Pendekar Laknat Jilid 51-60
61. Katak berkaki tiga
Pada permulaan, rasa dingin
panas yang saling bergantian secara mendadak itu, benar-benar menyiksa
Siau-liong. Tetapi lama kelamaan ia menjadi kebal. Dan anehnya, rasa sakit
dalam tubuhnya pun lenyap.
Pelahan-lahan pikirannya pun tenang
kembali. Ia merasa dalam waktu sejam itu telah mengalami perobahan besar
sekali. Beberapa bagian dalam kitab pusaka Thian-kong-sin-kang yang sukar
dimengerti, saat itu sebagian besar sudah dapat dipahami artinya.
Pelajaran yang mengemukakan
tentang sifat-sifat Semangat, Hati, Keinginan dan Pikiran yang tak dapat
diselaminya selama ini, saat itu satu demi satu sudah dapat meraba intisarinya.
Diam-diam Siau-liong terkejut
girang. Tak tahu ia sampai berapa jauhkah ia dapat mengerti isi kitab pusaka itu.
Tetapi yang jelas, ia merasa kepandaiannya amat dangkal sekali, sebelum
memahami isi kitab pusaka itu.
Diam-diam ia geli atas tingkah
laku paderi tua dari puncak Kim-ting itu. Paderi itu hendak menghukumnya mati.
Tetapi tanpa disadari, hukuman pembakaran api dan membenamkan dalam es itu,
telah mendorong pikirannya untuk memecahkan intisari dari bagian-bagian
pelajaran yang sukar dari kitab pusaka Thian-kong-pit-kip.
Tengah ia terbenam dalam
renungan tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi mendesis-desis yang mendatangi ke
arah tempatnya. Buru-buru ia curahkan perhatian untuk mendengarkan bunyi itu.
Ia tersirap kaget ketika
melihat di atas dinding gua sebelah kanan, tiba-tiba muncul seekor ular besar.
Kepala ular itu tumbuh jambul merah dan tubuhnya bergariskan kembang-kembang
warna hitam biru. Jelas tentu seekor ular ganas.
Rupanya ular itu sudah mencium
bau tempat beradanya Siau-liong. Maka pelahan-lahan ia merayap menghampiri.
Sudah tentu Siau-liong kaget
setengah mati. Saat itu jalan darahnya sedang tertutuk, tak dapat berkutik.
Bukankah ia akan mati digigit ular berbisa itu?
Tetapi pada jarak masih
terpisah dua meter dari tempat Siau-liong, ular itu pun berhenti. Binatang itu
gerak-gerakkan kepala dan mengebas-ebas ekor seraya berbunyi mendesis-desis.
Dalam menghadapi suasana yang
seram akan datangnya maut, Siau-liong sudah kehabisan daya. Satu-satunya jalan
ialah mengerahkan seluruh tenaga dan serentak ia terus berguling-guling ke
samping. Dua kali ia bergulingan dan telah tiba di bawah dinding gua sebelah
kiri.
Tetapi alangkah kejutnya
ketika memandang ke dalam, ternyata ular itu masih merayap mengikutinya.
Kepalanya yang diangkat sampai setengah meter ke atas, memancarkan sinar mata
yang berapi-api.
Karena gugup, Siau-liong
menggembor keras dan menyambar kepala ular itu. Terus dilontar ke muka.
"Bluk ....” lontaran
Siau-liong bukan olah-olah kuatnya sehingga kepala ular itu pecah berhamburan.
Setelah tenangkan hati, cepat
ia berbangkit dan hampir saja ia berteriak kaget. Karena dicengkeram oleh rasa
tegang, ia sampai lupa bahwa seharusnya ia tak dapat membunuh ular itu karena
jalan darahnya masih tertutuk. Tetapi ternyata ia dapat bergerak bebas. Lalu
bilakah jalan darahnya yang tertutuk itu terbuka?
Ah, segera ia teringat apa
yang terjadi. Tentulah ketika ia kerahkan tenaga dan berguling-guling diri di
tanah tadi, jalan darahnya itu terbuka sendiri.
Bukan mainlah girangnya saat
itu. Cepat-cepat ia duduk menyalurkan napas. Dirasakannya darah mengalir dengan
lancar, tenaga dalam pun mulai bergolak. Hawa panas dalam perut, mengalir
keseluruh tubuh.
Beberapa saat kemudian iapun
bangun. Dipandangnya keadaan dalam gua itu dengan seksama. Tampak pintu gua
yang tertutup, terdapat beberapa celah-celah yang tidak rata bentuknya.
Segera ia kerahkan tenaga dan
coba-coba untuk mendorong pintu itu. Ah, berat benar. Hampir ia merasa tak kuat
lagi mendorongnya. Tetapi karena gugup, ia terpaksa mencobanya lagi.
“Krek ....” ternyata pintu itu
mulai bergerak. Siau-liong girang sekali dan segera tambahkan tenaganya untuk
mendorong. “Krek, krek ....” pintu batu itupun terbuka sampai setengah meter
lebarnya.
Dengan bersuit panjang, ia
cepat loncat keluar. Tetapi sebelum sempat melihat keadaan di sekeliling,
tiba-tiba terdengar suara orang tertawa gelak-gelak, “Omitohud! Dorongan itu
paling tidak tentu beribu-ribu kati tenaganya. Rupanya bukannya mati tetapi
engkau malah mendapat rejeki besar!"
Siau-liong mengangkat muka dan
melihat paderi Kim-ting tegak berdiri setombak dari gua situ.
Saat itu barulah Siau-liong dapat
melihat jelas roman muka paderi itu. Seorang paderi tua yang bertubuh tinggi
kurus. Jubahnya penuh dengan tambalan, sepatu rumput. Sepasang matanya
besinar-sinar tajam sekali. Tetapi tak dapat diketahui bagaimana sikapnya saat
itu. Girangkah atau marah?
Siau-liong mendengus dingin.
serunya, “Paderi tua, mungkin engkau tak pernah menyangkanya ....”
Ia tampil dua langkah dan
membentak, “Aku tak punya dendam permusuhan suatu apa kepadamu. Mengapa engkau
terus menerus mendesak hendak membunuh aku?"
"Menyelundup ke dalam gua
dan hendak mengambil katak berkaki tiga. Apakah dosa itu tak layak dihukum
mati?"
Siau-liong tertawa hatinya.
Kemarahannyapun reda, “Sekali pun belum lama berkelana dalam dunia persilatan,
tetapi seumur hidup aku belum pernah mencuri milik orang ......”
Ia berhenti sejenak, berkata
pula, “Kedatanganku kemari memang benar-benar hendak meminta katak mustika itu.
Tentu soal menyelundup ke dalam gua, adalah karena kedua murid losiansu tak mau
memberitahu kepada losiansu!"
Paderi Kim-ting tertawa,
“Katak kaki-tiga itu merupakan binatang ajaib penunggu gua. Dengan tindakanmu
yang liar dan kasar itu bagaimana engkau hendak memperoleh katak itu?"
Siau-liong berseru lantang,
“Kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka telah mengganas dunia
persilatan karena ingin menguasainya. Sekalian tokoh-tokoh gagah dalam dunia
tiada yang mampu menandingi dan terpaksa menyerah. Mereka kini berkumpul di
puncak Kim-ting sini. Saat ini merupakan detik-detik yang menentukan mati
hidupnya dunia persilatan. Kedatanganku untuk meminta katak mustika itu sama
sekali bukan untuk kepentinganku pribadi melainkan untuk menyelamatkan nasib
dunia persilatan....”
Wajah Siau-liong berobah
tegang dan nada suaranya pun makin rawan. Sejenak menghela napas ia berkata
pula, “Apabila kedua suami isteri iblis itu benar-benar dapat menguasai dunia
persilatan, mungkin losiansu pun tak dapat duduk dengan tenang dalam gua
ini!"
Paderi Kim-ting tertawa,
“Selama ini aku tak mau ikut campur pergolakan dunia persilatan. Dan kali
inipun tak terkecuali....."
“Aku bukan hendak memohon
losiansu ikut campur urasan dunia persilatan tetapi hanya hendak mohon
katak-berkaki-tiga itu ....” cepat Siau-liong menukas.
“Itupun sukar ....."
paderi Kim-ting berhenti lalu dengan mata berkilat-kilat ia berkata, “walaupun
hawa dingin panas dalam gua itu tadi dapat membunuhmu tetapi untuk keluar dari
gua ini, bukanlah suatu hal yang mudah bagimu. Maka tak perlu engkau hendak
minta katak mustika itu!"
Siau-liong terbeliak kaget.
Memang apa yang dikatakan paderi itu benar. Menilik ilmu tutukan jalan darah
dari paderi itu saja, tahulah ia bahwa paderi itu memang sudah mencapai tataran
tinggi kepandaiannya. Jika paderi itu benar hendak membunuhnya, tentu sukar
baginya untuk lolos. Dalam keadaan begitu percumalah ia hendak minta katak
mustika segala macam ....!
"Maksud losiansu hendak
menghukum mati aku?" katanya beberapa jenak kemudian.
Paderi kurus itu tersenyum,
“Hal itu tergantung bagaimana kepandaianmu nanti!"
Siau-liong marah sekali. Ia
benar-benar tak dapat mengendalikan diri dan membentak dingin, “Semula kukira
engkau seorang paderi luhur. Oleh karena itu aku selalu bersabar untuk
mengalah. Hendaknya engkau harus mengetahui. bahwa sekali pun umurku masih
begini muda tetapi aku adalah pewaris dari ilmu sakti
Thian-kong-sin-kang."
Paderi kurus itu teriawa
keras, “Ilmuku sakti Ih-kah-sin-kang, tiada lawannya di dunia. Satu-satunya
yang mampu mengimbangi ilmuku itu hanyalah Thian-kong-sin-kang. Tetapi itu pun
harus dilihat sampai dimana tingkat pelajaran orang yang mempunyai
Thian-kong-sin-kang itu!"
Sejenak paderi itu memandang
Siau-liong tajam-tajam lalu tiba-tiba membentak, “Hayo, bertempur!"
Siau-liong mendengus dingin
terus hendak menghantam tetapi tiba-tiba benaknya terlintas sesuatu dan
menurunkan tangannya lagi.
"Hm, takut kepada paderi
tua ini?" ejek paderi Kim-ting Siau-liong tertawa dingin.
“Seumur hidup aku tak pernah
mengenal kata-kata takut! Hanya ingin sekali lagi kujelaskan, bahwa maksudku
hendak meminta katak mustika itu bukanlah untuk kepentingan diriku pribadi
melainkan untuk menolong seluruh tokoh persilatan yang sedang terkurung di
puncak Kim-ting. Keempat tokoh pewaris dari empat macam ilmu saktipun telah
ditawan oleh Iblis Penakluk-dunia, maka akupun sesungguhnya tak mempunyai
selera bertempur dengan engkau!"
Paderi itu deliki mata dan
tertawa, “Budak! Kecerdasanmu sebagai seorang setan cilik memang boleh juga
.....” - ia berhenti sejenak lalu, ”Dengan cara bagaimanakah supaya dapat
kubangkitkan seleramu bertempur dengan aku?"
Mata Siau-liong sejenak
berkeliaran lalu berkata, “Jika aku sampai kalah, terserah saja bagaimana
losiansu hendak menghukum diriku. Tetapi bila aku beruntung menang....”
Paderi Kim-ting cepat tertawa
menukas, “Asal engkau mampu menangkan aku, katak-berkaki-tiga itu pasti akan
kuberikan kepadamu!"
"Apakah losiansu takkan
menyesal?"
Siau-liong berdebar-debar
menunggu kesempatan itu. Memang ia tak mempunyai harapan besar untuk
memenangkan pertempuran itu namun iapun tak lekas putus asa untuk menyerah.
Mudah-mudahan nasib akan membawa perobahan baik kepadanya.
Paderi itu membentak, “Huh,
engkau kira aku seorang yang tak dapat dipercaya?"
Siau-liong terkejut.
Dilihatnya sepasang mata paderi kurus itu berapi-api. Wajahnya tidak menampil
kemarahan tetapi kewibawaan yang menonjol, sehingga Siau-liong merasa kecil
diri.
Sekalipun ia tak dapat
memastikan dapat mengalahkan paderi itu, tetapi karena keadaan sudah mendesak,
maka bagaimanapun juga ia harus mencoba dengan sekuat tenaganya. Apabila ia beruntung
dapat menang, ia akan memperoleh katak mustika yang amat diperlukan untuk
pembuatan pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan. Pil yang akan menolong para
tokoh-tokoh dari kebiusan.
Dengan tujuan itu, longgarlah
hati Siau-liong. Sekalipun ia mati dalam pertempuran dengan paderi Kim-ting
itu, tak apalah. Ia serahkan saja pada nasib.
Dengan kebulatan tekad yang
pasrah itu, ia segera salurkan tenaga dalam bersiap-siap.
Wajah paderi sakti dari
Kim-ting itu tetap tenang sekali. Kakinya pun bebas tak mengunjukkan persiapan
apa-apa. Tetapi sekali pun begitu, paderi itu memancarkan perbawa yang
menggetarkan hati orang.
Setelah mengempos semangat,
berserulah Siau-liong dengan nada serius, “Silahkan losiansu mulai!"
Paderi sakti itu tersenyum,
ujarnya, “Berkelahi dengan engkau masakan aku masih menginginkan menyerang
lebih dulu?"
Siau-liong menyadari bahwa
paderi itu memang sakti sehingga tak memandang mata kepadanya. Diam-diam ia
girang karena paderi itu menghendaki supaya diserang lebih dulu.
"Kalau begitu maafkan aku
berlaku kurang hormat!" serunya tertawa lalu balikkan tangan kiri dan
pelahan-lahan diarahkan kepada paderi itu. Aneh sekali gerakan Siau-liong itu.
Seperti menghantam tetapi pun seperti menutuk. Seperti mencengkeram tetapi pun
seperti menampar. Suatu gerakan tangan yang memungkinkan seribu akibat.
"Budak! Gerakanmu itu
hanya gertakan kosong, masakan engkau mampu mengelabuhi aku!" seru paderi
Kim-ting tertawa. Ia tak mau bergerak sama sekali dari tempatnya dan
seolah-olah tak mengacuhkan tangan Siau-liong.
Siau-liong terkejut. Ia heran
mengapa lawan tahu gerak serangannya itu kosong. Tetapi secepat kilat ia terus
gerakkan tangan kanan dengan jurus Hun-hoa-hud-liu untuk mencengkeram siku
lengan kiri dari paderi itu.
Namun paderi itu tetap tertawa
lepas dan tak mau bergerak dari tempatnya berdiri.
Diam-diam Siau-liong girang.
Ia tambahi tenaga dalam pada tangan kanan untuk mencengkeram lengan si paderi.
Pikirnya, “Karena engkau tak mau menghindar dan menangkis, rupanya Tuhan memang
menghendaki aku menang!"
Tetapi alangkah kejutnya
ketika ia merasa tentu dapat mencengkeram tangan orang, tiba-tiba entah
bagaimana. ia mencengkeram angin kosong. Jangankan siku lengan, bahkan ujung
baju paderi itupun tak mampu dijamahnya.
Dan ketika memandang kemuka,
dilihatnya paderi kurus itu masih tegak di tempatnya. Tampaknya ia tak berkisar
sama sekali.
Kejut Siau-liong bukan
kepalang, pikirnya, “Adakah paderi ini menggunakan ilmu setan?"
Tengah ia terlongong,
tiba-tiba paderi sakti itu tertawa, “Menyerang dengan dahsyat, termasuk ilmu
tingkat rendah....!"
Berhenti sejenak ia berkata
pula, “Budak, adakah begitu jelek engkau mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang
itu?"
Siau-liong tersipu malu.
Diam-diam ia makin terkejut dan menyadari bahwa yang dihadapinya itu benar-benar
seorang paderi yang berilmu tinggi. Jelas pertempuran itu nanti sia-sia belaka.
Tetapi ucapan paderi itu
menyadarkan Siau-liong akan beberapa kenyataan. Bahwa selama digodok dalam gua
dengan hawa dingin panas. ia berhasil memecahkan beberapa pelajaran sulit dalam
kitab Thian-kong-pit-kip.
Walaupun ilmu tersebut
kebanyakan tergolong pada ilmu Nafas dan tampaknya tiada hubungannya dengan
ilmu pukulan dan tutukan, tetapi otak Siau-liong yang cerdas segera dapat
menyadari.
Thian-kong-sin-kang adalah suatu
ilmu ajaran yang mengutamakan Sin (semangat). Bahwa selama dalam gua tadi
dengan susah payah ia berhasil memahami pelajaran-pelajaran tentang Semangat,
Hati, Keinginan, Pikiran, Gerakan, Ketenangan, Kosong dan Isi. Mengapa saat itu
ia tak menggunakan apa yang diketahui itu? Siapa tahu kemungkinan hal itu
merupakan inti dari pelajaran Thian-kong-sin-kang.
Maka tersenyumlah ia berkata,
“Harap losiansu jangan menertawakan, berhati-hatilah!"
Pada saat itu ia tetap
bergerak dalam jurus Hun-hua-hud-liu untuk mencengkeram pergelangan tangan kiri
paderi Kim-ting.
Tiba-tiba paderi Kim-ting
tertawa gelak-gelak, “Ho-la! Thian-kong-sin-kang memang benar-benar bukan ilmu
picisan!"
Siau-liong terkejut sekali.
Baru pikirannya merencanakan untuk mengembangkan Semangat, Hati, Keinginan,
Pikiran dan lain-lain dalam jurus Hun-hua-hud-liu, tahu-tahu lengan kanan
paderi itu telah dapat dicengkeramnya.
Ia benar-benar tak menyadari
bahwa lupa kalau sedang bergerak dalam jurus itu. Karena tercengang kejut ia
sampai lupa untuk menggunakan tenaga menggenggam lengan orang.
Paderi Kim-ting tertawa.
Lengan kirinya tiba-tiba memancar tenaga dalam sehingga separuh tubuh
Siau-liong terasa kesemutan dan tangan kanannya terlempar gemetar. Tangannya
itu serasa diborgol dengan rantai. Kiranya paderi King Ting balas mencengkeram
pergelangan tangannya.
“Ho, dari kalah jadi
menang!" paderi itu tertawa keras.
Siau-liong terkejut. Cepat ia
kerahkan tenaga dalam ke arah pergelangan tangan. Tetapi walau pun kelima jari
paderi itu amat kurus sekali, namun kuatnya tak kalah dengan baja. Karena
Siau-liong menggempur dengan tenaga dalam, tenaga dalam itu terhalau balik dan
hampir saja menghancurkan isi dadanya sendiri.
"Habislah riwayatku
sekarang!" diam-diam Siau-liong menghela napas.
Tiba-tiba paderi itu
membentaknya, “Goblok! Apakah engkau tak tahu apa yang disebut Menyerang untuk
menindas serangan? Adakah ilmu dasar itu tak dapat engkau gunakan?"
Serentak Siau-liong seperti
orang yang dibangunkan dari mimpi. Ia mengeluh dalam hati mengapa tak ingat
akan cara itu. Maka cepat ia rentangkan kelima jari kiri dan menutuk dada
lawan. Gerakan itu berlangsung serempak dengan Angan-angannya. Benar-benar
suatu perpaduan antara keinginan dan Gerakan tangan.
Karena terdesak, paderi
Kim-ting terpaksa miringkan tubuh. Tetapi secepat itu kelima jari Siau-liong
pun ditarik mundur lalu dirobah untuk memapas pergelangan tangan si paderi.
Paderi Kim-ting tertawa
gelak-gelak. Ia lepaskan tangan kirinya lalu mundur tiga langkah, serunya,
“Bahan yang boleh dijadikan!"
Siau-liong tertegun.
Ia merenungkan pertempurannya
lawan paderi Kim-ting itu. Begitu bergebrak sudah dikuasai paderi itu. Bila
paderi itu tak memberi petunjuk, mungkin ia tentu sudah kalah.
Tiba-tiba paderi itu berkata
pula, “Walaupun tak pernah berkelana di dunia persilatan tetapi kupercaya
ilmuku Ih-ka-sin-kang itu pasti tak ada orang yang mampu bertahan sampai tiga
jurus. Menilik usiamu yang masih muda tetapi mampu bertanding seri dengan aku,
engkau benar tak mengecewakan dirimu sebagai pewaris
Thian-kong-sin-kang.......”
Sejenak mengicup mata, paderi
itu melanjutkan pula, “Karena belum tahu menang atau kalah, kali ini kulanggar
peraturan untuk memberi ampun kepadamu. Tetapi jangan harap engkau mampu
mendapat katak mustika itu....! lekas keluar dari gua ini!"
Siau-liong malah maju
selangkah lalu berlutut di hadapan paderi itu, “"Sungguh mataku tak dapat
melihat gunung Thaysan. Bila perbuatanku tadi ada yang kurang ajar, harap
losiansu sudi maafkan....”
Saat itu ia telah menyadari
tujuan paderi Kim-ting yang baik. Sambil memaki dirinya yang tolol, ia
melanjutkan ucapannya menghaturkan terima kasihnya, “Atas petunjuk yang
locianpwe berikan, wanpwe.....,"
"Engkau keluar sendiri
atau harus kuhalaumu?" tukas paderi sakti itu dengan wajah beku.
Siau-liong tertegun, sahutnya,
“Biarlah aku pergi sendiri! Tetapi....” — ia pelahan-lahan berbangkit, serunya,
“Barang bekalku yang diambil oleh kedua sian-tong tadi, harap locianpwe suka
mengembalikan!"
"Masakan aku sudi
mengambil barangmu!" bentak paderi itu dengan marah seraya ayunkan
tangannya.
Saat itu Siau-liong sudah tak
punya prasangka jelek kepada paderi Kim-ting. Dan pukulan paderi itu sama
sekali tak mengeluarkan suara.
Pada saat Siau-liong terkejut,
tubuhnya sudah dilanda oleh gelombang tenaga dahsyat. Untunglah tenaga itu amat
lunak sehingga tak melukai tubuh Siau-liong. Sekalipun begitu Siau-liong
terpental sampai lima enam tombak jauhnya. Ketika ia berdiri tegak barulah
menyadari bahwa dirinya sudah berada di luar gua.
Kedua bocah baju biru dan
putih, melesat keluar gua. Dengan pandang dingin mereka menatap Siau-liong
sejenak lalu menekan tepi pintu gua. Terdengar bunyi berderak-derak dan dari
kedua tepi, meluncurlah sekeping pintu batu, menutup gua rapat-rapat.
Siau-liong menghela napas
panjang. Ia tegak terlongong-longong. Tiba-tiba terdengar suara orang
memanggilnya lembut, “Siau-liong! Siau....”
Siau-liong terkejut dan
berpaling. Ketika memandang seksama, kejutnya bukan kepalang.
Tampak si dara Song Ling tegak
di sampingnya sambil menatap dengan pandang bertanya. Sedang Kakek Mata-satu
masih duduk dua tombak jauhnya dari pintu gua, tersenyum-senyum tak berkata
apa-apa.
Bertanya Siau-liong gopoh,
“Nona Song, bagaimana dengan Ceng Hi totiang dan rombongannya. Saat ini....”
Song Ling menunjuk ke sebelah
jauh, “Mereka berada disana!"
Sambil memandang ke arah yang
ditunjuk si dara, Siau-liong bertanya pula, “Apakah mereka tak bertempur lawan
kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia?"
Song Ling gelengkan kepala,
“Agaknya tidak....” — kemudian dara itu bertanya, “Bagaimana dengan katak
berkaki-tiga? Apakah sudah engkau peroleh?"
Siau-liong menghela napas,
“Ah, paderi itu memang berwatak aneh sekali, sukar diraba hatinya....”
Dalam pada berkata-kata itu,
ia sudah tiba dihadapan si Kakek Mata-satu. Ia lalu menuturkan semua pengalaman
yang dialaminya.
Song Ling kerutkan batang
hidung, “Kalau begitu, paderi itu memang tak dapat diajak berunding dengan
baik-baik. Dia tak mau memberikan katak mustika itu sih tak apa. Tetapi mengapa
masih menahan barang-barang orang dan menyiksa orang begitu rupa....!"
62. Topeng Pendekar Laknat
Kemudian dengan pandang
menggeram, dara itu berpaling ke arah kakek gurunya, “Bukankah sucou mengatakan
sering mengunjungi dan bermain catur dengannya? Mengapa sucou tak menemuinya
dan mendampratnya!"
Siau-liong tertawa, “Tetapi
paderi sakti itu memang tak kecewa sebagai seorang paderi yang luhur. Walaupun
aku disiksa setengah hari dijebloskan dalam gua, tetapi aku memperoleh manfaat
yang tak sedikit!"
"Apakah dia memberi
petunjuk ilmu silat kepadamu?" tanya Kakek Mata-satu.
Siau-liong mengangguk, “Boleh
dianggap begitulah."
"Apakah sekarang kamu
merasa akan mampu menghadapi keroyokan keempat tokoh pewaris ilmu sakti
itu?"
"Ini.... ini aku tak
berani memastikan. Dan lagi....” Siau-liong banting kaki menghela napas,
“Dan lagi, guruku dan
lain-lain tokoh masih dikuasai kedua suami isteri iblis itu. Bahkan obat-obatan
dan resep-resep berharga pemberian guruku juga turut hilang. Sekalipun aku
dapat melawan keempat pewaris ilmu sakti itu, tetapi apa gunanya? Apakah suruh
aku menjadi seorang murid yang mencelakai guru?
Habis berkata hidungnyapun
lembab, beberapa air mata menitik turun.
Song Lingpun dengan cemas
memegang ujung baju kakek gurunya, “Cousu-ya, harap engkau lekas mencari daya!
Apakah engkau benar-benar tak memikirkan nasib ibuku?"
Kakek Mata-satu itu
mengelus-elus bahu si dara seraya menghiburnya, “Nak, jangan ributlah...."
Kemudian memandang ke langit,
kakek mata satu itu melanjutkan,
“Sekarang hari masih pagi.
Walaupun kedua iblis itu hendak mengadakan rencana apa saja, tetapi tentu akan
menunggu sampai tengah malam. Baiklah kita tunggu saja bagaimana
perkembangannya nanti. Kurasa paderi kurus itu tentu tak berhenti sampai
disini. Mungkin....” — ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan berdiam
diri.
Sepasang mata dara itu
berkaca-kaca dan sandarkan kepalanya pada bahu kakek gurunya.
Saat itu matahari sudah
condong ke barat Siau-liong mempertajam pendengarannya. Dari atas puncak
Kim-ting, terdengar suara batu berdebak-debuk berjatuhan tetapi tak terdengar
suara orang.
Beberapa saat kemudian,
bertanyalah Siau-liong dengan heran, “Sedang sibuk apakah Ceng Hi totiang dan
rombongannya itu?"
"Sedang sibuk membuat
panggung yang akan dipergunakan Iblis Penakluk-dunia untuk mengumumkan
pengangkatan dirinya sebagai pemimpin dunia persiatan!" sahut Kakek
Mata-satu.
Siau-liong terkejut, “Apakah
Ceng Hi totiang takut mati sehingga rela diperbudak kedua iblis itu?"
Kakek Mata-satu tertawa,
“Justeru kebalikannya! Tindakan Ceng Hi totiang itu hanya sebagai siasat untuk
menunggu bala bantuan....” — kemudian menatap dengan pandang rawan ke arah
Siau-liong, Kakek Mata-satu berkata pula,
“Mereka telah melihat engkau
masuk ke dalam gua maka seluruh harapan mereka tertumpah padamu. Yang mereka
harapkan sebagai bala bantuan tak lain ialah engkau dapat mengajak paderi
Kim-ting itu keluar dari guanya!"
Siau-liong menghela napas,
“Kalau begitu yang mereka harapkan, akan sia-sia saja harapan mereka! Sedang
katak berkaki-tiga saja dia tak mau memberikan apalagi disuruh keluar
membantu!"
Kakek Mata satu tetap tertawa,
“Walaupun dengan cara menyiksa dirimu itu memang agak keterlaluan tetapi hal
itu dapat membuatmu dalam waktu yang singkat, mengetahui pelajaran-pelajaran
yang sukar dalam kitab Thian-kong-pit-kip. Bukankah itu berarti dia sudah
memberi bantuan?"
Siau-liong terbeliak kaget.
Diam-diam ia mengakui ucapan kakek buta itu memang tepat. Dipandangnya kakek
itu tanpa berkata apa-apa. Tetapi dalam hati, penuhlah tanda tanya yang
beraneka macamnya.
Tiba-tiba terdengar suara
berderak-derak. Siau-liong terkejut dan buru-buru memperhatikan ke arah gua.
Pintu gua yang tadi menutup rapat, tiba-tiba berderak-derak terbuka
pelahan-lahan.
"Kutahu paderi kurus itu
bukan manusia yang temaha pada harta orang. Cobalah lihat tuh!” Kakek Mata satu
tersenyum.
Kedua bocah baju biru dan
putih membawa beberapa barang dan dengan tersenyum simpul melangkah ke tempat
Kakek Mata-satu.
Bukan kepalang kejut
Siau-liong saat itu. Yang dibawa kedua bocah itu bukan lain adalah
barang-barang miliknya ialah alat penyamaran sebagai Pendekar Laknat.
Jelas kedua bocah itu telah
membuka buntalannya dan mengeluarkan topeng berwajah Pendekar Laknat dengan
rambut palsu, sepasang alis tebal dan sebuah hidung merah. Topeng berwajah
Pendekar Laknat yang seram itu dibawa oleh si bocah baju biru.
Begitu tiba di depan
Siau-liong, kedua bocah itu lalu lemparkan benda itu sepotong demi sepotong,
serunya, “Cobalah cacahkan, apakah ada yang kurang?"
Sambil membawa topeng Pendekar
Laknat, bertanyalah bocah baju biru, “Perlu apa engkau membawa benda begini
macam? Apakah engkau hendak menyaru jadi setan untuk menakuti orang?"
Siau-liong cepat merebut
topeng itu, jawabnya, “Mengapa engkau berani sembarangan memeriksa buntelan
bekalku?"
Bocah baju biru terkesiap,
serunya gopoh, “Sebuah topeng setan macam itu, siapa sudi mengambilnya!"
Siau-liong tahu bahwa si dara
Song Ling benci setengah mati kepada Pendekar Laknat. Apabila topeng itu sampai
diketahui Song Ling tentu akan menimbulkan pertanyaan yang runyam. Maka
cepat-cepat ia segera membungkusnya lagi.
Tetapi terlambat. Song Ling
sudah melihat semua. Cepat ia melengking, “Apa itu?"
Siau-liong tertawa meringis,
“Tidak apa-apa! Hanya barang permainanku dahulu!"
“Berikan padaku!" bentak
Song Ling, seraya terus merebutnya.
Siau-liong tak dapat berbuat
apa-apa kecuali membiarkan benda itu direbut si dara.
“Rebutlah sepuas hatimu!
Masakan benda macam muka setan begini, hendak kalian rebutkan?" bocah baju
biru tertawa mengikik.
Sebaliknya bocah baju putih
berkata kepada Kakek Mata-satu, “Suhu tahu kalau engkau tentu sibuk hari ini
maka beliau tak mau mengundangmu bermain catur!"
“Benar," sahut Kakek
Mata-satu, “aku harus menemaninya bermain-main sehari penuh. Sampaikan terima
kasihku kepadanya!"
Setelah saling bertukar
pandang, kedua bocah itu segera minta diri.
Karena topeng Pendekar Laknat
direbut Song Ling, hati Siau-liong gelisah resah. Selekas kedua bocah itu
pergi, buru-buru ia memeriksa obat-obat pemberian gurunya, Kongsun Sin-tho.
Ia terkejut melihat bungkusan
obat itu menyurut kecil sekali. Tentulah sudah dibuka orang. Dan lebih terkejut
pula ketika ia membuka bungkusan itu. Obat-obat pemberian gurunya telah lenyap
semua.
Dan pada buntelan itu hanya
terisi sebuah ho-lou atau buli-buli berwarna kuning emas. Dalam buli-buli itu
berisi duapuluh butir pil warna hitam.
Dari kaget, berobahlah hati
Siau-liong menjadi rasa girang yang tak terkira. Sambil memegang buli-buli pil
itu, ia berseru tersendat-sendat, “Ini.... ini....” - walaupun hatinya dapat
menduga tetapi ia tak berani mengatakan dengan pasti.
Kakek Mata satu tertawa,
serunya, “Paderi seorang paderi luhur. Tak mungkin ia sampai hati melihat
keadaan ini. Pil itu tentu pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan yang dibuatnya untuk
diberikan kepadamu!"
Sambil memandang ke arah gua
yang pintunya sudah tertutup lagi, Siau-liong menyatakan hendak menghaturkan
terima kasih kepada paderi itu. Tetapi Kakek Mata-satu menertawakannya,
“Sejak kecil dia sudah masuk
menjadi paderi. Dan saat ini dia sudah tak mau campur tangan urusan duniawi
lagi. Perlu apa engkau menghaturkan terima kasih kepadanya?"
Memandang kepada kakek itu,
diam-diam Siau-liong membenarkan. Katanya dalam hati, “Ya, benar, paderi
Kim-ting itu sudah tak menghiraukan urusan dunia lagi. Percuma menghaturkan
terima kasih kepadanya. Lalu bagaimana caraku membalas budi kepadanya?"
Berkata pula Kakek Mata-satu,
“Paderi tua itu paling gemar bermain catur. Jika senggang akan kutemani dia
bermain catur dan akan kukatakan kepadanya bahwa aku mewakili engkau untuk
membalas budinya. Tetapi....” — tiba-tiba ia berhenti sejenak lalu tertawa,
“Aku mempunyai sebuah urusan yang hendak kuminta engkau meluluskan lebih
dulu."
"Apapan juga, harap
locianpwe bilang. Asal mampu melakukan, tentu akan kukerjakan sekali pun harus
masuk ke dalam lautan api!"
"Ah, tak begitu serius.
Soal itu....," Kakek Mata-satu tertawa penuh arti, "pokoknya tentu
membawa kebaikan kepadamu. Tak perlu harus menerjang lautan api karena cukup
aman."
"Soal apakah itu?"
Siau-liong makin heran.
Kakek itu gelengkan kepala
tertawa, “Rahasia alam tak boleh dibocorkan. Yang penting engkau mau meluluskan
atau tidak?"
Siau-liong memandang kakek itu
makin tak mengerti, “Bilakah locianpwe menghendaki aku melakukan hal itu?"
"Paling cepat pun nanti
setelah kedua suami isteri iblis itu sudah terbasmi!"
Siau-liong mengangguk dan
menyatakan persetujuannya.
Dengan wajah mengerut serius,
Kakek Mata-satu itu berkata, “Pernyataan dengan mulut, tiada jaminannya. Harap
engkau mengangkat sumpah!"
Tanpa banyak keraguan lagi
Siau-liong terus mengikrarkan sumpah, “Apabila aku menyesal atas apa yang
kusetujui itu, biarlah aku mati ditumpas Allah!"
"Bagus!" Kakek
Mata-satu tertawa, "sumpah itu cukup gawat dan dapat dipercaya!"
Siau-liong tak menghiraukan
hal itu. Ia percaya Kakek Mata-satu itu tentu bermaksud baik kepadanya. Apalagi
hal itu baru dilaksanakan setelah Iblis Penakluk-dunia terbasmi.
Saat itu Siau-liong teringat
akan si dara.
Ketika melirik kesamping,
dilihatnya Song Ling masih memandang topeng Pendekar Laknat dengan penuh
perhatian dan kegeraman. Begitu Siau-liong melirik ke arahnya, cepat dara itu
membuang topeng dan melengking, “Mengapa engkau memiliki benda ini? Apakah
hubunganmu dengan Pendekar Laknat?"
"Aku....” Siau-liong
gugup.
Song Ling deliki mata dan
menuding Siau-liong dengan marah, “Apakah engkau muridnya?"
Siau-liong gelengkan kepala
menghela napas, “Aku bukan muridnya, dan lagi....”
Song Ling melonjak dan
meraung-raung seperti singa betina yang kehilangan anak, “Bagus! Engkau
ternyata mengakui, engkau.... engkau.... ah, mataku sungguh buta!"
Habis menumpahkan
kemarahannya, dara itu terus menangis gerung-gerung.
Siau-liong gopoh tetapi tak
dapat berbuat apa-apa. Setelah dara itu berhenti menangis, barulah ia coba
menghibur, “Nona, Pendekar Laknat sudah meninggal....”
Song Ling terbeliak tetapi
cepat mendengus dingin, “Ngaco! Kapankah dia meninggal?"
Siau-liong menghela napas,
“Dia sudah meninggal di dalam Lembah Penasaran di gunung Hong-san. Sama sekali
dia tak pernah muncul di dunia persilatan lagi......" — ia berhenti meragu
sejenak lalu melanjutkan, “Yang muncul sebagai Pendekar Laknat di dunia
persilatan itu sesungguhnya adalah aku sendiri....”
“Kalau begitu yang bertempur
dengan aku di lembah Mati dulu itu, juga engkau?"
Siau-liong mengiakan, “Ya, aku
terpaksa melakukan hal itu, harap nona maafkan."
Song Ling duduk lagi seraya
bertanya, “Apa perlumu engkau melakukan hal itu?"
“Ah, panjang sekali kalau
diceritakan," Siau-liong menghela napas, "pokoknya, walaupun aku dan
dia tak mempunyai ikatan sebagai guru dan murid tetapi dalam kenyataan aku
telah menerima pelajarannya. Jika dia tak mengorbankan hawa murninya selama
berpuluh tahun untuk memberi penyaluran kepada tubuhku, tentulah aku sudah mati
dalam Laut Penasaran itu. Dan jika dia tak menyalurkan tenaga murninya itu
kepadaku, tentu belum meninggal....”
Siau-liong berhenti sejenak
lalu melanjutkan pula, “Dan lagi walaupun dia disohorkan orang sebagai manusia
laknat yang ganas, tetapi menurut pengamatanku, sebenarnya dia seorang tua yang
berbudi luhur, seorang tua yang kesunyian hidupnya!"
Sambil bercucuran airmata,
Song Ling bertanya, “Tahukah engkau bahwa dia itu manusia yang membunuh
ayahku?"
Siau-liong menghela napas.
“Bagaimana beliau mengikat
permusuhan dengan nona, aku tak tahu. Tetapi aku selalu membedakan budi dan
dendam. Pendekar Laknat telah melepas budi besar kepadaku. Sudah tentu aku
wajib membalasnya. Tindakanku menyamar sebagai Pendekar Laknat, tak lain karena
hendak memulihkan nama baik beliau dalam dunia persilatan. Agar beliau mendapat
perindahan dan penghormatan dari kaum persilatan."
Tiba tiba Song Ling
berbangkit, bentaknya, “Engkau hendak membalas budi dan aku hendak membalas
dendam! Oleh karena Pendekar Laknat sudah mati, maka perhitungan itu akan
kuminta kepadamu!"
Habis berkata nona itu terus
mengangkat tangan hendak memukul. Melihat itu Kakek Mata-satu cepat ulurkan
tangan melerai, “Ah, perlu apa harus begitu?"
Sesungguhnya Song Ling tak bermaksud
memukul Siau-liong. Adalah karena menumpahkan kegeramannnya maka ia sampai
marah begitu rupa. Setelah dicegah Kakek Mata-satu, cepat ia menarik pulang
tangannya dan menangis tersedu-sedu.
Kakek itu menghela napas
panjang, ujarnya: “Karena Pendekar Laknat sudah mati maka dendam permusuhannya
pun sudah habis....”
Kemudian menunjuk pada
Siau-liong, kakek itu melanjutkan pula, “Bahwa anak itu hendak membalas budi
Pendekar Laknat, sungguh langkah yang patut dipuji....”
"Apa yang patut dipuji .
,....” dengus Song Ling.
Kakek Mata-satu tertawa, “Nak,
apakah engkau suka kalau dia menjadi seorang manusia yang tak tahu membalas
budi!"
Song Ling balikkan kelopak
matanya, “Apa sangkut paut diriku dengan dia. Mulai saat ini, aku takkan
memperdulikannya lagi!"
Dara itu terus palingkan muka.
Kakek Mata-satu hanya
geleng-geleng kepala. Katanya pula, “Tentang hubungan ibumu dengan Pendekar
Laknat dahulu, mungkin engkau belum jelas. Maukah engkau mendengar
ceritaku?"
Song Ling terdiam sejenak lalu
berseru, “Ceritakanlah!"
Dengan permusuhan antara Randa
Bu-san dengan Pendekar Laknat dan bagaimana ayah Song Ling sampai mati ditangan
Pendekar Laknat. memang ingin sekali diketahui Siau-liong.... Maka pemuda itu
mendengarkan cerita si kakek dengan penuh perhatian.
Setelah batuk-batuk sebentar,
kakek Mata-satu itu berkata kepada Song Ling, “Dahulu ibumu itu seorang anak
sebatang kara yang dibuang oleh orang tuanya. Saat itu ia baru berumur tiga
tahun dan menderita sakit keras seorang diri ditinggalkan dalam hutan....
Song Ling kerutkan alis dan
cepat menyelutuk, “Kakek, jangan mengibuli aku!"
Mata si kakek yang tinggal
satu itu mendelik, "Masakan aku sampai hati membohongi engkau!"
Song Ling tertegun, lalu
tundukkan kepala.
Kemudian kakek Mata-satu pun
melanjutkan ceritanya lagi.
"Pada waktu itu kebelulan
Pendekar Laknat lewat di hutan situ. Ia tak sampai hati melihat seorang anak
perempuan kecil terkapar diantara gunduk batu dalam keadaan menderita sakit
parah. Diambilnya anak itu pulang. Keadaan ibumu saat itu benar-benar amat
parah sekali. Hidupnya yang menderita kekurangan dan penyakit yang diidapnya
begitu parah, lalu dibuang dalam hutan beberapa hari tak makan tak minum,
didera hujan dan angin. menyebabkan ibumu tak mungkin ditolong jiwanya
lagi....”
Kakek itu berhenti menghela
napas.
"Melihat anak itu sudah
meregang jiwa tetapi masih bernapas, Pendekar Laknat membawanya ke gunung
Kun-lun yang jauh, untuk minta obat kepada Se Hong sanjin, seorang tabib sakti.
Tetapi sungguh sial. Tabib itu sedang berkelana keluar, sehingga Pendekar
Laknat tak dapat berjumpa. Ibumu benar-benar sudah tiada harapan tertolong
lagi. Tetapi sekali pun begini, Pendekar Laknat tetap tak sampai hati untuk
membuangnya. Sambil membopongnya, ia mondar mandir menghela napas panjang pendek....”
Song Ling rentangkan sepasang
biji mata dan bertanya, “Kakek! Mengapa engkau tahu keadaan ibuku begitu
jelas?"
Kakek Mata-satu itu tersenyum,
sahutnya, "Karena pada saat itulah aku berjumpa dengan mereka....”
Mata si kakek tampak
berkilat-kilat seperti mengenangkan peristiwa itu. Lalu ia melanjutkan pula.
"Walaupun aku tak
mengerti ilmu pengobatan, tetapi kebetulan aku masih mempunyai pil
Kiu-cwan-koh-wan-tan pemberian si Tabib-sakti Se Hong sanjin. Atas permintaan
Pendekar Laknat, kuberikan kepadanya sebutir pil itu. Karena belum takdirnya
mati, setelah minum pil itu, ibumu pun sembuh. Pendekar Laknat lalu membawanya
pulang ke Hong-san.
Karena wajahnya yang buruk dan
menyeramkan maka Pendekar Laknat mengasingkan diri di gunung dan tak mau bergaul
dalam masyarakat ramai. Beberapa tahun kamudian dalam asuhan dan rawatan
Pendekar Laknat, anak perempuan itu cepat tumbuh dewasa. Beberapa belas tahun
kemudian, anak itu sudah menjadi seorang gadis yang berumur duapuluhan tahun.
Dalam masa yang begitu panjang
itu, dari seorang anak perempuan yang tak tahu apa-apa, ibumu telah menjadi
seorang gadis dewasa. Tetapi dia hidup dalam lingkungan alam pegunungan yang
berpenghuni pohon dan binatang.
Satu-satunya manusia yang
menjadi teman pergaulannya hanya Pendekar Laknat. Dalam pandangan ibumu, wajah
buruk dari Pendekar Laknat itu tidak menyeramkan karena sudah biasa. Sejak
kecil ia melayani Pendekar Laknat dan menganggapnya manusia biasa seperti
dirinya.
Bermula mereka hidup sebagai
ayah dan anak. Umur Pendekar Laknat lebih tua 30 tahun. Tetapi ketika ibumu
berumur duapuluh tahun, hubungan merekapun mengalami perobahan ....”
Kakek Mata-satu berhenti
sejenak, menghela napas. Lalu melanjutkan ceritanya lagi.
"Soal itu aku berani
mengatakan pasti tentang diri Pendekar Laknat. Sekalipun ibumu merobah
pandangannya kepada Pendekar Laknat, dari ikatan ayah dan anak menjadi cinta
kasih wanita dan pria, tetapi selama itu Pendekar Laknat tetap tak mau
melanggar garis-garis terlarang....”
Kembali kakek Mata-satu itu berhenti
dan menghela napas rawan.
"Mereka hidup dalam
kesunyian dan ketenangan. Tetapi mereka merasa bahagia. Tiap hari mereka selalu
berburu burung, mencari ikan. Hari-hari dilewati dengan penuh kegembiraan.
Sampai pada akhirnya, Pendekar Laknat telah melakukan suatu tindakan yang
salah....”
"Tindakan apa?"
karena tak sabar lagi, Song Ling cepat bertanya.
"Tidak seharusnya
Pendekar Laknat membawa ibumu melihat-lihat ke kota! Mungkin karena hendak
mengambil hati ibumu supaya senang, atau mungkin karena lain sebab, maka
Pendekar Laknat membawa ibumu turun ke dunia persilatan.
Sebagai seorang gadis yang tak
pernah bergaul dengan orang, segala yang dilihat dan dijumpai, selalu membuat
ibumu heran. Kemudian ia menyadari bahwa dunia ini ternyata amat luas dan
ramai.
Sejak itu, pandangan ibumu
terhadap Pendekar Laknatpun berobah. Mereka sering cekcok dan bertengkar.
Sampai pada suatu hari, ibumu
telah mengenal seorang pemuda she Song dan kedua saling jatuh....”
Kembali kakek Mata-satu
berhenti seraya geleng-gelengkan kepala.
"Apakah dia....
ayahku....” Song Ling berseru gopoh.
63. Serbuan Empat Tokoh Sakti
"Benar," sahut Kakek
Mata-satu, "pemuda she Song itu adalah ayahmu. Ibumu memutuskan untuk
meninggalkan Pendekar Laknat dan lari bersama pemuda itu.
Sekalipun Pendekar Laknat amat
berduka atas peristiwa itu, tetapi dia dapat memaafkan ibumu. Dia menyadari
bahwa hal itu memang tak dapat dicegah lagi. Maka ia tak mau mengejar dan lalu
pulang ke gunung Hong-san.
Sejak itu ia hidup dirundung
duka. Walaupun ia dapat memaafkan ibumu, tetapi ia tetap tak dapat melupakan
kenangan hari-hari yang bahagia bersama ibumu. Sejak itu ia menjadi manusia
pembenci dunia. Dia benci kepada seluruh manusia di dunia ini.
Dua puluh tahun yang lalu,
muncullah keempat momok Thian, Te, Liong, Hou atau Iblis Penakluk-dunia, Dewi
Neraka, Harimau Iblis dan Naga Terkutuk. Dunia persilatan dilanda banjir darah.
Mendengar itu, Pendekar Laknat
pun turun gunung dan melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu. Baik tokoh
golongan Putih maupun Hitam, dibunuhnya semua. Karena tindakannya yang ganas
itu, maka oleh kaum persilatan, mereka dijuluki sebagai Lima Durjana.
Sebenarnya, hanya suatu fitnah
belaka bahwa Pendekar Laknat itu, membunuh secara membabi buta tanpa pandang
bulu. Karena sesungguhnya yang dibunuh itu kebanyakan hanya kaum persilatan
yang bejat moralnya.
Dan selama itu tak pernah ia
bergabung dengan keempat momok itu.
Kemudian tampillah Ceng Hi
totiang memimpin barisan orang gagah untuk menghalau Iblis Penakluk-dunia dan
gerombolannya itu dari Tionggoan. Sejak itu, Pendekar Laknatpun pulang ke
gunung Hong-san lagi.
Dua tahun kemudian pada
pertengahan musim rontok, ibumu dan pemuda Song itu telah menikah. Entah
bagaimana, kedua suami isteri itu membawa puterinya yang masih bayi ialah
engkau, menjenguk Pendekar Laknat di gunung Hong-san.
Sebagai anak yang telah
dirawat sejak kecil ibumu memang masih mempunyai ikatan batin kepada Pendekar
Laknat sebagai ayah. Walaupun sudah menikah dengan lain orang namun ia masih
tetap terkenang akan orang tua yang hidup sepi seorang diri di gunung itu.
Maka diajaknyalah sang suami
dan puterinya untuk menyambangi orang tua itu. Ia ingin menghibur orang tua
yang telah melepas budi besar kepadanya.
Tetapi kunjungan yang
bermaksud baik itu telah menimbulkan peristiwa yang menyedihkan.
Saat itu watak Pendekar Laknat
memang sudah berobah. Dari seorang tua yang sabar dan murung dia telah menjadi
seorang manusia yang pemarah dan gemar membunuh.
Dia menafsirkan kedatangan
ibumu bersama suaminya itu sebagai suatu tindakan untuk mengejeknya. Apalagi
ayahmu yang masih muda itu memang berhati tinggi dan angkuh.
Setitik pun dia tak memandang
hormat kepada Pendekar Laknat. Dalam percakapan, timbullah salah paham dan
karena sama ngototnya, mereka segera berkelahi....”
Kakek Mata-satu menghela
napas, berdiam diri.
“Begitulah Pendekar Laknat
lalu membunuh ayahku?" tanya si dara.
Kakek Mata-satu mengangguk
pelahan.
“Jika Pendekar Laknat
benar-benar sayang pada ibuku, tak seharusnya ia membunuh ayahku!" Song
Ling menggeram pula.
Namun nadanya agak berkurang
bencinya kepada Pendekar Laknat.
Kakek itu menghela napas, “Aku
berani mengatakan, bahwa semula pendekar Laknat memang tiada maksud untuk
membunuh ayahmu. Hal itu lebih cenderung kalau kesalahan tangan saja.
Tetapi ibumu marah sekali dan
seketika itu juga ia pergi dan bersumpah akan melakukan pembalasan. Sejak itu
berulang kali ia menantang Pendekar Laknat supaya datang kepuncak Hong-san pada
hari Tiong-jiu (pertengahan musim rontok) untuk menyelesaikan hutang darah itu.
Tetapi Pendekar Laknat tak pernah datang! Dan pada tahun kematian suaminya itu,
ibumu datang berguru kepadaku!"
Selesai mendengar cerita kakek
gurunya, Song Ling menutup matanya dengan kedua tangan dan menangis tersedu
sedan.
Siau-liong juga tergerak
hatinya. Timbul rasa perindahannya kepada Pendekar Laknat. Tanpa disadari, ia
telah mengenakan topeng Pendekar Laknat itu kemukanya.
Song Ling tak berkata apa-apa.
Tiba-tiba dilihatnya Siau-liong memakai topeng Pendekar Laknat. Seketika ia
tertawa dan berseru, “Huh, seram sekali!"
Siau-liong hanya tersenyum.
Saat itu ia telah menyimpan pil pemberian paderi Kim-ting ke dalam bajunya.
Dapat atau tidaknya ia menolong para tokoh-tokoh yang ditawan Iblis
Penakluk-dunia itu, nanti malam akan ketahuan hasilnya.
Saat itu sudah petang hari.
Suasana dalam hutan pun makin sunyi dan menyeramkan. Tiba-tiba kakek Mata-satu
berkata kepada Siau-liong,
“Saatnya sudah hampir tiba,
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu....” — tiba-tiba kata-katanya terhenti
oleh suara tertawa nyaring yang bergelombang di udara.
Ah, itulah suara tertawa si
Iblis Penakluk-dunia. Nyata dia sudah kembali ke puncak Kim-ting lagi.
Siau-liong menjurah di hadapan
kakek Mata-satu dan berkata, “Musuh sudah menampakkan diri, untuk sementara ini
terpaksa wanpwe hendak minta diri."
Song Ling pun juga berbangkit
dan berkala gopoh, “Cousu-ya, mohon Cousu-ya suka membantunya menolong
ibuku!"
Kakek Mata-satu menarik tangan
Song Ling: "Saatnya belum tiba, untuk sementara ini lebih baik kita
menunggu saja bagaimana perobahannya ....." — Lalu ia berkata kepada
Siau-liong,
“Bertindaklah menurut gelagat.
Jangan mengandalkan keberanian semata-mata lalu bertindak menurutkan kehendak
kemarahan. Pergilah!"
Siau-liong mengiakan lalu
loncat kemuka dan lari mendaki ke puncak Kim-ting.
”Apakah dia mampu menolong
ibuku dan tokoh-tokoh itu?" tanya Song Ling dikala mengantar kepergian
Siau-liong dengan pandang mata harap-harap cemas.
"Dia seorang pemuda yang
berani, sakti dan pandai menyesuaikan diri," sahut kakek Mata-satu,
“diapun telah menyadari betapa gawatnya peristiwa ini. Rasanya dia tentu dapat
bertindak hati-hati dan berhasil menunaikan tugasnya."
"Mengapa kakek tak ikut
menyertainya? Bukankah dia akan merasa lebih kuat?" tanya si dara pula.
"Ah, tampaknya memang
begitu. Tetapi sesungguhnya dia akan dapat bertindak lebih leluasa apabila
pergi seorang diri. Dengan kusertai, mungkin musuh cepat dapat mengetahui jejak
kita."
"Bagaimana kalau dia
gagal?" kata si dara pula dengan resah.
"Kita hanya dapat
berusaha dan tak dapat memastikan kalau berhasil. Namun setiap perbuatan baik,
tentu diberkahi Allah. Ah, sudahlah, kita tunggu saja bagaimana
perkembangannya!"
◄
Y ►
Saat itu Cong Hi totiang dan
rombongan yang berada dipuncak Kim-ting, gelisah resah pikirannya.
Walaupun Soh-beng Ki-su
berulang kali mendesak supaya cepat-cepat menyelesaikan pembuatan panggung itu,
tetapi Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah itu tetap hendak mengulur
waktu. Dengan segan-segan mereka mengusung batu-batu besar. Maka sampai hari
sudah petang, panggung itu belum juga selesai.
Serempak dengan suitan yang
memecah angkasa itu, kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia pun memimpin
berpuluh anak buahnya, kembali ke puncak.
Melihat hasil pembuatan
panggung, Iblis Penakluk-dunia membentak, “Lekas panggil Ceng Hi si imam tua
itu kemari!"
Soh-beng Ki-su segera
membentak, “Imam hidung kerbau, apakah engkau tuli?"
Ceng Hi totiang terpaksa maju
dua langkah tetapi tak berkata apa-apa.
Iblis Penakluk-dunia membentaknya,
“Oleh karena cita-cita untuk memimpin dunia persilatan sudah terlaksana, maka
aku selalu bermurah hati kepada orang. Tak mau membunuh orang yang tak
bersalah. tetapi mengapa engkau malah menentang perintahku?"
Saat itu hati Ceng Hi totiang
amat gelisah sekali. Siau-liong yang sudah berjam-jam masuk ke dalam gua
menemui paderi Kim-ting, sampai saat itu belum juga keluar. Dan saat itu adalah
detik-detik yang menentukan. Rasanya kecuali harus berjuang sendiri, tiada lain
jalan lagi.
Setelah mantap dengan
keputusan itu, ia segera berpaling ke arah rombongan orang gagah. Tampak mereka
berdiam diri semua tetapi wajahnya menampil kerut kedukaan dan kemarahan. Jelas
mereka hanya menunggu komando. Begitu ia memberi perintah, segera mereka akan
menyerbu.
Tetapi Ceng Hi totiang cukup
jelas akan kekuatan lawan dan pihaknya. Memberi komando penyerbuan, berarti
menyuruh mereka mengantar jiwa.
Dengan pertimbangan itu, ia
bersangsi sehingga tak dapat menjawab kata-kata Iblis Penakluk-dunia.
Melihat Ceng-Hi diam saja,
Iblis Penakluk-dunia membentaknya, “Hm, rupanya engkau benar-benar sudah bosan
hidup?"
Ceng Hi totiang menyadari
bahwa saat itu ia sudah tak dapat mengulur waktu lagi. Dia tak rela membiarkan
Iblis Penakluk-dunia menguasai dunia persilatan. Ia tak mau diperintah oleh
gerombolan iblis itu. Maka tiada lain pilihan lagi kecuali harus bertempur.
Lebih baik pecah sebagai ratna dari pada hidup bercermin bangkai!
Pada saat ia hendak memberi
komando kepada rombongannya, tiba-tiba sesosok tubuh melayang dari udara dan
tahu-tahu meluncur di tengah-engah Ceng Hi dengan Iblis Penakluk-dunia. Ketika
melihat siapa yang muncul itu, sekalian orang berteriak kaget.
Dengan girang Ceng Hi totiang
segera maju selangkah dan berseru, “Pendekar Laknat, dalam pertempuran di barisan
pohon tempo hari, mengapa saudara pergi dengan membawa luka? Telah kusuruh
orang untuk mencari kesegenap penjuru tetapi tak berhasil....”
Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia
tertawa nyaring dan berseru, “Tong Siau-liong, engkau sungguh pandai bermain sandiwara....”
Sejenak berhenti, iblis itu
mengertek gigi dan berseru pula, “Jika kali ini engkau mampu lolos dari
tanganku, aku akan tinggalkan Tionggoan selama-lamanya!"
Sekalian tokoh yang hadir
disitu terbeliak kaget. Benar-benar mereka tak mengerti mengapa Iblis
Penakluk-dunia menyebut Pendekar Laknat sebagai Siau-liong. Di antara mereka
adalah Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay segera maju menghampiri
dan memandang bayangan punggung Siau-liong dengan lekat.
Siau-liong sendiri pun juga tak
kurang kejutnya. Ia duga Iblis Penakluk-dunia tentu sudah mengetahui
rahasianya. Tetapi karena Iblis itu menelanjangi dirinya dimuka sekalian banyak
tokoh iapun merasa tak enak juga.
"Iblis tua!"
teriaknya dengan marah, "hari akhirmu sudah tiba, jangan....”
Iblis Penakluk-dunia menukas
tawa, “Benar, memang hari ini bakal ada orang yang akan habis riwayatnya!
Tetapi engkau harus tahu siapakah orang itu....”
Sejenak ia keliarkan mata lalu
melanjutkan pula, "aku menyesal mengapa tempo hari tak membunuhmu. Tetapi
sekarang engkau mau bicara apa saja, pokok jangan harap engkau mampu lolos dari
tanganku!"
Siau-liong memancar pandang
lalu gunakan ilmu Menyusup-suara berkata, “Iblis tua, memang tak salah kalau
engkau menyesal bahwa dulu engkau tak membunuh aku. Sekarang menyesal pun tiada
gunanya!"
Iblis Penakluk-dunia tertawa
nyaring, “Untuk membunuhmu adalah semudah membalikkan telapak tanganku. Kecuali
engkau sudah mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang itu dengan sempurna. Tetapi
betapapun cerdasmu, paling sedikit engkau harus menggunakan waktu setengah
tahun untuk mempelajarinya. Oleh karena itulah maka beberapa kali kusengaja
memberimu jalan hidup!"
Masih dengan ilmu Menyusup
suara, Siau-liong menjawab, “Aku orang she Tong tak sudi menerima kebaikanmu
itu. Bahwa engkau tak mau membunuh aku itu bukan lain karena engkau hendak
merencanakan berbagai siasat untuk menipu aku supaya mau memberikan pelajaran
ilmu Thian-kong-sin-kang!"
Iblis Penakluk dunia membentak
bengis, “Aku dapat menangkapmu hidup-hidup dan membiusmu supaya hilang
kesadaran pikiranmu....”
Kemudian ia menunjuk ke arah
Kongsun Sin-tho dan beberapa tokoh lainnya, “Seperti mereka itulah contohnya.
Masakan engkau tak mau mengatakan ilmu pelajaran itu?"
Siau-liong tertawa, “Sudah
tentu hal itu engkaulah yang paling tahu. Di dunia ini hanya orang yang paham
ilmu Thian-kong-sin-kang itulah yang akan menundukkan engkau. Segala ilmu iblis
yang engkau gunakan tak mampu menyesatkan pikiranku....”
Berhenti sejenak, Siau-liong
berkata pula.
“Jangan mengira kalau dalam
waktu setengah tahun itu engkau mampu menipu aku supaya menerangkan pelajaran
itu. Ho, engkau salah hitung dan harus membayar dengan jiwamu!"
Dengan marah Iblis
Penakluk-dunia berteriak nyaring, “Semua tokoh-tokoh sakti dalam dunia telah
kukuasai. Masakan usaha yang sudah berhasil itu mampu engkau gagalkan?"
Habis berkata ia terus
gerakkan ruyung dan membentak kawanan Baju hitam yang berada dibelakang, “Lekas
tangkap budak itu. Bunuh saja kalau melawan!"
Dua orang Baju Hitam pun segera
menerjang maju. Pakaian keduanya warna hitam dan mukanya pun mengenakan
kerudung hitam, hanya bagian mata yang diberi lubang. Yang seorang tinggi dan
seorang pendek. Mereka tak lain adalah Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin!
Secepat kilat mereka bergerak
menghantam dari kanan dan kiri.
Siau-liong diam saja. Secepat
kedua pukulan mereka tiba, barulah ia berteriak keras dan gerakkan kedua
tangannya menyongsong.
"Bum ... bum"....
terdengar letusan keras disusul dengan hamburan pasir dan pecahan batu.
Siau-liong tetap tegak
ditempatnya sedang Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin terhuyung-huyung lima
enam langkah jauhnya.
Sorak-sorai menggemuruh dari
mulut rombongan orang gagah!
Siau-liong sendiri masih tegak
termangu ditempatnya. Kiranya dalam waktu setengah hari, Siau-liong berhasil
mengetahui bagian yang paling sukar dari kitab Thian-kong-sin-kang. Gerakannya
telah mencapai tataran, bersatu dengan angan-angannya. Apa yang
diangan-angankan, tangannyapun sudah bergerak.
Iblis Penakluk-dunia pucat.
Berpaling ke arah isterinya, ia lecutkan lagi ruyungnya memberi isyarat.
Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san yang berdiri di sampingnya segera loncat
menyerbu Siau-liong.
Setelah dipukul mundur oleh
Siau-liong, Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin termangu. Tetapi pada lain saat
mereka menggerung lalu maju menyerang lagi.
Bermula Siau-liong tak tahu
sampai dimanakah kemajuan ilmunya yang telah dicapai. Tetapi setelah mengetahui
bahwa ia mampu memukul mundur Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin, kepercayaan
pada dirinya makin besar. Ia segera menyambut serangan Lam-hay Sin-ni dan Jong
Leng lojin dengan pukulan yang bertubi-tubi hingga mereka terpaksa mundur lagi.
Tetapi selekas Kongsun Sin-tho
dan Randa Bu-san ikut menyerang, situasinya berobah.
Siau-liong tersentuh hatinya
ketika melihat gurunya. Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san mengenakan pakaian
seragam biru dan kepalanya ditutup dengan kerudung hitam. Adalah karena terharu
melihat keadaan gurunya dan kuatir nanti melukainya, maka gerakan Siau-liong
pun agak lambat dan pukulannya juga terpancang.
Kebalikannya Kongsun Sin-tho
dan Randa Bu-san menyerangnya dengan kalap. Setiap pukulan selalu menggunakan
jurus yang ganas dan mematikan. Tampaknya mereka amat bernapsu untuk membunuh
Siau-liong.
Demikian pewaris-pewaris dari
lima aliran ilmu sakti, saling berbaku hantam dengan seru. Deru angin yang
menyambar-nyambar, menghamburkan debu dan pasir yang bertebaran menutup
sekeliling mereka sehingga sekalian orang sukar melihat bayang-bayang mereka.
Menyaksikan Pendekar Laknat
mampu menghadapi keempat tokoh sakti itu dan kepandaiannya jauh lebih maju
ketika bertempur dibarisan Pohon Bunga dilembah Semi tempo hari, girang Ceng Hi
totiang bukan kepalang.
Sekalian orang benar-benar
terpesona menyaksikan pertempuran paling dahsyat dalam jaman itu. Mereka
terlongong-longong....
Kelima orang itu makin lama
makin menggila. Debu dan pasir serta pecahan batu berhamburan mencurah seperti
hujan. Angin dan letupan benturan pukulan tak henti-hentinya
berdentang-dentang!
Setelah berpuluh jurus
menghadapi keempat tokoh sakti itu, Siau-liong makin tenang. Dia makin
mengetahui sampai dimana kepandaiannya saat itu. Ternyata bukan saja ia mampu
melayani mereka, pun bahkan masih ada sisa untuk balas menyerang.
Pula iapun menyadari mengapa
Thian-kong-sin-kang merupakan ilmu nomor satu dari kelima ilmu sakti itu. Sejak
dijebloskan dalam gua oleh paderi Kim-ting, berkat menumpahkan seluruh
pikirannya, dapatlah ia mengetahui rahasia dari ilmu Thian kong-sin-kang yang
berintikan semangat sebagai pusat penggerak.
Bagi yang melihat, serangan
keempat tokoh itu tak mungkin dihindari. Tetapi bagi Siau-liong, serangan
meieka itu amatlah lambat. Dengan enak sekali ia dapat melihat jelas
gerak-serangan setiap lawannya serta tenaga mereka.
Dengan demikian mudahlah ia
menangkis dan balas menyerang. Maka betapa deras dan dahsyat keempat tokoh itu,
namun tak dapat melukainya sama sekali.
Tetapi hatinya resah bukan,
kepalang. Pertama, karena keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu telah dikuasai
oleh Iblis Penakluk-dunia. Dan kepandaian yang dicapainya, pun hanya tiba cukup
untuk bertanding seri dengan mereka.
Dengan demikian sukarlah
kiranya ia hendak meminumkan pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan itu kepada mereka.
Kecuali ia dapat menawan hidup keempat tokoh itu, tentu tak mungkin ia dapat
mengobati mereka.
Tetapi keempat tokoh itu amat
sakti, sekali salah gerak, dirinya bisa celaka sendiri. Apabila mereka berempat
serempak mengeroyok, betapa dahsyatnya, dapat dibayangkan.
Siau-liong tak tahu, sampai
kapan pertempuran itu akan selesai. Mungkin seribu jurus pun takkan rampung.
Iblis Penakluk-dunia tahu
jelas keadaan itu. Kegelisahannya lebih besar dari Siau-liong. Mereka
benar-benar tak mengerti mengapa dalam waktu yang begitu singkat, Siau-liong
sudah mencapai kemajuan yang begitu pesat dalam mempelajari ilmu Thian
kong-sin-kang.
Tetapi kedua suami isteri
iblis itu tak sempat memikirkan diri Siau-liong lagi. Saat itu mereka harus
lekas berdaya untuk menghadapi suasana yang gawat itu.
Saat itu masih ada Naga
Terkutuk dan Harimau Iblis serta rombongan It Hang totiang yang masih
dikuasainya. Mereka merupakan barisan tenaga yang akan menindas Ceng Hi totiang
dan rombongan orang gagah.
Tetapi Ceng Hi totiang
berpendapat, tak mau gegabah turun tangan. Menang atau kalah, hanya tergantung
kepada Pendekar Laknat yang menempur keempat tokoh sakti itu.
Jika Ceng Hi ikut bergerak, ia
kuatirakan mengganggu pikiran Pendekar Laknat. Oleh karena itu Ceng Hi menahan
diri dan menunggu perkembangan selanjutnya.
Dalam pada itu Siau-liong pun
memeras otak untuk mencari jalan. Bukan untuk mengalahkan atau melukai keempat
lawannya, melainkan untuk mencari jalan bagaimana dapat meminumkan pil. Hanya
dengan begitu dapatlah si tuasi berobah menuju ke arah kemenangan.
Tetapi Kongsun Sin-tho dan
keempat pewaris ilmu sakti itu menyerang dengan ketat dan hebat sehingga
memaksa Siau-liong bertempur seri. Dalam beberapa kejap saja mereka telah
bertempur sampai limaratus jurus.
Ceng Hi totiang dan rombongan
orang gagah cemas sekali. Jika Siau-liong sampai kalah, tentu Iblis
Penakluk-dunia akan memperoleh kemenangan besar. Semua orang gagah tentu akan
dibasminya. Bagi Ceng Hi totiang, matipun tak soal tetapi bagaimana dengan
nasib dunia persilatan nanti?
Tiba-tiba Toh Hun-ki ketua
Kong-tong-pay menghampiri Ceng Hi totiang dan berbisik, “Totiang, menilik
keadaannya....”
"Bukankah saudara Toh
menghendaki aku supaya memberi perintah untuk menyerbu?"
"Meskipun kepandaian
Pendekar Laknat maju pesat sekali tetapi menghadapi keempat tokoh sakti itu,
mungkin....”
Baru Toh Hun-ki berkata
begitu, tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia gentarkan cambuknya beberapa kali.
Getaran itu menimbulkan bunyi yang amat tajam sehingga Siau-liong yang sedang
bertempur pun mendengarnya juga.
Dan keempat tokoh yang mengeroyok
Siau-liong itu, tiba-tiba tambah menyala semangatnya. Cambuk itu merupakan
perintah kepada mereka dan menyeranglah mereka dengan jurus-jurus yang ganas.
Siau-liong terkejut. Sesaat ia
menjadi sibuk tak keruan dan pontang panting bertahan diri.
64. Engkau seorang lelaki buas
......!!
Tiba-tiba setelah melakukan
serentetan serangan maut keempat tokoh itu serempak loncat mundur beberapa
tombak, memandang Siau-liong tanpa berkata sepatah pun. Kemudian mereka mundur
ke belakang Iblis Penakluk-dunia dan tegak berdiri seperti patung.
Iblis Penakluk dunia sengaja
memperdengarkan tertawa gelak lalu melangkah ke muka Siau-liong, serunya,
“Budak! Kepandaianmu maju pesat sekali....” — lalu dengan mata berkilat-kilat
ia berseru pula, “Dengan begitu tambah mantaplah keputusanku untuk melenyapkan
engkau!"
Siau-liong menggerung marah,
“Akupun memutuskan untuk membasmimu juga!"
Iblis Penakluk-dunia tertawa
tak acuh, “Lihat saja siapa yang lebih beruntung....”
Kemudian ia kerutkan wajahnya
dan membentak, “Sebelum tengah malam nanti, di puncak Giok-li-hong dibawah
puncak Kim-ting ini akan kusaksikan engkau masuk ke dalam perangkap. Baik
engkau mau datang kesitu atau tidak, apa yang kukatakan ini pasti akan terjadi
pada dirimu. Hanya ......”
Matanya mengeliar seram dan
melanjutkan lagi, “Tidak sampai tengah malam nanti, Ya, ketahuilah bagaimana
siasatku yang ganas. Takkan memberi ampun sama sekali!"
“Andaikata aku tak pergi, mau
apa engkau!" bentak Siau-liong marah.
“Dalam hal itu engkau harus
memikir panjang. Tiau Bok-kun, Mawar Putih dan Kongsun Sintho, Randa Bu-san dan
semua tokoh-tokoh yang telah kutawan, satu demi satu akan kubunuh semua!"
Iblis Penakluk-dunia tertawa iblis.
“Tak mungkin engkau
berani....!" Siau-liong menggembor seraya hantamkan kedua tangannya.
Saat itu mereka terpisah dua
tiga meter. Ilmu Thian-kong sin-kang yang dimiliki Siau-liong sudah mencapai
apa yang disebut dapat digerakkan menurut kehendak hatinya.
Tetapi Iblis Penakluk dunia
sudah siap-siap. Maka ia tak berani maju lebih dekat. Namun tetap ia terkejut
ketika menyaksikan gerakan Siau-liong yang begitu cepat. Buru-buru ia menyurut
mundur sambil dorongkan kedua tangannya menangkis.
Maksud Siau-liong, sekali
pukul ia hendak menghancurkan iblis itu. Tetapi ia terkejut ketika iblis itu dapat
menyurut mundur begitu cepat. Pukulan iblis itupun dapat menahan dirinya yang
hendak menyerbu maju. Mau tak mau ia terlongong heran, pikirnya, “Rupanya
kepandaian iblis itu maju pesat juga. Aneh....”
Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia
tertawa gelak, “Aku telah memiliki keempat ilmu sakti itu. Sekalipun berkelahi
satu lawan satu, akupun dapat melayanimu sampai ratusan jurus. Apalagi....”
Ia menunjuk ke belakang dan
berkata pula, “Kalau tak sampai lima jurus saja, tak perlu kuperintahkan mereka
maju. Sebaliknya dari itu, sekali kuberi perintah, keempat tokoh pewaris ilmu
sakti itu tentu akan mati-matian menyerbumu. Tak mungkin engkau dapat menyerang
aku!"
Siau-liong menyadari bahwa
ucapan iblis itu memang tidak bohong. Hatinya makin mengeluh dan terpaksa ia
menghela napas panjang.
Sambil mengerut jenggotnya
yang menjulai kedada, Iblis Penakluk-dunia itu tertawa menghina,
“Telah kukatakan, usahaku
untuk menguasai dunia persilatan sudah berhasil. Oleh karenanya aku tak mau
menumpahkan darah lebih banyak lagi. Asal sebelum tengah malam nanti engkau mau
memenuhi undanganku untuk memberikan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepadaku,
bukan saja Tiau Bok-kun, Mawar Putih tentu akan kuserahkan kepadamu, bahwa
Kongsun sin-tho dan kawanan orang gagah yang menjadi tawananku itu juga akan
kubebaskan. Ketahuilah aku bukan manusia yang tak dapat dipercaya. Kalau
tidak....”
Berhenti sejenak, ia berkata
pula, “Bukan saja engkau tak mau lari dan jaringanku itu, pun Ceng Hi si imam
tua dan rombongannya itu, akan kulenyapkan dari muka bumi!"
Kembali Siau-liong dihadapkan
sebuah soal yang sulit. Sesaat ia tak dapat berkata apa-apa.
Pada saat Siau-liong sedang
termenung, sekonyong-konyong Iblis Penakluk-dunia maju dua langkah dan secepat
kilat menyambar muka Siau-liong. Karena sedang termenung dan lengah perhatian,
gerakan Iblis Penakluk-dunia yang dilakukan cepat sekali itu tak sempat lagi
dihindari Siau-liong.
Seketika kedok muka Pendekar
Laknat yang menutup mukanya itu, terjambret oleh Iblis Penakluk-dunia.
“Budak!" Iblis
Penakluk-dunia tertawa keras, "kedok permainan anak-anak ini memang dapat
mengelabuhi orang lain tetapi tak mungkin dapat menipu aku....” ia menutup
kata-katanya dengan tertawa kumandang yang menggetarkan langit.
Dalam pada tertawa itu Iblis
Penakluk-dunia pun mengisar ke samping Dewi Neraka dan membisiki beberapa patah
kata lalu mengajaknya turun dari puncak Kim-ting.
Keempat pewaris ilmu sakti dan
tokoh-tokoh yang merjadi kaki tangan Iblis Penakluk-dunia pun segera
berbondong-bondong mengikutinya.
Siau-liong tegak termangu
beberapa saat. Akhirnya pelahan-lahan ia berputar tubuh lagi. Oleh karena kedok
mukanya sudah copot, ia merasa malu menghadapi Ceng Hi totiang dan rombongan
orang gagah.
Ceng Hi totiang maju dua
langkah dan berseru, “Pendekar Lak....” - tiba-tiba ia tersentak melihat wajah
Siau-liong dan cepat-cepat berganti nada, “Kongsun-siauhiap....”
Siau-liong gelengkan kepala
berkata dengan nada menyesal, “Ah, aku telah membohongi saudara-saudara
sekalian. Tetapi hal itu....”
Ceng Hi totiang goyangkan
tangan, ujarnya, “Tak perlu Kongsun-siauhiap menerangkan, akupun samar-samar
sudah dapat menduga. Walaupun Pendekar Laknat disohorkan sebagai seorang
pembunuh yang berdarah dingin tetapi kutahu bahwa sebenarnya dia seorang
manusia yang berhati baik....”
Sikasar Lu Bu-ki pun melangkah
maju dan menyelutuk, “Kongsun-siauhiap, sungguh tak kira kalau Pendekar Laknat
itu ternyata engkau sendiri! Aku adalah pengagum Pendekar Laknat, entah apakah
dia....”
Siau-liong menghela napas
rawan, “Beliau sudah meninggal....”
Kemudian ia menuturkan tentang
peristiwa yang dialaminya ketika berjumpa dengan Pendekar Laknat di dalam gua
gunung. Sekalian orang yang mendengar cerita itu tak ada yang tak terharu.
Toh Hun-ki menghampiri ke
samping Siau-liong dan berkata, “Kongsun-siauhiap, sekalipun pada pertempuran
dengan Iblis Penakluk-dunia tadi belum selesai, tetapi tentulah nyali iblis itu
sudah berantakan. Menurut hematku, saat ini telah terjadi perobahan. Nasib
dunia persilatan, hanya tergantung pada Kongsun-siauhiap seorang! Kita harus
gunakan siasat untuk melenyapkan pengacauan Iblis Penakluk dunia!"
Saat itu sekalian orang gagah
mencurah pandang ke arah Siau-liong dengan perasaan kejut-kejut girang.
Diantaranya yang paling girang sendiri adalah To Kiu-kong, ketua partai
Kay-pang.
Betapa pun halnya, pewaris
ilmu sakti Thian-kong-sin-kang itu adalah Cousu-ya dari partai Kay-pang. Maka
tergopohlah ia menyiak para orang gagah dan maju ke muka Siau-liong.
Serta-merta ia hendak berlutut sembari mengucap, “Cousu-ya....”
Siau-liong buru-buru
memapahnya bangun dan tertawa tersipu-sipu, “Kiu-kong, jangan berlaku
begitu!"
To Kiu-kong sejenak memandang
sekalian orang gagah lalu berdiri di samping Siau-liong. Tampaknya ia bangga
mempunyai seorang Cousu-ya sebagai Siau-liong. Selekas Iblis Penakluk-dunia dan
gerombolannya terbasmi, tentulah kedudukan partai Kay-pang akan terangkat
tinggi.
Siau-liong memandang ke arah
ketua Kong-tong-pay, tiba-tiba ia berseru, “Apakah Toh loenghiong tahu she dan
namaku yang sebenarnya?"
Tanpa ragu-ragu lagi, Toh
Hun-ki menyahut, “Kongsun-siauhiap sebenarnya orang she Tong. Hal itu bukannya
aku tak tahu."
Siau-liong tertawa rawan,
“Bagus, tetapi entah apakah saudara masih ingat akan janji saudara ketika di
Lembah Maut itu?"
Sejenak ketua Kong-tong-pay
itu berpaling memandang keempat Su-lo yang berada dibelakangnya lalu menjawab,
“Janjiku sekokoh gunung. Begitu gerombolan Iblis Penakluk-dunia sudah terbasmi,
aku bersama keempat suteku segera mengantarkan Kongsun-siauhiap kegunung
Hong-san. Dihadapan makam Tong Gun-liong, kami akan membunuh diri agar
Kongsun-siauhiap dapat menunaikan bhakti kepada ayahmu."
Keempat Su-lo itu tak berkata
apa-apa. Tetapi wajah mereka tampak tenang sekali.
Siau-liong menghela napas,
lalu beralih kata kepada Ceng Hi totiang, “Saat ini malam baru mulai. Kalah
atau menang, tergantung nanti tengah malam....” ia berhenti sebentar lalu
berkata pula, “harap Ceng Hi totiang dan sekalian orang gagah beristirahat
disini. Aku hendak menemui kakek Mata-satu untuk merundingkan siasat menghadapi
musuh nanti!"
Ceng Hi totiang serta-merta
mempersilahkan Siau-liong pergi dan ia berjanji akan menunggu disitu.
Siau-liong segera lari menuju
ketempat Kakek Mata-satu dan Song Ling. Saat itu rembulan belum muncul. Cuaca
pun masih gelap. Siau-liong hati-hati sekali lari sepanjang jalan menguatirkan
kemungkinan Iblis Penakluk-dunia memasang jerat untuk menangkapnya.
Diapun tak tahu adakah Kakek
Mata-satu dan si dara Song Ling masih berada ditempatnya semula. Tetapi ketika
hampir tiba ditempat itu, ia mendengar suara orang bercakap-cakap diseling
gelak tertawa. Dalam percakapan itu, kecuali suara kakek Mata-satu dan Song
Ling, masih terdapat pula seorang lain. Dan rasanya ia sudah kenal dengan nada
suara orang itu.
Ketika makin dekat, benar juga
ditempat Kakek Mata satu duduk, terdapat lagi seseorang. Seorang wanita baju
merah. Siau-liong berdebar tegang. Cepat ia lari menghampiri.
Ah, memang benar. Disamping
Kakek Mata-satu dan Song Ling, memang terdapat seorang wanita baju merah. Dia
bukan lain ialah Poh Ceng-in, pemilik Lembah Semi.
Siau-liong tertegun dan
hentikan larinya. Benar-benar ia heran. Nona pemilik Lembah Semi itu telah
dilepaskannya, mengapa tiba-tiba datang kesitu? Adalah dia dijadikan umpan oleh
ayahnya, Iblis Penakluk-dunia?
Kakek Mata-satu memandang
Siau-liong yang berdiri setombak jauhnya lalu menegur, “Apakah dalam
pertempuran dipuncak Kim-ting, Iblis Penakluk-dunia sudah dipukul mundur?"
Dengan masih tetap memandang
ke arah Poh Ceng-in, Siau-liong menjawab tawar, “Memukul mundur saja, tidak
berguna. Harus membasmi gerombolan Iblis Penakluk-dunia itu barulah dunia
persilatan akan terbebas dari bahaya selama-lamanya!"
Karena hatinya dirangsang
dendam kemarahan, maka nada Siau-liong pun amat tajam. Dan lagi iapun hendak
menyelidiki reaksi dari Poh Ceng-in.
Diluar dugaan Poh Ceng-in diam
saja. Seolah-olah tak mempunyai sangkut-paut dengan Iblis Penakluk-dunia.
Dengan sinar mata redup, nona itu memandang Siau-liong lalu tundukkan kepala
tak bicara apa-apa.
Siau-liong benar-benar
bingung. Mengapa Song-Ling mau mengenal Poh Ceng-in? Bukankah dara itu tahu
bahwa Poh Ceng-in puteri dari Iblis Penakluk-dunia dan dewi Neraka? Mengapa
Song-Ling mau duduk bersamanya?
Tiba-tiba Siau-liong merasa
bahwa sikap Song Ling agak berbeda terhadap dirinya. Seharusnya kedatangannya
itu tentu disambut si dara dengan berbagai pertanyaan. Paling tidak tentu akan
menanyakan tentang mamanya. Tetapi mengapa saat itu si dara diam saja?
Dilihatnya dara itu kerutkan
alis dan duduk ditengah-tengah antara Kakek Mata-satu dengan Poh Ceng-in. Sama
sekali dara itu tak mau memandang kepadanya. Siau-liong memperhatikan bahwa
sekalipun dara itu tak mengunjuk senyum tetapi pun tidak menampilkan kerut
kemarahan. Dia duduk berjajar dengan Poh Ceng-in dan bersikap diam seperti
umumnya seorang gadis.
Tengah Siau-liong
terheran-heran, Kakek Mata-satupun tertawa, “Apakah Kongsun-siauhiap sudah
mempunyai rencana untuk membasmi Iblis Penakluk-dunia?"
Siau-liong menghela napas,
“Membasmi suami isteri iblis itu tidak sukar, tetapi yang sukar....” —
memandang Poh Ceng-in, ia berhenti berkata.
Kakek Mata-satu hanya
tersenyum simpul tetapi tak bilang apa-apa. Tiba-tiba Poh Ceng-in membisiki
telinga Song Ling. Setelah saling berpandangan keduanya lalu tertawa mengikik.
Siau-liong benar-benar
bingung. Dipandang dari sudut apapun juga, tak mungkin Song Ling mau bersahabat
dengan wanita semacam Poh Ceng-in. Apalagi mereka baru saja berkenalan.
Cepat Siau-liong menyadari
bahwa nada ketawa kedua wanita itu tidak wajar. Walaupun Poh Ceng-in berusaha
untuk menutupi getaran hatinya, namun dari nada tertawanya jelas memancarkan
rasa kesedihan yang sukar diutarakan.
Sedang Song Ling pun lebih
hebat cara penyamarannya. Dia seorang dara yang baru saja melangkah ke dunia
luar. Bahwa dia hendak menutupi isi hatinya dengan tertawa yang dibuat-buat,
tentu mudah sekali ketahuan.
Setelah merenung
beberapa.saat, akhirnya Siau-liong memanggil Song Ling dengan lirih,
“Nona....”
Tanpa mengangkat kepala, Song
Ling pun menjawab pelahan, “Mengapa?"
Melintaslah pandang mata ke
arah Poh Ceng-in, Siau-liong berkata pula, “Apakah engkau tak tahu bahwa wanita
ini adalah puteri dari Iblis Penakluk-dunia?"
Tiba-tiba Song Ling mengangkat
kepala dan menatap pemuda itu, “Kalau tahu lalu bagaimana?"
Siau-liong terkesiap, serunya,
“Wanita siluman ini berhati ganas dan banyak tipu muslihatnya, Janganlah engkau
sampai termakan tipunya. Mungkin dia disuruh orang tuanya untuk menjalankan
tipu muslihat!"
Song Ling tertawa dingin, “Tak
mungkin aku dapat dipengaruhi orang. Adalah engkau sendiri yang harus berpikir
dengan cermat!"
Poh Ceng-in tersenyum lalu
berkata kepada Song Ling, “Adik Song, cobalah engkau dengarkan betapa melukai
hati katanya itu!"
Diluar dugaan, Song Ling malah
menghibur Poh Ceng-in, “Memang di dunia ini banyak kaum lelaki yang tak kenal
membalas budi. Dari seribu orang, jarang ada seorang yang baik!"
Kakek Mata-satu tertawa
meloroh dan berseru kepada Song Ling, “Nak, apakah engkau tak sungkan
mengucapkan kata-kata semacam itu?"
Song Ling cepat menyadari
kalau ia kelepasan bicara. Wajah dara itu merah padam dan tersipu-sipu
tundukkan kepala.
Poh Ceng-in tertawa tawar,
“Adik Song, sekalipun ucapan itu bukan engkau yang seharusnya mengatakan,
tetapi hal itu memang suatu kenyataan, sedikitpun tak salah!"
Habis berkata, Poh Ceng-in
memandang Siau-liong dengan bengis lalu palingkan muka.
Siau-liong benar-benar seperti
orang berjalan dalam kabut tebal. Cepat ia berpaling dan memberi hormat kepada
Kakek Mata-satu, “Locianpwe, bagaimana soal ini sesungguhnya....?"
Mata kakek yang tinggal satu
itu, mengeliar lalu berseru, “Soal itu harus bertanya pada dirimu sendiri!
Bagaimana aku tahu?"
Siau-liong banting-banting
kaki dan menghela napas, “Wanita siluman itu amat berbahaya sekali, mengapa
locianpwe membiarkan dia disini."
Tiba-tiba Kakek Mata-satu
tertawa, serunya, “Kalau dia benar berbahaya mengapa engkau mau mengikat
perjanjian sehidup semati dengannya?"
Siau-liong seperti dipagut
ular kejutnya, “Soal itu karena amat terpaksa. Ya, karena dia telah memberi
minum racun Jong-tok kepadaku....”
Kakek Mata satu tertawa, “Itu
pertanda dia amat cinta kepadamu! Buktinya mengapa dia tak memberi minum racun
Jong-tok kepadaku?"
Siau-liong meringis seperti
kunyuk membau terasi. Tak tahu ia bagaimana harus menjawab.
"Bukankah setahun
kemudian engkau akan melaksanakan janji sehidup-semati itu dengan dia?"
tanya Kakek Mata-satu pula.
Sau-liong menghela napas,
“Asal dia tak mencampuri urusan yang kukerjakan selama setahun ini, aku tentu
akan melaksanakan janjiku itu!"
Kakek Mata-satu mendengus,
“Hm, tampaknya engkau benci setengah mati kepadanya. Tetapi mengapa engkau mau
mati bersamanya? Bukankah itu diluar kemauanmu?"
Berkata Siau-liong dengan
wajah serius, “Sekali seorang lelaki sudah mengucap, tak mungkin akan dijilat
kembali. Betapapun kubencinya, itu lain soal. Tetapi aku tetap tak mau
mengingkari ucapanku!"
Kakek Mata-satu tertawa,
“Kalau begitu, Ajaran kuno itu tetap berharga. Menurut pendapatku ....” — ia
berhenti memandang Poh Ceng-in, “curahan hati nona Poh terhadap dirimu itu,
harus engkau terima dengan hati yang lapang. Artinya kalian lebih baik segera
mengikat perjodohan sebagai suami isteri. Perlu apa harus mati berdua?"
Siau-liong benar-benar tak
mengerti mengapa secara tiba-tiba Kakek Mata-satu itu dapat mengucapkan
kata-kata begitu. Dilihatnya Song Ling tundukkan kepala tak bicara apa-apa.
Sedang Poh Ceng-in pun seperti
tak mengacuhkan kata-kata Kakek Mata-satu. Nona pemilik Lembah Semi itu tak
menampilkan reaksi apa-apa. Tidak marah, pun tidak girang.
Akhirnya dengan geram,
Siau-liong menghampiri Poh Ceng-in dan membentaknya, “Telah kubebaskan engkau
pergi, mengapa engkau tidak mau pergi malah datang kembali kesini?"
Poh Ceng-in tertawa dingin,
sahutnya, “Aku kembali kesini bukan karena hendak mencarimu!"
Kembali Siau-liong terbentur
tembok sehingga ia tak dapat bicara apa-apa. Memandang Song Ling dan Kakek
Mata-satu, tampak keduanya tak menghiraukan dirinya. Karena malu, Siau-liong
berseru lagi kepada Poh Ceng-in, “Harap engkau jangan lupa bahwa aku sudah
mengetahui cara untuk pemunahkan racun itu!"
Poh Ceng-in menyahut tawar,
“Asal engkau suka, setiap saat engkau dapat mengusir racun itu dari tubuhmu
......”
"Apakah engkau yakin
bahwa aku tentu takkan membunuhmu?"
Poh Ceng-in tak menyahut
melainkan mengambil sebatang badik dari pinggangnya lalu diserahkan kepada
Siau-liong.
Siau-liong ingin sekali
membunuh wanita itu. Tetapi suara hatinya yang luhur melarangnya bertindak
begitu. Apalagi di hadapan Song Ling dan Kakek Mata-satu, makin tak dapat ia
melakukan hal semacam itu.
"Engkau wanita
siluman!"
Akhirnya Siau-liong hanya
dapat menumpahkan kemarahannya dengan mendamprat. Tiba-tiba ia menendangnya.
Saat itu Poh Ceng-in sedang
duduk bersila. Sudah tentu ia tak dapat menghindar. Dan rupanya ia memang tak
bermaksud untuk menghindar.
"Plak ......”
tendangannya tepat mengenai dada wanita itu.
Walaupun tak menggunakan
tenaga dalam tetapi tendangan itu membuat Poh Ceng-in terpental dan
bergelundungan beberapa meter hingga hampir tiba di tepi tebing karang yang
curam. Badik ditangannya pun terlempar melayang di atas sebatang pohon dan
menancap pada dahannya.
"Kongsun-siauhiap! Engkau
bersalah! Tak peduli bagaimana pun, apakah perbuatanmu sekejam itu terhadap
seorang perempuan lemah, dapat dipuji sebagai tingkah seorang kesatria?"
bentak Kakek Mata-satu.
Juga Song Ling tak menyangka
kalau Siau-liong akan menendang Poh Ceng-in begitu rupa. Cepat ia
mendampratnya, “Engkau seorang lelaki buas ......!" — ia terus lari memburu
ketempat Poh Ceng-in.
Siau-liong merasa menyesal.
Walaupun ia tak menendang keras, tetapi perbuatan itu memang kasar. Tetapi
iapun heran mengapa kakek Mata-satu tetap membela Poh Ceng-in.
Dalam pada itu Song Ling sudah
datang lagi dengan mendukung Poh Ceng-in. Tampaknya Song Ling begitu
memperhatikan sekali kepada Poh Ceng-in. Sambil membersihkan pakaian nona
pemilik Lembah semi dari debu kotoran, Song Ling pun menanyakan juga apakah Poh
Ceng-in menderita luka.
Kedua pipi Poh Ceng-in basah
dengan air mata namun ia tetap mengunjukkan tertawa rawan, katanya, “Adik Song,
apakah engkau anggap berharga bagiku untuk berbuat begini demi
kepentingannya?"
“Kelak dia tentu menyesal
sendiri," jawab Song Ling menghiburnya.
Karena tak tahan menderita
keheranan, bertanyalah Siau-liong kepada si dara, “Nona Song, mengapa saat ini
engkau begitu aneh? Apa saja kata wanita siluman itu kepadamu?"
Song Ling deliki mata, “Jika
engkau masih berbudi, seharusnya engkau lekas minta maaf kepada taci Poh!"
Siau-liong tertawa, “Nona,
engkau harus tahu bahwa dia adalah puteri dari suami isteri Iblis
Penakluk-dunia. Kedatangannya, mungkin melakukan perintah ayahnya. Janganlah
nona percaya pada mulutnya yang manis!"
Sekonyong-konyong Poh Ceng-in
tertawa melengking. Nadanya dingin dan rawan, “Adik Song, soal itu engkau tentu
sudah mendengar dan melihat sendiri. Tak peduli bagaimanapun juga, dalam
pandangannya aku ini tetap seorang wanita siluman yang ganas ......”
Ia berhenti sejenak lalu
melanjutkan pula, “Adik Song, aku hendak pergi sekarang!"
Wanita pemilik Lembah Semi itu
terus menggeliat bangun dan terus hendak melangkah pergi. Tetapi Song Ling
cepat menghadang di depannya dan berkata setengah meminta, “Taci Poh, engkau
......” dara itu tak dapat melanjutkan ucapannya karena terus menangis
tersedu-sedu.
Sambil membelai rambut si
dara, Poh Ceng-in menghiburnya, “Adik Song, janganlah bersedih hati. Apa yang
kukatakan tentu akan kulakukan. Tak peduli perasaan hatinya bagaimana, tetapi
aku tetap akan serahkan jiwa ...... Asal dia mau memberikan obat itu, aku tentu
akan melakukan dengan pengorbanan jiwa!"
Poh Ceng-in lepaskan tangannya
dari cekalan Song Ling lalu ayunkan langkah menuju ke dalam hutan .......
65. Mula dari keakhiran
Siau-liong benar tak mengerti.
Tetapi sempat juga ia memperhatikan, ketika Poh-Ceng-in angkat kaki tadi, telah
melontarkan pandang mata kepadanya.
Jelas sinar mata wanita itu
jauh berbeda dengan yang lalu. Tidak memancar sinar kemarahan, tidak menumpah
sinar kesedihan, tidak pula menghambur sinar kecabulan. Mata wanita itu
tiba-tiba berobah alim dan serius.
Setelah bayangan Poh Ceng-in
lenyap, sekonyong-konyong Song Ling berlutut di hadapan Siau-liong. Sudah tentu
pemuda itu terkejut sekali dan tergopoh-gopoh mengangkatnya bangun, tanyanya,
“Mengapa engkau nona?"
Song Ling tetap tak mau
diangkat bangun. Bahkan ia malah menangis dan berseru, “Kong-sun tayhiap,
tolonglah mamaku ......!"
Karena tak berhasil
mengangkatnya bangun, Siau-liong pun terpaksa ikut berlutut, “Dengan bersikap
begini, berarti nona hendak menyiksa diriku! Sudah tentu aku tak berani
menerima penghormatan nona yang begitu besar!"
Song Ling hentikan tangis dan
berkata dengan beriba, “Kecuali terhadap ayah bundaku, baru pertama kali ini
aku berlutut dihadapan orang ......”
Kemudian dara itu mengusap air
matanya dan berkata pula, “Harap dengan memandang mukaku, engkau suka menolong
mamaku itu!"
Siau-liong gopoh menyahut,
“Masakan hal itu perlu nona minta lagi? Sekali pun tulangku hancur lebur, aku
tentu akan menolong beliau!"
Ia menarik tangan dara itu
seraya berkata, “Harap nona jangan gelisah. Nanti kalau kembali aku tentu
merundingkan hal ini dengan nona."
Song Ling gelengkan kepala,
“Ah, tak perlu berunding lagi. Saat ini sudah terdapat cara yang terbaik untuk
menolong mamaku .......” — ia menghela napas lalu melanjutkan lagi, “tetapi
dikuatirkan engkau tentu tak mau meluluskan!"
"Telah kukatakan,"
sambut Siau-liong tepat, "sekalipun tulang-tulangku hancur lebur, asal
nona sudah mempunyai rencana yang baik, harap segera jelaskan. Asal menyangkut
usaha untuk menolong ibu nona, aku tentu akan melaksanakan!"
Wajah Song Ling berobah,
ujarnya, “Kalau begitu lekaslah engkau tolong puteri dari suami-isteri Iblis
Penakluk-dunia itu!
Siau-liong terbeliak kejut,
serunya, “Harap nona jangan termakan kelabuhannya. Wanita siluman itu luar
biasa bahayanya....”
Song Ling cepat membentaknya
dingin, “Kerena engkau tak mau mengorbankan diri, ya sudahlah! Harap engkau
segera pergi dari sini dan sejak saat ini, janganlah kita saling memperdulikan
lagi!
Siau-liong banting-banting
kaki seraya menghela napas, “Mengapa nona begitu tak mau mendengar
permintaanku. Ketahuilah....”
Tiba-tiba kakek Mata-satu
menukas, “Walaupun aku tak mempunyai kepandaian istimewa apa-apa, tetapi aku
masih dapat menyelidiki orang. Hati nurani nona Poh itu masih belum lenyap sama
sekali. Rasanya saat ini engkau harus membantunya, barulah akan terjadi
perobahan yang memberi harapan ......”
"Adakah locianpwe
bermaksud hendak mengatakan bahwa aku harus menyusul dan menolong wanita
siluman itu?" Siau-liong menegas.
Kakek mata satu mengangguk,
“Seorang lelaki harus tahu tempat dan keadaan. Apalagi nona Poh itu amat
tergila-gila kepadamu. Demi mengobati racun dalam tubuhmu yang menyiksa itu,
engkau mau rendahkan diri untuk sementara waktu!"
Song Ling kembali menangis.
Sejenak berpikir maka
Siau-liong pun menghela napas, “Tak perlu nona bersedih. Ya, baiklah, aku
menurut saja perintah nona."
Song Ling berhenti menangis,
ujarnya, “Mungkin dia masih belum jauh, lekaslah engkau menyusulnya!"
Siau-liong tak mau banyak
bicara lagi. Dengan menindas kegelisahahan hatinya, setelah memberi hormat ia
segera lari menyusul Poh Ceng-in.
Song Ling pun hanya menghela
napas rawan.
Tetapi hutan itu penuh dengan
pohon-pohon cemara yang rindang dan lebat sehingga suasana disitu amat gelap.
Untuk mencari apakah Poh Cen-in masih berada disitu, memang sukar. Sambil
berjalan, Siau-liong menyelidiki ke segenap penjuru.
Tiba-tiba terdengar suara
orang menghela napas pelahan. Siau-liong cepat hentikan langkah. Tak jauh
dibawah sebatang pohon cemara besar, duduklah Poh Ceng-in. wanita yang hendak
dicarinya itu.
Setelah bersangsi beberapa
saat, akhirnya Siau-liong menghampiri, “Mengapa engkau masih berada
disini?" tegurnya.
“Apa pedulimu?" sahut
nona itu dengan getus.
Siau-liong tertegun, “Memang
aku tak bermaksud mengurusmu. Hanya ingin bertanya, apakah sesungguhnya yang
engkau katakan kepada nona Song tadi?"
Poh Ceng-in tertawa dingin,
“Apakah engkau berhak bertanya?" - nona itu terus berbangkit dan lanjutkan
langkah.
Siau-liong mendengus lalu
menyelinap kemuka Poh Ceng-in, bentaknya, “Jika engkau tak mau menerangkan
terus terang, jangan harap engkau dapat pergi dari sini!"
Poh Ceng-in memandangnya
sejenak, serunya, “Karena engkau begitu membenci diriku, lebih lekas bunuhlah
saja!"
Kembali Siau-liong lemas
hatinya. Tampak nona itu pejamkan kedua mata dan bercucuran air mata. Tubuhnya
gemetar dan sikapnya seperti orang putus asa.
Siau-liong menghela napas,
“Apakah maksud nona yang sebenarnya? Walaupun kutahu cara mengobati racun
Jong-tok, tetapi tetap kubiarkan engkau pergi dan mau memenuhi perjanjian dalam
satu tahun itu. Kurasa aku tak menyalahi engkau tetapi mengapa engkau selalu
melihat aku saja?"
Poh Ceng-in menghela napas:
“Sekarang engkau benci kepadaku, tetapi mungkin kelak engkau tentu memikirkan
aku .......”
Siau-liong terkesiap tetapi
sesaat kemudian ia tertawa dingin.
"Meski aku menyalahi
engkau dalam beberapa hal, tetapi engkau pun juga menyalahi aku ......” kata
Poh Ceng-in, “ah, tetapi sekarang tiada guna dibicarakan lagi! Aku sudah
menyanggupi adik Song untuk menolong ibunya, hanya ......” - ia berhenti
sejenak, lalu berkata pula, “Jika ......”
Siau-liong meragu, katanya,
“Entah dengan cara bagaimana nona hendak meminumkan pil itu kepada
mereka?"
Sahut Poh Ceng-in, “Dalam itu
aku harus mencari kesempatan yang bagus. Terus terang, saat ini aku memang
belum mempunyai rencana tertentu!"
Melihat wajah Poh Ceng-in
menampil kesungguhan dan teringat pula akan kata-kata kakek Mata-satu serta
sikap Song Ling yang begitu sungguh-sungguh memohon bantuannya, berkuranglah
kecurigaan Siau-liong. Tetapi ia masih ragu-ragu sehingga untuk beberapa saat
ia tak dapat bicara apa-apa.
Poh Ceng-in gelengkan kepala,
“Aku ini seorang wanita siluman yang banyak tipu muslihat. Mungkin engkau
takkan percaya .......”
Sejenak keliarkan mata, wanita
itu berkata pula, “Masih ada sebuah hal yang belum kukatakan kepada adik Song.
Sekarang marilah kuajak engkau menjumpai seseorang yang engkau kenangkan!"
Habis berkata ia terus ayunkan
langkah. Karena tiada lain paham, terpaksa Siau-liong mengikuti wanita itu. Poh
Ceng-in melangkah masuk ke dalam hutan.
Lebih kurang duapuluh li
jauhnya, tibalah mereka dibawah lereng gunung. Tiba-tiba tampak sebuah biara.
Biara itu seperti tak berpenghuni.
Pintunya tertutup rapat.
Tetapi samping biara terdapat penerangan. Rupanya dihuni orang.
Setelah mengetuk pintu, Poh
Ceng-in berseru pelahan, “ Kan-ma.... Kan-ma....”
Kan-ma artinya ibu-angkat. Dan
dari dalam ruang itu terdengar suara bertany, “In-ji .....?" — terdengar
tubuh menggeliat bangun dari tempat tidur lalu derap kaki menghampiri pintu dan
membukanya.
Dengan penuh keheranan,
Siau-liong memandang ke dalam ruang itu. Tampak seorang wanita pertengahan umur
tegak berdiri diambang pintu. Wanita itu memandang Siau-liong dengan terkejut.
Wanita itu bertubuh kurus,
macam orang yang baru sembuh dari sakit. Tetapi sinar matanya yang berapi-api
mengunjuk bahwa dia seorang wanita yang berkepandaian tinggi.
“Kan-ma, kenalkah engkau
padanya?" tanya Poh Ceng-in pelahan.
Wanita itu memandang
Siau-liong dengan keheranan. serunya tersekat, “Apakah.... apakah dia itu....”
Tergerak hati Siau-liong
melihat sikap wanita itu. Dia merasa sinar mata wanita itu mengandung perbawa yang
amat besar. Tanpa disadari, Siau-liong segera mengangkat tangan memberi hormat,
“Aku yang rendah ini adalah Kongsun Liong, mohon tanya locianpwe....”
Wajah wanita itu tiba-tiba
mengerut kecewa, ia mengingau seorang diri, “Kongsun Liong .... Kongsun ....
liong....”
Tiba-tiba ia berpaling dan
bertanya kepada Poh Ceng-in, “In-ji, bukankah engkau mengatakan."
Poh Ceng-in tersenyum,
“Kan-ma, jangan bingung .... biarlah dia duduk dulu!"
Wanita itu mendesis, “Eh,
mungkin karena sudah tua aku menjadi begini pelupa. Ya, mari, silahkan
masuk!"
Ia membuka pintu dan
mempersilahkan Poh Ceng-in serta Siau-liong masuk .... Tetapi saat itu
Siau-liong masih meragu di luar pintu. Poh Ceng-in segera melambarinya,
“Mengapa engkau masih tak lekas masuk?"
Siau-liong meragu. Tetapi
akhirnya ia melangkah masuk juga. Dilihatnya wanita pertengahan umur tadi sudah
duduk dikursi besar. Ia memandang lekat pada wajah Siau-liong, sehingga anak
muda itu merasa tak leluasa dan tundukkan kepala ......
Poh Ceng-in tertawa, “Sekalipun
dia bernama Kongsun Liong, tetapi sesungguhnya dia bukan orang she Kongsun
....”
Serentak mata wanita itu
memancar cahaya lagi, serunya dengan nada gemetar, “Dia she apa?"
Sejenak mata Poh Ceng-in
berkeliaran dan lalu memandang kepada wanita dengan sikap tersenyum, “Dia orang
she Tong dan namanya Siau-liong!"
Habis berkata, ia terus
berputar tubuh dan melangkah keluar dari ruangan.
Tiba-tiba wanita pertengahan
umur itu berbangkit dari kursinya. Tubuhnya gemetar keras. Sepasang matanya
bercucuran air mata. Dipandangnya Siau-liong dengan pandang yang penuh arti,
katanya tersendat, “Benarkah yang dikatakannya itu? Ayahmu itu .......”
Sekonyong-konyong hati
Siau-liong seperti dicengkam oleh rasa duka yang tak dimengerti asalnya. Dia
hanya merasa hatinya amat pepat, hidungnya basah menahan isak, sahutnya,
“Aku memang orang she Tong.
Ayahku bernama Tong Gun-liong. Tetapi ketika aku masih bayi, ayah telah mati
dibunuh orang. Beruntung atas pertolongan suhuku Kongsun Sin-tho, aku dapat
diselamatkan dan dirawat sampai besar. Untuk menghindari incaran musuh maka
suhu mengganti she-ku dengan she Kongsun....”
Hampir wanita itu tak kuat
menahan tangisnya tetapi ia berusaha sekuat hati untuk bertanya, “Lalu siapakah
ibumu?"
“Ibu sedang menderita sakit
diseberang laut."
Wanita itu cepat mencegah
Siau-liong melanjutkan kata-katanya, “Sejak kecil ibumu telah melantarkan
engkau. Apakah engkau tak membencinya?"
“Beliau tentu mengira kalau
aku dan ayah tentu sudah binasa dilembah Hok-liong-koh di gunung Kong-tong-san.
Karena itu ibu lalu mengembara meninggalkan diriku. Sudah tentu itu bukan
kesalahannya dan bagaimana aku dapat membencinya....”
Tiba-tiba wanita itu maju dua
langkah dan berkata, “Nak.... aku inilah ibumu! Oh, terima kasih Tuhan bahwa
kami anak dan ibu akhirnya dapat berjumpa kembali....!"
“Ma....!" menjeritlah
Siau-liong dengan hati yang tegang regang. Tetapi tiba-tiba ia meragu.
Sejak kecil ia belum pernah
melihat wajah ibunya. Memang wajah wanita dihadapannya itu mirip dengan
wajahnya.
Tetapi apakah begitu saja ia
terus mempercayainya? Bagaimana kalau wanita itu orang suruhannya kedua suami
isteri Iblis Penakluk-dunia?
Kalau Iblis Penakluk-dunia itu
menggunakan siasat mencari wanita yang mirip dengan wajahnya untuk mengaku
sebagai ibunya lalu membujuknya untuk memikat supaya ia mau menceritakan ilmu
Thian-kong-sin-kang, apakah ia takkan celaka!
Maka iapun segera menyurut
mundur dua langkah lagi dan bertanya dengan dingin, “Engkau tentulah orang
suruhan Iblis Penakluk-dunia."
Berhenti sejenak, Siau-liong
berseru pula dengan bengis, “Apakah bukan karena hendak menipu ilmu
Thian-kong-sin-kang itu?"
Wanita itu menyurut selangkah
dan berseru dengan gemetar, “Nak, apa katamu? Bukankah tadi engkau mengatakan
takkan membenci aku?"
Siau-liong tertawa muak,
“Mungkin karena engkau ini bukan ibuku! Cobalah engkau katakan, bagaimana
mendadak engkau datang kemari dari seberang lautan? Dan mengapa engkau dapat
mengambil anak perempuan dari Iblis Penakluk-dunia itu sebagai anak
angkat?"
”Engkau mengatakan In-ji itu
puteri dari Iblis Penakluk-dunia?" wanita itu mengulang dengan heran.
“Masakan engkau tak
tahu?"
Wanita itu menghela napas
panjang, “Itu lebih hebat lagi.... Memang baru setengah hari kukenal padanya
tetapi kebaikannya yang dilimpahkan kepadaku sungguh tiada taranya .... ah,
sejak murid si Mawar Putih menuju ke tanah Tionggoan sini, siang malam aku
selalu memikirnya.
Kemudian setelah penyakitku
agak baik, aku segera bergegas menyusul kemari. Setiba di Tionggoan segera
kudengar tentang Iblis Penakluk-dunia yang muncul di dunia persilatan lagi dan
bermarkas di Lembah Semi pegunungan Tay-liang-san. Ceng Hi totiang pun muncul
lagi dan memimpin rombongan orang gagah untuk menumpas Iblis Penakluk-dunia.
Dalam gerakan itu, kuduga
orang Kong-tong-pay tentu ikut serta. Mawar Putih pun tentu akan mencari ketua
Kong-tong-pay untuk membalas dendam. Maka bergegaslah aku memburu kemari.
Begitu tiba segera kudengar
bahwa gerakan yang dipimpin Ceng Hi totiang itu telah menemui kegagalan. Mereka
terpaksa melakukan perintah Iblis Penakluk-dunia untuk berkumpul dipuncak
Kim-ting. Cepat aku pun menyusul ke Kim-Ting. Tetapi penyakitku ternyata masih
belum sembuh. Begitu tiba dikaki gunung Go-bi, akupun pingsan.”
“Apakah dia yang
menolong?" seru Siau-liong setengah meragu.
Wanita itu mengangguk, “Jika
bukan dia yang menolong, mungkin kita takkan bertemu muka lagi ....”
Ia menghapus air mata lalu
melanjutkan lagi, “Tentang persoalanmu dengan dia, juga telah diberitahukan
kepadaku, hanya dia tak mengatakan kalau dirinya puteri dari Iblis
Penakluk-dunia. Apabila benar begitu, benar-benar hal itu sukar dipercaya
......”
Oleh karena sudah beberapa
kali menderita tipu muslihat Iblis Penakluk-dunia, maka Siau-liong tak mudah
lekas mempercayai keterangan orang. Dipandangnya wanita yang mengaku sebagai
ibunya itu dengan lekat.
Wanita itu rnenghela napas,
ujarnya, “Demi engkau, ia tak segan menghianati orang tuanya. Dengan begitu ia
telah menumpahkan cinta dan melepas budi sekaligus kepadamu. Dan lagi dia
seperti telah menolong jiwaku dan membebaskan muridku si Mawar Putih dari
tangan kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia....”
“Benarkah dia telah
membebaskan Mawar Putih?" buru-buru Siau-liong menegas.
Wanita itu memandang lekat
kepada Siau-liong, “Masakan mama hendak menipumu?"
“Lalu dimanakah dia
sekarang?"
Wanita itu berpaling dan
memandang kesekeliling penjuru, berkata, “Mereka berada di belakang rumah itu.
In-ji telah memanggilnya!"
Diam-diam Siau-liong gembira.
Jika benar-benar begitu jelas kalau wanita itu tentu ibunya. Asal Mawar Putih
muncul tentu dapat memberi keterangan asli tidaknya wanita yang mengaku sebagai
ibunya itu.
Dengan tegang, Siau-liong
menunggu.
Benar juga tak berapa lama
terdengar derap kaki orang berlari. Dan jelas bukan hanya seorang. Pun derap
kaki itu menandakan kalau bukan orang yang mengerti ilmu silat. Melainkan derap
kaki orang biasa.
Siau-liong tak berani
bertindak sembarangan. Sambil diam-diam mempersiapkan tenaga dalam, dia segera
berputar menghadap ke arah suara itu.
Begitu pintu terbuka,
muncullah tiga orang nona, Mawar Putih, Tiau Bok-kun dan Poh Ceng-in.
Girang Siau-liong bukan
kepalang.
Mawar Putih cepat menghampiri
kesamping wanita pertengah umur itu dan bertanya, “Suhu, apakah dia benar-benar
datang kemari?"
Wanita itu batuk-batuk sejenak
lalu menjawab, “Datang memang sudah datang! Tetapi ia masih menganggap aku
mamanya palsu....” - habis berkata ia terus tundukkan kepala menangis.
“Tetapi hal itupun tak dapat
menyalahkannya Aku tak memenuhi kewajibanku sebagai ibu. Sekalipun dia tak mau
mengakui aku sebagai ibu, pun aku juga tak dapat berbuat apa-apa!"
Mendengar itu air mata
Siau-liong berderai-derai turun. Cepat ia berlutut dihadapan ibunya, Coa-Sik
Se-si dan berkata dengan beriba-iba,
“Ma, anak memang tak berbakti,
anak....” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat oleh isak
tangisnya.
Coa-sik Se-si pun menangis
sedih. Mawar Putih, Tiau Bok-kun dan Poh Ceng-in masing-masing mempunyai
perasaan sendiri-sendiri. Mereka terharu atas peristiwa itu dan ikut menangis.
Tak berapa lama, Poh Ceng-in
yang berhenti menangis paling dulu, lalu menghampiri kesamping Coa-sik Se-si
dan menghiburnya, “Kan-ma, seharusnya saat ini engkau harus bergembira
hati....”
Memandang keluar jendela, ia
menuding, “Sekarang sudah malam, masih ada beberapa hal penting yang harus
dikerjakan....”
Coa-sik Se-si hentikan
tangisnya lalu berkata kepada Poh Ceng-in, “Nak, ah, hanya membikin repot
engkau saja.... aku tentu takkan melupakanmu....”
Poh Ceng-in tertawa rawan.
Memandang sejenak pada Siau-liong lalu berpaling memandang Mawar putih dan Tiau
Bok-kun. Kemudian ia berjalan ke belakang Coa-sik Se-si dan tundukkan kepala.
Siau-liong berbangkit dan
pelahan-lahan memberi hormat kepada Mawar Putih, “Nona Pek....”
Mawar Putih mendengus, “Tak
seharusnya engkau mengelabuhi aku, urusanmu dengan taci Poh....” ia deliki mata
kepada Siau-liong dan berkata pula,
“Ketika di Lembah Maut dalam
barisan Tujuh Maut, walaupun Soh-beng Ki-su mendapatkan perintah untuk
menangkapku, tetapi kesemuanya itu adalah karena engkau. Jika aku yang menjadi
taci Poh, aku tentu juga berbuat begitu. Maka aku tak membencinya.... Sekarang
taci Poh pun telah menolong membebaskan diriku dari Iblis Penakluk-dunia. Aku
berterima kasih kepadanya. Apalagi dia pun telah menolong suhu sehingga kami
berdua dapat berjumpa disini....”
Habis berkata ia terus
melangkah ke tempat Poh Ceng-in.
Diam-diam Siau-liong menimang,
“Sekalipun Poh Ceng-in sudah sadar tetapi dia tetap anaknya Iblis
Penakluk-dunia. Dulu dia juga sahabat orang tuanya. Ia tahu cara untuk
mengobati racun, tetapi ia tak mau membunuh Poh Ceng-in dan rela melepasnya.
Adakah hal itu bukan telah memberi kelonggaran kepadanya? Mengapa dia
dipersalahkan berlaku kejam kepada wanita itu?"
Siau-liong menghela napas
panjang lalu berkata kepada Tiau Bok-kun, “Nona Tiau, aku sungguh.... amat
menyesal sekali....”
Buru-buru Tiau Bok-kun
tundukkan kepala, “Aku banyak menerima budi siangkong, masakan aku berani
menyalahkan engkau?"
Siau-liong memandangnya lekat
dan menghela napas, “Nona pun telah menolong jiwaku dan jika bukan karena
diriku, tak nanti nona sampai dapat ditawan Iblis Penakluk-dunia. Budi nona
sungguh mengharukan hatiku....”
Tiba-tiba Poh Ceng-in
menyeletuk kepada Coa-sik Se-si, “Kan-ma, sekarang sudah tiba saatnya aku
hendak berangkat!"
“Liong-ji....!" teriak
Coa-sik Se-si.
”Mama hendak memberi perintah
apa kepadaku?" sahut Siau-liong.
Memandang Poh Ceng-in, Coa-sik
Se-si berkata, “In-ji seorang yang berjiwa besar. Demi kepentingan dunia
persilatan, ia rela menghianati orang tuanya.... Peristiwa malam ini,
menyangkut kepentingan dunia persilatan.... memang tak dapat memikirkan
kepentingan pribadi, menelantarkan urusan umum. Lekaslah engkau
menyertainya!"
Sejenak Siau-liong memandang
Poh Ceng-in. Ia tampak meragu.
“Bagaimana? Apakah engkau
masih meragukan dirinya?" Coa-sik Se-si kerutkan dahi.
Siau-liong menyahut gopoh,
“Ya, baiklah, aku menurut....”
Kemudian ia berputar tubuh dan
menjurah kepada Poh Ceng-in, “Aku seharusnya berterima kasih kepada nona!"
Poh Ceng-in tersenyum. Ia tak
menghiraukan Siau-liong melainkan berkata kepada Coa-sik Sesi, “Kan-ma aku
hendak berangkat!"
Setelah melambai pada Mawar
Putih dan Tiau Bok-kun, ia terus berputar tubuh dan melangkah keluar.
Dengan segan, Siau-liong
memandang ke arah Coa-sik Se-si lalu melesat keluar mengikuti Poh Ceng-in.
Saat itu sudah malam. Angin
malam berhembus keras sehingga Siau-liong agak menggigil. Tetapi serempak
dengan itu, pikirannya yang kalut tadi pun menjadi hening.
Bukan karena dia seorang
pemuda yang banyak curiga. Tetapi adalah karena beberapa kali tertipu oleh
Iblis Penakluk-dunia maka ia tingkatkan kewaspadaan. Terutama terhadap diri Poh
Ceng-in. Ia masih belum dapat mempercayainya penuh.
Setelah berjalan satu li, Poh
Ceng-in kendorkan langkah sembari berkata kepada Siau-liong yang mengikuti
dibelakangnya, “Ayahku memang banyak curiga terhadap orang. Dia amat hati-hati
sekali. Bahkan terhadap orang kepercayaannya pun, dia tetap tak dapat percaya
penuh. Maka kita pun tak dapat bergerak dengan leluasa....”
Ia berhenti lalu melolos
buntalan kain dan diberikan kepada Siau-liong, “Demi amannya rencana, terpaksa
engkau harus menyamar!"
Siau-liong menyambuti buntalan
itu. Ternyata berisi seperangkat pakaian hitam seperti yang dipakai tokoh-tokoh
tawanan itu. Sejenak meragu, akhirnya ia mau juga memakainya. Kepala dan
mukanya ditutup dengan sutera hitam.
Poh Ceng-in tersenyum. Tanpa
banyak bicara lagi ia terus lanjutkan perjalanan.
Diam-diam Siau-liong
memperhatikan tempat-tempat yg dilaluinya itu. Seluas satu li, dilihatnya
sebuah puncak gunung yang tak berapa tinggi. Disebelah kiri dari puncak gunung
itu adalah puncak Kim-ting yang tinggi. Ditengah kedua puncak itu dipisah oleh
dua buah belantara.
Baru berjalan belum lama,
tiba-tiba dari belakang sebuah batu besar, melesat keluar seorang lelaki
berpakaian hitam dan mencekal pedang.
66. Kiamat Bagi Iblis
“Berhenti!" tiba-tiba
orang itu membentak.
Poh Ceng-in berhenti dan balas
membentak, “Tidak kenal padaku?"
Lelaki itu memberi hormat,
“Maafkan kami berlaku kurang hormat, tetapi Thian-cun telah memberi
perintah....”
“Supaya memeriksa aku?"
Poh Ceng-in tertawa dingin.
"Hamba tak berani!"
orang itu menyahut gopoh.
“Lalu bagaimana
maksudmu?"
Jawab orang berbaju hitam itu,
“Entah apakah Koh-cu mempunyai....”
Poh Ceng-in tertawa lalu
mengeluarkan sehelai panji segitiga berwarna hitam dan dikibarkan kemuka sibaju
hitam, “Mau memeriksa benda ini?"
Pada saat sibaju hitam hendak
menyambuti, Poh Ceng-in cepat menarik kembali.
Sejenak meragu, si baju hitam
menunjuk Siau-liong, “Dan saudara ini....”
Poh Ceng-in deliki mata,
melengking, “Dia aku yang bawa. Mengapa engkau ribut-ribut saja? Masakan aku
membawa mata-mata musuh masuk kemari....?"
Si Baju Hitam buru-buru
menyurut mundur dua langkah dan berseru tersendat, “Hamba tak berani mencurigai
Koh-cu, tetapi Thian-cun telah memberi perintah keras....”
Poh Ceng-in mendengus, “Kalau
begitu lekas engkau menghadap ayah dan suruh ayah sendiri yang keluar menyambut
kedatanganku!"
Baju Hitam tertegun lalu
berkata dengan nada enggan, “Koh-cu, silahkan masuk!"
Poh Ceng-in tertawa dingin
lalu menarik Siau-liong diajak masuk.
Diam-diam Siau-liong menimang.
Tempat itu hanya terpisah satu li dari puncak Giok-ci-hong dan Iblis
Penakluk-dunia sudah mengadakan penjagaan yang begitu ketat. Sungguh iblis itu
cermat sekali.
Tetapi diam-diam Siau-liong
pun tertawa. Adalah karena menginginkan ilmu Thian-kong-sin-kang, maka Iblis
Penakluk-dunia tak membunuhnya. Dan karena tak dibunuh, ia pasti dapat membasmi
iblis itu.
Selama dalam perjalanan memang
penuh dengan pos-pos penjagaan tetapi dengan mudah Poh Ceng-in dapat melalui.
Begitu tiba dikaki puncak Giok-ci-hong, tampaklah beberapa buah kemah.
Tetapi keadaannya
sunyi-senyap. Rupanya orang-orang dalam kemah itu sudah tidur pulas. Tiba-tiba
Poh Ceng-in gunakan ilmu Menyusup suara membisiki Siau-liong,
“Kita sudah tiba dipos
terakhir. Penjagaan disini luar biasa kerasnya. Penjaga-penjaganya jago-jago
kelas satu kepercayaan ayah. Kita harus bergerak menurut gelagat!"
Siau-liong hanya mengangguk
tetapi tak mau menjawab. Ia sudah tahu apa artinya kata-kata Poh Ceng-in.
Kemudian Poh Ceng-in melangkah lebar. Rupanya sengaja ia menimbulkan suara.
Benar jugalah. Dari belakang
gerumbul pohon, segera bermunculan empat orang. Yang dua dimuka, yang dua
dibelakang. Kedua orang yang dimuka itu segera menghadang dihadapan Poh
Ceng-in, serunya, “Apakah Koh-cu membawa tanda amanat dari Thian-cun?"
Seperti yang tadi, Poh Ceng-in
segera mengeluarkan tanda pengenal diri. Tetapi se-konyong-konyong ia berseru
kaget, “Hai, mengapa tanda pengenal diri yang kubawa itu hilang....!"
Keempat orang itu
tenang-tenang saja memandang Poh Ceng-in dan Siau-liong dengan pandang
bermusuhan.
Poh Ceng-in merogohi baju,
sibuk sampai beberapa lama tetap tak dapat menemukan tanda pengenalnya.
Kemudian ia bertanya kepada kedua orang yang menghadangnya itu, “Kalau tanda
pengenal diri hilang lalu bagaimana?"
Salah seorang yang memelihara
jenggot kambing segera menyahut, “'Saat ini kita sedang menghadapi ancaman
musuh. Selembar rambut tercabut berarti seluruh tubuh tergetar. Apalagi
Thian-cun pun sudah memberi perintah. Karena Koh-cu kehilangan tanda pengenal
diri, terpaksa Koh-cu harus menunggu dulu disini. Hamba akan melaporkan pada
Thian-cun....”
Habis berkata ia memberi
isyarat kepada dua orang yang berada dibelakang, “Lekas beritahukan Thian-cun,
bilang....”
“Tunggu dulu, biarlah
kucarinya lagi," buru-buru Poh Ceng-in menukas.
Kedua orang yang menerima
perintah tadi terus akan pergi tetapi demi mendengar ucapan Poh Ceng-in
terpaksa mereka berhenti.
Poh Ceng-in sengaja mencari
kian kemari. Diam-diam ia berputar diri dan memberi isyarat kepada Siau-liong.
Siau-liong mengangguk tertawa.
Tiba-tiba ia maju selangkah, serunya, “Koh-cu, tanda pengenalmu berada
padaku!"
Poh Ceng-in tertawa, “Kalau
begitu lekas tunjukkan kepada mereka!"
Siau-liong mengiakan. Sambil
masukkan tangan kedada baju, ia maju ketempat kedua orang yang menghadangnya
itu.
“Berhenti! Mengapa engkau
seliar itu!" bentak si jenggot kambing.
Tetapi Siau-liong seperti tak
mendengarnya. Dalam pada berkata itu ia sudah tiba dihadapan kedua orang.
Tahu-tahu kedua orang itu sudah kaku tak dapat berkutik lagi.
Ternyata Siau-liong guna
gerakan yang luar biasa cepatnya untuk menutuk jalan darah kedua orang itu.
Sedemikian cepatnya Siau-liong bergerak sehingga setelah kedua orang itu
terpaku seperti patung, barulah kedua kawannya yang di belakang itu tahu kalau
kawannya yang dimuka dicelakai orang.
Kedua orang yang di belakang
itupun hendak bertindak tetapi kalah cepat dengan Siau-liong yang sudah loncat
dan sebelum kedua orang itu sempat bersuara, Siau-liong sudah menutuk
jalan-darah mereka.
Dalam beberapa kejap saja,
keempat orang itu pun sudah dikuasai Siau-liong. Poh Ceng-in tercengang. Ia tak
kira kalau Siau-liong sudah mencapai kemajuan yang sedemikian pesatnya.
Maka berkatalah ia, “Sekarang
sudah malam. Sekali pun pada saat ini dapat menyelamatkan diri, tetapi tak lama
tentu akan diketahui mereka. Kita harus lekas bertindak!"
Habis berkata ia terus
mendahului lari mendaki ke puncak gunung. Siau-liong mengikuti dibelakang.
Sekalipun dalam perjalanan
bertemu dengan beberapa peronda, tetapi mereka tak bertanya apa-apa. Rupanya
karena dalam pos penjagaan tiada terdengar pertandaan apa-apa, mereka anggap
tak terjadi suatu apa.
Di atas puncak merupakan
sebuah tanah datar. Beberapa kubu yang didirikan disitu, tampak sunyi-senyap.
Poh Ceng-in langsung menuju kekubu yang nomor tiga.
Siau-liong memperhatikan bahwa
dalam sebuah kubu terdapat empat-lima orang baju hitam yang tengah duduk
bersemadhi. Rupanya mereka tengah menenangkan semangat dan tak menghiraukan
kedatangan kedua orang itu.
Tiba-tiba terdengar orang
berseru, “Apakah itu In-ji?"
Poh Ceng-in dan Siau-liong terkejut.
Tak salah lagi, itulah suara Iblis Penakluk-dunia. Poh Ceng-in segera memberi
isyarat mata kepada Siau-liong lalu menuju kekubu yang kedua.
Siau-liong tetap mengikuti
dibelakangnya. Ia berjalan dengan tundukkan kepala agar kawanan baju hitam itu
tak melihatnya.
Tampak diluar kubu berjajar
delapan orang lelaki berpakaian ringkas sama tegak seperti patung....
Pinggangnya menyelip senjata.
Ditengah kubu terdapat sebuah
meja pendek. Di atasnya diberi sebuah tempat pedupaan yang masih berkepul-kepul
asapnya. Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tengah duduk dengan berpakaian
lengkap.
Poh Ceng-in berjalan kemuka
kubu dan berseru dengan nada manja, “Yah! Ma! Sudah begini....”
Dengan bengis Iblis
Penakluk-dunia membentak, “Baru saja engkau terhindar dari bahaya, mengapa
sudah keluyuran kemana-mana?"
“Aku hanya berjalan-jalan
didekat sini," sahut Poh Ceng-in.
Berkata Iblis Penakluk-dunia
pula, “Saat ini sebenarnya Ceng Hi si imam tua dan gerombolannya itu sudah tak
berdaya. Tetapi anak macan yang kupelihara itu ternyata mengacau. Tong
Siau-liong muncul sebagai musuhku yang tangguh. Oleh karena itu malam ini
mungkin takkan terhindar dari pertempuran besar. Setelah budak itu tertangkap,
barulah hatiku tenteram.
Menurut dugaanku, habis tengah
malam nanti, budak itu tentu akan datang. Maka telah kuperintahkan supaya
diadakan penjagaan yang ketat. Mengapa engkau masih lari-lari kemana-mana?
Apabila berjumpa dengan budak itu, apakah tidak berbahaya....”
“Penjagaan disini begini
kuatnya, masakan dia mampu melayang turun dari langit?" bantah Poh
Ceng-in.
Iblis Penakluk-dunia menghela
napas kecil serunya, “Soal itu tak dapat kuperhitungkan. Budak itu telah
mencapai kemajuan luar biasa dalam ilmu Thian-kong-sin-kang. Ya, sudah dapat
mencapai tataran yang tak terduga....!"
Tiba-tiba ia membentak bengis,
“Mengapa engkau tak lekas kembali ke dalam kubumu!"
“Tolol! Mengapa engkau
marah-marah kepada anak sendiri? Dalam beberapa hari ini dia sudah cukup
menderita!" teriak Dewi Neraka.
Kemudian berpaling ke arah Poh
Ceng-in dan berkata dengan nada lembut, “Beristirahatlah! Kelak engkau tentu
takkan menderita apa-apa lagi!"
Dengan nada kemanja-manjaan,
Poh Ceng-in mengiakan dan terus melangkah pergi. Tetapi baru beberapa langkah,
ia mendengar ayahnya membentak, “Kembali!"
Poh Ceng-in terkejut dan
buru-buru berpaling, “Mengapa, yah?"
Iblis Penakluk-dunia
tersenyum, “Karena engkau segan beristirahat, baiklah engkau panggilkan
suhengmu suruh kemari. Aku hendak memberi pesan kepadanya!"
"Dimana?"
"Di belakang Empat Roh!"
Poh Ceng-in mengiakan, terus
menuju ke belakang. Dengan tanpa bersuara, Siau-liong mengikuti Poh Ceng-in
seperti bayangannya. Walaupun Iblis Penakluk-dunia itu seorang yang banyak
curiga, tetapi ia tak begitu gila untuk mencurigai anak perempuannya sendiri.
Maka walaupun melihat Siau-liong berdiri beberapa belas langkah dimuka, ia tak
bertanya apa-apa.
Kubu kedua itu hanya terpisah
tiga tombak dari kubu ketiga. Poh Ceng-in memberi isyarat mata kepada
Siau-liong. Tanpa berkata suatu apa ia terus lari lagi.
Tampak diluar kubu ketiga itu
dua orang penjaga. Begitu melihat Poh Ceng-in, mereka segera memberi hormat
tetapi tak berkata apa-apa.
Poh Ceng-in dan Siau-liong
melangkah masuk ke dalam kubu. Di dalam kubu telah digelari empat lembar
permadani bundar. Keempat pewaris ilmu sakti sedang duduk bersamadhi di atas
permadani itu....
Disamping mereka terdapat
sebuah kursi bambu. Dengan memegang cambuk Penenang-jiwa milik Iblis
Penakluk-dunia, Soh-beng Ki-su duduk miringkan tubuh. Begitu melihat Poh
Ceng-in, ia berseru menyapa dan berbangkit.
Poh Ceng-in tersenyum, “Ayah
memanggil suheng supaya datang kesana."
Tanpa curiga apa-apa, Soh-beng
Ki-su serahkan cambuk kepada Poh Ceng-in, katanya, “Tolong sumoay menjaga
mereka!" - tanpa berpaling lagi, ia terus lari keluar kubu.
Poh Ceng-in menghela napas
longgar. Setelah Soh-beng Ki-su pergi, ia membentak pelahan pada Siau-liong,
“Ayah hendak suruh mereka makan obat, mengapa engkau tak lekas mengobati
mereka!"
Sambil berkata Poh Ceng-in
cepat melirik ke arah kedua penjaga diluar kubu. Melihat mereka tak mengacuhkan
apa yang terjadi dalam kubu, tenanglah hati Poh Ceng-in.
Siau-liong mengiakan. Cepat ia
mengeluarkan pil Sip-siau-cwan soh-sin-tan. Tetapi tiba-tiba ia agak meragukan
khasiat obat itu. Adakah pil itu dapat menyembuhkan mereka. Setelah merenung
beberapa saat, ia memutuskan untuk memberi dua butir pil pada masing-masing
tokoh itu.
Setelah Siau-liong meminumkan
pil itu, Poh Ceng-in pun segera gentakkan cambuk dimuka ke empat tokoh itu dan
membentaknya pelahan, “Bangunlah!"
Hatinya amat tegang sekali
tanganpun gemetar. Untung keempat tokoh itu serempak membuka mata dan memandang
cambuk kulit dari Poh Ceng-in dengan terlongong-longong.
Tiba-tiba terdengar suara
suitan melengking di udara. Siau-liong terperanjat. Jelas suitan itu berasal
dari anak panah pertandaan bahaya yang dilepas anak buah Iblis Penakluk-dunia.
Kedua penjaga kubu serentak
memberi hormat kepada Poh Ceng-in, “Lapor pada koh-cu. dibawah puncak mengirim
tanda bahaya!"
“Lekas laporkan pada Thian-cun
berdua!" Poh Ceng-in berseru gugup.
Kedua penjaga itu terbeliak
kaget. Tetapi mereka pun cepat-cepat lari menuju kekubu kedua.
"Lekas! Lekas....!” Poh
Ceng-in membentak Siau-liong sambil banting-banting kaki.
Siau-liong cepat memberi dua butir
pil kepada Jong Leng lojin yang duduk dekat pintu kubu.
"Telanlah!" bentak
Poh Ceng-in seraya gentakkan cambuknya.
Wajah Jong Leng lojin berobah.
Tetapi setelah tertegun sejenak, ia terus menelannya. Saat itu suasana diluar
kubu sudah kacau. Berpuluh sosok tubuh orang lari kian-kemari amat berisik
sekali.
Siau-liong tak dapat banyak
berpikir lagi. Ia segera memberikan dua butir pil kepada Lam-hay Sin-ni.
Untunglah kesemuanya itu berjalan lancar.
Dibawah gentakkan cambuk Poh
Ceng-in, Lamhay Sin-ni, Randa Bu-san dan Kongsun Sin-tho mau menelan pil
pemberian Siau-liong. Setelah itu mereka pejamkan mata bersemadhi lagi.
Tampaknya tiada reaksi apa-apa.
Poh Ceng-in menghela napas
longgar, serunya, “Pil telah mereka telan. Bagaimana reaksinya tunggu saja nanti
perobahan mereka!"
Siau-liong yang saat itu sudah
menaruh kepercayaan penuh kepada Poh Ceng-in segera menjurah memberi hormat,
“Nona, aku....” - baru ia berkata begitu tampak sesosok tubuh lari mendatangi.
Dan muncullah Soh-beng Ki-su
ke dalam kubu seraya berseru gopoh, “Musuh sudah unjuk jejak, suhu perintahkan
aku supaya membawa keempat orang itu keluar!"
"Mereka berjumlah berapa
banyak?" sengaja Poh Ceng-in bertanya.
"Saat ini belum diketahui
jelas, tetapi musuh yang tangguh sudah tiba dipuncak gunung sini....”
Sambil menyerahkan cambuk
kepada Soh-beng Ki-su lagi, Poh Ceng-in membentak Siau-liong: "Lekas
ambilkan senjataku!"
Siau-liong mengiakan. Ia
berputar tubuh terus pergi. Begitu berada ditempat gelap, Siau-liong terus
membuka pakaian warna hitam yang dipakainya.
Diam-diam ia menimang, “Entah
apakah pil itu berkhasiat atau tidak, tetapi malam ini merupakan malam yang
memutuskan. Aku harus mengadu jiwa dengan kedua suami isteri iblis itu!"
Setelah memutuskan rencana, ia
segera loncat apungkan diri melayang kekubu kedua. Kubu yang ditempat Iblis
Penakluk-dunia dan isterinya.
Saat itu Iblis Penakluk-dunia
dan Dewi Neraka tengah berdiri berdampingan diluar kubu. Sekeliling dijaga
rapat oleh kawanan anak buahnya Baju Hitam. Begitu melihat Siau-liong meluncur
dari udara, mereka kaget sekali.
“Budak kecil, akhirnya ia
masuk ke dalam jaring sendiri!" Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring.
"Iblis tua! Kematian
sudah didepan mata, engkau masih bermimpi!" bentak Siau-liong.
Iblis Penakluk-dunia tertawa
angkuh.... Begitu mengangkat tangan, kawanan penjaganya itu segera menyurut
mundur.
Pelahan-lahan dia maju dua
langkah, tetapi tetap terpisah setombak jauhnya dari Siau-liong. Dengan tertawa
mengejek ia berseru, “Sudah kukatakan bahwa aku tak mau memaksa orang. Asal ia
mau mengajarkan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepadaku dengan lengkap, aku tentu
akan pegang janji. Tiau Bok-kun dan Mawar Putih kedua nona serta Kongsun
Sin-tho dan lain-lain, semuanya akan kubebaskan. Tetapi kalau tidak....”
Ia berhenti sejenak keliarkan
pandang lalu melanjutkan pula, “Apa yang kukatakan tentu akan kulaksanakan. Dan
apa akibatnya engkau tentu sudah tahu sendiri....”
Tiba-tiba ia berpaling
membentak seorang pengawal yang berada di belakangnya, “Bawa kemari kedua budak
perempuan yang berada dikurungan itu!"
Pengawal itu mengiakan terus
lari ke belakang. Siau-liong tak mau berkata apa-apa. Ia hanya tertawa dingin
memandang Iblis Penakluk-dunia.
Walaupun sepintas pandang
Iblis Penakluk-dunia itu tampak tenang tetapi dalam hati ia gelisah bukan
kepalang.
Dan tanpa berkata apa-apa,
Siau-liong pun melangkah maju. Melihat itu Iblis Penakluk-dunia membentaknya,
“Berhenti! Apakah engkau benar menghendaki kubunuh kedua nona itu?"
Siau-liong tak menyahut tetapi
tetap maju. Melihat itu Iblis Penakluk-dunia terpaksa mundur pelahan-lahan.
Kini ia mundur sampai dimuka kubu.
Saat itu si iblis sudah tak
dapat mundur lagi. Sekonyong-konyong ia membentak keras dan menghantam
Siau-liong.
Tetapi anak muda itu hanya
tersenyum saja. Diangkatnya tangan kanan untuk menyapu. Terdengar letupan dan
debu di belakang Iblis Penakluk-dunia itu pun bergulung-gulung tiba....
Saat itu Iblis Penakluk-dunia
cukup banyak juga mempelajari keempat ilmu sakti dari Lam-hay Sin-ni, Jong Leng
lojin, Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san. Kesaktiannya jauh lebih hebat dari
sebelumnya. Maka beranilah ia menyongsong pukulan Siau-liong. Siapa tahu
Siau-liong ternyata sudah hampir seluruhnya memahami Thian-kong-sin-kang.
Bukan kepalang kejut iblis itu
ketika pukulannya seperti terbenam dalam lautan dan tiba-tiba pula ia dilanda
oleh tenaga yang hebat sehingga darahnya bergolak-golak…….
Dewi Neraka terkejut sekali.
Cepat ia gentakkan tongkatnya kepala naga. Tiba-tiba kepala naga itu cepat dan
melayang ke arah Siau-liong.
Siau-liong mendengus dingin.
Sekali ia menghantam, kepala naga dan tongkat wanita iblis itu mencelat dan
serempak itu terdengar suara orang tertahan. Dewi Neraka terpental mundur
sampai tujuh delapan langkah jauhnya.
"Huak!".... wanita
itu muntah darah!
Begitu kubu kedua melayang
kabur, kubu ketiga segera tampak. Tampak kawanan anak buah Iblis Penakluk-dunia
berdiri terlongong. Kesatu karena mereka terpesona melihat kesaktian
Siau-liong.... Kedua, karena belum mendapat perintah dari pemimpinnya.
Setelah mengundurkan kedua
suami isteri iblis, Siau-liong masih maju menghampiri mereka.
Iblis Penakluk-dunia gugup
tetapi ia tetap menutupi dengan tertawa angkuh seraya menyurut mundur. Dan pada
saat itu ia sudah mundur ke kubu nomor tiga.
Dan apa yang terjadi dalam
kubu ketiga itu pun sudah kelihatan.... Soh-beng Ki-su sambil mainkan cambuk
sambil membentak keempat tokoh yang masih duduk, “Lekas bangun!
Bangun....!"
Tetapi keempat tokoh itu tetap
pejamkan mata dan duduk setenang patung. Poh Ceng-in yang berdiri disamping,
tampaknya seperti gugup juga.
Tiba-tiba pengawal yang
disuruh Iblis Penakluk-dunia untuk membawa Tiau Bok-kun dan Mawar Putih tadi,
pun sudah datang. Tetapi sikap mereka ketakutan sekali. Sambil berlari
mendatangi mereka sudah berteriak-teriak, “Thian-cun, kedua budak perempuan itu
sudah lolos!"
"Mundur!" bentak
Iblis Penakluk-dunia gugup. Ia terus menerobos ke dalam kubu.
Melihat keempat tokoh itu
duduk mematung, diam-diam Siau-liong girang. Ia duga pil itu tentu sudah
bekerja. Ia tak mau memburu masuk, melainkan menunggu diluar.
Dengan wajah pucat lesi, Iblis
Penakluk dunia cepat mengambil cambuk dari tangan Soh-Beng ki-su lalu
digentakkan beberapa kali seraya membentak, “Hayo, mengapa tak lekas
bangun!"
Cambukan itu berhasil membangunkan
Jong Leng lojin. Tokoh itu serentak berbangkit.
"Tar....!” Iblis
Penakluk-dunia mencambuk punggung Jong Leng lojin seraya membentak, “Lekas
tangkap budak itu, mati atau hidup!"
Di luar dugaan, Jong Leng
lojin tak mau menyahuti dan melakukan perintah. Bahkan tiba-tiba ia menyambar
cambuk Iblis Penakluk-dunia dan balas membentaknya, “Siapa engkau ini!"
Kali ini Iblis Penakluk-dunia
seperti disambar petir kejutnya. Ia lemparkan cambuk terus lolos ke luar kubu.
Dengan masih dalam pikiran tak
sadar, Jong Leng lojin menghantam. Iblis Penakluk-dunia lari mati-matian tetapi
tetap tak dapat terhindar dari hantaman Jong Leng. Tubuhnya yang melambung di
udara itu tiba-tiba menukik turun dan jatuh di samping Siau-liong!
"Iblis tua, apakah engkau
masih mimpi mau lari?" bentak Siau-liong seraya menutuk dada dan
tenggorokan iblis itu.
Saat itu Dewi Neraka pun sudah
terluka pukulan Siau-liong tadi. Tahu gelagat jelek, ia hendak lari. Tetapi ia
ingat akan Poh Ceng-in.
◄
Y ►
67. Naga Dan Cendrawasi
Pada saat Dewi Neraka meragu,
tiba-tiba terdengar suara berisik mendatangi. Siau-liong kira tentulah anak
buah Iblis Penakluk-dunia yang hendak menyerbu untuk menolong pemimpinnya.
Tetapi ternyata yang muncul itu adalah Ceng Hi totiang dan rombongan orang
gagah.
Dewi Neraka yang sudah
menderita luka itu makin bingung. Begitu memandang keadaan ditempat situ,
tahulah Ceng Hi apa yang telah terjadi. Cepat ia kebutkan lengan jubah untuk
menutuk jalan darah Dewi Neraka.
"Hai, apakah kalian ini
kawanan roh orang mati?" teriak Iblis Penakluk-dunia yang walau pun sudah
tertutuk jalan darahnya namun masih dapat bicara.
Saat itu kawanan Baju Hitam
baru tersadar. Dengan bersuit keras, mereka segera maju mengepung. Tetapi Jong
Leng lojin yang menjaga disamping Iblis Penakluk dunia, segera menghantam kian
kemari mencegah mereka.
Rombongan orang gagah yang
dipimpin Ceng Hi totiang itu segera menyerang sehingga terjadilah pertempuran
dahsyat.
Sedangkan Siau-liong
terlongong-longong sendiri. Ia benar-benar terpukau karena melihat keadaan saat
itu. Ia merasa seperti telah menghidupkan kembali orang yang sudah mati.
Tiba-tiba Poh Ceng-in
melengking, “Suheng, tunggulah aku bersama-sama lari!"
Saat itu barulah Siau-liong
seperti diingatkan pada Soh-beng Ki-su. Dengan menggerung, ia enjot tubuh
melambung ke udara dan melayang turun di belakang kubu.
Ternyata Soh-beng Ki-su yang
bertubuh kurus kering itu sedang siap hendak melarikan diri dari kubu.
Siau-liong cepat membentak dan
mencengkeram dadanya. Soh-beng Ki-su terkejut. Ia tebarkan jaringnya hendak
melancarkan pukulan Pek-kut-kang.
Tetapi sudah terlambat.
Dadanya sudah dicengkeram Siau-liong. Seketika itu ia rasakan dadanya seperti
pecah. Siau-liong sudah menutuk tiga buah jalan darah orang itu. Kemudian ia
terus hendak melangkah ke dalam kubu.
Tetapi saat itu To Kiu-kong,
Ti Gong taysu dan kawan-kawannya bermunculan datang. Siau-liong cepat lemparkan
Soh-beng Ki-su kepada To Kiu-kong.
"Inilah manusia yang
membunuh Pendekar Laknat! Tolong engkau menjaganya. Kelak hendak kubawanya
untuk sesaji dimakam Pendekar Laknat!"
Habis berkata Siau-liong terus
loncat kekubu lagi. Dilihatnya keadaan sudah berobah.
Kedua suami isteri iblis sudah
dibekuk dan dijaga oleh belasan tokoh-tokoh kelas satu yang ditugaskan Ceng Hi
totiang. Untuk menjaga agar kedua iblis itu jangan sampai lolos, mereka
lekatkan ujung senjatanya pada jalan darah kedua orang itu.
Pertempuran masih berjalan
seru. tetapi karena pemimpin sudah dibekuk, situasi pertempuran pun dapat
dikuasai Ceng Hi totiang. Yang sukar diatasi hanya beberapa tokoh seperti Naga
Terkutuk, Harimau Iblis, It Hang totiang dan lain-lain.
Setelah Jong Leng lojin maka
berturut-turut bangunlah Kongsun Sin-tho, Randa Bu-san dan Lamhay Sin-ni.
Mereka merenung beberapa waktu, baru menyadari apa yang telah terjadi pada diri
mereka selama ini.
"Suhu, apakah engkau
sudah sembuh sama sekali?" buru-buru Siau-liong menghampiri Kongsun
Sin-tho.
Kongsun Sin-tho menghela
napas, “Liong-ji. Apakah engkau yang membuatkan pil dari katak-kaki-tiga itu?
Dimanakah kita sekarang ini?"
"Kita saat ini berada
dibawah puncak Kim-ting. Pil itu dibuat oleh paderi sakti Kim-ting!"
“Ah, tak kira kalau akupun
juga....” Kongsun Sin-tho menghela napas panjang.
Merenung sejenak tokoh itu
berkata pula, “Berapa banyak pil yang telah dibuatnya? Sisanya berikan
kepadaku!"
Siau-liong segera
menyerahkannya. Setelah menerima, Kongsun Sin-tho lalu memberi keterangan
kepada Randa Bu-san dan lain-lain. Kemudian keempat tokoh itu segera turun
kegelanggang pertempuran.
Dengan kesaktian mereka,
mudahlah untuk menundukkan Naga Terkutuk. Harimau Iblis, It Hang totiang dan
lain-lain. Kemudian setiap orang diberinya pil itu sebutir.
Tak berapa lama mereka pun
pulih kesadarannya. Dan saat itu pertempuran pun sudah selesai. Beberapa anak
buah Iblis Penakluk-dunia berhasil melarikan diri. Tetapi yang tak dapat lolos
terpaksa menyerah.
Kongsun Sin-tho memberi sisa
tiga butir pil kepada Siau-liong, “Pil itu tak mudah diperoleh. Selain dapat
mengobati segala macam racun, pun mempunyai daya untuk menghidupkan orang yang
sudah meregang jiwa. Harap engkau simpan baik dan apabila perlu dapat engkau
gunakan."
Siau-liong segera
menyimpannya.
Saat itu suasana pertempuran
sudah sunyi. Ceng Hi totiang saling berpandang-pandangan dengan keempat tokoh
sakti. Ia menuturkan kepada mereka semua peristiwa yang telah terjadi selama
ini. Terutama jasa-jasa Siau-liong yang pantang mundur dalam menghadapi huru
hara dari Iblis Penakluk-dunia.
Sekalian orang gagah bertepuk
sorak memuji-memuji keberanian dan kegagahan anak muda itu!
Tetapi Siau-liong sendiri
merasa malu dalam hati. Jika tanpa bantuan si kakek Mata-satu, paderi sakti
Kim-ting dan Poh Ceng-in, tak mungkin ia sendiri dapat menyelesaikan huru-hara
itu.
Berturut-turut Randa Bu-san,
Lam-hay Sin-ni, Jong Leng lojin, Naga Terkutuk, Harimau Iblis, It Hang totiang
dan lain-lain, menghaturkan terima kasih kepada Siau-liong. Mereka berlutut
dihadapan pemuda itu. Sudah tentu Siau-liong terkejut dan tersipu-sipu
mengangkat mereka bangun.
Pada saat itu tiba-tiba
berdatangan pula dua rombongan. Rombongan yang pertama ialah Coa-sik Se-si
bersama Mawar Putih dan Tiau Bok-kun. Dan rombongan kedua ialah Kakek Mata-satu
bersama si dara Song Ling.
Melihat suhu dan puterinya
datang, girang Randa Bu-san bukan kepalang.
Sementara itu, Iblis
Penakluk-dunia dan Dewi Neraka masih dikepung oleh rombongan orang gagah. Jong
Leng lojin, Naga Terkutuk, Harimau Iblis dan beberapa tokoh segera menghampiri.
Tokoh-tokoh itu geram sekali.
Jong Leng lojin memungut
sebatang pedang yang terletak di tanah dan membentak, “Dosa kedua suami isteri
iblis itu sudah melewati takeran. Adakah saudara-saudara masih suka memberi
ampun kepada mereka?"
"Tidak! Mati pun mereka
masih ringan kalau dinilai dari dosanya!" seru sekalian orang gagah.
Tiba-tiba terdengar suara
orang menangis. Dan pada lain saat tampak Poh Ceng-in lari menghampiri lalu
berlutut di hadapan Siau-liong, “Tong-siauhiap! Harap engkau suka berlaku murah
memberi ampun jiwa ayah bundaku itu!"
Saat itu Coa-sik Se-si pun
menghampiri lalu mengangkat bangun Poh Ceng-in, “Nak, ah, engkau cukup banyak
menderita....”
Buru-buru Siau-liong berkata
kepada Jong Leng lojin, “Locianpwe, sukalah locianpwe menerima sebuah
permintaanku?"
"Silahkan, apa pun yang
Tong-siauhiap bilang, aku tentu menurut," sahut Jong Leng.
Siau-liong menghela napas,
“Saat ini huru-hara sudah teratasi. Kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu
sudah tak berdaya lagi. Marilah kita melakukan budi kebaikan untuk mengampuni
jiwa mereka!"
Ceng Hi totiang dan Kongsun
Sin-tho segera melangkah menghampiri Siau-liong. Kata Kongsun Sin-tho, “Untuk
memberi ampun jiwa mereka, pun boleh saja! Tetapi demi menjaga timbulnya bahaya
dikemudian hari lagi, ilmu kepandaian mereka harus dilenyapkan."
Melihat Siau-liong diam saja,
Ceng Hi totiang pun segera mencabut sebilah badik yang terselip di pinggangnya.
Dipotongnya urat nadi penting dari kedua suami isteri iblis itu lalu
dibebaskannya jalan darah mereka yang tertutuk itu.
Iblis Penakluk-dunia dan Dewi
Neraka terpaku seperti patung. Wajah mereka suram muram.
Poh Ceng-in lari kesamping
ibunya dan berseru pelahan, “Ma, aku.... aku sungguh menyesal dan bersalah
kepadamu....” — ia segera menangis tersedu sedan.
Lama sekali Poh Ceng-in
tumpahkan kesedihan hatinya. Setelah berhenti menangis ia segera mengangkat
bangun kedua ayah bundanya dan dibawanya turun gunung.
Tiba-tiba Coa-sik Se-si
memberi perintah kepada Siau-liong, “Lekas kau susul mereka dan bawa kembali
kesini!"
Siau-liong segera lari
mengejar seraya berteriak memanggil Poh Ceng-in, “Nona Poh....”
Tetapi tanpa berpaling muka,
Poh Ceng-in berseru membalas, “Aku hendak pergi!"
"Aku sungguh menyesal
sekali! Aku memutuskan.... akan mengambil engkau sebagai isteri!"
Siau-liong berteriak gopoh.
Poh Ceng-in menjawab rawan, “Ah,
terima kasih atas kebaikanmu itu. Tetapi sekarang lain halnya! Aku sudah
menyadari semua! Jika kau memang orang yang pegang janji, engkau datang tahun
depan untuk memenuhi janji mati bersama aku!"
Kedua sudah isteri iblis yang
dipapah berjalan oleh Poh Ceng-in itu terkejut dan berpaling memandang
Siau-liong. Tetapi mereka cepat menghadap kemuka lagi dan melanjutkan
perjalanan turun gunung. Tak berapa lama mereka pun lenyap dalam kegelapan
malam.
Siau-liong tertegun beberapa
saat lalu berjalan balik ketempat mamanya. Sekalian orang gagah segera
mengerumuni Siau-liong. Mereka mendengar apa yang dibicarakan Siau-liong dengan
Poh Ceng-in tadi. Tetapi walaupun mereka tak mengerti apa maksud pembicaraan
itu, mereka tak berani bertanya kepada Siau-liong.
Saat itu karena pertempuran
sudah selesai dan keadaan kembali aman, rombongan orang gagah itu saling
bergembira ria dan tertawa-tawa.
Setelah puas bercakap-cakap,
Ceng Hi totiang menghampiri Siau-liong, “Rasanya tiada berguna aku menunggu
lama disini. Sebaiknya aku akan kembali. Maka ijinkanlah Tong-siauhiap, kami
hendak mohon diri!"
Sekali pun pada saat itu
Siau-liong dipandang sebagai bintang penyelamat dunia persilatan dan seorang
tokoh silat yang telah memiliki kepandaian sakti, tetapi diam-diam hati pemuda
itu gelisah. Mendengar Ceng Hi totiang dan beberapa tokoh hendak pulang,
walaupun merasa tindakan mereka itu terlalu bergegas, namun Siau-liong tak mau
banyak bicara.
Demikian setelah beberapa
tokoh itu tinggalkan gunung, keadaan makin sepi. Saat itu sudah menjelang
fajar. Angin makin dingin. Keempat tokoh pewaris ilmu sakti masih berada
disitu.
Kongsun Sin-tho menghampiri
Siau-liong dan memberi salam, “Siau-liong, akupun juga akan pergi....!"
Siau-liong bercekat hatinya
dan tanpa tersadar, ia bercucuran air mata, “Apakah suhu hendak pulang ke
Hong-san?"
Jawab tabib sakti itu, “Segala
kehendakku sudah selesai. Sebelum mati, ingin aku pesiar menikmati keindahan
gunung-gunung dan sungai-sungai yang terkenal. Sekarang aku hendak memulai
pesiar kepegunungan Tang-gak. Dunia begini luas, jejakku sukar
ditentukan."
Habis berkata tokoh itu terus
ayunkan langkah. Siau-liong benar-benar tersayat hatinya. Ia masih ingin bicara
banyak sekali dengan gurunya yang baik budi itu.
Tetapi ketika ia hendak
melangkah mencegahnya, tiba-tiba tampak Mawar Putih lari dan berlutut dihadapan
Coa-sik Se-si, menangis, “Suhu, mohon engkau sudi meluluskan sebuah
permintaanku!"
Coa-sik Se-si buru-buru
mengangkatnya bangun, “Kalau ada apa-apa, bilanglah! Tentu akan kululuskan
permintaanmu itu!"
Mawar Putih masih sesenggukan
berkata, “Mohon suhu suka meluluskan aku menjadi rahib! Lam-hay Sin-ni
locianpwe hendak mengambil aku....”
Sesaat Coa-sik Se-si tak dapat
berkata apa-apa. Ia tahu apa sebab muridnya hendak masuk menjadi rahib itu.
Berpaling ke arah Siau-liong, dilihatnya puteranya itu terlongong-longong
mengucurkan air mata.
Sampai beberapa lama, barulah
ia berkata, “Lam-hay Sin-ni locianpwe adalah salah seorang tokoh sakti yang
mewarisi salah satu dari lima ilmu sakti. Beliau hendak menerimamu sebagai
murid, memang suatu keberuntungan bagimu. Tetapi....”
Coa-sik Se-si tak dapat
melanjutkan ucapannya karena saat itu Mawar Putih sudah mengeluarkan sebilah
badik dan terus memotong rambutnya. Coa-sik Se-si hendak mencegah tetapi sudah
terlambat. Terpaksa ia hanya menghela napas panjang dan tak berkata suatu apa.
Tiau Bok-kun yang sejak tadi
berdiri disamping tak ikut bicara, demi melihat Mawar Putih memotong rambut,
tiba-tiba ia segera menghampiri Siau-liong, “Tong siangkong! Atas budi
pertolonganmu kepadaku itu, mungkin dalam kehidupan sekarang aku tak dapat
membalas....!" - habis berkata iapun segera memotong rambutnya juga.
Saat itu Siau-liong
termangu-mangu seperti patung. Dia tak dapat berkata apa-apa kecuali bercucuran
air mata....
Setelah mengucap terima kasih
kepada Coa-sik Se-si, Lam-hay Sin-ni segera memimpin tangan Mawar Putih diajak
pergi.
Jong Leng lojin tertawa
gelak-gelak. Ia melangkah kemuka Tiau Bok-kun, katanya, “Aku masih belum punya
pewaris, entah apakah engkau suka....”
Tiau Bok-kun girang sekali.
Buru-buru ia berlutut dan memberi hormat dengan khidmat, “Suhu....”
Jon Leng lojin tertawa
meloroh, kemudian berseru kepada Lam-hay Sin-ni, “Muridku juga tak kalah dengan
muridmu itu!"
Kemudian Randa Bu-san pun hendak
pamit. Sementara si dara Song Ling berdiri jauh tak mau memandang Siau-liong.
Karena ditinggal pergi oleh
tokoh-tokoh itu, hati Siau-liong seperti tertindih batu. Ia hendak menangis,
tetapi air matanya sudah kering. Akhirnya ia bertanya kepada Randa Bu-san:
"Apakah Cianpwe juga akan pergi?"
Randa Bu-san tertawa, “Di
dunia tiada perjamuan yang takkan berakhir. Kalau saatnya harus berpisah, kita
pun harus berpisah!"
Demikian para tokoh-tokoh itu
satu demi satu segera tinggalkan tempat itu. Yang ada kini hanya Siau-liong dan
mamanya.
Wajah Siau-liong penuh bekas
air mata. Pikirannya melayang pada masa yang lalu. Bayang-bayang orang satu
demi satu melintas pada benaknya.
Tetapi mengingat bahwa mereka
telah mendapat tempat yang tepat, hatipun tenang. Ia menghapus air mata dan
paksakan tertawa, “Ma, mari kita tinggalkan tempat ini juga!"
Saat itu hati Coa-sik Se-si
pun girang dan sedih. Serentak ia berbangkit, ujarnya, “Marilah kita kegunung
Hong-san untuk menyambangi makam ayahmu!"
Siau-liong terhibur hatinya.
Sambil menggandeng tangan mamanya, mereka segera berjalan pelahan-lahan
menuruni gunung. Karena sudah tiada urusan yang penting, mereka pun melakukan
perjalanan dengan pelahan.
Setiba dibawah gunung lebih
dulu mereka mencari penginapan dirumah penginapan. Setelah itu mereka menyewa
kereta. Lebih kurang setengah bulan kemudian barulah mereka tiba digunung
Hong-san.
Pada saat mereka mendaki ke
atas gunung, apa yang disaksikannya membuat mereka terkejut sekali. Ceng Hi
totiang dan rombongan orang gagah yang terdiri dari beratus-ratus orang, muncul
menyambut mereka.
Didekat kuburan almarhum Tong
Gun-liong, didirikan beberapa buah bangsal. Selusin bujang perempuan segera
memimpin tangan Coa-sik Se-si diajak masuk ke dalam bangsal.
Karena terkejut, Siau-liong
sampai tak dapat berkata apa-apa. Ia tak mengerti mengapa tokoh-tokoh
persilatan berada disitu.
Kiranya untuk membalas jasa
Siau-liong, Ceng Hi totiang memimpin rombongan kaum persilatan menuju ke
Hong-san dan mendirikan bangsal dan membangun sebuah gedung yang mewah. Gedung
itu akan dipersembahkan kepada Siau-liong sebagai tempat tinggal ibunya.
Siau-liong sukar menolak
kebaikan Ceng Hi totiang dan tokoh-tokoh persilatan. Terpaksa ia mengucapkan
terima kasih.
Gunung Hong-san yang biasanya
sunyi, saat itu ramainya bukan kepalang. Beratus-ratus tokoh persilatan
bersembahyang didepan makam Tong Gun-liong. Mereka dipelopori Ceng Hi totiang
yang bersembahyang dengan berlutut di depan nisan, Coa-sik Se-si dan Siau-liong
berdiri, di samping makam untuk membalas hormat.
Coa-sik Se-si benar-benar
terharu melihat upacara yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia
persilatan. Ia bercucuran air mata dan berkemak-kemik mendoa, “Gun-liong,
Gun-liong.... jika engkau tahu keadaan ini. engkau pasti dapat meram dengan
puas di alam baka!"
Selesai upacara sembahyangan,
tiba-tiba Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay bersama keempat Su-lo maju ke depan
makam dan berseru, “Dahulu kamilah yang salah memberi keputusan. Maka kami akan
menebus kesalahan itu dengan kematian!"
Habis berkata mereka sama
mencabut badik dan terus hendak bunuh diri.
Sesungguhnya Siau-liong tak
sampai hati melihat mereka membunuh diri. Tetapi ia tak berani lancang
mengambil tindakan. Maka ia berpaling memandang ibunya.
Ternyata Coa-sik Se-si sudah
bergegas maju menghampiri dan berseru, “Cianpwe sekalian, harap jangan
bertindak begitu. Bagaimanapun halnya, Gun-liong adalah muridmu. Pada masa itu
dia telah melanggar peraturan perguruan. Sudah seharusnya menerima hukuman....”
Ceng Hi totiang pun juga
menghampiri dan tertawa, “Peristiwa yang lampau sudah lalu! Hari ini
benar-benar suatu peristiwa bersejarah bahwa seluruh kaum persilatan melakukan
upacara sembahyang. Soal yang lalu, tak perlu diungkat lagi!"
Siau-liong juga ikut
menasehati sehingga tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu mau juga batalkan niatnya
membunuh diri. Mereka menghaturkan terima kasih kepada ketiga orang itu. Dan
suasana berkabung, kini berobah menjadi suatu peristiwa yang menggembirakan.
Hari kedua, rombongan kaum
persilatan pun mengadakan sembahyangan dimakam Pendekar Laknat dan Pengemis
Tengkorak.
To Kiu-kong menyerahkan
Soh-beng Ki-su kepada Siau-liong. Dihadapan makam Pendekar laknat, Siau-liong
menusuk dada Soh-beng Ki-su mengambil hatinya dan disembahyangkan didepan makam
Pendekar Laknat.
Selesai upacara sembahyangan
itu, Ceng Hi totiang hendak mengangkat Siau-liong sebagai pemimpin dunia
persilatan. Tetapi Siau-liong tetap menolak. Ia menyatakan lebih senang menjadi
Cousu dari partai Kay-pang dan berkedudukan sama dengan ketua partai-partai
persilatan lain.
Sudah tentu partai Kay-pang
girang sekali. Mereka menyambut pernyataan Cousu-ya mereka itu dengan berlutut
menghaturkan terima kasih. Sejak itu Kay-pang makin menjulang namanya. Partai
itu seolah-olah dianggap sebagai pemimpin dunia persilatan.
Setelah hampir sebulan berada
di gunung Hong-san, sekalian tokoh-tokoh persilatan itupun segera
berbondong-bondong pulang ke tempat masing-masing.
Sejak itu Siau-liong bersama
ibunya tinggal di gunung Hong-san. Mereka melewatkan kehidupan yang bahagia.
Tetapi Siau-liong tetap
gelisah memikirkan nasib Mawar Putih, Tiau Bok-kun, Poh Ceng-in dan lain-lain.
Ia pun ingat bahwa besok tahun muka pada pertengahan musim rontok, ia harus
menuju ke gunung Bu-san untuk memenuhi perjanjiannya dengan Poh Ceng-in.
Rupanya Coa-sik Se-si tahu apa
yang terkandung dalam hati puteranya. Ia menasehati agar Siau-liong dapat
mempengaruhi pikiran Poh Ceng-in supaya membatalkan rencana untuk mati bersama
itu. Dan sebagai perobahan, Siau-liong supaya menerima Poh Ceng-in sebagai
isteri....
Siau-liong mengiakan. Setelah
tiba waktunya ia segera berangkat menuju ke Bu-san.
Dalam perjalanan, ia menimang,
“Randa Bu-san tentu sudah tahu bahwa Pendekar Laknat itu sebenarnya sudah mati.
Dengan begitu perjanjian mereka untuk mengadakan pertempuran, dengan sendirinya
gugur. Dan sekarang hanya sebuah perjanjian dengan Poh Ceng-in yang harus ia
selesaikan!"
Tiba di gunung Bu-san, tepat
pada pertengahan bulan 8 pagi. Perjanjiannya dengan Poh Ceng-in ialah hari
kedua dari pertengahan bulan delapan. Ia duga, apabila Poh Ceng-in datang
memenuhi janji, tentu tak mungkin datang lebih dulu dari dirinya.
Tetapi diluar dugaan, begitu
membelok pada sebuah tikungan gunung, ia melihat di tengah sebuah hutan telah
dibangun sebuah makam. Dan ah.... ternyata Poh Ceng-in sudah berada di situ. Ia
tetap mengenakan pakaian merah menyala dan duduk disamping makam.
"Nona Poh!" serentak
Siau-liong berseru seraya lari menghampiri.
Poh Ceng-in serentak
berbangkit tetapi tiba-tiba ia menjerit dan rubuh lagi.
Siau-liong terkejut dan cepat
memapahnya bangun. Sambil ulurkan tangan kiri, Poh Ceng-in mengerang, “Lenganku
digigit ular beracun yang kupelihara! Lekas bantu menghisap racun itu!"
Waktu memeriksa, Siau-liong
memang melihat lengan kiri nona itu terdapat dua buah lubang yang masih
bercucuran darah. Tanpa banyak berpikir lagi, ia terus menghisapnya dengan
mulut.
"Lekas hisap! Lekas isap!
Kalau racun keburu masuk ke dalam jantung, tiada obatnya lagi!" berulang
kali Poh Ceng-in merintih-rintih.
Karena gugup, Siau-liong terus
menghisap mati-matian. Karena darah terus mengalir tak berhenti, Siau-liong tak
keburu meludahkan ke tanah sehingga terus ditelannya. Keadaan itu berlangsung
sampai lama.
"Apakah sekarang nona
sudah merasa enak?" tanyanya beberapa saat kemudian.
Tetapi serentak dengan itu
wajahnya pun berobah. Dilihatnya wajah Poh Ceng-in pucat lesi seperti orang
yang mau mati.
Kemudian nona itu paksakan
tertawa rawan, “Aku tak pantas menjadi jodohmu.... racun jong-tok itu.... su....
dah.... punah....!"
Habis berkata wanita pemilik
Lembah Semi itu pun kelentuk kepalanya dan meramkan mata selama-lamanya.
Siau-liong terkejut. Tanpa
disadari ia menangis dan berkabung melihat penderitaan dan pengorbanan wanita
itu. Saking sedihnya ia sampai pingsan.
Setelah sadar barulah ia
mengetahui bahwa Kakek Mata-satu, Randa Bu-san dan Song Ling sudah menjaga
disampingnya.
Siau-liong segera menanam Poh
Ceng-in ke dalam liang yang telah disiapkan itu.
Kemudian Siau-liong tegak
berdiri di samping makam itu seperti orang yang kehilangan semangat. Kakek
Mata-satu dan Randa Bu-san menghiburnya dan akhirnya dapat membujuknya diajak
pulang ke Hong-san.
Coa-sik Se-si juga berduka
mendengar peristiwa kematian Poh Ceng-in. Sedang Siau-liong tetap lesu seperti
orang sakit. Ia lebih suka membenam diri dalam kamar.
Dua bulan kemudian barulah ia
mulai dapat kembali semangatnya yang hilang itu. Hari itu ia merasa semangatnya
segar, kedukaan hatinya pun berkurang. Maka keluarlah ia dari kamarnya.
Tetapi alangkah kejutnya
ketika ia melihat keadaan di luar. Di ruangan besar, penuh dengan meja
perjamuan dan tetamu-tetamu yang terdiri dari ketua partai-partai persilatan
serta tokoh-tokoh ternama.
Siau-liong heran bukan
kepalang. Buru-buru ia mencari mamanya untuk bertanya. Sudah dua bulan ia tak
pernah keluar dari kamar sehingga tak tahu apa yang terjadi dalam rumah.
Coa-sik Se-si keluar menyambut
diiringi oleh bujang perempuan. Dengan wajah berseri tawa, wanita itu berkata
kepada puteranya, “Siau-liong, sekali pun dalam urusan ini aku tak pernah
mengatakan kepadamu, tetapi engkau jangan menolak! Hari ini adalah hari
kebahagiaanmu!"
Siau-liong kaget setengah
mati, “Bagaimana ini....”
Coa-sik Se-si menukas tertawa,
“Mempelai perempuan adalah Song Ling. Mamalah yang mencarikan jodohmu
itu!"
Sekali pun Siau-liong tak
berani membantah tapi ia banting-banting kaki dan menghela napas panjang.
Tiba-tiba Kakek Mata-satu
muncul dengan tertawa-tawa, “Buyung, apakah engkau tak ingat janjimu yang telah
engkau berikan kepadaku di puncak Kim-ting tempo hari?"
Siau-liong seperti disadarkan.
Teringatlah ia mengapa kakek buta sebelah mata itu memaksanya supaya meluluskan
sebuah permintaannya. Kiranya permintaan kakek itu tak lain ialah hendak
menjodohkan cucu muridnya atau si dara Song Ling dengan dirinya. Ah.... ia tak
berani banyak bicara lagi dan biarkan sekalian orang hendak mengatur bagaimana
kepada dirinya.
Upacara perkawinan berlangsung
megah sekali. Gunung Hong-san selama dua bulan ramainya bukan main.
Karena terjalin budi dan
cinta, kedua mempelai itu hidup rukun dan berbahagia. Randa Bu-san dan Coa-sik
Se-si girang sekali melihat putera puteri mereka telah mendapat jodoh yang
sepadan. Bahkan Randa Bu-san menerima baik tawaran Coa-sik Se-si untuk tidak
kembali ke Bu-san tetapi tinggal di gunung Hong-san bersama anak dan
menantunya.
Setelah sekalian tokoh-tokoh
persilatan pulang ketempat masing-masing, paderi Liau Hoan masih tinggal di
situ. Ia menemui Siau-liong dan mengingatkan janjinya dahulu.
Ternyata pada tigapuluh tahun
yang lalu gunung Thian-san meletus. Batu-batu besar menutup sebuah gua tempat
tinggal kawanan orang-utan. Selama tigapuluh tahun itu paderi Liau Hoan suruh
muridnya memberi makanan.
Tetapi kini orang-utan itu
berkembang biak menjadi ratusan ekor jumlahnya. Lama kelamaan mereka tentu akan
mati karena sesak. Maka Liau Hoan minta Siau-liong kesana untuk menghancurkan
batu-batu besar yang menutup pintu gua.
"Hanya ilmu
Thian-kong-sin-kanglah yang menghancurkan batu-batu raksasa itu. Maka kumohon siauhiap
suka bersama aku pergi ke Thian-san," kata paderi itu.
Siau-liong mengajak isterinya
memenuhi janji ke Thian-san. Setelah berhasil, maka kedua suami isteri pendekar
itu berkelana melakukan amal perbuatan yang luhur dan berguna bagi rakyat.
T A M A T