Pendekar Hina Kelana Jilid 66-70

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 66-70 Orang bermarga Ren itu lantas berkata, “Benar, sobat cilik. Feng Qingyang memang berwawasan luas.
Orang bermarga Ren itu lantas berkata, “Benar, sobat cilik. Feng Qingyang memang berwawasan luas. Kau telah mengalahkan semua manusia kerdil di Wisma Mei Zhuang ini, bukan?”

Linghu Chong menjawab, “Ilmu pedangku ini adalah hasil pengajaran Sesepuh Feng sendiri. Kecuali Tuan Ren atau ahli warismu, orang biasa sudah tentu bukan tandinganku.”

Ucapan ini jelas merendahkan Huang Zhonggong bersaudara, karena didorong perasaannya yang semakin gemas terhadap para majikan itu. Hanya berada sebentar saja di penjara bawah danau yang lembab dan gelap itu ia sudah merasa sangat tersiksa, apalagi seorang kesatria besar yang entah sudah dikurung berapa tahun lamanya oleh mereka. Rasa keadilannya terusik, sehingga ia bicara tanpa segan-segan lagi.

Sudah tentu Huang Zhonggong berempat merasa sangat tersinggung mendengar ucapan itu. Namun mereka tidak dapat berkata apa-apa karena pada kenyataannya memang Linghu Chong telah mengalahkan mereka. Hanya Dan Qingsheng yang membuka suara, “Adik Feng, kau ….” Namun Heibaizi segera menarik lengan bajunya sebagai isyarat supaya menutup mulut.

Orang bermarga Ren kembali berkata dengan senang, “Bagus sekali, bagus sekali. Sobat cilik, sedikitnya kau telah mewakiliku melampiaskan kemarahan terhadap anak-anak anjing itu. Eh, bagaimana caramu mengalahkan mereka?”

Linghu Chong menjawab, “Orang pertama di Wisma Mei Zhuang yang bertanding denganku adalah seorang sobat yang dijuluki ‘Si Pedang Kilat Datu Kata’ atau semacamnya. Dia bernama Ding Jian.”

Si marga Ren berkata, “Ilmu pedang orang bermarga Ding itu cuma pamer saja dan sebenarnya tidak ada isinya. Dia menakut-nakuti orang dengan kilatan sinar pedangnya, padahal tidak punya kepandaian sejati. Pada hakikatnya kau tidak perlu menyerang dia, cukup acungkan pedangmu saja tentu dia akan menyerahkan jari tangannya ke pedangmu dan terpotong sendiri.”

“Hah!” seru kelima hadirin yang sama-sama terkejut.

“Bagaimana? Apa aku salah bicara?” tanya orang bermarga Ren.

“Sungguh tepat ucapan Tuan seakan-akan ikut menyaksikan sendiri,” jawab Linghu Chong.

“Bagus, jadi kelima jarinya ataukah telapak tangannya yang terpotong?” tanya orang itu.

“Aku sedikit menggeser mata pedangku,” kata Linghu Chong.

“Ah, salah, salah! Terhadap musuh mana boleh bermurah hati? Hatimu terlalu baik, kelak kau akan rugi sendiri.” sahut si marga Ren. “Siapa orang kedua yang bertanding denganmu?”

“Tuan Keempat,” jawab Linghu Chong.

Si marga Ren menanggapi, “Hm, ilmu pedang si nomor empat sedikit lebih baik daripada Si Kentut Satu Kata atau apa pula itu. Setelah melihatmu mengalahkan Ding Jian, pasti dia menggunakan ilmu pedang andalan yang dibanggakannya. Apa ya namanya? Ah, aku ingat. Namanya ‘Ilmu Pedang Cipratan Warna Pengiris Rami’, yang mengandung jurus-jurus ‘Pelangi Putih Menembus Mentari’, ‘Naga Hujan Mengangkasa Burung Feng Terbang Tinggi’, ‘Angin Musim Semi Meniup Pohon Liu’, atau semacam itu.”

Danqingsheng bertambah heran mendengar jurus-jurus pedang kebanggaannya dengan tepat dapat disebutkan si marga Ren tanpa salah sama sekali.

“Ilmu pedang Tuan Keempat memang cemerlang,” kata Linghu Chong. “Hanya saja, saat menyerang banyak terdapat celah kelemahannya.”

Orang bermarga Ren tertawa dan menjawab, “Sebagai ahli waris si tua Feng, kau memang berpandangan luas. Kau telah menyebutkan titik kelemahan ‘Ilmu Pedang Cipratan Warna Pengiris Rami’ dengan benar. Dalam ilmu pedangnya itu, ada satu jurus yang sangat dahsyat, bernama ‘Jurus Naga Kumala Menggelantung’, yang membacok sekuat tenaga dari atas ke bawah. Namun jurus ini tidak ada gunanya kalau bertemu ahli waris Feng Qingyang, karena kau tinggal menebas ke samping melalui bilah pedangnya, tentu kelima jarinya akan terpotong sendiri. Ini namanya ‘Ilmu Pedang Cipratan Darah Pengiris Jari’ hahaha, hahaha!”

Linghu Chong berkata, “Tuan Ren sungguh jeli seperti bisa meramal. Aku memang mengalahkannya memakai cara itu. Hanya saja, di antara kami tidak terdapat permusuhan apa-apa. Selain itu, Tuan Keempat sangat murah hati dan menyuguhkan arak-arak enak kepadaku. Maka, aku juga tidak perlu mengiris kelima jarinya, hahaha.”

Si majikan keempat gusar bukan kepalang. Raut wajahnya sebentar merah, sebentar pucat kehijau-hijauan, sama seperti namanya, yaitu “Danqing” yang bermakna “merah dan hijau”. Untung saja ia memakai kerudung sarung bantal sehingga perubahan wajahnya tidak sampai kelihatan.

Orang marga Ren melanjutkan, “Si botak nomor tiga suka menggunakan pena. Tulisannya mirip cakar ayam, tapi dia berlagak seperti seorang sastrawan. Dengan bangga ia berkata bahwa di dalam ilmu silatnya terkandung seni kaligrafi segala. Padahal, hehehe, sobat cilik, tentunya kau tahu sewaktu bertempur menghadapi musuh, hidup atau mati hanya bergantung dalam hitungan detik saja. Walaupun berusaha sekuat tenaga juga belum tentu menang, mana bisa iseng menirukan kaligrafi atau memperhatikan salinan prasasti segala? Kecuali pihak lawan memang jauh lebih lemah daripadamu barulah kau dapat mempermainkan dia. Tapi kalau ilmu silatnya setara dan kau masih iseng menulis huruf indah dengan pena, maka itu sama halnya dengan mempersembahkan nyawa sendiri.”

Linghu Chong menjawab, “Ucapan Tuan Ren memang tepat. Cara bertempur Tuan Ketiga memang agak takabur dan memandang remeh orang lain.”

Mendengar uraian si marga Ren, pada awalnya Tubiweng merasa sangat gusar. Namun setelah dipikir-pikir ternyata penjelasan tersebut masuk akal juga. Ilmu silat yang diselingi dengan gaya menulis kaligrafi memang mengasyikkan, namun kekuatan daya serangnya menjadi lebih lemah. Kalau saja Linghu Chong tidak bermurah hati, mungkin sepuluh orang Tubiweng juga dapat dibinasakan semua. Ketika memikirkan hal itu, mau tidak mau keringat dingin pun membasahi dahinya.

Orang bermarga Ren berkata lagi, “Untuk mengalahkan si botak nomor tiga sangat mudah. Sebenarnya ia memiliki ilmu silat menggunakan pena yang cukup bagus. Hanya saja, ia menjadi takabur dengan bersikeras memasukkan seni kaligrafi ke dalam jurus-jurusnya segala. Huh, ketika para jago bertarung, kalah atau menang hanya ditentukan oleh hal-hal kecil, tapi dia justru bermain-main dengan nyawa sendiri. Kalau dia masih hidup sampai sekarang sesungguhnya ini suatu keanehan di dunia persilatan. Eh, botak nomor tiga, selama sepuluh tahun belakangan ini rupanya kau bersembunyi seperti kura-kura dalam tempurung dan tidak pernah berjalan-jalan lagi di dunia persilatan. Bukan begitu?”

Tubiweng hanya mendengus tanpa menjawab. Namun diam-diam ia terperanjat dan mengakui kebenaran ucapan orang bermarga Ren itu. Andai saja selama ini dirinya masih berkecimpung di dunia persilatan, mana mungkin ia dapat hidup sampai sekarang?

Sementara itu orang bermarga Ren melanjutkan pembicaraan, “Nah, kalau ilmu silat papan catur besi milik si nomor dua memang patut dipuji. Sekali dia menyerang, maka selanjutnya akan susul-menyusul seperti topan badai melanda. Kalau yang menghadapi orang biasa pasti tidak akan mampu menangkisnya. Sobat cilik, bagaimana caramu mengalahkannya? Coba ceritakan!”

Linghu Chong menjawab, “Saya tidak berani berkata ‘mengalahkan’ segala. Hanya saja, begitu kami berdua sama-sama menyerang, pada jurus pertama aku langsung membuatnya berada di pihak bertahan.”

“Hm, bagus,” ujar si marga Ren. “Dan bagaimana jurus kedua?”

“Pada jurus kedua aku tetap mendahului menyerang sehingga Tuan Kedua tetap di pihak bertahan,” sahut Linghu Chong.

“Bagus, dan jurus ketiga?” tanya orang itu lagi.

“Pada jurus ketiga aku tetap menyerang dan dia bertahan,” jawab Linghu Chong kembali.

“Sungguh hebat,” kata orang bermarga Ren itu. “Papan catur besi milik Heibaizi pernah menggetarkan dunia persilatan belasan tahun silam. Asalkan pihak lawan mampu menangkis tiga jurus serangannya saja, maka Heibaizi akan mengampuninya. Kemudian ia berganti senjata memakai papan catur dari besi sembrani, membuat namanya semakin masyhur di dunia persilatan. Tapi sobat cilik, kau justru mampu memaksanya bertahan tiga jurus berturut-turut, hal ini sungguh luar biasa. Hm, pada jurus keempat bagaimana cara dia melakukan serangan balasan?”

Linghu Chong menjawab, “Pada jurus keempat aku masih tetap menyerang, dan Tuan Kedua masih tetap bertahan.”

“Hah, apa ilmu pedang si tua Feng benar-benar begitu hebat?” sahut si marga Ren menegas. “Meskipun mengalahkan Heibaizi tidak sulit, tapi bisa memaksanya bertahan sampai empat jurus berturut-turut adalah sesuatu yang sangat hebat. Ini bagus sekali! Pada jurus kelima tentu dia yang menyerang balik, bukan?”

“Tidak. Pada jurus kelima keadaan tetap tidak berubah,” jawab Linghu Chong.

“Oh!” seru orang itu sampai ternganga. Setelah terdiam agak lama, barulah ia berkata, “Sebenarnya pada jurus keberapa Heibaizi baru dapat menyerang balik?”

Linghu Chong menjawab, “Aku tidak ingat berapa jurus kami bertanding.”

Heibaizi menyahut dengan sikap penuh hormat, “Ilmu pedang Pendekar Muda Feng teramat sakti. Sejak awal sampai akhir aku tidak mampu balas menyerang sama sekali. Sesudah bertanding lebih dari empat puluh jurus, aku merasa bukan tandingannya. Maka, aku lantas menyimpan papan caturku dan mengaku kalah.”

“Hah, mana bisa begitu?” teriak si marga Ren. “Sungguh tidak masuk akal! Meskipun Feng Qingyang adalah jago pilihan dalam Perguruan Huashan, tapi ilmu silat Kelompok Pedang juga ada batasnya. Aku tidak percaya dalam Perguruan Huashan ada orang yang mampu menyerang Heibaizi sampai empat puluhan jurus, di mana Heibaizi sama sekali tidak sanggup menyerang balik.”

Heibaizi berkata, “Tuan Ren terlalu memuji diriku. Tapi ilmu pedang Saudara Feng ini memang sudah melebihi gurunya. Ilmu pedangnya sudah jauh melampaui ilmu Kelompok Pedang dalam Perguruan Huashan. Aku rasa pada masa ini hanya jago persilatan pilih tanding seperti Tuan Ren yang mampu memberikan petunjuk satu atau dua jurus kepadanya.”

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Sikap dan perkataan Huang Zhonggong, Tubiweng, dan Danqingsheng terhadap orang bermarga Ren ini agak kasar, tetapi Heibaizi ternyata sangat sopan. Meskipun begitu, aku tahu niat mereka sama, yaitu memanas-manasi atau menyanjung Tuan Ren supaya mau bertanding denganku.”

Sementara itu si marga Ren menanggapi Heibaizi dengan sinis, “Huh, kau menjilat kakiku! Sungguh menjijikkan!” Kemudian ia melanjutkan, “Mengenai ilmu silat Huang Zhonggong tidak jauh berbeda dengan Heibaizi. Tenaga dalamnya juga tidak jelek. Sobat cilik, apa tenaga dalammu lebih hebat darinya?”

Linghu Chong menjawab, “Sebelum ini aku pernah terluka dan kehilangan semua tenaga dalam. Itu sebabnya ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ milik Tuan Pertama tidak mempan terhadapku.”

Si marga Ren tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Lucu sekali! Hm, bagus, bagus. Aku jadi ingin berkenalan dengan ilmu pedangmu, sobat cilik.”

Linghu Chong menjawab, “Harap Tuan Ren jangan tertipu. Empat Sekawan dari Jiangnan ingin memancingmu bertanding pedang denganku karena mereka mempunyai tujuan lain.”

“Tujuan lain apa?” tanya orang itu.

“Mereka telah bertaruh dengan seorang temanku; jika di dalam Wisma Mei Zhuang ada seorang yang mampu mengalahkan ilmu pedangku, maka temanku akan menghadiahkan beberapa benda berharga kepada mereka,” ujar Linghu Chong.

“Barang apa?” tanya si marga Ren. “Pasti sebangsa kitab not kecapi, kitab catur langka, kaligrafi kuno, dan lukisan kuno, bukan?”

“Benar. Perkiraan Tuan memang selalu jitu,” sahut Linghu Chong.

“Tapi aku cuma ingin tahu ilmu pedangmu saja dan bukan sungguh-sungguh bertanding denganmu,” kata si marga Ren. “Lagipula aku pun belum tentu mampu mengalahkanmu.”

“Untuk mengalahkanku sudah tentu hal yang sangat mudah bagi Tuan,” sahut Linghu Chong. “Hanya saja, sebelumnya aku ingin meminta keempat majikan berjanji melakukan sesuatu.”

“Soal apa?” tanya orang bermarga Ren.

“Jika Tuan dapat mengalahkan aku sehingga mereka berhasil memperoleh beberapa benda berharga dari temanku itu, maka mereka berempat harus berjanji membuka pintu penjara dan mempersilakan Tuan meninggalkan penjara ini dengan penuh hormat,” jawab Linghu Chong.

“Mana bisa begitu?” seru Tubiweng dan Danqingsheng bersamaan. Sementara Huang Zhonggong hanya mendengus.

Orang bermarga Ren pun tertawa dan berkata, “Sobat cilik, gagasanmu sungguh lucu. Apakah Feng Qingyang telah menyuruhmu berbuat demikian?”

“Sesepuh Feng sama sekali tidak tahu kalau Tuan Ren terkurung di sini. Aku sendiri juga tidak tahu sebelumnya,” sahut Linghu Chong.

“Saudara Feng,” sahut Heibaizi tiba-tiba, “apa kau tahu siapa nama asli Tuan Ren ini dan apa julukannya dalam dunia persilatan? Dia berasal dari aliran mana? Mengapa dia sampai terkurung di sini? Apakah Sesepuh Feng pernah menceritakan tentang dirinya kepadamu?”

Secara mendadak Heibaizi mengajukan empat pertanyaan, tapi tidak satu pun mampu dijawab oleh Linghu Chong. Sungguh berkebalikan dengan pertandingan mereka tadi, di mana Linghu Chong melancarkan lebih dari empat puluh serangan yang kesemuanya memaksa Heibaizi mengerahkan jurus bertahan. Keempat pertanyaan ini seperti serangan balasan dari Heibaizi yang tidak mampu ditangkis oleh Linghu Chong. Setelah tertegun agak lama barulah pemuda itu dapat berbicara dengan terbata-bata, “Tentang ini aku belum pernah mendengar dari … dari Sesepuh Feng. Aku sama sekali … sama sekali tidak tahu.”

“Aku yakin kau pasti tidak tahu. Sebab kalau tahu tentu kau tidak akan meminta kami membebaskan dia,” tukas Danqingsheng. “Bila orang ini sampai lolos, maka dunia persilatan tentu akan kacau-balau dan entah berapa banyak nyawa kaum kesatria yang akan tewas di tangannya. Untuk selanjutnya, dunia persilatan tidak akan pernah damai.”

“Hahahaha, memang benar seperti itu!” seru si marga Ren dengan bergelak tawa. “Seandainya Empat Sekawan dari Jiangnan mempunyai nyali setinggi langit juga tidak akan berani membiarkan aku si tua lolos dari kurungan ini. Lagipula mereka hanya menjalankan perintah saja, ibarat kata mereka itu hanya empat orang sipir penjara, mana mungkin berhak membebaskan aku? Sobat cilik, permintaanmu tadi sudah terlalu mengangkat tinggi derajat mereka.”

Diam-diam Linghu Chong merasa serbasalah. Pada hakikatnya ia memang tidak tahu seluk-beluk permasalahan ini sehingga bicara sedikit saja langsung terlihat kesalahannya.

Huang Zhonggong berkata, “Saudara Feng, begitu kau melihat penjara ini sangat gelap dan lembab segera timbul rasa simpatimu terhadap Tuan Ren, dan kau pun merasa kesal terhadap kami empat bersaudara. Hal ini karena jiwa kesatriamu yang luhur. Aku pun tidak menyalahkanmu. Tapi apa kau tahu apabila Tuan Ren sampai dilepaskan ke dunia persilatan lagi, maka di Perguruan Huashan saja pasti akan jatuh korban separuh lebih. Tuan Ren, kata-kataku ini betul atau tidak?”

“Betul, betul,” jawab si marga Ren dengan tertawa. “Ketua Perguruan Huashan apa masih dijabat Yue Buqun? Huh, orang itu pura-pura suci. Sayang sekali ketika dia baru menjabat ketua aku sudah jatuh ke dalam jebakan. Kalau tidak, sudah lama kubuka topeng kemunafikannya.”

Hati Linghu Chong terguncang mendengarnya. Meskipun Yue Buqun telah mengusirnya dari perguruan serta menyebarkan berita kepada kaum persilatan untuk menjadikannya sebagai musuh bersama, namun ia tidak pernah lupa bagaimana sejak kecil sang guru telah membesarkan dan memperlakukannya seperti anak kandung sendiri. Maka begitu mendengar ucapan orang bermarga Ren tersebut seketika ia menjadi gusar dan membentak, “Tutup mulutmu, gur….”

Tapi mendadak ia menelan kembali kata “guru” yang hampir saja diucapkannya itu. Teringat bahwa dirinya telah diperkenalkan oleh Xiang Wentian sebagai paman dari sang guru, sedangkan orang-orang di sini belum jelas baik atau jahat sehingga ia merasa perihal yang sebenarnya tidak boleh sembarangan untuk diungkapkan.

Sudah tentu orang bermarga Ren itu tidak mengetahui apa maksud bentakan Linghu Chong tadi. Ia tetap tertawa sambil melanjutkan, “Di antara orang-orang Perguruan Huashan sudah tentu masih ada beberapa yang dapat kuhargai. Salah satunya adalah si tua Feng itu. Kau pun juga begitu, sobat cilik. Selain itu masih ada seorang angkatan yang lebih muda darimu, yang dijuluki ‘Gadis Permata Huashan’ segala. Namanya Ning apa … ah, aku ingat, Ning Zhongze. Gadis cilik ini boleh dikata seorang nona baik hati dan luhur budi. Tapi sayang, dia menikah dengan Yue Buqun, bagaikan setangkai bunga yang tertancap di atas gundukan tahi kerbau.”

Mendengar ibu-gurunya disebut “gadis cilik’, Linghu Chong merasa kesal bercampur geli. Tapi paling tidak ibu-gurunya telah dinilai baik, sehingga ia tidak perlu menyampaikan bantahan.

Orang bermarga Ren itu lantas bertanya, “Kau sendiri bernama siapa, sobat cilik?”

Linghu Chong menjawab, “Namaku Feng Erzhong.”

Si marga Ren berkata, “Orang bermarga Feng di Perguaun Huashan tentunya tidak busuk. Sobat cilik, kau boleh masuk kemari. Aku ingin mencoba ilmu pedang ajaran Sesepuh Feng.” Tadinya ia menyebut Feng Qingyang sebagai ‘si tua Feng’, lalu berganti menjadi ‘Sesepuh Feng’. Tentunya hal ini karena ia menyukai tutur bicara Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri sudah sejak tadi sangat tertarik dan penasaraan ingin tahu seperti apa wujud orang bermarga Ren itu dan seberapa tinggi ilmu silatnya. Maka ia pun menjawab, “Ilmu pedangku yang dangkal ini hanya bisa dipakai untuk menakut-nakuti orang lain, tetapi di hadapan Tuan tentu hanya menjadi bahan tertawaan belaka. Namun saya sudah telanjur berada di sini dan menganggap Tuan Ren bagaikan naga di antara manusia. Mana mungkin aku tidak ingin belajar dan mohon petunjuk dari Tuan?”

Perlahan-lahan Danqingsheng maju mendekat dan berbisik di telinganya, “Adik Feng, ilmu silat orang ini sangat aneh, permainannya juga ganas dan kejam. Kau harus sangat berhati-hati. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, segeralah keluar.”

Meskipun ucapannya sangat lirih, tapi terdengar sangat tulus. Perasaan Linghu Chong terguncang. Ia pun merenung, “Tuan Keempat ternyata sangat baik kepadaku dan setia kawan. Barusan aku telah mengolok-oloknya, tapi ia sama sekali tidak tersinggung. Sebaliknya, dengan tulus ia justru mengkhawatirkan keselamatanku. Sekarang aku benar-benar merasa malu.”

Sementara itu orang bermarga Ren telah berkata dengan lantang, “Mari, mari, masuk ke sini! Apa yang mereka katakan dengan kasak-kusuk di luar? Sobat cilik, Empat Badut dari Jiangnan bukan manusia baik-baik. Mereka hanya ingin menipumu. Perkataan mereka tidak ada yang baik, tak ada yang bisa dipercaya.”

Linghu Chong merasa serbasalah dan tidak tahu pihak mana yang benar-benar orang baik. Ia tidak tahu siapa di antara mereka yang patut dibela.

Huang Zhonggong telah mengeluarkan sebuah anak kunci dari balik bajunya, lalu memasukkannya pada lubang kunci pintu besi dan memutarnya beberapa kali. Linghu Chong mengira setelah memutar kunci itu tentu pintu akan didorong dan terbuka. Ternyata Huang Zhonggong hanya menyingkir ke samping, berganti Heibaizi yang maju. Ia juga mengeluarkan sebuah kunci dan memutarnya pada lubang yang lain. Setelah itu, Tubiweng dan Danqingsheng masing-masing juga mengeluarkan anak kunci dan melakukan hal yang sama.

Baru sekarang Linghu Chong sadar atas apa yang mereka lakukan. Ia pun berpikir, “Ternayata kedudukan sesepuh bermarga Ren ini begitu penting sehingga keempat majikan harus menyimpan anak kunci masing-masing. Untuk membuka pintu penjara ini, mereka harus menggunakan keempat anak kunci bersama-sama. Padahal, Empat Sekawan dari Jiangnan sudah seperti saudara kandung, mengapa mereka tidak memercayai satu sama lain?” Tapi ia lantas teringat olehnya, “Barusan sesepuh bermarga Ren itu mengatakan kalau keempat majikan hanyalah penjaga penjara yang menjalankan perintah dari seseorang. Mereka tidak berhak membebaskannya. Bisa jadi mereka harus menyimpan anak kunci masing-masing juga atas perintah dari orang yang berkuasa itu.”

Terdengar suara putaran anak kunci tersebut tidak lancar pertanda pada lubang kunci sudah penuh dengan karat. Entah sudah berapa lama pintu besi ini tidak pernah dibuka.

Setelah memutar kunci terakhir, Danqingsheng memegang pintu besi dan menggoyang-goyang beberapa kali, kemudian mendorongnya sekuat tenaga. Maka terdengarlah suara berderit-derit. Pintu itu sedikit terbuka ke dalam. Begitu pintu bergeser, Danqingsheng segera melompat mundur. Ketiga saudaranya juga ikut melompat mundur agak jauh. Terpengaruh oleh perbuatan mereka, tanpa terasa Linghu Chong juga ikut melangkah mundur.

Orang bermarga Ren tertawa dan berkata, “Sobat cilik, mereka takut kepadaku dan kenapa kau juga ikut-ikutan takut?”

“Benar juga,” kata Linghu Chong. Pemuda itu lantas melangkah maju sambil mendorong pintu besi itu. Terasa engsel pintu sudah penuh karat sehingga dengan susah payah barulah pintu itu dapat dibuka sekitar setengah meter lebarnya. Seketika bau penguk pun menyeruak menusuk hidung.

Danqingsheng lantas melangkah maju dan menyodorkan kedua batang pedang kayu. Tanpa bicara Linghu Chong menerimanya dengan tangan kiri.

Tubiweng juga maju sambil memungut pelita minyak yang tergantung di dinding, kemudian menyodorkannya kepada Linghu Chong. “Saudara Feng, bawalah pelita minyak ini,” katanya.

Linghu Chong menerima pelita itu dengan tangan kanan, kemudian melangkah masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya kamar penjara itu hanya seluas dua sampai tiga meter persegi saja. Seorang laki-laki tampak duduk di atas sebuah dipan yang terletak di pojok ruangan. Rambutnya kusut, janggutnya panjang sebatas dada, dan wajahnya tidak dapat terlihat dengan jelas karena tertutup berewok. Rambut, alis, kumis, dan janggutnya berwarna hitam legam, tiada beruban sedikit pun.

Linghu Chong membungkuk dengan hormat, kemudian berkata, “Sungguh beruntung hari ini aku dapat berjumpa dengan Tuan Ren. Mohon sudi memberi petunjuk.”

“Tidak perlu banyak adat,” kata orang itu. “Aku yang harus berterima kasih kepadamu karena kau datang kemari mengusir kesepianku.”

“Apakah boleh kutaruh pelita ini di atas dipan?” tanya Linghu Chong.

“Boleh,” kata orang itu. Namun ia tidak menjulurkan tangan untuk menerimanya.

Diam-diam Linghu Chong merasa sangsi. Kamar penjara ini sedemikian sempit, bagaimana caranya nanti bertanding pedang? Segera ia mendekati dipan dan menaruh pelita minyak di atasnya. Bersamaan itu, ia pun menyelipkan benda kecil terbungkus kertas titipan Xiang Wentian ke dalam tangan si marga Ren.

Orang bermarga Ren itu agak terkejut ketika menerima benda tersebut, tapi ia lantas berkata dengan lantang, “Hei, kalian empat badut mau masuk atau tidak untuk menonton pertandingan?”

“Tempatnya terlalu sempit, sudah tentu tak ada tempat buat kami,” sahut Huang Zhonggong.

“Baiklah,” kata orang itu. “Sobat cilik, kau tutup saja pintunya!”

“Baik!” jawab Linghu Chong yang kemudian mendorong pintu besi hingga tertutup kembali.

Orang bermarga Ren itu bangkit dari dipan. Sayup-sayup terdengar suara gemerencing beradunya seutas rantai besi berukuran kecil. Orang itu kemudian mengambil sebatang pedang kayu dari tangan Linghu Chong, dan berkata sambil menghela napas, “Sudah sepuluh tahun aku tidak menggunakan senjata. Entah aku masih ingat ilmu pedang yang pernah kupelajari dulu atau tidak?”

Kini Linghu Chong dapat melihat dengan jelas bahwa pergelangan tangan orang itu terbelenggu oleh sebuah borgol besi yang dililit dengan seutas rantai kecil dan panjang. Ujung rantai itu tertambat pada dinding belakang. Tangan yang satunya serta kedua kakinya juga dibelenggu dengan borgol berantai yang pada ujungnya tertambat pula di dinding pula. Dinding tersebut tampak hitam mengkilat, sepertinya terbuat dari baja murni. Linghu Chong menduga rantai dan borgol di tangan dan kaki orang itu tentu juga terbuat dari baja murni. Jika tidak, mana mungkin rantai sekecil itu mampu menahan seorang jago persilatan semacam dia.

Orang bermarga Ren lantas mengayun-ayunkan pedang kayunya di udara. Ia menebas dari atas ke bawah. Gerakannya begitu pendek, namun menimbulkan suara mendengung yang memenuhi ruangan.

“Hebat sekali tenaga dalam Tuan Ren,” puji Linghu Chong.

Orang itu kemudian membalikkan tubuh menghadap ke dinding. Sekilas Linghu Chong dapat melihatnya sedang membuka gulungan kertas yang membungkus benda bulat keras di tangannya. Orang itu tertegun sejenak mengetahui wujud benda tersebut, kemudian membaca tulisan yang tertera pada kertas.

Linghu Chong sengaja mundur selangkah agar kepalanya menutupi lubang persegi pada pintu sehingga keempat penonton tidak tahu apa yang sedang dilakukan orang itu di dalam kamar.

Sejenak tubuh si marga Ren tampak gemetar sehingga rantai besi ikut bergemerencing nyaring. Sepertinya ia telah membaca isi surat Xiang Wentian pada lembaran kertas tersebut. Ketika berpaling tampak sinar matanya berkilat-kilat penuh semangat. Ia berkata, “Sobat cilik, meski kedua tanganku tidak bebas, tapi belum tentu kau dapat mengalahkan aku.”

“Aku hanyalah angkatan muda yang masih hijau. Sudah tentu bukan tandingan Tuan,” sahut Linghu Chong rendah hati.

Si marga Ren berkata, “Kau telah menyerang Heibaizi sampai lebih dari empat puluh jurus tanpa mendapatkan serangan balik sama sekali. Sekarang kau boleh mencobanya kepadaku dengan cara yang sama.”

“Mohon maaf atas kelancanganku,” ucap Linghu Chong. Pedangnya kemudian menusuk ke depan, melancarkan jurus pertama yang pernah dipakai menyerang Heibaizi tadi.

“Bagus!” puji orang itu. Pedangnya juga lantas menusuk miring ke dada kiri Linghu Chong, ternyata gerakan ini selain menangkis juga sekaligus menyerang. Sungguh suatu jurus serbaguna yang amat lihai.

Menyaksikan itu melalui lubang persegi, Heibaizi tak kuasa menahan diri sehingga berteriak memuji, “Jurus pedang bagus!”

Orang bermarga Ren tertawa dan berkata, “Anggaplah hari ini kalian empat badut sedang beruntung, dapat menyaksikan ilmu pedang bagus!” Pada saat itulah jurus kedua Linghu Chong telah tiba pula.

Dengan cepat orang bermarga Ren memutar pedang kayunya menusuk ke bahu kanan Linghu Chong. Ia tetap menggunakan jurus menangkis sambil menyerang. Suatu jurus serangan dan bertahan sekaligus. Linghu Chong terperanjat. Ia merasa gerak pedang orang itu sedikit pun tidak memiliki titik kelemahan. Terpaksa ia melintangkan pedang untuk menangkis sambil ujung pedangnya mengacung miring ke depan tetapi tetap mengandung daya serang yang mengarah ke perut lawan.

“Jurus ini bagus sekali!” seru si marga Ren tertawa sambil menarik pedang untuk menangkis ke samping.

Begitulah, serang-menyerang terus berlangsung. Mereka saling menikam, saling menebas, dan hanya sekejap saja sudah terlewati lebih dari dua puluh jurus. Namun demikian, pedang kayu di tangan mereka selama itu belum pernah saling bersentuhan. Linghu Chong merasa ilmu pedang lawan tiada pernah ada habisnya dengan bermacam-macam perubahan. Sejak mempelajari “Ilmu Sembilan Pedang Dugu”, belum pernah ia berjumpa lawan yang setangguh ini.

Sebenarnya ilmu pedang orang bermarga Ren bukan sama sekali tidak memiliki celah kelemahan, namun jurusnya selalu berubah-ubah tanpa bisa ditebak. Karena kesulitan menyerang titik kelemahan jurus pedang lawan, maka Linghu Chong pun melayani pertandingan ini dengan perubahan yang sama rumitnya menurut ajaran dasar Feng Qingyang, yaitu “Ilmu Pedang Tanpa Jurus”.

Meskipun “Jurus Cara Mematahkan Pedang” hanyalah satu dari “Ilmu Sembilan Pedang Dugu”, namun di dalamnya terkandung berbagai macam ilmu pedang dari setiap perguruan dan aliran di muka bumi. Sementara itu, meskipun disebut “Ilmu Pedang Tanpa Jurus”, namun pada hakikatnya ilmu ini berdasarkan pada intisari jurus-jurus yang terdapat dalam semua ilmu pedang di dunia. Orang bermarga Ren menyaksikan ilmu pedang Linghu Chong terus menerus mengalir, dengan setiap perubahan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Berkat pengalamannya yang luas dan ilmu silatnya yang sangat tinggi, orang itu bisa memecahkan satu per satu jurus pedang si pemuda. Namun setelah melewati empat puluh jurus, gerakan pedang orang itu mulai melambat. Sedikit demi sedikit, ia lantas menyalurkan tenaga ke dalam pedangnya sehingga setiap kali pedangnya bergerak, sayup-sayup terdengar suara angin bergemuruh.

Akan tetapi, di sinilah letak keajaiban “Ilmu Sembilan Pedang Dugu”. Tidak peduli seberapa tinggi tenaga dalam lawan akan menjadi tiada berarti jika berhadapan dengan ilmu pedang mahahebat ini. Hanya saja, si marga Ren memang jago yang sangat istimewa. Tenaga dalamnya yang hebat dan ilmu pedangnya yang tinggi bagaikan bersatu padu menjadi satu kesatuan. Beberapa kali Linghu Chong dibuat terdesak kewalahan dan kemungkinan pasti akan menyerah dan membuang senjata. Namun Linghu Chong selalu saja menemukan kesempatan dalam kesempitan, sehingga tidak hanya lolos dari keadaan terdesak, namun juga berhasil melancarkan serangan balasan, dengan menggunakan jurus-jurus yang terkesan aneh pula.

Huang Zhonggong dan ketiga adiknya harus berdesak-desakan di luar pintu besi dan mengintip ke dalam melalui lubang persegi. Lubang itu tidak terlalu lebar, sehingga hanya cukup digunakan oleh dua orang saja, itu pun masing-masing hanya dengan sebelah mata; orang pertama menggunakan mata kanan, orang kedua menggunakan mata kiri. Setelah dua orang mengintip untuk beberapa saat, mereka harus mundur supaya dua orang yang lain bisa menonton.

Pada awalnya, mereka berempat dibuat terkagum-kagum melihat jurus-jurus pedang yang dilancarkan si marga Ren dan Linghu Chong. Namun setelah itu, mereka tidak mampu lagi memperhatikan kehebatan ilmu pedang keduanya. Huang Zhonggong sendiri setelah melihat suatu jurus dilancarkan, kadang-kadang ia memeras otak untuk menyelami di mana letak intisari jurus tersebut. Setelah berpikir agak lama, barulah ia dapat memahaminya. Akan tetapi, kedua orang yang bertanding itu sudah bergebrak lagi belasan jurus dan bagaimana bentuk belasan jurus yang berlalu itu menjadi tidak diketahuinya sama sekali.

Sungguh heran perasaan Huang Zhonggong tak terkatakan. Diam-diam ia merenung, “Ternyata sedemikian hebat ilmu pedang Saudara Feng ini. Tadi sewaktu ia bertanding denganku, jangan-jangan hanya menggunakan tiga atau empat puluh persen saja dari kepandaiannya. Ia dapat mengalahkan ‘Ilmu Pedang Tujuh Senar Tanpa Wujud’ adalah karena tidak memiliki tenaga dalam. Akan tetapi, seandainya ia mempunyai tenaga dalam yang melimpah tetap saja aku tidak sanggup mengalahkannya menggunakan jurusku itu. Bila ia mau, ia bisa melancarkan tiga serangan berturut-turut tentu sudah membuatku membuang kecapi dan menyerah kalah. Bahkan kalau bertempur sungguh-sungguh, satu jurus saja dia sudah mampu membutakan kedua mataku menggunakan seruling kumala.”

Huang Zhonggong tidak tahu sebenarnya letak keistimewaan “Ilmu Sembilan Pedang Dugu” adalah tergantung kehebatan musuh. Jika yang dihadapi hanyalah pendekar rendahan, maka intisari Ilmu Sembilan Pedang Dugu justru sukar dipancarkan seluruhnya. Kali ini orang yang bertarung dengan Linghu Chong adalah seorang tokoh yang pernah mengguncangkan dunia persilatan. Betapa tinggi ilmu silatnya telah mencapai tingkat yang sukar dibayangkan. Begitu ia menyerang, seketika segala macam kehebatan yang terkandung dalam Ilmu Sembilan Pedang Dugu pun terpancar seluruhnya. Andai saja Dugu Qiubai hidup kembali, atau Feng Qingyang hadir secara langsung, tentu mereka akan sangat bergembira menemukan lawan sekuat ini.

Dalam memainkan Ilmu Sembilan Pedang Dugu, selain harus mahir dalam teori dan seni ilmu pedang, kecerdasan si pengguna juga sangat berpengaruh. Kalau si pengguna sudah mencapai tingkat di mana ia dapat melancarkan jurus pedang secara bebas dan merdeka tanpa harus mengikuti pedoman tertentu, maka tinggi rendahnya ilmu pedang ini juga bergantung kepada cerdas atau tidaknya si pengguna. Seorang pengguna yang cerdas akan selalu membuat terobosan baru, seperti seorang sastrawan besar yang selalu berhasil mendapatkan inspirasi untuk menciptakan puisi baru yang indah.

Setelah melewati lebih dari empat puluh jurus, Linghu Chong semakin mahir dan serangannya bertambah lancar. Banyak gerakan bagus yang bahkan belum pernah diajarkan Feng Qingyang sendiri. Hal ini disebabkan karena ilmu pedang pihak lawan sangat cemerlang, sehingga secara alami ilmu Sembilan Pedang Dugu memunculkan jurus-jurus penangkal untuk menghadapinya. Saat itu rasa takut Linghu Chong sudah lenyap, sehingga segenap pikirannya dapat tercurah ke dalam ilmu pedangnya itu. Kini ia tidak sempat lagi memikirkan takut atau senang, kecuali hanya bertarung dan bertarung saja.

Orang bermarga Ren telah melancarkan delapan jenis ilmu pedang yang paling lihai. Ada yang berupa serangan ganas dan cepat, ada yang jurusnya susul-menyusul tanpa henti, ada yang lincah dan ringan, serta ada pula yang tenang tapi bertenaga. Namun demikian, Linghu Chong tetap saja dapat melayani itu semua dengan lancar, seolah-olah keseluruhan ilmu pedang tersebut sudah dihafal olehnya sejak kecil.

Mendadak orang bermarga Ren melintangkan pedangnya sambil membentak, “Sobat cilik, sesungguhnya ilmu pedangmu ini hasil ajaran siapa? Sepertinya Sesepuh Feng tidak memiliki kepandaian seperti ini.”

Linghu Chong agak terkejut dan menjawab, “Ilmu pedang ini kalau bukan hasil ajaran Sesepuh Feng, lantas siapa lagi orang sakti di dunia ini yang mampu mengajarkannya kepadaku?”

“Benar juga,” seru orang itu. “Ini, sambut pedangku!” Mendadak ia menebaskan pedang kayunya sambil meraung panjang.

Dengan cepat Linghu Chong memiringkan pedang dan menusuk ke depan. Si marga Ren terpaksa menarik kembali pedangnya untuk menangkis. Berulang-ulang orang itu meraung seperti orang gila. Semakin keras suaranya, semakin cepat pula serangan pedangnya.

Linghu Chong merasa ilmu pedang orang bermarga Ren tidak mengandung sesuatu yang luar biasa, tetapi suara teriakan dan raungannya yang membuat pikiran kacau balau. Ia berusaha tetap tenang menghadapi semua serangan musuh. Tiba-tiba orang bermarga Ren itu berteriak keras sekali, seakan-akan bisa mengguncang langit dan bumi. Telinga Linghu Chong terasa mendengung, seolah gendang telinganya pecah dan bergetar. Pikirannya menjadi gelap, kepala pun terasa pusing. Seketika ia pun jatuh tak sadarkan diri dan roboh terkapar di lantai.

Linghu Chong tidak tahu sudah berapa lama ia pingsan. Begitu membuka mata, kepalanya terasa sakit seperti pecah dan telinganya masih mendengung-dengung, bagaikan mendengar suara petir yang bergemuruh. Begitu melihat ke sekeliling ternyata keadaan gelap gulita. Entah berada di mana dirinya saat ini. Ia mencoba untuk bangkit, tapi sekujur tubuh terasa lemas lunglai tiada bertenaga sedikit pun.

Diam-diam ia pun berpikir, “Aku pasti sudah mati dan sekarang berada di dalam kuburan.” Seketika ia merasa sedih dan cemas, membuatnya kembali jatuh pingsan.

Ketika siuman untuk yang kedua kalinya terasa kepala masih sangat sakit, namun suara mendengung di telinga sudah jauh berkurang. Di bawah tubuhnya terasa ada benda dingin dan keras, bagaikan sedang berbaring di atas papan baja. Ia mencoba meraba-raba dengan tangan. Benar juga, ternyata di bawah tikar jerami tempatnya berada terdapat lempengan besi. Namun begitu tangannya sedikit bergerak langsung mengeluarkan suara gemerencing nyaring. Ia pun merasa tangannya seperti terbelenggu oleh suatu benda keras dan dingin seperti es. Ketika tangan yang lain hendak meraba, ternyata juga mengeluarkan suara nyaring dan terasa terikat pula.

Linghu Chong merasa gembira sekaligus terkejut, karena ternyata ia belum mati, namun dalam keadaan terikat rantai. Ketika menggerakkan kaki, ia merasa kedua kakinya juga terbelenggu oleh borgol berantai. Rupanya kini ia mengalami nasib yang serupa dengan orang bermarga Ren.

Dalam keadaan gelap gulita ia membuka mata lebar-lebar namun tidak dapat melihat apa-apa. Ia pun berpikir, “Sebelum pingsan aku sedang bertanding pedang melawan Tuan Ren. Entah bagaimana aku bisa masuk perangkap Empat Sekawan dari Jiangnan? Rupanya aku sekarang dikurung di dalam penjara bawah danau. Apakah aku dikurung bersama Tuan Ren?”

Segera ia berteriak-teriak memanggil, “Tuan Ren! Tuan Ren!”

Dua kali memanggil namun tidak terdengar suara jawaban sedikit pun, membuatnya bertambah takut dan kembali berteriak, “Tuan Ren! Tuan Ren!”

Namun dalam kegelapan hanya terdengar suara sendiri yang serak dan penuh kecemasan. Setelah tertegun sejenak, ia kembali berteriak-teriak, “Tuan Pertama! Tuan Keempat! Mengapa kalian mengurung aku di sini? Lekas bebaskan aku! Lekas bebaskan aku!”

Akan tetapi, biarpun ia berteriak sampai kerongkongan kering, tetap saja tidak memperoleh jawaban sama sekali. Rasa takut pun berubah menjadi amarah. Akhirnya, kali ini ia mencaci maki habis-habisan, “Bangsat keparat! Kalian manusia rendah tidak tahu malu! Kalian tidak mampu mengalahkan ilmu pedangku, lantas mengurungku di sini, hah?”

Membayangkan dirinya akan bernasib sama seperti orang bermarga Ren, membuat Linghu Chong merasa putus asa. Biasanya ia tidak pernah merasa takut, juga pada saat menghadapi bahaya tidak pernah memikirkan hidup atau mati. Tapi sekarang begitu membayangkan dirinya akan terkurung seumur hidup di penjara yang gelap gulita di bawah danau itu, mau tidak mau bulu kuduknya berdiri dan sekujur tubuh terasa merinding.

Semakin dipikir semakin bertambah besar rasa takut di hatinya. Kembali ia berteriak-teriak, tapi setelah beberapa saat suaranya berubah menjadi ratap tangis. Entah sejak kapan air matanya meleleh membasahi pipi. “Kalian empat … empat anjing kotor dari Wisma Mei Zhuang, bila kelak aku dapat lolos dari sini, aku akan … mencongkel biji mata kalian, akan kupotong kaki dan tangan kalian …. Kupotong sampai buntung! Jika aku keluar dari sini ….”

Mendadak ia terdiam karena suatu pikiran terlintas dalam benaknya, “Mungkinkah aku mampu keluar dari penjara ini? Tuan Ren yang memiliki kepandaian seperti itu saja tidak mampu lolos dari sini. Bagaimana … bagaimana caraku keluar dari sini?” Karena rasa cemasnya mencapai puncak, tahu-tahu darah segar pun tersembur keluar dari mulutnya. Kembali ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.

Setiap kali jatuh pingsan, badannya terasa semakin lemah. Di antara sadar dan tidak sadar itu tiba-tiba terdengar suara benda jatuh yang disusul dengan cahaya terang menyilaukan mata. Linghu Chong terbangun dan hendak melompat berdiri. Ia lupa bahwa kaki dan tangannya sedang terbelenggu, ditambah lagi badannya yang sangat lemas. Maka baru melompat sedikit saja, ia sudah terbanting ke bawah. Seluruh ruas tulang badannya seakan-akan rontok dibuatnya.

Karena sudah lama berada di tempat gelap, matanya terasa seperti ditusuk saat melihat cahaya tersebut. Namun karena khawatir sinar terang itu lenyap lagi dan ia kehilangan kesempatan emas untuk meloloskan diri, maka walaupun mata terasa pedas tetap saja dibukanya lebar-lebar untuk menatap ke arah datangnya sinar tersebut.

Ternyata cahaya itu menembus masuk melalui sebuah lubang persegi. Segera Linghu Chong teringat bahwa kamar penjara tempat si marga Ren juga memiliki sebuah lubang persegi pada daun pintunya. Ia mencoba melirik sekitar, ternyata dirinya memang berada di dalam sebuah kamar penjara semacam itu.

Amarahnya kembali memuncak dan ia pun berteriak-teriak, “Cepat bebaskan aku! Huang Zhonggong, Heibaizi, Setan Gundul, kalian anjing-anjing kotor! Kalau berani, lepaskan aku dari sini!”

Perlahan-lahan terlihat sebuah nampan kayu masuk melalui lubang persegi tadi. Di atas nampan itu tertaruh semangkuk nasi dengan disertai lauk pauk dan sayur mayur. Selain itu juga terdapat sebuah guci dari tanah liat, sepertinya berisi air minum.

Melihat itu Linghu Chong bertambah gusar. Ia berpikir, “Kalian mengirim makanan kepadaku? Jadi kalian bermaksud mengurung aku di sini untuk waktu yang lama?”

Tanpa pikir lagi ia pun mencaci maki kembali, “Empat anjing kotor, kalau mau bunuh, bunuh saja sekarang! Kalau mau cincang, cincang saja sekarang! Kenapa kalian main-main dengan tuanmu ini?”

Dilihatnya nampan makanan telah berhenti tanpa bergerak lagi. Sepertinya orang di luar bermaksud supaya Linghu Chong mengulurkan tangan dan menyambut nampan tersebut. Karena ruangan penjara agak sempit, asalkan Linghu Chong bangkit dan sedikit memiringkan tubuh tentu tangannya dapat mencapai nampan di lubang persegi. Mendadak ia menampar sekerasnya. Maka terdengarlah suara ramai jatuhnya mangkuk dan kendi itu sehingga hancur semua dan isinya berhamburan di lantai.

Orang di luar pintu perlahan menarik kembali nampan yang telah kosong itu. Linghu Chong semakin gusar dan menubruk ke depan. Melalui lubang persegi ia melihat seorang tua dengan tangan kiri membawa lampu pelita dan tangan kanan memegang nampan tadi sedang melangkah pergi dengan perlahan. Rambut orang tua itu penuh uban, kulit mukanya keriput, jelas sudah sangat tua renta. Sebelum ini Linghu Chong merasa belum pernah melihatnya.

“Hei, lekas panggil Huang Zhonggong, Danqingsheng, dan yang lain ke sini! Kalau berani, suruh keempat … keempat anjing itu bertanding mati-matian denganku,” teriak Linghu Chong.

Namun sama sekali orang tua itu tidak menghiraukannya. Dengan terbungkuk-bungkuk, selangkah demi selangkah ia berjalan menjauh.

“Hei, hei, kau dengar tidak?” lagi-lagi Linghu Chong berteriak. Tapi pelayan tua itu tetap saja tidak menoleh.

Ketika bayangan si pelayan tua telah menghilang di sudut lorong, cahaya pelita juga mulai suram, sampai akhirnya keadaan kembali gelap gulita. Selang sejenak, terdengar suara pintu kayu dan pintu besi ditutup secara berurutan. Suasana kembali suram dan sunyi, tiada cahaya ataupun suara sedikit pun.

Linghu Chong kembali merasa pusing. Setelah termangu-mangu sejenak, perlahan ia berbaring dan berpikir, “Orang tua pengantar makanan itu tentu mendapat larangan keras untuk berbicara denganku. Percuma saja aku berteriak-teriak kepadanya.” Lalu terpikir pula olehnya, “Ruangan ini sama persis dengan yang dihuni Tuan Ren. Tampaknya di ruang bawah tanah Wisma Mei Zhuang terdapat penjara gelap yang tidak sedikit jumlahnya. Entah berapa banyak kaum kesatria dan orang gagah yang ditahan di sini? Jika aku dapat berhubungan dengan Tuan Ren atau para tahanan lainnya, mungkin ada kesempatan bagiku untuk meloloskan diri dari sini.”

Setelah berpikir demikian, ia segera mengetuk dinding beberapa kali. Terdengar dinding itu mengeluarkan bunyi berdentang-dentang, jelas terbuat dari baja. Namun, suara yang terdengar terasa padat dan berat, sepertinya di sebelah tidak ada ruangan lain. Ia mencoba mengetuk dinding di belakangnya, ternyata menimbulkan suara yang sama pula. Tanpa putus asa, semua sisi dinding diketuknya, kecuali pintu besi, ternyata seluruhnya mengeluarkan suara yang sama. Sepertinya kamar penjara yang ia tempati adalah ruangan yang terkubur di dalam tanah gelap. Tentunya masih ada kamar penjara yang lain, atau paling tidak masih ada sebuah, yaitu tempat orang tua bermarga Ren dikurung. Hanya saja, ia tidak tahu di mana letak kamar tersebut dan berapa jauhnya dari tempatnya kini berada.

Linghu Chong kemudian bersandar di dinding dan mencoba mengingat-ingat kembali apa yang dialaminya sebelum jatuh pingsan. Yang ia ingat hanyalah serangan pedang orang bermarga Ren itu semakin cepat dan gencar, dengan disertai teriakan-teriakan. Terakhir orang itu berteriak sangat keras seperti mengguncang langit dan bumi, membuat dirinya tidak tahan lagi dan jatuh pingsan. Mengenai bagaimana ia dapat ditawan Empat Sekawan dari Jiangnan dan bagaimana caranya diusung ke dalam kamar penjara ini, kemudian dibelenggu dengan borgol berantai sama sekali tidak diketahuinya.

“Penampilan keempat majikan itu seperti orang terpelajar yang sehari-hari sibuk bermain kecapi, catur, menulis, dan melukis. Namun siapa sangka perbuatan mereka ternyata begini jahat? Di dunia persilatan memang banyak orang jahat yang berpura-pura luhur budi, seharusnya aku tidak perlu heran. Hanya saja, keterampilan mereka dalam kecapi, catur, kaligrafi, dan lukisan, sepertinya bukan pura-pura. Aku melihat sendiri bagaimana Tubiweng menuliskan Syair Jenderal Pei di dinding dengan lincah, kuasnya bergerak dengan bebas dan merdeka. Ini sesuatu yang tidak bisa dilakukan orang persilatan biasa. Aku ingat Guru pernah berkata bahwa orang yang paling jahat di muka bumi justru orang-orang yang paling pintar dan terpelajar. Ucapan Guru ternyata memang benar. Rencana jahat yang disusun Empat Sekawan dari Jiangnan benar-benar sulit dihindari.”

Tiba-tiba ia menjerit, “Aih!” Tanpa terasa ia pun melonjak bangun dengan jantung berdebar-debar. “Hei, bagaimana dengan Kakak Xiang? Apakah ia juga mengalami nasib buruk seperti aku?” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Kakak Xiang sangat pintar dan cerdik. Sepertinya sebelum ini ia sudah tahu orang macam apa Empat Sekawan dari Jiangnan itu. Kakak Xiang sudah lama malang melintang di dunia persilatan, juga pernah menjadi Pelindung Kanan Sekte Iblis yang kaya pengalaman, tentunya tidak mudah terjebak dan masuk ke dalam perangkap mereka. Asalkan tidak terkurung oleh mereka, tentu ia mampu mencari akal untuk menyelamatkanku. Meskipun aku terkurung sedalam ratusan meter di bawah tanah, Kakak Xiang tetap dapat menolongku keluar dari sini.”

Berpikir demikian membuat hatinya menjadi lega dan mulutnya pun tersenyum lebar. Ia lalu menggumam sendiri, “Linghu Chong, oh Linghu Chong, kau memang pengecut tak berguna. Baru saja kau menangis ketakutan. Kalau sampai diketahui orang, mau ditaruh ke mana lagi mukamu ini?”

Karena hatinya terasa lega, perlahan ia pun bangkit untuk duduk. Sesaat kemudian perutnya terasa lapar dan kerongkongan pun haus. “Sayang sekali barusan aku mengamuk dan membuang-buang makanan kiriman itu. Jika aku tidak makan sampai kenyang, nanti kalau Kakak Xiang datang menolongku keluar, lantas dari mana aku punya tenaga untuk melabrak Empat Anjing dari Jiangnan? Hahaha, memang sebaiknya kusebut mereka Empat Anjing Jiangnan saja. Orang jahat dan berbudi rendah seperti mereka mana pantas disebut empat sekawan segala? Di antara empat anjing itu Heibaizi paling pendiam, dengan wajah selalu tampak muram. Kemungkinan besar dialah yang merencanakan semua tipu muslihat keji ini. Setelah aku lolos dari sini, maka orang pertama yang akan kubunuh adalah dia. Di antara empat anjing itu hanya Danqingsheng yang paling jujur. Biarlah aku mengampuni jiwanya. Tapi sebagai ganti, semua arak simpanannya akan kuminum sampai habis.” Teringat kepada arak-arak enak itu, rasa dahaga Linghu Chong bertambah hebat.

“Wah, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri? Mengapa Kakak Xiang belum juga datang?” Mendadak terpikir olehnya, “Aih, celaka! Jika bertarung satu lawan satu, Kakak Xiang pasti sanggup mengalahkan Empat Anjing Jiangnan itu. Tapi kalau mereka berempat maju sekaligus tentu sukar bagi Kakak Xiang untuk menang. Sekalipun Kakak Xiang dapat membinasakan keempat anjing itu, tetap saja sulit mencari penjara di bawah tanah ini. Siapa yang menduga kalau lubang masuk menuju lorong penjara ini justru berada di bawah tempat tidur Huang Zhonggong?”

Begitulah, ia merasa letih dan kembali berbaring. Tiba-tiba terlintas pikiran dalam benaknya, “Ilmu silat Tuan Ren sangat tinggi, jelas di atas Kakak Xiang dan tidak mungkin di bawahnya. Bahkan pengetahuannya yang luas serta kecerdasannya juga melebihi Kakak Xiang. Seorang tokoh sehebat itu saja bisa terkurung di penjara gelap ini, bagaimana Kakak Xiang bisa mengalahkan anjing-anjing itu? Seorang gagah berbudi luhur dan jujur memang seringkali terjebak dalam rencana jahat manusia-manusia rendah. Pepatah mengatakan, ‘Serangan musuh di siang hari mudah ditangkis, namun musuh yang menikam di balik selimut sukar dihindari.’ Sudah begitu lama Kakak Xiang tidak juga datang, jangan-jangan ia juga telah masuk ke dalam perangkap mereka.” Untuk sesaat dilupakannya nasib sendiri dan kini berganti memikirkan keselamatan Xiang Wentian.

Pikirannya melayang-layang dan tanpa terasa ia pun tertidur pulas. Ketika terjaga dan membuka mata, keadaan tetap gelap gulita. Apakah hari sudah malam atau siang sama sekali tidak dapat diketahuinya. Kembali ia termenung, “Kalau hanya mengandalkan kemampuanku jelas aku tidak akan bisa keluar dari sini. Jika Kakak Xiang juga mengalami bencana, lalu siapa lagi yang bisa menolongku keluar dari sini? Guru telah mengedarkan surat tentang pemecatanku dari Perguruan Huashan. Orang-orang aliran lurus jelas tidak sudi datang menolongku. Tinggal Yingying saja. Yingying, Yingying ….”

Teringat kepada Yingying membuat semangatnya bangkit. Segera ia duduk dan berpikir lagi, “Yingying telah menyuruh Lao Touzi dan kawan-kawannya menyiarkan berita di dunia persilatan bahwa aku harus dibunuh. Dengan sendirinya orang-orang aliran sesat juga tidak mungkin datang menolongku. Tapi bagaimana dengan Yingying sendiri? Jika dia tahu aku terkurung di sini pasti dia akan datang menyelamatkanku. Banyak sekali orang-orang aliran sesat yang tunduk kepada perintahnya. Asalkan dia mengucapkan satu kata saja, hahaha ….” Tanpa terasa ia tertawa senang. “Tapi kulit wajah nona ini begitu tipis. Dia paling takut orang lain mengatakan bahwa dia suka kepadaku. Kalau dia ingin menolongku, tentu dia akan datang sendirian tanpa membawa bala bantuan. Justru kalau ada orang lain yang tahu dia datang menolongku, kemungkinan besar jiwa orang itu akan melayang. Aih, isi hati seorang gadis memang sukar ditebak. Seperti Adik Kecil ….”

Begitu teringat kepada Yue Lingshan, seketika hatinya terasa sakit. Kesedihan dan rasa putus asa yang mendalam telah menambah beban penderitaannya menjadi lebih berat lagi. “Bagaimana mungkin aku berharap ada orang yang akan menolongku? Saat ini mungkin Adik Kecil dan Adik Lin telah menikah. Andaikan aku dapat keluar dari sini juga apalah gunanya? Bukankah lebih baik aku terkurung seumur hidup di sini dan tidak tahu di luar sana ada apa?” Begitu menemukan manfaat terkurung dalam penjara – yaitu tidak dapat mengetahui perkembangan hubungan Lin Pingzhi dan Yue Lingshan – seketika rasa cemasnya langsung berkurang, bahkan berubah menjadi syukur dan gembira.

Akan tetapi perasaan lega itu tidak bertahan lama. Ketika perutnya terasa lapar dan tenggorokan terasa kering, terbayang olehnya bagaimana nikmatnya minum arak dan makan daging lezat. Akhirnya, ia merasa lebih baik lolos keluar daripada kebebasannya terkekang. Dalam hati ia berkata, “Biar saja Adik Lin menikahi Adik Kecil. Aku sendiri sudah kenyang dianiaya orang, tenagaku dalamku juga sudah musnah dan mirip orang cacat. Tabib Ping menyatakan ajalku sudah tidak lama lagi. Sekalipun Adik Kecil mau menjadi istriku tetap saja aku tidak boleh menikahi dia. Mana boleh aku membuat dia menjadi janda muda yang merana?”

Namun dalam lubuk hatinya ia merasa meskipun tidak dapat menikahi Yue Lingshan, namun nona itu telah mencintai Lin Pingzhi. Bagaimanapun juga hal ini membuat perasaannya sangat tertusuk. “Bagaimana baiknya ini? Bagaimana baiknya ini? Paling baik, paling baik Adik Kecil masih tetap seperti yang dulu. Paling baik ini semua tidak pernah terjadi. Paling baik aku tetap di Gunung Huashan, berlatih pedang bersama Adik Kecil di bawah air terjun. Paling baik Adik Lin tidak pernah menjadi murid Huashan, dan aku dapat hidup bahagia berdampingan dengan Adik Kecil untuk selamanya.”

“Aih, tapi sekarang semua itu sudah terjadi,” pikirnya pula. “Entah bagaimana pula kabar Tian Boguang, Enam Dewa Lembah Persik, juga Adik Yilin ….”

Teringat kepada Yilin si biksuni cilik dari Perguruan Henshan, seketika senyum hangat terkembang di wajahnya. “Entah bagaimana kabar Adik Yilin sekarang? Jika dia tahu aku terkurung di sini, tentu dia akan sangat cemas dan khawatir. Sudah pasti gurunya juga telah menerima surat edaran dari Guru sehingga melarangnya datang menolongku. Tapi dia … dia pasti akan memohon kepada ayahnya, yaitu Biksu Bujie untuk berdaya upaya, mencari akal demi menolongku. Bisa jadi Biksu Bujie akan mengajak serta Enam Dewa Lembah Persik ke sini. Aih, ketujuh orang itu suka berbuat ngawur dan membuat keadan bertambah kacau. Tetapi … tetapi bila ada yang datang menolongku rasanya lebih baik daripada tidak ada orang yang peduli sama sekali.”

Teringat pada kelakuan Enam Dewa Lembah Persik yang ngawur dan sinting itu, tanpa terasa Linghu Chong tertawa terkekeh-kekeh. Dulu ia sering memandang rendah tingkah laku enam orang tua aneh itu. Namun sekarang, ia berharap mereka dapat menjadi teman mengobrol di dalam penjara yang sunyi ini. Omong kosong yang mereka ucapkan itu jika saat ini bisa didengar tentu akan seperti nyanyian malaikat kahyangan.

Setelah berbagai macam pikiran berkecamuk dalam benaknya, Linghu Chong pun kembali tertidur lelap.

Entah sudah berapa lama ia tertidur di dalam penjara yang gelap itu, tiba-tiba terlihat sinar remang-remang menembus masuk melalui lubang persegi di pintu besi. Dalam keadaan masih mengantuk, Linghu Chong buru-buru bangkit untuk duduk. Hatinya berdebar-debar dan bertanya, “Siapakah yang datang menolongku?”

Namun rasa senang itu tidak bertahan lama. Segera ia mendengar suara langkah yang berat dan perlahan, jelas itu adalah langkah kaki si pelayan tua pengantar makanan. Dengan tubuh lemas ia pun kembali merebahkan diri sambil berteriak, “Panggil keempat anjing bangsat itu kemari! Coba lihat, mereka berani bertemu muka denganku atau tidak?”

Terdengar suara langkah kaki semakin mendekat, cahaya lampu juga semakin terang. Menyusul sebuah nampan kayu disodorkan masuk melalui lubang persegi. Di atas nampan tetap tertaruh semangkuk nasi dan sebuah kendi. Pelayan tua itu sama sekali tidak bicara, hanya menyodorkan nampan ke dalam dan menunggu diterima oleh Linghu Chong.

Linghu Chong memang sudah sangat kelaparan, lebih-lebih kerongkongannya juga sudah kering. Sejenak ia ragu-ragu namun kemudian disambutnya nampan kayu tersebut. Sesudah melepaskan nampan, si pelayan tua lantas memutar tubuh dan melangkah pergi.

“He, hei, nanti dulu, aku ingin bertanya kepadamu!” teriak Linghu Chong.

Namun pelayan tua itu sama sekali tidak menggubris. Terdengar suara kakinya melangkah dengan berat dan agak diseret. Lambat laun suaranya semakin menjauh dan cahaya lampu tidak terlihat lagi.

Linghu Chong memaki-maki beberapa kali lalu mengangkat kendi dan menuang isinya ke dalam mulut. Kendi tersebut berisi air minum yang bersih. Dalam sekali tarikan napas, ia menghabiskan setengah isi kendi, kemudian mulai memakan nasi. Di tengah kegelapan ia dapat merasakan lauk pauk dan sayur maur yang bercampur nasi, antara lain lobak dan sejenis tahu.

Begitulah, selama tujuh atau delapan hari ia meringkuk dalam penjara, dan si pelayan tua selalu datang sehari sekali untuk mengantar makanan. Ketika pergi, pelayan tua itu sekalian membawa mangkuk, sumpit, dan kendi bekas yang diantar sehari sebelumnya. Selain itu dibawanya pula tempurung wadah kotoran. Linghu Chong dengan segala cara berusaha mengajaknya bicara, namun tetap saja wajah pelayan tua itu tampak kaku tanpa menunjukkan suatu perasaan apa pun.

Beberapa hari kemudian, begitu melihat cahaya lampu, Linghu Chong segera menubruk ke depan lubang persegi dan memegangi nampan kayu yang disodorkan si pelayan tua sambil berteriak, “Kenapa kau tidak bicara? Kau dengar kata-kataku atau tidak?”

Pelayan tua itu menunjuk-nunjuk telinganya sendiri sambil menggeleng-geleng seolah memberi isyarat bahwa ia seorang tuli. Menyusul ia lantas membuka mulut lebar-lebar. Linghu Chong sangat terkejut, karena melihat lidah orang tua itu ternyata hanya tinggal sebagian kecil saja. Sungguh pemandangan yang mengerikan.

“Hah, lidahmu dipotong orang? Apakah ini perbuatan keji keempat anjing itu?” seru Linghu Chong.

Pelayan tua itu tidak menjawab. Ia hanya mendorong nampan kayu masuk melalui lubang persegi sedikit demi sedikit. Jelas ia tidak mendengar apa yang diucapkan Linghu Chong tadi. Andaikan mendengar juga tidak dapat menjawab karena mulutnya bisu.

Linghu Chong merasa terkejut bercampur ngeri. Ia masih terbayang-bayang pangkal lidah si pelayan tua yang hampir habis itu, meskipun orangnya sudah pergi. Hal ini membuatnya tidak berselera makan. “Empat anjing Jiangnan itu sungguh memuakkan. Kalau saja aku bisa lolos dari tempat terkutuk ini, maka akan kupotong lidah mereka, kutusuk telinga mereka sampai tuli ….” Demikian ia menggumam sendiri dengan sangat geram.

Tiba-tiba sebuah ingatan terlintas dalam benaknya. “Ah, jangan-jangan mereka … jangan-jangan mereka ….”

Ia teringat pada peristiwa dahulu ketika membutakan mata lima belas orang laki-laki bercadar di halaman Kuil Dewa Obat. Asal usul orang-orang itu selama ini masih belum ia ketahui. “Jangan-jangan aku dikurung di sini adalah untuk membalaskan dendam kelima belas orang itu.” Teringat kejadian tersebut membuatnya menghela napas. Rasa kesalnya yang tak terlampiaskan selama beberapa hari sebagian besar lenyap sudah. “Aku telah membutakan mata kelima belas orang itu. Kalau mereka ingin membalas dendam dengan cara seperti ini, aku rasa memang sudah sepantasnya.”

Karena rasa gusarnya sudah banyak berkurang, maka hari-hari selanjutnya menjadi lebih mudah untuk dilalui. Di penjara yang gelap gulita itu siang dan malam tidak dapat dibedakan sehingga sudah berapa lama waktu berlalu juga tidak dapat diketahui dengan jelas. Yang terasa olehnya hanyalah hawa di dalam kamar penjara tersebut semakin hari semakin gerah. Ia menduga sepertinya musim panas telah tiba.

Kamar penjara yang sempit itu sama sekali tidak memiliki lubang angin, sehingga hawa panas dan lembab terasa semakin mengerikan. Merasa tidak tahan lagi, Linghu Chong pun membuka baju. Karena tangan dan kaki terbelenggu rantai, tidak mungkin pakaiannya ditanggalkan seluruhnya. Maka bajunya hanya ditarik ke atas dan celana digulung ke bawah. Tikar usang yang menutupi dipan besi itu digulungnya pula. Maka badannya yang telanjang itu terasa segar ketika rebah di atas dipan besi. Keringatnya yang bercucuran sedikit demi sedikit mengering dan tanpa terasa ia pun tertidur.

Setelah beberapa jam berlalu, dipan itu menjadi panas juga karena tertindih oleh badannya. Dalam keadaan setengah sadar, ia lantas bergeser ke sisi lain yang masih nyaman. Ketika salah satu tangan menahan tubuh, pada permukaan dipan besi itu terasa adanya ukiran. Hanya saja waktu itu ia sangat mengantuk, sehingga hal ini tidak terlalu diperhatikannya.

Nyenyak sekali ia tertidur, sehingga ketika bangun terasa begitu bersemangat. Tidak lama kemudian si pelayan tua datang lagi mengantar makanan. Kini Linghu Chong merasa sangat simpati kepada orang tua itu. Setiap kali si pelayan tua menyodorkan nampan makanan melalui lubang persegi, tentu ia akan meremas-remas tangannya atau menepuk-nepuk punggung tangannya sebagai tanda terima kasih. Maka kali ini pun demikian.

Setelah menerima nampan itu, tiba-tiba di bawah cahaya pelita yang remang-remang ia melihat pada punggung tangannya tercetak sebuah kalimat yang berbunyi “Woxing terkurung”.

Linghu Chong terheran-heran tidak mengerti dari mana datangnya tulisan di tangannya itu. Setelah merenung sejenak, dengan cepat ia menaruh nampan tersebut dan segera meraba-raba dipan besi. Baru sekarang ia sadar bahwa pada permukaan dipan tersebut ternyata penuh dengan ukiran tulisan yang tak terhitung banyaknya. Selama ini dipan besi itu selalu tertutup selembar tikar usang. Baru setelah udara semakin panas, dan tikar usang dilepaskan, Linghu Chong dapat menemukan tulisan tersebut tercetak di punggung tangannya. Ketika meraba punggung dan pantatnya, ia tak kuasa menahan tawa karena ternyata bagian tubuh yang diraba juga tercetak tulisan serupa. Setiap huruf berukuran sebesar uang logam, guratannya dalam, namun agak sulit dibaca seperti cakar ayam.

Saat itu si pelayan tua saudah pergi menjauh, dan keadaan kamar penjara kembali gelap gulita. Karena penasaran, ia hanya minum beberapa teguk air tanpa menyentuh nasi, kemudian melanjutkan meraba tulisan pada dipan. Setelah menemukan permulaan tulisan, ia pun membaca huruf demi huruf dengan suara lirih, “Aku si tua selama hidup tak peduli budi dan dendam, membunuh sesuka hati. Sekarang aku dikurung di bawah danau, hal ini adalah pembalasan yang setimpal. Hanya saja, aku si tua Ren Woxing terkurung ….”

Membaca sampai di situ ia pun berpikir, “Ternyata tulisan di tanganku berasal dari bagian ini.” Kembali ia meraba-raba dan melanjutkan membaca, “… di sini, mau tidak mau ilmu saktiku yang luar biasa tingginya akan musnah bersama tulang belulangku. Para pemuda dari angkatan selanjutnya tidak akan mengenal kepandaianku si tua ini, sungguh sayang.”

Linghu Chong mendongak ke atas sambil berpikir, “Si tua Ren Woxing! Si tua Ren Woxing! Orang yang mengukir tulisan ini tentu yang bernama Ren Woxing itu. Ternyata dia juga bermarga Ren. Entah apa hubungannya dengan Tuan Ren yang kuhadapi tempo hari? Penjara bawah danau ini entah sudah berapa lama berdiri? Mungkin orang bernama Ren Woxing itu sudah mati puluhan tahun silam.”

Kembali ia meraba tulisan yang selanjutnya berbunyi, “Sekarang aku si tua akan menuliskan semua intisari ilmu kesaktianku di sini, supaya angkatan selanjutnya dapat mempelajarinya dan dapat malang melintang di dunia persilatan. Walaupun aku mati, tapi kematianku tidak percuma dan namaku tetap dikenang selamanya. Pertama, bersamadi ….” Tulisan selanjutnya adalah berbagai cara untuk mengatur pernapasan dan tenaga dalam.

Sejak berlatih “Sembilan Pedang Dugu”, ilmu silat yang paling disukai Linghu Chong adalah ilmu pedang. Apalagi karena tenaga dalamnya sudah musnah, maka perkataan “bersamadi” membuatnya agak kecewa. Tadinya ia berharap tulisan selanjutnya adalah menguraikan semacam ilmu pedang yang ampuh, yang dapat ia latih sekadar untuk pelipur lara. Karena harapan untuk meloloskan diri semakin tipis, maka ia ingin sekali mencari-cari kesibukan demi mengusir rasa bosan supaya hari-hari selanjutnya bisa dilalui dengan baik.

Akan tetapi, huruf-huruf yang terukir itu selanjutnya berisi istilah-istilah tentang bagaimana berlatih tenaga dalam, misalnya “bernapas”, “pusatkan chi di dantian”, “salurkan qi ke jinjing”, “pembuluh ren” dan sebagainya. Sampai tulisan itu habis, tidak juga ditemukan sebuah huruf pun yang berbunyi “pedang”.

Linghu Chong merasa putus asa dan berkata, “Ilmu sakti hebat macam apa pula? Ini sama saja dengan mengolok-olok aku! Segala ilmu silat dapat kuterima, kecuali ilmu tenaga dalam yang tak dapat kupelajari. Begitu aku mengumpulkan tenaga, seketika darah dalam rongga dada dan perut langsung bergolak. Kalau aku teruskan berlatih rasanya akan sangat tersiksa dan seperti mengundang bencana.”

Ia menghela napas panjang, kemudian mengambil mangkuk nasi dan mulai makan sambil berpikir, “Ren Woxing ini entah tokoh macam apa? Perkataannya sangat sombong. Dia membual dengan ilmu saktinya bisa malang melintang di dunia persilatan segala.”

Ketika pertama kali menemukan tulisan tadi, Linghu Chong merasa sangat bersemangat. Namun kini, mau tidak mau semangatnya pupus dimakan kekecewaan. “Langit benar-benaar ingin mempermainkanku. Rasanya lebih baik kalau aku tidak menemukan tulisan ini.” Setelah termenung sejenak, ia melanjutkan berpikir, “Ternyata kamar penjara ini memang khusus digunakan untuk mengurung jago-jago silat kelas tinggi. Dilihat dari guratan tulisan yang dalam ini, dapat diduga ilmu silat Ren Woxing pasti sangat lihai. Tapi mengapa dia dapat dikurung di sini dan tidak berdaya? Jelas kamar penjara ini memang dibangun dengan sangat kuat dan aman. Meskipun punya kepandaian setinggi langit juga sukar untuk kabur. Begitu terperangkap, terpaksa harus menunggu ajal saja di dalam sini.” Setelah itu ia tidak lagi peduli dengan tulisan pada permukaan dipan besi tersebut.

Saat itu Kota Hangzhou sedang panas-panasnya. Di daratan saja rasanya sudah panas seperti kukusan, apalagi di penjara bawah danau? Memang penjara tersebut terletak di bawah danau yang tidak terkena sinar matahari, sehingga seharusnya terasa sejuk dan segar. Namun karena tidak ada angin yang masuk, juga keadaannya sangat lembab, membuat orang yang terkurung di dalamnya merasa sangat menderita. Setiap hari Linghu Chong menggulung baju dan celananya, serta tidur di atas dipan besi tanpa tikar untuk mencari rasa nyaman. Setiap kali merentangkan tangannya, ia meraba tulisan di permukaan dipan itu sehingga tanpa terasa banyak sekali kalimat-kalimat yang dihafalnya luar kepala.

Pada suatu hari ia sedang tiduran sambil merenung, “Sekarang Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil ada di mana? Apakah mungkin mereka sudah pulang ke Gunung Huashan?” Pada saat itulah tiba-tiba dari jauh terdengar suara langkah kaki seseorang datang mendekat. Suara langkah itu sangat ringan tapi cepat, berbeda sekali dengan langkah si pelayan tua pengantar makanan biasanya.

Setelah sekian lama mendekam di dalam penjara sebenarnya Linghu Chong sudah tidak begitu mengharapkan datangnya seorang penolong. Namun kini mendadak terdengar suara langkah kaki orang baru, mau tidak mau ia menjadi terkejut bercampur senang. Ia bermaksud melompat bangun, tapi karena perasaan terlalu gembira justru membuat badan terasa gemetar dan lemas, sehingga terpaksa ia tetap berbaring tanpa bergerak-gerak.

Terdengar suara langkah orang itu cepat sekali, tahu-tahu sudah sampai di luar pintu besi. Orang itu kemudian berkata, “Tuan Ren, beberapa hari ini cuaca sangat panas. Apakah kau baik-baik saja?”

Begitu mendengar suaranya, Linghu Chong segera dapat mengenali orang yang baru datang itu adalah Heibaizi. Andai saja Heibaizi datang sebulan sebelumnya, tentu Linghu Chong akan mencaci-maki kepadanya dengan segala macam kata-kata kotor dan keji. Tapi kini setelah cukup lama dikurung, amarahnya sudah banyak berkurang dan ia menjadi lebih tenang dan sabar.

Diam-diam Linghu Chong merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa dia memanggilku sebagai ‘Tuan Ren’? Apakah dia mendatangi kamar penjara yang salah?” Berpikir demikian membuatnya memilih diam tanpa menjawab.

Terdengar Heibaizi berkata lagi, “Hanya satu pertanyaan yang selalu kutanyakan kepada Tuan Ren setiap dua bulan sekali. Hari ini adalah tanggal satu bulan tujuh. Pertanyaanku tetap sama, apakah Tuan Ren setuju atau tidak?” Nada bicaranya terdengar sangat sopan.

Diam-diam Linghu Chong merasa geli dan berpikir, “Orang ini pasti mendatangi kamar penjara yang salah, dan keliru menyangka aku sebagai Tuan Ren. Aneh benar, mengapa sekarang dia jadi pikun begini?” Tapi segera ia tercengang, “Ah, tidak mungkin! Di antara keempat majikan di Wisma Mei Zhunag, Heibaizi adalah yang paling teliti. Kalau Tubiweng dan Danqingsheng masih mungkin mendatangi penjara yang salah. Tapi kalau Heibaizi mana mungkin salah alamat? Pasti di balik ini ada suatu sebab lainnya.”

Karena tidak juga mendapat jawaban, Heibaizi lantas berseru, “Tuan Ren, selama hidup kau terkenal sebagai kesatria yang lihai, untuk apa harus meringkuk di penjara ini sampai menjadi mayat? Asalkan kau berjanji menyanggupi permintaanku, maka aku pun akan pegang janji untuk meloloskanmu dari sini.”

Jantung Linghu Chong berdebar-debar. Timbul bermacam-macam pikiran dalam benaknya, tapi sukar untuk ia pecahkan. Ia sama sekali tidak mengerti apa maksud Heibaizi mengemukakan kata-kata itu kepadanya.

Terdengar Heibaizi kembali menegas, “Apakah Tuan Ren setuju atau tidak?”

Linghu Chong sadar saat ini telah terbuka sebuah kesempatan untuk meloloskan diri. Ia tidak peduli apakah lawan bicaranya memiliki maksud baik ataukah buruk, yang penting ada peluang di depan mata daripada nasib yang tidak jelas seperti ini. Namun ia masih penasaran ingin mengetahui apa maksud perkataan Heibaizi tadi. Ia khawatir kalau salah menjawab justru membuat urusan menjadi runyam dan kesempatan emas melayang sia-sia. Maka itu, ia terpaksa memilih tetap diam menunggu keadaan selanjutnya.

Terdengar Heibaizi menghela napas, lalu berkata, “Tuan Ren, mengapa kau tidak bersuara? Tempo hari kami membawa bocah bermarga Feng datang kemari untuk bertanding pedang denganmu. Di depan ketiga saudaraku sama sekali kau tidak menyinggung tentang pertanyaanku kepadamu. Untuk itu aku sungguh sangat berterima kasih. Kupikir setelah mengalami pertandingan itu tentu jiwa pendekarmu kembali berkobar. Betapa luasnya jagad raya di luar sana, asalkan Tuan Ren bisa keluar dari penjara gelap ini, maka kau bebas membunuh siapa saja, di mana saja kau suka. Bukankah hal ini sangat menyenangkan? Jika kau menyanggupi permintaanku, maka hal ini sedikit pun tidak merugikanmu. Tapi mengapa selama dua belas tahun ini kau selalu menolak?”

Linghu Chong mendengar Heibaizi berbicara dengan sungguh-sungguh karena benar-benar mengira kalau dirinya adalah Tuan Ren. Hal ini membuatnya semakin heran dan curiga. Terdengar Heibaizi mengulangi pertanyaannya berkali-kali membuat Linghu Chong penasaran ada masalah apa sebenarya di balik permintaannya itu. Namun demikian, pemuda itu tidak berani membuka suara karena takut urusan menjadi runyam. Terpaksa ia terus saja menahan diri dan tetap diam membisu.

Heibaizi berkata, “Karena pendirian Tuan Ren sedemikian kukuh terpaksa kita bertemu lagi dua bulan yang akan datang.” Tiba-tiba ia tertawa lirih dan menyambung, “Kali ini Tuan Ren tidak lagi mencaci maki kepadaku. Tampaknya pikiranmu sudah agak berubah. Dalam dua bulan ini silakan Tuan Ren berpikir masak-masak.” Sambil berkata demikian, ia pun memutar tubuh hendak melangkah pergi.

Linghu Chong menjadi kelabakan. Begitu Heibaizi pergi, maka ia harus menunggu dua bulan lagi. Sementara suasana di penjara ini satu hari saja sudah terasa setahun baginya, mana bisa ia harus menunggu dua bulan lagi? Maka, ia pun menunggu Heibaizi berjalan beberapa langkah, baru kemudian membalas pembicaraan dengan suara berat dan serak yang dibuat-buat, “Kau … kau minta aku menyetujui apa?”

Mendengar itu, secepat kilat Heibaizi melompat balik. Gerakannya sangat gesit, tahu-tahu ia sudah berdiri di depan lubang persegi. Dengan suara gemetar ia berkata, “Apa kau … kau setuju?”

Linghu Chong berbalik menghadap dinding. Dengan tangan menutup mulut ia berkata samar-samar, “Menyetujui soal apa?”

Heibaizi menyahut, “Selama dua belas tahun ini aku selalu datang ke sini enam kali setiap tahun, menempuh bahaya hanya untuk memohon persetujuan Tuan Ren. Mengapa sekarang Tuan Ren malah balik bertanya?” ujar Heibaizi.

“Huh, aku sudah lupa,” sahut Linghu Chong sambil mendengus.

“Aku mohon Tuan Ren sudi mengajarkan ilmu sakti itu kepadaku. Bila sudah kupelajari tentu Tuan Ren akan kubebaskan dari sini,” kata Heibaizi.

Diam-diam Linghu Chong menjadi ragu apakah Heibaizi benar-benar menyangka dirinya sebagai tokoh bermarga Ren itu, ataukah ada tipu muslihat yang lain? Terpaksa ia menggumam lagi secara samar-samar, bahkan dirinya sendiri tidak tahu apa yang dikatakannya, apalagi Heibaizi.

Maka berulang-ulang Heibaizi menegas, “Bagaimana? Apakah Tuan Ren sudah setuju?”

“Kata-katamu tidak dapat dipercaya. Mana bisa kau menipu aku?” kata Linghu Chong.

“Kalau begitu, jaminan apa yang Tuan Ren kehendaki agar percaya kepadaku?” tanya Heibaizi.

“Terserah kau saja,” sahut Linghu Chong.

“Sepertinya Tuan Ren masih sangsi aku tidak menepati janji bila sudah berhasil mempelajari ilmu saktimu itu bukan?” kata Heibaizi. “Tentang ini Tuan Ren tidak perlu khawatir. Aku sendiri akan mengatur sedemikian rupa sehingga Tuan Ren tidak perlu ragu lagi.”

“Mengatur bagaimana?” sahut Linghu Chong.

“Maaf, tapi Tuan setuju atau tidak?” tanya Heibaizi dengan nada gembira.

Bermacam-macam pikiran terlintas dalam benak Linghu Chong, “Dia memohon belajar ilmu sakti kepadaku, tapi dari mana aku punya ilmu sakti yang ia maksudkan itu? Namun tiada salahnya aku mengetahui apa yang ia rencanakan. Jika ia benar-benar bisa membebaskan aku dari sini, biarlah aku menguraikan rumus rahasia yang terukir di atas lempengan dipan besi itu kepadanya. Tidak peduli ilmu itu bermanfaat atau tidak, yang penting aku tipu dia dulu; urusan yang lain belakangan.”

Karena tidak mendapat jawaban, maka Heibaizi pun berkata, “Apabila Tuan Ren sudah mengajarkan ilmu itu kepadaku maka aku sudah terhitung muridmu. Murid agama kita pantang menipu guru dan mengkhianati leluhur. Barangsiapa melanggar tentu akan dijatuhi hukuman berat, dikuliti hidup-hidup dampai mati perlahan-lahan. Mana berani aku melanggar peraturan agama kita dan tidak membebaskan guruku sendiri?”

“Hm, ternyata begitu,” sahut Linghu Chong.

“Jadi, apakah Tuan Ren sudah setuju?” tanya Heibaizi dengan nada gembira.

“Tiga hari lagi kau boleh datang kemari menerima jawabanku,” kata Linghu Chong.

“Sekarang saja Tuan Ren menyanggupi, kenapa harus menunggu tiga hari lagi di kamar yang gelap ini?” ujar Heibaizi.

Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Dia lebih gelisah daripada aku. Sebaiknya memang aku main tarik ulur selama tiga hari untuk melihat tipu muslihat apa yang ia persiapkan.”

Karena berpikir demikian, ia pun tidak menjawab, hanya mendengus keras sebagai tanda muak dan terdengar gusar.

Ternyata hal ini membuat Heibaizi ketakutan. Dengan cepat ia pun berkata, “Baiklah! Baiklah! Tiga hari lagi aku akan datang meminta petunjuk kepada Tuan.”

Setelah Heibaizi pergi dan mengunci pintu berlapis, pikiran Linghu Chong kembali bergolak, “Mengapa dia benar-benar menyangka aku sebagai Tuan Ren? Padahal Heibaizi sangat cerdik dan teliti, mana mungkin dia berbuat kesalahan seperti itu?” Tiba-tiba ia teringat sesuatu, “Jangan-jangan Huang Zhonggong telah mengetahui rahasianya, dan diam-diam memindahkan Tuan Ren ke kamar penjara yang lain, kemudian menempatkan aku di sini. Benar juga, selama dua belas tahun setiap dua bulan sekali Heibaizi selalu datang kemari, kemungkinan besar perbatannya diketahui orang. Sudah tentu Huang Zhongggong yang telah diam-diam mengatur ini semua.”

Untuk beberapa lama ia termenung, kemudian teringat pada salah satu kalimat yang diucapkan Heibaizi. “Murid agama kita yang menipu guru dan mengkhianati leluhur akan dihukum dengan dikuliti hidup-hidup sampai mati perlahan-lahan.” Ia pun berpikir, “Apa yang dimaksud dengan ‘agama kita’? Apakah Sekte Iblis? Jangan-jangan sesepuh bermarga Ren itu dan Empat Sekawan Jiangnan adalah anggota Sekte Iblis. Kakak Xiang sendiri adalah mantan Pelindung Kanan Sekte Iblis, pasti ada sangkut-pautnya dengan mereka. Tapi aku sendiri belum tahu tipu muslihat apa yang sedang mereka jalankan dengan melibatkan diriku di dalamnya.”

Begitu berpikir tentang “Sekte Iblis”, ia langsung membayangkan adanya rahasia yang rumit dan berlapis-lapis. Hal ini membuatnya tidak ingin berpikir lebih lanjut, kecuali dua hal saja, “Apakah Heibaizi bersungguh-sungguh atau hanya berpura-pura? Bagaimana caraku menjawab bila tiga hari lagi dia datang menanyai aku?”

Bermacam-macam dugaan telah dipikirkannya, tapi tetap tidak dapat menjawab maksud dan tujuan Heibaizi. Sampai akhirnya ia tertidur sendiri karena terlalu letih. Ketika terbangun, hal pertama yang dipikirkannya adalah, “Andai saja Kakak Xiang berada di sini tentu dia akan segera mengetahui tujuan Heibaizi. Sesepuh bermarga Ren itu sangat cerdas, sepertinya jauh lebih cerdas di atas Kakak Xiang. Eh, ya ….”

Tiba-tiba ia melonjak bangun dan berseru keras. Rupanya sesudah tidur pikirannya menjadi lebih jernih. “Selama dua belas tahun ini Tuan Ren tidak menyanggupi permintaan Heibaizi. Sudah tentu karena permintaannya itu tidak mungkin dapat diluluskan. Sebagai seorang cerdik pandai tentu ia cukup tahu untung ruginya bila menyanggupi permintaan Heibaizi. Tapi aku bukan Tuan Ren, apa repotnya bagiku untuk menyanggupi permintaan Heibaizi?”

Dalam hati kecilnya ia tahu urusan ini sangat ganjil, dan tentunya mengandung bencana yang sangat besar. Namun keinginannya untuk meloloskan diri begitu besar. Maka, ia pun mengambil keputusan, “Tiga hari lagi kalau Heibaizi datang, aku akan menyanggupi permintaannya. Aku akan mengajarkan rumus rahasia ilmu samadi yang terukir di atas dipan ini kepadanya. Aku lihat dulu bagaimana tanggapannya, lalu aku akan bertindak sesuai gelagat.”

Begitulah, ia lantas meraba-raba lagi tulisan di atas dipan untuk menghafalkannya. “Aku harus menghafalkannya dengan baik supaya nanti aku bisa mengucapkannya dengan lancar, sehingga Heibaizi tidak curiga. Sekarang yang jadi masalah hanya suaraku yang masih berbeda dengan Tuan Ren itu. Aku nanti harus merendahkan suaraku. Ah, aku ada akal! Aku akan berteriak-teriak selama dua hari supaya suaraku menjadi parau. Kemudian saat berbicara kepadanya aku cukup menggumam saja supaya dia semakin tidak mengenali suaraku.”

Maka sehabis menghafalkan tulisan itu, ia mulai berteriak-teriak seperti orang gila. Untung penjara itu terletak di bawah tanah, ditambah pintunya yang berlapis-lapis. Biarpun ada kembang api meledak di situ juga tidak akan terdengar dari luar. Oleh sebab itu, ia pun berteriak sekuat-kuatnya, mencaci maki Empat Sekawan Jiangnan, terkadang menyanyi, sampai akhirnya ia sendiri merasa geli dan tertawa terpingkal-pingkal karena nyanyiannya tidak enak didengar.

Setelah berteriak-teriak ia kembali menghafalkan tulisan di atas dipan. Tiba-tiba ia menemukan beberapa kalimat yang berbunyi, “Buatlah titik Dantian seperti peti kosong, atau lembah yang dalam. Ketahuilah bahwa peti yang kosong dapat menyimpan barang dan lembah yang dalam dapat menyerap air. Jika pada Dantian terdapat hawa murni, buyarkanlah dan sebarkanlah melalui berbagai titik di Pembuluh Ren.”

Kalimat-kalimat ini sebelumnya pernah ia raba beberapa kali, namun karena merasa jemu dan muak terhadap ilmu samadi sehingga ia tidak pernah merenungkan maknanya secara mendalam. Sekarang begitu membacanya dengan cermat, ia pun merasa heran. “Guru selalu mengajarkan kepadaku, bahwa intisari ilmu tenaga dalam adalah menghimpun hawa murni di titik Dantian. Semakin banyak hawa murni yang dapat dihimpun Dantian, semakin kuat pula tenaga dalam yang dapat dilatih. Tapi mengapa kalimat ini menyatakan Dantian harus selalu kosong dan jika menyimpan hawa murni harus dibuyarkan? Kalau di dalam Dantian tidak ada hawa murni, lalu dari mana datangnya tenaga dalam? Semua ilmu melatih tenaga dalam tidak ada yang seperti ini. Ini aneh! Apakah ini hanya lelucon belaka? Hahaha, Heibaizi memang manusia rendah dan tak tahu malu. Jika aku mengajarkan ilmu yang menyesatkan ini kepadanya, tentu dia akan tertipu habis-habisan.”

Ia kemudian melanjutkan meraba tulisan itu sambil merenungkan makna yang terkandung di dalam setiap kalimat. Ratusan huruf pertama adalah cara bagaimana membuyarkan hawa murni, serta bagaimana cara memusnahkan tenaga dalam sendiri.

Semakin diselami membuat Linghu Chong semakin terperanjat. “Di dunia ini mana ada orang tolol sudi memusnahkan tenaga dalam sendiri yang telah dipelajari dengan susah payah? Memangnya dia mau bunuh diri. Tapi kalau mau bunuh diri kenapa tidak langsung gorok leher sendiri saja, juga untuk apa harus buang-buang waktu dan pikiran demi membuyarkan tenaga dalam segala? Ilmu membuyarkan tenaga ini jauh lebih sukar dilatih daripada ilmu mengumpulkan tenaga. Apa gunanya dipelajari?”

Setelah berpikir sejenak akhirnya Linghu Chong menjadi lesu. Ia merasa Heibaizi yang cerdik itu mana mungkin begitu gampang bisa ditipu dengan ajaran yang tidak masuk akal tersebut. Tampaknya cara ini tidak bisa dilanjutkan lagi.

Semakin dipikir ia semakin gelisah. Berkali-kali ia membaca kalimat tadi keras-keras, “Jika pada Dantian terdapat hawa murni, buyarkanlah dan sebarkanlah melalui berbagai titik di Pembuluh Ren ….” Semakin dibaca hatinya semakin kesal. Sambil menggebrak dipan ia pun memaki, “Bedebah! Ketika keparat itu dikurung di penjara gelap ini, hatinya gemas dan terlalu marah, sehingga mengatur muslihat ini untuk mempermainkan orang lain.”

Setelah mencaci maki beberapa saat, akhirnya ia letih dan tertidur pulas. Dalam mimpi ia merasa dirinya sedang duduk bersamadi menurut rumusan yang dibacanya di atas dipan tadi. Ketika berpikir tentang “Jika pada Dantian terdapat hawa murni, buyarkanlah dan sebarkanlah melalui berbagai titik di Pembuluh Ren”, maka ia pun mengalirkan segala tenaga dalam melalui Pembuluh Ren. Seketika ruas-ruas tulang di seluruh badan terasa nyaman tak terlukiskan.

Selang agak lama, dalam keadaan samar-samar seperti tidur namun tidak tidur, antara sadar dan tidak sadar, ia merasa hawa murni dalam perutnya masih terus mengalir ke nadi Pembuluh Ren. Mendadak pikirannya tergerak, “Wah, celaka! Kalau tenaga dalamku terus-menerus mengalir seperti ini, aku bisa menjadi orang cacat, tidak berguna lagi.”

Dalam keterkejutannya ia segera duduk dan menggerakkan hawa murni supaya mengalir balik dari Pembuluh Ren. Seketika darah pun bergolak, kepala terasa pusing, dan mata berkunang-kunang. Setelah cukup lama barulah ia dapat menenangkan diri.

Tiba-tiba ia teringat sesuatu yang membuatnya terkejut bercampur senang. “Penyakitku yang sukar disembuhkan ini adalah karena dalam tubuhku mengeram tujuh-delapan macam hawa murni yang berasal dari Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie, sampai-sampai tabib sakti Ping Yizhi tidak sanggup menyembuhkanku. Mahabiksu Fangzheng, Ketua Biara Shaolin itu mengatakan bahwa berbagai hawa murni aneh yang bergolak dalam tubuhku ini hanya bisa dibuyarkan sedikit demi sedikit dengan berlatih ilmu dalam Kitab Pengubah Urat. Bukankah ilmu samadi yang terukir di atas dipan besi ini justru mengajarkan kepadaku bagaimana cara membuyarkan tenaga dalamku sendiri? Hahahaha! Linghu Chong, kau ini benar-benar bodoh seperti kerbau. Orang lain takut kehilangan tenaga dalam, tapi aku justru ingin membuang tenaga dalam. Sekarang ada ilmu ajaib terletak di depan mata mengapa tidak kupelajari dengan baik?”

Begitulah, karena terlalu sibuk memikirkan kalimat aneh tersebut, akhirnya sampai terbawa mimpi. Sejak tadi ia terus-menerus menghafal sehingga pikirannya dipenuhi olehnya. Ketika tertidur lelap, tanpa sadar ia pun berlatih sesuai rumus yang telah ia hafalkan. Namun demikian, ia tidak mengupas kalimat tersebut dengan sebenar-benarnya. Kini setelah terbangun dan semangatnya menyala, ia kembali meraba-raba tulisan di atas dipan besi sampai dua kali. Setelah yakin telah memahami isinya, ia pun duduk bersila dan melatih ilmu tersebut secara berurutan. Hanya dalam waktu dua jam, ia dapat merasakan bermacam-macam hawa murni yang selama ini mendekam di titik Dantian kini sudah sebagian yang membuyar melalui Pembuluh Ren. Meskipun belum dapat diusir keluar tubuh, tapi pergolakan darah yang biasanya sangat menyiksa itu kini sudah jauh berkurang.

Ia lantas bangkit berdiri. Karena sangat senang, ia pun bernyanyi-nyanyi, tapi suara terdengar serak seperti burung gagak. Rupanya usahanya berteriak-teriak untuk membuat kerongkongan menjadi parau telah membawa hasil. Diam-diam ia berpikir, “Ren Woxing, Ren Woxing! Kau meninggalkan tulisan ini untuk mencelakai orang lain, namun di tanganku justru memberikan manfaat besar. Jika di dalam kuburmu kau tahu soal ini mungkin janggutmu akan menegak karena gusar. Hahahaha!”

Ia kembali berlatih untuk membuyarkan hawa murni di dalam tubuhnya. Setelah bersamadi agak lama, badannya kini bertambah segar. Ia berpikir, “Setelah aku memusnahkan hawa murni milik Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie, maka aku dapat berlatih ilmu tenaga dalam perguruan sendiri seperti yang diajarkan Guru dahulu. Walaupun harus mengulangi dari awal dan bisa memakan waktu lama, tapi paling tidak selembar nyawaku ini sudah dapat diselamatkan. Jika nanti Kakak Xiang datang membebaskanku dari sini, tentu aku dapat menempuh hidup baru di dunia persilatan.”

Akan tetapi, teringat pula olehnya, “Guru telah memecatku, untuk apa aku harus memelajari ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan lagi? Masih banyak ilmu-ilmu tenaga dalam dari aliran lain yang bisa kupelajari, misalnya aku dapat belajar kepada Kakak Xiang, atau kepada Yingying, apa jeleknya?” Berpikir sampai di sini membuat hatinya sedih tetapi juga gembira.

Hari berikutnya, setelah makan nasi ia kembali berlatih. Setelah beberapa saat tubuhnya terasa begitu nyaman tak terlukiskan, sehingga ia pun tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba terdengar suara Heibaizi berseru di luar pintu, “Tuan Ren, apakah kau baik-baik saja? Aku sudah lama menunggu di sini.”

Ternyata tanpa terasa tiga hari sudah berlalu. Karena terlalu sibuk berlatih membuatnya tidak menyadari kehadiran Heibaizi. Untung saja suaranya telah berubah serak sehingga tidak memancing kecurigaan Heibaizi. Untuk mengalihkan perhatian, ia pun melanjutkan gelak tawa beberapa kali.

Terdengar Heibaizi kembali berkata, “Sepertinya hari ini Tuan sedang bersemangat. Bagaimana kalau hari ini Tuan menerimaku sebagai murid, bagaimana?”

Linghu Chong tidak menjawab, tetapi membatin, “Kalau dia membuka pintu dan melihat bahwa diriku adalah Feng Erzhong, bukan sesepuh bermarga Ren itu, tentu dia akan menggempurku. Seandainya Tuan Ren sendiri yang mengajarkan ilmu sakti, setelah berhasil mendapatkannya, kemungkinan besar Heibaizi juga akan berusaha membinasakannya, misalnya memakai racun di dalam makanan atau sebagainya. Kalau dia mau membunuhku, tentu semudah membalikkan telapak tangan. Setelah aku mengajarkan ilmu sakti ini kepadanya, mana mungkin dia sudi membebaskan aku? Mungkin inilah sebabnya mengapa Tuan Ren selalu menolak memenuhi permintaannya selama dua belas tahun.”

Karena Linghu Chong tidak juga menjawab, Heibaizi menjadi khawatir dan segera berkata, “Setelah Tuan Ren mengajarkan ilmu itu, aku akan segera pergi mengambilkan arak enak dan ayam lezat untuk Tuan.”

Selama terkurung di situ, Linghu Chong setiap hari hanya makan sayur dan tahu melulu. Kali ini ia mendengar “ayam lezat dan arak enak”, seketika membuat air liurnya bercucuran. Segera ia pun berkata, “Baiklah, lekas kau pergi mengambil arak enak dan ayam lezat dulu. Sesudah makan, bisa jadi hatiku senang dan sudi mengajarkan beberapa jurus kepadamu.”

Heibaizi menjawab, “Baik, baik, akan aku ambilkan arak enak dan ayam panggang yang gemuk. Tapi hari ini agaknya tidak bisa dilaksanakan. Besok saja kalau ada kesempatan tentu murid akan kemari untuk mempersembahkannya.”

“Kenapa hari ini tidak bisa dilaksanakan?” tanya Linghu Chong.

Heibaizi menjawab, “Untuk datang kemari murid harus mencari kesempatan di luar pengetahuan Kakak Pertama. Bila Kakak Pertama sedang keluar berlatih barulah … barulah ….”

Linghu Chong mendengus sebelum ucapan orang itu habis. Heibaizi tidak bicara lebih lanjut. Khawatir Huang Zhonggong telah kembali ke kamarnya, ia pun buru-buru mohon diri.

Setelah Heibaizi pergi, Linghu Chong berpikir, “Bagaimana caranya untuk bisa memancing Heibaizi masuk ke dalam sini, kemudian memukulnya sampai mati? Orang ini sangat licin, tidak mudah ditipu. Lagipula tangan dan kakiku terikat rantai. Sekalipun aku bisa membunuhnya, tetap saja tidak bisa meloloskan diri.”

Sambil pikirannya melayang-layang, tangan kanannya meraba borgol besi di pergelangan tangan kiri kemudian menariknya kuat-kuat. Sebenarnya ia hanya iseng dan tak pernah berpikir bahwa borgol itu bisa terbuka. Tak disangka, borgol besi itu ternyata benar-benar terbuka. Ia pun menarik lagi beberapa kali, dan borgol besi itu akhirnya terlepas dari pergelangan tangan kirinya.

Kejadian ini sama sekali tidak terduga sebelumnya. Linghu Chong terkejut bercampur senang. Ketika ia meraba borgol besi itu, ternyata di bagian tengah memang sudah putus. Meskipun demikian, kalau tenaga dalamnya belum pulih tentu sukar untuk membukanya. Sebelum ini, sedikit mengerahkan tenaga saja langsung terasa menyakitkan dan bisa membuatnya pingsan.

Selama dua hari ini ia telah membuyarkan hawa murni liar di dalam tubuhnya. Berbagai macam hawa murni yang berasal dari Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie telah ia salurkan ke dalam Pembuluh Ren, sehingga kini berubah menjadi tenaga yang dapat ia gunakan. Selain itu, saat mengerahkan tenaga juga sudah tidak terasa sakit lagi, dan darah di rongga dada tidak lagi bergolak.

Selanjutnya ia pun meraba borgol besi di pergelangan kiri, ternyata sudah retak seukuran rambut. Sebelum ini ia telah beberapa kali meraba borgol besi tersebut dan mengetahui adanya retakan tipis tersebut, namun sama sekali tidak menghiraukannya. Kini, ia pun mengerahkan tenaga dan berhasil membuka borgol besi tersebut.

Pada borgol di bagian kaki kiri dan kanan juga telah retak seukuran rambut. Satu per satu ia membuka borgol tersebut. Kini, ia telah terbebas dari keempat belenggu rantai baja, namun membuatnya kelelahan dan bermandi keringat. Sambil beristirahat ia bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa setiap borgol besi sudah terputus? Belenggu yang sudah terputus macam ini apakah bisa untuk menahan orang?”

Hari berikutnya ketika si pelayan tua datang mengantar makanan, Linghu Chong memanfaatkan sinar pelita untuk melihat bagian yang terputus dari borgol-borgol besi itu. Hal ini membuatnya bertambah heran, karena bagian yang terputus itu seperti dipotong menggunakan gergaji yang sangat halus. Tidak hanya itu, bagian yang putus juga tampak mengkilap dan tidak kusam sama sekali, pertanda baru saja digergaji orang. Anehnya, mengapa borgol yang sudah digergaji putus itu bisa terkatup kembali dan membelenggu semua tangan dan kakinya?

“Jangan-jangan … jangan-jangan ada orang yang diam-diam berusaha menolongku. Penjara bawah danau ini tersembunyi rapat, mana mungkin diketahui orang luar? Sepertinya si penolong itu adalah orang Wisma Mei Zhuang sendiri yang tidak menyukai aku diperlakukan seperti ini. Mungkin sekali dia masuk diam-diam saat aku pingsan dan menggergaji keempat borgol besi ini sampai putus menggunakan semacam kawat baja. Karena tidak ingin bermusuhan dengan penghuni Wisma Mei Zhuang lainnya, ia berniat membebaskanku jika mendapatkan waktu luang dan kesempatan yang bagus.”

Berpikir sampai di sini membuat Linghu Chong bersemangat. “Pintu masuk lorong bawah tanah menuju ke penjara ini berada di bawah tempat tidur Huang Zhonggong. Jika Huang Zhonggong bermaksud menolongku tentu ia dapat melakukannya setiap waktu dan tidak perlu menunda selama ini. Heibaizi jelas tidak mungkin. Tinggal Tubiweng dan Danqingsheng saja. Di antara mereka berdua, Danqingsheng memiliki kecintaan terhadap arak sama seperti diriku. Hubunganku dengannya terasa begitu akrab. Kemungkinan besar orang yang berusaha hendak menolongku adalah Danqingsheng itu.”

Kemudian ia berpikir bagaimana caranya untuk melayani kedatangan Heibaizi besok. “Aku akan berpura-pura mengabulkan permintaannya. Aku akan bicara sesuka hati saja, menipu dia supaya mendapatkan makanan enak. Kemudian aku mengajarkan ilmu palsu kepadanya supaya ia tertipu. Hahaha, tentunya sangat lucu!”

Tak lama kemudian ia kembali berpikir, “Danqingsheng bisa datang kapan saja untuk membebaskanku. Aku harus cepat-cepat menghafalkan rumus di lempengan dipan besi ini.” Ia lantas meraba-raba lagi tulisan-tulisan tersebut dan membacanya keras-keras untuk menghafalkannya.

Tadinya tulisan-tulisan itu tidaklah menarik perhatiannya. Sekarang ketika ia bersungguh-sungguh ingin menghafalkannya luar kepala ternyata juga bukan sesuatu yang mudah baginya. Tulisan di atas dipan besi itu menggunakan gaya caoshu. Karena pendidikannya yang rendah, ia kesulitan membaca beberapa bagian sehingga terpaksa menghafalkan bentuk goresan huruf-hurufnya saja, lalu menggunakan huruf lain yang mirip sebagai gantinya. Ia berpikir dalam mempelajari suatu ilmu sakti, keliru satu huruf saja bisa menentukan keberhasilan atau kegagalan, juga mungkin bisa membuatnya tersesat sehingga akibat yang ditimbulkan sukar dibayangkan.

Maka itu, ia pun berusaha entah bagaimana caranya untuk menghafalkan tulisan tersebut huruf demi huruf, sehingga kelak jika sudah berhasil lolos bisa dipelajari lagi di luar sana. Ia khawatir jika melupakan satu huruf saja tentu tak dapat mengulangi membaca lagi jika sudah keluar dari tempat neraka ini. Sebab itulah ia pun membaca rumusan tersebut berulang kali. Setelah bisa menghafalkan semuanya di luar kepala, baik itu dari depan ke belakang ataupun dari belakang ke depan, barulah ia bisa tidur dengan tenang.

Dalam mimpi terlihat Danqingsheng datang membukakan pintu penjara. Linghu Chong terkejut dan bangun dari tidur. Kini ia sadar kalau itu hanyalah impian kosong belaka. Namun demikian ia tidak putus asa. “Hari ini tidak datang mungkin karena belum ada kesempatan baik. Tidak lama lagi tentu Danqingsheng akan datang menolongku.”

Kemudian ia memikirkan hal lain, “Tulisan ini sangat bermanfaat untukku, tapi berbahaya untuk orang lain. Jika kelak ada orang lain yang jatuh ke dalam perangkap Empat Sekawan Jiangnan dan dikurung di sini, tentu aku tidak rela kalau dia sampai termakan tipu muslihat Ren Woxing ini.” Maka, ia lantas menghafalkan kembali tulisan itu dari awal sampai akhir sebanyak sepuluh kali, baru kemudian mengambil borgol besi untuk menggosok belasan huruf hingga terhapus.

Hari itu Heibaizi ternyata tidak datang. Namun Linghu Chong sendiri tidak ambil pusing. Ia meneruskan latihannya berdasarkan uraian ilmu tersebut. Beberapa hari selanjutnya Heibaizi tetap tidak muncul. Di lain pihak, Linghu Chong merasa latihannya sudah mencapai banyak kemajuan. Hawa murni yang berasal dari Enam Dewa Lembah Persik serta Biksu Bujie sudah tujuh puluh atau delapan puluh persen didesak keluar dari Dantian dan disalurkan melalui Pembuluh Ren, Du, dan juga melalui Yang Wei, Yin Wei, Yin Qiao, sampai ke Pembuluh Chong, Dai, dan lainnya. Meskipun membuyarkan tenaga melalui Pembuluh Dai dan Chong termasuk sulit, namun untungnya dalam rumusan tersebut terdapat penjelasan tambahan. Linghu Chong yang sebelumnya sudah mempelajari ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan, membuatnya sudah cukup akrab dengan teknik menyalurkan tenaga semacam itu. Ia yakin kalaupun belum bisa memusnahkan semua hawa murni liar di dalam tubuhnya, namun jika terus menerus berusaha dan berlatih, pasti akan memperoleh keberhasilan.

Setiap hari ia menghafalkan tulisan tersebut sebanyak belasan kali, kemudian menghapus belasan huruf pada lempengan dipan besi tersebut. Ia merasakan semakin hari tenaganya semakin kuat, terlihat dari bagaimana ia menggosok huruf-huruf tersebut. Untuk menggosok tulisan itu sampai hilang ternyata tidak terlalu susah, berbeda dengan saat pertama menggosok beberapa hari yang lalu.

Jika dihiting sudah sebulan lebih ia berlatih. Meskipun berada di bawah tanah, namun hawa musim panas sudah mulai berkurang. Ia pun berpikir, “Rupanya ini sudah suratan Langit. Jika aku terkurung di sini pada musim dingin pasti tulisan di atas dipan besi ini tidak akan kutemukan. Bisa jadi sebelum tiba musim panas Danqingsheng sudah berhasil menolongku keluar dari sini.”

Berpikir sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki Heibaizi dari arah lorong. Linghu Chong yang sedang berbaring di atas dipan besi, segera membalik tubuh perlahan-lahan sehingga kini tubuhnya miring menghadap ke dinding bagian dalam.

Terdengar Heibaizi sudah sampai di depan pintu, lalu berkata, “Tuan Ren … Tuan Ren, mohon sudi memaafkan. Selama sebulan lebih Kakak Pertama tidak pernah keluar kamar sehingga saya sangat gelisah dan tidak dapat datang kemari untuk menjenguk Tuan. Untuk ini harap Tuan Ren janganlah marah.”

Bersamaan itu tercium pula bau harum arak dan sedapnya ayam panggang dari lubang pintu.

Sudah sekian lama bibir Linghu Chong tidak merasakan setetes arak pun. Maka begitu mengendus bau arak tersebut, ia tidak dapat menahan diri lagi dan segera membalik tubuh. “Berikan dulu arak dan makanannya,” katanya kemudian.

“Baiklah,” sahut Heibaizi cepat. “Jadi Tuan sudah menyanggupi akan mengajarkan rahasia ilmu sakti itu kepadaku?”

Linghu Chong menjawab, “Begini, setiap kali kau mengantar kemari tiga kati arak dan seekor ayam panggang, maka aku akan mengajarkan empat kalimat rumus tenaga dalamku kepadamu. Bila aku sudah menghabiskan tiga ribu kati arak dan seribu ekor ayam, maka rahasia tenaga dalamku yang kuajarkan kepadamu kira-kira sudah cukup pula.”

Heibaizi menyahut, “Kalau caranya seperti ini bisa memakan waktu lama dan mungkin sekali terjadi hal yang tidak diinginkan. Biarlah setiap kali kemari akan saya antarkan enam kati arak dan dua ekor ayam, lalu Tuan mengajarkan delapan kalimat, bagaimana?”

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Begitu juga boleh. Berikan kepadaku sekarang!”

Heibaizi segera menyodorkan sebuah nampan kayu melalui lubang persegi di daun pintu. Benar juga, di atas nampan itu terdapat satu poci besar arak dan seekor ayam panggang gemuk.

Linghu Chong menyentuh nampan sambil berpikir, “Sebelum aku mengajarkan ilmu rahasia itu kepadamu, rasanya tidak mungkin kalau kau sampai meracuniku.” Tanpa membuang waktu lagi ia lantas mengangkat poci arak itu dan langsung menuangkan isinya ke dalam mulut.

Rasa arak itu sebenarnya tidak terlalu enak, tapi bagi Linghu Chong saat ini terasa begitu nikmat. Bahkan, arak anggur milik Danqingsheng yang telah mengalami empat kali peragian dan penyulingan juga rasanya tidak seenak ini. Dalam sekali menghirup napas, ia langsung menghabiskan setengah isi poci, lalu menarik sebelah paha ayam panggang dan memakannya dengan lahap. Hanya dalam waktu sebentar saja seluruh isi poci arak dan segenap ayam panggang telah disapu bersih olehnya. Sambil menepuk-nepuk perut ia kemudian berkata, “Arak sedap! Ayam lezat! Hmmm ….”

Terdengar Heibaizi berkata sambil tertawa, “Tuan sudah kenyang makan ayam enak dan minum arak lezat. Sekarang mohon Tuan mengajarkan ilmu rahasia itu kepada saya.” Sekarang ia tidak lagi menyinggung tentang mengangkat guru segala, karena mengira sehabis makan minum tentu Linghu Chong sudah lupa akan hal itu.

Linghu Chong sendiri juga sengaja tidak menyinggung soal itu. Ia hanya berkata, “Baiklah, beberapa kalimat rahasia ini hendaknya kau ingat-ingat dengan baik, ‘Di antara nadi Qi dan delapan pembuluh, terdapat tenaga dalam. Himpunlah di dalam Dantian, salurkan ke dalam Shanzong.’, Apa kau paham?”

Sebenarnya kalimat asli yang terukir pada dipan besi berbunyi, “Tenaga dalam di Dantian buyarkanlah melalui keempat anggota badan, Qi di Shanzong, sebarkanlah melalui kedelapan pembuluh.” Linghu Chong sengaja membolak-balik susunan kalimat tersebut. Namun ketika Heibaizi mendengarnya, ia justru merasa keempat kalimat ini biasa-biasa saja dan tidak memiliki sesuatu yang istimewa, karena merupakan rumus umum tentang cara berlatih tenaga dalam.

Heibaizi merasa tidak puas, dan menjawab, “Keempat kalimat ini telah saya pahami. Mohon Tuan sudi mengajarkan empat kalimat selanjutnya.”

Linghu Chong berpikir, “Keempat kalimat tadi sudah kuubah dari yang sebenarnya, sehingga menjadi kalimat yang biasa saja. Kalau begitu, akan kubacakan empat kalimat lagi yang sangat aneh supaya dia ketakutan.” Ia kemudian berkata, “Baiklah, karena ini hari pertama, maka akan kubacakan empat kalimat lagi. ‘Pecahkan Yangwei, sumbatlah Yinqiao. Begitu nadi Qi dan kedelapan pembuluh putus, maka kau berhasil menguasai ilmu sakti.’ Bagaimana?”

Heibaizi sangat terkejut mendengarnya. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Ini … ini … kalau nadi Qi dan kedelapan pembuluh putus, bagaimana saya … bisa tetap hidup? Keempat kalimat ini saya benar-benar tidak dapat memahaminya.”

“Sudah tentu kau tidak paham,” sahut Linghu Chong. “Ilmu sakti semacam ini kalau dapat dipahami begitu saja, mana bisa disebut ilmu sakti? Tentu saja di dalamnya tersimpan sesuatu yang istimewa dan tidak mudah dipahami orang biasa.”

Sampai di sini Heibaizi merasa nada bicara dan perkataan Linghu Chong semakin berbeda dibanding orang bermarga Ren. Mau tidak mau di hatinya timbul rasa curiga.

Maklum saja, pada pertemuan yang sudah-sudah Linghu Chong sangat sedikit membuka suara, dengan ucapan dibuat serak dan samar-samar pula. Namun sekarang, sehabis makan lezat dan minum enak, semangatnya berkobar-kobar dan bicaranya menjadi banyak. Pada dasarnya Heibaizi sangat waspada dan selalu berjaga-jaga. Namun ia sama sekali tidak menyangka bahwa orang yang berada di dalam penjara itu bukan lagi si marga Ren. Ia hanya mengira si marga Ren sengaja membolak-balik kalimat tadi untuk mempermainkan dirinya. Maka, ia pun bertanya, “Tuan Ren tadi berkata, ‘Begitu nadi Qi dan kedelapan pembuluh putus, maka kau berhasil menguasai ilmu sakti.’ Apakah Tuan sendiri sudah melakukannya?”

“Tentu saja!” jawab Linghu Chong. Ia tidak berani menjawab panjang lebar karena menyadari bahwa Heibaizi telah mencurigainya. Sejenak kemudian ia menambahkan, “Nanti setelah kau menerima semua pelajaran dariku dan tuntas berlatih, maka kau akan paham dengan sendirinya.”

Usai berkata demikian ia pun meletakkan kembali poci arak tadi di atas nampan dan mendorongnya keluar melalui lubang persegi. Ketika Heibaizi hendak menerima nampan itu, tiba-tiba Linghu Chong menjerit, “Aih!” kemudian badannya sempoyongan ke depan dan kepalanya membentur pintu besi sampai menimbulkan suara nyaring. Tanpa sadar, nampan pun ikut tertarik masuk kembali.

“Hei, ada apa?” tanya Heibaizi. Sebagai seorang ahli silat berilmu tinggi, sudah tentu ia memiliki reaksi yang sangat cepat. Tangan kanannya segera menjulur masuk ke dalam lubang persegi untuk menangkap nampan agar poci arak di atasnya supaya tidak sampai terjatuh dan pecah.

Pada detik itulah Linghu Chong menggerakkan tangan kirinya dan dengan tepat mencengkeram pergelangan tangan kanan Heibaizi. Sambil tertawa ia berkata, “Heibaizi, coba kau perhatikan siapa aku ini?”

Heibaizi terkejut bukan main. Nampan yang masih dipegang olehnya lantas terlepas lagi. Dengan nada gemetar ia berseru, “Kau … kau ….”

Tadi ketika Linghu Chong mendorong nampan melewati lubang persegi, ia sempat melihat tangan Heibaizi bergerak menyambut dengan diterangi cahaya pelita. Pada saat itulah timbul suatu niat di dalam hati yang sulit untuk dikendalikan. Ia menduga Heibaizi adalah biang keladi yang telah mengatur segala perangkap sehingga dirinya terkurung sekian lamanya di dalam penjara gelap ini. Andaikan ia dapat menarik dan mematahkan lengan orang itu, tentu sakit hatinya bisa sedikit terobati. Ia juga berpikir bahwa cara demikian tentu dapat digunakan untuk menggertak Heibaizi. Orang yang licik seperti Heibaizi rasanya wajar kalau digertak dan ditakut-takuti, demikian ia berpikir. Ia sendiri tidak tahu apakah perbuatannya menarik tangan Heibaizi itu didorong oleh perasaan ingin balas dendam, ataukah hanya sekedar sifat kekanak-kanakannya yang sedang kambuh.

Maka ketika mengembalikan nampan tadi, Linghu Chong pun berpura-pura sempoyongan dan jatuh membentur pintu besi untuk memancing Heibaizi supaya menjulurkan tangannya masuk melalui lubang persegi. Ternyata siasatnya itu berjalan sesuai harapan. Kini tangannya telah mencengkeram pergelangan lengan Heibaizi tersebut.

Sebenarnya Heibaizi sangat cerdik dan waspada. Namun kejadian kali ini sama sekali tidak terduga olehnya dan tidak ada tanda-tanda mencurigakan sebelumnya. Dalam waktu yang sangat cepat tahu-tahu pergelangan tangannya sudah tertangkap. Ia merasa tangan lawan bagaikan belenggu besi yang mencengkeram titik Neiguan dan Weiguan pada pergelangan kanannya dengan sangat kuat. Tanpa pikir lagi ia segera memutar tangannya untuk membebaskan diri. Bersamaan itu terdengar pula suara berdentang sangat nyaring. Menyusul kemudian terdengar suara jari kaki patah dan Heibaizi menjerit kesakitan.

Ternyata Heibaizi baru saja melancarkan Jurus Naga Muncul dari Telaga. Jurus ini adalah jurus simpanan yang hanya digunakan apabila tangannya ditangkap musuh. Begitu pihak lawan mengunci tangannya, maka kaki kirinya akan langsung menendang secepat kilat. Tendangan ini sangat dahsyat dan bisa membuat musuh seketika muntah darah di tempat. Apabila pihak lawan seorang ahli silat papan atas, tentu akan segera melepaskan cengeramannya, karena hanya itu satu-satunya cara untuk menghindar dari tendangan Heibaizi.

Akan tetapi, Heibaizi terlalu tergesa-gesa ingin membebaskan diri sehingga lupa bahwa di antara mereka masih terdapat sebuah pintu besi yang sangat tebal. Jurus Naga Muncul dari Telaga telah dilancarkannya dengan sempurna disertai tenaga yang sangat kuat, namun tiga jari kakinya sendiri yang justru patah karena yang ia tendang ternyata sebuah pintu besi.

Ketika mendengar suara benturan keras tadi, Linghu Chong segera menyadari bahwa dirinya telah diselamatkan oleh pintu besi tebal dari tendangan keras Heibaizi. Ia tak kuasa menahan tawa, lalu berkata “Tendanglah sekali lagi! Kau harus menendang sama kerasnya seperti tadi, baru akan kulepaskan tanganmu!”

Tiba-tiba Heibaizi merasa tenaga dalamnya mengalir keluar melalui titik Neiguan dan Weiguan pada pergelangan kanannya. Ia langsung teringat kepada suatu hal yang paling ditakutinya seumur hidup. Semangatnya langsung runtuh dan nyalinya terbang ke langit. Sekuat tenaga ia menahan napas sambil kemudian berbicara dengan nada iba, “Tuan … Tuan Ren, mohon … mohon ….” Begitu membuka suara, tenaga dalamnya justru lebih cepat membanjir keluar. Terpaksa ia menutup mulut dan tidak berani bicara lagi. Namun demikian tenaga dalam masih tetap mengalir tak tertahankan.

Setelah berlatih ilmu rahasia yang terukir di atas dipan besi, titik Dantian di bawah perut Linghu Chong telah terkuras habis, bagaikan kotak kosong yang minta diisi. Sekarang ia merasakan adanya hawa murni yang terus-menerus mengalir masuk ke dalam perutnya, namun hal ini tidak ia hiraukan. Yang ia rasakan hanyalah tangan Heibaizi gemetar seperti ketakutan. Karena hatinya masih kesal, ia sengaja ingin terus menggertak dan menakut-nakuti. “Aku sudah mengajarkan ilmu sakti kepadamu, maka kau sudah menjadi muridku. Kau berani menipu dan mengkhianati gurumu, lantas hukuman apa yang setimpal untuk dosamu ini?”

Heibaizi sendiri merasa tenaga dalamnya semakin cepat mengalir keluar. Kalau ia menahan napas, ia dapat untuk sementara menghentikan aliran tersebut. Namun ketika dadanya terasa sesak, ia kembali menghirup dan menghembuskan napas, sehingga tenaganya kembali membanjir keluar dengan deras. Kini ia sudah melupakan sakit di kakinya, dan yang ia harapkan hanyalah lekas bisa melepaskan tangan dari lubang persegi itu. Andaikan lengan kanan itu harus dipotong juga ia rela. Berpikir demikian segera tangan kirinya melolos pedang yang terselip di pinggang.

Akibat bergerak sedikit saja justru membuat titik Neiguan dan Weiguan di pergelangan kanannya terbuka lebar bagaikan tanggul yang jebol. Tenaga dalamnya justru semakin deras membanjir keluar seperti air bah dan sukar dibendung lagi.

Heibaizi sadar bahwa tidak lama lagi seluruh tenaga dalamnya akan tersedot habis oleh lawan. Maka ia pun memaksakan diri untuk menghunus pedang tersebut. Ketika tangan kirinya bergerak, lagi-lagi tenaga dalamnya semakin deras membanjir keluar. Kali ini telinganya sampai mendengung keras, dan ia pun jatuh pingsan tak sadarkan diri.

Linghu Chong merasa heran. Tujuannya mencengkeram lengan Heibaizi sebenarnya hanya untuk menakut-nakuti saja, paling banyak ia ingin mematahkan lengan itu demi melampiaskan rasa kesalnya. Tak disangka Heibaizi benar-benar ketakutan sampai jatuh pingsan. Linghu Chong pun bergelak tawa terbahak-bahak dan melepaskan cengkeramannya. Seketika tubuh Heibaizi yang lemas itu terkulai ke bawah dan lengannya perlahan-lahan meninggalkan lubang persegi.

Sekilas terlintas pikiran pada benak Linghu Chong. Buru-buru ia kembali menangkap tangan Heibaizi. Untung saja gerakannya cukup cepat sehingga masih sempat menyambar tangan orang itu tepat pada waktunya. “Kenapa aku tidak membelenggu dia di sini saja, dan memaksa Huang Zhonggong membebaskanku?”

Setelah berpikir demikian ia pun menarik tangan Heibaizi melewati lubang persegi. Di luar dugaan ternyata saat ini tenaganya bertambah kuat luar biasa. Dalam sekali tarik bukan hanya tangan yang mendekat, bahkan kepala Heibaizi ikut menerobos masuk melalui lubang persegi tersebut. Setelah menghela napas satu kali, Linghu Chong melanjutkan tarikannya dan tahu-tahu seluruh tubuh Heibaizi sudah masuk ke dalam kamar penjara dan terkulai di lantai.

Hal ini benar-benar tidak pernah dibayangkan oleh Linghu Chong. Untuk beberapa saat ia terkesima, kemudian memaki-maki kebodohan diri sendiri. Seharusnya sejak dulu ia menyadari bahwa lubang persegi itu lebarnya sekitar tiga puluh senti. Asalkan kepala bisa masuk maka dengan sendirinya badan pun bisa dipaksa masuk. Jika tubuh Heibaizi saja bisa menerobos masuk, sudah seharusnya dirinya pun bisa. Tadinya memang semua tangan dan kakinya terbelenggu oleh borgol rantai sehingga sukar untuk meloloskan diri. Namun kini borgol besi sudah digergaji oleh seseorang, bukankah ini kesempatan untuk melarikan diri?

Ia kemudian berpikir mengapa Danqingsheng diam-diam menggergaji semua borgol besi yang membelenggunya, tentu supaya ia bisa melarikan diri bersama si pelayan tua saat mengantar makanan. Ia membayangkan setiap hari Danqingsheng pasti berharap-harap cemas menantikan keberhasilannya untuk kabur. Namun saat pertama kali menyadari belenggu itu sudah digergaji putus, ia sendiri sedang sibuk berlatih cara membuyarkan tenaga dalam. Ia juga tidak ingin meninggalkan kamar penjara sebelum menghafal semua rumus ilmu rahasia di atas dipan, sehingga di dalam benaknya sama sekali tidak terlintas pikiran untuk melarikan diri.

Setelah menggumam sendiri ia kemudian mengambil keputusan. Segera pakaian Heibaizi pun dilucuti untuk ditukar dengan pakaiannya sendiri. Bahkan kedok yang dipakai Heibaizi juga ia kenakan untuk menutupi wajah. “Nanti jika aku keluar dari sini, dan ada orang yang melihatku, tentu aku akan dikira Heibaizi,” pikirnya.

Ia kemudian menggantungkan pedang Heibaizi di pinggang. Begitu memegang senjata kesukaannya itu, seketika semangatnya pun berkobar. Terakhir ia membelenggu semua tangan dan kaki Heibaizi menggunakan borgol besi. Tenaganya begitu kuat saat menggencet borgol besi tersebut sehingga merapat dan menembus daging Heibaizi. Karena terkejut Heibaizi sampai siuman dari pingsan dan merintih kesakitan.

Linghu Chong tertawa dan berkata, “Sekarang kita bertukar tempat. Jangan khawatir kelaparan karena besok si pelayan tua akan datang mengantar makanan untukmu.”

“Tuan Ren … Tuan Ren,” kata Heibaizi meratap, “Jurus Penyedot … Jurus Penyedot Bintang milikmu ….”

Linghu Chong teringat sewaktu membantu Xiang Wentian menghadapi kepungan banyak orang di tepi jurang, salah seorang berteriak tentang “Jurus Penyedot Bintang”. Kini ia kembali mendengar nama ilmu itu disebut, sehingga membuatnya terkejut dan bertanya, “Jurus Penyedot Bintang apa?”

“Aku … aku memang pantas mati ….” jawab Heibaizi.

Karena ingin lekas-lekas meloloskan diri, Linghu Chong tidak peduli lagi kepadanya. Segera ia menjulurkan kepalanya menerobos lubang persegi, kemudian kedua tangannya merambat pula ke luar. Dengan sekali tekan, tubuhnya pun melesat melewati lubang tersebut dan mendarat tegak di atas tanah. Karena di dalam Dantian sekarang terkumpul tenaga dalam yang ia hisap dari Heibaizi membuat perutnya terasa tidak nyaman. Ia mengira hawa murni liar milik Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie kembali datang mengganggunya karena lama tidak berlatih. Namun sementara ini yang ia pikirkan hanyalah meninggalkan penjara bawah danau itu secepat mungkin. Maka, ia segera mengambil pelita minyak milik Heibaizi untuk kemudian menyusuri lorong bawah tanah yang panjang dan gelap itu.

Ternyata pintu-pintu lorong yang berlapis-lapis dalam keadaan tidak terkunci karena telah digunakan masuk oleh Heibaizi tadi. Mungkin Heibaizi berniat menguncinya saat perjalanan keluar. Oleh sebab itu, perjalanan Linghu Chong untuk kabur menjadi semakin lancar dan tidak perlu bersusah payah. Saat melewati pintu-pintu tersebut, pikirannya kembali terkenang saat berada di dalam penjara gelap yang membuatnya seperti terpisah dari dunia nyata. Kini benci dan dendam kepada Huang Zhonggong seperti lenyap dari hatinya, dan yang ia pikirkan hanyalah kebebasan saja.

Sesampainya di ujung lorong, perlahan-lahan ia mendaki tangga undak-undakan. Kepalanya lantas menyentuh sebuah lempengan besi yang tembus ke kamar tidur Huang Zhonggong. Ia berusaha mendengar dengan seksama, namun tak ada suara apa-apa. Pengalaman terkurung di dalam penjara sekian lama membuat pikirannya bertambah cerdik dan waspada. Ia tidak langsung menerjang ke atas, namun hanya berdiri di situ untuk beberapa lama. Setelah yakin tidak mendengar suara apa-apa dan menyimpulkan bahwa Huang Zhonggong sedang tidak berada di dalam kamarnya, barulah ia mendorong papan besi itu perlahan-lahan, dan kemudian meloncat ke atas melewati lubang ranjang.

Setelah menutup kembali papan besi itu di tempatnya dan menggelar tikar di atas tempat tidur, dengan berjingkat-jingkat ia melangkah hendak keluar kamar. Tapi mendadak terdengar suara seseorang di belakangnya berkata dengan nada dingin, “Adik Kedua, apa yang kau lakukan di bawah sana?”

Linghu Chong terkejut dan segera menoleh, ternyata Huang Zhonggong, Tubiweng, dan Danqingsheng sudah mengepung dengan senjata terhunus. Ia tidak tahu kalau lempengan besi pada lubang ranjang tadi terhubung dengan sebuah alat rahasia yang bisa mengeluarkan bunyi tanda bahaya apabila ada seseorang secara gegabah menerobos keluar. Bunyi tersebut membuat Huang Zhonggong bertiga serentak memasuki kamar. Namun karena memakai kerudung dan pakaian Heibaizi membuat ketiga orang itu tidak mengenalinya.

Linghu Chong yang terkejut hanya bisa berkata, “Aku … aku ….”

“Aku apa?” sahut Huang Zhonggong dingin. “Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Sudah kuduga kau pasti memohon agar Ren Woxing mengajarkan Jurus Penyedot Bintang kepadamu. Hm, apakah kau sudah lupa kepada sumpah yang pernah kau ucapkan dulu?”

Pikiran Linghu Chong menjadi kacau. Ia bingung harus memperlihatkan wajah aslinya atau tetap menyamar sebagai Heibaizi. Dalam keadaan serbasalah ia pun melolos pedang di pinggangnya untuk kemudian menusuk ke arah Tubiweng.

“Kakak Kedua yang baik, kau sungguh-sungguh ingin berkelahi dengan kami, ya?” seru Tubiweng gusar. Bersama itu ia mengayunkan pena kuasnya untuk menangkis.

Tak disangka serangan Linghu Chong itu hanyalah tipuan belaka. Begitu pihak lawan hendak menangkis, secepat kilat ia pun berlari keluar. Sudah tentu Huang Zhonggong bertiga tidak tinggal diam. Serentak mereka pun mengejar.

Linghu Chong berlari sekuat tenaga. Langkah kakinya begitu cepat, tahu-tahu sudah sampai di aula depan. Terdengar Huang Zhonggong berteriak di belakangnya, “Adik Kedua, kau hendak lari ke mana?”

Linghu Chong tidak peduli. Ia tetap berlari sekencang-kencangnya. Mendadak terlihat seseorang menghadang di tengah pintu sambil berseru, “Majikan Kedua, mohon berhenti!”

Saat itu Linghu Chong sedang berlari dengan cepat sehingga tidak sempat menghentikan langkahnya. Tanpa ampun, orang itu pun tertabrak begitu keras, sampai-sampai tubuhnya terpental keluar dan terbanting beberapa meter jauhnya.

Sekilas Linghu Chong memandang ke arahnya. Ternyata orang yang baru saja ditabraknya itu adalah Ding Jian, Si Pedang Kilat Satu Kata. Mungkin keadaannya begitu parah sehingga Ding Jian terlihat tidak mampu berkutik lagi. Ini benar-benar sesuai dengan julukannya, yaitu “Satu Kata”; bukan masalah ilmu pedang tetapi masalah bentuk tubuhnya yang terlentang di tanah seperti huruf “zi”.

Linghu Chong terus berlari tanpa berhenti menuju ke sebuah jalan kecil. Huang Zhonggong bertiga hanya mengejar sampai di depan gerbang wisma lalu menghentikan langkah mereka. Danqingsheng berseru, “Kakak Kedua, Kakak Kedua, kembalilah! Semua bisa dibicarakan baik-baik antara kita, kaka-beradik ….”

Dengan terus berlari melewati jalan-jalan sepi, Linghu Chong telah sampai di hutan belukar yang sunyi. Sepertinya ia sudah cukup jauh meninggalkan Kota Hangzhou. Ia baru sadar ternyata dirinya sudah berlari sekian lama. Anehnya, meskipun berlari sekencang-kencangnya dan menempuh jarak yang begitu jauh, namun ternyata ia tidak merasa lelah, juga napasnya tidak terengah-engah. Ia merasa tenaganya saat ini begitu kuat, bahkan lebih kuat dibanding sebelum menderita luka.

Saat itu hari sudah malam dan tidak ada orang lain yang melihatnya. Segera ia melepas kedok yang menutupi kepalanya. Kemudian terdengar suara gemercik air. Karena merasa haus, segera didatanginya sumber suara air tersebut. Akhirnya ia pun sampai di tepi sebuah sungai kecil yang sepi, lalu berjongkok untuk meraup air. Di bawah sinar rembulan ia bisa melihat bayangan wajahnya tercermin di permukaan sungai. Rambutnya gondrong acak-acakan, wajah penuh godek dan kumis panjang. Sengguh sangat jelek.

Semula Linghu Chong terkejut, tapi lantas tertawa geli sendiri. Setelah terkurung beberapa bulan di dalam penjara bawah tanah sudah tentu ia tidak pernah mandi dan bercukur. Seketika ia langsung merasa sekujur badan gatal dan risih. Segera ia membuka baju dan terjun ke dalam sungai untuk mandi sepuas-puasnya. Setelah mencuci badan sampai bersih dan minum sekenyang-kenyangnya, ia kemudian bercukur menggunakan pedang. Ketika bercermin lagi ke permukaan air, wajahnya kini telah kembali seperti semula, dan tidak lagi sebagai Feng Erzhong yang berwajah sembab kekuning-kuningan.

Saat berpakaian kembali, mendadak aliran tenaga dalam dan darah pada rongga dada serta perut terasa tidak lancar. Segera ia duduk bersamadi di tepi sungai tadi untuk beberapa waktu sampai tenaga dalam pada Dantian terasa buyar dan tersalurkan melalui nadi Qi dan kedelapan pembuluh. Dantian di bawah perutnya kini menjadi seperti ruang kosong di dalam batang bambu atau seperti lembah yang kosong, dan sekujur tubuhnya terasa penuh tenaga, bebas merdeka tanpa batas.

Linghu Chong masih tidak sadar bahwa dirinya telah menguasai semacam ilmu sakti paling hebat di dunia. Hawa murni Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie, ditambah dengan tenaga dalam yang disalurkan Biksu Fangsheng di Biara Shaolin, semua telah ia salurkan melalui berbagai nadi dan pembuluh, serta dapat ia gunakan seperti tenaga milik sendiri. Di dalam penjara tadi, ia juga telah menghisap seluruh tenaga dalam yang diperoleh Heibaizi seumur hidup, dan menyimpannya di dalam Dantian, lalu disebarkannya ke nadi Qi dan delapan pembuluh. Boleh dikata ia telah menghimpun berbagai tenaga dalam yang berasal dari para jago silat sehingga tidak mengherankan kalau saat ini tubuhnya terasa begitu kuat. Memang pada masa sebelumnya, ia merasa begitu menderita ketika berbagai tenaga tersebut terkumpul di dalam Dantian. Ketika tenaga dikerahkan, semuanya saling berbenturan dan membuat isi perut terasa seperti diiris-iris. Kini setelah mempelajari ilmu rahasia di dalam penjara, ia bisa menyalurkan tenaga-tenaga tersebut ke dalam berbagai nadi dan pembuluh sehingga berstu padu dan menghasilkan kekuatan.

Pemuda itu kemudian melompat dan menghunus pedang, kemudian menebas ranting pohon liu yang tumbuh di tepi sungai. Tangannya hanya sedikit mengungkit, kemudian segera menyarungkan kembali pedangnya disertai suara desiran perlahan. Begitu kakinya mendarat di tanah, ia lantas mendongak ke atas dan melihat lima lembar daun liu melayang turun di udara. Untuk kedua kalinya ia menghunus pedang dan membuat sebuah lingkaran di udara, sehingga dapat menyambut kelima lembar daun itu yang kesemuanya menancap pada ujung pedangnya.

Perlahan tangan kirinya mengambil sehelai daun pada ujung pedang tersebut. Perasaannya heran bercampur senang tak terlukiskan. Untuk sesaat ia berdiri termangu-mangu di tepi sungai. Tiba-tiba perasaan sedih muncul di dalam hatinya. “Ilmu silatku ini bagaimanapun juga tidak mungkin dapat diajarkan oleh Guru atau Ibu Guru. Akan tetapi … sebenarnya aku lebih suka seperti yang dahulu. Ilmu pedang dan tenaga dalamku biasa-biasa saja, namun hidupku bahagia di Gunung Huashan, berdampingan dengan Adik Kecil siang dan malam. Untuk apa hidup sebatang kara luntang-lantung di dunia persilatan seperti saat ini, bagai setan yang menghantui hutan belantara?”

Ia menyadari bahwa ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang sangat tinggi, namun perasaannya justru sedih dan kesepian. Pada dasarnya ia memang suka keramaian, bergaul dengan teman-teman, juga gemar minum arak. Selama terkurung di dalam penjara bawah danau, rasanya sungguh sunyi dan menderita. Saat ini ia telah meloloskan diri namun mengapa masih kesepian juga? Berdiri termangu-mangu seorang diri di tepi sungai membuat perasaan senangnya luntur sedikit demi sedikit. Angin malam sepoi-sepoi membelai tubuhnya. Rembulan yang terlihat diam tak peduli membuat perasaan duka di hatinya bertambah dalam tiada batas.

Linghu Chong berdiri tanpa suara untuk waktu yang cukup lama. Saat itu rembulan telah berada di tengah angkasa. Berbagai pikiran tiba-tiba berkecamuk di dalam benaknya, terutama segala kejadian yang telah ia alami di dalam Wisma Meizhuang. “Kenapa sesepuh bermarga Ren itu dikurung di sana? Ah, kalau dia bukan orang yang sangat jahat, maka aku akan menolongnya untuk meloloskan diri.”

Setelah mengambil keputusan demikian, ia pun berjalan kembali menuju ke Wisma Meizhuang. Setelah berjalan menuruni lereng bukit dan menembus hutan, ia akhirnya sampai di wisma tersebut. Suasana di sana terdengar sunyi senyap tanpa suara apa pun. Dengan sangat enteng ia melompati pagar tembok yang mengelilingi wisma. Belasan ruangan yang berada di dalamnya terlihat sunyi dan gelap gulita, kecuali sebuah ruangan di sebelah kanan yang nampak terang oleh cahaya lentera. Perlahan-lahan ia pun melangkah mendekati jendela ruangan tersebut.

“Huang Zhonggong, apa kau tahu kesalahanmu?” tiba-tiba terdengar suara seorang tua membentak lantang. Suaranya terdengar sangat tegas.

Linghu Chong terheran-heran. Huang Zhonggong adalah majikan Wisma Meizhuang yang berkedudukan paling tinggi, namun ternyata ada orang yang berani bicara membentak-bentak seperti itu kepadanya. Dengan sangat berhati-hati Linghu Chong pun membungkuk dan mengintip melalui celah-celah jendela.

Di dalam ruangan terlihat empat orang duduk di kursi. Tiga di ataranya adalah laki-laki tua berusia lima puluh atau enam puluhan tahun, dan seorang lagi adalah wanita setengah baya. Mereka mengenakan pakaian hitam dengan ikat pinggang berwarna kuning, mengingatkan kepada pakaian para tetua Sekte Iblis. Di hadapan mereka tampak Huang Zhonggong, Tubiweng, dan Danqingsheng berdiri dengan tubuh membelakangi jendela sehingga raut wajah mereka tidak terlihat oleh Linghu Chong. Meskipun demikian, dari pemandangan tersebut sudah dapat disimpulkan kelompok mana yang berkedudukan lebih tinggi, mana yang lebih rendah.

Terdengar Huang Zhonggong menjawab sopan, “Hamba mengaku salah. Keempat Tetua telah jauh-jauh datang kemari, sedangkan hamba tidak mengadakan penyambutan semestinya. Hamba benar-benar berdosa, hamba benar-benar berdosa.”

“Huh, dosa macam apa pula tidak mengadakan penyambutan saja?” sahut seorang tetua bertubuh tinggi kurus dengan nada sinis. “Kau jangan berlagak bodoh lagi! Di mana Heibaizi? Mengapa dia tidak keluar menghadap kami?”

Diam-diam Linghu Chong merasa geli. Ia pun berpikir, “Aku mengurung Heibaizi di dalam penjara, tapi Huang Zhonggong bertiga mengira dia sudah melarikan diri.” Setelah termenung sejenak, ia melanjutkan, “Mengapa ada sebutan ‘tetua’ dan ‘hamba’? Ah, aku tahu sekarang. Mereka semua adalah anggota Sekte Iblis.”

Huang Zhonggong menjawab, “Lapor kepada para Tetua, hamba tidak tegas dalam menegakkan disiplin. Sifat Heibaizi akhir-akhir ini telah mengalami banyak perubahan. Hari ini dia telah meninggalkan wisma.”

“Dia tidak di sini?” sahut tetua tadi menegas.

“Benar,” jawab Huang Zhonggong.

Tetua kurus itu memandang dengan sorot mata yang tajam dan berkilat-kilat, lalu berkata, “Huang Zhonggong, apakah Ketua menugasi kalian menjaga Wisma Meizhuang ini supaya kalian memetik kecapi, minum arak, melukis, dan bermain-main saja?”

Huang Zhonggong membungkuk sambil berkata, “Hamba berempat menerima titah dari Ketua untuk mengawasi seorang penjahat besar di sini.”

“Betul sekali,” kata si tetua kurus. “Lalu bagaimana keadaan penjahat besar yang kalian awasi itu?”

“Lapor pada Tetua, penjahat besar itu saat ini ada di dalam penjara bawah danau,” jawab Huang Zhonggong. “Selama dua belas tahun kami berempat tidak pernah meninggalkan Wisma Meizhuang ini, dan tidak pernah melalaikan tugas.”

“Bagus sekali, bagus sekali. Kalian tidak pernah meninggalkan wisma, tidak pernah melalaikan tugas, hah?” kata si tetua kurus. “Jika demikian, penjahat besar itu masih terkurung di dalam penjara?”

“Betul,” sahut Huang Zhonggong tegas.

Tetua kurus itu mengangkat kepalanya memandangi langit-langit rumah, tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak. Debu yang menumpuk di langit-langit rumah itu seketika rontok bertaburan. Selang sejenak barulah ia berkata, “Sekarang bawalah penjahat besar itu kemari supaya kami dapat melihatnya.”

“Mohon maaf sebesar-besarnya kepada Tetua,” sahut Huang Zhonggong. “Ketua telah memberi perintah kepada kami, kecuali Ketua sendiri yang datang kemari untuk berkunjung, tidak peduli siapa pun juga dilarang menjenguk penjahat itu. Barangsiapa melanggar ….”

Tetua kurus tadi dengan cepat mengeluarkan sebuah benda dari balik bajunya, kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berdiri. Tiga orang kawannya juga serentak berdiri dengan sikap penuh hormat.

Linghu Chong berusaha mengamati dengan seksama, ternyata benda itu adalah sepotong papan kayu berwarna hitam hangus berukuran belasan senti. Pada papan kayu itu terdapat ukiran-ukiran kembang dan tulisan, namun bentuknya sangat aneh.

Seketika Huang Zhonggong bertiga lantas memberi hormat dan berkata, “Lencana Kayu Hitam milik Ketua telah tiba, bagaikan melihat Ketua yang berkunjung secara pribadi. Hamba siap menerima segala titah dengan penuh hormat.”

Si tetua kurus berkata, “Baiklah, sekarang bawa penjahat besar itu kemari.”

Huang Zhonggong terlihat ragu-ragu, kemudian berkata, “Kaki dan tangan penjahat itu terikat oleh rantai baja pilihan, tidak bisa … tidak bisa dibawa ke sini.”

“Hm, sampai saat ini kau masih berlagak bodoh,” sahut si tetua kurus. “Aku ingin bertanya, sesungguhnya bagaimana penjahat itu bisa kabur dari sini?”

“Penjahat … penjahat itu telah melarikan diri? Ah, mana … mana mungkin?” jawab Huang Zhonggong terperanjat. “Belum lama ini kami melihat dengan mata kepala sendiri orang itu masih terkurung di dalam penjara. Mana mungkin dia melarikan diri?”

Raut muka si tetua kurus berubah menjadi ramah. Ia pun berkata dengan tersenyum hangat, “Jadi kalian melihat sendiri kalau penjahat itu masih ada di dalam penjara? Kalau begitu kami yang salah telah menuduh kalian.” Perlahan-lahan ia bangkit dari kursi dan berjalan ke depan seperti hendak minta maaf. Begitu sudah berdekatan, tiba-tiba tangannya menepuk bahu Huang Zhonggong.

Tubiweng dan Danqingsheng serentak mundur dua langkah. Meskipun mereka bergerak dengan cepat, namun gerakan tangan si tetua kurus lebih cepat lagi. Tahu-tahu bahu mereka berdua juga terkena tepukan tangannya. Serangan si tetua kurus tersebut jelas tergolong serangan sembunyi-sembunyi secara mendadak. Namun karena raut wajahnya yang tampak ramah seperti ingin minta maaf, membuat jago berpengalaman seperti Huang Zhonggong tidak sempat berjaga-jaga. Tubiweng dan Danqingsheng yang berilmu lebih rendah meskipun menyadari sang kakak pertama terkena serangan, namun mereka sudah tidak memiliki kesempatan untuk menghindar.

Danqingsheng berseru lantang, “Tetua Bao, apa kesalahan kami sehingga kau menggunakan cara … sekejam ini kepada kami?” Dari suaranya dapat diketahui bahwa selain terdapat rasa sakit juga terkandung amarah yang besar.

Tetua kurus bermarga Bao itu mencibir, kemudian menjawab perlahan, “Ketua memberikan titah kepada kalian untuk mengawasi penjahat besar itu di sini. Kalau kalian membiarkan penjahat itu melarikan diri, kalian pantas mati atau tidak?”

“Jika penjahat itu benar-benar melarikan diri, sekalipun harus mati juga tidak cukup untuk menebus dosa kami,” jawab Huang Zhonggong. “Akan tetapi … akan tetapi, penjahat itu sekarang masih berada di dalam penjara. Tetua Bao begitu datang langsung menurunkan hukuman keji kepada kami, sungguh kami merasa keberatan untuk menerimanya.”

Sewaktu berbicara demikian, Huang Zhonggong sedikit memiringkan badannya sehingga Linghu Chong dari balik jendela dapat melihat pada dahinya penuh dengan butiran keringat sebesar biji kedelai yang mengucur deras. Pemuda itu pun berpikir, “Tepukan yang dilancarkan orang bermarga Bao itu sungguh hebat, bahkan jago berilmu tinggi seperti Huang Zhonggong tidak mampu mengatasinya. Tapi serangannya tadi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kalau saja bertarung secara terbuka, aku menduga Huang Zhonggong tidak akan kalah melawan dia.”

Terdengar kemudian Tetua Bao berkata, “Baiklah, kalian boleh memeriksa sendiri ke dalam penjara. Apabila penjahat itu masih berada di dalam tahanan, hm … maka aku nanti akan menyembah dan minta maaf kepada kalian, serta memunahkan pengaruh Pukulan Pasir Biru pula.”

“Baik, silakan para Tetua menunggu sebentar,” kata Huang Zhonggong. Segera ia pun melangkah keluar bersama Tubiweng dan Danqingsheng. Linghu Chong melihat ketiga bersaudara itu berjalan dengan badan gemetar, entah karena pukulan tadi atau karena terlalu gusar.

Khawatir diketahui, Linghu Chong tidak berani mengintip lebih banyak. Perlahan-lahan ia duduk di atas tanah, kemudian merenung, “Siapa sebenarnya Ketua yang tadi mereka bicarakan itu, yang telah menugasi Empat Sekawan Jiangnan mengurung penjahat besar di sini selama dua belas tahun? Seperti yang dikatakan Heibaizi tempo hari, mengenai orang yang telah ditahan selama dua belas tahun tentunya Tuan Ren. Apakah dia benar-benar sudah berhasil kabur? Kalau dia berhasil kabur dari penjara tanpa diketahui oleh Huang Zhonggong bersaudara, berarti dia memang benar-benar mahasakti. Ah, benar juga, Huang Zhonggong sepertinya memang tidak tahu. Buktinya, Heibaizi saja mengira diriku sebagai Tuan Ren.”

Ia berpikir kalau Huang Zhonggong bertiga memeriksa tahanan di dalam penjara yang ternyata sudah berubah menjadi Heibaizi, tentu akibat yang ditimbulkan akan sangat aneh dan lucu. Ia kembali bertanya-tanya dalam hati, “Tapi mengapa mereka mengurungku di dalam penjara? Apakah karena aku telah bertanding pedang melawan Tuan Ren? Mungkin mereka takut aku membocorkan keberadaan Tuang Ren sehingga aku pun dijebloskan ke dalam penjara pula. Meskipun aku tidak dibunuh, tapi perbuatan mereka melenyapkan saksi mata sudah tergolong keji. Hm, sekarang mereka bertiga terkena Pukulan Pasir Biru, rasanya tentu sangat tidak enak. Anggap saja itu sebagai pelampiasan sakit hatiku.”

Keempat tetua itu duduk diam tanpa bicara sedikit pun. Linghu Chong tidak berani bernapas keras-keras. Meskipun antara dirinya dan keempat orang tua itu terhalang oleh tembok ruangan, tapi jaraknya cuma beberapa meter saja. Asalkan bernapas sedikit berat saja pasti langsung ketahuan.

Dalam keadaan sunyi senyap itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan menyayat hati yang berkumandang dari jauh. Suara jeritan itu terdengar penuh penderitaan dan ketakutan. Di tengah malam seperti ini, mau tidak mau barangsiapa yang mendengarnya pasti akan merinding ngeri. Linghu Chong sendiri dapat mengenali itu adalah suara Heibaizi. Meskipun orang itu telah menerima pembalasan yang setimpal dari perbuatannya, namun setelah jatuh ke tangan tetua bernama Bao Dachu dan kawan-kawan tentu keadaan akan bertambah runyam. Tanpa sadar di dalam hati Linghu Chong tumbuh perasaan iba kepadanya.

Menyusul kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. Huang Zhonggong dan yang lain telah kembali. Kesempatan itu segera digunakan Linghu Chong untuk mengintip lagi. Dilihatnya Tubiweng dan Danqingsheng memapah Heibaizi di kiri dan kanan. Tubuh Heibaizi tampak lemas lunglai, dengan wajah pucat pasi dan mata sayu, sungguh berbeda dengan tingkah lakunya sebelum ini yang cerdik dan pandai.

“Lapor … lapor kepada para Tetua,” kata Huang Zhonggong dengan suara gemetar. “Penjahat besar itu ternyata sudah … sudah melarikan diri. Hamba siap menerima hukuman mati di hadapan para Tetua.” Merasa nasibnya sudah tidak dapat ditolong lagi, kini suaranya justru menjadi lebih tenang, tidak gemetar seperti sebelumnya.

Bao Dachu menanggapi dengan angkuh, “Bukankah tadi kau bilang Heibaizi tidak ada di sini? Tapi mengapa sekarang dia muncul lagi? Sebenarnya ada masalah apa?”

“Tentang seluk-beluk kejadian ini sesungguhnya hamba juga merasa bingung,” ucap Huang Zhonggong. “Aih, karena mengejar hal remeh, kami melupakan sesuatu yang penting. Karena terlena dengan kegemaran membuat kami melalaikan tugas. Semua ini adalah akibat kami berempat terlalu iseng dan tergila-gila kepada musik, catur, kaligrafi, dan lukisan, membuat musuh mengetahui kelemahan kami dan mengatur tipu muslihat licik. Akhirnya, orang itu … orang itu berhasil mereka bawa kabur.”

Bao Dachu berkata, “Kami berempat telah menerima titah dari Ketua untuk menyelidiki bagaimana sampai penjahat besar itu bisa meloloskan diri. Jika kalian bercerita terus terang tanpa menyembunyikan dusta, maka … maka kami mungkin dapat menemani kalian memohon ampun kepada Ketua, memohon belas kasihan Beliau.”

Huang Zhonggong menghela napas panjang, lalu berkata, “Seandainya Ketua menaruh belas kasihan dan sudi memberi ampun, serta para Tetua menaruh iba kepada kami, tetap saja hamba malu untuk melanjutkan hidup di muka bumi. Namun seluk-beluk kejadian ini sangat rumit. Kalau hamba tidak bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, maka mati pun hamba tidak dapat menutup mata dengan tenang.” Ia berhenti sejenak kemudian melanjutkan, “Tetua Bao, apakah … apakah Ketua saat ini berada di Hangzhou sini?”

Bao Dachu mengerutkan kening dan balas bertanya, “Siapa bilang Ketua berada di Hangzhou?”

“Penjahat besar itu baru saja melarikan diri sore tadi, mengapa Ketua seketika lantas tahu dan segera mengirim keempat Tetua ke Wisma Meizhuang ini?” ujar Huang Zhonggong.

“Hm, kau ini semakin lama semakin pikun saja,” ejek Bao Dachu. “Siapa bilang penjahat besar itu baru melarikan diri tadi sore?”

“Orang itu baru melarikan diri tadi sore menjelang senja,” sahut Huang Zhonggong yakin. “Kami bertiga mengira dia adalah Heibaizi. Ternyata dia telah memancing Adik Kedua sehingga terkurung dalam penjara, lalu menukar pakaiannya dengan mengenakan pakaian Adik Kedua, setelah itu menerjang keluar. Kejadian saat dia kabur tidak hanya disaksikan oleh kami bertiga, bahkan Ding Jian juga ditubruk oleh orang itu sampai tulang rusuknya banyak yang patah ….”

Bao Dachu menoleh kepada ketiga rekannya, lalu berkata sambil mengerutkan dahi, “Dia ini entah bicara omong kosong apa, mana mungkin bisa begitu?”

Tetua yang bertubuh pendek gemuk lantas berkata, “Kita menerima berita itu pada tanggal empat belas bulan lalu …” Ia berbicara sambil menghitung-hitung dengan jarinya, “Berarti hari ini sudah hari yang ketujuh belas.”

“Tidak mungkin … tidak mungkin,” seru Huang Zhonggong sambil melangkah mundur sampai punggungnya membentur dinding cukup keras. “Sore tadi kami benar-benar melihat dengan mata kepala sendiri orang itu melarikan diri.” Ia kemudian melangkah ke pintu dan berteriak, “Shi Lingwei, lekas bawa Ding Jian kemari!”

“Baik, Tuan!” jawab Shi Lingwei dari kejauhan.

Bao Dachu bangkit dan berjalan mendekati Heibaizi, kemudian menarik baju bagian dadanya dan mengangkatnya sampai berdiri. Ternyata majikan kedua dari Wisma Meizhuang itu keadaannya memang lemas lunglai seakan-akan seluruh ruas tulang di badannya telah terlepas semua. Begitu Bao Dachu melepaskan cengkeramannya, tubuh Heibaizi pun jatuh terkulai di lantai, tak kuasa bangkit kembali.

Tetua yang bertubuh tinggi besar menyahut, “Benar juga, seluruh tenaganya telah habis karena … karena dihisap oleh Jurus Penyedot Bintang orang itu.” Suaranya terdengar gemetar karena ketakutan.

“Kapan kau dikerjai orang itu?” tanya Bao Dachu.

“Sore … tadi,” jawab Heibaizi dengan suara terputus-putus lemah. “Orang itu men… mencengkeram pergelangan kananku sehingga … sehingga aku tidak bisa … berkutik. Terpaksa aku … pasrah nasib.”

“Lalu bagaimana?” tanya Bao Dachu tidak mengerti.

“Aku ditarik … masuk ke dalam penjara … melalui lubang persegi … di pintu,” tutur Heibaizi. “Dia menanggalkan pakaianku … membelenggu kaki dan tanganku ... kemudian dia … menerobos keluar melalui … lubang persegi tadi.”

“Tadi sore? Apa benar tadi sore? Bagaimana bisa?” tanya Bao Dachu sambil mengerutkan dahi.

“Borgol itu terbuat dari baja pilihan, bagaimana bisa diputuskan olehnya?” tanya si tetua pendek gemuk.

“Aku … aku tidak tahu,” jawab Heibaizi.

Tubiweng menyahut, “Tadi hamba sempat memeriksa borgol-borgol itu, ternyata telah digergaji putus menggunakan semacam kawat baja yang sangat halus. Sungguh aneh, dari mana orang itu mendapatkan benda tersebut?”

Saat itu Shi Lingwei sudah datang disertai dua pelayan yang menggotong Ding Jian di atas sebuah bangku empuk dan tertutup oleh selembar selimut tipis. Bao Dachu menyingkap selimut itu dan memegang perlahan dada Ding Jian. Kontan saja Ding Jian berteriak kesakitan. Bao Dachu manggut-manggut dan memberi isyarat agar Shi Lingwei membawa Ding Jian kembali.

“Tubrukan ini benar-benar keras, jelas dilakukan oleh orang itu,” ujar Bao Dachu kemudian.

Tetua wanita setengah baya yang duduk di sebelah kiri sejak tadi tidak membuka suara, sekarang mendadak ia berkata, “Tetua Bao, jika betul orang itu baru lolos tadi sore, lantas berita yang kita terima bulan lalu mungkin hanya kabar bohong yang sengaja disebarkan oleh begundalnya untuk mengacaukan perhatian kita.”

“Tidak, tidak mungkin palsu,” sahut Bao Dachu sambil menggeleng.

“Tidak mungkin palsu?” wanita itu menegas.

Bao Dachu menjawab, “Coba pikir, Xue Xiangzhu memiliki ilmu kebal yang menyelubungi sekujur tubuhnya. Kulitnya keras dan tidak mempan oleh senjata tajam biasa. Tapi kelima jari orang itu telah menembus dadanya dan mencabut keluar jantungnya mentah-mentah. Kepandaian setinggi ini rasanya tiada duanya di muka bumi, selain orang itu tidak mungkin ….”

Selagi asyik mendengarkan dengan seksama, tiba-tiba Linghu Chong merasa pundaknya ditepuk orang secara perlahan. Tepukan ini benar-benar di luar dugaan sehingga ia pun terkejut dan langsung melompat mundur tiga langkah sambil menghunus pedang. Ia menoleh dan melihat dua orang berdiri di dekat jendela.

Karena membelakangi cahaya rembulan yang remang-remang, wajah kedua orang itu tidak dapat terlihat jelas. Hanya saja, seorang di antaranya lantas melambaikan tangan sambil berkata, “Adik, mari kita masuk ke sana!”

Linghu Chong sangat senang karena itu adalah suara Xiang Wentian. Ia pun berseru dengan suara lirih, “Kakak Xiang!”

Meski suara mereka sangat pelan, tapi terdengar jelas oleh orang-orang di dalam rumah. “Siapa itu?” bentak Bao Dachu tiba-tiba.

Orang yang berdiri di samping Xiang Wentian tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar sampai mengguncang genting atap rumah. Linghu Chong merasa pusing mendengarnya, telinganya berdengung, dan darah pada rongga dada ikut bergolak.

Orang itu lantas melangkah ke depan dan mendorong dinding tembok begitu saja. Seketika terdengar suara bergemuruh, diikuti jebolnya tembok menimbulkan suatu lubang besar. Melalui lubang tersebut orang itu lantas melangkah masuk ke dalam, diikuti Xiang Wentian yang menarik tangan Linghu Chong pula.

Bao Dachu dan ketiga rekannya telah bangkit dengan senjata terhunus. Wajah mereka tampak sangat tegang. Linghu Chong penasaran ingin mengetahui siapakah dia yang sebenarnya, namun orang itu berdiri membelakanginya. Yang terlihat hanyalah perawakannya yang tinggi besar, dengan rambut hitam dan baju berwarna hitam pula.

“Ternyata … ternyata Sesepuh Ren … Sesepuh Ren yang datang,” kata Bao Dachu ragu-ragu.

Orang itu hanya mendengus tanpa menjawab. Ia terus melangkah maju, membuat Bao Dachu, Huang Zhonggong dan yang lain tanpa sadar melangkah mundur. Sesudah membalik tubuh, orang itu lantas duduk di kursi tengah, yaitu kursi yang tadi diduduki Bao Dachu.

Baru sekarang Linghu Chong dapat melihat dengan jelas wujud orang itu. Wajahnya tampan tetapi agak panjang. Mukanya terlihat putih bersih tanpa rona merah sedikit pun, benar-benar pucat pasi menakutkan seperti mayat yang baru bangkit dari kubur.

Orang itu melambaikan tangannya ke arah Xiang Wentian dan Linghu Chong, lalu berkata, “Adik Xiang dan Adik Linghu, mari duduk di sini!”

Begitu mendengar suaranya, hati Linghu Chong sangat terkejut bercampur senang. Ia pun berseru, “Hei, jadi kau … kau adalah Tuan Ren?”

“Benar sekali,” jawab orang itu sambil tersenyum. “Ilmu pedangmu sungguh cemerlang.”

Linghu Chong berkata, “Tenyata Tuan Ren sudah meloloskan diri. Padahal … padahal aku datang ingin menolong ….”

“Kau datang kemari ingin menolongku meloloskan diri?” sahut orang bermarga Ren itu. “Hahaha, Adik Xiang, saudaramu ini benar-benar pantas disebut kawan sejati.”

Xiang Wentian mempersilakan Linghu Chong duduk di sisi kanan orang itu, sedangkan ia sendiri duduk di sebelah kirinya, lalu berkata, “Adik Linghu selalu tulus dalam perbuatan. Ia benar-benar laki-laki pemberani berjiwa luhur yang sulit ditemui di zaman ini.”

Orang bermarga Ren berkata, “Adik Linghu, aku sungguh menyesal telah menyusahkanmu sampai meringkuk tiga bulan dalam penjara gelap di bawah danau. Maafkan aku, hahahaha!”

Kini Linghu Chong samar-samar dapat memahami duduk permasalahannya, namun masih belum jelas secara keseluruhan.

Orang bermarga Ren itu memandangi Linghu Chong dengan tersenyum ramah, lalu berkata, “Meskipun kau telah menderita selama dua bulan di dalam penjara karena aku, tapi kau telah berhasil menguasai Jurus Penyedot Bintang yang kuukir di atas dipan besi. Hehe, rasanya itu sudah cukup untuk menebus kerugianmu, bahkan lebih.”

“Ilmu sakti yang terukir di atas dipan besi itu adalah … adalah tulisan Tuan?” sahut Linghu Chong menegas keheranan.

“Kalau bukan aku yang mengukirnya, di dunia ini siapa lagi yang mahir Jurus Penyedot Bintang?” sahut orang bermarga Ren dengan tersenyum.

Xiang Wentian menukas, “Adik Linghu, di dunia ini hanya kau satu-satunya ahli waris Jurus Penyedot Bintang milik Ketua Ren. Sungguh aku ikut senang dan harus memberimu selamat.”

“Ketua Ren?” Linghu Chong menegas dengan heran.

“Ternyata sampai sekarang kau masih belum mengetahui siapa sebenarnya Ketua Ren,” kata Xiang Wentian. “Beliau adalah Ketua Ren dari Sekte Matahari dan Bulan. Nama lengkapnya adalah Ren Woxing. Apakah sebelumnya kau pernah mendengar nama Beliau ini?”

“Nama … Ketua Ren telah kutemukan pada ukiran di atas dipan besi itu. Hanya saja, aku tidak tahu kalau Beliau adalah … adalah ketua,” jawab Linghu Chong terbata-bata. Ia pernah mendengar bahwa Sekte Matahari dan Bulan adalah nama asli dari Sekte Iblis. Hanya anggota Sekte yang menyebutnya demikian, sedangkan pihak luar lebih suka menyebut dengan nama ejekan “Sekte Iblis”. Ia pun mengetahui nama Ketua Sekte Iblis selama ini adalah Dongfang Bubai. Lalu dari mana asalnya seorang Ren Woxing yang mengaku sebagai ketua pula?

Mendadak si tetua tinggi besar membentak, “Siapa bilang dia ketua? Setiap orang di dunia ini tahu bahwa Ketua Sekte Matahari dan Bulan adalah Ketua Dongfang. Orang bermarga Ren ini telah berkhianat kepada agama kita dan memberontak. Dia sudah lama dikeluarkan dari agama. Xiang Wentian, kau berani ikut-ikutan murtad, apa kau tidak takut menerima hukuman mati?”

Perlahan-lahan Ren Woxing berpaling ke arah si tetua tinggi besar itu, kemudian berkata, “Kau bernama Qin Weibang, bukan?”

“Benar,” jawab si tetua tinggi besar tegas.

“Saat aku masih memegang tampuk kekuasaan di agama kita, kau adalah Pemimpin Panji Hijau di wilayah Jiangsi, bukan?” tanya Ren Woxing.

“Benar,” jawab Qin Weibang.

Ren Woxing menghela napas dan berkata, “Sekarang kau telah menjadi satu di antara sepuluh tetua agama. Kenaikan pangkatmu sungguh cepat. Mengapa Dongfang Bubai begitu tinggi menilai dirimu? Apakah karena ilmu silatmu tinggi atau karena kerjamu pintar?”

Qin Weibang menjawab, “Seumur hidup aku setia kepada agama, selalu tampil ke muka menghadapi segala masalah. Selama sepuluh tahun aku banyak menumpuk jasa, sehingga aku bisa diangkat menjadi tetua,” jawab Qin Weibang.

“Hm, begitu rupanya,” ujar Ren Woxing. Tiba-tiba ia melompat maju ke depan Bao Dachu, lalu tangan kirinya menjulur dan mencengkeram tenggorokan tetua bertubuh kurus itu.

Bao Dachu sangat terkejut. Karena tidak sempat mencabut senjata, terpaksa siku kirinya diangkat untuk melindungi tenggorokan, sekaligus kaki kirinya melangkah mundur pada waktu yang bersamaan. Setelah itu tangan kanan pun bergerak cepat mencabut golok untuk ditebaskan.

Walaupun pertahanan Bao Dachu sangat rapat dan serangan balasannya ganas pula, tapi tangan kanan Ren Woxing tetap lebih cepat. Belum sempat golok Bao Dachu bergerak turun, dadanya sudah terpegang tangan lawan. Jubah di bagian itu lantas dirobek, dan Lencana Kayu Hitam tanda kebesaran Sekte pun dirampas pula oleh Ren Woxing.

Hampir pada saat yang sama terdengar suara benturan logam tiga kali. Ternyata Xiang Wentian telah menggunakan pedangnya untuk menangkis serangan Qin Weibang dan kedua temannya yang mencoba menolong Bao Dachu. Saat itu Bao Dachu sendiri telah jatuh ke dalam cengkeraman Ren Woxing.

“Jurus Penyedot Bintang belum kugunakan. Apakah kau ingin mencicipi rasanya?” kata Ren Woxing dengan tersenyum.

Sebagai seorang berpengalaman, sudah tentu Bao Dachu tahu betapa tinggi ilmu Ren Woxing itu. Ia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu menyerah atau kehilangan nyawa. Maka, tanpa pikir panjang ia pun menjawab, “Ketua Ren, mulai hari ini aku bersumpah akan selalu setia kepadamu.”

“Dahulu juga kau pernah bersumpah setia kepadaku, tapi mengapa kemudian mengingkarinya?” tanya Ren Woxing.

“Mohon Ketua Ren memberi kesempatan sekali lagi kepada hamba untuk berbuat jasa dan menebus dosa,” kata Bao Dachu.

“Baiklah. Kalau begitu makanlah pil ini,” kata Ren Woxing sambil melepaskan cengkeramannya, lalu merogoh saku dan mengeluarkan sebuah botol porselen kecil. Dituangnya sebutir pil warna merah darah lantas dilemparkannya ke arah Bao Dachu.

Dengan gesit Bao Dachu menangkap pil itu. Tanpa pandang lagi ia langsung memasukkannya ke dalam mulut.

Qin Weibang terkejut melihatnya dan berkata gugup, “Hah, itu … itukah ‘Pil Otak Tiga Mayat’?”

Ren Woxing manggut-manggut dan menjawab, “Benar, ini memang Pil Otak Tiga Mayat.” Kemudian ia menuang enam butir pil merah dari dalam botol dan melemparkannya ke atas meja. Keenam butir pil itu terus-menerus bergelindingan, tapi tidak satu pun yang jatuh ke bawah meja.

“Kalian tentu sudah tahu keampuhan obatku ini, bukan?” tanya Ren Woxing.

Bao Dachu menjawab, “Setelah menelan Pil Otak Tiga Mayat, akan selalu bertekat kuat untuk tetap setia dan tunduk kepada Ketua Ren sampai akhir hayat. Kalau berani ingkar, maka belatung yang tersimpan di dalam pil akan bergerak masuk ke dalam kepala dan memakan otak. Rasanya sangat menyakitkan, serta tingkah laku menjadi liar tak bisa dikendalikan. Bahkan, menjadi anjing gila pun lebih terhormat.”

“Benar sekali ucapanmu,” kata Ren Woxing. “Kau sudah tahu betapa ampuh obatku ini, tapi mengapa masih berani menelannya?”

Bao Dachu menjawab, “Itu karena hamba sudah menyatakan tunduk dan setia kepada Ketua Ren. Betapa pun ampuhnya Pil Otak Tiga Mayat ini juga hamba tidak peduli,” ujar Bao Dachu.

“Hahaha! Bagus sekali, bagus sekali!” Ren Woxing tertawa terbahak-bahak. “Nah, siapa lagi yang mau mencicipi obat ajaibku ini?”

Huang Zhonggong, Tubiweng, dan Danqingsheng saling pandang dengan raut muka putus asa. Mereka tahu bahwa yang dikatakan Bao Dachu bukanlah omong kosong. Qin Weibang dan para tetua lainnya juga sudah lama menjadi anggota Sekte Iblis, sehingga mereka pun kenal baik dengan pil ajaib yang mengandung belatung mengerikan itu. Pada hari-hari biasa, khasiat obat tersebut tidak bekerja. Namun apabila Hari Raya Perahu Naga tiba, maka belatung akan keluar dari dalam pil dan jika sudah masuk ke dalam otak, maka akibatnya sungguh mengerikan. Orang itu akan kesetanan, akal budinya menghilang, melanggar segala norma tanpa sadar, bahkan ayah dan ibu sendiri bisa dimakan. Di dunia ini tidak ada racun yang bisa menandinginya. Maka, setiap tahun pada hari raya tersebut, dia harus meminta obat kepada Ren Woxing untuk menahan belatung bekerja. Uniknya, setiap pil dibuat oleh tukang obat yang berbeda, sehingga obat penawar milik Dongfang Bubai tidak dapat menghentikan obat milik Ren Woxing.

Ketika semua orang merasa bimbang dan ragu-ragu, mendadak Heibaizi berseru, “Mohon belas kasihan Ketua, biarlah hamba memakan satu butir dulu.” Usai berbicara ia pun merangkak mendekati meja, lalu menjulurkan tangan hendak mengambil obat itu.

Namun Ren Woxing lebih dulu mengibaskan lengan bajunya. Tubuh Heibaizi pun terlempar ke belakang dan akhirnya jatuh terjungkal, dengan kepala membentur dinding keras-keras.

“Tenaga dalammu sudah musnah, kau sudah menjadi manusia cacat. Kau hanya menyia-nyiakan obatku yang berharga?” ejek Ren Woxing. Lalu ia berpaling dan berkata, “Qin Weibang, Wang Cheng, Sang Sanniang, kalian tidak sudi minum obatku yang mujarab ini, benar tidak?”

Sang Sanniang, wanita setengah baya itu lantas membungkukkan badan dan berkata, “Hamba bersumpah akan selalu setia kepada Ketua Ren. Untuk selamanya hamba tidak akan berkhianat.”

Wang Cheng, si tetua pendek gemuk berkata pula, “Hamba juga akan tunduk dan setia kepada Ketua Ren untuk selama-lamanya.”

Kedua orang itu lantas mendekati meja. Masing-masing memungut sebutir pil lantas memasukkannya ke dalam mulut. Sejak dulu mereka memang sangat takut kepada Ren Woxing. Apalagi begitu mengetahui orang ini telah lolos dari penjara, rasa takut mereka semakin menjadi-jadi. Meskipun Dongfang Bubai juga memiliki pil yang serupa dan memaksa mereka menelannya supaya bersumpah setia, namun saat ini mereka merasa sedang berada di ujung tanduk. Demi mencari selamat, mereka terpaksa tunduk kepada Ren Woxing. Akibat yang akan datang di kemudian hari akan mereka pikirkan kelak saja.

Berbeda dengan Qin Weibang, tetua bertubuh tinggi besar ini semula adalah pemimpin tingkat menengah. Sewaktu Ren Woxing memegang kekuasaan, dia adalah pemimpin cabang Sekte Iblis yang mengurus wilayah Jiangsi, sehingga belum sempat menyaksikan secara langsung kehebatan Sang Ketua. Setelah melihat ketiga kawannya menelan obat maut tersebut, ia pun berseru, “Maaf, aku pulang saja!” Bersama itu ia lantas menjejakkan kedua kaki dan melompat keluar melalui lubang pada dinding tadi.

Ren Woxing bergelak tawa tanpa berusaha bangkit untuk merintanginya. Setelah tubuh Qin Weibang melewati lubang, tiba-tiba Xiang Wentian mengayunkan tangan kirinya perlahan. Dari lengan bajunya muncul seutas cambuk warna hitam yang panjang dan lembut. Gerakannya sungguh cepat dan membuat pandangan orang-orang di situ menjadi kabur.

“Aaahh!” terdengar suara Qin Weibang menjerit. Rupanya cambuk panjang itu telah membelit kaki kirinya. Xiang Wentian pun menarik cambuknya, sehingga tubuh Qin Weibang ikut tertarik masuk kembali ke dalam ruangan.

Cambuk hitam tersebut beukuran kecil, tidak sampai sebesar jari kelingking. Namun begitu terbelit olehnya, Qin Weibang ternyata tidak mampu melepaskan diri, hanya meronta-ronta dan bergulingan di lantai tanpa henti.

Ren Woxing berkata, “Sang Sanniang, ambillah sebutir pil ajaib itu, kupas dulu kulit luarnya dengan hati-hati!”

“Baik!” jawab Sang Sanniang dengan penuh hormat. Ia lalu mengambil sebutir pil di atas meja dan perlahan-lahan mengupas kulit luarnya yang berwarna merah itu menggunakan kuku sehingga terlihat biji bagian dalam yang berwarna abu-abu.

“Sekarang suruh dia menelan!” kata Ren Woxing memberi perintah lagi.

“Baik!” jawab Sang Sanniang kembali mengiakan. Wanita itu lalu mendekati Qin Weibang dan membentak, “Buka mulutmu!”

Mendadak Qin Weibang membalik tubuh dan memukul lengan Sang Sanniang menggunakan telapak tangannya. Meski ilmu silatnya sedikit di bawah wanita itu, tapi selisihnya juga tidak jauh. Namun karena kaki kirinya terbelit oleh cambuk, titik nadi pada beberapa bagian ikut tertekan. Akibatnya, pukulan telapak tangannya tersebut menjadi kurang bertenaga.

Maka dengan mudah kaki kiri Sang Sanniang pun menendang tangan yang memukul itu, menyusul kaki kanannya juga dengan telak mendepak dada Qin Weibang. Secara berantai, kedua kaki Sang Sanniang menendang pula menggunakan jurus Yuanyang, tepat mengenai bahu Qin Weibang. Tendangan susul-menyusul sebanyak tiga kali itu membuat tiga titik nadi lawan tertotok. Dengan cekatan, tangan kiri Sang Sanniang lantas menarik dagu Qin Weibang dan tangan kanan menjejalkan pil itu ke dalam mulutnya. Detik berikutnya, tangan kanan itu menekan tenggorokan Qin Weibang sehingga pil yang sudah dikupas tersebut tertelan mentah-mentah olehnya.

Linghu Chong terkesima menyaksikan pemandangan tersebut. Ia teringat penuturan Bao Dachu bahwa di dalam pil itu terkandung sejenis belatung perusak otak. Ia yakin bahwa kulit merah yang dikupas tadi sebenarnya berfungsi untuk menahan belatung agar tetap beku. Selain itu ia juga berpikir, “Gerakan nyonya ini benar-benar cepat dan rapi. Sepertinya ia banyak berlatih secara khusus untuk memaksa orang minum obat semacam ini.” Rupanya ia tidak tahu kalau Sang Sanniang sedang memamerkan kepandaiannya bertarung tangan kosong dan mengunci persendian lawan kepada Ren Woxing. Ia berusaha keras memperlihatkan segenap kepandaiannya, selain untuk unjuk keterampilan, juga untuk menunjukkan kesetiaan dan kepatuhan terhadap Sang Ketua.

Ren Woxing tersenyum puas dan mengangguk-angguk. Sang Sanniang bangkit tanpa memperlihatkan perubahan raut wajah sedikit pun, meski ia telah memperlakukan kawan sendiri dengan begitu kasar. Dengan penuh hormat wanita itu lantas berdiri ke samping.

Kemudian Ren Woxing menoleh ke arah Huang Zhonggong dan kedua saudaranya, seakan ingin bertanya apakah mereka bersedia menelan pil yang masih tersisa atau tidak.

Tubiweng melangkah ke depan tanpa berbicara apa-apa. Ia lantas mengambil satu butir pil dan menelannya. Danqingsheng tampak melangkah sambil menggumam sendiri, entah apa yang ia katakan. Namun akhirnya ia juga mengambil satu butir dan menelannya.

Kini tinggal Huang Zhonggong yang terlihat sangat berduka. Ia merogoh bajunya kemudian mengeluarkan sebuah kitab tipis, yaitu naskah kecapi Guangling San. Orang tua itu lantas berjalan mendekati Linghu Chong dan berkata, “Tuan memiliki ilmu silat tinggi dan banyak akal pula. Siasat Tuan sungguh cerdas sehingga berhasil menolong Ren Woxing keluar. Hm, aku sungguh kagum kepadamu. Naskah kecapi ini yang telah mencelakai kami, empat bersaudara. Sekarang aku akan mengembalikan benda ini dengan penuh terima kasih.” Usai berkata ia pun melemparkan naskah kecapi tersebut dan mendarat di saku baju Linghu Chong.

Linghu Chong tertegun melihat orang tua itu berjalan perlahan mendekati dinding. Dalam hati ia merasa sangat menyesal. Ia pun berpikir, “Usaha menolong Ren Woxing adalah hasil tipu muslihat Kakak Xiang, sedangkan aku sendiri tidak tahu apa-apa. Namun sudah sepantasnya kalau Huang Zhonggong dan yang lain membenci diriku. Aku sendiri tidak bisa membela diri.”

Huang Zhonggong berbalik, lalu bersandar pada dinding dan berkata, “Pada mulanya kami, empat bersaudara, masuk Sekte Matahari dan Bulan adalah untuk melakukan kebaikan dan menegakkan kebenaran sebagai kesatria di dunia persilatan. Namun, watak Ketua Ren yang pemarah dan keras kepala ingin menggunakan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri membuat kami berempat kecewa. Setelah Ketua Dongfang mengambil alih, ternyata Beliau terlalu percaya kepada para pencari muka, sampai-sampai banyak melenyapkan saudara seagama. Kami berempat semakin kecewa dan memohon agar diizinkan bertugas di Wisma Meizhuang ini. Pertama, agar kami dapat jauh-jauh meninggalkan Tebing Kayu Hitam sehingga tidak perlu hidup sebagai penjilat; kedua, supaya kami dapat berdiam di tepi Danau Xihu dan menghibur diri dengan bermain kecapi atau melukis. Dalam dua belas tahun terakhir ini, kami telah cukup menikmati hidup. Hidup manusia di dunia memang lebih banyak duka daripada bahagia, begitulah kenyataannya ….” Setelah berbicara sampai di sini, tiba-tiba ia mengerang tertahan, lalu tubuhnya perlahan-lahan jatuh terkulai.

Tubiweng dan Danqingsheng menjerit bersamaan, “Kakak Pertama!” Keduanya lantas berlari maju untuk memapah Huang Zhonggong. Ternyata pada jantung sang kakak sudah tertancap sebilah belati. Sepasang mata orang tua kurus itu tampak melotot, namun napasnya sudah putus.

“Kakak Pertama! Kakak Pertama!” teriak Tubiweng dan Danqingsheng. Sekejap kemudian tangis mereka pun pecah.

Wang Cheng lantas membentak, “Orang tua ini tidak mematuhi perintah Ketua. Ia ketakutan dihukum dan memilih bunuh diri. Dosanya semakin bertambah, kenapa kalian masih ribut segala?”

Danqingsheng sangat gusar dan bermaksud menerjang Wang Cheng. Ingin sekali ia bertarung mati-matian melawan tetua bertubuh pendek gemuk itu. Wang Cheng pun berkata, “Ada apa? Kau ingin memberontak?”

Seketika Danqingsheng teringat bahwa dirinya telah menelan obat maut Pil Otak Tiga Mayat sehingga mau tidak mau harus tunduk kepada Ren Woxing. Amarahnya segera berkurang dan ia hanya bisa menundukkan kepala sambil mengusap air mata.

Sementara itu, Qin Weibang yang tersungkur di samping meja tiba-tiba meraung-raung. Sepasang matanya melotot dan mulutnya berteriak-teriak, “Ren Woxing, aku ingin bertarung sampai mati denganmu!” Namun ketiga titik nadinya telah tertotok sehingga tangan dan kakinya tidak dapat bergerak. Tubuhnya terlihat kejang-kejang dan napas pun terengah-engah, jelas sangat kesakitan.

Xiang Wentian berjalan mendekat. Kakinya lantas menendang keras-keras sehingga Qin Weibang pun tewas seketika.

Ren Woxing berkata, “Bawa pergi mayat-mayat dan manusia cacat itu, lalu siapkan arak dan makanan! Hari ini aku ingin minum sepuasnya bersama Adik Xiang dan Adik Linghu.”

“Baik!” jawab Tubiweng dan Danqingsheng bersamaan. Mereka lantas menggotong mayat Huang Zhonggong dan Qin Webang keluar, serta memapah tubuh Heibaizi meninggalkan ruangan itu.

Tidak lama kemudian para pelayan muncul dan menata meja perjamuan untuk enam orang. Bao Dachu berkata, “Siapkan tiga kursi saja. Mana berani kami duduk semeja dengan Ketua?” Ia lantas membantu para pelayan membereskan sebagian peralatan makan.

Ren Woxing berkata kepada tiga tetua, “Kalian sudah bekerja keras. Sekarang kalian boleh minum arak di luar sana.”

Serentak Bao Dachu, Wang Cheng, dan Sang Sanniang membungkuk sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan Ketua!” Perlahan-lahan mereka bertiga lalu mengundurkan diri dari ruangan.

Ketika melihat Huang Zhonggong bunuh diri, Linghu Chong merasa bahwa orang tua itu sebenarnya seorang laki-laki jujur dan berjiwa kesatria. Ia teringat tempo hari Huang Zhonggong pernah menawarkan diri menulis surat pengantar untuk dibawa menemui Mahabiksu Fangzheng di Biara Shaolin supaya membantu mengobati lukanya. Teringat betapa orang tua itu memiliki maksud yang baik kepadanya, mau tidak mau membuat hatinya semakin berduka.

Terdengar Xiang Wentian tertawa dan berkata, “Adikku, bagaimana ceritanya kau bisa begitu beruntung dapat mempelajari Jurus Penyedot Bintang milik Ketua? Ceritakanlah supaya kami dapat mendengarnya.”

Maka, Linghu Chong pun menguraikan semua pengalamannya di dalam penjara bawah danau itu, juga bagaimana ia secara tidak sengaja menemukan tulisan di atas dipan besi dan mempelajari ilmu sakti tersebut.

“Selamat, selamat!” kata Xiang Wentian dengan tertawa. “Sebagai kakakmu, aku merasa sangat gembira.” Ia kemudian mengangkat cawan arak dan menenggak isinya sampai habis. Ren Woxing dan Linghu Chong juga menenggak arak mereka.

Ren Woxing tersenyum dan menanggapi, “Kalau diceritakan, kejadian itu memang sangat berbahaya. Pada mulanya aku mengukir rumus rahasia ilmu tersebut di atas dipan besi karena terdorong rasa bosan, sama sekali bukan karena aku ingin berbuat baik. Rumus rahasia itu adalah asli, tapi kalau bukan aku sendiri yang memberi petunjuk dan membantunya membuyarkan tenaga dalam, maka bisa menyebabkan sesat jalan bahkan mati konyol. Di antara seribu orang, tak satu pun yang dapat menghindarinya. Sebenarnya dalam berlatih ilmu sakti ini ada dua kesukaran. Kesukaran yang pertama adalah bagaimana harus membuyarkan tenaga dalam sendiri di dalam tubuh sehingga Dantian menjadi kosong. Kalau pembuyaran tenaga tidak tuntas, maka akan mengakibatkan sesat jalan, paling ringan dia akan menjadi lumpuh seluruh tubuhnya dan menjadi orang cacat. Akibat yang lebih berat adalah seluruh pembuluhnya akan berbalik dan darah akan mengalir keluar melalui tujuh lubang pada tubuh, kemudian mati. Ilmu sakti ini diciptakan oleh Cheng Yida beberapa ratus tahun silam, namun ahli warisnya sangat jarang. Orang yang beruntung bisa menguasainya sangat sedikit karena membuyarkan tenaga dalam adalah hal yang sangat sulit. Namun Adik Linghu, kau memiliki keberuntungan karena tenaga dalammu sudah musnah, sehingga kau tidak perlu bersusah payah untuk membuyarkannya. Apa yang dirasa sukar dan berbahaya oleh orang lain ternyata dapat kau lalui tanpa sadar.”

Setelah terdiam sejenak, ia melanjutkan, “Nah, setelah membuyarkan tenaga dalam sendiri, langkah selanjutnya adalah menghisap tenaga dalam orang lain dan menghimpunnya di dalam Dantian, lalu menyalurkannya melalui nadi Qi dan kedelapan pembuluh sebelum memakainya. Langkah ini pun sangat sukar. Coba pikir, tenaga dalam sendiri sudah musnah, bagaimana bisa mengalahkan orang lain dan menghisap tenaganya? Bukankah ini seperti mengantarkan nyawa dengan sia-sia? Namun lagi-lagi Adik Linghu punya keberuntungan. Adik Xiang pernah bercerita, di dalam tubuhmu tersimpan delapan macam hawa murni milik beberapa orang jago silat. Andaikan kau hanya memiliki satu saja, kau sudah sangat hebat. Adik Linghu, untuk kesukaran kedua pun dapat kau lewati dengan mudah. Ini benar-benar karena kehendak Langit.”

“Untung saja seluruh tenaga dalamku sudah musnah. Jika tidak, entah bagaimana akibatnya, sulit untuk dibayangkan,” kata Linghu Chong yang diam-diam ketakutan mendengar penuturan itu sampai telapak tangannya terasa dingin. “Kakak Xiang, sesungguhnya bagaimana cara Ketua Ren meloloskan diri, sampai saat ini aku masih tidak mengerti?”

Xiang Wentian tertawa terkekeh-kekeh sambil mengeluarkan suatu benda dari balik bajunya dan menyerahkannya ke tangan Linghu Chong. “Coba lihat ini?”

Linghu Chong merasakan benda di tangannya itu berbentuk bulat dan keras. Ia ingat tempo hari benda inilah yang dititipkan Xiang Wentian untuk disampaikan kepada Ren Woxing. Begitu membuka tangan, Linghu Chong melihat benda itu berupa semacam bola baja yang memiliki sebuah gotri yang teramat kecil. Setelah gotri itu diputar beberapa kali, muncullah seutas kawat baja yang teramat halus. Ujung kawat terhubung pada bola baja, sedangkan pada badan kawat dipenuhi mata gergaji yang halus tetapi tajam dan kuat.

Linghu Chong pun menyadari duduk masalahnya. Ia kemudian berkata, “Ternyata borgol di tangan dan kaki Ketua Ren itu digergaji putus menggunakan kawat baja ini.”

Ren Woxing tertawa dan berkata, “Waktu itu aku tertawa keras beberapa kali disertai tenaga dalam untuk mengguncangmu dan keempat orang itu sampai pingsan. Setelah menggergaji putus semua borgol, maka aku pun memperlakukanmu seperti bagaimana kau mengerjai Heibaizi.”

Linghu Chong tertawa dan menanggapi, “Ternyata Ketua Ren telah menukar pakaianku, lalu memborgol tangan dan kakiku. Pantas saja Huang Zhonggong dan yang lain tidak menyadarinya.”

Xiang Wentian menyahut, “Sebenarnya paling sulit mengelabui Huang Zhonggong dan Heibaizi. Hanya saja sesudah mereka siuman, Ketua dan aku sudah lebih dulu meninggalkan Wisma Meizhuang. Aku telah meninggalkan lukisan, kaligrafi, serta kitab catur yang mereka inginkan. Begitu melihat benda-benda itu, mereka langsung tergila-gila sehingga tidak mencurigai bahwa isi penjara sudah berganti orang.”

“Siasat Kakak Xiang sungguh hebat, sukar ditiru orang lain,” puji Linghu Chong. Diam-diam ia pun berpikir, “Ternyata segalanya sudah kau atur dengan baik. Kau menipu keempat bersaudara itu supaya kita bisa masuk ke penjara. Tapi sudah sekian lama Ketua Ren lolos, mengapa kau belum juga datang menolongku?”

Xiang Wentian melihat perubahan raut wajah Linghu Chong dan ia pun dapat menebak apa yang sedang dipikirkannya. “Adik, setelah Ketua lolos, banyak sekali urusan penting yang harus kami kerjakan dan jangan sampai diketahui musuh. Maka kami terpaksa membuatmu menderita sekian lama di dalam penjara. Justru kedatangan kami saat ini adalah untuk menolongmu. Syukurlah kau berhasil meloloskan diri dan menguasai ilmu sakti luar biasa. Boleh dibilang, kami telah membayar ganti rugi untukmu. Hahaha, sekarang terimalah permintaan maaf dari kakakmu ini,” katanya sambil menuang arak di cawan masing-masing sampai penuh, lalu menenggak habis miliknya.

Ren Woxing ikut bergelak tawa dan berkata, “Aku mengiringi minum satu cawan!”

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Minta maaf apa? Ganti rugi apa? Justru aku yang harus berterima kasih kepada kalian berdua. Tadinya aku menderita luka parah yang sukar disembuhkan, tapi setelah mempelajari ilmu sakti milik Ketua membuat penyakitku dapat disembuhkan, dan selembar nyawaku ini dapat dipertahankan.”

Mereka bertiga lantas bergelak tawa dengan sangat gembira.

Xiang Wentian berkata, “Dua belas tahun yang lalu, tiba-tiba Ketua menghilang secara aneh. Dongfang Bubai kemudian mengambil alih kekuasaan. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, namun aku hanya bisa bersabar dan berlagak bodoh di hadapan Dongfang Bubai. Sampai akhirnya, belum lama ini aku mendengar berita bahwa Ketua dikurung di tempat ini. Aku berniat ingin membantu Ketua meloloskan diri. Tak disangka, begitu meninggalkan Tebing Kayu Hitam, Dongfang Bubai langsung mengirim segerombolan orang itu untuk menangkap atau membunuhku. Keadaan bertambah kacau ketika aku bertemu orang-orang bangsat keparat dari aliran lurus. Adik, pada hari ketika kita berdua dikejar-kejar kedua golongan itu di jalanan gunung, kau telah menceritakan kepadaku tentang penyakit yang kau derita dan bagaimana kau sampai kehilangan tenaga dalam. Saat itu aku langsung berpikir bahwa di dunia ini yang bisa membuyarkan tenaga dalam liar di dalam tubuhmu hanyalah Jurus Penyedot Bintang milik Ketua. Jika Ketua berhasil meloloskan diri, maka aku akan memohon kepada Beliau supaya mengajarkan ilmu saktinya itu kepadamu, sehingga nyawamu bisa diselamatkan. Ternyata tanpa aku perlu membuka mulut, Ketua sendiri telah mengajarkan ilmu sakti itu kepadamu. Hahahaha!”

Ketiga orang itu kembali bergelak tawa sambil meneguk arak. Diam-diam Linghu Chong berpikir, “Walaupun Kakak Xiang telah memanfaatkanku demi menolong Ketua Ren, namun pada kenyataannya ia benar-benar menyelamatkan nyawaku. Sebelum kami kemari tempo hari ia sudah mengatakan hendak membereskan sebuah urusan mahapenting. Ia juga mengaku terus terang bahwa ia ingin memakaiku dan terpaksa menyusahkanku selama beberapa waktu. Aku sendiri langsung menyanggupinya. Maka mengenai penjara itu, sedikit pun aku tidak boleh mengeluh. Lagipula kalau aku tidak dilibatkan dalam masalah ini, mana mungkin Ketua Ren bersedia mengajarkan Jurus Penyedot Bintang begitu saja? Mana mungkin ilmu saktinya akan diwariskan kepada orang asing sepertiku yang tidak memiliki hubungan apa pun dengannya?” Berpikir demikian membuat di dalam hatinya tumbuh perasaan sangat berterima kasih kepada Xiang Wentian.

Ia kemudian berpaling kepada Ren Woxing dan berkata, “Ketua Ren, ilmu saktimu ini telah mencapai kesempurnaan, sedangkan orang-orang tidak mengetahui asal-usulnya. Apakah Ketua Ren bersedia menceritakannya?”

Ren Woxing minum seteguk arak lalu berkata, “Ilmu saktiku ini berasal dari Partai Xiaoyao pada zaman Dinasti Song Utara, yang di kemudian hari terpisah menjadi dua macam ilmu, yaitu Beiming Shengong dan Huagong Dafa. Yang mempelajari Beiming Shengong adalah seorang kaisar bermarga Duan dari Kerajaan Dali. Pada mulanya kaisar bermarga Duan itu menganggap bahwa menghisap tenaga dalam milik orang lain yang sudah dikumpulkan seumur hidup untuk dipakai sendiri adalah tidak benar, oleh karena itu ia tidak mau melatihnya. Namun setelah membaca tulisan peninggalan seorang tetua dari Partai Xiaoyao, barulah ia menyadari apa tujuan ilmu sakti ini. Tulisan itu kira-kira seperti ini, ‘Tidak peduli orang baik atau jahat, barangsiapa yang mempelajari ilmu silat pasti akan melukai atau membunuh orang. Ilmu silat sendiri tidak bisa disebut baik atau jahat. Jika digunakan untuk berbuat baik, maka akan menjadi baik; dan jika digunakan untuk berbuat jahat maka akan menjadi jahat adanya.’ Kalau jurus Harimau Merenggut Jantung digunakan untuk membunuh orang jahat, maka itu menjadi jurus yang baik. Tapi kalau digunakan untuk membunuh orang baik, maka itu akan menjadi jurus yang jahat. Golok kalau digunakan untuk membunuh orang baik, maka itu menjadi golok yang jahat. Tapi kalau digunakan untuk membunuh orang yang jahat, maka itu adalah golok yang baik. Adik Linghu, kau setuju atau tidak?”

Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Pemikiran Ketua Ren sungguh mendalam.”

Ren Woxing berkata, “Itu bukan pemikiranku, tapi aku hanya mengulangi perkataan leluhur dari zaman Dinasti Song Utara itu. Kalau ada orang menghunus golok untuk melukai dan membunuh orang baik-baik, maka kita harus merebut golok itu dari tangan mereka supaya mereka tidak memegang senjata. Hal ini kita lakukan semata-mata demi kebaikan. Kalau ada seorang penjahat yang luar biasa kuat, tentu kalau ia berbuat jahat akan semakin ganas pula. Maka, kita harus merebut tenaga dalamnya sehingga itu berarti memusnahkan kemampuannya untuk berbuat jahat, seperti merebut golok tadi. Nah, para ahli waris Partai Xiaoyao ada yang baik dan ada yang jahat, namun orang bermarga Duan dari Kerajaan Dali itu ingin menggunakannya untuk kebaikan, yaitu dia hanya menghisap tenaga dalam orang jahat saja. Tentunya ini perbuatan benar, bukan? Sama seperti Pukulan Sakti dari Biara Shaolin, atau Pukulan Panjang dari Kuil Wudang terkenal sebagai jurus baik. Meskipun kedua pukulan ini sama-sama dapat melukai dan membunuh orang, namun selamanya tidak pernah digunakan dengan membabi buta untuk mencelakai orang yang tidak berdosa.”

Ren Woxing kemudian tertawa dan melanjutkan, “Kalau aku tidaklah demikian. Jika ada orang yang menyerangku, maka dia kuanggap musuh. Tidak peduli orang itu baik atau jahat, maka aku si tua akan menghisap tenaga dalamnya. Kalau tenaga dalam itu bisa kugunakan, bukankah ini sesuatu yang menyenangkan? Leluhur Partai Xiaoyao juga berkata, ‘Seratus sungai bergabung dengan lautan, adalah karena sungai itu sendiri yang mengalir masuk ke dalam lautan, sama sekali bukan lautan yang mengambil air sungai secara paksa. Perkataan ini tidak perlu diperdebatkan lagi. Kalau musuh menyerangku tanpa memakai tenaga dalam, maka aku pun tidak akan menghisap tenaga dalamnya. Prinsip dasar jurus Beiming Shengong adalah, apabila orang lain tidak menyerangku, maka aku pun tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, jurus Huagong Dafa tidaklah demikian. Penciptanya berasal dari Partai Xiaoyao juga, namun karena ia tidak mewariskannya kepada sesama anggota Partai, mereka juga tidak tahu bagaimana caranya membuyarkan tenaga dalam. Maka, mereka pun sering menggunakan racun ketika hendak menggunakan ilmu sakti ini. Setelah terkena racun, pembuluh nadi musuh akan rusak dan tenaga dalamnya musnah, seakan-akan dihisap habis orang. Jurus Penyedot Bintang milikku berasal dari Beiming Shengong yang asli, sama sekali tidak menggunakan racun. Perbedaan di antara keduanya harus kau perhatikan baik-baik.”

Sejak awal Linghu Chong merasa serbasalah. Baginya, menghisap tenaga dalam orang lain adalah sesuatu yang kurang pantas. Setelah mendengarkan uraian Ren Woxing tersebut, ia pun berpikir, “Kalau orang lain tidak menyerangku, maka aku pun tidak akan menyerangnya. Aku tidak ingin mencelakai orang lain. Tapi kalau ada orang hendak membunuhku, maka aku terpaksa menghisap tenaga dalamnya untuk membela diri dan menyelamatkan nyawa. Sepertinya ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu hal yang buruk. Akan tetapi, kalau orang itu sudah bersusah payah melatih tenaga dalamnya, lalu kuhisap untuk kugunakan sendiri, hal ini tidak jauh berbeda dengan merampok harta benda orang lain secara keji.”

Setelah minum belasan cawan arak, Linghu Chong merasa kepribadian Ketua Ren itu sangat menarik, penuh semangat kepahlawanan dan pengalamannya juga luas luar biasa. Diam-diam Linghu Chong merasa sangat kagum kepadanya. Walaupun tadinya ia merasa cara Ren Woxing bertindak terhadap Qin Weibang, dan Heibaizi terlihat sangat kejam, namun sesudah bercakap-cakap agak lama, ia merasa perbuatan seorang kesatria tidak dapat dinilai dengan ukuran orang biasa. Rasa kesal di dalam hatinya pun sedikit demi sedikit mulai pudar.

Ren Woxing melanjutkan, “Adik Linghu, terhadap musuh aku selalu bertindak kejam, terhadap bawahan aku pun sangat ketat. Kau mungkin tidak terbiasa dengan cara-cara seperti ini. Tapi coba pikir, sudah berapa lama aku dikurung di dalam penjara bawah danau? Kau sendiri telah merasakan bagaimana hidup di penjara neraka itu. Bagaimana mereka telah memperlakukanku dapatlah kau bayangkan sendiri. Lalu terhadap musuh dan pengkhianat, mana bisa aku berlaku lemah lembut?”

Linghu Chong mengangguk sambil memikirkan ucapan itu. Tiba-tiba terlintas suatu pikiran di benaknya yang membuatnya bangkit dan berkata, “Aku ingin memohon sesuatu kepada Ketua, semoga Ketua sudi mengabulkannya.”

“Urusan apa?” tanya Ren Woxing.

Linghu Chong berkata, “Sewaktu pertama kali aku bertemu dengan Ketua, pernah kudengar Huang Zhonggong berkata kalau sampai Ketua dilepaskan dan kembali berkecimpung di dunia persilatan, maka akan terjadi pertumpahan darah besar-besaran, di mana dari Perguruan Huashan saja sedikitnya separuh anggota bisa menjadi korban. Aku juga mendengar sendiri Ketua berkata bila bertemu dengan guruku, Ketua akan membuatnya susah. Ilmu Ketua sedemikian tinggi, apabila membuat susah Perguruan Huashan jelas tiada seorang pun yang mampu melawan ….”

Ren Woxing menukas, “Aku dengar dari Adik Xiang, bahwa kau ini telah dipecat dari Perguruan Huashan dan gurumu telah mengumumkan hal ini ke seluruh dunia persilatan. Jika nanti aku menghajar mereka lalu menumpas seluruh Perguruan Huashan sehingga lenyap dari dunia persilatan, bukankah ini dapat melampiaskan dendam dan kemarahanmu?”

Linghu Chong menggeleng dan menjawab, “Sejak kecil aku sudah yatim piatu. Berkat keluhuran budi Guru dan Ibu Guru, aku dibesarkan oleh mereka dan diterima masuk Perguruan. Meski hubungan kami adalah guru dan murid, tapi rasanya sudah seperti ayah dan anak. Mengenai diriku yang dipecat dari Perguruan Huashan, ini semua adalah salahku sendiri. Lagipula ada sedikit kesalahpahaman di antara kami, sehingga aku sama sekali tidak berani menyimpan dendam dan menyalahkan guruku yang berbudi.”

Ren Woxing berkata, “Jika demikian, meski Yue Buqun tidak kenal ampun kepadamu, tapi kau ingin tetap setia kepadanya?”

Linghu Chong menjawab, “Aku sungguh-sungguh memohon kepada Ketua, semoga Ketua bermurah hati untuk tidak membuat susah guru, ibu guru, serta adik-adik seperguruanku di Perguruan Huashan.”

Untuk sejenak Ren Woxing termenung, kemudian berkata agak menggumam, “Aku bisa lolos dari penjara juga berkat bantuanmu yang tidak sedikit. Tapi aku sendiri telah mewariskan Jurus Penyedot Bintang kepadamu dan menyelamatkan nyawamu. Kedua kejadian ini boleh dikata impas, siapa pun tidak saling berhutang. Sekarang aku telah masuk kembali ke dalam dunia persilatan. Banyak sekali dendam lama yang harus kuselesaikan sehingga aku tidak berani menjanjikan apa-apa kepadamu. Jika tidak, hal ini bisa merintangi setiap langkahku kelak.”

Wajah Linghu Chong tampak cemas karena permohonannya ditolak. Ren Woxing pun tertawa terbahak-bahak dan kembali berkata, “Adik, kau duduklah dulu! Saat ini di dunia hanya Adik Xiang dan kau yang benar-benar bisa kupercaya. Kau telah memohon kepadaku, meskipun sulit masih dapat kupertimbangkan. Begini saja, kalau kau berjanji untuk melakukan sesuatu kepadaku, maka aku pun akan berjanji untuk melakukan sesuatu kepadamu. Jika bertemu orang-orang Perguruan Huashan, aku tidak akan mengganggu mereka, kecuali mereka yang mendahului kurang ajar kepadaku. Andaikata aku harus menghajar mereka juga aku akan sedikit berbelas kasihan karena memandang dirimu. Bagaimana, kau setuju?”

Linghu Chong sangat senang dan buru-buru berkata, “Kalau demikian aku sungguh sangat berterima kasih. Apa pun yang Ketua Ren minta pasti akan kupatuhi.”

Ren Woxing berkata, “Marilah kita bertiga saling mengangkat saudara. Untuk selanjutnya, ada rezeki kita nikmati bersama, ada kesulitan kita pikul bersama. Jabatan Adik Xiang adalah Pelindung Kiri Cahaya Terang Sekte Matahari dan Bulan, sedangkan kau menjadi Pelindung Kanan. Bagaimana pendapatmu?”

Begitu mendengarnya, Linghu Chong langsung tercengang. Sama sekali ia tidak menduga orang itu akan meminta dirinya masuk menjadi anggota Sekte Matahari dan Bulan. Sejak kecil ia telah mendengar cerita guru dan ibu gurunya tentang bermacam-macam perbuatan keji yang dilakukan orang-orang Sekte Iblis. Meski sekarang dirinya telah dikeluarkan dari Perguruan Huashan, namun yang diinginkannya adalah hidup bebas merdeka dan menjadi seorang kelana yang tidak terikat oleh suatu aliran atau golongan mana pun. Maka, ia sama sekali tidak ingin menjadi anggota Sekte Iblis. Untuk sesaat pikirannya menjadi kacau dan tidak sanggup menjawab.

Ren Woxing dan Xiang Wentian menatap tajam untuk menantikan jawabannya. Suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi senyap.

Selang agak lama barulah Linghu Chong membuka suara, “Aku menghargai maksud baik Ketua. Namun Linghu Chong ini masih hijau, mana berani disejajarkan dengan Ketua dan mengangkat saudara segala? Lagipula, meski aku bukan lagi orang Perguruan Huashan, namun aku masih berharap Guru berubah pikiran dan menarik kembali keputusannya ….”

Ren Woxing tertawa hambar, dan berkata, “Meski kau memanggil ‘ketua’ kepadaku, tapi jiwaku sendiri setiap saat bisa melayang. Sebutan ‘ketua’ hanya enak didengar saja, tidak lebih cuma gelar kosong belaka. Saat ini di dunia setiap orang mengetahui Ketua Sekte Matahari dan Bulan adalah Dongfang Bubai. Ilmu silat orang ini sangat tinggi, sama sekali tidak berada di bawahku. Tipu muslihat dan kepintarannya bahkan jauh di atasku. Pengikutnya juga sangat banyak. Kalau hanya mengandalkan tenagaku serta Adik berdua untuk merebut kembali kedudukan ketua dari dia, hal ini bagaikan memukul batu menggunakan telur. Kau tidak ingin mengangkat saudara denganku, ini pun dapat aku maklumi karena kau ingin menjaga nama baikmu sendiri. Marilah, marilah, kita bergembira ria dan minum arak saja. Masalah tadi tidak perlu kita ungkit-ungkit lagi!”

Linghu Chong bertanya, “Bagaimana kedudukan Ketua sampai bisa direbut oleh Dongfang Bubai dan mengapa Ketua Ren sampai bisa dikurung dalam penjara neraka itu? Apakah kiranya seluk-beluk kejadian itu dapat diceritakan kepadaku?”

Ren Woxing menggeleng dan tersenyum getir, kemudian berkata, “Selama dua belas tahun mendekam di penjara bawah danau, segala kedudukan dan kekuasaan, segala kekayaan dan nama baik seharusnya sudah hambar bagiku. Tapi, hehe, semakin tua hatiku justru semakin panas.”

Xiang Wentian menyahut, “Adikku, tempo hari Dongfang Bubai telah mengirimkan orang-orangnya sebanyak itu untuk mengejarku. Betapa kejam cara yang mereka lakukan juga kau saksikan sendiri. Kalau saja kau tidak tampil ke muka untuk membelaku, tentu aku sudah dicincang hancur lebur di tengah gardu itu. Dalam hatimu kau masih membeda-bedakan antara aliran lurus dan aliran sesat segala. Tapi saat ratusan orang mengeroyok kita berdua tempo hari apakah masih ada bedanya antara yang lurus dan yang sesat? Padahal semua itu tergantung orangnya. Memang di dalam aliran lurus tidak sedikit terdapat orang baik, namun siapa berani bilang di sana tidak ada manusia yang rendah dan kotor? Di dalam aliran sesat memang betul tidak sedikit terdapat orang jahat, tapi bila kita bertiga sudah memegang kepemimpinan, kita dapat mengadakan pembersihan secara keseluruhan untuk melenyapkan para sampah itu. Dengan demikian, kita dapat membuka lembaran baru bagi sejarah dunia persilatan.”

Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Perkataan Kakak Xiang memang benar.”

Xiang Wentian melanjutkan, “Masih segar dalam ingatanku bagaimana dahulu Ketua memperlakukan Dongfang Bubai seperti saudara kandung sendiri, bahkan mengangkatnya sebagai Pelindung Cahaya Terang Kiri. Hampir semua kekuasaan kepemimpinan agama telah diserahkan kepadanya. Saat itu Ketua sedang memusatkan segenap tenaga dan pikiran untuk menyempurnakan Jurus Penyedot Bintang demi menutupi beberapa kekurangan-kekurangannya, sehingga tidak sempat mengawasi urusan agama sehari-hari. Tak disangka Dongfang Bubai itu ternyata serigala berbulu domba. Di hadapan Ketua ia berlaku sangat hormat dan tidak berani membangkang segala perintah, tapi di belakang diam-diam memupuk kekuatan dan menebar pengaruhnya sendiri. Dengan bermacam-macam alasan yang dibuat-buat ia telah memecat atau menghukum mati anggota yang setia kepada Ketua. Hanya beberapa tahun saja orang-orang kepercayaan Ketua telah tercerai-berai. Ketua seorang jujur dan tulus. Karena melihat Dongfang Bubai begitu hormat, juga segala urusan agama telah diaturnya degan rapi, maka Beliau sama sekali tidak menaruh curiga apa-apa kepadanya.”

Ren Woxing menghela napas dan berkata, “Adik Xiang, mengenai hal ini aku sungguh merasa malu. Sudah berkali-kali kau memberi nasihat kepadaku supaya berhati-hati kepada Dongfang Bubai. Namun aku terlalu percaya kepadanya dan nasihatmu yang baik kuanggap tidak enak didengar. Aku justru menganggapmu menyimpan iri hati dan juga menuduhmu sengaja memecah belah persatuan di antara pimpinan agama. Kau begitu marah kemudian pergi entah ke mana, dan untuk selanjutnya kita tidak pernah bertemu lagi.”

“Hamba sama sekali tidak berani menaruh dendam dan menyalahkan Ketua,” ujar Xiang Wentian. “Masalahnya hamba melihat ada gelagat kurang baik. Dongfang Bubai telah mengatur anak buahnya sedemikian rapi dan setiap saat bisa bertindak. Kalau hamba tetap mendampingi Ketua tentu akan lebih dulu dihabisi olehnya. Sama sekali hamba tidak takut mati, tetapi hamba lebih memikirkan masa depan agama kita. Kalau saja Ketua menyadari pengkhianatannya dan memberi perintah untuk memadamkan pemberontakannya, tentu hal itu sangat baik. Namun karena Ketua membiarkannya, hamba pun memilih pergi untuk mengawasi gerak-geriknya dari jauh, dengan demikian paling tidak akan membuat Dongfang Bubai berpikir dua kali sebelum melakukan pemberontakan.”

“Benar, langkahmu memang tepat,” ujar Ren Woxing. “Tapi waktu itu dari mana aku mengetahui maksud baikmu? Bahkan aku merasa gusar karena kau tinggal pergi begitu saja tanpa pamit. Saat itu latihanku telah mencapai tahap genting, dan hampir saja aku tersesat gara-gara kepergianmu. Namun Dongfang Bubai semakin giat melayaniku dan meminta aku supaya bersabar. Dengan begitu aku semakin masuk ke dalam perangkapnya dan pada akhirnya menyerahkan Kitab Bunga Mentari kepadanya.”

“Hah?”seru Linghu Chong begitu mendengar Kitab Bunga Mentari disebut.

“Apakah kau juga mengetahui tentang Kitab Bunga Mentari, Adikku?” tanya Xiang Wentian.

“Aku pernah mendengar guruku menyebut tentang kitab itu. Katanya, kitab itu berisi rahasia ilmu silat yang paling tinggi. Sungguh tidak kusangka kitab itu ternyata berada di tangan Ketua Ren,” jawab Linghu Chong.

“Sudah bertahun-tahun Kitab Bunga Mentari menjadi pusaka Sekte Matahari dan Bulan, selalu diturunkan dari ketua yang satu kepada ketua penggantinya,” ujar Ren Woxing. “Waktu itu aku sedang tenggelam dalam latihan Jurus Penyedot Bintang sehingga lupa daratan. Segala urusan tidak kupedulikan lagi. Timbul maksudku hendak menyerahkan kedudukan kepada Dongfang Bubai. Tujuanku memberikan Kitab Bunga Mentari kepadanya adalah sebagai isyarat yang jelas bahwa tidak lama lagi aku akan mengangkat dia sebagai penggantiku. Tapi, aih, Dongfang Bubai sebenarnya sangat cerdas, sudah jelas mengetahui kedudukan ketua akan segera dia warisi, namun mengapa dia begitu terburu nafsu? Tanpa menunggu aku mengumumkan secara resmi di hadapan banyak orang, dia justru mengambil risiko dengan mengadakan pengkhianatan dan merebut kedudukan.” Bicara sampai di sini terlihat dahinya berkerut seakan-akan sampai saat ini ia masih tidak mengerti apa yang terjadi di balik peristiwa itu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar