Pedang Kunang Kunang Bab 31-34 (Tamat)

Baca Cersil Mandarin Online: Pedang Kunang Kunang Bab 31-34 (Tamat)
Pedang Kunang Kunang Bab 31-34 (Tamat)

Bab 31. Lidah pedang

Gunung Ceng-sia-san saat itu seolah-olah diliputi oleh hawa pedang. Masih kurang tujuh delapan li dari gunung itu, Gak Lui dan Siu-mey berpapasan dengan rombongan2 partai persilatan golongan putih. Diantara terdapat kaum paderi, imam, orang biasa. Jumlahnya tak terhitung banyaknya.

Begitu melihat Gak Lui, mereka lalu mengirim pertandaan rahasia lalu berbondong menyambut pemuda itu. Demikian setelah melalui beberapa pos penjagaan, akhirnya mereka tiba di kaki gunung. Tampak diatas gunung, sosok2 tubuh manusia yang hilir mudik amat sibuk. Dari gerakan langkah mereka yang tangkas, tahulah Gak Lui bahwa mereka tentu tokoh2 yang berilmu tinggi.

Beberapa saat kemudian muncul belasan tokoh menyongsong kedatangan Gak Lui.

Yang berada didepan adalah ketua perguruan Ceng-sia-pay, Thian Lok totiang. Tampak imam tua itu masih segar bugar dan bersemangat. Dengan tersenyum ia bersikap ramah sekali kepada Gak Lui.

Yang kedua yalah Sebun sianseng, tokoh perguruan Kun-lun-pay. Biasanya dia amat periang tetapi saat itu sikapnya tenang dan tak banyak bersenyum. Jelas tokoh itu masih bersedih atas kematian Tanghong sianseng, saudara seperguruannya.

Kemudian paderi Tek Yan taysu, tokoh perguruan Go-bi-pay. Sikapnya biasa tetapi wajahnya agak serius. Tentulah mengandung sesuatu dalam hati.

Dibelakang Tek Yan taysu, tegak berjajar ketua perguruan Kong-tong-pay, yalah imam Wi Ih dan keempat saudara seperguruannya.

Juga Hui Hong taysu dari Siau-lim-si turun menyambut. Tetapi sikap ketua Siau lim si itu berlainan dengan yang dulu. Dulu ia pernah menjanjikan akan memberi penjelasan tentang diri Gak Lui dihadapan partai2 perguruan silat, tetapi saat itu tampak dia agak tak acuh.

Gak Lui yang cerdik segera dapat meneropong perasaan tokoh2 silat itu. Kecuali Thian Lok totiang yang telah mendapat kembali suhengnya Ging Sing totiang, yang lain2 itu tentu masih mengandung rasa tak puas atas kematian dari saudara2 seperguruan mereka yang hilang dan ternyata menjadi kaki tangan Maharaja, kemudian mati dibunuh Gak Lui.

Karena menyadari apa yang terkandung dalam hati mereka, Gak Lui pun tak menyesal atas sikap mereka yang mengunjuk tak bersahabat itu.

Di samping rombongan tokoh2 itu, tampak juga paderi Kak Hui, seorang paderi dari perguruan Heng-san pai yang berusia lebih kurang empatpuluh tahun.

Ketua Heng-san-pay, Hwat Hong taysu, telah binasa di depan mata Gak Lui. Sedang Hwat To taysu, pun juga dari Heng-san-pay, telah mati di tangan Hong-lian. Karena hal2 itu, tak heran kalau sikap Kak Hui tampak kaku.

“Ha, ha, sauhiap sudah tiba kemari. Dengan begitu dapatlah kulepaskan sebuan beban perasaan dalam hatiku...," Thian Lok totiang berseru menyambut.

Sebun sianseng dan rombongan tokoh2pun segera mengucap kata2 sambutan. Gak Lui dan Siu-mey sibuk juga untuk membalas hormat.

Demikian setelah saling membalas salam, akhirnya beberapa tokoh angkatan tua segera minta Gak Lui berdua masuk ke dalam gedung untuk melanjutkan pembicaraan lagi. Tetapi rupanya Hwat Lui tojin tak kuat menahan kesabarannya lagi, ia melangkah maju dua tindak. Sebelum membuka mulut, ia memandang pedang yang tersanggul di pinggang Gak Lui. Hal itu cukup dimengerti Gak Lui. Tentulah orang heran mengapa tak menyelip pedang Pelangi.

“Aku harus meminta maaf sebesar-besarnya," buru2 ia memberi penjelasan, “bahwa pedang Pelangi telah jatuh di tangan si Maharaja. Tetapi aku memberi jaminan bahwa tak lama lagi pedang itu tentu kembali ...."

Karena didahului berkata, imam Hwat Lui pun tertegun. Kemudian dengan nada kurang senang ia bertanya: “Setelah membuat pedang itu jatuh ke tangan musuh, apakah saudara masih sanggup untuk mendapatkan kembali ?"

“Aku tentu dapat merebutnya kembali dan menyerahkan kepada totiang," sahut Gak Lui tegas.

“Kalau sampai gagal, bukankah perguruan kami akan menggigit jari ?"

“Kusediakan nyawaku untuk jaminan !"

“Jiwa ?" Hwat Lui tojin mendengus, “jiwamu itu suatu soal dan pedang pusaka perguruan lain soal lagi !"

Mengingat akan kematian ketiga tokoh tua dari Bu-tong-pay, Gak Lui tak mau meladeni kata-kata Hwat Lui yang tajam. Tetapi Siu-mey tak dapat menahan kemengkalan hatinya lagi. Nona itu segera melengking: “Kalau engkoh Lui bilang akan mengembalikan tentu akan mengembalikan sungguh2. Mengapa engkau bicara tak keruan begitu ?"

Rasa sedih dan penasaran Hwat Lui, ditumpahkan kepada nona itu. Sambil mencekal batang pedang ia berseru: “Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan dirimu. Sebaiknya jangan ikut campur. Atau .... hem !”

“Bagaimana ?"

“Jangan kira kalau pedang perguruan Bu-tong-pay itu tidak tajam !"

“Bagus !" Siu mey marah dan melangkah maju: “Dengan kata dan ucapan yang baik tak dapat menasehati engkau. Terpaksa harus kuberi pelajaran, agar kelak kemudian hari dapat berobah baik!"

Dalam pada itu ketiga imam dari Bu-tong-pay pun cepat mencabut pedang. Melihat itu Gak Lui melesat ke muka Siu-mey. Begitu pula Thian Lok totiang dan beberapa tokoh lain, mencegah tokoh2 Bu tong-pay supaya jangan berkelahi dengan seorang nona yang lebih muda umur dan tingkatannya.

Nasehat itu telah membuat Hwat Lui totiang tersipu merah wajahnya. Tiba2 dari atas gunung muncul dua sosok bayangan. Terdengar salah seorang tertawa nyaring dan berseru memanggil Gak Lui dengan sebutan 'engkoh Lui’.

Ternyata yang datang itu Pukulan-sakti The Thay bersama puterinya, The Hong-lian. Melihat kedatangan adik seperguruannya, hilanglah kemarahan Siu-mey. Dengan gembira ia menyambut kedatangan Hong-lian. Kedua nona itu bercakap cakap sendiri.

Melihat itu ketua Heng-san-pay yakni paderi Kak Hui berbatuk lalu meminta Gak Lui naik ke atas gunung. Gak Luipun menerimanya. Mereka segera menuju ke paseban besar gunung Ceng-sia.

Ketika hampir tiba di gedung itu, kembali muncul dua rombongan. Yang dari sebelah kiri ternyata siburung cantik dari gunung Busan, yakni Yan-hong.

Pertemuan Gak Lui dengan nona itu amat menggembirakan sekali. Gak Lui lalu memperkenalkannya kepada Siu-mey dan Hong-lian. Ternyata mereka bertiga sudah pernah berjumpa tetapi belum akrab. Saat itu mereka bertiga tampak gembira sekali karena mendapat kawan yang mencocoki hati.

Sedang yang muncul dari sebelah kanan yalah si Raja-bengawan Gan Ke-ik ketua Partai Gelandangan serta ketua perguruan Kiu-hoan-bun Rajawali-tanpa-bayangan Ih Lo-cin. Oleh karena kedua tokoh itu ketua dari perguruan persilatan maka kemunculan mereka disambut serempak oleh para ketua partai persilatan.

“Ah, harap sekalian ciang-bunjin jangan sungkan. Aku hanya mempunyai sedikit urusan dengan Gak sauhiap....." kata Gan Ke-ik.

“Silahkan, pangcu bicara dengan Gak sauhiap," kata Thian Lok totiang, “kami akan menunggu di sini."

Melihat si Rajawali-tanpa-bayangan, diam2 tergetarlah hati Gak Lui. Ia ingat tokoh itu pernah mengatakan, apabila berjumpa lagi tentu akan mengajak adu kepandaian. Ia kuatir orang itu akan menantangnya.

Maka setelah Thian Lok totiang selesai bicara, Gak Luipun minta kepada ketiga nona itu supaya menyingkir dulu. Ketiga nona itupun menurut, hanya Pukulan-sakti The Thay yang masih menemani Gak Lui. Setelah itu Gak Luipun minta kepada sekalian tokoh2 supaya masuk lebih dulu kedalam ruangan. Begitu selesai urusannya dengan Gan Ke-ik, ia tentu segera masuk.

Setelah para ketua dan tokoh2 persilatan masuk kedalam ruangan, barulah Gan Ke-ik menunjuk kepada Rajawali tanpa bayangan dan berkata kepada Gak Lui: "Sauhiap, kiranya engkau sudah kenal dengan saudara ini."

“Ya, kami sudah pernah berjumpa."

"Dia adalah sahabatku selama 20 tahun yang lalu. Sungguh tak terduga kalau sampai bentrok dengan engkau. Maka hari ini sengaja datang untuk mendamaikan hal itu. Harap engkau menerima dengan lapang hati."

Gak Lui tertawa nyaring : "Ah, sudah tentu aku menerima dengan gembira sekali atas kelapangan hati ciang-bunjin. Soal kesalahan membunuh anak murid Kiu-hoan-bun, dengan ini aku menghaturkan maaf yang sedalam dalamnya."

Rajawali-tanpa-bayanganpun menyahut dengan sungguh2 : "Perkelahian dalam dunia persilatan, tentu berakibat terluka atau mati. Soal salah faham yang lalu itu, tak perlu kita ungkat lagi. Yang penting yalah mengatur cara untuk menghadapi kawanan Maharaja itu !"

Serta merta Gak Lui menyambut pernyataan itu dengan hormat: "Ketujuh partai persilatan telah menunggu didalam ruangan besar. Maaf aku hendak menemui mereka, baru nanti akan menemani saudara lagi ...."

"Aneh," kata Gan Ke-ik sambil mengurut janggut, "Jika soal itu menyangkut kepentingan umum, mengapa mereka tak mau mengundang kami. Apakah ada suatu rahasianya….”

"Ah, soal itu bukan rahasia apa2 ....." sahut Gak Lui tersenyum.

"Lalu mengapa begitu dirahasiakan ?"

"Pangcu tentu mengetahui peristiwa kembalinya Thian Wat totiang, bukan ?"

"Ya."

"Semula Thian Wat totiang itu telah dikuasai Maharaja dan menjadi anggauta Topeng Besi selama bertahun-tahun. Kini setelah dapat kubebaskan, beberapa ketua partai persilatan juga akan menanyakan tentang orang2 mereka yang hilang...."

"Benar, kemanakah orang2 itu ?"

"Karena kesalahan tangan, mereka telah kubunuh !"

"O….," Gak Ke-ik terkejut, ''tentang imam Ceng Ci yang engkau kesalahan membunuhnya, memang telah kudengar. Tetapi kalau hanya berdasarkan soal itu lalu mereka hendak cari2, bukankah akan merepotkan engkau ?"

Gak Lui tertawa tawar : "Memang dunia ini penuh dengan kesukaran. Akupun tiada niat hendak berbantah dengan mereka. Segala apa, biarlah aku sendiri yang tanggung. Tentu ada jalan untuk menyelesaikannya."

"Perlukah kita membantumu ?"

“Tak perlu, disana ada The Thay cianpwe yang akan bantu menjelaskan."

Akhirnya Gan Ke-ik mempersilahkan Gak Lui untuk menemui mereka. Apabila ada keperluan, supaya lekas memberitahu.

Demikian Gak Luipun lalu bersama Pukulan-sakti The Thay masuk kedalam ruang besar. Karena dahulu pernah mengunjungi, maka Gak Lui tak asing dengan tempat itu.

Berpuluh-puluh kursi dan meja telah disiapkan dalam ruang itu. Diantaranya tampak tujuh buah kursi kehormatan untuk tujuh ketua partai persilatan. Kesemuanya diatur dengan rapi menurut susunan tingkat kedudukan masing2.

Setelah Gak Lui dan The Thay dipersilahkan duduk, maka tuan rumah yakni Thian Lok totiang segera berseru nyaring.

"Gak sauhiap, kuingat tempo hari engkau datang kemari dengan membawa obat dan menolong jiwaku. Begitu pula ketika markas Ceng sia-san ini dikepung oleh kawanan Sam-koay, engkaupun telah membantu...."

"Tentang penyakit yang diderita suheng totiang akupun telah mendapatkan obat Kiu-coan-ting-sin-tan. Mudah-mudahan pil itu akan dapat menyembuhkannya," Gak Lui menukas.

"O ... kebetulan sekali," seru Thian Lok totiang dengan gembira, "budi bantuan sauhiap, sungguh besar sekali kepada perguruan kami."

"Ah, harap totiang jangan mengatakan begitu. Menolong orang, itu sudah kewajiban. Tak perlu harus mengharap balas."

"Tetapi ....," Thian Lok totiang sengaja memanjangkan nada suaranya dan memandang kearah hadirin, "semangat sauhiap itu sungguh sikap seorang kesatrya. Dalam soal ini.... kurasa sekalian orang tentu akan mengakui."

Gak Lui tahu bahwa para ketua partai persilatan itu tentu akan meminta keterangan tentang tokoh2 perguruan mereka yang tiada beritanya itu. Ucapan Thian Lok totiang itu jelas suatu pembelaan untuknya agar para ketua partai persilatan itu menjadi dingin hatinya.

"Ah, ucapan totiang itu keliwat memanjakan diriku," seru Gak Lui, "kurasa para ciangbunjin dan tokoh2 yang hadir di sini, tentu memikirkan tentang saudara seperguruannya yang tiada ketahuan nasibnya itu. Maka jika ada yang hendak bertanya, silahkan, harap jangan sungkan !"

Sebenarnya Thian Lok totiang hendak menghindari suasana itu tetapi ternyata Gak Lui sudah menukas dengan terus terang. Seketika wajah ketua Ceng-sia-pay itu berobah. Ia kehilangan faham.

"Gak sauhiap," berseru Hui Gong taysu dari Siau-lim-si, "akupun mengakui bahwa engkau telah menolong jiwaku dengan pemberian obat itu. Budi itu takkan kulupakan selama lamanya. Tetapi suhengku Hui Ki itu merupakan tetua dari perguruan Siau-lim. Tentang kematiannya.....terpaksa aku tak boleh tinggal diam dan terpaksa menanyakan !"

Dalam mengucap kata2 itu tampak wajah ketua Siau-lim-si itu rawan dan berduka. Imam Wi Ih dari Kong-tong-pay, Hwat Lui dari Bu-tong-pay dan Kak Hui dari Heng-san-pay tampak menganggukkan kepala menyetujui.

Sedang Sebun sianseng dan Tek Yan taysu dari Go-bi pay tiada kehilangan orang, maka dalam urusan itu mereka tak menyatakan apa2.

"Terus terang taysu," Gak Luipun menyahut dengan nada bersungguh, "suheng taysu telah kubunuh secara tak sengaja. Dalam hal itu aku sungguh merasa menyesal sekali.”

“Soal itu akupun sudah tahu," kata Hui Gong.

“Tetapi menilik kepandaian sauhiap, kiranya tak mungkin sampai terjadi hal yang sedemikian itu !"

"Dalam pertempuran, memang sukar untuk mencegah kesalahan tangan. Adalah karena kepandaianku yang rendah maka sampai tak dapat menguasai permainanku !"

Mendengar itu Hui Hong taysu maju selangkah dan menegas ; "Apakah benar begitu ?"

Melihat suasana itu, The Thay yang sejak tadi diam saja, kini berseru nyaring : "Saudara2 sekalian, dalam soal itu kiranya akulah yang paling mengetahui jelas. Harap saudara2 mendengarkan penjelasanku...."

Gak Lui tergetar hatinya. Ia menatap jago tua itu dengan pandang mata mencegahnya jangan ikut campur dalam persoalan itu.

Rupanya The Thay tahu akan maksud Gak Lui. Ia merasa kalau salah bicara. Dan lagi pemuda itu tadi sudah mengatakan bahwa segala apa yang akan terjadi dalam rapat pertemuan itu adalah menjadi tanggung jawabnya semua. Kalau ia mengatakan bahwa yang membunuh tokoh2 dari beberapa partai persilatan itu, antara lain dilakukan oleh Hong-lian, tentu akan lebih ruwet dan sulit lagi akibatnya.

The Thay tiba2 mendapat akal dan segera merobah nada pembicaraannya.

"Aku sendiri pernah ditawan oleh gerombolan Kerudung Hitam dan Topeng Besi digunung Hek-san. Disana aku disuruh membuat pedang. Untunglah Gak sauhiap datang menolong dan berjumpa dengan anak perempuanku Hong-lian. Mereka lalu dikepung musuh. Dalam gugup, Gak sauhiap telah bertindak agak cepat sehingga selain Thian Wat totiang, pun yang lain2.... ikut menjadi korban !"

Dengan kata2 itu, The Thay telah menuturkan apa yang telah terjadi tetapi tak sampai menimbulkan reaksi yang menyulitkan Gak Lui.

Tetapi rupanya ketua Siau-lim-si Hui Hong taysu curiga. Memandang kearah The Thay, ia menegas dengan nada dingin : "Apakah omongan The sicu itu dapat dipercaya ?"

"Sungguh......" kata The Thay menelan air liurnya lalu menyusul lagi, "kalau menilik kepandaian Gak sauhiap, memang tak mungkin sampai terjadi hal begitu. Tetapi dalam pertempuran itu karena kepandaian anak perempuanku masih dangkal, beban Gak sauhiap menjadi bertambah berat karena ia harus membagi perhatian untuk melindungi anak itu. Demikian pula karena diriku, Gak sauhiap bertambah berat lagi bebannya. Karena itu maka sampai timbul peristiwa yang tak diinginkan....."

“Hm...," karena menganggap alasan itu cukup beralasan maka Hui Hong taysu hanya mendesah. Ia hanya menghela napas: "Omitohud! Suhengku Hui Ci memang telah melakukan banyak kejahatan tetapi dia dikuasai Maharaja, pikirannya tidak sadar. Ah sungguh tak kira kalau semasa hidupnya suheng telah menuntut kehidupan yang begitu cemar dan kemudian mati secara begitu mengenaskan. Ai, soal itu, tak tahu aku bagaimana harus mempertanggung jawabkan kepada para leluhur Siau-lim…."

"The sicu, Gak sauhiap," tiba2 Wi Ih totiang dari perguruan Kong-tong-pay membuka mulut, "aku juga ingin bicara sedikit."

"Silahkan."

"Perguruan kamipun tidak beruntung. Toa-suheng Wi Cun telah menghianati perguruan dan ikut dalam gerombolan kaum Hitam. Sebagai seorang ketua, aku terpaksa harus bertindak untuk membersihkan noda2 dalam tubuh perguruan Kong-tong-pay."

The Thay mengangguk: "Tindakan tegas dari totiang itu, memang sesuai dengan jiwa dan semangat seorang ketua. Sungguh suatu hal yang harus mendapat penghormatan. Setiap kaum persilatan harus dapat mengetahui tindakan totiang!"

"Ah, jangan terlalu memuji," kata Wi Ih totiang, "tetapi ... ketika murid hianat Wi Cun itu masuk ke Ceng sia, telah diketahui Gak Lui. Dan pada kedua kalinya bertemu digunung Hek-san, tentulah Gak sauhiap tak asing lagi kepadanya. Anehnya, mengapa Gak sauhiap tak menangkapnya hidup2 saja lalu diserahkan kepada kami agar kami dapat memberi pertanggungan jawab?"

Mendengar itu Gak Lui balas bertanya: “Maksud totiang bukankah hendak menyalahkan aku mengapa main hakim sendiri ?"

Wi Ih totiang merah mukanya: "Kejahatan Wi Cun dalam dunia persilatan, memang sudah selayaknya dibunuh, tetapi…dia adalah murid kepala dari perguruan kami. Dalam kedudukanku, akupun juga harus melaporkan pada sekalian angkatan tua dari leluhur yang lalu, baru dapat memberi keputusan. Apalagi engkau..."

"Ucapan totiang memang beralasan," cepat2 The Thay menukas karena kuatir imam itu akan mengutarakan kata2 yang tak sedap didengar, "menurut peraturan, memang suheng totiang itu harus diserahkan kepada ketua Kong-tong-pay dan dimintai pertanggungan jawab. Tetapi ketika aku ditawan digunung Hek-san, dialah yang menjaga diriku. Lain2 anak buah Maharaja itu menurut perintahnya saja. Adalah demi menolong diriku maka Gak sauhiap harus memikirkan kepentingan kedua belah fihak. Karena itu .... kalau totiang tak puas akan peristiwa itu, baiklah totiang umpankan kemarahan totiang kepada diriku saja !"

Beberapa anak murid Kong-tong-pay berobah wajahnya. Begitu pula Wi Ih totiangpun segera memandangnya lekat2 : "The sicu, betapapun engkau hendak berputar lidah tetapi tanggung jawab itu tetap ada pada Gak… Gak sauhiap. Sekalipun engkau mengaku bertanggung jawab, tetapi kamipun tetap takkan mencari engkau !"

Enak kedengarannya ucapan itu tetapi artinya cukup menyinggung perasaan. Dengan kata2 itu jelas kalau The Thay itu dianggap remeh, sehingga tak sepadan kalau harus disuruh bertanggung jawab.

The Thay berwatak berangasan juga. Tetapi memandang Gak Lui, terpaksa ia hanya mengertak gigi menahan kemarahannya.

Melihat itu, cepat Gak Luipun menyanggapi: "Baiklah, totiang menghendaki aku yang bertanggung jawab. Akupun takkan menghindar. Lalu apakah yang totiang maukan dari aku?"

"Ini.....," pertanyaan itu membuat Wi Ih totiang tertegun sendiri. Sebenarnya ia memang mempunyai kesan baik kepada Gak Lui. Sedang suhengnya, Wi Cun totiang itu, memang sudah seharusnya dibunuh. Tetapi dalam kedudukan sebagai seorang ketua partai persilatan, terpaksa ia harus mengurus hal itu. Hanya ketika menghadapi pertanyaan Gak Lui, memang ia tak dapat memberi jawaban.

Dalam detik2 keheningan itu, tiba2 berserulah Kak Hui dari perguruan Heng san. Dia masih muda, baru berumur sekitar 40-an tahun. Diantara golongan ketua persilatan, boleh dikata dia yang paling muda.

"Gak sauhiap," serunya, "menurut suasana pembicaraan, sepertinya kita menyalahkan engkau. Tetapi sebenarnya engkau telah melupakan sebuah hal."

"Dalam hal apa?”

"Kudengar Hui Hong cianpwe pernah mengatakan. Beliau menasehati engkau supaya membawa kawanan Topeng Besi itu kepada masing2 perguruannya agar diberi hukuman sendiri. Tetapi rupanya engkau tetap berkeras tak mau dan hendak mengadili sendiri. Dengan begitu akhirnya harus menghadapi keadaan seperti saat ini !"

Mendengar itu diam2 Gak Lui terkejut. Pikirnya : "Sebenarnya aku memang sudah bertindak hati2, tetapi ternyata adik Hong liang telah bertindak terlalu terburu nafsu sehingga menjadi begini akibatnya...."

“Totiang !" sahut Gak Lui. "dunia ini penuh dengan soal yang tak seperti kita harapkan. Oleh karena itu dalam peristiwa ini, aku tak mau menghindari tanggung jawab. Akupun tak menyalahkan engkau hendak mendesak aku !"

"Kalau begitu baiklah," sahut paderi dari Heng-san itu, "memang kematian suhuku ditangan gerombolan penjahat itu, aku tak mempersalahkan engkau. Tetap tentang kematian paman guruku Hwat Gong itu, aku terpaksa mempersalahkan engkau !"

Gak Lui kerutkan dahi lalu menyahut: "Sudah kukatakan, bahwa aku bersedia mempertanggung jawabkan hal itu !"

Habis berkata ia memperhatikan bahwa wajah Hwat Lui tampak mengerut seperti hendak bicara. Maka Gak Luipun lalu berpaling kearah mereka bertiga, serunya : "Jika perguruan totiang masih hendak mengutarakan apa saja, silahkan bilang !”

Hwat Lui segera menyambut : "Perguruan kami Bu-tong kiam-pay sudah termasyhur diseluruh dunia. Sekalipun paman guru kami Ceng Ci telah lenyap, tetapi markas digunung Bu-tong-san tetap tak kurang suatu apa. Tetapi setelah engkau datang ke gunung kami, ketua kami Ceng Ki totiang menjadi co-hwe jip-mo dan binasa !"

Berhenti sejenak, Hwat Lui melanjutkan pula : "Sebelum menutup mata, beliau telah memberikan pedang pusaka perguruan Bu-tong kepadamu. Pengganti ketua yalah Ceng Suan totiang, demi menjaga pedang pusaka itu telah turun gunung tetapi sungguh naas sekali, akhirnya beliau telah binasa ditangan Maharaja....."

Berkata sampai disini ketiga imam dari perguruan Bu-tong-pay itu sampai mengucurkan air-mata.

Dengan berlinang-linang Gak Lui berkata, "Budi kebaikan kedua totiang itu, aku sungguh amat berterima kasih sekali....."

"Kedua cianpwe itu binasa karena engkau. Adalah karena ingin membantu orang maka beliau rela menutup mata. Kami yang menjadi angkatan muda tak dapat berbuat apa2. Tetapi seharusnya engkau berusaha sekuat tenaga untuk menolong Ceng Ci totiang sebagai balas budi atas pengorbanan kedua totiang itu. Tetapi ternyata ketika bertempur ditelaga Kiam-than, engkau tak mau memperhatikan lagi siapa musuhmu itu, engkau terus main bunuh. Dan akibatnya beliaupun ikut engkau bunuh. Orang she Gak, engkau.., engkau... mempunyai alasan apa lagi yang dapat membuat kami puas dan rela ?"

Gak Lui menyesal tak terhingga : "Memang akulah yang lengah...sungguh amat menyesal sekali..."

Mendengar itu The Thay menyanggah dengan menerangkan : "Soal itu juga tak dapat mempersalahkan Gak sauhiap seluruhnya. Pertempuran ditelaga Kiam-than itu, musuhpun main keroyokan. Kawanan Kerudung Hitam dan Topeng Besi campur baur sukar dibedakan. Apalagi paman gurumu sudah kehilangan kesadaran pikirannya sehingga menyerang secara membabi buta. Maka kalau hendak menyalahkan, si Maharajalah yang harus disalahkan. Tak boleh....."

"Tunggu!" tukas Hwat Lui, "walaupun ucapan The sicu itu beralasan, tetapi makin jauh dari persoalannya. Berbicara tentang Gak sauhiap turun gunung untuk memapas pedang, pedangku sendiripun kena ditabasnya kutung. Ya, walaupun soal itu salahku sendiri mengapa kepandaianku begitu dangkal. Tetapi kenyataannya, yang menimbulkan gara2 itu adalah dia, bukan aku. Itulah sebabnya maka ketua perguruan kami sampai menghapus perintah menutup gunung, pendek kata, apabila tidak ada Gak Lui yang menjadi gara2, perguruan Bu-tong-san tentu tak sampai mengalami nasib seperti saat ini."

Buru2 Gak Lui menanggapi: "Aku amat menyesal sekali, tentu dapat.....”

"Orang2nya mati, pedangnya hilang. Apa guna ucapan maaf itu !" tukas Hwat Lui.

"Lalu bagaimana menurut kehendak totiang?"

"Hutang darah bayar darah, dendam harus dihimpaskan !"

"Kecuali itu ?"

"Tiada jalan lain !"

"Ah, apakah totiang tidak terburu nafsu?"

Rupanya Hwat Lui yang sudah diamuk dengan dendam dan penasaran, serentak berbangkit sambil memegang tangkai pedang, serunya: "Sekali-kali aku tak dirangsang nafsu. Kepandaian kita berduapun sudah kupertimbangkan. Tetapi demi membalas dendam dan angkatan tua, sekalipun kalah aku tetap akan mencobanya."

Gak Lui menyadari bahwa ucapan paderi dari Bu-tong itu memang bukan kata2 kosong. Diam2 mengagumi Hwat Lui yang bernyali besar. Tetapi kalau bertempur sungguh, sekalipun lawan maju tiga orang, tetap ia dapat mengatasi.

Gak Lui tak mau menuruti hati yang panas. Ia memberi isyarat tangan meminta mereka duduk.

Dalam suasana yang tegang itu, beberapa ketua perguruan silat antara lain ketua Heng-san pay, ketua Kong-tong-pay, ketua Siau-lim-pay bahkan tuan rumah yakni Thian Lok totiang sebagai ketua Ceng-sia-pay, juga tak dapat bicara apa2.

Beberapa saat kemudian setelah memberi kicupan mata kepada Tek Yan taysu, berkatalah Sebun sianseng dengan tenang : "Saudara2 ! Kurasa kedua belah fihak memang sama2 mempunyai alasan yang kuat. Maka kesimpulannya, segala apa itu rupanya memang sudah takdir yang tak dapat dirobah manusia ...”

"Menurut cianpwe, karena sudah takdir maka kita tak perlu mengurus lagi ?" Hwat Lui membantah.

"Jika mau mengurus, sebaiknya tunggu setelah dapat melenyapkan si Maharaja, baru kita nanti berunding lagi.”

"Kalau begitu, fihak Kun-lun-pay dan Go-bi-pay dapat memberi jaminan bahwa setelah musuh besar itu terbasmi, maka kami dan Gak Lui akan bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul kepandaiannya ?" seru Hwat Lui pula.

"Tidak !" serempak Sebun sianseng dan Tek Yan menyahut.

Hwat Lui, Kak Hui dan Wi Ih totiangpun serempak bertanya: "Kalau perguruan saudara tak mau memberi jaminan, bukankah hal itu seperti hendak menghalangi kami....."

"Sama sekali tidak menghalangi !" seru Sebun sianseng dengan wajah berobah, "bagaimana tindakan dalam dunia Persilatan, kiranya semua orang tentu sudah jelas. Aku bukanlah seorang manusia yang ingin mencari muka kepada orang, sedang perguruanku sendiri pun kehilangan suhengku Tanghong Giok. Dalam hal itu kalau aku tak menyadari benar tidaknya peristiwa itu, tentulah dengan membabi buta kutimpahkan kesalahan itu diatas kepalanya !"

Ucapan itu membuat Hwat Lui dan lain2 merah mukanya. Namun seperti tak memperhatikan mereka, Sebun sianseng tetap melanjutkan kata2-nya : "Soal urusan dendam saudara ini, selainkan setelah nanti Maharaja dapat dibasmi baru dirundingkan lagi, pun supaya dipertimbangkan yang lebih hati2."

"Cianpwe menghendaki kita mempertimbangkan bagaimana lagi ?" seru Hwat Lui penasaran.

Sebun sianseng deliki mata kepada paderi itu: "Paling tidak .... bertempur itu bukan cara yang terbaik."

"Karena cianpwe menganggap kepandaian kami tidak memadai ?"

"Sekalipun ilmu kepandaian saudara tinggi, tetapi kurang layak kalau menggunakan kegagahan untuk bertempur mati-matian !"

"Habis bagaimana ?"

"Kurasa.....," Sebun sianseng meragu lalu memandang Gak Lui, "lebih baik serahkan Gak sauhiap yang memutuskan saja!"

“Serahkan dia?" Hwat Lui mengulang kaget seperti tak percaya apa yang didengarnya.

Sebun Sianseng memandang sekalian hadirin, lalu berseru: “Benar! Gak sauhiap berwatak keras tetapi lurus. Apa yang diputuskan tentu takkan merugikan kalian!"

Hwat Lui dan lain2 makin terkejut. Mereka memandang Hui Hong taysu dan Wi Ih totiang. Maksudnya meminta kedua tokoh itu untuk menyatakan pendapat.

Hui Hong taysu merenung seraya memandang sekalian hadirin. Kemudian ia menghela napas: “Aku pernah menerima budi dari Gak Sauhiap. Persoalan perguruan, akupun tak dapat berpeluk tangan. Apabila Gak sauhiap mempunyai pendapat yang memuaskan kedua belah fihak, Siau-lim-si pun takkan menyatakan lain."

Wi Ih totiangpun mengangguk: “Musuh kuat berada didepan mata, lebih dulu kita harus bersatu menghadapi, baru nanti bicara lain2. Karena itu...Kong-tong-pay juga menyatakan setuju."

Karena kedua tokoh tua itu sudah menyatakan pendapatnya, Hwat Lui dan Kak Huipun tak tak dapat berkeras lagi.

“Sudahlah," seru Thian Lok totiang, “soal ini sudah beres. Sekarang kita lanjutkan dengan perundingan untuk mengatur rencana menghadapi musuh. Adakah selama diluaran ini. Gak siauhiap pernah mendengar sesuatu tentang Maharaja?"

Gak Lui tersenyum: “Dia sendiri tak muncul."

Ucapan itu mengejutkan sekalian hadirin. Bagi sementara ketua perguruan, mereka merasa lega tetapi ada beberapa yang kecewa.

Gak Lui lalu menuturkan tentang peristiwa barisan-bersembunyi dari Siau Yau tojin tetapi akhirnya mereka dapat disapu berantakan.

“Bagus!" seru Thian Lok totiang, “kecuali si durjana itu, siapapun musuh yang datang tentu tak mungkin lolos dari barisan Thian-lo-to-ong-tin ..."

Gak Lui kerutkan alis: “Oleh karena ini aku tak dapat lama2 disini dan segera akan minta diri hendak menuju ke Im-leng-san. Aku hendak memenuhi janji untuk berhadapan seorang diri dengan dia dan merebut kembali pedang Pelangi!"

“Ah ..." terdengar desah sekalian hadirin.

“Saudara Gak," seru Sebun sianseng dengan wajah tegang, “kepergianmu untuk memenuhi tantangan itu, kecuali mengandalkan ilmu kepandaian engkau tentu juga mengandalkan kedahsyatan dari pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam itu, bukan?"

“Hm... benar," sahut Gak Lui, “ilmu Suitan-maut dari manusia durjana itu hanya dapat ditumpas dengan pedang ini!"

Sebun sianseng mengicup mata dan gunakan ilmu Menyusup-suara berkata: “Pedang itu tak boleh sembarangan dipakai. Engkau harus mempertimbangkan akibat dibelakangnya."

Gak Luipun menyahut dengan ilmu Menyusup-suara juga: “Aku sudah mengetahui dan merasakan daya iblis dari pedang itu. Dan untuk menjaga kemungkinan yang tak diharapkan, aku sudah menyediakan empat orang pembantu !"

“Bagus," sebun sianseng menjawab pula lalu berkata dengan omongan biasa, “apakah sauhiap perlu membawa orang ke sana ?"

”Aku hendak mengundang empat orang nona ....”

“O, empat orang nona ?"

“Mereka bukan orang luar tetapi mempunyai hubungan dengan perguruan Bu-san dan Thian liong-pay. Mereka juga mempunyai dendam permusuhan dengan durjana itu."

“Peristiwa besar yang jarang terjadi itu, entah apakah aku dapat menyaksikan ?" seru Thian Lok totiang dengan gembira.

“Hm...." Gak Lui merenung sejenak lalu menyahut, “menurut pendapatku, lebih baik jangan."

Oleh karena soal itu milik Gak Lui bersama Maharaja, karena Gak Lui keberatan, merekapun tak dapat berbuat apa2 kecuali kecewa dalam hati.

Entah bagaimana tiba2 Sebun sianseng mendapat pikiran. Segera ia buka suara: “Saudara Gak, karena beberapa ketua perguruan mempunyai kegembiraan untuk menyaksikan, lebih baik engkau luluskan. Pun aku sendiri juga kepingin melihat !”

Bermula Gak Lui terkesiap karena anggap kata Sebun siangseng itu tentu mengandung maksud tertentu. Namun ia masih tak tahu. Maka ditatapnya tokoh itu dengan pandang mata bertanya.

Sebun sianseng tak menyahut melainkan keliarkan pandang matanya. Ketika tertumbuk pada pedang Thian lui-koay-kiam, tiba2 matanya merentang lebar2.

“Oh....." Gak Lui cepat dapat menduga bahwa tokoh itu menguatirkan keganasan pedang Thian lui-koay-kiam maka selain keempat nona itu mereka pun ingin menyaksikan agar dapat memberi bantuan apabila diperlukan.

“Atas maksud para ciang-bunjin yang baik, akupun menerima. Tetapi pada waktu pergi, kuharap supaya menurut sebuah permintaanku," kata Gak Lui.

“Ya, kami akan menurut engkau," seru Sebun siangseng dan Thian Lok totiang serempak.

“Perjalanan di gunung Im-leng san itu amat berbahaya," kata Gak Lui, “lebih dulu aku hendak mengajak keempat nona itu memasuki gunung itu. Di sepanjang jalan akan kutinggalkan tanda rahasia agar saudara2 sekalian dapat mengikuti naik. Pada waktu menyaksikan pertempuran harap jangan memberitahukan!"

“Sudah tentu tidak!" seru Sebun siangseng sembari tertawa, "dalam pertempuran mati hidup itu, sekalipun engkau minta aku membantu, aku pun takut sendiri."

Demikian setelah tercapai keputusan, akhirnya pertemuan untuk meminta pertanggungan jawab kepada Gak Lui itu telah selesai. Para ketua partai persilatanpun berbondong-bondong minta diri.

Thian Lok totiang menemani Gak Lui berjalan dibelakang rombongan tetamu. Keduanya hendak mengambil pil Kiu-cuan-ting-sim-tan untuk menolong Thian Wat totiang, tetapi ketika berjalan sampai diluar, mereka berpapasan dengan ketua Kaypang dan beberapa orang yang hendak mencari Gak Lui.

Ternyata mereka hendak menanyakan keadaan pemuda itu sejak berpisah. Setelah pertemuan yang menggembirakan itu selesai, Gak Lui minta kepada The Thay supaya suruh Siu-mey mengambilkan obat.

Tak berapa lama Siu-mey pun muncul dengan membawa obat. Mereka lalu menuju ketempat Thian Wat totiang.

Tetapi belum berapa jauh berjalan, tiba2 diluar gunung meluncur sebatang panah api lalu disusul dengan dengung terompet yang menggema diangkasa.

Melihat itu berobahlah wajah Thian Lok totiang, serunya agak tergetar: "Hm, sungguh besar sekali nyali musuh. Mereka berani datang kemari!"

Gak Lui kerutkan alis lalu menyatakan hendak menyambut musuh.

"Tak perlu," sahut Thian Lok totiang, “karena Maharaja tidak datang, lain2 saudara dapat menghadapi. Kurasa sauhiap lebih baik masuk dan mengobati suhengku."

"Baiklah, kalau ada suatu perobahan yang genting, harap memberitahu kepadaku,” kata Gak Lui seraya melangkah kedalam halaman. Sambil menunjuk sebuah bangunan, Thian Lok totiang berkata : "Disitulah tempat tinggal suheng. Dahulu nona ini pernah datang kemari, harap nona suka membawa Gak Sauhiap kesana."

Setelah itu Thian Lok totiang keluar lagi untuk bergabung dengan tokoh2 persilatan. Sedang Siu-meypun segera membawa Gak Lui keruang tempat Thian Wat totiang. Dua orang imam kecil yang mengenal kedua anak muda itu segera memberi hormat.

"Bagaimana keadaan totiang dalam beberapa hari ini ?" tanya Siu-mey.

"Sehari-hari sucou hanya duduk termenung seperti...memikirkan sesuatu," kata imam kecil itu.

"Baiklah, kalian boleh menyingkir dulu. Nanti apabila ada keperluan tentu akan kupanggil."

Setelah penjaga2 itu menyingkir kehalaman, Gak Luipun bertanya mengapa tampaknya Siu-mey begitu tegang.

Sambil memandang kearah ruang itu, Siu-mey berkata perlahan : "Tindakanku ini ada dua maksud. Pertama, apabila daya ingatan totiang sudah pulih kembali, mungkin dapat menceritakan banyak sekali rahasia. Maka paling baik jangan sampai terdengar orang luar."

"Hm…."

"Dan lagi, sebelum diberinya minum pil Kiu-coan-ting-sim-tan, perlu hendak kujelaskan tentang keadaannya yang lalu agar diam2 engkaupun dapat berjaga jaga."

"Baik !"

"Pada waktu The Thay lo-cianpwe mengantarnya pulang, totiang dalam keadaan tak sadarkan diri, mirip seperti mayat berjalan. Setelah minum obat dari beberapa partai persilatan dan dirawat dengan cermat, dia baru sedikit timbul daya ingatannya. Makan, minum dan bicara sudah seperti orang biasa."

"Adakah ia ingat akan peristiwa ditawannya dahulu ?"

"Tidak ingat dan pula ..."

"Bagaimana ?"

"Sekalian orangpun tak berani mengatakan kalau dia pernah ditawan Maharaja dan melakukan banyak hal yang tak pantas. Karena kuatir akan menusuk perasaannya dan dapat menimbulkan hal2 yang tak terduga !"

"Oh !" Gak Lui terkejut. Diam2 ia menimang: "Sayang sekali, totiang sesungguhnya seorang tokoh yang jujur dan lurus. Apabila hal itu diketahuinya mungkin akan menimbulkan hal yang tak diinginkan. Tetapi jika tak kutanyakan hal itu, dendam sakit itu tentu sukar diketahui sampai akarnya. Hm, bagaimana aku harus bertindak ?"

Rupanya Siu-mey tahu akan kegelisahan Gak Lui. Segera ia menegurnya: "Engkoh Lui, jangan gelisah. Obat yang sekarang hendak diminumkan itu masih suatu pertanyaan adakah mempunyai daya khasiat atau tidak. Jangan memikirkan terlalu jauh dulu...."

"Kalau gagal, tiada gantinya lain lagi. Tetapi kalau berhasil ...."

"Tentu totiang akan sembuh. Dan tentang pengalamannya yang lalu, terserah saja kepadamu !"

Demikian keduanya segera menghampiri dan mulai mengetuk pintu. "Siapa.....!"

Bab 32. Menebus dosa.

“Gak Lui mohon menghadap totiang !”

"Gak .... Lui ?" suara dari dalam itu mengulang dengan nada tawar.

"Aku Li Siu-mey dengan engkoh-angkatku, hendak mengantar obat untuk totiang !" seru Siu-mey.

"O, kiranya nona Li," seru orang itu dengan nada cerah lalu mempersilahkan masuk.

Setelah mendorong pintu dan melalui dua buah ruang barulah kedua muda mudi itu masuk ke ruang tempat Thian Wat totiang.

Gak Lui terkejut ketika menyaksikan keadaan paderi itu, Thian Wat totiang yang dikenalnya berkepala gundul tetapi saat itu memelihara rambut panjang. Sepasang matanya berkilat-kilat memberingas.

"Tiap hari aku duduk bersemedhi dalam kesunyian. Sungguh kebetulan sekali kalian datang,” Thian Wat totiang tertawa gelak2.

Siu-mey tertawa pula : “Kedatangan kami memang hendak menemani kesepian totiang sembari menghaturkan obat Kiu-coan-ting-sim-tan. Apalagi engkoh Gak Lui itu bukan orang asing karena totianglah yang telah ditolong olehnya.”

“O," desuh Thian Wat totiang, “makanya aku seperti sudah kenal, kiranya penolongku. Maaf, kalau aku berlaku kurang menghormat."

Gak Lui mengucap kata2 merendah.

“Dan sauhiap mengantar obat lagi kemari. Benar2 aku amat berterima kasih. Apakah obat itu boleh segera kuterima ?"

“Ada sedikit hal yang perlu kujelaskan ...” kata Gak Lui. Setelah Thian Wat totiang mempersilahkannya, Gak Lui melanjutkan pula: “Kalau obat itu tak manjur, harap totiang jangan putus asa ....."

“Tentu."

“Tetapi kalau manjur, totiang tentu akan kembali pula daya ingatannya dan akan teringat akan segala peristiwa yang lampau. Mungkin... akan menambah kegelisahan totiang !"

“Ah, memang dapat beberapa hari ini aku seperti orang mimpi. Aku tak ingat segala peristiwa yang lampau .......”

“Tetapi kalau peristiwa lama itu tak menyenangkan, bukankah lebih baik tak ingat saja ?"

Thian Wat tetap berkeras meminta obat itu. Apa boleh buat, Gak Lui melirik ke arah Siu-mey.

Siu-meypun merenung sejenak. Sesaat kemudian ia mengambil keluar botol obat, ujarnya: "Totiang apakah engkau mau mempertimbangkan lagi atau tidak ?"

"Sudah lama kupertimbangkan sampai berulang kali. Sepanjang ingatanku, memang ada suatu yang terang. Entah baik atau buruk, harus kubikin jelas. Nona, engkau .... bantulah !"

Melihat Thian Wat totiang begitu mantap dan tak mengunjuk rasa sesal suatu apa, barulah Siu-mey memberikan pil dalam botol itu kepadanya.

Thian Wat amat gembira sekali sehingga tanpa berkata apa2 lagi ia terus menelan pil itu lalu pejamkan mata menjalankan peredaran darah, menggunakan tenaga-dalam untuk mengembangkan daya obat itu.

Beberapa saat kemudian, tampak napasnya mulai teratur dan semangatnyapun tenang. Rupanya dia sudah memasuki tingkat kehampaan dalam semedhi.

Melihat itu Siu-mey berkata kepada Gak Lui : "Engkoh Lui, maukah engkau mengurutnya supaya dia cepat sembuh ?”

"Kurasa tak perlu," sahut Gak Lui, "memang bermula kukira dia menderita penyakit yang parah sehingga tak dapat melakukan penyaluran tenaga-dalam. Tetapi ternyata tidak. Hanya saja.....aku merasa cemas dengan khasiat obat itu..."

"Ah, mengapa tiba2 saja engkau begitu hati2 .....," seru Siu-mey, "ingatlah, ayah pernah mengatakan, jika totiang itu memang sudah dibius selama 18 tahun, obat ini memang tak berguna. Kurasa.... waktu selama 18 tahun itu memang mungkin terjadi pada diri totiang, karena itu......."

"Bagaimana ?” seru Gak Lui terkejut.

"Obat itu tak berguna, percuma engkau begitu tegang !" seru Siu-mey.

Saat itu tampak dahi Thian Wat totiang mengucurkan keringat sebesar kedele. Cahaya wajahnyapun berobah robah tak menentu, riang, marah, sedih dan gembira.

"Ah," tiba2 Gak Lui mendesuh pelahan, "rupanya daya obat sudah mulai tampak. Totiang sudah dapat mengingat peristiwa yang lampau !"

Siu-meypun terkejut juga: "Aneh sekali ! Rasanya ilmu pengobatan ayah itu takkan salah. Kecuali .... waktu pembiusan totiang itu memang kurang dari 18 tahun."

"Kalau kurang dari 18 tahun berarti dia juga seorang murid hianat !"

"Engkoh Lui, apakah maksudmu ?"

"Jelas," sahut Gak Lui, "hal itu membuktikan bahwa dia tidak dikuasai Maharaja tetapi memang dengan kemauannya sendiri menggabung diri pada kawanan penjahat, menjadi kaki tangan mereka !"

"Akhirnya apa dia bukan menjadi anggauta Topeng Besi itu?"

"Hal itu terjadi belakangan, kemungkinan musuh memutuskan untuk menghancurkan kesadaran pikirannya. Kalau tidak, seharusnya dalam waktu 18 tahun itu dia tentu tak sadar pikirannya !"

"Oh....” hanya demikian Siu-mey dapat berseru gemetar tanpa berkata apa2.

Gak Luipun tampak memandang lekat pada Thian Wat totiang yang saat itu amat tegang sekali. Wajahnya mengernyit, menimbulkan gelombang kerut yang berombak keras, penuh dengan lamunan dan pertentangan batin. Tubuhnyapun mengigil keras.

Dalam pada itu sayup2 Gak Lui mendengar gema suitan berulang kali. Ia duga tokoh2 partai persilatan tentu sedang bertempur melawan musuh.

Lebih kurang setengah jam kemudian, tapak wajah Thian Wat totiang agak tenang. Keringat yang membasahi tubuhpun sudah kering. Akhirnya dia membuka mata. Begitu melihat Gak Lui ia segera berseru : "Saudara, harap memberitahukan siapakah nama saudara ini ?"


Gak Lui balas menatap dengan tajam lalu memberitahukan namanya.

"Gak Lui, hm….hm.....” Thian Wat totiang anggukkan kepala dan bertanya pula: "Siapakah nama ayahmu ?"

Gak Lui tergetar. Dengan nada dingin ia balas bertanya : "Mengapa totiang menanyakan hal itu ? Tentulah ingatan totiang sudah pulih kembali !"

"Jawablah pertanyaanku lebih dulu !"

"Tidak, lebih baik totiang yang menjawab dulu !”

"Ingatan itu berada dalam otakku. Apa yang dipikirkan tentu lain orang tak dapat mengetahui. Karena itu.....lebih baik engkau dahulu yang menjawab !"

"baik," sahut Gak Lui lalu dengan nada setengah marah berseru : "Mendiang ayahku bernama Gak Tiang-beng, orang memberi gelaran sebagai Dewa Pedang !"

"Benarkah dia ?"

"Sudah tentu benar !”

"Heh, heh, heh.....," tiba2 totiang itu tertawa mengekeh. Tubuhnya gemetar, ia mengadahkan kepala dan menghambur tertawa yang menyeramkan.

Tegak bulu kuduk Gak Lui mendengar suara-tertawa itu. Amarahnya mulai meluap. Dengan mata memberingas, ia berteriak : "Mengapa engkau tertawa begitu rupa !"

Tetapi Thian Wat totiang tetap tak menjawab. Ia hentikan tawa dan menghela napas berulang2. Kerut wajahnyapun mulai serius seperti semula lagi dan sikapnya amat tenang sekali.

Tetapi pembicaraan tadi telah didengar dan mengejutkan dua orang paderi kecil yang menunggu diluar. Salah seorang paderi kecil itu segera berseru dengan nyaring dan hormat: "Hatur beritahu kepada sucou, apakah sucou memerlukan kami menunggu didalam ?”

"Tak perlu !” seru Thian Wat totiang, "kalian mundur semua !"

Paderi kecil itu mengiakan dan melangkah keluar dari ruang itu. Tetap baru mereka pergi, kembali terdengar derap langkah orang menerobos masuk. Gak Lui terkesiap. Belum sempat ia membuka mulut, pendatang itu atau Thian Lok totiang sudah berseru : "Suheng, engkau bagaimana...."

"Berhenti !" teriak Thian Wat totiang dengan bengis. Derap langkah diluarpun berhenti. Lalu Thian Wat berseru pula: "Aku tak kurang suatu apa, jangan masuk dulu !”

"Sungguh ?”

"Masakan suheng membohongi engkau !”

"Kalau begitu," Thian Lok totiang berobah tenang dan riang suaranya, "aku hendak bicara beberapa patah kata dengan Gak sauhiap, entah apakah suheng meluluskan ?”

"Tentu saja boleh," sahut Thian Wat totiang dengan nada lebih tenang, "silahkan engkau bicara dari luar saja, Gak sauhiap tentu sudah mendengar."

Maka Thian Lok totiangpun segera berkata dari luar : "Gak sauhiap, akan kusampaikan kepadamu sebuah berita baik. Musuh yang datang kegunung ini telah dapat kami hancurkan dalam barisan Thian lo te ong-tin !"

"Bagus !" seru Gak Lui memuji, "hasil itu berkat pimpinan totiang yang hebat!"

Thian Lok totiang mengucapkan kata2 merendah kemudian berkata lebih lanjut: "Musuh telah menderita kekalahan yang cukup parah sehingga takkan kembali lagi. Kelak sauhiap dapat mencurahkan seluruh perhatian untuk menghadapi Maharaja. Tentang diriku, aku hendak mengatur lain2 urusan termasuk memanggil murid2 yang kutugaskan sembunyi di beberapa tempat. Akan kusuruh mereka beristirahat ...."

"Silahkan totiang," kata Gak Lui.

Thian Lok totiangpun pamit dan setelah menanyakan tentang keadaan suhengnya, ia terus melesat keluar.

Perhatian Gak Lui kini ditumpahkan pula kearah Thian Wat totiang. Tampak kerut wajah pendeta tua itu bergeliatan dan pada lain saat mulutnya kedengaran menghela napas : “Gak Sauhiap, kenangan masa lampau, memang benar seperti yang engkau katakan .. tidak menggembirakan."

"Kalau demikian," Gak Lui berusaha keras untuk menenangkan gejolak hatinya, "adakah totiang suka untuk menceritakan ?"

"Tentu !"

"Kalau begitu, silahkanlah."

"Tetapi sebelum minum obat, engkau berulang kali memberi peringatan supaya peristiwa masa lampau yang tak menyenangkan itu, dilupakan saja.”

"O," Gak Lui mendesuh. Diam2 ia menduga paderi tua itu tentu mempunyai rahasia yang sukar diberitahukan orang. Dari nadanya, seolah-olah paderi itu sudah mengandung penyesalan.

"Totiang, adalah totiang sekarang hendak melupakan peristiwa lampau itu ?" tanyanya dengan nada ikut prihatin.

"Tidak !" tiba2 paderi tua itu menyahut, "aku sudah dapat mengingat dan takkan lupa lagi. Maksudku yalah... selayaknya engkaupun harus mendengar karena hal itu juga tak menggembirakan bagimu !"

"Tak apa," sahut Gak Lui, "dalam menghadapi peristiwa lampau itu, aku sudah mengemasi hatiku. Terus terang, aku telah bersusah payah untuk mencari tahu peristiwa lama itu. Itu pulalah sebabnya maka kutolong engkau !"

"Baik, karena engkau bersedia mendengarkan, akupun akan bercerita mulai dari…. 18 tahun yang lalu....."

Mendengar itu Gak Lui dan Siu-mey terbeliak. Mereka mencurahkan perhatian benar2 kepada cerita yang akan dibawa paderi itu.

Maka mulailah Thian Wat bercerita.

"Pada masa itu, Maharaja masih menyembunyikan diri dari dunia persilatan. Aku sudah mulai bergerak diluar untuk membasmi Kelima Durjana yang selalu membikin keruh suasana dunia persilatan. Ketika tiba di .... sekitar daerah Tibet, aku berpapasan dengan seorang yang mengenakan kerudung muka. Bermula orang itu tak membuat suatu gerakan apa2. Tetapi begitu aku agak lengah, dia telah gunakan ilmu tutukan yang luar biasa menutuk jalan darahku...."

Mendengar itu, Gak Lui cepat menukas pertanyaan : “Penutukan itu bukankah terjadi pada 18 tahun yang lalu ?"

"Hm ... benar."

"Sejak masa itu bukankah totiang kehilangan kesadaran pikiran ?"

"Tidak ! Pikiranku masih sadar .... hampir setahun lamanya !"

"Benarkah omongan totiang itu atau apakah hanya suatu rangkaian totiang sendiri ?"

"Mengapa sauhiap tak percaya ?"

"Tindakan orang itu tentu bermaksud kalau tak menguasai engkau, masakan engkau masih dapat sadar. Kalau masih sadar, jelas membuktikan bahwa engkau....."

Thian Wat totiang kerutkan alis dan menukas: "Membuktikan bahwa aku ini seorang murid hianat, benar tidak ?"

"Terpaksa aku harus menduga demikian," sahut Gak Lui.

"Engkau memang tak salah. Tetapi aku memang mempunyai alasan sendiri. Harap suka dengarkan sampai selasai."

"Hm," Gak Lui mendesuh.

"Pada waktu bersua dengan si Maharaja-persilatan Tio Bik-lui hatiku sudah mempunyai kecurigaan. Maka ketika dia melakukan tutukan dengan cepat dan tiba2, sebelumnya aku sudah siap dan diam2 telah kukerahkan tenaga-dalam untuk bertahan. Maka lewat sehari dua hari saja, aku sudah pulih lagi kesadaran pikiranku !"

"Lalu mengapa tak berusaha melepaskan diri?"

“Sesungguhnya akupun mempunyai maksud begitu juga," sahut Thian Wat totiang, "tetapi kenyataan tidak mudah. Aku harus memakai sebuah topeng besi. Kalau hendak kulepas sendiri, tentu akan menyebabkan benakku hancur dan jiwaku melayang."

"Lalu ?"

"Ketika aku rubuh, dia sudah gunakan tutukan Im-ji-jiu-hwat. Maka sekalipun pikiranku masih sadar, tetapi kecerdasanku menurun. Apalagi setiap kali mendengar suitannya yang aneh, hatiku merana dan aku segera menurut semua perintahnya."

"Apakah masih ada lain sebab lagi ?” tanya Gak Lui lagi.

"Selain mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, pun dia memiliki beberapa pembantu yang ganas, namanya....."

“Tabib-jahat Li Hui-ting dan si Penjaga Akhirat ...."

"Ah, benar, benar, walaupun kepandaian mereka tidak berapa tinggi tetapi cerdik dan julig sekali. Oleh karena itu dalam keadaan menderita luka itu, aku tak berani bertindak sembarangan. Pun kudengar rencana mereka untuk membasmi Bu-san-su-kiam lebih dulu baru nanti setiap partai persilatan. Aku pun segera timbul suatu rencana."

"Rencana bagaimana ?"

"Mereka tak tahu kalau pikiranku masih sadar. Maka akan kugunakan kesempatan itu untuk mendengarkan rahasia2 mereka. Begitu ada kesempatan aku segera akan meloloskan diri dan memberitahukan rahasia mereka kepada dunia persilatan."

"Kemudian lalu?"

"Setelah menetapkan keputusan itu, aku tetap bersikap tenang dan diam2 kuperhatikan gerak gerik musuh. Dalam beberapa waktu memang aku masih dijaga dan tak dibawa keluar. Tetapi tak berapa lama, kembali mereka dapat menawan tiga orang tokoh silat yang sakti lagi. Menilik ilmu kepandaian ketiga tawanan itu, jelas mereka adalah paderi Hui Ceng dari Siau lim-si, imam Ceng Ci dari partai Butong-pay dan Hwat Gong Paderi dari Hong san-pay.”

"Wi Cun dari partai Kong-tong-pay itu masih belum dihitung !" seru Gak Lui.

Mendengar disebutnya nama imam Wi Cun, mata Thian Wat totiangpun tampak bersinar, serunya : "Orang itu tak berharga disebut. Sebagai seorang murid partai Ceng-pay, dia berhati congkak dan temaha sehingga mau menghianati perguruannya !"

"Hanya karena sebab itu ?"

"Menurut apa yang kudengar, walaupun Wi Cun itu murid kepala dari Tujuh jago-pedang partai Kong-tong-pay, tetapi karena perangainya amat jumawa, ketua Kong-tong-pay menganggap dia tak dapat menjadi pewaris perguruan sehingga diam2 ketua Kong-tong pay telah merencanakan untuk mencari lain murid yang lebih baik. Karena sakit hati, Wi Cun lalu menggabung pada kaum Sesat. Dia tetap bercita-cita untuk merebut kedudukan dalam partai Kong tong-pay-lagi ...”

"Setelah membantu empat serangkai Topeng Besi itu dan ditambah Wi Cun serta Penjaga-Akhirat, jumlah anak buah merekapun cukup banyak. Lalu bagaimanakah tindakan selanjutnya ?"

"Sebenarnya mereka hendak mencari Empat-pedang Bu-san tetapi ditengah jalan telah berpapasan dengan ayahmu..."

"O ... !" Gak Lui mendesuh kaget.

"Ayahmu memang tajam sekali penglihatannya. Dari gerak langkah si Maharaja, dia cepat dapat mengetahui kalau Maharaja itu seorang tokoh persilatan. Segera ia menghentikan dan menanyakan diri Maharaja ....."

“Hm, bagaimana jawabannya?"

"Dia gentar akan kebesaran nama Dewa-pedang sehingga tak berani mengaku siapa dirinya. Tetapi ayahmu tak mudah dibohongi. Dia mengangkat pedang untuk mengujinya. Setelah empat jurus serangan yang disambut orang itu dengan jurus yang aneh dan luar biasa, barulah ayahmu tahu bahwa sumber ilmu mereka sama. Pada jurus keempat, pedang si Maharaja ujungnya terpapas kutung sedikit..."

"Benar !" seru Gak Lui.

"Karena menderita kekalahan, Maharaja lalu bersuit dan memerintahkan kami beramai ramai untuk menyerang ayahmu. Saat itu sebenarnya aku hendak membantu ayahmu karena betapapun saktinya, karena hanya seorang diri akhirnya ia tak tahan dikeroyok lalu loncat keluar !"

"Apakah setelah itu sudah selesai ?"

"Belum," Thian Wat totiang gelengkan kepala," ayahmu memberi peringatan !"

"Bagaimana beliau memberi peringatan?"

"Dia suruh Maharaja melenyapkan ilmu kepandaiannya dan jangan muncul didunia persilatan lagi untuk selama-lamanya. Kalau Maharaja menolak, ayahmu akan mengerahkan Empat-pedang Bu-san untuk menumpasnya !"

"Lalu apa jawab Maharaja ?"

"Maharaja malah menantang. Kalau keempat jago pedang Bu-san itu tak muncul, itu untung. Tetapi kalau mereka berani datang, Maharaja akan menyambut gembira sekali karena dapat menghemat waktu dan tenaga membasminya."

"Lalu ?"

"Dengan marah ayahmu pergi dan karena takut Maharaja tak berani mengejar. Dan bulan kemudian Maharaja berhasil mendapatkan keterangan tentang tempat tinggal ayahmu."

"O!"

"Dia segera membawa orang2nya menuju ke-tempat tinggal ayahmu..."

"Bagus, dia berani datang menantang ?"

"Dia tak berani menghadapi Empat-pedang Bu-san. Setelah tahu ayahmu hanya seorang diri karena ketiga saudara seperguruannya belum pulang, Maharaja lalu bertindak. Maka pada suatu malam yang berangin keras ..." bercerita sampai di situ Thian Wat totiang berhenti memandang Gak Lui.

"Malam itu bagaimana ?" desak Gak Lui.

"Gak sauhiap," Thian Wat totiang batuk2 sejenak, "apakah engkau tetap hendak mendengar kisah itu ? Kurasa lebih baik ...."

"Ya, aku tetap hendak mendengarkan. Silahkan totiang bercerita terus," tukas Gak Lui.

Thian Wat totiang menghela napas panjang, ujarnya : "Pada malam gelap itu, kami beramai-ramai mengepung rumahnya. Tetapi ayahmu tak ada. Setelah bertanya pada salah seorang bujang barulah diketahui bahwa belum berapa lama ayahmu keluar pintu."

"Kalau begitu," Gak Lui mulai tegang, "mamahku…..?"

"Sebelum menceritakan tentang mamahmu, lebih dulu aku menghaturkan maaf kepadamu."

"Me ... mengapa ?"

"Aku sebagai seorang murid dari partai agama tetapi ternyata tak berbuat suatu apa melihat orang yang tertimpa kecelakaan. Itu suatu dosa besar !"

Mendengar itu dada Gak Lui serasa meledak dan airmatapun berderai-derai turun. Namun dikuatkan jua perasaan dan bertanya : "Karena totiang berada dalam cengkeraman durjana ....kiranya bukan suatu kesalahan....apa pun yang telah terjadi .... harap totiang suka menuturkan semua...."

"Melihat ayahmu tak berada dalam rumah, Maharaja lalu memberi perintah supaya membasmi seluruh keluarga ayahmu. Ah, kasihan benar. Mamahmu yang tak mengerti ilmu silat itu harus menderita kematian yang mengenaskan .... Tetapi...."

"Hm...hm ....," Gak Lui mendesuh dengan katupkan gigi kencang2 untuk menahan tangisnya. Namun gelombang kesedihan yang hebat, telah menghancurkan pertahanan nurani. Akhirnya ia menjerit, "Mah... mamah….nasibmu sungguh mengenaskan sekali!"

"Tetapi....," Thian Wat totiang menelan pula air liurnya, "bayi puteranya itu, untung tak berada padanya. Mungkin sebelumnya sudah disingkirkan kelain tempat."

"Apakah disembunyikan didalam ?"

"Benar, memang telah disembunyikan didalam onggok rumput diluar gedung."

"Tetapi mengapa dapat diketahui?"

"Karena engkau menangis keras sehingga mengejutkan Maharaja!"

"Lalu.... lalu bagaimana aku dapat tertolong?"

"Ketika Maharaja memeriksa tumpukan rumput itu, saat itu aku kebetulan lari dimukanya maka akulah yang terus mendahului untuk menusukmu dengan pedang !"

"Oh…."

"Tetapi tusukan itu hanya melukai bagian luar dan tak sampai melukai tulang. Maharaja dan anak buahnya yang lain tak menduga sampai disitu. Karena melihat engkau berlumuran darah, diapun segera tak ikut turun tangan!"

"Aduh !" mendengar Gak Lui ditusuk pedang, Siu-mey menjerit kaget. Gak Luipun ikut tegang sehingga ia mengangkat tangan untuk merabah mukanya. Tetapi ah .... mukanya masih tertutup dengan topeng kulit kera.

"Apakah .... wajahku terdapat bekas tanda luka ? Dan karena itulah maka gihu memakaikan topeng kulit ini kepadaku ?" pikirnya. Untung Siu-mey tak sempat memperhatikan perobahan air muka pemuda itu.

"Totiang, bahwa Gak Lui sampai dapat hidup hari ini, adalah atas budi pertolongan totiang. Budi sebesar lautan itu entah bagaimana aku dapat membalasnya," katanya dengan penuh haru terima kasih kepada Thian Wat totiang.

"Ah, engkau telah membalas berlipat ganda," ujar Thian Wat totiang perlahan, "jika tiada engkau, bagaimana aku masih dapat hidup ? Dan aku masih memiliki kesadaran. Oleh karena itu kita sudah saling memberi budi dan tak perlu merasa berhutang budi. Nah, dengarkanlah ceritaku…..”

"Baik, silahkan totiang melanjutkan."

"Setelah membunuh, mereka lalu membakar gedung keluargamu. Kemudian mereka melanjutkan pula rencana untuk membasmi Empat-pedang Bu-san. Tetapi si Maharaja itu memang seorang durjana yang amat julig, banyak akal muslihatnya. Takut kalau rencananya bocor ia segera suruh orang untuk menyelidiki disekitar tempat itu. Akhirnya penyelidikan itupun berhasil mendapatkan jejak!"

"Tentulah engkoh misanku Gak Ci-cin dan aku !"

"Benar, engkoh misanmu itu telah meninggalkan sebuah jejak telapak kaki yang menimbulkan kecurigaan musuh. Dia segera membawa anak buah menyusur jejak itu. Celaka, hasil dari pencarian itu telah menyebabkan mereka tahu bahwa engkau belum mati."

"Kalau begitu apakah mereka tak curiga kepada totiang ?”

"Untung aku pura2 seperti orang limbung dan jejak telapak kaki engkoh misanmu itu menjurus ketempat kediaman Empat-pedang Bu-san. Oleh karena terlalu girang, Maharaja sampai lupa pada diriku. Bahkan keinginannya untuk membunuh engkau pun dikesampingkan juga."

"Lalu mereka terus masuk kedaerah gunung Wan-san ?"

"Ya, benar," Thian Wat totiang, "tetapi setelah masuk pegunungan Wan-san, karena keadaannya sulit dan berbahaya, akhirnya hanya si Maharaja dan kami ketiga Topeng Besi yang dapat masuk jauh kedalam. Wi Cun dari partai Kong-tong-pay ketinggalan dibelakang. Saat itu engkoh misanmu sudah mengatur persiapan hendak pindah kelain tempat."

"Lalu siapakah yang membunuhnya ?"

"Sudah tentu si Maharaja! Setelah dia membunuhnya, tiba2 muncullah seorang jago pedang!"

"Dia adalah ayah angkatku Pedang-aneh ji Ki-tek," Gak Lui menerangkan.

"Munculnya si Pedang-aneh cepat dapat diketahui Maharaja yang menduganya sebagai salah seorang tokoh Empat-pedang Bu-san. Karena sudah mendapat hajaran dari ayahmu maka Maharaja tak berani gegabah bergerak. Lebih dulu ia suruh kami yang maju menyerang. Tak terduga, hanya dalam tiga jurus saja, ujung pedang kami bertiga telah dipapasnya kutung dan dengan gerak yang luar biasa cepatnya, dia dapat menusuk alis kami."

"Ya, aku tahu tentang hal itu. Adalah karena mendengar suara tangisku, maka beliau agak terganggu perhatiannya dan kena di...."

"Dibabat kutung kaki dan tangannya. Tetapi musuhpun terkena supit yang dihembuskan dengan mulut oleh ayah-angkatmu sehingga ujung hidungnya hilang dan terbirit-birit lari ketakutan!" sambut Thian Wat totiang.

"Lari kemana ?"

"Setelah tinggalkan tempat itu, Maharaja memeriksa lukanya dan dapatkan tidak kena racun. Tetapi nyalinya sudah rontok tak berani coba2 menghadapi panah-supit dari Bu-san. Dan lagi ia menganggap bahwa Pedang-aneh tentu sudah mati. Begitu pula bayi yang baru berumur beberapa bulan yalah engkau, dia anggap tak berbahaya. Kalau engkau berangkat besar tentu akan menjadi manusia liar. Oleh karena itu Maharajapun segera mengajak anak buahnya menuju ke Bu-san.”

"bukankah ditengah jalan bertemu dengan Tabib-sakti Li Kok-hoa yang disuruhnya mengobati lukanya itu ?"

"Benar !"

"Peristiwa dalam perjalanan itu akupun sudah mendengar dari Tabib-sakti Li Kok hoa. Tetapi setelah masuk kegunung Bu-san, timbul lagi sebuah pertanyaan."

"Sauhiap maksudkan yang mana ?"

"Waktu Maharaja membawa Tabib-sakti bertemu dengan paman guruku Lengan-besi-hati-baik, mereka..."

"Mereka mengadakan pembicaraan beberapa saat lalu paman gurumu memotong hidungnya sendiri diberikan kepada Maharaja."

"Hai, adakah totiang melihat sendiri peristiwa itu?"

"Ya, setiap saat aku selalu waspada. Sekali Maharaja suruh kami bertiga sembunyi dibelakang batu besar tetapi diam2 aku mengisar keluar untuk mencuri dengar pembicaraan mereka."

"Ah, tetapi......" Gak Lui menghela napas putus asa, "mereka melakukan pembicaraan dengan ilmu Menyusup-suara. Mungkin, totiang tak dapat menangkap pembicaraannya...."

"Justeru kebalikannya !"

"Oh !" Gak Lui mendesuh tegang.

"Setiap patah pembicaraan mereka telah kudengar dengan jelas !"

"Mungkinkah itu ?" masih Gak Lui setengah kurang percaya.

"Gak sauhiap, dalam hal itu memang ada suatu lubang kelemahan. Adakah engkau tak pernah menduganya ...."

"Apakah totiang memperhatikan gerak bibir mereka ? Tidak, tidak mungkin ! Mereka berdua saat itu sama mengenakan kerudung muka tentu tak kelihatan bibirnya....."

"Memang pada saat itu aku hampir putus asa. Tetapi dalam keputusan-asa itu, tiba2 aku mendapat pikiran. Ilmu Menyusup suara itu menggunakan tenaga-dalam untuk memancarkannya. Betapapun saktinya tenaga-dalam seseorang, tentulah pancaran ilmu Menyusup-suara itu tetap menghamburkan gelombang getaran. Kebetulan sekali barisan batu2 karang digunung itu dapat memantulkan kumandang dari getaran suara itu....."

"Ah, aku mengerti," segera Gak Lui menukas dan mengangguk, "kiranya totiang hendak mencari pantulan kumandang getaran itu sehingga totiang dapat menangkap pembicaraan mereka!"

"Benar !"

"Kalau begitu harap totiang suka memberi-tahu isi dari pembicaraan itu. Kumohon totiang mengingat semua pembicaraan itu, jangan sampai ada sepatahpun yang kelupaan," kata Gak Lui dengan nada bersungguh.

Thian Wat totiangpun segera merenung dan kerahkan ingatannya untuk mengenangkan peristiwa yang lampau itu. Beberapa saat kemudian ia berkata : "Setelah berhadapan dengan paman-gurumu, dan mengucap beberapa patah kata, Maharaja lalu mengajukan permintaan untuk meminta pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam!"

"Lalu apa jawaban paman guruku ?"

"Dengan tegas ia menolak dan memberitahu kepada Maharaja bahwa kecuali Empat- pedang Bu-san itu bersama-sama datang, mungkin pedang itu mungkin dapat diambil. Karena dia sendiri juga tak dapat mengambilnya."

"Setelah mendapat jawaban itu lalu bagaimana kata Maharaja ?"

"Tampaknya dia tak berani menggunakan kekerasan. Dengan kata2 yang sungkan ia menyatakan hendak meminta pedang itu namun kalau tak boleh, cukup asal ia diperbolehkan untuk masuk kedalam istana Bi-kiong dan melihat sejenak perwujudan pedang itu, ia sudah puas ...."

"Paman guruku meluluskan atau tidak ?"

"Paman gurumu memberi nasehat dengan tajam. Dan bertanya mengapa Maharaja Tio Bik-lui tiba2 menghendaki pedang pusaka itu?"

"Dia tentu berkata bohong!"

"Maharaja mengatakan bahwa dia dicelakai orang didunia persilatan. Dia terkena panah beracun sehingga ujung hidungnya kutung maka ia hendak menggunakan pedang pusaka untuk melakukan pembalasan. Tetapi paman gurumu tak percaya dan malah memakinya mengapa ia gemar berkelahi dengan orang.”

"Aneh," gumam Gak Lui dengan kerutkan alis, "mengapa paman bersikap begitu baik terhadap Tio Bik-lui seperti seolah-olah paman itu sudah faham akan perangai Maharaja itu. Tentulah didalam soal itu ada rahasianya.....Hm. sungguh aneh benar." Demikian Gak Lui menimang dalam hati.

“Mendengar itu Tio Bik-lui segera berganti nada," tiba2 Thian Wat totiang berkata pula, “dia mengatakan pedang Thian lui-koay-kiam itu seharusnya menjadi hak miliknya. Maka kalau saat itu ia datang untuk meminta, sudahlah sewajarnya...."

"Apakah dasarnya?"

"Dia adalah putera dari pemilik pedang itu!"

"O!" Gak Lui terkejut seperti disambar kilat. Dia benar2 tak percaya akan kata-kata itu, "Dia... dia... putera dari.....kakek guruku ?"

Thian Wat menghela napas dan berkata dengan suara parau : "Benar, memang dia adalah putera yang murtad dari kakek gurumu. Ah, jangan terburu buru engkau terkejut dulu. Cerita yang akan kututurkan dibagian belakang masih banyak yang menggemparkan hatimu!"

"Maaf," buru2 Gak Lui menghaturkan maaf karena berulang kali mengganggu penuturan orang.

"Mendengar pengakuan itu paman gurumu marah. Mereka bertengkar sampai lama. Dalam perbantahan mulut itu Maharaja telah memaparkan sebuah rahasia yang terjadi antara paman gurumu dengan mereka ayah dan putera.....”

Rahasia itulah yang selama itu merupakan teka teki dalam hati Gak Lui. Sudah tentu ia menaruh perhatian besar sekali untuk mengetahui rahasia itu. Hatinyapun mulai tegang.

Sejenak meneguk air liur dan mengatur pernapasan, maka Thian Wat totiangpun melanjutkan ceritanya lagi.

"Kesimpulan dari perbantahan mereka dapatlah diketahui bahwa kakek-gurumu itu ternyata hanya mempunyai seorang putera yalah Tio Bik-lui itu. Dia seorang anak yang cerdas tetapi sayang perangainya amat ganas. Kalau dia berhasil meyakinkan ilmu silat yang sakti, mungkin dunia persilatan akan menderita malapetaka...."

"Oleh karena itu maka kakek guruku tak mau mengajarkan ilmu silat kepadanya ?" tukas Gak Lui pula.

"Boleh dikata begitulah. Kakek-gurumu hanya memberinya beberapa dasar ilmu silat saja lalu dihentikan. Kebalikannya karena melihat muridnya si Lengan-besi-hati-baik itu jujur dan berbudi, kakek-gurumu telah menurunkan seluruh ilmu kepandaiannya kepadanya. Bahkan rahasia dari pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam itupun diberitahukan kepada Lengan-besi-hati-baik."

"Kalau begitu .... Tio Bik-lui tentu penasaran dan dia tentu akan merapat pada lengan-besi-hati-baik, minta supaya diberi pelajaran ilmu silat."

"Benar," kata Thian Wat totiang, "sebenarnya kakek-gurumu sudah memberitahu kepada Lengan-besi-hati-baik bahwa ilmu silat yang diajarkannya itu tak boleh diberikan kepada lain orang atau Tio Bik-lui. Tetapi ah, paman-gurumu itu memang keliwat baik sekali hatinya. Dia sayang Tio Bik-lui seperti adiknya sendiri. Karena terus diminta oleh Tio Bik-lui, akhirnya paman-gurumu tak sampai hati dan mau menurunkan ilmu kepandaiannya kepada Tio Bik-lui. Bahkan memberitahu juga tempat penyimpanan pedang pusaka itu. Akhirnya...."

"Ketahuan, oleh kakek-guruku !" tukas Gak Lui.

"Benar, setelah kakek-gurumu mengetahui hal itu, beliau marah sekali. Pertama, dia hendak menghukum Tio Bik-lui dulu."

“Pada usia 30 tahun, kakek-guruku telah kehilangan isteri. Sudah tentu beliau amat sayang kepada puteranya tunggal itu ..."

"Mungkin hal itu salah satu sebab. Tetapi-pun dikarenakan paman-gurumu memohonkan ampun untuk Tio Bik-lui dan paman gurumu bersedia untuk mewakili menerima hukuman itu seluruhnya dan rela akan mengasingkan diri di istana bi-kiong menjaga pedang pusaka itu untuk selama lamanya ...."

"Akhirnya kakek-guruku menerima permohonan paman-guruku. Puteranya yang murtad itu diusir dan tak boleh menggunakan ilmu silat perguruan ayahnya," sambung Gak Lui.

"Ya, benar begitu..”

Mendengar itu Gak Luipun menghela napas panjang dan diam2 merenung: "O, makanya paman guru begitu baik terhadap Tio Bik-lui, kiranya mereka sudah seperti saudara. Tentang kakek-guru menerima Empat pedang Bu-san sebagai murid bukan untuk menjaga paman guru melainkan takut kalau puteranya yang murtad itu tak menurut perintah dan membuat huru hara di dunia persilatan !"

Pikirannya lebih lanjut: "Tetapi, mungkin kakek-guru... tak suka mengatakan tentang nasib rumah tangganya yang malang atau kuatir Empat-pedang Bu-san itu akan seperti paman-guru. Maka kakek-guru telah mengeluarkan perintah yang keras dan bengis."

Dalam pada ia berpikir itu, Thian Wat totiangpun berdiam diri. Sepasang matanya berkilat-kilat menatap wajah pemuda itu.

"Adakah dalam perbantahan itu Tio Bik-lui dan paman guruku tak mengungkat tentang Empat-pedang Bu-san ?" tanya Gak Lui.

"Tidak karena rupanya Maharaja tak berani membicarakan soal itu. Sedang karena keliwat dirangsang kemarahan, paman gurumupun tak memperhatikan soal itu," Sahut Thian Wat totiang.

"O, maka ketika ayahku dikurung dalam lubang batu disitu, paman gurupun tak tahu,” kata Gak Lui, "lalu bagaimana kelanjutannya?"

"Setelah lagi dengan susah payah paman gurumu menasehati Maharaja supaya jangan menimbulkan gara2 dan sebagai imbalan, paman gurumu bersedia menyerahkan batang hidungnya kepada Maharaja agar Maharaja itu pulih kembali wajahnya. Asal Maharaja jangan mengungkat soal pedang Thian-lui-koay-kiam dan jangan masuk kedalam istana Bi kiong. Sudah tentu karena tahu akan kelihayan paman gurumu, Maharaja terpaksa menerima perjanjian itu. Dia tinggalkan Bu-san dan membuat lain rencana."

"Rencana apa lagi ?" tanya Gak Lui.

"Setelah tinggalkan Bu san, kecuali menduga bahwa Pedang-aneh tentu sudah mati; Maharaja tetap gelisah karena tak dapat menemukan tempat tinggal ketiga tokoh Empat-pedang Bu-san yang lain, termasuk ayahmu. Dia merasa selama tokoh2 pedang dari Bu-san itu belum lenyap, tentu sukar baginya untuk merajai dunia persilatan. Pada waktu itu dia segera berunding untuk mengatur siasat dengan Wi Cun, murid hianat dari perguruan Kong-tong-pay."

"O,” Gak Lui mendesuh.

"Wi Cun menganjurkan agar Maharaja mempelajari ilmu simpanan dari kelima partai persilatan melalui diri kami. Dengan begitu kepandaian Maharajapun bertambah lipat saktinya."

"Lalu siapakah yang merencanakan supaya menyamar dan memalsu sebagai diri totiang berlima itu ?" tanya Gak Lui.

"Soal itu ....," sepasang mata Thian Wat totiang berkilat-kilat dan merenung sejenak, lalu berkata pula, "aku tak begitu ingat. Karena daya pikiranku makin lemah, kesadarankupun makin menurun. Pokoknya, mereka masing2 mempelajari suatu aliran ilmu silat dan lagi .... Maharajapun memiliki suatu ilmu Suitan yahg dapat memberi perintah kepada kami."

"Adakah totiang masih ingat akan tempat digunung Im-leng-san itu ?"

"Tempat itu adalah tempat Maharaja berlatih ilmu kepandaian. Sayang otakku sudah tumpul sehingga tak ingat akan keadaannya yang pelik."

Gak Lui tak putus asa mendengar jawaban Thian Wat totiang. Maklumlah, Thian Wat totiang sudah makin tua dan makin lemah ingatannya, mungkin tak ingat jelas tempat itu.

"Totiang, adalah daya ingatanmu pada waktu akhir2 ini hampir hilang?"

"Hm...” Thian Wat totiang merenung beberapa jenak lalu tertawa : "Maaf, walaupun pil dari sauhiap itu amat mustajab tetapi karena umurku sudah makin lanjut, daya ingatankupun mundur sekali. Oleh karena itu, obat pun tak banyak menolong diriku !"

"Ah, tak apalah," Gak Lui menghiburnya.

"Dalam mencita-citakan untuk merajai dunia persilatan itu, ada dua hal yang masih ditakuti Tio Bik-lui," katanya pula, "pertama, kepada Kaisar Li Liong-ci dan kedua kepada ayahku dan paman2 guruku. Tentang paman guruku yang kesatu, karena tak pernah pergi dari Bu-san, maka Tio Bik-luipun tak menguatirkan. Untuk menghadapi tokoh2 yang ditakutinya itu maka dia memerlukan pedang pusaka Thian-lui koay-kiam. Tetapi dalam beberapa tahun ini Empat-pedang Bu san berturut-turut telah meninggal dunia. Sedang Kaisar Persilatanpun telah pergi dari daerah Tiong-goan. Kini dunia persilatan telah dikuasai oleh si Maharaja dengan gerombolannya."

Lebih lanjut Gak Lui berpikir : "Setelah aku turun gunung untuk menumpulkan ujung pedang dari setiap musuh yang kuhadapi, terpaksa kugunakan ilmu pedang Bu-san. Hal itu benar2 seperti orang haus yang diberi air bagi diri Maharaja. Dan hal itupun menimbulkan kecurigaannya bahwa Empat pedang Bu-san itu tentu masih hidup. Maka berulang kali ia hendak menyelidikinya bahwa dengan berpura-pura menjadi orang baik dia memberi petunjuk kepadaku bagaimana cara untuk mengambil pedang Thian-lui-koay-kiam kegunung Bu-san...."

"Tetapi rupanya Thian maha murah dan adil. Bukan saja aku mendapat tambahan ilmu kepandaian, pun juga memperoleh pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Biarlah dia telah memiliki ilmu suitan Pencabut-nyawa yang hebat, tetapi pedang pusaka itu tetap akan dapat membasminya....." berpikir sampai disitu, Gak Lui memegang kerangka pedang erat2. Pikirannya melayang-layang tak keruan.

Thian Wat totiangpun menatap wajah Gak Lui lalu pedang yang tersanggul pada bahu pemuda itu. Sesaat keadaan sunyi senyap.

Rupanya Siu-mey tak enak hati kalau sebagai tetamu diam saja. Maka ia menggamit siku lengan Gak Lui. Pemuda itu terkejut dan memandang Siu-mey. Dari pancaran mata sinona tahulah kalau Siu-mey mengajaknya pergi.

Gak Lui anggap memang Thian Wat totiang perlu beristirahat. Tetapi sebelum minta diri, ia berkata : "Totiang, tadi engkau mengatakan bahwa diantara kita berdua tiada yang berhutang budi. Baiklah, akupun tak menyatakan terima kasih tetapi totiangpun jangan mengingat tindakanku memberi obat itu sebagai suatu budi...."

"Baiklah," Thian Wat totiang mengangguk. Tetapi ketika Gak Lui berbangkit hendak pergi, Thian Wat totiang mencegahnya : "Tunggu dulu, aku masih mempunyai sebuah pertanyaan."

Gak Lui buru2 duduk kembali dan mempersilahkan paderi itu mengatakan.

Sejenak batuk2, dengan suara parau Thian Wat totiang bertanya : "Beberapa sahabatku yang menderita kesukaran itu .... bagaimanakah keadaannya saat ini ?"

"Sahabat yang tertimpah kesukaran ?" Gak Lui menegas.

"Benar."

"Totiang tanyakan .... Hwat Gong taysu dan kawan-kawannya itu ?"

"Ya, mereka senasib dengan diriku, menjadi anggauta Topeng Besi sampai belasan tahun maka sudah seharusnya aku bertanya tentang diri mereka."

"Adakah keadaan mereka, totiang tak pernah mendengar ?" Gak Lui balas bertanya.

"Pernah kutanyakan kepada sute dan beberapa ciang bunjin tetapi tiada seorangpun yang memberi jawaban sesungguhnya !"

"Terus terang saja, ketika bertempur digunung Hek san; mereka telah keliru terbunuh."

"O, sauhiap .... keliru membunuh mereka?"

"Benar."

"Lalu apakah engkau menyesal atau tidak ?"

"Bukan melainkan hanya menyesal pun....."

"Pun bagaimana ?"

"Aku merasa berdosa...."

"Mengapa ?"

"Mereka tak seharusnya menerima kematian begitu."

'"Sauhiap, kata-katamu itu salah !"

"Mengapa ?"

"Gerombolan Topeng Besi itu telah mengganas dunia persilatan. Sudah layak kalau menerima kematian. Kalau membunuh orang jahat masih merasa menyesal, biarlah aku mati saja !"

"Tidak, tidak ! Soalnya berbeda. Kalau aku memang tahu tetapi kurang hati2. Sedang totiang itu adalah diluar kehendak totiang sendiri."

"Ah....." Thian Wat totiang menghela napas panjang, "sauhiap membunuh mereka itu suatu berkah bagai keselamatan dunia persilatan. Pun bagi diri yang mati itu."

"Mengapa ?" Gak Lui terkejut.

"Apabila engkau menolong mereka dengan pil ini, setelah mereka sembuh, keadaan mereka tentu lebih menyedihkan maka lebih baik mati."

"Oh," Gak Lui mendesuh dan gemetar. Walaupun totiang itu mengatakan dalam banyak peristiwa yang lampau ia tak ingat tetapi ucapannya yang terakhir itu menandakan kalau ia masih ingat semua.

Gak Lui menimang. Daripada membantah, dikuatirkan akan menimbulkan reaksi hebat dalam hati paderi itu, lebih baik ia segera angkat kaki dari situ. Katanya : "Ucapan totiang memang benar, aku sekarang sudah mengerti dan takkan bersedih hati."

Thian Wat totiang tertawa. Kemudian Gak Lui menanyakan lagi adakah totiang itu perlu beberapa anak murid untuk menjaga di situ. Thian Wat totiang mengiakan. Gak Lui dan Siu-mey minta diri, melangkah ke luar. Lebih dulu ia suruh paderi kecil untuk menjaga di situ setelah itu kedua pemuda itu lalu masuk ke dalam ruang tetamu. Tampak Thian Lok totiang menyambut dengan wajah tegang: “Sauhiap, bagaimana keadaan su-hengku ?"

“Selamat, totiang, Thian Wat totiang telah pulih kesadarannya kembali dan telah menerangkan banyak hal kepadaku...."

“Ah, sauhiap.....engkau sungguh baik sekali. Ceng-sia-pay tak tahu bagaimana akan berterima kasih kepadamu !" seru Thian Lok totiang.

“Ah, harap totiang jangan memikirkan hal itu. Silahkan totiang masuk, Thian Wat totiang hendak bicara."

Dengan gembira Thian Lok totiang segera masuk ke dalam ruangan untuk menjumpai suheng-nya.

“Engkoh Lui, rasanya persoalan ini telah berakhir memuaskan. Mereka kakak dan adik seperguruan tentu...." belum selesai Siu-mey berkata, Gak Lui ulurkan jarinya untuk ditempelkan ke bibir nona itu agar jangan bicara.

Tiba2 dari dalam ruang persemedhian, terdengar jeritan-ngeri dari Thian Wat totiang.

Disusul dengan suara benda jatuh di lantai dan jeritan nyaring dari paderi kecil yang menjaga di situ.

“Celaka!" Gak Lui terkejut terus lari menerobos ke dalam lagi. Tampak Thian Wat totiang terkapar dalam kubangan darah di lantai. Sedang Thian Lok totiangpun menggeletak di bawah tempat tidur. Paderi kecil tegak seperti patung, tubuh gemetar dan lidah menjulur keluar.

Kejut Gak Lui bukan kepalang. Tetapi cepat ia menyadari apa yang telah terjadi. Lebih dulu ia memeriksa tubuh Thian Wat totiang. Dicobanya untuk memberi pertolongan dengan menyalurkan tenaga dalam tetapi ternyata totiang itu sudah putus nyawanya.

Gak Lui lalu menghampiri Thian Lok totiang untuk memeriksa keadaannya.

“Engkoh Lui, mengapakah mereka ini ?" tanya Siu mey, “perlukah memberitahukan kepada yang lain ?"

Gak Lui mengatakan tak perlu.

“Kalau sampai terjadi sesuatu, apakah takkan menimbulkan kesulitan pada kita ?"

“Thian Lok totiang segera akan siuman. Serahkan saja bagaimana dia nanti akan mengurus. Kalau suruh lain orang masuk kemari, tentu lebih berabe !"

“Mengapa begitu?"

Sambil mengurut tubuh Thian Lok totiang, Gak Lui menerangkan : “Menilik keadaannya, Thian Wat totiang itu tentu membunuh diri dengan memutuskan urat2 nadinya. Bagaimana sebabnya nanti tunggu setelah Thian Lok totiang sadar dari pingsannya. Dalam masalah segawat ini, aku tak berani bertindak sendiri dan kuserahkan saja kepada fihak Ceng-sia-pay....."

Tiba2 mulut Thian Lok totiang terdengar mengerang perlahan dan membuka mata. Lalu cepat2 ber-bangkit.

“Harap ciang-bunjin suka tenang. Kalau ciang-bunjin gugup, Ceng-sia-pay tentu tiada yang memimpinnya," Gak Lui menghibur.

“Sau-hiap....." kata Thian Lok totiang dengan nada gemetar, “suheng ternyata sudah meninggal .... aku.... sungguh .... tak percaya!"

“Oh, totiang tak menyaksikan kejadian itu ?" Gak Lui terkejut.

“Ketika masuk dalam ruang ini, suheng sudah terkapar diatas tempat tidur!"

“Kalau menurut pendapatku, Thian Wat totiang telah membunuh diri ...."

“Apakah engkau berani memastikan?" ketua perguruan Ceng-sia-pay itu menegas dengan nada kurang percaya.

Gak Lui terkejut. Buru2 ia menunjuk pada paderi kecil, serunya.: “Jika ciang-bunjin tak percaya, silahkan tanya padanya !"

Thian Lok seperti disadarkan, ia menatap paderi kecil. Karena paderi kecil itu tetap diam saja, Thian Lok membentaknya: “Engkau ....engkau .... mengapa tak lekas kemari!"

Dengan tersipu sipu ketakutan paderi kecil itu segera menghampiri. Tubuhnya masih gemetar keras sehingga geraham giginya terdengar berkerutukan tetapi tak dapat mengeluarkan perkataan.

Thian Lok makin marah dan hendak menamparnya tetapi Gak Lui cepat mencegahnya: “Totiang, harap jangan marah. Memang dapat dimengerti kalau murid totiang itu tentu terbang semangatnya menyaksikan peristiwa ini. Walaupun dia mendapat tugas untuk menjaga Thian Wat totiang tetapi karena kepandaiannya terbatas, dia tak dapat berbuat apa2. Makin totiang marah, makin dia takut !"

Thian Lok totiang menyadari kalau dirinya keliwat terangsang kemarahan, ia segera menutuk jalan darah paderi kecil itu supaya jalan darahnya lancar.

Beberapa saat kemudian paderi kecil itu menangis: “Hatur beritahu kepada ciang-bun ..... kakek guru .... telah meninggalkan pesan ... bahwa ia membunuh diri sendiri ....”

“O, masih sempat berpesan!"

“Ya, masih sempat meninggalkan pesan...”

“Bagaimana ucapannya?"

“Beliau mengatakan .... dosa selama 18 tahun berlumuran dosa. Sekalipun karena kesadarannya hilang dan diluar kehendaknya tetapi Thian Wat totiang tetap merasa malu untuk bertemu orang .... malu kepada para leluhur partai perguruan Ceng-sia-pay .... malu terhadap kaum persilatan ...."

“Lalu apa lagi ?”

“Beliau mengatakan pula .... setelah kembali ke gunung sekalipun kaum persilatan tak mencarinya untuk membuat perhitungan tetapi hati nuraninya tetap tak mengijinkan. Satu-satunya jalan untuk melepaskan kedosaannya.... hanyalah mati!"

“Kemudian ?"

“Kebetulan suhu terlambat datang kemari!"

“Huak ....," mendengar itu darah Thian Lok totiang bergolak dan meluap. Ia muntah darah dan tubuhnya terhuyung hampir rubuh pingsan lagi. Untung Gak Lui sudah bersiaga. Cepat ia ulurkan tangan memapahnya.

Setelah lunglai sampai beberapa saat, akhirnya ketua Ceng sia-pay itu membuka mata dan berkata rawan : “Sauhiap, aku mempunyai sebuah perkataan yang sesungguhnya masih maju mundur untuk kukatakan!"

“Dari pada terpendam dalam hati lebih baik totiang tumpahkan saja."

“Obat yang engkau berikan itu ... memang amat mujarab kepada orang lain tetapi setelah diminum suheng, mengorbankan jiwanya. Kalau tahu begitu, lebih baik tidak minum obat itu..."

Gak Lui tertawa getir: “Soal itu memang sudah kupertimbangkan."

“Lalu mengapa masih tetap memberikan kepadanya ?"

Siu-mey penasaran melihat sikap ketua perguruan Ceng-sia-pay itu. Tetapi ia dapat memaklumi keadaan orang. Katanya: “Totiang, engkoh Lui memang kuatir setelah pulih kesadaran pikirannya, suhengmu akan menyesal dan melakukan putusan pendek. Maka engkoh Luipun menerangkan beberapa kali dan Thian Wat totiang tetap menghendaki obat itu .... Kurasa Thian Wat totiang memang telah mempertimbangkan keputusan itu dengan masak2. Dia lebih baik mati daripada kehilangan moril. Betapapun dia itu juga seorang manusia yang memiliki perasaan halus. Maka akibat daripada kematiannya itu sekali kali bukan karena gara2 kami memberi obat melainkan karena kesadaran dari Thian Wat totiang sendiri."

Setelah merenung beberapa saat barulah ketua Ceng sia-pay itu berkata dengan nada agak menyesal: “Kalian benar, karena hatiku amat berduka maka sampai mengeluarkan ucapan yang tiada layak. Harap kalian suka maafkan. Dan perjamuan malam ini .... akan menjadi sebuah upacara sembahyangan arwah suheng...”

Sesungguhnya setelah dapat menghancurkan kaki tangan Maharaja para orang gagah itu sedianya akan mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan. Tetapi setelah mendengar berita kematian Thian Wat totiang, merekapun ikut berduka-cita.

Seluruh tokoh2 persilatan yang berada di gunung Ceng-sia-san sama sembahyang di muka jenazah Thian Wat totiang.

Setelah sembahyang Gak Lui mundur ke samping. Ia memandang ke sekeliling. Tampak tokoh2 dari perguruan Bu-tong-pay, Heng-san pay, Siau-lim-si, Gobi-pay, Kong-tong-pay dan Ceng sia-pay, memandang dengan sinar mata yang aneh.

Tak berapa lama iapun melihat sigadis cantik Yan-hong dari Bu san, The Hong lian dan Siu-mey bersama-sama sembahyang. Di belakang ketiga nona itu tampak seorang lelaki berpakaian serba putih, bersembahyang dengan berlutut di hadapan peti mati Thian Wat totiang.

Gak Lui terkejut. Ia maju menghampiri hendak menegur tetapi orang itu cepat2 melangkah keluar dari ruang jenazah. Gak Lui hendak menyusul tetapi karena orang begitu banyak, ia tak dapat cepat2 mengejar. Ketika ia menuruni batu titian, orang itupun sudah lenyap entah ke mana.

“Engkoh Lui !"

“Adik Lui !"

Terdengar berturut-turut dua buah suara memanggil dan Gak Luipun cepat berpaling ke belakang. Ah, ternyata ketiga nona tadi sudah menyusulnya.

“Bukankah engkau hendak mencari Hi Kiam-gin ?" tanya Siu-mey lebih dahulu.

“Ya."

“Jangan buang tenaga sia2. Dia sudah mengasingkan diri tak mau bertemu orang terutama dengan engkau !"

“Apakah engkau tak memberitahu kepadanya bahwa ayahmu sudah meluluskan untuk mengobati wajahnya ?"

“Sudah kukatakan," kata Siu-mey.

“Lalu bagaimana jawabnya ?"

“Dia mengucapkan terima kasih kepada ayah tetapi dia tak mau berobat."

“Hm..." Gak Lui mendesuh, “kalau begitu beritahu padaku di mana tempat tinggalnya. Aku akan menjumpainya."

“Ah, perlu apa? Engkau hanya akan ketemu batu saja ...."

“Aku mempunyai urusan yang penting sekali maka harus bertemu muka dengan dia!"

“Apa?" ketiga nona itu serempak berseru.

“Soal itu amat penting sekali. Mempunyai hubungan erat dengan perguruanku dan keselamatan sekian banyak orang. Aku harus berunding dengan cici Kiam gin ...."

“O, engkau tak dapat memberitahukan lebih dahulu kepada kami ?"

“Aku harus bertemu dan berunding dengan dia atau urusan itu sukar dilaksanakan!" sahut Gak Lui.

“Uh, uh....," ketiga nona itu mendengus ejek, “kami percaya dia tentu tak mau mempedulikan engkau lagi, sudahlah, jangan jual mahal !"

“Lain soal mungkin dia menolak tetapi dalam urusan ini dia tentu harus mempedulikan. Sudahlah jangan banyak cakap, bawalah aku ke sana !"

Siu-mey terpaksa menurut. Sambil berjalan ia bersungut-sungut: “Hm, bagus, kalau belum tiba di dasar sungai Hongho tentu tak puas. Kami akan melihat bagaimana engkau nanti memainkan perananmu."

Setelah menyusur tikungan tak berapa lama mereka tiba di sebuah bangunan. Tempat itu sebenarnya diperuntukkan tetamu wanita oleh karenanya suasananyapun sepi.

Dari tutup kain jendela yang ditingkah sinar lilin, tampak sesosok tubuh tengah duduk di dalam sebuah ruang. Gak Lui duga tentulah nona Hi Kiam-gin.

“Sudah sampai," seru Siu-mey, “urusan meminta pintu, terserah kepadamu."

Gak Lui segera melangkah maju, mengetuk pintu: “Cici Gin ...."

Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, Hi Kiam-gin sudah menyahut dengan nada sedingin es: “Aku tak menerima tetamu, silahkan kembali."

“Aku Gak Lui...."

“Kutahu engkau ini siapa. Diantara kita berdua sudah putus hubungan, tak perlu menyebut adik lagi !"

“Aku mempunyai soal penting yang harus kurundingkan dengan engkau....”

“Kalau tak mau enyah, jangan menyesal kalau kulepaskan Cek yan-sin hwe yang ganas!" bentak Hi Kiam-gin yang tak sabar lagi.

Cek-yan-sin-hwe atau api-sakti-asap-merah, merupakan senjata obat pasang yang ganas. Begitu menyentuh kulit orang tentu terbakar. Bahkan rumahpun dapat terbakar oleh obat pasang itu.

Gak Lui terkejut dan mundur selangkah. Dalam pada itu ia memperhatikan ketiga nona tadi. The Hong-lian tertawa geli, si dara Yan-hong agak kasihan dan Siu-mey seperti mengejeknya.

Gak Lui tak mau menghiraukan mereka dan berseru pula kepada Hi Kiam gin: “Hi Kiam-gin, jika engkau masih ingat akan kematian yang mengenaskan dari ayahmu dan masih ingin membalas dendam, kuharap engkau sadar dan mau berunding."

Ucapan itu walaupun tak segera mendapat jawaban tetapi Hi Kiam-gin berdiam diri tidak segetas tadi. Hal itu menandakan bahwa ia memang belum dapat melupakan soal membalaskan sakit hati ayahnya.

“Pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam sudah diberikan oleh suhumu Lengan besi-hati-baik kepadaku. Engkau ingin melihat atau tidak ... !"

“Hm... ," Hi Kiam-gin mendengus.

“Besok pagi aku hendak ke gunung Im-leng-san untuk mencari musuh kita. Siu-mey bertiga ingin ikut. Kalau engkau suka, bawalah mereka bersama. Kalau tidak..."

“Bagaimana ?"

“Kami akan berangkat sekarang !"

“Oh...” Hi Kiam gin mendesuh kejut, “lalu apa perlunya engkau mencari aku ?"

“Pedang ini....."

“Bagaimana ?”

“Soal itu memang ada sedikit liku2 yang harus kurundingkan dengan engkau. Jika engkau tak melupakan pemberian ajaran ilmu pedang Bu-san itu, seharusnya engkau mau menemui kami untuk berunding."

Kembali Hi Kiam-gin berdiam diri. Beberapa saat kemudian terdengar ia berkata dengan agak gemetar: “Masuklah....!"

Ketika Gak Lui masuk ke dalam kamar itu, ketiga nona tercengang. The Hong lian leletkan lidah : “Aneh sekali ! Mengapa engkoh Lui ingin berunding dengan seorang nona yang begitu dingin. Apakah yang hendak dirundingkan ?"

“Sudahlah, jangan bicara. Mungkin kita dapat mendengarkan pembicaraan mereka," seru Su-mey.

Tetapi betapapun ketiga nona itu berusaha untuk mendengarkan pembicaraan mereka, namun tetap tak mendengar suatu apa. Rupanya Gak Lui dan Hi Kiam-gin menggunakan ilmu Menyusup-suara.

Beberapa saat kemudian, Gak Lui berpaling dan mempersilahkan ketiga nona itu masuk. Gak Lui memperkenalkan mereka kepada Hi Kiam-gin dan menuturkan riwayatnya masing2.

“Taci bertiga tentu sudah mahir mempelajari ilmu pedang Busan itu ?" tiba2 Hi Kiam gin mengajukan pertanyaan.

“Ah, kami ingat pelajaran itu ...."

“Bagus," seru Hi Kiam-gin. Ia segera menguraikan tentang kehebatan dari keempat pedang apabila serempak bermain dalam ilmu pedang perguruan Bu-san.

Adalah Siu-mey yang cepat dapat menyelami keadaan, serunya: “Kami masing2 telah mempelajari sebuah jurus dari ilmu pedang Busan. Apabila kita berempat bergabung, tentu dapat membantu engkoh Lui membasmi musuh. Bukankah tujuan ke gunung Im leng-san itu juga dengan begitu?"

“Ini ... ," kata Hi Kiam-gin tersekat, ia tampak ragu2 untuk memberi keterangan. Adalah Gak Lui yang melanjutkan: “Soal itu tidak benar seluruhnya begitu. Walaupun ilmu pedang istimewa tetapi harus dilihat bagaimana kepandaian masing2."

“Engkau maksudkan kepandaian kami masih dangkal sehingga tak dapat menghadapi musuh ?"

“Menurut tingkat kepandaian, kalau ini memang tak terpaut banyak satu dengan lain. Dan kali ini kepergian kita ke Im leng-san itu bukan semata2 hanya menghadapi musuh, tetapi menghadapi ...."

“Siapa ?"

“Menghadapi pedang pusaka Thian lui koay-kiam !"

“O !" ketiga nona itu serempak mendesuh kaget. Yan hong sidara cantik dari Bu-san cepat tertawa: “Adik Lui, mungkin dahulu kakek gurumu kuatir kalau pedang itu sampai jatuh ke tangan orang lain maka ia telah siapkan rencana begitu. Tetapi sekarang pedang sudah berada di tanganmu, mengapa masih takut lagi!"

Dengan wajah bersungguh Gak Lui menjawab: “Pedang itu memiliki tenaga iblis. Mudah dimainkan tetapi sukar ditarik kembali. Untuk lain orang mungkin tak tahu tetapi engkau tahu jelas sekali !"

“Tentu," sahut Yan hong. Ia teringat akan cerita ibunya bahwa pedang itu memang sukar dikendalikan sehingga telah melukai banyak sekali murid2 perguruan Bu-kau. Ia menggigil dan bertanya : “Adakah engkau .... menghendaki kami .... menghadapi engkau....."

“Bukan menghadapi tetapi menjaga !"

“Tidak, tidak, tidak!" seru Yan hong dan kedua nona lainnya dengan serempak.

Rupanya hanya Hi Kiam-gin yang dapat mengetahui intisari dari ilmu pedang dari perguruan Bu-san itu. Boleh dikata tiga dari empat jurus ilmu pedang itu hanyalah untuk memapas, mencongkel dan menjatuhkan pedang itu dari tangan orang. Hanya jurus Hawa-pedang-menembus-malam, benar2 berbahaya. Pun apabila orang dapat menguasainya juga takkan melukai orang. Dengan pertimbangan itulah maka ia dapat menerima permintaan Gak Lui.

Gak Lui menguraikan intisari dari ilmu pedang itu dan cara2 menggunakannya untuk memukul lepas pedang Thian-lui-koay-kiam. Demikian hampir setengah hari memberi pelajaran, akhirnya Gak Lui dapat menjelaskan ketiga nona itu sehingga mereka mau meluluskan permintaannya. Hanya Yan hong yang tetap berkeras kepala tak setuju.

“Taci Yan," kata Gak Lui agak kurang senang. “engkau adalah pewaris dari perguruan Bu-kau. Masakan engkau tak ingat akan peristiwa kakek guru dahulu? Mengapa engkau masih berbanyak hati dan kukuh ?"

“Ya, sudah tentu aku ingat.... tetapi pedang dan golok itu tidak bermata. Apabila sampai melukai engkau....."

Mendengar itu Hi Kiam-gin cepat menyelutuk: “Di dalam memainkan pedang, titik beratkan pada pertahanan dan kurangkan serangan. Bukankah tadi dia sudah mengatakan ...."

“Ya, memang dia sudah mengatakan dan akupun sudah mendengar jelas," sahut Yan-hong.

“Kalau begitu tak perlu cemaslah. Apalagi jurus Hawa-pedang-menembus-malam itu merupakan jurus yang terakhir, kemungkinan tak perlu digunakan lagi."

“Cici menjamin ?"

“Tak perlu menjamin. Jurus itu engkau yang menerima pelajarannya. Engkau dapat bergerak menurut keadaan."

“Eh, bukankah tadi telah disepakatkan, bila Gak Lui tak dapat mengendalikan pedang pusaka itu, kita berempat harus serempak mengepungnya? Mengapa sekarang cici mengatakan lain?"

“Ah, bukan begitu. Kita berempat harus membentuk diri seperti tembok pedang. Lebih dulu membendung keganasan pedang itu lalu kita gunakan jurus Menjolok-bintang-memetik-bintang atau Membelah-emas-memotong-kumala, memapas jatuh pedang itu dari tangannya."

“Kalau gagal baru kugunakan jurus Hawa-pedang-menembus malam itu, bukan ?" Yan-hong cepat menyelutuk.

“Kukira....," kata Hi Kiam-gin, “tokoh sakti kalau bertempur, dalam sekejab saja sudah dapat diketahui menang kalahnya. Oleh karena itu jurus keempat itu mungkin tak perlu engkau keluarkan. Dan ingat, walaupun sebuah jurus ilmu permainan itu hebat, tetapi pun harus mengandalkan tingkat tenaga orang itu.....”

“Hm, kalau begitu engkau anggap tenaga kepandaianku ini yang paling lemah sendiri diantara kita berempat ini. Sekalipun aku menyerang juga tak sampai melukai adik Lui," cepat Yan-hong merangkai kesimpulan sendiri.

Hi Kiam-gin diam saja tak mau meladeni Yan-hong yang sedang marah itu. Apalagi Siu-mey dan The Hong-lian saling bertukar pandang seperti menyetujui pernyataan Yan-hong.

Melihat itu Gak Lui tak sabar lagi. Segera ia berkata kepada Yan-hong: “Taci Yan, katakanlah. Engkau ingin membalas dendam sakit hati atau tidak?"

“Adik Lui, aku ingin sekali menuntut balas," jawab Yan hong, “dan kuharap engkau berhasil membalas sakit hati kepada musuh."

Dengan mengertak gigi Gak Lui berkata: “Demi memikirkan perasaanmu terhadap ibumu, terpaksa aku tak dapat mengelabuhi engkau lagi !"

“Ih, dalam soal apa engkau mengelabuhi aku ?" tanya Yan hong agak kaget.

“Yang menipu dan mencuri ilmu kepandaian Bu-kau dari ibumu, bukan lain yalah Maharaja Tio Bik-lui itu sendiri."

Mendengar itu seketika pecahlah tangis sinona. Dengan gemetar ia berseru: “Mengapa.....engkau tak mengatakan dari dulu ?"

“Karena tiada sempat dan kedua kali demi menjaga agar engkau jangan menempuh bahaya!"

“Tidak .... tidak peduli bagaimana, aku hendak mencarinya dan membuat perhitungan......hendak kucincang tubuhnya ..."

“Tetapi kepandaiannya engkau tentu sudah mengetahui sendiri. Apalagi ditambah dengan beberapa ilmu yang istimewa itu, kecuali dengan pedang pusaka Thian-lui koay-kiam, tak mungkin dapat menundukkannya. Hanya saja apabila menggunakan pedang pusaka itu harus mempunyai persiapan agar jangan menimbulkan akibat yang membahayakan lain orang. Jika engkau benar2 hendak melakukan pembalasan, engkau harus meluluskan permintaanku. Kalau tidak....”

“Bagaimana ?”

“Aku takkan membawa kalian semua !"

“Kalau tak dapat menguasai pedang pusaka itu, lalu bagaimana?"

“Toh gunung Im-leng-san itu sunyi belantara, setelah membunuh musuh, aku akan mencari daya.... kalau perlu hanya orang dan pedang itu harus hancur bersama agar jangan menimbulkan dosa berdarah pada lain orang....."

“Jangan! Jangan !" Yan-hong menjerit kaget. Dia tak tega kalau pemuda itu sampai celaka. Tetapi iapun tak sampai hati untuk bertempur mengepung Gak Lui.

“Ah, di dunia ini memang penuh dengan soal kesukaran dan penderitaan," tiba2 Hi Kiam-gin berkata dengan nada dingin, “dalam soal hubungan asmara saja adik Lui belum dapat memutuskan, sekarang akan bertambah dengan soal pembalasan sakit hati. Dalam soal pembalasan ini, aku memang wajib mengambil bagian dan harus membantu sekuat tenaga. Yang dibutuhkan adik Lui, bukan bantuan tenaga untuk menghancurkan musuh melainkan apabila selesai menghancurkan musuh, pedang Thian-lui-koay-kiam itu akan membuas dan membunuh orang lain. Nah, keadaan itulah yang memerlukan tenaga kita untuk mengatasinya. Kecuali kita memang menghendaki dia ....supaya binasa bersama pedang pusaka itu ...."

Ucapan itu telah menggetarkan sanubari ketiga nona yang lain. Serempak mereka berkata dalam hati, rela menempuh bahaya daripada membiarkan Gak Lui akan binasa bersama pedang Thian-lui-koay-kiam.

Akhirnya dengan airmata bercucuran, Yan-hong menerima permintaan Gak Lui. Gak Lui serasa terlepas dari himpitan batu besar. Ia memandang dengan penuh rasa terima kasih kepada Hi Kiam-gin. Nona itu tundukkan kepala. Dua butir airmata menitik turun dari pelupuknya.

Setelah perundingan selesai, Hi Kiam-gin mengantar keluar tetamunya lalu seorang diri masuk kedalam kamarnya.

Siu-mey bertigapun kembali kedalam kamar dan tidur. Gak Lui masih mondar mandir dalam paseban markas Ceng-sia-pay. Di ruang sembahyang peti-mati Thian Wat totiang masih terdengar para anak murid Ceng-sia-pay membaca kitab suci, memanjatkan doa untuk arwah Thian Wat totiang.

Kemudian ia ke ruang samping dan duduk bersemedhi. Entah berapa lama, tiba2 ia terkejut bangun. Saat itu hari sudah terang tanah tetapi yang mengejutkan Gak Lui yalah suara hiruk pikuk yang menggema dalam ruang paseban besar itu.

Cepat ia melangkah keluar. Suara hiruk pikuk makin nyaring. Seluruh markas seolah-olah tergetar. Cepat ia mencari Hi Kiam gin dan ketiga nona lainnya untuk diajak berangkat Im-leng-san. Tetapi ketika ia melangkah keluar, kejutnya bukan kepalang. Hidungnya terbaur angin berbau anyir yalah bau dari bangsa ular.

“Hai, dari manakah sekian banyak ular itu ? Sekalipun gunung ini ada ularnya, juga tak bergolak seperti ini ?" pikirnya terus hendak mencari Siu-mey.

Baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan Thian Lok totiang ketua Ceng sia-pay. Dilihatnya ketua Ceng-sia-pay itu tengah bingung sembari memberi petunjuk kepada anak murid untuk mengelompok jadi satu. Ratusan anak murid Ceng-sia-pay itu sama menghunus pedang, ujungnya ditunjukkan ke tanah. Mata merekapun memandang ke tanah dengan ketakutan.

Melihat itu Gak Lui cepat melesat ke hadapan Thian Lok totiang.

“Sauhiap, ke manakah engkau ini ? Mengapa sampai lama tak dapat kucarimu..." seru Thian Lok totiang.

“Aku sedang duduk bersemedhi di ruang samping. Tolong tanya, apakah yang terjadi?"

“Ular ... barisan ular telah menyerbu markas di gunung Ceng-sia-san sini. Murid2 dari partai2 persilatan yang sedang tidur banyak yang digigit terluka ... bahkan mati."

“Lalu di manakah para ciang-bunjin?"

“Berada di sekitar gunung ini memberi petunjuk kepada anak muridnya menghadapi serangan ular..."

“Oh, banyakkah jumlahnya ular itu?"

“Tak dapat dihitung banyaknya. Markas Ceng-sia-pay mungkin akan penuh!"

Gak Lui terkejut. Karena ia pernah makan rumput Hiang-coh, ia tak takut kepada bangsa ular. Tetapi ia tahu bagaimana kelihayan bangsa ular itu. Bagi orang persilatan yang belum tinggi kepandaiannya tentu tak dapat melawan. Diam2 ia heran siapakah tokoh yang mampu memerintahkan barisan ular untuk menyerang markas Ceng-sia-pay itu ?

Tiba2 ia teringat bahwa di antara yang datang ke Ceng-sia-san itu terdapat juga partai Pengemis daerah selatan. Pemimpinnya si Pengemis Ular yang termasyhur itu memang hendak melakukan pembalasan sakit hati atas musuh yang telah membunuh Pengemis-jahat.

“Ketua partai Kay-pang seorang ahli menghadapi bangsa ular beracun. Sekarang ini dia berada di mana?"

“Di bagian selatan gunung. Tetapi menurut katanya, ia mungkin tak mampu menghadapi serangan sekian banyak ular ini."

“Kewalahan?"

“Ya," sahut ketua Ceng sia pay.

“Lalu di manakah adikku Siu-mey itu ?"

“Dia sih mempunyai daya. Saat ini sedang mempertahankan dibagian muka gunung dan hendak mencari sauhiap!"

“Kalau begitu harap totiang menjaga diruang paseban ini, aku hendak mencarinya."

Sepanjang jalan Gak Lui melihat anak murid partai persilatan masing2 membentuk diri dalam barisan, menggunakan senjatanya untuk menghalau serangan barisan ular ular. Tetapi ular2 itu pun lincah dan gesit sekali sehingga masih ada yang dapat meloloskan diri.

Gak Lui percepat larinya. Ia lepaskan hantaman untuk menghancurkan barisan ular itu. Tetapi di luar markas, kawanan ular itu makin banyak jumlahnya.

Tokoh2 silat yang berilmu tinggi terhambat di tengah barisan ular. Mereka mengamuk dan membabat kawanan ular itu. Tetapi asal sedikit ayal saja tentu ada yang digigit ular. Dan begitu orang itu rubuh tentu terus dibuat ‘pesta' oleh kawanan ular. Dalam beberapa kejab saja, tubuh orang itu habis dagingnya dan tinggal merupakan seperangkat tulang tengkorak.

Dalam perjalanan itu tak sedikit Gak Lui menolong beberapa orang. Tetapi ketika hampir tiba di pintu markas, ternyata di situ sudah merupakan seperti lautan ular.

Melihat itu Gak Lui segera gunakan pedangnya untuk mengamuk.

Bum, bum, bum ... pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam dan pukulan, menyiak sebuah jalan-darah. Dan saat itu ia sudah berada diluar pintu besar.

Didalam lingkaran hanya seluas tiga tombak tampak seorang tokoh menggunakan senjata aneh, sebuah payung besi dan sebuah kipas besi. Bagaikan angin puyuh yang menderu deru, orang itu mengamuk sehingga tiada seekor ularpun yang mampu menyusup dekat.

“Sebun sianseng, berhentilah. Akulah yang datang!" seru Gak Lui serentak.

Karena tahu ular tak dapat masuk, Sebun sianseng hentikan gerakannya. Dan saat itu Gak Luipun menyelinap mendekatinya.

“Sauhiap, aku sudah terkepung oleh kawanan ular jahat. Sungguh tak nyana kalau aku benar2 merasa kewalahan menghadapi mereka," Sebun sianseng tertawa hambar.

“Kalau sianseng tak kuat, bolehkah aku memberi bantuan?" tanya Gak Lui.

“Tak usah! Tadi gadis ular Siu-mey sudah menghampiri kemari dan memberikan rumput wangi kepadaku. Oleh karena itu aku dapat terlindung dari bahaya maut..."

“Dimana dia sekarang?"

“Menyusur lamping gunung...”

“Mengapa?"

“Dia percaya beberapa ketua partai persilatan tentu serupa keadaannya dengan diriku. Maka dia hendak mencari mereka untuk membagikan rumput wangi itu."

“Marilah kuantar sianseng ke dalam markas, di sana keadaannya lebih aman ...."

“Juga tak perlu," sahut Sebun sianseng, “kalau tak dapat membasmi orang yang melepaskan ular itu, dalam setengah hari saja di luar dan di dalam markas tentu akan dibanjiri ular. Maka lebih baik aku tetap berada di sini. Kalau musuh hendak menyerang ke atas, aku dapat menahannya.”

Gak Lui anggap pernyataan tokoh itu beralasan juga. Maka ia minta diri dan menuju ke arah yang ditunjukkan Sebun sianseng untuk mencari Siu-mey.

Tetapi sampai melingkari gunung, tetap ia tak berhasil menemukan Siu-mey. Yang dijumpainya hanyalah beberapa ketua partai persilatan. Mereka ada yang bersembunyi dalam guha ada yang di atas dahan pohon dan ada pula yang keadaannya serupa dengan Sebun sianseng tadi yalah terkurung di tanah datar. Adalah karena makan rumput-wangi pemberian Siu-mey, mereka dapat bertahan dari serbuan ular.

Tak berapa lama tibalah ia dibalik gunung. Terdengar desis gemuruh dan bau yang anyir sekali dari sebuah dinding tinggi yang terdiri dari beribu ekor ular.

Didepan tembok ular itu tampak dua sosok tubuh, seorang tua berambut putih dan seorang nona cantik sedang berputar-putar. Orang tua itu ternyata Ong Ping-gak ketua Kay-pang dan sinona yalah Siu-mey. Mulut Siu-mey bersuit perlahan untuk menghalau ular sedang kedua tangannya bagai orang menari-nari. Sepasang ular kecil yang menghias tangannya itu pun bergeliatan mematuk musuh. Ular yang betapa besar dan berbisa, apabila tersentuh oleh sepasang ular kecil dari Siu-mey itu tentu jatuh ketanah dan mati.

Walaupun kedua orang itu sibuk membasmi serangan ular tetapi karena jumlah barisan ular itu terlampau banyak maka sukarlah bagi keduanya untuk menghancurkan semua.

Melihat itu Gak Lui terus maju menghampiri.

"Sauhiap," seru Ong Ping-gak dengan girang seraya membuka jalan untuk Gak Lui. Siu-mey pun bukan kepalang girangnya : "Engkoh Lui, kebetulan sekali engkau datang. Rumput-wangiku sudah habis kubagi-bagikan. Rupanya dibelakang barisan ular itu ada orang yang memberi perintah. Aku kewalahan untuk menghalau mereka, harap engkau cari daya !"

Sejenak berpikir, Gak Lui berkata ; "Tentulah perbuatan si Pengemis Ular itu. Apakah engkau melihatnya?"

"Tidak," sahut Siu-mey, "aku sibuk dengan serangan ular sehingga tiada perhatian kesitu."

Kemudian Gak Lui bertanya kepada ketua Kaypang. Pun ketua partai pengemis itu menyatakan tak melihat orang itu. Ia menambahkan keterangan: "Pengemis Ular itu memang misterius dan hebat dalam ilmu menundukkan ular. Andai nona Li tak berada disini, tulang2ku tentu sudah dimakan kawanan ular jahat itu...."

Melihat kedua ahli menundukkan ular itu kewalahan juga, terkejutlah Gak Lui. Ia memandang kesekeliling penjuru. Ah, empat penjuru hanya lautan ular berbisa. Tetapi tiba2 matanya tertarik pada seekor benda yang aneh. Besarnya sepelukan tangan orang, panjang satu setengah meter. Kaki dan kepala sama besarnya sehingga mirip seperti sebuah tiang daging.

Cepat Gak Lui menduga sesuatu. Ia berseru kepada Siu-mey : "Ikut aku !" dengan pedang pusaka Thian lui-hoay-kiam ia terus mendahului menerjang barisan ular. Dalam dua tiga kali loncatan ia sudah tiba diatas batu karang itu.

Rupanya ular aneh yang bergeliatan diatas karang itu tahu juga akan gelagat yang berbahaya. Ular itu membalikkan badan melorot turun. Tetapi terlambat. Sekali loncat, kaki Gak Lui pun sudah menginjak perut ular itu. Ular aneh itu melengkung tubuhnya, tiba2 menyemburkan cairan air racun.

Tetapi tubuh Gak Lui sudah kebal dengan racun ular. Ia keraskan injakannya sehingga ular aneh itu menjerit jerit kesakitan dan tiba2 dapat meratap : "Tuan, ampunilah jiwaku ..."

"Siapa yang engkau sebut tuan itu?" dengan marah Gak Lui perhebat kakinya sehingga mulut orang itu menyembur darah segar.

"Sauhiap .... sau ... hiap ampunilah jiwaku...!" orang itu merintih-rintih minta ampun.

"Rupanya engkau ini anak buah si Pengemis Ular," Seru Gak Lui seraya gunakan ujung jari untuk menggurat tubuh ular itu, bratt.....kulit ular pecah dan tampaklah sebuah wajah menyeringai kesakitan dari seorang pengemis.

"Ya ... ya ....," dengan napas terengah-engah, orang itu mengangguk.

"Lekas bilang, dimana dia sekarang?"

"Sembunyi ditengah tembok ular itu !”

"Bangun !" bentak Gak Lui, "bawa aku kesana !"

"Baik ... ," baru orang itu mengucap, tiba2 di udara meluncur seekor ular kecil yang terus menyambar dan menggigit tenggorokannya. Orang itu mengaduh tertahan terus rubuh ke bawah batu karang !

Gak Lui menjentik ular kecil itu tetapi dengan gesit ular itu terbang hendak menyambar muka Gak Lui. Untunglah pada saat itu sepasang ular dari Siu-mey sudah melayang tiba. Pada lain kejab, ular kecil itupun sudah rubuh ditanah dan tak bernyawa lagi.

Serempak dengan hancurnya ular kecil itu, dari dalam dinding ular, muncullah seorang manusia aneh yang berwajah menyeramkan sehingga Gak Lui sendiri sampai menyurut mundur selangkah !

Dengan seksama diperhatikannya manusia-aneh itu atau si Pengemis Ular. Rambut terurai, dada dan kaki telanjang, tulang sekeras baja, tubuh hampir tak tampak berpakaian kecuali dililit oleh belasan ekor ular.

"Heh, heh, heh, heh !" Pengemis Ular mengekeh. Karena tertawa, tubuhnya tergetar dan ular2 pada tubuhnya itupun ikut bergeliatan memagut-magut kemuka.

Melihat itu Siu-mey marah sekali. Ia terus hendak menggerakkan sepasang ular Kim-giok untuk membinasakan orang itu. Tetapi Gak Lui mengicupkan mata mencegahnya. Pikirnya, kalau terus dibunuh tentu tak dapat mempergunakan orang itu mengenyahkan barisan ular.

Setelah puas tertawa, Pengemis Ular dengan jumawa berseru kepada ketua partai Pengemis: "Hai orang she Ong, bukankah kita sudah setuju membagi wilayah? Mengapa engkau masih berani datang kemari ? Kalau hari ini engkau mati disini, jangan engkau sesalkan diriku...."

"Tutup mulutmu !" bentak Gak Lui marah. "dihadapanku, jangan engkau jual lagak ...."

Pengemis Ular tertawa mengekeh : “Budak she Gak, jangan engkau berlagak seperti tuan besar. Adik seperguruanku si Pengemis Jahat yang engkau bunuh itu, harus engkau bayar dengan jiwamu!"

“Apakah engkau mampu ?" ejek Gak Lui.

Pengemis Ular deliki mata: “Budak, jangan bermulut tajam. Dengan ilmu silat, memang aku tak dapat menghadapimu. Tetapi kalian telah masuk dalam perangkap si Maharaja. Jiwa dari sekalian tokoh2 perguruan silat yang berada di gunung ini, berada dalam tanganku ...."

“Engkau kira aku tak berani membunuhmu?”

“Kukira engkau tak berani karena engkau tentu tak mampu membasmi kawanan ular ini!"

“Engkau menghendaki syarat ?"

“Ha, ha, cerdik juga engkau !"

“Katakanlah saja, apa yang engkau maukan.”

“Sudah tentu ....," Pengemis Ular itu tertawa-tawa riang sambil memandang kearah ketua Kay-pang dengan mata mengejek. Setelah itu ke-arah Siu-mey. Pandang matanyapun berobah. Di-samping memuji akan kecantikan nona itu, pun diam2 gentar melihat sepasang ular maut yang menghias tangan nona itu.

Kemudian Pengemis Ular alihkan matanya kepada Gak Lui. Terhadap pemuda itu, benar2 ia menaruh kewaspadaan yang luar biasa.

“Kalau mau bicara, lekas! Jangan plintat plintut macam begitu."

“O, apakah melihat saja tidak boleh ....”

“Untuk mencabut jiwamu, adalah semudah membalikkan telapak tanganku!" bentak Siu-mey.

Rupanya gentar juga Pengemis Ular mendengar bentakan sinona yang garang itu. Segera ia menyahut: “Syaratku itu amat sederhana.”

“Apa?"

“Berikanlah pedang Thian-lui-koay-kiam itu kepadaku!"

“Oh......lalu syarat yang kedua ?" seru Gak Lui.

“Engkoh Lui, jangan meluluskan permintaannya itu. Pusaka perguruan merupakan benda yang penting !"

“Ya, kutahu," sahut Gak Lui.

“Syarat yang kedua itupun juga mudah saja. Asal budak perempuan itu mau menyerahkan sepasang ular mustikanya kepadaku, jadilah !"

“Syarat yang ketiga ?"

“Yang ketiga ?"

“Ya, benar !"

Pengemis Ular itu kicupkan mata melirik ke-arah ketua partai Pengemis lalu tertawa sinis: “Lain2 soal aku dapat menyelesaikan sendiri, tak perlu kalian ikut campur...."

“Kalau begitu engkau sudah tak ada syarat lain lagi ?"

“Tidak ada !"

“Tetapi dengan apa engkau hendak memberikan imbalan untuk pedang Thian-lui-koay-kiam dan sepasang ular mustika itu ?"

“O, engkau masih menghendaki barang penukarnya ?"

“Sudah tentu !"

Pengemis Ular terkesiap. Belum sempat ia membuka mulut, Siu-meypun sudah menyelutuk: “Engkoh Lui, mengapa engkau mau berunding dengan orang itu? Dia kan manusia tanpa ceng-li !"

Gak Lui tertawa rawan: “Jangan cemas. Memikirkan keselamatan jiwa tokoh2 persilatan di gunung ini, terpaksa aku harus berunding....”

“Sudahlah, budak she Gak, terus terang kuberitahu kepadamu. Kedua benda itu memang yang kukehendaki. Soal imbalannya, jangan engkau menuntut apa2 dari aku !"

“Kalau kedua benda itu sudah kuserahkan, apakah engkau mau mengundurkan kawanan ular itu?"

“Ini...." Pengemis-Ular tersekat meragu.

Bab 33. Perburuan

Setelah agak tersekat, Pengemis Ular memberi janji bahwa ia tentu segera mengundurkan barisan ular selekas menerima pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam.

"Engkoh Lui, jangan percaya padanya !” seru Siu-mey, "setelah mendapat pusaka dia tentu tak mau pegang janji dan kita sudah terlambat mencegahnya."

"Hm...” Gak Lui mengangguk kemudian menatap Pengemis Ular : "Bagiku apa yang telah kujanjikan tentu akan kutepati. Tetapi demi pengamanan, sekurang-kurangnya engkau harus dapat mengajukan sebuah jaminan, kalau tidak .....”

"Bagaimana ?"

"Terpaksa aku harus mempertimbangkan lagi."

Diam2 Pengemis Ular itu merenung dan memperhitungkan untung ruginya. Jika ia berkeras mendesak, dikuatirkan Gak Lui tentu akan memberi reaksi keras. Padahal ia tahu kalau kepandaiannya kalah tinggi dengan pemuda itu.

Melihat pengemis itu meragu, Gak Lui cepat menyusuli pula : "Permintaanku jauh lebih sederhana dari engkau. Sesungguhnya tak perlu banyak dipikir lagi."

"Kalau begitu, katakanlah."

"Engkau kasih tahu cara mengusir ular itu. Apabila engkau pergi, kamipun dapat melakukan sendiri."

"Ini ..." Pengemis Ular terus mengangkat tangan seperti hendak mengambil barang tetapi pada lain saat ia merasa salah tindak lalu menurunkan tangan lagi dan menyahut sinis : "Gak Lui, terserah padamu percaya atau tidak. Engkau hanya menyerahkan pusaka itu dan akupun akan menetapi janji. Tetapi jika hendak minta ajaran cara mengusir ular, jangan engkau harap !"

"Baik," Gak Lui pura2 menghela napas tetapi diam2 ia sudah mengetahui rahasia itu dari gerak gerik pengemis itu tadi. Sambil melepas ikatan pedang Thian-lui-koay-kiam dan menunjuk pada Siu-mey, Gak Lui berkata : "Pedang akan kuserahkan begitu pula ular. Tetapi masih ada sebuah rahasianya yang hendak kuberitahu kepadamu agar jangan menimbulkan hal2 yang tak diinginkan."

"Katakanlah !"

"Kedua ekor ular itu, merupakan binatang keramat yang tiada keduanya diduga. Tetapi ular itu luar biasa racunnya. Tentunya tadi engkau sudah menyaksikan sendiri.”

"Ya, sudah."

"Karena itu kuharap engkau bersiap-siap agar jangan sampai tak dapat mengendalikan....."

"Heh, heh...," pengemis itu mengekeh, "sudah sejak kecil aku bermain ular, aku mempunyai itu untuk menundukkannya. Sudahlah, jangan banyak kuatir, serahkan dulu pedang pusaka itu!"

“Baik, sambutilah !" tanpa ragu2 lagi Gak Lui terus ayunkan tangan, setelah membuat gerak setengah lingkaran, pedang melayang kearah Pengemis-ular. Setelah menyambuti dan memeriksa pedang itu terbungkus dengan sutera putih, diam2 pengemis itu heran. Tetapi ia masih harus menyambuti sepasang ular mustika dari Siu-mey. Maka tanpa membuka bungkusan sutera itu ia terus berteriak: "Budak perempuan, lekas lemparkan ularmu kemari."

Siu-mey yang cerdas pun dapat melihat gerak gerik pengemis itu tadi. Jelas pengemis itu mengangkat tangan hendak mengambil barang tetapi karena badannya telanjang jadi tak dapat diketahui benda apakah yang hendak diambilnya itu. Maka untuk mengetahui rahasia itu, terpaksa ia harus gunakan kedua ularnya : "Sambutilah !" serunya.

Dua buah sinar perak dan emas segera melayang kearah Pengemis-ular. Pada saat pengemis itu menyambuti, terjadilah peristiwa yang mengejutkan kedua belah fihak. Begitu kedua ular itu berada ditangan si pengemis, terus saja melenting dan menggigit pengemis itu.

Menikah bisa ular itu, seharusnya pengemis Ular harus mati. Tetapi ternyata hanya kesakitan saja. Suatu hal yang membuat Siu-mey benar2 terkejut sekali. Tetapi Gak Lui tetap tenang. Ia tahu bahwa Pengemis-ular itu seorang tokoh persilatan yang ternama. Sudah tentu sakti sekali.

Sepasang ular Mas dan Perak itu hebat sekali. Begitu melihat tak mampu menggigit mati korbannya, ia terus melenting ke tubuh Pengemis-ular dan menggigit kawanan ular yang melilit tubuh pengemis itu.

Kawanan ular itu merupakan ular2 hebat yang dengan susah payah dipiara oleh Pengemis-ular. Tetapi sudah tentu kalah hebat dengan sepasang ular Mas dan Perak. Sekali tergigit, ular2 itupun segera mati dan melorot jatuh ketanah, sedangkan Pengemis-ular itu sendiripun sudah menderita luka yang hebat. Racun sepasang ular kecil itu sudah bercampur dalam darahnya. Hanya karena dia sudah pernah makan obat penawar racun ular, barulah ia dapat bertahan beberapa lama. Tetapi apabila ular2 yang melilit tubuhnya habis mati digigit kedua ular kecil itu, tentulah akan tiba gilirannya akan digigitnya lagi. Ah, celaka !

Dalam gugup Pengemis-ular terus mencekal tangkai pedang Thian-lui-koay-kiam yang terbungkus sutera, untuk menjaga kalau2 Gak Lui main gila. Lalu bibirnya mulai bergerak-gerak menghambur siulan tajam yang panjang. Mendengar siulan itu sepasang ular Mas dan Perak serentak berhenti menggigit, menyelinap lenyap dalam tumpukan ular.

Kawanan ular yang lainpun berserabutan mundur dari gunung. Dan suitan itupun suatu pertandaan untuk memanggil dua orang murid Pengemis-ular. Dengan meraung-raung histeris, kedua orang yang tubuhnya berpakaian puluhan ekor ular itu berlari-lari datang menolong.

Perobahan itu membuat ketua Kay-pang terlongong, pun Siu mey juga gelisah memandang Gak Lui dan mengharap pemuda itu lekas turun tangan. Namun Gak Lui tetap tenang dan berkata : "Tenanglah, tak perlu kita turun tangan, dia tentu akan hancur sendiri.”

Dalam pada itu tampak Pengemis-ular sudah menyingkap sutera pembungkus pedang dan mulai menggenggam batang pedang. Bagaikan kena aliran stroom, segera dia terkuasai oleh tenaga ganas dari pedang itu. Sepasang bola matanya merah darah, wajah memberingas seram. Sambil bersuit memanggil ular, tangan menghantam dengan pedang : "Pulanglah....!"

Gak Lui pun cepat bertindak. Ia lepaskan pukulan tenaga-dalam Algojo-dunia dari jauh, Pengemis-ular itu tersurut mundur dua tombak, tepat berdiri disamping kedua muridnya.

Tetapi saat itu Pengemis-ular sudah gila. Tak lagi ia dapat mengenali lawan atau kawan. Yang mengeram pada benaknya yalah hanya membunuh orang. Sekali ayun, ia hantamkan pedang laknat itu kepada kedua muridnya sendiri.

"Auh.....” terdengar jeritan ngeri ketika tubuh kedua murid itu hancur lebur beserta puluhan ekor ular yang melibat tubuhnya.

Selesai menghancurkan kedua muridnya, Pengemis-ular loncat kedalam barisan ular dan mengamuk. Setelah barisan ular itu makin menipis barulah tampak tubuh si Pengemis-ular terkapar ditanah. Yang tinggal hanya seperangkat tulang kerangka, tangannya masih mencekal pedang Thian-lui koay-kiam. Sepasang ular Mas dan Perak masih melingkar ditubuhnya. Sedang daun yang digunakan untuk bersuit memanggil ular tadi, masih terkulum digiginya.

Gak Lui segera mengambil pulang pedang Thian-lui-koay-kiam dan mengambil pula sempritan daun itu, demikian sepasang ular mustika lalu diberikan kepada Siu mey.

Selesai adegan yang menyeramkan itu, berkatalah ketua Kay pang kepada Gak Lui : "Sauhiap, kuhaturkan selamat karena engkau telah berhasil membasmi sebuah malapetaka dalam dunia persilatan. Soal menghalau ular itu, sekarang boleh engkau serahkan kepadaku."


Gak Lui mengiakan : "Harap pangcu suka meninjau seluruh gunung, halaulah kawanan ular itu kedalam rawa2 agar jangan mencelakai orang."

Ketua Kay pang menyambuti suitan lalu menuju ke barisan ular. Sementara Gak Lui pun lalu mengajak Siu-mey kembali kedalam paseban Ceng-sia-pay dan disitu Thian Lok totiang tengah memimpin murid2nya untuk membasmi kawanan ular. Bukan kepalang ketua Ceng-sia-pay demi melihat Gak Lui muncul. Mereka amat berterima kasih sekali atas bantuan pemuda itu yang telah dapat mengatasi serangan ular dari Pengemis-ular.

Gak Lui segera minta diri karena hendak menuju ke gunung Im-leng-san, memenuhi tantangan Maharaja Tio Bik-lui. Setelah itu Gak Lui menemui Hi Kiam-gim, The Hong-lian dan Yan-hong. Setelah memberi pesan seperlunya kepada keempat nona itu, Gak Lui lalu berangkat.

Setelah para rombongan partai Persilatan berkumpul dipaseban besar, mereka sibuk mengobati anak muridnya masing2 yang menjadi korban keganasan kawanan ular. Dalam anggapan para rombongan partai persilatan, kali ini Siu-meylah yang menjadi juru selamat mereka. Jika nona itu tak memberikan rumput Kim-cian, para ketua partai persilatan itu tentu celaka. Selain Siu-mey, pun Hi Kiam-gin, Hong-lian juga mendapat perindahan besar.

Siu-mey gelisah sekali. Ia ingin lekas2 menyusul Gak Lui tetapi terpaksa harus bersabar karena membantu mengobati murid2 partai persilatan yang terluka dulu. Setelah setengah hari sibuk menolong korban2, barulah keempat nona itu dapat minta diri kepada sekalian ketua partai persilatan. Mereka cepat menyusul Gak Lui ke Im-leng-san.

Demikianpun para ketua partai persilatan itu. Setelah para murid2 mereka tertolong, merekapun ikut prihatin atas diri Gak Lui yang akan melakukan pertempuran terakhir dengan Maharaja. Berulang kali mereka mendapat bantuan Gak Lui, sudah tentu mereka akan berusaha untuk membantu juga kepadanya itu.

Akhirnya mereka bersepakat, setelah nanti ketua Kay pang datang, mereka akan mengajaknya menyusul ke Im leng-san. Dan ternyata ketua Kay-pangpun setuju.

Keesokan harinya, setelah mengatur rombongan murid masing2 supaya pulang ke markas perguruannya, ketua Partai Gelandangan Raja-bengawan Gan Ke ik, ketua Go-bi pay Tek Yan taysu, ketua Kiu-hoan-bun Ih Ci-cin, ketua Kun-lun-pay Sebun sianseng dan Pukulan-sakti The Thay, segera menuju ke Im-leng san.

Mereka hendak menyaksikan pertempuran antara Gak Lui lawan Maharaja Tio Bik lui.

Dalam pada itu dengan menggunakan ilmu lari cepat, Gak Lui bergegas menuju kegunung Im leng san. Disamping sepanjang jalan ia meninggalkan pertandaan rahasia, pun ia memperhitungkan waktunya agar keempat nona dan rombongan ketua partai persilatan itu tiba digunung Im leng san tepat pada waktunya.

Demikian tepat pada waktu dari tantangan itu, tibalah Gak Lui digunung Im leng-san. Keadaan gunung itu cukup seram. Puncaknya menjulang tinggi sampai menembus awan. Sedang sekeliling puncak itu tertutup oleh hutan belantara yang lebat. Demikian salju yang rnenutup puncak itu sampai kehijau-hijauan warnanya.

"Hm....," gumam Gak Lui. “menilik keadaannya, pada puncak yang tertutup salju itu tentu ada sesuatu rahasianya...."

Sekonyong-konyong dari puncak itu tampak memancar sinar biru yang keras. Gak lui terkejut. Ia tak asing lagi dengan sinar biru kemilau itu. Itulah sinar pedang Pelangi yang direbut oleh si Maharaja. Tampak pedang itu jauh lebih ganas daripada ketika masih berada ditangannya.

Dua tiga kali pedang itu berkelebatan sehingga gumpalan saljupun ikut terpancar sinar biru.

Melihat itu Gak Lui menggeram : "Hm, kiranya Tio Bik-lui bersembunyi disana dan berlatih ilmu pedang. Rupanya dia telah mencapai latihan yang sedemikian hebat. Tetapi jelas kalau gerak permainannya itu masih belum mencapai kesempurnaan .....”

Tanpa disadar Gak Lui meraba pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Seketika besarlah semangatnya. Ia yakin pedang Thian-lui-koay-kiam yang memiliki tenaga gaib itu tentu dapat mengatasi pedang pelangi si Maharaja. Tetapi pada lain saat ia teringat juga akan pesan Kaisar persilatan Li Liong ci bahwa apabila nanti dia mainkan pedang itu berhadapan dengan lawan, tentu akan timbul suatu keanehan...

"Hm, tak peduli ada atau tidak keanehan itu, tetapi dengan mengandalkan tekad, aku tetap harus membasmi durjana itu !" akhirnya ia membulatkan keputusannya.

Teringat akan dendam kematian orangtuanya, mendidihlah darah Gak Lui. Dengan gunakan ilmu meringankan tubuh, ia terus enjot tubuhnya melayang ke lamping gunung.

Empat penjuru hutan belantara terbentang luas. Seketika ia teringat akan pesan kata2 dari Wanita Pelebur-tulang agar didalam menghadai jebakan si Maharaja Persilatan, ia harus mencari ke tempat yang tiada api, jangan menuju kesebelah utara yang tergenang air.

Demikian setelah menimang-nimang keadaan tempat, akhirnya ia meninggalkan sebuah tanda rahasia, ia terus enjot tubuh melambung keudara, hendak melayang kearah goha itu. Dendam kesumat untuk membalas sakit hati kematian orang-tua, membuat Gak Lui seperti orang kesetanan. Ia gunakan seluruh ilmu kepandaiannya untuk berloncatan maju.

Lebih kurang satu li jauhnya, tiba2 ia merasakan sesuatu yang tak wajar. Segera ia melayang turun dan hendak meninjau keadaan. Tetapi astaga.....ternyata kakinya menginjak tempat kosong. Dicobanya sekali lagi, pun tetap serupa.

Serempak dengan itu keadaan sekelilingnya pun gelap gelita dan hawanyapun dingin. Bluk, akhirnya ia jatuh ketanah dan separoh dari tubuhnya terbenam dalam sebuah kubangan yang airnya amat dingin sekali.

Saat itu Gak Lui baru menyadari bahwa karena terlalu dirangsang nafsu, ia telah terperosok jatuh kedalam sebuah tebat atau telaga kecil yang ratusan tombak didasar lembah. Ia kerahkan tenaga-dalam dan menyambar keping2 benda yang memenuhi tebat itu. Ah.... hampir saja tubuhnya lemas ketika mendapatkan keping2 benda itu bukan lain adalah hancuran tulang kerangka manusia. Sebuah tebat yang penuh dengan keping2 tulang manusia. Makin ia gunakan tenaga makin tubuhnya tenggelam kebawah.....

"Celaka!" cepat ia hentikan tenaga murni dan tak berani berkutik.

"Hm, kalau aku terus menerus terbenam disini, tentu celaka. Rombongan ketua partai persilatan itu kemungkinan tentu akan terperosok juga kesini. Seorang saja yang jatuh kesini, aku tentu akan tertindih dan tenggelam kebawah dasar tebat ini. Dan apabila Maharaja mengetahui aku berada disini, mudahlah bagi dia untuk membunuhku...." Gak Lui menimang-nimang dengan gelisah.

Setelah termenung beberapa saat tiba2 ia menemukan akal. Ya, hanya dengan tenaga sakti Algojo-dunia yang mempunyai daya tenaga sedot itu, dapatlah ia keluar dari tempat celaka disitu. Segera ia gerakkan kedua tangannya. Tangan kiri menghantam keatas, tangan kanan menampar kebawah. Wut...tangan kiri mengalir suatu tenaga keras yang membuat tubuhnya ikut tersedot naik. Dan karena ia gunakan tenaga-dalam itu hampir delapanpuluh bagian, maka tubuhnyapun seperti sebuah anak panah yang meluncur keatas, lalu melayang turun ke sebuah batu karang.

"Tebat celaka semacam ini, hanya mencelakai manusia saja. Lebih baik kutimbuni," pikir Gak Lui yang lalu menghantam batu karang. Karang berguguran jatuh menimbuni liang tebat itu. Setelah selesai, ia enjot tubuhnya melambung keatas lagi dan melanjutkan perjalanan lagi.

Diluar dugaan, ia tak menemui suatu rintangan apa2, ia duga Maharaja merasa tentu tak ada orang yang mampu menandinginya, maka ia tak mau membuat macam2 perangkap dan hanya tumpahkan seluruh tenaganya pada pos yang terakhir nanti. Jelas bahwa pertempuran terakhir yang akan dihadapinya nanti tentu bukan kepalang dahsyatnya. Menilik persiapan2 yang dilakukan, jelas pula bahwa Maharaja itu mempunyai keyakinan tentu menang.

Memikir sampai disitu, tergetarlah hati Gak Lui dan tangannyapun meraba pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam yang tersanggul di belakang bahunya. Seketika timbul pemikiran dalam hatinya.

"Soal batang pedang yang sudah lelah dan lekat jadi satu dengan kerangkanya, memang sukar. Tetapi tangkai pedang yang terbungkus dengan sutera itu, apakah dibiarkannya begitu saja. Kalau tidak kubuka, tentu tak leluasa kumainkan dalam pertempuran. Tetapi kalau kubuka selubung sutera itu, ah, pedang itu akan memancarkan tenaga-sakti aneh yang tak dapat dikendalikan....."

Setelah termenung-menung beberapa saat akhirnya ia memutuskan untuk membuka selubung sutera tangkai pedang itu. Sekali tarik, selubung sutera itupun hancur berhamburan.

Seketika hati Gak Luipun tegang regang. Dendam kesumat terhadap Maharaja, makin meluap2 dan menyala-nyala membakar seluruh tubuhnya. Tiba2 ia teringat akan pesan Kaisar-persilatan Li Liong Ci supaya berlaku tenang.

“Ya, benar. Memang harus tenang menghadapi tipu muslihat musuh dan akal muslihat musuh," katanya dalam hati.

Akhirnya ia tiba diluar daerah yang merupakan terowongan dan terus loncat mendaki ke-puncak.

"Ya, akhirnya tibalah juga," katanya seraya hentikan langkah dan memandang kesekeliling penjuru.

Duapuluh tombak jauhnya disebelah muka, terbentang sebuah terowongan yang berliku liku menuju kepuncak gunung. Ia terus hendak melangkah maju tetapi berhenti lagi, pikirnya: "Apakah tak mungkin orang semacam Maharaja itu akan melakukan penyerangan gelap dari atas. Ah, lebih baik kuujinya dulu dengan pukulan ...."

Bum, bum, bum, ia lontarkan tiga buah pukulan ke terowongan yang terbungkus dengan gumpalan sinar itu. Gumpalan sinar berhamburan lenyap dan sebagai gantinya muncullah sesosok tubuh dari manusia yang paling dibenci oleh Gak Lui. Ya, Maharaja persilatan Tio Bik-lui, musuh bebuyutan pemuda itu !

"Ho, ternyata memang benar engkau !" seru Gak Lui mengertak gigi, "engkau seorang putera yang tak berbakti, seorang kakak yang hina, berhati binatang, mencelakai sesama saudara seperguruan. Lekas serahkan jiwamu, mau tunggu apa lagi!"

"Oh ....” Maharaja terkesiap lalu bertanya seperti tak mengerti, "apakah maksudmu, aku tak mengerti.”

Gak Lui maju setengah langkah, menatap tajam2 : "Orang she Tio ! Engkau adalah putera dari Bu-san It-ho. Wataknya ganas, tak mau memikirkan muka ayahmu. Dan sampai saat ini engkau masih berusaha untuk menghindar diri..."

"Heh, heh, heh, heh," Tio Bik lui tertawa mengekeh dengan hamburan tenaga-dalam sehingga pedang Pelangi yang dicekalnya ikut berguncang-guncang, "karena sudah tahu siapa diriku, mengapa engkau berani berlaku kurang ajar. Bukankah engkau seorang muda yang kurang adat terhadap orang yang lebih tua ..."

"Tutup mulutmu!" bentak Gak Lui dengan mata berapi-api, "aku Gak Lui saat ini sedang melaksanakan titah dari seorang cianpwe. Lebih baik engkau lekas habisi nyawamu sendiri dari pada aku harus turun tangan !"

"Budak busuk, jangan besar mulut! Terus terang kuberitahu kepadamu. Ketika di istana Bi-kiong, engkau tak mampu berbuat apa2 terhadap diriku. Dan sekarang jangan mimpi engkau dapat mengalahkan aku lagi. Lebih baik engkau menurut sebuah permintaanku...."

"Hm, engkau masih ada permintaan lagi ?"

"Pedang Thian-lui-koay-kiam itu seharusnya menjadi milikku, jika mau menyerahkan dengan baik2, mungkin...."

"Bagaimana !"

"Dapat kulepaskan engkau dengan selamat dari guha ini !"

"Heh, heh ! Heh, heh, heh !" Gak Lui mengekeh marah. Tangannya bergerak melingkar terus hendak turun tangan. Tetapi baru dia hendak bergerak, wajah Maharaja tampak berobah serius. Ia menengadah memandang kelangit lalu menghamburkan suitan paling dahsyat dalam dunia yakni Suitan Pengikat jiwa.

Seketika mengigillah Thian Lui seperti orang yang disiram es. Sekujur tubuhnya seperti disusupi ribuan kutu2 sehingga sakitnya bukan kepalang.

Untung tenaga dalamnya saat itu sudah jauh lebih maju dari ketika berada diistana Lok-ong-kiong dahulu. Kala itu ia pingsan mendengar Maharaja mengeluarkan suitan mautnya.

Kini walaupun tubuhnya berguncang tetapi ia tak sampai rubuh. Dan teringatlah ia akan pesan Kaisar Persilatan supaya tetap tenang. Setelah itu ia maju kemuka.

Sudah tentu Tio Bik-lui kaget sekali. Wajahnya berkerenyutan, tangannyapun siap hendak mencabut pedang Pelangi.

Oleh karena jaraknya terpisah duapuluh tombak lebih maka Gak Luipun tak cepat dapat tiba dihadapan lawan. Tetapi kedudukan Maharaja saat itu lebih baik. Dengan pedang Pelangi itu ia dapat melakukan serangan dari jarak jauh. Mengingat hal itu Gak Lui segera meraba pedang pusaka Thian-lui-koay kiam. Begitu tangan menyentuh, suatu aliran kekuatan gaib telah menjuluri tubuh dan tanpa banyak berpikir lagi ia terus menarik dan mencekal pedang pusaka itu. Kemudian dengan gerak langkah yang istimewa iapun mulai bergerak.

"Tahan !" teriak Maharaja demi mengetahui bahwa suitan mautnya tak dapat merubuhkan pemuda itu. Dan dalam pada itu tergetarlah hatinya melihat Gak Lui mencekal pedang Thian-lui-koay-kiam. Ia hentikan suitannya dan berteriak keras: "Tempat ini terlalu sempit, pedang panjang tentu tak dapat dimainkan. Berhenti dulu !"

"Apakah engkau hendak melarikan diri?" seru Gak Lui.

"Huh, masakan aku takut kepadamu ! Kalau engkau berani mari kita bertempur dipuncak gunung," sahut Maharaja.

"Disinilah tempat kubur tulang mayatmu, mengapa engkau masih memilih....,” belum selesai Gak Lui mengucap tiba2 Maharaja taburkan pedang Pelangi dan tahu2 tubuhnya mencelat ketengah jalan sempit terus menyusup masuk ke-dalam terowongan yang berliku-liku.

"Hai, engkau hendak lari kemana ?" teriak Gak Lui seraya loncat mengejar.

Terowongan yang turun melurus kebawah itu sebenarnya sebuah guha rahasia dari perut gunung. Bukan saja amat licin, pun tingginya hampir seratusan tombak. Memang kalau lain orang tentu sukar menuruni tetapi tokoh semacam Maharaja dan Gak Lui hal itu bukan halangan. Sepintas pandang kedua orang itu mirip dengan dua buah bintang yang saling kejar mengejar dilangit.

Tiba2 Gak Lui melihat terowongan guha disebelah muka tertutup kabut tebal dan pada lain saat Maharajapun menyusup lenyap kedalamnya. Gak Lui hanya terpisah sepuluh tombak dibelakang lawan. Ketika keluar dari guha ternyata Maharajapun sudah tak kelihatan batang hidungnya lagi.

Saat itu Gak Lui dikuasai oleh pengaruh tenaga gaib pedang Thian lui-koay kiam. Dalam pandang matanya hanya darah saja yang tampak. Matanya merah membara, panas sekali. Didadanya penuh dilanda nafsu pembunuhan yang menyala-nyala. Melihat Maharaja menghilang, Gak Lui mengamuk, ia memutar pedang Thian lui koay kiam, wut, wut, wut .... angin menderu deru laksana prahara melanda.

Permainan itu dilakukan terus menerus oleh Gak Lui sehingga sampai tigapuluh jurus. Walaupun tenaga dalamnya hebat tetapi tak urung ia mandi keringat juga. Dan dalam hati kecilnya yang masih tersisa sedikit kesadaran, merasa bahwa ia harus berlaku tenang. Tetapi tenaga gaib yang menguasai dirinya itu memang sukar ditahan.

Saat itu Tiok Bik-lui memang bersembunyi dibalik kabut tebal. Dia sudah mempelajari keadaan gunung itu. Pada saat itu tentu kabut dan awan yang mengabut tebal. Dengan menggunakan keadaan itu ia hendak membingungkan mata dan telinga Gak Lui, kemudian baru turun tangan membunuhnya.

Tetapi ternyata gerak gerik Gak Lui sukar diikuti arahnya. Tahulah ia bahwa Gak Lui sudah mulai mengunjuk kebingungan. Maka diam2 ia menghampiri sambil kerahkan seluruh tenaga menghambur suitan mautnya.

Tetapi justeru tindakan itu malah membantu Gak Lui. Pemuda yang bermula telah hilang kesadaran pikirannya, demi mendengar suitan maut itu, hatinya berdebar dan tubuh menggigil keras. Rasa limbung yang mencengkam pikiran-nyapun mulai berkurang. Ia melihat bahwa dalam gumpalan kabut tebal itu memancar segulung sinar hijau yang dingin dan dengan amat cepat sekali sinar itupun menyerang punggungnya. Ah, pedang Pelangi!

Kejut Gak Lui bukan kepalang. Cepat ia berputar tubuh dan menangkis dengan Jurus Membelah emas-memotong-kumala.

Tring, tring ... kedua pedang pusaka itu saling berbentur, terdengar dering suara yang amat tajam, bumi seolah olah terbelah.

Tenaga mereka hampir setingkat, begitu pula jurus ilmu pedang yang digunakan. Yang lain hanya pedang yang digunakan. Pedang Thian-lui-koay-kiam masih terbungkus dengan kerangkanya sehingga Gak Lui lebih menderita. Ia tersurut mundur sampai tiga langkah.

Kesempatan itu tak disia-siakan Maharaja. Dengan kerahkan seluruh tenaga dalam dan secepat kilat, ia membabat pedang Gak Lui dan dilanjutkan kearah lambungnya.

"Celaka !" diam2 Gak Lui mengeluh. Tangannya bergetar dan hampir saja ia lepaskan pedang. Tetapi tenaga-gaib pedang Thian-lui-koay-kiam itu seolah-olah melekat pada telapak tangannya. Terpaksa Gak Lui kencangkan genggamannya dan serentak gunakan gerak Rajawali-pentang sayap, melambung sampai sepuluh tombak jauhnya. Ia berhasil menyelamatkan diri dari sasaran musuh.

Tio Bik-lui tak mau terburu nafsu mengejar. Ia menghentikan pedang lalu mengambur suitan maut lagi sekeras kerasnya. Ia tak mengetahui bahwa suitan maut itu tak mampu menembus tenaga-gaib pedang Thian-lui-koay-kiam.

Gak Lui menyempatkan diri memeriksa pedangnya. Bukan kepalang kejutnya ketika mendapatkan batang pedang itu telah terkupas sekelumit bagian yang terbeku dengan kerangkanya.

"Hai ....," tiba2 Gak Lui terhentak dari lubuk ingatannya. Ia ingat bagaimana Kaisar persilatan Li Liong-ci mengatakan agar dalam menghadapi Tio Bik-lui, tak usah kuatir. Tak perlu harus menggosok pedang Thian-lui koay kiam itu dengan berlian, nanti tentu sudah dapat digunakan. Kini baru ia menyadari ucapan tokoh itu. Apabila beradu dengan pedang Pelangi sekali lagi, tentulah pedang itu akan terlepas dari kerangkanya.

Ia segera memandang mencari dimana beradanya Tio Bik-lui. Tetapi ternyata lawan seolah2 lenyap dalam bungkusan kabut tebal. Hanya suitan mautnya yang mengiang-ngiang berkumandang memakan telinga. Tetapi justeru itu yang membuat kesadaran pikiran Gak Lui makin pulih. Dengusnya: "Hm, bila kabut sudah lenyap, engkau tentu mati kucincang !"

Suitan maut itu makin keras. Nadanya bagai-burung hantu menguguk di tengah malam, lain saat seperti orang-utan memekik mekik. Rupanya Maharaja Tio Bik-lui hendak mengacaukan pikiran Gak Lui dengan suitan mautnya itu.

Lebih kurang tiga jam lamanya, kabutpun mulai menipis, sinar matahari mulai tampak. Gak Lui tetap tenang2 saja sedang Tio Bik-lui tampak tak sabar. Ia mengira suitan maut yang dihamburkan sekian lama tentu sudah dapat menguasai lawan. Begitu kabut lenyap iapun segera melaksanakan rencananya. Maka dengan wajah membesi dan langkah sarat, ia maju menghampiri Gak Lui.

Tiba2 segumpal sinar matahari memancar dari gumpalan kabut dan kedua lawan itu baru mengetahui bahwa mereka hanya terpisah sepuluh tombak. Melihat itu Gak Lui tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia putar pedangnya dalam jurus Memetik-bintang menjolok-bulan, maju menyerang musuh.

Maharajapun menyeringai. Ia menyongsong dengan memutar pedang Pelangi. Tring, tring, tring, dering menggerincing bagaikan halilintar memekik-mekik ditengah udara dan berhamburan bunga api dari kerangka terbungkus lahar yang membeku jadi satu dengan batang pedang Thian-lui-koay-kiam. Pada saat batang pedang itu hampir terkupas bersih, Gak Lui gentakkan menyabat pedang lawan. Tring.....terdengar letupan keras dan bagaimana ular naga muncul dari liang, pedang pusaka Thian lui-koay kiampun menampakkan dirinya yang aseli.

Pedang itu memancarkan sinar merah darah yang menyilaukan mata. Seketika sinar biru dari pedang Pelangi seolah-olah ditelan lenyap oleh sinar merah. Dan benturan itu hampir membuatnya tak dapat bernapas.

"Ah....," Maharaja menghambur seluruh tenaga-dalam, bersuit sekeras kerasnya, menarik pulang pedang dan terus meluncur kedalam sisa gumpalan kabut.

"Hai, hendak lari kemana engkau!" teriak Gak Lui seraya mengejar. Karena kabut sudah tipis maka tampaklah tubuh kedua orang yang sedang kejar mengejar itu.

Karena nyalinya pecah, Maharaja lupa untuk menggunakan sisa kabut menutup diri. Dia hanya lari mati-matian, Gak Lui mengejar sepesat angin.

Tiba dari tikung terowongan, bermuncullah empat orang nona, yakni Hi Kiam gin dan kawan-kawannya. Sebenarnya mereka sudah memperhitungkan tentu dapat tiba pada waktu yang tepat. Tetapi suitan maut dari Maharaja itu membuat mereka limbung dan lemas.

Kemunculan keempat nona itu membuat Maharaja terkesiap tetapi pada lain saat ia segera menghambur tertawa seram. Serentak berputar tubuh sambil bersuit keras, ia mainkan pedang Pelangi sederas hujan mencurah, menyerang keempat nona itu. Tampak keempat nona itu menggigil dan serempak rubuh ketanah.

Gak Lui terperanjat, secepat kilat ia lari menerjang tetapi Maharaja mendahului loncat dan menyelinap lenyap kesamping jalan.

Karena perlu menolong keempat nona, Gak Lui tak mau mengejar. Untunglah, keadaan keempat nona itu tak membahayakan karena tak menderita luka. Ia memindahkan mereka kebalik sebuah batu besar lalu mulai mengurut mereka.

Saat itu pedang Thian-lui-koay-kiam masih tergenggam dalam tangan kanannya. Pedang itu memancar tenaga-gaib. Maka dalam beberapa kejab saja keempat nona itupun dapat disadarkan dari pingsannya.

"Taci Gin, harap kalian tunggu disini. Bertindaklah menurut keadaan nanti," kata Gak Lui.

Hi Kiam-gin mengangguk. Siu-mey, The Hong-lian dan Yan hong terkesiap heran melihat Gak Lui mencekal sebatang pedang yang bersinar merah. Tetapi ketika hendak bertanya, tiba2 terdengarlah suitan si Maharaja dalam nada yang aneh dan rendah sekali....

"Celaka, kemungkinan dia tentu melarikan diri," Gak Lui terkejut, ia tak mau membuang waktu lagi, "harap hati2.....!" habis berkata ia terus loncat melesat kearah suara suitan itu.

Walaupun suitan itu terdengar makin halus, tetapi karena gumpalan kabut sudah menipis, setelah memusatkan perhatian, dapatlah Gak Lui menentukan arah tempat Maharaja. Maharaja itu berada disebuah puncak karang setinggi seratus tombak ! Cepat Gak Lui menuju ketempat itu.

Sebuah karang yang menjulang tinggi seperti sebatang pilar. Gak Lui menimang. Kalau dia mendaki keatas tentu terperangkap oleh tipu muslihat musuh yang menunggu diatas. Tetapi kalau tidak naik keatas, musuh tentu tak dapat ditangkap.

"Ah, aku tak dapat membiarkannya !" akhirnya ia mengambil keputusan. Karena lawan berhenti bersuit, darah Gak Lui memancar panas. Nafsu membunuh mulai berkobar lagi, hampir tak dapat ditahannya.

Rupanya ditempat persembunyian, Maharaja memperhatikan gerak gerik pemuda itu. Ia tahu akan perobahan warna dari pedang Thian lui-koay-kiam yang makin lama makin memancarkan sinar merah darah.

Diam2 Maharaja kerahkan seluruh tenaga-dalam kearah tangannya sehingga ujung pedang Pelangi tampak makin menyala warna biru. Ya, ia telah memutuskan untuk melancarkan serangan yang dahsyat.

Rupanya Gak Luipun mengetahui hal itu. Tetapi ia hanya melihat sinar biru tak dapat melihat orangnya.

Dendam kesumat dan pertempuran mati hidup segera akan pecah di puncak karang itu ....

Pada lain kejab, sinar merah dan biru itu berkembang menjadi segumpal lingkaran. Jelas keduanya sedang mengerahkan seluruh tenaga-dalam untuk mengembangkan daya kesaktian pedang masing2.

Dengan matanya yang celi, dapatlah Gak Lui mengetahui tempat beradanya lawan. Secepat tiba disana, merekapun saling beradu pandang.

Maharaja memandang Gak Lui seperti seekor harimau buas yang haus darah. Dendam kesumat terpantul pada wajah pemuda itu, seolah olah seorang utusan Pencabut Nyawa yang datang hendak merenggut jiwa.

"Lihatlah pedang.....!" teriak Maharaja dengan nada gemetar tetapi masih bersikap congkak. Dengan kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya, ia lancarkan serangan maut.

Gak Lui meraung seperti seekor singa. Ia kerahkan seluruh tenaga-dalam untuk menyongsong serangan musuh.

Tring......

Terdengarlah bunyi menggemerincing bagai naga meringkik ketika kedua pedang pusaka itu saling beradu keras. Sinar merah dan biru pecah berhamburan memenuhi puncak karang. Dua sosok tubuh saling merapat lalu menyurut pisah, melambung dan melingkar diudara kemudian meluncur pula ditengah gelanggang.

Selekas tiba ditanah, Gak Lui enjot tubuh loncat kemuka lagi. Pedang Thian-lui-koay-kiam menjulur beberapa meter lagi. Sedang Maharaja terhuyung dan pedang Pelanginyapun ikut berguncang, sinarnya agak menyurut.

Tring..... terdengar pula dering nyaring disusul dengan suara orang menguak. Maharaja muntahkan segumpal darah segar. Tubuhnya beberapa kali menggigil, kuda2 kakinyapun bergetar. Tanah yang dipijaknya menimbulkan tebaran debu dan meninggalkan bekas telapak kaki yang cukup dalam!

Karena mengenakan topeng kulit muka, maka tak dapat diketahui bagaimana keadaan roman Gak Lui saat itu. Tetapi dari sepasang matanya yang memancar sinar berkilat-kilat merah, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa saat itu ia bagaikan seekor harimau yang haus darah.

Dalam hati pemuda itu hanya terukir sepatah kata 'bunuh'. Ya, membunuh untuk mencuci dendam sakit hati orang tuanya.

Karena terdesak akhirnya Maharaja tiba pada tepi gunung. Kecuali jalan terowongan itu, gunung Im-leng-san tiada jalan lain lagi. Dibawah puncak, terbentang lembah yang amat curam sekali. Untuk melarikan diri sudah tak mungkin lagi. Dan lagi seorang berhati congkak seperti dia tentu tak rela mati ditangan seorang pemuda yang tak terkenal sebagai Gak Lui.

Akhirnya ia nekad. Sambil berputar tubuh, ia tegak berdiri diatas puncak, berputar tubuh dan kerahkan seluruh sisa tenaganya yang masih dimiliki, siap hendak melakukan perjuangan yang terakhir. Ia berpantang mati sebelum ajal.

Tetapi gerakan Gak Lui jauh lebih cepat. Pedang Thian-lui-koay-kiam yang bersinar merah darah itu hanya terpisah setengah tombak dari dada Maharaja. Bukan melainkan bola matanya yang merah, bahkan bibir mulut dan kulit tubuh-nyapun memancarkan sinar merah padam.

Tring.....

Adu pedang yang ketiga kali itu merupakan adu senjata yang terakhir. Terdengar dering keras menyerupai petir menyambar. Kumandangnya seperti memecah seluruh lembah sehingga keempat nona yang masih berada ditempat persembunyiannya itu tergetar hatinya.

Tubuh Tio Bik-lui si Maharaja Persilatan yang termasyhur sebagai durjana ganas itu, begitu tersentuh pedang Thian lui-koay-kiam, segera hancur lebur menjadi berkeping keping. Pedang Pelangi mencelat keudara sampai berpuluh tombak tinggi lalu meluncur jatuh lagi ketanah.

Saat itu kabut yang menutup puncak gunung berwarna seperti pelangi. Merah darah tubuh Maharaja, warna biru dan pancaran pedang Pelangi bercampur dengan sinar kabut yang lembab mengandung air.

Tegak berdirilah Gak Lui menyaksikan peristiwa penting yang menjadi-jadi cita2 hidupnya selama belasan tahun. Musuh besar dan bebuyutan selama ini, saat itu telah dapat ditumpasnya. Ia termangu dan menyungging senyum ......

Dalam pada itu keempat nonapun bukan kepalang tegangnya. Tegang karena luapan kegirangan atas kemenangan Gak Lui. Dengan kemenangan itu dapatlah Gak Lui menghimpaskan dendam sakit hati selama delapan belas tahun.

".....engkoh Lui....." terdengar teriak melengking dari empat sosok tubuh yang berhamburan lari menghampiri ketempatnya.

Mendengar itu Gak Lui perlahan lahan berputar tubuh, Keempat nona itu terperanjat demi melihat pakaian dan mata pemuda itu berwarna merah. Mereka berhenti pada jarak tiga tombak.

Dalam sinar merah membara pandang mata Gak Lui, masih tampak tiga bagian kesadarannya. Hal itu disebabkan karena tenaga-dalamnya yang amat kuat sehingga ia tak sampai terlelap dalam pengaruh tenaga gaib pedang Thian-lui-koay-kiam. Pertentangan antara hati nurani yang baik dengan pengaruh jahat dari tenaga gaib itu menimbulkan gejolak keras dalam hati Gak Lui. Seolah-olah suatu suara halus selalu mengiang di-telinganya .... bunuh... bunuh.... bunuh... gunakanlah pedang Thian-lui-koay-kiam untuk membunuh sepuas-puasmu ....

Dilain fihak, hati nuranipun melengking-lengking.....tenang .... tenang.... lekas lepaskan pedang .....

Tetapi suara hati nurani itu amat lemah sehingga hampir tak kedengaran. Sedang tangannya masih mencekal pedang. Karena itu matanya masih memancar sinar pembunuhan dan permusuhan terhadap keempat nona itu.

Keempat nona itu memang menaruh hati kepada Gak Lui. Walaupun Hi Kiam gin sudah memerintahkan ketiga kawannya supaya mencabut pedang tetapi mereka tetap masih ragu2 untuk menyerang.

Justeru rasa kebimbangan itulah yang menyebabkan mereka harus menderita. Saat itu Gak Lui makin terperangsang oleh tenaga-gaib pedang Thian-lui-koay kiam. Sekali bahu bergerak maka ia mendahului turun tangan.

"Cepat!" teriak Hi Kiam-gin yang menyadari keadaan gawat itu. Dengan bersuit menyaring ia pun putar pedangnya dalam jurus Burung-hong-rentang sayap, menyongsong maju.

Dalam keadaan begitu terpaksa Siu-mey dan kedua nonapun segera bergerak. Serempak mereka mainkan jurus Menjolok rembulan-memetik bintang, Membelah-emas-memotong-kumala dan Hawa-pedang menembus malam, Empat sinar pedang bergabung satu, merupakan lapisan dinding baja. Indahnya ilmu permainan dan perbawanya yang amat dahsyat, hampir tak kalah hebatnya dengan kedahsyatan pedang Thian-lui-koay-kiam.

Tring, tring, tring.....

Tiga buah suara mendering nyaring segera berhamburan. Tiga jurus ilmu pedang Bu-san-kiam-hwat melancar dan jelaslah bagaimana gambarannya. Bukan saja serangan Gak Lui itu tertindas, pun disisinya terbuka sebuah lubang. Lubang ini sesungguhnya diisi oleh si cantik Yan Hong. Asal dia mau menusuk dengan jurus Hawa pedang-menembus-malam, bereslah pertempuran itu.

Tetapi ah, nona itu tak sampai hatinya melukai pemuda yang dicintai. Maka kuatir kalau melukai, pada saat ujung pedang hanya terpaut beberapa dim dari tubuh Gak Lui, nona itu lunglai tangannya sehingga gerakannyapun agak lambat.

Hanya sekejab mata saja adegan itu berlangsung dan situasipun berobah sama sekali. Bagai ular naga bermain diatas air, pedang Gak Lui pun cepat berobah gerakannya. Walaupun keempat nona itu memiliki ilmu pedang yang sekokoh dinding baja namun mereka dipaksa juga untuk mundur sampai tiga tombak.

Belum sampai mereka berdiri tegak, tiba2 Gak Lui julurkan ujung pedang dan bum.....

Terdengarlah sebuah letupan keras, bumipun seolah-olah pecah. Karena sebagai pemimpin barisan kedudukan Hi Kiam-gin itu yang paling muka sendiri maka dialah yang lebih dulu menderita. Ia menjerit kaget karena segumpal sinar merah-darah meluncur berhamburan ke arah dirinya. Bagaikan sehelai daun tertiup angin, tubuh Hi Kiam-ginpun terlempar keluar lingkungan karang.

Siu-mey, Hong-lian dan Yan-hong pucat. Tanpa menghiraukan suatu apa lagi, mereka segera berhamburan loncat untuk menolong Hi Kiam-gin.

Kini dipuncak karang hanya tinggal Gak Lui seorang yang masih tegak berdiri termangu-mangu. Hatinya bertentangan sendiri. Hati nuraninya mengajurkan supaya dia lekas membuang benda celaka itu tetapi ia merasa sukar untuk melepaskan benda itu. Dia menengadah memandang kelangit. Hatinya penuh dicengkam rasa pedih dan duka ....

Pada saat keempat nona itu bergerak tadi, dari mulut terowongan muncul keluar serombongan tokoh2 Thian Lok totiang, Sebun sianseng, Raja-sungai Gan Kee-ik, ketua Kay-pang, tiga imam bu-tong-pay dan paderi Kak Hui dari perguruan Heng-san-pay.

Mereka tak mengetahui apa yang terjadi. Tetapi jelas mereka melihat bagaimana Gak Lui telah menyerang keempat nona itu hingga terlempar kedalam bawah karang. Mereka menduga tentu terjadi sesuatu diantara muda mudi itu.

Hanya imam Hwat Lui dari Bu-tong-pay yang mempunyai prasangka buruk. Dia anggap Gak Lui memang gemar membunuh dan berhati ganas. Maka rombongan tokoh2 itu memecah diri jadi tiga kelompok.

Pemimpin2 perguruan Bu-tong-pay, Heng-san-pay, Sau-lim pay dan Kong-tong-pay serempak mencabut pedang. Mereka merupakan kelompok yang marah dan hendak minta tanggung jawab kepada Gak Lui.

Kelompok kedua terdiri dari ketua perguruan Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Ceng-sia-pay dan Kiu-hoan-bun. Merekapun menghunus senjata masing2. Tetapi tujuannya yalah hendak melerai supaya jangan sampai terjadi pertumpahan darah.

Sedangkan kelompok ketiga yalah Kepalan-sakti The Thay, ketua partai Pengemis dan ketua partai Gelandangan. Mereka hendak menolong keempat nona yang terlempar kebawah lembah.

Suara berisik dari kedatangan rombongan tokoh2 itu membuat Gak Lui terkejut dan cepat berputar tubuh. Pedang Thian-lui-koay-kiam yang berwarna merah darah dan sinar mata Gak Lui yang memancar sinar pembunuhan, membuat sekalian tokoh2 itu tertegun dan terkejut!

"Sauhiap, bagaimana engkau ?" tegur Thian Lok totiang ketua Ceng-sia-pay.

Gak Lui serasa berat membuka suara. Dengan langkah sarat sehingga telapak kakinya meninggalkan bekas beberapa dim ditanah, ia maju menghampiri mereka.

Tetapi Gak Lui seperti tak mendengar. Pedang Thian lu-koay-kiam makin lama makin merah membara.

Melihat itu imam Hwat lui dari Bu tong tak dapat menahan diri lagi. Sambil mengangkat pedang, ia menghardik marah : "Orang she Gak, kiranya engkau juga seorang durjana. Biarlah aku mengadu jiwa dengan engkau !”

"Lekas kalian menyingkir ... lekas, lekas !" hati Gak Lui menjerit jerit. Sayang sekalian tokoh itu tak dapat mendengar jeritan hatinya. Sekalipun sinar matanya sudah memberi pertandaan tetapi karena diliputi rasa tegang, sekalian orangpun tak sempat memperhatikannya.

Saat itu jaraknya makin dekat dan hanya tinggal lima tombak saja. Hwat Lui menggembor lalu mendahului menerjang. Serangan itu makin mengobarkan hawa pembunuhan didada Gak Lui. Melihat itu buru2 Sebun sianseng hendak mencegah. Dengan menebarkan senjata payung besi, ia memutarnya dan melintangkan ditengah kedua orang itu.

Sayang tindakan tokoh Kun-lun pay itu terlambat. Tiba2 pedang Thian-lui-koay diangkat keatas. Sinar merah-darah pedang itu benar2 menyilaukan orang. Walaupun tokoh2 itu berkepandaian tinggi tetapi mereka gugup juga dan buru2 memutar senjata untuk jaga diri.

Bum.....

Berhamburan sinar warna merah darah disusul dengan orang jeritan yang ngeri. Beberapa saat kemudian tiada seorang dari ketua perguruan persilatan yang tak rubuh.

Makin lama Gak Lui mencekal pedang, makin dia tercengkam lebih hebat dalam pengaruh tenaga-gaib pedang itu. Setelah merubuh sekalian ketua persilatan, ia tetap belum puas dan tetap hendak mengganas.

Dengan mata memberingas macam harimau buas, ia putar pedang Thian-lui-koay-kiam dan hendak menyelesaikan korban2 yang sudah tak berdaya itu.

Tetapi pada detik2 maut hendak merenggut, dari arah terowongan terdengar suitan senyaring naga meringkik disusul dengan sesosok bayangan yang melayang diudara dan meluncur dihadapan Gak Lui.

Rupanya pemuda itu terkesiap mendengar suitan dari pendatang itu dan rasa kesadarannyapun agak timbul kembali. Tampak pendatang itu berwajah bersih berseri-seri seperti kumala. Sepasang bola matanya amat jernih dan mencekal pedang panjang yang entah terbuat dari bahan apa. Bukan dari batu kumala pun bukan dari emas. Warnanya kebiru-biruan, di tengah batang pedang dibalut dengan sutera merah. Menilik usia orang itu pantaslah kalau menjadi putera tokoh Kaisar persilatan Li Liong-ci. Dan memang pendatang itu adalah Li Kong-hud, putera Kaisar-persilatan Li Liong ci.

"Saudara Gak, harap lepaskan pedang itu,” seru Li Kong-hud, “aku hendak bicara padamu !"

Rupanya pemuda itu sudah mengetahui keadaan yang berlangsung disitu. Karena merasa tak keburu menolong para ketua partai persilatan maka ia minta supaya Gak Lui lemparkan pedang iblis itu.

Sekalipun dalam hati Gak Lui tahu akan semua peristiwa tetapi mulut serasa berat berkata. Tubuhnya masih mendidih darah pembunuhan. Sejenak ia hendak mengganas lagi, sejenak pula seperti hendak melepaskan pedang.

Keadaan Gak Lui yang sedang mengalami pertentangan batin itu tak lepas dari perhatian Li Hud-kong. Segera ia mengangkat tangan kiri mengambil seutas rantai halus yang ujungnya diikat dengan bandul Swastika.

"Saudara Gak, jangan lihat aku, lihatlah tanda Swastika ini!" serunya seraya menampilkan bandul Swastika itu kemuka. Begitu mata Gak Lui memandang tanda Swastika itu, Li Kong-hud lalu memutar tangannya seperti sebuah roda. Makin lama makin kencang sehingga mata Gak Lui pun ikut seperti berputar-putar.

Tak berapa lama sinar mata Gak Lui yang berwarna merah darah itu mulai mengatub.

"Saudara Gak, apakah engkau mendengar ucapanku ?" seru Li Kong-hud pula.

"Ya .... mendengar," akhirnya Gak Lui menyahut dengan pikiran yang sadar.

"Kalau begitu harap engkau lepaskan pedang itu."

"Aku .... tak mampu melepaskannya !"

"Mudah sekali asal engkau mau menurut apa yang kukatakan, tentu dapat !"

"Silahkan mengatakan."

"Lebih dulu kendorkan kelima jarimu. Lalu kerahkan tenaga-dalam Algojo-dunia dan siap2 untuk melemparkannya..." kata Li Hud kong, "nah, akan kuhitung sampai tiga. Begitu aku menghitung tiga, cepatlah engkau pancarkan tenaga dalam !"

"Baik, aku akan berusaha sekuat tenaga."

"Satu......," sambil mulai menghitung Li Hud-kongpun diam2 kerahkan tenaga-dalam.

"Dua....” ia segera mengangkat pedang Pelangi keatas kepala, siap hendak bertindak.

"Tiga ....!" begitu Gak Lui menebarkan genggaman tangannya Li Hud kongpun menyerempaki dengan ayunan pedang Pelangi. Tring .... pedang laknat Thian-lui-koay-kiampun terlempar jatuh ketanah dan terlepaslah Gak Lui dari genggaman tenaga-gaib.

Pada saat mata Gak Lui memandang kesekeliling, kejutnya bukan kepalang. Para ketua partai persilatan menggeletak ditanah dalam keadaan yang mengerikan. Wajah mereka pucat seperti kertas, tubuh berlumuran darah. Mereka berusaha duduk bersemedhi menyalurkan tenaga-dalam untuk menahan kesakitan. Ada yang menderita luka parah ada yang ringan. Yang paling berat adalah Thian Lok totiang dan Sebuah sianseng. Thian Lok totiang lengan kanannya kutung, Sebun sianseng separuh lengannya hilang. Mereka bakal cacad seumur hidup.

Jika yang menderita cacad itu lain orang, mungkin Gak Lui masih tak sepilu seperti kalau Sebun sianseng yang cacad. Gak Lui benar2 sedih dan menyesal sekali.....

Dalam kekalapannya tadi Gak Lui masih belum menggunakan seluruh tenaganya. Andaikata ia mengamuk hebat, mereka tentu sudah binasa semua.

Rasa sesal, sedih, geram dan jengkel berkecamuk jadi satu dalam dada Gak Lui. Ia tak tahu bagaimana harus menyelesaikan soal itu. Ia merasa telah berdosa besar. Tiba2 ia hentakkan kakinya ketanah, bluk.... tanah karang muncrat berhamburan. Lalu ia merobek separoh bajunya dan sebelum orang tahu apa yang hendak dilakukan, Gak Lui membungkus pedang Thian-lui-koay-kiam dengan robekan kain lalu secepat kilat berputar diri dan lari menyusup kedalam terowongan.....

"Hai, saudara Gak, aku hendak bicara..." Li Hud-kong berteriak memanggilnya tetapi sudah terlambat. Gak Lui sudah lenyap kedalam terowongan. Li Hud-kong terkejut, dengan membawa pedang Pelangi iapun ikut menyusup kedalam terowongan mengejarnya.

Keadaan dipuncak gunung Im-leng-sanpun kembali hening. Tak berapa lama para ketua partai persilatan itupun berbangkit. Dengan saling bantu membantu dan mengandung perasaan yang berbeda-beda mereka tinggalkan tempat itu.

Gunung Im-leng-san sunyi senyap.

Bab 34. Pedang menutup riwayat.

Angin berembus, awan berarak dan bulanpun bersinar menerangi gunung Im-leng-san. Dari lamping gunung muncul tujuh sosok bayangan. Pukulan-sakti The Thay menarik tangan puterinya The Hong-lian. Sedang ketua Kay-pang dan partai Gelandangan menggandeng Hi Kiam gin dan kedua kawannya, dengan napas terengah-engah menyusup kedalam terowongan.

Ternyata keempat nona itu walaupun terpelanting kedalam lembah, tetapi belum takdirnya mati. Dengan membentuk diri dalam barisan pedang, mereka berhasil lolos dari pedang maut Thian-lui koay kiam. Sedang waktu terlempar kebawah karena didalam lembah itu penuh bertumbuh pohon2 rotan tua, mereka tertahan diantara hutan pohon akar itu dan berhasil menyelamatkan diri.

Dan tepat pada waktunya muncullah ketiga ketua partai persilatan itu menolong mereka. Dan karena menolong keempat nona itu maka Tinju sakti The Thay, ketua partai Pengemis dan ketua partai Gelandangan pun terhindar dari bencana amukan Gak Lui.

Setiba dipuncak, mereka heran karena keadaan disitu sudah sepi. Pertempuran berhenti dan tak seorangpun yang tampak. Semula mereka hanya mengira tentulah para tokoh2 persilatan itu sudah dapat menyelesaikan Gak Lui lalu membawanya turun gunung. Tetapi alangkah kejut mereka ketika melihat darah berceceran ditanah. Tentu telah terjadi sesuatu yang tak diduga!

Serempak merekapun bingung dan gelisah. Akhirnya setelah berunding mereka menentukan dua macam keputusan.

Pertama, akan mencari Gak Lui dan meminta keterangan kepadanya. Kedua, mencari rombongan ketua partai persilatan dan meminta keterangan kepada mereka.

Setelah menentukan rencana, mereka lalu mulai menyusul. Tetapi mereka tak menduga bahwa Gak Lui sudah melenyapkan diri dan rombongan ketua persilatan inipun mengambil jalan singkat. Oleh karena itu mereka tak berhasil menemukan Gak Lui maupun rombongan ketua persilatan.

Dengan sekuat tenaga, Gak Lui lari secepat cepatnya. Karena ilmu meringankan tubuh dari pemuda itu sudah mencapai tingkat yang hebat maka seorang tokoh macam Li Hud-kong pun sampai tak dapat mengejarnya.

Gak Lui lari secepat angin membawa perasaan hati yang seperti tertindih gunung.

"Bagaimanakah aku harus menyelesaikan peristiwa budi dan dendam ini.....?”

Sambil berlari tak henti-hentinya ia berpikir. Dan setelah memikir panjang lebar akhirnya dia hanya tertumbuk pada kebingungan dan tak tahu bagaimana harus bertindak.

Dia lari melintas rimba, mendaki gunung. Beberapa hari kemudian tibalah ia digunung Bu-san. Ditengah dari keenam puncak lapisan luar dan keenam puncak lapisan dalam gunung Bu-san itu, terdapat tempat makam ayahnya.

Gak Lui tegak berdiri menghadap gunung lalu berlutut. Pertama ia berdoa kepada kakek guru, paman guru yang telah berada didunia baka. Ia menceritakan semua perbuatan dan dosa yang telah dilakukannya.

Dia telah membunuh Maharaja-persilatan Tio Bik-lui untuk melaksanakan pesan dari kakek-gurunya dan sekalian membasmi seorang durjana persilatan yang selama ini selalu membahayakan ketenteraman.

Tindakannya itu tentulah dapat diterima oleh arwah para kakek dan paman gurunya.

Tetapi kematian dari paman gurunya si Lengan-besi-hati-baik, mau tak mau ia harus merasa berduka sekali.

"Kakek guru, paman guru," Gak Lui pejamkan mata berdoa, "adakah perbuatan wanpwe ini berjasa atau bersalah, harap kakek dan paman guru berdua memberi keputusan. Pedang Thian-lui-koay-kiam kupersembahkan kembali dan akan kutanam agar jangan meminta korban lagi...”

Habis memanjatkan doa ia terus menyelundup masuk kedalam guha batu. Guha yang pernah mengurungnya selama tiga hari. Ia kenal akan keadaan guha itu dan faham jalannya. Tak berapa lama tibalah ia dimuka makam ayahandanya. Ia tergetar dan pilu sehingga mengucurkan air mata. Dengan rawan ia berdoa menghaturkan laporan tentang berhasilnya menuntut balas kepada musuh.

Tulang kerangka ayahnya sudah bertahun-tahun berada dalam guha yang berhawa panas sehingga lunak sekali. Tetapi dalam keadaan masih seperti orang duduk.

Tetapi pada saat Gak Lui selesai menghaturkan keterangan tentang selesainya membalas sakit hati, tiada angin berhembus tiba2 tulang kerangka itu berhamburan sendiri ketanah. Dan sesaat angin bertiup, abu tulang itupun bertebaran kemana-mana.....

Rupanya ayah Gak Lui yang bergelar Dewa Pedang itu merasa gembira dan meram dialam baka.....

Wajah Gak Lui tampak tenang. Rupanya ia terhibur dengan apa yang disaksikan saat itu. Serta merta ia mengangguk kepala memberi hormat. Setelah itu ia lalu melepas pedang Thian-lui-koay-kiam.

Meletakkan pedang itu dibawah pesan ayahnya, diam2 Gak Lui merenung : "Pedang, riwayatmu merupakan sejarah Bu-san. Engkau senyawa dengan gunung ini. Maka kini .... kuletakkan engkau disini agar selama-lamanya engkau tetap berada digunung Bu-san !"

Setelah termenung menung beberapa lama dihadapan abu kerangka ayahnya, Gak Lui lalu menuju ketelaga Pencuci-hati. Disana ia bersembahyang pada arwah bibi gurunya. Setelah itu iapun pergi ke Guha-batu tempat penjara iblis untuk bersembahyang pada arwah paman gurunya Pedang Iblis.

Dari guha itu dapatlah ia memandang kearah gunung Bu-tong-san. Teringat akan Bu-tong-san, teringat juga ia akan perguruan bu-tong pay dan serentak ia terkejut. Ya, ia telah lupa meninggalkan pedang Pelangi pusaka dari partai Bu tong-pay digunung Im-leng-san. Bukankah ia sudah berjanji akan mengembalikan lagi pedang itu kepada orang Bu-tong-pay?

"Sekalipun menderita luka-dalam, tetapi seharusnya imam Hwat Lui mengambil pedang itu," pikir Gak Lui seraya memandang langit. Akhirnya ia tiba pada kesimpulan bahwa pemimpin Bu-tong-pay tentu masih penasaran dan pasti akan mencarinya. Nah, pada saat itu baru ia dapat memberi penjelasan.

Selesai merenungkan hal itu, pandang matanya beralih memandang kearah makam paman gurunya. Seketika terlintaslah dalam kenangannya seorang yang paling dikasihi dalam dunia.

Ibu....!

Menurut keterangan Thian Wat totiang, jenasah ibunya ditanam didesa kelahirannya. Tetapi Gak Lui tak tahu dimana desa kelahirannya itu. Betapa besar hasratnya untuk bersembahyang dimakam ibunya namun terpaksa ia harus menahan keinginannya itu. Saat itu ia harus menuju ke gunung Wan-san dulu.



Alam pemandangan gunung Wan-san masih seperti sediakala. Ketika melihat kedatangan Gak Lui, penduduk gunung menyambut gembira sekali. Karena dialah yang diangkat menjadi pengganti ayah angkatnya menjadi ketua pelindung gunung itu. Maka Gak Lui disambut dengan upacara yang meriah dan pesta besar.

Setelah mengadakan upacara sembahyangan dimakam suhengnya Gak Ci-beng atas budi pertolongannya menyelamatkan jiwa Gak Lui dari pembunuhan, Gak Luipun mengadakan upacara sembahyangan besar dihadapan makam Pedang-aneh Ji Ki-tek, paman gurunya yang selama ini menjadi ayah-angkat Gak Lui.

Dengan sakit hati sudah terhimpas dan ilmu kepandaianpun telah dicapai dengan sempurna. Maka menurut pesan ayah-angkatnya, dihadapan makam itu Gak Lui hendak membuka kedok kulit yang selama ini menutupi mukanya.

Tetua rakyat gunung Yau san membawakan sebuah cermin besar. Untuk pertama kali Gak Lui melihat bagaimana wajahnya yang tertutup kedok kulit. Berapa saat kemudian ia ayunkan tinju menghantam hancur kedok kulit itu.

Gak Lui terbeliak kaget ketika melihat sebuah wajah asing pada kaca. Seorang pemuda yang cakap dan gagah. Itulah..... dirinya sendiri!

Pada dahinya tampak selarik luka bekas tabasan pedang.

"Ah, ayah-angkatku sungguh sangat memperhatikan diriku....," pikirnya dengan penuh rasa terima kasih, "bekas luka pedang itu sekalipun tak mempengaruhi roman mukaku tetapi hal itu mudah diketahui musuh dan membahayakan diriku."

Gak Lui menghela napas. Delapan belas tahun lamanya ia harus menderita mengenakan kedok muka dan menderita berbagai susah payah untuk mendapat kepandaian. Selama mengembara ia telah terlibat dalam dendam dan budi yang berbelit-belit .....

Ramalan dari si Raja-sungai Gan Kee-ik dengan cermin kacanya itu kembali terlintas dalam benak Gak Lui. Akhirnya ia memutuskan untuk menyikap diri selama beberapa hari, mungkin ia dapat menemukan sesuatu yang jernih.

Ia segera memberi pesan kepada para penjaga, apabila ada tetamu supaya dipersilahkan masuk. Kemudian ia duduk bersemedhi dalam guha. Selama tiga hari tiga malam ia merenung menghampakan pikiran, namun belum juga ia mendapat sesuatu pikiran untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya itu.

Pada hari itu terdengar gederang berbunyi tanda gunung itu kedatangan orang luar. Ternyata yang datang yalah Li Hud-kong putera dari Kaisar-persilatan Li Liong-ci. Pemuda itu datang dengan membawa pedang pusaka Pelangi.

"Saudara Gak seorang tunas yang berbakat. Dan nasib saudara itu memang luar biasa, tepat seperti yang dikata ayah...."

"O, bagaimana kata ayah saudara ?”

"Beliau mengatakan hendak menurunkan ilmu gaib Liok-to-sin-tong (lima jalan kegaiban). Untuk menerima ilmu itu harus dibutuhkan seorang yang memiliki telinga tajam dan mata celi.....”

“Lalu kapankah akan menurunkan ilmu itu menurut beliau ?"

"Sekarang juga !"

"Sekarang ? Adakah saudara sudah menguasai ilmu dan dapat diberikan kepadaku?"

"Tidak! Aku masih kurang berbakat untuk menerima pelajaran itu," sahut Li Hud-kong tertawa, "tetapi ayah telah menulis sebuah kitab Liok-to-sin-tong dan suruh aku memberikan kepadamu."

Gak Lui terkesiap, serunya tegang: "Kalau begitu, bolehkah sekarang kulihatnya?"

"Belum dapat dilihat sekarang dan lagi ada syaratnya."

"Eh, apakah beliau menghendaki syarat?"

"Setiap orang tentu mempunyai syarat. Tetapi yang diminta ayah itu sederhana sekali, hanya saja......”

"Hanya bagaimana ?"

"Keras juga!"

"Apakah suatu ujian yang keras ?”

"Boleh dikata begitulah."

"Kalau begitu silahkan saudara mengatakan, aku bersedia mendengar."

"Tak perlu dikatakan cukup engkau jawab dengan tindakan. Kalau dapat menjawab tepat, luluslah sudah !"

"Tindakan bagaimana....?"

"Cobalah engkau jawab bagaimana sikapmu terhadap masalah asmara dan budi dendam? Bagaimanakah engkau hendak menyelesaikannya?"

"Ini....mencabut pedang memutus asmara....badan binasa demi menuntut budi dan dendam...."

"Hm, benar juga tetapi bagaimana cara melakukan hal itu?"

Gak Lui menghela napas, "aku sungguh merasa malu sendiri karena sampai berhari-hari menyepi diri, tetap belum dapat menemukan cara itu."

"Lalu apakah engkau masih ingat akan cerita yang dibawakan ayahku tentang Buddha yang mengiris daging tubuhnya untuk diberikan kepada burung rajawali dulu itu !"

"Sudah tentu masih ingat !"

"Demi menolong jiwa si kelinci, Budha tak sayang memotong dagingnya sendiri untuk diberikan pada burung rajawali. Cobalah engkau katakan, peristiwa itu nyata atau tidak nyata ?"

"Ah, tak perlu menarik kesimpulan nyata atau tidak nyata karena cerita itu hanya sebuah dongeng."

"Kalau dongeng, apakah makna yang terkandung dalam dongeng itu ?"

"Bahwa orang harus mau mengorbankan diri untuk menolong lain orang!"

“Lalu dalam peristiwa budi, asmara dan dendam itu, siapakah kiranya yang menjadi sang Buddha dan siapakah yang dianggap sebagai burung rajawalinya ?”

"Aku yalah......" bicara sampai tiba2 tersadarlah Gak Lui. Wajahnya segera berobah serius. Kegelisahannya selama inipun lenyap.

Melihat itu Li Hud-Kong tahu bahwa pemuda itu telah menemukan penerangan batin dan telah membebaskan diri dari libatan asmara.

"Menurut pengamatanku, saudara Gak sudah menemukan penerangan," serunya.

"Kurasa begitulah," sahut Gak Lui.

"Apakah engkau sungguh2 dapat melakukan?"

"Tentu !" sahut Gak Lui pula.

"Jika engkau hendak merobah keputusan, setiap saat boleh......”

"Tak perlu !” tukas Gak Lui, "apa yang kuucapkan tentu akan kulakukan, tak pernah aku berbohong. Tetapi nanti apabila menjalankannya, mungkin orang luar tak mengerti....”

"Tak perlu kuatir," sahut Li Hud kong, "aku diutus ayah kemari untuk melaksanakan pengangkatanmu sebagai Hou-hwat Su-cia. Segala apa aku yang tanggung."

Hou-hwat Su-cia adalah paderi yang menjalankan dan melindungi peraturan2 agama Buddha.

"Bagus," Gak Lui menghaturkan terima kasih, "tetapi entah dimanakah para ketua partai persilatan saat ini...."

"Sudah datang bersama aku dan berada diluar gunung."

"Kalau begitu silahkan saja mereka kemari."

Li Hud-kong menurut. Sekali gerak, ia sudah melesat keluar guha dan bersuit nyaring kearah hutan. Beberapa sosok bayangan segera berbondong-bondong lari menghampiri.

Tiga tokoh paderi Bu-tong-pay, paderi Kak Hui dari Heng san-pay, Hui Gong taysu dari Siau-lim-si, imam Tek Yan dari Go-bi-pay dan keempat jago pedang dari Kong tong, susul menyusul masuk kedalam guha. Kemudian Thian Lok totiang dari Ceng-sia-pay dan Sebun Ciok dari Kun-lun pay yang telah cacad menderita amukan pedang Thiau-lui-koay kiam pun juga muncul.

Gak Lui agak heran mengapa tak melihat ketua partai Kay-pang dan partai Gelandangan serta Pukulan-sakti The Thay. Tetapi jelas ia tahu bahwa mereka tak ikut dalam pertempuran digunung Im-leng-san.

Begitu pula tentang keempat nona Hi Kiam-gin, Siu-mey, Yan-hong dan The Hong-lian, ia tahu mereka jatuh kebawah karang. Entah mati entah hidup. Tetapi karena ia sudah membekukan hati terhadap soal asmara, maka iapun tak mau banyak berpikir lagi.

Demikian setelah sekalian orang duduk maka berserulah Gak lui dengan nyaring: "Kedatangan saudara2 kemari tentulah untuk menyelesaikan soal budi dan dendam itu. Sekarang silahkan saudara bicara dengan terus terang, aku tentu dapat memberi pertanggungan jawab semua !"

Para ketua partai persilatan saling bertukar pandang beberapa saat lalu Hwat Lui tojin yang mendahului membuka suara: "Tiga jiwa dari cianpwe Bu-tong pay, harap diperhitungkan pada saudara...."

"Baik !" sahut Gak Lui, "lalu lain2 saudara ketuapun silahkan bicara !"

Dengan nada rawan dan berduka berserulah paderi Kak Hui dari perguruan Heng-san-pay: "Guruku Hwat Hong taysu, terpaksa meninggalkan dunia ini karena engkau !"

Lalu keempat jago pedang dari perguruan Kong-tong-pay pun menyusul: "Tiga orang suheng kami yang binasa itu juga mempunyai sangkut paut dengan saudara !"

Dengan bercucuran airmata paderi Hui Hong dari Siau-lim-si, berkata: "Hui Ki taysu sudah hilang kesadaran pikirannya, seharusnya engkau tahu keadaannya !"

Ketua partai Go-bi-pay kerutkan alis dan berkata : "Dalam partai perguruanku tiada yang meninggal. Tentang luka-dalam yang kuderita, untuk sementara itu tak perlu dibicarakan. Tetapi perbuatanmu menyerang dengan pedang sehingga keempat nona itu jatuh kebawah karang, memang suatu perbuatan yang tercela dan tak dapat kubiarkan."

Mendengar itu hati Gak Lui serasa tersayat sembilu. Tetapi setelah menghela napas, ia dapat berseru pula : "Lalu siapa lagi.....”

Dengan wajah mengerut tegang dan suara tersendat-sendat, Thian Lok totiang berkata : "Aku sukar mengatakan.... Suhengku telah engkau tolong, tetapipun mati dihadapanmu.....Tetapi ada suatu hal yang aku tak mengerti..."

"Yang mana ?"

"Aku bersama Sebun siangseng dengan maksud baik hendak melerai pertempuran. Tetapi tak terduga kalau termakan sebuah tabasan pedang sehingga kehilangan sebuah lengan !"

"Maafkan, aku amat menyesal sekali," tersipu Gak Lui meminta maaf lalu memandang kearah Sebun sianseng, katanya : "Sianseng .... apakah yang hendak engkau katakan ?"

"Mengatakan .... apa?" sahut Sebun sianseng seraya kerutkan alis. Walaupun tidak bicara tetapi hatinya tak lepas dari pergolakan.

Demikian setelah sekalian orang selesai bicara, maka Gak Luipun segera berseru : "Saudara2, soal budi dan dendam dalam dunia persilatan selalu diselesaikan dengan 'hutang darah bayar darah', benar bukan?"

"Benar !” sahut sekalian orang. "Kalau begitu, hari ini akupun hendak membayar semua hutang darah agar saudara2 dapat memberi pertanggungan jawab kepada para leluhur dan anak murid partai perguruan saudara.”

Mendengar itu sekalian orang terbeliak. Tak tahu mereka bagaimana cara Gak Lui hendak membayar hutang darah itu.

"Saudara Hud-kong, dimana engkau ?" tiba2 Gak Lui berseru.

"Aku disini!"

"Bawalah pedang Pelangi kemari !” Setelah Hud-kong membawakan pedang pusaka itu, Gak Luipun menyerahkan kepada Hwa-Lui tojin : "Pedang ini kudapatkan dari guru to-tiang. Setelah pedang ini selesai kugunakan, tentu akan kukembalikan kepada totiang!"

Sekalian orang terkejut mendengar ucapan Gak Lui. Tek Yan, Thian Lok dan Sebun sianseng hendak mencegah tetapi Gak Lui dengan wajah serius sudah mendahului berkata : "Sekarang aku hendak bertindak. Saudara2 adalah tokoh2 ternama dari dunia persilatan. Harap jangan terkejut dan mengganggu. Barang siapa mengganggu tindakanku, paderi hou-hwat ini tentu akan turun tangan!"

Sekalian orang mendesuh kaget dan memandang kearah Li Hud-kong yang disebut sebagai paderi hou-hwat itu.

"Siapakah gerangan gelar hou-hwat yang mulia ?” tegur Sebun sianseng kepada Li Hud-kong.

Li Hud-kong tampil kemuka dan memperkenalkan diri: "Aku yang rendah Li Hud kong, telah menerima perintah ayah kemari untuk bertugas sebagai pelindung hou-hwat !"

"Siapakah ayahmu ?"

"Nama diatas memakai kata Liong dan dibawah Ci, orang menggelarinya sebagai Kaisar persilatan !"

"Oh ....," sekalian orang mendesuh kejut. Dengan kedatangan putera dari Kaisar-persilatan kesitu, tentulah masalah budi dan dendam itu akan dapat diselesaikan dengan memuaskan.

Saat itu Gak Lui tampak duduk dengan tegak, tiba2 ia berseru : "Pedang pusaka Pelangi ini adalah milik partai perguruan Bu tong-pay. Oleh karena saat ini pedang itu akan kugunakan untuk menyelesaikan segala budi dan dendam, hutang piutang darah, maka pedang itu kusebut pedang Kunang-kunang. Semula aku merasa gelap gelita tetapi akhirnya terbetik suatu cahaya penerangan yang walaupun kecil namun dapat menerangi kegelapan hatiku. Demikianpun pedang Kunang2 itu, kumaksud sebagai sepercik cahaya pelita hatiku...."

Gak Lui menutup kata2nya dengan memainkan jurus Burung-cendrawasih-rentang-sayap.

Seketika berhamburanlah sinar bergemerlapan bagai ribuan kunang2 memancar di tengah malam gelap. Belum sempat sekalian tokoh mengetahui apa yang akan terjadi, tiba2 mereka tersentak kaget karena sinar bergemerlapan itu tiba2 berobah merah darah warnanya.

Selekas sinar pedang berhenti maka tampaklah tubuh Gak Lui berlumuran darah. Namun pemuda yang berparas cakap itu tetap duduk tenang ditempatnya.

Tiba2 ia lontarkan pedang pusaka kemuka Hwat Lui totiang: “Totiang, terimalah kembali pedang pusaka Bu-tong-pay. Hutang darah bayar darah. Budi dendam, salah benar, mulai saat ini himpaslah semuanya.”

Sekalian tokoh persilatan menjerit kaget ketika melihat Gak Lui melentuk dan kepalanya mengulai. Ketika mereka memeriksa ternyata pemuda itu sudah tak bernapas lagi ....

Pecahlah tangis memenuhi ruang guha. Sekalian tokoh2 persilatan itu tak habis sesalnya mengapa mereka keliwat menekan pada Gak Lui sehingga pemuda berbudi itu sampai melakukan keputusan yang nekad. Namun nasi sudah menjadi bubur.

"Saudara2 tentu sudah puas, bukan?" tiba2 Li Hud-kong berseru, "nah, silahkan saudara2 kembali ke tempat masing2, maaf, aku tak dapat mengantar.....”

Dengan berat hati sekalian tokoh2 partai persilatan itu memberi hormat kearah jenazah Gak Lui lalu berbondong-bondong tinggalkan guha.

Li Hud-kong menghela napas rawan. Ia mengeluarkan kitab pusaka Liok-to-sin-tong, setelah menggali sebuah lubang pada batu karang, ia masukkan kitab itu kedalamnya dan berseru : "Mati hidup, hidup mati. Dengan darah menebus darah, itulah jalan menuju kearah kesempurnaan ....!"

Setelah memberi hormat kepada jenazah Gak Lui ia keluar dan menutup guha itu dengan batu.

Gak Lui telah mengakhiri hidupnya yang penuh berlumuran darah. Ia tak tahu bahwa keempat nona itu masih hidup dan bingung mencari jejaknya. Namun andaikata bertemu, tentulah ia akan lebih menderita luka hati makin dalam. Karena ia sudah memutuskan untuk membebaskan diri dari segala budi dendam, libatan asmara dan derita hidup.

Awan berarak menghias gunung Yau-san yang sunyi sepanjang masa.....

Tamat
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar