Pendekar Laknat Jilid 41-50

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Laknat Jilid 41-50
Pendekar Laknat Jilid 41-50

41. Kekalahan Para Pendekar

Melihat keadaan Ceng Hi totiang terancam sekalian orang gagah terkejut. Mereka segera menyerbu Jong Leng lojin dengan apa yang dapat dilakukan. Pukulan, senjata dan senjata rahasia.

Saat itu Jong Leng lojin hendak mengepit tubuh Ceng Hi totiang untuk ditawan. Melihat dirinya diserang kalang kabut dari segala jurusan, ia lemparkan tubuh Ceng Hi lalu tamparkan kedua tangannya ke arah rombongan orang gagah.

Serentak terdengar jeritan ngeri dari beberapa orang gagah yang terkena tamparam orang tua itu. Ada yang rubuh terluka. Ada yang remuk binasa. Ada pula yang terlempar sampai setombak jauhnya....

Setelah berhasil menghalau rombongan orang gagah, Jong Leng lojin kembali memutar tangan kiri lalu secepat kilat diayunkan ke arah Ceng Hi totiang.

Tokoh tua dari Butong-pay itu sudah terluka dalam. Dia masih belum mampu bangun dari bantingan Jong Leng lojin tadi. Sudah tentu ia tak berdaya menghadapi hantaman Jong Leng lojin.

Rombongan orang gagah yang dipimpin It Hang totiang masih sibuk menghadapi amukan Harimau iblis dan Naga terkutuk. Sedang rombongan orang gagah yang hendak menolong Ceng Hi tadi pun sudah dihantam kocar kacir oleh Jong Leng lojin. Tak mungkin mereka dapat menolong Ceng Hi totiang lagi. Imam tua itu pasti binasa.

Pada saat maut hendak merenggut jiwa Ceng Hi, sekonyong-konyong dari celah-celah sinar matahari yang sudah condong ke barat, tampak sesosok tubuh melayang di udara.

Dan belum tiba di tanah, orang itu sudah lepaskan pukulan seraya berseru membentak Jong Leng lojin, “Berhenti!"

Gerakannya yang luar biasa tangkasnya membuat sekalian orang terperanjat. Kiranya orang yang telah menolong Ceng Hi itu adalah Siau-liong si Pendekar Laknat.

Selama memperhatikan jalannya pertempuran itu, Siau-liong diam-diam telah membuat perhitungan. Berdasarkan pengalamannya ketika menerima pukulan Jong Leng lojin dalam bilik terowongan dibawah barisan Tujuh Maut tempo hari, ia menyadari bahwa pukulannya Thay-siang-ciang yang dilambari tenaga sakti Bu-kek-sin-kang, tetap kalah dengan pukulan Jong Leng lojin.

Apabila ia membantu Ceng Hi totiang bukan saja sia-sia, pun dirinya sendiri juga pasti hancur. Tetapi ia ingat dikala berhadapan dengan si paderi kurus Liau Hoan. Sekenanya saja ia gunakan jurus Sebatang-tiang-menyanggah-langit, ialah sebuah jurus yang dilambari dengan tenaga sakti Thian-kong-sin-kang yang sama sekali belum dipahaminya.

Namun hasilnya sudah mengejutkan sekali. Paderi Liau Hoan yang sakti dapat dihantam dadanya.

Ah, mengapa ia tak mau mencoba dengan ilmu pukulan itu lagi!

Begitu mendapat keputusan, diam-diam ia kerahkan semangat dan pusatkan pikiran untuk mengingat-ingat ketiga buah pukulan Thian-kong-sin-kang dengan perobahan-perobahannya.

Tetapi ia tak dapat merenung lama karena saat itu dilihatnya Ceng Hi totiang terancam bahaya maut dari Jong Leng lojin. Maka tanpa membuang waktu lagi ia segera loncat ke udara dan lepaskan salah sebuah dari ketiga pukulan Thian-kong-ciang yang disebut Sapu-jagad.

Terdengar letupan keras. Jong Leng lojin tersurut mundur dua langkah. Tetapi ketika Siau-liong tiba di tanah, iapun terhuyung-huyung empat lima langkah jauhnya.

Buru-buru ia mengambil napas. Didapatinya darah dalam tubuhnya hanya bergolak sedikit, tak membahayakan.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka pun tahu akan kemunculan Pendekar Laknat itu. Tetapi mereka tenang saja karena yakin Jong Leng lojin pasti dapat menghancurkannya.

Tetapi apa yang disaksikan saat itu, benar-benar membuat mereka terbelalak kaget! Buru-buru Iblis Penakluk-dunia mengangkat cambuk kuda lalu diayunkan ke arah punggung orang berkerudung hitam yang satunya.

Ternyata orang baju dan berkerudung hitam itu bukan lain adalah Lam-hay Sin-ni, pewaris dari ilmu sakti Cek-ci-sin-kang. Karena tak mendengarkan nasehat Randa Bu-san dan Pendekar Laknat Siau-liong, akhirnya Lam-hay Sin-ni pun mengalami nasib serupa dengan Jong Leng lojin ialah diracuni Iblis Penakluk-dunia hingga hilang kesadaran pikirannya!

"Apa perintah tuan!"seru Lam-hay Sin-ni.

Sambil menuding dengan tangkai cambuk, Iblis Penakluk-dunia memberi perintah. "Lekas tangkap hidup atau mati Pendekar Laknat!"

Lam-hay Sin-ni mengiakan. Sekali kedua bahunya bergetar, tahu-tahu tubuhnya meluncur ke udara dan menerjang Siau-liong.

Saat itu Jong Leng lojin gelagapan. Ia tak mengerti mengapa ia sampai terpental dua langkah. Setelah biji matanya berputar-putar, dengan suara yang parau ia menggembur lalu maju menyerang lagi.

Siau-liong tahu juga kalau Lam-hay Sin-ni sedang menyerbu dari udara. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam Thian-kong-sin-kang lalu gunakan ilmu Menyusup suara berseru kepada Jong Leng,

“Locianpwe, apakah engkau masih ingat ketika dirantai dalam bilik dibawah tanah itu?"

Pada saat itu Lam-hay Sin-ni pun sudah tiba dan menghantam kepada Siau-liong. Anak muda itu pun menyambutnya dengan pukulan tangan kanan dalam jurus Angin-awan-berobah-warna.

Kembali terdengar letupan dan baik Siau-liong maupun Lam-hay Sin-ni sama-sama terhuyung-huyung mundur beberapa langkah.

Sepanjang hidupnya, Lam-hay Sin-ni tinggal mengasingkan diri di pedalaman gunung. Jarang ia bertempur dengan orang. Dalam benaknya hanya terkilas suatu tujuan. Memperoleh ilmu sakti Thian-kong-sin-kang dan menjadi tokoh yang tiada tandingannya di dunia.

Serupa dengan Jong Leng lojin tadi, rahib itu pun terkejut sekali karena dapat dipukul mundur oleh Pendekar Laknat. Tetapi oleh karena kesadarannya hilang, maka setelah deliki mata kepada Siau-liong, iapun terus hendak menyerang lagi.

Sesungguhnya Siau-liong tak kurang menderitanya. Adu pukulan dengan Sin-ni itu menyebabkan matanya berkunang-kunang, kepala pusing tujuh keliling, darah bergolak-golak sehingga ia hampir tak kuat lagi berdiri tegak.

Ilmu sakti Thian-kong-sin-kang baru saja dipelajari. Boleh dikata hanya kulitnya saja. Adalah berkat otaknya yang cerdas dan pernah makan buah Im-yang-som serta minum darah binatang purba dalam perut gunung, maka dapat ia menggunakan tenaga sakti Thian-kong-sin-kang itu dengan hasil yang mengejutkan.

Dua tokoh yang memiliki dua dari kelima tenaga sakti di dunia, sekaligus dapat dilawannya. Tetapi bagaimanapun juga, karena baru lapisan luar saja yang diketahuinya tentang ilmu Thian-kong-sin-kang itu, mau tak mau ia harus menderita sekali.

Melihat Lam-hay Sin-ni hendak bergerak, dengan paksaan diri ia gunakan ilmu Menyusup suara membentak rahib itu. “Sin-ni, Apakah engkau masih ingat tujuanmu datang ketempat ini.... apakah engkau sudah tak menghendaki peta Giok-pwe tempat penyimpan kitab pusaka Thian-kong-pit-kip lagi?"

Serupa dengan Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni tertegun juga. Dipandangnya Siau-iong dengan mata berkeliaran dan pandang keheranan.

Siau-liong tak banyak waktu untuk berpikir lagi. Ia tahu bahwa Lam-hay Sin-ni tentu juga menderita pembiusan seperti Jong Leng lojin.

Untuk menyadarkan pikiran kedua tokoh itu, harus memerlukan waktu yang panjang. Tak mungkin dalam hanya beberapa detik saja. Pada saat Lamhay Sin-ni terlongong, Siau-liong cepat-cepat melakukan pernapasan untuk memulihkan tenaga.

Pada saat Siau-liong adu pukulan dengan Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni tadi, sambil duduk melakukan pernapasan untuk mengobati luka dalam, Ceng Hi totiang pun memperhatikan jalannya pertempuran itu. Ketika melihat Siau-liong tidak menggunakan pukulan Bu-kek-sin-kang tetapi pukulan yang memancarkan kemilau emas dan berhasil mengundurkan kedua tokoh lawannya, girang Ceng Hi bukan kepalang. Serentak ia bangkit dan gunakan Ilmu Menyusup Suara bertanya kepada Siau-liong.

"Pendekar Laknat, pukulanmu tadi .... apakah bukan .... tenaga sakti Thian-kong-sin-kang ....?"

Sesungguhnya luka dalam yang diderita Ceng Hi totiang itu amat parah. Terdorong oleh luapan rasa girang, darahnya pun bergolak keras lagi. Buru-buru ia duduk kembali....

Siau-liong sendiri pun menderita luka dalam yang parah juga. Ia terpaksa tak menyahut pertanyaan Ceng Hi, melainkan terus lanjutkan usahanya untuk memulangkan tenaga guna menghadapi kedua tokoh itu lagi.

Sekalian orang gagahpun tertegun ketika menyaksikan Siau-liong adu pukulan dengan kedua tokoh sakti itu. Tetapi Harimau Iblis, Naga Terkutuk dan rombongan It Hang totiang tak mengacuhkan segala apa. Mereka tetap menyerang sehingga banyak dari rombongan orang gagah yang menjadi korban lagi.

Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni masih tetap tegak ditempatnya sambil merenung. Melihat itu Iblis Penakluk-dunia segera tertawa nyaring lalu ayunkan cambuknya di udara.

Mendengar suara geletar cambuk yang nyaring baik Jong Leng lojin maupun Lam-hay Sin-ni serempak berpaling ke arah Iblis Penakluk-dunia seraya meraung-raung aneh. Tiba-tiba mereka bergerak menghantam Siau-liong lagi!

Siau-liong terkejut. Dengan menggembor keras ia gerakkan kedua tangannya, tangan kiri dalam jurus Angin-awan-berobah-warna dan tangan kanan dengan jurus Menjungkir-balikkan-matahari-rembulan untuk menangkis pukulan Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni.

“Tar.... tar....!” terdengar letupan dahsyat. Debu dan pecahan batu bertebaran keempat penjuru, angin menderu-deru keras.

Tampak tubuh Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin bergoyang-goyang maju mundur beberapa kali. Sedang Siau-liong jungkir balik sampai sepuluhan langkah jauhnya. Tetapi secepat itu ia dapat berdiri tegak lagi.

Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin tertegun. Tetapi pada lain kejap, mereka mulai menyerang lagi.

Ceng Hi totiang cemas sekali. Tetapi ketika melirik ke arah Siau-liong, dilihatnya muka Pendekar Laknat itu tetap tenang. Hanya tubuhnya tidak henti-hentinya bergetar. Diam-diam Ceng Hi totiang kucurkan keringat dingin.

Tetapi ia sendiri sedang menderita luka parah, sukar untuk memberi pertolongan. Sekalipun rombongan orang gagah yang berkerumun disekitar barisan pohon Bunga itu berjumlah banyak tetapi mereka tak mungkin dapat membantu Siau-liong. Apalagi mereka pun masih sibuk menghadapi amukan Harimau Iblis, Naga terkutuk dan rombongan It Hang totiang.

Berturut-turut telah jatuh lagi beberapa korban pada rombongan orang gagah itu. Diam-diam Ceng Hi totiang menghela napas pedih. Ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali meramkan mata menunggu apa yang akan terjadi.

Sebelum Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin bergerak, Siau-liong cepat mendahului menyerang dengan jurus Sebatang-tonggak-menyanggah-langit kepada Lam-hay Sin-ni. Sedang Jong Leng lojin dihantamnya dengan jurus Angin-awan-berobah-warna ......

Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin masing-masing telah lepaskan lima kali pukulan. Dan Siau-liong menghadapinya dengan ilmu pukulan sakti Thian-kong-ciang yang belum dipahami benar-benar.

Pertempuran itu amat dahsyat sekali. Sinar kemilau emas dari pukulan Siau-liong itu bagai tebaran awan yang berarak-arak kian kemari.

Habis memukul, Siau-liong pun rubuh menggeletak di tanah. Sudut mulutnya mengumur darah. Keadaannya seperti orang tengah meregang jiwa.

Kini kedua tokoh itu mulai menyerang lagi. Lam-hay Sin-ni dari kiri, Jong Leng lojin dari kanan. Tetapi jelas kedua tokoh itu terengah napas dan gemetar tubuhnya. Dengan susah mereka mengangkat sepasang tangannya untuk menghantam Siau-liong.

Siau-liong pejamkan mata. Dadanya berombak naik turun. Rupanya dia seperti pelita kehabisan minyak. Hanya tinggal tunggu saat saja.

Jumlah korban yang jatuh dalam pertempuran itu cukup banyak. Pihak Iblis Penakluk-dunia hanya kehilangan belasan anak buah yang mati. Tetapi anggauta barisan yang dipimpin Harimau Iblis dan Naga terkutuk masih utuh. Satu pun tak ada yang menjadi korban.

Sedang dipihak orang gagah, tak kurang dari dua tiga ratus yang binasa.

Ceng Hi totiang tak dapat berbuat apa-apa, tak mungkin lagi ia dapat memimpin pertempuran lagi. Saat itu pertempuran sudah mencapat detik-detik yang kritis. Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka pasti akan memperoleh kemenangan besar.

Pada saat pukulan Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni serempak akan melanda Siau-liong, sekonyong-konyong Iblis Penakluk-dunia bersuit nyaring. Rupanya suitan itu merupakan sebuah pertandaan karena nyatanya Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni serempak menarik pulang pukulannya lalu loncat kembali ke kereta Iblis Penakluk-dunia.

Pertempuran yang dahsyat seketika berhenti. Beberapa anak buah Iblis Penakluk-dunia pun segera kembali ketempat masing-masing.

Sambil tertawa nyaring, tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia ayunkan cambuknya. Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin segera menarik kereta. Kereta pun meluncur pesat sekali.

Saat itu Ceng Hi totiang sudah ditolong oleh dua orang imam kecil. Dia terkejut menyaksikan tindakan Iblis Penakluk-dunia.

Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari partai Kong-tong-pay, ketua Kay-pang To Kiu-kong dan beberapa tokoh persilatan, sudah tak keruan rupanya. Dengan berlumuran darah mereka paksakan diri untuk menghampiri Siau-liong.

Lu Bu-ki si tinggi besar yang menjadi pemimpin kaum Rimba Hijau daerah selatan, pelahan-lahan mengangkat bangun Siau-liong seraya berseru memanggil, “Pendekar Laknat! Pendekar Laknat....!"

Siau-liong masih sadar pikirannya. Pelahan-lahan ia membuka mata dan menghela napas. Tetapi begitu melihat kereta Iblis Penakluk-dunia meluncur, tiba-tiba Siau-liong menggembor keras lalu loncat bangun.

"Huak".... belum berdiri tegak ia sudah muntah darah dan terkulai rubuh lagi.

Iblis Penakluk-dunia ayunkan cambuknya lagi dan keretapun berhenti tepat dimuka Siau-liong.

Sambil memandang kesekeliling dengan wajah berseri puas, Iblis Penakluk-dunia lalu menudingkan dengan cambuk kepada Siau-liong, bentaknya: “Tua bangka Laknat!"

Siau-liong berusaha untuk menggeliat dan paksakan diri memandang ke arah kereta lalu tersenyum dingin dan kemudian pejamkan mata tak mau menyahut.

Iblis Penakluk-dunia tertawa meloroh, serunya, “Laknat tua! Saat ini asal aku memberi perintah, engkau tentu mati, .... tahukah engkau apa sebab aku tak mau membunuhmu!"

Semula Siau-liong menduga kedatangan kereta Iblis Penakluk-dunia itu tentulah hendak membunuhnya atau paling tidak tentu akan menawannya. Tentulah iblis itu hendak menjadikan dirinya seperti Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni.

Maka diam-diam dia kerahkan tenaga dalam untuk bersiap menghadapi tindakan lawan. Dia telah bertekad hendak mengadu jiwa. Tetapi ketika mendengar kata-kata si iblis, terkesiaplah ia.

Sekalipun terluka parah tetapi kesadaran pikirannya masih belum lenyap. Saat itu dengan dipapah oleh Lu Bu-ki dan Ton Hun-ki ia berusaha duduk.

Melihat Siau-liong sudah begitu lemah, Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring, “Laknat tua, ketahuilah bahwa jiwamu sudah tergantung ditanganku. Membunuhmu atau menjadikan engkau kaki tanganku, terserah pada kemauanku. Tetapi aku dapat memberi pengecualian kepadamu. Tahukah engkau apa sebabnya?"

Diam-diam tergerak juga hati Siau-liong. Kalau menilik keganasan iblis itu, tentulah ia sudah dibunuh. Dan apa pula sebabnya iblis itu tak menyebut-nyebut tentang peta Giok-pwe lagi? Adakah dia sudah tahu kalau kitab pusaka Thian-kong-sin-kang itu sudah dihancurkannya?

Tiba-tiba ia tersadar. Ah, tentulah kedua suami isteri itu tahu kalau anak perempuannya (Poh Ceng-in) telah ditawannya. Ya, tentulah mereka kuatir kalau anak perempuannya itu akan dibunuh!

Tetapi dugaan itu cepat dihapusnya. Karena apabila Soh-beng Ki-su sudah melaporkan, tentulah Iblis -penakluk-dunia tahu bahwa yang membawa Poh Ceng-in keluar dari lembah itu bukanlah Pendekar Laknat melainkan Siau-liong dalam perwujutan sebagai Kongsun Liong ketua Kay-pang.

Jelas Iblis Penakluk-dunia mau pun Dewi Neraka masih belum tahu bahwa Pendekar Laknat itu adalah penyamaran dari Kongsun Liong.

Beberapa jenak tak dapat Siau-liong menduga apa yang dikehendaki Iblis Penakluk-dunia. Ia termenung-menung memikirkan itu.

Melihat itu Iblis Penakluk-dunia segera gunakan ilmu Menyusup Suara kepadanya, “Laknat tua, pernah kukatakan tempo hari bahwa engkau satu-satunya perintang dalam usahaku untuk menguasai dunia persilatan. Tetapi saat ini, jiwamu sudah berada dalam tanganku."

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Tetapi aku tak mau mengandalkan beberapa manusia patung itu untuk menguasai dunia persilatan....”

Tiba-tiba iblis itu berhenti lalu memandang tajam ke arah Siau-liong.

Sekalipun dalam kata-katanya iblis itu tak menyebut tentang ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, tetapi Siau-liong duga iblis itu tentu sudah mengetahui bahwa dirinya sudah memiliki ilmu sakti itu.

Dari tindakan Iblis Penakluk-dunia yang tak mau segera membunuh atau menawannya. Makin keraslah dugaan Siau-liong kalau iblis itu tahu bahwa kitab pusaka Thian-kong-pit-kip sudah berhasil dimilikinya dan dihancurkannya. Iblis itu tentu berusaha untuk mendapatkan pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang dari dia.

Ia menggeliat dan berseru dengan tandas, “Iblis tua, jangan mimpi....”

Iblis Penakluk-dunia tertawa meloroh, “Laknat tua, sekali pun engkau sudah memperoleh Thian-kong-sin-kang, tetapi saat ini engkau sudah tak mampu bertempur lagi. Dan lagi kalau tak salah, luka dalam yang engkau derita itu hanya memungkinkan engkau hidup tiga hari saja....”

Iblis itu menutup kata-katanya sambil mengangkat cambuk. Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin segera menarik kereta ketempat Ceng Hi totiang. Dengan isyarat cambuk, kereta itupun berhenti.

“Imam tua, apakah masih berani bertempur lagi!" ejek Iblis Penakluk-dunia dengan tertawa.

Tubuh Ceng Hi totiang berlumuran darah, wajah pucat lesi dan mata merah membara. Dengan mata memancar dendam kemarahan, ia menatap Iblis Penakluk-dunia lalu kerahkan tenaga berseru, “Selama hayat masih dikandung, jangan harap engkau mimpi dapat melaksanakan angkara murkamu....”

Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring, “Saat ini, asal kuberi perintah, berapapun jumlah jago-jago silat yang engkau bawa, dalam waktu dua jam saja tentu akan ludas....”

Memandang kesekeliling mayat-mayat jago silat yang menumpuk Bu-kit, Ceng Hi totiang tundukkan kepala lalu memandang ke arah sisa rombongannya. Ia tahu bahwa Iblis Penakluk-dunia itu memang tidak main gertak. Kenyataan dengan jumlah yang begitu besar tetap kalah melawan gerombolan iblis itu.

Dia dan Pendekar Laknat saat itu telah menderita luka parah. Jika melanjutkan pertempuran tentu hancur. Maka ia hanya mendengus tak mau menyahut tantangan Iblis Penakluk-dunia.

Iblis itu tertawa dan berkata pula, “Tetapi sekalipun siasatku ganas, aku tak bermaksud hendak membunuh kalian habis-habisan. Karena aku masih memerlukan bantuan tenaga kalian ....”

Tiba-tiba wajah iblis itu mengerut gelap lalu berteriak keras, “Akan kubebaskan kalian pergi. Tetapi dalam waktu tiga hari kalian semua harus menuju ke puncak gunung Gobi, mendirikan sebuah panggung. Menyediakan daftar nama dari seluruh anggauta partai persilatan, baik golongan Hitam maupun Putih, kaum dunia persilatan mau pun Rimba Hijau (penyamun).

Setiap partai harus mengajukan sebuah wakil untuk memimpin rombongan masing-masing. Pada hari keempat tengah hari, aku akan datang kesana. Pada saat itu tak peduli siapa saja tanpa memandang kedudukan, harus sudah menyambut dikaki gunung.

Saat itu dunia persilatan akan kupersatukan dibawah pimpinanku. Jika kalian menolak, dalam tiga bulan, dunia persilatan pasti akan berlimpah darah, mayat-mayat berserakan membusuk .......”

Menuding kepada Ceng Hi totiang, iblis itu berseru pula, “Tugas itu engkaulah yang memimpin penyelenggaraannya. Jika tak sesuai dengan permintaanku tadi, akibatnya engkau dapat memikirkan sendiri!"

Iblis Penakluk-dunia menutup kata-katanya dengan tertawa panjang lalu ayunkan cambuk memberi perintah kepada Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin supaya menarik kereta lagi. Kereta itu cepat sekali menuju ke dalam mulut jalanan.

Harimau Iblis, Naga Terkutuk, It Hang totiang dan berpuluh-puluh kaki tangan kedua suami isteri iblis itu, segera mengikuti di belakang kereta. Tak berapa lama mereka lenyap dari pandangan.

Saat itu hari sudah petang. Sisa rombongan orang gagah sibuk mengangkati mayat dan menolong yang terluka. Pemandangan saat itu sungguh memilukan hati.

Dengan dipapah oleh kedua imam kecil, Ceng Hi totiang melangkah pelahan-lahan kemuka Siau-liong, “Pendekar Laknat....” - serunya pelahan. Beberapa butir airmata menitik turun dari pelupuk jago tua itu.

Siau-liong pun bangun berdiri dibantu Lu Bu-ki dan Toh Hun-ki. Ia menghela napas, “Totiang....”

Pemuda itupun tak dapat melampiaskan kata-katanya karena tersendat oleh rasa harunya.

Setelah menghapus airmata, Ceng Hi totiang berkata pula, “Kata-kata saudara tadi memang benar. Rupanya harapan dari dunia persilatan telah hancur di tangan ku ......” ia menghela napas dan geleng-geleng kepala.

Setelah mengambil pernapasan beberapa saat tadi, kini semangat Siau-liong sudah bertambah segar. Sahutnya,

“Sekalipun saat ini kita menderita kekalahan tetapi sebagian besar dari inti kekuatan kita masih belum hancur. Hendaknya totiang lekas mempersiapkan rencana lagi untuk menghadapi keadaan bahaya ini. Sekalipun Iblis Penakluk-dunia itu suruh kita mengumpul seluruh kaum persilatan berkumpul digunung Go-bi nanti tiga hari lagi, tetapi dia tentu tetap mengawasi gerak-gerik totiang. Jika mengetahui totiang tak mau melaksanakan perintahnya, kemungkinan sebelum tiga hari dia tentu sudah turun tangan kepada totiang!"
42. Masih Bisakah Sembuh ...??

Ceng Hi totiang kerutkan dahi dan merenung sampai beberapa saat. “Ah, kemungkinan aku akan datang ke Go-bi ....," kata imam tua itu.

Siau-liong terkejut. Tetapi sebelum ia membuka mulut, Ceng Hi totiang sudah bertanya pula,

“Adakah Pendekar Laknat menderita luka parah?"

Sampai beberapa saat Siau-liong tak dapat menjawab. Setelah mengambil napas barulah ia tahu keadaan lukanya. Apa yang dikatakan Iblis Penakluk-dunia memang benar. Mungkin dia hanya dapat hidup tiga hari saja.

“Aku masih dapat bertahan," katanya.

“Demi menyelamatkan kaum persilatan, saudara telah berjoang mati-matian. Atas nama seluruh dunia persilatan, kuhaturkan terima kasih tak terhingga kepada saudara!" kata Ceng Hi.

Siau-liong hanya tersenyum getir dan mengatakan tak usah Ceng Hi totiang begitu sungkan. Tiba-tiba ia teringat suatu hal yang penting. Cepat ia berpaling dan bertanya kepada si tinggi besar Lu Bu-ki,

“Tolong saudara selidiki apakah Ti Gong taysu sudah kembali ......”

Lu Bu-ki mengiakan. Tetapi baru ia hendak pergi, seorang paderi baju kelabu yang sejak tadi berdiri diam didekat situ segera melangkah maju seraya memberi salam.

“Suhuku yang mendapat perintah untuk menyelidiki orang aneh yang menyelundup ke dalam terowongan dibawah tanah itu, sampai saat ini belum kembali. Menurut laporan yang kami terima, karena hendak merebut seorang wanita baju merah, suhu telah bentrok dengan paderi Liau Hoan. Wanita baju merah itu telah dilarikan paderi Liau Hoan dan suhu bersama rombongannya segera melakukan pengejaran!"

"Hai. apakah Liau Hoan siansu juga datang?"

Paderi itu cepat menyahut, “Kabarnya beliau datang karena hendak membantu pertempuran. Tetapi entah mengapa, dia malah berhantam sendiri dengan suhu karena berebut tawanan wanita baju merah itu ......”

Ceng Hi totiang menghela napas, ujarnya: “Lekas suruh orang mengejar jejak mereka. Nasehatilah suhumu agar jangan menggunakan kekerasan dan undanglah Liau Hoan siansu kemari!"

Paderi itu mengiakan dan segera hendak melakukan perintah. Tetapi Siau-liong mencegah, “Tunggu dulu....”

Ceng Hi totiang suruh orang itu berhenti lalu menanyakan apakah Siau-liong masih mempunyai perintah lain.

“Tawanan wanita baju merah itu amat penting sekali artinya. Semula ia jatuh ditangan imam Go-bi-pay maka kuminta tolong pada Ti Gong taysu untuk memintanya kembali."

Siau-liong kerutkan dahi. Napasnya terasa memburu keras. Diam-diam ia menimang,

“Rasanya lukaku sudah tak ada harapan sembuh lagi. Rombongan Ceng Hi totiang menderita kekalahan. Sedang dipihak Iblis Penakluk-dunia ternyata mempunyai tenaga-tenaga sakti seperti Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni, Harimau Iblis, Naga Terkutuk dan It Hang totiang.

Kesadaran pikiran mereka sudah dilenyapkan oleh Iblis Penakluk-dunia sehingga mau melakukan segala perintah iblis itu. Jika melanjutkan pertempuran, terang pasti hancur. Kini satu-satunya senjata untuk menguasai kedua iblis itu hanyalah diri anak perempuannya!"

Kemudian Siau-liong teringat pula. Bahwa jika dirinya mati saat itu, Poh Ceng-in pun tentu segera ikut mati karena racun Jong-tok itu. Bila terjadi begitu, tentu tak berhasil menjadikan Poh Ceng-in sebagai senjata untuk menekan Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Setelah membayangkan kemungkinan-kemungkinan itu, berkatalah Siau-liong lebih lanjut,

“Wanita baju merah itu sebenarnya adalah anak perempuan dari Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Karena hanya mempunyai seorang puteri tunggal, kemungkinan wanita itu dapat dijadikan sandera untuk menekan kedua iblis. Totiang....”

Mendengar itu berserilah wajah Ceng Hi totiang dengan riang, “Kalau begitu segera akan kukirim jago-jago sakti. Asal belum diketahui kedua suami isteri iblis, tentulah dapat menawan wanita itu!"

"Tetapi wanita itu paling lama hanya dapat hidup lima hari. Harap totiang dapat menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya, "kata Siau-liong pula.

“Mengapa saudara tahu begitu jelas?" Ceng Hi totiang terkejut heran.

Siau-liong tertawa rawan: “Apa yang kukatakan tadi semua memang kenyataan. Kuharap totiang jangan mendesak dengan pertanyaan lebih jauh ....”

Habis berkata Siau-liong paksakan diri untuk berdiri, lalu berkata pula, “Aku merasa amat menyesal sekali karena tak dapat memberi bantuan kepada totiang lebih lanjut. Maka saat ini terpaksa aku hendak minta diri!"

“Anda hendak kemana?" Ceng Hi totiang makin kaget.

Siau-liong tertawa hambar, “Masih ada lain urusan penting yang hendak kukerjakan. Tak tentu arah yang hendak kutuju. Mungkin kita tak akan berjumpa lagi!" - ia terus bergeliatan hendak ayunkan langkah.

Ceng Hi totiang cepat memberi isyarat agar Toh Hun-ki dan Lu Bu-ki mencegah Siau-liong.

"Memang aku tak dapat memaksa saudara hendak melakukan urusan yang lain. Tetapi saat ini saudara sedang menderita luka parah, Kurang baik kalau berjalan jauh. Tak jauh dari sebelah luar lembah ini terdapat sebuah tempat yang baik untuk beristirahat. Harap saudara suka beristirahat disitu untuk merawat luka saudara dulu."

Juga sitinggi besar Lu Bu-ki dan Toh Hun-ki ikut membujuk, “Pendekar Laknat menderita luka berat, baiklah jangan pergi seorang diri dulu!"

Habis berkata entah Siau-liong setuju atau tidak, kedua orang itu terus memapahnya menuju keluar barisan pohon Bunga dan tiba disebuah lamping gunung yang terdapat beberapa kubu. Mereka masuk ke dalam sebuah kubu yang besar dan beristirahat disitu.

Karena sungkan atas kebaikan kedua orang itu. Siau-liong terpaksa mau juga duduk bersemadhi di atas sebuah permadani. Sedang Lu Bu-ki dan Toh Hun-ki pun juga pejamkan mata menyalurkan tenaga dalam.

Beberapa saat kemudian ketika Siau-liong membuka mata, dilihatnya bulan bersinar terang benderang. Saat itu barulah ia teringat kalau malam itu tanggal 15 bulan 8.

Para ketua partai persilatan dan tokoh-tokoh ternama dalam rombongan Ceng Hi totiang itu berbondong-bondong mengunjungi kubu. Mereka menjenguk keadaan Siau-liong. Terhadap Pendekar Laknat, mereka menaruh perindahan yang tinggi.

Ceng Hi totiang karena menderita luka dalam yang parah, tak dapat datang sendiri dan melainkan mengirim muridnya untuk menjenguk sampai tiga kali.

Sepenanak nasi lamanya, Siau-liong duduk terkulai seperti tertidur. Toh Hun-ki dan Lu Bu-ki keluar pelahan-lahan.

Saat itu lapangan pertempuran di barisan pohon Bunga sudah bersih. Korban-korban yang mati sudah ditanam. Hanya yang terluka masih terdengar mengerang kesakitan.

Siau-liong berusaha untuk bangkit dan mencoba berjalan beberapa langkah. Ternyata ia merasa kuat. Maka iapun segera melangkah keluar. Ternyata diluar kubu dijaga oleh dua orang imam. Kedua imam itu buru-buru lari menghampiri.

Tetapi Siau-liong memberi isyarat supaya mereka mundur. Kemudian ia berjalan ke belakang kubu. Di belakang kubu terdapat hutan. Karena melihat penjagaan disitu tak berapa banyak, ia segera masuk ke dalam hutan.

Ternyata karena merasa dirinya pasti mati, Siau-liong akan menghindari orang terutama Ceng Hi totiang, agar mereka jangan sampai tahu siapakah sebenarnya dirinya itu. Pikirnya Mawar Putih yang terjebak dalam Lembah Semi itu tentu terancam jiwanya.

Kemungkinan besar bahkan sudah binasa. Dengan begitu tak mungkin lagi ia dapat berjumpa dengan ibunya diseberang lautan. Ah, ia merasa menjadi seorang anak yang tak berbakti ....

Juga Tiau Bok-kun, entah bagaimana nasibnya. Sedang dia masih belum dapat menunaikan kewajiban-kewajiban yang telah dipikulnya. Dari sekian banyak kewajiban, satu-satunya yang baru dapat diselesaikan ialah memulihkan nama baik Pendekar Laknat!

Pada lain kilas ia teringat akan pesan Koay suhu atau Pendekar Laknat yang mengajarkan padanya dua buah hal: B u n u h dan B e n c i .

Tetapi sekalipun ia dapat membunuh Soh-beng Ki-su yang telah membunuh Pendekar Laknat itu, juga ia tak dapat memenuhi pesan Pendekar Laknat untuk mewakilinya bertemu dengan Randa Bu-san pada nanti pertengahan musim rontok. Karena dalam beberapa hari ini ia pasti sudah mati. Ah, bagaimanakah nanti ia ada muka untuk bertemu dengan arwah Pendekar Laknat di alam baka!

Selain itu, iapun masih gelisah memikirkan tentang ilmu sakti Thian-kong-sin-kang. Tentulah menjadi harapan dari Tio Sam-hong yang menciptakan buku pusaka Thian-kong-sin-kang bahwa kelak tentu akan terdapat seseorang yang berhasil menemukan simpanan kitab pusaka itu lalu dikembangkan untuk menyelamatkan dunia.

Tetapi ah, sebelum ia dapat mempelajari kitab pusaka itu, ia harus sudah mati. Dan lagi kitab pusaka itu sudah terlanjur dihancurkan. Dengan demikian ilmu sakti nomor satu di dunia bakal lenyap untuk selama-lamanya!

Dengan pikiran yang tak keruan itu, tibalah ia di tepi sebuah anak sungai. Ia berhenti lalu pelahan-lahan menanggalkan pakaian Pendekar Laknat. Sambil melipatnya pakaian ia menimang,

“Ah, sejak saat ini Pendekar Laknat dan Kongsun Liong akan lenyap selama-lamanya dari dunia ....”

Karena letih sekali, ia duduk di tepi anak sungai itu. Tiba-tiba terdengar kesiur angin dan pada lain saat sesosok bayangan melesat datang.

Siau-liong terkejut ketika mendapatkan pendatang itu adalah puteri dari Randa Bu-san, dara baju hijau yang pernah bertempur dengannya tempo hari.

Dara itu terkesiap memandang Siau-liong, tegurnya, “Eh, bukankah engkau bersama dengan taci Mawar!”

Siau-liong mengangguk, “Benar, tempo hari kami membikin repot nona dan bibi ......”

Diam-diam Siau-liong bersyukur karena sudah melucuti pakaiannya Pendekar Laknat. Kalau tidak, tentulah ia mati ditangan dara itu.

"Apakah engkau bertemu dengan taci Mawar?" tanya dara itu pula.

“Tidak," sahut Siau-liong rawan.

“Hai, kemana sajakah dia?" seru dara itu dengan banting-banting kaki, “sudah beberapa hari aku dan ibu mencarinya tetapi tak ketemu ......”

Belum Siau-liong membuka mulut, dara itu berkata lagi “Tetapi kutahu ia hendak mencarimu!"

Siau-liong mengucurkan beberapa titik air mata, katanya, “Ah, mungkin kita takkan berjumpa lagi untuk selama-lamanya!"

Dara itu tebeliak dan memandang Siau-liong beberapa saat. Sekonyong-konyong ia berteriak, “Mengapa? Apakah engkau terluka?”

Siau-liong mengangguk, "Ya, luka berat yang pasti membawa maut!"

Dara baju hijau itu memandang lekat, “Tak apalah, mamaku dapat mengobatimu!"

Siau-liong menghela napas. Pada saat hendak berkata tiba-tiba terdengar kesiur sesosok tubuh berlari secepat angin mengarah datang. Dibawah sinar rembulan, tampak sosok tubuh hitam itu melayang ke udara bagaikan seekor burung rajawali lalu menukik turun menerjang.

Siau-liong terkejut sekali. Dia sudah tak punya daya melawan lagi. Dan orang itu hebat sekali gerakannya. Siau-liong tetap tenang saja. Ia merasa sudah dekat ajal, tak perlu melawan. Karena malawan pun pasti sia-sia....

“Ibu....!" tiba-tiba dara itu melengking girang.

Ternyata pendatang itu memang Randa dari Bu-san. Setelah memandang beberapa jenak kepada Siau-liong, bertanyalah wanita sakti itu kepada puterinya, “Apakah sudah menemukan jejak tacimu, Mawar"

Dara itu gelengkan kepala, “Belum, tetapi disini berjumpa dengan dia yang pergi bersama taci Mawar....” - ia berpaling ke arah Siau-liong lalu berkata pula: "Dia terluka, bu.... obatilah!"

Karena rasa kejut tadi, darah Siau-liong bergolak keras sehingga ia tak kuat berdiri lagi dan duduk tak berkutik.

“Locianpwe, maaf karena menderita luka aku tak dapat menyambut dengan berdiri," kata Siau-liong.

Randa Bu-san itu hanya mendengus lalu menatapnya tajam, “Dimanakah puteriku angkat itu."

Siau-liong tak bisa bohong. Tetapi ia tidak enak kalau mengatakan Mawar Putin telah ditawan Soh-beng Ki-su. Maka sampai beberapa jenak ia tergagap-gagap tak dapat bicara.

Adalah dara baju hijau yang mewakili memberi keterangan bahwa Siau-liong tak berjumpa dengan Mawar Putih.

"Bagaimana engkau tahu!" bentak wanita kepada puterinya.

Dara itu tersipu-sipu merah mukanya lalu tundukkan kepala tak berani bicara lagi.

Randa Bu-san itu geleng-geleng kepala, ujarnya: "Aku mengerti ilmu perbintangan. Sekalipun engkau tak bilang tetapi aku dapat mengetahui juga."

Ditatapnya wajah Siau-liong dengan tajam lalu bertanya pula: "Anak itu tak menghirau keselamatan jiwanya lagi, demi amat mencintaimu. Tetapi sebaliknya engkau tanpa kasihan membiarkan dia tercengkeram bahaya. Apakah engkau merasa perbuatanmu itu bukan suatu perbuatan orang yang bermoral tipis?"

Dengan kata-kata itu tampaknya Randa Bu-san sudah seperti melihat sendiri peristiwa So-beng Ki-su menawan Mawar Putih.

“Ah, aku....” Siau-liong menghela napas sedih dan sesal. Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat oleh air matanya yang bercucuran.

“Perlu apa menyesal, toh sudah terlambat....!" dengus Randa Bu-san. Kemudian ia bersenandung:

Ratna pecah, bunga gugur,
bukan tiada sebabnya.
Peristiwa lampau yang hampa,
sukar diimpikan pula.
Sungguh menggelikan sekalilah,
wanita yang gila asmara.
Mengapa mencintai mati-matian,
pria yang berhati culas.

Habis bersenandung, Randa Bu-san itu juga menghela napas sendiri. Seperti tersinggung hatinya oleh suatu kesedihan dalam lubuk nuraninya. Seolah-olah pada malam purnama ditengah hutan belantara yang suuyi, ia menumpahkan isi hatinya....

Sejenak memandang ibu dan Siau-liong, bertanyalah dara itu kepada Randa Bu-san, “Menurut perhitunganmu, kemanakah taci Mawar sekarang ini?"

Randa Bu-san yang sedang terbenam dalam kenangan masa lampau, agak terkejut mendengar pertanyaan puterinya itu. Memandang sejenak kepada Siau-liong, ia menyahut,

“Menurut ilmu petangan, dia berada dalam bahaya. Tentulah ia terjebak dalam Lembah Semi. Sekali pun belum binasa tetapi kesempatan lolospun hanya sedikit. Dan lagi menurut petangan itu ......”

Ia menuding Siau-liong dan berseru marah: "Kesempatan hidup dari tacimu itu hanya tergantung padanya! Tetapi ternyata dia enak-enak tak mau mengacuhkan sehingga kemungkinan hidup tacimu Mawar pasti lenyap!"

Dara baju hijau kerutkan kening. Tampaknya ia sedang dicengkam oleh rasa sedih dan marah. Dipandangnya Siau-liong yang berlumuran darah dan pucat itu beberapa saat. Entah bagaimana timbullah rasa kasihan kepada pemuda itu.

"Mungkin karena hendak menolong taci Mawar maka ia sampai menderita luka begitu parah....” katanya. Dan cepat-cepat ia bertanya kapada Siau-liong, “Hai, bukankah begitu?"

Siau-liong paksakan diri mengangkat muka. Baru ia hendak bicara, Randa Bu-san sudah mendengus, “Mungkin dia memang mempunyai maksud begitu tetapi tanpa disadari dia telah mensia-siakan kesempatan yang bagus. Saat ini jiwanya sendiri terancam, mana bisa membicarakan lain-lain soal!"

Siau-liong tegang sekali. Dengan terengah-engah ia berkata, “Ramalan locianpwe sungguh tepat sekali. Sekali pun nona Mawar sudah tertawan di Lembah Semi tetapi dia sudah seperti adikku sendiri. Aku rela hancur raga asal dapat menyelamatkan jiwanya. Pada saat itu jika tak terpaksa oleh keadaan, masakan kubiarkan dia tertawan musuh ......”

Siau-liong menghela napas lalu kuatkan diri melanjutkan berkata, “Memang, saat ini aku sudah hampir mati. Hanya dendam penasaran yang terkandung dalam kematianku nanti. Adik Mawar dan locianpwe dapat memaafkan diriku atau tidak, aku pun tak dapat berbuat suatu apa lagi!"

Kerena rasa tegang dan duka, darah dalam tubuh Siau-liong bergolak menyungsang. Dia muntah darah lagi dan rubuh.

Si dara baju hijau hendak menolongnya tapi tak jadi dan berpaling ke belakang, "Ibu....”

Randa Bu-san yang tegak disamping, membentaknya: “Mengapa!"

"Betapapun halnya dia adalah pemuda yang hendak dicari taci Mawar.... Apalagi dia saat ini sedang menderita luka parah. Adakah kita sampai hati untuk melihatnya saja?" seru si dara.

“Manusia yang tipis budi, lupa kasih semacam dia, mati atau hidup sama saja!" sahut Randa Bu-san.

Tetapi anehnya, ia pelahan-lahan menghampiri Siau-liong. Lalu berjongkok dan mulai memeriksa keadaan pemuda itu. Sesaat kemudian ia berbangkit seraya gelengkan kepala, “Luka keliwat parah sekali. Sudah tak dapat ditolong lagi....!"

“Hai!" si dara menjerit kaget, “tadi saja ia masih dapat berjalan dan bicara. Mengapa dalam beberapa detik saja sudah tak dapat ditolong....?"

Randa Bu-san tak menghiraukan kata-kata puterinya. Ia berjongkok lagi memeriksa Siau-liong. Mulutnya mengingau seorang diri, “Aneh! Urat jantungnya sudah putus dan isi dadanya sudah berhenti bekerja tetapi mengapa dia belum mati!"

Memang sekalipun menggeletak tak ingat diri, tetapi dada Siau-liong masih berombak keras. Suatu pertanda bahwa pernapasannya masih belum berhenti.

Lebih mengherankan lagi ternyata alat pendengarannya masih tajam. Ia membuka mata memandang Randa Bu-san dengan pandang mata yang penuh dendam penasaran.

Randa Bu-san menatap tajam, lalu berkata seorang diri lagi, “Benar, rupanya hatimu masih penasaran sehingga hawa murni dalam dadamu membeku tak mau cair.... Ai, sayang denyut urat nadimu sudah tak ada. Betapa pun engkau hendak paksakan diri tetapi tentu tak dapat tahan lama ....!"

Siau-liong membuka mata lebar-lebar, mencurah kemuka wanita itu. Bibirnya bergerak-gerak tetapi tak dapat mengeluarkan kata-kata.

Randa Bu-san berbangkit dan berkata dengan nada heran, “Benar-benar suatu hal yang belum pernah kusaksikan selama hidup....”

Wanita itu tegak terlongong-longong.

Sedang si dara baju hijau terkejut. Dalam anggapannya, ibunya itu seorang wanita yang all round alias tahu segala apa. Selama ini belum pernah ia melihat ibunya sedemikian sikapnya, ragu-ragu dan heran. Apalagi berkali-kali ibunya mengoceh seorang diri.

Akhirnya tak sabar lagilah dara itu, tanyanya, “Bu, bagaimanakah keadaannya? Apakah dia benar-benar sudah tak dapat ditolong lagi?"

Randa Bu-san tertawa getir, “Ibu sendiri pun heran. Dia tidak seperti manusia biasa.... Menilik lukanya, dia tentu sudah mati. Tetapi dia masih hidup bahkan ingatannya masih terang sekali!"

Memang saat itu Siau-liong sudah tak dapat bicara. Hanya matanya yang masih berkilat-kilat bergantian memandang Randa Bu-san dan si dara baju hijau.

Tiba-tiba dara baju hijau itu berpaling dan berseru. “Bu, tolonglah dia! Lihatlah, betapa kasihan sekali dia itu ....!"

Randa Bu-san mendengus, “Ling, mengapa engkau hari ini? Mengapa terus mendesak ibu supaya menolong pemuda yang tak berbudi?"

"Aku memikirkan kepentingan taci Mawar ....” kata si dara lalu tundukkan kepala.

Randa Bu-san menghela napas panjang: “Mungkin ibu akan berusaha untuk menolongnya. Meskipun belum pasti dapat menyelamatkannya tetapi akan kucoba juga ....”

Sesaat berhenti, ia berkata pula, "Hanya sayang tacimu Mawar tak berada disini sehingga kita berdua tak berdaya menolongnya!"

“Mengapa? Apakah taci Mawar yang dapat menolongnya? Masakan ....”

Tiba-tiba wajah wanita itu mengerut bengis dan membentaknya, “Jangan banyak tanya, mari kita pergi!"

Sudah tentu si dara terkejut melihat sikap ibunya yang begitu bengis. Belum pernah sebesar itu ia mendengar ibunya bicara begitu bengis seperti saat itu. Sejenak ia memandang lagi ke arah Siau-liong lalu cepat-cepat menyusul ibunya.

Baru berjalan dua langkah, ternyata Randa Bu-san menyadari bahwa sikapnya terhadap anaknya tadi keliwat bengis. Maka ia menepuk bahu si dara dan berkata dengan lembut.

"Obat mujijat hanya untuk orang yang belum takdirnya mati. Pintu agama hanya terbuka kepada orang yang berjodoh. Apabila seseorang sudah ditakdirkan mati, siapapun tak mungkin dapat menolongnya!"
43. Telur Di Ujung Tanduk

Dara itu mengangguk kepala tak menyahut. Tetapi diam-diam ia mencuri kesempatan untuk berpaling ke belakang.

Dilihatnya Siau-liong masih terkulai di tanah .... Sepasang matanya masih memandang ke arahnya. Dari sinar rembulan jelas dara itu dapat melihat, betapa putus asa hati Siau-liong yang dipancarkan dari pandang matanya itu ....

Tak terasa hidung dara itu basah dan matanya bercucuran air mata ....

Sesaat kemudian ia terkejut sendiri. Ia merasa heran mengapa sampai kehilangan pribadi. Mengapa ia harus mencucurkan air mata untuk pemuda itu. Bukankah ia tak mempunyai hubungan apa-apa!

Dengan kuatkan hati dara itu segera menyusul ibunya. Tetapi entah bagaimana, beberapa saat kemudian, hatinya kembali terasa pepat. Seolah-olah tertindih oleh sebuah batu besar. Tak tahu ia, apa sebabnya. Makin keras hendak melupakan makin keras ia teringat lagi ....

Tiba-tiba ia terkejut karena bahunya ditepuk oleh ibunya. Ternyata Randa Bu-san melesat keluar dari balik sebuah batu besar dan menepuk bahu puterinya. Dan habis menepuk Randa Bu-san terus loncat ke balik sebuah batu. Dara itupun cepat-cepat menyusul ibunya.

"Ada orang disebelah sana....” bisik Randa Bu-san. Dan menurut arah yang ditunjuk ibunya. Si dara memang melihat sesosok bayangan sedang menyusur tepi sungai berjalan ke arah tempat mereka.

Tetapi orang itu masih berada pada jarak dua tombak lebih jauhnya. Orang itu berjalan pelahan sekali sehingga beberapa waktu kemudian baru tiba didekat tempat

Randa Bu-san dan puterinya bersembunyi.

Makin dekat makin jelaslah perwujutan orang itu. Rambutnya terurai kusut masai. Pakaiannya berlumuran debu dan lumpur. Rupanya sudah beberapa hari tak dandan.

Sepasang matanya berkeliaran memandang kekanan kiri dan berjalan dengan langkah amat pelahan. Sepintas pandang ditengah hutan belantara pada malam yang sunyi, orang itu mirip dengan sesosok hantu yang keluar dari kuburan.

Tiba-tiba Randa Bu-san memungut sebutir batu lalu dilemparkan ketempat Siau-liong berbaring. Batu itu tepat jatuh dionggok batu yang terletak disamping Siau-liong. Sekalipun tak keras, tetapi karena malam sunyi sekali, batu itu pun mengeluarkan bunyi yang cukup terdengar jelas.

Orang yang datang itu yang ternyata seorang gadis, terkejut dan serentak berhenti lalu pasang telinga. Dengan seksama ia memandang ke arah bunyi batu jatuh tadi.

Tetapi karena tubuh Siau-liong kebetulan teraling oleh tumpukan batu, maka ia tak dapat melihatnya. Setelah tertegun beberapa jenak, barulah ia melangkah ketempat onggok batu itu.

Ketika si dara baju hijau mencuri lihat, dilihatnya gadis yang tak keruan keadaannya itu ternyata memiliki raut wajah yang cantik sekali. Rambut kusut masai, pakaian kotor, hanya seperti tebaran awan yang menutup sang rembulan. Dibalik awan itu merupakan Dewi Rembulan yang cantik gilang gemilang. Demikian dengan keadaan nona itu.

Rupanya gadis itu mengetahui tubuh Siau-liong. Ia berjongkok memeriksanya dan seketika menjeritlah ia, “Siau-liong! Oh, Siau-liong....”

Ratap tangis berhamburan tersedu-sedu.

Melihat itu wajah Randa Bu-san berseri girang, bisiknya, “Mungkin dia memang belum ditakdirkan mati....”

Cepat ia menarik tangan puterinya lalu diajak menghampiri. Karena terbenam dalam kesedihan besar, rupanya gadis itu tak mengetahui kedatangan kedua ibu dan anak.

“Apakah dia sudah mati?" tiba-tiba Randa Bu-san menegur.

Nona itu tersentak kaget seraya cepat-cepat berbalik diri. Tetapi rupanya ia tercengkam dalam kedukaan. Habis melihat Randa Bu-san dan si dara baju hijau, ia kembali berputar tubuh lagi dan menangisi Siau-liong.

“Siau-liong, mengapa engkau mati begini mengenaskan sekali ......”

Dara baju hijau terkejut. Cepat ia mengawasi Siau-liong. Tampak sepasang mata pemuda itu menutup rapat seperti orang mati.

“Hai, apakah engkau tak mendengar pertanyaan ibuku?" bentaknya.

Nona berhenti menangis lalu berputar tubuh, serunya: “Mungkin sudah tak dapat ditolong lagi!"

“Asal dia masih bernapas, ibuku tentu dapat menolong!" sahut si dara.

Nona itu tertegun lalu cepat-cepat menempelkan jarinya kemulut Siau-liong. Setelah itu ia berlutut dihadapan Randa Bu-san seraya meratap, “Dia masih hidup, harap locianpwe suka menolongnya ......!"

Randa Bu-san menghela napas. Ia berjongkok memeriksanya. Kaki dan tangan Siau-liong sudah kaku, matanya menutup rapat. Hanya tinggal napasnya yang masih kedengaran lemah.

Randa Bu-san berbangkit lagi, katanya, “Hawa murni yang berkumpul dibagian jantungnya sudah mulai memencar. Mungkin sukar ditolong lagi!"

Nona itu menangis makin keras seraya meratap-ratap, “Locianpwe, tolonglah.... tolonglah dia....”

Randa Bu-san merenung. Tiba-tiba ia menutuk tiga buah jalan darah didada Siau-liong. Siau-liong tak membuat reaksi suatu apa. keadaannya seperti orang mati. Setelah ditutuk jalan darahnya oleh Randa Bu-san, napas Siau-liong malah berhenti sama sekali.

Nona itu terkejut dan tertegun lalu tiba-tiba menangis gerung-gerung. "Dia sudah mati! Engkaulah yang mencelakainya!"

Dengan kalap gadis itu terus menyerang Randa Bu-san. Wanita itu mendengus dingin seraya mencengkeram siku lengan kanan gadis itu. Sekali pijat, gadis itu tegak seperti patung. Separoh tubuh kesemutan.

Randa Bu-san menatap gadis itu dengan pandang kasihan lalu lepaskan cekalannya, “Denyut keenam inderanya sudah tiada, hawa dalam darahnya sudah kering. Jika hawa murni dalam jantung pun buyar, sekali pun dewa turun dan langit, juga sukar menolongnya lagi. Kututuk jalan darahnya untuk menutup hawanya agar dia masih dapat bertahan dua jam lagi .......”

Berhenti sejenak ia melanjutkan: “Menilik keadaan lukanya, dia pasti mati. Sekali pun akan kucoba mengusahakan tetapi aku tak yakin dapat menolongnya!"

Mendengar penjelasan Randa Bu-san, gadis itu serta-merta terus berlutut....

Diam-diam si dara baju hijau girang karena ternyata ibunya sudah meluluskan untuk menolong. Ia menghela napas lalu mundur kesamping memandang gadis yang tak dikenal itu.

Randa Bu-san mengangkat bangun gadis itu: “Apakah hubunganmu dengan dia? Mengapa engkau menangis begitu sedih?" tanyanya.

“Aku dan dia.... dia pernah menolong jiwaku, aku....”

Randa Bu-san menghela napas, “Budi dan Cinta bercampur jadi satu. Engkau dan dia memang sukar terhindar dari hubungan Asmara, ketahuilah....”

Dipandangannya wajah gadis itu lekat-lekat, lalu Randa Bu-san melanjutkan pula. “Ketahuilah, dia bukan seorang pemuda yang hanya mencintai seorang gadis saja. Engkau sukar terangkap jodohnya dengan dia!"

Namun gadis itu tanpa ragu-ragu berseru: “Tak peduli dia memperlakukan diriku bagaimana, aku tetap akan membalas budinya!"

Berkata Randa Bu-san dengan serius, “Kalau engkau berkorban dan dia selamat, apakah engkau bersedia?"

Tanpa bersangsi. gadis itu mengangguk, “Aku bersedia!"

"Karena engkau rela berkorban aku pun akan berusaha sungguh-sungguh....” kata Randa Bu-san lalu menunjuk Siau-liong dan berkata, “Angkatlah tubuhnya pelahan-lahan!"

Tanpa banyak bertanya, gadis itu segera melakukan perintah Randa Bu-san. Tubuh Siau-liong telentang lurus di atas kedua lengannya. Setelah itu Randa Bu-san lalu suruh si gadis mengangkut Siau-liong dan ikut ia pulang.

Ditengah jalan bertanyalah si dara baju hijau nama gadis itu.

“Aku bernama Tiau Bok-kun....” gadis itu menerangkan. Kedua pipinya tampak merah, ujarnya lebih lanjut, “Ah, aku memang linglung sekali sehingga belum bertanya nama locianpwe dan taci....”

“Namaku Song Ling....” dara baju hijau itu menjawab," dan beliau adalah ibuku....” – habis berkata dara itu membisiki kedekat telinga Tiau Bok-kun, “Asal ibu sudah meluluskan mengobatinya, dia tentu sembuh. Jangan kuatirlah!"

Tiau Bok-kun memandang dara itu. Dua butir air mata menitik turun....

Si dara baju hijau atau Song Ling tak dapat merangkai kata-kata untuk menghibur. Maka dalam berjalan itu ia diam saja.

Dalam pada itu karena kuatir Siau-liong akan tergoncang tubuhnya maka Randa Bu-san sengaja berjalan pelahan-lahan. Kira-kira sepertanak nasi lamanya barulah mereka tiba dipondok gunung Bu-san.

Saat itu sudah malam. Rembulan tertutup awan sehingga menimbulkan suasana yang rawan.Randa Bu-san suruh Tiau Bok-kun letakkan tubuh Siau-liong di atas balai-balai bambu.

Wanita itu cepat masuk ke dalam kamarnya dan tak lama keluar membawa baskom air panas berisi daun-daun obat. Air berwarna merah darah.

Baskom itu diserahkan kepada Tiau Bok-kun beserta sebuah kain putih. Tiba-tiba Randa Bu-san membentak Song Ling, “Bukan urusanmu, lekas keluar!"

Song Ling tertegun. Terpaksa ia melangkah keluar. Setelah itu Randa Bu-san mengambil kursi dan duduk membelakangi balai-balai tempat Siau-liong.

"Tiau Bok-kun, karena engkau sudah besungguh-sungguh menolongnya, engkau harus menurut petunjukku!"

Tiau Bok-kun mengiakan.

“Kalau begitu lekas engkau lucuti pakaiannya!"

Tiau Bok-kun meragu. Sampai beberapa jenak ia diam saja. Tetapi karena ia sudah mengatakan hendak mengorbankan diri demi menolong jiwa Siau-liong, masakan disuruh begitu saja ia sudah mogok? Apalagi....

Tanpa banyak pikir lagi, ia segera membuka pakaian Siau-liong yang berlumuran darah dan debu itu.

“Benamkan kain ke dalam air lalu bersihkan kaki dan tangannya!" kembali Randa Bu-san memberi perintah.

“Kemudian Randa Bu-san mengeluarkan sebuah bungkusan sutera. Ternyata berisi duabelas batang jarum perak. Lalu dipanggilnya Tiau Bok-kun, “Hendak kulakukan pengobatan tusuk jarum untuk menghalau darah kental yang mengeram dalam kelima inderanya. Tetapi aku tak leluasa mengerjakan sendiri. Engkau harus melakukan petunjukku!"

Ia menyerahkan bungkusan jarum kepada nona itu. Tiau Bok-kun bingung, “Tetapi aku tak mengerti ilmu tusuk jarum, jika ....”

“Tak apa, asal dapat mengenal letak jalan darah dengan tepat, tentu tiada berbahaya ....”

Belum sempat Tiau Bok-kun menjawab. Randa Bu-san sudah berkata lagi: “Pertama kali, tusuklah jalan darah Than-tiong didadanya!"

Tiau Bok-kun tak berani berayal terus menghampiri ke balai-balai tempat Siau-liong.

“Tusuk sampai tiga dim dalamnya!" seru Randa Bu-san pula.

Dengan menindas tangannya yang gemetar, setelah menentukan letak jalan darah, akhirnya Tiau Bok-kun memberanikan diri menusuk jarum itu.

Saat itu Randa Bu-san tetap duduk membelakangi. Tetapi rupanya ia seperti melihat apa yang dilakukan Tiau Bok-kun. Kembali ia memberi perintah pelahan-lahan, “Yang kedua, tusuk jalan darah Tiong-kek-hiat dibawah pusarnya, sampai berdarah ....”

Tiau Bok-kun pun melakukan perintah itu.

“Yang ketiga, tusuklah jalan darah Beng-bun di belakang pusar....”

“Yang keempat, jalan darah Ci-tong-hiat pada ketiak kanannya."

Demikianlah dibawah petunjuk Randa Bu-san, Tiau Bok-kun telah melakukan pengobatan tusuk jarum pada tubuh Siau-liong.

Lebih kurang sepertanak nasi lamanya, barulah pengobatan itu selesai. Kepala Tiau Bok-kun basah kuyup dengan keringat.

Tetapi ia dapatkan napas Siau-liong mulai agak keras, kaki dan tangannya pun tidak kaku lagi. Seri wajahnya mulai agak merah. Diam-diam nona itu girang dan cepat menghaturkan terima kasih kepada Randa Bu-san.

Tetapi Randa Bu-san mengatakan bahwa pengobatan dengan tusuk jarum itu hanya dapat mencairkan hawa jahat yang menyumbat peredaran jalan darahnya. Dapatkah hal itu menyembuhkan Siau-liong, ia masih belum yakin.

Sudah tentu Tiau Bok-kun terkejut karena dugaannya bahwa Siau-liong sudah sembuh ternyata belum pasti.

“Mengapa tak lekas memakaikan pakaiannya lagi!" bentak Randa Bu-san.

Tiau Bok-kun merah mukanya lalu buru-buru melakukan perintah.

"Ling-ji!" Randa Bu-san memanggil puterinya.

Song Ling muncul. Lebih dulu memandang ketempat Siau-liong kemudian baru menghampiri ibunya, Randa Bu-san suruh dara itu mengambil sebuah cawan perak. Lalu wanita itu mengeluarkan sebuah botol kecil dan menuang sebutir pil warna hitam diberikan kepada Tiau Bok-kun.

“Inilah pil Penyambung nyawa buatanku sendiri. Tetapi harus dicampur dengan segelas darah orang baru manjur. Maukah engkau memberikan darahmu untuknya?"

“Mau....” sahut Tiau Bok-kun.

Saat itu Song Ling muncul dengan membawa cawan perak. Ternyata cawan itu dua kali besarnya dengan cawan biasa. Menyambuti cawan itu, Randa Bu-san lalu menyerahkan kepada Tiau Bok-kun: "Perlu secawan penuh!"

Setelah menyambuti cawan itu dan diletakkan dimeja, tanpa bersangsi lagi, Tiau Bok-kun terus mengeluarkan badik dan membelek urat lengan kirinya. Darah mengucur deras ke dalam cawan. Tak berapa lama penuhlah cawan itu.

Tiau Bok-kun sudah bertekad hendak menyelamatkan jiwa Siau-liong. Sekalipun menerjang lautan api, ia tetap akan melakukan.

Tetapi karena darahnya keluar begitu banyak, kepalanya pun terasa pening mata berkunang-kunang. Hampir saja ia rubuh. Untunglah Song Ling cepat memapah dan membalut lukanya.

Randa Bu-san menghela napas. Memandang Tiau Bok-kun, mengambil cawan berisi darah lalu menghampiri ketempat Siau-liong.

Pemuda itu masih pingsan. Lebih dulu pil hitam tadi disusupkan ke dalam mulutnya lalu dingangakan dan diminumi darah ....

Setelah cawan habis isinya, wanita Bu-san itu menghela napas, “Aku hanya dapat mengobati sampai disini. Adakah dia dapat hidup kembali, tergantung pada nasibnya!"

Tiau Bok-kun yang masih pucat wajahnya, tak berkedip mengawasi air muka Siau-liong. Ternyata cepat sekali terjadi perobahan. Tak berapa lama wajah pemuda itu merah segar seperti orang sehat lagi. Kaki dan tangannyapun mulai dapat bergerak.

Girang Tiau Bok-kun bukan kepalang. Serta-merta ia membisiki telinga anak muda itu, “Siau-liong, Siau-liong ......”

"Jangan menganggunya dulu!" bentak Randa Bu-san, sekalipun dia dapat sembuh tetapi paling tidak dua jam lagi baru sadar!"

Tetapi serempak dengan kata-kata wanita itu sekonyong-konyong Siau-liong mengerang dan terus menggeliat duduk.

Sudah tentu wanita Bu-san kaget sekali. Cepat ia melesat kehadapan Siau-liong dan menatapnya seraya berkata seorang diri,

“Sungguh aneh! Benar-benar suatu keajaiban yang baru pertama kali ini kusaksikan seumur hidup! Mengapa anak muda ini memiliki tenaga murni yang sedemikian besarnya?"

Siau-liong memandang kian kemari seperti tak mengerti apa yang telah terjadi pada dirinya. Pelahan-lahan matanya tertumbuk wajah Tiau Bok-kun, ia berteriak kaget, “Nona Tiau, engkau....”

Tiau Bok-kun juga terkejut girang. Cepat ia berpaling ke arah Randa Bu-san, “Terima kasih atas pertolongan locianpwe!"

“Locian.... pwe....” seru Siau-liong tersekat.

Ia baru saja sembuh, darahnya masih belum normal. Karena diguncang oleh rasa kejut dan haru, bergolak lagilah darahnya. Seketika matanya gelap dan rubuhlah ia kembali.

“Tak jadi apa," cegah Randa Bu-san ketika Tiau Bok-kun hendak menolong Siau-liong. "tetapi biarpun dia mempunyai tenaga dalam yang tinggi, setelah menderita luka itu, harus beristirahat selama sepuluh sampai lima belas hari baru benar-benar sembuh ......”

Kemudian wanita itu berpesan, setelah Siau-liong tersadar, Tiau Bok-kun supaya membawanya pergi kesebuah tempat yang sunyi agar dapat beristirahat menyembuhkan lukanya.

Saat itu fajar mulai menyingsing. Randa Bu-san segera ajak puterinya untuk beristirahat.

Setelah kedua ibu dan puteri itu keluar, Tiau Bok-kun menghela napas panjang. Dilihatnya saat itu Siau-liong masih tidur pulas. Terkenang akan pengalamannya selama beberapa hari ini.

Selama berhari-hari itu ia terus menerus mencari Siau-liong. Dan ketika diterowongan Lembah Maut ia berjumpa dengan Pendekar Laknat yang terluka. Ia kira Siau-liong tentu sudah menuju ke seberang laut.

Tetapi ketika masuk ke kota Siok-ciu, ia mendengar berita bahwa Siau-liong terjebak dalam Lembah Maut. Maka ia nekad menuju ke Lembah Semi lagi untuk mencari pemuda itu.

Kini akhirnya ia dapat berjumpa dengan pemuda yang dikenang siang dan malam itu. Ia merasa telah berhutang jiwa kepada pemuda itu. Disamping itu ia masih mempunyai suatu perasaan yang sukar diutarakan terhadap pemuda itu.

Tiba-tiba teringatlah ia akan peristiwa tadi.

Demi kepentingan pengobatan tusuk jarum ia diperintah Randa Bu-san untuk membuka pakaian Siau-liong. Seketika merahlah wajah nona itu.

Diam-diam ia berjanji untuk membujuk Siau-liong agar mau diajak mencari tempat yang sunyi supaya lukanya sembuh sama sekali. Benak nona itu melalu lalang dengan lamunan yang indah. Karena semalam suntuk tak tidur tanpa terasa iapun jatuh pulas.

Letih dan kantuk melelapkan nona itu dalam ketiduran yang panjang. Ketika sadar ternyata hari sudah malam. Ia tidur sehari penuh.

Kamar masih gelap belum ada penerangannya. Diluar pondok, angin membawa deru hujan. Pelahan-lahan ia turun dari pembaringan. Diruang pondok sunyi senyap. Nyonya rumah dan si dara baju hijau tak kedengaran suaranya.

“Nona Tiau....” tiba-tiba terdengar orang memanggilnya.

Nona itu terkejut dan berpaling, “Ah, engkau sudah bangun?"

“Nona Tiau, ah, membikin susah padamu....” Siau-liong tertawa rawan.

Seketika meluaplah rasa haru nona itu. Tak tahu bagaimana ia harus bicara. Air matanya berderai-derai turun membasahi kedua pipinya.

Siau-liong menghela napas panjang dan pelahan-lahan duduk. Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah Song Ling dengan membawa lilin. Dara itu tersenyum. Ia terkejut heran ketika melihat Siau-liong duduk.

"Eh, engkau sudah sembuh?" tanyanya seraya meletakkan lilin di atas meja terus lari keluar.

Tak berapa lama Randa Bu-san pun masuk. Song Ling sibuk membawa hidangan dan teh. Siau-liong seperti orang bermimpi. Dengan dipapah Tiau Bok-kun ia turun dari pembaringan lalu menghaturkan terima kasih kepada nyonya rumah dan puterinya.

Entah bagaimana tampak dara baju hijau itu tertegun seperti orang yang kehilangan semangat. Mata memandang Siau-liong tak berkedip.

Dengan wajah dingin dan nada tegas, Randa Bu-san berkata, “Yang menolongmu sesungguhnya bukan aku melainkan nona ini....” - ia menunjuk Tiau Bok-kun, "jika tiada nona itu, sekali pun engkau mempunyai jiwa rangkap dua lembar, tetap habis tentu riwayatmu!"

Tiba-tiba Siau-liong teringat kalau wanita itu menyesalinya karena melepaskan Mawar Putih jatuh ketangan Soh-beng Ki-su. Ia merasa malu dan tak berani bicara apa-apa lagi.

Untunglah Randa Bu-san tak mengungkat soal itu lagi. Demikian mereka berempat segera makan malam bersama.

Setelah makan bubur, semangat Siau-liong makin segar. Ia teringat sudah tiga kali itu datang kepondok Randa Bu-san. Pertama dengan membawa Mawar Putih yang terluka.

Kedua kali dalam penyamarannya sebagai Pendekar Laknat ia telah bertempur dengan si dara baju hijau hingga menderita luka parah lalu dibawa Mawar Putih kepondok situ.
44. Hasil Perhitungan Petangan

Untunglah ia telah dibawa lari oleh gurunya. Tabib-sakti-jenggot-naga Kongsun Sin-tho.

Dan kali ini adalah yang ketiga kalinya ia berkunjung kesitu dengan membawa luka yang hampir saja merenggut jiwanya. Teringat akan peristiwa itu, diam-diam Siau-liong termenung.

Si dara baju hijau yang masih makan, beberapa kali lepaskan lirikan ke arah pemuda itu. Tetapi tiap kali bertemu pandang dengan mata Siau-liong, cepat-cepat dara itu alihkan pandangan matanya ke lain arah.

Rupanya Randa Bu-san mengetahui juga tingkah laku puterinya itu. Ia deliki Song Ling dengan mata membengis. Setelah selesai makan, ia berkata kepada Siau-liong dan Tiau Bok-kun.

"Saat ini dunia persilatan sedang diamuk kekacauan dari kedua suami isteri durjana. Memang bintang Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka serta gerombolannya itu, masih terang. Kita tak dapat melawan kehendak alam. Pondok ini dekat dengan Lembah Semi, kurasa kurang tepat kalau kalian beristirahat disini. Setiap saat kedua durjana itu dapat mengirim orang untuk menyelidiki. Sekarang sudah malam dan hujan pun terus menerus mencurah deras. Baiklah kalian beristirahat semalam lagi. Besok pagi kalian boleh mencari lain tempat untuk menyembunyikan diri dari gangguan mereka!"

Siau-liong dan Tiau Bok-kun serempak berbangkit. Tetapi ketika mereka hendak membuka mulut, tiba-tiba wajah wanita itu berobah. jarinya menutuk kening seperti orang yang sedang memikir sesuatu.

Siau-liong terpaksa tak berani bicara dan menunggu.

Beberapa jenak kemudian, mata wanita itu berkilat-kilat. Tiba-tiba ia menampar meja dan serentak berdiri.

“Bu, mengapa engkau?" teriak Song Ling heran.

Sambil memegang dahi, wanita itu berjalan beberapa langkah sembari berkata seorang diri,

“Aneh, mengapa tiba-tiba hatiku terasa tak tenteram ......”

Tiba-tiba ia berhenti lalu menyuruh Song Ling mengambilkan alat hitungan. Dara itu cepat keluar dan cepat kembali membawa seperangkat alat-alat yang terdiri dari ember kayu, beberapa helai kulit kura, tulang ikan, kulit kerang dan lain-lain.

Randa Bu-san segera memasukan benda-benda itu ke dalam dua buah mangkuk kayu lalu digoyang-goyangkan beberapa jenak Setelah itu diambil dan dijajar di atas meja. Tingkahnya tak ubah seperti seorang anak kecil yang sedang bermain-main.

Wajah wanita sakti itu sebentar merah sebentar pucat dan akhirnya mengucurkan keringat. Beberapa saat kemudian ia menghela napas lalu berbangkit.

“Alat Ka-kut-sin-go ini tak pernah melesat dalam memperhitungkan sesuatu. Dalam perhitungan tadi, ternyata memberi gambaran jelek. Dalam pondok ini segera akan terjadi peristiwa hebat yang tak baik ....” - ia berhenti sejenak lalu melanjutkan,

“Sebenarnya akan kusuruh kalian tinggal lagi semalam disini. Tetapi mengingat bahaya itu, lebih baik kalian sekarang juga tinggalkan pondok ini!"

Saat itu diluar hujan masih turun dengan deras. Dinginnya menggigit tulang. Melirik ke arah Siau-liong yang baru sembuh, diam-diam Tiau Bok-kun gelisah ....

”Terpaksa harus begitu, tiada jalan lain lagi ....” kembali Randa Bu-san mendesak.

Kemudian wanita itu menyuruh Song Ling mengemasi bungkusan persediaan obat, “Kita juga harus pergi sekarang juga.

Song Ling cepat melakukan perintah ibunya.

Siau-liong tak begitu percaya akan segala perhitungan atau ramalan. Bermula ia duga wanita itu tentu mencari alasan saja agar dapat menyuruh pergi. Tetapi alangkah kejutnya ketika mendengar wanita itu juga akan pergi dari rumahnya. Barulah Siau-liong mulai menaruh kepercayaan.

Song Ling muncul dengan membawa kantong obat-obatan dan buntelan pakaian. Dengan wajah cemas ia berkata, “Bu, sudah kukemas semua, mari kita berangkat!"

Dara itu memang percaya penuh kepada ibunya. Ia agak gugup juga karena mengira bahaya itu akan segera tiba.

Siau-liong pun segera teringat akan buntelannya yang berisi pakaian Pendekar Laknat. Untunglah karena Tiau Bok-kun sibuk menolong dirinya, tak sempat membuka buntelan itu.

Saat itu Randa Bu-san dan Song Ling sudah tiba diambang pintu. Melihat Siau-liong dan Tiau Bok-kun masih berada dalam ruangan, wanita itu cepat berseru memberi peringatan, “Selama hidup aku tak suka merangkai keterangan yang membohongi orang supaya takut. Jika tak lekas pergi, jangan menyesal!"

Juga Song Ling ikut memberi peringatan, “Petangan ibu tak pernah meleset. Taci Tiau, lebih baik kalian lekas pergi!"

Dalam pada berkata itu, ibu dan puteri sudah berada diluar pintu. Begitu pintu terbuka, serangkum angin dingin meniup masuk. Siau-liong dan Tiau Bok-kun menggigil.

“Ah, karena locianpwe itu mengatakan dengan begitu sungguh-sungguh, tentulah ada sebabnya. Marilah kita lekas tinggalkan pondok ini," kata Siau-liong.

Tetapi melihat badai hujan diluar, Tiau Bok-kun berkata, “Apakah engkau kuat bertahan?"

Siau-liong tersenyum. Baru ia hendak menjawab tiba-tiba dari jauh terdengar suara orang tertawa nyaring. Siau-liong dan Tiau Bok-kun tersentak kaget. Sekalipun dalam deru badai hujan yang hebat, tertawa itu masih terdengar jelas. Dan Siau-liong tak asing lagi bahwa tertawa itu adalah nada suara Iblis Penakluk-dunia!

Menyusul terdengar lengking suara tajam .... Tetapi karena gemuruh badai, lengking suara itu pun tak terdengar jelas.

“Wanita Bu-san memang tepat sekali perhitungannya. Tetapi dia sendiri tentu tak keburu menyingkir dan pasti akan kesampokan dengan Iblis Penakluk-dunia. Demi membalas budinya, aku takkan berpeluk tangan tak mempedulikan....”

Sambil berkata Siau-liong terus melangkah keluar. Lukanya baru saja sembuh. Terdampar oleh angin keras dan hawa dingin, tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh. Tetapi ia kuatkan diri menuju ke arah suara orang itu.

Tiau Bok-kun cepat lari untuk memapahnya.

“Andai kata benar wanita Bu-san tadi bertempur dengan suami isteri Iblis Penakluk-dunia, engkau pun tak dapat membantunya. Ah, lebih baik ......”

"Aku bekerja untuk melapangkan ketenteraman hati," kata Siau-liong, "aku....” - ia menghela napas dan lanjutkan langkah kemuka.

Diam-diam Siau-liong menimang. Kedatangan Iblis Penakluk-dunia bersama isteri pada malam hujan deras dan menerobos kepungan rombongan orang gagah itu, tentu penting. Kalau tidak hendak mencari Randa Bu-san dan puterinya tentulah sudah mencium jejaknya (Siau-liong).

Menurut ukuran kepandaiannya, kedua suami isteri durjana itu tak menang dari Randa Bu-san yang memiliki tenaga sakti Ya-li-sin-kang. Tetapi karena ternyata kedua suami isteri iblis itu berani datang kepondok wanita Bu-san, tentulah mereka sudah siap dengan rencana hebat.

Teringat akan tokoh-tokoh Jong Leng lojin, Lam-hay Si-ni, Naga Terkutuk, Harimau Iblis dan It Hang totiang yang telah dikuasahai Iblis Penakluk-dunia, diam-diam menggigillah hati Siau-liong.

Tiau Bok-kun menyadari bahwa percuma saja menasehati pemuda itu. Ia tahu pula bahwa Randa Bu-san dan puterinya itu juga sehaluan dan seperjuangan dengan Siau-liong dalam usahanya menentang Iblis penakluk-dunia. Maka ia pun tak bersangsi lagi mengikuti langkah Siau-liong.

Siau-liong menggamit tangan nona itu dan menunjuk kemuka. Menurut arah yang ditunjuk pemuda itu. Tiau Bok-kun melihat pada jarak beberapa tombak jauhnya, tampak Randa Bu-san berdua dengan puterinya tengah berdiri berhadapan dengan dua orang tinggi pendek mengenakan pakaian serba hitam. Di belakang kedua orang baju hitam itu tegak kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka.

Diam-diam menggigillah perasaan Siau-liong. Ia tahu bahwa kedua orang berpakaian serba hitam itu adalah Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin.

Terdengar Randa Bu-san berkata dengan nada dingin, “Adakah kedatangan saudara berdua pada malam hujan deras ini karena hendak mencari aku?"

Iblis Penakluk-dunia tertawa: “Benar! Rupanya kedatangan kami berdua tepat sekali. Jika terlambat sedikit saja, mungkin sukar mencari kalian berdua ibu dan anak'"

“Dengan maksud apa kalian hendak mencari aku." bentak Randa Bu-san murka.

Iblis Penakluk-dunia tertawa iblis, “Tempat ini tak layak buat bicara. Harap ikut kami ke dalam Lembah Semi untuk berunding!"

Randa Bu-san mendengus: ,,Aku tak suka campur urusan dunia persilatan. Oleh karena itu aku cukup bersabar terhadap gerak gerik kalian. Apakah kalian kira aku tak tahu tipu muslihat yang sedang kalian rancang itu?"

Dengan masih tetap tertawa Iblis Penakluk-dunia menyahut: “Jika kalian tak mau mencampuri urusan dunia persilatan, mengapa dari gunung Bu-san yang begitu jauh, kalian datang kemari?"

Ditatapnya wanita itu tajam-tajam, lalu melanjutkan kata-kata pula, "Kedatangan nyonya kemari bukan aku tak tahu maksudnya. Adalah demi soal itu maka kuundang nyonya datang ke Lembah Semi untuk berunding,"

“Bu, tak perlu menghiraukannya! Mari kita pergi!"

Song Ling menyeletuk. Diam-diam dara baju hijau itu memang agak jeri menyaksikan kedua orang bepakaian serba hitam yang karena tertimpa air hujan, wajahnya makin seram.

Iblis Penakluk-dunia tertawa, “Ah, sudah terlambat kalau sekarang kalian hendak pergi....”

Dia terus mengeluarkan cambuk terus disabatkan ke udara seraya maju selangkah kehadapan Randa Bu-san bentaknya, “Ilmu sakti Thian-kong-sin-kang sudah muncul di dunia lagi! Dengan begitu terpaksa aku harus mengadakan banyak perobahan dalam rencanaku. Paling tidak, ilmu sakti yang empat buah itu tak boleh lolos dari tanganku!"'

Mendengar getar cambuk Iblis Penakluk-dunia tadi mata Jong Leng lojiu dan Lam-hay Sin-ni berapi-api memberingas.

“Jahanam! Jangan banyak tingkah!" damprat Randa Bu-san, seraya lontarkan sebuah hantaman ke arah Iblis Penakluk-dunia. Tampaknya pelahan dan lemah tetapi pada hakekatnya pukulan itu mengandung tenaga sakti yang mampu menghancurkan batu karang.

Baru pertama kali itu Iblis Penakluk-dunia menghadapi ilmu pukulan sakti Ya-li-sin-kang. Tetapi karena dia amat licin dan banyak pengalaman begitu merasa kedahsyatan pukulan wanita itu, ia terkejut dan cepat-cepat loncat mundur.

Tetapi betapapun cepat ia menghindar tetap tubuhnya terdampar angin dari pukulan itu. Seketika separoh tubuhnya terasa kesemutan nyeri sekali. Dengan berjumpalitan sampai dua kali, barulah ia terhindar dari deru angin maut.

Dengan menyeringai kucing. iblis itu merangkap bangun. Dipandangnya Randa Bu-san dengan geram sekali.

Ia tertawa menyeringai lalu ayunkan cambuk ke arah kedua orang baju hitam itu, bentaknya, “Lekas ringkus wanita baju hitam itu kalau tidak kalian tentu kuhukum mati!"

Orang berpakaian serba hitam yang berperawakan lebih tinggi maju lebih dulu. Dengan mengangkat kedua tangan dan merentang sepuluh jarinya ia terus menerjang Randa Bu-san.

“Tolol, apakah kamu sudah gila benar!" bentak Randa Bu-san, seraya songsongkan kedua tangan menyambut serangan Lam-hay Sin-ni.

Lam-hay Sin-ni sudah hilang kesadaran pikirannya. Dia sudah dapat dikuasai seluruhnya oleh Iblis Penakluk-dunia. Sama sekali Sin-ni itu tak menghiraukan segala bahaya.

Tambahan pula karena Ya-li-sin-kang dari Randa Bu-san itu bersifat lembut. Maka sekali maju Sin-ni tetap menerjang!

Tetapi sesaat kemudian sekonyong-konyong Sin-ni seperti membentur suatu dinding karet yang kokoh dan kuat sekali daya membaliknya. Ketika Sin-ni hanya tinggal beberapa langkah dari Randa Bu-san, tiba-tiba ia mental dan terlempar ke belakang sampai setombak lebih jauhnya ....

Setelah dapat mengundurkan Lam-hay Sin-ni Randa Bu-san cepat mengajak puterinya,

“Petangan memberitahukan bahaya. Hayo, kita lanjutkan perjalanan!"

Bagaikan dua ekor burung rajawali, kedua ibu dan anak itu loncat lari kemuka. Tetapi baru dua tombak jauhnya, terdengarlah cambuk Iblis Penakluk-dunia menggeletar di udara.

Sesosok tubuh kecil kurus melambung ke udara dan melayang turun mencegat kedua ibu dan anak. Dan tanpa berkata suatu apa, orang itu terus menghantam.

Penyerang itu bukan lain adalah Jong Leng lojin, pemilik ilmu sakti Jit-hoa-sin-kang, salah sebuah dari lima tenaga sakti dalam dunia.

Randa Bu-san berhenti dan menyongsongnya.

Ilmu tenaga sakti Jit-hoa-sin-kang dari Jong Leng lojin itu serupa jenisnya dengan ilmu Ya-li-sin-kang dari Randa Bu-san. Kedua-duanya bersifat lembut dan tak mengeluarkan deru suara apa-apa.

Ketika kedua tenaga sakti itu saling berbentur, keduanya sama-sama terhuyung-huyung mundur beberapa langkah. Dan menyusul terdengarlah letupan keras diserempaki dengan pasir dan debu seluas satu tombak sama berhamburan seperti dilanda angin puyuh.

Randa Bu-san tak berminat untuk bertempur. Ia segera mengajak puterinya lari. Tetapi justeru karena perhatiannya terbagi untuk puterinya, gerak tubuhnya agak lamban sedikit. Pada saat ia hendak loncat, serangkum angin dahsyat mendampar punggungnya.

Wanita sakti itu mengeluh. Terpaksa ia miringkan tubuh sambil berputar setengah lingkaran. Setelah menghindar serangan Lam-hay Sin-ni, Randa Bu-san tutukkan jarinya kelambung Sin-ni sambil berseru kepada Song Ling: “Ling, lekas lari sendiri dan cepat tinggalkan tempat ini!"

Dari ucapan itu, rupanya Randa Bu-san sudah mengetahui apa yang bakal terjadi ditempat itu.

Sudah tentu Song Ling tak mau, bahkan melihat ibunya dikerubut dua orang, dia melengking nyaring dan terus menyerang Jong Leng lojin.

Randa Bu-san gugup sekali, serunya: “Ling, apakah engkau tak mau hidup!"

Sambil berseru, Randa Bu-san lontarkan tiga kali pukulan kepada Jong Leng lojin.

“Turut perintah mama dan lekas lari!" bentak Randa Bu-san kepada puterinya pula.

Sekalipun kesadaran pikirannya lenyap tetapi naluri Jong Leng lojin masih tajam. Dia cepat mengetahui kalau dirinya diserang dari belakang oleh si dara. Tetapi karena saat itu ia sedang dicecar tiga buah pukulan oleh Randa Bu-san, maka ia tak sempat berputar tubuh melayani Song Ling.

Dua buah pukulan dara itu berhasil mendarat dipunggung Jong Leng lojin. Betapapun tingginya kepandaian orang tua itu, namun si dara sudah mendapat pelajaran dasar ilmu sakti Ya-li-sin-kang dari ibunya. Pernah menjajal kekuatan dengan Pendekar Laknat dan berakhir dua-duanya sama menderita luka parah.

Dua buah pukulan yang dilancarkan Song Ling itu diperuntukkan menolong ibunya. Sudah tentu dilambari dengan tenaga penuh. Tetapi bukan kepalang kejutnya ketika pukulan tenaga sakti itu tak mengakibatkan suatu apa pada Jong Leng lojin. Tenaga sakti dara itu seolah-olah lenyap terhapus oleh tenaga sakti yang dipancarkan Jong Leng lojin untuk melindungi tubuhnya.

Seruan kedua kalinya dari Randa Bu-san, tetap tak diacuhkan Song Ling. Betapapun halnya tak mungkin ia mau meninggalkan ibunya yang sedang terancam bahaya itu.

Maka walaupun pukulannya kepada Jong Leng lojin tadi tak berhasil, dara itu tetap kalap menyerang kalang kabut pada Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni.

Dalam kelima jenis tenaga sakti yang merajai dunia persilatan, hanyalah ilmu sakti Thian-kong-sin-kang yang paling unggul. Keempat ilmu yang lainnya boleh dikata berimbang kesaktiannya.

Dikerubut dua oleh lawan yang memiliki kesaktian berimbang dengan dirinya, Randa Bu-san agak kuatir. Apalagi ia masih harus memperhatikan puterinya. Karena konsentrasi pikirannya terganggu, wanita itu menjadi sibuk dan agak kacau sehingga terdesak oleh lawan.

Melihat keadaan ibu dan anak itu dalam bahaya, Siau-liong sibuk bukan main. Akhirnya ia menghela napas dan berkata kepada Tiau Bok-kun: “Harap nona tetap bersembunyi disini. Jangan gegabah ikut campur. Ketahuilah. ketiga tokoh yang bertempur itu merupakan tokoh sakti dalam dunia persilatan dewasa ini .......”

Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Jika sampai terjadi sesuatu, harap nona lolos menyelamatkan diri!"

Tiau Bok-kun terbelalak, “Lukamu baru sembuh, bagaimana....” - tetapi belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Siau-liong sudah melayang ketempat kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka dan menyerangnya .......

Pada saat itu kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia tengah gembira ria karena melihat Randa Bu-san sudah mulai payah. Tetapi betapa kejut mereka ketika tahu-tahu melihat sesosok tubuh melayang turun dari udara dan menyerangnya!

Oleh karena baru saja sembuh, pada saat Siau-liong membuat gerakan melayang ke udara itu, darahnya terasa bergolak keras, kepala berkunang-kunang dan hampir tak dapat berdiri tegak di tanah. Ia menggunakan kesempatan ketika kedua suami isteri durjana itu sedang tertegun kaget, untuk menyalurkan napas.

Mata Dewi Neraka berkilat-kilat memandang pemuda itu lalu berkata kepada suaminya, “Tolol! Bukankah dia anak muda yang hilang itu?"

Menunggu beberapa waktu yang lalu ketika di Lembah Semi. Siau-liong telah diperkenalkan oleh Poh Ceng-in kepada kedua orang tuanya Suami isteri Iblis Penakluk-dunia mempunyai maksud hendak mengambil menantu pada Siau-liong. Maka ketika mendapat laporan bahwa Siau-liong dan Poh Ceng-in lenyap dalam barisan Tujuh Maut, kedua suami isteri itu sibuk menyebar anak buahnya. Tetapi ternyata tak berhasil menemukan kedua pemuda itu.

Iblis penakluk-dunia mendengus, “Hm, benar, budak itu dapat muncul lenyap seperti setan!"

Habis berkata ia terus menghantam Siau-liong.

"Tolol! Jangan melukainya....” cepat Dewi Neraka hadangkan tangan mencegah suaminya.

Kemudian Dewi Neraka berpaling dan menegur Siau-liong, “Mengapa engkau muncul kemari! Tahukah engkau puteriku Ceng-in....”

“Perempuan siluman, tutup mulutmu!" bentak Siau-liong Kemudian dengan nada bengis ia mengancam, “jika engkau menginginkan anakmu masih hidup, suruh mereka berhenti bertempur!"

Dewi Neraka tertawa heran, “Nak, apa katamu? Suruh mereka berhenti bertempur mempunyai sangkut paut apa dengan puteriku itu?"

Mata Iblis Penakluk-dunia mengeliar, serunya: “Budak itu licin sekali, harap dinda jangan terkena tipunya!"

Tetapi Dewi Neraka tak mempedulikan kata suaminya. Ia melanjutkan berkata kepada Siau liong, “Katakanlah terus terang bagaimana sikapmu terhadap puteriku itu. Engkau mencintainya atau tidak? Mengapa diam-diam ia meloloskan diri?"

Saat itu pertempuran antara Randa Bu-san lawan Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni makin dahsyat. Randa Bu-san berkelahi dengan sekuat tenaga.

”Puteri kesayanganmu itu telah kuculik diluar lembah. mati hidupnya tergantung ditanganku. Jika ingin ia hidup, lekas suruh mereka berhenti." bentak Siau-liong.

Dewi Neraka terbelalak mengicupkan mata ke arah suaminya, "Benarkah itu?"

Iblis Penakluk-dunia tertawa, “Jangan percaya obrolannya. Sama sekali tiada buktinya!"

Dewi Neraka merenung sejenak lalu berkata, “Kalau begitu akan kuringkusnya lebih dulu baru nanti kita selidiki kebenarannya lagi!"

Wanita iblis itu melesat ketempat Siau-liong dan secepat kilat terus mencengkeram bahu kiri pemuda itu.

Siau-liong menggembor keras. Dihantamnya dada wanita itu. Serangkum sinar emas memancar dan tubuh Dewi Neraka yang pendek gemuk itu pun jungkir balik terlempar sampai dua tombak jauhnya....

Ternyata Siau-liong telah gunakan pukulan Sapu-jagad dari Thian-kong-sin-kang. Meskipun belum sempurna latihannya, dan tenaganya pun tak memadai, tetapi tetap mampu melemparkan Dewi Neraka sampai dua tombak dan rubuh dengan luka parah!

“Thian-kong-sin-kang!" teriak Iblis Penakluk-dunia dengan penuh kejut.

Tetapi sehabis memukul, darah Siau-liong makin bergolak, tenaganya habis. Ia terhuyung-huyung rubuh.

Melihat itu tak tahan lagi Tiau Bok-kun berpeluk tangan. Tanpa menghiraukan suatu apa lagi, ia terus melayang turun dan lari menghampiri pemuda itu, “Siau-liong.... Siau-liong....!"

Iblis Penakluk-dunia benar-benar termangu kaget melihat Siau-liong dapat menggunakan pukulan Thian kong-sin-kang. Kemarin dimuka barisan pohon bunga, iapun menerima pukulan Thian-kong-sin-kang dari Pendekar Laknat.

Ia kira ilmu sakti Thian-koag sin-kang telah didapatkan oleh Pendekar Laknat. Maka amatlah kejut dan herannya ketika menyaksikan Siau-liong pun dapat menggunakan pukulan sakti itu juga.

Iblis Penakluk dunia adalah seorang manusia julig yang kaya akan siasat dan mahir dalam tipu muslihat. Tetapi menghadapi kenyataan itu, benar-benar ia kehilangan paham....

Tetapi ia tak sempat merenung lebih lama dan terus lari menolong Dewi Neraka.

Randa Bu-san juga terkejut. Ia tak kira kalau Siau-liong ternyata memiliki ilmu Thian-kong-sin-kang. Tetapi ia tak sempat memperhatikan diri pemuda itu lagi karena Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni menyerang deras dari muka dan belakang.

Tengah Randa Bu-san sibuk menghadapi tekanan kedua lawannya sekonyong-konyong ia terkejut mendengar lengking jeritan Song Ling.

Dara itu kena terhantam Lam-hay Sin-ni dan terlempar rubuh sampai tujuh langkah jauhnya....
45. Cousu-ya Misterius

Randa Bu-san terkejut dan cepat loncat ketempat puterinya. Tetapi tindakan itu telah memberi kesempatan bagus kepada Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni.

Lam-hay Sin-ni menebas lambung wanita Bu-san itu. Sedang Jong Leng lojin menutuk punggungnya.

Karena tergesa-gesa hendak menolong puterinya, Randa Bu-san terus saja loncat tanpa menghiraukan suatu apa. Serangan mendadak dari kedua lawannya itu, sungguh diluar dugaan.

Betapa pun saktinya wanita Bu-san namun kedua lawannya itu juga termasuk tokoh yang sejajar tingkatannya. Tak mungkin wanita itu menghindar lagi.

Masih wanita Bu-san itu dapat menghalau Lam-hay Sin-ni tetapi ia tak berdaya menjaga tutukan Jong Leng lojin. Seketika separoh tubuhnya kesemutan dan rubuhlah wanita itu!

Jong Leng lojin masih menyusuli pula dengan sebuah tutukan sehingga Randa Bu-san tak dapat berkutik lagi.

Sejenak Jong Leng lojin saling bertukar pandang dengan Lam-hay Sin-ni. Kemudian ia mengangkat tubuh Randa Bu-san lalu pelahan-lahan menghampiri ketempat Iblis Penakluk-dunia.

Pertempuran dahsyat telah selesai. Randa Bu-san tertawan, si dara baju hijau terkapar di tanah karena terkena hantaman Lam-hay Sin-ni.

Iblis Penakluk-dunia mengangkat isterinya. Baju wanita itu berlumuran darah. Suatu pertanda bahwa ia telah menderita luka dalam yang parah. Entah berapa kali muntah darah. Tetapi menilik ia masih dapat berjalan, luka itu walaupun berat tetapi tak sampai membahayakan jiwanya.

Pada saat Iblis Penakluk-dunia menolong isterinya, Tiau Bok-kun pun segera mengangkat tubuh Siau-liong hendak dibawa pergi.

Walaupun karena darahnya bergolak sehingga rubuh ke tanah, tetapi pikiran Siau-liong masih sadar. Dengan meronta, ia berseru kepada nona itu, “Jangan hiraukan aku, lekas engkau lari .... kalau tidak kita semua tentu jatuh ditangan iblis itu!"

Tetapi sebagai jawaban Tiau Bok-kun segera membawanya lari.

Walaupun sedang menolong Dewi Neraka, tetapi Iblis Penakluk-dunia tetap menguasai keadaan disekelilingnya. Cepat ia ayunkan cambuk dan memberi perintah kepada Lam-hay Sin-ni supaya menangkap Tiau Bok-kun.

Setelah mengiakan, sekali enjot tubuh, Lam-hay Sin-ni sudah melayang di belakang Tiau Bok-kun. Sebelum nona itu sempat berbuat apa-apa, punggungnya sudah ditutuk Lam-hay Sin-ni. Dengan mudah Lam-hay Sin-ni membawa kedua anak muda kehadapan Iblis Penakluk-dunia lagi.

Setelah beberapa saat memperhatikan keadaan Siau-liong yang lentuk. Menilik keadaannya lemas lunglai seperti orang tak bertenaga itu, tentulah pemuda itu menderita luka parah.

"Tinggalkan budak itu bersama anak perempuan dari Bu-san disini!' teriaknya.

Lam-hay Sin-ni mengiakan. Sekali lepas tangan, tubuh Siau-liong pun jatuh ke tanah.

"Tolol!" tiba-tiba Dewi Neraka membentak suaminya "budak itu telah melukai aku begini berat. Dan dia ternyata memiliki ilmu Thian-kong-sin-kang. Bawa ke dalam lembah dan periksa keterangannya sampai jelas. Mengapa engkau malah suruh membiarkan dia disini ....”

Iblis Penakluk-dunia tersenyum. Ia membisiki beberapa patah kata kedekat telinga isterinya. Bermula wanita iblis itu diam saja. Tetapi beberapa jenak kemudian wajahnya tampak berseri.

"Tolol! Silahkan engkau melaksanakan rencanamu yang kurang ajar itu," katanya.

Iblis Penakluk-dunia tertawa bangga. Segera ia memapah isterinya dan berjalan pelahan-lahan. Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin seperti manusia patung, pun segera mengikuti di belakang kedua iblis itu.

Kedua tokoh itu masing-masing menjinjing Randa Bu-san yang tertutuk jalan darahnya dan Tiau Bok-kun. Tak berapa lama merekapun lenyap dalam kegelapan malam.

Angin reda, hujanpun berhenti. Rembulan muncul pula menerangi bumi. Dan malam pun makin merayap.

Serangkum angin malam yang dingin telah membuat Siau-liong gemetar. Dengan paksakan diri ia bangun dan duduk. Buku tulang-tulangnya seperti berhamburan lepas, kepala berat, kaki lentuk. Tenaganya seperti habis sehingga rasanya tak mampu untuk bergerak sedikit saja.

Ia menghela napas panjang dan tertegun memandang bulan. Apa yang terjadi beberapa saat tadi, dilihatnya dengan jelas. Tetapi setelah ia lepaskan hantaman, darahnya bergolak keras dan tenaganya pun amblas. Maka ia tak berdaya sama sekali untuk membantu pertempuran itu dan melainkan melihat dengan hati terkecoh.

Tertawannya Randa Bu-san, membuat perasaannya gundah sekali. Ia yakin Randa Bu-san tentu akan mengalami nasib serupa dengan Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin, ialah dijadikan manusia tanpa kesadaran pikiran untuk diperbudak kedua suami isteri durjana itu....

Tiba-tiba timbullah rasa keheranannya. Bukankah Iblis Penakluk-dunia tahu bahwa ia telah memiliki ilmu Thian-kong-sin-kang? Tetapi mengapa iblis itu iak membunuhnya? Mengapa ia dibiarkan menggeletak disitu? Dan apa sebab Song Ling, si dara baju hijau juga tak diganggu?

Siau-liong paksakan diri berpaling. Dilihatnya dara itu masih menggeletak di tanah tak berkutik. Entah mati atau masih hidup. Walaupun jarak tempat dara itu hanya terpisah dua tombak dari tempatnya, tetapi ia rasakan tak berdaya untuk menghampiri. Tenaganya benar-benar lenyap!

Karena jengkel, marah dan sedih, ia sampai mengucurkan airmata....

Akhirnya setelah pikirannya agak tenang, mulailah ia melakukan pernapasan untuk menyalurkan hawa murni. Sejak mempelajari ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, setiap kali melakukan pernapasan ia tentu menggunakan ajaran ilmu itu. Maka hasilnya pun lebih cepat.

Lebih kurang sepeminum teh lamanya, ia rasakan darahnya agak tenang dan dapatlah ia berdiri lalu dengan terhuyung-huyung ia menghampiri ketempat Song Ling.

Dara itu menggeletak ditempat tanah becek yang berair sehingga mukanya berlumuran lumpur, tubuhnya tak keruan kotornya.

Ketika diperiksa pernapasan hidungnya, ternyata dara itu masih bernapas walaupun lemah.

Diam-diam terhiburlah hati Siau-liong. Dara itu hanya menderita luka parah sehingga pingsan.

Siau-liong segera melakukan pertolongan dengan ilmu mengurut, Tetapi sayang, tenaganya masih belum pulih sehingga tak dapat memberi penyaluran tenaga dalam kepada dara itu. Lewat dua jam kemudian, barulah dara itu tersadar.

Dara itu memandang Siau-liong Sejenak, kemudian memandang kesekeliling penjuru dan tiba-tiba berseru, “Mana ibuku?" - seraya terus hendak berbangkit.

Siau-liong memegang bahu dara itu: "Nona masih menderita luka dalam. Lebih baik melakukan pernapasan menyalurkan tenaga murni dulu. Kalau darah sampai membeku dalam dada, tentu bisa....”

Tetapi dara itu tak menghiraukan kata-kata Siau-liong. Dengan kalap ia menjerit, “Ibuku? Kemanakah perginya?.... dan Iblis Penakluk-dunia serta kedua orang baju hitam tadi.... mengapa hanya tinggal engkau saja yang disini.... lekas terangkanlah....!"

Siau-liong menghela napas pelahan, ujarnya, “Nona, ai....” - sesaat tak dapat ia memulai kata-katanya, kecuali hanya menghela napas dan berdiam diri.

Dara itu menatap Siau-liong lekat-lekat. Tubuhnya gemetar dan tiba-tiba menangislah ia sekeras-kerasnya!

Siau-liong merasa tak dapat menghiburnya. Maka ia biarkan dara itu menangis agar melonggarkan kesesakan hatinya. Dan mudah-mudahan karena menangis itu, darahnya yang mengumpul didada dapat menyalur lancar.

Siau-liong duduk disamping dara itu. Hatinya terasa seperti disayat sembilu....

Lama sekali Song Ling baru berhenti menangis. Siau-liong menghiburnya: "Harap nona suka menjaga kesehatan diri. Soal ibu nona nanti pelahan-lahan kita berdaya untuk menolongnya."

"Apakah engkau melihat ibuku ditawan mereka?" Song Ling masih meminta penegasan.

Siau-liong mengangguk, “Beliau dan nona Tiau telah ditawan mereka. Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri."

Sambil kepalkan tinju, dara itu menggeram,

“Jika tak dapat menolong ibu.... lebih baik aku mati saja!"

Setelah diam sejenak, dara itu gelengkan kepala menghela napas putus asa. Ilmu sakti Ya-li-sin-kang dari ibu tiada tandingannya di dunia. Jika mereka dapat menawan ibu, apakah kita mampu menolongnya!"

Kembali dara itu menangis tersedu-sedan.

Diam-diam Siau-liong menimang dalam hati. Dewasa ini kecuali ilmu sakti Thian-jin-sin-kang dari guruku Kongsun Sin-tho, ketiga tokoh yang memiliki tiga macam ilmu sakti telah dapat ditawan Iblis Penakluk-dunia. Rasanya Randa Bu-san tentu akan menderita nasib seperti Lam-hay Sin-ni.

Apabila berjumpa lagi, kemungkinan Randa Bu-san tak kenal lagi pada puterinya dan bahkan akan menyerangya. Sekalipun saat itu ia (Siau-liong) sudah memperoleh ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, tetapi belum sempat mempelajari.

Untuk memahami ilmu sakti itu, paling tidak harus memerlukan waktu satu setengah tahun. Dalam waktu itu tentulah terjadi banyak perobahan yang tak terduga-duga. Sekurang-kurangnya, dunia persilatan tentu sudah dikuasai oleh kedua suami isteri durjana itu!

Dan mengapa Iblis Penakluk-dunia melepaskan dirinya? Bukankah mereka tahu bahwa ia memperoleh ilmu sakti Thian-kong-sin-kang? Apakah mereka tak takut kalau ia sempat meyakinkan ilmu sakti itu dan menghancurkan mereka?

Ah, menilik kelicikan dan keganasan suami isteri iblis itu, tak mungkin mereka mau berlaku begitu murah hati! Tentulah mereka sedang memasang jerat. Ya, tentulah mereka akan mengawasi setiap gerak geriknya .....

Sedang Siau-liong terbenam dalam renungan, tiba-tiba Song Ling menghela napas dan wajahnya yang berlumuran lumpur itu berpaling kepadanya, “Lalu bagaimana kita sekarang ini?"

Siau-liong menjawab, “Saat ini rombongan Ceng Hi totiang sedang terkurung diluar Lembah Semi. Dalam pertempuran kemarin walaupun menderita kekalahan, tetapi kekuatan mereka masih belum hancur. Baiklah kita meninjau keadaan mereka kemudian baru kita mengatur rencana untuk menolong ibu nona dan nona Tiau "

Song Ling menyetujui. Ia paksakan diri berdiri lalu mendahului berjalan. Tetapi luka dalam tubuhnya masih belum sembuh. Darahnya masih membeku. Ditambah pula dengan derita pukulan batin yang hebat, langkah dara itu terhuyung-huyung hampir rubuh.

Sebaliknya setelah melakukan pernapasan tadi, keadaan Siau-liong jauh lebih baik. Segera ia maju untuk memapah dara itu.

"Apakah nona kuat bertahan?" tanyanya.

Dara itu menggigit bibir dan anggukan kepala, ia tetap kuatkan diri berjalan. Tempat rombongan orang gagah kira-kira masih dua li jauhnya.

Setelah melintasi sebuah lereng dan sebuah anak sungai, tentu sudah mencapai tempat mereka.

Siau-liong dan Song Ling keduanya masih belum sembuh. Untuk ayunkan kaki saja, mereka harus berjuang sekuat tenaga. Sepenanak nasi lamanya barulah mereka tiba di anak sungai itu.

Tiba-tiba Siau-liong mengeluh dan berhenti.

“Mengapa?" Song Ling terkejut heran.

“Mengingat Ceng Hi totiang tak mempunyai hubungan dengan kita, apalagi saat ini kita dalam keadaan begini rupa, mungkin mereka tak mau menerima kedatangan kita!" kata Siau-liong.

“Mengapa sebelumnya engkau tak memikirkan hal itu? Kalau begini, kan lebih baik kita tak usah kesana saja!" seru Song Ling agak mengkal. Dara itupun jauhkan diri duduk di atas sebuah batu.

Memang saat itu barulah Siau-liong menyadari. Bahwa dia dihormati oleh rombongan Ceng Hi totiang itu adalah dalam kedudukan sebagai Pendekar Laknat. Dan saat itu ia bukan Pendekar Laknat melainkan pribadi Siau-liong.

Dikuatirkan rombongan orang gagah dan Ceng Hi totiang akan mencurigai. Dengan pemikiran itulah maka Siau-liong hentikan langkah.

Selama berjalan tadi, sesungguhnya Song Ling sudah tak kuat. Hanya dengan kemauan keras, ia paksakan diri berjalan sekian jauh. Setelah saat itu berhenti, iapun segera pejamkan mata melakukan pernapasan.

Diam-diam Siau-liong merenung, “Mawar Putih, Tiau Bok-kun, berturut-turut telah jatuh ke Lembah Semi. Pun rombongan tokoh persilatan yang dipimpin Ceng Hi totiang, sudah payah keadaannya. Sedang ia dan Song Ling pun terluka parah, tentang penyamarannya. Lalu bagaimanakah harus bertindak?”

Tiba-tiba ia teringat akan Poh Ceng-in. Apakah wanita itu sudah dapat meminta wanita itu dari paderi Liau Hoan? Mengingat ia tunggal nyawa dengan wanita itu, apabila karena marah Ceng Hi totiang membunuh wanita itu, tentulah dirinya juga akan mati.

Akhirnya setelah menimbang beberapa saat, ia memutuskan untuk menemui Ceng Hi totiang.

“Nona Song....”

Dara itu membuka mata dan berseru “Apakah engkau sudah memperoleh jalan, kemana kita akan pergi?"

“Aku hendak mohon tanya padamu mengenai sebuah hal," kata Siau-liong.

"Soal apa? Katakanlah!" seru Song Ling.

”Apakah nona kenal akan Pendekar Laknat?"

Dengan heran Song Ling memandangnya, “Bukan melainkan kenal saja, pun juga....” - dengan nada geram ia berseru: "Aku mempunyai dendam permusuhan tak mau hidup dibawah satu matahari dengan dia!"

Diam-diam Siau-liong bercekat dalam hati, ujarnya: "Entah apakah dosanya kepada nona?"

Song Ling melirik dan menatap sejenak pada Siau-liong, “Dia telah membunuh ayahku!"

Semula dalam menanyakan soal Pendekar Laknat tadi, diam-diam Siau-liong hendak menyatakan tentang penyamarannya. Tetapi demi mendengar kebencian Song Ling terhadap tokoh itu, terpaksa Siau-liong batalkan maksudnya.

Melihat pemuda itu tertegun sampai lama, Song Ling menegurnya pula, “Mengapa tiba-tiba engkau menanyakan soal itu....?" - tiba-tiba pula dara itu bertepuk tangan, “Ha, aku tadi teringat akan sebuah tempat, hayo, kita kesana!"

Dan sebelum Siau-liong berkata, dara itu sudah mendahului lagi, “Aku tadi bingung sehingga lupa pada beliau orang tua itu....”

Menilik kerut wajah si dara, Siau-liong mendapat kesan seolah-olah dara itu telah menemukan orang bintang penolong. Maka bertanyalah ia, “Yang nona katakan itu....”

Ke gua Ko-hud-tong digunung Go-bi mencari Pertapa-sakti-mata-satu. Beliau tentu dapat berdaya menolong ibuku!" tukas si nona.

Dengan sangsi Siau-liong berkata, “Dalam dunia persilatan kabarnya hanya Ilmu-sakti yang paling hebat. Tiada yang menandingi lagi. Mengapa nona tahu....”

"Tahukah engkau siapa orang tua itu!" Song Ling melengking sembari banting-banting kaki," dia adalah kakek guruku! Adalah setelah ayahku dibunuh orang, ibu baru berjumpa dengan beliau. Ilmu sakti Ya-li-sin-kang ibu itu adalah beliau yang mengajarkan!"

Mendengar itu seketika tergeraklah hati Siau-liong. Ia anggap kemungkinan itu akan memberi harapan.

Song Ling menghela napas, katanya, “Tetapi beliau memang aneh wataknya. Dahulu ketika menerima ibu sebagai murid, setahun kemudian terus mengusir kami berdua ibu dan anak dari guanya. Katanya, dia hendak bertapa tak mau keluar dari gua lagi. Peristiwa itu terfadi pada 15 tahun yang lalu. Selama 15 tahun itu, ibu tak pernah mengatakan hendak menjenguk kakek guru. Entah apakah dia masih ....” - sampai disitu nada dan wajah Song Ling berobah rawan.

Siau-liong menghiburnya. Ia mengatakan bahwa hubungan antara guru dan murid itu tak ubah seperti orang tua dengan anak. Asal si dara memintanya dengan sungguh-sungguh, orang tua itu tentu takkan berpeluk tangan mendiamkan saja.

"Jangan kuatir, pergilah nona kesana!"

Song Ling terkejut dan menatap Siau-liong, “Apakah engkau tak mau mengantar aku kesana?"

Siau-liong menghela napas, “Ah, aku masih mempunyai beberapa urusan penting dan tak dapat tinggalkan tempat ini. Tetapi...."

Song Ling tertawa dingin menukas, “Tak perlu mengatakan, aku sudah jelas. Yang salah adalah aku dan ibu sendiri....” - suaranya berobah gemetar, “Kami berdua memang buta!"

Dua titik air mata mengalir dari pelapuk dara itu. Ia terus berbangkit dan ayunkan langkah.

Cepat Siau-liong mencegahnya “Kalau nona salah paham, aku lebih suka mati! Ketahuilah, aku juga mempunyai kesulitan yang sukar kukatakan sekarang ini!" - rasa haru telah mencengkam sanubari Siau-liong sehingga ia pun menitikkan air mata.

Sudah tentu Song Ling tertegun. Ia duduk lagi. Siau-liong menghela napas. Tak tahu saat itu bagaimana ia harus memberi penjelasan kepada si dara.

Ia harus menemui Ceng Hi totiang untuk mempersiapkan sisa-sisa tenaga rombongan orang gagah. Begitu pula ia harus mencari tahu jejak Poh Ceng-in, Untuk hal itu ia harus menyamar lagi sebagai Pendekar Laknat. Tetapi hal itu tak mungkin dilakukannya dihadapan Song Ling.

Karena hal itulah maka ia tak dapat tinggalkan Lembah Semi ikut si dara kegunung Go-bi. Karena ia tahu bahwa jiwanya setiap saat tentu amblas. Dan kalau ditengah jalan ia sampai mati, bukankah berarti ia telah merusak harapan pencipta ilmu sakti Thian-kong-sin-kang? Ah, benar-benar ia merasa serba sulit!

Akhirnya setelah memandang beberapa saat ke arah si dara, berkatalah ia dengan tandas,

“Sekali pun andai kata nona berhasil minta bantuan pada kakek guru nona untuk menolong ibu nona, tetapi Iblis Penakluk-dunia itu manusia julig yang licin sekali. Buktinya tokoh-tokoh sakti semacam Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni pun telah dapat dikuasainya. Dan kemungkinan ibu nona pun akan mengalami nasib serupa....”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan dengan suara sarat, “0leh karena itu menurut pendapatku, sekalipun kakek guru nona turun gunung, belum tentu dapat menindas kedua suami isteri durjana itu. Sebagai penggantinya, aku mempunyai rencana yang hebat, tetapi hal itu memerlukan jangka waktu yang cukup panjang ....”

"Sebenarnya apakah maksudmu itu?" Song Ling tak sabar lagi.

"Hendak kujadikan nona seorang tokoh sakti. Dalam waktu satu tahun saja, nona pasti akan merajai dunia persilatan. Ilmu sakti yang manapun juga pasti tak dapat menandingi nona. Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka pasti tak mungkin lolos dari tangan nona!"

Song Ling tertawa hambar.

"Kecuali engkau pewaris ilmu Thian-kong-sin-kang, lebih baik engkau jangan omong besar seperti itu!" lengking si dara.

Dengan wajah dan nada serius, berkatalah Siau-liong seketika, “Justeru memang Thian-kong-sin-kang itulah yang hendak kuajarkan kepadamu!"

Song Ling terkesiap. Baru ia hendak membuka mulut, tiba-tiba dari arah hutan disebelah muka terdengar orang membentak, “Siapakah itu!"

Menyusul beberapa sosok tubuh melesat keluar terus menerjang kedua anak muda itu....

Siau-liong dan Song Ling terkejut.

Yang memimpin penyerang itu seorarg tua berjenggot putih menjulai sampai kedada. Mencekal sebatang tongkat Kumala Hijau. Gerakannya amat pesat dan ringan sekali.

Ketika memandang orang tua itu, lepaslah kejut Siau-liong. Yang datang itu ternyata rombongan Kay-pang yang dipimpin si Jenggot perak To Kiu-kong Ikut serta Pengemis tertawa Tio Tay-tong dan kedua pengemis pincang.

Begitu melihat Siau-liong, To Kiu-kong tertegun. Buru-buru ia menghaturkan hormat: “Ah, Cousu-ya, maaf engkau....”

Tio Tay-tong dan kedua pengemis pincang segera berlutut, mengikuti tindakan To Kiu-kong.

“Ah, Kiu-kong, tak usah banyak beradatan," kata Siau-liong seraya mengangkat bangun To Kiu-kong.

Setelah bangun, berkatalah To Kiu-kong, “Sejak bertemu dengan Cousu-ya ketika terkepung dalam Lembah Maut tempo hari, walaupun kami berusaha untuk mencari Cousu-ya tetapi gagal. Bahkan berita saja, kami tak dapat memperoleh sama sekali....”

Kemudian ketua Kay-pang itu meghela napas, “Jika tidak berulang kali Pendekar Laknat memberi bantuan, tentulah hari ini kami tak dapat menghadap Cousu-ya!"

Sekali pun lemah lembut dan halus tutur kata-kata itu tetapi diam-diam terselip suatu penyesalan mengapa sebagai Cousu-ya, Siau-liong tak mau berkumpul dengan anak buah Kay-pang.

Begitu pula saat itu mata To Kiu-kong dan rombongannya mencurah lekat ke arah Siau-liong dan Song Ling. Pandang mata penuh dengan rasa heran atas sepak terjang Cousu-ya mereka yang masih berusia muda itu.

Mereka heran mengapa selagi rombongan orang gagah yang dipimpin Ceng Hi totiang berjuang mati matian untuk menggempur Lembah Semi, Cousu-ya mereka malah menyembunyikan diri bersama seorarg dara? Tiau Bok-kun, Mawar Putih dan kini seorarg dara yang tak dikenal lagi!

Dan makin besarlah keheranan mereka melihat keadaan Siau-liong dan si dara yang berlumuran lumpur itu. Darimanakah Cousu-ya itu?

Karena Siau-liong tak mau mengatakan apa-apa, rombongan To Kiu-kong itupun tak berani menanyakan. Mereka sama berdiam diri.

Hanya batin To Kiu-kong yang berduka. Ia mengharap Cousu-ya muda itu akan dapat muncul di dunia persilatan untuk mengangkat nama Kay-pang. Ia harap berkat ilmu pukulan sakti Thay-siang-ciang ajaran Pengemis Tengkorak Song Thay-kun, Siau-liong akan mengharumkan pamor Kay-pang.

Tetapi ah, siapa tahu. Ternyata harapan itu buyar. Cousu-ya muda itu ternyata seorang pemuda yang misterius gerak geriknya dan seorang yang amat romantis....

Rupanya Siau-liong dapat membaca isi hati ketua Kay-pang itu. Tetapi ia tak dapat memberi penjelasan apa-apa kecuali hanya tertawa murung dan diam.

Tiba-tiba Pengemis Tertawa Tio Tay-tong maju selangkah, memberi hormat, “Harap Cousu-ya maafkan aku hendak berkata sepatah kata."
46. Keputusan Menuju Go-bi-san

Siau-liong membalas hormat dan suruh orang itu mengatakan maksudnya.

Dengan kepala menunduk Pengemis Tertawa berkata, “Saat itu Ceng Hi totiang sedang memimpin rombongan orang gagah untuk menggempur Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka. Tetapi rupanya gerakan Ceng Hi totiang mengalami kegagalan.

Banyak orang gagah yang menjadi korban, menderita luka dan binasa. Keadaan dunia persilatan dewasa ini amat gawat sekali. Bila Cousu-ya suka memikirkan kepentingan partai kita, mohon Cousu-ya jangan tinggalkan kita lagi....”

Makin lama makin teganglah perasaan pengemis itu sehingga dalam kata-kata ia seolah-olah menghamburkan seluruh isi hatinya. Sehingga To Kiu-kong buru-buru mencegahnya bicara.

Pengemis Tertawa Tio Tay-tong menghela napas panjang lalu memberi hormat dan mundur.

Siau-liong diam saja. Hanya dalam hati ia menimang: “Mungkin kesulitan yang kuhadapi dan kenyataan yang kuderita, tak mungkin kalian ketahui. Dan aku pun tak mampu menjelaskan kesulitan itu kepada kalian selama-lamanya....”

Siau-liong mengangkat kepala memandang rembulan. Rembulan saat itu terang benderang, memancarkan cahayanya yang putih bersih keseluruh penjuru.

Tiba-tiba Siau-liong rasakan dadanya longgar. Seolah-olah Dewi Rembulan telah memberi petunjuk jalan keluar kepadanya. Pada wajahnya yang kotor berlumuran lumpur itu, pelahan-lahan menampil kerut tawa. Dan hatinya pun makin mantap, “Seorang lelaki harus memikul tanggung jawab perbuatannya sendiri. Asal perbuatan itu tidak menyalahi Allah, tidak mencelakai orang, itulah sudah cukup. Apa guna segala kemashuran nama yang kosong?"

Setelah hatinya merasa tenang dan mantap, iapun tertawa, ujarnya: “Telah kuteliti diri, jelas aku tak mampu memikul tanggung jawab partai. Oleh karena itu, maka kuulangi lagi maksudku yang dulu. Hendak minta tolong kepada To Kiu-kong supaya memilih seorang tunas berbakat untuk kuberi pelajaran ilmu Thay-siang-ciang, demi membangun kejayaan partai Kay-pang......"

To Kiu-kong tersipu-sipu berlutut: “Ah, berat sekali perintah Cousu-ya itu. Mana Kiu-kong dapat memikul tugas seberat itu?"

Pengemis-tertawa Tio Tay-tong dan kawan-kawan serta-merta ikut berlutut. Siau-liong mengangkat mereka bangun lalu dengan tertawa riang ia berkata: “Apa yang kukatakan itu keluar dari isi hatiku sesunguhnya. Harap Kiu-kong secepat mungkin mencari tunas pewaris itu. Karena.... tak berapa lama lagi aku segera pergi jauh. Mungkin kelak kita takkan berjumpa lagi."

Kembali To Kiu-kong termangu. Sesaat ia tak dapat berkata-kata.

Melihat mereka tertegun mendengar ucapannya Siau-liong pun menyadari kesulitan mereka. Mengingat keadaan dunia persilatan dewasa itu sedang terancam bahaya kehancuran, maka cepat ia alihkan pembicaraan, “Apakah kalian tahu saat ini Ceng Hi totiang mempersiapkan rencana apa lagi?"

Wajah To Kiu-kong menggelap, sahutnya setelah menghela napas, “Ceng Hi totiang memimpin rombongan orang gagah untuk menyerang dari belakang Lembah Semi dengan gunakan api dan bahan peledak. Tetapi tak terduga Iblis Penakluk-dunia dan isterinya....”

“Hal itu sudah kuketahui semua!" tukas Siau-liong.

To Kiu-kong terbeliak, “Apakah Cousu-ya tahu peristiwa Pendekar Laknat membantu pertempuran kemarin itu? Jika tidak....”

Siau-liongpun cepat mengerat, “Kemarin barisan penyerang Ceng Hi totiang telah dikalahkan Iblis Penakluk-dunia. Iblis itu memberi perintah supaya dalam waktu tiga hari Ceng Hi totiang dan sekalian orang gagah harus datang kegunung Go-bi. Yang ingin kuketahui, apakah rencana Ceng Hi totiang menghadapi perintah itu?"

To Kiu-kong benar-benar tak mengerti. Bukankah Cousu-ya itu menghilang tak kelihatan ikut dalam pertempuran? Mengapa dapat mengetahui jalannya peristiwa dengan jelas?

“Ceng Hi totiang memutuskan akan pergi kepuncak Go-bi ....," akhirnya To Kiu-kong menjawab lalu menghela napas, berdiam diri.

Tiba-tiba Song Ling yang sejak tadi tak bersuara, saat itu menyeletuk: “Perlu apa mereka hendak kegunung Go-bi?"

Dengan pandang tawar, To Kiu-kong melirik sejenak kepada dara itu lalu memandang Siau-liong lagi. Seolah-olah tak leluasa menjawab pertanyaan dara itu sebelum mendapat ijin Siau-liong.

Siau-liong menatap ketua Kay-pang itu dan berkata perlahan: “Memang hal itulah yang ingin kuketahui. Tak apa silahkan mengatakan saja!"

To Kiu-kong masih bersangsi. Ia maju menghampiri kedekat Siau-liong dan berkata dengan suara perlahan.

"Dengan ilmu Hitam melenyapkan kesadaran pikiran orang, kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu dapat memperalat Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni, Naga Terkutuk, Harimau Iblis dan beberapa tokoh lainnya. Kekuatan mereka jauh berlainan dengan duapuluh tahun yang lalu. Demi menyelamatkan seluruh kaum persilatan, terpaksa Ceng Hi totiang memutuskan untuk melakukan permintaan kedua suami isteri iblis. Dalam tiga hari nanti akan menuju ke puncak Go-bi....”

Ketua Kay-pang itu berhenti sejenak, mengeliarkan mata memandang keempat penjuru lalu melanjutkan lagi: “Sekalipun menurut perintah kedua iblis kepuncak Go-bi, tetapi diam-diam Ceng Hi totiang sudah menyiapkan rencana. Kabarnya di atas puncak Go-bi, terdapat seorang sakti yang luas pengetahuan dan tinggi ilmu silatnya....”

”Kiu-kong, nama orang sakti itu....?" Siau-liong cepat bertanya.

Tetapi To Kiu-kong gelengkan kepala, “Walaupun umurku sudah setua ini dan mempunyai pengalaman luas dalam dunia persilatan. Tetapi jika bukan Ceng Hi totiang yang mengatakan, tentu aku tak tahu. Orang tua itu tak pernah muncul dalam dunia persilatan dan tak dikenal namanya."

Siau-liong kerutkan dahi dan bertukar pandang dengan Song Ling. Tetapi tak bicara apa-apa.

“Kemarin Ceng Hi totiang telah mengadakan rapat rahasia dengan para tokoh-tokoh persilatan," kata To Kiu-kong pula, "Ceng Hi totiang akan memimpin rombongan tokoh persilatan dan segenap pendekar dari seluruh penjuru, menghadapi orang sakti di atas puncak Go-bi, untuk minta bantuannya. Namun gagal, terpaksa mereka akan bertempur mengadu jiwa dengan Iblis Penakluk-dunia. Lebih baik pecah sebagai ratna dari pada menjadi budak kedua iblis itu. Biarlah puncak Go-bi akan bersiram darah para pendekar gagah....”

Siau-liong gelengkan kepala.

“Rencana Ceng Hi totiang itu masih kurang sempurna. Adakah orang sakti itu mau membantu atau tidak, masih satu pertanyaan. Taruh kata ia meluluskan, pun belum tentu dapat melawan Iblis Penakluk-dunia yang mempunyai jago-jago seperti Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni dan lain-lain tokoh yang sakti. Jika sampai menderita kekalahan lagi dan kedua iblis itu lagi, bukan saja seluruh tokoh persilatan yang hancur binasa pun pembunuhan-pembunuhan tentu akan berlangsung hebat sehingga dunia persilatan betul-betul tak berkutik dan dapat dikuasai Iblis Penakluk-dunia!"

To Kiu-kong tertawa tawar, “Ah, selama masih ada ayam, takkan telur habis. Misalnya, dalam pertempuran kemarin itu, walaupun pihak orang gagah menderita kekalahan, namun semangat mereka tak pernah ludas. Mereka tetap akan melanjutkan perjuangan ke gunung Go-bi. Apabila gagal lagi, ya apa boleh buat, terserah pada kehendak Tuhan!"

Siau-liong tertegun diam. Saat itu ia memang tak punya rencana. Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni tiada yang mampu melawan. Apalagi masih ditambah dengan Naga Terkutuk, Harimau Iblis dan beberapa tokoh lain. Sekalipun rombongan orang gagah yang dipimpin Ceng Hi totiang itu berjumlah lebih besar pun tak berguna. Bahkan malah menambah jumlahnya korban saja.

Setelah terdiam beberapa saat barulah To Kiu-kong berkata, “Selain dari itu, Ceng Hi totiang masih mempunyai setitik harapan kepada seorang sakti lain....”

"Siapakah orang itu?" Siau-liong terkesiap.

"Tokoh yang sejajar dengan kedua suami isteri iblis itu yakni Pendekar Laknat. Kemarin dia telah membantu dengan sepenuh tenaga. Pada waktu bertempur melawan Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni, dia telah gunakan tenaga sakti Thian-kong-sin-kang....”

To Kiu-kong berhenti sejenak mencari kesan. Tetapi ia heran karena Siau-liong tak menampilkan reaksi apa-apa. Terpaksa ia melanjutkan penuturannya lagi.

"Thian-kong-sin-kang merupakan ilmu sakti Nomor satu di dunia persilatan. Sayang tampaknya Pendekar Laknat itu masih belum sempurna peyakinannya. Diduga ia telah berhasil memperoleh kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong tetapi belum sempat mempelajarinya dengan sempurna.

Sayang dalam pertempuran kemarin, tokoh tersebut telah menderita luka parah lalu melenyapkan diri. Ceng Hi totiang sudah menyebar orang untuk mencarinya tetapi sampai sekarang belum ketemu."

Siau-liong tersenyum, "Karena terluka parah tentulah Pendekar Laknat itu sukar datang lagi untuk membantu. Harap Kiu-kong sampaikan kepada Ceng Hi totiang agar jangan mencarinya lagi".

To Kiu-kong memandang Siau-liong dengan heran, “Apakah Cousu-ya tahu....”.

Tiba-tiba ketua Kay-pang itu tak melanjutkan ucapannya karena teringat sewaktu di Lembah Maut, Pendekar Laknat pun pernah mengatakan tak perlu menunggu Siau-liong. Dia mengatakan bahwa Siau-liong itu seorang Pendekar muda nomor satu dalam dunia persilatan dewasa itu.

Dan pula tokoh itupun mengatakan lagi kemungkinan Siau-liong tentu sudah keluar dari Lembah Maut. Teringat akan hal itu, To Kiu-kong mendapat kesan, seolah-olah antara Siau-liong dengan Pendekar Laknat itu sudah saling tahu satu sama lain.

Betapa luas pengetahuannya dan pengalaman To Kiu-kong, namun ia benar-benar tak mengerti tentang Pendekar Laknat dan Siau-liong yang misterius.

Tengah To Kiu-kong tertegun. tiba-tiba Siau-liong bertanya pula, “Bagaimana dengan wanita baju merah yang ditawan paderi Liau Hoan itu? Apakah Ceng Hi totiang sudah dapat merebutnya....”

Kembali To Kiu-kong terbeliak kaget. Paderi Liau Hoan sampai saat itu belum diketahui jejaknya. Peristiwa penawanan wanita baju merah itu adalah Pendekar Laknat yang mengatakan. Mengapa Siau-liong tahu? Bahkan mengapa Siau-liong amat menaruh perhatiannya kepada peristiwa itu?

Tetapi To Kiu-kong tak leluasa menanyakan soal itu. Terpaksa ia hanya menjawab: "Soal itu aku tak mengetahui jelas. Beberapa orang yang telah disebar Ceng Hi totiang, belum juga menemukan jejak paderi itu. Sampai saat ini sudah sehari semalam masih juga rombongan Ti Gong belum kembali."

Siau-liong terkejut ia tak tahu mengapa Paderi Ti Gong menawan Poh Ceng-in. Jika sampai terjadi sesuatu dengan wanita itu. bukankah dirinya juga akan celaka.

“Apakah engkau juga akan ikut ke Go-bi?" tanyanya beberapa jenak kemudian.

Buru-buru To Kiu-kong menyahut, “Segala rencana telah ditetapkan oleh Ceng Hi totiang, partay Kay-pang hanya mengirim aku seorang diri pergi ikut kesana....”

Siau-liong mengangguk, “Kalau begitu, aku hendak pergi dulu nanti kita berjumpa digunung Go-bi lagi!"

Ternyata Siau-liong teringat akan Poh Ceng-in yang diculik Liau Hoan itu. Ia harus cepat-cepat merampasnya kembali agar jangan sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Selain itu, oleh karena Ceng Hi totiang sudah memutuskan ke Go-bi, tak perlu lagi ia menemuinya. Maka ia memutuskan untuk mengantar Song Ling menghadap kakek gurunya dipuncak Go-bi. Dan dalam perjalanan, ia akan mencari kesempatan untuk menurunkan Thian-kong-sin-kang kepada dara itu.

Sudah tentu Song Ling girang sekali karena pemuda itu merobah keputusannya. Cepat ia mengikuti Siau-liong yang saat itu sudah ayunkan langkah.

To Kiu-kong bergegas menyusul, serunya: “Cousu-ya apakah tidak perlu pesan apa-apa lagi? Mengapa Cousu-ya tak perlu bertemu Ceng Hi totiang?"

Ketua Kay-pang itu tak berani mencegah Siau-liong tetapi pun tak dapat membiarkan Cousu itu pergi. Maka ia mencari kata-kata lain sebagai alasan.

Siau-liong hentikan langkah, “Dengan Ceng Hi totiang, aku tak begitu kenal. Nanti setelah peristiwa Go-bi selesai. masih ada waktu untuk menemuinya. Dan sekali lagi kuulangi permintaanku. Lekaslah engkau cari seorang tunas yang berbakat untuk menjadi pewaris kita!"

Habis berkata Siau-liong terus mengajak Song Ling lanjutkan perjalanan.

Y

Walaupun menderita luka dalam yang parah. tetapi baik Siau-liong maupun Song Ling tak mau diketahui To Kiu-kong. Dengan kuatkan diri mereka melangkah tegap. Setelah jauh barulah mereka berhenti.

Napas si dara terengah-engah. Tulang belulangnya seraya lepas, sakit dan letihnya bukan kepalang. Ia segera duduk numprah. Untunglah To Kiu-kong dan rombongannya.

Setelah beberapa waktu, Siau-liong mengajaknya berjalan lagi. Song Ling mengiakan. Demikianlah kedua anak muda itu segera melanjutkan perjalanan lagi.

Siau-liong memang belum memberi penjelasan kepada si dara. Tetapi ia sudah mempunyai rencana. Pertama, ia hendak menuju ke bengawan Bin-kiang untuk mengejar jejak Liau Hoan dan meminta kembali Poh Ceng-in. Dari sungai itu, terus kegunung Go-bi hanya duapuluhan li jauhnya.

“Apakah engkau tahu jalanan ke Go-bi?" tanya Song Ling.

Siau-Hong mengatakan bahwa sekalipun ia belum paham, tetapi ia tahu gunung itu terletak disebelah barat laut. "Kita mengarah kesana dan bila perlu dapat bertanya pada orang," katanya.

Tetapi saat itu mereka masih dalam lingkungan pegunungan Tay-liang-san yang luas. Kecuali rangkaian puncaknya yang memanjang, pun jalanannya sukar dan berkeluk-keluk. Hampir dua jam berjalan, mereka masih belum keluar dari wilayah gunung itu.

Saat itu hari sudah mulai terang tanah. Sambil menarik lengan Siau-liong. Song Ling menekan dahinya dan berkata dengan lemah, “Aku benar-benar sudah tak kuat. Kita cari tempat beristirahat".

Siau-liong sendiri pun rasakan kakinya lemas, kepala pening mata berkunang-kunang. Karena tak paham jalan, tak tahu ia sudah sampai dimana. Dilihatnya dalam hutan yang tak jauh disebelah muka, tampak sebuah dinding merah. Ia duga tentu sebuah biara. Kesanalah ia ajak dara itu.

Tiba-tiba Song Ling menjerit kaget seraya menunjuk ke arah semak di tepi jalan. “Lihatlah!"

Ketika melihat ke arah yang ditunjuk si dara, Siau-liong melihat semak itu berlumuran darah dan semak-semak belukar banyak yang rebah. Dan tak jauh dari semak itu terdapat sebatang pedang yang kutung.

Siau-liong memungut pedang kutung itu dan memeriksa. Tak ada tanda apa-apa hingga tak diketahui siapa pemiliknya.

Tetapi jelas ditempat itu tentu telah terjadi pertempuran dahsyat. Dan dari darah yang berceceran itu, jelas tentu adalah yang mati atau terluka.

Menilik darah yang sudah berwarna merah hitam, tentulah pertempuran itu terjadi beberapa jam yang lalu. Tetapi kecuali pedang kutung itu, tiada terdapat mayat dan lain-lain jejak.

Tempat itu sudah jauh dari Lembah Semi, tak mungkin yang bertempur itu anak buah Iblis Penakluk-dunia. Sampai beberapa saat Siau-liong tak dapat memecahkan peristiwa itu.

Tiba-tiba ia terkejut karena mendengar suara orang membaca kitab suci (Buddha). Nadanya pelahan sekali dan asalnya dari arah hutan. Segera Siau-liong menurutkan arah suara dan tibalah ia pada sebuah biara kuno. Suara itu jelas berasal dari dalam biara. Tetapi saat itu pembacaan kitab tadi sudah berhenti. Memandang tempat itu ternyata sebuah biara yang rusak.

Tak mungkin terdapat paderi yang menghuni. Apa lagi saat itu masih pagi sekali, tak mungkin sepagi itu paderi sudah membaca kitab.

Siau-liong makin heran. Karena dirinya masih terluka, ia kuatir kalau berjumpa dengan musuh yang kuat. Maka ditariknyalah Song Ling seraya membisikinya, “Suara pembacaan kitab tadi, mencurigakan sekali. Tentu ada seseorang yang bersembunyi, entah kawan entah lawan, belum dapat kita pastikan. Lebih baik kita bersembunyi dulu melihat perkembangannya.

Song Ling tiada pandapat lain kecuali menurut saja. Begitu mereka segera mencari tempat persembunyian dibawah kaki sebuah anak Bukit. Anak Bukit itu dikelilingi semak rumput yang lebat dan tinggi.

Dari tempat persembunyian yang sukar diketahui orang itu, dapatlah Siau-liong memandang keluar dan beristirahat. Kedua pemuda itupun lalu bersemadhi memulangkan semangat.

Sesungguhnya luka dalam yang diderita Song-Ling itu tak berapa parah. Adalah karena ia bersedih melihat ibunya tertawan musuh maka sampai membuatnya lemas. Karena letih, begitu bersemadhi, ia segera terbanam dalam kelelapan.

Tidak demikian dengan Siau-liong. Pikirannya ruwet tak keruan sehingga sukar untuk memusatkan semangat. Sejam kemudian baru pikirannya agak tenang dan mulailah ia dapat menyalurkan hawa murni.

Pada saat Siau-liong dalam alam kehampaan, tiba-tiba terdengar derap langkah orang. Siau-liong terkejut bangun. Tampak seorang yang dandanannya amat aneh tengah meneliti jejak tapak orang dan perlahan-lahan menghampiri ketempat persembunyiannya.

Kepala orang itu sebesar kepala kerbau, rambutnya yang putih terurai sampai kebahu. Tingginya tak kurang dari dua meter. Jenggotnya yang bercabang lima, menjulai turun sampai ke perut.

Entah berapa usianya. Tetapi wajahnya masih segar kemerah-merahan. Mengenakan baju serba putih dan mantel warna kuning telur. Tangannya mencekal sebatang tongkat besi.

Seketika teringatlah Siau-liong akan dongeng tentang dewa Tay-pek Li Kim-ce yang turun kebumi.... Orang itu tak mirip dengan manusia dunia.

Sambil menyusur jejak telapak kaki, orang tua aneh itu memandang kian kemari. Sepasang matanya berkilat-kilat memancar api, mengandung sinar jahat.

Diam-diam Siau-liong berdebar-debar. Terang yang hendak dicari orang tua itu tentulah dirinya berdua. Karena masih hijau dalam dunia persilatan. Tak tahu ia aliran orang tua itu dan mengapa hendak mencari dirinya.

“Siapakah kakek yang mirip setengah dewa setengah setan itu?" tiba-tiba Song Ling bertanya.

Ternyata ia pun sudah tersadar dari persemadhiannya.

Sambil memandang ke arah kakek aneh yang menghampiri ke arahnya, Siau-liong menyahut dengan bisik-bisik, “Apakah tenagamu sudah pulih?"

”Hawa dalam masih belum tenang, tenaga murni belum pulih tetapi sudah banyak kebaikan?"

Siau-liong sendiri masih payah. Lukanya sudah disembuhkan Randa Bu-san tetapi luka dalam masih parah. Jika berhadapan dengan musuh tangguh, tentu belum mampu menandingi.

Saat itu si kakek aneh sudah keluar dari hutan dan tengah menyiak-nyiak semak rumput yang dilaluinya. Pelahan-lahan makin mendekati.

Dan beberapa jenak kemudian sudah tiba dua tombak dimuka tempat Siau-liong.

Karena merasa tak mungkin dapat bersembunyi lagi, Siau-liong memberi isyarat kepada Song Ling lalu berbangkit.

Rupanya kakek aneh itu terkejut sehingga menyurut mundur dua langkah. Matanya berkeliaran memandang Siau-liong.

“Masuk ke dalam gua rahasia dan mendapat kitab pusaka Thian-kong-sin-kang, tentulah engkau, bukan?" tiba-tiba kakek aneh itu bertanya.

Siau-liong terkesiap. Ia merasa belum pernah bertemu dengan kakek itu, mengapa sudah mengenal dirinya dan bahkan tahu tentang kitab pusaka itu.

Seketika ia menyahut dengan nada tidak menyangkal pun tidak mengakui “Entah siapakah locianpwe ini? Mengapa tahu orang yang masuk ke dalam gua rahasia dan mengambil kitab pusaka Thian-kong-sin-kang?"

Mata kakek itu berkilat lalu tertawa gelak-gelak, “Mataku belum buta, sudah tentu takkan salah lihat!"

Heran Siau-liong makin menjadi-jadi. Ia tak tak tahu dengan tujuan apakah kakek aneh itu mencarinya? Sesaat ia tak dapat mencari akal untuk menghadapinya.

Beberapa jenak kemudian baru ia berkata, “Ucapan locianpwe itu sungguh mengherankan sekali. Aku baru kenal saja dengan locianpwe. Dengan dasar apa locianpwe....”

“Ilmu petanganku tak pernah meleset!" tukas kakek itu.

Siau-liong tertawa, “Ah, kiranya locianpwe mengetahui peristiwa itu dari ilmu petangan."

Walaupun mengatakan begitu, tetapi diam-diam hati Siau-liong tergetar juga. Semula ia memang tak percaya ilmu meramal dan segala ilmu mistik. Tetapi sejak peristiwa Randa Bu-san itu, pandangannya pun agak berubah. Dan kali ini berhadapan lagi dengan seorang kakek ahli nujum, mau tak mau ia harus menaruh sedikit kepercayaan juga.

“Setelah kuhitung sampai beberapa kali, barulah aku bergegas-gegas datang kemari!" kata kakek itu pula.

Kepercayaan Siau-liong makin tumbuh, tanyanya “Entah apa maksud locianpwe hendak mencariku?"

Kakek aneh itu gelengkan kepala menghela napas, “Karena sembrono maka sampai menimbulkan kesalahan besar. Sekalipun telah kuusahakan untuk menolong, mungkin tetap tak dapat terhindar dari kutukan. Kehancuran sukar kembali....”

Siau-liong tercengang.

“Locianpwe meresahkan soal apa saja? Jika menghendaki tenagaku, silahkan memberi pesan. Aku tentu akan berusaha sekuat tenaga....”

Berkata sampai disitu, tiba-tiba Siau-liong berhenti karena teringat akan keadaan dirinya saat itu. Ia masih terluka dalam. Sedang tongkat besi dari kakek itu sebesar telur itik. Tentulah beratnya tak kurang dari duaratus kati. Tetapi kakek itu dapat memegang seenaknya saja. Jelas tentu seorang yang memiliki ilmu yang sakti. Apalagi seorang ahli nujum yang lihay. Masakan kakek itu memerlukan bantuannya lagi?

Tetapi diluar dugaan kakek itu mengangguk: “Memang sebaiknya begitulah....” ia berkeliaran memandang keempat penjuru, ujarnya, “Tempat ini tak leluasa untuk bicara. Silahkan kalian ikut ke biara sana!"

Habis berkata tanpa menunggu Siau-liong setuju atau tidak, ia terus berputar tubuh dan melangkah ke arah biara.

Siau-liong kerutkan alis lalu bertukar pandang dengan Song Ling. Sesaat ia merasa bersangsi.

Tetapi entah bagaimana, baik sikap dan nada ucapan kakek tua itu, mempunyai daya tarik yang kuat dan berwibawa sehingga Siau-liong tak dapat menolak lagi.

Akhirnya ia mengajak Song Ling: “Kita....”

“Terserah engkau....” tukas si dara.

Kakek aneh itu berjalan pelahan sekali, tanpa berpaling ke belakang. Seolah-olah yakin kalau kedua anak muda itu tentu akan mengikutinya.

Tak berapa lama, tibalah mereka di biara. Menilik bangunannya, tentulah dahulu biara itu sebuah tempat pemujaan yang megah. Tetapi kini sudah rusak dan tak terawat. Dindingnya rubuh dan gempal, halaman penuh ditumbuhi rumput dan pintunya bertimbun sarang gelagasi.

Papan nama yang sudah rusak dan lecet tulisannya itu masih dapat terbaca, Ternyata biara itu memakai nama Sam-goan-kiong.

Kakek tua itu berhenti dimuka pintu. Setelah Siau-liong dan Song Ling tiba, barulah ia melangkah masuk. Memang besar sekali bangunan biara itu. Pohon siong yang tumbuh dihalaman biara itu tinggi sekali. Tentulah sudah berumur ratusan tahun. Daunnya yang lebat, menimbulkan suasana yang menyeramkan juga.

Siau-liong bergandengan tangan dengan Song Ling mengikuti kakek aneh yang melangkah keruang besar. Ternyata dalam ruangan besar itu masih mengepul asap wangi. Walaupun juga rusak tetapi keadaan ruangan itu masih cukup lumayan. Ditengah ruang terdapat patung dewa Thay Siang Lokun dan Goan Si Thian-cun. Tetapi sudah rusak keadaannya. Tikus dan kelelawar bersarang pada lubang-lubang patung itu.
47. Orang Tua Aneh Baju Putih

Meja sembahyang rupanya telah dibersihkan, diberi penerangan lilin, sebuah area kecil. Tempat pedupaan masih mengepul asap.

Begitu masuk, lebih dulu kakek aneh itu meletakkan tongkat besinya pada sudut dinding lalu berlutut dihadapan meja sembahyangan dan memberi hormat sampai empat kali. Setelah itu ia bangun dan berkata, “Inilah arca dari Tio Sam-hong Cousu, lekas haturkan hormat!"

Mendengar itu Siau-liong terkejut dan tanpa disadari ia menarik tangan Song Ling diajak berlutut memberi hormat. Setelah itu, barulah Siau-liong menjurah dihadapan kakek aneh dan berkata, “Petunjuk apakah yang hendak locianpwe berikan kepadaku?"

Sejenak keliarkan mata berkatalah kakek itu dengan nada sarat, “Dihadapan arca Tio Sam-hong Cousu, kalian tak boleh omong sepatah kata yang bohong....”

“Aku tak pernah berdusta. Tetapi adakah locianpwe ini.... bangsa manusia atau dewa? Mohon locianpwe suka memberitahukan nama locianpwe yang mulia?"

Kakek aneh itu tersenyum, “Aku mendapat tugas untuk menjaga tempat penyimpanan kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong Cousu....” Ia menghela napas lalu berkata pula, “Pada waktu itu kebetulan aku keluar sehingga terjadi kesalahan besar itu!"

Siau-liong tertegun memandang kakek itu. Tak pernah disangkanya bahwa kitab pusaka Thian-kong-sin-kang, ternyata ada penjaganya.

Timbul keheranannya. Tio Sam-hong sudah hampir seribu tahun meninggal dunia. Setua-tua kakek itu, paling banyak hanya berusia seratus tahun lebih. Lalu siapakah yang memerintah dia menjaga kitab pusaka itu?

Gua rahasia penyimpanan kitab pusaka itu, tiada pintunya sama sekali. Dahulu karena tak sengaja membobol dinding, maka dapatlah ia masuk ke dalam ruang rahasia itu. Sedang kakek itu tinggal diluar. Bagaimana ia dapat keluar masuk ke dalam ruang itu?

Dan lagi pada lembar pertama dari kitab itu jelas tertera kata-kata.... dua orang masuk keruang ini, hanya seorang yang berjodoh....” kata-kata itu seperti diperuntukkan ia dan Mawar Putih yang sama-sama masuk ke dalam ruang itu. Jika kakek itu benar-benar seorang ahli nujum yang lihay, mengapa tahu bahwa pada hari itu akan ada orang yang masuk ke dalam ruang rahasia, dia malah bepergian keluar?

Siau-liong mulai meragu tetapi ia tak berani tak mempercayai kakek aneh itu. Buktinya, belum pernah sama sekali ia bertemu dengan si kakek tetapi mengapa dia tahu bahwa ia telah masuk ke dalam ruang penyimpanan kitab pusaka dan mengambil kitab Thian-kong-sin-kang!

Dan yang mengherankan. Pada saat ia masuk ke dalam ruang tempat kitab itu, ia sedang menyamar sebagai Pendekar Laknat. Ah, kalau kakek itu tak mengerti ilmu petangan, tak mungkin dapat mengetahui gerak geriknya.

Tiba-tiba kakek itu tertawa pelahan, “Sudah tentu engkau curiga. Tetapi ketahuilah, sekalipun Tio Sam-hong sendiri masih hidup, beliau pun tentu tak luput dari kelengahan. Aku....”

Kembali ia menghela napas. ujarnya, “Ya, kesalahanku yang besar itu, memang tak dapat ditebus lagi. Sudah duapuluh satu leluhurku yang turun menurun bertugas menjaga kitab pusaka itu. Tak nyana akhirnya kitab itu musnah dibawah penjagaanku!"

Nadanya penuh penyesalan dan kedukaan. Seolah-olah ia ingin untuk menebus dosa.

"Adakah locianpwe tinggal di dalam ruang rahasia itu?" tanya Siau-liong.

"Benar, sudah berpuluh-puluh tahun aku mengasingkan diri dalam ruang rahasia itu....”

“Tetapi ruang rahasia itu tiada berpintu dan tak ada persediaan makanan. Bagaimana locianpwe dapat hidup selama berpuluh tahun itu?"

Kakek itu tertegun, matanya berkeliar dan lalu tertawa, “Ada pintu rahasianya. Hanya saja engkau tak dapat menemukan!"
Siau-liong diam tetapi dalam hati setengah tak percaya.

Kakek itu berkata lebih lanjut, “Aku ditugaskan menjaga kitab pusaka itu sampai datang orang yang berjodoh. Siapa kira tempat itu engkau terobos dengan tak terduga-duga....”

“Kalau begitu, aku bukan orang yang berjodoh," Siau-liong menghela napas.

"Dahi bibirmu pendek, tentu bernasib malang. Gurat-gurat alamat itu sudah nampak, dalam beberapa hari ini tentu akan terjadi. Maaf, kalau aku berkata terus terang, mungkin engkau takkan bisa hidup lebih lama dari sepuluh hari....” kakek itu menghela napas lalu melanjutkan, “dan engkau telah melakukan tindakan yang tak selayaknya.

Seharusnya jangan menghancurkan kitab pusaka itu. Masakan kubiarkan kitab itu sampai lenyap selama-lamanya?"

Siau-liong tergetar hatinya. Ucapan kakek itu sepatah demi sepatah bagaikan ujung belati menusuk ulu hatinya.

Song Ling menarik lengan baju Siau-liong dan membisiki didekat telinganya: "Jangan menghiraukan ocehannya. Mungkin kakek ini bukan orang baik!"

“Jangan takut aku dapat menghadapinya," Siau-liong menghibur.

Kiranya ia memang sudah mempunyai rencana. Tak peduli kakek itu orang baik atau jahat, tetapi karena ia merasa sudah menghancurkan kitab pusaka Thian-kong-sin-kang. Apapun yang akan terjadi, ia siap menghadapi.

“Ya, semua telah terjadi, entah locianpwe hendak mengusahakan bagaimana untuk menolong soal itu?" tanyanya sesaat kemudian.

Kakek aneh itu tersenyum, “Telah kupikirkan lama sekali tetapi tetap tak memperoleh daya untuk menolong. Ah, ternyata cara yang hendak kuajukan itu sudah engkau pikirkan juga....”

“Aku sungguh tak mengerti maksud locianpwe. Masakan aku sudah....”

Kakek aneh itu tertawa meloroh lalu maju menghampiri kedua anak muda itu. Siau-liong terkejut dan cepat bersiap. Kakek itu berhenti dimuka mereka berdua. Ditatapnya wajah Song Ling dengan tajam. Beberapa saat kemudian ia tertawa, “Tulang bagus bakat tinggi. Benar-benar seorang tunas yang hebat....”

Kemudian ia beralih memandang Siau-liong, katanya, "Bukan engkau pernah hendak menurunkan Thian-kong-sin-kang kepada anak perempuan ini?"

Kembali Siau-liong terkejut. Ia benar-benar percaya kalau kakek aneh itu seorang ahli nujum yang sakti. Kalau tidak bagaimana ia tahu hal itu?

“Benar, memang aku pernah bermaksud begitu," akhirnya ia mengaku.

Kerut wajah kakek itu berubah serius, “Karena itu, agar kitab pusaka itu jangan sampai lenyap dari dunia, engkau harus berdoa kepada arwah Tio Sam-hong Cousu untuk meminta ijin menurunkan ilmu Thian-kong-sin-kang kepada seorang pewaris....!"

Ia berhenti sejenak lalu menatap Siau-liong, “Pertama, engkau harus mengajarkan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepada nona Song ini. Tak boleh ada sepatah kata yang kelewatan. Kedua, selama engkau masih hidup dalam beberapa waktu ini, tak boleh engkau mengatakan soal ilmu itu kepada siapapun juga. Lebih-lebih jangan sekali-kali memberikan pelajaran itu kepada lain orang. Nah, apakah engkau dapat menerima syarat itu?"

Syarat yang dikehendaki kakek aneh itu justeru tepat seperti yang direncanakan Siau-liong. Ia memang hendak menurunkan pelajaran Thian-kong-sin-kang kepada Song Ling. Menilik bakat dan kecerdasan dara itu, ia percaya dalam waktu setahun saja, dara itu tentu akan menguasai ilmu sakti tersebut. Apabila kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia tak dapat dibasmi, sekurang-kurangnya ia dapat meletakkan harapannya kepada dara itu. Dalam waktu setahun lagi, setelah paham ilmu Thian-kong-sin-kang, tentulah dara itu akan dapat melenyapkan kedua durjana pengganggu dunia persilatan itu!

“Baiklah, aku menerima seluruh permintaan locianpwe," kata Siau-liong, "tetapi aku masih mempunyai sebuah permintaan....”

"Silahkan kalau engkau mau menyatakan apa-apa," kata kakek aneh seraya mengelus jenggot.

“Adanya kuhancurkan kitab pusaka Thian-kong sin-kang itu adalah karena aku kuatir kitab itu sampai jatuh ketangan orang jahat. Demi menjaga hal itu, maka penurunan ilmu itu harus dilakukan secara rahasia. Akan kuucapkan seluruh isi kitab itu kepada nona Song. Menilik kecerdasannya, ia pasti dapat mengingat dengan lekat."

“Ya, baiklah, aku setuju....” kata kakek itu, “tetapi berapa lama engkau dapat menurunkan pelajaran itu?"

Sejenak Siau-liong terdiam, sahutnya, “Dalam dua jam atau paling lambat dalam tiga jam saja, tentu sudah selesai!"

Kakek tua segera meminta kedua pemuda itu supaya segera mulai pelajaran itu bertempat diruang samping, katanya, “Aku yang menjaga disini untuk pengamanan kalian."

“Baiklah," kata Siau-liong lalu menarik Song Ling diajak keruang samping. Tetapi diluar dugaan dara itu mendengus dingin, “Perlu apa harus keruang samping?"

“Ih, apakah tadi engkau tak mendengar pembicaraan kami?" Siau-liong kurang senang.

“Kalau mendengar lalu bagaimana?"

Siau-liong terbeliak. Thian-kong-sin-kang merupakan ilmu sakti nomor satu di dunia persilatan. Siapa yang dapat menguasai tentu akan menjadi tokoh tanpa tanding. Setiap orang persilatan tentu ngiler memimpikan ilmu sakti itu. Tetapi mengapa dara itu bersikap enggan?

“Hendak kuberikan pelajaran ilmu Thian kong-sin-kang kepada nona. Apakah engkau tak mau?" tegurnya.

Song Ling tertawa dingin, “Engkau menduga tepat! Aku tak kepingin ilmu itu!"

Siau-liong terkesiap.

Setelah menunggu sampai beberapa jenak dara itu tak membuat reaksi pernyataan lagi, tahulah Siau-liong bahwa Song Ling tentu masih mencurigai si kakek.

Ternyata kakek aneh itu juga mendengar kata-kata Song Ling. Dia juga heran. Matanya berkeliaran kian kemari tetapi tak berkata suatu apa.

Siau-liong meringis. Tak tahu ia bagaimana harus bertindak. Duduk berdiri serba salah, wajahnya tersipu-sipu malu.

Song Ling melirik. Rupanya dara itu tak sampai hati membiarkan pemuda itu dalam kekakuan begitu. Ia tertawa mengkikik: ,,Baiklah, mari kita keruang samping. Tetapi bukan berarti aku akan minta pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang, lho....”

Kemudian dara itu melirik ke arah kakek aneh dan berkata pula, “Siapapun jangan susah payah berkesal hati!"

Kakek itu tertegun. Tiba-tiba ia tertawa meloroh, “Tak pernah selama ini aku salah lihat. Tak seorang tokoh persilatan yang tak ngiler akan ilmu sakti Thian-kong-sin-kang....”

Sambil memandang ke arah kedua pemuda yang melangkah ke arah ruang samping, ia berseru lagi, “Harap nona belajar yang teliti dan mengingat baik-baik. Aku tetap yang menjaga disini!"

Kakek itu lalu tegak diambang pintu sambil lintangkan tongkat besinya. Rambut putih dengan jubah kuning yang berkibaran dihembus angin, sepintas pandang kakek itu benar-benar menyerupai dewa yang turun kebumi....

Ruang samping itu terpisah empat lima tombak dari sikakek berdiri. Song Ling duduk ditempat yang agak bersih lalu berkata: “Sepasang mata tua bangka itu tak henti-hentinya berkeliaran. Tentu mengandung maksud jahat. Apa yang dikatakan tadi hanya ngawur saja, belum tentu....”

Siau-liong cepat mengerat, “Harap nona jangan banyak kecurigaan. Tak peduli maksudnya bagaimana, aku akan mengajaran isi kitab itu secara rahasia sekali sehingga tak meninggal jejak. Tak nanti dia mendapat keuntungan....”

Song Ling tertawa dingin, “Pengalamanmu kurang sekali! Mana dia mau tegak mematung disana saja? Tetapi asal engkau sungguh hendak mengajarkan ilmu itu kepadaku, kita nanti cari akal agar dapat kuterima dengan baik."

Merah wajah Siau-liong. Diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata itu. Jika ia lengah dan ilmu itu sampai terdengar orang yang jahat, kematian tetap belum mampu menebus dosanya.

Siau-liong tundukkan kepala.

“Kucurigai jangan-jangan kakek itu kaki tangan si Iblis Penakluk-dunia Siapa tahu kemungkinan dalam biara ini masih tersimpan orang-orang yang menyembunyikan diri secara rahasia. Bahkan bukan mustahil kalau kedua suami isteri durjana ini berada disini sendiri!"

"Siau-liong seperti dipagut ular. Ah, benar, benar! Mengapa ia setolol itu? Cepat ia bergeliat bangun dan memandang keluar pintu. Tetapi sekeliling penjuru sunyi senyap. Tiada sesuatu yang mencurigakan. Kakek aneh itupun tetap berdiri diambang pintu menghadap kesebelah luar.

Setelah meneliti beberapa saat, ia kembali ketempat Song Ling, ujarnya: “Tampaknya tempat ini tak ada tanda-tanda yang mencurigakan dijadikan tempat persembunyian rahasia. Tetapi demi pengamanan, akan kugunakan ilmu Menyusup Suara untuk mengajarkan ilmu itu kepadamu."

Song Ling tertawa, “Pernahkah engkau mendengar tentang ilmu Meneropong langit, mendengar bumi? Jika orang yang bersembunyi memiliki ilmu semacam itu, asal masih dalam lingkungan sepuluh tombak saja, tentu masih dapat menangkap setiap gerak gerikmu dan setiap patah ucapanmu. Jangan kira ilmu Menyusup Suara itu sudah aman. Ilmu itu tetap dapat ditangkap orang....”

Sejenak memandang kesekeliling, dara itu melanjutkan pula, “Segala rencana ini tentu dirancang Iblis Penakluk-dunia. Mengingat saat ini kita masih terluka, jika sampai membocorkan seluruh isi kitab Thian-kong sin-kang itu, tentulah mereka segera menghabisi jiwa kita. Dan ilmu itu akan dimiliki Iblis Penakluk-dunia dan isterinya untuk selama-lamanya. Dunia persilatan pasti akan mereka genggam!"

Siau-liong tergetar hatinya: “Benar, nona sungguh cerdas sekali!"

Song Ling tersenyum, “Ah, sebenarnya hal itu sudah gamblang. Tetapi karena engkau terlalu jujur sehingga mudah percaya omongan kakek itu. Karena engkau yang memperoleh dan yang menghancurkan kitab Thian kong-sin-kang, kedua suami isteri Ibils-penakluk-dunia tentu tak mau membunuhmu dulu. Mereka hendak mengatur siasat untuk memperoleh pelajaran kitab itu!"

Siau-liong kerutkan jidat, katanya, “Kalau begitu, kita gunakan kesempatan ini untuk memulangkan tenaga. Dalam 3 jam saja, kita tentu sudah cukup kuat untuk menerobos keluar dari tempat ini!"

“Jika tak salah dugaanku," sahut Song Ling, “Jika tahu kalau engkau tak mengajarkan ilmu itu kepadaku, Iblis Penakluk-dunia tentu tak mau menunggu sampai tiga jam....”

Berhenti sejenak, dara itu menghela napas pasrah, “Ah, terserahlah saja kepadamu....”

Ia menyadari dari keadaan saat itu. Tenaga mereka berdua belum pulih sehingga tak mampu bertempur. Jangankan dengan barisan pedang yang bersembunyi disekelilmg biara situ, sedangkan sikakek aneh yang bertongkat besi dari duaratus kati itu saja, sudah sukar dihadapi. Karena tiada lain jalan, terpaksa Song Ling menyetujui usul Siau-hong. Mereka segera pejamkan mata bersemadhi memulangkan tenaga.

Keduanya telah membulatkan tekad. Hanya menggunakan kesempatan beberapa jam itu untuk memulangkan tenaga. Hanya dengan jalan itu mereka mempunyai harapan untuk lolos.

Tampaknya kakek aneh itu benar-benar mewajibkan diri sebagai penjaga keamanan. Dan sama sekali seperti tak manghiraukan Siau-liong yang sedang menurunkan pelajaran kepada si dara itu.

Sambil melakukan penyaluran napas dan hawa murni, Siau-liong merenungkan kembali isi pelajaran kitab Thian-kong-sin-kang untuk menyalurkan pernapasan, tetapi dia sesungguhnya masih banyak yang belum jelas akan soal-soal Semangat, Hati, Nafsu, Pikiran, Ketenangan, Gerakan, Kehampaan dan Kenyataan dalam ilmu pernapasan itu. Maka dalam melakukan pernapasan itu pun masih belum seluruhnya berhasil seperti yang dikehendaki, Tetapi untunglah ia memiliki otak yang cerdas dan kemauan keras. Sedikit banyak dapat juga ia menyelami beberapa bagian dari rahasia pelajaran itu.

Kira-kira dua peminum teh lamanya, kakek aneh itu tiba-tiba berbalik memandang ke arah kedua pemuda. Dilihatnya Siau-liong dan Song Ling duduk bersemadhi. Kakek itu kerutkan alis lalu menghadap kemuka lagi.

Setelah sejam kemudian, kakek tua itu masih tetap berdiri diambang pintu. Siau-liong memang curiga terhadap kakek itu. Sambil menyalurkan pernapasan, diam-diam ia memperhatikan gerak gerik kakek itu. Tetapi karena ternyata kakek itu tak membuat suatu gerakan apa-apa, mulailah Siau-liong lepaskan perhatian dan tumpahkan semangatnya untuk menyalurkan pernapasan.

Tiba-tiba diluar biara samar-samar terdengar suara orang bicara. Siau-liong serentak hentikan penyaluran napas dan pasang telinga. Ah, benar, memang ada pendatang yang berada diluar biara.

Sesaat itu teringatlah Siau-liong akan ceceran noda darah. Ia percaya pendatang itu tentu akan memasuki biara untuk menyelidiki. Dan ketika mendengarkan dengan seksama, ternyata pendatang itu tak kurang dari lima atau enam orang jumlahnya. Mereka sedang bercakap-cakap dengan pelahan. Rupanya kuatir pembicaraan mereka terdengar oleh orang dalam biara.

“Jika kakek aneh itu benar-benar kaki tangan Iblis Penakluk-dunia, pendatang itu tentulah rombongan Ceng Hi totiang," diam-diam Siau-liong menimang.

"Anda kalau mau masuk, masuk sajalah segera. Mengapa kasak kusuk disini?" tiba-tiba terdengar suara orang berseru nyaring. Menyusul terdengar derap langkah orang mendatangi.

Siau-liong tergetar hatinya. Ia tak asing dengan nada suara itu. Tetapi sesaat ia lupa pernah bertemu dimana.

Song Ling pun sudah membuka mata. Dengan pandang bertanya ia menatap Siau-liong lalu mencurahkan perhatian untuk mendengarkan gerak gerik pendatang-pendatang diluar biara itu.

Kakek aneh itu bermula masih tenang. Seolah-olah tak mengacuhkan. Tetapi saat itu tiba-tiba ia mulai gelisah. Beringsut dari ambang pintu, ia menyurut mandur ke dalam. Sambil memperhatikan kedua muda mudi yang masih duduk itu, ia beringsut mundur ke belakang jendela. Tiba-tiba ia lontarkan passer pertandaan keluar.

Walaupun passer atau anak panah itu hanya memencar sinar lemah tetapi tetap dapat dilihat Siau-liong. Kini tersadarlah ia. Kakek aneh itu benar-benar memang kaki tangan Iblis Penakluk-dunia!

Dengan pemberian panah rahasia itu, jelas kalau kakek itu bukan seorang diri melainkan dengan rombongan. Siau-liong segera memberi isyarat mata kepada Song Ling. Keduanya serentak bangkit lalu mengumpat disudut ruang yang gelap dan menunggu apa yang terjadi.

Derap kaki orang tadipun segera tiba dimuka biara. Dan sehabis melepas panah pertandaan, kakek aneh tadipun segera kembali berdiri disamping meja. Tegak menjaga sambil mencekal tongkat besi.

Rupanya pendatang itu masih bersangsi diluar pintu. Tiba-tiba ia terbeliak kaget karena melihat arca di atas meja sembahyang dan sikakek aneh yang menjaga disamping meja. Segera orang itu melangkah masuk.

“Pak tua, apakah engkau penjaga biara ini?" tegurnya dengan suara nyaring.

Tetapi secepat itu ia merasa kalau pertanyaannya salah alamat. Dilihatnya kakek itu bukan bangsa paderi atau imam. Dan biara rusak itupun tentu sudah lama tiada dirawat orang dan tiada penjaganya.

Tiba-tiba pendatang itu tertawa gelak-gelak lalu bertanya pula, “Hai, pak tua, apa kerjamu disini? Mengapa engkau mengadakan sembahyangan ditempat ini?"

Kakek tua itu bersikap pura-pura tak mengacuhkan. Tetapi ia berusaha untuk mengalingi pandangan pendatang itu supaya jangan sampai melihat ke arah ruang samping. Lalu menyahut, “Aku seorang kelana dan kebetulan sedang beristirahat disini....”

Sejenak menatap pendatang itu, ia melanjut-kan pula, “Apakah saudara juga sedang lalu didaerah ini?"

Diruang samping, Siau-liong sudah melihat jelas siapa pendatang itu. Ya, tak salah lagi. Dia adalah si tinggi besar Lu Bu-ki, kepala Rimba Hijau daerah Lam-lok yang terkenal dengan julukan Ruyung-besi-pelor-sakti.

Lu Bu-ki sambil mencekal ruyung besi menatap dengan pandang curiga kepada kakek aneh itu. Dibelakangnya tampak empat orang jago-jago silat siap dengan senjata terhunus.

Siau-liong yang sudah tahu jelas status kakek aneh itu, karena kuatir Lu Bu-ki kena dikelabuhi, cepat-cepat menyalurkan pernapasan. Setelah merasa peredaran darahnya longgar dan tenaganya banyak pulih, segera ia berbangkit hendak melangkah keluar.

Tetapi tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikirannya. Dan ia batalkan niatnya.

Kiranya ia teringat bahwa walaupun si tinggi besar Lu Bu-ki itu amat mengagumi dan mengindahkan dirinya tetapi dalam kedudukan sebagai Pendekar Laknat. Dan sekarang kalau ia muncul sebagai Siau-liong, orang tinggi besar itu pasti takkan mengenalnya.

Mengingat si tinggi besar itu seorang jujur dan berangasan, ia kuatir akan menimbulkan salah paham. Apa boleh buat terpaksa ia sabarkan diri dan menunggu saja bagaimana perkembangannya barulah ia akan bertindak bersama Song Ling.

Ternyata si tinggi besar Lu Bu-ki tak menyahut hanya memandang ke sekeliling penjuru lalu berkata, “Pak tua, tempat ini bukan tempat yang aman. Lebih baik lekas-lekas tinggalkan tempat ini. Apakah selama dalam perjalananmu engkau tak pernah mendengar tentang sepak terjang suami isteri Iblis Penakluk-dunia yang hendak menguasai dunia persilatan dan melakukan pembunuhan secara besar-besaran itu?"

Kakek aneh itu tertegun, lalu tertawa.

“Aku berkelana keseluruh penjuru dunia. Tak mencampuri urusan dunia persilatan. Aku tak peduli siapapun juga!" serunya.

Seorang tinggi kurus yang berdiri mencekal pedang di belakang Lu Bu-ki. memandang lekat pada kakek aneh itu. Saat itu tiba-tiba mendekati Lu-Bu-ki dan membisiki beberapa patah kata.

Si tinggi besar Lu Bu-ki keliarkan matanya dan mengerung, “Benar.... benar, lalu ia maju dua langkah kehadapan kakek aneh dan membentaknya, “Pak tua, kapankah engkau datang kebiara ini?"

Kakek tua itu mundur selangkah dan menjawab tersendat: "Baru kemarin malam dan sekarang akan melanjutkan perjalanan lagi....” kemudian ia menggerutu, “Aku tak biasa didesak orang dengan pertanyaan-pertanyaan. Kalau tak ada urusan lagi, silahkan saudara tinggalkan aku seorang diri."

Lu Bu-ki membentaknya, “Pak tua, kalau ketemu tuanmu ini engkau memang celaka. Kalau memang semalam engkau sudah datang, tentu engkau tahu siapa yang bertempur diluar biara ini?"

Kakek itu gentakkan tongkat besinya. Rupanya ia marah tetapi ia tetap tertawa hambar dan gelengkan kepala, “Telah kukatakan, aku tak peduli dengan urusan dunia persilatan. Jangankan memang tak mendengar suara ribut-ribut itu, sekalipun dengar akupun tak ambil pusing!"

Lu Bu-ki lintangkan ruyung besi dan membentak nyaring, “Pak tua, sudah duapuluh tahun aku berkecimpung dalam dunia persilatan. Mataku sudah kenyang melihat apa-apa, Hayo lekas bilang siapakah sesungguhnya dirimu ini!"

Nadanya keras, sikapnya kasar. Benar-benar suatu lagak yang biasa diunjuk oleh orang persilatan yang kasar.

Demikian keempat orang yang mangawal di belakang itu. Begitu melihat si tinggi besar bersikap hendak turun tangan, mereka pun cepat mencabut senjata masing-masing dan terus mengepung kakek aneh itu.

Diam-diam Siau-liong gelisah melihat tingkah laku si tinggi besar itu. Jangankan kakek itu masih mempunyai gerombolan yang menyembunyikan dari disekitar biara situ. Sekali pun hanya seorang diri, tetapi kakek yang mencekal tongkat besi seberat duaratusan kati itu tentu sukar dilawan.
48. Rahasia Kakek Aneh

Tetapi apa yang terjadi saat itu, benar-benar diluar dugaannya. Si kakek yang tampak seperti seorang dewa itu dan dikira tentu mempunyai kepandaian yang sakti, tetapi ternyata berhadapan dengan si kasar Lu Bu-ki, kakek itu mengunjuk wajah yang ketakutan. Dia beringsut-ingsut mundur ke belakang. Tetapi matanya tak henti-hentinya memandang keluar jendela seperti orang sedang menunggu datangnya bala bantuan.

Karena kakek itu diam saja, si kasar Lu Bu-ki terus ayunkan ruyungnya dengan jurus Menyiak-bunga-menggoyang-pohon.

Sebagai pemimpin Rimba Hijau dari wilayah Lam-lok, sudah tentu Lu Bu-ki memiliki kepandaian yang tinggi. Gerakan menutuk dengan ruyung itu menimbulkan desis suara yang amat tajam.

Kakek itu mengangkat tongkat hendak menangkis tetapi tubuhnya pun cepat-cepat miring kesamping. Secepat menarik lagi tongkat dan mundur hendak menyingkir.

Tetapi saat itu ia berada didekat dinding ruang. Apalagi masih ada keempat pengawal Lu Bu-ki yang menyerang. Kakek itu tak mampu menghindar lagi.

“Tring....!” betapa kakek itu mundur, tak urung tongkatnya berbentur juga dengan ruyung besi dari si tinggi besar Lu Bu-ki.

Tiba-tiba si tinggi besar tertegun dan mundur selangkah. Dipandangnya kakek itu dengan terlongong-longong. Melihat pemimpinnya tak melanjutkan serangannya keempat pengawal itupun masing-masing mundur selangkah dan sikap menunggu.

Kakek aneh yang sudah terpojok disudut dinding itu, tampak ketakutan.

“Ho, kiranya engkau binatang!" tiba-tiba Lu Bu-ki berteriak sesaat kemudian. Dan menyusul ruyungpun segera diayunkan dengan deras untuk mendesak kakek aneh itu.

Kakek itu sudah patah nyalinya. Tongkatnya tak keruan gerakannya. Cepat sekali tongkatnya terpukul jatuh oleh ruyung Lu Bu-ki.

Siau-liong dan Song Ling melihat jelas apa yang terjadi itu. Sepintas pandang tongkat besi kakek aneh itu amat berat sekali tetapi ternyata dapat disabat terpental oleh ruyung Lu Bu-ki. Jelas tongkat itu bukan dari besi melainkan dari besi tipis yang dibalut kulit.

Diam-diam Siau-liong memaki dirinya sendiri mengapa tak cermat menilai orang sehingga mudah dikelabuhi.

Setelah tongkatnya terpental, tampak kakek itu bingung tak keruan. Tiba-tiba ia menjerit keras, "Thian-cun, tolonglah! tolonglah....”

Lu Bu-ki terkesiap. Ia mendengus dingin, lalu sabetkan ruyungnya ke pinggang si kakek.

"Bluk".... kakek itu terpental sampai setombak lebih jauhnya dan terkapar rubuh di tanah.

Lu Bu-ki memburunya, “Binatang, engkau masih berani pura-pura pingsan!" Ia terus mencopoti rambut, jenggot, jubah dan mantel kakek itu.

Ternyata orang itu mengenakan kedok muka palsu. Dia bukan lagi si kakek tua melainkan seorang lelaki yang baru berumur limapuluhan tahun. Pakaiannya yang asli hanya seperangkat pakaian yang sudah rusak, butut dan compang-camping. Seorang tukang khwat-mia atau tukang ramal yang berkelana mencari penghidupan di dunia persilatan.

Lu Bu-ki menginjak dada orang itu lalu membentaknya, “Hai, mulut besi, masih kenal aku!"

Kiranya orang itu bernama Ong Thiat-go Orang si Mulut besi. Seorang tukang ramal yang menuntut penghidupan sebagai penipu. Sedikit-sedikit dia memang belajar silat dan pernah berlatih ilmu tenaga dalam. Maka sabatan ruyung Lu Bu-ki tadi tak sampai membuatnya pingsan. Dengan bergeliatan dan berkaok-kaok ia memanggil Thian-cun atau bapak kepala. Tetapi sampai kerongkongannya serasa pecah, tetap tiada penyahutan atau bantuan yang datang. Setelah Lu Bu-ki menginjak dadanya, barulah ia tak berani bertingkah lagi.

"Poh-cu, hamba memang berdosa, hamba....”

"Jangan banyak bicara! bentak si tinggi besar, "Lekas bilang mengapa engkau berani menyaru seperti setan tua!"

Karena dadanya terhimpit sehingga sukar bernapas, si Mulut besi itu mencekal kaki Lu Bu-ki erat-erat dan tak dapat bicara.

Si tinggi besar mendengus lalu longgarkan injakannya, “Lekas bilang kalau berani bohong otakmu tentu berhamburan keluar!"

Setelah merghela napas dan memandang sejenak ke arah luar jendeia, berkatalah ia dengan sikap ragu-ragu, “Poh-cu, suami isteri Iblis Penakluk-dunia berada dalam biara ini.... hamba....”

Memang pada waktu si Mulut besi berkaok-kaok minta tolong pada “Thian cun", Lu Bu –ki sudah menduga kalau kedua suami isteri durjana itu tentu berada disekitar tempat situ. Tetapi sebagai kaum persilatan, Lu Bu-ki dan rombongannya tak menghiraukan lagi soal mati atau hidup.

Walaupun kasar dan berangasan, tetapi ternyata Lu Bu-ki cerdik juga. Ia sadar kalau kawan-kawannya sukar lolos dari cengkeraman Iblis Penakluk-dunia. Tetapi sebelum mati, Lu Bu-ki harus dapat menggagalkan rencana Iblis Penakluk-dunia untuk kemudian ia laporkan pada Ceng Hi totiang.

Kiranya saat itu Ceng Hi totiang sudah mengajak rombongan orang gagah tinggalkan Lembah Semi. Sepanjang jalan, banyak tokoh yang dianjurkan pulang ketempat masing-masing. Dengan hanya membawa beberapa puluh tokoh-tokoh terkemuka dari partai-partai persilatan, mereka menuju ke gunung Go-bi, Lu Bu-ki bertugas menjadi pelopor dimuka.

"Tak peduli setan belang yang berada disini, jika engkau tak mau bilang sejujurnya, tuanmu tentu segera akan....” - bentak Lu Bu-ki seraya mencengkeram bahu si Mulut-besi. Bentaknya, “Biarlah engkau rasakan dulu bagaimana rasanya ilmu Hun-kin-soh-kut itu!"

Hun-kin-soh-kut artinya Menceraikan urat nadi dan mengunci tulang. Sudah tentu si Mulut-besi kelabakan setengah mati. "Harap Poh-cu memberi ampun. Hamba akan bilang! Ya, akan bilang....”

Sejenak menghela napas, si Mulut-besi segera berkata, “Hamba sebenarnya menjadi tawanan orang. Semua rencana disini adalah menurut perintah Iblis Penakluk-dunia. Hamba disuruh menyaru sebagai penjaga tempat kitab pusaka peninggalan Tio Sam-hong Cousu. Dan harus menipu Kongsun Liong siauhiap agar mau menurunkan ilmu Thian-kong-sin-kang kepada kawan seperjalanannya nona Song....”

"Ngaco belo!" bentak Lu Bu-ki, "apa itu ilmu Thian-kong-sin-kang dan Kongsun Liong!"

Kalau si tinggi besar tak percaya obrolan si Mulut-besi, memang beralasan juga. Karena ia telah melihat bagaimana dalam barisan Pohon Bunga di Lembah Semi tempo hari, Pendekar Laknat gunakan ilmu Thian-kong-sin-kang untuk melawan Jong Leng lojin dan Lam-hay sin-ni. Ia yakin Pendekar Laknat tentulah yang mewarisi ilmu sakti itu.

Segera ia tambahi tenaga cengkeramannya pada bahu si Mulut-besi sehingga orang itu menjerit-jerit seperti kerbau hendak disembelih.

“Poh-cu, apa yang hamba katakan itu memang benar. Asal Kongsun Liong mau menurukan ilmu Thian-kong-sin-kang kepada nona Song, Iblis Penakluk-dunia segera gunakan ilmu Meneropong-langit-mendengar-bumi untuk mencuri dengar. Setelah itu ia akan membunuh kedua anak muda itu dan ilmu itu akan dimiliki tunggal oleh Iblis Penakluk-dunia sendiri....”

"Makin lama engkau makin tak keruan bicaramu!" bentak si tinggi besar, “jika memiliki Thian-kong-sin-kang, masakan Iblis Penakluk-dunia mampu membunuhnya? Dan mengapa ia hendak menurunkan ilmu sakti itu kepada lain orang?"

Habis berkata siberangasan itu terus hendak menyiksanya lagi. Si Mulut-besi berusaha menunjuk ke arah ruang samping, serunya, “Kalau tak percaya, silahkan tanya kepada kedua pemuda itu.... Dia sudah setuju hendak menurunkan ilmu Thiau-kong-sin-kang tetapi nona itu dapat mengetahui tipu muslihat....”

Tiba-tiba dari luar jendela meluncur sebertik sinar bintang yang langsung mengarah ketenggorokan si Mulut-besi. Lu Bu-ki terkejut. Ia hendak menolong tetapi sudah tak keburu lagi.

Sebatang anak panah kecil yang amat tajam, menembus tenggorokan si Mulut-besi. Dia menguak tertahan, tubuh meremang dan pada lain saat kaki tangannya pun menjulur kaku. Nyawanya amblas.

Sekitar luka pada anak panah itu berwarna hitam. Jelas mengandung racun ganas.

Cepat Lu Bu-ki lari keluar Ternyata Siau-liong dan Song Li sudah berada di pintu. Hampir saja si berangasan menubruknya. Ia berhenti dan membentak, “Omongan si Mulut besi tadi....”

"Seluruhnya benar! Aku memang hampir saja aku terkena tipunya....”

Sambil mencekal rujung besinya, si tinggi besar berseru pula, “Aku benar bingung mendengar semua ini! Hal ini.... hal ini.... benar-benar sukar dipercaya!"

“Tak peduli engkau percaya atau tidak, saat ini aku tiada waktu memberi penjelasan panjang lebar, hanya saja ....” — tiba-tiba ia tutukkan kedua jarinya kesebuah batu merah yang terhampar dilantai.

"Krek".... batu merah itu pun pecah berantakan.

Mata si tinggi besar mendelik dan menjeritlah ia dengan kaget, “Thian-kong-sin-kang! Benar-benar memang....” keempat pengawal dibelakangnya pun terlongong-longong seperti patung.

Tiba-tiba Siau-liong gunakan ilmu Menyusup suara kepada Lu Bu-ki, “Ketahuilah hai, saat ini kita sedang dikepung Iblis Penakluk-dunia. Sekali pun aku memiliki ilmu Thian-kong-sin-kang, tetapi belum lama mempelajarinya. Masih sukar menggunakannya dan lagi sedang menderita luka. Kalau Iblis Penakluk-dunia berada disini, mungkin masih sukar menghadapinya. Dia tentu membawa Jong Leng lojin dan Lam-hay Sin-ni. Akibatnya suka dibayangkan bagi kita!"

Tetapi si tinggi besar tak mau berpikir panjang. Setelah mengetahui dengan mata kepala sendiri bagaimana Siau-liong dapat menggunakan tutukan Thian-kong-sin-kang, segera ia suruh dua orang anak buahnya untuk memberi laporan pada Ceng Hi totiang.

Setelah itu ia menunjuk belakarg jendela dan pintu. Kedua anak buah itu segera berpencaran. Menyebar lari ke belakang dan muka.

Kedua orang itu adalah jago-jago rimba hijau, merekapun orang-orang yang terkenal dalam dunia Bulim. Mereka jelas akan situasi saat itu.

Tetapi secepat mereka loncat keluar setitik sinar perak segera menyambarnya. dahsyat sekali sehingga kedua orang dapat menangkis.

Lu Bu-ki dan Siau-liong terkejut. Tak mereka lihat arah datangnya senjata gelap menyambar.

Terdengar dua erang tertahan. Ada juga yang melompat naik, seorang yang sedang melayang di udara menukik jatuh ke tanah. Seperti keadaan sekarat, setelah meregang-regang tubuh dan serta kaki dan tangan mereka menjulur berapa saatpun lantas mati. Jelas kedua orang ini mati disambar anak panah beracun.

Si tinggi besar meraung seperti singa kelaparan. Tetapi ia tak dapat berbuat suatu apa kecuali hanya melihat kedua anak buahnya mati secara mengenaskan.

Tiba-tiba terdengar gelak tertawa nyaring. Siau-liong terperanjat. Ia tahu nada suara itu berasal dari Iblis Penakluk-dunia. Tetapi karena iblis itu menggunakan ilmu tertawa Gelombang-hawa, maka sukar ditentukan arah datangnya.

Hening lelap beberapa saat kemudian. Diluar biara tiada terdengar suara apa-apa lagi. Tetapi keadaan itu merupakan babak permulaan dari sesuatu yang sukar dibayangkan.

Entah berapakah jumlah anak buah yang dibawa Iblis Penakluk-dunia itu? Dan tindakan apa yang hendak mereka lakukan? Dan dengan berada dalam ruang biara itu, Siau-liong, Lu Bu-ki beserta kawan-kawan seperti terkurung!

Sambil menarik Siau-liong, Song Ling berkata bisik-bisik, “Jika begini saja, lambat laun tentu terkena tipu siasat mereka. Menilik durjana itu menaruh keinginan dan takut kepada Thian-kong-sin-kang yang engkau miliki, mengapa kita tidak menyerbu keluar saja!"

Sesaat Siau-liong tak dapat mengambil keputusan. Hanya ia setuju untuk menerobos keluar. Tetapi saat ini musuh ada dalam tempat gelap dan dirinya ditempat terang.

Oleh karena gagal mempergunakan si Mulut-besi untuk mengorek ilmu Thian-kong-sin-kang, kemungkinan iblis itu tentu marah dan hendak membunuh dirinya. Atau mungkin ia akan dijadikan patung hidup seperti Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni, Randa Bu-san dan lain-lain.

Agaknya Song Ling juga memikirkan kemungkinan itu. Ia menghela napas pelahan dan tak mau mendesak Siau-liong lagi. Ia memandang kesekeliling penjuru, menunggu apa yang akan terjadi.

Oleh karena tahu kalau memiliki Thian-kong-sin-kang. Lu Bu-ki menaruh perindahan pada Siau-liong. Ia berdiri tegak disamping pemuda itu sedang kedua anak buah menjaga dipintu dan di belakang jendela.

Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan muncul dari pintu muka dan melangkah masuk pelahan-lahan. Sekalian orang berseru kaget melihat kedua pendatang itu.

Yang dimuka seorang wanita berpakaian merah. Kepalanya menunduk, keadaannya mengenaskan. Kedua tangannya diikat ke belakang.

Dan yang dibelakangnya, seorang paderi bertubuh kecil pendek. Memelihara jenggot kambing. Sepasang matanya ber-kilat-kilat tajam penuh wibawa.

Siau-liong terkejut girang. Paderi itu bukan lain adalah Liau Hoan sipaderi kurus dari Thian-san yang hendak dicarinya. Sedang wanita baju merah itu adalah Poh Ceng-in, pemilik Lembah Semi.

Rupanya paderi Liau Hoan tak mengetahui bahwa biara itu sedang menjadi sarang harimau-harimau yang akan berkelahi. Maka seenaknya saja ia masuk ke dalam ruang.

“Liau Hoan siansu....” seru Siau-liong dengan nada tergetar.

Paderi kurus itu terkejut. Matanya ber-kilat-kilat mencari orang yang memanggilnya tadi. Tetapi serentak dengan itu, tiga bintik sinar menyambar kepala dada dan kakinya.

Saat itu Poh Ceng-in hanya terpisah dua langkah dari paderi Liau Hoan. Serangan gelap itu berasal dari samping dan dilakukan dengan cepat dan dahsyat. Tampaknya tak mungkin Liau Hoan dapat menghindar.

Tetapi tadi karena Siau-liong berseru memanggilnya, paderi itu terkejut dan siap. Dan memang paderi itu bukanlah sembarang paderi, melainkan seorang tokoh sakti yang termasyur dalam dunia persilatan.

Tampak tubuhnya meluncur dan secepat kilat mencengkeram Poh Ceng-in. Aduh.... terdengar wanita itu menjerit lalu jatuh tertelentang.

Liau hoan bergerak luar biasa cepatnya. Ia melesat ke belakang Poh Ceng-in untuk menghindari serangan gelap. Tetapi karena dicengkeram Poh Ceng-in rubuh ke belakang dan tepat menyongsong serangan senjata gelap itu. Ia menjerit dan rubuh seketika.

Kejut Siau-liong bukan alang kepalang.... Menyiak Song Ling, cepat ia enjot kakinya melayang ke tengah ruang.

Sambil masih mencengkeram Poh Ceng-in yang merintih-rintih kesakitan itu, Liau Hoan membentak, “Hm, akhirnya dapat juga kucarimu....”

Siau-liong tak sempat menjawab. Cepat ia merebut Poh Ceng-in dari tangan paderi itu lalu membawanya lari keruang besar.

Liau Hoan pun segera mengikuti.

Song Ling, Lu Bu-ki dan kedua anak buahnya terkejut melihat kejadian itu. Apakah hubungan wanita baju merah itu dengan Siau-liong sehingga pemuda itu begitu ngotot sekali untuk menolongnya?

Lu Bu-ki kenal pada Liau Hoan, segera ia memberi hormat dan menegur. Tetapi diluar dugaan paderi itu tak mengacuhkan. Hanya sejenak memandangnya dingin lalu menghampiri Siau-liong.

Siau-liong tampak bergegas memeriksa luka Poh Ceng-in. Kaki kiri wanita itu terkena sebatang passer tajam. Sekitar dagingnya sudah berwarna merah gelap.

Cepat Siau-liong menutuk jalan darah dikaki wanita itu untuk menghentikan perdarahan. Lalu mencabut anak panah itu.

Karena senjata rahasia itu mengenai kaki kiri dan bukan bagian yang berbahaya, maka Poh Ceng-in tak cepat-cepat mati seperti Ong si Mulut-besi. Dan setelah ditutuk jalan darahnya, peredaran racunnya pun tak sampai mengalir ke jantung sehingga wanita itu pun sadar pikirannya.

Karena ujung anak panah itu agak membengkok, pada saat dicabut Siau-liong, sakitnya bukan main sehingga Po Ceng-in menjerit ngeri dan pingsan.

Siau-liong tak mempedulikan kesakitan atau tidak. Ia mencabut belati dan segera mengupas daging yang sudah memerah gelap itu.

Poh Ceng-in benar-benar setengah mati sekali. Berulang-ulang kali ia sadar dan siuman.

Sambil menutup muka, Song Ling bertanya, “Siapakah wanita ini?"

Siau-liong sedang sibuk mengoperasi luka Poh Ceng-in. Tampaknya ia gelisah sekali sehingga tak mengacuhkan pertanyaan Song Ling.

“Hai, apakah engkau tuli!" karena tak dipedulikan, Song Ling membentaknya.

Siau-liong kicupkan mata, menyahut segan, “Kalau hendak bertanya nanti sajalah....” — ia terus merobek bajunya dan membalut luka Poh Ceng-in.

Song Ling marah sekali, tubuhnya menggigil, “Tidak, harus menerangkan dulu!"

Dara itu terus mencengkeram tangan kanan Siau-liong. Sudah tentu Siau-liong terkejut dan hentikan pertolongannya pada Poh Ceng-in.

“Ah, hal itu tak dapat kuterangkan dalam waktu singkat. Tetapi kalau dia sampai mati, aku pun takkan hidup juga!"

Si dara memandangnya sejenak. Tiba-tiba ia lepaskan cengkeramannya dan mundur dua langkah lalu tertawa keras, “Ah, kiranya engkau seorang yang tak kenal budi! Sayang taciku Mawar buta matanya. Termasuk kami ibu dan anak!"

Ia terus berputar tubuh menghadap dinding dan menangis gerung-gerung. Siau-liong menghela napas. Setelah membalut luka Poh Ceng-in ia lalu menghampiri Song Ling dan menepuk bahunya pelahan-lahan, “Nona Song, aku mempunyai rahasia yang sukar kukatakan, wanita itu....”

Song Ling meronta dan menjerit kalap, “Tak perlu omong! Aku sudah tahu semua!"

Siau-liong banting-banting kaki dan menghela napas lalu kembali ke tempat Poh Ceng-in.

Wajah Poh Ceng-in berwarna gelap, napas terengah-engah tetapi sudah sadar. Begitu membuka mata dan memandang Sian-liong, ia segera berseru, “Siau-liong! Siau....”

Siau-liong deliki mata dan membentaknya, “Perempuan siluman, engkau telah menyiksa diriku....”

Poh Ceng-in tertawa rawan, “Kalau aku menyiksa dirimu, mengapa engkau menolong aku?"

Siau-liong kerutkan geraham. Ia marah sekali tetapi tak dapat berbuat apa-apa.

Wanita itu masih kesakitan. Butir-butir keringat mengucur deras dari kepalanya. Tetapi ia masih kuatkan diri tertawa mengekeh, “Sudah tentu bukan karena menolong aku tetapi.... karena hendak menolong dirimu sendiri....”

Berhenti sejenak, wanita itu berkata pula, “Tetapi sekarang percuma saja engkau hendak bilang apa-apa. Sekalipun dapat menolong aku tetapi engkau tetap tak mampu menolong dirimu. Anak panah itu khusus dibuat ayahku. Siapa kena tentu mati. Paling lama hanya kuat bertahan sampai satu jam!"

"Perempuan siluman, aku akan meminum darahmu!" teriak Siau-ling kalap.

Poh Ceng-in tertawa keras, “Huh, sudah terlambat! Darahku sudah tercampur racun yang ganas. Kalau tak minum darahku, engkau masih dapat hidup sampai tiga hari. Tetapi jika minum, paling lama engkau hanya kuat hidup dua jam saja!"

Tiba-tiba Siau-liong ayunkan tangannya menghantam muka wanita itu. "Plak", seketika separoh wajah wanita itu membegap besar. Darah mengucur deras....

Tetapi Poh Ceng-in makin kalap. Ta tertawa sekeras-kerasnya.

Saat itu Song Ling sudah berhenti menangis dan memandang tercengang peristiwa itu. Ia benar-benar heran terhadap pemuda itu. Bukankah tadi begitu tekun menolong, mengapa sekarang menghantamnya begitu rupa?

Juga Lu Bu-ki bingung. Ia dapat menduga kalau Poh Ceng-in itu puteri dari kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia. Tetapi ia heran mengapa Siau-liong mau menolongnya tetapi tiba-tiba hendak membunuhnya?

Kalau Song Ling dan Lu Bu-ki tercengang-cengang adalah Liau Hoan diam saja. Ia tak mau mengurus Siau-liong yang sedang marah kepada wanita pemilik Lembah Semi itu.

Tiba-tiba kedua pengawal Lu Bu-ki berteriak, “Poh-cu, diluar ada orang datang!"

Sekalian orang terkejut. Karena terpikat perhatiannya kepada Siau-liong, mereka sampai tak memperhatikan keadaan di luar biara.

Ketika memandang keluar, tampak seorang wanita berambut setengah putih, melangkah pelahan-lahan ke dalam ruang. Begitu tiba di dalam. ia memandang kian ke mari dan akhirnya menatap Poh Ceng-in dan Siau-liong. Ia segera menghampiri.

Lu Bu-ki cepat menghadangkan ruyungnya, membentak, “Siapa engkau? Mengapa berani mati!"

Wanita berambut kelabu itu balikkan kelopak matanya dan tertawa, “Aku adalah orang Lembah Semi. Aku tak butuh berkelahi dengan kalian!"

Menyiak ruyung si tinggi besar, ia terus maju menghampiri Poh Ceng-in. Kemudian ia berjongkok dihadapan Poh Ceng-in, “Apakah nona menderita siksaan?"

Tiba-tiba Poh Ceng-in membentaknya, “Jangan mempedulikan aku! Lekas enyah dari sini ......” napasnya terengah-engah.

"Pulang kasih tahu pada ayah dan ibuku. Aku mati terkena anak panah beracun buatan mereka. Matipun ikhlas dan tak mendendam kepada siapapun juga!" katanya lebih lanjut.

Wanita berambut kelabu itu menghela napas.

“Ayah bunda nona, amat cemas sekali. Siang dan malam memikirkan diri nona. Sekarang suheng nona Soh-beng Ki-su dijebloskan dalam gua Im-hong-tong dan akan dicincang ......”

Poh Ceng-in tertawa dingin, “Ah, soal ini tiada sangkut pautnya dengan suheng. Tak usah menghukum orang yang tak bersalah!"

Wanita berambut kelabu itu mengeluarkan sebuah botol warna putih perak.

"Hamba mendapat perintah dari Thian-cun untuk mengantarkan obat ini kepada nona!" katanya lalu memandang Siau-liong dan membentak, “Obat ini khusus untuk menyembuhkan anak panah racun Ngo-tok-bi-hun (lima racun pencabut nyawa). Lekas minumkan kepadanya!"

Betapa geram Siau-liong saat itu, tetapi ia terpaksa melakukan juga. Tetapi sekonyong-konyong Poh Ceng-in menendang botol obat itu. Untunglah karena kedua tangannya terikat, ia tak dapat bergerak leluasa. Dan Siau-liong pun sudah dapat menyambuti botol itu.

"Tolol! Apakah engkau tak tahu kalau aku dan dia sudah sama-sama minum racun Jong-tok?" Poh Ceng-in mendamprat keras wanita itu.

Wanita berambut kelabu tertegun, serunya, “Kalau begitu, dia tentu takkan mencelakaimu."

“Gila! Dia sudah tahu caranya melunturkan racun Jong-tok. Asal racun dalam tubuhku sudah bersih, dia tentu membunuhku!" Poh Ceng-in melengking makin marah.

Wanita berambut kelabu tertawa. “Tak apa," katanya, “Thian-cun pesan agar nona jangan kuatir apa apa!"

Wanita itu berpaling menatap Siau-liong ......
49. Tameng Puteri Iblis

“Seorang nona Pik dan seorang nona Tiau," kata wanita itu, "saat ini ditawan oleh Thian-cun, mencelakai nona Poh. "

Habis berkata ia terus berdiri. Dengan memandang kesegenap hadirin, wanita itupun hendak melangkah pergi.

"Berhenti!" bentak Siau-liong.

Wanita berambut kelabu itupun berhenti dan berpaling, serunya, “Apakah Kongsun-siauhiap hendak memberi pesan lagi?"

"Ya," sahut Siau-liong, "kasih tahu pada kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia. Kuberi waktu sampai matahari silam supaya kedua nona Pik dan Tiau itu, Randa Bu-san serta It Hang to-tiang dan tokoh-tokoh yang ditawan itu dibebaskan semua....”

Wanita rambut kelabu itu tetawa hambar. "Maksud Kongsun-siauhiap hendak mengadakan tukar menukar antara nona Poh dengan para tawanan itu?"

“Anggaplah begitu!" sahut Siau-liong, “kalau tidak, jangan sesalkan aku bertindak ganas. Akan kuhukum mati secara pelahan-lahan puteri kesayangannya mereka itu!"

“Kalau Kongsun-siauhiap suka menukarkan nona Poh kami dengan kedua nona Pik dan Tiau, mungkin akan diluluskan Tetapi kalau Randa Bu-san, It Hang totiang dan beberapa tokoh itu, mereka telah menyatakan sendiri hendak mengabdi kepada thian-cun kami. Oleh karena mereka mengindahkan sekali akan kewibawaan dan kesaktian thian-cun (Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka). Walaupun thian-cun hendak membebaskan, mungkin mereka sendiri yang tak mau....”

“Ngaco!" bentak Song Ling, "manusia apakah Iblis Penakluk-dunia dan isterinya itu? Ibu tak mungkin....”

Karena marah dan kalap, dara itu sampai tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Wanita berambut kelabu hanya tertawa dingin, “Baiklah! Akan kusampaikan pesanmu itu. Tetapi bagaimana keputusan thian cun, aku tak berani mendahului....”

Ia berhenti dan memandang Siau-Liong, serunya: “Harap Kongsun-siauhiap lekas minumkan obat itu kepada nona Poh. Jika nona kami sampai terjadi apa-apa, bukan melainkan seluruh tawanan itu akan diludaskan pun kalian tentu tak ada seorangpun yang akan diberi hidup!"

Habis berkata, wanita berambut kelabu itu mendengus seraya ayunkan langkah ke luar.

Setelah wanita itu lenyap, sekalian orang masih terlongong tak dapat bicara. Si tinggi besar Lu Bu-ki mondir mandir dimuka meja sembahyang. Hawa amarah dalam perutnya serasa mau meledak.

Paderi Liau Hoan mengucap doa keagamaan. Dengan wajah tenang ia duduk di sudut ruangan seraya memandang lekat-lekat pada Siau-liong.

Saat itu Siau-liong mencekal botol kecil berisi obat. Sesaat kemudian ia menghela napas panjang lalu membuka sumbat botol. Isinya hanya setengah botol bubuk putih. Karena tak ada air dan mangkuk, sesaat ia termangu-mangu.

Napas Poh Ceng-in makin memburu. Alisnya memancar warna hijau gelap. Menandakan bahwa racun sudah mulai bekerja, menjalari seluruh tubuhnya.

Walaupun tiada tenaga untuk memandang Siau-liong, namun kesadaran pikirannya masih baik, serunya, “Aku tak mau minum obat itu.... aku lebih suka mati....”

"Benar," geram Siu-liong, "engkau minta mati tetapi aku ingin hidup." ia terus menampar kaki wanita itu. Walaupun hanya pelahan tetapi karena racun sudah menjalar keseluruh tubuhnya, tamparan itu membuat Poh Ceng-in pingsan seketika.

Sesungguhnya Siu-liong bukanlah seorang pemuda yang kejam. Tetapi ia sudah terlanjur benci setengah mati kepada Poh Ceng-in. Kalau dapat ingin ia mencincang wanita itu dan memakan hatinya atau minum darahnya.

Tetapi saat itu ia tak dapat melakukan tindakan begitu. Karena Iblis Penakluk-dunia sudah berhasil memperalat tokoh-tokoh sakti seperti Jong Leng lojin, Lam-hay Sin-ni, Naga Terkutuk, Harimau Iblis dan Randa Bu-san untuk mengacau dunia persilatan.

Satu-satunya jalan untuk mencegah rencana kedua suami isteri durjana itu hanyalah anak perempuan mereka. Kalau wanita pemilik lembah itu dibunuhnya saat itu, Iblis Penakluk-dunia dan isterinya tentu akan mengamuk dan akibatnya sukar dilukiskan lagi.

Siau-liong termenung beberapa saat sambil memegang botol obat itu. Kemudian ia memandang ke arah sekalian orang dan menanyakan siapa yang membawa air.

Lu Bu-ki maju menghampiri dan melolos kantong air pada pinggangiya, diserahkan kepada Siau-liong, “Masih ada setengah kantong."

Demikian Siau-liong lalu menuang air dan obat bubuk. Ketika diaduk, baunya anyir, membuat orang mau muntah.

Setelah itu Siau-liong segera ngangakan mulut Poh Ceng-in lalu menuangkan air obat itu. Perut wanita itu terdengar berkerucukan dan tak berapa lama kemudian tubuhnya mulai bergeliatan, dahinya mengucurkan keringat hangat. Dan warna hijau gelap pada alisnya pun mulai hilang. Kedua pipinya makin merah. Rupanya racun telah hilang.

Kira-kira sepeminum teh lamanya, Poh Ceng-in siuman. Tetapi masih lemah dan tak henti-hentinya merintih.

Hampir setengah hari ia bergeliatan meregang-regang. Ia paksakan diri memandang Siau-liong dan berkata ter-sendat-sendat, “Siau-liong.... minta tolong padamu sebuah hal.... maukah?"

"Katakan!"

“Lepaskan.... tali yang mengikat.... tanganku ini....”

Siau-liong kerutkan alis. Ia sudah tak percaya lagi kepada wanita itu. Walaupun keadaannya lemah lunglai tetapi ia tetap curiga jangan-jangan wanita itu hendak memasang siasat, Kalau wanita itu sampai bebas, bukankah menimbulkan banyak kemungkinan? Mungkin akan melarikan diri dan mungkin akan melakukan hal-hal yang tak terduga lainnya.

"Tak apalah kalau engkau menderita sedikit dulu. Asal kedua orang tuamu mau meluluskan permintaanku agar para tawanan itu dibebaskan, engkau tentu segera mendapat kebebasan juga!" sahutnya.

Poh Ceng-in menghela napas, “Engkau.... sungguh kejam.... benar, benar.... sedikitpun.... tak mempunyai rasa kecintaan....” — ia terus pejamkan mata lagi.

Saat itu haripun sudah lohor. Tetapi karena cuaca mendung tampaknya ruangan itu sudah mulai gelap.

Mayat si mulut besi Ong Thiat-go sudah digotong kesudut. Wajahnya berwarna hitam gelap. Suatu pertanda betapa ganas racun yang telah merenggut jiwanya itu.

Sekalian orang diam semua. Hanya wajah mereka tampak mengerut seperti orang berpikir keras.

Kini Song Ling sudah mengetahui pribadi Siau-liong. Bukan saja kemarahannya lenyap, pun dara itu juga menaruh simpati kepadanya. Dara itu menghampiri ketempat Siau-liong dan duduk di sisinya.

"Aku tadi salah sangka. Apakah engkau.... tak marah?" katanya tersekat.

Saat itu pikiran Siau-liong tengah dicurahkan untuk mencari jalan menghadapi suasana pada saat itu. Sampai dara itu menghampiri dan duduk disamping, ia tak mengetahui sama sekali.

Ia baru gelagapan setelah mendengar kata-kata si dara. Lalu cepat-cepat menyahut, “Aku bukan orang yang berhati sempit. Harap nona jangan pikirkan hal itu."

Song Ling tertawa. Ia memandang lekat pada Siau-liong, ujarnya, “Ih, seri wajahnya sudah cerah. Apakah lukamu sudah sembuh?"

Siau-liong tertawa masam, pikirnya, “Lukaku ini paling tidak empat-lima hari baru sembuh. Masakan begini cepat sudah bisa pulih?"

Lalu ia menanyakan bagaimana dengan luka Song Ling sendiri. Dara itu menjawab sudah baik. Tetapi nada ucapannya rawan seperti tak mau bilang terus terang kepada Siau-liong.

Siau-liong memandangnya tajam dan terkejutlah ia. Wajah dara itu tampak lesi kebiru-biruan, matanya tak bersinar dan kedua tangannya gemetar. Suatu pertanda bahwa dara itu masih menderita luka dalam.

Melihat itu Siau-liong segera minta si dara lekas bersemadhi memulangkan kesehatannya.

"Sudahlah, jangan engkau memikirkan lain orang. Engkau sendiri juga harus beristirahat!" tukas Song Ling.

Siau-liong tersenyum, “Terus terang kukatakan. Aku memang telah mendapat rejeki yang luar biasa. Makan buah Im-yang-som yang berumur ribuan tahun dan minum darah dari binyawak purba dalam kerak gunung, dan....”

Dia hendak mengatakan bahwa Pendekar Laknatpun sudah menyalurkan seluruh tenaga murninya kepadanya. Tetapi segera ia menyadari bahwa keterangan itu tak perlu. Maka buru-buru ia berganti kata, “Dan lagi akupun sudah memperoleh ilmu pelajaran sakti Thian-kong-sin-kang. Sejam beristirahat saja, sama dengan orang biasa beristirahat satu hari. Apalagi lukaku sudah diobati oleh ibu nona....”

Song Ling tertawa, “Akupun juga sudah memiliki dasar ilmu tenaga sakti Ya-li-sin-kang. Lukaku ini juga tak jadi soal!"

Dara itu memandang ke arah Poh Ceng-in, tanyanya, “Apakah dia benar puteri dari suami isteri durjana itu?"

Siau-liong mengangguk, “Benar, asal dia jangan sampai lolos, sekalipun Iblis Penakluk-dunia hendak menggunakan siasat apapun, tentu kita dapat mengatasi."

Song Ling masih belum jelas tentang ucapan Poh Ceng-in tentang racun Jong-tok dan pembicaraan wanita berambut kelabu tadi. Maka bertanyalah dara itu, “Apakah wanita itu juga seganas ibunya (Dewi Neraka)?"

Siau-liong tiba-tiba merasa geli, sahutnya, “Mungkin lebih ganas dari ibunya!"

Rupanya Poh Ceng-in dengar juga pembicaraan itu. Ia membuka mata memandang Siau-liong lalu menghela napas dan pejamkan mata lagi.

Diam-diam Siau-liong terkesiap. Ia merasa menyesal karena telah menyiksa batin seorang perempuan yang sudah tak berdaya. Ia menyadari perbuatan itu tidak kesatria. Maka ia tak mau lanjutkan kata-katanya lagi.

Suasana hening lelap. Saat itu Liau Hoan siansu yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba berteriak, “Kongsun sicu!"

Siau-liong gelagapan. Memang sejak tadi ia hampir melupakan paderi itu. Maka buru-buru ia menyahut.

Paderi Liau Hoan tertawa, “Hampir sepuluh jam perempuan siluman merah ini berada dalam tanganku, hampir saja beberapa kali meloloskan diri. Tetapi kutahu betapa pentingnya wanita ini untukmu. Maka aku selalu menjaganya keras dan akhirnya dapat menyerahkan kepadamu!"

Paderi sakti itu sungkan sekali bicaranya. Suatu hal yang membuat Siau-liong heran. Ia masih ingat betapa dingin sikap paderi itu ketika bertemu padanya. Mengapa sekarang berobah begitu ramah.

“Terima kasih losiansu," sahutnya.

“Tak perlu sicu berterima kasih kepadaku. Bahkan akulah yang harus lebih dulu menghaturkan selamat kepadamu."

Siau-liong menghela napas panjang, “Apakah hal yang terjadi pada diriku sampai losiansu hendak menghaturkan selamat kepadaku?"

"Omitohud," ucap Liau Hoan siansu, "sicu telah beruntung mendapat pusaka yang tiada keduanya di dunia ilmu sakti Thian-kong-sin-kang. Kelak sicu tentu menjadi jago nomor satu di dunia persilatan. Bukankah hal itu pantas kuhaturkan selamat?"

Siau-liong tertegun. Namun ia masih menghela napas, “Ah, losiansu hanya tahu aku telah mendapatkan Thian-kong-sin-kang, tetapi tahukah....” tiba-tiba ia menganggap tak perlu mengatakan keadaan dirinya kepada paderi sakti itu. Maka ia tak mau melanjutkan kata-katanya.

Liau Hoan tersenyum, “Walaupun saat ini sicu mempunyai kesulitan, tetapi semuanya akan berjalan selamat....”

Siau-liong kicupkan mata enggan, ujarnya, “Terus terang kukatakan, bahwa ilmu Thian-kong-sin-kang itu belum dapat kupelajari dan jiwaku sudah seperti lilin tertiup angin. Ditambah pula dengan sepak terjang kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia. Aku tak dapat meramalkan bagaimana jadinya nanti. Bahkan mungkin saat ini, kita tak dapat selamat keluar dari ruang ini....”

Liau Hoan tertawa keras, “Ah, sicu memang cemas berkelebihan. Jangan lagi ada barang tanggungan berupa siluman baju merah ini, sekalipun tak ada sandera, masakan sicu takut?"

Timbullah rasa malu dalam hati Siau-liong. Sesaat ia tak dapat bicara.

"Jauh-jauh aku datang kemari, adalah karena hendak membela kepentingan dunia persilatan. Selain itu, aku hendak minta bantuan sicu."

Siau-liong terkejut. Pikirnya, dia tak kenal dengan paderi itu. Bahkan pernah bertempur tetapi mengapa sekarang hendak minta bantuannya?

Menilik sikap Liau Hoan yang terkejut karena mengetahui ia telah memiliki ilmu sakti Thian-kong-sin-kang, ia duga paderi itu tentu serupa dengan Lam-hay Sin-ni dan lain-lain orang. Ialah merasa gentar.

"Aku belum kenal dengan losiansu. Mengapa losiansu hendak minta tolong padaku?" tanyanya.

Dengan terus terang, Liau Koan menyahut, “ Walaupun belum kenal pada sicu tetapi kenal akan ilmu Thian-kong-sin-kang. Terus terang hendak kukatakan. Jika bukan karena ilmu Thian-kong-sin-kang itu, tak nanti aku datang kesini....”

"Ah, sayang losiansu agak terlambat. Thian-kong-sin-kang telah kuperoleh dan losiansu terpaksa harus kembali dengan tangan kosong! " Siau-liong tertawa dingin.

Liau Hoan tertawa, “Sama sekali tidak terlambat. Bahwa Thian-kong-sin-kang sicu yang mendapatkan, sungguh patut membuat orang girang. Menandakan bahwa segala apa di dunia ini memang sudah mempunyai ketentuan sendiri."

Ia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Sama sekali aku tak mempunyai kemilikan apa-apa, melainkan hanya hendak minta bantuan sicu akan sebuah hal."

“Entah apakah yang losiansu hendak suruh aku mengerjakan itu?"

Kata Liau Hoan, “Sehabis sicu menyelesaikan urusan sicu, kuminta sicu datang kegunung Thian-san. Dengan pinjam ilmu Thian-kong-sin-kang yang sicu miliki, untuk menghimpaskan cita-cita dalam hidupku yang belum terlaksana....”

Dengan mata meminta, Liau Hoan menatap Sian-liong, “Kujamin, bantuan sicu itu akan merupakan pahala yang tiada ternilai harganya."

Siau-liong tak mempunyai selera untuk menanyakan urusan itu. Karena ia sudah merasa bahwa hidupnya takkan lama. Banyak beban kewajiban dibahunya tetapi apa daya, tenaganya sudah tak mencukupi lagi.

Akhirnya ia menyahut dengan tertawa rawan, “Asal aku masih hidup di dunia, tentulah akan kulakukan perintah losiansu itu."

"Ucapan seorang lelaki, terpaku laksana sebuah gunung. Harap sicu jangan menyesal" seru Liau Hoan.

Siau-liong tertawa tawar, “Besuk pertengahan musim rontok tahun depan, apabila aku masih hidup, tentu akan kegunung Thian-san melaksanakan permintaan losiansu. Tetapi....” ia menghela napas, "ah, sekalipun mendapat berkah dari Allah, hidupku pun hanya sampai pada pertengahan musim rontok tahun depan!"

Habis berkata ia memandang ke arah Po Ceng-in tetapi tak bicara apa-apa.

Liau Hoan tertawa tak acuh, “ Dengan janji ini, sicu telah meluluskan permintaanku!"

Saat itu Lu Bu-ki yang sejak tadi berjalan mondar-mandir diruangan, rupanya sudah habis kesabarannya Segera ia menghampiri Siau-liong dan berseru lantang, “Kongsun-siauhiap, apakah kita tetap menunggu disini saja?"

“Lalu saudara Lu mempunyai pendapat bagaimana?" Siau-liong balas bertanya.

“Jika menurut pendapatku, lebih baik kita menerobos keluar. Bila bertemu kedua suami isteri durjana itu, kita tempur saja agar lekas dapat kita ketahui mati atau hidup. Lebih baik begitu daripada dadaku terhimpit kesesakan hawa amarah!"

Lu Bu-ki, orangnya tinggi besar, tenaganya gagah perkasa dan wataknya berangasan.

Memandang keluar, Siau-liong tak tahu saat itu sudah jam berapa maka ia menanyakan hal itu kepada Lu Bu-ki.

"Saat ini tentunya matahari sudah terbenam," sahut Lu Bu-ki.

"Telah kuminta kepada wanita berambut kelabu itu untuk menyampaikan kepada Iblis Penakluk-dunia, bahwa setelah Matahari terbenam harus membebaskan para tawanan....”

Lu Bu-ki cepat menukas, “Ah, tak mungkin! Menilik kelicikan kedua iblis itu....”

"Akupun sudah tahu kalau mereka tentu takkan berbuat begitu. Tetapi sekalipun hendak tinggalkan tempat ini kita juga harus tunggu sampai hari baru agak aman!" kata Siau-liong.

Liau Hoan siansu tiba-tiba menyelutuk, “Menurut hematku, paling lama dalam waktu sejam, tentu akan terjadi perobahan. Kedua suami isteri durjana itu tentu sudah siapkan rencana untuk menghadapi kita!"

Rupanya pendapat paderi sakti itu disetujui sekalian orang. Jika mereka bersabar menunggu, tentulah pihak Iblis Penakluk-dunia tak dapat tinggal diam.

Terutama adalah Song Ling yang gelisah. Seumur hidup, belum pernah ia berpisah sehari pun dengan ibunya. Tak kira kalau ibunya telah ditawan Iblis Penakluk-dunia sehingga hancur luluhlah hati dara itu.

Ia paksakan diri untuk melakukan pernapasan beberapa saat. Setelah itu ia membuka mata lagi dan memandang Siau-liong.

Saat itu ruangan makin gelap. Rupanya sudah petang hari. Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring memanjang. Jelas orang itu menggunakan ilmu tertawa Mengacau-gelombang-udara sehingga sukar diduga berapa jauhnya jarak orang itu.

Tetapi Siau-liong dan sekalian kawan-kawan mengetahui bahwa yang tertawa itu adalah Iblis Penakluk-dunia. Begitu pula merekapun dapat menerka bahwa iblis itu berada dalam biara tua situ.

Sekalian orang pun menyadari bahwa tertawa itu merupakan tanda permulaan musuh hendak bertindak. Teganglah seketika hati mereka. Segera mereka siap-siap.

Setelah memberi isyarat, Siau-liong dan Song Ling mengambil tempat, duduk dikanan kiri Poh Ceng-in.

Selekas tertawa itu lenyap, terdengarlah suara bentakan menggeledek, “Laknat tua!"

Sekalian orang terkesiap.

Siau-liong berdebar-debar. Ia duga Iblis Penakluk-dunia tentu sudah mengetahui rahasia penyamarannya. Kalau tidak, mengapa dia memanggil dengan sebutan begitu.

Syukurlah Iblis Penakluk-dunia tak melanjutkan panggilan itu dan tertawa lagi. Tiba-tiba ia berseru dengan lain panggilan, “Kongsun-hiapsu!"

Siau-liong hendak menjawab tetapi Lu Bu-ki tak dapat bersabar lagi terus membentak, “Iblis tua, jangan coba-coba jual tingkah dihadapan tuan besarmu! Kalau berani hayo keluar dan bertempur secara terang-terangan saja!"

Iblis Penakluk-dunia telap tertawa, “Aku tak punya tempo adu mulut dengan kalian. Ketahuilah, engkau tak pantas bicara dengan aku!"

Rambut dan jenggot Lu Bu-ki meregang tegak. Dengan menggemhor keras ia terus mencabut cambuk besi dan hendak menerjang. Tetapi dibentak Siau-liong supaya berhenti. Si tinggi tertegun dan tegak terlongong.

"Kalau dalam soal kecil tak dapat menahan perasaan, pekerjaan besar tentu terbengkalai. Kalau saudara hendak maju sama halnya sepenggal anai-anai membentur api. Mengantar jiwa secara sia-sia. Lebih baik bersabar dulu beberapa saat lagi," kata Siau-liong.

"Keadaan saat ini, lambat atau laun tentu harus bertempur. Mengapa tak sekarang saja kita menyerbu keluar?" teriak Lu Bu-ki.

"Musuh ditempat gelap dan kita di tempat terang. Menyerbu dengan membabi buta, hanya akan mengantar diri ke dalam jebakan si iblis. Tetapi jika berlaku tenang menunggu gerakan lawan, sekurang-kurangnya kita dapat menahan musuh!" kata Siau-liong.

"Siancai! Siancai!" sahut Liau Hoan, Kongsun-siauhiap benar tak kecewa menjadi pewaris ilmu sakti Thian-kong-sin-kang!"

Walaupun Lu Bu-ki sudah makin percaya bahwa Siau-liong memang telah memperoleh ilmu Thian-kong-sin-kang yang sakti, tetapi karena belum menyaksikan sendiri anak muda itu menggunakan ilmu sakti tersebut, diam-diam Lu Bu-ki merasa penasaran. Ia mendengus lalu berputar tubuh tak jadi menerobos ke luar.

Terdengar kata-kata Iblis Penakluk-dunia pula, “Budak she Kongsun, baik bertanding silat maupun kecerdasan, aku tak mungkin kalah dengan engkau. Hanya peristiwa engkau berhasil menemukan kitab pusaka Thian-kong sin-kang itulah yang membuat aku kagum tak terhingga. Tetapi aku tetap mempunyai daya untuk menghadapi engkau. Karena kitab pusaka itu sudah terlanjur engkau ambil, maka tiada jalan lain kecuali membunuhmu sebelum engkau dapat mempelajari ilmu itu!"

Siau-liong tertawa dingin. Iapun gunakan Mengacau-gelombang-hawa, tertawa, “Iblis tua, batas tempo yang kuberikan sudah habis. Jika tak mau menurut perintahku, jangan menyesal kalau kubunuh puterimu "

Iblis Penakluk-dunia tertawa keras, “Budak Kongsun! Selama hidup aku tak pernah menerima tekanan orang.... Selembar rambut anakku engkau rontokkan, tentu akan kusiksa para tawanan itu dengan cara yang ganas.”

Tiba-tiba Poh Ceng-in bergeliat dan berseru keras, “Yah, jangan hiraukan dia! Lekas bunuh saja semua orang tawanan itu! Jika ayah mau membunuh kedua gadis itu. berarti ayah sudah membalaskan sakit hatiku, Karena aku.... toh harus mati....”

Siau-liong marah. Ia segera menutuk jalan darah perempuan itu sehingga ia tak dapat berkutik kecuali masih dapat bernapas saja.

Iblis Penakluk-dunia tertegun sampai lama baru membentak, “Budak Kongsun, akan kuturut permintaanmu untuk membebaskan para tawanan itu!"

Habis berkata, Iblis Penakluk-dunia termangu-mangu sehingga keadaan dalam ruang biara rusak itu sunyi senyap lagi.
50. Ibu Dan Anak

Saat itu hari pun sudah gelap. Angin musim rontok menderu-deru di luar biara itu. Tetapi Siau-liong dan sekalian rombongannya, tetap dapat melihat jelas keadaan di sekeliling situ.

Sepeminum teh lamanya, tiba-tiba Lu Bu-ki berseru, “Ada orang datang kemari!"

Ternyata orang tinggi besar itu menunggu di-muka pintu. Jika ada orang datang, dialah yang pertama melihatnya.

Karena kuatir meninggalkan Poh Ceng-in dari tempatnya jauh dari pintu maka ia tak dapat melihat jelas siapa pendatang itu.

"Berapa orang?" tanyanya.

Dengan masih memandang keluar biara, si tinggi besar menyahut, “Hanya seorang!"

Siau-liong berpaling ke arah Liau Hoan dan melambaikan tangan, “Harap losiansu suka datang kemari!"

Liau Hoan tiba-tiba melayang ke samping Siau-liong. Sekalian orang terpesona melihat gerakan paderi sakti itu. Dengan masih duduk, tubuhnya melambung sampai dua meter tingginya dan ketika melayang disamping Siau-liong ternyata paderi itu masih duduk. Sedikitpun posisi duduknya tak berobah.

Siau-liong dan Song-ling pun terbeliak kaget.

"Pesan sicu apakah yang perlu kusampaikan?" tanya Liau Hoan.

"Perempuan itu kuserahkan lagi losiansu untuk menjaganya. Jika musuh berani menyerang kita, lekaslah tutuk jalan darahnya!"

Dalam mengucapkan kata-kata yang terakhir, Siau-liong sengaja perkeras suaranya.

Paderi Liau Hoan mengiakan. Siau-liong cepat melesat kesamping pintu. Ah, ternyata gerombolan yang datang itu berjumlah hanya seorang. Siau-liong kejut-kejut girang ketika mengetahui pendatang itu bukan lain adalah Randa Bu-san.

Randa Bu-san berhenti dimuka pintu biara. Setelah itu baru pelahan-lahan ayunkan langkah menuju ke ruang biara.

Buru-buru Siau-liong memberi hormat, “Ah, akhirnya bibi kembali juga. Puteri bibi, aku dan sekalian kawan-kawan amat mencemaskan sekali nasib bibi."

Kemudian ia berpaling ke arah Song Ling yang duduk disudut ruang. Dara itu ternyata terlongong memandang ibunya. Dan pada lain kejap ia terus lari menghampiri seraya berseru gemetar, “Ma, jika engkau tak kembali, aku tentu mati kebingungan!" — ia terus jatuhkan diri dalam pelukan ibunya dan menangis tersedu-sedu.

Randa Bu-san juga berduka sekali. Dipeluknya sang puteri seraya menghibur, “Nak, jangan menangis! Hatiku tak keruan rasanya!"

Wanita itu menarik kerudung sutera yang menutupi mukanya lalu mengusap airmata puterinya.

Tiba-tiba terdengar pula suara tertawa nyaring dari Iblis Penakluk-dunia. Seketika wajah Randa Bu-san berubah. Sepasang matanya memberingas memandang sekalian orang. Wajahnya tampak menyeramkan sekali. Alisnya memancar sinar pembunuhan.

Pada saat matanya tertumbuk pada tubuh Poh Ceng-in yang menggeletak di tanah, ia segera menghampiri. Langkahnya amat sarat. Setiap langkahnya meninggalkan bekas tiga dim di tanah.

Melihat itu Siau-liong cepat melesat kemuka wanita itu, serunya, “Cianpwe, engkau....”

“Menyingkirlah! " bentak Randa Bu-san.

Song Ling yang masih menggelendot di bahu Randa Bu-san, juga cemas melihat keadaan ibunya. Sambil menarik lengan kiri ibunya, ia berseru, “Ma, engkau ini bagaimana?.... Engkau mau apa?"

Randa Bu-san tertegun, membelai rambut Song Ling, “Nak....”

Belum selesai ia mengucap, tiba-tiba terdengar pula suara tertawa Iblis Penakluk-dunia melantang panjang. Seketika tubuh Randa Bu-san gemetar lalu menarik lengannya yang dicekal Song Ling dan memandang pula ke arah Poh Ceng-in. Sesaat ia lanjutkan langkah maju menghampiri lagi.

Melihat itu Siau-liong buru-buru berseru kepada Liau Hoan siansu, “Lekas buka jalan darah wanita siluman itu dan tamparlah sekeras-kerasnya lukanya!"

Saat itu Randa Bu-san sudah berada setombak jaraknya dengan Liau Hoan siansu dan Poh Ceng-in. Suatu jarak yang tepat untuk menyerang.

Liau Hoan menatap lekat pada Randa Bu-san tetapi iapun menurut perintah Siau-liong untuk membuka jalan darah Poh Ceng-in lalu secepat kilat menampar telapak kaki Poh Ceng-in yang terluka.

Begitu terbuka jalan darahnya, Poh Ceng-in hendak membuka mulut. Tetapi sebelum sempat berkata apa-apa, kakinya ditampar. Ia menjerit ngeri dan pingsan lagi.

Secepat itu Siau-liong lalu gunakan ilmu Mengacau-gelombang-udara, membentak Iblis Penakluk-dunia, “Iblis tua, apakah engkau benar-benar tak menghendaki anak perempuanmu?"

Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring, “Budak, aku hanya menurut kata-katamu untuk membebaskan tawanan....”

Tiba-tiba dari jauh terdengar beberapa jeritan ngeri. Siau-liong terkesiap dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia tak asing dengan nada suara itu. Ya, tak salah lagi.... Mawar Putih dan Tiau Bok-kun.

Siau-liong kertak gigi. Wajahnya berobah pucat dan keringat dingin mengucur deras.

"Iblis tua, hentikanlah!" bentaknya kepada Iblis Penakluk-dunia.

"Kalau begitu engkau pun jangan menyiksa Ceng-ji. Aku menurut kata-katamu untuk membebaskan tawanan satu persatu," seru Iblis Penakluk-dunia dengan nada longgar.

Saat itu jeritan Mawar Putih dan Tiau Bok-kun pun berhenti. Randa Bu-san memandang lekat-lekat pada Siau-liong. Tiba-tiba ia mendengus dingin merentang kedua tangannya terus menyergap ketempat Poh Ceng-in.

Siau-liong terkejut. Ia menyadari bahwa Randa Bu-san berada dibawah ilmu sihir Iblis Penakluk-dunia. Sama halnya dengan Lam-hay Sin-ni, Jong Leng lojin dan lain-lainnya. Randa Bu-san tentu mendapat perintah untuk merebut Poh Ceng-in. Kalau Poh Ceng-in yang akan dijadikan sandera itu sampai direbut kembali oleh Iblis Penakluk-dunia, akibatnya tentu hebat.

Gerakan menyambar dari Randa Bu-san itu aneh dan dahsyat. Siau-liong tak sempat banyak berpikir lagi. Ia menghantam kedua lengan Randa Bu-san.

Terpancar sinar keemasan dan Randa Bu-san segera terpental tiga langkah ke belakang.

Dan saat itu Paderi Liau Hoan pun sudah menyambar Poh ceng-in terus dibawa mundur beberapa langkah ke belakang.

Setitik pun Randa Bu-san tak menyangka bahwa ia bakal dipukul Siau-liong. Marahlah ia. Dengan mata memberingas ia menatap Siau-liong,mendengus dingin lalu mengangkat hendak menghantamnya.

Song Ling gugup dan cemas, Ia menarik tangan Randa Bu-san sekuat-kuatnya seraya meratap, "Ma.... ma....”

Ternyata Randa Bu-san walaupun lenyap kesadaran pikirannya, namun masih tetap teringat dan tak lupa pada anaknya. Ia kerutkan dahi lalu turunkan tangan kanan, “Nak, mengapa engkau hari ini? Mengapa engkau mengurusi urusanku!"

Song Ling banting-banting kaki serunya, “Ma, apakah engkau benar-benar linglung? Mengapa hendak menghantamnya. Apakah engkau lupa kalau pernah menolong jiwanya?" Dia kan orang baik....”

Randa Bu-san kerutkan alis, membentaknya, “Nak, engkau tak mengerti hal ini. Dengarkan omonganku. Aku telah mencarikan tempat yang baik bagimu. Kita bedua akan dapat menikmati kebahagiaan selama-lamanya!"

Dengan berlinang-linang airmata, Song Ling menangis, “Ma, apakah yang engkau maksudkan....?"

Mata Randa Bu-san berkeliar dan memandang ke arah Poh Ceng-in lagi, lalu menudingnya, “Setelah mama merebutnya, segera akan kuajakmu tinggalkan tempat ini."

Habis berkata ia terus menghampiri ke tempat Liau Hoan siansu dan Poh Ceng-in.

"Ma, ingatlah! Mengapa engkau sampai disesatkan mereka....!" teriak Song Ling seraya menarik ibunya.

Karena tak menduga akan ditarik dan Song Ling pun menarik dengan sekuat tenaga, Randa Bu-san terhuyung-huyung mundur beberapa langkah dan hampir rubuh.

Setelah berdiri tegak, dengan wajah membeku dingin, Randa Bu-san melengking, “Nak, apakah engkau benar-benar hendak menentang ibumu?"

Kata-kata itu penuh mengandung kemarahan.

Siau-liong yang menyaksikan peristiwa itu, gelisah bukan main. Buru-buru ia berseru kepada Song Ling, menganjurkan dara itu supaya berusaha menyadarkan pikiran Randa Bu-san agar ingat akan peristiwa yang lalu.

Song Ling menurut. Ia segera memeluk ibunya, “Ma, apakah engkau masih kenal pada anakmu?"

Randa Bu-san terpukau. Alisnya mengerut penuh kedukaan. Ia paksakan tertawa, “Anak tolol ngoceh apa engkau....!"

Dua butir air mata menitik turun dari kelopak wanita itu. Lalu katanya rawan, “Mama hanya mempuanyai seorang puteri tunggal. Masakkan aku bisa lupa kepadamu....”

Melihat ibunya dapat disentuh perasaannya, dara itu buru-buru menyusuli kata-kata lagi, “Apakah mama masih ingat mengapa kita datang kemari?"

Randa Bu-san menatap lekat wajah puterinya sampai beberapa jenak. Kemudian berkata, “Anak tolol! Mengapa engkau masih bertanya yang tidak-tidak!"

"Pertama, kami hendak mencari Pendekar Laknat untuk membalas dendam sakit hati ayahku! Kedua, walaupun kita tak kepingin mendapatkan kitab pusaka Thian-kong-sin-kang, tetapi kita akan berusaha supaya ilmu sakti itu jangan sampai jatuh ke tangan kedua durjana Iblis Penakluk-dunia!"

Wajah Randa Bu-san makin terlongong. Matanya berkeliaran beberapa kali dan tiba-tiba ia menghela napas panjang.

Song Ling mengguncang-guncang tubuh ibunya pelahan-lahan, “Kata-kata itu, bukankah mama sendiri yang mengatakan kepadaku? Mama sering mengatakan, perjalanan hidup di dunia ini penuh aral bahaya. Hati manusia banyak yang culas Di dunia persilatan penuh dengan duri dan perangkap. Tetapi mengapa mama sendiri sampai kena ditipu orang....?"

Rupanya kata-kata Song Ling itu dapat menyentuh nurani Randa Bu-san. Ia hanya terlongong-longong tak berkata apa-apa.

Hati Siau-liong ikut rawan menyaksikan adegan itu. Hampir saja ia mengucurkan air mata. Ia pernah ditolong oleh wanita dari Bu-san itu. Ia anggap wanita itu selain berilmu silat sakti, pun luas sekali pengetahuannya. Seorang wanita yang dapat digolongkan tingkat cianpwe. Siau-liong serasa disayat sembilu hatinya melihat wanita itu sampai kena diperalat suami isteri durjana Iblis Penakluk-dunia.

Siau-liong menyurut mundur kesamping Liau Hoan, katanya, “Randa Bu-san nyata-nyata telah dikuasai Iblis Penakluk-dunia. Sebagai seorang yang luas pengalaman, bagaimana pendapat losiansu untuk menolongnya?"

Liau Hoan geleng-geleng kepala, “Aku tak paham ilmu Hitam, dan lagi.... menilik kesadaran pikirannya masih belum lenyap sama sekali, mengapa ia sampai tak dapat membedakan golongan Hitam dengan Putih? Mengapa ia begitu linglung mau melakukan perintah Iblis Penakluk-dunia? Hal ini benar-benar membingungkan pikiranku. Sebaliknya dapat menawannya hidup-hidup dan pelahan-lahan memeriksa keadaannya. Mungkin kita akan dapat menemukan sumber penyakitnya....”

Siau-liong mengela napas, “Randa Bu-san adalah pewaris ilmu Ya-li-sin-kang. Merupakan tokoh kelas satu dewasa ini. Untuk menangkapnya, bukanlah suatu hal yang mudah!"

Melihat mamanya masih belum sadar. Song Ling menjerit, “Ma, masakan engkau tak tahu bahwa kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia adalah durjana yang membahayakan dunia persilatan?"

Ditengah malam yang sunyi, kembali terdengar gelak tertawa nyaring dari Iblis Penakluk-dunia. Randa Bu-san kerutkan alis. Selekas tertawa itu berhenti, tiba-tiba wajah wanita itu berobah dan membentak Song Ling dengan bengis, “Nak, jangan sembarangan bicara. Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka adalah dua tokoh besar pada jaman ini. Jangan engkau hina semau-maumu sendiri....”

Berhenti sejenak ia berkata lagi, “Aku telah mengatur segala sesuatu untukmu. Kutanggung engkau tentu akan bahagia. Tak nanti engkau mengalami nasib seperti mama dahulu?"

Tukas Song Ling: "bukankah dahulu mama telah memberi nasehat dan pelajaran-pelajaran padaku? Mah, apakah engku tak ingat lagi?"

Randa Bu-san menghela napas, “Ah, itu memang kesalahan mama yang dulu!"

“Ma, mengapa engkau makin lama makin linglung!" teriak song Ling seraya menggoncang-goncangkan tubuh ibunya.

Randa Bu-san deliki mata. Sekonyong-konyong ia menampar muka dara itu. "Plak".... karena tak menyangka akan ditampar ibunya, Song Ling tak berjaga-jaga dan pipinya termakan tamparan. Seketika matanya berbinar-binar, kepala pening, mulut mengucurkan darah.

Rupanya Randa Bu-san masih belum puas. Ia mendorong tubuh puterinya hingga terhuyung-huyung beberapa langkah, lalu maju menghampiri Liau Hoan.

Sambil mendekap pipi sebelah kanannya yang sakit, Song Ling menjerit, “Ma, jangan....” – dara itu terus melesat ketempat Randa Bu-san.

Siau-liong terkejut. Ia tahu bahwa Randa Bu-san memang sudah dikuasai Iblis Penakluk-dunia. Pikiran wanita itu sudah linglung. Jika Song Ling tetap melibatnya, Randa Bu-san tentu marah dan lupa. Wanita iiu tentu akan turun tangan sungguh-sungguh kepada puterinya sendiri.

“Nona, mundurlah!" Siau-liong cepat berseru mencegah Song ling seraya loncat menarik dara itu dengan tangan kiri dan tangan kanan mendorong bahu Randa Bu-san.

Liau Hoan pun tangkas sekali. Pada saat Randa Bu-san hendak merebut Poh Ceng-in, cepat sekali paderi itu sudah membawanya menyingkir.

Karena kedua tangannya diikat ke belakang punggung dan kakinya terluka. Poh Ceng-in tak dapat berbuat apa-apa ketika paderi Liau Hoan yang bertubuh kurus itu membawanya kian kemari.

Randa Bu-san marah sekali. Dengan melengking nyaring ia tinggalkan Poh Ceng-in yang dibawa Liau Hoan. Berputar tubuh ia memandang Siau-liong tajam-tajam. Kini ia tumpahkan kemarahannya kepada pemuda itu. Secepat kilat ia menghantam kepala pemuda itu!

Siau-liong terkejut. Ia menyadari bahwa pukulan wanita itu bukan olah-olah hebatnya. Tak mau ia menangkis dan buru-buru loncat menghindar ke samping seraya mendorong lagi bahu wanita itu.

Song Ling pun makin bingung. Ia menangis dan meraung-raung. Melihat Siau-liong bertempur dengan mamanya, dara itu cepat lari menyerbu ke muka, “Jangan melukai mamaku! Ah....”

Sekalipun terpaksa harus berkelahi, tetapi Siau-liong masih sadar pikirannya. Ia tahu bahwa Randa Bu-san itu pernah menolong jiwanya. Ia tahu pula bahwa wanita itu memang bertindak di luar kesadaran pikirannya sendiri karena telah dibius oleh Iblis Penakluk-dunia. Maka beapapun halnya, ia tak mau mencelakai wanita itu.

Hanya saja ia mempunyai kesulitan. Randa Bu-san memiliki ilmu sakti Ya-li-sin-kang, adakah ia mampu menandingi dengan ilmu Thian-kong-sin-kang yang baru dipelajari kulitnya itu? Apalagi ia masih menderita luka dalam yang parah.

Untunglah dalam melancarkan serangan itu gerak Randa Bu-san tidaklah seperti orang sehat melainkan agak ketolol-tololan. Ketika kedua pukulan saling beradu, Randa Bu-san dan Siau-liong sama-sama mundur beberapa langkah.

Randa Bu-san menatap Siau-liong dengan mata berapi-api seraya berkata seorang diri, “Thian-kong-sin-kang, benar-benar Thian-kong sin-kang....” tiba-tiba ia menghantam lagi.

Siau-liong mengandalkan kelincahan untuk menghindar kian kemari. Setempo balas menyerang dari samping untuk mendesak wanita itu mundur.

Dalam sekejap mata, ia sudah lancarkan lebih dari duapuluh jurus. Angin menderu-deru, debu berhamburan. Song Ling tak henti-hentinya menjerit dan menangis....

Bermula Siau-liong masih kuatir kalau tak mampu menghadapi. Tetapi setelah duapuluh jurus berlalu, timbullah kepercayaannya. Ia merasa bukan saja luka dalamnya tidak kambuh, pun ilmu Thian-kong-sin-kang yang baru dipelajari sedikit itu, terasa tambah maju.

Saat itu ia merasa, setiap pukulan atau tutukan jari serta tamparan, lebih dahsyat dari semula. Dan yang lebih menggirangkan, setiap gerakan yang dilancarkan, tak perlu harus memikir lama.

Sambil bertempur dengan Randa Bu-san, otak Siau-liong berusaha keras untuk mengingat isi pelajaran kitab pusaka Thian-kong-sin-kang. Teringat ia akan sebaris kata-kata yang terdapat dalam kitab itu:

”Keinginan timbul dari Pikiran. Pikiran tembus pada hati. Apabila Semangat dan Keinginan bersatu, Hati dan Semangat saling kontak.... maka lahirlah.... Dalam Tenang timbul Gerak, dalam Gerak timbul Tenang.... dan lain-lain.”

Berkat otaknya yang cerdas, dapatlah Siau-liong menyelami kata-kata dalam kitab itu. Seketika meluaplah kegirangannya. Seketika gerakannya makin cepat. Ia berlincahan mengepung Randa Bu-san.

Si tinggi besar Lu Bu-ki dan anak buahnya, bertugas untuk menjadi pintu belakang dan muka. Saat itu mereka merasa dimuka pintu bermunculan beberapa sosok tubuh yang melangkah ke dalam ruangan. Mereka berjumlah tujuh orang. Pakaiannya seragam warna biru. Muka ditutupi sutera tipis. Dengan langkah lenggang mereka memasuki ruangan.

Lu Bu-ki berputar tubuh dan menjerit, “Ada beberapa orang yang datang!"

Dalam pada berseru itu, si tinggi besarpun melangkah menghadang pendatang yang berjalan paling muka dan membentaknya, “Berhenti!"

Diluar dugaan ketujuh orang baju biru tak mengacuhkannya. Bahkan orang yang berjalan paling depan, segera ayunkan tangan menampar muka Lu Bu-ki.

Lu Bu-ki marah sekali. Dengan menggerung laksana seekor harimau, ia menghindar lalu mencambuk dengan ruyung besi. Ia gunakan jurus Burung-bangau-tebarkan-sayap.

Suasana senjap semakin kacau. Lu Bu-ki bersama kedua pengawalnya segera bertempur dengan pendatang itu. Empat orang baju hitam segera lari menghampiri tempat Song Ling.

Sambil bertempur lawan Randa Bu-san, Siau-liong diam-diam mencuri kesempatan untuk memperhatikan kawanan pendatang itu. Diam-diam Siau-liong makin gelisah.

Walaupun kawanan pendatang itu sama mengenakan kain kerudung sutera menutup muka yang amat tipis, tetapi karena hari makin gelap, sukar untuk menentukan pendatang-pendatang itu tokoh-tokoh persilatan yang mana.

Untunglah Siau-liong memiliki indera penglihatan yang luar biasa tajamnya. Ia tetap dapat melihat wajah-wajah dibalik kain kerudung itu.

Ternyata pendatang-pendatang berkedok kain sutera itu diantaranya terdapat It Hang, ketua partai Siau-lim-si, Thi Bu-seng tokoh dari partai Tiam jongpay, ketua Ji-tok-kau Tan I-hong, ketua perhimpunan Tong-thing-pang si Kipas Im-yang Cu Kong-leng dan ketiga tokoh Kun-lun Sam-cu.

Lu Bu-ki bertiga bertempur dengan Kun-lun Sam-cu. Sepuluh jurus kemudian, salah seorang anak buah Lu Bu-ki tiba-tiba menjerit ngeri dan rubuh di tanah.

Tetapi si tinggi besar Lu Bu-ki tak gentar. Ruyung besinya diputar laksana hujan deras. Untuk beberapa saat ketiga tokoh dari Kun-lun-pay itu tak dapat melepaskan diri.

Paderi Liau Hoan meletakkan Poh Ceng-in di sudut ruang lalu bersama Song Ling bahu membahu menghadapi musuh.

Song Ling walaupun belum sembuh sama sekali, tetapi ia sudah mendapat latihan dasar dari ilmu sakti Ya-li-sin-kang. Pukulannya amat dahsyat. Sedangkan Liau Hoan sebagai seorang tokoh sakti dalam dunia persilatan, sudah tentu memiliki kesaktian yang menonjol.

It Hang totiang berempat, untuk beberapa saat saat tak mampu berbuat apa-apa.

Walaupun pengetahuan Siau-liong tentang ilmu Thian-kong-sin-kang sudah bertambah maju, tetapi untuk mengalahkan Randa Bu-san, bukanlah soal yang mudah. Maka ia tak sempat lagi untuk memperhatikan keadaan kawan-kawannya.

Suatu hal yang membuat gelisah hatinya ialah apabila Iblis Penakluk-dunia menyuruh beberapa tokoh seperti Lam-hay Sin-ni, Jong Leng lojin dan lain-lain, untuk maju. Tentulah akan lain situasinya.

Kurang lebih sepeminum teh lamanya, tiba-tiba diluar terdengar suara tertawa nyaring dari Iblis Penakluk-dunia. Nadanya bagai senjata tajam yang menyayat-nyayat sehingga Siau-liong dan kawan-kawannya ngeri.

Mendadak Randa Bu-san menyerang hebat, Mulutnya mendesis-desis seperti seekor harimau yang terengah-engah hendak menelan korbannya.

Demikiah It Hang totiang dan ketujuh kawannya, mereka terkena pengaruh dari suara tertawa durjana itu. Mata mereka terbuka lebar-lebar. Dengan menumpahkan seluruh kepandaian, mereka menyerang kalap sepeiti orang kemasukan setan.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar