Pendekar Hina Kelana Jilid 51-55

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 51-55 Lembah sungai tempat kapal rombongan Huashan berlabuh itu ternyata sangat terpencil dan sunyi. Rumput alang-alang tumbuh dengan suburnya.
Lembah sungai tempat kapal rombongan Huashan berlabuh itu ternyata sangat terpencil dan sunyi. Rumput alang-alang tumbuh dengan suburnya. Namun di kejauhan sebelah timur terlihat ada deretan rumah, seperti sebuah kota kecil.

Yue Buqun berkata, “Agaknya di dalam kapal masih terdapat sisa-sisa racun. Terpaksa kita tidak bisa menumpang kapal itu lagi. Mari kita menuju ke sana dan coba lihat apa yang bisa kita temukan.”

Dewa Dahan Persik segera menggendong Linghu Chong, sementara Dewa Ranting Persik menggendong Dewa Buah Persik untuk kemudian berjalan di depan rombongan tersebut. Sesampainya di kota kecil itu, Dewa Dahan Persik dan Dewa Akar Persik mendahului masuk ke dalam sebuah rumah makan. Mereka lantas berteriak-teriak, “Hai, pelayan! Sediakan arak, buatkan lauk, ambilkan nasi!”

Linghu Chong yang sudah diletakkan di atas kursi sempat melihat di dalam rumah makan tersebut tampak duduk seorang pendeta Tao bertubuh kecil. Ia sangat terkejut karena pendeta itu tidak lain adalah Yu Canghai, Ketua Perguruan Qingcheng.

Sepertinya Yu Canghai sedang dalam keadaan terkepung. Ia terlihat duduk di sisi sebuah meja kecil, yang di atasnya tersedia sepoci arak, sepasang sumpit, dan tiga piring makanan ringan. Selain itu terdapat pula sebilah pedang mengkilap yang sudah dikeluarkan dari sarungnya di atas meja tersebut. Di sekeliling meja terdapat tujuh buah bangku panjang, yang masing-masing diduduki oleh satu orang.

Tujuh orang itu ada yang laki-laki, ada yang perempuan. Rata-rata mereka berwajah bengis dan jahat. Di tiap bangku juga terdapat senjata masing-masing orang. Mereka bertujuh sama sekali tak bersuara. Semuanya menatap tajam kepada Yu Canghai. Sebaliknya, Ketua Perguruan Qingcheng itu tenang-tenang saja. Tangan kirinya tampak memegang cawan arak yang kemudian diteguk isinya. Sedikit pun lengan bajunya tidak bergetar.

Menyaksikan itu, Dewa Akar Persik berkata, “Pendeta kerdil itu sebenarnya ketakutan setengah mati. Dia hanya berlagak tidak gentar.”

“Sudah tentu dia takut. Satu dikeroyok tujuh, pasti dia akan kalah,” kata Dewa Ranting Persik.

“Benar. Jika dia tidak takut, kenapa tangan kiri yang dipakai memegang cawan arak, bukan tangan kanan? Tentunya tangan kanan siap sedia menyambar pedang bila perlu,” sahut Dewa Dahan Persik.

Mendengar itu Yu Canghai mendengus. Cawan arak pun dipindahkannya dari tangan kiri ke tangan kanan.

“Hah, dia mendengar ucapan Kakak Kedua,” kata Dewa Bunga Persik. “Tapi matanya sama sekali tidak berani memandang ke arah Kakak Kedua, itu berarti dia memang takut. Bukannya takut kepada Kakak Kedua, tapi takut sedikit lengah saja akan diserang serentak oleh ketujuh orang musuhnya itu, dan tubuhnya akan terpotong menjadi tujuh.”

“Salah!” seru Dewa Ranting Persik. “Kalau ketujuh orang itu turun tangan, maka si pendeta kerdil akan terpotong menjadi delapan, bukan tujuh.”

Dewa Daun Persik tertawa dan menanggapi, “Pendeta itu sudah kerdil, kalau terpotong menjadi delapan bukannya semakin kerdil?”

Meskipun Linghu Chong bermusuhan dengan Yu Canghai, tapi begitu menyaksikan Ketua Perguruan Qingcheng itu sedang dikepung musuh, ia merasa tidak ingin mengambil kesempatan untuk menuntut balas. Ia hanya berkata, “Keenam Saudara Persik, pendeta itu adalah Ketua Perguruan Qingcheng.”

“Kalau dia Ketua Perguruan Qingcheng, memangnya kenapa? Apakah dia temanmu?” tanya Dewa Akar Persik.

“Mana berani aku mengikat persahabatan dengan tokoh terkemuka seperti dia? Dia bukan temanku,” kata Linghu Chong.

“Jika dia bukan temanmu, maka kita dapat menyaksikan tontonan yang menarik,” ujar Dewa Dahan Persik.

“Benar!” seru Dewa Bunga Persik sambil bertepuk tangan. “Pelayan, mana makanan dan araknya? Aku akan minum sambil menyaksikan orang-orang itu mencacah pendeta kerdil ini menjadi sembilan potong.”

Dewa Daun Persik bertanya, “Mengapa sembilan?”

Dewa Bunga Persik menjawab, “Musuhnya memang ada tujuh. Namun coba kau lihat biksu peminta sedekah itu membawa sepasang golok kepala harimau? Sudah pasti dia nanti yang akan membuat satu potong lagi.”

“Belum tentu!” sergah Dewa Akar Persik. “Beberapa orang ini ada yang bersenjata gada bergerigi, ada pula yang bersenjata tongkat emas. Mana bisa senjata macam itu untuk memotong?”

“Sudahlah, kalian jangan bicara lagi. Kita tidak membantu pihak mana pun, tapi juga jangan mengganggu perhatian Pendeta Yu yang sedang menghadapi lawan-lawannya,” tukas Linghu Chong.

Maka Enam Dewa Lembah Persik pun tidak bersuara lagi, hanya menyeringai sambil memandangi Yu Canghai.

Linghu Chong mengamati ketujuh pengepung itu satu per satu. Biksu peminta sedekah memiliki rambut panjang sampai bahu, dengan ikat kepala dari bahan tembaga yang memancarkan sinar berkilauan. Di sisinya tertaruh sepasang golok melengkung berbentuk bulan sabit. Di sebelah biksu berambut itu duduk seorang wanita berusia lima puluhan, dengan rambut sudah beruban, berwajah suram, serta memiliki senjata berupa sebilah golok pendek.

Di sebelahnya lagi berturut-turut adalah seorang biksu dan seorang pendeta Tao. Si biksu memakai jubah berwarna merah darah. Di sampingnya tertaruh sebuah simbal dan sebuah mangkuk derma, yang keduanya terbuat dari baja murni. Tepian simbal itu tampak sangat tajam. Sementara itu perawakan si pendeta Tao di sampingnya tinggi besar. Senjata yang terletak di atas bangkunya adalah sebuah gada dihiasi gigi serigala yang terlihat sangat berat.

Di sebelah si pendeta Tao tampak seorang pengemis setengah umur duduk dengan kaki berselonjor. Bajunya kotor compang-camping. Di atas bahunya melingkar dua ekor ular hijau yang melilit di seputar lehernya. Kepala ular-ular itu berbentuk segitiga dengan lidah yang menjulur-julur tanpa henti, terlihat sangat ganas.

Dua orang terakhir adalah laki-laki dan perempuan. Yang lelaki buta mata sebelah kirinya, sedangkan yang perempuan buta mata sebelah kanan. Di sisi kedua orang itu tersandar dua batang tongkat penyangga yang berwarna kuning emas berkilauan. Jika kedua tongkat itu terbuat dari emas murni tentu bobotnya luar biasa. Usia mereka agaknya baru empat puluhan dengan penampilan kumal seperti para pengembara dunia persilatan pada umumnya. Namun, tongkat yang mereka bawa terbuat dari logam mulia yang berharga mahal sehingga agak sulit diterima akal sehat.

Si biksu berambut panjang menatap tajam ke arah Yu Canghai. Perlahan kedua tangannya menggenggam gagang sepasang golok bulan sabit sambil tetap memandang bengis. Si pengemis juga memindahkan kedua ular di lehernya untuk kemudian digenggam di tangan, dengan kepala mengarah kepada Yu Canghai. Si biksu berjubah juga meraih simbal bajanya, sedangkan si pendeta Tao mempersiapkan gada gigi serigala di tangan. Si nyonya setengah baya juga terlihat mengangkat golok pendeknya. Sepertinya ketujuh orang tersebut bersiap menyerang Yu Canghai bersama-sama.

Namun Yu Canghai menanggapi dengan tertawa, “Hahahaha. Mengandalkan jumlah banyak untuk main keroyok memang kebiasaan lama kaum sesat seperti kalian. Silakan saja, Yu Canghai kenapa harus gentar?”

Si lelaki mata satu berkata, “Orang bermarga Yu, kami tidak bermaksud membunuhmu.”

“Benar,” sambung si wanita mata satu. “Asalkan kau sudi menyerahkan Kitab Pedang Penakluk Iblis secara baik-baik, maka kami akan membiarkanmu pergi secara baik-baik pula.”

Yue Buqun, Linghu Chong, Lin Pingzhi, dan Yue Lingshan sangat terkejut begitu mendengar “Kitab Pedang Penakluk Iblis” tiba-tiba disebut. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa ketujuh orang itu mengepung Yu Canghai adalah untuk merebut Kitab Pedang Penakluk Iblis dari Ketua Perguruan Qingcheng tersebut. Keempat oraang Huashan itu saling berpandangan dan bertanya-tanya dalam hati, “Apakah Kitab Pedang Penakluk Iblis benar-benar berada di tangan Yu Canghai?”

Si nyonya setengah baya berkata dengan nada dingin, “Untuk apa buang-buang waktu dengan si kerdil ini? Lekas kita bunuh dia, kemudian geledah mayatnya.”

Si wanita mata satu menanggapi, “Mungkin saja dia menyembunyikan kitab itu di tempat sepi. Kalau kita bunuh dia dan tidak menemukan kitab pusaka itu di balik bajunya, bukankah ini sungguh celaka?”

Si nyonya setengah baya mencibir dan berkata, “Kalau kita tidak menemukan kitab itu pada mayatnya, ya sudah. Mengapa celaka segala?” Suaranya terdengar mendesis tidak jelas. Ketika membuka mulut ternyata wanita beruban itu sudah kehilangan setengah jumlah giginya.

Si wanita mata satu lantas berkata kepada Yu Canghai, “Orang bermarga Yu, aku sarankan kepadamu supaya kau serahkan saja kitab itu secara baik-baik. Kitab itu bukan milikmu tapi sudah kau kangkangi berhari-hari. Isinya tentu sudah kau hafalkan luar kepala. Buat apa kau menyembunyikannya mati-matian? Untuk apa?”

Yu Canghai diam tak bersuara. Menyadari ketujuh lawannya bukan orang sembarangan, diam-diam ia pun menghimpun tenaga yang berpusat pada titik Dantian di bawah pusar.

Pada saat itulah tiba-tiba di luar sana terdengar suara gelak tawa seseorang. Orang itu kemudian masuk dengan wajah berseri-seri. Ia memakai jubah sutra dengan kepala setengah botak dan dahi licin berkilauan. Tubuhnya terlihat gemuk dan dagunya dihiasi janggut berwarna hitam. Wajahnya berhias senyum yang terlihat sangat ramah. Tangan kanan orang gemuk itu menggenggam botol zamrud, sedangkan tangan kiri membawa kipas lipat. Penampilannya yang mewah dan rapi mirip seorang saudagar kaya raya.

Begitu melangkah masuk ke dalam rumah makan ia langsung terkejut melihat pemandangan yang ada. Senyumnya terlihat berkurang, namun sekejap kemudian mulutnya kembali bergelak tawa. Sambil memberi hormat pria gemuk itu berseru, “Aha, selamat bertemu, selamat bertemu! Sungguh tidak kusangka para kesatria gagah di dunia ini ternyata sedang berkumpul di sini. Aku benar-benar beruntung dapat berjumpa dengan kalian.”

Kemudian ia memberi salam kepada Yu Canghai dan berkata, “Wah, angin apa yang membawa Pendeta Yu, Ketua Perguruan Qingcheng sampai datang ke Henan sini? Aku sudah lama mendengar kehebatan ilmu Pedang Cemara Angin yang tiada tandingannya di dunia persilatan. Sepertinya hari ini mata kita akan terbuka dan bertambah pengalaman.”

Yu Canghai sendiri sedang menghimpun tenaga dalam sehingga tidak ambil peduli terhadap apa yang diucapkannya.

Kemudian orang gemuk itu menyapa laki-laki dan wanita mata satu dengan tersenyum, “Eh, sudah lama aku tidak berjumpa dengan Sepasang Orang Aneh Tongbai. Sepertinya kalian bertambah makmur saja.”

Si lelaki mata satu menjawab dengan tersenyum pula, “Rezeki kami mana bisa lebih besar daripada rezeki Saudagar You?”

Si gemuk yang bermarga You itu tertawa beberapa kali kemudian berkata, “Aku ini hanya kelihatannya saja begitu, tapi sebenarnya uang masuk di tangan kiri masuk, keluar di tangan kanan. Cukup dari julukanku saja sudah bisa diketahui kalau hanya tampaknya saja diriku ini hebat, tapi di dalamnya sebenarnya kosong melompong.”

Dewa Ranting Persik yang sejak tadi menonton tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Apa julukanmu?”

Orang gemuk bermarga You itu langsung menoleh ke arah suara. Ia melihat enam orang berpenampilan aneh namun tidak tahu menahu dari mana mereka berasal. Sambil tersenyum ia pun menjawab, “Namaku You Xun. Julukanku tidak enak didengar, yaitu ‘Si Licin Susah Dipegang’. Orang-orang mengatakan diriku ini suka berteman. Demi teman, sedikit pun aku tidak sayang mengeluarkan uang. Sama sekali tidak pelit. Meski aku pandai mencari uang, tapi uang itu selamanya susah dipegang dan selalu lolos dengan licin meninggalkan tangan.”

“Tuan You ini memiliki julukan lain,” kata si lelaki mata satu.

“Benarkah? Mengapa aku tidak tahu?” tanya You Xun dengan bibir tetap tersenyum.

“Si Belut Direndam Minyak, licin dan susah dipegang,” sahut yang lain dengan nada dingin. Suaranya terdengar tidak jelas, ternyata berasal dari si wanita setengah baya bergigi ompong.

“Luar biasa!” seru Dewa Bunga Persik. “Belut sendiri sudah licin, kalau direndam minyak tentu bertambah licin. Siapa yang bisa menangkapnya?”

“Ah, itu hanya pujian kawan-kawan persilatan karena ilmu ringan tubuhku yang katanya lincah seperti belut. Sebenarnya aku sangat malu karena ilmu silatku sebenarnya sangat rendah dan tidak pantas dibicarakan,” kata You Xun sambil tersenyum. Ia kemudian menyapa wanita setengah baya berambut putih, “Nyonya Zhang, semakin hari kau semakin lincah saja.”

Wanita setengah baya yang dipanggil Nyonya Zhang itu memutar mata hingga bagian putihnya terlihat sambil berkata lantang, “Ilmu silatmu yang paling hebat adalah bersilat lidah. Sana, pergilah jauh-jauh!”

Orang bernama You Xun itu ternyata sangat sabar. Sedikit pun ia tidak marah. Ia lantas menyapa si pengemis berkalung ular, “Aha, Saudara Yan, Si Pengemis Sakti Sepasang Naga, kedua naga hijau piaraanmu itu tampaknya makin lama makin gesit dan lincah.”

Pengemis itu bernama Yan Sanxing. Ia sebenarnya berjuluk “Si Pengemis Jahat Sepasang Ular” namun oleh You Xun diubah menjadi “Si Pengemis Sakti Sepasang Naga”. Meskipun berwatak keji, namun Yan Sanxing tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum mendengar sapaan bernada memuji tersebut.

You Xun juga mengenali Chou Songnian si biksu berambut, Xibao si biksu berjubah, dan Yuling si pendeta Tao, serta memuji-muji mereka sehingga ketiganya tersenyum senang. Begitulah, You Xun terus menerus tertawa dan bercanda sehingga dalam sekejap bisa mengubah suasana yang tadinya tegang menjadi damai.

Tiba-tiba terdengar Dewa Daun Persik berseru, “Hei, Belut Direndam Minyak, kenapa kau tidak memuji kepandaian kami, enam bersaudara yang hebat ini?”

“Oh, tentu saja … tentu saja akan aku puji ….” sahut You Xun dengan tertawa. Tak disangka belum habis ia berkata, tahu-tahu kedua kaki dan kedua tangannya sudah dipegang oleh Dewa Akar Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, dan Dewa Daun Persik, untuk kemudian diangkat ke atas.

You Xun terkejut namun dengan cepat menguasai diri. Ia pun memuji, “Hebat sekali, sungguh kepandaian yang hebat! Ilmu silat hebat seperti ini sungguh jarang ada dari dulu sampai sekarang!”

Mendengar pujian itu keempat Dewa Lembah Persik tidak menarik tubuh You Xun ke empat penjuru. Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik pun serentak bertanya, “Mengapa kau sebut ilmu silat kami hebat sepanjang masa?”

You Xun menjawab, “Aku dijuluki ‘Si Licin Susah Dipegang’. Selama ini tidak ada orang yang mampu memegang diriku. Tapi dalam sekali bergerak kalian berempat sudah dapat menangkap aku. Sedikit pun kalian tidak merasa licin, juga pegangan kalian tidak terlepas sama sekali. Jelas kepandaian kalian memang jarang ada sepanjang masa. Untuk selanjutnya, ke mana pun aku pergi tentu aku akan menyiarkan nama besar kalian berenam agar segenap kaum persilatan mengenal bahwa di dunia ini ada tokoh-tokoh sakti seperti kalian.”

Dewa Akar Persik dan adik-adiknya sangat senang mendengar sanjungan tersebut. Mereka pun segera melepaskan You Xun.

Nyonya Zhang berkata dengan sinis, “Si Licin Susah Dipegang benar-benar bukan julukan kosong. Lihat saja, bagaimana kau baru saja meloloskan diri.”

“Ah, kepandaian keenam pendekar ini memang benar-benar hebat. Aku sungguh kagum dan menaruh hormat,” kata You Xun. “Hanya sayang, wawasanku terlalu payah. Mohon maaf, aku belum kenal siapa julukan keenam pendekar yang mulia ini?”

“Kami enam bersaudara bergelar Enam Dewa Lembah Persik. Aku sendiri bernama Dewa Akar Persik, yang ini adikku Dewa Dahan Persik, yang itu Dewa Ranting Persik ….” begitulah Dewa Akar Persik memperkenalkan adik-adiknya satu per satu.

“Bagus, benar-benar bagus!” seru You Xun sambil bertepuk tangan. “Pantas saja aku tidak mengenal kalian. Julukan ‘dewa’ memang cocok untuk orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun hidup suci jauh dari pergaulan duniawi seperti kalian.”

Kontan saja keenam bersaudara itu bertambah senang. Mereka pun berseru bersama-sama, “Pikiranmu memang tajam, pandanganmu memang tepat. Kau benar-benar seorang yang sangat hebat!”

Nyonya Zhang kembali melotot ke arah Yu Canghai sambil membentak, “Orang bermarga Yu, Kitab Pedang Penakluk Iblis jadi kau serahkan atau tidak?”

Sedikit pun Yu Canghai tidak ambil peduli dan tetap berkonsentrasi menghimpun tenaga.

“Aih, aih, apa yang sedang kalian ributkan?” tukas You Xun. “Setahuku Kitab Pedang Penakluk Iblis tidak berada di tangan Pendeta Yu.”

“Lalu, apa kau tahu kitab itu ada di tangan siapa?” tanya Nyonya Zhang.

“Orang itu punya nama besar. Kalau kusebutkan mungkin kau akan ketakutan,” sahut You Xun.

“Lekas katakan,” bentak Chou Songnian, si biksu berambut panjang. “Tapi kalau tidak tahu sebaiknya lekas kau enyah dari sini dan jangan ganggu kami!”

“Wah, biksu hebat ini pasti terlalu banyak makan daging babi atau kambing bakar sehingga mudah sekali panas,” kata You Xun sambil tertawa. “Ilmu silatku memang tidak seberapa. Tapi mengenai berita, kalian boleh tanya apa saja kepadaku. Setiap kabar hangat dan berita rahasia di dunia persilatan rasanya tidak ada yang lolos dari mata dan telingaku.”

Nyonya Zhang dan keenam lainnya sudah hafal sepak terjang You Xun yang memang kaya berita. Pria gemuk berpakaian saudagar itu selalu ingin tahu dan suka mencampuri urusan orang lain. Hampir semua peristiwa di dunia persilatan dapat diketahuinya.

“Jangan main tebak-tebakan! Lekas katakan saja!” kata wanita bermata satu.

“Sebenarnya Kitab Pedang Penakluk Iblis ada di tangan siapa?” tanya Nyonya Zhang.

You Xun tersenyum menyeringai kemudian menjawab, “Bukankah kalian sudah kenal julukanku ‘Si Licin Susah Dipegang’? Uang masuk ke tangan kiri, keluar di tangan kanan. Sungguh sial, beberapa hari terakhir ini aku benar-benar jatuh miskin, pasaran sepi, dagangan macet. Kalian semua orang kaya. Sehelai rambut kalian saja sudah lebih tebal daripada kakiku. Namun aku berhasil memperoleh berita yang sangat berharga ini, meskipun dengan susah payah. Pepatah mengatakan, ‘Pedang diberikan kepada pahlawan, bedak-gincu diberikan untuk si cantik.’ Maka, berita baik ini akan kupersembahkan kepada pihak yang berkepentingan pula. Kali ini aku tidak main tebak-tebakan, tapi sedang menjual berita. Tidak mahal, cukup dengan harga yang pantas saja.”

“Baik, kalau itu keinginanmu. Kau tunggu saja di sini. Nanti setelah kami bunuh Yu Canghai, maka giliranmu untuk kami paksa mengaku,” kata Nyonya Zhang. Sekejap kemudian ia memberi aba-aba, “Serang!”

Serentak terdengarlah suara benturan senjata yang sangat ramai. Nyonya Zhang dan keenam rekannya telah meninggalkan bangku masing-masing dan melancarkan beberapa jurus serangan terhadap Yu Canghai. Usai menyerang, mereka lantas melompat mundur, namun tetap dalam keadaan mengepung. Tampak darah segar mengucur dari paha Biksu Xibao dan Chou Songnian. Sebaliknya, Yu Canghai sendiri telah memindahkan pedang dari tangan kanan ke tangan kiri. Jubah di bagian bahu kanan terlihat robek-robek, entah terkena senjata siapa.

“Serang lagi!” teriak Nyonya Zhang. Sekali lagi mereka bertujuh menyerang maju. Suara benturan senjata kembali terdengar riuh, kemudian mereka melompat mundur kembali dalam keadaan masih mengepung Yu Canghai.

Kali ini muka Nyonya Zhang tampak terluka memanjang, yaitu dari tengah alis kiri miring ke bawah sampai dagu akibat tergores pedang. Sebaliknya, lengan kiri Yu Canghai telah terkena sabetan golok. Ia terpaksa memindahkan pedang kembali ke tangan kanan, meskipun bahu kanannya masih terluka.

Pendeta Yuling tampak mengacungkan gada gigi serigala di tangannya sambil berkata. “Pendeta Yu, kita ini sama-sama penganut agama Tao. Aku sarankan lebih baik kau mengalah saja.”

Yu Canghai hanya mendengus dan memaki dengan suara rendah. Tangan kanannya hendak mengangkat pedang, tapi baru terangkat sedikit saja sudah terasa lemas.

Nyonya Zhang tidak mau membuang waktu. Tanpa mengusap darah yang mengalir di mukanya, wanita setengah baya itu kembali mengangkat golok pendeknya sambil berteriak, “Serang lagi ….”

“Tunggu dulu!” tiba-tiba terdengar suara seseorang membentak. Orang itu kemudian melompat masuk ke dalam kalangan dan berdiri di samping Yu Canghai. “Kalian bertujuh mengeroyok satu orang, sungguh tidak adil. Bukankah Tuan You tadi sudah mengatakan kalau Kitab Pedang Penakluk Iblis tidak berada di tangan Yu Canghai?” Ternyata orang yang menghentikan pengeroyokan tersebut adalah Lin Pingzhi.

Sejak tadi pandangan mata Lin Pingzhi tidak pernah sedikit pun lepas dari Yu Canghai. Ketika melihat kedua lengan Yu Canghai sudah terluka, ia yakin jika Nyonya Zhang bertujuh kembali menyerang tentu Ketua Perguruan Qingcheng itu akan tercincang habis. Dendamnya kepada Yu Canghai lebih dalam daripada lautan. Ia pernah bersumpah suatu hari kelak ia harus membunuh Yu Canghai dengan tangannya sendiri. Maka, pemuda itu pun maju melerai karena tidak rela Yu Canghai hari ini mati di tangan orang lain.

“Siapa kau? Apa kau ingin mampus bersama dia?” bentak Nyonya Zhang bengis.

Lin Pingzhi menjawab, “Mampus bersama dia jelas bukan keinginanku. Aku hanya merasa urusan ini tidak adil. Maka itu, aku ingin bicara sebagai pihak tengah. Aku sarankan lebih baik kalian jangan bertempur lagi.”

“Kita cincang saja bocah ini sekalian,” seru Chou Songnian.

“Siapa kau, bocah kurang ajar? Besar sekali nyalimu berani mencampuri urusan kami?” bentak Pendeta Yuling.

“Namaku Lin Pingzhi dari Perguruan Huashan ….” jawab si pemuda.

“Kau berasal dari Perguruan Huashan? Lalu, di mana Tuan Muda Linghu?” sahut Sepasang Orang Aneh Tongbai, Pengemis Jahat Sepasang Ular, dan Nyonya Zhang hampir bersamaan.

Linghu Chong memberi hormat dan berkata, “Aku Linghu Chong. Aku hanya anak kampung, mana pantas dipanggil ‘tuan muda’ segala? Apa barangkali kalian kenal seorang sahabatku?”

Di sepanjang jalan, Linghu Chong diperlakukan istimewa oleh orang-orang berilmu tinggi dan tokoh-tokoh berkelakuan aneh. Mereka menaruh hormat kepadanya demi untuk menyenangkan seorang “sahabat” yang entah siapa. Ia merasa kesulitan menebak siapa kiranya sahabatnya yang berkuasa itu, atau kapan pernah bertemu dengan orang itu. Maka, begitu mendengar Nyonya Zhang bertujuh bertanya tentang dirinya dengan sebutan penghormatan, Linghu Chong yakin mereka pasti melakukan itu demi “sang sahabat” yang luar biasa tersebut.

Pendeta Yuling segera menurunkan senjatanya dan membungkuk dengan penuh hormat. Ia berkata, “Begitu mendapat kabar, kami bertujuh segera menuju kemari. Siang dan malam kami berjalan tanpa henti dengan harapan bisa bertemu dengan Tuan Muda Linghu. Sekarang kami bisa bertemu di sini, sungguh sangat membahagiakan.”

Sementara itu Yu Canghai sempat terkejut saat mengetahui bahwa orang yang telah menolongnya adalah Lin Pingzhi. Namun, setelah berpikir sejenak, ia akhirnya memahami maksud dan tujuan pemuda itu terhadapnya. Kini, melihat ketujuh penyerangnya sedang berbicara dengan Linghu Chong, ia pun sadar bahwa ini adalah kesempatan baik untuk meloloskan diri dan menyembuhkan luka di kedua lengan. Karena kedua kakinya baik-baik saja, Yu Canghai pun melompat masuk ke belakang rumah makan, kemudian keluar melalui pintu belakang dan kabur secepat kilat bagaikan terbang.

Melihat itu, Yan Sanxing dan Chou Songnian hanya bisa berteriak kaget namun sudah terlambat untuk melakukan pengejaran.

You Xun, Si Licin Susah Dipegang berjalan mendekati Linghu Chong. Dengan tertawa-tawa ia berkata, “Ketika aku datang dari timur, di sepanjang jalan banyak sekali kawan persilatan menyebut nama Tuan Muda Linghu yang mulia. Sungguh hatiku sangat kagum. Menurut berita yang kuperoleh, ada puluhan ketua sekte, partai, perkumpulan, juga majikan gua dan pulau yang semuanya ingin menemui Tuan Muda Linghu di atas Lembah Lima Tiran. Maka itu, buru-buru aku datang untuk melihat keramaian. Sungguh tidak kusangka bisa berjumpa lebih dulu dengan Tuan Muda Linghu di sini. Tidak apa-apa, jangan khawatir, kali ini obat-obatan mujarab yang dibawa ke Lembah Lima Tiran, paling tidak mencapai seratus macam. Sedikit penyakit Tuan Muda Linghu yang tak berarti ini pasti bisa disembuhkan di sana. Hahaha, bagus sekali, bagus sekali!” Demikian ia berkata sambil menarik-narik tangan Linghu Chong seolah-olah sudah akrab dengan pemuda itu.

Linghu Chong terkejut dan bertanya, “Ketua sekte, partai, perkumpulan, majikan gua dan pulau apa? Seratus macam obat mujarab apa pula? Aku sama sekali tidak paham.”

Kembali You Xun terbahak-bahak dan berkata, “Tuan Muda Linghu tidak perlu khawatir. Meskipun aku memiliki nyali setinggi langit, tetap saja tidak berani menceritakan seluk beluk masalah ini. Hendaknya Tuan Muda Linghu tenang saja, hahaha. Walaupun aku sembarangan bicara dan Tuan Muda Linghu tidak marah kepadaku, tapi bagaimana kalau sampai diketahui orang lain? Memangnya si marga You ini punya berapa kepala? Meskipun aku sepuluh kali lebih lincah dan licin, tetap saja cepat atau lambat kepalaku akan dipenggal orang.”

“Kau bilang tidak berani bicara sembarangan, tapi mengapa terus-menerus mengoceh tentang urusan ini?” sahut Nyonya Zhang. “Apa pun yang akan terjadi di Lembah Lima Tiran, Tuan Muda Linghu akan menyaksikannya sendiri. Jadi, apa gunanya kau banyak cerewet di sini? Coba jawab, Kitab Pedang Penakluk Iblis itu sebenarnya berada di tangan siapa?”

You Xun pura-pura tidak mendengar dan berpaling ke arah Yue Buqun suami-istri. Sambil terssenyum ia menyapa, “Sejak aku melangkah masuk ke rumah makan ini dan melihat kalian berdua, hatiku bertanya-tanya: Siapa gerangan Tuan dan Nyonya yang terlihat begitu anggun dan tenang perilakunya ini? Dari golongan manakah kiranya mereka berdua berasal? Karena kulihat kalian bersama Tuan Muda Linghu, maka aku berani menebak bahwa kalian berdua adalah Ketua Perguruan Huashan yang ternama, ‘Si Pedang Budiman’ Tuan Yue beserta Nyonya.”

Yue Buqun tersenyum menanggapi, “Tuan terlalu menyanjung. Aku tidak berani menerima pujian itu.”

You Xun berkata lagi, “Pepatah mengatakan: Punya mata tapi tak melihat besarnya Gunung Taishan. Hari ini saya punya mata tapi tak melihat keagungan Huashan. Baru-baru ini Tuan Yue telah membutakan mata lima belas musuh tangguh dengan hanya sekali mengayunkan pedang. Berita ini telah menggetarkan dunia persilatan. Saya sangat kagum dan ingin sekali menghaturkan sembah. Sungguh ilmu pedang yang hebat! Sungguh hebat!”

Demikian pria gemuk itu bercerita dengan menggebu-gebu seolah pernah menyaksikan kejadian itu dengan mata kepala sendiri. Yue Buqun hanya mendengus dengan wajah memancarkan perasaan tidak suka.

You Xun melanjutkan, “Dan Nyonya Yue, Pendekar Wanita Ning ….”

“Kau bicara ke sana kemari, kapan berhenti? Cepat katakan, di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis berada?” bentak Nyonya Zhang menukas. Meskipun telah disebutkan nama Yue Buqun suami-istri namun wanita setengah baya itu ternyata tidak ambil peduli.

“Berikan seratus tahil perak kepadaku dan segera akan kuberitahukan padamu,” kata You Xun dengan tertawa sambil menjulurkan sebelah tangannya.

“Keparat, dalam kehidupanmu yang sebelumnya pasti kau tidak pernah melihat duit! Selalu minta uang untuk ini, untuk itu,” damprat Nyonya Zhang.

Si lelaki mata satu dari Sepasang Orang Aneh Tongbai mengeluarkan sejumlah uang perak dari balik bajunya dan melemparkannya kepada You Xun, sambil berkata, “Itu seratus tahil perak. Sekarang lekas bicara!”

You Xun menimbang-nimbang uang perak itu, lalu menjawab, “Terima kasih banyak. Sekarang mari kita keluar. Akan kukatakan kepadamu.”

“Untuk apa keluar? Bicara saja di sini agar didengar semua orang,” kata si lelaki mata satu.

“Ya, benar! Kenapa harus sembunyi-sembunyi?” seru orang banyak.

Tapi You Xun menggeleng-geleng dan berkata, “Tidak bisa, tidak bisa. Aku minta seratus tahil perak, artinya setiap orang harus membayar seratus tahil. Berita sepenting ini memangnya bisa dijual obral? Apa kata dunia?”

Si lelaki mata satu melambaikan tangan. Chou Songnian, Nyonya Zhang, Yan Sanxing, Biksu Xibao, dan yang lain segera maju dan mengepung You Xun, sama seperti saat mereka mengepung Yu Canghai tadi.

Nyonya Zhang berkata, “Dia dijuluki ‘Si Licin Susah Dipegang’. Untuk menghadapinya tidak bisa menggunakan tangan kosong. Lekas siapkan senjata!”

Pendeta Yuling mengangkat gada gigi serigalanya dan memutar-mutar senjata itu di udara hingga mengeluarkan bunyi desiran angin. Ia berkata, “Benar! Coba lihat, apakah kepalanya juga licin dan susah dipegang?”

Semua orang memandangi gigi-gigi serigala yang tajam berkilauan dan terpasang pada gada tersebut, kemudian memandang pula ke arah dahi You Xun yang licin dan rambutnya yang hitam berkialauan seperti diminyaki. Mereka pun berpikir, “Kepala si marga You itu sepertinya tidak akan bernasib baik.”

You Xun pun berkata kepada Linghu Chong, “Tuan Muda Linghu, tadi sobat muda dari perguruanmu yang mulia telah menolong Pendeta Yu dari kepungan mereka dengan mengucapkan beberapa kalimat. Sekarang si marga You ini sedang mengalami kesulitan besar, mengapa Tuan Muda Linghu seakan tidak mendengar dan melihatnya?”

Linghu Chong menjawab, “Kalau kau tidak mengatakan di mana Kitab Pedang Penakluk Iblis berada, maka aku akan ikut campur membantu Nyonya Zhang dan kawan-kawan dan terpaksa menyulitkanmu.” Sampai di sini hatinya terasa pilu dan tanpa sadar ia menoleh ke arah Yue Lingshan sambil berpikir, “Bahkan kau pun menuduhku mengambil kitab pedang milik Lin Kecil.”

“Bagus sekali, bagus sekali! Tuan Muda Linghu silakan turun tangan sekalian!” seru Nyonya Zhang bertujuh.

“Aih!” You Xun menghela napas lalu berkata, “Baiklah, akan kukatakan saja. Silakan kalian kembali ke bangku masing-masing. Untuk apa masih mengepungku?”

“Terhadap Si Licin Susah Dipegang, kami terpaksa harus meningkatkan kewaspadaan,” ujar Nyonya Zhang.

“Wah, ini namanya cari penyakit,” gumam You Xun. “Seharunya aku menunggu di Lembah Lima Tiran saja untuk melihat keramaian, bukannya malah mengantar nyawa ke sini.”

“Sudahlah, tak perlu cerewet lagi! Kau mau bicara atau tidak?” ancam Nyonya Zhang.

“Baiklah, baiklah, akan kukatakan, mengapa tidak?” sahut You Xun. Tiba-tiba ia berteriak keras sambil matanya memandang ke luar rumah makan dengan wajah penuh rasa heran dan segan, “Hah, Ketua Dongfang, ternyata kau juga berkenan untuk berkunjung kemari?”

Semua orang terkejut dan serentak menoleh ke arah You Xun memandang. Bagaimana tidak, Dongfang Bubai adalah Ketua Sekte Iblis yang kesaktiannya menggetarkan dunia persilatan. Namun yang tampak di jalan raya sana hanya seorang tukang sayur yang berjalan pelan dengan menjinjing keranjang.

Waktu semua orang berpaling kembali, ternyata You Xun sudah menghilang entah ke mana. Baru sekarang mereka sadar telah tertipu mentah-mentah. Nyonya Zhang, Chou Songnian, Yuling, dan yang lain hanya bisa mencaci maki. Mereka sadar kalau You Xun memiliki ilmu ringan tubuh luar biasa. Kalau ia sudah melarikan diri tentu sulit untuk menangkapnya kembali.

Tiba-tiba Linghu Chong berkata lantang, “Aha, ternyata Kitab Pedang Penakluk Iblis sebenarnya berada di tangan You Xun, Sungguh tidak kusangka bahwa dia yang berhasil mendapatkannya.”

“Benarkah itu?” tanya orang banyak. “Apa benar kitab itu ada di tangan You Xun?”

“Sudah tentu berada di tangannya,” sahut Linghu Chong. “Kalau tidak, mengapa dia tidak mau mengaku terus terang dan memilih kabur?” Saat bicara sampai di sini ia merasa tenaganya benar-benar terkuras habis.

Mendadak terdengar suara You Xun berteriak di luar pintu, “Tuan Muda Linghu, mengapa kau sengaja memfitnah diriku?” Menyusul kemudian orang itu melangkah masuk kembali ke dalam rumah makan tersebut.

Nyonya Zhang dan yang lain segera melompat maju dan mengepung pria gemuk itu di tengah-tengah.

“Hahaha, kau telah masuk perangkap Tuan Muda Linghu!” seru Pendeta Yuling sambil tertawa.

You Xun terlihat sangat khawatir. Ia berkata, “Benar, aku pun sadar akan perangkap Tuan Muda Linghu. Tapi kalau ucapannya tadi tersiar di dunia persilatan, maka untuk selanjutnya hidupku pasti tidak bisa berlalu dengan tenang, meski hanya sedetik. Setiap orang persilatan tentu akan mencari perkara denganku. Meskipun memiliki tiga kepala dan enam lengan tetap saja aku tidak akan mampu melawan. Aih, Tuan Muda Linghu, kau sungguh hebat! Hanya satu kalimatmu saja sudah dapat menangkap kembali diriku yang dijuluki Si Licin Susah Dipegang ini.”

Linghu Chong hanya tersenyum. Dalam hati ia berkata, “Apanya yang hebat? Aku juga pernah difitnah orang dengan cara seperti ini.” Tanpa terasa pandangan matanya mengarah kepada Yue Lingshan. Ternyata si nona juga sedang memandang ke arahnya. Begitu tatapan mata mereka bertemu, wajah keduanya sama-sama bersemu merah dan cepat-cepat berpaling kembali.

Nyonya Zhang berkata, “Saudara You, kau tadi barusan lari keluar untuk menyembunyikan Kitab Pedang Penakluk Iblis supaya kami tidak bisa menemukannya, bukan begitu?”

“Wah, celaka, celaka! Tuduhan Nyonya Zhang ini sangat keterlaluan. Kau benar-benar bisa membuat kepalaku melayang,” sahut You Xun. “Coba kalian pikir, jika Kitab Pedang Penakluk Iblis itu benar-benar berada padaku, tentu senjata yang kupakai adalah pedang. Tentu ilmu pedangku juga sangat tinggi. Tapi mengapa sekarang aku tidak membawa pedang dan juga tidak mengeluarkan ilmu pedang? Ilmu silatku juga terbilang sangat rendah.” Mendengar ini diam-diam orang-orang yang mengepungnya merasa ucapan tersebut sangat beralasan.

Tiba-tiba Dewa Akar Persik ikut bicara, “Meskipun Kitab Pedang Penakluk Iblis ada di tanganmu juga belum tentu kau sempat mempelajarinya. Andaikan kau mempelajarinya juga belum tentu kau bisa menguasainya. Kau bilang tidak membawa pedang, bisa jadi pedangmu itu sudah dicuri orang.”

“Kipas yang kau bawa itu sebenarnya sebilah pedang pendek. Ketika kau gunakan untuk menunjuk, bukankah itu adalah salah satu jurus dalam ilmu Pedang Penakluk Iblis?” kata Dewa Dahan Persik menambahkan.

“Benar sekali! Coba lihat, sekarang kipasnya itu menunjuk miring ke depan. Jelas itu adalah jurus Menunjuk Iblis Licik dan Jahat, yaitu jurus ke-59 dari ilmu Pedang Penakluk Iblis. Ke mana ujung kipasnya menuding, ke situlah sasarannya akan dibinasakan.”

Saat itu kebetulan ujung kipas You Xun menunjuk ke arah Chou Songnian. Biksu berambut panjang ini termasuk orang yang berangasan. Tanpa pikir panjang ia segera menggeram seperti macan dan langsung menerjang maju dengan sepasang goloknya.

You Xun menghindar sambil berseru, “Hei, hei! Jangan dianggap serius! Dia hanya bergurau!”

Maka terdengarlah suara nyaring sebanyak empat kali. Rupanya sepasang golok Chou Songnian yang masing-masing telah diayunkan dua kali dapat ditangkis semua oleh You Xun menggunakan kipasnya yang sepertinya terbuat dari baja murni. Meskipun tubuhnya terlihat gemuk dan berkulit putih seperti lazimnya kaum hartawan, tapi gerakan You Xun ternyata sangat gesit. Bahkan ketika kipasnya diayunkan perlahan bisa membuat golok Chou Songnian tergetar ke samping sampai beberapa inci. Jelas ilmu silatnya lebih tinggi daripada biksu berambut panjang tersebut. Namun karena sedang terkepung, pria gemuk itu tidak berani menyerang balik.

Melihat itu Dewa Bunga Persik berseru, “Nah, nah, jurus itu adalah jurus ke-32 dari ilmu Pedang Penakluk Iblis yang bernama ‘Kura-Kura Kentut’, sedangkan jurus untuk menangkis golok adalah jurus ke-25 yang bernama ‘Kura-Kura Bertempurung Lunak Membalik Tubuh’”

Linghu Chong berkata, “Tuan You, kalau Kitab Pedang Penakluk Iblis itu benar-benar tidak ada di tanganmu, lalu berada di tangan siapa?”

“Benar, berada di tangan siapa?” sahut Pendeta Yuling dan Nyonya Zhang ikut bertanya.

You Xun pun tertawa terbahak-bahak kemudian berkata, “Sebenarnya aku tidak bicara karena ingin menjual cerita rahasia ini dengan harga yang lebih bagus, beberapa ribu tahil perak. Tapi kalian terlalu kikir, pelit, tentunya ingin menghemat uang. Baiklah, akan kukatakan saja. Hanya saja, begitu mendengar siapa yang menyimpan kitab pusaka itu, kalian hanya bisa menginginkannya di dalam hati. Kalau kitab itu jatuh ke tangan orang lain, kalian masih bisa berharap untuk merebutnya. Tapi karena kitab itu jatuh ke tangan jagoan ini, maka … aih ….”

Semua orang sampai menahan napas menunggu disebutkannya nama tokoh tersebut. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara derap kaki kuda diselingi suara derit roda kereta menggelinding di jalanan.

You Xun menggunakan kesempatan itu untuk mengalihkan perhatian. Ia mengarahkan telinga untuk mendengar dengan seksama sambil bertanya, “Eh, siapa yang datang?”

Pendeta Yuling berkata dengan gusar, “Lekas katakan, siapa yang menyimpan kitab itu?”

“Sudah tentu akan kukatakan. Untuk apa kau terburu-buru seperti ini?” sahut You Xun.

Sementara itu kereta kuda tersebut sudah sampai di depan rumah makan dan lantas berhenti. Terdengar suara serak seorang tua sedang bertanya, “Apakah Tuan Muda Linghu berada di sini? Perkumpulan kami sengaja mengirimkan kereta ini untuk menyambut kedatangan Tuan Muda!”

Linghu Chong sangat ingin mengetahui di mana keberdaan Kitab Pedang Penakluk Iblis untuk memulihkan nama baiknya dan menghapuskan kecurigaan sang guru, ibu-guru, adik kecil, dan segenap saudara seperguruan. Maka, ia pun tidak menjawab panggilan dari luar tersebut, melainkan tetap mendesak You Xun, “Di luar ada orang datang, lekas katakan!”

You Xun menjawab, “Hendaklah Tuan Muda Linghu maklum. Kedatangan orang-orang itu justru membuatku tidak leluasa untuk menerangkan masalah ini.”

Sejenak kemudian kembali terdengar suara derap kuda di jalanan. Paling tidak ada tujuh atau delapan penunggang kuda yang datang mendekat dan kemudian berhenti di depan rumah makan. Setelah dua rombongan tersebut bertemu, terdengarlah suara seseorang berwibawa menyapa, “Ketua Huang, apakah kau datang kemari untuk menyambut Tuan Muda Linghu?”

Lalu terdengar suara seorang tua menjawab, “Benar. Ternyata Majikan Pulau Sima sendiri juga datang kemari.”

Orang pertama yang bersuara berwibawa tadi berdeham sekali, disusul kemudian terdengar suara langkah kaki yang berat dan mantap melangkah masuk ke dalam rumah makan. Tampak seseorang bertubuh tinggi besar muncul dan bertanya, “Siapakah di antara kalian yang bernama Tuan Muda Linghu? Saya Sima Da, datang untuk menyambut dan mengantar Beliau menuju Lembah Lima Tiran untuk bertemu segenap kesatria gagah yang sudah menunggu di sana.”

Merasa tidak punya pilihan lain, Linghu Chong pun memberi hormat dan berkata, “Aku Linghu Chong ada di sini. Aku tidak berani menyusahkan Majikan Pulau Sima.”

“Hamba bernama Sima Da,” sahut Majikan Pulau Sima. “Karena dilahirkan dengan badan tinggi besar, maka orang tua memberi nama Da kepada hamba. Selanjutnya, Tuan Muda Linghu boleh langsung memanggil hamba Sima Da, atau Ah Da saja. Hamba tidak berani dipanggil Majikan Pulau segala.”

“Ah, mana boleh begitu? Aku tidak berani langsung memanggil nama kecil Tuan Sima,” ujar Linghu Chong. Ia lalu memperkenalkan Yue Buqun dan Ning Zhongze. “Beliau berdua adalah guru dan ibu-guruku.”

“Senang bertemu dengan Tuan dan Nyonya berdua,” sahut Sima Da sambil memberi hormat. Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Penyambutan hamba ini agak terlambat, mohon Tuan Muda Linghu sudi memberi maaf.”

Yue Buqun sudah menjabat sebagai Ketua Perguruan Huashan selama lebih dari sepuluh tahun. Selama ini ia sangat dihormati kaum persilatan. Akan tetapi, orang-orang di hadapannya saat ini, seperti Sima Da dan Nyonya Zhang bertujuh ternyata sama sekali tidak memandang kepadanya. Kalaupun mereka memberi hormat, itu semata-mata dilakukan demi Linghu Chong, dan ini terlihat jelas pada raut muka mereka. Hal ini jauh lebih menyinggung perasaan daripada mereka mencaci maki secara terang-terangan. Namun demikian, Yue Buqun seorang yang sangat pandai mengendalikan diri dan menyembunyikan kekesalan. Sama sekali ia tidak menunjukkan kemarahan sedikit pun.

Sementara itu, ketua perkumpulan yang bermarga Huang tadi juga sudah melangkah masuk ke dalam rumah makan. Orang ini sudah tua, dan usianya sekitar delapan puluhan tahun. Janggutnya yang putih panjang menjulai sampai di depan dada, namun semangatnya masih tampak menyala. Ia sedikit membungkuk di hadapan Linghu Chong, lalu berkata, “Tuan Muda Linghu, hamba Huang Boliu. Banyak anggota perkumpulan kami yang mencari makan di sekitar sini, tapi tidak sempat menyambut kedatangan Tuan Muda dengan baik. Atas dosa ini kami pantas dihukum mati.”

Menyaksikan orang tua itu, Yue Buqun terperanjat. Ia berpikir, “Apakah dia orangnya?” Hatinya pun bertanya-tanya karena pernah mendengar sepak terjang Partai Sungai Langit yang terdapat di sekitar hilir Sungai Kuning. Ketua partai ini bernama Huang Boliu yang merupakan sesepuh dunia persilatan di Daratan Tengah. Partai tersebut sangat besar, namun peraturannya longgar. Di dalamnya bercampur orang baik dan jahat, sehingga partai ini susah untuk menghindari perbuatan jahat dan melanggar hukum. Akibatnya, nama Partai Sungai Langit di dunia persilatan juga tidak terlalu baik. Meskipun demikian, partai ini memiliki banyak anggota dan jago ternama, dan merupakan partai terbesar di empat provinsi.

“Apakah orang tua ini adalah ‘Si Naga Hujan Berjanggut Perak’ Huang Boliu yang membawahi puluhan ribu anggota partai? Kalau benar dia orangnya, mengapa bisa begitu hormat kepada Chong’er, anak kemarin sore yang baru muncul?” demikian pikir Yue Buqun.

Rasa bimbang dan ragu di hati Yue Buqun terjawab sudah ketika Yan Sanxing, Si Pengemis Jahat Sepasang Ular menyapa orang tua itu, “Naga Tua Berjanggut Perak, kau adalah penguasa wilayah sini. Apa kau tidak ingin menyambut kami, kawan-kawanmu yang datang dari jauh ini?”

Orang tua itu ternyata memang Huang Boliu, Si Naga Hujan Berjanggut Perak. Ia bergelak tawa dan menjawab, “Kalau bukan karena Tuan Muda Linghu, bagaimana mungkin aku bisa mengundang begitu banyak kaum kesatria gagah untuk berkumpul di sini? Semua orang yang berkunjung kemari adalah tamu-tamu Partai Sungai Langit, tentu saja semua kami sambut baik. Di Lembah Lima Tiran sudah kami siapkan sebuah jamuan sekadarnya. Bagaimana kalau Tuan Muda Linghu dan sobat-sobat sekalian berangkat ke sana?”

Linghu Chong melihat rumah makan kecil tersebut telah dipenuhi banyak orang. Dalam keadaan ribut seperti ini, You Xun tidak mungkin mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Untungnya, setelah semua keributan yang terjadi tadi, kecurigaan sang guru dan adik kecil sepertinya sudah banyak berkurang. Kelak di kemudian hari, ia yakin semua dapat terungkap dengan jelas, sehingga rasanya tidak perlu untuk terburu-buru membersihkan nama. Berpikir demikian, ia pun berkata kepada Yue Buqun, “Guru, apakah kita perlu pergi bersama mereka? Mohon petunjuk dan arahan dari Guru.”

Yue Buqun tidak segera menjawab, tetapi sedang berpikir, “Orang-orang yang berkumpul di Lembah Lima Tiran sudah pasti tidak ada yang berasal dari aliran lurus bersih. Bagaimana mungkin aku bisa berkumpul dengan mereka? Sepertinya penghormatan yang mereka berikan kepada Chong’er juga basa-basi belaka. Orang-orang ini bertujuan memancing Chong’er supaya masuk ke dalam golongan mereka. Kejadian yang menimpa Liu Zhengfeng dari Perguruan Hengshan hendaknya menjadi peringatan, barangsiapa bergaul dengan aliran sesat, pada akhirnya akan kehilangan seluruh wibawa dan martabatnya. Namun, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin aku dapat menolak?”

You Xun berkata, “Tuan Yue, saat ini suasana di Lembah Lima Tiran sangat ramai. Banyak sekali majikan gua dan pulau yang datang ke sana, padahal mereka sudah lebih dari sepuluh tahun meninggalkan dunia persilatan. Kami semua berkumpul di sana demi Tuan Muda Linghu. Tuan Yue sudah mendidik dan membesarkan seorang pendekar muda gagah berani yang berbakat dalam ilmu sastra dan ilmu silat, tentu nama besar Tuan Yue akan semakin harum. Saya berani menebak, sudah pasti Tuan Yue akan ikut berkunjung ke Lembah Lima Tiran. Namun jika Tuan Yue menolak untuk datang, bukankah akan sangat mengecewakan kami semua?”

Yue Buqun masih tidak menjawab. Sementara itu, Sima Da dan Huang Boliu sudah lebih dulu memapah dan agak menggendong tubuh Linghu Chong keluar rumah makan. Di luar sudah menunggu sebuah kereta untuk mengangkut pemuda itu. Chou Songnian, Yan Sanxing, Sepasang Orang Aneh Tongbai, dan yang lain, serta Enam Dewa Lembah Persik berebut ikut keluar.

Yue Buqun dan Ning Zhongze hanya bisa saling pandang dengan bibir tersenyum hambar. Mereka sama-sama berpikir, “Orang-orang itu hanya menginginkan kedatangan Chong’er. Kita datang atau tidak, mereka sama sekali tidak peduli.”

Yue Lingshan yang terheran-heran segera berkata, “Ayah, bagaimana kalau kita ikut ke sana? Aku ingin melihat tipu musihat seperti apa yang mereka persiapkan untuk Kakak Pertama.” Sejenak kemudian, hatinya merasa takut saat teringat nama Sepasang Beruang Gurun Utara yang gemar makan daging manusia. Namun mengingat mereka membebaskannya karena memandang muka si kakak pertama, ia pun yakin orang-orang itu tidak akan mengancam akan memakan dagingnya lagi. Meskipun demikian, jika nanti ia jadi pergi ke Lembah Lima Tiran, ia berencana untuk tidak akan jauh-jauh dari sisi sang ayah.

Yue Buqun mengangguk-angguk kemudian melangkah keluar. Setelah tadi muntah-muntah di kapal, ia sama sekali belum makan dan minum. Tak disangka langkah kakinya terasa goyah, tenaga dalamnya pun tidak murni lagi. Diam-diam ia merasa terkejut dan mengakui kehebatan racun Lan Fenghuang dari Sekte Lima Dewi.

Kelompok Sima Da dan kelompok Huang Boliu sudah mempersiapkan banyak kuda di luar rumah makan. Mereka pun membagi-bagi kuda itu untuk Yue Buqun, Ning Zhongze, Enam Dewa Lembah Persik, Kelompok Nyonya Zhang, dan yang lainnya. Murid-murid laki-laki Huashan yang tidak kebagian kuda memilih berjalan bersama orang-orang Partai Sungai Langit, anak buah Huang Boliu, dan orang-orang Pulau Paus Panjang, pengikut Sima Da menuju Lembah Lima Tiran.

Lembah Lima Tiran sendiri terletak di perbatasan Provinsi Shandong dan Henan. Di sebelah barat terdapat Heze dan Dingtao yang masuk wilayah Shandong, sedangkan di sebelah timur terdapat Dongming yang masuk wilayah Henan. Tanah di sekitar daerah ini lumayan datar dan banyak memiliki rawa-rawa. Kalau dipandang dari jauh, Lembah Lima Tiran tidak terlalu tinggi, hanya seperti sebuah bukit saja. Para penunggang kuda dan kereta itu berkendara menuju ke arah timur. Setelah beberapa kilometer, mereka disambut oleh beberapa penunggang kuda yang melaju dari arah timur. Para penunggang kuda itu kemudian turun dan memberi salam kepada Linghu Chong di dalam kereta. Suara mereka terdengar lantang, tetapi tutur kata mereka sangat sopan.

Ketika perjalanan rombongan itu semakin mendekati Lembah Lima Tiran, jumlah orang yang menyambut semakin banyak. Orang-orang itu memberitahukan nama mereka satu per satu, tetapi Linghu Chong kesulitan menghafal nama mereka yang begitu banyak. Kereta yang ditumpanginya itu akhirnya sampai di depan sebuah bukit yang tinggi, dan di atas bukit itu terlihat sebuah hutan cemara yang lebat dengan jalan setapak yang berkelok-kelok menuju ke puncaknya.

Huang Boliu memapah Linghu Chong dan membantunya turun dari kereta. Di luar kereta sudah bersiap dua orang laki-laki bertubuh kekar mengusung sebuah tandu dari bambu yang memiliki dudukan empuk. Linghu Chong merasa tidak enak hati jika ia harus duduk di atas tandu, sementara guru, ibu-guru, dan adik kecil berjalan kaki. Maka, ia pun berkata, “Ibu Guru, silakan duduk di tandu ini. Saya berjalan kaki saja.”

Ning Zhongze tersenyum dan menjawab, “Yang mereka sambut adalah Tuan Muda Linghu, bukan ibu-gurumu ini.”

Usai berkata demikian, wanita itu mengerahkan ilmu ringan tubuh untuk mendaki jalanan bukit. Yue Buqun dan Yue Lingshan segera menyusul dengan langkah cepat. Mau tidak mau, Linghu Chong terpaksa duduk di dalam tandu yang sudah dipersiapkan untuknya itu. Tandu itu segera diusung menuju ke sebidang tanah lapang yang terletak di tengah hutan cemara di atas bukit tersebut. Dari segala penjuru terlihat orang-orang bermunculan. Raut muka dan penampilan mereka terlihat kasar. Sepertinya mereka berasal dari golongan hitam di dunia persilatan.

Orang-orang itu datang membanjir seperti kawanan lebah. Mereka ada yang bertanya, ada pula yang berkata menyampaikan sesuatu.

“Apakah ini Tuan Muda Linghu?”

“Ini ada obat mujarab turun-temurun dari leluhur hamba. Obat ini bisa membangkitkan orang mati.”

“Ini ada ginseng tua yang saya gali dari Gunung Changbai dua puluh tahun silam. Sekarang sudah matang dan bisa Tuan Muda Linghu gunakan.”

“Saya membawa tujuh orang tabib yang paling pandai dari timur Provinsi Shandong. Saya mengundang mereka semua untuk memeriksa nadi Tuan Muda Linghu.”

Linghu Chong melihat tujuh orang tabib dengan tangan diikat dengan tali tambang secara berendeng. Raut muka mereka terlihat cemas dengan wajah pucat pasi. Jelas bahwa mereka sengaja dipaksa untuk datang oleh orang yang baru saja bicara itu, sedangkan kata “mengundang” hanyalah basa-basi belaka.

Selanjutnya ada seseorang yang memikul dua buah keranjang besar sambil berkata, Segala macam obat-obatan berharga dan langka di Kota Jinan telah hamba ambil kemari. Semua hamba siapkan, kalau Tuan Muda membutuhkan suatu bahan obat, pasti telah tersedia.”

Orang-orang yang terus berdatangan itu kebanyakan berpenampilan aneh, dengan raut muka ganas dan kejam, namun tutur kata mereka terlihat tulus. Melihat orang-orang itu tampak bersungguh-sungguh, Linghu Chong sama sekali tidak menaruh curiga, bahkan sangat berterima kasih. Akhir-akhir ini ia terus-menerus mengalamai kemalangan, hidup dan mati sukar dipastikan. Itu sebabnya kini sifatnya lebih halus dan mudah tersentuh. Perasaannya bergolak dan tanpa terasa air mata pun meleleh di pipi.

Sambil memberi hormat, pemuda itu berkata, “Teman-teman semua, Linghu Chong hanyalah bocah kampung tak bernama, namun tiba-tiba menerima kebaikan kalian semua … kalian begitu peduli … aku merasa … aku benar-benar tak dapat … tak dapat membalasnya ….” Demikian ia berbicara sambil tersedu sedan. Tak kuasa menyelesaikan perkataannya, pemuda itu segera berlutut di tanah dan membungkukkan badan.

Orang-orang itu menjadi ribut. Mereka pun berkata, “Kami tidak berani menerima penghormatan ini.”

“Mohon Tuan Muda Linghu segera berdiri.”

“Kami tidak pantas menerimanya.”

Serentak orang-orang itu pun berlutut memberi hormat. Dalam sekejap lebih dari seribu orang yang berada di Lembah Lima Tiran berlutut semua, kecuali Yue Buqun, Ning Zhongze, dan murid-murid Huashan, serta Enam Dewa Lembah Persik. Yue Buqun dan orang-orang Huashan segera berpaling dan melangkah ke samping supaya tidak dikira menerima penghormatan itu, sedangkan Enam Dewa Lembah Persik terlihat menunjuk-nunjuk orang-orang yang berlutut itu sambil tertawa terkekeh-kekeh dan berbicara tak karuan.

Setelah saling bersujud beberapa kali dengan ribuan pendekar itu, Linghu Chong bangkit berdiri dengan air mata meleleh di pipinya. Dalam hati ia berkata, “Tak peduli apa maksud kawan-kawan ini datang kemari. Setelah kejadian ini, Linghu Chong rela tubuhnya hancur berkeping-keping dan menempuh bahaya apa pun demi mereka.”

“Tuan Muda Linghu, mohon untuk beristirahat di gubuk itu,” kata Huang Boliu, Ketua Partai Sungai Langit. Orang tua berjanggut panjang itu mempersilakan Linghu Chong dan Yue Buqun suami-istri untuk masuk ke dalam sebuah gubuk beratap alang-alang di depan sana.

Gubuk tersebut seperti baru saja didirikan. Di dalamnya terdapat beberapa buah meja dan kursi. Di atas meja tersedia poci dan cawan teh. Ketika Huang Boliu melambaikan tangan, beberapa orang pengikutnya segera datang untuk membawa guci arak dan menuangkannya. Disusul kemudian datang pula beberapa orang membawa daging sapi dan babi, atau makanan lain yang cocok sebagai teman minum arak.

Linghu Chong mengambil cawan arak dan melangkah keluar gubuk. Dengan suara lantang ia berkata, “Kawan-kawan sekalian, Linghu Chong dan kalian baru bertemu. Maka itu, kita harus minum bersama untuk menjalin persahabatan. Mulai saat ini kalian semua adalah sahabat Linghu Chong. Susah dan senang akan kita tanggung bersama. Mari kita minum secawan arak ini bersama-sama sebagai sahabat.”

Usai berkata demikian ia lantas mengangkat dan menghentakkan tangan kanannya yang memegang cawan. Arak di dalamnya pun tercurah ke udara dan turun kembali menjadi ribuan tetes yang berhamburan ke segala penjuru.

Ribuan pendekar di tempat itu pun bersorak sorai. Suara mereka meledak-ledak bagaikan guntur saat berkata dengan serentak, “Ucapan Tuan Muda Linghu sangat benar. Mulai hari ini kami akan menanggung susah dan senang bersamamu.”

Yue Buqun tampak mengernyitkan dahi sambil berpikir, “Sifat Chong’er ceroboh dan suka terburu-buru, tidak memikirkan akibat dari perbuatannya. Begitu orang-orang ini bersikap baik kepadanya, langsung saja ia berkata akan menanggung susah dan senang bersama mereka. Melihat orang-orang ini, aku khawatir tidak satu pun dari mereka yang taat pada hukum. Sama seperti Tian Boguang, jangan-jangan mereka suka merampok dan memerkosa. Apakah dengan orang-orang seperti itu kau akan menanggung susah dan senang? Kita ini anggota aliran lurus bersih, berkewajiban memusnahkan mereka. Namun kau justru ingin senasib sepenanggungan dengan mereka.”

Linghu Chong melanjutkan, “Aku sama sekali tidak tahu mengapa kawan-kawan sekalian begitu memperhatikan Linghu Chong. Tapi bagiku, tahu alasannya atau tidak juga bukan menjadi masalah. Yang jelas, jika ada hal yang mempersulit kalian, silakan katakan saja dengan terus terang. Laki-laki sejati selalu bersikap jujur dan terus terang, selalu mengatakan apa yang ada di dalam pikirannya. Kalau ada hal yang dapat aku lakukan, maka pasti akan aku lakukan untuk kalian, meskipun harus melewati gunung golok dan hutan pedang.”

Ia berpikir belum pernah bertemu orang-orang itu, namun mereka berusaha keras untuk bisa bersahabat dengannya, tentu mereka ingin meminta bantuannya untuk melakukan sesuatu yang besar. Karena ia sudah berjanji pada mereka, meskipun kelak tidak mampu menepatinya juga tidak menjadi soal, karena umurnya juga tidak akan lama lagi.

Huang Boliu menjawab, “Mengapa Tuan Muda Linghu berkata demikian? Kami semua mengagumi dan menghormatimu. Ketika kawan-kawan semua mendengar bahwa Tuan Muda Linghu akan berkunjung, kami pun secara kebetulan berkumpul di sini agar dapat secara langsung melihat dan menyaksikan kehadiran Tuan Muda yang anggun dengan penuh penghormatan. Kami sama sekali tidak meminta sesuatu dari Tuan Muda. Justru kami mendengar Tuan Muda Linghu agak kurang sehat, sehingga kami pun mengundang beberapa tabib ternama serta mencarikan sejumlah bahan obat. Kami semua tidak berasal dari kelompok yang sama. Kami sebelumnya jarang bertemu, atau hanya sekadar mengenal nama saja, bahkan ada juga yang saling tidak akur. Namun karena Tuan Muda Linghu berkata mulai sekarang kita semua harus menanggung susah dan senang bersama-sama, maka mulai saat ini kami semua harus bersahabat.”

Para pendekar itu serentak menanggapi, “Benar sekali! Ucapan Ketua Huang sama sekali tidak salah.”

Orang yang membawa tujuh tabib tadi maju menghampiri Linghu Chong dan berkata, “Tuan Muda Linghu, bagaimana kalau Tuan Muda masuk ke dalam gubuk supaya para tabib terkenal ini dapat memeriksa nadi Anda?”

Linghu Chong tidak segera menjawab, tetapi berpikir, “Ping Yizhi yang memiliki ilmu pengobatan begitu tinggi saja berkata bahwa lukaku ini tidak bisa disembuhkan. Ketujuh tabib yang kau bawa itu bisa melakukan apa?” Namun karena khawatir menyinggung perasaan orang itu, ia pun segera melangkah kembali menuju ke arah gubuk.

Orang tadi menyeret ketujuh tabib yang diikat berentengan seperti serenteng katak. Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Saudara, mohon ikatan mereka dibuka saja. Aku rasa mereka tidak akan melarikan diri.”

Orang itu menjawab, “Karena Tuan Muda Linghu yang menyuruh, maka aku akan melepaskan mereka.” Usai berkata demikian ia segera memutuskan semua tali tambang yang mengikat tujuh tabib tersebut. Setelah itu ia berkata, “Kalau kalian tidak bisa menyembuhkan Tuan Muda Linghu, maka leher kalian akan putus seperti tali tambang ini.”

Salah seorang tabib menjawab, “Hamba … hamba pasti berusaha sebisa-bisanya … tapi di muka bumi ini … di muka bumi ini tidak ada tabib yang mampu memberikan jaminan kesembuhan ….”

Tabib yang lain menyahut, “Kalau melihat tuan muda ini segar bugar dan penuh semangat, penyakitnya pasti dapat disembuhkan.”

Beberapa tabib lainnya segera masuk ke dalam gubuk untuk memeriksa denyut nadi Linghu Chong. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak, “Keluar semua! Kalian tabib gadungan tidak berguna bisa apa?”

Linghu Chong berpaling melihat siapakah orang yang baru saja bersuara itu. Ternyata Ping Yizhi, Si Tabib Sakti Pembunuh telah tiba. Dengan perasaan senang ia pun menyapa, “Sesepuh Ping juga tiba. Kurasa para tabib ini memang tidak ada gunanya.”

Ping Yizhi melangkah masuk ke dalam gubuk. Ia mengangkat kaki kiri dan menendang seorang tabib keluar. Kemudian ia mengangkat kaki kanan dan menendang seorang tabib lainnya keluar pula. Orang yang membawa ketujuh tabib tadi mengenali dan sangat mengagumi Ping Yizhi. Ia pun berkata, “Tabib Ping yang termashur di dunia telah datang. Kalian bertujuh apa masih berani unjuk kebodohan di hadapan Beliau?”

Usai berkata demikian orang itu lalu menendang keluar dua orang tabib yang tadi ia ajukan. Tanpa menunggu pantat mereka menjadi sasaran, ketiga tabib lainnya segera merangkak keluar gubuk. Setelah semua tabib yang ia bawa keluar, orang tadi berkata, “Tuan Muda Linghu, Tabib Ping, aku telah lancang dan memberanikan diri. Mohon dimaafkan.”

Tanpa ampun, Ping Yizhi mengangkat kaki kirinya dan menendang orang itu sampai melayang keluar dari gubuk. Hal ini benar-benar di luar dugaan Linghu Chong yang hanya bisa tercengang kaget.

Ping Yizhi tidak berkata apa-apa. Ia lalu duduk dan memeriksa denyut nadi di pergelangan kanan Linghu Chong. Selang agak lama, ia kemudian memeriksa pergelangan kiri. Ia terus-menerus melakukan hal itu sambil mengernyitkan dahi dan memejamkan mata, sepertinya sedang berpikir keras.

Linghu Chong berkata, “Sesepuh Ping, hidup mati manusia tergantung suratan takdir. Luka Linghu Chong ini parah dan susah disembuhkan. Aku sudah dua kali merepotkan Sesepuh Ping, dan aku sangat berterima kasih. Sesepuh Ping tidak perlu bersusah payah lagi.”

Di luar gubuk terdengar suara hiruk-pikuk yang sangat riuh, diikuti suara para pendekar bersenda gurau dan main tebak-tebakan sambil menyebut soal arak. Sepertinya Partai Sungai Langit telah mendatangkan sejumlah arak dan makanan untuk ribuan pendekar yang hadir di tempat itu. Pikiran Linghu Chong melayang keluar, ingin sekali ia bersenang-senang dengan ribuan orang itu. Namun, Ping Yizhi masih memeriksa kedua nadi pada pergelangan tangan kanan dan kirnya secara bergantian tanpa henti. Diam-diam pemuda itu berpikir, “Tabib Ping ini punya nama Yizhi, artinya ‘satu jari’. Ia menyebut dirinya bisa menyembuhkan orang hanya dengan satu jari, juga bisa membunuh orang dengan satu jari pula. Namun sekarang dia memeriksa nadiku apa benar hanya memakai satu jari saja? Sepertinya ia menggunakan sepuluh jari sekaligus.”

Tiba-tiba muncul seseorang melongok ke dalam gubuk. Ternyata dia adalah Dewa Dahan Persik yang berkata, “Linghu Chong, kenapa kau tidak ikut minum-minum?”

Linghu Chong menjawab, “Aku pasti ikut minum. Tunggulah aku, jangan buru-buru puas dulu.”

“Baiklah!” sahut Dewa Dahan Persik. “Tabib Ping, kau cepatlah sedikit!” Sambil berbicara demikian, ia menarik kepalanya keluar dan kembali ke keramaian.

Ping Yizhi perlahan-lahan menarik tangannya, kemudian memejamkan mata. Telunjuk kanannya mengetuk-ketuk meja. Sepertinya ia agak bingung. Selang agak lama, tabib bertubuh gemuk itu membuka mata dan berkata, “Tuan Muda Linghu, di dalam tubuhmu ada tujuh jenis hawa murni yang saling bertumbukan dan tidak dapat dijinakkan, ataupun dikeluarkan. Ini bukan penyakit yang disebabkan oleh racun ataupun luka senjata, bukan pula karena bibit penyakit demam atau panas dalam, sehingga tidak dapat kusembuhkan dengan tusuk jarum ataupun obat-obatan.”

Linghu Chong hanya menjawab, “Benar.”

Ping Yizhi melanjutkan, “Sejak aku memeriksa denyut nadi Tuan Muda Linghu di Kota Zhuxian, aku telah menemukan suatu cara pengobatan. Jika beruntung, cara ini mungkin berguna untuk menyembuhkanmu. Aku berniat mengundang tujuh orang yang memiliki tenaga dalam tinggi untuk bekerja sama mengeluarkan ketujuh jenis hawa murni yang ada di dalam tubuh Tuan Muda dengan sekali gebrak. Hari ini aku telah mengajak tiga orang untuk datang. Bagiku tidak sulit untuk mendapatkan dua orang hebat lagi di antara pengunjung yang hadir. Untuk dua orang sisanya, bisa ditambah dengan gurumu yang terhormat, Tuan Yue, dan aku sendiri. Dengan cara itu kau bisa disembuhkan. Tetapi baru saja aku memeriksa denyut nadi Tuan Muda, ternyata sudah banyak mengalami perubahan yang rumit dan luar biasa.”

“Oh!” seru Linghu Chong kaget.

Ping Yizhi melanjutkan, “Dalam beberapa hari terakhir ini telah terjadi empat perubahan besar dalam diri Tuan Muda Linghu. Pertama, Tuan Muda telah minum beberapa macam obat penguat, di antaranya ginseng, umbi Shouwu, jamur Lingzhi, jamur Fuling, dan obat-obatan langka lainnya. Tapi obat-obatan itu sebenarnya dibuat untuk kaum wanita.”

“Wah!” seru Linghu Chong. “Ucapan Sesepuh Ping sangat benar! Luar biasa! Ilmu Sesepuh Ping jarang ada tandingannya di dunia.”

Ping Yizhi bertanya, “Bagaimana caranya Tuan Muda Linghu bisa meminum obat-obatan penguat itu? Apakah mungkin disebabkan oleh kesalahan tabib gadungan? Sungguh menyebalkan!”

Linghu Chong hanya terdiam dan berpikir, “Zu Qianqiu telah mencuri ‘Delapan Pil Penyambung Nyawa’ milik Lao Touzi dan memberikannya kepadaku. Sebenarnya ia bermaksud baik, hanya saja tidak mengetahui kalau obat penguat untuk kaum laki-laki dan perempuan ternyata berbeda. Kalau aku menceritakan hal ini, Tabib Ping pasti menyalahkannya. Lebih baik aku diam saja.” Setelah berpikir demikian, ia pun berkata, “Ini semua salahku sendiri. Aku tidak bisa menyalahkan orang lain.”

Ping Yizhi menjelaskan, “Tubuh Tuan Muda sedang tidak kekurangan tenaga, justru sebaliknya, hawa murni dalam tubuhmu terlalu banyak. Tapi kemudian kau minum obat penguat, bagaimana ini? Coba bayangkan, ini seperti air Sungai Yangtze sudah meluap, tetapi petugas pengatur air justru menambahkan air dari Danau Dongting dan Danau Boyang. Sungguh bencana! Obat penguat yang kau minum itu hanya bermanfaat untuk gadis muda yang cacat sejak lahir atau lemah tak berdaya, tetapi Tuan Muda Linghu justru meminumnya, aih, sungguh celaka!”

Linghu Chong berpikir, “Aku berharap setelah minum darahku, Nona Busi, putri Lao Touzi dapat disembuhkan.”

Ping Yizhi melanjutkan, “Perubahan besar kedua adalah secara mendadak Tuan Muda Linghu kehilangan banyak darah. Dalam keadaan sakit seperti ini, mengapa kau justru berkelahi dengan orang? Kalau kau bertarung dengan sengit seperti ini, bagaimana kau dapat memperpanjang umurmu? Aih, dia sangat menghargaimu, tapi kau justru tidak menghargai diri sendiri. Seorang laki-laki sejati mampu menunda balas dendam sepuluh tahun lagi, tapi mengapa Tuan Muda tidak sabaran dan buru-buru seperti ini?” Sambil berbicara demikian kepalanya terlihat menggeleng-geleng dengan raut wajah menunjukkan perasaan tidak setuju. Andai saja yang sedang ia obati bukan Linghu Chong, tentu sudah ia tampar, atau setidaknya sudah ia maki-maki.

Linghu Chong hanya bisa berkata, “Nasihat Sesepuh Ping benar.”

Ping Yizhi melanjutkan, “Kalau hanya kehilangan banyak darah juga tidak menjadi soal. Hal ini tidak sukar untuk dipulihkan. Tapi kau juga bergaul dengan kaum Sekte Lima Dewi dari Yunnan, serta meminum Arak Agung Lima Dewi milik mereka.” Sampai di sini nada bicaranya semakin lantang dan jelas.

“Arak Agung Lima Dewi?” tanya Linghu Chong menegas.

Ping Yizhi menjawab, “Arak Agung Lima Dewi adalah arak pusaka simpanan Sekte Lima Dewi yang diturunkan dari satu angkatan ke angkatan selanjutnya. Di dalamnya terendam lima jenis makhluk berbisa kecil yang amat langka. Konon kabarnya, setiap makhluk berbisa itu harus dipelihara selama sepuluh tahun lebih. Selain itu, arak ini juga mengandung puluhan jenis sari bunga dan tumbuhan aneh. Dipadukan dengan kelima jenis binatang berbisa tadi, sehingga arak tersebut memiliki khasiat yang sangat ampuh. Orang yang meminumnya tidak bisa diserang penyakit, kebal terhadap segala jenis racun, dan secara tiba-tiba mendapatkan tambahan tenaga dalam seperti berlatih selama sepuluh tahun. Arak ini adalah obat penguat yang paling luar biasa di dunia. Aku si tua ini sudah lama ingin melihatnya, tapi Lan Fenghuang itu kabarnya sangat ketat menjaga kehormatan dirinya, tidak pernah berbicara dengan sembarang laki-laki. Tidak disangka, ia justru memberikan arak obat milik sektenya yang berharga itu kepadamu. Aih, sungguh kau anak muda yang romantis, menebar pesona di mana-mana, tapi malah menuai bencana bagi dirimu sendiri.”

Linghu Chong hanya tersenyum kecut dengan wajah menahan malu, sambil berkata, “Ketua Lan dan aku hanya berjumpa sekali di atas Sungai Kuning itu saja. Ia menemuiku untuk memberikan arak pusaka yang katanya arak khas suku Miao itu. Selain itu, kami sama sekali tidak pernah berhubungan.”

Ping Yizhi menatap kepadanya tanpa berkedip. Selang agak lama tabib bertubuh gemuk itu mengangguk-angguk kemudian berkata, “Aku bisa menebak, Lan Fenghuang memberikan arak pusaka sektenya semata-mata demi memandang kepadanya. Namun arak obat itu justru menambah tenaga dalammu yang seharusnya tidak perlu ditambah. Akibatnya, penyakitmu akan semakin parah. Lagipula, meskipun arak tersebut dapat memperkuat daya tahan tubuh, namun juga mengandung racun. Huh, celaka, kacau semuanya! Sekte Lima Dewi hanya mengandalkan beberapa resep warisan nenek moyang mereka yang aneh. Lan Fenghuang si gadis cilik itu tahu apa soal ilmu pengobatan? Kentut! Semuanya jadi kacau balau!”

Linghu Chong mendengarkannya memaki-maki. Ia merasa watak Ping Yizhi teralu mudah panas, namun dengan wajah terlihat suram serta dada naik turun, pertanda si tabib sangat prihatin dan menaruh perhatian kepadanya. Hal ini membuatnya menyesal dan berkata, “Sesepuh Ping, Ketua Lan bermaksud baik ….”

“Bermaksud baik, bermaksud baik!” sergah Ping Yizhi dengan nada gusar. “Huh, semua tabib gadungan yang mengobati orang sampai mati bukankah pada awalnya juga bermaksud baik? Apa kau tahu kalau setiap hari orang yang mati karena diobati tabib gadungan jumlahnya lebih banyak daripada yang mati karena terkena golok di dunia persilatan?”

“Itu sangat mungkin terjadi,” jawab Linghu Chong.

“Apa maksudmu dengan ‘sangat mungkin terjadi’? Memang begitulah kenyatannya!” seru Ping Yizhi. “Atas dasar apa Lan Fenghuang merasa mampu mengobati penyakitmu? Memangnya siapa dia berani ikut-ikutan mengurusi orang yang sedang kuobati? Sekarang di dalam darahmu terdapat banyak racun. Kalau satu per satu racun itu dipunahkan, bisa-bisa mereka bertumbukan dengan ketujuh hawa murni itu. Jangan-jangan tidak sampai enam jam kau sudah kehilangan nyawa.”

Menyadari apa yang telah terjadi, Linghu Chong berpikir, “Di dalam darahku sekarang terkandung banyak racun, tapi belum tentu disebabkan karena aku meminum Arak Agung Lima Dewi itu. Bisa jadi itu karena darah yang disalurkan oleh Ketua Lan dan keempat gadis Miao anak buahnya kepadaku. Sehari-hari mereka bergaul dengan benda-benda beracun, makanan dan minuman mereka pun mengandung racun. Tidak aneh jika dalam darah mereka terkancung racun pula. Hanya saja karena mereka sudah terbiasa hidup seperti itu sehingga tubuh mereka sudah kebal. Mengenai darah mereka yang sudah bercampur dengan darahku tidak perlu kuberitahukan kepada Sesepuh Ping, karena bisa membuatnya semakin naik pitam.”

Setelah berpikir demikian, ia pun berkata, “Ilmu pengobatan sangat rumit dan mendalam. Tidak semua orang bisa memahaminya.”

Ping Yizhi menghela napas dan berkata, “Kalau hanya masalah minum obat penguat, kehilangan banyak darah, atau minum arak obat, aku masih punya cara untuk mengobatinya. Tapi perubahan besar pada dirimu yang keempat benar-benar membuatku tak habis pikir. Aih, ini akibat perbuatanmu sendiri!”

Linghu Chong menanggapi, “Benar, ini akibat perbuatanku sendiri.”

Ping Yizhi melanjutkan, “Akhir-akhir ini, mengapa kau tiba-tiba putus asa dan tidak ingin hidup lagi? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada masalah berat apa yang sedang kauhadapi? Dulu saat aku memeriksa denyut nadimu di Kota Zhuxian, aku merasakan meskipun lukamu parah dan penyakitmu aneh, namun denyut nadimu kuat, jiwamu penuh harapan. Waktu itu aku memperpanjang hidupmu sampai seratus hari, lalu dalam seratus hari itu entah bagaimana aku harus bisa menemukan cara untuk menyembuhkan penyakitmu yang aneh. Saat itu aku tidak begitu yakin apakah bisa menyembuhkanmu, sehingga aku tidak mau buru-buru menjelaskan rencanaku kepadamu. Namun anehnya, hari ini aku merasa kau sama sekali tidak memiliki kekuatan, mengapa?”

Ketika mendengar pertanyaan itu, perasaan Linghu Chong langsung sedih. Pemuda itu berpikir, “Saat Guru mencurigai aku menggelapkan Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Lin Kecil, aku merasa tidak terlalu sedih. Sebagai laki-laki sejati aku tidak perlu merasa khawatir karena kebenaran pasti akan terungkap. Namun … namun siapa sangka Adik Kecil juga curiga kepadaku? Demi Lin Kecil, ia memperlakukan aku seperti sampah yang tidak berguna. Lantas, apa artinya aku hidup seperti ini?”

Ping Yizhi tidak menunggu jawaban dari Linghu Chong. Tabib itu terus saja berbicara, “Dari denyut nadimu, sepertinya yang sedang kau hadapi adalah masalah asmara. Sebenarnya semua tutur kata perempuan di muka bumi ini hambar, wajah mereka menjijikkan, sifat mereka aneh dan tidak masuk akal, watak mereka pun kurang sabaran. Yang terbaik adalah apabila kita bisa menghindari mereka jauh-jauh. Kalau nasibmu jelek, meskipun naik ke langit dan bersembunyi di dasar bumi tetap saja kau tidak dapat menghindar. Kalau menghadapi masalah seperti itu terpaksa kau harus menerima mereka, bersikap sopan pada mereka, meskipun tanpa ketulusan. Kenapa kau tidak paham soal ini dan malah merindukan mereka siang dan malam? Salah besar! Salah besar! Meskipun … meskipun dia … dia … aih, aku harus bagaimana?” Sambil berbicara ia terlihat menggeleng-gelengkan kepala.

Linghu Chong berbicara dalam hati, “Istrimu memang hambar tutur katanya, menjijikkan wajahnya, sifatnya aneh, dan wataknya tidak sabaran. Tapi, tidak semua perempuan di muka bumi seperti istrimu itu. Huh, kau memakai istrimu sebagai tolok ukur semua perempuan di dunia, sungguh lucu. Andaikan Adik Kecil benar-benar hambar tutur katanya, menjijikkan wajahnya ….”

Pikiran Linghu Chong terpotong saat ia melihat Dewa Bunga Persik masuk ke dalam gubuk sambil memegang dua mangkuk besar berisi arak di kedua tangannya. Ia berkata, “Tabib Ping, mengapa kau belum menyembuhkan dia?”

Wajah Ping Yizhi berubah masam dan berkata, “Aku tidak bisa menyembuhkan dia.”

Dewa Bunga Persik tertegun dan berkata, “Tidak bisa disembuhkan? Lalu, apa yang akan kau lakukan?” Kemudian ia berpaling kepada Linghu Chong dan berkata, “Bagaimana kalau kita minum arak saja?”

“Baik!” jawab Linghu Chong.

“Kau tidak boleh pergi! Kau harus tetap di sini!” bentak Ping Yizhi dengan nada gusar. Dewa Bunga Persik sampai-sampai melonjak kaget. Buru-buru ia berbalik dan kabur hingga kedua mangkuk arak di tangan tumpah dan membasahi tubuhnya.

Ping Yizhi berkata dengan suara pelan, “Tuan Muda Linghu, aku khawatir penyakitmu sukar disembuhkan, bahkan oleh dewa yang mahasakti sekalipun. Namun, hidupmu masih bisa diperpanjang beberapa bulan atau beberapa tahun lagi. Syaratnya, kau harus menuruti perkataanku. Pertama, kau harus berhenti minum arak. Syarat kedua, kau harus bisa mengendalikan diri, sama sekali tidak boleh tergoda oleh kecantikan wanita. Jangankan main perempuan, memikirkan saja tidak boleh. Ketiga, kau tidak boleh lagi berkelahi dengan orang. Kalau kau bisa memenuhi ketiga pantangan ini, yaitu pantang minum, pantang wanita, dan pantang berkelahi, tentu kau akan bisa memperpanjang hidup setahun atau dua tahun lagi.”

Mendengar itu Linghu Chong hanya tertawa terbahak-bahak.

Ping Yizhi pun bertanya dengan gusar, “Apa yang lucu?”

Linghu Chong menjawab, “Manusia hidup di dunia harus bisa menikmati hidupnya dengan bebas. Kalau tidak boleh minum arak, tidak boleh memikirkan perempuan, kalau ada yang menganiaya tidak boleh membalas, lantas apa gunanya jadi manusia? Lebih baik lekas mati saja biar semua cepat selesai.”

Ping Yizhi berkata dengan nada tegas, “Kau harus berpantang. Kalau aku tidak bisa menyembuhkanmu, maka nama baikku akan hancur berkeping-keping.”

Linghu Chong menjulurkan tangan kirinya dan memegang punggung tangan kanan Ping Yizhi sambil berkata dengan wajah tulus, “Sesepuh Ping bermaksud baik kepadaku, dalam hal ini aku sangat berterima kasih. Namun hidup dan mati sudah ditakdirkan. Meskipun ilmu pengobatan Sesepuh Ping sangat hebat, namun sulit untuk menyelamatkan orang yang sudah ditakdirkan untuk mati. Kalau Sesepuh Ping tidak bisa menyembuhkan penyakitku, aku rasa hal itu tidak akan mempengaruhi nama baikmu.”

Kembali terdengar suara pintu gubuk terbuka. Kali ini Dewa Akar Persik yang menjulurkan kepala. Dengan suara keras ia berkata, “Linghu Chong, apa kau sudah sembuh?”

Linghu Chong menjawab, “Ilmu pengobatan Tabib Ping sungguh luar biasa. Aku sudah sembuh.”

“Bagus sekali, bagus sekali!” kata Dewa Akar Persik sambil kemudian menarik lengan baju Linghu Chong. “Ayo kita minum! Ayo kita minum!”

Linghu Chong segera membungkukkan badan dan memberi hormat kepada Ping Yizhi sambil berkata, “Terima kasih banyak atas perhatian Sesepuh Ping.”

Ping Yizhi tidak membalas penghormatan itu. Ia terlihat hanya mengernyitkan dahi sambil menggumam sendiri.

Dewa Akar Persik berkata, “Bukankah aku sudah bilang kalau dia pasti bisa menyembuhkanmu? Dia bergelar ‘Si Tabib Sakti Pembunuh’, kalau menyembuhkan seseorang maka dia harus membunuh satu orang lainnya. Kalau dia tidak bisa menyembuhkan seseorang, lantas dia mau apa? Bukankah hal ini sangat merepotkan?”

“Omong kosong!” sahut Linghu Chong sambil tertawa. Ia kemudian berjalan beriringan dan bergandeng tangan dengan Dewa Akar Persik meninggalkan Ping Yizhi seorang diri.

Di luar gubuk para pendekar sudah berkumpul untuk minum arak. Ketika Linghu Chong berjalan di tengah kalangan, selalu saja ada yang menuangkan arak untuknya. Tanpa pilih-pilih, Linghu Chong pun menenggak habis setiap isi cawan yang disodorkan kepadanya.

Melihat bagaimana Linghu Chong bergaul dengan luwes, berbicara dan tertawa dengan riang, serta meminum habis setiap arak yang disuguhkan tanpa mengenal batas, membuat para pendekar itu sangat gembira. Mereka berkata, “Tuan Muda Linghu sungguh berjiwa pahlawan, namanya harum sampai langit kesembilan. Kami semua benar-benar kagum dan menaruh hormat kepada Tuan Muda Linghu.”

Setelah minum lebih dari belasan cawan, tiba-tiba Linghu Chong teringat kepada Ping Yizhi. Ia pun menuang secawan besar arak sambil bernyanyi keras-keras, “Minumlah sepuasnya hari ini selagi kau bisa ….” Kemudian ia masuk ke dalam gubuk sambil berkata, “Sesepuh Ping, ini aku bawakan secawan arak untukmu.”

Namun begitu melihat keadaan Ping Yizhi, seketika hatinya sangat terkejut. Rasa mabuknya pun banyak berkurang. Di bawah cahaya lilin terlihat raut muka Ping Yizhi berubah hebat. Rambut si tabib yang tadinya hitam kini berubah menjadi putih dalam waktu sekejap. Kerut-kerut wajahnya bertambah dalam, dan kini pria itu seperti bertambah tua dua puluh tahun padahal waktu yang berjalan baru dua jam. Ia tampak menaruh kepala di ujung meja sambil menggumam sendiri, “Sembuhkan satu orang, bunuh satu orang. Tidak bisa menyembuhkan orang, lantas harus bagaimana?”

Darah Linghu Chong terasa bergolak ketika melihat begitu besar perhatian si tabib kepadanya. Ia pun berseru lantang, “Hidup mati Linghu Chong tiada artinya. Mengapa Sesepuh Ping terlalu memasukkannya ke dalam hati?”

Ping Yizhi menjawab, “Kalau aku tidak bisa menyembuhkan seseorang, maka aku harus bunuh diri. Kalau tidak, mana pantas aku dijuluki ‘Si Tabib Pembunuh’?” Usai berkata demikian ia lantas berdiri. Tubuhnya agak bergoyang beberapa kali, kemudian mulutnya memuntahkan darah. Sejenak kemudian, tabib bertubuh gemuk itu jatuh tersungkur di lantai.

Linghu Chong sangat terkejut dan segera memapah Ping Yizhi untuk berdiri. Namun sepertinya napas si tabib sudah berhenti, pertanda ia sudah meninggal. Linghu Chong pun menggendong jasadnya, namun tidak tahu harus berbuat apa. Saat itu suara ribut para pendekar yang sedang minum-minum di luar terdengar semakin berkurang. Hatinya pun terasa pilu dan sangat kesepian. Setelah terdiam beberapa saat, tak kuasa air matanya pun meleleh di pipi. Jasad Ping Yizhi terasa semakin berat dan Linghu Chong sediri sudah sangat letih dan kehabisan tenaga. Dengan hati-hati ia pun meletakkan jasad si tabib di lantai.

Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam gubuk dengan langkah pelan dan langsung berbisik, “Tuan Muda Linghu!”

Linghu Chong menoleh dan melihat Zu Qianqiu si sastrawan dekil sedang menuju ke arahnya. Ia pun berkata dengan sedih agak menggumam, “Sesepuh Zu, Tabib Ping sudah meninggal.”

Namun Zu Qianqiu seperti tidak peduli. Ia terus saja berbisik, “Tuan Muda Linghu, aku mohon satu hal kepadamu. Kalau ada orang bertanya tentang aku, mohon kau jawab bahwa kau tidak pernah bertemu Zu Qianqiu.”

Linghu Chong tertegun dan bertanya, “Memangnya kenapa?”

Zu Qianqiu menjawab, “Tidak apa-apa. Hanya saja … hanya saja … aih, sampai jumpa lagi!”

Begitu Zu Qianqiu keluar gubuk, langsung saja seseorang menyusul masuk. Ia adalah Sima Da, Majikan Pulau Paus Panjang. “Tuan Muda Linghu, Tuan Muda Linghu, aku ada satu permintaan yang sangat … sangat memalukan. Kalau ada orang yang bertanya siapa saja yang berkumpul di Lembah Lima Tiran, mohon supaya Tuan Muda jangan menyebut-nyebut namaku. Untuk itu aku sangat berterima kasih.”

Linghu Chong menjawab, “Baiklah. Tapi mengapa demikian?”

Sima Da terlihat gelisah dan malu-malu, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang berbuat nakal. Pria bertubuh tinggi besar itu menjawab dengan terbata-bata, “Ini … ini ….”

Linghu Chong pun berkata dengan nada dingin, “Baiklah, kalau memang Linghu Chong tidak pantas menjadi temanmu, maka mulai saat ini aku tidak akan berani lagi mengaku sebagai temanmu.”

Wajah Sima Da seketika berubah. Ia pun berlutut dan bersujud di tanah sambil berkata, “Kalau Tuan Muda Linghu sampai berkata seperti itu, maka aku pantas dihukum mati. Aku hanya memohon supaya kau tidak menyebut-nyebut kejadian di Lembah Lima Tiran ini supaya tidak mengundang kemarahan seseorang. Kalau Tuan Muda masih meragukan perkataanku, anggap saja Sima Da omong kosong.”

Linghu Chong cepat-cepat menjulurkan kedua tangannya untuk membantu Sima Da bangkit sambil berkata, “Majikan Pulau Sima, mengapa kau begitu banyak peradatan? Mohon beri tahu aku, mengapa kalau kau mengundangku ke Lembah Lima Tiran sini lantas menyebabkan kemarahan seseorang? Kalau orang itu membenci Linghu Chong, mengapa tidak langsung mengejarku saja?”

Sima Da menggelengkan kepala sambil tersenyum. Ia menjawab, “Apa maksud perkataanmu, Tuan Muda Linghu? Orang ini sangat menyayangi Tuan Muda, bagaimana bisa benci kepadamu? Aih, hamba ini orang kasar, tak pandai bicara, cukup sampai di sini dulu perjumpaan kita. Sima Da sudah menganggapmu sebagai sahabat. Kelak di kemudian hari jika Tuan Muda ingin aku melakukan sesuatu, cukup beri kabar saja. Meskipun harus terjun ke dasar samudera atau menyeberangi lautan api, sedikit pun aku tak akan mengerutkan dahi. Kalau aku enggan membantu kesulitanmu, biarlah keluargaku delapan belas turunan menjadi anak kura-kura.” Sambil berbicara demikian ia menepuk dadanya, kemudian berjalan keluar dari gubuk dengan langkah lebar.

Linghu Chong terheran-heran. Ia berpikir, “Tidak perlu diragukan lagi, orang bermarga Sima ini sangat tulus kepadaku. Tapi mengapa kalau ia menemuiku di Lembah Lima Tiran ini bisa menyebabkan seseorang akan marah? Tapi orang yang marah itu tidak membenciku, justru sangat baik kepadaku. Di muka bumi mana ada kejadian yang sangat aneh seperti ini? Kalau orang itu benar-benar baik kepadaku bukankah seharusnya senang melihatku mendapat banyak kawan?” Sampai di sini ia tiba-tiba teringat sesuatu. “Ah, benar juga! Orang ini tentu sesepuh aliran lurus bersih, sehingga ia sangat baik kepadaku tetapi tidak suka kalau aku bergaul dengan orang-orang aliran sesat. Apakah orang itu Kakek Guru Feng? Tapi orang-orang seperti Sima Da bersifat polos dan apa adanya, mengapa aku tidak boleh berteman dengan mereka?”

Terdengar suara batuk-batuk seseorang dari luar gubuk yang kemudian menyapa, “Tuan Muda Linghu!”

Linghu Chong mengenali suara itu dan segera menjawab, “Ketua Huang, silakan masuk!”

Huang Boliu melangkah masuk dan langsung berkata, “Tuan Muda, ada beberapa kawan yang menitipkan pesan untuk disampaikan kepadamu, bahwa mereka ada urusan mendadak sehingga harus segera pulang. Mereka tidak sempat berpamitan secara pribadi kepada Tuan Muda, untuk itu mohon dimaafkan.”

Linghu Chong menjawab, “Tidak masalah, tidak perlu segan.”

Benar juga, di luar suara ribut terdengar semakin sepi. Jumlah orang yang pergi sudah pasti tidak sedikit.

Huang Boliu mendadak berkata dengan terbata-bata, “Dalam hal ini kami benar-benar bertindak ceroboh … Pertama, kami semua terlalu ingin tahu; kedua, kami ingin menyenangkan hati … aih, tak disangka ia mudah tersinggung. Ia tidak ingin masalah ini diketahui banyak orang, sedangkan kami orang-orang kasar yang tidak mengerti apa-apa. Ketua Lan juga orang Miao … hal ini ….”

Ucapan Huang Boliu sama sekali tidak jelas ujung pangkalnya, membuat Linghu Chong merasa bingung dan tidak mengerti. Pemuda itu akhirnya bertanya, “Apa Ketua Huang ingin supaya aku tidak memberitahukan peristiwa di Lembah Lima Tiran ini kepada orang lain?”

Huang Boliu tertawa hambar dengan wajah bersemu merah, kemudian berkata, “Orang lain boleh menyangkal, tapi Huang Boliu mana boleh menghindar? Partai Sungai Langit telah menjamu Tuan Muda Linghu di Lembah Lima Tiran ini, bagaimanapun juga harus kuakui.”

“Huh, kau mengundang aku minum barang secawan arak, ini bukan dosa yang tak berampun. Laki-laki sejati untuk apa harus sembunyi-sembunyi?” sahut Linghu Chong.

Huang Boliu segera memasang senyum manis dan menjawab, “Tuan Muda hendaknya jangan berpikir yang tidak-tidak. Aih, si tua Huang ini sudah bodoh sejak lahir. Kalau sebelumnya aku bertanya kepada menantu perempuanku, atau cucu perempuanku, tentu aku tidak akan membuat ia tersinggung. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Aih, aku ini orang kasar, menikahi istriku ketika aku berusia tujuh belas tahun. Jika bukan karena istriku yang mati muda, tentu aku bisa mengerti jalan pikiran kaum wanita.”

Linghu Chong berpikir, “Tidak heran kalau Guru menyebut mereka sebagai kaum aliran sesat. Orang ini bicara tanpa ujung pangkal. Dia mengajak aku minum arak, lalu tiba-tiba ingin bertanya kepada menantu dan cucu perempuannya, kemudian menyalahkan istrinya yang mati muda.”

Huang Boliu melanjutkan, “Karena semua sudah terjadi, maka hanya ada satu jalan keluar: Mohon Tuan Muda Linghu mengatakan bahwa kau sudah lama kenal dengan si tua Huang ini, sudah puluhan tahun bersahabat denganku, bagaimana? Ah, salah! Katakan saja bahwa kau sudah bersahabat dengan Huang Boliu selama delapan atau sembilan tahun, dan sejak umur lima belas atau enam belas kau sudah berjudi dan minum-minum bersama si tua Huang ini.”

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Waktu itu aku baru berusia empat tahun sudah ikut main dadu dan minum arak bagus bersamamu, memangnya kau lupa? Sampai hari ini kita sudah bersahabat selama dua puluh tahun.”

Huang Boliu tertegun, tapi segera sadar kalau Linghu Chong sedang menyindirnya. Ia tertawa hambar dan berkata, “Kalau Tuan Muda berkata demikian, tentu baik adanya. Tapi … tapi dua puluh tahun silam si tua Huang ini hanyalah perampok yang suka melakukan perbuatan-perbuatan keji yang tidak pantas dibicarakan, mana bisa Tuan Muda berteman denganku? Eh … ini … ini ….”

Linghu Chong menyahut, “Ketua Huang berkata terus terang mengenai hal ini, itu berarti kau orang yang jujur dan apa adanya. Tentu aku senang berteman denganmu sejak dua puluh tahun yang lalu.”

Huang Boliu terlihat sangat gembira. Dengan suara lantang ia berkata, “Baiklah! Baiklah! Kita adalah sahabat lama yang sudah berteman dua puluh tahun.” Ia kemudian menoleh ke belakang sejenak, kemudian berbisik, “Tuan Muda hendaknya menjaga diri. Tuan Muda berhati baik. Walaupun sekarang kau sedang sakit, tentu kelak akan menemukan obatnya. Lagipula, gadis … gadis … punya banyak akal, aih ….” Usai berkata demikian ia lantas bergegas pergi meninggalkan gubuk.

Linghu Chong bertanya-tanya dalam hati, “Gadis? Gadis yang punya banyak akal? Perkataannya benar-benar tidak ada ujung pangkalnya.”

Sayup-sayup terdengar suara derap kaki kuda yang semakin lama semakin mejauh, sampai akhirnya hilang sama sekali. Dipandanginya jasad Ping Yizhi dengan tatapan nanar selama beberapa waktu, kemudian ia melangkah keluar. Betapa terkejut perasaannya sewaktu melihat di luar gubuk ternyata suasana sunyi senyap tanpa ada seorang pun manusia. Ia benar-benar heran karena berpikir jika mereka memang berhenti minum-minum paling tidak masih ada satu dua orang yang tersisa. Namun yang terjadi kali ini sungguh tidak masuk akal. Dalam sekejap ribuan pendekar yang tadi berkumpul di Lembah Lima Tiran ini sekarang sudah menghilang semua tanpa bekas.

“Guru! Ibu Guru!” demikian Linghu Chong berteriak-teriak namun tidak terdengar jawaban sama sekali. “Adik Kedua! Adik Keempat! Adik Kecil!” Namun lagi-lagi tetap tidak ada jawaban.

Saat itu yang terlihat hanyalah bulan sabit di angkasa. Angin pun seolah berhenti bertiup. Linghu Chong merasa di seluruh penjuru Lembah Lima Tiran yang begitu luas hanya tinggal dirinya seorang. Tampak pula poci arak, cawan, piring, topi, mantel, baju luar, ikat pinggang, dan sebagainya berserakan di atas tanah. Sepertinya orang-orang itu pergi tergesa-gesa tanpa sempat membereskan barang-barang mereka.

“Mengapa mereka pergi dengan terburu-buru? Apakah akan ada bencana besar sehingga mereka harus melarikan diri semua? Tadinya orang-orang itu terlihat gagah seperti tidak takut pada langit, tidak gentar pada bumi, tapi mengapa secara mendadak mereka menjadi penakut? Sungguh aneh! Aih, Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil juga pergi ke mana? Kalau keadaan di sini berbahaya, mengapa mereka tidak memperingatkan aku?” demikian ia bertanya-tanya sendiri.

Tiba-tiba Linghu Chong merasa sangat sedih dan kesepian. Ia merasa meskipun langit dan bumi begitu luas, namun tak seorang pun yang peduli kepadanya. Padahal baru saja ribuan orang berlomba-lomba untuk menyenangkan hatinya, namun kini mereka semua telah pergi entah ke mana. Bahkan, guru dan ibu-guru yang selama ini mengasuhnya sejak kecil juga ikut menghilang dan meninggalkannya.

Karena hatinya terasa pedih membuat berbagai hawa murni dalam tubuhnya kembali bergolak. Tubuhnya pun bergoyang-goyang kemudian terjatuh di tanah. Pemuda itu berusaha bangkit dengan mengerang beberapa kali, namun sama sekali tak berdaya. Dipejamkannya mata untuk menenangkan diri. Setelah beristirahat beberapa saat, ia mencoba sekali lagi untuk bangkit namun kali ini tenaga yang ia kerahkan terlalu besar membuat pandangannya gelap, telinga berdengung, dan akhirnya kehilangan kesadaran.

Entah berapa lama waktu terlewati, dalam keadaan setengah sadar ia mendengar suara alunan kecapi yang begitu lembut. Berangsur-angsur pikirannya bertambah terang dan suara kecapi yang anggun terdengar semakin jelas, membuat perasaannya yang bergolak menjadi tenang. Ternyata lagu yang ia dengar adalah Lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin yang pernah dimainkan si nenek di tepi Kota Luoyang. Linghu Chong seperti seseorang yang hanyut di tengah lautan luas tak bertepi dan tiba-tiba melihat sebuah pulau. Semangatnya timbul dan ia berusaha bangkit.

Suara kecapi tersebut sepertinya berasal dari dalam gubuk. Maka, ia pun melangkah setapak demi setapak menghampirinya. Namun pintu gubuk tampak tertutup. Setelah berjalan enam atau tujuh langkah, ia pun berhenti dan berpikir, “Suara lagu ini sebagai pertanda bahwa Nenek dari Hutan Bambu Hijau di Kota Luoyang telah tiba. Di Luoyang sana ia enggan memperlihatkan wajahnya kepadaku. Untuk itu, aku tidak boleh sembarangan masuk ke dalam gubuk tanpa izin darinya.” Maka, ia pun memberi hormat sambil berkata, “Linghu Chong menghadap Sesepuh.”

Suara kecapi berdenting beberapa kali seolah menjawab perkataan Linghu Chong, kemudian mengalun kembali. Linghu Chong merasa bahwa alunan suara kecapi tersebut membawa ketentraman dan membuat perasaannya begitu nyaman, sukar dilukiskan. Begitu menyadari kalau di dunia ini masih ada seorang yang memperhatikan dan menyayangi dirinya, rasa syukur pun langsung memenuhi lubuk hatinya.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar terdengar suara seseorang berkata, “Ada suara kecapi! Ada penjahat aliran sesat yang masih tinggal di sini!”

Terdengar pula suara seseorang lainnya yang sangat nyaring sedang berkata, “Tak disangka kaum iblis aliran sesat itu berani datang ke Henan sini untuk membuat onar. Apa mereka tidak memandang kepada kita?” Sampai di sini ia segera memperkeras suaranya dan membentak, “Kalian kawanan bangsat keparat dari mana yang berani main gila di atas Lembah Lima Tiran ini? Hayo, sebutkan nama kalian!” Dari suaranya yang menggetarkan segenap penjuru lembah jelas menunjukkan kalau tenaga dalam orang ini sangat hebat.

Mendengar itu diam-diam Linghu Chong membuat kesimpulan, “Pantas saja Sima Da, Huang Boliu, Zu Qianqiu, dan yang lain cepat-cepat kabur. Ternyata ada tokoh aliran lurus papan atas yang telah datang menantang mereka.” Sampai di sini ia merasa sikap para pendekar yang melarikan diri itu terlalu penakut dan bertentangan dengan sifat kesatria. Namun bila orang yang datang ini bisa membuat ribuan pendekar aliran sesat melarikan diri, tentu dia bukan jago sembarangan dan pasti memiliki kesaktian luar biasa.

“Kalau mereka bertanya macam-macam kepadaku, pasti aku kesulitan menjawab. Lebih baik aku menghindar saja.” Setelah berpikir demikian, Linghu Chong pun bergegas menuju belakang gubuk. “Sepertinya mereka tidak akan menyakiti Nenek.”

Saat itu suara kecapi dari dalam gubuk sudah berhenti sama sekali. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki tiga orang sedang mendaki lembah. Setelah sampai di atas, ketiga orang itu sama-sama berseru kaget. Sepertinya mereka merasa heran karena suasana di atas lembah ternyata sunyi senyap tidak terlihat adanya seorang pun.
Orang yang bersuara lantang tadi berkata, “Ke mana perginya kawanan bangsat itu?”

Terdengar suara seseorang yang lemah lembut menanggapi, “Tentu karena mereka mendengar kedua jago Biara Shaolin hendak datang ke sini, sehingga mereka memilih lari tunggang langgang.”

“Aha, kurasa tidak demikian,” ujar seorang lagi sambil tertawa. “Besar kemungkinan kaburnya mereka adalah karena gentar mendengar nama Saudara Tan dari Perguruan Kunlun.”

Mendengar itu kedua rekannya segera ikut tertawa tebahak-bahak.

Linghu Chong berpikir, “Ternyata dua orang di antara mereka berasal dari Biara Shaolin dan yang satu lagi dari Perguruan Kunlun. Sejak zaman Dinasti Tang, Biara Shaolin selalu menjagoi dunia persilatan. Nama besar Shaolin lebih tinggi daripada Serikat Pedang Lima Gunung kami, dan ilmu silat mereka sudah pasti lebih tinggi. Apalagi Ketua Biara Shaolin yang bernama Mahabiksu Fangzheng sangat dihormati di dunia persilatan. Guru juga sering mengatakan kalau Perguruan Kunlun memiliki ilmu pedang unik yang kuat sekaligus lincah. Kalau sekarang tokoh-tokoh Biara Shaolin dan Perguruan Kunlun bergabung bergandeng tangan, sudah tentu bertambah menakutkan. Bisa jadi ketiga orang ini hanyalah pasukan garis depan yang membuka jalan dan di belakang mereka masih banyak bala bantuan yang lebih kuat. Akan tetapi, mengapa Guru dan Ibu Guru juga ikut menyingkir pergi?” Setelah berpikir sejenak akhirnya ia menemukan jawaban, “Ah, aku tahu! Guru adalah ketua sebuah perguruan aliran lurus. Kalau sampai para jago Biara Shaolin dan Perguruan Kunlun melihat Beliau bergaul dengan Huang Boliu dan yang lain, tentu Beliau merasa sangat malu.”

Orang bermarga Tan dari Perguruan Kunlun terdengar berkata, “Baru saja kita mendengar alunan suara kecapi di atas lembah ini. Sekarang si pemetik kecapi itu bersembunyi di mana? Saudara Xin dan Saudara Yi, aku rasa ada yang tidak beres di sini.”

Orang yang bersuara nyaring menjawab, “Benar, Saudara Tan memang sangat teliti. Mari kita coba mencari di sekitar sini dan menyeretnya keluar.”

“Kakak Xin, aku akan memeriksa di dalam gubuk itu,” kata yang satu lagi.

Ketika mendengar percakapan tersebut, Linghu Chong dapat menebak bahwa dua orang dari Biara Shaolin yang pertama bersuara lantang adalah si marga Xin dan yang lebih muda adalah si marga Yi.

Baru saja si marga Yi berjalan beberapa langkah ke arah gubuk, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang nyaring dan merdu sedang berkata, “Aku tinggal sendirian di sini. Di tengah malam tidak pantas laki-laki dan perempuan mengadakan pertemuan.”

“Eh, ternyata seorang perempuan,” kata orang bermarga Xin.

Si marga Yi lantas bertanya, “Apakah tadi kau yang memetik kecapi?”

“Benar,” jawab si nenek.

“Coba kau petik lagi beberapa kali supaya kami bisa mendengar,” kata si marga Yi.

“Kita belum pernah bertemu, mana boleh sembarangan memetik kecapi untuk kalian?” balas nenek itu.

“Hm, apa kau kira kami suka dengan permainanmu? Kau ini banyak alasan,” sahut si marga Xin. “Di dalam gubuk itu pasti ada sesuatu yang aneh. Coba kita masuk untuk memeriksanya.”

Si marga Yi berkata, “Kau bilang kau ini seorang perempuan tanpa kawan, tapi mengapa di tengah malam begini kau berada di atas Lembah Lima Tiran? Kemungkinan besar kau adalah begundal kawanan iblis sesat itu. Mari kita menggeledah ke dalam!” Usai berkata demikian ia lalu berjalan menuju ke pintu gubuk dengan langkah lebar.

Mendengar itu Linghu Chong segera keluar dari tempat persembunyiannya dan langsung menghadang di depan pintu gubuk sambil membentak, “Berhenti!”

Ketiga orang itu sama sekali tidak mengira kalau dari belakang gubuk itu tiba-tiba muncul seseorang menerjang keluar. Namun karena yang menghadang mereka hanyalah seorang pemuda sendirian, maka mereka pun memandang sebelah mata.

“Anak muda, siapa kau? Mengapa kau main sembunyi-sembunyi di kegelapan?” bentak orang bermarga Xin.

“Aku bernama Linghu Chong dari Perguruan Huashan, menyampaikan salam hormat kepada para pendekar dari Biara Shaolin dan Perguruan Kunlun,” sahut Linghu Chong sambil kemudian membungkuk memberi hormat kepada mereka bertiga.

“Kau dari Perguruan Huashan?” tanya si marga Xin sambil mendengus. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Linghu Chong memandang orang bermarga Xin itu yang bertubuh sedang tetapi berdada bidang seperti genderang, sehingga pantas kalau ia memiliki suara nyaring dan menggelegar. Orang itu memakai jubah berwarna merah hati, sama persis seperti yang dipakai laki-laki setengah baya di dekatnya. Tentu orang kedua adalah si marga Yi yang sama-sama berasal dari Biara Shaolin. Orang bermarga Tan dari Perguruan Kunlun pasti orang yang menyandang sebilah pedang di punggungnya, memakai jubah longgar, dengan lengan baju lebar. Dari raut mukanya terlihat kalau orang ini suka berbuat sesuka hati.

“Perguruan Huashan termasuk golongan aliran lurus. Mengapa kau berada di Lembah Lima Tiran sini?” sahut orang bermarga Yi ikut bertanya.

Linghu Chong sudah naik pitam sejak mendengar caci maki mereka bertiga terhadap Si Nenek tadi, ditambah lagi dengan logat bicara mereka yang kasar, membuat jawabannya terkesan sindiran, “Sesepuh bertiga juga berasal dari aliran lurus, tapi mengapa sekarang berada di Lembah Lima Tiran sini?”

Orang bermarga Tan dari Perguruan Kunlun tertawa dan berkata, “Jawaban yang bagus. Tapi apakah kau tahu siapa wanita yang memetik kecapi di dalam gubuk itu?”

“Beliau seorang nenek yang berusia lanjut dan berbudi luhur, tidak lagi memikirkan urusan duniawi,” jawab Linghu Chong.

“Omong kosong!” bentak si marga Yi. “Coba dengar suara perempuan itu, usianya tentu masih sangat muda. Mengapa kau bilang dia nenek tua segala?”

“Suara nenek ini memang merdu dan enak didengar, kenapa kalian heran?” ujar Linghu Chong dengan tertawa. “Apa kalian tahu kalau dia memiliki keponakan yang usianya lebih tua dua atau tiga puluh tahun di atas kalian?”

“Minggir, biar kami masuk untuk melihatnya sendiri!” bentak si marga Yi.

Tapi Linghu Chong merentangkan kedua tangannya untuk menghadang, dan berkata, “Nenek tadi sudah mengatakan bahwa di malam hari tidaklah pantas kaum lelaki dan wanita mengadakan pertemuan. Apalagi Beliau juga tidak kenal dengan kalian. Ada alasan apa kalian ingin melihatnya?”

Si marga Yi mengibaskan lengan bajunya menimbulkan angin yang menyapu ke arah Linghu Chong. Linghu Chong sendiri yang tidak memiliki tenaga dalam merasa tak berdaya menahannya sehingga tubuhnya tersungkur jatuh dan terguling di tanah.

Si marga Yi sama sekali tidak menyangka kalau Linghu Chong ternyata begitu lemah. Ia sempat tertegun sejenak, kemudian berkata sambil tersenyum sinis, “Apa kau benar-benar murid Huashan? Huh, sepertinya hanya omong kosong saja!” Usai berkata ia mencoba kembali melangkah menuju pintu gubuk.

Linghu Chong buru-buru merangkak bangun. Ternyata di pipinya sudah terdapat luka lecet akibat tergores batu. Ia pun berseru, “Nenek tidak ingin bertemu dengan kalian. Mengapa kalian tidak tahu aturan? Aku sendiri pernah bicara cukup lama dengan Nenek di Kota Luoyang, tapi sampai saat ini juga belum pernah melihat wajahnya.”

“Bocah ini bicara ngawur,” gerutu si marga Yi. “Lekas minggir! Apa kau ingin tersungkur lagi?”

Linghu Chong menjawab, “Biara Shaolin adalah perguruan besar dan paling dihormati di dunia persilatan. Tuan berdua tentu jago-jago dari golongan awam. Sedangkan Tuan yang itu tentu jago terkemuka dari Perguruan Kunlun. Tapi sekarang di tengah malam buta begini mengapa kalian bertiga hendak mengganggu seorang nenek yang tak bersenjata? Apakah kalian tidak takut menjadi bahan tertawaan dunia persilatan?”

“Dari mana kau dapatkan banyak omongan ngawur?” bentak orang bermarga Yi. Mendadak tangan kirinya menampar dengan telak pipi kiri Linghu Chong.

Meskipun sudah tidak mempunyai tenaga dalam, namun Linghu Chong mengetahui kalau pihak lawan akan melancarkan pukulan sehingga ia pun berusaha menghindar. Celakanya pinggang dan kaki tidak dapat digerakkan sehingga pukulan si marga Yi pun sukar dihindari. Karena mendapat tamparan keras-keras, mata Linghu Chong sampai berkunang-kunang dan kepala terasa pusing. Akhirnya ia pun jatuh terduduk di tanah.

“Adik Yi, bocah ini tidak becus ilmu silat, tak perlu buang-buang waktu dengannya,” kata si marga Xin. “Rupanya kawanan setan iblis tadi sudah kabur semua. Mari kita pergi saja!”

Tetapi si marga Yi menjawab, “Kawanan setan iblis aliran sesat dari Shandong dan Henan tiba-tiba berkumpul di Lembah Lima Tiran sini, kemudian dalam sekejap mereka sudah menghilang begitu cepat. Berkumpulnya aneh, bubarnya juga mencurigakan. Urusan ini harus kita selidiki sejelas-jelasnya. Dalam gubuk ini bisa jadi kita akan menemukan sesuatu.” Sambil berkata demikian tangannya menjulur untuk mendorong gubuk tersebut.

Saat itu Linghu Chong sudah bangkit kembali dengan tangan menghunus pedang. Ia berseru, “Tuan Yi, aku pernah berhutang budi kepada nenek di dalam gubuk ini. Kau harus menghadapi aku terlebih dulu sebelum mengganggu Beliau. Asalkan hidungku masih bernapas jangan harap kau bisa berbuat sesukamu terhadap Beliau.”

Si marga Yi bergelak tawa. Ia berkata, “Dengan apa kau berani merintangi aku? Apakah mengandalkan pedang yang kau pegang itu?”

“Ilmu silatku terlalu rendah, mana bisa menandingi jago terkemuka dari Biara Shaolin?” jawab Linghu Chong. “Hanya saja, keadilan harus ditegakkan. Untuk bisa memasuki gubuk ini kau harus melangkahi mayatku terlebih dulu.”

“Adik Yi, bocah ini ternyata gagah berani dan punya sifat kesatria. Biarkan saja dia, dan mari kita pergi!” kata si marga Xin.

Tapi si marga Yi hanya tertawa dan berkata pada Linghu Chong, “Kabarnya ilmu pedang Perguruan Huashan memiliki keistimewaan tersendiri. Bahkan, kabarnya telah terbagi menjadi Kelompok Pedang dan Kelompok Tenaga Dalam segala. Kau sendiri dari kelompok mana? Atau mungkin dari Kelompok Kentut? Hahahaha!”

Mendengar ucapan itu, si marga Xin dan si marga Tan ikut tertawa geli.

“Huh, mentang-mentang tenagamu lebih kuat, kau suka menganiaya yang lebih lemah. Apakah sikap seperti ini yang disebut sikap kaum aliran lurus?” jawab Linghu Chong dengan suara lantang. “Apakah kau benar-benar murid Biara Shaolin? Kukira omong kosong belaka!”

Kontan saja si marga Yi menjadi sangat gusar. Tangan kanannya diangkat hendak menghantam ke arah dada Linghu Chong. Jika pukulan ini mendarat telak, tentu Linghu Chong akan mati seketika.

“Tunggu dulu!” seru si marga Xin mencegah. “Linghu Chong, apa menurutmu, orang dari aliran lurus tidak boleh bertarung dengan musuh?”

“Semua orang dari aliran lurus, setiap kali turun tangan harus dapat memberikan alasannya,” jawab Linghu Chong tegas.

“Baiklah kalau begitu,” kata si marga Yi sambil perlahan-lahan menjulurkan telapak tangannya. “Aku akan menghitung sampai tiga. Kalau kau masih tetap tidak mau menyingkir, maka tiga batang tulang rusukmu akan kupatahkan .... Satu!”

“Hanya tiga batang tulang rusuk apa artinya?” jawab Linghu Chong sambil tersenyum.

Si marga Yi pun mulai menghitung, “Dua!”

“Sobat kecil,” tukas si marga Xin. “Adik Yi selalu melaksanakan apa yang ia ucapkan. Lebih baik kau menyingkir saja.”

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Mulutku ini juga selalu menepati apa yang aku ucapkan. Selama Linghu Chong masih hidup takkan membiarkan kalian berlaku kurang ajar terhadap Nenek.” Usai berkata demikian ia lantas menarik napas dalam-dalam untuk menghimpun tenaga di lengan kanan. Namun dadanya langsung terasa sakit, dan mata pun berkunang-kunang.

“Tiga!” bentak orang bermarga Yi sambil kemudian melangkah maju. Dilihatnya Linghu Chong tersenyum dingin dengan punggung berandar pada pintu gubuk, sedikit pun tidak bermaksud menyingkir. Maka tanpa pikir lagi ia pun melayangkan pukulan ke arah dada pemuda itu.

Ketika angin yang ditimbulkan oleh gerakan tangan si marga Yi mengenai tubuhnya, Linghu Chong merasa tercekik. Didorong perasaan tidak nyaman, pemuda itu sekuat tenaga mengangkat pedang dengan ujung menunjuk ke arah musuh. Kejadian selanjutnya begitu cepat. Si marga Yi tidak sempat lagi menarik telapak tangannya yang terlanjur meluncur ke arah pedang Linghu Chong. Maka terdengarlah suara benturan ringan diikuti suara jeritan keras dari mulut si marga Yi, “Auuh!”

Ujung pedang Linghu Chong telah menusuk telapak tangan si marga Yi sampai tembus. Lekas-lekas jagoan dari Shaolin itu menarik kembali tangannya sehingga terlepas dari tusukan pedang si pemuda, dengan disertai suara benturan pula. Lukanya ini benar-benar sangat parah. Dengan cepat ia melompat mundur, dan mencabut pedangnya sambil berteriak, “Bocah keparat! Ternyata kau hanya berlagak bodoh. Tak tahunya ilmu silatmu sangat hebat. Aku … aku akan bertarung habis-habisan denganmu.”

Si marga Yi dan kedua rekannya sama-sama mahir dalam ilmu pedang. Mereka melihat dengan jelas bagaimana Linghu Chong mengacungkan pedangnya ke depan tanpa memakai jurus apa pun, dan hanya mengandalkan posisi dan ketepatan waktu. Namun demikian, gerakan yang sederhana itu mampu menembus telapak tangan lawan dengan sendirinya, jelas ini merupakan pencapaian yang sangat tinggi dalam ilmu pedang. Meski hatinya sangat gusar, tapi sekarang si marga Yi tidak berani lagi memandang rendah terhadap Linghu Chong. Dengan pedang di tangan kiri, secepat kilat ia melancarkan tiga kali serangan, tapi semua itu hanya serangan palsu untuk menguji pihak lawan. Sampai di tengah jalan ketiga serangan itu segera ditarik kembali.

Pada malam ketika Linghu Chong membutakan mata kelima belas musuh di halaman Kuil Dewa Obat, waktu itu keadaannya masih jauh lebih baik daripada sekarang. Saat ini untuk mengangkat pedang saja hampir tidak mampu. Ia melihat si marga Yi melancarkan tiga serangan kosong, dengan ujung pedang bergetar tiada henti, jelas ini merupakan ilmu pedang kelas satu dari Biara Shaolin. Merasa tidak ingin bermusuhan dengan orang itu, Linghu Chong pun berkata, “Sungguh aku sama sekali tidak bermaksud menyinggung Sesepuh bertiga. Asalkan kalian bertiga sudi meninggalkan tempat ini, aku pun bersedia meminta maaf dengan setulus hati.”

Si marga Yi mendengus dan berkata, “Sekarang hendak minta ampun rasanya sudah terlambat.” Dengan cepat pedangnya pun menusuk ke arah tenggorokan Linghu Chong.

Linghu Chong tidak bisa menggerakkan kakinya. Menyadari serangan lawan tidak dapat dihindari, ia pun menusukkan pedangnya ke depan. Meskipun menyerang belakangan namun mengenai sasaran lebih dulu. Serangan itu tepat menusuk titik nadi penting di pergelangan tangan si marga Yi. Tak kuasa menahan sakit, si marga Yi pun membuka genggaman tangan sehingga pedangnya jatuh ke tanah.

Kala itu sang surya telah muncul di ufuk timur. Si marga Yi dapat melihat dengan jelas darah segar menetes keluar dari pergelangan tangannya sendiri. Rumput yang berwarna hijau di bawah kakinya telah berubah merah karena tersiram oleh darah. Untuk sejenak ia termangu-mangu, merasa tidak percaya bahwa di dunia ini ada ilmu pedang sehebat itu. Selang agak lama barulah ia menghela napas panjang, kemudian tanpa bicara lagi memutar tubuh dan melangkah pergi.

“Adik Yi!” teriak si marga Xin. Pada dasarnya ia memang tidak ingin bermusuhan dengan Perguruan Huashan. Melihat tusukan pedang Linghu Chong yang luar biasa itu, ia merasa ilmu pedang si pemuda sama sekali bukan tandingannya. Karena mengkhawatirkan luka sang adik seperguruan, ia pun menyusul pergi dengan langkah cepat.

Si marga Tan memandang ke arah Linghu Chong tanpa berkedip. Ia kemudian bertanya, “Apakah Saudara ini benar-benar murid Perguruan Huashan?”

Linghu Chong sendiri merasa sangat lemas dan terhuyung-huyung hendak roboh. Sekuat tenaga ia menjawab, “Ya, benar.”

Si marga Tan dapat melihat dengan jelas keadaan Linghu Chong yang parah itu. Ia pun berpikir, “Bocah ini sedang terluka parah. Walaupun ilmu pedangnya hebat, tapi kekuatannya sudah tidak lama lagi. Asalkan aku bisa bersabar sebentar saja, ia tentu akan roboh sendiri tanpa diserang. Tadi kedua sobat dari Shaolin telah dikalahkan oleh bocah ini. Jika sekarang aku dapat mengalahkan dan menangkapnya, kemudian membawanya ke Biara Shaolin untuk diserahkan kepada Kepala Biara, maka bukan saja Shaolin berhutang budi kepadaku, tapi aku juga dapat mengangkat nama Perguruan Kunlun di Daratan Tengah ini.”

Sesudah mengambil keputusan licik itu, segera ia melangkah maju dan berkata sambil tersenyum, “Anak muda, ilmu pedangmu sungguh hebat. Bagaimana kalau kita bertukar jurus memakai tangan kosong saja?”

Melihat raut muka si marga Tan, Linghu Chong dapat menebak apa maksud dan tujuannya. Diam-diam ia menyadari kelicikan tokoh dari Perguruan Kunlun ini. Perbuatannya itu bahkan lebih jahat daripada si marga Yi yang berangasan tadi. Tanpa pikir panjang ia pun mengangkat pedang untuk menusuk bahu orang itu. Namun tak disangka-sangka, baru saja pedangnya bergerak setengah jalan, lengan sudah terasa lemas, sedikit pun tidak bertenaga. Sejenak kemudian, pedang pemuda itu pun jatuh ke tanah.

Si marga Tan sangat gembira melihatnya. Segera ia memukul dada Linghu Chong sekeras-kerasnya.

“Huekk!”, seru Linghu Chong saat memuntahkan darah segar akibat serangan itu.

Jarak kedua orang itu sangat dekat. Darah segar yang disemburkan Linghu Chong tepat mengenai wajah si marga Tan, bahkan ada beberapa tetes yang masuk ke dalam mulutnya. Namun ia tidak peduli meskipun mulutnya merasakan bau anyir darah. Ia hanya khawatir Linghu Chong memungut pedang di tanah dan melancarkan serangan balasan. Maka, dengan cepat telapak tangannya pun diangkat hendak menghantam kembali. Namun mendadak kepalanya terasa pening dan mata pun berkunang-kunang. Seketika orang bermarga Tan itu roboh terguling dan jatuh pingsan.

Linghu Chong terheran-heran melihatnya. Ia tidak mengerti mengapa musuh yang sudah unggul itu tiba-tiba roboh dengan sendirinya, sedangkan ia sendiri sudah kehabisan tenaga. Sejenak kemudian pemuda itu merasa sangat beruntung. Wajah si marga Tan tampak jelas berubah menjadi hitam kebiru-biruan. Tubuhnya tiada henti-henti kejang-kejang dan menggelepar di atas tanah.

Melihat keadaan lawan yang sangat aneh dan menyeramkan itu, Linghu Chong pun berkata, “Kau salah menggunakan tenaga dalam, itu salahmu sendiri.”

Ia pun memandang sekeliling, ternyata di atas Lembah Lima Tiran itu tidak terlihat bayangan seorang pun. Yang ada hanya suara kicauan burung dari arah pepohonan, serta di tanah banyak berserakan bermacam-macam senjata dan cawan arak serta perabot lainnya.

Setelah mengusap mulutnya yang berdarah, Linghu Chong berkata, “Nenek, bagaimana kabarmu setelah beberapa hari ini kita berpisah?”

“Tuan Muda sudah banyak kehilangan tenaga. Silakan duduk beristirahat saja,” kata Si Nenek dari dalam gubuk.

Linghu Chong memang merasa seluruh badannya sudah lemas lunglai. Mendengar ucapan Si Nenek, ia pun duduk di tanah. Lalu terdengar kembali suara kecapi mengalun dari dalam gubuk tersebut. Suaranya bening dan merdu. Linghu Chong merasa badannya segar bagaikan dialiri oleh suatu aliran dari mata air pegunungan, yang perlahan-lahan dituang ke seluruh anggota badannya sampai ke tulang belulang. Tubuhnya kini terasa sangat ringan seperti melayang-layang tinggi di angkasa, bagaikan kapas tertiup angin.

Selang agak lama, suara kecapi itu makin lama makin rendah, sampai-sampai tak terdengar lagi dan entah mulai berhenti sejak kapan. Ketika Linghu Chong merasa semangatnya sudah bangkit, segera ia berdiri dan memberi hormat dalam-dalam, sambil berkata, “Terima kasih banyak atas alunan musik Nenek yang anggun sehingga aku banyak mendapat manfaat darinya.”

Si Nenek berkata, “Tanpa kenal bahaya kau telah menghalau musuh untukku sehingga aku tidak sampai dihina oleh kawanan bangsat itu. Akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu.”

“Mengapa Nenek berkata demikian? Aku hanya melakukan sesuatu yang harus dilakukan,” ujar Linghu Chong.

Nenek itu tidak bicara lagi. Hanya kecapinya yang terdengar mengeluarkan suara denting yang lembut dan perlahan. Sepertinya tangan Si Nenek tetap memetik kecapinya, namun pikirannya sedang melayang-layang seolah sedang memikirkan suatu permasalahan rumit. Selang agak lama barulah ia bertanya, “Sekarang kau akan … akan pergi ke mana?”

Pertanyaan itu membuat darah Linghu Chong kembali bergolak memenuhi rongga dadanya. Dunia ini begitu luas tetapi seakan-akan tidak ada lagi tempat berpijak untuknya. Tanpa terasa ia pun terbatuk-batuk, dan setelah bersusah payah menghentikan batuknya, pemuda itu menjawab, “Aku … aku tidak tahu harus ke mana lagi.”

“Apa kau tidak ingin mencari guru dan ibu-gurumu? Tidak pergi mencari adik perguruanmu serta … serta adik kecilmu?” tanya Si Nenek.

“Aku tidak tahu mereka pergi ke mana. Dengan luka seperti ini, aku tidak sanggup mencari atau menyusul mereka. Andai saja dapat menemukan mereka juga … juga, aih!” jawab Linghu Chong. Sambil menghela napas panjang, ia berpikir, “Seandainya aku dapat menemukan mereka, lantas bagaimana? Mereka juga tidak menginginkan aku.”

Si Nenek bertanya, “Lukamu tidak ringan, mengapa kau tidak mencari tempat yang indah untuk menghibur hatimu yang lara daripada harus berduka dan menyesal percuma?”

“Hahaha! Ucapan Nenek benar juga,” jawab Linghu Chong sambil bergelak tawa. “Sejak dulu Linghu Chong tidak pernah memikirkan soal hidup dan mati. Kalau begitu sekarang juga aku mohon diri untuk turun gunung. Aku akan pergi berpesiar mengunjungi tempat yang indah dan bersenang-senang.” Usai berkata demikian, ia lantas memberi hormat ke arah gubuk, kemudian memutar tubuh dan melangkah pergi.

Baru saja berjalan tiga langkah, mendadak terdengar seruan Si Nenek, “Apakah kau … kau akan pergi sekarang?”

“Benar!” jawab Linghu Chong setelah menghentikan langkahnya.

Si Nenek berkata, “Tapi lukamu tidak ringan. Kau berjalan seorang diri, kalau kau letih di tengah jalan, tentu tak ada orang yang akan merawatmu. Ini tidak baik.”

Linghu Chong merasa terharu. Dadanya terasa hangat mendengar perkataan Si Nenek. Ia pun menjawab, “Terima kasih banyak atas perhatian Nenek. Penyakitku ini jelas tak bisa disembuhkan lagi. Mati sekarang atau lusa, atau mati di mana saja bagiku tidak ada bedanya.”

“Oh, ternyata demikian,” kata Si Nenek. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Hanya saja … hanya saja, kalau kau sudah pergi, lalu orang jahat dari Biara Shaolin itu kembali ke sini dan membuatku susah, bagaimana? Juga orang Perguruan Kunlun bernama Tan Diren yang pingsan itu bagaimana kalau dia siuman dan mencari perkara denganku?”

“Nenek, kau hendak ke mana? Bagaimana kalau aku mengawalmu untuk beberapa waktu?” tanya Linghu Chong.

“Tentu saja itu sangat baik,” jawab Si Nenek. “Hanya saja, untuk ini ada suatu persyaratan dan mungkin akan menyusahkan dirimu.”

“Menyusahkan aku bagaimana? Nenek telah menyelamatkan jiwaku, kenapa harus takut menyusahkan diriku atau tidak? Bagiku tidak ada yang merepotkan,” ujar Linghu Chong.

Si Nenek menghela napas, kemudian berkata, “Aku mempunyai seorang musuh yang sangat hebat. Dia telah mencariku sampai ke Kota Luoyang sana, sehingga aku terpaksa harus menyingkir kemari. Tapi, siang malam dia selalu mencari jejakku, sehingga rasanya tidak lama lagi ia akan datang ke sini. Aku hanya ingin mencari tempat terpencil untuk menghindarinya sementara waktu. Kelak jika bala bantuan sudah datang, barulah aku akan keluar untuk membuat perhitungan dengannya. Aku terpaksa meminta kau mengantar dan mengawal diriku, namun aku takut hal ini akan membuatmu susah. Pertama, kau sendiri sedang terluka; kedua, kau seorang pemuda yang lincah dan penuh semangat, apakah mengiringi seorang nenek sepertiku tidak membuatmu bosan?”

“Hahaha, aku kira Nenek hendak meminta tolong apa, ternyata hanya soal enteng seperti itu,” seru Linghu Chong sambil bergelak tawa. “Nenek hendak ke mana pun, aku akan mengantarmu. Bahkan ke ujung dunia sekalipun, asalkan aku belum mati pasti akan kukawal juga.”

“Jika demikian tentu akan membuatmu letih,” kata Si Nenek. Dari nada suaranya terlihat kalau ia merasa sangat gembira. “Apakah benar ke ujung dunia sekalipun, kau tetap akan mengantarku ke sana?”

“Benar, tak peduli ke ujung dunia atau ke pojok samudera pasti Linghu Chong akan mengantar Nenek ke sana.”

“Tapi ada lagi satu persyaratan yang lain.”

“Persyaratan apa lagi?”

“Wajahku ini sangat jelek. Siapa pun yang melihat mukaku pasti akan kaget setengah mati. Oleh sebab itu aku tidak ingin memperlihatkan wajah asliku kepada orang lain. Jika tidak, mana mungkin aku menolak ketiga orang tadi masuk ke dalam gubuk? Sekarang kau harus berjanji untuk menerima syaratku, bahwa di mana pun dan dalam keadaan apa pun juga, kau tidak boleh memandang padaku, meskipun hanya sekejap. Tidak boleh memandang mukaku, tidak boleh melihat tubuhku, tidak boleh melihat kaki dan tanganku, juga tidak boleh memandang bajuku atau sepatuku.”

Linghu Chong menjawab, “Aku menghormati Nenek sepenuh hati. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan Nenek kepadaku. Tapi kalau boleh tahu, ada hubungan apa dengan wajah Nenek?”

“Jika kau tidak bisa menerima syaratku ini, maka kau boleh pergi sesukamu,” sahut Si Nenek.

“Baik, baik, di mana pun dan dalam keadaan apa pun juga aku pasti tidak akan memandang kepada Nenek,” tukas Linghu Chong.

“Punggungku juga tidak boleh kau lihat,” kata Si Nenek menambahkan.

Linghu Chong terdiam kebingungan. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Apakah punggungmu juga sangat buruk? Di dunia ini punggung yang paling buruk adalah milik orang kerdil dan orang bungkuk. Tetapi bagiku juga tidak menjadi masalah. Kau dan aku akan melakukan perjalanan yang jauh dan berat. Kalau punggung saja tidak boleh dilihat, tentu ini sangat merepotkan.”

Melihat pemuda itu merasa ragu-ragu dan tidak segera menjawab, Si Nenek pun menegas, “Apa kau tidak sanggup?”

“Sanggup, pasti sanggup. Bila aku sampai memandang sekejap saja kepada Nenek, biarlah nanti aku mencongkel biji mataku sendiri,” jawab Linghu Chong.

“Kau ingat baik-baik saja janjimu ini. Nah, sekarang kau berjalanlah di depan, biar aku mengikutimu dari belakang,” kata Si Nenek.

“Baik,” jawab Linghu Chong yang segera mendahului berjalan menuju kaki bukit. Sejenak kemudian terdengar suara langkah di belakangnya, yaitu suara langkah Si Nenek yang menyusulnya.

Belasan meter kemudian, tiba-tiba Si Nenek menyodorkan sebatang ranting kayu, sambil berkata, “Gunakan ini sebagai tongkat. Jalan perlahan-lahan saja.”

“Baik,” jawab Linghu Chong sambil menerima tongkat itu tanpa menoleh ke belakang. Setelah cukup jauh berjalan, tiba-tiba ia teringat sesuatu, dan bertanya, “Nenek, kenapa kau bisa mengenal nama lengkap si marga Tan dari Perguruan Kunlun itu?”

Si Nenek menjawab, “Ya, Tan Diren itu merupakan jago nomor tiga di antara murid-murid angkatan kedua Perguruan Kunlun. Dalam hal ilmu pedang ia sudah menguasai enam atau tujuh bagian dari kepandaian gurunya. Namun dibandingkan kakak pertama dan keduanya, ia masih kalah jauh. Kalau ilmu pedang orang Shaolin bersuara nyaring yang bernama Xin Guoliang tadi juga sedikit lebih hebat daripada dia.”

“Oh, ternyata orang bersuara nyaring tadi bernama Xin Guoliang. Dia masih kenal aturan daripada si marga Yi, saudaranya,” kata Linghu Chong.

“Adik seperguruannya itu bernama Yi Guozi. Orang ini memang kurang ajar. Sekali tusuk kau bisa menembus telapak tangannya, lalu melukai pergelangan kirinya pula. Kedua seranganmu tadi sungguh bagus,” puji Si Nenek.

“Ah, itu hanya karena terpaksa saja. Aku tidak punya pilihan lain,” jawab Linghu Chong. “Kini aku jadi bermusuhan dengan Biara Shaolin. Kelak di kemudian hari tentu akan banyak masalah menghadangku.”

“Apanya yang hebat dari Biara Shaolin?” ejek Si Nenek. “Kita belum tentu kalah dengan mereka. Tadi aku sama sekali tidak mengira kalau Tan Diren akan memukulmu. Lebih-lebih tidak menyangka kalau kau akan muntah darah.”

“Eh, Apa Nenek melihat semua kejadian tadi? Apa kau tahu mengapa Tan Diren itu tiba-tiba jatuh pingsan?” tanya Linghu Chong.

“Apa kau benar-benar tidak tahu?” Si Nenek menegas. “Lan Fenghuang dan keempat gadis Miao bawahannya sudah memberikan darah mereka kepadamu. Siang dan malam mereka bergaul dengan benda-benda beracun, tidak heran kalau darah mereka pun mengandung racun. Ditambah lagi dengan Arak Obat Lima Dewi yang jelas-jelas mengandung racun dan kini sudah merasuk ke dalam tubuhmu. Tadi mulut Tan Diren terciprat darah yang kaumuntahkan, mana mungkin dia bisa bertahan?”

“Oh, ternyata begitu!” seru Linghu Chong setelah mengetahui duduk perkaranya. “Tapi aku sendiri merasa heran. Aku tidak punya permusuhan apa-apa dengan Ketua Lan dari Sekte Lima Dewi itu. Entah mengapa dia sengaja meracuniku?”

“Siapa bilang dia sengaja meracunimu?” sahut Si Nenek. “Dia justru bermaksud baik kepadamu. Hm, dia berkhayal bisa menyembuhkan penyakitmu yang aneh itu. Dia sengaja menyalurkan racun ke dalam darahmu agar jiwamu tidak terancam. Cara demikian adalah cara kesukaan Sekte Lima Dewi.”

“Benar juga. Aku juga berpikir kalau Ketua Lan tidak ingin mencelakaiku,” ujar Linghu Chong. “Tabib Ping juga berkata bahwa arak beracun pemberian Ketua Lan adalah obat penguat yang sangat hebat.”

Si Nenek berkata, “Dia tidak bermaksud mencelakaimu, bahkan bermaksud baik kepadamu.”

Linghu Chong tersenyum, lalu bertanya, “Entah Tan Diren itu akan mati atau tidak?”

“Itu tergantung kekuatan tenaga dalamnya,” kata Si Nenek. “Selain itu, darahmu yang masuk ke dalam mulutnya itu sedikit atau banyak.”

Membayangkan muka Tan Diren yang kejang dan berkerut-kerut tadi, tanpa terasa Linghu Chong bergidik sendiri. Setelah kembali berjalan belasan meter, tiba-tiba pemuda itu berhenti karena teringat sesuatu. Ia pun berkata, “Aih, Nenek, mohon tunggu sebentar di sini. Aku harus naik bukit lagi.”

Si Nenek bertanya, “Ada apa?”

“Jasad Tabib Ping masih di sana dan belum dikubur,” jawab Linghu Chong.

“Tidak perlu kembali ke sana. Aku sudah membereskannya,” kata Si Nenek.

Linghu Chong berkata, “Ah, ternyata Nenek sudah menguburkannya.”

“Aku tidak menguburkannya, tapi memusnahkan jasadnya dengan menggunakan obat. Memangnya aku sudi semalaman di dalam gubuk memandangi mayat? Semasa hidup saja Ping Yizhi sudah tidak enak dilihat, apalagi kalau sudah mati. Bisa kau bayangkan sendiri seperti apa rupanya?” ujar Si Nenek.

Linghu Chong hanya bisa mendengus mendengar hal itu. Ia merasa tingkah laku Si Nenek benar-benar aneh dan sulit ditebak. Ia telah berhutang budi kepada Ping Yizhi dan setelah si tabib wafat, ia ingin menguburkannya secara baik-baik, namun Si Nenek justru melenyapkannya dengan obat. Semakin lama ia pikirkan, hatinya semakin merasa tidak tenang. Namun ia sendiri tidak mampu menemukan alasan mengapa melenyapkan jasad dengan cara seperti itu adalah perbuatan tidak benar.

Setelah berjalan beberapa kilo, sampailah mereka pada tempat yang datar. Tiba-tiba Si Nenek berkata, “Coba kau buka telapak tanganmu!”

“Baik!” jawab Linghu Chong. Dalam hati ia bertanya-tanya tipuan apa lagi yang akan dilakukan Si Nenek kepadanya. Begitu menuruti perintah wanita itu, tiba-tiba saja terdengar suara berdesir dari belakang dan tahu-tahu sebutir benda mungil sudah mendarat tepat di atas telapak tangannya yang terbuka. Benda itu ternyata sebutir pil berwarna kuning yang ukurannya tidak lebih dari ujung kelingking.

“Telanlah obat itu dan beristirahatlah di bawah pohon besar sana,” kata Si Nenek.

“Baik!” jawab Linghu Chong yang kemudian memasukkan pil tersebut ke dalam mulutnya.

Si Nenek berkata, “Aku hanya memerlukan ilmu pedangmu yang hebat untuk mengawal keselamatanku. Maka itu, aku memberikan obatku ini untuk memperpanjang umurmu supaya kau tidak mati mendadak dan aku kehilangan pengawal yang kuandalkan. Sama sekali aku tidak ada maksud hendak … hendak berbaik hati kepadamu, lebih-lebih aku tidak bermaksud menolong jiwamu. Hendaknya kau ingat hal ini baik-baik.”

Kembali Linghu Chong hanya mengiakan. Setelah sampai di tempat yang ditunjuk, ia segera duduk bersandar di batang pohon tersebut. Dari titik Dantian di bawah perutnya tiba-tiba terasa suatu hawa hangat yang perlahan-lahan mengalir ke atas. Seakan-akan timbul tenaga baru yang tak terbatas menyusup ke berbagai organ tubuh serta pembuluh darahnya.

Dalam hati ia merenung, “Pil kecil tadi jelas banyak memberi manfaat kepadaku, tapi Nenek justru tidak mau mengaku terus terang. Ia berkata bahwa dirinya tidak punya maksud tulus kepadaku, tetapi hanya memperalat diriku sebagai pengawalnya saja. Sungguh aneh, padahal di dunia ini umumnya orang tidak mau mengaku kalau dia sedang memperalat orang lain. Tapi, dia justru sengaja menyatakan hendak memperalat diriku. Aneh sekali.” Lalu terpikir pula olehnya, “Tadi sewaktu dia melemparkan pil ke dalam tanganku, pil itu mendarat dengan telak tanpa terpental lagi. Caranya melempar tentu menggunakan semacam tenaga dalam halus yang sangat tinggi. Jelas, ilmu silatnya jauh lebih tinggi dibanding aku. Tapi mengapa dia meminta aku menjadi pengawalnya? Tapi, ah, biarlah! Apa yang dia inginkan aku turuti saja.”

Baru saja duduk sebentar Linghu Chong lantas bangkit kembali dan bertanya, “Apakah Nenek masih letih? Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan?”

“Aku sangat letih. Aku ingin beristirahat sebentar lagi,” jawab Si Nenek.

“Baik!” sahut Linghu Chong. Diam-diam ia berpikir, “Usia Nenek sudah sangat tua. Sekalipun ilmu silatnya sangat tinggi, dalam hal tenaga tentu tidak sama dengan kaum muda. Hm, aku hanya memikirkan diri sendiri tapi tidak mau mengerti keadaan orang lain.” Usai berpikir demikian ia pun kembali duduk di tempat semula.

Selang agak lama barulah Si Nenek berkata, “Mari berangkat!”

Linghu Chong mengiakan dan segera mendahului berjalan di depan. Sesudah makan obat tadi, ia merasa langkah kakinya jauh lebih ringan dan cepat daripada sebelumnya. Meskipun ia berjalan di depan, namun Si Nenek yang selalu memilih jalan kecil yang sepi untuk dilewati. Pemuda itu hanya menurut saja.

Kira-kira belasan kilo kemudian, mereka memasuki kawasan pegunungan yang berliku-liku dan berbatu terjal. Napas Linghu Chong terdengar payah dan terengah-engah. Kembali Si Nenek berkata, “Aku sudah letih berjalan. Aku ingin beristirahat lagi.”

“Baik!” jawab Linghu Chong. Ia segera duduk sambil berpikir, “Napas Nenek sepertinya tetap teratur, sama sekali tidak terlihat letih. Bahkan sebenarnya akulah yang letih, tapi dia yang mengaku lelah dan ingin beristirahat.”

Selang agak lama Si Nenek kembali mengajak melanjutkan perjalanan. Keduanya pun bangkit dan mulai melangkah. Setelah melewati sebuah bukit, tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata, “Lekas kita makan, dan secepatnya meninggalkan tempat ini.” Lalu terdengar suara belasan orang lain mengiakan.

Linghu Chong menghentikan langkahnya. Dilihatnya di tanah rumput di tepi tebing sana terdapat lebih dari sepuluh orang laki-laki sedang duduk melingkar sambil makan dan minum bersama. Pada saat itulah seseorang di antaranya lantas berkata, “Itu Tuan Muda Linghu!”

Samar-samar Linghu Chong juga masih dapat mengenali orang-orang itu yang tidak lain adalah mereka yang tadi malam beramai-ramai ikut datang ke atas Lembah Lima Tiran. Baru saja ia bermaksud menyapa, tiba-tiba suasana berubah menjadi hening, sunyi senyap. Semuanya diam membisu. Mereka terbelalak memandang ke arah belakang pemuda itu. Wajah orang-orang itu terlihat sangat ketakutan, ada pula yang gugup seakan-akan menemukan suatu masalah yang sukar dilukiskan. Sesuatu yang sukar dihadapi sehingga mereka tidak tahu harus berbuat apa.

Melihat keadaan demikian Linghu Chong bermaksud menoleh untuk melihat apa yang berada di belakangnya. Tapi ia segera sadar bahwa orang-orang itu bersikap demikian tentu karena terkejut melihat Si Nenek yang berada di belakangnya. Padahal ia sendiri telah berjanji untuk tidak akan memandang Si Nenek sekejap pun.

Maka dengan cepat Linghu Chong pun mengembalikan arah pandangannya ke depan. Karena gerakannya itu sangat mendadak dan agak dipaksa membuat lehernya terasa nyeri dan rasa penasaran di hatinya semakin bertambah. Ia pun berpikir, “Mengapa mereka sangat ketakutan begitu melihat Nenek? Apakah wujud Nenek memang sedemikian menyeramkan?”

Tiba-tiba seorang laki-laki di antaranya bangkit dan mengangkat belati untuk kemudian menusuk kedua matanya sendiri. Seketika itu pula darah segar pun mengucur deras.

Sungguh Linghu Chong terkejut luar biasa. “Apa yang kau lakukan?” teriaknya.

“Mata hamba ini sudah buta sejak tiga hari yang lalu dan tidak dapat melihat apa-apa lagi!” teriak orang itu.

Menyusul kemudian dua orang lagi lantas mencabut golok masing-masing untuk membutakan mata mereka sendiri. Keduanya berseru, “Mata hamba sudah lama buta. Hamba tidak tahu apa-apa!”

Semakin heran dan ngeri perasaan Linghu Chong tak terkatakan. Dilihatnya laki-laki yang lain pun beramai-ramai hendak membutakan mata masing-masing. Segera ia berseru, “Hei, hei! Tunggu dulu! Apa pun masalahnya, tentu dapat dibicarakan baik-baik. Tolong jangan menusuk mata kalian sendiri. Sebenarnya ada … ada apa ini?”

Seorang di antaranya menjawab dengan sedih, “Sebenarnya hamba bisa saja bersumpah bahwa hamba tidak akan banyak bicara. Hanya saja, hamba khawatir tidak dipercaya.”

Linghu Chong segera berkata kepada Si Nenek, “Nenek, harap kau menolong mereka dan suruh mereka supaya jangan menusuk mata sendiri.”

“Baik, aku percaya pada kalian,” tiba-tiba Si Nenek bersuara. “Di seberang lautan timur ada sebuah pulau bernama Pulau Naga Melingkar, apakah di antara kalian ada yang tahu?”

Seorang tua menyahut, “Hamba pernah mendengar cerita orang bahwa kira-kira dua ratus kilometer di sebelah tenggara Quanzhou di Provinsi Fujian terdapat Pulau Naga Melingkar yang konon tidak pernah diinjak manusia. Keadaan pulau itu sunyi senyap dan terpencil.”

“Nah, memang pulau itulah yang kumaksudkan,” kata Si Nenek. “Sekarang juga kalian berangkatlah ke sana. Bermain-mainlah di sana. Setelah tujuh atau delapan tahun barulah kalian boleh pulang ke Daratan Tengah sini lagi.”

Serentak belasan orang itu mengiakan dengan wajah riang gembira. Mereka berseru, “Baik, kami segera berangkat!”

Seorang di antaranya menyahut, “Sepanjang jalan kami pasti tidak akan bicara apa pun juga kepada orang lain!”

“Kalian bicara atau tidak, apa peduliku?” kata Si Nenek.

“Ya, benar! Hamba bicara salah!” seru orang itu sambil mengangkat tangan dan menempeleng muka sendiri sekeras-kerasnya.

“Enyahlah!” seru Si Nenek.

Tanpa bersuara lagi belasan laki-laki itu bergegas pergi seperti kesetanan. Tiga orang di antaranya yang sudah buta berjalan dengan dipapah yang lain. Dalam sekejap saja mereka semua sudah menghilang di kejauhan.

Diam-diam Linghu Chong tercengang. Ia berpikir, “Hanya sepatah kata dari Nenek sudah membuat orang-orang itu pergi mengasingkan diri ke pulau terpencil selama tujuh atau delapan tahun. Anehnya, orang-orang itu malah kegirangan seperti mendapat pengampunan. Seluk-beluk urusan ini benar-benar membuat aku tak habis mengerti.”

Tanpa bersuara Linghu Chong melanjutkan perjalanan. Pikirannya terus saja bergolak hebat. Ia merasa nenek yang ada di belakangnya itu benar-benar manusia aneh yang selamanya belum pernah didengar dan dilihatnya. Ia berpikir, “Semoga di sepanjang jalan nanti jangan bertemu lagi dengan kawan-kawan yang pernah berkumpul di Lembah Lima Tiran tadi malam. Padahal dengan penuh ketulusan mereka datang hendak menyembuhkan penyakitku. Tapi kalau mereka sampai bertemu dengan Nenek, tentu mereka akan membutakan mata sendiri atau mengasingkan diri ke pulau terpencil. Ini sungguh tidak adil. Sepertinya yang menyebabkan Huang Boliu, Sima Da, dan Zu Qianqiu memohon kepadaku supaya mengatakan kalau aku tidak mengenal mereka, serta yang menyebabkan ribuan pendekar gagah yang berkumpul di Lembah Lima Tiran tiba-tiba menghilang tanpa bekas adalah karena takut kepada nenek ini. Sebenarnya … sebenarnya dia ini iblis mengerikan macam apa?” Berpikir sampai di sini membuat tubuhnya bergidik ngeri.

Setelah belasan kilometer terlewati, jalanan semakin berliku dan terjal. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang berteriak, “Hah, yang berjalan di depan itulah yang bernama Linghu Chong.”

Suara orang itu sangat nyaring dan keras, membuat Linghu Chong langsung mengenalinya sebagai suara Xin Guoliang dari Biara Shaolin yang bertemu tadi malam.

Si Nenek berkata pelan, “Aku tidak ingin bertemu dengannya. Kau saja yang melayani dia sekadarnya.”

Linghu Chong mengiakan. Kemudian terdengar suara berisik. Rupanya Si Nenek telah menyusup masuk ke dalam semak-semak.

Terdengar suara Xin Guoliang berkata, “Paman Guru, Linghu Chong itu sedang terluka. Tentu dia tidak bisa berjalan cepat.”

Meskipun saat itu jaraknya masih jauh, namun suara Xin Guoliang yang nyaring dapat terdengar jelas oleh Linghu Chong. Pemuda itu pun berpikir, “Ternyata dia tidak sendirian, tapi datang bersama paman gurunya. Nenek bersembunyi di dekat sini. Lebih baik aku berhenti saja dan duduk di tepi jalan menunggu mereka.”

Selang agak lama terdengar suara langkah kaki yang disusul kemudian dengan munculnya beberapa orang menyusuri jalanan lembah. Di dalam rombongan itu terdapat Xin Guoliang dan Yi Guozi, serta dua orang biksu dan seorang laki-laki setengah baya. Dari dua biksu tersebut, yang satu berusia lanjut dengan wajah penuh keriput, sedangkan yang satu lagi baru berumur tiga puluhan dengan tangan memegang tongkat Fangbian.

Linghu Chong segera bangkit menyambut dan memberi hormat, sambil berkata, “Linghu Chong dari Perguruan Huashan menyampaikan salam hormat kepada para Sesepuh dari Biara Shaolin. Jika boleh tahu, siapakah nama Buddha Sesepuh yang mulia ini?”

“Bocah sia….” sahut Yi Guozi hendak mendamprat.

“Nama Buddha saya adalah Fangsheng,” jawab si biksu tua.

Begitu paman gurunya yang berbicara, Yi Guozi langsung menutup mulutnya. Meskipun demikian, wajahnya tetap terlihat merah padam menahan marah dan dendam atas kekalahannya tadi pagi.

“Terimalah hormatku, Biksu yang mulia,” sapa Linghu Chong sambil membungkuk penuh hormat.

Biksu Fangsheng manggut-manggut, lalu berkata dengan ramah, “Pendekar muda tidak perlu banyak adat. Apakah gurumu, Tuan Yue baik-baik saja?”

Tadinya Linghu Chong merasa cemas dan ngeri melihat rombongan itu datang dengan penuh ancaman. Namun begitu melihat sikap Biksu Fangsheng yang ramah, ia langsung merasa lega. Raut muka Fangsheng terlihat teduh dan mencerminkan pembawaan seorang biksu terkemuka yang telah mencapai pencerahan. Selain itu, sang biksu yang memiliki nama Buddha dengan unsur “Fang” jelas adalah angkatan paling tua di Biara Shaolin pada zaman ini. Biksu Fangsheng dapat dipastikan adalah saudara seperguruan Kepala Biara yang bergelar Mahabiksu Fangzheng. Maka dengan penuh sopan santun Linghu Chong pun menjawab, “Berkat doa restu dari Biksu, guruku yang terhormat dalam keadaan sehat.”

Fangsheng berkata, “Keempat orang ini adalah keponakanku. Biksu muda ini bergelar Jueming, sedangkan mereka bertiga adalah murid dari golongan awam. Yang ini adalah Huang Guobo, dan yang itu adalah Xin Guoliang serta Yi Guozi. Kedua keponakanku yang kusebut belakangan tentu pernah bertemu denganmu, bukan?”

“Benar. Sesepuh berempat, terimalah hormatku!” kata Linghu Chong. “Aku dalam keadaan terluka parah sehingga tidak bisa menjalankan tata krama dengan sempurna. Mohon Sesepuh sekalian sudi memberi maaf.”

“Hm, kau terluka?” sahut Yi Guozi mencibir.

“Apa kau benar-benar terluka?” Fangsheng menegas. “Guozi, apakah kau yang melukai dia?”

“Ah, hanya sedikit salah paham tidak perlu menjadi soal,” ujar Linghu Chong. “Angin kebasan lengan baju Sesepuh Yi telah membanting jatuh diriku, ditambah dengan pukulan satu kali. Untungnya tidak sampai mati. Untuk hal ini Mahabiksu tidak perlu menegur Sesepuh Yi.”

Linghu Chong memang pandai bermain kata-kata. Mengingat Fangsheng adalah biksu sepuh yang terkemuka, tentu tidak akan membiarkan keempat keponakannya untuk berbuat sesuka hati kepada dirinya. Berpikir demikian ia pun melanjutkan, “Apa yang terjadi tadi disaksikan juga oleh Sesepuh Xin. Namun karena Mahabiksu sudah berkenan datang kemari, ini sungguh merupakan kehormatan besar bagiku. Mahabiksu tidak perlu khawatir. Meskipun lukaku parah dan sulit disembuhkan, namun aku tidak akan menceritakannya kepada guruku. Hal ini tidak akan menimbulkan perselisihan di antara Biara Shaolin dengan Serikat Pedang Lima Gunung.” Kata-katanya ini bertujuan untuk memojokkan Yi Guozi sebagai pihak yang telah menyebabkan ia terluka parah.

Mendengar itu Yi Guozi pun berkata dengan gemas, “Omong … kosong … kau bicara omong kosong! Kau memang sudah terluka parah sebelumnya.”

Linghu Chong menghela napas pura-pura menampilkan wajah menyesal. Ia berkata, “Perkataan Sesepuh Yi ini jangan sampai tersiar ke orang lain. Jika tidak, tentu ini akan mencoreng nama baik Biara Shaolin?”

Xin Guoliang, Huang Guobo, dan Jueming sedikit manggut-manggut mendengar ucapan Linghu Chong. Mereka bertiga sama-sama mengetahui kalau Biara Shaolin memiliki kedudukan di atas Serikat Pedang Lima Gunung. Para biksu angkatan “Fang” pun dianggap sebagai angkatan tertua di dunia persilatan saat ini. Meskipun tidak ada hubungan persaudaraan, namun para ketua dari Serikat Pedang Lima Gunung menganggap mereka dari angkatan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, angkatan Xin Guoliang dan Yi Guozi bisa dianggap sejajar dengan Yue Buqun, dan setingkat di atas Linghu Chong. Pertarungan antara Yi Guozi dan Linghu Chong tadi dapat dikatakan angkatan tua menyerang angkatan yang lebih muda. Apalagi pertarungan itu disaksikan seorang murid Shaolin lainnya, dan setelah pertarungan itu Linghu Chong mengalami luka parah. Tata tertib di Biara Shaolin sangat ketat. Jika benar Yi Guozi terbukti memukul seorang murid Perguruan Huashan sampai terluka parah atau mati, meskipun ia sendiri tidak sampai menebus dengan nyawa, paling tidak ilmunya akan dimusnahkan dan ia pun dikeluarkan dari Biara. Membayangkan hal ini membuat raut muka Yi Guozi berubah pucat pasi.

Biksu Fangsheng pun berkata, “Cobalah kemari, Pendekar Muda. Biar kuperiksa lukamu.”

Linghu Chong melangkah maju mendekat. Fangsheng segera menjulurkan tangan kanan untuk memegang pergelangan pemuda itu. Jari-jarinya menekan di titik Dayuan dan Jinggu. Tapi mendadak jari-jarinya itu bergetar sampai terpental pula. Ia merasakan dalam tubuh Linghu Chong terdapat tujuh jenis aliran hawa murni yang sangat aneh.

Fangsheng merasa sangat heran. Ia termasuk jago terkemuka di antara para biksu angkatan tua di Biara Shaolin, namun jari-jarinya terpental setelah menyentuh pergelangan tangan seorang anak muda. Benar-benar kejadian yang tidak masuk akal. Ia sendiri tidak tahu kalau aliran hawa murni dalam tubuh Linghu Chong berasal dari tujuh macam tenaga dalam yang dulu disalurkan Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie. Begitulah, meskipun memiliki ilmu silat tinggi, namun Fangsheng tidak mempersiapkan diri sehingga tidak menduga kalau ketujuh hawa murni dalam tubuh si pemuda akan mendorong dan membuat jarinya terpental.

“Oh!” seru biksu tua itu sambil menatap tajam ke arah Linghu Chong dengan mata terbelalak. “Pendekar Muda, kau bukan murid Perguruan Huashan.”

“Saya benar-benar murid Huashan, bahkan murid pertama Tuan Yue,” jawab Linghu Chong.

“Tapi mengapa kau mengikuti aliran sesat dan belajar ilmu silat dari golongan liar itu?” tanya Fangsheng.

Tiba-tiba Yi Guozi menyela, “Paman Guru, ilmu silat yang digunakan bocah ini memang benar-benar dari aliran sesat. Malah tadi kita juga melihat di belakangnya ada seorang perempuan, dan mengapa sekarang perempuan itu menghilang? Di mana wanita itu sekarang bersembunyi? Melakukan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, jelas kalau dia bukan orang baik-baik.”

Mendengar kata-kata itu, Linghu Chong menjadi gusar dan membentak, “Kau adalah murid golongan terkemuka, mengapa ucapanmu tidak kenal sopan santun? Beliau memang tidak sudi melihatmu supaya amarah Beliau tidak bangkit.”

“Suruh dia keluar! Paman guruku memiliki pandangan yang tajam. Hanya dengan sekali lihat saja Beliau sudah bisa mengetahui apakah wanita itu dari aliran lurus atau aliran sesat.”

“Kita tadi pagi berkelahi adalah karena kau kurang ajar kepada nenekku. Sekarang kau berani omong kosong lagi?” bentak Linghu Chong.

Biksu Jueming ikut berbicara, “Pendekar Linghu, dari atas bukit tadi kami melihat ada perempuan ikut di belakangmu. Langkahnya sangat ringan dan gesit. Sama sekali tidak mirip seorang nenek seperti ucapanmu.”

“Nenekku orang persilatan. Sudah tentu langkahnya ringan dan gesit. Kenapa harus heran?” sahut Linghu Chong.

“Jueming, kita ini pengikut ajaran Sang Buddha, mana boleh memaksa perempuan sepuh dari keluarga lain untuk keluar menemui kita?” tukas Fangsheng sambil menggeleng, Ia kemudian berpaling ke arah Linghu Chong dan berkata, “Baiklah, Pendekar Linghu. Memang dalam masalah ini banyak hal-hal aneh yang tidak kumengerti. Badanmu terluka parah tidak mungkin disebabkan oleh serangan Keponakan Yi. Pertemuan kita ini karena takdir. Semoga kesehatanmu lekas pulih kembali. Luka dalam yang kau derita benar-benar parah. Aku punya dua butir pil yang dapat kauminum, namun mungkin tidak dapat menyembuhkanmu.” Usai berkata demikian, ia pun merogoh saku di balik bajunya.

Dalam hati Linghu Chong merasa kagum terhadap pembawaan biksu sepuh yang memang berbeda jauh dengan para keponakannya tersebut. Segera ia membungkuk memberi hormat sambil berkata, “Saya sungguh beruntung bisa bertemu Mahabiksu ….”

Tiba-tiba Yi Guozi mencabut pedang dan membentak, “Itu dia ada di sini!” Kemudian ia menyusup masuk ke dalam semak-semak tempat Si Nenek bersembunyi.

Lekas-lekas Fangsheng berseru, “Keponakan Yi, jangan kurang ajar!”

Tapi apa yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Tahu-tahu tubuh Yi Guozi sudah melayang kembali dan keluar dari tengah semak-semak itu, kemudian terbanting kaku di atas tanah dengan wajah menghadap langit. Tampak kaki dan tangannya menggelepar beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi.

Seketika semua mata terbelalak kaget. Tampak luka menganga di dahi Yi Guozi yang mengeluarkan darah segar. Tangan pria itu masih memegangi pedangnya dengan erat, namun hidungnya sudah tidak bernapas lagi.

Xin Guoliang, Huang Guobo, dan Jueming berteriak gusar. Mereka menghunus senjata hendak menerjang masuk ke dalam semak-semak. Akan tetapi Fangsheng lebih dulu mengibaskan lengan bajunya sehingga menimbulkan angin lembut yang menghadang ketiga keponakannya itu berbuat lebih jauh. Mereka bertiga serentak berhenti karena seperti membentur tembok yang tak terlihat. Fangsheng kemudian berseru lantang ke arah semak-semak, “Saudara dari Tebing Kayu Hitam siapa yang berada di sini?”

Tapi keadaan semak-semak itu tampak sunyi senyap tiada gerakan sedikit pun.

Segera Fangsheng berseru kembali, “Biara Shaolin tidak memiliki permusuhan dengan Saudara-Saudara dari Tebing Kayu Hitam. Mengapa Tuan menggunakan cara sedemikian kejam atas diri Keponakan Yi kami?”

Dari dalam semak-semak itu tetap saja tidak terdengar suara apa pun serta tidak ada seorang pun yang menjawab.

Mendengar itu, Linghu Chong sangat terkejut. Ia berpikir, “Tebing Kayu Hitam? Bukankah Tebing Kayu Hitam adalah markas besar Sekte Iblis? Apakah … apakah … Nenek seorang sesepuh dari Sekte Iblis?”

Fangsheng kembali berkata, “Dahulu saya pernah bertemu dengan Ketua Dongfang. Karena Saudara sudah turun tangan membunuh orang, maka hari ini juga kita harus menyelesaikan masalah yang melibatkan kedua pihak ini. Mengapa kau tidak juga keluar untuk menemui kami?”

Jantung Linghu Chong berdebar kencang. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Ketua Dongfang? Apakah yang dimaksud adalah Dongfang Bubai, Ketua Sekte Iblis? Orang itu disebut-sebut sebagai jago nomor satu di dunia persilatan zaman ini. Kalau begitu … kalau begitu … nenek ini benar-benar anggota Sekte Iblis.”

Akan tetapi, Si Nenek yang bersembunyi di dalam semak-semak tetap saja diam tanpa menghiraukan ucapan Biksu Fangsheng.

“Jika Saudara tidak sudi tampil ke muka, maafkan jika saya terpaksa bertindak kurang sopan!” lanjut Fangsheng kemudian.

Usai berkata demikian, kedua tangannya sedikit bergerak ke belakang untuk mengerahkan tenaga dalam, sampai-sampai kedua lengan bajunya pun menggelembung seperti genderang. Menyusul kemudian kedua tangannya itu dihantamkannya ke depan. Maka terdengarlah suara berderak yang keras, puluhan batang semak patah dan berhamburan, serta ranting dan dedaunan pohon pun beterbangan di udara. Rupanya sang biksu tua telah mengerahkan pukulan jarak jauh yang diikuti dengan suara teriakan manusia dan terlihat sesosok bayangan melompat keluar.

Linghu Chong yang terikat perjanjian lekas-lekas memutar tubuh ke arah lain meskipun dalam hati sangat penasaran ingin melihat wajah Si Nenek. Ia hanya bisa mendengar suara Xin Guoliang dan Jueming yang berteriak bersamaan, disusul dengan suara nyaring benturan senjata yang cepat dan ramai, bagaikan hujan deras menerpa jendela. Jelas Si Nenek sudah terlibat pertempuran melawan Biksu Fangsheng dan ketiga keponakannya.

Saat itu jam sepuluh pagi, matahari masih agak condong di ufuk timur. Meskipun hatinya gelisah, namun sedikit pun Linghu Chong tidak berani menoleh karena memegang janji. Ia hanya bisa melihat bayangan yang berseliweran di tanah. Tampak bayangan Fangsheng tidak memegang senjata, sedangkan Jueming bersenjatakan tongkat Fangbian, Huang Guobai menggunakan golok, dan Xin Guoliang memakai pedang. Sebaliknya, Si Nenek tampak memegang sepasang pedang pendek, bentuknya mirip belati. Pendek sekali kedua senjata itu dan sangat tipis seakan-akan tembus cahaya. Dengan hanya melihat bayangannya, sukar sekali ditebak senjata macam apa yang dipegang Si Nenek. Terdengar pula suara Xin Guoliang dan kedua saudaranya membentak-bentak dengan ganas, sedangkan Fangseheng dan Si Nenek bertarung tanpa bersuara sama sekali.

Linghu Chong berseru dari tempatnya berdiri, “Segala urusan dapat dibicarakan secara baik-baik. Kalian empat orang laki-laki mengeroyok seorang nenek tua, kesatria macam apa kalian ini?”

“Nenek tua? Hehe, rupanya bocah ini mimpi di siang bolong,” ejek Huang Guobai. “Dia itu ….”

Belum habis ia berkata, mendadak Fangsheng berseru, “Guobai, awas!”

Namun sudah terlambat. Terdengar suara Huang Guobai menjerit, “Aaaah!”

Sungguh hati Linghu Chong terkejut bukan kepalang. Dalam hati ia berpikir, “Betapa lihai ilmu silat Nenek. Baru saja Biksu Fangsheng mengobrak-abrik semak dan pepohonan dengan menggunakan kibasan lengan baju, menunjukkan tenaga dalamnya jarang ada tandingan di dunia persilatan. Namun, dengan satu melawan empat, Nenek masih berada di atas angin dan dapat menjatuhkan salah seorang pengeroyoknya.”

Bahkan kemudian terdengar jeritan keras Jueming pula. Tongkat besi yang ia pegang terlepas dan melayang melewati kepala Linghu Chong sampai beberapa meter, kemudian jatuh di tanah. Kini bayangan orang yang berseliweran itu sudah berkurang dua. Tinggal Fangsheng dan Xin Guoliang saja yang masih bertempur dengan sengit menghadapi Si Nenek.

“Amitabha, dosa, dosa!” seru Fangsheng. “Kau sudah turun tangan begitu keji. Berturut-turut tiga orang keponakanku telah kau bunuh. Terpaksa aku harus melayanimu dengan segenap tenaga.” Menyusul terdengarlah angin berdesir tiga kali. Agaknya Fangsheng juga telah mengeluarkan senjatanya, semacam tongkat atau toya kayu.

Linghu Chong merasa ada hembusan angin yang kuat di belakangnya, makin lama makin keras sehingga selangkah demi selangkah ia pun terdesak maju. Setelah Fangsheng menggunakan senjata, keadaan menjadi berubah. Kali ini terdengar suara napas Si Nenek yang mulai terengah-engah. Sepertinya tenaganya sudah banyak berkurang.

“Buang senjatamu dan aku takkan menyusahkan dirimu,” seru Fangsheng. “Kau boleh ikut kami ke Biara Shaolin untuk melapor kepada Kepala Biara. Terserah apa yang menjadi kebijakannya demi menyelesaikan masalah ini.”

Namun Si Nenek tidak menjawab. Ia menyerang dengan gencar beberapa kali ke arah Xin Guoliang sehingga murid Shaolin tersebut agak kelabakan. Pria bersuara nyaring itu terpaksa melompat mundur agar memberi jalan Fangsheng untuk menyambut serangan lawan.

Setelah tenang kembali, Xin Guoliang mencaci maki, “Siluman betina, hari ini kalau kau tidak dicincang sampai habis, maka dendamku tak akan puas!” Segera ia pun memutar pedang dan menerjang maju.

Tidak lama berselang, suara benturan senjata mulai mereda, tapi deru angin semakin kencang. Biksu Fangsheng berkata, “Tenaga dalammu bukan tandinganku. Lebih baik kau membuang senjatamu dan ikut kami ke Biara Shaolin. Kalau kau tetap bertahan, maka luka dalam yang kau derita akan semakin parah.”

Terdengar Si Nenek hanya mendengus. Tiba-tiba terdengar suara jeritan. Linghu Chong merasa tengkuknya terciprat beberapa tetes cairan. Waktu ia meraba, terlihat telapak tangannya berwarna merah. Titik-titik air yang menciprat pada lehernya itu ternyata darah segar.

“Shanzai, shanzai! Sekarang kau sudah terluka, tidak mampu melawan lagi. Ketahuilah bahwa aku tetap mengutamakan welas asih,” kata Fangsheng.

“Perempuan keparat ini adalah siluman betina aliran sesat. Lekaslah Paman Guru membinasakan dia untuk membalaskan sakit hati kematian tiga orang saudara. Terhadap kaum iblis mana boleh pakai welas asih segala?” seru Xin Guoliang dengan nada murka.

Suara napas Si Nenek terdengar semakin payah. Langkahnya juga mulai sempoyongan seakan-akan setiap saat bisa saja tubuhnya roboh. Diam-diam Linghu Chong membatin, “Nenek menyuruhku mengawalnya, untuk melindungi dia dari kejaran musuh. Kini ia menghadapi bahaya, mana boleh aku hanya berpangku tangan? Meskipun Biksu Fangsheng seorang pendeta agung yang saleh, namun orang bermarga Xin itu kasar dan berangasan. Aku tidak akan membiarkan Nenek jatuh ke tangannya.”

Karena pikirannya sudah bulat, ia segera mencabut pedang dan berseru, “Mahabiksu Fangsheng dan Sesepuh Xin, mohon kalian sudi bermurah hati dan menghentikan pertempuran ini. Kalau tidak, terpaksa aku akan bertindak kurang sopan kepada kalian.”

Xin Guoliang menjadi gusar mendengarnya. Ia pun membentak, “Kawanan iblis! Kubunuh saja kau sekalian!” Ia berteriak sambil pedangnya menusuk ke punggung Linghu Chong yang berdiri membelakangi itu.

Linghu Chong tetap memegang janjinya dan tidak berani berpaling supaya tidak memandang wajah Si Nenek. Ia hanya berusaha menghindar ke samping.

Mendadak terdengar Si Nenek berseru, “Awas!”

Xin Guoliang sendiri adalah jago pilihan di antara murid-murid angkatan kedua Biara Shaolin. Maka ketika Linghu Chong menghindar ke samping, tahu-tahu pedang pria itu juga menyusul miring ke samping. Anehnya, yang terdengar kemudian justru suara Xin Guoliang yang menjerit keras. Tubuhnya terlempar ke atas dan melayang melewati samping kiri Linghu Chong, kemudian terbanting di atas tanah. Sesudah kejang-kejang beberapa kali, nyawanya pun melayang. Entah bagaimana caranya ia bisa tewas mengenaskan di tangan Si Nenek.

Pada saat yang hampir bersamaan terdengar pula suara pukulan yang keras diikuti dengan jeritan. Rupanya Biksu Fangsheng berhasil memukul tubuh Si Nenek sampai roboh terjungkal ke dalam semak belukar.

Linghu Chong terkejut bukan main. Ia pun berseru memanggil, “Nenek, Nenek, bagaimana keadaanmu?”

Dari balik semak-semak hanya terdengar suara Si Nenek mengerang kesakitan. Linghu Chong merasa agak lega karena perempuan itu masih hidup. Dengan cepat ia pun memiringkan tubuh, lantas pedangnya segera menusuk ke arah Fangsheng. Karena serangan Linghu Chong yang tiba-tiba serta jitu arahnya itu, mau tidak mau Fangsheng terpaksa harus melompat mundur.

Linghu Chong terus saja menusuk. Fangsheng mengangkat senjatanya untuk menangkis. Linghu Chong pun menarik serangannya dan memutar tubuh sehingga sekarang berhadapan muka dengan sang biksu tua. Dapat dilihatnya ternyata senjata yang dipakai Fangsheng berupa sepotong pentungan kayu yang panjangnya tidak lebih dari setengah meter saja.

Linghu Chong pun tercengang. Ia berpikir, “Sungguh tak kusangka senjata yang ia gunakan hanya berupa sepotong kayu pendek ini. Tenaga dalam biksu Shaolin ini sangat kuat. Jika aku tidak dapat mengalahkannya dengan ilmu pedangku, tentu Nenek sukar diselamatkan.” Usai berpikir demikian ia pun mengerahkan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Pedangnya lantas menikam ke atas dan ke bawah, menyusul menusuk lagi sebanyak dua kali.

Seketika raut muka Fangsheng berubah hebat. Ia hanya bisa berseru, “Kau … kau … kau ….”

Namun sedikit pun Linghu Chong tidak berhenti menyerang. Ia sadar tenaga dalamnya sudah musnah. Apabila pihak lawan diberi kelonggaran sedikit saja tentu akan segera melancarkan serangan balasan dengan tenaga dalam yang kuat. Jika demikian jadinya, maka ia pasti akan binasa dan Si Nenek juga akan ditangkap dan dibawa ke Biara Shaolin untuk dihukum mati. Ia lantas mengosongkan pikiran dan melancarkan ratusan macam gerak perubahan luar biasa pada ilmu Sembilan Pedang Dugu secara berantai dan terus-menerus tanpa berhenti.

Ilmu Sembilan Pedang Dugu memang benar-benar istimewa. Meskipun Linghu Chong tidak memiliki tenaga dalam, dan belum sepenuhnya menguasai ilmu tersebut, namun serangan bertubi-tubi yang ia lancarkan dapat memaksa Biksu Fangsheng terus-menerus melangkah mundur. Namun kemudian, darah di rongga dadanya pun bergolak, serta lengan terasa lemas. Jurus pedang yang dilancarkannya semakin lama semakin lemah.

“Lepaskan pedangmu!” teriak Fangsheng keras-keras. Telapak tangan kirinya kemudian menghantam ke dada Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri sudah kehabisan tenaga. Sewaktu pedangnya menusuk ke depan, belum mencapai sasaran sudah turun ke bawah. Namun ilmu pedang yang dimainkannya memang tidak memiliki gerakan khusus, jadi tidak ada perbedaan antara benar dan keliru. Yang ia lancarkan adalah serangan menurut keinginan setiap saat. Maka biarpun ujung pedangnya sudah melenceng ke bawah, tusukannya itu masih tetap diteruskan namun gerakannya agak melambat.

Pada saat itulah Biksu Fangsheng melayangkan tangan kirinya untuk mendorong dada Linghu Chong. Namun demikian, dorongan itu tanpa disertai tenaga dalam, hanya mulutnya yang bersuara, “Sembilan Pedang Dugu itu …” Tepat pada saat itulah ujung pedang Linghu Chong telah menusuk ulu hatinya.

Linghu Chong sendiri dalam hati benar-benar kagum dan menghormati Fangsheng. Begitu merasa ujung pedangnya sudah menusuk tubuh sang biksu, lekas-lekas ia berusaha menariknya kembali sekuat tenaga. Akibatnya, ia sendiri menjadi terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Tanpa ampun, mulutnya pun langsung memuntahkan darah segar.

Sambil mendekap luka, Fangsheng berkata sambil tersenyum, “Ilmu pedang yang bagus! Kalau Pendekar Muda tidak menaruh belas kasihan kepadaku, tentu nyawa biksu tua ini sudah melayang.” Ia hanya memuji pihak lawan, sedangkan pukulannya sendiri yang ia tahan tanpa diteruskan tadi sama sekali tidak disinggung olehnya. Usai berkata demikian, ia lantas terbatuk-batuk. Ternyata ujung pedang Linghu Chong tadi sempat masuk beberapa senti ke dalam ulu hatinya meskipun si pemuda sudah berusaha menarik serangan.

Dengan penuh penyesalan Linghu Chong berkata, “Maaf … maafkan aku yang telah berlaku kasar terhadap … terhadap Mahabiksu.”

Fangsheng menjawab, “Sungguh tidak kusangka ilmu pedang sakti Sesepuh Feng dari Perguruan Huashan ternyata sudah mendapatkan ahli waris. Dulu aku pernah menerima budi baik Sesepuh Feng. Mengenai masalah … masalah hari ini, aku menjadi tidak berani mengambil keputusan sendiri.”

Perlahan-lahan Fangsheng mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari balik jubahnya. Di dalamnya terdapat dua butir obat pil sebesar biji buah lengkeng. “Ini adalah obat luka mujarab dari Biara Shaolin. Boleh kau minum satu butir.” Setelah ragu-ragu sejenak, ia pun melanjutkan, “Dan yang satu butir lagi boleh diminumkan kepada wanita itu.”

“Lukaku sudah jelas sukar disembuhkan. Buat apa minum obat lagi?” ujar Linghu Chong dengan tertawa. “Obat yang satu biji itu silakan Mahabiksu sendiri yang meminumnya.”

Fangsheng menggeleng-geleng dan berkata, “Tidak usah!”

Biksu tua itu kemudian meletakkan kedua biji obat tersebut di hadapan Linghu Chong. Dipandanginya mayat Jueming, Xin Guoliang, dan yang lain dengan wajah sedih. Segera ia menguncupkan kedua tangan di depan dada dan mulai membaca doa untuk orang meninggal dengan suara lirih. Lambat laun wajahnya berubah tenang kembali, bahkan seperti diselubungi oleh selapis sinar suci. Perkataan “welas asih tanpa batas” seolah menjelma di wajahnya.

Linghu Chong sendiri merasa kepalanya sangat pusing dan pandangan matanya kabur. Merasa tidak tahan lagi, dipungutnya kedua pil tersebut dan ditelannya satu butir.

Selesai berdoa, Fangsheng berkata kepada Linghu Chong, “Pendekar Muda, kau adalah ahli waris ilmu Sembilan Pedang Dugu Sesepuh Feng, tentu kau bukan pengikut aliran sesat. Kau berjiwa kesatria dan berbudi luhur, tidak seharusnya kau mati begini saja. Hanya saja luka yang kau derita memang aneh luar biasa dan sukar disembuhkan dengan obat maupun tusuk jarum. Satu-satunya jalan keluar agar jiwamu bisa tertolong adalah kau harus belajar ilmu tenaga dalam tingkat paling tinggi. Menurut pendapat si biksu tua ini, sebaiknya kau ikut denganku ke Biara Shaolin. Aku akan melapor kepada Kakak Kepala dan memohon Beliau supaya sudi mengajarkan intisari ilmu tenaga dalam yang paling tinggi dari Biara Shaolin kepadamu. Dengan demikian luka dalam yang kau derita itu akan dapat disembuhkan.”

Setelah terbatuk beberapa kali, Fangsheng melanjutkan, “Untuk bisa memelajari intisari ilmu tenaga dalam tingkat tinggi Biara Shaolin perlu diperhatikan pula yang namanya ‘karma’. Aku sendiri tidak ada karma baik sehingga tidak bisa belajar ilmu tersebut. Kakak Kepala Biara sangat bijaksana dan berpandangan luas. Bisa jadi Beliau ada jodoh dengan Pendekar Muda dan berkenan mengajarkan intisari ilmu tenaga dalam tersebut kepadamu.”

“Terima kasih banyak atas maksud baik Mahabiksu,” jawab Linghu Chong. “Biarlah nanti sesudah saya mengantar Nenek ke suatu tempat yang aman, apabila saya beruntung belum mati, tentu saya akan datang ke Biara Shaolin untuk menyampaikan sembah kepada Biksu Kepala dan Mahabiksu.”

“Kau … kau memanggilnya ‘Nenek’?” sahut Fangsheng menegas. “Pendekar Muda, kau murid pertama dari perguruan lurus bersih, jangan kau bergaul dengan kaum sesat. Biksu tua ini memberi nasihat dengan tujuan baik, harap Pendekar Muda memikirkannya baik-baik.”

“Seorang laki-laki sejati sekali berjanji mana boleh menariknya kembali?” ujar Linghu Chong.

Biksu Fangsheng menghela napas dan berkata, “Baiklah, saya akan menunggu kedatangan Pendekar Muda di Biara Shaolin.” Ia kemudian memandangi keempat jenazah keponakannya yang masih tergeletak di tanah, dan berkata, “Empat wadah sudah kosong, dikubur atau tidak juga tiada bedanya. Setelah meninggalkan dunia, semuanya berakhir sudah.” Perlahan-lahan ia memutar tubuh kemudian melangkah pergi.

Linghu Chong duduk di tanah dengan napas terengah-engah. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, tak dapat bergerak. Ia kemudian bertanya, “Nenek, apakah kau baik-baik saja?”

Terdengar suara berisik yang disusul kemudian dengan munculnya Si Nenek dari balik semak-semak yang kemudian berkata, “Aku tidak akan mati semudah itu. Linghu Chong, kau boleh ikut pergi bersama biksu tua itu. Dia bilang lukamu bisa disembuhkan. Ilmu tenaga dalam Perguruan Shaolin tiada bandingannya di dunia ini. Kenapa kau tidak ikut dia pergi saja?”

“Aku sudah berjanji akan mengawal Nenek. Sudah seharusnya aku mengawalmu sampai tempat tujuan,” sahut Linghu Chong.

“Kau sendiri menderita penyakit, masih bicara tentang pengawalan segala?” balas Si Nenek.

“Tapi Nenek sendiri juga terluka. Biarlah kita tinggal bersama saja,” sahut Linghu Chong dengan tertawa.

“Aku berasal dari golongan sesat dan kau adalah murid golongan lurus bersih. Lebih baik kau jangan bergaul dengan aku agar tidak merusak nama baik perguruanmu,” kata Si Nenek.

“Aku tidak punya nama baik apa-apa. Peduli apa dengan pendapat orang lain?” jawab Linghu Chong. “Nenek, kau sangat baik kepadaku. Linghu Chong bukanlah manusia yang tidak kenal budi. Saat ini kau dalam keadaan terluka parah. Jika kutinggal pergi begitu saja apakah aku masih dapat dianggap sebagai manusia?”

“Tapi kalau saat ini aku tidak terluka parah, tentu kau akan pergi, bukan?” tanya Si Nenek.

Linghu Chong menjawab dengan tertawa, “Jika Nenek tidak peduli dengan kebodohanku dan bersedia ditemani olehku, maka aku siap selalu berada di sampingmu sebagai teman mengobrol. Hanya saja watakku ini memang kasar dan suka berbuat menurut keinginanku. Jangan-jangan hanya beberapa hari saja Nenek sudah merasa bosan dan tidak suka bicara denganku lagi.”

“Huh!” Si Nenek hanya mendengus.

Linghu Chong segera menyodorkan tangannya ke belakang tanpa melihat wajah Si Nenek, untuk memberikan pil dari Biksu Fangsheng tadi, sambil berkata, “Nenek, biksu terkemuka dari Biara Shaolin itu memang luar biasa. Nenek sudah membunuh empat orang keponakannya, tapi dia malah memberikan obat mujarab ini kepadamu, sedangkan dia sendiri tidak meminumnya.”

“Huh, orang-orang itu selalu menyombongkan diri sebagai golongan lurus bersih. Mereka hanya manusia yang pura-pura baik. Aku tetap tidak menaruh hormat kepada mereka,” jawab Si Nenek ketus.

“Nenek, silakan kau minum saja obat ini,” pinta Linghu Chong. “Sesudah kutelan satu butir tadi, badanku terasa jauh lebih segar. Dada dan perutku terasa lebih lega.”

Si Nenek hanya mendengus sekali dan masih tidak mau menerima obat itu.

“Nenek ….”

Belum selesai ucapan Linghu Chong, mendadak Si Nenek menyela, “Sekarang hanya tinggal kita berdua. Mengapa masih saja memanggil ‘Nenek, Nenek’ tidak ada habis-habisnya. Maukah kau mengurangi panggilanmu itu?”

“Baiklah, tentu saja,” sahut Linghu Chong sambil tertawa. “Silakan minum obat ini!”

“Jika kau bilang obat dari Biara Shaolin itu sangat bagus, sedangkan obat pemberianku tadi kau anggap kurang bagus, kenapa tidak kau habiskan saja semua obat pemberian biksu tua itu sekaligus?” tanya Si Nenek.

“Aih, memangnya aku pernah bilang kalau obatmu kurang bagus? Janganlah berpikiran seperti itu,” sahut Linghu Chong. “Lagipula obat dari Biara Shaolin yang baik ini justru hendak diminumkan kepadamu agar tenagamu lekas pulih. Dengan demikian kau dapat melanjutkan perjalanan.”

“Oh, jadi kau merasa kesal menemani aku di sini, ya?” tanya Si Nenek. “Jika demikian, maka kau boleh segera pergi. Aku juga tidak memaksamu untuk tetap tinggal di sini.”

Diam-diam Linghu Chong merenung, “Mengapa Nenek mendadak marah-marah kepadaku? Ah, barangkali karena lukanya tidak ringan, badannya pun terasa sakit, sehingga dengan sendirinya sifatnya menjadi ketus dan mudah naik pitam.” Maka dengan tertawa ia pun menjawab, “Saat ini selangkah pun aku tidak sanggup berjalan. Sekalipun mau pergi juga tidak dapat. Lagipula … lagipula …. Hahaha ….”

“Lagipula apa? Kenapa hahaha segala? Apa yang kau tertawakan?” damprat Si Nenek dengan gusar.

“Hahaha ya hahaha. Lagipula … seandainya aku bisa berjalan juga aku tidak ingin pergi, kecuali kalau kau mau pergi bersamaku,” sahut Linghu Chong dengan tertawa. Selama ini ia selalu sopan kepada Si Nenek. Namun karena Si Nenek kini sedang marah-marah tanpa alasan yang jelas, ia pun bicara seenaknya pula.

Namun mendengar itu Si Nenek hanya diam tak menjawab. Entah apa yang sedang ia renungkan.

Linghu Chong pun berkata, “Nenek ….”

“Nenek lagi?” tukas Si Nenek. “Apa barangkali selama hidupmu tidak pernah memanggil ‘Nenek’ kepada orang, begitu? Apa kau tidak bosan terus memanggil begitu kepadaku?”

“Ya sudah, selanjutnya aku takkan memanggil nenek lagi kepadamu,” ujar Linghu Chong tertawa. “Tapi lantas aku harus memanggil apa?”

Si Nenek diam saja. Selang sejenak baru ia berkata, “Di sini hanya ada kita berdua saja, kenapa harus memakai panggilan segala? Asal kau membuka mulut tentu aku yang kau ajak bicara. Tidak mungkin kau mengajak bicara orang lain, bukan?”

“Tetapi terkadang aku suka menggumam sendiri. Jadi, janganlah kau salah paham, ya?” kata Linghu Chong dengan tertawa.

“Huh, kau suka bicara sembarangan. Pantas adik kecilmu tidak suka lagi padamu,” ejek Si Nenek.

Ucapan ini benar-benar mengenai lubuk hati Linghu Chong. Perasaannya menjadi pilu. Ia merenung, “Adik Kecil tidak suka kepadaku, jangan-jangan memang disebabkan cara bicara dan tingkah lakuku yang suka sembarangan. Ya, Adik Lin memang lebih sopan dan tahu aturan. Dia benar-benar seorang laki-laki budiman dan lemah lembut, serupa dengan Guru. Jangankan Adik Kecil, jika aku menjadi wanita juga akan suka kepada Adik Lin dan tidak sudi kepada pemuda begajulan macam diriku ini. Wahai, Linghu Chong, selamanya kau suka mabuk-mabukan dan gila-gilaan, tidak patuh pada aturan perguruan, benar-benar pemuda yang sukar ditolong lagi. Aku pernah bergaul dengan maling cabul Tian Boguang, pernah tidur pula di rumah pelacuran kota Hengshan. Semua ini tentu membuat Adik Kecil merasa tidak senang.”

Melihat Linghu Chong termenung, Si Nenek lantas berkata, “Ada apa? Ucapanku tadi apa melukai perasaanmu? Kau menjadi marah, begitu?”

“Tidak, aku tidak marah. Ucapanmu memang tepat, bicaraku memang suka sembarangan, tingkah lakuku juga seenaknya. Pantas saja kalau Adik Kecil tidak senang kepadaku, begitu pula Guru dan Ibu Guru.”

“Kau tidak perlu sedih. Meskipun guru, ibu guru, dan adik kecilmu tidak suka lagi, tapi di dunia ini … di dunia ini mana mungkin semua orang tidak suka kepadamu?” Ucapannya ini terdengar sangat lembut dan penuh penghiburan.

Linghu Chong merasa sangat terharu dan berterima kasih. Begitu terharunya sampai tenggorokan seakan-akan tersumbat. Dengan terputus-putus ia berkata, “Nenek sungguh baik kepadaku. Sekalipun di dunia ini tidak ada orang yang suka kepadaku juga … juga tidak menjadi soal.”

“Kau punya mulut yang manis, pintar menyenangkan hati orang. Pantas saja orang semacam Lan Fenghuang dari Sekte Lima Dewi sampai tergila-gila kepadamu,” kata Si Nenek. “Sudahlah, sekarang kau tidak dapat berjalan dan aku pun tidak dapat berkutik. Hari ini kita terpaksa harus bermalam di bawah tebing sana. Entah hari ini kita akan mati atau tidak?”

“Kalau hari ini tidak mati, entah besok akan mati atau tidak. Kalau besok tidak mati, entah lusa akan mati atau tidak,” kata Linghu Chong dengan tertawa.

“Sudahlah, jangan bicara sembarangan lagi,” kata Si Nenek. “Sekarang kau boleh merangkak ke sana perlahan-lahan, biar aku menyusul di belakangmu.”

“Jika kau tidak minum obat pemberian biksu tua itu, mungkin aku tidak sanggup merangkak meskipun hanya satu langkah,” kata Linghu Chong.

“Kau bicara sembarangan lagi. Kalau aku tidak minum obatnya, mengapa kau yang tidak sanggup merangkak?”

“Aku tidak bicara sembarangan,” jawab Linghu Chong. “Kalau kau tidak mau minum obat itu, tentu lukamu sukar disembuhkan, tentu kau tidak punya semangat untuk memetik kecapi lagi. Hatiku akan cemas, sehingga aku tidak mempunyai tenaga lagi untuk merangkak ke sana. Jangankan untuk merangkak, bahkan untuk berbaring di sini saja aku sudah tidak punya tenaga lagi.”

Si Nenek tertawa, “Hihihi. Untuk berbaring di sini saja kau tidak punya tenaga?”

“Ya. Bukankah di sini adalah tanah yang miring. Jika aku tidak bertenaga, seketika aku akan menggelinding dan terjerumus ke dalam sungai di bawah sana. Coba bayangkan, andaikan aku tidak mati terbanting bukankah akan mati tenggelam juga?”

Si Nenek menghela napas dan berkata, “Kau terluka parah, jiwamu setiap saat bisa melayang. Tapi kau masih sempat bergurau segala. Sungguh jarang dijumpai orang aneh seperti dirimu ini.”

Perlahan-lahan Linghu Chong melemparkan pil pemberian Biksu Fangsheng ke belakang, dan berkata, “Silakan minum obat ini!”

“Hm, setiap orang yang menganggap dirinya dari golongan lurus bersih tentu bukan manusia baik-baik,” gerutu Si Nenek. “Jika aku makan obat dari Shaolin ini hanya akan membuat kotor mulutku saja.”

Tiba-tiba Linghu Chong menjerit. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terguling ke samping. Sekejap kemudian ia pun jatuh menggelinding ke bawah mengikuti tanah tebing yang miring itu.

Kontan saja Si Nenek terkejut dan berteriak, “Hei, hati-hati!”

Akan tetapi, tubuh Linghu Chong terus saja menggelinding ke bawah. Tanah miring itu tidak terlalu terjal, tapi jaraknya lumayan panjang. Sesudah menggelinding sekian lama, barulah Linghu Chong mencapai tepi sungai kecil di bawahnya. Dengan sekuat tenaga tangan dan kakinya terpentang untuk menahan tubuh supaya berhenti menggelinding.

“Hei, hei, ba … bagaimana keadaanmu?” tanya Si Nenek.

Muka dan tangan Linghu Chong lecet dan berdarah karena tergores kerikil-kerikil tajam di sepanjang tanah miring tadi. Dengan menahan rasa sakit ia diam saja tanpa memberi jawaban.

“Baiklah, aku akan minum obat busuk dari biksu tua tadi. Lekas kau … kau naik kemari,” seru Si Nenek.

“Kata-kata yang sudah diucapkan harus dilaksanakan,” kata Linghu Chong. Tapi karena jarak kedua orang itu sudah agak jauh, ditambah lagi keadaan pemuda itu sudah lemas, maka suaranya tidak bisa terdengar oleh Si Nenek.

“Kau bilang apa?” tanya Si Nenek

“Aku … aku ….” napas Linghu Chong terengah-engah, tidak sanggup melanjutkan.

“Lekas naik kemari! Aku berjanji padamu akan meminum obatnya,” kata Si Nenek.

Linghu Chong bangkit terhuyung-huyung. Ia bermaksud merangkak ke atas. Ternyata menggelinding ke bawah jauh lebih mudah daripada merangkak ke atas yang baginya terasa seperti memanjat langit. Hanya dua langkah saja ia merangkak kakinya sudah terasa lemas dan terbanting jatuh, bahkan kembali menggelinding sampai tercebur ke sungai kecil di bawah.

Dari atas Si Nenek dapat melihat jatuhnya Linghu Chong itu dengan jelas. Karena merasa khawatir, tanpa pikir panjang ia pun ikut menjatuhkan diri dan menggelinding ke bawah sehingga sampai di samping Linghu Chong. Dengan cepat sebelah tangannya memegangi pergelangan kaki kiri Linghu Chong agar tidak terperosok masuk lebih dalam di sungai kecil tersebut, sementara tangan yang lain dijulurkan untuk mencengkeram dan menarik punggung pemuda itu ke atas.

Keadaan Linghu Chong sudah basah kuyup dan sempat minum beberapa teguk air. Matanya sudah berkunang-kunang. Setelah menenangkan diri, tiba-tiba ia melihat dua sosok bayangan di dalam air sungai yang jernih itu. Bayangan tersebut adalah dirinya sendiri yang sedang dicengkeram punggungnya oleh seorang gadis entah siapa.

Linghu Chong tercengang. Mendadak terdengar suara gadis itu muntah darah. Linghu Chong merasa tengkuknya tersiram darah segar yang masih hangat, bersamaan kemudian gadis itu pun terkulai di atas punggungnya dalam keadaan lemas lunglai.

Tentu saja Linghu Chong dapat merasakan tubuh gadis itu yang halus dan lunak telah menempel di atas punggungnya. Terasa pula rambut si nona yang panjang mengusap-usap mukanya. Pikirannya pun terheran-heran dan melayang jauh.

Dalam bayangan di permukaan air itu, terlihat setengah dari wajah si nona. Bulu matanya sangat lentik. Meskipun tidak terlihat jelas, namun dapat dipastikan wajah gadis itu sangat cantik jelita. Usianya baru sekitar tujuh atau delapan belas tahun saja. Seketika hati Linghu Chong pun terheran-heran, “Siapakah nona ini? Mengapa mendadak datang seorang gadis secantik ini menolong diriku?”

Gadis itu ternyata pingsan di punggung Linghu Chong. Perlahan-lahan Linghu Chong mencoba memutar tubuh untuk memapah gadis itu. Namun apa daya, sekujur tubuhnya terasa lemas lunglai bahkan satu jari sekalipun susah bergerak. Ia merasa seperti berada di alam mimpi, melihat bayangan wajah yang cantik molek bagaikan bidadari surgaloka itu.

Selang agak lama, terdengar gadis itu mulai membuka mata, kemudian berkata, “Apa kau sengaja menakut-nakuti aku, atau kau benar-benar tidak ingin hidup lagi?”

Linghu Chong terkejut luar biasa karena suara gadis itu ternyata sama persis dengan suara Si Nenek yang dikawalnya tadi. Begitu terkejutnya sampai-sampai tubuh terasa menggigil gemetar. Ia berseru dengan suara terputus-putus, “Kau … kau ….”

“Kau apa? Aku tetap tidak sudi makan obat busuk pemberian biksu tua tadi. Kalau kau mau cari mati lagi, silakan saja! Aku ingin melihatnya,” kata si gadis.

“Hah, Nenek, ternyata kau seorang … kau seorang nona muda yang sangat cantik,” ujar Linghu Chong tak percaya.

“Bagaimana … bagaimana kau tahu?” seru nona itu terperanjat. “Bocah yang tidak bisa memegang janji! Ternyata diam-diam kau telah… kau telah mengintip mukaku?”

Gadis itu kemudian menunduk dan melihat bayangannya sendiri tercermin di permukaan sungai. Ia baru sadar kalau dirinya sedang terkulai lemah di atas punggung Linghu Chong. Seketika ia menjadi malu. Wajahnya merona merah. Sekuat tenaga ia meronta bangun, namun kakinya terasa lemas dan kembali jatuh terkulai. Lekas-lekas Linghu Chong menjulurkan kedua tangannya untuk menangkap tubuh gadis itu yang jatuh ke depan dadanya. Si gadis berusaha bangkit berkali-kali namun tenaganya sudah habis, bahkan ia merasa hampir pingsan. Terpaksa ia diam saja berada di pangkuan Linghu Chong.

Dalam hati Linghu Chong merasa sangat heran. Ia kemudian bertanya, “Mengapa kau pura-pura menjadi seorang nenek untuk menipu aku? Kau pura-pura menjadi orang tua, sehingga membuat aku… membuat aku sampai….”

“Membuatmu sampai bagaimana?” sahut si nona menegas.

Kini pandangan Linghu Chong hanya berjarak belasan senti saja dari wajah gadis itu. Diamatinya kulit pipi si nona yang putih bersih merona kemerah-merahan. Sejenak kemudian baru ia melanjutkan, “Membuat aku berulang-ulang memanggil ‘Nenek’ kepadamu. Huh, tidak malu! Padahal menjadi adik perempuanku saja kau masih terlalu kecil, tapi kau justru ingin menjadi nenekku. Kalau ingin menjadi nenek-nenek ya harus menunggu delapan puluh tahun lagi.”

Si nona tertawa geli, “Hihihi. Apa aku pernah mengatakan kalau diriku ini seorang tua? Kau sendiri yang tiba-tiba memanggil ‘Nenek’ kepadaku. Kau sendiri yang terus-menerus memanggil nenek. Bukankah tadi aku marah dan menyuruhmu jangan memanggil lagi. Kau yang sengaja memanggil demikian, bukan?”

Diam-diam Linghu Chong merasa ucapan si nona benar juga. Tapi karena ia telah tertipu cukup lama seperti orang bodoh, sehingga membuat hatinya kesal. Maka, ia pun berkata, “Kau melarang aku memandang wajahmu, bukankah sengaja hendak memperdaya diriku? Jika aku berhadapan muka denganmu mana mungkin aku memanggil Nenek kepadamu? Sejak di Kota Luoyang kau sudah menipu diriku. Kau telah bersekongkol dengan si tua Luzhuweng. Kau menyuruh dia memanggilmu dengan sebutan ‘Bibi’. Jika kakek seumuran dia saja masih terhitung keponakanmu, lantas panggilan apa yang tepat untukmu kalau bukan ‘Nenek’?”

Si nona menjawab dengan tertawa, “Hahaha. Guru dari Luzhuweng memanggil ayahku sebagai paman guru. Dengan begitu, Luzhuweng harus memanggilku apa?”

Linghu Chong tercengang. Ia pun menjawab dengan ragu-ragu, “Jika begitu kau memang … kau memang terhitung bibi perguruan Luzhuweng?”

“Si bocah Luzhuweng itu bukan seorang tokoh yang luar biasa, untuk apa aku memalsukan diri sebagai bibinya? Apa untungnya aku menjadi bibinya?” ujar si nona dengan tertawa.

“Ya, aku memang benar-benar bodoh. Seharusnya aku sadar sejak dulu,” sahut Linghu Chong sambil menghela napas.

“Memangnya apa yang kau sadari?” si nona menegas sambil tetap tertawa.

“Suaramu sedemikian merdu, enak didengar. Di dunia ini mana ada nenek-nenek peot yang bersuara sedemikian indah?” sahut Linghu Chong.

“Suaraku serak mirip burung gagak. Pantas saja kau menyangka aku sebagai nenek-nenek peot,” si nona kembali tertawa.

“Suaramu seperti burung gagak? Aih, jika begitu ternyata zaman sudah berubah. Burung gagak pada zaman sekarang ternyata memiliki suara yang jauh lebih merdu daripada burung kenari.”

Mendengar pujian itu, muka si nona menjadi merah, namun hatinya senang. Ia berkata, “Baiklah, Kakek Linghu, sudah sekian lama kau memanggil ‘Nenek’ kepadaku. Biar sekarang aku membayarnya dengan memanggil ‘Kakek’ kepadamu. Dengan demikian kau tidak merasa dirugikan dan tidak marah lagi.”

“Kau adalah nenek dan aku adalah kakek. Kita adalah Si Kakek dan Si Nenek, bukankah ….” dasar sifat Linghu Chong memang suka bertindak sembarangan, mulutnya pun bicara tanpa malu-malu. Sedianya ia hendak berkata “bukankah kita adalah satu pasangan”, tapi mendadak dilihatnya alis si nona menegak dan wajahnya berubah merah. Maka cepat-cepat ia menahan kata-katanya itu.

“Kau hendak sembarangan mengoceh apa lagi?” gerutu si nona.

“Maksudku, bila kita adalah kakek dan nenek, bukankah … bukankah kita ini sesepuh dunia persilatan?” ujar Linghu Chong ganti haluan.

Sudah tentu gadis itu tahu kalau Linghu Chong sengaja mengubah arah pembicaraannya. Maka ia pun tidak mengungkitnya lebih lanjut karena takut semakin lama perkataan yang keluar semakin tidak enak didengar. Saat itu tubuhnya masih berada di pangkuan Linghu Chong sehingga ia dapat mencium bau keringat pemuda itu. Seketika pikirannya menjadi kacau. Ia pun meronta bermaksud untuk bangun, tapi bagaimanapun juga sukar mengumpulkan tenaga. Akhirnya dengan wajah merah ia berkata, “Eh, coba kau dorong aku.”

“Mendorongmu? Untuk apa?” tanya Linghu Chong.

“Kita … kita seperti ini, apa … apa terus begini?” tanya si nona malu-malu.

“Kakek dan nenek memang harus begini,” ujar Linghu Chong tertawa.

“Hm, kau sembarangan mengoceh lagi. Nanti aku akan membunuhmu!” bentak si nona.

Diam-diam Linghu Chong merasa takut mendengar ancaman itu. Ia mengetahui bagaimana saat gadis itu memaksa beberapa laki-laki hingga mencongkel biji mata sendiri sampai buta, lalu mengasingkan mereka ke sebuah pulau terpencil di laut timur. Mau tidak mau Linghu Chong merasa segan bergurau dengannya. Ia merenung, “Usianya masih sangat muda, tapi sekali bertempur saja sudah bisa membunuh empat orang murid Perguruan Shaolin. Ilmu silatnya jelas sangat tinggi, sikapnya juga begitu ganas. Sungguh sulit dipercaya kalau itu semua diperbuat oleh seorang nona cantik di depan mataku ini.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar