Bab 31. Lidah pedang
Gunung Ceng-sia-san saat itu
seolah-olah diliputi oleh hawa pedang. Masih kurang tujuh delapan li dari
gunung itu, Gak Lui dan Siu-mey berpapasan dengan rombongan2 partai persilatan
golongan putih. Diantara terdapat kaum paderi, imam, orang biasa. Jumlahnya tak
terhitung banyaknya.
Begitu melihat Gak Lui, mereka
lalu mengirim pertandaan rahasia lalu berbondong menyambut pemuda itu. Demikian
setelah melalui beberapa pos penjagaan, akhirnya mereka tiba di kaki gunung.
Tampak diatas gunung, sosok2 tubuh manusia yang hilir mudik amat sibuk. Dari
gerakan langkah mereka yang tangkas, tahulah Gak Lui bahwa mereka tentu tokoh2
yang berilmu tinggi.
Beberapa saat kemudian muncul
belasan tokoh menyongsong kedatangan Gak Lui.
Yang berada didepan adalah
ketua perguruan Ceng-sia-pay, Thian Lok totiang. Tampak imam tua itu masih
segar bugar dan bersemangat. Dengan tersenyum ia bersikap ramah sekali kepada
Gak Lui.
Yang kedua yalah Sebun
sianseng, tokoh perguruan Kun-lun-pay. Biasanya dia amat periang tetapi saat
itu sikapnya tenang dan tak banyak bersenyum. Jelas tokoh itu masih bersedih
atas kematian Tanghong sianseng, saudara seperguruannya.
Kemudian paderi Tek Yan taysu,
tokoh perguruan Go-bi-pay. Sikapnya biasa tetapi wajahnya agak serius. Tentulah
mengandung sesuatu dalam hati.
Dibelakang Tek Yan taysu,
tegak berjajar ketua perguruan Kong-tong-pay, yalah imam Wi Ih dan keempat
saudara seperguruannya.
Juga Hui Hong taysu dari
Siau-lim-si turun menyambut. Tetapi sikap ketua Siau lim si itu berlainan
dengan yang dulu. Dulu ia pernah menjanjikan akan memberi penjelasan tentang
diri Gak Lui dihadapan partai2 perguruan silat, tetapi saat itu tampak dia agak
tak acuh.
Gak Lui yang cerdik segera
dapat meneropong perasaan tokoh2 silat itu. Kecuali Thian Lok totiang yang
telah mendapat kembali suhengnya Ging Sing totiang, yang lain2 itu tentu masih
mengandung rasa tak puas atas kematian dari saudara2 seperguruan mereka yang
hilang dan ternyata menjadi kaki tangan Maharaja, kemudian mati dibunuh Gak
Lui.
Karena menyadari apa yang
terkandung dalam hati mereka, Gak Lui pun tak menyesal atas sikap mereka yang
mengunjuk tak bersahabat itu.
Di samping rombongan tokoh2
itu, tampak juga paderi Kak Hui, seorang paderi dari perguruan Heng-san pai
yang berusia lebih kurang empatpuluh tahun.
Ketua Heng-san-pay, Hwat Hong
taysu, telah binasa di depan mata Gak Lui. Sedang Hwat To taysu, pun juga dari
Heng-san-pay, telah mati di tangan Hong-lian. Karena hal2 itu, tak heran kalau
sikap Kak Hui tampak kaku.
“Ha, ha, sauhiap sudah tiba
kemari. Dengan begitu dapatlah kulepaskan sebuan beban perasaan dalam
hatiku...," Thian Lok totiang berseru menyambut.
Sebun sianseng dan rombongan
tokoh2pun segera mengucap kata2 sambutan. Gak Lui dan Siu-mey sibuk juga untuk membalas
hormat.
Demikian setelah saling
membalas salam, akhirnya beberapa tokoh angkatan tua segera minta Gak Lui
berdua masuk ke dalam gedung untuk melanjutkan pembicaraan lagi. Tetapi rupanya
Hwat Lui tojin tak kuat menahan kesabarannya lagi, ia melangkah maju dua
tindak. Sebelum membuka mulut, ia memandang pedang yang tersanggul di pinggang
Gak Lui. Hal itu cukup dimengerti Gak Lui. Tentulah orang heran mengapa tak
menyelip pedang Pelangi.
“Aku harus meminta maaf
sebesar-besarnya," buru2 ia memberi penjelasan, “bahwa pedang Pelangi
telah jatuh di tangan si Maharaja. Tetapi aku memberi jaminan bahwa tak lama
lagi pedang itu tentu kembali ...."
Karena didahului berkata, imam
Hwat Lui pun tertegun. Kemudian dengan nada kurang senang ia bertanya: “Setelah
membuat pedang itu jatuh ke tangan musuh, apakah saudara masih sanggup untuk
mendapatkan kembali ?"
“Aku tentu dapat merebutnya
kembali dan menyerahkan kepada totiang," sahut Gak Lui tegas.
“Kalau sampai gagal, bukankah
perguruan kami akan menggigit jari ?"
“Kusediakan nyawaku untuk
jaminan !"
“Jiwa ?" Hwat Lui tojin
mendengus, “jiwamu itu suatu soal dan pedang pusaka perguruan lain soal lagi
!"
Mengingat akan kematian ketiga
tokoh tua dari Bu-tong-pay, Gak Lui tak mau meladeni kata-kata Hwat Lui yang
tajam. Tetapi Siu-mey tak dapat menahan kemengkalan hatinya lagi. Nona itu
segera melengking: “Kalau engkoh Lui bilang akan mengembalikan tentu akan
mengembalikan sungguh2. Mengapa engkau bicara tak keruan begitu ?"
Rasa sedih dan penasaran Hwat
Lui, ditumpahkan kepada nona itu. Sambil mencekal batang pedang ia berseru:
“Urusan ini tiada sangkut pautnya dengan dirimu. Sebaiknya jangan ikut campur.
Atau .... hem !”
“Bagaimana ?"
“Jangan kira kalau pedang
perguruan Bu-tong-pay itu tidak tajam !"
“Bagus !" Siu mey marah
dan melangkah maju: “Dengan kata dan ucapan yang baik tak dapat menasehati
engkau. Terpaksa harus kuberi pelajaran, agar kelak kemudian hari dapat berobah
baik!"
Dalam pada itu ketiga imam
dari Bu-tong-pay pun cepat mencabut pedang. Melihat itu Gak Lui melesat ke muka
Siu-mey. Begitu pula Thian Lok totiang dan beberapa tokoh lain, mencegah tokoh2
Bu tong-pay supaya jangan berkelahi dengan seorang nona yang lebih muda umur
dan tingkatannya.
Nasehat itu telah membuat Hwat
Lui totiang tersipu merah wajahnya. Tiba2 dari atas gunung muncul dua sosok
bayangan. Terdengar salah seorang tertawa nyaring dan berseru memanggil Gak Lui
dengan sebutan 'engkoh Lui’.
Ternyata yang datang itu
Pukulan-sakti The Thay bersama puterinya, The Hong-lian. Melihat kedatangan
adik seperguruannya, hilanglah kemarahan Siu-mey. Dengan gembira ia menyambut
kedatangan Hong-lian. Kedua nona itu bercakap cakap sendiri.
Melihat itu ketua Heng-san-pay
yakni paderi Kak Hui berbatuk lalu meminta Gak Lui naik ke atas gunung. Gak
Luipun menerimanya. Mereka segera menuju ke paseban besar gunung Ceng-sia.
Ketika hampir tiba di gedung
itu, kembali muncul dua rombongan. Yang dari sebelah kiri ternyata siburung
cantik dari gunung Busan, yakni Yan-hong.
Pertemuan Gak Lui dengan nona
itu amat menggembirakan sekali. Gak Lui lalu memperkenalkannya kepada Siu-mey
dan Hong-lian. Ternyata mereka bertiga sudah pernah berjumpa tetapi belum
akrab. Saat itu mereka bertiga tampak gembira sekali karena mendapat kawan yang
mencocoki hati.
Sedang yang muncul dari
sebelah kanan yalah si Raja-bengawan Gan Ke-ik ketua Partai Gelandangan serta
ketua perguruan Kiu-hoan-bun Rajawali-tanpa-bayangan Ih Lo-cin. Oleh karena
kedua tokoh itu ketua dari perguruan persilatan maka kemunculan mereka disambut
serempak oleh para ketua partai persilatan.
“Ah, harap sekalian
ciang-bunjin jangan sungkan. Aku hanya mempunyai sedikit urusan dengan Gak
sauhiap....." kata Gan Ke-ik.
“Silahkan, pangcu bicara
dengan Gak sauhiap," kata Thian Lok totiang, “kami akan menunggu di
sini."
Melihat si
Rajawali-tanpa-bayangan, diam2 tergetarlah hati Gak Lui. Ia ingat tokoh itu
pernah mengatakan, apabila berjumpa lagi tentu akan mengajak adu kepandaian. Ia
kuatir orang itu akan menantangnya.
Maka setelah Thian Lok totiang
selesai bicara, Gak Luipun minta kepada ketiga nona itu supaya menyingkir dulu.
Ketiga nona itupun menurut, hanya Pukulan-sakti The Thay yang masih menemani
Gak Lui. Setelah itu Gak Luipun minta kepada sekalian tokoh2 supaya masuk lebih
dulu kedalam ruangan. Begitu selesai urusannya dengan Gan Ke-ik, ia tentu
segera masuk.
Setelah para ketua dan tokoh2
persilatan masuk kedalam ruangan, barulah Gan Ke-ik menunjuk kepada Rajawali
tanpa bayangan dan berkata kepada Gak Lui: "Sauhiap, kiranya engkau sudah
kenal dengan saudara ini."
“Ya, kami sudah pernah
berjumpa."
"Dia adalah sahabatku
selama 20 tahun yang lalu. Sungguh tak terduga kalau sampai bentrok dengan
engkau. Maka hari ini sengaja datang untuk mendamaikan hal itu. Harap engkau
menerima dengan lapang hati."
Gak Lui tertawa nyaring :
"Ah, sudah tentu aku menerima dengan gembira sekali atas kelapangan hati
ciang-bunjin. Soal kesalahan membunuh anak murid Kiu-hoan-bun, dengan ini aku
menghaturkan maaf yang sedalam dalamnya."
Rajawali-tanpa-bayanganpun
menyahut dengan sungguh2 : "Perkelahian dalam dunia persilatan, tentu
berakibat terluka atau mati. Soal salah faham yang lalu itu, tak perlu kita
ungkat lagi. Yang penting yalah mengatur cara untuk menghadapi kawanan Maharaja
itu !"
Serta merta Gak Lui menyambut
pernyataan itu dengan hormat: "Ketujuh partai persilatan telah menunggu
didalam ruangan besar. Maaf aku hendak menemui mereka, baru nanti akan menemani
saudara lagi ...."
"Aneh," kata Gan
Ke-ik sambil mengurut janggut, "Jika soal itu menyangkut kepentingan umum,
mengapa mereka tak mau mengundang kami. Apakah ada suatu rahasianya….”
"Ah, soal itu bukan
rahasia apa2 ....." sahut Gak Lui tersenyum.
"Lalu mengapa begitu
dirahasiakan ?"
"Pangcu tentu mengetahui
peristiwa kembalinya Thian Wat totiang, bukan ?"
"Ya."
"Semula Thian Wat totiang
itu telah dikuasai Maharaja dan menjadi anggauta Topeng Besi selama
bertahun-tahun. Kini setelah dapat kubebaskan, beberapa ketua partai persilatan
juga akan menanyakan tentang orang2 mereka yang hilang...."
"Benar, kemanakah orang2
itu ?"
"Karena kesalahan tangan,
mereka telah kubunuh !"
"O….," Gak Ke-ik
terkejut, ''tentang imam Ceng Ci yang engkau kesalahan membunuhnya, memang
telah kudengar. Tetapi kalau hanya berdasarkan soal itu lalu mereka hendak
cari2, bukankah akan merepotkan engkau ?"
Gak Lui tertawa tawar :
"Memang dunia ini penuh dengan kesukaran. Akupun tiada niat hendak
berbantah dengan mereka. Segala apa, biarlah aku sendiri yang tanggung. Tentu
ada jalan untuk menyelesaikannya."
"Perlukah kita membantumu
?"
“Tak perlu, disana ada The
Thay cianpwe yang akan bantu menjelaskan."
Akhirnya Gan Ke-ik
mempersilahkan Gak Lui untuk menemui mereka. Apabila ada keperluan, supaya
lekas memberitahu.
Demikian Gak Luipun lalu
bersama Pukulan-sakti The Thay masuk kedalam ruang besar. Karena dahulu pernah
mengunjungi, maka Gak Lui tak asing dengan tempat itu.
Berpuluh-puluh kursi dan meja
telah disiapkan dalam ruang itu. Diantaranya tampak tujuh buah kursi kehormatan
untuk tujuh ketua partai persilatan. Kesemuanya diatur dengan rapi menurut
susunan tingkat kedudukan masing2.
Setelah Gak Lui dan The Thay
dipersilahkan duduk, maka tuan rumah yakni Thian Lok totiang segera berseru
nyaring.
"Gak sauhiap, kuingat
tempo hari engkau datang kemari dengan membawa obat dan menolong jiwaku. Begitu
pula ketika markas Ceng sia-san ini dikepung oleh kawanan Sam-koay, engkaupun
telah membantu...."
"Tentang penyakit yang
diderita suheng totiang akupun telah mendapatkan obat Kiu-coan-ting-sin-tan.
Mudah-mudahan pil itu akan dapat menyembuhkannya," Gak Lui menukas.
"O ... kebetulan
sekali," seru Thian Lok totiang dengan gembira, "budi bantuan
sauhiap, sungguh besar sekali kepada perguruan kami."
"Ah, harap totiang jangan
mengatakan begitu. Menolong orang, itu sudah kewajiban. Tak perlu harus
mengharap balas."
"Tetapi ....," Thian
Lok totiang sengaja memanjangkan nada suaranya dan memandang kearah hadirin,
"semangat sauhiap itu sungguh sikap seorang kesatrya. Dalam soal ini....
kurasa sekalian orang tentu akan mengakui."
Gak Lui tahu bahwa para ketua
partai persilatan itu tentu akan meminta keterangan tentang tokoh2 perguruan
mereka yang tiada beritanya itu. Ucapan Thian Lok totiang itu jelas suatu
pembelaan untuknya agar para ketua partai persilatan itu menjadi dingin
hatinya.
"Ah, ucapan totiang itu
keliwat memanjakan diriku," seru Gak Lui, "kurasa para ciangbunjin
dan tokoh2 yang hadir di sini, tentu memikirkan tentang saudara seperguruannya
yang tiada ketahuan nasibnya itu. Maka jika ada yang hendak bertanya, silahkan,
harap jangan sungkan !"
Sebenarnya Thian Lok totiang
hendak menghindari suasana itu tetapi ternyata Gak Lui sudah menukas dengan
terus terang. Seketika wajah ketua Ceng-sia-pay itu berobah. Ia kehilangan
faham.
"Gak sauhiap,"
berseru Hui Gong taysu dari Siau-lim-si, "akupun mengakui bahwa engkau
telah menolong jiwaku dengan pemberian obat itu. Budi itu takkan kulupakan
selama lamanya. Tetapi suhengku Hui Ki itu merupakan tetua dari perguruan
Siau-lim. Tentang kematiannya.....terpaksa aku tak boleh tinggal diam dan
terpaksa menanyakan !"
Dalam mengucap kata2 itu
tampak wajah ketua Siau-lim-si itu rawan dan berduka. Imam Wi Ih dari
Kong-tong-pay, Hwat Lui dari Bu-tong-pay dan Kak Hui dari Heng-san-pay tampak
menganggukkan kepala menyetujui.
Sedang Sebun sianseng dan Tek
Yan taysu dari Go-bi pay tiada kehilangan orang, maka dalam urusan itu mereka
tak menyatakan apa2.
"Terus terang
taysu," Gak Luipun menyahut dengan nada bersungguh, "suheng taysu
telah kubunuh secara tak sengaja. Dalam hal itu aku sungguh merasa menyesal
sekali.”
“Soal itu akupun sudah
tahu," kata Hui Gong.
“Tetapi menilik kepandaian
sauhiap, kiranya tak mungkin sampai terjadi hal yang sedemikian itu !"
"Dalam pertempuran,
memang sukar untuk mencegah kesalahan tangan. Adalah karena kepandaianku yang
rendah maka sampai tak dapat menguasai permainanku !"
Mendengar itu Hui Hong taysu
maju selangkah dan menegas ; "Apakah benar begitu ?"
Melihat suasana itu, The Thay
yang sejak tadi diam saja, kini berseru nyaring : "Saudara2 sekalian,
dalam soal itu kiranya akulah yang paling mengetahui jelas. Harap saudara2
mendengarkan penjelasanku...."
Gak Lui tergetar hatinya. Ia
menatap jago tua itu dengan pandang mata mencegahnya jangan ikut campur dalam
persoalan itu.
Rupanya The Thay tahu akan
maksud Gak Lui. Ia merasa kalau salah bicara. Dan lagi pemuda itu tadi sudah
mengatakan bahwa segala apa yang akan terjadi dalam rapat pertemuan itu adalah
menjadi tanggung jawabnya semua. Kalau ia mengatakan bahwa yang membunuh tokoh2
dari beberapa partai persilatan itu, antara lain dilakukan oleh Hong-lian,
tentu akan lebih ruwet dan sulit lagi akibatnya.
The Thay tiba2 mendapat akal
dan segera merobah nada pembicaraannya.
"Aku sendiri pernah
ditawan oleh gerombolan Kerudung Hitam dan Topeng Besi digunung Hek-san. Disana
aku disuruh membuat pedang. Untunglah Gak sauhiap datang menolong dan berjumpa
dengan anak perempuanku Hong-lian. Mereka lalu dikepung musuh. Dalam gugup, Gak
sauhiap telah bertindak agak cepat sehingga selain Thian Wat totiang, pun yang
lain2.... ikut menjadi korban !"
Dengan kata2 itu, The Thay
telah menuturkan apa yang telah terjadi tetapi tak sampai menimbulkan reaksi
yang menyulitkan Gak Lui.
Tetapi rupanya ketua
Siau-lim-si Hui Hong taysu curiga. Memandang kearah The Thay, ia menegas dengan
nada dingin : "Apakah omongan The sicu itu dapat dipercaya ?"
"Sungguh......" kata
The Thay menelan air liurnya lalu menyusul lagi, "kalau menilik kepandaian
Gak sauhiap, memang tak mungkin sampai terjadi hal begitu. Tetapi dalam
pertempuran itu karena kepandaian anak perempuanku masih dangkal, beban Gak
sauhiap menjadi bertambah berat karena ia harus membagi perhatian untuk
melindungi anak itu. Demikian pula karena diriku, Gak sauhiap bertambah berat
lagi bebannya. Karena itu maka sampai timbul peristiwa yang tak
diinginkan....."
“Hm...," karena
menganggap alasan itu cukup beralasan maka Hui Hong taysu hanya mendesah. Ia
hanya menghela napas: "Omitohud! Suhengku Hui Ci memang telah melakukan
banyak kejahatan tetapi dia dikuasai Maharaja, pikirannya tidak sadar. Ah
sungguh tak kira kalau semasa hidupnya suheng telah menuntut kehidupan yang
begitu cemar dan kemudian mati secara begitu mengenaskan. Ai, soal itu, tak
tahu aku bagaimana harus mempertanggung jawabkan kepada para leluhur
Siau-lim…."
"The sicu, Gak
sauhiap," tiba2 Wi Ih totiang dari perguruan Kong-tong-pay membuka mulut,
"aku juga ingin bicara sedikit."
"Silahkan."
"Perguruan kamipun tidak
beruntung. Toa-suheng Wi Cun telah menghianati perguruan dan ikut dalam
gerombolan kaum Hitam. Sebagai seorang ketua, aku terpaksa harus bertindak
untuk membersihkan noda2 dalam tubuh perguruan Kong-tong-pay."
The Thay mengangguk:
"Tindakan tegas dari totiang itu, memang sesuai dengan jiwa dan semangat
seorang ketua. Sungguh suatu hal yang harus mendapat penghormatan. Setiap kaum
persilatan harus dapat mengetahui tindakan totiang!"
"Ah, jangan terlalu
memuji," kata Wi Ih totiang, "tetapi ... ketika murid hianat Wi Cun
itu masuk ke Ceng sia, telah diketahui Gak Lui. Dan pada kedua kalinya bertemu
digunung Hek-san, tentulah Gak sauhiap tak asing lagi kepadanya. Anehnya,
mengapa Gak sauhiap tak menangkapnya hidup2 saja lalu diserahkan kepada kami
agar kami dapat memberi pertanggungan jawab?"
Mendengar itu Gak Lui balas
bertanya: “Maksud totiang bukankah hendak menyalahkan aku mengapa main hakim
sendiri ?"
Wi Ih totiang merah mukanya:
"Kejahatan Wi Cun dalam dunia persilatan, memang sudah selayaknya dibunuh,
tetapi…dia adalah murid kepala dari perguruan kami. Dalam kedudukanku, akupun
juga harus melaporkan pada sekalian angkatan tua dari leluhur yang lalu, baru
dapat memberi keputusan. Apalagi engkau..."
"Ucapan totiang memang
beralasan," cepat2 The Thay menukas karena kuatir imam itu akan
mengutarakan kata2 yang tak sedap didengar, "menurut peraturan, memang
suheng totiang itu harus diserahkan kepada ketua Kong-tong-pay dan dimintai
pertanggungan jawab. Tetapi ketika aku ditawan digunung Hek-san, dialah yang
menjaga diriku. Lain2 anak buah Maharaja itu menurut perintahnya saja. Adalah
demi menolong diriku maka Gak sauhiap harus memikirkan kepentingan kedua belah
fihak. Karena itu .... kalau totiang tak puas akan peristiwa itu, baiklah
totiang umpankan kemarahan totiang kepada diriku saja !"
Beberapa anak murid
Kong-tong-pay berobah wajahnya. Begitu pula Wi Ih totiangpun segera
memandangnya lekat2 : "The sicu, betapapun engkau hendak berputar lidah
tetapi tanggung jawab itu tetap ada pada Gak… Gak sauhiap. Sekalipun engkau
mengaku bertanggung jawab, tetapi kamipun tetap takkan mencari engkau !"
Enak kedengarannya ucapan itu
tetapi artinya cukup menyinggung perasaan. Dengan kata2 itu jelas kalau The
Thay itu dianggap remeh, sehingga tak sepadan kalau harus disuruh bertanggung
jawab.
The Thay berwatak berangasan
juga. Tetapi memandang Gak Lui, terpaksa ia hanya mengertak gigi menahan
kemarahannya.
Melihat itu, cepat Gak Luipun
menyanggapi: "Baiklah, totiang menghendaki aku yang bertanggung jawab.
Akupun takkan menghindar. Lalu apakah yang totiang maukan dari aku?"
"Ini.....,"
pertanyaan itu membuat Wi Ih totiang tertegun sendiri. Sebenarnya ia memang
mempunyai kesan baik kepada Gak Lui. Sedang suhengnya, Wi Cun totiang itu,
memang sudah seharusnya dibunuh. Tetapi dalam kedudukan sebagai seorang ketua
partai persilatan, terpaksa ia harus mengurus hal itu. Hanya ketika menghadapi
pertanyaan Gak Lui, memang ia tak dapat memberi jawaban.
Dalam detik2 keheningan itu,
tiba2 berserulah Kak Hui dari perguruan Heng san. Dia masih muda, baru berumur
sekitar 40-an tahun. Diantara golongan ketua persilatan, boleh dikata dia yang
paling muda.
"Gak sauhiap,"
serunya, "menurut suasana pembicaraan, sepertinya kita menyalahkan engkau.
Tetapi sebenarnya engkau telah melupakan sebuah hal."
"Dalam hal apa?”
"Kudengar Hui Hong
cianpwe pernah mengatakan. Beliau menasehati engkau supaya membawa kawanan
Topeng Besi itu kepada masing2 perguruannya agar diberi hukuman sendiri. Tetapi
rupanya engkau tetap berkeras tak mau dan hendak mengadili sendiri. Dengan
begitu akhirnya harus menghadapi keadaan seperti saat ini !"
Mendengar itu diam2 Gak Lui
terkejut. Pikirnya : "Sebenarnya aku memang sudah bertindak hati2, tetapi
ternyata adik Hong liang telah bertindak terlalu terburu nafsu sehingga menjadi
begini akibatnya...."
“Totiang !" sahut Gak
Lui. "dunia ini penuh dengan soal yang tak seperti kita harapkan. Oleh
karena itu dalam peristiwa ini, aku tak mau menghindari tanggung jawab. Akupun
tak menyalahkan engkau hendak mendesak aku !"
"Kalau begitu
baiklah," sahut paderi dari Heng-san itu, "memang kematian suhuku
ditangan gerombolan penjahat itu, aku tak mempersalahkan engkau. Tetap tentang
kematian paman guruku Hwat Gong itu, aku terpaksa mempersalahkan engkau !"
Gak Lui kerutkan dahi lalu
menyahut: "Sudah kukatakan, bahwa aku bersedia mempertanggung jawabkan hal
itu !"
Habis berkata ia memperhatikan
bahwa wajah Hwat Lui tampak mengerut seperti hendak bicara. Maka Gak Luipun
lalu berpaling kearah mereka bertiga, serunya : "Jika perguruan totiang
masih hendak mengutarakan apa saja, silahkan bilang !”
Hwat Lui segera menyambut :
"Perguruan kami Bu-tong kiam-pay sudah termasyhur diseluruh dunia.
Sekalipun paman guru kami Ceng Ci telah lenyap, tetapi markas digunung
Bu-tong-san tetap tak kurang suatu apa. Tetapi setelah engkau datang ke gunung
kami, ketua kami Ceng Ki totiang menjadi co-hwe jip-mo dan binasa !"
Berhenti sejenak, Hwat Lui
melanjutkan pula : "Sebelum menutup mata, beliau telah memberikan pedang
pusaka perguruan Bu-tong kepadamu. Pengganti ketua yalah Ceng Suan totiang,
demi menjaga pedang pusaka itu telah turun gunung tetapi sungguh naas sekali,
akhirnya beliau telah binasa ditangan Maharaja....."
Berkata sampai disini ketiga
imam dari perguruan Bu-tong-pay itu sampai mengucurkan air-mata.
Dengan berlinang-linang Gak
Lui berkata, "Budi kebaikan kedua totiang itu, aku sungguh amat berterima
kasih sekali....."
"Kedua cianpwe itu binasa
karena engkau. Adalah karena ingin membantu orang maka beliau rela menutup
mata. Kami yang menjadi angkatan muda tak dapat berbuat apa2. Tetapi seharusnya
engkau berusaha sekuat tenaga untuk menolong Ceng Ci totiang sebagai balas budi
atas pengorbanan kedua totiang itu. Tetapi ternyata ketika bertempur ditelaga
Kiam-than, engkau tak mau memperhatikan lagi siapa musuhmu itu, engkau terus
main bunuh. Dan akibatnya beliaupun ikut engkau bunuh. Orang she Gak, engkau..,
engkau... mempunyai alasan apa lagi yang dapat membuat kami puas dan rela
?"
Gak Lui menyesal tak terhingga
: "Memang akulah yang lengah...sungguh amat menyesal sekali..."
Mendengar itu The Thay
menyanggah dengan menerangkan : "Soal itu juga tak dapat mempersalahkan
Gak sauhiap seluruhnya. Pertempuran ditelaga Kiam-than itu, musuhpun main
keroyokan. Kawanan Kerudung Hitam dan Topeng Besi campur baur sukar dibedakan.
Apalagi paman gurumu sudah kehilangan kesadaran pikirannya sehingga menyerang
secara membabi buta. Maka kalau hendak menyalahkan, si Maharajalah yang harus
disalahkan. Tak boleh....."
"Tunggu!" tukas Hwat
Lui, "walaupun ucapan The sicu itu beralasan, tetapi makin jauh dari
persoalannya. Berbicara tentang Gak sauhiap turun gunung untuk memapas pedang,
pedangku sendiripun kena ditabasnya kutung. Ya, walaupun soal itu salahku
sendiri mengapa kepandaianku begitu dangkal. Tetapi kenyataannya, yang
menimbulkan gara2 itu adalah dia, bukan aku. Itulah sebabnya maka ketua
perguruan kami sampai menghapus perintah menutup gunung, pendek kata, apabila
tidak ada Gak Lui yang menjadi gara2, perguruan Bu-tong-san tentu tak sampai
mengalami nasib seperti saat ini."
Buru2 Gak Lui menanggapi:
"Aku amat menyesal sekali, tentu dapat.....”
"Orang2nya mati,
pedangnya hilang. Apa guna ucapan maaf itu !" tukas Hwat Lui.
"Lalu bagaimana menurut
kehendak totiang?"
"Hutang darah bayar
darah, dendam harus dihimpaskan !"
"Kecuali itu ?"
"Tiada jalan lain !"
"Ah, apakah totiang tidak
terburu nafsu?"
Rupanya Hwat Lui yang sudah
diamuk dengan dendam dan penasaran, serentak berbangkit sambil memegang tangkai
pedang, serunya: "Sekali-kali aku tak dirangsang nafsu. Kepandaian kita
berduapun sudah kupertimbangkan. Tetapi demi membalas dendam dan angkatan tua,
sekalipun kalah aku tetap akan mencobanya."
Gak Lui menyadari bahwa ucapan
paderi dari Bu-tong itu memang bukan kata2 kosong. Diam2 mengagumi Hwat Lui
yang bernyali besar. Tetapi kalau bertempur sungguh, sekalipun lawan maju tiga
orang, tetap ia dapat mengatasi.
Gak Lui tak mau menuruti hati
yang panas. Ia memberi isyarat tangan meminta mereka duduk.
Dalam suasana yang tegang itu,
beberapa ketua perguruan silat antara lain ketua Heng-san pay, ketua
Kong-tong-pay, ketua Siau-lim-pay bahkan tuan rumah yakni Thian Lok totiang
sebagai ketua Ceng-sia-pay, juga tak dapat bicara apa2.
Beberapa saat kemudian setelah
memberi kicupan mata kepada Tek Yan taysu, berkatalah Sebun sianseng dengan
tenang : "Saudara2 ! Kurasa kedua belah fihak memang sama2 mempunyai alasan
yang kuat. Maka kesimpulannya, segala apa itu rupanya memang sudah takdir yang
tak dapat dirobah manusia ...”
"Menurut cianpwe, karena
sudah takdir maka kita tak perlu mengurus lagi ?" Hwat Lui membantah.
"Jika mau mengurus,
sebaiknya tunggu setelah dapat melenyapkan si Maharaja, baru kita nanti
berunding lagi.”
"Kalau begitu, fihak
Kun-lun-pay dan Go-bi-pay dapat memberi jaminan bahwa setelah musuh besar itu
terbasmi, maka kami dan Gak Lui akan bertanding untuk menentukan siapa yang
lebih unggul kepandaiannya ?" seru Hwat Lui pula.
"Tidak !" serempak
Sebun sianseng dan Tek Yan menyahut.
Hwat Lui, Kak Hui dan Wi Ih
totiangpun serempak bertanya: "Kalau perguruan saudara tak mau memberi
jaminan, bukankah hal itu seperti hendak menghalangi kami....."
"Sama sekali tidak
menghalangi !" seru Sebun sianseng dengan wajah berobah, "bagaimana
tindakan dalam dunia Persilatan, kiranya semua orang tentu sudah jelas. Aku
bukanlah seorang manusia yang ingin mencari muka kepada orang, sedang perguruanku
sendiri pun kehilangan suhengku Tanghong Giok. Dalam hal itu kalau aku tak
menyadari benar tidaknya peristiwa itu, tentulah dengan membabi buta
kutimpahkan kesalahan itu diatas kepalanya !"
Ucapan itu membuat Hwat Lui
dan lain2 merah mukanya. Namun seperti tak memperhatikan mereka, Sebun sianseng
tetap melanjutkan kata2-nya : "Soal urusan dendam saudara ini, selainkan
setelah nanti Maharaja dapat dibasmi baru dirundingkan lagi, pun supaya
dipertimbangkan yang lebih hati2."
"Cianpwe menghendaki kita
mempertimbangkan bagaimana lagi ?" seru Hwat Lui penasaran.
Sebun sianseng deliki mata
kepada paderi itu: "Paling tidak .... bertempur itu bukan cara yang
terbaik."
"Karena cianpwe
menganggap kepandaian kami tidak memadai ?"
"Sekalipun ilmu
kepandaian saudara tinggi, tetapi kurang layak kalau menggunakan kegagahan
untuk bertempur mati-matian !"
"Habis bagaimana ?"
"Kurasa.....," Sebun
sianseng meragu lalu memandang Gak Lui, "lebih baik serahkan Gak sauhiap
yang memutuskan saja!"
“Serahkan dia?" Hwat Lui
mengulang kaget seperti tak percaya apa yang didengarnya.
Sebun Sianseng memandang
sekalian hadirin, lalu berseru: “Benar! Gak sauhiap berwatak keras tetapi
lurus. Apa yang diputuskan tentu takkan merugikan kalian!"
Hwat Lui dan lain2 makin
terkejut. Mereka memandang Hui Hong taysu dan Wi Ih totiang. Maksudnya meminta
kedua tokoh itu untuk menyatakan pendapat.
Hui Hong taysu merenung seraya
memandang sekalian hadirin. Kemudian ia menghela napas: “Aku pernah menerima
budi dari Gak Sauhiap. Persoalan perguruan, akupun tak dapat berpeluk tangan.
Apabila Gak sauhiap mempunyai pendapat yang memuaskan kedua belah fihak,
Siau-lim-si pun takkan menyatakan lain."
Wi Ih totiangpun mengangguk:
“Musuh kuat berada didepan mata, lebih dulu kita harus bersatu menghadapi, baru
nanti bicara lain2. Karena itu...Kong-tong-pay juga menyatakan setuju."
Karena kedua tokoh tua itu
sudah menyatakan pendapatnya, Hwat Lui dan Kak Huipun tak tak dapat berkeras
lagi.
“Sudahlah," seru Thian
Lok totiang, “soal ini sudah beres. Sekarang kita lanjutkan dengan perundingan
untuk mengatur rencana menghadapi musuh. Adakah selama diluaran ini. Gak
siauhiap pernah mendengar sesuatu tentang Maharaja?"
Gak Lui tersenyum: “Dia
sendiri tak muncul."
Ucapan itu mengejutkan
sekalian hadirin. Bagi sementara ketua perguruan, mereka merasa lega tetapi ada
beberapa yang kecewa.
Gak Lui lalu menuturkan
tentang peristiwa barisan-bersembunyi dari Siau Yau tojin tetapi akhirnya
mereka dapat disapu berantakan.
“Bagus!" seru Thian Lok
totiang, “kecuali si durjana itu, siapapun musuh yang datang tentu tak mungkin
lolos dari barisan Thian-lo-to-ong-tin ..."
Gak Lui kerutkan alis: “Oleh
karena ini aku tak dapat lama2 disini dan segera akan minta diri hendak menuju
ke Im-leng-san. Aku hendak memenuhi janji untuk berhadapan seorang diri dengan
dia dan merebut kembali pedang Pelangi!"
“Ah ..." terdengar desah
sekalian hadirin.
“Saudara Gak," seru Sebun
sianseng dengan wajah tegang, “kepergianmu untuk memenuhi tantangan itu,
kecuali mengandalkan ilmu kepandaian engkau tentu juga mengandalkan kedahsyatan
dari pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam itu, bukan?"
“Hm... benar," sahut Gak
Lui, “ilmu Suitan-maut dari manusia durjana itu hanya dapat ditumpas dengan
pedang ini!"
Sebun sianseng mengicup mata
dan gunakan ilmu Menyusup-suara berkata: “Pedang itu tak boleh sembarangan
dipakai. Engkau harus mempertimbangkan akibat dibelakangnya."
Gak Luipun menyahut dengan
ilmu Menyusup-suara juga: “Aku sudah mengetahui dan merasakan daya iblis dari
pedang itu. Dan untuk menjaga kemungkinan yang tak diharapkan, aku sudah
menyediakan empat orang pembantu !"
“Bagus," sebun sianseng
menjawab pula lalu berkata dengan omongan biasa, “apakah sauhiap perlu membawa
orang ke sana ?"
”Aku hendak mengundang empat
orang nona ....”
“O, empat orang nona ?"
“Mereka bukan orang luar
tetapi mempunyai hubungan dengan perguruan Bu-san dan Thian liong-pay. Mereka
juga mempunyai dendam permusuhan dengan durjana itu."
“Peristiwa besar yang jarang
terjadi itu, entah apakah aku dapat menyaksikan ?" seru Thian Lok totiang
dengan gembira.
“Hm...." Gak Lui merenung
sejenak lalu menyahut, “menurut pendapatku, lebih baik jangan."
Oleh karena soal itu milik Gak
Lui bersama Maharaja, karena Gak Lui keberatan, merekapun tak dapat berbuat
apa2 kecuali kecewa dalam hati.
Entah bagaimana tiba2 Sebun
sianseng mendapat pikiran. Segera ia buka suara: “Saudara Gak, karena beberapa
ketua perguruan mempunyai kegembiraan untuk menyaksikan, lebih baik engkau
luluskan. Pun aku sendiri juga kepingin melihat !”
Bermula Gak Lui terkesiap
karena anggap kata Sebun siangseng itu tentu mengandung maksud tertentu. Namun
ia masih tak tahu. Maka ditatapnya tokoh itu dengan pandang mata bertanya.
Sebun sianseng tak menyahut
melainkan keliarkan pandang matanya. Ketika tertumbuk pada pedang Thian
lui-koay-kiam, tiba2 matanya merentang lebar2.
“Oh....." Gak Lui cepat
dapat menduga bahwa tokoh itu menguatirkan keganasan pedang Thian lui-koay-kiam
maka selain keempat nona itu mereka pun ingin menyaksikan agar dapat memberi
bantuan apabila diperlukan.
“Atas maksud para ciang-bunjin
yang baik, akupun menerima. Tetapi pada waktu pergi, kuharap supaya menurut
sebuah permintaanku," kata Gak Lui.
“Ya, kami akan menurut
engkau," seru Sebun siangseng dan Thian Lok totiang serempak.
“Perjalanan di gunung Im-leng
san itu amat berbahaya," kata Gak Lui, “lebih dulu aku hendak mengajak
keempat nona itu memasuki gunung itu. Di sepanjang jalan akan kutinggalkan
tanda rahasia agar saudara2 sekalian dapat mengikuti naik. Pada waktu menyaksikan
pertempuran harap jangan memberitahukan!"
“Sudah tentu tidak!" seru
Sebun siangseng sembari tertawa, "dalam pertempuran mati hidup itu,
sekalipun engkau minta aku membantu, aku pun takut sendiri."
Demikian setelah tercapai
keputusan, akhirnya pertemuan untuk meminta pertanggungan jawab kepada Gak Lui
itu telah selesai. Para ketua partai persilatanpun berbondong-bondong minta
diri.
Thian Lok totiang menemani Gak
Lui berjalan dibelakang rombongan tetamu. Keduanya hendak mengambil pil
Kiu-cuan-ting-sim-tan untuk menolong Thian Wat totiang, tetapi ketika berjalan
sampai diluar, mereka berpapasan dengan ketua Kaypang dan beberapa orang yang
hendak mencari Gak Lui.
Ternyata mereka hendak
menanyakan keadaan pemuda itu sejak berpisah. Setelah pertemuan yang menggembirakan
itu selesai, Gak Lui minta kepada The Thay supaya suruh Siu-mey mengambilkan
obat.
Tak berapa lama Siu-mey pun
muncul dengan membawa obat. Mereka lalu menuju ketempat Thian Wat totiang.
Tetapi belum berapa jauh
berjalan, tiba2 diluar gunung meluncur sebatang panah api lalu disusul dengan
dengung terompet yang menggema diangkasa.
Melihat itu berobahlah wajah
Thian Lok totiang, serunya agak tergetar: "Hm, sungguh besar sekali nyali
musuh. Mereka berani datang kemari!"
Gak Lui kerutkan alis lalu
menyatakan hendak menyambut musuh.
"Tak perlu," sahut
Thian Lok totiang, “karena Maharaja tidak datang, lain2 saudara dapat
menghadapi. Kurasa sauhiap lebih baik masuk dan mengobati suhengku."
"Baiklah, kalau ada suatu
perobahan yang genting, harap memberitahu kepadaku,” kata Gak Lui seraya
melangkah kedalam halaman. Sambil menunjuk sebuah bangunan, Thian Lok totiang
berkata : "Disitulah tempat tinggal suheng. Dahulu nona ini pernah datang
kemari, harap nona suka membawa Gak Sauhiap kesana."
Setelah itu Thian Lok totiang
keluar lagi untuk bergabung dengan tokoh2 persilatan. Sedang Siu-meypun segera
membawa Gak Lui keruang tempat Thian Wat totiang. Dua orang imam kecil yang
mengenal kedua anak muda itu segera memberi hormat.
"Bagaimana keadaan
totiang dalam beberapa hari ini ?" tanya Siu-mey.
"Sehari-hari sucou hanya
duduk termenung seperti...memikirkan sesuatu," kata imam kecil itu.
"Baiklah, kalian boleh
menyingkir dulu. Nanti apabila ada keperluan tentu akan kupanggil."
Setelah penjaga2 itu menyingkir
kehalaman, Gak Luipun bertanya mengapa tampaknya Siu-mey begitu tegang.
Sambil memandang kearah ruang
itu, Siu-mey berkata perlahan : "Tindakanku ini ada dua maksud. Pertama,
apabila daya ingatan totiang sudah pulih kembali, mungkin dapat menceritakan
banyak sekali rahasia. Maka paling baik jangan sampai terdengar orang
luar."
"Hm…."
"Dan lagi, sebelum
diberinya minum pil Kiu-coan-ting-sim-tan, perlu hendak kujelaskan tentang
keadaannya yang lalu agar diam2 engkaupun dapat berjaga jaga."
"Baik !"
"Pada waktu The Thay
lo-cianpwe mengantarnya pulang, totiang dalam keadaan tak sadarkan diri, mirip
seperti mayat berjalan. Setelah minum obat dari beberapa partai persilatan dan
dirawat dengan cermat, dia baru sedikit timbul daya ingatannya. Makan, minum dan
bicara sudah seperti orang biasa."
"Adakah ia ingat akan
peristiwa ditawannya dahulu ?"
"Tidak ingat dan pula
..."
"Bagaimana ?"
"Sekalian orangpun tak
berani mengatakan kalau dia pernah ditawan Maharaja dan melakukan banyak hal
yang tak pantas. Karena kuatir akan menusuk perasaannya dan dapat menimbulkan
hal2 yang tak terduga !"
"Oh !" Gak Lui
terkejut. Diam2 ia menimang: "Sayang sekali, totiang sesungguhnya seorang
tokoh yang jujur dan lurus. Apabila hal itu diketahuinya mungkin akan
menimbulkan hal yang tak diinginkan. Tetapi jika tak kutanyakan hal itu, dendam
sakit itu tentu sukar diketahui sampai akarnya. Hm, bagaimana aku harus
bertindak ?"
Rupanya Siu-mey tahu akan
kegelisahan Gak Lui. Segera ia menegurnya: "Engkoh Lui, jangan gelisah.
Obat yang sekarang hendak diminumkan itu masih suatu pertanyaan adakah
mempunyai daya khasiat atau tidak. Jangan memikirkan terlalu jauh
dulu...."
"Kalau gagal, tiada
gantinya lain lagi. Tetapi kalau berhasil ...."
"Tentu totiang akan
sembuh. Dan tentang pengalamannya yang lalu, terserah saja kepadamu !"
Demikian keduanya segera
menghampiri dan mulai mengetuk pintu. "Siapa.....!"
Bab 32. Menebus dosa.
“Gak Lui mohon menghadap
totiang !”
"Gak .... Lui ?"
suara dari dalam itu mengulang dengan nada tawar.
"Aku Li Siu-mey dengan
engkoh-angkatku, hendak mengantar obat untuk totiang !" seru Siu-mey.
"O, kiranya nona
Li," seru orang itu dengan nada cerah lalu mempersilahkan masuk.
Setelah mendorong pintu dan
melalui dua buah ruang barulah kedua muda mudi itu masuk ke ruang tempat Thian
Wat totiang.
Gak Lui terkejut ketika
menyaksikan keadaan paderi itu, Thian Wat totiang yang dikenalnya berkepala
gundul tetapi saat itu memelihara rambut panjang. Sepasang matanya
berkilat-kilat memberingas.
"Tiap hari aku duduk
bersemedhi dalam kesunyian. Sungguh kebetulan sekali kalian datang,” Thian Wat
totiang tertawa gelak2.
Siu-mey tertawa pula :
“Kedatangan kami memang hendak menemani kesepian totiang sembari menghaturkan
obat Kiu-coan-ting-sim-tan. Apalagi engkoh Gak Lui itu bukan orang asing karena
totianglah yang telah ditolong olehnya.”
“O," desuh Thian Wat
totiang, “makanya aku seperti sudah kenal, kiranya penolongku. Maaf, kalau aku
berlaku kurang menghormat."
Gak Lui mengucap kata2
merendah.
“Dan sauhiap mengantar obat
lagi kemari. Benar2 aku amat berterima kasih. Apakah obat itu boleh segera
kuterima ?"
“Ada sedikit hal yang perlu
kujelaskan ...” kata Gak Lui. Setelah Thian Wat totiang mempersilahkannya, Gak
Lui melanjutkan pula: “Kalau obat itu tak manjur, harap totiang jangan putus
asa ....."
“Tentu."
“Tetapi kalau manjur, totiang
tentu akan kembali pula daya ingatannya dan akan teringat akan segala peristiwa
yang lampau. Mungkin... akan menambah kegelisahan totiang !"
“Ah, memang dapat beberapa
hari ini aku seperti orang mimpi. Aku tak ingat segala peristiwa yang lampau
.......”
“Tetapi kalau peristiwa lama
itu tak menyenangkan, bukankah lebih baik tak ingat saja ?"
Thian Wat tetap berkeras
meminta obat itu. Apa boleh buat, Gak Lui melirik ke arah Siu-mey.
Siu-meypun merenung sejenak.
Sesaat kemudian ia mengambil keluar botol obat, ujarnya: "Totiang apakah
engkau mau mempertimbangkan lagi atau tidak ?"
"Sudah lama
kupertimbangkan sampai berulang kali. Sepanjang ingatanku, memang ada suatu
yang terang. Entah baik atau buruk, harus kubikin jelas. Nona, engkau ....
bantulah !"
Melihat Thian Wat totiang
begitu mantap dan tak mengunjuk rasa sesal suatu apa, barulah Siu-mey
memberikan pil dalam botol itu kepadanya.
Thian Wat amat gembira sekali
sehingga tanpa berkata apa2 lagi ia terus menelan pil itu lalu pejamkan mata
menjalankan peredaran darah, menggunakan tenaga-dalam untuk mengembangkan daya
obat itu.
Beberapa saat kemudian, tampak
napasnya mulai teratur dan semangatnyapun tenang. Rupanya dia sudah memasuki
tingkat kehampaan dalam semedhi.
Melihat itu Siu-mey berkata
kepada Gak Lui : "Engkoh Lui, maukah engkau mengurutnya supaya dia cepat
sembuh ?”
"Kurasa tak perlu,"
sahut Gak Lui, "memang bermula kukira dia menderita penyakit yang parah sehingga
tak dapat melakukan penyaluran tenaga-dalam. Tetapi ternyata tidak. Hanya
saja.....aku merasa cemas dengan khasiat obat itu..."
"Ah, mengapa tiba2 saja
engkau begitu hati2 .....," seru Siu-mey, "ingatlah, ayah pernah
mengatakan, jika totiang itu memang sudah dibius selama 18 tahun, obat ini
memang tak berguna. Kurasa.... waktu selama 18 tahun itu memang mungkin terjadi
pada diri totiang, karena itu......."
"Bagaimana ?” seru Gak
Lui terkejut.
"Obat itu tak berguna,
percuma engkau begitu tegang !" seru Siu-mey.
Saat itu tampak dahi Thian Wat
totiang mengucurkan keringat sebesar kedele. Cahaya wajahnyapun berobah robah
tak menentu, riang, marah, sedih dan gembira.
"Ah," tiba2 Gak Lui
mendesuh pelahan, "rupanya daya obat sudah mulai tampak. Totiang sudah
dapat mengingat peristiwa yang lampau !"
Siu-meypun terkejut juga:
"Aneh sekali ! Rasanya ilmu pengobatan ayah itu takkan salah. Kecuali ....
waktu pembiusan totiang itu memang kurang dari 18 tahun."
"Kalau kurang dari 18
tahun berarti dia juga seorang murid hianat !"
"Engkoh Lui, apakah
maksudmu ?"
"Jelas," sahut Gak
Lui, "hal itu membuktikan bahwa dia tidak dikuasai Maharaja tetapi memang
dengan kemauannya sendiri menggabung diri pada kawanan penjahat, menjadi kaki
tangan mereka !"
"Akhirnya apa dia bukan
menjadi anggauta Topeng Besi itu?"
"Hal itu terjadi
belakangan, kemungkinan musuh memutuskan untuk menghancurkan kesadaran
pikirannya. Kalau tidak, seharusnya dalam waktu 18 tahun itu dia tentu tak
sadar pikirannya !"
"Oh....” hanya demikian
Siu-mey dapat berseru gemetar tanpa berkata apa2.
Gak Luipun tampak memandang
lekat pada Thian Wat totiang yang saat itu amat tegang sekali. Wajahnya
mengernyit, menimbulkan gelombang kerut yang berombak keras, penuh dengan
lamunan dan pertentangan batin. Tubuhnyapun mengigil keras.
Dalam pada itu sayup2 Gak Lui
mendengar gema suitan berulang kali. Ia duga tokoh2 partai persilatan tentu
sedang bertempur melawan musuh.
Lebih kurang setengah jam
kemudian, tapak wajah Thian Wat totiang agak tenang. Keringat yang membasahi
tubuhpun sudah kering. Akhirnya dia membuka mata. Begitu melihat Gak Lui ia
segera berseru : "Saudara, harap memberitahukan siapakah nama saudara ini
?"
Gak Lui balas menatap dengan
tajam lalu memberitahukan namanya.
"Gak Lui, hm….hm.....”
Thian Wat totiang anggukkan kepala dan bertanya pula: "Siapakah nama
ayahmu ?"
Gak Lui tergetar. Dengan nada
dingin ia balas bertanya : "Mengapa totiang menanyakan hal itu ? Tentulah
ingatan totiang sudah pulih kembali !"
"Jawablah pertanyaanku
lebih dulu !"
"Tidak, lebih baik
totiang yang menjawab dulu !”
"Ingatan itu berada dalam
otakku. Apa yang dipikirkan tentu lain orang tak dapat mengetahui. Karena
itu.....lebih baik engkau dahulu yang menjawab !"
"baik," sahut Gak
Lui lalu dengan nada setengah marah berseru : "Mendiang ayahku bernama Gak
Tiang-beng, orang memberi gelaran sebagai Dewa Pedang !"
"Benarkah dia ?"
"Sudah tentu benar !”
"Heh, heh,
heh.....," tiba2 totiang itu tertawa mengekeh. Tubuhnya gemetar, ia
mengadahkan kepala dan menghambur tertawa yang menyeramkan.
Tegak bulu kuduk Gak Lui
mendengar suara-tertawa itu. Amarahnya mulai meluap. Dengan mata memberingas,
ia berteriak : "Mengapa engkau tertawa begitu rupa !"
Tetapi Thian Wat totiang tetap
tak menjawab. Ia hentikan tawa dan menghela napas berulang2. Kerut wajahnyapun
mulai serius seperti semula lagi dan sikapnya amat tenang sekali.
Tetapi pembicaraan tadi telah
didengar dan mengejutkan dua orang paderi kecil yang menunggu diluar. Salah
seorang paderi kecil itu segera berseru dengan nyaring dan hormat: "Hatur
beritahu kepada sucou, apakah sucou memerlukan kami menunggu didalam ?”
"Tak perlu !” seru Thian
Wat totiang, "kalian mundur semua !"
Paderi kecil itu mengiakan dan
melangkah keluar dari ruang itu. Tetap baru mereka pergi, kembali terdengar
derap langkah orang menerobos masuk. Gak Lui terkesiap. Belum sempat ia membuka
mulut, pendatang itu atau Thian Lok totiang sudah berseru : "Suheng,
engkau bagaimana...."
"Berhenti !" teriak
Thian Wat totiang dengan bengis. Derap langkah diluarpun berhenti. Lalu Thian
Wat berseru pula: "Aku tak kurang suatu apa, jangan masuk dulu !”
"Sungguh ?”
"Masakan suheng
membohongi engkau !”
"Kalau begitu,"
Thian Lok totiang berobah tenang dan riang suaranya, "aku hendak bicara
beberapa patah kata dengan Gak sauhiap, entah apakah suheng meluluskan ?”
"Tentu saja boleh,"
sahut Thian Wat totiang dengan nada lebih tenang, "silahkan engkau bicara
dari luar saja, Gak sauhiap tentu sudah mendengar."
Maka Thian Lok totiangpun
segera berkata dari luar : "Gak sauhiap, akan kusampaikan kepadamu sebuah
berita baik. Musuh yang datang kegunung ini telah dapat kami hancurkan dalam
barisan Thian lo te ong-tin !"
"Bagus !" seru Gak
Lui memuji, "hasil itu berkat pimpinan totiang yang hebat!"
Thian Lok totiang mengucapkan
kata2 merendah kemudian berkata lebih lanjut: "Musuh telah menderita
kekalahan yang cukup parah sehingga takkan kembali lagi. Kelak sauhiap dapat
mencurahkan seluruh perhatian untuk menghadapi Maharaja. Tentang diriku, aku
hendak mengatur lain2 urusan termasuk memanggil murid2 yang kutugaskan sembunyi
di beberapa tempat. Akan kusuruh mereka beristirahat ...."
"Silahkan totiang,"
kata Gak Lui.
Thian Lok totiangpun pamit dan
setelah menanyakan tentang keadaan suhengnya, ia terus melesat keluar.
Perhatian Gak Lui kini
ditumpahkan pula kearah Thian Wat totiang. Tampak kerut wajah pendeta tua itu
bergeliatan dan pada lain saat mulutnya kedengaran menghela napas : “Gak
Sauhiap, kenangan masa lampau, memang benar seperti yang engkau katakan ..
tidak menggembirakan."
"Kalau demikian,"
Gak Lui berusaha keras untuk menenangkan gejolak hatinya, "adakah totiang
suka untuk menceritakan ?"
"Tentu !"
"Kalau begitu,
silahkanlah."
"Tetapi sebelum minum
obat, engkau berulang kali memberi peringatan supaya peristiwa masa lampau yang
tak menyenangkan itu, dilupakan saja.”
"O," Gak Lui
mendesuh. Diam2 ia menduga paderi tua itu tentu mempunyai rahasia yang sukar
diberitahukan orang. Dari nadanya, seolah-olah paderi itu sudah mengandung
penyesalan.
"Totiang, adalah totiang
sekarang hendak melupakan peristiwa lampau itu ?" tanyanya dengan nada
ikut prihatin.
"Tidak !" tiba2
paderi tua itu menyahut, "aku sudah dapat mengingat dan takkan lupa lagi.
Maksudku yalah... selayaknya engkaupun harus mendengar karena hal itu juga tak
menggembirakan bagimu !"
"Tak apa," sahut Gak
Lui, "dalam menghadapi peristiwa lampau itu, aku sudah mengemasi hatiku.
Terus terang, aku telah bersusah payah untuk mencari tahu peristiwa lama itu.
Itu pulalah sebabnya maka kutolong engkau !"
"Baik, karena engkau
bersedia mendengarkan, akupun akan bercerita mulai dari…. 18 tahun yang
lalu....."
Mendengar itu Gak Lui dan
Siu-mey terbeliak. Mereka mencurahkan perhatian benar2 kepada cerita yang akan
dibawa paderi itu.
Maka mulailah Thian Wat
bercerita.
"Pada masa itu, Maharaja
masih menyembunyikan diri dari dunia persilatan. Aku sudah mulai bergerak
diluar untuk membasmi Kelima Durjana yang selalu membikin keruh suasana dunia
persilatan. Ketika tiba di .... sekitar daerah Tibet, aku berpapasan dengan
seorang yang mengenakan kerudung muka. Bermula orang itu tak membuat suatu
gerakan apa2. Tetapi begitu aku agak lengah, dia telah gunakan ilmu tutukan
yang luar biasa menutuk jalan darahku...."
Mendengar itu, Gak Lui cepat
menukas pertanyaan : “Penutukan itu bukankah terjadi pada 18 tahun yang lalu
?"
"Hm ... benar."
"Sejak masa itu bukankah
totiang kehilangan kesadaran pikiran ?"
"Tidak ! Pikiranku masih
sadar .... hampir setahun lamanya !"
"Benarkah omongan totiang
itu atau apakah hanya suatu rangkaian totiang sendiri ?"
"Mengapa sauhiap tak
percaya ?"
"Tindakan orang itu tentu
bermaksud kalau tak menguasai engkau, masakan engkau masih dapat sadar. Kalau
masih sadar, jelas membuktikan bahwa engkau....."
Thian Wat totiang kerutkan
alis dan menukas: "Membuktikan bahwa aku ini seorang murid hianat, benar
tidak ?"
"Terpaksa aku harus
menduga demikian," sahut Gak Lui.
"Engkau memang tak salah.
Tetapi aku memang mempunyai alasan sendiri. Harap suka dengarkan sampai
selasai."
"Hm," Gak Lui
mendesuh.
"Pada waktu bersua dengan
si Maharaja-persilatan Tio Bik-lui hatiku sudah mempunyai kecurigaan. Maka
ketika dia melakukan tutukan dengan cepat dan tiba2, sebelumnya aku sudah siap
dan diam2 telah kukerahkan tenaga-dalam untuk bertahan. Maka lewat sehari dua
hari saja, aku sudah pulih lagi kesadaran pikiranku !"
"Lalu mengapa tak
berusaha melepaskan diri?"
“Sesungguhnya akupun mempunyai
maksud begitu juga," sahut Thian Wat totiang, "tetapi kenyataan tidak
mudah. Aku harus memakai sebuah topeng besi. Kalau hendak kulepas sendiri,
tentu akan menyebabkan benakku hancur dan jiwaku melayang."
"Lalu ?"
"Ketika aku rubuh, dia
sudah gunakan tutukan Im-ji-jiu-hwat. Maka sekalipun pikiranku masih sadar,
tetapi kecerdasanku menurun. Apalagi setiap kali mendengar suitannya yang aneh,
hatiku merana dan aku segera menurut semua perintahnya."
"Apakah masih ada lain
sebab lagi ?” tanya Gak Lui lagi.
"Selain mempunyai ilmu
kepandaian yang tinggi, pun dia memiliki beberapa pembantu yang ganas, namanya....."
“Tabib-jahat Li Hui-ting dan
si Penjaga Akhirat ...."
"Ah, benar, benar,
walaupun kepandaian mereka tidak berapa tinggi tetapi cerdik dan julig sekali.
Oleh karena itu dalam keadaan menderita luka itu, aku tak berani bertindak
sembarangan. Pun kudengar rencana mereka untuk membasmi Bu-san-su-kiam lebih
dulu baru nanti setiap partai persilatan. Aku pun segera timbul suatu
rencana."
"Rencana bagaimana
?"
"Mereka tak tahu kalau
pikiranku masih sadar. Maka akan kugunakan kesempatan itu untuk mendengarkan
rahasia2 mereka. Begitu ada kesempatan aku segera akan meloloskan diri dan
memberitahukan rahasia mereka kepada dunia persilatan."
"Kemudian lalu?"
"Setelah menetapkan
keputusan itu, aku tetap bersikap tenang dan diam2 kuperhatikan gerak gerik
musuh. Dalam beberapa waktu memang aku masih dijaga dan tak dibawa keluar.
Tetapi tak berapa lama, kembali mereka dapat menawan tiga orang tokoh silat
yang sakti lagi. Menilik ilmu kepandaian ketiga tawanan itu, jelas mereka
adalah paderi Hui Ceng dari Siau lim-si, imam Ceng Ci dari partai Butong-pay
dan Hwat Gong Paderi dari Hong san-pay.”
"Wi Cun dari partai
Kong-tong-pay itu masih belum dihitung !" seru Gak Lui.
Mendengar disebutnya nama imam
Wi Cun, mata Thian Wat totiangpun tampak bersinar, serunya : "Orang itu
tak berharga disebut. Sebagai seorang murid partai Ceng-pay, dia berhati
congkak dan temaha sehingga mau menghianati perguruannya !"
"Hanya karena sebab itu
?"
"Menurut apa yang
kudengar, walaupun Wi Cun itu murid kepala dari Tujuh jago-pedang partai
Kong-tong-pay, tetapi karena perangainya amat jumawa, ketua Kong-tong-pay
menganggap dia tak dapat menjadi pewaris perguruan sehingga diam2 ketua
Kong-tong pay telah merencanakan untuk mencari lain murid yang lebih baik.
Karena sakit hati, Wi Cun lalu menggabung pada kaum Sesat. Dia tetap
bercita-cita untuk merebut kedudukan dalam partai Kong tong-pay-lagi ...”
"Setelah membantu empat
serangkai Topeng Besi itu dan ditambah Wi Cun serta Penjaga-Akhirat, jumlah
anak buah merekapun cukup banyak. Lalu bagaimanakah tindakan selanjutnya
?"
"Sebenarnya mereka hendak
mencari Empat-pedang Bu-san tetapi ditengah jalan telah berpapasan dengan
ayahmu..."
"O ... !" Gak Lui
mendesuh kaget.
"Ayahmu memang tajam
sekali penglihatannya. Dari gerak langkah si Maharaja, dia cepat dapat
mengetahui kalau Maharaja itu seorang tokoh persilatan. Segera ia menghentikan
dan menanyakan diri Maharaja ....."
“Hm, bagaimana
jawabannya?"
"Dia gentar akan
kebesaran nama Dewa-pedang sehingga tak berani mengaku siapa dirinya. Tetapi
ayahmu tak mudah dibohongi. Dia mengangkat pedang untuk mengujinya. Setelah
empat jurus serangan yang disambut orang itu dengan jurus yang aneh dan luar
biasa, barulah ayahmu tahu bahwa sumber ilmu mereka sama. Pada jurus keempat,
pedang si Maharaja ujungnya terpapas kutung sedikit..."
"Benar !" seru Gak
Lui.
"Karena menderita
kekalahan, Maharaja lalu bersuit dan memerintahkan kami beramai ramai untuk
menyerang ayahmu. Saat itu sebenarnya aku hendak membantu ayahmu karena
betapapun saktinya, karena hanya seorang diri akhirnya ia tak tahan dikeroyok
lalu loncat keluar !"
"Apakah setelah itu sudah
selesai ?"
"Belum," Thian Wat
totiang gelengkan kepala," ayahmu memberi peringatan !"
"Bagaimana beliau memberi
peringatan?"
"Dia suruh Maharaja melenyapkan
ilmu kepandaiannya dan jangan muncul didunia persilatan lagi untuk
selama-lamanya. Kalau Maharaja menolak, ayahmu akan mengerahkan Empat-pedang
Bu-san untuk menumpasnya !"
"Lalu apa jawab Maharaja
?"
"Maharaja malah
menantang. Kalau keempat jago pedang Bu-san itu tak muncul, itu untung. Tetapi
kalau mereka berani datang, Maharaja akan menyambut gembira sekali karena dapat
menghemat waktu dan tenaga membasminya."
"Lalu ?"
"Dengan marah ayahmu
pergi dan karena takut Maharaja tak berani mengejar. Dan bulan kemudian
Maharaja berhasil mendapatkan keterangan tentang tempat tinggal ayahmu."
"O!"
"Dia segera membawa
orang2nya menuju ke-tempat tinggal ayahmu..."
"Bagus, dia berani datang
menantang ?"
"Dia tak berani
menghadapi Empat-pedang Bu-san. Setelah tahu ayahmu hanya seorang diri karena
ketiga saudara seperguruannya belum pulang, Maharaja lalu bertindak. Maka pada
suatu malam yang berangin keras ..." bercerita sampai di situ Thian Wat
totiang berhenti memandang Gak Lui.
"Malam itu bagaimana ?"
desak Gak Lui.
"Gak sauhiap," Thian
Wat totiang batuk2 sejenak, "apakah engkau tetap hendak mendengar kisah
itu ? Kurasa lebih baik ...."
"Ya, aku tetap hendak
mendengarkan. Silahkan totiang bercerita terus," tukas Gak Lui.
Thian Wat totiang menghela napas
panjang, ujarnya : "Pada malam gelap itu, kami beramai-ramai mengepung
rumahnya. Tetapi ayahmu tak ada. Setelah bertanya pada salah seorang bujang
barulah diketahui bahwa belum berapa lama ayahmu keluar pintu."
"Kalau begitu," Gak
Lui mulai tegang, "mamahku…..?"
"Sebelum menceritakan
tentang mamahmu, lebih dulu aku menghaturkan maaf kepadamu."
"Me ... mengapa ?"
"Aku sebagai seorang
murid dari partai agama tetapi ternyata tak berbuat suatu apa melihat orang
yang tertimpa kecelakaan. Itu suatu dosa besar !"
Mendengar itu dada Gak Lui
serasa meledak dan airmatapun berderai-derai turun. Namun dikuatkan jua
perasaan dan bertanya : "Karena totiang berada dalam cengkeraman durjana
....kiranya bukan suatu kesalahan....apa pun yang telah terjadi .... harap
totiang suka menuturkan semua...."
"Melihat ayahmu tak
berada dalam rumah, Maharaja lalu memberi perintah supaya membasmi seluruh
keluarga ayahmu. Ah, kasihan benar. Mamahmu yang tak mengerti ilmu silat itu
harus menderita kematian yang mengenaskan .... Tetapi...."
"Hm...hm ....," Gak
Lui mendesuh dengan katupkan gigi kencang2 untuk menahan tangisnya. Namun
gelombang kesedihan yang hebat, telah menghancurkan pertahanan nurani. Akhirnya
ia menjerit, "Mah... mamah….nasibmu sungguh mengenaskan sekali!"
"Tetapi....," Thian
Wat totiang menelan pula air liurnya, "bayi puteranya itu, untung tak
berada padanya. Mungkin sebelumnya sudah disingkirkan kelain tempat."
"Apakah disembunyikan
didalam ?"
"Benar, memang telah
disembunyikan didalam onggok rumput diluar gedung."
"Tetapi mengapa dapat
diketahui?"
"Karena engkau menangis
keras sehingga mengejutkan Maharaja!"
"Lalu.... lalu bagaimana
aku dapat tertolong?"
"Ketika Maharaja
memeriksa tumpukan rumput itu, saat itu aku kebetulan lari dimukanya maka
akulah yang terus mendahului untuk menusukmu dengan pedang !"
"Oh…."
"Tetapi tusukan itu hanya
melukai bagian luar dan tak sampai melukai tulang. Maharaja dan anak buahnya
yang lain tak menduga sampai disitu. Karena melihat engkau berlumuran darah,
diapun segera tak ikut turun tangan!"
"Aduh !" mendengar
Gak Lui ditusuk pedang, Siu-mey menjerit kaget. Gak Luipun ikut tegang sehingga
ia mengangkat tangan untuk merabah mukanya. Tetapi ah .... mukanya masih
tertutup dengan topeng kulit kera.
"Apakah .... wajahku
terdapat bekas tanda luka ? Dan karena itulah maka gihu memakaikan topeng kulit
ini kepadaku ?" pikirnya. Untung Siu-mey tak sempat memperhatikan
perobahan air muka pemuda itu.
"Totiang, bahwa Gak Lui
sampai dapat hidup hari ini, adalah atas budi pertolongan totiang. Budi sebesar
lautan itu entah bagaimana aku dapat membalasnya," katanya dengan penuh
haru terima kasih kepada Thian Wat totiang.
"Ah, engkau telah
membalas berlipat ganda," ujar Thian Wat totiang perlahan, "jika
tiada engkau, bagaimana aku masih dapat hidup ? Dan aku masih memiliki
kesadaran. Oleh karena itu kita sudah saling memberi budi dan tak perlu merasa
berhutang budi. Nah, dengarkanlah ceritaku…..”
"Baik, silahkan totiang
melanjutkan."
"Setelah membunuh, mereka
lalu membakar gedung keluargamu. Kemudian mereka melanjutkan pula rencana untuk
membasmi Empat-pedang Bu-san. Tetapi si Maharaja itu memang seorang durjana
yang amat julig, banyak akal muslihatnya. Takut kalau rencananya bocor ia
segera suruh orang untuk menyelidiki disekitar tempat itu. Akhirnya
penyelidikan itupun berhasil mendapatkan jejak!"
"Tentulah engkoh misanku
Gak Ci-cin dan aku !"
"Benar, engkoh misanmu
itu telah meninggalkan sebuah jejak telapak kaki yang menimbulkan kecurigaan
musuh. Dia segera membawa anak buah menyusur jejak itu. Celaka, hasil dari
pencarian itu telah menyebabkan mereka tahu bahwa engkau belum mati."
"Kalau begitu apakah
mereka tak curiga kepada totiang ?”
"Untung aku pura2 seperti
orang limbung dan jejak telapak kaki engkoh misanmu itu menjurus ketempat
kediaman Empat-pedang Bu-san. Oleh karena terlalu girang, Maharaja sampai lupa
pada diriku. Bahkan keinginannya untuk membunuh engkau pun dikesampingkan
juga."
"Lalu mereka terus masuk
kedaerah gunung Wan-san ?"
"Ya, benar," Thian
Wat totiang, "tetapi setelah masuk pegunungan Wan-san, karena keadaannya
sulit dan berbahaya, akhirnya hanya si Maharaja dan kami ketiga Topeng Besi
yang dapat masuk jauh kedalam. Wi Cun dari partai Kong-tong-pay ketinggalan
dibelakang. Saat itu engkoh misanmu sudah mengatur persiapan hendak pindah
kelain tempat."
"Lalu siapakah yang
membunuhnya ?"
"Sudah tentu si Maharaja!
Setelah dia membunuhnya, tiba2 muncullah seorang jago pedang!"
"Dia adalah ayah angkatku
Pedang-aneh ji Ki-tek," Gak Lui menerangkan.
"Munculnya si Pedang-aneh
cepat dapat diketahui Maharaja yang menduganya sebagai salah seorang tokoh
Empat-pedang Bu-san. Karena sudah mendapat hajaran dari ayahmu maka Maharaja
tak berani gegabah bergerak. Lebih dulu ia suruh kami yang maju menyerang. Tak
terduga, hanya dalam tiga jurus saja, ujung pedang kami bertiga telah
dipapasnya kutung dan dengan gerak yang luar biasa cepatnya, dia dapat menusuk
alis kami."
"Ya, aku tahu tentang hal
itu. Adalah karena mendengar suara tangisku, maka beliau agak terganggu perhatiannya
dan kena di...."
"Dibabat kutung kaki dan
tangannya. Tetapi musuhpun terkena supit yang dihembuskan dengan mulut oleh
ayah-angkatmu sehingga ujung hidungnya hilang dan terbirit-birit lari
ketakutan!" sambut Thian Wat totiang.
"Lari kemana ?"
"Setelah tinggalkan
tempat itu, Maharaja memeriksa lukanya dan dapatkan tidak kena racun. Tetapi
nyalinya sudah rontok tak berani coba2 menghadapi panah-supit dari Bu-san. Dan
lagi ia menganggap bahwa Pedang-aneh tentu sudah mati. Begitu pula bayi yang
baru berumur beberapa bulan yalah engkau, dia anggap tak berbahaya. Kalau
engkau berangkat besar tentu akan menjadi manusia liar. Oleh karena itu
Maharajapun segera mengajak anak buahnya menuju ke Bu-san.”
"bukankah ditengah jalan
bertemu dengan Tabib-sakti Li Kok-hoa yang disuruhnya mengobati lukanya itu
?"
"Benar !"
"Peristiwa dalam
perjalanan itu akupun sudah mendengar dari Tabib-sakti Li Kok hoa. Tetapi
setelah masuk kegunung Bu-san, timbul lagi sebuah pertanyaan."
"Sauhiap maksudkan yang
mana ?"
"Waktu Maharaja membawa
Tabib-sakti bertemu dengan paman guruku Lengan-besi-hati-baik, mereka..."
"Mereka mengadakan
pembicaraan beberapa saat lalu paman gurumu memotong hidungnya sendiri
diberikan kepada Maharaja."
"Hai, adakah totiang
melihat sendiri peristiwa itu?"
"Ya, setiap saat aku
selalu waspada. Sekali Maharaja suruh kami bertiga sembunyi dibelakang batu
besar tetapi diam2 aku mengisar keluar untuk mencuri dengar pembicaraan
mereka."
"Ah, tetapi......"
Gak Lui menghela napas putus asa, "mereka melakukan pembicaraan dengan
ilmu Menyusup-suara. Mungkin, totiang tak dapat menangkap
pembicaraannya...."
"Justeru kebalikannya
!"
"Oh !" Gak Lui
mendesuh tegang.
"Setiap patah pembicaraan
mereka telah kudengar dengan jelas !"
"Mungkinkah itu ?"
masih Gak Lui setengah kurang percaya.
"Gak sauhiap, dalam hal
itu memang ada suatu lubang kelemahan. Adakah engkau tak pernah menduganya
...."
"Apakah totiang
memperhatikan gerak bibir mereka ? Tidak, tidak mungkin ! Mereka berdua saat
itu sama mengenakan kerudung muka tentu tak kelihatan bibirnya....."
"Memang pada saat itu aku
hampir putus asa. Tetapi dalam keputusan-asa itu, tiba2 aku mendapat pikiran.
Ilmu Menyusup suara itu menggunakan tenaga-dalam untuk memancarkannya.
Betapapun saktinya tenaga-dalam seseorang, tentulah pancaran ilmu
Menyusup-suara itu tetap menghamburkan gelombang getaran. Kebetulan sekali
barisan batu2 karang digunung itu dapat memantulkan kumandang dari getaran
suara itu....."
"Ah, aku mengerti,"
segera Gak Lui menukas dan mengangguk, "kiranya totiang hendak mencari
pantulan kumandang getaran itu sehingga totiang dapat menangkap pembicaraan
mereka!"
"Benar !"
"Kalau begitu harap
totiang suka memberi-tahu isi dari pembicaraan itu. Kumohon totiang mengingat
semua pembicaraan itu, jangan sampai ada sepatahpun yang kelupaan," kata
Gak Lui dengan nada bersungguh.
Thian Wat totiangpun segera
merenung dan kerahkan ingatannya untuk mengenangkan peristiwa yang lampau itu.
Beberapa saat kemudian ia berkata : "Setelah berhadapan dengan paman-gurumu,
dan mengucap beberapa patah kata, Maharaja lalu mengajukan permintaan untuk
meminta pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam!"
"Lalu apa jawaban paman
guruku ?"
"Dengan tegas ia menolak
dan memberitahu kepada Maharaja bahwa kecuali Empat- pedang Bu-san itu bersama-sama
datang, mungkin pedang itu mungkin dapat diambil. Karena dia sendiri juga tak
dapat mengambilnya."
"Setelah mendapat jawaban
itu lalu bagaimana kata Maharaja ?"
"Tampaknya dia tak berani
menggunakan kekerasan. Dengan kata2 yang sungkan ia menyatakan hendak meminta
pedang itu namun kalau tak boleh, cukup asal ia diperbolehkan untuk masuk
kedalam istana Bi-kiong dan melihat sejenak perwujudan pedang itu, ia sudah
puas ...."
"Paman guruku meluluskan
atau tidak ?"
"Paman gurumu memberi
nasehat dengan tajam. Dan bertanya mengapa Maharaja Tio Bik-lui tiba2
menghendaki pedang pusaka itu?"
"Dia tentu berkata
bohong!"
"Maharaja mengatakan
bahwa dia dicelakai orang didunia persilatan. Dia terkena panah beracun
sehingga ujung hidungnya kutung maka ia hendak menggunakan pedang pusaka untuk
melakukan pembalasan. Tetapi paman gurumu tak percaya dan malah memakinya
mengapa ia gemar berkelahi dengan orang.”
"Aneh," gumam Gak
Lui dengan kerutkan alis, "mengapa paman bersikap begitu baik terhadap Tio
Bik-lui seperti seolah-olah paman itu sudah faham akan perangai Maharaja itu.
Tentulah didalam soal itu ada rahasianya.....Hm. sungguh aneh benar."
Demikian Gak Lui menimang dalam hati.
“Mendengar itu Tio Bik-lui
segera berganti nada," tiba2 Thian Wat totiang berkata pula, “dia
mengatakan pedang Thian lui-koay-kiam itu seharusnya menjadi hak miliknya. Maka
kalau saat itu ia datang untuk meminta, sudahlah sewajarnya...."
"Apakah dasarnya?"
"Dia adalah putera dari
pemilik pedang itu!"
"O!" Gak Lui
terkejut seperti disambar kilat. Dia benar2 tak percaya akan kata-kata itu,
"Dia... dia... putera dari.....kakek guruku ?"
Thian Wat menghela napas dan
berkata dengan suara parau : "Benar, memang dia adalah putera yang murtad
dari kakek gurumu. Ah, jangan terburu buru engkau terkejut dulu. Cerita yang
akan kututurkan dibagian belakang masih banyak yang menggemparkan hatimu!"
"Maaf," buru2 Gak
Lui menghaturkan maaf karena berulang kali mengganggu penuturan orang.
"Mendengar pengakuan itu
paman gurumu marah. Mereka bertengkar sampai lama. Dalam perbantahan mulut itu
Maharaja telah memaparkan sebuah rahasia yang terjadi antara paman gurumu
dengan mereka ayah dan putera.....”
Rahasia itulah yang selama itu
merupakan teka teki dalam hati Gak Lui. Sudah tentu ia menaruh perhatian besar
sekali untuk mengetahui rahasia itu. Hatinyapun mulai tegang.
Sejenak meneguk air liur dan
mengatur pernapasan, maka Thian Wat totiangpun melanjutkan ceritanya lagi.
"Kesimpulan dari
perbantahan mereka dapatlah diketahui bahwa kakek-gurumu itu ternyata hanya
mempunyai seorang putera yalah Tio Bik-lui itu. Dia seorang anak yang cerdas
tetapi sayang perangainya amat ganas. Kalau dia berhasil meyakinkan ilmu silat
yang sakti, mungkin dunia persilatan akan menderita malapetaka...."
"Oleh karena itu maka
kakek guruku tak mau mengajarkan ilmu silat kepadanya ?" tukas Gak Lui
pula.
"Boleh dikata begitulah.
Kakek-gurumu hanya memberinya beberapa dasar ilmu silat saja lalu dihentikan.
Kebalikannya karena melihat muridnya si Lengan-besi-hati-baik itu jujur dan
berbudi, kakek-gurumu telah menurunkan seluruh ilmu kepandaiannya kepadanya.
Bahkan rahasia dari pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam itupun diberitahukan
kepada Lengan-besi-hati-baik."
"Kalau begitu .... Tio
Bik-lui tentu penasaran dan dia tentu akan merapat pada lengan-besi-hati-baik,
minta supaya diberi pelajaran ilmu silat."
"Benar," kata Thian
Wat totiang, "sebenarnya kakek-gurumu sudah memberitahu kepada
Lengan-besi-hati-baik bahwa ilmu silat yang diajarkannya itu tak boleh
diberikan kepada lain orang atau Tio Bik-lui. Tetapi ah, paman-gurumu itu
memang keliwat baik sekali hatinya. Dia sayang Tio Bik-lui seperti adiknya
sendiri. Karena terus diminta oleh Tio Bik-lui, akhirnya paman-gurumu tak
sampai hati dan mau menurunkan ilmu kepandaiannya kepada Tio Bik-lui. Bahkan
memberitahu juga tempat penyimpanan pedang pusaka itu. Akhirnya...."
"Ketahuan, oleh
kakek-guruku !" tukas Gak Lui.
"Benar, setelah
kakek-gurumu mengetahui hal itu, beliau marah sekali. Pertama, dia hendak
menghukum Tio Bik-lui dulu."
“Pada usia 30 tahun,
kakek-guruku telah kehilangan isteri. Sudah tentu beliau amat sayang kepada
puteranya tunggal itu ..."
"Mungkin hal itu salah
satu sebab. Tetapi-pun dikarenakan paman-gurumu memohonkan ampun untuk Tio
Bik-lui dan paman gurumu bersedia untuk mewakili menerima hukuman itu
seluruhnya dan rela akan mengasingkan diri di istana bi-kiong menjaga pedang
pusaka itu untuk selama lamanya ...."
"Akhirnya kakek-guruku
menerima permohonan paman-guruku. Puteranya yang murtad itu diusir dan tak
boleh menggunakan ilmu silat perguruan ayahnya," sambung Gak Lui.
"Ya, benar begitu..”
Mendengar itu Gak Luipun
menghela napas panjang dan diam2 merenung: "O, makanya paman guru begitu
baik terhadap Tio Bik-lui, kiranya mereka sudah seperti saudara. Tentang
kakek-guru menerima Empat pedang Bu-san sebagai murid bukan untuk menjaga paman
guru melainkan takut kalau puteranya yang murtad itu tak menurut perintah dan
membuat huru hara di dunia persilatan !"
Pikirannya lebih lanjut:
"Tetapi, mungkin kakek-guru... tak suka mengatakan tentang nasib rumah
tangganya yang malang atau kuatir Empat-pedang Bu-san itu akan seperti
paman-guru. Maka kakek-guru telah mengeluarkan perintah yang keras dan
bengis."
Dalam pada ia berpikir itu,
Thian Wat totiangpun berdiam diri. Sepasang matanya berkilat-kilat menatap
wajah pemuda itu.
"Adakah dalam perbantahan
itu Tio Bik-lui dan paman guruku tak mengungkat tentang Empat-pedang Bu-san
?" tanya Gak Lui.
"Tidak karena rupanya
Maharaja tak berani membicarakan soal itu. Sedang karena keliwat dirangsang
kemarahan, paman gurumupun tak memperhatikan soal itu," Sahut Thian Wat
totiang.
"O, maka ketika ayahku
dikurung dalam lubang batu disitu, paman gurupun tak tahu,” kata Gak Lui,
"lalu bagaimana kelanjutannya?"
"Setelah lagi dengan
susah payah paman gurumu menasehati Maharaja supaya jangan menimbulkan gara2
dan sebagai imbalan, paman gurumu bersedia menyerahkan batang hidungnya kepada
Maharaja agar Maharaja itu pulih kembali wajahnya. Asal Maharaja jangan
mengungkat soal pedang Thian-lui-koay-kiam dan jangan masuk kedalam istana Bi
kiong. Sudah tentu karena tahu akan kelihayan paman gurumu, Maharaja terpaksa
menerima perjanjian itu. Dia tinggalkan Bu-san dan membuat lain rencana."
"Rencana apa lagi ?"
tanya Gak Lui.
"Setelah tinggalkan Bu
san, kecuali menduga bahwa Pedang-aneh tentu sudah mati; Maharaja tetap gelisah
karena tak dapat menemukan tempat tinggal ketiga tokoh Empat-pedang Bu-san yang
lain, termasuk ayahmu. Dia merasa selama tokoh2 pedang dari Bu-san itu belum
lenyap, tentu sukar baginya untuk merajai dunia persilatan. Pada waktu itu dia
segera berunding untuk mengatur siasat dengan Wi Cun, murid hianat dari
perguruan Kong-tong-pay."
"O,” Gak Lui mendesuh.
"Wi Cun menganjurkan agar
Maharaja mempelajari ilmu simpanan dari kelima partai persilatan melalui diri
kami. Dengan begitu kepandaian Maharajapun bertambah lipat saktinya."
"Lalu siapakah yang
merencanakan supaya menyamar dan memalsu sebagai diri totiang berlima itu
?" tanya Gak Lui.
"Soal itu ....,"
sepasang mata Thian Wat totiang berkilat-kilat dan merenung sejenak, lalu
berkata pula, "aku tak begitu ingat. Karena daya pikiranku makin lemah,
kesadarankupun makin menurun. Pokoknya, mereka masing2 mempelajari suatu aliran
ilmu silat dan lagi .... Maharajapun memiliki suatu ilmu Suitan yahg dapat
memberi perintah kepada kami."
"Adakah totiang masih
ingat akan tempat digunung Im-leng-san itu ?"
"Tempat itu adalah tempat
Maharaja berlatih ilmu kepandaian. Sayang otakku sudah tumpul sehingga tak
ingat akan keadaannya yang pelik."
Gak Lui tak putus asa
mendengar jawaban Thian Wat totiang. Maklumlah, Thian Wat totiang sudah makin
tua dan makin lemah ingatannya, mungkin tak ingat jelas tempat itu.
"Totiang, adalah daya
ingatanmu pada waktu akhir2 ini hampir hilang?"
"Hm...” Thian Wat totiang
merenung beberapa jenak lalu tertawa : "Maaf, walaupun pil dari sauhiap
itu amat mustajab tetapi karena umurku sudah makin lanjut, daya ingatankupun
mundur sekali. Oleh karena itu, obat pun tak banyak menolong diriku !"
"Ah, tak apalah,"
Gak Lui menghiburnya.
"Dalam mencita-citakan
untuk merajai dunia persilatan itu, ada dua hal yang masih ditakuti Tio
Bik-lui," katanya pula, "pertama, kepada Kaisar Li Liong-ci dan kedua
kepada ayahku dan paman2 guruku. Tentang paman guruku yang kesatu, karena tak
pernah pergi dari Bu-san, maka Tio Bik-luipun tak menguatirkan. Untuk
menghadapi tokoh2 yang ditakutinya itu maka dia memerlukan pedang pusaka
Thian-lui koay-kiam. Tetapi dalam beberapa tahun ini Empat-pedang Bu san
berturut-turut telah meninggal dunia. Sedang Kaisar Persilatanpun telah pergi
dari daerah Tiong-goan. Kini dunia persilatan telah dikuasai oleh si Maharaja
dengan gerombolannya."
Lebih lanjut Gak Lui berpikir
: "Setelah aku turun gunung untuk menumpulkan ujung pedang dari setiap
musuh yang kuhadapi, terpaksa kugunakan ilmu pedang Bu-san. Hal itu benar2
seperti orang haus yang diberi air bagi diri Maharaja. Dan hal itupun
menimbulkan kecurigaannya bahwa Empat pedang Bu-san itu tentu masih hidup. Maka
berulang kali ia hendak menyelidikinya bahwa dengan berpura-pura menjadi orang
baik dia memberi petunjuk kepadaku bagaimana cara untuk mengambil pedang
Thian-lui-koay-kiam kegunung Bu-san...."
"Tetapi rupanya Thian
maha murah dan adil. Bukan saja aku mendapat tambahan ilmu kepandaian, pun juga
memperoleh pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Biarlah dia telah memiliki ilmu
suitan Pencabut-nyawa yang hebat, tetapi pedang pusaka itu tetap akan dapat
membasminya....." berpikir sampai disitu, Gak Lui memegang kerangka pedang
erat2. Pikirannya melayang-layang tak keruan.
Thian Wat totiangpun menatap
wajah Gak Lui lalu pedang yang tersanggul pada bahu pemuda itu. Sesaat keadaan
sunyi senyap.
Rupanya Siu-mey tak enak hati
kalau sebagai tetamu diam saja. Maka ia menggamit siku lengan Gak Lui. Pemuda
itu terkejut dan memandang Siu-mey. Dari pancaran mata sinona tahulah kalau
Siu-mey mengajaknya pergi.
Gak Lui anggap memang Thian
Wat totiang perlu beristirahat. Tetapi sebelum minta diri, ia berkata :
"Totiang, tadi engkau mengatakan bahwa diantara kita berdua tiada yang
berhutang budi. Baiklah, akupun tak menyatakan terima kasih tetapi totiangpun
jangan mengingat tindakanku memberi obat itu sebagai suatu budi...."
"Baiklah," Thian Wat
totiang mengangguk. Tetapi ketika Gak Lui berbangkit hendak pergi, Thian Wat
totiang mencegahnya : "Tunggu dulu, aku masih mempunyai sebuah
pertanyaan."
Gak Lui buru2 duduk kembali
dan mempersilahkan paderi itu mengatakan.
Sejenak batuk2, dengan suara
parau Thian Wat totiang bertanya : "Beberapa sahabatku yang menderita
kesukaran itu .... bagaimanakah keadaannya saat ini ?"
"Sahabat yang tertimpah
kesukaran ?" Gak Lui menegas.
"Benar."
"Totiang tanyakan ....
Hwat Gong taysu dan kawan-kawannya itu ?"
"Ya, mereka senasib
dengan diriku, menjadi anggauta Topeng Besi sampai belasan tahun maka sudah
seharusnya aku bertanya tentang diri mereka."
"Adakah keadaan mereka,
totiang tak pernah mendengar ?" Gak Lui balas bertanya.
"Pernah kutanyakan kepada
sute dan beberapa ciang bunjin tetapi tiada seorangpun yang memberi jawaban
sesungguhnya !"
"Terus terang saja,
ketika bertempur digunung Hek san; mereka telah keliru terbunuh."
"O, sauhiap .... keliru
membunuh mereka?"
"Benar."
"Lalu apakah engkau
menyesal atau tidak ?"
"Bukan melainkan hanya
menyesal pun....."
"Pun bagaimana ?"
"Aku merasa
berdosa...."
"Mengapa ?"
"Mereka tak seharusnya
menerima kematian begitu."
'"Sauhiap, kata-katamu
itu salah !"
"Mengapa ?"
"Gerombolan Topeng Besi
itu telah mengganas dunia persilatan. Sudah layak kalau menerima kematian.
Kalau membunuh orang jahat masih merasa menyesal, biarlah aku mati saja !"
"Tidak, tidak ! Soalnya
berbeda. Kalau aku memang tahu tetapi kurang hati2. Sedang totiang itu adalah
diluar kehendak totiang sendiri."
"Ah....." Thian Wat
totiang menghela napas panjang, "sauhiap membunuh mereka itu suatu berkah
bagai keselamatan dunia persilatan. Pun bagi diri yang mati itu."
"Mengapa ?" Gak Lui
terkejut.
"Apabila engkau menolong
mereka dengan pil ini, setelah mereka sembuh, keadaan mereka tentu lebih menyedihkan
maka lebih baik mati."
"Oh," Gak Lui
mendesuh dan gemetar. Walaupun totiang itu mengatakan dalam banyak peristiwa
yang lampau ia tak ingat tetapi ucapannya yang terakhir itu menandakan kalau ia
masih ingat semua.
Gak Lui menimang. Daripada
membantah, dikuatirkan akan menimbulkan reaksi hebat dalam hati paderi itu,
lebih baik ia segera angkat kaki dari situ. Katanya : "Ucapan totiang
memang benar, aku sekarang sudah mengerti dan takkan bersedih hati."
Thian Wat totiang tertawa.
Kemudian Gak Lui menanyakan lagi adakah totiang itu perlu beberapa anak murid
untuk menjaga di situ. Thian Wat totiang mengiakan. Gak Lui dan Siu-mey minta
diri, melangkah ke luar. Lebih dulu ia suruh paderi kecil untuk menjaga di situ
setelah itu kedua pemuda itu lalu masuk ke dalam ruang tetamu. Tampak Thian Lok
totiang menyambut dengan wajah tegang: “Sauhiap, bagaimana keadaan su-hengku
?"
“Selamat, totiang, Thian Wat
totiang telah pulih kesadarannya kembali dan telah menerangkan banyak hal
kepadaku...."
“Ah, sauhiap.....engkau
sungguh baik sekali. Ceng-sia-pay tak tahu bagaimana akan berterima kasih
kepadamu !" seru Thian Lok totiang.
“Ah, harap totiang jangan
memikirkan hal itu. Silahkan totiang masuk, Thian Wat totiang hendak
bicara."
Dengan gembira Thian Lok
totiang segera masuk ke dalam ruangan untuk menjumpai suheng-nya.
“Engkoh Lui, rasanya persoalan
ini telah berakhir memuaskan. Mereka kakak dan adik seperguruan tentu...."
belum selesai Siu-mey berkata, Gak Lui ulurkan jarinya untuk ditempelkan ke
bibir nona itu agar jangan bicara.
Tiba2 dari dalam ruang
persemedhian, terdengar jeritan-ngeri dari Thian Wat totiang.
Disusul dengan suara benda
jatuh di lantai dan jeritan nyaring dari paderi kecil yang menjaga di situ.
“Celaka!" Gak Lui
terkejut terus lari menerobos ke dalam lagi. Tampak Thian Wat totiang terkapar
dalam kubangan darah di lantai. Sedang Thian Lok totiangpun menggeletak di
bawah tempat tidur. Paderi kecil tegak seperti patung, tubuh gemetar dan lidah
menjulur keluar.
Kejut Gak Lui bukan kepalang. Tetapi
cepat ia menyadari apa yang telah terjadi. Lebih dulu ia memeriksa tubuh Thian
Wat totiang. Dicobanya untuk memberi pertolongan dengan menyalurkan tenaga
dalam tetapi ternyata totiang itu sudah putus nyawanya.
Gak Lui lalu menghampiri Thian
Lok totiang untuk memeriksa keadaannya.
“Engkoh Lui, mengapakah mereka
ini ?" tanya Siu mey, “perlukah memberitahukan kepada yang lain ?"
Gak Lui mengatakan tak perlu.
“Kalau sampai terjadi sesuatu,
apakah takkan menimbulkan kesulitan pada kita ?"
“Thian Lok totiang segera akan
siuman. Serahkan saja bagaimana dia nanti akan mengurus. Kalau suruh lain orang
masuk kemari, tentu lebih berabe !"
“Mengapa begitu?"
Sambil mengurut tubuh Thian
Lok totiang, Gak Lui menerangkan : “Menilik keadaannya, Thian Wat totiang itu
tentu membunuh diri dengan memutuskan urat2 nadinya. Bagaimana sebabnya nanti
tunggu setelah Thian Lok totiang sadar dari pingsannya. Dalam masalah segawat
ini, aku tak berani bertindak sendiri dan kuserahkan saja kepada fihak
Ceng-sia-pay....."
Tiba2 mulut Thian Lok totiang
terdengar mengerang perlahan dan membuka mata. Lalu cepat2 ber-bangkit.
“Harap ciang-bunjin suka
tenang. Kalau ciang-bunjin gugup, Ceng-sia-pay tentu tiada yang
memimpinnya," Gak Lui menghibur.
“Sau-hiap....." kata
Thian Lok totiang dengan nada gemetar, “suheng ternyata sudah meninggal ....
aku.... sungguh .... tak percaya!"
“Oh, totiang tak menyaksikan
kejadian itu ?" Gak Lui terkejut.
“Ketika masuk dalam ruang ini,
suheng sudah terkapar diatas tempat tidur!"
“Kalau menurut pendapatku,
Thian Wat totiang telah membunuh diri ...."
“Apakah engkau berani
memastikan?" ketua perguruan Ceng-sia-pay itu menegas dengan nada kurang
percaya.
Gak Lui terkejut. Buru2 ia
menunjuk pada paderi kecil, serunya.: “Jika ciang-bunjin tak percaya, silahkan
tanya padanya !"
Thian Lok seperti disadarkan,
ia menatap paderi kecil. Karena paderi kecil itu tetap diam saja, Thian Lok
membentaknya: “Engkau ....engkau .... mengapa tak lekas kemari!"
Dengan tersipu sipu ketakutan
paderi kecil itu segera menghampiri. Tubuhnya masih gemetar keras sehingga
geraham giginya terdengar berkerutukan tetapi tak dapat mengeluarkan perkataan.
Thian Lok makin marah dan
hendak menamparnya tetapi Gak Lui cepat mencegahnya: “Totiang, harap jangan
marah. Memang dapat dimengerti kalau murid totiang itu tentu terbang
semangatnya menyaksikan peristiwa ini. Walaupun dia mendapat tugas untuk
menjaga Thian Wat totiang tetapi karena kepandaiannya terbatas, dia tak dapat
berbuat apa2. Makin totiang marah, makin dia takut !"
Thian Lok totiang menyadari
kalau dirinya keliwat terangsang kemarahan, ia segera menutuk jalan darah
paderi kecil itu supaya jalan darahnya lancar.
Beberapa saat kemudian paderi
kecil itu menangis: “Hatur beritahu kepada ciang-bun ..... kakek guru ....
telah meninggalkan pesan ... bahwa ia membunuh diri sendiri ....”
“O, masih sempat
berpesan!"
“Ya, masih sempat meninggalkan
pesan...”
“Bagaimana ucapannya?"
“Beliau mengatakan .... dosa
selama 18 tahun berlumuran dosa. Sekalipun karena kesadarannya hilang dan
diluar kehendaknya tetapi Thian Wat totiang tetap merasa malu untuk bertemu
orang .... malu kepada para leluhur partai perguruan Ceng-sia-pay .... malu
terhadap kaum persilatan ...."
“Lalu apa lagi ?”
“Beliau mengatakan pula ....
setelah kembali ke gunung sekalipun kaum persilatan tak mencarinya untuk
membuat perhitungan tetapi hati nuraninya tetap tak mengijinkan. Satu-satunya
jalan untuk melepaskan kedosaannya.... hanyalah mati!"
“Kemudian ?"
“Kebetulan suhu terlambat
datang kemari!"
“Huak ....," mendengar
itu darah Thian Lok totiang bergolak dan meluap. Ia muntah darah dan tubuhnya
terhuyung hampir rubuh pingsan lagi. Untung Gak Lui sudah bersiaga. Cepat ia
ulurkan tangan memapahnya.
Setelah lunglai sampai
beberapa saat, akhirnya ketua Ceng sia-pay itu membuka mata dan berkata rawan :
“Sauhiap, aku mempunyai sebuah perkataan yang sesungguhnya masih maju mundur
untuk kukatakan!"
“Dari pada terpendam dalam
hati lebih baik totiang tumpahkan saja."
“Obat yang engkau berikan itu
... memang amat mujarab kepada orang lain tetapi setelah diminum suheng,
mengorbankan jiwanya. Kalau tahu begitu, lebih baik tidak minum obat
itu..."
Gak Lui tertawa getir: “Soal
itu memang sudah kupertimbangkan."
“Lalu mengapa masih tetap
memberikan kepadanya ?"
Siu-mey penasaran melihat
sikap ketua perguruan Ceng-sia-pay itu. Tetapi ia dapat memaklumi keadaan
orang. Katanya: “Totiang, engkoh Lui memang kuatir setelah pulih kesadaran
pikirannya, suhengmu akan menyesal dan melakukan putusan pendek. Maka engkoh
Luipun menerangkan beberapa kali dan Thian Wat totiang tetap menghendaki obat
itu .... Kurasa Thian Wat totiang memang telah mempertimbangkan keputusan itu
dengan masak2. Dia lebih baik mati daripada kehilangan moril. Betapapun dia itu
juga seorang manusia yang memiliki perasaan halus. Maka akibat daripada
kematiannya itu sekali kali bukan karena gara2 kami memberi obat melainkan
karena kesadaran dari Thian Wat totiang sendiri."
Setelah merenung beberapa saat
barulah ketua Ceng sia-pay itu berkata dengan nada agak menyesal: “Kalian
benar, karena hatiku amat berduka maka sampai mengeluarkan ucapan yang tiada
layak. Harap kalian suka maafkan. Dan perjamuan malam ini .... akan menjadi
sebuah upacara sembahyangan arwah suheng...”
Sesungguhnya setelah dapat
menghancurkan kaki tangan Maharaja para orang gagah itu sedianya akan
mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan. Tetapi setelah mendengar berita
kematian Thian Wat totiang, merekapun ikut berduka-cita.
Seluruh tokoh2 persilatan yang
berada di gunung Ceng-sia-san sama sembahyang di muka jenazah Thian Wat
totiang.
Setelah sembahyang Gak Lui
mundur ke samping. Ia memandang ke sekeliling. Tampak tokoh2 dari perguruan
Bu-tong-pay, Heng-san pay, Siau-lim-si, Gobi-pay, Kong-tong-pay dan Ceng
sia-pay, memandang dengan sinar mata yang aneh.
Tak berapa lama iapun melihat
sigadis cantik Yan-hong dari Bu san, The Hong lian dan Siu-mey bersama-sama
sembahyang. Di belakang ketiga nona itu tampak seorang lelaki berpakaian serba
putih, bersembahyang dengan berlutut di hadapan peti mati Thian Wat totiang.
Gak Lui terkejut. Ia maju
menghampiri hendak menegur tetapi orang itu cepat2 melangkah keluar dari ruang
jenazah. Gak Lui hendak menyusul tetapi karena orang begitu banyak, ia tak
dapat cepat2 mengejar. Ketika ia menuruni batu titian, orang itupun sudah
lenyap entah ke mana.
“Engkoh Lui !"
“Adik Lui !"
Terdengar berturut-turut dua
buah suara memanggil dan Gak Luipun cepat berpaling ke belakang. Ah, ternyata
ketiga nona tadi sudah menyusulnya.
“Bukankah engkau hendak
mencari Hi Kiam-gin ?" tanya Siu-mey lebih dahulu.
“Ya."
“Jangan buang tenaga sia2. Dia
sudah mengasingkan diri tak mau bertemu orang terutama dengan engkau !"
“Apakah engkau tak memberitahu
kepadanya bahwa ayahmu sudah meluluskan untuk mengobati wajahnya ?"
“Sudah kukatakan," kata
Siu-mey.
“Lalu bagaimana jawabnya
?"
“Dia mengucapkan terima kasih
kepada ayah tetapi dia tak mau berobat."
“Hm..." Gak Lui mendesuh,
“kalau begitu beritahu padaku di mana tempat tinggalnya. Aku akan
menjumpainya."
“Ah, perlu apa? Engkau hanya
akan ketemu batu saja ...."
“Aku mempunyai urusan yang
penting sekali maka harus bertemu muka dengan dia!"
“Apa?" ketiga nona itu
serempak berseru.
“Soal itu amat penting sekali.
Mempunyai hubungan erat dengan perguruanku dan keselamatan sekian banyak orang.
Aku harus berunding dengan cici Kiam gin ...."
“O, engkau tak dapat
memberitahukan lebih dahulu kepada kami ?"
“Aku harus bertemu dan
berunding dengan dia atau urusan itu sukar dilaksanakan!" sahut Gak Lui.
“Uh, uh....," ketiga nona
itu mendengus ejek, “kami percaya dia tentu tak mau mempedulikan engkau lagi,
sudahlah, jangan jual mahal !"
“Lain soal mungkin dia menolak
tetapi dalam urusan ini dia tentu harus mempedulikan. Sudahlah jangan banyak
cakap, bawalah aku ke sana !"
Siu-mey terpaksa menurut.
Sambil berjalan ia bersungut-sungut: “Hm, bagus, kalau belum tiba di dasar
sungai Hongho tentu tak puas. Kami akan melihat bagaimana engkau nanti
memainkan perananmu."
Setelah menyusur tikungan tak
berapa lama mereka tiba di sebuah bangunan. Tempat itu sebenarnya diperuntukkan
tetamu wanita oleh karenanya suasananyapun sepi.
Dari tutup kain jendela yang
ditingkah sinar lilin, tampak sesosok tubuh tengah duduk di dalam sebuah ruang.
Gak Lui duga tentulah nona Hi Kiam-gin.
“Sudah sampai," seru
Siu-mey, “urusan meminta pintu, terserah kepadamu."
Gak Lui segera melangkah maju,
mengetuk pintu: “Cici Gin ...."
Belum sempat ia melanjutkan
ucapannya, Hi Kiam-gin sudah menyahut dengan nada sedingin es: “Aku tak
menerima tetamu, silahkan kembali."
“Aku Gak Lui...."
“Kutahu engkau ini siapa.
Diantara kita berdua sudah putus hubungan, tak perlu menyebut adik lagi !"
“Aku mempunyai soal penting
yang harus kurundingkan dengan engkau....”
“Kalau tak mau enyah, jangan
menyesal kalau kulepaskan Cek yan-sin hwe yang ganas!" bentak Hi Kiam-gin
yang tak sabar lagi.
Cek-yan-sin-hwe atau
api-sakti-asap-merah, merupakan senjata obat pasang yang ganas. Begitu
menyentuh kulit orang tentu terbakar. Bahkan rumahpun dapat terbakar oleh obat
pasang itu.
Gak Lui terkejut dan mundur
selangkah. Dalam pada itu ia memperhatikan ketiga nona tadi. The Hong-lian
tertawa geli, si dara Yan-hong agak kasihan dan Siu-mey seperti mengejeknya.
Gak Lui tak mau menghiraukan
mereka dan berseru pula kepada Hi Kiam gin: “Hi Kiam-gin, jika engkau masih
ingat akan kematian yang mengenaskan dari ayahmu dan masih ingin membalas
dendam, kuharap engkau sadar dan mau berunding."
Ucapan itu walaupun tak segera
mendapat jawaban tetapi Hi Kiam-gin berdiam diri tidak segetas tadi. Hal itu
menandakan bahwa ia memang belum dapat melupakan soal membalaskan sakit hati
ayahnya.
“Pedang pusaka
Thian-lui-koay-kiam sudah diberikan oleh suhumu Lengan besi-hati-baik kepadaku.
Engkau ingin melihat atau tidak ... !"
“Hm... ," Hi Kiam-gin
mendengus.
“Besok pagi aku hendak ke
gunung Im-leng-san untuk mencari musuh kita. Siu-mey bertiga ingin ikut. Kalau
engkau suka, bawalah mereka bersama. Kalau tidak..."
“Bagaimana ?"
“Kami akan berangkat sekarang
!"
“Oh...” Hi Kiam gin mendesuh
kejut, “lalu apa perlunya engkau mencari aku ?"
“Pedang ini....."
“Bagaimana ?”
“Soal itu memang ada sedikit
liku2 yang harus kurundingkan dengan engkau. Jika engkau tak melupakan
pemberian ajaran ilmu pedang Bu-san itu, seharusnya engkau mau menemui kami
untuk berunding."
Kembali Hi Kiam-gin berdiam
diri. Beberapa saat kemudian terdengar ia berkata dengan agak gemetar:
“Masuklah....!"
Ketika Gak Lui masuk ke dalam
kamar itu, ketiga nona tercengang. The Hong lian leletkan lidah : “Aneh sekali
! Mengapa engkoh Lui ingin berunding dengan seorang nona yang begitu dingin.
Apakah yang hendak dirundingkan ?"
“Sudahlah, jangan bicara.
Mungkin kita dapat mendengarkan pembicaraan mereka," seru Su-mey.
Tetapi betapapun ketiga nona
itu berusaha untuk mendengarkan pembicaraan mereka, namun tetap tak mendengar
suatu apa. Rupanya Gak Lui dan Hi Kiam-gin menggunakan ilmu Menyusup-suara.
Beberapa saat kemudian, Gak
Lui berpaling dan mempersilahkan ketiga nona itu masuk. Gak Lui memperkenalkan
mereka kepada Hi Kiam-gin dan menuturkan riwayatnya masing2.
“Taci bertiga tentu sudah
mahir mempelajari ilmu pedang Busan itu ?" tiba2 Hi Kiam gin mengajukan
pertanyaan.
“Ah, kami ingat pelajaran itu
...."
“Bagus," seru Hi
Kiam-gin. Ia segera menguraikan tentang kehebatan dari keempat pedang apabila
serempak bermain dalam ilmu pedang perguruan Bu-san.
Adalah Siu-mey yang cepat
dapat menyelami keadaan, serunya: “Kami masing2 telah mempelajari sebuah jurus
dari ilmu pedang Busan. Apabila kita berempat bergabung, tentu dapat membantu
engkoh Lui membasmi musuh. Bukankah tujuan ke gunung Im leng-san itu juga
dengan begitu?"
“Ini ... ," kata Hi
Kiam-gin tersekat, ia tampak ragu2 untuk memberi keterangan. Adalah Gak Lui
yang melanjutkan: “Soal itu tidak benar seluruhnya begitu. Walaupun ilmu pedang
istimewa tetapi harus dilihat bagaimana kepandaian masing2."
“Engkau maksudkan kepandaian
kami masih dangkal sehingga tak dapat menghadapi musuh ?"
“Menurut tingkat kepandaian,
kalau ini memang tak terpaut banyak satu dengan lain. Dan kali ini kepergian
kita ke Im leng-san itu bukan semata2 hanya menghadapi musuh, tetapi menghadapi
...."
“Siapa ?"
“Menghadapi pedang pusaka
Thian lui koay-kiam !"
“O !" ketiga nona itu
serempak mendesuh kaget. Yan hong sidara cantik dari Bu-san cepat tertawa:
“Adik Lui, mungkin dahulu kakek gurumu kuatir kalau pedang itu sampai jatuh ke
tangan orang lain maka ia telah siapkan rencana begitu. Tetapi sekarang pedang
sudah berada di tanganmu, mengapa masih takut lagi!"
Dengan wajah bersungguh Gak
Lui menjawab: “Pedang itu memiliki tenaga iblis. Mudah dimainkan tetapi sukar
ditarik kembali. Untuk lain orang mungkin tak tahu tetapi engkau tahu jelas
sekali !"
“Tentu," sahut Yan hong.
Ia teringat akan cerita ibunya bahwa pedang itu memang sukar dikendalikan
sehingga telah melukai banyak sekali murid2 perguruan Bu-kau. Ia menggigil dan
bertanya : “Adakah engkau .... menghendaki kami .... menghadapi
engkau....."
“Bukan menghadapi tetapi
menjaga !"
“Tidak, tidak, tidak!"
seru Yan hong dan kedua nona lainnya dengan serempak.
Rupanya hanya Hi Kiam-gin yang
dapat mengetahui intisari dari ilmu pedang dari perguruan Bu-san itu. Boleh
dikata tiga dari empat jurus ilmu pedang itu hanyalah untuk memapas, mencongkel
dan menjatuhkan pedang itu dari tangan orang. Hanya jurus Hawa-pedang-menembus-malam,
benar2 berbahaya. Pun apabila orang dapat menguasainya juga takkan melukai
orang. Dengan pertimbangan itulah maka ia dapat menerima permintaan Gak Lui.
Gak Lui menguraikan intisari
dari ilmu pedang itu dan cara2 menggunakannya untuk memukul lepas pedang
Thian-lui-koay-kiam. Demikian hampir setengah hari memberi pelajaran, akhirnya
Gak Lui dapat menjelaskan ketiga nona itu sehingga mereka mau meluluskan
permintaannya. Hanya Yan hong yang tetap berkeras kepala tak setuju.
“Taci Yan," kata Gak Lui
agak kurang senang. “engkau adalah pewaris dari perguruan Bu-kau. Masakan
engkau tak ingat akan peristiwa kakek guru dahulu? Mengapa engkau masih
berbanyak hati dan kukuh ?"
“Ya, sudah tentu aku ingat....
tetapi pedang dan golok itu tidak bermata. Apabila sampai melukai
engkau....."
Mendengar itu Hi Kiam-gin
cepat menyelutuk: “Di dalam memainkan pedang, titik beratkan pada pertahanan
dan kurangkan serangan. Bukankah tadi dia sudah mengatakan ...."
“Ya, memang dia sudah
mengatakan dan akupun sudah mendengar jelas," sahut Yan-hong.
“Kalau begitu tak perlu
cemaslah. Apalagi jurus Hawa-pedang-menembus-malam itu merupakan jurus yang
terakhir, kemungkinan tak perlu digunakan lagi."
“Cici menjamin ?"
“Tak perlu menjamin. Jurus itu
engkau yang menerima pelajarannya. Engkau dapat bergerak menurut keadaan."
“Eh, bukankah tadi telah
disepakatkan, bila Gak Lui tak dapat mengendalikan pedang pusaka itu, kita
berempat harus serempak mengepungnya? Mengapa sekarang cici mengatakan
lain?"
“Ah, bukan begitu. Kita
berempat harus membentuk diri seperti tembok pedang. Lebih dulu membendung
keganasan pedang itu lalu kita gunakan jurus Menjolok-bintang-memetik-bintang
atau Membelah-emas-memotong-kumala, memapas jatuh pedang itu dari
tangannya."
“Kalau gagal baru kugunakan
jurus Hawa-pedang-menembus malam itu, bukan ?" Yan-hong cepat menyelutuk.
“Kukira....," kata Hi
Kiam-gin, “tokoh sakti kalau bertempur, dalam sekejab saja sudah dapat
diketahui menang kalahnya. Oleh karena itu jurus keempat itu mungkin tak perlu engkau
keluarkan. Dan ingat, walaupun sebuah jurus ilmu permainan itu hebat, tetapi
pun harus mengandalkan tingkat tenaga orang itu.....”
“Hm, kalau begitu engkau
anggap tenaga kepandaianku ini yang paling lemah sendiri diantara kita berempat
ini. Sekalipun aku menyerang juga tak sampai melukai adik Lui," cepat
Yan-hong merangkai kesimpulan sendiri.
Hi Kiam-gin diam saja tak mau
meladeni Yan-hong yang sedang marah itu. Apalagi Siu-mey dan The Hong-lian
saling bertukar pandang seperti menyetujui pernyataan Yan-hong.
Melihat itu Gak Lui tak sabar
lagi. Segera ia berkata kepada Yan-hong: “Taci Yan, katakanlah. Engkau ingin
membalas dendam sakit hati atau tidak?"
“Adik Lui, aku ingin sekali
menuntut balas," jawab Yan hong, “dan kuharap engkau berhasil membalas
sakit hati kepada musuh."
Dengan mengertak gigi Gak Lui
berkata: “Demi memikirkan perasaanmu terhadap ibumu, terpaksa aku tak dapat
mengelabuhi engkau lagi !"
“Ih, dalam soal apa engkau
mengelabuhi aku ?" tanya Yan hong agak kaget.
“Yang menipu dan mencuri ilmu
kepandaian Bu-kau dari ibumu, bukan lain yalah Maharaja Tio Bik-lui itu
sendiri."
Mendengar itu seketika
pecahlah tangis sinona. Dengan gemetar ia berseru: “Mengapa.....engkau tak
mengatakan dari dulu ?"
“Karena tiada sempat dan kedua
kali demi menjaga agar engkau jangan menempuh bahaya!"
“Tidak .... tidak peduli
bagaimana, aku hendak mencarinya dan membuat perhitungan......hendak kucincang
tubuhnya ..."
“Tetapi kepandaiannya engkau
tentu sudah mengetahui sendiri. Apalagi ditambah dengan beberapa ilmu yang
istimewa itu, kecuali dengan pedang pusaka Thian-lui koay-kiam, tak mungkin
dapat menundukkannya. Hanya saja apabila menggunakan pedang pusaka itu harus
mempunyai persiapan agar jangan menimbulkan akibat yang membahayakan lain
orang. Jika engkau benar2 hendak melakukan pembalasan, engkau harus meluluskan
permintaanku. Kalau tidak....”
“Bagaimana ?”
“Aku takkan membawa kalian
semua !"
“Kalau tak dapat menguasai
pedang pusaka itu, lalu bagaimana?"
“Toh gunung Im-leng-san itu
sunyi belantara, setelah membunuh musuh, aku akan mencari daya.... kalau perlu
hanya orang dan pedang itu harus hancur bersama agar jangan menimbulkan dosa
berdarah pada lain orang....."
“Jangan! Jangan !"
Yan-hong menjerit kaget. Dia tak tega kalau pemuda itu sampai celaka. Tetapi
iapun tak sampai hati untuk bertempur mengepung Gak Lui.
“Ah, di dunia ini memang penuh
dengan soal kesukaran dan penderitaan," tiba2 Hi Kiam-gin berkata dengan
nada dingin, “dalam soal hubungan asmara saja adik Lui belum dapat memutuskan,
sekarang akan bertambah dengan soal pembalasan sakit hati. Dalam soal
pembalasan ini, aku memang wajib mengambil bagian dan harus membantu sekuat
tenaga. Yang dibutuhkan adik Lui, bukan bantuan tenaga untuk menghancurkan
musuh melainkan apabila selesai menghancurkan musuh, pedang Thian-lui-koay-kiam
itu akan membuas dan membunuh orang lain. Nah, keadaan itulah yang memerlukan
tenaga kita untuk mengatasinya. Kecuali kita memang menghendaki dia ....supaya
binasa bersama pedang pusaka itu ...."
Ucapan itu telah menggetarkan
sanubari ketiga nona yang lain. Serempak mereka berkata dalam hati, rela
menempuh bahaya daripada membiarkan Gak Lui akan binasa bersama pedang
Thian-lui-koay-kiam.
Akhirnya dengan airmata
bercucuran, Yan-hong menerima permintaan Gak Lui. Gak Lui serasa terlepas dari
himpitan batu besar. Ia memandang dengan penuh rasa terima kasih kepada Hi
Kiam-gin. Nona itu tundukkan kepala. Dua butir airmata menitik turun dari
pelupuknya.
Setelah perundingan selesai,
Hi Kiam-gin mengantar keluar tetamunya lalu seorang diri masuk kedalam
kamarnya.
Siu-mey bertigapun kembali
kedalam kamar dan tidur. Gak Lui masih mondar mandir dalam paseban markas
Ceng-sia-pay. Di ruang sembahyang peti-mati Thian Wat totiang masih terdengar
para anak murid Ceng-sia-pay membaca kitab suci, memanjatkan doa untuk arwah
Thian Wat totiang.
Kemudian ia ke ruang samping
dan duduk bersemedhi. Entah berapa lama, tiba2 ia terkejut bangun. Saat itu
hari sudah terang tanah tetapi yang mengejutkan Gak Lui yalah suara hiruk pikuk
yang menggema dalam ruang paseban besar itu.
Cepat ia melangkah keluar.
Suara hiruk pikuk makin nyaring. Seluruh markas seolah-olah tergetar. Cepat ia
mencari Hi Kiam gin dan ketiga nona lainnya untuk diajak berangkat Im-leng-san.
Tetapi ketika ia melangkah keluar, kejutnya bukan kepalang. Hidungnya terbaur
angin berbau anyir yalah bau dari bangsa ular.
“Hai, dari manakah sekian
banyak ular itu ? Sekalipun gunung ini ada ularnya, juga tak bergolak seperti
ini ?" pikirnya terus hendak mencari Siu-mey.
Baru beberapa langkah, ia
berpapasan dengan Thian Lok totiang ketua Ceng sia-pay. Dilihatnya ketua
Ceng-sia-pay itu tengah bingung sembari memberi petunjuk kepada anak murid
untuk mengelompok jadi satu. Ratusan anak murid Ceng-sia-pay itu sama menghunus
pedang, ujungnya ditunjukkan ke tanah. Mata merekapun memandang ke tanah dengan
ketakutan.
Melihat itu Gak Lui cepat
melesat ke hadapan Thian Lok totiang.
“Sauhiap, ke manakah engkau
ini ? Mengapa sampai lama tak dapat kucarimu..." seru Thian Lok totiang.
“Aku sedang duduk bersemedhi
di ruang samping. Tolong tanya, apakah yang terjadi?"
“Ular ... barisan ular telah
menyerbu markas di gunung Ceng-sia-san sini. Murid2 dari partai2 persilatan
yang sedang tidur banyak yang digigit terluka ... bahkan mati."
“Lalu di manakah para
ciang-bunjin?"
“Berada di sekitar gunung ini
memberi petunjuk kepada anak muridnya menghadapi serangan ular..."
“Oh, banyakkah jumlahnya ular
itu?"
“Tak dapat dihitung banyaknya.
Markas Ceng-sia-pay mungkin akan penuh!"
Gak Lui terkejut. Karena ia
pernah makan rumput Hiang-coh, ia tak takut kepada bangsa ular. Tetapi ia tahu
bagaimana kelihayan bangsa ular itu. Bagi orang persilatan yang belum tinggi
kepandaiannya tentu tak dapat melawan. Diam2 ia heran siapakah tokoh yang mampu
memerintahkan barisan ular untuk menyerang markas Ceng-sia-pay itu ?
Tiba2 ia teringat bahwa di
antara yang datang ke Ceng-sia-san itu terdapat juga partai Pengemis daerah
selatan. Pemimpinnya si Pengemis Ular yang termasyhur itu memang hendak
melakukan pembalasan sakit hati atas musuh yang telah membunuh Pengemis-jahat.
“Ketua partai Kay-pang seorang
ahli menghadapi bangsa ular beracun. Sekarang ini dia berada di mana?"
“Di bagian selatan gunung.
Tetapi menurut katanya, ia mungkin tak mampu menghadapi serangan sekian banyak
ular ini."
“Kewalahan?"
“Ya," sahut ketua Ceng
sia pay.
“Lalu di manakah adikku
Siu-mey itu ?"
“Dia sih mempunyai daya. Saat
ini sedang mempertahankan dibagian muka gunung dan hendak mencari
sauhiap!"
“Kalau begitu harap totiang
menjaga diruang paseban ini, aku hendak mencarinya."
Sepanjang jalan Gak Lui
melihat anak murid partai persilatan masing2 membentuk diri dalam barisan,
menggunakan senjatanya untuk menghalau serangan barisan ular ular. Tetapi ular2
itu pun lincah dan gesit sekali sehingga masih ada yang dapat meloloskan diri.
Gak Lui percepat larinya. Ia
lepaskan hantaman untuk menghancurkan barisan ular itu. Tetapi di luar markas,
kawanan ular itu makin banyak jumlahnya.
Tokoh2 silat yang berilmu
tinggi terhambat di tengah barisan ular. Mereka mengamuk dan membabat kawanan
ular itu. Tetapi asal sedikit ayal saja tentu ada yang digigit ular. Dan begitu
orang itu rubuh tentu terus dibuat ‘pesta' oleh kawanan ular. Dalam beberapa
kejab saja, tubuh orang itu habis dagingnya dan tinggal merupakan seperangkat
tulang tengkorak.
Dalam perjalanan itu tak
sedikit Gak Lui menolong beberapa orang. Tetapi ketika hampir tiba di pintu
markas, ternyata di situ sudah merupakan seperti lautan ular.
Melihat itu Gak Lui segera
gunakan pedangnya untuk mengamuk.
Bum, bum, bum ... pedang
pusaka Thian-lui-koay-kiam dan pukulan, menyiak sebuah jalan-darah. Dan saat
itu ia sudah berada diluar pintu besar.
Didalam lingkaran hanya seluas
tiga tombak tampak seorang tokoh menggunakan senjata aneh, sebuah payung besi
dan sebuah kipas besi. Bagaikan angin puyuh yang menderu deru, orang itu
mengamuk sehingga tiada seekor ularpun yang mampu menyusup dekat.
“Sebun sianseng, berhentilah.
Akulah yang datang!" seru Gak Lui serentak.
Karena tahu ular tak dapat masuk,
Sebun sianseng hentikan gerakannya. Dan saat itu Gak Luipun menyelinap
mendekatinya.
“Sauhiap, aku sudah terkepung
oleh kawanan ular jahat. Sungguh tak nyana kalau aku benar2 merasa kewalahan
menghadapi mereka," Sebun sianseng tertawa hambar.
“Kalau sianseng tak kuat,
bolehkah aku memberi bantuan?" tanya Gak Lui.
“Tak usah! Tadi gadis ular
Siu-mey sudah menghampiri kemari dan memberikan rumput wangi kepadaku. Oleh
karena itu aku dapat terlindung dari bahaya maut..."
“Dimana dia sekarang?"
“Menyusur lamping gunung...”
“Mengapa?"
“Dia percaya beberapa ketua
partai persilatan tentu serupa keadaannya dengan diriku. Maka dia hendak
mencari mereka untuk membagikan rumput wangi itu."
“Marilah kuantar sianseng ke
dalam markas, di sana keadaannya lebih aman ...."
“Juga tak perlu," sahut
Sebun sianseng, “kalau tak dapat membasmi orang yang melepaskan ular itu, dalam
setengah hari saja di luar dan di dalam markas tentu akan dibanjiri ular. Maka
lebih baik aku tetap berada di sini. Kalau musuh hendak menyerang ke atas, aku
dapat menahannya.”
Gak Lui anggap pernyataan
tokoh itu beralasan juga. Maka ia minta diri dan menuju ke arah yang
ditunjukkan Sebun sianseng untuk mencari Siu-mey.
Tetapi sampai melingkari
gunung, tetap ia tak berhasil menemukan Siu-mey. Yang dijumpainya hanyalah
beberapa ketua partai persilatan. Mereka ada yang bersembunyi dalam guha ada
yang di atas dahan pohon dan ada pula yang keadaannya serupa dengan Sebun
sianseng tadi yalah terkurung di tanah datar. Adalah karena makan rumput-wangi pemberian
Siu-mey, mereka dapat bertahan dari serbuan ular.
Tak berapa lama tibalah ia
dibalik gunung. Terdengar desis gemuruh dan bau yang anyir sekali dari sebuah
dinding tinggi yang terdiri dari beribu ekor ular.
Didepan tembok ular itu tampak
dua sosok tubuh, seorang tua berambut putih dan seorang nona cantik sedang
berputar-putar. Orang tua itu ternyata Ong Ping-gak ketua Kay-pang dan sinona
yalah Siu-mey. Mulut Siu-mey bersuit perlahan untuk menghalau ular sedang kedua
tangannya bagai orang menari-nari. Sepasang ular kecil yang menghias tangannya
itu pun bergeliatan mematuk musuh. Ular yang betapa besar dan berbisa, apabila
tersentuh oleh sepasang ular kecil dari Siu-mey itu tentu jatuh ketanah dan
mati.
Walaupun kedua orang itu sibuk
membasmi serangan ular tetapi karena jumlah barisan ular itu terlampau banyak
maka sukarlah bagi keduanya untuk menghancurkan semua.
Melihat itu Gak Lui terus maju
menghampiri.
"Sauhiap," seru Ong
Ping-gak dengan girang seraya membuka jalan untuk Gak Lui. Siu-mey pun bukan
kepalang girangnya : "Engkoh Lui, kebetulan sekali engkau datang.
Rumput-wangiku sudah habis kubagi-bagikan. Rupanya dibelakang barisan ular itu
ada orang yang memberi perintah. Aku kewalahan untuk menghalau mereka, harap
engkau cari daya !"
Sejenak berpikir, Gak Lui
berkata ; "Tentulah perbuatan si Pengemis Ular itu. Apakah engkau
melihatnya?"
"Tidak," sahut
Siu-mey, "aku sibuk dengan serangan ular sehingga tiada perhatian
kesitu."
Kemudian Gak Lui bertanya
kepada ketua Kaypang. Pun ketua partai pengemis itu menyatakan tak melihat
orang itu. Ia menambahkan keterangan: "Pengemis Ular itu memang misterius
dan hebat dalam ilmu menundukkan ular. Andai nona Li tak berada disini,
tulang2ku tentu sudah dimakan kawanan ular jahat itu...."
Melihat kedua ahli menundukkan
ular itu kewalahan juga, terkejutlah Gak Lui. Ia memandang kesekeliling
penjuru. Ah, empat penjuru hanya lautan ular berbisa. Tetapi tiba2 matanya
tertarik pada seekor benda yang aneh. Besarnya sepelukan tangan orang, panjang
satu setengah meter. Kaki dan kepala sama besarnya sehingga mirip seperti
sebuah tiang daging.
Cepat Gak Lui menduga sesuatu.
Ia berseru kepada Siu-mey : "Ikut aku !" dengan pedang pusaka Thian
lui-hoay-kiam ia terus mendahului menerjang barisan ular. Dalam dua tiga kali
loncatan ia sudah tiba diatas batu karang itu.
Rupanya ular aneh yang
bergeliatan diatas karang itu tahu juga akan gelagat yang berbahaya. Ular itu
membalikkan badan melorot turun. Tetapi terlambat. Sekali loncat, kaki Gak Lui
pun sudah menginjak perut ular itu. Ular aneh itu melengkung tubuhnya, tiba2
menyemburkan cairan air racun.
Tetapi tubuh Gak Lui sudah
kebal dengan racun ular. Ia keraskan injakannya sehingga ular aneh itu menjerit
jerit kesakitan dan tiba2 dapat meratap : "Tuan, ampunilah jiwaku ..."
"Siapa yang engkau sebut
tuan itu?" dengan marah Gak Lui perhebat kakinya sehingga mulut orang itu
menyembur darah segar.
"Sauhiap .... sau ...
hiap ampunilah jiwaku...!" orang itu merintih-rintih minta ampun.
"Rupanya engkau ini anak
buah si Pengemis Ular," Seru Gak Lui seraya gunakan ujung jari untuk
menggurat tubuh ular itu, bratt.....kulit ular pecah dan tampaklah sebuah wajah
menyeringai kesakitan dari seorang pengemis.
"Ya ... ya ....,"
dengan napas terengah-engah, orang itu mengangguk.
"Lekas bilang, dimana dia
sekarang?"
"Sembunyi ditengah tembok
ular itu !”
"Bangun !" bentak
Gak Lui, "bawa aku kesana !"
"Baik ... ," baru
orang itu mengucap, tiba2 di udara meluncur seekor ular kecil yang terus
menyambar dan menggigit tenggorokannya. Orang itu mengaduh tertahan terus rubuh
ke bawah batu karang !
Gak Lui menjentik ular kecil
itu tetapi dengan gesit ular itu terbang hendak menyambar muka Gak Lui.
Untunglah pada saat itu sepasang ular dari Siu-mey sudah melayang tiba. Pada
lain kejab, ular kecil itupun sudah rubuh ditanah dan tak bernyawa lagi.
Serempak dengan hancurnya ular
kecil itu, dari dalam dinding ular, muncullah seorang manusia aneh yang
berwajah menyeramkan sehingga Gak Lui sendiri sampai menyurut mundur selangkah
!
Dengan seksama diperhatikannya
manusia-aneh itu atau si Pengemis Ular. Rambut terurai, dada dan kaki
telanjang, tulang sekeras baja, tubuh hampir tak tampak berpakaian kecuali
dililit oleh belasan ekor ular.
"Heh, heh, heh, heh
!" Pengemis Ular mengekeh. Karena tertawa, tubuhnya tergetar dan ular2
pada tubuhnya itupun ikut bergeliatan memagut-magut kemuka.
Melihat itu Siu-mey marah
sekali. Ia terus hendak menggerakkan sepasang ular Kim-giok untuk membinasakan
orang itu. Tetapi Gak Lui mengicupkan mata mencegahnya. Pikirnya, kalau terus
dibunuh tentu tak dapat mempergunakan orang itu mengenyahkan barisan ular.
Setelah puas tertawa, Pengemis
Ular dengan jumawa berseru kepada ketua partai Pengemis: "Hai orang she
Ong, bukankah kita sudah setuju membagi wilayah? Mengapa engkau masih berani
datang kemari ? Kalau hari ini engkau mati disini, jangan engkau sesalkan
diriku...."
"Tutup mulutmu !"
bentak Gak Lui marah. "dihadapanku, jangan engkau jual lagak ...."
Pengemis Ular tertawa mengekeh
: “Budak she Gak, jangan engkau berlagak seperti tuan besar. Adik seperguruanku
si Pengemis Jahat yang engkau bunuh itu, harus engkau bayar dengan
jiwamu!"
“Apakah engkau mampu ?"
ejek Gak Lui.
Pengemis Ular deliki mata:
“Budak, jangan bermulut tajam. Dengan ilmu silat, memang aku tak dapat
menghadapimu. Tetapi kalian telah masuk dalam perangkap si Maharaja. Jiwa dari
sekalian tokoh2 perguruan silat yang berada di gunung ini, berada dalam
tanganku ...."
“Engkau kira aku tak berani
membunuhmu?”
“Kukira engkau tak berani
karena engkau tentu tak mampu membasmi kawanan ular ini!"
“Engkau menghendaki syarat
?"
“Ha, ha, cerdik juga engkau
!"
“Katakanlah saja, apa yang
engkau maukan.”
“Sudah tentu ....,"
Pengemis Ular itu tertawa-tawa riang sambil memandang kearah ketua Kay-pang
dengan mata mengejek. Setelah itu ke-arah Siu-mey. Pandang matanyapun berobah.
Di-samping memuji akan kecantikan nona itu, pun diam2 gentar melihat sepasang
ular maut yang menghias tangan nona itu.
Kemudian Pengemis Ular alihkan
matanya kepada Gak Lui. Terhadap pemuda itu, benar2 ia menaruh kewaspadaan yang
luar biasa.
“Kalau mau bicara, lekas!
Jangan plintat plintut macam begitu."
“O, apakah melihat saja tidak
boleh ....”
“Untuk mencabut jiwamu, adalah
semudah membalikkan telapak tanganku!" bentak Siu-mey.
Rupanya gentar juga Pengemis
Ular mendengar bentakan sinona yang garang itu. Segera ia menyahut: “Syaratku
itu amat sederhana.”
“Apa?"
“Berikanlah pedang
Thian-lui-koay-kiam itu kepadaku!"
“Oh......lalu syarat yang
kedua ?" seru Gak Lui.
“Engkoh Lui, jangan meluluskan
permintaannya itu. Pusaka perguruan merupakan benda yang penting !"
“Ya, kutahu," sahut Gak
Lui.
“Syarat yang kedua itupun juga
mudah saja. Asal budak perempuan itu mau menyerahkan sepasang ular mustikanya
kepadaku, jadilah !"
“Syarat yang ketiga ?"
“Yang ketiga ?"
“Ya, benar !"
Pengemis Ular itu kicupkan
mata melirik ke-arah ketua partai Pengemis lalu tertawa sinis: “Lain2 soal aku
dapat menyelesaikan sendiri, tak perlu kalian ikut campur...."
“Kalau begitu engkau sudah tak
ada syarat lain lagi ?"
“Tidak ada !"
“Tetapi dengan apa engkau
hendak memberikan imbalan untuk pedang Thian-lui-koay-kiam dan sepasang ular
mustika itu ?"
“O, engkau masih menghendaki
barang penukarnya ?"
“Sudah tentu !"
Pengemis Ular terkesiap. Belum
sempat ia membuka mulut, Siu-meypun sudah menyelutuk: “Engkoh Lui, mengapa
engkau mau berunding dengan orang itu? Dia kan manusia tanpa ceng-li !"
Gak Lui tertawa rawan: “Jangan
cemas. Memikirkan keselamatan jiwa tokoh2 persilatan di gunung ini, terpaksa
aku harus berunding....”
“Sudahlah, budak she Gak,
terus terang kuberitahu kepadamu. Kedua benda itu memang yang kukehendaki. Soal
imbalannya, jangan engkau menuntut apa2 dari aku !"
“Kalau kedua benda itu sudah
kuserahkan, apakah engkau mau mengundurkan kawanan ular itu?"
“Ini...." Pengemis-Ular
tersekat meragu.
Bab 33. Perburuan
Setelah agak tersekat,
Pengemis Ular memberi janji bahwa ia tentu segera mengundurkan barisan ular
selekas menerima pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam.
"Engkoh Lui, jangan
percaya padanya !” seru Siu-mey, "setelah mendapat pusaka dia tentu tak
mau pegang janji dan kita sudah terlambat mencegahnya."
"Hm...” Gak Lui
mengangguk kemudian menatap Pengemis Ular : "Bagiku apa yang telah
kujanjikan tentu akan kutepati. Tetapi demi pengamanan, sekurang-kurangnya
engkau harus dapat mengajukan sebuah jaminan, kalau tidak .....”
"Bagaimana ?"
"Terpaksa aku harus
mempertimbangkan lagi."
Diam2 Pengemis Ular itu
merenung dan memperhitungkan untung ruginya. Jika ia berkeras mendesak,
dikuatirkan Gak Lui tentu akan memberi reaksi keras. Padahal ia tahu kalau
kepandaiannya kalah tinggi dengan pemuda itu.
Melihat pengemis itu meragu,
Gak Lui cepat menyusuli pula : "Permintaanku jauh lebih sederhana dari
engkau. Sesungguhnya tak perlu banyak dipikir lagi."
"Kalau begitu,
katakanlah."
"Engkau kasih tahu cara
mengusir ular itu. Apabila engkau pergi, kamipun dapat melakukan sendiri."
"Ini ..." Pengemis
Ular terus mengangkat tangan seperti hendak mengambil barang tetapi pada lain
saat ia merasa salah tindak lalu menurunkan tangan lagi dan menyahut sinis :
"Gak Lui, terserah padamu percaya atau tidak. Engkau hanya menyerahkan
pusaka itu dan akupun akan menetapi janji. Tetapi jika hendak minta ajaran cara
mengusir ular, jangan engkau harap !"
"Baik," Gak Lui
pura2 menghela napas tetapi diam2 ia sudah mengetahui rahasia itu dari gerak
gerik pengemis itu tadi. Sambil melepas ikatan pedang Thian-lui-koay-kiam dan
menunjuk pada Siu-mey, Gak Lui berkata : "Pedang akan kuserahkan begitu
pula ular. Tetapi masih ada sebuah rahasianya yang hendak kuberitahu kepadamu
agar jangan menimbulkan hal2 yang tak diinginkan."
"Katakanlah !"
"Kedua ekor ular itu,
merupakan binatang keramat yang tiada keduanya diduga. Tetapi ular itu luar
biasa racunnya. Tentunya tadi engkau sudah menyaksikan sendiri.”
"Ya, sudah."
"Karena itu kuharap
engkau bersiap-siap agar jangan sampai tak dapat mengendalikan....."
"Heh, heh...,"
pengemis itu mengekeh, "sudah sejak kecil aku bermain ular, aku mempunyai
itu untuk menundukkannya. Sudahlah, jangan banyak kuatir, serahkan dulu pedang
pusaka itu!"
“Baik, sambutilah !"
tanpa ragu2 lagi Gak Lui terus ayunkan tangan, setelah membuat gerak setengah
lingkaran, pedang melayang kearah Pengemis-ular. Setelah menyambuti dan
memeriksa pedang itu terbungkus dengan sutera putih, diam2 pengemis itu heran.
Tetapi ia masih harus menyambuti sepasang ular mustika dari Siu-mey. Maka tanpa
membuka bungkusan sutera itu ia terus berteriak: "Budak perempuan, lekas
lemparkan ularmu kemari."
Siu-mey yang cerdas pun dapat
melihat gerak gerik pengemis itu tadi. Jelas pengemis itu mengangkat tangan
hendak mengambil barang tetapi karena badannya telanjang jadi tak dapat
diketahui benda apakah yang hendak diambilnya itu. Maka untuk mengetahui
rahasia itu, terpaksa ia harus gunakan kedua ularnya : "Sambutilah !"
serunya.
Dua buah sinar perak dan emas
segera melayang kearah Pengemis-ular. Pada saat pengemis itu menyambuti,
terjadilah peristiwa yang mengejutkan kedua belah fihak. Begitu kedua ular itu
berada ditangan si pengemis, terus saja melenting dan menggigit pengemis itu.
Menikah bisa ular itu,
seharusnya pengemis Ular harus mati. Tetapi ternyata hanya kesakitan saja.
Suatu hal yang membuat Siu-mey benar2 terkejut sekali. Tetapi Gak Lui tetap
tenang. Ia tahu bahwa Pengemis-ular itu seorang tokoh persilatan yang ternama.
Sudah tentu sakti sekali.
Sepasang ular Mas dan Perak
itu hebat sekali. Begitu melihat tak mampu menggigit mati korbannya, ia terus
melenting ke tubuh Pengemis-ular dan menggigit kawanan ular yang melilit tubuh
pengemis itu.
Kawanan ular itu merupakan
ular2 hebat yang dengan susah payah dipiara oleh Pengemis-ular. Tetapi sudah
tentu kalah hebat dengan sepasang ular Mas dan Perak. Sekali tergigit, ular2
itupun segera mati dan melorot jatuh ketanah, sedangkan Pengemis-ular itu
sendiripun sudah menderita luka yang hebat. Racun sepasang ular kecil itu sudah
bercampur dalam darahnya. Hanya karena dia sudah pernah makan obat penawar
racun ular, barulah ia dapat bertahan beberapa lama. Tetapi apabila ular2 yang
melilit tubuhnya habis mati digigit kedua ular kecil itu, tentulah akan tiba
gilirannya akan digigitnya lagi. Ah, celaka !
Dalam gugup Pengemis-ular
terus mencekal tangkai pedang Thian-lui-koay-kiam yang terbungkus sutera, untuk
menjaga kalau2 Gak Lui main gila. Lalu bibirnya mulai bergerak-gerak menghambur
siulan tajam yang panjang. Mendengar siulan itu sepasang ular Mas dan Perak
serentak berhenti menggigit, menyelinap lenyap dalam tumpukan ular.
Kawanan ular yang lainpun
berserabutan mundur dari gunung. Dan suitan itupun suatu pertandaan untuk
memanggil dua orang murid Pengemis-ular. Dengan meraung-raung histeris, kedua
orang yang tubuhnya berpakaian puluhan ekor ular itu berlari-lari datang
menolong.
Perobahan itu membuat ketua
Kay-pang terlongong, pun Siu mey juga gelisah memandang Gak Lui dan mengharap
pemuda itu lekas turun tangan. Namun Gak Lui tetap tenang dan berkata :
"Tenanglah, tak perlu kita turun tangan, dia tentu akan hancur sendiri.”
Dalam pada itu tampak
Pengemis-ular sudah menyingkap sutera pembungkus pedang dan mulai menggenggam
batang pedang. Bagaikan kena aliran stroom, segera dia terkuasai oleh tenaga
ganas dari pedang itu. Sepasang bola matanya merah darah, wajah memberingas
seram. Sambil bersuit memanggil ular, tangan menghantam dengan pedang :
"Pulanglah....!"
Gak Lui pun cepat bertindak.
Ia lepaskan pukulan tenaga-dalam Algojo-dunia dari jauh, Pengemis-ular itu
tersurut mundur dua tombak, tepat berdiri disamping kedua muridnya.
Tetapi saat itu Pengemis-ular
sudah gila. Tak lagi ia dapat mengenali lawan atau kawan. Yang mengeram pada
benaknya yalah hanya membunuh orang. Sekali ayun, ia hantamkan pedang laknat
itu kepada kedua muridnya sendiri.
"Auh.....” terdengar
jeritan ngeri ketika tubuh kedua murid itu hancur lebur beserta puluhan ekor
ular yang melibat tubuhnya.
Selesai menghancurkan kedua
muridnya, Pengemis-ular loncat kedalam barisan ular dan mengamuk. Setelah
barisan ular itu makin menipis barulah tampak tubuh si Pengemis-ular terkapar
ditanah. Yang tinggal hanya seperangkat tulang kerangka, tangannya masih
mencekal pedang Thian-lui koay-kiam. Sepasang ular Mas dan Perak masih
melingkar ditubuhnya. Sedang daun yang digunakan untuk bersuit memanggil ular
tadi, masih terkulum digiginya.
Gak Lui segera mengambil pulang
pedang Thian-lui-koay-kiam dan mengambil pula sempritan daun itu, demikian
sepasang ular mustika lalu diberikan kepada Siu mey.
Selesai adegan yang
menyeramkan itu, berkatalah ketua Kay pang kepada Gak Lui : "Sauhiap,
kuhaturkan selamat karena engkau telah berhasil membasmi sebuah malapetaka
dalam dunia persilatan. Soal menghalau ular itu, sekarang boleh engkau serahkan
kepadaku."
Gak Lui mengiakan :
"Harap pangcu suka meninjau seluruh gunung, halaulah kawanan ular itu
kedalam rawa2 agar jangan mencelakai orang."
Ketua Kay pang menyambuti
suitan lalu menuju ke barisan ular. Sementara Gak Lui pun lalu mengajak Siu-mey
kembali kedalam paseban Ceng-sia-pay dan disitu Thian Lok totiang tengah
memimpin murid2nya untuk membasmi kawanan ular. Bukan kepalang ketua
Ceng-sia-pay demi melihat Gak Lui muncul. Mereka amat berterima kasih sekali
atas bantuan pemuda itu yang telah dapat mengatasi serangan ular dari
Pengemis-ular.
Gak Lui segera minta diri
karena hendak menuju ke gunung Im-leng-san, memenuhi tantangan Maharaja Tio
Bik-lui. Setelah itu Gak Lui menemui Hi Kiam-gim, The Hong-lian dan Yan-hong.
Setelah memberi pesan seperlunya kepada keempat nona itu, Gak Lui lalu
berangkat.
Setelah para rombongan partai
Persilatan berkumpul dipaseban besar, mereka sibuk mengobati anak muridnya
masing2 yang menjadi korban keganasan kawanan ular. Dalam anggapan para
rombongan partai persilatan, kali ini Siu-meylah yang menjadi juru selamat
mereka. Jika nona itu tak memberikan rumput Kim-cian, para ketua partai
persilatan itu tentu celaka. Selain Siu-mey, pun Hi Kiam-gin, Hong-lian juga
mendapat perindahan besar.
Siu-mey gelisah sekali. Ia
ingin lekas2 menyusul Gak Lui tetapi terpaksa harus bersabar karena membantu
mengobati murid2 partai persilatan yang terluka dulu. Setelah setengah hari
sibuk menolong korban2, barulah keempat nona itu dapat minta diri kepada
sekalian ketua partai persilatan. Mereka cepat menyusul Gak Lui ke Im-leng-san.
Demikianpun para ketua partai
persilatan itu. Setelah para murid2 mereka tertolong, merekapun ikut prihatin
atas diri Gak Lui yang akan melakukan pertempuran terakhir dengan Maharaja.
Berulang kali mereka mendapat bantuan Gak Lui, sudah tentu mereka akan berusaha
untuk membantu juga kepadanya itu.
Akhirnya mereka bersepakat,
setelah nanti ketua Kay pang datang, mereka akan mengajaknya menyusul ke Im
leng-san. Dan ternyata ketua Kay-pangpun setuju.
Keesokan harinya, setelah
mengatur rombongan murid masing2 supaya pulang ke markas perguruannya, ketua
Partai Gelandangan Raja-bengawan Gan Ke ik, ketua Go-bi pay Tek Yan taysu,
ketua Kiu-hoan-bun Ih Ci-cin, ketua Kun-lun-pay Sebun sianseng dan
Pukulan-sakti The Thay, segera menuju ke Im-leng san.
Mereka hendak menyaksikan
pertempuran antara Gak Lui lawan Maharaja Tio Bik lui.
Dalam pada itu dengan
menggunakan ilmu lari cepat, Gak Lui bergegas menuju kegunung Im leng san.
Disamping sepanjang jalan ia meninggalkan pertandaan rahasia, pun ia
memperhitungkan waktunya agar keempat nona dan rombongan ketua partai
persilatan itu tiba digunung Im leng san tepat pada waktunya.
Demikian tepat pada waktu dari
tantangan itu, tibalah Gak Lui digunung Im leng-san. Keadaan gunung itu cukup
seram. Puncaknya menjulang tinggi sampai menembus awan. Sedang sekeliling
puncak itu tertutup oleh hutan belantara yang lebat. Demikian salju yang
rnenutup puncak itu sampai kehijau-hijauan warnanya.
"Hm....," gumam Gak
Lui. “menilik keadaannya, pada puncak yang tertutup salju itu tentu ada sesuatu
rahasianya...."
Sekonyong-konyong dari puncak
itu tampak memancar sinar biru yang keras. Gak lui terkejut. Ia tak asing lagi
dengan sinar biru kemilau itu. Itulah sinar pedang Pelangi yang direbut oleh si
Maharaja. Tampak pedang itu jauh lebih ganas daripada ketika masih berada
ditangannya.
Dua tiga kali pedang itu
berkelebatan sehingga gumpalan saljupun ikut terpancar sinar biru.
Melihat itu Gak Lui menggeram
: "Hm, kiranya Tio Bik-lui bersembunyi disana dan berlatih ilmu pedang.
Rupanya dia telah mencapai latihan yang sedemikian hebat. Tetapi jelas kalau
gerak permainannya itu masih belum mencapai kesempurnaan .....”
Tanpa disadar Gak Lui meraba
pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Seketika besarlah semangatnya. Ia yakin
pedang Thian-lui-koay-kiam yang memiliki tenaga gaib itu tentu dapat mengatasi
pedang pelangi si Maharaja. Tetapi pada lain saat ia teringat juga akan pesan
Kaisar persilatan Li Liong ci bahwa apabila nanti dia mainkan pedang itu
berhadapan dengan lawan, tentu akan timbul suatu keanehan...
"Hm, tak peduli ada atau
tidak keanehan itu, tetapi dengan mengandalkan tekad, aku tetap harus membasmi
durjana itu !" akhirnya ia membulatkan keputusannya.
Teringat akan dendam kematian
orangtuanya, mendidihlah darah Gak Lui. Dengan gunakan ilmu meringankan tubuh,
ia terus enjot tubuhnya melayang ke lamping gunung.
Empat penjuru hutan belantara
terbentang luas. Seketika ia teringat akan pesan kata2 dari Wanita
Pelebur-tulang agar didalam menghadai jebakan si Maharaja Persilatan, ia harus
mencari ke tempat yang tiada api, jangan menuju kesebelah utara yang tergenang
air.
Demikian setelah
menimang-nimang keadaan tempat, akhirnya ia meninggalkan sebuah tanda rahasia,
ia terus enjot tubuh melambung keudara, hendak melayang kearah goha itu. Dendam
kesumat untuk membalas sakit hati kematian orang-tua, membuat Gak Lui seperti orang
kesetanan. Ia gunakan seluruh ilmu kepandaiannya untuk berloncatan maju.
Lebih kurang satu li jauhnya,
tiba2 ia merasakan sesuatu yang tak wajar. Segera ia melayang turun dan hendak
meninjau keadaan. Tetapi astaga.....ternyata kakinya menginjak tempat kosong.
Dicobanya sekali lagi, pun tetap serupa.
Serempak dengan itu keadaan
sekelilingnya pun gelap gelita dan hawanyapun dingin. Bluk, akhirnya ia jatuh
ketanah dan separoh dari tubuhnya terbenam dalam sebuah kubangan yang airnya
amat dingin sekali.
Saat itu Gak Lui baru
menyadari bahwa karena terlalu dirangsang nafsu, ia telah terperosok jatuh
kedalam sebuah tebat atau telaga kecil yang ratusan tombak didasar lembah. Ia
kerahkan tenaga-dalam dan menyambar keping2 benda yang memenuhi tebat itu. Ah....
hampir saja tubuhnya lemas ketika mendapatkan keping2 benda itu bukan lain
adalah hancuran tulang kerangka manusia. Sebuah tebat yang penuh dengan keping2
tulang manusia. Makin ia gunakan tenaga makin tubuhnya tenggelam kebawah.....
"Celaka!" cepat ia
hentikan tenaga murni dan tak berani berkutik.
"Hm, kalau aku terus
menerus terbenam disini, tentu celaka. Rombongan ketua partai persilatan itu
kemungkinan tentu akan terperosok juga kesini. Seorang saja yang jatuh kesini,
aku tentu akan tertindih dan tenggelam kebawah dasar tebat ini. Dan apabila
Maharaja mengetahui aku berada disini, mudahlah bagi dia untuk
membunuhku...." Gak Lui menimang-nimang dengan gelisah.
Setelah termenung beberapa
saat tiba2 ia menemukan akal. Ya, hanya dengan tenaga sakti Algojo-dunia yang
mempunyai daya tenaga sedot itu, dapatlah ia keluar dari tempat celaka disitu.
Segera ia gerakkan kedua tangannya. Tangan kiri menghantam keatas, tangan kanan
menampar kebawah. Wut...tangan kiri mengalir suatu tenaga keras yang membuat
tubuhnya ikut tersedot naik. Dan karena ia gunakan tenaga-dalam itu hampir
delapanpuluh bagian, maka tubuhnyapun seperti sebuah anak panah yang meluncur
keatas, lalu melayang turun ke sebuah batu karang.
"Tebat celaka semacam
ini, hanya mencelakai manusia saja. Lebih baik kutimbuni," pikir Gak Lui
yang lalu menghantam batu karang. Karang berguguran jatuh menimbuni liang tebat
itu. Setelah selesai, ia enjot tubuhnya melambung keatas lagi dan melanjutkan
perjalanan lagi.
Diluar dugaan, ia tak menemui
suatu rintangan apa2, ia duga Maharaja merasa tentu tak ada orang yang mampu
menandinginya, maka ia tak mau membuat macam2 perangkap dan hanya tumpahkan
seluruh tenaganya pada pos yang terakhir nanti. Jelas bahwa pertempuran
terakhir yang akan dihadapinya nanti tentu bukan kepalang dahsyatnya. Menilik
persiapan2 yang dilakukan, jelas pula bahwa Maharaja itu mempunyai keyakinan
tentu menang.
Memikir sampai disitu,
tergetarlah hati Gak Lui dan tangannyapun meraba pedang pusaka
Thian-lui-koay-kiam yang tersanggul di belakang bahunya. Seketika timbul
pemikiran dalam hatinya.
"Soal batang pedang yang
sudah lelah dan lekat jadi satu dengan kerangkanya, memang sukar. Tetapi
tangkai pedang yang terbungkus dengan sutera itu, apakah dibiarkannya begitu
saja. Kalau tidak kubuka, tentu tak leluasa kumainkan dalam pertempuran. Tetapi
kalau kubuka selubung sutera itu, ah, pedang itu akan memancarkan tenaga-sakti
aneh yang tak dapat dikendalikan....."
Setelah termenung-menung
beberapa saat akhirnya ia memutuskan untuk membuka selubung sutera tangkai
pedang itu. Sekali tarik, selubung sutera itupun hancur berhamburan.
Seketika hati Gak Luipun
tegang regang. Dendam kesumat terhadap Maharaja, makin meluap2 dan
menyala-nyala membakar seluruh tubuhnya. Tiba2 ia teringat akan pesan Kaisar-persilatan
Li Liong Ci supaya berlaku tenang.
“Ya, benar. Memang harus
tenang menghadapi tipu muslihat musuh dan akal muslihat musuh," katanya
dalam hati.
Akhirnya ia tiba diluar daerah
yang merupakan terowongan dan terus loncat mendaki ke-puncak.
"Ya, akhirnya tibalah
juga," katanya seraya hentikan langkah dan memandang kesekeliling penjuru.
Duapuluh tombak jauhnya
disebelah muka, terbentang sebuah terowongan yang berliku liku menuju kepuncak
gunung. Ia terus hendak melangkah maju tetapi berhenti lagi, pikirnya:
"Apakah tak mungkin orang semacam Maharaja itu akan melakukan penyerangan
gelap dari atas. Ah, lebih baik kuujinya dulu dengan pukulan ...."
Bum, bum, bum, ia lontarkan
tiga buah pukulan ke terowongan yang terbungkus dengan gumpalan sinar itu. Gumpalan
sinar berhamburan lenyap dan sebagai gantinya muncullah sesosok tubuh dari
manusia yang paling dibenci oleh Gak Lui. Ya, Maharaja persilatan Tio Bik-lui,
musuh bebuyutan pemuda itu !
"Ho, ternyata memang
benar engkau !" seru Gak Lui mengertak gigi, "engkau seorang putera
yang tak berbakti, seorang kakak yang hina, berhati binatang, mencelakai sesama
saudara seperguruan. Lekas serahkan jiwamu, mau tunggu apa lagi!"
"Oh ....” Maharaja
terkesiap lalu bertanya seperti tak mengerti, "apakah maksudmu, aku tak
mengerti.”
Gak Lui maju setengah langkah,
menatap tajam2 : "Orang she Tio ! Engkau adalah putera dari Bu-san It-ho.
Wataknya ganas, tak mau memikirkan muka ayahmu. Dan sampai saat ini engkau
masih berusaha untuk menghindar diri..."
"Heh, heh, heh,
heh," Tio Bik lui tertawa mengekeh dengan hamburan tenaga-dalam sehingga
pedang Pelangi yang dicekalnya ikut berguncang-guncang, "karena sudah tahu
siapa diriku, mengapa engkau berani berlaku kurang ajar. Bukankah engkau
seorang muda yang kurang adat terhadap orang yang lebih tua ..."
"Tutup mulutmu!"
bentak Gak Lui dengan mata berapi-api, "aku Gak Lui saat ini sedang
melaksanakan titah dari seorang cianpwe. Lebih baik engkau lekas habisi nyawamu
sendiri dari pada aku harus turun tangan !"
"Budak busuk, jangan
besar mulut! Terus terang kuberitahu kepadamu. Ketika di istana Bi-kiong,
engkau tak mampu berbuat apa2 terhadap diriku. Dan sekarang jangan mimpi engkau
dapat mengalahkan aku lagi. Lebih baik engkau menurut sebuah
permintaanku...."
"Hm, engkau masih ada
permintaan lagi ?"
"Pedang
Thian-lui-koay-kiam itu seharusnya menjadi milikku, jika mau menyerahkan dengan
baik2, mungkin...."
"Bagaimana !"
"Dapat kulepaskan engkau
dengan selamat dari guha ini !"
"Heh, heh ! Heh, heh, heh
!" Gak Lui mengekeh marah. Tangannya bergerak melingkar terus hendak turun
tangan. Tetapi baru dia hendak bergerak, wajah Maharaja tampak berobah serius.
Ia menengadah memandang kelangit lalu menghamburkan suitan paling dahsyat dalam
dunia yakni Suitan Pengikat jiwa.
Seketika mengigillah Thian Lui
seperti orang yang disiram es. Sekujur tubuhnya seperti disusupi ribuan kutu2
sehingga sakitnya bukan kepalang.
Untung tenaga dalamnya saat
itu sudah jauh lebih maju dari ketika berada diistana Lok-ong-kiong dahulu.
Kala itu ia pingsan mendengar Maharaja mengeluarkan suitan mautnya.
Kini walaupun tubuhnya
berguncang tetapi ia tak sampai rubuh. Dan teringatlah ia akan pesan Kaisar
Persilatan supaya tetap tenang. Setelah itu ia maju kemuka.
Sudah tentu Tio Bik-lui kaget
sekali. Wajahnya berkerenyutan, tangannyapun siap hendak mencabut pedang
Pelangi.
Oleh karena jaraknya terpisah
duapuluh tombak lebih maka Gak Luipun tak cepat dapat tiba dihadapan lawan.
Tetapi kedudukan Maharaja saat itu lebih baik. Dengan pedang Pelangi itu ia dapat
melakukan serangan dari jarak jauh. Mengingat hal itu Gak Lui segera meraba
pedang pusaka Thian-lui-koay kiam. Begitu tangan menyentuh, suatu aliran
kekuatan gaib telah menjuluri tubuh dan tanpa banyak berpikir lagi ia terus
menarik dan mencekal pedang pusaka itu. Kemudian dengan gerak langkah yang
istimewa iapun mulai bergerak.
"Tahan !" teriak
Maharaja demi mengetahui bahwa suitan mautnya tak dapat merubuhkan pemuda itu.
Dan dalam pada itu tergetarlah hatinya melihat Gak Lui mencekal pedang Thian-lui-koay-kiam.
Ia hentikan suitannya dan berteriak keras: "Tempat ini terlalu sempit,
pedang panjang tentu tak dapat dimainkan. Berhenti dulu !"
"Apakah engkau hendak
melarikan diri?" seru Gak Lui.
"Huh, masakan aku takut
kepadamu ! Kalau engkau berani mari kita bertempur dipuncak gunung," sahut
Maharaja.
"Disinilah tempat kubur
tulang mayatmu, mengapa engkau masih memilih....,” belum selesai Gak Lui
mengucap tiba2 Maharaja taburkan pedang Pelangi dan tahu2 tubuhnya mencelat
ketengah jalan sempit terus menyusup masuk ke-dalam terowongan yang
berliku-liku.
"Hai, engkau hendak lari
kemana ?" teriak Gak Lui seraya loncat mengejar.
Terowongan yang turun melurus
kebawah itu sebenarnya sebuah guha rahasia dari perut gunung. Bukan saja amat
licin, pun tingginya hampir seratusan tombak. Memang kalau lain orang tentu
sukar menuruni tetapi tokoh semacam Maharaja dan Gak Lui hal itu bukan
halangan. Sepintas pandang kedua orang itu mirip dengan dua buah bintang yang
saling kejar mengejar dilangit.
Tiba2 Gak Lui melihat
terowongan guha disebelah muka tertutup kabut tebal dan pada lain saat
Maharajapun menyusup lenyap kedalamnya. Gak Lui hanya terpisah sepuluh tombak
dibelakang lawan. Ketika keluar dari guha ternyata Maharajapun sudah tak
kelihatan batang hidungnya lagi.
Saat itu Gak Lui dikuasai oleh
pengaruh tenaga gaib pedang Thian lui-koay kiam. Dalam pandang matanya hanya
darah saja yang tampak. Matanya merah membara, panas sekali. Didadanya penuh
dilanda nafsu pembunuhan yang menyala-nyala. Melihat Maharaja menghilang, Gak
Lui mengamuk, ia memutar pedang Thian lui koay kiam, wut, wut, wut .... angin
menderu deru laksana prahara melanda.
Permainan itu dilakukan terus
menerus oleh Gak Lui sehingga sampai tigapuluh jurus. Walaupun tenaga dalamnya
hebat tetapi tak urung ia mandi keringat juga. Dan dalam hati kecilnya yang
masih tersisa sedikit kesadaran, merasa bahwa ia harus berlaku tenang. Tetapi
tenaga gaib yang menguasai dirinya itu memang sukar ditahan.
Saat itu Tiok Bik-lui memang
bersembunyi dibalik kabut tebal. Dia sudah mempelajari keadaan gunung itu. Pada
saat itu tentu kabut dan awan yang mengabut tebal. Dengan menggunakan keadaan
itu ia hendak membingungkan mata dan telinga Gak Lui, kemudian baru turun
tangan membunuhnya.
Tetapi ternyata gerak gerik
Gak Lui sukar diikuti arahnya. Tahulah ia bahwa Gak Lui sudah mulai mengunjuk
kebingungan. Maka diam2 ia menghampiri sambil kerahkan seluruh tenaga
menghambur suitan mautnya.
Tetapi justeru tindakan itu
malah membantu Gak Lui. Pemuda yang bermula telah hilang kesadaran pikirannya,
demi mendengar suitan maut itu, hatinya berdebar dan tubuh menggigil keras.
Rasa limbung yang mencengkam pikiran-nyapun mulai berkurang. Ia melihat bahwa
dalam gumpalan kabut tebal itu memancar segulung sinar hijau yang dingin dan dengan
amat cepat sekali sinar itupun menyerang punggungnya. Ah, pedang Pelangi!
Kejut Gak Lui bukan kepalang.
Cepat ia berputar tubuh dan menangkis dengan Jurus Membelah
emas-memotong-kumala.
Tring, tring ... kedua pedang
pusaka itu saling berbentur, terdengar dering suara yang amat tajam, bumi
seolah olah terbelah.
Tenaga mereka hampir
setingkat, begitu pula jurus ilmu pedang yang digunakan. Yang lain hanya pedang
yang digunakan. Pedang Thian-lui-koay-kiam masih terbungkus dengan kerangkanya
sehingga Gak Lui lebih menderita. Ia tersurut mundur sampai tiga langkah.
Kesempatan itu tak
disia-siakan Maharaja. Dengan kerahkan seluruh tenaga dalam dan secepat kilat,
ia membabat pedang Gak Lui dan dilanjutkan kearah lambungnya.
"Celaka !" diam2 Gak
Lui mengeluh. Tangannya bergetar dan hampir saja ia lepaskan pedang. Tetapi
tenaga-gaib pedang Thian-lui-koay-kiam itu seolah-olah melekat pada telapak
tangannya. Terpaksa Gak Lui kencangkan genggamannya dan serentak gunakan gerak
Rajawali-pentang sayap, melambung sampai sepuluh tombak jauhnya. Ia berhasil
menyelamatkan diri dari sasaran musuh.
Tio Bik-lui tak mau terburu
nafsu mengejar. Ia menghentikan pedang lalu mengambur suitan maut lagi sekeras
kerasnya. Ia tak mengetahui bahwa suitan maut itu tak mampu menembus
tenaga-gaib pedang Thian-lui-koay-kiam.
Gak Lui menyempatkan diri
memeriksa pedangnya. Bukan kepalang kejutnya ketika mendapatkan batang pedang
itu telah terkupas sekelumit bagian yang terbeku dengan kerangkanya.
"Hai ....," tiba2
Gak Lui terhentak dari lubuk ingatannya. Ia ingat bagaimana Kaisar persilatan
Li Liong-ci mengatakan agar dalam menghadapi Tio Bik-lui, tak usah kuatir. Tak
perlu harus menggosok pedang Thian-lui koay kiam itu dengan berlian, nanti
tentu sudah dapat digunakan. Kini baru ia menyadari ucapan tokoh itu. Apabila
beradu dengan pedang Pelangi sekali lagi, tentulah pedang itu akan terlepas
dari kerangkanya.
Ia segera memandang mencari
dimana beradanya Tio Bik-lui. Tetapi ternyata lawan seolah2 lenyap dalam
bungkusan kabut tebal. Hanya suitan mautnya yang mengiang-ngiang berkumandang
memakan telinga. Tetapi justeru itu yang membuat kesadaran pikiran Gak Lui
makin pulih. Dengusnya: "Hm, bila kabut sudah lenyap, engkau tentu mati
kucincang !"
Suitan maut itu makin keras.
Nadanya bagai-burung hantu menguguk di tengah malam, lain saat seperti
orang-utan memekik mekik. Rupanya Maharaja Tio Bik-lui hendak mengacaukan
pikiran Gak Lui dengan suitan mautnya itu.
Lebih kurang tiga jam lamanya,
kabutpun mulai menipis, sinar matahari mulai tampak. Gak Lui tetap tenang2 saja
sedang Tio Bik-lui tampak tak sabar. Ia mengira suitan maut yang dihamburkan
sekian lama tentu sudah dapat menguasai lawan. Begitu kabut lenyap iapun segera
melaksanakan rencananya. Maka dengan wajah membesi dan langkah sarat, ia maju
menghampiri Gak Lui.
Tiba2 segumpal sinar matahari
memancar dari gumpalan kabut dan kedua lawan itu baru mengetahui bahwa mereka
hanya terpisah sepuluh tombak. Melihat itu Gak Lui tak dapat mengendalikan diri
lagi. Ia putar pedangnya dalam jurus Memetik-bintang menjolok-bulan, maju
menyerang musuh.
Maharajapun menyeringai. Ia
menyongsong dengan memutar pedang Pelangi. Tring, tring, tring, dering
menggerincing bagaikan halilintar memekik-mekik ditengah udara dan berhamburan
bunga api dari kerangka terbungkus lahar yang membeku jadi satu dengan batang
pedang Thian-lui-koay-kiam. Pada saat batang pedang itu hampir terkupas bersih,
Gak Lui gentakkan menyabat pedang lawan. Tring.....terdengar letupan keras dan
bagaimana ular naga muncul dari liang, pedang pusaka Thian lui-koay kiampun
menampakkan dirinya yang aseli.
Pedang itu memancarkan sinar
merah darah yang menyilaukan mata. Seketika sinar biru dari pedang Pelangi
seolah-olah ditelan lenyap oleh sinar merah. Dan benturan itu hampir membuatnya
tak dapat bernapas.
"Ah....," Maharaja
menghambur seluruh tenaga-dalam, bersuit sekeras kerasnya, menarik pulang
pedang dan terus meluncur kedalam sisa gumpalan kabut.
"Hai, hendak lari kemana
engkau!" teriak Gak Lui seraya mengejar. Karena kabut sudah tipis maka
tampaklah tubuh kedua orang yang sedang kejar mengejar itu.
Karena nyalinya pecah,
Maharaja lupa untuk menggunakan sisa kabut menutup diri. Dia hanya lari
mati-matian, Gak Lui mengejar sepesat angin.
Tiba dari tikung terowongan,
bermuncullah empat orang nona, yakni Hi Kiam gin dan kawan-kawannya. Sebenarnya
mereka sudah memperhitungkan tentu dapat tiba pada waktu yang tepat. Tetapi
suitan maut dari Maharaja itu membuat mereka limbung dan lemas.
Kemunculan keempat nona itu
membuat Maharaja terkesiap tetapi pada lain saat ia segera menghambur tertawa
seram. Serentak berputar tubuh sambil bersuit keras, ia mainkan pedang Pelangi
sederas hujan mencurah, menyerang keempat nona itu. Tampak keempat nona itu
menggigil dan serempak rubuh ketanah.
Gak Lui terperanjat, secepat
kilat ia lari menerjang tetapi Maharaja mendahului loncat dan menyelinap lenyap
kesamping jalan.
Karena perlu menolong keempat
nona, Gak Lui tak mau mengejar. Untunglah, keadaan keempat nona itu tak
membahayakan karena tak menderita luka. Ia memindahkan mereka kebalik sebuah
batu besar lalu mulai mengurut mereka.
Saat itu pedang
Thian-lui-koay-kiam masih tergenggam dalam tangan kanannya. Pedang itu memancar
tenaga-gaib. Maka dalam beberapa kejab saja keempat nona itupun dapat
disadarkan dari pingsannya.
"Taci Gin, harap kalian
tunggu disini. Bertindaklah menurut keadaan nanti," kata Gak Lui.
Hi Kiam-gin mengangguk.
Siu-mey, The Hong-lian dan Yan hong terkesiap heran melihat Gak Lui mencekal
sebatang pedang yang bersinar merah. Tetapi ketika hendak bertanya, tiba2
terdengarlah suitan si Maharaja dalam nada yang aneh dan rendah sekali....
"Celaka, kemungkinan dia
tentu melarikan diri," Gak Lui terkejut, ia tak mau membuang waktu lagi,
"harap hati2.....!" habis berkata ia terus loncat melesat kearah
suara suitan itu.
Walaupun suitan itu terdengar
makin halus, tetapi karena gumpalan kabut sudah menipis, setelah memusatkan
perhatian, dapatlah Gak Lui menentukan arah tempat Maharaja. Maharaja itu
berada disebuah puncak karang setinggi seratus tombak ! Cepat Gak Lui menuju
ketempat itu.
Sebuah karang yang menjulang
tinggi seperti sebatang pilar. Gak Lui menimang. Kalau dia mendaki keatas tentu
terperangkap oleh tipu muslihat musuh yang menunggu diatas. Tetapi kalau tidak
naik keatas, musuh tentu tak dapat ditangkap.
"Ah, aku tak dapat
membiarkannya !" akhirnya ia mengambil keputusan. Karena lawan berhenti
bersuit, darah Gak Lui memancar panas. Nafsu membunuh mulai berkobar lagi,
hampir tak dapat ditahannya.
Rupanya ditempat
persembunyian, Maharaja memperhatikan gerak gerik pemuda itu. Ia tahu akan
perobahan warna dari pedang Thian lui-koay-kiam yang makin lama makin
memancarkan sinar merah darah.
Diam2 Maharaja kerahkan
seluruh tenaga-dalam kearah tangannya sehingga ujung pedang Pelangi tampak
makin menyala warna biru. Ya, ia telah memutuskan untuk melancarkan serangan
yang dahsyat.
Rupanya Gak Luipun mengetahui
hal itu. Tetapi ia hanya melihat sinar biru tak dapat melihat orangnya.
Dendam kesumat dan pertempuran
mati hidup segera akan pecah di puncak karang itu ....
Pada lain kejab, sinar merah
dan biru itu berkembang menjadi segumpal lingkaran. Jelas keduanya sedang
mengerahkan seluruh tenaga-dalam untuk mengembangkan daya kesaktian pedang
masing2.
Dengan matanya yang celi,
dapatlah Gak Lui mengetahui tempat beradanya lawan. Secepat tiba disana,
merekapun saling beradu pandang.
Maharaja memandang Gak Lui
seperti seekor harimau buas yang haus darah. Dendam kesumat terpantul pada
wajah pemuda itu, seolah olah seorang utusan Pencabut Nyawa yang datang hendak
merenggut jiwa.
"Lihatlah
pedang.....!" teriak Maharaja dengan nada gemetar tetapi masih bersikap
congkak. Dengan kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya, ia lancarkan
serangan maut.
Gak Lui meraung seperti seekor
singa. Ia kerahkan seluruh tenaga-dalam untuk menyongsong serangan musuh.
Tring......
Terdengarlah bunyi
menggemerincing bagai naga meringkik ketika kedua pedang pusaka itu saling
beradu keras. Sinar merah dan biru pecah berhamburan memenuhi puncak karang.
Dua sosok tubuh saling merapat lalu menyurut pisah, melambung dan melingkar
diudara kemudian meluncur pula ditengah gelanggang.
Selekas tiba ditanah, Gak Lui
enjot tubuh loncat kemuka lagi. Pedang Thian-lui-koay-kiam menjulur beberapa
meter lagi. Sedang Maharaja terhuyung dan pedang Pelanginyapun ikut berguncang,
sinarnya agak menyurut.
Tring..... terdengar pula
dering nyaring disusul dengan suara orang menguak. Maharaja muntahkan segumpal
darah segar. Tubuhnya beberapa kali menggigil, kuda2 kakinyapun bergetar. Tanah
yang dipijaknya menimbulkan tebaran debu dan meninggalkan bekas telapak kaki
yang cukup dalam!
Karena mengenakan topeng kulit
muka, maka tak dapat diketahui bagaimana keadaan roman Gak Lui saat itu. Tetapi
dari sepasang matanya yang memancar sinar berkilat-kilat merah, dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa saat itu ia bagaikan seekor harimau yang haus darah.
Dalam hati pemuda itu hanya
terukir sepatah kata 'bunuh'. Ya, membunuh untuk mencuci dendam sakit hati
orang tuanya.
Karena terdesak akhirnya Maharaja
tiba pada tepi gunung. Kecuali jalan terowongan itu, gunung Im-leng-san tiada
jalan lain lagi. Dibawah puncak, terbentang lembah yang amat curam sekali.
Untuk melarikan diri sudah tak mungkin lagi. Dan lagi seorang berhati congkak
seperti dia tentu tak rela mati ditangan seorang pemuda yang tak terkenal
sebagai Gak Lui.
Akhirnya ia nekad. Sambil
berputar tubuh, ia tegak berdiri diatas puncak, berputar tubuh dan kerahkan
seluruh sisa tenaganya yang masih dimiliki, siap hendak melakukan perjuangan
yang terakhir. Ia berpantang mati sebelum ajal.
Tetapi gerakan Gak Lui jauh
lebih cepat. Pedang Thian-lui-koay-kiam yang bersinar merah darah itu hanya
terpisah setengah tombak dari dada Maharaja. Bukan melainkan bola matanya yang
merah, bahkan bibir mulut dan kulit tubuh-nyapun memancarkan sinar merah padam.
Tring.....
Adu pedang yang ketiga kali
itu merupakan adu senjata yang terakhir. Terdengar dering keras menyerupai
petir menyambar. Kumandangnya seperti memecah seluruh lembah sehingga keempat
nona yang masih berada ditempat persembunyiannya itu tergetar hatinya.
Tubuh Tio Bik-lui si Maharaja
Persilatan yang termasyhur sebagai durjana ganas itu, begitu tersentuh pedang
Thian lui-koay-kiam, segera hancur lebur menjadi berkeping keping. Pedang
Pelangi mencelat keudara sampai berpuluh tombak tinggi lalu meluncur jatuh lagi
ketanah.
Saat itu kabut yang menutup
puncak gunung berwarna seperti pelangi. Merah darah tubuh Maharaja, warna biru
dan pancaran pedang Pelangi bercampur dengan sinar kabut yang lembab mengandung
air.
Tegak berdirilah Gak Lui
menyaksikan peristiwa penting yang menjadi-jadi cita2 hidupnya selama belasan
tahun. Musuh besar dan bebuyutan selama ini, saat itu telah dapat ditumpasnya.
Ia termangu dan menyungging senyum ......
Dalam pada itu keempat nonapun
bukan kepalang tegangnya. Tegang karena luapan kegirangan atas kemenangan Gak
Lui. Dengan kemenangan itu dapatlah Gak Lui menghimpaskan dendam sakit hati
selama delapan belas tahun.
".....engkoh
Lui....." terdengar teriak melengking dari empat sosok tubuh yang
berhamburan lari menghampiri ketempatnya.
Mendengar itu Gak Lui perlahan
lahan berputar tubuh, Keempat nona itu terperanjat demi melihat pakaian dan
mata pemuda itu berwarna merah. Mereka berhenti pada jarak tiga tombak.
Dalam sinar merah membara
pandang mata Gak Lui, masih tampak tiga bagian kesadarannya. Hal itu disebabkan
karena tenaga-dalamnya yang amat kuat sehingga ia tak sampai terlelap dalam
pengaruh tenaga gaib pedang Thian-lui-koay-kiam. Pertentangan antara hati
nurani yang baik dengan pengaruh jahat dari tenaga gaib itu menimbulkan gejolak
keras dalam hati Gak Lui. Seolah-olah suatu suara halus selalu mengiang
di-telinganya .... bunuh... bunuh.... bunuh... gunakanlah pedang
Thian-lui-koay-kiam untuk membunuh sepuas-puasmu ....
Dilain fihak, hati nuranipun
melengking-lengking.....tenang .... tenang.... lekas lepaskan pedang .....
Tetapi suara hati nurani itu
amat lemah sehingga hampir tak kedengaran. Sedang tangannya masih mencekal
pedang. Karena itu matanya masih memancar sinar pembunuhan dan permusuhan
terhadap keempat nona itu.
Keempat nona itu memang
menaruh hati kepada Gak Lui. Walaupun Hi Kiam gin sudah memerintahkan ketiga
kawannya supaya mencabut pedang tetapi mereka tetap masih ragu2 untuk
menyerang.
Justeru rasa kebimbangan
itulah yang menyebabkan mereka harus menderita. Saat itu Gak Lui makin
terperangsang oleh tenaga-gaib pedang Thian-lui-koay kiam. Sekali bahu bergerak
maka ia mendahului turun tangan.
"Cepat!" teriak Hi
Kiam-gin yang menyadari keadaan gawat itu. Dengan bersuit menyaring ia pun
putar pedangnya dalam jurus Burung-hong-rentang sayap, menyongsong maju.
Dalam keadaan begitu terpaksa
Siu-mey dan kedua nonapun segera bergerak. Serempak mereka mainkan jurus
Menjolok rembulan-memetik bintang, Membelah-emas-memotong-kumala dan
Hawa-pedang menembus malam, Empat sinar pedang bergabung satu, merupakan
lapisan dinding baja. Indahnya ilmu permainan dan perbawanya yang amat dahsyat,
hampir tak kalah hebatnya dengan kedahsyatan pedang Thian-lui-koay-kiam.
Tring, tring, tring.....
Tiga buah suara mendering
nyaring segera berhamburan. Tiga jurus ilmu pedang Bu-san-kiam-hwat melancar
dan jelaslah bagaimana gambarannya. Bukan saja serangan Gak Lui itu tertindas,
pun disisinya terbuka sebuah lubang. Lubang ini sesungguhnya diisi oleh si
cantik Yan Hong. Asal dia mau menusuk dengan jurus Hawa pedang-menembus-malam,
bereslah pertempuran itu.
Tetapi ah, nona itu tak sampai
hatinya melukai pemuda yang dicintai. Maka kuatir kalau melukai, pada saat
ujung pedang hanya terpaut beberapa dim dari tubuh Gak Lui, nona itu lunglai
tangannya sehingga gerakannyapun agak lambat.
Hanya sekejab mata saja adegan
itu berlangsung dan situasipun berobah sama sekali. Bagai ular naga bermain
diatas air, pedang Gak Lui pun cepat berobah gerakannya. Walaupun keempat nona
itu memiliki ilmu pedang yang sekokoh dinding baja namun mereka dipaksa juga
untuk mundur sampai tiga tombak.
Belum sampai mereka berdiri
tegak, tiba2 Gak Lui julurkan ujung pedang dan bum.....
Terdengarlah sebuah letupan keras,
bumipun seolah-olah pecah. Karena sebagai pemimpin barisan kedudukan Hi
Kiam-gin itu yang paling muka sendiri maka dialah yang lebih dulu menderita. Ia
menjerit kaget karena segumpal sinar merah-darah meluncur berhamburan ke arah
dirinya. Bagaikan sehelai daun tertiup angin, tubuh Hi Kiam-ginpun terlempar
keluar lingkungan karang.
Siu-mey, Hong-lian dan
Yan-hong pucat. Tanpa menghiraukan suatu apa lagi, mereka segera berhamburan
loncat untuk menolong Hi Kiam-gin.
Kini dipuncak karang hanya
tinggal Gak Lui seorang yang masih tegak berdiri termangu-mangu. Hatinya
bertentangan sendiri. Hati nuraninya mengajurkan supaya dia lekas membuang
benda celaka itu tetapi ia merasa sukar untuk melepaskan benda itu. Dia
menengadah memandang kelangit. Hatinya penuh dicengkam rasa pedih dan duka ....
Pada saat keempat nona itu
bergerak tadi, dari mulut terowongan muncul keluar serombongan tokoh2 Thian Lok
totiang, Sebun sianseng, Raja-sungai Gan Kee-ik, ketua Kay-pang, tiga imam
bu-tong-pay dan paderi Kak Hui dari perguruan Heng-san-pay.
Mereka tak mengetahui apa yang
terjadi. Tetapi jelas mereka melihat bagaimana Gak Lui telah menyerang keempat
nona itu hingga terlempar kedalam bawah karang. Mereka menduga tentu terjadi
sesuatu diantara muda mudi itu.
Hanya imam Hwat Lui dari
Bu-tong-pay yang mempunyai prasangka buruk. Dia anggap Gak Lui memang gemar
membunuh dan berhati ganas. Maka rombongan tokoh2 itu memecah diri jadi tiga
kelompok.
Pemimpin2 perguruan
Bu-tong-pay, Heng-san-pay, Sau-lim pay dan Kong-tong-pay serempak mencabut
pedang. Mereka merupakan kelompok yang marah dan hendak minta tanggung jawab
kepada Gak Lui.
Kelompok kedua terdiri dari
ketua perguruan Kun-lun-pay, Go-bi-pay, Ceng-sia-pay dan Kiu-hoan-bun.
Merekapun menghunus senjata masing2. Tetapi tujuannya yalah hendak melerai
supaya jangan sampai terjadi pertumpahan darah.
Sedangkan kelompok ketiga
yalah Kepalan-sakti The Thay, ketua partai Pengemis dan ketua partai
Gelandangan. Mereka hendak menolong keempat nona yang terlempar kebawah lembah.
Suara berisik dari kedatangan
rombongan tokoh2 itu membuat Gak Lui terkejut dan cepat berputar tubuh. Pedang
Thian-lui-koay-kiam yang berwarna merah darah dan sinar mata Gak Lui yang
memancar sinar pembunuhan, membuat sekalian tokoh2 itu tertegun dan terkejut!
"Sauhiap, bagaimana
engkau ?" tegur Thian Lok totiang ketua Ceng-sia-pay.
Gak Lui serasa berat membuka
suara. Dengan langkah sarat sehingga telapak kakinya meninggalkan bekas
beberapa dim ditanah, ia maju menghampiri mereka.
Tetapi Gak Lui seperti tak
mendengar. Pedang Thian lu-koay-kiam makin lama makin merah membara.
Melihat itu imam Hwat lui dari
Bu tong tak dapat menahan diri lagi. Sambil mengangkat pedang, ia menghardik
marah : "Orang she Gak, kiranya engkau juga seorang durjana. Biarlah aku
mengadu jiwa dengan engkau !”
"Lekas kalian menyingkir
... lekas, lekas !" hati Gak Lui menjerit jerit. Sayang sekalian tokoh itu
tak dapat mendengar jeritan hatinya. Sekalipun sinar matanya sudah memberi
pertandaan tetapi karena diliputi rasa tegang, sekalian orangpun tak sempat
memperhatikannya.
Saat itu jaraknya makin dekat
dan hanya tinggal lima tombak saja. Hwat Lui menggembor lalu mendahului
menerjang. Serangan itu makin mengobarkan hawa pembunuhan didada Gak Lui.
Melihat itu buru2 Sebun sianseng hendak mencegah. Dengan menebarkan senjata
payung besi, ia memutarnya dan melintangkan ditengah kedua orang itu.
Sayang tindakan tokoh Kun-lun
pay itu terlambat. Tiba2 pedang Thian-lui-koay diangkat keatas. Sinar
merah-darah pedang itu benar2 menyilaukan orang. Walaupun tokoh2 itu
berkepandaian tinggi tetapi mereka gugup juga dan buru2 memutar senjata untuk
jaga diri.
Bum.....
Berhamburan sinar warna merah
darah disusul dengan orang jeritan yang ngeri. Beberapa saat kemudian tiada
seorang dari ketua perguruan persilatan yang tak rubuh.
Makin lama Gak Lui mencekal
pedang, makin dia tercengkam lebih hebat dalam pengaruh tenaga-gaib pedang itu.
Setelah merubuh sekalian ketua persilatan, ia tetap belum puas dan tetap hendak
mengganas.
Dengan mata memberingas macam
harimau buas, ia putar pedang Thian-lui-koay-kiam dan hendak menyelesaikan
korban2 yang sudah tak berdaya itu.
Tetapi pada detik2 maut hendak
merenggut, dari arah terowongan terdengar suitan senyaring naga meringkik
disusul dengan sesosok bayangan yang melayang diudara dan meluncur dihadapan
Gak Lui.
Rupanya pemuda itu terkesiap
mendengar suitan dari pendatang itu dan rasa kesadarannyapun agak timbul
kembali. Tampak pendatang itu berwajah bersih berseri-seri seperti kumala.
Sepasang bola matanya amat jernih dan mencekal pedang panjang yang entah
terbuat dari bahan apa. Bukan dari batu kumala pun bukan dari emas. Warnanya
kebiru-biruan, di tengah batang pedang dibalut dengan sutera merah. Menilik
usia orang itu pantaslah kalau menjadi putera tokoh Kaisar persilatan Li
Liong-ci. Dan memang pendatang itu adalah Li Kong-hud, putera Kaisar-persilatan
Li Liong ci.
"Saudara Gak, harap
lepaskan pedang itu,” seru Li Kong-hud, “aku hendak bicara padamu !"
Rupanya pemuda itu sudah
mengetahui keadaan yang berlangsung disitu. Karena merasa tak keburu menolong
para ketua partai persilatan maka ia minta supaya Gak Lui lemparkan pedang
iblis itu.
Sekalipun dalam hati Gak Lui
tahu akan semua peristiwa tetapi mulut serasa berat berkata. Tubuhnya masih
mendidih darah pembunuhan. Sejenak ia hendak mengganas lagi, sejenak pula
seperti hendak melepaskan pedang.
Keadaan Gak Lui yang sedang
mengalami pertentangan batin itu tak lepas dari perhatian Li Hud-kong. Segera
ia mengangkat tangan kiri mengambil seutas rantai halus yang ujungnya diikat
dengan bandul Swastika.
"Saudara Gak, jangan
lihat aku, lihatlah tanda Swastika ini!" serunya seraya menampilkan bandul
Swastika itu kemuka. Begitu mata Gak Lui memandang tanda Swastika itu, Li
Kong-hud lalu memutar tangannya seperti sebuah roda. Makin lama makin kencang
sehingga mata Gak Lui pun ikut seperti berputar-putar.
Tak berapa lama sinar mata Gak
Lui yang berwarna merah darah itu mulai mengatub.
"Saudara Gak, apakah
engkau mendengar ucapanku ?" seru Li Kong-hud pula.
"Ya .... mendengar,"
akhirnya Gak Lui menyahut dengan pikiran yang sadar.
"Kalau begitu harap
engkau lepaskan pedang itu."
"Aku .... tak mampu
melepaskannya !"
"Mudah sekali asal engkau
mau menurut apa yang kukatakan, tentu dapat !"
"Silahkan
mengatakan."
"Lebih dulu kendorkan
kelima jarimu. Lalu kerahkan tenaga-dalam Algojo-dunia dan siap2 untuk
melemparkannya..." kata Li Hud kong, "nah, akan kuhitung sampai tiga.
Begitu aku menghitung tiga, cepatlah engkau pancarkan tenaga dalam !"
"Baik, aku akan berusaha
sekuat tenaga."
"Satu......," sambil
mulai menghitung Li Hud-kongpun diam2 kerahkan tenaga-dalam.
"Dua....” ia segera
mengangkat pedang Pelangi keatas kepala, siap hendak bertindak.
"Tiga ....!" begitu
Gak Lui menebarkan genggaman tangannya Li Hud kongpun menyerempaki dengan
ayunan pedang Pelangi. Tring .... pedang laknat Thian-lui-koay-kiampun
terlempar jatuh ketanah dan terlepaslah Gak Lui dari genggaman tenaga-gaib.
Pada saat mata Gak Lui
memandang kesekeliling, kejutnya bukan kepalang. Para ketua partai persilatan
menggeletak ditanah dalam keadaan yang mengerikan. Wajah mereka pucat seperti
kertas, tubuh berlumuran darah. Mereka berusaha duduk bersemedhi menyalurkan
tenaga-dalam untuk menahan kesakitan. Ada yang menderita luka parah ada yang
ringan. Yang paling berat adalah Thian Lok totiang dan Sebuah sianseng. Thian
Lok totiang lengan kanannya kutung, Sebun sianseng separuh lengannya hilang.
Mereka bakal cacad seumur hidup.
Jika yang menderita cacad itu
lain orang, mungkin Gak Lui masih tak sepilu seperti kalau Sebun sianseng yang
cacad. Gak Lui benar2 sedih dan menyesal sekali.....
Dalam kekalapannya tadi Gak
Lui masih belum menggunakan seluruh tenaganya. Andaikata ia mengamuk hebat,
mereka tentu sudah binasa semua.
Rasa sesal, sedih, geram dan
jengkel berkecamuk jadi satu dalam dada Gak Lui. Ia tak tahu bagaimana harus
menyelesaikan soal itu. Ia merasa telah berdosa besar. Tiba2 ia hentakkan
kakinya ketanah, bluk.... tanah karang muncrat berhamburan. Lalu ia merobek
separoh bajunya dan sebelum orang tahu apa yang hendak dilakukan, Gak Lui
membungkus pedang Thian-lui-koay-kiam dengan robekan kain lalu secepat kilat
berputar diri dan lari menyusup kedalam terowongan.....
"Hai, saudara Gak, aku
hendak bicara..." Li Hud-kong berteriak memanggilnya tetapi sudah
terlambat. Gak Lui sudah lenyap kedalam terowongan. Li Hud-kong terkejut,
dengan membawa pedang Pelangi iapun ikut menyusup kedalam terowongan
mengejarnya.
Keadaan dipuncak gunung
Im-leng-sanpun kembali hening. Tak berapa lama para ketua partai persilatan
itupun berbangkit. Dengan saling bantu membantu dan mengandung perasaan yang
berbeda-beda mereka tinggalkan tempat itu.
Gunung Im-leng-san sunyi
senyap.
Bab 34. Pedang menutup
riwayat.
Angin berembus, awan berarak
dan bulanpun bersinar menerangi gunung Im-leng-san. Dari lamping gunung muncul
tujuh sosok bayangan. Pukulan-sakti The Thay menarik tangan puterinya The
Hong-lian. Sedang ketua Kay-pang dan partai Gelandangan menggandeng Hi Kiam gin
dan kedua kawannya, dengan napas terengah-engah menyusup kedalam terowongan.
Ternyata keempat nona itu
walaupun terpelanting kedalam lembah, tetapi belum takdirnya mati. Dengan
membentuk diri dalam barisan pedang, mereka berhasil lolos dari pedang maut
Thian-lui koay kiam. Sedang waktu terlempar kebawah karena didalam lembah itu
penuh bertumbuh pohon2 rotan tua, mereka tertahan diantara hutan pohon akar itu
dan berhasil menyelamatkan diri.
Dan tepat pada waktunya
muncullah ketiga ketua partai persilatan itu menolong mereka. Dan karena
menolong keempat nona itu maka Tinju sakti The Thay, ketua partai Pengemis dan
ketua partai Gelandangan pun terhindar dari bencana amukan Gak Lui.
Setiba dipuncak, mereka heran
karena keadaan disitu sudah sepi. Pertempuran berhenti dan tak seorangpun yang
tampak. Semula mereka hanya mengira tentulah para tokoh2 persilatan itu sudah
dapat menyelesaikan Gak Lui lalu membawanya turun gunung. Tetapi alangkah kejut
mereka ketika melihat darah berceceran ditanah. Tentu telah terjadi sesuatu
yang tak diduga!
Serempak merekapun bingung dan
gelisah. Akhirnya setelah berunding mereka menentukan dua macam keputusan.
Pertama, akan mencari Gak Lui
dan meminta keterangan kepadanya. Kedua, mencari rombongan ketua partai
persilatan dan meminta keterangan kepada mereka.
Setelah menentukan rencana,
mereka lalu mulai menyusul. Tetapi mereka tak menduga bahwa Gak Lui sudah
melenyapkan diri dan rombongan ketua persilatan inipun mengambil jalan singkat.
Oleh karena itu mereka tak berhasil menemukan Gak Lui maupun rombongan ketua
persilatan.
Dengan sekuat tenaga, Gak Lui
lari secepat cepatnya. Karena ilmu meringankan tubuh dari pemuda itu sudah
mencapai tingkat yang hebat maka seorang tokoh macam Li Hud-kong pun sampai tak
dapat mengejarnya.
Gak Lui lari secepat angin
membawa perasaan hati yang seperti tertindih gunung.
"Bagaimanakah aku harus
menyelesaikan peristiwa budi dan dendam ini.....?”
Sambil berlari tak
henti-hentinya ia berpikir. Dan setelah memikir panjang lebar akhirnya dia
hanya tertumbuk pada kebingungan dan tak tahu bagaimana harus bertindak.
Dia lari melintas rimba,
mendaki gunung. Beberapa hari kemudian tibalah ia digunung Bu-san. Ditengah
dari keenam puncak lapisan luar dan keenam puncak lapisan dalam gunung Bu-san
itu, terdapat tempat makam ayahnya.
Gak Lui tegak berdiri menghadap
gunung lalu berlutut. Pertama ia berdoa kepada kakek guru, paman guru yang
telah berada didunia baka. Ia menceritakan semua perbuatan dan dosa yang telah
dilakukannya.
Dia telah membunuh
Maharaja-persilatan Tio Bik-lui untuk melaksanakan pesan dari kakek-gurunya dan
sekalian membasmi seorang durjana persilatan yang selama ini selalu
membahayakan ketenteraman.
Tindakannya itu tentulah dapat
diterima oleh arwah para kakek dan paman gurunya.
Tetapi kematian dari paman
gurunya si Lengan-besi-hati-baik, mau tak mau ia harus merasa berduka sekali.
"Kakek guru, paman
guru," Gak Lui pejamkan mata berdoa, "adakah perbuatan wanpwe ini
berjasa atau bersalah, harap kakek dan paman guru berdua memberi keputusan.
Pedang Thian-lui-koay-kiam kupersembahkan kembali dan akan kutanam agar jangan
meminta korban lagi...”
Habis memanjatkan doa ia terus
menyelundup masuk kedalam guha batu. Guha yang pernah mengurungnya selama tiga
hari. Ia kenal akan keadaan guha itu dan faham jalannya. Tak berapa lama
tibalah ia dimuka makam ayahandanya. Ia tergetar dan pilu sehingga mengucurkan
air mata. Dengan rawan ia berdoa menghaturkan laporan tentang berhasilnya
menuntut balas kepada musuh.
Tulang kerangka ayahnya sudah
bertahun-tahun berada dalam guha yang berhawa panas sehingga lunak sekali.
Tetapi dalam keadaan masih seperti orang duduk.
Tetapi pada saat Gak Lui
selesai menghaturkan keterangan tentang selesainya membalas sakit hati, tiada
angin berhembus tiba2 tulang kerangka itu berhamburan sendiri ketanah. Dan
sesaat angin bertiup, abu tulang itupun bertebaran kemana-mana.....
Rupanya ayah Gak Lui yang
bergelar Dewa Pedang itu merasa gembira dan meram dialam baka.....
Wajah Gak Lui tampak tenang.
Rupanya ia terhibur dengan apa yang disaksikan saat itu. Serta merta ia mengangguk
kepala memberi hormat. Setelah itu ia lalu melepas pedang Thian-lui-koay-kiam.
Meletakkan pedang itu dibawah
pesan ayahnya, diam2 Gak Lui merenung : "Pedang, riwayatmu merupakan
sejarah Bu-san. Engkau senyawa dengan gunung ini. Maka kini .... kuletakkan
engkau disini agar selama-lamanya engkau tetap berada digunung Bu-san !"
Setelah termenung menung
beberapa lama dihadapan abu kerangka ayahnya, Gak Lui lalu menuju ketelaga
Pencuci-hati. Disana ia bersembahyang pada arwah bibi gurunya. Setelah itu iapun
pergi ke Guha-batu tempat penjara iblis untuk bersembahyang pada arwah paman
gurunya Pedang Iblis.
Dari guha itu dapatlah ia
memandang kearah gunung Bu-tong-san. Teringat akan Bu-tong-san, teringat juga
ia akan perguruan bu-tong pay dan serentak ia terkejut. Ya, ia telah lupa
meninggalkan pedang Pelangi pusaka dari partai Bu tong-pay digunung
Im-leng-san. Bukankah ia sudah berjanji akan mengembalikan lagi pedang itu
kepada orang Bu-tong-pay?
"Sekalipun menderita
luka-dalam, tetapi seharusnya imam Hwat Lui mengambil pedang itu," pikir
Gak Lui seraya memandang langit. Akhirnya ia tiba pada kesimpulan bahwa
pemimpin Bu-tong-pay tentu masih penasaran dan pasti akan mencarinya. Nah, pada
saat itu baru ia dapat memberi penjelasan.
Selesai merenungkan hal itu,
pandang matanya beralih memandang kearah makam paman gurunya. Seketika
terlintaslah dalam kenangannya seorang yang paling dikasihi dalam dunia.
Ibu....!
Menurut keterangan Thian Wat
totiang, jenasah ibunya ditanam didesa kelahirannya. Tetapi Gak Lui tak tahu
dimana desa kelahirannya itu. Betapa besar hasratnya untuk bersembahyang
dimakam ibunya namun terpaksa ia harus menahan keinginannya itu. Saat itu ia
harus menuju ke gunung Wan-san dulu.
Alam pemandangan gunung
Wan-san masih seperti sediakala. Ketika melihat kedatangan Gak Lui, penduduk
gunung menyambut gembira sekali. Karena dialah yang diangkat menjadi pengganti
ayah angkatnya menjadi ketua pelindung gunung itu. Maka Gak Lui disambut dengan
upacara yang meriah dan pesta besar.
Setelah mengadakan upacara
sembahyangan dimakam suhengnya Gak Ci-beng atas budi pertolongannya
menyelamatkan jiwa Gak Lui dari pembunuhan, Gak Luipun mengadakan upacara
sembahyangan besar dihadapan makam Pedang-aneh Ji Ki-tek, paman gurunya yang
selama ini menjadi ayah-angkat Gak Lui.
Dengan sakit hati sudah
terhimpas dan ilmu kepandaianpun telah dicapai dengan sempurna. Maka menurut
pesan ayah-angkatnya, dihadapan makam itu Gak Lui hendak membuka kedok kulit
yang selama ini menutupi mukanya.
Tetua rakyat gunung Yau san
membawakan sebuah cermin besar. Untuk pertama kali Gak Lui melihat bagaimana
wajahnya yang tertutup kedok kulit. Berapa saat kemudian ia ayunkan tinju
menghantam hancur kedok kulit itu.
Gak Lui terbeliak kaget ketika
melihat sebuah wajah asing pada kaca. Seorang pemuda yang cakap dan gagah.
Itulah..... dirinya sendiri!
Pada dahinya tampak selarik
luka bekas tabasan pedang.
"Ah, ayah-angkatku
sungguh sangat memperhatikan diriku....," pikirnya dengan penuh rasa
terima kasih, "bekas luka pedang itu sekalipun tak mempengaruhi roman
mukaku tetapi hal itu mudah diketahui musuh dan membahayakan diriku."
Gak Lui menghela napas.
Delapan belas tahun lamanya ia harus menderita mengenakan kedok muka dan
menderita berbagai susah payah untuk mendapat kepandaian. Selama mengembara ia
telah terlibat dalam dendam dan budi yang berbelit-belit .....
Ramalan dari si Raja-sungai
Gan Kee-ik dengan cermin kacanya itu kembali terlintas dalam benak Gak Lui.
Akhirnya ia memutuskan untuk menyikap diri selama beberapa hari, mungkin ia
dapat menemukan sesuatu yang jernih.
Ia segera memberi pesan kepada
para penjaga, apabila ada tetamu supaya dipersilahkan masuk. Kemudian ia duduk
bersemedhi dalam guha. Selama tiga hari tiga malam ia merenung menghampakan
pikiran, namun belum juga ia mendapat sesuatu pikiran untuk memecahkan
persoalan yang dihadapinya itu.
Pada hari itu terdengar
gederang berbunyi tanda gunung itu kedatangan orang luar. Ternyata yang datang
yalah Li Hud-kong putera dari Kaisar-persilatan Li Liong-ci. Pemuda itu datang
dengan membawa pedang pusaka Pelangi.
"Saudara Gak seorang
tunas yang berbakat. Dan nasib saudara itu memang luar biasa, tepat seperti
yang dikata ayah...."
"O, bagaimana kata ayah
saudara ?”
"Beliau mengatakan hendak
menurunkan ilmu gaib Liok-to-sin-tong (lima jalan kegaiban). Untuk menerima
ilmu itu harus dibutuhkan seorang yang memiliki telinga tajam dan mata
celi.....”
“Lalu kapankah akan menurunkan
ilmu itu menurut beliau ?"
"Sekarang juga !"
"Sekarang ? Adakah
saudara sudah menguasai ilmu dan dapat diberikan kepadaku?"
"Tidak! Aku masih kurang
berbakat untuk menerima pelajaran itu," sahut Li Hud-kong tertawa,
"tetapi ayah telah menulis sebuah kitab Liok-to-sin-tong dan suruh aku
memberikan kepadamu."
Gak Lui terkesiap, serunya
tegang: "Kalau begitu, bolehkah sekarang kulihatnya?"
"Belum dapat dilihat
sekarang dan lagi ada syaratnya."
"Eh, apakah beliau
menghendaki syarat?"
"Setiap orang tentu
mempunyai syarat. Tetapi yang diminta ayah itu sederhana sekali, hanya
saja......”
"Hanya bagaimana ?"
"Keras juga!"
"Apakah suatu ujian yang
keras ?”
"Boleh dikata
begitulah."
"Kalau begitu silahkan
saudara mengatakan, aku bersedia mendengar."
"Tak perlu dikatakan
cukup engkau jawab dengan tindakan. Kalau dapat menjawab tepat, luluslah sudah
!"
"Tindakan
bagaimana....?"
"Cobalah engkau jawab
bagaimana sikapmu terhadap masalah asmara dan budi dendam? Bagaimanakah engkau
hendak menyelesaikannya?"
"Ini....mencabut pedang
memutus asmara....badan binasa demi menuntut budi dan dendam...."
"Hm, benar juga tetapi
bagaimana cara melakukan hal itu?"
Gak Lui menghela napas,
"aku sungguh merasa malu sendiri karena sampai berhari-hari menyepi diri,
tetap belum dapat menemukan cara itu."
"Lalu apakah engkau masih
ingat akan cerita yang dibawakan ayahku tentang Buddha yang mengiris daging
tubuhnya untuk diberikan kepada burung rajawali dulu itu !"
"Sudah tentu masih ingat
!"
"Demi menolong jiwa si
kelinci, Budha tak sayang memotong dagingnya sendiri untuk diberikan pada
burung rajawali. Cobalah engkau katakan, peristiwa itu nyata atau tidak nyata
?"
"Ah, tak perlu menarik
kesimpulan nyata atau tidak nyata karena cerita itu hanya sebuah dongeng."
"Kalau dongeng, apakah
makna yang terkandung dalam dongeng itu ?"
"Bahwa orang harus mau
mengorbankan diri untuk menolong lain orang!"
“Lalu dalam peristiwa budi,
asmara dan dendam itu, siapakah kiranya yang menjadi sang Buddha dan siapakah
yang dianggap sebagai burung rajawalinya ?”
"Aku yalah......"
bicara sampai tiba2 tersadarlah Gak Lui. Wajahnya segera berobah serius.
Kegelisahannya selama inipun lenyap.
Melihat itu Li Hud-Kong tahu
bahwa pemuda itu telah menemukan penerangan batin dan telah membebaskan diri
dari libatan asmara.
"Menurut pengamatanku,
saudara Gak sudah menemukan penerangan," serunya.
"Kurasa begitulah,"
sahut Gak Lui.
"Apakah engkau sungguh2
dapat melakukan?"
"Tentu !" sahut Gak
Lui pula.
"Jika engkau hendak
merobah keputusan, setiap saat boleh......”
"Tak perlu !” tukas Gak
Lui, "apa yang kuucapkan tentu akan kulakukan, tak pernah aku berbohong.
Tetapi nanti apabila menjalankannya, mungkin orang luar tak mengerti....”
"Tak perlu kuatir,"
sahut Li Hud kong, "aku diutus ayah kemari untuk melaksanakan
pengangkatanmu sebagai Hou-hwat Su-cia. Segala apa aku yang tanggung."
Hou-hwat Su-cia adalah paderi
yang menjalankan dan melindungi peraturan2 agama Buddha.
"Bagus," Gak Lui
menghaturkan terima kasih, "tetapi entah dimanakah para ketua partai
persilatan saat ini...."
"Sudah datang bersama aku
dan berada diluar gunung."
"Kalau begitu silahkan
saja mereka kemari."
Li Hud-kong menurut. Sekali
gerak, ia sudah melesat keluar guha dan bersuit nyaring kearah hutan. Beberapa
sosok bayangan segera berbondong-bondong lari menghampiri.
Tiga tokoh paderi Bu-tong-pay,
paderi Kak Hui dari Heng san-pay, Hui Gong taysu dari Siau-lim-si, imam Tek Yan
dari Go-bi-pay dan keempat jago pedang dari Kong tong, susul menyusul masuk
kedalam guha. Kemudian Thian Lok totiang dari Ceng-sia-pay dan Sebun Ciok dari
Kun-lun pay yang telah cacad menderita amukan pedang Thiau-lui-koay kiam pun
juga muncul.
Gak Lui agak heran mengapa tak
melihat ketua partai Kay-pang dan partai Gelandangan serta Pukulan-sakti The
Thay. Tetapi jelas ia tahu bahwa mereka tak ikut dalam pertempuran digunung
Im-leng-san.
Begitu pula tentang keempat
nona Hi Kiam-gin, Siu-mey, Yan-hong dan The Hong-lian, ia tahu mereka jatuh
kebawah karang. Entah mati entah hidup. Tetapi karena ia sudah membekukan hati
terhadap soal asmara, maka iapun tak mau banyak berpikir lagi.
Demikian setelah sekalian
orang duduk maka berserulah Gak lui dengan nyaring: "Kedatangan saudara2
kemari tentulah untuk menyelesaikan soal budi dan dendam itu. Sekarang silahkan
saudara bicara dengan terus terang, aku tentu dapat memberi pertanggungan jawab
semua !"
Para ketua partai persilatan
saling bertukar pandang beberapa saat lalu Hwat Lui tojin yang mendahului
membuka suara: "Tiga jiwa dari cianpwe Bu-tong pay, harap diperhitungkan
pada saudara...."
"Baik !" sahut Gak
Lui, "lalu lain2 saudara ketuapun silahkan bicara !"
Dengan nada rawan dan berduka
berserulah paderi Kak Hui dari perguruan Heng-san-pay: "Guruku Hwat Hong
taysu, terpaksa meninggalkan dunia ini karena engkau !"
Lalu keempat jago pedang dari
perguruan Kong-tong-pay pun menyusul: "Tiga orang suheng kami yang binasa
itu juga mempunyai sangkut paut dengan saudara !"
Dengan bercucuran airmata
paderi Hui Hong dari Siau-lim-si, berkata: "Hui Ki taysu sudah hilang
kesadaran pikirannya, seharusnya engkau tahu keadaannya !"
Ketua partai Go-bi-pay
kerutkan alis dan berkata : "Dalam partai perguruanku tiada yang
meninggal. Tentang luka-dalam yang kuderita, untuk sementara itu tak perlu
dibicarakan. Tetapi perbuatanmu menyerang dengan pedang sehingga keempat nona
itu jatuh kebawah karang, memang suatu perbuatan yang tercela dan tak dapat
kubiarkan."
Mendengar itu hati Gak Lui
serasa tersayat sembilu. Tetapi setelah menghela napas, ia dapat berseru pula :
"Lalu siapa lagi.....”
Dengan wajah mengerut tegang
dan suara tersendat-sendat, Thian Lok totiang berkata : "Aku sukar
mengatakan.... Suhengku telah engkau tolong, tetapipun mati
dihadapanmu.....Tetapi ada suatu hal yang aku tak mengerti..."
"Yang mana ?"
"Aku bersama Sebun
siangseng dengan maksud baik hendak melerai pertempuran. Tetapi tak terduga
kalau termakan sebuah tabasan pedang sehingga kehilangan sebuah lengan !"
"Maafkan, aku amat
menyesal sekali," tersipu Gak Lui meminta maaf lalu memandang kearah Sebun
sianseng, katanya : "Sianseng .... apakah yang hendak engkau katakan
?"
"Mengatakan ....
apa?" sahut Sebun sianseng seraya kerutkan alis. Walaupun tidak bicara
tetapi hatinya tak lepas dari pergolakan.
Demikian setelah sekalian
orang selesai bicara, maka Gak Luipun segera berseru : "Saudara2, soal
budi dan dendam dalam dunia persilatan selalu diselesaikan dengan 'hutang darah
bayar darah', benar bukan?"
"Benar !” sahut sekalian
orang. "Kalau begitu, hari ini akupun hendak membayar semua hutang darah
agar saudara2 dapat memberi pertanggungan jawab kepada para leluhur dan anak
murid partai perguruan saudara.”
Mendengar itu sekalian orang
terbeliak. Tak tahu mereka bagaimana cara Gak Lui hendak membayar hutang darah
itu.
"Saudara Hud-kong, dimana
engkau ?" tiba2 Gak Lui berseru.
"Aku disini!"
"Bawalah pedang Pelangi
kemari !” Setelah Hud-kong membawakan pedang pusaka itu, Gak Luipun menyerahkan
kepada Hwa-Lui tojin : "Pedang ini kudapatkan dari guru to-tiang. Setelah
pedang ini selesai kugunakan, tentu akan kukembalikan kepada totiang!"
Sekalian orang terkejut
mendengar ucapan Gak Lui. Tek Yan, Thian Lok dan Sebun sianseng hendak mencegah
tetapi Gak Lui dengan wajah serius sudah mendahului berkata : "Sekarang
aku hendak bertindak. Saudara2 adalah tokoh2 ternama dari dunia persilatan.
Harap jangan terkejut dan mengganggu. Barang siapa mengganggu tindakanku,
paderi hou-hwat ini tentu akan turun tangan!"
Sekalian orang mendesuh kaget
dan memandang kearah Li Hud-kong yang disebut sebagai paderi hou-hwat itu.
"Siapakah gerangan gelar
hou-hwat yang mulia ?” tegur Sebun sianseng kepada Li Hud-kong.
Li Hud-kong tampil kemuka dan
memperkenalkan diri: "Aku yang rendah Li Hud kong, telah menerima perintah
ayah kemari untuk bertugas sebagai pelindung hou-hwat !"
"Siapakah ayahmu ?"
"Nama diatas memakai kata
Liong dan dibawah Ci, orang menggelarinya sebagai Kaisar persilatan !"
"Oh ....," sekalian
orang mendesuh kejut. Dengan kedatangan putera dari Kaisar-persilatan kesitu,
tentulah masalah budi dan dendam itu akan dapat diselesaikan dengan memuaskan.
Saat itu Gak Lui tampak duduk
dengan tegak, tiba2 ia berseru : "Pedang pusaka Pelangi ini adalah milik
partai perguruan Bu tong-pay. Oleh karena saat ini pedang itu akan kugunakan
untuk menyelesaikan segala budi dan dendam, hutang piutang darah, maka pedang
itu kusebut pedang Kunang-kunang. Semula aku merasa gelap gelita tetapi
akhirnya terbetik suatu cahaya penerangan yang walaupun kecil namun dapat
menerangi kegelapan hatiku. Demikianpun pedang Kunang2 itu, kumaksud sebagai
sepercik cahaya pelita hatiku...."
Gak Lui menutup kata2nya
dengan memainkan jurus Burung-cendrawasih-rentang-sayap.
Seketika berhamburanlah sinar
bergemerlapan bagai ribuan kunang2 memancar di tengah malam gelap. Belum sempat
sekalian tokoh mengetahui apa yang akan terjadi, tiba2 mereka tersentak kaget
karena sinar bergemerlapan itu tiba2 berobah merah darah warnanya.
Selekas sinar pedang berhenti
maka tampaklah tubuh Gak Lui berlumuran darah. Namun pemuda yang berparas cakap
itu tetap duduk tenang ditempatnya.
Tiba2 ia lontarkan pedang
pusaka kemuka Hwat Lui totiang: “Totiang, terimalah kembali pedang pusaka
Bu-tong-pay. Hutang darah bayar darah. Budi dendam, salah benar, mulai saat ini
himpaslah semuanya.”
Sekalian tokoh persilatan
menjerit kaget ketika melihat Gak Lui melentuk dan kepalanya mengulai. Ketika
mereka memeriksa ternyata pemuda itu sudah tak bernapas lagi ....
Pecahlah tangis memenuhi ruang
guha. Sekalian tokoh2 persilatan itu tak habis sesalnya mengapa mereka keliwat
menekan pada Gak Lui sehingga pemuda berbudi itu sampai melakukan keputusan
yang nekad. Namun nasi sudah menjadi bubur.
"Saudara2 tentu sudah
puas, bukan?" tiba2 Li Hud-kong berseru, "nah, silahkan saudara2
kembali ke tempat masing2, maaf, aku tak dapat mengantar.....”
Dengan berat hati sekalian
tokoh2 partai persilatan itu memberi hormat kearah jenazah Gak Lui lalu
berbondong-bondong tinggalkan guha.
Li Hud-kong menghela napas
rawan. Ia mengeluarkan kitab pusaka Liok-to-sin-tong, setelah menggali sebuah
lubang pada batu karang, ia masukkan kitab itu kedalamnya dan berseru :
"Mati hidup, hidup mati. Dengan darah menebus darah, itulah jalan menuju
kearah kesempurnaan ....!"
Setelah memberi hormat kepada
jenazah Gak Lui ia keluar dan menutup guha itu dengan batu.
Gak Lui telah mengakhiri
hidupnya yang penuh berlumuran darah. Ia tak tahu bahwa keempat nona itu masih
hidup dan bingung mencari jejaknya. Namun andaikata bertemu, tentulah ia akan
lebih menderita luka hati makin dalam. Karena ia sudah memutuskan untuk
membebaskan diri dari segala budi dendam, libatan asmara dan derita hidup.
Awan berarak menghias gunung
Yau-san yang sunyi sepanjang masa.....
Tamat