memandang dan memperhatikan
lagi keadaan sekeliling tempat itu. Tetapi tak melihat sesuatu yang
mencurigakan. Pada lain saat ia mengambil kesimpulan : „Ah...., kalau ada
jalanan, tentu sering digunakan orang berjalan. Kemungkinan tentu rakyat daerah
ini. Mengapa aku berauriga sendiri ........." habia berkata ia terus
lanjutkan langkah, menuju ke tengah lembah.
Sekonyong-konyong terdengar
suara bentakan orang : „Gak Lui, bechentilah !"
Gak Lui berhenti dan cepat
betpaling ke belakang. Dilihatnya dua orang berkerudung hitam tegak 5 tombak
jauhnya dengan menghunus pedang berkilau-kilauan.
„Huh....., kiranya budak2
Maharaja !" dengus Gak Lui, seraya maju menghampiri.
Diam2 Gak Lui menggunakan
hidungnya untuk menyelidiki. Ia mendapat kesimpulan bahwa yang menghadangnya
itu bukan melainkan kedua orang itu saja, tetapi masih ada lagi. Mungkin
jumlahnya cukup banyak. Ia memutuskan untuk cepat2, membereskan kedua orang itu
agar menghemat tenaga.
Saat itu ia hanya terpisah
tiga tombak dari kedua penghadangnya. Kedua orang itu berkerudung hitam itu
segera tudingkan ujung pedangnya dan membentak : „Berhenti !"
Gak Lui berhenti dan berseru
:„Mau apa cari aku ?"
„Maharaja memberi perintah,
suruh engkau......."
„Suruh aku....?" teriak
Gak Lui.
„Benar, suruh kau ikut kami
menghadapnya."
„Dia dimana ?"
,,Nanti engkau akan tahu
sendiri!"
,,Heh..., heh...,
heh...!" Gak Lui tertawa iblis. Penuh dendam kemarahan yang meluap-luap.
Tetapi kedua orang itu tak
gentar. Mereka maju tiga langkah dan membentak : „Jangan tertawa-tawa, lekas
ikut.
„Aku hendak mengerjakan sebuah
urusan !"
„Urusan apa ? "
Sebenarnya Gak Lui sudah
menetapkan pendiriannya. Tak mau mencelakai orang yang tak bersalah. Tak
membunuh yang tak berdosa.
Tetapi menghadapi kaki tangan
Maharaja, ia tak dapat mengendalikan diri lagi, bentaknya : „Akan kuwakili
dunia persilatan untuk membasmi kalian pengganggu rakyat !"
Kedua orang berkerudung itu
mundur dua langkah, serunya terkejut : „Engkau ....."
Tetapi sebelum mereka sempat
bicara lebih lanjut, Gak Lui sudah taburkan pedangnya. Ia gunakan tenaga-sakti
Algojo-dunia untuk melepaskan pedang dengan jurus Tho jiu-hui-kiam.
Terdengar, suara mendesis dan
pedangpun menancap di dada orang yang berdiri di sebelah kanan.
Kawannya tesentak kaget dan
cepat putar pedangnya untuk melindungi diri seraya berseru : „Engkau bukan
........"
Tetapi Gak Lui, lebih cepat
lagi. Secepat tangan kanan mencabut pedang di dada korbannya tadi, tangan
kiripun segera menaburkan pedang Pelangi.
Orang berkerudung hitam itu
makin terkejut. Dalam gugup, ia cepat menangkis. Tring ...., pedangnya terpapas
kutung ketika menangkis sambaran pedang Pelangi. Dan pedang Pelangi itu tetap
menyusup ke perutnya. Terdengar jeritan ngeri dan terkaparlah orang itu
mengge!etak di tanah!
Dalam sekejab mata dua jiwa
telah dilalap Gak Lui, kawan2 gerombolan yang bersembunyi di balik batu dan
dalam gerombol, terkejut bukan kepalang. Cepat mereka berhamburan loncat keluar
dan menyerang Gak Lui.
Gak Lui makin beringas.
Maharaja adalah musuh besarnya.
Anak buah Maharaja harus
dibasmi habis-habisan.
Dengan sepasang pedang ia
mengamuk. laksana banteng ketaton.
Tiba2 terdengar suara
gemerincing keras dan tahu2 pedang di tangan kanan Gak Lui telah mencelat
sampai tujuh delapan tombak tingginya.
Serempak dua sosok tubuh
melambung ke udara untuk merebut pedang itu. Yang satu adalah Gak Lui sendiri.
Ia gunakan gerak Rajawalipentang-sayap. Dan yang seorang adalah seorang
berkerudung hitam. Gerak orang itupun seringan burung walet.
Pada saat keduanya melambung
ke atas, orang berkerudung itu masih dapat memapas kedua kaki Gak Lui.
Pedang Pelangi walaupun
tajamnya bukan alang kepalang tetapi sayang agak pendek. Maka Gak Lui tak mau
menangkis melainkan terus bergeliatan melambung ke atas. Dan pada saat pedang
orang itu hampir tiba, cepat2 Gak Lui menarik kedua kakinya ke atas. Wut
....... pedang menyambar, hanya setengah dim di bawah telapak kakinya.
Gak Lui melakukan suatu
gerakan yang istimewa. Dalam melambung tadi, ia gunakan pedang Pelangi untuk menempel
pedang yang melayang ke atas tadi. Sedang tangan kanan dihantamkan ke ubun2
kepala musuh.
Orang itu terkejut dan buru2
menangkis dengan tangan kiri: Plak ...... keduanya sama2 meluncur ke bawah
lagi. Dan ketika turun ke bumi, mereka terpisah dua tombak jauhnya.
Saat itu pedang yang ditempel
dengan pedang Pelangi tadi, ikut terbawanya. Gak Lui lalu mengambilnya lagi.
Saat itu ia sudah siap lagi dengan sepasang pedangnya. Setelah itu ia hendak
maju menyerang.
Tetapi ia terkejut menyaksikan
orang berkerudung itu. Begitu tegak di tanah, orang berkerudung itu terus
merobek-robek jubah hitamnya. Kawannyapun juga meniru. Suatu hal yang tak lazim
dilakukan oleh anak buah Maharaja.
Gak Lui menatap orang itu
tajam2. Seorang lelaki yang berwajah terang dan sikapnya berwibawa. Walaupun
kerut wajahnya diliputi dendam
kemarahan, tetapi tak
mengunjuk tanda2 sebagai orang jahat.
Gak Lui hendak menegur tetapi
orang itu cepat mendahului berteriak: „ Engkau ...... bukan kaki tangan
Maharaja? "
Kalian ...... apakah juga
bukan?" sahut Gak Lui tak kurang terkejutnya
„Aku adalah ketua perguruan
Kiu-hoan-bun!"
„Kiu-hoan-bun? Kalau begitu
namamu ........ Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci-jin!"
„Mengapa engkau menyaru
sebagai gerombolan jahat?"
„Kaki tangan Maharaja itu sukar
diketahui jaknya maka kami terpaksa menyamar untuk mencari mereka! "
„Mengapa menyerang aku? "
„Hanya suruh engkau ikut
kami!"
„Dengan tujuan ........."
„Menyelidiki dirimu termasuk
aliran Hitam atau Putih "
„Setelah terjadi pertumpahan
darah ini, seharusnya engkau tentu sudah jelas! Tetapi......."
„Bagaimana? "
„Dengan cara apa aku mendapat
keyakinaa bahwa kalian ini dari Partai Kiu-hoan-bun dan bukannya gerombolan
yang memalsu nama perguruan itu?" seru Gak Lui.
Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci-jin
tertawa mengekeh. Serunya dengan nada rawan: „Sudah tentu ada bukti yang
jelas!"
„Apa ....?"
„Orang ini engkau tentu
kenal!" tiba2 ketua perguruan Kim-hoan-bun itu melesat ke samping setombak
jauhnya dan cret...,. cret..., ia menyabet hancur kerudung dan jubah sesosok
mayat. Yalah salah seorang penghadang yang dibunuh Gak Lui tadi.
„Lihatlah sendiri!"
serunya.
Gak Lui maju menghampiri.
Ketika memandangi mayat itu berserulah ia dengan getar: „Benar, sudah dua kali
aku melihatnya!"
„Dia adalah muridku yang
bernama Ji Kok-ceng. Pertama, pedangnya engkau papas kutung tanpa sebab. Kedua
kali, ketika di ruang penyimpan mayat Leng-koan-tian, engkau hantam dia sampai
terluka .......!"
„Ah...., harap Ji ciangbun
jangan sa!ah faham.
Aku mempvnyai dendam sedalam
lautan kepada Maharaja.
Perbuatanku memapas pedang dan
peristiwa tadi, adalah serupa tujuanku. Sayang muridmu bersitegang leher dan
tetap salah faham"
Rajawali tanpa bayangan dapat
menyelami penjelasan Gak Lui. Namun dengan mengertak gigi ia berkata: „Walaupun
begitu, tetapi tindakanmu itu memang kelewat ganas !"
Sambil memandang korban yang
menggeletak di tanah itu, Gak Lui menjawab: „Memang harus disesalkan ketidak
jelasnya antara kawan dan lawan...... aku sungguh menyesal sekali atas periatiwa
itu."
„Korban begini banyak, apakah
cukup dengan pernyataan menyesal saja ?"
Melibat orang makin keras
bicaranya, Gak Lui segera bertanya : „Ji ciangbun, andaikata aku membawa
sejumlah besar anakbuah dan menyaru sebagai gerombolan Maharaja lalu menyuruhmu
ikut. Apakah Engkau menurut atau melawan ....?"
„ini.... "
„Engkau dan aku sama2
sehaluan. Sama2 hendak membasmi kawanan durjana. Seharusnya kita bersatu padu
melaksanakan tujuan itu. Kalau tidak, bukankah kita akan ditertawai kawanan
penjahat itu ....... !" tukas Gak Lui.
Wajah Rajawali tanpa-bayangan
berobah-robah tak menentu. Terbit pertentangan dalam batinnya Akhirnya dengan
menahan segala rasa sakit hatinya, ia berkata: „ Demi menghadapi musuh bersama,
untuk sementara baiklah kita jangan bentrok sendiri
Tetapi ingat, kami takkan
membiarkan anakmurid perguruan Kiu-hoan-bun mati secara begitu saja !"
„Maksud ciangbun .......
"
Setelah berhasil membasmi
gerombolan Maharaja, kita nanti selesaikan lagi urusan ini. Dengan mengandalkan
kepandaian kita masing2, kita nanti tentukan siapa yang kalah dan menang
!"
Terhadap tantangan yang adil,
Gak Lui selalu menerima. Terpaksa ia anggukkan kepala :„ Jika Ji ciangbun tetap
menhendaki penyelesaian begitu, akupun hanya menurut saja. Namun atas kematian
murid Kiu-hoan bun, dengan ini sekali lagi aku menyatakan rasa, sesal yang tak
terhingga!"
Setelah terjadi kesepakatan
damai itu, keduanyapun mundur dan menyarungkan senjatanya.
Tiba2 dari atas pohon sejauh
10-an tombak, terdengar suara tertawa seram. Nadanya mirip burung hantu
mengukuk di tengah malam. Sekalian orang tersentak kaget.
Rajawali-tanpa-bayangan Ih
Ci-jin memandang ke arah suara tertawa itu. Bahkan salah seorang marid
Kiu-hoan-bun sudah cepat2 ayunkan tubuh melayang ke arah pohon itu.
Tetapi baru tubuh murid
Kiu-hoan-bun itu melambung di tengah udara, tiba2 dari arah pohon yang lebat
daunnya itu melayang selembar daun. Daun itu menyambar murid Kiu-hoan-bun dan
memaksanya jatuh ke tanah lagi.
Ilmu melontar daun itu, benar2
mengejutkan sekali. Pelepasnya tentu seorang ahli tenaga-dalam yang sakti.
Tring...,
Rajawali-tanpa-bayangan mencabut pedang terus hendak enjot tubunya menyerang ke
atas pohon.
„Ih ciangbun, jangan
bergerak....!" tiba2 orang diatas pahon itu berseru perlahan namun amat
kuat nadanya, „muridmu tidak terluka. Kalau tak percaya, dia tentu segera
bangun."
Rajawali-tanpa-bayangan
tertegun. Dan ah...., benar juga, muridnya yang terkena timpukan daun tadi
segera loncat bangun tak kurang suatu apa.
Siapa engkau !" seru
ketua Kiu-hoan-bun.
„Jangan hiraukan aku ini
siapa. Pokoknya, aku seorang yang bermaksud hendak membantumu!" sahut
orang aneh itu.
„Bermaksud baik
membantuku?" ulang Ih Ci-jin ketua Kiu-hoan-bun.
„ Aku sengaja datang kemari
karena hendak menelanjangi kedok Gak Lui !"
„Oh....."
Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci-jin serentak berpaling memandang Gak Lui.
„Dia memang kaki tangan si
Maharaja! Harap Ih ciangbun jangan mudah melepaskannya !" seru orang di
atas pohon itu pula.
Rajawali-tanpa- bayangan
menegas : „Saudara sendiri main sembunyi tak berani unjuk muka.
„Bagaimana aku dapat
mempercayaimu...?"
Dengan tenang, orang itu
menyahut: „Setiap kaki tangan Maharaja, tentu membawa sehelai lencana kecil
dari emas. Tak percaya, silahkan ciangbun menggeledah badannya!"
Gak Lui terkejut, pikirnya:
„Aku memang masih membawa lencana emas milik Setan Keluyuran, tetapi mengapa
dia bisa tahu ...?"
Ia tak dapat melanjutkan
penimangannya karena saat itu dilihatnya Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci jin
berputar tubuh dan memandangnya lekat2. Gak Lui terpaksa memberi penjelasan,
„lh ciangbun, memang lencana itu ada padaku. Tetapi kudapatnya dari murid
Pek-kut Mo-kun ......"
„Mengapa tadi tak
bilang?"
„Kuanggap hal itu tak perlu
....."
„HEH..., HEH...., HEH
....." terdengar orang misterius yang bersembunyi di atas pohon itu
tertawa mengejek dan menukas pembicaraan Gak Lui. „Gak Lui, engkau memang anak
yang pandai. Tetapi sok pintar. Jelas engkau sudah mengetahui ketua partai
Kiu-hoan-bun tetapi engkau, toh membunuh anak muridnya. Masakan di dunia
terdapat seorang ketua perguruan silat yang mau menerima begitu saja murid2nya
dibunuh orang ......"
Mendengar itu, sepasang mata
Rajawali-tanpa-bayangan Ih Ci-jin merah membara. Ia berpaling ke arah pohon.
„Oh...., ciangbun jangan
deliki mata kepada ku! sama sekali aku tak bermaksud mengejek perguruan
Kiu-hoan-bun. Tetapi jelas dia adalah kaki tangan Maharaja yang tak dapat
diberi ampun. Kalau engkau takut, baiklah diatur secara begini saja.
„Secara bagaimana!"
teriak ketua Kiu-hoan-bun, dengan murka.
„Silahkan engkau" membawa
pergi anak muridmu. Nanti aku sendiri yang membereskan budak itu!"
„Ngacol" bentak Ih
Ci-jin.
„Kalau ciangbun memang berani
turun tangan sendiri, aku bersedia membantu agar engkau jangan sampai menjadi
mayat!"
„Fui!" ketua Kiu-hoan-bun
itu seperti meledak dadanya. Dengan kalap ia segera menyerang Gak Lui.
Gak Lui loncat melayang
melalui atas kepala ketua Kiu-hoan-bun, menuju kepohon tempat bersembunyi-nya
orang itu.
„Huh, engkau hendak
melenyapkan mulut agar jejakmu tak di ketahui orang? Hm....., aku bukan
sebangsa ketua Kiu-hoan-bun yang mudah engkau hina......"
Kata2 orang itu benar2 seperti
minyak yang menyiram kemarahan ketua Kiu-hoan-bun. Akibatnya, ketika Gak Lui
masih kurang dua tombak dari pohon, tiba2 ia rasakan punggungnya dilanda hawa
dingin dari sebuah pedang tajam.
Ternyata ketua Kiu-hoan-bun
sudah tak tahan lagi mendengar kata2 ejekan orang diatas pohon itu. Serentak ia
enjot tubuh melayang keudara dan menyerang punggung Gak Lui.
Gak Lui diam2 mengeluh. Ia
tahu bahwa karena memiliki ilmu meringankan tubuh yang sakti, maka ketua
Kiu-hoan-bun itu mendapat julukan Rajawali-tanpa-bayangan.
Namun Gak Lui tak mau unjuk
kelemahan. Berserulah ia dengan garang: „Bagus ....." sambil menekuk kedua
lututnya untuk menghindari serangan, pedangnyapun ditabaskan kebelakang.
Wut..., wut..... tabasan itu tak berhasil menghalau pedang lawan. Dalam gugup
ia bergeliatan melambung lebih tinggi lagi. Dengan gerakan itu, dapatlah ia
menghindari pedang ketua Kiu hoan-bun.
Tetapi ketua Kiu-hoan-bun itu
tetap membayanginya. Tiga buah serangan sekaligus dilancarkan kearah perut dan
punggung Gak Lui.
Gak Lui makin gugup. Keringat
dingin membasahi jidatnya. Ia cepat gunakan ilmu sakti Rajawali-pentang-sayap.
Seklipun ilmu itu amat dahsyat tetapi hanya mampu menangkis sekali dua kali
serangan lawan.
Dalam detik2 terancam maut,
tiba2 Gak Lui teringat akan suatu jurus permainan yang istimewa.
Tring...., tring....,
tring...... Bukan hanya dapat menghalau ketiga serangan kilat dari ketua
Kiu-hoan-bun, bahkan masih dapat balas menyerang juga.
Ketua Kiu-hoan-bun benar2
terkejut dan terpaksa melayang turun kebumi.
Dalam pada itu Gak Lui pun tak
dapat bertahan lebih lama lagi.
Ia melayang turun tak jauh
dari tempat ketua Kiu-hoan-bun.
Serunya: „Harap berhenti dulu.
Jangan sampai terkena tipu muslihat orang ......"
„Kentut! Gantilah jiwa
muridku!", dengan geram ketua Kiu-hoan-bun menyerang lagi.
Karena putus-asa memberi
penjelasan, terpaksa Gak Lui gunakan jurus Burung hong-pentang-sayap untuk
menangkis. Sambil berlincahan menghindar, diam2 Gak Lui menimang: „Ketua
Kiu-hoan-bun ini memang tak bersalah. Aku tak boleh melukainya. Memang yang
harus diberantas adalah orang yang bersembunyi diatas pohon itu. Aku harus
berdaya untuk membuat perhitungan dengan manusia itu ....."
„Budak Gak, jika engkau tak
mau menyerah aku terpaksa hendak mendatangkan bala bantuan." seruketua
Kiu-hoan-bun.
„Ooo...., engkau mempunyai
bala bantuan?"
„Partai Ceng-sia-pay memang
sudah berserekat dengan partaiku.
Engkau tentu tahu betapa
kesaktian imam Thian Lok itu!"
„Dia juga berada disini?"
„Dekat sekali!"
„Celaka!" diam2 Gak Lui
mengeluh. Seorang Ih Ci-jin saja sudah repot, apalagi masih ditambah deugan
ketua Geng-sia-pay. Apabila sampai tambah musuh dengan Ceng-sia-pay, jahanam
diatas pohon itu tentu akan menggunakan siasat untuk mencelakai diriku !"
Akhirnya Gak Lui mengambil
keputusan. Ia harus cepat2 menyelesaikan pertempuran sebelum keadaan bertambah
berbahaya.
Serangan Ih Cin-jin tadi jelas
menggunakan ilmu pedang ajaran paderi sakti Thian Liong. Tetapi Ih Cin-jin baru
menggunakan dua jurus. Dan ilmu pedang dari Thian Liong itu terdiri dari empat
jurus.
Tanpa banyak pikir lagi, Gak
Lui segera gunakan sisa kedua jurus ilmu ajaran Than Liong dengan dilambari
ilmu tenaga dalam. Sekali mengeluarkan jurus permainan itu, Ih Cin-jin terpaksa
barus mundur tiga langkah.
Menggunakan kesempatan pada
saat gerakan pedang ketua Kiu-hoan-bun itu agak lambat, Gak Lui cepat menyerang
dengan jurus Menjolok-bintang-memetik-bulan. Tring....., tiba2 pedang ketua
Kiu-hoan-bun itu terlepas dari tangan dan, secepat itu juga Gak Lui sudah
lekatkan ujung pedangnya ketenggorokan ketua Kiu-hoan-bun.
Gerakan itu berlangsung,
teramat cepatnya sehingga anak murid Kiu-hoan-bun tak sempat ma-nolong ketuanya
-lagi,
„Karena sudah menand, lekaslah
bunuh $to .... 1" seru* ketua Kiu-hoan-bun.
„Ih ciangbun," seru Gak
Lui dengan dingin, „aku takkan mencelakai kaum Putih. Hanya kuminta engkau suka
menerima peringatanku, yang sungguh-sungguh !"
„Hmm...... "
„Peristiwa hari ini, kuharap
habis sampai dicini saja Tak perlu menyeret partai Ceng-sia-pay kemari. Kelak
apabila kita langsungkan pertempuran yang menentukan, bolehlah engkau panggil
mereka!"
„Benar ?"
,,Tentu!" sahut Gak-Lui
tegas, „jangankan hanya Ceng-sia-pay, tambah yang lain2 lagi pun
kuterima."
Walaupun malu dan marah tetapi
ketua Kiu-hoan-bun itu terpaksa menerima.
Gak Lui pun menyarungkan
pedang dan memandang kearah pohon.
Aneh..., mengapa tak tampak
suatu gerakan apa2. Ia duga orang itu tentu sudah pergi karena rencananya
mengadu domba gagal.
Karena tak ingin bentrok
dengan orang Ceng-sia-pay, Gak Lui pun segera lanjutkan perjalanan.
Sepeminum teh lamanya, ia
mencapai puncak gunung yang kedua.
Berpaling ke belakang,
rombongan orang Kiu-hoan-bun tadi sudah tidak kelihatan.
„Untunglah aku mengerti ilmu
pedang Tiga jurus ajaran Thian Liong locianpwe sehingga tak sampai menemui
kesukaran. Rasanya petuah mendiang bibi-guru supaya aku mempelajari berbagai
ilmu pedang partai persilatan lalu berusaha menciptakan sebuah ilmu pedang
sendiri, memang benar sekali . . . . " pikirnya.
Memandang ke muka, jarak
gunung Pek-wan-san hanya tinggal separo. Setelah melintasi sebuah lembah, tentu
sudah tiba. Maka iapun segera percepat langkah untuk menuruni lamping gunung.
Tetapi alangkah terkejutnya
memandang ke bawah, tampak belasan sosok tubuh sedang berlincahan dalam sinar
pedang. Ah, kiranya di lembah itu sedang berlangsung pertempuran.
Seorang imam tua berambut
putih sedang bertempbr seru, dengan seorang berjubak kelabu. ilmu pedang si
imam tua dahsyat dan ganas. Masih ditambah pula dengan gerakan tangan kirinya
yang ikut menyerang dengan pukulan yang bertubi-tubi. Walaupun terpisah jauh,
tetapi Gak Lui dapat merasakan betapa hebat serangan imam tua itu.
Tetapi ternyata orang aneh
berjubah kelabu itupun hebat sekali. Sepintas pandang ia seperti tak memakai
senjata dan hanya menggunakan sepasang tangan untuk menghadapi serangan pedang
si iman tua.
Dengan berlincahan, jubah
kelabu itu taburkan jubahnya. Taburan itu menimbulkan deru angin yang
membangkitkan debu tebal.
„Imam tua yang menggunakan
pedang itu apakah bukan ketua Ceng-sia-pay, tetapi siapakah orang berjubah
kelabu itu?" Gak Lui bertanya seorang diri.
Kemungkinan Gak Lui itu
rupanya diketahui oleh siorang berjubah kelabu. Dia kendorkan gerakannya dan
mengucap beberapa patah kata ke - pada si imam tua. Imam tua itu serentak
berpaling memandang ke arah- Gak Lui
„Ha..., apakah artinya
itu....." tiba2 orang ber jubah kelabu itu berseru lalu loncat menghampiri
Gak Lui seraya berseru nyaring: „Gak Lui, mengapa engkau baru datang sekarang?
Si imam tua Thian Lok ini kuserahkan padamulah!"
Kedua orang itu bergerak cepat
sekali. Dalam sekejab saja mereka sudah tinggal berpuluh tombak dari Gak Lui.
Di luar dugaan, habis berseru
tiba2 orang berjubah kelabu itu terus loncat menyusup masuk ke dalam hutan.
Dengan demikian, si imam tua terlanjur berhadapan dengan Gak Lui.
Imam itu tanpa,banyak bicara
lagi terus me-nyerang Gak Lui. Tetapi Gak Lui tak mau melayani. Cepat ia loncat
ke udara dan melayang ke dalam hutan, mengejar orang berjubah kelabu tadi.
Imam tua Thian Lok totiang
heran, pikirnya: „Jika mereka berdua bersatu mengeroyok aku, tentu mereka akan
menang. Tetapi mengapa mereka malah melarikan diri ......? "
Karena tak tahu siasat orang,
imam itupun tak mau mengejar.
Ia memutuskan mencari ketua
Kiu-hoan-bun untuk berunding.
Mengapa Gak Lui mengejar arang
berjubah kelabu itu?.
Karena setelah mendengar suaranya,
tahulah Gak Lui, bahwa orang itu bukan lain adalah orang yang bersembunyi di
atas pohon dan mengadu dombanya dengan ketua Kiu-hoan-bun tadi.
Dengan mengandalkan penciuman
hidungnya yang tajam, Gak Lui lanjutkan pengejaran.
Saat itu ia tiba di sebuah
gerombol pohon yang menjulang tinggi, di bawah kaki gunung Pek-wan-san.
Gak Lui menyusup ke dalam
hutan kecil itu dan dapatlah orang baju kelabu itu tegak berdiri di sebelah
muka. la terkesiap melihat perwujutan orang itu. Sepasang pipinya kempot tak
berdaging. Wajahnya menyeramkan. Tubuhnya tinggi kurus. Kedua lengannya yang
panjang, menjulai sampai ke bawah lutut."
Begitu melihat Gak Lui, orang
itu segera bersiap.
Ia tertawa iblis: „ Heh...,
heh..., he...., kiranya boleh juga engkau ini.
Dapat melintasi dua lapis
tokoh Kiu-hoan-bun dan Ceng-sia-pay ...."
„Pek-kut Mo-kun jangan mimpi,
siasatmu yang licik itu mampu merintangi aku!" bentak Gak Lui.
„0oo...!," orang itu
mundur setengah langkah, „mengapa engkau tahu diriku ?"
„Bukan hanya kenal tetapi pun
tahu bahwa engkau adalah kaki tangan si Maharaja!"
„Selain itu apalagi, yang
engkau ketahui ?"
„Tipu muslihatmu yang hendak
mencelakai diriku. Muridniu si Setan Keluyuran telah membunuh sepasang Jago
Pedang Samudera dan Pedang Gelombang. Kemudian engkau memikat murid2 partai
persilatan untuk menjepit ruang gerakku. Dan engkau sendiri lalu membunuh Bok
Kiam-su, melukai kawanku lalu mengadu domba Kiu-hoan-bun dan Ceng-sia-pay
dengan aku. Benar engkau seorang bajingan tengik ........"
„Pek-kut Mo-kun tertawa iblis:
„Heh..., heh..., heh..., belum aku membuat perhitungan padamu tentang muridku
yang engkau bunuh itu, engkau sudah mendahului menagih hutang paddku !"
„Jangan ngaco belo! Lekas
cabut senjatamu, aku segera hendak membereskan engkau !" bentak Gak Lui.
„Aku sih tak bermaksud hendak
berkelahi," sahut Pek-kut Mo-kun seenaknya.
„Apakah engkau, hendak bunuh
diri sendiri?"
„Jangan lancang mulut! Kalau
hendak membunuhmu, adalah semudah orang membalikkan telapak tangan. Tetapi aku
meadapat perintah supaya menangkapmu hidup2!"
„Siapa yang memerintahkan
engkau?"
„Maharaja! "
„Dia suruh engkau mencari
aku?"
„Ya!"
Gak Lui terkesiap, pikirnya:
„Menilik gelagat memang ucapannya itu benar. Ditilik dengan akalnya untuk
mengadu domba Kiu-hoan-bun tetapi tak mau turun tangan sendiri, kemudian ia
sengaja merintangi Thian Lok totiang agar bentrok dengan aku, memang rupanya
dia hendak menghabiskan tenagaku, baru diringkus!"
„Justeru aku memang hendak
mencarinya. Katakanlah dulu di mana ia berada?" serunya.
Lebih dulu engkau menanyakan
tempatnya, setelah itu baru engkau membunuh aku. Tetapi ho, tak semudah itulah!
" ejek Thian Lok totiang.
Lalu bagaimana
kemauanmu?"
Pek-kut Mo-kun keliarkan mata
memandang -keempat penjuru lalu berkata: „Engkau harus menjawab beberapa
pertanyaanku dulu!"
„Katakanlah!"
„Pada waktu kubunuh Bok
Kiam-su. hanya si wanita Bidadari Tong-ting yang tahu. Karena engkau tahu juga,
jelas engkau tentu mempunyai hubungan dengan Kaisar dan Empat permaisuri: Benar
atau tidak?"
„Aku tak mempunyai hubungan
apa2 dengan mereka berlima," sahut Gak Lui, „tetapi mengapa engkau
membunuh Bok Kiam-su? Apakah juga atas perintah Maharaja?"
„Tukang bikin pedang itu tak
mau mendengar kata-kataku. Terpaksa kubunuh. Orang se macam begitu, masakan Maharaja
sudi mengurus!"
Mendengar itu Gak Lui agak
kecewa. Karena kalau pembunuhan Bok Kiam-su itu dilakukan atas perintah
Maharaja, jelas-sudah, bahwa Bok Kiam-su itu memang orang yang dahulu pernah
membikin betul pedang Maharaja.
„Engkau mengatakan tak punya
hubungan apa2 dengan Kaisar dan Empat Permaisuri. Tetapi jurus permainan
pedangmu melambung keudara dan menyerang itu tadi, mirip dengan itmu ajaran
Kaisar Persilatan yang bernama jurus Naga-sakti-mengibas ekor. Cobalah engkau
terangkan?"
Tetapi Gak Lui tak mau
menyebut sumber dari ilmu pedang itu. Maka ia hanya tertawa: „Menurta
anggapanmu, sampai dimanakah tingkat ilmu pedang yang ku gunakan tadi?"
„Hm ....., baru mencapai empat
lima bagian saja !"
„Kenapa engkau memastikan ilmu
pedang itu dari ajaran Kaisar Persilatan? "
„Hai.., apakah bukan dia yang
mengajarkan?" Pek-kut Mo-kun terbeliak, „ku!ihat semua jurus permainan
pedangmu aneh. Apakah memang dari sumber ajaran yang istimewa"
Gak Lui tertawa makin keras:
„Pintar juga engkau, dapat menduga"
„Kalau begitu ... apakah
namanya ilmu pedang itu?"
„Pedang Halilntar"
„PEDANG .......HALILINTAR
....... ?" Pek-kut Mo-kun menyurut mundur tiga langkah.
„Ya...., Thian-lui-koay-kiam
atau Pedang Halilintar aneh. Ilmu pedang yang khusus untuk melenyapkan kaum
durjana dan siluman!"
Seketika berobahlah wajah
Pek-kut Mo-kun: „ Ilmu pedang itu bukan olah2 dahsyatnya Kecuali ilmu sakti
Liok-to-sin-thong dari kaum agama, tak mungkin ada yang dapat memecahkan ilmu
pedang itu ...... Dan ternyata engkau dapat mempelajari.. Ah...., makanya
engkau dinamakan Gak- Lui si halilintar ........"
Rupanya Gak Lui juga
terpengaruh oleh kata2 orang itu, diam2 ia terkejut sendiri: „Memang aneh
benar. Mengapa di-dunia, persilatan terdapat ilmu pedang yang bernama begitu.
Kalau menurut omongan iblis tua ini, nama itu mengandung sesuatu rahasia
......... apakah nama itu mempunyai sangkut paut dengan perguruan Bu-san?
Sehingga ayah lalu menggunakan nama jurus itu untuk namaku?"
Jika benar hal itu merupakan
rahasia dari perguruan Bu-san, tentu sedikit sekali orang yang tahu. Ayahnya
tak meninggalkan pesan apa2.
Taruh kata ia tahu, pun sukar
untuk menyelidiki rahasia itu.
Ayah-angkatnya, Pedang Aneh,
paman gurunya Pedang Iblis dan bibi gurunya Pedang Bidadari, juga tak pernah
membicarakan soul itu. Kini mereka sudah meninggal. Tak dapat ia bertanya lagi
........
Setelah termenung-menung
beberapa saat, Gak Lui melangkah maju dan menegur Pek-kut Mo kun : „Dari mana
engkau mendengar hal itu, lekas bilang!"
„Maha ........" baru
Pek-kut Mo-kun berkata sepatah kata, tiba2 ia teringat kalau kelepasan omong.
Maka cepat2 ia berhenti.
„Ho..., kiranya si Maharaja
yang bilang. Selain itu masih ada apa lagi?
Suruh, aku menangkapmu
hidup-hidup, untuk dibawa menghadap kepadanya !"
„Hm..., engkau yakin mampu
melakukan!"
Pek-kut Mo-kun tenangkan diri
lalu menyahut sinis : „Budak she Gak, jika engkau anggap aku takut kepadamu,
engkau salah. Pula kalau engkau membangkang akan kubawa menghadap . Maharaja,
engkaupun salah hitung!"
Diam2 Gak Lui menimang: „Kalau
kubunuhnya, tentu aku kehilangan petunjuk untuk mancari jejak si Mabaraja.
Baiklah kubiarkan dia hidup.
Kelak apabila sudah dapat
menemukan Maharaja, masih ada waktu kubunuhnya lagi !"
Setelah menetapkan rencana,
berserulah Gak Lui : „Baik bawalah aku!"
Tetapi Pek-kut Mo-kun tertawa
seram. Ia melangkah maju: „Membawamu dengan cara begini, kurang leluasa
........."
Pek-kut Mo-kun maju beberapa
langkah, ulurkan tangannya yang panjang menuding Gak Lui: „Serahkan dulu
pedangmu itu kepadaku"
„Kentut......." belum Gak
Lui selesai memaki dengan gerak secepat kilat ia mencengkeram kedua bahu Gak
Lui.
Gak Lui terkejut.
la tak menyangka sama sekali
akan diserang begitu tiba2.
Tak mungkin ia menghindar
lagi.
Satu2nya jalan ia harus berlaku
tenang dan endapkan bahunya kebawah.
Pek-Kut Mo-kun sudah mengekeh
girang karena melihat pemuda itu tak dapat menghindar lagi. Ia salurkan tenaga
dalam kearah jari2 yang hendak dicengkeramkan itu. Tetapi betapa kejutnya
ketika Gak Lui mengendap kebawah dan tiba2 babatkan pedang kelengannya.
Cret..., cret..., cret...,
cret.... kedua lengan jubah Pek-kut Mo-kun berhamburan sepeirti gumpalan salju
turun dari langit.
Seketika tampaklah sepasang
lengan yang aseli dari durjana itu.
Gak Lui terkejut juga.
Dengan jurus
Membelah-emas-memotong-kumala yang lihay, ternyata ia masih belum mampu
membabat kutung lengan orang.
Tetapi ketika mengawasi lawan,
barulah ia mengetahui sebabnya.
Ternyata Pek-kut Mo-kun
mencekal sepasang senjata aneh....., yaitu sepasang tangan palsu terbuat dari
logam.
Tangan palsu itu sebesar
mangkuk dan jari-jarinya merentang terbuka mirip cakar ayam.
Kerasnya bukan kepalang,
sehingga pedang atau senjata yang bagaima:na tajamnya pun tak mampu memapasnya.
Tetapi sekalipun tak sampai
terluka, Pek-kut Mo-kun marah juga.
Serangannya gagal, lengannya
hampir kutung.
Serentak ia menyerang hebat
dengan sepasang tangan palsu itu.
Gak Lui juga marah sekali.
Cepat ia cabut pedang Pelangi
dan tangan kiri mencekal pedangnya sendiri.
Yang satu, menyerang dengan
jurus Burung-cenderwasih-pentang-sayap. Sedang pedang di tangan kiri bergerak
dalam jurus Salju-berhamburan-mencabut-nyawa.
Tetapi Pek-kut Mo-kun memang
bukan tokoh sembarangan.
Tangan besi yang disebut
Cakar-pemetik-hati, juga tak kalah hebatnya.
Dan yang lebih mengerikan.
Taburan Cakar-pemetik-hati itu
menghamburkan hawa yang amat busuk sekali sehingga orang hampir muntah.
Cepat sekali pertempuran itu
berlangsung sampai 100 jurus.
Pek-kut Mo-kun mulai gelisah.
Kepalanya bercucuran keringat
dingin.
la telah mendapat perintah
untuk menangkap hidup Gak Lui. Tetapi ternyata ilmu pedang pemuda itu bukan
olah2 hebatnya.
Begitu pula ia memiliki ilmu
yang aneh.
Yalah tenaga-dalam yang dapat
meminjam tenaga-lawan untuk mengembalikan lagi pada lawan.
Dapat pula tenaga-dalam itu
digunakan-untuk menyedot dan mendorong.
Dan yang lebih mencemaskan
hati Pek-kut Mo-kun adalah, ia duga kemungkinan pemuda itu masih belum
mengeluarkan ilmu pedang Halilintar yang luar biasa hebatnya. Sekali pemuda
lawannya itu menggunakan ilmu pedang itu, tentulah ia akan menderita kekalahan.
Dengan mengandalkan ketajaman
pedang pusaka Pelangi, dapatlah Gak Lui memapas kutung tangan palsu
Cakar-pemetik-hati lawan. Tetapi untuk beberapa waktu, ia tetap belum mampu
mengalahkan. Dan memang ia, mempunyai rencana untuk menangkapnya hidup agar
dapat dikorek keterangannya.
Pemikiran itupun dimiliki oleh
Pek-kut Mo-kun juga.
lapun ingin menangkap Gak Lui
hidup-hidup agar tak melanggar perintah Maharaja.
Sesaat kemudian tampak
sepasang mata Pekkut Mo-kun menyala.
Jubahnyapun lalu menggelembung
besar.
Rupanya ia tengah mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya.
„Hm...., dia mau mengeluarkan
acara baru apa lagi ...." baru Gak Lui memikir begitu, tiba2 Pek-kut
Mo-kun taburkan sepasang cakar besi kepadanya.
Melihat lawan berlaku kalap,
lemparkan sepasang senjata dari jarak dua tombak, Gak Lui hendak menangkis
dengan pedangnya. Tetapi ketika melihat sepasang cakar itu memancarkan AL nar
aneh, diam2 ia menimang: „Ah..., cakar itu tentu mengandung gerakan yang tak
terduga-duga"
Maka ketika cakar itu hampir
tiba, iapun cepat menggembor dan gunakan ilmu menimpuk pedang. Kedua pedangnya
ditaburkan untuk menyongsong.
Tring..., tring..... terdengar
ledakan keras dari dua pasang senjata yang saling berbentur.
Pedang milik Gak Lui sendiri,
terlempar ke tanah dan kutung menjadi dua. Tetapi pedang pusaka Pelangi
berhasil menghancurkan sebuah cakar.
Begitu terpapas kutung, jari2
cakar itu segera berhamburan di udara seluas tiga tombak.
Melihat itu Gak Lui cepat
enjot tubuh melambung ke udara.
Tetapi ternyata ia terlambat
sedikit.
Dan batang jari cakar telah
menancap dikedok kulit yang menutupi mukanya Dengan gugup Gak Lui segera
lepaskan dua buah pukulan ke samping. Dengan pukulan itu ia beruntung dapat
menghalau taburan jari cakar yang beracun.
Setelah itu sambil mencabut
kedua batang jari cakar yang menancap di kedok mukanya, ia loncat ke samping.
Tetapi karena kaget terkena
taburan jari cakar itu, gerakan Gak Lui agak terlalu lambat. Dan memang Pek-kut
Mo-kun sudah siap.
Secepat taburkan cakar besi,
ia terus menyusali dengan sebuah hantaman.
Plak..... bahu Gak Lui yang
sebelah kiri kena termakan.
Seketika pemuda itu rasakan
hawa murni dalam tubuhnya bergolak keras dan huak .... ia muntah darah.
Pada saat melayang ke bumi, ia
harus terhuyung sampai dua tombak.
Tetapi dalam keadaan
sempoyongan itu, ia masih dapat hantamkan tangan kanannya.
Bum....... terdengar bunyi
macam tambur dipukul dan pakulan itu tepat mengenai ketiak Pek-kutMo-kun.
Durjana itu berkuik-kuik
seperti babi di-sembelih.
Dadanya berlumuran darah dan
jatuhlah ia terduduk di tanah.
Untung tak jatuh di atas
sebuah cakar besi yang menggeletak di tanah.
Pek-kut Mo-kun benar2
gelagapan sekali.
Sebelum Gak Lui sempat berdiri
tegak dan menghantam lagi, cepat ia menyambar senjata cakar besi dan dengan
menahan rasa kesakitan, ia nekad menyerbu maju.
Tetapi baru maju selangkah
tiba ia melibat tiga tombak di belakang Gak Lui, muncul seorang gadis cantik.
Gadis itu mengenakan pakaian warna merah segar dan tengah memandangnya dengan
marah.
Pek-kut Mo-kun terkesiap
kaget.
Bahwa gadis cantik itu dapat
muncul dengan tiba2 tanpa diketahui, dan didengar gerakannya, tergetarlah hati
durjana itu.
„Siapa engkaau!" bentak
Pek-kut Mo-kun.
Dengan pelahan berserulah
gadis cantik. itu menegurnya: „Apakah engkau tak pernah mendengar Kaisar dan
Empat Permaisuri ?"
„Hai......." mendengar
itu menjeritlah Pek-kut Mo-kun terus loncat melarikan diri masuk kedalam
gerombolan pohon.
Karena darahnya yang bergolak
itu masih belum tenang, Gak Lui terpaksa melakukan pernapasan beberapa saat.
Setelah dapat menenangkan hawa
murninya, barulah ia memungut pedang pusaka Pelangi lalu berputar tubuh
menghadapi gadis yang berdiri di belakang.
la sudah mendengar bahwa gadis
itu, menyebut dirinya sebagai salah satu dari Empat Permaisuri.
Dan teringatlah ia bahwa salah
seorang tokoh Empat Permaisuri yakni Dewi telaga Tong thong telah menolong
gadis ular Siu-mey.
Ia merasa berutang budi kepada
gadis itu.
Maka pada saat ia hendak
menghaturkan terima kasih, ia hendak gu-nakan sebutan 'cianpwe'.
Tetapi baru mulut mengatakan
‘Cian ........' , ia sudah berhenti lagi.
Gadis yang di hadapannya itu
sedang menjingjing sebuah bakul berisi bunga dan rumput. Dan ketika maju
menghampiri langkahnya pun ringan dan gesit sekali.
Ia duga tentu memiliki
kepandaian silat yang tinggi.
Tetapi kalau gadis itu dikata
sebagai salah seorang Empat Permaisuri, ah....., jauh sekali ya...., jauh
sekali kecantikan gadis itu dengan mereka.
Sepasang bibir dari gadis itu
merekah semerah delima, tertawa: „Gak Lui, bagaimana dengan lukamu ?"
„Ah...., tak jadi apa......
tetapi ....., cian...... eh, nona mengapa kau tahu namaku?"
„Hi..., hi...., hi.....,"
gadis itu tertawa. Nada-nya mirip dengan suara burung kenari, „kudengar dari
pembicaraan kalian tadi."
„Kalau .......... begitu,
kapankah engkau berada di sini ?"
„Aku lebih dulu dari kalian.
Tetapi aku bersembunyi dan kalian tak melihatku."
„Perlu apa ke gunung Pek-wan-san
sini ?"
„lh, rumahku di atas gunung.
Karena mencari dedaunan obat maka aku turun kemari."
„Kalau begitu engkau bukan
salah seorangdari Empat Permaisuri ?"
Gadis jelita itu
tertawa.......
BAB 15: PERTARUNGAN DI TELAGA
PEDANG
„MEMANG sebenarnya bukan
!" seru gadis jelita itu," kutahu siluman tua itu hendak mencelakai
dirimu. Aku merasa kalah sakti dengannya tetapi kudengar dia takut setengah
mati kepada Kaisar dan Empat permaisuri. Maka kucoba untuk menggertaknya dengan
nama itu dan ternyata berhasil !"
„Nona, tindakanmu tadi sungguh
berbahaya. Kelak tentu akan kubalas budimu," kata Gak Lui.
Gadis itu hanya mendengus
dengan pipi kemerah2an: „Ah..., aku tak berani mengharap balas. Tetapi aku
mempunyai sebuah permintaan . . . . entah engkau dapat meluluskan atau tidak
!"
„Asal aku mampu melakukan
saja"
„Maukah engkau membuka kedok
mukanya yang aneh itu bararg sebentar saja?"
„Maaf, hal itu diluar
kemampuankul"
Gadis itu mengeliarkan mata
beberapa jenak lalu tersenyum: „Tak percaya! Dengan mudah sekali engkau dapat
melakukannya, mengapa tak mau?"
„Nona, aku telah bersumpah.
Sebelum tiba waktunya, aku takkan melanggar sumpah itu itu"
„Apakah engkau tak pernah
membukanya? Apakah tak parnah orang melihat mukamu?"
„Jargankan orang lain, sedang
aku sendiripun tak tahu bagaimana tampang mukaku ini !"
Sigadis tersenyum: „Hm....,
tak apalah. Sekali pun wajahmu merupakan sebuah teka-teki, tetapi berguna juga
untuk sementara orang!"
„Maksudmu . . . . "
Kembali pipi dara itu bersemu
merah, tampil selargkah dan berkata: „Misalnya, siapa yang sungguh2 suka
kepadamu ...... ia tentu tak perlu kuatir apa2 lagi karena orang lain tak
pernah melihatmu ........ "
Dari pancaran mata dara itu,
Gak Lui seperti melihat bayangan kedua nona Hi Kiam-gin dan Gadis ular Li
Siu-mey. Kedua nona itupun pernah memandangnya dengan pancaran mata begitu.
Pada lain saat, iapun seperti
melihat bayangan wajah bibi gurunya yang menyeramkan.
Pikiran Gak Lui melayang
kemasa yang lalu. Adalah demi ayahvya Pedang dewa Gak Yang-beng maka bibi
gurunya telah merusak wajahnya sendiri. Dan karena kuatir musuh akan mengenali
dirinya (Gak Lui) maka ayah angkatnya telah memakaikan kedok muka. Tetapi
sakalipun begitu, orang tetap memperhatikannya.
Tiba2 dara itu berputar tubuh
dan berkata seorang diri: „Aku harus pulang. Silahkan engkau beristirahat
sendiri .... sampai jumpa!"
„Tunggu dulu ......," Gak
Lui berseru kaget.
„Masih ada urusan apa lagi
?"
„Harap nona memberitahukan
nama nona agar kelak aku dapat menghaturkan terima kasih "
„Namaku The Hong-lian."
Hai....., engkau orang she
The. Apakah engkau masih keluarga dengan Pukulan Sakti The Thay ?"
Dia ayahku, masakan engkau tak
kenal?"
„Walaupun tak kenal, tetapi
aku justeru hendak menemuinya !"
„Sukar . . . . "
„Mengapa sukar ?"
„Dia berwatak terus terang dan
sikapnya angkuh, mudah menyingkung perasaan orang lain!"
„Aku cukup sabar."
„Dan yang mencarinya
kebanyakan ada dua macam orang. Pertama, karena ilmu silat ...... kalau tidak
hendak belajar tentu akan minta bantuan-nya. Ayah tak mau menemuinya."
„Tetapi aku tak membawa maksud
begitu!"
„Kalau tak karena ilmusilat
tentu karena hendak membuatkan. pedang."
„Apakah The cianpwe tak
mau?"
„Mau sih mau tetapi ......
"
„Katakan terus terang sajalah,
tak usah disembunyikan."
„Beliau menghendaki bayaran
yang tinggi dan suruh pemesan itu membantu pekerjaan yang sangat
menyiksa."
„Apakah hanya itu saja?"
„Ya...... eh.... tidak....,
tidak ....! Masih ada beberapa syarat lagi." tiba2 nona itu berhenti.
„Syarat apa lagi?" tanya Gak
Lui gopoh.
„Harus ada, yang seorang
sahabatnya memperkenalkan."
„Itu mudah," Gak Lui
tertawa gembira.
„Sungguh?" sidara
menegas.
„Kalau menghendaki pembayaran
tinggi, aku membawa permata. Mau menyiksa, aku cukup tahan. Minta seorarg
sahabat yang memperkenalkan akupun punya, karena kedatanganku kemari ini adalah
Bok Kiam-su yang menunjukkan. Kiranya semua syarat telah terpenuhi, harap nona
suka bawa-aku menghadap ayah nona"
Dahi The Hong-lian mengerut
lalu jungkatkan alis dan berkata pelahan: „Cukup baik tetapi masih kurang
sebuah. Apakah engkau sedia?"
„Apa?"
„Surat yang ditulis sendiri
oleh Bok Kiam-su"
„Ini ......"
„Hm...., rupanya engkau tak
punya, Kalau ditanya ayah dan engkau tak mampu mengunjukkan, dia tentu marah
dan menolak!"
„Celakal"
The Hong-lian kicupkan ekor
mata, bisiknya: „Jangan gugup! Aku punya daya, tetapi entah engkau setuju atau
tidak?"
„Asal sesuai, tentu
setuju."
„ Beliau hanya mempunyai
seoraag anak perempuan aku ini. Asal kita mengangkat saudara, beliau tentu meluluskan."
Melihat kewajaran sidara dan
kesungguhannya hendak membantu, Gak Lui dapat menyetujui. Demikianlah kedua
muda mudi itu segera melakukan upacara mengangkat saudara. Karena Gak Lui lebih
tua tiga bu!an, dia dipanggil engkoh.
Dengan riang gembira,
Hong-lian segera mengajak Gak Lui naik keatas puncak Pek-wan-san.
Puncak tertutup awan putih
Dalam selubung awan itu terdapat sebuah pondok yang setengahnya seperti guha
setengahnya mirip rumah. Tetapi sama sekali tak ada alat2 untuk membuat pedang.
Melintasi gumpalan awan itu,
„Hong-lian suruh Gak Lui menunggu diluar pondok: „Engkoh Lui, tunggulah diluar
sini. Biarlah aku yang bicara dengan ayah dulu nanti baru kupanggilmu!"
Gak Lui mengangguk. Dan
Hong-lian pun segera menyelinap masuk. Tetapi sampai sepeminum teh lamanya,
belum juga dara itu keluar dan pondok pun sunyi senyap saja.
Gak Lui tetap menunggu.
Tetapi karena terlalu lama
akhirnya ia tak sabar lagi.
Tetapi tepat pada saat itu
juga terdengar suara Hong-lian menguak keras .........
Gak Lui terkejut dan cepat
menerobos masuk.
Tetapi baru tiba diambang
pintu mendadak ia disambut serangkum angin yang dabsyat.
Dalam gugup, ia tamparkan
tangan kiri untuk menyedot.
Tetapi baru tangan kirinya
diangkat, orangpun sudah lepaskan beberapa kali pukulan ber-tubi2.
Karena luka-dalamnya belum
sembuh sama sekali, tubuh Gak Lui ter- putar2 dan terlempar kebelakang sampai
dua tombak jauhnya.
Menyusul sesosok tubuh yang
tinggi perkasa segera melesat keluar. Seorang lelaki bermuka brewok sambil
memukul kalang kabut sambil berkaok2: „Budak busuk, enyah.... enyah....! Enyah
..!"
Gak Lui cepat dapat mengenali
orang itu sebagai Pukulan Sakti The Thay.
Segera ia gunakan gerak
langkah Awan-berarak-seribu-li untuk berputar putar menghindari seraya berseru
ter-gopoh2 : „The cianpwe. harap jangan marah. Aku datang menghadap dengan
maksud baik ........"
„Kentut....!, Kalau engkau
bermaksud baik masakan engkau memikat puteriku!"
Gak Lui gelagapan malu Lalu
marahlah ia.
Baru ia berseru sepatah
memanggil cianpwe, tiba-tiba ia melihat Hong-lian muncul di luar pintu......
Mata gadis itu berlinang-linang dan memberi isyarat kicupan mata kepadanya.
Terpaksa Gak Lui tekan
kemarahannya, sahutnya :" „Sedikitpun aku tak mengandung maksud begitu
......."
„Huh, masakan akal bulus yang
engkau mainkan itu aku tak tahu. Jika tak mempunyai maksud buruk mengapa tanpa
sebab engkau mengangkat saudara dengan anakku?"
„Hal itu...., puteri lo
cianpwe yang......." Karena marah hampir saja Gak Lui membuka rencana Hong
lian. Tetapi sesungguhnya gadis itu bermaksud hendak membantunya. Sudah tentu
ia tak mau mencelakainya dan lebih baik ia yang bar-tanggung jawab sendiri.
„Harap cianpwe jangan marah.
Hendak kujelaskan," buru2 ia beralih kata.
Tetapi The Thay tak noau
menghiraukan. Sekali kepalkan tangan ia terus menghantam bum..., bum..., bum
.... ia lepaskan hantaman dari jarak
jauh. Tinju berhamburan dan
anginpun bergulung-gulung melanda Gak Lui sehingga memaksa pemuda itu mundur
beberapa langkah.
„Jika cianpwe terus menyerang,
maaf, aku terpaksa berlaku kurang adat!" serunya memberi peringatan.
Tetapi The Thay tak
menggubris: „Hm..., kalau Eerani, balaslah!"
Saat itu Gak Lui terus
menghindar mundur.
Tetapi akhirnya ia tak dapat
mundur lagi karena sudah tiba di ujung karang. Selangkah lagi ia tentu
kecemplung kebawah karang yang dalamnya tak kurang dari tiga-empat ratus
tombak. Di bawah karang itu terbentang sebuah jurang yang berisi air. Luasnya
beberapa bahu. Airnya berkilauan kehitam-hitaman. Walaupun dari atas, karang yang
begitu tinggi, namun terasa juga hawa dingin yang menguap dari air itu.
Sejak kecil Gak Lui tak pernah
main di air.
Ia terpaksa harus waspada
jangan sampai terjatuh ke dalam telaga kecil itu. Tetapi saat itu ia diserang
dari tiga jurusan oleh Pukulan sakti The Thay. Kalau tadi ia cepat gunakan ilmu
meringankan tubuh, ia masih dapat melayang melampaui kepala lawan.
Tetapi saat itu ia sudah
terdesak di tepi karang.
Ia tak berani gegabah
mengambil resiko untuk loncat melayang ke udara.
Diam2 ia menghela napas dan
tenangkan pikirannya untuk bertahan diri. Tangan kirinya diputar melingkar di
udara. Tangan kanan pelahan disongsongkan ke arah orang.
Seketika itu The Thay
terkejut.
Pukulannya dilepaskan
bertubi-lubi itu tiba2 seperti disedot oleh suatu tenaga aneh yang memancar
dari gerakan Gak Lui.
Pukulannya yang bertenaga
dahsyat itu, setiap kali membentur Gak Lui tentu seperti terbenan dalam laut
dan lenyap.
Selain itu, tangan kanan Gak
Lui itupun menghamburkan tenaga dahsyat sehingga memaksanya mundur selangkah.
Melihat pemuda itu benar2
balas menyerang tiba2 timbullah kelapangan hati The Thay.
Kecuali, tidak marah, orang
itu adalah puas.
Ia anggap cara Gak Lui
menghindar lalu balas menyerang itu, mencocoki seleranya.
Tiba2 ia menggembor keras: „Begitulah,
baru sesuai. Tetapi selain ilmu pukulan tadi, apakah engkau masih punga
simpanan yang lain........"
„Jika cianpwe masih punya ilmu
yang lebih lihay, silahkan gunakan saja. Ilmu gerakan tanganku ini masih dapat
menghadapinya" sahut Gak Lui.
„Sombong benar engkau, budak !
Coba akan kulihat sampai berapa lama engkau mampu bertahan" teriak
Pukulan-sakti The Thay seraya lancarkan serangan yang lebih dahsyat.
Kedua tinjunya menyerang
sederas hujan mencurah.
Perbawanya mengejutkan sekali.
Tetapi Gak Lui tetap tenang.
Kakinya laksana tertanam di
karang.
Dan kedua tangannyapun
bergerak-gerak menggunakan tenaga-sakti Algojo-dunia, untuk meminjam tenaga
lawan mengembalikan serangannya.
Pertempuran makin berlangsung
seru. Berulang-ulang terdengar letupan keras dari benturan tenaga-pukulan.
Kedua fihak saling ngotot
berbaku bantam.
Tak seorangpun yang mau
mengalah mundur.
Cepat sekali 100 jurus telah
berlangsung.
Yang paling sibuk adalah gadis
Hong Lian.
la cemas kalau ayahnya sampai
menderita luka.
Tetapi ia pun gelisah kalau
Gak Lui sampai celaka.
Namun ia tak dapat berbuat
apa2, karena kepandaiannya amat terbatas dan tak mampu untuk melesai mereka.
Hong-lian menarik-narik
bajunya sendiri, menggosok-gosok tangan.
Dia bingung setengah mati.
Keringatnya bercucuran
menganak sungai.
Baiknya ia tak mengecewakan
diri sebagai puteri dari seorang tokoh silat yang sakti. Walaupun bingung tak
keruan tetapi ia tak mau menjerit-jerit dan mengganggu perhatian mereka.
Ia melihat wajah ayahnya merah
membara. Ubun2 kepalanva menguap asap. Suatu pertanda bahwa tenaga dalamnya
sudah hampir habis tetapi tetap tak mau mengaku kalah. Tetap melancarkan
serangan dahsyat dan mati-matian.
Kemudian memandang kearah Gak
Lui, dilihatnya pemuda itu tetap bersemangat. Walaupun menderita luka akibat
pertempurannya dengan Pek-Kut Mo-kun, tetapi ternyata dia tetap gagah.
Pukulannya tampak seperti
orang yang tak menderita luka.
Cepat sekali pertempuran itu
sudah berlangsung sampai 500 jurus.
Pukulan-sakti The Thay pun sudah
mengulang setiap jurus pukulannya sampai tiga kali
Dari cepat, gerakannyapun
makin lambat.
Dari lambat akhirnya
terhuyung-huyung.
Sepasang tinjunya yang
terkenal keras seperti besi, saat itu sudah lemah lunglai.
Karena keliwat memaksa diri,
napas jago tua itu memburu keras dan bluk ....... akhirnya ia jatuh ngedumpruk
di tanah.
Dalam pertempuran itu Gak Lui
malah mendapat keuntungan.
la gunakan ilmu Menyalurkan
tenaga murni untuk menyembuhkan luka-lukanya, sembari menghadapi serangan
lawan. Begitu melihat The Thay jatuh, cepat ia loncat ke hadapannya dan terus
mengurut tubuhnya.
Hong-lian pun tergopoh
menghampiri: „Yah..., apakah engkau letih"
Dengan napas ter-engah2, The
Thay berseru: „Letih apa? Ngaco....."
„Yah..., sudah kukatakan bahwa
ilmu kepandaiannya tinggi. Bahkan Pek-Kut Mo-kun pun dapat dipukulnya
terbirit-birit, tetapi engkau tetap tak percaya. Bukankah soal angkat saudara
itu harus diakui?"
„Hm.... !" The Thay
mendengus.
Tetapi mu!utnya menyeringai
tawa gembira.
Kira2 sepeminum teh lamanya,
keringatnya pun sudah berhenti.
Lalu ia mendorong Gak Li dan
terus bangkit.
Kuatir orang tua itu akan
menyerangnya lagi, buru2 Gak Lui menyurut mundur tiga langkah dan bersiap.
Tetapi gerakan tangan The Thay
itu hanya untuk melemaskan urat2nya yang kaku, serunya: „Uh...., kaku, sungguh
kaku karena sudah lama tak pernah dibuat gerak. Kali ini puas benar2."
Hong-lian menghampiri ayahnya:
„Eh...., ayah.... ha..... nya memikirkan berkelahi tetapi aku yang jadi anak
perempuannya takut setengah mati ...."
„Ha..., ha..., ha..... tidak
jadi apa," The Thay tertawa gelak-gelak. Kemudian memandang Gak Lui ia
berseru memuji: „Sungguh tak nyana, engkau ternyata memiliki kepandaian yang
hebat!"
„Ah..., cianpwe keliwat
memuji!"
„Sudahlah, tak usah sungkan.
Kalau mau bicara. Mari kita masukl" kata The Thay terus memimpin tangan
puterinya dan menyambar tangan Gak Lui untuk diajak masuk ke dalam pondok.
Sinona tertawa: „Engkoh Lui,
perangai ayah memang begitulah. Kalau marah seperti angin prahara, tetapi
setelah itupun terus reda. Harap engkau jangan terkejut ........"
Terhadap sifat The Thay yang
terus terang, Gak Lui merasa suka.
la membiarkan dirinya ditarik
masuk.
TERNYATA dalam pondok itu
penuh bergantungan pedang pusaka.
Ada yang panjang, ada yang
hanya beberapa dim panjangnya.
Jumlahnya tak kurang dari
beberapa ratus batang.
Sedang bentuknya pun terdiri
dari beraneka macam, yang aneh2.
Sekalipun sejak kecil Gak Lui
sudah belajar ilmu pedang dan pengalamannya tentang perangpun cukup banyak,
tetapi ketika melihat koleksi pedang yang sedemikian banyak dan beraneka ragam,
diam2 ia tcrkejut dan kagum.
Melihat pemuda itu, tertawalah
The Thay: „Engkau tentu tertarik dengan kumpulan pedang pusaka itu, bukan?
"
Gak Lui menghela napas:
„Setiap orang tentu suka akan barang pusaka. Sungguh, tak kira kalau cianpwe
menyimpan sekian banyak pedang pusakal"
„Ha, ha, apa gunanya pedang
sekian banyak itu. Kebanyakan hanya barang palsu!"
„Oh......!" Gak Lui
mendesah kaget. Kembali ia memandang koleksi pedang itu dengan seksama. Setiap
batang pedang memancarkan sinar ke milau. Bentuknya kuno.
„Tak ada yang aseli ? Apakah
semua itu palsu?" serunya heran.
The Thay memandang kearah
kedua batang, pedangnya: „Dengan membawa pedang pusaka, Pedang Pelangi dari Partai
Bu-tong-pay tentulah pedang itu mempunyai ciri2 yang istimewa. Maka dengan
dasar apa engkau tak percaya keteranganku tadi?"
Sambil menuding kearah
sebatang pedang aneh yang tergantung pada dinding, Gak Lui kerkata: „Misalnya
pedang yang panjangnya dua meter itu. Tentulah pedang milik baginda Cin Si-ong.
Dan pedang pendek itu tentuah milik baginda Cin Ong. Kemudian pedang yang,
panjangnya dua dim itu tentulah pedang pusaka milik Co Pi. Kemudian yang lain2
seperti pedang Ken-ciang, Bok-sia dan Ki-kwat, merupakan pedang pusaka yang
termasyhur. Sekalipun tidak semuanya tulen, tetapi pun tidak semuanya palsu
........ "
Diam2 The Thay kagum atas
peadapat anak muda itu.
Sebelum ia sampai berkata,
Hong-lian sudah melengking tertawa: „Engkoh Lui, kumpulan pedang itu bukan
pedang kuno melainkan buatan ayah sendiri menurut pengetahuan dan pengalamannya
.........."
Gak Lui tertegun, lalu tertawa
nyaring: „Karena The cianpwe mempunyai kepandaian yang sedemikian hebat,
keinginanku pasti terlaksana", The Thay memukul lututnya sendiri dan
dengan mata berkilat-kilat bertanya: „Katanya engkau hendak minta aku
membuatkan pedang. Apakah engkau hendak merobah pedang Pelangi itu?"
Gak Lui mengiakan.
„Tetapi aku mempunyaI beberapa
syarat!"
„Dalam hal itu aku memang sudah
bersedia dan dapat memenuhi semua!"
„Oh, engkau sudah tahu syarat2
yang kukehendaki itu? " tanya The Thay.
„Aku bersedia menyerahkan
seluruh benda berharga sebagai balas jasa lo-cianpwe. Begitu pula, apapun pesan
cianpwe, tentu akan kulaksanakan" kata Gak Lui seraya mengeluarkan batu
permata dan diletakkan di hadapan tuan rumah.
Permata berlian hasil keluaran
Lembah Mati itu, merupakan permata yang jarang terdapat di dunia. Harganya tak
ternilai. Cahaya tajam yang memancar dari berlianl itu, menyilaukan mata The
Thay, terutama sebutir berlian pemberian Siu-mey. Sinarnya hebat sekali.
Sehingga Hong-lian tak mau melepaskannya.
Tetapi diluar dugaan, The Thay
mengembalikan tumpukan berlian itu kepada Gak Lui. Serunya dengan wajah serius:
„Aku tak suka menerma benda2 ini.
„Apakah masih kurang?"
„Aku bukan seorang mata
duitan. Jangan salah faham!"
„Kutahu hal itu memang menjadi
peraturan dari lo-cianpwe. Sudah seharusnya ........."
„Aturan apa?, itu hanya
siasatku untuk merintangi orang2 iseng yang hendak mengganggu aku. Dengan
peraturan ttu belasa tahun, tak ada ada orang yang datang
lagi................"
„Lalu, tentulah cianpwe
mempunyai lain2 pesanan !"
„Benar, memang aku mempunyai
lain syarat. Sesungguhnya hal itu pun hanya merupakan beberapa pertanyaan saja
......."
„Asal tahu tentu kukatakan.
Asal yang, kukatakan tentu, benar2 sesungguhnya. "
„Pertama, pedang itu
sebenarnja pusaka Butong-pay. Mengapa dapat jatuh ketanganmu?"
Gak Lui setera menuturkan
riwayat pedang itu sampai jatuh ketangannya. The Thay mendengarkan dengan penuh
perhatian lalu bertanya penuh gairah: „Kiranya Ceng Ki totiang dari Butong-pay,
itu mempunya hubungan dengan engkau. Lalu apakah nama Perguruanmu?"
„lni... aku benar2 sukar
mengatakan."
Hong-lian kerutkan alis. Ia kuatir
ayahnya kurang senang mendengar jawaban Gak Lui.
Tetapi Gak Lui sudah terlanjur
mmberi jawaban begitu maka ia pun melanjutkaa lagi!. Asal-usul diriku sama
dengan kedok muka yang kukenakan ini. Apabila belum tiba saatnya, tak dapat
kuterangkan. Harap cianpwe, suka maafkan."
Diluar dugaan, The Thay tidak
marah, malah menganggukkan kepala: „Tark perlu melihat mukamu. Cukup kulihat
sinar mata dan gigimu yang putin itu. Tentang asal usulmu .... berikanlah
pedang yang lain itu kepadaku."
„Yah....." tiba2
Hong-lian melengking," pedangnya yang itupun kutung juga Harap ayah bantu
membuatkannya "
Gak Lui menyerahkan pedang itu
dan The Thay pun lalu meletakkan kedua pedang kutung itu diatas meja.
Setelah memeriksa beberapa
saat, ia berseru memuji: „Sekalipun bukan jenis pusaka, tetapi pedang ini
termasuk pedang yang luar biasa tajamnya.
Pemiliknya dahulu......jaitu
seorang pendekar pedang yang....... Kemudian ia menjentik batang pedang dengan
jarinya lalu berpaling memberi pesan kepada Hong-lian: „Ambilkan alat2ku,
pedang ini hendak kubongkar!"
Hong-lian segera membawakan
alat ayahnya. Tak berapa lama, tangkai pedangpun sudah dibongkar. Tiba2
Pukulan-sakti The Thay berteriak kaget: „Pedang Aneh Ji Ki-tek!"
„Ah....., kiranya engkau
keturunan dari Empat Pedang Busan!"
„Bagaimana ciaopwe tahu....
!" Gak Lui pun memekik tegang.
„Karena dapat membuat pedang,
sudah tentu aku dapat mengetahui perabot dan tanda2 pada pedang. Karena setiap
pemilik pedang, tentu meninggalkan tanda pengenal dari pada pedangnya. Kalau
tidak dibatang pedang tentu dalam tangkai Pedang ...... !"
Kini tersadarlah Gak Lui. Ia
segera memandang kearah tangkai pedang yang sudah dibongkar itu. Ah..., memang
benar. Diatas tangkai itu terdapat ukiran beberapa huruf yang kecil sekali yang
berbunyi nama ayahnya. Seketika ber-cucuranlah air matanya.
„Ah....., rupanya engkau
memang mempunyai kesukaran dalam hati.
Baiklah, aku tak mau bertanya
lagi. Bahkan apa yang kulihat saat ini, takkan kukatakan kepada siapapun juga.
Dan pedang -ini, akan kusambung selesai dalam tiga hari"
Gak Lui menghaturkan terima
kasih lalu bertanya: „Entah berapa lamakah waktu yang diperperlukan untuk
membikin Pedang Pelangi itu? Dan apakah masih ada syarat lagi?"
„Waktunya kira2 setengah
bulan. Dan syaratnya pun sederhana.... Tetapi panjang kalau
diterangkan........"
Gak Lui minta supaya tuan
rumah mengatakan.
„Pedang Pelangi. ini banya
tinggal separoh. Jika menghendaki dibuat yang utuh, tentu harus memerlukan
bahan baja yang murni. Kalau tidak, kecuali takkan menjadi pedang pusaka, pun
malah akan merusakkannya. Maka soal pertama, yalah mengenai bahan
.........."
Gak Lui tergetar hatinya,
serunya tegang: „Kudengar Han-thiat" (besi dingin) dan Bian-thiat (besi
keluaran Burma), merupakan bahan yang paling bagus untuk pembuatan pedang.
Tetapi tak tahu kemanakah aku harus mencarinya ......."
„Ah..., tak perlu harus
mencari sekarang ini. Aku sudah mempunyai bahan Han-thiat. Tetapi aku tak
berhak memberikan kepadamu"
„Siapakah yang berhak?"
„Dia!" tiba2 Pukulan-sakti
The Thay menuding ke arah puterinya.
„Ah......, kiranya adik Lian.
Relakah engkau menyerahkan kepadaku?" seru Gak Lui.
Hong-lian, seketika merah
mukanya. Dengan malu ia berkata; „Rela sih rela, tapi Han-thiat itu pemberian
ayah kepadaku untuk dijadikan...... "
„Apa? ......... "
„Buat......." si-dara
memainkan ujung bajunya sambil tartawa.... Matanya menggelora ........
memandang ayahnya. Tetapi Pukulan-sakti The Thay hanya tertawa gelak-gelak.
„Budak tolol, engkau biasanya
begitu-genit, mengapa hari ini engkau tak bisa omong. Ai....., biarlah ayah
yang mengomongkan.......nya." The Thay berpaling ke-arah Gak Lui dan
ber-seru tertawa : „Ak gemar belajar silat dansedang membuat pedang. Maka bahwa
besi Han-thiat yang kukumpulkan selama hidup ini, akan kuberikan kepada
putetiku untuk mas-kawin.
Jika engkau suka pakai,
terpaksa........, biarkan ia yang memberi putusan ....... Mas-kawin!" Gak
Lui berseru kaget. Seketika benaknya melintas bayangan gadis ular Siu-mey
yang.....secara tak resmi sudah menjadi isterinya.
Mclihat Gak Lui tertegun,
wajah Hong-lian tampak kecewa. Saat itu sunyi senyap. Ketiganya terbenam dalam
renungan masing2.
Tiba2 Pukulan-sakti The Thay,
tertawa riang memecah kesunyian: „Gak hiantit tak perlu gelisah. Sekali-kali
bukan maksudku hendak menekan engkau dengan syarat itu. Meskipun engkau sudah
mengangkat saudara dengan Lian-ji, tetapi tak usah engkau menyebut aku sebagai
Gi-hu (Ayah-angkat).
Saat itu tampak mata Hong-lian
bercucuran airmata memandang ayahnya. Tetapi The Thay tak menghiraukan dan
tetap melanjutkan perkataannya. Karena perjodohan pria wanita itu harus
disetujui kedua belah fihak. Tak dapat dipaksa. Kalau terlalu buru2 malah akan
menimbulkan banyak kesulitan. Lebih baik tunggu saja bagaimana perkembangannya
kelak"
Habis berhata orang tua itu
berpaling memandang puterinya.
Rupanya, -Hong-lian dapat
menangkap maksud ayahnya
la hapus, kerut dahinya dan
deagan, nada riang berkata kepada Gak- Lui: „ Engkoh Lui", kuberikan
Han-thiat itu kepadamu dan bolehlah engkau kasihkan batu berlian ini sebagai
penukarnya!"
Pada saat Gak Lui longgar
perasaannya, tiba2 ia teringat bahwa batu berliun i u adalah pemberian Siu-mey.
Ia terbeliak, serunya: „Karena aku sendiri yang mengeluarkan, seharusnya aku
tak menyesal untuk menyerahkan batu berlian ini. Tetapi .......batu. ini ada
sedikit.... kesulitannya. Kelak kuganti saja dengan 10 kali lipat. Apakah adik
Lian setuju? "
Hong- lan kerut-kan alisnya
dan menunjuk batu berlian, ia bertanya: „Engkau bilang berlian ini mempunyai
persoalan. Apakah soal tanda yang berada di atasnya itu? "
„Tanda?" Gak Lui.
terkejut terus mengambil batu itu dan memeriksanya. Ah, memang benar. Pada
sebelah permukaan batu berlian itu terdapat sebuah huruf sehalus rambut
berbunyi BU.
Karena selamanya tak senang
akan batu2 permata, maka Gak Lui tak memperhatikan ciri2 itu. Dan ketika saat
itu mengetahui, gemetarlah tubuhnya.
Berlian ini jelas berasal dari
Siu-may yang menggeledah dari tubuh Tabib-jahat Li Hui-ting. Jika tak dibuat
orang, tak mungkin bertanda huruf BU. Apakah itu bukan ciri tanda dari anak
buah si Maharaja?" pikirnya.
„Benar, memang tanda ini
penting sekali bagiku," katanya kepada Hong-lian.
„Kalau engkau memerlukan,
biarlah kukembalikan saja kepadamu. Tak perlu engkau pikirkan untuk
menggantinya!" kata Hong-lian.
The Thay tertawa: „Begitu baru
tak mengewakan dirimu sebagai anakku. Nah, marilah kita menuju kedapur
pedang."
MEREKA bertiga segera menuju
ke ruang belakang tempat penempaan pedang.
Keluar dari rumah belakang,
mereka menuju ke sebuah guha yang kuat. Di puncak wuwungan guha terdapat sebuah
lubang seluas dua tombak sehingga guha menjadi terang bendarang. Dalam guha itu
terdapat sebuah perapian besi. Disebelah-nya sebuah kolam yang jernih airnya.
Kesemuanya itu tentu untuk peralatan pembuatan pedang.
Setelah menghidupkan api, maka
The Thay lalu memasukkan pedang dari Gak Lui tadi kedalam perapian. Api
berkobar besar, asap bergulungguluing membubung ke atas.
Beberapa saat kemudian, Gak
Lui tampil mendekati The Thay: „Paman The, apa,kah engkau tak keberatan untuk
membuatkan Pedang Pe langi lebih dulu baru nanti ...... ," „Tidak! "
sahut The Tbay dengan bengis, „aku mempuayai maksud tertentu mengapa membuat
pedang ini lebih dulu. Karena begitu pedang Pelangi dan bahan Han-thiat masuk
ke dalam api, sinarnya tentu memancar tinggi ke atas langit sehingga dalam
jarak 100 li akan kelihatan. Sinar pembuatan pedang pusaka itu pasti akan
mengundang kawanan durjana kemari. Maka akan kutempa dulu pedangmu agar engkau
mempunyai .senjata untuk menjaga keamanan pembuatan pedang Pelangi nanti!"
Saat itu barulah Gak Lui
tersadar.
„Selain itu masih ada sebuah
tugas penting yang harus engkau kerjakan sendiri," kata The Thay pula
„Silahkan paman bilang !"
„Kelak apabila pedang Pelangi
sudah jadi, harus lekas2 dibenam dalam air dingin. Kolam air disini tak cukup
besar. Harus dilempar kedalam Telaga-pedang dibawah gunung. Apakah engkau dapat
mengerjakan ?"
„Tetapi Telaga-pedang itu amat
dalam sekali. Jika membiarkan pedang itu sampai terbenam kedasar telaga, tentu
sukar diketemukan. Apakah engkau dapat melontarkan pedang itu kedalam telaga
lalu secepatnya mengambilnya keluar lagi"
„Aku dapat menqgunakan gerakan
Rajawali-pentang-sayap untuk melayang kepermukaan telaga" sabut Gak Lui
dengan semangat menyala. Sama sekali ia lupa bahwa ia tak dapat berenang.
Sudah tentu The Thay tak
mengetahui kekurangan pemuda itu. Dengan gembira ia melangkah maju dan menunjuk
keatas puncak guha.
„Baiklah, lebih dulu kita buat
perjanjian. Pada waktunya, engkau harus berdiri diatas puncak guha ini lalu
kulemparkan pedang kepadamu dan engkau harus..... cepat lontarkan kedalam
telaga Pedang.
Dengan cara itu barulah kita
dapat bekerja cepat.
Hong-lian pun memberi pesan
juga dengan penuh perhatian: „Engkoh Lui, jangan lupa pakai sarung pelindung
tangan agar tanganmu jangan terbakar !"
Demikianlah hari demi hari,
dipuncak gunung Pek-wan-san siang malam selalu tampak cahaya api marong
kelangit. Cahaya itu dapat terlihat sampai 100-an li jauhnya.
Pada malam itu sinar pedang
yang ditempat dalam perapian itu makin hebat memancar kelangit. Seolah olah
seperti sebuah pelangi. Hampir seluruh puncak gunung menjadi terang benderang.
Selama setengah bulan ini, Gak
Lui selalu menjaga diguha itu dengan podang terhunus. Pembuatan pedang Pelangi
pasti akan berhasil jika pada hari2 terakhir tak terjadi suatu halangan.
Tiba2 Gak Lui. mendengar suara
letupan keras yang muncrat keudara dan berhamburan mencurah keatas hutan. Datam
saat2 timbulnya pemandangan yang anah itu, tiba2 terdengar The Thay berseru
nyaring: „Sambutilah !"
Pedang Pelangi yang masih
merah marong, meluncur keluar dari puncak guha terus melambung keudara.
Gak Lui cepat bertindak.
Tubuhnya berputarn keras dan
terus melambung keudara.
Disambarnya Pedang Pelangi itu
terus dilontarkannya kedalam Telaga Pedang. Setalah itu ia melingkarkan kedua
lengannya dalam bentuk macam lenekung-busur, lalu meluncur kearah Telaga Pedang
dibawah jurang.
Air telaga itu hitam gelap,
dinginnya bukan kepalang.
Tetapi karena kemasukan Pedang
Pelangi, airnyapun hangat sehingga Gak Lui tak merasa kedinginan... Begitu pula
sinar gemilang dari pedang Pelangi itu memancar dan menerangi telaga sampai
seluas 5 tombak dalamnya.
Pada saat pedang Pelangi jatuh
kebawah telaga Gak Luipun sudah menukik kepermukaan air. Dengan kepala dibawah
dan kaki diatas, ia terus menyusup kedaham air. Matanya tak berkedip memandang
pedang itu. Selekas batang pedang itu sudah dingin, ia terus akan menyambarnya.
Karena menumpahkan seluruh
perhatian pada pedang itu, sampai lupalah pemuda itu bahwa sesungguhnya ia tak
pandai berenang. Begitu juga ia lalai untuk memperhatikan keadaan disekeliling
tempat situ.
Pedang Pelangi terus meluncur
kedasar air. Cahayanya marong merah makin lama makin redup Gak Lui anggap sudah
tiba saatnya untuk menyambar pedang itu dan iapun segera gerakkan tangan
kanannya.
„Uh.....!" ia mendengus
kaget karena sambarannya luput. Terpaksa ia terus selulup kedalam air. Tetapi
karena tak pandai berenang, seketika tu-buhnya terasa berat sekali dan ikut
tersedot kedalam telaga.
Saat itu barulah ia terkejut
dan menyadari kalau tak pandai berenang tetapi karena pedang itu makin lama
makin meluncur kedasar telaga, dalam gugupnya, Gak Lui tak menghiraukan segala
apa ..... Ia terus menukik kebawah. Tetapi karena tak pandai berenang, ia kalah
cepat dengan gerakan pedang yang menyelam kedasar telaga. Saking marahnya, Gak
Lui hampir2 pingsan.
Tetapi tiba2 timbulah suatu
peristiwa yang aneh. Pedang yang sinarnya makin gelap itu tiba2 berhenti
mengenap kebawah.
„Ah...., mungkin sudah tiba
didasar telaga," diam2 Gak Lui girang sekali. Tetapi pada lain saat ia
tersentak kaget, „tak mungkin. Kalau sudah tiba didasar telaga tentu benda itu
tak bergerak. Tetapi mengapa pedang itu masih bergerak naik turun dan seperti
pecah menjadi tiga buah?
Gak Lui tak peduli segala apa.
Ia terus ber geliatan menyelam kebawah sampai tiga tombak jauhnya. Haup .......
la terminum air.
Ternyata telaga itu amat dalam
sekali.....
Pedang Pelangi belum mencapai
dasar telaga tetapi digigit oleh seekor binatang raksasa seperti buaya yang
berumur seribu tahun. Binatang itu bergigi runcing tajam, bersisik dan matanya
berkilat-kilat memancar api. Besar tubuhnya hampir satu meter dan panjangnya
mencapai lima tombak.
Begitu melihat Gak Lui
meluncur kebawah, binatang itu segera kibaskan ekornya lalu meluncur secepat
kilat kearah pemuda itu.
Setelah terminum air dingin
hati Gak Lui terasa agak tenang.
Pikirnya : „Tak bisa barenang,
tak apalah. Asal kututup jalan darahku beberapa saat, aku tentu dapat bertahan
didalam air untuk melihat gerakan2 lihay dari binatang buaya purba itu
Setelah mengambil keputusan,
ia segera kerahkan tenaga dalam dan siapkan pedang.
Cepat sekali buaya itu sudah
tiba dihadapannya: Diam2 Gak Lui menduga binatang itu pasti akan membuka mulut.
Pada saat itulah ia akan bergerak secepat-cepatnya untuk merebut Pedang
Pelangi.
Tetapi kurang ajar Buaya itu
ternyata cerdik juga. Dia tak mau membuka mulutnya melainkan miringkan
kepalanya kesamping, lalu gerakkan Pedang Pelangi membabat dibagian perut Gak
Lui.
Gak lui terkejut sekali.
Pedang Pelangi tajamnya bukan kepalang. Dapat memapas logam seperti membelah
tanah liat saja. Dengan tenaganya yang begitu dahsyat. Pedang Pelangi itu tentu
makin hebat.
Tak mungkin ia akan dapat
menangkis dengan pedangnya.
Maka Gak Lui berganti siasat.
Tak mau ia adu kekerasan.
Dengan gerak
Rajawali-pentaog-sayap, ia surutkan kedua kakinya lalu menyabet dengan
pedangnya. Tring.....h
ampir saja pedangnya menutuk batang pedang Pedang Pelangi. Berbareng,
dengan itu tangan kirinyapun berbalik dengan cepat untuk merebut batang Pedang
Pelangi.
Diserang dari samping
kanan....... kiri oleh Gak Lui, buaya itu kelabakan, kepalanya dimiringkan.
Pedang Pelangi yang masih
digigit dalam mulutnya; pada saat itu sudah dapat dipegang oleh Gak Lui.
Buaya purba itu tiba2 deliki
matanya, seketika berhamburanlah beribu-ribu titik bintang dari matanya, dan
tubuhnya yang sepanjang lima tombak itupun, ikut menjulur sampai dua kali
panjangnya. Sisiknya berkilat-kilat memancarkan sinar kilau kemilau.
Karena memegang tangkai Pedang
Pelangi dan buaya itu meregangkan tubuhnya, maka Gak Lui gemetar tubuhnya.
Tulang tulangnya terasa sakit sekali.
„Huh...., buaya besar!"
Gak Lui mengeluh dan tanpa terasa tangannya yang mencekal tangkai pedang itupun
terlepas.
Bum..... ekor buaya yang
menyerupai daun pintu besi besar, menampar kearah punggung Gak Lui.
Gak Lui terlempar sampai dua
tombak jauhnya.
Tenggorokannya serasa
tersumbat, hidungnyapun memancurkan darah.
Hitam........ sekelilingnya
tampak hitam.
Sekalipun setelah ia dapat
menenangkan pikirannya dan memandang dengan seksama, namun tetap gelap. Air
berkisaran, dia tetap tenggelam kebawah.
Sedangkan si buaya setelah
menyabat dengan ekornya tadi, segera buaya itu meluncur ....... kedasar telaga.
„Heran...... ! Apakah binatang
itu hendak melarikan diri? „diam2 Gak Lui heran dan mengamati kebawah dasar
telaga dengan seksama.
Beberapa saat kemudian barulah
ia melihat tiga sinar bintang. Entah berapa dalamnya bintang itu berada
..........
Belum sempat ia bergerak,
tiba2 buaya ........itu muncul pula dengan gerakan berputar-putar seperti
kisaran air, binatang itu meluncur kebawah kaki Gak Lui.
Ternyata panjang badan buaya
itu tak kurang dari 10 tombak.
Karena merasa air telaga
terlalu deras arusnya, maka ia segera mengendap ke bawah dan tenggelam dalam
kisaran arus itu.
Kiranya setiap memancarkan
tenaga-kilat, buaya itu harus menunggu sampai beberapa waktu lagi baru dapat
memancar tenaga kilat lagi. Biasanya, setiap kali menghamburkan tenaga-kilat
lawan tentu binasa. Tetapi sosok manusia kecil Gak Lui, dapat bertahan.
Sekalipun hanya seekor binatang, tetapi rupanya buaya itu memiliki naluri tajam
bahwa yang dihadapinya itu tentu musuh yang tangguh ........
Maka buaya itu lalu
menggunakan kisaran arus untuk menyeret lawan ke bawah lalu dibawanya ke dalam
sarang.
Gerakan buaya itu telah
menimbulkan gelombang arus, yang hebat. Karena tak pandai berenang. Gak Luipun
tak dapat menyerangkan pedangnya dengan tepat.
Sesaat kemudian ia rasakan
kepalanya ber-putar2 mata pedar dan telinga mengiang. Tubuhnyapun segera
terbawa oleh putaran arus. Berputar dan berputar sampai kesadaran pikirannya
hampir lenyap. Dalam saat ia hampir pingsan, tiba-tiba matanya tersilau oleh
secercah sinar biru yang rpmenyambar ke tenggorokannya.
„Pedang Pelangi ........
!" dalam kejutnya ia gelagapan dan terus hendak menyabat dengan pedangnya.
Tetapi auh...... arus air tiba2 bergelombang keras sekali. Sekeliling penjuru
terasa gelap dan tahu2 ia tak ingat diri lagi. Ketika tubuhnya diseret oleh
buaya ke dasar telaga.
Walaupun hanya beberapa kejab,
tetapi bagi Gak Lui sudah seperti bertahun-tahun lamanya.
Ketika sadar, ia merasa gerak
tubuhnya tak secepat tadi lagi.
Rupanya saat itu sudah berada
di tanah datar.
Ketika memandang sekeliling,
ia da.patkan dirinya berada di sebuah guha seluas dua tiga meter.
Rupanya karena takut membentur
karang, buaya itu meluncur pelahan-lahan.
Diluar dugaan, ternyata saat
itu tangan kirinya masih tetap mencekal tangkai pedang Pelangi dan tangan
kanannya pedangnya sendiri.
Karena dapat memapas sehelai
sirip, saat itu Gak Lui telentang melekat di bawah perut buaya. Dilihatnya di
bawah leher binatang itu mereka merupakan selembar kulit lunak yang berwarna
putih.
Kulit itu tak henti2nya
bergerak.
„Celaka ....! Kalau kubiarkan
diriku diseret binatang ini ke bawah, aku pasti mati !" diam2 Gal Lui
menimang.
Diam2 Gak Lui kerahkan
tenaga-dalam. Dengan sekuat tenaga ia putar sepasang pedangnya.
Crek..., crek..., crek...
terdengar air tersibak pedang dan gigi buaya yang tajam dan keras itu ber
hamburan putus terbabat pedang. Karena sulit, mulutnya terbuka dan tubuh Gak
Luipun meluncur ke bawah.
Tetapi guha itu terlalu
sempit.
Gak Lui sukar untuk lancarkan
serangan.
Buaya itupun sukar bergerak,
juga.
Sebelum Gak Lui sempat
bertindak, buaya itu sudah meluncur ke bawah untuk menindih tubuh Gak Lui.
Gak Lui tak mengira bakal
diserang secara begitu.
Ia berusaha sekuat tenaga
untuk menahan diri.
Tetapi makin lama dadanya
terasa makin sakit.
Karena tak tahan lagi ia
lepaskan pernapasannya dan terus menggigit kulit tipis pada tenggorokan buaya
itu.
Pertarungan mati hidup segera
berlangsung.
Tenggorokan buaya itu memancur
darah dan bergeliatan kesakitan.
Gak Lui makin nekad.
Dibuangnya kedua pedangnya, lalu dengan sekuat-kuatnya ia nimencengkeram tubuh
buaya dan tetap menggigit tenggorokan binatang itu sekencangnya.
Gluk..., gluk..., gluk...., ia
sedat dan meminum darah buaya itu terus menerus sampai perutnya penuh.
Heran .......... Setelah
perutnya penuh dengan darah buaya, Gak Lui rasakan tenaganya malah bertambah
besar. Sama sekali ia tak takut pada bahaya air lagi. Kedua matanyapun
bertambah terang sekali. Dapat melihat jelas keadaan dalam air seluas 10
tombak.
Kebalikannya setelah
mengucurkan darah, gerakan buaya itu makin lama makin lambat Dan akhirnya tak
dapat tergerak. Luka pada tenggorokannya masih mengalir darah.
Sekali Gak Lui mendorong,
buaya raksasa itu tumbang seperti pohon besar yang ditebang. Tubuh binatang itu
berguling-guling ditelan air keruh dalam dasar telaga.
Gak Lui cepat menyambar kedua
pedang dan terus hendak melambung kepermukaan telaga. Tetapi sesaat itu ia
bingung katena tak tahu jalan keluar dari guba itu.
„Buaya itu tentu menyusup
masuk. Kepalanya tentu yang lebih dulu. Dengan begitu arah letak ekornya saat
ini tentu menunjukkan jalan keluar dari guba ini," tiba2 ia dapat
memecahkan kebingungannya.
Pyuh...... sekonyong-konyong
ia menyiakkankan kedua tangannya. Hampir ia tak percaya bahwa gerakan tangannya
itu dapat mengangkat tubuhnya begitu ringan sekali seperti seorang juara renang
yang sangat hebat. Hanya dalam beberapa waktu, ia sudah mencapai tepi telaga.
Sekali menyiak lagi, iapun
sudah muncul dipermukaan air.
TETAPI ia heran karena
disekeliling telaga itu sunyi saia.
„Eh...., kemanakah adik Lian ?
Mengapa ia tak menjaga ditepi telaga ...... ah, mungkin karena aku terlalu lama
berada didasar telaga ....."
Sekali enjot tubuh, ia
melambung keudara dan melayang ketepi telaga, terus hendak naik ke puncak
pek-wan-san lagi.
Tetapi baru beberapa puluh
tombak berlari, dari empat penjuru tampak beberapa sosok tubuh berhamburan
menyongsong dan terus mengepungnya.
Gak Lui terkejut. Seketika
beringaslah ia.
Karena yang memimpin
pengepungan itu bukan lain adalah Pek-Kut Mo-kun dengan enam orang berpakaian
dan berkerudung kain hitam, menghunus pedang.
„heh..., heh..., heh...!
Engkau Gak Lui, sudah masuk kedalam perangkop maut, mengapa tak mau buang
senjatamu saja!" bentak Pek-Kut Mo-kun seraya tertawa mengekeh.
„Nyawa dari pedangku, engkau
masih berani ..... "
„Jangan bermulut besar !"
bentak Pek-Kut Mo- kun," karena ingin mendapat saksi hidup, maka kuberi
ampun. Tetapi kali ini tambah tiga ketua partai persilatan. Jangan harapkan
engkau dapat lolos !"
„Siapa ketiga ketua partai
itu?"
„Paderi Ceng Ki dari
Bu-tong-pay" Pet-Kut Mo-kun menuding dan baru mulut berkata ...... belum
selesai, Gak Lui cepat berpaling kearah orang itu dan mendampratnya :
„Hm......., murid murtad yang menghina perguruan sendiri. Hari kematianmu sudah
tiba !"
Dan orang berkerudung hitam
tampil selangkah.
Salah seorang berseru nyaring
: „Hm, engkaulah sendiri setan gentayangan yang lolos dari ujung pedangku !
Hayo serahkan pedang Pelangi dan ikut kami menghadap maharaja. Mungkin engkau
mendapat ampun! "
Gak Lui melengking dingin
ketika matanya memandang kearah orang yang berdiri dibelakang orang yang bicara
itu, seketika tergetarlah jantungnya.
Jelas dia tentu si topeng
besi. Karena tempo hari begitu melibat pedang Pelangi, dia terpesona. Teka teki
ini, harus lekas kupecahkan.
Dan pula keempat orang itu,
harus kuselidiki sampai terang !
Maka tanpa menghiraukan paderi
yang disebut sebagai Ceng Ki itu, ia terus membentuk Pek-Kut Mo-kun : "Siapakah
yang lains itu !"
„Thiat Wan totiang dari partai
Ceng-sia-pay, Wi Cun totiang dari partay Kong-tong-pay, Engkau tentu sudah
mendensar nama mereka.
„Huh..., terbadap mutid2
murtad yang menghianati perguruannya itu, hari ini hendak kusikat bersih semua
!" seru Gak Lui.
Lalu ia pasang kudw2
Orang yang berkeruduog hitam,
yang menyebut dirinya sebagai Ceng Ki totiang itu berkilat-kilat matanya.
Serunya tegang : „Ah.., pedang Pelangi ternyata telah selesai diperbaiki.
Benar3 tak kecewa jerih payahku untuk mencarinya !"
Seru Gak Lui Pedang ini baru
akan kucoba ketajamannya.
Sungguh kebetulan sekali
mendapat benda percobaan berupa dirimu.
Tiba2 Gak Lui teringat sesuatu
dan serentak menggigillah tubuhnya serunya : „Hai, engkau pengapakan ayah dan
puteri keluarga The itu ?"
Orang berkerudung yang
menyebut diri sebagai Wi Cun totiang dari Kong-tong-pay, segera melayang maju
dan berseru ; „Partaiku juga mempunyai sebatang pedang yang putus dan perlu
diperbaiki. Dia sudah kutangkap hidup2!"
„Puterinya? "
Tiba2 Pek-Kut Mo-kun tertawa
sinia; „Disini !"
Gak Lui kucurkan keringat
dingin.
Ia tudingkan pedangnya dan
membentak : „Lekas lepaskan mereka !"
„Mudah saja melepaskannya
tetapi engkau harus memenuhi sebuah permintaanku."
„Hm........"
Lemparkan pedangmu kepadaku.
Dan lemparkan pedang Pelangi kepada Ceng Ki totiang. Lalu ikutlah kami dengan
serta merta !"
Gak Lui menengadahkan kepala,
tertawa seram.
Belum habis ia tertawa,
Pek-Kut Mo-kun bergerak cepat sekali.
la menyusup kedalam, hutan
lalu keluar dengan membawa sidara Hong-Lian. Menilik keadaannya yang tak ingat
diri, tentulah gadis itu ditutuk jalan darahnya.
„Adik Lian!" teriak Gak
Lui dengan tegang.
Tetapi gadis, itu tak
mendengar.
Ia berdiri seperti patung.
„Hai..., budak she Gak! Jika
tak lekas menurut perintahku menyerahkan pedangmu itu, jangan sesalkan aku
berlaku ganas !" seru Ceng Ki totiang memberi peringatan.
„Barang siapa melukai selembar
rambutnya saja, tentu mati !" seru Gak Lui.
„Hm...., rupanya kalau belum
melihat peti mati engkau tentu tak menangis. Hayo, mulai !" seru orang
berkerudung itu. tiba2 dari sekeliling penjuru terdengar suara suitan aneh. Dan
selekas suitan berhenti maka berhamburanlah sinar pedang mencurah seperti
hujan.
Cret...... pedang berayun
membabat kaki Hong Lian. Darah muncrat keudara, Hong Lian menjerit ngeri dan
terus rubuh ketanah.
„Hai, budak! Engka!imelihat
atau tidak! Kedua kakinya sudah putus.
Jika kau masih berkeras
kepala, kedua tangannyapun akan kukutungi!
Gak Lui benar seperti gila
melihat kekejaman yang diluar batas itu. Hatinya seperti mengucurkan darah.
Ingin sekali ia mencincang
tubuh orang itu.
Tetapi saat itu Hong-lian
masih dikuasai musuh.
Sekali salah langkah, gadis
itu pasti akan lebih celaka.
„Ah..., hanya menggunakan
Lontaran-pedang terbang ..... "
„Akan kuhitung sampai 10, jika
engkau tetap ........"
„Baik, kululuskan..."
seru Gak Lui, majulah kalian berdua untuk menerima pedang ini !"
Kedua orang berkerudung cepat
melesat dua tombak jauhnya. Sedang Pek-Kut Mo-kun dengan tenang menghampiri,
serunya : „Totiang, budak itu mahir menggunakan ilmu Lontaran-pedang terbang,
harap ber hati-hati."
„Lontaran pedang terbang
?" orang berkerudung itu menegas.
„Benar," Pek- Kut Mo-kun
mengiakan. Sambil memandang Gak Lui, ia memberikan sedikit gambaran tentang
gerak Lontaran-pedang-terbang itu.
„Hm..., kutahu tangannya belum
memadai. Harap jangan kuatir" kata orang berkerudung yang menyebut diri
sebagai Ceng Ki totiang itu .
„Ya...., akupun memang sudah
tahu. Tetapi peribahasa mengatakan : 'anjing yang kebingungan dapat loncat
melampaui dinding tembok'.
Mustahil
kalau dia tak melakukan
gerakan itu lagi !"
Gak Lui benar2 hampir meledak
dadanya. Pek-Kut Mo-kun sengaja membakar hatinya dan menggambarkan ilmu
kepandaian yang dimilikinya.
„Baik," sahut Ceng Ki
totiang, „kita semua tak ada jeleknya untuk berhati-bati."
Kemudian ketua partai
Bu-tong-pay itu memandang Gak Lui, serunya : „Kalau melemparkan pedang,
tangkainya yang diarahkan kemari. Jangan coba2 main kayu!"
„Hm.......," dengus Gak
Lui.,
Ia segera condongkan ujung
pedang ke belakang dan mencekal tangkainya.
„Lekas lemparkan kemari
!"
„Baik..., sambutilah ...
!"
Gak Lui terkejut sendiri
mengapa suaranya saat itu berobah berkumandang keras sekali. Kemudian mulailah
ia lontarkan pedangnya.
Di tengah jalan
sekonyong-konyong pedang itu dapat berbalik sendiri.
Ujung pedang itu menyambar
jalan darah lawan.
Pek-Kut Mo-kun terkejut
sekali.
Setitikpun ia tak menyangka
bahwa pemuda itu dalam waktu yang relatif singkat telah mencapai kemajuan pesat
dalam tenaganya.
Pada saat ia menyadari harus,
memberi pertolongan pada siorang, berkerudung, ternyata sudah terlambat.
Orang berkerudung itu menjerit
ngeri.
Tubuhnya berputar-putar hendak
menghindar tetapi dadanya sudah tertembus ujung pedang.
Seketika rubuhlah ia .......
Sedangkan orang berkerudung
yang menyebut diri sebagai Ceng Ki totiang itu dalam kagetnya, cepat mencabut
pedang dan menangkis. Tetapi pedang Pelangi terlampau tajam.
Tring.... pedang Ceng Ki
totiang terpapas kutung seketika dan menyusul darahnya memancer deras.
Bahu berikut lengan kirinya
hingga sampai pada lambung, terbabat babis........"
Ceng Ki totiang mendekap
lengannya kiri yang hilang terus memutar tubuhnya dan melarikan diri.
Gak Lui masih gemas sekali.
Laksana bayangan ia lari
mengejar dan hendak menyusul, lagi dengan sebuahhantaman.
Tetapi si Topeng Besi cerdik
sekali.
Setelah mengetahui daya
kekuatan pedang Pelangi sudah berkurang, cepatnya ia menyambarnya dengan tangan
kiri.
Dan secepat kilat ia terus
hadangkan, kedua pedang.
Berbareng dengan itu, Thian
Wat totiang dan Wi Cun totiang berempat, serempak berhamburan menyerang Gak
Lui"
Gak Lui seperti orang gila.
Dengan me-raung sedahsyat singa lapar, ia menghantam sekuat-kuatnya.
Bum......Thian Wat totiang dan
kawan2nya terhuyung mundur.
Tangkas sekali Gak Lui terus
melesat menyusup lubang kepungan musuh, menghampiri Hong-lian. Dengan sebat
pula ia segera membuka jalan darah sinona.
Hong-lian tersadar.
Sesaat membuka mata ia
menjerit lemah: „Engkoh Lui...." terus ia hendak bangkit. Tetapi ah......,
terkulailah ke tanah lagi. Ia baru menyadari bahwa kedua kakinya telah
dikutungi orang!
Bagi seorang gadis, cacad
buntung kedua kakinya itu jauh lebih dari pada mati. Dengan putus asa ia
menggertakkan gigi lalu berseru memperingatkan Gak Lui.
„Engkoh Lui, awas di
belakangmu, aku ......"
Gak Lui tahu bahwa musuh tentu
sudah menyerang di belakangnya. Cepat ia mencabut pedang yang menancap di dada
Pek-Kut Mo-kun lalu dengan Gerak Burung-hong-pentang-sayap, ia berbalik tubuh
untuk menyerang, kelima penyerangnya.
Saat itu Hong lian memandang
sejenak. ke arah pernuda yang menjadi tambatan hatinya. Dengan hati hancur
berkeping-keping dan airmata seperti banjir, ia segera meranakak ke. dalam
hutan.
Rombongan Pek-Kut Mo-kun dan
orang berkerudung kain hitam itu semua berjumlah 7 orang. Mereka benar2 tak
mengira bahwa Gak Lui ternyata memiliki tenaga-sakti yang begitu dahsyat.
Bermula mereka memandang
rendah.
Tetapi setelah dalam satu gebrak
saja Pek-Kut Mo-kun tembus dadanya dan Ceng Ki totiang hilang lengannya,
barulah Thian Wat totiang dan Wi Cun totiang merasa gentar.
Kebalikannya, Gak Lui
sendiripun heran mengapa tenaganya mendadak bertambah begitu sakti. Tetapi
setelah bertempur beberapa saat, barulah ia menyadari bahwa hal itu dikarenakan
ia minum darah dari buaya raksasa didasar Telaga Pedang.
Tetapi saat itu ia diserang
oleh lima tokoh darit partai persilatan yang termashyur dalam ilmu pedang.
Terutama si Topeng besi.
Bukan saja orang itu tak
gentar menghadapi Pedang Pelangi, pun masih dapat menyerang dengan hebat
sekali.
„Dia tentulah tak kenal dengan
pedang ini.
Dan dialah tentu yang membikin
cacad adik Lian.
Kalau tak kucincang tubuhnya,
aku malu bertemu adik Lian!" diam- diam Gak Lui menimang dalam hati.
Segera ia pergencar
serangannnya.
Pedang berhamburan mcmbentuk
lingkaran sinar seluas satu tombak untuk melindungi tubuhnya. Sesaat kemudian,
tiba2 ia lepaskan sebuah pukulan keras kepada si Topeng Besi.
Tetapi Topeng Besi seperti tak
mengacuhkan.
Dia malah tusukkan kedua
pedangnya dan melangkah maju.
Kalau dia begitu peka terhadap
pukulan Gak Lui, tidaklah demikian dengan Thiat Wat dan Wi Cun totiang.
Kedua tokoh itu meregang bulu
romanya.
Mereka terkejut sampai mengucurkan
keringat dingin.
„Cepat mereka bersuit aneh dan
bersama dua orang berkerudung, mereka berempat segera melancarkan pukulan.
Betapa dahsyatnya hujan
pukulan yang sedang melanda diri Gak Lui saat itu dapat dibayangkan.
Diantaranya berisi pukulan
tenaga sakti Thay-ceng-cin-gi dari partai Kong-tong-pay dan tenaga sakti
Tun-yang-cin-gi dari Ceng-sia pay.
Dua duanya termasuk
tenaga-dalam dari perguruan aliran agama yang hebat.
Bum .... terdengar letupan
keras ketika terjadi benturan antara pukulan tokoh2 itu dengan hantaman Gak
Lui.
Sisa dari benturan itu masih
berhamburan hebat seluas lima tombak jauhnya.
Tubuh si Topeng Besi
terhuyung-huyung sampai lima langkah.
Sedang Thiat Wat, Wi Cun
terdampar mundur sampai satu meter.
Bekas tanah yang ditempati,
melesak sampai beberapa dim dalamnya.
Sedangkan Gak Lui sendiri,
tampak tegak seperti karang.
Sedikitpun tak berguncang
darit tempatnya.
Pada saat terhuyung ke
belakang, Wi Cun totiang terus melesat satu tombak jauhnya dan bersuit beberapa
kali. Kemudian dengan malu bercampur marah ia membentak: „Budak she Gak, apakah
engkau berani menerima kedatangan Tiga algojo dari Maharaja?"
Gak Lui mendengus, teriaknya.
„Jangankan hanya algojonya, bahkan Maharaja sendiri yang maju, lebih
menggembirakan hatiku!"
„Dia......"
„Bagaimana?"
„Juga tak jauh dari tempat
ini. Lambat atau laun engkau pasti akan bertemu juga' "
„Heh.... heh....,
heh....," Gak Lui mengekeh hina, diam2 ia menyedot "napas dan
kerahkan tenaga sakti-nya.
Saat itu Topeng Besi berlima
sudah tegak berjajar.
Mendengar Gak Lui tertawa, Wi
Cun totiang segera menegur: „Mengapa engkau tertawa?"
„Kutertawakan engkau yang sok
pintar tetapi malah hanya mengantar jiwa saja!" sahut Gak Lui.
„Mengapa ?"
„Karena perlu untuk mencari.
Maharaja maka kutinggalkan sebuah mulut hidup. Tetapi sekarang rasanya tak
perlu lagi!" sahut Gak Lui.
la menutup katanya dengan
gerakan pedang dalam. sebuah lingkaran.
Dalam sekejab saja, ia sudah
lontarkan tiga buah pukulan dan enam buah serangan pedang.
Kembali terjadi pertarungan
hebat antara pukulan dan pedang.
Pedang Wi Cun totiang terpapas
lima dim.
Sedang Thian Wat totiang hanya
tinggal bertangan kosong saja.
Dua orang berkerudung telah
tersingkap kain kerudungnya, hingga tampak topeng besi warna merah karatan
menutup muka mereka.
Yang masih tetap dapat
bertahan hanyalah tinggal si Topeng Besi yang pertama tadi. Dengan mengandalkan
Pedang Pelangi, ia dapat melindungi tubuhnya hingga tak sampai menderita luka.
Terhadap ketiga musuh
bertopeng besi, Gak Lui menaruh perhatian istimewa. Cepat ia susuli lagi dengan
pukulan yang dapat memaksa, mereka mundur sampai dua tombak. Kemudian ia
bersiap melancarkan pukulan yang terakhir.
TETAPI belum sempat Gak Lui
bertindak, sekonyong-konyong dari jauh terdengar dua buah suitan yang berbeda
nadanya. Yang satu berasal daril puncak Pek-wan-san. Sedang suitan yang lain
berasal dari beberapa puncak gunung dibelakang Pek-wan-san. Sekalipun begitu
nadanya amat kuat sekali. Suatu pertanda betapa hebat tenaga dalam orang itu.
Gak Lui terkejut, pikirnya:
„Kedua suitan itu benar2 luar biasa. Yang pertama, terang dari seorang tokoh
yang lebih unggul ilmu tenaga dalamnya dari rombongan orang berkerudung yang
mengeroyoknya itu.
Kemungkinan besar tentulah di
antara mereka yang disebut sebagai Tiga algojo Maharaja!
Tetapi suitan dari belakang
puncak Pek-wan-san itu jauh lebih hebat lagi. Adakah si Maharaja sendiri?
Dendam darah yang dikandung
Gak Lui, benar2 sudah meresap kedalam tulang sungsumnya.
Sekalipun menghadapi bahaya
yang bagaimana mengerikan, ia tetap tak peduli. Dia harus membereskan beberapa
kaki tangan musuh yang dihadapinya saat itu!"
Cepat ia memandang kawanan
penghadangnya itu.
Ah..., ternyata Thian Wat dan
Wi Cun totiang telah membawa kedua orang Topeng Besi mundur ketepi hutan.
Hanya si Topeng Besi yang
memegang pedang Pelangi itu rupanya agak lambat jalannya. Tampaknya, ia tak mau
diperintah dan hanya mundur sampai lima tombak jauhnya dari tempat Gak Lui.
„Hai....., hendak lari kemana
engkau!" bentak Gak Lui, seraya loncat mengejar. Tetapi baru ia mencapai
tiga tombak jauhnya, Thian Wat totiang berempat sudah. menyelinap masuk,kedalam
hutan.
Topeng Besi yang agak ayal
jalannya tadi, hendak menangkis serangan Gak Lui. Tetapi terlambat.
Tring..., secepat kilat ujung
pedang Gak Lui sudah menusuk kebelakang tengkuk orang itu.
Tetapi tusukan itu tak dapat
menembus tengkuk orang.
Ternyata Topeng Besi itu
mengenakan topeng besi yang melindungi kepala bagian muka sampai belakang.
Hanya saja tenaga tusukan Gak
Lui yang dahsyat itu dapat melemparkan tubuh orang itu sampai setombak lebih
jauhnya. Sebelum orang itu rubuh, secepat kilat Gak Lui sudah merebut pedang
Pelangi dari tangan orang itu.
Kemudian diteruspkannya dengan
tebasan pedang ditangan kirinya, dan disusul dengan gerakan membelah dengan
pedang Pelangi yang sudah berada ditangan kanannya.
Sebelum sampai menjerit, si
Topeng Besi itu sudah kehilangan kepalanya, menggelinding ke tanah.
Rupanya Gak Lui masih belum
puas.
Ia benci sekali kepada manusia
yang telah menghianati partai perguruannya itu.
Sekalipun kepala orang itu
sudah hilang, Gak Lui tetap masih membelah badannya.
Darah muncrat seperti sumber
air dan dua keping tubuh orang itu berbamburan jatuh ke tanah.
Masih Gak Lui belum puas lagi.
Ia hendak mengutungi perut
orang itu.
Tring ........ begitu pedang
menebas, dari perut orang itu melesat keluar sebatang pedang kutung yang
berlumuran darah.
„Aneh....!" pikir Gak Lui
seraya hentikan pedangnya dan memeriksa pedang kutung itu.
Ah...., kiranya berasal dari
Wi Cun totiang.
Saat itu baru ia tersadar.
Bahwa sebelum ditusuk
tengkuknya tadi, orang itu memang sudah dilontari pedang oleh Wi Cun totiang
sendiri.
„Hm...., rupanya mereka takut
kalau Topeng Besi ini dapat kutawan hidup-hidup. Maka mereka mendahului
membunuhnya ....... tetapi apakah kepentingannya melenyapkan orang ini?"
tanya Gak Lui dalam hati.
Seketika timbullah rasa ingin
mengetahui siapakah sebenarnya yang bersembunyi dalam topeng besi itu. Ia
hendak membuka topeng besi dan me lihat tampang muka orang itu.
Tetapi tiba2 dari hutan di
sebelah belakang muncullah sesosok tubuh baju biru muda.
Gerakannya sama sekali tak
bersuara.
Mirip dengan kapas yang
berhamburan.
Dan dengan sebuah gerak
melesat yang aneh, orang, itu sudah berada di belakang Gak Lui.
Gak Lui terkejut menyaksikan
gerakan orang.
Tanpa banyak pikir, ia terus
menyerang dengan sepasang pedangnya.
Sret..., sret..., sret....,
tiga buah serangan dalam jurus Naga-sakti-kibarkan-ekor, Halimun-pencabut-nyawa
dan Menggurat-bumi-membelah-langit.
Ketiga jurus itu hebatnya
bukan main, cepatnya seperti kilat.
Tetapi pendatang itu sama
sekali tak menghindar maupun menangkis. Ia hanya bergeliatan dan berputar-putar
tubuh dengan indah sekali.
Sepintas pandang mirip dengan
seekor kupu2 yang berlincahan dalam taburan hujan. Selain itu, tubuhnya seperti
memancar semacam tenaga-sakti yang tak kelihatan. Ujung pedang Gak Lui selalu
tersiak ke samping, tak dapat menembus tubuh orang itu.
Gak Lul makin terkejut.
Apalagi setelah memperhatikan perawakan tubuh orang itu.
Dia benar2 terkesiap kaget.
„Heran...! Jelas yang
terdengar tadi adalah suitan dari dua orang pria tetapi mengapa yang muncul
hanya seorang wanita?" pikirnya.
Belum sempat ia menyatakan
apa2, terdengarlah orang itu tertawa nyaring: „Benar, ketiga jurus serangan
tadi, masih belum sempurna!"
„Engkau ..... tahu jurus itu
...... ?"
„Sudah tentu tahu. Ketiga
jurus ilmu pedang itu, kecuali Kaisar Persilatan, hanya ketuga Partai
Gelandangan yang telah dapat menggunakan-nya.
Dan karena engkau gabungkan
dengan ilmu pedang dari Busan, maka lahirlah ilmu pedang yang baru !"
„Apakah hubunganmu dengan
Kaisar Persilatan......."
„Orang serumah !"
„Oh...," Gak Lui
mendengus kejut dan memandang orang itu dengan seksama.
Orang itu mengenakan jubah
panjang sampai menutup ketanah. Rambutnya menjurai kebahu. Wajahnya bertutup
kain sutera biru muda. Pada rambut diatasnya dahinya, tersanggul sebuah cunduk
kumala berselaput emas. Ditingkah sinar mentari, cunduk itu memancarkan sinar
berbentuk Swatika. Suatu pertanda dari kaum agama. Wajahnya memancar cahaya
welas asih.
Sikap Gak Lui segera berobah
delapan puluh derajat kepada orang itu: „Jika cianpwe serumah dengan Kaisar
Persilatan, tentulah cianpwe ini salah seorang dari Empat Permaisuri ?"
„Engkau menduga tepat.
Akuadalah Permaisuri-biru Li Bu-ho!"
„Kalau begitu: Bidadari
telaga-Totiang itu masih keluarga cianpwe?"
„Ui Leng itu adakah adik
angkatku."
Mendengar itu serta merta Gak
Lui berlutut memberi hormat: „Ui Cianpwe telah menolong jiwa adik-angkatku
gadis ular Siu-mey. Baru sekarang aku sempat mengbaturkan terima kasih kepada
cianpwe....."
Permaisuri-biru kebutkan
lengan jubahnya. Serangkum angin bertenaga lunak telah mengangkat tubuh Gak Lui
bangun.
„Kami orang serumah itu, sudah
lama sekali tak bertemu, Apabila nanti berjumpa pasti akan kusampaikan terima
kusihmu kepadanya. Mengenai adik angkatmu, ditengah hutan itu akupun telah
menolong seorang ........ "
„Itu adik Lian. Aku baru
mencarinya. Gak Lui terus melesat kearah hutan. Tetapi Permaisuri-biarpun cepat
loncat manghadang, seraya: „Jangan kesana ........ "
Tiba2 dari arah puncak
Pek-wan-san terdengar pula sebuah suitan yang dahsyat, Sedang suitan yang
berasal dari beberapa puncak dibalakang Pek-wan-san itu, juga terdengar lagi
tetapi nadanya seperti berasal dari, beberapa li jauhnya.
Gak Lui gemetar terus hendak
bersuit juga.
Tetapi saat itu juga dari
sebelah timur terdengar suara bentakan dari kedua paderi Thian Wat dan Wi Cun.
Dan tiba2 pula Permaisuri biru
menjentikkan jarinya kearah Gak Lui.
Seketika jalan darah pembisu
ditengkuk Gak Lui mengejang kencang sehingga walaupun mulut ternganga tetapi
tak mengeluarkan suara apa2.
„Jangan bergerak dan lekas
mundur selangkah dulu!" terdengar Permaisuri biru berseru pelahan memberi
peringatan.
Serempak dengan itu, hawa yang
melindungi tubuhnya tadi, makin mengembang...... jauh lebih luas hingga Gak Lui
seperti terjaring lalu diangkat masuk hutan.
Ketiga macam suitan, tadi,
tiba2 seperti ber-kumpul di-puncak Pek-wan-san terus berkumandang menuju ke
barat. Tak berapa lama lenyap tak kedengaran lagi.
Selekas suitan itu lenyap,
Permaisuri Birupun menarik pancaran tenaga-saktinya juga.
„Bagaimana maksud cianpwe
mencegah aku? Siapakah yang bersuit itu, kawan atau lawan?" Gak Lui
mengajukan pertanyaan.
„Menurut pendapatmu?"
Permaisuri Biru balas bertanya.
„Kukira tenaga-saktinya yang
paling hebat itu, tentulah si Maharaja!" sahut Gak Lui.
„Maharaja....? Ah...., belum
pernah kudengar nama itu. Tetapi menilik tenaga saktinya, dia tentu seorang
tokoh sakti!"
„Ah...., mempunyai dendam
permusuhan sedalam laut dengan dia. Harus kukejarnya"
„Tunggu dulu! Karena mempunyai
dendam darah yang hebat, apakah engkau ingin membalas dendam atau tidak?"
„Biarpun tubuh itu hancur,
tetapi aku tetap hendak menuntut balas kepadanya !"
„Kalau bercita-cita hendak
menuntut balas, jangan sekali-kali bertindak hanya karena menuruti rangsang
perasaan saja !"
„Tetapi cianpwe, sudah lama
sekali kucari musuh yang bergelar Maharaja-persilatan itu.
Tetapi sampai sekarang belum
berhasil menemukan orang itu.
Apalagi dia mempunyai jago2,
seperti Tiga algojo Maharaja dan lima orang tokoh yang berhianat kepada partai
perguruannya sendiri.
Tujuan dari Maharaja itu tak
lain yalah hendak menguasai dunia persilatan. Bahkan ia sama sekali tak
memandang mata kepada Kaisar.
Saat ini dia berbasil
menguasai 5 ketua partai persilatan.
Thian wat totiang ketua
Bu-tong-pay yang ditawan oleh Maharaja, telah memberi peringatan kepada semua
partai persilatan agar lekas mengadakan pembersihan dalam kalangannya sendiri,
serta mengganti ketua-nya.
Menghadapi peristiwa begitu,
sudah barang tentu aku tak dapat berpeluk tangan saja!"
Permaisuri Biru tertawa ramah,
serunya: „Omonganmu beralasan juga. Sekarang akan kusimpulkan siapakah diantara
tokoh2 dunia persilatan yang paling hebat kepandaiannya. Walaupun orang yang
bersuit dari beberapa puncak disebelah sana, tetapi ilmu tenaga dalamnya masih
berimbang dengan engkau. Apabila dia sampai kemari dan ditambah dengan
rombongan Thian Wat totiang.
Engkau pasti sukar menghadapi
mereka.
Mengenai orang yang engkau
sebut sebagai maharaja persilatan itu, menilik dari nada suitannya, mungkin
lebih sakti dari pada diriku.
Jika engkau akan membalas
dendam kepadanya, diapun akan berusaha juga untuk melenyaptan cita-citamu itu.
Jika begitu keluar dari
perguruan engkau akan terus binasa, apakah engkau tak merasa telah mengecewakan
perguruan dan harapan orang tuamu ?"
Kata-kata yang tajam itu telah
membuat Gak Lui gelagapan sadar. Buru2 menjura, memberi hormat : „Terima kasih
atas petuah cianpwe. Akan segera membawa adik Lian pergi ....."
„Tak usahlah," kata
Permaisuri Biru, dia tak ingin bertemu denganmu, Sekurang-kurangnya untuk masa
ini."
„Mengapa ?" Gak Lui
terkejut.
„Lalu bagaimana dengan lukanya
itu?"
„Telah kutolong seperlunya
untuk menghentikan pendarahannya. Setelah tidur secukupnya, dia segera akan
kubawanya untuk mencari tabib pandai !"
„Siapakah kiral yang cianpwe
hendak cari itu?"
„Sekarang belum tahu, siapa
tabib yang pandai itu. Tetapi setelah ia sembuh, akan ku ajari ilmu silat agar
dia dapat menuntut balas atas kematian orang tuanya. Tetapi bila ........
"
„Bila tak bisa sembuh?"
„Dia sudah memutuskan untuk
masuk menjadi rahib dan takkan menikah selama-lamanya."
Serasa ter:ayatlah hati Gak
Lui meodsngar keterangan itu. Dua butir airmata menitik keluar.
„Dia. . . amat baik sekali
...... baiklah, untuk sementara waktu ini aku takkan menemuinya...... kedua
adik-angkatku telah cianpwe tolong semua. Budi besar itu pasti ..... akan
kubalas"
„Itu suatu kewajiban didalam
dunia persilalatan. Tak perlu membalas budi, hanya saja..... "
„Silahkan cianpwes mengatakan,
harap jangan sungkan!"
„Berapakah sebenarnya adik
angkatmu itu?" tanya Permaisuri Biru dengan nada agak keras.
Merah telinga Gak Lui,
sahutnya ; „Aku Puaya taci-angkat dan dua orang adik angkat.
„Banyak juga!" ,, .
„Bagaimana hubunganmu dengan
mereka ?"
„Baik sekali"
„Justeru ini .......
Permaisuri Biru hentikan kata2-nya lalu beralih soal :„Kita tak kenal
sebelumnya. Aku tak berhak mencampuri urusan pribadimu. Hanya menilik pancaran
matamu, kelak engkau tentu berhasil gemilang dalam ilmu silat. Usiamupun cukup
panjang. Tetapi engkau akan menderita didalam soal asmara. Jika.......
„Jika bagaimana? "
„Jika dalam hidupmu timbul
lagi seoreng wanita, engkau pasti akan mengalami penderitaan hebat.
„Benarkah?"
„Ilmu mengarang dari tampang
muka, mengatakan begitu. Catat sajalah dalam hatimu. Mungkin wanita yang
keempat itu takkan muncul dalam kehidupanmu. "
Sesaat tersiraplah darab Gak
Lui. la teringatlah akan ramalan si Raja Sungai. Juga mengatakan bahwa dia
bakal mengalami peristiwa kehidupan yang aneh.
„Dapatkah cianpwe mengatakan
sedikit tentang hal2 yang akan kuderita itu?" tanyanya setengah kurang
percaya.
„Kepandaianku ....... masih
belum mencapai tingkatan itu. Jika engkau berjumpa dengan suamiku Kaisar
Persilatan. Dia tentu dapat memberi keterangan yang lebih jelas lagi."
„Oh....." Gak Lui
mendengus. Kemudian ia bertanya apakah Ki cianpwe benar2 datang ke Tiong-goan?
„Sudah setengah tahun yang
lalu."
„Ah....., aku tak tahu
........"
„Tak-apa, lanjutkan saja
ceriteramu," kata Permaicnri Biru agak ramah. Setalah merenung sejenak,
Gak Lui melanjutkan kata2nya : „Dalam soal membalas sakit hati ini,
sesungguhnya aku tak ingin mencari bantuan orang. Tetapi Maharaja persilatan
dengan gerombolannya, memang mengganas di dunia persilatan ....... " .
„Ya, kutahu. Bukankah maksudmu
hendak mengatak mengapa Kaisar tinggal diam saja?" tukas Permaisuri Biru.
„Benar, apabila Ki cianpwe tak
menghendaki nama partai Thian-liong-pay dan pribadinya tercemar, beliau pasti
takkan berpeluk tangan membiarkan gerombolan Maharaja malang melintang dalam
dunia persilatan"
Permaisuri Biru menghela
napas. Merenung beberapa saat, ia berkata tenang : „Sekali-kali bukan karena
kami Kaisar dan Empat Permaisuri itu tak punya rasa Keadilan. Tetapi
sesungguhnya memang tak berdaya turun tangan."
"Aku tak, mengerti
!"
Kepala Permaisuri Biru itu agak
berguncang sehingga tanda swastika bergemerlapan.
Semangat Gak Lui serentak
tertarik oleh pertandaan itu.
„Alasannya sederhana sekali.
Tetapi pada waktu sekarang merupakan rahasia besar dalam dunia persilatan.
Setelah kuberitahu kepadamu, engkau tak boleh bilang kepada siapapun
juga."
„Baik, aku berjanji takkan
mengatakan kepada lain orang," kata Gak Lui.
Maka berceritalah Permaisuri
Biru : „Suhu dari Kaisar Persilatan yalah paderi sakti Thian Liong, pada masa
itu kepandaiannya menjagoi dunia persilatan.
Sudah tentu-dia-banyak
membunuh tokohl jahat.
Dua-puluh tahun yang lalu,
Kaisar telah menumpas ke Lima aliran Jahat. Merupakan suatu pertempuran
berdarah yang hebat sekali.
Sejak itu ia sadar.
Sepuluh tahun yang lalu ia
menghadap gurunya untuk menerima ajaran2 ke-agama-an.
Pada saat itu ia bersumpah
bahwa partai Thian-liong-pay takkan-membunuh orang lagi." .
„Oohh......!" desus Gak
Lui.
„Itulah sebabnya maka kami tak
dapat turun tangan. Bahkan tak berani menerima murid karena kuatir akan terlibat
pergo!akan berdarah sehingga melanggar sumpah itu"
„Lalu bagaimana cianpwe hendak
memberi pelajaran ilmusilat kepada Siu-mey dan adik Lian?"
„Sebenarnya aku adalah murid
dari Ceng Ling lolo. Dapatlah kuajarkan dia ilmupedang Ceng-ling kiam-hwat. Bidadari
Tong-ting anak-murid perguruan Raja-setan Im Hong. Dapat memberikan
kepandaiannya kepada gadis ular Siu-mey."
„Aliran Baik atau Jahatkah
Raja-setan Im Hong itu" tanya Gak Lui.
„Pada masa itu merupakan momok
besar yang hebat sekali kepandaiannya. Pernah mengusir partai. Gelandangan dari
telaga Tong Ting!"
„Kalau begitu, jangan
sajal" teriak Gak Lui, betapapun hebatnya kepandaian itu tetapi aku tak
memperbolehkan Siu-mey menganut aliran jahat!" Permaisuri Biru gelengkan
kepala: „Jangan merangsang dulu! Dalam hal, itu memang ada persoa!aanya."
„Aliran Putih dan Jahat
laksana api dengan air. Tak mungkin berkumpul"
„Ilmu jahat untuk mengorbankan
jiwa orang lain. Dewi Tong Ting sudah tak mau menggunakan lagi Tak nanti ia
akan mengajarkan kepada Siu-mey. Selain ilmu jahat itu, Bidadari Tong Ting
masih memiliki lain2 ilmu yang sakti dan tak tergolong aliran jahat"