Orang bermarga Ren itu lantas
berkata, “Benar, sobat cilik. Feng Qingyang memang berwawasan luas. Kau telah
mengalahkan semua manusia kerdil di Wisma Mei Zhuang ini, bukan?”
Linghu Chong menjawab, “Ilmu
pedangku ini adalah hasil pengajaran Sesepuh Feng sendiri. Kecuali Tuan Ren
atau ahli warismu, orang biasa sudah tentu bukan tandinganku.”
Ucapan ini jelas merendahkan
Huang Zhonggong bersaudara, karena didorong perasaannya yang semakin gemas
terhadap para majikan itu. Hanya berada sebentar saja di penjara bawah danau
yang lembab dan gelap itu ia sudah merasa sangat tersiksa, apalagi seorang
kesatria besar yang entah sudah dikurung berapa tahun lamanya oleh mereka. Rasa
keadilannya terusik, sehingga ia bicara tanpa segan-segan lagi.
Sudah tentu Huang Zhonggong
berempat merasa sangat tersinggung mendengar ucapan itu. Namun mereka tidak
dapat berkata apa-apa karena pada kenyataannya memang Linghu Chong telah
mengalahkan mereka. Hanya Dan Qingsheng yang membuka suara, “Adik Feng, kau ….”
Namun Heibaizi segera menarik lengan bajunya sebagai isyarat supaya menutup
mulut.
Orang bermarga Ren kembali
berkata dengan senang, “Bagus sekali, bagus sekali. Sobat cilik, sedikitnya kau
telah mewakiliku melampiaskan kemarahan terhadap anak-anak anjing itu. Eh,
bagaimana caramu mengalahkan mereka?”
Linghu Chong menjawab, “Orang
pertama di Wisma Mei Zhuang yang bertanding denganku adalah seorang sobat yang
dijuluki ‘Si Pedang Kilat Datu Kata’ atau semacamnya. Dia bernama Ding Jian.”
Si marga Ren berkata, “Ilmu
pedang orang bermarga Ding itu cuma pamer saja dan sebenarnya tidak ada isinya.
Dia menakut-nakuti orang dengan kilatan sinar pedangnya, padahal tidak punya
kepandaian sejati. Pada hakikatnya kau tidak perlu menyerang dia, cukup
acungkan pedangmu saja tentu dia akan menyerahkan jari tangannya ke pedangmu
dan terpotong sendiri.”
“Hah!” seru kelima hadirin
yang sama-sama terkejut.
“Bagaimana? Apa aku salah
bicara?” tanya orang bermarga Ren.
“Sungguh tepat ucapan Tuan
seakan-akan ikut menyaksikan sendiri,” jawab Linghu Chong.
“Bagus, jadi kelima jarinya
ataukah telapak tangannya yang terpotong?” tanya orang itu.
“Aku sedikit menggeser mata
pedangku,” kata Linghu Chong.
“Ah, salah, salah! Terhadap
musuh mana boleh bermurah hati? Hatimu terlalu baik, kelak kau akan rugi
sendiri.” sahut si marga Ren. “Siapa orang kedua yang bertanding denganmu?”
“Tuan Keempat,” jawab Linghu
Chong.
Si marga Ren menanggapi, “Hm,
ilmu pedang si nomor empat sedikit lebih baik daripada Si Kentut Satu Kata atau
apa pula itu. Setelah melihatmu mengalahkan Ding Jian, pasti dia menggunakan
ilmu pedang andalan yang dibanggakannya. Apa ya namanya? Ah, aku ingat. Namanya
‘Ilmu Pedang Cipratan Warna Pengiris Rami’, yang mengandung jurus-jurus
‘Pelangi Putih Menembus Mentari’, ‘Naga Hujan Mengangkasa Burung Feng Terbang
Tinggi’, ‘Angin Musim Semi Meniup Pohon Liu’, atau semacam itu.”
Danqingsheng bertambah heran mendengar
jurus-jurus pedang kebanggaannya dengan tepat dapat disebutkan si marga Ren
tanpa salah sama sekali.
“Ilmu pedang Tuan Keempat
memang cemerlang,” kata Linghu Chong. “Hanya saja, saat menyerang banyak
terdapat celah kelemahannya.”
Orang bermarga Ren tertawa dan
menjawab, “Sebagai ahli waris si tua Feng, kau memang berpandangan luas. Kau
telah menyebutkan titik kelemahan ‘Ilmu Pedang Cipratan Warna Pengiris Rami’
dengan benar. Dalam ilmu pedangnya itu, ada satu jurus yang sangat dahsyat,
bernama ‘Jurus Naga Kumala Menggelantung’, yang membacok sekuat tenaga dari
atas ke bawah. Namun jurus ini tidak ada gunanya kalau bertemu ahli waris Feng
Qingyang, karena kau tinggal menebas ke samping melalui bilah pedangnya, tentu
kelima jarinya akan terpotong sendiri. Ini namanya ‘Ilmu Pedang Cipratan Darah
Pengiris Jari’ hahaha, hahaha!”
Linghu Chong berkata, “Tuan
Ren sungguh jeli seperti bisa meramal. Aku memang mengalahkannya memakai cara
itu. Hanya saja, di antara kami tidak terdapat permusuhan apa-apa. Selain itu,
Tuan Keempat sangat murah hati dan menyuguhkan arak-arak enak kepadaku. Maka,
aku juga tidak perlu mengiris kelima jarinya, hahaha.”
Si majikan keempat gusar bukan
kepalang. Raut wajahnya sebentar merah, sebentar pucat kehijau-hijauan, sama
seperti namanya, yaitu “Danqing” yang bermakna “merah dan hijau”. Untung saja
ia memakai kerudung sarung bantal sehingga perubahan wajahnya tidak sampai
kelihatan.
Orang marga Ren melanjutkan,
“Si botak nomor tiga suka menggunakan pena. Tulisannya mirip cakar ayam, tapi
dia berlagak seperti seorang sastrawan. Dengan bangga ia berkata bahwa di dalam
ilmu silatnya terkandung seni kaligrafi segala. Padahal, hehehe, sobat cilik,
tentunya kau tahu sewaktu bertempur menghadapi musuh, hidup atau mati hanya
bergantung dalam hitungan detik saja. Walaupun berusaha sekuat tenaga juga
belum tentu menang, mana bisa iseng menirukan kaligrafi atau memperhatikan
salinan prasasti segala? Kecuali pihak lawan memang jauh lebih lemah daripadamu
barulah kau dapat mempermainkan dia. Tapi kalau ilmu silatnya setara dan kau
masih iseng menulis huruf indah dengan pena, maka itu sama halnya dengan
mempersembahkan nyawa sendiri.”
Linghu Chong menjawab, “Ucapan
Tuan Ren memang tepat. Cara bertempur Tuan Ketiga memang agak takabur dan memandang
remeh orang lain.”
Mendengar uraian si marga Ren,
pada awalnya Tubiweng merasa sangat gusar. Namun setelah dipikir-pikir ternyata
penjelasan tersebut masuk akal juga. Ilmu silat yang diselingi dengan gaya
menulis kaligrafi memang mengasyikkan, namun kekuatan daya serangnya menjadi
lebih lemah. Kalau saja Linghu Chong tidak bermurah hati, mungkin sepuluh orang
Tubiweng juga dapat dibinasakan semua. Ketika memikirkan hal itu, mau tidak mau
keringat dingin pun membasahi dahinya.
Orang bermarga Ren berkata
lagi, “Untuk mengalahkan si botak nomor tiga sangat mudah. Sebenarnya ia
memiliki ilmu silat menggunakan pena yang cukup bagus. Hanya saja, ia menjadi
takabur dengan bersikeras memasukkan seni kaligrafi ke dalam jurus-jurusnya
segala. Huh, ketika para jago bertarung, kalah atau menang hanya ditentukan
oleh hal-hal kecil, tapi dia justru bermain-main dengan nyawa sendiri. Kalau
dia masih hidup sampai sekarang sesungguhnya ini suatu keanehan di dunia
persilatan. Eh, botak nomor tiga, selama sepuluh tahun belakangan ini rupanya
kau bersembunyi seperti kura-kura dalam tempurung dan tidak pernah
berjalan-jalan lagi di dunia persilatan. Bukan begitu?”
Tubiweng hanya mendengus tanpa
menjawab. Namun diam-diam ia terperanjat dan mengakui kebenaran ucapan orang bermarga
Ren itu. Andai saja selama ini dirinya masih berkecimpung di dunia persilatan,
mana mungkin ia dapat hidup sampai sekarang?
Sementara itu orang bermarga
Ren melanjutkan pembicaraan, “Nah, kalau ilmu silat papan catur besi milik si
nomor dua memang patut dipuji. Sekali dia menyerang, maka selanjutnya akan
susul-menyusul seperti topan badai melanda. Kalau yang menghadapi orang biasa
pasti tidak akan mampu menangkisnya. Sobat cilik, bagaimana caramu
mengalahkannya? Coba ceritakan!”
Linghu Chong menjawab, “Saya
tidak berani berkata ‘mengalahkan’ segala. Hanya saja, begitu kami berdua
sama-sama menyerang, pada jurus pertama aku langsung membuatnya berada di pihak
bertahan.”
“Hm, bagus,” ujar si marga
Ren. “Dan bagaimana jurus kedua?”
“Pada jurus kedua aku tetap
mendahului menyerang sehingga Tuan Kedua tetap di pihak bertahan,” sahut Linghu
Chong.
“Bagus, dan jurus ketiga?”
tanya orang itu lagi.
“Pada jurus ketiga aku tetap
menyerang dan dia bertahan,” jawab Linghu Chong kembali.
“Sungguh hebat,” kata orang
bermarga Ren itu. “Papan catur besi milik Heibaizi pernah menggetarkan dunia
persilatan belasan tahun silam. Asalkan pihak lawan mampu menangkis tiga jurus
serangannya saja, maka Heibaizi akan mengampuninya. Kemudian ia berganti
senjata memakai papan catur dari besi sembrani, membuat namanya semakin masyhur
di dunia persilatan. Tapi sobat cilik, kau justru mampu memaksanya bertahan
tiga jurus berturut-turut, hal ini sungguh luar biasa. Hm, pada jurus keempat
bagaimana cara dia melakukan serangan balasan?”
Linghu Chong menjawab, “Pada
jurus keempat aku masih tetap menyerang, dan Tuan Kedua masih tetap bertahan.”
“Hah, apa ilmu pedang si tua
Feng benar-benar begitu hebat?” sahut si marga Ren menegas. “Meskipun
mengalahkan Heibaizi tidak sulit, tapi bisa memaksanya bertahan sampai empat
jurus berturut-turut adalah sesuatu yang sangat hebat. Ini bagus sekali! Pada
jurus kelima tentu dia yang menyerang balik, bukan?”
“Tidak. Pada jurus kelima
keadaan tetap tidak berubah,” jawab Linghu Chong.
“Oh!” seru orang itu sampai
ternganga. Setelah terdiam agak lama, barulah ia berkata, “Sebenarnya pada
jurus keberapa Heibaizi baru dapat menyerang balik?”
Linghu Chong menjawab, “Aku
tidak ingat berapa jurus kami bertanding.”
Heibaizi menyahut dengan sikap
penuh hormat, “Ilmu pedang Pendekar Muda Feng teramat sakti. Sejak awal sampai
akhir aku tidak mampu balas menyerang sama sekali. Sesudah bertanding lebih
dari empat puluh jurus, aku merasa bukan tandingannya. Maka, aku lantas
menyimpan papan caturku dan mengaku kalah.”
“Hah, mana bisa begitu?”
teriak si marga Ren. “Sungguh tidak masuk akal! Meskipun Feng Qingyang adalah
jago pilihan dalam Perguruan Huashan, tapi ilmu silat Kelompok Pedang juga ada
batasnya. Aku tidak percaya dalam Perguruan Huashan ada orang yang mampu
menyerang Heibaizi sampai empat puluhan jurus, di mana Heibaizi sama sekali
tidak sanggup menyerang balik.”
Heibaizi berkata, “Tuan Ren
terlalu memuji diriku. Tapi ilmu pedang Saudara Feng ini memang sudah melebihi
gurunya. Ilmu pedangnya sudah jauh melampaui ilmu Kelompok Pedang dalam
Perguruan Huashan. Aku rasa pada masa ini hanya jago persilatan pilih tanding
seperti Tuan Ren yang mampu memberikan petunjuk satu atau dua jurus kepadanya.”
Mendengar itu Linghu Chong
berpikir, “Sikap dan perkataan Huang Zhonggong, Tubiweng, dan Danqingsheng
terhadap orang bermarga Ren ini agak kasar, tetapi Heibaizi ternyata sangat
sopan. Meskipun begitu, aku tahu niat mereka sama, yaitu memanas-manasi atau
menyanjung Tuan Ren supaya mau bertanding denganku.”
Sementara itu si marga Ren
menanggapi Heibaizi dengan sinis, “Huh, kau menjilat kakiku! Sungguh
menjijikkan!” Kemudian ia melanjutkan, “Mengenai ilmu silat Huang Zhonggong
tidak jauh berbeda dengan Heibaizi. Tenaga dalamnya juga tidak jelek. Sobat
cilik, apa tenaga dalammu lebih hebat darinya?”
Linghu Chong menjawab,
“Sebelum ini aku pernah terluka dan kehilangan semua tenaga dalam. Itu sebabnya
‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ milik Tuan Pertama tidak mempan
terhadapku.”
Si marga Ren tertawa terkekeh-kekeh
dan berkata, “Lucu sekali! Hm, bagus, bagus. Aku jadi ingin berkenalan dengan
ilmu pedangmu, sobat cilik.”
Linghu Chong menjawab, “Harap
Tuan Ren jangan tertipu. Empat Sekawan dari Jiangnan ingin memancingmu
bertanding pedang denganku karena mereka mempunyai tujuan lain.”
“Tujuan lain apa?” tanya orang
itu.
“Mereka telah bertaruh dengan
seorang temanku; jika di dalam Wisma Mei Zhuang ada seorang yang mampu
mengalahkan ilmu pedangku, maka temanku akan menghadiahkan beberapa benda
berharga kepada mereka,” ujar Linghu Chong.
“Barang apa?” tanya si marga
Ren. “Pasti sebangsa kitab not kecapi, kitab catur langka, kaligrafi kuno, dan
lukisan kuno, bukan?”
“Benar. Perkiraan Tuan memang
selalu jitu,” sahut Linghu Chong.
“Tapi aku cuma ingin tahu ilmu
pedangmu saja dan bukan sungguh-sungguh bertanding denganmu,” kata si marga
Ren. “Lagipula aku pun belum tentu mampu mengalahkanmu.”
“Untuk mengalahkanku sudah
tentu hal yang sangat mudah bagi Tuan,” sahut Linghu Chong. “Hanya saja,
sebelumnya aku ingin meminta keempat majikan berjanji melakukan sesuatu.”
“Soal apa?” tanya orang
bermarga Ren.
“Jika Tuan dapat mengalahkan
aku sehingga mereka berhasil memperoleh beberapa benda berharga dari temanku
itu, maka mereka berempat harus berjanji membuka pintu penjara dan
mempersilakan Tuan meninggalkan penjara ini dengan penuh hormat,” jawab Linghu
Chong.
“Mana bisa begitu?” seru
Tubiweng dan Danqingsheng bersamaan. Sementara Huang Zhonggong hanya mendengus.
Orang bermarga Ren pun tertawa
dan berkata, “Sobat cilik, gagasanmu sungguh lucu. Apakah Feng Qingyang telah
menyuruhmu berbuat demikian?”
“Sesepuh Feng sama sekali
tidak tahu kalau Tuan Ren terkurung di sini. Aku sendiri juga tidak tahu
sebelumnya,” sahut Linghu Chong.
“Saudara Feng,” sahut Heibaizi
tiba-tiba, “apa kau tahu siapa nama asli Tuan Ren ini dan apa julukannya dalam
dunia persilatan? Dia berasal dari aliran mana? Mengapa dia sampai terkurung di
sini? Apakah Sesepuh Feng pernah menceritakan tentang dirinya kepadamu?”
Secara mendadak Heibaizi
mengajukan empat pertanyaan, tapi tidak satu pun mampu dijawab oleh Linghu
Chong. Sungguh berkebalikan dengan pertandingan mereka tadi, di mana Linghu
Chong melancarkan lebih dari empat puluh serangan yang kesemuanya memaksa
Heibaizi mengerahkan jurus bertahan. Keempat pertanyaan ini seperti serangan
balasan dari Heibaizi yang tidak mampu ditangkis oleh Linghu Chong. Setelah
tertegun agak lama barulah pemuda itu dapat berbicara dengan terbata-bata,
“Tentang ini aku belum pernah mendengar dari … dari Sesepuh Feng. Aku sama
sekali … sama sekali tidak tahu.”
“Aku yakin kau pasti tidak
tahu. Sebab kalau tahu tentu kau tidak akan meminta kami membebaskan dia,”
tukas Danqingsheng. “Bila orang ini sampai lolos, maka dunia persilatan tentu
akan kacau-balau dan entah berapa banyak nyawa kaum kesatria yang akan tewas di
tangannya. Untuk selanjutnya, dunia persilatan tidak akan pernah damai.”
“Hahahaha, memang benar
seperti itu!” seru si marga Ren dengan bergelak tawa. “Seandainya Empat Sekawan
dari Jiangnan mempunyai nyali setinggi langit juga tidak akan berani membiarkan
aku si tua lolos dari kurungan ini. Lagipula mereka hanya menjalankan perintah
saja, ibarat kata mereka itu hanya empat orang sipir penjara, mana mungkin
berhak membebaskan aku? Sobat cilik, permintaanmu tadi sudah terlalu mengangkat
tinggi derajat mereka.”
Diam-diam Linghu Chong merasa
serbasalah. Pada hakikatnya ia memang tidak tahu seluk-beluk permasalahan ini
sehingga bicara sedikit saja langsung terlihat kesalahannya.
Huang Zhonggong berkata,
“Saudara Feng, begitu kau melihat penjara ini sangat gelap dan lembab segera
timbul rasa simpatimu terhadap Tuan Ren, dan kau pun merasa kesal terhadap kami
empat bersaudara. Hal ini karena jiwa kesatriamu yang luhur. Aku pun tidak
menyalahkanmu. Tapi apa kau tahu apabila Tuan Ren sampai dilepaskan ke dunia
persilatan lagi, maka di Perguruan Huashan saja pasti akan jatuh korban separuh
lebih. Tuan Ren, kata-kataku ini betul atau tidak?”
“Betul, betul,” jawab si marga
Ren dengan tertawa. “Ketua Perguruan Huashan apa masih dijabat Yue Buqun? Huh,
orang itu pura-pura suci. Sayang sekali ketika dia baru menjabat ketua aku
sudah jatuh ke dalam jebakan. Kalau tidak, sudah lama kubuka topeng
kemunafikannya.”
Hati Linghu Chong terguncang
mendengarnya. Meskipun Yue Buqun telah mengusirnya dari perguruan serta
menyebarkan berita kepada kaum persilatan untuk menjadikannya sebagai musuh
bersama, namun ia tidak pernah lupa bagaimana sejak kecil sang guru telah
membesarkan dan memperlakukannya seperti anak kandung sendiri. Maka begitu
mendengar ucapan orang bermarga Ren tersebut seketika ia menjadi gusar dan
membentak, “Tutup mulutmu, gur….”
Tapi mendadak ia menelan
kembali kata “guru” yang hampir saja diucapkannya itu. Teringat bahwa dirinya
telah diperkenalkan oleh Xiang Wentian sebagai paman dari sang guru, sedangkan
orang-orang di sini belum jelas baik atau jahat sehingga ia merasa perihal yang
sebenarnya tidak boleh sembarangan untuk diungkapkan.
Sudah tentu orang bermarga Ren
itu tidak mengetahui apa maksud bentakan Linghu Chong tadi. Ia tetap tertawa
sambil melanjutkan, “Di antara orang-orang Perguruan Huashan sudah tentu masih
ada beberapa yang dapat kuhargai. Salah satunya adalah si tua Feng itu. Kau pun
juga begitu, sobat cilik. Selain itu masih ada seorang angkatan yang lebih muda
darimu, yang dijuluki ‘Gadis Permata Huashan’ segala. Namanya Ning apa … ah,
aku ingat, Ning Zhongze. Gadis cilik ini boleh dikata seorang nona baik hati
dan luhur budi. Tapi sayang, dia menikah dengan Yue Buqun, bagaikan setangkai bunga
yang tertancap di atas gundukan tahi kerbau.”
Mendengar ibu-gurunya disebut
“gadis cilik’, Linghu Chong merasa kesal bercampur geli. Tapi paling tidak
ibu-gurunya telah dinilai baik, sehingga ia tidak perlu menyampaikan bantahan.
Orang bermarga Ren itu lantas
bertanya, “Kau sendiri bernama siapa, sobat cilik?”
Linghu Chong menjawab, “Namaku
Feng Erzhong.”
Si marga Ren berkata, “Orang
bermarga Feng di Perguaun Huashan tentunya tidak busuk. Sobat cilik, kau boleh
masuk kemari. Aku ingin mencoba ilmu pedang ajaran Sesepuh Feng.” Tadinya ia
menyebut Feng Qingyang sebagai ‘si tua Feng’, lalu berganti menjadi ‘Sesepuh
Feng’. Tentunya hal ini karena ia menyukai tutur bicara Linghu Chong.
Linghu Chong sendiri sudah
sejak tadi sangat tertarik dan penasaraan ingin tahu seperti apa wujud orang
bermarga Ren itu dan seberapa tinggi ilmu silatnya. Maka ia pun menjawab, “Ilmu
pedangku yang dangkal ini hanya bisa dipakai untuk menakut-nakuti orang lain,
tetapi di hadapan Tuan tentu hanya menjadi bahan tertawaan belaka. Namun saya
sudah telanjur berada di sini dan menganggap Tuan Ren bagaikan naga di antara
manusia. Mana mungkin aku tidak ingin belajar dan mohon petunjuk dari Tuan?”
Perlahan-lahan Danqingsheng
maju mendekat dan berbisik di telinganya, “Adik Feng, ilmu silat orang ini
sangat aneh, permainannya juga ganas dan kejam. Kau harus sangat berhati-hati.
Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, segeralah keluar.”
Meskipun ucapannya sangat
lirih, tapi terdengar sangat tulus. Perasaan Linghu Chong terguncang. Ia pun
merenung, “Tuan Keempat ternyata sangat baik kepadaku dan setia kawan. Barusan
aku telah mengolok-oloknya, tapi ia sama sekali tidak tersinggung. Sebaliknya,
dengan tulus ia justru mengkhawatirkan keselamatanku. Sekarang aku benar-benar
merasa malu.”
Sementara itu orang bermarga
Ren telah berkata dengan lantang, “Mari, mari, masuk ke sini! Apa yang mereka
katakan dengan kasak-kusuk di luar? Sobat cilik, Empat Badut dari Jiangnan
bukan manusia baik-baik. Mereka hanya ingin menipumu. Perkataan mereka tidak ada
yang baik, tak ada yang bisa dipercaya.”
Linghu Chong merasa serbasalah
dan tidak tahu pihak mana yang benar-benar orang baik. Ia tidak tahu siapa di
antara mereka yang patut dibela.
Huang Zhonggong telah
mengeluarkan sebuah anak kunci dari balik bajunya, lalu memasukkannya pada
lubang kunci pintu besi dan memutarnya beberapa kali. Linghu Chong mengira
setelah memutar kunci itu tentu pintu akan didorong dan terbuka. Ternyata Huang
Zhonggong hanya menyingkir ke samping, berganti Heibaizi yang maju. Ia juga
mengeluarkan sebuah kunci dan memutarnya pada lubang yang lain. Setelah itu,
Tubiweng dan Danqingsheng masing-masing juga mengeluarkan anak kunci dan
melakukan hal yang sama.
Baru sekarang Linghu Chong
sadar atas apa yang mereka lakukan. Ia pun berpikir, “Ternayata kedudukan
sesepuh bermarga Ren ini begitu penting sehingga keempat majikan harus
menyimpan anak kunci masing-masing. Untuk membuka pintu penjara ini, mereka
harus menggunakan keempat anak kunci bersama-sama. Padahal, Empat Sekawan dari
Jiangnan sudah seperti saudara kandung, mengapa mereka tidak memercayai satu
sama lain?” Tapi ia lantas teringat olehnya, “Barusan sesepuh bermarga Ren itu
mengatakan kalau keempat majikan hanyalah penjaga penjara yang menjalankan
perintah dari seseorang. Mereka tidak berhak membebaskannya. Bisa jadi mereka
harus menyimpan anak kunci masing-masing juga atas perintah dari orang yang
berkuasa itu.”
Terdengar suara putaran anak
kunci tersebut tidak lancar pertanda pada lubang kunci sudah penuh dengan
karat. Entah sudah berapa lama pintu besi ini tidak pernah dibuka.
Setelah memutar kunci
terakhir, Danqingsheng memegang pintu besi dan menggoyang-goyang beberapa kali,
kemudian mendorongnya sekuat tenaga. Maka terdengarlah suara berderit-derit.
Pintu itu sedikit terbuka ke dalam. Begitu pintu bergeser, Danqingsheng segera
melompat mundur. Ketiga saudaranya juga ikut melompat mundur agak jauh.
Terpengaruh oleh perbuatan mereka, tanpa terasa Linghu Chong juga ikut
melangkah mundur.
Orang bermarga Ren tertawa dan
berkata, “Sobat cilik, mereka takut kepadaku dan kenapa kau juga ikut-ikutan
takut?”
“Benar juga,” kata Linghu
Chong. Pemuda itu lantas melangkah maju sambil mendorong pintu besi itu. Terasa
engsel pintu sudah penuh karat sehingga dengan susah payah barulah pintu itu
dapat dibuka sekitar setengah meter lebarnya. Seketika bau penguk pun menyeruak
menusuk hidung.
Danqingsheng lantas melangkah
maju dan menyodorkan kedua batang pedang kayu. Tanpa bicara Linghu Chong
menerimanya dengan tangan kiri.
Tubiweng juga maju sambil
memungut pelita minyak yang tergantung di dinding, kemudian menyodorkannya
kepada Linghu Chong. “Saudara Feng, bawalah pelita minyak ini,” katanya.
Linghu Chong menerima pelita
itu dengan tangan kanan, kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya
kamar penjara itu hanya seluas dua sampai tiga meter persegi saja. Seorang
laki-laki tampak duduk di atas sebuah dipan yang terletak di pojok ruangan.
Rambutnya kusut, janggutnya panjang sebatas dada, dan wajahnya tidak dapat
terlihat dengan jelas karena tertutup berewok. Rambut, alis, kumis, dan
janggutnya berwarna hitam legam, tiada beruban sedikit pun.
Linghu Chong membungkuk dengan
hormat, kemudian berkata, “Sungguh beruntung hari ini aku dapat berjumpa dengan
Tuan Ren. Mohon sudi memberi petunjuk.”
“Tidak perlu banyak adat,”
kata orang itu. “Aku yang harus berterima kasih kepadamu karena kau datang
kemari mengusir kesepianku.”
“Apakah boleh kutaruh pelita
ini di atas dipan?” tanya Linghu Chong.
“Boleh,” kata orang itu. Namun
ia tidak menjulurkan tangan untuk menerimanya.
Diam-diam Linghu Chong merasa
sangsi. Kamar penjara ini sedemikian sempit, bagaimana caranya nanti bertanding
pedang? Segera ia mendekati dipan dan menaruh pelita minyak di atasnya.
Bersamaan itu, ia pun menyelipkan benda kecil terbungkus kertas titipan Xiang
Wentian ke dalam tangan si marga Ren.
Orang bermarga Ren itu agak
terkejut ketika menerima benda tersebut, tapi ia lantas berkata dengan lantang,
“Hei, kalian empat badut mau masuk atau tidak untuk menonton pertandingan?”
“Tempatnya terlalu sempit,
sudah tentu tak ada tempat buat kami,” sahut Huang Zhonggong.
“Baiklah,” kata orang itu.
“Sobat cilik, kau tutup saja pintunya!”
“Baik!” jawab Linghu Chong
yang kemudian mendorong pintu besi hingga tertutup kembali.
Orang bermarga Ren itu bangkit
dari dipan. Sayup-sayup terdengar suara gemerencing beradunya seutas rantai
besi berukuran kecil. Orang itu kemudian mengambil sebatang pedang kayu dari
tangan Linghu Chong, dan berkata sambil menghela napas, “Sudah sepuluh tahun
aku tidak menggunakan senjata. Entah aku masih ingat ilmu pedang yang pernah
kupelajari dulu atau tidak?”
Kini Linghu Chong dapat
melihat dengan jelas bahwa pergelangan tangan orang itu terbelenggu oleh sebuah
borgol besi yang dililit dengan seutas rantai kecil dan panjang. Ujung rantai
itu tertambat pada dinding belakang. Tangan yang satunya serta kedua kakinya
juga dibelenggu dengan borgol berantai yang pada ujungnya tertambat pula di
dinding pula. Dinding tersebut tampak hitam mengkilat, sepertinya terbuat dari
baja murni. Linghu Chong menduga rantai dan borgol di tangan dan kaki orang itu
tentu juga terbuat dari baja murni. Jika tidak, mana mungkin rantai sekecil itu
mampu menahan seorang jago persilatan semacam dia.
Orang bermarga Ren lantas
mengayun-ayunkan pedang kayunya di udara. Ia menebas dari atas ke bawah.
Gerakannya begitu pendek, namun menimbulkan suara mendengung yang memenuhi
ruangan.
“Hebat sekali tenaga dalam
Tuan Ren,” puji Linghu Chong.
Orang itu kemudian membalikkan
tubuh menghadap ke dinding. Sekilas Linghu Chong dapat melihatnya sedang
membuka gulungan kertas yang membungkus benda bulat keras di tangannya. Orang
itu tertegun sejenak mengetahui wujud benda tersebut, kemudian membaca tulisan
yang tertera pada kertas.
Linghu Chong sengaja mundur
selangkah agar kepalanya menutupi lubang persegi pada pintu sehingga keempat
penonton tidak tahu apa yang sedang dilakukan orang itu di dalam kamar.
Sejenak tubuh si marga Ren
tampak gemetar sehingga rantai besi ikut bergemerencing nyaring. Sepertinya ia
telah membaca isi surat Xiang Wentian pada lembaran kertas tersebut. Ketika
berpaling tampak sinar matanya berkilat-kilat penuh semangat. Ia berkata,
“Sobat cilik, meski kedua tanganku tidak bebas, tapi belum tentu kau dapat
mengalahkan aku.”
“Aku hanyalah angkatan muda
yang masih hijau. Sudah tentu bukan tandingan Tuan,” sahut Linghu Chong rendah
hati.
Si marga Ren berkata, “Kau
telah menyerang Heibaizi sampai lebih dari empat puluh jurus tanpa mendapatkan
serangan balik sama sekali. Sekarang kau boleh mencobanya kepadaku dengan cara
yang sama.”
“Mohon maaf atas
kelancanganku,” ucap Linghu Chong. Pedangnya kemudian menusuk ke depan,
melancarkan jurus pertama yang pernah dipakai menyerang Heibaizi tadi.
“Bagus!” puji orang itu.
Pedangnya juga lantas menusuk miring ke dada kiri Linghu Chong, ternyata
gerakan ini selain menangkis juga sekaligus menyerang. Sungguh suatu jurus
serbaguna yang amat lihai.
Menyaksikan itu melalui lubang
persegi, Heibaizi tak kuasa menahan diri sehingga berteriak memuji, “Jurus
pedang bagus!”
Orang bermarga Ren tertawa dan
berkata, “Anggaplah hari ini kalian empat badut sedang beruntung, dapat
menyaksikan ilmu pedang bagus!” Pada saat itulah jurus kedua Linghu Chong telah
tiba pula.
Dengan cepat orang bermarga Ren
memutar pedang kayunya menusuk ke bahu kanan Linghu Chong. Ia tetap menggunakan
jurus menangkis sambil menyerang. Suatu jurus serangan dan bertahan sekaligus.
Linghu Chong terperanjat. Ia merasa gerak pedang orang itu sedikit pun tidak
memiliki titik kelemahan. Terpaksa ia melintangkan pedang untuk menangkis
sambil ujung pedangnya mengacung miring ke depan tetapi tetap mengandung daya
serang yang mengarah ke perut lawan.
“Jurus ini bagus sekali!” seru
si marga Ren tertawa sambil menarik pedang untuk menangkis ke samping.
Begitulah, serang-menyerang
terus berlangsung. Mereka saling menikam, saling menebas, dan hanya sekejap
saja sudah terlewati lebih dari dua puluh jurus. Namun demikian, pedang kayu di
tangan mereka selama itu belum pernah saling bersentuhan. Linghu Chong merasa
ilmu pedang lawan tiada pernah ada habisnya dengan bermacam-macam perubahan.
Sejak mempelajari “Ilmu Sembilan Pedang Dugu”, belum pernah ia berjumpa lawan
yang setangguh ini.
Sebenarnya ilmu pedang orang
bermarga Ren bukan sama sekali tidak memiliki celah kelemahan, namun jurusnya
selalu berubah-ubah tanpa bisa ditebak. Karena kesulitan menyerang titik
kelemahan jurus pedang lawan, maka Linghu Chong pun melayani pertandingan ini
dengan perubahan yang sama rumitnya menurut ajaran dasar Feng Qingyang, yaitu
“Ilmu Pedang Tanpa Jurus”.
Meskipun “Jurus Cara
Mematahkan Pedang” hanyalah satu dari “Ilmu Sembilan Pedang Dugu”, namun di
dalamnya terkandung berbagai macam ilmu pedang dari setiap perguruan dan aliran
di muka bumi. Sementara itu, meskipun disebut “Ilmu Pedang Tanpa Jurus”, namun
pada hakikatnya ilmu ini berdasarkan pada intisari jurus-jurus yang terdapat
dalam semua ilmu pedang di dunia. Orang bermarga Ren menyaksikan ilmu pedang
Linghu Chong terus menerus mengalir, dengan setiap perubahan yang belum pernah
ia lihat sebelumnya. Berkat pengalamannya yang luas dan ilmu silatnya yang
sangat tinggi, orang itu bisa memecahkan satu per satu jurus pedang si pemuda.
Namun setelah melewati empat puluh jurus, gerakan pedang orang itu mulai
melambat. Sedikit demi sedikit, ia lantas menyalurkan tenaga ke dalam pedangnya
sehingga setiap kali pedangnya bergerak, sayup-sayup terdengar suara angin
bergemuruh.
Akan tetapi, di sinilah letak
keajaiban “Ilmu Sembilan Pedang Dugu”. Tidak peduli seberapa tinggi tenaga
dalam lawan akan menjadi tiada berarti jika berhadapan dengan ilmu pedang
mahahebat ini. Hanya saja, si marga Ren memang jago yang sangat istimewa.
Tenaga dalamnya yang hebat dan ilmu pedangnya yang tinggi bagaikan bersatu padu
menjadi satu kesatuan. Beberapa kali Linghu Chong dibuat terdesak kewalahan dan
kemungkinan pasti akan menyerah dan membuang senjata. Namun Linghu Chong selalu
saja menemukan kesempatan dalam kesempitan, sehingga tidak hanya lolos dari
keadaan terdesak, namun juga berhasil melancarkan serangan balasan, dengan
menggunakan jurus-jurus yang terkesan aneh pula.
Huang Zhonggong dan ketiga
adiknya harus berdesak-desakan di luar pintu besi dan mengintip ke dalam
melalui lubang persegi. Lubang itu tidak terlalu lebar, sehingga hanya cukup
digunakan oleh dua orang saja, itu pun masing-masing hanya dengan sebelah mata;
orang pertama menggunakan mata kanan, orang kedua menggunakan mata kiri.
Setelah dua orang mengintip untuk beberapa saat, mereka harus mundur supaya dua
orang yang lain bisa menonton.
Pada awalnya, mereka berempat
dibuat terkagum-kagum melihat jurus-jurus pedang yang dilancarkan si marga Ren
dan Linghu Chong. Namun setelah itu, mereka tidak mampu lagi memperhatikan
kehebatan ilmu pedang keduanya. Huang Zhonggong sendiri setelah melihat suatu
jurus dilancarkan, kadang-kadang ia memeras otak untuk menyelami di mana letak
intisari jurus tersebut. Setelah berpikir agak lama, barulah ia dapat
memahaminya. Akan tetapi, kedua orang yang bertanding itu sudah bergebrak lagi
belasan jurus dan bagaimana bentuk belasan jurus yang berlalu itu menjadi tidak
diketahuinya sama sekali.
Sungguh heran perasaan Huang
Zhonggong tak terkatakan. Diam-diam ia merenung, “Ternyata sedemikian hebat
ilmu pedang Saudara Feng ini. Tadi sewaktu ia bertanding denganku,
jangan-jangan hanya menggunakan tiga atau empat puluh persen saja dari
kepandaiannya. Ia dapat mengalahkan ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’
adalah karena tidak memiliki tenaga dalam. Akan tetapi, seandainya ia mempunyai
tenaga dalam yang melimpah tetap saja aku tidak sanggup mengalahkannya
menggunakan jurusku itu. Bila ia mau, ia bisa melancarkan tiga serangan
berturut-turut tentu sudah membuatku membuang kecapi dan menyerah kalah. Bahkan
kalau bertempur sungguh-sungguh, satu jurus saja dia sudah mampu membutakan
kedua mataku menggunakan seruling kumala.”
Huang Zhonggong tidak tahu
sebenarnya letak keistimewaan “Ilmu Sembilan Pedang Dugu” adalah tergantung
kehebatan musuh. Jika yang dihadapi hanyalah pendekar rendahan, maka intisari
Ilmu Sembilan Pedang Dugu justru sukar dipancarkan seluruhnya. Kali ini orang
yang bertarung dengan Linghu Chong adalah seorang tokoh yang pernah
mengguncangkan dunia persilatan. Betapa tinggi ilmu silatnya telah mencapai
tingkat yang sukar dibayangkan. Begitu ia menyerang, seketika segala macam
kehebatan yang terkandung dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu pun terpancar
seluruhnya. Andai saja Dugu Qiubai hidup kembali, atau Feng Qingyang hadir
secara langsung, tentu mereka akan sangat bergembira menemukan lawan sekuat
ini.
Dalam memainkan Ilmu Sembilan
Pedang Dugu, selain harus mahir dalam teori dan seni ilmu pedang, kecerdasan si
pengguna juga sangat berpengaruh. Kalau si pengguna sudah mencapai tingkat di
mana ia dapat melancarkan jurus pedang secara bebas dan merdeka tanpa harus
mengikuti pedoman tertentu, maka tinggi rendahnya ilmu pedang ini juga
bergantung kepada cerdas atau tidaknya si pengguna. Seorang pengguna yang
cerdas akan selalu membuat terobosan baru, seperti seorang sastrawan besar yang
selalu berhasil mendapatkan inspirasi untuk menciptakan puisi baru yang indah.
Setelah melewati lebih dari
empat puluh jurus, Linghu Chong semakin mahir dan serangannya bertambah lancar.
Banyak gerakan bagus yang bahkan belum pernah diajarkan Feng Qingyang sendiri.
Hal ini disebabkan karena ilmu pedang pihak lawan sangat cemerlang, sehingga
secara alami ilmu Sembilan Pedang Dugu memunculkan jurus-jurus penangkal untuk
menghadapinya. Saat itu rasa takut Linghu Chong sudah lenyap, sehingga segenap
pikirannya dapat tercurah ke dalam ilmu pedangnya itu. Kini ia tidak sempat
lagi memikirkan takut atau senang, kecuali hanya bertarung dan bertarung saja.
Orang bermarga Ren telah
melancarkan delapan jenis ilmu pedang yang paling lihai. Ada yang berupa
serangan ganas dan cepat, ada yang jurusnya susul-menyusul tanpa henti, ada
yang lincah dan ringan, serta ada pula yang tenang tapi bertenaga. Namun
demikian, Linghu Chong tetap saja dapat melayani itu semua dengan lancar,
seolah-olah keseluruhan ilmu pedang tersebut sudah dihafal olehnya sejak kecil.
Mendadak orang bermarga Ren
melintangkan pedangnya sambil membentak, “Sobat cilik, sesungguhnya ilmu
pedangmu ini hasil ajaran siapa? Sepertinya Sesepuh Feng tidak memiliki
kepandaian seperti ini.”
Linghu Chong agak terkejut dan
menjawab, “Ilmu pedang ini kalau bukan hasil ajaran Sesepuh Feng, lantas siapa
lagi orang sakti di dunia ini yang mampu mengajarkannya kepadaku?”
“Benar juga,” seru orang itu.
“Ini, sambut pedangku!” Mendadak ia menebaskan pedang kayunya sambil meraung
panjang.
Dengan cepat Linghu Chong
memiringkan pedang dan menusuk ke depan. Si marga Ren terpaksa menarik kembali
pedangnya untuk menangkis. Berulang-ulang orang itu meraung seperti orang gila.
Semakin keras suaranya, semakin cepat pula serangan pedangnya.
Linghu Chong merasa ilmu
pedang orang bermarga Ren tidak mengandung sesuatu yang luar biasa, tetapi
suara teriakan dan raungannya yang membuat pikiran kacau balau. Ia berusaha
tetap tenang menghadapi semua serangan musuh. Tiba-tiba orang bermarga Ren itu
berteriak keras sekali, seakan-akan bisa mengguncang langit dan bumi. Telinga
Linghu Chong terasa mendengung, seolah gendang telinganya pecah dan bergetar.
Pikirannya menjadi gelap, kepala pun terasa pusing. Seketika ia pun jatuh tak
sadarkan diri dan roboh terkapar di lantai.
Linghu Chong tidak tahu sudah
berapa lama ia pingsan. Begitu membuka mata, kepalanya terasa sakit seperti
pecah dan telinganya masih mendengung-dengung, bagaikan mendengar suara petir
yang bergemuruh. Begitu melihat ke sekeliling ternyata keadaan gelap gulita.
Entah berada di mana dirinya saat ini. Ia mencoba untuk bangkit, tapi sekujur
tubuh terasa lemas lunglai tiada bertenaga sedikit pun.
Diam-diam ia pun berpikir,
“Aku pasti sudah mati dan sekarang berada di dalam kuburan.” Seketika ia merasa
sedih dan cemas, membuatnya kembali jatuh pingsan.
Ketika siuman untuk yang kedua
kalinya terasa kepala masih sangat sakit, namun suara mendengung di telinga
sudah jauh berkurang. Di bawah tubuhnya terasa ada benda dingin dan keras,
bagaikan sedang berbaring di atas papan baja. Ia mencoba meraba-raba dengan
tangan. Benar juga, ternyata di bawah tikar jerami tempatnya berada terdapat
lempengan besi. Namun begitu tangannya sedikit bergerak langsung mengeluarkan
suara gemerencing nyaring. Ia pun merasa tangannya seperti terbelenggu oleh
suatu benda keras dan dingin seperti es. Ketika tangan yang lain hendak meraba,
ternyata juga mengeluarkan suara nyaring dan terasa terikat pula.
Linghu Chong merasa gembira
sekaligus terkejut, karena ternyata ia belum mati, namun dalam keadaan terikat
rantai. Ketika menggerakkan kaki, ia merasa kedua kakinya juga terbelenggu oleh
borgol berantai. Rupanya kini ia mengalami nasib yang serupa dengan orang
bermarga Ren.
Dalam keadaan gelap gulita ia
membuka mata lebar-lebar namun tidak dapat melihat apa-apa. Ia pun berpikir,
“Sebelum pingsan aku sedang bertanding pedang melawan Tuan Ren. Entah bagaimana
aku bisa masuk perangkap Empat Sekawan dari Jiangnan? Rupanya aku sekarang
dikurung di dalam penjara bawah danau. Apakah aku dikurung bersama Tuan Ren?”
Segera ia berteriak-teriak
memanggil, “Tuan Ren! Tuan Ren!”
Dua kali memanggil namun tidak
terdengar suara jawaban sedikit pun, membuatnya bertambah takut dan kembali
berteriak, “Tuan Ren! Tuan Ren!”
Namun dalam kegelapan hanya
terdengar suara sendiri yang serak dan penuh kecemasan. Setelah tertegun
sejenak, ia kembali berteriak-teriak, “Tuan Pertama! Tuan Keempat! Mengapa
kalian mengurung aku di sini? Lekas bebaskan aku! Lekas bebaskan aku!”
Akan tetapi, biarpun ia berteriak
sampai kerongkongan kering, tetap saja tidak memperoleh jawaban sama sekali.
Rasa takut pun berubah menjadi amarah. Akhirnya, kali ini ia mencaci maki
habis-habisan, “Bangsat keparat! Kalian manusia rendah tidak tahu malu! Kalian
tidak mampu mengalahkan ilmu pedangku, lantas mengurungku di sini, hah?”
Membayangkan dirinya akan
bernasib sama seperti orang bermarga Ren, membuat Linghu Chong merasa putus
asa. Biasanya ia tidak pernah merasa takut, juga pada saat menghadapi bahaya
tidak pernah memikirkan hidup atau mati. Tapi sekarang begitu membayangkan
dirinya akan terkurung seumur hidup di penjara yang gelap gulita di bawah danau
itu, mau tidak mau bulu kuduknya berdiri dan sekujur tubuh terasa merinding.
Semakin dipikir semakin
bertambah besar rasa takut di hatinya. Kembali ia berteriak-teriak, tapi
setelah beberapa saat suaranya berubah menjadi ratap tangis. Entah sejak kapan
air matanya meleleh membasahi pipi. “Kalian empat … empat anjing kotor dari
Wisma Mei Zhuang, bila kelak aku dapat lolos dari sini, aku akan … mencongkel
biji mata kalian, akan kupotong kaki dan tangan kalian …. Kupotong sampai
buntung! Jika aku keluar dari sini ….”
Mendadak ia terdiam karena
suatu pikiran terlintas dalam benaknya, “Mungkinkah aku mampu keluar dari
penjara ini? Tuan Ren yang memiliki kepandaian seperti itu saja tidak mampu
lolos dari sini. Bagaimana … bagaimana caraku keluar dari sini?” Karena rasa
cemasnya mencapai puncak, tahu-tahu darah segar pun tersembur keluar dari
mulutnya. Kembali ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Setiap kali jatuh pingsan,
badannya terasa semakin lemah. Di antara sadar dan tidak sadar itu tiba-tiba
terdengar suara benda jatuh yang disusul dengan cahaya terang menyilaukan mata.
Linghu Chong terbangun dan hendak melompat berdiri. Ia lupa bahwa kaki dan
tangannya sedang terbelenggu, ditambah lagi badannya yang sangat lemas. Maka
baru melompat sedikit saja, ia sudah terbanting ke bawah. Seluruh ruas tulang
badannya seakan-akan rontok dibuatnya.
Karena sudah lama berada di
tempat gelap, matanya terasa seperti ditusuk saat melihat cahaya tersebut.
Namun karena khawatir sinar terang itu lenyap lagi dan ia kehilangan kesempatan
emas untuk meloloskan diri, maka walaupun mata terasa pedas tetap saja
dibukanya lebar-lebar untuk menatap ke arah datangnya sinar tersebut.
Ternyata cahaya itu menembus
masuk melalui sebuah lubang persegi. Segera Linghu Chong teringat bahwa kamar
penjara tempat si marga Ren juga memiliki sebuah lubang persegi pada daun
pintunya. Ia mencoba melirik sekitar, ternyata dirinya memang berada di dalam
sebuah kamar penjara semacam itu.
Amarahnya kembali memuncak dan
ia pun berteriak-teriak, “Cepat bebaskan aku! Huang Zhonggong, Heibaizi, Setan
Gundul, kalian anjing-anjing kotor! Kalau berani, lepaskan aku dari sini!”
Perlahan-lahan terlihat sebuah
nampan kayu masuk melalui lubang persegi tadi. Di atas nampan itu tertaruh
semangkuk nasi dengan disertai lauk pauk dan sayur mayur. Selain itu juga
terdapat sebuah guci dari tanah liat, sepertinya berisi air minum.
Melihat itu Linghu Chong
bertambah gusar. Ia berpikir, “Kalian mengirim makanan kepadaku? Jadi kalian
bermaksud mengurung aku di sini untuk waktu yang lama?”
Tanpa pikir lagi ia pun
mencaci maki kembali, “Empat anjing kotor, kalau mau bunuh, bunuh saja
sekarang! Kalau mau cincang, cincang saja sekarang! Kenapa kalian main-main
dengan tuanmu ini?”
Dilihatnya nampan makanan
telah berhenti tanpa bergerak lagi. Sepertinya orang di luar bermaksud supaya
Linghu Chong mengulurkan tangan dan menyambut nampan tersebut. Karena ruangan
penjara agak sempit, asalkan Linghu Chong bangkit dan sedikit memiringkan tubuh
tentu tangannya dapat mencapai nampan di lubang persegi. Mendadak ia menampar
sekerasnya. Maka terdengarlah suara ramai jatuhnya mangkuk dan kendi itu
sehingga hancur semua dan isinya berhamburan di lantai.
Orang di luar pintu perlahan
menarik kembali nampan yang telah kosong itu. Linghu Chong semakin gusar dan
menubruk ke depan. Melalui lubang persegi ia melihat seorang tua dengan tangan
kiri membawa lampu pelita dan tangan kanan memegang nampan tadi sedang
melangkah pergi dengan perlahan. Rambut orang tua itu penuh uban, kulit mukanya
keriput, jelas sudah sangat tua renta. Sebelum ini Linghu Chong merasa belum
pernah melihatnya.
“Hei, lekas panggil Huang
Zhonggong, Danqingsheng, dan yang lain ke sini! Kalau berani, suruh keempat …
keempat anjing itu bertanding mati-matian denganku,” teriak Linghu Chong.
Namun sama sekali orang tua
itu tidak menghiraukannya. Dengan terbungkuk-bungkuk, selangkah demi selangkah
ia berjalan menjauh.
“Hei, hei, kau dengar tidak?”
lagi-lagi Linghu Chong berteriak. Tapi pelayan tua itu tetap saja tidak
menoleh.
Ketika bayangan si pelayan tua
telah menghilang di sudut lorong, cahaya pelita juga mulai suram, sampai
akhirnya keadaan kembali gelap gulita. Selang sejenak, terdengar suara pintu
kayu dan pintu besi ditutup secara berurutan. Suasana kembali suram dan sunyi,
tiada cahaya ataupun suara sedikit pun.
Linghu Chong kembali merasa
pusing. Setelah termangu-mangu sejenak, perlahan ia berbaring dan berpikir,
“Orang tua pengantar makanan itu tentu mendapat larangan keras untuk berbicara
denganku. Percuma saja aku berteriak-teriak kepadanya.” Lalu terpikir pula
olehnya, “Ruangan ini sama persis dengan yang dihuni Tuan Ren. Tampaknya di ruang
bawah tanah Wisma Mei Zhuang terdapat penjara gelap yang tidak sedikit
jumlahnya. Entah berapa banyak kaum kesatria dan orang gagah yang ditahan di
sini? Jika aku dapat berhubungan dengan Tuan Ren atau para tahanan lainnya,
mungkin ada kesempatan bagiku untuk meloloskan diri dari sini.”
Setelah berpikir demikian, ia
segera mengetuk dinding beberapa kali. Terdengar dinding itu mengeluarkan bunyi
berdentang-dentang, jelas terbuat dari baja. Namun, suara yang terdengar terasa
padat dan berat, sepertinya di sebelah tidak ada ruangan lain. Ia mencoba
mengetuk dinding di belakangnya, ternyata menimbulkan suara yang sama pula.
Tanpa putus asa, semua sisi dinding diketuknya, kecuali pintu besi, ternyata
seluruhnya mengeluarkan suara yang sama. Sepertinya kamar penjara yang ia
tempati adalah ruangan yang terkubur di dalam tanah gelap. Tentunya masih ada
kamar penjara yang lain, atau paling tidak masih ada sebuah, yaitu tempat orang
tua bermarga Ren dikurung. Hanya saja, ia tidak tahu di mana letak kamar
tersebut dan berapa jauhnya dari tempatnya kini berada.
Linghu Chong kemudian
bersandar di dinding dan mencoba mengingat-ingat kembali apa yang dialaminya
sebelum jatuh pingsan. Yang ia ingat hanyalah serangan pedang orang bermarga
Ren itu semakin cepat dan gencar, dengan disertai teriakan-teriakan. Terakhir
orang itu berteriak sangat keras seperti mengguncang langit dan bumi, membuat
dirinya tidak tahan lagi dan jatuh pingsan. Mengenai bagaimana ia dapat ditawan
Empat Sekawan dari Jiangnan dan bagaimana caranya diusung ke dalam kamar
penjara ini, kemudian dibelenggu dengan borgol berantai sama sekali tidak
diketahuinya.
“Penampilan keempat majikan
itu seperti orang terpelajar yang sehari-hari sibuk bermain kecapi, catur,
menulis, dan melukis. Namun siapa sangka perbuatan mereka ternyata begini
jahat? Di dunia persilatan memang banyak orang jahat yang berpura-pura luhur
budi, seharusnya aku tidak perlu heran. Hanya saja, keterampilan mereka dalam
kecapi, catur, kaligrafi, dan lukisan, sepertinya bukan pura-pura. Aku melihat
sendiri bagaimana Tubiweng menuliskan Syair Jenderal Pei di dinding dengan
lincah, kuasnya bergerak dengan bebas dan merdeka. Ini sesuatu yang tidak bisa
dilakukan orang persilatan biasa. Aku ingat Guru pernah berkata bahwa orang
yang paling jahat di muka bumi justru orang-orang yang paling pintar dan
terpelajar. Ucapan Guru ternyata memang benar. Rencana jahat yang disusun Empat
Sekawan dari Jiangnan benar-benar sulit dihindari.”
Tiba-tiba ia menjerit, “Aih!”
Tanpa terasa ia pun melonjak bangun dengan jantung berdebar-debar. “Hei,
bagaimana dengan Kakak Xiang? Apakah ia juga mengalami nasib buruk seperti
aku?” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Kakak Xiang sangat pintar dan
cerdik. Sepertinya sebelum ini ia sudah tahu orang macam apa Empat Sekawan dari
Jiangnan itu. Kakak Xiang sudah lama malang melintang di dunia persilatan, juga
pernah menjadi Pelindung Kanan Sekte Iblis yang kaya pengalaman, tentunya tidak
mudah terjebak dan masuk ke dalam perangkap mereka. Asalkan tidak terkurung
oleh mereka, tentu ia mampu mencari akal untuk menyelamatkanku. Meskipun aku
terkurung sedalam ratusan meter di bawah tanah, Kakak Xiang tetap dapat
menolongku keluar dari sini.”
Berpikir demikian membuat
hatinya menjadi lega dan mulutnya pun tersenyum lebar. Ia lalu menggumam
sendiri, “Linghu Chong, oh Linghu Chong, kau memang pengecut tak berguna. Baru
saja kau menangis ketakutan. Kalau sampai diketahui orang, mau ditaruh ke mana
lagi mukamu ini?”
Karena hatinya terasa lega,
perlahan ia pun bangkit untuk duduk. Sesaat kemudian perutnya terasa lapar dan
kerongkongan pun haus. “Sayang sekali barusan aku mengamuk dan membuang-buang
makanan kiriman itu. Jika aku tidak makan sampai kenyang, nanti kalau Kakak
Xiang datang menolongku keluar, lantas dari mana aku punya tenaga untuk
melabrak Empat Anjing dari Jiangnan? Hahaha, memang sebaiknya kusebut mereka
Empat Anjing Jiangnan saja. Orang jahat dan berbudi rendah seperti mereka mana
pantas disebut empat sekawan segala? Di antara empat anjing itu Heibaizi paling
pendiam, dengan wajah selalu tampak muram. Kemungkinan besar dialah yang
merencanakan semua tipu muslihat keji ini. Setelah aku lolos dari sini, maka
orang pertama yang akan kubunuh adalah dia. Di antara empat anjing itu hanya
Danqingsheng yang paling jujur. Biarlah aku mengampuni jiwanya. Tapi sebagai
ganti, semua arak simpanannya akan kuminum sampai habis.” Teringat kepada
arak-arak enak itu, rasa dahaga Linghu Chong bertambah hebat.
“Wah, sudah berapa lama aku
tak sadarkan diri? Mengapa Kakak Xiang belum juga datang?” Mendadak terpikir
olehnya, “Aih, celaka! Jika bertarung satu lawan satu, Kakak Xiang pasti
sanggup mengalahkan Empat Anjing Jiangnan itu. Tapi kalau mereka berempat maju
sekaligus tentu sukar bagi Kakak Xiang untuk menang. Sekalipun Kakak Xiang dapat
membinasakan keempat anjing itu, tetap saja sulit mencari penjara di bawah
tanah ini. Siapa yang menduga kalau lubang masuk menuju lorong penjara ini
justru berada di bawah tempat tidur Huang Zhonggong?”
Begitulah, ia merasa letih dan
kembali berbaring. Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benaknya, “Ilmu silat Tuan
Ren sangat tinggi, jelas di atas Kakak Xiang dan tidak mungkin di bawahnya.
Bahkan pengetahuannya yang luas serta kecerdasannya juga melebihi Kakak Xiang.
Seorang tokoh sehebat itu saja bisa terkurung di penjara gelap ini, bagaimana
Kakak Xiang bisa mengalahkan anjing-anjing itu? Seorang gagah berbudi luhur dan
jujur memang seringkali terjebak dalam rencana jahat manusia-manusia rendah.
Pepatah mengatakan, ‘Serangan musuh di siang hari mudah ditangkis, namun musuh
yang menikam di balik selimut sukar dihindari.’ Sudah begitu lama Kakak Xiang
tidak juga datang, jangan-jangan ia juga telah masuk ke dalam perangkap
mereka.” Untuk sesaat dilupakannya nasib sendiri dan kini berganti memikirkan
keselamatan Xiang Wentian.
Pikirannya melayang-layang dan
tanpa terasa ia pun tertidur pulas. Ketika terjaga dan membuka mata, keadaan
tetap gelap gulita. Apakah hari sudah malam atau siang sama sekali tidak dapat
diketahuinya. Kembali ia termenung, “Kalau hanya mengandalkan kemampuanku jelas
aku tidak akan bisa keluar dari sini. Jika Kakak Xiang juga mengalami bencana,
lalu siapa lagi yang bisa menolongku keluar dari sini? Guru telah mengedarkan
surat tentang pemecatanku dari Perguruan Huashan. Orang-orang aliran lurus
jelas tidak sudi datang menolongku. Tinggal Yingying saja. Yingying, Yingying
….”
Teringat kepada Yingying
membuat semangatnya bangkit. Segera ia duduk dan berpikir lagi, “Yingying telah
menyuruh Lao Touzi dan kawan-kawannya menyiarkan berita di dunia persilatan
bahwa aku harus dibunuh. Dengan sendirinya orang-orang aliran sesat juga tidak
mungkin datang menolongku. Tapi bagaimana dengan Yingying sendiri? Jika dia
tahu aku terkurung di sini pasti dia akan datang menyelamatkanku. Banyak sekali
orang-orang aliran sesat yang tunduk kepada perintahnya. Asalkan dia
mengucapkan satu kata saja, hahaha ….” Tanpa terasa ia tertawa senang. “Tapi
kulit wajah nona ini begitu tipis. Dia paling takut orang lain mengatakan bahwa
dia suka kepadaku. Kalau dia ingin menolongku, tentu dia akan datang sendirian
tanpa membawa bala bantuan. Justru kalau ada orang lain yang tahu dia datang
menolongku, kemungkinan besar jiwa orang itu akan melayang. Aih, isi hati
seorang gadis memang sukar ditebak. Seperti Adik Kecil ….”
Begitu teringat kepada Yue
Lingshan, seketika hatinya terasa sakit. Kesedihan dan rasa putus asa yang
mendalam telah menambah beban penderitaannya menjadi lebih berat lagi.
“Bagaimana mungkin aku berharap ada orang yang akan menolongku? Saat ini
mungkin Adik Kecil dan Adik Lin telah menikah. Andaikan aku dapat keluar dari
sini juga apalah gunanya? Bukankah lebih baik aku terkurung seumur hidup di
sini dan tidak tahu di luar sana ada apa?” Begitu menemukan manfaat terkurung
dalam penjara – yaitu tidak dapat mengetahui perkembangan hubungan Lin Pingzhi
dan Yue Lingshan – seketika rasa cemasnya langsung berkurang, bahkan berubah
menjadi syukur dan gembira.
Akan tetapi perasaan lega itu
tidak bertahan lama. Ketika perutnya terasa lapar dan tenggorokan terasa kering,
terbayang olehnya bagaimana nikmatnya minum arak dan makan daging lezat.
Akhirnya, ia merasa lebih baik lolos keluar daripada kebebasannya terkekang.
Dalam hati ia berkata, “Biar saja Adik Lin menikahi Adik Kecil. Aku sendiri
sudah kenyang dianiaya orang, tenagaku dalamku juga sudah musnah dan mirip
orang cacat. Tabib Ping menyatakan ajalku sudah tidak lama lagi. Sekalipun Adik
Kecil mau menjadi istriku tetap saja aku tidak boleh menikahi dia. Mana boleh
aku membuat dia menjadi janda muda yang merana?”
Namun dalam lubuk hatinya ia
merasa meskipun tidak dapat menikahi Yue Lingshan, namun nona itu telah
mencintai Lin Pingzhi. Bagaimanapun juga hal ini membuat perasaannya sangat
tertusuk. “Bagaimana baiknya ini? Bagaimana baiknya ini? Paling baik, paling baik
Adik Kecil masih tetap seperti yang dulu. Paling baik ini semua tidak pernah
terjadi. Paling baik aku tetap di Gunung Huashan, berlatih pedang bersama Adik
Kecil di bawah air terjun. Paling baik Adik Lin tidak pernah menjadi murid
Huashan, dan aku dapat hidup bahagia berdampingan dengan Adik Kecil untuk
selamanya.”
“Aih, tapi sekarang semua itu
sudah terjadi,” pikirnya pula. “Entah bagaimana pula kabar Tian Boguang, Enam
Dewa Lembah Persik, juga Adik Yilin ….”
Teringat kepada Yilin si
biksuni cilik dari Perguruan Henshan, seketika senyum hangat terkembang di
wajahnya. “Entah bagaimana kabar Adik Yilin sekarang? Jika dia tahu aku
terkurung di sini, tentu dia akan sangat cemas dan khawatir. Sudah pasti
gurunya juga telah menerima surat edaran dari Guru sehingga melarangnya datang
menolongku. Tapi dia … dia pasti akan memohon kepada ayahnya, yaitu Biksu Bujie
untuk berdaya upaya, mencari akal demi menolongku. Bisa jadi Biksu Bujie akan
mengajak serta Enam Dewa Lembah Persik ke sini. Aih, ketujuh orang itu suka
berbuat ngawur dan membuat keadan bertambah kacau. Tetapi … tetapi bila ada
yang datang menolongku rasanya lebih baik daripada tidak ada orang yang peduli
sama sekali.”
Teringat pada kelakuan Enam
Dewa Lembah Persik yang ngawur dan sinting itu, tanpa terasa Linghu Chong
tertawa terkekeh-kekeh. Dulu ia sering memandang rendah tingkah laku enam orang
tua aneh itu. Namun sekarang, ia berharap mereka dapat menjadi teman mengobrol
di dalam penjara yang sunyi ini. Omong kosong yang mereka ucapkan itu jika saat
ini bisa didengar tentu akan seperti nyanyian malaikat kahyangan.
Setelah berbagai macam pikiran
berkecamuk dalam benaknya, Linghu Chong pun kembali tertidur lelap.
Entah sudah berapa lama ia
tertidur di dalam penjara yang gelap itu, tiba-tiba terlihat sinar
remang-remang menembus masuk melalui lubang persegi di pintu besi. Dalam
keadaan masih mengantuk, Linghu Chong buru-buru bangkit untuk duduk. Hatinya
berdebar-debar dan bertanya, “Siapakah yang datang menolongku?”
Namun rasa senang itu tidak bertahan
lama. Segera ia mendengar suara langkah yang berat dan perlahan, jelas itu
adalah langkah kaki si pelayan tua pengantar makanan. Dengan tubuh lemas ia pun
kembali merebahkan diri sambil berteriak, “Panggil keempat anjing bangsat itu
kemari! Coba lihat, mereka berani bertemu muka denganku atau tidak?”
Terdengar suara langkah kaki
semakin mendekat, cahaya lampu juga semakin terang. Menyusul sebuah nampan kayu
disodorkan masuk melalui lubang persegi. Di atas nampan tetap tertaruh
semangkuk nasi dan sebuah kendi. Pelayan tua itu sama sekali tidak bicara,
hanya menyodorkan nampan ke dalam dan menunggu diterima oleh Linghu Chong.
Linghu Chong memang sudah
sangat kelaparan, lebih-lebih kerongkongannya juga sudah kering. Sejenak ia
ragu-ragu namun kemudian disambutnya nampan kayu tersebut. Sesudah melepaskan
nampan, si pelayan tua lantas memutar tubuh dan melangkah pergi.
“He, hei, nanti dulu, aku
ingin bertanya kepadamu!” teriak Linghu Chong.
Namun pelayan tua itu sama
sekali tidak menggubris. Terdengar suara kakinya melangkah dengan berat dan
agak diseret. Lambat laun suaranya semakin menjauh dan cahaya lampu tidak
terlihat lagi.
Linghu Chong memaki-maki
beberapa kali lalu mengangkat kendi dan menuang isinya ke dalam mulut. Kendi
tersebut berisi air minum yang bersih. Dalam sekali tarikan napas, ia
menghabiskan setengah isi kendi, kemudian mulai memakan nasi. Di tengah
kegelapan ia dapat merasakan lauk pauk dan sayur maur yang bercampur nasi,
antara lain lobak dan sejenis tahu.
Begitulah, selama tujuh atau
delapan hari ia meringkuk dalam penjara, dan si pelayan tua selalu datang
sehari sekali untuk mengantar makanan. Ketika pergi, pelayan tua itu sekalian
membawa mangkuk, sumpit, dan kendi bekas yang diantar sehari sebelumnya. Selain
itu dibawanya pula tempurung wadah kotoran. Linghu Chong dengan segala cara
berusaha mengajaknya bicara, namun tetap saja wajah pelayan tua itu tampak kaku
tanpa menunjukkan suatu perasaan apa pun.
Beberapa hari kemudian, begitu
melihat cahaya lampu, Linghu Chong segera menubruk ke depan lubang persegi dan
memegangi nampan kayu yang disodorkan si pelayan tua sambil berteriak, “Kenapa
kau tidak bicara? Kau dengar kata-kataku atau tidak?”
Pelayan tua itu
menunjuk-nunjuk telinganya sendiri sambil menggeleng-geleng seolah memberi
isyarat bahwa ia seorang tuli. Menyusul ia lantas membuka mulut lebar-lebar.
Linghu Chong sangat terkejut, karena melihat lidah orang tua itu ternyata hanya
tinggal sebagian kecil saja. Sungguh pemandangan yang mengerikan.
“Hah, lidahmu dipotong orang?
Apakah ini perbuatan keji keempat anjing itu?” seru Linghu Chong.
Pelayan tua itu tidak
menjawab. Ia hanya mendorong nampan kayu masuk melalui lubang persegi sedikit
demi sedikit. Jelas ia tidak mendengar apa yang diucapkan Linghu Chong tadi.
Andaikan mendengar juga tidak dapat menjawab karena mulutnya bisu.
Linghu Chong merasa terkejut
bercampur ngeri. Ia masih terbayang-bayang pangkal lidah si pelayan tua yang
hampir habis itu, meskipun orangnya sudah pergi. Hal ini membuatnya tidak
berselera makan. “Empat anjing Jiangnan itu sungguh memuakkan. Kalau saja aku
bisa lolos dari tempat terkutuk ini, maka akan kupotong lidah mereka, kutusuk
telinga mereka sampai tuli ….” Demikian ia menggumam sendiri dengan sangat
geram.
Tiba-tiba sebuah ingatan
terlintas dalam benaknya. “Ah, jangan-jangan mereka … jangan-jangan mereka ….”
Ia teringat pada peristiwa
dahulu ketika membutakan mata lima belas orang laki-laki bercadar di halaman
Kuil Dewa Obat. Asal usul orang-orang itu selama ini masih belum ia ketahui.
“Jangan-jangan aku dikurung di sini adalah untuk membalaskan dendam kelima
belas orang itu.” Teringat kejadian tersebut membuatnya menghela napas. Rasa
kesalnya yang tak terlampiaskan selama beberapa hari sebagian besar lenyap
sudah. “Aku telah membutakan mata kelima belas orang itu. Kalau mereka ingin
membalas dendam dengan cara seperti ini, aku rasa memang sudah sepantasnya.”
Karena rasa gusarnya sudah
banyak berkurang, maka hari-hari selanjutnya menjadi lebih mudah untuk dilalui.
Di penjara yang gelap gulita itu siang dan malam tidak dapat dibedakan sehingga
sudah berapa lama waktu berlalu juga tidak dapat diketahui dengan jelas. Yang
terasa olehnya hanyalah hawa di dalam kamar penjara tersebut semakin hari
semakin gerah. Ia menduga sepertinya musim panas telah tiba.
Kamar penjara yang sempit itu
sama sekali tidak memiliki lubang angin, sehingga hawa panas dan lembab terasa
semakin mengerikan. Merasa tidak tahan lagi, Linghu Chong pun membuka baju.
Karena tangan dan kaki terbelenggu rantai, tidak mungkin pakaiannya
ditanggalkan seluruhnya. Maka bajunya hanya ditarik ke atas dan celana digulung
ke bawah. Tikar usang yang menutupi dipan besi itu digulungnya pula. Maka
badannya yang telanjang itu terasa segar ketika rebah di atas dipan besi.
Keringatnya yang bercucuran sedikit demi sedikit mengering dan tanpa terasa ia
pun tertidur.
Setelah beberapa jam berlalu,
dipan itu menjadi panas juga karena tertindih oleh badannya. Dalam keadaan
setengah sadar, ia lantas bergeser ke sisi lain yang masih nyaman. Ketika salah
satu tangan menahan tubuh, pada permukaan dipan besi itu terasa adanya ukiran.
Hanya saja waktu itu ia sangat mengantuk, sehingga hal ini tidak terlalu
diperhatikannya.
Nyenyak sekali ia tertidur,
sehingga ketika bangun terasa begitu bersemangat. Tidak lama kemudian si
pelayan tua datang lagi mengantar makanan. Kini Linghu Chong merasa sangat
simpati kepada orang tua itu. Setiap kali si pelayan tua menyodorkan nampan
makanan melalui lubang persegi, tentu ia akan meremas-remas tangannya atau
menepuk-nepuk punggung tangannya sebagai tanda terima kasih. Maka kali ini pun
demikian.
Setelah menerima nampan itu,
tiba-tiba di bawah cahaya pelita yang remang-remang ia melihat pada punggung
tangannya tercetak sebuah kalimat yang berbunyi “Woxing terkurung”.
Linghu Chong terheran-heran
tidak mengerti dari mana datangnya tulisan di tangannya itu. Setelah merenung
sejenak, dengan cepat ia menaruh nampan tersebut dan segera meraba-raba dipan
besi. Baru sekarang ia sadar bahwa pada permukaan dipan tersebut ternyata penuh
dengan ukiran tulisan yang tak terhitung banyaknya. Selama ini dipan besi itu
selalu tertutup selembar tikar usang. Baru setelah udara semakin panas, dan
tikar usang dilepaskan, Linghu Chong dapat menemukan tulisan tersebut tercetak
di punggung tangannya. Ketika meraba punggung dan pantatnya, ia tak kuasa
menahan tawa karena ternyata bagian tubuh yang diraba juga tercetak tulisan
serupa. Setiap huruf berukuran sebesar uang logam, guratannya dalam, namun agak
sulit dibaca seperti cakar ayam.
Saat itu si pelayan tua saudah
pergi menjauh, dan keadaan kamar penjara kembali gelap gulita. Karena
penasaran, ia hanya minum beberapa teguk air tanpa menyentuh nasi, kemudian
melanjutkan meraba tulisan pada dipan. Setelah menemukan permulaan tulisan, ia
pun membaca huruf demi huruf dengan suara lirih, “Aku si tua selama hidup tak
peduli budi dan dendam, membunuh sesuka hati. Sekarang aku dikurung di bawah
danau, hal ini adalah pembalasan yang setimpal. Hanya saja, aku si tua Ren
Woxing terkurung ….”
Membaca sampai di situ ia pun
berpikir, “Ternyata tulisan di tanganku berasal dari bagian ini.” Kembali ia
meraba-raba dan melanjutkan membaca, “… di sini, mau tidak mau ilmu saktiku
yang luar biasa tingginya akan musnah bersama tulang belulangku. Para pemuda
dari angkatan selanjutnya tidak akan mengenal kepandaianku si tua ini, sungguh
sayang.”
Linghu Chong mendongak ke atas
sambil berpikir, “Si tua Ren Woxing! Si tua Ren Woxing! Orang yang mengukir
tulisan ini tentu yang bernama Ren Woxing itu. Ternyata dia juga bermarga Ren.
Entah apa hubungannya dengan Tuan Ren yang kuhadapi tempo hari? Penjara bawah
danau ini entah sudah berapa lama berdiri? Mungkin orang bernama Ren Woxing itu
sudah mati puluhan tahun silam.”
Kembali ia meraba tulisan yang
selanjutnya berbunyi, “Sekarang aku si tua akan menuliskan semua intisari ilmu
kesaktianku di sini, supaya angkatan selanjutnya dapat mempelajarinya dan dapat
malang melintang di dunia persilatan. Walaupun aku mati, tapi kematianku tidak
percuma dan namaku tetap dikenang selamanya. Pertama, bersamadi ….” Tulisan
selanjutnya adalah berbagai cara untuk mengatur pernapasan dan tenaga dalam.
Sejak berlatih “Sembilan
Pedang Dugu”, ilmu silat yang paling disukai Linghu Chong adalah ilmu pedang.
Apalagi karena tenaga dalamnya sudah musnah, maka perkataan “bersamadi”
membuatnya agak kecewa. Tadinya ia berharap tulisan selanjutnya adalah
menguraikan semacam ilmu pedang yang ampuh, yang dapat ia latih sekadar untuk
pelipur lara. Karena harapan untuk meloloskan diri semakin tipis, maka ia ingin
sekali mencari-cari kesibukan demi mengusir rasa bosan supaya hari-hari
selanjutnya bisa dilalui dengan baik.
Akan tetapi, huruf-huruf yang
terukir itu selanjutnya berisi istilah-istilah tentang bagaimana berlatih
tenaga dalam, misalnya “bernapas”, “pusatkan chi di dantian”, “salurkan qi ke
jinjing”, “pembuluh ren” dan sebagainya. Sampai tulisan itu habis, tidak juga
ditemukan sebuah huruf pun yang berbunyi “pedang”.
Linghu Chong merasa putus asa
dan berkata, “Ilmu sakti hebat macam apa pula? Ini sama saja dengan
mengolok-olok aku! Segala ilmu silat dapat kuterima, kecuali ilmu tenaga dalam
yang tak dapat kupelajari. Begitu aku mengumpulkan tenaga, seketika darah dalam
rongga dada dan perut langsung bergolak. Kalau aku teruskan berlatih rasanya
akan sangat tersiksa dan seperti mengundang bencana.”
Ia menghela napas panjang,
kemudian mengambil mangkuk nasi dan mulai makan sambil berpikir, “Ren Woxing
ini entah tokoh macam apa? Perkataannya sangat sombong. Dia membual dengan ilmu
saktinya bisa malang melintang di dunia persilatan segala.”
Ketika pertama kali menemukan
tulisan tadi, Linghu Chong merasa sangat bersemangat. Namun kini, mau tidak mau
semangatnya pupus dimakan kekecewaan. “Langit benar-benaar ingin
mempermainkanku. Rasanya lebih baik kalau aku tidak menemukan tulisan ini.”
Setelah termenung sejenak, ia melanjutkan berpikir, “Ternyata kamar penjara ini
memang khusus digunakan untuk mengurung jago-jago silat kelas tinggi. Dilihat
dari guratan tulisan yang dalam ini, dapat diduga ilmu silat Ren Woxing pasti
sangat lihai. Tapi mengapa dia dapat dikurung di sini dan tidak berdaya? Jelas
kamar penjara ini memang dibangun dengan sangat kuat dan aman. Meskipun punya
kepandaian setinggi langit juga sukar untuk kabur. Begitu terperangkap,
terpaksa harus menunggu ajal saja di dalam sini.” Setelah itu ia tidak lagi
peduli dengan tulisan pada permukaan dipan besi tersebut.
Saat itu Kota Hangzhou sedang
panas-panasnya. Di daratan saja rasanya sudah panas seperti kukusan, apalagi di
penjara bawah danau? Memang penjara tersebut terletak di bawah danau yang tidak
terkena sinar matahari, sehingga seharusnya terasa sejuk dan segar. Namun
karena tidak ada angin yang masuk, juga keadaannya sangat lembab, membuat orang
yang terkurung di dalamnya merasa sangat menderita. Setiap hari Linghu Chong
menggulung baju dan celananya, serta tidur di atas dipan besi tanpa tikar untuk
mencari rasa nyaman. Setiap kali merentangkan tangannya, ia meraba tulisan di
permukaan dipan itu sehingga tanpa terasa banyak sekali kalimat-kalimat yang
dihafalnya luar kepala.
Pada suatu hari ia sedang
tiduran sambil merenung, “Sekarang Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil ada di mana?
Apakah mungkin mereka sudah pulang ke Gunung Huashan?” Pada saat itulah
tiba-tiba dari jauh terdengar suara langkah kaki seseorang datang mendekat.
Suara langkah itu sangat ringan tapi cepat, berbeda sekali dengan langkah si
pelayan tua pengantar makanan biasanya.
Setelah sekian lama mendekam
di dalam penjara sebenarnya Linghu Chong sudah tidak begitu mengharapkan
datangnya seorang penolong. Namun kini mendadak terdengar suara langkah kaki
orang baru, mau tidak mau ia menjadi terkejut bercampur senang. Ia bermaksud
melompat bangun, tapi karena perasaan terlalu gembira justru membuat badan
terasa gemetar dan lemas, sehingga terpaksa ia tetap berbaring tanpa
bergerak-gerak.
Terdengar suara langkah orang
itu cepat sekali, tahu-tahu sudah sampai di luar pintu besi. Orang itu kemudian
berkata, “Tuan Ren, beberapa hari ini cuaca sangat panas. Apakah kau baik-baik
saja?”
Begitu mendengar suaranya,
Linghu Chong segera dapat mengenali orang yang baru datang itu adalah Heibaizi.
Andai saja Heibaizi datang sebulan sebelumnya, tentu Linghu Chong akan
mencaci-maki kepadanya dengan segala macam kata-kata kotor dan keji. Tapi kini
setelah cukup lama dikurung, amarahnya sudah banyak berkurang dan ia menjadi
lebih tenang dan sabar.
Diam-diam Linghu Chong merasa
heran dan bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa dia memanggilku sebagai ‘Tuan
Ren’? Apakah dia mendatangi kamar penjara yang salah?” Berpikir demikian
membuatnya memilih diam tanpa menjawab.
Terdengar Heibaizi berkata
lagi, “Hanya satu pertanyaan yang selalu kutanyakan kepada Tuan Ren setiap dua
bulan sekali. Hari ini adalah tanggal satu bulan tujuh. Pertanyaanku tetap
sama, apakah Tuan Ren setuju atau tidak?” Nada bicaranya terdengar sangat
sopan.
Diam-diam Linghu Chong merasa
geli dan berpikir, “Orang ini pasti mendatangi kamar penjara yang salah, dan
keliru menyangka aku sebagai Tuan Ren. Aneh benar, mengapa sekarang dia jadi
pikun begini?” Tapi segera ia tercengang, “Ah, tidak mungkin! Di antara keempat
majikan di Wisma Mei Zhunag, Heibaizi adalah yang paling teliti. Kalau Tubiweng
dan Danqingsheng masih mungkin mendatangi penjara yang salah. Tapi kalau
Heibaizi mana mungkin salah alamat? Pasti di balik ini ada suatu sebab
lainnya.”
Karena tidak juga mendapat
jawaban, Heibaizi lantas berseru, “Tuan Ren, selama hidup kau terkenal sebagai
kesatria yang lihai, untuk apa harus meringkuk di penjara ini sampai menjadi
mayat? Asalkan kau berjanji menyanggupi permintaanku, maka aku pun akan pegang
janji untuk meloloskanmu dari sini.”
Jantung Linghu Chong
berdebar-debar. Timbul bermacam-macam pikiran dalam benaknya, tapi sukar untuk
ia pecahkan. Ia sama sekali tidak mengerti apa maksud Heibaizi mengemukakan
kata-kata itu kepadanya.
Terdengar Heibaizi kembali
menegas, “Apakah Tuan Ren setuju atau tidak?”
Linghu Chong sadar saat ini
telah terbuka sebuah kesempatan untuk meloloskan diri. Ia tidak peduli apakah
lawan bicaranya memiliki maksud baik ataukah buruk, yang penting ada peluang di
depan mata daripada nasib yang tidak jelas seperti ini. Namun ia masih
penasaran ingin mengetahui apa maksud perkataan Heibaizi tadi. Ia khawatir
kalau salah menjawab justru membuat urusan menjadi runyam dan kesempatan emas
melayang sia-sia. Maka itu, ia terpaksa memilih tetap diam menunggu keadaan
selanjutnya.
Terdengar Heibaizi menghela
napas, lalu berkata, “Tuan Ren, mengapa kau tidak bersuara? Tempo hari kami
membawa bocah bermarga Feng datang kemari untuk bertanding pedang denganmu. Di
depan ketiga saudaraku sama sekali kau tidak menyinggung tentang pertanyaanku
kepadamu. Untuk itu aku sungguh sangat berterima kasih. Kupikir setelah
mengalami pertandingan itu tentu jiwa pendekarmu kembali berkobar. Betapa luasnya
jagad raya di luar sana, asalkan Tuan Ren bisa keluar dari penjara gelap ini,
maka kau bebas membunuh siapa saja, di mana saja kau suka. Bukankah hal ini
sangat menyenangkan? Jika kau menyanggupi permintaanku, maka hal ini sedikit
pun tidak merugikanmu. Tapi mengapa selama dua belas tahun ini kau selalu
menolak?”
Linghu Chong mendengar
Heibaizi berbicara dengan sungguh-sungguh karena benar-benar mengira kalau
dirinya adalah Tuan Ren. Hal ini membuatnya semakin heran dan curiga. Terdengar
Heibaizi mengulangi pertanyaannya berkali-kali membuat Linghu Chong penasaran
ada masalah apa sebenarya di balik permintaannya itu. Namun demikian, pemuda
itu tidak berani membuka suara karena takut urusan menjadi runyam. Terpaksa ia
terus saja menahan diri dan tetap diam membisu.
Heibaizi berkata, “Karena
pendirian Tuan Ren sedemikian kukuh terpaksa kita bertemu lagi dua bulan yang
akan datang.” Tiba-tiba ia tertawa lirih dan menyambung, “Kali ini Tuan Ren
tidak lagi mencaci maki kepadaku. Tampaknya pikiranmu sudah agak berubah. Dalam
dua bulan ini silakan Tuan Ren berpikir masak-masak.” Sambil berkata demikian,
ia pun memutar tubuh hendak melangkah pergi.
Linghu Chong menjadi
kelabakan. Begitu Heibaizi pergi, maka ia harus menunggu dua bulan lagi.
Sementara suasana di penjara ini satu hari saja sudah terasa setahun baginya,
mana bisa ia harus menunggu dua bulan lagi? Maka, ia pun menunggu Heibaizi
berjalan beberapa langkah, baru kemudian membalas pembicaraan dengan suara
berat dan serak yang dibuat-buat, “Kau … kau minta aku menyetujui apa?”
Mendengar itu, secepat kilat
Heibaizi melompat balik. Gerakannya sangat gesit, tahu-tahu ia sudah berdiri di
depan lubang persegi. Dengan suara gemetar ia berkata, “Apa kau … kau setuju?”
Linghu Chong berbalik
menghadap dinding. Dengan tangan menutup mulut ia berkata samar-samar,
“Menyetujui soal apa?”
Heibaizi menyahut, “Selama dua
belas tahun ini aku selalu datang ke sini enam kali setiap tahun, menempuh
bahaya hanya untuk memohon persetujuan Tuan Ren. Mengapa sekarang Tuan Ren
malah balik bertanya?” ujar Heibaizi.
“Huh, aku sudah lupa,” sahut
Linghu Chong sambil mendengus.
“Aku mohon Tuan Ren sudi
mengajarkan ilmu sakti itu kepadaku. Bila sudah kupelajari tentu Tuan Ren akan
kubebaskan dari sini,” kata Heibaizi.
Diam-diam Linghu Chong menjadi
ragu apakah Heibaizi benar-benar menyangka dirinya sebagai tokoh bermarga Ren
itu, ataukah ada tipu muslihat yang lain? Terpaksa ia menggumam lagi secara
samar-samar, bahkan dirinya sendiri tidak tahu apa yang dikatakannya, apalagi Heibaizi.
Maka berulang-ulang Heibaizi
menegas, “Bagaimana? Apakah Tuan Ren sudah setuju?”
“Kata-katamu tidak dapat
dipercaya. Mana bisa kau menipu aku?” kata Linghu Chong.
“Kalau begitu, jaminan apa
yang Tuan Ren kehendaki agar percaya kepadaku?” tanya Heibaizi.
“Terserah kau saja,” sahut
Linghu Chong.
“Sepertinya Tuan Ren masih
sangsi aku tidak menepati janji bila sudah berhasil mempelajari ilmu saktimu
itu bukan?” kata Heibaizi. “Tentang ini Tuan Ren tidak perlu khawatir. Aku
sendiri akan mengatur sedemikian rupa sehingga Tuan Ren tidak perlu ragu lagi.”
“Mengatur bagaimana?” sahut
Linghu Chong.
“Maaf, tapi Tuan setuju atau
tidak?” tanya Heibaizi dengan nada gembira.
Bermacam-macam pikiran
terlintas dalam benak Linghu Chong, “Dia memohon belajar ilmu sakti kepadaku,
tapi dari mana aku punya ilmu sakti yang ia maksudkan itu? Namun tiada salahnya
aku mengetahui apa yang ia rencanakan. Jika ia benar-benar bisa membebaskan aku
dari sini, biarlah aku menguraikan rumus rahasia yang terukir di atas lempengan
dipan besi itu kepadanya. Tidak peduli ilmu itu bermanfaat atau tidak, yang
penting aku tipu dia dulu; urusan yang lain belakangan.”
Karena tidak mendapat jawaban,
maka Heibaizi pun berkata, “Apabila Tuan Ren sudah mengajarkan ilmu itu
kepadaku maka aku sudah terhitung muridmu. Murid agama kita pantang menipu guru
dan mengkhianati leluhur. Barangsiapa melanggar tentu akan dijatuhi hukuman
berat, dikuliti hidup-hidup dampai mati perlahan-lahan. Mana berani aku
melanggar peraturan agama kita dan tidak membebaskan guruku sendiri?”
“Hm, ternyata begitu,” sahut
Linghu Chong.
“Jadi, apakah Tuan Ren sudah
setuju?” tanya Heibaizi dengan nada gembira.
“Tiga hari lagi kau boleh
datang kemari menerima jawabanku,” kata Linghu Chong.
“Sekarang saja Tuan Ren menyanggupi,
kenapa harus menunggu tiga hari lagi di kamar yang gelap ini?” ujar Heibaizi.
Diam-diam Linghu Chong
berpikir, “Dia lebih gelisah daripada aku. Sebaiknya memang aku main tarik ulur
selama tiga hari untuk melihat tipu muslihat apa yang ia persiapkan.”
Karena berpikir demikian, ia
pun tidak menjawab, hanya mendengus keras sebagai tanda muak dan terdengar
gusar.
Ternyata hal ini membuat
Heibaizi ketakutan. Dengan cepat ia pun berkata, “Baiklah! Baiklah! Tiga hari
lagi aku akan datang meminta petunjuk kepada Tuan.”
Setelah Heibaizi pergi dan
mengunci pintu berlapis, pikiran Linghu Chong kembali bergolak, “Mengapa dia
benar-benar menyangka aku sebagai Tuan Ren? Padahal Heibaizi sangat cerdik dan
teliti, mana mungkin dia berbuat kesalahan seperti itu?” Tiba-tiba ia teringat
sesuatu, “Jangan-jangan Huang Zhonggong telah mengetahui rahasianya, dan
diam-diam memindahkan Tuan Ren ke kamar penjara yang lain, kemudian menempatkan
aku di sini. Benar juga, selama dua belas tahun setiap dua bulan sekali Heibaizi
selalu datang kemari, kemungkinan besar perbatannya diketahui orang. Sudah
tentu Huang Zhongggong yang telah diam-diam mengatur ini semua.”
Untuk beberapa lama ia
termenung, kemudian teringat pada salah satu kalimat yang diucapkan Heibaizi.
“Murid agama kita yang menipu guru dan mengkhianati leluhur akan dihukum dengan
dikuliti hidup-hidup sampai mati perlahan-lahan.” Ia pun berpikir, “Apa yang
dimaksud dengan ‘agama kita’? Apakah Sekte Iblis? Jangan-jangan sesepuh
bermarga Ren itu dan Empat Sekawan Jiangnan adalah anggota Sekte Iblis. Kakak
Xiang sendiri adalah mantan Pelindung Kanan Sekte Iblis, pasti ada
sangkut-pautnya dengan mereka. Tapi aku sendiri belum tahu tipu muslihat apa
yang sedang mereka jalankan dengan melibatkan diriku di dalamnya.”
Begitu berpikir tentang “Sekte
Iblis”, ia langsung membayangkan adanya rahasia yang rumit dan berlapis-lapis.
Hal ini membuatnya tidak ingin berpikir lebih lanjut, kecuali dua hal saja,
“Apakah Heibaizi bersungguh-sungguh atau hanya berpura-pura? Bagaimana caraku
menjawab bila tiga hari lagi dia datang menanyai aku?”
Bermacam-macam dugaan telah
dipikirkannya, tapi tetap tidak dapat menjawab maksud dan tujuan Heibaizi.
Sampai akhirnya ia tertidur sendiri karena terlalu letih. Ketika terbangun, hal
pertama yang dipikirkannya adalah, “Andai saja Kakak Xiang berada di sini tentu
dia akan segera mengetahui tujuan Heibaizi. Sesepuh bermarga Ren itu sangat
cerdas, sepertinya jauh lebih cerdas di atas Kakak Xiang. Eh, ya ….”
Tiba-tiba ia melonjak bangun
dan berseru keras. Rupanya sesudah tidur pikirannya menjadi lebih jernih.
“Selama dua belas tahun ini Tuan Ren tidak menyanggupi permintaan Heibaizi.
Sudah tentu karena permintaannya itu tidak mungkin dapat diluluskan. Sebagai
seorang cerdik pandai tentu ia cukup tahu untung ruginya bila menyanggupi
permintaan Heibaizi. Tapi aku bukan Tuan Ren, apa repotnya bagiku untuk
menyanggupi permintaan Heibaizi?”
Dalam hati kecilnya ia tahu
urusan ini sangat ganjil, dan tentunya mengandung bencana yang sangat besar.
Namun keinginannya untuk meloloskan diri begitu besar. Maka, ia pun mengambil
keputusan, “Tiga hari lagi kalau Heibaizi datang, aku akan menyanggupi
permintaannya. Aku akan mengajarkan rumus rahasia ilmu samadi yang terukir di
atas dipan ini kepadanya. Aku lihat dulu bagaimana tanggapannya, lalu aku akan
bertindak sesuai gelagat.”
Begitulah, ia lantas
meraba-raba lagi tulisan di atas dipan untuk menghafalkannya. “Aku harus
menghafalkannya dengan baik supaya nanti aku bisa mengucapkannya dengan lancar,
sehingga Heibaizi tidak curiga. Sekarang yang jadi masalah hanya suaraku yang
masih berbeda dengan Tuan Ren itu. Aku nanti harus merendahkan suaraku. Ah, aku
ada akal! Aku akan berteriak-teriak selama dua hari supaya suaraku menjadi
parau. Kemudian saat berbicara kepadanya aku cukup menggumam saja supaya dia
semakin tidak mengenali suaraku.”
Maka sehabis menghafalkan
tulisan itu, ia mulai berteriak-teriak seperti orang gila. Untung penjara itu
terletak di bawah tanah, ditambah pintunya yang berlapis-lapis. Biarpun ada
kembang api meledak di situ juga tidak akan terdengar dari luar. Oleh sebab
itu, ia pun berteriak sekuat-kuatnya, mencaci maki Empat Sekawan Jiangnan,
terkadang menyanyi, sampai akhirnya ia sendiri merasa geli dan tertawa
terpingkal-pingkal karena nyanyiannya tidak enak didengar.
Setelah berteriak-teriak ia
kembali menghafalkan tulisan di atas dipan. Tiba-tiba ia menemukan beberapa
kalimat yang berbunyi, “Buatlah titik Dantian seperti peti kosong, atau lembah
yang dalam. Ketahuilah bahwa peti yang kosong dapat menyimpan barang dan lembah
yang dalam dapat menyerap air. Jika pada Dantian terdapat hawa murni,
buyarkanlah dan sebarkanlah melalui berbagai titik di Pembuluh Ren.”
Kalimat-kalimat ini sebelumnya
pernah ia raba beberapa kali, namun karena merasa jemu dan muak terhadap ilmu
samadi sehingga ia tidak pernah merenungkan maknanya secara mendalam. Sekarang
begitu membacanya dengan cermat, ia pun merasa heran. “Guru selalu mengajarkan
kepadaku, bahwa intisari ilmu tenaga dalam adalah menghimpun hawa murni di titik
Dantian. Semakin banyak hawa murni yang dapat dihimpun Dantian, semakin kuat
pula tenaga dalam yang dapat dilatih. Tapi mengapa kalimat ini menyatakan
Dantian harus selalu kosong dan jika menyimpan hawa murni harus dibuyarkan?
Kalau di dalam Dantian tidak ada hawa murni, lalu dari mana datangnya tenaga
dalam? Semua ilmu melatih tenaga dalam tidak ada yang seperti ini. Ini aneh!
Apakah ini hanya lelucon belaka? Hahaha, Heibaizi memang manusia rendah dan tak
tahu malu. Jika aku mengajarkan ilmu yang menyesatkan ini kepadanya, tentu dia
akan tertipu habis-habisan.”
Ia kemudian melanjutkan meraba
tulisan itu sambil merenungkan makna yang terkandung di dalam setiap kalimat.
Ratusan huruf pertama adalah cara bagaimana membuyarkan hawa murni, serta
bagaimana cara memusnahkan tenaga dalam sendiri.
Semakin diselami membuat
Linghu Chong semakin terperanjat. “Di dunia ini mana ada orang tolol sudi
memusnahkan tenaga dalam sendiri yang telah dipelajari dengan susah payah?
Memangnya dia mau bunuh diri. Tapi kalau mau bunuh diri kenapa tidak langsung
gorok leher sendiri saja, juga untuk apa harus buang-buang waktu dan pikiran
demi membuyarkan tenaga dalam segala? Ilmu membuyarkan tenaga ini jauh lebih
sukar dilatih daripada ilmu mengumpulkan tenaga. Apa gunanya dipelajari?”
Setelah berpikir sejenak
akhirnya Linghu Chong menjadi lesu. Ia merasa Heibaizi yang cerdik itu mana
mungkin begitu gampang bisa ditipu dengan ajaran yang tidak masuk akal
tersebut. Tampaknya cara ini tidak bisa dilanjutkan lagi.
Semakin dipikir ia semakin
gelisah. Berkali-kali ia membaca kalimat tadi keras-keras, “Jika pada Dantian
terdapat hawa murni, buyarkanlah dan sebarkanlah melalui berbagai titik di
Pembuluh Ren ….” Semakin dibaca hatinya semakin kesal. Sambil menggebrak dipan
ia pun memaki, “Bedebah! Ketika keparat itu dikurung di penjara gelap ini,
hatinya gemas dan terlalu marah, sehingga mengatur muslihat ini untuk
mempermainkan orang lain.”
Setelah mencaci maki beberapa
saat, akhirnya ia letih dan tertidur pulas. Dalam mimpi ia merasa dirinya
sedang duduk bersamadi menurut rumusan yang dibacanya di atas dipan tadi.
Ketika berpikir tentang “Jika pada Dantian terdapat hawa murni, buyarkanlah dan
sebarkanlah melalui berbagai titik di Pembuluh Ren”, maka ia pun mengalirkan
segala tenaga dalam melalui Pembuluh Ren. Seketika ruas-ruas tulang di seluruh
badan terasa nyaman tak terlukiskan.
Selang agak lama, dalam
keadaan samar-samar seperti tidur namun tidak tidur, antara sadar dan tidak
sadar, ia merasa hawa murni dalam perutnya masih terus mengalir ke nadi
Pembuluh Ren. Mendadak pikirannya tergerak, “Wah, celaka! Kalau tenaga dalamku
terus-menerus mengalir seperti ini, aku bisa menjadi orang cacat, tidak berguna
lagi.”
Dalam keterkejutannya ia
segera duduk dan menggerakkan hawa murni supaya mengalir balik dari Pembuluh
Ren. Seketika darah pun bergolak, kepala terasa pusing, dan mata
berkunang-kunang. Setelah cukup lama barulah ia dapat menenangkan diri.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu
yang membuatnya terkejut bercampur senang. “Penyakitku yang sukar disembuhkan
ini adalah karena dalam tubuhku mengeram tujuh-delapan macam hawa murni yang
berasal dari Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie, sampai-sampai tabib sakti
Ping Yizhi tidak sanggup menyembuhkanku. Mahabiksu Fangzheng, Ketua Biara
Shaolin itu mengatakan bahwa berbagai hawa murni aneh yang bergolak dalam
tubuhku ini hanya bisa dibuyarkan sedikit demi sedikit dengan berlatih ilmu
dalam Kitab Pengubah Urat. Bukankah ilmu samadi yang terukir di atas dipan besi
ini justru mengajarkan kepadaku bagaimana cara membuyarkan tenaga dalamku
sendiri? Hahahaha! Linghu Chong, kau ini benar-benar bodoh seperti kerbau.
Orang lain takut kehilangan tenaga dalam, tapi aku justru ingin membuang tenaga
dalam. Sekarang ada ilmu ajaib terletak di depan mata mengapa tidak kupelajari
dengan baik?”
Begitulah, karena terlalu
sibuk memikirkan kalimat aneh tersebut, akhirnya sampai terbawa mimpi. Sejak
tadi ia terus-menerus menghafal sehingga pikirannya dipenuhi olehnya. Ketika
tertidur lelap, tanpa sadar ia pun berlatih sesuai rumus yang telah ia
hafalkan. Namun demikian, ia tidak mengupas kalimat tersebut dengan
sebenar-benarnya. Kini setelah terbangun dan semangatnya menyala, ia kembali
meraba-raba tulisan di atas dipan besi sampai dua kali. Setelah yakin telah
memahami isinya, ia pun duduk bersila dan melatih ilmu tersebut secara
berurutan. Hanya dalam waktu dua jam, ia dapat merasakan bermacam-macam hawa
murni yang selama ini mendekam di titik Dantian kini sudah sebagian yang
membuyar melalui Pembuluh Ren. Meskipun belum dapat diusir keluar tubuh, tapi
pergolakan darah yang biasanya sangat menyiksa itu kini sudah jauh berkurang.
Ia lantas bangkit berdiri.
Karena sangat senang, ia pun bernyanyi-nyanyi, tapi suara terdengar serak
seperti burung gagak. Rupanya usahanya berteriak-teriak untuk membuat
kerongkongan menjadi parau telah membawa hasil. Diam-diam ia berpikir, “Ren
Woxing, Ren Woxing! Kau meninggalkan tulisan ini untuk mencelakai orang lain,
namun di tanganku justru memberikan manfaat besar. Jika di dalam kuburmu kau
tahu soal ini mungkin janggutmu akan menegak karena gusar. Hahahaha!”
Ia kembali berlatih untuk
membuyarkan hawa murni di dalam tubuhnya. Setelah bersamadi agak lama, badannya
kini bertambah segar. Ia berpikir, “Setelah aku memusnahkan hawa murni milik
Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie, maka aku dapat berlatih ilmu tenaga
dalam perguruan sendiri seperti yang diajarkan Guru dahulu. Walaupun harus
mengulangi dari awal dan bisa memakan waktu lama, tapi paling tidak selembar
nyawaku ini sudah dapat diselamatkan. Jika nanti Kakak Xiang datang
membebaskanku dari sini, tentu aku dapat menempuh hidup baru di dunia
persilatan.”
Akan tetapi, teringat pula
olehnya, “Guru telah memecatku, untuk apa aku harus memelajari ilmu tenaga
dalam Perguruan Huashan lagi? Masih banyak ilmu-ilmu tenaga dalam dari aliran
lain yang bisa kupelajari, misalnya aku dapat belajar kepada Kakak Xiang, atau
kepada Yingying, apa jeleknya?” Berpikir sampai di sini membuat hatinya sedih
tetapi juga gembira.
Hari berikutnya, setelah makan
nasi ia kembali berlatih. Setelah beberapa saat tubuhnya terasa begitu nyaman
tak terlukiskan, sehingga ia pun tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba terdengar suara
Heibaizi berseru di luar pintu, “Tuan Ren, apakah kau baik-baik saja? Aku sudah
lama menunggu di sini.”
Ternyata tanpa terasa tiga
hari sudah berlalu. Karena terlalu sibuk berlatih membuatnya tidak menyadari
kehadiran Heibaizi. Untung saja suaranya telah berubah serak sehingga tidak
memancing kecurigaan Heibaizi. Untuk mengalihkan perhatian, ia pun melanjutkan
gelak tawa beberapa kali.
Terdengar Heibaizi kembali
berkata, “Sepertinya hari ini Tuan sedang bersemangat. Bagaimana kalau hari ini
Tuan menerimaku sebagai murid, bagaimana?”
Linghu Chong tidak menjawab,
tetapi membatin, “Kalau dia membuka pintu dan melihat bahwa diriku adalah Feng
Erzhong, bukan sesepuh bermarga Ren itu, tentu dia akan menggempurku.
Seandainya Tuan Ren sendiri yang mengajarkan ilmu sakti, setelah berhasil
mendapatkannya, kemungkinan besar Heibaizi juga akan berusaha membinasakannya,
misalnya memakai racun di dalam makanan atau sebagainya. Kalau dia mau
membunuhku, tentu semudah membalikkan telapak tangan. Setelah aku mengajarkan
ilmu sakti ini kepadanya, mana mungkin dia sudi membebaskan aku? Mungkin inilah
sebabnya mengapa Tuan Ren selalu menolak memenuhi permintaannya selama dua
belas tahun.”
Karena Linghu Chong tidak juga
menjawab, Heibaizi menjadi khawatir dan segera berkata, “Setelah Tuan Ren
mengajarkan ilmu itu, aku akan segera pergi mengambilkan arak enak dan ayam
lezat untuk Tuan.”
Selama terkurung di situ,
Linghu Chong setiap hari hanya makan sayur dan tahu melulu. Kali ini ia
mendengar “ayam lezat dan arak enak”, seketika membuat air liurnya bercucuran.
Segera ia pun berkata, “Baiklah, lekas kau pergi mengambil arak enak dan ayam
lezat dulu. Sesudah makan, bisa jadi hatiku senang dan sudi mengajarkan
beberapa jurus kepadamu.”
Heibaizi menjawab, “Baik,
baik, akan aku ambilkan arak enak dan ayam panggang yang gemuk. Tapi hari ini
agaknya tidak bisa dilaksanakan. Besok saja kalau ada kesempatan tentu murid
akan kemari untuk mempersembahkannya.”
“Kenapa hari ini tidak bisa
dilaksanakan?” tanya Linghu Chong.
Heibaizi menjawab, “Untuk
datang kemari murid harus mencari kesempatan di luar pengetahuan Kakak Pertama.
Bila Kakak Pertama sedang keluar berlatih barulah … barulah ….”
Linghu Chong mendengus sebelum
ucapan orang itu habis. Heibaizi tidak bicara lebih lanjut. Khawatir Huang
Zhonggong telah kembali ke kamarnya, ia pun buru-buru mohon diri.
Setelah Heibaizi pergi, Linghu
Chong berpikir, “Bagaimana caranya untuk bisa memancing Heibaizi masuk ke dalam
sini, kemudian memukulnya sampai mati? Orang ini sangat licin, tidak mudah
ditipu. Lagipula tangan dan kakiku terikat rantai. Sekalipun aku bisa
membunuhnya, tetap saja tidak bisa meloloskan diri.”
Sambil pikirannya
melayang-layang, tangan kanannya meraba borgol besi di pergelangan tangan kiri
kemudian menariknya kuat-kuat. Sebenarnya ia hanya iseng dan tak pernah
berpikir bahwa borgol itu bisa terbuka. Tak disangka, borgol besi itu ternyata
benar-benar terbuka. Ia pun menarik lagi beberapa kali, dan borgol besi itu
akhirnya terlepas dari pergelangan tangan kirinya.
Kejadian ini sama sekali tidak
terduga sebelumnya. Linghu Chong terkejut bercampur senang. Ketika ia meraba
borgol besi itu, ternyata di bagian tengah memang sudah putus. Meskipun
demikian, kalau tenaga dalamnya belum pulih tentu sukar untuk membukanya. Sebelum
ini, sedikit mengerahkan tenaga saja langsung terasa menyakitkan dan bisa
membuatnya pingsan.
Selama dua hari ini ia telah
membuyarkan hawa murni liar di dalam tubuhnya. Berbagai macam hawa murni yang
berasal dari Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie telah ia salurkan ke dalam
Pembuluh Ren, sehingga kini berubah menjadi tenaga yang dapat ia gunakan.
Selain itu, saat mengerahkan tenaga juga sudah tidak terasa sakit lagi, dan
darah di rongga dada tidak lagi bergolak.
Selanjutnya ia pun meraba
borgol besi di pergelangan kiri, ternyata sudah retak seukuran rambut. Sebelum
ini ia telah beberapa kali meraba borgol besi tersebut dan mengetahui adanya
retakan tipis tersebut, namun sama sekali tidak menghiraukannya. Kini, ia pun
mengerahkan tenaga dan berhasil membuka borgol besi tersebut.
Pada borgol di bagian kaki
kiri dan kanan juga telah retak seukuran rambut. Satu per satu ia membuka
borgol tersebut. Kini, ia telah terbebas dari keempat belenggu rantai baja,
namun membuatnya kelelahan dan bermandi keringat. Sambil beristirahat ia
bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa setiap borgol besi sudah terputus? Belenggu
yang sudah terputus macam ini apakah bisa untuk menahan orang?”
Hari berikutnya ketika si
pelayan tua datang mengantar makanan, Linghu Chong memanfaatkan sinar pelita
untuk melihat bagian yang terputus dari borgol-borgol besi itu. Hal ini
membuatnya bertambah heran, karena bagian yang terputus itu seperti dipotong
menggunakan gergaji yang sangat halus. Tidak hanya itu, bagian yang putus juga
tampak mengkilap dan tidak kusam sama sekali, pertanda baru saja digergaji
orang. Anehnya, mengapa borgol yang sudah digergaji putus itu bisa terkatup
kembali dan membelenggu semua tangan dan kakinya?
“Jangan-jangan … jangan-jangan
ada orang yang diam-diam berusaha menolongku. Penjara bawah danau ini
tersembunyi rapat, mana mungkin diketahui orang luar? Sepertinya si penolong
itu adalah orang Wisma Mei Zhuang sendiri yang tidak menyukai aku diperlakukan
seperti ini. Mungkin sekali dia masuk diam-diam saat aku pingsan dan
menggergaji keempat borgol besi ini sampai putus menggunakan semacam kawat
baja. Karena tidak ingin bermusuhan dengan penghuni Wisma Mei Zhuang lainnya,
ia berniat membebaskanku jika mendapatkan waktu luang dan kesempatan yang
bagus.”
Berpikir sampai di sini
membuat Linghu Chong bersemangat. “Pintu masuk lorong bawah tanah menuju ke
penjara ini berada di bawah tempat tidur Huang Zhonggong. Jika Huang Zhonggong
bermaksud menolongku tentu ia dapat melakukannya setiap waktu dan tidak perlu
menunda selama ini. Heibaizi jelas tidak mungkin. Tinggal Tubiweng dan
Danqingsheng saja. Di antara mereka berdua, Danqingsheng memiliki kecintaan
terhadap arak sama seperti diriku. Hubunganku dengannya terasa begitu akrab.
Kemungkinan besar orang yang berusaha hendak menolongku adalah Danqingsheng
itu.”
Kemudian ia berpikir bagaimana
caranya untuk melayani kedatangan Heibaizi besok. “Aku akan berpura-pura
mengabulkan permintaannya. Aku akan bicara sesuka hati saja, menipu dia supaya
mendapatkan makanan enak. Kemudian aku mengajarkan ilmu palsu kepadanya supaya
ia tertipu. Hahaha, tentunya sangat lucu!”
Tak lama kemudian ia kembali
berpikir, “Danqingsheng bisa datang kapan saja untuk membebaskanku. Aku harus
cepat-cepat menghafalkan rumus di lempengan dipan besi ini.” Ia lantas
meraba-raba lagi tulisan-tulisan tersebut dan membacanya keras-keras untuk
menghafalkannya.
Tadinya tulisan-tulisan itu
tidaklah menarik perhatiannya. Sekarang ketika ia bersungguh-sungguh ingin
menghafalkannya luar kepala ternyata juga bukan sesuatu yang mudah baginya.
Tulisan di atas dipan besi itu menggunakan gaya caoshu. Karena pendidikannya
yang rendah, ia kesulitan membaca beberapa bagian sehingga terpaksa
menghafalkan bentuk goresan huruf-hurufnya saja, lalu menggunakan huruf lain
yang mirip sebagai gantinya. Ia berpikir dalam mempelajari suatu ilmu sakti,
keliru satu huruf saja bisa menentukan keberhasilan atau kegagalan, juga
mungkin bisa membuatnya tersesat sehingga akibat yang ditimbulkan sukar
dibayangkan.
Maka itu, ia pun berusaha entah
bagaimana caranya untuk menghafalkan tulisan tersebut huruf demi huruf,
sehingga kelak jika sudah berhasil lolos bisa dipelajari lagi di luar sana. Ia
khawatir jika melupakan satu huruf saja tentu tak dapat mengulangi membaca lagi
jika sudah keluar dari tempat neraka ini. Sebab itulah ia pun membaca rumusan
tersebut berulang kali. Setelah bisa menghafalkan semuanya di luar kepala, baik
itu dari depan ke belakang ataupun dari belakang ke depan, barulah ia bisa
tidur dengan tenang.
Dalam mimpi terlihat
Danqingsheng datang membukakan pintu penjara. Linghu Chong terkejut dan bangun
dari tidur. Kini ia sadar kalau itu hanyalah impian kosong belaka. Namun
demikian ia tidak putus asa. “Hari ini tidak datang mungkin karena belum ada
kesempatan baik. Tidak lama lagi tentu Danqingsheng akan datang menolongku.”
Kemudian ia memikirkan hal
lain, “Tulisan ini sangat bermanfaat untukku, tapi berbahaya untuk orang lain.
Jika kelak ada orang lain yang jatuh ke dalam perangkap Empat Sekawan Jiangnan
dan dikurung di sini, tentu aku tidak rela kalau dia sampai termakan tipu
muslihat Ren Woxing ini.” Maka, ia lantas menghafalkan kembali tulisan itu dari
awal sampai akhir sebanyak sepuluh kali, baru kemudian mengambil borgol besi
untuk menggosok belasan huruf hingga terhapus.
Hari itu Heibaizi ternyata
tidak datang. Namun Linghu Chong sendiri tidak ambil pusing. Ia meneruskan
latihannya berdasarkan uraian ilmu tersebut. Beberapa hari selanjutnya Heibaizi
tetap tidak muncul. Di lain pihak, Linghu Chong merasa latihannya sudah
mencapai banyak kemajuan. Hawa murni yang berasal dari Enam Dewa Lembah Persik
serta Biksu Bujie sudah tujuh puluh atau delapan puluh persen didesak keluar
dari Dantian dan disalurkan melalui Pembuluh Ren, Du, dan juga melalui Yang
Wei, Yin Wei, Yin Qiao, sampai ke Pembuluh Chong, Dai, dan lainnya. Meskipun
membuyarkan tenaga melalui Pembuluh Dai dan Chong termasuk sulit, namun
untungnya dalam rumusan tersebut terdapat penjelasan tambahan. Linghu Chong
yang sebelumnya sudah mempelajari ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan,
membuatnya sudah cukup akrab dengan teknik menyalurkan tenaga semacam itu. Ia
yakin kalaupun belum bisa memusnahkan semua hawa murni liar di dalam tubuhnya,
namun jika terus menerus berusaha dan berlatih, pasti akan memperoleh keberhasilan.
Setiap hari ia menghafalkan
tulisan tersebut sebanyak belasan kali, kemudian menghapus belasan huruf pada
lempengan dipan besi tersebut. Ia merasakan semakin hari tenaganya semakin
kuat, terlihat dari bagaimana ia menggosok huruf-huruf tersebut. Untuk menggosok
tulisan itu sampai hilang ternyata tidak terlalu susah, berbeda dengan saat
pertama menggosok beberapa hari yang lalu.
Jika dihiting sudah sebulan
lebih ia berlatih. Meskipun berada di bawah tanah, namun hawa musim panas sudah
mulai berkurang. Ia pun berpikir, “Rupanya ini sudah suratan Langit. Jika aku
terkurung di sini pada musim dingin pasti tulisan di atas dipan besi ini tidak
akan kutemukan. Bisa jadi sebelum tiba musim panas Danqingsheng sudah berhasil
menolongku keluar dari sini.”
Berpikir sampai di sini,
tiba-tiba terdengar suara langkah kaki Heibaizi dari arah lorong. Linghu Chong
yang sedang berbaring di atas dipan besi, segera membalik tubuh perlahan-lahan
sehingga kini tubuhnya miring menghadap ke dinding bagian dalam.
Terdengar Heibaizi sudah
sampai di depan pintu, lalu berkata, “Tuan Ren … Tuan Ren, mohon sudi
memaafkan. Selama sebulan lebih Kakak Pertama tidak pernah keluar kamar
sehingga saya sangat gelisah dan tidak dapat datang kemari untuk menjenguk
Tuan. Untuk ini harap Tuan Ren janganlah marah.”
Bersamaan itu tercium pula bau
harum arak dan sedapnya ayam panggang dari lubang pintu.
Sudah sekian lama bibir Linghu
Chong tidak merasakan setetes arak pun. Maka begitu mengendus bau arak
tersebut, ia tidak dapat menahan diri lagi dan segera membalik tubuh. “Berikan
dulu arak dan makanannya,” katanya kemudian.
“Baiklah,” sahut Heibaizi
cepat. “Jadi Tuan sudah menyanggupi akan mengajarkan rahasia ilmu sakti itu
kepadaku?”
Linghu Chong menjawab,
“Begini, setiap kali kau mengantar kemari tiga kati arak dan seekor ayam
panggang, maka aku akan mengajarkan empat kalimat rumus tenaga dalamku
kepadamu. Bila aku sudah menghabiskan tiga ribu kati arak dan seribu ekor ayam,
maka rahasia tenaga dalamku yang kuajarkan kepadamu kira-kira sudah cukup
pula.”
Heibaizi menyahut, “Kalau
caranya seperti ini bisa memakan waktu lama dan mungkin sekali terjadi hal yang
tidak diinginkan. Biarlah setiap kali kemari akan saya antarkan enam kati arak
dan dua ekor ayam, lalu Tuan mengajarkan delapan kalimat, bagaimana?”
Linghu Chong tertawa dan
menjawab, “Begitu juga boleh. Berikan kepadaku sekarang!”
Heibaizi segera menyodorkan
sebuah nampan kayu melalui lubang persegi di daun pintu. Benar juga, di atas
nampan itu terdapat satu poci besar arak dan seekor ayam panggang gemuk.
Linghu Chong menyentuh nampan
sambil berpikir, “Sebelum aku mengajarkan ilmu rahasia itu kepadamu, rasanya
tidak mungkin kalau kau sampai meracuniku.” Tanpa membuang waktu lagi ia lantas
mengangkat poci arak itu dan langsung menuangkan isinya ke dalam mulut.
Rasa arak itu sebenarnya tidak
terlalu enak, tapi bagi Linghu Chong saat ini terasa begitu nikmat. Bahkan,
arak anggur milik Danqingsheng yang telah mengalami empat kali peragian dan
penyulingan juga rasanya tidak seenak ini. Dalam sekali menghirup napas, ia
langsung menghabiskan setengah isi poci, lalu menarik sebelah paha ayam
panggang dan memakannya dengan lahap. Hanya dalam waktu sebentar saja seluruh
isi poci arak dan segenap ayam panggang telah disapu bersih olehnya. Sambil menepuk-nepuk
perut ia kemudian berkata, “Arak sedap! Ayam lezat! Hmmm ….”
Terdengar Heibaizi berkata
sambil tertawa, “Tuan sudah kenyang makan ayam enak dan minum arak lezat.
Sekarang mohon Tuan mengajarkan ilmu rahasia itu kepada saya.” Sekarang ia
tidak lagi menyinggung tentang mengangkat guru segala, karena mengira sehabis
makan minum tentu Linghu Chong sudah lupa akan hal itu.
Linghu Chong sendiri juga
sengaja tidak menyinggung soal itu. Ia hanya berkata, “Baiklah, beberapa
kalimat rahasia ini hendaknya kau ingat-ingat dengan baik, ‘Di antara nadi Qi
dan delapan pembuluh, terdapat tenaga dalam. Himpunlah di dalam Dantian,
salurkan ke dalam Shanzong.’, Apa kau paham?”
Sebenarnya kalimat asli yang
terukir pada dipan besi berbunyi, “Tenaga dalam di Dantian buyarkanlah melalui
keempat anggota badan, Qi di Shanzong, sebarkanlah melalui kedelapan pembuluh.”
Linghu Chong sengaja membolak-balik susunan kalimat tersebut. Namun ketika
Heibaizi mendengarnya, ia justru merasa keempat kalimat ini biasa-biasa saja dan
tidak memiliki sesuatu yang istimewa, karena merupakan rumus umum tentang cara
berlatih tenaga dalam.
Heibaizi merasa tidak puas,
dan menjawab, “Keempat kalimat ini telah saya pahami. Mohon Tuan sudi
mengajarkan empat kalimat selanjutnya.”
Linghu Chong berpikir,
“Keempat kalimat tadi sudah kuubah dari yang sebenarnya, sehingga menjadi
kalimat yang biasa saja. Kalau begitu, akan kubacakan empat kalimat lagi yang
sangat aneh supaya dia ketakutan.” Ia kemudian berkata, “Baiklah, karena ini
hari pertama, maka akan kubacakan empat kalimat lagi. ‘Pecahkan Yangwei,
sumbatlah Yinqiao. Begitu nadi Qi dan kedelapan pembuluh putus, maka kau
berhasil menguasai ilmu sakti.’ Bagaimana?”
Heibaizi sangat terkejut
mendengarnya. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Ini … ini … kalau nadi Qi dan
kedelapan pembuluh putus, bagaimana saya … bisa tetap hidup? Keempat kalimat
ini saya benar-benar tidak dapat memahaminya.”
“Sudah tentu kau tidak paham,”
sahut Linghu Chong. “Ilmu sakti semacam ini kalau dapat dipahami begitu saja,
mana bisa disebut ilmu sakti? Tentu saja di dalamnya tersimpan sesuatu yang
istimewa dan tidak mudah dipahami orang biasa.”
Sampai di sini Heibaizi merasa
nada bicara dan perkataan Linghu Chong semakin berbeda dibanding orang bermarga
Ren. Mau tidak mau di hatinya timbul rasa curiga.
Maklum saja, pada pertemuan
yang sudah-sudah Linghu Chong sangat sedikit membuka suara, dengan ucapan
dibuat serak dan samar-samar pula. Namun sekarang, sehabis makan lezat dan
minum enak, semangatnya berkobar-kobar dan bicaranya menjadi banyak. Pada
dasarnya Heibaizi sangat waspada dan selalu berjaga-jaga. Namun ia sama sekali
tidak menyangka bahwa orang yang berada di dalam penjara itu bukan lagi si
marga Ren. Ia hanya mengira si marga Ren sengaja membolak-balik kalimat tadi
untuk mempermainkan dirinya. Maka, ia pun bertanya, “Tuan Ren tadi berkata,
‘Begitu nadi Qi dan kedelapan pembuluh putus, maka kau berhasil menguasai ilmu
sakti.’ Apakah Tuan sendiri sudah melakukannya?”
“Tentu saja!” jawab Linghu
Chong. Ia tidak berani menjawab panjang lebar karena menyadari bahwa Heibaizi
telah mencurigainya. Sejenak kemudian ia menambahkan, “Nanti setelah kau
menerima semua pelajaran dariku dan tuntas berlatih, maka kau akan paham dengan
sendirinya.”
Usai berkata demikian ia pun
meletakkan kembali poci arak tadi di atas nampan dan mendorongnya keluar
melalui lubang persegi. Ketika Heibaizi hendak menerima nampan itu, tiba-tiba
Linghu Chong menjerit, “Aih!” kemudian badannya sempoyongan ke depan dan
kepalanya membentur pintu besi sampai menimbulkan suara nyaring. Tanpa sadar,
nampan pun ikut tertarik masuk kembali.
“Hei, ada apa?” tanya
Heibaizi. Sebagai seorang ahli silat berilmu tinggi, sudah tentu ia memiliki
reaksi yang sangat cepat. Tangan kanannya segera menjulur masuk ke dalam lubang
persegi untuk menangkap nampan agar poci arak di atasnya supaya tidak sampai
terjatuh dan pecah.
Pada detik itulah Linghu Chong
menggerakkan tangan kirinya dan dengan tepat mencengkeram pergelangan tangan
kanan Heibaizi. Sambil tertawa ia berkata, “Heibaizi, coba kau perhatikan siapa
aku ini?”
Heibaizi terkejut bukan main.
Nampan yang masih dipegang olehnya lantas terlepas lagi. Dengan nada gemetar ia
berseru, “Kau … kau ….”
Tadi ketika Linghu Chong
mendorong nampan melewati lubang persegi, ia sempat melihat tangan Heibaizi
bergerak menyambut dengan diterangi cahaya pelita. Pada saat itulah timbul
suatu niat di dalam hati yang sulit untuk dikendalikan. Ia menduga Heibaizi
adalah biang keladi yang telah mengatur segala perangkap sehingga dirinya terkurung
sekian lamanya di dalam penjara gelap ini. Andaikan ia dapat menarik dan
mematahkan lengan orang itu, tentu sakit hatinya bisa sedikit terobati. Ia juga
berpikir bahwa cara demikian tentu dapat digunakan untuk menggertak Heibaizi.
Orang yang licik seperti Heibaizi rasanya wajar kalau digertak dan
ditakut-takuti, demikian ia berpikir. Ia sendiri tidak tahu apakah perbuatannya
menarik tangan Heibaizi itu didorong oleh perasaan ingin balas dendam, ataukah
hanya sekedar sifat kekanak-kanakannya yang sedang kambuh.
Maka ketika mengembalikan
nampan tadi, Linghu Chong pun berpura-pura sempoyongan dan jatuh membentur
pintu besi untuk memancing Heibaizi supaya menjulurkan tangannya masuk melalui
lubang persegi. Ternyata siasatnya itu berjalan sesuai harapan. Kini tangannya
telah mencengkeram pergelangan lengan Heibaizi tersebut.
Sebenarnya Heibaizi sangat
cerdik dan waspada. Namun kejadian kali ini sama sekali tidak terduga olehnya
dan tidak ada tanda-tanda mencurigakan sebelumnya. Dalam waktu yang sangat cepat
tahu-tahu pergelangan tangannya sudah tertangkap. Ia merasa tangan lawan
bagaikan belenggu besi yang mencengkeram titik Neiguan dan Weiguan pada
pergelangan kanannya dengan sangat kuat. Tanpa pikir lagi ia segera memutar
tangannya untuk membebaskan diri. Bersamaan itu terdengar pula suara berdentang
sangat nyaring. Menyusul kemudian terdengar suara jari kaki patah dan Heibaizi
menjerit kesakitan.
Ternyata Heibaizi baru saja
melancarkan Jurus Naga Muncul dari Telaga. Jurus ini adalah jurus simpanan yang
hanya digunakan apabila tangannya ditangkap musuh. Begitu pihak lawan mengunci
tangannya, maka kaki kirinya akan langsung menendang secepat kilat. Tendangan
ini sangat dahsyat dan bisa membuat musuh seketika muntah darah di tempat.
Apabila pihak lawan seorang ahli silat papan atas, tentu akan segera melepaskan
cengeramannya, karena hanya itu satu-satunya cara untuk menghindar dari
tendangan Heibaizi.
Akan tetapi, Heibaizi terlalu
tergesa-gesa ingin membebaskan diri sehingga lupa bahwa di antara mereka masih
terdapat sebuah pintu besi yang sangat tebal. Jurus Naga Muncul dari Telaga
telah dilancarkannya dengan sempurna disertai tenaga yang sangat kuat, namun
tiga jari kakinya sendiri yang justru patah karena yang ia tendang ternyata
sebuah pintu besi.
Ketika mendengar suara
benturan keras tadi, Linghu Chong segera menyadari bahwa dirinya telah
diselamatkan oleh pintu besi tebal dari tendangan keras Heibaizi. Ia tak kuasa
menahan tawa, lalu berkata “Tendanglah sekali lagi! Kau harus menendang sama
kerasnya seperti tadi, baru akan kulepaskan tanganmu!”
Tiba-tiba Heibaizi merasa
tenaga dalamnya mengalir keluar melalui titik Neiguan dan Weiguan pada
pergelangan kanannya. Ia langsung teringat kepada suatu hal yang paling
ditakutinya seumur hidup. Semangatnya langsung runtuh dan nyalinya terbang ke
langit. Sekuat tenaga ia menahan napas sambil kemudian berbicara dengan nada
iba, “Tuan … Tuan Ren, mohon … mohon ….” Begitu membuka suara, tenaga dalamnya
justru lebih cepat membanjir keluar. Terpaksa ia menutup mulut dan tidak berani
bicara lagi. Namun demikian tenaga dalam masih tetap mengalir tak tertahankan.
Setelah berlatih ilmu rahasia
yang terukir di atas dipan besi, titik Dantian di bawah perut Linghu Chong
telah terkuras habis, bagaikan kotak kosong yang minta diisi. Sekarang ia
merasakan adanya hawa murni yang terus-menerus mengalir masuk ke dalam
perutnya, namun hal ini tidak ia hiraukan. Yang ia rasakan hanyalah tangan
Heibaizi gemetar seperti ketakutan. Karena hatinya masih kesal, ia sengaja
ingin terus menggertak dan menakut-nakuti. “Aku sudah mengajarkan ilmu sakti
kepadamu, maka kau sudah menjadi muridku. Kau berani menipu dan mengkhianati
gurumu, lantas hukuman apa yang setimpal untuk dosamu ini?”
Heibaizi sendiri merasa tenaga
dalamnya semakin cepat mengalir keluar. Kalau ia menahan napas, ia dapat untuk
sementara menghentikan aliran tersebut. Namun ketika dadanya terasa sesak, ia
kembali menghirup dan menghembuskan napas, sehingga tenaganya kembali membanjir
keluar dengan deras. Kini ia sudah melupakan sakit di kakinya, dan yang ia
harapkan hanyalah lekas bisa melepaskan tangan dari lubang persegi itu.
Andaikan lengan kanan itu harus dipotong juga ia rela. Berpikir demikian segera
tangan kirinya melolos pedang yang terselip di pinggang.
Akibat bergerak sedikit saja
justru membuat titik Neiguan dan Weiguan di pergelangan kanannya terbuka lebar
bagaikan tanggul yang jebol. Tenaga dalamnya justru semakin deras membanjir
keluar seperti air bah dan sukar dibendung lagi.
Heibaizi sadar bahwa tidak
lama lagi seluruh tenaga dalamnya akan tersedot habis oleh lawan. Maka ia pun
memaksakan diri untuk menghunus pedang tersebut. Ketika tangan kirinya
bergerak, lagi-lagi tenaga dalamnya semakin deras membanjir keluar. Kali ini
telinganya sampai mendengung keras, dan ia pun jatuh pingsan tak sadarkan diri.
Linghu Chong merasa heran.
Tujuannya mencengkeram lengan Heibaizi sebenarnya hanya untuk menakut-nakuti
saja, paling banyak ia ingin mematahkan lengan itu demi melampiaskan rasa
kesalnya. Tak disangka Heibaizi benar-benar ketakutan sampai jatuh pingsan.
Linghu Chong pun bergelak tawa terbahak-bahak dan melepaskan cengkeramannya.
Seketika tubuh Heibaizi yang lemas itu terkulai ke bawah dan lengannya
perlahan-lahan meninggalkan lubang persegi.
Sekilas terlintas pikiran pada
benak Linghu Chong. Buru-buru ia kembali menangkap tangan Heibaizi. Untung saja
gerakannya cukup cepat sehingga masih sempat menyambar tangan orang itu tepat
pada waktunya. “Kenapa aku tidak membelenggu dia di sini saja, dan memaksa
Huang Zhonggong membebaskanku?”
Setelah berpikir demikian ia
pun menarik tangan Heibaizi melewati lubang persegi. Di luar dugaan ternyata
saat ini tenaganya bertambah kuat luar biasa. Dalam sekali tarik bukan hanya
tangan yang mendekat, bahkan kepala Heibaizi ikut menerobos masuk melalui
lubang persegi tersebut. Setelah menghela napas satu kali, Linghu Chong
melanjutkan tarikannya dan tahu-tahu seluruh tubuh Heibaizi sudah masuk ke
dalam kamar penjara dan terkulai di lantai.
Hal ini benar-benar tidak
pernah dibayangkan oleh Linghu Chong. Untuk beberapa saat ia terkesima,
kemudian memaki-maki kebodohan diri sendiri. Seharusnya sejak dulu ia menyadari
bahwa lubang persegi itu lebarnya sekitar tiga puluh senti. Asalkan kepala bisa
masuk maka dengan sendirinya badan pun bisa dipaksa masuk. Jika tubuh Heibaizi
saja bisa menerobos masuk, sudah seharusnya dirinya pun bisa. Tadinya memang
semua tangan dan kakinya terbelenggu oleh borgol rantai sehingga sukar untuk
meloloskan diri. Namun kini borgol besi sudah digergaji oleh seseorang,
bukankah ini kesempatan untuk melarikan diri?
Ia kemudian berpikir mengapa
Danqingsheng diam-diam menggergaji semua borgol besi yang membelenggunya, tentu
supaya ia bisa melarikan diri bersama si pelayan tua saat mengantar makanan. Ia
membayangkan setiap hari Danqingsheng pasti berharap-harap cemas menantikan
keberhasilannya untuk kabur. Namun saat pertama kali menyadari belenggu itu
sudah digergaji putus, ia sendiri sedang sibuk berlatih cara membuyarkan tenaga
dalam. Ia juga tidak ingin meninggalkan kamar penjara sebelum menghafal semua
rumus ilmu rahasia di atas dipan, sehingga di dalam benaknya sama sekali tidak
terlintas pikiran untuk melarikan diri.
Setelah menggumam sendiri ia
kemudian mengambil keputusan. Segera pakaian Heibaizi pun dilucuti untuk
ditukar dengan pakaiannya sendiri. Bahkan kedok yang dipakai Heibaizi juga ia
kenakan untuk menutupi wajah. “Nanti jika aku keluar dari sini, dan ada orang
yang melihatku, tentu aku akan dikira Heibaizi,” pikirnya.
Ia kemudian menggantungkan pedang
Heibaizi di pinggang. Begitu memegang senjata kesukaannya itu, seketika
semangatnya pun berkobar. Terakhir ia membelenggu semua tangan dan kaki
Heibaizi menggunakan borgol besi. Tenaganya begitu kuat saat menggencet borgol
besi tersebut sehingga merapat dan menembus daging Heibaizi. Karena terkejut
Heibaizi sampai siuman dari pingsan dan merintih kesakitan.
Linghu Chong tertawa dan
berkata, “Sekarang kita bertukar tempat. Jangan khawatir kelaparan karena besok
si pelayan tua akan datang mengantar makanan untukmu.”
“Tuan Ren … Tuan Ren,” kata
Heibaizi meratap, “Jurus Penyedot … Jurus Penyedot Bintang milikmu ….”
Linghu Chong teringat sewaktu
membantu Xiang Wentian menghadapi kepungan banyak orang di tepi jurang, salah
seorang berteriak tentang “Jurus Penyedot Bintang”. Kini ia kembali mendengar
nama ilmu itu disebut, sehingga membuatnya terkejut dan bertanya, “Jurus
Penyedot Bintang apa?”
“Aku … aku memang pantas mati
….” jawab Heibaizi.
Karena ingin lekas-lekas
meloloskan diri, Linghu Chong tidak peduli lagi kepadanya. Segera ia
menjulurkan kepalanya menerobos lubang persegi, kemudian kedua tangannya
merambat pula ke luar. Dengan sekali tekan, tubuhnya pun melesat melewati
lubang tersebut dan mendarat tegak di atas tanah. Karena di dalam Dantian sekarang
terkumpul tenaga dalam yang ia hisap dari Heibaizi membuat perutnya terasa
tidak nyaman. Ia mengira hawa murni liar milik Enam Dewa Lembah Persik dan
Biksu Bujie kembali datang mengganggunya karena lama tidak berlatih. Namun
sementara ini yang ia pikirkan hanyalah meninggalkan penjara bawah danau itu
secepat mungkin. Maka, ia segera mengambil pelita minyak milik Heibaizi untuk
kemudian menyusuri lorong bawah tanah yang panjang dan gelap itu.
Ternyata pintu-pintu lorong
yang berlapis-lapis dalam keadaan tidak terkunci karena telah digunakan masuk
oleh Heibaizi tadi. Mungkin Heibaizi berniat menguncinya saat perjalanan
keluar. Oleh sebab itu, perjalanan Linghu Chong untuk kabur menjadi semakin
lancar dan tidak perlu bersusah payah. Saat melewati pintu-pintu tersebut,
pikirannya kembali terkenang saat berada di dalam penjara gelap yang membuatnya
seperti terpisah dari dunia nyata. Kini benci dan dendam kepada Huang Zhonggong
seperti lenyap dari hatinya, dan yang ia pikirkan hanyalah kebebasan saja.
Sesampainya di ujung lorong,
perlahan-lahan ia mendaki tangga undak-undakan. Kepalanya lantas menyentuh
sebuah lempengan besi yang tembus ke kamar tidur Huang Zhonggong. Ia berusaha
mendengar dengan seksama, namun tak ada suara apa-apa. Pengalaman terkurung di dalam
penjara sekian lama membuat pikirannya bertambah cerdik dan waspada. Ia tidak
langsung menerjang ke atas, namun hanya berdiri di situ untuk beberapa lama.
Setelah yakin tidak mendengar suara apa-apa dan menyimpulkan bahwa Huang
Zhonggong sedang tidak berada di dalam kamarnya, barulah ia mendorong papan
besi itu perlahan-lahan, dan kemudian meloncat ke atas melewati lubang ranjang.
Setelah menutup kembali papan
besi itu di tempatnya dan menggelar tikar di atas tempat tidur, dengan
berjingkat-jingkat ia melangkah hendak keluar kamar. Tapi mendadak terdengar
suara seseorang di belakangnya berkata dengan nada dingin, “Adik Kedua, apa
yang kau lakukan di bawah sana?”
Linghu Chong terkejut dan
segera menoleh, ternyata Huang Zhonggong, Tubiweng, dan Danqingsheng sudah
mengepung dengan senjata terhunus. Ia tidak tahu kalau lempengan besi pada
lubang ranjang tadi terhubung dengan sebuah alat rahasia yang bisa mengeluarkan
bunyi tanda bahaya apabila ada seseorang secara gegabah menerobos keluar. Bunyi
tersebut membuat Huang Zhonggong bertiga serentak memasuki kamar. Namun karena
memakai kerudung dan pakaian Heibaizi membuat ketiga orang itu tidak
mengenalinya.
Linghu Chong yang terkejut
hanya bisa berkata, “Aku … aku ….”
“Aku apa?” sahut Huang
Zhonggong dingin. “Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Sudah kuduga kau pasti
memohon agar Ren Woxing mengajarkan Jurus Penyedot Bintang kepadamu. Hm, apakah
kau sudah lupa kepada sumpah yang pernah kau ucapkan dulu?”
Pikiran Linghu Chong menjadi
kacau. Ia bingung harus memperlihatkan wajah aslinya atau tetap menyamar
sebagai Heibaizi. Dalam keadaan serbasalah ia pun melolos pedang di pinggangnya
untuk kemudian menusuk ke arah Tubiweng.
“Kakak Kedua yang baik, kau
sungguh-sungguh ingin berkelahi dengan kami, ya?” seru Tubiweng gusar. Bersama
itu ia mengayunkan pena kuasnya untuk menangkis.
Tak disangka serangan Linghu
Chong itu hanyalah tipuan belaka. Begitu pihak lawan hendak menangkis, secepat
kilat ia pun berlari keluar. Sudah tentu Huang Zhonggong bertiga tidak tinggal
diam. Serentak mereka pun mengejar.
Linghu Chong berlari sekuat
tenaga. Langkah kakinya begitu cepat, tahu-tahu sudah sampai di aula depan.
Terdengar Huang Zhonggong berteriak di belakangnya, “Adik Kedua, kau hendak
lari ke mana?”
Linghu Chong tidak peduli. Ia
tetap berlari sekencang-kencangnya. Mendadak terlihat seseorang menghadang di
tengah pintu sambil berseru, “Majikan Kedua, mohon berhenti!”
Saat itu Linghu Chong sedang
berlari dengan cepat sehingga tidak sempat menghentikan langkahnya. Tanpa ampun,
orang itu pun tertabrak begitu keras, sampai-sampai tubuhnya terpental keluar
dan terbanting beberapa meter jauhnya.
Sekilas Linghu Chong memandang
ke arahnya. Ternyata orang yang baru saja ditabraknya itu adalah Ding Jian, Si
Pedang Kilat Satu Kata. Mungkin keadaannya begitu parah sehingga Ding Jian
terlihat tidak mampu berkutik lagi. Ini benar-benar sesuai dengan julukannya,
yaitu “Satu Kata”; bukan masalah ilmu pedang tetapi masalah bentuk tubuhnya
yang terlentang di tanah seperti huruf “zi”.
Linghu Chong terus berlari
tanpa berhenti menuju ke sebuah jalan kecil. Huang Zhonggong bertiga hanya
mengejar sampai di depan gerbang wisma lalu menghentikan langkah mereka.
Danqingsheng berseru, “Kakak Kedua, Kakak Kedua, kembalilah! Semua bisa
dibicarakan baik-baik antara kita, kaka-beradik ….”
Dengan terus berlari melewati
jalan-jalan sepi, Linghu Chong telah sampai di hutan belukar yang sunyi.
Sepertinya ia sudah cukup jauh meninggalkan Kota Hangzhou. Ia baru sadar
ternyata dirinya sudah berlari sekian lama. Anehnya, meskipun berlari
sekencang-kencangnya dan menempuh jarak yang begitu jauh, namun ternyata ia
tidak merasa lelah, juga napasnya tidak terengah-engah. Ia merasa tenaganya
saat ini begitu kuat, bahkan lebih kuat dibanding sebelum menderita luka.
Saat itu hari sudah malam dan
tidak ada orang lain yang melihatnya. Segera ia melepas kedok yang menutupi
kepalanya. Kemudian terdengar suara gemercik air. Karena merasa haus, segera
didatanginya sumber suara air tersebut. Akhirnya ia pun sampai di tepi sebuah
sungai kecil yang sepi, lalu berjongkok untuk meraup air. Di bawah sinar
rembulan ia bisa melihat bayangan wajahnya tercermin di permukaan sungai.
Rambutnya gondrong acak-acakan, wajah penuh godek dan kumis panjang. Sengguh
sangat jelek.
Semula Linghu Chong terkejut,
tapi lantas tertawa geli sendiri. Setelah terkurung beberapa bulan di dalam
penjara bawah tanah sudah tentu ia tidak pernah mandi dan bercukur. Seketika ia
langsung merasa sekujur badan gatal dan risih. Segera ia membuka baju dan
terjun ke dalam sungai untuk mandi sepuas-puasnya. Setelah mencuci badan sampai
bersih dan minum sekenyang-kenyangnya, ia kemudian bercukur menggunakan pedang.
Ketika bercermin lagi ke permukaan air, wajahnya kini telah kembali seperti
semula, dan tidak lagi sebagai Feng Erzhong yang berwajah sembab
kekuning-kuningan.
Saat berpakaian kembali,
mendadak aliran tenaga dalam dan darah pada rongga dada serta perut terasa
tidak lancar. Segera ia duduk bersamadi di tepi sungai tadi untuk beberapa
waktu sampai tenaga dalam pada Dantian terasa buyar dan tersalurkan melalui
nadi Qi dan kedelapan pembuluh. Dantian di bawah perutnya kini menjadi seperti
ruang kosong di dalam batang bambu atau seperti lembah yang kosong, dan sekujur
tubuhnya terasa penuh tenaga, bebas merdeka tanpa batas.
Linghu Chong masih tidak sadar
bahwa dirinya telah menguasai semacam ilmu sakti paling hebat di dunia. Hawa
murni Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie, ditambah dengan tenaga dalam
yang disalurkan Biksu Fangsheng di Biara Shaolin, semua telah ia salurkan
melalui berbagai nadi dan pembuluh, serta dapat ia gunakan seperti tenaga milik
sendiri. Di dalam penjara tadi, ia juga telah menghisap seluruh tenaga dalam
yang diperoleh Heibaizi seumur hidup, dan menyimpannya di dalam Dantian, lalu
disebarkannya ke nadi Qi dan delapan pembuluh. Boleh dikata ia telah menghimpun
berbagai tenaga dalam yang berasal dari para jago silat sehingga tidak
mengherankan kalau saat ini tubuhnya terasa begitu kuat. Memang pada masa
sebelumnya, ia merasa begitu menderita ketika berbagai tenaga tersebut
terkumpul di dalam Dantian. Ketika tenaga dikerahkan, semuanya saling
berbenturan dan membuat isi perut terasa seperti diiris-iris. Kini setelah
mempelajari ilmu rahasia di dalam penjara, ia bisa menyalurkan tenaga-tenaga tersebut
ke dalam berbagai nadi dan pembuluh sehingga berstu padu dan menghasilkan
kekuatan.
Pemuda itu kemudian melompat
dan menghunus pedang, kemudian menebas ranting pohon liu yang tumbuh di tepi
sungai. Tangannya hanya sedikit mengungkit, kemudian segera menyarungkan
kembali pedangnya disertai suara desiran perlahan. Begitu kakinya mendarat di
tanah, ia lantas mendongak ke atas dan melihat lima lembar daun liu melayang
turun di udara. Untuk kedua kalinya ia menghunus pedang dan membuat sebuah
lingkaran di udara, sehingga dapat menyambut kelima lembar daun itu yang
kesemuanya menancap pada ujung pedangnya.
Perlahan tangan kirinya
mengambil sehelai daun pada ujung pedang tersebut. Perasaannya heran bercampur
senang tak terlukiskan. Untuk sesaat ia berdiri termangu-mangu di tepi sungai.
Tiba-tiba perasaan sedih muncul di dalam hatinya. “Ilmu silatku ini
bagaimanapun juga tidak mungkin dapat diajarkan oleh Guru atau Ibu Guru. Akan
tetapi … sebenarnya aku lebih suka seperti yang dahulu. Ilmu pedang dan tenaga
dalamku biasa-biasa saja, namun hidupku bahagia di Gunung Huashan, berdampingan
dengan Adik Kecil siang dan malam. Untuk apa hidup sebatang kara
luntang-lantung di dunia persilatan seperti saat ini, bagai setan yang
menghantui hutan belantara?”
Ia menyadari bahwa ilmu
silatnya sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi, namun perasaannya justru
sedih dan kesepian. Pada dasarnya ia memang suka keramaian, bergaul dengan
teman-teman, juga gemar minum arak. Selama terkurung di dalam penjara bawah
danau, rasanya sungguh sunyi dan menderita. Saat ini ia telah meloloskan diri
namun mengapa masih kesepian juga? Berdiri termangu-mangu seorang diri di tepi
sungai membuat perasaan senangnya luntur sedikit demi sedikit. Angin malam
sepoi-sepoi membelai tubuhnya. Rembulan yang terlihat diam tak peduli membuat
perasaan duka di hatinya bertambah dalam tiada batas.
Linghu Chong berdiri tanpa
suara untuk waktu yang cukup lama. Saat itu rembulan telah berada di tengah
angkasa. Berbagai pikiran tiba-tiba berkecamuk di dalam benaknya, terutama
segala kejadian yang telah ia alami di dalam Wisma Meizhuang. “Kenapa sesepuh
bermarga Ren itu dikurung di sana? Ah, kalau dia bukan orang yang sangat jahat,
maka aku akan menolongnya untuk meloloskan diri.”
Setelah mengambil keputusan demikian,
ia pun berjalan kembali menuju ke Wisma Meizhuang. Setelah berjalan menuruni
lereng bukit dan menembus hutan, ia akhirnya sampai di wisma tersebut. Suasana
di sana terdengar sunyi senyap tanpa suara apa pun. Dengan sangat enteng ia
melompati pagar tembok yang mengelilingi wisma. Belasan ruangan yang berada di
dalamnya terlihat sunyi dan gelap gulita, kecuali sebuah ruangan di sebelah
kanan yang nampak terang oleh cahaya lentera. Perlahan-lahan ia pun melangkah
mendekati jendela ruangan tersebut.
“Huang Zhonggong, apa kau tahu
kesalahanmu?” tiba-tiba terdengar suara seorang tua membentak lantang. Suaranya
terdengar sangat tegas.
Linghu Chong terheran-heran.
Huang Zhonggong adalah majikan Wisma Meizhuang yang berkedudukan paling tinggi,
namun ternyata ada orang yang berani bicara membentak-bentak seperti itu
kepadanya. Dengan sangat berhati-hati Linghu Chong pun membungkuk dan mengintip
melalui celah-celah jendela.
Di dalam ruangan terlihat
empat orang duduk di kursi. Tiga di ataranya adalah laki-laki tua berusia lima
puluh atau enam puluhan tahun, dan seorang lagi adalah wanita setengah baya.
Mereka mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna kuning,
mengingatkan kepada pakaian para tetua Sekte Iblis. Di hadapan mereka tampak
Huang Zhonggong, Tubiweng, dan Danqingsheng berdiri dengan tubuh membelakangi
jendela sehingga raut wajah mereka tidak terlihat oleh Linghu Chong. Meskipun
demikian, dari pemandangan tersebut sudah dapat disimpulkan kelompok mana yang
berkedudukan lebih tinggi, mana yang lebih rendah.
Terdengar Huang Zhonggong
menjawab sopan, “Hamba mengaku salah. Keempat Tetua telah jauh-jauh datang
kemari, sedangkan hamba tidak mengadakan penyambutan semestinya. Hamba
benar-benar berdosa, hamba benar-benar berdosa.”
“Huh, dosa macam apa pula
tidak mengadakan penyambutan saja?” sahut seorang tetua bertubuh tinggi kurus
dengan nada sinis. “Kau jangan berlagak bodoh lagi! Di mana Heibaizi? Mengapa
dia tidak keluar menghadap kami?”
Diam-diam Linghu Chong merasa
geli. Ia pun berpikir, “Aku mengurung Heibaizi di dalam penjara, tapi Huang
Zhonggong bertiga mengira dia sudah melarikan diri.” Setelah termenung sejenak,
ia melanjutkan, “Mengapa ada sebutan ‘tetua’ dan ‘hamba’? Ah, aku tahu
sekarang. Mereka semua adalah anggota Sekte Iblis.”
Huang Zhonggong menjawab,
“Lapor kepada para Tetua, hamba tidak tegas dalam menegakkan disiplin. Sifat
Heibaizi akhir-akhir ini telah mengalami banyak perubahan. Hari ini dia telah
meninggalkan wisma.”
“Dia tidak di sini?” sahut
tetua tadi menegas.
“Benar,” jawab Huang
Zhonggong.
Tetua kurus itu memandang
dengan sorot mata yang tajam dan berkilat-kilat, lalu berkata, “Huang
Zhonggong, apakah Ketua menugasi kalian menjaga Wisma Meizhuang ini supaya
kalian memetik kecapi, minum arak, melukis, dan bermain-main saja?”
Huang Zhonggong membungkuk
sambil berkata, “Hamba berempat menerima titah dari Ketua untuk mengawasi
seorang penjahat besar di sini.”
“Betul sekali,” kata si tetua
kurus. “Lalu bagaimana keadaan penjahat besar yang kalian awasi itu?”
“Lapor pada Tetua, penjahat
besar itu saat ini ada di dalam penjara bawah danau,” jawab Huang Zhonggong.
“Selama dua belas tahun kami berempat tidak pernah meninggalkan Wisma Meizhuang
ini, dan tidak pernah melalaikan tugas.”
“Bagus sekali, bagus sekali.
Kalian tidak pernah meninggalkan wisma, tidak pernah melalaikan tugas, hah?”
kata si tetua kurus. “Jika demikian, penjahat besar itu masih terkurung di
dalam penjara?”
“Betul,” sahut Huang Zhonggong
tegas.
Tetua kurus itu mengangkat
kepalanya memandangi langit-langit rumah, tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak.
Debu yang menumpuk di langit-langit rumah itu seketika rontok bertaburan.
Selang sejenak barulah ia berkata, “Sekarang bawalah penjahat besar itu kemari
supaya kami dapat melihatnya.”
“Mohon maaf sebesar-besarnya
kepada Tetua,” sahut Huang Zhonggong. “Ketua telah memberi perintah kepada
kami, kecuali Ketua sendiri yang datang kemari untuk berkunjung, tidak peduli
siapa pun juga dilarang menjenguk penjahat itu. Barangsiapa melanggar ….”
Tetua kurus tadi dengan cepat
mengeluarkan sebuah benda dari balik bajunya, kemudian mengangkatnya
tinggi-tinggi sambil berdiri. Tiga orang kawannya juga serentak berdiri dengan
sikap penuh hormat.
Linghu Chong berusaha
mengamati dengan seksama, ternyata benda itu adalah sepotong papan kayu
berwarna hitam hangus berukuran belasan senti. Pada papan kayu itu terdapat
ukiran-ukiran kembang dan tulisan, namun bentuknya sangat aneh.
Seketika Huang Zhonggong
bertiga lantas memberi hormat dan berkata, “Lencana Kayu Hitam milik Ketua
telah tiba, bagaikan melihat Ketua yang berkunjung secara pribadi. Hamba siap
menerima segala titah dengan penuh hormat.”
Si tetua kurus berkata,
“Baiklah, sekarang bawa penjahat besar itu kemari.”
Huang Zhonggong terlihat
ragu-ragu, kemudian berkata, “Kaki dan tangan penjahat itu terikat oleh rantai
baja pilihan, tidak bisa … tidak bisa dibawa ke sini.”
“Hm, sampai saat ini kau masih
berlagak bodoh,” sahut si tetua kurus. “Aku ingin bertanya, sesungguhnya
bagaimana penjahat itu bisa kabur dari sini?”
“Penjahat … penjahat itu telah
melarikan diri? Ah, mana … mana mungkin?” jawab Huang Zhonggong terperanjat.
“Belum lama ini kami melihat dengan mata kepala sendiri orang itu masih
terkurung di dalam penjara. Mana mungkin dia melarikan diri?”
Raut muka si tetua kurus
berubah menjadi ramah. Ia pun berkata dengan tersenyum hangat, “Jadi kalian
melihat sendiri kalau penjahat itu masih ada di dalam penjara? Kalau begitu
kami yang salah telah menuduh kalian.” Perlahan-lahan ia bangkit dari kursi dan
berjalan ke depan seperti hendak minta maaf. Begitu sudah berdekatan, tiba-tiba
tangannya menepuk bahu Huang Zhonggong.
Tubiweng dan Danqingsheng
serentak mundur dua langkah. Meskipun mereka bergerak dengan cepat, namun
gerakan tangan si tetua kurus lebih cepat lagi. Tahu-tahu bahu mereka berdua
juga terkena tepukan tangannya. Serangan si tetua kurus tersebut jelas
tergolong serangan sembunyi-sembunyi secara mendadak. Namun karena raut
wajahnya yang tampak ramah seperti ingin minta maaf, membuat jago berpengalaman
seperti Huang Zhonggong tidak sempat berjaga-jaga. Tubiweng dan Danqingsheng
yang berilmu lebih rendah meskipun menyadari sang kakak pertama terkena
serangan, namun mereka sudah tidak memiliki kesempatan untuk menghindar.
Danqingsheng berseru lantang,
“Tetua Bao, apa kesalahan kami sehingga kau menggunakan cara … sekejam ini
kepada kami?” Dari suaranya dapat diketahui bahwa selain terdapat rasa sakit
juga terkandung amarah yang besar.
Tetua kurus bermarga Bao itu
mencibir, kemudian menjawab perlahan, “Ketua memberikan titah kepada kalian
untuk mengawasi penjahat besar itu di sini. Kalau kalian membiarkan penjahat
itu melarikan diri, kalian pantas mati atau tidak?”
“Jika penjahat itu benar-benar
melarikan diri, sekalipun harus mati juga tidak cukup untuk menebus dosa kami,”
jawab Huang Zhonggong. “Akan tetapi … akan tetapi, penjahat itu sekarang masih
berada di dalam penjara. Tetua Bao begitu datang langsung menurunkan hukuman
keji kepada kami, sungguh kami merasa keberatan untuk menerimanya.”
Sewaktu berbicara demikian,
Huang Zhonggong sedikit memiringkan badannya sehingga Linghu Chong dari balik
jendela dapat melihat pada dahinya penuh dengan butiran keringat sebesar biji
kedelai yang mengucur deras. Pemuda itu pun berpikir, “Tepukan yang dilancarkan
orang bermarga Bao itu sungguh hebat, bahkan jago berilmu tinggi seperti Huang
Zhonggong tidak mampu mengatasinya. Tapi serangannya tadi dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Kalau saja bertarung secara terbuka, aku menduga Huang
Zhonggong tidak akan kalah melawan dia.”
Terdengar kemudian Tetua Bao
berkata, “Baiklah, kalian boleh memeriksa sendiri ke dalam penjara. Apabila
penjahat itu masih berada di dalam tahanan, hm … maka aku nanti akan menyembah
dan minta maaf kepada kalian, serta memunahkan pengaruh Pukulan Pasir Biru
pula.”
“Baik, silakan para Tetua
menunggu sebentar,” kata Huang Zhonggong. Segera ia pun melangkah keluar
bersama Tubiweng dan Danqingsheng. Linghu Chong melihat ketiga bersaudara itu
berjalan dengan badan gemetar, entah karena pukulan tadi atau karena terlalu
gusar.
Khawatir diketahui, Linghu
Chong tidak berani mengintip lebih banyak. Perlahan-lahan ia duduk di atas
tanah, kemudian merenung, “Siapa sebenarnya Ketua yang tadi mereka bicarakan
itu, yang telah menugasi Empat Sekawan Jiangnan mengurung penjahat besar di
sini selama dua belas tahun? Seperti yang dikatakan Heibaizi tempo hari,
mengenai orang yang telah ditahan selama dua belas tahun tentunya Tuan Ren.
Apakah dia benar-benar sudah berhasil kabur? Kalau dia berhasil kabur dari
penjara tanpa diketahui oleh Huang Zhonggong bersaudara, berarti dia memang
benar-benar mahasakti. Ah, benar juga, Huang Zhonggong sepertinya memang tidak
tahu. Buktinya, Heibaizi saja mengira diriku sebagai Tuan Ren.”
Ia berpikir kalau Huang
Zhonggong bertiga memeriksa tahanan di dalam penjara yang ternyata sudah
berubah menjadi Heibaizi, tentu akibat yang ditimbulkan akan sangat aneh dan
lucu. Ia kembali bertanya-tanya dalam hati, “Tapi mengapa mereka mengurungku di
dalam penjara? Apakah karena aku telah bertanding pedang melawan Tuan Ren?
Mungkin mereka takut aku membocorkan keberadaan Tuang Ren sehingga aku pun
dijebloskan ke dalam penjara pula. Meskipun aku tidak dibunuh, tapi perbuatan
mereka melenyapkan saksi mata sudah tergolong keji. Hm, sekarang mereka bertiga
terkena Pukulan Pasir Biru, rasanya tentu sangat tidak enak. Anggap saja itu
sebagai pelampiasan sakit hatiku.”
Keempat tetua itu duduk diam
tanpa bicara sedikit pun. Linghu Chong tidak berani bernapas keras-keras.
Meskipun antara dirinya dan keempat orang tua itu terhalang oleh tembok
ruangan, tapi jaraknya cuma beberapa meter saja. Asalkan bernapas sedikit berat
saja pasti langsung ketahuan.
Dalam keadaan sunyi senyap
itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan menyayat hati yang berkumandang dari
jauh. Suara jeritan itu terdengar penuh penderitaan dan ketakutan. Di tengah
malam seperti ini, mau tidak mau barangsiapa yang mendengarnya pasti akan
merinding ngeri. Linghu Chong sendiri dapat mengenali itu adalah suara
Heibaizi. Meskipun orang itu telah menerima pembalasan yang setimpal dari
perbuatannya, namun setelah jatuh ke tangan tetua bernama Bao Dachu dan
kawan-kawan tentu keadaan akan bertambah runyam. Tanpa sadar di dalam hati
Linghu Chong tumbuh perasaan iba kepadanya.
Menyusul kemudian terdengar
suara langkah kaki mendekat. Huang Zhonggong dan yang lain telah kembali.
Kesempatan itu segera digunakan Linghu Chong untuk mengintip lagi. Dilihatnya
Tubiweng dan Danqingsheng memapah Heibaizi di kiri dan kanan. Tubuh Heibaizi
tampak lemas lunglai, dengan wajah pucat pasi dan mata sayu, sungguh berbeda
dengan tingkah lakunya sebelum ini yang cerdik dan pandai.
“Lapor … lapor kepada para
Tetua,” kata Huang Zhonggong dengan suara gemetar. “Penjahat besar itu ternyata
sudah … sudah melarikan diri. Hamba siap menerima hukuman mati di hadapan para
Tetua.” Merasa nasibnya sudah tidak dapat ditolong lagi, kini suaranya justru
menjadi lebih tenang, tidak gemetar seperti sebelumnya.
Bao Dachu menanggapi dengan
angkuh, “Bukankah tadi kau bilang Heibaizi tidak ada di sini? Tapi mengapa
sekarang dia muncul lagi? Sebenarnya ada masalah apa?”
“Tentang seluk-beluk kejadian
ini sesungguhnya hamba juga merasa bingung,” ucap Huang Zhonggong. “Aih, karena
mengejar hal remeh, kami melupakan sesuatu yang penting. Karena terlena dengan
kegemaran membuat kami melalaikan tugas. Semua ini adalah akibat kami berempat
terlalu iseng dan tergila-gila kepada musik, catur, kaligrafi, dan lukisan,
membuat musuh mengetahui kelemahan kami dan mengatur tipu muslihat licik.
Akhirnya, orang itu … orang itu berhasil mereka bawa kabur.”
Bao Dachu berkata, “Kami
berempat telah menerima titah dari Ketua untuk menyelidiki bagaimana sampai
penjahat besar itu bisa meloloskan diri. Jika kalian bercerita terus terang
tanpa menyembunyikan dusta, maka … maka kami mungkin dapat menemani kalian
memohon ampun kepada Ketua, memohon belas kasihan Beliau.”
Huang Zhonggong menghela napas
panjang, lalu berkata, “Seandainya Ketua menaruh belas kasihan dan sudi memberi
ampun, serta para Tetua menaruh iba kepada kami, tetap saja hamba malu untuk
melanjutkan hidup di muka bumi. Namun seluk-beluk kejadian ini sangat rumit.
Kalau hamba tidak bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, maka mati pun
hamba tidak dapat menutup mata dengan tenang.” Ia berhenti sejenak kemudian
melanjutkan, “Tetua Bao, apakah … apakah Ketua saat ini berada di Hangzhou
sini?”
Bao Dachu mengerutkan kening
dan balas bertanya, “Siapa bilang Ketua berada di Hangzhou?”
“Penjahat besar itu baru saja
melarikan diri sore tadi, mengapa Ketua seketika lantas tahu dan segera
mengirim keempat Tetua ke Wisma Meizhuang ini?” ujar Huang Zhonggong.
“Hm, kau ini semakin lama
semakin pikun saja,” ejek Bao Dachu. “Siapa bilang penjahat besar itu baru
melarikan diri tadi sore?”
“Orang itu baru melarikan diri
tadi sore menjelang senja,” sahut Huang Zhonggong yakin. “Kami bertiga mengira
dia adalah Heibaizi. Ternyata dia telah memancing Adik Kedua sehingga terkurung
dalam penjara, lalu menukar pakaiannya dengan mengenakan pakaian Adik Kedua,
setelah itu menerjang keluar. Kejadian saat dia kabur tidak hanya disaksikan
oleh kami bertiga, bahkan Ding Jian juga ditubruk oleh orang itu sampai tulang
rusuknya banyak yang patah ….”
Bao Dachu menoleh kepada
ketiga rekannya, lalu berkata sambil mengerutkan dahi, “Dia ini entah bicara
omong kosong apa, mana mungkin bisa begitu?”
Tetua yang bertubuh pendek
gemuk lantas berkata, “Kita menerima berita itu pada tanggal empat belas bulan
lalu …” Ia berbicara sambil menghitung-hitung dengan jarinya, “Berarti hari ini
sudah hari yang ketujuh belas.”
“Tidak mungkin … tidak
mungkin,” seru Huang Zhonggong sambil melangkah mundur sampai punggungnya
membentur dinding cukup keras. “Sore tadi kami benar-benar melihat dengan mata
kepala sendiri orang itu melarikan diri.” Ia kemudian melangkah ke pintu dan
berteriak, “Shi Lingwei, lekas bawa Ding Jian kemari!”
“Baik, Tuan!” jawab Shi
Lingwei dari kejauhan.
Bao Dachu bangkit dan berjalan
mendekati Heibaizi, kemudian menarik baju bagian dadanya dan mengangkatnya
sampai berdiri. Ternyata majikan kedua dari Wisma Meizhuang itu keadaannya
memang lemas lunglai seakan-akan seluruh ruas tulang di badannya telah terlepas
semua. Begitu Bao Dachu melepaskan cengkeramannya, tubuh Heibaizi pun jatuh
terkulai di lantai, tak kuasa bangkit kembali.
Tetua yang bertubuh tinggi
besar menyahut, “Benar juga, seluruh tenaganya telah habis karena … karena
dihisap oleh Jurus Penyedot Bintang orang itu.” Suaranya terdengar gemetar
karena ketakutan.
“Kapan kau dikerjai orang
itu?” tanya Bao Dachu.
“Sore … tadi,” jawab Heibaizi
dengan suara terputus-putus lemah. “Orang itu men… mencengkeram pergelangan
kananku sehingga … sehingga aku tidak bisa … berkutik. Terpaksa aku … pasrah
nasib.”
“Lalu bagaimana?” tanya Bao
Dachu tidak mengerti.
“Aku ditarik … masuk ke dalam
penjara … melalui lubang persegi … di pintu,” tutur Heibaizi. “Dia menanggalkan
pakaianku … membelenggu kaki dan tanganku ... kemudian dia … menerobos keluar
melalui … lubang persegi tadi.”
“Tadi sore? Apa benar tadi
sore? Bagaimana bisa?” tanya Bao Dachu sambil mengerutkan dahi.
“Borgol itu terbuat dari baja
pilihan, bagaimana bisa diputuskan olehnya?” tanya si tetua pendek gemuk.
“Aku … aku tidak tahu,” jawab
Heibaizi.
Tubiweng menyahut, “Tadi hamba
sempat memeriksa borgol-borgol itu, ternyata telah digergaji putus menggunakan
semacam kawat baja yang sangat halus. Sungguh aneh, dari mana orang itu
mendapatkan benda tersebut?”
Saat itu Shi Lingwei sudah
datang disertai dua pelayan yang menggotong Ding Jian di atas sebuah bangku
empuk dan tertutup oleh selembar selimut tipis. Bao Dachu menyingkap selimut
itu dan memegang perlahan dada Ding Jian. Kontan saja Ding Jian berteriak
kesakitan. Bao Dachu manggut-manggut dan memberi isyarat agar Shi Lingwei
membawa Ding Jian kembali.
“Tubrukan ini benar-benar
keras, jelas dilakukan oleh orang itu,” ujar Bao Dachu kemudian.
Tetua wanita setengah baya
yang duduk di sebelah kiri sejak tadi tidak membuka suara, sekarang mendadak ia
berkata, “Tetua Bao, jika betul orang itu baru lolos tadi sore, lantas berita
yang kita terima bulan lalu mungkin hanya kabar bohong yang sengaja disebarkan
oleh begundalnya untuk mengacaukan perhatian kita.”
“Tidak, tidak mungkin palsu,”
sahut Bao Dachu sambil menggeleng.
“Tidak mungkin palsu?” wanita
itu menegas.
Bao Dachu menjawab, “Coba
pikir, Xue Xiangzhu memiliki ilmu kebal yang menyelubungi sekujur tubuhnya.
Kulitnya keras dan tidak mempan oleh senjata tajam biasa. Tapi kelima jari
orang itu telah menembus dadanya dan mencabut keluar jantungnya mentah-mentah. Kepandaian
setinggi ini rasanya tiada duanya di muka bumi, selain orang itu tidak mungkin
….”
Selagi asyik mendengarkan
dengan seksama, tiba-tiba Linghu Chong merasa pundaknya ditepuk orang secara
perlahan. Tepukan ini benar-benar di luar dugaan sehingga ia pun terkejut dan
langsung melompat mundur tiga langkah sambil menghunus pedang. Ia menoleh dan
melihat dua orang berdiri di dekat jendela.
Karena membelakangi cahaya
rembulan yang remang-remang, wajah kedua orang itu tidak dapat terlihat jelas.
Hanya saja, seorang di antaranya lantas melambaikan tangan sambil berkata,
“Adik, mari kita masuk ke sana!”
Linghu Chong sangat senang
karena itu adalah suara Xiang Wentian. Ia pun berseru dengan suara lirih,
“Kakak Xiang!”
Meski suara mereka sangat
pelan, tapi terdengar jelas oleh orang-orang di dalam rumah. “Siapa itu?”
bentak Bao Dachu tiba-tiba.
Orang yang berdiri di samping
Xiang Wentian tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar sampai mengguncang
genting atap rumah. Linghu Chong merasa pusing mendengarnya, telinganya
berdengung, dan darah pada rongga dada ikut bergolak.
Orang itu lantas melangkah ke
depan dan mendorong dinding tembok begitu saja. Seketika terdengar suara
bergemuruh, diikuti jebolnya tembok menimbulkan suatu lubang besar. Melalui
lubang tersebut orang itu lantas melangkah masuk ke dalam, diikuti Xiang
Wentian yang menarik tangan Linghu Chong pula.
Bao Dachu dan ketiga rekannya
telah bangkit dengan senjata terhunus. Wajah mereka tampak sangat tegang.
Linghu Chong penasaran ingin mengetahui siapakah dia yang sebenarnya, namun
orang itu berdiri membelakanginya. Yang terlihat hanyalah perawakannya yang
tinggi besar, dengan rambut hitam dan baju berwarna hitam pula.
“Ternyata … ternyata Sesepuh
Ren … Sesepuh Ren yang datang,” kata Bao Dachu ragu-ragu.
Orang itu hanya mendengus
tanpa menjawab. Ia terus melangkah maju, membuat Bao Dachu, Huang Zhonggong dan
yang lain tanpa sadar melangkah mundur. Sesudah membalik tubuh, orang itu
lantas duduk di kursi tengah, yaitu kursi yang tadi diduduki Bao Dachu.
Baru sekarang Linghu Chong
dapat melihat dengan jelas wujud orang itu. Wajahnya tampan tetapi agak
panjang. Mukanya terlihat putih bersih tanpa rona merah sedikit pun,
benar-benar pucat pasi menakutkan seperti mayat yang baru bangkit dari kubur.
Orang itu melambaikan
tangannya ke arah Xiang Wentian dan Linghu Chong, lalu berkata, “Adik Xiang dan
Adik Linghu, mari duduk di sini!”
Begitu mendengar suaranya,
hati Linghu Chong sangat terkejut bercampur senang. Ia pun berseru, “Hei, jadi
kau … kau adalah Tuan Ren?”
“Benar sekali,” jawab orang
itu sambil tersenyum. “Ilmu pedangmu sungguh cemerlang.”
Linghu Chong berkata, “Tenyata
Tuan Ren sudah meloloskan diri. Padahal … padahal aku datang ingin menolong ….”
“Kau datang kemari ingin
menolongku meloloskan diri?” sahut orang bermarga Ren itu. “Hahaha, Adik Xiang,
saudaramu ini benar-benar pantas disebut kawan sejati.”
Xiang Wentian mempersilakan
Linghu Chong duduk di sisi kanan orang itu, sedangkan ia sendiri duduk di
sebelah kirinya, lalu berkata, “Adik Linghu selalu tulus dalam perbuatan. Ia
benar-benar laki-laki pemberani berjiwa luhur yang sulit ditemui di zaman ini.”
Orang bermarga Ren berkata,
“Adik Linghu, aku sungguh menyesal telah menyusahkanmu sampai meringkuk tiga
bulan dalam penjara gelap di bawah danau. Maafkan aku, hahahaha!”
Kini Linghu Chong samar-samar
dapat memahami duduk permasalahannya, namun masih belum jelas secara
keseluruhan.
Orang bermarga Ren itu
memandangi Linghu Chong dengan tersenyum ramah, lalu berkata, “Meskipun kau
telah menderita selama dua bulan di dalam penjara karena aku, tapi kau telah
berhasil menguasai Jurus Penyedot Bintang yang kuukir di atas dipan besi. Hehe,
rasanya itu sudah cukup untuk menebus kerugianmu, bahkan lebih.”
“Ilmu sakti yang terukir di
atas dipan besi itu adalah … adalah tulisan Tuan?” sahut Linghu Chong menegas
keheranan.
“Kalau bukan aku yang
mengukirnya, di dunia ini siapa lagi yang mahir Jurus Penyedot Bintang?” sahut
orang bermarga Ren dengan tersenyum.
Xiang Wentian menukas, “Adik
Linghu, di dunia ini hanya kau satu-satunya ahli waris Jurus Penyedot Bintang
milik Ketua Ren. Sungguh aku ikut senang dan harus memberimu selamat.”
“Ketua Ren?” Linghu Chong
menegas dengan heran.
“Ternyata sampai sekarang kau
masih belum mengetahui siapa sebenarnya Ketua Ren,” kata Xiang Wentian. “Beliau
adalah Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Nama lengkapnya adalah Ren
Woxing. Apakah sebelumnya kau pernah mendengar nama Beliau ini?”
“Nama … Ketua Ren telah
kutemukan pada ukiran di atas dipan besi itu. Hanya saja, aku tidak tahu kalau
Beliau adalah … adalah ketua,” jawab Linghu Chong terbata-bata. Ia pernah
mendengar bahwa Sekte Matahari dan Bulan adalah nama asli dari Sekte Iblis.
Hanya anggota Sekte yang menyebutnya demikian, sedangkan pihak luar lebih suka
menyebut dengan nama ejekan “Sekte Iblis”. Ia pun mengetahui nama Ketua Sekte
Iblis selama ini adalah Dongfang Bubai. Lalu dari mana asalnya seorang Ren
Woxing yang mengaku sebagai ketua pula?
Mendadak si tetua tinggi besar
membentak, “Siapa bilang dia ketua? Setiap orang di dunia ini tahu bahwa Ketua
Sekte Matahari dan Bulan adalah Ketua Dongfang. Orang bermarga Ren ini telah
berkhianat kepada agama kita dan memberontak. Dia sudah lama dikeluarkan dari
agama. Xiang Wentian, kau berani ikut-ikutan murtad, apa kau tidak takut
menerima hukuman mati?”
Perlahan-lahan Ren Woxing
berpaling ke arah si tetua tinggi besar itu, kemudian berkata, “Kau bernama Qin
Weibang, bukan?”
“Benar,” jawab si tetua tinggi
besar tegas.
“Saat aku masih memegang
tampuk kekuasaan di agama kita, kau adalah Pemimpin Panji Hijau di wilayah
Jiangsi, bukan?” tanya Ren Woxing.
“Benar,” jawab Qin Weibang.
Ren Woxing menghela napas dan
berkata, “Sekarang kau telah menjadi satu di antara sepuluh tetua agama.
Kenaikan pangkatmu sungguh cepat. Mengapa Dongfang Bubai begitu tinggi menilai
dirimu? Apakah karena ilmu silatmu tinggi atau karena kerjamu pintar?”
Qin Weibang menjawab, “Seumur
hidup aku setia kepada agama, selalu tampil ke muka menghadapi segala masalah.
Selama sepuluh tahun aku banyak menumpuk jasa, sehingga aku bisa diangkat
menjadi tetua,” jawab Qin Weibang.
“Hm, begitu rupanya,” ujar Ren
Woxing. Tiba-tiba ia melompat maju ke depan Bao Dachu, lalu tangan kirinya
menjulur dan mencengkeram tenggorokan tetua bertubuh kurus itu.
Bao Dachu sangat terkejut.
Karena tidak sempat mencabut senjata, terpaksa siku kirinya diangkat untuk
melindungi tenggorokan, sekaligus kaki kirinya melangkah mundur pada waktu yang
bersamaan. Setelah itu tangan kanan pun bergerak cepat mencabut golok untuk
ditebaskan.
Walaupun pertahanan Bao Dachu
sangat rapat dan serangan balasannya ganas pula, tapi tangan kanan Ren Woxing
tetap lebih cepat. Belum sempat golok Bao Dachu bergerak turun, dadanya sudah
terpegang tangan lawan. Jubah di bagian itu lantas dirobek, dan Lencana Kayu
Hitam tanda kebesaran Sekte pun dirampas pula oleh Ren Woxing.
Hampir pada saat yang sama
terdengar suara benturan logam tiga kali. Ternyata Xiang Wentian telah
menggunakan pedangnya untuk menangkis serangan Qin Weibang dan kedua temannya
yang mencoba menolong Bao Dachu. Saat itu Bao Dachu sendiri telah jatuh ke
dalam cengkeraman Ren Woxing.
“Jurus Penyedot Bintang belum
kugunakan. Apakah kau ingin mencicipi rasanya?” kata Ren Woxing dengan
tersenyum.
Sebagai seorang berpengalaman,
sudah tentu Bao Dachu tahu betapa tinggi ilmu Ren Woxing itu. Ia hanya
mempunyai dua pilihan, yaitu menyerah atau kehilangan nyawa. Maka, tanpa pikir
panjang ia pun menjawab, “Ketua Ren, mulai hari ini aku bersumpah akan selalu
setia kepadamu.”
“Dahulu juga kau pernah
bersumpah setia kepadaku, tapi mengapa kemudian mengingkarinya?” tanya Ren
Woxing.
“Mohon Ketua Ren memberi
kesempatan sekali lagi kepada hamba untuk berbuat jasa dan menebus dosa,” kata
Bao Dachu.
“Baiklah. Kalau begitu
makanlah pil ini,” kata Ren Woxing sambil melepaskan cengkeramannya, lalu
merogoh saku dan mengeluarkan sebuah botol porselen kecil. Dituangnya sebutir
pil warna merah darah lantas dilemparkannya ke arah Bao Dachu.
Dengan gesit Bao Dachu
menangkap pil itu. Tanpa pandang lagi ia langsung memasukkannya ke dalam mulut.
Qin Weibang terkejut
melihatnya dan berkata gugup, “Hah, itu … itukah ‘Pil Otak Tiga Mayat’?”
Ren Woxing manggut-manggut dan
menjawab, “Benar, ini memang Pil Otak Tiga Mayat.” Kemudian ia menuang enam
butir pil merah dari dalam botol dan melemparkannya ke atas meja. Keenam butir
pil itu terus-menerus bergelindingan, tapi tidak satu pun yang jatuh ke bawah
meja.
“Kalian tentu sudah tahu
keampuhan obatku ini, bukan?” tanya Ren Woxing.
Bao Dachu menjawab, “Setelah
menelan Pil Otak Tiga Mayat, akan selalu bertekat kuat untuk tetap setia dan
tunduk kepada Ketua Ren sampai akhir hayat. Kalau berani ingkar, maka belatung
yang tersimpan di dalam pil akan bergerak masuk ke dalam kepala dan memakan
otak. Rasanya sangat menyakitkan, serta tingkah laku menjadi liar tak bisa
dikendalikan. Bahkan, menjadi anjing gila pun lebih terhormat.”
“Benar sekali ucapanmu,” kata
Ren Woxing. “Kau sudah tahu betapa ampuh obatku ini, tapi mengapa masih berani
menelannya?”
Bao Dachu menjawab, “Itu
karena hamba sudah menyatakan tunduk dan setia kepada Ketua Ren. Betapa pun
ampuhnya Pil Otak Tiga Mayat ini juga hamba tidak peduli,” ujar Bao Dachu.
“Hahaha! Bagus sekali, bagus
sekali!” Ren Woxing tertawa terbahak-bahak. “Nah, siapa lagi yang mau mencicipi
obat ajaibku ini?”
Huang Zhonggong, Tubiweng, dan
Danqingsheng saling pandang dengan raut muka putus asa. Mereka tahu bahwa yang
dikatakan Bao Dachu bukanlah omong kosong. Qin Weibang dan para tetua lainnya
juga sudah lama menjadi anggota Sekte Iblis, sehingga mereka pun kenal baik
dengan pil ajaib yang mengandung belatung mengerikan itu. Pada hari-hari biasa,
khasiat obat tersebut tidak bekerja. Namun apabila Hari Raya Perahu Naga tiba,
maka belatung akan keluar dari dalam pil dan jika sudah masuk ke dalam otak,
maka akibatnya sungguh mengerikan. Orang itu akan kesetanan, akal budinya
menghilang, melanggar segala norma tanpa sadar, bahkan ayah dan ibu sendiri
bisa dimakan. Di dunia ini tidak ada racun yang bisa menandinginya. Maka,
setiap tahun pada hari raya tersebut, dia harus meminta obat kepada Ren Woxing
untuk menahan belatung bekerja. Uniknya, setiap pil dibuat oleh tukang obat
yang berbeda, sehingga obat penawar milik Dongfang Bubai tidak dapat
menghentikan obat milik Ren Woxing.
Ketika semua orang merasa
bimbang dan ragu-ragu, mendadak Heibaizi berseru, “Mohon belas kasihan Ketua,
biarlah hamba memakan satu butir dulu.” Usai berbicara ia pun merangkak
mendekati meja, lalu menjulurkan tangan hendak mengambil obat itu.
Namun Ren Woxing lebih dulu
mengibaskan lengan bajunya. Tubuh Heibaizi pun terlempar ke belakang dan
akhirnya jatuh terjungkal, dengan kepala membentur dinding keras-keras.
“Tenaga dalammu sudah musnah,
kau sudah menjadi manusia cacat. Kau hanya menyia-nyiakan obatku yang
berharga?” ejek Ren Woxing. Lalu ia berpaling dan berkata, “Qin Weibang, Wang
Cheng, Sang Sanniang, kalian tidak sudi minum obatku yang mujarab ini, benar
tidak?”
Sang Sanniang, wanita setengah
baya itu lantas membungkukkan badan dan berkata, “Hamba bersumpah akan selalu
setia kepada Ketua Ren. Untuk selamanya hamba tidak akan berkhianat.”
Wang Cheng, si tetua pendek
gemuk berkata pula, “Hamba juga akan tunduk dan setia kepada Ketua Ren untuk
selama-lamanya.”
Kedua orang itu lantas
mendekati meja. Masing-masing memungut sebutir pil lantas memasukkannya ke
dalam mulut. Sejak dulu mereka memang sangat takut kepada Ren Woxing. Apalagi
begitu mengetahui orang ini telah lolos dari penjara, rasa takut mereka semakin
menjadi-jadi. Meskipun Dongfang Bubai juga memiliki pil yang serupa dan memaksa
mereka menelannya supaya bersumpah setia, namun saat ini mereka merasa sedang
berada di ujung tanduk. Demi mencari selamat, mereka terpaksa tunduk kepada Ren
Woxing. Akibat yang akan datang di kemudian hari akan mereka pikirkan kelak
saja.
Berbeda dengan Qin Weibang,
tetua bertubuh tinggi besar ini semula adalah pemimpin tingkat menengah.
Sewaktu Ren Woxing memegang kekuasaan, dia adalah pemimpin cabang Sekte Iblis
yang mengurus wilayah Jiangsi, sehingga belum sempat menyaksikan secara
langsung kehebatan Sang Ketua. Setelah melihat ketiga kawannya menelan obat
maut tersebut, ia pun berseru, “Maaf, aku pulang saja!” Bersama itu ia lantas
menjejakkan kedua kaki dan melompat keluar melalui lubang pada dinding tadi.
Ren Woxing bergelak tawa tanpa
berusaha bangkit untuk merintanginya. Setelah tubuh Qin Weibang melewati
lubang, tiba-tiba Xiang Wentian mengayunkan tangan kirinya perlahan. Dari
lengan bajunya muncul seutas cambuk warna hitam yang panjang dan lembut. Gerakannya
sungguh cepat dan membuat pandangan orang-orang di situ menjadi kabur.
“Aaahh!” terdengar suara Qin
Weibang menjerit. Rupanya cambuk panjang itu telah membelit kaki kirinya. Xiang
Wentian pun menarik cambuknya, sehingga tubuh Qin Weibang ikut tertarik masuk
kembali ke dalam ruangan.
Cambuk hitam tersebut beukuran
kecil, tidak sampai sebesar jari kelingking. Namun begitu terbelit olehnya, Qin
Weibang ternyata tidak mampu melepaskan diri, hanya meronta-ronta dan
bergulingan di lantai tanpa henti.
Ren Woxing berkata, “Sang
Sanniang, ambillah sebutir pil ajaib itu, kupas dulu kulit luarnya dengan
hati-hati!”
“Baik!” jawab Sang Sanniang
dengan penuh hormat. Ia lalu mengambil sebutir pil di atas meja dan
perlahan-lahan mengupas kulit luarnya yang berwarna merah itu menggunakan kuku
sehingga terlihat biji bagian dalam yang berwarna abu-abu.
“Sekarang suruh dia menelan!”
kata Ren Woxing memberi perintah lagi.
“Baik!” jawab Sang Sanniang
kembali mengiakan. Wanita itu lalu mendekati Qin Weibang dan membentak, “Buka
mulutmu!”
Mendadak Qin Weibang membalik
tubuh dan memukul lengan Sang Sanniang menggunakan telapak tangannya. Meski
ilmu silatnya sedikit di bawah wanita itu, tapi selisihnya juga tidak jauh.
Namun karena kaki kirinya terbelit oleh cambuk, titik nadi pada beberapa bagian
ikut tertekan. Akibatnya, pukulan telapak tangannya tersebut menjadi kurang
bertenaga.
Maka dengan mudah kaki kiri
Sang Sanniang pun menendang tangan yang memukul itu, menyusul kaki kanannya
juga dengan telak mendepak dada Qin Weibang. Secara berantai, kedua kaki Sang
Sanniang menendang pula menggunakan jurus Yuanyang, tepat mengenai bahu Qin
Weibang. Tendangan susul-menyusul sebanyak tiga kali itu membuat tiga titik
nadi lawan tertotok. Dengan cekatan, tangan kiri Sang Sanniang lantas menarik
dagu Qin Weibang dan tangan kanan menjejalkan pil itu ke dalam mulutnya. Detik
berikutnya, tangan kanan itu menekan tenggorokan Qin Weibang sehingga pil yang
sudah dikupas tersebut tertelan mentah-mentah olehnya.
Linghu Chong terkesima menyaksikan
pemandangan tersebut. Ia teringat penuturan Bao Dachu bahwa di dalam pil itu
terkandung sejenis belatung perusak otak. Ia yakin bahwa kulit merah yang
dikupas tadi sebenarnya berfungsi untuk menahan belatung agar tetap beku.
Selain itu ia juga berpikir, “Gerakan nyonya ini benar-benar cepat dan rapi.
Sepertinya ia banyak berlatih secara khusus untuk memaksa orang minum obat
semacam ini.” Rupanya ia tidak tahu kalau Sang Sanniang sedang memamerkan
kepandaiannya bertarung tangan kosong dan mengunci persendian lawan kepada Ren
Woxing. Ia berusaha keras memperlihatkan segenap kepandaiannya, selain untuk
unjuk keterampilan, juga untuk menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan terhadap
Sang Ketua.
Ren Woxing tersenyum puas dan
mengangguk-angguk. Sang Sanniang bangkit tanpa memperlihatkan perubahan raut
wajah sedikit pun, meski ia telah memperlakukan kawan sendiri dengan begitu
kasar. Dengan penuh hormat wanita itu lantas berdiri ke samping.
Kemudian Ren Woxing menoleh ke
arah Huang Zhonggong dan kedua saudaranya, seakan ingin bertanya apakah mereka
bersedia menelan pil yang masih tersisa atau tidak.
Tubiweng melangkah ke depan
tanpa berbicara apa-apa. Ia lantas mengambil satu butir pil dan menelannya.
Danqingsheng tampak melangkah sambil menggumam sendiri, entah apa yang ia
katakan. Namun akhirnya ia juga mengambil satu butir dan menelannya.
Kini tinggal Huang Zhonggong
yang terlihat sangat berduka. Ia merogoh bajunya kemudian mengeluarkan sebuah
kitab tipis, yaitu naskah kecapi Guangling San. Orang tua itu lantas berjalan
mendekati Linghu Chong dan berkata, “Tuan memiliki ilmu silat tinggi dan banyak
akal pula. Siasat Tuan sungguh cerdas sehingga berhasil menolong Ren Woxing
keluar. Hm, aku sungguh kagum kepadamu. Naskah kecapi ini yang telah mencelakai
kami, empat bersaudara. Sekarang aku akan mengembalikan benda ini dengan penuh
terima kasih.” Usai berkata ia pun melemparkan naskah kecapi tersebut dan
mendarat di saku baju Linghu Chong.
Linghu Chong tertegun melihat
orang tua itu berjalan perlahan mendekati dinding. Dalam hati ia merasa sangat
menyesal. Ia pun berpikir, “Usaha menolong Ren Woxing adalah hasil tipu
muslihat Kakak Xiang, sedangkan aku sendiri tidak tahu apa-apa. Namun sudah
sepantasnya kalau Huang Zhonggong dan yang lain membenci diriku. Aku sendiri
tidak bisa membela diri.”
Huang Zhonggong berbalik, lalu
bersandar pada dinding dan berkata, “Pada mulanya kami, empat bersaudara, masuk
Sekte Matahari dan Bulan adalah untuk melakukan kebaikan dan menegakkan
kebenaran sebagai kesatria di dunia persilatan. Namun, watak Ketua Ren yang
pemarah dan keras kepala ingin menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya
sendiri membuat kami berempat kecewa. Setelah Ketua Dongfang mengambil alih,
ternyata Beliau terlalu percaya kepada para pencari muka, sampai-sampai banyak
melenyapkan saudara seagama. Kami berempat semakin kecewa dan memohon agar
diizinkan bertugas di Wisma Meizhuang ini. Pertama, agar kami dapat jauh-jauh
meninggalkan Tebing Kayu Hitam sehingga tidak perlu hidup sebagai penjilat;
kedua, supaya kami dapat berdiam di tepi Danau Xihu dan menghibur diri dengan
bermain kecapi atau melukis. Dalam dua belas tahun terakhir ini, kami telah
cukup menikmati hidup. Hidup manusia di dunia memang lebih banyak duka daripada
bahagia, begitulah kenyataannya ….” Setelah berbicara sampai di sini, tiba-tiba
ia mengerang tertahan, lalu tubuhnya perlahan-lahan jatuh terkulai.
Tubiweng dan Danqingsheng
menjerit bersamaan, “Kakak Pertama!” Keduanya lantas berlari maju untuk memapah
Huang Zhonggong. Ternyata pada jantung sang kakak sudah tertancap sebilah
belati. Sepasang mata orang tua kurus itu tampak melotot, namun napasnya sudah
putus.
“Kakak Pertama! Kakak
Pertama!” teriak Tubiweng dan Danqingsheng. Sekejap kemudian tangis mereka pun
pecah.
Wang Cheng lantas membentak,
“Orang tua ini tidak mematuhi perintah Ketua. Ia ketakutan dihukum dan memilih
bunuh diri. Dosanya semakin bertambah, kenapa kalian masih ribut segala?”
Danqingsheng sangat gusar dan
bermaksud menerjang Wang Cheng. Ingin sekali ia bertarung mati-matian melawan
tetua bertubuh pendek gemuk itu. Wang Cheng pun berkata, “Ada apa? Kau ingin
memberontak?”
Seketika Danqingsheng teringat
bahwa dirinya telah menelan obat maut Pil Otak Tiga Mayat sehingga mau tidak
mau harus tunduk kepada Ren Woxing. Amarahnya segera berkurang dan ia hanya
bisa menundukkan kepala sambil mengusap air mata.
Sementara itu, Qin Weibang
yang tersungkur di samping meja tiba-tiba meraung-raung. Sepasang matanya
melotot dan mulutnya berteriak-teriak, “Ren Woxing, aku ingin bertarung sampai
mati denganmu!” Namun ketiga titik nadinya telah tertotok sehingga tangan dan
kakinya tidak dapat bergerak. Tubuhnya terlihat kejang-kejang dan napas pun
terengah-engah, jelas sangat kesakitan.
Xiang Wentian berjalan
mendekat. Kakinya lantas menendang keras-keras sehingga Qin Weibang pun tewas
seketika.
Ren Woxing berkata, “Bawa
pergi mayat-mayat dan manusia cacat itu, lalu siapkan arak dan makanan! Hari
ini aku ingin minum sepuasnya bersama Adik Xiang dan Adik Linghu.”
“Baik!” jawab Tubiweng dan Danqingsheng
bersamaan. Mereka lantas menggotong mayat Huang Zhonggong dan Qin Webang
keluar, serta memapah tubuh Heibaizi meninggalkan ruangan itu.
Tidak lama kemudian para
pelayan muncul dan menata meja perjamuan untuk enam orang. Bao Dachu berkata,
“Siapkan tiga kursi saja. Mana berani kami duduk semeja dengan Ketua?” Ia
lantas membantu para pelayan membereskan sebagian peralatan makan.
Ren Woxing berkata kepada tiga
tetua, “Kalian sudah bekerja keras. Sekarang kalian boleh minum arak di luar
sana.”
Serentak Bao Dachu, Wang
Cheng, dan Sang Sanniang membungkuk sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan
Ketua!” Perlahan-lahan mereka bertiga lalu mengundurkan diri dari ruangan.
Ketika melihat Huang Zhonggong
bunuh diri, Linghu Chong merasa bahwa orang tua itu sebenarnya seorang
laki-laki jujur dan berjiwa kesatria. Ia teringat tempo hari Huang Zhonggong
pernah menawarkan diri menulis surat pengantar untuk dibawa menemui Mahabiksu
Fangzheng di Biara Shaolin supaya membantu mengobati lukanya. Teringat betapa
orang tua itu memiliki maksud yang baik kepadanya, mau tidak mau membuat
hatinya semakin berduka.
Terdengar Xiang Wentian
tertawa dan berkata, “Adikku, bagaimana ceritanya kau bisa begitu beruntung
dapat mempelajari Jurus Penyedot Bintang milik Ketua? Ceritakanlah supaya kami
dapat mendengarnya.”
Maka, Linghu Chong pun
menguraikan semua pengalamannya di dalam penjara bawah danau itu, juga
bagaimana ia secara tidak sengaja menemukan tulisan di atas dipan besi dan
mempelajari ilmu sakti tersebut.
“Selamat, selamat!” kata Xiang
Wentian dengan tertawa. “Sebagai kakakmu, aku merasa sangat gembira.” Ia
kemudian mengangkat cawan arak dan menenggak isinya sampai habis. Ren Woxing
dan Linghu Chong juga menenggak arak mereka.
Ren Woxing tersenyum dan
menanggapi, “Kalau diceritakan, kejadian itu memang sangat berbahaya. Pada
mulanya aku mengukir rumus rahasia ilmu tersebut di atas dipan besi karena
terdorong rasa bosan, sama sekali bukan karena aku ingin berbuat baik. Rumus
rahasia itu adalah asli, tapi kalau bukan aku sendiri yang memberi petunjuk dan
membantunya membuyarkan tenaga dalam, maka bisa menyebabkan sesat jalan bahkan
mati konyol. Di antara seribu orang, tak satu pun yang dapat menghindarinya.
Sebenarnya dalam berlatih ilmu sakti ini ada dua kesukaran. Kesukaran yang
pertama adalah bagaimana harus membuyarkan tenaga dalam sendiri di dalam tubuh
sehingga Dantian menjadi kosong. Kalau pembuyaran tenaga tidak tuntas, maka
akan mengakibatkan sesat jalan, paling ringan dia akan menjadi lumpuh seluruh
tubuhnya dan menjadi orang cacat. Akibat yang lebih berat adalah seluruh
pembuluhnya akan berbalik dan darah akan mengalir keluar melalui tujuh lubang
pada tubuh, kemudian mati. Ilmu sakti ini diciptakan oleh Cheng Yida beberapa
ratus tahun silam, namun ahli warisnya sangat jarang. Orang yang beruntung bisa
menguasainya sangat sedikit karena membuyarkan tenaga dalam adalah hal yang
sangat sulit. Namun Adik Linghu, kau memiliki keberuntungan karena tenaga
dalammu sudah musnah, sehingga kau tidak perlu bersusah payah untuk
membuyarkannya. Apa yang dirasa sukar dan berbahaya oleh orang lain ternyata
dapat kau lalui tanpa sadar.”
Setelah terdiam sejenak, ia
melanjutkan, “Nah, setelah membuyarkan tenaga dalam sendiri, langkah
selanjutnya adalah menghisap tenaga dalam orang lain dan menghimpunnya di dalam
Dantian, lalu menyalurkannya melalui nadi Qi dan kedelapan pembuluh sebelum
memakainya. Langkah ini pun sangat sukar. Coba pikir, tenaga dalam sendiri
sudah musnah, bagaimana bisa mengalahkan orang lain dan menghisap tenaganya?
Bukankah ini seperti mengantarkan nyawa dengan sia-sia? Namun lagi-lagi Adik
Linghu punya keberuntungan. Adik Xiang pernah bercerita, di dalam tubuhmu
tersimpan delapan macam hawa murni milik beberapa orang jago silat. Andaikan
kau hanya memiliki satu saja, kau sudah sangat hebat. Adik Linghu, untuk
kesukaran kedua pun dapat kau lewati dengan mudah. Ini benar-benar karena
kehendak Langit.”
“Untung saja seluruh tenaga
dalamku sudah musnah. Jika tidak, entah bagaimana akibatnya, sulit untuk
dibayangkan,” kata Linghu Chong yang diam-diam ketakutan mendengar penuturan
itu sampai telapak tangannya terasa dingin. “Kakak Xiang, sesungguhnya
bagaimana cara Ketua Ren meloloskan diri, sampai saat ini aku masih tidak
mengerti?”
Xiang Wentian tertawa terkekeh-kekeh
sambil mengeluarkan suatu benda dari balik bajunya dan menyerahkannya ke tangan
Linghu Chong. “Coba lihat ini?”
Linghu Chong merasakan benda
di tangannya itu berbentuk bulat dan keras. Ia ingat tempo hari benda inilah
yang dititipkan Xiang Wentian untuk disampaikan kepada Ren Woxing. Begitu
membuka tangan, Linghu Chong melihat benda itu berupa semacam bola baja yang
memiliki sebuah gotri yang teramat kecil. Setelah gotri itu diputar beberapa
kali, muncullah seutas kawat baja yang teramat halus. Ujung kawat terhubung
pada bola baja, sedangkan pada badan kawat dipenuhi mata gergaji yang halus
tetapi tajam dan kuat.
Linghu Chong pun menyadari
duduk masalahnya. Ia kemudian berkata, “Ternyata borgol di tangan dan kaki
Ketua Ren itu digergaji putus menggunakan kawat baja ini.”
Ren Woxing tertawa dan
berkata, “Waktu itu aku tertawa keras beberapa kali disertai tenaga dalam untuk
mengguncangmu dan keempat orang itu sampai pingsan. Setelah menggergaji putus
semua borgol, maka aku pun memperlakukanmu seperti bagaimana kau mengerjai
Heibaizi.”
Linghu Chong tertawa dan
menanggapi, “Ternyata Ketua Ren telah menukar pakaianku, lalu memborgol tangan
dan kakiku. Pantas saja Huang Zhonggong dan yang lain tidak menyadarinya.”
Xiang Wentian menyahut,
“Sebenarnya paling sulit mengelabui Huang Zhonggong dan Heibaizi. Hanya saja
sesudah mereka siuman, Ketua dan aku sudah lebih dulu meninggalkan Wisma
Meizhuang. Aku telah meninggalkan lukisan, kaligrafi, serta kitab catur yang
mereka inginkan. Begitu melihat benda-benda itu, mereka langsung tergila-gila
sehingga tidak mencurigai bahwa isi penjara sudah berganti orang.”
“Siasat Kakak Xiang sungguh
hebat, sukar ditiru orang lain,” puji Linghu Chong. Diam-diam ia pun berpikir,
“Ternyata segalanya sudah kau atur dengan baik. Kau menipu keempat bersaudara
itu supaya kita bisa masuk ke penjara. Tapi sudah sekian lama Ketua Ren lolos,
mengapa kau belum juga datang menolongku?”
Xiang Wentian melihat
perubahan raut wajah Linghu Chong dan ia pun dapat menebak apa yang sedang dipikirkannya.
“Adik, setelah Ketua lolos, banyak sekali urusan penting yang harus kami
kerjakan dan jangan sampai diketahui musuh. Maka kami terpaksa membuatmu
menderita sekian lama di dalam penjara. Justru kedatangan kami saat ini adalah
untuk menolongmu. Syukurlah kau berhasil meloloskan diri dan menguasai ilmu
sakti luar biasa. Boleh dibilang, kami telah membayar ganti rugi untukmu.
Hahaha, sekarang terimalah permintaan maaf dari kakakmu ini,” katanya sambil
menuang arak di cawan masing-masing sampai penuh, lalu menenggak habis
miliknya.
Ren Woxing ikut bergelak tawa
dan berkata, “Aku mengiringi minum satu cawan!”
Linghu Chong tersenyum dan
menjawab, “Minta maaf apa? Ganti rugi apa? Justru aku yang harus berterima
kasih kepada kalian berdua. Tadinya aku menderita luka parah yang sukar
disembuhkan, tapi setelah mempelajari ilmu sakti milik Ketua membuat penyakitku
dapat disembuhkan, dan selembar nyawaku ini dapat dipertahankan.”
Mereka bertiga lantas bergelak
tawa dengan sangat gembira.
Xiang Wentian berkata, “Dua
belas tahun yang lalu, tiba-tiba Ketua menghilang secara aneh. Dongfang Bubai
kemudian mengambil alih kekuasaan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres,
namun aku hanya bisa bersabar dan berlagak bodoh di hadapan Dongfang Bubai.
Sampai akhirnya, belum lama ini aku mendengar berita bahwa Ketua dikurung di
tempat ini. Aku berniat ingin membantu Ketua meloloskan diri. Tak disangka,
begitu meninggalkan Tebing Kayu Hitam, Dongfang Bubai langsung mengirim
segerombolan orang itu untuk menangkap atau membunuhku. Keadaan bertambah kacau
ketika aku bertemu orang-orang bangsat keparat dari aliran lurus. Adik, pada
hari ketika kita berdua dikejar-kejar kedua golongan itu di jalanan gunung, kau
telah menceritakan kepadaku tentang penyakit yang kau derita dan bagaimana kau
sampai kehilangan tenaga dalam. Saat itu aku langsung berpikir bahwa di dunia
ini yang bisa membuyarkan tenaga dalam liar di dalam tubuhmu hanyalah Jurus
Penyedot Bintang milik Ketua. Jika Ketua berhasil meloloskan diri, maka aku
akan memohon kepada Beliau supaya mengajarkan ilmu saktinya itu kepadamu,
sehingga nyawamu bisa diselamatkan. Ternyata tanpa aku perlu membuka mulut,
Ketua sendiri telah mengajarkan ilmu sakti itu kepadamu. Hahahaha!”
Ketiga orang itu kembali
bergelak tawa sambil meneguk arak. Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Walaupun
Kakak Xiang telah memanfaatkanku demi menolong Ketua Ren, namun pada
kenyataannya ia benar-benar menyelamatkan nyawaku. Sebelum kami kemari tempo
hari ia sudah mengatakan hendak membereskan sebuah urusan mahapenting. Ia juga
mengaku terus terang bahwa ia ingin memakaiku dan terpaksa menyusahkanku selama
beberapa waktu. Aku sendiri langsung menyanggupinya. Maka mengenai penjara itu,
sedikit pun aku tidak boleh mengeluh. Lagipula kalau aku tidak dilibatkan dalam
masalah ini, mana mungkin Ketua Ren bersedia mengajarkan Jurus Penyedot Bintang
begitu saja? Mana mungkin ilmu saktinya akan diwariskan kepada orang asing
sepertiku yang tidak memiliki hubungan apa pun dengannya?” Berpikir demikian
membuat di dalam hatinya tumbuh perasaan sangat berterima kasih kepada Xiang
Wentian.
Ia kemudian berpaling kepada
Ren Woxing dan berkata, “Ketua Ren, ilmu saktimu ini telah mencapai
kesempurnaan, sedangkan orang-orang tidak mengetahui asal-usulnya. Apakah Ketua
Ren bersedia menceritakannya?”
Ren Woxing minum seteguk arak
lalu berkata, “Ilmu saktiku ini berasal dari Partai Xiaoyao pada zaman Dinasti
Song Utara, yang di kemudian hari terpisah menjadi dua macam ilmu, yaitu
Beiming Shengong dan Huagong Dafa. Yang mempelajari Beiming Shengong adalah
seorang kaisar bermarga Duan dari Kerajaan Dali. Pada mulanya kaisar bermarga
Duan itu menganggap bahwa menghisap tenaga dalam milik orang lain yang sudah
dikumpulkan seumur hidup untuk dipakai sendiri adalah tidak benar, oleh karena
itu ia tidak mau melatihnya. Namun setelah membaca tulisan peninggalan seorang
tetua dari Partai Xiaoyao, barulah ia menyadari apa tujuan ilmu sakti ini.
Tulisan itu kira-kira seperti ini, ‘Tidak peduli orang baik atau jahat,
barangsiapa yang mempelajari ilmu silat pasti akan melukai atau membunuh orang.
Ilmu silat sendiri tidak bisa disebut baik atau jahat. Jika digunakan untuk
berbuat baik, maka akan menjadi baik; dan jika digunakan untuk berbuat jahat
maka akan menjadi jahat adanya.’ Kalau jurus Harimau Merenggut Jantung
digunakan untuk membunuh orang jahat, maka itu menjadi jurus yang baik. Tapi
kalau digunakan untuk membunuh orang baik, maka itu akan menjadi jurus yang
jahat. Golok kalau digunakan untuk membunuh orang baik, maka itu menjadi golok
yang jahat. Tapi kalau digunakan untuk membunuh orang yang jahat, maka itu
adalah golok yang baik. Adik Linghu, kau setuju atau tidak?”
Linghu Chong mengangguk dan
berkata, “Pemikiran Ketua Ren sungguh mendalam.”
Ren Woxing berkata, “Itu bukan
pemikiranku, tapi aku hanya mengulangi perkataan leluhur dari zaman Dinasti
Song Utara itu. Kalau ada orang menghunus golok untuk melukai dan membunuh
orang baik-baik, maka kita harus merebut golok itu dari tangan mereka supaya
mereka tidak memegang senjata. Hal ini kita lakukan semata-mata demi kebaikan.
Kalau ada seorang penjahat yang luar biasa kuat, tentu kalau ia berbuat jahat
akan semakin ganas pula. Maka, kita harus merebut tenaga dalamnya sehingga itu
berarti memusnahkan kemampuannya untuk berbuat jahat, seperti merebut golok
tadi. Nah, para ahli waris Partai Xiaoyao ada yang baik dan ada yang jahat,
namun orang bermarga Duan dari Kerajaan Dali itu ingin menggunakannya untuk
kebaikan, yaitu dia hanya menghisap tenaga dalam orang jahat saja. Tentunya ini
perbuatan benar, bukan? Sama seperti Pukulan Sakti dari Biara Shaolin, atau
Pukulan Panjang dari Kuil Wudang terkenal sebagai jurus baik. Meskipun kedua
pukulan ini sama-sama dapat melukai dan membunuh orang, namun selamanya tidak
pernah digunakan dengan membabi buta untuk mencelakai orang yang tidak
berdosa.”
Ren Woxing kemudian tertawa
dan melanjutkan, “Kalau aku tidaklah demikian. Jika ada orang yang menyerangku,
maka dia kuanggap musuh. Tidak peduli orang itu baik atau jahat, maka aku si
tua akan menghisap tenaga dalamnya. Kalau tenaga dalam itu bisa kugunakan,
bukankah ini sesuatu yang menyenangkan? Leluhur Partai Xiaoyao juga berkata,
‘Seratus sungai bergabung dengan lautan, adalah karena sungai itu sendiri yang
mengalir masuk ke dalam lautan, sama sekali bukan lautan yang mengambil air
sungai secara paksa. Perkataan ini tidak perlu diperdebatkan lagi. Kalau musuh
menyerangku tanpa memakai tenaga dalam, maka aku pun tidak akan menghisap
tenaga dalamnya. Prinsip dasar jurus Beiming Shengong adalah, apabila orang
lain tidak menyerangku, maka aku pun tidak akan menyerangnya. Akan tetapi,
jurus Huagong Dafa tidaklah demikian. Penciptanya berasal dari Partai Xiaoyao
juga, namun karena ia tidak mewariskannya kepada sesama anggota Partai, mereka
juga tidak tahu bagaimana caranya membuyarkan tenaga dalam. Maka, mereka pun
sering menggunakan racun ketika hendak menggunakan ilmu sakti ini. Setelah
terkena racun, pembuluh nadi musuh akan rusak dan tenaga dalamnya musnah,
seakan-akan dihisap habis orang. Jurus Penyedot Bintang milikku berasal dari
Beiming Shengong yang asli, sama sekali tidak menggunakan racun. Perbedaan di
antara keduanya harus kau perhatikan baik-baik.”
Sejak awal Linghu Chong merasa
serbasalah. Baginya, menghisap tenaga dalam orang lain adalah sesuatu yang
kurang pantas. Setelah mendengarkan uraian Ren Woxing tersebut, ia pun
berpikir, “Kalau orang lain tidak menyerangku, maka aku pun tidak akan
menyerangnya. Aku tidak ingin mencelakai orang lain. Tapi kalau ada orang
hendak membunuhku, maka aku terpaksa menghisap tenaga dalamnya untuk membela
diri dan menyelamatkan nyawa. Sepertinya ini tidak dapat dikatakan sebagai
suatu hal yang buruk. Akan tetapi, kalau orang itu sudah bersusah payah melatih
tenaga dalamnya, lalu kuhisap untuk kugunakan sendiri, hal ini tidak jauh
berbeda dengan merampok harta benda orang lain secara keji.”
Setelah minum belasan cawan
arak, Linghu Chong merasa kepribadian Ketua Ren itu sangat menarik, penuh
semangat kepahlawanan dan pengalamannya juga luas luar biasa. Diam-diam Linghu
Chong merasa sangat kagum kepadanya. Walaupun tadinya ia merasa cara Ren Woxing
bertindak terhadap Qin Weibang, dan Heibaizi terlihat sangat kejam, namun
sesudah bercakap-cakap agak lama, ia merasa perbuatan seorang kesatria tidak
dapat dinilai dengan ukuran orang biasa. Rasa kesal di dalam hatinya pun
sedikit demi sedikit mulai pudar.
Ren Woxing melanjutkan, “Adik
Linghu, terhadap musuh aku selalu bertindak kejam, terhadap bawahan aku pun
sangat ketat. Kau mungkin tidak terbiasa dengan cara-cara seperti ini. Tapi
coba pikir, sudah berapa lama aku dikurung di dalam penjara bawah danau? Kau
sendiri telah merasakan bagaimana hidup di penjara neraka itu. Bagaimana mereka
telah memperlakukanku dapatlah kau bayangkan sendiri. Lalu terhadap musuh dan pengkhianat,
mana bisa aku berlaku lemah lembut?”
Linghu Chong mengangguk sambil
memikirkan ucapan itu. Tiba-tiba terlintas suatu pikiran di benaknya yang
membuatnya bangkit dan berkata, “Aku ingin memohon sesuatu kepada Ketua, semoga
Ketua sudi mengabulkannya.”
“Urusan apa?” tanya Ren
Woxing.
Linghu Chong berkata, “Sewaktu
pertama kali aku bertemu dengan Ketua, pernah kudengar Huang Zhonggong berkata
kalau sampai Ketua dilepaskan dan kembali berkecimpung di dunia persilatan,
maka akan terjadi pertumpahan darah besar-besaran, di mana dari Perguruan
Huashan saja sedikitnya separuh anggota bisa menjadi korban. Aku juga mendengar
sendiri Ketua berkata bila bertemu dengan guruku, Ketua akan membuatnya susah.
Ilmu Ketua sedemikian tinggi, apabila membuat susah Perguruan Huashan jelas
tiada seorang pun yang mampu melawan ….”
Ren Woxing menukas, “Aku
dengar dari Adik Xiang, bahwa kau ini telah dipecat dari Perguruan Huashan dan
gurumu telah mengumumkan hal ini ke seluruh dunia persilatan. Jika nanti aku
menghajar mereka lalu menumpas seluruh Perguruan Huashan sehingga lenyap dari
dunia persilatan, bukankah ini dapat melampiaskan dendam dan kemarahanmu?”
Linghu Chong menggeleng dan
menjawab, “Sejak kecil aku sudah yatim piatu. Berkat keluhuran budi Guru dan
Ibu Guru, aku dibesarkan oleh mereka dan diterima masuk Perguruan. Meski
hubungan kami adalah guru dan murid, tapi rasanya sudah seperti ayah dan anak.
Mengenai diriku yang dipecat dari Perguruan Huashan, ini semua adalah salahku
sendiri. Lagipula ada sedikit kesalahpahaman di antara kami, sehingga aku sama
sekali tidak berani menyimpan dendam dan menyalahkan guruku yang berbudi.”
Ren Woxing berkata, “Jika
demikian, meski Yue Buqun tidak kenal ampun kepadamu, tapi kau ingin tetap
setia kepadanya?”
Linghu Chong menjawab, “Aku
sungguh-sungguh memohon kepada Ketua, semoga Ketua bermurah hati untuk tidak
membuat susah guru, ibu guru, serta adik-adik seperguruanku di Perguruan
Huashan.”
Untuk sejenak Ren Woxing
termenung, kemudian berkata agak menggumam, “Aku bisa lolos dari penjara juga
berkat bantuanmu yang tidak sedikit. Tapi aku sendiri telah mewariskan Jurus
Penyedot Bintang kepadamu dan menyelamatkan nyawamu. Kedua kejadian ini boleh
dikata impas, siapa pun tidak saling berhutang. Sekarang aku telah masuk kembali
ke dalam dunia persilatan. Banyak sekali dendam lama yang harus kuselesaikan
sehingga aku tidak berani menjanjikan apa-apa kepadamu. Jika tidak, hal ini
bisa merintangi setiap langkahku kelak.”
Wajah Linghu Chong tampak
cemas karena permohonannya ditolak. Ren Woxing pun tertawa terbahak-bahak dan
kembali berkata, “Adik, kau duduklah dulu! Saat ini di dunia hanya Adik Xiang
dan kau yang benar-benar bisa kupercaya. Kau telah memohon kepadaku, meskipun
sulit masih dapat kupertimbangkan. Begini saja, kalau kau berjanji untuk
melakukan sesuatu kepadaku, maka aku pun akan berjanji untuk melakukan sesuatu
kepadamu. Jika bertemu orang-orang Perguruan Huashan, aku tidak akan mengganggu
mereka, kecuali mereka yang mendahului kurang ajar kepadaku. Andaikata aku harus
menghajar mereka juga aku akan sedikit berbelas kasihan karena memandang
dirimu. Bagaimana, kau setuju?”
Linghu Chong sangat senang dan
buru-buru berkata, “Kalau demikian aku sungguh sangat berterima kasih. Apa pun
yang Ketua Ren minta pasti akan kupatuhi.”
Ren Woxing berkata, “Marilah
kita bertiga saling mengangkat saudara. Untuk selanjutnya, ada rezeki kita
nikmati bersama, ada kesulitan kita pikul bersama. Jabatan Adik Xiang adalah
Pelindung Kiri Cahaya Terang Sekte Matahari dan Bulan, sedangkan kau menjadi
Pelindung Kanan. Bagaimana pendapatmu?”
Begitu mendengarnya, Linghu
Chong langsung tercengang. Sama sekali ia tidak menduga orang itu akan meminta
dirinya masuk menjadi anggota Sekte Matahari dan Bulan. Sejak kecil ia telah
mendengar cerita guru dan ibu gurunya tentang bermacam-macam perbuatan keji
yang dilakukan orang-orang Sekte Iblis. Meski sekarang dirinya telah
dikeluarkan dari Perguruan Huashan, namun yang diinginkannya adalah hidup bebas
merdeka dan menjadi seorang kelana yang tidak terikat oleh suatu aliran atau
golongan mana pun. Maka, ia sama sekali tidak ingin menjadi anggota Sekte
Iblis. Untuk sesaat pikirannya menjadi kacau dan tidak sanggup menjawab.
Ren Woxing dan Xiang Wentian
menatap tajam untuk menantikan jawabannya. Suasana di dalam ruangan itu menjadi
sunyi senyap.
Selang agak lama barulah
Linghu Chong membuka suara, “Aku menghargai maksud baik Ketua. Namun Linghu
Chong ini masih hijau, mana berani disejajarkan dengan Ketua dan mengangkat
saudara segala? Lagipula, meski aku bukan lagi orang Perguruan Huashan, namun
aku masih berharap Guru berubah pikiran dan menarik kembali keputusannya ….”
Ren Woxing tertawa hambar, dan
berkata, “Meski kau memanggil ‘ketua’ kepadaku, tapi jiwaku sendiri setiap saat
bisa melayang. Sebutan ‘ketua’ hanya enak didengar saja, tidak lebih cuma gelar
kosong belaka. Saat ini di dunia setiap orang mengetahui Ketua Sekte Matahari
dan Bulan adalah Dongfang Bubai. Ilmu silat orang ini sangat tinggi, sama
sekali tidak berada di bawahku. Tipu muslihat dan kepintarannya bahkan jauh di
atasku. Pengikutnya juga sangat banyak. Kalau hanya mengandalkan tenagaku serta
Adik berdua untuk merebut kembali kedudukan ketua dari dia, hal ini bagaikan
memukul batu menggunakan telur. Kau tidak ingin mengangkat saudara denganku,
ini pun dapat aku maklumi karena kau ingin menjaga nama baikmu sendiri.
Marilah, marilah, kita bergembira ria dan minum arak saja. Masalah tadi tidak
perlu kita ungkit-ungkit lagi!”
Linghu Chong bertanya,
“Bagaimana kedudukan Ketua sampai bisa direbut oleh Dongfang Bubai dan mengapa
Ketua Ren sampai bisa dikurung dalam penjara neraka itu? Apakah kiranya
seluk-beluk kejadian itu dapat diceritakan kepadaku?”
Ren Woxing menggeleng dan
tersenyum getir, kemudian berkata, “Selama dua belas tahun mendekam di penjara
bawah danau, segala kedudukan dan kekuasaan, segala kekayaan dan nama baik
seharusnya sudah hambar bagiku. Tapi, hehe, semakin tua hatiku justru semakin
panas.”
Xiang Wentian menyahut,
“Adikku, tempo hari Dongfang Bubai telah mengirimkan orang-orangnya sebanyak
itu untuk mengejarku. Betapa kejam cara yang mereka lakukan juga kau saksikan
sendiri. Kalau saja kau tidak tampil ke muka untuk membelaku, tentu aku sudah
dicincang hancur lebur di tengah gardu itu. Dalam hatimu kau masih membeda-bedakan
antara aliran lurus dan aliran sesat segala. Tapi saat ratusan orang mengeroyok
kita berdua tempo hari apakah masih ada bedanya antara yang lurus dan yang
sesat? Padahal semua itu tergantung orangnya. Memang di dalam aliran lurus
tidak sedikit terdapat orang baik, namun siapa berani bilang di sana tidak ada
manusia yang rendah dan kotor? Di dalam aliran sesat memang betul tidak sedikit
terdapat orang jahat, tapi bila kita bertiga sudah memegang kepemimpinan, kita
dapat mengadakan pembersihan secara keseluruhan untuk melenyapkan para sampah
itu. Dengan demikian, kita dapat membuka lembaran baru bagi sejarah dunia
persilatan.”
Linghu Chong mengangguk dan
berkata, “Perkataan Kakak Xiang memang benar.”
Xiang Wentian melanjutkan,
“Masih segar dalam ingatanku bagaimana dahulu Ketua memperlakukan Dongfang
Bubai seperti saudara kandung sendiri, bahkan mengangkatnya sebagai Pelindung
Cahaya Terang Kiri. Hampir semua kekuasaan kepemimpinan agama telah diserahkan
kepadanya. Saat itu Ketua sedang memusatkan segenap tenaga dan pikiran untuk
menyempurnakan Jurus Penyedot Bintang demi menutupi beberapa
kekurangan-kekurangannya, sehingga tidak sempat mengawasi urusan agama
sehari-hari. Tak disangka Dongfang Bubai itu ternyata serigala berbulu domba.
Di hadapan Ketua ia berlaku sangat hormat dan tidak berani membangkang segala
perintah, tapi di belakang diam-diam memupuk kekuatan dan menebar pengaruhnya
sendiri. Dengan bermacam-macam alasan yang dibuat-buat ia telah memecat atau
menghukum mati anggota yang setia kepada Ketua. Hanya beberapa tahun saja
orang-orang kepercayaan Ketua telah tercerai-berai. Ketua seorang jujur dan
tulus. Karena melihat Dongfang Bubai begitu hormat, juga segala urusan agama
telah diaturnya degan rapi, maka Beliau sama sekali tidak menaruh curiga
apa-apa kepadanya.”
Ren Woxing menghela napas dan
berkata, “Adik Xiang, mengenai hal ini aku sungguh merasa malu. Sudah
berkali-kali kau memberi nasihat kepadaku supaya berhati-hati kepada Dongfang
Bubai. Namun aku terlalu percaya kepadanya dan nasihatmu yang baik kuanggap
tidak enak didengar. Aku justru menganggapmu menyimpan iri hati dan juga
menuduhmu sengaja memecah belah persatuan di antara pimpinan agama. Kau begitu
marah kemudian pergi entah ke mana, dan untuk selanjutnya kita tidak pernah
bertemu lagi.”
“Hamba sama sekali tidak
berani menaruh dendam dan menyalahkan Ketua,” ujar Xiang Wentian. “Masalahnya
hamba melihat ada gelagat kurang baik. Dongfang Bubai telah mengatur anak
buahnya sedemikian rapi dan setiap saat bisa bertindak. Kalau hamba tetap
mendampingi Ketua tentu akan lebih dulu dihabisi olehnya. Sama sekali hamba
tidak takut mati, tetapi hamba lebih memikirkan masa depan agama kita. Kalau
saja Ketua menyadari pengkhianatannya dan memberi perintah untuk memadamkan
pemberontakannya, tentu hal itu sangat baik. Namun karena Ketua membiarkannya,
hamba pun memilih pergi untuk mengawasi gerak-geriknya dari jauh, dengan
demikian paling tidak akan membuat Dongfang Bubai berpikir dua kali sebelum
melakukan pemberontakan.”
“Benar, langkahmu memang
tepat,” ujar Ren Woxing. “Tapi waktu itu dari mana aku mengetahui maksud
baikmu? Bahkan aku merasa gusar karena kau tinggal pergi begitu saja tanpa
pamit. Saat itu latihanku telah mencapai tahap genting, dan hampir saja aku
tersesat gara-gara kepergianmu. Namun Dongfang Bubai semakin giat melayaniku
dan meminta aku supaya bersabar. Dengan begitu aku semakin masuk ke dalam
perangkapnya dan pada akhirnya menyerahkan Kitab Bunga Mentari kepadanya.”
“Hah?”seru Linghu Chong begitu
mendengar Kitab Bunga Mentari disebut.
“Apakah kau juga mengetahui
tentang Kitab Bunga Mentari, Adikku?” tanya Xiang Wentian.
“Aku pernah mendengar guruku
menyebut tentang kitab itu. Katanya, kitab itu berisi rahasia ilmu silat yang
paling tinggi. Sungguh tidak kusangka kitab itu ternyata berada di tangan Ketua
Ren,” jawab Linghu Chong.
“Sudah bertahun-tahun Kitab
Bunga Mentari menjadi pusaka Sekte Matahari dan Bulan, selalu diturunkan dari
ketua yang satu kepada ketua penggantinya,” ujar Ren Woxing. “Waktu itu aku
sedang tenggelam dalam latihan Jurus Penyedot Bintang sehingga lupa daratan.
Segala urusan tidak kupedulikan lagi. Timbul maksudku hendak menyerahkan
kedudukan kepada Dongfang Bubai. Tujuanku memberikan Kitab Bunga Mentari
kepadanya adalah sebagai isyarat yang jelas bahwa tidak lama lagi aku akan
mengangkat dia sebagai penggantiku. Tapi, aih, Dongfang Bubai sebenarnya sangat
cerdas, sudah jelas mengetahui kedudukan ketua akan segera dia warisi, namun
mengapa dia begitu terburu nafsu? Tanpa menunggu aku mengumumkan secara resmi
di hadapan banyak orang, dia justru mengambil risiko dengan mengadakan
pengkhianatan dan merebut kedudukan.” Bicara sampai di sini terlihat dahinya
berkerut seakan-akan sampai saat ini ia masih tidak mengerti apa yang terjadi
di balik peristiwa itu.