Pendekar Laknat Jilid 61-67 (Tamat)

Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Laknat Jilid 51-60
Pendekar Laknat Jilid 51-60

61. Katak berkaki tiga

Pada permulaan, rasa dingin panas yang saling bergantian secara mendadak itu, benar-benar menyiksa Siau-liong. Tetapi lama kelamaan ia menjadi kebal. Dan anehnya, rasa sakit dalam tubuhnya pun lenyap.

Pelahan-lahan pikirannya pun tenang kembali. Ia merasa dalam waktu sejam itu telah mengalami perobahan besar sekali. Beberapa bagian dalam kitab pusaka Thian-kong-sin-kang yang sukar dimengerti, saat itu sebagian besar sudah dapat dipahami artinya.

Pelajaran yang mengemukakan tentang sifat-sifat Semangat, Hati, Keinginan dan Pikiran yang tak dapat diselaminya selama ini, saat itu satu demi satu sudah dapat meraba intisarinya.

Diam-diam Siau-liong terkejut girang. Tak tahu ia sampai berapa jauhkah ia dapat mengerti isi kitab pusaka itu. Tetapi yang jelas, ia merasa kepandaiannya amat dangkal sekali, sebelum memahami isi kitab pusaka itu.

Diam-diam ia geli atas tingkah laku paderi tua dari puncak Kim-ting itu. Paderi itu hendak menghukumnya mati. Tetapi tanpa disadari, hukuman pembakaran api dan membenamkan dalam es itu, telah mendorong pikirannya untuk memecahkan intisari dari bagian-bagian pelajaran yang sukar dari kitab pusaka Thian-kong-pit-kip.

Tengah ia terbenam dalam renungan tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi mendesis-desis yang mendatangi ke arah tempatnya. Buru-buru ia curahkan perhatian untuk mendengarkan bunyi itu.

Ia tersirap kaget ketika melihat di atas dinding gua sebelah kanan, tiba-tiba muncul seekor ular besar. Kepala ular itu tumbuh jambul merah dan tubuhnya bergariskan kembang-kembang warna hitam biru. Jelas tentu seekor ular ganas.

Rupanya ular itu sudah mencium bau tempat beradanya Siau-liong. Maka pelahan-lahan ia merayap menghampiri.

Sudah tentu Siau-liong kaget setengah mati. Saat itu jalan darahnya sedang tertutuk, tak dapat berkutik. Bukankah ia akan mati digigit ular berbisa itu?

Tetapi pada jarak masih terpisah dua meter dari tempat Siau-liong, ular itu pun berhenti. Binatang itu gerak-gerakkan kepala dan mengebas-ebas ekor seraya berbunyi mendesis-desis.

Dalam menghadapi suasana yang seram akan datangnya maut, Siau-liong sudah kehabisan daya. Satu-satunya jalan ialah mengerahkan seluruh tenaga dan serentak ia terus berguling-guling ke samping. Dua kali ia bergulingan dan telah tiba di bawah dinding gua sebelah kiri.

Tetapi alangkah kejutnya ketika memandang ke dalam, ternyata ular itu masih merayap mengikutinya. Kepalanya yang diangkat sampai setengah meter ke atas, memancarkan sinar mata yang berapi-api.

Karena gugup, Siau-liong menggembor keras dan menyambar kepala ular itu. Terus dilontar ke muka.

"Bluk ....” lontaran Siau-liong bukan olah-olah kuatnya sehingga kepala ular itu pecah berhamburan.

Setelah tenangkan hati, cepat ia berbangkit dan hampir saja ia berteriak kaget. Karena dicengkeram oleh rasa tegang, ia sampai lupa bahwa seharusnya ia tak dapat membunuh ular itu karena jalan darahnya masih tertutuk. Tetapi ternyata ia dapat bergerak bebas. Lalu bilakah jalan darahnya yang tertutuk itu terbuka?

Ah, segera ia teringat apa yang terjadi. Tentulah ketika ia kerahkan tenaga dan berguling-guling diri di tanah tadi, jalan darahnya itu terbuka sendiri.

Bukan mainlah girangnya saat itu. Cepat-cepat ia duduk menyalurkan napas. Dirasakannya darah mengalir dengan lancar, tenaga dalam pun mulai bergolak. Hawa panas dalam perut, mengalir keseluruh tubuh.

Beberapa saat kemudian iapun bangun. Dipandangnya keadaan dalam gua itu dengan seksama. Tampak pintu gua yang tertutup, terdapat beberapa celah-celah yang tidak rata bentuknya.

Segera ia kerahkan tenaga dan coba-coba untuk mendorong pintu itu. Ah, berat benar. Hampir ia merasa tak kuat lagi mendorongnya. Tetapi karena gugup, ia terpaksa mencobanya lagi.

“Krek ....” ternyata pintu itu mulai bergerak. Siau-liong girang sekali dan segera tambahkan tenaganya untuk mendorong. “Krek, krek ....” pintu batu itupun terbuka sampai setengah meter lebarnya.

Dengan bersuit panjang, ia cepat loncat keluar. Tetapi sebelum sempat melihat keadaan di sekeliling, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa gelak-gelak, “Omitohud! Dorongan itu paling tidak tentu beribu-ribu kati tenaganya. Rupanya bukannya mati tetapi engkau malah mendapat rejeki besar!"

Siau-liong mengangkat muka dan melihat paderi Kim-ting tegak berdiri setombak dari gua situ.

Saat itu barulah Siau-liong dapat melihat jelas roman muka paderi itu. Seorang paderi tua yang bertubuh tinggi kurus. Jubahnya penuh dengan tambalan, sepatu rumput. Sepasang matanya besinar-sinar tajam sekali. Tetapi tak dapat diketahui bagaimana sikapnya saat itu. Girangkah atau marah?

Siau-liong mendengus dingin. serunya, “Paderi tua, mungkin engkau tak pernah menyangkanya ....”

Ia tampil dua langkah dan membentak, “Aku tak punya dendam permusuhan suatu apa kepadamu. Mengapa engkau terus menerus mendesak hendak membunuh aku?"

"Menyelundup ke dalam gua dan hendak mengambil katak berkaki tiga. Apakah dosa itu tak layak dihukum mati?"

Siau-liong tertawa hatinya. Kemarahannyapun reda, “Sekali pun belum lama berkelana dalam dunia persilatan, tetapi seumur hidup aku belum pernah mencuri milik orang ......”

Ia berhenti sejenak, berkata pula, “Kedatanganku kemari memang benar-benar hendak meminta katak mustika itu. Tentu soal menyelundup ke dalam gua, adalah karena kedua murid losiansu tak mau memberitahu kepada losiansu!"

Paderi Kim-ting tertawa, “Katak kaki-tiga itu merupakan binatang ajaib penunggu gua. Dengan tindakanmu yang liar dan kasar itu bagaimana engkau hendak memperoleh katak itu?"

Siau-liong berseru lantang, “Kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka telah mengganas dunia persilatan karena ingin menguasainya. Sekalian tokoh-tokoh gagah dalam dunia tiada yang mampu menandingi dan terpaksa menyerah. Mereka kini berkumpul di puncak Kim-ting sini. Saat ini merupakan detik-detik yang menentukan mati hidupnya dunia persilatan. Kedatanganku untuk meminta katak mustika itu sama sekali bukan untuk kepentinganku pribadi melainkan untuk menyelamatkan nasib dunia persilatan....”

Wajah Siau-liong berobah tegang dan nada suaranya pun makin rawan. Sejenak menghela napas ia berkata pula, “Apabila kedua suami isteri iblis itu benar-benar dapat menguasai dunia persilatan, mungkin losiansu pun tak dapat duduk dengan tenang dalam gua ini!"

Paderi Kim-ting tertawa, “Selama ini aku tak mau ikut campur pergolakan dunia persilatan. Dan kali inipun tak terkecuali....."

“Aku bukan hendak memohon losiansu ikut campur urasan dunia persilatan tetapi hanya hendak mohon katak-berkaki-tiga itu ....” cepat Siau-liong menukas.

“Itupun sukar ....." paderi Kim-ting berhenti lalu dengan mata berkilat-kilat ia berkata, “walaupun hawa dingin panas dalam gua itu tadi dapat membunuhmu tetapi untuk keluar dari gua ini, bukanlah suatu hal yang mudah bagimu. Maka tak perlu engkau hendak minta katak mustika itu!"

Siau-liong terbeliak kaget. Memang apa yang dikatakan paderi itu benar. Menilik ilmu tutukan jalan darah dari paderi itu saja, tahulah ia bahwa paderi itu memang sudah mencapai tataran tinggi kepandaiannya. Jika paderi itu benar hendak membunuhnya, tentu sukar baginya untuk lolos. Dalam keadaan begitu percumalah ia hendak minta katak mustika segala macam ....!

"Maksud losiansu hendak menghukum mati aku?" katanya beberapa jenak kemudian.

Paderi kurus itu tersenyum, “Hal itu tergantung bagaimana kepandaianmu nanti!"

Siau-liong marah sekali. Ia benar-benar tak dapat mengendalikan diri dan membentak dingin, “Semula kukira engkau seorang paderi luhur. Oleh karena itu aku selalu bersabar untuk mengalah. Hendaknya engkau harus mengetahui. bahwa sekali pun umurku masih begini muda tetapi aku adalah pewaris dari ilmu sakti Thian-kong-sin-kang."

Paderi kurus itu teriawa keras, “Ilmuku sakti Ih-kah-sin-kang, tiada lawannya di dunia. Satu-satunya yang mampu mengimbangi ilmuku itu hanyalah Thian-kong-sin-kang. Tetapi itu pun harus dilihat sampai dimana tingkat pelajaran orang yang mempunyai Thian-kong-sin-kang itu!"

Sejenak paderi itu memandang Siau-liong tajam-tajam lalu tiba-tiba membentak, “Hayo, bertempur!"

Siau-liong mendengus dingin terus hendak menghantam tetapi tiba-tiba benaknya terlintas sesuatu dan menurunkan tangannya lagi.

"Hm, takut kepada paderi tua ini?" ejek paderi Kim-ting Siau-liong tertawa dingin.

“Seumur hidup aku tak pernah mengenal kata-kata takut! Hanya ingin sekali lagi kujelaskan, bahwa maksudku hendak meminta katak mustika itu bukanlah untuk kepentingan diriku pribadi melainkan untuk menolong seluruh tokoh persilatan yang sedang terkurung di puncak Kim-ting. Keempat tokoh pewaris dari empat macam ilmu saktipun telah ditawan oleh Iblis Penakluk-dunia, maka akupun sesungguhnya tak mempunyai selera bertempur dengan engkau!"

Paderi itu deliki mata dan tertawa, “Budak! Kecerdasanmu sebagai seorang setan cilik memang boleh juga .....” - ia berhenti sejenak lalu, ”Dengan cara bagaimanakah supaya dapat kubangkitkan seleramu bertempur dengan aku?"

Mata Siau-liong sejenak berkeliaran lalu berkata, “Jika aku sampai kalah, terserah saja bagaimana losiansu hendak menghukum diriku. Tetapi bila aku beruntung menang....”

Paderi Kim-ting cepat tertawa menukas, “Asal engkau mampu menangkan aku, katak-berkaki-tiga itu pasti akan kuberikan kepadamu!"

"Apakah losiansu takkan menyesal?"

Siau-liong berdebar-debar menunggu kesempatan itu. Memang ia tak mempunyai harapan besar untuk memenangkan pertempuran itu namun iapun tak lekas putus asa untuk menyerah. Mudah-mudahan nasib akan membawa perobahan baik kepadanya.

Paderi itu membentak, “Huh, engkau kira aku seorang yang tak dapat dipercaya?"

Siau-liong terkejut. Dilihatnya sepasang mata paderi kurus itu berapi-api. Wajahnya tidak menampil kemarahan tetapi kewibawaan yang menonjol, sehingga Siau-liong merasa kecil diri.

Sekalipun ia tak dapat memastikan dapat mengalahkan paderi itu, tetapi karena keadaan sudah mendesak, maka bagaimanapun juga ia harus mencoba dengan sekuat tenaganya. Apabila ia beruntung dapat menang, ia akan memperoleh katak mustika yang amat diperlukan untuk pembuatan pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan. Pil yang akan menolong para tokoh-tokoh dari kebiusan.

Dengan tujuan itu, longgarlah hati Siau-liong. Sekalipun ia mati dalam pertempuran dengan paderi Kim-ting itu, tak apalah. Ia serahkan saja pada nasib.

Dengan kebulatan tekad yang pasrah itu, ia segera salurkan tenaga dalam bersiap-siap.

Wajah paderi sakti dari Kim-ting itu tetap tenang sekali. Kakinya pun bebas tak mengunjukkan persiapan apa-apa. Tetapi sekali pun begitu, paderi itu memancarkan perbawa yang menggetarkan hati orang.

Setelah mengempos semangat, berserulah Siau-liong dengan nada serius, “Silahkan losiansu mulai!"

Paderi sakti itu tersenyum, ujarnya, “Berkelahi dengan engkau masakan aku masih menginginkan menyerang lebih dulu?"

Siau-liong menyadari bahwa paderi itu memang sakti sehingga tak memandang mata kepadanya. Diam-diam ia girang karena paderi itu menghendaki supaya diserang lebih dulu.

"Kalau begitu maafkan aku berlaku kurang hormat!" serunya tertawa lalu balikkan tangan kiri dan pelahan-lahan diarahkan kepada paderi itu. Aneh sekali gerakan Siau-liong itu. Seperti menghantam tetapi pun seperti menutuk. Seperti mencengkeram tetapi pun seperti menampar. Suatu gerakan tangan yang memungkinkan seribu akibat.

"Budak! Gerakanmu itu hanya gertakan kosong, masakan engkau mampu mengelabuhi aku!" seru paderi Kim-ting tertawa. Ia tak mau bergerak sama sekali dari tempatnya dan seolah-olah tak mengacuhkan tangan Siau-liong.

Siau-liong terkejut. Ia heran mengapa lawan tahu gerak serangannya itu kosong. Tetapi secepat kilat ia terus gerakkan tangan kanan dengan jurus Hun-hoa-hud-liu untuk mencengkeram siku lengan kiri dari paderi itu.

Namun paderi itu tetap tertawa lepas dan tak mau bergerak dari tempatnya berdiri.

Diam-diam Siau-liong girang. Ia tambahi tenaga dalam pada tangan kanan untuk mencengkeram lengan si paderi. Pikirnya, “Karena engkau tak mau menghindar dan menangkis, rupanya Tuhan memang menghendaki aku menang!"

Tetapi alangkah kejutnya ketika ia merasa tentu dapat mencengkeram tangan orang, tiba-tiba entah bagaimana. ia mencengkeram angin kosong. Jangankan siku lengan, bahkan ujung baju paderi itupun tak mampu dijamahnya.

Dan ketika memandang kemuka, dilihatnya paderi kurus itu masih tegak di tempatnya. Tampaknya ia tak berkisar sama sekali.

Kejut Siau-liong bukan kepalang, pikirnya, “Adakah paderi ini menggunakan ilmu setan?"

Tengah ia terlongong, tiba-tiba paderi sakti itu tertawa, “Menyerang dengan dahsyat, termasuk ilmu tingkat rendah....!"

Berhenti sejenak ia berkata pula, “Budak, adakah begitu jelek engkau mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang itu?"

Siau-liong tersipu malu. Diam-diam ia makin terkejut dan menyadari bahwa yang dihadapinya itu benar-benar seorang paderi yang berilmu tinggi. Jelas pertempuran itu nanti sia-sia belaka.

Tetapi ucapan paderi itu menyadarkan Siau-liong akan beberapa kenyataan. Bahwa selama digodok dalam gua dengan hawa dingin panas. ia berhasil memecahkan beberapa pelajaran sulit dalam kitab Thian-kong-pit-kip.

Walaupun ilmu tersebut kebanyakan tergolong pada ilmu Nafas dan tampaknya tiada hubungannya dengan ilmu pukulan dan tutukan, tetapi otak Siau-liong yang cerdas segera dapat menyadari.

Thian-kong-sin-kang adalah suatu ilmu ajaran yang mengutamakan Sin (semangat). Bahwa selama dalam gua tadi dengan susah payah ia berhasil memahami pelajaran-pelajaran tentang Semangat, Hati, Keinginan, Pikiran, Gerakan, Ketenangan, Kosong dan Isi. Mengapa saat itu ia tak menggunakan apa yang diketahui itu? Siapa tahu kemungkinan hal itu merupakan inti dari pelajaran Thian-kong-sin-kang.

Maka tersenyumlah ia berkata, “Harap losiansu jangan menertawakan, berhati-hatilah!"

Pada saat itu ia tetap bergerak dalam jurus Hun-hua-hud-liu untuk mencengkeram pergelangan tangan kiri paderi Kim-ting.

Tiba-tiba paderi Kim-ting tertawa gelak-gelak, “Ho-la! Thian-kong-sin-kang memang benar-benar bukan ilmu picisan!"

Siau-liong terkejut sekali. Baru pikirannya merencanakan untuk mengembangkan Semangat, Hati, Keinginan, Pikiran dan lain-lain dalam jurus Hun-hua-hud-liu, tahu-tahu lengan kanan paderi itu telah dapat dicengkeramnya.

Ia benar-benar tak menyadari bahwa lupa kalau sedang bergerak dalam jurus itu. Karena tercengang kejut ia sampai lupa untuk menggunakan tenaga menggenggam lengan orang.

Paderi Kim-ting tertawa. Lengan kirinya tiba-tiba memancar tenaga dalam sehingga separuh tubuh Siau-liong terasa kesemutan dan tangan kanannya terlempar gemetar. Tangannya itu serasa diborgol dengan rantai. Kiranya paderi King Ting balas mencengkeram pergelangan tangannya.

“Ho, dari kalah jadi menang!" paderi itu tertawa keras.

Siau-liong terkejut. Cepat ia kerahkan tenaga dalam ke arah pergelangan tangan. Tetapi walau pun kelima jari paderi itu amat kurus sekali, namun kuatnya tak kalah dengan baja. Karena Siau-liong menggempur dengan tenaga dalam, tenaga dalam itu terhalau balik dan hampir saja menghancurkan isi dadanya sendiri.

"Habislah riwayatku sekarang!" diam-diam Siau-liong menghela napas.

Tiba-tiba paderi itu membentaknya, “Goblok! Apakah engkau tak tahu apa yang disebut Menyerang untuk menindas serangan? Adakah ilmu dasar itu tak dapat engkau gunakan?"

Serentak Siau-liong seperti orang yang dibangunkan dari mimpi. Ia mengeluh dalam hati mengapa tak ingat akan cara itu. Maka cepat ia rentangkan kelima jari kiri dan menutuk dada lawan. Gerakan itu berlangsung serempak dengan Angan-angannya. Benar-benar suatu perpaduan antara keinginan dan Gerakan tangan.

Karena terdesak, paderi Kim-ting terpaksa miringkan tubuh. Tetapi secepat itu kelima jari Siau-liong pun ditarik mundur lalu dirobah untuk memapas pergelangan tangan si paderi.

Paderi Kim-ting tertawa gelak-gelak. Ia lepaskan tangan kirinya lalu mundur tiga langkah, serunya, “Bahan yang boleh dijadikan!"

Siau-liong tertegun.

Ia merenungkan pertempurannya lawan paderi Kim-ting itu. Begitu bergebrak sudah dikuasai paderi itu. Bila paderi itu tak memberi petunjuk, mungkin ia tentu sudah kalah.

Tiba-tiba paderi itu berkata pula, “Walaupun tak pernah berkelana di dunia persilatan tetapi kupercaya ilmuku Ih-ka-sin-kang itu pasti tak ada orang yang mampu bertahan sampai tiga jurus. Menilik usiamu yang masih muda tetapi mampu bertanding seri dengan aku, engkau benar tak mengecewakan dirimu sebagai pewaris Thian-kong-sin-kang.......”

Sejenak mengicup mata, paderi itu melanjutkan pula, “Karena belum tahu menang atau kalah, kali ini kulanggar peraturan untuk memberi ampun kepadamu. Tetapi jangan harap engkau mampu mendapat katak mustika itu....! lekas keluar dari gua ini!"

Siau-liong malah maju selangkah lalu berlutut di hadapan paderi itu, “"Sungguh mataku tak dapat melihat gunung Thaysan. Bila perbuatanku tadi ada yang kurang ajar, harap losiansu sudi maafkan....”

Saat itu ia telah menyadari tujuan paderi Kim-ting yang baik. Sambil memaki dirinya yang tolol, ia melanjutkan ucapannya menghaturkan terima kasihnya, “Atas petunjuk yang locianpwe berikan, wanpwe.....,"

"Engkau keluar sendiri atau harus kuhalaumu?" tukas paderi sakti itu dengan wajah beku.

Siau-liong tertegun, sahutnya, “Biarlah aku pergi sendiri! Tetapi....” — ia pelahan-lahan berbangkit, serunya, “Barang bekalku yang diambil oleh kedua sian-tong tadi, harap locianpwe suka mengembalikan!"

"Masakan aku sudi mengambil barangmu!" bentak paderi itu dengan marah seraya ayunkan tangannya.

Saat itu Siau-liong sudah tak punya prasangka jelek kepada paderi Kim-ting. Dan pukulan paderi itu sama sekali tak mengeluarkan suara.

Pada saat Siau-liong terkejut, tubuhnya sudah dilanda oleh gelombang tenaga dahsyat. Untunglah tenaga itu amat lunak sehingga tak melukai tubuh Siau-liong. Sekalipun begitu Siau-liong terpental sampai lima enam tombak jauhnya. Ketika ia berdiri tegak barulah menyadari bahwa dirinya sudah berada di luar gua.

Kedua bocah baju biru dan putih, melesat keluar gua. Dengan pandang dingin mereka menatap Siau-liong sejenak lalu menekan tepi pintu gua. Terdengar bunyi berderak-derak dan dari kedua tepi, meluncurlah sekeping pintu batu, menutup gua rapat-rapat.

Siau-liong menghela napas panjang. Ia tegak terlongong-longong. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya lembut, “Siau-liong! Siau....”

Siau-liong terkejut dan berpaling. Ketika memandang seksama, kejutnya bukan kepalang.

Tampak si dara Song Ling tegak di sampingnya sambil menatap dengan pandang bertanya. Sedang Kakek Mata-satu masih duduk dua tombak jauhnya dari pintu gua, tersenyum-senyum tak berkata apa-apa.

Bertanya Siau-liong gopoh, “Nona Song, bagaimana dengan Ceng Hi totiang dan rombongannya. Saat ini....”

Song Ling menunjuk ke sebelah jauh, “Mereka berada disana!"

Sambil memandang ke arah yang ditunjuk si dara, Siau-liong bertanya pula, “Apakah mereka tak bertempur lawan kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia?"

Song Ling gelengkan kepala, “Agaknya tidak....” — kemudian dara itu bertanya, “Bagaimana dengan katak berkaki-tiga? Apakah sudah engkau peroleh?"

Siau-liong menghela napas, “Ah, paderi itu memang berwatak aneh sekali, sukar diraba hatinya....”

Dalam pada berkata-kata itu, ia sudah tiba dihadapan si Kakek Mata-satu. Ia lalu menuturkan semua pengalaman yang dialaminya.

Song Ling kerutkan batang hidung, “Kalau begitu, paderi itu memang tak dapat diajak berunding dengan baik-baik. Dia tak mau memberikan katak mustika itu sih tak apa. Tetapi mengapa masih menahan barang-barang orang dan menyiksa orang begitu rupa....!"
62. Topeng Pendekar Laknat

Kemudian dengan pandang menggeram, dara itu berpaling ke arah kakek gurunya, “Bukankah sucou mengatakan sering mengunjungi dan bermain catur dengannya? Mengapa sucou tak menemuinya dan mendampratnya!"

Siau-liong tertawa, “Tetapi paderi sakti itu memang tak kecewa sebagai seorang paderi yang luhur. Walaupun aku disiksa setengah hari dijebloskan dalam gua, tetapi aku memperoleh manfaat yang tak sedikit!"

"Apakah dia memberi petunjuk ilmu silat kepadamu?" tanya Kakek Mata-satu.

Siau-liong mengangguk, “Boleh dianggap begitulah."

"Apakah sekarang kamu merasa akan mampu menghadapi keroyokan keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu?"

"Ini.... ini aku tak berani memastikan. Dan lagi....” Siau-liong banting kaki menghela napas,

“Dan lagi, guruku dan lain-lain tokoh masih dikuasai kedua suami isteri iblis itu. Bahkan obat-obatan dan resep-resep berharga pemberian guruku juga turut hilang. Sekalipun aku dapat melawan keempat pewaris ilmu sakti itu, tetapi apa gunanya? Apakah suruh aku menjadi seorang murid yang mencelakai guru?

Habis berkata hidungnyapun lembab, beberapa air mata menitik turun.

Song Lingpun dengan cemas memegang ujung baju kakek gurunya, “Cousu-ya, harap engkau lekas mencari daya! Apakah engkau benar-benar tak memikirkan nasib ibuku?"

Kakek Mata-satu itu mengelus-elus bahu si dara seraya menghiburnya, “Nak, jangan ributlah...."

Kemudian memandang ke langit, kakek mata satu itu melanjutkan,

“Sekarang hari masih pagi. Walaupun kedua iblis itu hendak mengadakan rencana apa saja, tetapi tentu akan menunggu sampai tengah malam. Baiklah kita tunggu saja bagaimana perkembangannya nanti. Kurasa paderi kurus itu tentu tak berhenti sampai disini. Mungkin....” — ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang dan berdiam diri.

Sepasang mata dara itu berkaca-kaca dan sandarkan kepalanya pada bahu kakek gurunya.

Saat itu matahari sudah condong ke barat Siau-liong mempertajam pendengarannya. Dari atas puncak Kim-ting, terdengar suara batu berdebak-debuk berjatuhan tetapi tak terdengar suara orang.

Beberapa saat kemudian, bertanyalah Siau-liong dengan heran, “Sedang sibuk apakah Ceng Hi totiang dan rombongannya itu?"

"Sedang sibuk membuat panggung yang akan dipergunakan Iblis Penakluk-dunia untuk mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai pemimpin dunia persiatan!" sahut Kakek Mata-satu.

Siau-liong terkejut, “Apakah Ceng Hi totiang takut mati sehingga rela diperbudak kedua iblis itu?"

Kakek Mata-satu tertawa, “Justeru kebalikannya! Tindakan Ceng Hi totiang itu hanya sebagai siasat untuk menunggu bala bantuan....” — kemudian menatap dengan pandang rawan ke arah Siau-liong, Kakek Mata-satu berkata pula,

“Mereka telah melihat engkau masuk ke dalam gua maka seluruh harapan mereka tertumpah padamu. Yang mereka harapkan sebagai bala bantuan tak lain ialah engkau dapat mengajak paderi Kim-ting itu keluar dari guanya!"

Siau-liong menghela napas, “Kalau begitu yang mereka harapkan, akan sia-sia saja harapan mereka! Sedang katak berkaki-tiga saja dia tak mau memberikan apalagi disuruh keluar membantu!"

Kakek Mata satu tetap tertawa, “Walaupun dengan cara menyiksa dirimu itu memang agak keterlaluan tetapi hal itu dapat membuatmu dalam waktu yang singkat, mengetahui pelajaran-pelajaran yang sukar dalam kitab Thian-kong-pit-kip. Bukankah itu berarti dia sudah memberi bantuan?"

Siau-liong terbeliak kaget. Diam-diam ia mengakui ucapan kakek buta itu memang tepat. Dipandangnya kakek itu tanpa berkata apa-apa. Tetapi dalam hati, penuhlah tanda tanya yang beraneka macamnya.

Tiba-tiba terdengar suara berderak-derak. Siau-liong terkejut dan buru-buru memperhatikan ke arah gua. Pintu gua yang tadi menutup rapat, tiba-tiba berderak-derak terbuka pelahan-lahan.

"Kutahu paderi kurus itu bukan manusia yang temaha pada harta orang. Cobalah lihat tuh!” Kakek Mata satu tersenyum.

Kedua bocah baju biru dan putih membawa beberapa barang dan dengan tersenyum simpul melangkah ke tempat Kakek Mata-satu.

Bukan kepalang kejut Siau-liong saat itu. Yang dibawa kedua bocah itu bukan lain adalah barang-barang miliknya ialah alat penyamaran sebagai Pendekar Laknat.

Jelas kedua bocah itu telah membuka buntalannya dan mengeluarkan topeng berwajah Pendekar Laknat dengan rambut palsu, sepasang alis tebal dan sebuah hidung merah. Topeng berwajah Pendekar Laknat yang seram itu dibawa oleh si bocah baju biru.

Begitu tiba di depan Siau-liong, kedua bocah itu lalu lemparkan benda itu sepotong demi sepotong, serunya, “Cobalah cacahkan, apakah ada yang kurang?"

Sambil membawa topeng Pendekar Laknat, bertanyalah bocah baju biru, “Perlu apa engkau membawa benda begini macam? Apakah engkau hendak menyaru jadi setan untuk menakuti orang?"

Siau-liong cepat merebut topeng itu, jawabnya, “Mengapa engkau berani sembarangan memeriksa buntelan bekalku?"

Bocah baju biru terkesiap, serunya gopoh, “Sebuah topeng setan macam itu, siapa sudi mengambilnya!"

Siau-liong tahu bahwa si dara Song Ling benci setengah mati kepada Pendekar Laknat. Apabila topeng itu sampai diketahui Song Ling tentu akan menimbulkan pertanyaan yang runyam. Maka cepat-cepat ia segera membungkusnya lagi.

Tetapi terlambat. Song Ling sudah melihat semua. Cepat ia melengking, “Apa itu?"

Siau-liong tertawa meringis, “Tidak apa-apa! Hanya barang permainanku dahulu!"

“Berikan padaku!" bentak Song Ling, seraya terus merebutnya.

Siau-liong tak dapat berbuat apa-apa kecuali membiarkan benda itu direbut si dara.

“Rebutlah sepuas hatimu! Masakan benda macam muka setan begini, hendak kalian rebutkan?" bocah baju biru tertawa mengikik.

Sebaliknya bocah baju putih berkata kepada Kakek Mata-satu, “Suhu tahu kalau engkau tentu sibuk hari ini maka beliau tak mau mengundangmu bermain catur!"

“Benar," sahut Kakek Mata-satu, “aku harus menemaninya bermain-main sehari penuh. Sampaikan terima kasihku kepadanya!"

Setelah saling bertukar pandang, kedua bocah itu segera minta diri.

Karena topeng Pendekar Laknat direbut Song Ling, hati Siau-liong gelisah resah. Selekas kedua bocah itu pergi, buru-buru ia memeriksa obat-obat pemberian gurunya, Kongsun Sin-tho.

Ia terkejut melihat bungkusan obat itu menyurut kecil sekali. Tentulah sudah dibuka orang. Dan lebih terkejut pula ketika ia membuka bungkusan itu. Obat-obat pemberian gurunya telah lenyap semua.

Dan pada buntelan itu hanya terisi sebuah ho-lou atau buli-buli berwarna kuning emas. Dalam buli-buli itu berisi duapuluh butir pil warna hitam.

Dari kaget, berobahlah hati Siau-liong menjadi rasa girang yang tak terkira. Sambil memegang buli-buli pil itu, ia berseru tersendat-sendat, “Ini.... ini....” - walaupun hatinya dapat menduga tetapi ia tak berani mengatakan dengan pasti.

Kakek Mata satu tertawa, serunya, “Paderi seorang paderi luhur. Tak mungkin ia sampai hati melihat keadaan ini. Pil itu tentu pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan yang dibuatnya untuk diberikan kepadamu!"

Sambil memandang ke arah gua yang pintunya sudah tertutup lagi, Siau-liong menyatakan hendak menghaturkan terima kasih kepada paderi itu. Tetapi Kakek Mata-satu menertawakannya,

“Sejak kecil dia sudah masuk menjadi paderi. Dan saat ini dia sudah tak mau campur tangan urusan duniawi lagi. Perlu apa engkau menghaturkan terima kasih kepadanya?"

Memandang kepada kakek itu, diam-diam Siau-liong membenarkan. Katanya dalam hati, “Ya, benar, paderi Kim-ting itu sudah tak menghiraukan urusan dunia lagi. Percuma menghaturkan terima kasih kepadanya. Lalu bagaimana caraku membalas budi kepadanya?"

Berkata pula Kakek Mata-satu, “Paderi tua itu paling gemar bermain catur. Jika senggang akan kutemani dia bermain catur dan akan kukatakan kepadanya bahwa aku mewakili engkau untuk membalas budinya. Tetapi....” — tiba-tiba ia berhenti sejenak lalu tertawa, “Aku mempunyai sebuah urusan yang hendak kuminta engkau meluluskan lebih dulu."

"Apapan juga, harap locianpwe bilang. Asal mampu melakukan, tentu akan kukerjakan sekali pun harus masuk ke dalam lautan api!"

"Ah, tak begitu serius. Soal itu....," Kakek Mata-satu tertawa penuh arti, "pokoknya tentu membawa kebaikan kepadamu. Tak perlu harus menerjang lautan api karena cukup aman."

"Soal apakah itu?" Siau-liong makin heran.

Kakek itu gelengkan kepala tertawa, “Rahasia alam tak boleh dibocorkan. Yang penting engkau mau meluluskan atau tidak?"

Siau-liong memandang kakek itu makin tak mengerti, “Bilakah locianpwe menghendaki aku melakukan hal itu?"

"Paling cepat pun nanti setelah kedua suami isteri iblis itu sudah terbasmi!"

Siau-liong mengangguk dan menyatakan persetujuannya.

Dengan wajah mengerut serius, Kakek Mata-satu itu berkata, “Pernyataan dengan mulut, tiada jaminannya. Harap engkau mengangkat sumpah!"

Tanpa banyak keraguan lagi Siau-liong terus mengikrarkan sumpah, “Apabila aku menyesal atas apa yang kusetujui itu, biarlah aku mati ditumpas Allah!"

"Bagus!" Kakek Mata-satu tertawa, "sumpah itu cukup gawat dan dapat dipercaya!"

Siau-liong tak menghiraukan hal itu. Ia percaya Kakek Mata-satu itu tentu bermaksud baik kepadanya. Apalagi hal itu baru dilaksanakan setelah Iblis Penakluk-dunia terbasmi.

Saat itu Siau-liong teringat akan si dara.

Ketika melirik kesamping, dilihatnya Song Ling masih memandang topeng Pendekar Laknat dengan penuh perhatian dan kegeraman. Begitu Siau-liong melirik ke arahnya, cepat dara itu membuang topeng dan melengking, “Mengapa engkau memiliki benda ini? Apakah hubunganmu dengan Pendekar Laknat?"

"Aku....” Siau-liong gugup.

Song Ling deliki mata dan menuding Siau-liong dengan marah, “Apakah engkau muridnya?"

Siau-liong gelengkan kepala menghela napas, “Aku bukan muridnya, dan lagi....”

Song Ling melonjak dan meraung-raung seperti singa betina yang kehilangan anak, “Bagus! Engkau ternyata mengakui, engkau.... engkau.... ah, mataku sungguh buta!"

Habis menumpahkan kemarahannya, dara itu terus menangis gerung-gerung.

Siau-liong gopoh tetapi tak dapat berbuat apa-apa. Setelah dara itu berhenti menangis, barulah ia coba menghibur, “Nona, Pendekar Laknat sudah meninggal....”

Song Ling terbeliak tetapi cepat mendengus dingin, “Ngaco! Kapankah dia meninggal?"

Siau-liong menghela napas, “Dia sudah meninggal di dalam Lembah Penasaran di gunung Hong-san. Sama sekali dia tak pernah muncul di dunia persilatan lagi......" — ia berhenti meragu sejenak lalu melanjutkan, “Yang muncul sebagai Pendekar Laknat di dunia persilatan itu sesungguhnya adalah aku sendiri....”

“Kalau begitu yang bertempur dengan aku di lembah Mati dulu itu, juga engkau?"

Siau-liong mengiakan, “Ya, aku terpaksa melakukan hal itu, harap nona maafkan."

Song Ling duduk lagi seraya bertanya, “Apa perlumu engkau melakukan hal itu?"

“Ah, panjang sekali kalau diceritakan," Siau-liong menghela napas, "pokoknya, walaupun aku dan dia tak mempunyai ikatan sebagai guru dan murid tetapi dalam kenyataan aku telah menerima pelajarannya. Jika dia tak mengorbankan hawa murninya selama berpuluh tahun untuk memberi penyaluran kepada tubuhku, tentulah aku sudah mati dalam Laut Penasaran itu. Dan jika dia tak menyalurkan tenaga murninya itu kepadaku, tentu belum meninggal....”

Siau-liong berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Dan lagi walaupun dia disohorkan orang sebagai manusia laknat yang ganas, tetapi menurut pengamatanku, sebenarnya dia seorang tua yang berbudi luhur, seorang tua yang kesunyian hidupnya!"

Sambil bercucuran airmata, Song Ling bertanya, “Tahukah engkau bahwa dia itu manusia yang membunuh ayahku?"

Siau-liong menghela napas.

“Bagaimana beliau mengikat permusuhan dengan nona, aku tak tahu. Tetapi aku selalu membedakan budi dan dendam. Pendekar Laknat telah melepas budi besar kepadaku. Sudah tentu aku wajib membalasnya. Tindakanku menyamar sebagai Pendekar Laknat, tak lain karena hendak memulihkan nama baik beliau dalam dunia persilatan. Agar beliau mendapat perindahan dan penghormatan dari kaum persilatan."

Tiba tiba Song Ling berbangkit, bentaknya, “Engkau hendak membalas budi dan aku hendak membalas dendam! Oleh karena Pendekar Laknat sudah mati, maka perhitungan itu akan kuminta kepadamu!"

Habis berkata nona itu terus mengangkat tangan hendak memukul. Melihat itu Kakek Mata-satu cepat ulurkan tangan melerai, “Ah, perlu apa harus begitu?"

Sesungguhnya Song Ling tak bermaksud memukul Siau-liong. Adalah karena menumpahkan kegeramannnya maka ia sampai marah begitu rupa. Setelah dicegah Kakek Mata-satu, cepat ia menarik pulang tangannya dan menangis tersedu-sedu.

Kakek itu menghela napas panjang, ujarnya: “Karena Pendekar Laknat sudah mati maka dendam permusuhannya pun sudah habis....”

Kemudian menunjuk pada Siau-liong, kakek itu melanjutkan pula, “Bahwa anak itu hendak membalas budi Pendekar Laknat, sungguh langkah yang patut dipuji....”

"Apa yang patut dipuji . ,....” dengus Song Ling.

Kakek Mata-satu tertawa, “Nak, apakah engkau suka kalau dia menjadi seorang manusia yang tak tahu membalas budi!"

Song Ling balikkan kelopak matanya, “Apa sangkut paut diriku dengan dia. Mulai saat ini, aku takkan memperdulikannya lagi!"

Dara itu terus palingkan muka.

Kakek Mata-satu hanya geleng-geleng kepala. Katanya pula, “Tentang hubungan ibumu dengan Pendekar Laknat dahulu, mungkin engkau belum jelas. Maukah engkau mendengar ceritaku?"

Song Ling terdiam sejenak lalu berseru, “Ceritakanlah!"

Dengan permusuhan antara Randa Bu-san dengan Pendekar Laknat dan bagaimana ayah Song Ling sampai mati ditangan Pendekar Laknat. memang ingin sekali diketahui Siau-liong.... Maka pemuda itu mendengarkan cerita si kakek dengan penuh perhatian.

Setelah batuk-batuk sebentar, kakek Mata-satu itu berkata kepada Song Ling, “Dahulu ibumu itu seorang anak sebatang kara yang dibuang oleh orang tuanya. Saat itu ia baru berumur tiga tahun dan menderita sakit keras seorang diri ditinggalkan dalam hutan....

Song Ling kerutkan alis dan cepat menyelutuk, “Kakek, jangan mengibuli aku!"

Mata si kakek yang tinggal satu itu mendelik, "Masakan aku sampai hati membohongi engkau!"

Song Ling tertegun, lalu tundukkan kepala.

Kemudian kakek Mata-satu pun melanjutkan ceritanya lagi.

"Pada waktu itu kebelulan Pendekar Laknat lewat di hutan situ. Ia tak sampai hati melihat seorang anak perempuan kecil terkapar diantara gunduk batu dalam keadaan menderita sakit parah. Diambilnya anak itu pulang. Keadaan ibumu saat itu benar-benar amat parah sekali. Hidupnya yang menderita kekurangan dan penyakit yang diidapnya begitu parah, lalu dibuang dalam hutan beberapa hari tak makan tak minum, didera hujan dan angin. menyebabkan ibumu tak mungkin ditolong jiwanya lagi....”

Kakek itu berhenti menghela napas.

"Melihat anak itu sudah meregang jiwa tetapi masih bernapas, Pendekar Laknat membawanya ke gunung Kun-lun yang jauh, untuk minta obat kepada Se Hong sanjin, seorang tabib sakti. Tetapi sungguh sial. Tabib itu sedang berkelana keluar, sehingga Pendekar Laknat tak dapat berjumpa. Ibumu benar-benar sudah tiada harapan tertolong lagi. Tetapi sekali pun begini, Pendekar Laknat tetap tak sampai hati untuk membuangnya. Sambil membopongnya, ia mondar mandir menghela napas panjang pendek....”

Song Ling rentangkan sepasang biji mata dan bertanya, “Kakek! Mengapa engkau tahu keadaan ibuku begitu jelas?"

Kakek Mata-satu itu tersenyum, sahutnya, "Karena pada saat itulah aku berjumpa dengan mereka....”

Mata si kakek tampak berkilat-kilat seperti mengenangkan peristiwa itu. Lalu ia melanjutkan pula.

"Walaupun aku tak mengerti ilmu pengobatan, tetapi kebetulan aku masih mempunyai pil Kiu-cwan-koh-wan-tan pemberian si Tabib-sakti Se Hong sanjin. Atas permintaan Pendekar Laknat, kuberikan kepadanya sebutir pil itu. Karena belum takdirnya mati, setelah minum pil itu, ibumu pun sembuh. Pendekar Laknat lalu membawanya pulang ke Hong-san.

Karena wajahnya yang buruk dan menyeramkan maka Pendekar Laknat mengasingkan diri di gunung dan tak mau bergaul dalam masyarakat ramai. Beberapa tahun kamudian dalam asuhan dan rawatan Pendekar Laknat, anak perempuan itu cepat tumbuh dewasa. Beberapa belas tahun kemudian, anak itu sudah menjadi seorang gadis yang berumur duapuluhan tahun.

Dalam masa yang begitu panjang itu, dari seorang anak perempuan yang tak tahu apa-apa, ibumu telah menjadi seorang gadis dewasa. Tetapi dia hidup dalam lingkungan alam pegunungan yang berpenghuni pohon dan binatang.

Satu-satunya manusia yang menjadi teman pergaulannya hanya Pendekar Laknat. Dalam pandangan ibumu, wajah buruk dari Pendekar Laknat itu tidak menyeramkan karena sudah biasa. Sejak kecil ia melayani Pendekar Laknat dan menganggapnya manusia biasa seperti dirinya.

Bermula mereka hidup sebagai ayah dan anak. Umur Pendekar Laknat lebih tua 30 tahun. Tetapi ketika ibumu berumur duapuluh tahun, hubungan merekapun mengalami perobahan ....”

Kakek Mata-satu berhenti sejenak, menghela napas. Lalu melanjutkan ceritanya lagi.

"Soal itu aku berani mengatakan pasti tentang diri Pendekar Laknat. Sekalipun ibumu merobah pandangannya kepada Pendekar Laknat, dari ikatan ayah dan anak menjadi cinta kasih wanita dan pria, tetapi selama itu Pendekar Laknat tetap tak mau melanggar garis-garis terlarang....”

Kembali kakek Mata-satu itu berhenti dan menghela napas rawan.

"Mereka hidup dalam kesunyian dan ketenangan. Tetapi mereka merasa bahagia. Tiap hari mereka selalu berburu burung, mencari ikan. Hari-hari dilewati dengan penuh kegembiraan. Sampai pada akhirnya, Pendekar Laknat telah melakukan suatu tindakan yang salah....”

"Tindakan apa?" karena tak sabar lagi, Song Ling cepat bertanya.

"Tidak seharusnya Pendekar Laknat membawa ibumu melihat-lihat ke kota! Mungkin karena hendak mengambil hati ibumu supaya senang, atau mungkin karena lain sebab, maka Pendekar Laknat membawa ibumu turun ke dunia persilatan.

Sebagai seorang gadis yang tak pernah bergaul dengan orang, segala yang dilihat dan dijumpai, selalu membuat ibumu heran. Kemudian ia menyadari bahwa dunia ini ternyata amat luas dan ramai.

Sejak itu, pandangan ibumu terhadap Pendekar Laknatpun berobah. Mereka sering cekcok dan bertengkar.

Sampai pada suatu hari, ibumu telah mengenal seorang pemuda she Song dan kedua saling jatuh....”

Kembali kakek Mata-satu berhenti seraya geleng-gelengkan kepala.

"Apakah dia.... ayahku....” Song Ling berseru gopoh.
63. Serbuan Empat Tokoh Sakti

"Benar," sahut Kakek Mata-satu, "pemuda she Song itu adalah ayahmu. Ibumu memutuskan untuk meninggalkan Pendekar Laknat dan lari bersama pemuda itu.

Sekalipun Pendekar Laknat amat berduka atas peristiwa itu, tetapi dia dapat memaafkan ibumu. Dia menyadari bahwa hal itu memang tak dapat dicegah lagi. Maka ia tak mau mengejar dan lalu pulang ke gunung Hong-san.

Sejak itu ia hidup dirundung duka. Walaupun ia dapat memaafkan ibumu, tetapi ia tetap tak dapat melupakan kenangan hari-hari yang bahagia bersama ibumu. Sejak itu ia menjadi manusia pembenci dunia. Dia benci kepada seluruh manusia di dunia ini.

Dua puluh tahun yang lalu, muncullah keempat momok Thian, Te, Liong, Hou atau Iblis Penakluk-dunia, Dewi Neraka, Harimau Iblis dan Naga Terkutuk. Dunia persilatan dilanda banjir darah.

Mendengar itu, Pendekar Laknat pun turun gunung dan melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu. Baik tokoh golongan Putih maupun Hitam, dibunuhnya semua. Karena tindakannya yang ganas itu, maka oleh kaum persilatan, mereka dijuluki sebagai Lima Durjana.

Sebenarnya, hanya suatu fitnah belaka bahwa Pendekar Laknat itu, membunuh secara membabi buta tanpa pandang bulu. Karena sesungguhnya yang dibunuh itu kebanyakan hanya kaum persilatan yang bejat moralnya.

Dan selama itu tak pernah ia bergabung dengan keempat momok itu.

Kemudian tampillah Ceng Hi totiang memimpin barisan orang gagah untuk menghalau Iblis Penakluk-dunia dan gerombolannya itu dari Tionggoan. Sejak itu, Pendekar Laknatpun pulang ke gunung Hong-san lagi.

Dua tahun kemudian pada pertengahan musim rontok, ibumu dan pemuda Song itu telah menikah. Entah bagaimana, kedua suami isteri itu membawa puterinya yang masih bayi ialah engkau, menjenguk Pendekar Laknat di gunung Hong-san.

Sebagai anak yang telah dirawat sejak kecil ibumu memang masih mempunyai ikatan batin kepada Pendekar Laknat sebagai ayah. Walaupun sudah menikah dengan lain orang namun ia masih tetap terkenang akan orang tua yang hidup sepi seorang diri di gunung itu.

Maka diajaknyalah sang suami dan puterinya untuk menyambangi orang tua itu. Ia ingin menghibur orang tua yang telah melepas budi besar kepadanya.

Tetapi kunjungan yang bermaksud baik itu telah menimbulkan peristiwa yang menyedihkan.

Saat itu watak Pendekar Laknat memang sudah berobah. Dari seorang tua yang sabar dan murung dia telah menjadi seorang manusia yang pemarah dan gemar membunuh.

Dia menafsirkan kedatangan ibumu bersama suaminya itu sebagai suatu tindakan untuk mengejeknya. Apalagi ayahmu yang masih muda itu memang berhati tinggi dan angkuh.

Setitik pun dia tak memandang hormat kepada Pendekar Laknat. Dalam percakapan, timbullah salah paham dan karena sama ngototnya, mereka segera berkelahi....”

Kakek Mata-satu menghela napas, berdiam diri.

“Begitulah Pendekar Laknat lalu membunuh ayahku?" tanya si dara.

Kakek Mata-satu mengangguk pelahan.

“Jika Pendekar Laknat benar-benar sayang pada ibuku, tak seharusnya ia membunuh ayahku!" Song Ling menggeram pula.

Namun nadanya agak berkurang bencinya kepada Pendekar Laknat.

Kakek itu menghela napas, “Aku berani mengatakan, bahwa semula pendekar Laknat memang tiada maksud untuk membunuh ayahmu. Hal itu lebih cenderung kalau kesalahan tangan saja.

Tetapi ibumu marah sekali dan seketika itu juga ia pergi dan bersumpah akan melakukan pembalasan. Sejak itu berulang kali ia menantang Pendekar Laknat supaya datang kepuncak Hong-san pada hari Tiong-jiu (pertengahan musim rontok) untuk menyelesaikan hutang darah itu. Tetapi Pendekar Laknat tak pernah datang! Dan pada tahun kematian suaminya itu, ibumu datang berguru kepadaku!"

Selesai mendengar cerita kakek gurunya, Song Ling menutup matanya dengan kedua tangan dan menangis tersedu sedan.

Siau-liong juga tergerak hatinya. Timbul rasa perindahannya kepada Pendekar Laknat. Tanpa disadari, ia telah mengenakan topeng Pendekar Laknat itu kemukanya.

Song Ling tak berkata apa-apa. Tiba-tiba dilihatnya Siau-liong memakai topeng Pendekar Laknat. Seketika ia tertawa dan berseru, “Huh, seram sekali!"

Siau-liong hanya tersenyum. Saat itu ia telah menyimpan pil pemberian paderi Kim-ting ke dalam bajunya. Dapat atau tidaknya ia menolong para tokoh-tokoh yang ditawan Iblis Penakluk-dunia itu, nanti malam akan ketahuan hasilnya.

Saat itu sudah petang hari. Suasana dalam hutan pun makin sunyi dan menyeramkan. Tiba-tiba kakek Mata-satu berkata kepada Siau-liong,

“Saatnya sudah hampir tiba, Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka itu....” — tiba-tiba kata-katanya terhenti oleh suara tertawa nyaring yang bergelombang di udara.

Ah, itulah suara tertawa si Iblis Penakluk-dunia. Nyata dia sudah kembali ke puncak Kim-ting lagi.

Siau-liong menjurah di hadapan kakek Mata-satu dan berkata, “Musuh sudah menampakkan diri, untuk sementara ini terpaksa wanpwe hendak minta diri."

Song Ling pun juga berbangkit dan berkala gopoh, “Cousu-ya, mohon Cousu-ya suka membantunya menolong ibuku!"

Kakek Mata-satu menarik tangan Song Ling: "Saatnya belum tiba, untuk sementara ini lebih baik kita menunggu saja bagaimana perobahannya ....." — Lalu ia berkata kepada Siau-liong,

“Bertindaklah menurut gelagat. Jangan mengandalkan keberanian semata-mata lalu bertindak menurutkan kehendak kemarahan. Pergilah!"

Siau-liong mengiakan lalu loncat kemuka dan lari mendaki ke puncak Kim-ting.

”Apakah dia mampu menolong ibuku dan tokoh-tokoh itu?" tanya Song Ling dikala mengantar kepergian Siau-liong dengan pandang mata harap-harap cemas.

"Dia seorang pemuda yang berani, sakti dan pandai menyesuaikan diri," sahut kakek Mata-satu, “diapun telah menyadari betapa gawatnya peristiwa ini. Rasanya dia tentu dapat bertindak hati-hati dan berhasil menunaikan tugasnya."

"Mengapa kakek tak ikut menyertainya? Bukankah dia akan merasa lebih kuat?" tanya si dara pula.

"Ah, tampaknya memang begitu. Tetapi sesungguhnya dia akan dapat bertindak lebih leluasa apabila pergi seorang diri. Dengan kusertai, mungkin musuh cepat dapat mengetahui jejak kita."

"Bagaimana kalau dia gagal?" kata si dara pula dengan resah.

"Kita hanya dapat berusaha dan tak dapat memastikan kalau berhasil. Namun setiap perbuatan baik, tentu diberkahi Allah. Ah, sudahlah, kita tunggu saja bagaimana perkembangannya!"

Y

Saat itu Cong Hi totiang dan rombongan yang berada dipuncak Kim-ting, gelisah resah pikirannya.

Walaupun Soh-beng Ki-su berulang kali mendesak supaya cepat-cepat menyelesaikan pembuatan panggung itu, tetapi Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah itu tetap hendak mengulur waktu. Dengan segan-segan mereka mengusung batu-batu besar. Maka sampai hari sudah petang, panggung itu belum juga selesai.

Serempak dengan suitan yang memecah angkasa itu, kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia pun memimpin berpuluh anak buahnya, kembali ke puncak.

Melihat hasil pembuatan panggung, Iblis Penakluk-dunia membentak, “Lekas panggil Ceng Hi si imam tua itu kemari!"

Soh-beng Ki-su segera membentak, “Imam hidung kerbau, apakah engkau tuli?"

Ceng Hi totiang terpaksa maju dua langkah tetapi tak berkata apa-apa.

Iblis Penakluk-dunia membentaknya, “Oleh karena cita-cita untuk memimpin dunia persilatan sudah terlaksana, maka aku selalu bermurah hati kepada orang. Tak mau membunuh orang yang tak bersalah. tetapi mengapa engkau malah menentang perintahku?"

Saat itu hati Ceng Hi totiang amat gelisah sekali. Siau-liong yang sudah berjam-jam masuk ke dalam gua menemui paderi Kim-ting, sampai saat itu belum juga keluar. Dan saat itu adalah detik-detik yang menentukan. Rasanya kecuali harus berjuang sendiri, tiada lain jalan lagi.

Setelah mantap dengan keputusan itu, ia segera berpaling ke arah rombongan orang gagah. Tampak mereka berdiam diri semua tetapi wajahnya menampil kerut kedukaan dan kemarahan. Jelas mereka hanya menunggu komando. Begitu ia memberi perintah, segera mereka akan menyerbu.

Tetapi Ceng Hi totiang cukup jelas akan kekuatan lawan dan pihaknya. Memberi komando penyerbuan, berarti menyuruh mereka mengantar jiwa.

Dengan pertimbangan itu, ia bersangsi sehingga tak dapat menjawab kata-kata Iblis Penakluk-dunia.

Melihat Ceng-Hi diam saja, Iblis Penakluk-dunia membentaknya, “Hm, rupanya engkau benar-benar sudah bosan hidup?"

Ceng Hi totiang menyadari bahwa saat itu ia sudah tak dapat mengulur waktu lagi. Dia tak rela membiarkan Iblis Penakluk-dunia menguasai dunia persilatan. Ia tak mau diperintah oleh gerombolan iblis itu. Maka tiada lain pilihan lagi kecuali harus bertempur. Lebih baik pecah sebagai ratna dari pada hidup bercermin bangkai!

Pada saat ia hendak memberi komando kepada rombongannya, tiba-tiba sesosok tubuh melayang dari udara dan tahu-tahu meluncur di tengah-engah Ceng Hi dengan Iblis Penakluk-dunia. Ketika melihat siapa yang muncul itu, sekalian orang berteriak kaget.

Dengan girang Ceng Hi totiang segera maju selangkah dan berseru, “Pendekar Laknat, dalam pertempuran di barisan pohon tempo hari, mengapa saudara pergi dengan membawa luka? Telah kusuruh orang untuk mencari kesegenap penjuru tetapi tak berhasil....”

Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring dan berseru, “Tong Siau-liong, engkau sungguh pandai bermain sandiwara....”

Sejenak berhenti, iblis itu mengertek gigi dan berseru pula, “Jika kali ini engkau mampu lolos dari tanganku, aku akan tinggalkan Tionggoan selama-lamanya!"

Sekalian tokoh yang hadir disitu terbeliak kaget. Benar-benar mereka tak mengerti mengapa Iblis Penakluk-dunia menyebut Pendekar Laknat sebagai Siau-liong. Di antara mereka adalah Toh Hun-ki dan keempat Su-lo dari Kong-tong-pay segera maju menghampiri dan memandang bayangan punggung Siau-liong dengan lekat.

Siau-liong sendiri pun juga tak kurang kejutnya. Ia duga Iblis Penakluk-dunia tentu sudah mengetahui rahasianya. Tetapi karena Iblis itu menelanjangi dirinya dimuka sekalian banyak tokoh iapun merasa tak enak juga.

"Iblis tua!" teriaknya dengan marah, "hari akhirmu sudah tiba, jangan....”

Iblis Penakluk-dunia menukas tawa, “Benar, memang hari ini bakal ada orang yang akan habis riwayatnya! Tetapi engkau harus tahu siapakah orang itu....”

Sejenak ia keliarkan mata lalu melanjutkan pula, "aku menyesal mengapa tempo hari tak membunuhmu. Tetapi sekarang engkau mau bicara apa saja, pokok jangan harap engkau mampu lolos dari tanganku!"

Siau-liong memancar pandang lalu gunakan ilmu Menyusup-suara berkata, “Iblis tua, memang tak salah kalau engkau menyesal bahwa dulu engkau tak membunuh aku. Sekarang menyesal pun tiada gunanya!"

Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring, “Untuk membunuhmu adalah semudah membalikkan telapak tanganku. Kecuali engkau sudah mempelajari ilmu Thian-kong-sin-kang itu dengan sempurna. Tetapi betapapun cerdasmu, paling sedikit engkau harus menggunakan waktu setengah tahun untuk mempelajarinya. Oleh karena itulah maka beberapa kali kusengaja memberimu jalan hidup!"

Masih dengan ilmu Menyusup suara, Siau-liong menjawab, “Aku orang she Tong tak sudi menerima kebaikanmu itu. Bahwa engkau tak mau membunuh aku itu bukan lain karena engkau hendak merencanakan berbagai siasat untuk menipu aku supaya mau memberikan pelajaran ilmu Thian-kong-sin-kang!"

Iblis Penakluk dunia membentak bengis, “Aku dapat menangkapmu hidup-hidup dan membiusmu supaya hilang kesadaran pikiranmu....”

Kemudian ia menunjuk ke arah Kongsun Sin-tho dan beberapa tokoh lainnya, “Seperti mereka itulah contohnya. Masakan engkau tak mau mengatakan ilmu pelajaran itu?"

Siau-liong tertawa, “Sudah tentu hal itu engkaulah yang paling tahu. Di dunia ini hanya orang yang paham ilmu Thian-kong-sin-kang itulah yang akan menundukkan engkau. Segala ilmu iblis yang engkau gunakan tak mampu menyesatkan pikiranku....”

Berhenti sejenak, Siau-liong berkata pula.

“Jangan mengira kalau dalam waktu setengah tahun itu engkau mampu menipu aku supaya menerangkan pelajaran itu. Ho, engkau salah hitung dan harus membayar dengan jiwamu!"

Dengan marah Iblis Penakluk-dunia berteriak nyaring, “Semua tokoh-tokoh sakti dalam dunia telah kukuasai. Masakan usaha yang sudah berhasil itu mampu engkau gagalkan?"

Habis berkata ia terus gerakkan ruyung dan membentak kawanan Baju hitam yang berada dibelakang, “Lekas tangkap budak itu. Bunuh saja kalau melawan!"

Dua orang Baju Hitam pun segera menerjang maju. Pakaian keduanya warna hitam dan mukanya pun mengenakan kerudung hitam, hanya bagian mata yang diberi lubang. Yang seorang tinggi dan seorang pendek. Mereka tak lain adalah Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin!

Secepat kilat mereka bergerak menghantam dari kanan dan kiri.

Siau-liong diam saja. Secepat kedua pukulan mereka tiba, barulah ia berteriak keras dan gerakkan kedua tangannya menyongsong.

"Bum ... bum".... terdengar letusan keras disusul dengan hamburan pasir dan pecahan batu.

Siau-liong tetap tegak ditempatnya sedang Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin terhuyung-huyung lima enam langkah jauhnya.

Sorak-sorai menggemuruh dari mulut rombongan orang gagah!

Siau-liong sendiri masih tegak termangu ditempatnya. Kiranya dalam waktu setengah hari, Siau-liong berhasil mengetahui bagian yang paling sukar dari kitab Thian-kong-sin-kang. Gerakannya telah mencapai tataran, bersatu dengan angan-angannya. Apa yang diangan-angankan, tangannyapun sudah bergerak.

Iblis Penakluk-dunia pucat. Berpaling ke arah isterinya, ia lecutkan lagi ruyungnya memberi isyarat. Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san yang berdiri di sampingnya segera loncat menyerbu Siau-liong.

Setelah dipukul mundur oleh Siau-liong, Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin termangu. Tetapi pada lain saat mereka menggerung lalu maju menyerang lagi.

Bermula Siau-liong tak tahu sampai dimanakah kemajuan ilmunya yang telah dicapai. Tetapi setelah mengetahui bahwa ia mampu memukul mundur Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin, kepercayaan pada dirinya makin besar. Ia segera menyambut serangan Lam-hay Sin-ni dan Jong Leng lojin dengan pukulan yang bertubi-tubi hingga mereka terpaksa mundur lagi.

Tetapi selekas Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san ikut menyerang, situasinya berobah.

Siau-liong tersentuh hatinya ketika melihat gurunya. Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san mengenakan pakaian seragam biru dan kepalanya ditutup dengan kerudung hitam. Adalah karena terharu melihat keadaan gurunya dan kuatir nanti melukainya, maka gerakan Siau-liong pun agak lambat dan pukulannya juga terpancang.

Kebalikannya Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san menyerangnya dengan kalap. Setiap pukulan selalu menggunakan jurus yang ganas dan mematikan. Tampaknya mereka amat bernapsu untuk membunuh Siau-liong.

Demikian pewaris-pewaris dari lima aliran ilmu sakti, saling berbaku hantam dengan seru. Deru angin yang menyambar-nyambar, menghamburkan debu dan pasir yang bertebaran menutup sekeliling mereka sehingga sekalian orang sukar melihat bayang-bayang mereka.

Menyaksikan Pendekar Laknat mampu menghadapi keempat tokoh sakti itu dan kepandaiannya jauh lebih maju ketika bertempur dibarisan Pohon Bunga dilembah Semi tempo hari, girang Ceng Hi totiang bukan kepalang.

Sekalian orang benar-benar terpesona menyaksikan pertempuran paling dahsyat dalam jaman itu. Mereka terlongong-longong....

Kelima orang itu makin lama makin menggila. Debu dan pasir serta pecahan batu berhamburan mencurah seperti hujan. Angin dan letupan benturan pukulan tak henti-hentinya berdentang-dentang!

Setelah berpuluh jurus menghadapi keempat tokoh sakti itu, Siau-liong makin tenang. Dia makin mengetahui sampai dimana kepandaiannya saat itu. Ternyata bukan saja ia mampu melayani mereka, pun bahkan masih ada sisa untuk balas menyerang.

Pula iapun menyadari mengapa Thian-kong-sin-kang merupakan ilmu nomor satu dari kelima ilmu sakti itu. Sejak dijebloskan dalam gua oleh paderi Kim-ting, berkat menumpahkan seluruh pikirannya, dapatlah ia mengetahui rahasia dari ilmu Thian kong-sin-kang yang berintikan semangat sebagai pusat penggerak.

Bagi yang melihat, serangan keempat tokoh itu tak mungkin dihindari. Tetapi bagi Siau-liong, serangan meieka itu amatlah lambat. Dengan enak sekali ia dapat melihat jelas gerak-serangan setiap lawannya serta tenaga mereka.

Dengan demikian mudahlah ia menangkis dan balas menyerang. Maka betapa deras dan dahsyat keempat tokoh itu, namun tak dapat melukainya sama sekali.

Tetapi hatinya resah bukan, kepalang. Pertama, karena keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu telah dikuasai oleh Iblis Penakluk-dunia. Dan kepandaian yang dicapainya, pun hanya tiba cukup untuk bertanding seri dengan mereka.

Dengan demikian sukarlah kiranya ia hendak meminumkan pil Sip-siau-cwan-soh-sin-tan itu kepada mereka. Kecuali ia dapat menawan hidup keempat tokoh itu, tentu tak mungkin ia dapat mengobati mereka.

Tetapi keempat tokoh itu amat sakti, sekali salah gerak, dirinya bisa celaka sendiri. Apabila mereka berempat serempak mengeroyok, betapa dahsyatnya, dapat dibayangkan.

Siau-liong tak tahu, sampai kapan pertempuran itu akan selesai. Mungkin seribu jurus pun takkan rampung.

Iblis Penakluk-dunia tahu jelas keadaan itu. Kegelisahannya lebih besar dari Siau-liong. Mereka benar-benar tak mengerti mengapa dalam waktu yang begitu singkat, Siau-liong sudah mencapai kemajuan yang begitu pesat dalam mempelajari ilmu Thian kong-sin-kang.

Tetapi kedua suami isteri iblis itu tak sempat memikirkan diri Siau-liong lagi. Saat itu mereka harus lekas berdaya untuk menghadapi suasana yang gawat itu.

Saat itu masih ada Naga Terkutuk dan Harimau Iblis serta rombongan It Hang totiang yang masih dikuasainya. Mereka merupakan barisan tenaga yang akan menindas Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah.

Tetapi Ceng Hi totiang berpendapat, tak mau gegabah turun tangan. Menang atau kalah, hanya tergantung kepada Pendekar Laknat yang menempur keempat tokoh sakti itu.

Jika Ceng Hi ikut bergerak, ia kuatirakan mengganggu pikiran Pendekar Laknat. Oleh karena itu Ceng Hi menahan diri dan menunggu perkembangan selanjutnya.

Dalam pada itu Siau-liong pun memeras otak untuk mencari jalan. Bukan untuk mengalahkan atau melukai keempat lawannya, melainkan untuk mencari jalan bagaimana dapat meminumkan pil. Hanya dengan begitu dapatlah si tuasi berobah menuju ke arah kemenangan.

Tetapi Kongsun Sin-tho dan keempat pewaris ilmu sakti itu menyerang dengan ketat dan hebat sehingga memaksa Siau-liong bertempur seri. Dalam beberapa kejap saja mereka telah bertempur sampai limaratus jurus.

Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah cemas sekali. Jika Siau-liong sampai kalah, tentu Iblis Penakluk-dunia akan memperoleh kemenangan besar. Semua orang gagah tentu akan dibasminya. Bagi Ceng Hi totiang, matipun tak soal tetapi bagaimana dengan nasib dunia persilatan nanti?

Tiba-tiba Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay menghampiri Ceng Hi totiang dan berbisik, “Totiang, menilik keadaannya....”

"Bukankah saudara Toh menghendaki aku supaya memberi perintah untuk menyerbu?"

"Meskipun kepandaian Pendekar Laknat maju pesat sekali tetapi menghadapi keempat tokoh sakti itu, mungkin....”

Baru Toh Hun-ki berkata begitu, tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia gentarkan cambuknya beberapa kali. Getaran itu menimbulkan bunyi yang amat tajam sehingga Siau-liong yang sedang bertempur pun mendengarnya juga.

Dan keempat tokoh yang mengeroyok Siau-liong itu, tiba-tiba tambah menyala semangatnya. Cambuk itu merupakan perintah kepada mereka dan menyeranglah mereka dengan jurus-jurus yang ganas.

Siau-liong terkejut. Sesaat ia menjadi sibuk tak keruan dan pontang panting bertahan diri.
64. Engkau seorang lelaki buas ......!!

Tiba-tiba setelah melakukan serentetan serangan maut keempat tokoh itu serempak loncat mundur beberapa tombak, memandang Siau-liong tanpa berkata sepatah pun. Kemudian mereka mundur ke belakang Iblis Penakluk-dunia dan tegak berdiri seperti patung.

Iblis Penakluk dunia sengaja memperdengarkan tertawa gelak lalu melangkah ke muka Siau-liong, serunya, “Budak! Kepandaianmu maju pesat sekali....” — lalu dengan mata berkilat-kilat ia berseru pula, “Dengan begitu tambah mantaplah keputusanku untuk melenyapkan engkau!"

Siau-liong menggerung marah, “Akupun memutuskan untuk membasmimu juga!"

Iblis Penakluk-dunia tertawa tak acuh, “Lihat saja siapa yang lebih beruntung....”

Kemudian ia kerutkan wajahnya dan membentak, “Sebelum tengah malam nanti, di puncak Giok-li-hong dibawah puncak Kim-ting ini akan kusaksikan engkau masuk ke dalam perangkap. Baik engkau mau datang kesitu atau tidak, apa yang kukatakan ini pasti akan terjadi pada dirimu. Hanya ......”

Matanya mengeliar seram dan melanjutkan lagi, “Tidak sampai tengah malam nanti, Ya, ketahuilah bagaimana siasatku yang ganas. Takkan memberi ampun sama sekali!"

“Andaikata aku tak pergi, mau apa engkau!" bentak Siau-liong marah.

“Dalam hal itu engkau harus memikir panjang. Tiau Bok-kun, Mawar Putih dan Kongsun Sintho, Randa Bu-san dan semua tokoh-tokoh yang telah kutawan, satu demi satu akan kubunuh semua!" Iblis Penakluk-dunia tertawa iblis.

“Tak mungkin engkau berani....!" Siau-liong menggembor seraya hantamkan kedua tangannya.

Saat itu mereka terpisah dua tiga meter. Ilmu Thian-kong sin-kang yang dimiliki Siau-liong sudah mencapai apa yang disebut dapat digerakkan menurut kehendak hatinya.

Tetapi Iblis Penakluk dunia sudah siap-siap. Maka ia tak berani maju lebih dekat. Namun tetap ia terkejut ketika menyaksikan gerakan Siau-liong yang begitu cepat. Buru-buru ia menyurut mundur sambil dorongkan kedua tangannya menangkis.

Maksud Siau-liong, sekali pukul ia hendak menghancurkan iblis itu. Tetapi ia terkejut ketika iblis itu dapat menyurut mundur begitu cepat. Pukulan iblis itupun dapat menahan dirinya yang hendak menyerbu maju. Mau tak mau ia terlongong heran, pikirnya, “Rupanya kepandaian iblis itu maju pesat juga. Aneh....”

Tiba-tiba Iblis Penakluk-dunia tertawa gelak, “Aku telah memiliki keempat ilmu sakti itu. Sekalipun berkelahi satu lawan satu, akupun dapat melayanimu sampai ratusan jurus. Apalagi....”

Ia menunjuk ke belakang dan berkata pula, “Kalau tak sampai lima jurus saja, tak perlu kuperintahkan mereka maju. Sebaliknya dari itu, sekali kuberi perintah, keempat tokoh pewaris ilmu sakti itu tentu akan mati-matian menyerbumu. Tak mungkin engkau dapat menyerang aku!"

Siau-liong menyadari bahwa ucapan iblis itu memang tidak bohong. Hatinya makin mengeluh dan terpaksa ia menghela napas panjang.

Sambil mengerut jenggotnya yang menjulai kedada, Iblis Penakluk-dunia itu tertawa menghina,

“Telah kukatakan, usahaku untuk menguasai dunia persilatan sudah berhasil. Oleh karenanya aku tak mau menumpahkan darah lebih banyak lagi. Asal sebelum tengah malam nanti engkau mau memenuhi undanganku untuk memberikan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepadaku, bukan saja Tiau Bok-kun, Mawar Putih tentu akan kuserahkan kepadamu, bahwa Kongsun sin-tho dan kawanan orang gagah yang menjadi tawananku itu juga akan kubebaskan. Ketahuilah aku bukan manusia yang tak dapat dipercaya. Kalau tidak....”

Berhenti sejenak, ia berkata pula, “Bukan saja engkau tak mau lari dan jaringanku itu, pun Ceng Hi si imam tua dan rombongannya itu, akan kulenyapkan dari muka bumi!"

Kembali Siau-liong dihadapkan sebuah soal yang sulit. Sesaat ia tak dapat berkata apa-apa.

Pada saat Siau-liong sedang termenung, sekonyong-konyong Iblis Penakluk-dunia maju dua langkah dan secepat kilat menyambar muka Siau-liong. Karena sedang termenung dan lengah perhatian, gerakan Iblis Penakluk-dunia yang dilakukan cepat sekali itu tak sempat lagi dihindari Siau-liong.

Seketika kedok muka Pendekar Laknat yang menutup mukanya itu, terjambret oleh Iblis Penakluk-dunia.

“Budak!" Iblis Penakluk-dunia tertawa keras, "kedok permainan anak-anak ini memang dapat mengelabuhi orang lain tetapi tak mungkin dapat menipu aku....” ia menutup kata-katanya dengan tertawa kumandang yang menggetarkan langit.

Dalam pada tertawa itu Iblis Penakluk-dunia pun mengisar ke samping Dewi Neraka dan membisiki beberapa patah kata lalu mengajaknya turun dari puncak Kim-ting.

Keempat pewaris ilmu sakti dan tokoh-tokoh yang merjadi kaki tangan Iblis Penakluk-dunia pun segera berbondong-bondong mengikutinya.

Siau-liong tegak termangu beberapa saat. Akhirnya pelahan-lahan ia berputar tubuh lagi. Oleh karena kedok mukanya sudah copot, ia merasa malu menghadapi Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah.

Ceng Hi totiang maju dua langkah dan berseru, “Pendekar Lak....” - tiba-tiba ia tersentak melihat wajah Siau-liong dan cepat-cepat berganti nada, “Kongsun-siauhiap....”

Siau-liong gelengkan kepala berkata dengan nada menyesal, “Ah, aku telah membohongi saudara-saudara sekalian. Tetapi hal itu....”

Ceng Hi totiang goyangkan tangan, ujarnya, “Tak perlu Kongsun-siauhiap menerangkan, akupun samar-samar sudah dapat menduga. Walaupun Pendekar Laknat disohorkan sebagai seorang pembunuh yang berdarah dingin tetapi kutahu bahwa sebenarnya dia seorang manusia yang berhati baik....”

Sikasar Lu Bu-ki pun melangkah maju dan menyelutuk, “Kongsun-siauhiap, sungguh tak kira kalau Pendekar Laknat itu ternyata engkau sendiri! Aku adalah pengagum Pendekar Laknat, entah apakah dia....”

Siau-liong menghela napas rawan, “Beliau sudah meninggal....”

Kemudian ia menuturkan tentang peristiwa yang dialaminya ketika berjumpa dengan Pendekar Laknat di dalam gua gunung. Sekalian orang yang mendengar cerita itu tak ada yang tak terharu.

Toh Hun-ki menghampiri ke samping Siau-liong dan berkata, “Kongsun-siauhiap, sekalipun pada pertempuran dengan Iblis Penakluk-dunia tadi belum selesai, tetapi tentulah nyali iblis itu sudah berantakan. Menurut hematku, saat ini telah terjadi perobahan. Nasib dunia persilatan, hanya tergantung pada Kongsun-siauhiap seorang! Kita harus gunakan siasat untuk melenyapkan pengacauan Iblis Penakluk dunia!"

Saat itu sekalian orang gagah mencurah pandang ke arah Siau-liong dengan perasaan kejut-kejut girang. Diantaranya yang paling girang sendiri adalah To Kiu-kong, ketua partai Kay-pang.

Betapa pun halnya, pewaris ilmu sakti Thian-kong-sin-kang itu adalah Cousu-ya dari partai Kay-pang. Maka tergopohlah ia menyiak para orang gagah dan maju ke muka Siau-liong. Serta-merta ia hendak berlutut sembari mengucap, “Cousu-ya....”

Siau-liong buru-buru memapahnya bangun dan tertawa tersipu-sipu, “Kiu-kong, jangan berlaku begitu!"

To Kiu-kong sejenak memandang sekalian orang gagah lalu berdiri di samping Siau-liong. Tampaknya ia bangga mempunyai seorang Cousu-ya sebagai Siau-liong. Selekas Iblis Penakluk-dunia dan gerombolannya terbasmi, tentulah kedudukan partai Kay-pang akan terangkat tinggi.

Siau-liong memandang ke arah ketua Kong-tong-pay, tiba-tiba ia berseru, “Apakah Toh loenghiong tahu she dan namaku yang sebenarnya?"

Tanpa ragu-ragu lagi, Toh Hun-ki menyahut, “Kongsun-siauhiap sebenarnya orang she Tong. Hal itu bukannya aku tak tahu."

Siau-liong tertawa rawan, “Bagus, tetapi entah apakah saudara masih ingat akan janji saudara ketika di Lembah Maut itu?"

Sejenak ketua Kong-tong-pay itu berpaling memandang keempat Su-lo yang berada dibelakangnya lalu menjawab, “Janjiku sekokoh gunung. Begitu gerombolan Iblis Penakluk-dunia sudah terbasmi, aku bersama keempat suteku segera mengantarkan Kongsun-siauhiap kegunung Hong-san. Dihadapan makam Tong Gun-liong, kami akan membunuh diri agar Kongsun-siauhiap dapat menunaikan bhakti kepada ayahmu."

Keempat Su-lo itu tak berkata apa-apa. Tetapi wajah mereka tampak tenang sekali.

Siau-liong menghela napas, lalu beralih kata kepada Ceng Hi totiang, “Saat ini malam baru mulai. Kalah atau menang, tergantung nanti tengah malam....” ia berhenti sebentar lalu berkata pula, “harap Ceng Hi totiang dan sekalian orang gagah beristirahat disini. Aku hendak menemui kakek Mata-satu untuk merundingkan siasat menghadapi musuh nanti!"

Ceng Hi totiang serta-merta mempersilahkan Siau-liong pergi dan ia berjanji akan menunggu disitu.

Siau-liong segera lari menuju ketempat Kakek Mata-satu dan Song Ling. Saat itu rembulan belum muncul. Cuaca pun masih gelap. Siau-liong hati-hati sekali lari sepanjang jalan menguatirkan kemungkinan Iblis Penakluk-dunia memasang jerat untuk menangkapnya.

Diapun tak tahu adakah Kakek Mata-satu dan si dara Song Ling masih berada ditempatnya semula. Tetapi ketika hampir tiba ditempat itu, ia mendengar suara orang bercakap-cakap diseling gelak tertawa. Dalam percakapan itu, kecuali suara kakek Mata-satu dan Song Ling, masih terdapat pula seorang lain. Dan rasanya ia sudah kenal dengan nada suara orang itu.

Ketika makin dekat, benar juga ditempat Kakek Mata satu duduk, terdapat lagi seseorang. Seorang wanita baju merah. Siau-liong berdebar tegang. Cepat ia lari menghampiri.

Ah, memang benar. Disamping Kakek Mata-satu dan Song Ling, memang terdapat seorang wanita baju merah. Dia bukan lain ialah Poh Ceng-in, pemilik Lembah Semi.

Siau-liong tertegun dan hentikan larinya. Benar-benar ia heran. Nona pemilik Lembah Semi itu telah dilepaskannya, mengapa tiba-tiba datang kesitu? Adalah dia dijadikan umpan oleh ayahnya, Iblis Penakluk-dunia?

Kakek Mata-satu memandang Siau-liong yang berdiri setombak jauhnya lalu menegur, “Apakah dalam pertempuran dipuncak Kim-ting, Iblis Penakluk-dunia sudah dipukul mundur?"

Dengan masih tetap memandang ke arah Poh Ceng-in, Siau-liong menjawab tawar, “Memukul mundur saja, tidak berguna. Harus membasmi gerombolan Iblis Penakluk-dunia itu barulah dunia persilatan akan terbebas dari bahaya selama-lamanya!"

Karena hatinya dirangsang dendam kemarahan, maka nada Siau-liong pun amat tajam. Dan lagi iapun hendak menyelidiki reaksi dari Poh Ceng-in.

Diluar dugaan Poh Ceng-in diam saja. Seolah-olah tak mempunyai sangkut-paut dengan Iblis Penakluk-dunia. Dengan sinar mata redup, nona itu memandang Siau-liong lalu tundukkan kepala tak bicara apa-apa.

Siau-liong benar-benar bingung. Mengapa Song-Ling mau mengenal Poh Ceng-in? Bukankah dara itu tahu bahwa Poh Ceng-in puteri dari Iblis Penakluk-dunia dan dewi Neraka? Mengapa Song-Ling mau duduk bersamanya?

Tiba-tiba Siau-liong merasa bahwa sikap Song Ling agak berbeda terhadap dirinya. Seharusnya kedatangannya itu tentu disambut si dara dengan berbagai pertanyaan. Paling tidak tentu akan menanyakan tentang mamanya. Tetapi mengapa saat itu si dara diam saja?

Dilihatnya dara itu kerutkan alis dan duduk ditengah-tengah antara Kakek Mata-satu dengan Poh Ceng-in. Sama sekali dara itu tak mau memandang kepadanya. Siau-liong memperhatikan bahwa sekalipun dara itu tak mengunjuk senyum tetapi pun tidak menampilkan kerut kemarahan. Dia duduk berjajar dengan Poh Ceng-in dan bersikap diam seperti umumnya seorang gadis.

Tengah Siau-liong terheran-heran, Kakek Mata-satupun tertawa, “Apakah Kongsun-siauhiap sudah mempunyai rencana untuk membasmi Iblis Penakluk-dunia?"

Siau-liong menghela napas, “Membasmi suami isteri iblis itu tidak sukar, tetapi yang sukar....” — memandang Poh Ceng-in, ia berhenti berkata.

Kakek Mata-satu hanya tersenyum simpul tetapi tak bilang apa-apa. Tiba-tiba Poh Ceng-in membisiki telinga Song Ling. Setelah saling berpandangan keduanya lalu tertawa mengikik.

Siau-liong benar-benar bingung. Dipandang dari sudut apapun juga, tak mungkin Song Ling mau bersahabat dengan wanita semacam Poh Ceng-in. Apalagi mereka baru saja berkenalan.

Cepat Siau-liong menyadari bahwa nada ketawa kedua wanita itu tidak wajar. Walaupun Poh Ceng-in berusaha untuk menutupi getaran hatinya, namun dari nada tertawanya jelas memancarkan rasa kesedihan yang sukar diutarakan.

Sedang Song Ling pun lebih hebat cara penyamarannya. Dia seorang dara yang baru saja melangkah ke dunia luar. Bahwa dia hendak menutupi isi hatinya dengan tertawa yang dibuat-buat, tentu mudah sekali ketahuan.

Setelah merenung beberapa.saat, akhirnya Siau-liong memanggil Song Ling dengan lirih,

“Nona....”

Tanpa mengangkat kepala, Song Ling pun menjawab pelahan, “Mengapa?"

Melintaslah pandang mata ke arah Poh Ceng-in, Siau-liong berkata pula, “Apakah engkau tak tahu bahwa wanita ini adalah puteri dari Iblis Penakluk-dunia?"

Tiba-tiba Song Ling mengangkat kepala dan menatap pemuda itu, “Kalau tahu lalu bagaimana?"

Siau-liong terkesiap, serunya, “Wanita siluman ini berhati ganas dan banyak tipu muslihatnya, Janganlah engkau sampai termakan tipunya. Mungkin dia disuruh orang tuanya untuk menjalankan tipu muslihat!"

Song Ling tertawa dingin, “Tak mungkin aku dapat dipengaruhi orang. Adalah engkau sendiri yang harus berpikir dengan cermat!"

Poh Ceng-in tersenyum lalu berkata kepada Song Ling, “Adik Song, cobalah engkau dengarkan betapa melukai hati katanya itu!"

Diluar dugaan, Song Ling malah menghibur Poh Ceng-in, “Memang di dunia ini banyak kaum lelaki yang tak kenal membalas budi. Dari seribu orang, jarang ada seorang yang baik!"

Kakek Mata-satu tertawa meloroh dan berseru kepada Song Ling, “Nak, apakah engkau tak sungkan mengucapkan kata-kata semacam itu?"

Song Ling cepat menyadari kalau ia kelepasan bicara. Wajah dara itu merah padam dan tersipu-sipu tundukkan kepala.

Poh Ceng-in tertawa tawar, “Adik Song, sekalipun ucapan itu bukan engkau yang seharusnya mengatakan, tetapi hal itu memang suatu kenyataan, sedikitpun tak salah!"

Habis berkata, Poh Ceng-in memandang Siau-liong dengan bengis lalu palingkan muka.

Siau-liong benar-benar seperti orang berjalan dalam kabut tebal. Cepat ia berpaling dan memberi hormat kepada Kakek Mata-satu, “Locianpwe, bagaimana soal ini sesungguhnya....?"

Mata kakek yang tinggal satu itu, mengeliar lalu berseru, “Soal itu harus bertanya pada dirimu sendiri! Bagaimana aku tahu?"

Siau-liong banting-banting kaki dan menghela napas, “Wanita siluman itu amat berbahaya sekali, mengapa locianpwe membiarkan dia disini."

Tiba-tiba Kakek Mata-satu tertawa, serunya, “Kalau dia benar berbahaya mengapa engkau mau mengikat perjanjian sehidup semati dengannya?"

Siau-liong seperti dipagut ular kejutnya, “Soal itu karena amat terpaksa. Ya, karena dia telah memberi minum racun Jong-tok kepadaku....”

Kakek Mata satu tertawa, “Itu pertanda dia amat cinta kepadamu! Buktinya mengapa dia tak memberi minum racun Jong-tok kepadaku?"

Siau-liong meringis seperti kunyuk membau terasi. Tak tahu ia bagaimana harus menjawab.

"Bukankah setahun kemudian engkau akan melaksanakan janji sehidup-semati itu dengan dia?" tanya Kakek Mata-satu pula.

Sau-liong menghela napas, “Asal dia tak mencampuri urusan yang kukerjakan selama setahun ini, aku tentu akan melaksanakan janjiku itu!"

Kakek Mata-satu mendengus, “Hm, tampaknya engkau benci setengah mati kepadanya. Tetapi mengapa engkau mau mati bersamanya? Bukankah itu diluar kemauanmu?"

Berkata Siau-liong dengan wajah serius, “Sekali seorang lelaki sudah mengucap, tak mungkin akan dijilat kembali. Betapapun kubencinya, itu lain soal. Tetapi aku tetap tak mau mengingkari ucapanku!"

Kakek Mata-satu tertawa, “Kalau begitu, Ajaran kuno itu tetap berharga. Menurut pendapatku ....” — ia berhenti memandang Poh Ceng-in, “curahan hati nona Poh terhadap dirimu itu, harus engkau terima dengan hati yang lapang. Artinya kalian lebih baik segera mengikat perjodohan sebagai suami isteri. Perlu apa harus mati berdua?"

Siau-liong benar-benar tak mengerti mengapa secara tiba-tiba Kakek Mata-satu itu dapat mengucapkan kata-kata begitu. Dilihatnya Song Ling tundukkan kepala tak bicara apa-apa.

Sedang Poh Ceng-in pun seperti tak mengacuhkan kata-kata Kakek Mata-satu. Nona pemilik Lembah Semi itu tak menampilkan reaksi apa-apa. Tidak marah, pun tidak girang.

Akhirnya dengan geram, Siau-liong menghampiri Poh Ceng-in dan membentaknya, “Telah kubebaskan engkau pergi, mengapa engkau tidak mau pergi malah datang kembali kesini?"

Poh Ceng-in tertawa dingin, sahutnya, “Aku kembali kesini bukan karena hendak mencarimu!"

Kembali Siau-liong terbentur tembok sehingga ia tak dapat bicara apa-apa. Memandang Song Ling dan Kakek Mata-satu, tampak keduanya tak menghiraukan dirinya. Karena malu, Siau-liong berseru lagi kepada Poh Ceng-in, “Harap engkau jangan lupa bahwa aku sudah mengetahui cara untuk pemunahkan racun itu!"

Poh Ceng-in menyahut tawar, “Asal engkau suka, setiap saat engkau dapat mengusir racun itu dari tubuhmu ......”

"Apakah engkau yakin bahwa aku tentu takkan membunuhmu?"

Poh Ceng-in tak menyahut melainkan mengambil sebatang badik dari pinggangnya lalu diserahkan kepada Siau-liong.

Siau-liong ingin sekali membunuh wanita itu. Tetapi suara hatinya yang luhur melarangnya bertindak begitu. Apalagi di hadapan Song Ling dan Kakek Mata-satu, makin tak dapat ia melakukan hal semacam itu.

"Engkau wanita siluman!"

Akhirnya Siau-liong hanya dapat menumpahkan kemarahannya dengan mendamprat. Tiba-tiba ia menendangnya.

Saat itu Poh Ceng-in sedang duduk bersila. Sudah tentu ia tak dapat menghindar. Dan rupanya ia memang tak bermaksud untuk menghindar.

"Plak ......” tendangannya tepat mengenai dada wanita itu.

Walaupun tak menggunakan tenaga dalam tetapi tendangan itu membuat Poh Ceng-in terpental dan bergelundungan beberapa meter hingga hampir tiba di tepi tebing karang yang curam. Badik ditangannya pun terlempar melayang di atas sebatang pohon dan menancap pada dahannya.

"Kongsun-siauhiap! Engkau bersalah! Tak peduli bagaimana pun, apakah perbuatanmu sekejam itu terhadap seorang perempuan lemah, dapat dipuji sebagai tingkah seorang kesatria?" bentak Kakek Mata-satu.

Juga Song Ling tak menyangka kalau Siau-liong akan menendang Poh Ceng-in begitu rupa. Cepat ia mendampratnya, “Engkau seorang lelaki buas ......!" — ia terus lari memburu ketempat Poh Ceng-in.

Siau-liong merasa menyesal. Walaupun ia tak menendang keras, tetapi perbuatan itu memang kasar. Tetapi iapun heran mengapa kakek Mata-satu tetap membela Poh Ceng-in.

Dalam pada itu Song Ling sudah datang lagi dengan mendukung Poh Ceng-in. Tampaknya Song Ling begitu memperhatikan sekali kepada Poh Ceng-in. Sambil membersihkan pakaian nona pemilik Lembah semi dari debu kotoran, Song Ling pun menanyakan juga apakah Poh Ceng-in menderita luka.

Kedua pipi Poh Ceng-in basah dengan air mata namun ia tetap mengunjukkan tertawa rawan, katanya, “Adik Song, apakah engkau anggap berharga bagiku untuk berbuat begini demi kepentingannya?"

“Kelak dia tentu menyesal sendiri," jawab Song Ling menghiburnya.

Karena tak tahan menderita keheranan, bertanyalah Siau-liong kepada si dara, “Nona Song, mengapa saat ini engkau begitu aneh? Apa saja kata wanita siluman itu kepadamu?"

Song Ling deliki mata, “Jika engkau masih berbudi, seharusnya engkau lekas minta maaf kepada taci Poh!"

Siau-liong tertawa, “Nona, engkau harus tahu bahwa dia adalah puteri dari suami isteri Iblis Penakluk-dunia. Kedatangannya, mungkin melakukan perintah ayahnya. Janganlah nona percaya pada mulutnya yang manis!"

Sekonyong-konyong Poh Ceng-in tertawa melengking. Nadanya dingin dan rawan, “Adik Song, soal itu engkau tentu sudah mendengar dan melihat sendiri. Tak peduli bagaimanapun juga, dalam pandangannya aku ini tetap seorang wanita siluman yang ganas ......”

Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Adik Song, aku hendak pergi sekarang!"

Wanita pemilik Lembah Semi itu terus menggeliat bangun dan terus hendak melangkah pergi. Tetapi Song Ling cepat menghadang di depannya dan berkata setengah meminta, “Taci Poh, engkau ......” dara itu tak dapat melanjutkan ucapannya karena terus menangis tersedu-sedu.

Sambil membelai rambut si dara, Poh Ceng-in menghiburnya, “Adik Song, janganlah bersedih hati. Apa yang kukatakan tentu akan kulakukan. Tak peduli perasaan hatinya bagaimana, tetapi aku tetap akan serahkan jiwa ...... Asal dia mau memberikan obat itu, aku tentu akan melakukan dengan pengorbanan jiwa!"

Poh Ceng-in lepaskan tangannya dari cekalan Song Ling lalu ayunkan langkah menuju ke dalam hutan .......
65. Mula dari keakhiran

Siau-liong benar tak mengerti. Tetapi sempat juga ia memperhatikan, ketika Poh-Ceng-in angkat kaki tadi, telah melontarkan pandang mata kepadanya.

Jelas sinar mata wanita itu jauh berbeda dengan yang lalu. Tidak memancar sinar kemarahan, tidak menumpah sinar kesedihan, tidak pula menghambur sinar kecabulan. Mata wanita itu tiba-tiba berobah alim dan serius.

Setelah bayangan Poh Ceng-in lenyap, sekonyong-konyong Song Ling berlutut di hadapan Siau-liong. Sudah tentu pemuda itu terkejut sekali dan tergopoh-gopoh mengangkatnya bangun, tanyanya, “Mengapa engkau nona?"

Song Ling tetap tak mau diangkat bangun. Bahkan ia malah menangis dan berseru, “Kong-sun tayhiap, tolonglah mamaku ......!"

Karena tak berhasil mengangkatnya bangun, Siau-liong pun terpaksa ikut berlutut, “Dengan bersikap begini, berarti nona hendak menyiksa diriku! Sudah tentu aku tak berani menerima penghormatan nona yang begitu besar!"

Song Ling hentikan tangis dan berkata dengan beriba, “Kecuali terhadap ayah bundaku, baru pertama kali ini aku berlutut dihadapan orang ......”

Kemudian dara itu mengusap air matanya dan berkata pula, “Harap dengan memandang mukaku, engkau suka menolong mamaku itu!"

Siau-liong gopoh menyahut, “Masakan hal itu perlu nona minta lagi? Sekali pun tulangku hancur lebur, aku tentu akan menolong beliau!"

Ia menarik tangan dara itu seraya berkata, “Harap nona jangan gelisah. Nanti kalau kembali aku tentu merundingkan hal ini dengan nona."

Song Ling gelengkan kepala, “Ah, tak perlu berunding lagi. Saat ini sudah terdapat cara yang terbaik untuk menolong mamaku .......” — ia menghela napas lalu melanjutkan lagi, “tetapi dikuatirkan engkau tentu tak mau meluluskan!"

"Telah kukatakan," sambut Siau-liong tepat, "sekalipun tulang-tulangku hancur lebur, asal nona sudah mempunyai rencana yang baik, harap segera jelaskan. Asal menyangkut usaha untuk menolong ibu nona, aku tentu akan melaksanakan!"

Wajah Song Ling berobah, ujarnya, “Kalau begitu lekaslah engkau tolong puteri dari suami-isteri Iblis Penakluk-dunia itu!

Siau-liong terbeliak kejut, serunya, “Harap nona jangan termakan kelabuhannya. Wanita siluman itu luar biasa bahayanya....”

Song Ling cepat membentaknya dingin, “Kerena engkau tak mau mengorbankan diri, ya sudahlah! Harap engkau segera pergi dari sini dan sejak saat ini, janganlah kita saling memperdulikan lagi!

Siau-liong banting-banting kaki seraya menghela napas, “Mengapa nona begitu tak mau mendengar permintaanku. Ketahuilah....”

Tiba-tiba kakek Mata-satu menukas, “Walaupun aku tak mempunyai kepandaian istimewa apa-apa, tetapi aku masih dapat menyelidiki orang. Hati nurani nona Poh itu masih belum lenyap sama sekali. Rasanya saat ini engkau harus membantunya, barulah akan terjadi perobahan yang memberi harapan ......”

"Adakah locianpwe bermaksud hendak mengatakan bahwa aku harus menyusul dan menolong wanita siluman itu?" Siau-liong menegas.

Kakek mata satu mengangguk, “Seorang lelaki harus tahu tempat dan keadaan. Apalagi nona Poh itu amat tergila-gila kepadamu. Demi mengobati racun dalam tubuhmu yang menyiksa itu, engkau mau rendahkan diri untuk sementara waktu!"

Song Ling kembali menangis.

Sejenak berpikir maka Siau-liong pun menghela napas, “Tak perlu nona bersedih. Ya, baiklah, aku menurut saja perintah nona."

Song Ling berhenti menangis, ujarnya, “Mungkin dia masih belum jauh, lekaslah engkau menyusulnya!"

Siau-liong tak mau banyak bicara lagi. Dengan menindas kegelisahahan hatinya, setelah memberi hormat ia segera lari menyusul Poh Ceng-in.

Song Ling pun hanya menghela napas rawan.

Tetapi hutan itu penuh dengan pohon-pohon cemara yang rindang dan lebat sehingga suasana disitu amat gelap. Untuk mencari apakah Poh Cen-in masih berada disitu, memang sukar. Sambil berjalan, Siau-liong menyelidiki ke segenap penjuru.

Tiba-tiba terdengar suara orang menghela napas pelahan. Siau-liong cepat hentikan langkah. Tak jauh dibawah sebatang pohon cemara besar, duduklah Poh Ceng-in. wanita yang hendak dicarinya itu.

Setelah bersangsi beberapa saat, akhirnya Siau-liong menghampiri, “Mengapa engkau masih berada disini?" tegurnya.

“Apa pedulimu?" sahut nona itu dengan getus.

Siau-liong tertegun, “Memang aku tak bermaksud mengurusmu. Hanya ingin bertanya, apakah sesungguhnya yang engkau katakan kepada nona Song tadi?"

Poh Ceng-in tertawa dingin, “Apakah engkau berhak bertanya?" - nona itu terus berbangkit dan lanjutkan langkah.

Siau-liong mendengus lalu menyelinap kemuka Poh Ceng-in, bentaknya, “Jika engkau tak mau menerangkan terus terang, jangan harap engkau dapat pergi dari sini!"

Poh Ceng-in memandangnya sejenak, serunya, “Karena engkau begitu membenci diriku, lebih lekas bunuhlah saja!"

Kembali Siau-liong lemas hatinya. Tampak nona itu pejamkan kedua mata dan bercucuran air mata. Tubuhnya gemetar dan sikapnya seperti orang putus asa.

Siau-liong menghela napas, “Apakah maksud nona yang sebenarnya? Walaupun kutahu cara mengobati racun Jong-tok, tetapi tetap kubiarkan engkau pergi dan mau memenuhi perjanjian dalam satu tahun itu. Kurasa aku tak menyalahi engkau tetapi mengapa engkau selalu melihat aku saja?"

Poh Ceng-in menghela napas: “Sekarang engkau benci kepadaku, tetapi mungkin kelak engkau tentu memikirkan aku .......”

Siau-liong terkesiap tetapi sesaat kemudian ia tertawa dingin.

"Meski aku menyalahi engkau dalam beberapa hal, tetapi engkau pun juga menyalahi aku ......” kata Poh Ceng-in, “ah, tetapi sekarang tiada guna dibicarakan lagi! Aku sudah menyanggupi adik Song untuk menolong ibunya, hanya ......” - ia berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Jika ......”

Siau-liong meragu, katanya, “Entah dengan cara bagaimana nona hendak meminumkan pil itu kepada mereka?"

Sahut Poh Ceng-in, “Dalam itu aku harus mencari kesempatan yang bagus. Terus terang, saat ini aku memang belum mempunyai rencana tertentu!"

Melihat wajah Poh Ceng-in menampil kesungguhan dan teringat pula akan kata-kata kakek Mata-satu serta sikap Song Ling yang begitu sungguh-sungguh memohon bantuannya, berkuranglah kecurigaan Siau-liong. Tetapi ia masih ragu-ragu sehingga untuk beberapa saat ia tak dapat bicara apa-apa.

Poh Ceng-in gelengkan kepala, “Aku ini seorang wanita siluman yang banyak tipu muslihat. Mungkin engkau takkan percaya .......”

Sejenak keliarkan mata, wanita itu berkata pula, “Masih ada sebuah hal yang belum kukatakan kepada adik Song. Sekarang marilah kuajak engkau menjumpai seseorang yang engkau kenangkan!"

Habis berkata ia terus ayunkan langkah. Karena tiada lain paham, terpaksa Siau-liong mengikuti wanita itu. Poh Ceng-in melangkah masuk ke dalam hutan.

Lebih kurang duapuluh li jauhnya, tibalah mereka dibawah lereng gunung. Tiba-tiba tampak sebuah biara. Biara itu seperti tak berpenghuni.

Pintunya tertutup rapat. Tetapi samping biara terdapat penerangan. Rupanya dihuni orang.

Setelah mengetuk pintu, Poh Ceng-in berseru pelahan, “ Kan-ma.... Kan-ma....”

Kan-ma artinya ibu-angkat. Dan dari dalam ruang itu terdengar suara bertany, “In-ji .....?" — terdengar tubuh menggeliat bangun dari tempat tidur lalu derap kaki menghampiri pintu dan membukanya.

Dengan penuh keheranan, Siau-liong memandang ke dalam ruang itu. Tampak seorang wanita pertengahan umur tegak berdiri diambang pintu. Wanita itu memandang Siau-liong dengan terkejut.

Wanita itu bertubuh kurus, macam orang yang baru sembuh dari sakit. Tetapi sinar matanya yang berapi-api mengunjuk bahwa dia seorang wanita yang berkepandaian tinggi.

“Kan-ma, kenalkah engkau padanya?" tanya Poh Ceng-in pelahan.

Wanita itu memandang Siau-liong dengan keheranan. serunya tersekat, “Apakah.... apakah dia itu....”

Tergerak hati Siau-liong melihat sikap wanita itu. Dia merasa sinar mata wanita itu mengandung perbawa yang amat besar. Tanpa disadari, Siau-liong segera mengangkat tangan memberi hormat, “Aku yang rendah ini adalah Kongsun Liong, mohon tanya locianpwe....”

Wajah wanita itu tiba-tiba mengerut kecewa, ia mengingau seorang diri, “Kongsun Liong .... Kongsun .... liong....”

Tiba-tiba ia berpaling dan bertanya kepada Poh Ceng-in, “In-ji, bukankah engkau mengatakan."

Poh Ceng-in tersenyum, “Kan-ma, jangan bingung .... biarlah dia duduk dulu!"

Wanita itu mendesis, “Eh, mungkin karena sudah tua aku menjadi begini pelupa. Ya, mari, silahkan masuk!"

Ia membuka pintu dan mempersilahkan Poh Ceng-in serta Siau-liong masuk .... Tetapi saat itu Siau-liong masih meragu di luar pintu. Poh Ceng-in segera melambarinya, “Mengapa engkau masih tak lekas masuk?"

Siau-liong meragu. Tetapi akhirnya ia melangkah masuk juga. Dilihatnya wanita pertengahan umur tadi sudah duduk dikursi besar. Ia memandang lekat pada wajah Siau-liong, sehingga anak muda itu merasa tak leluasa dan tundukkan kepala ......

Poh Ceng-in tertawa, “Sekalipun dia bernama Kongsun Liong, tetapi sesungguhnya dia bukan orang she Kongsun ....”

Serentak mata wanita itu memancar cahaya lagi, serunya dengan nada gemetar, “Dia she apa?"

Sejenak mata Poh Ceng-in berkeliaran dan lalu memandang kepada wanita dengan sikap tersenyum, “Dia orang she Tong dan namanya Siau-liong!"

Habis berkata, ia terus berputar tubuh dan melangkah keluar dari ruangan.

Tiba-tiba wanita pertengahan umur itu berbangkit dari kursinya. Tubuhnya gemetar keras. Sepasang matanya bercucuran air mata. Dipandangnya Siau-liong dengan pandang yang penuh arti, katanya tersendat, “Benarkah yang dikatakannya itu? Ayahmu itu .......”

Sekonyong-konyong hati Siau-liong seperti dicengkam oleh rasa duka yang tak dimengerti asalnya. Dia hanya merasa hatinya amat pepat, hidungnya basah menahan isak, sahutnya,

“Aku memang orang she Tong. Ayahku bernama Tong Gun-liong. Tetapi ketika aku masih bayi, ayah telah mati dibunuh orang. Beruntung atas pertolongan suhuku Kongsun Sin-tho, aku dapat diselamatkan dan dirawat sampai besar. Untuk menghindari incaran musuh maka suhu mengganti she-ku dengan she Kongsun....”

Hampir wanita itu tak kuat menahan tangisnya tetapi ia berusaha sekuat hati untuk bertanya, “Lalu siapakah ibumu?"

“Ibu sedang menderita sakit diseberang laut."

Wanita itu cepat mencegah Siau-liong melanjutkan kata-katanya, “Sejak kecil ibumu telah melantarkan engkau. Apakah engkau tak membencinya?"

“Beliau tentu mengira kalau aku dan ayah tentu sudah binasa dilembah Hok-liong-koh di gunung Kong-tong-san. Karena itu ibu lalu mengembara meninggalkan diriku. Sudah tentu itu bukan kesalahannya dan bagaimana aku dapat membencinya....”

Tiba-tiba wanita itu maju dua langkah dan berkata, “Nak.... aku inilah ibumu! Oh, terima kasih Tuhan bahwa kami anak dan ibu akhirnya dapat berjumpa kembali....!"

“Ma....!" menjeritlah Siau-liong dengan hati yang tegang regang. Tetapi tiba-tiba ia meragu.

Sejak kecil ia belum pernah melihat wajah ibunya. Memang wajah wanita dihadapannya itu mirip dengan wajahnya.

Tetapi apakah begitu saja ia terus mempercayainya? Bagaimana kalau wanita itu orang suruhannya kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia?

Kalau Iblis Penakluk-dunia itu menggunakan siasat mencari wanita yang mirip dengan wajahnya untuk mengaku sebagai ibunya lalu membujuknya untuk memikat supaya ia mau menceritakan ilmu Thian-kong-sin-kang, apakah ia takkan celaka!

Maka iapun segera menyurut mundur dua langkah lagi dan bertanya dengan dingin, “Engkau tentulah orang suruhan Iblis Penakluk-dunia."

Berhenti sejenak, Siau-liong berseru pula dengan bengis, “Apakah bukan karena hendak menipu ilmu Thian-kong-sin-kang itu?"

Wanita itu menyurut selangkah dan berseru dengan gemetar, “Nak, apa katamu? Bukankah tadi engkau mengatakan takkan membenci aku?"

Siau-liong tertawa muak, “Mungkin karena engkau ini bukan ibuku! Cobalah engkau katakan, bagaimana mendadak engkau datang kemari dari seberang lautan? Dan mengapa engkau dapat mengambil anak perempuan dari Iblis Penakluk-dunia itu sebagai anak angkat?"

”Engkau mengatakan In-ji itu puteri dari Iblis Penakluk-dunia?" wanita itu mengulang dengan heran.

“Masakan engkau tak tahu?"

Wanita itu menghela napas panjang, “Itu lebih hebat lagi.... Memang baru setengah hari kukenal padanya tetapi kebaikannya yang dilimpahkan kepadaku sungguh tiada taranya .... ah, sejak murid si Mawar Putih menuju ke tanah Tionggoan sini, siang malam aku selalu memikirnya.

Kemudian setelah penyakitku agak baik, aku segera bergegas menyusul kemari. Setiba di Tionggoan segera kudengar tentang Iblis Penakluk-dunia yang muncul di dunia persilatan lagi dan bermarkas di Lembah Semi pegunungan Tay-liang-san. Ceng Hi totiang pun muncul lagi dan memimpin rombongan orang gagah untuk menumpas Iblis Penakluk-dunia.

Dalam gerakan itu, kuduga orang Kong-tong-pay tentu ikut serta. Mawar Putih pun tentu akan mencari ketua Kong-tong-pay untuk membalas dendam. Maka bergegaslah aku memburu kemari.

Begitu tiba segera kudengar bahwa gerakan yang dipimpin Ceng Hi totiang itu telah menemui kegagalan. Mereka terpaksa melakukan perintah Iblis Penakluk-dunia untuk berkumpul dipuncak Kim-ting. Cepat aku pun menyusul ke Kim-Ting. Tetapi penyakitku ternyata masih belum sembuh. Begitu tiba dikaki gunung Go-bi, akupun pingsan.”

“Apakah dia yang menolong?" seru Siau-liong setengah meragu.

Wanita itu mengangguk, “Jika bukan dia yang menolong, mungkin kita takkan bertemu muka lagi ....”

Ia menghapus air mata lalu melanjutkan lagi, “Tentang persoalanmu dengan dia, juga telah diberitahukan kepadaku, hanya dia tak mengatakan kalau dirinya puteri dari Iblis Penakluk-dunia. Apabila benar begitu, benar-benar hal itu sukar dipercaya ......”

Oleh karena sudah beberapa kali menderita tipu muslihat Iblis Penakluk-dunia, maka Siau-liong tak mudah lekas mempercayai keterangan orang. Dipandangnya wanita yang mengaku sebagai ibunya itu dengan lekat.

Wanita itu rnenghela napas, ujarnya, “Demi engkau, ia tak segan menghianati orang tuanya. Dengan begitu ia telah menumpahkan cinta dan melepas budi sekaligus kepadamu. Dan lagi dia seperti telah menolong jiwaku dan membebaskan muridku si Mawar Putih dari tangan kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia....”

“Benarkah dia telah membebaskan Mawar Putih?" buru-buru Siau-liong menegas.

Wanita itu memandang lekat kepada Siau-liong, “Masakan mama hendak menipumu?"

“Lalu dimanakah dia sekarang?"

Wanita itu berpaling dan memandang kesekeliling penjuru, berkata, “Mereka berada di belakang rumah itu. In-ji telah memanggilnya!"

Diam-diam Siau-liong gembira. Jika benar-benar begitu jelas kalau wanita itu tentu ibunya. Asal Mawar Putih muncul tentu dapat memberi keterangan asli tidaknya wanita yang mengaku sebagai ibunya itu.

Dengan tegang, Siau-liong menunggu.

Benar juga tak berapa lama terdengar derap kaki orang berlari. Dan jelas bukan hanya seorang. Pun derap kaki itu menandakan kalau bukan orang yang mengerti ilmu silat. Melainkan derap kaki orang biasa.

Siau-liong tak berani bertindak sembarangan. Sambil diam-diam mempersiapkan tenaga dalam, dia segera berputar menghadap ke arah suara itu.

Begitu pintu terbuka, muncullah tiga orang nona, Mawar Putih, Tiau Bok-kun dan Poh Ceng-in.

Girang Siau-liong bukan kepalang.

Mawar Putih cepat menghampiri kesamping wanita pertengah umur itu dan bertanya, “Suhu, apakah dia benar-benar datang kemari?"

Wanita itu batuk-batuk sejenak lalu menjawab, “Datang memang sudah datang! Tetapi ia masih menganggap aku mamanya palsu....” - habis berkata ia terus tundukkan kepala menangis.

“Tetapi hal itupun tak dapat menyalahkannya Aku tak memenuhi kewajibanku sebagai ibu. Sekalipun dia tak mau mengakui aku sebagai ibu, pun aku juga tak dapat berbuat apa-apa!"

Mendengar itu air mata Siau-liong berderai-derai turun. Cepat ia berlutut dihadapan ibunya, Coa-Sik Se-si dan berkata dengan beriba-iba,

“Ma, anak memang tak berbakti, anak....” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat oleh isak tangisnya.

Coa-sik Se-si pun menangis sedih. Mawar Putih, Tiau Bok-kun dan Poh Ceng-in masing-masing mempunyai perasaan sendiri-sendiri. Mereka terharu atas peristiwa itu dan ikut menangis.

Tak berapa lama, Poh Ceng-in yang berhenti menangis paling dulu, lalu menghampiri kesamping Coa-sik Se-si dan menghiburnya, “Kan-ma, seharusnya saat ini engkau harus bergembira hati....”

Memandang keluar jendela, ia menuding, “Sekarang sudah malam, masih ada beberapa hal penting yang harus dikerjakan....”

Coa-sik Se-si hentikan tangisnya lalu berkata kepada Poh Ceng-in, “Nak, ah, hanya membikin repot engkau saja.... aku tentu takkan melupakanmu....”

Poh Ceng-in tertawa rawan. Memandang sejenak pada Siau-liong lalu berpaling memandang Mawar putih dan Tiau Bok-kun. Kemudian ia berjalan ke belakang Coa-sik Se-si dan tundukkan kepala.

Siau-liong berbangkit dan pelahan-lahan memberi hormat kepada Mawar Putih, “Nona Pek....”

Mawar Putih mendengus, “Tak seharusnya engkau mengelabuhi aku, urusanmu dengan taci Poh....” ia deliki mata kepada Siau-liong dan berkata pula,

“Ketika di Lembah Maut dalam barisan Tujuh Maut, walaupun Soh-beng Ki-su mendapatkan perintah untuk menangkapku, tetapi kesemuanya itu adalah karena engkau. Jika aku yang menjadi taci Poh, aku tentu juga berbuat begitu. Maka aku tak membencinya.... Sekarang taci Poh pun telah menolong membebaskan diriku dari Iblis Penakluk-dunia. Aku berterima kasih kepadanya. Apalagi dia pun telah menolong suhu sehingga kami berdua dapat berjumpa disini....”

Habis berkata ia terus melangkah ke tempat Poh Ceng-in.

Diam-diam Siau-liong menimang, “Sekalipun Poh Ceng-in sudah sadar tetapi dia tetap anaknya Iblis Penakluk-dunia. Dulu dia juga sahabat orang tuanya. Ia tahu cara untuk mengobati racun, tetapi ia tak mau membunuh Poh Ceng-in dan rela melepasnya. Adakah hal itu bukan telah memberi kelonggaran kepadanya? Mengapa dia dipersalahkan berlaku kejam kepada wanita itu?"

Siau-liong menghela napas panjang lalu berkata kepada Tiau Bok-kun, “Nona Tiau, aku sungguh.... amat menyesal sekali....”

Buru-buru Tiau Bok-kun tundukkan kepala, “Aku banyak menerima budi siangkong, masakan aku berani menyalahkan engkau?"

Siau-liong memandangnya lekat dan menghela napas, “Nona pun telah menolong jiwaku dan jika bukan karena diriku, tak nanti nona sampai dapat ditawan Iblis Penakluk-dunia. Budi nona sungguh mengharukan hatiku....”

Tiba-tiba Poh Ceng-in menyeletuk kepada Coa-sik Se-si, “Kan-ma, sekarang sudah tiba saatnya aku hendak berangkat!"

“Liong-ji....!" teriak Coa-sik Se-si.

”Mama hendak memberi perintah apa kepadaku?" sahut Siau-liong.

Memandang Poh Ceng-in, Coa-sik Se-si berkata, “In-ji seorang yang berjiwa besar. Demi kepentingan dunia persilatan, ia rela menghianati orang tuanya.... Peristiwa malam ini, menyangkut kepentingan dunia persilatan.... memang tak dapat memikirkan kepentingan pribadi, menelantarkan urusan umum. Lekaslah engkau menyertainya!"

Sejenak Siau-liong memandang Poh Ceng-in. Ia tampak meragu.

“Bagaimana? Apakah engkau masih meragukan dirinya?" Coa-sik Se-si kerutkan dahi.

Siau-liong menyahut gopoh, “Ya, baiklah, aku menurut....”

Kemudian ia berputar tubuh dan menjurah kepada Poh Ceng-in, “Aku seharusnya berterima kasih kepada nona!"

Poh Ceng-in tersenyum. Ia tak menghiraukan Siau-liong melainkan berkata kepada Coa-sik Sesi, “Kan-ma aku hendak berangkat!"

Setelah melambai pada Mawar Putih dan Tiau Bok-kun, ia terus berputar tubuh dan melangkah keluar.

Dengan segan, Siau-liong memandang ke arah Coa-sik Se-si lalu melesat keluar mengikuti Poh Ceng-in.

Saat itu sudah malam. Angin malam berhembus keras sehingga Siau-liong agak menggigil. Tetapi serempak dengan itu, pikirannya yang kalut tadi pun menjadi hening.

Bukan karena dia seorang pemuda yang banyak curiga. Tetapi adalah karena beberapa kali tertipu oleh Iblis Penakluk-dunia maka ia tingkatkan kewaspadaan. Terutama terhadap diri Poh Ceng-in. Ia masih belum dapat mempercayainya penuh.

Setelah berjalan satu li, Poh Ceng-in kendorkan langkah sembari berkata kepada Siau-liong yang mengikuti dibelakangnya, “Ayahku memang banyak curiga terhadap orang. Dia amat hati-hati sekali. Bahkan terhadap orang kepercayaannya pun, dia tetap tak dapat percaya penuh. Maka kita pun tak dapat bergerak dengan leluasa....”

Ia berhenti lalu melolos buntalan kain dan diberikan kepada Siau-liong, “Demi amannya rencana, terpaksa engkau harus menyamar!"

Siau-liong menyambuti buntalan itu. Ternyata berisi seperangkat pakaian hitam seperti yang dipakai tokoh-tokoh tawanan itu. Sejenak meragu, akhirnya ia mau juga memakainya. Kepala dan mukanya ditutup dengan sutera hitam.

Poh Ceng-in tersenyum. Tanpa banyak bicara lagi ia terus lanjutkan perjalanan.

Diam-diam Siau-liong memperhatikan tempat-tempat yg dilaluinya itu. Seluas satu li, dilihatnya sebuah puncak gunung yang tak berapa tinggi. Disebelah kiri dari puncak gunung itu adalah puncak Kim-ting yang tinggi. Ditengah kedua puncak itu dipisah oleh dua buah belantara.

Baru berjalan belum lama, tiba-tiba dari belakang sebuah batu besar, melesat keluar seorang lelaki berpakaian hitam dan mencekal pedang.
66. Kiamat Bagi Iblis

“Berhenti!" tiba-tiba orang itu membentak.

Poh Ceng-in berhenti dan balas membentak, “Tidak kenal padaku?"

Lelaki itu memberi hormat, “Maafkan kami berlaku kurang hormat, tetapi Thian-cun telah memberi perintah....”

“Supaya memeriksa aku?" Poh Ceng-in tertawa dingin.

"Hamba tak berani!" orang itu menyahut gopoh.

“Lalu bagaimana maksudmu?"

Jawab orang berbaju hitam itu, “Entah apakah Koh-cu mempunyai....”

Poh Ceng-in tertawa lalu mengeluarkan sehelai panji segitiga berwarna hitam dan dikibarkan kemuka sibaju hitam, “Mau memeriksa benda ini?"

Pada saat sibaju hitam hendak menyambuti, Poh Ceng-in cepat menarik kembali.

Sejenak meragu, si baju hitam menunjuk Siau-liong, “Dan saudara ini....”

Poh Ceng-in deliki mata, melengking, “Dia aku yang bawa. Mengapa engkau ribut-ribut saja? Masakan aku membawa mata-mata musuh masuk kemari....?"

Si Baju Hitam buru-buru menyurut mundur dua langkah dan berseru tersendat, “Hamba tak berani mencurigai Koh-cu, tetapi Thian-cun telah memberi perintah keras....”

Poh Ceng-in mendengus, “Kalau begitu lekas engkau menghadap ayah dan suruh ayah sendiri yang keluar menyambut kedatanganku!"

Baju Hitam tertegun lalu berkata dengan nada enggan, “Koh-cu, silahkan masuk!"

Poh Ceng-in tertawa dingin lalu menarik Siau-liong diajak masuk.

Diam-diam Siau-liong menimang. Tempat itu hanya terpisah satu li dari puncak Giok-ci-hong dan Iblis Penakluk-dunia sudah mengadakan penjagaan yang begitu ketat. Sungguh iblis itu cermat sekali.

Tetapi diam-diam Siau-liong pun tertawa. Adalah karena menginginkan ilmu Thian-kong-sin-kang, maka Iblis Penakluk-dunia tak membunuhnya. Dan karena tak dibunuh, ia pasti dapat membasmi iblis itu.

Selama dalam perjalanan memang penuh dengan pos-pos penjagaan tetapi dengan mudah Poh Ceng-in dapat melalui. Begitu tiba dikaki puncak Giok-ci-hong, tampaklah beberapa buah kemah.

Tetapi keadaannya sunyi-senyap. Rupanya orang-orang dalam kemah itu sudah tidur pulas. Tiba-tiba Poh Ceng-in gunakan ilmu Menyusup suara membisiki Siau-liong,

“Kita sudah tiba dipos terakhir. Penjagaan disini luar biasa kerasnya. Penjaga-penjaganya jago-jago kelas satu kepercayaan ayah. Kita harus bergerak menurut gelagat!"

Siau-liong hanya mengangguk tetapi tak mau menjawab. Ia sudah tahu apa artinya kata-kata Poh Ceng-in. Kemudian Poh Ceng-in melangkah lebar. Rupanya sengaja ia menimbulkan suara.

Benar jugalah. Dari belakang gerumbul pohon, segera bermunculan empat orang. Yang dua dimuka, yang dua dibelakang. Kedua orang yang dimuka itu segera menghadang dihadapan Poh Ceng-in, serunya, “Apakah Koh-cu membawa tanda amanat dari Thian-cun?"

Seperti yang tadi, Poh Ceng-in segera mengeluarkan tanda pengenal diri. Tetapi se-konyong-konyong ia berseru kaget, “Hai, mengapa tanda pengenal diri yang kubawa itu hilang....!"

Keempat orang itu tenang-tenang saja memandang Poh Ceng-in dan Siau-liong dengan pandang bermusuhan.

Poh Ceng-in merogohi baju, sibuk sampai beberapa lama tetap tak dapat menemukan tanda pengenalnya. Kemudian ia bertanya kepada kedua orang yang menghadangnya itu, “Kalau tanda pengenal diri hilang lalu bagaimana?"

Salah seorang yang memelihara jenggot kambing segera menyahut, “'Saat ini kita sedang menghadapi ancaman musuh. Selembar rambut tercabut berarti seluruh tubuh tergetar. Apalagi Thian-cun pun sudah memberi perintah. Karena Koh-cu kehilangan tanda pengenal diri, terpaksa Koh-cu harus menunggu dulu disini. Hamba akan melaporkan pada Thian-cun....”

Habis berkata ia memberi isyarat kepada dua orang yang berada dibelakang, “Lekas beritahukan Thian-cun, bilang....”

“Tunggu dulu, biarlah kucarinya lagi," buru-buru Poh Ceng-in menukas.

Kedua orang yang menerima perintah tadi terus akan pergi tetapi demi mendengar ucapan Poh Ceng-in terpaksa mereka berhenti.

Poh Ceng-in sengaja mencari kian kemari. Diam-diam ia berputar diri dan memberi isyarat kepada Siau-liong.

Siau-liong mengangguk tertawa. Tiba-tiba ia maju selangkah, serunya, “Koh-cu, tanda pengenalmu berada padaku!"

Poh Ceng-in tertawa, “Kalau begitu lekas tunjukkan kepada mereka!"

Siau-liong mengiakan. Sambil masukkan tangan kedada baju, ia maju ketempat kedua orang yang menghadangnya itu.

“Berhenti! Mengapa engkau seliar itu!" bentak si jenggot kambing.

Tetapi Siau-liong seperti tak mendengarnya. Dalam pada berkata itu ia sudah tiba dihadapan kedua orang. Tahu-tahu kedua orang itu sudah kaku tak dapat berkutik lagi.

Ternyata Siau-liong guna gerakan yang luar biasa cepatnya untuk menutuk jalan darah kedua orang itu. Sedemikian cepatnya Siau-liong bergerak sehingga setelah kedua orang itu terpaku seperti patung, barulah kedua kawannya yang di belakang itu tahu kalau kawannya yang dimuka dicelakai orang.

Kedua orang yang di belakang itupun hendak bertindak tetapi kalah cepat dengan Siau-liong yang sudah loncat dan sebelum kedua orang itu sempat bersuara, Siau-liong sudah menutuk jalan-darah mereka.

Dalam beberapa kejap saja, keempat orang itu pun sudah dikuasai Siau-liong. Poh Ceng-in tercengang. Ia tak kira kalau Siau-liong sudah mencapai kemajuan yang sedemikian pesatnya.

Maka berkatalah ia, “Sekarang sudah malam. Sekali pun pada saat ini dapat menyelamatkan diri, tetapi tak lama tentu akan diketahui mereka. Kita harus lekas bertindak!"

Habis berkata ia terus mendahului lari mendaki ke puncak gunung. Siau-liong mengikuti dibelakang.

Sekalipun dalam perjalanan bertemu dengan beberapa peronda, tetapi mereka tak bertanya apa-apa. Rupanya karena dalam pos penjagaan tiada terdengar pertandaan apa-apa, mereka anggap tak terjadi suatu apa.

Di atas puncak merupakan sebuah tanah datar. Beberapa kubu yang didirikan disitu, tampak sunyi-senyap. Poh Ceng-in langsung menuju kekubu yang nomor tiga.

Siau-liong memperhatikan bahwa dalam sebuah kubu terdapat empat-lima orang baju hitam yang tengah duduk bersemadhi. Rupanya mereka tengah menenangkan semangat dan tak menghiraukan kedatangan kedua orang itu.

Tiba-tiba terdengar orang berseru, “Apakah itu In-ji?"

Poh Ceng-in dan Siau-liong terkejut. Tak salah lagi, itulah suara Iblis Penakluk-dunia. Poh Ceng-in segera memberi isyarat mata kepada Siau-liong lalu menuju kekubu yang kedua.

Siau-liong tetap mengikuti dibelakangnya. Ia berjalan dengan tundukkan kepala agar kawanan baju hitam itu tak melihatnya.

Tampak diluar kubu berjajar delapan orang lelaki berpakaian ringkas sama tegak seperti patung.... Pinggangnya menyelip senjata.

Ditengah kubu terdapat sebuah meja pendek. Di atasnya diberi sebuah tempat pedupaan yang masih berkepul-kepul asapnya. Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tengah duduk dengan berpakaian lengkap.

Poh Ceng-in berjalan kemuka kubu dan berseru dengan nada manja, “Yah! Ma! Sudah begini....”

Dengan bengis Iblis Penakluk-dunia membentak, “Baru saja engkau terhindar dari bahaya, mengapa sudah keluyuran kemana-mana?"

“Aku hanya berjalan-jalan didekat sini," sahut Poh Ceng-in.

Berkata Iblis Penakluk-dunia pula, “Saat ini sebenarnya Ceng Hi si imam tua dan gerombolannya itu sudah tak berdaya. Tetapi anak macan yang kupelihara itu ternyata mengacau. Tong Siau-liong muncul sebagai musuhku yang tangguh. Oleh karena itu malam ini mungkin takkan terhindar dari pertempuran besar. Setelah budak itu tertangkap, barulah hatiku tenteram.

Menurut dugaanku, habis tengah malam nanti, budak itu tentu akan datang. Maka telah kuperintahkan supaya diadakan penjagaan yang ketat. Mengapa engkau masih lari-lari kemana-mana? Apabila berjumpa dengan budak itu, apakah tidak berbahaya....”

“Penjagaan disini begini kuatnya, masakan dia mampu melayang turun dari langit?" bantah Poh Ceng-in.

Iblis Penakluk-dunia menghela napas kecil serunya, “Soal itu tak dapat kuperhitungkan. Budak itu telah mencapai kemajuan luar biasa dalam ilmu Thian-kong-sin-kang. Ya, sudah dapat mencapai tataran yang tak terduga....!"

Tiba-tiba ia membentak bengis, “Mengapa engkau tak lekas kembali ke dalam kubumu!"

“Tolol! Mengapa engkau marah-marah kepada anak sendiri? Dalam beberapa hari ini dia sudah cukup menderita!" teriak Dewi Neraka.

Kemudian berpaling ke arah Poh Ceng-in dan berkata dengan nada lembut, “Beristirahatlah! Kelak engkau tentu takkan menderita apa-apa lagi!"

Dengan nada kemanja-manjaan, Poh Ceng-in mengiakan dan terus melangkah pergi. Tetapi baru beberapa langkah, ia mendengar ayahnya membentak, “Kembali!"

Poh Ceng-in terkejut dan buru-buru berpaling, “Mengapa, yah?"

Iblis Penakluk-dunia tersenyum, “Karena engkau segan beristirahat, baiklah engkau panggilkan suhengmu suruh kemari. Aku hendak memberi pesan kepadanya!"

"Dimana?"

"Di belakang Empat Roh!"

Poh Ceng-in mengiakan, terus menuju ke belakang. Dengan tanpa bersuara, Siau-liong mengikuti Poh Ceng-in seperti bayangannya. Walaupun Iblis Penakluk-dunia itu seorang yang banyak curiga, tetapi ia tak begitu gila untuk mencurigai anak perempuannya sendiri. Maka walaupun melihat Siau-liong berdiri beberapa belas langkah dimuka, ia tak bertanya apa-apa.

Kubu kedua itu hanya terpisah tiga tombak dari kubu ketiga. Poh Ceng-in memberi isyarat mata kepada Siau-liong. Tanpa berkata suatu apa ia terus lari lagi.

Tampak diluar kubu ketiga itu dua orang penjaga. Begitu melihat Poh Ceng-in, mereka segera memberi hormat tetapi tak berkata apa-apa.

Poh Ceng-in dan Siau-liong melangkah masuk ke dalam kubu. Di dalam kubu telah digelari empat lembar permadani bundar. Keempat pewaris ilmu sakti sedang duduk bersamadhi di atas permadani itu....

Disamping mereka terdapat sebuah kursi bambu. Dengan memegang cambuk Penenang-jiwa milik Iblis Penakluk-dunia, Soh-beng Ki-su duduk miringkan tubuh. Begitu melihat Poh Ceng-in, ia berseru menyapa dan berbangkit.

Poh Ceng-in tersenyum, “Ayah memanggil suheng supaya datang kesana."

Tanpa curiga apa-apa, Soh-beng Ki-su serahkan cambuk kepada Poh Ceng-in, katanya, “Tolong sumoay menjaga mereka!" - tanpa berpaling lagi, ia terus lari keluar kubu.

Poh Ceng-in menghela napas longgar. Setelah Soh-beng Ki-su pergi, ia membentak pelahan pada Siau-liong, “Ayah hendak suruh mereka makan obat, mengapa engkau tak lekas mengobati mereka!"

Sambil berkata Poh Ceng-in cepat melirik ke arah kedua penjaga diluar kubu. Melihat mereka tak mengacuhkan apa yang terjadi dalam kubu, tenanglah hati Poh Ceng-in.

Siau-liong mengiakan. Cepat ia mengeluarkan pil Sip-siau-cwan soh-sin-tan. Tetapi tiba-tiba ia agak meragukan khasiat obat itu. Adakah pil itu dapat menyembuhkan mereka. Setelah merenung beberapa saat, ia memutuskan untuk memberi dua butir pil pada masing-masing tokoh itu.

Setelah Siau-liong meminumkan pil itu, Poh Ceng-in pun segera gentakkan cambuk dimuka ke empat tokoh itu dan membentaknya pelahan, “Bangunlah!"

Hatinya amat tegang sekali tanganpun gemetar. Untung keempat tokoh itu serempak membuka mata dan memandang cambuk kulit dari Poh Ceng-in dengan terlongong-longong.

Tiba-tiba terdengar suara suitan melengking di udara. Siau-liong terperanjat. Jelas suitan itu berasal dari anak panah pertandaan bahaya yang dilepas anak buah Iblis Penakluk-dunia.

Kedua penjaga kubu serentak memberi hormat kepada Poh Ceng-in, “Lapor pada koh-cu. dibawah puncak mengirim tanda bahaya!"

“Lekas laporkan pada Thian-cun berdua!" Poh Ceng-in berseru gugup.

Kedua penjaga itu terbeliak kaget. Tetapi mereka pun cepat-cepat lari menuju kekubu kedua.

"Lekas! Lekas....!” Poh Ceng-in membentak Siau-liong sambil banting-banting kaki.

Siau-liong cepat memberi dua butir pil kepada Jong Leng lojin yang duduk dekat pintu kubu.

"Telanlah!" bentak Poh Ceng-in seraya gentakkan cambuknya.

Wajah Jong Leng lojin berobah. Tetapi setelah tertegun sejenak, ia terus menelannya. Saat itu suasana diluar kubu sudah kacau. Berpuluh sosok tubuh orang lari kian-kemari amat berisik sekali.

Siau-liong tak dapat banyak berpikir lagi. Ia segera memberikan dua butir pil kepada Lam-hay Sin-ni. Untunglah kesemuanya itu berjalan lancar.

Dibawah gentakkan cambuk Poh Ceng-in, Lamhay Sin-ni, Randa Bu-san dan Kongsun Sin-tho mau menelan pil pemberian Siau-liong. Setelah itu mereka pejamkan mata bersemadhi lagi. Tampaknya tiada reaksi apa-apa.

Poh Ceng-in menghela napas longgar, serunya, “Pil telah mereka telan. Bagaimana reaksinya tunggu saja nanti perobahan mereka!"

Siau-liong yang saat itu sudah menaruh kepercayaan penuh kepada Poh Ceng-in segera menjurah memberi hormat, “Nona, aku....” - baru ia berkata begitu tampak sesosok tubuh lari mendatangi.

Dan muncullah Soh-beng Ki-su ke dalam kubu seraya berseru gopoh, “Musuh sudah unjuk jejak, suhu perintahkan aku supaya membawa keempat orang itu keluar!"

"Mereka berjumlah berapa banyak?" sengaja Poh Ceng-in bertanya.

"Saat ini belum diketahui jelas, tetapi musuh yang tangguh sudah tiba dipuncak gunung sini....”

Sambil menyerahkan cambuk kepada Soh-beng Ki-su lagi, Poh Ceng-in membentak Siau-liong: "Lekas ambilkan senjataku!"

Siau-liong mengiakan. Ia berputar tubuh terus pergi. Begitu berada ditempat gelap, Siau-liong terus membuka pakaian warna hitam yang dipakainya.

Diam-diam ia menimang, “Entah apakah pil itu berkhasiat atau tidak, tetapi malam ini merupakan malam yang memutuskan. Aku harus mengadu jiwa dengan kedua suami isteri iblis itu!"

Setelah memutuskan rencana, ia segera loncat apungkan diri melayang kekubu kedua. Kubu yang ditempat Iblis Penakluk-dunia dan isterinya.

Saat itu Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka tengah berdiri berdampingan diluar kubu. Sekeliling dijaga rapat oleh kawanan anak buahnya Baju Hitam. Begitu melihat Siau-liong meluncur dari udara, mereka kaget sekali.

“Budak kecil, akhirnya ia masuk ke dalam jaring sendiri!" Iblis Penakluk-dunia tertawa nyaring.

"Iblis tua! Kematian sudah didepan mata, engkau masih bermimpi!" bentak Siau-liong.

Iblis Penakluk-dunia tertawa angkuh.... Begitu mengangkat tangan, kawanan penjaganya itu segera menyurut mundur.

Pelahan-lahan dia maju dua langkah, tetapi tetap terpisah setombak jauhnya dari Siau-liong. Dengan tertawa mengejek ia berseru, “Sudah kukatakan bahwa aku tak mau memaksa orang. Asal ia mau mengajarkan ilmu Thian-kong-sin-kang itu kepadaku dengan lengkap, aku tentu akan pegang janji. Tiau Bok-kun dan Mawar Putih kedua nona serta Kongsun Sin-tho dan lain-lain, semuanya akan kubebaskan. Tetapi kalau tidak....”

Ia berhenti sejenak keliarkan pandang lalu melanjutkan pula, “Apa yang kukatakan tentu akan kulaksanakan. Dan apa akibatnya engkau tentu sudah tahu sendiri....”

Tiba-tiba ia berpaling membentak seorang pengawal yang berada di belakangnya, “Bawa kemari kedua budak perempuan yang berada dikurungan itu!"

Pengawal itu mengiakan terus lari ke belakang. Siau-liong tak mau berkata apa-apa. Ia hanya tertawa dingin memandang Iblis Penakluk-dunia.

Walaupun sepintas pandang Iblis Penakluk-dunia itu tampak tenang tetapi dalam hati ia gelisah bukan kepalang.

Dan tanpa berkata apa-apa, Siau-liong pun melangkah maju. Melihat itu Iblis Penakluk-dunia membentaknya, “Berhenti! Apakah engkau benar menghendaki kubunuh kedua nona itu?"

Siau-liong tak menyahut tetapi tetap maju. Melihat itu Iblis Penakluk-dunia terpaksa mundur pelahan-lahan. Kini ia mundur sampai dimuka kubu.

Saat itu si iblis sudah tak dapat mundur lagi. Sekonyong-konyong ia membentak keras dan menghantam Siau-liong.

Tetapi anak muda itu hanya tersenyum saja. Diangkatnya tangan kanan untuk menyapu. Terdengar letupan dan debu di belakang Iblis Penakluk-dunia itu pun bergulung-gulung tiba....

Saat itu Iblis Penakluk-dunia cukup banyak juga mempelajari keempat ilmu sakti dari Lam-hay Sin-ni, Jong Leng lojin, Kongsun Sin-tho dan Randa Bu-san. Kesaktiannya jauh lebih hebat dari sebelumnya. Maka beranilah ia menyongsong pukulan Siau-liong. Siapa tahu Siau-liong ternyata sudah hampir seluruhnya memahami Thian-kong-sin-kang.

Bukan kepalang kejut iblis itu ketika pukulannya seperti terbenam dalam lautan dan tiba-tiba pula ia dilanda oleh tenaga yang hebat sehingga darahnya bergolak-golak…….

Dewi Neraka terkejut sekali. Cepat ia gentakkan tongkatnya kepala naga. Tiba-tiba kepala naga itu cepat dan melayang ke arah Siau-liong.

Siau-liong mendengus dingin. Sekali ia menghantam, kepala naga dan tongkat wanita iblis itu mencelat dan serempak itu terdengar suara orang tertahan. Dewi Neraka terpental mundur sampai tujuh delapan langkah jauhnya.

"Huak!".... wanita itu muntah darah!

Begitu kubu kedua melayang kabur, kubu ketiga segera tampak. Tampak kawanan anak buah Iblis Penakluk-dunia berdiri terlongong. Kesatu karena mereka terpesona melihat kesaktian Siau-liong.... Kedua, karena belum mendapat perintah dari pemimpinnya.

Setelah mengundurkan kedua suami isteri iblis, Siau-liong masih maju menghampiri mereka.

Iblis Penakluk-dunia gugup tetapi ia tetap menutupi dengan tertawa angkuh seraya menyurut mundur. Dan pada saat itu ia sudah mundur ke kubu nomor tiga.

Dan apa yang terjadi dalam kubu ketiga itu pun sudah kelihatan.... Soh-beng Ki-su sambil mainkan cambuk sambil membentak keempat tokoh yang masih duduk, “Lekas bangun! Bangun....!"

Tetapi keempat tokoh itu tetap pejamkan mata dan duduk setenang patung. Poh Ceng-in yang berdiri disamping, tampaknya seperti gugup juga.

Tiba-tiba pengawal yang disuruh Iblis Penakluk-dunia untuk membawa Tiau Bok-kun dan Mawar Putih tadi, pun sudah datang. Tetapi sikap mereka ketakutan sekali. Sambil berlari mendatangi mereka sudah berteriak-teriak, “Thian-cun, kedua budak perempuan itu sudah lolos!"

"Mundur!" bentak Iblis Penakluk-dunia gugup. Ia terus menerobos ke dalam kubu.

Melihat keempat tokoh itu duduk mematung, diam-diam Siau-liong girang. Ia duga pil itu tentu sudah bekerja. Ia tak mau memburu masuk, melainkan menunggu diluar.

Dengan wajah pucat lesi, Iblis Penakluk dunia cepat mengambil cambuk dari tangan Soh-Beng ki-su lalu digentakkan beberapa kali seraya membentak, “Hayo, mengapa tak lekas bangun!"

Cambukan itu berhasil membangunkan Jong Leng lojin. Tokoh itu serentak berbangkit.

"Tar....!” Iblis Penakluk-dunia mencambuk punggung Jong Leng lojin seraya membentak, “Lekas tangkap budak itu, mati atau hidup!"

Di luar dugaan, Jong Leng lojin tak mau menyahuti dan melakukan perintah. Bahkan tiba-tiba ia menyambar cambuk Iblis Penakluk-dunia dan balas membentaknya, “Siapa engkau ini!"

Kali ini Iblis Penakluk-dunia seperti disambar petir kejutnya. Ia lemparkan cambuk terus lolos ke luar kubu.

Dengan masih dalam pikiran tak sadar, Jong Leng lojin menghantam. Iblis Penakluk-dunia lari mati-matian tetapi tetap tak dapat terhindar dari hantaman Jong Leng. Tubuhnya yang melambung di udara itu tiba-tiba menukik turun dan jatuh di samping Siau-liong!

"Iblis tua, apakah engkau masih mimpi mau lari?" bentak Siau-liong seraya menutuk dada dan tenggorokan iblis itu.

Saat itu Dewi Neraka pun sudah terluka pukulan Siau-liong tadi. Tahu gelagat jelek, ia hendak lari. Tetapi ia ingat akan Poh Ceng-in.

Y
67. Naga Dan Cendrawasi

Pada saat Dewi Neraka meragu, tiba-tiba terdengar suara berisik mendatangi. Siau-liong kira tentulah anak buah Iblis Penakluk-dunia yang hendak menyerbu untuk menolong pemimpinnya. Tetapi ternyata yang muncul itu adalah Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah.

Dewi Neraka yang sudah menderita luka itu makin bingung. Begitu memandang keadaan ditempat situ, tahulah Ceng Hi apa yang telah terjadi. Cepat ia kebutkan lengan jubah untuk menutuk jalan darah Dewi Neraka.

"Hai, apakah kalian ini kawanan roh orang mati?" teriak Iblis Penakluk-dunia yang walau pun sudah tertutuk jalan darahnya namun masih dapat bicara.

Saat itu kawanan Baju Hitam baru tersadar. Dengan bersuit keras, mereka segera maju mengepung. Tetapi Jong Leng lojin yang menjaga disamping Iblis Penakluk dunia, segera menghantam kian kemari mencegah mereka.

Rombongan orang gagah yang dipimpin Ceng Hi totiang itu segera menyerang sehingga terjadilah pertempuran dahsyat.

Sedangkan Siau-liong terlongong-longong sendiri. Ia benar-benar terpukau karena melihat keadaan saat itu. Ia merasa seperti telah menghidupkan kembali orang yang sudah mati.

Tiba-tiba Poh Ceng-in melengking, “Suheng, tunggulah aku bersama-sama lari!"

Saat itu barulah Siau-liong seperti diingatkan pada Soh-beng Ki-su. Dengan menggerung, ia enjot tubuh melambung ke udara dan melayang turun di belakang kubu.

Ternyata Soh-beng Ki-su yang bertubuh kurus kering itu sedang siap hendak melarikan diri dari kubu.

Siau-liong cepat membentak dan mencengkeram dadanya. Soh-beng Ki-su terkejut. Ia tebarkan jaringnya hendak melancarkan pukulan Pek-kut-kang.

Tetapi sudah terlambat. Dadanya sudah dicengkeram Siau-liong. Seketika itu ia rasakan dadanya seperti pecah. Siau-liong sudah menutuk tiga buah jalan darah orang itu. Kemudian ia terus hendak melangkah ke dalam kubu.

Tetapi saat itu To Kiu-kong, Ti Gong taysu dan kawan-kawannya bermunculan datang. Siau-liong cepat lemparkan Soh-beng Ki-su kepada To Kiu-kong.

"Inilah manusia yang membunuh Pendekar Laknat! Tolong engkau menjaganya. Kelak hendak kubawanya untuk sesaji dimakam Pendekar Laknat!"

Habis berkata Siau-liong terus loncat kekubu lagi. Dilihatnya keadaan sudah berobah.

Kedua suami isteri iblis sudah dibekuk dan dijaga oleh belasan tokoh-tokoh kelas satu yang ditugaskan Ceng Hi totiang. Untuk menjaga agar kedua iblis itu jangan sampai lolos, mereka lekatkan ujung senjatanya pada jalan darah kedua orang itu.

Pertempuran masih berjalan seru. tetapi karena pemimpin sudah dibekuk, situasi pertempuran pun dapat dikuasai Ceng Hi totiang. Yang sukar diatasi hanya beberapa tokoh seperti Naga Terkutuk, Harimau Iblis, It Hang totiang dan lain-lain.

Setelah Jong Leng lojin maka berturut-turut bangunlah Kongsun Sin-tho, Randa Bu-san dan Lamhay Sin-ni. Mereka merenung beberapa waktu, baru menyadari apa yang telah terjadi pada diri mereka selama ini.

"Suhu, apakah engkau sudah sembuh sama sekali?" buru-buru Siau-liong menghampiri Kongsun Sin-tho.

Kongsun Sin-tho menghela napas, “Liong-ji. Apakah engkau yang membuatkan pil dari katak-kaki-tiga itu? Dimanakah kita sekarang ini?"

"Kita saat ini berada dibawah puncak Kim-ting. Pil itu dibuat oleh paderi sakti Kim-ting!"

“Ah, tak kira kalau akupun juga....” Kongsun Sin-tho menghela napas panjang.

Merenung sejenak tokoh itu berkata pula, “Berapa banyak pil yang telah dibuatnya? Sisanya berikan kepadaku!"

Siau-liong segera menyerahkannya. Setelah menerima, Kongsun Sin-tho lalu memberi keterangan kepada Randa Bu-san dan lain-lain. Kemudian keempat tokoh itu segera turun kegelanggang pertempuran.

Dengan kesaktian mereka, mudahlah untuk menundukkan Naga Terkutuk. Harimau Iblis, It Hang totiang dan lain-lain. Kemudian setiap orang diberinya pil itu sebutir.

Tak berapa lama mereka pun pulih kesadarannya. Dan saat itu pertempuran pun sudah selesai. Beberapa anak buah Iblis Penakluk-dunia berhasil melarikan diri. Tetapi yang tak dapat lolos terpaksa menyerah.

Kongsun Sin-tho memberi sisa tiga butir pil kepada Siau-liong, “Pil itu tak mudah diperoleh. Selain dapat mengobati segala macam racun, pun mempunyai daya untuk menghidupkan orang yang sudah meregang jiwa. Harap engkau simpan baik dan apabila perlu dapat engkau gunakan."

Siau-liong segera menyimpannya.

Saat itu suasana pertempuran sudah sunyi. Ceng Hi totiang saling berpandang-pandangan dengan keempat tokoh sakti. Ia menuturkan kepada mereka semua peristiwa yang telah terjadi selama ini. Terutama jasa-jasa Siau-liong yang pantang mundur dalam menghadapi huru hara dari Iblis Penakluk-dunia.

Sekalian orang gagah bertepuk sorak memuji-memuji keberanian dan kegagahan anak muda itu!

Tetapi Siau-liong sendiri merasa malu dalam hati. Jika tanpa bantuan si kakek Mata-satu, paderi sakti Kim-ting dan Poh Ceng-in, tak mungkin ia sendiri dapat menyelesaikan huru-hara itu.

Berturut-turut Randa Bu-san, Lam-hay Sin-ni, Jong Leng lojin, Naga Terkutuk, Harimau Iblis, It Hang totiang dan lain-lain, menghaturkan terima kasih kepada Siau-liong. Mereka berlutut dihadapan pemuda itu. Sudah tentu Siau-liong terkejut dan tersipu-sipu mengangkat mereka bangun.

Pada saat itu tiba-tiba berdatangan pula dua rombongan. Rombongan yang pertama ialah Coa-sik Se-si bersama Mawar Putih dan Tiau Bok-kun. Dan rombongan kedua ialah Kakek Mata-satu bersama si dara Song Ling.

Melihat suhu dan puterinya datang, girang Randa Bu-san bukan kepalang.

Sementara itu, Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka masih dikepung oleh rombongan orang gagah. Jong Leng lojin, Naga Terkutuk, Harimau Iblis dan beberapa tokoh segera menghampiri. Tokoh-tokoh itu geram sekali.

Jong Leng lojin memungut sebatang pedang yang terletak di tanah dan membentak, “Dosa kedua suami isteri iblis itu sudah melewati takeran. Adakah saudara-saudara masih suka memberi ampun kepada mereka?"

"Tidak! Mati pun mereka masih ringan kalau dinilai dari dosanya!" seru sekalian orang gagah.

Tiba-tiba terdengar suara orang menangis. Dan pada lain saat tampak Poh Ceng-in lari menghampiri lalu berlutut di hadapan Siau-liong, “Tong-siauhiap! Harap engkau suka berlaku murah memberi ampun jiwa ayah bundaku itu!"

Saat itu Coa-sik Se-si pun menghampiri lalu mengangkat bangun Poh Ceng-in, “Nak, ah, engkau cukup banyak menderita....”

Buru-buru Siau-liong berkata kepada Jong Leng lojin, “Locianpwe, sukalah locianpwe menerima sebuah permintaanku?"

"Silahkan, apa pun yang Tong-siauhiap bilang, aku tentu menurut," sahut Jong Leng.

Siau-liong menghela napas, “Saat ini huru-hara sudah teratasi. Kedua suami isteri Iblis Penakluk-dunia itu sudah tak berdaya lagi. Marilah kita melakukan budi kebaikan untuk mengampuni jiwa mereka!"

Ceng Hi totiang dan Kongsun Sin-tho segera melangkah menghampiri Siau-liong. Kata Kongsun Sin-tho, “Untuk memberi ampun jiwa mereka, pun boleh saja! Tetapi demi menjaga timbulnya bahaya dikemudian hari lagi, ilmu kepandaian mereka harus dilenyapkan."

Melihat Siau-liong diam saja, Ceng Hi totiang pun segera mencabut sebilah badik yang terselip di pinggangnya. Dipotongnya urat nadi penting dari kedua suami isteri iblis itu lalu dibebaskannya jalan darah mereka yang tertutuk itu.

Iblis Penakluk-dunia dan Dewi Neraka terpaku seperti patung. Wajah mereka suram muram.

Poh Ceng-in lari kesamping ibunya dan berseru pelahan, “Ma, aku.... aku sungguh menyesal dan bersalah kepadamu....” — ia segera menangis tersedu sedan.

Lama sekali Poh Ceng-in tumpahkan kesedihan hatinya. Setelah berhenti menangis ia segera mengangkat bangun kedua ayah bundanya dan dibawanya turun gunung.

Tiba-tiba Coa-sik Se-si memberi perintah kepada Siau-liong, “Lekas kau susul mereka dan bawa kembali kesini!"

Siau-liong segera lari mengejar seraya berteriak memanggil Poh Ceng-in, “Nona Poh....”

Tetapi tanpa berpaling muka, Poh Ceng-in berseru membalas, “Aku hendak pergi!"

"Aku sungguh menyesal sekali! Aku memutuskan.... akan mengambil engkau sebagai isteri!" Siau-liong berteriak gopoh.

Poh Ceng-in menjawab rawan, “Ah, terima kasih atas kebaikanmu itu. Tetapi sekarang lain halnya! Aku sudah menyadari semua! Jika kau memang orang yang pegang janji, engkau datang tahun depan untuk memenuhi janji mati bersama aku!"

Kedua sudah isteri iblis yang dipapah berjalan oleh Poh Ceng-in itu terkejut dan berpaling memandang Siau-liong. Tetapi mereka cepat menghadap kemuka lagi dan melanjutkan perjalanan turun gunung. Tak berapa lama mereka pun lenyap dalam kegelapan malam.

Siau-liong tertegun beberapa saat lalu berjalan balik ketempat mamanya. Sekalian orang gagah segera mengerumuni Siau-liong. Mereka mendengar apa yang dibicarakan Siau-liong dengan Poh Ceng-in tadi. Tetapi walaupun mereka tak mengerti apa maksud pembicaraan itu, mereka tak berani bertanya kepada Siau-liong.

Saat itu karena pertempuran sudah selesai dan keadaan kembali aman, rombongan orang gagah itu saling bergembira ria dan tertawa-tawa.

Setelah puas bercakap-cakap, Ceng Hi totiang menghampiri Siau-liong, “Rasanya tiada berguna aku menunggu lama disini. Sebaiknya aku akan kembali. Maka ijinkanlah Tong-siauhiap, kami hendak mohon diri!"

Sekali pun pada saat itu Siau-liong dipandang sebagai bintang penyelamat dunia persilatan dan seorang tokoh silat yang telah memiliki kepandaian sakti, tetapi diam-diam hati pemuda itu gelisah. Mendengar Ceng Hi totiang dan beberapa tokoh hendak pulang, walaupun merasa tindakan mereka itu terlalu bergegas, namun Siau-liong tak mau banyak bicara.

Demikian setelah beberapa tokoh itu tinggalkan gunung, keadaan makin sepi. Saat itu sudah menjelang fajar. Angin makin dingin. Keempat tokoh pewaris ilmu sakti masih berada disitu.

Kongsun Sin-tho menghampiri Siau-liong dan memberi salam, “Siau-liong, akupun juga akan pergi....!"

Siau-liong bercekat hatinya dan tanpa tersadar, ia bercucuran air mata, “Apakah suhu hendak pulang ke Hong-san?"

Jawab tabib sakti itu, “Segala kehendakku sudah selesai. Sebelum mati, ingin aku pesiar menikmati keindahan gunung-gunung dan sungai-sungai yang terkenal. Sekarang aku hendak memulai pesiar kepegunungan Tang-gak. Dunia begini luas, jejakku sukar ditentukan."

Habis berkata tokoh itu terus ayunkan langkah. Siau-liong benar-benar tersayat hatinya. Ia masih ingin bicara banyak sekali dengan gurunya yang baik budi itu.

Tetapi ketika ia hendak melangkah mencegahnya, tiba-tiba tampak Mawar Putih lari dan berlutut dihadapan Coa-sik Se-si, menangis, “Suhu, mohon engkau sudi meluluskan sebuah permintaanku!"

Coa-sik Se-si buru-buru mengangkatnya bangun, “Kalau ada apa-apa, bilanglah! Tentu akan kululuskan permintaanmu itu!"

Mawar Putih masih sesenggukan berkata, “Mohon suhu suka meluluskan aku menjadi rahib! Lam-hay Sin-ni locianpwe hendak mengambil aku....”

Sesaat Coa-sik Se-si tak dapat berkata apa-apa. Ia tahu apa sebab muridnya hendak masuk menjadi rahib itu. Berpaling ke arah Siau-liong, dilihatnya puteranya itu terlongong-longong mengucurkan air mata.

Sampai beberapa lama, barulah ia berkata, “Lam-hay Sin-ni locianpwe adalah salah seorang tokoh sakti yang mewarisi salah satu dari lima ilmu sakti. Beliau hendak menerimamu sebagai murid, memang suatu keberuntungan bagimu. Tetapi....”

Coa-sik Se-si tak dapat melanjutkan ucapannya karena saat itu Mawar Putih sudah mengeluarkan sebilah badik dan terus memotong rambutnya. Coa-sik Se-si hendak mencegah tetapi sudah terlambat. Terpaksa ia hanya menghela napas panjang dan tak berkata suatu apa.

Tiau Bok-kun yang sejak tadi berdiri disamping tak ikut bicara, demi melihat Mawar Putih memotong rambut, tiba-tiba ia segera menghampiri Siau-liong, “Tong siangkong! Atas budi pertolonganmu kepadaku itu, mungkin dalam kehidupan sekarang aku tak dapat membalas....!" - habis berkata iapun segera memotong rambutnya juga.

Saat itu Siau-liong termangu-mangu seperti patung. Dia tak dapat berkata apa-apa kecuali bercucuran air mata....

Setelah mengucap terima kasih kepada Coa-sik Se-si, Lam-hay Sin-ni segera memimpin tangan Mawar Putih diajak pergi.

Jong Leng lojin tertawa gelak-gelak. Ia melangkah kemuka Tiau Bok-kun, katanya, “Aku masih belum punya pewaris, entah apakah engkau suka....”

Tiau Bok-kun girang sekali. Buru-buru ia berlutut dan memberi hormat dengan khidmat, “Suhu....”

Jon Leng lojin tertawa meloroh, kemudian berseru kepada Lam-hay Sin-ni, “Muridku juga tak kalah dengan muridmu itu!"

Kemudian Randa Bu-san pun hendak pamit. Sementara si dara Song Ling berdiri jauh tak mau memandang Siau-liong.

Karena ditinggal pergi oleh tokoh-tokoh itu, hati Siau-liong seperti tertindih batu. Ia hendak menangis, tetapi air matanya sudah kering. Akhirnya ia bertanya kepada Randa Bu-san: "Apakah Cianpwe juga akan pergi?"

Randa Bu-san tertawa, “Di dunia tiada perjamuan yang takkan berakhir. Kalau saatnya harus berpisah, kita pun harus berpisah!"

Demikian para tokoh-tokoh itu satu demi satu segera tinggalkan tempat itu. Yang ada kini hanya Siau-liong dan mamanya.

Wajah Siau-liong penuh bekas air mata. Pikirannya melayang pada masa yang lalu. Bayang-bayang orang satu demi satu melintas pada benaknya.

Tetapi mengingat bahwa mereka telah mendapat tempat yang tepat, hatipun tenang. Ia menghapus air mata dan paksakan tertawa, “Ma, mari kita tinggalkan tempat ini juga!"

Saat itu hati Coa-sik Se-si pun girang dan sedih. Serentak ia berbangkit, ujarnya, “Marilah kita kegunung Hong-san untuk menyambangi makam ayahmu!"

Siau-liong terhibur hatinya. Sambil menggandeng tangan mamanya, mereka segera berjalan pelahan-lahan menuruni gunung. Karena sudah tiada urusan yang penting, mereka pun melakukan perjalanan dengan pelahan.

Setiba dibawah gunung lebih dulu mereka mencari penginapan dirumah penginapan. Setelah itu mereka menyewa kereta. Lebih kurang setengah bulan kemudian barulah mereka tiba digunung Hong-san.

Pada saat mereka mendaki ke atas gunung, apa yang disaksikannya membuat mereka terkejut sekali. Ceng Hi totiang dan rombongan orang gagah yang terdiri dari beratus-ratus orang, muncul menyambut mereka.

Didekat kuburan almarhum Tong Gun-liong, didirikan beberapa buah bangsal. Selusin bujang perempuan segera memimpin tangan Coa-sik Se-si diajak masuk ke dalam bangsal.

Karena terkejut, Siau-liong sampai tak dapat berkata apa-apa. Ia tak mengerti mengapa tokoh-tokoh persilatan berada disitu.

Kiranya untuk membalas jasa Siau-liong, Ceng Hi totiang memimpin rombongan kaum persilatan menuju ke Hong-san dan mendirikan bangsal dan membangun sebuah gedung yang mewah. Gedung itu akan dipersembahkan kepada Siau-liong sebagai tempat tinggal ibunya.

Siau-liong sukar menolak kebaikan Ceng Hi totiang dan tokoh-tokoh persilatan. Terpaksa ia mengucapkan terima kasih.

Gunung Hong-san yang biasanya sunyi, saat itu ramainya bukan kepalang. Beratus-ratus tokoh persilatan bersembahyang didepan makam Tong Gun-liong. Mereka dipelopori Ceng Hi totiang yang bersembahyang dengan berlutut di depan nisan, Coa-sik Se-si dan Siau-liong berdiri, di samping makam untuk membalas hormat.

Coa-sik Se-si benar-benar terharu melihat upacara yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia persilatan. Ia bercucuran air mata dan berkemak-kemik mendoa, “Gun-liong, Gun-liong.... jika engkau tahu keadaan ini. engkau pasti dapat meram dengan puas di alam baka!"

Selesai upacara sembahyangan, tiba-tiba Toh Hun-ki ketua Kong-tong-pay bersama keempat Su-lo maju ke depan makam dan berseru, “Dahulu kamilah yang salah memberi keputusan. Maka kami akan menebus kesalahan itu dengan kematian!"

Habis berkata mereka sama mencabut badik dan terus hendak bunuh diri.

Sesungguhnya Siau-liong tak sampai hati melihat mereka membunuh diri. Tetapi ia tak berani lancang mengambil tindakan. Maka ia berpaling memandang ibunya.

Ternyata Coa-sik Se-si sudah bergegas maju menghampiri dan berseru, “Cianpwe sekalian, harap jangan bertindak begitu. Bagaimanapun halnya, Gun-liong adalah muridmu. Pada masa itu dia telah melanggar peraturan perguruan. Sudah seharusnya menerima hukuman....”

Ceng Hi totiang pun juga menghampiri dan tertawa, “Peristiwa yang lampau sudah lalu! Hari ini benar-benar suatu peristiwa bersejarah bahwa seluruh kaum persilatan melakukan upacara sembahyang. Soal yang lalu, tak perlu diungkat lagi!"

Siau-liong juga ikut menasehati sehingga tokoh-tokoh Kong-tong-pay itu mau juga batalkan niatnya membunuh diri. Mereka menghaturkan terima kasih kepada ketiga orang itu. Dan suasana berkabung, kini berobah menjadi suatu peristiwa yang menggembirakan.

Hari kedua, rombongan kaum persilatan pun mengadakan sembahyangan dimakam Pendekar Laknat dan Pengemis Tengkorak.

To Kiu-kong menyerahkan Soh-beng Ki-su kepada Siau-liong. Dihadapan makam Pendekar laknat, Siau-liong menusuk dada Soh-beng Ki-su mengambil hatinya dan disembahyangkan didepan makam Pendekar Laknat.

Selesai upacara sembahyangan itu, Ceng Hi totiang hendak mengangkat Siau-liong sebagai pemimpin dunia persilatan. Tetapi Siau-liong tetap menolak. Ia menyatakan lebih senang menjadi Cousu dari partai Kay-pang dan berkedudukan sama dengan ketua partai-partai persilatan lain.

Sudah tentu partai Kay-pang girang sekali. Mereka menyambut pernyataan Cousu-ya mereka itu dengan berlutut menghaturkan terima kasih. Sejak itu Kay-pang makin menjulang namanya. Partai itu seolah-olah dianggap sebagai pemimpin dunia persilatan.

Setelah hampir sebulan berada di gunung Hong-san, sekalian tokoh-tokoh persilatan itupun segera berbondong-bondong pulang ke tempat masing-masing.

Sejak itu Siau-liong bersama ibunya tinggal di gunung Hong-san. Mereka melewatkan kehidupan yang bahagia.

Tetapi Siau-liong tetap gelisah memikirkan nasib Mawar Putih, Tiau Bok-kun, Poh Ceng-in dan lain-lain. Ia pun ingat bahwa besok tahun muka pada pertengahan musim rontok, ia harus menuju ke gunung Bu-san untuk memenuhi perjanjiannya dengan Poh Ceng-in.

Rupanya Coa-sik Se-si tahu apa yang terkandung dalam hati puteranya. Ia menasehati agar Siau-liong dapat mempengaruhi pikiran Poh Ceng-in supaya membatalkan rencana untuk mati bersama itu. Dan sebagai perobahan, Siau-liong supaya menerima Poh Ceng-in sebagai isteri....

Siau-liong mengiakan. Setelah tiba waktunya ia segera berangkat menuju ke Bu-san.

Dalam perjalanan, ia menimang, “Randa Bu-san tentu sudah tahu bahwa Pendekar Laknat itu sebenarnya sudah mati. Dengan begitu perjanjian mereka untuk mengadakan pertempuran, dengan sendirinya gugur. Dan sekarang hanya sebuah perjanjian dengan Poh Ceng-in yang harus ia selesaikan!"

Tiba di gunung Bu-san, tepat pada pertengahan bulan 8 pagi. Perjanjiannya dengan Poh Ceng-in ialah hari kedua dari pertengahan bulan delapan. Ia duga, apabila Poh Ceng-in datang memenuhi janji, tentu tak mungkin datang lebih dulu dari dirinya.

Tetapi diluar dugaan, begitu membelok pada sebuah tikungan gunung, ia melihat di tengah sebuah hutan telah dibangun sebuah makam. Dan ah.... ternyata Poh Ceng-in sudah berada di situ. Ia tetap mengenakan pakaian merah menyala dan duduk disamping makam.

"Nona Poh!" serentak Siau-liong berseru seraya lari menghampiri.

Poh Ceng-in serentak berbangkit tetapi tiba-tiba ia menjerit dan rubuh lagi.

Siau-liong terkejut dan cepat memapahnya bangun. Sambil ulurkan tangan kiri, Poh Ceng-in mengerang, “Lenganku digigit ular beracun yang kupelihara! Lekas bantu menghisap racun itu!"

Waktu memeriksa, Siau-liong memang melihat lengan kiri nona itu terdapat dua buah lubang yang masih bercucuran darah. Tanpa banyak berpikir lagi, ia terus menghisapnya dengan mulut.

"Lekas hisap! Lekas isap! Kalau racun keburu masuk ke dalam jantung, tiada obatnya lagi!" berulang kali Poh Ceng-in merintih-rintih.

Karena gugup, Siau-liong terus menghisap mati-matian. Karena darah terus mengalir tak berhenti, Siau-liong tak keburu meludahkan ke tanah sehingga terus ditelannya. Keadaan itu berlangsung sampai lama.

"Apakah sekarang nona sudah merasa enak?" tanyanya beberapa saat kemudian.

Tetapi serentak dengan itu wajahnya pun berobah. Dilihatnya wajah Poh Ceng-in pucat lesi seperti orang yang mau mati.

Kemudian nona itu paksakan tertawa rawan, “Aku tak pantas menjadi jodohmu.... racun jong-tok itu.... su.... dah.... punah....!"

Habis berkata wanita pemilik Lembah Semi itu pun kelentuk kepalanya dan meramkan mata selama-lamanya.

Siau-liong terkejut. Tanpa disadari ia menangis dan berkabung melihat penderitaan dan pengorbanan wanita itu. Saking sedihnya ia sampai pingsan.

Setelah sadar barulah ia mengetahui bahwa Kakek Mata-satu, Randa Bu-san dan Song Ling sudah menjaga disampingnya.

Siau-liong segera menanam Poh Ceng-in ke dalam liang yang telah disiapkan itu.

Kemudian Siau-liong tegak berdiri di samping makam itu seperti orang yang kehilangan semangat. Kakek Mata-satu dan Randa Bu-san menghiburnya dan akhirnya dapat membujuknya diajak pulang ke Hong-san.

Coa-sik Se-si juga berduka mendengar peristiwa kematian Poh Ceng-in. Sedang Siau-liong tetap lesu seperti orang sakit. Ia lebih suka membenam diri dalam kamar.

Dua bulan kemudian barulah ia mulai dapat kembali semangatnya yang hilang itu. Hari itu ia merasa semangatnya segar, kedukaan hatinya pun berkurang. Maka keluarlah ia dari kamarnya.

Tetapi alangkah kejutnya ketika ia melihat keadaan di luar. Di ruangan besar, penuh dengan meja perjamuan dan tetamu-tetamu yang terdiri dari ketua partai-partai persilatan serta tokoh-tokoh ternama.

Siau-liong heran bukan kepalang. Buru-buru ia mencari mamanya untuk bertanya. Sudah dua bulan ia tak pernah keluar dari kamar sehingga tak tahu apa yang terjadi dalam rumah.

Coa-sik Se-si keluar menyambut diiringi oleh bujang perempuan. Dengan wajah berseri tawa, wanita itu berkata kepada puteranya, “Siau-liong, sekali pun dalam urusan ini aku tak pernah mengatakan kepadamu, tetapi engkau jangan menolak! Hari ini adalah hari kebahagiaanmu!"

Siau-liong kaget setengah mati, “Bagaimana ini....”

Coa-sik Se-si menukas tertawa, “Mempelai perempuan adalah Song Ling. Mamalah yang mencarikan jodohmu itu!"

Sekali pun Siau-liong tak berani membantah tapi ia banting-banting kaki dan menghela napas panjang.

Tiba-tiba Kakek Mata-satu muncul dengan tertawa-tawa, “Buyung, apakah engkau tak ingat janjimu yang telah engkau berikan kepadaku di puncak Kim-ting tempo hari?"

Siau-liong seperti disadarkan. Teringatlah ia mengapa kakek buta sebelah mata itu memaksanya supaya meluluskan sebuah permintaannya. Kiranya permintaan kakek itu tak lain ialah hendak menjodohkan cucu muridnya atau si dara Song Ling dengan dirinya. Ah.... ia tak berani banyak bicara lagi dan biarkan sekalian orang hendak mengatur bagaimana kepada dirinya.

Upacara perkawinan berlangsung megah sekali. Gunung Hong-san selama dua bulan ramainya bukan main.

Karena terjalin budi dan cinta, kedua mempelai itu hidup rukun dan berbahagia. Randa Bu-san dan Coa-sik Se-si girang sekali melihat putera puteri mereka telah mendapat jodoh yang sepadan. Bahkan Randa Bu-san menerima baik tawaran Coa-sik Se-si untuk tidak kembali ke Bu-san tetapi tinggal di gunung Hong-san bersama anak dan menantunya.

Setelah sekalian tokoh-tokoh persilatan pulang ketempat masing-masing, paderi Liau Hoan masih tinggal di situ. Ia menemui Siau-liong dan mengingatkan janjinya dahulu.

Ternyata pada tigapuluh tahun yang lalu gunung Thian-san meletus. Batu-batu besar menutup sebuah gua tempat tinggal kawanan orang-utan. Selama tigapuluh tahun itu paderi Liau Hoan suruh muridnya memberi makanan.

Tetapi kini orang-utan itu berkembang biak menjadi ratusan ekor jumlahnya. Lama kelamaan mereka tentu akan mati karena sesak. Maka Liau Hoan minta Siau-liong kesana untuk menghancurkan batu-batu besar yang menutup pintu gua.

"Hanya ilmu Thian-kong-sin-kanglah yang menghancurkan batu-batu raksasa itu. Maka kumohon siauhiap suka bersama aku pergi ke Thian-san," kata paderi itu.

Siau-liong mengajak isterinya memenuhi janji ke Thian-san. Setelah berhasil, maka kedua suami isteri pendekar itu berkelana melakukan amal perbuatan yang luhur dan berguna bagi rakyat.

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar