Bab 26. Hidung gerumpung.
Sekonyong-konyong dari tengah
gunung terdengar suara gemboran yang dahsyat: “Hai, siapakah yang membuat gaduh
itu.....!"
“Lim Ih-hun, lekas unjuk diri,
jangan banyak bicara !" teriak Gak Lui.
Mendengar disebutnya nama itu,
rupanya orang yang menggembor itu terkejut dan diam sampai beberapa saat.
Tetapi pada lain saat terdengar pula ia berseru: “Siapakah engkau? Lekas
beritahukan namamu!”
“Aku Gak Lui !"
“Siapa ?"
“Gak Lui !"
“O," orang itu berhenti
sejenak lalu tertawa geram: ”Ha, ha, ha, ha, ha ... engkau juga datang
hendak.... ha, ha, ha, ha !"
Gak Lui makin marah. Ingin ia
menghantam hancur istana Bi-kiong itu. Tetapi baru tangan hendak dijulurkan,
tiba2 terdengar ledakan batu karang. Seketika merekahlah sebuah lubang setinggi
tiga tombak. Kedua pintu yang beratnya sepuluh ribu kati itupun segera
menggelincir ke kanan dan ke kiri.
Pada lain saat terdengar
Lengan-besi-hati baik Lim Ih-hun berseru: “Gak Lui, dengarkanlah yang jelas!
Sejak duapuluh tahun ini tak pernah ada orang yang dapat masuk ke dalam
Telaga-petir ini. Tetapi hari ini engkau dapat, boleh dianggap memang sudah
takdir alam. Karena itu kuijinkan engkau ...."
“Bagaimana ?"
“Engkau boleh keluar dari
gunung. Lekas kembalilah !" serunya.
“Heh, heh," Gak Lui
tertawa mengejek, “itukah itikadmu yang baik ?"
“Orang jahat tentu memberi
pelajaran jahat. Biarlah lain orang yang membunuhmu dan tak perlu aku harus
melanggar pantanganku membunuh orang !"
“Melanggar pantangan? Ha, ha,
ha, ha..” Gak Lui tertawa nyaring lalu dengan gerak langkah yang istimewa ia
berputar menyusup ke dalam pintu, serunya: “Kematian sudah tiba, masih engkau
bertepuk dada sebagai orang baik. Sungguh tak malu!"
Tetapi begitu ia melangkah ke
ambang pintu, sepasang pintu batu itupun segera mengatup, dan .... Gak Luipun
tertutup di dalam.
Tetapi di dalam istana itu
terang benderang, ia memandang ke sekeliling. Didapatinya ruang batu cukup
tinggi dan penuh lubang tetapi tak tembus ke luar.
Sedang ruangan di sebelah muka
yang luasnya hampir satu bahu itu, penuh dihias dengan kursi2 batu. Ia duga
tempat itu dahulu tentu dijadikan tempat pertemuan dari para orang gagah.
Teringat Gak Lui akan sejarah
dari istana Bi-kiong itu. Istana itu sebagian memang dari alam, sebagian dibuat
oleh tangan manusia. Pendirinya yalah kakek moyang dari sinona Yan-hong. Kakek
moyang nona itu telah mendirikan sebuah perkumpulan rahasia di tempat itu.
Oleh Bu-san It-ho, guru dari
keempat tokoh jago pedang Bu-san, istana itu telah diganti dari pengaruh
golongan Hitam menjadi aliran Putih. Dan kemudian tempat itupun dijadikan
tempat penyimpanan pedang pusaka Thian-ti-koay-kiam.
Setelah meneliti keadaan
tempat itu, Gak Lui menghampiri ke pintu tengah. Didapatinya di belakang pintu
itu terdapat delapan simpang jalan terowongan yang menjurus ke lain arah.
Jalan terowongan itu masih
berhias dengan beberapa jalan persimpangan yang malang melintang membingungkan
orang.
Tetapi Gak Lui tak begitu
menghiraukan jalan2.
Ia tetap melangkah masuk
dengan tata-gerak Ni-coan-ngo-heng. Setelah tiba di ujung jalan, ia berhadapan
dengan sebuah pintu yang serupa tadi, begitu pula terowongan dan jalan2, sama
dengan yang tadi. Hanya saja tanda Pat-kwa lain bentuknya sehingga ia terpaksa
berhati-hati.
Tak kurang dari tujuh lapis
pintu telah dilaluinya. Saat itu ia sudah merasa pening dan tak tahu berada di
mana.
“Jangan takut…..” kata Gak Lui
dalam hati. Ia rentang mata dan merenung. Gurat2 garis pada pusaka
Thian-liong-kim-jiu seperti muncul pula dalam benaknya.
“O, kiranya setelah melintas
selapis lagi, akan tiba di istana Bi-kiong," katanya.
Dengan bersiap memegang pedang
dan pusaka Kim-jiu, ia mulai melangkah maju lagi. Sebuah ruang besar segera
terbentang di hadapannya.
Di tengah ruang besar itu
tampak duduk seorang tokoh aneh. Rambutnya memanjang sampai ke tanah, pakaian
hitam mengenakan kerudung muka. Sepintas pandang menyerupai dengan si Maharaja
Persilatan.
Tanpa bertanya, cepatlah Gak
Lui mengetahui bahwa lelaki itu tentulah si Lengan-besi-hati-baik Lim Ih-hun.
Saking tegangnya, Gak Lui sampai gemetar tak dapat bicara.
Pun ketika melihat Gak Lui,
orang itupun agak gemetar, tegurnya: “Budak kecil, apakah engkau Gak Lui?"
“Benar, aku Gak Lui dan
bukankah engkau ini si Lengan-besi-hati-baik?"
“Tepat !"
“Lekas serahkan pedang Thian
lui-koay-kiam, agar jangan engkau menderita !"
Orang itu tertawa mengekeh.
Nadanya seram dan panjang. Tetapi saking kerasnya tertawa, kain kerudung yang
menutup mukanya itupun melorot ke bawah.
Melihat wajah orang itu,
gemetarlah Gak Lui. Ternyata wajah orang itu amat datar. Kecuali tak punya
hidung, pun terdapat sebuah lubang yang menyusup ke dalam.
“Hidung gerumpung! Pembunuh
yang sesungguhnya ...." terkenang Gak Lui akan keadaan ayah-angkatnya
Pedang Aneh yang kedua tangan dan kakinya terpapas kutung. Serentak mendidihlah
darah Gak Lui. Ia melangkah maju.
Lengan-besi-hati-baik itu
gerakkan jari mencegah: “Tunggu dulu, engkau sudah datang dari ribuan li,
mengapa terburu-buru ..."
“Masih ada omongan apa lagi
?"
“Barang siapa yang datang ke
istana Bi-kiong sini tentu akan menerima hukuman mati. Tetapi sebelum
bertempur, kita dapat menerangkan berbagai hal agar jelas !"
“Huh !" Gak Lui mendengus
geram tetapi mau juga ia hentikan langkah.
Ia menyadari bahwa rahasia
dari peristiwa perguruan Bu-san-kiam-pay dahulu dan kunci rahasia dari dendam
sakit hatinya, semua terletak pada diri orang itu. Maka banyaklah hal yang
hendak diajukan kepadanya.
Pun ia menyadari bahwa
berhadapan dengan musuh besar, ia harus berlaku tenang. Setiap kebimbangan dan kebingungan
akan menyangkut soal hidup matinya. Maka dengan mengempos semangat, dan
menyalurkan tenaga-dalam, ia menjawab tenang: “Baik, akan kubuat perasaanmu
puas .... keinginan tahu yang terakhir !"
Mata Lengan-besi-hati-baik
berkilat-kilat menatap Gak Lui lalu bertanya: “Siapakah engkau? Mengapa engkau
berani memalsu sebagai Gak Lui ?"
Pertanyaan yang datangnya tak
terduga-duga itu membuat Gak Lui terkejut sekali. Segera ia teringat bahwa
taci-angkatnya Hi Kiam gin pernah datang ke tempat situ untuk belajar silat.
Mengapa orang itu mau menurunkan ilmu pedang kepada Hi Kiam-gin? Apakah memang
bermaksud baik atau hanya pura2 menjadi orang baik saja?
Pula istana Bi-kiong itu tak
boleh didatangi orang luar. Bahkan ayah Gak Lui yalah si Dewa Pedang sendiri
telah dijebloskan dalam lubang di bawah tanah sampai mati. Tetapi mengapa orang
itu mengijinkan Hi Kiam-gin masuk ....?
Karena sedang merenung, sampai
sekian lama belum juga Gak Lui memberi jawaban.
”Mengapa engkau menyaru orang
yang sudah mati? Lekas bilang !" tiba2 orang itu membentak. Rupanya dia
tak sabar menunggu lagi.
Gak Lui tenangkan diri,
menyahut: “Aku memang Gak Lui. Berita kematianku itu, adalah kesalahan Hi
Kiam-gin yang menyiarkan. Apakah engkau tak rela aku masih hidup ?"
“Heh! Kalau memang benar Gak
Lui, mengapa mengenakan kerudung muka ....?"
“Engkau tak perlu mengurus
!"
“Datang di istana Bi kiong
yang terlarang sini, harus membukanya !"
“Kedok mukaku boleh kubuka
tetapi harus di depan mayatmu ...."
“Mulut besar! Mati hidupmu,
sebentar lagi akan segera tiba. Jawablah, siapakah yang suruh engkau masuk ke
istana Bi-kiong sini ?"
“Kemauanku sendiri !"
“Siapa memberi petunjuk engkau
melintasi barisan ini ?"
“Kaisar persilatan Li Liong-ci
telah menurunkan ilmu Ni coan-ngo-heng-tay-hwat ...."
“Ajaran Kaisar
Persilatan?"
“Benar!"
“Apa buktinya ?"
“Pusaka Thian-liong-kim-jiu
ini !"
“Coba berikan padaku !"
“Jangan mimpi, bung !"
Mendengar itu jubah
Lengan-besi-hati-baik menggelembung besar karena gejolak hawa kemarahan.
Dengan menggeretakkan geraham,
ia berseru bengis: “Bagus! Suruh membuka kedok muka, engkau menolak. Suruh
mengeluarkan Thian-liong-kim-jiu, engkau membangkang. Akupun tak mau banyak
bicara lagi ...."
“Engkau belum menjawab
pertanyaanku!"
“Lekas tanyakan!"
“Pertama, dimanakah pedang
pusaka Thian-lui-koay-kiam ?"
“Dalam barisan istana
Bi-kiong, tetapi ...”
“Bagaimana ?"
“Perlu kuperingatkan kepadamu.
Engkau sudah lelah dan melanggar pantangan. Tak perlu melamunkan hal itu."
“Hm," Gak Lui mendengus
geram. Ia maju selangkah: “Kedua, orang yang mati di puncak gunung lapisan luar
itu apakah engkau yang mencelakai ?"
“Benar !”
“Mengapa engkau bertindak
ganas ?”
“Delapan tahun yang lalu,
orang itu telah memalsu penandaan rahasia. Dengan menipu peta ia masuk ke dalam
puncak Liok hong. Sudah tentu harus mati!"
Mendengar orang itu mengaku
yang membunuh ayahnya dan masih memfitnah kalau ayahnya menipu, meluaplah
kemarahan Gak Lui. Tanpa melanjutkan pertanyaan lagi, ia terus ayunkan tangan
menghantam.
Menilik kepandaian yang
dimiliki saat itu, memang Gak Lui sudah tergolong jago kelas satu. Apalagi saat
itu ia sedang dirangsang kemarahan. Pukulannya telah dilambari dengan tenaga
penuh. Bum... terdengarlah ledakan dahsyat. Gelombang angin dahsyat telah
melanda altar batu.
Setitikpun Lengan
besi-hati-baik Lim Ih-hun tak kira bahwa anak semuda itu memiliki pukulan yang
sedemikian dahsyatnya. Ia agak tertegun dan tahu2 sudah terlibat dalam
lingkaran angin pukulan.
Ia terkejut dan cepat2
mengerahkan tenaga-dalam. Tampak jubahnya menggelembung untuk melindungi diri.
Dengan penjagaan itu, angin pukulan Gak Luipun hanya berputar-putar lewat di
samping tubuhnya.
Tetapi angin itu dapat
menyingkap kain kerudung hitam yang menutupi muka orang. Sepasang matanya besar
dan alisnya tebal, kumisnya melingkar lebat memenuhi kedua pipi. Batang
hidungnya hilang sama sekali sehingga menimbulkan pemandangan yang mengerikan.
Tetapi wajah itu bagi Gak Lui
amat menusuk hatinya. Serentak ia mendamprat: “Murid hianat, serahkan jiwamu
!"
Sebuah hantaman istimewa
kembali dilancarkan. Orang itupun tak berani lengah. Dengan menggerung, ia
dorongkan tangan menyongsong, Bum......terdengar pula ledakan yang dahsyat.
Lengan-besi-hati baik Lim
Ih-hun masih tetap duduk ditempatnya. Sedangkan Gak Lui terlempar sampai tiga
tombak jauhnya. Ia muntah darah ...
“Bangsat !" Gak Lui
mengertak gigi dan menggeliat bangun. Ia tekan napas untuk menahan darah yang
hendak menyembur keluar lalu mencabut sepasang pedangnya.
Melihat pedang Pelangi yang
memancarkan hawa dingin, wajah Lengan-besi hati-baik makin tegang heran. Karena
ia tahu jelas asal usul pedang itu. Ia heran mengapa pedang itu sampai jatuh ke
tangan anak muda itu. Ia duga tentu peristiwa itu mempunyai liku2 yang
berbelit-belit.
Sekali enjot tubuh, Gak Lui
melambung ke udara dalam gerak Burung rajawali-rentang-sayap. Pedang ditangan
kiri diputar untuk melindungi tubuh, pedang Pelangi ditangan kanan ditusukkan
ke tenggorokan orang.
Betapapun lihay kepandaian
Lengan-besi-hati-baik Lim Ih-hun itu, namun menghadapi ancaman pedang pusaka
itu, ia tak berani memandang rendah. Tiba2 tubuhnya melambung ke udara dan
dengan suatu gerak kisaran yang sukar diketahui, pedang Pelangi menusuk ke sisi
telinga lawan.
Jarak keduanya hanya satu
meter, walaupun menggunakan sepasang pedang tetapi Gak Lui tak mampu melukai
lawan. Bahkan karena serangannya luput, saat itu dirinya di bawah lingkungan
tangan musuh.
Gak Lui menyadari hal itu.
Cepat ia merobah gerakan pedangnya. Pedang ditangan kiri memapas lengan lawan,
pedang Pelangi menabas kepala. Apabila kena, batang kepala tentu menggelinding
terpisah dari tubuhnya.
Tetapi lawanpun mengganti
gerak tangannya. Kedua tangannya direntang seraya menggeram: “Hm, kalau tidak
dilenyapkan, kelak budak ini tentu akan menjadi algojo dunia persilatan !”
Ia apungkan tubuh loncat
mundur beberapa langkah. Kemudian maju lagi dengan rangsangkan tangannya dalam
ilmu pedang Bu-san-kiam-hwat.
Melihat kenekadan orang yang
berani menyambut serangan ilmu pedang dengan tangan kosong, Gak Lui
membentaknya: “Engkau cari mampus!"
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Ia putar pedangnya untuk
menyerang. Wut, wut, wut... lengan baju Lengan-besi-hati-baik terpaksa
berhamburan tetapi kedua tangannya tetap tak kurang suatu apa. Dan sebelum Gak
Lui sempat bergerak, tangannyapun sudah tercengkeram tangan lawan. Seketika
lengannya kesemutan, telapak tangannya sakit sekali.
“Aneh,” ia menggumam kejut.
Dan di luar kesadarannya ia
termangu memandang lengan orang. Ah, kiranya lengan lawan itu memakai alat
pelindung dari baja yang kebal tabasan senjata tajam. Bahkan pedang pusaka yang
dapat memapas logam seperti memapas tanah liat, ternyata tak mampu menghantam
alat itu.
“Celaka..." Gak Lui
kucurkan keringat dingin. Cepat ia hendak menarik pulang pedangnya tetapi sudah
terlambat, sudah terjepit tangan lawan.
Untuk mengerahkan tenaga-dalam
Algojo-dunia, juga tak mampu mengalahkan tenaga-dalam lawan.
Lengan-besi-hati-baik tiba2
mendengus dan lontarkan tangannya. Kedua pedang Gak Lui ikut terlempar sampai
beberapa tombak jauhnya !
“Terimalah pukulanku !"
karena pedangnya terlepas, Gak Luipun nekad. Dengan kerahkan seluruh
tenaga-dalam ia hantamkan kedua tangannya.
Tetapi sayang, gerakannya itu
masih kalah cepat dengan lawan. Tangan kanan si Lengan-besi-hati-baik sudah
melekat di dada dan kelima jarinya yang seperti kait baja itupun sudah
mencengkeram. Kalau ia benar2 mau gunakan tenaga mencengkeram, mungkin dada Gak
Lui tentu sudah remuk berantakan.
Tetapi di luar dugaan
Lengan-besi-hati-baik itu hanya gerakkan tangan kiri untuk menebas tengkuk Gak
Lui. Plak .... Gak Lui mendengus kesakitan dan tubuhnya terlempar seperti
layang2 putus tali. Ia jatuh sampai tiga tombak jauhnya. Mulut menyembur darah
dan orangnyapun pingsan seketika.
Sedang Lengan-besi-hati baik
masih tegak berdiri di atas altar batu. Tangan kanannya masih mencekal secarik
robekan baju Gak Lui. Dan di bawah robekan baju itu ternyata terdapat pusaka
dunia persilatan .... Thian-liong-kim-jiu!
“Tulenkah benda itu ?"
gumamnya dalam hati. Lalu ia kerahkan kedua tangannya untuk meremas. Dengan
tenaga-dalamnya yang sakti, segala benda yang betapapun kerasnya, pasti akan
remuk, tetapi ternyata ia tak mampu meremas hancur pusaka Thian liong kim jiu
itu. Bahkan sampai telapak tangannya terasa amat panas, tetap benda itu tak
penyet sedikitpun juga.
“Hm, memang aseli! Tetapi ....
mengapa dapat jatuh ke dalam tangannya? Menilik kepandaian Kaisar Persilatan,
tak mungkin dapat dilarikan orang ...."
Lengan-besi-hati-baik segera
apungkan tubuh sampai dua meter menuju ke atas altar batu lalu menghampiri ke
tempat Gak Lui.
“Tak mungkin benda ini dicuri.
Keterangannya tadi kalau benda itu pemberian dari Kaisar Persilatan memang
benar. Tetapi budak itu memang keterlaluan sekali. Ucapannya kasar, serangannya
menggunakan jurus yang ganas. Karena marah aku sampai tak sempat menanyai
dengan jelas...." pikirnya.
Teringat akan jurus serangan
yang digunakan Gak Lui tadi diam2 timbullah keraguannya: “Ilmu pedang dan
pukulan bocah itu memang berasal dari sumber Bu-san. Dahulu guruku telah
memberi pelajaran pada empat orang murid yang tak resmi. Keempat orang itu
hanya kudengar namanya tetapi tak pernah melihat mukanya. Tetapi jelas kalau
mereka masing2 hanya memiliki sebuah jurus ilmu pedang. Tetapi mengapa bocah
itu dapat menggunakan semua? Ah, tentulah dia telah mendapat pelajaran dari
keempat orang itu. Kalau begitu ... apakah dia memang benar Gak Lui... mati dan
hidup kembali? Mengapa muridku Hi Kiam-gin memberi laporan salah? Atau si Dewa
Pedang yang salah mengambil orang .... ?"
Pertanyaan itu memenuhi
benaknya tanpa mendapat jawaban yang memuaskan. Masih ia merenungkan keterangan
dari Hi Kiam-gin yang mengatakan bahwa dewasa ini dunia persilatan telah muncul
seorang tokoh yang menamakan diri sebagai Maharaja Persilatan. Sepak terjangnya
amat ganas, kepandaiannya tinggi. Tokoh itu menjadi musuh besar dari Hi
Kiam-gin dan Gak Lui. Dan tokoh itupun mempunyai anak buah yang disebut
gerombolan Topeng Besi dan si Hidung Gerumpung.....
“Ah, hidung Gerumpung ?"
tiba2 Lengan-besi-hati-baik meraba hidungnya sendiri yang hilang lalu
menggumam: “Aneh .... si Hidung Gerumpung itu memang sebuah teka teki. Apakah
dalam dunia persilatan terdapat seorang Hidung Gerumpung lagi? Adakah mungkin
dia itu .... Ah, tidak, tidak, tidak !"
Kata2 itu meluncur dari
mulutnya dengan nada yang rawan. Sepasang matanya menyala, wajahnya
berkerenyutan dan hidungnya yang gerumpung itupun tampak makin jelek.
Kerut wajahnya tampak gelisah.
Dia seperti terkenang sesuatu tetapi ia tak ingin percaya dan memang tak berani
percaya. Tetapi nyatanya dia dihadapkan oleh dua hal aneh yang menuntut
kepercayaannya.
Rasa tegang telah memeras
keringatnya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Tampak Lengan-besi-hati-baik
melangkah terhuyung seperti mau jatuh tetapi tahu2 sudah berada di samping Gak
Lui.
Ia segera meraba-raba baju
pemuda itu. Pertama, ia menemukan sehelai pakaian anak kecil yang bertulis
dengan huruf2 dari darah yang sudah mengental hitam. Tulisannya dari tangan
seorang wanila dan berbunyi :
Anak ini bernama Gak Lui. Jika
ada yang menemu, harap dipelihara baik2 ....
“Hai !"
Lengan-besi-hati-baik menjerit kaget. Dari bukti itu dia tak ragu lagi kalau
anak itu memang putera dari Dewa Pedang Gak Tiang-beng.
Ia segera menelentangkan tubuh
Gak Lui. Dilihatnya napasnya sudah lemah, bibir pucat seperti orang yang sudah
tengah meregang jiwa dan kedok muka yang menutup mukanya itupun penuh dengan
tetesan darah.
Melihat itu keinginannya untuk
membuka kedok Gak Lui, pun lenyap. Diam2 ia malah menyesal: ”Dahulu karena
luapan emosi, aku sampai menyalahi pesan suhu.....kusimpan diri dalam istana
Bi-kiong dan selama-lamanya menjaga pedang pusaka itu untuk menebus
dosa...Tetapi setelah lebih dari duapuluh tahun, aku pernah melanggar sumpah
lagi .... mungkin bencana dalam dunia persilatan, adalah karena kesalahanku.
Sekarang karena dirangsang kemarahan, aku kembali melukai Gak Lui sampai parah
....”
Ia teringat akan pembicaraan
tadi. Selagi dalam pembicaraan, ketika mendengar bahwa yang membunuh orang di
dalam guha itu dirinya, maka Gak Lui menjadi marah dan menyerang kalang kabut.
Hal itu jelas menunjukkan bahwa yang terbunuh mati itu tentulah ayah Gak Lui.
Bertahun-tahun lamanya ia tak
pernah menyangka bahwa yang dibunuh dalam guha itu adalah ayah Gak Lui. Kini
setelah menyadari persoalannya, barulah ia tahu malah korbannya itu memang
murid dari Bu-san. Dan sekali-kali bukan orang luar yang hendak mencuri pedang
itu. Dan lagi orang itu jelas adalah si Dewa Pedang.
“Pembunuh ... algojo! Aku
seorang pembunuh ... aku harus mati ... !" Lengan-besi-hati-baik
melonjak-lonjak seperti orang gila. Ia berlari-larian di dalam guha sambil
menampar muka dan telinganya sendiri, menjambaki rambut dan meraung-raung
seperti binatang buas.
Lengan-besi-hati baik seperti
orang gila. Sekonyong-konyong terdengar bunyi gemerincing. Dia tengah menginjak
pedang Pelangi. Pedang itu berkilat-kilat memancarkan cahaya yang menyilaukan.
Tertarik akan pedang itu, ia terus menjemputnya. Didapatinya pedang itu amat tajam
luar biasa dan memancarkan hawa dingin. Ia tahu bahwa pedang itu tentu pedang
pusaka yang hebat.
Tanpa banyak berpikir lagi ia
terus hendak menggorokkan pedang itu ke tenggorokannya. Tetapi
sekonyong-konyong hawa dingin pedang itu membuatnya menggigil. Dan serentak
tangan kirinyapun menampar mukanya sendiri: “Gila, apakah kematian akan dapat
menolong persoalan ini !"
Pedang yang sudah melekat di
tenggorokannya dihentikan dan ditatapnya wajah Gak Lui.
“Aku telah kesalahan
mencelakai ayahnya. Seharusnya aku harus menebus dosa kepadanya. Menilik usia
dan bakatnya, jika kusaluri dengan tenaga-murni, dia tentu sanggup menghadapi
si Maharaja Persilatan. Apabila gagal, dia masih dapat berusaha untuk mengambil
pedang Thian-lui-koay-kiam itu," katanya seorang diri.
“Tentang bencana dalam dunia
persilatan, kuharap bukan disebabkan karena pedang itu dan kuharap pula dia tak
membohongi aku !" katanya lebih lanjut.
Akhirnya ia memanggul tubuh
Gak Lui dan diletakkan di atas altar batu. Kemudian ia duduk lekatkan kedua
tangannya pada jalan darah pemuda itu. Ia menyalurkan seluruh tenaga-murninya
ke dalam tubuh pemuda itu.
Entah berselang berapa lama,
Gak Luipun tersadar dari pingsannya. Dia dapatkan dirinya rebah di sebuah
pembaringan yang lunak dan tubuhnyapun terasa enak sekali. Tetapi ketika
bernapas ia masih dapat mencium bau dari tubuh Lengan-besi-hati-baik. Hal itu
mengunjukkan bahwa tokoh itu masih berada di sampingnya.
Tiba2 ia melenting ke atas.
Maksudnya hendak menyingkir. Tetapi di luar dugaannya tenaga-dalamnya bertambah
hebat sekali. Ketika melambung ke udara hampir saja ia menumbuk langit ruangan
batu di situ.
Ia heran tetapi tak sempat
untuk menduga-duga lagi. Ia terus melayang ke arah Lengan-besi-hati-baik dan
tanpa berkata apa2, terus ayunkan tangannya menghantam.
Tetapi baru tenaga-dalam
dilancarkan iapun sudah cepat menariknya kembali. Dengan gerak seringan kapas
ia melayang turun di hadapan Lengan-besi-hati-baik.
Ia melihat tokoh itu deliki
kedua matanya memandangnya dengan pandang terlongong-longong, dari sinar
matanya jelas kalau orang itu sudah kehabisan tenaga-dalam. Pula wajahnyapun
tenang sekali, sedikitpun tak merasa kaget.
“Aneh..!” diam2 Gak Lui
tergetar. Tetapi cepat ia dapat menyadari. Maka secepat itu pula ia menarik
pukulannya dan bertanya: “Apakah engkau telah menyalurkan tenaga-murni ke dalam
tubuhku ?"
Dengan napas sesak,
Lengan-besi-hati-baik paksakan diri menyahut terengah-engah, ”Ya memang….”
“Mengapa ?"
“Harap engkau ... dapat mem
... bunuh .. membunuh ... si Maharaja !"
“Oh, engkau bukan
gerombolannya ?"
“Tidak. Bukan ..."
”Lalu mengapa engkau
mencelakai ayahku?"
”Aku tak kenal padanya ...
soal itu ... karena salah faham ..."
“Salah faham ?" Gak Lui
tergetar. Pikirnya: “Menilik sikap dan kata-katanya, orang ini memang jujur.
Dan kalau dia memang hendak membunuh diriku, tentu sudah dari tadi. Tetapi
ternyata dia malah memberi saluran tenaga-murni kepadaku !"
Berpikir sampai di situ, diam2
ia menggigil. Cepat ia lekatkan kedua tangannya ke tubuh orang untuk menolong.
Tetapi sudah terlambat. Jalan darah Lengan-besi hati baik sudah membeku, tak
mungkin dapat ditolong lagi.
Untunglah Gak Lui memiliki
kepandaian saling-mengalirkan-tenaga-murni. Dengan susah payah, akhirnya ia
dapat juga menyalurkan sedikit tenaga murni.
Tampak wajah tokoh itu agak
merah dan dapat berkata dengan perlahan: “Baiklah, tak usah engkau bersusah
payah. Jika ada pertanyaan, silahkan mengajukan sekarang juga....”
Sambil masih menyalurkan
tenaga murni Gak Lui bertanya: “Tadi engkau mengatakan kalau salah faham,
apakah alasannya?"
“Dahulu pada saat ayahmu naik
ke gunung ini, dia telah melakukan sebuah kesalahan besar!"
“Kesalahan besar? Bukankah dia
sudah mengucapkan sandi rahasia dengan tepat?"
“Walaupun sandinya benar,
tetapi jumlahnya orang salah ...."
“Oh...."
“Mendiang suhu Bu-san It-ho
pernah meninggalkan pesan. Bila keempat bu-san-su-kiam hendak datang ke istana
Bi-kiong sini, kecuali harus mengatakan sandi rahasia, pun harus datang lengkap
tiga orang lelaki dan seorang wanita. Kalau tidak ...."
“Bagaimana ?"
“Tentu lain orang yang
menyamar. Boleh segera dibunuh saja!"
“Oleh karena datang seorang
diri maka ayah lalu .... terbunuh ?"
“Benar."
Mendengar itu hati Gak Lui
seperti disayat sembilu. Tetapi ia merasa memang Lengan-besi-hati-baik tidak
salah. Maka dengan tahankan kesedihan hati, Gak Lui lanjutkan pertanyaannya:
“Kabar engkau telah melanggar peraturan kakek guru dan diusir dari perguruan.
Lalu dipenjarakan di istana Bi kiong sini. Tetapi mengapa engkau ditugaskan
untuk menjaga pusaka di gunung ini? Apakah ini tidak bertentangan ?"
“Ah, soal itu panjang
ceritanya," Lengan-besi-hati-baik menghela napas, "sesungguhnya
beliau itu bukan melainkan guruku yang berbudi, pun juga seperti seorang ayah
yang telah merawat aku sejak kecil. Budinya jauh lebih dalam dari lautan,
melebihi orangtuaku sendiri.....sayang aku tak dapat menguasai emosi sehingga
melakukan suatu kesalahan...."
“Emosi meluap?
Apakah.....berhubungan dengan seorang wanita?" tanya Gak Lui.
“Tidak !" sahut
Lengan-besi-hati-baik, “tetapi mengapa engkau menduga begitu?"
Diam2 Gak Lui memang teringat
akan si cantik Bu-san Yan-hong. Pula terkenang akan kisah asmara yang
menyedihkan dari ibunya. Maka ia cepat menduga kalau Lengan besi-hati baik
itupun terjerumus dalam kisah kasih dengan wanita.
Setelah mendengar penyangkalan
dari Lengan-besi-hati-baik, ia segara mengajukan pertanyaan lagi : “Karena
engkau dirawat sampai besar oleh kakek guru, apakah engkau tahu siapa Kau-cu
(pemimpin) dari perguruan Bu-kau?"
“O !"
Lengan-besi-hati-baik mendengus kaget, “engkau ... engkau bagaimana bisa tahu
...?"
“Mengapa aku tak dapat
mengetahui?" balas Gak Lui.
“Karena ... karena ..."
“Karena apa?"
“Karena menyangkut kepentingan
perguruan dan keluargaku. Sedang Bu-san Su-kiam sendiri tak tahu."
Gak Lui kerutkan alis dan
berseru tegang: “Aku telah berjumpa dengan pewaris Bu-kau ..."
“Siapa ?"
“Bu-san Yan-hong."
“Apa katanya ?"
“Hanya tentang soal2 perguruan
Bu-san yang lampau."
“Selain itu ?"
“Heh, heh, jangan terburu-buru,"
kata Gak Lui dengan nada dingin, “Hendak kutanya kepadamu lebih dulu, nanti
baru engkau boleh bertanya kepadaku. Sekarang coba engkau ceritakan kesalahan
apa yang telah engkau lakukan?"
“Ini .... aku sudah bersumpah
kepada guru, takkan membocorkan kepada lain orang," kata
Lengan-besi-hati-baik.
“Engkau tak mau
menceritakan!" teriak Gak Lui dengan keras.
Wajah Lengan-besi-hati-baikpun
tampak sunyi dan berkatalah ia dengan gemetar: “Gak Lui, adakah engkau hendak
memaksa aku supaya melanggar sumpahku kepada guru? Beliau kakek gurumu, soal
itu beliau tak ingin disiarkan kepada orang. Dan sekalipun tahu, bagimu juga
tak ada gunanya.”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Ini......" Gak Lui
tergetar seperti orang yang diguyur es dingin. Segera ia teringat akan bibi
gurunya Bidadari Pedang. Bibi gurunya itupun pernah bersumpah kepada gurunya,
takkan menyiarkan peristiwa itu. Dan anggap bahwa fihak lain itu bukan lawan.
Teringat akan hal itu, betapa
besar keinginan Gak Lui untuk mengetahui namun ia tak berani mendesak untuk
mengetahui rahasia dari kakek gurunya. Maka iapun menghela napas dan beralih
pertanyaan: “Baiklah, aku takkan menanyakan tentang sebabnya tetapi hanya ingin
tahu kejadiannya saja."
Dengan wajah murung
Lengan-besi-hati-baik berkata: “Karena kesalahan itu maka aku telah membuat
pengakuan dosa kepada guru. Aku rela menjalani hukuman diasingkan dan takkan
keluar selama-lamanya dari puncak Liok-hong ini agar dapat menjaga pedang
pusaka Thian-lui koay-kiam. Kecuali keempat Bu-san Su-kiam itu datang
bersama-sama kemari, siapapun tak boleh mengambil pedang itu."
“Kalau begitu kakek guru tak
pernah mengusirmu dari perguruan?" tanya Gak Lui.
“Memang beliau marah sekali
dan tak mau mengakui aku sebagai murid lagi. Tetapi kemudian beliau dapat
meluluskan permohonanku itu."
“Ah….” Gak Lui menghela napas.
Timbul pertentangan dalam batinnya. Memang orang itu telah membunuh ayahnya
tetapi dia melakukan hal itu demi melakukan tugasnya menjaga pedang pusaka.
Jadi sekali-kali bukan sebagai seorang pembunuh. Dan lagi kali ini dia telah
menolong jiwanya.
Walaupun orang itu seorang
murid yang telah diusir dari perguruan tetapi ternyata masih mempunyai
kesetiaan dan tanggung jawab terhadap partai perguruannya. Bahkan tugasnya tak
kalah pentingnya dengan keempat Bu-san Su-kiam itu.
Ragulah hati Gak Lui terhadap
orang itu. Haruskah ia membunuh orang sedemikian itu ? Bagaimanakah ia
pandangannya terhadapnya? Sebagai seorang penolong ? Sebagai musuh? Sebagai
tokoh angkatan tua atau sebagai murid hianat?
Ia tak mau melanjutkan
memecahkan soal2 yang begitu pelik dan ruwet lalu bertanya lebih lanjut: “Kalau
ayahku tak boleh datang seorang diri, mengapa taci Hi Kiam-gin tak dilarang
masuk kemari seorang diri ?"
“Kematian ayahmu sudah delapan
belas tahun yang lalu. Dan sejak itu tiada orang yang hidup datang kemari
lagi.”
“Tiada orang hidup ? Apakah
tiada kenalan yang pernah datang kemari?"
“Ini.... tidak ada....tidak
ada," Lengan-besi-hati-baik menyangkal, “memang aku curiga mengapa sampai
ber-tahun2 keempat Bu-san Su-kiam tak muncul kemari. Maka timbullah keinginanku
untuk melihat lihat keadaan di luaran. Apalagi kulihat dia (Hi Kiam-gin)
seorang wanita. Kukira mungkin si Bidadari Pedang."
“Maksudmu engkau memperlakukan
lebih istimewa kepada Bidadari Pedang ?” tanya Gak Lui.
“Boleh dikata begitu,"
sahut Lengan-besi-hati-baik, “karena suhu paling sayang kepadanya dan
memberitahukan juga tentang keadaan diriku yang dipenjarakan digunung ini
kepadanya. Tak kuduga kalau yang muncul itu ternyata Hi Kiam-gin. Sayang dia
tak begitu jelas tentang keadaan dunia persilatan...."
Berkata sampai di sini tubuh
Lengan-besi-hati-baik agak menggigil dan napasnya terengah2.
Gak Lui terkejut dan buru2
salurkan tenaga-murninya lebih keras. Tetapi keadaan orang itu sudah makin
payah. Napasnya memburu, kepalanya basah dengan keringat. Rupanya sudah tak
kuat bertahan lagi.
Rupanya
Lengan-besi-hati-baikpun tahu kalau dirinya bakal tak lama hidupnya. Maka ia
kuatkan diri dan berkata dengan tersendat-sendat: “Gak Lui .... Gak Lui..."
“Ya….”
“Tidak,tidak .. Thian-lui koay
... koay..." Gak Lui cepat menyadari bahwa yang dimaksud itu yalah pedang
pusaka Thian-lui-koay kiam. Maka cepat2 ia menanyakan pedang itu.
“Di... di sini ... di pusat
barisan ini..."
Gak Lui cepat memandang ke
sekeliling tempat itu tetapi tak melihat suatu apa. Waktu ia hendak bertanya,
orang itupun dengan suara parau berseru lemah: “Hati2... harus... harus
hati-hati."
“Hati2 apa ?”
“Api…. api... api ...."
“Api ? Di mana api itu ?"
kembali Gak Lui memandang dengan seksama kearah sebuah batu yang besar dan aneh
bentuknya. Tetapi jangankan api, asappun tak kelihatan.
“Pikirannya tentu sudah tak
sadar, kata2nya sudah tak keruan lagi," pikirnya. Segera ia lancarkan
tenaga-murninya ke tubuh orang itu lagi.
Lengan-besi hati-baik tampak
membuka mata dan pancarkan sinar mata yang bercahaya. Dengan terengah2 ia
berkata: “Selama engkau berkelana ....siapakah .....siapakah.....yang
kepandaiannya paling sakti.....?"
“Yang paling sakti adalah
Kaisar Persilatan dan Maharaja Persilatan."
“Maharaja Persilatan ....
tergolong aliran... kepandaiannya?"
“Menguasai ilmu kesaktian dari
lima partai persilatan besar!"
“Termasuk.... Bu san pay
?"
“Tidak."
“Bagus... selain itu apakah
ada tokoh persilatan yang memakai she .... she .... "
“She apa?"
“She Tio ....?"
“Ada !" serentak Gak Lui
menjawab dengan agak heran.
Kakek guru dari Bu san-pay
memang orang she Tio, yalah Tio It ho. Dan mempunyai seorang putera. Tetapi
putera itu tak pernah muncul dalam dunia persilatan.
Tetapi Gak Lui ingat akan Tio
Bik-lui. Orang itu mengatakan dirinya seorang yang mengasingkan diri dari
masyarakat ramai. Kepandaiannya memang hebat sekali. Adakah orang itu putera
dari kakek guru Tio It ho? Apakah itu yang ditanyakan Lengan-besi-hati baik?
Gak Lui menatap
Lengan-besi-hati-baik lekat2 dan bertanya tandas: “Ada seorang tokoh bernama
Tio Bik lui, apakah engkau mengenalnya?"
Mendengar itu kerut wajah
Lengan besi-hati-baik meregang-regang dan dadanyapun berombak keras. Dengan
napas memburu ia bertanya: “Dia... bagaimana ? Baik.... atau...
jahat....?"
“Dia pernah menolong
aku."
Tampak mulut Lengan besi-hati
baik tersenyum dan berkata: “Bagus... bagus ... dia seorang baik. Engkaupun
harus... baik... kepadanya...”
“O, kiranya kalian sudah
kenal?"
“…...."
Lengan-besi-hati-baik tak menjawab.
Kepalanya melentuk terkulai ke
dada. Napasnya-pun berhenti.....
Gak Lui terkejut sekali.
Ketika ia memeriksa, ternyata orang itu sudah putus nyawanya.
“Aneh, Tio Bik-lui selalu
mengatakan kalau dia murid hianat dan menuduhnya mengangkangi pedang pusaka
Thian-lui-koay-kiam. Tetapi kebalikannya ia masih terkenang akan Tio Bik-lui
dan sampai matipun tetap menanyakan," pikir Gak Lui tak habis mengerti.
Keringatnya turun seperti hujan deras.
Ia merasa seperti istana
Bi-kiong terbakar api. Panasnya seperti ledakan gunung. Sebenarnya ia tak takut
akan hawa panas. Tetapi entah bagaimana saat itu ia benar2 tak dapat bertahan.
Sekonyong-konyong terdengar
ledakan dahsyat dari bawah bumi. Gelombang hawa panas segera berhamburan
memenuhi tempat itu. Ia merasakan bajunya seperti terbakar. Buru2 ia lepaskan
tubuh Lengan-besi-hati-baik lalu tempelkan telapak tangannya ke altar batu.
“Celaka ..." belum bau
terbakar itu hilang, asappun sudah bergulung naik ke atas. Lantaipun segera
merah membara. Altar batu itu adalah tempat duduk Lengan-besi-hati-baik. Tempat
itupun seperti terbenam dalam lautan api.
Tubuh Lengan-besi-hati baik
dalam sekejab saja sudah terbakar hangus menjadi abu.
Untunglah Gak Lui tahan hawa
panas dan amat tangkas. Dalam gugup, ia pancarkan tenaga-murni dari telapak
tangannya sehingga sampai beberapa tombak jauhnya.
Ia kira api tentu akan membara
besar. Tetapi di luar dugaan ternyata api itupun padam. Hawa panas kembali
menurun dan keadaanpun kembali seperti biasa lagi. Ketika meraba ke lantai,
didapatinya lantai itu hanya hangat saja.
Tetapi seluas semeter dari
batu altar itu telah terjadi sesuatu yang belum pernah dilihatnya.
Batu altar yang tebalnya
hampir setengah meter itu bukan terbuat dari batu pualam, bukan pula dari logam
melainkan dari batu lahar yang sudah mengeras. Di atas altar itu terdapat
guratan-guratan.
Ketika Gak Lui memperhatikan
guratan2 dari lubang2 kecil itu, ia segera merasa hawa panas meluap ke luar
serta memperdengarkan suara mendesus.
“Ah, kiranya batu ini di
bawahnya merupakan gunung berapi dan masih memuntahkan lahar," akhirnya ia
menyadari.
Gak Lui hendak mencari jenazah
Lengan-besi-hati-baik tetapi tak ketemu. Lenyapnya mayat itu benar2 mengejutkan
hatinya.
Teringat akan nasib Lengan
besi-hati-baik yang rela memendam diri dalam istana Bi-kiong selama berpuluh
tahun. Sekalipun karena tak tahu telah kesalahan membunuh ayahnya (Gak Lui),
tetapi hal itu dilakukan tanpa sengaja. Pun Lengan-besi-hati-baik tetap
terkenang akan keempat saudara seperguruannya Bu-san Su-kiam.
Diam2 Gak Lui menarik
kesimpulan bahwa semua peristiwa itu memang sudah menjadi permainan nasib.
Begitu pula memang sudah jelas kalau keempat tokoh Bu-san itu bernasib jelek.
Tak dapat menumpahkan seluruh kesalahan kepada Lengan-besi-hati-baik.
Tiba pada renungan2 itu,
akhirnya timbullah kesadaran Gak Lui akan suatu hal. Yalah tentang sepak
terjang keempat Bu-san Su-kiam yang berkelana di dunia persilatan dan tentang
Lengan-besi-hati-baik yang mengasingkan diri di gunung Bu-san menjaga pedang
pusaka Thian-lui-koay-kiam.
Dengan cara itu, Bu-san It-ho
rupanya merencanakan untuk melakukan penjagaan luar dalam. Agar jangan sampai
pedang pusaka itu direbut orang.
Cara itu memang baik sekali.
Ketat dan rapi. Tetapi orang dapat membuat rencana, hanya nasib yang berbicara
lain. Kenyataannya, kelima tokoh2 Bu san itu satu demi satu telah menemui
ajalnya secara mengenaskan ....
Lalu siapakah yang dijaga oleh
kakek guru Bu-san It-ho? Adakah si Maharaja Persilatan?
Salah!
Kalau benar dia, tentulah
Lengan-besi-hati-baik tak sampai tak tahu hal itu. Buktinya Lengan-besi Lim
Ih-hun malah bertanya kepadanya tentang tokoh Maharaja itu.
Dan lagi ada suatu hal yang
benar2 tak dimengerti Gak Lui. Mengapa kakek gurunya tak memberitahu kepada
keempat Bu-san Su-kiam supaya mencari orang yang dianggap membahayakan pedang
pusaka itu?
“Ah, betapapun juga,
Lengan-besi-hati-baik memang sudah menunaikan tugasnya dengan baik. Kematiannya
layak sebagai penebus dari kesalahannya membunuh ayah Gak Lui. Pula tokoh
itupun sudah memberikan penyaluran tenaga-murni kepadaku," akhirnya ia
menarik kesimpulan.
Kemudian ia memandang ke arah
altar batu dan berseru dengan perlahan: “Paman, budi dan dendam sudah himpas.
Harap paman beristirahat dengan tenang di alam baka. Aku dapat menggunakan
pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam untuk menghancurkan si Maharaja Persilatan
!"
Ketika teringat akan pedang,
tiba2 ia tertegun. Tadi Lengan-besi-hati-baik hanya berkata: “di sini ... di
dalam mata barisan ini !" tetapi ia tak melihat suatu apa dalam ruang
situ. Dan Lengan-besi hati-baik itu tak memberikan petunjuk akan tempatnya yang
jelas.
Gak Lui merenung untuk
mengingat pelajaran Ngo-heng-seng-khik untuk memperhitungkan letak 'mata
barisan'. Tetapi setelah diperhitungkan bolak balik, tetap tiba pada kesimpulan
pada mata barisan itu yalah di tengah altar batu tempat duduk
Lengan-besi-hati-baik.
“Apakah memang di tempat paman
duduk ini .... ?" katanya meragu.
Untuk membuktikan hal itu, ia
segera melesat ke tengah altar batu. Dengan kerahkan tenaga, ia menggembor dan
mengangkatnya.
Seketika terdengarlah suara
letupan keras. Batu penutup yang amat berat itu segera terangkat naik. Uap
panas menghambur keluar dan terbukalah sebuah lubang yang sukar diduga dalamnya.
Gak Lui meletakkan tutup batu
itu dan meninjau ke bawah. Dilihatnya di bawah lubang itu terdapat lumpur merah
yang panas. Benda itu tentulah lahar gunung berapi. Tetapi ia tak melihat
pedang pusaka itu.
“Ah, tak mungkin! Kecuali
didalam lubang ini, tak mungkin pedang itu ditaruh di tempat lain!” katanya
dalam hati.
Kembali ia kerahkan tenaga
dalam dan untuk menghantam ke bawah. Uappun berhamburan menyiak ke bawah.
Dengan cermat ia memandang segenap sudut lubang itu. Ah... kira2 pada jarak
lima enam tombak di tengah celah2 batu, ia melihat sebatang pedang yang
menancap dalam2 pada dinding karang.
Kini pedang sudah diketemukan
tempatnya. Tinggal bagaimana caranya untuk mengambil. Gak Lui diam2
memperhitungkan jarak tempat pedang itu dari tempatnya. Adakah ia sanggup untuk
melancarkan tenaga-dalam-penyedot untuk menarik pedang itu.
“Baiklah kucobanya,"
akhirnya ia mengambil kesimpulan. Lalu ia kerahkan seluruh tenaga-murni dan
mengambil arah pada batang pedang. Wut... tenaga-murni melancar ke bawah. Tetapi
pedang itu tak bergeming sedikitpun juga.
Dinding lubang terbuat dari
lapisan lahar yang sudah mengeras beratus tahun. Lebih keras dari batu. Maka
sekalipun Bu-san It-ho pun tak mampu untuk menariknya.
Kepandaian yang dicapai Gak
Lui memang sudah cukup tinggi dan disejajarkan dengan tokoh silat kelas satu.
Tetapi dengan tenaga-dalam-penyedotnya itu, tetap ia tak mampu mengambil pedang
itu.
Namun Gak Lui masih penasaran.
Berulang kali ia mencobanya lagi. Tetapi sampai tenaganya habis, tetap tak
berhasil.
Gak Lui berhati keras.
Kegagalan itu tak mematahkan semangatnya. Diam2 ia menimang-nimang rencana.
Cara pertama, ia akan nekad
untuk turun ke dalam kepundan lubang itu. Dengan menggunakan pedang Pelangi, ia
akan membuat lubang untuk meniti ke bawah, lalu dengan seluruh tenaga, ia
hendak mencabut pedang itu.
Setelah mendapat pikiran itu
ia segera mencabut pedang Pelangi. Dicobanya untuk membacok dinding karang,
prak.... bunga api memuncrat. Dinding rompal tetapi tak mampu menembus batu.
Percobaan itu membuatnya harus
berpikir lagi. Kalau ia menaburkan pedang itu dan tak dapat menyusup ke dalam
dinding batu, bukankah sukar untuk menyedot kembali.
“Ah, gagal....." Gak Lui
menghela napas dan putus asa. Ia berdiam merenung. Mengharap mudah-mudahan ia
dapat menemukan akal baru.
Malam pun tiba dan suasana
dalam istana Bi-kiong itupun makin gelap. Dalam suasana yang sunyi ia mendengar
kepundan atau lubang terowongan perut gunung berapi itu terus bergemuruh. Uap
panas berhamburan mengepul keluar.
"Menilik gelagatnya, akan
terjadi letusan lagi !" Gak Lui menimang. Ia makin bingung. Sudah tiga jam
ia memeras otak untuk mencari akal namun tetap belum menemukan cara yang baik.
Tiba2 ia terkesiap. Suatu
pemikiran terlintas dalam benaknya: “Ah, kiranya setiap tiga jam, lubang
kepundan itu muntahkan api. Jadi waktunya tertentu."
Tepat pada saat ia tiba akan
kesimpulan itu, tiba2 meluaplah gelombang api yang terang benderang dari lubang
kepundan itu.
Sekalipun api yang menyilaukan
mata itu hanya sekejab lalu pudar lagi tetapi dalam waktu yang singkat itu Gak
Lui telah menemukan sebuah rahasia. Gelombang semburan api itu menyebabkan
papan batu pada mulut lubang terbakar merah sekali. Dengan begitu dinding yang
membenam pedang pusaka Thian lui koay kiam itupun seharusnya juga akan berobah
lunak.
Setelah merangkai kesimpulan
itu, akhirnya ia bertindak nekad. Cepat ia melambung ke atas lubang seraya
lontarkan sebuah hantaman yang berlambar tenaga-dalam penyedot.
Wut.....ah, ternyata yang
diperhitungkan pemuda itu memang tepat sekali. Karena dinding terbakar dan
lunak maka pedang pusaka itupun dapat tersedot keluar sampai beberapa inci.
“Bagus !" girang Gak Lui
bukan kepalang. Semangatnya pun bertambah besar. Ia melayang ke-samping altar
batu lalu melancarkan pukulan tenaga penyedot lagi. Pukulan kedua itu dapat
membuat pedang menjulur keluar separoh.
Demikian ia ulangi lagi usaha
itu dan yakin tentu akan berhasil. Tetapi menjelang saat akan barhasil itu
tiba2 ia ada suatu hal yang menimbulkan keheranan serta keraguan hatinya.
Dulu ia pernah mendengar bahwa
pedang pusaka itu ditempa dan dimasak dengan darah manusia. Oleh karenanya,
warna pedang itupun merah darah. Tetapi apa yang dilihatnya saat itu sedikitpun
tidak ada cahaya sama sekali.
“Ah, tentunya bukan pedang
palsu?" sambil masih melancarkan pukulan, Gak Lui menimang dalam hati.
Saat itu pedang yang satu meter masuk ke dalam dinding terowongan, saat itu
hanya tinggal tiga inci. Jika perhatiannya terbelah, mungkin akan gagal. Pedang
itu tentu akan jatuh ke dalam dasar lahar gunung berapi. Apabila terjadi
begitu, tak mungkin ia dapat menyedotnya lagi.
Wut.... untuk yang terakhir
kalinya ia lancarkan pukulan tenaga-penyedot dan pedang itupun mencelat
melambung ke atas. Gak Lui cepat menyambarnya. Tetapi tiba2 tubuhnya miring dan
jatuhlah ia ke bawah altar. Demikianpun dengan pedang itu.
“Aneh, mengapa pedang itu
mempunyai daya begitu aneh?" diam2 ia terkejut. Tetapi pada lain saat ia
cepat menyadari bahwa hawa panas yang disedotnya tadi terlalu banyak sehingga menghabiskan
tenaga-murninya. Karena sudah berhasil menyedot keluar pedang pusaka itu,
baiklah ia memulangkan tenaga dulu baru nanti memeriksa pusaka itu lagi.
Segera ia duduk bersila ditepi
altar dan menyalurkan tenaga dalam Algojo dunia, sebuah jenis ilmu tenaga-dalam
yang luar biasa anehnya.
Tak berapa lama darahnyapun
sudah normal lagi dan saat itu ia makin terhanyut dalam semedhi ke dalam hampa.
Tak berapa lama istana
Bi-kiong itupun terang, kiranya hari sudah terang tanah. Dia menyudahi
penyaluran tenaga-murninya dan mulai memeriksa pedang.
“Aneh, mengapa bertahun-tahun
terbenam dalam kepundan gunung berapi dan dibakar lahar panas, pedang dan
sarungnya masih utuh. Sungguh aneh ...!" ia segera menjemput pedang dan
menelitinya.
Bermula ia tak melihat suatu
tanda apa2 pada batang pedang, begitu pula tiada hiasan apa2, batang pedang itu
terbuat dari pada baja murni. Di ujung pedang terdapat sepasang guratan bundar
yang merupakan lambang Thian (langit) dan Lui (halilintar).
“Hm, pedang ini memang tidak
palsu...," diam2 ia girang. Diangkatnya pedang itu ke atas kepala dan
berlututlah ia menengadahkan ke langit sambil mengucap doa kepada Bu-san-it-ho,
cikal bakal dari perguruan Bu-san.
“Sucou, hamba Gak Lui
bersumpah akan melaksanakan pesan takkan mengambil pedang ini. Tetapi karena
keempat Bu-san Su-kiam dan banyak tokoh2 persilatan yang mati di tangan
Maharaja Persilatan yang ganas itu, kecuali menggunakan pedang pusaka itu,
tiada lain daya untuk menumpasnya .... Oleh karena itu hamba mohon sucou mengijinkan
hamba untuk membawa keluar pedang ini dari istana Bi-kiong. Dan kumohon juga
doa restu sucou agar dengan pedang pusaka ini aku dapat membalaskan sakit hati
perguruan Bu-san-pay. Tentulah sucou akan meluluskan permohonan hamba
ini....."
Baru berkata sampai disitu,
tiba2 ia terpaksa hentikan doanya karena saat itu terasa bumi bergetar keras
dan terdengar suara menggemuruh dahsyat. Seketika Gak Lui terkejut pucat.
Dengan bercucuran keringat dingin, ia berteriak: “Sucou, adakah engkau tak
meluluskan dan suruh aku mengembalikan pedang ini ditempatnya lagi? Tidak, ah,
tidak! Aku tetap akan.....”
Kata2 itu terputus oleh suara
dahsyat bagai naga meringkik. Kedahsyatannya benar2 bagai gelombang samudera
yang sedang dilanda prahara. Menyusul dan melihat dari lubang kerak bumi
menyembur gulungan api yang dahsyat....
Altar batu tempat duduk
Lengan-besi-hati-baik tadipun terbakar merah. Sedang mulut lubang yang seluas
hampir semeter itupun membara merah. Gulungan api itu membubung tinggi sampai
ke tiang penglari lalu berhamburan mencurah ke seluruh penjuru.
Rupanya karena kehilangan
pedang pusaka Halilintar atau Thian-lui-koay-kim, gunung berapi itu murka dan
muntahkan lahar yang dahsyat. Seolah olah lahar itu hendak menghancurkan istana
bi-kiong.
Panasnya hawa dalam ruang
istana itu menyebabkan Gak Lui hampir tak kuasa membuka mata lagi. Karena
gugup, sambil mengambil pedang pusaka, ia menutupi muka, ia berseru kearah
gumpalan api yang menyembur dahsyat itu : "Pedang tetap kubawa! Aku
bersumpah, takkan mencelakai orang baik. Kalau sampai melanggar, akan kubayar
dengan darah...” sebelum ia menyelesaikan kata katanya, terdengar pula suara
bergemuruh dahsyat.
Puncak wuwungan dari istana
Bi-kiong itu sudah merekah sebuah lubang besar. Dengan memanggul pedang pusaka itu,
Gak Lui segera menerjang keluar. Untunglah ia masih ingat jelas akan tata-gerak
Ni coan-ngo heng. Dengan berputar-putar ia menerobos keluar dari terowongan
yang berliku-liku. Setiap ia tiba disebuah tempat, maka tempat yang habis
dilaluinya itu tentu sudah bengkah. Hampir saja ia tergelincir kedalam liang
kepundan.
Dengan susah payah dan penuh
bahaya akhirnya berhasil juga ia mencapai mulut jalan keluar dari istana Bi
kiong. Dan kembali ia berhadapan dengan sebuah rintangan. Pintu batu yang
tinggi besar dari istana itu masih tertutup rapat. Beberapa saat, ia tak dapat
menemukan alat pembuka pintu itu.
Betapapun besar nyalinya,
tetapi dalam keadaan dan tempat seperti saat itu, mau tak mau gemetarlah hati
Gak Lui.
Dengan tenaga yang
dimilikinya, ia merasa tak mampu menghantam hancur pintu. Dengan mengerahkan
tenaga dalam yang telah disalurkan oleh paman gurunya si Lengan-besi-hati-baik
penunggu pedang Thian-lui-koay-kiam, ia masih belum berani memastikan kalau
dapat menghantam pecah pintu batu itu.
Namun saat itu keadaan sudah
mendesak sekali. Tanah membengkah dan lahar mengalir. Dalam gugup terpaksa
tiada lain pilihan. Ia kerahkan seluruh tenaga-dalam lalu menghantam dengan
sekuatnya, bum ...
Ia tertegun dan kesima. Pintu
batu yang besar dan tinggi itu jebol dan terbukalah sebuah lubang cukup untuk
tubuh seseorang. Pada lain saat Gak Luipun cepat menyelinap keluar. Dengan
beberapa kali berloncatan diudara, ia dapat melintasi beberapa batu titian
diluar istana lalu keluar dari Ciok-tin atau barisan batu yang berada pada
keenam puncak lapisan dalam.
Kini ia berhasil keluar dan
sudah berada ditengah keenam puncak-gunung lapisan luar.
Saat itu istana Bi-kiong sudah
tak kelihatan. Yang tampak hanya gulungan asap membubung keudara. Batu hancur
bertebaran. Istana Bi-kiong, sebuah bangunan kuno dalam dunia persilatan, kini
meledak dan rusak berantakan.
Untuk beberapa saat Gak Lui
memandang kesemuanya itu dengan helaan panjang. Pesan cikal bakal perguruan Bu
san yakni Bu san It-ho dan kematian paman gurunya si Lengan-besi-hati-baik,
meninggalkan goresan kesan dalam hatinya.
Setelah lautan asap itu
berkurang, barulah hatinya tenang. Ia mulai memeriksa pedang pusaka Thian-lui
koay-kiam lagi. Sarung pedang itu berlekuk-lekuk tak rata dan lagi berbentuk
bulat. Bukan terbuat daripada emas atau besi melainkan dari batu lahar yang
sudah keras sekali.
"Ah, tak mungkin,"
pikir Gak Lui, "masakan kerangka pedang terbuat daripada batu. Tentulah
kerangka yang aselinya sudah terbakar hangus oleh lahar. Entah bagaimana dengan
batang pedangnya?"
Buru2 ia menarik tangkai
pedang. Tetapi pada saat tangan menyentuh tangkai, segera ia merasakan suatu
tenaga mengalir ketangannya dan pada lain saat hatinyapun goncang keras. Nafsu
pembunuhan serentak bergolak golak.
"Bunuh! Bunuh!
Bunuh!" demikian hatinya melolong seperti orang kalap. Darahnyapun
mengalir deras. Dibawah pengaruh tenaga ajaib dari pedang itu, Gak Lui telah
kehilangan kesadaran pikirannya.
Pada saat2 yang genting itu
tiba2 dari luar gunung terdengar tiga buah teriakan nyaring : "Gak Lui ..
Gak Lui .. dimana engkau .. ?”
Suara itu tak asing baginya.
Kecuali satu yang kurang jelas, yang lainnya terang yalah ketua Partai Jembel
si Raja-sungai Gan Ke-ik, sedang satunya yalah Pok Tin yang belum lama berpisah
dengannya.
Menilik gelagatnya, rupanya
Pok Tin sudah mengetahui jejak orang berkerudung muka maka buru2 mereka datang
memberitahu kepadanya.
Tetapi saat itu hati Gak Lui
sudah berobah. Dia tak menghiraukan lagi siapa yang datang itu. Seperti seekor
binatang buas, mulutnya meraung kata 'bunuh' seraya mencabut pedang laknat
Thian-lui-koay-kiam.
Andaikata saat itu pedang
laknat Thian-lui-koay-kiam dapat tercabut, tentulah akan terjadi pertumpahan
darah yang mengerikan. Gak Lui sudah seperti orang gila. Tak tahu lagi dia
siapa ketiga kawannya itu. Mereka tentu akan dibunuhnya. Tetapi untunglah
terjadi suatu kejadian yang diluar dugaan.
"Uh ...." betapapun
ia kerahkan tenaga namun tetap tak mampu mencabut pedang itu dari kerangkanya.
"Aneh?" ia menggumam
sendiri. Pedang itu seperti sudah melekat dengan kerangkanya. Kalau ia memaksa
hendak mencabut, batang pedang itu tentu akan patah tetapi tak mungkin keluar
dari kerangkanya.
"Ah .. ," karena
kesal hatinya, ia lepaskan pedang itu. Sesaat pedang terlepas pikirannya yang
buas itupun tiba2 lenyap. Kesadaran pikirannyapun kembali lagi.
"Huh, sungguh mengerikan!
Baru memegang tangkainya saja pikiranku sudah gelap, nafsuku membunuh orang
berkobar. Untung tak dapat mencabut batang pedangnya. Kalau pedang itu
tercabut, mungkin tentu sudah melanggar sumpahku tadi !”
Pengalaman itu membuatnya tak
berani memegang pedang itu. Sekali lagi ia meneliti pedang aneh itu. Ternyata
pedang itu sudah tak mempunyai kerangka. Batang pedang melekat pada leher yang
sudah membeku keras. Setelah berlangsung berpuluh tahun, gumpalan lahar itu
makin tebal dan keras. Maka pedang itu sesungguhnya bukan pedang lagi melainkan
sebatang tongkat batu. Digunakan, pedang batu itu membikin pikiran orang gelap
dan tak berguna untuk menghadapi musuh.
"Ah, bagaimana ini
?" betapapun cerdiknya namun saat itu Gak Lui tak dapat memecahkan
persoalan yang dihadapannya.
"Baik kucabut sajakah ?
Ah, tak mampu. Kupukul ? Ah, mungkin putus. Lalu bagaimana?"
Tiba2 ia teringat akan pedang
Pelangi yang juga sebuah pedang pusaka yang dapat memapas logam seperti memapas
tanah liat. Cepat ia mencabut pedang itu dan mencobanya. Tetapi sampai beberapa
kali, ia hanya berhasil memapas sedikit sekali.
"Hm, kalau tak dapat
dipapas, tentu dapat diasah...," cepat ia berganti pikiran. Tetapi secepat
itu ia teringat bahwa lahar yang membeku keras tentu tak dapat diasah dengan
batu biasa. Serentak ia teringat bahwa ia masih membekal beberapa batu berlian
berasal dari Lembah Maut. Berlian adalah batu yang paling keras. Dengan batu
berlian itu, ia segera mulai menggosok pedang batu. Ujung dari batu pedang itu
dapat menipis juga.
"Bagus, sedikit banyak
ada hasilnya. Untunglah Siu-mey masih membawa banyak batu berlian. Nanti kalau
jumpa dengannya, akan kuminta untuk menggosok pedang ini," pikirnya.
Tiba2 ia mendengar teriakan si
Raja-sungai dari tepi hutan. Ia tak berani gegabah masuk ke-dalam hutan itu
melainkan berteriak menyahut. Dalam pada itu ia merobek lengan baju untuk
membungkus pedang batu itu. Menjaga agar jangan sampai terulang pedang itu akan
membikin kalap pikirannya. Sambil memanggul pedang, ia segera loncat menuju
keluar dari gunung Busan.
Tak berapa lama bertemulah ia
dengan rombongan Raja-sungai Gan Ke-ik. Diantaranya tampak seorang tua yang
memegang sebatang tongkat mustika. Menilik pakaiannya yang compang camping, Gak
Lui duga orang tua itu tentu seorang tokoh sakti dari partai Pengemis.
Gak Lui terkejut. Mengapa
kedua partai Pengemis dan partai Gelandangan yang saling bermusuhan, dapat
berjalan bersama-sama ?
"Gak sauhiap," tiba2
si Raja-sungai sudah mendahului membuka mulut, "perkenalkanlah saudara ini
yalah ketua Partai Pengemis Ong Ping-gak. Kali ini saudara Ong datang sendiri
ke Kanglam untuk membantu."
Gak Lui buru2 memberi hormat
kepada tokoh itu dan mengucapkan beberapa patah kata merendah.
Demikian setelah saling
berkenalan, maka dengan jujur tokoh Partai Pengemis itu berkata : "Aku
merasa menyesal sekali. Sebagai seorang ketua aku tak mampu mengatasi cabang
partaiku didaerah selatan. Maka aku merasa berterima kasih kepada sauhiap yang
telah membunuh si Pengemis Bengis itu."
"Ah, harap lo-cianpwe
jangan merendah diri," sahut Gak Lui.
"Dan kudengar pula bahwa
si Pengemis Ular hendak menyerang Ceng-sia-pay. Maka kuperlukan datang kemari
untuk membantu barisan orang gagah dan menumpas penghianat itu untuk
membersihkan nama Kay-pang !"
Gak Lui tertawa: "Ya,
kalau dapat dipersatukan kembali, alangkah tepatnya kalau cianpwe yang memegang
tampuk pimpinan. Selain dapat mengendalikan partai Kay-pang, pun merupakan suatu
berkah bagi dunia persilatan."
Setelah itu Gak Lui lalu
berkata kepada Pok Tin: "Kedatangan saudara ini tentu membawa berita baik
!”
Pok Tin tertawa gelak2:
"Benar, aku sudah menemukan sarang penjahat itu !"
"O !"
"Sebenarnya hal itu
terjadi secara tak sengaja. Dalam mencari jejaknya aku tak mempunyai arah
tertentu. Tetapi pada waktu melintasi gunung Hek-san, aku menemukan sedikit
jejak.”
"Apakah itu ?"
"Pada waktu masuk
kedaerah gunung itu, saat itu pada tengah malam, Kulihat sebuah penerangan dipuncak
gunung.”
"Lalu ?"
"Aku curiga lalu
menghampiri. Kiranya penerangan itu timbul dari perut gunung tetapi tak ada
suatu gerakan, atau seorang manusiapun yang muncul. Tiba2 aku menyadari
...."
"Apakah orang sedang
membuat api untuk menempa pedang ?"
"Benar ! Memang
demikianlah dugaanku," tetapi tiba2 Pok Tin berhenti karena merasa
keterangannya itu ada sebagian yang salah.
Ia tahu bahwa Pukulan-sakti
The Thay itu seorang yang keras hati. Tak mungkin ia mau disuruh orang untuk
menempa pedang.
"Saat itu ingin sekali
aku terus hendak menerobos untuk melihatnya. Tetapi aku teringat akan pesan
supaya jangan menggunakan kekerasan. Akhirnya aku dengan hati2 mendekati tempat
itu dan benar juga telah mengetahui jejak dari si Orang Berkerudung.”
"Dan siapa lagi?"
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
"Seorang nona yang cantik
..."
"Oh...!" Gak Lui
terkejut. Ia duga tentulah The Hong-lian, "nona itu bagaimana keadaannya?
Ditawan atau ..."
"Jangan kuatir!" Pok
Tin tertawa, "nona itu lincah sekali. Dia juga bersembunyi dalam hutan
seperti menunggu kesempatan untuk turun tangan.."
"Adakah kalian tak saling
jumpa dan adakah engkau tak memberitahukan keadaanku kepadanya?" tanya Gak
Lui.
"Ini ... tidak," Pok
tin tertegun, "aku tak tahu kalau kalian sudah saling kenal. Maka aku
malah bersembunyi seperti orang yang main kucing2an."
“Tak apa," kata Thian
Lui, "pedang pusaka itu sudah kudapatkan dan kita segera mencari
mereka."
"Perlukah kubantu?"
"Ah, tak perlu merepotkan
saudara."
Pok Tin melangkah maju setengah
tindak, katanya: "Aku sendiri memang mempunyai urusan juga."
"Soal apa?"
"Demi urusanmu, aku
terpaksa menahan keinginan hati untuk bertempur. Tetapi kalau engkau hanya
seorang diri dan musuh berjumlah tujuh sampai delapan orang, seharusnya engkau
bagi kepadaku yang dua atau tiga orang!"
Mendengar itu tahulah Gak Lui
bahwa Pok Tin kambuh lagi penyakitnya untuk menantang orang bertanding pedang.
Maka ia tertawa : "Kelak dalam rapat di Ceng-sia, tentu yang hadir terdiri
dari golongan Putih dan Hitam tentu banyak yang hadir. Jika hendak mencari
orang itu untuk diajak bertanding, tentulah cukup banyak ..."
"Kalau siorang
berkerudung itu sudah engkau bunuh, mana ada rapat lagi?"
"Ah, saudara
keliru," kata Gak Lui, "Kaki tangan Maharaja Persilatan banyak
sekali. Boleh dikata seluruh kaum persilatan golongan Hitam, menjadi kaki
tangannya. Gerombolan orang berkerudung dapat kubasmi tetapi kaum durjana tetap
masih banyak!"
"Soal itu ....."
tengah Pok Tin masih merenung, kedua ketua partai Pengemis dan Jembel itu
segera ikut campur bicara : "Ah, tak perlu kiranya saudara kecewa. Nanti
apabila terjadi pertempuran dahsyat, saudara pasti akan kita minta ikut. Pasti
puaslah!"
"Apakah saudara ketua
berdua berani menjamin?"
"Dalam lain2 hal tak
berani tetapi dalam hal itu kami berani memberi jaminan."
"Baik," akhirnya Pok
Tin mau mengalah.
Gak Luipun memberi hormat
minta diri kepada ketiga orang itu. Tetapi baru ia hendak melangkah pergi, si
Raja-sungai Gan Ke-ik mencegahnya : "Tunggu dulu! Tadi istana Bi-kiong
tiba2 meledak sehingga kami terkejut sekali. Mengapa hal itu terjadi seharusnya
engkau menerangkan kepada kami."
Sejenak berdiam diri, akhirnya
Gak Lui menerangkan dengan terus terang : "Ya, aku sudah berhasil
mendapatkan pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam dari perguruanku."
"O..." ketiga tokoh
itu serentak berseru kejut dan terbeliak. Pedang Thian-lui-koay-kiam itu
merupakan pedang yang sudah hampir terlupakan dalam dunia persilatan. Mereka
ingin tahu bagaimana keadaan pedang yang termasyhur itu.
"Dapatkah kami melihat
sebentar pedang pusaka yang termasyur itu?" lebih dulu Raja-sungai Gan
Ke-ik atau ketua partai Gelandangan bertanya paling dulu.
Gak Lui mempunyai kesan yang
baik terhadap ketiga orang itu. Setelah merenung sejenak ia mengangguk : "Baik,
sayang tak ada sesuatu yang menarik pada pedang itu," ia terus membuka
bungkusan kain baju.
Demi melihat keadaan pedang
yang tak menyerupai pedang melainkan seperti sebatang tongkat batu, ketiga
tokoh itu leletkan lidah karena merasa heran.
Beberapa saat kemudian
berkatalah si Raja-sungai pula : "Gak sauhiap, pedang termasyur itu benar2
sesuai dengan namanya yalah Koay atau aneh ..."
Juga ketua Partai Kay-pang
menambahi pendapat rekannya : "Sepintas pandang tidak lagi menyerupai
pedang melainkan seperti sebatang tongkat batu ..."
Pun Pok Tin ikut memberi
komentar, "Saudara Gak, kalau begitu tak dapat melihat jelas. Maukah
engkau menariknya keluar batang pedangnya?"
"Maaf," kata Gak Lui
dengan wajah serius lalu memanggul pedang itu lagi, "untuk saat ini pedang
pusaka ini belum dapat dicabut keluar. Kelak saja kuunjukkan pada
saudara2."
Ketiga orang itu menduga tentu
ada sesuatu yang terjadi pada pedang pusaka itu. Maka merekapun tak mau banyak
bertanya.
"Saudara Gak," tiba2
Raja sungai Gan Ke-ik buka suara lagi, "kabarnya engkau telah berjumpa
dengan Kaisar Persilatan dan mendapat pusaka Thian-liong-kim-jiu. Sudah
bertahun tahun aku tak berjumpa dengan Li tayhiap itu. Dengan melihat pusaka
Kim-jiu, berarti sama dengan melihatnya."
"Baiklah," Gak Lui
tak keberatan atas permintaan orang. Dengan hati2 ia mengeluarkan pusaka
pemberian Kaisar Persilatan itu.
Ketika melihat pusaka itu
terkenanglah si Raja-sungai akan peristiwa yang lampau dimana ia dahulu bersama
Kaisar Persilatan, berjuang bahu membahu untuk membasmi kawanan durjana
persilatan.
Ketua Partai Gelandangan itu
termangu-mangu mengenangkan masa yang lampau dengan Kaisar Persilatan ...
Sebenarnya Gak Lui ingin
lekas2 pergi tetapi karena melihat ketua Partai Gelandangan itu masih tertegun
sambil mencekal pusaka Kim-jiu, terpaksa ia segan untuk mengganggunya.
Dalam pada menunggu itu, Gak
Lui menyempatkan diri untuk berpaling memandang kearah istana Bi kiong diatas
gunung Bu-san.
Berbareng pada saat itu, si
berangasan Pok Tinpun ikut berpaling memandang kearah gunung itu. Tetapi
matanya cepat tertarik akan sesuatu yang terdapat pada barisan batu2 aneh dari
ke enam puncak-gunung lapisan luar. Ia kerutkan dahi.
Pada saat sekalian orang
sedang terbenam dalam kenangan masing2, tiba2 Pok Tin loncat ke-arah barisan
batu itu dan secepat kilat kedua tangannya menaburkan sepuluh batang
pedang-terbang.
Sekalian kawannya terkejut
tetapi cepat mereka tahu tentulah tindakan si berangasan itu mempunyai sebab.
Ketika mereka mencurahkan mata
kearah barisan batu itu segera samar2 mereka melihat sesosok tubuh manusia
sedang bersembunyi dalam barisan itu.
Belum mereka tahu siapa orang
itu, Pok Tin sudah kedengaran berseru, "Hai, Orang berkerudung, kiranya
engkau juga muncul !"
Kejut Gak Lui bukan alang
kepalang. Kalau gerombolan Manusia-berkerudung-muka itu masih berada digunung
Hek-san menempa pedang, tak mungkin mereka muncul disitu. Dan sekalipun datang,
juga tak mungkin mampu masuk kedalam barisan batu digunung Bu-san.
Kalau begitu pendatang yang
bersembunyi dibalik barisan batu itu tentu si Maharaja sendiri. Ya, tak dapat
disangsikan lagi.
Dendam darah....! Musuh
besar....! Seketika meluaplah darah Gak Lui. Apalagi ketika melihat si
brangasan Pok Tin sudah maju menyerang, tentu berbahaya.
Serentak tubuh Gak Lui
berputar dan dengan gerak kecepatan yang hampir tak dapat dipercaya,
tubuhnyapun sudah melambung keudara.
Saat itu dari barisan batu
berhembus angin yang mengandung tenaga-dahsyat. Tring, tring.... taburan ke 10
pedang dari Pok Tin tadi pun berhamburan jatuh keempat penjuru.
Tetapi si brangasan Pok Tin
tetap nekad menyerbu kedalam barisan batu.
“Celaka!" Gak Lui
mengeluh. Tepat pada saat itu terdengar letupan keras.
Tubuh Si berangasan Pok Tin
yang tinggi besar, bagai sebuah layang2 yang putus tali terdampar
berputar-putar diudara. Dengan menyemburkan darah, dia meluncur turun dan rebah
tak bangun lagi.
Kejadian itu berlangsung dalam
waktu sekejab mata hingga Gak Lui tak keburu memberi pertolongan lagi. Bahkan
ketua Partai Pengemis dan Partai Gelandanganpun memburu kedalam barisan untuk
menolong, tetapi tetap terlambat.
Pada saat Gak Lui meluncur
kedalam barisan, rupanya orang berkerudung muka itu tak mau melayani. Dengan
sebuah loncatan dari ilmu Meringankan tubuh yang mengagumkan, orang itu melayang
mundur sampai tiga lapis batu disebelah belakang lalu menyelinap ke sebelah
kiri.
Sekalipun orang itu
membelakangi den mengenakan jubah hitam, tetapi mata Gak Lui yang tajam cepat
dapat mengenali punggung orang itu. Hatinya tegang sekali.
Baru ia hendak melambung
keudara lagi, tampak kedua ketua partai perguruan itu sudah menyusup kebelakang
gunung. Tampak pula wajah mereka seperti orang yang bingung karena tak dapat
menemukan jalan. Rupanya mereka seperti tersesat.
Karena hal itu, perhatian Gak
Lui beralih tercurah kepada keadaan kedua ketua partai perguruan itu, serunya:
"Tiga langkah, belok ke-kiri !”
Kemudian seperti bintang
meluncur, Gak Lui gunakan gerak Ni-coan-ngo-heng untuk menyerbu kedalam barisan
batu.
Tetapi orang berkerudung muka
itu juga tak kalah gesitnya. Tetapi rupanya ia faham akan barisan batu itu.
Setelah setengah li, ia teringat akan seruan Gak Lui kepada kedua ketua partai
persilatan tadi. Maka iapun menirukan. Setiap tiga langkah, membiluk kekiri.
Oleh karena itu setelah melalui
beberapa tikungan, akhirnya ia dapat dikejar Gak Lui.
Kini keduanya saling
berhadapan, Mereka saling mendesuh kejut. Terutama Gak Lui. Dia cepat mencabut
sepasang pedang. Mulutnya berbuih, mata memancarkan sinar pembunuhan yang seram
....
Kiranya orang berkerudung yang
berada di-hadapannya itu bukan lain yalah si Maharaja Persilatan sendiri.
Durjana yang ganas tetapi sakti.
Dengan mengerut geraham
menahan dendam kebencian, berserulah Gak Lui dengan nada sedingin es :
"Bangsat keparat ! Karena sudah berani masuk ke Busan jangan engkau mimpi
akan lari dari sini. Dengan cara Tiga-langkah-biluk-ke-kiri yang tolol itu,
jangan harap seumur hidup engkau mampu keluar dari sini ...."
"Heh, heh, heh....."
orang itu mengekeh seram, "Budak kecil Gak, sebenarnya aku sudah keliwat
berlaku murah hati kepadamu tetapi engkau sendiri yang tetap hendak cari mati.
Dan lagi kali ini ... hm, hm , .. aku tak memerlukan keteranganmu lagi
....."
"Engkau tak perlu
bertanya tentang keempat Bu-san Su-kiam itu lagi?"
"Ha, orang sudah mati,
tak perlu ditanyakan lagi !" sahut Maharaja.
Mendengar itu serentak
teringatlah Gak Lui akan keterangan nona Yan-hong si Burung-hong-cantik dari
Busan, bahwa nona itu telah memberi pertandaan dengan dahan pohon pada goha
tempat pemakaman ayahnya tetapi ternyata dapat diketahui orang. Nona itu tak
tahu siapakah orang yang menyelundup untuk menyelidiki jenazah ayahnya. Tetapi
kecurigaannya jatuh kepada diri Tio Bik lui.
Kini setelah mendengar kata2
si Maharaja, barulah Gak Lui menyadari bahwa yang melakukan perbuatan itu
tentulah si Maharaja.
Gak Lui gemerincingkan
pedangnya seraya berseru bengis : "Rupanya semua keinginan sudah
terpenuhi. Nah, lekaslah engkau memberitahukan namamu sebelum menerima kematian
!"
"Memberi tahu nama
?" Maharaja mengulas heran.
"Menangkap bintangpun
tahu namanya, masakan engkau manusia tak bernama ?" balas Gak Lui.
"Heh, heh," Maharaja
mengekeh, tubuhnya menggigil menahan kemarahan, kemudian dengan menekan
perasaan ia menyahut: "Aku sudah mempunyai gelar kehormatan. Mengapa harus
menggunakan nama dahulu lagi ? Dan lagi engkau…."
"Aku bagaimana ?"
Maharaja menatap Gak Lui
dengan pandang ber-kilat2. Menyusuri seluruh tubuh Gak Lui, dari kaki sampai
ujung kepala.
Dengan nada agak meragu,
Maharaja berseru : "Dimana pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam yang engkau
curi itu ? Lekas serahkan padaku !"
"O, engkau menanyakan
pedang itu ?"
"Benar !"
Gak Lui tengadahkan kepala
tertawa nyaring. Kiranya karena pedang pusaka itu dibungkus dengan kain dan
dipanggul dipunggung, karena bentuknya sudah tak menyerupai seperti pedang
lagi, maka seorang durjana julig semacam Maharaja pun tak dapat mengenalinya.
Maka sambil kisarkan langkah,
Gak Lui tak mau menjawab bahkan balas bertanya : "Kecuali pedang, masih
ada sebuah pusaka lagi. Mengapa tidak engkau tanyakan ?"
"Pusaka yang mana ?"
Maharaja pura2 tak tahu.
"Pusaka Thian Long-kim
jiu !"
"Ini ..."
"Perlu apa engkau
berlagak pilon ? Bukankah sudah beberapa kali engkau suruh orangmu untuk
merebut ? Masakan engkau lupa !"
Sambil meneguk air liur,
Maharaja membentak : "Jangan ngacau balau ! Yang kutanyakan padamu
sekarang ini yalah soal pedang itu !"
Diam2 Gak Lui menimang, ia
tahu bahwa Maharaja itu tentu menginginkan kedua benda pusaka itu. Tetapi
karena ia belum tahu jelas tentang pedang Thian-lui-koay-kiam, maka ia
menekankan pertanyaan pada benda itu.
Sambil gentakkan bahu dan
menunjuk pada bungkusan kain yang dipanggulnya, Gak Lui berseru : "Benda
itu berada padaku, engkau dapat melihat atau tidak ?"
"O…." Maharaja
mendesuh kejut dan menyurut mundur dua langkah kebelakang. Wajahnya berobah2
tak menentu.
Melihat kerut wajah dan sikap
orang, tahulah Gak Lui bahwa orang sudah ber-siap2 hendak turun tangan. Tetapi
agaknya Maharaja itu masih gentar akan pedang pusaka yang berada ditangan
lawan.
Pada saat Maharaja masih
ragu2, Gak Lui-pun diam2 sudah kerahkan tenaga-dalam dan secepat kilat taburkan
sepasang pedangnya. Bagaikan dua buah petir yang menyambar, yang satu menusuk
kening dan yang satu menusuk dada lawan.
Maharaja sebenarnya sudah tahu
bahwa Gak Lui sudah mendapat warisan ilmu dari Sam-coat (Tiga durjana) dan Sam
yau (Tiga siluman), enam tokoh persilatan yang termasyhur. Tetapi setitik-pun
Maharaja tak menduga sama sekali bahwa Lengan-besi-hati-baik juga telah
menyalurkan tenaga murninya kepada anak muda itu.
Melihat kedahsyatan serangan
lawan, Maharaja batalkan rencana untuk mengalah sampai beberapa jurus. Setelah
dapat keterangan jelas tentang pedang pusaka itu, barulah ia turun tangan
membalas.
Tetapi ternyata perhitungannya
meleset. Serangan Gak Lui sedemikian cepat dan maut sehingga ia tak keburu
untuk mencabut pedang lagi. Untunglah berkat pengalamannya yang luas dan
kepandaiannya yang tinggi, ia masih dapat mengempiskan dadanya sampai setengah
meter kebelakang. Berbareng itu ia tengadahkan muka dan kibarkan kepalanya
menggunakan jurus Naga-hjau-goyang-kepala.
Wut, wut .... terdengar dua
buah arus angin menderu keras. Sayang karena terlalu bernafsu sekali untuk
membalas dendam sehingga kurang tenang. Serangannya maut itu dapat dihindari
musuh hanya pada jarak seujung rambut saja.
Sebenarnya dalam ilmu
tenaga-dalam, sekarang Gak Lui sudah tak kalah dengan Maharaja. Hanya dalam
pengalaman memang ia masih kalah. Juga dalam soal keyakinan, ia kalah jauh dari
Maharaja yang sudah berjerih payah meyakinkan ilmu kepandaian sakti selama
berpuluh tahun.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Serangannya luput, Gak Lui
makin kalap. Hanya berhenti dalam sekejap saja, tampak tubuh Maharaja sudah
menggelembung besar. Kelima jarinya yang menyerupai cakar baja segera
mencengkeram bahu lawan.
Sebenarnya Gak Lui tak gentar
sama sekali menghadapi Maharaja itu. Tetapi ia mencemaskan pedang
Thian-lui-koay-kiam itu akan timbul keanehannya.
Cepat ia kisarkan langkah
menghindar lalu kiblatkan pedang Pelangi membelah dada lawan.
Apabila tokoh persilatan kelas
tinggi saling bertempur, kalah menang itu dapat ditentukan dalam sekejap mata.
Maharaja karena congkak, maka
dalam babak pertama ia terdesak. Tetapi Gak Lui karena terlalu bernafsu,
permainan pedangnyapun kurang mantap.
Pada saat Gak Lui menggerakkan
pedang, dengan mendengus dingin, Maharaja sudah menarik pulang tangannya yang
hendak merebut senjata lawan tadi, dan serempak dengan miringkan tubuh ia terus
hendak menyambar pergelangan tangan Gak Lui.
Gak Lui tahu bahaya tetapi
sudah tak keburu lagi hendak menghindar. Seketika tangannya serasa membentur
aliran listrik. Lima buah jalan darah pada pergelangan tangannya telah
dicengkeram lawan ....
Keadaan itu sungguh berbahaya
sekali. Apabila Maharaja menekankan kuku2 jarinya yang runcing, tangan Gak Lui
pasti hancur lebur.
Dalam gugup, untunglah Gak Lui
cepat timbul akalnya. Buru2 ia gunakan ilmu tenaga dalam Kian-gun-it-sat atau
Algojo-dunia, untuk menyedot tenaga lawan.
Alangkah kejut si Maharaja
ketika dapatkan tangan pemuda itu selemas kapuk dan memancarkan daya sedot yang
keras. Ia seorang tokoh yang kaya pengalaman. Tahu hal itu berbahaya, cepat ia
menarik tangannya dan hendak loncat kebelakang.
Tetapi pedang Pelangi yang
dimainkan Gak Lui tadi belum sempat dihentikan dan masih melayang itu dapat
disambar Maharaja.
Kejut Gak Lui bukan kepalang.
Dengan mendapat pedang itu, Maharaja seperti harimau tumbuh sayap. Keganasannya
pasti menjadi-jadi. Dan lagi pedang itu adalah pusaka perguruan Bu-tong. Dan ia
sudah berjanji akan mengembalikannya kepada yang berhak. Dengan direbutnya
pedang itu, tentu sukar ia akan dapat memenuhi janjinya.
Gak Lui nekad. Tanpa
memindahkan pedang ditangan kiri ketangan kanan, secepat kilat sambil
condongkan tubuh ia membabat siku lengan lawan.
Gerak serangan pemuda itu
cepatnya bukan kepalang, tetapi ternyata Maharaja juga tak kalah cepatnya.
Apalagi saat itu ia sudah memegang pedang pusaka yang tajamnya bukan kepalang.
"Heh, heh, heh ...” sambil
tertawa mengekeh Maharaja taburkan pedang untuk memapas pedang Gak Lui.
Tring, tring ... terdengar
dering gemerincing dari dua batang pedang yang saling beradu. Dalam serangan
itu dan adu pedang itu, pedang Gak Lui yang memancarkan sinar putih, makin lama
tampak makin pandak. Kebalikannya, pedang Maharaja yang bersinar kehijau
hijauan tetap seperti semula, bahkan makin lama makin dahsyat gerakannya.
Memang pedang yang dimainkan
Gak Lui itu adalah pemberian dari gi-hu atau ayah-angkatnya si Pedang Aneh,
terbuat daripada baja murni. Tetapi mana mampu menandingi pedang Pelangi,
pedang pusaka dari perguruan Bu-tong-pay.
Setelah jurusnya selesai,
pedang Gak Lui hanya tinggal tangkainya saja. Sedangkan serangan Maharaja makin
ganas dan saat itu sedang mengarah kedadanya.
Dalam keadaan terdesak, Gak
Lui lontarkan tangkai pedang itu ke dada lawan. Maharaja tak berani memandang
ringan. Lebih dulu ia menampar tangkai pedang itu baru kemudian lancarkan
serangannya lagi untak menusuk ulu hati lawan.
Pada saat Maharaja menangkis
tangkai pedang, kesempatan itu digunakan Gak Lui untuk mundur setengah tombak.
Walaupun dengan tangan kosong, tetapi ia tak gentar. Cepat ia gerakkan tangan
kiri menghantam dengan pukulan Menundukkan-iblis. Sedang tangan kanan secepat kilat
merogoh kedalam baju.
"Heh, heh, serahkan
jiwamu!" Maharaja mengekeh dan songsongkan tangan kirinya menangkis.
Pedang Pelangi dengan kecepatan yang luar biasa menusuk lawan.
Tring .... terdengar benturan
benda yang mendering keras. Gak Lui terhuyung mundur dua langkah. Tetapi saat
itu ia sudah dapat mengambil keluar pusaka Thian-liong kim-jiu.
"O, kiranya benda itu
juga ada padamu!" walau kaget karena tusukannya membentur benda keras,
berobah menjadi rasa girang sekali ketika melihat pusaka Kim jiu. Serentak ia
perhebat serangan pedangnya dalam kecepatan yang luar biasa.
(Halaman 64 – 65 tidak ada…)
Memang kedua ketua kaum
pengemis dan gelandangan itu merupakan tokoh2 kelas dalam dunia persilatan.
Tetapi dalam hal ilmu pengetahuan tentang jalan-darah tubuh manusia, ternyata
Maharaja lebih unggul setingkat.
Dalam gugupnya, si Raja-sungai
Gan Ke-ik terpaksa lemparkan pedang dan loncat kebelakang. Setelah ia gunakan
tiga jurus ilmu-istimewa ajaran Kaisar Persilatan, barulah ia dapat terhindar
dari rasa malu karena pedangnya terbabat kutung.
Sedang ketua Kay-pang, masih
mending keadaannya. Karena menggunakan tongkat kumala dan lawan dengan tangan
kosong, cepat ia menarik tongkat untuk melindungi tubuh. Gerakannya itu
ternyata memang tepat pada saatnya.
Dalam pada itu setelah
memulangkan napas dan mengatur tenaga murni, Gak Lui segera mulai menyerang
lagi dengan pusaka Thian-liong-kim jiu.
Demikianlah dalam sebuah
tempat yang istimewa dan jarang terdapat didunia, telah terjadi juga dalam
dunia persilatan.
Pedang berkelebat, tongkat
menyambar, pukulan menderu dan anginpun berhamburan laksana suatu prahara. Batu
pecah, pasir berhamburan membubung keangkasa.
Gak Lui gunakan pukulan ilmu
Menaklukkan-iblis, perbawanya seperti menghancurkan gunung. Sedang pusaka
Thian-kim-jiupun menyambar-nyambar memancarkan sinar maut yang merontokkan
nyali orang.
Tongkat-kumala dari ketua
Kay-pang, juga sedahsyat hujan mencurah. Tenaganya makin lama makin menyirap
darah orang.
Sedang ketua Partai
Gelandangan, si Raja-sungai Gan Ke-ik mengandalkan tiga jurus ilmu-istimewa
ajaran Kaisar Persilatan. Dengan ilmu itu ia dapat mempertahankan diri.
Ditambah pula dengan ilmu pukulan Api-petir dari perguruannya, iapun dapat
melancarkan serangan balasan.
Diserang oleh tiga musuh yang
tangguh, si Maharaja masih tetap congkak. Ia keluarkan jurus permainan dari
kelima partai persilatan : bu-tong, Ceng sia, Heng-san, Kong-tong dan Siau-lim.
Pedang Pelangi berkelebatan
memancar sinar keempat penjuru. Baik bertahan maupun menyerang, dilakukan
dengan serba cepat. Jelas ia tak kalah angin.
Namun betapapun lihaynya
Maharaja, karena dikerubut oleh tiga tokoh sakti, apalagi kepandaian Gak Lui
itu tak terpaut banyak atau hampir berimbang dengannya, diam2 ia sudah mengeluh
dan membayangkan kekalahan.
Keadaan si Maharaja cepat
diketahui Gak Lui. Maka sambil menyerang, ia membentak bengis: "Huh,
kematianmu sudah hampir tiba, apakah engkau tetap tak mau memberitahukan namamu
yang aseli...?"
Ucapan pemuda itu bagai air
dingin yang mengguyur kepala Maharaja. Tubuhnya gemetar. Matanya berkeliaran
dan cepat ia memutuskan untuk meloloskan diri ....
”Baik, kalian dengarkanlah
yang jelas," ia tertawa nyaring sambil menarik serangannya.
Gak Lui dan kedua kawannya pun
perlambat serangannya dan pasang telinga. Nama aseli dari Maharaja itu memang
merupakan rahasia besar dalam persilatan. Setiap orang persilatan ingin sekali
mengetahui. Gak Lui bertiga ingin menyiarkan berita nama aseli dan kematian
dari si Maharaja kepada dunia persilatan.
Maharaja meneguk air liur,
tiba2 ia ngangakan mulutnya. Seketika ketiga orang itu rasakan matanya pudar,
kepala pening dan kakipun miring sehingga tubuh mereka hampir rubuh.
Ternyata pada saat ketiga
lawannya menumpahkan perhatian, bukan menyebutkan namanya yang aseli tetapi
kebalikannya Maharaja malah dengan sekuat tenaga menghamburkan ilmu suitan
Pencabut nyawa. Sebuah ilmu suitan yang tenaganya dapat menghancurkan batu dan
kumandangnya menembus awan dilangit .......
Bab 27. Rahasia musuh.
Yang pertama terkena pengaruh
suitan Pengikat-nyawa adalah ketua Kay-pang Ong Ping-gak. Ia lepaskan tongkat
kumala dan menutup telinganya lekat2. Kepalanya bercucuran keringat dingin.
Menilik sikapnya, rupanya ia menderita kesakitan hebat!
Raja-sungai Gan Ke-ik masih
mendingan. Dalam gugup ia masih dapat menyalurkan tenaga-murni lalu tekankan
pedang ke tanah untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
Gak Lui terkejut. Tanpa
menghiraukan keselamatan diri, ia ulurkan tangan kiri untuk menyangga tubuh
ketua Kay-pang. Lalu ia sendiri menutup ketujuh lubang indera, untuk melawan
pengaruh suitan maut itu .....
Tetapi setelah mendapat angin,
Maharaja tak mau kendorkan serangannya. Ia makin memperdahsyat suitannya.
Bluk ... bluk ... terdengar
dua suara tubuh jatuh ke tanah. Raja-sungai Gan Ke-ik dan ketua Kaypang susul
menyusul rubuh ke tanah.
Gak Lui memang masih dapat
bertahan tetapi saat itu pikirannya sudah kacau, kaki tangan lemas. Buru2 ia
memeluk pusaka Thian-liong-kim-jiu ke dada untuk melindungi uluhati. Dengan
tindakan itu ia memang berhasil dapat bertahan.
Tahu kalau lawan itu sudah
hilang daya perlawanannya, si Maharaja kendorkan suitannya, mengisar langkah
lalu ulurkan tangan kiri. Dengan ujung jari tengah ia menutuk belakang kepala
ketua Kaypang.....
“Aneh, dia mempunyai pedang
pusaka mengapa memakai ujung jari? Apakah maksudnya ?" walaupun tak dapat
bergerak, tetapi diam2 Gak Lui merasa heran melihat gerak gerik si Maharaja.
Tetapi cepat sekali ia
menemukan jawabannya. Kiranya bukan karena murah hati tak mau membunuh, melainkan
tindakan si Maharaja itu bertujuan untuk melenyapkan kesadaran pikiran ketua
Kay pang agar dapat dijadikan pengikutnya macam gerombolan Topeng Besi itu.
Teringat pula Gak Lui akan
penuturan si nona Yan-hong. Kini jelas sudah, bahwa si Maharaja itu bukan lain
adalah si pembunuh yang telah mencuri pelajaran ilmu suitan maut dari perguruan
Bu kau dan juga ilmu Jari-maut. Maharaja inilah yang telah menipu ibu sinona.
Cepat Gak Lui membentak
sekeras-kerasnya: “Jahanam. Kiranya engkaulah yang telah merusak hati seorang
wanita dan menipu ilmu pelajaran dari perguruan Bu-kau itu !"
“O ....." Maharaja
tersentak kaget sehingga jarinyapun terhenti. Dengan mata membulat ia beralih
memandang Gak Lui: “Mengapa engkau menuduh begitu ?"
“Saksinya masih ada di sini,
apakah engkau masih mau menyangkal?"
“Ho, yang engkau maksudkan
sebagai saksi tentulah sibudak hina itu ...."
Dengan kata2 itu jelas kalau
Maharaja sudah mempunyai kecurigaan terhadap Yan-hong. Oleh karena itu dia
suruh orang untuk menangkap nona itu. Tetapi Allah maha murah, Yan-hong tidak
mati, kebalikannya malah bertemu dengan Gak Lui dan menuturkan rahasia itu.
Mendengar kata2 Maharaja,
meluaplah darah Gak Lui. Apalagi suitan Maharaja sudah berhenti sehingga Gak
Lui sudah agak pulih tenaga-murninya. Cepat ia hendak menyerang.
Tetapi Maharajapun sudah
terangsang oleh hawa pembunuhan. Dendam kemarahannya kini ditumpahkan pada diri
Gak Lui seluruhnya. Lepaskan perhatiannya kepada ketua Kay-pang, kini ia putar
pedangnya hendak membunuh Gak Lui lebih dulu.
Saat itu sebenarnya tenaga Gak
Lui masih belum kembali seluruhnya. Apalagi ia tak mempunyai senjata yang
sesuai. Untuk mempertahankan jiwa, dalam gugup ia mencabut pedang laknat
Thian-lui-koay-kiam dari bahunya.
Sebenarnya pedang laknat itu
tak mempunyai perbawa yang berlebih-lebihan. Tetapi rupanya Maharaja sudah
ketakutan sendiri. Melihat pemuda itu mencekal batang pedang dan setiap saat
dapat menggunakannya untuk menyerang, Maharaja cepat loncat beberapa tombak ke
belakang dan bersembunyi di balik segunduk batu karang.
“Hai, mau lari ke mana engkau
!" teriak Gak Lui seraya hendak mengejar. Tetapi ia kalah cepat. Terdengar
angin berkesiur dan laksana segulung asap, Maharaja itu sudah ngacir lenyap
entah ke mana ....
“Celaka !" Gak Lui
mengeluh. Kalau ia mengejar, ia merasa tak mampu melawan ilmu Suitan-maut dari
lawan. Apalagi saat itu kedua ketua perguruan Kay-pang dan Gay-pang sedang
menggeletak di tanah dan perlu pertolongan.
Apa boleh buat. Terpaksa ia
tahan kemarahannya dan selipkan pedang Thian-lui-koay-kiam ke bahu lagi. Ia
hendak menolong kedua ketua itu lebih dulu.
Setelah diurut dan disaluri
tenaga-murni, kedua ketua perguruan itupun sadar dari pingsannya. Kemudian
mereka keluar dari barisan Bu-san-tin.
Setelah mengubur jenazah Pok-tin,
Gak Lui menghaturkan terima kasih atas bantuan kedua ketua perguruan itu.
Wajah si Raja-sungai Gan Ke-ik
berobah merah dan dengan nada menyesal berkata: “Sudahlah, jangan membicarakan
hal itu lagi. Sejak duapuluh tahun, baru pertama kali ini aku kehilangan muka.
Bermula aku tak percaya desas desus akan diri Maharaja, tetapi setelah
berhadapan....."
“Hampir kehilangan jiwa
!" sambut ketua Kay-pang Ong Ping-gak seraya menghela napas dan geleng2
kepala: “Rasanya selain Gak sauhiap, tokoh2 persilatan angkatan tua, tak
berguna semua ....."
Berkata Gak Lui dengan rawan:
“Terus terang, dalam pertempuran tadi, kita dapat menghalau musuh karena berkat
kewibawaan nama angkatan tua dari Bu-san. Dan yang paling disayangkan, musuh
telah berhasil menggondol pedang pusaka Pelangi yang lihay !"
Suasana hening beberapa saat.
Masing2 terbenam dalam renungannya. Si Raja sungai Gan Ke-ik tiba2 menatap
beberapa kali ke muka Gak Lui.
“Apakah yang pangcu lihat
?" karena heran, Gak Luipun menanyakan sebabnya.
“Aku teringat akan peristiwa
yang lalu," jawab ketua Partai Gelandangan itu.
“Peristiwa apa ?"
“Yalah ketika kita pertama
kali berjumpa dan melihat pada kaca wasiat milik Sehong sianseng...."
“O....," Gak Lui mendesus
kejut dan tanpa terasa ia menggigil. Rupanya ia seperti diingatkan akan
peristiwa itu.
Gak Lui masih ingat akan
ucapan Sehong sianseng yang mengatakan: “Si Hidung Gerumpung dalam guha itu
akhirnya pasti akan mati ...."
Dan ramalan itu ternyata sudah
terbukti pada diri si Lengan-besi-hati-baik atau paman guru Gak Lui yang
menunggu pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam itu.
Lalu Sehong sianseng juga
mengatakan: “Maharaja berjalan di atas tumpukan mayat, pedangnya menunjuk ke
langit ..."
“Pedang menunjuk ke
langit?" diam2 Gak Lui mengulangi kata2 itu pula. Sampai saat itu belum
juga ia dapat memecahkan arti daripada ramalan Sehong sianseng itu.
“Pangcu," akhirnya Gak
Lui menyatakan keraguannya kepada si Raja-sungai Gan Ke-ik, “adakah kau
berpendapat bahwa pedang pusaka Pelangi itu menimbulkan sesuatu yang di luar
dugaan….”
“Hm, boleh diartikan
begitulah," jawab ketua Partai Gelandangan.
“Maksudmu....."
“Pedang itu memancarkan cahaya
biru, termasuk sifat Im-ji (lunak). Dan ilmu pedang Bu-tong-pay juga termasuk
gerak lunak menundukkan keras, dengan ketenangan menindas gerak lawan. Maka
dengan memperoleh pedang itu, sungguh tepat sekali baginya ...."
“Jadi dengan begitu si
Maharaja dapat menggunakan pedang itu dengan sehebat-hebatnya?" Gak Lui
menegas.
“Ya, menurut dasar ilmu
pedang, dia tentu dapat menggunakan pedang itu sehebat-hebatnya. Dan kalau
digabung dengan tenaga Im-keng yang lain, tenaganya tentu lebih dahsyat
lagi!"
“Lalu bagaimanakah pendapat
pangcu ?"
“Ah .... belum ada. Hanya
kuharap engkau segera dapat menyalurkan perbawa pedang Thian-lui-koay-kiam itu.
Mungkin dapat mengatasinya."
“Hm...," Gak Lui kerutkan
alis lalu berbangkit: “Demi mengejar pedang Pelangi itu dan memburu-buru
beberapa orang berkerudung muka, aku terpaksa harus pergi. Kuharap pangcu
berdua menuju Ceng-sia dan berjaga-jaga di sana."
Beberapa saat berdiam diri
akhirnya Raja-sungai Gan Ke-ik ketua kaum Gelandangan berkata: “Memang
begitulah tetapi masih ada sesuatu yang kurang sempurna."
“Yang mana ?"
“Kalau si Maharaja belum pergi
jauh dan kita berpapasan di tengah jalan, bukankah repot ?"
“Ini... ya, memang kesempatan
bertemu itu banyak sekali," kata Gak Lui, “tetapi kalau dia memang mau
membuntuti, tentulah aku yang diincar. Harap pangcu berdua jangan kuatir."
“Ai, ucapan sauhiap itu salah
alamat. Yang kami kuatirkan memang keselamatanmu."
“Ya, benar, benar," ketua
Kay-pang Ong Ping-gak ikut bicara, “di samping memikirkan keselamatan dunia
persilatan kamipun prihatin juga akan dirimu."
“Terima kasih atas perhatian
pangcu berdua. Tetapi kali ini jelas Maharaja lari ketakutan melihat pedang
Thian-lui-koay-kiam. Andaikata dia datang lagi tentulah tak berani unjuk diri
terang-terangan. Maka baiklah aku pergi seorang diri saja agar dapat menghemat
tenaga dan waktu."
Kedua ketua partai Pengemis
dan Gelandangan itu akhirnya tak dapat berbuat apa2 dan melepas Gak Lui pergi
seorang diri.
“Sampai jumpa di gunung
Ceng-sia-san !" Gak Lui memberi hormat lalu lari menuju ke gunung Hek-san.
Entah berapa jauh menembus
kegelapan malam, akhirnya Gak Lui melihat sebatang pohon tua yang amat tinggi
dan rindang. Gak Lui hendak beristirahat di situ untuk memulangkan tenaga.
Tetapi beberapa tombak jauhnya
dari tempat yang hendak ditujunya itu, tampak duduk seorang lelaki dengan wajah
mengerut tegang. Ia menengadah memandang langit: “Ah, hari segera terang tanah
!"
Orang itu menghela napas.
Ketika melihat Gak Lui muncul, orang itu terbeliak kaget: “Hai..."
“Oh.....” Gak Luipun mendesis
kejut.
Kiranya orang itu bukan lain
adalah Tio Bik-lui, tokoh berkepandaian sakti itu.
“Tio cianpwe, jangan takut,
aku Gak Lui !" cepat Gak Lui berseru.
“Ah .... ah .... engkau
!"
“Benar,” sahut Gak Lui,
“mengapa begitu kebetulan sekali kita dapat berjumpa di sini ?"
“Aku memang hendak mencarimu
..."
“Terima kasih. Tetapi
bagaimana cianpwe dapat menduga aku akan datang ke sini ?"
“Bukan menduga tetapi memang
ada orang yang memberi petunjuk."
“Siapa ?"
“Kedua pangcu Kay-pang dan
partai Gelandangan."
“Di manakah cianpwe bertemu
dengan mereka ?"
“Di dekat gunung Bu-san.
Mereka mengatakan baru beberapa jam saja engkau pergi. Maka bergegas-gegas aku
mengejar kemari."
“Cianpwe hendak memberi
petunjuk apa kepadaku ?" tanya Gak Lui.
“Bukan memberi petunjuk
melainkan setelah melihat istana Bi-kiong di puncak gunung Busan itu meledak,
aku hendak meminta keterangan kepadamu.”
“Ah, terima kasih atas
perhatian cianpwe ..."
“Bukan, bukan begitu yang
kumaksudkan," kata Tio Bik-lui lalu berganti nada serius, “perjalananmu ke
Bu-san itu adalah atas petunjukku maka aku mempunyai tanggung jawab. Kalau
sampai terjadi apa2 pada dirimu, bagaimana aku memberi pertanggungan jawab
kepada keempat Bu-san-su kiam ?"
Gak Lui tersipu-sipu
menghaturkan maaf atas kekhilafannya bicara.
“Ha, ha," Tio Bik-lui
tertawa, "engkau bukan orang luar. Banyak hal yang perlu kubicarakan.
Kurasa di bawah pohon itu cukup bersih tempatnya, mari kita duduk di
situ."
Demikian keduanya segera duduk
di bawah pohon.
“Gak hiantit," Tio
Bik-lui mulai membuka mulut, “di dalam istana Bi-kiong itu apakah engkau
berhasil bertemu dengan Lengan-besi-hati-baik si murid hianat itu ?"
“Ya, aku sudah bertemu tetapi
dia bukan murid hianat !"
“Kalau bukan murid hianat lalu
bagaimana?"
”Dia seorang yang berhati baik
sehingga sesuai dengan gelarannya si Hati-baik. Dan kalau menurut perbuatannya
selama ini, seharusnya layaklah kusebut dia sebagai paman guru."
“Kalau begitu dia tentu
bersikap baik kepadamu. Mungkin kemajuan yang engkau peroleh begitu pesat,
disebabkan karena dia menyalurkan tenaga-murninya kepadamu, bukan?"
“Ya."
“Kecuali itu apakah dia
membicarakan lain2 soal lagi ?"
“Ya, sebelum menutup mata, dia
menanyakan bagaimana keadaan cianpwe paling akhir ini..."
“O...,” Tio Bik-lui mendesuh
kaget, “dia... dia... menanyakan diriku... Lalu bagaimana jawabmu ?"
“Kuceritakan tentang tindakan cianpwe
dengan sebuah pukulan dapat menghalau ketiga Sam-coat itu dan menyelamatkan
jiwaku ...."
“Lalu bagaimana katanya
?"
“Wajah paman guru berseri
girang dan tampak puas. Dia mengatakan cianpwe ini memang seorang yang
baik."
“Ah ... ," kembali Tio Bik-lui
menghela napas panjang lalu bertanya pula, “apakah hanya itu saja? Apakah masih
ada lainnya lagi ?"
“Berkata sampai di situ, api
dalam bumi membakar tubuhnya sehingga menjadi asap. Sebenarnya...."
“Bagaimana ?”
“Rupanya dia teringat suatu
hal lain tetapi sayang tak sempat berkata lagi."
“Soal lain? Tetapi orangnya
sudah mati, sukar untuk menduga…..”
Tiba2 Gak Lui teringat
sesuatu, tanyanya: “Tio cianpwe, engkau mengatakan pada 30 tahun yang lampau
pernah berjumpa dengan dia. Dan mengatakan kalau dia mengangkangi pedang
Thian-lui-koay-kiam. Tetapi kesanku, dia tak mempunyai rasa permusuhan
kepadamu, bahkan dia amat memperhatikan dirimu. Lalu bagaimanakah yang
sebenarnya?"
“Ini....," Tio Bik-lui
berhenti sejenak, lalu melanjutkan: “Ketika berjumpa di dunia persilatan,
walaupun hubungan kita tidak sangat rapat tetapi kita saling mempunyai rasa
kecocokan. Tetapi kemudian setelah dia diusir dari perguruan dan mengasingkan
diri di istana Bi-kiong, sudah tentu aku mempunyai kesan tak baik terhadap dirinya."
“Memang prasangka cianpwe itu
dapat dimengerti. Tetapi bagaimana cianpwe tahu kalau paman-guruku diusir dari
perguruannya?" tanya Gak Lui.
“Sudah tentu peristiwa semacam
itu sukar ditutup dari perhatian orang persilatan ...."
“Ah, belum-tentu," bantah
Gak Lui.
“Kudengar peristiwa itu dari
lain orang yang mengatakan."
“Dari siapa ?”
“Maaf, sudah lama sekali
sehingga aku tak dapat mengingat lagi .... tetapi kelak bila aku ingat tentu
akan kuberitahukan kepadamu," kata Tio Bik-lui.
Gak Lui anggap ucapan tokoh
itu memang beralasan. Sukar kiranya untuk mengingat lagi orang yang bercerita
hal itu pada 30 tahun yang lampau. Gak Lui tak mau mendesak lebih lanjut.
Tetapi ia teringat akan dua buah hal yang telah lalu.
Pertama, pada waktu bertemu
dengan nona Hi Kiam gin lagi, ternyata nona itu sudah mendapat pelajaran ilmu
pedang dari Lengan-besi hati-baik. Sayang saat itu Gak Lui belum jelas akan
asal usul paman gurunya itu. Maka ia berbantah dengan Hi Kam-gin. Nona itu
mengatakan kalau Lengan-besi-hati baik seorang tua yang berbudi baik. Tetapi ia
menganggap paman gurunya itu seorang murid hianat. Dalam perbantahan itu Gak
Lui menyebut tentang nama aseli dari Lengan-besi-hati-baik. Iapun mengatakan
dari siapa ia dapat mengetahui nama paman gurunya itu. Hi Kiam gin heran dan
mengatakan bahwa orang yang memberitahu tentang nama aseli dari
Lengan-besi-hati baik itu patut dicurigai.
Dari peristiwa itu jelaslah
bahwa hanya sedikit sekali orang yang tahu siapa nama aseli Lengan-besi hati
baik. Kecuali mereka yang menjadi sahabat baik paman gurunya.
Kedua, terhadap Tio Bik-lui,
sinona Yan-hongpun merasa tak senang. Walaupun perasaan itu termasuk naluri
seorang wanita, tetapi tak boleh diabaikan begitu saja.
Seketika timbullah pertanyaan
dalam hati Gak Lui terhadap Tio Bik-lui, tokoh yang saat itu ada di hadapannya.
Ya, Tio Bik-lui itu memang aneh!
Karena saat itu tiada bukti
apa2, Gak Lui tak dapat menarik kesimpulan adakah Tio Bik-lui itu bicara dengan
sejujurnya atau ada sebab lainnya ....
Tiba2 Tio Bik-lui mengisar
tubuh mendekati tempat si anak muda, serunya: “Hiantit, begitu leluasa engkau
dapat masuk dan keluar dari istana Bi-kiong. Tentulah engkau sudah dapat
mempelajari ilmu Ni coan-ngo-heng?"
“Ya," Gak Lui mengiakan
seraya mengisar setengah meter ke belakang. Setelah itu ia menuturkan tentang
pemberian pusaka Thian-liong-kim-jiu dari Kaisar persilatan.
Mendengar itu Tio Bik-lui
menyatakan hendak melihat pusaka Thian liong-kim jiu itu barang sejenak saja.
Tiba2 tergetarlah hati Gak
Lui. Ia membayangkan kemungkinan untuk mengadakan ujian secara berbahaya. Ia
memutuskan untuk memperlihatkan pusaka Kim-jiu itu kepada Tio Bik-lui.
Ia memutuskan untuk
memperlihatkan pusaka itu kepada Tio Bik-lui. Jika orang bermaksud jahat tentu
akan merebutnya. Tetapi jika memang tidak bermaksud apa2, tentu takkan terjadi
sesuatu.
Segera ia menunjukkan pusaka
itu ke hadapan Tio Bik-lui. Dengan tajam Gak Lui mengawasi perobahan air muka
orang.
Ternyata Tio Bik-lui dingin2
saja memandang pusaka itu. Setelah beberapa jenak melihat, ia berkata: “Hm,
memang apa yang disohorkan orang itu tak bernama kosong. Tak kiranya kalau
sebuah alat tangan-emas yang begitu sederhana, ternyata mengandung keistimewaan
yang hebat. Lekas simpanlah lagi, jangan sampai hilang agar dapat engkau
serahkan kembali kepada Kaisar Persilatan.”
”Ah, tidak tampak sesuatu yang
mencurigakan! Apakah aku terlalu berprasangka?” diam2 Gak Lui berkata dalam
hati setelah melihat sikap Tio Bik-lui yang tenang.
Setelah Gak Lui menyimpan
pusaka itu, Tio Bik-lui bertanya pula: “Adakah pedang Thian-lui-koay-kiam itu
juga sudah berada di tanganmu ?"
“Dia....." baru Gak Lui
berkata begitu, ia memperhatikan sinar mata Tio Bik-lui memancar tajam seperti
bara api dan memandang ke arah bahunya. Untuk mengatakan tidak mendapatkan
pedang itu, jelas sudah diketahui orang.
“Benar .... aku sudah
mendapatkan pedang Thian-lui-koay-kiam itu. Ya, kupanggul di bahuku ini,"
akhirnya Gak Lui menerangkan.
“Boleh melihat ?"
“Boleh....," seru Gak Lui
dengan nada nyaring. Sekali melolos ia mencekal pedang pusaka itu. Tangkainya
dipegang dengan tangan kanan, ujungnya dengan tangan kiri. Gak Lui hendak
melolos pedang itu dari sarungnya.
“Tunggu dulu !" tiba2 Tio
Bik-lui berseru gemetar dan menyurut mundur. Wajahnya pucat. Tiba2 kedua
tangannya menekan tanah dan wut..... ia melayang sampai tiga tombak jauhnya.
Tetapi ketika ia menginjak
bumi, ternyata Gak Lui tetap tegak berdiri di tempat, tak mencabut pedang itu.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Hiantit, engkau .... sungguh
menakutkan aku. Pedang itu tak boleh sembarangan dicabut keluar !" seru
Tio Bik-lui.
Gak Lui tertawa: “Jangan
kuatir, aku tahu kesaktian pedang itu dan tak nanti sembarangan
mencabutnya."
Tio Bik-lui maju menghampiri
lagi seraya ulurkan tangannya: “Coba berikan kepadaku. Aku hendak melihatnya,
biar lebih aman."
Diam2 Gak Lui kerahkan
tenaga-dalam dan berseru dingin: “Boleh saja melihatnya, tetapi lebih dulu
jawablah sebuah pertanyaanku.”
Pandangan mata Gak Lui yang
tajam itu rupanya agak menggetarkan hati Tio Bik-lui. Cepat-cepat orang itu
berseru: “Baik, silahkan bertanya !"
Sejenak melirik ke arah bahu
orang, Gak Lui menuding peti segi empat yang berada di punggung Tio Bik-lui,
serunya: “Apakah isinya peti itu?”
“Ini .... ha, ha, ha, ha
!" Tio Bik-lui berseru seraya tertawa gelak2: “Isinya hanya sebuah khim
(harpa) kuno ...."
“Khim kuno ?" Gak Lui
menegas.
“Benar !"
“Cianpwe gemar musik ?"
“Benda ini merupakan
kesayanganku bertahun-tahun."
“Kalau begitu .... kita tukar
menukar."
“Tukar menukar apa ?"
“Antara pedang dengan
khim."
“Hm .... baiklah !"
sejenak Tio Bik-lui merenung lalu lepaskan kotak dari bahunya dan siap hendak
melemparkannya: “Akan kulemparkan kepadamu dan engkau juga harus melemparkan
pedang itu ke arahku ...."
“Tidak! Jangan dengan cara
lempar melempar!"
“Tidak mau melempar ?"
Tio Bik-lui kerutkan alis dalam sikap yang angkuh dan dengan nada kurang senang
berseru pula: “Lalu bagaimana kehendakmu ?"
“Mudah saja! Bukalah petimu,
cukup kalau aku dapat melihat sebentar."
“O ..." dengus Tio
Bik-lui menggeram, “Gak Thian-lui, atas dasar persahabatanku dengan keempat
Bu-san-su-kiam, atas dasar budi yang kulepas kepadamu, dengan sikapmu yang
banyak curiga itu, apakah tidak terlalu keliwatan....."
“Cianpwe !" teriak Gak
Lui menukas, “kebaikanmu takkan kulupakan. Tetapi pedang ini besar sekali
hubungannya dengan dunia persilatan. Tak boleh tidak aku terpaksa harus
hati2...”
“Hm !"
“Dan lagi permintaanku itu
sebenarnya mudah saja. Mengapa tak dapat engkau luluskan ?"
“Aku memang tak setuju !"
“Kalau tak setuju, jelas
membuktikan !"
“Membuktikan apa ?"
“Bahwa peti itu tidak berisi
khim kuno, tetapi ...."
“Tetapi apa ?"
“Barang yang tak boleh dilihat
orang maka tak dapat diperlihatkan !"
“Ah, tidak, heh, heh, heh,
heh...," Tio Bik-lui menengadahkan kepala menghambur tertawa marah. Sesaat
kemudian wajahnya tampak dingin dan berserulah ia dengan nada seram: “Sekalipun
engkau tak mau melemparkan, aku tetap dapat mengambil sendiri !"
Ucapan itu ditutup dengan
gerakan tubuhnya yang cepatnya bukan buatan. Serempak tubuh bergerak,
tangannyapun menyambar.
Tio Bik-lui cepat tetapi Gak
Lui lebih cepat juga. Apalagi jaraknya masih setombak. Pemuda itu cepat
songsongkan pedangnya ke tenggorokan orang.
Telah dikatakan di muka bahwa
sarung pedang itu sudah lebur dan membeku dengan lahar sehingga batang pedang
tak dapat dicabut lagi. Gerakan Gak Lui itu hanya suatu reaksi dalam menghadapi
gerakan orang.
Tetapi rupanya Tio Bik-lui tak
mengetahui tindakan pemuda itu. Begitu serangannya tak berhasil, ia terkejut
sekali. Dan pada saat Gak Lui hendak songsongkan pedang, Tio Bik-lui sudah
miringkan tubuh dan dengan gerak Naga-hijau-goyang-kepala ia menghindar dan
lalu melesat mundur sampai lima tombak jauhnya.
“Ha, ha, ha, ha!” kali ini
giliran Gak Lui yang tertawa nyaring. Nadanya penuh penasaran dan pembunuhan.
Sesaat berdiri tegak, cepat
Tio Bik-Lui berseru menegur: “Mengapa engkau tertawa begitu rupa?"
Setenang patung menyahutlah
Gak Lui sepatah demi sepatah dengan nada tegas: “Orang she Tio, jangan engkau
bermain sandiwara lagi. Lekas beritahukan namamu !"
Sambil memondong peti itu ke
dada, Tio Bik-lui balas bertanya: “Apa maksudmu?"
“Hm, aku hendak mengajukan
beberapa pertanyaan kepadamu. Cobalah engkau jawab sedapat mungkin agar engkau
tak dapat menyangkal lagi dan nanti dapat mati dengan meram !"
“Budak she Gak !" seru
Tio Bik-lui, “berani benar engkau menghina seorang tua. Silahkan bertanya. Jika
engkau menghina orang baik2, aku akan mencari keempat Bu-san-su-kiam untuk
meminta keadilan."
Gak Lui mendengus dingin lalu
berkata: “Karena engkau menyebut-nyebut tentang orang yang lebih tua,
pertanyaankupun akan kumulai dari situ. Pertama kali engkau bertemu padaku,
engkau ngotot menanyakan tentang keadaan keempat jago pedang dari Bu san.
Tetapi sekarang engkau tak pernah bertanya lagi ...."
“Aku .... ah, aku memang tak
memikirkan …."
“Apa tak memikirkan? Jelas
engkau tentu sudah tahu tentang keadaan keempat tokoh pedang itu
sejelas-jelasnya !"
“Keadaan yang jelas? Aku
benar2 tak mengerti apa maksudmu ?"
“Tak perlu pura2 !"
teriak Gak Lui, “Dan kedua kali, setiap kali engkau muncul tentu akan timbul
banyak hal2 yang aneh. Setiap kali tentu mengunjuk diri seperti seekor rubah
yang tak berani unjuk muka tetapi menonjolkan ekornya sehingga orang merasa
curiga !"
“Apa yang mencurigakan pada
diriku? Ada bukti apa?"
“Bukti, cukup banyak. Misalnya
si Pelajar Penjaga-neraka dan keempat puluh anggauta gerombolan yang mati di
guha Bu-san dan ibu dari nona Yan-hong. Engkaulah yang mencelakainya!"
“Ngaco !" bentak Tio
Bik-lui, “itu urusan si Maharaja, tiada sangkut pautnya dengan diriku."
“Ketiga kalinya," Gak Lui
tetap melanjutkan kata-katanya tanpa menghiraukan orang, “engkau sengaja
mengadu domba hubunganku dengan Lengan-besi-hati-baik agar engkau dapat
memperoleh keuntungan !"
“Makin jauh makin gila,
mengapa aku..."
“Keempat kalinya," tetap
Gak Lui bicara terus, “engkau pura2 menjadi orang baik dan jual tingkah di
hadapanku. Padahal sebenarnya engkau hendak memperbudak diriku untuk menyelidiki
keadaan ke empat tokoh pedang Bu-san itu. Dan rencanamu setelah aku berhasil
mendapat pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam, engkau baru akan bertindak
...."
Wajah Tio Bik-lui seperti
mayat dan tertawalah ia dengan nada sengeri iblis: “Heh, heh, budak, engkau
benar2 ngaco belo. Engkau kira aku ini siapa? Apakah engkau anggap aku ini
penyamaran dari si Maharaja Persilatan ?"
Kaki dan tangan Gak Luipun
mulai gemetar, wajahnya makin menampil hawa pembunuhan, serunya: “Orang she
Tio, sejak engkau keluar dari kandangmu, rupanya hari ini engkau bicara seperti
seorang manusia !"
Tio Bik-lui makin murka
sehingga rambutnya sama tegak meregang. Sepasang matanya memancar api. Hendak
menyerang tetapi takut kesaktian pedang laknat Thian-lui-koay-kiam. Maka dengan
menggertak gigi ia nericis menyangkal: “Benar-benar suatu fitnah yang keji,
sungguh ngaco belo…..”
“Rupanya engkau tetap tak
mengaku?"
“Sudah tentu tidak !"
“Agar hatimu benar2 puas,
baiklah sekarang akan kubongkar semua tipu muslihatmu dari awal sampai
akhir," kata Gak Lui dengan serius.
Tak berapa lama berserulah Gak
Lui dengan lantang: “Untuk melampiaskan kesombongan dan keangkuhanmu, engkau
merobah dirimu sebagai si Maharaja Persilatan. Dengan Amanat Maut, engkau
mengganas tokoh2 persilatan golongan Putih. Setelah mengetahui aku turun
gunung, timbullah kecurigaanmu bahwa keempat pedang Bu san itu masih hidup.
Engkau tak berani buru2 turun tangan dan hanya suruh orang mencariku. Maka
dalam pertemuan di istana Lok ong-kiong yang lalu, engkau cemas kalau2 aku
berhasil mendapatkan pedang pusaka itu. Itulah sebabnya engkau muncul lagi
...."
“Hm," Tio Bik-lui
mendengus, “kalau aku benar si Maharaja, mengapa aku tak membunuhmu ?"
“Karena mengetahui tak mampu
mengambil pedang itu, engkau lalu menggunakan tenagaku. Dalam rangka mencapai
kepercayaanku maka aku diserang oleh ketiga Sam-coat. Dan ketika pertempuran
sedang berlangsung seru, engkau segera muncul dan dengan sekali bergerak dapat
engkau halau ketiga orang itu. Kemudian engkaupun memberi petunjuk tentang
keadaan istana Bi-kiong di gunung Bu-san itu. Tetapi di balik pertunjukan itu,
terselimut tujuanmu yang jahat. Apabila aku sampai mati dibunuh
Lengan-besi-hati-baik, engkau berhasil meminjam tangan orang untuk melenyapkan
diriku. Tetapi apabila aku berhasil mendapat pedang itu, engkau akan mengatakan
bahwa ilmu kepandaianku masih belum cukup dan minta supaya pedang itu
kuserahkan. Apabila aku menolak, engkau akan merebut dengan kekerasan..."
Sampai di situ tampak tubuh
Tio Bik-lui menggigil dan tak dapat membantah lagi.
“Setelah itu,” Gak Lui
melanjutkan lagi, “aku berhasil menangkap si Penjaga Neraka. Dia sudah tahu
semua riwayatmu. Tetapi selagi aku tak berjaga-jaga, diam-diam kau gunakan ilmu
tutukan jari im-ji guna untuk membunuhnya agar dia tak dapat memberikan
keterangan kepadaku. Dan pada waktu aku tiba di Bu-san, kembali engkau sudah
menunggu kedatanganku dan memberi petunjuk cara memasuki barisan. Begitu aku
terjerumus ke dalam guha, engkau melihat munculnya nona Yan-hong. Seperti dahulu
engkau menipu ibunya dan mencuri ilmu Suitan Maut, saat itu engkaupun hendak
menangkap Yan-hong. Ketika nona itu jatuh ke dalam guha, engkau segera mengirim
40 orang anak buahmu untuk membunuhnya. Kuatir aku belum mati, maka engkau
tutuk jalan darah keempat puluh anak buahmu itu agar lenyap daya ingatannya
...."
“Tidak ... tidak
demikian!" teriak Tio Bik-lui.
“Siapa tahu, orang baik selalu
dilindungi Tuhan," kata Gak Lui, “rantai yang engkau pergunakan untuk
menangkap Yan-hong itu dapat kumanfaatkan untuk merayap keluar dari guha. Pada
waktu yang kedua kalinya naik gunung, engkaupun sudah menunggu lagi. Engkau
hendak menggunakan tipu muslihat gelap tetapi keburu diketahui oleh Pok Tin.
Dalam keadaan terdesak engkau turunkan tangan ganas kepadanya. Kemudian engkau
hendak gunakan kekerasan merebut pusaka yang ada padaku. Tetapipun gagal.
Akhirnya saat ini engkau muncul dengan siap membawa rencana untuk menipu aku
... Ho, Tio Bik-lui! Kejahatanmu sudah melewati batas. Apakah engkau hendak
menyangkal lagi?"
Diam2 Tio Bik-lui kerahkan
tenaga-dalam lalu berteriak seram: “Tak perlu aku berkata apa2. Hampir setengah
hari engkau mengoceh itu, apakah buktinya?"
“Bukti ?"
“Ya !"
Gak Lui mengertak geraham,
serunya: “Pada waktu bertempur di Bu-san, hampir saja engkau dapat kubunuh.
Tetapi dengan gunakan jurus Naga-hijau goyang-kepala, engkau berhasil
menghindar. Dalam gerakan hendak merebut pedangku tadi, engkaupun gunakan jurus
itu lagi ...."
“Huh, jurus itu berasal dari
perguruan Bu-tong-pay. Setiap jago silat kelas satu, pasti akan tahu. Mana
mungkin hal itu engkau jadikan bukti ?"
“Kecuali itu, masih ada sebuah
lagi ..."
“Bagaimana ?"
“Yalah yang berada dalam
petimu itu !"
“Tidak! Tidak mungkin !"
“Jangan ribut! Lekas
bukalah!"
“Aku segan membukanya dan akupun
tak punya waktu lagi untuk adu lidah dengan engkau. Aku akan pergi....."
Belum habis berkata, Tio
Bik-lui sudah melesat. Tetapi sebelumnya Gak Lui sudah siap. Secepat kilat ia
sudah menyergapnya. Dalam gugup, Tio Bik-lui menampar petinya, pyur .... peti
pun hancur berantakan dan tahu2 pedang pusaka Pelangi sudah berada di
tangannya.
“Bangsat, serahkan pedang
itu!" teriak Gak Lui makin marah.
Tetapi Tio Bik-lui tak berani
menyerang. Sambil jujukan ujung pedang ke muka, ia mundur setapak demi setapak.
Karena kedua fihak menggunakan tenaga-dalam sepenuhnya, maka setiap langkah Tio
Bik-lui tentu meninggalkan telapak kaki yang dalamnya beberapa senti.
Kedua orang itu dirangsang
ketegangan hebat. Mereka akan melakukan pertempuran maut.
Tetapi setelah mundur tujuh
delapan langkah, Tio Bik-lui tidak melakukan serangan melainkan tiba2 menghela
napas dalam2. Lalu dengan nada sinis ia berseru: “Budak she Gak, engkau salah
duga. Musuhmu yang sebenarnya adalah orang yang tak mempunyai batang hidung.
Tetapi aku tak ada cacad begitu. Mengenai pedang ini, kuperoleh dengan tak
sengaja ....”
”Kentut! Engkau masih tetap
menyangkal mati-matian !”
“Heh, menilik hinaan yang
engkau lontarkan kepadaku ini, akupun tak dapat memberi ampun lagi. Kalau
engkau berani, nanti pada satu bulan lagi, dengan disaksikan oleh seluruh kaum
persilatan untuk menyaksikan kita bertempur yang terakhir kalinya!"
“Huh, engkau mengigau !"
dengus Gak Lui seraya maju selangkah.
“Heh, heh, engkau hendak
mengadu kekerasan? Apakah engkau tak takut akan pedang Pelangi yang luar biasa
tajamnya itu ?"
“Jangan main digertak! Sudah
lama kupakai pedang itu dan tahu keadaannya. Tak perlu engkau katakan !"
Dengan cara lunak maupun
keras, Tio Bik-lui tak berhasil menundukkan Gak Lui. Ia geram sekali kepada
anak muda itu, serunya: “Pedang itu berada di tanganmu dan di tanganku jauh
sekali bedanya !"
Dalam berkata-kata itu, Tio
Bik-luipun sudah kerahkan tenaga-dalam. Wajahnya tampak menyeramkan sekali.
Diam2 Gak Lui tergetar hatinya. Ia tahu siapa Tio Bik-lui itu. Selain memiliki
kepandaian sakti, pun mempunyai ilmu suitan perenggut nyawa, ditambah pula kini
mendapat pedang pusaka sedahsyat pedang Pelangi !
Ah, apabila dapat mencabut
pedang Thian-lui-koay-kiam itu, tentulah ia dapat melakukan balas dendam.
Saat itu lawan masih jeri
kepadanya karena ia memiliki pedang Thian lui koay-kiam. Tetapi apabila
pertempuran tak dapat dicegah lagi, tentulah lawan akan mengetahui bahwa pedang
Thian lui-koay-kiam itu tak dapat dicabut dari kerangkanya. Bukankah hal itu
amat berbahaya?
Sakit hati atas kematian kedua
orangtuanya, paman2 dan bibi gurunya, seakan-akan meledakkan dada Gak Lui.
Betapa inginlah ia mencincang tubuh lawannya itu. Tetapi iapun menyadari akan
kesukaran yang dihadapinya. Saat itu terjadi pertentangan dalam bathinnya
sendiri. Walaupun belum dapat memutuskan tindakan apa yang harus diambil, namun
kakinya tetap melangkah maju ke arah Tio Bik-lui.
Pada detik2 yang menegangkan
itu tiba2 telinganya terngiang kata si Pedang Aneh yakni ayah angkatnya : “Lui,
engkau tak kuijinkan membalas sakit hati tetapi engkau tetap berkeras hendak
melakukannya. Entah sudah berapa banyak jiwa yang melayang karena urusanmu itu.
Jika sekarang ini kepandaianmu masih terpaut jauh sekali, janganlah engkau
gegabah bertindak. Sekali engkau bertindak menuruti kepanasan hatimu, seluruh
harapan kita habis ludas. Sia-sia saja pengorbanan kita. Engkau harus berpikir
dan berpikir.....berpikir ....!”
Lenyapnya suara ayah-angkatnya
itu, berganti dengan suara ketua perguruan Bu-tong-pay paderi tua Ceng Ki :
“aku takkan penasaran karena harus mati, ... begitu pula pedang pusaka
perguruan Bu-tong-pay pasti dapat direbut kembali asal engkau dapat
mengendalikan diri."
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Kemudian wajah paman gurunya
si Pedang Iblis, bibi gurunya Pedang Bidadari, kedua jago pedang Samodera dan
Pedang Gelombang, ahli pembuat pedang Bok kiamsu dan paman gurunya yang tertua
yakni Lengan besi-hati-baik, susul menyusul terbayang di pelupuk matanya...,
mereka adalah para cianpwe yang telah mengorbankan jiwanya untuk kepentingan
Gak Lui. Saat itu mereka seolah-olah muncul dan dengan wajah bersungguh
memperingatkan kepada Gak Lui supaya tenang dan mengendalikan kemarahannya.
Tetapi Gak Lui merasa bahwa
saat bagus seperti saat itu, sayang kalau dibiarkan berlalu. Tangannya yang
mencekal tangkai pedang Thian-lui-koay-kiam sudah bergemetar dan mengucurkan
keringat dingin. Ingin sekali ia dapat mencabut pedang pusaka itu untuk
mencincang tubuh musuhnya.
“Jangan !” tiba2 terdengar suara
ayahnya yakni si Dewa Pedang mengiang di telinganya: “Lui, anakku, jangan
kelewat mengumbar nafsu. Terimalah tantangannya untuk bertempur di puncak
Im-leng-nia itu. Di hadapan segenap tokoh persilatan engkau bunuh dia! Selain
dapat membalas sakit hati, pun engkau berjasa kepada dunia persilatan karena
dapat membasmi seorang durjana...."
Tiba2 kaki Gak Lui terhenti
tetapi ia tak bicara apa2.
“Bagaimana? Engkau menerima
atau tidak?" tegur Tio Bik-lui.
Gak Lui tersadar dari
lamunannya. Nada suara lawan itu dalam pendengarannya tak ubah seperti aum
seekor harimau yang terkurung.
“Ya, kuterima ....,"
akhirnya dengan nada dingin Gak Lui menyahut.
Belum habis ia berkata, tiba2
Tio Bik-lui menyeringai iblis dan secepat kilat melesat ke arah hutan.
Gak Lui tegak termangu-mangu
ditingkah sinar mentari pagi. Tubuhnya menggigil keras dan kedua tangannya yang
masih mencekal pedang Thian-lui-koay-kiam itupun berguncang-guncang.
“Celaka! Celaka!" ia
menggeram dan memaki dirinya sendiri, “pedang Thian-lui-koay-kiam tak mampu
kucabut, musuh kulepas pergi ..."
Dibawa oleh rasa kemarahan,
Gak Lui mainkan pedang itu ke arah sebatang pohon. Daun2 berguguran, dahan dan
cabangnyapun bergoncang keras. Bum, bum, bum ..... ia seperti orang kalap
menghantam ke sana, menabas ke sini. Pohon dan batu di sekeliling tempat itu
habis diamuknya.
Entah sampai berapa lama Ia
melampiaskan badai kemarahan hatinya itu. Ia mengamuk, kalap seperti kerbau
gila ....
“Gak Lui ... Gak Lui ...
!" tiba2 terdengar seseorang berseru memanggilnya.
“Berhenti!" seru orang
itu ketika Gak Lui tak menghiraukan. Sambil berseru kedua jarinya menyambar
lengan Gak Lui.
Saat itu Gak Lui baru
tersadar. Ia deliki mata tetapi tak dapat melihat siapa yang mengganggunya itu.
Ternyata orang yang tak dikenal itu gerakkan jarinya dari belakang. Cepat dan
tepat sekali. Jelas dia tentu memiliki ilmu yang sakti.
Cepat Gak Lui berputar tubuh
ke belakang seraya kerahkan tenaga-dalam Algojo-dunia, ia hendak meronta dari
cengkeraman orang.
Tetapi begitu Gak Lui hendak meronta,
dengan suatu gerak yang menakjubkan sehingga Gak Lui tak menyadari, tangan
orang itupun sudah ditarik ke belakang.
Gak Lui memandang orang itu
dengan tajam tetapi ia merasa tak kenal. Dan saat itu ternyata pengganggu itu
sudah berada dua tombak jauhnya.
”Hebat !” Gak Lui kerutkan
alis dan tercengkam dalam rasa heran yang tak terkira. Kepandaian orang itu
benar2 melebihi kepandaian si Maharaja Tio Bik-lui. Dan itu mendorong Gak Lui
untuk memperhatikan orang dengan lebih seksama.
Seorang lelaki setengah tua
yang berwajah penuh wibawa. Bermata bundar dengan sepasang alis yang indah.
Sikapnya gagah, penuh kewibawaan dari seorang kaisar.
“Gak Lui, apakah engkau tak
kenal padaku?” seru orang itu.
Mendengar nada suaranya, Gak
Lui seperti tak asing tetapi ia lupa2 ingat. Dia teringat nada itu adalah suara
dari seorang lelaki biasa yang berpakaian compang camping. Tetapi ia terkejut
melihat mata orang itu memancarkan sinar yang amat tajam. Suatu pertanda kalau
dia tentu memiliki tenaga-dalam yang tinggi.
Sejenak merenung, segera
bertemulah Gak Lui akan ingatannya kepada orang itu. Serentak ia berseru tegang
riang : “Hai, kiranya engkau ... Kaisar Persilatan Li...... Li cianpwe!"
“Benar," sahut orang itu.
Serta merta Gak Lui maju
menghampiri dan memberi hormat dengan khidmat: “Terima kasih atas petunjuk
cianpwe. Wanpwe sudah berhasil masuk ke dalam istana Bi-kiong dan berhasil
mendapatkan pedang Thian-lui-koay-kiam milik perguruan kami. Budi pertolongan
cianpwe takkan kulupakan seumur hidup. Dan sekarang wanpwe hendak menyerahkan
kembali pusaka Thian-liong-kim-jiu itu."
Ia mengeluarkan pusaka Thian
liong kim-jiu untuk diserahkan. Kaisar Persilatanpun menyimpannya.
“Kulihat gerakanmu tadi bukan
merupakan jurus2 permainan ilmu pedang tetapi lebih banyak mirip sebagai orang
yang mengamuk karena menumpahkan kemarahannya."
Merah padam wajah Gak Lui
mendengar kata2 itu. Segera ia mengutarakan rasa penasaran dan kekecewaan
hatinya. Sambil mendengarkan, tak henti hentinya Kaisar Persilatan mengangguk
kepala. Mendengar tentang keadaan pedang Thian lui-koay-kiam yang tak dapat
dicabut dari kerangkanya dan tentang tantangan Maharaja untuk bertempur dengan
Gak Lui, berserulah Kaisar Persilatan itu dengan agak kaget: “O, pedang pusaka
itu dapat diluluhkan oleh lahar gunung? Ah, sungguh tak kuduga. Kalau
begitu.... bolehkah engkau memberikan kepadaku untuk kuperiksanya ?"
“Sudah tentu boleh,
cianpwe," kata Gak Lui lalu menyerahkan pedang itu.
Setelah membuka lipatan
robekan baju yang membungkus pedang itu, Kaisar Persilatan terus mencekal
pedang itu.
“Jangan menyentuhnya !"
teriak Gak Lui terkejut. Tetapi terlambat. Tampak lengan Kaisar tergetar
seperti terbentur aliran listrik. Sepasang matanya memancar api. Ia coba
mencabut pedang itu dari kerangkanya tetapi tak berhasil maka dengan hati2 ia
meletakkannya kembali.
“Sungguh lihay! Bila aku tak
menyalurkan tenaga-dalam Liok-to sin-thong, mungkin aku sudah tersedot oleh
pengaruh gaib dari pedang ini dan mungkin akan melakukan pembunuhan ..."
seru Kaisar Persilatan.
Mendengar itu Gak Lui kejut2
girang. Dalam pada itu, ia lebih berkesan atas ilmu tenaga-dalam
Liok-to-sin-thong.
“Kurasa memang sukar untuk
mencabutnya. Tetapi tadi apabila engkau benar2 jadi bertempur dengan si
Maharaja, mungkin akan mendapat daya upaya !"
“O, daya bagaimana?”
“Ini ... ," Kaisar
Persilatan merenung beberapa jenak lalu tertawa : “Hal itu hanya suatu dugaan
saja. Mungkin bisa, mungkin tidak. Apalagi hal itu sudah lewat, tak perlu kita
pikirkan lagi. Marilah kita bicara hal2 yang akan datang saja."
Gak Lui tak mau mendesak. Ia
menceritakan tentang usahanya untuk menggosok lahar pada pedang itu dengan batu
berlian.
Kaisar Persilatan gelengkan
kepala: “Walaupun cara itu baik tetapi tentu makan waktu dan tenaga yang lama
sekali. Sedang soal yang harus engkau lakukan banyak sekali. Pun waktu dari
tantangan Maharaja kepadamu itu sudah dekat. Cara menggosok ‘linggis menjadi
jarum' itu, tentu sudah tak keburu lagi."
“Ah, celaka !" Gak Lui
mengeluh. Waktu ia menghitung temponya, memang tak keburu lagi.
“Cianpwe, lalu bagaimanakah
aku harus bertindak ? Apakah kupakai saja pedang tongkat batu ini untuk
menghadapinya ?"
Tidak menyahut, malah Kaisar
Persilatan itu balas bertanya : “Memakai pedang batu atau tidak, sama saja.
Adakah engkau takut tak mampu melawannya ?"
“Apa .... apakah kepandaianku
cukup sepadan untuk menghadapinya ?"
“Kepandaianmu sebenarnya
berimbang dengan si Maharaja. Tetapi dia memiliki latihan selama dua tigapuluh
tahun lamanya. Sedang kekurangan padamu yalah kurang pengalaman dalam
menghadapi pertempuran. Asal engkau selalu ingat pada sikap-pokok 'Tenang',
tentu engkau takkan menderita sesuatu yang tak terduga."
“Tetapi ... sekarang dia
memiliki pedang Pelangi yang sesuai dengan tenaga-dalam Im-ji yang dimilikinya
...."
“Kutahu," sahut Kaisar
Persilatan, “pada duapuluh tahun berselang, pedang itu pernah kupakai. Berada
di tangannya sudah tentu akan menambah kelihayannya. Perbawa pedang itu jauh
lebih dahsyat daripada yang engkau duga."
“Kalau begitu bukankah dia
makin ganas?”
“Tidak ! Kebalikannya akan
menguntungkan engkau."
Ucapan Kaisar Persilatan itu
benar2 tak masuk akal sehingga Gak Lui bingung dan bertanya: “Dapatkah cianpwe
menjelaskan hal itu? Aku benar-benar tak mengerti !"
Kaisar Persilatan tertawa
nyaring : “Bukan aku hendak jual rahasia. Tetapi kalau kukatakan sekarang, pada
saatnya malah akan mempengaruhi jurus2 permainanmu maka lebih baik tak
kukatakan dulu."
Walaupun hati ingin tahu
tetapi Gak Lui segan untuk mendesak lebih lanjut. Maka ia alihkan pada lain
soal: “Musuhpun masih mempunyai ilmu Suitan-maut yang lihay, berasal dari ilmu
istimewa perguruan Bu-kau. Terhadap suitan itu, benar2 wanpwe tak dapat
menghadapi. Mohon cianpwe suka memberi petunjuk."
“Pertama, gunakanlah ilmu
Liok-to-sin-thong yang kuajarkan itu, dapat mengatasi suitan itu.."
“Ya, benar," kata Gak
Lui, “cianpwe memang pernah mengajarkan ilmu itu kepadaku ketika di istana
Yok-ong kiong dahulu. Memang ilmu itu hebat sekali.”
Gak Lui tak melanjutkan
kata-katanya. Ia ingin menerima lagi pelajaran ilmu sakti itu karena apa yang
diterimanya dahulu, tidaklah begitu mendalam. Tetapi ia sungkan untuk meminta.
Kaisar Persilatan cepat dapat
menyelami isi hati pemuda itu. Ia tertawa lebar: “Aku mengerti akan maksudmu.
Ya, walaupun ilmu sakti Liok-to-sin-thong itu istimewa sekali, tetapi aku suka
mengajarkan kepadamu."
“Sungguh ... ?"
“Sudah tentu aku tak
membohongimu. Hanya saja jangan sekarang !"
“Kapan ?"
“Saat ini dirimu masih
terlibat oleh liku2 budi dan dendam, suka dan duka, kasih dan kebencian.
Sebelum kesemuanya itu selesai, tak mungkin engkau dapat mempelajarinya dengan
berhasil. Bahkan malah membahayakan dirimu !"
“O ...” Gak Lui mendesuh.
Kegembiraannya mendengar janji dari Kaisar Persilatan, seperti awan dihembus
angin. Pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam tak dapat digunakan dan ilmu sakti
Liok-to-sin thongpun tak jadi diterimanya. Ia kecewa dan terlongong longong
dalam rasa putus asa.
Melihat keadaan Gak Lui,
segera Kaisar Persilatan menghiburnya: “Jangan terburu nafsu. Walaupun engkau
belum menerima pelajaran ilmu Liok-to sin-thong itu tetapi dengan memiliki
pedang Thian-lui-koay-kiam itu, engkaupun tetap dapat membasmi musuh dan
melenyapkan gerombolan orang2 jahat ...."
“Ah ....” Gak Lui menghela
napas. Ia mendebat: “Cianpwe, jelas cianpwe mengetahui bahwa pedang Thian
lui-koay-kiam itu tak mungkin dicabut tetapi cianpwe malah menghibur dengan
kata2 begitu. Apakah itu tidak bertentangan dengan kenyataan ?”
Bab 28. Bertanding secara
lisan.
“Tidak," sahut Kaisar
Persilatan dengan wajah serius, “kupercaya si Maharaja itu pasti akan mati
dengan pedang itu. Jangan engkau ragu hatimu !"
“Cianpwe hanya mendasarkan
pada rasa kepercayaan sajakah ... ?"
“Baiklah, terpaksa akan
kuberitahukan secara terus terang kepadamu. Menurut perhitungan dengan ilmu
Liok-to-sin-thong itu, kesudahan dari peristiwa yang engkau hadapi nanti tentu
begitu….”
“O ... !" kembali Gak Lui
mendesuh kejut. Ia memang tak meragukan tentang keterangan Kaisar Persilatan
itu tetapi ramalan menurut cermin tembaga milik si Raja-sungai Gan Ke-ik, juga
tepat.
Menurut Cermin Tembaga itu,
nanti akan berakhir dengan suatu kesudahan yang menyedihkan.
Tetapi Kaisar Persilatan baru
mau mengajarkan ilmu sakti itu setelah urusan balas dendam selesai. Apabila
nasibnya seperti yang digambarkan Kaca wasiat si Raja-sungai, bukankah ia
takkan sempat lagi belajar ilmu Liok-to-sin-thong itu?
“Li cianpwe," akhirnya
Gak Lui mengutarakan isi hatinya, “soal mati atau hidup aku tak menghiraukan.
Tetapi demi melenyapkan segala kesangsianku, apakah cianpwe tak keberatan untuk
memberi sedikit petunjuk tentang nasibku ... ?"
Kaisar Persilatan memandangnya
tajam2: “Apakah engkau dapat mempercayai omonganku?"
“Sudah tentu percaya. Kuingat
seperti tempo hari cianpwe pernah secara halus memperingatkan kematian Hwat
Hong taysu, akhirnya benar2 taysu itu telah meninggal...."
“Engkau percaya setelah Hwat
Hong meninggal atau pada saat baru mendengar peringatan tentang kematiannya
?"
“Mendengar peringatan cianpwe,
saat itu aku sudah mempunyai perasaan firasat."
“Bagus, bagus," Kaisar
Persilatan mengangguk, “perasaan nalurimu cukup tajam, aku kagum. Nasib itu tak
boleh kita percaya mati2an. Karena kecuali dewa, manusia tak tahu bagaimana
nasib yang akan dialaminya, sekarang engkau hendak bertanya mengenai nasibmu,
akupun tak dapat menolak tetapipun tak berani membangga...
(halaman
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
42 – 43 ga ada….)
Se-thian. Burung penjelmaan
itu tak pernah dapat kenyang sehingga daging sang Gautama habis dimakannya ....
“Apakah sang Buddha tak
meninggal ?” Gak Lui ngeri juga.
“Tidak,” kata Kaisar
Persilatan, “itu hanya suatu ujian untuk membuktikan sampai di mana Cinta Kasih
sang Gautama. Dengan kerelaan dan keberanian untuk melaksanakan Cinta Kasih itu
akhirnya luluslah sang Gautama mencapai tingkat sebagai Buddha.”
“Ah…” Gak Lui menghela napas
panjang.
Namun melihat pemuda itu masih
kerutkan kening mengandung kesangsian, Kaisar Persilatan buru2 menyusuli kata2
lagi: “Hanya sebuah cerita tetapi bukan karangan kosong. Dalam kitab suci
Buddha hal itu diceritakan dengan jelas. Jangan kira aku hanya mendongeng
kosong.”
“Wanpwe tahu," sahut Gak
Lui. “memang cerita itu bukan sekedar dongeng melainkan sebuah tamsil
(perumpamaan). Maksudnya mengajar orang supaya kenal akan arti dan tujuan
hidup. Misalnya ... Maharaja Persilatan itu dapat disamakan dengan si Rajawali
lapar dan kaum persilatan yang kepandaiannya masih rendah dapat diumpamakan
seperti.....”
Tiba2 ia hentikan kata-katanya
karena ia menyadari ucapannya itu salah. Kalau mengatakan si Maharaja itu
sebagai Rajawali lapar dan kaum persilatan sebagai kelinci, lalu siapakah yang
harus memberi makan rajawali lapar itu. Adakah orang semacam Maharaja
Persilatan itu tak harus dibunuh ....
“Hm, engkau mengerti bahwa
dongeng itu hanya sebuah tamsil, itu sudah baik," tiba2 Kaisar Persilatan
berkata, “siapa yang menjadi sang Gautama, siapa si Rajawali lapar dan siapa
kelincinya, baru nanti apabila tiba saatnya engkau tentu tahu sendiri. Soal itu
kita hentikan sampai di sini saja. Cukup asal engkau catat di dalam
hatilah."
Serta merta Gak Lui mengiakan.
Sejenak berdiam, ia membuka mulut lagi: “Li cianpwe, sekarang aku hendak
mengajukan permohonan yang terakhir.”
“Silahkan."
“Tempo hari cianpwe pernah
meluluskan pada saat berjumpa lagi hendak menguji kepandaianku. Sekarang aku
memberanikan diri untuk mohon petunjuk cianpwe barang beberapa jurus
saja."
“Ah, tak berani kuberi
petunjuk. Dan pula kuanggap hal itu tak perlu."
“Mengapa ?"
“Kepandaianmu memang maju
pesat sekali. Sekali lihat saja sudah kuketahui."
“Tetapi... wanpwe tetap
menghendaki diuji !"
Kaisar Persilatan terkesiap,
serunya heran: “Mengapa ?"
“Ketika tinggalkan gunung
Yau-san, di hadapan pusara ayah-angkatku aku telah bersumpah hendak menuntut
ilmu kepandaian yang tiada tandingannya. Dengan tanganku sendiri hendak kubunuh
musuh itu ...."
“Adakah karena hendak
mengetahui kepandaian saat ini maka engkau hendak mengajak bertanding
aku?" Kaisar Persilatan menegas.
“Boleh diartikan begitu."
Mata Kaisar Persilatan segera
memancar sinar berkilat, serunya: “Engkau sudah mempunyai pegangan tentu dapat
mengalahkan aku ?"
Juga mata Gak Lui memancar
tajam, sahutnya tegas: “Tetapi wanpwe sudah mempunyai ketetapan hati."
“ketetapan hati? Hanya
ketetapan saja belum berarti !"
“Wanpwe memiliki nyali
keberanian juga."
“Ha, ha, ha, ha !" Kaisar
Persilatan tertawa nyaring, “benar! Keberanian disertai dengan kemantapan hati,
tentu bisa berhasil. Kalau begitu, asal dalam 3 jurus serangan engkau mampu
merapat dekat di hadapanku, dengan tulus hati aku akan mengundurkan diri dari
dunia persilatan dan akan menjadikan semua cita2 keinginanmu! Tetapi ..."
“Bagaimana ?"
“Kewajiban membasmi kawanan
durjana, juga seluruhnya menjadi tanggunganmu. Apakah engkau setuju ?"
“Wanpwe serahkan jiwa dan raga
untuk menunaikan tugas itu !"
“Bagus, engkau benar2 memiliki
pambek yang tinggi. Mari kita mulai bertanding !" Kaisar Persilatan terus
berbangkit.
Diam2 Gak Lui menimang dalam
hati. Ia merasa amat berterima kasih sekali atas kebaikan budi tokoh sakti itu,
pikirnya: “Aku harus mengerahkan seluruh kepandaianku agar dia jangan kecewa.
Tetapi .... dia mengatakan kalau dalam tiga jurus aku dapat merapat di
hadapannya, aku dianggap menang. Apakah cara itu tidak merugikan dia ...."
Sambil merenung iapun
melangkah ke tanah lapang dan berseru: “Li cianpwe, sebelum mulai wanpwe
mempunyai dua buah harapan."
“Katakanlah !"
“Kesatu, harap cianpwe jangan
keliwat sungkan dan masih menyimpan kepandaian ataupun mengalah kepada
wanpwe."
Wajah Kaisar Persilatan berobah
serius: “Tidak ! Sekali sudah meluluskan hendak bertanding dengan engkau, aku
tentu sudah menganggap engkau seorang lawan yang cukup berharga. Aku takkan
seperti tokoh2 persilatan yang suka meremehkan anak muda."
“Dan kedua kalinya, harap
cianpwe jangan sungkan. Meskipun pedang Thian-lui-koay-kiam belum dapat kucabut
tetapi tetap akan kupakainya sebagai tongkat batu. Kukira juga merupakan
senjata yang cukup bagus !"
“Jangan kuatir, aku mempunyai
pusaka untuk melindungi tubuhku," sahut Kaisar Persilatan seraya terus
balikkan tangan memegang pusaka Thian-liong-kim-jiu.
Demikian pada saat itu di atas
tanah lapang yang ditingkah sinar matahari, tegak berdiri dua sosok tubuh dari
manusia yang akan menguji ilmu kepandaian sakti. Keduanya terpisah pada jarak
lima tombak. Mereka mulai berputar-putar mengelilingi lapangan. Setelah
berpatar tiga lingkaran, Gak Lui merasa tak kuat menahan hatinya. Walaupun
pertempuran itu takkan menumpahkan darah tetapi baginya mempunyai arti yang
penting sekali. Dapatkah ia mencapai pelajaran ilmu sakti tiada tanding,
dapatkah ia nanti mengalahkan musuh, akan diputuskan dalam tiga jurus nanti.
Ujian itu akan menentukan nasibnya. Karena itu teganglah perasaan Gak Lui.
Ketika memandang ke muka,
dilihatnya Kaisar Persilatan sudah berhenti. Tangan kanannya menjulur lurus ke
muka mengarahkan pusaka Thian liong-kim-jiu kepadanya.
Gak Lui heran dan tak tahu apa
maksud tokoh itu. Ia hentikan langkah, siapkan pedang Thian lui-koay-kiam,
dengan tenang ia berdiri tegak siap menyerang.
Tetapi baru ia hendak
bergerak, Kaisar persilatan sudah membentaknya: “Jurus pertama sudah
selesai!"
“Jurus pertama?" Gak Lui
mengulang heran, “aku baru pasang kuda mengapa sudah dianggap melakukan jurus
pertama?"
Melihat pemuda itu tak tenang,
Kaisar Persilatan berseru: “Engkau terlalu tegang sehingga kedudukanmu
salah!"
“O.... !" ia mendesuh
kaget dan merentang mata. Tetapi secepat itu matanya terserang oleh sinar
kemilau yang keras sehingga ia tak dapat melihat apa2. Cepat ia berputar tubuh
dan berpindah tempat sampai setombak jauhnya. Saat itu baru ia terhindar dari
gangguan sinar.
“Ah, sungguh memalukan! Li
cianpwe mengatakan aku belum cukup pengalaman dan tak cukup tenang, memang
benar," diam2 ia menyesali dirinya sendiri. Kemudian ia salurkan seluruh
tenaga-dalam. Ternyata akibat dari rasa tegang tadi, sembilan bagian dari
tenaga dalamnya buyar tak keruan. Ia harus melakukan pernapasan untuk
memusatkannya lagi.
Beberapa saat kemudian setelah
ia berhasil mengumpulkan tenaga dalam lagi, barulah mulai bergerak dengan jurus
Rajawali pentang-sayap, melambung ke udara. Pedang batu lurus ditujukan ke muka
dan ia melayang turun ke arah kepala orang.
Namun di bawah ancaman
serangan maut itu, tampaknya Kaisar Persilatan acuh tak acuh. Ia berdiri tenang
sambil memegang pusaka perguruannya. Sedikitpun tak mengunjuk sikap hendak
balas menyerang.
Peda saat Gak Lui tiba tiga
tombak di hadapannya, barulah sekonyong konyong ia membuka suara, bersuit
nyaring.
Sesungguhnya nada suitan itu
tak berapa keras tetapi dalam telinga Gak Lui, suitan itu seperti suara gunung
meletus. Seketika itu Gak Lui rasakan jantungnya berdebar keras dan seperti
teraling suatu pagar tenaga yang tak kelihatan, diapun segera melayang turun ke
bumi.
“Ah, jurus kedua tentu sudah
selesai," diam-diam Gak Lui terkejut dan mengeluh, “kali ini aku benar2
kurang keberanian. Baru musuh bersuit, hatiku sudah tergetar....."
Dua kali kegagalan itu
mengetuk pintu hati Gak Lui. Semangatnya serentak berbangkit dan dadanya serasa
meledak. Serentak ia enjot tubuh ke udara lagi dan sekali ngangakan mulut,
iapun menghamburkan sebuah gemboran dahsyat yang menyerupai aum harimau
kelaparan.
Mendengar gemboran itu, Kaisar
Persilatan kerut dahi. Wajahnya menampil rasa kejut2 girang.
Dengan gerakan yang luar biasa
anehnya, tubuh Kaisar Persilatanpun mulai berputar-putar laksana gumpalan awan
dihembus angin ....
Tetapi walaupun ia bergerak
pesat, ternyata Gak Lui sudah siap. Setelah memperhatikan gerak-langkah orang,
ia segera menurutkan langkah Ngo-heng-pian hoa, bergeliatan di udara lalu
meluncur turun terus bergerak dalam langkah Ni-coan-ngo-heng.
Demikian dua sosok tubuh
bergerak amat cepat. Yang satu seperti anak panah dihamburkan dari busur. Yang
satu bagai bintang jatuh dari langit. Setelah beberapa waktu kemudian, keduanya
kembali berada di tempatnya semula lagi.
“Bagus! Bagus !" Kaisar
Persilatan tertawa ber-seri2 dan mulutnya beberapa kali memuji. Sedang Gak Lui
yang tegak kurang lebih dua meter di hadapannya, tampak sibuk hentikan
gerakannya.
“Cianpwe, walaupun dalam tiga
jurus aku dapat mendekat ke muka cianpwe, tetapi dalam ilmu kepandaian, aku
merasa masih kalah jauh sekali. Maka.... kelak tentu terulang ...."
“Ha, ha! Arus sungai Tiangkang
selalu maju, yang di belakang mendorong yang di muka! Setiap masa tentu
berganti manusia. Mulai saat ini, aku tak dapat bertempur dengan orang. Dan
engkaupun jangan mengungkat soal itu lagi !"
“Tetapi ...."
“Tidak ada tetapi ! Terus
terang kukatakan, memang ilmu kepandaian kita terpaut jauh tetapi aku lebih
dulu sudah meyakinkan selama duapuluh tahun."
“Ah, tidak bisa...."
“Tidak bisa?" wajah
Kaisar Persilatan berobah serius lalu balas bertanya pula: “Adakah engkau tak
mau memikul beban untuk membasmi kaum durjana?"
“Bukan begitu."
“Kalau begitu tak perlu engkau
sungkan lagi," kata Kaisar Persilatan seraya menyimpan pusaka Thian liong
kim jiu, “sebelum berpisah, aku hendak memberikan petunjuk tentang kesudahan
perjalanan hidupmu....."
Gak Lui mengiakan dan
mendengarkan dengan khidmat.
Dengan nyaring berdendanglah
Kaisar Persilatan: “... dari hidup lalu mati, setelah mati menuju ke alam
Kehidupan, dengan darah membayar darah, tentu mengerti Jalan Kegaiban (Sin
thong).”
Gak Lui tak mengerti apa yang
disebut sebut soal mati-hidup, hidup-mati itu. Tetapi kata2 Kaisar yang
terakhir itu dapat juga ia menduga artinya.
“Cianpwe, adakah cianpwe
hendak mengatakan bahwa kelak aku bakal mengerti ilmu Liok-to-sin thong itu
...." tanyanya.
“Benar!"
“Lalu ketiga baris kata yang
lain itu ..."
“Bila sampai saatnya engkau
tentu akan mengerti sendiri. Selain itu engkau harus ingat baik2. Bila berada
keadaan yang genting dan sulit, jangan lupa akan cerita siburung rajawali yang
kututurkan itu !"
“Baik, cianpwe."
“Nah, selama gunung masih
menghijau, kelak kita tentu dapat berjumpa lagi. Nah, aku hendak pergi !"
Belum kumandang kata2 itu
reda, tampak sesosok bayangan putih melesat pergi. Bayangan itu menghamburkan
sinar kemilau yang amat keras sehingga Gak Lui silau matanya. Ketika sinar
kemilau hilang, di tanah lapang situpun sudah tiada orangnya lagi.
Tokoh persilatan Li Liong-ci
yang sakti dan menggetarkan dunia persilatan, dengan gunakan ilmu Liok-to
sin-thong telah tinggalkan tempat itu. Gak Lui terlongong-longong kesima. Dia
masih tegak di tempatnya.
Anak muda itu seperti sedang
bermimpi. Tokoh sakti tiada tanding dari angkatan lama dan kewajiban untuk
membasmi kaum durjana, dua hal itu telah jatuh di atas bahunya. Ia telah
mendapat warisan dari tokoh sakti si Kaisar Persilatan Li Long-ci. Warisan nama
dan beban....
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Pikirannyapun segera melayang
pada tantangan Maharaja Persilatan untuk adu kesaktian itu. Tantangan itu
penting sekali artinya. Apabila ia dapat mengalahkan si Maharaja, berarti ia
telah menunaikan tugas untuk membasmi kaum durjana.
Tetapi pada saat mengenangkan
musuhnya, tiba2 timbullah keraguan dalam hati. Mengapa Maharaja Tio Bik-lui itu
masih utuh hidungnya? Bukankah ayah-angkatnya si Pedang Aneh mengatakan bahwa
musuhnya itu seorang yang berhidung gerumpung? Bukankah hal itu saling
bertentangan?
Ah, waktulah yang akan memberi
jawaban atas pertanyaan itu. Akhirnya ia memutuskan pendirian hatinya. Untuk
sementara ia kesampingkan dulu soal itu dan mulai ia mengingat lagi tentang
pesan Kaisar Persilatan tadi.
Tentang soal Mati dan Hidup
serta dongeng burung rajawali dan sang Gautama, memang merupakan ajaran dari
kaum Buddha. Gak Lui tak dapat menyelami arti daripada kesemuanya itu. Ia hanya
mencatat dalam hati, kelak akan membuktikan dalam peristiwa jalan hidupnya.
Hanya dalam pembicaraan itu
adalah sebuah hal yang Gak Lui merasa aneh. Yalah Kaisar Persilatan tadi
mengatakan kalau pedang Thian-lui-koay-kiam itu tak dapat dibuka dengan digosok
batu berlian. Karena waktunya sudah tak keburu lagi. Dan Kaisar mengatakan pula
bahwa kelak jika sungguh2 ia akan bertempur dengan Tio Bik-lui, mungkin bisa
....
“Ah, mungkin bisa bagaimana?
Adakah waktu bertempur itu pedang Thian-lui-koay-kiam akan mampu memancarkan
kewibawaannya sendiri? Ah, tidak, tidak mungkin ....!"
Demikian ia menanggalkan semua
lamunan dan dugaan yang makan pikiran lalu memutuskan rencana. Ia hendak menuju
ke gunung Hek-san, untuk menolong Pukulan-sakti The Thay dan mencari puterinya
yakni nona The Hong-lian. Ia hendak minta keterangan kepada nona itu, siapakah
tabib yang paling sakti. Setelah mengetahui, ia akan mencari tabib itu dan
minta supaya menyambung kedua kaki sinona yang telah kutung itu. Kemungkinan di
dunia ini tabib yang memiliki ilmu kepandaian sesakti itu hanyalah si Tabib
sakti Li Kok-hoa, ayah dari Siu-mey.
“Ah, aku harus lekas ke sana.
Kalau terlambat, apabila The cianpwe sudah memperbaiki pedang pusaka itu,
kawanan durjana tentu akan membunuhnya!"
Dengan ketetapan hati itu, Gak
Lui segera ayunkan langkah menuju ke Hek-san atau Gunung Hitam.
Disebut gunung Hitam karena
gunung itu penuh dengan hutan belantara yang lebat sekali sehingga alam
pemandangannya gelap hitam.
Gak Lui menempuh perjalanan
siang malam. Ketika tiba di gunung itu, ia memandang keatas. Tampak selarik
asap membubung di puncak gunung.
“Ah, tentulah asap itu tempat
The cianpwe menempa pedang," pikirnya.
Segera ia pesatkan langkah,
sambil lari menyusup hutan belantara sambil merancang rencana: “Kawanan orang
berkerudung muka itu tentu bergiliran menjaga. Kalau mereka tahu kedatanganku,
tentu mereka akan menjadikan The cianpwe sebagai sandera untuk mengancam aku!
Maka baiklah kuhindari jalan kekerasan dan mencari adik Lian dulu, setelah itu
baru kubertindak menolong The cianpwe ..."
Pada saat itu ia sudah terpisah
hanya seratusan tombak dari puncak gunung. Dengan mengempos semangat, ia
menyusup gerumbul pohon sambil berpikir: “Menurut kata Pok Tin, adik Lian juga
bersembunyi di dekat sini mengawasi gerak gerik lawan. Tetapi hutan begini
lebat, entah dia bersembunyi di mana ....?"
Terpaksa ia mengambil jarak
tertentu untuk mengitari gunung itu. Sepenanak nasi lamanya, tiba2 ia mencium
serangkum bau harum. Girangnya bukan kepalang. Itulah bau nona Hong-lian yang
hendak dicarinya.
Setelah melintasi sebuah hutan
akhirnya ia melihat nona itu sedang bertopang dagu duduk di bawah pohon.
Rupanya ia tengah memikirkan suatu soal yang sukar.
“Adik Lian !" serentak
Gak Lui berseru memanggilnya.
“Siapa ?" sambut nona itu
dengan girang karena ia merasa tak asing dengan nada suara orang.
“Engkoh Lui......."
serunya dengan suara tertahan. Ia hampir tak percaya pada pendengarannya
sehingga hatinya tegang sekali. Dan ketika Gak Lui muncul, serta merta nona itu
loncat memeluknya.
Gak Luipun mendekapnya erat2.
Mereka saling berpandangan dengan mesra. Melihat gerakan nona itu amat lincah,
tahulah Gak Lui bahwa luka pada kaki nona itu sudah sembuh dan bahkan kini ilmu
kepandaiannyapun bertambah maju pesat.
Pun Hong lian mempunyai
perasaan demikian juga. Ia melihat bukan melainkan kepandaian Gak Lui bertambah
maju sekali, pun tampaknya pemuda itu makin cakap dan makin gagah.
Beberapa jenak kemudian
barulah Gak Lui lepaskan pelukannya dan bertanya perlahan: "Sudah berapa
lamakah engkau berada disini? Adakah Permaisuri Biru yang memberi petunjuk
supaya engkau datang kemari ?"
Hong lian mengiakan :
"Ya, memang suhu yang memberi petunjuk kepadaku, aku sudah 10 hari lebih
datang kemari tetapi jika tak melihat gumpalan asap itu, aku tentu tak dapat
menemukan tempatnya !"
"Akupun juga
begitu," sahut Gak Lui, "tetapi adalah selama 10 hari itu engkau
pernah melihat The cianpwe ?"
"Belum pernah,"
jawab sinona, "tetapi dari gumpalan asap yang selalu membubung siang malam
itu, ayah tentu sedang bekerja menempa pedang."
"Apakah ada orang lain
?"
"Banyak juga ! Tetapi
hanya kawanan Orang-berkerudung yang pernah kita lihat digunung Pek wan-san.
Mereka dua2 bergiliran menjaga tempat itu."
"Kalau begitu mudah
dihadapi ..."
"Engkau anggap mudah
tetapi aku tidak. Kalau memang mudah, tentu dulu2 sudah kuserbu!"
"Kalau begitu, kita atur
rencana agar jangan membikin kaget mereka."
"Baiklah, kuserahkan saja
bagaimana engkau hendak mengaturnya," kata Hong-lian.
Sejenak merenung berkatalah
Gak Lui: "Kawanan orang itu semua kenal padaku. Dan ada dua yang kenal
padamu. Oleh karena itu terpaksa kita tak dapat bekerja secara
terang-terangan…..”
"Ah, belum tentu begitu.
Mereka takut kepadamu tetapi tidak gentar kepadaku. Aku boleh mengunjuk diri
untuk memikat mereka kedalam hutan agar dapat kubunuh yang seorang!"
“Jangan!" seru Gak Lui,
"kawanan itu manusia yang licin dan banyak muslihat. Mereka tentu tahu
kalau engkau menderita luka yang sukar sembuh selama-lamanya. Kalau secara
tiba2 engkau unjuk diri mereka tentu menduga kalau engkau tentu ditolong oleh
orang sakti dan telah mendapat pelajaran ilmu sakti. Kalau andaikata mereka tak
takut kepadamu tentu takut juga kepada suhumu."
"Hm, benar juga…"
sambut Hong lian. “tetapi kalau aku tak unjuk diri bagaimana dapat memikat
mereka keluar dari tempat itu ?"
"Ini.... ah, kita bisa
menyulut obor. Menilik keadaan tempat ini, asap obor itu tentu akan tampak dari
puncak gunung. Mereka tentu mengira kalau timbul kebakaran dan tentu akan buru2
datang kemari."
"Memang siasat itu baik
juga, tetapi ingat, jangan sampai mencelakakan ayah !" kata Hong-lian.
"Sudah tentu tidak ! The
cianpwe tentu faham soal api, tak mungkin dia akan sembarangan keluar dari
guha. Dan lagi aku sudah mempunyai persiapan, selekasnya menyelesaikan kawanan
penjahat itu."
Dengan lembut Hong lian
anggukkan kepala. Tetapi ia masih mempunyai sebuah pertanyaan lagi :
"Engkoh Lui, ada suatu hal yang aku masih tak mengerti !"
"Soal apa ?"
"Bagaimana perangai
ayahku, tentulah engkau sudah tahu."
"Ya."
"Apakah orang yang
perangainya seperti ayah itu, benar2 sudi membuatkan pedang untuk musuh? Apakah
tak mungkin lain orang yang disitu ?"
Gak Lui tertawa: "Bermula
aku memang mempunyai pemikiran begitu. Kecuali beliau, rasanya lain ahli
pembuat pedang tak mempunyai kepandaian sehebat itu."
"Lalu apa sebab ia mau
membantu musuh?"
"Hal itu akupun masih
belum jelas juga," kata Gak Lui, "setelah menolong ayahmu, barulah
kesemuanya itu akan jelas."
Demikian setelah menetapkan
rencana keduanya segera berpencar mencari ranting kayu. Tak berapa lama mereka
sudah berhasil mengumpulkan tumpukan bahan bakar kayu. Dan secepatnya merekapun
segera menyulutnya.
Ternyata tempat penempaan
pedang itu berada dipuncak gunung. Sudah tentu mudah melihat api yang menyala
dibawah gunung.
Setelah api menyala benar, Gak
Lui buru2 memberi pesan kepada Hong-lian : "Nanti ikutlah dibelakangku,
jangan terburu nafsu....."
"Ya, aku tahu.
Selanjutnya pekerjaan berikutnya, serahkan saja kepadaku, tanggung beres,"
sahut sinona.
Tiba2 mereka mendengar suara
orang memekik marah : "Celaka, timbul kebakaran, gunung ini akan terbakar,
hayo kita cepat2 menolong…..”
Teriakan itu menimbulkan suara
jeritan yang gaduh : "Lekas.....lekas .... engkau kesana, aku yang
ketengah ...."
"Sungguh aneh sekali api
itu.....!"
"Sudah jangan mengurusi
api itu aneh atau tidak, lekas padamkan saja !"
"Mungkin ada orang yang
sengaja menimbulkan kebakaran...."
"Jangan ngaco ! Siapa
berani membakar gunung ini ? Sudahlah, jangan banyak bicara!"
Nada suara orang yang terakhir
itu menimbulkan ingatan Gak Lui. Ia teringat suara itu adalah suara paderi Wi
Cun. Dalam gerombolan Orang-berkerudung itu, hanya Wi Cun yang benar2 termasuk
murid hianat. Gak Lui hendak menangkap paderi itu untuk diserahkan kepada
perguruan Kong tong. Disamping itu, Wi Cun tentu mengetahui rahasia dari
Maharaja Tio Bik-lui.
Baru Gak Lui merenungkan hal
itu, tiba2 tampak dua sosok tubuh lari menyusup kedalam hutan. Yang satu
seorang berkerudung muka dan satu anggauta Topeng Besi.
Gak Lui cepat menghadang.
Dengan tajam ditatapnya orang yang dimuka: "Apakah engkau bukan sipaderi
jahat Wi Cun ?"
Orang itu tidak menyahut.
Tetapi dari kerut wajahnya, ia setengahnya geli setengahnya takut.
Gak Lui tak mau banyak bicara
lagi, ia melolos pedang Thian-lui-koay-kiam yang menyerupai pedang batu, terus
menusuk dada orang itu.
Tetapi orang itu rupanya tak
tahu bahaya.
Melihat senjata lawan hanya
pentung batu, ia menangkis dengan pedangnya. Tring .... orang berkerudung muka
itu menjerit kaget ketika pedangnya putus. Padahal pedang itu baru saja selesai
ditempa oleh seorang ahli pembuat pedang yang termasyhur.
Dalam gugup ia hendak berputar
tubuh melarikan diri seraya hendak bersuit memberi pertandaan kepada kawan
kawannya. Tetapi belum sempat ia melaksanakan rencananya itu, pentung batu Gak Lui
suduh menghunjam dadanya. Darah muncrat berhamburan. Orang itu tak sempat
menjerit lagi karena dadanya tertembus pedang Thian-lui-koay-kiam.
Setelah berhasil membunuh
seorang lawan, Gak Lui tak mau mensia-siakan tempo. Dengan dua buah jari tangan
kiri ia menutuk batang pedang si orang bertopeng besi. Tring .... ujung pedang
Topeng Besi itupun rompal.
"Aneh !" diam2 Gak
Lui terkejut sendiri. Namun ia tak sempat memikir lebih panjang. Secepat kilat
ia menyambar pergelangan tangan orang itu terus berseru kepada Hong-lian:
"Yang ini menjadi bagianmu ...."
"Bagus ...!" Hong
lian loncat menerkam orang itu.
Dengan demikian mereka
berhasil membunuh tiga orang berkerudung dan menawan seorang anggauta Topeng
Besi.
Tetapi ternyata ketiga orang
berkerudung muka bukan imam jahat Wi Cun. Gak Lui tetap menunggu karena percaya
orang berkerudung yang akan muncul nanti tentulah penyaruan dari imam
Kong-tong-pay yang murtad. Karena tak juga ada orang yang muncul lagi, ia
segera menyusup keatas puncak gunung. Ternyata imam jahat Wi Cun yang
mengenakan kerudung muka itu, tengah menjaga disebuah mulut guha. Guha itu
rupanya baru saja dibuat untuk keperluan menempa pedang.
Ternyata imam itu juga tajam
sekali matanya. Cepat ia dapat mengetahui kedatangan Gak Lui. Imam Wi Cun
tergetar hatinya. Buru2 ia bersuit memberi pertandaan agar manusia Topeng Besi
yang berada disamping segera menyerang Gak Lui. Setelah itu ia sendiri lalu
menyusup masuk kedalam guha.
"Hai, hendak lari kemana
engkau!" teriak Gak Lui dan Hong-lian hampir serempak. Kedua anak muda itu
terkejut karena tahu apa maksud imam itu lari masuk kedalam guha. Tentulah dia
hendak meringkus Pukulan-sakti The Thay untuk dijadikan sandera.
Serentak kedua anak muda itu
berhamburan loncat mengejar. Dalam gerakan itu ternyata Gak Lui dapat
mendahului Hong-lian. Tetapi iapun segera disambut dengan tusukan pedang oleh
anggauta Topeng Besi.
Rintangan itu terpaksa membuat
Gak Lui hentikan langkah. Sekali menghantam dengan pedang batu, pedang lawanpun
hancur. Dan secepat kilat, Gak Lui menyusuli dengan sebuah tutukan jari yang
berhasil melumpuhkan si Topeng Besi itu.
Saat itu Hong-lianpun sudah
tiba dimulut guha. Sedang si imam Wi Cun sudah masuk kedalam guha.
"Celaka....!" Gak
Lui mengeluh dalam hati. Memandang kebawah, tempat dimana ia menyulut api tadi,
api makin besar dan menimbulkan kebakaran luas. Cepat ia mengepit orang
bertopeng besi itu lalu loncat kemulut guha.
Bum ... bum .... terdengar
angin pukulan menderu-deru dari arah dalam guha.
"Bagus....." Gak Lui
menghela napas longgar. Ia dapat membedakan deru angin itu. Itulah angin yang
timbul dari pukulan The Thay. Sedang suara mendering dering itu jelas berasal
dari semacam senjata.
Belum sempat ia bertindak,
dari dalam guha meluncur keluar dua sosok tubuh. Yang di-muka ternyata si imam
Wi Cun. Dia memegang pedang yang sudah kutung. Sedang yang mengejar
dibelakangnya, bukan lain adalah The Thay sendiri.
Ahli pembuat pedang itu
menghantam dengan tangan kiri, sedang tangannya mengayun-ayunkan sebuah pukul
besi besar alat penempa pedang.
Dengan wajah memberingas, The
Thay mengamuk dan mengejar imam itu.
Bukan main girang Gak Lui
setelah melihat ahli pembuat pedang itu lolos dari bahaya. Ia segera hendak
loncat untuk meringkus imam Wi cun agar dapat mengorek keterangan tentang
rahasia Maharaja Tio Bik-lui.
Tetapi ternyata kalah dulu
dengan Hong-lian yang sejak tadi sudah siap dimulut guha. Begitu imam Wi Cun
menerobos keluar, Hong lian segera membenamkan ujung pedangnya ke perut si
imam.
Cres .... seorang tokoh angkatan
tua dari partai perguruan Kong tong-pay, karena menggabungkan diri dengan
gerombolan durjana, telah mati dibawah ujung pedang Hong-lian. Sebenarnya Gak
Lui hendak berteriak mencegah tindakan Hong-lian tetapi sudah terlambat,
terpaksa ia loncat menghampiri ketempat si nona.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Ketika melihat puterinya,
Pukulan-sakti The Thay melonjak girang seperti orang gila. Dengan masih
mencekal palu besi ia memeluk puterinya. Demikian kedua ayah dan anak itu
saling berpelukan dengan rasa haru dan girang yang tiada terhingga.
“Paman The," beberapa
saat kemudian baru Gak Lui berani membuka suara.
The Thay baru gelagapan dan
lepaskan pelukannya: “Oh, engkau Gak ... Lui... adakah kalian tak kurang suatu
apa ?"
Demikian pertemuan ketiga
orang itu berlangsung dalam suasana yang mengharukan dan menggembirakan. Ayah
dan puterinya sudah berkumpul lagi. Dengan singkat Gak Lui lalu menuturkan
semua pengalaman yang telah dialami selama ini hingga sampai berhasil menemukan
tempat orangtua itu.
Habis berceritera, tiba2 Gak
Lui teringat sesuatu dan berteriak: “Adik Lian, mana orang2 yang kuserahkan
kepadamu itu ?"
“Siapa ?" tanya si nona.
“Dua orang berkerudung dan
seorang anggauta Topeng besi ?"
“Oh, mereka telah kutusuk mati
semua !"
“Ah, maksudku kusuruh engkau
membawanya kemari, bukan suruh membunuhnya...."
Mendengar dirinya didamprat,
dengan agak terisak-isak, Hong-lian menyahut, “Engkau... hanya bilang
menyerahkan orang itu kepadaku....mana aku tahu kalau suruh
menawannya...."
The Thaypun ikut menyesali
puterinya: “Lian, engkau memang terlalu mengumbar kemarahan. Mengapa tak engkau
biarkan mereka hidup agar dapat kita korek keterangan. Tentu kita akan mendapat
keterangan yang penting ....”
Ayahnya turut mendamprat, nona
itu makin deras mengucurkan airmata, jawabnya membela diri: “Dalam suasana
kebakaran yang begitu besar, aku sudah tak keburu. Mengapa kalian menyalahkan
aku…..”
Karena sudah terlanjur, Gak
Lui anggap tak perlu membicarakan soal itu lagi. Dengan matinya imam Wi Cun,
rahasia si Maharajapun ikut lenyap. Demikianpun dengan ketiga Topeng Besi itu.
Mereka dibunuh mati semua oleh Hong-lian. Jika hal itu diketahui oleh partai
perguruan masing2, tentulah mereka akan menuntut balas kepada The Thay dan
puterinya.
"Sudahlah, adik Lian, tak
usah menangis. Semua perkara ini adalah tanggung jawabku," Gak Lui
menghiburnya.
Kemudian ia dengan hati2
lepaskan tawanan Topeng Besi yang dikepitnya, lalu membuka topengnya, pikirnya
: "Entah orang ini dari perguruan mana, yang penting semua rahasia
gerombolan Maharaja itu berada padanya ...."
Topeng besi karena sudah
bertahun-tahun dipakai, sudah karatan sehingga sukar membukanya. Terpaksa Gak
Lui kerahkan tenaga-dalam menyingkap, krak ..... terdengar derak suatu alat
pekakas dan serempak terdengar Gak Lui menggembor keras. Tangannya berlumuran
darah dan dua keping topeng besipun terlempar ke udara. Sedangkan siorang
Topeng Besi terkapar di-tanah tak berkutik sama sekali.
The Thay dan Hong-lian
terkejut dan memandang Gak Lui. Pemuda itu tertegun memandang ke arah manusia
Topeng Besi.
Ternyata orang itu belum mati.
Rambutnya terurai, kumis dan mukanya penuh brewok lebat sehingga susah dikenal
dia itu murid agama atau orang biasa. Dia tak menderita luka apa2 dan jelas
darah itu memang berasal dari tangan Gak Lui.
“Engkoh Lui, apakah engkau
terluka ?" seru Hong-lian cemas.
“Ah, hanya luka luar, tak
mengapa….”
“Lalu mengapa tanganmu
berdarah ?"
“Maharaja memang manusia
durjana, dalam topeng besi itu dilengkapi dengan alat pekakas rahasia
...."
“Alat pekakas apa ?"
“Dua buah per yang mengandung
bahan peledak dan tertuju pada kening sipemakai. Begitu kucabut topeng itu,
alat itupun muntahkan peluru dan hampir saja menghancurkan benak orang
ini."
“Lalu engkau tanggapi dengan
tangan?" menegas sinona dengan cemas .....
Bab 29. Lembah Setan-penyakit.
“Kalau tidak ditangkis, mana
aku bisa hidup?" sahut Gak Lui lalu membuka jalan darah orang itu.
“Memang bisa hidup tetapi
mungkin tak dapat bicara," seru Hong-lian seraya geleng kepala.
Mendengar itu Pukulan-sakti
The Thay menyelutuk perlahan: “Lian, jangan banyak bicara. Biarlah engkohmu Gak
Lui mengurut urat2 orang itu. Mungkin bisa sembuh….”
Ucapan orangtua itu memang
tepat seperti yang dikandung dalam hati Gak Lui. Untuk mencari jejak, ia harus
dapat menolong orang bertopeng besi itu. Segera ia lekatkan kedua tangan ke
pantat dan ubun orang lalu memberi seluruh tenaga-murni. Hendak diusahakan agar
orang itu sadar dari pingsannya.
Tak berapa lama Gak Lui
rasakan hawa Im yang dingin di tubuh orang itu sudah terhalau. Bahkan sepasang
mata orang itu yang terlongong-longong seperti kehilangan semangat, pun sudah
dapat bergerak biasa lagi.
Gak Luipun menarik penyaluran
tenaga-murni dan bertanya dengan nada lembut: “Siapakah engkau? Apakah engkau
sekarang sudah tersadar?"
Biji mata orang itu berputar
lalu mencurah pada wajah Gak Lui yang memakai kedok muka dari kulit kera tetapi
tak bicara apa2.
“Apakah keadaanmu sudah baik?
Mengapa engkau tak menjawab pertanyaan engkoh Lui?" Hong-lian yang berada
di samping, ikut mendesak.
Tetapi si Topeng Besi itu
hanya keliarkan sepasang biji matanya dan memandang sinona. Tetapi sampai
beberapa saat tetap tak bicara.
Melihat itu Gak Lui gelengkan
kepala: “Ah, dia sudah kehilangan daya ingatan dan tak dapat menjawab
pertanyaan."
The Thay suruh Gak Lui untuk
mengurutnya lagi. Tetapi Gak Lui menerangkan: “Kurasa tak mungkin lagi. Untuk
mengembalikan daya ingatannya, bukanlah soal yang mudah. Hanya menggunakan cara
urut saja, tak berguna."
“Lalu bagaimana ?"
“Bawa dia ke gunung
Ceng-sia-san supaya para tokoh2 perguruan silat mengenalinya. Kalau dia benar
salah seorang murid dari suatu perguruan silat, baru kita nanti berusaha untuk
menyembuhkan."
"Engkoh Lui, apakah
engkau sudah mempunyai suatu rencana ?" Selutuk Hong lian pula.
"Belum," kata Gak
Lui lalu menerangkan dengan terus terang, "Digunung Ceng-sia-san berkumpul
tokoh2 sakti. Mungkin mereka dapat mengusahakan daya. Kalau masih gagal,
terpaksa kita tunggu saja apa yang akan terjadi."
The Thay setuju dan mengajak
berangkat saat itu juga. Gak Lui mengiakan tetapi Hong-lian mencegah :
"Ah, mengapa harus buru2 ? Aku masih ada beberapa hal yang hendak
kutanyakan pada ayah."
"Katakanlah."
Hong-lian bertanya dengan nada
sangsi: "Yah, mengapa engkau mau membantu musuh membuatkan pedang? Aku
sungguh tak mengerti!"
"Adakah engkau kira aku
lebih suka mati daripada menyerah ?" sahut The Thay.
Mata sinona merah dan dengan
nada berduka berkata: "Menilik perangai ayah, aku.... kuatir ..,terjadi
sesuatu diluar dugaan….”
"Tolol !" dengan
mesra The Thay membelai rambut puterinya, "walaupun ayah ini berwatak
keras tetapi .... tak ingin meninggalkan kalian.., maka aku walaupun hanya
dapat hidup beberapa hari, aku tetap hendak mencarimu baru hatiku tenang. Soal
pembuatan pedang itu, hanya suatu siasat saja."
"Siasat ?"
"Ya."
"Siasat bagaimana, aku
belum mengerti," Tetapi rupanya Gak Lui cepat dapat memaklumi ucapan The
Thay. Ia segera memberi penjelasan kepada Hong-lian : "Yang dibuat paman
The itu hanya pedang palsu. Dengan mengunakan siasat itu ia hendak mengantar
beberapa orang itu kearah kematiannya.”
"Maksudnya yalah…..”
"Apakah engkau tak
melihat begitu beradu dengan pedangku, pedang mereka terus hancur?"
"Oh .... benar ! Tetapi
apakah sangkut pautnya hal itu ?" masih Hong-lian menegas.
"Paman The seorang ahli
pembuat pedang. Sudah tentu bisa saja ia gunakan akal dalam membuat pedang
mereka sehingga walaupun tampaknya bagus tetapi pedang mereka itu mudah
patah."
"O....," kali ini
Hong-lian mendesuh girang karena sudah jelas.
The Thay pun tertawa : “Itulah
maka kukatakan engkau ini seorang budak tolol .. Karena sekarang sudah jelas
mari kita segera berangkat. Masih banyak peristiwa2 yang akan kita alami nanti
!"
Gak Lui berbangkit dan memberi
isyarat tangan agar si Topeng Besipun bangun. Tetapi si Topeng Besi itu hanya
keliarkan biji mata dan tetap menggeletak ditanah. Rupanya dia enggan
berbangkit.
Gak Lui tahu keadaan orang
itu. Ia segera menepuk bahu orang itu dan berbangkitlah ia tegak mematung
menunggu perintah Gak Lui.
"Paman, tolong paman bawa
orang ini ke Ceng-sia san. Sepanjang jalan dia harus didorong supaya
jalan," kata Gak Lui.
"Apakah engkau tak pergi
bersama-sama aku?" tanya The Thay.
"Aku hendak menyelidiki
siapakah yang telah menyembuhkan kedua kaki adik Lian itu," kata Gak Lui.
Mendengar itu Hong-lian
memandang bergantian kepada ayah dan pemuda yang dikasihinya itu. Kedua-duanya
ia tak tega berpisah. Tetapi apa boleh buat.....
Setelah merenung beberapa
jenak akhirnya ia menghampiri Gak Lui: "Baiklah, aku ikut engkau !”
"Tidak, lebih baik engkau
ikut paman The. Asal engkau memberitahukan letak tempat itu, aku tentu dapat
mencarinya sendiri."
Hong-lian kecewa lalu
melengking tak senang: "Hm, akan kubawa engkau kesana, engkau tak mau,
akupun tak mau memberitahukan tempat itu. Terserah engkau dapat mencarinya
sendiri atau tidak nanti....."
“Adik Lian, maksudku hanya
hendak menghemat tempo. Dan lagi kalau engkau bersama paman The Thay engkau
dapat saling membantu sehingga aku tak perlu cemas hati lagi," kata Gak
Lui.
Rupanya nona itu masih tak
puas. Untung The Thay segera menyelutuk : "Tempat itu aku dapat memberi
tahu. Tetapi .... syarat yang dikehendaki tabib itu luar biasa sekali. Mungkin
engkau tak sanggup menerimanya."
"O…." desuh Gak Lui.
"bukankah adik Lian itu diantar oleh Permaisuri Biru. Masakan harus
menghadapi beberapa syarat lagi?"
Sahut Hong-lian : "Suhuku
mengabdi pada agama, lapang dada pemurah hati. Oleh karena itu beliau mau
menerima syarat2 itu, tetapi engkau masih muda, tentu lain soalnya.”
"Kalau lain orang dapat
menerima, masakan aku tidak? Katakanlah nama tempat itu!" cepat Gak Lui
menanggapi.
Hong lian kerutkan alias
seperti merenung. Katanya sesaat kemudian : "Tempat itu disebut Lembah
Setan Penyakit. Didalam lembah penuh dengan penderita2 sakit yang aneh2. Tabib
itu sendiri tinggal didalam guha ....."
"Siapakah namanya ?"
"Sewaktu dalam keadaan
terluka, aku tak sempat bertanya. Agaknya dia bernama .... bernama ... Pemilik
lembah setan Penyakit…..”
"Tak apalah," kata
Gak Lui. Diam2 ia menimang, jika tabib sakti itu benar Li Kok-hoa, dia tentu
akan menyembunyikan nama dan berganti dengan nama palsu.
"Bagaimanakah potongan
wajah orang itu ?" akhirnya ia coba mencari keterangan.
"Entahlah !” sahut Hong
lian.
"Aneh, mengapa tak tahu
bagaimana wajahnya? Bukankah engkau sudah tinggal lama di-lembah Setan Penyakit
itu ?" Gak Lui agak kurang percaya.
"Aku tinggal tujuh hari
lamanya. Setelah kakiku tersambung, suhu lalu membawaku pergi."
"Selama tujuh hari itu
masakan engkau tak pernah melihat mukanya ?"
"Benar, memang aku tak
bohong," kata Hong-lian, "selama tujuh hari itu aku dibiusnya. Hal
itu kemudian hari baru suhu memberitahu kepadaku. Dan lagi... dan
lagi....."
"Dan lagi bagaimana
?"
"Suhu memberi pesan agar
aku jangan sembarangan mengatakan hal itu kepada orang lain. Untuk menghindari
kaki tangan Maharaja akan mencari tabib itu."
"Hm," Gak Lui
mendesuh. Diam2 ia menimang. Apakah si Setan Penyakit itu bukan Tabib-sakti Li
Hok-hoa sendiri. Ah, demi kepentingan Siu-mey, ia harus mencarikan ayah nona
itu. Tetapi tabib itu mengajukan syarat. Kalau ia tak dapat memenuhinya,
kemungkinan tabib itu takkan mengacuhkannya.
Ah, tiba2 ia teringat akan Li
Siu-mey. Jika nona itu berada disitu, tentulah ia dapat mengenali Setan
Penyakit itu ayahnya atau bukan.
"Baiklah, adik Lian.
Setelah tiba di Ceng-sia, carilah Gadis-ular Li Siu-mey dan beritahukan tempat
yang kutuju itu. Minta dia supaya lekas menyusul kesana," akhirnya ia
memberi pesan kepada Hong-lian.
Hong-lian mengiakan. Tetapi
saat kemudian ia bertanya : "Siapakah nona itu ? Apakah hubungannya dengan
engkau ?"
"Dia juga .... seorang
saudara angkat…..” kata Gak Lui. Karena dengan Siu-mey ia mempunyai hubungan
yang istimewa maka dalam memberi keterangan, ia agak terbata-bata.
Hong lian makin curiga. Dengan
nada cemburu ia berkata: "Kurasa agaknya engkau tak jujur. Pergilah, aku
tak mau mengurus soal itu lagi !"
Gak Lui meringis. Untung The
Thay tahu akan perangai puterinya. Buru2 ia memberi isyarat kepada Gak Lui supaya
mendekat kepadanya: "Apakah engkau belum faham akan perangai si Lian ?
Kecuali ada petunjuk2 yang istimewa, dia baru menurut. Kalau tidak, aku sebagai
ayahnya-pun tak digubris."
"Petunjuk istimewa
?" Gak Lui merenung sejenak, katanya pula: "Bahwa kalau kuberinya
pelajaran sebuah jurus ilmu pedang perguruanku, setujukah paman ?”
Sudah tentu The Thay girang
sekali karena puterinya akan mendapat ilmu pedang perguruan Bu-san yang
termasyhur itu. Sebenarnya nasehatnya kepada Gak Lui itu hanya akan minta agar
pemuda itu membujuk Hong lian dengan kata2 yang manis. Setitikpun ia tak
menyangka kalau pemuda itu akan memberi pernyataan yang tak terduga begitu.
"Maksudmu itu memang baik
sekali. Tetapi... apakah hal itu tidak terlalu memberatkan engkau ?" katanya.
"Tidak," sahut Gak
Lui, "kuberinya pelajaran ilmu pedang itu adalah demi kepentingan kita
semua. Jadi bukan soal sungkan. Harap paman suka mengatakan kepadanya."
The Thay dengan gembira
menyampaikan hal itu kepada puterinya.
Rencana Gak Lui untuk
mengajarkan sebuah ilmu pedang kepada Hong-lian itu demi memperlengkapi
pembentukan sebuah barisan pedang. Hi Kiam-gin sudah mendapat satu jurus.
Bu-san Yan liong dan gadis ular Siu-mey masing2 sudah mempelajari satu jurus.
Jika sekarang Hong-lian satu jurus lagi maka lengkaplah barisan pedang
perguruan Busan yang terdiri dari empat orang.
"Jika dalam menggunakan
pedang pusaka Thian lui-koay-kiam, aku sampai kalap dan hilang kesadaran
pikiranku, mereka berempat dapat mengeroyok aku sehingga keganasanku dapat
diatasi...." diam2 Gak Lui menimang dalam hati.
"Engkoh Lui, ah, engkau
cukup baik hati, hayo ajarilah ilmu pedang itu dengan sungguh2, nanti tentu
kusampaikan pesanmu kepada nona itu!" tiba2 Hong lian melesat ketempatnya
dan berseru girang.
Demikian Gak Lui segera
memberinya pelajaran ilmu pedang jurus Menjolok bintang-memetik-rembulan kepada
nona itu.
Cepat sekali Hong-lian sudah
dapat memahami jurus itu. Akhirnya merekapun berpisah untuk melanjutkan rencana
perjalanan masing2.
Setelah ayah dan anak yang
membawa seorang tawanan Topeng Besi itu lenyap dalam gerumbul, Gak Luipun
segera lari menuju ke lembah Setan Penyakit untuk mendapatkan tabib yang telah
mengobati kaki Hong lian. Ia duga tabib yang memiliki kepandaian begitu sakti,
kemungkinan besar tentulah Li Kok-hoa, ayah dari Siu-mey.
Ia harus mencari tabib itu
agar Siu-mey dapat mencari ayahnya yang menghilang tiada tentu rimbanya itu.
Disamping itu, ia percaya, apabila tabib itu benar Li Kok hua, tentulah ia akan
memperoleh keterangan yang berharga mengenai diri Maharaja Persilatan.
Ketika matahari memancarkan
sinarnya yang panas, tibalah Gak Lui disebuah lembah. Angin yang mengantar bau
manusia, cepat dapat tercium oleh hidung Gak Lui yang tajam.
"Menilik keadaannya,
lembah Setan Penyakit itu berada ditepi sana.....," pikirnya lalu enjot
tubuh melayang ke tanjakan gunung. Tiba ditempat itu bau busuk itu makin
menusuk hidung sehingga ia hampir muntah.
Dilihatnya ditepi lembah
sebuah pagar kayu. Dibalik pagar itu tampak dua sosok bayangan manusia. Melihat
keadaan itu hampir Gak Lui tak percaya bahwa Permaisuri Biru akan membawa
Hong-lian ketempat itu untuk berobat. Tetapi kenyataan memang demikian. Agar
jangan membuat kaget orang, ia tak mau menggunakan ilmu Meringankan tubuh
melainkan dengan perlahan-lahan ia menuju ketempat itu.
Pada saat ia melintasi hutan,
tampak tubuh2 manusia tersebar dimana-mana dengan pandang mata yang beraneka
ragam. Seram dan mengerikan.
Gak Lui cepat menduga bahwa
tempat itu tentulah rombongan penderita sakit yang berat. Tetapi karena
tertolong oleh tabib sakti, walaupun keadaan mereka berlumur cacad, jiwa mereka
masih dapat dipertahankan.
Rombongan orang sakit itu
muncul keluar dari semak gerumbul pohon. Berjenis-jenis keadaan mereka. Ada
yang menyerupai kerangka terbungkus kulit, ada yang tubuhnya begap2, ada yang
penuh berlumur dengan kudis2. Ngeri sekali, menyeramkan hati.....
Gak Lui ingin menegur tetapi
dilihatnya mereka itu seperti patung yang berjiwa. Bernapas tetapi sedikitpun
tak mempunyai mimik perasaan. Hanya sorot mata mereka yang memancar sinar aneh.
Mereka heran mengapa Gak Lui
mengenakan kedok muka dan mengapa datang ketempat situ. Adakah pemuda itu
mengandung penyakit yang sukar disembuhkan? Demikian mereka menduga-duga.
Gak Lui lanjutkan langkah.
Ketika tiba di-tempat yang dituju, sekeliling penjuru penuh dengan penderita
penyakit yang aneh. Keadaan tempat itu tak ubah seperti setan2 dalam neraka.
"Tolong tanya paman
berdua....." baru ia membuka mulut sampai disitu, hatinya seperti disayat
sembilu. Kedua penderita yang ditegur itu tubuhnya penuh kudis yang mengandung
nanah dan darah. Telinga dan hidung sudah membusuk bahkan pelupuk matanyapun
berkudis darah, kepalanya macam buah delima yang bertaburan luka.
Tetapi karena sudah tiba
ditempat itu akhirnya Gak Lui meneguhkan nyali dan bertanya pula: "Tolong
tanya, dimanakah pemilik Lembah ini? Aku hendak mohon bertemu dengan dia."
"A.. a ... !"
rupanya kedua orang itu mendengar pertanyaan Gak Lui. Mereka menatap ke-arah
Gak Lui dan berkaok-kaok tak jelas.
"Celaka ! Menilik
suaranya mungkin lidah mereka juga sudah hancur. Ah, runyam sekali," Gak
Lui mengeluh.
Tiba2 ia mendapat pikiran.
Dengan gunakan ilmu Pemusat Suara, ia susupkan kata-katanya tadi ketelinga
orang itu.
"A,a,a.a ....,"
orang itu menguak-nguak. Rupanya sekarang ia mengerti apa yang ditanyakan.
Dengan lidahnya yang hanya tinggal separoh. ia balas bertanya : "Engkau
... engkau ... , mencari dia .... mengapa ...."
"Ada urusan penting
!"
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
"Bukan .. bukan ....
hendak berobat…..?”
"Hm, apakah harus sakit
baru dapat menjumpainya ?"
"Benar... benar ....
sakit baru .... baru dapat menemuinya ... kalau tidak .... boleh juga engkau
membawa orang sakit kemari... selain itu .... tak bisa bertemu !"
"O ….," desuh Gak
Lui. Memandang kedalam pagar, ia tak melihat jalan masuk kedalam goha. Tetapi
ia menyadari andaikata menemukan pintu masuk itu, tentu juga akan mendapat
rintangan. Kalau yang merintangi itu seorang ganas, ia dapat menyingkirkan
mereka. Tetapi yang menjaga itu hanya dua orang penderita sakit yang sudah
rusak tubuhnya, bagaimana ia sampai hati untuk berkelahi dengan mereka?
Akhirnya ia memutuskan untuk
menunggu kedatangan Siu-mey dulu. Tetapi pada lain saat ia merobah pikirannya.
Siu-mey datang atau tidak, sama saja. Karena rencana yang akan dijalankan yalah
berpura-pura menjadi orang sakit. Daripada menunggu kedatangan Siu-mey lebih
baik saat itu juga ia mengaku kalau dirinya sakit agar dapat diantar menghadap
tabib sakti itu.
"Ya, memang aku mengidap
penyakit, perlu berjumpa dengan Ko-cu," katanya.
"Ngaco !" bentak
orang itu," engkau.... mengidap sakit apa...orang semuda dirimu ....
kecuali sakit hati .... tentu sakit jiwa ....”
“Benar !" sahut Gak Lui,
"memang aku mengidap sakit di hati dan harus minta obat kepadanya."
"O !" kedua orang
itu serempak mendesuh dan berbangkit, "kalau memang .... ada
penyakit.....harus menurut peraturan.... disini ...!"
"Apakah peraturan itu
?"
"Harus.,., harus... lebih
dulu minum semangkuk air....racun....baru engkau dapat....masuk !"
"Air racun ?"
"Ya..... benar !”
Gak Lui merenung sejenak lalu
membusungkan dada, menyahut: "Baik ! Bawalah kemari !"
Cepat sekali orang itu sudah
mengambil sebuah mangkuk kasar dari atas meja. Lalu menuangkan sebuah guci yang
berisi air warna hijau.
Mangkuknya saja sudah
menyeramkan. Apalagi yang menuang itu seorang manusia yang lebih menyerupai
setan dari insan hidup. Dengan ibu jarinya yang berlumuran darah, orang itu
membenamkannya ke dalam mangkuk racun.
Hampir Gak Lui hendak muntah
melihat pemandangan itu. Perutnya sudah mulai muak. Bermula ia tak mau
menyambuti tetapi pada lain kilas ia menimang: “Ah, kalau aku tak masuk ke
dalam neraka, siapa lagi yang berani masuk?"
Tanpa ragu2 ia segera
menyambuti mangkuk itu terus diteguknya habis. Sebelumnya ia sudah kerahkan
ilmu tenaga-dalam Algojo Dunia untuk menyisihkan racun itu dan akan dikeluarkan
lagi.
Belum sempat ia meletakkan
mangkuk, orang cacad itu sudah membentaknya: “Pergilah !"
Terdengar bunyi berderak keras
dan papan lantai yang diinjak Gak Lui itu terbuka. Karena tak menyangka sama
sekali, Gak Luipun melayang jatuh ke dalam terowongan goha.
Entah berselang berapa lama,
ketika Gak Lui siuman, ia rasakan dirinya terbaring di sebuah pembaringan batu.
Sunyi senyap tiada orang tetapi hidungnya mencium bau obat yang keras. Ia duga
tempat itu tentu goha kediaman pemilik lembah Setan Penyakit.
Ia hendak bergerak tetapi kaki
tangannya lentuk tiada bertenaga sama sekali.
“Ah, racun yang hebat. Aku tak
dapat menghalaunya dengan tenaga dalam......" Gak Lui mengeluh tanpa dapat
berkutik. Ia memandang ke sekeliling tempat dan dapatkan tempat itu merupakan
sebuah ruang pengobatan yang cukup luas.
Diterangi lilin merah yang
terang benderang.
Tiba2 ia terkejut ketika
melihat di sebuah pembaringan di bawah, terbaring seorang lelaki tua berumur
50-an tahun. Mukanya sama sekali tak dikenal tetapi perawakannya, baunya, Gak
Lui tak asing sama sekali.
Seketika tergetarlah hati Gak
Lui. Amarahnya meluap. Ingin ia menerkam orang itu dan merobek2 tubuhnya.
Orang itu bukan lain yalah
sipaderi Ceng Ki palsu. Ia tak duga kalau bakal bertemu di situ.
Gak Lui hanya dapat mengertak
gigi karena ia tak kuasa bangun. Pikirnya: “Bagus, engkau juga tak mampu
bergerak dan tak mungkin lolos dari tempat ini. Nanti aku sempat untuk
menanyakan tentang asal usul si Maharaja…..”
Sambil menatap kepada orang
itu diam2 Gak Lui timbul kecurigaan. Ceng Ki palsu dan Hong-lian bersamaan
waktunya menderita luka. Dan tentu bersamaan pula datang ke situ untuk berobat.
Tetapi mengapa mereka tak saling berjumpa? Dan lagi kalau Hong-lian yang kedua
kakinya buntung masih dapat disambung lagi mengapa Ceng Ki palsu yang hanya
putus sebelah lengannya, sampai saat itu belum juga sembuh.
Tengah ia menimang hal itu, pintu
tembok tiba2 merekah terbuka. Seorang lelaki bermuka hitam dan buruk sekali,
melangkah ke luar.
“Ah, dia tentu pemilik lembah
Setan Penyakit !" pikir Gak Lui.
Dipandangnya orang itu dengan
tajam. Ia hendak mencari sesuatu ciri pada wajahnya yang menyerupai Hong-lian.
Karena biasanya antara ayah dan anak itu tentu ada ciri2 yang sama. Tetapi
ternyata ciri2 itu tak diketemukan pada wajah orang itu.
Pemilik lembah Setan Penyakit
itu perlahan-lahan menghampiri ke samping pembaringan Ceng Ki palsu. Ia mengeluarkan
semacam huncwe atau pipa dari kumala lalu disemburkan ke lubang hidung Ceng Ki
palsu itu.
Sekonyong-konyong Ceng Ki
palsu itu berbangkis dan kaki tangannya bergerak-gerak, membalikkan tubuhnya
turun dari pembaringan.
Gak Lui terperanjat. Dia masih
belum dapat berkutik. Apabila Ceng Ki palsu itu mengetahui dirinya, tentu akan
turun tangan.
Tetapi rupanya orang itu tak
mau menghiraukan Gak Lui. Begitu bangun ia terus menghadap ke arah tuan rumah
dan berseru dengan nada kasar : “Tanganku seharusnya sudah baik, bukan?"
“Hampir !"
“Aku sudah datang ke sini
cukup lama. Tiap hari engkau bius dengan obat. Sebenarnya aku sudah tak tahan
lagi. Dan lagi engkau mengatakan kalau hari ini lukaku itu sudah boleh dibuka.
Mengapa engkau bilang kalau hampir sembuh dan belum sembuh sama sekali ?"
“Tuan, sepuluh hari setelah
terluka baru engkau datang kemari. Engkau sendiri yang menunda waktu. Jangan
menyalahkan orang yang mengobati ...."
“Ah ...." mendengar
pembicaraan itu barulah Gak Lui mengetahui bahwa Ceng Ki palsu itu terlambat
datang ke situ. Sudah tentu tak berjumpa dengan Hong-lian.
“Walaupun terlambat datang
tetapi waktu itu aku sudah minum obat penghenti pendarahan. Mengapa engkau
masih sukar untuk mengobati ?"
“Cara pengobatan yang engkau
lakukan itu, akhirnya akan membawa akibat engkau menderita cacad seumur hidup.
Sekarang aku hendak menyambung lagi tulang-tulangmu yang putus sehingga harus
memakan waktu agak lama."
“Sudah, jangan banyak bicara.
Lekas engkau buka !" teriak Ceng Ki palsu seraya menjulurkan lengannya
yang terbalut kain putih.
Gak Lui terkejut. Ya, benar.
Lengan itulah yang telah dibabat kutung dengan pedang yang dilontarkannya tempo
hari.
Pemilik lembah Setan Penyakit
tak gugup. Tenang2 ia menyahut: “Baik, tetapi sebelum kubuka engkau harus
menjawab beberapa pertanyaanku."
“Ya," sahut orang itu
menggeram, “bukankah peraturannya hanya mengobati saja dan tak menanyakan
lain2nya ? Mengapa sekarang engkau hendak mengajukan pertanyaan ?"
Pemilik lembah Setan Penyakit
tertawa : "Anggap saja aku akan membuat suatu pengecualian kepadamu
!"
"Mengapa ?"
"Karena engkau memiliki
ilmu silat yang lihay maka akupun merasa heran."
"Kalau begitu pertanyaan
yang engkau hendak ajukan itu tentu menyangkut soal2 penting dalam dunia
persilatan ?"
"Ah, belum tentu. Tentang
penting atau tidaknya soal itu, aku sendiri yang akan memutuskan. Engkau cukup
menjawab saja !"
"Hm, engkau berani
menekan padaku. Terus terang, jangan harap engkau dapat menyampaikan maksudmu
!"
Pemilik lembah Setan Penyakit
itu balas berteriak dengan tak kurang tajamnya: "Akupun hendak memberitahu
kepadamu dengan terus terang. Lenganmu aku yang menyambung. Tetapi masih perlu
makan obat. Kalau engkau tak mau menyahut pertanyaanku, obat takkan kuberikan.
Dalam tiga bulan jalan darahmu akan macet. Pada saat itu jangan engkau marah
kepadaku."
"Huh, adakah caramu itu
suatu perbuatan yang mulia ?"
"Maaf, tetapi keadaan
memang berlainan, terpaksa aku harus berbuat begitu."
"Besar sekali
nyalimu….," dalam marahnya Ceng Ki palsu itu kerahkan tenaga dalam hendak
menghancurkan si tabib.
Gak Lui gelisah sekali. Ia
tahu bahwa pemilik lembah itu tak mengerti ilmu silat. Tetapi ternyata pemilik
lembah itu hanya tersenyum tenang dan berseru : "Lengan itu milikmu.
Apakah engkau tak menghendakinya?"
Dengan sikap yang tenang
sekali ia mengisap lagi pipa huncwenya.
Walaupun marah tetapi Ceng Ki
tak berani sembarangan bertindak. Dengan geram ia mendengus: "Baik,
tanyalah! Tetapi ingat, kalau pertanyaan itu keliwat batas sehingga mengundang bencana
pembunuhan, jangan engkau sesalkan aku !"
"Itu urusanku,"
sahut si tabib, "tak perlu engkau bingung. Nah, pertanyaan pertama yang
hendak kuajukan yalah : Kedatanganmu ke lembah Setan Penyakit untuk berobat
ini, apakah karena mendengar cerita orang atau ada orang yang menunjukkan
?"
"Mendengar cerita
orang."
"Apakah bukan dari Li
Hui-ting yang mengatakan ?"
"Li Hui-ting ?" Ceng
Ki palsu mengulang dengan nada kejut karena ia kenal dengan Li Hui-ting si
Tabib-jahat itu. Ia dan tabib jahat itu separtai. Tetapi Li Hui-ting sudah mati
dibunuh Gak Lui.
Gak Luipun terkejut juga. Li
Hui-ting itu adalah murid dari tabib-sakti Li Kok-hoa. Tetapi Li Hui-ting telah
menipu gurunya sehingga tabib sakti itu menghilang dari masyarakat. Mengapa
sekarang pemilik lembah Setan Penyakit menanyakan diri Li Hui-ting? Adakah
pemilik lembah itu memang benar Tabib-sakti Li Kok-hoa, ayah dari gadis ular
Siu-mey? Ataukah ada lain rahasia yang menyelubungi diri pemilik lembah
ini.....
Tiba2 Ceng Ki palsu balas
bertanya: "Engkau .... mengapa kenal akan Tabib-jahat itu ? Mengapa engkau
menanyakan dirinya ?"
"Tuan,” sahut pemilik
lembah dengan nada sarat, "kuharap engkau suka ingat baik2. Engkau yang
menjawab dan aku yang bertanya. Dan jawablah dengan terus terang !"
"Dia sudah lama mati.
Bukan dia yang memberitahu kepadaku!" kata Ceng Ki palsu.
"Hm, saudara tentu
seorang persilatan. Mohon tanya siapakah nama saudara dan apakah gelar yang
saudara pakai? Dari perguruan manakah saudara ini?"
"Ini.....," Ceng Ki
palsu terkerat-kerat lalu merenung beberapa jenak. Diam2 timbullah rencana
jahat dalam hatinya. Segera ia menyahut dengan terus terang: "Aku bernama
Tio Yok-beng. Dengan kelima suheng, aku tergabung dalam kelompok yang disebut
Lima-pendekar dari Imleng."
"Lima pendekar dari
Im-leng?" diam2 Gak Lui mengulang dalam hati. Musuh telah menantang dia
berkelahi digunung Im-leng-san. Kemungkinan tentulah sarang dari gerombolan
kelima orang itu.
Tetapi pada lain saat, Gak Lui
agak bingung sendiri. Lima pendekar Im-leng itu berjumlah lima orang. Yang
empat sudah jelas menjadi gerombolan Kerudung Hitam. Lalu kemanakah yang
seorang ?
Pemilik lembah Setan Penyakit
bertanya pula: "Adakah kelima pendekar itu masih hidup semua?"
"Toa-suhengku sudah ....
kehilangan daya ingatannya dan menjadi patung hidup. Sedang yang lainnya masih
hidup semua."
Mendengar itu Gak Lui diam2
menggeram dalam hati: "Huh, omong kosong kalau saudara seperguruanmu yang
tertua itu kehilangan daya ingatannya. Yang benar dia telah kalian ceiakai dan
menjadi salah seorang anggauta Topeng Besi, yang empat orang bergabung dengan
Wi Cun totiang menjadi gerombolan Kerudung Hitam yang bergerak hendak merebut
kedudukan ketua dari tiap partai persilatan. Tetapi rupanya engkau masih belum
tahu kalau mereka sudah hancur ..."
Setelah mendengar keterangan
Ceng Ki palsu, pemilik lembah maju setengah langkah, dengan nada yang dingin
sekali ia berkata : "Tadi engkau mengatakan bahwa Li Hui-ting itu sudah
mati. Kalau begitu .... dalam dunia persilatan tentu terdapat seorang ....
tokoh berhidung gerumpung. Apakah orang itu masih hidup? Adakah saudara kenal
padanya ?"
Pertanyaan itu bagaikan
halilintar berbunyi di tengah hari. Kalau dapat berkutik, Gak Lui tentu sudah
melonjak bangun. Karena hidung gerumpung yang ditanyakan pemilik lembah itu
adalah paman gurunya si Lengan-besi-hati-baik. Gak Lui benar2 heran mengapa
pemilik lembah itu hendak campur tangan dengan rahasia besar dalam dunia
persilatan.
Ceng Ki palsu rupanya tak
mengacuhkan pertanyaan itu. Dengan enggan ia menyahut: “Hm, banyak sekali orang
persilatan yang kukenal tetapi tak pernah kudengar tentang tokoh yang berhidung
gerumpung. Sudahlah, jangan bertanya yang tidak2. Tanya saja yang genah!"
Melihat orang tak begitu
menaruh perhatian akan diri tokoh berhidung gerumpung, setelah merenung sejenak
maka berkatalah pemilik lembah: “Lain2 hal aku tak perlu menanyakan lagi.
Tetapi kuminta pembicaraan kita hari ini, harus dipegang rahasia jangan sampai
terdengar orang ketiga dan jangan disiarkan keluar agar jangan mengganggu keselamatanku."
“Baik," kata Ceng Ki
palsu.
“Hanya setuju di mulut masih
belum meyakinkan. Engkau harus mengangkat sumpah."
“Sumpah ?"
“Ya.”
Ceng Ki palsu menahan
kemarahan. Terpaksa ia mengucap sumpah: “Kalau aku sampai mengingkari
perjanjian hari ini, kelak ...."
“Bagaimana ?"
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Kelak dalam waktu beberapa
kejab saja, tubuhku biar luluh menjadi air !"
Sumpah semacam itu
sesungguhnya suatu hal yang tak mungkin. Tetapi Ceng Ki palsu sengaja hendak
mengelabuhi orang dan anehnya tampak pemilik lembah merasa puas. Ia tertawa
nyaring.
“Bagus, setelah engkau
bersumpah sekarang julurkanlah lenganmu yang kanan itu. Akan kubuka pembalutnya
dan kuperiksa apakah sudah sembuh atau belum."
Ceng Ki palsu menyingkap
lengan baju dan ulurkan lengannya ke muka.
Gak Lui tahu bahwa Ceng Ki
palsu mengandung maksud jahat. Begitu kain pembalut sudah dibuka, ia tentu akan
menghajar pemilik lembah. Tetapi apa daya. Ia tak dapat berkutik bangun.
Terpaksa ia hanya memandang kedua orang itu dengan perasaan tegang ....
Demikianlah pemilik lembah
segera mulai membuka kain pembalut lengan Ceng Ki palsu. Pada lipatan pembalut
yang terakhir, tampaklah lengan Ceng Ki palsu yang kutung itu sudah pulih
kembali seperti semula.
“Ho, nama gelaranku memang
sekuat dengan ilmu kepandaianku," kata pemilik lembah dengan nada puas.
Diam2 Ceng Ki palsu kerahkan
tenaga dalam ke arah lengannya yang baru itu. Setelah mendapatkan bahwa
lengannya itu benar sudah pulih kembali maka tertawalah ia menyeringai iblis:
“Benar! Memang pulih kembali seperti semula .... heh, heh ... heh, heh, heh,
heh ..."
Tampak wajah pemilik lembah
tiba2 berobah ngeri ketakutan. Selangkah demi selangkah ia menyurut mundur.
Walaupun Ceng Ki palsu itu tegak membelakangi, namun Gak Lui dapat menduga
orang itu tentu mengunjuk wajah yang menyeramkan. Wajah pembunuhan yang
menyala-nyala.
“Ho, engkau telah mengerjakan
diriku dengan ngeri. Sekarang engkaupun harus menjawab beberapa pertanyaanku
!" seru Ceng Ki palsu.
“Apakah engkau melupakan
perjanjian kita tadi ?" seru pemilik lembah.
“Tidak, aku tak lupa !”
“Lalu engkau....."
“Orang berobah menjadi cairan
air, takkan mungkin terjadi. Jangankan engkau tak mengerti ilmu silat, taruh
kata engkau seorang tokoh yang sakti, pun juga tak mungkin mempunyai kemampuan
begitu !"
”Hm, aku bukan seorang yang
mudah ditindas. Jangan terlalu percaya pada dirimu !"
“Heh, heh! Soal itu aku
sendiri yang memutuskan. Sekarang lebih dulu engkau harus memberitahukan
namamu. Dan jelaskan mengapa engkau begitu menaruh perhatian tentang urusan
dunia persilatan. Teristimewa terhadap Tabib jahat Li Hui-ting serta tokoh
hidung gerumpung itu ..."
“Aku tak sudi menjawab! Jangan
lupa engkau masih memerlukan minum obatku!"
“Setan Penyakit! Dengan
mengandalkan ilmu pengobatan engkau hendak menindas diriku. Tetapi sekarang
lenganku sudah sembuh. Setiap saat aku dapat mengambil obat itu sendiri!"
“Engkau tak kenal...."
“Aku tak kenal tetapi engkau
kenal obat itu. Kalau engkau membangkang, dapat kugunakan ilmu Menyungsang-balikkan
tulang dan urat. Kuyakin pada saat itu engkau tentu akan menjawab semua
pertanyaanku!"
Saat itu mulut pemilik lembah
tampak bergerak seperti hendak menyemburkan sesuatu. Tetapi Ceng Ki palsu lebih
cepat. Walaupun terpisah pada jarak satu setengah tombak, dengan tenaga-dalam
ia menampar. Mulut pemilik lembah tak sempat menyembur, bahkan empat buah
giginya rontok jatuh.
“Lekas bilang! Akan kuhitung
sampai sepuluh. Kalau engkau tetap membangkang, terpaksa akan kugunakan
kekerasan!" seru Ceng Ki palsu.
Pemilik lembah Setan Penyakit
tertegun. Dia tak mengerti ilmu silat untuk menghadapi tekanan tenaga dalam
lawan. Keringatpun bercucuran membasahi tubuh. Sedangkan telinga mulai
mendengar Ceng Ki palsu menghitung: ”Satu .... dua .... tiga .... empat ....”
Melihat pemandangan ngeri yang
berlangsung di hadapannya tanpa ia dapat berbuat suatu apa, benar2 membuat Gak
Lui seperti gila. Sekali lagi ia kerahkan seluruh tenaga dalam untuk menghalau
racun yang berada dalam tubuhnya.
Tepat pada saat mulut Ceng Ki
palsu menghitung 'sepuluh', tiba2 Gak Lui dapat bergeliat duduk. Tetapi
tenaganya tetap lemas. Begitu duduk, tubuhnya miring dan bluk .... jatuhlah ia
dari ranjang.
Tetapi karena jatuh itu, ia
berhasil menolong pemilik lembah dari bencana kematian. Karena Ceng Ki palsu
terkejut dan berpaling. Cepat sekali ia dapat mengenali Gak Lui. Pemilik lembah
itu mudah diatasi, yang penting ia harus membereskan Gak Lui dulu.
Serentak tertawalah ia
nyaring2 lalu berseru: “Bagus, budak kecil, engkau mengantar kematian
kemari..."
Sekali enjot tubuh, ia
melayang sambil julurkan kedua jari tangannya hendak mengorek biji mata Gak
Lui.
“Habis riwayatku....."
Gak Lui mengeluh. Karena tak dapat berbuat suatu apa, ia pejamkan mata menunggu
maut.
Bluk .... tiba2 ia terkejut
karena mendengar sesosok tubuh jatuh di tepi ranjang. Cepat ia membuka mata.
Hai ... mengapa Ceng Ki palsu yang menyerang itu rubuh sendiri ? Dipandangnya
orang itu. Tiada tampak sebuah lukapun pada tubuhnya melainkan sebuah benjul
merah sebesar buah jambu tampak menonjol pada tengkuknya.
“Aneh…..” diam2 Gak Lui
terkejut heran. Dilihatnya pada benjul merah itu mulai mengeluarkan asap warna
kebiru-biruan. Dan rambut serta kulit kepala Ceng Ki palsu itupun seperti
segunduk salju yang tertimpa sinar matahari. Pelahan-lahan luluh menjadi cairan
air!
Dalam waktu tak berapa lama,
lenyaplah tubuh Ceng Ki palsu itu menjadi kubangan air. Saat itu pemilik
lembahpun berjalan menghampiri. Mulutnya masih menghisap pipa huncwe kumala.
Dia tak menghiraukan cairan air mayat Ceng Ki palsu, melainkan dengan wajah
terkejut memandang Gak Lui, seolah-olah hendak bilang: “Tak ada obatnya,
mengapa engkau dapat bergerak?"
Rupanya Gak Lui dapat
menangkap pandang mata pemilik lembah itu. Ia paksakan diri mengangkat kepala dan
bertanya dengan tegang: “Mohon tanya, apakah engkau ini bukan Tabib-sakti Li
Kok-hoa?"
“Ai...," pemilik lembah
itu menjerit kaget, sehingga pipanya jatuh ke tanah, “engkau…. engkau bilang
apa ?"
“Tolong tanya, apakah engkau
ini bukan Tabib-sakti Li Kok-hoa?"
“Mengapa engkau tahu ?"
seru pemilik lembah dengan suara parau dan tubuh gemetar. Jelas ia telah
mengunjukkan siapa dirinya.
Dengan gembira Gak Lui
menjawab: “Aku hanya menduga saja ...."
“Dengan dasar apa ?"
“Tabib-jahat Li Hui-ting dan
Hidung gerumpung."
Mendengar kata2 itu seketika
wajah pemilik lembah berobah buas, kaget dan marah. Hawa pembunuhan bertebaran
di wajahnya. Melihat itu Gak Lui cemas dan buru2 memberi penjelasan: “Paman Li,
jangan salah faham ..."
Tetapi karena pemilik lembah
itu sudah terlanjur dirangsang oleh ketegangan hebat, ia tak mendengar kata2
Gak Lui lagi.
“Wut ...." mulutnya
meniup hawa dingin ke arah tenggorokan Gak Lui.
Gak Lui terkejut tetapi
untunglah ia tak kurang suatu apa. Karena pemilik lembah itu hanya meniup
dengan mulut. Pipa huncwenya sudah jatuh ke tanah tetapi ia lupa.
“Paman, tunggu dulu. Muridmu
Tabib-jahat Li Hui-ting itu akulah yang membunuh. Hidung gerumpung itu adalah
paman guruku. Harap jangan salah faham ..." cepat Gak Lui berseru pula.
“Ngaco belo! Engkau tentu
salah seorang gerombolan Lima pendekar Im-leng!"
“Tidak! Aku bukan golongan
mereka! Pribadiku menjamin hal itu."
“Huh, apa gunanya pribadi?
Iblis itupun tadi sudah mengangkat sumpah tetapi tetap melanggar !"
“Paman, tolong angkat aku
bangun. Akan kuceritakan semua keadaan kepadamu."
“Hm, serentetan kata2 yang
mengandung maksud tak baik ..."
“Aku berkata dengan
sungguh2."
“Benar ?"
“Ya."
“Kalau begitu akan kutanya
kepadamu," wajah pemilik lembah yang buruk itu berpaling sedikit lalu
berseru dengan nada dingin: “Pada saat engkau masuk ke dalam lembah ini engkau
mengatakan menderita penyakit. Tetapi setelah kuperiksa urat nadimu, ternyata
engkau tak menderita suatu apa. Adakah hal itu menyatakan kejujuranmu ?"
Wajah Gak Lui merah padam.
Cepat ia memberi penjelasan: “Hal itu terpaksa kulakukan agar dapat bertemu
dengan paman ...."
“Hm, siasat yang tak beres.
Kalau kutolong engkau, tentu engkau akan bertingkah lagi."
Gak Lui tak dapat menjelaskan.
Diam2 ia kerahkan tenaga dalam dan hendak bergeliat bangun. Tetapi rupanya
pemilik lembah itu sudah mempunyai pengalaman dengan Ceng Ki palsu tadi. Cepat
ia mendorong tubuh Gak Lui seraya membentak: "Budak, jangan bergerak!
Kalau engkau tak mau menjadi cairan air, engkau harus bicara terus terang
!"
"Paman Li, jangan terlalu
mencurigai diriku! Aku adalah kakak angkat dari puterimu Li Siu-mey. Aku sedang
membantunya untuk mencari ayahnya yang hilang. Harap percaya omonganku !”
"O ....," mendengar
disebutnya Li Siu-mey, pemilik lembah itu menggigil dan dengan suara gemetar
berseru : "Engkau bahkan sudah datang kerumahku ? Bagus, kalau bukan si
Hui-ting yang menghianati, bagaimana engkau tahu ?"
"Bukan dia!" bantah
Gak Lui, "Tabib-jahat Li Hui-ting telah mencelakai banyak orang, dosanya besar
sekali. Tetapi terhadap keadaan rumah-tangga paman, dia benar2 tak menceritakan
kepadaku ....."
"Hm, binatang itu masih
mempunyai setitik hati baik juga. Lalu bagaimana engkau tahu tentang rumah
tanggaku? Bilanglah terus terang!"
Gak Lui lalu menceritakan
semua pengalaman yang dialaminya selama ini. Terutama pertemuannya dengan Li
Siu-mey yang telah menolong jiwanya ketika ia ditelan seekor ular besar yang
berumur ratusan tahun.
Kini barulah pemilik lembah
itu tahu bahwa puterinya masih hidup dan sudah dewasa sedang isterinya sudah
meninggal dunia. Air matanyapun mengantar isak tangisnya.
Setelah orang berhenti
menangis, barulah Gak Lui berkata pula: "Paman Li, kukira sekarang paman
tentu suka menolongku."
Pemilik lembah Setan Penyakit
yang ternyata memang benar Tabib-sakti Li Kok-hoa bersangsi. Setelah merenung
beberapa saat, wajah tabib itu berobah, serunya: "Tidak semudah itu.
Dengan kalian kaum persilatan sudah dua kali aku berhubungan. Setiap kali aku
selalu hampir mati, selalu menderita celaka. Maka sekarang untuk yang ketiga
kalinya ini aku harus hati."
"Paman, aku sudah suruh
orang mengundang puterimu datang kemari. Apakah hal itu masih belum dapat
meyakinkan paman ?”
"Ya, kuingat hal itu.
Kita tunda dulu semua urusan ini sampai dia datang."
"Lalu aku sekarang…..”
"Engkau harus menunggu
dengan sabar," kata Li Kok-hoa sembari mengambil huncwe kumala dan
menghisapnya kedalam mulut.
Gak Lui terkejut. Tetapi cepat
ia dapat memperhatikan pipa kumala itu. Ternyata pipa itu terbagi dalam tiga lubang.
Lubang kesatu berwarna merah, lubang kedua putih dan lubang ketiga kuning,
Ketiga warna itu mengandung tiga macam obat yang berlainan.
Pada saat Gak Lui tertegun,
segulung asap kuning menyembur kearah hidungnya. Ia pingsan.
Li Kok hoa gunakan obat bius
yang berlipat ganda kekuatannya. Maka betapapun tinggi kepandaian Gak Lui,
tetapi ia tak mampu melawan kekuatan obat bius itu.
Dalam kelelapan tidurnya yang
nyenyak itu, ia bermimpi mengenangkan semua peristiwa yang dialaminya selama
ini. Ayah bunda, ayah angkat, paman guru, bibi guru dan beberapa tokoh ketua
perguruan silat telah berjatuhan gugur, darah bergenangan. Kesemuanya itu
adalah gara2 si Maharaja Persilatan Tio Bik-lui. Demi kesombongan, dan
keinginan untuk menguasai dunia persilatan, durjana itu telah membunuh sekian
banyak jiwa. Dan karena hendak menuntut balas, Gak Lui telah keliru membunuh
beberapa orang yang baik, menanam dendam permusuhan dengan partai2 persilatan
...
"Bunuh.....!" teriak
Gak Lui dalam mimpinya, Ia hendak menghancurkan manusia durjana itu. Tetapi ah
.... ternyata ia tak dapat bergerak. Kaki tangannya serasa tak bertenaga. Namun
ia nekad meronta-ronta dengan sekuat tenaga dan ....
"Engkoh Lui! Engkoh Lui?
Engkoh sudah siuman !" tiba2 terdengar lengking suara seseorang.
"Hai, bukankah itu suara
Siu-mey ? Apakah dia benar2 datang ?" Gak Lui terkejut dan membuka mata.
Ah... ternyata Siu-mey memang
tegak berdiri disamping tempat tidurnya sambil tersenyum.
Dibelakang Siu-mey tampak
seorang lelaki tua yang berwajah terang dan lemah lembut. Walaupun masih ragu2
tetapi dari baunya dapatlah Gak Lui mengetahui bahwa orangtua itu yalah si
Tabib-sakti Li Kok-hoa. Rupanya tabib itu telah menghapus penyaruan wajahnya
dan kembali mengunjukkan wajahnya yang aseli.
"Ah, ayah dan anak itu
sudah berjumpa....," pikir Gak Lui. Ia ikut gembira dan hendak bergeliat
duduk. Tetapi sebelum sempat membuka mulut, tabib itu sudah mendahului berkata
dengan ramah: "Hian say, silahkan bangun. Karena salah faham, terpaksa
kusuruh engkau menderita beberapa hari ...."
Mendengar tabib itu
memanggilnya dengan kata 'Hian-say' atau anak menantu, Gak Lui tertegun dan
sampai beberapa saat tak dapat bicara.
"Hubunganmu dengan
anakku, sudah kudengar," kata tabib itu, "dan lagi bibi gurumu sudah
meninggalkan pesan, menyetujui pernikahanmu. Dan aku sendiri.....juga setuju.
Apakah engkau tak suka ?"
"Bukan, bukannya tak
suka," sahut Gak Lui, "tetapi saat ini masih ada dua buah urusan yang
belum .... selesai.”
"Soal apa ?"
"Pertama, musuh besar
belum terbalas."
"Dendam sakit hati ayah
bunda, memang harus dibalas. Tetapi setelah selesai, tentulah tak ada persoalan
lagi."
“Setelah melakukan pembalasan,
aku harus berkabung sampai tiga tahun.”
“Hm ... rasa bhakti memang
perlu. Dan anakkupun harus menyertai engkau. Lalu apakah soal yang kedua
itu?"
“Ini...," ketika teringat
akan pergolakan dalam dunia persilatan dan peristiwa2 yang mungkin timbul
secara tak terduga-duga, Gak Lui tak dapat melanjutkan kata katanya.
Terhadap ramalan si Raja
sungai Gan Ke-ik ketua Partai Gelandangan dan petunjuk rahasia dari Kaisar
Persilatan, mau tak mau ia tak boleh mengabaikan. Hanya karena itu termasuk
soal tahayul, maka ia tak dapat menerangkan kepada orang.
Setelah berdiam diri beberapa
saat, barulah ia berkata dengan nada serius: “Paman Li, bukan aku hendak
mengulur waktu tetapi soal pernikahan itu merupakan soal selama hidup. Setelah
aku dapat mengadakan sembahyangan kepada para angkatan tua, barulah dapat
memberi keputusan ..."
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Siu-mey tak marah maupun
kecewa mendengar keterangan Gak Lui itu. Ia bahkan setuju dengan tindakan Gak
Lui. Ia percaya penuh kepada pemuda itu tentu akan menepati janjinya.
Melihat sikap Gak Lui dan
puterinya begitu tenang, Li Kok-hoa tak mau ngotot. Iapun beralih pada lain
pembicaraan: “Sejak datang kemari engkau selalu mengenakan kedok muka. Karena
aku tak mau mencampuri urusan orang lain, maka akupun tak membuka kedok mukamu
itu...."
“Terima kasih paman. Memang
kedok yang kukenakan ini tak boleh dibuka."
“Mengapa? Apakah wajahmu
mempunyai.... sesuatu yang tak boleh dilihat orang ?"
“Aku sendiri juga tak
jelas."
Li Kok-hoa terbeliak heran.
Pada saat ia hendak mendesak, Siu-mey sudah mendahului, menceritakan asal mula
Gak Lui memakai kedok muka itu.
“Ah, ah," Li Kok-hoa
mendesuh, “kiranya begitu. Kukira karena wajahnya cacad maka aku bersedia akan
mengobatinya ...."
“Paman Li," tiba2 Gak Lui
menyelutuk, “aku mempunyai taci angkat yang mukanya rusak penuh guratan pedang.
Apakah paman dapat mengobati ?"
“Tujuan dari ilmu pengobatan
itu adalah untuk menolong orang. Jangan lagi saudara angkatmu, sedang orang
yang belum kenal saja asal aku dapat mengobati tentu akan kutolong ...."
Juga Siu-mey ikut menyelutuk:
“Engkoh Lui, yang engkau maksudkan dengan taci angkatmu itu apakah bukan Hi
Kiam-gim yang mukanya ditutup dengan kain kerudung itu?"
“Benar," sahut Gak Lui,
“apakah dia sudah ke Ceng-sia-san ?"
“Memang sudah tetapi sayang
dia dingin sekali terhadap orang. Kecuali hendak membunuh si Maharaja, lain2
hal dia tak mau peduli. Maksudmu yang baik itu mungkin sukar diterimanya
!"
“Kukira ... dia dapat
menerima...”
“Mengapa ?"
“Engkau masih ingat ketika di
sumber air Pencuci Jiwa engkau hampir berjumpa dengannya?”
“Ya."
“Karena melihat kuburanku maka
dia lalu merusak wajahnya sendiri. Kalau sekarang kita tak kurang suatu,
tentulah dia juga ingin wajahnya itu pulih kembali."
“O," Siu-mey mendesuh dan
kerutkan alis seperti orang cemburu. Pada saat ia hendak bertanya, ayahnyapun
sudah mendahului menghela napas, ujarnya: “Soal itu aku sudah meluluskan tetapi
adalah hal semacam itu maka rumahtanggaku sampai berantakan. Sungguh suatu
kenangan yang menyedihkan ..."
“Paman, apakah Li Hui-ting
juga menipu paman untuk mengobati orang yang wajahnya rusak?"
Li Kok-hoa mengiakan.
“Lalu siapakah yang paman
obati?"
Mata si tabib berkilat-kilat
memancar rasa ketakutan dan tak mau menjawab.
Melihat itu Siu-mey cepat
mendesak: “Yah, tak perlu engkau takut. Biar musuh bagaimana kuatnya tetapi aku
dan engkoh Lui sanggup menghadapi !"
“Ini ....”
“Mengapa ayah masih ini itu
lagi! Karena engkau menghilang, mamah sampai meninggal karena sedih. Kalau ayah
sekarang tetap tak mau bilang, bukankah ayah berdosa kepada mamah?"
“Ai ...” tabib itu menghela
napas panjang melihat puterinya berduka, "baiklah. Kesatu, peristiwa itu
sudah berselang puluhan tahun dan pula durjana itu sudah mati. Tentulah mereka
tak tahu kalau aku masih hidup. Nah, silahkan kalian tanya saja kepadaku
!"
Gak Lui segera mengajukan
pertanyaan: “Paman, dari pembicaraan paman dengan Tio Yok-bing tempo hari,
pernah paman menyebut seorang Hidung Gerumpung. Sedang tentang Tabib-jahat Li
Hui-ting memang paman sebut2 beberapa kali. Apakah paman ditipu oleh Li
Hui-ting untuk mengobati paman guruku yang bernama Lengan-besi-hati-baik itu?
Kalau benar, mengapa wajahnya belum sembuh?"
“Murid hianat itu memang benar
telah menipu aku untuk mengobati wajah seseorang, tetapi siapa orang itu, aku
tak tahu !"
“Pernahkah paman pergi ke
gunung Busan?"
“Busan ?"
“Benar, yalah tempat
persembunyian dari paman guruku itu."
“Memang aku dibawa oleh
muridku hianat itu melintasi beberapa gunung dan sungai. Tetapi di manakah
letak Busan itu sampai sekarang aku tak jelas."
“O, kiranya selain ditipu pun
paman diikat oleh murid penghianat itu ?"
"Ya, benar."
"Kalau begitu tolong
paman berikan sedikit gambaran tentang wajah orang yang paman obati itu."
Li Kok-hoa gelengkan kepala
menghela napas: "Wajah mereka akupun tak dapat mengatakan. Kecuali tahu
kalau hidungnya gerumpung, lain2nya aku tak dapat melihat."
"Mereka? Apakah jumlahnya
lebih dari seorang ?"
"Dua!"
"Apakah keduanya
mengenakan kerudung muka semua ?"
Li Kok-hoa mengiakan.
"Apakah keduanya
terserang penyakit yang sama ?” baru Gak Lui bertanya begitu tiba2 hatinya
tergetar. Ia teringat suatu peristiwa yang aneh dan buru2 menyusuli kata :
"Tidak! .... paman, ah ,.... apakah engkau memotong hidung paman guruku
untuk dipindahkan kepada seorang ?"
Gemetarlah tubuh tabib-sakti
Li Kok-hoa mendengar perkataan itu. Dengan terbata-bata ia menyahut:
"Benar.... ya, benar. Tetapi bagaimana engkau dapat menduga
seseorang?"
Mendengar tabib itu sudah
mengaku, tersadarlah pikiran Gak Lui. Kini jelaslah ia mengapa pada saat
menutup mata paman gurunya si Lengan-besi-hati-baik itu menanyakan diri
Maharaja Persilatan Tio Bik-lui. Kiranya kedua orang itu mempunyai hubungan
yang erat sekali sehingga Lengan besi hati-baik mau mengorbankan hidungnya
diberikan kepada Tio Bik-lui. Tujuan daripada paman gurunya Lengan-besi
hati-baik itu tentulah mengharap agar Tio Bik-lui mau menyadari kesesatan dan
kembali kejalan yang benar. Itulah pula sebabnya ketika Gak Lui menceritakan
bagaimana dirinya ditolong oleh Tio Bik lui, paman gurunya segera memuji Tio
Bik-lui itu memang orang yang baik hati.
Padahal tindakan Tio Bik-lui
menolong dirinya itu hanya suatu siasat untuk mengambil keuntungan. Sama sekali
bukan suatu tanda kalau orang itu sudah mau memperbaiki kesalahannya.
Kini makin jelaslah Gak Lui
akan pribadi paman gurunya yang berhati luhur dan pribadi Tio Bik-lui yang
ganas. Tiba2 ia tertegun. Timbul seketika suatu pertanyaan dalam hatinya. Ya,
mengapa paman gurunya begitu baik hati sekali kepada Tio Bik-lui ? Dan mengapa
Tio Bik-lui membalas kebaikan Lengan-besi-hati-baik dengan tindakan bermusuhan
?
Gak Lui tak dapat menjawab
pertanyaan itu. Ia tegak termenung-menung memikirkan soal itu.
Karena melihat pemuda itu diam
saja, Li Kok-hoa mengira kalau Gak Lui tak puas kepadanya. Maka buru2 ia
menyusuli keterangan lagi: “Sesungguhnya memindahkan anggauta badan orang
kepada orang lain itu melanggar kodrat alam dan tidak seharusnya kulakukan.
Tetapi .... benar2 aku terpaksa melakukan hal itu dan karenanya akupun tak
leluasa mengatakan....."
"Paman Li, dalam hal itu
memang paman guruku sendiri mempunyai tujuan dan tak dapat menyesalkan paman.
Tetapi kuharap paman suka mengingat lagi peristiwa itu dan memberi keterangan
yang jelas."
"Baik, baik! Sekarang
hendak kuceritakan dulu tentang riwayat murid hianat Li Hui-ting itu."
"Silahkan, paman."
"Pada waktu datang
mengangkat guru kepadaku, dia memang bersikap baik sekali. Akupun tahu kalau
dia itu seorang persilatan tetapi tak mengerti ilmu pengobatan. Tetapi dia
menaruh perhatian besar terhadap obat2 racun."
"Adakah paman tak
memberikan pelajaran ilmu itu kepadanya ?"
"Kuberinya sedikit ilmu
tentang racun. Sedang obat2 istimewa dari perguruanku, tak kuberikan
kepadanya."
"Apakah diantaranya
termasuk ilmu cairan racun yang dapat menyurutkan tubuh ?"
"Benar."
"Apakah dia begitu saja
lalu lepaskan keinginannya ?"
"Dia seorang yang
mempunyai tipu muslihat banyak sekali. Tahu kalau aku tak mau mengajarkan,
diapun tak dapat berbuat apa2. Tetapi lewat beberapa waktu kemudian, iapun
pergi dari rumahku."
"Dia baru kembali lagi
ketika hendak menipu paman, bukan?"
"Benar, pada suatu malam
kira2 delapan belas tahun yang lalu, tiba2 dia muncul dan meminta kepadaku
untuk mengobati seorang penderita penyakit yang sukar diobati. Dia meminta
supaya aku membawa peti obat dan ikut bersamanya ke suatu tempat."
"Pada waktu paman
tinggalkan rumah, apa saja yang paman alami ?"
"Tak berapa jauh
meninggalkan rumah, tiba2 murid hianat itu menutuk jalan darahku hingga pingsan
lalu membawaku kesebuah tempat. Setelah aku sadar, kulihat empat orang
berkerudung muka tengah menunggu. Salah seorang yang menjadi pemimpinnya bicara
tetapi suaranya tak jelas. Terang kalau dia tak mempunyai hidung."
"Hm, yang mencelakai
gihu-ku, tentulah keempat orang itu. Yang tiga orang adalah kawanan Topeng Besi
yang sudah hilang kesadaran pikirannya. Tetapi Lima Pendekar Im-leng itu masih
belum masuk dalam gerombolan itu. Kuharap tawanan yang dibawa ke Ceng-sia itu,
salah seorang dari ketiga Topeng Besi itu agar dapat diperoleh keterangan2 yang
penting..." pikir Gak Lui.
"Paman Li, bagaimanakah
sikap Hidung Gerumpung itu kepadamu?"
“Dia bertanya apakah aku dapat
menambal hidung? Kujawab kalau aku dapat melakukan hal itu. Tetapi dengan
syarat bahwa hidung yang akan ditambal itu belum membusuk. Kalau sudah busuk,
aku tak sanggup."
“Lalu apakah hidungnya yang
terpapas hilang masih disimpannya?"
“Dia mengatakan kalau sudah
hilang. Kukatakan kepadanya bahwa aku sanggup membuat hidung palsu, tetapi dia
hanya mendengus dingin dan mengatakan sebuah cara yang ganas."
“Cara bagaimana ?"
“Dia hendak menangkap seorang
manusia, suruh aku pilih yang cocok untuk ditambatkan pada hidungnya."
“Adakah paman menolak ?"
“Memang aku menolak…” tetapi
sampai di sini wajah Li Kok-hoa tampak merah, katanya pula: “tetapi dia hendak
membunuh seluruh keluargaku. Karena terpaksa, akupun meluluskan."
“Karena sudah memutuskan
dengan cara itu, mengapa mereka masih mencari paman guruku di Busan dan
memindahkan hidungnya kepada orang itu?" tanya Gak Lui pula.
“Karena dia bertanya kepadaku,
berapa lamakah waktu yang kubutuhkan untuk pencangkokan hidung itu. Aku
mengatakan kalau memakan waktu lebih kurang tujuh hari. Rupanya dia terburu
buru sekali. Tak dapat menunggu lama. Akhirnya ia memutuskan membawa aku. Ia
hendak menyelesaikan suatu pekerjaan lain dulu baru nanti mengurus soal
pengobatan itu lagi."
“Bagaimana pengalaman
sepanjang jalan?"
“Mereka menutup kedua mataku
dan suruh si Hui-ting menggendong aku. Oleh karena itu aku tak dapat melihat
suatu apa kecuali mendengar suara kesiur angin dan gemercik air mendesir di
tanah pegunungan."
“Kemudian ?"
“Kemudian tiba di sebuah
gunung. Di situ kedatangan kami disambut oleh seseorang. Kain penutup mukakupun
dibuka. Kudapati diriku berada di sebuah gunung yang aneh. Gunung itu terdiri
dari duabelas puncak. Lapisan dalam enam puncak dan lapisan luar enam puncak.
Keadaan tampaknya berbahaya sekali ...."
“Benar, itulah tempat
persembunyian paman guruku di Busan. Lalu apakah paman dibawa masuk?"
“Tidak, kurasa saat itu aku
berada di tepi dari keenam puncak gunung itu."
“Lalu bagaimana gerak gerik
paman guruku ?"
Li Kok hoa kerutkan kening
mengenangkan peristiwa yang lampau itu, lalu menjawab: “Paman gurumu juga
mengenakan kerudung muka sehingga tak tampak bagaimana wajahnya. Saat itu
ketiga orang Kerudung Hitam dan muridku hianat si Hui-ting tidak berada di
situ. Mungkin mereka bersembunyi di balik batu karang. Hanya tinggal si Hidung
Gerumpung yang berhadapan dengan paman gurumu."
“Bicara apa sajakah mereka
itu?"
“Kuperhatikan kain kerudung
mereka bergerak-gerak tengah bicara tetapi sama sekali aku tak dapat mendengar
pembicaraan mereka."
“Paman, mereka telah
menggunakan ilmu Menyusup Suara yang tinggi. Sudah tentu paman tak dapat
menangkap pembicaraan mereka. Lalu ?"
“Lama juga mereka bicara.
Tampak keduanya tegang seperti orang yang sedang berdebat keras. Akhirnya
mereka sama2 menunjuk ke langit dan ke bumi seperti orang yang mengangkat
sumpah. Setelah itu baru putuslah pembicaraan mereka."
“Kemudian ....?"
“Tiba2 paman gurumu
mengulurkan tangan meminta pedang dari si Hidung Gerumpung. Setelah itu ia
memapas hidungnya sendiri...."
“Oh…..”
“Setelah itu paman gurumu
lemparkan pedang lalu lari menyusup ke dalam gerumbul di puncak gunung. Cepat2
akupun memungut batang hidung paman gurumu lalu kulekatkan pada hidung si Hidung
Gerumpung...."
Mendengar berita itu tahulah
sekarang Gak Lui mengapa paman gurunya si Lengan besi-hati baik tak punya
hidung sebaliknya Maharaja Persilatan Tio Bik-lui hidungnya utuh. Diam2 ia
terkejut sekali.
“Paman, orang yang engkau
obati hidungnya itulah musuhku besar. Dia adalah durjana nomor satu yang
membawa bencana pada dunia persilatan. Tetapi menilik keganasannya, mengapa
paman dapat lolos dari cengkeramannya? Dan mengapa rumahtangga paman tak
dibasmi ?"
“Ceritanya amat panjang,"
kata si tabib sakti Li Kok-hoa, “tak mudah kujaga jiwaku yang tua
ini.....," ia menghela napas lalu melanjutkan lagi, “Setelah kupasang
hidung baru padanya, kembali dia membawaku pergi dari Bu-san. Setiap hari aku
harus melumurkan obat pada hidungnya sehingga sampai sembuh benar2. Setelah
pekerjaanku berhasil maka aku menerima upah yang besar."
“Oh, apakah upahnya ?"
“Dia akan membunuhku supaya
aku tak membocorkan rahasia itu ...."
“Oh ...."
“Dalam keadaan terdesak
terpaksa akupun gunakan siasat untuk menggertaknya."
“Dengan mengatakan bahwa
apabila tak makan obat dari paman, hidungnya itu akan membusuk lagi ?"
tukas Gak Lui.
“Benar!" sahut Li Kok-hoa
tertawa masam, “bukan saja kukatakan begitu pun kubilang karena terburu2, obat
itu masih ketinggalan di rumah."
“Apakah paman tak takut
mengundang serigala ke dalam rumah? Apakah itu tiada bahaya?"
“Tidak! Kulihat dia banyak
sekali urusannya. Tak mungkin akan menyertai aku pulang. Tentu dia hanya
menyuruh si Hui-ting itu yang membawa aku. Dan Hui-ting itu sekalipun bukan
orang baik tetapi sekurang-kurangnya dia masih dapat diajak bicara."
“Kalau begitu, dia tentu mau
melepas paman dan melindungi paman dalam perjalanan itu?"
“Ah, dia bukan manusia sebaik
itu. Dia menetapkan untuk mengadakan perjanjian tukar menukar."
“Hm, dia tentu hendak meminta
resep pembuatan cairan racun penyurut tubuh."
“Ya, benar. Tak berapa lama
Hui-ting membawaku pergi. Dia segera menelanjangi kebohonganku kepada si Hidung
Gerumpung yang sudah kutambal hidungnya itu. Hui-ting sihianat itu mengajukan
tukar menukar. Dia bersedia melepaskan aku tetapi menghendaki resep pembuatan
racun penyurut tubuh. Dan lagi dia bilang, lebih baik aku jangan pulang membawa
keluarga menyingkir."
“Alasannya ?"
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Rumah tinggal dan desaku,
fihak lawan tak tahu. Hui-ting mengatakan asal aku menyembunyikan diri, dia
akan melaporkan kalau aku sudah dibunuh. Kemudian ia hendak menggunakan obat
palsu untuk menipu sibekas Hidung Gerumpung itu. Tetapi kalau aku pulang ke rumah
tentu akan ketahuan jejakku. Berbahaya bagi jiwaku, juga jiwa si Hui-ting itu
sendiri. Demi keselamatan anak isteri, aku terpaksa menerima perjanjian itu
...."
Berbicara sampai di situ,
tampak tabib sakti itu berduka sekali. Air matanya berderai-derai turun.
Siu-meypun ikut menangis terisak-isak.
Tangis dan air mata itu telah
membangkitkan gelora jiwa Gak Lui. Walaupun menderita kesengsaraan besar,
tetapi Li Kok-hoa itu masih dapat berjumpa dengan puterinya. Sedang dia sendiri
sudah sebatang kara. Ayah meninggal dan ibunya hilang tiada ketahuan jejaknya.
Penderitaannya lebih besar dari kedua ayah dan anak itu.
“Paman Li," akhirnya ia
menghibur tabib sakti itu, “peristiwa yang sudah lampau, biarlah lalu. Tak
perlu kita sesali lagi. Kurasa paman boleh pulang ke desa lagi."
“Ya, benar," seru Siu-mey
sambil menghapus airmata, “pulanglah yah, agar aku dapat merawatmu sampai di
hari tua ...."
“Tidak bisa," kata tabib
Li Kok-hoa, “saat ini aku belum dapat pergi."
“Mengapa ?"
“Gerombolan manusia ganas itu
benar2 telah menghancurkan nyaliku..."
“Yah, jangan takut. Aku dan
engkoh Lui dapat membasmi mereka."
“Kalau begitu, kutunggu
setelah kalian selesai melakukan pembalasan, baru aku pulang."
“Perlu apa? Sekarang juga bisa
pulang."
“Ah, tidak semudah itu. Sekian
banyak penderita sakit dalam lembah ini, harus kuatur dengan baik baru aku
dapat pergi dengan lapang hati..."
Terhadap watak ayahnya yang
suka menolong orang, memang Siu-mey sudah faham. Ia tak dapat berbuat apa2
lagi, kecuali berkata: “Yah, kalau engkau hendak tetap tinggal di sini akupun
tak dapat memaksa. Aku akan pergi bersama engkoh Lui dan cepat akan kembali
lagi ke sini. Setelah selesai melakukan pembalasan, kami berdua tentu cepat
akan mengambil ayah kemari."
“Baiklah, aku tetap akan tinggal
di sini," kata Li Kok-hoa lalu berpaling kepada Gak Lui, “bawalah Hi
Kiam-gim kemari. Tentang kerusakan wajahnya, aku yang akan mengobati sampai
sembuh."
Demikian dengan diantar oleh
Li Kok-hoa, Gak Lui dan Siu-mey keluar dari lembah itu. Di tengah jalan tiba2
Gak Lui teringat sesuatu. Anggauta Topeng Besi yang dibawa ke Ceng-sia itu
belum tentu dapat disembuhkan pikirannya yang limbung. Menilik kepandaian Li
Kok-hoa yang begitu sakti dalam ilmu pengobatan, mengapa ia tak meminta obat
kepadanya?
“Paman Li, apakah engkau
mempunyai obat untuk menyembuhkan orang yang hilang kesadaran pikirannya?"
cepat ia bertanya.
“Obatnya sih ada, tetapi entah
manjur atau tidak,” sahut sitabib sakti.
“O……”
“Karena penyakit itu tidak
sama berat ringannya. Maka ada bedanya sedikit. Kalau penyakit itu hanya baru
saja, sekali minum tentu sembuh. Tetapi penyakit itu makin lama diderita, makin
sukar pengobatannya dan obat itupun tak mudah memberi hasil."
Gak Lui segera menceritakan
tentang anggauta Topeng Besi yang sudah dibius selama delapan belas tahun.
Mendengar itu Li Kok hoa
kerutkan alis, menyahut: “Kalau dia sudah menderita selama delapan belas tahun,
berarti sudah seperti seorang mayat hidup. Sukar untuk diobati dan lebih baik
jangan menghamburkan itu dengan sia2 ...."
“Tetapi orang itu penting
sekali artinya. Harus dapat disembuhkan!"
“Ini.... berarti kuda mati
dianggap kuda hidup. Coba saja akan kuusahakan sekuat tenaga!" Si tabib
meluluskan lalu membawa kedua anak muda itu ke dalam kamar obatnya.
Ruang obat itu berdinding
lemari obat2an yang penuh dengan botol obat besar kecil. Jumlahnya tak
terhitung banyaknya.
Dengan ahli sekali Li Kok-hoa
cepat mengambil sebuah botol kecil, diberikan kepada Gak Lui. “Obat ini adalah
buatanku sendiri. Kuberi nama Kiu-coan-ting sin-tan. Khusus untuk mengobati
penyakit hilang ingatan. Cobakan saja kepadanya bagaimana nanti hasilnya."
Gak Lui mengaturkan terima
kasih lalu bersama Siu mey tinggalkan lembah itu. Dengan gunakan ilmu berlari
cepat mereka menuju ke gunung Ceng-sia-san. Ternyata Gak Lui masih mempunyai
pertanyaan yang hendak diajukan kepada Siu mey. Maka sambil berlari ia
bertanya: "Adik Mey, pukulan-sakti The Thay sudah membawa si Kerudung
Hitam ke Ceng-sia. Adakah ketua kelima partai persilatan sudah mengenalinya ?
Apakah sudah diketahui siapa orang itu ?"
"Adakah yang engkau
maksudkan orang sakit yang dibawa adik Hong lian itu ?"
"benar."
"Sudah dikenal dirinya.
Kalau kukatakan siapa orang itu engkau tentu akan melonjak kaget..."
"Siapa ?"
"Dia adalah tokoh nomor
satu dari perguruan Ceng-sia pay. Kalau dia tidak lenyap, tentulah kedudukan
pimpinan Ceng-sia-pay tak jatuh ditangan Thian Lok totiang ..."
"Oh ....," Gak Lui
terkejut dan gemetar. Cepat ia dapat menduga siapa orang itu. Dia bukan lain
yalah Thian Wat totiang. Dengan begitu jelas yang dibunuh Gak Lui itu yalah
paderi Hwat Gong dari perguruan Heng-san-pay, Hui wi dari perguruan
Siau-lim-pay dan imam Ceng Ci dari perguruan Bu tong-pay, serta Wi Cun imam
dari Kong tong-pay yang sungguh2 berhianat itu.
Tokoh2 terkemuka dari kelima
partai persilatan yang hilang itu, kecuali yang seorang, yang empat orang sudah
terbunuh semua. Ah, tindakan Gak Lui itu tentu akan menimbulkan reaksi yang
menyulitkan dirinya.
Setelah merenung beberapa
jenak, akhirnya ia berkata dalam hati : "Ah, dengan mendapatkan Thian Wat
totiang ini, sekurang kurangnya perguruan Ceng-sia-pay tentu takkan memenuhi
aku...."
Melihat pemuda itu diam saja,
Siu-mey segera menegur: "Engkoh Lui, kata2ku tadi hanya bergurau saja.
Masakan benar2 hendak menakuti engkau !"
"Apa ?" Gak Lui
tersentak kaget.
Siu-mey mencekal tangan sang
kekasih, serunya : "Jangan linglung begitu, bilanglah lekas !"
"Aku bukannya takut
melainkan memikirkan sesuatu ..."
"Soal di Ceng-sia
itu?"
"Benar, apakah Thian Wat
totiang itu sudah pulih kesadaran pikirannya ?"
"Sama sekali belum
!" sahut Siu-mey, "tokoh2 partai persilatan sudah berusaha
menyembuhkannya. Ada yang menggunakan tenaga dalam, ada yang pakai obat. Tetapi
sedikitpun tak berhasil. Sebaiknya nanti kita cobakan obat dari ayahku
itu."
"Lalu bagaimana dengan
keadaan barisan Thian-loto-ong-tin dari kelima partai persilatan itu?"
"Hebat sekali! Nanti
setiba di Ceng-sia engkau tentu mengetahui sendiri betapa kehebatan barisan
paderi dan imam itu."
"Kalau begitu, segenap
anggauta barisan itu sudah datang semua?"
"Ya, seluruh kaum
persilatan golongan Putih sudah datang lengkap. Kecuali tokoh2 dari Lima Partai
Persilatan, masih hadir pula kedua partai Pengemis dan Gelandangan, perguruan
Kiu-hoan-bun juga datang."
"Bagus !" seru Gak
Lui gembira dan memperhitungkan keadaan mereka tentu terjamin keselamatannya.
Dengan memiliki barisan itu tentu mudah menghadapi golongan hitam.
Mengenai Maharaja Tio Bik-lui
yang akan muncul, Gak Lui sudah siap. Lawannya itu tak tahu kalau pedang laknat
Thian lui-koay-kiam tak dapat dicabut dari warangannya. Maka Maharaja
Persilatan itu tetap takut.
Maharaja Persilatan Tio
Bik-iui sudah menyatakan tantangannya. Nanti sebulan lagi akan bertempur
digunung Im-leng-san. Jelas yang dianggap lawan berat oleh Maharaja itu
tentulah dirinya (Gak Lui).
Membayangkan hal itu, diam2
hati Gak Lui terhibur dan wajahnyapun berseri senyum.
Rupanya Siu-mey memperhatikan
perobahan air muka Gak Lui, dapat ia berseru : "Engkoh Lui, jangan engkau
pandang enteng persoalan itu. Paman The Thay dan adik Hiong lian masih
mempunyai sedikit kesulitan !"
"O, apakah partai2
persilatan itu hendak mencari mereka ?"
“Benar, partai2 persilatan itu
tahu bahwa Topeng Besi itu adalah tokoh kelas satu yang hilang. Kalau sekarang
Thian Wat totiang dari Ceng-sia-pay sudah kembali, sudah tentu mereka akan
mencari orang2nya yang hilang itu."
"Lalu bagaimana adik
Hong-lian menjawab mereka ?"
"Dia bilang kalau yang
lain sudah mati. Dan hal2 yang lain silahkan tanya kepadamu."
"Jawaban yang
tepat," kata Gak Lui, "mari kita percepat lari kita agar lekas tiba
disana."
Agar dapat mengimbangi larinya
ia menggandeng tangan Siu-mey. Dengan demikian dapatlah mereka berlari sama
cepatnya.
Saat itu mereka tiba disebuah
tanah datar yang luas. Empat penjuru penuh dengan belukar rumput. Ditengah
dataran itu tampak sebuah kuil kuno. Ketika terpisah seratusan tombak dari kuil
itu, tiba2 Gak Lui lambatkan larinya dan memandang kearah kuil itu.
"Engkoh Lui, adakah
engkau mencium bau manusia ?" tanya Siu-mey.
"Benar, rupanya disekitar
tempat ini terdapat sejumlah besar orang yang bersembunyi !"
"Apakah gerombolan kaki
tangan Maharaja?"
"Kemungkinan. Karena
baunya tak asing lagi."
“Lalu bagaimana tindakan kita?
Mau bunuh? Dengan kekuatan kita berdua, tentu dapat membunuh mereka
habis-habisan. Mau lari? Selagi mereka belum muncul, kita mengambil jalan
mengitar saja....."
Gak Lui menunduk lalu menjawab
dengan sepatah kata yang seram: “Bunuh .... Jika mereka benar kawanan anak buah
Maharaja, mereka tentu akan mengikuti perjalanan kita ke Ceng-sia. Dari pada di
sana menimbulkan kesulitan lebih baik sekarang saja kita basmi mereka agar
dapat menghemat tenaga !”
Mendengar itu Siu-mey segera
singsingkan lengan baju dan unjukkan sepasang ular emas: “Benar, mari kita
terjang ...."
“Tunggu !"
“Tunggu apa ?"
Gak Lui maju selangkah
berkata: “Membasmi kawanan jahat itu adalah urusanku. Engkau tak perlu ikut
campur. Lebih baik ..."
“Lebih baik bagaimana ?"
“Pergi ke gunung Ceng-sia-san saja."
“O, aku tahu," sahut
Siu-mey, “engkau anggap kepandaianku masih rendah sehingga takut kalau
mengganggu permainanmu dan menambah beban pikiranmu."
Memang demikianlah pikiran Gak
Lui. Namun kalau ia berterus terang, ia kuatir akan membuat nona itu mengambek.
Tetapi kalau tak bilang, ia kuatir nona itu akan mengganggu rencananya. Maka ia
menyahut dengan tak langsung: “Bukan karena takut engkau mengganggu sepak
terjangku. Tetapi menurut kenyataan, musuh sudah tahu jelas tentang
kepandaianku. Dan diapun takut terhadap pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Maka
kalau dia tak mengirimkan orang untuk menghadang, itu memang tepat. Namun kalau
dia masih berani mengirim anak buahnya untuk mengganggu aku, tentulah dia sudah
mempersiapkan rencana yang hebat. Oleh karena itu baiklah kita hati2.....”
“Ih .... ," Siu-mey
mendesis.
“Dan lagi Thian Wat totiang
dari Ceng-sia-pay itu merupakan tokoh penting. Banyak rahasia dari musuh yang
dapat tergali dari mulut paderi itu apabila dia dapat pulih kesadaran
pikirannya. Maka yang penting yalah mengobati penyakitnya itu, makin cepat
makin baik...."
“Maksudmu engkau hendak suruh
aku lekas-lekas bawa obat itu ke Ceng-sia ?" Siu-mey menegas.
“Setidak-tidaknya engkau
mengerti tentang ilmu pengobatan. Jauh lebih baik engkau yang membawa kesana
daripada aku."
“Hm, memang sesuai juga,"
akhirnya nona itu dapat ditundukkan. Dengan tertawa riang ia menerima tugas itu
dan meminta kepada Gak Lui supaya memberikan obat itu kepadanya.
Setelah menerima obat, sejenak
Siu-mey memandang ke arah kuil tua dan akhirnya beri pesan kepada Gak Lui
supaya berhati-hati jangan sampai terjebak siasat lawan.
“Jangan kuatir, aku dapat
menjaga diri," Gak Lui tertawa, “kuharap engkaupun harus berhati-hati dan
lekas menuju ke Ceng sia. Mungkin aku dapat menyusulmu dalam waktu
singkat."
Demikian Siu mey menuju ke
Ceng sia. Setelah nona itu lenyap dari pandang mata, barulah Gak Lui
perlahan-lahan melangkah menuju ke kuil tua.
Kuil itu sunyi sekali. Dinding
temboknya penuh ditumbuhi pakis (lumut) dan rotan. Kedua pintunyapun tertutup
rapat. Papan nama yang tergantung di atas pintu masih dapat dibaca 'Ping An Ko
Si ' atau kuil Keselamatan.
Tiba di pintu, diam2 Gak Lui
tertawa: “Sungguh suatu sindiran yang tepat sekali. Kuil Keselamatan.... tetapi
di dalamnya bersembunyi durjana2 persilatan yang ganas. Dan tempat pemujaan
yang suci ini akan berobah menjadi suatu neraka."
Gak Lui keliarkan pandang
matanya ke sekeliling lalu mendebur pintu keras2.
“Siapa !" terdengar derap
kaki orang orang berjalan keluar dan berseru.
Dari nada suaranya tahulah Gak
Lui bahwa yang berada dalam kuil itu seorang tua yang tak mengerti ilmu silat.
“Aku Gak Lui, karena kebetulan
lalu di sini hendak memberi hormat pada malaekat kuil ini."
“Ho, ho !" kedengaran
orang tua itu berseru pula, “pintu tak dikancing, silahkan masuk."
Gak Luipun mendorong dengan
sebuah jarinya dan benar juga, daun pintu itu segera terbuka. Tampak seorang
paderi tua berumur tujuhpuluhan tahun, rambut alisnya sudah putih, tegak
berdiri di belakang pintu, ia mengulurkan sebelah tangannya yang kurus sebagai
isyarat untuk mempersilahkan tetamunya masuk.
Tetapi Gak Lui tak mau segera
masuk. Ia memberi hormat: “Silahkan taysu berjalan dulu."
“Sicu hendak mempunyai
keperluan apa? Mengapa tak mau masuk ?" kata paderi tua itu. Sicu adalah
sebutan yang digunakan para paderi dan imam terhadap seorang tetamu yang belum
dikenal.
“Tak perlulah," kata Gak
Lui, “tolong taysu sampaikan saja, suruh orang2 yang bersembunyi di dalam itu
keluar berhadapan dengan aku !"
“Uh !" paderi itu berseru
kaget, “orang2 di dalam? Paderi yang manakah yang hendak engkau cari ?"
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Bukan paderi tetapi kawanan
penjahat yang mengancam pada taysu itu !"
“Kawanan penjahat? Tidak,
tidak! Di dalam kuil ini tiada orang, lebih2 kawanan penjahat !"
“Benarkah ?"
“Sudah ... tentu benar,"
wajah paderi itu agak berobah. Tangannya memegang pintu, “kalau sicu mau masuk,
aku tentu menyambut dengan gembira. Tetapi kalau sicu tak mau masuk, aku pun
tak .... memaksa dan terpaksa akan menutup daun pintu ...."
"Tunggu dulu !” seru Gak
Lui. "Taysu berkeras tak mengaku beradanya kawanan penjahat dalam kuil ini
dan tak mau menyampaikan pesanku kepada mereka ?"
Paderi tua itu gelengkan
kepala: "Kuil ini benar2 tiada orang luar dan akupun tak menerima ancaman
apa2. Tak peduli engkau hendak bertanya dengan cara apa, aku tetap menjawab
begitu !”
Gak Lui curiga tetapi ia tak
mau turun tangan terhadap seorang paderi tua yang tak mengerti ilmu silat.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengganti caranya bertanya dengan pertanyaan
semacam menyelidiki : "Kalau begitu, mohon tanya taysu. Apakah kedudukan
taysu dalam kuil ini ?"
"Ini .... ini
......," rupanya paderi itu tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam
itu sehingga ia tersekat-sekat tak dapat menyahut apa yang ditanyakan melainkan
memperkenalkan diri: "Aku ... bergelar Beng Gwat."
"Dengan kedudukan ?”
"Sebagai .... sebagai ...
Ti-khek-ceng ...."
Ti-khek-ceng yalah paderi yang
bertugas menyambut tetamu.
“Ti-khek ceng ?"
"Ya, benar, benar, aku
adalah Ti-khek-ceng, bertugas untuk menyambut setiap tetamu yang datang kekuil
ini ...."
"Beng Gwat hong tiang,
jangan engkau bermain sandiwara! Salah sebuah pantangan dari kaum agama yalah
tidak boleh BOHONG ! Mengapa engkau melanggar pantangan itu ?"
Merah muka paderi tua itu
seketika. Setelah menenangkan semangat ia tetap berkeras : "benar, memang
aku adalah hong-tiang dikuil ini. Lain2 hal aku tak membohongimu ...."
Hong-tiang yalah kepala
pengurus sebuah gereja, biara atau kuil.
"Karena hong-tiang tetap
berkukuh, terpaksa aku akan bicara dengan terus terang untuk membuka
kebohonganmu."
"Silahkan .... apa
salahku ?"
"Pertama, pintu tertutup
jelas mengandung kecurigaan. Tak ingin dilihat orang luar. Kedua, sebagai
seorang hong-tiang engkau membuka pintu sendiri. Jelas kalau engkau tentu
mendapat ancaman orang. Dengan kedua bukti itu, cukuplah untuk menyatakan
kebohonganmu !"
"Ini .... ini......"
karena telah ditelanjangi, paderi tua itu tak dapat bicara lagi. Tubuhnya gemetar.
Gak Lui kasihan pada paderi
tua itu. Buru2 ia menghiburnya: "Ah, tak perlu hongtiang ketakutan. Karena
aku datang kemari, tentu akan berusaha untuk menyelamatkan kuil ini. Jangan
takut hongtiang, aku takkan merembet dirimu."
"Sungguh ?" paderi
tua itu menegas, "mereka mengatakan engkau ini seorang algojo besar dalam
dunia persilatan. Begitu melihat orang tentu akan membunuh. Apakah engkau
takkan membunuh paderi2 dalam kuil ini ?"
"Harap hongtiang suka
renungkan. Kalau aku hendak membunuh masakan aku mau bicara begini lama dengan
engkau ? Aku tak mau mengotorkan tempat suci ini maka kumohon taysu suka
menyampaikan kepada mereka agar mereka keluar menerima kematiannya."
"O," Beng Gwat taysu
mendesuh. Kini ia mengerti maksud anak muda itu. Ia menyurut mundur dua
langkah, lalu berpaling kebelakang hendak memanggil orang.
Tetapi tepat pada saat ia
berpaling kebelakang, tiga sosok tubuh melesat keluar dari dalam ruangan besar.
Mereka tegak berjajar dimuka pintu.
Gak Lui tenang2 saja memandang
ketiga pendatang itu. Cepat ia dapat mengenali mereka. Yang berdiri ditengah,
paderi lama dari Segak (Tibet). Kepalanya gundul, muka merah, tubuh gagah
perkasa. Tangannya memegang tongkat Hang mo-kim-go atau tongkat penunduk iblis.
Yang disebelah kiri seorang
imam. Kepalanya memakai kopiah sembilan segi, jenggot menjulai turun menutup
dada, sepasang mata berkilat-kilat tajam dan mencekal sebatang pedang
Liat-yan-kiam atau pedang Asap-panas, jelas seorang imam yang berkepandaian
tinggi.
Sedangkan yang berdiri disebelah
kanan, seorang lelaki pertengahan umur yang aneh. Mukanya mirip seekor
orangutan, lengan panjang, kaki pandak. Tangan mencekal sebatang tongkat
Lan-gin-pang atau tongkat Perak-hancur. Beratnya tak kurang dari seratusan
kati. Seorang yang memiliki tenaga kuat sekali.
Puas memandang ketiga lawan,
diam2 Gak Lui terkejut. Selain memiliki kepandaian tinggi, ketiga orang itu
membekal senjata berat. Jelas tujuannya tentu hendak menghadapi pedang
pusakanya.
Dari hal itu saja dapatlah
diketahui bahwa lawan sudah mengadakan persiapan yang sempurna. Dengan
menghadang ditengah jalan itu, apabila ia (Gak Lui) mati terbunuh; dengan
sendirinya pertempuran di gunung Im-leng-san nanti tentu akan batal dengan
kemenangan difihak Maharaja Tio Bik-lui.
Paderi muka merah hendak
membuka mulut tetapi didahului Gak Lui: "Kalau mau bicara, silahkan ke
halaman luar. Jangan mengganggu ketenangan tempat suci ini !"
Secepat bicara, secepat itu
pula Gak Lui sudah melesat keluar, dia berdiri dihalaman.
Gerakan ketiga orang bukan kepalang
hebatnya. Dengan bersuit aneh, mereka serempak loncat ke hadapan Gak Lui. Dan
serempak dengan suitan itu, dari empat penjuru, muncul berpuluh-puluh orang
dengan menghunus pedang.
“Apakah kalian sudah lengkap
semua ?" seru Gak Lui dengan tenang.
Sambil menudingkan tongkat
Penakluk-iblis, paderi muka merah itu berseru menggeledek: “Sudah lenglap semua
...."
“Bagus, lekas beritahukan
namamu untuk menerima kematian ....!"
“Heh, heh! Ha, ha, ha,
ha!" paderi muka merah itu tertawa marah dan menghambur tertawa aneh yang
dilambari dengan tenaga-dalam. Lalu menggembor keras: “Budak, kabarnya engkau
sombong sekali tak pernah memandang mata kepada orang. Apa yang kusaksikan saat
ini, memang benar !"
Sejak bertempur dengan Kaisar
Persilatan, Gak Lui dapat menyelami tentang rahasia penting dalam pertempuran.
Yalah tak boleh cepat2 marah kepada lawan. Maka ia hanya tertawa dingin dan
menyahut: “Kusuruh kalian laporkan nama bukan ingin mendengarkan kalian
merintih dan melolong seperti anjing begitu. Perlu apa kalian bertingkah
seperti itu?"
Mendengar ejekan itu meluaplah
kemarahan si paderi muka merah. Urat2 dahinya melingkar-lingkar mengantar
gemboran dahsyat: “Kalau kuberitahu namaku, engkau tentu akan melonjak kaget.
Maka bersiap siaplah untuk berdiri tegak ....”
“Kakiku masih kuat berdiri,
tak perlu engkau jual gertakan !"
“Aku adalah Hang-mo ceng atau
paderi penakluk iblis dari Segak, bergelar Thong Leng.”
“Dan siapakah kedua makhluk
yang lain itu?”
Pertanyaan Gak Lui benar2
membuat si imam tua dan siorang aneh yang berdiri di samping paderi muka merah
itu seperti orang kebakaran jenggot. Baru kedua orang itu hendak membuka mulut,
Gak Lui sudah menunjuk kepada paderi muka merah, serunya: “Engkau lebih tinggi
kedudukanmu, engkau saja yang bicara !"
“Totiang ini bergelar Siau Yau
tojin, tokoh dari gunung Thian-bok, ilmu kepandaiannya amat tinggi.”
“Cukup! Siapa yang satunya
!" cepat Gak Lui menukas.
“Dia adalah Dewa-lengan-sakti
Nyo Beng. Berasal dari gunung Tiang-pek-san, mahir menggunakan tongkat timah-hancur,
di dalam dunia tiada tandingan ...."
“Cukup! Dia menggunakan
tongkat, aku sudah mengetahui sendiri, tak perlu engkau terangkan."
Karena omongannya selalu
diputus oleh Gak Lui, paderi muka merah itu merah padam mukanya. Tubuhnya
menggigil keras sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Adalah Dewa-lengan-sakti Nyo
Beng yang berasal dari luar perbatasan, karena pengalamannya tentang dunia
persilatan Tiong goan kurang luas, tak kenal siapa Gak Lui itu. Matanya
berkilat2 tajam memandang wajah Gak Lui yang mengenakan kedok muka itu, lalu
berseru : “Budak, menilik umurmu, apakah engkau ini benar2 Gak Lui sendiri
?"
Gak Lui mengangguk. Serempak
dengan itu si imam Siau Yau tojinpun tertawa menyeringai: “Benar, memang budak
inilah si Gak Lui. Ketika di istana Lok-ong-kiong tempo hari kulihat sendiri
dia pontang panting melarikan diri dari serangan pedang Maharaja!"
Gak Lui menyahut dingin, “O,
diantara kawanan anjing yang mengeroyok aku di Lok-ong-kiong tempo hari,
terdapat engkau juga ?"
“Benar, aku memang hadir di
situ dan melihat engkau menjadi setan gentayangan yang dikejar pedang !"
sahut Siau Yau tojin yang dapat menahan kemarahannya.
Gak Lui maju setengah langkah,
tertawa: “Kalau begitu engkau tentu tahu bagaimana nasib dari ketiga algojo
Maharaja dan ketiga Siluman dari Goha darah itu, bukan?"
“Mereka binasa ditanganmu,
akupun tahu juga!"
“Lalu mengapa engkau masih
berani datang kemari? Apakah engkau tak tahu apa yang disebut kematian
itu?" seru Gak Lui.
“Ini .... aku sudah mengerti.
Oleh karena itu aku mengundang beberapa tokoh berilmu untuk membasmimu, agar di
kelak kemudian hari tak menimbulkan bahaya."
“Berapa jumlah orangmu yang
datang ?"
“Semua jago2 istana Lak
ong-kiong serta tokoh2 dari tiga bukit lima gunung. Semua berjumlah sembilanpuluh
sembilan orang !"
“Hai, belum banyak, seratus
saja masih kurang satu. Tetapi ....," tiba2 Gak Lui hentikan kata-katanya
sejenak, lalu berkata lagi, “tetapi yang kulihat di empat penjuru hanya
sembilanpuluh tujuh orang, lalu ke mana yang dua orang?"
”Rupanya engkau menaruh
perhatian besar kepada kedua orang itu. Akan kuberitahukan nama mereka tetapi
di mana mereka saat ini berada, nanti engkau akan tahu sendiri !"
“Katakanlah !"
“Yang seorang yalah
Penghitung-besi Ci Tong-lay, dia yang seorang Nyonyah pelebur-tulang Tan
Jui-hong. Engkau pasti sudah mendengar nama mereka.....”
Bab 30. Laut Darah Gunung
Mayat
“O...,” Gak Lui mendesuh
kejut. Ia memang pernah mendengar kedua tokoh itu.
Penghitung-besi seorang ahli
siasat. Seorang durjana yang sukar dihadapi. Barisan pengepung saat itu,
kemungkinan tentu dia yang merencanakan. Sedang orangnya sendiri mungkin masih
bersembunyi di sekitar tempat situ, belum mau unjuk diri.
Sedang Wanita-pelebur-tulang
itu, seorang iblis wanita yang terkemuka. Selain kepandaiannya sakti pun ilmu
hitam yang cabul. Kabarnya belum pernah ia gagal mendapatkan lelaki yang
disukai.
Dari sembilanpuluh sembilan
jago2 golongan Hitam, dapatlah diketahui betapa besar kekuatan mereka. Dan
rupanya mereka telah mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghadapi Gak Lui.
Merenungkan hal itu diam2 hati
Gak Lui bercekat. Bukan karena takut menghadapi begitu banyak musuh, melainkan
karena tak sampai hati untuk melakukan pertumpahan darah. Biang keladi dan
musuh besarnya yalah Maharaja Persilatan Tio Bik-lui. Mengapa harus meminta
korban jiwa sekian banyak orang?
Memikir pada hal itu, diam2
nafsu pembunuhan dalam hati Gak Luipun reda. Segera ia berseru dengan nada
serius kepada ketiga lawannya : “Baik, tak peduli kalian berjumlah berapa
banyak tetapi pokoknya kalian telah menerima perintah Maharaja. Di antara
kalian memang sudah banyak yang berlumuran darah, tetapi Buddha bersabda:
‘lepaskan golok penjagal dan lekas kembali ke jalan terang'. Dengan itikad
baik, aku bersedia melepas kalian tetapi ada syaratnya."
“Bagaimana ?" imam Siau
Yau menegas dengan wajah dingin.
“Harus bersumpah agar
bertaubat takkan melakukan kejahatan lagi. Dengan perbuatan menebus kejahatan
yang lalu !"
“Oh, sederhana sekali syarat
itu !"
“Menerima atau tidak terserah.
Ini kesempatan terakhir yang kuberikan !"
“Heh, heh, heh, Heh,"
imam itu terawa mengekeh seraya memandang ke langit. Serempak dengan itu, dari
empat penjuru kawanan jago2 golongan Hitam berpindah langkah menghampiri
ketengah barisan. Setiap deret terdiri dari sembilan orang. Mereka membentuk
diri dalam formasi barisan yang rapat dan ketat sekali.
Setelah barisan tersusun rapi,
barulah imam Siau Yau berhenti tertawa. Dengan wajah membesi, ia berseru :
"Budak she Gak, tak kira kalau seorang pembunuh ganas seperti engkau,
dapat juga mengucap soal budi kebaikan. Ketahuilah, kami sembilanpuluh sembilan
orang ini telah bersumpah sehidup-semati untuk mencincang tubuhmu !”
"Hm, apakah benar2 kalian
hendak melepaskan peringatanku yang terakhir ?" seru Gak Lui.
"Heh, heh ! Tempo hari
Maharaja pernah mengeluarkan perintah supaya menangkapmu hidup-hidup. Tetapi
sekarang boleh dibunuh mati. Apa yang engkau ocehkan kesempatan terakhir itu ?
Ho, engkau sendirilah yang wajib hati2 ....”
Habis berkata orang itu terus
mengangkat pedangnya Pedang-bara-panas. Sinar berkilat memancar tajam, kawanan
jago2 itupun segera menghunus senjatanya masing2.
Dalam detik2 yang tegang itu,
diam2 Gak Lui menghela napas. Ia sesalkan orang2 yang sudah mata gelap sehingga
tak mau mendengar peringatannya.
"Ah, terpaksa aku harus
melakukan pembunuhan ganas. Untung Siu-mey mau mendengar kata dan pergi lebih
dulu sehingga takkan melihat pemandangan yang ngeri ini....." pikirnya.
Setelah perasaannya tenang, ia
segera mencabut pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam dibahu. Tetapi tepat pada
saat itu sesosok tubuh melesat keluar diantara berpuluh-puluh orang. Gak Lui
memandangnya dan menduga bahwa yang muncul itu tentu si Wanita-pelebur-tulang.
Selain amat cantik, pun tubuh wanita itu tampak menonjol memantul perangsang
yang besar, lebih merangsang atau sexy dari pada gadis2 muda.
Begitu muncul wanita itu
dengan genit memandang kedua belah fihak. Siau Yau totiang, pudar sinar
pembunuhan pada wajahnya. Bahkan Gak Luipun tergetar hatinya, hatinya mendebur
keras.
"Ah, nyonya sudah pulang
!" seru imam jahat itu dengan perlahan.
"Ya....." sahut
wanita genit itu dengan nada menggerincing seperti seruling.
Kembali hati Gak Lui seperti
kena aliran listrik dan bergetar keras. Diam2 ia menyadari bahwa wanita genit
itu memiliki tenaga-dalam yang amat kuat sekali.
Setelah sejenak
berbatuk-batuk, imam jahat Siau Yau itu berseru pula : "Adakah nyonya
sudah berhasil ?"
"Ya, seorang budak
perempuan kecil, masakan harus menggunakan banyak tenaga!" sahut wanita
genit itu.
Mendengar itu tergetarlah hati
Gak Lui, pikirnya: "Apakah Siu-mey yang ditangkapnya?"
Dengan mata berkilat-kilat ia
menatap wanita genit itu. Pun tepat pada saat itu siwanita genit pun
memandangnya, kemudian berseru: "Gak sauhiap, kawanmu gadis itu telah
kutangkap. Sengaja kuberitahu hal itu kepadamu."
"Hm, apakah engkau hendak
menjadikan gadis itu seorang sandera untuk menekan aku ?"
"Ah, mengapa begitu getas
?" seru wanita itu dengan tertawa genit, sedikitpun tak marah mendengar
suara Gak Lui yang kaku.
"Orang she Gak !"
tiba2 si imam Siau Yau menyelutuk, "hari ini kami menghendaki jiwamu dan
tak perlu segala sandera. Penangkapan atas diri budak perempuan itu yalah untuk
mencegah agar dia jangan melapor ke Ceng sia. Mengerti ?"
Mendengar keterangan itu,
cepat2 wanita genit berputar tubuh, menghadapi Gak Lui lalu gunakan ilmu
Menyusup-suara berkata: "Gak sauhiap, jangan pedulikan dia ! Kuambil nona
itu tak lain karena aku berunding dengan engkau mengenai beberapa hal..."
"Tentang apa?" Gak
Luipun merobah nadanya. "Kuminta kita berdua bekerja sama."
"Kerja sama ?” Gak Lui
menegas.
"Ya, apabila engkau mau
meluluskan Dunia persilatan harus tunduk kepadaku ... kita berdua."
Gak Lui terkejut. Diam2 ia
memaki wanita itu. Lalu dengan nada bengis ia menyahut.
“Aku tak mempunyai keinginan
akan hal itu. Jangan engkau mimpi yang bukan2."
"Tetapi dalam usahamu
untuk membunuh si Maharaja, aku bersedia membantumu. Apakah syarat ini tak
perlu engkau pertimbangkan ?"
Walaupun tekadnya sudah bulat
untuk membalas dendam kepada si Maharaja Persilatan, namun Gak Lui tetap muak
terhadap wanita genit itu. Lebih2 ia sudah marah atas siasat yang dilakukan
wanita genit itu terhadap Siu-mey.
Rupanya wanita genit itu dapat
membaca isi hati Gak Lui. Dengan tertawa genit ia berseru pula : “Sauhiap,
kalau engkau tak mau kerja sama, aku hendak minta kepadamu saling tukar
menukar.”
"Tukar menukar apa?"
"Jiwa dari gadis yang
amat berharga bagimu serta keadaan dari Maharaja, akan kuberikan kepadamu dan engkau
memberikan pedang Thian-lui-koay-kiam itu kepadaku !"
"Ini.....” Gak Lui tak
dapat melanjutkan kata2nya. Ia marah tetapi iapun memikirkan keselamatan Siu
mey yang ditawan siwanita genit.
"Jangan gelisah, sauhiap.
Tak perlu saat ini engkau jawab tetapi bolehlah engkau pertimbangkan dulu.
Sebagai tanda dari kesungguhan hatiku, nanti dalam pertempuran ini engkau harus
memperhatikan bagian yang kosong orangnya !"
Habis berkata, wanita genit
itupun lalu berpaling kearah Siau Yau tojin, paderi Penakluk iblis dan si
Dewa-kera bertiga, serunya : "Apakah kalian menghendaki aku yang
mengepalai barisan atau suruh aku disamping mengawasi budak perempuan itu
?"
Ketiga orang itu melihat jelas
bagaimana tadi sewaktu berhadapan dengan Gak Lui, wanita genit itu bergerak
gerak bibirnya seperti bicara dengan ilmu Menyusup-suara. Tetapi oleh karena
terpengaruh oleh kecantikan si Wanita-pelebur tulang, ketiga orang itu pun tak
berani mencurigainya.
Pertanyaan wanita cantik itu
laksana hamburan air zamzam yang menyegarkan semangat. Serempak ketiga orang
itupun menyahut: "Harap nyonya menyaksikan disamping saja. Biarlah kami
yang memberesi budak lelaki itu !"
"Baik, kudoakan kalian
menang!" wanita genit itupun melesat pergi. Tatapi sebelum pergi masih ia
diam2 melirik kepada Gak Lui.
"Lihat senjataku!"
seru paderi Penakluk-iblis secepat wanita genit itu berlalu.
Gerakan paderi itu segera
diikuti oleh imam Siau Yau dan Dewa kera. Dengan senjatanya yang aneh2, ketiga
orang itu segera menyerang Gak Lui dari atas, tengah dan bawah.
Tetapi Gak Lui sudah siap.
Dam2 ia sudah kerahkan tenaga-dalam untuk melindungi tubuh. Tangan kiri
diangkat untuk menghantam, tangan kanan siap mengayun pedang
Thian-lui-koay-kiam.
Demikian pertempuran segera
meletus. Angin menderu-deru dahsyat dan tubuh keempat orang itupun berlincahan
amat pesat.
Tetapi beberapa saat kemudian,
tiba2 paderi Penakluk iblis menggerung keras dan hendak melarikan diri.
"Hai, hendak lari kemana
engkau !" teriak Gak Lui seraya hendak mengejar. Tetapi sebelum ia sempat
bergerak, seluruh barisan dari jago2 golongan Hitam itupun memekik dengan
serempak. Pekikan dari hampir seratus orang jago2 silat yang berkepandaian
tinggi, benar2 seperti gempa bumi yang menggoncangkan gunung.
Bahkan Gak Lui sendiripun
menderita kesakitan pada telinganya. Perhatiannya terganggu dan gerakannyapun
menderita akibat, lebih lamban.
Sebuah kelompok dari sembilan
orang melesat keluar dari barisan. Seketika Gak Lui rasakan kakinya goncang dan
hampir terdorong mundur.
Tetapi tanpa berpaling kepala,
Gak Lui balikkan tangan kiri. Kemudian iapun menghamburkan pekikan yang
dahsyat. Tangan kiri yang menyusup kedalam ketiak, tiba2 melancarkan pukulan
Algojo dunia kearah kesembilan jago2 Hitam itu.
"Bum, bum, bum !"
Pukulan itu menimbulkan dering
keras sekali pada sembilan senjata aneh dari jago2 itu. Cepat mereka menyiak
kesamping dan melesat mundur. Tetapi secepat mereka lenyap, kelompok sembilan
orang yang lainnya, menerobos dari sudut lain dan terus menyerang Gak Lui.
Melihat musuh hendak gunakan
siasat bertempur secara bergilir untuk memeras tenaganya, Gak Luipun tak mau
terpancing. Ia segara berhenti dan tegak berdiri dengan lintangkan pedang di
muka dada. Matanya memandang tajam kesekeliling.
Segera tampak hampir seratus
orang bergerak dan berpindah pindah macam bintang jatuh. Mereka bergerak cepat
dan ruwet sehingga sukar diketahui mata rantai pertahanannya. Tetapi dalam
gerak dan perobahan bentuk yang bagaimana pun juga, formasi mereka tetap tiap
kelompok berisi sembilan orang.
"Hm, silahkan kalian
bergerak, aku akan tetap menunggu ....," pikir Gak Lui. Tangan kiri
menjulur melindungi dada, tangan kanan mengangkat pedang keatas kepala, siap
untuk menyerang.
Setelah pertempuran dimulai,
imam Sau Yau dan kawan2 tak mau bicara apa2 lagi. Dengan wajah serius mereka
terus memimpin gerak langkah barisannya. Karena tegangnya, sampai mereka tak
mengetahui bahwa sebenarnya saat itu Gak Lui sudah berhenti dan tegak bersiap.
Mereka tetap bergerak-gerak dengan senjata terhunus. Kesembilan kelompok
barisan itu bergerak maju mundur, berpindah tempat dengan cepat dan rapi,
sehingga sukar diketemukan rantai barisan yang kosong.
Memang boleh dikata, anggauta
barisan itu terdiri dari jago2 yang berilmu tinggi. Tak ada seorangpun yang
lemah. Gabungan jago2 sakti yang dipersatukan dalam sebuah barisan, dapat
dibayangkan bagaimana hebatnya. Betapa sakti seseorang tentu sukar untuk
menghadapi serangan dahsyat dari sekian banyak lawan.
Pada lain saat, Gak Lui
mendapat pikiran. Segera ia bergerak dalam tata-langkah Ni-coan-ngo-heng yang
istimewa, menyusup kedalam barisan.
Pada saat Gak Lui hampir
mendekati barisan, jurus2 gerakan barisan itupun hampir selesai. Tetapi paderi
Penakluk-iblis tak menghiraukan. Ia mengandalkan jumlah orangnya yang lebih
besar. Begitu Gak Lui tiba, tigapuluh enam anggauta barisan serempak kerahkan
tenaga-dalam dan Bum... bum.....
Dalam kepul debu yang tebal,
tampak empat orang anggauta barisan terlempar empat tombak jauhnya dan terkapar
tak dapat berkutik lagi di-tanah !
Tetapi Gak Lui sendiri juga
merasa sesak dadanya. Setelah menghela napas, ia rasakan tangannya agak linu.
Saat itu ia menyadari bahwa dengan gunakan tenaga untuk adu kekerasan, ia masih
dapat menghadapi mereka.
Kini ia makin mantap. Segera
ia ayunkan tangan dengan kecepatan yang luar biasa, ia terbang menyusup kedalam
barisan musuh. Tangan kiri memancarkan ilmu tenaga-dalam menyedot tenaga musuh
lalu dipancarkan keluar dari ujung pedang.
Dengan menggunakan ilmu
'Pinjam tenaga' itu, dapatlah Gak Lui merobah suasana yang berbahaya menjadi
reda. Setelah dapat melintasi tiga lapis kelompok barisan, difihak musuh telah
jatuh enam tujuh orang lagi.
Tetapi imam Siau Yau rupanya
tetap gigih dan tak mau mengalah. Apabila seorang anggauta barisan yang didepan
rubuh, maka dari belakang tentu cepat maju mengganti. Dengan begitu barisan
tetap rapat. Begitu pula suara gemboran yang dapat meruntuhkan nyali orang itu
makin lama pun makin menggemparkan. Pekik rintihan macam setan menangis,
membuat hati seperti disayat ....
Demikian didataran gunung yang
sepi pada malam tiada berbintang, telah berlangsung pertempuran berdarah.
Korban berjatuhan, mayat bergelimpangan dan darahpun berkubangan.....
Tigaratus jurus kemudian, Gak
Lui sudah berhasil melintasi berpuluh lapis kelompok. Tubuhnya mandi keringat,
napas terengah engah.
Walaupun banyak korban yang
jatuh namun fihak musuh masih mempunyai enampuluh lebih anggauta barisan.
Paderi Penakluk iblis, Dewa Kera dan imam Siau Yau tetap bertempur mati-matian.
"Celaka !" diam2 Gak
Lui mengeluh, "apabila pertempuran tetap dilanjutkan dengan cara begini,
tentulah kedua belah fihak akan menderita. Barisan ini tak ubah seperti
bayangan. Kemana aku pergi, mereka tentu mengikuti. Ah, aku harus berusaha
untuk lolos ...."
Dalam pada menimang itu, Gak
Lui tetap mainkan jurusnya dengan gencar. Tetapi berbagai jurus telah
dimainkan, tetap ia tak dapat lolos dari libatan musuh.
Dia makin terkejut dan mulai
gelisah. Tiba2 ia teringat akan pesan melalui ilmu Menyusup suara dari
Wanita-pelebur-tulang. Ya, wanita genit itu mengatakan apabila bertempur harus
memperhatikan tempat yang tiada orangnya. "Tentulah hal itu, bukan tempat
seperti kuil Ho ping si ini tetapi tentu dilain tempat ..."
Ia memandang kemuka dan
kesekeliling penjuru. Tiba2 matanya tertumbuk pada gerumbul pohon yang tak
berapa jumlahnya. Sebagian sudah rubuh, sebagian masih bergoncang-goncang
terdera sambaran angin pukulan jago2 dalam barisan itu. Diperhatikannya bahwa
diantara gerumbul pohon itu ada sebatang pohon yang paling besar, puncaknya
amat tinggi dan lebat daunnya.
"Adakah ciri2 kelemahan
itu terdapat pada batang pohon itu ....?" diam2 Gak Lui menimang.
Setelah mengundurkan empat
kelompok barisan musuh, cepat ia gunakan gerak Rajawali-rentang sayap, melayang
ke bawah pohon besar itu.
Tepat pada saat itu, paderi
Penakluk-iblis menghambur gemboran keras dan menggerak-gerakkan senjatanya.
Seketika terdengarlah dering gemerincing logam keras yang menggema diseluruh
penjuru.
"Ho, kalian hendak
mengacau telingaku?" diam2 Gak Lui mendamprat paderi itu. Ia curiga atas
tingkah laku paderi itu maka iapun segera pusatkan perhatian untuk menangkap
setiap suara yang akan muncul.
Dengan kecermatan telinganya
yang tajam, akhirnya ia berhasil menangkap suara bunyi bergerakan, macam jari memainkan
alat swipoa.
"O, kiranya si Penghitung
besi itu tengah duduk diatas dahan pohon untuk memberi perintah kepada barisan.
Karena kurang teliti, aku telah dapat dikelabuhinya !" tiba2 Gak Lui
tersadar.
Kini tahulah ia bagaimana
untuk membobolkan barisan musuh. Sekali melambung, ia melayang keatas pohon,
memijak sebuah dahan, ia enjot tubuhnya melambung keatas dahan dipuncak.
Melihat Gak Lui hendak
menyerangnya, Penghitung-besi Ci Tong-lay gugup. Cepat ia mainkan alat
swipoanya. Seketika berhamburan biji2 swipoa itu kearah kepala Gak Lui.
"Bagus!" seru Gak
Lui seraya menangkis dengan pedang dan tetap melambung keatas.
Melihat anak muda itu tetap
melayang keatas, Penghitung-besi terkejut bukan kepalang sehingga kakinya
menyurut mundur, hampir tergelincir jatuh.
Buru2 ia bergeliatan untuk
menegakkan keseimbangan tubuhnya. Tetapi pada lain saat terpaksa ia harus
menangkis hantaman senjata aneh dari pemuda itu. Tring, tring... tubuh
Penghitung-besi miring, tangannya linu dan darah dalam tubuhnya bergolak keras.
Dalam pada itu dengan cepat
Gak Lui melayang keatas dahan dan mencari tempat untuk berdiri. Saat itu
keduanya hanya terpisah pada jarak satu tombak. Masing2 mengerahkan tenaga
dalam, siap untuk melakukan pertempuran mati matian.
Imam Siau Yau dan barisannya
saat itu mengerumuni pohon. Mereka memandang keatas dengan gelisah. Mau
menyusul ke puncak pohon, sukar mendapat tempat dan tak mungkin dapat
mengeroyok. Kalau tinggal diam saja dibawah pohon Penghitung-besi tentu
terancam jiwanya. Walaupun kepandaiannya tinggi, tetapi tetap kalah kalau
berhadapan satu lawan satu dengan Gak Lui.
Rupanya perasaan kawan
kawannya yang berada dibawah pohon itu sama dengan perasaan Penghitung-besi.
Seorang diri tanpa bantuan, ia sudah merasa putus asa dan ketakutan. Tetapi
karena tak dapat berbuat lagi, terpaksa ia harus berjuang mati2an. Dengan
menggerung keras, ia segera hamburkan alat swi-poanya. Biji2 swipoa dari bahan
besi yang sebesar telur ayam segera melanda lawan.
Tetapi Gak Lui sudah siap.
Pada saat lawan menggembor, iapun bersuit tajam. Suitan itu tiba2 timbul
peristiwa yang aneh. Biji2 swipoa yang dihamburkan Penghitung-besi itu, bukan
saja tak dapat memancar, pun jalannya makin lama makin perlahan dan akhirnya
berhenti diudara.
Ternyata tenaga dalam Algojo-dunia
yang dilancarkan Gak Lui itu jauh lebih kuat dari tenaga-dalam lawannya
sehingga taburan biji2 swipoa itu macet di tengah jalan.
Penghitung-besi terkejut. Ia
hendak melayang turun kebawah tetapi terlambat. Sekali Gak Lui dorongkan
telapak tangannya, biji2 swipoa itupun melayang kembali kepada pemiliknya.
Terdengar jeritan ngeri dan sesosok tubuhpun melayang jatuh dari puncak pohon
itu.
Tubuh Penghitung-besi itu
telah tertembus beberapa biji swipoa. Dia terkena senjatanya sendiri. Ketika
jatuh ditanah, nyawanyapun sudah melayang.
Kawan-kawannya yang
mengelilingi dibawah pohon, terkejut sekali menyaksikan pemandangan sengeri
itu. Mereka serempak mundur.
Suasana makin tegang. Tiba2
Gak Lui meluncur dari atas pohon, dua kali ia gerakkan pedang dan pukulan,
beberapa anggauta barisan lawan menjerit rubuh.
Imam Siau-Yau, paderi
Penakluk-iblis dan anak buah Maharaja itu serasa terbang semangatnya. Keadaan
barisan mereka mulai panic. Untunglah imam Siau Yau cepat menyadari bahwa
dengan cara bertempur seperti tadi, mereka berhasil mengepung Gak Lui. Meskipun
Penghitung-besi sudah terbunuh, tetapi kekuatan barisan itu masih cukup besar,
ia harus cepat2 menyusun barisan lagi untuk mengepung pemuda itu.
Cepat ia mengatasi keadaan dan
menyusup pula barisan. Dipadang belantara pegunungan yang sepi, kembali
berlangsung pertempuran dahsyat. Tetapi ibarat ular kehilangan kepala, dengan
hilangnya Penghitung-besi, komando barisanpun lenyap dan barisan kehilangan
pula pimpinan. Betapapun berpuluh puluh kelompok jago2 Hitam itu hendak
berjuang, namun gerak mereka tak lancar dan selalu dapat didesak Gak Lui.
Beberapa saat kemudian
terdengar jerit orang dari beberapa anggauta barisan yang rubuh berhamburan
darah. Kemana Gak Lui menerjang, di situ tentu meninggalkan korban. Walaupun ia
banyak menghamburkan tenaga-dalam tetapi kemenangan sudah terbayang didepan
mata.
Berpuluh jurus kemudian hampir
barisan itu sudah berantakan, hanya tinggal paderi Penakluk-iblis bersama
sembilan kawannya yang masih bertahan mati-matian.
Gak Lui memperhatikan bahwa
beberapa orang yang masih nekad bertempur itu sudah kehabisan tenaga. Hal itu
dapat dilihat dari gerak tangan serta kaki mereka yang sudah lamban.
Gak Lui kerahkan sisa
tenaganya. Ia mainkan pedang pusaka Thian-lui-koay kiam dan pukulan tangan
kiri. Bum .... terdengar letusan keras dan debu mengepul tebal. Ketika kepulan
debu lenyap, ditanah terkapar malang melintang sosok2 mayat dari paderi
Penakluk-iblis, Dewa Kera, imam Siau Yau dan kawan-kawannya ....
Tetapi Gak Lui sendiripun
lelah sekali, ia telah tumpahkan seluruh tenaganya. Ia memutuskan untuk mencari
Wanita-pelebur tulang dan meminta Siu-mey. Tetapi lebih dulu ia hendak
beristirahat memulihkan tenaganya.
Demikian ketika ia duduk
bersemedhi memusatkan seluruh pikiranya tiba2 sebuah tangan yang halus lunak
telah mengelus-elus bahunya. Serempak bau yang amat harum berhamburan menyerang
hidungnya.
Gak Lui terkejut dan membuka
mata. Ah, kiranya si wanita genit Pelebur tulang yang dengan menyungging senyum
memikat, tengah lekatkan tangannya yang halus runcing ke bahunya.
"Gak sauhiap, engkau
menang. Sekarang tentulah engkau dapat meluluskan syaratku itu, bukan ?"
serunya dengan suara merdu merayu.
Ternyata ketika Gak Lui tengah
mengosongkan pikiran terbenam dalam semedhi, diam2 wanita genit itu menyelinap
keluar dan lekatkan tangannya pada jalan darah dibahu Gak Lui. Gak Lui tak
dapat berkutik lagi. Ia terkejut dan cepat2 siapkan tenaga dalam Algojo-dunia.
Asal wanita itu pancarkan tenaga dalam untuk menghancurkan bahunya, iapun sudah
siap untuk mengembalikan.
Tetapi ternyata wanita genit
itu hanya tertawa: "Mengapa sauhiap diam saja ? Permintaanku itu layak
sekali. Masakan engkau tak mau meluluskan?"
Sambil mencekal pedang
Thian-lui-koay-kiam dengan kedua tangannya, Gak Lui menjawab dingin :
"Lepaskan dulu tanganmu agar kita bicara dengan leluasa !"
"Baik," seru wanita
genit itu. Dengan agak ragu2 ia segera menarik pulang tangannya, "Kurasa
engkau seorang cerdik. Dalam soal sekecil itu tentu dapat memberi keputusan yang
tepat!"
Gak Lui memperhatikan setiap
gerak gerik wanita itu. Dari pandang matanya yang begitu menginginkan sekali
akan pedang Thian-lui-koay-kiam dan sikapnya yang maju mundur hendak mencelakai
dirinya, tahulah Gak lui bahwa wanita itu memang takut kepada pedang Thian lui
koay-kiam. Karena itu dalam saat2 terakhir, wanita itupun memperlunak sikapnya
dan membatalkan niatnya hendak mencelakai.
"Lepaskan Siu-mey baru
nanti kita berunding lagi," kata Gak Lui setelah mengetahui kelemahan
orang.
Wanita genit itu tertawa
mengikik : "Kalau begitu artinya engkau setuju usulku untuk membentuk
persekutuan bersama menguasai dunia persilatan ?"
"Aku tak mempunyai niat
begitu !"
"Kalau begitu engkau
bersedia meminjamkan pedang Thian-lui-koay-kiam itu kepadaku?"
"Pusaka perguruan, lebih
tak dapat diberikan kepada orang !"
Kedua permintaannya ditolak,
tawa wanita genit berobah seram: "Kalau kedua permintaanku itu engkau
tolak lalu dengan barang apa engkau hendak menukar Siu-mey ?"
"Dengan jiwamu akan
kutukarnya!" kata Gak Lui dengan nada bengis.
"Ha, ha, ha, ha ....
," wanita genit itu tertawa lebar, "sauhiap, harap jangan memandang
keliwat rendah kepadaku ... ha, ha, ha, ha ...."
"Hai, engkau hendak unjuk
permainan apa itu? Adakah engkau mampu melebihi kekuatan barisan imam Siau Yau
yang terdiri dari sembilanpuluh delapan jago Hitam itu ?"
"Sudah tentu tidak
!"
"Lalu apa modalmu ?"
"Kuberitahu dengan terus
terang. Siu-mey telah kukuasai dengan ilmu penutuk istimewa. Dan saat ini
kusimpan dalam sebuah tempat rahasia. Kalau engkau melukai aku, diapun akan
mati juga!"
"Heh, heh," Gak Lui
tertawa mengejek, "engkau dapat menguasai, aku mampu membebaskannya. Dan
apakah engkau benar2 tak takut akan ilmu kepandaian perguruanku?"
Wanita genit itu terbeliak.
Tetapi cepat ia dapat menguasai ketenangan hatinya dan berkata pula:
"Oh, tak kira semuda itu
usia sauhiap, tetapi cara tindakanmu begitu ganas. Sekarang coba engkau jawab,
bagaimanakah artinya kata2 'Seorang ksatrya dapat membedakan budi dan dendam'.
Apakah engkau anggap kata2 itu salah ?"
"Sudah tentu benar
!"
"Itulah ! Diantara kita
tiada dendam permusuhan dan lagi dalam pertempuran tadi aku telah
membantumu."
"Engkau maksudkan soal
kata-kataku mengenai Siu-mey itu ?"
"Benar, itupun salah
satu."
"Bagaimana kejadiannya ?”
"Barisan bersembunyi yang
kami adakan kali ini, benar2 ketat sekali. Dan kawanmu itu menuju Ceng-sia,
Jika tak kuhalangi tentu lain orang yang akan merintanginya!"
"Hm ..."
"Dan lagi apabila tak
kusembunyikannya di-tempat jauh, tentu akan jatuh kedalam tangan kawanan imam
Siau Yau itu. Mereka telah mendapat perintah untuk membasmi habis-habisan.
Taruh kata engkau dapat lolos, gadis itu tentu tak mungkin terhindar dari
kematian."
Tergetar juga hati Gak Lui.
Diam2 ia mengakui kata2 wanita genit itu memang benar. Lalu katanya :
"Kalau begitu, engkau memberitahukan tempat bersembunyinya Penghitung-besi
itu juga engkau anggap sebagai sebuah jasa ?"
"Sudah tentu
begitu," sahut siwanita genit, "selain itu akupun dapat
memberitahukan tempat beradanya si Maharaja. Soal itu tentu lebih berguna
kepadamu."
"Kalau begitu silahkan
bicara terus terang !"
Wanita genit tertawa riang :
"Bicara sih tak jadi halangan. Tetapi ... engkau belum mengatakan janjimu
yang tegas !"
Gak Lui merenung, ujarnya: "Sebelum
aku berjanji, hendak kutanyakan sebuah soal kepadamu."
"Silahkan."
"Sebagai anak buah si
Maharaja, engkau hendak membocorkan rencana Maharaja dan menghendaki
kematiannya. Kecuali ingin merajai dunia persilatan, alasan apakah maka engkau
melakukan hal itu?"
"Ini ... ini .... alasan
untuk merajai dunia persilatan, apakah belum cukup ..." jawab wanita genit
itu sambil mainkan matanya yang bagus.
"Orang sebagai dirimu,
tak mungkin hanya berdasarkan alasan yang begitu sederhana. Lebih baik engkau
katakan dengan terus terang."
Wanita genit itu menggigit
bibir mengicupkan ekor mata lalu menghela napas panjang: "Terus, terang
saja kukatakan bahwa Maharaja itu dengan aku ... memang mempunyai hubungan
erat.”
"Hm."
"Tetapi setelah bergaul
lama sekali, kuanggap dia seorang yang licin, tak boleh dipercaya..”
"Mengapa ?"
"Dia dapat mempelajari
ilmu Suitan-pengikat-jiwa dan Jari-maut Kiu-im-coat-yang dari aliran Bu-kau
yang sudah lama lenyap. Tetapi dia tak mau mengajarkan kedua ilmu itu kepadaku.
Dari situ jelas . , .. dia memang tidak jujur, Kelak mungkin dapat ....
dapat….”
"Dapat meninggalkan
engkau, bukan ?” tukas Gak Lui.
"Ya."
"Apakah engkau amat
sayang kepadanya ?"
“Tidak ! Tidak !" wanita
genit itu menolak getas, "aku tak mencintainya dan lagi aku memang tak
suka dipermainkan orang. Peribahasa mengatakan "Yang turun tangan lebih
dulu tentu menjadi kuat". Benar tidak ?"
"Mengapa engkau begitu
bernafsu sekali hendak mempelajari ilmu dari aliran Bu-kau itu?"
"Kalau dapat mempelajari
ilmu itu, sudah tentu besar sekali gunanya. Kalau engkau mau bersekutu, akan
kuberitahukan tentang rahasia keistimewaan dari ilmu itu."
"Hm, kiranya ilmu yang
digunakan Maharaja untuk melenyapkan kesadaran pikiran orang itu disebut
Jari-maut Kiu-im-coat-yang. Kini aku baru tahu. Dan wanita itu sebagai isteri
si Maharaja, ternyata juga sangat bernafsu sekali untuk mempelajari ilmu sakti
dari aliran Bu-kau itu. Tujuan hendak menguasai dunia persilatan. Kedua suami
isteri benar2 merupakan penjahat dan pelacur!" diam2 Gak Lui menimang.
"Sauhiap rasanya
pertanyaanmu tentu sudah cukup. Lalu bagaimana keputusanmu ?" tanya wanita
genit itu pula.
Sambil mengangkat kepala,
berkatalah Gak Lui dengan tegas: "Janjiku sederhana sekali. Asal engkau
mau melepaskan pikiranmu untuk menguasai dunia persilatan dan kembali kejalan
yang terang, kali ini aku tentu rela melepaskanmu dan takkan menuntut
perbuatanmu yang lalu."
"Ih...," wanita
genit itu melongo, "kalau begitu jelas engkau tak mau meluluskan
perjanjian itu dan tak mau pula meminjamkan pedang...."
"Kerjasama, jelas tak
mungkin. Maharaja biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya. Dan engkaupun
tak perlu meminjam pedang ini."
"Apakah itu jawabanmu
yang terakhir ?"
"Ya."
"Apakah engkau tak dapat
mempertimbangkan lagi…."
"Tak perlu ! Lekas
bebaskan Siu-mey dan kita tak saling menganggu."
Melihat keputusan pemuda itu
tak dapat dirobah lagi, mata wanita genit itu berkilat-kilat. Tiba2 ia tertawa
lalu menghela napas : "Baiklah, engkau tak mau menuntut perbuatanku yang
lalu dan mau memberi jalan hidup, itupun sudah cukup baik. Sekarang silahkan
ikut aku untuk menolong kawan seperjalananmu itu."
Melihat gerak gerik wanita
genit itu, timbullah kecurigaan Gak Lui. Tetapi karena mengandalkan
kepandaiannya, ia segera menerima. Demikian keduanya segera tinggalkan tempat
itu. Kira2 sepeminum teh lamanya, tibalah mereka disebuah kobong, yalah tempat
pembakaran genteng dan batu merah. Keadaan tempat kobong itu sudah amat rusak.
Begitu tiba dimuka pintu, siwanita genit berkata : "Gak sauhiap, temanmu
itu berada didalam. Silahkan engkau masuk !"
Gak Lui tak mau buru2 masuk,
melainkan menggunakan alat hidungnya yang tajam. Benar juga, ia memang dapat
mencium bau tubuh Siu-mey.
"Tak perlu engkau curiga.
Aku yang jalan di muka dan engkau ikut di belakangku," seru wanita genit
itu pula seraya terus ayunkan langkah masuk kedalamnya lebih dulu, Gak Luipun
segera mengikuti.
Semula Gak Lui mengira kalau
tempat kobong itu tentu kosong tetapi ternyata didalamnya penuh dengan tumpukan
batu merah. Sepintas pandang, mirip sebuah barisan.
Setelah membiluk beberapa
kali, tibalah keduanya ditengah ruang. Tiba2 wanita genit menjerit ngeri. Gak
Lui cepat loncat keatas tumpukan batu merah. Dilihatnya wanita itu gemetar
seperti orang kalap.
"Mengapa ?" seru Gak
Lui.
Dengan gemetar wanita itu
menyahut; "Ular...ular .... ular ....!"
"Ular ?" Gak Lui
mengulang kejut. Pikirannya segera menduga-duga apakah ular milik Siu-mey itu
telah lepas.
Kembali terdengar wanita itu
mendesuh dan tubuhnya gemetar keras lalu tiba2 mengejang dan rubuh kebelakang.
Melihat itu Gak Lui cepat
loncat turun dan hendak menolong. Tetapi pada saat ia membungkukkan tubuh
hendak memeriksa keadaan wanita itu, tiba2 wanita itu secepat kilat gerakkan
kedua tangannya menutuk jalan darah dada Gak Lui.
Gak Lui terkejut tapi tak
keburu menghindar. Diam2 ia kerahkan tenaga dalam untuk menerima tutukan. Crek
... tubuhnya condong kebelakang. Dengan menurutkan tutukan itu, Gak Lui
melenting kebelakang.
Tetapi ternyata wanita genit
itu memang sudah siapkan rencana. Begitu Gak Lui terlempar kebelakang, cepat ia
mencabut sapu tangan terus dikebutkan kemuka pemuda itu. Karena jalan darahnya
tertutuk, gerakan Gak Luipun lambat. Ia mencium bau wangi yang aneh dan
berbangkis. Tetapi makin banyak ia menyedot bau harum itu, iapun
terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah lalu jatuh terduduk ditanah. Ia
hendak meronta, namun tenaganya sudah lunglai.
Wanita genit itu tertawa
mengikik. Dengan mata yang genit ia berbangkit memandang Gak Lui.
"Budak kecil, engkau
hebat sekali dapat menerima dua kali tutukanku. Justeru hal itulah yang
menyenangkan hatiku, ... hi, hi, hi..." wanita genit tertawa mengikik
Gak Lui terengah-engah. Ia
berusaha hendak menyalurkan tenaga-murni tetapi apabila darah melancar keperut,
ia rasakan nafsunya menggelora hebat. Kaki dan tenaganya makin melentuk. Ia
tetap tak dapat berbangkit.
"Ha, ha!" kembali
wanita genit itu tertawa girang, "engkau masih tak mau menyerah dan tetap
ngotot hendak melawan? Coba hendak kulihat sampai berapa lama engkau mampu
bertahan ......" sambil berkata ia ayunkan langkah menghampiri pemuda itu.
Gak Lui bingung. Dalam pandang
matanya, wanita genit itu berobah menjadi seorang wanita yang amat cantik
sekali. Kalau ia tak dapat mengatasi, tentu akan dicelakai wanita itu.
Diam2 Gak Lui lekatkan telapak
tangannya ketanah untuk menyalurkan tenaga-dalam Algojo-dunia. Matanya tak
lepas memandang tajam ke-arah wanita.
Wanita Pelebur-tulang memang
seorang wanita yang berpengalaman. Melihat sinar mata pemuda itu memancar
kemarahan, ia sengaja bergeliatan tubuh dan berseru genit: "Jangan kuatir,
budak kecil. Aku takkan memaksa orang yang kesusahan dan tak mau merayu orang.
Aku inginkan engkau sendiri hilang kesabaran dan datang mengantar diri ....
kulihat saat ini engkau masih dapat bertahan .... kita begini saja dulu, sampai
ada yang menyerah !"
Habis berkata wanita genit
itupun duduk bersila pada jarak satu meter dari tempat Gak Lui sambil menatap
pemuda itu lekat2.
Satu meter adalah jarak yang
dekat. Sekalipun tak bicara dan tak bergerak tetapi bau harum dari tubuh wanita
itu, benar2 membaur kehidung Gak Lui, bagaikan aliran listrik yang menggetarkan
debur jantungnya dan menggelorakan nafsu....
Gak Lui hampir akan hentikan
usahanya menjalankan peredaran darah. Asal ia ulurkan tangan tentu segera dapat
meraih wanita genit itu kedalam pelukannya.
Ia berjuang mati-matian untuk
menahan gejolak nafsu dan bisikan iblis. Sekujur tubuhnya sampai mandi keringat
dan gemetar keras. Dan akhirnya ia tak kuat lagi bertahan...
Segera ia ulurkan tangan
hendak meraih wanita itu. Tetapi baru saja tangannya yang gemetar itu bergerak
tetapi serangkum angin dingin meniup tangannya. Ternyata tenaga dalam
Algojo-dunia itu masih belum reda dayanya. Seketika ia seperti diguyur angin
dingin.
"Berbahaya sekali !
Hampir saja aku termakan siasat hina dari wanita cabul itu dan melakukan
perbuatan yang memalukan...” ia menggerutu. Segera ia lekatkan tangannya
ketanah. Begitu wanita genit itu lengah, ia segera menampar perutnya sendiri.
Tamparan itu telah menghapus gejolak nafsunya dan semangatnyapun timbul pula.
Kini ia berhasil mengembalikan penyaluran tenaga-dalamnya. Asal ia sudah dapat
mengeluarkan racun-nafsu, tentulah tenaga murninya pulih. Tetapi ia kuatir,
waktu yang dibutuhkan itu akan terganggu oleh tindakan wanita genit itu. Karena
dalam keadaan saat itu, ia masih dikuasai wanita Pelebur-tulang.
Difihak wanita Pelebur-tulang
yang banyak pengalaman itupun sudah memperhitungkan bahwa Gak Lui tentu tak
tahan. Akhirnya pemuda itu akan menyerahkan diri untuk memuaskan nafsunya.
Membayangkan hal itu, tubuhnyapun meregang-regang dan nafsunya membinal.
Pada waktu melihat Gak Lui
mengangkat tangan dan keringatnya mengucur deras, diam2 ia sudah bergirang
dalam hati : "Hm, akhirnya engkau tentu tak tahan, marilah kemari.....”
Tetapi ternyata pemuda itu
hentikan gerak tangannya. Suatu hal yang membuat wanita itu benar2 heran. Ia
tak percaya pemuda itu dapat menolak daya obat perangsang nafsu. Sebentar lagi
tentu pemuda itu sudah menyerah kedalam pelukannya.
"Baik, makin engkau kuat
bertahan, makin bagus. Akupun tak terburu-buru dan akan menunggu sampai engkau
datang meminta sendiri. Saat itu barulah akan kuisap tenaga- murnimu ...."
wanita cabul itu menimang-nimang.
Demikian keduanya tenggelam
dalam keheningan. Yang satu berjuang terus untuk mengembalikan pengerahan
tenaga-murninya. Yang lain sedang melamun akan kenikmatan yang akan diperoleh
dari pemuda itu. Kedua-duanya sama2 menunggu.
Tak berapa lama sepeminum
tehpun telah lalu. Penyaluran tenaga-dalam yang dilakukan Gak Lui sedang
mencapai pada tingkat penyatuan. Racun perangsang-nafsu telah dapat didesak
sampai kelengannya. Sebentar lagi, ya sebentar lagi tentu sudah selesai.
Tetapi rupanya wanita genit
itulah yang tak sabar. Tiba2 ia bergeliat bangun. Melihat itu Gak Lui mengeluh
tetapi tak berani berbuat apa2. Karena sedikit saja ia melakukan gerakan,
tenaga-murninya tentu akan berhamburan binal dan ia tentu akan lumpuh,
kehilangan seluruh ilmu kepandaiannya.
Saat itu wanita genit telah
melekatkan kedua tangannya yang halus ke bahu Gak Lui.
"Celaka !" karana
tak dapat menghindar, Gak Luipun mengeluh. Dan karena gemetar, pedang
Thian-lui-koay-kiam yang tersanggul pada bahunya tersentuh tangan siwanita
genit.
Wanita Pelabur tulang itu
bukan wanita lemah. Ilmu silatnyapun tinggi. Cepat ia mendekap pedang pusaka
itu : "Hai, apakah ini bukan pedang Thian-lui-koay-kiam ?"
Membayangkan pedang itu
merupakan pusaka yang jarang terdapat dalam dunia persilatan, nafsu wanita
itupun turun. Cepat ia hendak melolos pedang itu, terus loncat mundur setombak
jauhnya dan memeriksa pedang itu dengan wajah berseri gembira...
Walaupun pedang itu telah
diambil siwanita genit namun Gak Lui tak mau terkecoh. Asal ia segera pulih
kembali tenaga-murninya, mudah sekali untuk merebut kembali pedang itu. Ia
tetap pejamkan mata dan pusatkan seluruh perhatiannya.
Wanita Pelebur-tulang tak
memperhatikan keadaan Gak Lui. Sambil mencekal pedang itu dengan kedua
tangannya ia memeriksa dengan teliti. Batang pedang yang terbungkus lekat
dengan lahar itu, dikiranya adalah kerangka pedang. Begitu pula tangkainya,
juga terbungkus dengan sutera. Tak usah seperti pedang yang kebanyakan.
"Aneh, mengapa pedang
yang begitu termasyhur mempunyai kerangka yang begini aneh dan juga dibungkus
dengan sutera. Kalau digunakan bukankah tak leluasa sekali ?" pikir wanita
itu.
Ia hendak mencoba pedang itu
maka cepat ia mencabut batang pedang itu dari kerangkanya. Tetapi : "Huh,
mengapa tak dapat dicabut ?"
Wanita itu terkejut dan heran
sekali. Dengan ilmu kepandaiannya, masakan ia tak mampu mencabut sebatang
pedang saja ! Ia penasaran, kerahkan tenaga dan mencabutnya lagi. Uh ....
pedang Thian-lui-koay-kiam tetap melekat pada kerangkanya.
"Setan, aku tak percaya
kalau tak mampu mencabut...." ia mencekal pedang ditangan kiri lalu
mencabut sekuat kuatnya dengan tangan kanan. Krek, krek…tali sutera yang
tergantung pada tangkai pedang itupun putus berhamburan jatuh.
Gak Lui terkejut tetapi karena
ia sedang dalam keadaan tegang, ia hanya merasa bingung tetapi tak dapat
membuka suara.
Benar jugalah. Setelah merobek
suteranya, wanita itu mencengkeram tangkai pedang dan tiba2 ia seperti
kerasukan setan. Sepasang matanya yang bening seketika berobah seperti setan
yang haus darah. Kedua pipinya yang merah, pun memancar sinar darah. Wanita itu
telah tercengkeram dalam tenaga-sakti pedang Thian-lui-koay-kiam. Dari seorang
wanita yang cantik saat itu telah berobah menjadi seorang wanita haus darah.
Tampak mata wanita itu
berkilat-kilat memandang kesekeliling. Segera pandang matanya tertumbuk pada
Gak Lui. Saat itu tangan Gak Lui pun mulai diangkat keatas. Keringat panas
berderai2 mengucur dari telapak tangan. Keringat yang mengandung racun
perangsang nafsu ....
"Bunuh…!"
Memekiklah mulut wanita itu
laksana seekor singa betina. Dan pedang Thian lui koay-kiampun segera diayunkan
kearah kepala Gak Lui yang saat itu masih tercengkam dalam usahanya untuk
menyalurkan keluar racun perangsang-nafsu.
Tepat pada saat pedang hanya
kurang beberapa belas senti dari kepala Gak Lui, pemuda itupun beruntung telah
dapat mengucurkan keringat racun yang terakhir. Cepat ia gerakkan tangan kiri,
pancarkan tenaga-dalam-penyedot kearah ujung pedang.
Wanita genit itu terkejut
ketika dapatkan ujung pedang condong kesamping dan pada lain saat terus
dicengkeram tangan Gak Lui.
"Bunuh, bunuh !"
demikian yang terisi pada benak wanita genit itu. Cepat ia memegang pedang itu
dengan kedua tangannya lalu dengan sepenuh tenaga ia menyabat pemuda itu.
Saat itu Gak Lui masih duduk
ditanah tetapi tenaga-murninya sudah pulih. Jika mau adu kekerasan, wanita itu
tentu hancur. Tetapi ia masih membutuhkan keterangan wanita itu tentang keadaan
si Maharaja. Ia harus menangkap wanita itu hidup2.
Cepat ia keraskan
tenaga-dalam-penyedot sehingga wanita genit itu terseret maju dan begitu dekat,
Gak-Lui segera menyongsong dengan tangan kanan yang dilambari dengan
tenaga-dalam Algojo dunia. Bum... terdengar jeritan ngeri dari si wanita genit.
Ia lepaskan kedua tangan dan tubuhnyapun terlempar sampai beberapa meter,
bruk.... membentur tumpukan batu merah. Batu merah berguguran menimpa wanita
itu sehingga teruruk.
Karena tumpukan batu merah itu
ambruk maka terbukalah sebuah tempat kosong dan serempak tampaklah sebuah
tangan yang halus, bersinar keemasan.
Melihat itu girang Gak Lui
bukan kepalang. Ya, tak salah lagi, tangan bersinar emas itu adalah tangan
Siu-mey yang memakai gelang ular. Cepat ia lari menghampiri dan memeluknya.
Ternyata jalan darah nona itu telah tertutup oleh tutukan jari. Cepat Gak Lui
salurkan tenaga dalam untuk menolongnya.
Beberapa saat kemudian Siu-mey
tersadar. Begitu melihat keadaan dalam tempat itu, ia berseru : "Hai,
mengapa aku berada disini. Mana wanita cantik itu....."
"Yang engkau maksudkan
tentulah wanita Pelebur-tulang itulah," kata Gak Lui.
"Mungkin benar,"
kata Siu-mey, "dia mengatakan datang dari gunung Ceng-sia dan akan
menemani aku mengundang beberapa tokoh sakti. Setelah itu lalu
menyongsongmu."
"Engkau ditipu ! Wanita
itu bukan saja tak datang dari Ceng-sia, pun dia itu gerombolan musuh yang
bersembunyi dikuil Ho-ping si itu. Tujuan menangkapmu yalah untuk ditukarkan
dengan pedang Thian-lui koay-kiam."
"O," Siu-mey
mendesuh, wajahnya tersipu merah, "makanya ketika aku berputar diri tiba2
kurasakan punggungku kesemutan dan saat itu aku tak tahu apa yang terjadi lagi.
Kiranya wanita busuk itu menggunakan tipu siasat untuk mencelakai diriku. Lalu
dimanakah wanita itu ?"
"Dia sudah terpendam
dalam tumpukan batu merah yang ambruk itu," Gak Lui menunjuk pada tumpukan
merah yang menggunduk tinggi.
"Bagus, aku harus membuat
perhitungan dengan dia !" seru Siu mey seraya terus loncat ketempat gunduk
batu merah itu. Ia hendak membalas dendam kepada siwanita genit.
Gak Lui buru2 mencegahnya.
Lalu ia gunakan tenaga-dalam-penyedot menghantam gunduk batu merah itu.
Beberapa batu merah segera berhamburan mencelat keatas. Setelah batu merah itu
tersisih kesamping, tampaklah tubuh siwanita genit terkapar ditanah. Wajahnya
pucat lesi, pakaian dan mulutnya berlumuran darah ....
Gak Lui menyadari bahwa wanita
itu tentu menderita luka parah akibat hantaman tenaga dalam Algojo-dunia yang
dilancarkan tadi. Cepat ia menghampiri dan memberi saluran tenaga-dalam.
Tak berapa lama kemudian,
pendarahan wanita itupun berhenti. Dengan napas terengah-engah, ia dapat
sadarkan diri.
Pertama-tama ia melihat
Siu-mey dan Gak Lui menjaga disampingnya. Iapun coba untuk mengerahkan
tenaga-dalam tetapi ah.... ia menyadari kalau menderita luka parah sekali dan
tentu sudah mati kalau tak disaluri tenaga-murni Gak Lui.
"Terima kasih….aku tak
mempunyai maksud membunuh orang ….harap kalian...memaafkan ..." katanya
tersekat-sekat.
Kalau teringat bagaimana
wanita itu gunakan racun perangsang-nafsu, Gak Lui memang masih mendongkol.
Tetapi menilik bahwa wanita itu tak mencelakai Siu-mey. Gak Lui agak lunak
hati. Ia mengangguk ! "Asal engkau sudah menyesal dan sadar, kami tentu
memaafkan."
"Sungguh ....?”
"Orang yang sudah
menyadari kesalahannya, itu sudah kembali kejalan benar."
"Ah….kalian ... memang
baik .... aku sungguh .... menyesal.... sayang .... terlambat ...." wanita
genit itu katupkan mata dan mengucurkan air mata.
Gak Lui dapatkan napas wanita
itu makin lemah. Buru2 ia tambahkan tenaga-dalamnya. Dan wanita itupun kembali
dapat menghela napas pula, ujarnya tersekat: "Sauhiap, harap dengarkan
baik2…..aku… kukatakan tentang Maharaja……”
"Silahkan," Gak Lui
mengangguk.
"Saat ini dia berada
digunung im-leng-san...giat mempelajari... ilmu pedang….sebelum pertemuan di
Ceng-sia ... dia takkan muncul....”
"O, apakah ilmu pedangnya
hebat sekali ?"
"Gunung
Im-leng-san...merupakan tempat....pusat hawa dingin Im han...dapat membantu
peyakinannya... sauhiap, kalau kesana .... harap berhati-hati...."
"Apa yang harus dijaga
?" Siu-mey menyelutuk.
"Masuk ke gunung itu
....harus berjalan ....sebelah selatan menyingkiri api...jangan keliru berjalan
di sebelah .... utara....."
"Tadi engkau mengatakan
sebelum pertemuan di Ceng-sia, dia tak mau unjuk diri. Lalu siapakah yang akan
bertemu dengan dia itu ?" tanya Siu-mey pula.
"Itu ... itu....."
rupanya wanita itu sudah tak bertenaga lagi sehingga mengucap dua patah kata
saja sukar tampaknya, ia pejamkan mata, kepala melentuk dan putuslah
jiwanya....
"Siapa orang itu ? Lekas
kasih tahu.... hai, bangunlah...bangunlah...!" Siu-mey berulang-ulang
mengguncang bahu wanita itu namun wanita itu sudah meninggal dunia.
"Tak perlu ditanya, dia
sudah meninggal," akhirnya Gak Lui menarik pulang tangannya.
Siu-mey menghela napas.
Keduanya lalu mengubur mayat wanita itu. Setelah itu keduanya menuju kegunung
Ceng sia-san.