Pendekar Hina Kelana Jilid 96-100

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 96-100 Chongxu berkata, “Tanggal lima belas bulan depan Zuo Lengchan mengundang segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung untuk memilih ketua. Bagaimana pendapat Adik Linghu mengenai hal ini?”
Chongxu berkata, “Tanggal lima belas bulan depan Zuo Lengchan mengundang segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung untuk memilih ketua. Bagaimana pendapat Adik Linghu mengenai hal ini?”

Linghu Chong tertawa dan berkata, “Apa masih ada yang namanya pemilihan? Jabatan ketua sudah pasti menjadi milik Zuo Lengchan.”

Chongxu bertanya, “Apa Adik Linghu tidak ingin menentangnya?”

“Perguruan Songshan, Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah tunduk kepadanya,” jawab Linghu Chong. “Hanya tinggal Perguruan Henshan kami saja yang belum tunduk. Namun apabila kami menentang, bukankah ini perbuatan yang sia-sia belaka?”

Chongxu mengangguk dan menjawab, “Tidak juga. Perguruan Taishan, Huashan, dan Hengshan memang tunduk kepada kekuasaan Songshan. Namun itu hanya luarnya saja. Meskipun mulut mereka menyatakan tunduk, namun dalam hati mereka tentu menolak peleburan ini. Hanya saja, mereka belum menemukan alasan yang tepat untuk menentang.”

Fangzheng menambahkan, “Menurut pendapatku, Ketua Linghu tidak boleh berpangku tangan begitu saja. Nanti di sana, hendaknya kau menentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Saya rasa tidak semua orang menyetujui peleburan ini. Andai kata peleburan itu tetap terlaksana, maka kedudukan ketua harus ditentukan melalui pertandingan silat. Bila Ketua Linghu bersungguh-sungguh, tentu dapat mengalahkan Zuo Lengchan bertanding pedang.”

“Tapi aku … aku ….” seru Linghu Chong terperanjat bingung.

“Aku sependapat dengan Kepala Biara,” sela Pendeta Chongxu, “kami pernah bertukar pikiran mengenai sifatmu yang tidak tertarik dalam hal kedudukan ketua atau apa pun. Bila kau menjabat sebagai ketua – terus terang saja – tata tertib Perguruan Lima Gunung akan menjadi kendur, dan para anggota tentu merasa leluasa bertindak apa saja. Hal ini juga bukan sesuatu yang baik untuk dunia persilatan ….”

“Hahaha, ucapan Pendeta memang tepat,” seru Linghu Chong sambil tertawa gembira. “Bagaimana mungkin aku bisa mengemban tugas berat itu? Aku, Linghu Chong, hanya seorang pengelana yang kurang tertib hidupnya dan suka pada kebebasan.”

“Hidup kurang tertib tidak terlalu membahayakan orang lain, tapi ambisi yang besar justru banyak mencelakakan orang,” ujar Chongxu. “Bila Adik Linghu menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, pertama, tentu tidak akan menindas anggotamu sendiri. Kedua, kau pun tidak akan menggunakan kekerasan untuk menghadapi Sekte Iblis dan kaum sesat. Ketiga, kau juga tidak akan mencaplok Perguruan Shaolin dan Wudang kami, serta kemungkinan besar kau pun tak berminat untuk mencaplok perguruan-perguruan lain seperti Emei, Kunlun, dan Kongtong.”

Fangzheng tersenyum berkata, “Kami berdua sepakat menjalankan rencana ini. Meskipun kami mengatakan ini semua demi keselamatan dunia persilatan, namun setengahnya juga demi perguruan kami berdua.”

Chongxu menyahut, “Terus terang, kunjungan kami ke Gunung Henshan ini di samping menyampaikan selamat kepadamu juga demi menyelamatkan nyawa beribu-ribu kawan persilatan, baik dari golongan putih maupun golongan hitam.”

“Amitabha! Jika Zuo Lengchan benar-benar menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, siapa yang bisa menjamin kapan pembunuhan akan berakhir?” ujar Fangzheng.

Linghu Chong menghirup napas dalam-dalam, lalu berkata, “Jika demikian pesan Ketua berdua, sudah tentu Linghu Chong tidak berani menolaknya. Tapi Ketua berdua harap maklum bahwa saya masih terlalu hijau dalam segala hal. Menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan saja sudah keterlaluan, apalagi menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung? Mungkin saya akan banyak ditertawakan oleh para kesatria di seluruh jagad. Maka itu, saya sama sekali tidak menginginkan jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung. Namun tanggal lima belas nanti saya pasti akan hadir ke Gunung Songshan untuk mengobrak-abriknya. Bagaimanapun juga, niat Zuo Lengchan untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung harus digagalkan. Linghu Chong memang tidak mahir berbuat suatu kebaikan, tapi kalau disuruh berbuat onar dijamin beres.”

Chongxu berkata, “Kalau hanya berbuat onar saja juga kurang baik. Dalam keadaan terpaksa, kuharap kau jangan menolak untuk diangkat sebagai ketua.”

Namun Linghu Chong terus saja menggeleng-gelengkan kepala.

Chongxu melanjutkan, “Jika kau tidak berebut kedudukan ketua dengan Zuo Lengchan, akhirnya tentu dia yang akan terpilih. Jika Zuo Lengchan menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, maka hidup mati anggota akan berada di tangannya. Orang pertama yang akan dibereskan oleh Zuo Lengchan sudah pasti adalah kau sendiri.”

Linghu Chong terdiam dan menghela napas panjang, kemudian berkata, “Jika harus seperti itu, apa boleh buat?”

Chongxu terus mendesak, “Mungkin kau dapat meloloskan diri, tapi apakah semua anak buahmu akan kau tinggalkan begitu saja? Bagaimana kalau Zuo Lengchan membantai murid-murid tinggalan Biksuni Dingxian yang kau pimpin sekarang ini? Apakah kau juga akan tinggal diam?”

“Tidak bisa!” seru Linghu Chong sambil menggebrak tali jembatan di sampingnya.

Fangzheng menambahkan, “Selain itu, gurumu dan saudara-saudara seperguruanmu dari Huashan rasanya juga tidak akan lolos dari akal licik Zuo Lengchan dalam waktu yang tidak lama lagi. Satu per satu dari mereka pasti akan menjadi korban keganasan Zuo Lengchan. Apakah kau juga tetap berpangku tangan?”

Hati Linghu Chong tergetar mendengarnya. Bulu tengkuknya terasa ikut merinding. Sejenak kemudian ia lantas menjawab dengan hormat kepada kedua tokoh itu, “Terima kasih atas petunjuk Ketua berdua. Saya pasti akan berusaha sekuat tenaga.”

Fangzheng berkata, “Tanggal lima belas bulan tiga nanti Saudara Chongxu dan saya tentu akan berkunjung pula ke Gunung Songshan untuk ikut mendukung Ketua Linghu.”

“Bila Ketua berdua juga hadir, sudah tentu Zuo Lengchan takkan berani berbuat sewenang-wenang,” kata Linghu Chong gembira.

Ketiganya mengakhiri perundingan dengan hati lega. Meskipun masalah yang dihadapi cukup berat, namun karena rencana sudah disusun membuat beban mereka terasa ringan. Chongxu tertawa berkata, “Marilah kita kembali saja. Seorang ketua baru dilantik langsung menghilang, tentu anak buahmu sedang kebingungan menantikan dirimu.”

Ketiganya lantas berputar balik. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Siapa di sana?”

Ternyata saat itu ia mendengar suara napas banyak orang dari arah ujung jembatan gantung. Sepertinya di dalam Loteng Kura-Kura Sakti pada Kuil Gantung sebelah kiri ada pihak lain yang bersembunyi dan mengintai mereka.

Baru saja ia selesai membentak, serentak terdengar suara berisik. Beberapa daun jendela loteng tersebut tampak didobrak orang. Sekejap kemudian terlihat belasan batang busur panah mencuat keluar terarah kepada mereka bertiga. Pada saat yang hampir sama di Loteng Ular Dewa pada Kuil Gantung sebelah kanan juga terjadi hal yang serupa. Daun jendela juga didobrak dan belasan busur panah muncul mengincar ke arah mereka.

Fangzheng, Chongxu, dan Linghu Chong adalah tiga tokoh papan atas dunia persilatan zaman ini. Dalam keadaan biasa, meskipun puluhan anak panah diarahkan ke tubuh mereka, belum tentu mampu melukai ketiganya. Akan tetapi saat ini keadaannya berbeda. Ketiganya sedang berada di tengah jembatan gantung yang lebarnya hanya sekitar satu meter saja. Di bawah mereka adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya. Ditambah lagi, mereka bertiga tidak membawa senjata sama sekali. Menghadapi keadaan yang luar biasa secara tiba-tiba ini, mau tidak mau mereka merasa terkejut di dalam hati.

Selaku tuan rumah, Linghu Chong segera melangkah ke depan dan membentak, “Kaum celurut dari mana kalian? Mengapa tidak menampakkan diri?”

Namun pertanyaannya itu dijawab dengan suara bentakan seseorang, “Serang!”

Sebanyak tujuh atau delapan belas anak panah melesat ke arah Linghu Chong. Akan tetapi, yang melesat itu ternyata bukan panah-panah biasa, melainkan semacam semburan zat cair dari ujung busur masing-masing. Air yang menyembur itu berwarna kehitam-hitaman, serta berbau busuk dan sangat aneh, seperti bau bangkai dan juga menyerupai bau udang atau ikan busuk pula. Benar-benar memuakkan dan membuat Linghu Chong, Fangzheng, dan Chongxu ingin muntah meskipun tenaga dalam mereka sangat tinggi.

Semburan air itu mengarah ke udara dan sejenak kemudian turun ke bawah menjadi titik-titik hujan. Saat beberapa tetes air hitam itu jatuh di atas papan kayu jembatan, dalam sekejap saja langsung membekas dan menimbulkan lubang-lubang kecil. Jelas air hitam tersebut adalah sebangsa racun yang bisa melelehkan sasaran.

Meski Fangzheng dan Chongxu berpengalaman luas, tapi air beracun sehebat itu tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Kalau menghadapi anak panah atau senjata rahasia biasa mereka mampu menghindari atau menangkisnya meski tanpa senjata, cukup dengan mengibaskan jubah saja. Namun menghadapi air beracun yang bisa menghancurkan benda-benda yang tertetes ini boleh dikata membuat mereka gentar juga. Sedikit saja kulit terciprat bisa membuat daging mereka membusuk sampai ke tulang.

Kedua tokoh sepuh itu saling pandang sejenak. Wajah masing-masing tampak berubah hebat, dengan sorot mata memancarkan rasa ngeri. Padahal biasanya kedua orang ini bisa dikatakan tidak punya rasa takut sama sekali.

Setelah air beracun itu disemburkan, dari balik jendela terdengar suara seseorang berseru lantang, “Air beracun ini hanya disemburkan ke udara. Kalau sekiranya disemprotkan ke tubuh kalian, tentu bisa dibayangkan bagaimana akibatnya?” Lalu belasan ujung senapan air tadi terlihat mulai menggeser ke bawah dan kembali diarahkan kepada Linghu Chong bertiga.

Jembatan gantung itu panjangnya belasan meter yang menghubungkan Loteng Kura-Kura Sakti di sebelah kiri dan Loteng Ular Dewa di sebelah kanan. Namun kini di dalam kedua loteng itu sama-sama terpasang senapan yang bisa menyemburkan air beracun. Bila senapan-senapan itu ditembakkan serentak, biarpun punya kepandaian setinggi langit juga sulit untuk menyelamatkan diri.

Mendengar suara itu, Linghu Chong langsung mengenali siapa dia. Segera ia pun berseru, “Hm, kabarnya Ketua Dongfang mengirim hadiah kepadaku. Benar-benar hadiah yang luar biasa!”

Ternyata orang yang berbicara di Loteng Kura-Kura Sakti itu memang Jia Bu, utusan Dongfang Bubai yang berwajah kekuning-kuningan. Ia lantas bergelak tawa dan berkata, “Pintar sekali Tuan Muda Linghu ini. Dalam sekejap kau langsung dapat mengenali suaraku. Orang pintar tentu tidak mau menelan pil pahit. Sekarang aku jelas berada di atas angin dengan sedikit muslihat licik. Maka itu, bagaimana kalau Tuan Muda Linghu menyerah saja?” Ia sengaja mengakui dirinya memakai tipu muslihat licik, sehingga tidak perlu takut dikecam Linghu Chong mengenai akal busuknya itu.

Dengan mengerahkan tenaga dalam, Linghu Chong bergelak tawa pula. Suaranya menggetarkan angkasa pegunungan. Ia berkata, “Aku dan kedua sesepuh dari Perguruan Shaolin dan Wudang sedang mengobrol iseng di sini. Kukira yang hadir adalah teman baik semua sehingga tidak perlu mengadakan penjagaan segala. Tak disangka, Saudara Jia berhasil memperdaya kami. Apa hendak dikata, tidak mengaku kalah jelas tidak mungkin.”

“Baik sekali kalau begitu,” kata Jia Bu. “Ketua Dongfang sangat menghormati para sesepuh dunia persilatan, juga menghargai angkatan muda yang menonjol. Apalagi Nona Besar Ren sejak kecil tinggal bersama Ketua Dongfang dan dibesarkan bagai keponakan sendiri. Maka dengan memandang nama Nona Besar Ren, mana berani kami berlaku kasar kepada Tuan Muda Linghu?”

Linghu Chong mendengus tidak menjawab. Sementara itu Fangzheng dan Chongxu memeriksa keadaan sekitarnya untuk mencari celah meloloskan diri. Namun melihat belasan senapan air yang diacungkan ke arah mereka itu, seandainya turun tangan bersamaan juga tetap sulit membereskan semua musuh yang tidak jelas jumlahnya. Andaikan ada satu saja senapan yang sempat menyemburkan air beracunnya, jiwa ketiga orang itu tentu melayang seketika. Karena itu, mereka hanya bisa saling pandang dengan sorot mata seolah mengucapkan kalimat yang sama: “Kita tidak boleh bertindak gegabah.”

Terdengar Jia Bu berkata lagi, “Jika Tuan Muda Linghu sudah bersedia mengaku kalah, maka segala persoalan menjadi beres. Ketua Dongfang berpesan kepada kami agar mengundang Tuan Muda Linghu beserta Kepala Biara dari Shaolin dan Pendeta Ketua dari Wudang untuk berkunjung ke Tebing Kayu Hitam dan tinggal di sana barang beberapa hari. Sekarang kalian bertiga kebetulan berada di sini, bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat bersama?”

Kembali Linghu Chong mendengus dan berpikir di dunia ini mana ada urusan semudah itu? Asalkan dirinya bertiga telah melewati jembatan gantung, maka untuk membereskan Jia Bu dan Shangguan Yun boleh dikata bukan pekerjaan yang sulit.

Ternyata dugaannya benar. Segera terdengar Jia Bu menyambung, “Namun ilmu silat kalian bertiga teramat tinggi. Bila di tengah jalan kalian berubah pikiran dan tidak mau menuju ke Tebing Kayu Hitam, maka sukar bagi kami untuk menunaikan tugas. Demi tanggung jawab yang berat ini terpaksa aku harus meminjam tiga belah lengan kanan kalian.”

“Meminjam tiga belah lengan kanan?” Linghu Chong menegas.

“Benar,” jawab Jia Bu. “Silakan kalian bertiga memotong lengan kanan sendiri-sendiri. Dengan demikian kami baru merasa lega.”

“Hahahahaha! Ternyata itu keinginanmu,” seru Linghu Chong tertawa. “Dongfang Bubai rupanya takut kepada ilmu silat kami bertiga, sehingga memasang perangkap ini dan memaksa kami memotong lengan sendiri. Jika kami kehilangan lengan kanan, maka dengan sendirinya kami tidak mampu lagi bermain pedang dan dia bisa tidur nyenyak tanpa khawatir lagi.”

“Tidur nyenyak tanpa khawatir mungkin juga tidak,” kata Jia Bu. “Yang jelas Ren Woxing akan kehilangan sekutu hebat semacam Tuan Muda Linghu ini. Maka kekuatannya tentu akan menjadi jauh lebih lemah.”

“Hm, kau memang orang yang suka berterus terang,” ujar Linghu Chong.

“Aku ini seorang pengecut sejati,” jawab Jia Bu. Ia lalu melantangkan suaranya, “Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, kalian lebih suka mengorbankan sebelah lengan atau jiwa kalian melayang di sini?”

“Baiklah,” jawab Chongxu. “Dongfang Bubai ingin meminjam lengan, maka akan kami pinjamkan. Hanya saja, kami tidak membawa senjata apa-apa. Untuk memotong lengan sendiri tentu sangat sulit.” Baru saja ucapannya berakhir, tiba-tiba muncul sinar putih melesat berkilauan. Ternyata sebuah gelang baja dilemparkan dari salah satu jendela Loteng Kura-Kura Sakti. Garis tengah gelang baja itu sekitar tiga puluh senti, dengan pinggiran yang sangat tajam. Di tengah gelang terdapat satu palangan yang digunakan sebagai pegangan. Senjata semacam ini jarang dijumpai di dunia persilatan. Biasanya ada satu atau dua perguruan yang memakai gelang baja semacam ini untuk pertarungan jarak dekat, namun berjumlah sepasang, dengan istilah Gelang Qiankun.

Karena Linghu Chong berdiri paling depan, maka dengan cepat ia menangkap gelang baja tersebut. Melihat senjata itu ia meringis mengakui kelicikan Jia Bu. Pinggiran gelang baja itu sangat tajam, sekali digerakkan tentu membuat sebelah lengan tertebas buntung. Tapi kalau diputar, lantaran bentuknya bundar kecil, bagaimanapun juga tetap sukar untuk menangkis air beracun yang disemprotkan.

“Jika kalian sudah setuju, lekas kerjakan!” bentak Jia Bu dengan suara bengis, “Kalian tidak perlu mengulur-ulur waktu untuk menunggu datangnya bala bantuan. Aku akan menghitung sampai tiga. Jika kalian tidak lekas memotong lengan sendiri, serentak air beracun akan kami semburkan. Satu ….”

Linghu Chong berbisik kepada kedua kawannya, “Aku akan menerjang ke depan, harap Ketua berdua ikut di belakangku!”

“Jangan!” kata Chongxu.

Terdengar Jia Bu telah berseru lagi, “Dua!”

Linghu Chong mengangkat gelang baja di tangannya. Dalam hati ia berpikir, “Bagaimanapun juga Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu adalah tamuku, aku tidak boleh membuat susah mereka berdua. Pada hitungan ketiga nanti, akan segera kulemparkan kembali gelang baja ini, lalu kuterjang sambil mengibaskan lengan baju. Biar aku menghadang semua semburan air beracun itu dengan badanku, supaya kedua sesepuh bisa meloloskan diri.”

Sementara itu Jia Bu telah berseru lagi, “Semuanya bersiap, hitungan terakhir ‘tiga’!”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang perempuan dari dalam Loteng Kura-Kura Sakti, “Nanti dulu!” Menyusul kemudian sesosok bayangan hijau melayang tiba dan mendarat di jembatan gantung, tepat di depan Linghu Chong. Perempuan itu tidak lain adalah Ren Yingying.

Linghu Chong langsung berseru, “Yingying, mundurlah!”

Ren Yingying meletakkan tangan kiri di belakang tubuh dan menggoyang-goyangkannya, lalu ia berseru, “Paman Jia, nama besar Orang Agung Muka Kuning begitu cemerlang di dunia persilatan. Tapi mengapa sekarang kau melakukan perbuatan rendah seperti ini?”

“Urusan ini … Nona Besar, harap kau menyingkir dulu, jangan ikut campur!” jawab Jia Bu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ren Yingying. “Paman Dongfang menyuruhmu bersama Paman Shangguan mengantar hadiah untukku, tapi mengapa kau dapat disuap oleh Zuo Lengchan dan berbalik memusuhi Ketua Perguruan Henshan?”

“Siapa bilang aku menerima suap dari Zuo Lengchan?” Jia Bu menyangkal. “Aku mendapat perintah rahasia dari Ketua Dongfang agar menangkap Linghu Chong dan membawanya ke Tebing Kayu Hitam.”

“Omong kosong!” bentak Ren Yingying. “Lencana milik Ketua ada padaku. Ketua memerintahkan: Jia Bu telah mengadakan persekongkolan jahat dan melanggar peraturan. Hendaknya setiap anggota Sekte segera menangkap dan membunuhnya. Untuk ini ada hadiah besar yang disediakan.”

Usai berkata ia lantas mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Tampak sepotong kayu hitam yang dikenal sebagai Lencana Kayu Hitam ada dalam genggamannya.

Jia Bu menjadi gusar dan segera memberi aba-aba, “Tembak!”

“Apa kau berani?” Ren Yingying balas membentak. “Apakah Ketua Dongfang menyuruhmu membunuh aku?”

“Kau membangkang perintah Ketua ….” gerutu Jia Bu.

“Paman Shangguan, tangkap pengkhianat ini,” seru Ren Yingying menyela, “Kau akan segera naik pangkat menjadi Tetua Balai Naga Hijau.”

Shangguan Yun yang saat itu berada di Loteng Ular Dewa tercengang memikirkan perintah Ren Yingying. Ilmu silat dan pengalamannya memang lebih tinggi daripada Jia Bu, namun kedudukan Jia Bu sebagai Tetua Balai Naga Hijau jelas lebih tinggi daripada kedudukannya sebagai Tetua Balai Macan Putih. Hal ini sempat membuatnya cemburu dalam hati. Kini begitu mendengar seruan Ren Yingying, mau tidak mau hatinya tergerak namun masih diliputi keraguan. Sudah tentu ia mengetahui kalau Ren Yingying adalah putri Ren Woxing, ketua terdahulu. Meskipun biasanya Ketua Dongfang sangat menghargai gadis ini, namun akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa Ren Woxing mucul kembali di dunia persilatan dan bermaksud merebut kembali kedudukannya sebagai Ketua Sekte. Ia menduga di antara Ketua Dongfang dan Nona Ren tentu juga akan terjadi perselisihan. Tapi kalau disuruh memerintahkan anak buahnya menyemprotkan air beracun kepada Ren Yingying, hal ini pun tidak bisa dilakukan olehnya.

Terdengar Jia Bu berteriak lagi, “Lepaskan tembakan!”

Namun para prajuritnya selama ini memandang Ren Yingying bagaikan dewi kahyangan yang dipuja-puja. Apalagi gadis itu terlihat memegang Lencana Kayu Hitam, tentu saja mereka tidak berani sembarangan bertindak kepadanya.

Tiba-tiba di tengah suasana yang tegang itu, di bawah Loteng Kura-Kura Sakti terdengar suara orang berseru, “Api! Api! Kebakaran! Kebakaran” Menyusul kemudian terlihatlah sinar api menyala-nyala disertai mengepulnya asap dari bawah.

“Jia Bu, kau benar-benar kejam!” seru Ren Yingying. “Mengapa kau ingin membakar anak buahmu sendiri?”

Jia Bu membantah, “Omong kosong ….”

Ren Yingying menyela, “Hidup Ketua Dongfang, pemersatu dunia persilatan! Wahai, orang-orang Sekte Matahari dan Bulan, Ketua memberikan perintah: Lekas padamkan api!” Bersamaan itu ia lantas menerjang ke depan.

Linghu Chong, Fangzheng, dan Chongxu segera memanfaatkan kekacauan itu untuk berlari ke depan pula. Tadi sewaktu Ren Yingying mengangkat Lencana Kayu Hitam dan menyampaikan perintah memadamkan api, seketika terjadi kebingungan dan kekacauan dalam lingkungan para prajurit penembak. Dalam keadaan itu Linghu Chong bertiga melesat di atas jembatan gantung dan membobol jendela loteng lalu menerjang ke dalam.

Begitu mereka menyerbu ke dalam loteng, Linghu Chong menyambar sebuah tatakan lilin yang berujung tajam di dekat altar. Sekali ia menghentakkannya, sepotong lilin yang masih menancap di situ langsung melesat dan merobohkan seorang anak buah Jia Bu. Menyusul tatakan lilin lantas bekerja pula. Hanya sekejap saja enam sampai tujuh orang telah dibinasakan olehnya. Di sisi lain, Fangzheng dan Chongxu juga sedang melabrak musuh dengan tangan kosong. Dengan cepat mereka pun telah membereskan tujuh sampai delapan orang.

Kedatangan Jia Bu dan Shangguan Yun kali ini membawa empat puluh buah peti besar, yang masing-masing digotong oleh dua orang, sehingga jumlah semua prajuritnya ada delapan puluh orang. Kedelapan puluh orang itu semuanya adalah jago pilihan dalam Sekte Matahari dan Bulan. Meskipun bukan jago kelas satu, namun ilmu silat masing-masing dapat dikatakan cukup tangguh. Empat puluh orang di antaranya tersebar menjaga di sekeliling Loteng Kura-Kura Sakti, dan yang empat puluh lagi bertugas menembakkan senapan air yang terbagi di Loteng Kura-Kura Sakti dan Loteng Ular Dewa. Dalam sekejap saja Linghu Chong bertiga sudah membereskan kedua puluh anak buah Jia Bu. Senapan penyemprot air beracun itu tampak berantakan tersebar memenuhi lantai. Sementara itu Jia Bu bersenjatakan sepasang pena baja sedang bertempur melawan Ren Yingying yang bersenjatakan sepasang pedang, satu panjang dan satu pendek.

Ketika pertama kali bertemu dulu, Linghu Chong hanya mendengar suara Ren Yingying tanpa pernah melihat wajahnya. Ia hanya tahu betapa kaum persilatan dari golongan hitam sangat segan kepada gadis itu sehingga ia pun membayangkan Ren Yingying sebagai seorang wanita agung yang sangat kuat dan berkuasa. Begitu pula sewaktu gadis itu membunuh beberapa murid Shaolin serta bertarung melawan Biksu Fangsheng, saat itu Linghu Chong hanya menyaksikan bayangannya saja. Dengan demikian, ini adalah pertama kalinya ia menyaksikan secara langsung bagaimana Ren Yingying bertarung melawan musuh.

Terlihat olehnya bagaimana Ren Yingying bergerak dengan ringan dan sangat cepat. Tempat yang diserangnya selalu titik-titik berbahaya pada tubuh lawan. Linghu Chong sendiri sampai terbawa perasaan. Melihat gerakan gesit gadis itu ia merasa dirinya ikut mengapung bagaikan kabut.

Sebaliknya, sepasang pena yang digunakan Jia Bu juga terlihat sangat ganas. Bobot kedua pena tersebut kiranya tidak ringan, terbukti dari sambaran angin yang menderu ketika senjata itu bergerak. Ren Yingying selalu berusaha menghindarkan senjatanya beradu dengan senjata lawan dan menyerang pada saat yang tepat di titik yang mematikan pula.

Terdengar Fangzheng berteriak kepada Jia Bu, “Makhluk pendosa, kenapa kau tidak meletakkan senjata dan menyerah saja?”

Namun Jia Bu sudah tidak peduli lagi. Ia merasa hari ini adalah hari kematiannya. Maka ia pun bertarung sekuat tenaga dan secara nekat menusukkan penanya ke leher Ren Yingying. Kontan saja Linghu Chong terkejut. Khawatir Ren Yingying tidak sanggup menghindari serangan maut itu, tanpa pikir panjang ia pun menusukkan tatakan lilin di tangannya ke depan, tepat mengenai pergelangan tangan Jia Bu.

Jia Bu kesakitan. Kedua pena pun terlepas dari pegangan. Namun orang ini memang sangat tangkas. Dengan sangat cepat ia menubruk ke arah Linghu Chong sambil menghantamkan kedua telapak tangan. Namun Fangzheng lebih dulu menyela dari samping. Sekali pegang kedua tangan Jia Bu tertangkap oleh sang biksu.

Sekuat tenaga Jia Bu meronta. Namun bagaimanapun juga sukar melepaskan diri dari cengkeraman Fangzheng itu. Tanpa pikir panjang ia mengangkat sebelah kakinya, lantas menendang selangkangan Fangzheng. Serangan ini benar-benar perbuatan rendah. Fangzheng menghela napas dan terpaksa mendorongkan kedua tangannya ke depan. Jia Bu tidak mampu berdiri tegak lagi, dan tubuhnya pun terlempar ke luar menerobos pintu kemudian terjerumus ke bawah. Terdengar suara jeritan ngeri yang terus berkumandang, makin lama makin lirih sampai akhirnya lenyap di dasar jurang yang tak terkirakan dalamnya itu.

“Untung kau datang menolong tepat pada waktunya,” kata Linghu Chong kepada Ren Yingying.

“Ya, untung aku tidak terlambat,” jawab Ren Yingying dengan tersenyum. Lalu ia berseru pula, “Padamkan api!”

Terdengar beberapa orang mengiakan di bawah loteng. Ternyata api yang berkobar di bawah itu sengaja dinyalakan untuk mengacaukan perhatian Jia Bu. Api tersebut bukanlah kebakaran sesungguhnya, namun hanya rumput kering yang dinyalakan dan dicampur dengan sendawa.

Ren Yingying mendekati jendela dan berseru ke arah Loteng Ular Dewa, “Paman Shangguan, Jia Bu membangkang perintah sehingga mendapatkan ganjaran yang setimpal. Kau sendiri boleh kemari bersama anak buahmu. Aku tidak akan membuatmu susah.”

“Nona Besar, ucapanmu harus dapat dipercaya,” jawab Shangguan Yun.

“Asalkan Paman Shangguan mau tunduk kepada perintahku, aku berjanji takkan membuatmu susah. Kalau sampai melanggar sumpah ini biarlah otakku membusuk dimakan ulat.” Ucapan Ren Yingying ini merupakan sumpah paling berat menurut adat Sekte Matahari dan Bulan. Shangguan Yun lega mendengarnya dan segera ia memimpin kedua puluh anak buahnya keluar dari loteng di ujung satunya.

Ketika Linghu Chong berempat turun ke bawah Loteng Kura-Kura Sakti, tampak Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan beberapa lainnya sudah menanti di situ.

“Dari mana kau tahu Jia Bu akan menyergap kami?” tanya Linghu Chong kepada Ren Yingying.

“Aku merasa heran mengapa Dongfang Bubai begitu baik hati mau mengirimkan hadiah kepadamu,” jawab Ren Yingying. “Aku berpikir di dalam peti-peti kirimannya itu mungkin tersembunyi suatu muslihat keji. Kemudian kulihat pula tingkah laku Jia Bu yang agak mencurigakan, bahkan membawa pengikutnya naik ke sini. Aku bertambah curiga dan mencoba mengikutinya bersama Tuan Lao dan yang lain. Ternyata beberapa anak buahnya yang berjaga di bawah sana melarang kami naik ke sini. Dengan demikian rahasia mereka lantas kami ketahui.”

Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan yang lain bergelak tawa, sementara Shangguan Yun tertunduk malu. Linghu Chong sendiri juga merenungi nasibnya itu. “Ini baru hari pertamaku dilantik sebagai Ketua Perguruan Henshan, namun kebodohanku sudah terbuka dengan jelas. Orang-orang dari Sekte Iblis datang dengan maksud tidak baik, tapi aku tidak menaruh curiga sama sekali. Dengan licik mereka bisa mengepung kami. Kalau aku yang mati tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu yang celaka di tangan para penjahat itu? Aih, aku tidak bisa membayangkannya,” ujarnya dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Terdengar Ren Yingying berkata, “Paman Shangguan, selanjutnya kau ikut denganku atau kembali pada Dongfang Bubai?”

Raut muka Shangguan Yun berubah hebat. Tentu saja ia merasa sulit kalau disuruh mengkhianati Dongfang Bubai.

Dengan suara lantang Ren Yingying melanjutkan, “Di antara Sepuluh Tetua Sekte Matahari dan Bulan kita, sudah ada enam di antaranya yang menelan Tiga Pil Penghancur Otak dari ayahku. Apa kau mau menelan pil ini atau tidak?” Usai berkata ia lantas menjulurkan tangannya. Tampak sebiji pil berwarna merah berputar-putar di tengah telapak tangan gadis itu.

“Apakah benar, enam di antara ke… kesepuluh tetua kita sudah … sudah ….”

“Benar,” sahut Ren Yingying. “Sejak masuk Sekte kau langsung mengabdi pada Dongfang Bubai, dan tidak pernah bekerja kepada ayahku, maka ayahku pun tidak akan menganggapmu sebagai pengkhianat. Tapi asalkan kau mau meninggalkan yang salah dan memilih yang benar, sudah tentu aku akan menghargai dirimu dan ayahku juga pasti akan memperlakukanmu dengan baik.”

Shangguan Yun berpikir kalau tidak menyerah tentu jiwanya akan melayang. Keadaannya sangat terdesak, mau tidak mau ia mengambil pil merah itu dari tangan Ren Yingying dan langsung menelannya. “Shangguan Yun berterima kasih atas budi baik Nona Besar yang mengampuni selembar nyawa hamba ini. Untuk selanjutnya Shangguan Yun akan berada di bawah perintah Nona Besar,” ujarnya sambil memberi hormat.

“Untuk selanjutnya kita adalah kalangan sendiri, tidak perlu banyak adat,” kata Ren Yingying. “Para pengikutmu ini dengan sendirinya mengikuti jejakmu, bukan?”

Shangguan Yun menoleh ke arah para pengikutnya yang berjumlah dua puluh orang itu. Melihat sang pemimpin sudah menyerah, tanpa diperintah lagi mereka lantas menyembah kepada Ren Yingying dan berseru, “Kami semua tunduk di bawah perintah Gadis Suci!”

Sementara itu, Lao Touzi dan kawan-kawan yang lain sudah memadamkan api. Melihat Ren Yingying telah menaklukkan Shangguan Yun mereka ikut bersyukur dan menyampaikan selamat. Maklum saja, ilmu silat Shangguan Yun termasuk tinggi dalam Sekte Matahari dan Bulan, serta kedudukannya juga sangat penting. Dengan demikian, peluang keberhasilan Ren Woxing untuk merebut kembali kedudukan ketua tentu akan semakin besar.

Melihat urusan sudah beres, Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu lantas mohon pamit. Linghu Chong mengantar keberangkatan kedua tokoh itu hingga jauh barulah ia mengucapkan selamat jalan.

Linghu Chong kemudian berjalan berdampingan dengan Ren Yingying kembali ke Puncak Jianxing. Terdengar Ren Yingying berkata, “Kakak Chong, kau sendiri sudah menyaksikan betapa keji dan licik Dongfang Bubai itu. Saat ini Ayah dan Paman Xiang sedang menemui dan membujuk kenalan-kenalan lama yang punya kedudukan penting di dalam sekte kami agar mau mendukung Ayah menjadi pemimpin lagi. Bila mereka mau menerima dengan baik ajakan Ayah tentu tidak menjadi soal. Tapi kalau ada yang menentang, maka satu per satu lantas dibereskan sekalian untuk mengurangi kekuatan Dongfang Bubai. Sementara ini Dongfang Bubai juga telah mengadakan serangan balasan, seperti kejadian ini. Dia mengirim Jia Bu dan Shangguan Yun untuk menjebakmu. Ini benar-benar suatu langkah yang sangat lihai. Masalahnya, Ayah dan Paman Xiang sukar dicari jejaknya sehingga Dongfang Bubai tidak mampu menemukan mereka. Sebaliknya, kalau kau sampai celaka, aku … aku ….” sampai di sini wajahnya menjadi merah, dan segera ia berpaling.

Angin malam berhembus sepoi-sepoi, meniup rambut Ren Yingying yang halus itu ke atas sehingga tampak lehernya yang jenjang dan putih bersih. Hati Linghu Chong tergetar melihatnya. Ia berpikir, “Bagaimana cintanya padaku, sudah diketahui banyak orang. Bahkan, Dongfang Bubai sampai ingin menangkapku sebagai sandera untuk memaksa ia menyerah, dan juga untuk memaksa ayahnya. Ketika di jembatan gantung tadi, sudah jelas ia mengetahui betapa berbahaya air beracun musuh, namun ia rela menghadang di depanku. Punya istri begini setia, apa lagi yang kuinginkan?” Tanpa terasa lengannya menjulur dan bermaksud memeluk pinggang si nona.

Ren Yingying tertawa kecil, lalu sedikit berkelit, sehingga lengan Linghu Chong hanya memeluk udara kosong. Kalau bertarung dengan pedang memang Linghu Chong seorang pendekar tanpa tanding. Namun kalau menggunakan tangan kosong seperti gerakan memeluk tadi, kemampuannya sangat kurang.

“Apa seperti ini kelakuan seorang ketua perguruan yang terhormat?” kata Ren Yingying dengan tertawa.

Linghu Chong menjawab sambil meringis, “Biar saja. Di seluruh dunia persilatan ini memang hanya Ketua Perguruan Henshan saja yang paling istimewa, maksudku, paling banyak menjadi bahan tertawaan orang.”

“Mengapa kau berkata demikian?” ujar Ren Yingying sungguh-sungguh. “Bahkan para ketua dari Perguruan Shaolin dan Wudang juga sangat menghargai dirimu. Siapa lagi yang berani memandangmu rendah? Biarpun gurumu telah mengusirmu dari Huashan, tapi kau jangan selalu memikirkan soal ini dan merasa rendah diri.”

Kata-kata ini benar-benar menyentuh perasaan Linghu Chong. Memang selama ini hatinya dirundung duka karena pemecatannya dari Perguruan Huashan. Tanpa menjawab, ia hanya menghela napas dan menunduk.

“Kakak Chong,” kata Ren Yingying sambil memegang tangan Linghu Chong, “sebagai Ketua Perguruan Henshan, kau telah menonjol di antara para kesatria sejagad. Henshan dan Huashan berada pada tingkatan yang sama. Apakah sebagai Ketua Perguruan Henshan kau merasa tidak lebih terhormat daripada seorang murid Huashan?”

“Terima kasih banyak atas dukunganmu,” jawab Linghu Chong. “Aku hanya merasa kedudukanku sebagai pemimpin kawanan biksuni ini agak lucu dan serbarumit.”

Ren Yingying berkata, “Tapi hari ini sudah ada ribuan kesatria yang bersedia menjadi anggota Perguruan Henshan. Di dalam Serikat Pedang lima Gunung boleh dikata hanya Perguruan Songshan saja yang bisa menandingimu. Selain itu mana mungkin Perguruan Huashan, Taishan, dan Hengshan dapat menyamai kedudukanmu?”

“Dalam urusan ini aku juga harus berterima kasih kepadamu,” kata Linghu Chong.

“Terima kasih apa?” kata Ren Yingying tertawa.

“Kau khawatir namaku akan jatuh karena seorang laki-laki menjadi pemimpin kaum biksuni. Maka, kau sengaja mengirim anak buahmu sebanyak itu untuk bergabung dengan Perguruan Henshan. Kalau bukan perintah seorang Gadis Suci mana mungkin kawanan berandal sebanyak itu sudi datang kepadaku untuk menerima perintah begitu saja?” ujar Linghu Chong.

“Juga belum tentu benar seluruhnya,” sahut Ren Yingying sambil mencibir. “Tatkala kau menyerbu Biara Shaolin bukankah mereka pun tunduk semua di bawah perintahmu?”

Sambil berbicara, tanpa terasa mereka hampir sampai di biara induk. Sayup-sayup terdengar suara berisik banyak orang. Ren Yingying lantas berhenti dan berkata, “Kakak Chong, sementara ini kita berpisah dulu. Bila urusan penting Ayah sudah beres tentu aku akan datang lagi menjengukmu.”

Terdorong oleh perasaan hangat di dadanya, Linghu Chong berkata, “Apakah kalian akan berangkat ke Tebing Kayu Hitam?”

“Benar,” jawab Ren Yingying.

“Aku ikut!” seru Linghu Chong.

Seketika bola mata Ren Yingying memancarkan sorot penuh rasa gembira. Namun perlahan-lahan ia menggeleng.

“Kau tidak ingin aku ikut ke sana?” sahut Linghu Chong menegas.

“Baru saja kau menjadi Ketua Perguruan Henshan, rasanya kurang pantas jika sekarang ikut campur urusan rumah tangga Sekte Matahari dan Bulan kami,” kata Ren Yingying.

“Tapi menghadapi Dongfang Bubai adalah pekerjaan yang sangat berbahaya. Mana mungkin aku harus tinggal diam membiarkanmu menghadapi bahaya?” ujar Linghu Chong.

“Tapi di sini tinggal kawanan berandalan sebanyak itu. Siapa yang berani mengatasi mereka jika ada yang mengganggu nona-nona jelita Perguruan Henshan kalian?” balas Ren Yingying.

“Asalkan kau memberi perintah tegas, bagaimanapun juga mereka pasti tak akan berani main gila,” kata Linghu Chong

“Baiklah, karena kesediaanmu ikut menyerang Tebing Kayu Hitam, atas nama Ayah kusampaikan terima kasih,” ujar Ren Yingying.

“Untuk apa saling berterima kasih? Seperti orang lain saja?” balas Linghu Chong.

“Baiklah, kalau lain kali aku tidak tahu terima kasih janganlah kau salahkan aku,” sahut Ren Yingying dengan tertawa. Setelah beberapa langkah ia kembali berkata, “Tapi jika kau tidak masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan, Ayah tidak sudi menerima bantuanmu. Tapi … tapi .…”

“Meskipun aku tidak masuk menjadi anggota Sekte, tapi aku ingin sehidup semati denganmu,” jawab Linghu Chong. “Jika ayahmu menyuruhku pergi, aku akan bersikeras dan menolak.’

Ren Yingying tersenyum menjawab, “Ayah pasti sangat senang mendapat bantuanmu.”

Setelah kedua orang itu kembali di Puncak Jianxing, mereka lantas memberi perintah kepada anak buah masing-masing. Linghu Chong menyuruh murid-murid Perguruan Henshan agar giat berlatih, sementara Ren Yingying memberi perintah kepada Lao Touzi dan kawan-kawan agar menjaga tingkah laku masing-masing. Mereka dilarang keras naik ke Puncak Jianxing tanpa dipanggil. Barangsiapa yang melanggar akan dihukum potong kaki. Jika kaki kiri yang melangkah duluan, maka kaki kiri itu yang dipotong. Jika kaki kanan yang melangkah dulu, maka kaki kanan pula yang akan dipotong.

Esok paginya Linghu Chong, Ren Yingying, serta Shangguan Yun dan kedua puluh anak buahnya yang tersisa berangkat menuju Tebing Kayu Hitam, tempat di mana markas besar Sekte Matahari dan Bulan berada.

Tebing Kayu Hitam terletak di wilayah Hebei, arah ke timur dari Gunung Henshan. Setelah beberapa hari perjalanan sampailah mereka di wilayah tersebut. Di sepanjang jalan Linghu Chong dan Ren Yingying menumpang di dalam kereta yang berbeda dengan tirai tertutup untuk menghindari mata-mata Dongfang Bubai. Malam itu mereka menginap di Kota Dingzhou yang sudah tidak jauh lagi dari markas Sekte Matahari dan Bulan. Di dalam kota itu banyak anggota Sekte yang berlalu-lalang. Shangguan Yun menugasi empat anak buahnya menjaga di sekitar penginapan. Siapa pun yang tidak berkepentingan dilarang keras mendekat.

Sewaktu makan malam, Ren Yingying mengiringi Linghu Chong minum arak. Cahaya lilin yang berkedip-kedip makin menambah kecantikan gadis itu. Setelah meneguk tiga mangkuk arak, Linghu Chong berkata, “Yingying, saat di Biara Shaolin tempo hari ayahmu berkata hanya mengagumi tiga setengah tokoh besar pada zaman ini, dan Dongfang Bubai adalah yang nomor satu. Kalau orang ini mampu merampas kedudukan ketua sekte dari tangan ayahmu, sudah tentu ia seorang yang mahapintar. Menurut cerita kaum persilatan, konon ilmu silatnya juga nomor satu di dunia ini. Apa betul demikian?”

“Dongfang Bubai seorang yang mahacerdik dan banyak tipu muslihat memang tidak perlu disangsikan lagi,” jawab Ren Yingying. “Tapi mengenai sampai di mana ilmu silatnya, aku tidak mengetahuinya dengan begitu jelas, karena beberapa tahun terakhir ini aku sangat jarang berjumpa dengannya.”

“Ya, tentunya kau lebih sering tinggal di Pondok Bambu Hijau sehingga jarang berjumpa dengannya,” ujar Linghu Chong.

“Bukan begitu. Meski aku tinggal di pinggiran Kota Luoyang, tapi setiap tahun aku pulang ke Tebing Kayu Hitam satu atau dua kali. Namun demikian, tetap saja aku jarang bertemu Dongfang Bubai. Menurut cerita para tetua agama kami, akhir-akhir ini makin sulit untuk bertemu dengan sang ketua.”

“Orang yang berkedudukan tinggi seperti dia sengaja jual mahal agar lebih diagungkan orang,” kata Linghu Chong.

“Itu memang salah satu alasan tepat. Tapi kuduga tentu dia sedang giat berlatih ilmu di dalam Kitab Bunga Mentari sehingga tidak ingin pemusatan pikirannya terganggu,” jawab Ren Yingying

Linghu Chong berkata, “Ayahmu pernah bercerita padaku, dulu karena terlalu asyik berlatih cara-cara memusnahkan bergolaknya hawa murni yang dihisap oleh Jurus Penyedot Bintang membuat urusan Sekte sehari-hari kurang menjadi perhatiannya. Kesempatan itu akhirnya digunakan Dongfang Bubai untuk merebut kekuasaan. Apakah mungkin Dongfang Bubai akan mengulangi kesalahan ayahmu itu?”

“Sejak Dongfang Bubai tidak banyak memegang urusan Sekte, akhir-akhir ini semua kekuasaan boleh dikata jatuh ke tangan bocah bermarga Yang itu. Bocah itu bisa dijamin tidak akan merampas kedudukan Dongfang Bubai, maka tentang terulangnya peristiwa dahulu tidak perlu dikhawatirkannya,” jawab Ren Yingying.

“Bocah bermarga Yang katamu? Siapa dia? Mengapa selama ini belum pernah kudengar?” tanya Linghu Chong lagi.

Tiba-tiba wajah Ren Yingying menunjukkan perasaan rikuh. Dengan tersenyum ia menjawab, “Kalau bicara tentang dia hanya mengotori mulut saja. Orang di dalam sekte kami yang tahu seluk-beluknya tidak ada yang sudi membicarakannya, apalagi orang di luar jelas takkan ada yang tahu tentang dia.”

Linghu Chong semakin penasaran dibuatnya. Ia pun bergaya merengek, “Adik manis, coba ceritakanlah padaku.”

Ren Yingying menjawab, “Bocah bermarga Yang itu bernama lengkap Yang Lianting. Usianya belum genap tiga puluh. Ilmu silatnya rendah, tidak becus bekerja pula. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini Dongfang Bubai sangat sayang dan percaya kepadanya, sungguh sukar dimengerti.” Wajah Ren Yingying kembali bersemu merah, mulutnya agak mencibir dengan sikap yang mengejek.

Linghu Chong menanggapi, “Ah, bocah bermarga Yang itu pasti laki-laki simpanan Dongfang Bubai. Sungguh tidak kusangka, Dongfang Bubai yang gagah dan berilmu tinggi, ternyata dia … dia suka menyimpan laki-laki.”

Ren Yingying risih dan menyahut, “Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi. Aku pun tidak tahu apa yang dipikirkan Dongfang Bubai. Yang jelas semua urusan hampir dia serahkan kepada Yang Lianting sehingga banyak kawan-kawan dalam sekte kami yang menjadi korban keculasan si marga Yang itu. Sungguh, bocah itu pantas dibinasakan.”

Tiba-tiba dari luar jendela terdengar suara orang tertawa dan berseru, “Ucapanmu itu salah. Sebaliknya, kita harus banyak berterima kasih kepada bocah bermarga Yang itu.”

“Ayah!” seru Ren Yingying gembira. Segera ia pun membuka pintu.

Ren Woxing dan Xiang Wentian melangkah masuk. Keduanya sama-sama berdandan sebagai kaum petani berbaju kasar, memakai caping besar menutupi wajah pula. Kalau tidak mendengar suaranya tentu sukar mengenali kedua orang tua itu. Segera Linghu Chong memberi hormat dan menyuruh pelayan menambah makanan dan peralatan.

Ren Woxing berkata dengan penuh semangat “Akhir-akhir ini aku dan Adik Xiang menghubungi kawan-kawan lama di dalam Sekte, hasilnya ternyata sangat memuaskan. Delapan dari sepuluh kawan menyambut kemunculanku dengan gembira. Mereka berkata, akhir-akhir ini Dongfang Bubai sudah banyak melakukan penyimpangan dan dijauhi para pengikutnya. Terutama karena bocah bermarga Yang itu, yang asalnya cuma seorang keroco, lantaran bisa mengambil hati Dongfang Bubai sehingga mendapatkan kekuasaan. Kemudian dengan banyak gaya, tidak sedikit tokoh-tokoh terkemuka dan berjasa di dalam Sekte yang menjadi korbannya. Disingkirkan atau dibunuh. Perbuatan bocah bermarga Yang itu bukankah sangat menguntungkan kita? Bukankah seharusnya kita malah berterima kasih kepadanya?”

Ren Yingying mengangguk, lalu bertanya, “Dari mana Ayah mengetahui kedatangan kami?”

“Adik Xiang sempat berkelahi dengan Shangguan Yun, kemudian baru kami tahu kalau dia telah tunduk kepadamu,” kata Ren Woxing dengan tertawa.

“Paman Xiang tidak melukai dia, bukan?” tanya Ren Yingying.

“Tidak mudah melukai Pendekar Elang,” ujar Xiang Wentian dengan tersenyum.

Tiba-tiba terdengar suara suitan melengking tajam dari luar, sampai-sampai mendirikan bulu roma di malam sunyi itu.

“Apakah Dongfang Bubai mengetahui kedatangan kita?” kata Ren Yingying. Lalu ia berpaling dan menjelaskan kepada Linghu Chong, “Suara suitan ramai itu adalah tanda untuk menggerebek musuh atau menangkap kaum pengkhianat. Bila mendengar tanda-tanda itu serentak para anggota Sekte harus bersiap siaga.”

Sejenak kemudian, terdengar suara empat ekor kuda melaju dengan cepat melintas di depan penginapan. Salah seorang penunggang kuda itu berseru, “Tetua Balai Angin Guntur, Tong Baixiong, telah bersekongkol dengan musuh dan bermaksud memberontak. Ketua memberikan perintah kepada segenap anggota untuk membantu menangkapnya segera. Bila melawan boleh dibunuh tanpa bertanya.”

“Paman Tong memberontak? Mana mungkin?” ujar Ren Yingying lirih. Sayup-sayup terdengar suara derap laju kuda itu semakin lama semakin menjauh. Linghu Chong dapat melihat kejadian tadi yang jelas menunjukkan kalau wilayah di kota itu sudah berada dalam kekuasaan Sekte Matahari dan Bulan, sementara pemerintah resmi sama sekali tidak berdaya.

“Tajam juga sumber berita Dongfang Bubai. Baru kemarin kami bertemu dengan si tua Tong dan sekarang hal ini sudah diketahui olehnya,” kata Ren Woxing.

Ren Yingying merasa lega, “Jadi Paman Tong juga sanggup membantu kita?”

“Mana mau dia mengkhianati Dongfang Bubai,” jawab Ren Woxing. “Lama sekali aku dan Adik Xiang bicara dengannya, namun sukar sekali mengubah pendiriannya. Akhirnya dia berkata, ‘Hubunganku dengan Ketua Dongfang boleh dikata sehidup-semati, hal ini pun sudah kalian ketahui. Tapi sekarang kalian sengaja membujuk aku, jelas kalian memandang rendah kepadaku dan menganggapku sebagai pengecut yang suka menjual kawan. Memang akhir-akhir ini Ketua Dongfang tidak sedikit berbuat kesalahan karena dipengaruhi penjilat busuk itu. Namun, andai nanti Ketua Dongfang hancur lebur juga aku si marga Tong tidak akan berbuat sesuatu pun yang tidak baik kepadanya. Aku memang bukan tandingan kalian berdua, jika mau bunuh, silakan bunuh saja sekarang.’ – Hm, si tua Tong itu makin tua makin berapi.”

“Sungguh seorang kesatria sejati, seorang kawan yang setia,” ujar Linghu Chong.

“Jika dia sudah menolak bujukan Ayah, kenapa sekarang Dongfang Bubai justru hendak menangkapnya?” tanya Ren Yingying.

“Ini namanya dunia sudah terbalik,” sahut Xiang Wentian. “Umur Dongfang Bubai belum terlalu tua, tapi tindak tanduknya sudah pikun. Kawan karib yang setia seperti Tong Baixiong itu ke mana lagi hendak dicari?”

“Tapi dengan adanya perselisihan antara Dongfang Bubai dengan Tong Baixiong, itu berarti malah menguntungkan usaha kita,” kata Ren Woxing tertawa. “Mari kita sama-sama mengeringkan satu cawan.”

Mereka berempat lantas mengangkat cawan sebagai tanda ucapan selamat dan bersyukur, lalu meneguk isinya sampai habis.

Ren Yingying menjelaskan kepada Linghu Chong, “Paman Tong itu seorang tokoh sepuh dalam sekte kami. Dahulu ia banyak berbuat jasa sehingga sangat dihormati. Biasanya ia tidak begitu cocok dengan Ayah, tapi sangat akrab dengan Dongfang Bubai. Bagaimanapun kesalahan yang ia perbuat seharusnya Dongfang Bubai dapat memaafkannya.”

Ren Woxing menyahut, “Dongfang Bubai hendak menangkap Tong Baixiong, sudah tentu di Tebing Kayu Hitam saat ini dalam keadaan kacau. Ini adalah kesempatan yang bagus bagi kita untuk naik ke sana.”

“Bagaimana kalau kita undang pula Shangguan Yun untuk diajak berunding?” tanya Xiang Wentian.

“Boleh,” jawab Ren Woxing.

Xiang Wentian melangkah keluar, dan tidak lama kemudian masuk lagi bersama Shangguan Yun. Begitu melihat Ren Woxing, segera Shangguan Yun menyembah penuh hormat, “Hamba Shangguan Yun menyampaikan hormat kepada Ketua, semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.”

Dengan tertawa Ren Woxing menjawab, “Saudara Shangguan, kudengar kau ini seorang laki-laki yang keras, mengapa dalam pertemuan pertama ini kau sudah mengucapkan basa-basi demikian?”

Shangguan Yun merasa bingung, kemudian berkata, “Hamba tidak paham, mohon Ketua sudi memberi petunjuk.”

Ren Yingying menyela, “Ayah, barangkali kau merasa heran terhadap pujian-pujian yang diucapkan Paman Shangguan tadi?”

“Ya, aku merasa seperti menjadi kaisar dengan sanjung puji yang luar biasa itu. Memangnya aku ini Kaisar Qin Shihuang?” kata Ren Woxing.

Ren Yingying menjawab, “Semua itu sengaja ditetapkan Dongfang Bubai agar anak buahnya selalu mengucapkan sanjung puji demikian bila berhadapan dengannya. Rupanya Paman Shangguan sudah terbiasa memakai pujian-pujian seperti itu sehingga kepada Ayah pun ia menggunakan kata-kata yang sama.”

“O, kiranya demikian. Panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan, bagus juga cita-cita seperti ini. Tapi kalau bukan dewa mana mungkin bisa hidup abadi?” kata Ren Woxing. “Saudara Shangguan, kabarnya Dongfang Bubai memerintahkan untuk menangkap Tong Baixiong. Kukira saat ini suasana di Tebing Kayu Hitam sedang kacau-balau. Bagaimana kalau malam ini juga kita naik ke atas sana?”

Shangguan Yun menjawab, “Ketua sangat bijaksana. Rencana Ketua sungguh sempurna dan bisa membuka mata banyak orang, bermanfaat bagi rakyat jelata. Siasat ini tidak mungin bisa dikalahkan, dan kemenangan akan berada dalam genggaman Ketua. Hamba akan melaksanakan perintah ini dengan baik, dan akan selalu setia kepada Ketua. Jika hamba berani membantah biarlah hamba mati seribu kali.”

Ren Woxing terperanjat mendengarnya. Ia mendengar nama besar Shangguan Yun di dunia persilatan sebagai sosok yang keras dan jujur, tapi mengapa ia begitu pandai mengucapkan kata-kata sanjungan yang menjijikkan macam itu? Apakah berita di dunia persilatan itu keliru, ataukah nama besar Shangguan Yun yang salah alamat?

“Ayah,” ujar Ren Yingying menyela, “untuk menyusup ke dalam Tebing Kayu Hitam sebaiknya kita menyamar saja supaya tidak dikenali musuh. Yang lebih penting lagi adalah kita harus menghafal kalimat-kalimat yang lazim digunakan di sana saat ini, yaitu sanjung puji sebagaimana yang diucapkan Paman Shangguan tadi. Kalimat-kalimat demikian sebenarnya buatan Yang Lianting untuk menjilat Dongfang Bubai. Rupanya Dongfang Bubai sangat senang menerima pujian-pujian semacam itu. Kalau bawahannya tidak mengucapkan sanjung puji demikian lantas dianggap berdosa dan dijatuhi hukuman, bahkan sampai dibinasakan.”

“Kalau bertemu Dongfang Bubai, apa kau sendiri juga menggunakan sanjung puji sialan seperti itu?” tanya Ren Woxing.

“Kalau tinggal di Tebing Kayu Hitam, mau tidak mau terpaksa harus mengikuti peraturan di sana,” jawab Ren Yingying. “Maka dari itu, aku lebih sering tinggal di Luoyang, untuk menghindari rasa muak terhadap tingkah laku menjijikkan mereka itu.”

“Saudara Shangguan,” kata Ren Woxing, “untuk selanjutnya kita tidak perlu memakai cara-cara seperti tadi.”

“Baik,” jawab Shangguan Yun, kemudian melanjutkan, “Ketua sangat bijaksana dan mahaadil. Perintah Ketua akan selalu dilaksanakan meskipun ratusan tahun berlalu, terang cemerlang bagaikan mentari yang menghangatkan bumi, tentu akan hamba patuhi. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi.”

Ren Yingying geli mendengarnya dan menutup mulut supaya tidak mengeluarkan suara tawa.

“Bagaimana pendapatmu agar kita dapat naik ke Tebing Kayu Hitam dengan lancar?” tanya Ren Woxing.

“Tentu Ketua sudah memiliki rencana dan perhitungan yang bagus,” jawab Shangguan Yun. “Pada zaman sekarang ini, siapa orangnya yang bisa menandingi kepandaian Ketua? Di hadapan Ketua mana berani hamba ikut bicara?”

“Apakah di waktu Dongfang Bubai mengadakan perundingan urusan penting, tidak seorang pun yang berani angkat bicara?” tanya Ren Woxing.

Ren Yingying menyela, “Dongfang Bubai seorang mahacerdik, orang lain sukar menandingi kepandaiannya. Maka biasanya memang tidak seorang pun yang berani mengusulkan sesuatu kepadanya. Kalau pun ada yang mempunyai pendapat juga tidak berani sembarangan bicara supaya tidak mendapatkan bencana di kemudian hari.”

“O, ternyata demikian,” kata Ren Woxing. “Saudara Shangguan, ketika Dongfang Bubai menyuruhmu pergi menangkap Linghu Chong, perintah apa yang dia berikan padamu?”

“Dia mengatakan akan ada hadiah besar apabila kami dapat menangkap Pendekar Linghu. Bila tidak bisa menangkapnya, kami harus membawa pulang kepala kami sendiri,” jawab Shangguan Yun.

“Baik, sekarang juga kau boleh mengikat Linghu Chong dan menerima hadiahmu nanti,” kata Ren Woxing dengan tertawa.

Shangguan Yun tergetar mundur dan berkata, “Pendekar Linghu adalah kesayangan Ketua. Beliau sudah berjasa besar bagi agama kita. Mana berani hamba berlaku kurang sopan kepada Beliau?”

“Bukankah tempat kediaman Dongfang Bubai sangat sulit didatangi?” ujar Ren Woxing, “Dengan meringkus Linghu Chong, tentu dia akan menerima kedatanganmu,”

“Siasat ini sangat bagus,” seru Ren Yingying gembira. “Kita bisa menyamar sebagai anak buah Paman Shangguan untuk menemui Dongfang Bubai. Setelah berhadapan dengan dia, serentak kita mengangkat senjata dan mengerubutnya. Tidak peduli apakah dia sudah berhasil menguasai semua ilmu dalam Kitab Bunga Mentari atau belum, yang pasti dia tentu sulit menandingi serbuan empat orang sekaligus.”

Xiang Wentian menambahkan, “Sebaiknya Adik Linghu pura-pura terluka parah dengan tangan dan kaki dibalut, dinodai dengan bercak darah pula, lalu kita menggotongnya dalam usungan. Dengan demikian, Dongfang Bubai pasti tidak akan berjaga-jaga. Selain itu, kita juga dapat menyembunyikan senjata di dalamnya.”

“Bagus, bagus!” seru Ren Woxing setuju.

Sementara itu dari ujung jalan raya kembali terdengar suara deru laju kuda disertai teriakan seorang penunggangnya, “Tetua Balai Angin Guntur sudah tertangkap! Tetua Balai Angin Guntur sudah tertangkap!”

Ren Yingying melambaikan tangan mengajak Linghu Chong keluar ruangan. Di dekat pintu gerbang peninapan, mereka melihat puluhan penunggang kuda memegang obor, menggiring seorang tua lewat dengan cepat. Orang tua itu diikat dengan tangan ditelikung di belakang, sedangkan wajahnya tampak berlumuran darah. Sepertinya ia baru saja bertempur hebat melawan para penangkapnya. Seluruh rambut dan jenggot orang tua itu sudah beruban, namun tubuhnya gagah tinggi besar, dengan sorot mata berkilat-kilat, seperti menanggung kemarahan yang sangat dalam.

Dengan suara perlahan Ren Yingying berbisik kepada Linghu Chong, “Dulu bila bertemu dengan kakek itu, Dongfang Bubai selalu memanggilnya dengan sangat akrab, bagaikan saudara kandung. Siapa sangka sekarang dia sudah melupakan hubungan baik di masa lalu?”

Tidak lama kemudian Shangguan Yun telah menyediakan usungan dan sebagainya. Ren Yingying membalut lengan Linghu Chong dengan kain putih dan menggantungkannya di depan dada. Seekor kambing disembelih pula dan darahnya dipakai untuk melumuri badan pemuda itu.

Ren Woxing dan Xiang Wentian lantas berganti pakaian, menyamar sebagai anak buah Shangguan Yun. Ren Yingying juga menyamar sebagai laki-laki. Wajah mereka sengaja dikotori supaya sulit untuk dikenali lagi. Setelah makan kenyang, mereka pun berangkat menuju Tebing Kayu Hitam.

Kira-kira empat puluh li di sebelah barat laut Kota Dingzhou terdapat sebuah batu tebing berwarna merah darah di tepi sebuah teluk panjang. Air di teluk itu mengalir sangat deras. Teluk tersebut terkenal dengan sebutan Teluk Monyet. Lebih ke utara lagi dari teluk panjang itu hampir kedua tepinya hanya berupa tebing-tebing licin. Di situ hanya terdapat sebuah jalanan batu selebar satu meteran. Sepanjang jalan dijaga dengan ketat oleh anggota Sekte Matahari dan Bulan. Namun begitu melihat Shangguan Yun yang datang, para penjaga itu tampak sangat segan dan langsung memberi hormat.

Setelah menyusuri tiga jalan pegunungan, akhirnya mereka sampai juga di tepi teluk. Shangguan Yun melepaskan panah isyarat ke udara. Dari seberang muncul tiga buah sampan datang menyambut mereka. Dalam hati Linghu Chong mengagumi betapa hebat penjagaan yang dibangun Sekte Matahari dan Bulan selama ratusan tahun itu. Andai saja bukan karena Shangguan Yun, jangan harap orang luar mampu masuk ke dalam markas sekte yang ketat itu.

Sampai di seberang, jalanan bertambah curam. Semua orang harus meninggalkan kuda dan berjalan kaki untuk melaluinya. Beberapa orang memegang obor kayu cemara untuk menerangi jalan. Ren Yingying selalu berjaga di samping usungan dengan penuh kewaspadaan. Sepasang pedang pun siap di tangannya. Ia khawatir jangan-jangan anak buah Shangguan Yun yang sedang membawa usungan itu tiba-tiba memberontak dan melemparkan Linghu Chong ke dasar jurang, tentu akibatnya sangat mengerikan.

Ketika rombongan itu sampai di depan gerbang markas Sekte Matahari dan Bulan, hari masih sangat gelap. Shangguan Yun mengirim orang untuk menyampaikan laporan bahwa perintah Sang Ketua telah dilaksanakan dengan baik. Tidak lama kemudian terdengar suara gong ditabuh nyaring. Serentak Shangguan Yun berdiri tegak penuh hormat.

Ren Yingying sergera berbisik kepada ayahnya, “Lekas berdiri tegak, ada titah Sang Ketua.”

Ren Woxing merasa heran, tapi ia pun menurut dan segera berdiri tegak. Dilihatnya segenap anak buah Shangguan Yun juga mendadak berdiri tegak. Suara gong tadi terus bergema dari atas menuju ke bawah dengan sangat cepat. Ketika suara itu berhenti, barulah semua orang berani bergerak. Seorang berbaju kuning tampak masuk ke ruangan tunggu dan membentangkan selembar kain berwarna kuning pula. Ia membaca tulisan pada kain itu, “Ketua Dongfang pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang mahabijak dan mahaagung, ahli sastra yang bewatak kesatria, memberikan titah sebagai berikut: Jia Bu dan Shangguan Yun telah melaksanakan perintah dan pulang dengan hasil yang baik. Jasa mereka patut mendapat pujian. Diperintahkan sekarang juga boleh menghadap ke atas dengan membawa tawanan.”

Shangguan Yun membungkuk dengan penuh hormat, “Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.”

Diam-diam Linghu Chong merasa geli karena kelakuan mereka itu seperti peran kasim istana dalam sandiwara di panggung.

Sementara itu Shangguan Yun berseru pula, “Ketua sudi menerima hamba menghadap, budi baik mahabesar ini takkan hamba lupakan seumur hidup.”

Serentak anak buahnya juga berseru menirukan, “Ketua sudi menerima hamba menghadap, budi baik mahabesar ini takkan hamba lupakan seumur hidup.” Sudah tentu Ren Woxing dan Xiang Wentian hanya komat-kamit saja, sambil menggerutu dalam hati.

Begitulah, rombongan itu lantas naik ke atas tebing melalui undak-undakan batu. Mereka melintasi tiga buah pintu terali besi dan setiap kali selalu ditegur oleh para penjaga menggunakan kata sandi rahasia dan diperiksa pula tanda perintah yang tergantung di pinggang mereka. Akhirnya, rombongan itu sampai juga di depan sebuah pintu batu besar. Pada kedua sisi pintu itu terpahat tulisan-tulisan besar yang artinya mengagungkan penghuni di dalamnya, antara lain “Ahli Sastra Berbudi Luhur, Kesatria Rendah Hati” di pintu kiri, dan “Adil Bijaksana” pada pintu kanan. Selain itu terdapat pula papan nama tergantung bertuliskan: “Sekte Matahari dan Bulan”.

Setelah melewati pintu batu itu, terlihat sebuah keranjang bambu besar di atas tanah. Begitu besar keranjang bambu itu sehingga cukup untuk memuat belasan orang sekaligus.

“Angkat tawanan ke dalam situ!” seru Shangguan Yun.

Linghu Chong segera digotong oleh Ren Woxing, Xiang Wentian, dan Ren Yingying bertiga ke dalam keranjang raksasa tersebut. Ketika terdengar bunyi gong tiga kali, keranjang itu mulai naik ke atas. Rupanya di atas terdapat suatu kerekan untuk menarik keranjang itu menaiki tebing. Sewaktu Linghu Chong memandang ke sekelilingnya, terlihat beberapa titik sinar bintang, jelas menunjukkan Tebing Kayu Hitam ini memang luar biasa tingginya.

Ren Yingying menggenggam tangan Linghu Chong. Dalam kegelapan tampak pula gumpalan-gumpalan mega melayang lewat di atas kepala mereka. Sejenak kemudian mereka semua sudah ditelan oleh lautan awan. Kali ini titik-titik sinar tadi sudah tidak terlihat lagi, yang ada hanya kegelapan menyelimuti mereka.

Beberapa waktu kemudian barulah keranjang raksasa itu berhenti. Linghu Chong diusung keluar dan dipindahkan lagi ke sebuah keranjang lain yang terletak belasan meter di sebelah kiri. Rupanya puncak Tebing Kayu Hitam itu terlalu tinggi sehingga kerekan-kerekan yang dipasang itu terbagi dalam empat tingkat. Empat kali mereka harus dikerek barulah mencapai puncak tebing tersebut. Melewati itu semua Linghu Chong merenung, “Sedemikian tinggi tempat tinggal Dongfang Bubai, pantas saja para bawahan sukar sekali bertemu dengannya.”

Akhirnya sampai juga mereka di puncak tebing. Sementara itu matahari telah terbit pula di ufuk timur dan memancarkan sinarnya yang gemilang. Sebuah gapura megah terbuat dari batu marmer berwarna putih berkilauan terkena cahaya matahari. Pada batu itu tertulis sebuah kalimat dalam huruf-huruf berwarna kuning keemasan: “Demi Kebahagiaan Rakyat Jelata”.

Linghu Chong kembali berpikir, “Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi kemegahan Dongfang Bubai? Bahkan, Shaolin dan Wudang juga belum tentu mampu, apalagi Huashan dan Henshan. Dongfang Bubai memang manusia terpelajar, jelas berbeda dengan orang kebanyakan yang kasar.

Sebaliknya, Ren Woxing menggerutu membaca tulisan pada gapura marmer tersebut, “Demi kebahagiaan rakyat jelata? Huh!”

Shangguan Yun kemudian berseru, “Hamba Shangguan Yun, pemimpin Balai Macan Putih mohon bertemu atas izin Ketua.”

Dari sebuah rumah batu kecil di sebelah kiri muncul empat orang, semuanya berbaju ungu. Seorang di antaranya berkata, “Selamat atas jasa besar yang telah dicapai Tetua Shangguan. Mengapa Tetua Jia tidak ikut datang?”

“Tetua Jia telah gugur melawan musuh sebagai wujud pengabdian dan balas budinya kepada Ketua yang mahabijak,” jawab Shangguan Yun.

“O, kiranya demikian,” kata orang itu. “Jika begitu Tetua Shangguan tentu akan segera naik pangkat.”

“Bila mendapat anugerah Ketua, tentu kebaikan Saudara takkan kulupakan,” ujar Shangguan Yun.

Mendengar ucapan Shangguan Yun yang berjanji akan memberi hadiah kepadanya, orang itu terlihat senang, kemudian berkata, “Kalau begitu aku yang harus lebih dulu berterima kasih kepada Tetua Shangguan.”

Ia kemudian melirik ke arah Linghu Chong yang telentang di atas usungan. Sambil tertawa ia berkata, “Apakah bocah ini yang digandrungi Nona Ren? Tadinya kukira dia setampan Pan An atau Song Yu dalam cerita dongeng, tak tahunya cuma begini saja. Tetua Balai Naga Hijau Shangguan, silakan ikut denganku.”

Shangguan Yun menjawab, “Ketua belum mengangkat derajatku, janganlah Saudara buru-buru memanggil demikian kepadaku. Kalau sampai Ketua atau Pengurus Yang mendengar ini, aku bisa celaka.”

Orang itu meringis dan menjulurkan lidah, kemudian tidak bicara lagi. Ia lantas mendahului berjalan di depan. Dari gapura itu menuju ke pintu gerbang harus melalui sebuah jalan balok batu yang lurus. Setelah memasuki pintu gerbang, dua orang berbaju ungu yang lain mengantar mereka ke ruang belakang. Kepada Shangguan Yun ia berkata, “Pengurus Yang berkenan menemuimu, silakan tunggu di sini.”

“Baik,” jawab Shangguan Yun sambil berdiri tegak dengan kedua tangan lurus ke bawah.

Cukup lama mereka menunggu tapi orang yang disebut “Pengurus Yang” itu belum juga terlihat datang. Selama itu pula Shangguan Yun tetap berdiri tegak dan tidak berani mengambil tempat duduk.

Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Kedudukan Tuan Shangguan di dalam sekte ini cukup tinggi, boleh dikata hanya satu-dua tingkat saja di bawah ketua. Namun di atas Tebing Kayu Hitam ini ternyata hampir setiap orang tidak menghargainya, seakan-akan seorang pelayan juga lebih terhormat daripada dia. Lalu siapa pula Pengurus Yang itu? Kemungkinan besar pasti Yang Lianting. Padahal dia hanya seorang ‘pengurus rumah tangga’ saja, tetapi seorang Tetua Balai Macan Putih yang termasyhur ternyata harus berdiri menunggunya dengan penuh hormat. Huh, Dongfang Bubai sungguh keterlaluan!”

Selang agak lama barulah terdengar suara langkah orang datang ke tempat itu. Dari suara kakinya yang dangkal menunjukkan kalau orang ini tidak memiliki tenaga dalam yang kuat. Kemudian terdengar orang itu berdehem satu kali, lalu muncul dari balik pintu.

Ketika Linghu Chong melirik, dilihatnya pria itu berusia kurang dari tiga puluh. Ia memakai jubah satin berwarna merah gelap, badannya kekar, mukanya berewok, sikapnya pun terlihat gagah. Jika orang awam yang melihat tentu mengira dia menguasai ilmu silat tinggi.

Kembali Linghu Chong merenung, “Menurut cerita Yingying, orang ini sangat disayang oleh Dongfang Bubai, mungkin pula keduanya mempunyai hubungan istimewa. Tadinya kukira dia pasti seorang bocah berwajah manis yang suka bersikap manja, ternyata seorang laki-laki kekar begini. Apakah orang ini bukan Yang Lianting.”

Terdengar orang itu berkata, “Tetua Shangguan, kau telah berjasa besar dengan berhasil menangkap Linghu Chong, untuk ini Ketua merasa sangat senang.” Orang itu bertubuh gagah tapi ternyata bersuara sangat merdu dan enak didengar.

Shangguan Yun membungkuk dan menjawab, “Semua ini berkat restu dari Ketua yang mahaagung dan petunjuk dari Pengurus Yang yang bijaksana. Hamba hanya sekadar menjalankan titah.”

Linghu Chong terkejut dalam hati, “Hah, orang ini benar-benar Yang Lianting!”

Yang Lianting berjalan mendekati usungan dan memandangi Linghu Chong. Dengan sengaja Linghu Chong membuka mulutnya setengah menganga dan sorot mata buram sehingga mirip seperti orang yang benar-benar terluka parah.

“Orang ini tampaknya setengah sekarat. Apa benar dia ini Linghu Chong? Apa kau tidak keliru?” tanya Yang Lianting.

“Tidak mungkin keliru, hamba menyaksikan sendiri dia dilantik sebagai Ketua Perguruan Henshan,” jawab Shangguan Yun. “Itu karena tiga jalan darahnya yang penting telah tertotok tiga kali oleh Tetua Jia dan terkena pukulanku dua kali pula. Lukanya sangat parah. Jangan-jangan dalam waktu setahun belum bisa pulih.”

“Bagus, bagus!” puji Yang Lianting. “Kau telah memukul kekasih Nona Ren sampai seperti ini. Hati-hati, dia akan datang membunuhmu.”

“Hamba hanya setia kepada Ketua,” jawab Shangguan Yun. “Hamba tidak peduli meskipun harus celaka di tangan orang, yang penting hamba bisa mati demi Ketua, ini merupakan cita-cita tertinggi hamba seumur hidup.’

“Tentu saja,” jawab Yang Lianting. “Jasamu ini tentu akan kulaporkan kepada Ketua dan kau akan mendapatkan ganjaran semestinya. Tetua Balai Angin Guntur telah berkhianat. Apakah kau sudah mengetahui urusan ini?”

“Hamba tidak jelas duduk persoalannya dan berencana meminta petunjuk Pengurus Yang. Apabila Ketua dan Pengurus Yang memberikan perintah, hamba siap mengorbankan jiwa raga demi terlaksananya tugas tersebut. Sedikit pun hamba tidak akan membantah meski harus mati seribu kali,” jawab Shangguan Yun.

Yang Lianting lantas duduk di atas kursi sambil menghela napas, lalu berkata, “Si tua Tong Baixiong makin tua makin menjadi. Dia suka berlagak sebagai orang kepercayaan Ketua dan memandang sebelah mata kepada orang lain. Akhir-akhir ini dia bahkan bersekongkol dan berkomplot dengan maksud memberontak kepada Ketua. Memang sudah lama kulihat tingkahnya yang mencurigakan itu, tapi siapa sangka dia malah tambah berani? Akhir-akhir ini bahkan bersekongkol dengan pengkhianat besar Ren Woxing.”

“Dia … dia berkomplot dengan … dengan orang bermarga Ren itu?” Shangguan Yun menegas dengan suara agak gemetar.

“Tetua Shangguan, kenapa kau jadi ketakutan begini?” tanya Yang Lianting. “Ren Woxing itu bukan manusia yang bertangan enam dan berkepala tiga. Dahulu Ketua pernah membuatnya tak berdaya. Jika dia masih tetap hidup sampai sekarang, itu semua karena kebaikan hati Ketua. Kalau sekarang dia berani datang lagi ke Tebing Kayu Hitam ini, hm, apa dia tidak takut disembelih seperti ayam?”

“Ya, ya. Entah bagaimana Tong Baixiong itu bersekongkol dengan dia?” Shangguan Yun bertanya dengan tergagap-gagap.

Yang Lianting menjawab, “Tong Baixiong telah mengadakan pertemuan rahasia dengan Ren Woxing dan seorang pengkhianat lainnya, yaitu Xiang Wentian. Ketika dia kembali ke sini dan kutanyakan perbuatannya itu, ternyata Tong Baixiong mengakuinya dengan terus terang.”

“Dia mengaku terus terang, jelas tuduhan padanya bukanlah fitnah,” ujar Shangguan Yun.

“Kutegur dia mengapa tidak melapor kepada Ketua tentang pertemuannya dengan Ren Woxing dan Xiang Wentian, dia menjawab bahwa Ren Woxing telah memperlakukannya bagaikan teman lama, maka ia pun mengatakan pada pertemuan itu hanyalah pertemuan persahabatan saja. Kukatakan padanya, ‘Munculnya Ren Woxing jelas hendak memusuhi Ketua, hal ini tentu kau sudah tahu. Tapi mengapa kau anggap musuh sebagai sahabat?’ – Dia menjawab, ‘Mungkin Ketua yang salah dan bukan orang lain yang salah terhadap Ketua!’”

“Tua bangka kurang ajar!” gerutu Shangguan Yun. “Keluhuran budi Ketua setinggi langit. Beliau sangat baik dan murah hati terhadap sesama kawan, mana bisa berbuat salah kepada orang lain? Pasti orang itu yang berbuat kurang ajar kepada Ketua.” Bagi pendengaran Yang Lianting, ucapan Shangguan Yun ini tentu ditujukan kepada Ketua Dongfang, tapi bagi Linghu Chong dan yang lain, ucapan itu sengaja untuk mengambil hati Ketua Ren.

Terdengar Shangguan Yun melanjutkan, “Hamba sudah bertekad akan mengabdi sepenuh jiwa raga kepada Ketua. Bila ada orang yang berani berbuat kurang sopan kepada Ketua, baik dalam kata maupun perbuatan, maka Shangguan Yun yang pertama-tama akan menghadapinya.”

Kata-kata Shangguan Yun itu jelas menyindir Yang Lianting, namun yang disindir tidak mengetahui sama sekali, sebaliknya malah menanggapi dengan tertawa, “Bagus, bila semua saudara dalam agama kita bisa meniru kesetiaan Tetua Shangguan, tentu tidak ada hal yang tidak bisa diatasi. Tentunya Tetua Shangguan sudah lelah, silakan beristirahat saja.”

“Tapi, tapi hamba ingin menghadap Ketua,” kata Shangguan Yun dengan bingung. “Setiap kali melihat wajah emas Ketua, hamba merasa lebih bersemangat untuk bekerja lebih baik. Tenaga dan kekuatan hamba pun rasanya meningkat pesat bagaikan berlatih selama sepuluh tahun.”

“Ketua sangat sibuk, mungkin tidak ada waktu untuk menerima dirimu,” ujar Yang Lianting.

Shangguan Yun lantas merogoh sakunya dan mengeluarkan belasan butir mutiara. Kepada Yang Lianting ia mendekat dan berbisik, “Pengurus Yang, delapan belas butir mutiara ini adalah hasil yang kuperoleh dalam dinas luar kali ini. Semuanya kupersembahkan kepada Pengurus Yang dengan harapan Pengurus Yang sudi menghadapkan hamba kepada Ketua. Bila Ketua senang hati, bisa jadi Beliau akan menaikkan pangkat hamba. Jika demikian, tentu bantuan Pengurus Yang takkan kulupakan pula.”

“Aih, kita ini orang sendiri, mengapa harus banyak adat begini?” ujar Yang Lianting meringis. “Baiklah, aku terima. Terima kasih banyak.” Tiba-tiba ia pun berbisik pula, “Di hadapan Ketua nanti tentu Beliau akan kubujuk agar mengangkatmu sebagai Tetua Balai Naga Hijau.”

Shangguan Yun membungkuk berkali-kali, kemudian berkata, “Bila hamba mendapatkan kedudukan itu, selama hidup tentu takkan lupa kepada budi baik Pengurus Yang.”

“Silakan kau tunggu sebentar di sini, bila Ketua sudah longgar kesibukannya, kau akan segera dipanggil masuk,” kata Yang Lianting sambil memasukkan mutiara-mutiara tadi ke dalam sakunya.

Shangguan Yun menjawab, “Baik, baik, baik.” Ia lalu merunduk-runduk beberapa langkah ke belakang. Yang Lianting sendiri lantas bangkit dari kursi dan melangkah ke dalam dengan lagak seperti tuan besar.

Selang agak lama, seorang pelayan berbaju ungu tampak keluar, lalu berseru lantang, “Ketua yang mahaagung, mahabijaksana, memerintahkan Tetua Balai Macan Putih Shangguan Yun menghadap dengan membawa tawanan!”

Shangguan Yun menjawab, “Terima kasih atas kesediaan Ketua. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan!” Ia kemudian berjalan mengikuti pelayan itu ke ruangan dalam dengan disusul oleh Ren Woxing bertiga yang mengusung Linghu Chong.

Di sepanjang jalan di serambi samping tampak berbaris para penjaga dengan bersenjata tombak. Perjalanan rombongan itu seluruhnya melintasi tiga buah pintu besi, kemudian menyusuri lagi sebuah serambi panjang yang dijaga oleh beberapa ratus penjaga yang berbaris di kanan-kiri dengan senjata golok disilangkan ke atas. Rombongan Shangguan Yun itu menerobos lewat di bawah barisan golok tersebut. Kalau saja para penjaga itu serentak mengayunkan goloknya, tentu mereka semua langsung kehilangan kepala.

Tokoh-tokoh yang sudah kenyang pengalaman seperti Ren Woxing dan Xiang Wentian sudah tentu memandang sebelah mata terhadap barisan penjaga seperti itu. Mereka hanya kesal karena harus merendahkan diri demi bisa berhadapan dengan Dongfang Bubai. Linghu Chong berpikir, “Dongfang Bubai benar-benar ketat dalam menjaga dirinya. Sanjung puji yang disampaikan anak buahnya jelas bukan karena hormat kepadanya, tapi hanya karena takut belaka.”

Setelah menerobos barisan golok itu, sampailah mereka di depan sebuah pintu yang bertirai tebal. Shangguan Yun menyingkap tirai tebal itu lantas melangkah ke dalam. Tiba-tiba muncul sinar putih berkilatan. Ternyata ada delapan batang tombak dari kanan-kiri menusuk ke arahnya. Empat tombak mengancam di depan dada, sedangkan empat lainnya mengancam di dekat punggung. Masing-masing tombak itu hanya berjarak beberapa senti saja dari tubuh Shangguan Yun.

Linghu Chong terkejut dan segera meraba pedang yang tersembunyi di balik pembalut yang membungkus pahanya. Tapi dilihatnya Shangguan Yun tetap berdiri tegak tanpa melawan, sebaliknya lantas berseru lantang, “Hamba Shangguan Yun, Tetua Balai Macan Putih mohon bertemu Ketua yang mahaagung dan mahabijaksana, ahli ilmu sastra yang berwatak kesatria!”

Terdengar suara orang berseru dari dalam ruang balairung, “Masuk!”

Serentak kedelapan penjaga bertombak itu menyingkir ke samping. Baru sekarang Linghu Chong paham, bahwa tusukan tombak-tombak tadi hanya untuk menakut-nakuti saja. Bila yang datang memang orang bermaksud jahat tentu akan langsung menangkis tusukan-tusukan itu dan rencananya pun terungkap sudah.

Setelah memasuki balairung, Linghu Chong terkesiap menyaksikan ruangan yang luar biasa panjangnya itu. Lebar balairung itu paling-paling cuma sepuluh meter, tapi panjangnya mencapai ratusan meter. Di ujung balairung terdapat sebuah panggung dan di atasnya duduk seorang pria tua berjenggot. Tentunya orang itu yang bernama Dongfang Bubai.

Balairung itu tidak berjendela, dan hanya diterangi lilin-lilin besar di dinding samping. Sementara itu di samping panggung yang diduduki Dongfang Bubai terdapat dua api unggun yang sebentar terang sebentar gelap. Karena jaraknya cukup jauh, cahaya yang remang-remang itu membuat orang sukar melihat dengan jelas wajah sang ketua.

Tampak Shangguan Yun berlutut dan menyampaikan sembah, “Ketua seorang terpelajar berbudi luhur, kesatria rendah hati, adil dan bijaksana, cahaya agama suci kita, pelindung rakyat jelata. Hamba Tetua Balai Macan Putih Shangguan Yun menghaturkan sembah untuk Ketua.”

Tiba-tiba pelayan berbaju ungu di samping Dongfang Bubai membentak, “Di hadapan Ketua mengapa anak buahmu tidak berlutut?”

Ren Woxing merenung, “Saat yang tepat belum datang. Kalau aku harus berlutut sekarang apa salahnya? Tunggu sampai aku membetot dagingmu dan membeset kulitmu sebentar lagi!” Sejenak kemudian ia pun berlutut dan segera diikuti oleh Xiang Wentian dan Ren Yingying.

Shangguan Yun berkata, “Anak buah hamba ini siang dan malam selalu mendambakan kapan bisa melihat wajah emas Ketua. Hari ini Ketua sudi berbaik hati mengizinkan hamba menghadap, ini merupakan berkah bagi anak buah hamba dan para leluhurnya selama delapan belas keturunan. Maka itu, anak buah hamba menjadi gemetar lupa daratan sehingga tidak segera berlutut. Mohon Ketua memberi ampun.”

Yang Lianting yang berdiri di samping Dongfang Bubai berkata, “Bagaimana kisah pertempuran Tetua Jia melawan musuh hingga akhirnya gugur dalam tugas, coba ceritakan kepada Ketua!”

Shangguan Yun menjawab, “Tetua Jia dan hamba senantiasa setia kepada Ketua. Beberapa tahun belakangan ini, kami berdua telah mendapatkan kenaikan pangkat dari Ketua, sungguh budi baik ini tidak mungkin kami dapat membalasnya. Maka, begitu kami diberi kepercayaan mengemban tugas mahapenting ini, seketika darah kami bergolak. Kami berdua yakin Ketua telah menyusun rencana hebat, sehingga siapa pun yang dikirim untuk menangkap Linghu Chong pasti akan berhasil. Oleh karena itu, kami berdua tidak merasa bimbang sama sekali ….”

Mendengar basa-basi Shangguan Yun itu, dalam hati Linghu Chong menggerutu, “Menjijikkan! Menjijikkan! Julukan Shangguan Yun adalah Pendekar Elang, tapi kenapa dia pandai menjilat seperti ini? Sungguh memalukan! Sungguh memalukan!”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berteriak keras di belakang mereka, “Adik Dongfang, apakah benar kau memerintahkan orang-orang ini untuk menangkapku?” Suara orang itu serak-serak tua, tapi disertai tenaga dalam tingkat tinggi sehingga terdengar berkumandang memekakkan telinga. Linghu Chong menduga dia tentu Tong Baixiong, Tetua Balai Angin Guntur.

Benar juga, segera Yang Lianting menanggapi, “Tong Baixiong, di Balairung Budi Luhur ini mana boleh kau berteriak-teriak sesukamu? Di hadapan Ketua mengapa pula kau berdiri tanpa berlutut? Berani sekali kau tidak memuji keagungan Ketua?”

Tong Baixiong mendongak dan bergelak tertawa, “Hahaha, sewaktu aku bersahabat dengan Adik Dongfang kau ada di mana, bocah? Ketika aku dan Adik Dongfang bersama-sama menempuh bahaya, merasakan pahit getir perjuangan, orang semacam kau ini bahkan belum lahir. Beraninya kau bicara begitu padaku?”

Linghu Chong mencoba melirik ke arah Tong Baixiong. Dilihatnya orang tua itu melotot dengan beringas. Rambutnya yang putih tergerai, janggutnya yang panjang tampak berwarna keperak-perakan. Darah yang melumuri wajahnya telah mengering, membuatnya tampak semakin menakutkan. Kaki dan tangannya diborgol dengan rantai yang sangat panjang. Karena perasaan gusarnya itu dia bicara dengan menggerak-gerakkan kedua tangannya, sehingga rantai yang diseretnya ikut bergemerincing.

Tadinya Ren Woxing hanya berlutut di tempatnya tanpa bergerak. Kini begitu mendengar suara gemerencingnya rantai, seketika terbayang kembali pengalaman ketika disiksa di kamar tahanan di bawah Danau Barat dulu. Darahnya bergolak hebat, badannya sampai gemetar. Segera ia bermaksud mengambil tindakan.

Namun lantas terdengar Yang Lianting berkata, “Di hadapan Ketua berani berkata demikian, kau benar-benar kurang ajar! Diam-diam kau bersekongkol dengan pengkhianat besar Ren Woxing, apakah kau masih tidak menyadari dosamu ini, hah?”

“Ketua Ren adalah pemimpin agama kita terdahulu,” jawab Tong Baixiong, “Beliau mendapat penyakit berat sehingga terpaksa harus mengundurkan diri dan segala tugas kepemimpinan diserahkan kepada Adik Dongfang. Dari mana kau bisa mengatakan Ketua Ren adalah pengkhianat besar? Adik Dongfang, coba kau katakan sendiri dengan tegas, apa benar Ketua Ren mengkhianati agama kita? Atas dasar apa?”

Yang Lianting menyahut, “Setelah penyakit Ren Woxing sembuh, seharusnya dia cepat kembali ke dalam Sekte, bukannya malah mendatangi Biara Shaolin, dan berkomplot dengan Ketua Perguruan Shaolin, Wudang, Songshan, dan lain-lain. Apakah perbuatannya ini bukan pengkhianatan namanya? Kenapa dia tidak segera menghadap Ketua dan mendengarkan petunjuk-petunjuk Beliau?”

“Hahahaha!” Tong Baixiong terbahak-bahak. “Ketua Ren adalah bekas atasan Adik Dongfang, baik ilmu silat maupun pengetahuannya belum tentu di bawah Adik Dongfang. Betul tidak, Adik Dongfang?”

Tapi Yang Lianting menyela, “Kau jangan berlagak tua di sini! Ketua selalu memperlakukan setiap bawahan dengan murah hati dan penuh penghargaan. Besok di hadapan sidang terbuka di depan altar, jika kau bersedia bertobat di hadapan para saudara dan memperbaiki kesalahanmu, serta mengucapkan sumpah setia kepada Ketua, mungkin Ketua masih mau mengampunimu. Kalau tidak, hm, bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri.”

“Haha, orang bermarga Tong sudah mendekati usia delapan puluh tahun. Hidupku sudah cukup lama, mengapa harus takut menanggung akibat segala?” jawab Tong Baixiong dengan tertawa.

Tiba-tiba Yang Lianting berteriak, “Bawa mereka masuk!”

Pelayan berbaju ungu menjawab, “Baik!” dan kemudian terdengar suara gemerencing yang ramai. Tampak belasan orang digiring ke dalam balairung. Ada laki-laki, ada perempuan, ada orang tua, ada anak-anak pula.

Begitu melihat orang-orang itu, seketika raut muka Tong Baixiong berubah hebat. Ia membentak dengan murka, “Yang Lianting, laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab. Mengapa kau menangkap anak-cucuku?” Suaranya yang keras menggelegar itu memekakkan telinga semua orang sampai mendengung-dengung.

Linghu Chong melihat tubuh Dongfang Bubai agak bergetar. Ia pun berpikir, “Ternyata orang ini masih punya hati nurani juga. Melihat Tong Baixiong kesusahan, ia terbawa perasaan dan tampak agak gemetar.”

“Tong Baixiong, coba kau sebutkan bagaimana bunyi pasal ketiga Ajaran Ketua?” kata Yang Lianting.

“Cih!” Tong Baixiong meludah tidak menjawab.

“Coba siapa di antara anggota keluarga Tong yang mengetahui pasal ketiga Ajaran Ketua? Coba uraikan!” seru Yang Lianting.

Seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun lantas berkata, “Pasal ketiga Ajaran Ketua yang mahaagung, ahli sastra dan ahli silat, berbunyi: Terhadap musuh harus kejam, babat rumput harus sampai ke akar-akarnya. Laki-perempuan, tua-muda, tidak seorang pun boleh disisakan hidup.”

“Bagus, bagus! Anak manis, apakah kesepuluh pasal Ajaran Ketua dapat kau hafal di luar kepala?” tanya Yang Lianting.

“Dapat!” jawab anak kecil itu. “Satu hari saja tidak menghafalkan petuah Ketua rasanya tidak dapat tidur, tidak enak makan. Setelah membaca petuah Ketua seketika bersemangat dan giat belajar.”

“Bagus. Siapa yang mengajarkan hal-hal demikian padamu?” tanya Yang Lianting.

“Ayahku,” jawab si bocah sambil menunjuk laki-laki di sampingnya.

“Kalau yang itu siapa?” tanya Yang Lianting sambil menunjuk Tong Baixiong.

“Kakek!” seru anak itu.

“Kakekmu tidak mau membaca Ajaran Ketua, tidak mau menurut perintah Ketua, malah membangkang pada Ketua. Bagaimana menurutmu?” desak Yang Lianting.

“Kakek bersalah,” jawab bocah itu. “Setiap orang harus memahami Ajaran Ketua dan menurut segala perintah Ketua.”

“Nah, kau dengar sendiri,” kata Yang Lianting terhadap Tong Baixiong, “cucumu hanya bocah berusia sepuluh tahun saja bisa bilang begitu. Sebaliknya, kau sudah tua bangka, mengapa malah berbuat begitu bodoh?”

“Aku hanya bicara sebentar dengan orang bermarga Ren dan Xiang. Mereka memintaku melawan Ketua, tapi aku menolak ajakan mereka,” kata Tong Baixiong. “Selamanya Tong Baixiong bicara apa adanya dan tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.” Begitu menyaksikan belasan anggota keluarganya berada di tangan musuh, nada bicaranya pun berubah agak lunak.

“Jika sejak tadi kau bicara demikian tentu urusan menjadi lebih mudah diselesaikan,” ujar Yang Lianting. “Dan sekarang apa kau sudah mengakui kesalahanmu?”

“Aku tidak bersalah, aku tidak mengkhianati agama kita. Lebih dari itu, aku tidak memberontak pada Ketua,” jawab Tong Baixiong.

“Kalau kau tetap tidak mau mengaku salah, terpaksa aku tidak bisa menolongmu,” ujar Yang Lianting dengan menghela napas. “Penjaga, bawa anggota keluarganya ke tempat tahanan! Mulai sekarang jangan memberi mereka makanan barang sesuap, atau minuman barang seteguk selamanya.”

Beberapa pelayan berbaju ungu menjawab, “Baik!” kemudian mereka hendak menggiring para tawanan itu.

“Nanti dulu!” teriak Tong Baixiong keras-keras, lalu berkata kepada Yang Lianting, “Baik, aku mengaku salah. Untuk itu aku mohon Ketua sudi memberi ampun.” Meskipun mulutnya berkata demikian, namun tatapan matanya tetap berkilat-kilat menahan amarah.

“Hm, tadi kau bilang apa? Kau bilang pernah sehidup-semati dengan Ketua, saat aku saja belum lahir. Betul, tidak?” tanya Yang Lianting.

Dengan menahan perasaannya Tong Baixiong menjawab, “Ya, aku salah bicara.”

“Kau salah bicara? Hanya begini saja persoalannya?” kata Yang Lianting mengejek. “Di hadapan Ketua mengapa kau tidak berlutut?”

“Ketua dan aku adalah saudara angkat. Selama puluhan tahun kami berdiri sama tinggi, duduk sama rendah,” jawab Tong Baixiong. Mendadak ia berseru pula, “Adik Dongfang, kau menyaksikan sendiri saudara tuamu ini disiksa habis-habisan. Mengapa kau tidak buka mulut, tidak bicara sepatah kata pun juga? Jika kau ingin saudara tuamu ini berlutut padamu, tentu akan kulakukan asal kau bicara sedikit saja. Kalau pun harus mati untukmu, sama sekali saudara tuamu ini takkan mengerutkan kening.”

Namun Dongfang Bubai masih saja duduk tak bergerak. Seketika suasana di balairung menjadi sunyi senyap. Pandangan semua orang dialihkan kepada Dongfang Bubai untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakannya. Akan tetapi, sampai sekian lama dia tetap diam saja.

“Adik Dongfang,” Tong Baixiong berteriak lagi, “selama beberapa tahun ini betapa susahnya aku ingin menemuimu. Kau telah mengasingkan diri untuk menyempurnakan pelatihan Kitab Bunga Mentari. Tapi apakah kau tahu para kawan lama di dalam Sekte telah banyak yang tercerai-berai meninggalkan kita? Bencana besar sedang mengancam agama kita, apa kau tahu?”

Tetap saja Dongfang Bubai diam tak bersuara. Maka Tong Baixiong berseru lagi, “Asal kau sendiri yang bicara, maka aku akan segera berlutut padamu. Tidak masalah jika kau menyiksaku, atau bahkan membunuhku sekalipun. Tapi aku tidak rela jika Sekte Matahari dan Bulan yang namanya mengguncangkan dunia persilatan selama ratusan tahun akan segera hancur. Untuk ini kau ikut bertanggung jawab dan ikut menanggung dosa besar pula. Mengapa kau diam saja? Apakah kau mengalami sesat jalan dalam berlatih sehingga tidak bisa bicara?”

“Omong kosong!” bentak Yang Lianting. “Berlutut!”

Dua pelayan berbaju ungu segera menendang belakang lutut Tong Baixiong untuk memaksanya bersimpuh. Tapi mendadak terdengar suara jeritan dua kali. Kedua pelayan itu terpental sendiri ke belakang dengan tulang kaki patah dan muntah darah. Sungguh hebat tenaga dalam Tong Baixiong itu.

“Adik Dongfang, aku ingin mendengar sepatah kata darimu saja, habis itu mati pun aku rela,” seru Tong Baixiong lagi. “Sudah lebih dari tiga tahun kau tidak pernah berbicara. Banyak kawan-kawan dalam agama kita yang curiga.”

Yang Lianting menjadi gusar, “Curiga apa?”

“Curiga kemungkinan Ketua telah dikerjai orang, dibuat bisu,” jawab Tong Baixiong dengan suara keras. “Kenapa dia tidak pernah bicara? Ya, kenapa dia tidak pernah bicara?”

“Mulut emas Ketua mana boleh sembarangan berbicara dengan kaum pengkhianat semacam dirimu?” ejek Yang Lianting. “Penjaga, bawa dia pergi!”

Delapan pelayan berbaju ungu serentak mengiakan dan berlari maju. Mendadak Tong Baixiong berteriak-teriak, “Adik Dongfang, aku ingin lihat siapa yang membuatmu tidak bisa bicara?” Bersama itu ia lantas memburu ke arah Dongfang Bubai sambil menyeret rantai borgol di kaki dan tangannya. Para pelayan mengetahui ilmu silat Tong Baixiong sangat tinggi, sehingga tidak ada yang berani mendekatinya.

“Tangkap dia! Tangkap dia!” teriak Yang Lianting.

Tapi para penjaga bertombak hanya berteriak-teriak saja di ambang pintu dan tidak seorang pun yang berani masuk ke dalam balairung. Maklum, menurut peraturan tidak seorang pun anggota Sekte Matahari dan Bulan diperbolehkan masuk ke ruang tersebut dengan membawa senjata. Yang melanggar tentu dihukum mati.

Melihat gelagat kurang baik itu, terlihat Dongfang Bubai berdiri dan bermaksud masuk ke ruang belakang.

“Jangan pergi dulu, Adik Dongfang, jangan pergi!” seru Tong Baixiong sambil memburu maju lebih cepat. Namun kedua kakinya terborgol, gerak-geriknya tidak leluasa. Karena terburu-buru ingin memburu maju, mendadak ia tersandung dan jatuh terguling. Namun tanpa menyerah ia terus saja menubruk ke depan sehingga jaraknya dengan Dongfang Bubai sekarang tinggal belasan meter saja.

Yang Lianting menjadi khawatir, dan berteriak, “Pengkhianat! Kurang ajar! Berani kau mencelakai Ketua? Penjaga, aku perintahkan kalian masuk ke dalam balairung untuk menangkapnya!”

Melihat gerak-gerik Dongfang Bubai yang agak aneh dan sangat kikuk itu, Ren Woxing merasa curiga, sedangkan Tong Baixiong sudah tidak mampu memburu ke depan lagi. Maka, ia segera merogoh tiga keping uang logam dari sakunya, untuk kemudian dilemparkan ke arah Dongfang Bubai. Melihat itu Ren Yingying berkata pula kepada Xiang Wentian dan Linghu Chong, “Kita bergerak sekarang!”

Linghu Chong lantas melompat bangun. Dari dalam kain pembalutnya ia menarik keluar sebilah pedang. Xiang Wentian juga mengeluarkan senjata-senjata yang disembunyikan di atas usungan dan membagikannya kepada Ren Yingying serta Ren Woxing. Kemudian ia menarik tali usungan sekuatnya sampai lepas. Ternyata tali yang dipakai untuk mengikat kerangka usungan tersebut adalah seutas cambuk. Dengan ilmu meringankan tubuh masing-masing keempatnya lantas menyerbu maju.

Terdengar Dongfang Bubai menjerit. Dahinya terluka dan mengucurkan darah akibat terkena uang logam yang dilemparkan Ren Woxing tadi. Untungnya, jarak lemparan tadi cukup jauh sehingga tidak terlalu keras mengenai dahinya, hanya membuat kulit kepala sedikit terkelupas. Hal ini cukup aneh karena Dongfang Bubai terkenal memiliki ilmu silat tak terkalahkan, tapi mengapa sekeping uang logam saja tidak mampu ia hindari?

Ren Woxing tertawa berteriak, “Hahaha, Dongfang Bubai ini palsu!”

Pada saat yang sama Xiang Wentian menyabetkan cambuknya membelit kedua kaki Yang Lianting. Sekali tarik orang itu lantas terguling tanpa ampun.

Sementara itu, Dongfang Bubai masih terus berlari ke depan sambil mendekap dahinya yang terluka. Dengan cepat Linghu Chong melompat ke depannya. Sambil menodongkan ujung pedang ia membentak, “Berhenti!”

Namun Dongfang Bubai yang sedang berlari cepat itu tidak sempat lagi menahan tubuhnya, bahkan terus saja menerjang ke ujung pedang. Segera Linghu Chong menarik kembali pedangnya itu. Ren Woxing sendiri sudah menerjang pula. Sekali cengkeram ia menangkap tengkuk Dongfang Bubai dan menyeret laki-laki tua itu ke tengah balairung.

“Saudara-saudar sekalian, dengarlah!” teriak Ren Woxing. “Keparat ini memalsukan Dongfang Bubai dan merusak Sekte Matahari dan Bulan kita. Hendaknya kalian semua memeriksa dengan jelas cecunguk keparat ini.”

Ternyata wajah orang itu memang sangat mirip dengan Dongfang Bubai yang asli. Namun raut mukanya yang pucat ketakutan jelas berbeda dengan sifat Dongfang Bubai yang tenang dan percaya diri. Kontan para penjaga pun saling pandang dengan mulut ternganga.

“Siapa kau? Kalau tidak mengaku terus terang biar kuhancurkan sekalian batok kepalamu,” bentak Ren Woxing.

Orang itu gemetar seluruh badannya. Giginya berkerutan karena menahan takut. Dengan suara terputus-putus ia menjawab, “Ham… ham… ba… ber… na… ma….” tapi sampai sekian lama ia tetap tidak mampu menyambung ucapannya itu.

Xiang Wentian telah menotok beberapa titik di tubuh Yang Lianting dan menyeret tubuhnya ke tengah balairung pula. Ia lalu membentak, “Sebenarnya siapa nama orang ini?”

Dengan angkuh Yang Lianting menjawab, “Hm, kau ini cuma seekor kutu, ada hak apa berani bertanya padaku? Aku mengenalmu sebagai pengkhianat besar Xiang Wentian. Sudah lama kau dipecat. Berani sekali kau kembali lagi ke Tebing Kayu Hitam ini?”

“Tujuanku ke Tebing Kayu Hitam ini adalah untuk membereskanmu, keparat!” bentak Xiang Wentian sambil mengayunkan sebelah tangannya. Kontan tulang kaki kiri Yang Lianting patah dibuatnya.

Tak disangka, meskipun ilmu silat Yang Lianting tidak tinggi, tapi sifatnya sangat keras kepala. Ia tidak menjerit kesakitan, sebaliknya malah membentak, “Jika berani, hayo bunuh saja aku! Main siksa seperti ini apa terhitung perbuatan kaum gagah?”

“Membunuhmu? Hm, apa benar begitu enak?” ejek Xiang Wentian. Kembali ia memukul tulang kaki kanan Yang Lianting sampai patah pula. Menyusul kemudian ia menurunkan tubuh Yang Lianting sehingga berdiri tegak di atas lantai.

Kedua tulang kering Yang Lianting sudah patah, sehingga ketika berdiri tulang-tulangnya itu menusuk kulit. Bagaimana sakitnya tentu tidak bisa dibayangkan. Namun demikian, ia sama sekali tidak bersuara meski wajahnya pucat pasi.

“Laki-laki hebat, aku takkan menyiksamu lagi,” kata Xiang Wentian sambil mengacungkan ibu jari ke muka Yang Lianting. Sebagai gantinya ia meninju perut Dongfang Bubai palsu sambil bertanya, “Siapa namamu?”

Orang itu menjerit kesakitan, kemudian menjawab dengan gemetar, “Hamba … hamba ber… bernama Bao … Bao … Bao ….”

“Jadi kau bermarga Bao?” sahut Xiang Wentian menegas.

“Iya … ya! Hamba bermarga … bermarga … Bao … Bao ….” namun ia tetap tidak sanggup mengatakan nama lengkapnya sampai sekian lama.

Tiba-tiba Linghu Chong dan yang lain mencium bau pesing. Ternyata dari bawah celana orang bermarga Bao itu mengalir cairan berwarna kekuning-kuningan. Begitulah, karena sangat ketakutan Dongfang Bubai palsu itu sampai terkencing-kencing di celana.

“Kita tidak boleh menunda lagi. Sekarang yang paling penting adalah mencari Dongfang Bubai asli,” kata Ren Woxing. Segera ia mengangkat orang bermarga Bao itu dan berseru kepada para anggota Sekte, “Kalian sudah menyaksikan sendiri, orang ini adalah Dongfang Bubai palsu. Dia telah mengacau agama kita. Sekarang juga kita harus menyelidiki duduk perkaranya sampai jelas. Aku adalah Ren Woxing, ketua kalian yang terdahulu. Apakah kalian masih kenal padaku?”

Para penjaga yang berada di situ adalah pemuda-pemuda berumur dua puluhan. Selama ini mereka belum pernah melihat Ren Woxing, sehingga wajar kalau tidak kenal kepadanya.

Sejak Dongfang Bubai menjabat sebagai ketua, orang-orang kepercayaannya dapat meraba isi hatinya, sehingga masing-masing saling memperingatkan agar tidak menyebut-nyebut nama Ketua Ren lagi. Seolah-olah Sekte Matahari dan Bulan yang sudah berusia ratusan tahun hanya diketuai oleh Dongfang Bubai seorang. Oleh sebab itulah nama Ren Woxing pun tidak pernah didengar oleh para anggota muda.

Kini para penjaga itu hanya ternganga dan saling pandang mendengar ucapan Ren Woxing tadi. Tidak seorang pun yang berani menjawab. Melihat itu Shangguan Yun berseru, “Kemungkinan besar Dongfang Bubai sudah dibunuh Yang Lianting dan para begundalnya. Ketua Ren ini adalah ketua kita. Mulai sekarang kita harus setia mengabdi kepada Ketua Ren.” Usai berkata ia segera mendahului berlutut kepada Ren Woxing, dan berseru, “Terimalah sembah bakti hamba, semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan!”

Melihat Shangguan Yun yang merupakan tokoh berkedudukan tinggi dalam agama berlutut menyembah Ren Woxing, juga setelah menyaksikan ada orang memalsukan Dongfang Bubai, sementara Yang Lianting yang biasanya berkuasa sekarang tidak berkutik dengan kedua kaki patah, maka beberapa anggota yang lain pun serentak berlutut dan berseru pula, “Semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan!” Mereka ini adalah kaum pencari muka yang pandai menjilat. Menyusul kemudian para penjaga muda pun serentak ikut berlutut menyembah dengan berseru, “Semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan!” Kalimat ini biasa mereka ucapkan sehari-hari sehingga sudah hafal di luar kepala.

Ren Woxing terbahak-bahak puas, kemudian berkata, “Kalian harus menjaga rapat setiap jalan di sekeliling Tebing Kayu Hitam ini. Siapa pun dilarang naik-turun!”

Para penjaga itu mengiakan dengan suara bergemuruh. Xiang Wentian lalu memerintahkan para pelayan berbaju ungu untuk membuka borgol Tong Baixiong.

Tong Baixiong sangat mengkhawatirkan keselamatan Dongfang Bubai. Begitu bebas ia segera mencengkeram tengkuk Yang Lianting dan membentak, “Tentu kau telah membunuh Adik … Adik Dongfang, kau … kau ….” karena sangat bernafsu sampai-sampai tenggorokannya seperti tersumbat, air mata pun berlinang-linang.

Yang Lianting benar-benar berkepala batu. Ia justru memejamkan mata tidak memedulikan pertanyaan itu. Kontan Tong Baixiong menjadi murka dan langsung menempeleng keras pelipis orang bermarga Yang itu sambil membentak, “Di mana Adik Dongfang?”

“Perlahan sedikit!” seru Xiang Wentian mengingatkan Tong Baixiong.

Namun sudah terlambat. Meskipun pukulan itu hanya menggunakan sepertiga tenaga, namun Yang Lianting langsung pingsan dibuatnya. Tong Baixiong menghentak-hentakkan badan Yang Lianting, namun kedua bola mata pria itu tampak melotot putih seperti orang mati.

Ren Woxing berseru kepada para pelayan berbaju ungu, “Siapa di antara kalian yang tahu di mana keberadaan Dongfang Bubai? Siapa yang memberi laporan lebih dulu akan mendapat hadiah besar!” Namun meski pertanyaan itu diulangi tiga kali, tetap saja tidak seorang pun yang menjawab.

Seketika hati Ren Woxing menjadi dingin. Maklum saja, selama dikurung belasan tahun di bawah Danau Barat, siang dan malam ia tekun berlatih dengan tujuan bila kelak dapat meloloskan diri tentu akan balas menyiksa Dongfang Bubai habis-habisan. Baginya tidak ada lagi yang lebih menyenangkan dibanding membalaskan sakit hati di dada. Siapa sangka setelah tiba di Tebing Kayu Hitam ternyata Dongfang Bubai yang dijumpainya adalah palsu belaka. Sepertinya Dongfang Bubai yang asli sudah tidak hidup lagi di dunia fana. Kalau tidak, dengan kecerdasan dan ilmu silat Dongfang Bubai yang luar biasa itu mana sudi ia membiarkan Yang Lianting berbuat sesuka hati, bahkan menggunakan orang lain sebagai duplikatnya?

Ren Woxing memandangi kawanan pelayan berbaju ungu yang berdiri di seputar balairung itu. Terlihat sebagian di antara mereka menunjukkan sikap ketakutan, tapi ada pula yang terlihat culas. Dalam keadaan kecewa, sikap Ren Woxing menjadi sangat berangasan. Tiba-tiba ia membentak, “Kalian sudah tahu Dongfang Bubai ini palsu, tapi kalian tetap saja bersekongkol dengan Yang Lianting untuk menipu saudara-saudara lain dalam agama. Dosa kalian ini terlalu besar dan tidak bisa diampuni!”

Usai berkata tubuhnya langsung melayang ke depan. Kemudian terdengar empat kali tangannya menampar kepala orang. Kontan empat orang pelayan berbaju ungu langsung roboh binasa. Melihat itu para pelayan yang lain menjadi ketakutan. Sambil menjerit mereka menyingkir ke belakang.

“Kalian hendak lari? Mau lari ke mana?” bentak Ren Woxing dengan menyeringai seram. Dipungutnya rantai borgol yang baru dilepaskan dari tubuh Tong Baixiong tadi, lalu dengan sekuat tenaga ia melemparkan rantai tersebut ke arah kawanan pelayan itu. Seketika darah dan daging pun berhamburan di udara. Kembali ada tujuh atau delapan pelayan yang binasa.

Ren Woxing terbahak-bahak dan berteriak, “Pengikut-pengikut Dongfang Bubai satu pun takkan kubiarkan hidup!”

Melihat kelakuan ayahnya yang mengerikan itu, Ren Yingying segera maju untuk memegangi tangan Ren Woxing sambil berkata, “Sabar, Ayah!”

Tiba-tiba di antara kawanan pelayan berbaju ungu itu ada yang melangkah maju satu orang kemudian berlutut, “Lapor Ketua, sebenarnya Ketu… eh, Dongfang Bubai belum mati!”

Ren Woxing senang bukan kepalang mendengarnya. Ia pun memburu maju dan memegang bahu pelayan itu sambil menegas, “Apa betul Dongfang Bubai belum mati?”

“Iya … Auuh!” orang itu berteriak kesakitan kemudian roboh tak sadarkan diri. Rupanya karena hatinya terguncang Ren Woxing terlalu keras mencengkeram bahu pelayan itu, sampai-sampai membuatnya pingsan.

Karena pelayan tersebut tidak juga siuman, terpaksa Ren Woxing berpaling kepada para pelayan yang lain dan bertanya, “Di mana Dongfang Bubai berada? Lekas tunjukkan jalannya! Sedikit terlambat saja kalian semua akan kubunuh!”

Seorang pelayan yang lain menyembah dan berkata, “Lapor Ketua, tempat tinggal Dongfang Bubai sangat rahasia, dan yang tahu hanya Yang Lianting seorang. Sebaiknya kita sadarkan pengkhianat bermarga Yang itu, tentu dia dapat membawa Ketua ke sana.”

“Lekas ambilkan air dingin!” bentak Ren Woxing.

Kawanan pelayan itu sudah terlatih dan sangat cekatan. Dalam sekejap saja air dingin yang diminta Ren Woxing sudah datang dan langsung disiramkan ke muka Yang Lianting. Perlahan-lahan laki-laki itu siuman dan membuka matanya.

Xiang Wentian segera berkata, “Orang bermarga Yang, aku menghargai dirimu sebagai laki-laki berhati keras. Maka itu, kau takkan kusiksa lagi. Saat ini semua jalan keluar-masuk Tebing Kayu Hitam sudah ditutup. Bagaimanapun juga Dongfang Bubai takkan bisa lolos dari sini kecuali dia punya sayap. Maka itu, lebih baik kau bawa kami pergi mencarinya. Seorang laki-laki sejati untuk apa harus main sembunyi? Bukankah lebih baik kalau kita bereskan masalah ini sehingga semua orang bisa tenang?”

Yang Lianting menyeringai, “Ketua Dongfang tiada tandingnya di muka bumi ini. Justru lebih bagus kalau kalian ingin mengantarkan nyawa dengan segera. Baiklah, akan kuantarkan kalian menemui Beliau.”

Xiang Wentian lantas berkata kepada Shangguan Yun, “Saudara Shangguan, mari kita gotong keparat ini menemui Dongfang Bubai.” Usai berkata ia lantas mengangkat tubuh Yang Lianting dan menaruhnya di atas usungan.

“Baik,” jawab Shangguan Yun. Keduanya pun mengangkat usungan itu.

“Jalan ke dalam!” kata Yang Lianting.

Xiang Wentian dan Shangguan Yun mendahului berjalan di depan dengan menggotong Yang Lianting. Ren Woxing, Linghu Chong, Ren Yingying, dan Tong Baixiong mengikuti dari belakang.

Rombongan itu masuk ke belakang balairung dan melalui sebuah serambi yang panjang. Kemudian mereka sampai di sebuah taman bunga dan memasuki sebuah rumah batu kecil di ujung barat.

“Dorong dinding sebelah kiri!” seru Yang Lianting.

Ketika Tong Baixiong mendorong dengan tangannya, ternyata dinding itu bisa bergerak menjadi semacam pintu rahasia. Di dalamnya terdapat pula sebuah pintu besi. Dari bajunya Yang Lianting mengeluarkan serenceng anak kunci dan menyerahkannya kepada Tong Baixiong. Pintu besi itu pun dibuka, dan di dalamnya ternyata ada sebuah lorong bawah tanah.

Lorong itu terus menurun ke bawah, dengan diterangi lampu minyak remang-remang yang terpasang di dinding. Dalam hati Ren Woxing berpikir, “Dongfang Bubai telah mengurungku di dasar danau. Tak disangka dia pun terkena karma sehingga dikurung pula di bawah tanah. Tampaknya lorong ini pun tidak lebih baik daripada tempat kurunganku dulu.”

Tidak disangka, setelah melalui beberapa tikungan, tiba-tiba di ujung depan sana memancar suasana terang benderang. Semua orang pun mencium bau harum bunga yang semerbak. Seketika napas mereka terasa segar.

Keluar dari lorong di bawah tanah itu ternyata mereka sudah berada di dalam sebuah taman bunga kecil yang sangat indah. Bunga mekar beraneka warna, pepohonan bambu dan cemara tumbuh menghijau segar. Di tengah taman terdapat sebuah kolam dengan beberapa pasang belibis sedang berenang kian-kemari dan beberapa ekor bangau putih berdiri di tepi.

Tidak seorang pun yang menduga bahwa di balik lorong yang gelap tadi ternyata ada kediaman seindah ini. Sungguh mereka kagum bukan kepalang. Setelah mengitari sebuah gunung-gunungan, tampak di depan terbentang sebidang taman bunga yang keseluruhannya dipenuhi bunga mawar berwarna merah tua dan merah muda sedang mekar-mekarnya, seakan berlomba memamerkan kecantikan masing-masing. Sungguh pemandangan yang indah tiada tara.

Ren Yingying melirik ke arah Linghu Chong. Dilihatnya pemuda itu tersenyum simpul, tampaknya sangat senang. “Bagus tidak tempat ini?” katanya dengan suara lirih.

Linghu Chong menjawab, “Setelah kita mendepak Dongfang Bubai, mari kita tinggal beberapa bulan di sini. Nanti kau ajari aku memetik kecapi. Betapa bahagia jika bisa seperti itu.”

“Apakah ucapanmu ini sungguh-sungguh?” tanya Ren Yingying.

“Tentu saja sungguh-sungguh,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja aku khawatir terlalu bodoh sehingga membuat Nenek marah-marah dan menghukumku.”

Ren Yingying mendengus tapi kemudian tersenyum manis karena hatinya merasa senang.

Sementara itu Xiang Wentian dan Shangguan Yun sedang mengusung Yang Lianting ke dalam sebuah pondok kecil yang indah. Segera Linghu Chong dan Ren Yingying ikut masuk ke situ. Begitu melangkah ke dalam, seketika mereka mencium bau harum bunga menusuk hidung. Dilihatnya pada dinding kamar tergantung sebuah lukisan tiga orang wanita, dan di kursi terdapat alat menyulam.

Linghu Chong merasa heran dan berpikir, “Ini adalah kamar perempuan. Apakah Dongfang Bubai tinggal di kamar seperti ini? Ataukah mungkin ini tempat tinggal gundik kesayangannya sehingga ia senantiasa tenggelam di tempat seperti ini dan lupa mengurusi pekerjaan Sekte?”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang di dalam kamar bertanya, “Adik Lian, siapakah yang kau bawa kemari?” Suara itu seperti suara lelaki, tapi juga mirip suara wanita. Suaranya terdengar nyaring tajam, membuat bulu roma berdiri bagi siapa saja yang mendengarnya.

Yang Lianting menjawab, “Aku membawa teman lamamu ke sini. Dia ingin bertemu denganmu.”

“Mengapa kau membawanya kemari?” ujar suara di dalam itu. “Tempat ini hanya boleh didatangi seorang saja. Selain dirimu, siapa pun tidak akan kutemui.” Kalimat yang terakhir ini diucapkan dengan nada manja seperti ucapan kaum wanita, namun jelas suaranya adalah suara seorang laki-laki.

Ren Woxing, Xiang Wentian, Ren Yingying, Tong Baixiong, dan Shangguan Yun sudah sangat mengenal Dongfang Bubai. Suara itu jelas suara sang ketua, namun nadanya sangat aneh, seperti pemain sandiwara laki-laki yang memerankan perempuan dengan suara yang dibuat-buat. Kontan mereka saling pandang dengan mulut ternganga.

“Apa daya, kalau aku tidak membawanya kemari, maka aku yang akan dibunuh olehnya,” jawab Yang Lianting menghela napas. “Sebelum mati biarkan aku melihatmu sekali lagi. Jika tidak, tentu aku akan menyesal selamanya.”

“Hah, siapa yang berani mati membuatmu susah? Apakah dia Ren Woxing? Cepat suruh dia masuk ke sini!” seru orang di dalam kamar itu dengan suara melengking.

Mendengar dirinya dicurigai sebagai orang yang berada di balik semua ini, mau tidak mau Ren Woxing dalam hati memuji kecerdasan Dongfang Bubai. Ia memberi isyarat agar semua orang masuk ke dalam dengan berhati-hati. Lebih dulu Shangguan Yun menyingkap tirai yang bersulam gambar bunga indah, lalu menggotong Yang Lianting ke dalam bersama Xiang Wentian. Yang lain berjalan pelan di belakang mereka.

Ternyata kamar tersebut tertata sangat rajin dan indah dengan hiasan berwarna-warni. Bau harum semerbak menusuk hidung mereka semua. Pada sudut timur kamar terdapat sebuah meja rias, di sampingnya duduk seseorang dengan baju berwarna merah muda. Tangan kirinya memegang bingkai sulaman, sedangkan tangan kanan memegang sebatang jarum. Melihat orang-orang sebanyak itu masuk, ia mendongak dengan perasaan heran. Namun rasa heran orang itu masih kalah besar dibanding perasaan heran Ren Woxing dan yang lainnya.

Kecuali Linghu Chong, semua orang jelas mengenali orang berbaju merah muda itu tak lain dan tak bukan adalah Dongfang Bubai sendiri, yang selama belasan tahun ini menduduki jabatan Ketua Sekte Matahari dan Bulan dengan gelar “jago silat nomor satu di dunia”. Hanya saja sekarang ini kumis dan jenggotnya sudah dicukur bersih. Yang lebih mengherankan lagi adalah ia memakai bedak dan gincu segala. Baju yang dipakainya pun bentuknya tidak laki-laki juga tidak perempuan. Warnanya juga terlalu mencolok sekalipun dipakai oleh gadis jelita semacam Ren Yingying.

Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang kesatria yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, seorang tokoh mahaagung, ternyata hidupnya bersembunyi di dalam kamar wanita dan pekerjaannya menyulam. Benar-benar luar biasa kalau tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri.

Tadinya hati Ren Woxing dipenuhi perasaan dendam yang menyala-nyala. Namun begitu melihat keadaan Dongfang Bubai itu, mau tidak mau ia merasa geli juga. “Dongfang Bubai, apa kau sudah sinting?” bentaknya.

“O, ternyata benar Ren Woxing!” jawab Dongfang Bubai dengan suara melengking. “Memang sudah kuduga yang datang pasti dirimu. Eh, Adik Lian, kenapa … kenapa kau ini? Apa dia yang melukai dirimu?” Segera ia melesat ke samping Yang Lianting kemudian mengangkat pria itu dan perlahan-lahan membaringkannya di atas tempat tidur.

Seprei tempat tidur itu bersulam indah dan berbau sangat wangi. Dengan wajah penuh kasih sayang Dongfang Bubai bertanya, “Ah, kau pasti sangat kesakitan? Hm, cuma tulang kaki yang patah, tidak apa-apa, jangan khawatir. Segera akan kusambung kembali.” Dengan hati-hati ia membukakan sepatu Yang Lianting, lalu mencopot kaus kakinya, kemudian menyelimutinya pula. Pemandangan ini mirip seorang istri setia sedang melayani sang suami.

Ren Woxing dan yang lain ternganga heran bercampur geli. Semuanya ingin tertawa namun tertahan di dalam perut. Apalagi suasana di kamar tidur yang dihias mewah tersebut terlihat gelap dan menyeramkan.

Sementara itu Dongfang Bubai telah mengeluarkan sehelai saputangan sutra berwarna hijau. Perlahan-lahan ia mengusap keringat dan kotoran di wajah Yang Lianting. Dilayani semanis itu, bukannya berterima kasih, Yang Lianting justru marah-marah dan mendamprat, “Musuh besar di depan mata, buat apa kau masih mengurusiku seperti nenek-nenek segala? Kalau kau sudah membereskan mereka barulah kita bermesra-mesraan.”

Dongfang Bubai hanya tersenyum dan menjawab, “Baik, baik! Kau jangan marah, tentu kakimu terlalu sakit bukan? Aih, hatiku ikut pedih!”

Ren Woxing dan yang lain terhitung sudah kenyang makan asam garam kehidupan, namun pemandangan aneh yang mereka hadapi saat ini sungguh sukar dimengerti. Di dunia ini memang banyak terjadi hubungan kelamin tidak sehat, misalnya seorang pria suka meniduri bocah laki-laki tanggung, ataupun hubungan seksual antara sesama jenis kelamin. Namun seorang ketua sekte yang terhormat seperti Dongfang Bubai rela berdandan wanita dan bersikap layaknya seorang istri setia, tentu dia sudah gila. Bahkan Yang Lianting menghardik dan membentaknya dengan kasar, namun ia tetap melayani dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang, membuat semua orang terheran-heran sekaligus merasa muak pula.

Tong Baixiong tidak tahan melihatnya. Ia melangkah maju dan berseru, “Adik Dongfang, kau … kau ini sedang apa?”

Dongfang Bubai mengangkat kepalanya dan bertanya dengan wajah cemberut, “Apakah kau termasuk orang yang mencelakai Adik Lian-ku?”

“Adik Dongfang, mengapa kau terima dipermainkan orang bermarga Yang ini?” balas Tong Baixiong. “Dia telah menyuruh seorang tolol untuk memalsukan dirimu. Dia juga memberi perintah serta main kuasa sesuka hati. Apakah kau sudah mengetahui itu semua?”

“Tentu saja aku tahu,” jawab Dongfang Bubai. “Justru demi kebaikanku inilah Adik Lian sedemikian rajin mengurus segalanya. Dia tahu aku malas mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang membosankan itu, maka dia sengaja mengerjakannya untukku. Lantas, apa jeleknya?”

“Orang ini hendak membunuhku, apakah kau pun tahu?” tanya Tong Baixiong sambil menuding Yang Lianting.

“Aku tidak tahu,” sahut Dongfang Bubai sambil menggeleng perlahan. “Tapi kalau Adik Lian mau membunuhmu, tentu kau yang bersalah. Lalu mengapa kau tidak membiarkan dirimu dibunuh saja olehnya?”

Tong Baixiong tercengang bingung. Namun ia lantas mendongak dan bergelak tawa. Suara tawanya penuh rasa penasaran dan sedih. Ia kemudian berkata, “Jadi, kalau dia ingin membunuhku, maka kau lantas membiarkan dia membunuh sesukanya, begitu?”

“Benar. Apa yang ingin dilakukan oleh Adik Lian tentu akan kuusahakan agar keinginannya tercapai. Di dunia ini hanya dia seorang yang benar-benar baik padaku, maka aku pun akan selalu berbuat baik kepadanya,” kata Dongfang Bubai. “Kakak Tong, kita pernah hidup bersama senasib sepenanggungan. Selama ini kita bersahabat dengan akrab. Hanya saja, tidak seharusnya kau menyinggung Adik Lian.”

Dengan wajah merah padam Tong Baixiong berteriak, “Tadinya kukira kau sudah sinting, tapi ternyata kau cukup sadar dan masih ingat kalau kita adalah sahabat karib dan punya hubungan akrab di masa lampau.”

“Ya. Jika kau bersalah padaku, aku masih bisa menerima. Tapi kalau kau bersalah kepada Adik Lian, hal ini yang tidak bisa kubiarkan,” kata Dongfang Bubai.

“Dan sekarang aku sudah menyinggung dia, lantas kau mau apa?” teriak Tong Baixiong. “Keparat ini hendak membunuhku. Hm, kukira dia tidak akan mampu.”

Perlahan-lahan Dongfang Bubai membelai rambut Yang Lianting dan bertanya dengan suara lembut, “Adik Lian, apakah kau ingin aku membunuhnya?”

Yang Lianting marah dan membentak, “Lekas kerjakan! Jangan banyak tanya seperti nenek-nenek, membuat kesal saja!”

“Baik,” sahut Dongfang Bubai dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Tong Baixiong dan berkata, “Kakak Tong, mulai hari ini kita putus hubungan dan putus persaudaraan. Tolong jangan kau salahkan tindakanku ini!”

Ketika berangkat dari balairung tadi Tong Baixiong sempat merampas sebilah golok dari seorang penjaga. Kini mendengar ucapan Dongfang Bubai itu, tanpa terasa ia mundur dua langkah dan bersiap siaga sambil menghunus golok tersebut. Ia cukup kenal betapa lihai ilmu silat sang ketua. Meski sekarang penampilannya aneh, namun tetap tidak boleh dipandang ringan.

Dongfang Bubai menyeringai dan berkata, “Aih, ini sungguh sulit bagiku. Kakak Tong, aku masih ingat kejadian dahulu ketika kau menyelamatkan diriku dari keroyokan Tujuh Macan Ludong di Gunung Taising. Waktu itu aku sudah terluka parah. Bila kau tidak datang membantu tentu aku takkan hidup lagi sampai hari ini.”

“Hm, rupanya kau belum lupa akan peristiwa lama itu,” sahut Tong Baixiong.

“Mana bisa lupa? Bahkan hal-hal lain pun aku masih ingat dengan baik,” ujar Dongfang Bubai. “Misalnya, ketika pertama kali aku menjadi ketua, Tetua Luo menolak mematuhi perintahku. Tapi dengan sekali tebas, kau langsung membinasakan Tetua Luo, sehingga sejak saat itu para saudara yang lain menjadi segan kepadaku. Kau benar-benar saudaraku yang paling baik.”

Tong Baixiong melirik sekejap ke arah Ren Woxing, lalu menjawab, “Aku yang salah. Mungkin pada waktu itu aku sudah pikun.”

“Kau tidak salah, kau pun tidak pikun, tapi kau memang sangat baik padaku,” kata Dongfang Bubai. “Aku bertemu denganmu saat usiaku sebelas tahun. Waktu itu keluargaku sangat miskin, dan engkaulah yang selalu membantu kehidupan kami. Bahkan, kau pula yang membayar ongkos pemakaman ayah dan ibuku ketika mereka meninggal berturut-turut.”

“Urusan-urusan yang sudah berlalu untuk apa dibicarakan lagi?” ujar Tong Baixiong.

“Aih, Kakak Tong, bukannya aku ini tidak punya hati nurani dan melupakan kebaikanmu di masa lampau,” jawab Dongfang Bubai, “masalahnya kau telah bersalah kepada Adik Lian. Dia ingin membunuhmu, terpaksa aku tidak punya jalan lain.”

“Sudahlah, sudahlah!” seru Tong Baixiong.

Tiba-tiba sesosok bayangan merah muda berkelebat. Menyusul kemudian terdengar suara golok yang dipegang Tong Baixiong jatuh ke lantai. Tubuh orang tua itu lantas terhuyung-huyung, mulutnya terbuka lebar, tapi tidak mampu bersuara. Sekejap kemudian tubuhnya jatuh ke depan dan untuk selanjutnya tidak bergerak lagi.

Meskipun robohnya Tong Baixiong itu terjadi sangat cepat, namun Ren Woxing dan yang lain dapat melihat dengan jelas pada titik di tengah kedua alis, kedua pelipis, dan di bawah hidungnya terdapat suatu titik merah kecil yang mengalirkan sedikit darah. Ternyata keempat titik merah itu akibat tusukan jarum sulam yang dipegang Dongfang Bubai. Gerakan Dongfang Bubai sendiri sangat cepat dan sama sekali tidak terduga sebelumnya.

Menyaksikan kejadian luar biasa ini, mau tidak mau Ren Woxing dan yang lain tanpa terasa mundur dua-tiga langkah. Linghu Chong memegang tangan Ren Yingying dan menarik gadis itu di belakangnya. Seketika suasana menjadi sunyi senyap dan bernapas pun mereka tidak berani keras-keras. Semua orang tahu ilmu silat Dongfang Bubai teramat tinggi, tapi sama sekali mereka tidak menduga bisa sedemikian hebatnya. Hanya dengan sebatang jarum kecil saja dan dengan kecepatan luar biasa ia dapat sekaligus menusuk empat titik mematikan pada wajah Tong Baixiong. Padahal, baru saja ia menguraikan bermacam-macam kebaikan orang tua itu, namun dalam sekejap pula sahabatnya di masa lampau tersebut sudah binasa di tangannya. Betapa culas dan keji perbuatan Dongfang Bubai sungguh membuat orang merinding.

Perlahan-lahan Ren Woxing mencabut pedangnya dan berkata, “Dongfang Bubai, aku mengucapkan selamat karena kau telah berhasil menguasai ilmu silat dalam Kitab Bunga Mentari.”

“Terima kasih, Ketua Ren. Kitab Bunga Mentari adalah pemberianmu. Senantiasa aku ingat kebaikanmu,” jawab Dongfang Bubai.

“Apa benar? Maka itu kau mengurung aku di bawah Danau Barat supaya tidak pernah melihat cahaya matahari lagi,” ujar Ren Woxing.

“Aku tidak membinasakan dirimu, bukan?” balas Dongfang Bubai. “Coba kalau aku menyuruh Empat Sekawan dari Jiangnan tidak mengantar air dan makanan untukmu, apa bisa kau bertahan hidup sepuluh hari atau setengah bulan, apalagi sampai sekarang?”

“O, jadi caramu memperlakukan diriku masih lumayan, begitu?” sahut Ren Woxing.

“Tentu saja,” jawab Dongfang Bubai. “Aku sengaja mengatur masa pensiunmu di Hangzhou. Bukankah menurut kata orang, di langit ada kahyangan, di bumi ada Hangzhou? Pemandangan Danau Barat dan Wisma Meizhuang adalah yang paling indah di Kota Hangzhou.”

“Hm, kau memberiku pensiun dalam penjara di dasar danau yang gelap gulita itu. Wah, aku malah harus berterima kasih padamu. Haha!!” kata Ren Woxing.

Dongfang Bubai menghela napas dan berkata, “Ketua Ren, aku tidak pernah melupakan semua kebaikanmu padaku. Tadinya aku hanya seorang pembantu Tetua Balai Angin Guntur, bawahan Kakak Tong. Kemudian kau menaruh perhatian padaku dan setiap tahun menaikkan pangkatku. Bahkan, kau juga memberikan pusaka berharga, Kitab Bunga Mentari kepadaku, serta menunjuk diriku sebagai penggantimu kelak. Semua budi baikmu ini takkan kulupakan seumur hidup.”

Linghu Chong melirik mayat Tong Baixiong dan berpikir, “Tadi kau terus-menerus memuji kebaikan Tetua Tong kepadamu, namun mendadak kau membinasakannya. Sekarang kau hendak mengulangi kelicikanmu itu pada Ketua Ren, mana mungkin Beliau bisa kau tipu dengan cara yang sama?”

Meskipun demikian, gerakan Dongfang Bubai sangat cepat luar biasa. Tadi ia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang sehingga Tong Baixiong juga tidak sempat menjaga diri. Maka, Linghu Chong terpaksa mengangkat dan mengarahkan pedangnya ke dada orang itu. Asalkan sedikit saja Dongfang Bubai bergerak, ia akan segera mendahului menusuk. Jika tidak menyerang lebih dulu, tentu akan sulit mencegah orang itu menjatuhkan korban lagi di dalam kamar.

Menyadari keadaan yang gawat tersebut, Ren Woxing, Xiang Wentian, Shangguan Yun, dan Ren Yingying juga memusatkan seluruh perhatian terhadap setiap gerak-gerik Dongfang Bubai untuk menghadapi kemungkinan serangannya yang sangat mendadak.

Terdengar Dongfang Bubai berkata lagi, “Saat itu aku hanya ingin menjadi ketua, ingin berumur panjang, dan merajai dunia persilatan. Siang malam aku memeras otak untuk memikirkan cara merebut kedudukanmu dan menumpas begundalmu. Saudara Xiang, rencanaku ini ternyata tidak luput dari pandanganmu yang tajam. Di dalam Sekte Matahari dan Bulan, selain Ketua Ren dan aku, dirimu termasuk tokoh istimewa pula.”

Xiang Wentian menggenggam gagang cambuknya erat-erat. Ia menahan napas dengan tegang dan tidak berani menanggapi ucapan Dongfang Bubai itu karena takut perhatiannya terbagi.

Dongfang Bubai menghela napas, lalu melanjutkan, “Ketika awal menjadi ketua, aku pun merasa sangat bersemangat dan ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat. Tapi pujian bahwa aku ahli sastra dan berwatak kesatria sebenarnya keterlaluan. Kemudian aku mempelajari ilmu dalam Kitab Bunga Mentari. Lambat laun dapatlah ketemukan makna hidup yang sebenarnya. Aku pun sibuk berlatih tenaga dalam sehingga beberapa tahun kemudian akhirnya aku dapat memahami jalan untuk menempuh kehidupan abadi.”

Mendengarkan uraian Dongfang Bubai dengan suaranya yang melengking itu, apa yang dikatakannya cukup masuk di akal pula. Jelas hal ini menunjukkan otaknya dalam keadaan sehat. Namun demikian, dengan penampilannya yang aneh itu mau tidak mau membuat orang lain merasa ngeri dan merinding.

Perlahan-lahan sinar mata Dongfang Bubai beralih ke arah Ren Yingying, kemudian ia bertanya, “Nona Ren, selama ini bagaimana caraku memperlakukan dirimu?”

“Kau sangat baik padaku,” jawab Ren Yingying.

“Sangat baik kukira juga tidak. Hanya saja aku senantiasa sangat mengagumi dirimu,” ujar Dongfang Bubai dengan menghela napas. “Seseorang yang dilahirkan sebagai wanita seratus kali lebih beruntung daripada menjadi lelaki busuk. Apalagi kau begini cantik, begini molek, muda, dan lincah. Bila aku dapat bertukar tempat denganmu, hm, jangankan cuma jabatan Ketua Sekte Matahari dan Bulan, sekalipun menjadi kaisar juga aku lepaskan.”

Linghu Chong tertawa dan menjawab, “Bila kau bertukar tempat dengan Nona Ren, itu berarti aku harus menikah dengan siluman tua semacam dirimu. Wah, untuk hal ini aku harus pikir-pikir dua belas kali lebih dulu.”

Ren Woxing dan yang lain terkejut mendengar ucapan Linghu Chong itu. Dongfang Bubai sendiri memandanginya dengan mata melotot, alisnya semakin menegak. Dengan wajah sangat gusar ia bertanya, “Siapa kau? Berani kau bicara begitu padaku? Apa kau ingin isi perutmu aku keluarkan?”

Dasar sifat Linghu Chong memang pemberani, meski sudah tahu keadaan begitu berbahaya juga tidak membuatnya gentar. Dengan tertawa ia malah mengolok-olok lagi, “Apakah kau ini seorang laki-laki gagah atau seorang perempuan cantik, entahlah. Tapi yang paling membuatku jijik adalah seorang laki-laki yang memakai baju perempuan.”

“Aku bertanya padamu, siapa kau?” jerit Dongfang Bubai dengan suara melengking.

“Aku bernama Linghu Chong!”

Mendengar itu Dongfang Bubai menjadi lebih lunak dan sambil tersenyum ia berkata, “Ah, ternyata kau ini yang bernama Linghu Chong. Sudah lama aku ingin melihatmu. Kabarnya Nona Ren sangat kasmaran kepadamu. Untukmu dia rela mengorbankan jiwa dan raganya. Tadinya kukira betapa gagah dan tampan kekasih idamannya itu. Tapi, hm, ternyata cuma begini saja. Dibandingkan Adik Lian-ku, masih terlalu jauh.”

“Aku memang orang biasa saja. Bagiku yang penting adalah dapat mencintai dengan hati yang tulus dan murni,” jawab Linghu Chong tenang. “Mengenai bocah tampan bermarga Yang ini, meski gagah dan ganteng, tapi sayang, dia terlalu mata keranjang. Suka memetik bunga di sana dan mencabut rumput di sini. Di mana-mana suka bermain cinta dengan wanita cantik dan laki-laki tampan ….”

“Keparat, apa katamu? Omong kosong!” mendadak Dongfang Bubai menggeram dengan wajah merah padam. Tiba-tiba seberkas bayangan merah muda berkelebat secepat kilat. Rupanya Dongfang Bubai telah menerjang maju. Dengan jarum sulam di tangan ia menusuk ke arah wajah Linghu Chong.

Linghu Chong memang sengaja memanas-manasi Dongfang Bubai untuk memancing amarahnya. Setiap jago silat yang dibakar amarah tentu akan berkurang pula pemusatan perhatiannya. Linghu Chong sendiri sudah bersiaga dan segera menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan lawan. Tusukan pedang ini sangat cepat, arahnya tepat pula. Kalau Dongfang Bubai tidak menarik diri tentu lehernya akan tertembus pedang. Namun pada saat yang sama tahu-tahu Linghu Chong merasa pipi kirinya terasa sakit seperti digigit nyamuk. Sekejap kemudian pedangnya terasa agak bergetar pula.

Ternyata gerak serangan Dongfang Bubai benar-benar sukar dibayangkan kecepatannya. Pada detik secepat itu jarumnya telah menusuk satu kali di pipi Linghu Chong. Menyusul kemudian ia menarik kembali tangannya untuk menangkis tusukan pedang lawan menggunakan jarum tersebut. Untung tusukan pedang Linghu Chong juga teramat cepat dengan arah yang tepat pula sehingga lawan terpaksa harus menyelamatkan diri lebih dulu. Akibatnya, tusukan jarum Dongfang Bubai tadi agak melenceng. Seharusnya yang dituju adalah titik Renzhong di bawah hidung Linghu Chong, namun yang terkena justru pipi pemuda itu.

Meskipun demikian, hanya dengan menggunakan sebatang jarum kecil yang ringan Dongfang Bubai mampu menangkis pedang Linghu Chong sehingga tergetar ke samping, membuat semua orang menjerit kagum. Betapa tinggi ilmu silat Dongfang Bubai sungguh sukar dibayangkan.

Linghu Chong juga terkesiap. Ia pun sadar hari ini telah berjumpa seorang lawan tangguh yang belum pernah ditemuinya selama hidup. Bila lawan diberi kesempatan menyerang lagi bisa-bisa keselamatan jiwanya akan terancam. Maka tanpa pikir panjang, ia pun mendahului menyerang sebanyak empat kali, yang kesemuanya menusuk ke tempat mematikan di tubuh musuh.

“Hei, hebat juga ilmu pedangmu!” seru Dongfang Bubai heran sambil memuji pula. Bersamaan jarumnya juga bekerja empat kali. Semua serangan Linghu Chong itu dapat ditangkis olehnya.

Linghu Chong sama sekali tidak menemukan celah kelemahan pada jurus-jurus Dongfang Bubai. Tiba-tiba ia menggertak nyaring, disusul pedangnya menebas dari atas ke arah kepala lawan. Namun Dongfang Bubai segera mengacungkan jarumnya ke atas pula. Tebasan pedang itu pun lagi-lagi tertangkis oleh jarum sulam, tidak sanggup melaju ke bawah.

Linghu Chong merasa tangannya linu dan pegal oleh getaran tenaga lawan. Tiba-tiba bayangan merah muda kembali berkelebat. Kali ini Dongfang Bubai menusukkan jarumnya ke arah mata kiri Linghu Chong. Dalam keadaan demikian Linghu Chong tidak sempat menghindar maupun menangkis. Maka, ia pun menusukkan pedangnya ke mata kiri Dongfang Bubai dengan tidak kalah cepat pula. Serangan semacam ini adalah serangan gugur bersama musuh.

Serangan yang dipakai Linghu Chong tersebut biasanya dipakai kaum rendahan dan tidak lazim digunakan oleh jago silat mana pun juga. Namun Linghu Chong tidak pernah menganggap dirinya seorang jago silat, sertal Ilmu Sembilan Pedang Dugu sendiri juga tidak memiliki jurus serangan yang tetap. Semuanya tergantung keadaan dan menurut kemauan pemakainya. Lantaran sudah terdesak itulah, maka tanpa pikir lagi Linghu Chong pun melancarkan serangan yang sama dengan musuhnya. Begitulah, ia segera merasa alis kirinya terasa sakit, sedangkan Dongfang Bubai juga melompat ke samping untuk menghindari tusukan pedangnya.

Ternyata alis kiri Linghu Chong telah terkena tusukan jarum sulam. Tadinya Dongfang Bubai mengincar mata kirinya namun karena mata sendiri juga terancam, maka ia pun sedikit mengelak sehingga serangannya pun meleset hanya mengenai alis lawan. Karena kaget dan khawatir, Linghu Chong segera melancarkan serangan-serangan gencar pula. Meski tidak diberi kesempatan untuk melancarkan balasan, Dongfang Bubai mampu menghindar kian kemari dengan sangat gesit dan lincah. “Ilmu pedang bagus! Pendekar pedang hebat!” serunya.

Melihat keadaan bertambah gawat, Ren Woxing dan Xiang Wentian segera ikut menerjang maju. Tiga tokoh sakti telah bertempur bersama-sama. Andai kata beribu-ribu prajurit menghadang juga tidak akan mampu menandingi ketiga orang itu. Namun yang mereka hadapi kali ini adalah jago silat nomor satu di dunia. Dengan bersenjata sebatang jarum saja Dongfang Bubai dapat menyelinap ke sana kemari dengan gerakan secepat kilat. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda dirinya akan terdesak kalah.

Shangguan Yun segera ikut mencabut goloknya dan maju membantu. Keadaan kini menjadi empat lawan satu. Pada saat paling sengit, tiba-tiba Shangguan Yun menjerit. Goloknya terpental jatuh, disusul tubuhnya terjungkal sambil tangannya menutup mata kanan. Rupanya sebelah matanya itu telah tertusuk oleh jarum Dongfang Bubai.

Ren Woxing dan Xiang Wentian tidak memberi kesempatan Dongfang Bubai untuk melakukan serangan balasan. Hal ini dimanfaatkan Linghu Chong untuk menghidupkan permainan pedangnya. Ia pun mengincar tempat-tempat mematikan di tubuh musuh. Akan tetapi, Dongfang Bubai benar-benar gesit luar biasa. Ia bergerak ke sana dan melayang ke sini dengan enteng bagaikan hantu. Meskipun tusukan Linghu Chong selalu mengarah ke titik kelemahannya, tapi gerak tubuh Dongfang Bubai terlalu cepat, sehingga pada detik-detik terakhir selalu saja ia dapat menghindarkan diri.

Sejenak kemudian, tiba-tiba Xiang Wentian menjerit perlahan, menyusul kemudian Linghu Chong juga berteriak tertahan. Rupanya tubuh kedua orang itu sama-sama terkena tusukan jarum Dongfang Bubai.

Sementara itu meskipun Jurus Penyedot Bintang milik Ren Woxing sangat ampuh, namun gerak tubuh Dongfang Bubai terlalu cepat sehingga sukar sekali untuk memegangnya. Menghisap tenaga lawan melalui senjata juga tidak mungkin dilakukan, karena yang dipegang Dongfang Bubai adalah sebatang jarum sulam, sehingga akan sangat sulit pula untuk dapat menyentuhnya.

Tidak lama kemudian, justru Ren Woxing yang berteriak perlahan. Dada dan tenggorokannya terkena tusukan jarum pula. Untung saat itu Linghu Chong sedang menyerang dengan gencar sehingga Dongfang Bubai terpaksa harus membela diri, maka tusukan jarumnya pun kurang dalam dan kurang bertenaga.

Tiga orang sakti mengerubut Dongfang Bubai sendirian, namun tidak ada yang mampu menyentuh baju orang itu sedikit pun. Justru ketiganya malah terkena tusukan jarum lawan. Menyaksikan itu, Ren Yingying menjadi khawatir. Bila jarum itu berbisa, tentu akibatnya sangat mengerikan. Ia berpikir, “Tampaknya dalam pertempuran satu lawan tiga ini Dongfang Bubai tetap lebih unggul. Kalau aku ikut maju mungkin malah mengganggu dan mempercepat kekalahan.”

Pertempuran semakin seru. Ren Woxing, Linghu Chong, dan Xiang Wentian semakin gusar. Ketiganya mengerahkan tenaga dalam pada senjata masing-masing. Akan tetapi, Dongfang Bubai sama sekali tetap tidak tersentuh sedikit pun oleh serangan mereka.

Sekilas Ren Yingying melirik Yang Lianting yang telah bangun dan duduk di tepi ranjang sedang mengikuti pertarungan sengit itu. Tiba-tiba Ren Yingying mendapat akal. Perlahan-lahan ia mendekat, dan secara mendadak ia mengangkat pedang pendeknya untuk kemudian ditusukkan tepat di bahu kanan Yang Lianting.

“Aaah!” seru Yang Lianting kesakitan karena serangan tak terduga itu. Ren Yingying kembali menusukkan pedang pendeknya pada paha laki-laki itu. Rupanya Yang Lianting dapat meraba maksud dan tujuan Ren Yingying yaitu ingin ia menjerit untuk memecah perhatian Dongfang Bubai. Menyadari hal itu, ia pun tidak menjerit lagi dan menahan sakit sebisa-bisanya.

“Kau mau menjerit atau tidak? Akan kupotong jari tanganmu satu per satu!” ancam Ren Yingying sambil mengayunkan pedangnya. Dalam sekejap sepotong jari Yang Lianting putus seketika. Di luar dugaan, Yang Lianting sungguh keras kepala. Meskipun terluka di bahu dan paha, serta jarinya putus pula, namun sedikit pun ia tidak bersuara.

Namun demikian, jeritan yang pertama tadi sudah terlanjur didengar oleh Dongfang Bubai. Ia sempat melirik dan melihat Ren Yingying mendekati dan sedang menyiksa Yang Lianting. Dengan perasaan khawatir dan hati gelisah, tanpa pikir panjang ia pun menerjang Ren Yingying sambil memaki, “Siluman betina!”

Ren Yingying segera mengelak ke samping. Ia tidak tahu apakah gerakan demikian dapat menghindarkan diri dari tusukan jarum Dongfang Bubai. Sementara itu dengan kecepatan luar biasa pula pedang Linghu Chong dan Ren Woxing menusuk ke punggung Dongfang Bubai secara bersamaan.

Xiang Wentian menyabetkan cambuknya ke atas kepala Yang Lianting. Ternyata Dongfang Bubai sama sekali tidak memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Ia tidak peduli pada tusukan pedang Linghu Chong dan Ren Woxing, sebaliknya malah menusukkan jarumnya ke dada Xiang Wentian demi untuk menyelamatkan nyawa Yang Lianting.

Kontan sekujur tubuh Xiang Wentian terasa kesemutan. Cambuk pun jatuh ke lantai. Pada saat itu pula pedang Linghu Chong dan Ren Woxing telah menusuk punggung Dongfang Bubai tembus ke dada. Dengan tubuh gemetar Dongfang Bubai jatuh menubruk badan Yang Lianting.

Ren Woxing sangat gembira. Ia menarik pedangnya, lalu menodong tengkuk Dongfang Bubai sambil membentak, “Dongfang Bubai, akhirnya sekarang kau jatuh di tanganku!”

Sementara itu Ren Yingying belum pulih dari rasa takut. Kedua kakinya terasa lemas, tubuh pun sempoyongan hendak roboh. Segera Linghu Chong memapah gadis itu. Dilihatnya satu titik di pipi kiri si nona meneteskan sedikit darah segar. Namun Ren Yingying justru berkata, “Kau terluka di sana-sini.” Usai berkata ia mengusap muka Linghu Chong dengan lengan bajunya. Terlihat bintik-bintik darah memenuhi lengan baju gadis itu. Meskipun tidak bercermin Linghu Chong sadar wajahnya penuh titik luka akibat tusukan jarum lawan.

Ia kemudian menoleh ke arah Xiang Wentian dan berkata, “Kakak, kau baik-baik saja?”

Dengan meringis menahan sakit Xiang Wentian menjawab, “Aku tidak akan … tidak akan mati semudah ini.”

Kemudian dilihatnya kedua luka di punggung Dongfang Bubai mengucurkan darah dengan derasnya. Jelas luka lawannya itu sangat parah. Namun demikian Dongfang Bubai tidak peduli dan berkata, “Adik Lian, Adik Lian, kawanan manusia jahat ini telah menyiksamu. Kejam sekali mereka!”

Yang Lianting justru menjawab dengan marah-marah, “Biasanya kau suka sombong. Katanya ilmu silatmu tiada tandingannya di seluruh dunia. Tapi mengapa sekarang kau tidak mampu membunuh keparat-keparat ini?”

“Aku … aku .…” sahut Dongfang Bubai lirih.

“Aku apa?” bentak Yang Lianting.

“Aku … aku sudah berbuat sekuat tenaga, namun ilmu silat me… mereka rata-rata sangat … sangat tinggi,” jawab Dongfang Bubai dengan suara lemah. Mendadak ia sempoyongan lalu terguling di lantai.

Khawatir lawan akan melompat bangun dan menyerang lagi, segera Ren Woxing mengayunkan pedangnya sehingga paha kiri Dongfang Bubai tertusuk.

“Ketua Ren,” kata Dongfang Bubai dengan menyeringai, “akhirnya kau yang menang. Aku sudah kalah.”

“Dan namamu yang hebat itu tentunya harus diganti, bukan?” sahut Ren Woxing dengan terbahak-bahak. Maksudnya ialah, nama “Bubai” bermakna “tak terkalahkan”.

“Aku tidak akan mengganti namaku,” ujar Dongfang Bubai sambil menggeleng. “Aku sudah kalah dan takkan hidup lagi di dunia ini. Coba … coba kalau bertempur satu lawan satu, pasti kau takkan bisa mengalahkan aku.”

Ren Woxing tertegun, kemudian menjawab, “Benar, ilmu silatmu memang lebih tinggi daripada aku. Aku kagum padamu.”

“Linghu Chong,” ujar Dongfang Bubai kemudian, “ilmu pedangmu memang sangat tinggi. Tapi kalau satu lawan satu kau pun bukan tandinganku.”

“Betul,” jawab Linghu Chong. “Kami berempat mengeroyokmu sekaligus juga tidak dapat menang. Hanya karena rasa khawatirmu pada orang bermarga Yang itu sehingga perhatianmu terpecah. Akhirnya kami pun bisa merobohkanmu. Ilmu silatmu sungguh luar biasa dan kau pantas disebut sebagai ‘jago silat nomor satu di dunia’. Aku benar-benar sangat kagum padamu.”

“Kalian berdua bicara demikian, menunjukkan kalau kalian benar-benar kesatria sejati,” ujar Dongfang Bubai tersenyum. “Aih, sungguh menyebalkan. Aku telah menguasai ilmu dalam Kitab Bunga Mentari itu, aku juga telah meramu dan minum obat berdasarkan resep dalam kitab itu supaya awet muda dan berumur panjang. Sedikit demi sedikit kumis dan janggutku menjadi rontok. Suaraku berubah, watakku pun berubah pula. Aku tidak suka lagi pada perempuan. Ketujuh gundikku telah kubunuh semua. Kemudian aku … aku mencurahkan perhatian kepada Yang Lianting si laki-laki ini. Bukankah ini sangat aneh? Menguasai ilmu Kitab Bunga Mentari entah mendatangkan kebahagiaan ataukah kesialan? Andai aku terlahir sebagai wanita tentu akan sangat baik. Ketua Ren, aku … aku akan segera mati. Aku ingin memohon se… sesuatu padamu, harap kau sudi … sudi mengabulkannya.”

“Permintaan apa?” tanya Ren Woxing.

“Tolong kau ampuni jiwa Yang Lianting. Usir saja dia pergi dari Tebing Kayu Hitam ini,” jawab Dongfang Bubai.

“Mana bisa begitu?” jawab Ren Woxing. “Aku justru akan mencincang dagingnya, akan kubinasakan dia dalam waktu seratus hari. Hari ini kupotong jari tangannya, esok pagi kutebas jari kakinya dan ….”

“Kau … kau sangat kejam!” tiba-tiba Dongfang Bubai berteriak sambil melompat bangun dan menubruk ke arah Ren Woxing.

Walaupun dalam keadaan terluka parah, namun tubrukan ini tetap sangat dahsyat. Ren Woxing sempat menyongsong serangan itu dengan tusukan pedang sehingga menembus dada Dongfang Bubai sampai ke punggung. Namun pada saat yang sama Dongfang Bubai sempat menyentilkan jarinya. Jarum yang dipegangnya pun melesat ke depan dan menancap di bola mata sebelah kanan Ren Woxing.

Ren Woxing melepaskan pedangnya dan mundur sambil berteriak kaget. Punggungnya menubruk dinding sampai roboh. Ren Yingying buru-buru menghampiri. Dilihatnya jarum itu tampak dari luar hanya sebagian kecil saja karena hampir seluruhnya telah menancap ke dalam bola mata sang ayah. Untung kekuatan Dongfang Bubai tadi sudah sangat lemah. Kalau tidak, bukan mustahil jarum itu akan terus menembus ke otak dan jiwa Ren Woxing pun ikut melayang sia-sia. Namun demikian, mata kanan Ren Woxing ini jelas sudah rusak, sehingga ia pun menjadi seorang buta sebelah.

Ren Yingying berusaha mencabut jarum tersebut namun jarinya kesulitan untuk memegang pangkalnya. Ia pun bergegas mencari bingkai sulam yang dibuang Dongfang Bubai tadi. Dari situ ia melolos seutas benang, kemudian dengan hati-hati benang itu disusupkannya ke dalam lubang jarum. Maka, dengan memegang kedua ujung benang itu, jarum tersebut dapat dicabut keluar. Ren Woxing menjerit. Jarum itu telah tercabut sepenuhnya dan tergantung di bawah benang dengan membawa beberapa tetes darah.

Dengan sangat murka Ren Woxing mengayunkan sebelah kakinya. Tubuh Dongfang Bubai ditendangnya keras-keras hingga terlempar dan tepat menghantam kepala Yang Lianting. Tendangan yang disertai kemarahan itu sungguh luar biasa. Kepala Dongfang Bubai dan kepala Yang Lianting beradu sampai pecah dan otak masing-masing hancur berhamburan.

Ren Woxing akhirnya dapat membalaskan dendamnya yang telah terpendam sekian lama dan merebut kembali kedudukannya sebagai Ketua Sekte Matahari dan Bulan. Akan tetapi, karena kehilangan sebelah mata, rasa senang dan marah pun bercampur menjadi satu. Ia menengadah dan bergelak tawa sekeras-kerasnya hingga atap rumah ikut bergetar. Suaranya menggelegar bernada marah.

Shangguan Yun yang juga kehilangan sebelah mata segera menyembah, “Selamat untuk Ketua yang telah berhasil membalas dendam. Sejak kini agama kita kembali di bawah pimpinan Ketua, tentu akan semakin berjaya di delapan penjuru. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, dan merajai dunia persilatan.”

“Hahaha, omong kosong! Apanya yang hidup abadi?” ujar Ren Woxing mengejek. Tiba-tiba hatinya tergetar. Ia membayangkan jika dirinya benar-benar bisa hidup abadi dan merajai dunia persilatan, tentu akan sangat menyenangkan. Ini sungguh suatu kebahagiaan dalam hidup. Membayangkan hal itu membuatnya kembali bergelak tawa. Kali ini ia tertawa dengan puas dan senang.

Xiang Wentian yang dadanya terkena tusukan jarum Dongfang Bubai mengalami kesemutan beberapa saat, baru kemudian bisa pulih kembali. Setelah tangan dan kakinya bisa bergerak, ia pun ikut berseru, “Selamat, Ketua! Selamat, Ketua!”

“Kau berjasa besar dalam membinasakan pengkhianat ini, Adik Xiang,” kata Ren Woxing dengan tertawa. Ia kemudian berpaling kepada Linghu Chong, “Jasa dan bantuan Chong’er juga tidak sedikit jumlahnya.”

Linghu Chong memandang sejenak ke arah Ren Yingying. Dilihatnya gadis itu pucat pasi karena masih terbayang betapa mengerikan pertempuran hidup mati yang baru saja mereka alami tadi. “Kalau bukan karena Yingying telah mengerjai Yang Lianting, mungkin tidak mudah bagi kita untuk bisa mengalahkan Dongfang Bubai,” ujar Linghu Chong kemudian. “Untungnya dia tidak menggunakan jarum berbisa.”

Ren Yingying tergetar mendengarnya. Dengan suara lirih ia berkata, “Sudahlah, tidak perlu dibicarakan lagi. Dia ini bukan manusia, tapi siluman. Sewaktu kecil aku sering digendongnya dan diajak pergi berjalan-jalan ke gunung, memetik buah dan sebagainya. Siapa sangka ia akhirnya bernasib seperti ini?”

Ren Woxing lantas merogoh sejilid kitab tipis yang sudah usang dari balik baju Dongfang Bubai. Dipegangnya kitab itu sambil berkata dalam hati, “Ini yang disebut ‘Kitab Bunga Mentari’. Di sini tertulis bahwa untuk mempelajari ilmu sakti ini harus mengangkat pisau dan mengebiri diri sendiri, serta meracik obat untuk panjang umur dan hidup abadi. Huh, aku si tua boleh disebut bodoh, tapi tidak mungkin percaya pada omong kosong ini.” Ia kemudian tertawa dalam hati tapi kemudian berpikir, “Ah, ilmu silat yang tertulis dalam kitab ini memang sangat ampuh. Setiap orang persilatan tentu akan tertarik bila membacanya. Untung waktu itu aku telah mempelajari Jurus Penyedot Bintang. Jika tidak, bukan mustahil aku pun akan tertarik untuk mempelajari ilmu dalam kitab ini.”

Kembali ia menendang mayat Dongfang Bubai, lalu berkata, “Hahaha, meskipun kau licin seperti setan tapi ternyata kau tidak tahu apa maksud dan tujuanku memberikan kitab ini kepadamu. Ambisimu besar, semangatmu menyala-nyala, dan berhasrat naik ke atas. Apa kau kira aku tidak tahu watakmu itu? Hahahahaha!”

Hati Linghu Chong terguncang. Baru sekarang ia tahu ternyata tujuan Ren Woxing memberikan Kitab Bunga Mentari kepada Dongfang Bubai bukanlah timbul dari niat yang baik. Keduanya sama-sama menyimpan rencana dan maksud tertentu. Dilihatnya mata kanan Ren Woxing yang terluka itu masih meneteskan darah, ditambah lagi ia terbahak-bahak dengan mulut lebar, membuat wajahnya menjadi semakin beringas dan menyeramkan.

Tiba-tiba Ren Woxing meraba selangkangan Dongfang Bubai dan ia tidak menemukan sepasang bola kemaluan pada mayat musuhnya itu. Dengan tertawa semakin menggila ia berkata, “Kitab Bunga Mentari ini sangat tepat bila dipelajari kaum kasim, hahahaha.” Usai berkata demikian ia meremas-remas kitab tersebut dan menggosok-gosoknya dengan kedua tangan. Ketika kedua telapaknya terbuka, kertas-kertas kecil pun berhamburan. Kitab Bunga Mentari yang sudah tua dan lapuk itu pun hancur di tangannya.

Ren Yingying menghela napas lega melihat kitab tersebut musnah. Meskipun ia tidak mengetahui isi pikiran ayahnya dan juga tidak mengetahui pokok-pokok ilmu silat dalam Kitab Bunga Mentari, namun melihat wujud Dongfang Bubai yang berubah menjadi wanita jadi-jadian, membuatnya dapat menduga pasti ilmu dalam kitab tersebut adalah ilmu sesat, Maka gadis itu lantas berkata, “Benda celaka seperti itu memang sebaiknya dihancurkan saja.”

Linghu Chong tersenyum berkata, “Apa kau takut aku mempelajarinya?”

“Huh, omong kosong!” sahut Ren Yingying dengan muka merah. Ia lantas mengeluarkan obat dan menaburkannya pada mata Ren Woxing dan Shangguan Yun yang telah buta sebelah.

Wajah semua orang rata-rata dihiasi bintik-bintik luka akibat tusukan jarum. Ren Yingying bercermin dan melihat satu goresan kecil di pipinya. Meskipun diobati dan bisa sembuh, namun tusukan Dongfang Bubai itu akan tetap membekas seumur hidup. Membayangkan hal itu membuatnya menjadi murung.

Linghu Chong berkata, “Kau memiliki segala keberuntungan yang membuat semua manusia dan siluman merasa iri. Goresan sekecil ini tidak akan mengurangi keberuntunganmu. Sudahlah, jangan bersedih.”

“Keberuntungan apa?” sahut Ren Yingying.

“Kau ini cantik sekaligus sangat pintar. Ilmu silatmu juga tinggi,” jawab Linghu Chong. “Selain itu, ayahmu seorang ketua aliran persilatan besar. Kau juga dihormati banyak orang di dunia persilatan. Dan yang paling penting, kau terlahir sebagai wanita asli sampai-sampai membuat seorang Dongfang Bubai iri kepadamu.”

Ren Yingying tersenyum mendengarnya. Seketika ia pun lupa kepada goresan kecil di pipinya itu.

Begitulah, kelima orang yang selamat tersebut lantas meninggalkan kamar Dongfang Bubai dan kembali ke balairung. Ren Woxing memberikan perintah agar semua tokoh Sekte Matahari dan Bulan datang menghadap. Begitu duduk di atas singgasana, ia tertawa dan berkata, “Dongfang Bubai memang pintar, bisa menikmati hidupnya sebagai seorang ketua yang dipuja. Dengan duduk tinggi di atas panggung seperti ini, juga jaraknya yang cukup jauh dari bawahan yang datang menghadap, dengan sendirinya akan timbul rasa takut dan segan dalam hati mereka. Hm, apa nama ruangan ini?”

Shangguan Yun menjawab, “Lapor kepada Ketua yang bijaksana, ruangan ini bernama Balairung Budi Luhur. Ini diambil dari pujian kami kepadanya, yaitu ‘seorang ahli sastra yang berbudi luhur, ahli silat yang rendah hati’.”

Ren Woxing tertawa mendengarnya, “Hahaha, menjadi ahli sastra dan ahli silat sekaligus, sungguh muluk-muluk.” Sejenak kemudian ia pun berkata kepada Linghu Chong, “Chong’er, kemarilah!”

Linghu Chong lantas berjalan mendekatinya.

“Chong’er,” kata Ren Woxing, “ketika di Hangzhou dulu aku pernah mengajakmu supaya masuk ke dalam agama kami. Waktu itu aku masih lemah dan baru lepas dari kesulitan. Apa pun yang kukatakan tentu tidak bisa membuatmu percaya begitu saja. Tapi sekarang aku benar-benar telah duduk kembali di atas singgasana. Maka, urusan pertama yang akan kubahas tidak lain tetap persoalan yang dulu .…” sampai di sini ia lantas menepuk-nepuk tempat duduknya dan melanjutkan, “tempat ini cepat atau lambat tentu akan kau duduki pula. Hahahahaha!”

“Ketua,” jawab Linghu Chong, “Kebaikan Yingying padaku tak terhitung banyaknya. Apa yang kau kehendaki atas diriku tidak pantas jika kutolak. Hanya saja aku sudah terlanjur berjanji kepada orang lain akan menyelesaikan suatu urusan penting. Oleh karena itu tentang persoalan masuk ke dalam aliranmu terpaksa tidak dapat kupenuhi.”

Kedua alis Ren Woxing menegak. Dengan suara dingin ia berkata, “Kau tentu cukup tahu apa akibatnya bagi orang yang tidak tunduk pada keinginanku, bukan?”

Ren Yingying segera mendekati Linghu Chong dan memegang tangannya. Gadis itu pun berkata, “Ayah, hari ini adalah hari bahagiamu karena kau berhasil menduduki kembali singgasanamu. Kenapa Ayah harus ribut untuk urusan kecil seperti ini? Tentang bagaimana dia bisa bergabung ke dalam agama kita biarlah dibicarakan kelak saja.”

Ren Woxing memiringkan wajah ke kanan sehingga mata kirinya terlihat memandang tajam kedua muda-mudi itu. “Hm, Yingying, sekarang yang kau inginkan hanya suami dan tidak peduli lagi pada ayah, begitu?”

Xiang Wentian ikut bicara, “Ketua, Adik Linghu ini seorang kesatria muda yang keras hati. Biarlah nanti aku yang memberi pengertian kepadanya ….”

Belum selesai ia bicara, tiba-tiba terdengar suara belasan orang berseru di luar balairung, “Kami, para tetua balai, wakil tetua balai, pengurus lima cabang dupa, wakil pengurus lima cabang dupa, dengan ini menyampaikan sembah bakti kepada Ketua yang bijaksana, murah hati, ahli sastra berwatak kesatria yang melindungi rakyat jelata, cahaya agama suci kita. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan.”

“Masuklah!” bentak Ren Woxing.

Sebanyak belasan laki-laki kekar melangkah masuk ke dalam balairung. Serentak mereka berlutut dan menyembah secara berjajar-jajar. Ketika Ren Woxing menjabat sebagai ketua yang dahulu, saat itu ia menyapa para anggota Sekte Matahari dan Bulan dengan sebutan “saudara”, dan pada saat bertemu dengannya mereka cukup memberi hormat saja. Kini melihat orang-orang itu berlutut dan menyembah kepadanya, ia pun bangkit dan berkata, “Tidak perlu ....” Akan tetapi tiba-tiba terpikir olehnya, “Rasanya tidak ada salahnya kalau aku menerima sembah mereka. Seorang pimpinan harus berwibawa dan menetapkan peraturan-peraturan ketat. Dulu aku terlalu lunak dan percaya kepada bawahan sehingga berhasil dijebak mentah-mentah oleh Dongfang Bubai. Hm, peraturan menyembah pimpinan seperti ini tidak ada salahnya untuk diteruskan.”

Tidak lama kemudian, kembali satu rombongan lain masuk dan menyembah pula. Kali ini Ren Woxing tidak berdiri lagi dari tempat duduknya. Sembah dan pujian muluk-muluk itu diterimanya dengan senang hati sambil kepalanya manggut-manggut.

Sementara itu, Linghu Chong sudah mengundurkan diri sampai ke ambang pintu balairung. Kini ia berdiri pada jarak yang cukup jauh dengan singgasana Sang Ketua. Cahaya lilin yang remang-remang membuat wajah Ren Woxing tampak samar-samar. Tiba-tiba timbul suatu pikiran dalam benak Linghu Chong, “Yang duduk di atas singgasana itu Ren Woxing atau Dongfang Bubai? Memangnya ada perbedaan apa di antara mereka?”

Kemudian terdengar para anggota Sekte di dalam balairung itu ramai memberikan sanjung puji kepada Sang Ketua. Rupanya di antara mereka banyak yang ketakutan karena selama belasan tahun ini mengabdi kepada Dongfang Bubai. Kalau sekarang Ren Woxing tiba-tiba mengusut perbuatan mereka dan menagih hutang, tentu ini sangat berbahaya. Sebagian lagi mungkin adalah orang baru, yang sama sekali tidak kenal siapa Ren Woxing. Namun mereka sudah terbiasa menyanjung dan memuji Dongfang Bubai serta Yang Lianting agar terhindar dari bahaya dan bisa naik pangkat. Maka, seperti biasa mereka pun berteriak-teriak memuji untuk menarik perhatian sang ketua baru.

Saat itu sang surya sudah muncul di ufuk timur. Sinarnya yang lembut menembus ke dalam balairung sehingga terlihat bayangan punggung ratusan anggota Sekte yang berlutut sedang menyerukan sanjung puji memuakkan.

Linghu Chong berpikir, “Yingying sangat baik padaku. Kalau dia memintaku masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan, mana mungkin aku bisa menolaknya? Tapi lebih dulu aku harus pergi ke Gunung Songshan demi perjanjianku dengan Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, yaitu untuk mencegah Zuo Lengchan melebur dan menguasai Serikat Pedang Lima Gunung. Setelah itu aku akan memilih seorang murid wanita yang pantas untuk menggantikan kedudukanku sebagai Ketua Perguruan Henshan. Kalau aku sudah tidak punya ikatan, tentu urusan masuk Sekte bisa dibicarakan lagi. Lagipula kelak aku akan menjadi menantu Ketua Ren, sehingga bersujud kepadanya setiap hari jelas bukan masalah. Akan tetapi, kalau setiap hari harus mengucap sanjung puji ‘ahli sastra berwatak kesatria’, ‘cahaya agama suci’, ‘pelindung rakyat jelata’, sungguh menjijikkan. Kalau seorang laki-laki setiap hari mengucapkan sanjung puji seperti itu, apa masih bisa disebut kesatria? Tadinya aku kira ini semua hanya ulah Dongfang Bubai dan Yang Lianting untuk menekan anak buah mereka. Namun, kini kulihat Ketua Ren ternyata sangat menikmati sanjung puji macam ini tanpa merasa muak.”

Sejenak kemudian ia berpikir kembali, “Beberapa waktu yang lalu di Puncak Huashan aku melihat ukiran ilmu silat para Tetua Sekte Matahari dan Bulan. Jelas dalam sekte ini banyak terdapat orang-orang sakti dan perkasa. Pada zaman ini yang aku kenal adalah Kakak Xiang, Shangguan Yun, Jia Bu, Tong Baixiong, serta Empat Sekawan dari Jiangnan. Mereka adalah orang-orang hebat, tapi apa semuanya tunduk begitu saja pada peraturan menjijikkan ini? Para kesatria ini dipaksa berlutut merendahkan diri dan mengumandangkan kata-kata pujian yang mungkin saja hati mereka sedang berontak. Mengucapkan sanjung puji seperti ini benar-benar menjijikkan. Apakah para kesatria ini masih pantas disebut kesatria?”

Kemudian terdengar suara Ren Woxing berkumandang dari ujung balairung, “Tentang segala perbuatan kalian di bawah kepemimpinan Dongfang Bubai, diam-diam aku telah menyelidiki dan kucatat pula satu per satu dengan jelas. Namun aku seorang ketua yang murah hati. Aku tidak akan mengusut kejadian yang sudah-sudah, juga tidak akan menagih hutang lama. Apa yang kulihat hanyalah perbuatan kalian di masa depan. Asalkan untuk selanjutnya kalian setia dan berbakti kepadaku sampai mati, maka aku akan memperlakukan kalian dengan penuh kemakmuran dan kekayaan.”

Mendengar itu serentak para anggota Sekte mengucapkan sanjung puji beraneka ragam sehingga suasana menjadi bergemuruh. Mereka mengatakan bahwa Sang Ketua sangat murah hati, adil dan bijaksana. Ada yang memuji hati Ketua lapang bagai luasnya samudera, ada yang mengatakan Ketua mahaagung memang tidak pantas melakukan perbuatan rendah. Mereka pun serentak berjanji akan selalu setia pada Ketua, meski harus lebur melewati lautan api juga rela demi kejayaan Sekte Matahari dan Bulan.

Ren Woxing menunggu sampai semua puji-pujian itu selesai. Setelah keadaan berangsur-angsur menjadi hening, ia pun melanjutkan, “Tapi bila ada seseorang yang berani membangkang dan berkhianat, maka dosa yang sudah-sudah akan diperhitungkan semua. Ada satu orang berbuat salah, maka segenap keluarganya harus ikut bertanggung jawab dan dihukum mati semua.”

Serentak para anggota Sekte berseru, “Kami akan selalu setia kepada Ketua.”

Linghu Chong terkesiap melihat pemandangan itu. Diam-diam ia berpikir, “Apa yang dilakukan Ketua Ren ini tidak ada bedanya dengan Dongfang Bubai, menegakkan wibawa melalui ancaman kekerasan. Meski dari luar orang-orang ini terlihat tunduk, tapi dalam hati mereka tentu memberontak. Lalu dari mana mereka mampu mengucapkan kata ‘setia’?”

Menyusul kemudian ada anggota Sekte yang membongkar dosa-dosa Dongfang Bubai. Katanya, bekas ketua itu suka marah-marah jika mendengar nasihat baik, dan lebih memilih percaya kepada Yang Lianting, serta ia juga suka main bunuh seenaknya. Ada pula yang mengadu, katanya Dongfang Bubai suka melakukan korupsi, menumpuk kekayaan demi kepentingan diri sendiri. Ada lagi yang mengoceh, katanya Dongfang Bubai suka bertindak ceroboh, menyerahkan Lencana Kayu Hitam kepada sembarang orang, dan memaksa para anggota menelan Pil Penghancur Otak. Ada juga yang mengatakan kalau Dongfang Bubai sangat rakus. Setiap kali makan ia menyembelih tiga ekor sapi, lima babi, dan sepuluh domba.

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Mereka benar-benar suka menjilat. Kalau Dongfang Bubai dikatakan rakus dan suka makan, apa mungkin seorang diri bisa menghabiskan hewan sembelihan sebanyak itu? Dia seorang ketua aliran besar. Mungkin ia menyembelih banyak hewan adalah untuk sesama kawan. Apa ini dianggap suatu kejahatan?”

Semakin lama para anggota semakin banyak yang melontarkan tuduhan kepada Dongfang Bubai. Tuduhan yang mereka ucapkan pun terdengar sepele dan tidak masuk akal. Ada yang memaki Dongfang Bubai suka berubah-ubah sikap, kadang tertawa kadang menangis tanpa sebab. Ada yang memakinya suka berpakaian mewah dan enggan menerima penghadapan anggota. Ada yang memakinya sebagai orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Bahkan ada pula yang memakinya tidak memiliki kepandaian apa-apa, dan ilmu silat yang ia miliki hanya omong kosong belaka untuk menakut-nakuti para anggota.

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Kalian seenaknya memaki dan menuduh Dongfang Bubai, padahal kalian sendiri yang tidak tahu apa-apa. Baru saja kami berlima mati-matian menghadapi kehebatan Dongfang Bubai bagaikan bisa lolos dari lubang jarum. Apabila Dongfang Bubai disebut tidak memiliki kehebatan apa-apa, maka di dunia ini tidak ada lagi orang hebat. Sungguh omong kosong yang keterlaluan!”

Yang paling menggelikan adalah seseorang yang memaki Dongfang Bubai sebagai manusia cabul, suka main perempuan dan memerkosa anak istri para anggota Sekte.

Linghu Chong kembali berpikir, “Dongfang Bubai sudah merelakan dirinya menjadi banci berpakaian wanita. Dia tidak suka lagi pada perempuan dan lebih suka melayani laki-laki. Mana bisa kalian seenaknya menuduh dia sebagai manusia cabul?” Mendengar laporan lucu ini ia tak kuasa lagi menahan geli sampai akhirnya terbahak-bahak sehingga suaranya berkumandang memenuhi balairung. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arahnya dengan mata melotot gusar.

Melihat pemuda itu mulai berbuat onar, Ren Yingying segera menarik tangannya dan berkata, “Mereka sedang membicarakan urusan Dongfang Bubai. Tidak ada yang menarik di sini. Mari kita turun ke bawah saja.”

“Benar juga. Jangan-jangan ayahmu menjadi marah dan kepalaku dipenggal,” ujar Linghu Chong sambil menjulurkan lidah. Segera mereka keluar dari balairung dan turun ke bawah menggunakan keranjang kerekan.

Keduanya duduk bersanding di dalam keranjang bambu. Awan putih tampak mengambang di sekeliling mereka. Dibandingkan dengan suasana di dalam balairung tadi, Linghu Chong merasa saat ini bagaikan berada di dunia lain. Ia pun berpikir, “Apa yang baru kami alami rasanya seperti mimpi belaka. Bagaimanapun juga, aku tidak akan sudi lagi naik ke atas Tebing Kayu Hitam ini.”

“Apa yang sedang kau renungkan, Kakak Chong?” tanya Ren Yingying tiba-tiba.

“Apakah kau mau pergi bersamaku?” kata Linghu Chong.

Muka Ren Yingying menjadi merah. Dengan tergagap ia menjawab, “Tapi kita … kita .…”

“Kita apa?” desak Linghu Chong.

Ren Yingying menunduk dan menjawab, “Kita belum … belum menikah. Mana boleh aku ikut pergi denganmu?”

“Bukankah dahulu kita pernah berkelana berdua di dunia persilatan?” ujar Linghu Chong.

“Yang dahulu itu karena terpaksa. Justru karena kebersamaan kita itu timbul banyak omongan-omongan iseng di dunia persilatan,” kata Ren Yingying. “Apalagi tadi Ayah mengatakan bahwa aku … aku hanya memikirkan dirimu dan tidak mau Ayah lagi. Kalau sekarang aku benar-benar ikut pergi bersamamu tentu Ayah akan bertambah marah. Setelah mengalami penderitaan-penderitaan selama belasan tahun agaknya watak Ayah mengalami perubahan. Aku harus melayaninya dengan baik untuk meredam kemarahannya. Asalkan hatiku dan hatimu tidak berubah, asalkan umur kita masih panjang, untuk selanjutnya kita masih bisa bertemu lagi.” Kata-kata terakhir itu diucapkannya dengan lirih, hampir-hampir tak terdengar.

Kebetulan waktu itu segumpal awan putih melayang tiba sehingga mereka seperti terbungkus di dalamnya. Meskipun duduk bersanding, namun karena suasana remang-remang, jarak keduanya pun seperti sangat jauh. Sesampainya di bawah tebing dan keluar dari keranjang bambu, Ren Yingying bertanya dengan suara berat, “Apakah kau akan langsung berangkat?”

“Ya,” jawab Linghu Chong. “Zuo Lengchan telah mengundang segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung untuk berkumpul pada tanggal lima belas bulan tiga, dalam acara memilih Ketua Perguruan Lima Gunung. Ambisinya sangat besar dan dapat mengancam keselamatan dunia persilatan. Maka itu, pertemuan di Gunung Songshan ini harus kuhadiri.”

Ren Yingying mengangguk dan berkata, “Kakak Chong, ilmu pedangmu lebih hebat daripada Zuo Lengchan, tapi kau harus berhati-hati terhadap tipu muslihatnya.”

“Ya,” jawab Linghu Chong.

Ren Yingying menyambung, “Sebenarnya aku ingin pergi juga, tapi aku seorang perempuan aliran sesat. Jika aku pergi ke Gunung Songshan bersamamu tentu hanya akan merintangi urusanmu.” Ia diam sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada cemas, “Bila nanti kau berhasil menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, namamu akan termasyhur di seluruh dunia, sedangkan golongan putih dan hitam selamanya tidak pernah bersatu. Kurasa urusan kita akan … akan lebih sulit.”

Linghu Chong memegang tangan Ren Yingying erat-erat dan menjawab halus, “Kau masih belum percaya padaku?”

“Tentu saja aku percaya,” sahut Ren Yingying dengan tersenyum. Selang sejenak ia berkata lagi dengan nada khawatir, “Namun semakin tinggi ilmu silat seseorang, semakin besar pula namanya di dunia persilatan. Hal seperti ini sering pula mengubah wataknya. Dia sendiri mungkin tidak sadar, tapi sikapnya telah berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Paman Dongfang seperti itu. Aku khawatir Ayah juga bisa seperti itu.”

Linghu Chong tersenyum menanggapi, “Ayahmu tidak akan menjadi seperti Dongfang Bubai. Bukankah Kitab Bunga Mentari sudah dicabik-cabiknya hingga hancur berkeping-keping? Kalau pun ingin belajar juga terlambat.”

“Aku tidak bicara soal ilmu silat, tapi sedang membicarakan watak manusia.” jawab Ren Yingying, “Meskipun Paman Dongfang tidak mempelajari Kitab Bunga Mentari, tetap saja ia memberontak dan merebut kedudukan Ketua Sekte Matahari dan Bulan apabila menemukan kesempatan.”

“Kau jangan khawatir, Yingying,” kata Linghu Chong. “Orang lain mungkin seperti itu, tapi aku pasti tidak. Sifatku suka berterus terang, tidak bisa berpura-pura. Andaikan aku menjadi sombong dan besar kepala, tapi di hadapanmu akan tetap seperti sekarang.”

“Baguslah kalau begitu,” ujar Ren Yingying. “Maksudmu, seperti sekarang itu seperti apa?”

Linghu Chong menjawab dengan sungguh-sungguh, “Untuk seribu tahun, seribu musim semi, selamanya Linghu Chong akan selalu menjadi cucumu yang manis.”

Ren Yingying tersenyum manis dan berkata, “Kalau begitu aku adalah perempuan paling beruntung di dunia. Terlahir menjadi seorang berwajah cantik dan berusia muda tidaklah penting. Yang paling penting adalah Ren Yingying bisa seribu tahun seribu musim semi berada di sisi Pendekar Besar Linghu.”

Linghu Chong terdiam sejenak, kemudian teringat sesuatu dan berkata, “Semua orang di dunia persilatan telah mengetahui hubungan kita. Kawan-kawan yang kau asingkan di salah satu pulau di laut selatan apakah bisa kau maafkan?”

Ren Yingying tersenyum menjawab, “Aku akan mengirim orang untuk membawa mereka kembali ke sini.”

Linghu Chong menarik tubuh gadis itu lebih dekat, dan perlahan-lahan memeluk pinggangnya. “Sekarang aku mohon diri padamu. Setelah urusan penting di Gunung Songshan beres, aku akan segera datang mencarimu. Setelah itu kita berdua takkan berpisah lagi.”

Sorot mata Ren Yingying berbinar-binar, memancarkan perasaan gembira. Dengan suara berat ia berkata, “Semoga usahamu berhasil dengan baik dan bisa secepatnya kembali kemari. Siang dan malam aku … aku akan selalu menunggumu di sini.”

“Baiklah,” kata Linghu Chong sambil perlahan-lahan mencium pipi gadis itu.

Wajah Ren Yingying langsung merah merona. Dengan tersipu malu ia mendorong perlahan. Linghu Chong bergelak tawa kemudian berjalan mendekati kudanya. Sekali lompat ia langsung hinggap di atas kuda itu dan memacunya meninggalkan markas Sekte Matahari dan Bulan tersebut.

Beberapa hari kemudian Linghu Chong sampai di Gunung Henshan. Para murid yang ditugasi menjaga kaki gunung segera mengirim laporan ke atas. Beramai-ramai para murid lainnya turun menyambut kedatangan sang ketua dengan gembira. Tidak lama kemudian para anggota laki-laki yang tinggal di Lembah Tongyuan juga berdatangan menyambut pula.

Linghu Chong menanyakan keadaan para jagoan itu selama keepergiannya. Zu Qianqiu menjawab, “Para murid laki-laki semuanya hidup prihatin, giat berlatih dengan tertib. Tak seorang pun yang berani datang ke biara induk.”

Linghu Chong menjawab senang, “Syukur kalau begitu.”

Yihe tertawa menyahut, “Memang benar mereka tidak pernah datang ke biara induk. Tapi soal hidup prihatin, apa benar demikian?”

Linghu Chong terkejut dan bertanya, “Apa maksudmu?”

Yihe menjawab, “Sepanjang hari, siang dan malam aku mendengar suara gaduh dari arah Lembah Tongyuan. Ramai sekali suara mereka.”

Linghu Chong tertawa menanggapi, “Hahaha, menyuruh kawan-kawan ini duduk diam tidaklah mudah.”

Linghu Chong kemudian bercerita tentang keberhasilan Ren Woxing merebut kembali kedudukannya sebagai Ketua Sekte Matahari dan Bulan. Para jagoan sangat gembira mendengarnya. Suara sorak-sorai mereka bergemuruh menggetarkan lembah. Dalam hati mereka membayangkan, jika Ren Woxing menjadi ketua lagi, itu berarti Ren Yingying pun mendapat kedudukan penting pula di dalam Sekte. Ini berarti keadaan akan menjadi lebih baik untuk semua orang.

Linghu Chong akhirnya sampai di Puncak Xianxing. Yang pertama kali ia lakukan di biara induk adalah menyampaikan sembah bakti di depan altar ketiga biksuni sepuh. Pertemuan di Gunung Songshan pada tanggal lima belas bulan tiga sudah semakin dekat. Bersama murid-murid tertua seperti Yihe dan Yiqing, ia membicarakan undangan Zuo Lengchan tersebut. Mereka memutuskan untuk pergi ke Henan terlebih dulu sebelum menuju Gunung Songshan. Yihe dan yang lain tidak setuju apabila mereka harus melibatkan para jagoan yang tinggal di Lembah Tongyuan untuk membantu melawan pihak Songshan. Meskipun para jagoan itu bisa menambah kekuatan mereka, namun hal itu justru akan menjadi bahan olok-olok bagi pihak Henshan sendiri.

Yihe berkata, “Kakak Ketua, ilmu pedangmu lebih tinggi daripada Zuo Lengchan, maka untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi, para jagoan di Lembah Tongyuan bisa merepotkan kita.”

Linghu Chong tersenyum berkata, “Tujuan kita adalah mencegah Zuo Lengchan supaya tidak mencaplok keempat perguruan lain. Aku sama sekali tidak pantas menjadi Ketua Perguruan Henshan, apalagi menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Apabila kalian menghendaki untuk tidak mengajak para jagoan itu, maka kita tidak akan mengajak mereka.”

Ia kemudian berjalan menuju Lembah Tongyuan untuk berunding dengan Ji Wushi, Zu Qianqiu, dan Lao Touzi. Ternyata ketiga orang itu juga tidak setuju apabila rombongan mereka ikut serta ke Gunung Songshan. Ketiganya meminta Linghu Chong memimpin para murid perempuan untuk berangkat lebih dulu, sementara mereka akan memberi pengertian kepada para jagoan lainnya sambil menghimpun kekuatan dan menunggu kabar. Nanti apabila pihak Perguruan Songshan berusaha menekan Perguruan Henshan dengan mengandalkan kekuatan mereka yang lebih besar, maka para jagoan yang jumlahnya ribuan pun akan berangkat memberikan bantuan.

Malam itu, Linghu Chong minum arak bersama para jagoan di Lembah Tongyuan tersebut. Keberangkatan menuju ke Gunung Songshan telah direncanakan esok paginya. Namun, Linghu Chong sendiri ternyata tidur pulas sampai bangun kesiangan. Terpaksa, keberangkatan menuju Gunung Songshan harus ditunda sehari kemudian. Esok paginya barulah ia memimpin para murid perempuan berangkat menuju ke sana.

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di sebuah kota dan beristirahat dalam sebuah kuil bobrok yang cukup besar. Zheng E dan enam murid lain meronda di luar menghadapi kemungkinan serangan licik pihak Songshan. Namun tidak lama kemudian Zheng E dan Qin Juan berlari memasuki kuil sambil berteriak, “Kakak Ketua, cepat kemari dan lihatlah itu!” Keduanya melapor dengan wajah menahan geli.

Yihe bertanya, “Ada apa sebenarnya?”

Qin Juan menjawab cekikikan, “Kakak, sebaiknya kau lihat sendiri saja.”

Linghu Chong dan yang lain segera keluar dan mengikuti kedua murid muda tersebut yang membawa mereka menuju ke sebuah penginapan. Mereka langsung melihat enam orang bertumpuk-tumpuk seperti batu bata di sebuah rumah kecil di sisi barat rumah penginapan tersebut. Mereka tidak lain adalah Enam Dewa Lembah Persik yang tidak bisa berkutik karena tubuh mereka masing-masing tertotok.

Linghu Chong sangat terkejut melihatnya. Segera ia menarik turun Dewa Akar Persik yang berada paling atas di tumpukan itu. Dilihatnya segumpal biji buah persik menyumpal mulut Dewa Akar Persik.

Begitu Linghu Chong mengeluarkan sumpalan itu, seketika Dewa Akar Persik langsung memaki-maki, “Nenekmu, semua keluargamu akan kubuat menderita, anak turunmu sampai delapan belas keturunan akan kusiksa, kau ….”

Linghu Chong tertawa berkata, “Kakak Akar Persik, aku tidak berbuat salah kepadamu, bukan?”

“Aku tidak memakimu! Jangan ikut campur!” bentak Dewa Akar Persik. “Anjing itu, jika kelak aku melihatnya, akan kurobek tubuhnya menjadi delapan, enam belas, tiga puluh empat .…”

“Siapa yang kau caci maki itu?” tanya Linghu Chong.

“Nenekmu, jika aku tidak mencaci maki dia, lantas siapa lagi yang sedang kumaki ini?” sahut orang tua itu galak.

Linghu Chong kemudian menarik turun Dewa Bunga Persik dan mengeluarkan sumpalan di mulutnya. Rupanya Dewa Bunga Persik sudah tidak tahan untuk tidak ikut bicara. Saat sumpalan di mulutnya baru tertarik separuh, ia sudah menggumam tak keruan. Maka, begitu mulutnya terbebas sepenuhnya, ia langsung saja berkata, “Kakak Pertama, yang kau katakan tadi salah. Delapan potong dikalikan dua jadi enam belas, dikalikan dua lagi jadi tiga puluh dua. Kenapa kau tadi bilang jadi tiga puluh empat?”

“Terserah aku mau merobeknya menjadi tiga puluh empat atau berapa. Apa aku tadi berkata akan selalu membaginya dua? Terserah aku jika membaginya dua lalu menambah dua sobekan lagi,” jawab Dewa Akar Persik tidak mau kalah.

Dewa Bunga Persik berkata, “Kenapa kau membaginya dua lantas menambah dua sobekan lagi? Apa alasannya?”

Totokan pada tubuh mereka belum lagi lepas, namun begitu ada kesempatan berbicara mereka langsung saja mengoceh memperdebatkan hal-hal yang tidak penting.

Linghu Chong bertanya, “Berhenti bertengkar! Sebenarnya ada kejadian apa?”

Dewa Bunga Persik berkata, “Kedua biksu sinting itu, Bujie dan Bukebujie, kedelapan belas leluhur mereka adalah biksu sinting semua.”

Linghu Chong kembali tertawa bertanya, “Mengapa kau memaki mereka?”

Dewa Akar Persik menjawab, “Jika bukan memaki mereka lantas aku memaki siapa? Kau pergi tanpa pamit dan kami mendengar itu semua dari Zu Qianqiu. Bagaimana mungkin kami enam bersaudara tidak ikut pergi ke Gunung Songshan untuk melihat keramaian? Tentu saja kami memutuskan untuk menyusul. Tapi di tengah jalan kami bertemu si biksu sinting Bukebujie. Dia mengajak kami minum dan bercerita tentang enam ekor anjing yang mati disengat serangga. Kami tertarik pada ceritanya sehingga tidak menyadari kalau Biksu Bujie bersembunyi di dekat kami dan langsung melumpuhkan kami dengan totokan. Biksu Bujie berkata, kalau kami ikut ke Gunung Songshan tentu hanya akan mengacaukan rencana Ketua Linghu saja. Huh, dari mana dia tahu kalau kami akan mengacaukan rencanamu?”

Linghu Chong memaklumi apa yang terjadi dan tertawa menjawab, “Sebenarnya saat ini Enam Dewa Lembah Persik sudah menang, dan Biksu Bujie kalah. Jika kalian bertemu Biksu Bujie dan Biksu Bukebujie masalah ini tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Kalian juga tidak perlu bertarung melawan mereka. Sebaliknya, kalau para kesatria di dunia persilatan bertanya tentang hal ini, tentu mereka tidak bisa mengingkari kekalahan kedua biksu itu di tangan Enam Dewa Lembah Persik.”

Dewa Akar Persik dan Dewa Bunga Persik mengangguk lalu menjawab, “Untuk selanjutnya jika bertemu dengan dua biksu sinting itu kami tidak akan mengungkit masalah ini lagi sehingga mereka berdua tidak akan kehilangan muka.”

Linghu Chong tertawa menjawab, “Yang paling penting saat ini adalah membuka totokan kalian, enam bersaudara. Kalian pasti sangat menderita sekarang.” Usai berkata ia lantas membuka totokan pada tubuh Dewa Bunga Persik dan menutup pintu supaya suara perdebatan mereka tidak sampai terdengar dari luar.

Zheng E terkekeh dan bertanya, “Kakak Ketua, apa yang sedang mereka lakukan?”

Qin Juan menjawab, “Mereka sedang membangun kuil.”

Dewa Bunga Persik langsung memaki dari dalam, “Biksuni cilik sembarangan! Kenapa kau bilang kami sedang membangun kuil?”

Qin Juan tertawa menjawab, “Hei, aku bukan biksuni!”

Dewa Akar Persik berkata, “Kau hidup bersama para biksuni, jadi kau pun termasuk biksuni.”

Qin Juan menjawab, “Kakak Ketua juga hidup bersama kami, tapi dia bukan biksuni.”

Zheng E menambahkan, “Kalian juga hidup bersama kami, tapi kalian juga bukan biksuni.”

Dewa Akar Persik dan Dewa Bunga Persik terdiam tidak bisa membalas. Keduanya sama-sama bingung mencari alasan yang tepat untuk melawan perkataan kedua murid muda itu.

Linghu Chong dan para murid perempuan lantas menunggu di luar sampai sekian lama, namun Enam Dewa Lembah Persik tidak juga muncul keluar. Linghu Chong lalu membuka pintu dan melihat Dewa Bunga Persik mondar-mandir dengan sikap malu-malu, sementara kelima saudaranya masih dalam keadaan tertotok. Linghu Chong bergelak tawa dan segera membuka totokan kelima orang tua aneh tersebut, kemudian buru-buru melangkah keluar kamar.

Tidak lama kemudian terdengar suara berisik dari dalam rumah kecil itu. Linghu Chong tertawa senang dan melangkah menjauhi penginapan tersebut. Beberapa puluh langkah selanjutnya ia melewati jalan yang membelah suatu lahan pertanian. Satu pohon persik tampak tumbuh subur dengan ranting-ranting dipenuhi bunga bermekaran. Melihat itu ia berpikir, “Pohon bunga persik memang sangat indah dan memesona, tapi Enam Dewa Lembah Persik hanya bisa membuat gaduh dan berisik saja. Nama julukan mereka sama sekali berbeda dengan kenyataan pohon bunga persik.”

Seorang diri ia berjalan santai sambil berpikir keenam orang tua bersaudara itu pasti baru saja selesai bertengkar sekarang, dan berniat mengajak mereka minum arak bersama. Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki di belakangnya, dan satu suara perempuan menyapa dengan lembut, “Kakak Linghu!”

Linghu Chong menoleh dan melihat rupanya Yilin yang datang menghampirinya.

Biksuni muda itu berkata, “Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”

“Tentu saja boleh,” jawab Linghu Chong. “Tanya urusan apa?”

Yilin bertanya, “Menurutmu siapa yang lebih baik, Nona Ren ataukah adik kecilmu?”

Linghu Chong terkesiap. Dengan agak rikuh ia menjawab, “Mengapa tiba-tiba kau bertanya masalah ini?”

“Kakak Yihe dan Kakak Yiqing yang menyuruhku bertanya ini kepadamu,” jawab Yilin.

Linghu Chong bertambah heran, lalu menjawab dengan tersenyum, “Mereka adalah kaum biarawati, mengapa bertanya hal-hal demikian?”

Yilin menunduk dan berkata, “Kakak Linghu, aku tidak pernah bercerita kepada orang lain tentang hubunganmu dengan adik kecilmu. Namun Kakak Yihe pernah melukai Nona Yue sehingga antara kedua pihak timbul perselisihan. Waktu itu Kakak Yizhen dan Kakak Yiling pergi untuk mengantarkan obat luka, namun mereka ditolak oleh pihak Huashan, bahkan diusir pula. Hal ini sengaja tidak kami ceritakan kepadamu supaya kau tidak tersinggung. Kemudian ketika Kakak Yu Sao dan Kakak Yiwen pergi ke Gunung Huashan untuk menyampaikan berita pelantikanmu sebagai Ketua Perguruan Henshan, mereka telah ditahan di sana.”

Linghu Chong terkejut dan bertanya, “Hah? Dari mana kau mendapat kabar ini?”

“Dari Tian … eh, Bukebujie yang melapor padaku,” jawab Yilin dengan malu-malu.

“Tian Boguang?” sahut Linghu Chong.

“Benar,” jawab Yilin, “ketika kau ke Tebing Kayu Hitam, para kakak telah menyuruhnya ke Gunung Huashan untuk mencari berita.”

Linghu Chong mengangguk, “Dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, Tian Boguang memang tepat jika disuruh menyelidiki sesuatu. Dan kedua kakakmu itu apakah bisa dijumpai olehnya?”

“Bisa. Namun penjagaan Perguruan Huashan terlalu ketat, dia tidak sanggup menolong mereka. Syukurlah kedua kakak tidak menderita. Aku juga telah menulis pesan kepadanya supaya jangan main kekerasan dan memusuhi Perguruan Huashan supaya tidak membuatmu marah,” ujar Yilin.

Linghu Chong tersenyum berkata, “Kau menulis surat kepadanya? Kau sudah benar-benar pantas menjadi seorang guru.”

Wajah Yilin merona, lalu ia menjawab, “Aku tinggal di Puncak Xianxing, sedangkan dia tinggal di Lembah Tongyuan. Cara yang paling baik tentu saja melalui surat. Aku lalu meminta tolong Nenek Fu mengantarkan surat itu ke sana.”

“Aku hanya bercanda,” sahut Linghu Chong menggoda. “Lantas, apa yang dilaporkan Tian Boguang?”

Yilin menjawab dengan ragu-ragu, “Katanya di sana ia kebetulan melihat suatu perayaan. Sepertinya gurumu sedang menikahkan putrinya ….”

Tiba-tiba wajah Linghu Chong berubah hebat begitu mendengarnya. Seketika Yilin terkejut dan segera menutup mulutnya. Linghu Chong terlihat sangat susah. Napasnya memburu dan tenggorokannya seperti tersumbat. Sekuat tenaga ia berkata, “Teruskan … teruskan ceritamu. Aku tidak … apa-apa.”

Yilin menjawab lirih, “Kakak Linghu, kau jangan bersedih. Kakak Yihe dan Kakak Yiqing juga mengatakan meskipun Nona Ren adalah orang aliran sesat, tapi dia sangat cantik jelita dan memiliki ilmu silat tinggi. Ia juga mencintaimu dengan sepenuh hati. Dalam setiap hal Nona Ren sepuluh kali lebih baik daripada Nona Yue.”

“Untuk apa aku bersedih?” ujar Linghu Chong dengan tersenyum getir. “Bila Adik Kecil mendapatkan jodoh yang baik, aku justru ikut merasa gembira. Apakah Tian … Tian Boguang juga melihat adik kecilku?”

“Tian Boguang hanya melihat suasana begitu ramai di sana. Puncak Huashan dihias segala rupa. Banyak tamu-tamu dari berbagai golongan datang memberi selamat, sedangkan Tuan Yue ternyata sama sekali tidak memberi tahu Perguruan Henshan kita. Sepertinya kita telah dipandang sebagai musuh olehnya.”

Linghu Chong mengangguk-angguk. Lalu Yilin melanjutkan, “Kakak Yu Sao dan Kakak Yiwen dengan maksud baik menyampaikan undangan kepada Perguruan Huashan. Tidak masalah kalau mereka tidak mau mengirim utusan untuk mengucapkan selamat kepadamu sebagai ketua baru. Tapi, mengapa juga mereka harus menahan utusan kita. Maka menurut pendapat Kakak Yihe dan Kakak Yiqing, kita juga tidak perlu segan-segan lagi terhadap Perguruan Huashan yang tidak tahu aturan itu. Kelak kalau kita bertemu mereka di Gunung Songshan, secara tegas kita akan bertanya di depan umum kepada mereka dan menyuruh mereka membebaskan Kakak Yiwen dan Kakak Yu Sao. Kalau tidak, maka kita akan turun tangan lebih dulu untuk mengambil tindakan.”

Kembali Linghu Chong hanya mengangguk-angguk saja.

Melihat sikap Linghu Chong yang linglung itu, Yilin menghela napas dan menambahkan, “Kakak Linghu, hendaknya kau berhati-hati.” Usai berkata ia lantas berjalan meninggalkannya.

Melihat Yilin pergi semakin lama semakin jauh, tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Adik Yilin!”

Yilin berhenti dan menoleh ke belakang.

Linghu Chong bertanya padanya, “Yang menikah dengan Adik Kecil apakah … apakah ….”

Yilin mengangguk. “Benar, laki-laki itu bermarga Lin.”

Dengan langkah cepat ia pun berbalik menghampiri Linghu Chong lalu memegang lengan baju pemuda itu sambil berkata, “Kakak Linghu, orang bermarga Lin itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganmu. Nona Yue memang ceroboh sehingga salah memilih suami. Para kakak khawatir kau bersedih, sehingga hal ini tetap dirahasiakan sampai sekarang. Akan tetapi, Enam Dewa Lembah Persik mengatakan kalau ayahku dan Tian Boguang ada di dekat sini. Meskipun seandainya Tian Boguang tidak bercerita kepadamu, saat tiba di Gunung Songshan nanti juga kemungkinan besar kita akan bertemu dengan Nona Yue serta suaminya. Jika kau tiba-tiba melihat dandanan Nona Yue telah berubah menjadi seorang pengantin baru, bisa jadi kau akan … akan bingung dan urusan menjadi runyam. Menurut pendapat para kakak, akan sangat baik jika Nona Ren berada di sampingmu. Para kakak juga menyuruhku agar menasihatimu supaya jangan memikirkan Nona Yue yang tidak punya pendirian itu.”

Linghu Chong tersenyum getir. Ia merasa bersyukur atas perhatian para murid Henshan terhadapnya. Pantas saja selama perjalanan ini mereka sangat baik dalam memberikan pelayanan. “Rupanya mereka khawatir hatiku berduka,” pikirnya. Tiba-tiba terasa pada telapak tangannya tertetes beberapa titik air. Ia terkejut dan berpaling, ternyata air mata Yilin yang berlinang-linang. “Hei, kenapa … kenapa kau menangis?”

Yilin menjawab, “Aku … aku tidak tega melihat kau bersedih. Kakak Linghu, jika kau ingin menangis, silakan menangis saja sepuasnya.”

“Hahaha, kenapa aku harus menangis?” ujar Linghu Chong sambil bergelak tawa. “Linghu Chong seorang pemuda bandel, sampai-sampai Guru dan Ibu Guru mengusirku dari Huashan. Mana mungkin hanya karena … hanya karena … hahahaha!”

Sambil tertawa ia lantas berlari cepat ke depan. Sekali berlari ia tidak berhenti sehingga tanpa terasa sudah melewati lima puluh li jauhnya. Sampai di suatu tempat yang sepi, hatinya terasa sedih tak tertahankan lagi. Ia pun menjatuhkan diri di tanah rumput dan menangis sekeras-kerasnya.

Setelah menangis sekian lama barulah hatinya terasa lega. Ia pun berpikir, “Bila aku kembali sekarang tentu kedua mataku tampak merah sembap. Hal ini bisa menjadi bahan tertawaan Yihe dan yang lain. Lebih baik aku kembali kalau hari sudah gelap saja.” Tapi lantas terpikir pula olehnya, “Tentu mereka sedang mencariku dan merasa khawatir bila tidak bisa menemukan aku. Sedih atau gembira adalah hal yang biasa. Seorang laki-laki sejati ingin menangis ya menangis, ingin tertawa ya tertawa. Bagaimana aku mati-matian mencintai Adik Kecil juga sudah diketahui semua orang. Sekarang dia menikah dengan orang lain, bila aku tidak bersedih malah orang lain akan menuduh perasaanku palsu.”

Segera ia berlari kembali ke kuil bobrok tempat rombongannya menginap tadi. Dilihatnya Yihe, Yiqing, dan yang lain sedang sibuk mencari-cari dirinya. Melihat sang ketua pulang, para murid perempuan itu menjadi lega dan gembira. Namun melihat matanya yang merah dan sembap, semua orang pun diam tidak ada yang berani bertanya.

Linghu Chong melihat di atas meja sudah tersedia arak dan makanan. Malam itu ia minum sepuas-puasnya sampai mabuk berat, kemudian ia pun tertidur pulas di atas meja.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar