Lembah sungai tempat kapal
rombongan Huashan berlabuh itu ternyata sangat terpencil dan sunyi. Rumput
alang-alang tumbuh dengan suburnya. Namun di kejauhan sebelah timur terlihat
ada deretan rumah, seperti sebuah kota kecil.
Yue Buqun berkata, “Agaknya di
dalam kapal masih terdapat sisa-sisa racun. Terpaksa kita tidak bisa menumpang
kapal itu lagi. Mari kita menuju ke sana dan coba lihat apa yang bisa kita
temukan.”
Dewa Dahan Persik segera
menggendong Linghu Chong, sementara Dewa Ranting Persik menggendong Dewa Buah
Persik untuk kemudian berjalan di depan rombongan tersebut. Sesampainya di kota
kecil itu, Dewa Dahan Persik dan Dewa Akar Persik mendahului masuk ke dalam
sebuah rumah makan. Mereka lantas berteriak-teriak, “Hai, pelayan! Sediakan
arak, buatkan lauk, ambilkan nasi!”
Linghu Chong yang sudah
diletakkan di atas kursi sempat melihat di dalam rumah makan tersebut tampak
duduk seorang pendeta Tao bertubuh kecil. Ia sangat terkejut karena pendeta itu
tidak lain adalah Yu Canghai, Ketua Perguruan Qingcheng.
Sepertinya Yu Canghai sedang
dalam keadaan terkepung. Ia terlihat duduk di sisi sebuah meja kecil, yang di
atasnya tersedia sepoci arak, sepasang sumpit, dan tiga piring makanan ringan.
Selain itu terdapat pula sebilah pedang mengkilap yang sudah dikeluarkan dari
sarungnya di atas meja tersebut. Di sekeliling meja terdapat tujuh buah bangku
panjang, yang masing-masing diduduki oleh satu orang.
Tujuh orang itu ada yang
laki-laki, ada yang perempuan. Rata-rata mereka berwajah bengis dan jahat. Di tiap
bangku juga terdapat senjata masing-masing orang. Mereka bertujuh sama sekali
tak bersuara. Semuanya menatap tajam kepada Yu Canghai. Sebaliknya, Ketua
Perguruan Qingcheng itu tenang-tenang saja. Tangan kirinya tampak memegang
cawan arak yang kemudian diteguk isinya. Sedikit pun lengan bajunya tidak
bergetar.
Menyaksikan itu, Dewa Akar
Persik berkata, “Pendeta kerdil itu sebenarnya ketakutan setengah mati. Dia
hanya berlagak tidak gentar.”
“Sudah tentu dia takut. Satu
dikeroyok tujuh, pasti dia akan kalah,” kata Dewa Ranting Persik.
“Benar. Jika dia tidak takut,
kenapa tangan kiri yang dipakai memegang cawan arak, bukan tangan kanan?
Tentunya tangan kanan siap sedia menyambar pedang bila perlu,” sahut Dewa Dahan
Persik.
Mendengar itu Yu Canghai mendengus.
Cawan arak pun dipindahkannya dari tangan kiri ke tangan kanan.
“Hah, dia mendengar ucapan
Kakak Kedua,” kata Dewa Bunga Persik. “Tapi matanya sama sekali tidak berani
memandang ke arah Kakak Kedua, itu berarti dia memang takut. Bukannya takut
kepada Kakak Kedua, tapi takut sedikit lengah saja akan diserang serentak oleh
ketujuh orang musuhnya itu, dan tubuhnya akan terpotong menjadi tujuh.”
“Salah!” seru Dewa Ranting
Persik. “Kalau ketujuh orang itu turun tangan, maka si pendeta kerdil akan
terpotong menjadi delapan, bukan tujuh.”
Dewa Daun Persik tertawa dan
menanggapi, “Pendeta itu sudah kerdil, kalau terpotong menjadi delapan bukannya
semakin kerdil?”
Meskipun Linghu Chong
bermusuhan dengan Yu Canghai, tapi begitu menyaksikan Ketua Perguruan Qingcheng
itu sedang dikepung musuh, ia merasa tidak ingin mengambil kesempatan untuk
menuntut balas. Ia hanya berkata, “Keenam Saudara Persik, pendeta itu adalah
Ketua Perguruan Qingcheng.”
“Kalau dia Ketua Perguruan
Qingcheng, memangnya kenapa? Apakah dia temanmu?” tanya Dewa Akar Persik.
“Mana berani aku mengikat
persahabatan dengan tokoh terkemuka seperti dia? Dia bukan temanku,” kata
Linghu Chong.
“Jika dia bukan temanmu, maka
kita dapat menyaksikan tontonan yang menarik,” ujar Dewa Dahan Persik.
“Benar!” seru Dewa Bunga
Persik sambil bertepuk tangan. “Pelayan, mana makanan dan araknya? Aku akan
minum sambil menyaksikan orang-orang itu mencacah pendeta kerdil ini menjadi
sembilan potong.”
Dewa Daun Persik bertanya,
“Mengapa sembilan?”
Dewa Bunga Persik menjawab,
“Musuhnya memang ada tujuh. Namun coba kau lihat biksu peminta sedekah itu
membawa sepasang golok kepala harimau? Sudah pasti dia nanti yang akan membuat
satu potong lagi.”
“Belum tentu!” sergah Dewa
Akar Persik. “Beberapa orang ini ada yang bersenjata gada bergerigi, ada pula
yang bersenjata tongkat emas. Mana bisa senjata macam itu untuk memotong?”
“Sudahlah, kalian jangan
bicara lagi. Kita tidak membantu pihak mana pun, tapi juga jangan mengganggu
perhatian Pendeta Yu yang sedang menghadapi lawan-lawannya,” tukas Linghu
Chong.
Maka Enam Dewa Lembah Persik
pun tidak bersuara lagi, hanya menyeringai sambil memandangi Yu Canghai.
Linghu Chong mengamati ketujuh
pengepung itu satu per satu. Biksu peminta sedekah memiliki rambut panjang sampai
bahu, dengan ikat kepala dari bahan tembaga yang memancarkan sinar berkilauan.
Di sisinya tertaruh sepasang golok melengkung berbentuk bulan sabit. Di sebelah
biksu berambut itu duduk seorang wanita berusia lima puluhan, dengan rambut
sudah beruban, berwajah suram, serta memiliki senjata berupa sebilah golok
pendek.
Di sebelahnya lagi
berturut-turut adalah seorang biksu dan seorang pendeta Tao. Si biksu memakai
jubah berwarna merah darah. Di sampingnya tertaruh sebuah simbal dan sebuah
mangkuk derma, yang keduanya terbuat dari baja murni. Tepian simbal itu tampak
sangat tajam. Sementara itu perawakan si pendeta Tao di sampingnya tinggi
besar. Senjata yang terletak di atas bangkunya adalah sebuah gada dihiasi gigi
serigala yang terlihat sangat berat.
Di sebelah si pendeta Tao
tampak seorang pengemis setengah umur duduk dengan kaki berselonjor. Bajunya
kotor compang-camping. Di atas bahunya melingkar dua ekor ular hijau yang
melilit di seputar lehernya. Kepala ular-ular itu berbentuk segitiga dengan lidah
yang menjulur-julur tanpa henti, terlihat sangat ganas.
Dua orang terakhir adalah
laki-laki dan perempuan. Yang lelaki buta mata sebelah kirinya, sedangkan yang
perempuan buta mata sebelah kanan. Di sisi kedua orang itu tersandar dua batang
tongkat penyangga yang berwarna kuning emas berkilauan. Jika kedua tongkat itu
terbuat dari emas murni tentu bobotnya luar biasa. Usia mereka agaknya baru
empat puluhan dengan penampilan kumal seperti para pengembara dunia persilatan
pada umumnya. Namun, tongkat yang mereka bawa terbuat dari logam mulia yang
berharga mahal sehingga agak sulit diterima akal sehat.
Si biksu berambut panjang
menatap tajam ke arah Yu Canghai. Perlahan kedua tangannya menggenggam gagang
sepasang golok bulan sabit sambil tetap memandang bengis. Si pengemis juga
memindahkan kedua ular di lehernya untuk kemudian digenggam di tangan, dengan
kepala mengarah kepada Yu Canghai. Si biksu berjubah juga meraih simbal
bajanya, sedangkan si pendeta Tao mempersiapkan gada gigi serigala di tangan.
Si nyonya setengah baya juga terlihat mengangkat golok pendeknya. Sepertinya
ketujuh orang tersebut bersiap menyerang Yu Canghai bersama-sama.
Namun Yu Canghai menanggapi
dengan tertawa, “Hahahaha. Mengandalkan jumlah banyak untuk main keroyok memang
kebiasaan lama kaum sesat seperti kalian. Silakan saja, Yu Canghai kenapa harus
gentar?”
Si lelaki mata satu berkata,
“Orang bermarga Yu, kami tidak bermaksud membunuhmu.”
“Benar,” sambung si wanita
mata satu. “Asalkan kau sudi menyerahkan Kitab Pedang Penakluk Iblis secara
baik-baik, maka kami akan membiarkanmu pergi secara baik-baik pula.”
Yue Buqun, Linghu Chong, Lin
Pingzhi, dan Yue Lingshan sangat terkejut begitu mendengar “Kitab Pedang
Penakluk Iblis” tiba-tiba disebut. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa
ketujuh orang itu mengepung Yu Canghai adalah untuk merebut Kitab Pedang
Penakluk Iblis dari Ketua Perguruan Qingcheng tersebut. Keempat oraang Huashan
itu saling berpandangan dan bertanya-tanya dalam hati, “Apakah Kitab Pedang
Penakluk Iblis benar-benar berada di tangan Yu Canghai?”
Si nyonya setengah baya
berkata dengan nada dingin, “Untuk apa buang-buang waktu dengan si kerdil ini?
Lekas kita bunuh dia, kemudian geledah mayatnya.”
Si wanita mata satu
menanggapi, “Mungkin saja dia menyembunyikan kitab itu di tempat sepi. Kalau
kita bunuh dia dan tidak menemukan kitab pusaka itu di balik bajunya, bukankah
ini sungguh celaka?”
Si nyonya setengah baya
mencibir dan berkata, “Kalau kita tidak menemukan kitab itu pada mayatnya, ya
sudah. Mengapa celaka segala?” Suaranya terdengar mendesis tidak jelas. Ketika
membuka mulut ternyata wanita beruban itu sudah kehilangan setengah jumlah
giginya.
Si wanita mata satu lantas
berkata kepada Yu Canghai, “Orang bermarga Yu, aku sarankan kepadamu supaya kau
serahkan saja kitab itu secara baik-baik. Kitab itu bukan milikmu tapi sudah
kau kangkangi berhari-hari. Isinya tentu sudah kau hafalkan luar kepala. Buat
apa kau menyembunyikannya mati-matian? Untuk apa?”
Yu Canghai diam tak bersuara.
Menyadari ketujuh lawannya bukan orang sembarangan, diam-diam ia pun menghimpun
tenaga yang berpusat pada titik Dantian di bawah pusar.
Pada saat itulah tiba-tiba di
luar sana terdengar suara gelak tawa seseorang. Orang itu kemudian masuk dengan
wajah berseri-seri. Ia memakai jubah sutra dengan kepala setengah botak dan
dahi licin berkilauan. Tubuhnya terlihat gemuk dan dagunya dihiasi janggut
berwarna hitam. Wajahnya berhias senyum yang terlihat sangat ramah. Tangan
kanan orang gemuk itu menggenggam botol zamrud, sedangkan tangan kiri membawa
kipas lipat. Penampilannya yang mewah dan rapi mirip seorang saudagar kaya
raya.
Begitu melangkah masuk ke
dalam rumah makan ia langsung terkejut melihat pemandangan yang ada. Senyumnya
terlihat berkurang, namun sekejap kemudian mulutnya kembali bergelak tawa.
Sambil memberi hormat pria gemuk itu berseru, “Aha, selamat bertemu, selamat
bertemu! Sungguh tidak kusangka para kesatria gagah di dunia ini ternyata
sedang berkumpul di sini. Aku benar-benar beruntung dapat berjumpa dengan
kalian.”
Kemudian ia memberi salam
kepada Yu Canghai dan berkata, “Wah, angin apa yang membawa Pendeta Yu, Ketua
Perguruan Qingcheng sampai datang ke Henan sini? Aku sudah lama mendengar
kehebatan ilmu Pedang Cemara Angin yang tiada tandingannya di dunia persilatan.
Sepertinya hari ini mata kita akan terbuka dan bertambah pengalaman.”
Yu Canghai sendiri sedang
menghimpun tenaga dalam sehingga tidak ambil peduli terhadap apa yang
diucapkannya.
Kemudian orang gemuk itu
menyapa laki-laki dan wanita mata satu dengan tersenyum, “Eh, sudah lama aku
tidak berjumpa dengan Sepasang Orang Aneh Tongbai. Sepertinya kalian bertambah
makmur saja.”
Si lelaki mata satu menjawab
dengan tersenyum pula, “Rezeki kami mana bisa lebih besar daripada rezeki
Saudagar You?”
Si gemuk yang bermarga You itu
tertawa beberapa kali kemudian berkata, “Aku ini hanya kelihatannya saja
begitu, tapi sebenarnya uang masuk di tangan kiri masuk, keluar di tangan
kanan. Cukup dari julukanku saja sudah bisa diketahui kalau hanya tampaknya
saja diriku ini hebat, tapi di dalamnya sebenarnya kosong melompong.”
Dewa Ranting Persik yang sejak
tadi menonton tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Apa julukanmu?”
Orang gemuk bermarga You itu
langsung menoleh ke arah suara. Ia melihat enam orang berpenampilan aneh namun
tidak tahu menahu dari mana mereka berasal. Sambil tersenyum ia pun menjawab,
“Namaku You Xun. Julukanku tidak enak didengar, yaitu ‘Si Licin Susah
Dipegang’. Orang-orang mengatakan diriku ini suka berteman. Demi teman, sedikit
pun aku tidak sayang mengeluarkan uang. Sama sekali tidak pelit. Meski aku
pandai mencari uang, tapi uang itu selamanya susah dipegang dan selalu lolos
dengan licin meninggalkan tangan.”
“Tuan You ini memiliki julukan
lain,” kata si lelaki mata satu.
“Benarkah? Mengapa aku tidak
tahu?” tanya You Xun dengan bibir tetap tersenyum.
“Si Belut Direndam Minyak,
licin dan susah dipegang,” sahut yang lain dengan nada dingin. Suaranya
terdengar tidak jelas, ternyata berasal dari si wanita setengah baya bergigi
ompong.
“Luar biasa!” seru Dewa Bunga
Persik. “Belut sendiri sudah licin, kalau direndam minyak tentu bertambah
licin. Siapa yang bisa menangkapnya?”
“Ah, itu hanya pujian
kawan-kawan persilatan karena ilmu ringan tubuhku yang katanya lincah seperti
belut. Sebenarnya aku sangat malu karena ilmu silatku sebenarnya sangat rendah
dan tidak pantas dibicarakan,” kata You Xun sambil tersenyum. Ia kemudian
menyapa wanita setengah baya berambut putih, “Nyonya Zhang, semakin hari kau
semakin lincah saja.”
Wanita setengah baya yang dipanggil
Nyonya Zhang itu memutar mata hingga bagian putihnya terlihat sambil berkata
lantang, “Ilmu silatmu yang paling hebat adalah bersilat lidah. Sana, pergilah
jauh-jauh!”
Orang bernama You Xun itu
ternyata sangat sabar. Sedikit pun ia tidak marah. Ia lantas menyapa si
pengemis berkalung ular, “Aha, Saudara Yan, Si Pengemis Sakti Sepasang Naga,
kedua naga hijau piaraanmu itu tampaknya makin lama makin gesit dan lincah.”
Pengemis itu bernama Yan
Sanxing. Ia sebenarnya berjuluk “Si Pengemis Jahat Sepasang Ular” namun oleh
You Xun diubah menjadi “Si Pengemis Sakti Sepasang Naga”. Meskipun berwatak
keji, namun Yan Sanxing tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum mendengar
sapaan bernada memuji tersebut.
You Xun juga mengenali Chou
Songnian si biksu berambut, Xibao si biksu berjubah, dan Yuling si pendeta Tao,
serta memuji-muji mereka sehingga ketiganya tersenyum senang. Begitulah, You
Xun terus menerus tertawa dan bercanda sehingga dalam sekejap bisa mengubah
suasana yang tadinya tegang menjadi damai.
Tiba-tiba terdengar Dewa Daun
Persik berseru, “Hei, Belut Direndam Minyak, kenapa kau tidak memuji kepandaian
kami, enam bersaudara yang hebat ini?”
“Oh, tentu saja … tentu saja
akan aku puji ….” sahut You Xun dengan tertawa. Tak disangka belum habis ia
berkata, tahu-tahu kedua kaki dan kedua tangannya sudah dipegang oleh Dewa Akar
Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, dan Dewa Daun Persik, untuk
kemudian diangkat ke atas.
You Xun terkejut namun dengan
cepat menguasai diri. Ia pun memuji, “Hebat sekali, sungguh kepandaian yang
hebat! Ilmu silat hebat seperti ini sungguh jarang ada dari dulu sampai
sekarang!”
Mendengar pujian itu keempat
Dewa Lembah Persik tidak menarik tubuh You Xun ke empat penjuru. Dewa Akar
Persik dan Dewa Ranting Persik pun serentak bertanya, “Mengapa kau sebut ilmu
silat kami hebat sepanjang masa?”
You Xun menjawab, “Aku
dijuluki ‘Si Licin Susah Dipegang’. Selama ini tidak ada orang yang mampu
memegang diriku. Tapi dalam sekali bergerak kalian berempat sudah dapat menangkap
aku. Sedikit pun kalian tidak merasa licin, juga pegangan kalian tidak terlepas
sama sekali. Jelas kepandaian kalian memang jarang ada sepanjang masa. Untuk
selanjutnya, ke mana pun aku pergi tentu aku akan menyiarkan nama besar kalian
berenam agar segenap kaum persilatan mengenal bahwa di dunia ini ada
tokoh-tokoh sakti seperti kalian.”
Dewa Akar Persik dan
adik-adiknya sangat senang mendengar sanjungan tersebut. Mereka pun segera
melepaskan You Xun.
Nyonya Zhang berkata dengan
sinis, “Si Licin Susah Dipegang benar-benar bukan julukan kosong. Lihat saja,
bagaimana kau baru saja meloloskan diri.”
“Ah, kepandaian keenam
pendekar ini memang benar-benar hebat. Aku sungguh kagum dan menaruh hormat,”
kata You Xun. “Hanya sayang, wawasanku terlalu payah. Mohon maaf, aku belum
kenal siapa julukan keenam pendekar yang mulia ini?”
“Kami enam bersaudara bergelar
Enam Dewa Lembah Persik. Aku sendiri bernama Dewa Akar Persik, yang ini adikku
Dewa Dahan Persik, yang itu Dewa Ranting Persik ….” begitulah Dewa Akar Persik
memperkenalkan adik-adiknya satu per satu.
“Bagus, benar-benar bagus!”
seru You Xun sambil bertepuk tangan. “Pantas saja aku tidak mengenal kalian.
Julukan ‘dewa’ memang cocok untuk orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi,
namun hidup suci jauh dari pergaulan duniawi seperti kalian.”
Kontan saja keenam bersaudara
itu bertambah senang. Mereka pun berseru bersama-sama, “Pikiranmu memang tajam,
pandanganmu memang tepat. Kau benar-benar seorang yang sangat hebat!”
Nyonya Zhang kembali melotot
ke arah Yu Canghai sambil membentak, “Orang bermarga Yu, Kitab Pedang Penakluk
Iblis jadi kau serahkan atau tidak?”
Sedikit pun Yu Canghai tidak
ambil peduli dan tetap berkonsentrasi menghimpun tenaga.
“Aih, aih, apa yang sedang
kalian ributkan?” tukas You Xun. “Setahuku Kitab Pedang Penakluk Iblis tidak
berada di tangan Pendeta Yu.”
“Lalu, apa kau tahu kitab itu
ada di tangan siapa?” tanya Nyonya Zhang.
“Orang itu punya nama besar.
Kalau kusebutkan mungkin kau akan ketakutan,” sahut You Xun.
“Lekas katakan,” bentak Chou
Songnian, si biksu berambut panjang. “Tapi kalau tidak tahu sebaiknya lekas kau
enyah dari sini dan jangan ganggu kami!”
“Wah, biksu hebat ini pasti
terlalu banyak makan daging babi atau kambing bakar sehingga mudah sekali
panas,” kata You Xun sambil tertawa. “Ilmu silatku memang tidak seberapa. Tapi
mengenai berita, kalian boleh tanya apa saja kepadaku. Setiap kabar hangat dan
berita rahasia di dunia persilatan rasanya tidak ada yang lolos dari mata dan
telingaku.”
Nyonya Zhang dan keenam
lainnya sudah hafal sepak terjang You Xun yang memang kaya berita. Pria gemuk
berpakaian saudagar itu selalu ingin tahu dan suka mencampuri urusan orang
lain. Hampir semua peristiwa di dunia persilatan dapat diketahuinya.
“Jangan main tebak-tebakan!
Lekas katakan saja!” kata wanita bermata satu.
“Sebenarnya Kitab Pedang
Penakluk Iblis ada di tangan siapa?” tanya Nyonya Zhang.
You Xun tersenyum menyeringai
kemudian menjawab, “Bukankah kalian sudah kenal julukanku ‘Si Licin Susah
Dipegang’? Uang masuk ke tangan kiri, keluar di tangan kanan. Sungguh sial,
beberapa hari terakhir ini aku benar-benar jatuh miskin, pasaran sepi, dagangan
macet. Kalian semua orang kaya. Sehelai rambut kalian saja sudah lebih tebal
daripada kakiku. Namun aku berhasil memperoleh berita yang sangat berharga ini,
meskipun dengan susah payah. Pepatah mengatakan, ‘Pedang diberikan kepada
pahlawan, bedak-gincu diberikan untuk si cantik.’ Maka, berita baik ini akan
kupersembahkan kepada pihak yang berkepentingan pula. Kali ini aku tidak main
tebak-tebakan, tapi sedang menjual berita. Tidak mahal, cukup dengan harga yang
pantas saja.”
“Baik, kalau itu keinginanmu.
Kau tunggu saja di sini. Nanti setelah kami bunuh Yu Canghai, maka giliranmu
untuk kami paksa mengaku,” kata Nyonya Zhang. Sekejap kemudian ia memberi
aba-aba, “Serang!”
Serentak terdengarlah suara
benturan senjata yang sangat ramai. Nyonya Zhang dan keenam rekannya telah
meninggalkan bangku masing-masing dan melancarkan beberapa jurus serangan
terhadap Yu Canghai. Usai menyerang, mereka lantas melompat mundur, namun tetap
dalam keadaan mengepung. Tampak darah segar mengucur dari paha Biksu Xibao dan
Chou Songnian. Sebaliknya, Yu Canghai sendiri telah memindahkan pedang dari
tangan kanan ke tangan kiri. Jubah di bagian bahu kanan terlihat robek-robek,
entah terkena senjata siapa.
“Serang lagi!” teriak Nyonya
Zhang. Sekali lagi mereka bertujuh menyerang maju. Suara benturan senjata
kembali terdengar riuh, kemudian mereka melompat mundur kembali dalam keadaan
masih mengepung Yu Canghai.
Kali ini muka Nyonya Zhang
tampak terluka memanjang, yaitu dari tengah alis kiri miring ke bawah sampai
dagu akibat tergores pedang. Sebaliknya, lengan kiri Yu Canghai telah terkena
sabetan golok. Ia terpaksa memindahkan pedang kembali ke tangan kanan, meskipun
bahu kanannya masih terluka.
Pendeta Yuling tampak
mengacungkan gada gigi serigala di tangannya sambil berkata. “Pendeta Yu, kita
ini sama-sama penganut agama Tao. Aku sarankan lebih baik kau mengalah saja.”
Yu Canghai hanya mendengus dan
memaki dengan suara rendah. Tangan kanannya hendak mengangkat pedang, tapi baru
terangkat sedikit saja sudah terasa lemas.
Nyonya Zhang tidak mau
membuang waktu. Tanpa mengusap darah yang mengalir di mukanya, wanita setengah
baya itu kembali mengangkat golok pendeknya sambil berteriak, “Serang lagi ….”
“Tunggu dulu!” tiba-tiba
terdengar suara seseorang membentak. Orang itu kemudian melompat masuk ke dalam
kalangan dan berdiri di samping Yu Canghai. “Kalian bertujuh mengeroyok satu
orang, sungguh tidak adil. Bukankah Tuan You tadi sudah mengatakan kalau Kitab
Pedang Penakluk Iblis tidak berada di tangan Yu Canghai?” Ternyata orang yang
menghentikan pengeroyokan tersebut adalah Lin Pingzhi.
Sejak tadi pandangan mata Lin
Pingzhi tidak pernah sedikit pun lepas dari Yu Canghai. Ketika melihat kedua
lengan Yu Canghai sudah terluka, ia yakin jika Nyonya Zhang bertujuh kembali
menyerang tentu Ketua Perguruan Qingcheng itu akan tercincang habis. Dendamnya
kepada Yu Canghai lebih dalam daripada lautan. Ia pernah bersumpah suatu hari
kelak ia harus membunuh Yu Canghai dengan tangannya sendiri. Maka, pemuda itu
pun maju melerai karena tidak rela Yu Canghai hari ini mati di tangan orang
lain.
“Siapa kau? Apa kau ingin
mampus bersama dia?” bentak Nyonya Zhang bengis.
Lin Pingzhi menjawab, “Mampus
bersama dia jelas bukan keinginanku. Aku hanya merasa urusan ini tidak adil.
Maka itu, aku ingin bicara sebagai pihak tengah. Aku sarankan lebih baik kalian
jangan bertempur lagi.”
“Kita cincang saja bocah ini
sekalian,” seru Chou Songnian.
“Siapa kau, bocah kurang ajar?
Besar sekali nyalimu berani mencampuri urusan kami?” bentak Pendeta Yuling.
“Namaku Lin Pingzhi dari
Perguruan Huashan ….” jawab si pemuda.
“Kau berasal dari Perguruan
Huashan? Lalu, di mana Tuan Muda Linghu?” sahut Sepasang Orang Aneh Tongbai,
Pengemis Jahat Sepasang Ular, dan Nyonya Zhang hampir bersamaan.
Linghu Chong memberi hormat
dan berkata, “Aku Linghu Chong. Aku hanya anak kampung, mana pantas dipanggil
‘tuan muda’ segala? Apa barangkali kalian kenal seorang sahabatku?”
Di sepanjang jalan, Linghu
Chong diperlakukan istimewa oleh orang-orang berilmu tinggi dan tokoh-tokoh
berkelakuan aneh. Mereka menaruh hormat kepadanya demi untuk menyenangkan
seorang “sahabat” yang entah siapa. Ia merasa kesulitan menebak siapa kiranya
sahabatnya yang berkuasa itu, atau kapan pernah bertemu dengan orang itu. Maka,
begitu mendengar Nyonya Zhang bertujuh bertanya tentang dirinya dengan sebutan
penghormatan, Linghu Chong yakin mereka pasti melakukan itu demi “sang sahabat”
yang luar biasa tersebut.
Pendeta Yuling segera
menurunkan senjatanya dan membungkuk dengan penuh hormat. Ia berkata, “Begitu
mendapat kabar, kami bertujuh segera menuju kemari. Siang dan malam kami
berjalan tanpa henti dengan harapan bisa bertemu dengan Tuan Muda Linghu.
Sekarang kami bisa bertemu di sini, sungguh sangat membahagiakan.”
Sementara itu Yu Canghai
sempat terkejut saat mengetahui bahwa orang yang telah menolongnya adalah Lin
Pingzhi. Namun, setelah berpikir sejenak, ia akhirnya memahami maksud dan
tujuan pemuda itu terhadapnya. Kini, melihat ketujuh penyerangnya sedang
berbicara dengan Linghu Chong, ia pun sadar bahwa ini adalah kesempatan baik
untuk meloloskan diri dan menyembuhkan luka di kedua lengan. Karena kedua
kakinya baik-baik saja, Yu Canghai pun melompat masuk ke belakang rumah makan,
kemudian keluar melalui pintu belakang dan kabur secepat kilat bagaikan
terbang.
Melihat itu, Yan Sanxing dan
Chou Songnian hanya bisa berteriak kaget namun sudah terlambat untuk melakukan
pengejaran.
You Xun, Si Licin Susah
Dipegang berjalan mendekati Linghu Chong. Dengan tertawa-tawa ia berkata,
“Ketika aku datang dari timur, di sepanjang jalan banyak sekali kawan
persilatan menyebut nama Tuan Muda Linghu yang mulia. Sungguh hatiku sangat kagum.
Menurut berita yang kuperoleh, ada puluhan ketua sekte, partai, perkumpulan,
juga majikan gua dan pulau yang semuanya ingin menemui Tuan Muda Linghu di atas
Lembah Lima Tiran. Maka itu, buru-buru aku datang untuk melihat keramaian.
Sungguh tidak kusangka bisa berjumpa lebih dulu dengan Tuan Muda Linghu di
sini. Tidak apa-apa, jangan khawatir, kali ini obat-obatan mujarab yang dibawa
ke Lembah Lima Tiran, paling tidak mencapai seratus macam. Sedikit penyakit
Tuan Muda Linghu yang tak berarti ini pasti bisa disembuhkan di sana. Hahaha,
bagus sekali, bagus sekali!” Demikian ia berkata sambil menarik-narik tangan
Linghu Chong seolah-olah sudah akrab dengan pemuda itu.
Linghu Chong terkejut dan
bertanya, “Ketua sekte, partai, perkumpulan, majikan gua dan pulau apa? Seratus
macam obat mujarab apa pula? Aku sama sekali tidak paham.”
Kembali You Xun terbahak-bahak
dan berkata, “Tuan Muda Linghu tidak perlu khawatir. Meskipun aku memiliki
nyali setinggi langit, tetap saja tidak berani menceritakan seluk beluk masalah
ini. Hendaknya Tuan Muda Linghu tenang saja, hahaha. Walaupun aku sembarangan
bicara dan Tuan Muda Linghu tidak marah kepadaku, tapi bagaimana kalau sampai
diketahui orang lain? Memangnya si marga You ini punya berapa kepala? Meskipun
aku sepuluh kali lebih lincah dan licin, tetap saja cepat atau lambat kepalaku
akan dipenggal orang.”
“Kau bilang tidak berani
bicara sembarangan, tapi mengapa terus-menerus mengoceh tentang urusan ini?”
sahut Nyonya Zhang. “Apa pun yang akan terjadi di Lembah Lima Tiran, Tuan Muda
Linghu akan menyaksikannya sendiri. Jadi, apa gunanya kau banyak cerewet di
sini? Coba jawab, Kitab Pedang Penakluk Iblis itu sebenarnya berada di tangan
siapa?”
You Xun pura-pura tidak
mendengar dan berpaling ke arah Yue Buqun suami-istri. Sambil terssenyum ia
menyapa, “Sejak aku melangkah masuk ke rumah makan ini dan melihat kalian
berdua, hatiku bertanya-tanya: Siapa gerangan Tuan dan Nyonya yang terlihat
begitu anggun dan tenang perilakunya ini? Dari golongan manakah kiranya mereka
berdua berasal? Karena kulihat kalian bersama Tuan Muda Linghu, maka aku berani
menebak bahwa kalian berdua adalah Ketua Perguruan Huashan yang ternama, ‘Si
Pedang Budiman’ Tuan Yue beserta Nyonya.”
Yue Buqun tersenyum
menanggapi, “Tuan terlalu menyanjung. Aku tidak berani menerima pujian itu.”
You Xun berkata lagi, “Pepatah
mengatakan: Punya mata tapi tak melihat besarnya Gunung Taishan. Hari ini saya
punya mata tapi tak melihat keagungan Huashan. Baru-baru ini Tuan Yue telah
membutakan mata lima belas musuh tangguh dengan hanya sekali mengayunkan
pedang. Berita ini telah menggetarkan dunia persilatan. Saya sangat kagum dan
ingin sekali menghaturkan sembah. Sungguh ilmu pedang yang hebat! Sungguh
hebat!”
Demikian pria gemuk itu
bercerita dengan menggebu-gebu seolah pernah menyaksikan kejadian itu dengan
mata kepala sendiri. Yue Buqun hanya mendengus dengan wajah memancarkan
perasaan tidak suka.
You Xun melanjutkan, “Dan
Nyonya Yue, Pendekar Wanita Ning ….”
“Kau bicara ke sana kemari,
kapan berhenti? Cepat katakan, di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis berada?”
bentak Nyonya Zhang menukas. Meskipun telah disebutkan nama Yue Buqun
suami-istri namun wanita setengah baya itu ternyata tidak ambil peduli.
“Berikan seratus tahil perak
kepadaku dan segera akan kuberitahukan padamu,” kata You Xun dengan tertawa
sambil menjulurkan sebelah tangannya.
“Keparat, dalam kehidupanmu
yang sebelumnya pasti kau tidak pernah melihat duit! Selalu minta uang untuk
ini, untuk itu,” damprat Nyonya Zhang.
Si lelaki mata satu dari Sepasang
Orang Aneh Tongbai mengeluarkan sejumlah uang perak dari balik bajunya dan
melemparkannya kepada You Xun, sambil berkata, “Itu seratus tahil perak.
Sekarang lekas bicara!”
You Xun menimbang-nimbang uang
perak itu, lalu menjawab, “Terima kasih banyak. Sekarang mari kita keluar. Akan
kukatakan kepadamu.”
“Untuk apa keluar? Bicara saja
di sini agar didengar semua orang,” kata si lelaki mata satu.
“Ya, benar! Kenapa harus
sembunyi-sembunyi?” seru orang banyak.
Tapi You Xun menggeleng-geleng
dan berkata, “Tidak bisa, tidak bisa. Aku minta seratus tahil perak, artinya
setiap orang harus membayar seratus tahil. Berita sepenting ini memangnya bisa
dijual obral? Apa kata dunia?”
Si lelaki mata satu
melambaikan tangan. Chou Songnian, Nyonya Zhang, Yan Sanxing, Biksu Xibao, dan
yang lain segera maju dan mengepung You Xun, sama seperti saat mereka mengepung
Yu Canghai tadi.
Nyonya Zhang berkata, “Dia
dijuluki ‘Si Licin Susah Dipegang’. Untuk menghadapinya tidak bisa menggunakan
tangan kosong. Lekas siapkan senjata!”
Pendeta Yuling mengangkat gada
gigi serigalanya dan memutar-mutar senjata itu di udara hingga mengeluarkan
bunyi desiran angin. Ia berkata, “Benar! Coba lihat, apakah kepalanya juga
licin dan susah dipegang?”
Semua orang memandangi
gigi-gigi serigala yang tajam berkilauan dan terpasang pada gada tersebut,
kemudian memandang pula ke arah dahi You Xun yang licin dan rambutnya yang
hitam berkialauan seperti diminyaki. Mereka pun berpikir, “Kepala si marga You
itu sepertinya tidak akan bernasib baik.”
You Xun pun berkata kepada
Linghu Chong, “Tuan Muda Linghu, tadi sobat muda dari perguruanmu yang mulia
telah menolong Pendeta Yu dari kepungan mereka dengan mengucapkan beberapa
kalimat. Sekarang si marga You ini sedang mengalami kesulitan besar, mengapa
Tuan Muda Linghu seakan tidak mendengar dan melihatnya?”
Linghu Chong menjawab, “Kalau
kau tidak mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis berada, maka aku akan
ikut campur membantu Nyonya Zhang dan kawan-kawan dan terpaksa menyulitkanmu.”
Sampai di sini hatinya terasa pilu dan tanpa sadar ia menoleh ke arah Yue
Lingshan sambil berpikir, “Bahkan kau pun menuduhku mengambil kitab pedang
milik Lin Kecil.”
“Bagus sekali, bagus sekali!
Tuan Muda Linghu silakan turun tangan sekalian!” seru Nyonya Zhang bertujuh.
“Aih!” You Xun menghela napas
lalu berkata, “Baiklah, akan kukatakan saja. Silakan kalian kembali ke bangku
masing-masing. Untuk apa masih mengepungku?”
“Terhadap Si Licin Susah
Dipegang, kami terpaksa harus meningkatkan kewaspadaan,” ujar Nyonya Zhang.
“Wah, ini namanya cari
penyakit,” gumam You Xun. “Seharunya aku menunggu di Lembah Lima Tiran saja
untuk melihat keramaian, bukannya malah mengantar nyawa ke sini.”
“Sudahlah, tak perlu cerewet
lagi! Kau mau bicara atau tidak?” ancam Nyonya Zhang.
“Baiklah, baiklah, akan
kukatakan, mengapa tidak?” sahut You Xun. Tiba-tiba ia berteriak keras sambil
matanya memandang ke luar rumah makan dengan wajah penuh rasa heran dan segan,
“Hah, Ketua Dongfang, ternyata kau juga berkenan untuk berkunjung kemari?”
Semua orang terkejut dan
serentak menoleh ke arah You Xun memandang. Bagaimana tidak, Dongfang Bubai
adalah Ketua Sekte Iblis yang kesaktiannya menggetarkan dunia persilatan. Namun
yang tampak di jalan raya sana hanya seorang tukang sayur yang berjalan pelan
dengan menjinjing keranjang.
Waktu semua orang berpaling
kembali, ternyata You Xun sudah menghilang entah ke mana. Baru sekarang mereka
sadar telah tertipu mentah-mentah. Nyonya Zhang, Chou Songnian, Yuling, dan
yang lain hanya bisa mencaci maki. Mereka sadar kalau You Xun memiliki ilmu
ringan tubuh luar biasa. Kalau ia sudah melarikan diri tentu sulit untuk
menangkapnya kembali.
Tiba-tiba Linghu Chong berkata
lantang, “Aha, ternyata Kitab Pedang Penakluk Iblis sebenarnya berada di tangan
You Xun, Sungguh tidak kusangka bahwa dia yang berhasil mendapatkannya.”
“Benarkah itu?” tanya orang
banyak. “Apa benar kitab itu ada di tangan You Xun?”
“Sudah tentu berada di
tangannya,” sahut Linghu Chong. “Kalau tidak, mengapa dia tidak mau mengaku terus
terang dan memilih kabur?” Saat bicara sampai di sini ia merasa tenaganya
benar-benar terkuras habis.
Mendadak terdengar suara You
Xun berteriak di luar pintu, “Tuan Muda Linghu, mengapa kau sengaja memfitnah
diriku?” Menyusul kemudian orang itu melangkah masuk kembali ke dalam rumah
makan tersebut.
Nyonya Zhang dan yang lain
segera melompat maju dan mengepung pria gemuk itu di tengah-tengah.
“Hahaha, kau telah masuk
perangkap Tuan Muda Linghu!” seru Pendeta Yuling sambil tertawa.
You Xun terlihat sangat
khawatir. Ia berkata, “Benar, aku pun sadar akan perangkap Tuan Muda Linghu.
Tapi kalau ucapannya tadi tersiar di dunia persilatan, maka untuk selanjutnya
hidupku pasti tidak bisa berlalu dengan tenang, meski hanya sedetik. Setiap
orang persilatan tentu akan mencari perkara denganku. Meskipun memiliki tiga
kepala dan enam lengan tetap saja aku tidak akan mampu melawan. Aih, Tuan Muda
Linghu, kau sungguh hebat! Hanya satu kalimatmu saja sudah dapat menangkap
kembali diriku yang dijuluki Si Licin Susah Dipegang ini.”
Linghu Chong hanya tersenyum.
Dalam hati ia berkata, “Apanya yang hebat? Aku juga pernah difitnah orang
dengan cara seperti ini.” Tanpa terasa pandangan matanya mengarah kepada Yue
Lingshan. Ternyata si nona juga sedang memandang ke arahnya. Begitu tatapan
mata mereka bertemu, wajah keduanya sama-sama bersemu merah dan cepat-cepat
berpaling kembali.
Nyonya Zhang berkata, “Saudara
You, kau tadi barusan lari keluar untuk menyembunyikan Kitab Pedang Penakluk
Iblis supaya kami tidak bisa menemukannya, bukan begitu?”
“Wah, celaka, celaka! Tuduhan
Nyonya Zhang ini sangat keterlaluan. Kau benar-benar bisa membuat kepalaku
melayang,” sahut You Xun. “Coba kalian pikir, jika Kitab Pedang Penakluk Iblis
itu benar-benar berada padaku, tentu senjata yang kupakai adalah pedang. Tentu
ilmu pedangku juga sangat tinggi. Tapi mengapa sekarang aku tidak membawa
pedang dan juga tidak mengeluarkan ilmu pedang? Ilmu silatku juga terbilang
sangat rendah.” Mendengar ini diam-diam orang-orang yang mengepungnya merasa
ucapan tersebut sangat beralasan.
Tiba-tiba Dewa Akar Persik
ikut bicara, “Meskipun Kitab Pedang Penakluk Iblis ada di tanganmu juga belum
tentu kau sempat mempelajarinya. Andaikan kau mempelajarinya juga belum tentu
kau bisa menguasainya. Kau bilang tidak membawa pedang, bisa jadi pedangmu itu
sudah dicuri orang.”
“Kipas yang kau bawa itu
sebenarnya sebilah pedang pendek. Ketika kau gunakan untuk menunjuk, bukankah
itu adalah salah satu jurus dalam ilmu Pedang Penakluk Iblis?” kata Dewa Dahan
Persik menambahkan.
“Benar sekali! Coba lihat,
sekarang kipasnya itu menunjuk miring ke depan. Jelas itu adalah jurus Menunjuk
Iblis Licik dan Jahat, yaitu jurus ke-59 dari ilmu Pedang Penakluk Iblis. Ke
mana ujung kipasnya menuding, ke situlah sasarannya akan dibinasakan.”
Saat itu kebetulan ujung kipas
You Xun menunjuk ke arah Chou Songnian. Biksu berambut panjang ini termasuk
orang yang berangasan. Tanpa pikir panjang ia segera menggeram seperti macan
dan langsung menerjang maju dengan sepasang goloknya.
You Xun menghindar sambil
berseru, “Hei, hei! Jangan dianggap serius! Dia hanya bergurau!”
Maka terdengarlah suara
nyaring sebanyak empat kali. Rupanya sepasang golok Chou Songnian yang
masing-masing telah diayunkan dua kali dapat ditangkis semua oleh You Xun
menggunakan kipasnya yang sepertinya terbuat dari baja murni. Meskipun tubuhnya
terlihat gemuk dan berkulit putih seperti lazimnya kaum hartawan, tapi gerakan
You Xun ternyata sangat gesit. Bahkan ketika kipasnya diayunkan perlahan bisa
membuat golok Chou Songnian tergetar ke samping sampai beberapa inci. Jelas
ilmu silatnya lebih tinggi daripada biksu berambut panjang tersebut. Namun
karena sedang terkepung, pria gemuk itu tidak berani menyerang balik.
Melihat itu Dewa Bunga Persik
berseru, “Nah, nah, jurus itu adalah jurus ke-32 dari ilmu Pedang Penakluk
Iblis yang bernama ‘Kura-Kura Kentut’, sedangkan jurus untuk menangkis golok
adalah jurus ke-25 yang bernama ‘Kura-Kura Bertempurung Lunak Membalik Tubuh’”
Linghu Chong berkata, “Tuan
You, kalau Kitab Pedang Penakluk Iblis itu benar-benar tidak ada di tanganmu,
lalu berada di tangan siapa?”
“Benar, berada di tangan
siapa?” sahut Pendeta Yuling dan Nyonya Zhang ikut bertanya.
You Xun pun tertawa
terbahak-bahak kemudian berkata, “Sebenarnya aku tidak bicara karena ingin
menjual cerita rahasia ini dengan harga yang lebih bagus, beberapa ribu tahil
perak. Tapi kalian terlalu kikir, pelit, tentunya ingin menghemat uang.
Baiklah, akan kukatakan saja. Hanya saja, begitu mendengar siapa yang menyimpan
kitab pusaka itu, kalian hanya bisa menginginkannya di dalam hati. Kalau kitab
itu jatuh ke tangan orang lain, kalian masih bisa berharap untuk merebutnya.
Tapi karena kitab itu jatuh ke tangan jagoan ini, maka … aih ….”
Semua orang sampai menahan
napas menunggu disebutkannya nama tokoh tersebut. Tiba-tiba dari jauh terdengar
suara derap kaki kuda diselingi suara derit roda kereta menggelinding di
jalanan.
You Xun menggunakan kesempatan
itu untuk mengalihkan perhatian. Ia mengarahkan telinga untuk mendengar dengan
seksama sambil bertanya, “Eh, siapa yang datang?”
Pendeta Yuling berkata dengan
gusar, “Lekas katakan, siapa yang menyimpan kitab itu?”
“Sudah tentu akan kukatakan.
Untuk apa kau terburu-buru seperti ini?” sahut You Xun.
Sementara itu kereta kuda tersebut
sudah sampai di depan rumah makan dan lantas berhenti. Terdengar suara serak
seorang tua sedang bertanya, “Apakah Tuan Muda Linghu berada di sini?
Perkumpulan kami sengaja mengirimkan kereta ini untuk menyambut kedatangan Tuan
Muda!”
Linghu Chong sangat ingin
mengetahui di mana keberdaan Kitab Pedang Penakluk Iblis untuk memulihkan nama
baiknya dan menghapuskan kecurigaan sang guru, ibu-guru, adik kecil, dan
segenap saudara seperguruan. Maka, ia pun tidak menjawab panggilan dari luar
tersebut, melainkan tetap mendesak You Xun, “Di luar ada orang datang, lekas
katakan!”
You Xun menjawab, “Hendaklah
Tuan Muda Linghu maklum. Kedatangan orang-orang itu justru membuatku tidak
leluasa untuk menerangkan masalah ini.”
Sejenak kemudian kembali
terdengar suara derap kuda di jalanan. Paling tidak ada tujuh atau delapan
penunggang kuda yang datang mendekat dan kemudian berhenti di depan rumah
makan. Setelah dua rombongan tersebut bertemu, terdengarlah suara seseorang
berwibawa menyapa, “Ketua Huang, apakah kau datang kemari untuk menyambut Tuan
Muda Linghu?”
Lalu terdengar suara seorang
tua menjawab, “Benar. Ternyata Majikan Pulau Sima sendiri juga datang kemari.”
Orang pertama yang bersuara
berwibawa tadi berdeham sekali, disusul kemudian terdengar suara langkah kaki
yang berat dan mantap melangkah masuk ke dalam rumah makan. Tampak seseorang
bertubuh tinggi besar muncul dan bertanya, “Siapakah di antara kalian yang
bernama Tuan Muda Linghu? Saya Sima Da, datang untuk menyambut dan mengantar
Beliau menuju Lembah Lima Tiran untuk bertemu segenap kesatria gagah yang sudah
menunggu di sana.”
Merasa tidak punya pilihan
lain, Linghu Chong pun memberi hormat dan berkata, “Aku Linghu Chong ada di
sini. Aku tidak berani menyusahkan Majikan Pulau Sima.”
“Hamba bernama Sima Da,” sahut
Majikan Pulau Sima. “Karena dilahirkan dengan badan tinggi besar, maka orang
tua memberi nama Da kepada hamba. Selanjutnya, Tuan Muda Linghu boleh langsung
memanggil hamba Sima Da, atau Ah Da saja. Hamba tidak berani dipanggil Majikan
Pulau segala.”
“Ah, mana boleh begitu? Aku
tidak berani langsung memanggil nama kecil Tuan Sima,” ujar Linghu Chong. Ia
lalu memperkenalkan Yue Buqun dan Ning Zhongze. “Beliau berdua adalah guru dan
ibu-guruku.”
“Senang bertemu dengan Tuan
dan Nyonya berdua,” sahut Sima Da sambil memberi hormat. Ia kemudian berpaling
kepada Linghu Chong dan berkata, “Penyambutan hamba ini agak terlambat, mohon
Tuan Muda Linghu sudi memberi maaf.”
Yue Buqun sudah menjabat
sebagai Ketua Perguruan Huashan selama lebih dari sepuluh tahun. Selama ini ia
sangat dihormati kaum persilatan. Akan tetapi, orang-orang di hadapannya saat
ini, seperti Sima Da dan Nyonya Zhang bertujuh ternyata sama sekali tidak
memandang kepadanya. Kalaupun mereka memberi hormat, itu semata-mata dilakukan
demi Linghu Chong, dan ini terlihat jelas pada raut muka mereka. Hal ini jauh
lebih menyinggung perasaan daripada mereka mencaci maki secara terang-terangan.
Namun demikian, Yue Buqun seorang yang sangat pandai mengendalikan diri dan
menyembunyikan kekesalan. Sama sekali ia tidak menunjukkan kemarahan sedikit
pun.
Sementara itu, ketua
perkumpulan yang bermarga Huang tadi juga sudah melangkah masuk ke dalam rumah
makan. Orang ini sudah tua, dan usianya sekitar delapan puluhan tahun.
Janggutnya yang putih panjang menjulai sampai di depan dada, namun semangatnya
masih tampak menyala. Ia sedikit membungkuk di hadapan Linghu Chong, lalu
berkata, “Tuan Muda Linghu, hamba Huang Boliu. Banyak anggota perkumpulan kami
yang mencari makan di sekitar sini, tapi tidak sempat menyambut kedatangan Tuan
Muda dengan baik. Atas dosa ini kami pantas dihukum mati.”
Menyaksikan orang tua itu, Yue
Buqun terperanjat. Ia berpikir, “Apakah dia orangnya?” Hatinya pun
bertanya-tanya karena pernah mendengar sepak terjang Partai Sungai Langit yang
terdapat di sekitar hilir Sungai Kuning. Ketua partai ini bernama Huang Boliu
yang merupakan sesepuh dunia persilatan di Daratan Tengah. Partai tersebut
sangat besar, namun peraturannya longgar. Di dalamnya bercampur orang baik dan
jahat, sehingga partai ini susah untuk menghindari perbuatan jahat dan
melanggar hukum. Akibatnya, nama Partai Sungai Langit di dunia persilatan juga
tidak terlalu baik. Meskipun demikian, partai ini memiliki banyak anggota dan
jago ternama, dan merupakan partai terbesar di empat provinsi.
“Apakah orang tua ini adalah
‘Si Naga Hujan Berjanggut Perak’ Huang Boliu yang membawahi puluhan ribu
anggota partai? Kalau benar dia orangnya, mengapa bisa begitu hormat kepada
Chong’er, anak kemarin sore yang baru muncul?” demikian pikir Yue Buqun.
Rasa bimbang dan ragu di hati
Yue Buqun terjawab sudah ketika Yan Sanxing, Si Pengemis Jahat Sepasang Ular
menyapa orang tua itu, “Naga Tua Berjanggut Perak, kau adalah penguasa wilayah
sini. Apa kau tidak ingin menyambut kami, kawan-kawanmu yang datang dari jauh
ini?”
Orang tua itu ternyata memang
Huang Boliu, Si Naga Hujan Berjanggut Perak. Ia bergelak tawa dan menjawab,
“Kalau bukan karena Tuan Muda Linghu, bagaimana mungkin aku bisa mengundang
begitu banyak kaum kesatria gagah untuk berkumpul di sini? Semua orang yang
berkunjung kemari adalah tamu-tamu Partai Sungai Langit, tentu saja semua kami
sambut baik. Di Lembah Lima Tiran sudah kami siapkan sebuah jamuan sekadarnya.
Bagaimana kalau Tuan Muda Linghu dan sobat-sobat sekalian berangkat ke sana?”
Linghu Chong melihat rumah
makan kecil tersebut telah dipenuhi banyak orang. Dalam keadaan ribut seperti
ini, You Xun tidak mungkin mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Untungnya,
setelah semua keributan yang terjadi tadi, kecurigaan sang guru dan adik kecil
sepertinya sudah banyak berkurang. Kelak di kemudian hari, ia yakin semua dapat
terungkap dengan jelas, sehingga rasanya tidak perlu untuk terburu-buru
membersihkan nama. Berpikir demikian, ia pun berkata kepada Yue Buqun, “Guru, apakah
kita perlu pergi bersama mereka? Mohon petunjuk dan arahan dari Guru.”
Yue Buqun tidak segera
menjawab, tetapi sedang berpikir, “Orang-orang yang berkumpul di Lembah Lima
Tiran sudah pasti tidak ada yang berasal dari aliran lurus bersih. Bagaimana mungkin
aku bisa berkumpul dengan mereka? Sepertinya penghormatan yang mereka berikan
kepada Chong’er juga basa-basi belaka. Orang-orang ini bertujuan memancing
Chong’er supaya masuk ke dalam golongan mereka. Kejadian yang menimpa Liu
Zhengfeng dari Perguruan Hengshan hendaknya menjadi peringatan, barangsiapa
bergaul dengan aliran sesat, pada akhirnya akan kehilangan seluruh wibawa dan
martabatnya. Namun, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin aku dapat
menolak?”
You Xun berkata, “Tuan Yue,
saat ini suasana di Lembah Lima Tiran sangat ramai. Banyak sekali majikan gua
dan pulau yang datang ke sana, padahal mereka sudah lebih dari sepuluh tahun
meninggalkan dunia persilatan. Kami semua berkumpul di sana demi Tuan Muda
Linghu. Tuan Yue sudah mendidik dan membesarkan seorang pendekar muda gagah
berani yang berbakat dalam ilmu sastra dan ilmu silat, tentu nama besar Tuan
Yue akan semakin harum. Saya berani menebak, sudah pasti Tuan Yue akan ikut
berkunjung ke Lembah Lima Tiran. Namun jika Tuan Yue menolak untuk datang,
bukankah akan sangat mengecewakan kami semua?”
Yue Buqun masih tidak
menjawab. Sementara itu, Sima Da dan Huang Boliu sudah lebih dulu memapah dan
agak menggendong tubuh Linghu Chong keluar rumah makan. Di luar sudah menunggu
sebuah kereta untuk mengangkut pemuda itu. Chou Songnian, Yan Sanxing, Sepasang
Orang Aneh Tongbai, dan yang lain, serta Enam Dewa Lembah Persik berebut ikut
keluar.
Yue Buqun dan Ning Zhongze
hanya bisa saling pandang dengan bibir tersenyum hambar. Mereka sama-sama berpikir,
“Orang-orang itu hanya menginginkan kedatangan Chong’er. Kita datang atau
tidak, mereka sama sekali tidak peduli.”
Yue Lingshan yang
terheran-heran segera berkata, “Ayah, bagaimana kalau kita ikut ke sana? Aku
ingin melihat tipu musihat seperti apa yang mereka persiapkan untuk Kakak
Pertama.” Sejenak kemudian, hatinya merasa takut saat teringat nama Sepasang
Beruang Gurun Utara yang gemar makan daging manusia. Namun mengingat mereka
membebaskannya karena memandang muka si kakak pertama, ia pun yakin orang-orang
itu tidak akan mengancam akan memakan dagingnya lagi. Meskipun demikian, jika
nanti ia jadi pergi ke Lembah Lima Tiran, ia berencana untuk tidak akan
jauh-jauh dari sisi sang ayah.
Yue Buqun mengangguk-angguk
kemudian melangkah keluar. Setelah tadi muntah-muntah di kapal, ia sama sekali
belum makan dan minum. Tak disangka langkah kakinya terasa goyah, tenaga
dalamnya pun tidak murni lagi. Diam-diam ia merasa terkejut dan mengakui
kehebatan racun Lan Fenghuang dari Sekte Lima Dewi.
Kelompok Sima Da dan kelompok
Huang Boliu sudah mempersiapkan banyak kuda di luar rumah makan. Mereka pun
membagi-bagi kuda itu untuk Yue Buqun, Ning Zhongze, Enam Dewa Lembah Persik,
Kelompok Nyonya Zhang, dan yang lainnya. Murid-murid laki-laki Huashan yang
tidak kebagian kuda memilih berjalan bersama orang-orang Partai Sungai Langit,
anak buah Huang Boliu, dan orang-orang Pulau Paus Panjang, pengikut Sima Da
menuju Lembah Lima Tiran.
Lembah Lima Tiran sendiri
terletak di perbatasan Provinsi Shandong dan Henan. Di sebelah barat terdapat
Heze dan Dingtao yang masuk wilayah Shandong, sedangkan di sebelah timur
terdapat Dongming yang masuk wilayah Henan. Tanah di sekitar daerah ini lumayan
datar dan banyak memiliki rawa-rawa. Kalau dipandang dari jauh, Lembah Lima Tiran
tidak terlalu tinggi, hanya seperti sebuah bukit saja. Para penunggang kuda dan
kereta itu berkendara menuju ke arah timur. Setelah beberapa kilometer, mereka
disambut oleh beberapa penunggang kuda yang melaju dari arah timur. Para
penunggang kuda itu kemudian turun dan memberi salam kepada Linghu Chong di
dalam kereta. Suara mereka terdengar lantang, tetapi tutur kata mereka sangat
sopan.
Ketika perjalanan rombongan
itu semakin mendekati Lembah Lima Tiran, jumlah orang yang menyambut semakin
banyak. Orang-orang itu memberitahukan nama mereka satu per satu, tetapi Linghu
Chong kesulitan menghafal nama mereka yang begitu banyak. Kereta yang
ditumpanginya itu akhirnya sampai di depan sebuah bukit yang tinggi, dan di
atas bukit itu terlihat sebuah hutan cemara yang lebat dengan jalan setapak
yang berkelok-kelok menuju ke puncaknya.
Huang Boliu memapah Linghu
Chong dan membantunya turun dari kereta. Di luar kereta sudah bersiap dua orang
laki-laki bertubuh kekar mengusung sebuah tandu dari bambu yang memiliki dudukan
empuk. Linghu Chong merasa tidak enak hati jika ia harus duduk di atas tandu,
sementara guru, ibu-guru, dan adik kecil berjalan kaki. Maka, ia pun berkata,
“Ibu Guru, silakan duduk di tandu ini. Saya berjalan kaki saja.”
Ning Zhongze tersenyum dan
menjawab, “Yang mereka sambut adalah Tuan Muda Linghu, bukan ibu-gurumu ini.”
Usai berkata demikian, wanita
itu mengerahkan ilmu ringan tubuh untuk mendaki jalanan bukit. Yue Buqun dan
Yue Lingshan segera menyusul dengan langkah cepat. Mau tidak mau, Linghu Chong
terpaksa duduk di dalam tandu yang sudah dipersiapkan untuknya itu. Tandu itu
segera diusung menuju ke sebidang tanah lapang yang terletak di tengah hutan
cemara di atas bukit tersebut. Dari segala penjuru terlihat orang-orang
bermunculan. Raut muka dan penampilan mereka terlihat kasar. Sepertinya mereka
berasal dari golongan hitam di dunia persilatan.
Orang-orang itu datang
membanjir seperti kawanan lebah. Mereka ada yang bertanya, ada pula yang
berkata menyampaikan sesuatu.
“Apakah ini Tuan Muda Linghu?”
“Ini ada obat mujarab
turun-temurun dari leluhur hamba. Obat ini bisa membangkitkan orang mati.”
“Ini ada ginseng tua yang saya
gali dari Gunung Changbai dua puluh tahun silam. Sekarang sudah matang dan bisa
Tuan Muda Linghu gunakan.”
“Saya membawa tujuh orang
tabib yang paling pandai dari timur Provinsi Shandong. Saya mengundang mereka
semua untuk memeriksa nadi Tuan Muda Linghu.”
Linghu Chong melihat tujuh
orang tabib dengan tangan diikat dengan tali tambang secara berendeng. Raut
muka mereka terlihat cemas dengan wajah pucat pasi. Jelas bahwa mereka sengaja
dipaksa untuk datang oleh orang yang baru saja bicara itu, sedangkan kata
“mengundang” hanyalah basa-basi belaka.
Selanjutnya ada seseorang yang
memikul dua buah keranjang besar sambil berkata, Segala macam obat-obatan
berharga dan langka di Kota Jinan telah hamba ambil kemari. Semua hamba
siapkan, kalau Tuan Muda membutuhkan suatu bahan obat, pasti telah tersedia.”
Orang-orang yang terus
berdatangan itu kebanyakan berpenampilan aneh, dengan raut muka ganas dan
kejam, namun tutur kata mereka terlihat tulus. Melihat orang-orang itu tampak
bersungguh-sungguh, Linghu Chong sama sekali tidak menaruh curiga, bahkan
sangat berterima kasih. Akhir-akhir ini ia terus-menerus mengalamai kemalangan,
hidup dan mati sukar dipastikan. Itu sebabnya kini sifatnya lebih halus dan
mudah tersentuh. Perasaannya bergolak dan tanpa terasa air mata pun meleleh di
pipi.
Sambil memberi hormat, pemuda
itu berkata, “Teman-teman semua, Linghu Chong hanyalah bocah kampung tak
bernama, namun tiba-tiba menerima kebaikan kalian semua … kalian begitu peduli
… aku merasa … aku benar-benar tak dapat … tak dapat membalasnya ….” Demikian
ia berbicara sambil tersedu sedan. Tak kuasa menyelesaikan perkataannya, pemuda
itu segera berlutut di tanah dan membungkukkan badan.
Orang-orang itu menjadi ribut.
Mereka pun berkata, “Kami tidak berani menerima penghormatan ini.”
“Mohon Tuan Muda Linghu segera
berdiri.”
“Kami tidak pantas
menerimanya.”
Serentak orang-orang itu pun
berlutut memberi hormat. Dalam sekejap lebih dari seribu orang yang berada di
Lembah Lima Tiran berlutut semua, kecuali Yue Buqun, Ning Zhongze, dan
murid-murid Huashan, serta Enam Dewa Lembah Persik. Yue Buqun dan orang-orang
Huashan segera berpaling dan melangkah ke samping supaya tidak dikira menerima
penghormatan itu, sedangkan Enam Dewa Lembah Persik terlihat menunjuk-nunjuk
orang-orang yang berlutut itu sambil tertawa terkekeh-kekeh dan berbicara tak
karuan.
Setelah saling bersujud
beberapa kali dengan ribuan pendekar itu, Linghu Chong bangkit berdiri dengan
air mata meleleh di pipinya. Dalam hati ia berkata, “Tak peduli apa maksud
kawan-kawan ini datang kemari. Setelah kejadian ini, Linghu Chong rela tubuhnya
hancur berkeping-keping dan menempuh bahaya apa pun demi mereka.”
“Tuan Muda Linghu, mohon untuk
beristirahat di gubuk itu,” kata Huang Boliu, Ketua Partai Sungai Langit. Orang
tua berjanggut panjang itu mempersilakan Linghu Chong dan Yue Buqun suami-istri
untuk masuk ke dalam sebuah gubuk beratap alang-alang di depan sana.
Gubuk tersebut seperti baru
saja didirikan. Di dalamnya terdapat beberapa buah meja dan kursi. Di atas meja
tersedia poci dan cawan teh. Ketika Huang Boliu melambaikan tangan, beberapa
orang pengikutnya segera datang untuk membawa guci arak dan menuangkannya.
Disusul kemudian datang pula beberapa orang membawa daging sapi dan babi, atau
makanan lain yang cocok sebagai teman minum arak.
Linghu Chong mengambil cawan
arak dan melangkah keluar gubuk. Dengan suara lantang ia berkata, “Kawan-kawan
sekalian, Linghu Chong dan kalian baru bertemu. Maka itu, kita harus minum
bersama untuk menjalin persahabatan. Mulai saat ini kalian semua adalah sahabat
Linghu Chong. Susah dan senang akan kita tanggung bersama. Mari kita minum
secawan arak ini bersama-sama sebagai sahabat.”
Usai berkata demikian ia
lantas mengangkat dan menghentakkan tangan kanannya yang memegang cawan. Arak
di dalamnya pun tercurah ke udara dan turun kembali menjadi ribuan tetes yang
berhamburan ke segala penjuru.
Ribuan pendekar di tempat itu
pun bersorak sorai. Suara mereka meledak-ledak bagaikan guntur saat berkata
dengan serentak, “Ucapan Tuan Muda Linghu sangat benar. Mulai hari ini kami
akan menanggung susah dan senang bersamamu.”
Yue Buqun tampak mengernyitkan
dahi sambil berpikir, “Sifat Chong’er ceroboh dan suka terburu-buru, tidak
memikirkan akibat dari perbuatannya. Begitu orang-orang ini bersikap baik
kepadanya, langsung saja ia berkata akan menanggung susah dan senang bersama
mereka. Melihat orang-orang ini, aku khawatir tidak satu pun dari mereka yang
taat pada hukum. Sama seperti Tian Boguang, jangan-jangan mereka suka merampok
dan memerkosa. Apakah dengan orang-orang seperti itu kau akan menanggung susah
dan senang? Kita ini anggota aliran lurus bersih, berkewajiban memusnahkan mereka.
Namun kau justru ingin senasib sepenanggungan dengan mereka.”
Linghu Chong melanjutkan, “Aku
sama sekali tidak tahu mengapa kawan-kawan sekalian begitu memperhatikan Linghu
Chong. Tapi bagiku, tahu alasannya atau tidak juga bukan menjadi masalah. Yang
jelas, jika ada hal yang mempersulit kalian, silakan katakan saja dengan terus
terang. Laki-laki sejati selalu bersikap jujur dan terus terang, selalu
mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Kalau ada hal yang dapat aku
lakukan, maka pasti akan aku lakukan untuk kalian, meskipun harus melewati
gunung golok dan hutan pedang.”
Ia berpikir belum pernah
bertemu orang-orang itu, namun mereka berusaha keras untuk bisa bersahabat
dengannya, tentu mereka ingin meminta bantuannya untuk melakukan sesuatu yang
besar. Karena ia sudah berjanji pada mereka, meskipun kelak tidak mampu
menepatinya juga tidak menjadi soal, karena umurnya juga tidak akan lama lagi.
Huang Boliu menjawab, “Mengapa
Tuan Muda Linghu berkata demikian? Kami semua mengagumi dan menghormatimu. Ketika
kawan-kawan semua mendengar bahwa Tuan Muda Linghu akan berkunjung, kami pun
secara kebetulan berkumpul di sini agar dapat secara langsung melihat dan
menyaksikan kehadiran Tuan Muda yang anggun dengan penuh penghormatan. Kami
sama sekali tidak meminta sesuatu dari Tuan Muda. Justru kami mendengar Tuan
Muda Linghu agak kurang sehat, sehingga kami pun mengundang beberapa tabib
ternama serta mencarikan sejumlah bahan obat. Kami semua tidak berasal dari
kelompok yang sama. Kami sebelumnya jarang bertemu, atau hanya sekadar mengenal
nama saja, bahkan ada juga yang saling tidak akur. Namun karena Tuan Muda
Linghu berkata mulai sekarang kita semua harus menanggung susah dan senang
bersama-sama, maka mulai saat ini kami semua harus bersahabat.”
Para pendekar itu serentak
menanggapi, “Benar sekali! Ucapan Ketua Huang sama sekali tidak salah.”
Orang yang membawa tujuh tabib
tadi maju menghampiri Linghu Chong dan berkata, “Tuan Muda Linghu, bagaimana
kalau Tuan Muda masuk ke dalam gubuk supaya para tabib terkenal ini dapat
memeriksa nadi Anda?”
Linghu Chong tidak segera
menjawab, tetapi berpikir, “Ping Yizhi yang memiliki ilmu pengobatan begitu
tinggi saja berkata bahwa lukaku ini tidak bisa disembuhkan. Ketujuh tabib yang
kau bawa itu bisa melakukan apa?” Namun karena khawatir menyinggung perasaan
orang itu, ia pun segera melangkah kembali menuju ke arah gubuk.
Orang tadi menyeret ketujuh
tabib yang diikat berentengan seperti serenteng katak. Linghu Chong tersenyum
dan berkata, “Saudara, mohon ikatan mereka dibuka saja. Aku rasa mereka tidak
akan melarikan diri.”
Orang itu menjawab, “Karena
Tuan Muda Linghu yang menyuruh, maka aku akan melepaskan mereka.” Usai berkata
demikian ia segera memutuskan semua tali tambang yang mengikat tujuh tabib
tersebut. Setelah itu ia berkata, “Kalau kalian tidak bisa menyembuhkan Tuan
Muda Linghu, maka leher kalian akan putus seperti tali tambang ini.”
Salah seorang tabib menjawab,
“Hamba … hamba pasti berusaha sebisa-bisanya … tapi di muka bumi ini … di muka
bumi ini tidak ada tabib yang mampu memberikan jaminan kesembuhan ….”
Tabib yang lain menyahut,
“Kalau melihat tuan muda ini segar bugar dan penuh semangat, penyakitnya pasti
dapat disembuhkan.”
Beberapa tabib lainnya segera
masuk ke dalam gubuk untuk memeriksa denyut nadi Linghu Chong. Tiba-tiba
terdengar suara seseorang berteriak, “Keluar semua! Kalian tabib gadungan tidak
berguna bisa apa?”
Linghu Chong berpaling melihat
siapakah orang yang baru saja bersuara itu. Ternyata Ping Yizhi, Si Tabib Sakti
Pembunuh telah tiba. Dengan perasaan senang ia pun menyapa, “Sesepuh Ping juga
tiba. Kurasa para tabib ini memang tidak ada gunanya.”
Ping Yizhi melangkah masuk ke
dalam gubuk. Ia mengangkat kaki kiri dan menendang seorang tabib keluar.
Kemudian ia mengangkat kaki kanan dan menendang seorang tabib lainnya keluar
pula. Orang yang membawa ketujuh tabib tadi mengenali dan sangat mengagumi Ping
Yizhi. Ia pun berkata, “Tabib Ping yang termashur di dunia telah datang. Kalian
bertujuh apa masih berani unjuk kebodohan di hadapan Beliau?”
Usai berkata demikian orang
itu lalu menendang keluar dua orang tabib yang tadi ia ajukan. Tanpa menunggu
pantat mereka menjadi sasaran, ketiga tabib lainnya segera merangkak keluar
gubuk. Setelah semua tabib yang ia bawa keluar, orang tadi berkata, “Tuan Muda
Linghu, Tabib Ping, aku telah lancang dan memberanikan diri. Mohon dimaafkan.”
Tanpa ampun, Ping Yizhi
mengangkat kaki kirinya dan menendang orang itu sampai melayang keluar dari
gubuk. Hal ini benar-benar di luar dugaan Linghu Chong yang hanya bisa
tercengang kaget.
Ping Yizhi tidak berkata
apa-apa. Ia lalu duduk dan memeriksa denyut nadi di pergelangan kanan Linghu
Chong. Selang agak lama, ia kemudian memeriksa pergelangan kiri. Ia
terus-menerus melakukan hal itu sambil mengernyitkan dahi dan memejamkan mata,
sepertinya sedang berpikir keras.
Linghu Chong berkata, “Sesepuh
Ping, hidup mati manusia tergantung suratan takdir. Luka Linghu Chong ini parah
dan susah disembuhkan. Aku sudah dua kali merepotkan Sesepuh Ping, dan aku
sangat berterima kasih. Sesepuh Ping tidak perlu bersusah payah lagi.”
Di luar gubuk terdengar suara
hiruk-pikuk yang sangat riuh, diikuti suara para pendekar bersenda gurau dan
main tebak-tebakan sambil menyebut soal arak. Sepertinya Partai Sungai Langit
telah mendatangkan sejumlah arak dan makanan untuk ribuan pendekar yang hadir
di tempat itu. Pikiran Linghu Chong melayang keluar, ingin sekali ia
bersenang-senang dengan ribuan orang itu. Namun, Ping Yizhi masih memeriksa
kedua nadi pada pergelangan tangan kanan dan kirnya secara bergantian tanpa
henti. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Tabib Ping ini punya nama Yizhi, artinya
‘satu jari’. Ia menyebut dirinya bisa menyembuhkan orang hanya dengan satu
jari, juga bisa membunuh orang dengan satu jari pula. Namun sekarang dia
memeriksa nadiku apa benar hanya memakai satu jari saja? Sepertinya ia
menggunakan sepuluh jari sekaligus.”
Tiba-tiba muncul seseorang
melongok ke dalam gubuk. Ternyata dia adalah Dewa Dahan Persik yang berkata,
“Linghu Chong, kenapa kau tidak ikut minum-minum?”
Linghu Chong menjawab, “Aku
pasti ikut minum. Tunggulah aku, jangan buru-buru puas dulu.”
“Baiklah!” sahut Dewa Dahan
Persik. “Tabib Ping, kau cepatlah sedikit!” Sambil berbicara demikian, ia
menarik kepalanya keluar dan kembali ke keramaian.
Ping Yizhi perlahan-lahan
menarik tangannya, kemudian memejamkan mata. Telunjuk kanannya mengetuk-ketuk
meja. Sepertinya ia agak bingung. Selang agak lama, tabib bertubuh gemuk itu
membuka mata dan berkata, “Tuan Muda Linghu, di dalam tubuhmu ada tujuh jenis
hawa murni yang saling bertumbukan dan tidak dapat dijinakkan, ataupun
dikeluarkan. Ini bukan penyakit yang disebabkan oleh racun ataupun luka
senjata, bukan pula karena bibit penyakit demam atau panas dalam, sehingga
tidak dapat kusembuhkan dengan tusuk jarum ataupun obat-obatan.”
Linghu Chong hanya menjawab,
“Benar.”
Ping Yizhi melanjutkan, “Sejak
aku memeriksa denyut nadi Tuan Muda Linghu di Kota Zhuxian, aku telah menemukan
suatu cara pengobatan. Jika beruntung, cara ini mungkin berguna untuk menyembuhkanmu.
Aku berniat mengundang tujuh orang yang memiliki tenaga dalam tinggi untuk
bekerja sama mengeluarkan ketujuh jenis hawa murni yang ada di dalam tubuh Tuan
Muda dengan sekali gebrak. Hari ini aku telah mengajak tiga orang untuk datang.
Bagiku tidak sulit untuk mendapatkan dua orang hebat lagi di antara pengunjung
yang hadir. Untuk dua orang sisanya, bisa ditambah dengan gurumu yang
terhormat, Tuan Yue, dan aku sendiri. Dengan cara itu kau bisa disembuhkan.
Tetapi baru saja aku memeriksa denyut nadi Tuan Muda, ternyata sudah banyak
mengalami perubahan yang rumit dan luar biasa.”
“Oh!” seru Linghu Chong kaget.
Ping Yizhi melanjutkan, “Dalam
beberapa hari terakhir ini telah terjadi empat perubahan besar dalam diri Tuan
Muda Linghu. Pertama, Tuan Muda telah minum beberapa macam obat penguat, di
antaranya ginseng, umbi Shouwu, jamur Lingzhi, jamur Fuling, dan obat-obatan
langka lainnya. Tapi obat-obatan itu sebenarnya dibuat untuk kaum wanita.”
“Wah!” seru Linghu Chong.
“Ucapan Sesepuh Ping sangat benar! Luar biasa! Ilmu Sesepuh Ping jarang ada
tandingannya di dunia.”
Ping Yizhi bertanya,
“Bagaimana caranya Tuan Muda Linghu bisa meminum obat-obatan penguat itu?
Apakah mungkin disebabkan oleh kesalahan tabib gadungan? Sungguh menyebalkan!”
Linghu Chong hanya terdiam dan
berpikir, “Zu Qianqiu telah mencuri ‘Delapan Pil Penyambung Nyawa’ milik Lao
Touzi dan memberikannya kepadaku. Sebenarnya ia bermaksud baik, hanya saja
tidak mengetahui kalau obat penguat untuk kaum laki-laki dan perempuan ternyata
berbeda. Kalau aku menceritakan hal ini, Tabib Ping pasti menyalahkannya. Lebih
baik aku diam saja.” Setelah berpikir demikian, ia pun berkata, “Ini semua
salahku sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan orang lain.”
Ping Yizhi menjelaskan, “Tubuh
Tuan Muda sedang tidak kekurangan tenaga, justru sebaliknya, hawa murni dalam
tubuhmu terlalu banyak. Tapi kemudian kau minum obat penguat, bagaimana ini?
Coba bayangkan, ini seperti air Sungai Yangtze sudah meluap, tetapi petugas
pengatur air justru menambahkan air dari Danau Dongting dan Danau Boyang.
Sungguh bencana! Obat penguat yang kau minum itu hanya bermanfaat untuk gadis
muda yang cacat sejak lahir atau lemah tak berdaya, tetapi Tuan Muda Linghu
justru meminumnya, aih, sungguh celaka!”
Linghu Chong berpikir, “Aku
berharap setelah minum darahku, Nona Busi, putri Lao Touzi dapat disembuhkan.”
Ping Yizhi melanjutkan,
“Perubahan besar kedua adalah secara mendadak Tuan Muda Linghu kehilangan
banyak darah. Dalam keadaan sakit seperti ini, mengapa kau justru berkelahi
dengan orang? Kalau kau bertarung dengan sengit seperti ini, bagaimana kau
dapat memperpanjang umurmu? Aih, dia sangat menghargaimu, tapi kau justru tidak
menghargai diri sendiri. Seorang laki-laki sejati mampu menunda balas dendam
sepuluh tahun lagi, tapi mengapa Tuan Muda tidak sabaran dan buru-buru seperti
ini?” Sambil berbicara demikian kepalanya terlihat menggeleng-geleng dengan
raut wajah menunjukkan perasaan tidak setuju. Andai saja yang sedang ia obati
bukan Linghu Chong, tentu sudah ia tampar, atau setidaknya sudah ia maki-maki.
Linghu Chong hanya bisa
berkata, “Nasihat Sesepuh Ping benar.”
Ping Yizhi melanjutkan, “Kalau
hanya kehilangan banyak darah juga tidak menjadi soal. Hal ini tidak sukar
untuk dipulihkan. Tapi kau juga bergaul dengan kaum Sekte Lima Dewi dari
Yunnan, serta meminum Arak Agung Lima Dewi milik mereka.” Sampai di sini nada
bicaranya semakin lantang dan jelas.
“Arak Agung Lima Dewi?” tanya
Linghu Chong menegas.
Ping Yizhi menjawab, “Arak
Agung Lima Dewi adalah arak pusaka simpanan Sekte Lima Dewi yang diturunkan
dari satu angkatan ke angkatan selanjutnya. Di dalamnya terendam lima jenis
makhluk berbisa kecil yang amat langka. Konon kabarnya, setiap makhluk berbisa
itu harus dipelihara selama sepuluh tahun lebih. Selain itu, arak ini juga
mengandung puluhan jenis sari bunga dan tumbuhan aneh. Dipadukan dengan kelima
jenis binatang berbisa tadi, sehingga arak tersebut memiliki khasiat yang
sangat ampuh. Orang yang meminumnya tidak bisa diserang penyakit, kebal
terhadap segala jenis racun, dan secara tiba-tiba mendapatkan tambahan tenaga
dalam seperti berlatih selama sepuluh tahun. Arak ini adalah obat penguat yang
paling luar biasa di dunia. Aku si tua ini sudah lama ingin melihatnya, tapi
Lan Fenghuang itu kabarnya sangat ketat menjaga kehormatan dirinya, tidak
pernah berbicara dengan sembarang laki-laki. Tidak disangka, ia justru
memberikan arak obat milik sektenya yang berharga itu kepadamu. Aih, sungguh
kau anak muda yang romantis, menebar pesona di mana-mana, tapi malah menuai
bencana bagi dirimu sendiri.”
Linghu Chong hanya tersenyum
kecut dengan wajah menahan malu, sambil berkata, “Ketua Lan dan aku hanya
berjumpa sekali di atas Sungai Kuning itu saja. Ia menemuiku untuk memberikan
arak pusaka yang katanya arak khas suku Miao itu. Selain itu, kami sama sekali
tidak pernah berhubungan.”
Ping Yizhi menatap kepadanya
tanpa berkedip. Selang agak lama tabib bertubuh gemuk itu mengangguk-angguk
kemudian berkata, “Aku bisa menebak, Lan Fenghuang memberikan arak pusaka
sektenya semata-mata demi memandang kepadanya. Namun arak obat itu justru
menambah tenaga dalammu yang seharusnya tidak perlu ditambah. Akibatnya,
penyakitmu akan semakin parah. Lagipula, meskipun arak tersebut dapat
memperkuat daya tahan tubuh, namun juga mengandung racun. Huh, celaka, kacau
semuanya! Sekte Lima Dewi hanya mengandalkan beberapa resep warisan nenek
moyang mereka yang aneh. Lan Fenghuang si gadis cilik itu tahu apa soal ilmu
pengobatan? Kentut! Semuanya jadi kacau balau!”
Linghu Chong mendengarkannya
memaki-maki. Ia merasa watak Ping Yizhi teralu mudah panas, namun dengan wajah
terlihat suram serta dada naik turun, pertanda si tabib sangat prihatin dan
menaruh perhatian kepadanya. Hal ini membuatnya menyesal dan berkata, “Sesepuh
Ping, Ketua Lan bermaksud baik ….”
“Bermaksud baik, bermaksud
baik!” sergah Ping Yizhi dengan nada gusar. “Huh, semua tabib gadungan yang
mengobati orang sampai mati bukankah pada awalnya juga bermaksud baik? Apa kau
tahu kalau setiap hari orang yang mati karena diobati tabib gadungan jumlahnya
lebih banyak daripada yang mati karena terkena golok di dunia persilatan?”
“Itu sangat mungkin terjadi,”
jawab Linghu Chong.
“Apa maksudmu dengan ‘sangat
mungkin terjadi’? Memang begitulah kenyatannya!” seru Ping Yizhi. “Atas dasar apa
Lan Fenghuang merasa mampu mengobati penyakitmu? Memangnya siapa dia berani
ikut-ikutan mengurusi orang yang sedang kuobati? Sekarang di dalam darahmu
terdapat banyak racun. Kalau satu per satu racun itu dipunahkan, bisa-bisa
mereka bertumbukan dengan ketujuh hawa murni itu. Jangan-jangan tidak sampai
enam jam kau sudah kehilangan nyawa.”
Menyadari apa yang telah
terjadi, Linghu Chong berpikir, “Di dalam darahku sekarang terkandung banyak
racun, tapi belum tentu disebabkan karena aku meminum Arak Agung Lima Dewi itu.
Bisa jadi itu karena darah yang disalurkan oleh Ketua Lan dan keempat gadis
Miao anak buahnya kepadaku. Sehari-hari mereka bergaul dengan benda-benda
beracun, makanan dan minuman mereka pun mengandung racun. Tidak aneh jika dalam
darah mereka terkancung racun pula. Hanya saja karena mereka sudah terbiasa
hidup seperti itu sehingga tubuh mereka sudah kebal. Mengenai darah mereka yang
sudah bercampur dengan darahku tidak perlu kuberitahukan kepada Sesepuh Ping,
karena bisa membuatnya semakin naik pitam.”
Setelah berpikir demikian, ia
pun berkata, “Ilmu pengobatan sangat rumit dan mendalam. Tidak semua orang bisa
memahaminya.”
Ping Yizhi menghela napas dan
berkata, “Kalau hanya masalah minum obat penguat, kehilangan banyak darah, atau
minum arak obat, aku masih punya cara untuk mengobatinya. Tapi perubahan besar
pada dirimu yang keempat benar-benar membuatku tak habis pikir. Aih, ini akibat
perbuatanmu sendiri!”
Linghu Chong menanggapi,
“Benar, ini akibat perbuatanku sendiri.”
Ping Yizhi melanjutkan,
“Akhir-akhir ini, mengapa kau tiba-tiba putus asa dan tidak ingin hidup lagi?
Apa yang sebenarnya terjadi? Ada masalah berat apa yang sedang kauhadapi? Dulu
saat aku memeriksa denyut nadimu di Kota Zhuxian, aku merasakan meskipun lukamu
parah dan penyakitmu aneh, namun denyut nadimu kuat, jiwamu penuh harapan.
Waktu itu aku memperpanjang hidupmu sampai seratus hari, lalu dalam seratus
hari itu entah bagaimana aku harus bisa menemukan cara untuk menyembuhkan
penyakitmu yang aneh. Saat itu aku tidak begitu yakin apakah bisa
menyembuhkanmu, sehingga aku tidak mau buru-buru menjelaskan rencanaku
kepadamu. Namun anehnya, hari ini aku merasa kau sama sekali tidak memiliki
kekuatan, mengapa?”
Ketika mendengar pertanyaan
itu, perasaan Linghu Chong langsung sedih. Pemuda itu berpikir, “Saat Guru
mencurigai aku menggelapkan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Lin Kecil, aku
merasa tidak terlalu sedih. Sebagai laki-laki sejati aku tidak perlu merasa
khawatir karena kebenaran pasti akan terungkap. Namun … namun siapa sangka Adik
Kecil juga curiga kepadaku? Demi Lin Kecil, ia memperlakukan aku seperti sampah
yang tidak berguna. Lantas, apa artinya aku hidup seperti ini?”
Ping Yizhi tidak menunggu
jawaban dari Linghu Chong. Tabib itu terus saja berbicara, “Dari denyut nadimu,
sepertinya yang sedang kau hadapi adalah masalah asmara. Sebenarnya semua tutur
kata perempuan di muka bumi ini hambar, wajah mereka menjijikkan, sifat mereka
aneh dan tidak masuk akal, watak mereka pun kurang sabaran. Yang terbaik adalah
apabila kita bisa menghindari mereka jauh-jauh. Kalau nasibmu jelek, meskipun
naik ke langit dan bersembunyi di dasar bumi tetap saja kau tidak dapat
menghindar. Kalau menghadapi masalah seperti itu terpaksa kau harus menerima
mereka, bersikap sopan pada mereka, meskipun tanpa ketulusan. Kenapa kau tidak
paham soal ini dan malah merindukan mereka siang dan malam? Salah besar! Salah
besar! Meskipun … meskipun dia … dia … aih, aku harus bagaimana?” Sambil
berbicara ia terlihat menggeleng-gelengkan kepala.
Linghu Chong berbicara dalam
hati, “Istrimu memang hambar tutur katanya, menjijikkan wajahnya, sifatnya
aneh, dan wataknya tidak sabaran. Tapi, tidak semua perempuan di muka bumi
seperti istrimu itu. Huh, kau memakai istrimu sebagai tolok ukur semua
perempuan di dunia, sungguh lucu. Andaikan Adik Kecil benar-benar hambar tutur
katanya, menjijikkan wajahnya ….”
Pikiran Linghu Chong terpotong
saat ia melihat Dewa Bunga Persik masuk ke dalam gubuk sambil memegang dua
mangkuk besar berisi arak di kedua tangannya. Ia berkata, “Tabib Ping, mengapa
kau belum menyembuhkan dia?”
Wajah Ping Yizhi berubah masam
dan berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan dia.”
Dewa Bunga Persik tertegun dan
berkata, “Tidak bisa disembuhkan? Lalu, apa yang akan kau lakukan?” Kemudian ia
berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Bagaimana kalau kita minum arak
saja?”
“Baik!” jawab Linghu Chong.
“Kau tidak boleh pergi! Kau
harus tetap di sini!” bentak Ping Yizhi dengan nada gusar. Dewa Bunga Persik
sampai-sampai melonjak kaget. Buru-buru ia berbalik dan kabur hingga kedua
mangkuk arak di tangan tumpah dan membasahi tubuhnya.
Ping Yizhi berkata dengan
suara pelan, “Tuan Muda Linghu, aku khawatir penyakitmu sukar disembuhkan,
bahkan oleh dewa yang mahasakti sekalipun. Namun, hidupmu masih bisa
diperpanjang beberapa bulan atau beberapa tahun lagi. Syaratnya, kau harus
menuruti perkataanku. Pertama, kau harus berhenti minum arak. Syarat kedua, kau
harus bisa mengendalikan diri, sama sekali tidak boleh tergoda oleh kecantikan
wanita. Jangankan main perempuan, memikirkan saja tidak boleh. Ketiga, kau
tidak boleh lagi berkelahi dengan orang. Kalau kau bisa memenuhi ketiga
pantangan ini, yaitu pantang minum, pantang wanita, dan pantang berkelahi,
tentu kau akan bisa memperpanjang hidup setahun atau dua tahun lagi.”
Mendengar itu Linghu Chong
hanya tertawa terbahak-bahak.
Ping Yizhi pun bertanya dengan
gusar, “Apa yang lucu?”
Linghu Chong menjawab,
“Manusia hidup di dunia harus bisa menikmati hidupnya dengan bebas. Kalau tidak
boleh minum arak, tidak boleh memikirkan perempuan, kalau ada yang menganiaya
tidak boleh membalas, lantas apa gunanya jadi manusia? Lebih baik lekas mati
saja biar semua cepat selesai.”
Ping Yizhi berkata dengan nada
tegas, “Kau harus berpantang. Kalau aku tidak bisa menyembuhkanmu, maka nama
baikku akan hancur berkeping-keping.”
Linghu Chong menjulurkan
tangan kirinya dan memegang punggung tangan kanan Ping Yizhi sambil berkata
dengan wajah tulus, “Sesepuh Ping bermaksud baik kepadaku, dalam hal ini aku
sangat berterima kasih. Namun hidup dan mati sudah ditakdirkan. Meskipun ilmu
pengobatan Sesepuh Ping sangat hebat, namun sulit untuk menyelamatkan orang
yang sudah ditakdirkan untuk mati. Kalau Sesepuh Ping tidak bisa menyembuhkan
penyakitku, aku rasa hal itu tidak akan mempengaruhi nama baikmu.”
Kembali terdengar suara pintu
gubuk terbuka. Kali ini Dewa Akar Persik yang menjulurkan kepala. Dengan suara
keras ia berkata, “Linghu Chong, apa kau sudah sembuh?”
Linghu Chong menjawab, “Ilmu
pengobatan Tabib Ping sungguh luar biasa. Aku sudah sembuh.”
“Bagus sekali, bagus sekali!”
kata Dewa Akar Persik sambil kemudian menarik lengan baju Linghu Chong. “Ayo
kita minum! Ayo kita minum!”
Linghu Chong segera
membungkukkan badan dan memberi hormat kepada Ping Yizhi sambil berkata,
“Terima kasih banyak atas perhatian Sesepuh Ping.”
Ping Yizhi tidak membalas
penghormatan itu. Ia terlihat hanya mengernyitkan dahi sambil menggumam
sendiri.
Dewa Akar Persik berkata,
“Bukankah aku sudah bilang kalau dia pasti bisa menyembuhkanmu? Dia bergelar
‘Si Tabib Sakti Pembunuh’, kalau menyembuhkan seseorang maka dia harus membunuh
satu orang lainnya. Kalau dia tidak bisa menyembuhkan seseorang, lantas dia mau
apa? Bukankah hal ini sangat merepotkan?”
“Omong kosong!” sahut Linghu
Chong sambil tertawa. Ia kemudian berjalan beriringan dan bergandeng tangan
dengan Dewa Akar Persik meninggalkan Ping Yizhi seorang diri.
Di luar gubuk para pendekar
sudah berkumpul untuk minum arak. Ketika Linghu Chong berjalan di tengah
kalangan, selalu saja ada yang menuangkan arak untuknya. Tanpa pilih-pilih,
Linghu Chong pun menenggak habis setiap isi cawan yang disodorkan kepadanya.
Melihat bagaimana Linghu Chong
bergaul dengan luwes, berbicara dan tertawa dengan riang, serta meminum habis
setiap arak yang disuguhkan tanpa mengenal batas, membuat para pendekar itu
sangat gembira. Mereka berkata, “Tuan Muda Linghu sungguh berjiwa pahlawan,
namanya harum sampai langit kesembilan. Kami semua benar-benar kagum dan
menaruh hormat kepada Tuan Muda Linghu.”
Setelah minum lebih dari
belasan cawan, tiba-tiba Linghu Chong teringat kepada Ping Yizhi. Ia pun
menuang secawan besar arak sambil bernyanyi keras-keras, “Minumlah sepuasnya
hari ini selagi kau bisa ….” Kemudian ia masuk ke dalam gubuk sambil berkata,
“Sesepuh Ping, ini aku bawakan secawan arak untukmu.”
Namun begitu melihat keadaan
Ping Yizhi, seketika hatinya sangat terkejut. Rasa mabuknya pun banyak
berkurang. Di bawah cahaya lilin terlihat raut muka Ping Yizhi berubah hebat.
Rambut si tabib yang tadinya hitam kini berubah menjadi putih dalam waktu
sekejap. Kerut-kerut wajahnya bertambah dalam, dan kini pria itu seperti
bertambah tua dua puluh tahun padahal waktu yang berjalan baru dua jam. Ia
tampak menaruh kepala di ujung meja sambil menggumam sendiri, “Sembuhkan satu
orang, bunuh satu orang. Tidak bisa menyembuhkan orang, lantas harus
bagaimana?”
Darah Linghu Chong terasa
bergolak ketika melihat begitu besar perhatian si tabib kepadanya. Ia pun
berseru lantang, “Hidup mati Linghu Chong tiada artinya. Mengapa Sesepuh Ping
terlalu memasukkannya ke dalam hati?”
Ping Yizhi menjawab, “Kalau
aku tidak bisa menyembuhkan seseorang, maka aku harus bunuh diri. Kalau tidak,
mana pantas aku dijuluki ‘Si Tabib Pembunuh’?” Usai berkata demikian ia lantas
berdiri. Tubuhnya agak bergoyang beberapa kali, kemudian mulutnya memuntahkan
darah. Sejenak kemudian, tabib bertubuh gemuk itu jatuh tersungkur di lantai.
Linghu Chong sangat terkejut
dan segera memapah Ping Yizhi untuk berdiri. Namun sepertinya napas si tabib
sudah berhenti, pertanda ia sudah meninggal. Linghu Chong pun menggendong
jasadnya, namun tidak tahu harus berbuat apa. Saat itu suara ribut para
pendekar yang sedang minum-minum di luar terdengar semakin berkurang. Hatinya
pun terasa pilu dan sangat kesepian. Setelah terdiam beberapa saat, tak kuasa
air matanya pun meleleh di pipi. Jasad Ping Yizhi terasa semakin berat dan
Linghu Chong sediri sudah sangat letih dan kehabisan tenaga. Dengan hati-hati
ia pun meletakkan jasad si tabib di lantai.
Tiba-tiba seseorang masuk ke
dalam gubuk dengan langkah pelan dan langsung berbisik, “Tuan Muda Linghu!”
Linghu Chong menoleh dan
melihat Zu Qianqiu si sastrawan dekil sedang menuju ke arahnya. Ia pun berkata
dengan sedih agak menggumam, “Sesepuh Zu, Tabib Ping sudah meninggal.”
Namun Zu Qianqiu seperti tidak
peduli. Ia terus saja berbisik, “Tuan Muda Linghu, aku mohon satu hal kepadamu.
Kalau ada orang bertanya tentang aku, mohon kau jawab bahwa kau tidak pernah
bertemu Zu Qianqiu.”
Linghu Chong tertegun dan
bertanya, “Memangnya kenapa?”
Zu Qianqiu menjawab, “Tidak
apa-apa. Hanya saja … hanya saja … aih, sampai jumpa lagi!”
Begitu Zu Qianqiu keluar
gubuk, langsung saja seseorang menyusul masuk. Ia adalah Sima Da, Majikan Pulau
Paus Panjang. “Tuan Muda Linghu, Tuan Muda Linghu, aku ada satu permintaan yang
sangat … sangat memalukan. Kalau ada orang yang bertanya siapa saja yang
berkumpul di Lembah Lima Tiran, mohon supaya Tuan Muda jangan menyebut-nyebut
namaku. Untuk itu aku sangat berterima kasih.”
Linghu Chong menjawab, “Baiklah.
Tapi mengapa demikian?”
Sima Da terlihat gelisah dan
malu-malu, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang berbuat nakal. Pria
bertubuh tinggi besar itu menjawab dengan terbata-bata, “Ini … ini ….”
Linghu Chong pun berkata
dengan nada dingin, “Baiklah, kalau memang Linghu Chong tidak pantas menjadi
temanmu, maka mulai saat ini aku tidak akan berani lagi mengaku sebagai
temanmu.”
Wajah Sima Da seketika
berubah. Ia pun berlutut dan bersujud di tanah sambil berkata, “Kalau Tuan Muda
Linghu sampai berkata seperti itu, maka aku pantas dihukum mati. Aku hanya
memohon supaya kau tidak menyebut-nyebut kejadian di Lembah Lima Tiran ini
supaya tidak mengundang kemarahan seseorang. Kalau Tuan Muda masih meragukan
perkataanku, anggap saja Sima Da omong kosong.”
Linghu Chong cepat-cepat
menjulurkan kedua tangannya untuk membantu Sima Da bangkit sambil berkata,
“Majikan Pulau Sima, mengapa kau begitu banyak peradatan? Mohon beri tahu aku,
mengapa kalau kau mengundangku ke Lembah Lima Tiran sini lantas menyebabkan
kemarahan seseorang? Kalau orang itu membenci Linghu Chong, mengapa tidak
langsung mengejarku saja?”
Sima Da menggelengkan kepala
sambil tersenyum. Ia menjawab, “Apa maksud perkataanmu, Tuan Muda Linghu? Orang
ini sangat menyayangi Tuan Muda, bagaimana bisa benci kepadamu? Aih, hamba ini
orang kasar, tak pandai bicara, cukup sampai di sini dulu perjumpaan kita. Sima
Da sudah menganggapmu sebagai sahabat. Kelak di kemudian hari jika Tuan Muda
ingin aku melakukan sesuatu, cukup beri kabar saja. Meskipun harus terjun ke
dasar samudera atau menyeberangi lautan api, sedikit pun aku tak akan
mengerutkan dahi. Kalau aku enggan membantu kesulitanmu, biarlah keluargaku
delapan belas turunan menjadi anak kura-kura.” Sambil berbicara demikian ia
menepuk dadanya, kemudian berjalan keluar dari gubuk dengan langkah lebar.
Linghu Chong terheran-heran.
Ia berpikir, “Tidak perlu diragukan lagi, orang bermarga Sima ini sangat tulus
kepadaku. Tapi mengapa kalau ia menemuiku di Lembah Lima Tiran ini bisa
menyebabkan seseorang akan marah? Tapi orang yang marah itu tidak membenciku,
justru sangat baik kepadaku. Di muka bumi mana ada kejadian yang sangat aneh
seperti ini? Kalau orang itu benar-benar baik kepadaku bukankah seharusnya
senang melihatku mendapat banyak kawan?” Sampai di sini ia tiba-tiba teringat
sesuatu. “Ah, benar juga! Orang ini tentu sesepuh aliran lurus bersih, sehingga
ia sangat baik kepadaku tetapi tidak suka kalau aku bergaul dengan orang-orang
aliran sesat. Apakah orang itu Kakek Guru Feng? Tapi orang-orang seperti Sima
Da bersifat polos dan apa adanya, mengapa aku tidak boleh berteman dengan
mereka?”
Terdengar suara batuk-batuk
seseorang dari luar gubuk yang kemudian menyapa, “Tuan Muda Linghu!”
Linghu Chong mengenali suara
itu dan segera menjawab, “Ketua Huang, silakan masuk!”
Huang Boliu melangkah masuk
dan langsung berkata, “Tuan Muda, ada beberapa kawan yang menitipkan pesan
untuk disampaikan kepadamu, bahwa mereka ada urusan mendadak sehingga harus
segera pulang. Mereka tidak sempat berpamitan secara pribadi kepada Tuan Muda,
untuk itu mohon dimaafkan.”
Linghu Chong menjawab, “Tidak
masalah, tidak perlu segan.”
Benar juga, di luar suara
ribut terdengar semakin sepi. Jumlah orang yang pergi sudah pasti tidak
sedikit.
Huang Boliu mendadak berkata dengan
terbata-bata, “Dalam hal ini kami benar-benar bertindak ceroboh … Pertama, kami
semua terlalu ingin tahu; kedua, kami ingin menyenangkan hati … aih, tak
disangka ia mudah tersinggung. Ia tidak ingin masalah ini diketahui banyak
orang, sedangkan kami orang-orang kasar yang tidak mengerti apa-apa. Ketua Lan
juga orang Miao … hal ini ….”
Ucapan Huang Boliu sama sekali
tidak jelas ujung pangkalnya, membuat Linghu Chong merasa bingung dan tidak
mengerti. Pemuda itu akhirnya bertanya, “Apa Ketua Huang ingin supaya aku tidak
memberitahukan peristiwa di Lembah Lima Tiran ini kepada orang lain?”
Huang Boliu tertawa hambar
dengan wajah bersemu merah, kemudian berkata, “Orang lain boleh menyangkal,
tapi Huang Boliu mana boleh menghindar? Partai Sungai Langit telah menjamu Tuan
Muda Linghu di Lembah Lima Tiran ini, bagaimanapun juga harus kuakui.”
“Huh, kau mengundang aku minum
barang secawan arak, ini bukan dosa yang tak berampun. Laki-laki sejati untuk
apa harus sembunyi-sembunyi?” sahut Linghu Chong.
Huang Boliu segera memasang
senyum manis dan menjawab, “Tuan Muda hendaknya jangan berpikir yang
tidak-tidak. Aih, si tua Huang ini sudah bodoh sejak lahir. Kalau sebelumnya
aku bertanya kepada menantu perempuanku, atau cucu perempuanku, tentu aku tidak
akan membuat ia tersinggung. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Aih, aku ini
orang kasar, menikahi istriku ketika aku berusia tujuh belas tahun. Jika bukan
karena istriku yang mati muda, tentu aku bisa mengerti jalan pikiran kaum
wanita.”
Linghu Chong berpikir, “Tidak
heran kalau Guru menyebut mereka sebagai kaum aliran sesat. Orang ini bicara
tanpa ujung pangkal. Dia mengajak aku minum arak, lalu tiba-tiba ingin bertanya
kepada menantu dan cucu perempuannya, kemudian menyalahkan istrinya yang mati
muda.”
Huang Boliu melanjutkan,
“Karena semua sudah terjadi, maka hanya ada satu jalan keluar: Mohon Tuan Muda
Linghu mengatakan bahwa kau sudah lama kenal dengan si tua Huang ini, sudah
puluhan tahun bersahabat denganku, bagaimana? Ah, salah! Katakan saja bahwa kau
sudah bersahabat dengan Huang Boliu selama delapan atau sembilan tahun, dan
sejak umur lima belas atau enam belas kau sudah berjudi dan minum-minum bersama
si tua Huang ini.”
Linghu Chong tertawa dan
menjawab, “Waktu itu aku baru berusia empat tahun sudah ikut main dadu dan
minum arak bagus bersamamu, memangnya kau lupa? Sampai hari ini kita sudah
bersahabat selama dua puluh tahun.”
Huang Boliu tertegun, tapi
segera sadar kalau Linghu Chong sedang menyindirnya. Ia tertawa hambar dan
berkata, “Kalau Tuan Muda berkata demikian, tentu baik adanya. Tapi … tapi dua
puluh tahun silam si tua Huang ini hanyalah perampok yang suka melakukan
perbuatan-perbuatan keji yang tidak pantas dibicarakan, mana bisa Tuan Muda
berteman denganku? Eh … ini … ini ….”
Linghu Chong menyahut, “Ketua
Huang berkata terus terang mengenai hal ini, itu berarti kau orang yang jujur
dan apa adanya. Tentu aku senang berteman denganmu sejak dua puluh tahun yang
lalu.”
Huang Boliu terlihat sangat
gembira. Dengan suara lantang ia berkata, “Baiklah! Baiklah! Kita adalah
sahabat lama yang sudah berteman dua puluh tahun.” Ia kemudian menoleh ke
belakang sejenak, kemudian berbisik, “Tuan Muda hendaknya menjaga diri. Tuan
Muda berhati baik. Walaupun sekarang kau sedang sakit, tentu kelak akan menemukan
obatnya. Lagipula, gadis … gadis … punya banyak akal, aih ….” Usai berkata
demikian ia lantas bergegas pergi meninggalkan gubuk.
Linghu Chong bertanya-tanya
dalam hati, “Gadis? Gadis yang punya banyak akal? Perkataannya benar-benar
tidak ada ujung pangkalnya.”
Sayup-sayup terdengar suara
derap kaki kuda yang semakin lama semakin mejauh, sampai akhirnya hilang sama
sekali. Dipandanginya jasad Ping Yizhi dengan tatapan nanar selama beberapa
waktu, kemudian ia melangkah keluar. Betapa terkejut perasaannya sewaktu
melihat di luar gubuk ternyata suasana sunyi senyap tanpa ada seorang pun
manusia. Ia benar-benar heran karena berpikir jika mereka memang berhenti
minum-minum paling tidak masih ada satu dua orang yang tersisa. Namun yang
terjadi kali ini sungguh tidak masuk akal. Dalam sekejap ribuan pendekar yang
tadi berkumpul di Lembah Lima Tiran ini sekarang sudah menghilang semua tanpa
bekas.
“Guru! Ibu Guru!” demikian
Linghu Chong berteriak-teriak namun tidak terdengar jawaban sama sekali. “Adik
Kedua! Adik Keempat! Adik Kecil!” Namun lagi-lagi tetap tidak ada jawaban.
Saat itu yang terlihat
hanyalah bulan sabit di angkasa. Angin pun seolah berhenti bertiup. Linghu
Chong merasa di seluruh penjuru Lembah Lima Tiran yang begitu luas hanya
tinggal dirinya seorang. Tampak pula poci arak, cawan, piring, topi, mantel,
baju luar, ikat pinggang, dan sebagainya berserakan di atas tanah. Sepertinya
orang-orang itu pergi tergesa-gesa tanpa sempat membereskan barang-barang
mereka.
“Mengapa mereka pergi dengan
terburu-buru? Apakah akan ada bencana besar sehingga mereka harus melarikan
diri semua? Tadinya orang-orang itu terlihat gagah seperti tidak takut pada
langit, tidak gentar pada bumi, tapi mengapa secara mendadak mereka menjadi
penakut? Sungguh aneh! Aih, Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil juga pergi ke mana?
Kalau keadaan di sini berbahaya, mengapa mereka tidak memperingatkan aku?”
demikian ia bertanya-tanya sendiri.
Tiba-tiba Linghu Chong merasa
sangat sedih dan kesepian. Ia merasa meskipun langit dan bumi begitu luas,
namun tak seorang pun yang peduli kepadanya. Padahal baru saja ribuan orang
berlomba-lomba untuk menyenangkan hatinya, namun kini mereka semua telah pergi
entah ke mana. Bahkan, guru dan ibu-guru yang selama ini mengasuhnya sejak
kecil juga ikut menghilang dan meninggalkannya.
Karena hatinya terasa pedih
membuat berbagai hawa murni dalam tubuhnya kembali bergolak. Tubuhnya pun
bergoyang-goyang kemudian terjatuh di tanah. Pemuda itu berusaha bangkit dengan
mengerang beberapa kali, namun sama sekali tak berdaya. Dipejamkannya mata
untuk menenangkan diri. Setelah beristirahat beberapa saat, ia mencoba sekali
lagi untuk bangkit namun kali ini tenaga yang ia kerahkan terlalu besar membuat
pandangannya gelap, telinga berdengung, dan akhirnya kehilangan kesadaran.
Entah berapa lama waktu
terlewati, dalam keadaan setengah sadar ia mendengar suara alunan kecapi yang
begitu lembut. Berangsur-angsur pikirannya bertambah terang dan suara kecapi
yang anggun terdengar semakin jelas, membuat perasaannya yang bergolak menjadi
tenang. Ternyata lagu yang ia dengar adalah Lagu Penyebar Kebajikan Pemurni
Batin yang pernah dimainkan si nenek di tepi Kota Luoyang. Linghu Chong seperti
seseorang yang hanyut di tengah lautan luas tak bertepi dan tiba-tiba melihat
sebuah pulau. Semangatnya timbul dan ia berusaha bangkit.
Suara kecapi tersebut
sepertinya berasal dari dalam gubuk. Maka, ia pun melangkah setapak demi
setapak menghampirinya. Namun pintu gubuk tampak tertutup. Setelah berjalan
enam atau tujuh langkah, ia pun berhenti dan berpikir, “Suara lagu ini sebagai
pertanda bahwa Nenek dari Hutan Bambu Hijau di Kota Luoyang telah tiba. Di
Luoyang sana ia enggan memperlihatkan wajahnya kepadaku. Untuk itu, aku tidak
boleh sembarangan masuk ke dalam gubuk tanpa izin darinya.” Maka, ia pun
memberi hormat sambil berkata, “Linghu Chong menghadap Sesepuh.”
Suara kecapi berdenting
beberapa kali seolah menjawab perkataan Linghu Chong, kemudian mengalun
kembali. Linghu Chong merasa bahwa alunan suara kecapi tersebut membawa
ketentraman dan membuat perasaannya begitu nyaman, sukar dilukiskan. Begitu
menyadari kalau di dunia ini masih ada seorang yang memperhatikan dan
menyayangi dirinya, rasa syukur pun langsung memenuhi lubuk hatinya.
Tiba-tiba dari kejauhan
terdengar terdengar suara seseorang berkata, “Ada suara kecapi! Ada penjahat
aliran sesat yang masih tinggal di sini!”
Terdengar pula suara seseorang
lainnya yang sangat nyaring sedang berkata, “Tak disangka kaum iblis aliran
sesat itu berani datang ke Henan sini untuk membuat onar. Apa mereka tidak
memandang kepada kita?” Sampai di sini ia segera memperkeras suaranya dan
membentak, “Kalian kawanan bangsat keparat dari mana yang berani main gila di
atas Lembah Lima Tiran ini? Hayo, sebutkan nama kalian!” Dari suaranya yang
menggetarkan segenap penjuru lembah jelas menunjukkan kalau tenaga dalam orang
ini sangat hebat.
Mendengar itu diam-diam Linghu
Chong membuat kesimpulan, “Pantas saja Sima Da, Huang Boliu, Zu Qianqiu, dan
yang lain cepat-cepat kabur. Ternyata ada tokoh aliran lurus papan atas yang
telah datang menantang mereka.” Sampai di sini ia merasa sikap para pendekar
yang melarikan diri itu terlalu penakut dan bertentangan dengan sifat kesatria.
Namun bila orang yang datang ini bisa membuat ribuan pendekar aliran sesat melarikan
diri, tentu dia bukan jago sembarangan dan pasti memiliki kesaktian luar biasa.
“Kalau mereka bertanya
macam-macam kepadaku, pasti aku kesulitan menjawab. Lebih baik aku menghindar
saja.” Setelah berpikir demikian, Linghu Chong pun bergegas menuju belakang
gubuk. “Sepertinya mereka tidak akan menyakiti Nenek.”
Saat itu suara kecapi dari
dalam gubuk sudah berhenti sama sekali. Tak lama kemudian terdengar suara
langkah kaki tiga orang sedang mendaki lembah. Setelah sampai di atas, ketiga
orang itu sama-sama berseru kaget. Sepertinya mereka merasa heran karena
suasana di atas lembah ternyata sunyi senyap tidak terlihat adanya seorang pun.
Orang yang bersuara lantang
tadi berkata, “Ke mana perginya kawanan bangsat itu?”
Terdengar suara seseorang yang
lemah lembut menanggapi, “Tentu karena mereka mendengar kedua jago Biara
Shaolin hendak datang ke sini, sehingga mereka memilih lari tunggang langgang.”
“Aha, kurasa tidak demikian,”
ujar seorang lagi sambil tertawa. “Besar kemungkinan kaburnya mereka adalah
karena gentar mendengar nama Saudara Tan dari Perguruan Kunlun.”
Mendengar itu kedua rekannya
segera ikut tertawa tebahak-bahak.
Linghu Chong berpikir,
“Ternyata dua orang di antara mereka berasal dari Biara Shaolin dan yang satu
lagi dari Perguruan Kunlun. Sejak zaman Dinasti Tang, Biara Shaolin selalu
menjagoi dunia persilatan. Nama besar Shaolin lebih tinggi daripada Serikat
Pedang Lima Gunung kami, dan ilmu silat mereka sudah pasti lebih tinggi.
Apalagi Ketua Biara Shaolin yang bernama Mahabiksu Fangzheng sangat dihormati
di dunia persilatan. Guru juga sering mengatakan kalau Perguruan Kunlun
memiliki ilmu pedang unik yang kuat sekaligus lincah. Kalau sekarang
tokoh-tokoh Biara Shaolin dan Perguruan Kunlun bergabung bergandeng tangan,
sudah tentu bertambah menakutkan. Bisa jadi ketiga orang ini hanyalah pasukan
garis depan yang membuka jalan dan di belakang mereka masih banyak bala bantuan
yang lebih kuat. Akan tetapi, mengapa Guru dan Ibu Guru juga ikut menyingkir
pergi?” Setelah berpikir sejenak akhirnya ia menemukan jawaban, “Ah, aku tahu!
Guru adalah ketua sebuah perguruan aliran lurus. Kalau sampai para jago Biara
Shaolin dan Perguruan Kunlun melihat Beliau bergaul dengan Huang Boliu dan yang
lain, tentu Beliau merasa sangat malu.”
Orang bermarga Tan dari
Perguruan Kunlun terdengar berkata, “Baru saja kita mendengar alunan suara
kecapi di atas lembah ini. Sekarang si pemetik kecapi itu bersembunyi di mana?
Saudara Xin dan Saudara Yi, aku rasa ada yang tidak beres di sini.”
Orang yang bersuara nyaring
menjawab, “Benar, Saudara Tan memang sangat teliti. Mari kita coba mencari di
sekitar sini dan menyeretnya keluar.”
“Kakak Xin, aku akan memeriksa
di dalam gubuk itu,” kata yang satu lagi.
Ketika mendengar percakapan
tersebut, Linghu Chong dapat menebak bahwa dua orang dari Biara Shaolin yang
pertama bersuara lantang adalah si marga Xin dan yang lebih muda adalah si
marga Yi.
Baru saja si marga Yi berjalan
beberapa langkah ke arah gubuk, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang
nyaring dan merdu sedang berkata, “Aku tinggal sendirian di sini. Di tengah
malam tidak pantas laki-laki dan perempuan mengadakan pertemuan.”
“Eh, ternyata seorang
perempuan,” kata orang bermarga Xin.
Si marga Yi lantas bertanya,
“Apakah tadi kau yang memetik kecapi?”
“Benar,” jawab si nenek.
“Coba kau petik lagi beberapa
kali supaya kami bisa mendengar,” kata si marga Yi.
“Kita belum pernah bertemu,
mana boleh sembarangan memetik kecapi untuk kalian?” balas nenek itu.
“Hm, apa kau kira kami suka
dengan permainanmu? Kau ini banyak alasan,” sahut si marga Xin. “Di dalam gubuk
itu pasti ada sesuatu yang aneh. Coba kita masuk untuk memeriksanya.”
Si marga Yi berkata, “Kau
bilang kau ini seorang perempuan tanpa kawan, tapi mengapa di tengah malam
begini kau berada di atas Lembah Lima Tiran? Kemungkinan besar kau adalah
begundal kawanan iblis sesat itu. Mari kita menggeledah ke dalam!” Usai berkata
demikian ia lalu berjalan menuju ke pintu gubuk dengan langkah lebar.
Mendengar itu Linghu Chong
segera keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung menghadang di depan
pintu gubuk sambil membentak, “Berhenti!”
Ketiga orang itu sama sekali
tidak mengira kalau dari belakang gubuk itu tiba-tiba muncul seseorang
menerjang keluar. Namun karena yang menghadang mereka hanyalah seorang pemuda
sendirian, maka mereka pun memandang sebelah mata.
“Anak muda, siapa kau? Mengapa
kau main sembunyi-sembunyi di kegelapan?” bentak orang bermarga Xin.
“Aku bernama Linghu Chong dari
Perguruan Huashan, menyampaikan salam hormat kepada para pendekar dari Biara
Shaolin dan Perguruan Kunlun,” sahut Linghu Chong sambil kemudian membungkuk
memberi hormat kepada mereka bertiga.
“Kau dari Perguruan Huashan?”
tanya si marga Xin sambil mendengus. “Apa yang kau lakukan di sini?”
Linghu Chong memandang orang
bermarga Xin itu yang bertubuh sedang tetapi berdada bidang seperti genderang,
sehingga pantas kalau ia memiliki suara nyaring dan menggelegar. Orang itu
memakai jubah berwarna merah hati, sama persis seperti yang dipakai laki-laki
setengah baya di dekatnya. Tentu orang kedua adalah si marga Yi yang sama-sama
berasal dari Biara Shaolin. Orang bermarga Tan dari Perguruan Kunlun pasti
orang yang menyandang sebilah pedang di punggungnya, memakai jubah longgar,
dengan lengan baju lebar. Dari raut mukanya terlihat kalau orang ini suka
berbuat sesuka hati.
“Perguruan Huashan termasuk
golongan aliran lurus. Mengapa kau berada di Lembah Lima Tiran sini?” sahut
orang bermarga Yi ikut bertanya.
Linghu Chong sudah naik pitam
sejak mendengar caci maki mereka bertiga terhadap Si Nenek tadi, ditambah lagi
dengan logat bicara mereka yang kasar, membuat jawabannya terkesan sindiran,
“Sesepuh bertiga juga berasal dari aliran lurus, tapi mengapa sekarang berada
di Lembah Lima Tiran sini?”
Orang bermarga Tan dari Perguruan
Kunlun tertawa dan berkata, “Jawaban yang bagus. Tapi apakah kau tahu siapa
wanita yang memetik kecapi di dalam gubuk itu?”
“Beliau seorang nenek yang
berusia lanjut dan berbudi luhur, tidak lagi memikirkan urusan duniawi,” jawab
Linghu Chong.
“Omong kosong!” bentak si
marga Yi. “Coba dengar suara perempuan itu, usianya tentu masih sangat muda.
Mengapa kau bilang dia nenek tua segala?”
“Suara nenek ini memang merdu
dan enak didengar, kenapa kalian heran?” ujar Linghu Chong dengan tertawa. “Apa
kalian tahu kalau dia memiliki keponakan yang usianya lebih tua dua atau tiga
puluh tahun di atas kalian?”
“Minggir, biar kami masuk
untuk melihatnya sendiri!” bentak si marga Yi.
Tapi Linghu Chong merentangkan
kedua tangannya untuk menghadang, dan berkata, “Nenek tadi sudah mengatakan
bahwa di malam hari tidaklah pantas kaum lelaki dan wanita mengadakan
pertemuan. Apalagi Beliau juga tidak kenal dengan kalian. Ada alasan apa kalian
ingin melihatnya?”
Si marga Yi mengibaskan lengan
bajunya menimbulkan angin yang menyapu ke arah Linghu Chong. Linghu Chong
sendiri yang tidak memiliki tenaga dalam merasa tak berdaya menahannya sehingga
tubuhnya tersungkur jatuh dan terguling di tanah.
Si marga Yi sama sekali tidak
menyangka kalau Linghu Chong ternyata begitu lemah. Ia sempat tertegun sejenak,
kemudian berkata sambil tersenyum sinis, “Apa kau benar-benar murid Huashan?
Huh, sepertinya hanya omong kosong saja!” Usai berkata ia mencoba kembali
melangkah menuju pintu gubuk.
Linghu Chong buru-buru
merangkak bangun. Ternyata di pipinya sudah terdapat luka lecet akibat tergores
batu. Ia pun berseru, “Nenek tidak ingin bertemu dengan kalian. Mengapa kalian
tidak tahu aturan? Aku sendiri pernah bicara cukup lama dengan Nenek di Kota
Luoyang, tapi sampai saat ini juga belum pernah melihat wajahnya.”
“Bocah ini bicara ngawur,”
gerutu si marga Yi. “Lekas minggir! Apa kau ingin tersungkur lagi?”
Linghu Chong menjawab, “Biara
Shaolin adalah perguruan besar dan paling dihormati di dunia persilatan. Tuan
berdua tentu jago-jago dari golongan awam. Sedangkan Tuan yang itu tentu jago
terkemuka dari Perguruan Kunlun. Tapi sekarang di tengah malam buta begini
mengapa kalian bertiga hendak mengganggu seorang nenek yang tak bersenjata?
Apakah kalian tidak takut menjadi bahan tertawaan dunia persilatan?”
“Dari mana kau dapatkan banyak
omongan ngawur?” bentak orang bermarga Yi. Mendadak tangan kirinya menampar
dengan telak pipi kiri Linghu Chong.
Meskipun sudah tidak mempunyai
tenaga dalam, namun Linghu Chong mengetahui kalau pihak lawan akan melancarkan
pukulan sehingga ia pun berusaha menghindar. Celakanya pinggang dan kaki tidak
dapat digerakkan sehingga pukulan si marga Yi pun sukar dihindari. Karena
mendapat tamparan keras-keras, mata Linghu Chong sampai berkunang-kunang dan kepala
terasa pusing. Akhirnya ia pun jatuh terduduk di tanah.
“Adik Yi, bocah ini tidak
becus ilmu silat, tak perlu buang-buang waktu dengannya,” kata si marga Xin.
“Rupanya kawanan setan iblis tadi sudah kabur semua. Mari kita pergi saja!”
Tetapi si marga Yi menjawab,
“Kawanan setan iblis aliran sesat dari Shandong dan Henan tiba-tiba berkumpul
di Lembah Lima Tiran sini, kemudian dalam sekejap mereka sudah menghilang
begitu cepat. Berkumpulnya aneh, bubarnya juga mencurigakan. Urusan ini harus
kita selidiki sejelas-jelasnya. Dalam gubuk ini bisa jadi kita akan menemukan
sesuatu.” Sambil berkata demikian tangannya menjulur untuk mendorong gubuk
tersebut.
Saat itu Linghu Chong sudah
bangkit kembali dengan tangan menghunus pedang. Ia berseru, “Tuan Yi, aku
pernah berhutang budi kepada nenek di dalam gubuk ini. Kau harus menghadapi aku
terlebih dulu sebelum mengganggu Beliau. Asalkan hidungku masih bernapas jangan
harap kau bisa berbuat sesukamu terhadap Beliau.”
Si marga Yi bergelak tawa. Ia
berkata, “Dengan apa kau berani merintangi aku? Apakah mengandalkan pedang yang
kau pegang itu?”
“Ilmu silatku terlalu rendah,
mana bisa menandingi jago terkemuka dari Biara Shaolin?” jawab Linghu Chong.
“Hanya saja, keadilan harus ditegakkan. Untuk bisa memasuki gubuk ini kau harus
melangkahi mayatku terlebih dulu.”
“Adik Yi, bocah ini ternyata
gagah berani dan punya sifat kesatria. Biarkan saja dia, dan mari kita pergi!”
kata si marga Xin.
Tapi si marga Yi hanya tertawa
dan berkata pada Linghu Chong, “Kabarnya ilmu pedang Perguruan Huashan memiliki
keistimewaan tersendiri. Bahkan, kabarnya telah terbagi menjadi Kelompok Pedang
dan Kelompok Tenaga Dalam segala. Kau sendiri dari kelompok mana? Atau mungkin
dari Kelompok Kentut? Hahahaha!”
Mendengar ucapan itu, si marga
Xin dan si marga Tan ikut tertawa geli.
“Huh, mentang-mentang tenagamu
lebih kuat, kau suka menganiaya yang lebih lemah. Apakah sikap seperti ini yang
disebut sikap kaum aliran lurus?” jawab Linghu Chong dengan suara lantang.
“Apakah kau benar-benar murid Biara Shaolin? Kukira omong kosong belaka!”
Kontan saja si marga Yi
menjadi sangat gusar. Tangan kanannya diangkat hendak menghantam ke arah dada
Linghu Chong. Jika pukulan ini mendarat telak, tentu Linghu Chong akan mati
seketika.
“Tunggu dulu!” seru si marga
Xin mencegah. “Linghu Chong, apa menurutmu, orang dari aliran lurus tidak boleh
bertarung dengan musuh?”
“Semua orang dari aliran
lurus, setiap kali turun tangan harus dapat memberikan alasannya,” jawab Linghu
Chong tegas.
“Baiklah kalau begitu,” kata
si marga Yi sambil perlahan-lahan menjulurkan telapak tangannya. “Aku akan
menghitung sampai tiga. Kalau kau masih tetap tidak mau menyingkir, maka tiga
batang tulang rusukmu akan kupatahkan .... Satu!”
“Hanya tiga batang tulang
rusuk apa artinya?” jawab Linghu Chong sambil tersenyum.
Si marga Yi pun mulai
menghitung, “Dua!”
“Sobat kecil,” tukas si marga
Xin. “Adik Yi selalu melaksanakan apa yang ia ucapkan. Lebih baik kau
menyingkir saja.”
Linghu Chong tersenyum dan
berkata, “Mulutku ini juga selalu menepati apa yang aku ucapkan. Selama Linghu
Chong masih hidup takkan membiarkan kalian berlaku kurang ajar terhadap Nenek.”
Usai berkata demikian ia lantas menarik napas dalam-dalam untuk menghimpun
tenaga di lengan kanan. Namun dadanya langsung terasa sakit, dan mata pun
berkunang-kunang.
“Tiga!” bentak orang bermarga
Yi sambil kemudian melangkah maju. Dilihatnya Linghu Chong tersenyum dingin
dengan punggung berandar pada pintu gubuk, sedikit pun tidak bermaksud
menyingkir. Maka tanpa pikir lagi ia pun melayangkan pukulan ke arah dada
pemuda itu.
Ketika angin yang ditimbulkan
oleh gerakan tangan si marga Yi mengenai tubuhnya, Linghu Chong merasa
tercekik. Didorong perasaan tidak nyaman, pemuda itu sekuat tenaga mengangkat
pedang dengan ujung menunjuk ke arah musuh. Kejadian selanjutnya begitu cepat.
Si marga Yi tidak sempat lagi menarik telapak tangannya yang terlanjur meluncur
ke arah pedang Linghu Chong. Maka terdengarlah suara benturan ringan diikuti
suara jeritan keras dari mulut si marga Yi, “Auuh!”
Ujung pedang Linghu Chong
telah menusuk telapak tangan si marga Yi sampai tembus. Lekas-lekas jagoan dari
Shaolin itu menarik kembali tangannya sehingga terlepas dari tusukan pedang si
pemuda, dengan disertai suara benturan pula. Lukanya ini benar-benar sangat
parah. Dengan cepat ia melompat mundur, dan mencabut pedangnya sambil
berteriak, “Bocah keparat! Ternyata kau hanya berlagak bodoh. Tak tahunya ilmu
silatmu sangat hebat. Aku … aku akan bertarung habis-habisan denganmu.”
Si marga Yi dan kedua rekannya
sama-sama mahir dalam ilmu pedang. Mereka melihat dengan jelas bagaimana Linghu
Chong mengacungkan pedangnya ke depan tanpa memakai jurus apa pun, dan hanya
mengandalkan posisi dan ketepatan waktu. Namun demikian, gerakan yang sederhana
itu mampu menembus telapak tangan lawan dengan sendirinya, jelas ini merupakan
pencapaian yang sangat tinggi dalam ilmu pedang. Meski hatinya sangat gusar,
tapi sekarang si marga Yi tidak berani lagi memandang rendah terhadap Linghu
Chong. Dengan pedang di tangan kiri, secepat kilat ia melancarkan tiga kali
serangan, tapi semua itu hanya serangan palsu untuk menguji pihak lawan. Sampai
di tengah jalan ketiga serangan itu segera ditarik kembali.
Pada malam ketika Linghu Chong
membutakan mata kelima belas musuh di halaman Kuil Dewa Obat, waktu itu
keadaannya masih jauh lebih baik daripada sekarang. Saat ini untuk mengangkat
pedang saja hampir tidak mampu. Ia melihat si marga Yi melancarkan tiga serangan
kosong, dengan ujung pedang bergetar tiada henti, jelas ini merupakan ilmu
pedang kelas satu dari Biara Shaolin. Merasa tidak ingin bermusuhan dengan
orang itu, Linghu Chong pun berkata, “Sungguh aku sama sekali tidak bermaksud
menyinggung Sesepuh bertiga. Asalkan kalian bertiga sudi meninggalkan tempat
ini, aku pun bersedia meminta maaf dengan setulus hati.”
Si marga Yi mendengus dan
berkata, “Sekarang hendak minta ampun rasanya sudah terlambat.” Dengan cepat
pedangnya pun menusuk ke arah tenggorokan Linghu Chong.
Linghu Chong tidak bisa
menggerakkan kakinya. Menyadari serangan lawan tidak dapat dihindari, ia pun
menusukkan pedangnya ke depan. Meskipun menyerang belakangan namun mengenai
sasaran lebih dulu. Serangan itu tepat menusuk titik nadi penting di
pergelangan tangan si marga Yi. Tak kuasa menahan sakit, si marga Yi pun
membuka genggaman tangan sehingga pedangnya jatuh ke tanah.
Kala itu sang surya telah
muncul di ufuk timur. Si marga Yi dapat melihat dengan jelas darah segar
menetes keluar dari pergelangan tangannya sendiri. Rumput yang berwarna hijau
di bawah kakinya telah berubah merah karena tersiram oleh darah. Untuk sejenak
ia termangu-mangu, merasa tidak percaya bahwa di dunia ini ada ilmu pedang
sehebat itu. Selang agak lama barulah ia menghela napas panjang, kemudian tanpa
bicara lagi memutar tubuh dan melangkah pergi.
“Adik Yi!” teriak si marga
Xin. Pada dasarnya ia memang tidak ingin bermusuhan dengan Perguruan Huashan.
Melihat tusukan pedang Linghu Chong yang luar biasa itu, ia merasa ilmu pedang
si pemuda sama sekali bukan tandingannya. Karena mengkhawatirkan luka sang adik
seperguruan, ia pun menyusul pergi dengan langkah cepat.
Si marga Tan memandang ke arah
Linghu Chong tanpa berkedip. Ia kemudian bertanya, “Apakah Saudara ini benar-benar
murid Perguruan Huashan?”
Linghu Chong sendiri merasa
sangat lemas dan terhuyung-huyung hendak roboh. Sekuat tenaga ia menjawab, “Ya,
benar.”
Si marga Tan dapat melihat
dengan jelas keadaan Linghu Chong yang parah itu. Ia pun berpikir, “Bocah ini
sedang terluka parah. Walaupun ilmu pedangnya hebat, tapi kekuatannya sudah
tidak lama lagi. Asalkan aku bisa bersabar sebentar saja, ia tentu akan roboh
sendiri tanpa diserang. Tadi kedua sobat dari Shaolin telah dikalahkan oleh
bocah ini. Jika sekarang aku dapat mengalahkan dan menangkapnya, kemudian
membawanya ke Biara Shaolin untuk diserahkan kepada Kepala Biara, maka bukan
saja Shaolin berhutang budi kepadaku, tapi aku juga dapat mengangkat nama
Perguruan Kunlun di Daratan Tengah ini.”
Sesudah mengambil keputusan
licik itu, segera ia melangkah maju dan berkata sambil tersenyum, “Anak muda,
ilmu pedangmu sungguh hebat. Bagaimana kalau kita bertukar jurus memakai tangan
kosong saja?”
Melihat raut muka si marga
Tan, Linghu Chong dapat menebak apa maksud dan tujuannya. Diam-diam ia
menyadari kelicikan tokoh dari Perguruan Kunlun ini. Perbuatannya itu bahkan
lebih jahat daripada si marga Yi yang berangasan tadi. Tanpa pikir panjang ia
pun mengangkat pedang untuk menusuk bahu orang itu. Namun tak disangka-sangka,
baru saja pedangnya bergerak setengah jalan, lengan sudah terasa lemas, sedikit
pun tidak bertenaga. Sejenak kemudian, pedang pemuda itu pun jatuh ke tanah.
Si marga Tan sangat gembira
melihatnya. Segera ia memukul dada Linghu Chong sekeras-kerasnya.
“Huekk!”, seru Linghu Chong
saat memuntahkan darah segar akibat serangan itu.
Jarak kedua orang itu sangat
dekat. Darah segar yang disemburkan Linghu Chong tepat mengenai wajah si marga
Tan, bahkan ada beberapa tetes yang masuk ke dalam mulutnya. Namun ia tidak
peduli meskipun mulutnya merasakan bau anyir darah. Ia hanya khawatir Linghu
Chong memungut pedang di tanah dan melancarkan serangan balasan. Maka, dengan
cepat telapak tangannya pun diangkat hendak menghantam kembali. Namun mendadak
kepalanya terasa pening dan mata pun berkunang-kunang. Seketika orang bermarga
Tan itu roboh terguling dan jatuh pingsan.
Linghu Chong terheran-heran
melihatnya. Ia tidak mengerti mengapa musuh yang sudah unggul itu tiba-tiba
roboh dengan sendirinya, sedangkan ia sendiri sudah kehabisan tenaga. Sejenak
kemudian pemuda itu merasa sangat beruntung. Wajah si marga Tan tampak jelas
berubah menjadi hitam kebiru-biruan. Tubuhnya tiada henti-henti kejang-kejang
dan menggelepar di atas tanah.
Melihat keadaan lawan yang sangat
aneh dan menyeramkan itu, Linghu Chong pun berkata, “Kau salah menggunakan
tenaga dalam, itu salahmu sendiri.”
Ia pun memandang sekeliling,
ternyata di atas Lembah Lima Tiran itu tidak terlihat bayangan seorang pun.
Yang ada hanya suara kicauan burung dari arah pepohonan, serta di tanah banyak
berserakan bermacam-macam senjata dan cawan arak serta perabot lainnya.
Setelah mengusap mulutnya yang
berdarah, Linghu Chong berkata, “Nenek, bagaimana kabarmu setelah beberapa hari
ini kita berpisah?”
“Tuan Muda sudah banyak
kehilangan tenaga. Silakan duduk beristirahat saja,” kata Si Nenek dari dalam
gubuk.
Linghu Chong memang merasa
seluruh badannya sudah lemas lunglai. Mendengar ucapan Si Nenek, ia pun duduk
di tanah. Lalu terdengar kembali suara kecapi mengalun dari dalam gubuk
tersebut. Suaranya bening dan merdu. Linghu Chong merasa badannya segar
bagaikan dialiri oleh suatu aliran dari mata air pegunungan, yang
perlahan-lahan dituang ke seluruh anggota badannya sampai ke tulang belulang.
Tubuhnya kini terasa sangat ringan seperti melayang-layang tinggi di angkasa,
bagaikan kapas tertiup angin.
Selang agak lama, suara kecapi
itu makin lama makin rendah, sampai-sampai tak terdengar lagi dan entah mulai
berhenti sejak kapan. Ketika Linghu Chong merasa semangatnya sudah bangkit,
segera ia berdiri dan memberi hormat dalam-dalam, sambil berkata, “Terima kasih
banyak atas alunan musik Nenek yang anggun sehingga aku banyak mendapat manfaat
darinya.”
Si Nenek berkata, “Tanpa kenal
bahaya kau telah menghalau musuh untukku sehingga aku tidak sampai dihina oleh
kawanan bangsat itu. Akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu.”
“Mengapa Nenek berkata
demikian? Aku hanya melakukan sesuatu yang harus dilakukan,” ujar Linghu Chong.
Nenek itu tidak bicara lagi. Hanya
kecapinya yang terdengar mengeluarkan suara denting yang lembut dan perlahan.
Sepertinya tangan Si Nenek tetap memetik kecapinya, namun pikirannya sedang
melayang-layang seolah sedang memikirkan suatu permasalahan rumit. Selang agak
lama barulah ia bertanya, “Sekarang kau akan … akan pergi ke mana?”
Pertanyaan itu membuat darah
Linghu Chong kembali bergolak memenuhi rongga dadanya. Dunia ini begitu luas
tetapi seakan-akan tidak ada lagi tempat berpijak untuknya. Tanpa terasa ia pun
terbatuk-batuk, dan setelah bersusah payah menghentikan batuknya, pemuda itu
menjawab, “Aku … aku tidak tahu harus ke mana lagi.”
“Apa kau tidak ingin mencari
guru dan ibu-gurumu? Tidak pergi mencari adik perguruanmu serta … serta adik
kecilmu?” tanya Si Nenek.
“Aku tidak tahu mereka pergi
ke mana. Dengan luka seperti ini, aku tidak sanggup mencari atau menyusul
mereka. Andai saja dapat menemukan mereka juga … juga, aih!” jawab Linghu
Chong. Sambil menghela napas panjang, ia berpikir, “Seandainya aku dapat
menemukan mereka, lantas bagaimana? Mereka juga tidak menginginkan aku.”
Si Nenek bertanya, “Lukamu
tidak ringan, mengapa kau tidak mencari tempat yang indah untuk menghibur
hatimu yang lara daripada harus berduka dan menyesal percuma?”
“Hahaha! Ucapan Nenek benar
juga,” jawab Linghu Chong sambil bergelak tawa. “Sejak dulu Linghu Chong tidak
pernah memikirkan soal hidup dan mati. Kalau begitu sekarang juga aku mohon
diri untuk turun gunung. Aku akan pergi berpesiar mengunjungi tempat yang indah
dan bersenang-senang.” Usai berkata demikian, ia lantas memberi hormat ke arah
gubuk, kemudian memutar tubuh dan melangkah pergi.
Baru saja berjalan tiga
langkah, mendadak terdengar seruan Si Nenek, “Apakah kau … kau akan pergi
sekarang?”
“Benar!” jawab Linghu Chong
setelah menghentikan langkahnya.
Si Nenek berkata, “Tapi lukamu
tidak ringan. Kau berjalan seorang diri, kalau kau letih di tengah jalan, tentu
tak ada orang yang akan merawatmu. Ini tidak baik.”
Linghu Chong merasa terharu.
Dadanya terasa hangat mendengar perkataan Si Nenek. Ia pun menjawab, “Terima
kasih banyak atas perhatian Nenek. Penyakitku ini jelas tak bisa disembuhkan
lagi. Mati sekarang atau lusa, atau mati di mana saja bagiku tidak ada
bedanya.”
“Oh, ternyata demikian,” kata
Si Nenek. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Hanya saja … hanya saja, kalau kau
sudah pergi, lalu orang jahat dari Biara Shaolin itu kembali ke sini dan
membuatku susah, bagaimana? Juga orang Perguruan Kunlun bernama Tan Diren yang
pingsan itu bagaimana kalau dia siuman dan mencari perkara denganku?”
“Nenek, kau hendak ke mana?
Bagaimana kalau aku mengawalmu untuk beberapa waktu?” tanya Linghu Chong.
“Tentu saja itu sangat baik,”
jawab Si Nenek. “Hanya saja, untuk ini ada suatu persyaratan dan mungkin akan
menyusahkan dirimu.”
“Menyusahkan aku bagaimana?
Nenek telah menyelamatkan jiwaku, kenapa harus takut menyusahkan diriku atau
tidak? Bagiku tidak ada yang merepotkan,” ujar Linghu Chong.
Si Nenek menghela napas,
kemudian berkata, “Aku mempunyai seorang musuh yang sangat hebat. Dia telah
mencariku sampai ke Kota Luoyang sana, sehingga aku terpaksa harus menyingkir
kemari. Tapi, siang malam dia selalu mencari jejakku, sehingga rasanya tidak
lama lagi ia akan datang ke sini. Aku hanya ingin mencari tempat terpencil
untuk menghindarinya sementara waktu. Kelak jika bala bantuan sudah datang,
barulah aku akan keluar untuk membuat perhitungan dengannya. Aku terpaksa
meminta kau mengantar dan mengawal diriku, namun aku takut hal ini akan
membuatmu susah. Pertama, kau sendiri sedang terluka; kedua, kau seorang pemuda
yang lincah dan penuh semangat, apakah mengiringi seorang nenek sepertiku tidak
membuatmu bosan?”
“Hahaha, aku kira Nenek hendak
meminta tolong apa, ternyata hanya soal enteng seperti itu,” seru Linghu Chong
sambil bergelak tawa. “Nenek hendak ke mana pun, aku akan mengantarmu. Bahkan
ke ujung dunia sekalipun, asalkan aku belum mati pasti akan kukawal juga.”
“Jika demikian tentu akan
membuatmu letih,” kata Si Nenek. Dari nada suaranya terlihat kalau ia merasa
sangat gembira. “Apakah benar ke ujung dunia sekalipun, kau tetap akan
mengantarku ke sana?”
“Benar, tak peduli ke ujung
dunia atau ke pojok samudera pasti Linghu Chong akan mengantar Nenek ke sana.”
“Tapi ada lagi satu
persyaratan yang lain.”
“Persyaratan apa lagi?”
“Wajahku ini sangat jelek.
Siapa pun yang melihat mukaku pasti akan kaget setengah mati. Oleh sebab itu
aku tidak ingin memperlihatkan wajah asliku kepada orang lain. Jika tidak, mana
mungkin aku menolak ketiga orang tadi masuk ke dalam gubuk? Sekarang kau harus
berjanji untuk menerima syaratku, bahwa di mana pun dan dalam keadaan apa pun
juga, kau tidak boleh memandang padaku, meskipun hanya sekejap. Tidak boleh
memandang mukaku, tidak boleh melihat tubuhku, tidak boleh melihat kaki dan
tanganku, juga tidak boleh memandang bajuku atau sepatuku.”
Linghu Chong menjawab, “Aku
menghormati Nenek sepenuh hati. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Nenek
kepadaku. Tapi kalau boleh tahu, ada hubungan apa dengan wajah Nenek?”
“Jika kau tidak bisa menerima
syaratku ini, maka kau boleh pergi sesukamu,” sahut Si Nenek.
“Baik, baik, di mana pun dan
dalam keadaan apa pun juga aku pasti tidak akan memandang kepada Nenek,” tukas
Linghu Chong.
“Punggungku juga tidak boleh
kau lihat,” kata Si Nenek menambahkan.
Linghu Chong terdiam
kebingungan. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Apakah punggungmu juga sangat
buruk? Di dunia ini punggung yang paling buruk adalah milik orang kerdil dan
orang bungkuk. Tetapi bagiku juga tidak menjadi masalah. Kau dan aku akan
melakukan perjalanan yang jauh dan berat. Kalau punggung saja tidak boleh
dilihat, tentu ini sangat merepotkan.”
Melihat pemuda itu merasa
ragu-ragu dan tidak segera menjawab, Si Nenek pun menegas, “Apa kau tidak
sanggup?”
“Sanggup, pasti sanggup. Bila
aku sampai memandang sekejap saja kepada Nenek, biarlah nanti aku mencongkel
biji mataku sendiri,” jawab Linghu Chong.
“Kau ingat baik-baik saja
janjimu ini. Nah, sekarang kau berjalanlah di depan, biar aku mengikutimu dari
belakang,” kata Si Nenek.
“Baik,” jawab Linghu Chong
yang segera mendahului berjalan menuju kaki bukit. Sejenak kemudian terdengar
suara langkah di belakangnya, yaitu suara langkah Si Nenek yang menyusulnya.
Belasan meter kemudian,
tiba-tiba Si Nenek menyodorkan sebatang ranting kayu, sambil berkata, “Gunakan
ini sebagai tongkat. Jalan perlahan-lahan saja.”
“Baik,” jawab Linghu Chong
sambil menerima tongkat itu tanpa menoleh ke belakang. Setelah cukup jauh
berjalan, tiba-tiba ia teringat sesuatu, dan bertanya, “Nenek, kenapa kau bisa
mengenal nama lengkap si marga Tan dari Perguruan Kunlun itu?”
Si Nenek menjawab, “Ya, Tan
Diren itu merupakan jago nomor tiga di antara murid-murid angkatan kedua
Perguruan Kunlun. Dalam hal ilmu pedang ia sudah menguasai enam atau tujuh
bagian dari kepandaian gurunya. Namun dibandingkan kakak pertama dan keduanya,
ia masih kalah jauh. Kalau ilmu pedang orang Shaolin bersuara nyaring yang
bernama Xin Guoliang tadi juga sedikit lebih hebat daripada dia.”
“Oh, ternyata orang bersuara
nyaring tadi bernama Xin Guoliang. Dia masih kenal aturan daripada si marga Yi,
saudaranya,” kata Linghu Chong.
“Adik seperguruannya itu
bernama Yi Guozi. Orang ini memang kurang ajar. Sekali tusuk kau bisa menembus
telapak tangannya, lalu melukai pergelangan kirinya pula. Kedua seranganmu tadi
sungguh bagus,” puji Si Nenek.
“Ah, itu hanya karena terpaksa
saja. Aku tidak punya pilihan lain,” jawab Linghu Chong. “Kini aku jadi
bermusuhan dengan Biara Shaolin. Kelak di kemudian hari tentu akan banyak
masalah menghadangku.”
“Apanya yang hebat dari Biara
Shaolin?” ejek Si Nenek. “Kita belum tentu kalah dengan mereka. Tadi aku sama
sekali tidak mengira kalau Tan Diren akan memukulmu. Lebih-lebih tidak
menyangka kalau kau akan muntah darah.”
“Eh, Apa Nenek melihat semua
kejadian tadi? Apa kau tahu mengapa Tan Diren itu tiba-tiba jatuh pingsan?”
tanya Linghu Chong.
“Apa kau benar-benar tidak
tahu?” Si Nenek menegas. “Lan Fenghuang dan keempat gadis Miao bawahannya sudah
memberikan darah mereka kepadamu. Siang dan malam mereka bergaul dengan benda-benda
beracun, tidak heran kalau darah mereka pun mengandung racun. Ditambah lagi
dengan Arak Obat Lima Dewi yang jelas-jelas mengandung racun dan kini sudah
merasuk ke dalam tubuhmu. Tadi mulut Tan Diren terciprat darah yang
kaumuntahkan, mana mungkin dia bisa bertahan?”
“Oh, ternyata begitu!” seru
Linghu Chong setelah mengetahui duduk perkaranya. “Tapi aku sendiri merasa
heran. Aku tidak punya permusuhan apa-apa dengan Ketua Lan dari Sekte Lima Dewi
itu. Entah mengapa dia sengaja meracuniku?”
“Siapa bilang dia sengaja
meracunimu?” sahut Si Nenek. “Dia justru bermaksud baik kepadamu. Hm, dia
berkhayal bisa menyembuhkan penyakitmu yang aneh itu. Dia sengaja menyalurkan
racun ke dalam darahmu agar jiwamu tidak terancam. Cara demikian adalah cara
kesukaan Sekte Lima Dewi.”
“Benar juga. Aku juga berpikir
kalau Ketua Lan tidak ingin mencelakaiku,” ujar Linghu Chong. “Tabib Ping juga
berkata bahwa arak beracun pemberian Ketua Lan adalah obat penguat yang sangat
hebat.”
Si Nenek berkata, “Dia tidak
bermaksud mencelakaimu, bahkan bermaksud baik kepadamu.”
Linghu Chong tersenyum, lalu
bertanya, “Entah Tan Diren itu akan mati atau tidak?”
“Itu tergantung kekuatan
tenaga dalamnya,” kata Si Nenek. “Selain itu, darahmu yang masuk ke dalam
mulutnya itu sedikit atau banyak.”
Membayangkan muka Tan Diren
yang kejang dan berkerut-kerut tadi, tanpa terasa Linghu Chong bergidik
sendiri. Setelah kembali berjalan belasan meter, tiba-tiba pemuda itu berhenti
karena teringat sesuatu. Ia pun berkata, “Aih, Nenek, mohon tunggu sebentar di
sini. Aku harus naik bukit lagi.”
Si Nenek bertanya, “Ada apa?”
“Jasad Tabib Ping masih di
sana dan belum dikubur,” jawab Linghu Chong.
“Tidak perlu kembali ke sana.
Aku sudah membereskannya,” kata Si Nenek.
Linghu Chong berkata, “Ah, ternyata
Nenek sudah menguburkannya.”
“Aku tidak menguburkannya,
tapi memusnahkan jasadnya dengan menggunakan obat. Memangnya aku sudi semalaman
di dalam gubuk memandangi mayat? Semasa hidup saja Ping Yizhi sudah tidak enak
dilihat, apalagi kalau sudah mati. Bisa kau bayangkan sendiri seperti apa
rupanya?” ujar Si Nenek.
Linghu Chong hanya bisa
mendengus mendengar hal itu. Ia merasa tingkah laku Si Nenek benar-benar aneh
dan sulit ditebak. Ia telah berhutang budi kepada Ping Yizhi dan setelah si
tabib wafat, ia ingin menguburkannya secara baik-baik, namun Si Nenek justru
melenyapkannya dengan obat. Semakin lama ia pikirkan, hatinya semakin merasa
tidak tenang. Namun ia sendiri tidak mampu menemukan alasan mengapa melenyapkan
jasad dengan cara seperti itu adalah perbuatan tidak benar.
Setelah berjalan beberapa
kilo, sampailah mereka pada tempat yang datar. Tiba-tiba Si Nenek berkata,
“Coba kau buka telapak tanganmu!”
“Baik!” jawab Linghu Chong.
Dalam hati ia bertanya-tanya tipuan apa lagi yang akan dilakukan Si Nenek
kepadanya. Begitu menuruti perintah wanita itu, tiba-tiba saja terdengar suara
berdesir dari belakang dan tahu-tahu sebutir benda mungil sudah mendarat tepat
di atas telapak tangannya yang terbuka. Benda itu ternyata sebutir pil berwarna
kuning yang ukurannya tidak lebih dari ujung kelingking.
“Telanlah obat itu dan
beristirahatlah di bawah pohon besar sana,” kata Si Nenek.
“Baik!” jawab Linghu Chong
yang kemudian memasukkan pil tersebut ke dalam mulutnya.
Si Nenek berkata, “Aku hanya
memerlukan ilmu pedangmu yang hebat untuk mengawal keselamatanku. Maka itu, aku
memberikan obatku ini untuk memperpanjang umurmu supaya kau tidak mati mendadak
dan aku kehilangan pengawal yang kuandalkan. Sama sekali aku tidak ada maksud
hendak … hendak berbaik hati kepadamu, lebih-lebih aku tidak bermaksud menolong
jiwamu. Hendaknya kau ingat hal ini baik-baik.”
Kembali Linghu Chong hanya
mengiakan. Setelah sampai di tempat yang ditunjuk, ia segera duduk bersandar di
batang pohon tersebut. Dari titik Dantian di bawah perutnya tiba-tiba terasa
suatu hawa hangat yang perlahan-lahan mengalir ke atas. Seakan-akan timbul
tenaga baru yang tak terbatas menyusup ke berbagai organ tubuh serta pembuluh
darahnya.
Dalam hati ia merenung, “Pil
kecil tadi jelas banyak memberi manfaat kepadaku, tapi Nenek justru tidak mau
mengaku terus terang. Ia berkata bahwa dirinya tidak punya maksud tulus
kepadaku, tetapi hanya memperalat diriku sebagai pengawalnya saja. Sungguh
aneh, padahal di dunia ini umumnya orang tidak mau mengaku kalau dia sedang
memperalat orang lain. Tapi, dia justru sengaja menyatakan hendak memperalat
diriku. Aneh sekali.” Lalu terpikir pula olehnya, “Tadi sewaktu dia melemparkan
pil ke dalam tanganku, pil itu mendarat dengan telak tanpa terpental lagi.
Caranya melempar tentu menggunakan semacam tenaga dalam halus yang sangat
tinggi. Jelas, ilmu silatnya jauh lebih tinggi dibanding aku. Tapi mengapa dia
meminta aku menjadi pengawalnya? Tapi, ah, biarlah! Apa yang dia inginkan aku
turuti saja.”
Baru saja duduk sebentar
Linghu Chong lantas bangkit kembali dan bertanya, “Apakah Nenek masih letih?
Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan?”
“Aku sangat letih. Aku ingin
beristirahat sebentar lagi,” jawab Si Nenek.
“Baik!” sahut Linghu Chong.
Diam-diam ia berpikir, “Usia Nenek sudah sangat tua. Sekalipun ilmu silatnya
sangat tinggi, dalam hal tenaga tentu tidak sama dengan kaum muda. Hm, aku
hanya memikirkan diri sendiri tapi tidak mau mengerti keadaan orang lain.” Usai
berpikir demikian ia pun kembali duduk di tempat semula.
Selang agak lama barulah Si
Nenek berkata, “Mari berangkat!”
Linghu Chong mengiakan dan
segera mendahului berjalan di depan. Sesudah makan obat tadi, ia merasa langkah
kakinya jauh lebih ringan dan cepat daripada sebelumnya. Meskipun ia berjalan di
depan, namun Si Nenek yang selalu memilih jalan kecil yang sepi untuk dilewati.
Pemuda itu hanya menurut saja.
Kira-kira belasan kilo
kemudian, mereka memasuki kawasan pegunungan yang berliku-liku dan berbatu
terjal. Napas Linghu Chong terdengar payah dan terengah-engah. Kembali Si Nenek
berkata, “Aku sudah letih berjalan. Aku ingin beristirahat lagi.”
“Baik!” jawab Linghu Chong. Ia
segera duduk sambil berpikir, “Napas Nenek sepertinya tetap teratur, sama
sekali tidak terlihat letih. Bahkan sebenarnya akulah yang letih, tapi dia yang
mengaku lelah dan ingin beristirahat.”
Selang agak lama Si Nenek
kembali mengajak melanjutkan perjalanan. Keduanya pun bangkit dan mulai
melangkah. Setelah melewati sebuah bukit, tiba-tiba terdengar suara seseorang
berkata, “Lekas kita makan, dan secepatnya meninggalkan tempat ini.” Lalu
terdengar suara belasan orang lain mengiakan.
Linghu Chong menghentikan
langkahnya. Dilihatnya di tanah rumput di tepi tebing sana terdapat lebih dari
sepuluh orang laki-laki sedang duduk melingkar sambil makan dan minum bersama.
Pada saat itulah seseorang di antaranya lantas berkata, “Itu Tuan Muda Linghu!”
Samar-samar Linghu Chong juga
masih dapat mengenali orang-orang itu yang tidak lain adalah mereka yang tadi
malam beramai-ramai ikut datang ke atas Lembah Lima Tiran. Baru saja ia
bermaksud menyapa, tiba-tiba suasana berubah menjadi hening, sunyi senyap.
Semuanya diam membisu. Mereka terbelalak memandang ke arah belakang pemuda itu.
Wajah orang-orang itu terlihat sangat ketakutan, ada pula yang gugup
seakan-akan menemukan suatu masalah yang sukar dilukiskan. Sesuatu yang sukar
dihadapi sehingga mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Melihat keadaan demikian
Linghu Chong bermaksud menoleh untuk melihat apa yang berada di belakangnya.
Tapi ia segera sadar bahwa orang-orang itu bersikap demikian tentu karena
terkejut melihat Si Nenek yang berada di belakangnya. Padahal ia sendiri telah
berjanji untuk tidak akan memandang Si Nenek sekejap pun.
Maka dengan cepat Linghu Chong
pun mengembalikan arah pandangannya ke depan. Karena gerakannya itu sangat
mendadak dan agak dipaksa membuat lehernya terasa nyeri dan rasa penasaran di
hatinya semakin bertambah. Ia pun berpikir, “Mengapa mereka sangat ketakutan
begitu melihat Nenek? Apakah wujud Nenek memang sedemikian menyeramkan?”
Tiba-tiba seorang laki-laki di
antaranya bangkit dan mengangkat belati untuk kemudian menusuk kedua matanya
sendiri. Seketika itu pula darah segar pun mengucur deras.
Sungguh Linghu Chong terkejut
luar biasa. “Apa yang kau lakukan?” teriaknya.
“Mata hamba ini sudah buta
sejak tiga hari yang lalu dan tidak dapat melihat apa-apa lagi!” teriak orang
itu.
Menyusul kemudian dua orang
lagi lantas mencabut golok masing-masing untuk membutakan mata mereka sendiri.
Keduanya berseru, “Mata hamba sudah lama buta. Hamba tidak tahu apa-apa!”
Semakin heran dan ngeri
perasaan Linghu Chong tak terkatakan. Dilihatnya laki-laki yang lain pun
beramai-ramai hendak membutakan mata masing-masing. Segera ia berseru, “Hei,
hei! Tunggu dulu! Apa pun masalahnya, tentu dapat dibicarakan baik-baik. Tolong
jangan menusuk mata kalian sendiri. Sebenarnya ada … ada apa ini?”
Seorang di antaranya menjawab
dengan sedih, “Sebenarnya hamba bisa saja bersumpah bahwa hamba tidak akan
banyak bicara. Hanya saja, hamba khawatir tidak dipercaya.”
Linghu Chong segera berkata
kepada Si Nenek, “Nenek, harap kau menolong mereka dan suruh mereka supaya
jangan menusuk mata sendiri.”
“Baik, aku percaya pada
kalian,” tiba-tiba Si Nenek bersuara. “Di seberang lautan timur ada sebuah
pulau bernama Pulau Naga Melingkar, apakah di antara kalian ada yang tahu?”
Seorang tua menyahut, “Hamba
pernah mendengar cerita orang bahwa kira-kira dua ratus kilometer di sebelah
tenggara Quanzhou di Provinsi Fujian terdapat Pulau Naga Melingkar yang konon
tidak pernah diinjak manusia. Keadaan pulau itu sunyi senyap dan terpencil.”
“Nah, memang pulau itulah yang
kumaksudkan,” kata Si Nenek. “Sekarang juga kalian berangkatlah ke sana.
Bermain-mainlah di sana. Setelah tujuh atau delapan tahun barulah kalian boleh
pulang ke Daratan Tengah sini lagi.”
Serentak belasan orang itu
mengiakan dengan wajah riang gembira. Mereka berseru, “Baik, kami segera
berangkat!”
Seorang di antaranya menyahut,
“Sepanjang jalan kami pasti tidak akan bicara apa pun juga kepada orang lain!”
“Kalian bicara atau tidak, apa
peduliku?” kata Si Nenek.
“Ya, benar! Hamba bicara
salah!” seru orang itu sambil mengangkat tangan dan menempeleng muka sendiri
sekeras-kerasnya.
“Enyahlah!” seru Si Nenek.
Tanpa bersuara lagi belasan
laki-laki itu bergegas pergi seperti kesetanan. Tiga orang di antaranya yang
sudah buta berjalan dengan dipapah yang lain. Dalam sekejap saja mereka semua
sudah menghilang di kejauhan.
Diam-diam Linghu Chong
tercengang. Ia berpikir, “Hanya sepatah kata dari Nenek sudah membuat
orang-orang itu pergi mengasingkan diri ke pulau terpencil selama tujuh atau
delapan tahun. Anehnya, orang-orang itu malah kegirangan seperti mendapat
pengampunan. Seluk-beluk urusan ini benar-benar membuat aku tak habis mengerti.”
Tanpa bersuara Linghu Chong
melanjutkan perjalanan. Pikirannya terus saja bergolak hebat. Ia merasa nenek
yang ada di belakangnya itu benar-benar manusia aneh yang selamanya belum
pernah didengar dan dilihatnya. Ia berpikir, “Semoga di sepanjang jalan nanti
jangan bertemu lagi dengan kawan-kawan yang pernah berkumpul di Lembah Lima
Tiran tadi malam. Padahal dengan penuh ketulusan mereka datang hendak
menyembuhkan penyakitku. Tapi kalau mereka sampai bertemu dengan Nenek, tentu
mereka akan membutakan mata sendiri atau mengasingkan diri ke pulau terpencil.
Ini sungguh tidak adil. Sepertinya yang menyebabkan Huang Boliu, Sima Da, dan
Zu Qianqiu memohon kepadaku supaya mengatakan kalau aku tidak mengenal mereka,
serta yang menyebabkan ribuan pendekar gagah yang berkumpul di Lembah Lima
Tiran tiba-tiba menghilang tanpa bekas adalah karena takut kepada nenek ini.
Sebenarnya … sebenarnya dia ini iblis mengerikan macam apa?” Berpikir sampai di
sini membuat tubuhnya bergidik ngeri.
Setelah belasan kilometer terlewati,
jalanan semakin berliku dan terjal. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar
suara orang berteriak, “Hah, yang berjalan di depan itulah yang bernama Linghu
Chong.”
Suara orang itu sangat nyaring
dan keras, membuat Linghu Chong langsung mengenalinya sebagai suara Xin
Guoliang dari Biara Shaolin yang bertemu tadi malam.
Si Nenek berkata pelan, “Aku
tidak ingin bertemu dengannya. Kau saja yang melayani dia sekadarnya.”
Linghu Chong mengiakan.
Kemudian terdengar suara berisik. Rupanya Si Nenek telah menyusup masuk ke
dalam semak-semak.
Terdengar suara Xin Guoliang
berkata, “Paman Guru, Linghu Chong itu sedang terluka. Tentu dia tidak bisa
berjalan cepat.”
Meskipun saat itu jaraknya
masih jauh, namun suara Xin Guoliang yang nyaring dapat terdengar jelas oleh
Linghu Chong. Pemuda itu pun berpikir, “Ternyata dia tidak sendirian, tapi
datang bersama paman gurunya. Nenek bersembunyi di dekat sini. Lebih baik aku
berhenti saja dan duduk di tepi jalan menunggu mereka.”
Selang agak lama terdengar
suara langkah kaki yang disusul kemudian dengan munculnya beberapa orang
menyusuri jalanan lembah. Di dalam rombongan itu terdapat Xin Guoliang dan Yi
Guozi, serta dua orang biksu dan seorang laki-laki setengah baya. Dari dua
biksu tersebut, yang satu berusia lanjut dengan wajah penuh keriput, sedangkan
yang satu lagi baru berumur tiga puluhan dengan tangan memegang tongkat
Fangbian.
Linghu Chong segera bangkit
menyambut dan memberi hormat, sambil berkata, “Linghu Chong dari Perguruan
Huashan menyampaikan salam hormat kepada para Sesepuh dari Biara Shaolin. Jika
boleh tahu, siapakah nama Buddha Sesepuh yang mulia ini?”
“Bocah sia….” sahut Yi Guozi
hendak mendamprat.
“Nama Buddha saya adalah
Fangsheng,” jawab si biksu tua.
Begitu paman gurunya yang
berbicara, Yi Guozi langsung menutup mulutnya. Meskipun demikian, wajahnya
tetap terlihat merah padam menahan marah dan dendam atas kekalahannya tadi
pagi.
“Terimalah hormatku, Biksu
yang mulia,” sapa Linghu Chong sambil membungkuk penuh hormat.
Biksu Fangsheng manggut-manggut,
lalu berkata dengan ramah, “Pendekar muda tidak perlu banyak adat. Apakah
gurumu, Tuan Yue baik-baik saja?”
Tadinya Linghu Chong merasa
cemas dan ngeri melihat rombongan itu datang dengan penuh ancaman. Namun begitu
melihat sikap Biksu Fangsheng yang ramah, ia langsung merasa lega. Raut muka
Fangsheng terlihat teduh dan mencerminkan pembawaan seorang biksu terkemuka
yang telah mencapai pencerahan. Selain itu, sang biksu yang memiliki nama
Buddha dengan unsur “Fang” jelas adalah angkatan paling tua di Biara Shaolin
pada zaman ini. Biksu Fangsheng dapat dipastikan adalah saudara seperguruan
Kepala Biara yang bergelar Mahabiksu Fangzheng. Maka dengan penuh sopan santun
Linghu Chong pun menjawab, “Berkat doa restu dari Biksu, guruku yang terhormat
dalam keadaan sehat.”
Fangsheng berkata, “Keempat
orang ini adalah keponakanku. Biksu muda ini bergelar Jueming, sedangkan mereka
bertiga adalah murid dari golongan awam. Yang ini adalah Huang Guobo, dan yang
itu adalah Xin Guoliang serta Yi Guozi. Kedua keponakanku yang kusebut
belakangan tentu pernah bertemu denganmu, bukan?”
“Benar. Sesepuh berempat,
terimalah hormatku!” kata Linghu Chong. “Aku dalam keadaan terluka parah
sehingga tidak bisa menjalankan tata krama dengan sempurna. Mohon Sesepuh
sekalian sudi memberi maaf.”
“Hm, kau terluka?” sahut Yi
Guozi mencibir.
“Apa kau benar-benar terluka?”
Fangsheng menegas. “Guozi, apakah kau yang melukai dia?”
“Ah, hanya sedikit salah paham
tidak perlu menjadi soal,” ujar Linghu Chong. “Angin kebasan lengan baju Sesepuh
Yi telah membanting jatuh diriku, ditambah dengan pukulan satu kali. Untungnya
tidak sampai mati. Untuk hal ini Mahabiksu tidak perlu menegur Sesepuh Yi.”
Linghu Chong memang pandai
bermain kata-kata. Mengingat Fangsheng adalah biksu sepuh yang terkemuka, tentu
tidak akan membiarkan keempat keponakannya untuk berbuat sesuka hati kepada
dirinya. Berpikir demikian ia pun melanjutkan, “Apa yang terjadi tadi
disaksikan juga oleh Sesepuh Xin. Namun karena Mahabiksu sudah berkenan datang
kemari, ini sungguh merupakan kehormatan besar bagiku. Mahabiksu tidak perlu
khawatir. Meskipun lukaku parah dan sulit disembuhkan, namun aku tidak akan
menceritakannya kepada guruku. Hal ini tidak akan menimbulkan perselisihan di
antara Biara Shaolin dengan Serikat Pedang Lima Gunung.” Kata-katanya ini
bertujuan untuk memojokkan Yi Guozi sebagai pihak yang telah menyebabkan ia
terluka parah.
Mendengar itu Yi Guozi pun
berkata dengan gemas, “Omong … kosong … kau bicara omong kosong! Kau memang
sudah terluka parah sebelumnya.”
Linghu Chong menghela napas
pura-pura menampilkan wajah menyesal. Ia berkata, “Perkataan Sesepuh Yi ini
jangan sampai tersiar ke orang lain. Jika tidak, tentu ini akan mencoreng nama
baik Biara Shaolin?”
Xin Guoliang, Huang Guobo, dan
Jueming sedikit manggut-manggut mendengar ucapan Linghu Chong. Mereka bertiga
sama-sama mengetahui kalau Biara Shaolin memiliki kedudukan di atas Serikat
Pedang Lima Gunung. Para biksu angkatan “Fang” pun dianggap sebagai angkatan
tertua di dunia persilatan saat ini. Meskipun tidak ada hubungan persaudaraan,
namun para ketua dari Serikat Pedang Lima Gunung menganggap mereka dari
angkatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, angkatan Xin Guoliang dan Yi Guozi
bisa dianggap sejajar dengan Yue Buqun, dan setingkat di atas Linghu Chong.
Pertarungan antara Yi Guozi dan Linghu Chong tadi dapat dikatakan angkatan tua
menyerang angkatan yang lebih muda. Apalagi pertarungan itu disaksikan seorang
murid Shaolin lainnya, dan setelah pertarungan itu Linghu Chong mengalami luka
parah. Tata tertib di Biara Shaolin sangat ketat. Jika benar Yi Guozi terbukti
memukul seorang murid Perguruan Huashan sampai terluka parah atau mati,
meskipun ia sendiri tidak sampai menebus dengan nyawa, paling tidak ilmunya
akan dimusnahkan dan ia pun dikeluarkan dari Biara. Membayangkan hal ini
membuat raut muka Yi Guozi berubah pucat pasi.
Biksu Fangsheng pun berkata,
“Cobalah kemari, Pendekar Muda. Biar kuperiksa lukamu.”
Linghu Chong melangkah maju
mendekat. Fangsheng segera menjulurkan tangan kanan untuk memegang pergelangan
pemuda itu. Jari-jarinya menekan di titik Dayuan dan Jinggu. Tapi mendadak
jari-jarinya itu bergetar sampai terpental pula. Ia merasakan dalam tubuh
Linghu Chong terdapat tujuh jenis aliran hawa murni yang sangat aneh.
Fangsheng merasa sangat heran.
Ia termasuk jago terkemuka di antara para biksu angkatan tua di Biara Shaolin,
namun jari-jarinya terpental setelah menyentuh pergelangan tangan seorang anak
muda. Benar-benar kejadian yang tidak masuk akal. Ia sendiri tidak tahu kalau
aliran hawa murni dalam tubuh Linghu Chong berasal dari tujuh macam tenaga
dalam yang dulu disalurkan Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie. Begitulah,
meskipun memiliki ilmu silat tinggi, namun Fangsheng tidak mempersiapkan diri
sehingga tidak menduga kalau ketujuh hawa murni dalam tubuh si pemuda akan
mendorong dan membuat jarinya terpental.
“Oh!” seru biksu tua itu
sambil menatap tajam ke arah Linghu Chong dengan mata terbelalak. “Pendekar
Muda, kau bukan murid Perguruan Huashan.”
“Saya benar-benar murid
Huashan, bahkan murid pertama Tuan Yue,” jawab Linghu Chong.
“Tapi mengapa kau mengikuti
aliran sesat dan belajar ilmu silat dari golongan liar itu?” tanya Fangsheng.
Tiba-tiba Yi Guozi menyela,
“Paman Guru, ilmu silat yang digunakan bocah ini memang benar-benar dari aliran
sesat. Malah tadi kita juga melihat di belakangnya ada seorang perempuan, dan
mengapa sekarang perempuan itu menghilang? Di mana wanita itu sekarang
bersembunyi? Melakukan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, jelas kalau dia bukan
orang baik-baik.”
Mendengar kata-kata itu,
Linghu Chong menjadi gusar dan membentak, “Kau adalah murid golongan terkemuka,
mengapa ucapanmu tidak kenal sopan santun? Beliau memang tidak sudi melihatmu
supaya amarah Beliau tidak bangkit.”
“Suruh dia keluar! Paman
guruku memiliki pandangan yang tajam. Hanya dengan sekali lihat saja Beliau
sudah bisa mengetahui apakah wanita itu dari aliran lurus atau aliran sesat.”
“Kita tadi pagi berkelahi
adalah karena kau kurang ajar kepada nenekku. Sekarang kau berani omong kosong
lagi?” bentak Linghu Chong.
Biksu Jueming ikut berbicara,
“Pendekar Linghu, dari atas bukit tadi kami melihat ada perempuan ikut di
belakangmu. Langkahnya sangat ringan dan gesit. Sama sekali tidak mirip seorang
nenek seperti ucapanmu.”
“Nenekku orang persilatan.
Sudah tentu langkahnya ringan dan gesit. Kenapa harus heran?” sahut Linghu
Chong.
“Jueming, kita ini pengikut
ajaran Sang Buddha, mana boleh memaksa perempuan sepuh dari keluarga lain untuk
keluar menemui kita?” tukas Fangsheng sambil menggeleng, Ia kemudian berpaling
ke arah Linghu Chong dan berkata, “Baiklah, Pendekar Linghu. Memang dalam
masalah ini banyak hal-hal aneh yang tidak kumengerti. Badanmu terluka parah
tidak mungkin disebabkan oleh serangan Keponakan Yi. Pertemuan kita ini karena
takdir. Semoga kesehatanmu lekas pulih kembali. Luka dalam yang kau derita
benar-benar parah. Aku punya dua butir pil yang dapat kauminum, namun mungkin
tidak dapat menyembuhkanmu.” Usai berkata demikian, ia pun merogoh saku di
balik bajunya.
Dalam hati Linghu Chong merasa
kagum terhadap pembawaan biksu sepuh yang memang berbeda jauh dengan para
keponakannya tersebut. Segera ia membungkuk memberi hormat sambil berkata,
“Saya sungguh beruntung bisa bertemu Mahabiksu ….”
Tiba-tiba Yi Guozi mencabut pedang
dan membentak, “Itu dia ada di sini!” Kemudian ia menyusup masuk ke dalam
semak-semak tempat Si Nenek bersembunyi.
Lekas-lekas Fangsheng berseru,
“Keponakan Yi, jangan kurang ajar!”
Tapi apa yang terjadi
benar-benar di luar dugaan. Tahu-tahu tubuh Yi Guozi sudah melayang kembali dan
keluar dari tengah semak-semak itu, kemudian terbanting kaku di atas tanah
dengan wajah menghadap langit. Tampak kaki dan tangannya menggelepar beberapa
kali, lalu tidak bergerak lagi.
Seketika semua mata terbelalak
kaget. Tampak luka menganga di dahi Yi Guozi yang mengeluarkan darah segar.
Tangan pria itu masih memegangi pedangnya dengan erat, namun hidungnya sudah
tidak bernapas lagi.
Xin Guoliang, Huang Guobo, dan
Jueming berteriak gusar. Mereka menghunus senjata hendak menerjang masuk ke
dalam semak-semak. Akan tetapi Fangsheng lebih dulu mengibaskan lengan bajunya
sehingga menimbulkan angin lembut yang menghadang ketiga keponakannya itu
berbuat lebih jauh. Mereka bertiga serentak berhenti karena seperti membentur tembok
yang tak terlihat. Fangsheng kemudian berseru lantang ke arah semak-semak,
“Saudara dari Tebing Kayu Hitam siapa yang berada di sini?”
Tapi keadaan semak-semak itu
tampak sunyi senyap tiada gerakan sedikit pun.
Segera Fangsheng berseru
kembali, “Biara Shaolin tidak memiliki permusuhan dengan Saudara-Saudara dari
Tebing Kayu Hitam. Mengapa Tuan menggunakan cara sedemikian kejam atas diri
Keponakan Yi kami?”
Dari dalam semak-semak itu
tetap saja tidak terdengar suara apa pun serta tidak ada seorang pun yang
menjawab.
Mendengar itu, Linghu Chong
sangat terkejut. Ia berpikir, “Tebing Kayu Hitam? Bukankah Tebing Kayu Hitam
adalah markas besar Sekte Iblis? Apakah … apakah … Nenek seorang sesepuh dari
Sekte Iblis?”
Fangsheng kembali berkata,
“Dahulu saya pernah bertemu dengan Ketua Dongfang. Karena Saudara sudah turun
tangan membunuh orang, maka hari ini juga kita harus menyelesaikan masalah yang
melibatkan kedua pihak ini. Mengapa kau tidak juga keluar untuk menemui kami?”
Jantung Linghu Chong berdebar
kencang. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Ketua Dongfang? Apakah yang dimaksud
adalah Dongfang Bubai, Ketua Sekte Iblis? Orang itu disebut-sebut sebagai jago
nomor satu di dunia persilatan zaman ini. Kalau begitu … kalau begitu … nenek
ini benar-benar anggota Sekte Iblis.”
Akan tetapi, Si Nenek yang
bersembunyi di dalam semak-semak tetap saja diam tanpa menghiraukan ucapan
Biksu Fangsheng.
“Jika Saudara tidak sudi
tampil ke muka, maafkan jika saya terpaksa bertindak kurang sopan!” lanjut
Fangsheng kemudian.
Usai berkata demikian, kedua
tangannya sedikit bergerak ke belakang untuk mengerahkan tenaga dalam,
sampai-sampai kedua lengan bajunya pun menggelembung seperti genderang.
Menyusul kemudian kedua tangannya itu dihantamkannya ke depan. Maka terdengarlah
suara berderak yang keras, puluhan batang semak patah dan berhamburan, serta
ranting dan dedaunan pohon pun beterbangan di udara. Rupanya sang biksu tua
telah mengerahkan pukulan jarak jauh yang diikuti dengan suara teriakan manusia
dan terlihat sesosok bayangan melompat keluar.
Linghu Chong yang terikat
perjanjian lekas-lekas memutar tubuh ke arah lain meskipun dalam hati sangat
penasaran ingin melihat wajah Si Nenek. Ia hanya bisa mendengar suara Xin
Guoliang dan Jueming yang berteriak bersamaan, disusul dengan suara nyaring
benturan senjata yang cepat dan ramai, bagaikan hujan deras menerpa jendela.
Jelas Si Nenek sudah terlibat pertempuran melawan Biksu Fangsheng dan ketiga
keponakannya.
Saat itu jam sepuluh pagi,
matahari masih agak condong di ufuk timur. Meskipun hatinya gelisah, namun
sedikit pun Linghu Chong tidak berani menoleh karena memegang janji. Ia hanya
bisa melihat bayangan yang berseliweran di tanah. Tampak bayangan Fangsheng
tidak memegang senjata, sedangkan Jueming bersenjatakan tongkat Fangbian, Huang
Guobai menggunakan golok, dan Xin Guoliang memakai pedang. Sebaliknya, Si Nenek
tampak memegang sepasang pedang pendek, bentuknya mirip belati. Pendek sekali
kedua senjata itu dan sangat tipis seakan-akan tembus cahaya. Dengan hanya melihat
bayangannya, sukar sekali ditebak senjata macam apa yang dipegang Si Nenek.
Terdengar pula suara Xin Guoliang dan kedua saudaranya membentak-bentak dengan
ganas, sedangkan Fangseheng dan Si Nenek bertarung tanpa bersuara sama sekali.
Linghu Chong berseru dari
tempatnya berdiri, “Segala urusan dapat dibicarakan secara baik-baik. Kalian
empat orang laki-laki mengeroyok seorang nenek tua, kesatria macam apa kalian
ini?”
“Nenek tua? Hehe, rupanya
bocah ini mimpi di siang bolong,” ejek Huang Guobai. “Dia itu ….”
Belum habis ia berkata,
mendadak Fangsheng berseru, “Guobai, awas!”
Namun sudah terlambat.
Terdengar suara Huang Guobai menjerit, “Aaaah!”
Sungguh hati Linghu Chong
terkejut bukan kepalang. Dalam hati ia berpikir, “Betapa lihai ilmu silat
Nenek. Baru saja Biksu Fangsheng mengobrak-abrik semak dan pepohonan dengan
menggunakan kibasan lengan baju, menunjukkan tenaga dalamnya jarang ada
tandingan di dunia persilatan. Namun, dengan satu melawan empat, Nenek masih
berada di atas angin dan dapat menjatuhkan salah seorang pengeroyoknya.”
Bahkan kemudian terdengar
jeritan keras Jueming pula. Tongkat besi yang ia pegang terlepas dan melayang
melewati kepala Linghu Chong sampai beberapa meter, kemudian jatuh di tanah.
Kini bayangan orang yang berseliweran itu sudah berkurang dua. Tinggal
Fangsheng dan Xin Guoliang saja yang masih bertempur dengan sengit menghadapi
Si Nenek.
“Amitabha, dosa, dosa!” seru
Fangsheng. “Kau sudah turun tangan begitu keji. Berturut-turut tiga orang
keponakanku telah kau bunuh. Terpaksa aku harus melayanimu dengan segenap
tenaga.” Menyusul terdengarlah angin berdesir tiga kali. Agaknya Fangsheng juga
telah mengeluarkan senjatanya, semacam tongkat atau toya kayu.
Linghu Chong merasa ada
hembusan angin yang kuat di belakangnya, makin lama makin keras sehingga
selangkah demi selangkah ia pun terdesak maju. Setelah Fangsheng menggunakan
senjata, keadaan menjadi berubah. Kali ini terdengar suara napas Si Nenek yang
mulai terengah-engah. Sepertinya tenaganya sudah banyak berkurang.
“Buang senjatamu dan aku
takkan menyusahkan dirimu,” seru Fangsheng. “Kau boleh ikut kami ke Biara
Shaolin untuk melapor kepada Kepala Biara. Terserah apa yang menjadi
kebijakannya demi menyelesaikan masalah ini.”
Namun Si Nenek tidak menjawab.
Ia menyerang dengan gencar beberapa kali ke arah Xin Guoliang sehingga murid
Shaolin tersebut agak kelabakan. Pria bersuara nyaring itu terpaksa melompat
mundur agar memberi jalan Fangsheng untuk menyambut serangan lawan.
Setelah tenang kembali, Xin
Guoliang mencaci maki, “Siluman betina, hari ini kalau kau tidak dicincang
sampai habis, maka dendamku tak akan puas!” Segera ia pun memutar pedang dan
menerjang maju.
Tidak lama berselang, suara
benturan senjata mulai mereda, tapi deru angin semakin kencang. Biksu Fangsheng
berkata, “Tenaga dalammu bukan tandinganku. Lebih baik kau membuang senjatamu
dan ikut kami ke Biara Shaolin. Kalau kau tetap bertahan, maka luka dalam yang
kau derita akan semakin parah.”
Terdengar Si Nenek hanya
mendengus. Tiba-tiba terdengar suara jeritan. Linghu Chong merasa tengkuknya
terciprat beberapa tetes cairan. Waktu ia meraba, terlihat telapak tangannya
berwarna merah. Titik-titik air yang menciprat pada lehernya itu ternyata darah
segar.
“Shanzai, shanzai! Sekarang
kau sudah terluka, tidak mampu melawan lagi. Ketahuilah bahwa aku tetap
mengutamakan welas asih,” kata Fangsheng.
“Perempuan keparat ini adalah
siluman betina aliran sesat. Lekaslah Paman Guru membinasakan dia untuk
membalaskan sakit hati kematian tiga orang saudara. Terhadap kaum iblis mana
boleh pakai welas asih segala?” seru Xin Guoliang dengan nada murka.
Suara napas Si Nenek terdengar
semakin payah. Langkahnya juga mulai sempoyongan seakan-akan setiap saat bisa
saja tubuhnya roboh. Diam-diam Linghu Chong membatin, “Nenek menyuruhku
mengawalnya, untuk melindungi dia dari kejaran musuh. Kini ia menghadapi
bahaya, mana boleh aku hanya berpangku tangan? Meskipun Biksu Fangsheng seorang
pendeta agung yang saleh, namun orang bermarga Xin itu kasar dan berangasan.
Aku tidak akan membiarkan Nenek jatuh ke tangannya.”
Karena pikirannya sudah bulat,
ia segera mencabut pedang dan berseru, “Mahabiksu Fangsheng dan Sesepuh Xin,
mohon kalian sudi bermurah hati dan menghentikan pertempuran ini. Kalau tidak,
terpaksa aku akan bertindak kurang sopan kepada kalian.”
Xin Guoliang menjadi gusar
mendengarnya. Ia pun membentak, “Kawanan iblis! Kubunuh saja kau sekalian!” Ia
berteriak sambil pedangnya menusuk ke punggung Linghu Chong yang berdiri
membelakangi itu.
Linghu Chong tetap memegang janjinya
dan tidak berani berpaling supaya tidak memandang wajah Si Nenek. Ia hanya
berusaha menghindar ke samping.
Mendadak terdengar Si Nenek
berseru, “Awas!”
Xin Guoliang sendiri adalah
jago pilihan di antara murid-murid angkatan kedua Biara Shaolin. Maka ketika
Linghu Chong menghindar ke samping, tahu-tahu pedang pria itu juga menyusul
miring ke samping. Anehnya, yang terdengar kemudian justru suara Xin Guoliang
yang menjerit keras. Tubuhnya terlempar ke atas dan melayang melewati samping
kiri Linghu Chong, kemudian terbanting di atas tanah. Sesudah kejang-kejang
beberapa kali, nyawanya pun melayang. Entah bagaimana caranya ia bisa tewas
mengenaskan di tangan Si Nenek.
Pada saat yang hampir
bersamaan terdengar pula suara pukulan yang keras diikuti dengan jeritan.
Rupanya Biksu Fangsheng berhasil memukul tubuh Si Nenek sampai roboh terjungkal
ke dalam semak belukar.
Linghu Chong terkejut bukan
main. Ia pun berseru memanggil, “Nenek, Nenek, bagaimana keadaanmu?”
Dari balik semak-semak hanya
terdengar suara Si Nenek mengerang kesakitan. Linghu Chong merasa agak lega
karena perempuan itu masih hidup. Dengan cepat ia pun memiringkan tubuh, lantas
pedangnya segera menusuk ke arah Fangsheng. Karena serangan Linghu Chong yang
tiba-tiba serta jitu arahnya itu, mau tidak mau Fangsheng terpaksa harus
melompat mundur.
Linghu Chong terus saja
menusuk. Fangsheng mengangkat senjatanya untuk menangkis. Linghu Chong pun
menarik serangannya dan memutar tubuh sehingga sekarang berhadapan muka dengan
sang biksu tua. Dapat dilihatnya ternyata senjata yang dipakai Fangsheng berupa
sepotong pentungan kayu yang panjangnya tidak lebih dari setengah meter saja.
Linghu Chong pun tercengang.
Ia berpikir, “Sungguh tak kusangka senjata yang ia gunakan hanya berupa
sepotong kayu pendek ini. Tenaga dalam biksu Shaolin ini sangat kuat. Jika aku
tidak dapat mengalahkannya dengan ilmu pedangku, tentu Nenek sukar
diselamatkan.” Usai berpikir demikian ia pun mengerahkan ilmu Sembilan Pedang
Dugu. Pedangnya lantas menikam ke atas dan ke bawah, menyusul menusuk lagi
sebanyak dua kali.
Seketika raut muka Fangsheng
berubah hebat. Ia hanya bisa berseru, “Kau … kau … kau ….”
Namun sedikit pun Linghu Chong
tidak berhenti menyerang. Ia sadar tenaga dalamnya sudah musnah. Apabila pihak
lawan diberi kelonggaran sedikit saja tentu akan segera melancarkan serangan
balasan dengan tenaga dalam yang kuat. Jika demikian jadinya, maka ia pasti
akan binasa dan Si Nenek juga akan ditangkap dan dibawa ke Biara Shaolin untuk
dihukum mati. Ia lantas mengosongkan pikiran dan melancarkan ratusan macam
gerak perubahan luar biasa pada ilmu Sembilan Pedang Dugu secara berantai dan
terus-menerus tanpa berhenti.
Ilmu Sembilan Pedang Dugu
memang benar-benar istimewa. Meskipun Linghu Chong tidak memiliki tenaga dalam,
dan belum sepenuhnya menguasai ilmu tersebut, namun serangan bertubi-tubi yang
ia lancarkan dapat memaksa Biksu Fangsheng terus-menerus melangkah mundur.
Namun kemudian, darah di rongga dadanya pun bergolak, serta lengan terasa
lemas. Jurus pedang yang dilancarkannya semakin lama semakin lemah.
“Lepaskan pedangmu!” teriak
Fangsheng keras-keras. Telapak tangan kirinya kemudian menghantam ke dada
Linghu Chong.
Linghu Chong sendiri sudah
kehabisan tenaga. Sewaktu pedangnya menusuk ke depan, belum mencapai sasaran
sudah turun ke bawah. Namun ilmu pedang yang dimainkannya memang tidak memiliki
gerakan khusus, jadi tidak ada perbedaan antara benar dan keliru. Yang ia
lancarkan adalah serangan menurut keinginan setiap saat. Maka biarpun ujung
pedangnya sudah melenceng ke bawah, tusukannya itu masih tetap diteruskan namun
gerakannya agak melambat.
Pada saat itulah Biksu
Fangsheng melayangkan tangan kirinya untuk mendorong dada Linghu Chong. Namun
demikian, dorongan itu tanpa disertai tenaga dalam, hanya mulutnya yang
bersuara, “Sembilan Pedang Dugu itu …” Tepat pada saat itulah ujung pedang
Linghu Chong telah menusuk ulu hatinya.
Linghu Chong sendiri dalam
hati benar-benar kagum dan menghormati Fangsheng. Begitu merasa ujung pedangnya
sudah menusuk tubuh sang biksu, lekas-lekas ia berusaha menariknya kembali
sekuat tenaga. Akibatnya, ia sendiri menjadi terjengkang ke belakang dan jatuh
terduduk. Tanpa ampun, mulutnya pun langsung memuntahkan darah segar.
Sambil mendekap luka,
Fangsheng berkata sambil tersenyum, “Ilmu pedang yang bagus! Kalau Pendekar
Muda tidak menaruh belas kasihan kepadaku, tentu nyawa biksu tua ini sudah
melayang.” Ia hanya memuji pihak lawan, sedangkan pukulannya sendiri yang ia
tahan tanpa diteruskan tadi sama sekali tidak disinggung olehnya. Usai berkata
demikian, ia lantas terbatuk-batuk. Ternyata ujung pedang Linghu Chong tadi
sempat masuk beberapa senti ke dalam ulu hatinya meskipun si pemuda sudah
berusaha menarik serangan.
Dengan penuh penyesalan Linghu
Chong berkata, “Maaf … maafkan aku yang telah berlaku kasar terhadap … terhadap
Mahabiksu.”
Fangsheng menjawab, “Sungguh
tidak kusangka ilmu pedang sakti Sesepuh Feng dari Perguruan Huashan ternyata
sudah mendapatkan ahli waris. Dulu aku pernah menerima budi baik Sesepuh Feng.
Mengenai masalah … masalah hari ini, aku menjadi tidak berani mengambil
keputusan sendiri.”
Perlahan-lahan Fangsheng
mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari balik jubahnya. Di dalamnya terdapat
dua butir obat pil sebesar biji buah lengkeng. “Ini adalah obat luka mujarab
dari Biara Shaolin. Boleh kau minum satu butir.” Setelah ragu-ragu sejenak, ia
pun melanjutkan, “Dan yang satu butir lagi boleh diminumkan kepada wanita itu.”
“Lukaku sudah jelas sukar
disembuhkan. Buat apa minum obat lagi?” ujar Linghu Chong dengan tertawa. “Obat
yang satu biji itu silakan Mahabiksu sendiri yang meminumnya.”
Fangsheng menggeleng-geleng
dan berkata, “Tidak usah!”
Biksu tua itu kemudian
meletakkan kedua biji obat tersebut di hadapan Linghu Chong. Dipandanginya
mayat Jueming, Xin Guoliang, dan yang lain dengan wajah sedih. Segera ia
menguncupkan kedua tangan di depan dada dan mulai membaca doa untuk orang
meninggal dengan suara lirih. Lambat laun wajahnya berubah tenang kembali,
bahkan seperti diselubungi oleh selapis sinar suci. Perkataan “welas asih tanpa
batas” seolah menjelma di wajahnya.
Linghu Chong sendiri merasa
kepalanya sangat pusing dan pandangan matanya kabur. Merasa tidak tahan lagi,
dipungutnya kedua pil tersebut dan ditelannya satu butir.
Selesai berdoa, Fangsheng
berkata kepada Linghu Chong, “Pendekar Muda, kau adalah ahli waris ilmu
Sembilan Pedang Dugu Sesepuh Feng, tentu kau bukan pengikut aliran sesat. Kau
berjiwa kesatria dan berbudi luhur, tidak seharusnya kau mati begini saja.
Hanya saja luka yang kau derita memang aneh luar biasa dan sukar disembuhkan
dengan obat maupun tusuk jarum. Satu-satunya jalan keluar agar jiwamu bisa
tertolong adalah kau harus belajar ilmu tenaga dalam tingkat paling tinggi.
Menurut pendapat si biksu tua ini, sebaiknya kau ikut denganku ke Biara
Shaolin. Aku akan melapor kepada Kakak Kepala dan memohon Beliau supaya sudi
mengajarkan intisari ilmu tenaga dalam yang paling tinggi dari Biara Shaolin
kepadamu. Dengan demikian luka dalam yang kau derita itu akan dapat
disembuhkan.”
Setelah terbatuk beberapa
kali, Fangsheng melanjutkan, “Untuk bisa memelajari intisari ilmu tenaga dalam
tingkat tinggi Biara Shaolin perlu diperhatikan pula yang namanya ‘karma’. Aku
sendiri tidak ada karma baik sehingga tidak bisa belajar ilmu tersebut. Kakak
Kepala Biara sangat bijaksana dan berpandangan luas. Bisa jadi Beliau ada jodoh
dengan Pendekar Muda dan berkenan mengajarkan intisari ilmu tenaga dalam
tersebut kepadamu.”
“Terima kasih banyak atas
maksud baik Mahabiksu,” jawab Linghu Chong. “Biarlah nanti sesudah saya
mengantar Nenek ke suatu tempat yang aman, apabila saya beruntung belum mati,
tentu saya akan datang ke Biara Shaolin untuk menyampaikan sembah kepada Biksu
Kepala dan Mahabiksu.”
“Kau … kau memanggilnya
‘Nenek’?” sahut Fangsheng menegas. “Pendekar Muda, kau murid pertama dari
perguruan lurus bersih, jangan kau bergaul dengan kaum sesat. Biksu tua ini
memberi nasihat dengan tujuan baik, harap Pendekar Muda memikirkannya
baik-baik.”
“Seorang laki-laki sejati
sekali berjanji mana boleh menariknya kembali?” ujar Linghu Chong.
Biksu Fangsheng menghela napas
dan berkata, “Baiklah, saya akan menunggu kedatangan Pendekar Muda di Biara
Shaolin.” Ia kemudian memandangi keempat jenazah keponakannya yang masih
tergeletak di tanah, dan berkata, “Empat wadah sudah kosong, dikubur atau tidak
juga tiada bedanya. Setelah meninggalkan dunia, semuanya berakhir sudah.”
Perlahan-lahan ia memutar tubuh kemudian melangkah pergi.
Linghu Chong duduk di tanah
dengan napas terengah-engah. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tak dapat bergerak.
Ia kemudian bertanya, “Nenek, apakah kau baik-baik saja?”
Terdengar suara berisik yang
disusul kemudian dengan munculnya Si Nenek dari balik semak-semak yang kemudian
berkata, “Aku tidak akan mati semudah itu. Linghu Chong, kau boleh ikut pergi
bersama biksu tua itu. Dia bilang lukamu bisa disembuhkan. Ilmu tenaga dalam
Perguruan Shaolin tiada bandingannya di dunia ini. Kenapa kau tidak ikut dia
pergi saja?”
“Aku sudah berjanji akan
mengawal Nenek. Sudah seharusnya aku mengawalmu sampai tempat tujuan,” sahut
Linghu Chong.
“Kau sendiri menderita
penyakit, masih bicara tentang pengawalan segala?” balas Si Nenek.
“Tapi Nenek sendiri juga
terluka. Biarlah kita tinggal bersama saja,” sahut Linghu Chong dengan tertawa.
“Aku berasal dari golongan
sesat dan kau adalah murid golongan lurus bersih. Lebih baik kau jangan bergaul
dengan aku agar tidak merusak nama baik perguruanmu,” kata Si Nenek.
“Aku tidak punya nama baik
apa-apa. Peduli apa dengan pendapat orang lain?” jawab Linghu Chong. “Nenek,
kau sangat baik kepadaku. Linghu Chong bukanlah manusia yang tidak kenal budi.
Saat ini kau dalam keadaan terluka parah. Jika kutinggal pergi begitu saja
apakah aku masih dapat dianggap sebagai manusia?”
“Tapi kalau saat ini aku tidak
terluka parah, tentu kau akan pergi, bukan?” tanya Si Nenek.
Linghu Chong menjawab dengan
tertawa, “Jika Nenek tidak peduli dengan kebodohanku dan bersedia ditemani
olehku, maka aku siap selalu berada di sampingmu sebagai teman mengobrol. Hanya
saja watakku ini memang kasar dan suka berbuat menurut keinginanku.
Jangan-jangan hanya beberapa hari saja Nenek sudah merasa bosan dan tidak suka
bicara denganku lagi.”
“Huh!” Si Nenek hanya
mendengus.
Linghu Chong segera
menyodorkan tangannya ke belakang tanpa melihat wajah Si Nenek, untuk
memberikan pil dari Biksu Fangsheng tadi, sambil berkata, “Nenek, biksu
terkemuka dari Biara Shaolin itu memang luar biasa. Nenek sudah membunuh empat
orang keponakannya, tapi dia malah memberikan obat mujarab ini kepadamu, sedangkan
dia sendiri tidak meminumnya.”
“Huh, orang-orang itu selalu
menyombongkan diri sebagai golongan lurus bersih. Mereka hanya manusia yang
pura-pura baik. Aku tetap tidak menaruh hormat kepada mereka,” jawab Si Nenek
ketus.
“Nenek, silakan kau minum saja
obat ini,” pinta Linghu Chong. “Sesudah kutelan satu butir tadi, badanku terasa
jauh lebih segar. Dada dan perutku terasa lebih lega.”
Si Nenek hanya mendengus
sekali dan masih tidak mau menerima obat itu.
“Nenek ….”
Belum selesai ucapan Linghu
Chong, mendadak Si Nenek menyela, “Sekarang hanya tinggal kita berdua. Mengapa
masih saja memanggil ‘Nenek, Nenek’ tidak ada habis-habisnya. Maukah kau
mengurangi panggilanmu itu?”
“Baiklah, tentu saja,” sahut
Linghu Chong sambil tertawa. “Silakan minum obat ini!”
“Jika kau bilang obat dari
Biara Shaolin itu sangat bagus, sedangkan obat pemberianku tadi kau anggap
kurang bagus, kenapa tidak kau habiskan saja semua obat pemberian biksu tua itu
sekaligus?” tanya Si Nenek.
“Aih, memangnya aku pernah
bilang kalau obatmu kurang bagus? Janganlah berpikiran seperti itu,” sahut
Linghu Chong. “Lagipula obat dari Biara Shaolin yang baik ini justru hendak
diminumkan kepadamu agar tenagamu lekas pulih. Dengan demikian kau dapat
melanjutkan perjalanan.”
“Oh, jadi kau merasa kesal
menemani aku di sini, ya?” tanya Si Nenek. “Jika demikian, maka kau boleh
segera pergi. Aku juga tidak memaksamu untuk tetap tinggal di sini.”
Diam-diam Linghu Chong
merenung, “Mengapa Nenek mendadak marah-marah kepadaku? Ah, barangkali karena
lukanya tidak ringan, badannya pun terasa sakit, sehingga dengan sendirinya
sifatnya menjadi ketus dan mudah naik pitam.” Maka dengan tertawa ia pun
menjawab, “Saat ini selangkah pun aku tidak sanggup berjalan. Sekalipun mau
pergi juga tidak dapat. Lagipula … lagipula …. Hahaha ….”
“Lagipula apa? Kenapa hahaha
segala? Apa yang kau tertawakan?” damprat Si Nenek dengan gusar.
“Hahaha ya hahaha. Lagipula …
seandainya aku bisa berjalan juga aku tidak ingin pergi, kecuali kalau kau mau
pergi bersamaku,” sahut Linghu Chong dengan tertawa. Selama ini ia selalu sopan
kepada Si Nenek. Namun karena Si Nenek kini sedang marah-marah tanpa alasan
yang jelas, ia pun bicara seenaknya pula.
Namun mendengar itu Si Nenek
hanya diam tak menjawab. Entah apa yang sedang ia renungkan.
Linghu Chong pun berkata,
“Nenek ….”
“Nenek lagi?” tukas Si Nenek.
“Apa barangkali selama hidupmu tidak pernah memanggil ‘Nenek’ kepada orang,
begitu? Apa kau tidak bosan terus memanggil begitu kepadaku?”
“Ya sudah, selanjutnya aku
takkan memanggil nenek lagi kepadamu,” ujar Linghu Chong tertawa. “Tapi lantas
aku harus memanggil apa?”
Si Nenek diam saja. Selang
sejenak baru ia berkata, “Di sini hanya ada kita berdua saja, kenapa harus
memakai panggilan segala? Asal kau membuka mulut tentu aku yang kau ajak
bicara. Tidak mungkin kau mengajak bicara orang lain, bukan?”
“Tetapi terkadang aku suka
menggumam sendiri. Jadi, janganlah kau salah paham, ya?” kata Linghu Chong
dengan tertawa.
“Huh, kau suka bicara
sembarangan. Pantas adik kecilmu tidak suka lagi padamu,” ejek Si Nenek.
Ucapan ini benar-benar
mengenai lubuk hati Linghu Chong. Perasaannya menjadi pilu. Ia merenung, “Adik
Kecil tidak suka kepadaku, jangan-jangan memang disebabkan cara bicara dan
tingkah lakuku yang suka sembarangan. Ya, Adik Lin memang lebih sopan dan tahu
aturan. Dia benar-benar seorang laki-laki budiman dan lemah lembut, serupa
dengan Guru. Jangankan Adik Kecil, jika aku menjadi wanita juga akan suka
kepada Adik Lin dan tidak sudi kepada pemuda begajulan macam diriku ini. Wahai,
Linghu Chong, selamanya kau suka mabuk-mabukan dan gila-gilaan, tidak patuh
pada aturan perguruan, benar-benar pemuda yang sukar ditolong lagi. Aku pernah
bergaul dengan maling cabul Tian Boguang, pernah tidur pula di rumah pelacuran
kota Hengshan. Semua ini tentu membuat Adik Kecil merasa tidak senang.”
Melihat Linghu Chong
termenung, Si Nenek lantas berkata, “Ada apa? Ucapanku tadi apa melukai
perasaanmu? Kau menjadi marah, begitu?”
“Tidak, aku tidak marah.
Ucapanmu memang tepat, bicaraku memang suka sembarangan, tingkah lakuku juga
seenaknya. Pantas saja kalau Adik Kecil tidak senang kepadaku, begitu pula Guru
dan Ibu Guru.”
“Kau tidak perlu sedih.
Meskipun guru, ibu guru, dan adik kecilmu tidak suka lagi, tapi di dunia ini …
di dunia ini mana mungkin semua orang tidak suka kepadamu?” Ucapannya ini
terdengar sangat lembut dan penuh penghiburan.
Linghu Chong merasa sangat
terharu dan berterima kasih. Begitu terharunya sampai tenggorokan seakan-akan
tersumbat. Dengan terputus-putus ia berkata, “Nenek sungguh baik kepadaku.
Sekalipun di dunia ini tidak ada orang yang suka kepadaku juga … juga tidak
menjadi soal.”
“Kau punya mulut yang manis,
pintar menyenangkan hati orang. Pantas saja orang semacam Lan Fenghuang dari
Sekte Lima Dewi sampai tergila-gila kepadamu,” kata Si Nenek. “Sudahlah,
sekarang kau tidak dapat berjalan dan aku pun tidak dapat berkutik. Hari ini
kita terpaksa harus bermalam di bawah tebing sana. Entah hari ini kita akan
mati atau tidak?”
“Kalau hari ini tidak mati,
entah besok akan mati atau tidak. Kalau besok tidak mati, entah lusa akan mati
atau tidak,” kata Linghu Chong dengan tertawa.
“Sudahlah, jangan bicara
sembarangan lagi,” kata Si Nenek. “Sekarang kau boleh merangkak ke sana
perlahan-lahan, biar aku menyusul di belakangmu.”
“Jika kau tidak minum obat
pemberian biksu tua itu, mungkin aku tidak sanggup merangkak meskipun hanya
satu langkah,” kata Linghu Chong.
“Kau bicara sembarangan lagi.
Kalau aku tidak minum obatnya, mengapa kau yang tidak sanggup merangkak?”
“Aku tidak bicara
sembarangan,” jawab Linghu Chong. “Kalau kau tidak mau minum obat itu, tentu
lukamu sukar disembuhkan, tentu kau tidak punya semangat untuk memetik kecapi
lagi. Hatiku akan cemas, sehingga aku tidak mempunyai tenaga lagi untuk
merangkak ke sana. Jangankan untuk merangkak, bahkan untuk berbaring di sini
saja aku sudah tidak punya tenaga lagi.”
Si Nenek tertawa, “Hihihi.
Untuk berbaring di sini saja kau tidak punya tenaga?”
“Ya. Bukankah di sini adalah
tanah yang miring. Jika aku tidak bertenaga, seketika aku akan menggelinding
dan terjerumus ke dalam sungai di bawah sana. Coba bayangkan, andaikan aku
tidak mati terbanting bukankah akan mati tenggelam juga?”
Si Nenek menghela napas dan
berkata, “Kau terluka parah, jiwamu setiap saat bisa melayang. Tapi kau masih
sempat bergurau segala. Sungguh jarang dijumpai orang aneh seperti dirimu ini.”
Perlahan-lahan Linghu Chong
melemparkan pil pemberian Biksu Fangsheng ke belakang, dan berkata, “Silakan
minum obat ini!”
“Hm, setiap orang yang
menganggap dirinya dari golongan lurus bersih tentu bukan manusia baik-baik,”
gerutu Si Nenek. “Jika aku makan obat dari Shaolin ini hanya akan membuat kotor
mulutku saja.”
Tiba-tiba Linghu Chong
menjerit. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terguling ke samping. Sekejap
kemudian ia pun jatuh menggelinding ke bawah mengikuti tanah tebing yang miring
itu.
Kontan saja Si Nenek terkejut
dan berteriak, “Hei, hati-hati!”
Akan tetapi, tubuh Linghu
Chong terus saja menggelinding ke bawah. Tanah miring itu tidak terlalu terjal,
tapi jaraknya lumayan panjang. Sesudah menggelinding sekian lama, barulah
Linghu Chong mencapai tepi sungai kecil di bawahnya. Dengan sekuat tenaga
tangan dan kakinya terpentang untuk menahan tubuh supaya berhenti
menggelinding.
“Hei, hei, ba … bagaimana
keadaanmu?” tanya Si Nenek.
Muka dan tangan Linghu Chong
lecet dan berdarah karena tergores kerikil-kerikil tajam di sepanjang tanah
miring tadi. Dengan menahan rasa sakit ia diam saja tanpa memberi jawaban.
“Baiklah, aku akan minum obat
busuk dari biksu tua tadi. Lekas kau … kau naik kemari,” seru Si Nenek.
“Kata-kata yang sudah
diucapkan harus dilaksanakan,” kata Linghu Chong. Tapi karena jarak kedua orang
itu sudah agak jauh, ditambah lagi keadaan pemuda itu sudah lemas, maka
suaranya tidak bisa terdengar oleh Si Nenek.
“Kau bilang apa?” tanya Si
Nenek
“Aku … aku ….” napas Linghu
Chong terengah-engah, tidak sanggup melanjutkan.
“Lekas naik kemari! Aku
berjanji padamu akan meminum obatnya,” kata Si Nenek.
Linghu Chong bangkit
terhuyung-huyung. Ia bermaksud merangkak ke atas. Ternyata menggelinding ke
bawah jauh lebih mudah daripada merangkak ke atas yang baginya terasa seperti
memanjat langit. Hanya dua langkah saja ia merangkak kakinya sudah terasa lemas
dan terbanting jatuh, bahkan kembali menggelinding sampai tercebur ke sungai
kecil di bawah.
Dari atas Si Nenek dapat
melihat jatuhnya Linghu Chong itu dengan jelas. Karena merasa khawatir, tanpa
pikir panjang ia pun ikut menjatuhkan diri dan menggelinding ke bawah sehingga
sampai di samping Linghu Chong. Dengan cepat sebelah tangannya memegangi
pergelangan kaki kiri Linghu Chong agar tidak terperosok masuk lebih dalam di
sungai kecil tersebut, sementara tangan yang lain dijulurkan untuk mencengkeram
dan menarik punggung pemuda itu ke atas.
Keadaan Linghu Chong sudah
basah kuyup dan sempat minum beberapa teguk air. Matanya sudah
berkunang-kunang. Setelah menenangkan diri, tiba-tiba ia melihat dua sosok
bayangan di dalam air sungai yang jernih itu. Bayangan tersebut adalah dirinya
sendiri yang sedang dicengkeram punggungnya oleh seorang gadis entah siapa.
Linghu Chong tercengang.
Mendadak terdengar suara gadis itu muntah darah. Linghu Chong merasa tengkuknya
tersiram darah segar yang masih hangat, bersamaan kemudian gadis itu pun
terkulai di atas punggungnya dalam keadaan lemas lunglai.
Tentu saja Linghu Chong dapat
merasakan tubuh gadis itu yang halus dan lunak telah menempel di atas
punggungnya. Terasa pula rambut si nona yang panjang mengusap-usap mukanya.
Pikirannya pun terheran-heran dan melayang jauh.
Dalam bayangan di permukaan
air itu, terlihat setengah dari wajah si nona. Bulu matanya sangat lentik.
Meskipun tidak terlihat jelas, namun dapat dipastikan wajah gadis itu sangat
cantik jelita. Usianya baru sekitar tujuh atau delapan belas tahun saja.
Seketika hati Linghu Chong pun terheran-heran, “Siapakah nona ini? Mengapa
mendadak datang seorang gadis secantik ini menolong diriku?”
Gadis itu ternyata pingsan di
punggung Linghu Chong. Perlahan-lahan Linghu Chong mencoba memutar tubuh untuk memapah
gadis itu. Namun apa daya, sekujur tubuhnya terasa lemas lunglai bahkan satu
jari sekalipun susah bergerak. Ia merasa seperti berada di alam mimpi, melihat
bayangan wajah yang cantik molek bagaikan bidadari surgaloka itu.
Selang agak lama, terdengar
gadis itu mulai membuka mata, kemudian berkata, “Apa kau sengaja menakut-nakuti
aku, atau kau benar-benar tidak ingin hidup lagi?”
Linghu Chong terkejut luar
biasa karena suara gadis itu ternyata sama persis dengan suara Si Nenek yang
dikawalnya tadi. Begitu terkejutnya sampai-sampai tubuh terasa menggigil
gemetar. Ia berseru dengan suara terputus-putus, “Kau … kau ….”
“Kau apa? Aku tetap tidak sudi
makan obat busuk pemberian biksu tua tadi. Kalau kau mau cari mati lagi,
silakan saja! Aku ingin melihatnya,” kata si gadis.
“Hah, Nenek, ternyata kau
seorang … kau seorang nona muda yang sangat cantik,” ujar Linghu Chong tak
percaya.
“Bagaimana … bagaimana kau
tahu?” seru nona itu terperanjat. “Bocah yang tidak bisa memegang janji!
Ternyata diam-diam kau telah… kau telah mengintip mukaku?”
Gadis itu kemudian menunduk
dan melihat bayangannya sendiri tercermin di permukaan sungai. Ia baru sadar
kalau dirinya sedang terkulai lemah di atas punggung Linghu Chong. Seketika ia
menjadi malu. Wajahnya merona merah. Sekuat tenaga ia meronta bangun, namun
kakinya terasa lemas dan kembali jatuh terkulai. Lekas-lekas Linghu Chong
menjulurkan kedua tangannya untuk menangkap tubuh gadis itu yang jatuh ke depan
dadanya. Si gadis berusaha bangkit berkali-kali namun tenaganya sudah habis,
bahkan ia merasa hampir pingsan. Terpaksa ia diam saja berada di pangkuan
Linghu Chong.
Dalam hati Linghu Chong merasa
sangat heran. Ia kemudian bertanya, “Mengapa kau pura-pura menjadi seorang
nenek untuk menipu aku? Kau pura-pura menjadi orang tua, sehingga membuat aku…
membuat aku sampai….”
“Membuatmu sampai bagaimana?”
sahut si nona menegas.
Kini pandangan Linghu Chong
hanya berjarak belasan senti saja dari wajah gadis itu. Diamatinya kulit pipi
si nona yang putih bersih merona kemerah-merahan. Sejenak kemudian baru ia
melanjutkan, “Membuat aku berulang-ulang memanggil ‘Nenek’ kepadamu. Huh, tidak
malu! Padahal menjadi adik perempuanku saja kau masih terlalu kecil, tapi kau
justru ingin menjadi nenekku. Kalau ingin menjadi nenek-nenek ya harus menunggu
delapan puluh tahun lagi.”
Si nona tertawa geli, “Hihihi.
Apa aku pernah mengatakan kalau diriku ini seorang tua? Kau sendiri yang
tiba-tiba memanggil ‘Nenek’ kepadaku. Kau sendiri yang terus-menerus memanggil
nenek. Bukankah tadi aku marah dan menyuruhmu jangan memanggil lagi. Kau yang
sengaja memanggil demikian, bukan?”
Diam-diam Linghu Chong merasa
ucapan si nona benar juga. Tapi karena ia telah tertipu cukup lama seperti
orang bodoh, sehingga membuat hatinya kesal. Maka, ia pun berkata, “Kau
melarang aku memandang wajahmu, bukankah sengaja hendak memperdaya diriku? Jika
aku berhadapan muka denganmu mana mungkin aku memanggil Nenek kepadamu? Sejak
di Kota Luoyang kau sudah menipu diriku. Kau telah bersekongkol dengan si tua
Luzhuweng. Kau menyuruh dia memanggilmu dengan sebutan ‘Bibi’. Jika kakek
seumuran dia saja masih terhitung keponakanmu, lantas panggilan apa yang tepat
untukmu kalau bukan ‘Nenek’?”
Si nona menjawab dengan
tertawa, “Hahaha. Guru dari Luzhuweng memanggil ayahku sebagai paman guru.
Dengan begitu, Luzhuweng harus memanggilku apa?”
Linghu Chong tercengang. Ia
pun menjawab dengan ragu-ragu, “Jika begitu kau memang … kau memang terhitung
bibi perguruan Luzhuweng?”
“Si bocah Luzhuweng itu bukan
seorang tokoh yang luar biasa, untuk apa aku memalsukan diri sebagai bibinya?
Apa untungnya aku menjadi bibinya?” ujar si nona dengan tertawa.
“Ya, aku memang benar-benar
bodoh. Seharusnya aku sadar sejak dulu,” sahut Linghu Chong sambil menghela
napas.
“Memangnya apa yang kau sadari?”
si nona menegas sambil tetap tertawa.
“Suaramu sedemikian merdu,
enak didengar. Di dunia ini mana ada nenek-nenek peot yang bersuara sedemikian
indah?” sahut Linghu Chong.
“Suaraku serak mirip burung
gagak. Pantas saja kau menyangka aku sebagai nenek-nenek peot,” si nona kembali
tertawa.
“Suaramu seperti burung gagak?
Aih, jika begitu ternyata zaman sudah berubah. Burung gagak pada zaman sekarang
ternyata memiliki suara yang jauh lebih merdu daripada burung kenari.”
Mendengar pujian itu, muka si nona
menjadi merah, namun hatinya senang. Ia berkata, “Baiklah, Kakek Linghu, sudah
sekian lama kau memanggil ‘Nenek’ kepadaku. Biar sekarang aku membayarnya
dengan memanggil ‘Kakek’ kepadamu. Dengan demikian kau tidak merasa dirugikan
dan tidak marah lagi.”
“Kau adalah nenek dan aku
adalah kakek. Kita adalah Si Kakek dan Si Nenek, bukankah ….” dasar sifat
Linghu Chong memang suka bertindak sembarangan, mulutnya pun bicara tanpa
malu-malu. Sedianya ia hendak berkata “bukankah kita adalah satu pasangan”, tapi
mendadak dilihatnya alis si nona menegak dan wajahnya berubah merah. Maka
cepat-cepat ia menahan kata-katanya itu.
“Kau hendak sembarangan
mengoceh apa lagi?” gerutu si nona.
“Maksudku, bila kita adalah
kakek dan nenek, bukankah … bukankah kita ini sesepuh dunia persilatan?” ujar
Linghu Chong ganti haluan.
Sudah tentu gadis itu tahu
kalau Linghu Chong sengaja mengubah arah pembicaraannya. Maka ia pun tidak
mengungkitnya lebih lanjut karena takut semakin lama perkataan yang keluar
semakin tidak enak didengar. Saat itu tubuhnya masih berada di pangkuan Linghu
Chong sehingga ia dapat mencium bau keringat pemuda itu. Seketika pikirannya
menjadi kacau. Ia pun meronta bermaksud untuk bangun, tapi bagaimanapun juga
sukar mengumpulkan tenaga. Akhirnya dengan wajah merah ia berkata, “Eh, coba
kau dorong aku.”
“Mendorongmu? Untuk apa?”
tanya Linghu Chong.
“Kita … kita seperti ini, apa
… apa terus begini?” tanya si nona malu-malu.
“Kakek dan nenek memang harus
begini,” ujar Linghu Chong tertawa.
“Hm, kau sembarangan mengoceh
lagi. Nanti aku akan membunuhmu!” bentak si nona.
Diam-diam Linghu Chong merasa
takut mendengar ancaman itu. Ia mengetahui bagaimana saat gadis itu memaksa
beberapa laki-laki hingga mencongkel biji mata sendiri sampai buta, lalu
mengasingkan mereka ke sebuah pulau terpencil di laut timur. Mau tidak mau
Linghu Chong merasa segan bergurau dengannya. Ia merenung, “Usianya masih
sangat muda, tapi sekali bertempur saja sudah bisa membunuh empat orang murid
Perguruan Shaolin. Ilmu silatnya jelas sangat tinggi, sikapnya juga begitu
ganas. Sungguh sulit dipercaya kalau itu semua diperbuat oleh seorang nona
cantik di depan mataku ini.”