Pedang Kunang Kunang Bab 26-30

Baca Cersil Mandarin Online: Pedang Kunang Kunang Bab 26-30
Pedang Kunang Kunang Bab 26-30

Bab 26. Hidung gerumpung.

Sekonyong-konyong dari tengah gunung terdengar suara gemboran yang dahsyat: “Hai, siapakah yang membuat gaduh itu.....!"

“Lim Ih-hun, lekas unjuk diri, jangan banyak bicara !" teriak Gak Lui.

Mendengar disebutnya nama itu, rupanya orang yang menggembor itu terkejut dan diam sampai beberapa saat. Tetapi pada lain saat terdengar pula ia berseru: “Siapakah engkau? Lekas beritahukan namamu!”

“Aku Gak Lui !"

“Siapa ?"

“Gak Lui !"

“O," orang itu berhenti sejenak lalu tertawa geram: ”Ha, ha, ha, ha, ha ... engkau juga datang hendak.... ha, ha, ha, ha !"

Gak Lui makin marah. Ingin ia menghantam hancur istana Bi-kiong itu. Tetapi baru tangan hendak dijulurkan, tiba2 terdengar ledakan batu karang. Seketika merekahlah sebuah lubang setinggi tiga tombak. Kedua pintu yang beratnya sepuluh ribu kati itupun segera menggelincir ke kanan dan ke kiri.

Pada lain saat terdengar Lengan-besi-hati baik Lim Ih-hun berseru: “Gak Lui, dengarkanlah yang jelas! Sejak duapuluh tahun ini tak pernah ada orang yang dapat masuk ke dalam Telaga-petir ini. Tetapi hari ini engkau dapat, boleh dianggap memang sudah takdir alam. Karena itu kuijinkan engkau ...."

“Bagaimana ?"

“Engkau boleh keluar dari gunung. Lekas kembalilah !" serunya.

“Heh, heh," Gak Lui tertawa mengejek, “itukah itikadmu yang baik ?"

“Orang jahat tentu memberi pelajaran jahat. Biarlah lain orang yang membunuhmu dan tak perlu aku harus melanggar pantanganku membunuh orang !"

“Melanggar pantangan? Ha, ha, ha, ha..” Gak Lui tertawa nyaring lalu dengan gerak langkah yang istimewa ia berputar menyusup ke dalam pintu, serunya: “Kematian sudah tiba, masih engkau bertepuk dada sebagai orang baik. Sungguh tak malu!"

Tetapi begitu ia melangkah ke ambang pintu, sepasang pintu batu itupun segera mengatup, dan .... Gak Luipun tertutup di dalam.

Tetapi di dalam istana itu terang benderang, ia memandang ke sekeliling. Didapatinya ruang batu cukup tinggi dan penuh lubang tetapi tak tembus ke luar.

Sedang ruangan di sebelah muka yang luasnya hampir satu bahu itu, penuh dihias dengan kursi2 batu. Ia duga tempat itu dahulu tentu dijadikan tempat pertemuan dari para orang gagah.

Teringat Gak Lui akan sejarah dari istana Bi-kiong itu. Istana itu sebagian memang dari alam, sebagian dibuat oleh tangan manusia. Pendirinya yalah kakek moyang dari sinona Yan-hong. Kakek moyang nona itu telah mendirikan sebuah perkumpulan rahasia di tempat itu.

Oleh Bu-san It-ho, guru dari keempat tokoh jago pedang Bu-san, istana itu telah diganti dari pengaruh golongan Hitam menjadi aliran Putih. Dan kemudian tempat itupun dijadikan tempat penyimpanan pedang pusaka Thian-ti-koay-kiam.

Setelah meneliti keadaan tempat itu, Gak Lui menghampiri ke pintu tengah. Didapatinya di belakang pintu itu terdapat delapan simpang jalan terowongan yang menjurus ke lain arah.

Jalan terowongan itu masih berhias dengan beberapa jalan persimpangan yang malang melintang membingungkan orang.

Tetapi Gak Lui tak begitu menghiraukan jalan2.

Ia tetap melangkah masuk dengan tata-gerak Ni-coan-ngo-heng. Setelah tiba di ujung jalan, ia berhadapan dengan sebuah pintu yang serupa tadi, begitu pula terowongan dan jalan2, sama dengan yang tadi. Hanya saja tanda Pat-kwa lain bentuknya sehingga ia terpaksa berhati-hati.

Tak kurang dari tujuh lapis pintu telah dilaluinya. Saat itu ia sudah merasa pening dan tak tahu berada di mana.

“Jangan takut…..” kata Gak Lui dalam hati. Ia rentang mata dan merenung. Gurat2 garis pada pusaka Thian-liong-kim-jiu seperti muncul pula dalam benaknya.

“O, kiranya setelah melintas selapis lagi, akan tiba di istana Bi-kiong," katanya.

Dengan bersiap memegang pedang dan pusaka Kim-jiu, ia mulai melangkah maju lagi. Sebuah ruang besar segera terbentang di hadapannya.

Di tengah ruang besar itu tampak duduk seorang tokoh aneh. Rambutnya memanjang sampai ke tanah, pakaian hitam mengenakan kerudung muka. Sepintas pandang menyerupai dengan si Maharaja Persilatan.

Tanpa bertanya, cepatlah Gak Lui mengetahui bahwa lelaki itu tentulah si Lengan-besi-hati-baik Lim Ih-hun. Saking tegangnya, Gak Lui sampai gemetar tak dapat bicara.

Pun ketika melihat Gak Lui, orang itupun agak gemetar, tegurnya: “Budak kecil, apakah engkau Gak Lui?"

“Benar, aku Gak Lui dan bukankah engkau ini si Lengan-besi-hati-baik?"

“Tepat !"

“Lekas serahkan pedang Thian lui-koay-kiam, agar jangan engkau menderita !"

Orang itu tertawa mengekeh. Nadanya seram dan panjang. Tetapi saking kerasnya tertawa, kain kerudung yang menutup mukanya itupun melorot ke bawah.

Melihat wajah orang itu, gemetarlah Gak Lui. Ternyata wajah orang itu amat datar. Kecuali tak punya hidung, pun terdapat sebuah lubang yang menyusup ke dalam.

“Hidung gerumpung! Pembunuh yang sesungguhnya ...." terkenang Gak Lui akan keadaan ayah-angkatnya Pedang Aneh yang kedua tangan dan kakinya terpapas kutung. Serentak mendidihlah darah Gak Lui. Ia melangkah maju.

Lengan-besi-hati-baik itu gerakkan jari mencegah: “Tunggu dulu, engkau sudah datang dari ribuan li, mengapa terburu-buru ..."

“Masih ada omongan apa lagi ?"

“Barang siapa yang datang ke istana Bi-kiong sini tentu akan menerima hukuman mati. Tetapi sebelum bertempur, kita dapat menerangkan berbagai hal agar jelas !"

“Huh !" Gak Lui mendengus geram tetapi mau juga ia hentikan langkah.

Ia menyadari bahwa rahasia dari peristiwa perguruan Bu-san-kiam-pay dahulu dan kunci rahasia dari dendam sakit hatinya, semua terletak pada diri orang itu. Maka banyaklah hal yang hendak diajukan kepadanya.

Pun ia menyadari bahwa berhadapan dengan musuh besar, ia harus berlaku tenang. Setiap kebimbangan dan kebingungan akan menyangkut soal hidup matinya. Maka dengan mengempos semangat, dan menyalurkan tenaga-dalam, ia menjawab tenang: “Baik, akan kubuat perasaanmu puas .... keinginan tahu yang terakhir !"

Mata Lengan-besi-hati-baik berkilat-kilat menatap Gak Lui lalu bertanya: “Siapakah engkau? Mengapa engkau berani memalsu sebagai Gak Lui ?"

Pertanyaan yang datangnya tak terduga-duga itu membuat Gak Lui terkejut sekali. Segera ia teringat bahwa taci-angkatnya Hi Kiam gin pernah datang ke tempat situ untuk belajar silat. Mengapa orang itu mau menurunkan ilmu pedang kepada Hi Kiam-gin? Apakah memang bermaksud baik atau hanya pura2 menjadi orang baik saja?

Pula istana Bi-kiong itu tak boleh didatangi orang luar. Bahkan ayah Gak Lui yalah si Dewa Pedang sendiri telah dijebloskan dalam lubang di bawah tanah sampai mati. Tetapi mengapa orang itu mengijinkan Hi Kiam-gin masuk ....?

Karena sedang merenung, sampai sekian lama belum juga Gak Lui memberi jawaban.

”Mengapa engkau menyaru orang yang sudah mati? Lekas bilang !" tiba2 orang itu membentak. Rupanya dia tak sabar menunggu lagi.

Gak Lui tenangkan diri, menyahut: “Aku memang Gak Lui. Berita kematianku itu, adalah kesalahan Hi Kiam-gin yang menyiarkan. Apakah engkau tak rela aku masih hidup ?"

“Heh! Kalau memang benar Gak Lui, mengapa mengenakan kerudung muka ....?"

“Engkau tak perlu mengurus !"

“Datang di istana Bi kiong yang terlarang sini, harus membukanya !"

“Kedok mukaku boleh kubuka tetapi harus di depan mayatmu ...."

“Mulut besar! Mati hidupmu, sebentar lagi akan segera tiba. Jawablah, siapakah yang suruh engkau masuk ke istana Bi-kiong sini ?"

“Kemauanku sendiri !"

“Siapa memberi petunjuk engkau melintasi barisan ini ?"

“Kaisar persilatan Li Liong-ci telah menurunkan ilmu Ni coan-ngo-heng-tay-hwat ...."

“Ajaran Kaisar Persilatan?"

“Benar!"

“Apa buktinya ?"

“Pusaka Thian-liong-kim-jiu ini !"

“Coba berikan padaku !"

“Jangan mimpi, bung !"

Mendengar itu jubah Lengan-besi-hati-baik menggelembung besar karena gejolak hawa kemarahan.

Dengan menggeretakkan geraham, ia berseru bengis: “Bagus! Suruh membuka kedok muka, engkau menolak. Suruh mengeluarkan Thian-liong-kim-jiu, engkau membangkang. Akupun tak mau banyak bicara lagi ...."

“Engkau belum menjawab pertanyaanku!"

“Lekas tanyakan!"

“Pertama, dimanakah pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam ?"

“Dalam barisan istana Bi-kiong, tetapi ...”

“Bagaimana ?"

“Perlu kuperingatkan kepadamu. Engkau sudah lelah dan melanggar pantangan. Tak perlu melamunkan hal itu."

“Hm," Gak Lui mendengus geram. Ia maju selangkah: “Kedua, orang yang mati di puncak gunung lapisan luar itu apakah engkau yang mencelakai ?"

“Benar !”

“Mengapa engkau bertindak ganas ?”

“Delapan tahun yang lalu, orang itu telah memalsu penandaan rahasia. Dengan menipu peta ia masuk ke dalam puncak Liok hong. Sudah tentu harus mati!"

Mendengar orang itu mengaku yang membunuh ayahnya dan masih memfitnah kalau ayahnya menipu, meluaplah kemarahan Gak Lui. Tanpa melanjutkan pertanyaan lagi, ia terus ayunkan tangan menghantam.

Menilik kepandaian yang dimiliki saat itu, memang Gak Lui sudah tergolong jago kelas satu. Apalagi saat itu ia sedang dirangsang kemarahan. Pukulannya telah dilambari dengan tenaga penuh. Bum... terdengarlah ledakan dahsyat. Gelombang angin dahsyat telah melanda altar batu.

Setitikpun Lengan besi-hati-baik Lim Ih-hun tak kira bahwa anak semuda itu memiliki pukulan yang sedemikian dahsyatnya. Ia agak tertegun dan tahu2 sudah terlibat dalam lingkaran angin pukulan.

Ia terkejut dan cepat2 mengerahkan tenaga-dalam. Tampak jubahnya menggelembung untuk melindungi diri. Dengan penjagaan itu, angin pukulan Gak Luipun hanya berputar-putar lewat di samping tubuhnya.

Tetapi angin itu dapat menyingkap kain kerudung hitam yang menutupi muka orang. Sepasang matanya besar dan alisnya tebal, kumisnya melingkar lebat memenuhi kedua pipi. Batang hidungnya hilang sama sekali sehingga menimbulkan pemandangan yang mengerikan.

Tetapi wajah itu bagi Gak Lui amat menusuk hatinya. Serentak ia mendamprat: “Murid hianat, serahkan jiwamu !"

Sebuah hantaman istimewa kembali dilancarkan. Orang itupun tak berani lengah. Dengan menggerung, ia dorongkan tangan menyongsong, Bum......terdengar pula ledakan yang dahsyat.

Lengan-besi-hati baik Lim Ih-hun masih tetap duduk ditempatnya. Sedangkan Gak Lui terlempar sampai tiga tombak jauhnya. Ia muntah darah ...

“Bangsat !" Gak Lui mengertak gigi dan menggeliat bangun. Ia tekan napas untuk menahan darah yang hendak menyembur keluar lalu mencabut sepasang pedangnya.

Melihat pedang Pelangi yang memancarkan hawa dingin, wajah Lengan-besi hati-baik makin tegang heran. Karena ia tahu jelas asal usul pedang itu. Ia heran mengapa pedang itu sampai jatuh ke tangan anak muda itu. Ia duga tentu peristiwa itu mempunyai liku2 yang berbelit-belit.

Sekali enjot tubuh, Gak Lui melambung ke udara dalam gerak Burung rajawali-rentang-sayap. Pedang ditangan kiri diputar untuk melindungi tubuh, pedang Pelangi ditangan kanan ditusukkan ke tenggorokan orang.

Betapapun lihay kepandaian Lengan-besi-hati-baik Lim Ih-hun itu, namun menghadapi ancaman pedang pusaka itu, ia tak berani memandang rendah. Tiba2 tubuhnya melambung ke udara dan dengan suatu gerak kisaran yang sukar diketahui, pedang Pelangi menusuk ke sisi telinga lawan.

Jarak keduanya hanya satu meter, walaupun menggunakan sepasang pedang tetapi Gak Lui tak mampu melukai lawan. Bahkan karena serangannya luput, saat itu dirinya di bawah lingkungan tangan musuh.

Gak Lui menyadari hal itu. Cepat ia merobah gerakan pedangnya. Pedang ditangan kiri memapas lengan lawan, pedang Pelangi menabas kepala. Apabila kena, batang kepala tentu menggelinding terpisah dari tubuhnya.

Tetapi lawanpun mengganti gerak tangannya. Kedua tangannya direntang seraya menggeram: “Hm, kalau tidak dilenyapkan, kelak budak ini tentu akan menjadi algojo dunia persilatan !”

Ia apungkan tubuh loncat mundur beberapa langkah. Kemudian maju lagi dengan rangsangkan tangannya dalam ilmu pedang Bu-san-kiam-hwat.

Melihat kenekadan orang yang berani menyambut serangan ilmu pedang dengan tangan kosong, Gak Lui membentaknya: “Engkau cari mampus!"

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---



Ia putar pedangnya untuk menyerang. Wut, wut, wut... lengan baju Lengan-besi-hati-baik terpaksa berhamburan tetapi kedua tangannya tetap tak kurang suatu apa. Dan sebelum Gak Lui sempat bergerak, tangannyapun sudah tercengkeram tangan lawan. Seketika lengannya kesemutan, telapak tangannya sakit sekali.

“Aneh,” ia menggumam kejut.

Dan di luar kesadarannya ia termangu memandang lengan orang. Ah, kiranya lengan lawan itu memakai alat pelindung dari baja yang kebal tabasan senjata tajam. Bahkan pedang pusaka yang dapat memapas logam seperti memapas tanah liat, ternyata tak mampu menghantam alat itu.

“Celaka..." Gak Lui kucurkan keringat dingin. Cepat ia hendak menarik pulang pedangnya tetapi sudah terlambat, sudah terjepit tangan lawan.

Untuk mengerahkan tenaga-dalam Algojo-dunia, juga tak mampu mengalahkan tenaga-dalam lawan.

Lengan-besi-hati-baik tiba2 mendengus dan lontarkan tangannya. Kedua pedang Gak Lui ikut terlempar sampai beberapa tombak jauhnya !

“Terimalah pukulanku !" karena pedangnya terlepas, Gak Luipun nekad. Dengan kerahkan seluruh tenaga-dalam ia hantamkan kedua tangannya.

Tetapi sayang, gerakannya itu masih kalah cepat dengan lawan. Tangan kanan si Lengan-besi-hati-baik sudah melekat di dada dan kelima jarinya yang seperti kait baja itupun sudah mencengkeram. Kalau ia benar2 mau gunakan tenaga mencengkeram, mungkin dada Gak Lui tentu sudah remuk berantakan.

Tetapi di luar dugaan Lengan-besi-hati-baik itu hanya gerakkan tangan kiri untuk menebas tengkuk Gak Lui. Plak .... Gak Lui mendengus kesakitan dan tubuhnya terlempar seperti layang2 putus tali. Ia jatuh sampai tiga tombak jauhnya. Mulut menyembur darah dan orangnyapun pingsan seketika.

Sedang Lengan-besi-hati baik masih tegak berdiri di atas altar batu. Tangan kanannya masih mencekal secarik robekan baju Gak Lui. Dan di bawah robekan baju itu ternyata terdapat pusaka dunia persilatan .... Thian-liong-kim-jiu!

“Tulenkah benda itu ?" gumamnya dalam hati. Lalu ia kerahkan kedua tangannya untuk meremas. Dengan tenaga-dalamnya yang sakti, segala benda yang betapapun kerasnya, pasti akan remuk, tetapi ternyata ia tak mampu meremas hancur pusaka Thian liong kim jiu itu. Bahkan sampai telapak tangannya terasa amat panas, tetap benda itu tak penyet sedikitpun juga.

“Hm, memang aseli! Tetapi .... mengapa dapat jatuh ke dalam tangannya? Menilik kepandaian Kaisar Persilatan, tak mungkin dapat dilarikan orang ...."

Lengan-besi-hati-baik segera apungkan tubuh sampai dua meter menuju ke atas altar batu lalu menghampiri ke tempat Gak Lui.

“Tak mungkin benda ini dicuri. Keterangannya tadi kalau benda itu pemberian dari Kaisar Persilatan memang benar. Tetapi budak itu memang keterlaluan sekali. Ucapannya kasar, serangannya menggunakan jurus yang ganas. Karena marah aku sampai tak sempat menanyai dengan jelas...." pikirnya.

Teringat akan jurus serangan yang digunakan Gak Lui tadi diam2 timbullah keraguannya: “Ilmu pedang dan pukulan bocah itu memang berasal dari sumber Bu-san. Dahulu guruku telah memberi pelajaran pada empat orang murid yang tak resmi. Keempat orang itu hanya kudengar namanya tetapi tak pernah melihat mukanya. Tetapi jelas kalau mereka masing2 hanya memiliki sebuah jurus ilmu pedang. Tetapi mengapa bocah itu dapat menggunakan semua? Ah, tentulah dia telah mendapat pelajaran dari keempat orang itu. Kalau begitu ... apakah dia memang benar Gak Lui... mati dan hidup kembali? Mengapa muridku Hi Kiam-gin memberi laporan salah? Atau si Dewa Pedang yang salah mengambil orang .... ?"

Pertanyaan itu memenuhi benaknya tanpa mendapat jawaban yang memuaskan. Masih ia merenungkan keterangan dari Hi Kiam-gin yang mengatakan bahwa dewasa ini dunia persilatan telah muncul seorang tokoh yang menamakan diri sebagai Maharaja Persilatan. Sepak terjangnya amat ganas, kepandaiannya tinggi. Tokoh itu menjadi musuh besar dari Hi Kiam-gin dan Gak Lui. Dan tokoh itupun mempunyai anak buah yang disebut gerombolan Topeng Besi dan si Hidung Gerumpung.....

“Ah, hidung Gerumpung ?" tiba2 Lengan-besi-hati-baik meraba hidungnya sendiri yang hilang lalu menggumam: “Aneh .... si Hidung Gerumpung itu memang sebuah teka teki. Apakah dalam dunia persilatan terdapat seorang Hidung Gerumpung lagi? Adakah mungkin dia itu .... Ah, tidak, tidak, tidak !"

Kata2 itu meluncur dari mulutnya dengan nada yang rawan. Sepasang matanya menyala, wajahnya berkerenyutan dan hidungnya yang gerumpung itupun tampak makin jelek.

Kerut wajahnya tampak gelisah. Dia seperti terkenang sesuatu tetapi ia tak ingin percaya dan memang tak berani percaya. Tetapi nyatanya dia dihadapkan oleh dua hal aneh yang menuntut kepercayaannya.

Rasa tegang telah memeras keringatnya. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.

Tampak Lengan-besi-hati-baik melangkah terhuyung seperti mau jatuh tetapi tahu2 sudah berada di samping Gak Lui.

Ia segera meraba-raba baju pemuda itu. Pertama, ia menemukan sehelai pakaian anak kecil yang bertulis dengan huruf2 dari darah yang sudah mengental hitam. Tulisannya dari tangan seorang wanila dan berbunyi :

Anak ini bernama Gak Lui. Jika ada yang menemu, harap dipelihara baik2 ....

“Hai !" Lengan-besi-hati-baik menjerit kaget. Dari bukti itu dia tak ragu lagi kalau anak itu memang putera dari Dewa Pedang Gak Tiang-beng.

Ia segera menelentangkan tubuh Gak Lui. Dilihatnya napasnya sudah lemah, bibir pucat seperti orang yang sudah tengah meregang jiwa dan kedok muka yang menutup mukanya itupun penuh dengan tetesan darah.

Melihat itu keinginannya untuk membuka kedok Gak Lui, pun lenyap. Diam2 ia malah menyesal: ”Dahulu karena luapan emosi, aku sampai menyalahi pesan suhu.....kusimpan diri dalam istana Bi-kiong dan selama-lamanya menjaga pedang pusaka itu untuk menebus dosa...Tetapi setelah lebih dari duapuluh tahun, aku pernah melanggar sumpah lagi .... mungkin bencana dalam dunia persilatan, adalah karena kesalahanku. Sekarang karena dirangsang kemarahan, aku kembali melukai Gak Lui sampai parah ....”

Ia teringat akan pembicaraan tadi. Selagi dalam pembicaraan, ketika mendengar bahwa yang membunuh orang di dalam guha itu dirinya, maka Gak Lui menjadi marah dan menyerang kalang kabut. Hal itu jelas menunjukkan bahwa yang terbunuh mati itu tentulah ayah Gak Lui.

Bertahun-tahun lamanya ia tak pernah menyangka bahwa yang dibunuh dalam guha itu adalah ayah Gak Lui. Kini setelah menyadari persoalannya, barulah ia tahu malah korbannya itu memang murid dari Bu-san. Dan sekali-kali bukan orang luar yang hendak mencuri pedang itu. Dan lagi orang itu jelas adalah si Dewa Pedang.

“Pembunuh ... algojo! Aku seorang pembunuh ... aku harus mati ... !" Lengan-besi-hati-baik melonjak-lonjak seperti orang gila. Ia berlari-larian di dalam guha sambil menampar muka dan telinganya sendiri, menjambaki rambut dan meraung-raung seperti binatang buas.

Lengan-besi-hati baik seperti orang gila. Sekonyong-konyong terdengar bunyi gemerincing. Dia tengah menginjak pedang Pelangi. Pedang itu berkilat-kilat memancarkan cahaya yang menyilaukan. Tertarik akan pedang itu, ia terus menjemputnya. Didapatinya pedang itu amat tajam luar biasa dan memancarkan hawa dingin. Ia tahu bahwa pedang itu tentu pedang pusaka yang hebat.

Tanpa banyak berpikir lagi ia terus hendak menggorokkan pedang itu ke tenggorokannya. Tetapi sekonyong-konyong hawa dingin pedang itu membuatnya menggigil. Dan serentak tangan kirinyapun menampar mukanya sendiri: “Gila, apakah kematian akan dapat menolong persoalan ini !"

Pedang yang sudah melekat di tenggorokannya dihentikan dan ditatapnya wajah Gak Lui.

“Aku telah kesalahan mencelakai ayahnya. Seharusnya aku harus menebus dosa kepadanya. Menilik usia dan bakatnya, jika kusaluri dengan tenaga-murni, dia tentu sanggup menghadapi si Maharaja Persilatan. Apabila gagal, dia masih dapat berusaha untuk mengambil pedang Thian-lui-koay-kiam itu," katanya seorang diri.

“Tentang bencana dalam dunia persilatan, kuharap bukan disebabkan karena pedang itu dan kuharap pula dia tak membohongi aku !" katanya lebih lanjut.

Akhirnya ia memanggul tubuh Gak Lui dan diletakkan di atas altar batu. Kemudian ia duduk lekatkan kedua tangannya pada jalan darah pemuda itu. Ia menyalurkan seluruh tenaga-murninya ke dalam tubuh pemuda itu.

Entah berselang berapa lama, Gak Luipun tersadar dari pingsannya. Dia dapatkan dirinya rebah di sebuah pembaringan yang lunak dan tubuhnyapun terasa enak sekali. Tetapi ketika bernapas ia masih dapat mencium bau dari tubuh Lengan-besi-hati-baik. Hal itu mengunjukkan bahwa tokoh itu masih berada di sampingnya.

Tiba2 ia melenting ke atas. Maksudnya hendak menyingkir. Tetapi di luar dugaannya tenaga-dalamnya bertambah hebat sekali. Ketika melambung ke udara hampir saja ia menumbuk langit ruangan batu di situ.

Ia heran tetapi tak sempat untuk menduga-duga lagi. Ia terus melayang ke arah Lengan-besi-hati-baik dan tanpa berkata apa2, terus ayunkan tangannya menghantam.

Tetapi baru tenaga-dalam dilancarkan iapun sudah cepat menariknya kembali. Dengan gerak seringan kapas ia melayang turun di hadapan Lengan-besi-hati-baik.

Ia melihat tokoh itu deliki kedua matanya memandangnya dengan pandang terlongong-longong, dari sinar matanya jelas kalau orang itu sudah kehabisan tenaga-dalam. Pula wajahnyapun tenang sekali, sedikitpun tak merasa kaget.

“Aneh..!” diam2 Gak Lui tergetar. Tetapi cepat ia dapat menyadari. Maka secepat itu pula ia menarik pukulannya dan bertanya: “Apakah engkau telah menyalurkan tenaga-murni ke dalam tubuhku ?"

Dengan napas sesak, Lengan-besi-hati-baik paksakan diri menyahut terengah-engah, ”Ya memang….”

“Mengapa ?"

“Harap engkau ... dapat mem ... bunuh .. membunuh ... si Maharaja !"

“Oh, engkau bukan gerombolannya ?"

“Tidak. Bukan ..."

”Lalu mengapa engkau mencelakai ayahku?"

”Aku tak kenal padanya ... soal itu ... karena salah faham ..."

“Salah faham ?" Gak Lui tergetar. Pikirnya: “Menilik sikap dan kata-katanya, orang ini memang jujur. Dan kalau dia memang hendak membunuh diriku, tentu sudah dari tadi. Tetapi ternyata dia malah memberi saluran tenaga-murni kepadaku !"

Berpikir sampai di situ, diam2 ia menggigil. Cepat ia lekatkan kedua tangannya ke tubuh orang untuk menolong. Tetapi sudah terlambat. Jalan darah Lengan-besi hati baik sudah membeku, tak mungkin dapat ditolong lagi.

Untunglah Gak Lui memiliki kepandaian saling-mengalirkan-tenaga-murni. Dengan susah payah, akhirnya ia dapat juga menyalurkan sedikit tenaga murni.

Tampak wajah tokoh itu agak merah dan dapat berkata dengan perlahan: “Baiklah, tak usah engkau bersusah payah. Jika ada pertanyaan, silahkan mengajukan sekarang juga....”

Sambil masih menyalurkan tenaga murni Gak Lui bertanya: “Tadi engkau mengatakan kalau salah faham, apakah alasannya?"

“Dahulu pada saat ayahmu naik ke gunung ini, dia telah melakukan sebuah kesalahan besar!"

“Kesalahan besar? Bukankah dia sudah mengucapkan sandi rahasia dengan tepat?"

“Walaupun sandinya benar, tetapi jumlahnya orang salah ...."

“Oh...."

“Mendiang suhu Bu-san It-ho pernah meninggalkan pesan. Bila keempat bu-san-su-kiam hendak datang ke istana Bi-kiong sini, kecuali harus mengatakan sandi rahasia, pun harus datang lengkap tiga orang lelaki dan seorang wanita. Kalau tidak ...."

“Bagaimana ?"

“Tentu lain orang yang menyamar. Boleh segera dibunuh saja!"

“Oleh karena datang seorang diri maka ayah lalu .... terbunuh ?"

“Benar."

Mendengar itu hati Gak Lui seperti disayat sembilu. Tetapi ia merasa memang Lengan-besi-hati-baik tidak salah. Maka dengan tahankan kesedihan hati, Gak Lui lanjutkan pertanyaannya: “Kabar engkau telah melanggar peraturan kakek guru dan diusir dari perguruan. Lalu dipenjarakan di istana Bi kiong sini. Tetapi mengapa engkau ditugaskan untuk menjaga pusaka di gunung ini? Apakah ini tidak bertentangan ?"

“Ah, soal itu panjang ceritanya," Lengan-besi-hati-baik menghela napas, "sesungguhnya beliau itu bukan melainkan guruku yang berbudi, pun juga seperti seorang ayah yang telah merawat aku sejak kecil. Budinya jauh lebih dalam dari lautan, melebihi orangtuaku sendiri.....sayang aku tak dapat menguasai emosi sehingga melakukan suatu kesalahan...."

“Emosi meluap? Apakah.....berhubungan dengan seorang wanita?" tanya Gak Lui.

“Tidak !" sahut Lengan-besi-hati-baik, “tetapi mengapa engkau menduga begitu?"

Diam2 Gak Lui memang teringat akan si cantik Bu-san Yan-hong. Pula terkenang akan kisah asmara yang menyedihkan dari ibunya. Maka ia cepat menduga kalau Lengan besi-hati baik itupun terjerumus dalam kisah kasih dengan wanita.

Setelah mendengar penyangkalan dari Lengan-besi-hati-baik, ia segara mengajukan pertanyaan lagi : “Karena engkau dirawat sampai besar oleh kakek guru, apakah engkau tahu siapa Kau-cu (pemimpin) dari perguruan Bu-kau?"

“O !" Lengan-besi-hati-baik mendengus kaget, “engkau ... engkau bagaimana bisa tahu ...?"

“Mengapa aku tak dapat mengetahui?" balas Gak Lui.

“Karena ... karena ..."

“Karena apa?"

“Karena menyangkut kepentingan perguruan dan keluargaku. Sedang Bu-san Su-kiam sendiri tak tahu."

Gak Lui kerutkan alis dan berseru tegang: “Aku telah berjumpa dengan pewaris Bu-kau ..."

“Siapa ?"

“Bu-san Yan-hong."

“Apa katanya ?"

“Hanya tentang soal2 perguruan Bu-san yang lampau."

“Selain itu ?"

“Heh, heh, jangan terburu-buru," kata Gak Lui dengan nada dingin, “Hendak kutanya kepadamu lebih dulu, nanti baru engkau boleh bertanya kepadaku. Sekarang coba engkau ceritakan kesalahan apa yang telah engkau lakukan?"

“Ini .... aku sudah bersumpah kepada guru, takkan membocorkan kepada lain orang," kata Lengan-besi-hati-baik.

“Engkau tak mau menceritakan!" teriak Gak Lui dengan keras.

Wajah Lengan-besi-hati-baikpun tampak sunyi dan berkatalah ia dengan gemetar: “Gak Lui, adakah engkau hendak memaksa aku supaya melanggar sumpahku kepada guru? Beliau kakek gurumu, soal itu beliau tak ingin disiarkan kepada orang. Dan sekalipun tahu, bagimu juga tak ada gunanya.”

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---



“Ini......" Gak Lui tergetar seperti orang yang diguyur es dingin. Segera ia teringat akan bibi gurunya Bidadari Pedang. Bibi gurunya itupun pernah bersumpah kepada gurunya, takkan menyiarkan peristiwa itu. Dan anggap bahwa fihak lain itu bukan lawan.

Teringat akan hal itu, betapa besar keinginan Gak Lui untuk mengetahui namun ia tak berani mendesak untuk mengetahui rahasia dari kakek gurunya. Maka iapun menghela napas dan beralih pertanyaan: “Baiklah, aku takkan menanyakan tentang sebabnya tetapi hanya ingin tahu kejadiannya saja."

Dengan wajah murung Lengan-besi-hati-baik berkata: “Karena kesalahan itu maka aku telah membuat pengakuan dosa kepada guru. Aku rela menjalani hukuman diasingkan dan takkan keluar selama-lamanya dari puncak Liok-hong ini agar dapat menjaga pedang pusaka Thian-lui koay-kiam. Kecuali keempat Bu-san Su-kiam itu datang bersama-sama kemari, siapapun tak boleh mengambil pedang itu."

“Kalau begitu kakek guru tak pernah mengusirmu dari perguruan?" tanya Gak Lui.

“Memang beliau marah sekali dan tak mau mengakui aku sebagai murid lagi. Tetapi kemudian beliau dapat meluluskan permohonanku itu."

“Ah….” Gak Lui menghela napas. Timbul pertentangan dalam batinnya. Memang orang itu telah membunuh ayahnya tetapi dia melakukan hal itu demi melakukan tugasnya menjaga pedang pusaka. Jadi sekali-kali bukan sebagai seorang pembunuh. Dan lagi kali ini dia telah menolong jiwanya.

Walaupun orang itu seorang murid yang telah diusir dari perguruan tetapi ternyata masih mempunyai kesetiaan dan tanggung jawab terhadap partai perguruannya. Bahkan tugasnya tak kalah pentingnya dengan keempat Bu-san Su-kiam itu.

Ragulah hati Gak Lui terhadap orang itu. Haruskah ia membunuh orang sedemikian itu ? Bagaimanakah ia pandangannya terhadapnya? Sebagai seorang penolong ? Sebagai musuh? Sebagai tokoh angkatan tua atau sebagai murid hianat?

Ia tak mau melanjutkan memecahkan soal2 yang begitu pelik dan ruwet lalu bertanya lebih lanjut: “Kalau ayahku tak boleh datang seorang diri, mengapa taci Hi Kiam-gin tak dilarang masuk kemari seorang diri ?"

“Kematian ayahmu sudah delapan belas tahun yang lalu. Dan sejak itu tiada orang yang hidup datang kemari lagi.”

“Tiada orang hidup ? Apakah tiada kenalan yang pernah datang kemari?"

“Ini.... tidak ada....tidak ada," Lengan-besi-hati-baik menyangkal, “memang aku curiga mengapa sampai ber-tahun2 keempat Bu-san Su-kiam tak muncul kemari. Maka timbullah keinginanku untuk melihat lihat keadaan di luaran. Apalagi kulihat dia (Hi Kiam-gin) seorang wanita. Kukira mungkin si Bidadari Pedang."

“Maksudmu engkau memperlakukan lebih istimewa kepada Bidadari Pedang ?” tanya Gak Lui.

“Boleh dikata begitu," sahut Lengan-besi-hati-baik, “karena suhu paling sayang kepadanya dan memberitahukan juga tentang keadaan diriku yang dipenjarakan digunung ini kepadanya. Tak kuduga kalau yang muncul itu ternyata Hi Kiam-gin. Sayang dia tak begitu jelas tentang keadaan dunia persilatan...."

Berkata sampai di sini tubuh Lengan-besi-hati-baik agak menggigil dan napasnya terengah2.

Gak Lui terkejut dan buru2 salurkan tenaga-murninya lebih keras. Tetapi keadaan orang itu sudah makin payah. Napasnya memburu, kepalanya basah dengan keringat. Rupanya sudah tak kuat bertahan lagi.

Rupanya Lengan-besi-hati-baikpun tahu kalau dirinya bakal tak lama hidupnya. Maka ia kuatkan diri dan berkata dengan tersendat-sendat: “Gak Lui .... Gak Lui..."

“Ya….”

“Tidak,tidak .. Thian-lui koay ... koay..." Gak Lui cepat menyadari bahwa yang dimaksud itu yalah pedang pusaka Thian-lui-koay kiam. Maka cepat2 ia menanyakan pedang itu.

“Di... di sini ... di pusat barisan ini..."

Gak Lui cepat memandang ke sekeliling tempat itu tetapi tak melihat suatu apa. Waktu ia hendak bertanya, orang itupun dengan suara parau berseru lemah: “Hati2... harus... harus hati-hati."

“Hati2 apa ?”

“Api…. api... api ...."

“Api ? Di mana api itu ?" kembali Gak Lui memandang dengan seksama kearah sebuah batu yang besar dan aneh bentuknya. Tetapi jangankan api, asappun tak kelihatan.

“Pikirannya tentu sudah tak sadar, kata2nya sudah tak keruan lagi," pikirnya. Segera ia lancarkan tenaga-murninya ke tubuh orang itu lagi.

Lengan-besi hati-baik tampak membuka mata dan pancarkan sinar mata yang bercahaya. Dengan terengah2 ia berkata: “Selama engkau berkelana ....siapakah .....siapakah.....yang kepandaiannya paling sakti.....?"

“Yang paling sakti adalah Kaisar Persilatan dan Maharaja Persilatan."

“Maharaja Persilatan .... tergolong aliran... kepandaiannya?"

“Menguasai ilmu kesaktian dari lima partai persilatan besar!"

“Termasuk.... Bu san pay ?"

“Tidak."

“Bagus... selain itu apakah ada tokoh persilatan yang memakai she .... she .... "

“She apa?"

“She Tio ....?"

“Ada !" serentak Gak Lui menjawab dengan agak heran.

Kakek guru dari Bu san-pay memang orang she Tio, yalah Tio It ho. Dan mempunyai seorang putera. Tetapi putera itu tak pernah muncul dalam dunia persilatan.

Tetapi Gak Lui ingat akan Tio Bik-lui. Orang itu mengatakan dirinya seorang yang mengasingkan diri dari masyarakat ramai. Kepandaiannya memang hebat sekali. Adakah orang itu putera dari kakek guru Tio It ho? Apakah itu yang ditanyakan Lengan-besi-hati baik?

Gak Lui menatap Lengan-besi-hati-baik lekat2 dan bertanya tandas: “Ada seorang tokoh bernama Tio Bik lui, apakah engkau mengenalnya?"

Mendengar itu kerut wajah Lengan besi-hati-baik meregang-regang dan dadanyapun berombak keras. Dengan napas memburu ia bertanya: “Dia... bagaimana ? Baik.... atau... jahat....?"

“Dia pernah menolong aku."

Tampak mulut Lengan besi-hati baik tersenyum dan berkata: “Bagus... bagus ... dia seorang baik. Engkaupun harus... baik... kepadanya...”

“O, kiranya kalian sudah kenal?"

“…...." Lengan-besi-hati-baik tak menjawab.

Kepalanya melentuk terkulai ke dada. Napasnya-pun berhenti.....

Gak Lui terkejut sekali. Ketika ia memeriksa, ternyata orang itu sudah putus nyawanya.

“Aneh, Tio Bik-lui selalu mengatakan kalau dia murid hianat dan menuduhnya mengangkangi pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Tetapi kebalikannya ia masih terkenang akan Tio Bik-lui dan sampai matipun tetap menanyakan," pikir Gak Lui tak habis mengerti. Keringatnya turun seperti hujan deras.

Ia merasa seperti istana Bi-kiong terbakar api. Panasnya seperti ledakan gunung. Sebenarnya ia tak takut akan hawa panas. Tetapi entah bagaimana saat itu ia benar2 tak dapat bertahan.

Sekonyong-konyong terdengar ledakan dahsyat dari bawah bumi. Gelombang hawa panas segera berhamburan memenuhi tempat itu. Ia merasakan bajunya seperti terbakar. Buru2 ia lepaskan tubuh Lengan-besi-hati-baik lalu tempelkan telapak tangannya ke altar batu.

“Celaka ..." belum bau terbakar itu hilang, asappun sudah bergulung naik ke atas. Lantaipun segera merah membara. Altar batu itu adalah tempat duduk Lengan-besi-hati-baik. Tempat itupun seperti terbenam dalam lautan api.

Tubuh Lengan-besi-hati baik dalam sekejab saja sudah terbakar hangus menjadi abu.

Untunglah Gak Lui tahan hawa panas dan amat tangkas. Dalam gugup, ia pancarkan tenaga-murni dari telapak tangannya sehingga sampai beberapa tombak jauhnya.

Ia kira api tentu akan membara besar. Tetapi di luar dugaan ternyata api itupun padam. Hawa panas kembali menurun dan keadaanpun kembali seperti biasa lagi. Ketika meraba ke lantai, didapatinya lantai itu hanya hangat saja.

Tetapi seluas semeter dari batu altar itu telah terjadi sesuatu yang belum pernah dilihatnya.

Batu altar yang tebalnya hampir setengah meter itu bukan terbuat dari batu pualam, bukan pula dari logam melainkan dari batu lahar yang sudah mengeras. Di atas altar itu terdapat guratan-guratan.

Ketika Gak Lui memperhatikan guratan2 dari lubang2 kecil itu, ia segera merasa hawa panas meluap ke luar serta memperdengarkan suara mendesus.

“Ah, kiranya batu ini di bawahnya merupakan gunung berapi dan masih memuntahkan lahar," akhirnya ia menyadari.

Gak Lui hendak mencari jenazah Lengan-besi-hati-baik tetapi tak ketemu. Lenyapnya mayat itu benar2 mengejutkan hatinya.

Teringat akan nasib Lengan besi-hati-baik yang rela memendam diri dalam istana Bi-kiong selama berpuluh tahun. Sekalipun karena tak tahu telah kesalahan membunuh ayahnya (Gak Lui), tetapi hal itu dilakukan tanpa sengaja. Pun Lengan-besi-hati-baik tetap terkenang akan keempat saudara seperguruannya Bu-san Su-kiam.

Diam2 Gak Lui menarik kesimpulan bahwa semua peristiwa itu memang sudah menjadi permainan nasib. Begitu pula memang sudah jelas kalau keempat tokoh Bu-san itu bernasib jelek. Tak dapat menumpahkan seluruh kesalahan kepada Lengan-besi-hati-baik.

Tiba pada renungan2 itu, akhirnya timbullah kesadaran Gak Lui akan suatu hal. Yalah tentang sepak terjang keempat Bu-san Su-kiam yang berkelana di dunia persilatan dan tentang Lengan-besi-hati-baik yang mengasingkan diri di gunung Bu-san menjaga pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam.

Dengan cara itu, Bu-san It-ho rupanya merencanakan untuk melakukan penjagaan luar dalam. Agar jangan sampai pedang pusaka itu direbut orang.

Cara itu memang baik sekali. Ketat dan rapi. Tetapi orang dapat membuat rencana, hanya nasib yang berbicara lain. Kenyataannya, kelima tokoh2 Bu san itu satu demi satu telah menemui ajalnya secara mengenaskan ....

Lalu siapakah yang dijaga oleh kakek guru Bu-san It-ho? Adakah si Maharaja Persilatan?

Salah!

Kalau benar dia, tentulah Lengan-besi-hati-baik tak sampai tak tahu hal itu. Buktinya Lengan-besi Lim Ih-hun malah bertanya kepadanya tentang tokoh Maharaja itu.

Dan lagi ada suatu hal yang benar2 tak dimengerti Gak Lui. Mengapa kakek gurunya tak memberitahu kepada keempat Bu-san Su-kiam supaya mencari orang yang dianggap membahayakan pedang pusaka itu?

“Ah, betapapun juga, Lengan-besi-hati-baik memang sudah menunaikan tugasnya dengan baik. Kematiannya layak sebagai penebus dari kesalahannya membunuh ayah Gak Lui. Pula tokoh itupun sudah memberikan penyaluran tenaga-murni kepadaku," akhirnya ia menarik kesimpulan.

Kemudian ia memandang ke arah altar batu dan berseru dengan perlahan: “Paman, budi dan dendam sudah himpas. Harap paman beristirahat dengan tenang di alam baka. Aku dapat menggunakan pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam untuk menghancurkan si Maharaja Persilatan !"

Ketika teringat akan pedang, tiba2 ia tertegun. Tadi Lengan-besi-hati-baik hanya berkata: “di sini ... di dalam mata barisan ini !" tetapi ia tak melihat suatu apa dalam ruang situ. Dan Lengan-besi hati-baik itu tak memberikan petunjuk akan tempatnya yang jelas.

Gak Lui merenung untuk mengingat pelajaran Ngo-heng-seng-khik untuk memperhitungkan letak 'mata barisan'. Tetapi setelah diperhitungkan bolak balik, tetap tiba pada kesimpulan pada mata barisan itu yalah di tengah altar batu tempat duduk Lengan-besi-hati-baik.

“Apakah memang di tempat paman duduk ini .... ?" katanya meragu.

Untuk membuktikan hal itu, ia segera melesat ke tengah altar batu. Dengan kerahkan tenaga, ia menggembor dan mengangkatnya.

Seketika terdengarlah suara letupan keras. Batu penutup yang amat berat itu segera terangkat naik. Uap panas menghambur keluar dan terbukalah sebuah lubang yang sukar diduga dalamnya.

Gak Lui meletakkan tutup batu itu dan meninjau ke bawah. Dilihatnya di bawah lubang itu terdapat lumpur merah yang panas. Benda itu tentulah lahar gunung berapi. Tetapi ia tak melihat pedang pusaka itu.

“Ah, tak mungkin! Kecuali didalam lubang ini, tak mungkin pedang itu ditaruh di tempat lain!” katanya dalam hati.

Kembali ia kerahkan tenaga dalam dan untuk menghantam ke bawah. Uappun berhamburan menyiak ke bawah. Dengan cermat ia memandang segenap sudut lubang itu. Ah... kira2 pada jarak lima enam tombak di tengah celah2 batu, ia melihat sebatang pedang yang menancap dalam2 pada dinding karang.

Kini pedang sudah diketemukan tempatnya. Tinggal bagaimana caranya untuk mengambil. Gak Lui diam2 memperhitungkan jarak tempat pedang itu dari tempatnya. Adakah ia sanggup untuk melancarkan tenaga-dalam-penyedot untuk menarik pedang itu.

“Baiklah kucobanya," akhirnya ia mengambil kesimpulan. Lalu ia kerahkan seluruh tenaga-murni dan mengambil arah pada batang pedang. Wut... tenaga-murni melancar ke bawah. Tetapi pedang itu tak bergeming sedikitpun juga.

Dinding lubang terbuat dari lapisan lahar yang sudah mengeras beratus tahun. Lebih keras dari batu. Maka sekalipun Bu-san It-ho pun tak mampu untuk menariknya.

Kepandaian yang dicapai Gak Lui memang sudah cukup tinggi dan disejajarkan dengan tokoh silat kelas satu. Tetapi dengan tenaga-dalam-penyedotnya itu, tetap ia tak mampu mengambil pedang itu.

Namun Gak Lui masih penasaran. Berulang kali ia mencobanya lagi. Tetapi sampai tenaganya habis, tetap tak berhasil.

Gak Lui berhati keras. Kegagalan itu tak mematahkan semangatnya. Diam2 ia menimang-nimang rencana.

Cara pertama, ia akan nekad untuk turun ke dalam kepundan lubang itu. Dengan menggunakan pedang Pelangi, ia akan membuat lubang untuk meniti ke bawah, lalu dengan seluruh tenaga, ia hendak mencabut pedang itu.

Setelah mendapat pikiran itu ia segera mencabut pedang Pelangi. Dicobanya untuk membacok dinding karang, prak.... bunga api memuncrat. Dinding rompal tetapi tak mampu menembus batu.

Percobaan itu membuatnya harus berpikir lagi. Kalau ia menaburkan pedang itu dan tak dapat menyusup ke dalam dinding batu, bukankah sukar untuk menyedot kembali.

“Ah, gagal....." Gak Lui menghela napas dan putus asa. Ia berdiam merenung. Mengharap mudah-mudahan ia dapat menemukan akal baru.

Malam pun tiba dan suasana dalam istana Bi-kiong itupun makin gelap. Dalam suasana yang sunyi ia mendengar kepundan atau lubang terowongan perut gunung berapi itu terus bergemuruh. Uap panas berhamburan mengepul keluar.

"Menilik gelagatnya, akan terjadi letusan lagi !" Gak Lui menimang. Ia makin bingung. Sudah tiga jam ia memeras otak untuk mencari akal namun tetap belum menemukan cara yang baik.

Tiba2 ia terkesiap. Suatu pemikiran terlintas dalam benaknya: “Ah, kiranya setiap tiga jam, lubang kepundan itu muntahkan api. Jadi waktunya tertentu."



Tepat pada saat ia tiba akan kesimpulan itu, tiba2 meluaplah gelombang api yang terang benderang dari lubang kepundan itu.

Sekalipun api yang menyilaukan mata itu hanya sekejab lalu pudar lagi tetapi dalam waktu yang singkat itu Gak Lui telah menemukan sebuah rahasia. Gelombang semburan api itu menyebabkan papan batu pada mulut lubang terbakar merah sekali. Dengan begitu dinding yang membenam pedang pusaka Thian lui koay kiam itupun seharusnya juga akan berobah lunak.

Setelah merangkai kesimpulan itu, akhirnya ia bertindak nekad. Cepat ia melambung ke atas lubang seraya lontarkan sebuah hantaman yang berlambar tenaga-dalam penyedot.

Wut.....ah, ternyata yang diperhitungkan pemuda itu memang tepat sekali. Karena dinding terbakar dan lunak maka pedang pusaka itupun dapat tersedot keluar sampai beberapa inci.

“Bagus !" girang Gak Lui bukan kepalang. Semangatnya pun bertambah besar. Ia melayang ke-samping altar batu lalu melancarkan pukulan tenaga penyedot lagi. Pukulan kedua itu dapat membuat pedang menjulur keluar separoh.

Demikian ia ulangi lagi usaha itu dan yakin tentu akan berhasil. Tetapi menjelang saat akan barhasil itu tiba2 ia ada suatu hal yang menimbulkan keheranan serta keraguan hatinya.

Dulu ia pernah mendengar bahwa pedang pusaka itu ditempa dan dimasak dengan darah manusia. Oleh karenanya, warna pedang itupun merah darah. Tetapi apa yang dilihatnya saat itu sedikitpun tidak ada cahaya sama sekali.

“Ah, tentunya bukan pedang palsu?" sambil masih melancarkan pukulan, Gak Lui menimang dalam hati. Saat itu pedang yang satu meter masuk ke dalam dinding terowongan, saat itu hanya tinggal tiga inci. Jika perhatiannya terbelah, mungkin akan gagal. Pedang itu tentu akan jatuh ke dalam dasar lahar gunung berapi. Apabila terjadi begitu, tak mungkin ia dapat menyedotnya lagi.

Wut.... untuk yang terakhir kalinya ia lancarkan pukulan tenaga-penyedot dan pedang itupun mencelat melambung ke atas. Gak Lui cepat menyambarnya. Tetapi tiba2 tubuhnya miring dan jatuhlah ia ke bawah altar. Demikianpun dengan pedang itu.

“Aneh, mengapa pedang itu mempunyai daya begitu aneh?" diam2 ia terkejut. Tetapi pada lain saat ia cepat menyadari bahwa hawa panas yang disedotnya tadi terlalu banyak sehingga menghabiskan tenaga-murninya. Karena sudah berhasil menyedot keluar pedang pusaka itu, baiklah ia memulangkan tenaga dulu baru nanti memeriksa pusaka itu lagi.

Segera ia duduk bersila ditepi altar dan menyalurkan tenaga dalam Algojo dunia, sebuah jenis ilmu tenaga-dalam yang luar biasa anehnya.

Tak berapa lama darahnyapun sudah normal lagi dan saat itu ia makin terhanyut dalam semedhi ke dalam hampa.

Tak berapa lama istana Bi-kiong itupun terang, kiranya hari sudah terang tanah. Dia menyudahi penyaluran tenaga-murninya dan mulai memeriksa pedang.

“Aneh, mengapa bertahun-tahun terbenam dalam kepundan gunung berapi dan dibakar lahar panas, pedang dan sarungnya masih utuh. Sungguh aneh ...!" ia segera menjemput pedang dan menelitinya.

Bermula ia tak melihat suatu tanda apa2 pada batang pedang, begitu pula tiada hiasan apa2, batang pedang itu terbuat dari pada baja murni. Di ujung pedang terdapat sepasang guratan bundar yang merupakan lambang Thian (langit) dan Lui (halilintar).

“Hm, pedang ini memang tidak palsu...," diam2 ia girang. Diangkatnya pedang itu ke atas kepala dan berlututlah ia menengadahkan ke langit sambil mengucap doa kepada Bu-san-it-ho, cikal bakal dari perguruan Bu-san.

“Sucou, hamba Gak Lui bersumpah akan melaksanakan pesan takkan mengambil pedang ini. Tetapi karena keempat Bu-san Su-kiam dan banyak tokoh2 persilatan yang mati di tangan Maharaja Persilatan yang ganas itu, kecuali menggunakan pedang pusaka itu, tiada lain daya untuk menumpasnya .... Oleh karena itu hamba mohon sucou mengijinkan hamba untuk membawa keluar pedang ini dari istana Bi-kiong. Dan kumohon juga doa restu sucou agar dengan pedang pusaka ini aku dapat membalaskan sakit hati perguruan Bu-san-pay. Tentulah sucou akan meluluskan permohonan hamba ini....."

Baru berkata sampai disitu, tiba2 ia terpaksa hentikan doanya karena saat itu terasa bumi bergetar keras dan terdengar suara menggemuruh dahsyat. Seketika Gak Lui terkejut pucat. Dengan bercucuran keringat dingin, ia berteriak: “Sucou, adakah engkau tak meluluskan dan suruh aku mengembalikan pedang ini ditempatnya lagi? Tidak, ah, tidak! Aku tetap akan.....”

Kata2 itu terputus oleh suara dahsyat bagai naga meringkik. Kedahsyatannya benar2 bagai gelombang samudera yang sedang dilanda prahara. Menyusul dan melihat dari lubang kerak bumi menyembur gulungan api yang dahsyat....

Altar batu tempat duduk Lengan-besi-hati-baik tadipun terbakar merah. Sedang mulut lubang yang seluas hampir semeter itupun membara merah. Gulungan api itu membubung tinggi sampai ke tiang penglari lalu berhamburan mencurah ke seluruh penjuru.

Rupanya karena kehilangan pedang pusaka Halilintar atau Thian-lui-koay-kim, gunung berapi itu murka dan muntahkan lahar yang dahsyat. Seolah olah lahar itu hendak menghancurkan istana bi-kiong.

Panasnya hawa dalam ruang istana itu menyebabkan Gak Lui hampir tak kuasa membuka mata lagi. Karena gugup, sambil mengambil pedang pusaka, ia menutupi muka, ia berseru kearah gumpalan api yang menyembur dahsyat itu : "Pedang tetap kubawa! Aku bersumpah, takkan mencelakai orang baik. Kalau sampai melanggar, akan kubayar dengan darah...” sebelum ia menyelesaikan kata katanya, terdengar pula suara bergemuruh dahsyat.

Puncak wuwungan dari istana Bi-kiong itu sudah merekah sebuah lubang besar. Dengan memanggul pedang pusaka itu, Gak Lui segera menerjang keluar. Untunglah ia masih ingat jelas akan tata-gerak Ni coan-ngo heng. Dengan berputar-putar ia menerobos keluar dari terowongan yang berliku-liku. Setiap ia tiba disebuah tempat, maka tempat yang habis dilaluinya itu tentu sudah bengkah. Hampir saja ia tergelincir kedalam liang kepundan.

Dengan susah payah dan penuh bahaya akhirnya berhasil juga ia mencapai mulut jalan keluar dari istana Bi kiong. Dan kembali ia berhadapan dengan sebuah rintangan. Pintu batu yang tinggi besar dari istana itu masih tertutup rapat. Beberapa saat, ia tak dapat menemukan alat pembuka pintu itu.

Betapapun besar nyalinya, tetapi dalam keadaan dan tempat seperti saat itu, mau tak mau gemetarlah hati Gak Lui.

Dengan tenaga yang dimilikinya, ia merasa tak mampu menghantam hancur pintu. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang telah disalurkan oleh paman gurunya si Lengan-besi-hati-baik penunggu pedang Thian-lui-koay-kiam, ia masih belum berani memastikan kalau dapat menghantam pecah pintu batu itu.

Namun saat itu keadaan sudah mendesak sekali. Tanah membengkah dan lahar mengalir. Dalam gugup terpaksa tiada lain pilihan. Ia kerahkan seluruh tenaga-dalam lalu menghantam dengan sekuatnya, bum ...

Ia tertegun dan kesima. Pintu batu yang besar dan tinggi itu jebol dan terbukalah sebuah lubang cukup untuk tubuh seseorang. Pada lain saat Gak Luipun cepat menyelinap keluar. Dengan beberapa kali berloncatan diudara, ia dapat melintasi beberapa batu titian diluar istana lalu keluar dari Ciok-tin atau barisan batu yang berada pada keenam puncak lapisan dalam.

Kini ia berhasil keluar dan sudah berada ditengah keenam puncak-gunung lapisan luar.

Saat itu istana Bi-kiong sudah tak kelihatan. Yang tampak hanya gulungan asap membubung keudara. Batu hancur bertebaran. Istana Bi-kiong, sebuah bangunan kuno dalam dunia persilatan, kini meledak dan rusak berantakan.

Untuk beberapa saat Gak Lui memandang kesemuanya itu dengan helaan panjang. Pesan cikal bakal perguruan Bu san yakni Bu san It-ho dan kematian paman gurunya si Lengan-besi-hati-baik, meninggalkan goresan kesan dalam hatinya.

Setelah lautan asap itu berkurang, barulah hatinya tenang. Ia mulai memeriksa pedang pusaka Thian-lui koay-kiam lagi. Sarung pedang itu berlekuk-lekuk tak rata dan lagi berbentuk bulat. Bukan terbuat daripada emas atau besi melainkan dari batu lahar yang sudah keras sekali.

"Ah, tak mungkin," pikir Gak Lui, "masakan kerangka pedang terbuat daripada batu. Tentulah kerangka yang aselinya sudah terbakar hangus oleh lahar. Entah bagaimana dengan batang pedangnya?"

Buru2 ia menarik tangkai pedang. Tetapi pada saat tangan menyentuh tangkai, segera ia merasakan suatu tenaga mengalir ketangannya dan pada lain saat hatinyapun goncang keras. Nafsu pembunuhan serentak bergolak golak.

"Bunuh! Bunuh! Bunuh!" demikian hatinya melolong seperti orang kalap. Darahnyapun mengalir deras. Dibawah pengaruh tenaga ajaib dari pedang itu, Gak Lui telah kehilangan kesadaran pikirannya.

Pada saat2 yang genting itu tiba2 dari luar gunung terdengar tiga buah teriakan nyaring : "Gak Lui .. Gak Lui .. dimana engkau .. ?”

Suara itu tak asing baginya. Kecuali satu yang kurang jelas, yang lainnya terang yalah ketua Partai Jembel si Raja-sungai Gan Ke-ik, sedang satunya yalah Pok Tin yang belum lama berpisah dengannya.

Menilik gelagatnya, rupanya Pok Tin sudah mengetahui jejak orang berkerudung muka maka buru2 mereka datang memberitahu kepadanya.

Tetapi saat itu hati Gak Lui sudah berobah. Dia tak menghiraukan lagi siapa yang datang itu. Seperti seekor binatang buas, mulutnya meraung kata 'bunuh' seraya mencabut pedang laknat Thian-lui-koay-kiam.

Andaikata saat itu pedang laknat Thian-lui-koay-kiam dapat tercabut, tentulah akan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan. Gak Lui sudah seperti orang gila. Tak tahu lagi dia siapa ketiga kawannya itu. Mereka tentu akan dibunuhnya. Tetapi untunglah terjadi suatu kejadian yang diluar dugaan.

"Uh ...." betapapun ia kerahkan tenaga namun tetap tak mampu mencabut pedang itu dari kerangkanya.

"Aneh?" ia menggumam sendiri. Pedang itu seperti sudah melekat dengan kerangkanya. Kalau ia memaksa hendak mencabut, batang pedang itu tentu akan patah tetapi tak mungkin keluar dari kerangkanya.

"Ah .. ," karena kesal hatinya, ia lepaskan pedang itu. Sesaat pedang terlepas pikirannya yang buas itupun tiba2 lenyap. Kesadaran pikirannyapun kembali lagi.

"Huh, sungguh mengerikan! Baru memegang tangkainya saja pikiranku sudah gelap, nafsuku membunuh orang berkobar. Untung tak dapat mencabut batang pedangnya. Kalau pedang itu tercabut, mungkin tentu sudah melanggar sumpahku tadi !”

Pengalaman itu membuatnya tak berani memegang pedang itu. Sekali lagi ia meneliti pedang aneh itu. Ternyata pedang itu sudah tak mempunyai kerangka. Batang pedang melekat pada leher yang sudah membeku keras. Setelah berlangsung berpuluh tahun, gumpalan lahar itu makin tebal dan keras. Maka pedang itu sesungguhnya bukan pedang lagi melainkan sebatang tongkat batu. Digunakan, pedang batu itu membikin pikiran orang gelap dan tak berguna untuk menghadapi musuh.

"Ah, bagaimana ini ?" betapapun cerdiknya namun saat itu Gak Lui tak dapat memecahkan persoalan yang dihadapannya.

"Baik kucabut sajakah ? Ah, tak mampu. Kupukul ? Ah, mungkin putus. Lalu bagaimana?"

Tiba2 ia teringat akan pedang Pelangi yang juga sebuah pedang pusaka yang dapat memapas logam seperti memapas tanah liat. Cepat ia mencabut pedang itu dan mencobanya. Tetapi sampai beberapa kali, ia hanya berhasil memapas sedikit sekali.

"Hm, kalau tak dapat dipapas, tentu dapat diasah...," cepat ia berganti pikiran. Tetapi secepat itu ia teringat bahwa lahar yang membeku keras tentu tak dapat diasah dengan batu biasa. Serentak ia teringat bahwa ia masih membekal beberapa batu berlian berasal dari Lembah Maut. Berlian adalah batu yang paling keras. Dengan batu berlian itu, ia segera mulai menggosok pedang batu. Ujung dari batu pedang itu dapat menipis juga.

"Bagus, sedikit banyak ada hasilnya. Untunglah Siu-mey masih membawa banyak batu berlian. Nanti kalau jumpa dengannya, akan kuminta untuk menggosok pedang ini," pikirnya.

Tiba2 ia mendengar teriakan si Raja-sungai dari tepi hutan. Ia tak berani gegabah masuk ke-dalam hutan itu melainkan berteriak menyahut. Dalam pada itu ia merobek lengan baju untuk membungkus pedang batu itu. Menjaga agar jangan sampai terulang pedang itu akan membikin kalap pikirannya. Sambil memanggul pedang, ia segera loncat menuju keluar dari gunung Busan.

Tak berapa lama bertemulah ia dengan rombongan Raja-sungai Gan Ke-ik. Diantaranya tampak seorang tua yang memegang sebatang tongkat mustika. Menilik pakaiannya yang compang camping, Gak Lui duga orang tua itu tentu seorang tokoh sakti dari partai Pengemis.

Gak Lui terkejut. Mengapa kedua partai Pengemis dan partai Gelandangan yang saling bermusuhan, dapat berjalan bersama-sama ?

"Gak sauhiap," tiba2 si Raja-sungai sudah mendahului membuka mulut, "perkenalkanlah saudara ini yalah ketua Partai Pengemis Ong Ping-gak. Kali ini saudara Ong datang sendiri ke Kanglam untuk membantu."

Gak Lui buru2 memberi hormat kepada tokoh itu dan mengucapkan beberapa patah kata merendah.

Demikian setelah saling berkenalan, maka dengan jujur tokoh Partai Pengemis itu berkata : "Aku merasa menyesal sekali. Sebagai seorang ketua aku tak mampu mengatasi cabang partaiku didaerah selatan. Maka aku merasa berterima kasih kepada sauhiap yang telah membunuh si Pengemis Bengis itu."

"Ah, harap lo-cianpwe jangan merendah diri," sahut Gak Lui.

"Dan kudengar pula bahwa si Pengemis Ular hendak menyerang Ceng-sia-pay. Maka kuperlukan datang kemari untuk membantu barisan orang gagah dan menumpas penghianat itu untuk membersihkan nama Kay-pang !"

Gak Lui tertawa: "Ya, kalau dapat dipersatukan kembali, alangkah tepatnya kalau cianpwe yang memegang tampuk pimpinan. Selain dapat mengendalikan partai Kay-pang, pun merupakan suatu berkah bagi dunia persilatan."

Setelah itu Gak Lui lalu berkata kepada Pok Tin: "Kedatangan saudara ini tentu membawa berita baik !”

Pok Tin tertawa gelak2: "Benar, aku sudah menemukan sarang penjahat itu !"

"O !"

"Sebenarnya hal itu terjadi secara tak sengaja. Dalam mencari jejaknya aku tak mempunyai arah tertentu. Tetapi pada waktu melintasi gunung Hek-san, aku menemukan sedikit jejak.”

"Apakah itu ?"

"Pada waktu masuk kedaerah gunung itu, saat itu pada tengah malam, Kulihat sebuah penerangan dipuncak gunung.”

"Lalu ?"

"Aku curiga lalu menghampiri. Kiranya penerangan itu timbul dari perut gunung tetapi tak ada suatu gerakan, atau seorang manusiapun yang muncul. Tiba2 aku menyadari ...."

"Apakah orang sedang membuat api untuk menempa pedang ?"

"Benar ! Memang demikianlah dugaanku," tetapi tiba2 Pok Tin berhenti karena merasa keterangannya itu ada sebagian yang salah.

Ia tahu bahwa Pukulan-sakti The Thay itu seorang yang keras hati. Tak mungkin ia mau disuruh orang untuk menempa pedang.

"Saat itu ingin sekali aku terus hendak menerobos untuk melihatnya. Tetapi aku teringat akan pesan supaya jangan menggunakan kekerasan. Akhirnya aku dengan hati2 mendekati tempat itu dan benar juga telah mengetahui jejak dari si Orang Berkerudung.”

"Dan siapa lagi?"

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---



"Seorang nona yang cantik ..."

"Oh...!" Gak Lui terkejut. Ia duga tentulah The Hong-lian, "nona itu bagaimana keadaannya? Ditawan atau ..."

"Jangan kuatir!" Pok Tin tertawa, "nona itu lincah sekali. Dia juga bersembunyi dalam hutan seperti menunggu kesempatan untuk turun tangan.."

"Adakah kalian tak saling jumpa dan adakah engkau tak memberitahukan keadaanku kepadanya?" tanya Gak Lui.

"Ini ... tidak," Pok tin tertegun, "aku tak tahu kalau kalian sudah saling kenal. Maka aku malah bersembunyi seperti orang yang main kucing2an."

“Tak apa," kata Thian Lui, "pedang pusaka itu sudah kudapatkan dan kita segera mencari mereka."

"Perlukah kubantu?"

"Ah, tak perlu merepotkan saudara."

Pok Tin melangkah maju setengah tindak, katanya: "Aku sendiri memang mempunyai urusan juga."

"Soal apa?"

"Demi urusanmu, aku terpaksa menahan keinginan hati untuk bertempur. Tetapi kalau engkau hanya seorang diri dan musuh berjumlah tujuh sampai delapan orang, seharusnya engkau bagi kepadaku yang dua atau tiga orang!"

Mendengar itu tahulah Gak Lui bahwa Pok Tin kambuh lagi penyakitnya untuk menantang orang bertanding pedang. Maka ia tertawa : "Kelak dalam rapat di Ceng-sia, tentu yang hadir terdiri dari golongan Putih dan Hitam tentu banyak yang hadir. Jika hendak mencari orang itu untuk diajak bertanding, tentulah cukup banyak ..."

"Kalau siorang berkerudung itu sudah engkau bunuh, mana ada rapat lagi?"

"Ah, saudara keliru," kata Gak Lui, "Kaki tangan Maharaja Persilatan banyak sekali. Boleh dikata seluruh kaum persilatan golongan Hitam, menjadi kaki tangannya. Gerombolan orang berkerudung dapat kubasmi tetapi kaum durjana tetap masih banyak!"

"Soal itu ....." tengah Pok Tin masih merenung, kedua ketua partai Pengemis dan Jembel itu segera ikut campur bicara : "Ah, tak perlu kiranya saudara kecewa. Nanti apabila terjadi pertempuran dahsyat, saudara pasti akan kita minta ikut. Pasti puaslah!"

"Apakah saudara ketua berdua berani menjamin?"

"Dalam lain2 hal tak berani tetapi dalam hal itu kami berani memberi jaminan."

"Baik," akhirnya Pok Tin mau mengalah.

Gak Luipun memberi hormat minta diri kepada ketiga orang itu. Tetapi baru ia hendak melangkah pergi, si Raja-sungai Gan Ke-ik mencegahnya : "Tunggu dulu! Tadi istana Bi-kiong tiba2 meledak sehingga kami terkejut sekali. Mengapa hal itu terjadi seharusnya engkau menerangkan kepada kami."

Sejenak berdiam diri, akhirnya Gak Lui menerangkan dengan terus terang : "Ya, aku sudah berhasil mendapatkan pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam dari perguruanku."

"O..." ketiga tokoh itu serentak berseru kejut dan terbeliak. Pedang Thian-lui-koay-kiam itu merupakan pedang yang sudah hampir terlupakan dalam dunia persilatan. Mereka ingin tahu bagaimana keadaan pedang yang termasyhur itu.

"Dapatkah kami melihat sebentar pedang pusaka yang termasyur itu?" lebih dulu Raja-sungai Gan Ke-ik atau ketua partai Gelandangan bertanya paling dulu.

Gak Lui mempunyai kesan yang baik terhadap ketiga orang itu. Setelah merenung sejenak ia mengangguk : "Baik, sayang tak ada sesuatu yang menarik pada pedang itu," ia terus membuka bungkusan kain baju.

Demi melihat keadaan pedang yang tak menyerupai pedang melainkan seperti sebatang tongkat batu, ketiga tokoh itu leletkan lidah karena merasa heran.

Beberapa saat kemudian berkatalah si Raja-sungai pula : "Gak sauhiap, pedang termasyur itu benar2 sesuai dengan namanya yalah Koay atau aneh ..."

Juga ketua Partai Kay-pang menambahi pendapat rekannya : "Sepintas pandang tidak lagi menyerupai pedang melainkan seperti sebatang tongkat batu ..."

Pun Pok Tin ikut memberi komentar, "Saudara Gak, kalau begitu tak dapat melihat jelas. Maukah engkau menariknya keluar batang pedangnya?"

"Maaf," kata Gak Lui dengan wajah serius lalu memanggul pedang itu lagi, "untuk saat ini pedang pusaka ini belum dapat dicabut keluar. Kelak saja kuunjukkan pada saudara2."

Ketiga orang itu menduga tentu ada sesuatu yang terjadi pada pedang pusaka itu. Maka merekapun tak mau banyak bertanya.

"Saudara Gak," tiba2 Raja sungai Gan Ke-ik buka suara lagi, "kabarnya engkau telah berjumpa dengan Kaisar Persilatan dan mendapat pusaka Thian-liong-kim-jiu. Sudah bertahun tahun aku tak berjumpa dengan Li tayhiap itu. Dengan melihat pusaka Kim-jiu, berarti sama dengan melihatnya."

"Baiklah," Gak Lui tak keberatan atas permintaan orang. Dengan hati2 ia mengeluarkan pusaka pemberian Kaisar Persilatan itu.

Ketika melihat pusaka itu terkenanglah si Raja-sungai akan peristiwa yang lampau dimana ia dahulu bersama Kaisar Persilatan, berjuang bahu membahu untuk membasmi kawanan durjana persilatan.

Ketua Partai Gelandangan itu termangu-mangu mengenangkan masa yang lampau dengan Kaisar Persilatan ...

Sebenarnya Gak Lui ingin lekas2 pergi tetapi karena melihat ketua Partai Gelandangan itu masih tertegun sambil mencekal pusaka Kim-jiu, terpaksa ia segan untuk mengganggunya.

Dalam pada menunggu itu, Gak Lui menyempatkan diri untuk berpaling memandang kearah istana Bi kiong diatas gunung Bu-san.

Berbareng pada saat itu, si berangasan Pok Tinpun ikut berpaling memandang kearah gunung itu. Tetapi matanya cepat tertarik akan sesuatu yang terdapat pada barisan batu2 aneh dari ke enam puncak-gunung lapisan luar. Ia kerutkan dahi.

Pada saat sekalian orang sedang terbenam dalam kenangan masing2, tiba2 Pok Tin loncat ke-arah barisan batu itu dan secepat kilat kedua tangannya menaburkan sepuluh batang pedang-terbang.

Sekalian kawannya terkejut tetapi cepat mereka tahu tentulah tindakan si berangasan itu mempunyai sebab.

Ketika mereka mencurahkan mata kearah barisan batu itu segera samar2 mereka melihat sesosok tubuh manusia sedang bersembunyi dalam barisan itu.

Belum mereka tahu siapa orang itu, Pok Tin sudah kedengaran berseru, "Hai, Orang berkerudung, kiranya engkau juga muncul !"

Kejut Gak Lui bukan alang kepalang. Kalau gerombolan Manusia-berkerudung-muka itu masih berada digunung Hek-san menempa pedang, tak mungkin mereka muncul disitu. Dan sekalipun datang, juga tak mungkin mampu masuk kedalam barisan batu digunung Bu-san.

Kalau begitu pendatang yang bersembunyi dibalik barisan batu itu tentu si Maharaja sendiri. Ya, tak dapat disangsikan lagi.

Dendam darah....! Musuh besar....! Seketika meluaplah darah Gak Lui. Apalagi ketika melihat si brangasan Pok Tin sudah maju menyerang, tentu berbahaya.

Serentak tubuh Gak Lui berputar dan dengan gerak kecepatan yang hampir tak dapat dipercaya, tubuhnyapun sudah melambung keudara.

Saat itu dari barisan batu berhembus angin yang mengandung tenaga-dahsyat. Tring, tring.... taburan ke 10 pedang dari Pok Tin tadi pun berhamburan jatuh keempat penjuru.

Tetapi si brangasan Pok Tin tetap nekad menyerbu kedalam barisan batu.

“Celaka!" Gak Lui mengeluh. Tepat pada saat itu terdengar letupan keras.

Tubuh Si berangasan Pok Tin yang tinggi besar, bagai sebuah layang2 yang putus tali terdampar berputar-putar diudara. Dengan menyemburkan darah, dia meluncur turun dan rebah tak bangun lagi.

Kejadian itu berlangsung dalam waktu sekejab mata hingga Gak Lui tak keburu memberi pertolongan lagi. Bahkan ketua Partai Pengemis dan Partai Gelandanganpun memburu kedalam barisan untuk menolong, tetapi tetap terlambat.

Pada saat Gak Lui meluncur kedalam barisan, rupanya orang berkerudung muka itu tak mau melayani. Dengan sebuah loncatan dari ilmu Meringankan tubuh yang mengagumkan, orang itu melayang mundur sampai tiga lapis batu disebelah belakang lalu menyelinap ke sebelah kiri.

Sekalipun orang itu membelakangi den mengenakan jubah hitam, tetapi mata Gak Lui yang tajam cepat dapat mengenali punggung orang itu. Hatinya tegang sekali.

Baru ia hendak melambung keudara lagi, tampak kedua ketua partai perguruan itu sudah menyusup kebelakang gunung. Tampak pula wajah mereka seperti orang yang bingung karena tak dapat menemukan jalan. Rupanya mereka seperti tersesat.

Karena hal itu, perhatian Gak Lui beralih tercurah kepada keadaan kedua ketua partai perguruan itu, serunya: "Tiga langkah, belok ke-kiri !”

Kemudian seperti bintang meluncur, Gak Lui gunakan gerak Ni-coan-ngo-heng untuk menyerbu kedalam barisan batu.

Tetapi orang berkerudung muka itu juga tak kalah gesitnya. Tetapi rupanya ia faham akan barisan batu itu. Setelah setengah li, ia teringat akan seruan Gak Lui kepada kedua ketua partai persilatan tadi. Maka iapun menirukan. Setiap tiga langkah, membiluk kekiri.

Oleh karena itu setelah melalui beberapa tikungan, akhirnya ia dapat dikejar Gak Lui.

Kini keduanya saling berhadapan, Mereka saling mendesuh kejut. Terutama Gak Lui. Dia cepat mencabut sepasang pedang. Mulutnya berbuih, mata memancarkan sinar pembunuhan yang seram ....

Kiranya orang berkerudung yang berada di-hadapannya itu bukan lain yalah si Maharaja Persilatan sendiri. Durjana yang ganas tetapi sakti.

Dengan mengerut geraham menahan dendam kebencian, berserulah Gak Lui dengan nada sedingin es : "Bangsat keparat ! Karena sudah berani masuk ke Busan jangan engkau mimpi akan lari dari sini. Dengan cara Tiga-langkah-biluk-ke-kiri yang tolol itu, jangan harap seumur hidup engkau mampu keluar dari sini ...."

"Heh, heh, heh....." orang itu mengekeh seram, "Budak kecil Gak, sebenarnya aku sudah keliwat berlaku murah hati kepadamu tetapi engkau sendiri yang tetap hendak cari mati. Dan lagi kali ini ... hm, hm , .. aku tak memerlukan keteranganmu lagi ....."

"Engkau tak perlu bertanya tentang keempat Bu-san Su-kiam itu lagi?"

"Ha, orang sudah mati, tak perlu ditanyakan lagi !" sahut Maharaja.

Mendengar itu serentak teringatlah Gak Lui akan keterangan nona Yan-hong si Burung-hong-cantik dari Busan, bahwa nona itu telah memberi pertandaan dengan dahan pohon pada goha tempat pemakaman ayahnya tetapi ternyata dapat diketahui orang. Nona itu tak tahu siapakah orang yang menyelundup untuk menyelidiki jenazah ayahnya. Tetapi kecurigaannya jatuh kepada diri Tio Bik lui.

Kini setelah mendengar kata2 si Maharaja, barulah Gak Lui menyadari bahwa yang melakukan perbuatan itu tentulah si Maharaja.

Gak Lui gemerincingkan pedangnya seraya berseru bengis : "Rupanya semua keinginan sudah terpenuhi. Nah, lekaslah engkau memberitahukan namamu sebelum menerima kematian !"

"Memberi tahu nama ?" Maharaja mengulas heran.

"Menangkap bintangpun tahu namanya, masakan engkau manusia tak bernama ?" balas Gak Lui.

"Heh, heh," Maharaja mengekeh, tubuhnya menggigil menahan kemarahan, kemudian dengan menekan perasaan ia menyahut: "Aku sudah mempunyai gelar kehormatan. Mengapa harus menggunakan nama dahulu lagi ? Dan lagi engkau…."

"Aku bagaimana ?"

Maharaja menatap Gak Lui dengan pandang ber-kilat2. Menyusuri seluruh tubuh Gak Lui, dari kaki sampai ujung kepala.

Dengan nada agak meragu, Maharaja berseru : "Dimana pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam yang engkau curi itu ? Lekas serahkan padaku !"

"O, engkau menanyakan pedang itu ?"

"Benar !"

Gak Lui tengadahkan kepala tertawa nyaring. Kiranya karena pedang pusaka itu dibungkus dengan kain dan dipanggul dipunggung, karena bentuknya sudah tak menyerupai seperti pedang lagi, maka seorang durjana julig semacam Maharaja pun tak dapat mengenalinya.


Maka sambil kisarkan langkah, Gak Lui tak mau menjawab bahkan balas bertanya : "Kecuali pedang, masih ada sebuah pusaka lagi. Mengapa tidak engkau tanyakan ?"

"Pusaka yang mana ?" Maharaja pura2 tak tahu.

"Pusaka Thian Long-kim jiu !"

"Ini ..."

"Perlu apa engkau berlagak pilon ? Bukankah sudah beberapa kali engkau suruh orangmu untuk merebut ? Masakan engkau lupa !"

Sambil meneguk air liur, Maharaja membentak : "Jangan ngacau balau ! Yang kutanyakan padamu sekarang ini yalah soal pedang itu !"

Diam2 Gak Lui menimang, ia tahu bahwa Maharaja itu tentu menginginkan kedua benda pusaka itu. Tetapi karena ia belum tahu jelas tentang pedang Thian-lui-koay-kiam, maka ia menekankan pertanyaan pada benda itu.

Sambil gentakkan bahu dan menunjuk pada bungkusan kain yang dipanggulnya, Gak Lui berseru : "Benda itu berada padaku, engkau dapat melihat atau tidak ?"

"O…." Maharaja mendesuh kejut dan menyurut mundur dua langkah kebelakang. Wajahnya berobah2 tak menentu.

Melihat kerut wajah dan sikap orang, tahulah Gak Lui bahwa orang sudah ber-siap2 hendak turun tangan. Tetapi agaknya Maharaja itu masih gentar akan pedang pusaka yang berada ditangan lawan.

Pada saat Maharaja masih ragu2, Gak Lui-pun diam2 sudah kerahkan tenaga-dalam dan secepat kilat taburkan sepasang pedangnya. Bagaikan dua buah petir yang menyambar, yang satu menusuk kening dan yang satu menusuk dada lawan.

Maharaja sebenarnya sudah tahu bahwa Gak Lui sudah mendapat warisan ilmu dari Sam-coat (Tiga durjana) dan Sam yau (Tiga siluman), enam tokoh persilatan yang termasyhur. Tetapi setitik-pun Maharaja tak menduga sama sekali bahwa Lengan-besi-hati-baik juga telah menyalurkan tenaga murninya kepada anak muda itu.

Melihat kedahsyatan serangan lawan, Maharaja batalkan rencana untuk mengalah sampai beberapa jurus. Setelah dapat keterangan jelas tentang pedang pusaka itu, barulah ia turun tangan membalas.

Tetapi ternyata perhitungannya meleset. Serangan Gak Lui sedemikian cepat dan maut sehingga ia tak keburu untuk mencabut pedang lagi. Untunglah berkat pengalamannya yang luas dan kepandaiannya yang tinggi, ia masih dapat mengempiskan dadanya sampai setengah meter kebelakang. Berbareng itu ia tengadahkan muka dan kibarkan kepalanya menggunakan jurus Naga-hjau-goyang-kepala.

Wut, wut .... terdengar dua buah arus angin menderu keras. Sayang karena terlalu bernafsu sekali untuk membalas dendam sehingga kurang tenang. Serangannya maut itu dapat dihindari musuh hanya pada jarak seujung rambut saja.

Sebenarnya dalam ilmu tenaga-dalam, sekarang Gak Lui sudah tak kalah dengan Maharaja. Hanya dalam pengalaman memang ia masih kalah. Juga dalam soal keyakinan, ia kalah jauh dari Maharaja yang sudah berjerih payah meyakinkan ilmu kepandaian sakti selama berpuluh tahun.

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---



Serangannya luput, Gak Lui makin kalap. Hanya berhenti dalam sekejap saja, tampak tubuh Maharaja sudah menggelembung besar. Kelima jarinya yang menyerupai cakar baja segera mencengkeram bahu lawan.

Sebenarnya Gak Lui tak gentar sama sekali menghadapi Maharaja itu. Tetapi ia mencemaskan pedang Thian-lui-koay-kiam itu akan timbul keanehannya.

Cepat ia kisarkan langkah menghindar lalu kiblatkan pedang Pelangi membelah dada lawan.

Apabila tokoh persilatan kelas tinggi saling bertempur, kalah menang itu dapat ditentukan dalam sekejap mata.

Maharaja karena congkak, maka dalam babak pertama ia terdesak. Tetapi Gak Lui karena terlalu bernafsu, permainan pedangnyapun kurang mantap.

Pada saat Gak Lui menggerakkan pedang, dengan mendengus dingin, Maharaja sudah menarik pulang tangannya yang hendak merebut senjata lawan tadi, dan serempak dengan miringkan tubuh ia terus hendak menyambar pergelangan tangan Gak Lui.

Gak Lui tahu bahaya tetapi sudah tak keburu lagi hendak menghindar. Seketika tangannya serasa membentur aliran listrik. Lima buah jalan darah pada pergelangan tangannya telah dicengkeram lawan ....

Keadaan itu sungguh berbahaya sekali. Apabila Maharaja menekankan kuku2 jarinya yang runcing, tangan Gak Lui pasti hancur lebur.

Dalam gugup, untunglah Gak Lui cepat timbul akalnya. Buru2 ia gunakan ilmu tenaga dalam Kian-gun-it-sat atau Algojo-dunia, untuk menyedot tenaga lawan.

Alangkah kejut si Maharaja ketika dapatkan tangan pemuda itu selemas kapuk dan memancarkan daya sedot yang keras. Ia seorang tokoh yang kaya pengalaman. Tahu hal itu berbahaya, cepat ia menarik tangannya dan hendak loncat kebelakang.

Tetapi pedang Pelangi yang dimainkan Gak Lui tadi belum sempat dihentikan dan masih melayang itu dapat disambar Maharaja.

Kejut Gak Lui bukan kepalang. Dengan mendapat pedang itu, Maharaja seperti harimau tumbuh sayap. Keganasannya pasti menjadi-jadi. Dan lagi pedang itu adalah pusaka perguruan Bu-tong. Dan ia sudah berjanji akan mengembalikannya kepada yang berhak. Dengan direbutnya pedang itu, tentu sukar ia akan dapat memenuhi janjinya.

Gak Lui nekad. Tanpa memindahkan pedang ditangan kiri ketangan kanan, secepat kilat sambil condongkan tubuh ia membabat siku lengan lawan.

Gerak serangan pemuda itu cepatnya bukan kepalang, tetapi ternyata Maharaja juga tak kalah cepatnya. Apalagi saat itu ia sudah memegang pedang pusaka yang tajamnya bukan kepalang.

"Heh, heh, heh ...” sambil tertawa mengekeh Maharaja taburkan pedang untuk memapas pedang Gak Lui.

Tring, tring ... terdengar dering gemerincing dari dua batang pedang yang saling beradu. Dalam serangan itu dan adu pedang itu, pedang Gak Lui yang memancarkan sinar putih, makin lama tampak makin pandak. Kebalikannya, pedang Maharaja yang bersinar kehijau hijauan tetap seperti semula, bahkan makin lama makin dahsyat gerakannya.

Memang pedang yang dimainkan Gak Lui itu adalah pemberian dari gi-hu atau ayah-angkatnya si Pedang Aneh, terbuat daripada baja murni. Tetapi mana mampu menandingi pedang Pelangi, pedang pusaka dari perguruan Bu-tong-pay.

Setelah jurusnya selesai, pedang Gak Lui hanya tinggal tangkainya saja. Sedangkan serangan Maharaja makin ganas dan saat itu sedang mengarah kedadanya.

Dalam keadaan terdesak, Gak Lui lontarkan tangkai pedang itu ke dada lawan. Maharaja tak berani memandang ringan. Lebih dulu ia menampar tangkai pedang itu baru kemudian lancarkan serangannya lagi untak menusuk ulu hati lawan.

Pada saat Maharaja menangkis tangkai pedang, kesempatan itu digunakan Gak Lui untuk mundur setengah tombak. Walaupun dengan tangan kosong, tetapi ia tak gentar. Cepat ia gerakkan tangan kiri menghantam dengan pukulan Menundukkan-iblis. Sedang tangan kanan secepat kilat merogoh kedalam baju.

"Heh, heh, serahkan jiwamu!" Maharaja mengekeh dan songsongkan tangan kirinya menangkis. Pedang Pelangi dengan kecepatan yang luar biasa menusuk lawan.

Tring .... terdengar benturan benda yang mendering keras. Gak Lui terhuyung mundur dua langkah. Tetapi saat itu ia sudah dapat mengambil keluar pusaka Thian-liong kim-jiu.

"O, kiranya benda itu juga ada padamu!" walau kaget karena tusukannya membentur benda keras, berobah menjadi rasa girang sekali ketika melihat pusaka Kim jiu. Serentak ia perhebat serangan pedangnya dalam kecepatan yang luar biasa.

(Halaman 64 – 65 tidak ada…)

Memang kedua ketua kaum pengemis dan gelandangan itu merupakan tokoh2 kelas dalam dunia persilatan. Tetapi dalam hal ilmu pengetahuan tentang jalan-darah tubuh manusia, ternyata Maharaja lebih unggul setingkat.

Dalam gugupnya, si Raja-sungai Gan Ke-ik terpaksa lemparkan pedang dan loncat kebelakang. Setelah ia gunakan tiga jurus ilmu-istimewa ajaran Kaisar Persilatan, barulah ia dapat terhindar dari rasa malu karena pedangnya terbabat kutung.

Sedang ketua Kay-pang, masih mending keadaannya. Karena menggunakan tongkat kumala dan lawan dengan tangan kosong, cepat ia menarik tongkat untuk melindungi tubuh. Gerakannya itu ternyata memang tepat pada saatnya.

Dalam pada itu setelah memulangkan napas dan mengatur tenaga murni, Gak Lui segera mulai menyerang lagi dengan pusaka Thian-liong-kim jiu.

Demikianlah dalam sebuah tempat yang istimewa dan jarang terdapat didunia, telah terjadi juga dalam dunia persilatan.

Pedang berkelebat, tongkat menyambar, pukulan menderu dan anginpun berhamburan laksana suatu prahara. Batu pecah, pasir berhamburan membubung keangkasa.

Gak Lui gunakan pukulan ilmu Menaklukkan-iblis, perbawanya seperti menghancurkan gunung. Sedang pusaka Thian-kim-jiupun menyambar-nyambar memancarkan sinar maut yang merontokkan nyali orang.

Tongkat-kumala dari ketua Kay-pang, juga sedahsyat hujan mencurah. Tenaganya makin lama makin menyirap darah orang.

Sedang ketua Partai Gelandangan, si Raja-sungai Gan Ke-ik mengandalkan tiga jurus ilmu-istimewa ajaran Kaisar Persilatan. Dengan ilmu itu ia dapat mempertahankan diri. Ditambah pula dengan ilmu pukulan Api-petir dari perguruannya, iapun dapat melancarkan serangan balasan.

Diserang oleh tiga musuh yang tangguh, si Maharaja masih tetap congkak. Ia keluarkan jurus permainan dari kelima partai persilatan : bu-tong, Ceng sia, Heng-san, Kong-tong dan Siau-lim.

Pedang Pelangi berkelebatan memancar sinar keempat penjuru. Baik bertahan maupun menyerang, dilakukan dengan serba cepat. Jelas ia tak kalah angin.

Namun betapapun lihaynya Maharaja, karena dikerubut oleh tiga tokoh sakti, apalagi kepandaian Gak Lui itu tak terpaut banyak atau hampir berimbang dengannya, diam2 ia sudah mengeluh dan membayangkan kekalahan.

Keadaan si Maharaja cepat diketahui Gak Lui. Maka sambil menyerang, ia membentak bengis: "Huh, kematianmu sudah hampir tiba, apakah engkau tetap tak mau memberitahukan namamu yang aseli...?"

Ucapan pemuda itu bagai air dingin yang mengguyur kepala Maharaja. Tubuhnya gemetar. Matanya berkeliaran dan cepat ia memutuskan untuk meloloskan diri ....

”Baik, kalian dengarkanlah yang jelas," ia tertawa nyaring sambil menarik serangannya.

Gak Lui dan kedua kawannya pun perlambat serangannya dan pasang telinga. Nama aseli dari Maharaja itu memang merupakan rahasia besar dalam persilatan. Setiap orang persilatan ingin sekali mengetahui. Gak Lui bertiga ingin menyiarkan berita nama aseli dan kematian dari si Maharaja kepada dunia persilatan.

Maharaja meneguk air liur, tiba2 ia ngangakan mulutnya. Seketika ketiga orang itu rasakan matanya pudar, kepala pening dan kakipun miring sehingga tubuh mereka hampir rubuh.

Ternyata pada saat ketiga lawannya menumpahkan perhatian, bukan menyebutkan namanya yang aseli tetapi kebalikannya Maharaja malah dengan sekuat tenaga menghamburkan ilmu suitan Pencabut nyawa. Sebuah ilmu suitan yang tenaganya dapat menghancurkan batu dan kumandangnya menembus awan dilangit .......

Bab 27. Rahasia musuh.

Yang pertama terkena pengaruh suitan Pengikat-nyawa adalah ketua Kay-pang Ong Ping-gak. Ia lepaskan tongkat kumala dan menutup telinganya lekat2. Kepalanya bercucuran keringat dingin. Menilik sikapnya, rupanya ia menderita kesakitan hebat!

Raja-sungai Gan Ke-ik masih mendingan. Dalam gugup ia masih dapat menyalurkan tenaga-murni lalu tekankan pedang ke tanah untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.

Gak Lui terkejut. Tanpa menghiraukan keselamatan diri, ia ulurkan tangan kiri untuk menyangga tubuh ketua Kay-pang. Lalu ia sendiri menutup ketujuh lubang indera, untuk melawan pengaruh suitan maut itu .....

Tetapi setelah mendapat angin, Maharaja tak mau kendorkan serangannya. Ia makin memperdahsyat suitannya.

Bluk ... bluk ... terdengar dua suara tubuh jatuh ke tanah. Raja-sungai Gan Ke-ik dan ketua Kaypang susul menyusul rubuh ke tanah.

Gak Lui memang masih dapat bertahan tetapi saat itu pikirannya sudah kacau, kaki tangan lemas. Buru2 ia memeluk pusaka Thian-liong-kim-jiu ke dada untuk melindungi uluhati. Dengan tindakan itu ia memang berhasil dapat bertahan.

Tahu kalau lawan itu sudah hilang daya perlawanannya, si Maharaja kendorkan suitannya, mengisar langkah lalu ulurkan tangan kiri. Dengan ujung jari tengah ia menutuk belakang kepala ketua Kaypang.....

“Aneh, dia mempunyai pedang pusaka mengapa memakai ujung jari? Apakah maksudnya ?" walaupun tak dapat bergerak, tetapi diam2 Gak Lui merasa heran melihat gerak gerik si Maharaja.

Tetapi cepat sekali ia menemukan jawabannya. Kiranya bukan karena murah hati tak mau membunuh, melainkan tindakan si Maharaja itu bertujuan untuk melenyapkan kesadaran pikiran ketua Kay pang agar dapat dijadikan pengikutnya macam gerombolan Topeng Besi itu.

Teringat pula Gak Lui akan penuturan si nona Yan-hong. Kini jelas sudah, bahwa si Maharaja itu bukan lain adalah si pembunuh yang telah mencuri pelajaran ilmu suitan maut dari perguruan Bu kau dan juga ilmu Jari-maut. Maharaja inilah yang telah menipu ibu sinona.

Cepat Gak Lui membentak sekeras-kerasnya: “Jahanam. Kiranya engkaulah yang telah merusak hati seorang wanita dan menipu ilmu pelajaran dari perguruan Bu-kau itu !"

“O ....." Maharaja tersentak kaget sehingga jarinyapun terhenti. Dengan mata membulat ia beralih memandang Gak Lui: “Mengapa engkau menuduh begitu ?"

“Saksinya masih ada di sini, apakah engkau masih mau menyangkal?"

“Ho, yang engkau maksudkan sebagai saksi tentulah sibudak hina itu ...."

Dengan kata2 itu jelas kalau Maharaja sudah mempunyai kecurigaan terhadap Yan-hong. Oleh karena itu dia suruh orang untuk menangkap nona itu. Tetapi Allah maha murah, Yan-hong tidak mati, kebalikannya malah bertemu dengan Gak Lui dan menuturkan rahasia itu.

Mendengar kata2 Maharaja, meluaplah darah Gak Lui. Apalagi suitan Maharaja sudah berhenti sehingga Gak Lui sudah agak pulih tenaga-murninya. Cepat ia hendak menyerang.

Tetapi Maharajapun sudah terangsang oleh hawa pembunuhan. Dendam kemarahannya kini ditumpahkan pada diri Gak Lui seluruhnya. Lepaskan perhatiannya kepada ketua Kay-pang, kini ia putar pedangnya hendak membunuh Gak Lui lebih dulu.

Saat itu sebenarnya tenaga Gak Lui masih belum kembali seluruhnya. Apalagi ia tak mempunyai senjata yang sesuai. Untuk mempertahankan jiwa, dalam gugup ia mencabut pedang laknat Thian-lui-koay-kiam dari bahunya.

Sebenarnya pedang laknat itu tak mempunyai perbawa yang berlebih-lebihan. Tetapi rupanya Maharaja sudah ketakutan sendiri. Melihat pemuda itu mencekal batang pedang dan setiap saat dapat menggunakannya untuk menyerang, Maharaja cepat loncat beberapa tombak ke belakang dan bersembunyi di balik segunduk batu karang.

“Hai, mau lari ke mana engkau !" teriak Gak Lui seraya hendak mengejar. Tetapi ia kalah cepat. Terdengar angin berkesiur dan laksana segulung asap, Maharaja itu sudah ngacir lenyap entah ke mana ....

“Celaka !" Gak Lui mengeluh. Kalau ia mengejar, ia merasa tak mampu melawan ilmu Suitan-maut dari lawan. Apalagi saat itu kedua ketua perguruan Kay-pang dan Gay-pang sedang menggeletak di tanah dan perlu pertolongan.

Apa boleh buat. Terpaksa ia tahan kemarahannya dan selipkan pedang Thian-lui-koay-kiam ke bahu lagi. Ia hendak menolong kedua ketua itu lebih dulu.

Setelah diurut dan disaluri tenaga-murni, kedua ketua perguruan itupun sadar dari pingsannya. Kemudian mereka keluar dari barisan Bu-san-tin.

Setelah mengubur jenazah Pok-tin, Gak Lui menghaturkan terima kasih atas bantuan kedua ketua perguruan itu.

Wajah si Raja-sungai Gan Ke-ik berobah merah dan dengan nada menyesal berkata: “Sudahlah, jangan membicarakan hal itu lagi. Sejak duapuluh tahun, baru pertama kali ini aku kehilangan muka. Bermula aku tak percaya desas desus akan diri Maharaja, tetapi setelah berhadapan....."

“Hampir kehilangan jiwa !" sambut ketua Kay-pang Ong Ping-gak seraya menghela napas dan geleng2 kepala: “Rasanya selain Gak sauhiap, tokoh2 persilatan angkatan tua, tak berguna semua ....."

Berkata Gak Lui dengan rawan: “Terus terang, dalam pertempuran tadi, kita dapat menghalau musuh karena berkat kewibawaan nama angkatan tua dari Bu-san. Dan yang paling disayangkan, musuh telah berhasil menggondol pedang pusaka Pelangi yang lihay !"

Suasana hening beberapa saat. Masing2 terbenam dalam renungannya. Si Raja sungai Gan Ke-ik tiba2 menatap beberapa kali ke muka Gak Lui.

“Apakah yang pangcu lihat ?" karena heran, Gak Luipun menanyakan sebabnya.

“Aku teringat akan peristiwa yang lalu," jawab ketua Partai Gelandangan itu.

“Peristiwa apa ?"

“Yalah ketika kita pertama kali berjumpa dan melihat pada kaca wasiat milik Sehong sianseng...."

“O....," Gak Lui mendesus kejut dan tanpa terasa ia menggigil. Rupanya ia seperti diingatkan akan peristiwa itu.

Gak Lui masih ingat akan ucapan Sehong sianseng yang mengatakan: “Si Hidung Gerumpung dalam guha itu akhirnya pasti akan mati ...."

Dan ramalan itu ternyata sudah terbukti pada diri si Lengan-besi-hati-baik atau paman guru Gak Lui yang menunggu pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam itu.

Lalu Sehong sianseng juga mengatakan: “Maharaja berjalan di atas tumpukan mayat, pedangnya menunjuk ke langit ..."

“Pedang menunjuk ke langit?" diam2 Gak Lui mengulangi kata2 itu pula. Sampai saat itu belum juga ia dapat memecahkan arti daripada ramalan Sehong sianseng itu.

“Pangcu," akhirnya Gak Lui menyatakan keraguannya kepada si Raja-sungai Gan Ke-ik, “adakah kau berpendapat bahwa pedang pusaka Pelangi itu menimbulkan sesuatu yang di luar dugaan….”

“Hm, boleh diartikan begitulah," jawab ketua Partai Gelandangan.

“Maksudmu....."

“Pedang itu memancarkan cahaya biru, termasuk sifat Im-ji (lunak). Dan ilmu pedang Bu-tong-pay juga termasuk gerak lunak menundukkan keras, dengan ketenangan menindas gerak lawan. Maka dengan memperoleh pedang itu, sungguh tepat sekali baginya ...."

“Jadi dengan begitu si Maharaja dapat menggunakan pedang itu dengan sehebat-hebatnya?" Gak Lui menegas.

“Ya, menurut dasar ilmu pedang, dia tentu dapat menggunakan pedang itu sehebat-hebatnya. Dan kalau digabung dengan tenaga Im-keng yang lain, tenaganya tentu lebih dahsyat lagi!"

“Lalu bagaimanakah pendapat pangcu ?"

“Ah .... belum ada. Hanya kuharap engkau segera dapat menyalurkan perbawa pedang Thian-lui-koay-kiam itu. Mungkin dapat mengatasinya."

“Hm...," Gak Lui kerutkan alis lalu berbangkit: “Demi mengejar pedang Pelangi itu dan memburu-buru beberapa orang berkerudung muka, aku terpaksa harus pergi. Kuharap pangcu berdua menuju Ceng-sia dan berjaga-jaga di sana."

Beberapa saat berdiam diri akhirnya Raja-sungai Gan Ke-ik ketua kaum Gelandangan berkata: “Memang begitulah tetapi masih ada sesuatu yang kurang sempurna."

“Yang mana ?"

“Kalau si Maharaja belum pergi jauh dan kita berpapasan di tengah jalan, bukankah repot ?"

“Ini... ya, memang kesempatan bertemu itu banyak sekali," kata Gak Lui, “tetapi kalau dia memang mau membuntuti, tentulah aku yang diincar. Harap pangcu berdua jangan kuatir."

“Ai, ucapan sauhiap itu salah alamat. Yang kami kuatirkan memang keselamatanmu."

“Ya, benar, benar," ketua Kay-pang Ong Ping-gak ikut bicara, “di samping memikirkan keselamatan dunia persilatan kamipun prihatin juga akan dirimu."

“Terima kasih atas perhatian pangcu berdua. Tetapi kali ini jelas Maharaja lari ketakutan melihat pedang Thian-lui-koay-kiam. Andaikata dia datang lagi tentulah tak berani unjuk diri terang-terangan. Maka baiklah aku pergi seorang diri saja agar dapat menghemat tenaga dan waktu."

Kedua ketua partai Pengemis dan Gelandangan itu akhirnya tak dapat berbuat apa2 dan melepas Gak Lui pergi seorang diri.

“Sampai jumpa di gunung Ceng-sia-san !" Gak Lui memberi hormat lalu lari menuju ke gunung Hek-san.

Entah berapa jauh menembus kegelapan malam, akhirnya Gak Lui melihat sebatang pohon tua yang amat tinggi dan rindang. Gak Lui hendak beristirahat di situ untuk memulangkan tenaga.

Tetapi beberapa tombak jauhnya dari tempat yang hendak ditujunya itu, tampak duduk seorang lelaki dengan wajah mengerut tegang. Ia menengadah memandang langit: “Ah, hari segera terang tanah !"

Orang itu menghela napas. Ketika melihat Gak Lui muncul, orang itu terbeliak kaget: “Hai..."

“Oh.....” Gak Luipun mendesis kejut.

Kiranya orang itu bukan lain adalah Tio Bik-lui, tokoh berkepandaian sakti itu.

“Tio cianpwe, jangan takut, aku Gak Lui !" cepat Gak Lui berseru.

“Ah .... ah .... engkau !"

“Benar,” sahut Gak Lui, “mengapa begitu kebetulan sekali kita dapat berjumpa di sini ?"

“Aku memang hendak mencarimu ..."

“Terima kasih. Tetapi bagaimana cianpwe dapat menduga aku akan datang ke sini ?"

“Bukan menduga tetapi memang ada orang yang memberi petunjuk."

“Siapa ?"

“Kedua pangcu Kay-pang dan partai Gelandangan."

“Di manakah cianpwe bertemu dengan mereka ?"

“Di dekat gunung Bu-san. Mereka mengatakan baru beberapa jam saja engkau pergi. Maka bergegas-gegas aku mengejar kemari."

“Cianpwe hendak memberi petunjuk apa kepadaku ?" tanya Gak Lui.

“Bukan memberi petunjuk melainkan setelah melihat istana Bi-kiong di puncak gunung Busan itu meledak, aku hendak meminta keterangan kepadamu.”

“Ah, terima kasih atas perhatian cianpwe ..."

“Bukan, bukan begitu yang kumaksudkan," kata Tio Bik-lui lalu berganti nada serius, “perjalananmu ke Bu-san itu adalah atas petunjukku maka aku mempunyai tanggung jawab. Kalau sampai terjadi apa2 pada dirimu, bagaimana aku memberi pertanggungan jawab kepada keempat Bu-san-su kiam ?"

Gak Lui tersipu-sipu menghaturkan maaf atas kekhilafannya bicara.

“Ha, ha," Tio Bik-lui tertawa, "engkau bukan orang luar. Banyak hal yang perlu kubicarakan. Kurasa di bawah pohon itu cukup bersih tempatnya, mari kita duduk di situ."

Demikian keduanya segera duduk di bawah pohon.

“Gak hiantit," Tio Bik-lui mulai membuka mulut, “di dalam istana Bi-kiong itu apakah engkau berhasil bertemu dengan Lengan-besi-hati-baik si murid hianat itu ?"

“Ya, aku sudah bertemu tetapi dia bukan murid hianat !"

“Kalau bukan murid hianat lalu bagaimana?"

”Dia seorang yang berhati baik sehingga sesuai dengan gelarannya si Hati-baik. Dan kalau menurut perbuatannya selama ini, seharusnya layaklah kusebut dia sebagai paman guru."

“Kalau begitu dia tentu bersikap baik kepadamu. Mungkin kemajuan yang engkau peroleh begitu pesat, disebabkan karena dia menyalurkan tenaga-murninya kepadamu, bukan?"

“Ya."

“Kecuali itu apakah dia membicarakan lain2 soal lagi ?"

“Ya, sebelum menutup mata, dia menanyakan bagaimana keadaan cianpwe paling akhir ini..."

“O...,” Tio Bik-lui mendesuh kaget, “dia... dia... menanyakan diriku... Lalu bagaimana jawabmu ?"

“Kuceritakan tentang tindakan cianpwe dengan sebuah pukulan dapat menghalau ketiga Sam-coat itu dan menyelamatkan jiwaku ...."

“Lalu bagaimana katanya ?"

“Wajah paman guru berseri girang dan tampak puas. Dia mengatakan cianpwe ini memang seorang yang baik."

“Ah ... ," kembali Tio Bik-lui menghela napas panjang lalu bertanya pula, “apakah hanya itu saja? Apakah masih ada lainnya lagi ?"

“Berkata sampai di situ, api dalam bumi membakar tubuhnya sehingga menjadi asap. Sebenarnya...."

“Bagaimana ?”

“Rupanya dia teringat suatu hal lain tetapi sayang tak sempat berkata lagi."

“Soal lain? Tetapi orangnya sudah mati, sukar untuk menduga…..”

Tiba2 Gak Lui teringat sesuatu, tanyanya: “Tio cianpwe, engkau mengatakan pada 30 tahun yang lampau pernah berjumpa dengan dia. Dan mengatakan kalau dia mengangkangi pedang Thian-lui-koay-kiam. Tetapi kesanku, dia tak mempunyai rasa permusuhan kepadamu, bahkan dia amat memperhatikan dirimu. Lalu bagaimanakah yang sebenarnya?"

“Ini....," Tio Bik-lui berhenti sejenak, lalu melanjutkan: “Ketika berjumpa di dunia persilatan, walaupun hubungan kita tidak sangat rapat tetapi kita saling mempunyai rasa kecocokan. Tetapi kemudian setelah dia diusir dari perguruan dan mengasingkan diri di istana Bi-kiong, sudah tentu aku mempunyai kesan tak baik terhadap dirinya."

“Memang prasangka cianpwe itu dapat dimengerti. Tetapi bagaimana cianpwe tahu kalau paman-guruku diusir dari perguruannya?" tanya Gak Lui.

“Sudah tentu peristiwa semacam itu sukar ditutup dari perhatian orang persilatan ...."

“Ah, belum-tentu," bantah Gak Lui.

“Kudengar peristiwa itu dari lain orang yang mengatakan."

“Dari siapa ?”

“Maaf, sudah lama sekali sehingga aku tak dapat mengingat lagi .... tetapi kelak bila aku ingat tentu akan kuberitahukan kepadamu," kata Tio Bik-lui.

Gak Lui anggap ucapan tokoh itu memang beralasan. Sukar kiranya untuk mengingat lagi orang yang bercerita hal itu pada 30 tahun yang lampau. Gak Lui tak mau mendesak lebih lanjut. Tetapi ia teringat akan dua buah hal yang telah lalu.

Pertama, pada waktu bertemu dengan nona Hi Kiam gin lagi, ternyata nona itu sudah mendapat pelajaran ilmu pedang dari Lengan-besi hati-baik. Sayang saat itu Gak Lui belum jelas akan asal usul paman gurunya itu. Maka ia berbantah dengan Hi Kam-gin. Nona itu mengatakan kalau Lengan-besi-hati baik seorang tua yang berbudi baik. Tetapi ia menganggap paman gurunya itu seorang murid hianat. Dalam perbantahan itu Gak Lui menyebut tentang nama aseli dari Lengan-besi-hati-baik. Iapun mengatakan dari siapa ia dapat mengetahui nama paman gurunya itu. Hi Kiam gin heran dan mengatakan bahwa orang yang memberitahu tentang nama aseli dari Lengan-besi-hati baik itu patut dicurigai.

Dari peristiwa itu jelaslah bahwa hanya sedikit sekali orang yang tahu siapa nama aseli Lengan-besi hati baik. Kecuali mereka yang menjadi sahabat baik paman gurunya.

Kedua, terhadap Tio Bik-lui, sinona Yan-hongpun merasa tak senang. Walaupun perasaan itu termasuk naluri seorang wanita, tetapi tak boleh diabaikan begitu saja.

Seketika timbullah pertanyaan dalam hati Gak Lui terhadap Tio Bik-lui, tokoh yang saat itu ada di hadapannya. Ya, Tio Bik-lui itu memang aneh!

Karena saat itu tiada bukti apa2, Gak Lui tak dapat menarik kesimpulan adakah Tio Bik-lui itu bicara dengan sejujurnya atau ada sebab lainnya ....

Tiba2 Tio Bik-lui mengisar tubuh mendekati tempat si anak muda, serunya: “Hiantit, begitu leluasa engkau dapat masuk dan keluar dari istana Bi-kiong. Tentulah engkau sudah dapat mempelajari ilmu Ni coan-ngo-heng?"

“Ya," Gak Lui mengiakan seraya mengisar setengah meter ke belakang. Setelah itu ia menuturkan tentang pemberian pusaka Thian-liong-kim-jiu dari Kaisar persilatan.

Mendengar itu Tio Bik-lui menyatakan hendak melihat pusaka Thian liong-kim jiu itu barang sejenak saja.

Tiba2 tergetarlah hati Gak Lui. Ia membayangkan kemungkinan untuk mengadakan ujian secara berbahaya. Ia memutuskan untuk memperlihatkan pusaka Kim-jiu itu kepada Tio Bik-lui.

Ia memutuskan untuk memperlihatkan pusaka itu kepada Tio Bik-lui. Jika orang bermaksud jahat tentu akan merebutnya. Tetapi jika memang tidak bermaksud apa2, tentu takkan terjadi sesuatu.

Segera ia menunjukkan pusaka itu ke hadapan Tio Bik-lui. Dengan tajam Gak Lui mengawasi perobahan air muka orang.

Ternyata Tio Bik-lui dingin2 saja memandang pusaka itu. Setelah beberapa jenak melihat, ia berkata: “Hm, memang apa yang disohorkan orang itu tak bernama kosong. Tak kiranya kalau sebuah alat tangan-emas yang begitu sederhana, ternyata mengandung keistimewaan yang hebat. Lekas simpanlah lagi, jangan sampai hilang agar dapat engkau serahkan kembali kepada Kaisar Persilatan.”

”Ah, tidak tampak sesuatu yang mencurigakan! Apakah aku terlalu berprasangka?” diam2 Gak Lui berkata dalam hati setelah melihat sikap Tio Bik-lui yang tenang.

Setelah Gak Lui menyimpan pusaka itu, Tio Bik-lui bertanya pula: “Adakah pedang Thian-lui-koay-kiam itu juga sudah berada di tanganmu ?"

“Dia....." baru Gak Lui berkata begitu, ia memperhatikan sinar mata Tio Bik-lui memancar tajam seperti bara api dan memandang ke arah bahunya. Untuk mengatakan tidak mendapatkan pedang itu, jelas sudah diketahui orang.

“Benar .... aku sudah mendapatkan pedang Thian-lui-koay-kiam itu. Ya, kupanggul di bahuku ini," akhirnya Gak Lui menerangkan.

“Boleh melihat ?"

“Boleh....," seru Gak Lui dengan nada nyaring. Sekali melolos ia mencekal pedang pusaka itu. Tangkainya dipegang dengan tangan kanan, ujungnya dengan tangan kiri. Gak Lui hendak melolos pedang itu dari sarungnya.

“Tunggu dulu !" tiba2 Tio Bik-lui berseru gemetar dan menyurut mundur. Wajahnya pucat. Tiba2 kedua tangannya menekan tanah dan wut..... ia melayang sampai tiga tombak jauhnya.

Tetapi ketika ia menginjak bumi, ternyata Gak Lui tetap tegak berdiri di tempat, tak mencabut pedang itu.

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---



“Hiantit, engkau .... sungguh menakutkan aku. Pedang itu tak boleh sembarangan dicabut keluar !" seru Tio Bik-lui.

Gak Lui tertawa: “Jangan kuatir, aku tahu kesaktian pedang itu dan tak nanti sembarangan mencabutnya."

Tio Bik-lui maju menghampiri lagi seraya ulurkan tangannya: “Coba berikan kepadaku. Aku hendak melihatnya, biar lebih aman."

Diam2 Gak Lui kerahkan tenaga-dalam dan berseru dingin: “Boleh saja melihatnya, tetapi lebih dulu jawablah sebuah pertanyaanku.”

Pandangan mata Gak Lui yang tajam itu rupanya agak menggetarkan hati Tio Bik-lui. Cepat-cepat orang itu berseru: “Baik, silahkan bertanya !"

Sejenak melirik ke arah bahu orang, Gak Lui menuding peti segi empat yang berada di punggung Tio Bik-lui, serunya: “Apakah isinya peti itu?”

“Ini .... ha, ha, ha, ha !" Tio Bik-lui berseru seraya tertawa gelak2: “Isinya hanya sebuah khim (harpa) kuno ...."

“Khim kuno ?" Gak Lui menegas.

“Benar !"

“Cianpwe gemar musik ?"

“Benda ini merupakan kesayanganku bertahun-tahun."

“Kalau begitu .... kita tukar menukar."

“Tukar menukar apa ?"

“Antara pedang dengan khim."

“Hm .... baiklah !" sejenak Tio Bik-lui merenung lalu lepaskan kotak dari bahunya dan siap hendak melemparkannya: “Akan kulemparkan kepadamu dan engkau juga harus melemparkan pedang itu ke arahku ...."

“Tidak! Jangan dengan cara lempar melempar!"

“Tidak mau melempar ?" Tio Bik-lui kerutkan alis dalam sikap yang angkuh dan dengan nada kurang senang berseru pula: “Lalu bagaimana kehendakmu ?"

“Mudah saja! Bukalah petimu, cukup kalau aku dapat melihat sebentar."

“O ..." dengus Tio Bik-lui menggeram, “Gak Thian-lui, atas dasar persahabatanku dengan keempat Bu-san-su-kiam, atas dasar budi yang kulepas kepadamu, dengan sikapmu yang banyak curiga itu, apakah tidak terlalu keliwatan....."

“Cianpwe !" teriak Gak Lui menukas, “kebaikanmu takkan kulupakan. Tetapi pedang ini besar sekali hubungannya dengan dunia persilatan. Tak boleh tidak aku terpaksa harus hati2...”

“Hm !"

“Dan lagi permintaanku itu sebenarnya mudah saja. Mengapa tak dapat engkau luluskan ?"

“Aku memang tak setuju !"

“Kalau tak setuju, jelas membuktikan !"

“Membuktikan apa ?"

“Bahwa peti itu tidak berisi khim kuno, tetapi ...."

“Tetapi apa ?"

“Barang yang tak boleh dilihat orang maka tak dapat diperlihatkan !"

“Ah, tidak, heh, heh, heh, heh...," Tio Bik-lui menengadahkan kepala menghambur tertawa marah. Sesaat kemudian wajahnya tampak dingin dan berserulah ia dengan nada seram: “Sekalipun engkau tak mau melemparkan, aku tetap dapat mengambil sendiri !"

Ucapan itu ditutup dengan gerakan tubuhnya yang cepatnya bukan buatan. Serempak tubuh bergerak, tangannyapun menyambar.

Tio Bik-lui cepat tetapi Gak Lui lebih cepat juga. Apalagi jaraknya masih setombak. Pemuda itu cepat songsongkan pedangnya ke tenggorokan orang.

Telah dikatakan di muka bahwa sarung pedang itu sudah lebur dan membeku dengan lahar sehingga batang pedang tak dapat dicabut lagi. Gerakan Gak Lui itu hanya suatu reaksi dalam menghadapi gerakan orang.

Tetapi rupanya Tio Bik-lui tak mengetahui tindakan pemuda itu. Begitu serangannya tak berhasil, ia terkejut sekali. Dan pada saat Gak Lui hendak songsongkan pedang, Tio Bik-lui sudah miringkan tubuh dan dengan gerak Naga-hijau-goyang-kepala ia menghindar dan lalu melesat mundur sampai lima tombak jauhnya.

“Ha, ha, ha, ha!” kali ini giliran Gak Lui yang tertawa nyaring. Nadanya penuh penasaran dan pembunuhan.

Sesaat berdiri tegak, cepat Tio Bik-Lui berseru menegur: “Mengapa engkau tertawa begitu rupa?"

Setenang patung menyahutlah Gak Lui sepatah demi sepatah dengan nada tegas: “Orang she Tio, jangan engkau bermain sandiwara lagi. Lekas beritahukan namamu !"

Sambil memondong peti itu ke dada, Tio Bik-lui balas bertanya: “Apa maksudmu?"

“Hm, aku hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Cobalah engkau jawab sedapat mungkin agar engkau tak dapat menyangkal lagi dan nanti dapat mati dengan meram !"

“Budak she Gak !" seru Tio Bik-lui, “berani benar engkau menghina seorang tua. Silahkan bertanya. Jika engkau menghina orang baik2, aku akan mencari keempat Bu-san-su-kiam untuk meminta keadilan."

Gak Lui mendengus dingin lalu berkata: “Karena engkau menyebut-nyebut tentang orang yang lebih tua, pertanyaankupun akan kumulai dari situ. Pertama kali engkau bertemu padaku, engkau ngotot menanyakan tentang keadaan keempat jago pedang dari Bu san. Tetapi sekarang engkau tak pernah bertanya lagi ...."

“Aku .... ah, aku memang tak memikirkan …."

“Apa tak memikirkan? Jelas engkau tentu sudah tahu tentang keadaan keempat tokoh pedang itu sejelas-jelasnya !"

“Keadaan yang jelas? Aku benar2 tak mengerti apa maksudmu ?"

“Tak perlu pura2 !" teriak Gak Lui, “Dan kedua kali, setiap kali engkau muncul tentu akan timbul banyak hal2 yang aneh. Setiap kali tentu mengunjuk diri seperti seekor rubah yang tak berani unjuk muka tetapi menonjolkan ekornya sehingga orang merasa curiga !"

“Apa yang mencurigakan pada diriku? Ada bukti apa?"

“Bukti, cukup banyak. Misalnya si Pelajar Penjaga-neraka dan keempat puluh anggauta gerombolan yang mati di guha Bu-san dan ibu dari nona Yan-hong. Engkaulah yang mencelakainya!"

“Ngaco !" bentak Tio Bik-lui, “itu urusan si Maharaja, tiada sangkut pautnya dengan diriku."

“Ketiga kalinya," Gak Lui tetap melanjutkan kata-katanya tanpa menghiraukan orang, “engkau sengaja mengadu domba hubunganku dengan Lengan-besi-hati-baik agar engkau dapat memperoleh keuntungan !"

“Makin jauh makin gila, mengapa aku..."

“Keempat kalinya," tetap Gak Lui bicara terus, “engkau pura2 menjadi orang baik dan jual tingkah di hadapanku. Padahal sebenarnya engkau hendak memperbudak diriku untuk menyelidiki keadaan ke empat tokoh pedang Bu-san itu. Dan rencanamu setelah aku berhasil mendapat pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam, engkau baru akan bertindak ...."

Wajah Tio Bik-lui seperti mayat dan tertawalah ia dengan nada sengeri iblis: “Heh, heh, budak, engkau benar2 ngaco belo. Engkau kira aku ini siapa? Apakah engkau anggap aku ini penyamaran dari si Maharaja Persilatan ?"

Kaki dan tangan Gak Luipun mulai gemetar, wajahnya makin menampil hawa pembunuhan, serunya: “Orang she Tio, sejak engkau keluar dari kandangmu, rupanya hari ini engkau bicara seperti seorang manusia !"

Tio Bik-lui makin murka sehingga rambutnya sama tegak meregang. Sepasang matanya memancar api. Hendak menyerang tetapi takut kesaktian pedang laknat Thian-lui-koay-kiam. Maka dengan menggertak gigi ia nericis menyangkal: “Benar-benar suatu fitnah yang keji, sungguh ngaco belo…..”

“Rupanya engkau tetap tak mengaku?"

“Sudah tentu tidak !"

“Agar hatimu benar2 puas, baiklah sekarang akan kubongkar semua tipu muslihatmu dari awal sampai akhir," kata Gak Lui dengan serius.

Tak berapa lama berserulah Gak Lui dengan lantang: “Untuk melampiaskan kesombongan dan keangkuhanmu, engkau merobah dirimu sebagai si Maharaja Persilatan. Dengan Amanat Maut, engkau mengganas tokoh2 persilatan golongan Putih. Setelah mengetahui aku turun gunung, timbullah kecurigaanmu bahwa keempat pedang Bu san itu masih hidup. Engkau tak berani buru2 turun tangan dan hanya suruh orang mencariku. Maka dalam pertemuan di istana Lok ong-kiong yang lalu, engkau cemas kalau2 aku berhasil mendapatkan pedang pusaka itu. Itulah sebabnya engkau muncul lagi ...."

“Hm," Tio Bik-lui mendengus, “kalau aku benar si Maharaja, mengapa aku tak membunuhmu ?"

“Karena mengetahui tak mampu mengambil pedang itu, engkau lalu menggunakan tenagaku. Dalam rangka mencapai kepercayaanku maka aku diserang oleh ketiga Sam-coat. Dan ketika pertempuran sedang berlangsung seru, engkau segera muncul dan dengan sekali bergerak dapat engkau halau ketiga orang itu. Kemudian engkaupun memberi petunjuk tentang keadaan istana Bi-kiong di gunung Bu-san itu. Tetapi di balik pertunjukan itu, terselimut tujuanmu yang jahat. Apabila aku sampai mati dibunuh Lengan-besi-hati-baik, engkau berhasil meminjam tangan orang untuk melenyapkan diriku. Tetapi apabila aku berhasil mendapat pedang itu, engkau akan mengatakan bahwa ilmu kepandaianku masih belum cukup dan minta supaya pedang itu kuserahkan. Apabila aku menolak, engkau akan merebut dengan kekerasan..."

Sampai di situ tampak tubuh Tio Bik-lui menggigil dan tak dapat membantah lagi.

“Setelah itu,” Gak Lui melanjutkan lagi, “aku berhasil menangkap si Penjaga Neraka. Dia sudah tahu semua riwayatmu. Tetapi selagi aku tak berjaga-jaga, diam-diam kau gunakan ilmu tutukan jari im-ji guna untuk membunuhnya agar dia tak dapat memberikan keterangan kepadaku. Dan pada waktu aku tiba di Bu-san, kembali engkau sudah menunggu kedatanganku dan memberi petunjuk cara memasuki barisan. Begitu aku terjerumus ke dalam guha, engkau melihat munculnya nona Yan-hong. Seperti dahulu engkau menipu ibunya dan mencuri ilmu Suitan Maut, saat itu engkaupun hendak menangkap Yan-hong. Ketika nona itu jatuh ke dalam guha, engkau segera mengirim 40 orang anak buahmu untuk membunuhnya. Kuatir aku belum mati, maka engkau tutuk jalan darah keempat puluh anak buahmu itu agar lenyap daya ingatannya ...."

“Tidak ... tidak demikian!" teriak Tio Bik-lui.

“Siapa tahu, orang baik selalu dilindungi Tuhan," kata Gak Lui, “rantai yang engkau pergunakan untuk menangkap Yan-hong itu dapat kumanfaatkan untuk merayap keluar dari guha. Pada waktu yang kedua kalinya naik gunung, engkaupun sudah menunggu lagi. Engkau hendak menggunakan tipu muslihat gelap tetapi keburu diketahui oleh Pok Tin. Dalam keadaan terdesak engkau turunkan tangan ganas kepadanya. Kemudian engkau hendak gunakan kekerasan merebut pusaka yang ada padaku. Tetapipun gagal. Akhirnya saat ini engkau muncul dengan siap membawa rencana untuk menipu aku ... Ho, Tio Bik-lui! Kejahatanmu sudah melewati batas. Apakah engkau hendak menyangkal lagi?"

Diam2 Tio Bik-lui kerahkan tenaga-dalam lalu berteriak seram: “Tak perlu aku berkata apa2. Hampir setengah hari engkau mengoceh itu, apakah buktinya?"

“Bukti ?"

“Ya !"

Gak Lui mengertak geraham, serunya: “Pada waktu bertempur di Bu-san, hampir saja engkau dapat kubunuh. Tetapi dengan gunakan jurus Naga-hijau goyang-kepala, engkau berhasil menghindar. Dalam gerakan hendak merebut pedangku tadi, engkaupun gunakan jurus itu lagi ...."

“Huh, jurus itu berasal dari perguruan Bu-tong-pay. Setiap jago silat kelas satu, pasti akan tahu. Mana mungkin hal itu engkau jadikan bukti ?"

“Kecuali itu, masih ada sebuah lagi ..."

“Bagaimana ?"

“Yalah yang berada dalam petimu itu !"

“Tidak! Tidak mungkin !"

“Jangan ribut! Lekas bukalah!"

“Aku segan membukanya dan akupun tak punya waktu lagi untuk adu lidah dengan engkau. Aku akan pergi....."

Belum habis berkata, Tio Bik-lui sudah melesat. Tetapi sebelumnya Gak Lui sudah siap. Secepat kilat ia sudah menyergapnya. Dalam gugup, Tio Bik-lui menampar petinya, pyur .... peti pun hancur berantakan dan tahu2 pedang pusaka Pelangi sudah berada di tangannya.

“Bangsat, serahkan pedang itu!" teriak Gak Lui makin marah.

Tetapi Tio Bik-lui tak berani menyerang. Sambil jujukan ujung pedang ke muka, ia mundur setapak demi setapak. Karena kedua fihak menggunakan tenaga-dalam sepenuhnya, maka setiap langkah Tio Bik-lui tentu meninggalkan telapak kaki yang dalamnya beberapa senti.

Kedua orang itu dirangsang ketegangan hebat. Mereka akan melakukan pertempuran maut.

Tetapi setelah mundur tujuh delapan langkah, Tio Bik-lui tidak melakukan serangan melainkan tiba2 menghela napas dalam2. Lalu dengan nada sinis ia berseru: “Budak she Gak, engkau salah duga. Musuhmu yang sebenarnya adalah orang yang tak mempunyai batang hidung. Tetapi aku tak ada cacad begitu. Mengenai pedang ini, kuperoleh dengan tak sengaja ....”

”Kentut! Engkau masih tetap menyangkal mati-matian !”

“Heh, menilik hinaan yang engkau lontarkan kepadaku ini, akupun tak dapat memberi ampun lagi. Kalau engkau berani, nanti pada satu bulan lagi, dengan disaksikan oleh seluruh kaum persilatan untuk menyaksikan kita bertempur yang terakhir kalinya!"

“Huh, engkau mengigau !" dengus Gak Lui seraya maju selangkah.

“Heh, heh, engkau hendak mengadu kekerasan? Apakah engkau tak takut akan pedang Pelangi yang luar biasa tajamnya itu ?"

“Jangan main digertak! Sudah lama kupakai pedang itu dan tahu keadaannya. Tak perlu engkau katakan !"

Dengan cara lunak maupun keras, Tio Bik-lui tak berhasil menundukkan Gak Lui. Ia geram sekali kepada anak muda itu, serunya: “Pedang itu berada di tanganmu dan di tanganku jauh sekali bedanya !"

Dalam berkata-kata itu, Tio Bik-luipun sudah kerahkan tenaga-dalam. Wajahnya tampak menyeramkan sekali. Diam2 Gak Lui tergetar hatinya. Ia tahu siapa Tio Bik-lui itu. Selain memiliki kepandaian sakti, pun mempunyai ilmu suitan perenggut nyawa, ditambah pula kini mendapat pedang pusaka sedahsyat pedang Pelangi !

Ah, apabila dapat mencabut pedang Thian-lui-koay-kiam itu, tentulah ia dapat melakukan balas dendam.

Saat itu lawan masih jeri kepadanya karena ia memiliki pedang Thian lui koay-kiam. Tetapi apabila pertempuran tak dapat dicegah lagi, tentulah lawan akan mengetahui bahwa pedang Thian lui-koay-kiam itu tak dapat dicabut dari kerangkanya. Bukankah hal itu amat berbahaya?

Sakit hati atas kematian kedua orangtuanya, paman2 dan bibi gurunya, seakan-akan meledakkan dada Gak Lui. Betapa inginlah ia mencincang tubuh lawannya itu. Tetapi iapun menyadari akan kesukaran yang dihadapinya. Saat itu terjadi pertentangan dalam bathinnya sendiri. Walaupun belum dapat memutuskan tindakan apa yang harus diambil, namun kakinya tetap melangkah maju ke arah Tio Bik-lui.

Pada detik2 yang menegangkan itu tiba2 telinganya terngiang kata si Pedang Aneh yakni ayah angkatnya : “Lui, engkau tak kuijinkan membalas sakit hati tetapi engkau tetap berkeras hendak melakukannya. Entah sudah berapa banyak jiwa yang melayang karena urusanmu itu. Jika sekarang ini kepandaianmu masih terpaut jauh sekali, janganlah engkau gegabah bertindak. Sekali engkau bertindak menuruti kepanasan hatimu, seluruh harapan kita habis ludas. Sia-sia saja pengorbanan kita. Engkau harus berpikir dan berpikir.....berpikir ....!”

Lenyapnya suara ayah-angkatnya itu, berganti dengan suara ketua perguruan Bu-tong-pay paderi tua Ceng Ki : “aku takkan penasaran karena harus mati, ... begitu pula pedang pusaka perguruan Bu-tong-pay pasti dapat direbut kembali asal engkau dapat mengendalikan diri."

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---



Kemudian wajah paman gurunya si Pedang Iblis, bibi gurunya Pedang Bidadari, kedua jago pedang Samodera dan Pedang Gelombang, ahli pembuat pedang Bok kiamsu dan paman gurunya yang tertua yakni Lengan besi-hati-baik, susul menyusul terbayang di pelupuk matanya..., mereka adalah para cianpwe yang telah mengorbankan jiwanya untuk kepentingan Gak Lui. Saat itu mereka seolah-olah muncul dan dengan wajah bersungguh memperingatkan kepada Gak Lui supaya tenang dan mengendalikan kemarahannya.

Tetapi Gak Lui merasa bahwa saat bagus seperti saat itu, sayang kalau dibiarkan berlalu. Tangannya yang mencekal tangkai pedang Thian-lui-koay-kiam sudah bergemetar dan mengucurkan keringat dingin. Ingin sekali ia dapat mencabut pedang pusaka itu untuk mencincang tubuh musuhnya.

“Jangan !” tiba2 terdengar suara ayahnya yakni si Dewa Pedang mengiang di telinganya: “Lui, anakku, jangan kelewat mengumbar nafsu. Terimalah tantangannya untuk bertempur di puncak Im-leng-nia itu. Di hadapan segenap tokoh persilatan engkau bunuh dia! Selain dapat membalas sakit hati, pun engkau berjasa kepada dunia persilatan karena dapat membasmi seorang durjana...."

Tiba2 kaki Gak Lui terhenti tetapi ia tak bicara apa2.

“Bagaimana? Engkau menerima atau tidak?" tegur Tio Bik-lui.

Gak Lui tersadar dari lamunannya. Nada suara lawan itu dalam pendengarannya tak ubah seperti aum seekor harimau yang terkurung.

“Ya, kuterima ....," akhirnya dengan nada dingin Gak Lui menyahut.

Belum habis ia berkata, tiba2 Tio Bik-lui menyeringai iblis dan secepat kilat melesat ke arah hutan.

Gak Lui tegak termangu-mangu ditingkah sinar mentari pagi. Tubuhnya menggigil keras dan kedua tangannya yang masih mencekal pedang Thian-lui-koay-kiam itupun berguncang-guncang.

“Celaka! Celaka!" ia menggeram dan memaki dirinya sendiri, “pedang Thian-lui-koay-kiam tak mampu kucabut, musuh kulepas pergi ..."

Dibawa oleh rasa kemarahan, Gak Lui mainkan pedang itu ke arah sebatang pohon. Daun2 berguguran, dahan dan cabangnyapun bergoncang keras. Bum, bum, bum ..... ia seperti orang kalap menghantam ke sana, menabas ke sini. Pohon dan batu di sekeliling tempat itu habis diamuknya.

Entah sampai berapa lama Ia melampiaskan badai kemarahan hatinya itu. Ia mengamuk, kalap seperti kerbau gila ....

“Gak Lui ... Gak Lui ... !" tiba2 terdengar seseorang berseru memanggilnya.

“Berhenti!" seru orang itu ketika Gak Lui tak menghiraukan. Sambil berseru kedua jarinya menyambar lengan Gak Lui.

Saat itu Gak Lui baru tersadar. Ia deliki mata tetapi tak dapat melihat siapa yang mengganggunya itu. Ternyata orang yang tak dikenal itu gerakkan jarinya dari belakang. Cepat dan tepat sekali. Jelas dia tentu memiliki ilmu yang sakti.

Cepat Gak Lui berputar tubuh ke belakang seraya kerahkan tenaga-dalam Algojo-dunia, ia hendak meronta dari cengkeraman orang.

Tetapi begitu Gak Lui hendak meronta, dengan suatu gerak yang menakjubkan sehingga Gak Lui tak menyadari, tangan orang itupun sudah ditarik ke belakang.

Gak Lui memandang orang itu dengan tajam tetapi ia merasa tak kenal. Dan saat itu ternyata pengganggu itu sudah berada dua tombak jauhnya.

”Hebat !” Gak Lui kerutkan alis dan tercengkam dalam rasa heran yang tak terkira. Kepandaian orang itu benar2 melebihi kepandaian si Maharaja Tio Bik-lui. Dan itu mendorong Gak Lui untuk memperhatikan orang dengan lebih seksama.

Seorang lelaki setengah tua yang berwajah penuh wibawa. Bermata bundar dengan sepasang alis yang indah. Sikapnya gagah, penuh kewibawaan dari seorang kaisar.

“Gak Lui, apakah engkau tak kenal padaku?” seru orang itu.

Mendengar nada suaranya, Gak Lui seperti tak asing tetapi ia lupa2 ingat. Dia teringat nada itu adalah suara dari seorang lelaki biasa yang berpakaian compang camping. Tetapi ia terkejut melihat mata orang itu memancarkan sinar yang amat tajam. Suatu pertanda kalau dia tentu memiliki tenaga-dalam yang tinggi.

Sejenak merenung, segera bertemulah Gak Lui akan ingatannya kepada orang itu. Serentak ia berseru tegang riang : “Hai, kiranya engkau ... Kaisar Persilatan Li...... Li cianpwe!"

“Benar," sahut orang itu.

Serta merta Gak Lui maju menghampiri dan memberi hormat dengan khidmat: “Terima kasih atas petunjuk cianpwe. Wanpwe sudah berhasil masuk ke dalam istana Bi-kiong dan berhasil mendapatkan pedang Thian-lui-koay-kiam milik perguruan kami. Budi pertolongan cianpwe takkan kulupakan seumur hidup. Dan sekarang wanpwe hendak menyerahkan kembali pusaka Thian-liong-kim-jiu itu."

Ia mengeluarkan pusaka Thian liong kim-jiu untuk diserahkan. Kaisar Persilatanpun menyimpannya.

“Kulihat gerakanmu tadi bukan merupakan jurus2 permainan ilmu pedang tetapi lebih banyak mirip sebagai orang yang mengamuk karena menumpahkan kemarahannya."

Merah padam wajah Gak Lui mendengar kata2 itu. Segera ia mengutarakan rasa penasaran dan kekecewaan hatinya. Sambil mendengarkan, tak henti hentinya Kaisar Persilatan mengangguk kepala. Mendengar tentang keadaan pedang Thian lui-koay-kiam yang tak dapat dicabut dari kerangkanya dan tentang tantangan Maharaja untuk bertempur dengan Gak Lui, berserulah Kaisar Persilatan itu dengan agak kaget: “O, pedang pusaka itu dapat diluluhkan oleh lahar gunung? Ah, sungguh tak kuduga. Kalau begitu.... bolehkah engkau memberikan kepadaku untuk kuperiksanya ?"

“Sudah tentu boleh, cianpwe," kata Gak Lui lalu menyerahkan pedang itu.

Setelah membuka lipatan robekan baju yang membungkus pedang itu, Kaisar Persilatan terus mencekal pedang itu.

“Jangan menyentuhnya !" teriak Gak Lui terkejut. Tetapi terlambat. Tampak lengan Kaisar tergetar seperti terbentur aliran listrik. Sepasang matanya memancar api. Ia coba mencabut pedang itu dari kerangkanya tetapi tak berhasil maka dengan hati2 ia meletakkannya kembali.

“Sungguh lihay! Bila aku tak menyalurkan tenaga-dalam Liok-to sin-thong, mungkin aku sudah tersedot oleh pengaruh gaib dari pedang ini dan mungkin akan melakukan pembunuhan ..." seru Kaisar Persilatan.

Mendengar itu Gak Lui kejut2 girang. Dalam pada itu, ia lebih berkesan atas ilmu tenaga-dalam Liok-to-sin-thong.

“Kurasa memang sukar untuk mencabutnya. Tetapi tadi apabila engkau benar2 jadi bertempur dengan si Maharaja, mungkin akan mendapat daya upaya !"

“O, daya bagaimana?”

“Ini ... ," Kaisar Persilatan merenung beberapa jenak lalu tertawa : “Hal itu hanya suatu dugaan saja. Mungkin bisa, mungkin tidak. Apalagi hal itu sudah lewat, tak perlu kita pikirkan lagi. Marilah kita bicara hal2 yang akan datang saja."

Gak Lui tak mau mendesak. Ia menceritakan tentang usahanya untuk menggosok lahar pada pedang itu dengan batu berlian.

Kaisar Persilatan gelengkan kepala: “Walaupun cara itu baik tetapi tentu makan waktu dan tenaga yang lama sekali. Sedang soal yang harus engkau lakukan banyak sekali. Pun waktu dari tantangan Maharaja kepadamu itu sudah dekat. Cara menggosok ‘linggis menjadi jarum' itu, tentu sudah tak keburu lagi."

“Ah, celaka !" Gak Lui mengeluh. Waktu ia menghitung temponya, memang tak keburu lagi.

“Cianpwe, lalu bagaimanakah aku harus bertindak ? Apakah kupakai saja pedang tongkat batu ini untuk menghadapinya ?"

Tidak menyahut, malah Kaisar Persilatan itu balas bertanya : “Memakai pedang batu atau tidak, sama saja. Adakah engkau takut tak mampu melawannya ?"

“Apa .... apakah kepandaianku cukup sepadan untuk menghadapinya ?"

“Kepandaianmu sebenarnya berimbang dengan si Maharaja. Tetapi dia memiliki latihan selama dua tigapuluh tahun lamanya. Sedang kekurangan padamu yalah kurang pengalaman dalam menghadapi pertempuran. Asal engkau selalu ingat pada sikap-pokok 'Tenang', tentu engkau takkan menderita sesuatu yang tak terduga."

“Tetapi ... sekarang dia memiliki pedang Pelangi yang sesuai dengan tenaga-dalam Im-ji yang dimilikinya ...."

“Kutahu," sahut Kaisar Persilatan, “pada duapuluh tahun berselang, pedang itu pernah kupakai. Berada di tangannya sudah tentu akan menambah kelihayannya. Perbawa pedang itu jauh lebih dahsyat daripada yang engkau duga."

“Kalau begitu bukankah dia makin ganas?”

“Tidak ! Kebalikannya akan menguntungkan engkau."

Ucapan Kaisar Persilatan itu benar2 tak masuk akal sehingga Gak Lui bingung dan bertanya: “Dapatkah cianpwe menjelaskan hal itu? Aku benar-benar tak mengerti !"

Kaisar Persilatan tertawa nyaring : “Bukan aku hendak jual rahasia. Tetapi kalau kukatakan sekarang, pada saatnya malah akan mempengaruhi jurus2 permainanmu maka lebih baik tak kukatakan dulu."

Walaupun hati ingin tahu tetapi Gak Lui segan untuk mendesak lebih lanjut. Maka ia alihkan pada lain soal: “Musuhpun masih mempunyai ilmu Suitan-maut yang lihay, berasal dari ilmu istimewa perguruan Bu-kau. Terhadap suitan itu, benar2 wanpwe tak dapat menghadapi. Mohon cianpwe suka memberi petunjuk."

“Pertama, gunakanlah ilmu Liok-to-sin-thong yang kuajarkan itu, dapat mengatasi suitan itu.."

“Ya, benar," kata Gak Lui, “cianpwe memang pernah mengajarkan ilmu itu kepadaku ketika di istana Yok-ong kiong dahulu. Memang ilmu itu hebat sekali.”

Gak Lui tak melanjutkan kata-katanya. Ia ingin menerima lagi pelajaran ilmu sakti itu karena apa yang diterimanya dahulu, tidaklah begitu mendalam. Tetapi ia sungkan untuk meminta.

Kaisar Persilatan cepat dapat menyelami isi hati pemuda itu. Ia tertawa lebar: “Aku mengerti akan maksudmu. Ya, walaupun ilmu sakti Liok-to-sin-thong itu istimewa sekali, tetapi aku suka mengajarkan kepadamu."

“Sungguh ... ?"

“Sudah tentu aku tak membohongimu. Hanya saja jangan sekarang !"

“Kapan ?"

“Saat ini dirimu masih terlibat oleh liku2 budi dan dendam, suka dan duka, kasih dan kebencian. Sebelum kesemuanya itu selesai, tak mungkin engkau dapat mempelajarinya dengan berhasil. Bahkan malah membahayakan dirimu !"

“O ...” Gak Lui mendesuh. Kegembiraannya mendengar janji dari Kaisar Persilatan, seperti awan dihembus angin. Pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam tak dapat digunakan dan ilmu sakti Liok-to-sin thongpun tak jadi diterimanya. Ia kecewa dan terlongong longong dalam rasa putus asa.

Melihat keadaan Gak Lui, segera Kaisar Persilatan menghiburnya: “Jangan terburu nafsu. Walaupun engkau belum menerima pelajaran ilmu Liok-to sin-thong itu tetapi dengan memiliki pedang Thian-lui-koay-kiam itu, engkaupun tetap dapat membasmi musuh dan melenyapkan gerombolan orang2 jahat ...."

“Ah ....” Gak Lui menghela napas. Ia mendebat: “Cianpwe, jelas cianpwe mengetahui bahwa pedang Thian lui-koay-kiam itu tak mungkin dicabut tetapi cianpwe malah menghibur dengan kata2 begitu. Apakah itu tidak bertentangan dengan kenyataan ?”

Bab 28. Bertanding secara lisan.

“Tidak," sahut Kaisar Persilatan dengan wajah serius, “kupercaya si Maharaja itu pasti akan mati dengan pedang itu. Jangan engkau ragu hatimu !"

“Cianpwe hanya mendasarkan pada rasa kepercayaan sajakah ... ?"

“Baiklah, terpaksa akan kuberitahukan secara terus terang kepadamu. Menurut perhitungan dengan ilmu Liok-to-sin-thong itu, kesudahan dari peristiwa yang engkau hadapi nanti tentu begitu….”

“O ... !" kembali Gak Lui mendesuh kejut. Ia memang tak meragukan tentang keterangan Kaisar Persilatan itu tetapi ramalan menurut cermin tembaga milik si Raja-sungai Gan Ke-ik, juga tepat.

Menurut Cermin Tembaga itu, nanti akan berakhir dengan suatu kesudahan yang menyedihkan.

Tetapi Kaisar Persilatan baru mau mengajarkan ilmu sakti itu setelah urusan balas dendam selesai. Apabila nasibnya seperti yang digambarkan Kaca wasiat si Raja-sungai, bukankah ia takkan sempat lagi belajar ilmu Liok-to-sin-thong itu?

“Li cianpwe," akhirnya Gak Lui mengutarakan isi hatinya, “soal mati atau hidup aku tak menghiraukan. Tetapi demi melenyapkan segala kesangsianku, apakah cianpwe tak keberatan untuk memberi sedikit petunjuk tentang nasibku ... ?"

Kaisar Persilatan memandangnya tajam2: “Apakah engkau dapat mempercayai omonganku?"

“Sudah tentu percaya. Kuingat seperti tempo hari cianpwe pernah secara halus memperingatkan kematian Hwat Hong taysu, akhirnya benar2 taysu itu telah meninggal...."

“Engkau percaya setelah Hwat Hong meninggal atau pada saat baru mendengar peringatan tentang kematiannya ?"

“Mendengar peringatan cianpwe, saat itu aku sudah mempunyai perasaan firasat."

“Bagus, bagus," Kaisar Persilatan mengangguk, “perasaan nalurimu cukup tajam, aku kagum. Nasib itu tak boleh kita percaya mati2an. Karena kecuali dewa, manusia tak tahu bagaimana nasib yang akan dialaminya, sekarang engkau hendak bertanya mengenai nasibmu, akupun tak dapat menolak tetapipun tak berani membangga...

(halaman ---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---

42 – 43 ga ada….)

Se-thian. Burung penjelmaan itu tak pernah dapat kenyang sehingga daging sang Gautama habis dimakannya ....

“Apakah sang Buddha tak meninggal ?” Gak Lui ngeri juga.

“Tidak,” kata Kaisar Persilatan, “itu hanya suatu ujian untuk membuktikan sampai di mana Cinta Kasih sang Gautama. Dengan kerelaan dan keberanian untuk melaksanakan Cinta Kasih itu akhirnya luluslah sang Gautama mencapai tingkat sebagai Buddha.”

“Ah…” Gak Lui menghela napas panjang.

Namun melihat pemuda itu masih kerutkan kening mengandung kesangsian, Kaisar Persilatan buru2 menyusuli kata2 lagi: “Hanya sebuah cerita tetapi bukan karangan kosong. Dalam kitab suci Buddha hal itu diceritakan dengan jelas. Jangan kira aku hanya mendongeng kosong.”

“Wanpwe tahu," sahut Gak Lui. “memang cerita itu bukan sekedar dongeng melainkan sebuah tamsil (perumpamaan). Maksudnya mengajar orang supaya kenal akan arti dan tujuan hidup. Misalnya ... Maharaja Persilatan itu dapat disamakan dengan si Rajawali lapar dan kaum persilatan yang kepandaiannya masih rendah dapat diumpamakan seperti.....”

Tiba2 ia hentikan kata-katanya karena ia menyadari ucapannya itu salah. Kalau mengatakan si Maharaja itu sebagai Rajawali lapar dan kaum persilatan sebagai kelinci, lalu siapakah yang harus memberi makan rajawali lapar itu. Adakah orang semacam Maharaja Persilatan itu tak harus dibunuh ....

“Hm, engkau mengerti bahwa dongeng itu hanya sebuah tamsil, itu sudah baik," tiba2 Kaisar Persilatan berkata, “siapa yang menjadi sang Gautama, siapa si Rajawali lapar dan siapa kelincinya, baru nanti apabila tiba saatnya engkau tentu tahu sendiri. Soal itu kita hentikan sampai di sini saja. Cukup asal engkau catat di dalam hatilah."

Serta merta Gak Lui mengiakan. Sejenak berdiam, ia membuka mulut lagi: “Li cianpwe, sekarang aku hendak mengajukan permohonan yang terakhir.”

“Silahkan."

“Tempo hari cianpwe pernah meluluskan pada saat berjumpa lagi hendak menguji kepandaianku. Sekarang aku memberanikan diri untuk mohon petunjuk cianpwe barang beberapa jurus saja."

“Ah, tak berani kuberi petunjuk. Dan pula kuanggap hal itu tak perlu."

“Mengapa ?"

“Kepandaianmu memang maju pesat sekali. Sekali lihat saja sudah kuketahui."

“Tetapi... wanpwe tetap menghendaki diuji !"

Kaisar Persilatan terkesiap, serunya heran: “Mengapa ?"

“Ketika tinggalkan gunung Yau-san, di hadapan pusara ayah-angkatku aku telah bersumpah hendak menuntut ilmu kepandaian yang tiada tandingannya. Dengan tanganku sendiri hendak kubunuh musuh itu ...."

“Adakah karena hendak mengetahui kepandaian saat ini maka engkau hendak mengajak bertanding aku?" Kaisar Persilatan menegas.

“Boleh diartikan begitu."

Mata Kaisar Persilatan segera memancar sinar berkilat, serunya: “Engkau sudah mempunyai pegangan tentu dapat mengalahkan aku ?"

Juga mata Gak Lui memancar tajam, sahutnya tegas: “Tetapi wanpwe sudah mempunyai ketetapan hati."

“ketetapan hati? Hanya ketetapan saja belum berarti !"

“Wanpwe memiliki nyali keberanian juga."

“Ha, ha, ha, ha !" Kaisar Persilatan tertawa nyaring, “benar! Keberanian disertai dengan kemantapan hati, tentu bisa berhasil. Kalau begitu, asal dalam 3 jurus serangan engkau mampu merapat dekat di hadapanku, dengan tulus hati aku akan mengundurkan diri dari dunia persilatan dan akan menjadikan semua cita2 keinginanmu! Tetapi ..."

“Bagaimana ?"

“Kewajiban membasmi kawanan durjana, juga seluruhnya menjadi tanggunganmu. Apakah engkau setuju ?"

“Wanpwe serahkan jiwa dan raga untuk menunaikan tugas itu !"

“Bagus, engkau benar2 memiliki pambek yang tinggi. Mari kita mulai bertanding !" Kaisar Persilatan terus berbangkit.

Diam2 Gak Lui menimang dalam hati. Ia merasa amat berterima kasih sekali atas kebaikan budi tokoh sakti itu, pikirnya: “Aku harus mengerahkan seluruh kepandaianku agar dia jangan kecewa. Tetapi .... dia mengatakan kalau dalam tiga jurus aku dapat merapat di hadapannya, aku dianggap menang. Apakah cara itu tidak merugikan dia ...."

Sambil merenung iapun melangkah ke tanah lapang dan berseru: “Li cianpwe, sebelum mulai wanpwe mempunyai dua buah harapan."

“Katakanlah !"

“Kesatu, harap cianpwe jangan keliwat sungkan dan masih menyimpan kepandaian ataupun mengalah kepada wanpwe."

Wajah Kaisar Persilatan berobah serius: “Tidak ! Sekali sudah meluluskan hendak bertanding dengan engkau, aku tentu sudah menganggap engkau seorang lawan yang cukup berharga. Aku takkan seperti tokoh2 persilatan yang suka meremehkan anak muda."

“Dan kedua kalinya, harap cianpwe jangan sungkan. Meskipun pedang Thian-lui-koay-kiam belum dapat kucabut tetapi tetap akan kupakainya sebagai tongkat batu. Kukira juga merupakan senjata yang cukup bagus !"

“Jangan kuatir, aku mempunyai pusaka untuk melindungi tubuhku," sahut Kaisar Persilatan seraya terus balikkan tangan memegang pusaka Thian-liong-kim-jiu.

Demikian pada saat itu di atas tanah lapang yang ditingkah sinar matahari, tegak berdiri dua sosok tubuh dari manusia yang akan menguji ilmu kepandaian sakti. Keduanya terpisah pada jarak lima tombak. Mereka mulai berputar-putar mengelilingi lapangan. Setelah berpatar tiga lingkaran, Gak Lui merasa tak kuat menahan hatinya. Walaupun pertempuran itu takkan menumpahkan darah tetapi baginya mempunyai arti yang penting sekali. Dapatkah ia mencapai pelajaran ilmu sakti tiada tanding, dapatkah ia nanti mengalahkan musuh, akan diputuskan dalam tiga jurus nanti. Ujian itu akan menentukan nasibnya. Karena itu teganglah perasaan Gak Lui.

Ketika memandang ke muka, dilihatnya Kaisar Persilatan sudah berhenti. Tangan kanannya menjulur lurus ke muka mengarahkan pusaka Thian liong-kim-jiu kepadanya.

Gak Lui heran dan tak tahu apa maksud tokoh itu. Ia hentikan langkah, siapkan pedang Thian lui-koay-kiam, dengan tenang ia berdiri tegak siap menyerang.

Tetapi baru ia hendak bergerak, Kaisar persilatan sudah membentaknya: “Jurus pertama sudah selesai!"

“Jurus pertama?" Gak Lui mengulang heran, “aku baru pasang kuda mengapa sudah dianggap melakukan jurus pertama?"

Melihat pemuda itu tak tenang, Kaisar Persilatan berseru: “Engkau terlalu tegang sehingga kedudukanmu salah!"

“O.... !" ia mendesuh kaget dan merentang mata. Tetapi secepat itu matanya terserang oleh sinar kemilau yang keras sehingga ia tak dapat melihat apa2. Cepat ia berputar tubuh dan berpindah tempat sampai setombak jauhnya. Saat itu baru ia terhindar dari gangguan sinar.

“Ah, sungguh memalukan! Li cianpwe mengatakan aku belum cukup pengalaman dan tak cukup tenang, memang benar," diam2 ia menyesali dirinya sendiri. Kemudian ia salurkan seluruh tenaga-dalam. Ternyata akibat dari rasa tegang tadi, sembilan bagian dari tenaga dalamnya buyar tak keruan. Ia harus melakukan pernapasan untuk memusatkannya lagi.

Beberapa saat kemudian setelah ia berhasil mengumpulkan tenaga dalam lagi, barulah mulai bergerak dengan jurus Rajawali pentang-sayap, melambung ke udara. Pedang batu lurus ditujukan ke muka dan ia melayang turun ke arah kepala orang.

Namun di bawah ancaman serangan maut itu, tampaknya Kaisar Persilatan acuh tak acuh. Ia berdiri tenang sambil memegang pusaka perguruannya. Sedikitpun tak mengunjuk sikap hendak balas menyerang.

Peda saat Gak Lui tiba tiga tombak di hadapannya, barulah sekonyong konyong ia membuka suara, bersuit nyaring.

Sesungguhnya nada suitan itu tak berapa keras tetapi dalam telinga Gak Lui, suitan itu seperti suara gunung meletus. Seketika itu Gak Lui rasakan jantungnya berdebar keras dan seperti teraling suatu pagar tenaga yang tak kelihatan, diapun segera melayang turun ke bumi.

“Ah, jurus kedua tentu sudah selesai," diam-diam Gak Lui terkejut dan mengeluh, “kali ini aku benar2 kurang keberanian. Baru musuh bersuit, hatiku sudah tergetar....."

Dua kali kegagalan itu mengetuk pintu hati Gak Lui. Semangatnya serentak berbangkit dan dadanya serasa meledak. Serentak ia enjot tubuh ke udara lagi dan sekali ngangakan mulut, iapun menghamburkan sebuah gemboran dahsyat yang menyerupai aum harimau kelaparan.

Mendengar gemboran itu, Kaisar Persilatan kerut dahi. Wajahnya menampil rasa kejut2 girang.

Dengan gerakan yang luar biasa anehnya, tubuh Kaisar Persilatanpun mulai berputar-putar laksana gumpalan awan dihembus angin ....

Tetapi walaupun ia bergerak pesat, ternyata Gak Lui sudah siap. Setelah memperhatikan gerak-langkah orang, ia segera menurutkan langkah Ngo-heng-pian hoa, bergeliatan di udara lalu meluncur turun terus bergerak dalam langkah Ni-coan-ngo-heng.

Demikian dua sosok tubuh bergerak amat cepat. Yang satu seperti anak panah dihamburkan dari busur. Yang satu bagai bintang jatuh dari langit. Setelah beberapa waktu kemudian, keduanya kembali berada di tempatnya semula lagi.

“Bagus! Bagus !" Kaisar Persilatan tertawa ber-seri2 dan mulutnya beberapa kali memuji. Sedang Gak Lui yang tegak kurang lebih dua meter di hadapannya, tampak sibuk hentikan gerakannya.

“Cianpwe, walaupun dalam tiga jurus aku dapat mendekat ke muka cianpwe, tetapi dalam ilmu kepandaian, aku merasa masih kalah jauh sekali. Maka.... kelak tentu terulang ...."

“Ha, ha! Arus sungai Tiangkang selalu maju, yang di belakang mendorong yang di muka! Setiap masa tentu berganti manusia. Mulai saat ini, aku tak dapat bertempur dengan orang. Dan engkaupun jangan mengungkat soal itu lagi !"

“Tetapi ...."

“Tidak ada tetapi ! Terus terang kukatakan, memang ilmu kepandaian kita terpaut jauh tetapi aku lebih dulu sudah meyakinkan selama duapuluh tahun."

“Ah, tidak bisa...."

“Tidak bisa?" wajah Kaisar Persilatan berobah serius lalu balas bertanya pula: “Adakah engkau tak mau memikul beban untuk membasmi kaum durjana?"

“Bukan begitu."

“Kalau begitu tak perlu engkau sungkan lagi," kata Kaisar Persilatan seraya menyimpan pusaka Thian liong kim jiu, “sebelum berpisah, aku hendak memberikan petunjuk tentang kesudahan perjalanan hidupmu....."

Gak Lui mengiakan dan mendengarkan dengan khidmat.

Dengan nyaring berdendanglah Kaisar Persilatan: “... dari hidup lalu mati, setelah mati menuju ke alam Kehidupan, dengan darah membayar darah, tentu mengerti Jalan Kegaiban (Sin thong).”

Gak Lui tak mengerti apa yang disebut sebut soal mati-hidup, hidup-mati itu. Tetapi kata2 Kaisar yang terakhir itu dapat juga ia menduga artinya.

“Cianpwe, adakah cianpwe hendak mengatakan bahwa kelak aku bakal mengerti ilmu Liok-to-sin thong itu ...." tanyanya.

“Benar!"

“Lalu ketiga baris kata yang lain itu ..."

“Bila sampai saatnya engkau tentu akan mengerti sendiri. Selain itu engkau harus ingat baik2. Bila berada keadaan yang genting dan sulit, jangan lupa akan cerita siburung rajawali yang kututurkan itu !"

“Baik, cianpwe."

“Nah, selama gunung masih menghijau, kelak kita tentu dapat berjumpa lagi. Nah, aku hendak pergi !"

Belum kumandang kata2 itu reda, tampak sesosok bayangan putih melesat pergi. Bayangan itu menghamburkan sinar kemilau yang amat keras sehingga Gak Lui silau matanya. Ketika sinar kemilau hilang, di tanah lapang situpun sudah tiada orangnya lagi.

Tokoh persilatan Li Liong-ci yang sakti dan menggetarkan dunia persilatan, dengan gunakan ilmu Liok-to sin-thong telah tinggalkan tempat itu. Gak Lui terlongong-longong kesima. Dia masih tegak di tempatnya.

Anak muda itu seperti sedang bermimpi. Tokoh sakti tiada tanding dari angkatan lama dan kewajiban untuk membasmi kaum durjana, dua hal itu telah jatuh di atas bahunya. Ia telah mendapat warisan dari tokoh sakti si Kaisar Persilatan Li Long-ci. Warisan nama dan beban....

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---

Pikirannyapun segera melayang pada tantangan Maharaja Persilatan untuk adu kesaktian itu. Tantangan itu penting sekali artinya. Apabila ia dapat mengalahkan si Maharaja, berarti ia telah menunaikan tugas untuk membasmi kaum durjana.

Tetapi pada saat mengenangkan musuhnya, tiba2 timbullah keraguan dalam hati. Mengapa Maharaja Tio Bik-lui itu masih utuh hidungnya? Bukankah ayah-angkatnya si Pedang Aneh mengatakan bahwa musuhnya itu seorang yang berhidung gerumpung? Bukankah hal itu saling bertentangan?

Ah, waktulah yang akan memberi jawaban atas pertanyaan itu. Akhirnya ia memutuskan pendirian hatinya. Untuk sementara ia kesampingkan dulu soal itu dan mulai ia mengingat lagi tentang pesan Kaisar Persilatan tadi.

Tentang soal Mati dan Hidup serta dongeng burung rajawali dan sang Gautama, memang merupakan ajaran dari kaum Buddha. Gak Lui tak dapat menyelami arti daripada kesemuanya itu. Ia hanya mencatat dalam hati, kelak akan membuktikan dalam peristiwa jalan hidupnya.

Hanya dalam pembicaraan itu adalah sebuah hal yang Gak Lui merasa aneh. Yalah Kaisar Persilatan tadi mengatakan kalau pedang Thian-lui-koay-kiam itu tak dapat dibuka dengan digosok batu berlian. Karena waktunya sudah tak keburu lagi. Dan Kaisar mengatakan pula bahwa kelak jika sungguh2 ia akan bertempur dengan Tio Bik-lui, mungkin bisa ....

“Ah, mungkin bisa bagaimana? Adakah waktu bertempur itu pedang Thian-lui-koay-kiam akan mampu memancarkan kewibawaannya sendiri? Ah, tidak, tidak mungkin ....!"

Demikian ia menanggalkan semua lamunan dan dugaan yang makan pikiran lalu memutuskan rencana. Ia hendak menuju ke gunung Hek-san, untuk menolong Pukulan-sakti The Thay dan mencari puterinya yakni nona The Hong-lian. Ia hendak minta keterangan kepada nona itu, siapakah tabib yang paling sakti. Setelah mengetahui, ia akan mencari tabib itu dan minta supaya menyambung kedua kaki sinona yang telah kutung itu. Kemungkinan di dunia ini tabib yang memiliki ilmu kepandaian sesakti itu hanyalah si Tabib sakti Li Kok-hoa, ayah dari Siu-mey.

“Ah, aku harus lekas ke sana. Kalau terlambat, apabila The cianpwe sudah memperbaiki pedang pusaka itu, kawanan durjana tentu akan membunuhnya!"

Dengan ketetapan hati itu, Gak Lui segera ayunkan langkah menuju ke Hek-san atau Gunung Hitam.

Disebut gunung Hitam karena gunung itu penuh dengan hutan belantara yang lebat sekali sehingga alam pemandangannya gelap hitam.

Gak Lui menempuh perjalanan siang malam. Ketika tiba di gunung itu, ia memandang keatas. Tampak selarik asap membubung di puncak gunung.

“Ah, tentulah asap itu tempat The cianpwe menempa pedang," pikirnya.

Segera ia pesatkan langkah, sambil lari menyusup hutan belantara sambil merancang rencana: “Kawanan orang berkerudung muka itu tentu bergiliran menjaga. Kalau mereka tahu kedatanganku, tentu mereka akan menjadikan The cianpwe sebagai sandera untuk mengancam aku! Maka baiklah kuhindari jalan kekerasan dan mencari adik Lian dulu, setelah itu baru kubertindak menolong The cianpwe ..."

Pada saat itu ia sudah terpisah hanya seratusan tombak dari puncak gunung. Dengan mengempos semangat, ia menyusup gerumbul pohon sambil berpikir: “Menurut kata Pok Tin, adik Lian juga bersembunyi di dekat sini mengawasi gerak gerik lawan. Tetapi hutan begini lebat, entah dia bersembunyi di mana ....?"

Terpaksa ia mengambil jarak tertentu untuk mengitari gunung itu. Sepenanak nasi lamanya, tiba2 ia mencium serangkum bau harum. Girangnya bukan kepalang. Itulah bau nona Hong-lian yang hendak dicarinya.

Setelah melintasi sebuah hutan akhirnya ia melihat nona itu sedang bertopang dagu duduk di bawah pohon. Rupanya ia tengah memikirkan suatu soal yang sukar.

“Adik Lian !" serentak Gak Lui berseru memanggilnya.

“Siapa ?" sambut nona itu dengan girang karena ia merasa tak asing dengan nada suara orang.

“Engkoh Lui......." serunya dengan suara tertahan. Ia hampir tak percaya pada pendengarannya sehingga hatinya tegang sekali. Dan ketika Gak Lui muncul, serta merta nona itu loncat memeluknya.

Gak Luipun mendekapnya erat2. Mereka saling berpandangan dengan mesra. Melihat gerakan nona itu amat lincah, tahulah Gak Lui bahwa luka pada kaki nona itu sudah sembuh dan bahkan kini ilmu kepandaiannyapun bertambah maju pesat.

Pun Hong lian mempunyai perasaan demikian juga. Ia melihat bukan melainkan kepandaian Gak Lui bertambah maju sekali, pun tampaknya pemuda itu makin cakap dan makin gagah.

Beberapa jenak kemudian barulah Gak Lui lepaskan pelukannya dan bertanya perlahan: "Sudah berapa lamakah engkau berada disini? Adakah Permaisuri Biru yang memberi petunjuk supaya engkau datang kemari ?"

Hong lian mengiakan : "Ya, memang suhu yang memberi petunjuk kepadaku, aku sudah 10 hari lebih datang kemari tetapi jika tak melihat gumpalan asap itu, aku tentu tak dapat menemukan tempatnya !"

"Akupun juga begitu," sahut Gak Lui, "tetapi adalah selama 10 hari itu engkau pernah melihat The cianpwe ?"

"Belum pernah," jawab sinona, "tetapi dari gumpalan asap yang selalu membubung siang malam itu, ayah tentu sedang bekerja menempa pedang."

"Apakah ada orang lain ?"

"Banyak juga ! Tetapi hanya kawanan Orang-berkerudung yang pernah kita lihat digunung Pek wan-san. Mereka dua2 bergiliran menjaga tempat itu."

"Kalau begitu mudah dihadapi ..."

"Engkau anggap mudah tetapi aku tidak. Kalau memang mudah, tentu dulu2 sudah kuserbu!"

"Kalau begitu, kita atur rencana agar jangan membikin kaget mereka."

"Baiklah, kuserahkan saja bagaimana engkau hendak mengaturnya," kata Hong-lian.

Sejenak merenung berkatalah Gak Lui: "Kawanan orang itu semua kenal padaku. Dan ada dua yang kenal padamu. Oleh karena itu terpaksa kita tak dapat bekerja secara terang-terangan…..”

"Ah, belum tentu begitu. Mereka takut kepadamu tetapi tidak gentar kepadaku. Aku boleh mengunjuk diri untuk memikat mereka kedalam hutan agar dapat kubunuh yang seorang!"

“Jangan!" seru Gak Lui, "kawanan itu manusia yang licin dan banyak muslihat. Mereka tentu tahu kalau engkau menderita luka yang sukar sembuh selama-lamanya. Kalau secara tiba2 engkau unjuk diri mereka tentu menduga kalau engkau tentu ditolong oleh orang sakti dan telah mendapat pelajaran ilmu sakti. Kalau andaikata mereka tak takut kepadamu tentu takut juga kepada suhumu."

"Hm, benar juga…" sambut Hong lian. “tetapi kalau aku tak unjuk diri bagaimana dapat memikat mereka keluar dari tempat itu ?"

"Ini.... ah, kita bisa menyulut obor. Menilik keadaan tempat ini, asap obor itu tentu akan tampak dari puncak gunung. Mereka tentu mengira kalau timbul kebakaran dan tentu akan buru2 datang kemari."

"Memang siasat itu baik juga, tetapi ingat, jangan sampai mencelakakan ayah !" kata Hong-lian.

"Sudah tentu tidak ! The cianpwe tentu faham soal api, tak mungkin dia akan sembarangan keluar dari guha. Dan lagi aku sudah mempunyai persiapan, selekasnya menyelesaikan kawanan penjahat itu."

Dengan lembut Hong lian anggukkan kepala. Tetapi ia masih mempunyai sebuah pertanyaan lagi : "Engkoh Lui, ada suatu hal yang aku masih tak mengerti !"

"Soal apa ?"

"Bagaimana perangai ayahku, tentulah engkau sudah tahu."

"Ya."

"Apakah orang yang perangainya seperti ayah itu, benar2 sudi membuatkan pedang untuk musuh? Apakah tak mungkin lain orang yang disitu ?"

Gak Lui tertawa: "Bermula aku memang mempunyai pemikiran begitu. Kecuali beliau, rasanya lain ahli pembuat pedang tak mempunyai kepandaian sehebat itu."

"Lalu apa sebab ia mau membantu musuh?"

"Hal itu akupun masih belum jelas juga," kata Gak Lui, "setelah menolong ayahmu, barulah kesemuanya itu akan jelas."

Demikian setelah menetapkan rencana keduanya segera berpencar mencari ranting kayu. Tak berapa lama mereka sudah berhasil mengumpulkan tumpukan bahan bakar kayu. Dan secepatnya merekapun segera menyulutnya.

Ternyata tempat penempaan pedang itu berada dipuncak gunung. Sudah tentu mudah melihat api yang menyala dibawah gunung.

Setelah api menyala benar, Gak Lui buru2 memberi pesan kepada Hong-lian : "Nanti ikutlah dibelakangku, jangan terburu nafsu....."

"Ya, aku tahu. Selanjutnya pekerjaan berikutnya, serahkan saja kepadaku, tanggung beres," sahut sinona.

Tiba2 mereka mendengar suara orang memekik marah : "Celaka, timbul kebakaran, gunung ini akan terbakar, hayo kita cepat2 menolong…..”

Teriakan itu menimbulkan suara jeritan yang gaduh : "Lekas.....lekas .... engkau kesana, aku yang ketengah ...."

"Sungguh aneh sekali api itu.....!"

"Sudah jangan mengurusi api itu aneh atau tidak, lekas padamkan saja !"

"Mungkin ada orang yang sengaja menimbulkan kebakaran...."

"Jangan ngaco ! Siapa berani membakar gunung ini ? Sudahlah, jangan banyak bicara!"

Nada suara orang yang terakhir itu menimbulkan ingatan Gak Lui. Ia teringat suara itu adalah suara paderi Wi Cun. Dalam gerombolan Orang-berkerudung itu, hanya Wi Cun yang benar2 termasuk murid hianat. Gak Lui hendak menangkap paderi itu untuk diserahkan kepada perguruan Kong tong. Disamping itu, Wi Cun tentu mengetahui rahasia dari Maharaja Tio Bik-lui.

Baru Gak Lui merenungkan hal itu, tiba2 tampak dua sosok tubuh lari menyusup kedalam hutan. Yang satu seorang berkerudung muka dan satu anggauta Topeng Besi.

Gak Lui cepat menghadang. Dengan tajam ditatapnya orang yang dimuka: "Apakah engkau bukan sipaderi jahat Wi Cun ?"

Orang itu tidak menyahut. Tetapi dari kerut wajahnya, ia setengahnya geli setengahnya takut.

Gak Lui tak mau banyak bicara lagi, ia melolos pedang Thian-lui-koay-kiam yang menyerupai pedang batu, terus menusuk dada orang itu.

Tetapi orang itu rupanya tak tahu bahaya.

Melihat senjata lawan hanya pentung batu, ia menangkis dengan pedangnya. Tring .... orang berkerudung muka itu menjerit kaget ketika pedangnya putus. Padahal pedang itu baru saja selesai ditempa oleh seorang ahli pembuat pedang yang termasyhur.

Dalam gugup ia hendak berputar tubuh melarikan diri seraya hendak bersuit memberi pertandaan kepada kawan kawannya. Tetapi belum sempat ia melaksanakan rencananya itu, pentung batu Gak Lui suduh menghunjam dadanya. Darah muncrat berhamburan. Orang itu tak sempat menjerit lagi karena dadanya tertembus pedang Thian-lui-koay-kiam.

Setelah berhasil membunuh seorang lawan, Gak Lui tak mau mensia-siakan tempo. Dengan dua buah jari tangan kiri ia menutuk batang pedang si orang bertopeng besi. Tring .... ujung pedang Topeng Besi itupun rompal.

"Aneh !" diam2 Gak Lui terkejut sendiri. Namun ia tak sempat memikir lebih panjang. Secepat kilat ia menyambar pergelangan tangan orang itu terus berseru kepada Hong-lian: "Yang ini menjadi bagianmu ...."

"Bagus ...!" Hong lian loncat menerkam orang itu.

Dengan demikian mereka berhasil membunuh tiga orang berkerudung dan menawan seorang anggauta Topeng Besi.

Tetapi ternyata ketiga orang berkerudung muka bukan imam jahat Wi Cun. Gak Lui tetap menunggu karena percaya orang berkerudung yang akan muncul nanti tentulah penyaruan dari imam Kong-tong-pay yang murtad. Karena tak juga ada orang yang muncul lagi, ia segera menyusup keatas puncak gunung. Ternyata imam jahat Wi Cun yang mengenakan kerudung muka itu, tengah menjaga disebuah mulut guha. Guha itu rupanya baru saja dibuat untuk keperluan menempa pedang.

Ternyata imam itu juga tajam sekali matanya. Cepat ia dapat mengetahui kedatangan Gak Lui. Imam Wi Cun tergetar hatinya. Buru2 ia bersuit memberi pertandaan agar manusia Topeng Besi yang berada disamping segera menyerang Gak Lui. Setelah itu ia sendiri lalu menyusup masuk kedalam guha.

"Hai, hendak lari kemana engkau!" teriak Gak Lui dan Hong-lian hampir serempak. Kedua anak muda itu terkejut karena tahu apa maksud imam itu lari masuk kedalam guha. Tentulah dia hendak meringkus Pukulan-sakti The Thay untuk dijadikan sandera.

Serentak kedua anak muda itu berhamburan loncat mengejar. Dalam gerakan itu ternyata Gak Lui dapat mendahului Hong-lian. Tetapi iapun segera disambut dengan tusukan pedang oleh anggauta Topeng Besi.

Rintangan itu terpaksa membuat Gak Lui hentikan langkah. Sekali menghantam dengan pedang batu, pedang lawanpun hancur. Dan secepat kilat, Gak Lui menyusuli dengan sebuah tutukan jari yang berhasil melumpuhkan si Topeng Besi itu.

Saat itu Hong-lianpun sudah tiba dimulut guha. Sedang si imam Wi Cun sudah masuk kedalam guha.

"Celaka....!" Gak Lui mengeluh dalam hati. Memandang kebawah, tempat dimana ia menyulut api tadi, api makin besar dan menimbulkan kebakaran luas. Cepat ia mengepit orang bertopeng besi itu lalu loncat kemulut guha.

Bum ... bum .... terdengar angin pukulan menderu-deru dari arah dalam guha.

"Bagus....." Gak Lui menghela napas longgar. Ia dapat membedakan deru angin itu. Itulah angin yang timbul dari pukulan The Thay. Sedang suara mendering dering itu jelas berasal dari semacam senjata.

Belum sempat ia bertindak, dari dalam guha meluncur keluar dua sosok tubuh. Yang di-muka ternyata si imam Wi Cun. Dia memegang pedang yang sudah kutung. Sedang yang mengejar dibelakangnya, bukan lain adalah The Thay sendiri.

Ahli pembuat pedang itu menghantam dengan tangan kiri, sedang tangannya mengayun-ayunkan sebuah pukul besi besar alat penempa pedang.

Dengan wajah memberingas, The Thay mengamuk dan mengejar imam itu.

Bukan main girang Gak Lui setelah melihat ahli pembuat pedang itu lolos dari bahaya. Ia segera hendak loncat untuk meringkus imam Wi cun agar dapat mengorek keterangan tentang rahasia Maharaja Tio Bik-lui.

Tetapi ternyata kalah dulu dengan Hong-lian yang sejak tadi sudah siap dimulut guha. Begitu imam Wi Cun menerobos keluar, Hong lian segera membenamkan ujung pedangnya ke perut si imam.

Cres .... seorang tokoh angkatan tua dari partai perguruan Kong tong-pay, karena menggabungkan diri dengan gerombolan durjana, telah mati dibawah ujung pedang Hong-lian. Sebenarnya Gak Lui hendak berteriak mencegah tindakan Hong-lian tetapi sudah terlambat, terpaksa ia loncat menghampiri ketempat si nona.

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---

Ketika melihat puterinya, Pukulan-sakti The Thay melonjak girang seperti orang gila. Dengan masih mencekal palu besi ia memeluk puterinya. Demikian kedua ayah dan anak itu saling berpelukan dengan rasa haru dan girang yang tiada terhingga.

“Paman The," beberapa saat kemudian baru Gak Lui berani membuka suara.

The Thay baru gelagapan dan lepaskan pelukannya: “Oh, engkau Gak ... Lui... adakah kalian tak kurang suatu apa ?"

Demikian pertemuan ketiga orang itu berlangsung dalam suasana yang mengharukan dan menggembirakan. Ayah dan puterinya sudah berkumpul lagi. Dengan singkat Gak Lui lalu menuturkan semua pengalaman yang telah dialami selama ini hingga sampai berhasil menemukan tempat orangtua itu.

Habis berceritera, tiba2 Gak Lui teringat sesuatu dan berteriak: “Adik Lian, mana orang2 yang kuserahkan kepadamu itu ?"

“Siapa ?" tanya si nona.

“Dua orang berkerudung dan seorang anggauta Topeng besi ?"

“Oh, mereka telah kutusuk mati semua !"

“Ah, maksudku kusuruh engkau membawanya kemari, bukan suruh membunuhnya...."

Mendengar dirinya didamprat, dengan agak terisak-isak, Hong-lian menyahut, “Engkau... hanya bilang menyerahkan orang itu kepadaku....mana aku tahu kalau suruh menawannya...."

The Thaypun ikut menyesali puterinya: “Lian, engkau memang terlalu mengumbar kemarahan. Mengapa tak engkau biarkan mereka hidup agar dapat kita korek keterangan. Tentu kita akan mendapat keterangan yang penting ....”

Ayahnya turut mendamprat, nona itu makin deras mengucurkan airmata, jawabnya membela diri: “Dalam suasana kebakaran yang begitu besar, aku sudah tak keburu. Mengapa kalian menyalahkan aku…..”

Karena sudah terlanjur, Gak Lui anggap tak perlu membicarakan soal itu lagi. Dengan matinya imam Wi Cun, rahasia si Maharajapun ikut lenyap. Demikianpun dengan ketiga Topeng Besi itu. Mereka dibunuh mati semua oleh Hong-lian. Jika hal itu diketahui oleh partai perguruan masing2, tentulah mereka akan menuntut balas kepada The Thay dan puterinya.

"Sudahlah, adik Lian, tak usah menangis. Semua perkara ini adalah tanggung jawabku," Gak Lui menghiburnya.

Kemudian ia dengan hati2 lepaskan tawanan Topeng Besi yang dikepitnya, lalu membuka topengnya, pikirnya : "Entah orang ini dari perguruan mana, yang penting semua rahasia gerombolan Maharaja itu berada padanya ...."

Topeng besi karena sudah bertahun-tahun dipakai, sudah karatan sehingga sukar membukanya. Terpaksa Gak Lui kerahkan tenaga-dalam menyingkap, krak ..... terdengar derak suatu alat pekakas dan serempak terdengar Gak Lui menggembor keras. Tangannya berlumuran darah dan dua keping topeng besipun terlempar ke udara. Sedangkan siorang Topeng Besi terkapar di-tanah tak berkutik sama sekali.

The Thay dan Hong-lian terkejut dan memandang Gak Lui. Pemuda itu tertegun memandang ke arah manusia Topeng Besi.

Ternyata orang itu belum mati. Rambutnya terurai, kumis dan mukanya penuh brewok lebat sehingga susah dikenal dia itu murid agama atau orang biasa. Dia tak menderita luka apa2 dan jelas darah itu memang berasal dari tangan Gak Lui.

“Engkoh Lui, apakah engkau terluka ?" seru Hong-lian cemas.

“Ah, hanya luka luar, tak mengapa….”

“Lalu mengapa tanganmu berdarah ?"

“Maharaja memang manusia durjana, dalam topeng besi itu dilengkapi dengan alat pekakas rahasia ...."

“Alat pekakas apa ?"

“Dua buah per yang mengandung bahan peledak dan tertuju pada kening sipemakai. Begitu kucabut topeng itu, alat itupun muntahkan peluru dan hampir saja menghancurkan benak orang ini."

“Lalu engkau tanggapi dengan tangan?" menegas sinona dengan cemas .....

Bab 29. Lembah Setan-penyakit.

“Kalau tidak ditangkis, mana aku bisa hidup?" sahut Gak Lui lalu membuka jalan darah orang itu.

“Memang bisa hidup tetapi mungkin tak dapat bicara," seru Hong-lian seraya geleng kepala.

Mendengar itu Pukulan-sakti The Thay menyelutuk perlahan: “Lian, jangan banyak bicara. Biarlah engkohmu Gak Lui mengurut urat2 orang itu. Mungkin bisa sembuh….”

Ucapan orangtua itu memang tepat seperti yang dikandung dalam hati Gak Lui. Untuk mencari jejak, ia harus dapat menolong orang bertopeng besi itu. Segera ia lekatkan kedua tangan ke pantat dan ubun orang lalu memberi seluruh tenaga-murni. Hendak diusahakan agar orang itu sadar dari pingsannya.

Tak berapa lama Gak Lui rasakan hawa Im yang dingin di tubuh orang itu sudah terhalau. Bahkan sepasang mata orang itu yang terlongong-longong seperti kehilangan semangat, pun sudah dapat bergerak biasa lagi.

Gak Luipun menarik penyaluran tenaga-murni dan bertanya dengan nada lembut: “Siapakah engkau? Apakah engkau sekarang sudah tersadar?"

Biji mata orang itu berputar lalu mencurah pada wajah Gak Lui yang memakai kedok muka dari kulit kera tetapi tak bicara apa2.

“Apakah keadaanmu sudah baik? Mengapa engkau tak menjawab pertanyaan engkoh Lui?" Hong-lian yang berada di samping, ikut mendesak.

Tetapi si Topeng Besi itu hanya keliarkan sepasang biji matanya dan memandang sinona. Tetapi sampai beberapa saat tetap tak bicara.

Melihat itu Gak Lui gelengkan kepala: “Ah, dia sudah kehilangan daya ingatan dan tak dapat menjawab pertanyaan."

The Thay suruh Gak Lui untuk mengurutnya lagi. Tetapi Gak Lui menerangkan: “Kurasa tak mungkin lagi. Untuk mengembalikan daya ingatannya, bukanlah soal yang mudah. Hanya menggunakan cara urut saja, tak berguna."

“Lalu bagaimana ?"

“Bawa dia ke gunung Ceng-sia-san supaya para tokoh2 perguruan silat mengenalinya. Kalau dia benar salah seorang murid dari suatu perguruan silat, baru kita nanti berusaha untuk menyembuhkan."

"Engkoh Lui, apakah engkau sudah mempunyai suatu rencana ?" Selutuk Hong lian pula.

"Belum," kata Gak Lui lalu menerangkan dengan terus terang, "Digunung Ceng-sia-san berkumpul tokoh2 sakti. Mungkin mereka dapat mengusahakan daya. Kalau masih gagal, terpaksa kita tunggu saja apa yang akan terjadi."

The Thay setuju dan mengajak berangkat saat itu juga. Gak Lui mengiakan tetapi Hong-lian mencegah : "Ah, mengapa harus buru2 ? Aku masih ada beberapa hal yang hendak kutanyakan pada ayah."

"Katakanlah."

Hong-lian bertanya dengan nada sangsi: "Yah, mengapa engkau mau membantu musuh membuatkan pedang? Aku sungguh tak mengerti!"

"Adakah engkau kira aku lebih suka mati daripada menyerah ?" sahut The Thay.

Mata sinona merah dan dengan nada berduka berkata: "Menilik perangai ayah, aku.... kuatir ..,terjadi sesuatu diluar dugaan….”

"Tolol !" dengan mesra The Thay membelai rambut puterinya, "walaupun ayah ini berwatak keras tetapi .... tak ingin meninggalkan kalian.., maka aku walaupun hanya dapat hidup beberapa hari, aku tetap hendak mencarimu baru hatiku tenang. Soal pembuatan pedang itu, hanya suatu siasat saja."

"Siasat ?"

"Ya."

"Siasat bagaimana, aku belum mengerti," Tetapi rupanya Gak Lui cepat dapat memaklumi ucapan The Thay. Ia segera memberi penjelasan kepada Hong-lian : "Yang dibuat paman The itu hanya pedang palsu. Dengan mengunakan siasat itu ia hendak mengantar beberapa orang itu kearah kematiannya.”

"Maksudnya yalah…..”

"Apakah engkau tak melihat begitu beradu dengan pedangku, pedang mereka terus hancur?"

"Oh .... benar ! Tetapi apakah sangkut pautnya hal itu ?" masih Hong-lian menegas.

"Paman The seorang ahli pembuat pedang. Sudah tentu bisa saja ia gunakan akal dalam membuat pedang mereka sehingga walaupun tampaknya bagus tetapi pedang mereka itu mudah patah."

"O....," kali ini Hong-lian mendesuh girang karena sudah jelas.

The Thay pun tertawa : “Itulah maka kukatakan engkau ini seorang budak tolol .. Karena sekarang sudah jelas mari kita segera berangkat. Masih banyak peristiwa2 yang akan kita alami nanti !"

Gak Lui berbangkit dan memberi isyarat tangan agar si Topeng Besipun bangun. Tetapi si Topeng Besi itu hanya keliarkan biji mata dan tetap menggeletak ditanah. Rupanya dia enggan berbangkit.

Gak Lui tahu keadaan orang itu. Ia segera menepuk bahu orang itu dan berbangkitlah ia tegak mematung menunggu perintah Gak Lui.

"Paman, tolong paman bawa orang ini ke Ceng-sia san. Sepanjang jalan dia harus didorong supaya jalan," kata Gak Lui.

"Apakah engkau tak pergi bersama-sama aku?" tanya The Thay.

"Aku hendak menyelidiki siapakah yang telah menyembuhkan kedua kaki adik Lian itu," kata Gak Lui.

Mendengar itu Hong-lian memandang bergantian kepada ayah dan pemuda yang dikasihinya itu. Kedua-duanya ia tak tega berpisah. Tetapi apa boleh buat.....

Setelah merenung beberapa jenak akhirnya ia menghampiri Gak Lui: "Baiklah, aku ikut engkau !”

"Tidak, lebih baik engkau ikut paman The. Asal engkau memberitahukan letak tempat itu, aku tentu dapat mencarinya sendiri."

Hong-lian kecewa lalu melengking tak senang: "Hm, akan kubawa engkau kesana, engkau tak mau, akupun tak mau memberitahukan tempat itu. Terserah engkau dapat mencarinya sendiri atau tidak nanti....."

“Adik Lian, maksudku hanya hendak menghemat tempo. Dan lagi kalau engkau bersama paman The Thay engkau dapat saling membantu sehingga aku tak perlu cemas hati lagi," kata Gak Lui.

Rupanya nona itu masih tak puas. Untung The Thay segera menyelutuk : "Tempat itu aku dapat memberi tahu. Tetapi .... syarat yang dikehendaki tabib itu luar biasa sekali. Mungkin engkau tak sanggup menerimanya."

"O…." desuh Gak Lui. "bukankah adik Lian itu diantar oleh Permaisuri Biru. Masakan harus menghadapi beberapa syarat lagi?"

Sahut Hong-lian : "Suhuku mengabdi pada agama, lapang dada pemurah hati. Oleh karena itu beliau mau menerima syarat2 itu, tetapi engkau masih muda, tentu lain soalnya.”

"Kalau lain orang dapat menerima, masakan aku tidak? Katakanlah nama tempat itu!" cepat Gak Lui menanggapi.

Hong lian kerutkan alias seperti merenung. Katanya sesaat kemudian : "Tempat itu disebut Lembah Setan Penyakit. Didalam lembah penuh dengan penderita2 sakit yang aneh2. Tabib itu sendiri tinggal didalam guha ....."

"Siapakah namanya ?"

"Sewaktu dalam keadaan terluka, aku tak sempat bertanya. Agaknya dia bernama .... bernama ... Pemilik lembah setan Penyakit…..”

"Tak apalah," kata Gak Lui. Diam2 ia menimang, jika tabib sakti itu benar Li Kok-hoa, dia tentu akan menyembunyikan nama dan berganti dengan nama palsu.

"Bagaimanakah potongan wajah orang itu ?" akhirnya ia coba mencari keterangan.

"Entahlah !” sahut Hong lian.

"Aneh, mengapa tak tahu bagaimana wajahnya? Bukankah engkau sudah tinggal lama di-lembah Setan Penyakit itu ?" Gak Lui agak kurang percaya.

"Aku tinggal tujuh hari lamanya. Setelah kakiku tersambung, suhu lalu membawaku pergi."

"Selama tujuh hari itu masakan engkau tak pernah melihat mukanya ?"

"Benar, memang aku tak bohong," kata Hong-lian, "selama tujuh hari itu aku dibiusnya. Hal itu kemudian hari baru suhu memberitahu kepadaku. Dan lagi... dan lagi....."

"Dan lagi bagaimana ?"

"Suhu memberi pesan agar aku jangan sembarangan mengatakan hal itu kepada orang lain. Untuk menghindari kaki tangan Maharaja akan mencari tabib itu."

"Hm," Gak Lui mendesuh. Diam2 ia menimang. Apakah si Setan Penyakit itu bukan Tabib-sakti Li Hok-hoa sendiri. Ah, demi kepentingan Siu-mey, ia harus mencarikan ayah nona itu. Tetapi tabib itu mengajukan syarat. Kalau ia tak dapat memenuhinya, kemungkinan tabib itu takkan mengacuhkannya.

Ah, tiba2 ia teringat akan Li Siu-mey. Jika nona itu berada disitu, tentulah ia dapat mengenali Setan Penyakit itu ayahnya atau bukan.

"Baiklah, adik Lian. Setelah tiba di Ceng-sia, carilah Gadis-ular Li Siu-mey dan beritahukan tempat yang kutuju itu. Minta dia supaya lekas menyusul kesana," akhirnya ia memberi pesan kepada Hong-lian.

Hong-lian mengiakan. Tetapi saat kemudian ia bertanya : "Siapakah nona itu ? Apakah hubungannya dengan engkau ?"

"Dia juga .... seorang saudara angkat…..” kata Gak Lui. Karena dengan Siu-mey ia mempunyai hubungan yang istimewa maka dalam memberi keterangan, ia agak terbata-bata.

Hong lian makin curiga. Dengan nada cemburu ia berkata: "Kurasa agaknya engkau tak jujur. Pergilah, aku tak mau mengurus soal itu lagi !"

Gak Lui meringis. Untung The Thay tahu akan perangai puterinya. Buru2 ia memberi isyarat kepada Gak Lui supaya mendekat kepadanya: "Apakah engkau belum faham akan perangai si Lian ? Kecuali ada petunjuk2 yang istimewa, dia baru menurut. Kalau tidak, aku sebagai ayahnya-pun tak digubris."

"Petunjuk istimewa ?" Gak Lui merenung sejenak, katanya pula: "Bahwa kalau kuberinya pelajaran sebuah jurus ilmu pedang perguruanku, setujukah paman ?”

Sudah tentu The Thay girang sekali karena puterinya akan mendapat ilmu pedang perguruan Bu-san yang termasyhur itu. Sebenarnya nasehatnya kepada Gak Lui itu hanya akan minta agar pemuda itu membujuk Hong lian dengan kata2 yang manis. Setitikpun ia tak menyangka kalau pemuda itu akan memberi pernyataan yang tak terduga begitu.

"Maksudmu itu memang baik sekali. Tetapi... apakah hal itu tidak terlalu memberatkan engkau ?" katanya.

"Tidak," sahut Gak Lui, "kuberinya pelajaran ilmu pedang itu adalah demi kepentingan kita semua. Jadi bukan soal sungkan. Harap paman suka mengatakan kepadanya."

The Thay dengan gembira menyampaikan hal itu kepada puterinya.

Rencana Gak Lui untuk mengajarkan sebuah ilmu pedang kepada Hong-lian itu demi memperlengkapi pembentukan sebuah barisan pedang. Hi Kiam-gin sudah mendapat satu jurus. Bu-san Yan liong dan gadis ular Siu-mey masing2 sudah mempelajari satu jurus. Jika sekarang Hong-lian satu jurus lagi maka lengkaplah barisan pedang perguruan Busan yang terdiri dari empat orang.

"Jika dalam menggunakan pedang pusaka Thian lui-koay-kiam, aku sampai kalap dan hilang kesadaran pikiranku, mereka berempat dapat mengeroyok aku sehingga keganasanku dapat diatasi...." diam2 Gak Lui menimang dalam hati.

"Engkoh Lui, ah, engkau cukup baik hati, hayo ajarilah ilmu pedang itu dengan sungguh2, nanti tentu kusampaikan pesanmu kepada nona itu!" tiba2 Hong lian melesat ketempatnya dan berseru girang.

Demikian Gak Lui segera memberinya pelajaran ilmu pedang jurus Menjolok bintang-memetik-rembulan kepada nona itu.

Cepat sekali Hong-lian sudah dapat memahami jurus itu. Akhirnya merekapun berpisah untuk melanjutkan rencana perjalanan masing2.

Setelah ayah dan anak yang membawa seorang tawanan Topeng Besi itu lenyap dalam gerumbul, Gak Luipun segera lari menuju ke lembah Setan Penyakit untuk mendapatkan tabib yang telah mengobati kaki Hong lian. Ia duga tabib yang memiliki kepandaian begitu sakti, kemungkinan besar tentulah Li Kok-hoa, ayah dari Siu-mey.

Ia harus mencari tabib itu agar Siu-mey dapat mencari ayahnya yang menghilang tiada tentu rimbanya itu. Disamping itu, ia percaya, apabila tabib itu benar Li Kok hua, tentulah ia akan memperoleh keterangan yang berharga mengenai diri Maharaja Persilatan.

Ketika matahari memancarkan sinarnya yang panas, tibalah Gak Lui disebuah lembah. Angin yang mengantar bau manusia, cepat dapat tercium oleh hidung Gak Lui yang tajam.

"Menilik keadaannya, lembah Setan Penyakit itu berada ditepi sana.....," pikirnya lalu enjot tubuh melayang ke tanjakan gunung. Tiba ditempat itu bau busuk itu makin menusuk hidung sehingga ia hampir muntah.

Dilihatnya ditepi lembah sebuah pagar kayu. Dibalik pagar itu tampak dua sosok bayangan manusia. Melihat keadaan itu hampir Gak Lui tak percaya bahwa Permaisuri Biru akan membawa Hong-lian ketempat itu untuk berobat. Tetapi kenyataan memang demikian. Agar jangan membuat kaget orang, ia tak mau menggunakan ilmu Meringankan tubuh melainkan dengan perlahan-lahan ia menuju ketempat itu.

Pada saat ia melintasi hutan, tampak tubuh2 manusia tersebar dimana-mana dengan pandang mata yang beraneka ragam. Seram dan mengerikan.

Gak Lui cepat menduga bahwa tempat itu tentulah rombongan penderita sakit yang berat. Tetapi karena tertolong oleh tabib sakti, walaupun keadaan mereka berlumur cacad, jiwa mereka masih dapat dipertahankan.

Rombongan orang sakit itu muncul keluar dari semak gerumbul pohon. Berjenis-jenis keadaan mereka. Ada yang menyerupai kerangka terbungkus kulit, ada yang tubuhnya begap2, ada yang penuh berlumur dengan kudis2. Ngeri sekali, menyeramkan hati.....

Gak Lui ingin menegur tetapi dilihatnya mereka itu seperti patung yang berjiwa. Bernapas tetapi sedikitpun tak mempunyai mimik perasaan. Hanya sorot mata mereka yang memancar sinar aneh.

Mereka heran mengapa Gak Lui mengenakan kedok muka dan mengapa datang ketempat situ. Adakah pemuda itu mengandung penyakit yang sukar disembuhkan? Demikian mereka menduga-duga.

Gak Lui lanjutkan langkah. Ketika tiba di-tempat yang dituju, sekeliling penjuru penuh dengan penderita penyakit yang aneh. Keadaan tempat itu tak ubah seperti setan2 dalam neraka.

"Tolong tanya paman berdua....." baru ia membuka mulut sampai disitu, hatinya seperti disayat sembilu. Kedua penderita yang ditegur itu tubuhnya penuh kudis yang mengandung nanah dan darah. Telinga dan hidung sudah membusuk bahkan pelupuk matanyapun berkudis darah, kepalanya macam buah delima yang bertaburan luka.

Tetapi karena sudah tiba ditempat itu akhirnya Gak Lui meneguhkan nyali dan bertanya pula: "Tolong tanya, dimanakah pemilik Lembah ini? Aku hendak mohon bertemu dengan dia."

"A.. a ... !" rupanya kedua orang itu mendengar pertanyaan Gak Lui. Mereka menatap ke-arah Gak Lui dan berkaok-kaok tak jelas.

"Celaka ! Menilik suaranya mungkin lidah mereka juga sudah hancur. Ah, runyam sekali," Gak Lui mengeluh.

Tiba2 ia mendapat pikiran. Dengan gunakan ilmu Pemusat Suara, ia susupkan kata-katanya tadi ketelinga orang itu.

"A,a,a.a ....," orang itu menguak-nguak. Rupanya sekarang ia mengerti apa yang ditanyakan. Dengan lidahnya yang hanya tinggal separoh. ia balas bertanya : "Engkau ... engkau ... , mencari dia .... mengapa ...."

"Ada urusan penting !"

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---

"Bukan .. bukan .... hendak berobat…..?”

"Hm, apakah harus sakit baru dapat menjumpainya ?"

"Benar... benar .... sakit baru .... baru dapat menemuinya ... kalau tidak .... boleh juga engkau membawa orang sakit kemari... selain itu .... tak bisa bertemu !"

"O ….," desuh Gak Lui. Memandang kedalam pagar, ia tak melihat jalan masuk kedalam goha. Tetapi ia menyadari andaikata menemukan pintu masuk itu, tentu juga akan mendapat rintangan. Kalau yang merintangi itu seorang ganas, ia dapat menyingkirkan mereka. Tetapi yang menjaga itu hanya dua orang penderita sakit yang sudah rusak tubuhnya, bagaimana ia sampai hati untuk berkelahi dengan mereka?

Akhirnya ia memutuskan untuk menunggu kedatangan Siu-mey dulu. Tetapi pada lain saat ia merobah pikirannya. Siu-mey datang atau tidak, sama saja. Karena rencana yang akan dijalankan yalah berpura-pura menjadi orang sakit. Daripada menunggu kedatangan Siu-mey lebih baik saat itu juga ia mengaku kalau dirinya sakit agar dapat diantar menghadap tabib sakti itu.

"Ya, memang aku mengidap penyakit, perlu berjumpa dengan Ko-cu," katanya.

"Ngaco !" bentak orang itu," engkau.... mengidap sakit apa...orang semuda dirimu .... kecuali sakit hati .... tentu sakit jiwa ....”

“Benar !" sahut Gak Lui, "memang aku mengidap sakit di hati dan harus minta obat kepadanya."

"O !" kedua orang itu serempak mendesuh dan berbangkit, "kalau memang .... ada penyakit.....harus menurut peraturan.... disini ...!"

"Apakah peraturan itu ?"

"Harus.,., harus... lebih dulu minum semangkuk air....racun....baru engkau dapat....masuk !"

"Air racun ?"

"Ya..... benar !”

Gak Lui merenung sejenak lalu membusungkan dada, menyahut: "Baik ! Bawalah kemari !"

Cepat sekali orang itu sudah mengambil sebuah mangkuk kasar dari atas meja. Lalu menuangkan sebuah guci yang berisi air warna hijau.

Mangkuknya saja sudah menyeramkan. Apalagi yang menuang itu seorang manusia yang lebih menyerupai setan dari insan hidup. Dengan ibu jarinya yang berlumuran darah, orang itu membenamkannya ke dalam mangkuk racun.

Hampir Gak Lui hendak muntah melihat pemandangan itu. Perutnya sudah mulai muak. Bermula ia tak mau menyambuti tetapi pada lain kilas ia menimang: “Ah, kalau aku tak masuk ke dalam neraka, siapa lagi yang berani masuk?"

Tanpa ragu2 ia segera menyambuti mangkuk itu terus diteguknya habis. Sebelumnya ia sudah kerahkan ilmu tenaga-dalam Algojo Dunia untuk menyisihkan racun itu dan akan dikeluarkan lagi.

Belum sempat ia meletakkan mangkuk, orang cacad itu sudah membentaknya: “Pergilah !"

Terdengar bunyi berderak keras dan papan lantai yang diinjak Gak Lui itu terbuka. Karena tak menyangka sama sekali, Gak Luipun melayang jatuh ke dalam terowongan goha.

Entah berselang berapa lama, ketika Gak Lui siuman, ia rasakan dirinya terbaring di sebuah pembaringan batu. Sunyi senyap tiada orang tetapi hidungnya mencium bau obat yang keras. Ia duga tempat itu tentu goha kediaman pemilik lembah Setan Penyakit.

Ia hendak bergerak tetapi kaki tangannya lentuk tiada bertenaga sama sekali.

“Ah, racun yang hebat. Aku tak dapat menghalaunya dengan tenaga dalam......" Gak Lui mengeluh tanpa dapat berkutik. Ia memandang ke sekeliling tempat dan dapatkan tempat itu merupakan sebuah ruang pengobatan yang cukup luas.

Diterangi lilin merah yang terang benderang.

Tiba2 ia terkejut ketika melihat di sebuah pembaringan di bawah, terbaring seorang lelaki tua berumur 50-an tahun. Mukanya sama sekali tak dikenal tetapi perawakannya, baunya, Gak Lui tak asing sama sekali.

Seketika tergetarlah hati Gak Lui. Amarahnya meluap. Ingin ia menerkam orang itu dan merobek2 tubuhnya.

Orang itu bukan lain yalah sipaderi Ceng Ki palsu. Ia tak duga kalau bakal bertemu di situ.

Gak Lui hanya dapat mengertak gigi karena ia tak kuasa bangun. Pikirnya: “Bagus, engkau juga tak mampu bergerak dan tak mungkin lolos dari tempat ini. Nanti aku sempat untuk menanyakan tentang asal usul si Maharaja…..”

Sambil menatap kepada orang itu diam2 Gak Lui timbul kecurigaan. Ceng Ki palsu dan Hong-lian bersamaan waktunya menderita luka. Dan tentu bersamaan pula datang ke situ untuk berobat. Tetapi mengapa mereka tak saling berjumpa? Dan lagi kalau Hong-lian yang kedua kakinya buntung masih dapat disambung lagi mengapa Ceng Ki palsu yang hanya putus sebelah lengannya, sampai saat itu belum juga sembuh.

Tengah ia menimang hal itu, pintu tembok tiba2 merekah terbuka. Seorang lelaki bermuka hitam dan buruk sekali, melangkah ke luar.

“Ah, dia tentu pemilik lembah Setan Penyakit !" pikir Gak Lui.

Dipandangnya orang itu dengan tajam. Ia hendak mencari sesuatu ciri pada wajahnya yang menyerupai Hong-lian. Karena biasanya antara ayah dan anak itu tentu ada ciri2 yang sama. Tetapi ternyata ciri2 itu tak diketemukan pada wajah orang itu.

Pemilik lembah Setan Penyakit itu perlahan-lahan menghampiri ke samping pembaringan Ceng Ki palsu. Ia mengeluarkan semacam huncwe atau pipa dari kumala lalu disemburkan ke lubang hidung Ceng Ki palsu itu.

Sekonyong-konyong Ceng Ki palsu itu berbangkis dan kaki tangannya bergerak-gerak, membalikkan tubuhnya turun dari pembaringan.

Gak Lui terperanjat. Dia masih belum dapat berkutik. Apabila Ceng Ki palsu itu mengetahui dirinya, tentu akan turun tangan.

Tetapi rupanya orang itu tak mau menghiraukan Gak Lui. Begitu bangun ia terus menghadap ke arah tuan rumah dan berseru dengan nada kasar : “Tanganku seharusnya sudah baik, bukan?"

“Hampir !"

“Aku sudah datang ke sini cukup lama. Tiap hari engkau bius dengan obat. Sebenarnya aku sudah tak tahan lagi. Dan lagi engkau mengatakan kalau hari ini lukaku itu sudah boleh dibuka. Mengapa engkau bilang kalau hampir sembuh dan belum sembuh sama sekali ?"

“Tuan, sepuluh hari setelah terluka baru engkau datang kemari. Engkau sendiri yang menunda waktu. Jangan menyalahkan orang yang mengobati ...."

“Ah ...." mendengar pembicaraan itu barulah Gak Lui mengetahui bahwa Ceng Ki palsu itu terlambat datang ke situ. Sudah tentu tak berjumpa dengan Hong-lian.

“Walaupun terlambat datang tetapi waktu itu aku sudah minum obat penghenti pendarahan. Mengapa engkau masih sukar untuk mengobati ?"

“Cara pengobatan yang engkau lakukan itu, akhirnya akan membawa akibat engkau menderita cacad seumur hidup. Sekarang aku hendak menyambung lagi tulang-tulangmu yang putus sehingga harus memakan waktu agak lama."

“Sudah, jangan banyak bicara. Lekas engkau buka !" teriak Ceng Ki palsu seraya menjulurkan lengannya yang terbalut kain putih.

Gak Lui terkejut. Ya, benar. Lengan itulah yang telah dibabat kutung dengan pedang yang dilontarkannya tempo hari.

Pemilik lembah Setan Penyakit tak gugup. Tenang2 ia menyahut: “Baik, tetapi sebelum kubuka engkau harus menjawab beberapa pertanyaanku."

“Ya," sahut orang itu menggeram, “bukankah peraturannya hanya mengobati saja dan tak menanyakan lain2nya ? Mengapa sekarang engkau hendak mengajukan pertanyaan ?"

Pemilik lembah Setan Penyakit tertawa : "Anggap saja aku akan membuat suatu pengecualian kepadamu !"

"Mengapa ?"

"Karena engkau memiliki ilmu silat yang lihay maka akupun merasa heran."

"Kalau begitu pertanyaan yang engkau hendak ajukan itu tentu menyangkut soal2 penting dalam dunia persilatan ?"

"Ah, belum tentu. Tentang penting atau tidaknya soal itu, aku sendiri yang akan memutuskan. Engkau cukup menjawab saja !"

"Hm, engkau berani menekan padaku. Terus terang, jangan harap engkau dapat menyampaikan maksudmu !"

Pemilik lembah Setan Penyakit itu balas berteriak dengan tak kurang tajamnya: "Akupun hendak memberitahu kepadamu dengan terus terang. Lenganmu aku yang menyambung. Tetapi masih perlu makan obat. Kalau engkau tak mau menyahut pertanyaanku, obat takkan kuberikan. Dalam tiga bulan jalan darahmu akan macet. Pada saat itu jangan engkau marah kepadaku."

"Huh, adakah caramu itu suatu perbuatan yang mulia ?"

"Maaf, tetapi keadaan memang berlainan, terpaksa aku harus berbuat begitu."

"Besar sekali nyalimu….," dalam marahnya Ceng Ki palsu itu kerahkan tenaga dalam hendak menghancurkan si tabib.

Gak Lui gelisah sekali. Ia tahu bahwa pemilik lembah itu tak mengerti ilmu silat. Tetapi ternyata pemilik lembah itu hanya tersenyum tenang dan berseru : "Lengan itu milikmu. Apakah engkau tak menghendakinya?"

Dengan sikap yang tenang sekali ia mengisap lagi pipa huncwenya.

Walaupun marah tetapi Ceng Ki tak berani sembarangan bertindak. Dengan geram ia mendengus: "Baik, tanyalah! Tetapi ingat, kalau pertanyaan itu keliwat batas sehingga mengundang bencana pembunuhan, jangan engkau sesalkan aku !"

"Itu urusanku," sahut si tabib, "tak perlu engkau bingung. Nah, pertanyaan pertama yang hendak kuajukan yalah : Kedatanganmu ke lembah Setan Penyakit untuk berobat ini, apakah karena mendengar cerita orang atau ada orang yang menunjukkan ?"

"Mendengar cerita orang."

"Apakah bukan dari Li Hui-ting yang mengatakan ?"

"Li Hui-ting ?" Ceng Ki palsu mengulang dengan nada kejut karena ia kenal dengan Li Hui-ting si Tabib-jahat itu. Ia dan tabib jahat itu separtai. Tetapi Li Hui-ting sudah mati dibunuh Gak Lui.

Gak Luipun terkejut juga. Li Hui-ting itu adalah murid dari tabib-sakti Li Kok-hoa. Tetapi Li Hui-ting telah menipu gurunya sehingga tabib sakti itu menghilang dari masyarakat. Mengapa sekarang pemilik lembah Setan Penyakit menanyakan diri Li Hui-ting? Adakah pemilik lembah itu memang benar Tabib-sakti Li Kok-hoa, ayah dari gadis ular Siu-mey? Ataukah ada lain rahasia yang menyelubungi diri pemilik lembah ini.....

Tiba2 Ceng Ki palsu balas bertanya: "Engkau .... mengapa kenal akan Tabib-jahat itu ? Mengapa engkau menanyakan dirinya ?"

"Tuan,” sahut pemilik lembah dengan nada sarat, "kuharap engkau suka ingat baik2. Engkau yang menjawab dan aku yang bertanya. Dan jawablah dengan terus terang !"

"Dia sudah lama mati. Bukan dia yang memberitahu kepadaku!" kata Ceng Ki palsu.

"Hm, saudara tentu seorang persilatan. Mohon tanya siapakah nama saudara dan apakah gelar yang saudara pakai? Dari perguruan manakah saudara ini?"

"Ini.....," Ceng Ki palsu terkerat-kerat lalu merenung beberapa jenak. Diam2 timbullah rencana jahat dalam hatinya. Segera ia menyahut dengan terus terang: "Aku bernama Tio Yok-beng. Dengan kelima suheng, aku tergabung dalam kelompok yang disebut Lima-pendekar dari Imleng."

"Lima pendekar dari Im-leng?" diam2 Gak Lui mengulang dalam hati. Musuh telah menantang dia berkelahi digunung Im-leng-san. Kemungkinan tentulah sarang dari gerombolan kelima orang itu.

Tetapi pada lain saat, Gak Lui agak bingung sendiri. Lima pendekar Im-leng itu berjumlah lima orang. Yang empat sudah jelas menjadi gerombolan Kerudung Hitam. Lalu kemanakah yang seorang ?

Pemilik lembah Setan Penyakit bertanya pula: "Adakah kelima pendekar itu masih hidup semua?"

"Toa-suhengku sudah .... kehilangan daya ingatannya dan menjadi patung hidup. Sedang yang lainnya masih hidup semua."

Mendengar itu Gak Lui diam2 menggeram dalam hati: "Huh, omong kosong kalau saudara seperguruanmu yang tertua itu kehilangan daya ingatannya. Yang benar dia telah kalian ceiakai dan menjadi salah seorang anggauta Topeng Besi, yang empat orang bergabung dengan Wi Cun totiang menjadi gerombolan Kerudung Hitam yang bergerak hendak merebut kedudukan ketua dari tiap partai persilatan. Tetapi rupanya engkau masih belum tahu kalau mereka sudah hancur ..."

Setelah mendengar keterangan Ceng Ki palsu, pemilik lembah maju setengah langkah, dengan nada yang dingin sekali ia berkata : "Tadi engkau mengatakan bahwa Li Hui-ting itu sudah mati. Kalau begitu .... dalam dunia persilatan tentu terdapat seorang .... tokoh berhidung gerumpung. Apakah orang itu masih hidup? Adakah saudara kenal padanya ?"

Pertanyaan itu bagaikan halilintar berbunyi di tengah hari. Kalau dapat berkutik, Gak Lui tentu sudah melonjak bangun. Karena hidung gerumpung yang ditanyakan pemilik lembah itu adalah paman gurunya si Lengan-besi-hati-baik. Gak Lui benar2 heran mengapa pemilik lembah itu hendak campur tangan dengan rahasia besar dalam dunia persilatan.

Ceng Ki palsu rupanya tak mengacuhkan pertanyaan itu. Dengan enggan ia menyahut: “Hm, banyak sekali orang persilatan yang kukenal tetapi tak pernah kudengar tentang tokoh yang berhidung gerumpung. Sudahlah, jangan bertanya yang tidak2. Tanya saja yang genah!"

Melihat orang tak begitu menaruh perhatian akan diri tokoh berhidung gerumpung, setelah merenung sejenak maka berkatalah pemilik lembah: “Lain2 hal aku tak perlu menanyakan lagi. Tetapi kuminta pembicaraan kita hari ini, harus dipegang rahasia jangan sampai terdengar orang ketiga dan jangan disiarkan keluar agar jangan mengganggu keselamatanku."

“Baik," kata Ceng Ki palsu.

“Hanya setuju di mulut masih belum meyakinkan. Engkau harus mengangkat sumpah."

“Sumpah ?"

“Ya.”

Ceng Ki palsu menahan kemarahan. Terpaksa ia mengucap sumpah: “Kalau aku sampai mengingkari perjanjian hari ini, kelak ...."

“Bagaimana ?"

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---



“Kelak dalam waktu beberapa kejab saja, tubuhku biar luluh menjadi air !"

Sumpah semacam itu sesungguhnya suatu hal yang tak mungkin. Tetapi Ceng Ki palsu sengaja hendak mengelabuhi orang dan anehnya tampak pemilik lembah merasa puas. Ia tertawa nyaring.

“Bagus, setelah engkau bersumpah sekarang julurkanlah lenganmu yang kanan itu. Akan kubuka pembalutnya dan kuperiksa apakah sudah sembuh atau belum."

Ceng Ki palsu menyingkap lengan baju dan ulurkan lengannya ke muka.

Gak Lui tahu bahwa Ceng Ki palsu mengandung maksud jahat. Begitu kain pembalut sudah dibuka, ia tentu akan menghajar pemilik lembah. Tetapi apa daya. Ia tak dapat berkutik bangun. Terpaksa ia hanya memandang kedua orang itu dengan perasaan tegang ....

Demikianlah pemilik lembah segera mulai membuka kain pembalut lengan Ceng Ki palsu. Pada lipatan pembalut yang terakhir, tampaklah lengan Ceng Ki palsu yang kutung itu sudah pulih kembali seperti semula.

“Ho, nama gelaranku memang sekuat dengan ilmu kepandaianku," kata pemilik lembah dengan nada puas.

Diam2 Ceng Ki palsu kerahkan tenaga dalam ke arah lengannya yang baru itu. Setelah mendapatkan bahwa lengannya itu benar sudah pulih kembali maka tertawalah ia menyeringai iblis: “Benar! Memang pulih kembali seperti semula .... heh, heh ... heh, heh, heh, heh ..."

Tampak wajah pemilik lembah tiba2 berobah ngeri ketakutan. Selangkah demi selangkah ia menyurut mundur. Walaupun Ceng Ki palsu itu tegak membelakangi, namun Gak Lui dapat menduga orang itu tentu mengunjuk wajah yang menyeramkan. Wajah pembunuhan yang menyala-nyala.

“Ho, engkau telah mengerjakan diriku dengan ngeri. Sekarang engkaupun harus menjawab beberapa pertanyaanku !" seru Ceng Ki palsu.

“Apakah engkau melupakan perjanjian kita tadi ?" seru pemilik lembah.

“Tidak, aku tak lupa !”

“Lalu engkau....."

“Orang berobah menjadi cairan air, takkan mungkin terjadi. Jangankan engkau tak mengerti ilmu silat, taruh kata engkau seorang tokoh yang sakti, pun juga tak mungkin mempunyai kemampuan begitu !"

”Hm, aku bukan seorang yang mudah ditindas. Jangan terlalu percaya pada dirimu !"

“Heh, heh! Soal itu aku sendiri yang memutuskan. Sekarang lebih dulu engkau harus memberitahukan namamu. Dan jelaskan mengapa engkau begitu menaruh perhatian tentang urusan dunia persilatan. Teristimewa terhadap Tabib jahat Li Hui-ting serta tokoh hidung gerumpung itu ..."

“Aku tak sudi menjawab! Jangan lupa engkau masih memerlukan minum obatku!"

“Setan Penyakit! Dengan mengandalkan ilmu pengobatan engkau hendak menindas diriku. Tetapi sekarang lenganku sudah sembuh. Setiap saat aku dapat mengambil obat itu sendiri!"

“Engkau tak kenal...."

“Aku tak kenal tetapi engkau kenal obat itu. Kalau engkau membangkang, dapat kugunakan ilmu Menyungsang-balikkan tulang dan urat. Kuyakin pada saat itu engkau tentu akan menjawab semua pertanyaanku!"

Saat itu mulut pemilik lembah tampak bergerak seperti hendak menyemburkan sesuatu. Tetapi Ceng Ki palsu lebih cepat. Walaupun terpisah pada jarak satu setengah tombak, dengan tenaga-dalam ia menampar. Mulut pemilik lembah tak sempat menyembur, bahkan empat buah giginya rontok jatuh.

“Lekas bilang! Akan kuhitung sampai sepuluh. Kalau engkau tetap membangkang, terpaksa akan kugunakan kekerasan!" seru Ceng Ki palsu.

Pemilik lembah Setan Penyakit tertegun. Dia tak mengerti ilmu silat untuk menghadapi tekanan tenaga dalam lawan. Keringatpun bercucuran membasahi tubuh. Sedangkan telinga mulai mendengar Ceng Ki palsu menghitung: ”Satu .... dua .... tiga .... empat ....”

Melihat pemandangan ngeri yang berlangsung di hadapannya tanpa ia dapat berbuat suatu apa, benar2 membuat Gak Lui seperti gila. Sekali lagi ia kerahkan seluruh tenaga dalam untuk menghalau racun yang berada dalam tubuhnya.

Tepat pada saat mulut Ceng Ki palsu menghitung 'sepuluh', tiba2 Gak Lui dapat bergeliat duduk. Tetapi tenaganya tetap lemas. Begitu duduk, tubuhnya miring dan bluk .... jatuhlah ia dari ranjang.

Tetapi karena jatuh itu, ia berhasil menolong pemilik lembah dari bencana kematian. Karena Ceng Ki palsu terkejut dan berpaling. Cepat sekali ia dapat mengenali Gak Lui. Pemilik lembah itu mudah diatasi, yang penting ia harus membereskan Gak Lui dulu.

Serentak tertawalah ia nyaring2 lalu berseru: “Bagus, budak kecil, engkau mengantar kematian kemari..."

Sekali enjot tubuh, ia melayang sambil julurkan kedua jari tangannya hendak mengorek biji mata Gak Lui.

“Habis riwayatku....." Gak Lui mengeluh. Karena tak dapat berbuat suatu apa, ia pejamkan mata menunggu maut.

Bluk .... tiba2 ia terkejut karena mendengar sesosok tubuh jatuh di tepi ranjang. Cepat ia membuka mata. Hai ... mengapa Ceng Ki palsu yang menyerang itu rubuh sendiri ? Dipandangnya orang itu. Tiada tampak sebuah lukapun pada tubuhnya melainkan sebuah benjul merah sebesar buah jambu tampak menonjol pada tengkuknya.

“Aneh…..” diam2 Gak Lui terkejut heran. Dilihatnya pada benjul merah itu mulai mengeluarkan asap warna kebiru-biruan. Dan rambut serta kulit kepala Ceng Ki palsu itupun seperti segunduk salju yang tertimpa sinar matahari. Pelahan-lahan luluh menjadi cairan air!

Dalam waktu tak berapa lama, lenyaplah tubuh Ceng Ki palsu itu menjadi kubangan air. Saat itu pemilik lembahpun berjalan menghampiri. Mulutnya masih menghisap pipa huncwe kumala. Dia tak menghiraukan cairan air mayat Ceng Ki palsu, melainkan dengan wajah terkejut memandang Gak Lui, seolah-olah hendak bilang: “Tak ada obatnya, mengapa engkau dapat bergerak?"

Rupanya Gak Lui dapat menangkap pandang mata pemilik lembah itu. Ia paksakan diri mengangkat kepala dan bertanya dengan tegang: “Mohon tanya, apakah engkau ini bukan Tabib-sakti Li Kok-hoa?"

“Ai...," pemilik lembah itu menjerit kaget, sehingga pipanya jatuh ke tanah, “engkau…. engkau bilang apa ?"

“Tolong tanya, apakah engkau ini bukan Tabib-sakti Li Kok-hoa?"

“Mengapa engkau tahu ?" seru pemilik lembah dengan suara parau dan tubuh gemetar. Jelas ia telah mengunjukkan siapa dirinya.

Dengan gembira Gak Lui menjawab: “Aku hanya menduga saja ...."

“Dengan dasar apa ?"

“Tabib-jahat Li Hui-ting dan Hidung gerumpung."

Mendengar kata2 itu seketika wajah pemilik lembah berobah buas, kaget dan marah. Hawa pembunuhan bertebaran di wajahnya. Melihat itu Gak Lui cemas dan buru2 memberi penjelasan: “Paman Li, jangan salah faham ..."

Tetapi karena pemilik lembah itu sudah terlanjur dirangsang oleh ketegangan hebat, ia tak mendengar kata2 Gak Lui lagi.

“Wut ...." mulutnya meniup hawa dingin ke arah tenggorokan Gak Lui.

Gak Lui terkejut tetapi untunglah ia tak kurang suatu apa. Karena pemilik lembah itu hanya meniup dengan mulut. Pipa huncwenya sudah jatuh ke tanah tetapi ia lupa.

“Paman, tunggu dulu. Muridmu Tabib-jahat Li Hui-ting itu akulah yang membunuh. Hidung gerumpung itu adalah paman guruku. Harap jangan salah faham ..." cepat Gak Lui berseru pula.

“Ngaco belo! Engkau tentu salah seorang gerombolan Lima pendekar Im-leng!"

“Tidak! Aku bukan golongan mereka! Pribadiku menjamin hal itu."

“Huh, apa gunanya pribadi? Iblis itupun tadi sudah mengangkat sumpah tetapi tetap melanggar !"

“Paman, tolong angkat aku bangun. Akan kuceritakan semua keadaan kepadamu."

“Hm, serentetan kata2 yang mengandung maksud tak baik ..."

“Aku berkata dengan sungguh2."

“Benar ?"

“Ya."

“Kalau begitu akan kutanya kepadamu," wajah pemilik lembah yang buruk itu berpaling sedikit lalu berseru dengan nada dingin: “Pada saat engkau masuk ke dalam lembah ini engkau mengatakan menderita penyakit. Tetapi setelah kuperiksa urat nadimu, ternyata engkau tak menderita suatu apa. Adakah hal itu menyatakan kejujuranmu ?"

Wajah Gak Lui merah padam. Cepat ia memberi penjelasan: “Hal itu terpaksa kulakukan agar dapat bertemu dengan paman ...."

“Hm, siasat yang tak beres. Kalau kutolong engkau, tentu engkau akan bertingkah lagi."

Gak Lui tak dapat menjelaskan. Diam2 ia kerahkan tenaga dalam dan hendak bergeliat bangun. Tetapi rupanya pemilik lembah itu sudah mempunyai pengalaman dengan Ceng Ki palsu tadi. Cepat ia mendorong tubuh Gak Lui seraya membentak: "Budak, jangan bergerak! Kalau engkau tak mau menjadi cairan air, engkau harus bicara terus terang !"

"Paman Li, jangan terlalu mencurigai diriku! Aku adalah kakak angkat dari puterimu Li Siu-mey. Aku sedang membantunya untuk mencari ayahnya yang hilang. Harap percaya omonganku !”

"O ....," mendengar disebutnya Li Siu-mey, pemilik lembah itu menggigil dan dengan suara gemetar berseru : "Engkau bahkan sudah datang kerumahku ? Bagus, kalau bukan si Hui-ting yang menghianati, bagaimana engkau tahu ?"

"Bukan dia!" bantah Gak Lui, "Tabib-jahat Li Hui-ting telah mencelakai banyak orang, dosanya besar sekali. Tetapi terhadap keadaan rumah-tangga paman, dia benar2 tak menceritakan kepadaku ....."

"Hm, binatang itu masih mempunyai setitik hati baik juga. Lalu bagaimana engkau tahu tentang rumah tanggaku? Bilanglah terus terang!"

Gak Lui lalu menceritakan semua pengalaman yang dialaminya selama ini. Terutama pertemuannya dengan Li Siu-mey yang telah menolong jiwanya ketika ia ditelan seekor ular besar yang berumur ratusan tahun.

Kini barulah pemilik lembah itu tahu bahwa puterinya masih hidup dan sudah dewasa sedang isterinya sudah meninggal dunia. Air matanyapun mengantar isak tangisnya.

Setelah orang berhenti menangis, barulah Gak Lui berkata pula: "Paman Li, kukira sekarang paman tentu suka menolongku."

Pemilik lembah Setan Penyakit yang ternyata memang benar Tabib-sakti Li Kok-hoa bersangsi. Setelah merenung beberapa saat, wajah tabib itu berobah, serunya: "Tidak semudah itu. Dengan kalian kaum persilatan sudah dua kali aku berhubungan. Setiap kali aku selalu hampir mati, selalu menderita celaka. Maka sekarang untuk yang ketiga kalinya ini aku harus hati."

"Paman, aku sudah suruh orang mengundang puterimu datang kemari. Apakah hal itu masih belum dapat meyakinkan paman ?”

"Ya, kuingat hal itu. Kita tunda dulu semua urusan ini sampai dia datang."

"Lalu aku sekarang…..”

"Engkau harus menunggu dengan sabar," kata Li Kok-hoa sembari mengambil huncwe kumala dan menghisapnya kedalam mulut.

Gak Lui terkejut. Tetapi cepat ia dapat memperhatikan pipa kumala itu. Ternyata pipa itu terbagi dalam tiga lubang. Lubang kesatu berwarna merah, lubang kedua putih dan lubang ketiga kuning, Ketiga warna itu mengandung tiga macam obat yang berlainan.

Pada saat Gak Lui tertegun, segulung asap kuning menyembur kearah hidungnya. Ia pingsan.

Li Kok hoa gunakan obat bius yang berlipat ganda kekuatannya. Maka betapapun tinggi kepandaian Gak Lui, tetapi ia tak mampu melawan kekuatan obat bius itu.

Dalam kelelapan tidurnya yang nyenyak itu, ia bermimpi mengenangkan semua peristiwa yang dialaminya selama ini. Ayah bunda, ayah angkat, paman guru, bibi guru dan beberapa tokoh ketua perguruan silat telah berjatuhan gugur, darah bergenangan. Kesemuanya itu adalah gara2 si Maharaja Persilatan Tio Bik-lui. Demi kesombongan, dan keinginan untuk menguasai dunia persilatan, durjana itu telah membunuh sekian banyak jiwa. Dan karena hendak menuntut balas, Gak Lui telah keliru membunuh beberapa orang yang baik, menanam dendam permusuhan dengan partai2 persilatan ...

"Bunuh.....!" teriak Gak Lui dalam mimpinya, Ia hendak menghancurkan manusia durjana itu. Tetapi ah .... ternyata ia tak dapat bergerak. Kaki tangannya serasa tak bertenaga. Namun ia nekad meronta-ronta dengan sekuat tenaga dan ....

"Engkoh Lui! Engkoh Lui? Engkoh sudah siuman !" tiba2 terdengar lengking suara seseorang.

"Hai, bukankah itu suara Siu-mey ? Apakah dia benar2 datang ?" Gak Lui terkejut dan membuka mata.

Ah... ternyata Siu-mey memang tegak berdiri disamping tempat tidurnya sambil tersenyum.

Dibelakang Siu-mey tampak seorang lelaki tua yang berwajah terang dan lemah lembut. Walaupun masih ragu2 tetapi dari baunya dapatlah Gak Lui mengetahui bahwa orangtua itu yalah si Tabib-sakti Li Kok-hoa. Rupanya tabib itu telah menghapus penyaruan wajahnya dan kembali mengunjukkan wajahnya yang aseli.

"Ah, ayah dan anak itu sudah berjumpa....," pikir Gak Lui. Ia ikut gembira dan hendak bergeliat duduk. Tetapi sebelum sempat membuka mulut, tabib itu sudah mendahului berkata dengan ramah: "Hian say, silahkan bangun. Karena salah faham, terpaksa kusuruh engkau menderita beberapa hari ...."

Mendengar tabib itu memanggilnya dengan kata 'Hian-say' atau anak menantu, Gak Lui tertegun dan sampai beberapa saat tak dapat bicara.

"Hubunganmu dengan anakku, sudah kudengar," kata tabib itu, "dan lagi bibi gurumu sudah meninggalkan pesan, menyetujui pernikahanmu. Dan aku sendiri.....juga setuju. Apakah engkau tak suka ?"

"Bukan, bukannya tak suka," sahut Gak Lui, "tetapi saat ini masih ada dua buah urusan yang belum .... selesai.”

"Soal apa ?"

"Pertama, musuh besar belum terbalas."

"Dendam sakit hati ayah bunda, memang harus dibalas. Tetapi setelah selesai, tentulah tak ada persoalan lagi."

“Setelah melakukan pembalasan, aku harus berkabung sampai tiga tahun.”

“Hm ... rasa bhakti memang perlu. Dan anakkupun harus menyertai engkau. Lalu apakah soal yang kedua itu?"

“Ini...," ketika teringat akan pergolakan dalam dunia persilatan dan peristiwa2 yang mungkin timbul secara tak terduga-duga, Gak Lui tak dapat melanjutkan kata katanya.

Terhadap ramalan si Raja sungai Gan Ke-ik ketua Partai Gelandangan dan petunjuk rahasia dari Kaisar Persilatan, mau tak mau ia tak boleh mengabaikan. Hanya karena itu termasuk soal tahayul, maka ia tak dapat menerangkan kepada orang.

Setelah berdiam diri beberapa saat, barulah ia berkata dengan nada serius: “Paman Li, bukan aku hendak mengulur waktu tetapi soal pernikahan itu merupakan soal selama hidup. Setelah aku dapat mengadakan sembahyangan kepada para angkatan tua, barulah dapat memberi keputusan ..."

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---



Siu-mey tak marah maupun kecewa mendengar keterangan Gak Lui itu. Ia bahkan setuju dengan tindakan Gak Lui. Ia percaya penuh kepada pemuda itu tentu akan menepati janjinya.

Melihat sikap Gak Lui dan puterinya begitu tenang, Li Kok-hoa tak mau ngotot. Iapun beralih pada lain pembicaraan: “Sejak datang kemari engkau selalu mengenakan kedok muka. Karena aku tak mau mencampuri urusan orang lain, maka akupun tak membuka kedok mukamu itu...."

“Terima kasih paman. Memang kedok yang kukenakan ini tak boleh dibuka."

“Mengapa? Apakah wajahmu mempunyai.... sesuatu yang tak boleh dilihat orang ?"

“Aku sendiri juga tak jelas."

Li Kok-hoa terbeliak heran. Pada saat ia hendak mendesak, Siu-mey sudah mendahului, menceritakan asal mula Gak Lui memakai kedok muka itu.

“Ah, ah," Li Kok-hoa mendesuh, “kiranya begitu. Kukira karena wajahnya cacad maka aku bersedia akan mengobatinya ...."

“Paman Li," tiba2 Gak Lui menyelutuk, “aku mempunyai taci angkat yang mukanya rusak penuh guratan pedang. Apakah paman dapat mengobati ?"

“Tujuan dari ilmu pengobatan itu adalah untuk menolong orang. Jangan lagi saudara angkatmu, sedang orang yang belum kenal saja asal aku dapat mengobati tentu akan kutolong ...."

Juga Siu-mey ikut menyelutuk: “Engkoh Lui, yang engkau maksudkan dengan taci angkatmu itu apakah bukan Hi Kiam-gim yang mukanya ditutup dengan kain kerudung itu?"

“Benar," sahut Gak Lui, “apakah dia sudah ke Ceng-sia-san ?"

“Memang sudah tetapi sayang dia dingin sekali terhadap orang. Kecuali hendak membunuh si Maharaja, lain2 hal dia tak mau peduli. Maksudmu yang baik itu mungkin sukar diterimanya !"

“Kukira ... dia dapat menerima...”

“Mengapa ?"

“Engkau masih ingat ketika di sumber air Pencuci Jiwa engkau hampir berjumpa dengannya?”

“Ya."

“Karena melihat kuburanku maka dia lalu merusak wajahnya sendiri. Kalau sekarang kita tak kurang suatu, tentulah dia juga ingin wajahnya itu pulih kembali."

“O," Siu-mey mendesuh dan kerutkan alis seperti orang cemburu. Pada saat ia hendak bertanya, ayahnyapun sudah mendahului menghela napas, ujarnya: “Soal itu aku sudah meluluskan tetapi adalah hal semacam itu maka rumahtanggaku sampai berantakan. Sungguh suatu kenangan yang menyedihkan ..."

“Paman, apakah Li Hui-ting juga menipu paman untuk mengobati orang yang wajahnya rusak?"

Li Kok-hoa mengiakan.

“Lalu siapakah yang paman obati?"

Mata si tabib berkilat-kilat memancar rasa ketakutan dan tak mau menjawab.

Melihat itu Siu-mey cepat mendesak: “Yah, tak perlu engkau takut. Biar musuh bagaimana kuatnya tetapi aku dan engkoh Lui sanggup menghadapi !"

“Ini ....”

“Mengapa ayah masih ini itu lagi! Karena engkau menghilang, mamah sampai meninggal karena sedih. Kalau ayah sekarang tetap tak mau bilang, bukankah ayah berdosa kepada mamah?"

“Ai ...” tabib itu menghela napas panjang melihat puterinya berduka, "baiklah. Kesatu, peristiwa itu sudah berselang puluhan tahun dan pula durjana itu sudah mati. Tentulah mereka tak tahu kalau aku masih hidup. Nah, silahkan kalian tanya saja kepadaku !"


Gak Lui segera mengajukan pertanyaan: “Paman, dari pembicaraan paman dengan Tio Yok-bing tempo hari, pernah paman menyebut seorang Hidung Gerumpung. Sedang tentang Tabib-jahat Li Hui-ting memang paman sebut2 beberapa kali. Apakah paman ditipu oleh Li Hui-ting untuk mengobati paman guruku yang bernama Lengan-besi-hati-baik itu? Kalau benar, mengapa wajahnya belum sembuh?"

“Murid hianat itu memang benar telah menipu aku untuk mengobati wajah seseorang, tetapi siapa orang itu, aku tak tahu !"

“Pernahkah paman pergi ke gunung Busan?"

“Busan ?"

“Benar, yalah tempat persembunyian dari paman guruku itu."

“Memang aku dibawa oleh muridku hianat itu melintasi beberapa gunung dan sungai. Tetapi di manakah letak Busan itu sampai sekarang aku tak jelas."

“O, kiranya selain ditipu pun paman diikat oleh murid penghianat itu ?"

"Ya, benar."

"Kalau begitu tolong paman berikan sedikit gambaran tentang wajah orang yang paman obati itu."

Li Kok-hoa gelengkan kepala menghela napas: "Wajah mereka akupun tak dapat mengatakan. Kecuali tahu kalau hidungnya gerumpung, lain2nya aku tak dapat melihat."

"Mereka? Apakah jumlahnya lebih dari seorang ?"

"Dua!"

"Apakah keduanya mengenakan kerudung muka semua ?"

Li Kok-hoa mengiakan.

"Apakah keduanya terserang penyakit yang sama ?” baru Gak Lui bertanya begitu tiba2 hatinya tergetar. Ia teringat suatu peristiwa yang aneh dan buru2 menyusuli kata : "Tidak! .... paman, ah ,.... apakah engkau memotong hidung paman guruku untuk dipindahkan kepada seorang ?"

Gemetarlah tubuh tabib-sakti Li Kok-hoa mendengar perkataan itu. Dengan terbata-bata ia menyahut: "Benar.... ya, benar. Tetapi bagaimana engkau dapat menduga seseorang?"

Mendengar tabib itu sudah mengaku, tersadarlah pikiran Gak Lui. Kini jelaslah ia mengapa pada saat menutup mata paman gurunya si Lengan-besi-hati-baik itu menanyakan diri Maharaja Persilatan Tio Bik-lui. Kiranya kedua orang itu mempunyai hubungan yang erat sekali sehingga Lengan besi hati-baik mau mengorbankan hidungnya diberikan kepada Tio Bik-lui. Tujuan daripada paman gurunya Lengan-besi hati-baik itu tentulah mengharap agar Tio Bik-lui mau menyadari kesesatan dan kembali kejalan yang benar. Itulah pula sebabnya ketika Gak Lui menceritakan bagaimana dirinya ditolong oleh Tio Bik lui, paman gurunya segera memuji Tio Bik-lui itu memang orang yang baik hati.

Padahal tindakan Tio Bik-lui menolong dirinya itu hanya suatu siasat untuk mengambil keuntungan. Sama sekali bukan suatu tanda kalau orang itu sudah mau memperbaiki kesalahannya.

Kini makin jelaslah Gak Lui akan pribadi paman gurunya yang berhati luhur dan pribadi Tio Bik-lui yang ganas. Tiba2 ia tertegun. Timbul seketika suatu pertanyaan dalam hatinya. Ya, mengapa paman gurunya begitu baik hati sekali kepada Tio Bik-lui ? Dan mengapa Tio Bik-lui membalas kebaikan Lengan-besi-hati-baik dengan tindakan bermusuhan ?

Gak Lui tak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia tegak termenung-menung memikirkan soal itu.

Karena melihat pemuda itu diam saja, Li Kok-hoa mengira kalau Gak Lui tak puas kepadanya. Maka buru2 ia menyusuli keterangan lagi: “Sesungguhnya memindahkan anggauta badan orang kepada orang lain itu melanggar kodrat alam dan tidak seharusnya kulakukan. Tetapi .... benar2 aku terpaksa melakukan hal itu dan karenanya akupun tak leluasa mengatakan....."

"Paman Li, dalam hal itu memang paman guruku sendiri mempunyai tujuan dan tak dapat menyesalkan paman. Tetapi kuharap paman suka mengingat lagi peristiwa itu dan memberi keterangan yang jelas."

"Baik, baik! Sekarang hendak kuceritakan dulu tentang riwayat murid hianat Li Hui-ting itu."

"Silahkan, paman."

"Pada waktu datang mengangkat guru kepadaku, dia memang bersikap baik sekali. Akupun tahu kalau dia itu seorang persilatan tetapi tak mengerti ilmu pengobatan. Tetapi dia menaruh perhatian besar terhadap obat2 racun."

"Adakah paman tak memberikan pelajaran ilmu itu kepadanya ?"

"Kuberinya sedikit ilmu tentang racun. Sedang obat2 istimewa dari perguruanku, tak kuberikan kepadanya."

"Apakah diantaranya termasuk ilmu cairan racun yang dapat menyurutkan tubuh ?"

"Benar."

"Apakah dia begitu saja lalu lepaskan keinginannya ?"

"Dia seorang yang mempunyai tipu muslihat banyak sekali. Tahu kalau aku tak mau mengajarkan, diapun tak dapat berbuat apa2. Tetapi lewat beberapa waktu kemudian, iapun pergi dari rumahku."

"Dia baru kembali lagi ketika hendak menipu paman, bukan?"

"Benar, pada suatu malam kira2 delapan belas tahun yang lalu, tiba2 dia muncul dan meminta kepadaku untuk mengobati seorang penderita penyakit yang sukar diobati. Dia meminta supaya aku membawa peti obat dan ikut bersamanya ke suatu tempat."

"Pada waktu paman tinggalkan rumah, apa saja yang paman alami ?"

"Tak berapa jauh meninggalkan rumah, tiba2 murid hianat itu menutuk jalan darahku hingga pingsan lalu membawaku kesebuah tempat. Setelah aku sadar, kulihat empat orang berkerudung muka tengah menunggu. Salah seorang yang menjadi pemimpinnya bicara tetapi suaranya tak jelas. Terang kalau dia tak mempunyai hidung."

"Hm, yang mencelakai gihu-ku, tentulah keempat orang itu. Yang tiga orang adalah kawanan Topeng Besi yang sudah hilang kesadaran pikirannya. Tetapi Lima Pendekar Im-leng itu masih belum masuk dalam gerombolan itu. Kuharap tawanan yang dibawa ke Ceng-sia itu, salah seorang dari ketiga Topeng Besi itu agar dapat diperoleh keterangan2 yang penting..." pikir Gak Lui.

"Paman Li, bagaimanakah sikap Hidung Gerumpung itu kepadamu?"

“Dia bertanya apakah aku dapat menambal hidung? Kujawab kalau aku dapat melakukan hal itu. Tetapi dengan syarat bahwa hidung yang akan ditambal itu belum membusuk. Kalau sudah busuk, aku tak sanggup."

“Lalu apakah hidungnya yang terpapas hilang masih disimpannya?"

“Dia mengatakan kalau sudah hilang. Kukatakan kepadanya bahwa aku sanggup membuat hidung palsu, tetapi dia hanya mendengus dingin dan mengatakan sebuah cara yang ganas."

“Cara bagaimana ?"

“Dia hendak menangkap seorang manusia, suruh aku pilih yang cocok untuk ditambatkan pada hidungnya."

“Adakah paman menolak ?"

“Memang aku menolak…” tetapi sampai di sini wajah Li Kok-hoa tampak merah, katanya pula: “tetapi dia hendak membunuh seluruh keluargaku. Karena terpaksa, akupun meluluskan."

“Karena sudah memutuskan dengan cara itu, mengapa mereka masih mencari paman guruku di Busan dan memindahkan hidungnya kepada orang itu?" tanya Gak Lui pula.

“Karena dia bertanya kepadaku, berapa lamakah waktu yang kubutuhkan untuk pencangkokan hidung itu. Aku mengatakan kalau memakan waktu lebih kurang tujuh hari. Rupanya dia terburu buru sekali. Tak dapat menunggu lama. Akhirnya ia memutuskan membawa aku. Ia hendak menyelesaikan suatu pekerjaan lain dulu baru nanti mengurus soal pengobatan itu lagi."

“Bagaimana pengalaman sepanjang jalan?"

“Mereka menutup kedua mataku dan suruh si Hui-ting menggendong aku. Oleh karena itu aku tak dapat melihat suatu apa kecuali mendengar suara kesiur angin dan gemercik air mendesir di tanah pegunungan."

“Kemudian ?"

“Kemudian tiba di sebuah gunung. Di situ kedatangan kami disambut oleh seseorang. Kain penutup mukakupun dibuka. Kudapati diriku berada di sebuah gunung yang aneh. Gunung itu terdiri dari duabelas puncak. Lapisan dalam enam puncak dan lapisan luar enam puncak. Keadaan tampaknya berbahaya sekali ...."

“Benar, itulah tempat persembunyian paman guruku di Busan. Lalu apakah paman dibawa masuk?"

“Tidak, kurasa saat itu aku berada di tepi dari keenam puncak gunung itu."

“Lalu bagaimana gerak gerik paman guruku ?"

Li Kok hoa kerutkan kening mengenangkan peristiwa yang lampau itu, lalu menjawab: “Paman gurumu juga mengenakan kerudung muka sehingga tak tampak bagaimana wajahnya. Saat itu ketiga orang Kerudung Hitam dan muridku hianat si Hui-ting tidak berada di situ. Mungkin mereka bersembunyi di balik batu karang. Hanya tinggal si Hidung Gerumpung yang berhadapan dengan paman gurumu."

“Bicara apa sajakah mereka itu?"

“Kuperhatikan kain kerudung mereka bergerak-gerak tengah bicara tetapi sama sekali aku tak dapat mendengar pembicaraan mereka."

“Paman, mereka telah menggunakan ilmu Menyusup Suara yang tinggi. Sudah tentu paman tak dapat menangkap pembicaraan mereka. Lalu ?"

“Lama juga mereka bicara. Tampak keduanya tegang seperti orang yang sedang berdebat keras. Akhirnya mereka sama2 menunjuk ke langit dan ke bumi seperti orang yang mengangkat sumpah. Setelah itu baru putuslah pembicaraan mereka."

“Kemudian ....?"

“Tiba2 paman gurumu mengulurkan tangan meminta pedang dari si Hidung Gerumpung. Setelah itu ia memapas hidungnya sendiri...."

“Oh…..”

“Setelah itu paman gurumu lemparkan pedang lalu lari menyusup ke dalam gerumbul di puncak gunung. Cepat2 akupun memungut batang hidung paman gurumu lalu kulekatkan pada hidung si Hidung Gerumpung...."

Mendengar berita itu tahulah sekarang Gak Lui mengapa paman gurunya si Lengan besi-hati baik tak punya hidung sebaliknya Maharaja Persilatan Tio Bik-lui hidungnya utuh. Diam2 ia terkejut sekali.

“Paman, orang yang engkau obati hidungnya itulah musuhku besar. Dia adalah durjana nomor satu yang membawa bencana pada dunia persilatan. Tetapi menilik keganasannya, mengapa paman dapat lolos dari cengkeramannya? Dan mengapa rumahtangga paman tak dibasmi ?"

“Ceritanya amat panjang," kata si tabib sakti Li Kok-hoa, “tak mudah kujaga jiwaku yang tua ini.....," ia menghela napas lalu melanjutkan lagi, “Setelah kupasang hidung baru padanya, kembali dia membawaku pergi dari Bu-san. Setiap hari aku harus melumurkan obat pada hidungnya sehingga sampai sembuh benar2. Setelah pekerjaanku berhasil maka aku menerima upah yang besar."

“Oh, apakah upahnya ?"

“Dia akan membunuhku supaya aku tak membocorkan rahasia itu ...."

“Oh ...."

“Dalam keadaan terdesak terpaksa akupun gunakan siasat untuk menggertaknya."

“Dengan mengatakan bahwa apabila tak makan obat dari paman, hidungnya itu akan membusuk lagi ?" tukas Gak Lui.

“Benar!" sahut Li Kok-hoa tertawa masam, “bukan saja kukatakan begitu pun kubilang karena terburu2, obat itu masih ketinggalan di rumah."

“Apakah paman tak takut mengundang serigala ke dalam rumah? Apakah itu tiada bahaya?"

“Tidak! Kulihat dia banyak sekali urusannya. Tak mungkin akan menyertai aku pulang. Tentu dia hanya menyuruh si Hui-ting itu yang membawa aku. Dan Hui-ting itu sekalipun bukan orang baik tetapi sekurang-kurangnya dia masih dapat diajak bicara."

“Kalau begitu, dia tentu mau melepas paman dan melindungi paman dalam perjalanan itu?"

“Ah, dia bukan manusia sebaik itu. Dia menetapkan untuk mengadakan perjanjian tukar menukar."

“Hm, dia tentu hendak meminta resep pembuatan cairan racun penyurut tubuh."

“Ya, benar. Tak berapa lama Hui-ting membawaku pergi. Dia segera menelanjangi kebohonganku kepada si Hidung Gerumpung yang sudah kutambal hidungnya itu. Hui-ting sihianat itu mengajukan tukar menukar. Dia bersedia melepaskan aku tetapi menghendaki resep pembuatan racun penyurut tubuh. Dan lagi dia bilang, lebih baik aku jangan pulang membawa keluarga menyingkir."

“Alasannya ?"

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---



“Rumah tinggal dan desaku, fihak lawan tak tahu. Hui-ting mengatakan asal aku menyembunyikan diri, dia akan melaporkan kalau aku sudah dibunuh. Kemudian ia hendak menggunakan obat palsu untuk menipu sibekas Hidung Gerumpung itu. Tetapi kalau aku pulang ke rumah tentu akan ketahuan jejakku. Berbahaya bagi jiwaku, juga jiwa si Hui-ting itu sendiri. Demi keselamatan anak isteri, aku terpaksa menerima perjanjian itu ...."

Berbicara sampai di situ, tampak tabib sakti itu berduka sekali. Air matanya berderai-derai turun. Siu-meypun ikut menangis terisak-isak.

Tangis dan air mata itu telah membangkitkan gelora jiwa Gak Lui. Walaupun menderita kesengsaraan besar, tetapi Li Kok-hoa itu masih dapat berjumpa dengan puterinya. Sedang dia sendiri sudah sebatang kara. Ayah meninggal dan ibunya hilang tiada ketahuan jejaknya. Penderitaannya lebih besar dari kedua ayah dan anak itu.

“Paman Li," akhirnya ia menghibur tabib sakti itu, “peristiwa yang sudah lampau, biarlah lalu. Tak perlu kita sesali lagi. Kurasa paman boleh pulang ke desa lagi."

“Ya, benar," seru Siu-mey sambil menghapus airmata, “pulanglah yah, agar aku dapat merawatmu sampai di hari tua ...."

“Tidak bisa," kata tabib Li Kok-hoa, “saat ini aku belum dapat pergi."

“Mengapa ?"

“Gerombolan manusia ganas itu benar2 telah menghancurkan nyaliku..."

“Yah, jangan takut. Aku dan engkoh Lui dapat membasmi mereka."

“Kalau begitu, kutunggu setelah kalian selesai melakukan pembalasan, baru aku pulang."

“Perlu apa? Sekarang juga bisa pulang."

“Ah, tidak semudah itu. Sekian banyak penderita sakit dalam lembah ini, harus kuatur dengan baik baru aku dapat pergi dengan lapang hati..."

Terhadap watak ayahnya yang suka menolong orang, memang Siu-mey sudah faham. Ia tak dapat berbuat apa2 lagi, kecuali berkata: “Yah, kalau engkau hendak tetap tinggal di sini akupun tak dapat memaksa. Aku akan pergi bersama engkoh Lui dan cepat akan kembali lagi ke sini. Setelah selesai melakukan pembalasan, kami berdua tentu cepat akan mengambil ayah kemari."

“Baiklah, aku tetap akan tinggal di sini," kata Li Kok-hoa lalu berpaling kepada Gak Lui, “bawalah Hi Kiam-gim kemari. Tentang kerusakan wajahnya, aku yang akan mengobati sampai sembuh."

Demikian dengan diantar oleh Li Kok-hoa, Gak Lui dan Siu-mey keluar dari lembah itu. Di tengah jalan tiba2 Gak Lui teringat sesuatu. Anggauta Topeng Besi yang dibawa ke Ceng-sia itu belum tentu dapat disembuhkan pikirannya yang limbung. Menilik kepandaian Li Kok-hoa yang begitu sakti dalam ilmu pengobatan, mengapa ia tak meminta obat kepadanya?

“Paman Li, apakah engkau mempunyai obat untuk menyembuhkan orang yang hilang kesadaran pikirannya?" cepat ia bertanya.

“Obatnya sih ada, tetapi entah manjur atau tidak,” sahut sitabib sakti.

“O……”

“Karena penyakit itu tidak sama berat ringannya. Maka ada bedanya sedikit. Kalau penyakit itu hanya baru saja, sekali minum tentu sembuh. Tetapi penyakit itu makin lama diderita, makin sukar pengobatannya dan obat itupun tak mudah memberi hasil."

Gak Lui segera menceritakan tentang anggauta Topeng Besi yang sudah dibius selama delapan belas tahun.

Mendengar itu Li Kok hoa kerutkan alis, menyahut: “Kalau dia sudah menderita selama delapan belas tahun, berarti sudah seperti seorang mayat hidup. Sukar untuk diobati dan lebih baik jangan menghamburkan itu dengan sia2 ...."

“Tetapi orang itu penting sekali artinya. Harus dapat disembuhkan!"

“Ini.... berarti kuda mati dianggap kuda hidup. Coba saja akan kuusahakan sekuat tenaga!" Si tabib meluluskan lalu membawa kedua anak muda itu ke dalam kamar obatnya.

Ruang obat itu berdinding lemari obat2an yang penuh dengan botol obat besar kecil. Jumlahnya tak terhitung banyaknya.

Dengan ahli sekali Li Kok-hoa cepat mengambil sebuah botol kecil, diberikan kepada Gak Lui. “Obat ini adalah buatanku sendiri. Kuberi nama Kiu-coan-ting sin-tan. Khusus untuk mengobati penyakit hilang ingatan. Cobakan saja kepadanya bagaimana nanti hasilnya."

Gak Lui mengaturkan terima kasih lalu bersama Siu mey tinggalkan lembah itu. Dengan gunakan ilmu berlari cepat mereka menuju ke gunung Ceng-sia-san. Ternyata Gak Lui masih mempunyai pertanyaan yang hendak diajukan kepada Siu mey. Maka sambil berlari ia bertanya: "Adik Mey, pukulan-sakti The Thay sudah membawa si Kerudung Hitam ke Ceng-sia. Adakah ketua kelima partai persilatan sudah mengenalinya ? Apakah sudah diketahui siapa orang itu ?"

"Adakah yang engkau maksudkan orang sakit yang dibawa adik Hong lian itu ?"

"benar."

"Sudah dikenal dirinya. Kalau kukatakan siapa orang itu engkau tentu akan melonjak kaget..."

"Siapa ?"

"Dia adalah tokoh nomor satu dari perguruan Ceng-sia pay. Kalau dia tidak lenyap, tentulah kedudukan pimpinan Ceng-sia-pay tak jatuh ditangan Thian Lok totiang ..."

"Oh ....," Gak Lui terkejut dan gemetar. Cepat ia dapat menduga siapa orang itu. Dia bukan lain yalah Thian Wat totiang. Dengan begitu jelas yang dibunuh Gak Lui itu yalah paderi Hwat Gong dari perguruan Heng-san-pay, Hui wi dari perguruan Siau-lim-pay dan imam Ceng Ci dari perguruan Bu tong-pay, serta Wi Cun imam dari Kong tong-pay yang sungguh2 berhianat itu.

Tokoh2 terkemuka dari kelima partai persilatan yang hilang itu, kecuali yang seorang, yang empat orang sudah terbunuh semua. Ah, tindakan Gak Lui itu tentu akan menimbulkan reaksi yang menyulitkan dirinya.

Setelah merenung beberapa jenak, akhirnya ia berkata dalam hati : "Ah, dengan mendapatkan Thian Wat totiang ini, sekurang kurangnya perguruan Ceng-sia-pay tentu takkan memenuhi aku...."

Melihat pemuda itu diam saja, Siu-mey segera menegur: "Engkoh Lui, kata2ku tadi hanya bergurau saja. Masakan benar2 hendak menakuti engkau !"

"Apa ?" Gak Lui tersentak kaget.

Siu-mey mencekal tangan sang kekasih, serunya : "Jangan linglung begitu, bilanglah lekas !"

"Aku bukannya takut melainkan memikirkan sesuatu ..."

"Soal di Ceng-sia itu?"

"Benar, apakah Thian Wat totiang itu sudah pulih kesadaran pikirannya ?"

"Sama sekali belum !" sahut Siu-mey, "tokoh2 partai persilatan sudah berusaha menyembuhkannya. Ada yang menggunakan tenaga dalam, ada yang pakai obat. Tetapi sedikitpun tak berhasil. Sebaiknya nanti kita cobakan obat dari ayahku itu."

"Lalu bagaimana dengan keadaan barisan Thian-loto-ong-tin dari kelima partai persilatan itu?"

"Hebat sekali! Nanti setiba di Ceng-sia engkau tentu mengetahui sendiri betapa kehebatan barisan paderi dan imam itu."

"Kalau begitu, segenap anggauta barisan itu sudah datang semua?"

"Ya, seluruh kaum persilatan golongan Putih sudah datang lengkap. Kecuali tokoh2 dari Lima Partai Persilatan, masih hadir pula kedua partai Pengemis dan Gelandangan, perguruan Kiu-hoan-bun juga datang."

"Bagus !" seru Gak Lui gembira dan memperhitungkan keadaan mereka tentu terjamin keselamatannya. Dengan memiliki barisan itu tentu mudah menghadapi golongan hitam.

Mengenai Maharaja Tio Bik-lui yang akan muncul, Gak Lui sudah siap. Lawannya itu tak tahu kalau pedang laknat Thian lui-koay-kiam tak dapat dicabut dari warangannya. Maka Maharaja Persilatan itu tetap takut.

Maharaja Persilatan Tio Bik-iui sudah menyatakan tantangannya. Nanti sebulan lagi akan bertempur digunung Im-leng-san. Jelas yang dianggap lawan berat oleh Maharaja itu tentulah dirinya (Gak Lui).

Membayangkan hal itu, diam2 hati Gak Lui terhibur dan wajahnyapun berseri senyum.

Rupanya Siu-mey memperhatikan perobahan air muka Gak Lui, dapat ia berseru : "Engkoh Lui, jangan engkau pandang enteng persoalan itu. Paman The Thay dan adik Hiong lian masih mempunyai sedikit kesulitan !"

"O, apakah partai2 persilatan itu hendak mencari mereka ?"

“Benar, partai2 persilatan itu tahu bahwa Topeng Besi itu adalah tokoh kelas satu yang hilang. Kalau sekarang Thian Wat totiang dari Ceng-sia-pay sudah kembali, sudah tentu mereka akan mencari orang2nya yang hilang itu."

"Lalu bagaimana adik Hong-lian menjawab mereka ?"

"Dia bilang kalau yang lain sudah mati. Dan hal2 yang lain silahkan tanya kepadamu."

"Jawaban yang tepat," kata Gak Lui, "mari kita percepat lari kita agar lekas tiba disana."

Agar dapat mengimbangi larinya ia menggandeng tangan Siu-mey. Dengan demikian dapatlah mereka berlari sama cepatnya.

Saat itu mereka tiba disebuah tanah datar yang luas. Empat penjuru penuh dengan belukar rumput. Ditengah dataran itu tampak sebuah kuil kuno. Ketika terpisah seratusan tombak dari kuil itu, tiba2 Gak Lui lambatkan larinya dan memandang kearah kuil itu.

"Engkoh Lui, adakah engkau mencium bau manusia ?" tanya Siu-mey.

"Benar, rupanya disekitar tempat ini terdapat sejumlah besar orang yang bersembunyi !"

"Apakah gerombolan kaki tangan Maharaja?"

"Kemungkinan. Karena baunya tak asing lagi."

“Lalu bagaimana tindakan kita? Mau bunuh? Dengan kekuatan kita berdua, tentu dapat membunuh mereka habis-habisan. Mau lari? Selagi mereka belum muncul, kita mengambil jalan mengitar saja....."

Gak Lui menunduk lalu menjawab dengan sepatah kata yang seram: “Bunuh .... Jika mereka benar kawanan anak buah Maharaja, mereka tentu akan mengikuti perjalanan kita ke Ceng-sia. Dari pada di sana menimbulkan kesulitan lebih baik sekarang saja kita basmi mereka agar dapat menghemat tenaga !”

Mendengar itu Siu-mey segera singsingkan lengan baju dan unjukkan sepasang ular emas: “Benar, mari kita terjang ...."

“Tunggu !"

“Tunggu apa ?"

Gak Lui maju selangkah berkata: “Membasmi kawanan jahat itu adalah urusanku. Engkau tak perlu ikut campur. Lebih baik ..."

“Lebih baik bagaimana ?"

“Pergi ke gunung Ceng-sia-san saja."

“O, aku tahu," sahut Siu-mey, “engkau anggap kepandaianku masih rendah sehingga takut kalau mengganggu permainanmu dan menambah beban pikiranmu."

Memang demikianlah pikiran Gak Lui. Namun kalau ia berterus terang, ia kuatir akan membuat nona itu mengambek. Tetapi kalau tak bilang, ia kuatir nona itu akan mengganggu rencananya. Maka ia menyahut dengan tak langsung: “Bukan karena takut engkau mengganggu sepak terjangku. Tetapi menurut kenyataan, musuh sudah tahu jelas tentang kepandaianku. Dan diapun takut terhadap pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Maka kalau dia tak mengirimkan orang untuk menghadang, itu memang tepat. Namun kalau dia masih berani mengirim anak buahnya untuk mengganggu aku, tentulah dia sudah mempersiapkan rencana yang hebat. Oleh karena itu baiklah kita hati2.....”

“Ih .... ," Siu-mey mendesis.

“Dan lagi Thian Wat totiang dari Ceng-sia-pay itu merupakan tokoh penting. Banyak rahasia dari musuh yang dapat tergali dari mulut paderi itu apabila dia dapat pulih kesadaran pikirannya. Maka yang penting yalah mengobati penyakitnya itu, makin cepat makin baik...."

“Maksudmu engkau hendak suruh aku lekas-lekas bawa obat itu ke Ceng-sia ?" Siu-mey menegas.

“Setidak-tidaknya engkau mengerti tentang ilmu pengobatan. Jauh lebih baik engkau yang membawa kesana daripada aku."

“Hm, memang sesuai juga," akhirnya nona itu dapat ditundukkan. Dengan tertawa riang ia menerima tugas itu dan meminta kepada Gak Lui supaya memberikan obat itu kepadanya.

Setelah menerima obat, sejenak Siu-mey memandang ke arah kuil tua dan akhirnya beri pesan kepada Gak Lui supaya berhati-hati jangan sampai terjebak siasat lawan.

“Jangan kuatir, aku dapat menjaga diri," Gak Lui tertawa, “kuharap engkaupun harus berhati-hati dan lekas menuju ke Ceng sia. Mungkin aku dapat menyusulmu dalam waktu singkat."

Demikian Siu mey menuju ke Ceng sia. Setelah nona itu lenyap dari pandang mata, barulah Gak Lui perlahan-lahan melangkah menuju ke kuil tua.

Kuil itu sunyi sekali. Dinding temboknya penuh ditumbuhi pakis (lumut) dan rotan. Kedua pintunyapun tertutup rapat. Papan nama yang tergantung di atas pintu masih dapat dibaca 'Ping An Ko Si ' atau kuil Keselamatan.

Tiba di pintu, diam2 Gak Lui tertawa: “Sungguh suatu sindiran yang tepat sekali. Kuil Keselamatan.... tetapi di dalamnya bersembunyi durjana2 persilatan yang ganas. Dan tempat pemujaan yang suci ini akan berobah menjadi suatu neraka."

Gak Lui keliarkan pandang matanya ke sekeliling lalu mendebur pintu keras2.

“Siapa !" terdengar derap kaki orang orang berjalan keluar dan berseru.

Dari nada suaranya tahulah Gak Lui bahwa yang berada dalam kuil itu seorang tua yang tak mengerti ilmu silat.

“Aku Gak Lui, karena kebetulan lalu di sini hendak memberi hormat pada malaekat kuil ini."

“Ho, ho !" kedengaran orang tua itu berseru pula, “pintu tak dikancing, silahkan masuk."

Gak Luipun mendorong dengan sebuah jarinya dan benar juga, daun pintu itu segera terbuka. Tampak seorang paderi tua berumur tujuhpuluhan tahun, rambut alisnya sudah putih, tegak berdiri di belakang pintu, ia mengulurkan sebelah tangannya yang kurus sebagai isyarat untuk mempersilahkan tetamunya masuk.

Tetapi Gak Lui tak mau segera masuk. Ia memberi hormat: “Silahkan taysu berjalan dulu."

“Sicu hendak mempunyai keperluan apa? Mengapa tak mau masuk ?" kata paderi tua itu. Sicu adalah sebutan yang digunakan para paderi dan imam terhadap seorang tetamu yang belum dikenal.

“Tak perlulah," kata Gak Lui, “tolong taysu sampaikan saja, suruh orang2 yang bersembunyi di dalam itu keluar berhadapan dengan aku !"

“Uh !" paderi itu berseru kaget, “orang2 di dalam? Paderi yang manakah yang hendak engkau cari ?"

---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---

“Bukan paderi tetapi kawanan penjahat yang mengancam pada taysu itu !"

“Kawanan penjahat? Tidak, tidak! Di dalam kuil ini tiada orang, lebih2 kawanan penjahat !"

“Benarkah ?"

“Sudah ... tentu benar," wajah paderi itu agak berobah. Tangannya memegang pintu, “kalau sicu mau masuk, aku tentu menyambut dengan gembira. Tetapi kalau sicu tak mau masuk, aku pun tak .... memaksa dan terpaksa akan menutup daun pintu ...."

"Tunggu dulu !” seru Gak Lui. "Taysu berkeras tak mengaku beradanya kawanan penjahat dalam kuil ini dan tak mau menyampaikan pesanku kepada mereka ?"

Paderi tua itu gelengkan kepala: "Kuil ini benar2 tiada orang luar dan akupun tak menerima ancaman apa2. Tak peduli engkau hendak bertanya dengan cara apa, aku tetap menjawab begitu !”

Gak Lui curiga tetapi ia tak mau turun tangan terhadap seorang paderi tua yang tak mengerti ilmu silat. Akhirnya ia memutuskan untuk mengganti caranya bertanya dengan pertanyaan semacam menyelidiki : "Kalau begitu, mohon tanya taysu. Apakah kedudukan taysu dalam kuil ini ?"

"Ini .... ini ......," rupanya paderi itu tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu sehingga ia tersekat-sekat tak dapat menyahut apa yang ditanyakan melainkan memperkenalkan diri: "Aku ... bergelar Beng Gwat."

"Dengan kedudukan ?”

"Sebagai .... sebagai ... Ti-khek-ceng ...."

Ti-khek-ceng yalah paderi yang bertugas menyambut tetamu.

“Ti-khek ceng ?"

"Ya, benar, benar, aku adalah Ti-khek-ceng, bertugas untuk menyambut setiap tetamu yang datang kekuil ini ...."

"Beng Gwat hong tiang, jangan engkau bermain sandiwara! Salah sebuah pantangan dari kaum agama yalah tidak boleh BOHONG ! Mengapa engkau melanggar pantangan itu ?"

Merah muka paderi tua itu seketika. Setelah menenangkan semangat ia tetap berkeras : "benar, memang aku adalah hong-tiang dikuil ini. Lain2 hal aku tak membohongimu ...."

Hong-tiang yalah kepala pengurus sebuah gereja, biara atau kuil.

"Karena hong-tiang tetap berkukuh, terpaksa aku akan bicara dengan terus terang untuk membuka kebohonganmu."

"Silahkan .... apa salahku ?"

"Pertama, pintu tertutup jelas mengandung kecurigaan. Tak ingin dilihat orang luar. Kedua, sebagai seorang hong-tiang engkau membuka pintu sendiri. Jelas kalau engkau tentu mendapat ancaman orang. Dengan kedua bukti itu, cukuplah untuk menyatakan kebohonganmu !"

"Ini .... ini......" karena telah ditelanjangi, paderi tua itu tak dapat bicara lagi. Tubuhnya gemetar.

Gak Lui kasihan pada paderi tua itu. Buru2 ia menghiburnya: "Ah, tak perlu hongtiang ketakutan. Karena aku datang kemari, tentu akan berusaha untuk menyelamatkan kuil ini. Jangan takut hongtiang, aku takkan merembet dirimu."

"Sungguh ?" paderi tua itu menegas, "mereka mengatakan engkau ini seorang algojo besar dalam dunia persilatan. Begitu melihat orang tentu akan membunuh. Apakah engkau takkan membunuh paderi2 dalam kuil ini ?"

"Harap hongtiang suka renungkan. Kalau aku hendak membunuh masakan aku mau bicara begini lama dengan engkau ? Aku tak mau mengotorkan tempat suci ini maka kumohon taysu suka menyampaikan kepada mereka agar mereka keluar menerima kematiannya."

"O," Beng Gwat taysu mendesuh. Kini ia mengerti maksud anak muda itu. Ia menyurut mundur dua langkah, lalu berpaling kebelakang hendak memanggil orang.

Tetapi tepat pada saat ia berpaling kebelakang, tiga sosok tubuh melesat keluar dari dalam ruangan besar. Mereka tegak berjajar dimuka pintu.

Gak Lui tenang2 saja memandang ketiga pendatang itu. Cepat ia dapat mengenali mereka. Yang berdiri ditengah, paderi lama dari Segak (Tibet). Kepalanya gundul, muka merah, tubuh gagah perkasa. Tangannya memegang tongkat Hang mo-kim-go atau tongkat penunduk iblis.

Yang disebelah kiri seorang imam. Kepalanya memakai kopiah sembilan segi, jenggot menjulai turun menutup dada, sepasang mata berkilat-kilat tajam dan mencekal sebatang pedang Liat-yan-kiam atau pedang Asap-panas, jelas seorang imam yang berkepandaian tinggi.

Sedangkan yang berdiri disebelah kanan, seorang lelaki pertengahan umur yang aneh. Mukanya mirip seekor orangutan, lengan panjang, kaki pandak. Tangan mencekal sebatang tongkat Lan-gin-pang atau tongkat Perak-hancur. Beratnya tak kurang dari seratusan kati. Seorang yang memiliki tenaga kuat sekali.

Puas memandang ketiga lawan, diam2 Gak Lui terkejut. Selain memiliki kepandaian tinggi, ketiga orang itu membekal senjata berat. Jelas tujuannya tentu hendak menghadapi pedang pusakanya.

Dari hal itu saja dapatlah diketahui bahwa lawan sudah mengadakan persiapan yang sempurna. Dengan menghadang ditengah jalan itu, apabila ia (Gak Lui) mati terbunuh; dengan sendirinya pertempuran di gunung Im-leng-san nanti tentu akan batal dengan kemenangan difihak Maharaja Tio Bik-lui.

Paderi muka merah hendak membuka mulut tetapi didahului Gak Lui: "Kalau mau bicara, silahkan ke halaman luar. Jangan mengganggu ketenangan tempat suci ini !"

Secepat bicara, secepat itu pula Gak Lui sudah melesat keluar, dia berdiri dihalaman.

Gerakan ketiga orang bukan kepalang hebatnya. Dengan bersuit aneh, mereka serempak loncat ke hadapan Gak Lui. Dan serempak dengan suitan itu, dari empat penjuru, muncul berpuluh-puluh orang dengan menghunus pedang.

“Apakah kalian sudah lengkap semua ?" seru Gak Lui dengan tenang.

Sambil menudingkan tongkat Penakluk-iblis, paderi muka merah itu berseru menggeledek: “Sudah lenglap semua ...."

“Bagus, lekas beritahukan namamu untuk menerima kematian ....!"

“Heh, heh! Ha, ha, ha, ha!" paderi muka merah itu tertawa marah dan menghambur tertawa aneh yang dilambari dengan tenaga-dalam. Lalu menggembor keras: “Budak, kabarnya engkau sombong sekali tak pernah memandang mata kepada orang. Apa yang kusaksikan saat ini, memang benar !"

Sejak bertempur dengan Kaisar Persilatan, Gak Lui dapat menyelami tentang rahasia penting dalam pertempuran. Yalah tak boleh cepat2 marah kepada lawan. Maka ia hanya tertawa dingin dan menyahut: “Kusuruh kalian laporkan nama bukan ingin mendengarkan kalian merintih dan melolong seperti anjing begitu. Perlu apa kalian bertingkah seperti itu?"

Mendengar ejekan itu meluaplah kemarahan si paderi muka merah. Urat2 dahinya melingkar-lingkar mengantar gemboran dahsyat: “Kalau kuberitahu namaku, engkau tentu akan melonjak kaget. Maka bersiap siaplah untuk berdiri tegak ....”

“Kakiku masih kuat berdiri, tak perlu engkau jual gertakan !"

“Aku adalah Hang-mo ceng atau paderi penakluk iblis dari Segak, bergelar Thong Leng.”

“Dan siapakah kedua makhluk yang lain itu?”

Pertanyaan Gak Lui benar2 membuat si imam tua dan siorang aneh yang berdiri di samping paderi muka merah itu seperti orang kebakaran jenggot. Baru kedua orang itu hendak membuka mulut, Gak Lui sudah menunjuk kepada paderi muka merah, serunya: “Engkau lebih tinggi kedudukanmu, engkau saja yang bicara !"

“Totiang ini bergelar Siau Yau tojin, tokoh dari gunung Thian-bok, ilmu kepandaiannya amat tinggi.”

“Cukup! Siapa yang satunya !" cepat Gak Lui menukas.

“Dia adalah Dewa-lengan-sakti Nyo Beng. Berasal dari gunung Tiang-pek-san, mahir menggunakan tongkat timah-hancur, di dalam dunia tiada tandingan ...."

“Cukup! Dia menggunakan tongkat, aku sudah mengetahui sendiri, tak perlu engkau terangkan."

Karena omongannya selalu diputus oleh Gak Lui, paderi muka merah itu merah padam mukanya. Tubuhnya menggigil keras sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Adalah Dewa-lengan-sakti Nyo Beng yang berasal dari luar perbatasan, karena pengalamannya tentang dunia persilatan Tiong goan kurang luas, tak kenal siapa Gak Lui itu. Matanya berkilat2 tajam memandang wajah Gak Lui yang mengenakan kedok muka itu, lalu berseru : “Budak, menilik umurmu, apakah engkau ini benar2 Gak Lui sendiri ?"

Gak Lui mengangguk. Serempak dengan itu si imam Siau Yau tojinpun tertawa menyeringai: “Benar, memang budak inilah si Gak Lui. Ketika di istana Lok-ong-kiong tempo hari kulihat sendiri dia pontang panting melarikan diri dari serangan pedang Maharaja!"

Gak Lui menyahut dingin, “O, diantara kawanan anjing yang mengeroyok aku di Lok-ong-kiong tempo hari, terdapat engkau juga ?"

“Benar, aku memang hadir di situ dan melihat engkau menjadi setan gentayangan yang dikejar pedang !" sahut Siau Yau tojin yang dapat menahan kemarahannya.

Gak Lui maju setengah langkah, tertawa: “Kalau begitu engkau tentu tahu bagaimana nasib dari ketiga algojo Maharaja dan ketiga Siluman dari Goha darah itu, bukan?"

“Mereka binasa ditanganmu, akupun tahu juga!"

“Lalu mengapa engkau masih berani datang kemari? Apakah engkau tak tahu apa yang disebut kematian itu?" seru Gak Lui.

“Ini .... aku sudah mengerti. Oleh karena itu aku mengundang beberapa tokoh berilmu untuk membasmimu, agar di kelak kemudian hari tak menimbulkan bahaya."

“Berapa jumlah orangmu yang datang ?"

“Semua jago2 istana Lak ong-kiong serta tokoh2 dari tiga bukit lima gunung. Semua berjumlah sembilanpuluh sembilan orang !"

“Hai, belum banyak, seratus saja masih kurang satu. Tetapi ....," tiba2 Gak Lui hentikan kata-katanya sejenak, lalu berkata lagi, “tetapi yang kulihat di empat penjuru hanya sembilanpuluh tujuh orang, lalu ke mana yang dua orang?"

”Rupanya engkau menaruh perhatian besar kepada kedua orang itu. Akan kuberitahukan nama mereka tetapi di mana mereka saat ini berada, nanti engkau akan tahu sendiri !"

“Katakanlah !"

“Yang seorang yalah Penghitung-besi Ci Tong-lay, dia yang seorang Nyonyah pelebur-tulang Tan Jui-hong. Engkau pasti sudah mendengar nama mereka.....”

Bab 30. Laut Darah Gunung Mayat

“O...,” Gak Lui mendesuh kejut. Ia memang pernah mendengar kedua tokoh itu.

Penghitung-besi seorang ahli siasat. Seorang durjana yang sukar dihadapi. Barisan pengepung saat itu, kemungkinan tentu dia yang merencanakan. Sedang orangnya sendiri mungkin masih bersembunyi di sekitar tempat situ, belum mau unjuk diri.

Sedang Wanita-pelebur-tulang itu, seorang iblis wanita yang terkemuka. Selain kepandaiannya sakti pun ilmu hitam yang cabul. Kabarnya belum pernah ia gagal mendapatkan lelaki yang disukai.

Dari sembilanpuluh sembilan jago2 golongan Hitam, dapatlah diketahui betapa besar kekuatan mereka. Dan rupanya mereka telah mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghadapi Gak Lui.

Merenungkan hal itu diam2 hati Gak Lui bercekat. Bukan karena takut menghadapi begitu banyak musuh, melainkan karena tak sampai hati untuk melakukan pertumpahan darah. Biang keladi dan musuh besarnya yalah Maharaja Persilatan Tio Bik-lui. Mengapa harus meminta korban jiwa sekian banyak orang?

Memikir pada hal itu, diam2 nafsu pembunuhan dalam hati Gak Luipun reda. Segera ia berseru dengan nada serius kepada ketiga lawannya : “Baik, tak peduli kalian berjumlah berapa banyak tetapi pokoknya kalian telah menerima perintah Maharaja. Di antara kalian memang sudah banyak yang berlumuran darah, tetapi Buddha bersabda: ‘lepaskan golok penjagal dan lekas kembali ke jalan terang'. Dengan itikad baik, aku bersedia melepas kalian tetapi ada syaratnya."

“Bagaimana ?" imam Siau Yau menegas dengan wajah dingin.

“Harus bersumpah agar bertaubat takkan melakukan kejahatan lagi. Dengan perbuatan menebus kejahatan yang lalu !"

“Oh, sederhana sekali syarat itu !"

“Menerima atau tidak terserah. Ini kesempatan terakhir yang kuberikan !"

“Heh, heh, heh, Heh," imam itu terawa mengekeh seraya memandang ke langit. Serempak dengan itu, dari empat penjuru kawanan jago2 golongan Hitam berpindah langkah menghampiri ketengah barisan. Setiap deret terdiri dari sembilan orang. Mereka membentuk diri dalam formasi barisan yang rapat dan ketat sekali.

Setelah barisan tersusun rapi, barulah imam Siau Yau berhenti tertawa. Dengan wajah membesi, ia berseru : "Budak she Gak, tak kira kalau seorang pembunuh ganas seperti engkau, dapat juga mengucap soal budi kebaikan. Ketahuilah, kami sembilanpuluh sembilan orang ini telah bersumpah sehidup-semati untuk mencincang tubuhmu !”

"Hm, apakah benar2 kalian hendak melepaskan peringatanku yang terakhir ?" seru Gak Lui.

"Heh, heh ! Tempo hari Maharaja pernah mengeluarkan perintah supaya menangkapmu hidup-hidup. Tetapi sekarang boleh dibunuh mati. Apa yang engkau ocehkan kesempatan terakhir itu ? Ho, engkau sendirilah yang wajib hati2 ....”

Habis berkata orang itu terus mengangkat pedangnya Pedang-bara-panas. Sinar berkilat memancar tajam, kawanan jago2 itupun segera menghunus senjatanya masing2.

Dalam detik2 yang tegang itu, diam2 Gak Lui menghela napas. Ia sesalkan orang2 yang sudah mata gelap sehingga tak mau mendengar peringatannya.

"Ah, terpaksa aku harus melakukan pembunuhan ganas. Untung Siu-mey mau mendengar kata dan pergi lebih dulu sehingga takkan melihat pemandangan yang ngeri ini....." pikirnya.

Setelah perasaannya tenang, ia segera mencabut pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam dibahu. Tetapi tepat pada saat itu sesosok tubuh melesat keluar diantara berpuluh-puluh orang. Gak Lui memandangnya dan menduga bahwa yang muncul itu tentu si Wanita-pelebur-tulang. Selain amat cantik, pun tubuh wanita itu tampak menonjol memantul perangsang yang besar, lebih merangsang atau sexy dari pada gadis2 muda.

Begitu muncul wanita itu dengan genit memandang kedua belah fihak. Siau Yau totiang, pudar sinar pembunuhan pada wajahnya. Bahkan Gak Luipun tergetar hatinya, hatinya mendebur keras.

"Ah, nyonya sudah pulang !" seru imam jahat itu dengan perlahan.

"Ya....." sahut wanita genit itu dengan nada menggerincing seperti seruling.

Kembali hati Gak Lui seperti kena aliran listrik dan bergetar keras. Diam2 ia menyadari bahwa wanita genit itu memiliki tenaga-dalam yang amat kuat sekali.

Setelah sejenak berbatuk-batuk, imam jahat Siau Yau itu berseru pula : "Adakah nyonya sudah berhasil ?"

"Ya, seorang budak perempuan kecil, masakan harus menggunakan banyak tenaga!" sahut wanita genit itu.

Mendengar itu tergetarlah hati Gak Lui, pikirnya: "Apakah Siu-mey yang ditangkapnya?"

Dengan mata berkilat-kilat ia menatap wanita genit itu. Pun tepat pada saat itu siwanita genit pun memandangnya, kemudian berseru: "Gak sauhiap, kawanmu gadis itu telah kutangkap. Sengaja kuberitahu hal itu kepadamu."

"Hm, apakah engkau hendak menjadikan gadis itu seorang sandera untuk menekan aku ?"

"Ah, mengapa begitu getas ?" seru wanita itu dengan tertawa genit, sedikitpun tak marah mendengar suara Gak Lui yang kaku.

"Orang she Gak !" tiba2 si imam Siau Yau menyelutuk, "hari ini kami menghendaki jiwamu dan tak perlu segala sandera. Penangkapan atas diri budak perempuan itu yalah untuk mencegah agar dia jangan melapor ke Ceng sia. Mengerti ?"

Mendengar keterangan itu, cepat2 wanita genit berputar tubuh, menghadapi Gak Lui lalu gunakan ilmu Menyusup-suara berkata: "Gak sauhiap, jangan pedulikan dia ! Kuambil nona itu tak lain karena aku berunding dengan engkau mengenai beberapa hal..."

"Tentang apa?" Gak Luipun merobah nadanya. "Kuminta kita berdua bekerja sama."

"Kerja sama ?” Gak Lui menegas.

"Ya, apabila engkau mau meluluskan Dunia persilatan harus tunduk kepadaku ... kita berdua."

Gak Lui terkejut. Diam2 ia memaki wanita itu. Lalu dengan nada bengis ia menyahut.

“Aku tak mempunyai keinginan akan hal itu. Jangan engkau mimpi yang bukan2."

"Tetapi dalam usahamu untuk membunuh si Maharaja, aku bersedia membantumu. Apakah syarat ini tak perlu engkau pertimbangkan ?"

Walaupun tekadnya sudah bulat untuk membalas dendam kepada si Maharaja Persilatan, namun Gak Lui tetap muak terhadap wanita genit itu. Lebih2 ia sudah marah atas siasat yang dilakukan wanita genit itu terhadap Siu-mey.

Rupanya wanita genit itu dapat membaca isi hati Gak Lui. Dengan tertawa genit ia berseru pula : “Sauhiap, kalau engkau tak mau kerja sama, aku hendak minta kepadamu saling tukar menukar.”

"Tukar menukar apa?"

"Jiwa dari gadis yang amat berharga bagimu serta keadaan dari Maharaja, akan kuberikan kepadamu dan engkau memberikan pedang Thian-lui-koay-kiam itu kepadaku !"

"Ini.....” Gak Lui tak dapat melanjutkan kata2nya. Ia marah tetapi iapun memikirkan keselamatan Siu mey yang ditawan siwanita genit.

"Jangan gelisah, sauhiap. Tak perlu saat ini engkau jawab tetapi bolehlah engkau pertimbangkan dulu. Sebagai tanda dari kesungguhan hatiku, nanti dalam pertempuran ini engkau harus memperhatikan bagian yang kosong orangnya !"

Habis berkata, wanita genit itupun lalu berpaling kearah Siau Yau tojin, paderi Penakluk iblis dan si Dewa-kera bertiga, serunya : "Apakah kalian menghendaki aku yang mengepalai barisan atau suruh aku disamping mengawasi budak perempuan itu ?"

Ketiga orang itu melihat jelas bagaimana tadi sewaktu berhadapan dengan Gak Lui, wanita genit itu bergerak gerak bibirnya seperti bicara dengan ilmu Menyusup-suara. Tetapi oleh karena terpengaruh oleh kecantikan si Wanita-pelebur tulang, ketiga orang itu pun tak berani mencurigainya.

Pertanyaan wanita cantik itu laksana hamburan air zamzam yang menyegarkan semangat. Serempak ketiga orang itupun menyahut: "Harap nyonya menyaksikan disamping saja. Biarlah kami yang memberesi budak lelaki itu !"

"Baik, kudoakan kalian menang!" wanita genit itupun melesat pergi. Tatapi sebelum pergi masih ia diam2 melirik kepada Gak Lui.

"Lihat senjataku!" seru paderi Penakluk-iblis secepat wanita genit itu berlalu.

Gerakan paderi itu segera diikuti oleh imam Siau Yau dan Dewa kera. Dengan senjatanya yang aneh2, ketiga orang itu segera menyerang Gak Lui dari atas, tengah dan bawah.

Tetapi Gak Lui sudah siap. Dam2 ia sudah kerahkan tenaga-dalam untuk melindungi tubuh. Tangan kiri diangkat untuk menghantam, tangan kanan siap mengayun pedang Thian-lui-koay-kiam.

Demikian pertempuran segera meletus. Angin menderu-deru dahsyat dan tubuh keempat orang itupun berlincahan amat pesat.

Tetapi beberapa saat kemudian, tiba2 paderi Penakluk iblis menggerung keras dan hendak melarikan diri.

"Hai, hendak lari kemana engkau !" teriak Gak Lui seraya hendak mengejar. Tetapi sebelum ia sempat bergerak, seluruh barisan dari jago2 golongan Hitam itupun memekik dengan serempak. Pekikan dari hampir seratus orang jago2 silat yang berkepandaian tinggi, benar2 seperti gempa bumi yang menggoncangkan gunung.

Bahkan Gak Lui sendiripun menderita kesakitan pada telinganya. Perhatiannya terganggu dan gerakannyapun menderita akibat, lebih lamban.

Sebuah kelompok dari sembilan orang melesat keluar dari barisan. Seketika Gak Lui rasakan kakinya goncang dan hampir terdorong mundur.

Tetapi tanpa berpaling kepala, Gak Lui balikkan tangan kiri. Kemudian iapun menghamburkan pekikan yang dahsyat. Tangan kiri yang menyusup kedalam ketiak, tiba2 melancarkan pukulan Algojo dunia kearah kesembilan jago2 Hitam itu.

"Bum, bum, bum !"

Pukulan itu menimbulkan dering keras sekali pada sembilan senjata aneh dari jago2 itu. Cepat mereka menyiak kesamping dan melesat mundur. Tetapi secepat mereka lenyap, kelompok sembilan orang yang lainnya, menerobos dari sudut lain dan terus menyerang Gak Lui.

Melihat musuh hendak gunakan siasat bertempur secara bergilir untuk memeras tenaganya, Gak Luipun tak mau terpancing. Ia segara berhenti dan tegak berdiri dengan lintangkan pedang di muka dada. Matanya memandang tajam kesekeliling.

Segera tampak hampir seratus orang bergerak dan berpindah pindah macam bintang jatuh. Mereka bergerak cepat dan ruwet sehingga sukar diketahui mata rantai pertahanannya. Tetapi dalam gerak dan perobahan bentuk yang bagaimana pun juga, formasi mereka tetap tiap kelompok berisi sembilan orang.

"Hm, silahkan kalian bergerak, aku akan tetap menunggu ....," pikir Gak Lui. Tangan kiri menjulur melindungi dada, tangan kanan mengangkat pedang keatas kepala, siap untuk menyerang.

Setelah pertempuran dimulai, imam Sau Yau dan kawan2 tak mau bicara apa2 lagi. Dengan wajah serius mereka terus memimpin gerak langkah barisannya. Karena tegangnya, sampai mereka tak mengetahui bahwa sebenarnya saat itu Gak Lui sudah berhenti dan tegak bersiap. Mereka tetap bergerak-gerak dengan senjata terhunus. Kesembilan kelompok barisan itu bergerak maju mundur, berpindah tempat dengan cepat dan rapi, sehingga sukar diketemukan rantai barisan yang kosong.

Memang boleh dikata, anggauta barisan itu terdiri dari jago2 yang berilmu tinggi. Tak ada seorangpun yang lemah. Gabungan jago2 sakti yang dipersatukan dalam sebuah barisan, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya. Betapa sakti seseorang tentu sukar untuk menghadapi serangan dahsyat dari sekian banyak lawan.

Pada lain saat, Gak Lui mendapat pikiran. Segera ia bergerak dalam tata-langkah Ni-coan-ngo-heng yang istimewa, menyusup kedalam barisan.

Pada saat Gak Lui hampir mendekati barisan, jurus2 gerakan barisan itupun hampir selesai. Tetapi paderi Penakluk-iblis tak menghiraukan. Ia mengandalkan jumlah orangnya yang lebih besar. Begitu Gak Lui tiba, tigapuluh enam anggauta barisan serempak kerahkan tenaga-dalam dan Bum... bum.....

Dalam kepul debu yang tebal, tampak empat orang anggauta barisan terlempar empat tombak jauhnya dan terkapar tak dapat berkutik lagi di-tanah !

Tetapi Gak Lui sendiri juga merasa sesak dadanya. Setelah menghela napas, ia rasakan tangannya agak linu. Saat itu ia menyadari bahwa dengan gunakan tenaga untuk adu kekerasan, ia masih dapat menghadapi mereka.

Kini ia makin mantap. Segera ia ayunkan tangan dengan kecepatan yang luar biasa, ia terbang menyusup kedalam barisan musuh. Tangan kiri memancarkan ilmu tenaga-dalam menyedot tenaga musuh lalu dipancarkan keluar dari ujung pedang.

Dengan menggunakan ilmu 'Pinjam tenaga' itu, dapatlah Gak Lui merobah suasana yang berbahaya menjadi reda. Setelah dapat melintasi tiga lapis kelompok barisan, difihak musuh telah jatuh enam tujuh orang lagi.

Tetapi imam Siau Yau rupanya tetap gigih dan tak mau mengalah. Apabila seorang anggauta barisan yang didepan rubuh, maka dari belakang tentu cepat maju mengganti. Dengan begitu barisan tetap rapat. Begitu pula suara gemboran yang dapat meruntuhkan nyali orang itu makin lama pun makin menggemparkan. Pekik rintihan macam setan menangis, membuat hati seperti disayat ....

Demikian didataran gunung yang sepi pada malam tiada berbintang, telah berlangsung pertempuran berdarah. Korban berjatuhan, mayat bergelimpangan dan darahpun berkubangan.....

Tigaratus jurus kemudian, Gak Lui sudah berhasil melintasi berpuluh lapis kelompok. Tubuhnya mandi keringat, napas terengah engah.

Walaupun banyak korban yang jatuh namun fihak musuh masih mempunyai enampuluh lebih anggauta barisan. Paderi Penakluk iblis, Dewa Kera dan imam Siau Yau tetap bertempur mati-matian.

"Celaka !" diam2 Gak Lui mengeluh, "apabila pertempuran tetap dilanjutkan dengan cara begini, tentulah kedua belah fihak akan menderita. Barisan ini tak ubah seperti bayangan. Kemana aku pergi, mereka tentu mengikuti. Ah, aku harus berusaha untuk lolos ...."

Dalam pada menimang itu, Gak Lui tetap mainkan jurusnya dengan gencar. Tetapi berbagai jurus telah dimainkan, tetap ia tak dapat lolos dari libatan musuh.

Dia makin terkejut dan mulai gelisah. Tiba2 ia teringat akan pesan melalui ilmu Menyusup suara dari Wanita-pelebur-tulang. Ya, wanita genit itu mengatakan apabila bertempur harus memperhatikan tempat yang tiada orangnya. "Tentulah hal itu, bukan tempat seperti kuil Ho ping si ini tetapi tentu dilain tempat ..."

Ia memandang kemuka dan kesekeliling penjuru. Tiba2 matanya tertumbuk pada gerumbul pohon yang tak berapa jumlahnya. Sebagian sudah rubuh, sebagian masih bergoncang-goncang terdera sambaran angin pukulan jago2 dalam barisan itu. Diperhatikannya bahwa diantara gerumbul pohon itu ada sebatang pohon yang paling besar, puncaknya amat tinggi dan lebat daunnya.

"Adakah ciri2 kelemahan itu terdapat pada batang pohon itu ....?" diam2 Gak Lui menimang.

Setelah mengundurkan empat kelompok barisan musuh, cepat ia gunakan gerak Rajawali-rentang sayap, melayang ke bawah pohon besar itu.

Tepat pada saat itu, paderi Penakluk-iblis menghambur gemboran keras dan menggerak-gerakkan senjatanya. Seketika terdengarlah dering gemerincing logam keras yang menggema diseluruh penjuru.

"Ho, kalian hendak mengacau telingaku?" diam2 Gak Lui mendamprat paderi itu. Ia curiga atas tingkah laku paderi itu maka iapun segera pusatkan perhatian untuk menangkap setiap suara yang akan muncul.

Dengan kecermatan telinganya yang tajam, akhirnya ia berhasil menangkap suara bunyi bergerakan, macam jari memainkan alat swipoa.

"O, kiranya si Penghitung besi itu tengah duduk diatas dahan pohon untuk memberi perintah kepada barisan. Karena kurang teliti, aku telah dapat dikelabuhinya !" tiba2 Gak Lui tersadar.

Kini tahulah ia bagaimana untuk membobolkan barisan musuh. Sekali melambung, ia melayang keatas pohon, memijak sebuah dahan, ia enjot tubuhnya melambung keatas dahan dipuncak.

Melihat Gak Lui hendak menyerangnya, Penghitung-besi Ci Tong-lay gugup. Cepat ia mainkan alat swipoanya. Seketika berhamburan biji2 swipoa itu kearah kepala Gak Lui.

"Bagus!" seru Gak Lui seraya menangkis dengan pedang dan tetap melambung keatas.

Melihat anak muda itu tetap melayang keatas, Penghitung-besi terkejut bukan kepalang sehingga kakinya menyurut mundur, hampir tergelincir jatuh.

Buru2 ia bergeliatan untuk menegakkan keseimbangan tubuhnya. Tetapi pada lain saat terpaksa ia harus menangkis hantaman senjata aneh dari pemuda itu. Tring, tring... tubuh Penghitung-besi miring, tangannya linu dan darah dalam tubuhnya bergolak keras.

Dalam pada itu dengan cepat Gak Lui melayang keatas dahan dan mencari tempat untuk berdiri. Saat itu keduanya hanya terpisah pada jarak satu tombak. Masing2 mengerahkan tenaga dalam, siap untuk melakukan pertempuran mati matian.

Imam Siau Yau dan barisannya saat itu mengerumuni pohon. Mereka memandang keatas dengan gelisah. Mau menyusul ke puncak pohon, sukar mendapat tempat dan tak mungkin dapat mengeroyok. Kalau tinggal diam saja dibawah pohon Penghitung-besi tentu terancam jiwanya. Walaupun kepandaiannya tinggi, tetapi tetap kalah kalau berhadapan satu lawan satu dengan Gak Lui.

Rupanya perasaan kawan kawannya yang berada dibawah pohon itu sama dengan perasaan Penghitung-besi. Seorang diri tanpa bantuan, ia sudah merasa putus asa dan ketakutan. Tetapi karena tak dapat berbuat lagi, terpaksa ia harus berjuang mati2an. Dengan menggerung keras, ia segera hamburkan alat swi-poanya. Biji2 swipoa dari bahan besi yang sebesar telur ayam segera melanda lawan.

Tetapi Gak Lui sudah siap. Pada saat lawan menggembor, iapun bersuit tajam. Suitan itu tiba2 timbul peristiwa yang aneh. Biji2 swipoa yang dihamburkan Penghitung-besi itu, bukan saja tak dapat memancar, pun jalannya makin lama makin perlahan dan akhirnya berhenti diudara.

Ternyata tenaga dalam Algojo-dunia yang dilancarkan Gak Lui itu jauh lebih kuat dari tenaga-dalam lawannya sehingga taburan biji2 swipoa itu macet di tengah jalan.

Penghitung-besi terkejut. Ia hendak melayang turun kebawah tetapi terlambat. Sekali Gak Lui dorongkan telapak tangannya, biji2 swipoa itupun melayang kembali kepada pemiliknya. Terdengar jeritan ngeri dan sesosok tubuhpun melayang jatuh dari puncak pohon itu.

Tubuh Penghitung-besi itu telah tertembus beberapa biji swipoa. Dia terkena senjatanya sendiri. Ketika jatuh ditanah, nyawanyapun sudah melayang.

Kawan-kawannya yang mengelilingi dibawah pohon, terkejut sekali menyaksikan pemandangan sengeri itu. Mereka serempak mundur.

Suasana makin tegang. Tiba2 Gak Lui meluncur dari atas pohon, dua kali ia gerakkan pedang dan pukulan, beberapa anggauta barisan lawan menjerit rubuh.

Imam Siau-Yau, paderi Penakluk-iblis dan anak buah Maharaja itu serasa terbang semangatnya. Keadaan barisan mereka mulai panic. Untunglah imam Siau Yau cepat menyadari bahwa dengan cara bertempur seperti tadi, mereka berhasil mengepung Gak Lui. Meskipun Penghitung-besi sudah terbunuh, tetapi kekuatan barisan itu masih cukup besar, ia harus cepat2 menyusun barisan lagi untuk mengepung pemuda itu.

Cepat ia mengatasi keadaan dan menyusup pula barisan. Dipadang belantara pegunungan yang sepi, kembali berlangsung pertempuran dahsyat. Tetapi ibarat ular kehilangan kepala, dengan hilangnya Penghitung-besi, komando barisanpun lenyap dan barisan kehilangan pula pimpinan. Betapapun berpuluh puluh kelompok jago2 Hitam itu hendak berjuang, namun gerak mereka tak lancar dan selalu dapat didesak Gak Lui.

Beberapa saat kemudian terdengar jerit orang dari beberapa anggauta barisan yang rubuh berhamburan darah. Kemana Gak Lui menerjang, di situ tentu meninggalkan korban. Walaupun ia banyak menghamburkan tenaga-dalam tetapi kemenangan sudah terbayang didepan mata.

Berpuluh jurus kemudian hampir barisan itu sudah berantakan, hanya tinggal paderi Penakluk-iblis bersama sembilan kawannya yang masih bertahan mati-matian.

Gak Lui memperhatikan bahwa beberapa orang yang masih nekad bertempur itu sudah kehabisan tenaga. Hal itu dapat dilihat dari gerak tangan serta kaki mereka yang sudah lamban.

Gak Lui kerahkan sisa tenaganya. Ia mainkan pedang pusaka Thian-lui-koay kiam dan pukulan tangan kiri. Bum .... terdengar letusan keras dan debu mengepul tebal. Ketika kepulan debu lenyap, ditanah terkapar malang melintang sosok2 mayat dari paderi Penakluk-iblis, Dewa Kera, imam Siau Yau dan kawan-kawannya ....

Tetapi Gak Lui sendiripun lelah sekali, ia telah tumpahkan seluruh tenaganya. Ia memutuskan untuk mencari Wanita-pelebur tulang dan meminta Siu-mey. Tetapi lebih dulu ia hendak beristirahat memulihkan tenaganya.

Demikian ketika ia duduk bersemedhi memusatkan seluruh pikiranya tiba2 sebuah tangan yang halus lunak telah mengelus-elus bahunya. Serempak bau yang amat harum berhamburan menyerang hidungnya.

Gak Lui terkejut dan membuka mata. Ah, kiranya si wanita genit Pelebur tulang yang dengan menyungging senyum memikat, tengah lekatkan tangannya yang halus runcing ke bahunya.

"Gak sauhiap, engkau menang. Sekarang tentulah engkau dapat meluluskan syaratku itu, bukan ?" serunya dengan suara merdu merayu.

Ternyata ketika Gak Lui tengah mengosongkan pikiran terbenam dalam semedhi, diam2 wanita genit itu menyelinap keluar dan lekatkan tangannya pada jalan darah dibahu Gak Lui. Gak Lui tak dapat berkutik lagi. Ia terkejut dan cepat2 siapkan tenaga dalam Algojo-dunia. Asal wanita itu pancarkan tenaga dalam untuk menghancurkan bahunya, iapun sudah siap untuk mengembalikan.

Tetapi ternyata wanita genit itu hanya tertawa: "Mengapa sauhiap diam saja ? Permintaanku itu layak sekali. Masakan engkau tak mau meluluskan?"

Sambil mencekal pedang Thian-lui-koay-kiam dengan kedua tangannya, Gak Lui menjawab dingin : "Lepaskan dulu tanganmu agar kita bicara dengan leluasa !"

"Baik," seru wanita genit itu. Dengan agak ragu2 ia segera menarik pulang tangannya, "Kurasa engkau seorang cerdik. Dalam soal sekecil itu tentu dapat memberi keputusan yang tepat!"

Gak Lui memperhatikan setiap gerak gerik wanita itu. Dari pandang matanya yang begitu menginginkan sekali akan pedang Thian-lui-koay-kiam dan sikapnya yang maju mundur hendak mencelakai dirinya, tahulah Gak lui bahwa wanita itu memang takut kepada pedang Thian lui koay-kiam. Karena itu dalam saat2 terakhir, wanita itupun memperlunak sikapnya dan membatalkan niatnya hendak mencelakai.

"Lepaskan Siu-mey baru nanti kita berunding lagi," kata Gak Lui setelah mengetahui kelemahan orang.

Wanita genit itu tertawa mengikik : "Kalau begitu artinya engkau setuju usulku untuk membentuk persekutuan bersama menguasai dunia persilatan ?"

"Aku tak mempunyai niat begitu !"

"Kalau begitu engkau bersedia meminjamkan pedang Thian-lui-koay-kiam itu kepadaku?"

"Pusaka perguruan, lebih tak dapat diberikan kepada orang !"

Kedua permintaannya ditolak, tawa wanita genit berobah seram: "Kalau kedua permintaanku itu engkau tolak lalu dengan barang apa engkau hendak menukar Siu-mey ?"

"Dengan jiwamu akan kutukarnya!" kata Gak Lui dengan nada bengis.

"Ha, ha, ha, ha .... ," wanita genit itu tertawa lebar, "sauhiap, harap jangan memandang keliwat rendah kepadaku ... ha, ha, ha, ha ...."

"Hai, engkau hendak unjuk permainan apa itu? Adakah engkau mampu melebihi kekuatan barisan imam Siau Yau yang terdiri dari sembilanpuluh delapan jago Hitam itu ?"

"Sudah tentu tidak !"

"Lalu apa modalmu ?"

"Kuberitahu dengan terus terang. Siu-mey telah kukuasai dengan ilmu penutuk istimewa. Dan saat ini kusimpan dalam sebuah tempat rahasia. Kalau engkau melukai aku, diapun akan mati juga!"

"Heh, heh," Gak Lui tertawa mengejek, "engkau dapat menguasai, aku mampu membebaskannya. Dan apakah engkau benar2 tak takut akan ilmu kepandaian perguruanku?"

Wanita genit itu terbeliak. Tetapi cepat ia dapat menguasai ketenangan hatinya dan berkata pula:

"Oh, tak kira semuda itu usia sauhiap, tetapi cara tindakanmu begitu ganas. Sekarang coba engkau jawab, bagaimanakah artinya kata2 'Seorang ksatrya dapat membedakan budi dan dendam'. Apakah engkau anggap kata2 itu salah ?"

"Sudah tentu benar !"

"Itulah ! Diantara kita tiada dendam permusuhan dan lagi dalam pertempuran tadi aku telah membantumu."

"Engkau maksudkan soal kata-kataku mengenai Siu-mey itu ?"

"Benar, itupun salah satu."

"Bagaimana kejadiannya ?”

"Barisan bersembunyi yang kami adakan kali ini, benar2 ketat sekali. Dan kawanmu itu menuju Ceng-sia, Jika tak kuhalangi tentu lain orang yang akan merintanginya!"

"Hm ..."

"Dan lagi apabila tak kusembunyikannya di-tempat jauh, tentu akan jatuh kedalam tangan kawanan imam Siau Yau itu. Mereka telah mendapat perintah untuk membasmi habis-habisan. Taruh kata engkau dapat lolos, gadis itu tentu tak mungkin terhindar dari kematian."

Tergetar juga hati Gak Lui. Diam2 ia mengakui kata2 wanita genit itu memang benar. Lalu katanya : "Kalau begitu, engkau memberitahukan tempat bersembunyinya Penghitung-besi itu juga engkau anggap sebagai sebuah jasa ?"

"Sudah tentu begitu," sahut siwanita genit, "selain itu akupun dapat memberitahukan tempat beradanya si Maharaja. Soal itu tentu lebih berguna kepadamu."

"Kalau begitu silahkan bicara terus terang !"

Wanita genit tertawa riang : "Bicara sih tak jadi halangan. Tetapi ... engkau belum mengatakan janjimu yang tegas !"

Gak Lui merenung, ujarnya: "Sebelum aku berjanji, hendak kutanyakan sebuah soal kepadamu."

"Silahkan."

"Sebagai anak buah si Maharaja, engkau hendak membocorkan rencana Maharaja dan menghendaki kematiannya. Kecuali ingin merajai dunia persilatan, alasan apakah maka engkau melakukan hal itu?"

"Ini ... ini .... alasan untuk merajai dunia persilatan, apakah belum cukup ..." jawab wanita genit itu sambil mainkan matanya yang bagus.

"Orang sebagai dirimu, tak mungkin hanya berdasarkan alasan yang begitu sederhana. Lebih baik engkau katakan dengan terus terang."

Wanita genit itu menggigit bibir mengicupkan ekor mata lalu menghela napas panjang: "Terus, terang saja kukatakan bahwa Maharaja itu dengan aku ... memang mempunyai hubungan erat.”

"Hm."

"Tetapi setelah bergaul lama sekali, kuanggap dia seorang yang licin, tak boleh dipercaya..”

"Mengapa ?"

"Dia dapat mempelajari ilmu Suitan-pengikat-jiwa dan Jari-maut Kiu-im-coat-yang dari aliran Bu-kau yang sudah lama lenyap. Tetapi dia tak mau mengajarkan kedua ilmu itu kepadaku. Dari situ jelas . , .. dia memang tidak jujur, Kelak mungkin dapat .... dapat….”

"Dapat meninggalkan engkau, bukan ?” tukas Gak Lui.

"Ya."

"Apakah engkau amat sayang kepadanya ?"

“Tidak ! Tidak !" wanita genit itu menolak getas, "aku tak mencintainya dan lagi aku memang tak suka dipermainkan orang. Peribahasa mengatakan "Yang turun tangan lebih dulu tentu menjadi kuat". Benar tidak ?"

"Mengapa engkau begitu bernafsu sekali hendak mempelajari ilmu dari aliran Bu-kau itu?"

"Kalau dapat mempelajari ilmu itu, sudah tentu besar sekali gunanya. Kalau engkau mau bersekutu, akan kuberitahukan tentang rahasia keistimewaan dari ilmu itu."

"Hm, kiranya ilmu yang digunakan Maharaja untuk melenyapkan kesadaran pikiran orang itu disebut Jari-maut Kiu-im-coat-yang. Kini aku baru tahu. Dan wanita itu sebagai isteri si Maharaja, ternyata juga sangat bernafsu sekali untuk mempelajari ilmu sakti dari aliran Bu-kau itu. Tujuan hendak menguasai dunia persilatan. Kedua suami isteri benar2 merupakan penjahat dan pelacur!" diam2 Gak Lui menimang.

"Sauhiap rasanya pertanyaanmu tentu sudah cukup. Lalu bagaimana keputusanmu ?" tanya wanita genit itu pula.

Sambil mengangkat kepala, berkatalah Gak Lui dengan tegas: "Janjiku sederhana sekali. Asal engkau mau melepaskan pikiranmu untuk menguasai dunia persilatan dan kembali kejalan yang terang, kali ini aku tentu rela melepaskanmu dan takkan menuntut perbuatanmu yang lalu."

"Ih...," wanita genit itu melongo, "kalau begitu jelas engkau tak mau meluluskan perjanjian itu dan tak mau pula meminjamkan pedang...."

"Kerjasama, jelas tak mungkin. Maharaja biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya. Dan engkaupun tak perlu meminjam pedang ini."

"Apakah itu jawabanmu yang terakhir ?"

"Ya."

"Apakah engkau tak dapat mempertimbangkan lagi…."

"Tak perlu ! Lekas bebaskan Siu-mey dan kita tak saling menganggu."

Melihat keputusan pemuda itu tak dapat dirobah lagi, mata wanita genit itu berkilat-kilat. Tiba2 ia tertawa lalu menghela napas : "Baiklah, engkau tak mau menuntut perbuatanku yang lalu dan mau memberi jalan hidup, itupun sudah cukup baik. Sekarang silahkan ikut aku untuk menolong kawan seperjalananmu itu."

Melihat gerak gerik wanita genit itu, timbullah kecurigaan Gak Lui. Tetapi karena mengandalkan kepandaiannya, ia segera menerima. Demikian keduanya segera tinggalkan tempat itu. Kira2 sepeminum teh lamanya, tibalah mereka disebuah kobong, yalah tempat pembakaran genteng dan batu merah. Keadaan tempat kobong itu sudah amat rusak. Begitu tiba dimuka pintu, siwanita genit berkata : "Gak sauhiap, temanmu itu berada didalam. Silahkan engkau masuk !"

Gak Lui tak mau buru2 masuk, melainkan menggunakan alat hidungnya yang tajam. Benar juga, ia memang dapat mencium bau tubuh Siu-mey.

"Tak perlu engkau curiga. Aku yang jalan di muka dan engkau ikut di belakangku," seru wanita genit itu pula seraya terus ayunkan langkah masuk kedalamnya lebih dulu, Gak Luipun segera mengikuti.

Semula Gak Lui mengira kalau tempat kobong itu tentu kosong tetapi ternyata didalamnya penuh dengan tumpukan batu merah. Sepintas pandang, mirip sebuah barisan.

Setelah membiluk beberapa kali, tibalah keduanya ditengah ruang. Tiba2 wanita genit menjerit ngeri. Gak Lui cepat loncat keatas tumpukan batu merah. Dilihatnya wanita itu gemetar seperti orang kalap.

"Mengapa ?" seru Gak Lui.

Dengan gemetar wanita itu menyahut; "Ular...ular .... ular ....!"

"Ular ?" Gak Lui mengulang kejut. Pikirannya segera menduga-duga apakah ular milik Siu-mey itu telah lepas.

Kembali terdengar wanita itu mendesuh dan tubuhnya gemetar keras lalu tiba2 mengejang dan rubuh kebelakang.

Melihat itu Gak Lui cepat loncat turun dan hendak menolong. Tetapi pada saat ia membungkukkan tubuh hendak memeriksa keadaan wanita itu, tiba2 wanita itu secepat kilat gerakkan kedua tangannya menutuk jalan darah dada Gak Lui.

Gak Lui terkejut tapi tak keburu menghindar. Diam2 ia kerahkan tenaga dalam untuk menerima tutukan. Crek ... tubuhnya condong kebelakang. Dengan menurutkan tutukan itu, Gak Lui melenting kebelakang.

Tetapi ternyata wanita genit itu memang sudah siapkan rencana. Begitu Gak Lui terlempar kebelakang, cepat ia mencabut sapu tangan terus dikebutkan kemuka pemuda itu. Karena jalan darahnya tertutuk, gerakan Gak Luipun lambat. Ia mencium bau wangi yang aneh dan berbangkis. Tetapi makin banyak ia menyedot bau harum itu, iapun terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah lalu jatuh terduduk ditanah. Ia hendak meronta, namun tenaganya sudah lunglai.

Wanita genit itu tertawa mengikik. Dengan mata yang genit ia berbangkit memandang Gak Lui.

"Budak kecil, engkau hebat sekali dapat menerima dua kali tutukanku. Justeru hal itulah yang menyenangkan hatiku, ... hi, hi, hi..." wanita genit tertawa mengikik

Gak Lui terengah-engah. Ia berusaha hendak menyalurkan tenaga-murni tetapi apabila darah melancar keperut, ia rasakan nafsunya menggelora hebat. Kaki dan tenaganya makin melentuk. Ia tetap tak dapat berbangkit.

"Ha, ha!" kembali wanita genit itu tertawa girang, "engkau masih tak mau menyerah dan tetap ngotot hendak melawan? Coba hendak kulihat sampai berapa lama engkau mampu bertahan ......" sambil berkata ia ayunkan langkah menghampiri pemuda itu.

Gak Lui bingung. Dalam pandang matanya, wanita genit itu berobah menjadi seorang wanita yang amat cantik sekali. Kalau ia tak dapat mengatasi, tentu akan dicelakai wanita itu.

Diam2 Gak Lui lekatkan telapak tangannya ketanah untuk menyalurkan tenaga-dalam Algojo-dunia. Matanya tak lepas memandang tajam ke-arah wanita.

Wanita Pelebur-tulang memang seorang wanita yang berpengalaman. Melihat sinar mata pemuda itu memancar kemarahan, ia sengaja bergeliatan tubuh dan berseru genit: "Jangan kuatir, budak kecil. Aku takkan memaksa orang yang kesusahan dan tak mau merayu orang. Aku inginkan engkau sendiri hilang kesabaran dan datang mengantar diri .... kulihat saat ini engkau masih dapat bertahan .... kita begini saja dulu, sampai ada yang menyerah !"

Habis berkata wanita genit itupun duduk bersila pada jarak satu meter dari tempat Gak Lui sambil menatap pemuda itu lekat2.

Satu meter adalah jarak yang dekat. Sekalipun tak bicara dan tak bergerak tetapi bau harum dari tubuh wanita itu, benar2 membaur kehidung Gak Lui, bagaikan aliran listrik yang menggetarkan debur jantungnya dan menggelorakan nafsu....

Gak Lui hampir akan hentikan usahanya menjalankan peredaran darah. Asal ia ulurkan tangan tentu segera dapat meraih wanita genit itu kedalam pelukannya.

Ia berjuang mati-matian untuk menahan gejolak nafsu dan bisikan iblis. Sekujur tubuhnya sampai mandi keringat dan gemetar keras. Dan akhirnya ia tak kuat lagi bertahan...

Segera ia ulurkan tangan hendak meraih wanita itu. Tetapi baru saja tangannya yang gemetar itu bergerak tetapi serangkum angin dingin meniup tangannya. Ternyata tenaga dalam Algojo-dunia itu masih belum reda dayanya. Seketika ia seperti diguyur angin dingin.

"Berbahaya sekali ! Hampir saja aku termakan siasat hina dari wanita cabul itu dan melakukan perbuatan yang memalukan...” ia menggerutu. Segera ia lekatkan tangannya ketanah. Begitu wanita genit itu lengah, ia segera menampar perutnya sendiri. Tamparan itu telah menghapus gejolak nafsunya dan semangatnyapun timbul pula. Kini ia berhasil mengembalikan penyaluran tenaga-dalamnya. Asal ia sudah dapat mengeluarkan racun-nafsu, tentulah tenaga murninya pulih. Tetapi ia kuatir, waktu yang dibutuhkan itu akan terganggu oleh tindakan wanita genit itu. Karena dalam keadaan saat itu, ia masih dikuasai wanita Pelebur-tulang.

Difihak wanita Pelebur-tulang yang banyak pengalaman itupun sudah memperhitungkan bahwa Gak Lui tentu tak tahan. Akhirnya pemuda itu akan menyerahkan diri untuk memuaskan nafsunya. Membayangkan hal itu, tubuhnyapun meregang-regang dan nafsunya membinal.

Pada waktu melihat Gak Lui mengangkat tangan dan keringatnya mengucur deras, diam2 ia sudah bergirang dalam hati : "Hm, akhirnya engkau tentu tak tahan, marilah kemari.....”

Tetapi ternyata pemuda itu hentikan gerak tangannya. Suatu hal yang membuat wanita itu benar2 heran. Ia tak percaya pemuda itu dapat menolak daya obat perangsang nafsu. Sebentar lagi tentu pemuda itu sudah menyerah kedalam pelukannya.

"Baik, makin engkau kuat bertahan, makin bagus. Akupun tak terburu-buru dan akan menunggu sampai engkau datang meminta sendiri. Saat itu barulah akan kuisap tenaga- murnimu ...." wanita cabul itu menimang-nimang.

Demikian keduanya tenggelam dalam keheningan. Yang satu berjuang terus untuk mengembalikan pengerahan tenaga-murninya. Yang lain sedang melamun akan kenikmatan yang akan diperoleh dari pemuda itu. Kedua-duanya sama2 menunggu.

Tak berapa lama sepeminum tehpun telah lalu. Penyaluran tenaga-dalam yang dilakukan Gak Lui sedang mencapai pada tingkat penyatuan. Racun perangsang-nafsu telah dapat didesak sampai kelengannya. Sebentar lagi, ya sebentar lagi tentu sudah selesai.

Tetapi rupanya wanita genit itulah yang tak sabar. Tiba2 ia bergeliat bangun. Melihat itu Gak Lui mengeluh tetapi tak berani berbuat apa2. Karena sedikit saja ia melakukan gerakan, tenaga-murninya tentu akan berhamburan binal dan ia tentu akan lumpuh, kehilangan seluruh ilmu kepandaiannya.

Saat itu wanita genit telah melekatkan kedua tangannya yang halus ke bahu Gak Lui.

"Celaka !" karana tak dapat menghindar, Gak Luipun mengeluh. Dan karena gemetar, pedang Thian-lui-koay-kiam yang tersanggul pada bahunya tersentuh tangan siwanita genit.

Wanita Pelabur tulang itu bukan wanita lemah. Ilmu silatnyapun tinggi. Cepat ia mendekap pedang pusaka itu : "Hai, apakah ini bukan pedang Thian-lui-koay-kiam ?"

Membayangkan pedang itu merupakan pusaka yang jarang terdapat dalam dunia persilatan, nafsu wanita itupun turun. Cepat ia hendak melolos pedang itu, terus loncat mundur setombak jauhnya dan memeriksa pedang itu dengan wajah berseri gembira...

Walaupun pedang itu telah diambil siwanita genit namun Gak Lui tak mau terkecoh. Asal ia segera pulih kembali tenaga-murninya, mudah sekali untuk merebut kembali pedang itu. Ia tetap pejamkan mata dan pusatkan seluruh perhatiannya.

Wanita Pelebur-tulang tak memperhatikan keadaan Gak Lui. Sambil mencekal pedang itu dengan kedua tangannya ia memeriksa dengan teliti. Batang pedang yang terbungkus lekat dengan lahar itu, dikiranya adalah kerangka pedang. Begitu pula tangkainya, juga terbungkus dengan sutera. Tak usah seperti pedang yang kebanyakan.

"Aneh, mengapa pedang yang begitu termasyhur mempunyai kerangka yang begini aneh dan juga dibungkus dengan sutera. Kalau digunakan bukankah tak leluasa sekali ?" pikir wanita itu.

Ia hendak mencoba pedang itu maka cepat ia mencabut batang pedang itu dari kerangkanya. Tetapi : "Huh, mengapa tak dapat dicabut ?"

Wanita itu terkejut dan heran sekali. Dengan ilmu kepandaiannya, masakan ia tak mampu mencabut sebatang pedang saja ! Ia penasaran, kerahkan tenaga dan mencabutnya lagi. Uh .... pedang Thian-lui-koay-kiam tetap melekat pada kerangkanya.

"Setan, aku tak percaya kalau tak mampu mencabut...." ia mencekal pedang ditangan kiri lalu mencabut sekuat kuatnya dengan tangan kanan. Krek, krek…tali sutera yang tergantung pada tangkai pedang itupun putus berhamburan jatuh.

Gak Lui terkejut tetapi karena ia sedang dalam keadaan tegang, ia hanya merasa bingung tetapi tak dapat membuka suara.

Benar jugalah. Setelah merobek suteranya, wanita itu mencengkeram tangkai pedang dan tiba2 ia seperti kerasukan setan. Sepasang matanya yang bening seketika berobah seperti setan yang haus darah. Kedua pipinya yang merah, pun memancar sinar darah. Wanita itu telah tercengkeram dalam tenaga-sakti pedang Thian-lui-koay-kiam. Dari seorang wanita yang cantik saat itu telah berobah menjadi seorang wanita haus darah.

Tampak mata wanita itu berkilat-kilat memandang kesekeliling. Segera pandang matanya tertumbuk pada Gak Lui. Saat itu tangan Gak Lui pun mulai diangkat keatas. Keringat panas berderai2 mengucur dari telapak tangan. Keringat yang mengandung racun perangsang nafsu ....

"Bunuh…!"

Memekiklah mulut wanita itu laksana seekor singa betina. Dan pedang Thian lui koay-kiampun segera diayunkan kearah kepala Gak Lui yang saat itu masih tercengkam dalam usahanya untuk menyalurkan keluar racun perangsang-nafsu.

Tepat pada saat pedang hanya kurang beberapa belas senti dari kepala Gak Lui, pemuda itupun beruntung telah dapat mengucurkan keringat racun yang terakhir. Cepat ia gerakkan tangan kiri, pancarkan tenaga-dalam-penyedot kearah ujung pedang.

Wanita genit itu terkejut ketika dapatkan ujung pedang condong kesamping dan pada lain saat terus dicengkeram tangan Gak Lui.

"Bunuh, bunuh !" demikian yang terisi pada benak wanita genit itu. Cepat ia memegang pedang itu dengan kedua tangannya lalu dengan sepenuh tenaga ia menyabat pemuda itu.

Saat itu Gak Lui masih duduk ditanah tetapi tenaga-murninya sudah pulih. Jika mau adu kekerasan, wanita itu tentu hancur. Tetapi ia masih membutuhkan keterangan wanita itu tentang keadaan si Maharaja. Ia harus menangkap wanita itu hidup2.

Cepat ia keraskan tenaga-dalam-penyedot sehingga wanita genit itu terseret maju dan begitu dekat, Gak-Lui segera menyongsong dengan tangan kanan yang dilambari dengan tenaga-dalam Algojo dunia. Bum... terdengar jeritan ngeri dari si wanita genit. Ia lepaskan kedua tangan dan tubuhnyapun terlempar sampai beberapa meter, bruk.... membentur tumpukan batu merah. Batu merah berguguran menimpa wanita itu sehingga teruruk.

Karena tumpukan batu merah itu ambruk maka terbukalah sebuah tempat kosong dan serempak tampaklah sebuah tangan yang halus, bersinar keemasan.

Melihat itu girang Gak Lui bukan kepalang. Ya, tak salah lagi, tangan bersinar emas itu adalah tangan Siu-mey yang memakai gelang ular. Cepat ia lari menghampiri dan memeluknya. Ternyata jalan darah nona itu telah tertutup oleh tutukan jari. Cepat Gak Lui salurkan tenaga dalam untuk menolongnya.

Beberapa saat kemudian Siu-mey tersadar. Begitu melihat keadaan dalam tempat itu, ia berseru : "Hai, mengapa aku berada disini. Mana wanita cantik itu....."

"Yang engkau maksudkan tentulah wanita Pelebur-tulang itulah," kata Gak Lui.

"Mungkin benar," kata Siu-mey, "dia mengatakan datang dari gunung Ceng-sia dan akan menemani aku mengundang beberapa tokoh sakti. Setelah itu lalu menyongsongmu."

"Engkau ditipu ! Wanita itu bukan saja tak datang dari Ceng-sia, pun dia itu gerombolan musuh yang bersembunyi dikuil Ho-ping si itu. Tujuan menangkapmu yalah untuk ditukarkan dengan pedang Thian-lui koay-kiam."

"O," Siu-mey mendesuh, wajahnya tersipu merah, "makanya ketika aku berputar diri tiba2 kurasakan punggungku kesemutan dan saat itu aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Kiranya wanita busuk itu menggunakan tipu siasat untuk mencelakai diriku. Lalu dimanakah wanita itu ?"

"Dia sudah terpendam dalam tumpukan batu merah yang ambruk itu," Gak Lui menunjuk pada tumpukan merah yang menggunduk tinggi.

"Bagus, aku harus membuat perhitungan dengan dia !" seru Siu mey seraya terus loncat ketempat gunduk batu merah itu. Ia hendak membalas dendam kepada siwanita genit.

Gak Lui buru2 mencegahnya. Lalu ia gunakan tenaga-dalam-penyedot menghantam gunduk batu merah itu. Beberapa batu merah segera berhamburan mencelat keatas. Setelah batu merah itu tersisih kesamping, tampaklah tubuh siwanita genit terkapar ditanah. Wajahnya pucat lesi, pakaian dan mulutnya berlumuran darah ....

Gak Lui menyadari bahwa wanita itu tentu menderita luka parah akibat hantaman tenaga dalam Algojo-dunia yang dilancarkan tadi. Cepat ia menghampiri dan memberi saluran tenaga-dalam.

Tak berapa lama kemudian, pendarahan wanita itupun berhenti. Dengan napas terengah-engah, ia dapat sadarkan diri.

Pertama-tama ia melihat Siu-mey dan Gak Lui menjaga disampingnya. Iapun coba untuk mengerahkan tenaga-dalam tetapi ah.... ia menyadari kalau menderita luka parah sekali dan tentu sudah mati kalau tak disaluri tenaga-murni Gak Lui.

"Terima kasih….aku tak mempunyai maksud membunuh orang ….harap kalian...memaafkan ..." katanya tersekat-sekat.

Kalau teringat bagaimana wanita itu gunakan racun perangsang-nafsu, Gak Lui memang masih mendongkol. Tetapi menilik bahwa wanita itu tak mencelakai Siu-mey. Gak Lui agak lunak hati. Ia mengangguk ! "Asal engkau sudah menyesal dan sadar, kami tentu memaafkan."

"Sungguh ....?”

"Orang yang sudah menyadari kesalahannya, itu sudah kembali kejalan benar."

"Ah….kalian ... memang baik .... aku sungguh .... menyesal.... sayang .... terlambat ...." wanita genit itu katupkan mata dan mengucurkan air mata.

Gak Lui dapatkan napas wanita itu makin lemah. Buru2 ia tambahkan tenaga-dalamnya. Dan wanita itupun kembali dapat menghela napas pula, ujarnya tersekat: "Sauhiap, harap dengarkan baik2…..aku… kukatakan tentang Maharaja……”

"Silahkan," Gak Lui mengangguk.

"Saat ini dia berada digunung im-leng-san...giat mempelajari... ilmu pedang….sebelum pertemuan di Ceng-sia ... dia takkan muncul....”

"O, apakah ilmu pedangnya hebat sekali ?"

"Gunung Im-leng-san...merupakan tempat....pusat hawa dingin Im han...dapat membantu peyakinannya... sauhiap, kalau kesana .... harap berhati-hati...."

"Apa yang harus dijaga ?" Siu-mey menyelutuk.

"Masuk ke gunung itu ....harus berjalan ....sebelah selatan menyingkiri api...jangan keliru berjalan di sebelah .... utara....."

"Tadi engkau mengatakan sebelum pertemuan di Ceng-sia, dia tak mau unjuk diri. Lalu siapakah yang akan bertemu dengan dia itu ?" tanya Siu-mey pula.

"Itu ... itu....." rupanya wanita itu sudah tak bertenaga lagi sehingga mengucap dua patah kata saja sukar tampaknya, ia pejamkan mata, kepala melentuk dan putuslah jiwanya....

"Siapa orang itu ? Lekas kasih tahu.... hai, bangunlah...bangunlah...!" Siu-mey berulang-ulang mengguncang bahu wanita itu namun wanita itu sudah meninggal dunia.

"Tak perlu ditanya, dia sudah meninggal," akhirnya Gak Lui menarik pulang tangannya.

Siu-mey menghela napas. Keduanya lalu mengubur mayat wanita itu. Setelah itu keduanya menuju kegunung Ceng sia-san.


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar