Chongxu berkata, “Tanggal lima
belas bulan depan Zuo Lengchan mengundang segenap anggota Serikat Pedang Lima
Gunung untuk memilih ketua. Bagaimana pendapat Adik Linghu mengenai hal ini?”
Linghu Chong tertawa dan
berkata, “Apa masih ada yang namanya pemilihan? Jabatan ketua sudah pasti
menjadi milik Zuo Lengchan.”
Chongxu bertanya, “Apa Adik
Linghu tidak ingin menentangnya?”
“Perguruan Songshan, Taishan,
Hengshan, dan Huashan sudah tunduk kepadanya,” jawab Linghu Chong. “Hanya
tinggal Perguruan Henshan kami saja yang belum tunduk. Namun apabila kami
menentang, bukankah ini perbuatan yang sia-sia belaka?”
Chongxu mengangguk dan
menjawab, “Tidak juga. Perguruan Taishan, Huashan, dan Hengshan memang tunduk
kepada kekuasaan Songshan. Namun itu hanya luarnya saja. Meskipun mulut mereka
menyatakan tunduk, namun dalam hati mereka tentu menolak peleburan ini. Hanya
saja, mereka belum menemukan alasan yang tepat untuk menentang.”
Fangzheng menambahkan,
“Menurut pendapatku, Ketua Linghu tidak boleh berpangku tangan begitu saja.
Nanti di sana, hendaknya kau menentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung.
Saya rasa tidak semua orang menyetujui peleburan ini. Andai kata peleburan itu
tetap terlaksana, maka kedudukan ketua harus ditentukan melalui pertandingan silat.
Bila Ketua Linghu bersungguh-sungguh, tentu dapat mengalahkan Zuo Lengchan
bertanding pedang.”
“Tapi aku … aku ….” seru
Linghu Chong terperanjat bingung.
“Aku sependapat dengan Kepala
Biara,” sela Pendeta Chongxu, “kami pernah bertukar pikiran mengenai sifatmu
yang tidak tertarik dalam hal kedudukan ketua atau apa pun. Bila kau menjabat
sebagai ketua – terus terang saja – tata tertib Perguruan Lima Gunung akan
menjadi kendur, dan para anggota tentu merasa leluasa bertindak apa saja. Hal
ini juga bukan sesuatu yang baik untuk dunia persilatan ….”
“Hahaha, ucapan Pendeta memang
tepat,” seru Linghu Chong sambil tertawa gembira. “Bagaimana mungkin aku bisa
mengemban tugas berat itu? Aku, Linghu Chong, hanya seorang pengelana yang
kurang tertib hidupnya dan suka pada kebebasan.”
“Hidup kurang tertib tidak
terlalu membahayakan orang lain, tapi ambisi yang besar justru banyak
mencelakakan orang,” ujar Chongxu. “Bila Adik Linghu menjadi Ketua Perguruan
Lima Gunung, pertama, tentu tidak akan menindas anggotamu sendiri. Kedua, kau
pun tidak akan menggunakan kekerasan untuk menghadapi Sekte Iblis dan kaum
sesat. Ketiga, kau juga tidak akan mencaplok Perguruan Shaolin dan Wudang kami,
serta kemungkinan besar kau pun tak berminat untuk mencaplok perguruan-perguruan
lain seperti Emei, Kunlun, dan Kongtong.”
Fangzheng tersenyum berkata,
“Kami berdua sepakat menjalankan rencana ini. Meskipun kami mengatakan ini
semua demi keselamatan dunia persilatan, namun setengahnya juga demi perguruan
kami berdua.”
Chongxu menyahut, “Terus
terang, kunjungan kami ke Gunung Henshan ini di samping menyampaikan selamat
kepadamu juga demi menyelamatkan nyawa beribu-ribu kawan persilatan, baik dari
golongan putih maupun golongan hitam.”
“Amitabha! Jika Zuo Lengchan
benar-benar menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, siapa yang bisa menjamin kapan
pembunuhan akan berakhir?” ujar Fangzheng.
Linghu Chong menghirup napas
dalam-dalam, lalu berkata, “Jika demikian pesan Ketua berdua, sudah tentu
Linghu Chong tidak berani menolaknya. Tapi Ketua berdua harap maklum bahwa saya
masih terlalu hijau dalam segala hal. Menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan
saja sudah keterlaluan, apalagi menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung? Mungkin
saya akan banyak ditertawakan oleh para kesatria di seluruh jagad. Maka itu,
saya sama sekali tidak menginginkan jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung. Namun
tanggal lima belas nanti saya pasti akan hadir ke Gunung Songshan untuk
mengobrak-abriknya. Bagaimanapun juga, niat Zuo Lengchan untuk menjadi Ketua
Perguruan Lima Gunung harus digagalkan. Linghu Chong memang tidak mahir berbuat
suatu kebaikan, tapi kalau disuruh berbuat onar dijamin beres.”
Chongxu berkata, “Kalau hanya
berbuat onar saja juga kurang baik. Dalam keadaan terpaksa, kuharap kau jangan
menolak untuk diangkat sebagai ketua.”
Namun Linghu Chong terus saja
menggeleng-gelengkan kepala.
Chongxu melanjutkan, “Jika kau
tidak berebut kedudukan ketua dengan Zuo Lengchan, akhirnya tentu dia yang akan
terpilih. Jika Zuo Lengchan menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, maka hidup
mati anggota akan berada di tangannya. Orang pertama yang akan dibereskan oleh
Zuo Lengchan sudah pasti adalah kau sendiri.”
Linghu Chong terdiam dan
menghela napas panjang, kemudian berkata, “Jika harus seperti itu, apa boleh
buat?”
Chongxu terus mendesak,
“Mungkin kau dapat meloloskan diri, tapi apakah semua anak buahmu akan kau
tinggalkan begitu saja? Bagaimana kalau Zuo Lengchan membantai murid-murid
tinggalan Biksuni Dingxian yang kau pimpin sekarang ini? Apakah kau juga akan
tinggal diam?”
“Tidak bisa!” seru Linghu
Chong sambil menggebrak tali jembatan di sampingnya.
Fangzheng menambahkan, “Selain
itu, gurumu dan saudara-saudara seperguruanmu dari Huashan rasanya juga tidak
akan lolos dari akal licik Zuo Lengchan dalam waktu yang tidak lama lagi. Satu
per satu dari mereka pasti akan menjadi korban keganasan Zuo Lengchan. Apakah
kau juga tetap berpangku tangan?”
Hati Linghu Chong tergetar
mendengarnya. Bulu tengkuknya terasa ikut merinding. Sejenak kemudian ia lantas
menjawab dengan hormat kepada kedua tokoh itu, “Terima kasih atas petunjuk
Ketua berdua. Saya pasti akan berusaha sekuat tenaga.”
Fangzheng berkata, “Tanggal
lima belas bulan tiga nanti Saudara Chongxu dan saya tentu akan berkunjung pula
ke Gunung Songshan untuk ikut mendukung Ketua Linghu.”
“Bila Ketua berdua juga hadir,
sudah tentu Zuo Lengchan takkan berani berbuat sewenang-wenang,” kata Linghu
Chong gembira.
Ketiganya mengakhiri
perundingan dengan hati lega. Meskipun masalah yang dihadapi cukup berat, namun
karena rencana sudah disusun membuat beban mereka terasa ringan. Chongxu
tertawa berkata, “Marilah kita kembali saja. Seorang ketua baru dilantik
langsung menghilang, tentu anak buahmu sedang kebingungan menantikan dirimu.”
Ketiganya lantas berputar
balik. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Siapa di
sana?”
Ternyata saat itu ia mendengar
suara napas banyak orang dari arah ujung jembatan gantung. Sepertinya di dalam
Loteng Kura-Kura Sakti pada Kuil Gantung sebelah kiri ada pihak lain yang
bersembunyi dan mengintai mereka.
Baru saja ia selesai
membentak, serentak terdengar suara berisik. Beberapa daun jendela loteng
tersebut tampak didobrak orang. Sekejap kemudian terlihat belasan batang busur
panah mencuat keluar terarah kepada mereka bertiga. Pada saat yang hampir sama
di Loteng Ular Dewa pada Kuil Gantung sebelah kanan juga terjadi hal yang
serupa. Daun jendela juga didobrak dan belasan busur panah muncul mengincar ke
arah mereka.
Fangzheng, Chongxu, dan Linghu
Chong adalah tiga tokoh papan atas dunia persilatan zaman ini. Dalam keadaan
biasa, meskipun puluhan anak panah diarahkan ke tubuh mereka, belum tentu mampu
melukai ketiganya. Akan tetapi saat ini keadaannya berbeda. Ketiganya sedang
berada di tengah jembatan gantung yang lebarnya hanya sekitar satu meter saja.
Di bawah mereka adalah jurang yang tak terkirakan dalamnya. Ditambah lagi,
mereka bertiga tidak membawa senjata sama sekali. Menghadapi keadaan yang luar
biasa secara tiba-tiba ini, mau tidak mau mereka merasa terkejut di dalam hati.
Selaku tuan rumah, Linghu
Chong segera melangkah ke depan dan membentak, “Kaum celurut dari mana kalian?
Mengapa tidak menampakkan diri?”
Namun pertanyaannya itu
dijawab dengan suara bentakan seseorang, “Serang!”
Sebanyak tujuh atau delapan
belas anak panah melesat ke arah Linghu Chong. Akan tetapi, yang melesat itu
ternyata bukan panah-panah biasa, melainkan semacam semburan zat cair dari
ujung busur masing-masing. Air yang menyembur itu berwarna kehitam-hitaman,
serta berbau busuk dan sangat aneh, seperti bau bangkai dan juga menyerupai bau
udang atau ikan busuk pula. Benar-benar memuakkan dan membuat Linghu Chong,
Fangzheng, dan Chongxu ingin muntah meskipun tenaga dalam mereka sangat tinggi.
Semburan air itu mengarah ke
udara dan sejenak kemudian turun ke bawah menjadi titik-titik hujan. Saat
beberapa tetes air hitam itu jatuh di atas papan kayu jembatan, dalam sekejap
saja langsung membekas dan menimbulkan lubang-lubang kecil. Jelas air hitam
tersebut adalah sebangsa racun yang bisa melelehkan sasaran.
Meski Fangzheng dan Chongxu
berpengalaman luas, tapi air beracun sehebat itu tidak pernah mereka lihat
sebelumnya. Kalau menghadapi anak panah atau senjata rahasia biasa mereka mampu
menghindari atau menangkisnya meski tanpa senjata, cukup dengan mengibaskan
jubah saja. Namun menghadapi air beracun yang bisa menghancurkan benda-benda
yang tertetes ini boleh dikata membuat mereka gentar juga. Sedikit saja kulit
terciprat bisa membuat daging mereka membusuk sampai ke tulang.
Kedua tokoh sepuh itu saling
pandang sejenak. Wajah masing-masing tampak berubah hebat, dengan sorot mata
memancarkan rasa ngeri. Padahal biasanya kedua orang ini bisa dikatakan tidak
punya rasa takut sama sekali.
Setelah air beracun itu
disemburkan, dari balik jendela terdengar suara seseorang berseru lantang, “Air
beracun ini hanya disemburkan ke udara. Kalau sekiranya disemprotkan ke tubuh
kalian, tentu bisa dibayangkan bagaimana akibatnya?” Lalu belasan ujung senapan
air tadi terlihat mulai menggeser ke bawah dan kembali diarahkan kepada Linghu
Chong bertiga.
Jembatan gantung itu
panjangnya belasan meter yang menghubungkan Loteng Kura-Kura Sakti di sebelah
kiri dan Loteng Ular Dewa di sebelah kanan. Namun kini di dalam kedua loteng
itu sama-sama terpasang senapan yang bisa menyemburkan air beracun. Bila
senapan-senapan itu ditembakkan serentak, biarpun punya kepandaian setinggi
langit juga sulit untuk menyelamatkan diri.
Mendengar suara itu, Linghu
Chong langsung mengenali siapa dia. Segera ia pun berseru, “Hm, kabarnya Ketua
Dongfang mengirim hadiah kepadaku. Benar-benar hadiah yang luar biasa!”
Ternyata orang yang berbicara
di Loteng Kura-Kura Sakti itu memang Jia Bu, utusan Dongfang Bubai yang
berwajah kekuning-kuningan. Ia lantas bergelak tawa dan berkata, “Pintar sekali
Tuan Muda Linghu ini. Dalam sekejap kau langsung dapat mengenali suaraku. Orang
pintar tentu tidak mau menelan pil pahit. Sekarang aku jelas berada di atas
angin dengan sedikit muslihat licik. Maka itu, bagaimana kalau Tuan Muda Linghu
menyerah saja?” Ia sengaja mengakui dirinya memakai tipu muslihat licik,
sehingga tidak perlu takut dikecam Linghu Chong mengenai akal busuknya itu.
Dengan mengerahkan tenaga
dalam, Linghu Chong bergelak tawa pula. Suaranya menggetarkan angkasa
pegunungan. Ia berkata, “Aku dan kedua sesepuh dari Perguruan Shaolin dan
Wudang sedang mengobrol iseng di sini. Kukira yang hadir adalah teman baik
semua sehingga tidak perlu mengadakan penjagaan segala. Tak disangka, Saudara
Jia berhasil memperdaya kami. Apa hendak dikata, tidak mengaku kalah jelas
tidak mungkin.”
“Baik sekali kalau begitu,”
kata Jia Bu. “Ketua Dongfang sangat menghormati para sesepuh dunia persilatan,
juga menghargai angkatan muda yang menonjol. Apalagi Nona Besar Ren sejak kecil
tinggal bersama Ketua Dongfang dan dibesarkan bagai keponakan sendiri. Maka
dengan memandang nama Nona Besar Ren, mana berani kami berlaku kasar kepada
Tuan Muda Linghu?”
Linghu Chong mendengus tidak
menjawab. Sementara itu Fangzheng dan Chongxu memeriksa keadaan sekitarnya
untuk mencari celah meloloskan diri. Namun melihat belasan senapan air yang
diacungkan ke arah mereka itu, seandainya turun tangan bersamaan juga tetap
sulit membereskan semua musuh yang tidak jelas jumlahnya. Andaikan ada satu
saja senapan yang sempat menyemburkan air beracunnya, jiwa ketiga orang itu
tentu melayang seketika. Karena itu, mereka hanya bisa saling pandang dengan
sorot mata seolah mengucapkan kalimat yang sama: “Kita tidak boleh bertindak
gegabah.”
Terdengar Jia Bu berkata lagi,
“Jika Tuan Muda Linghu sudah bersedia mengaku kalah, maka segala persoalan
menjadi beres. Ketua Dongfang berpesan kepada kami agar mengundang Tuan Muda
Linghu beserta Kepala Biara dari Shaolin dan Pendeta Ketua dari Wudang untuk
berkunjung ke Tebing Kayu Hitam dan tinggal di sana barang beberapa hari.
Sekarang kalian bertiga kebetulan berada di sini, bagaimana kalau sekarang juga
kita berangkat bersama?”
Kembali Linghu Chong mendengus
dan berpikir di dunia ini mana ada urusan semudah itu? Asalkan dirinya bertiga
telah melewati jembatan gantung, maka untuk membereskan Jia Bu dan Shangguan
Yun boleh dikata bukan pekerjaan yang sulit.
Ternyata dugaannya benar.
Segera terdengar Jia Bu menyambung, “Namun ilmu silat kalian bertiga teramat
tinggi. Bila di tengah jalan kalian berubah pikiran dan tidak mau menuju ke
Tebing Kayu Hitam, maka sukar bagi kami untuk menunaikan tugas. Demi tanggung
jawab yang berat ini terpaksa aku harus meminjam tiga belah lengan kanan
kalian.”
“Meminjam tiga belah lengan
kanan?” Linghu Chong menegas.
“Benar,” jawab Jia Bu.
“Silakan kalian bertiga memotong lengan kanan sendiri-sendiri. Dengan demikian
kami baru merasa lega.”
“Hahahahaha! Ternyata itu
keinginanmu,” seru Linghu Chong tertawa. “Dongfang Bubai rupanya takut kepada
ilmu silat kami bertiga, sehingga memasang perangkap ini dan memaksa kami
memotong lengan sendiri. Jika kami kehilangan lengan kanan, maka dengan
sendirinya kami tidak mampu lagi bermain pedang dan dia bisa tidur nyenyak
tanpa khawatir lagi.”
“Tidur nyenyak tanpa khawatir
mungkin juga tidak,” kata Jia Bu. “Yang jelas Ren Woxing akan kehilangan sekutu
hebat semacam Tuan Muda Linghu ini. Maka kekuatannya tentu akan menjadi jauh
lebih lemah.”
“Hm, kau memang orang yang
suka berterus terang,” ujar Linghu Chong.
“Aku ini seorang pengecut
sejati,” jawab Jia Bu. Ia lalu melantangkan suaranya, “Mahabiksu Fangzheng dan
Pendeta Chongxu, kalian lebih suka mengorbankan sebelah lengan atau jiwa kalian
melayang di sini?”
“Baiklah,” jawab Chongxu.
“Dongfang Bubai ingin meminjam lengan, maka akan kami pinjamkan. Hanya saja,
kami tidak membawa senjata apa-apa. Untuk memotong lengan sendiri tentu sangat
sulit.” Baru saja ucapannya berakhir, tiba-tiba muncul sinar putih melesat
berkilauan. Ternyata sebuah gelang baja dilemparkan dari salah satu jendela
Loteng Kura-Kura Sakti. Garis tengah gelang baja itu sekitar tiga puluh senti,
dengan pinggiran yang sangat tajam. Di tengah gelang terdapat satu palangan
yang digunakan sebagai pegangan. Senjata semacam ini jarang dijumpai di dunia
persilatan. Biasanya ada satu atau dua perguruan yang memakai gelang baja
semacam ini untuk pertarungan jarak dekat, namun berjumlah sepasang, dengan
istilah Gelang Qiankun.
Karena Linghu Chong berdiri
paling depan, maka dengan cepat ia menangkap gelang baja tersebut. Melihat
senjata itu ia meringis mengakui kelicikan Jia Bu. Pinggiran gelang baja itu
sangat tajam, sekali digerakkan tentu membuat sebelah lengan tertebas buntung.
Tapi kalau diputar, lantaran bentuknya bundar kecil, bagaimanapun juga tetap
sukar untuk menangkis air beracun yang disemprotkan.
“Jika kalian sudah setuju,
lekas kerjakan!” bentak Jia Bu dengan suara bengis, “Kalian tidak perlu
mengulur-ulur waktu untuk menunggu datangnya bala bantuan. Aku akan menghitung
sampai tiga. Jika kalian tidak lekas memotong lengan sendiri, serentak air
beracun akan kami semburkan. Satu ….”
Linghu Chong berbisik kepada
kedua kawannya, “Aku akan menerjang ke depan, harap Ketua berdua ikut di
belakangku!”
“Jangan!” kata Chongxu.
Terdengar Jia Bu telah berseru
lagi, “Dua!”
Linghu Chong mengangkat gelang
baja di tangannya. Dalam hati ia berpikir, “Bagaimanapun juga Mahabiksu
Fangzheng dan Pendeta Chongxu adalah tamuku, aku tidak boleh membuat susah
mereka berdua. Pada hitungan ketiga nanti, akan segera kulemparkan kembali
gelang baja ini, lalu kuterjang sambil mengibaskan lengan baju. Biar aku
menghadang semua semburan air beracun itu dengan badanku, supaya kedua sesepuh
bisa meloloskan diri.”
Sementara itu Jia Bu telah
berseru lagi, “Semuanya bersiap, hitungan terakhir ‘tiga’!”
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara bentakan seorang perempuan dari dalam Loteng Kura-Kura Sakti,
“Nanti dulu!” Menyusul kemudian sesosok bayangan hijau melayang tiba dan
mendarat di jembatan gantung, tepat di depan Linghu Chong. Perempuan itu tidak
lain adalah Ren Yingying.
Linghu Chong langsung berseru,
“Yingying, mundurlah!”
Ren Yingying meletakkan tangan
kiri di belakang tubuh dan menggoyang-goyangkannya, lalu ia berseru, “Paman
Jia, nama besar Orang Agung Muka Kuning begitu cemerlang di dunia persilatan.
Tapi mengapa sekarang kau melakukan perbuatan rendah seperti ini?”
“Urusan ini … Nona Besar,
harap kau menyingkir dulu, jangan ikut campur!” jawab Jia Bu.
“Apa yang kau lakukan di
sini?” tanya Ren Yingying. “Paman Dongfang menyuruhmu bersama Paman Shangguan
mengantar hadiah untukku, tapi mengapa kau dapat disuap oleh Zuo Lengchan dan
berbalik memusuhi Ketua Perguruan Henshan?”
“Siapa bilang aku menerima
suap dari Zuo Lengchan?” Jia Bu menyangkal. “Aku mendapat perintah rahasia dari
Ketua Dongfang agar menangkap Linghu Chong dan membawanya ke Tebing Kayu
Hitam.”
“Omong kosong!” bentak Ren
Yingying. “Lencana milik Ketua ada padaku. Ketua memerintahkan: Jia Bu telah
mengadakan persekongkolan jahat dan melanggar peraturan. Hendaknya setiap
anggota Sekte segera menangkap dan membunuhnya. Untuk ini ada hadiah besar yang
disediakan.”
Usai berkata ia lantas
mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Tampak sepotong kayu hitam yang dikenal
sebagai Lencana Kayu Hitam ada dalam genggamannya.
Jia Bu menjadi gusar dan
segera memberi aba-aba, “Tembak!”
“Apa kau berani?” Ren Yingying
balas membentak. “Apakah Ketua Dongfang menyuruhmu membunuh aku?”
“Kau membangkang perintah
Ketua ….” gerutu Jia Bu.
“Paman Shangguan, tangkap
pengkhianat ini,” seru Ren Yingying menyela, “Kau akan segera naik pangkat
menjadi Tetua Balai Naga Hijau.”
Shangguan Yun yang saat itu
berada di Loteng Ular Dewa tercengang memikirkan perintah Ren Yingying. Ilmu
silat dan pengalamannya memang lebih tinggi daripada Jia Bu, namun kedudukan Jia
Bu sebagai Tetua Balai Naga Hijau jelas lebih tinggi daripada kedudukannya
sebagai Tetua Balai Macan Putih. Hal ini sempat membuatnya cemburu dalam hati.
Kini begitu mendengar seruan Ren Yingying, mau tidak mau hatinya tergerak namun
masih diliputi keraguan. Sudah tentu ia mengetahui kalau Ren Yingying adalah
putri Ren Woxing, ketua terdahulu. Meskipun biasanya Ketua Dongfang sangat
menghargai gadis ini, namun akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa Ren Woxing
mucul kembali di dunia persilatan dan bermaksud merebut kembali kedudukannya
sebagai Ketua Sekte. Ia menduga di antara Ketua Dongfang dan Nona Ren tentu
juga akan terjadi perselisihan. Tapi kalau disuruh memerintahkan anak buahnya
menyemprotkan air beracun kepada Ren Yingying, hal ini pun tidak bisa dilakukan
olehnya.
Terdengar Jia Bu berteriak
lagi, “Lepaskan tembakan!”
Namun para prajuritnya selama
ini memandang Ren Yingying bagaikan dewi kahyangan yang dipuja-puja. Apalagi
gadis itu terlihat memegang Lencana Kayu Hitam, tentu saja mereka tidak berani
sembarangan bertindak kepadanya.
Tiba-tiba di tengah suasana
yang tegang itu, di bawah Loteng Kura-Kura Sakti terdengar suara orang berseru,
“Api! Api! Kebakaran! Kebakaran” Menyusul kemudian terlihatlah sinar api
menyala-nyala disertai mengepulnya asap dari bawah.
“Jia Bu, kau benar-benar
kejam!” seru Ren Yingying. “Mengapa kau ingin membakar anak buahmu sendiri?”
Jia Bu membantah, “Omong
kosong ….”
Ren Yingying menyela, “Hidup
Ketua Dongfang, pemersatu dunia persilatan! Wahai, orang-orang Sekte Matahari
dan Bulan, Ketua memberikan perintah: Lekas padamkan api!” Bersamaan itu ia
lantas menerjang ke depan.
Linghu Chong, Fangzheng, dan
Chongxu segera memanfaatkan kekacauan itu untuk berlari ke depan pula. Tadi
sewaktu Ren Yingying mengangkat Lencana Kayu Hitam dan menyampaikan perintah
memadamkan api, seketika terjadi kebingungan dan kekacauan dalam lingkungan
para prajurit penembak. Dalam keadaan itu Linghu Chong bertiga melesat di atas
jembatan gantung dan membobol jendela loteng lalu menerjang ke dalam.
Begitu mereka menyerbu ke
dalam loteng, Linghu Chong menyambar sebuah tatakan lilin yang berujung tajam
di dekat altar. Sekali ia menghentakkannya, sepotong lilin yang masih menancap
di situ langsung melesat dan merobohkan seorang anak buah Jia Bu. Menyusul
tatakan lilin lantas bekerja pula. Hanya sekejap saja enam sampai tujuh orang
telah dibinasakan olehnya. Di sisi lain, Fangzheng dan Chongxu juga sedang
melabrak musuh dengan tangan kosong. Dengan cepat mereka pun telah membereskan
tujuh sampai delapan orang.
Kedatangan Jia Bu dan
Shangguan Yun kali ini membawa empat puluh buah peti besar, yang masing-masing
digotong oleh dua orang, sehingga jumlah semua prajuritnya ada delapan puluh
orang. Kedelapan puluh orang itu semuanya adalah jago pilihan dalam Sekte
Matahari dan Bulan. Meskipun bukan jago kelas satu, namun ilmu silat
masing-masing dapat dikatakan cukup tangguh. Empat puluh orang di antaranya
tersebar menjaga di sekeliling Loteng Kura-Kura Sakti, dan yang empat puluh
lagi bertugas menembakkan senapan air yang terbagi di Loteng Kura-Kura Sakti
dan Loteng Ular Dewa. Dalam sekejap saja Linghu Chong bertiga sudah membereskan
kedua puluh anak buah Jia Bu. Senapan penyemprot air beracun itu tampak
berantakan tersebar memenuhi lantai. Sementara itu Jia Bu bersenjatakan
sepasang pena baja sedang bertempur melawan Ren Yingying yang bersenjatakan
sepasang pedang, satu panjang dan satu pendek.
Ketika pertama kali bertemu
dulu, Linghu Chong hanya mendengar suara Ren Yingying tanpa pernah melihat
wajahnya. Ia hanya tahu betapa kaum persilatan dari golongan hitam sangat segan
kepada gadis itu sehingga ia pun membayangkan Ren Yingying sebagai seorang
wanita agung yang sangat kuat dan berkuasa. Begitu pula sewaktu gadis itu
membunuh beberapa murid Shaolin serta bertarung melawan Biksu Fangsheng, saat
itu Linghu Chong hanya menyaksikan bayangannya saja. Dengan demikian, ini
adalah pertama kalinya ia menyaksikan secara langsung bagaimana Ren Yingying
bertarung melawan musuh.
Terlihat olehnya bagaimana Ren
Yingying bergerak dengan ringan dan sangat cepat. Tempat yang diserangnya
selalu titik-titik berbahaya pada tubuh lawan. Linghu Chong sendiri sampai
terbawa perasaan. Melihat gerakan gesit gadis itu ia merasa dirinya ikut
mengapung bagaikan kabut.
Sebaliknya, sepasang pena yang
digunakan Jia Bu juga terlihat sangat ganas. Bobot kedua pena tersebut kiranya
tidak ringan, terbukti dari sambaran angin yang menderu ketika senjata itu
bergerak. Ren Yingying selalu berusaha menghindarkan senjatanya beradu dengan
senjata lawan dan menyerang pada saat yang tepat di titik yang mematikan pula.
Terdengar Fangzheng berteriak
kepada Jia Bu, “Makhluk pendosa, kenapa kau tidak meletakkan senjata dan
menyerah saja?”
Namun Jia Bu sudah tidak
peduli lagi. Ia merasa hari ini adalah hari kematiannya. Maka ia pun bertarung
sekuat tenaga dan secara nekat menusukkan penanya ke leher Ren Yingying. Kontan
saja Linghu Chong terkejut. Khawatir Ren Yingying tidak sanggup menghindari
serangan maut itu, tanpa pikir panjang ia pun menusukkan tatakan lilin di
tangannya ke depan, tepat mengenai pergelangan tangan Jia Bu.
Jia Bu kesakitan. Kedua pena
pun terlepas dari pegangan. Namun orang ini memang sangat tangkas. Dengan
sangat cepat ia menubruk ke arah Linghu Chong sambil menghantamkan kedua telapak
tangan. Namun Fangzheng lebih dulu menyela dari samping. Sekali pegang kedua
tangan Jia Bu tertangkap oleh sang biksu.
Sekuat tenaga Jia Bu meronta.
Namun bagaimanapun juga sukar melepaskan diri dari cengkeraman Fangzheng itu.
Tanpa pikir panjang ia mengangkat sebelah kakinya, lantas menendang
selangkangan Fangzheng. Serangan ini benar-benar perbuatan rendah. Fangzheng
menghela napas dan terpaksa mendorongkan kedua tangannya ke depan. Jia Bu tidak
mampu berdiri tegak lagi, dan tubuhnya pun terlempar ke luar menerobos pintu
kemudian terjerumus ke bawah. Terdengar suara jeritan ngeri yang terus
berkumandang, makin lama makin lirih sampai akhirnya lenyap di dasar jurang
yang tak terkirakan dalamnya itu.
“Untung kau datang menolong
tepat pada waktunya,” kata Linghu Chong kepada Ren Yingying.
“Ya, untung aku tidak
terlambat,” jawab Ren Yingying dengan tersenyum. Lalu ia berseru pula,
“Padamkan api!”
Terdengar beberapa orang
mengiakan di bawah loteng. Ternyata api yang berkobar di bawah itu sengaja
dinyalakan untuk mengacaukan perhatian Jia Bu. Api tersebut bukanlah kebakaran
sesungguhnya, namun hanya rumput kering yang dinyalakan dan dicampur dengan
sendawa.
Ren Yingying mendekati jendela
dan berseru ke arah Loteng Ular Dewa, “Paman Shangguan, Jia Bu membangkang
perintah sehingga mendapatkan ganjaran yang setimpal. Kau sendiri boleh kemari
bersama anak buahmu. Aku tidak akan membuatmu susah.”
“Nona Besar, ucapanmu harus
dapat dipercaya,” jawab Shangguan Yun.
“Asalkan Paman Shangguan mau
tunduk kepada perintahku, aku berjanji takkan membuatmu susah. Kalau sampai
melanggar sumpah ini biarlah otakku membusuk dimakan ulat.” Ucapan Ren Yingying
ini merupakan sumpah paling berat menurut adat Sekte Matahari dan Bulan.
Shangguan Yun lega mendengarnya dan segera ia memimpin kedua puluh anak buahnya
keluar dari loteng di ujung satunya.
Ketika Linghu Chong berempat
turun ke bawah Loteng Kura-Kura Sakti, tampak Lao Touzi, Zu Qianqiu, dan
beberapa lainnya sudah menanti di situ.
“Dari mana kau tahu Jia Bu
akan menyergap kami?” tanya Linghu Chong kepada Ren Yingying.
“Aku merasa heran mengapa
Dongfang Bubai begitu baik hati mau mengirimkan hadiah kepadamu,” jawab Ren
Yingying. “Aku berpikir di dalam peti-peti kirimannya itu mungkin tersembunyi
suatu muslihat keji. Kemudian kulihat pula tingkah laku Jia Bu yang agak
mencurigakan, bahkan membawa pengikutnya naik ke sini. Aku bertambah curiga dan
mencoba mengikutinya bersama Tuan Lao dan yang lain. Ternyata beberapa anak
buahnya yang berjaga di bawah sana melarang kami naik ke sini. Dengan demikian
rahasia mereka lantas kami ketahui.”
Zu Qianqiu, Lao Touzi, dan
yang lain bergelak tawa, sementara Shangguan Yun tertunduk malu. Linghu Chong
sendiri juga merenungi nasibnya itu. “Ini baru hari pertamaku dilantik sebagai
Ketua Perguruan Henshan, namun kebodohanku sudah terbuka dengan jelas.
Orang-orang dari Sekte Iblis datang dengan maksud tidak baik, tapi aku tidak
menaruh curiga sama sekali. Dengan licik mereka bisa mengepung kami. Kalau aku
yang mati tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau Mahabiksu Fangzheng dan
Pendeta Chongxu yang celaka di tangan para penjahat itu? Aih, aku tidak bisa
membayangkannya,” ujarnya dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Terdengar Ren Yingying
berkata, “Paman Shangguan, selanjutnya kau ikut denganku atau kembali pada
Dongfang Bubai?”
Raut muka Shangguan Yun
berubah hebat. Tentu saja ia merasa sulit kalau disuruh mengkhianati Dongfang
Bubai.
Dengan suara lantang Ren
Yingying melanjutkan, “Di antara Sepuluh Tetua Sekte Matahari dan Bulan kita,
sudah ada enam di antaranya yang menelan Tiga Pil Penghancur Otak dari ayahku.
Apa kau mau menelan pil ini atau tidak?” Usai berkata ia lantas menjulurkan
tangannya. Tampak sebiji pil berwarna merah berputar-putar di tengah telapak
tangan gadis itu.
“Apakah benar, enam di antara
ke… kesepuluh tetua kita sudah … sudah ….”
“Benar,” sahut Ren Yingying.
“Sejak masuk Sekte kau langsung mengabdi pada Dongfang Bubai, dan tidak pernah
bekerja kepada ayahku, maka ayahku pun tidak akan menganggapmu sebagai
pengkhianat. Tapi asalkan kau mau meninggalkan yang salah dan memilih yang
benar, sudah tentu aku akan menghargai dirimu dan ayahku juga pasti akan
memperlakukanmu dengan baik.”
Shangguan Yun berpikir kalau
tidak menyerah tentu jiwanya akan melayang. Keadaannya sangat terdesak, mau
tidak mau ia mengambil pil merah itu dari tangan Ren Yingying dan langsung
menelannya. “Shangguan Yun berterima kasih atas budi baik Nona Besar yang
mengampuni selembar nyawa hamba ini. Untuk selanjutnya Shangguan Yun akan berada
di bawah perintah Nona Besar,” ujarnya sambil memberi hormat.
“Untuk selanjutnya kita adalah
kalangan sendiri, tidak perlu banyak adat,” kata Ren Yingying. “Para pengikutmu
ini dengan sendirinya mengikuti jejakmu, bukan?”
Shangguan Yun menoleh ke arah
para pengikutnya yang berjumlah dua puluh orang itu. Melihat sang pemimpin
sudah menyerah, tanpa diperintah lagi mereka lantas menyembah kepada Ren
Yingying dan berseru, “Kami semua tunduk di bawah perintah Gadis Suci!”
Sementara itu, Lao Touzi dan
kawan-kawan yang lain sudah memadamkan api. Melihat Ren Yingying telah
menaklukkan Shangguan Yun mereka ikut bersyukur dan menyampaikan selamat.
Maklum saja, ilmu silat Shangguan Yun termasuk tinggi dalam Sekte Matahari dan
Bulan, serta kedudukannya juga sangat penting. Dengan demikian, peluang
keberhasilan Ren Woxing untuk merebut kembali kedudukan ketua tentu akan
semakin besar.
Melihat urusan sudah beres,
Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu lantas mohon pamit. Linghu Chong
mengantar keberangkatan kedua tokoh itu hingga jauh barulah ia mengucapkan
selamat jalan.
Linghu Chong kemudian berjalan
berdampingan dengan Ren Yingying kembali ke Puncak Jianxing. Terdengar Ren
Yingying berkata, “Kakak Chong, kau sendiri sudah menyaksikan betapa keji dan
licik Dongfang Bubai itu. Saat ini Ayah dan Paman Xiang sedang menemui dan
membujuk kenalan-kenalan lama yang punya kedudukan penting di dalam sekte kami
agar mau mendukung Ayah menjadi pemimpin lagi. Bila mereka mau menerima dengan
baik ajakan Ayah tentu tidak menjadi soal. Tapi kalau ada yang menentang, maka
satu per satu lantas dibereskan sekalian untuk mengurangi kekuatan Dongfang
Bubai. Sementara ini Dongfang Bubai juga telah mengadakan serangan balasan,
seperti kejadian ini. Dia mengirim Jia Bu dan Shangguan Yun untuk menjebakmu.
Ini benar-benar suatu langkah yang sangat lihai. Masalahnya, Ayah dan Paman
Xiang sukar dicari jejaknya sehingga Dongfang Bubai tidak mampu menemukan
mereka. Sebaliknya, kalau kau sampai celaka, aku … aku ….” sampai di sini
wajahnya menjadi merah, dan segera ia berpaling.
Angin malam berhembus
sepoi-sepoi, meniup rambut Ren Yingying yang halus itu ke atas sehingga tampak
lehernya yang jenjang dan putih bersih. Hati Linghu Chong tergetar melihatnya.
Ia berpikir, “Bagaimana cintanya padaku, sudah diketahui banyak orang. Bahkan,
Dongfang Bubai sampai ingin menangkapku sebagai sandera untuk memaksa ia
menyerah, dan juga untuk memaksa ayahnya. Ketika di jembatan gantung tadi,
sudah jelas ia mengetahui betapa berbahaya air beracun musuh, namun ia rela
menghadang di depanku. Punya istri begini setia, apa lagi yang kuinginkan?”
Tanpa terasa lengannya menjulur dan bermaksud memeluk pinggang si nona.
Ren Yingying tertawa kecil,
lalu sedikit berkelit, sehingga lengan Linghu Chong hanya memeluk udara kosong.
Kalau bertarung dengan pedang memang Linghu Chong seorang pendekar tanpa
tanding. Namun kalau menggunakan tangan kosong seperti gerakan memeluk tadi,
kemampuannya sangat kurang.
“Apa seperti ini kelakuan
seorang ketua perguruan yang terhormat?” kata Ren Yingying dengan tertawa.
Linghu Chong menjawab sambil
meringis, “Biar saja. Di seluruh dunia persilatan ini memang hanya Ketua
Perguruan Henshan saja yang paling istimewa, maksudku, paling banyak menjadi
bahan tertawaan orang.”
“Mengapa kau berkata
demikian?” ujar Ren Yingying sungguh-sungguh. “Bahkan para ketua dari Perguruan
Shaolin dan Wudang juga sangat menghargai dirimu. Siapa lagi yang berani
memandangmu rendah? Biarpun gurumu telah mengusirmu dari Huashan, tapi kau
jangan selalu memikirkan soal ini dan merasa rendah diri.”
Kata-kata ini benar-benar
menyentuh perasaan Linghu Chong. Memang selama ini hatinya dirundung duka
karena pemecatannya dari Perguruan Huashan. Tanpa menjawab, ia hanya menghela
napas dan menunduk.
“Kakak Chong,” kata Ren
Yingying sambil memegang tangan Linghu Chong, “sebagai Ketua Perguruan Henshan,
kau telah menonjol di antara para kesatria sejagad. Henshan dan Huashan berada
pada tingkatan yang sama. Apakah sebagai Ketua Perguruan Henshan kau merasa
tidak lebih terhormat daripada seorang murid Huashan?”
“Terima kasih banyak atas
dukunganmu,” jawab Linghu Chong. “Aku hanya merasa kedudukanku sebagai pemimpin
kawanan biksuni ini agak lucu dan serbarumit.”
Ren Yingying berkata, “Tapi
hari ini sudah ada ribuan kesatria yang bersedia menjadi anggota Perguruan
Henshan. Di dalam Serikat Pedang lima Gunung boleh dikata hanya Perguruan
Songshan saja yang bisa menandingimu. Selain itu mana mungkin Perguruan
Huashan, Taishan, dan Hengshan dapat menyamai kedudukanmu?”
“Dalam urusan ini aku juga
harus berterima kasih kepadamu,” kata Linghu Chong.
“Terima kasih apa?” kata Ren
Yingying tertawa.
“Kau khawatir namaku akan
jatuh karena seorang laki-laki menjadi pemimpin kaum biksuni. Maka, kau sengaja
mengirim anak buahmu sebanyak itu untuk bergabung dengan Perguruan Henshan.
Kalau bukan perintah seorang Gadis Suci mana mungkin kawanan berandal sebanyak
itu sudi datang kepadaku untuk menerima perintah begitu saja?” ujar Linghu
Chong.
“Juga belum tentu benar
seluruhnya,” sahut Ren Yingying sambil mencibir. “Tatkala kau menyerbu Biara
Shaolin bukankah mereka pun tunduk semua di bawah perintahmu?”
Sambil berbicara, tanpa terasa
mereka hampir sampai di biara induk. Sayup-sayup terdengar suara berisik banyak
orang. Ren Yingying lantas berhenti dan berkata, “Kakak Chong, sementara ini
kita berpisah dulu. Bila urusan penting Ayah sudah beres tentu aku akan datang
lagi menjengukmu.”
Terdorong oleh perasaan hangat
di dadanya, Linghu Chong berkata, “Apakah kalian akan berangkat ke Tebing Kayu
Hitam?”
“Benar,” jawab Ren Yingying.
“Aku ikut!” seru Linghu Chong.
Seketika bola mata Ren
Yingying memancarkan sorot penuh rasa gembira. Namun perlahan-lahan ia
menggeleng.
“Kau tidak ingin aku ikut ke
sana?” sahut Linghu Chong menegas.
“Baru saja kau menjadi Ketua
Perguruan Henshan, rasanya kurang pantas jika sekarang ikut campur urusan rumah
tangga Sekte Matahari dan Bulan kami,” kata Ren Yingying.
“Tapi menghadapi Dongfang
Bubai adalah pekerjaan yang sangat berbahaya. Mana mungkin aku harus tinggal
diam membiarkanmu menghadapi bahaya?” ujar Linghu Chong.
“Tapi di sini tinggal kawanan
berandalan sebanyak itu. Siapa yang berani mengatasi mereka jika ada yang
mengganggu nona-nona jelita Perguruan Henshan kalian?” balas Ren Yingying.
“Asalkan kau memberi perintah
tegas, bagaimanapun juga mereka pasti tak akan berani main gila,” kata Linghu
Chong
“Baiklah, karena kesediaanmu
ikut menyerang Tebing Kayu Hitam, atas nama Ayah kusampaikan terima kasih,”
ujar Ren Yingying.
“Untuk apa saling berterima
kasih? Seperti orang lain saja?” balas Linghu Chong.
“Baiklah, kalau lain kali aku
tidak tahu terima kasih janganlah kau salahkan aku,” sahut Ren Yingying dengan
tertawa. Setelah beberapa langkah ia kembali berkata, “Tapi jika kau tidak
masuk ke dalam Sekte Matahari dan Bulan, Ayah tidak sudi menerima bantuanmu.
Tapi … tapi .…”
“Meskipun aku tidak masuk
menjadi anggota Sekte, tapi aku ingin sehidup semati denganmu,” jawab Linghu
Chong. “Jika ayahmu menyuruhku pergi, aku akan bersikeras dan menolak.’
Ren Yingying tersenyum
menjawab, “Ayah pasti sangat senang mendapat bantuanmu.”
Setelah kedua orang itu
kembali di Puncak Jianxing, mereka lantas memberi perintah kepada anak buah
masing-masing. Linghu Chong menyuruh murid-murid Perguruan Henshan agar giat
berlatih, sementara Ren Yingying memberi perintah kepada Lao Touzi dan
kawan-kawan agar menjaga tingkah laku masing-masing. Mereka dilarang keras naik
ke Puncak Jianxing tanpa dipanggil. Barangsiapa yang melanggar akan dihukum
potong kaki. Jika kaki kiri yang melangkah duluan, maka kaki kiri itu yang
dipotong. Jika kaki kanan yang melangkah dulu, maka kaki kanan pula yang akan
dipotong.
Esok paginya Linghu Chong, Ren
Yingying, serta Shangguan Yun dan kedua puluh anak buahnya yang tersisa
berangkat menuju Tebing Kayu Hitam, tempat di mana markas besar Sekte Matahari
dan Bulan berada.
Tebing Kayu Hitam terletak di
wilayah Hebei, arah ke timur dari Gunung Henshan. Setelah beberapa hari
perjalanan sampailah mereka di wilayah tersebut. Di sepanjang jalan Linghu
Chong dan Ren Yingying menumpang di dalam kereta yang berbeda dengan tirai
tertutup untuk menghindari mata-mata Dongfang Bubai. Malam itu mereka menginap
di Kota Dingzhou yang sudah tidak jauh lagi dari markas Sekte Matahari dan
Bulan. Di dalam kota itu banyak anggota Sekte yang berlalu-lalang. Shangguan
Yun menugasi empat anak buahnya menjaga di sekitar penginapan. Siapa pun yang
tidak berkepentingan dilarang keras mendekat.
Sewaktu makan malam, Ren
Yingying mengiringi Linghu Chong minum arak. Cahaya lilin yang berkedip-kedip
makin menambah kecantikan gadis itu. Setelah meneguk tiga mangkuk arak, Linghu
Chong berkata, “Yingying, saat di Biara Shaolin tempo hari ayahmu berkata hanya
mengagumi tiga setengah tokoh besar pada zaman ini, dan Dongfang Bubai adalah
yang nomor satu. Kalau orang ini mampu merampas kedudukan ketua sekte dari
tangan ayahmu, sudah tentu ia seorang yang mahapintar. Menurut cerita kaum
persilatan, konon ilmu silatnya juga nomor satu di dunia ini. Apa betul
demikian?”
“Dongfang Bubai seorang yang
mahacerdik dan banyak tipu muslihat memang tidak perlu disangsikan lagi,” jawab
Ren Yingying. “Tapi mengenai sampai di mana ilmu silatnya, aku tidak
mengetahuinya dengan begitu jelas, karena beberapa tahun terakhir ini aku
sangat jarang berjumpa dengannya.”
“Ya, tentunya kau lebih sering
tinggal di Pondok Bambu Hijau sehingga jarang berjumpa dengannya,” ujar Linghu
Chong.
“Bukan begitu. Meski aku
tinggal di pinggiran Kota Luoyang, tapi setiap tahun aku pulang ke Tebing Kayu
Hitam satu atau dua kali. Namun demikian, tetap saja aku jarang bertemu
Dongfang Bubai. Menurut cerita para tetua agama kami, akhir-akhir ini makin
sulit untuk bertemu dengan sang ketua.”
“Orang yang berkedudukan
tinggi seperti dia sengaja jual mahal agar lebih diagungkan orang,” kata Linghu
Chong.
“Itu memang salah satu alasan
tepat. Tapi kuduga tentu dia sedang giat berlatih ilmu di dalam Kitab Bunga
Mentari sehingga tidak ingin pemusatan pikirannya terganggu,” jawab Ren
Yingying
Linghu Chong berkata, “Ayahmu
pernah bercerita padaku, dulu karena terlalu asyik berlatih cara-cara
memusnahkan bergolaknya hawa murni yang dihisap oleh Jurus Penyedot Bintang
membuat urusan Sekte sehari-hari kurang menjadi perhatiannya. Kesempatan itu
akhirnya digunakan Dongfang Bubai untuk merebut kekuasaan. Apakah mungkin
Dongfang Bubai akan mengulangi kesalahan ayahmu itu?”
“Sejak Dongfang Bubai tidak
banyak memegang urusan Sekte, akhir-akhir ini semua kekuasaan boleh dikata
jatuh ke tangan bocah bermarga Yang itu. Bocah itu bisa dijamin tidak akan
merampas kedudukan Dongfang Bubai, maka tentang terulangnya peristiwa dahulu
tidak perlu dikhawatirkannya,” jawab Ren Yingying.
“Bocah bermarga Yang katamu?
Siapa dia? Mengapa selama ini belum pernah kudengar?” tanya Linghu Chong lagi.
Tiba-tiba wajah Ren Yingying
menunjukkan perasaan rikuh. Dengan tersenyum ia menjawab, “Kalau bicara tentang
dia hanya mengotori mulut saja. Orang di dalam sekte kami yang tahu
seluk-beluknya tidak ada yang sudi membicarakannya, apalagi orang di luar jelas
takkan ada yang tahu tentang dia.”
Linghu Chong semakin penasaran
dibuatnya. Ia pun bergaya merengek, “Adik manis, coba ceritakanlah padaku.”
Ren Yingying menjawab, “Bocah
bermarga Yang itu bernama lengkap Yang Lianting. Usianya belum genap tiga
puluh. Ilmu silatnya rendah, tidak becus bekerja pula. Tapi entah mengapa,
akhir-akhir ini Dongfang Bubai sangat sayang dan percaya kepadanya, sungguh
sukar dimengerti.” Wajah Ren Yingying kembali bersemu merah, mulutnya agak
mencibir dengan sikap yang mengejek.
Linghu Chong menanggapi, “Ah,
bocah bermarga Yang itu pasti laki-laki simpanan Dongfang Bubai. Sungguh tidak
kusangka, Dongfang Bubai yang gagah dan berilmu tinggi, ternyata dia … dia suka
menyimpan laki-laki.”
Ren Yingying risih dan
menyahut, “Sudahlah, tak perlu dibicarakan lagi. Aku pun tidak tahu apa yang
dipikirkan Dongfang Bubai. Yang jelas semua urusan hampir dia serahkan kepada
Yang Lianting sehingga banyak kawan-kawan dalam sekte kami yang menjadi korban
keculasan si marga Yang itu. Sungguh, bocah itu pantas dibinasakan.”
Tiba-tiba dari luar jendela
terdengar suara orang tertawa dan berseru, “Ucapanmu itu salah. Sebaliknya,
kita harus banyak berterima kasih kepada bocah bermarga Yang itu.”
“Ayah!” seru Ren Yingying
gembira. Segera ia pun membuka pintu.
Ren Woxing dan Xiang Wentian
melangkah masuk. Keduanya sama-sama berdandan sebagai kaum petani berbaju
kasar, memakai caping besar menutupi wajah pula. Kalau tidak mendengar suaranya
tentu sukar mengenali kedua orang tua itu. Segera Linghu Chong memberi hormat
dan menyuruh pelayan menambah makanan dan peralatan.
Ren Woxing berkata dengan
penuh semangat “Akhir-akhir ini aku dan Adik Xiang menghubungi kawan-kawan lama
di dalam Sekte, hasilnya ternyata sangat memuaskan. Delapan dari sepuluh kawan
menyambut kemunculanku dengan gembira. Mereka berkata, akhir-akhir ini Dongfang
Bubai sudah banyak melakukan penyimpangan dan dijauhi para pengikutnya.
Terutama karena bocah bermarga Yang itu, yang asalnya cuma seorang keroco,
lantaran bisa mengambil hati Dongfang Bubai sehingga mendapatkan kekuasaan.
Kemudian dengan banyak gaya, tidak sedikit tokoh-tokoh terkemuka dan berjasa di
dalam Sekte yang menjadi korbannya. Disingkirkan atau dibunuh. Perbuatan bocah
bermarga Yang itu bukankah sangat menguntungkan kita? Bukankah seharusnya kita
malah berterima kasih kepadanya?”
Ren Yingying mengangguk, lalu
bertanya, “Dari mana Ayah mengetahui kedatangan kami?”
“Adik Xiang sempat berkelahi
dengan Shangguan Yun, kemudian baru kami tahu kalau dia telah tunduk kepadamu,”
kata Ren Woxing dengan tertawa.
“Paman Xiang tidak melukai
dia, bukan?” tanya Ren Yingying.
“Tidak mudah melukai Pendekar
Elang,” ujar Xiang Wentian dengan tersenyum.
Tiba-tiba terdengar suara
suitan melengking tajam dari luar, sampai-sampai mendirikan bulu roma di malam
sunyi itu.
“Apakah Dongfang Bubai
mengetahui kedatangan kita?” kata Ren Yingying. Lalu ia berpaling dan
menjelaskan kepada Linghu Chong, “Suara suitan ramai itu adalah tanda untuk
menggerebek musuh atau menangkap kaum pengkhianat. Bila mendengar tanda-tanda
itu serentak para anggota Sekte harus bersiap siaga.”
Sejenak kemudian, terdengar
suara empat ekor kuda melaju dengan cepat melintas di depan penginapan. Salah
seorang penunggang kuda itu berseru, “Tetua Balai Angin Guntur, Tong Baixiong,
telah bersekongkol dengan musuh dan bermaksud memberontak. Ketua memberikan
perintah kepada segenap anggota untuk membantu menangkapnya segera. Bila
melawan boleh dibunuh tanpa bertanya.”
“Paman Tong memberontak? Mana
mungkin?” ujar Ren Yingying lirih. Sayup-sayup terdengar suara derap laju kuda
itu semakin lama semakin menjauh. Linghu Chong dapat melihat kejadian tadi yang
jelas menunjukkan kalau wilayah di kota itu sudah berada dalam kekuasaan Sekte
Matahari dan Bulan, sementara pemerintah resmi sama sekali tidak berdaya.
“Tajam juga sumber berita
Dongfang Bubai. Baru kemarin kami bertemu dengan si tua Tong dan sekarang hal
ini sudah diketahui olehnya,” kata Ren Woxing.
Ren Yingying merasa lega,
“Jadi Paman Tong juga sanggup membantu kita?”
“Mana mau dia mengkhianati
Dongfang Bubai,” jawab Ren Woxing. “Lama sekali aku dan Adik Xiang bicara
dengannya, namun sukar sekali mengubah pendiriannya. Akhirnya dia berkata,
‘Hubunganku dengan Ketua Dongfang boleh dikata sehidup-semati, hal ini pun
sudah kalian ketahui. Tapi sekarang kalian sengaja membujuk aku, jelas kalian
memandang rendah kepadaku dan menganggapku sebagai pengecut yang suka menjual
kawan. Memang akhir-akhir ini Ketua Dongfang tidak sedikit berbuat kesalahan
karena dipengaruhi penjilat busuk itu. Namun, andai nanti Ketua Dongfang hancur
lebur juga aku si marga Tong tidak akan berbuat sesuatu pun yang tidak baik
kepadanya. Aku memang bukan tandingan kalian berdua, jika mau bunuh, silakan
bunuh saja sekarang.’ – Hm, si tua Tong itu makin tua makin berapi.”
“Sungguh seorang kesatria
sejati, seorang kawan yang setia,” ujar Linghu Chong.
“Jika dia sudah menolak
bujukan Ayah, kenapa sekarang Dongfang Bubai justru hendak menangkapnya?” tanya
Ren Yingying.
“Ini namanya dunia sudah
terbalik,” sahut Xiang Wentian. “Umur Dongfang Bubai belum terlalu tua, tapi
tindak tanduknya sudah pikun. Kawan karib yang setia seperti Tong Baixiong itu
ke mana lagi hendak dicari?”
“Tapi dengan adanya
perselisihan antara Dongfang Bubai dengan Tong Baixiong, itu berarti malah menguntungkan
usaha kita,” kata Ren Woxing tertawa. “Mari kita sama-sama mengeringkan satu
cawan.”
Mereka berempat lantas
mengangkat cawan sebagai tanda ucapan selamat dan bersyukur, lalu meneguk
isinya sampai habis.
Ren Yingying menjelaskan
kepada Linghu Chong, “Paman Tong itu seorang tokoh sepuh dalam sekte kami.
Dahulu ia banyak berbuat jasa sehingga sangat dihormati. Biasanya ia tidak
begitu cocok dengan Ayah, tapi sangat akrab dengan Dongfang Bubai. Bagaimanapun
kesalahan yang ia perbuat seharusnya Dongfang Bubai dapat memaafkannya.”
Ren Woxing menyahut, “Dongfang
Bubai hendak menangkap Tong Baixiong, sudah tentu di Tebing Kayu Hitam saat ini
dalam keadaan kacau. Ini adalah kesempatan yang bagus bagi kita untuk naik ke
sana.”
“Bagaimana kalau kita undang
pula Shangguan Yun untuk diajak berunding?” tanya Xiang Wentian.
“Boleh,” jawab Ren Woxing.
Xiang Wentian melangkah
keluar, dan tidak lama kemudian masuk lagi bersama Shangguan Yun. Begitu
melihat Ren Woxing, segera Shangguan Yun menyembah penuh hormat, “Hamba
Shangguan Yun menyampaikan hormat kepada Ketua, semoga Ketua panjang umur,
hidup abadi, merajai dunia persilatan.”
Dengan tertawa Ren Woxing
menjawab, “Saudara Shangguan, kudengar kau ini seorang laki-laki yang keras,
mengapa dalam pertemuan pertama ini kau sudah mengucapkan basa-basi demikian?”
Shangguan Yun merasa bingung,
kemudian berkata, “Hamba tidak paham, mohon Ketua sudi memberi petunjuk.”
Ren Yingying menyela, “Ayah,
barangkali kau merasa heran terhadap pujian-pujian yang diucapkan Paman
Shangguan tadi?”
“Ya, aku merasa seperti
menjadi kaisar dengan sanjung puji yang luar biasa itu. Memangnya aku ini
Kaisar Qin Shihuang?” kata Ren Woxing.
Ren Yingying menjawab, “Semua
itu sengaja ditetapkan Dongfang Bubai agar anak buahnya selalu mengucapkan
sanjung puji demikian bila berhadapan dengannya. Rupanya Paman Shangguan sudah
terbiasa memakai pujian-pujian seperti itu sehingga kepada Ayah pun ia
menggunakan kata-kata yang sama.”
“O, kiranya demikian. Panjang
umur, hidup abadi, merajai dunia persilatan, bagus juga cita-cita seperti ini.
Tapi kalau bukan dewa mana mungkin bisa hidup abadi?” kata Ren Woxing. “Saudara
Shangguan, kabarnya Dongfang Bubai memerintahkan untuk menangkap Tong Baixiong.
Kukira saat ini suasana di Tebing Kayu Hitam sedang kacau-balau. Bagaimana
kalau malam ini juga kita naik ke atas sana?”
Shangguan Yun menjawab, “Ketua
sangat bijaksana. Rencana Ketua sungguh sempurna dan bisa membuka mata banyak
orang, bermanfaat bagi rakyat jelata. Siasat ini tidak mungin bisa dikalahkan,
dan kemenangan akan berada dalam genggaman Ketua. Hamba akan melaksanakan
perintah ini dengan baik, dan akan selalu setia kepada Ketua. Jika hamba berani
membantah biarlah hamba mati seribu kali.”
Ren Woxing terperanjat
mendengarnya. Ia mendengar nama besar Shangguan Yun di dunia persilatan sebagai
sosok yang keras dan jujur, tapi mengapa ia begitu pandai mengucapkan kata-kata
sanjungan yang menjijikkan macam itu? Apakah berita di dunia persilatan itu
keliru, ataukah nama besar Shangguan Yun yang salah alamat?
“Ayah,” ujar Ren Yingying
menyela, “untuk menyusup ke dalam Tebing Kayu Hitam sebaiknya kita menyamar
saja supaya tidak dikenali musuh. Yang lebih penting lagi adalah kita harus
menghafal kalimat-kalimat yang lazim digunakan di sana saat ini, yaitu sanjung
puji sebagaimana yang diucapkan Paman Shangguan tadi. Kalimat-kalimat demikian
sebenarnya buatan Yang Lianting untuk menjilat Dongfang Bubai. Rupanya Dongfang
Bubai sangat senang menerima pujian-pujian semacam itu. Kalau bawahannya tidak
mengucapkan sanjung puji demikian lantas dianggap berdosa dan dijatuhi hukuman,
bahkan sampai dibinasakan.”
“Kalau bertemu Dongfang Bubai,
apa kau sendiri juga menggunakan sanjung puji sialan seperti itu?” tanya Ren
Woxing.
“Kalau tinggal di Tebing Kayu
Hitam, mau tidak mau terpaksa harus mengikuti peraturan di sana,” jawab Ren
Yingying. “Maka dari itu, aku lebih sering tinggal di Luoyang, untuk
menghindari rasa muak terhadap tingkah laku menjijikkan mereka itu.”
“Saudara Shangguan,” kata Ren
Woxing, “untuk selanjutnya kita tidak perlu memakai cara-cara seperti tadi.”
“Baik,” jawab Shangguan Yun,
kemudian melanjutkan, “Ketua sangat bijaksana dan mahaadil. Perintah Ketua akan
selalu dilaksanakan meskipun ratusan tahun berlalu, terang cemerlang bagaikan
mentari yang menghangatkan bumi, tentu akan hamba patuhi. Semoga Ketua panjang
umur, hidup abadi.”
Ren Yingying geli mendengarnya
dan menutup mulut supaya tidak mengeluarkan suara tawa.
“Bagaimana pendapatmu agar
kita dapat naik ke Tebing Kayu Hitam dengan lancar?” tanya Ren Woxing.
“Tentu Ketua sudah memiliki
rencana dan perhitungan yang bagus,” jawab Shangguan Yun. “Pada zaman sekarang
ini, siapa orangnya yang bisa menandingi kepandaian Ketua? Di hadapan Ketua
mana berani hamba ikut bicara?”
“Apakah di waktu Dongfang
Bubai mengadakan perundingan urusan penting, tidak seorang pun yang berani
angkat bicara?” tanya Ren Woxing.
Ren Yingying menyela,
“Dongfang Bubai seorang mahacerdik, orang lain sukar menandingi kepandaiannya.
Maka biasanya memang tidak seorang pun yang berani mengusulkan sesuatu
kepadanya. Kalau pun ada yang mempunyai pendapat juga tidak berani sembarangan
bicara supaya tidak mendapatkan bencana di kemudian hari.”
“O, ternyata demikian,” kata
Ren Woxing. “Saudara Shangguan, ketika Dongfang Bubai menyuruhmu pergi
menangkap Linghu Chong, perintah apa yang dia berikan padamu?”
“Dia mengatakan akan ada
hadiah besar apabila kami dapat menangkap Pendekar Linghu. Bila tidak bisa
menangkapnya, kami harus membawa pulang kepala kami sendiri,” jawab Shangguan
Yun.
“Baik, sekarang juga kau boleh
mengikat Linghu Chong dan menerima hadiahmu nanti,” kata Ren Woxing dengan
tertawa.
Shangguan Yun tergetar mundur
dan berkata, “Pendekar Linghu adalah kesayangan Ketua. Beliau sudah berjasa
besar bagi agama kita. Mana berani hamba berlaku kurang sopan kepada Beliau?”
“Bukankah tempat kediaman
Dongfang Bubai sangat sulit didatangi?” ujar Ren Woxing, “Dengan meringkus
Linghu Chong, tentu dia akan menerima kedatanganmu,”
“Siasat ini sangat bagus,”
seru Ren Yingying gembira. “Kita bisa menyamar sebagai anak buah Paman
Shangguan untuk menemui Dongfang Bubai. Setelah berhadapan dengan dia, serentak
kita mengangkat senjata dan mengerubutnya. Tidak peduli apakah dia sudah
berhasil menguasai semua ilmu dalam Kitab Bunga Mentari atau belum, yang pasti
dia tentu sulit menandingi serbuan empat orang sekaligus.”
Xiang Wentian menambahkan,
“Sebaiknya Adik Linghu pura-pura terluka parah dengan tangan dan kaki dibalut,
dinodai dengan bercak darah pula, lalu kita menggotongnya dalam usungan. Dengan
demikian, Dongfang Bubai pasti tidak akan berjaga-jaga. Selain itu, kita juga
dapat menyembunyikan senjata di dalamnya.”
“Bagus, bagus!” seru Ren
Woxing setuju.
Sementara itu dari ujung jalan
raya kembali terdengar suara deru laju kuda disertai teriakan seorang
penunggangnya, “Tetua Balai Angin Guntur sudah tertangkap! Tetua Balai Angin
Guntur sudah tertangkap!”
Ren Yingying melambaikan
tangan mengajak Linghu Chong keluar ruangan. Di dekat pintu gerbang peninapan,
mereka melihat puluhan penunggang kuda memegang obor, menggiring seorang tua
lewat dengan cepat. Orang tua itu diikat dengan tangan ditelikung di belakang,
sedangkan wajahnya tampak berlumuran darah. Sepertinya ia baru saja bertempur
hebat melawan para penangkapnya. Seluruh rambut dan jenggot orang tua itu sudah
beruban, namun tubuhnya gagah tinggi besar, dengan sorot mata berkilat-kilat,
seperti menanggung kemarahan yang sangat dalam.
Dengan suara perlahan Ren
Yingying berbisik kepada Linghu Chong, “Dulu bila bertemu dengan kakek itu,
Dongfang Bubai selalu memanggilnya dengan sangat akrab, bagaikan saudara
kandung. Siapa sangka sekarang dia sudah melupakan hubungan baik di masa lalu?”
Tidak lama kemudian Shangguan
Yun telah menyediakan usungan dan sebagainya. Ren Yingying membalut lengan
Linghu Chong dengan kain putih dan menggantungkannya di depan dada. Seekor
kambing disembelih pula dan darahnya dipakai untuk melumuri badan pemuda itu.
Ren Woxing dan Xiang Wentian
lantas berganti pakaian, menyamar sebagai anak buah Shangguan Yun. Ren Yingying
juga menyamar sebagai laki-laki. Wajah mereka sengaja dikotori supaya sulit
untuk dikenali lagi. Setelah makan kenyang, mereka pun berangkat menuju Tebing
Kayu Hitam.
Kira-kira empat puluh li di
sebelah barat laut Kota Dingzhou terdapat sebuah batu tebing berwarna merah
darah di tepi sebuah teluk panjang. Air di teluk itu mengalir sangat deras.
Teluk tersebut terkenal dengan sebutan Teluk Monyet. Lebih ke utara lagi dari
teluk panjang itu hampir kedua tepinya hanya berupa tebing-tebing licin. Di
situ hanya terdapat sebuah jalanan batu selebar satu meteran. Sepanjang jalan
dijaga dengan ketat oleh anggota Sekte Matahari dan Bulan. Namun begitu melihat
Shangguan Yun yang datang, para penjaga itu tampak sangat segan dan langsung memberi
hormat.
Setelah menyusuri tiga jalan
pegunungan, akhirnya mereka sampai juga di tepi teluk. Shangguan Yun melepaskan
panah isyarat ke udara. Dari seberang muncul tiga buah sampan datang menyambut
mereka. Dalam hati Linghu Chong mengagumi betapa hebat penjagaan yang dibangun
Sekte Matahari dan Bulan selama ratusan tahun itu. Andai saja bukan karena
Shangguan Yun, jangan harap orang luar mampu masuk ke dalam markas sekte yang
ketat itu.
Sampai di seberang, jalanan
bertambah curam. Semua orang harus meninggalkan kuda dan berjalan kaki untuk
melaluinya. Beberapa orang memegang obor kayu cemara untuk menerangi jalan. Ren
Yingying selalu berjaga di samping usungan dengan penuh kewaspadaan. Sepasang
pedang pun siap di tangannya. Ia khawatir jangan-jangan anak buah Shangguan Yun
yang sedang membawa usungan itu tiba-tiba memberontak dan melemparkan Linghu
Chong ke dasar jurang, tentu akibatnya sangat mengerikan.
Ketika rombongan itu sampai di
depan gerbang markas Sekte Matahari dan Bulan, hari masih sangat gelap.
Shangguan Yun mengirim orang untuk menyampaikan laporan bahwa perintah Sang
Ketua telah dilaksanakan dengan baik. Tidak lama kemudian terdengar suara gong
ditabuh nyaring. Serentak Shangguan Yun berdiri tegak penuh hormat.
Ren Yingying sergera berbisik
kepada ayahnya, “Lekas berdiri tegak, ada titah Sang Ketua.”
Ren Woxing merasa heran, tapi
ia pun menurut dan segera berdiri tegak. Dilihatnya segenap anak buah Shangguan
Yun juga mendadak berdiri tegak. Suara gong tadi terus bergema dari atas menuju
ke bawah dengan sangat cepat. Ketika suara itu berhenti, barulah semua orang
berani bergerak. Seorang berbaju kuning tampak masuk ke ruangan tunggu dan
membentangkan selembar kain berwarna kuning pula. Ia membaca tulisan pada kain
itu, “Ketua Dongfang pemimpin Sekte Matahari dan Bulan yang mahabijak dan
mahaagung, ahli sastra yang bewatak kesatria, memberikan titah sebagai berikut:
Jia Bu dan Shangguan Yun telah melaksanakan perintah dan pulang dengan hasil
yang baik. Jasa mereka patut mendapat pujian. Diperintahkan sekarang juga boleh
menghadap ke atas dengan membawa tawanan.”
Shangguan Yun membungkuk
dengan penuh hormat, “Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia
persilatan.”
Diam-diam Linghu Chong merasa
geli karena kelakuan mereka itu seperti peran kasim istana dalam sandiwara di
panggung.
Sementara itu Shangguan Yun
berseru pula, “Ketua sudi menerima hamba menghadap, budi baik mahabesar ini
takkan hamba lupakan seumur hidup.”
Serentak anak buahnya juga
berseru menirukan, “Ketua sudi menerima hamba menghadap, budi baik mahabesar
ini takkan hamba lupakan seumur hidup.” Sudah tentu Ren Woxing dan Xiang
Wentian hanya komat-kamit saja, sambil menggerutu dalam hati.
Begitulah, rombongan itu
lantas naik ke atas tebing melalui undak-undakan batu. Mereka melintasi tiga
buah pintu terali besi dan setiap kali selalu ditegur oleh para penjaga
menggunakan kata sandi rahasia dan diperiksa pula tanda perintah yang
tergantung di pinggang mereka. Akhirnya, rombongan itu sampai juga di depan
sebuah pintu batu besar. Pada kedua sisi pintu itu terpahat tulisan-tulisan
besar yang artinya mengagungkan penghuni di dalamnya, antara lain “Ahli Sastra
Berbudi Luhur, Kesatria Rendah Hati” di pintu kiri, dan “Adil Bijaksana” pada
pintu kanan. Selain itu terdapat pula papan nama tergantung bertuliskan: “Sekte
Matahari dan Bulan”.
Setelah melewati pintu batu
itu, terlihat sebuah keranjang bambu besar di atas tanah. Begitu besar
keranjang bambu itu sehingga cukup untuk memuat belasan orang sekaligus.
“Angkat tawanan ke dalam
situ!” seru Shangguan Yun.
Linghu Chong segera digotong
oleh Ren Woxing, Xiang Wentian, dan Ren Yingying bertiga ke dalam keranjang
raksasa tersebut. Ketika terdengar bunyi gong tiga kali, keranjang itu mulai
naik ke atas. Rupanya di atas terdapat suatu kerekan untuk menarik keranjang
itu menaiki tebing. Sewaktu Linghu Chong memandang ke sekelilingnya, terlihat
beberapa titik sinar bintang, jelas menunjukkan Tebing Kayu Hitam ini memang
luar biasa tingginya.
Ren Yingying menggenggam
tangan Linghu Chong. Dalam kegelapan tampak pula gumpalan-gumpalan mega
melayang lewat di atas kepala mereka. Sejenak kemudian mereka semua sudah
ditelan oleh lautan awan. Kali ini titik-titik sinar tadi sudah tidak terlihat
lagi, yang ada hanya kegelapan menyelimuti mereka.
Beberapa waktu kemudian
barulah keranjang raksasa itu berhenti. Linghu Chong diusung keluar dan
dipindahkan lagi ke sebuah keranjang lain yang terletak belasan meter di
sebelah kiri. Rupanya puncak Tebing Kayu Hitam itu terlalu tinggi sehingga
kerekan-kerekan yang dipasang itu terbagi dalam empat tingkat. Empat kali
mereka harus dikerek barulah mencapai puncak tebing tersebut. Melewati itu
semua Linghu Chong merenung, “Sedemikian tinggi tempat tinggal Dongfang Bubai,
pantas saja para bawahan sukar sekali bertemu dengannya.”
Akhirnya sampai juga mereka di
puncak tebing. Sementara itu matahari telah terbit pula di ufuk timur dan
memancarkan sinarnya yang gemilang. Sebuah gapura megah terbuat dari batu
marmer berwarna putih berkilauan terkena cahaya matahari. Pada batu itu
tertulis sebuah kalimat dalam huruf-huruf berwarna kuning keemasan: “Demi
Kebahagiaan Rakyat Jelata”.
Linghu Chong kembali berpikir,
“Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi kemegahan Dongfang Bubai? Bahkan,
Shaolin dan Wudang juga belum tentu mampu, apalagi Huashan dan Henshan.
Dongfang Bubai memang manusia terpelajar, jelas berbeda dengan orang kebanyakan
yang kasar.
Sebaliknya, Ren Woxing
menggerutu membaca tulisan pada gapura marmer tersebut, “Demi kebahagiaan
rakyat jelata? Huh!”
Shangguan Yun kemudian
berseru, “Hamba Shangguan Yun, pemimpin Balai Macan Putih mohon bertemu atas
izin Ketua.”
Dari sebuah rumah batu kecil
di sebelah kiri muncul empat orang, semuanya berbaju ungu. Seorang di antaranya
berkata, “Selamat atas jasa besar yang telah dicapai Tetua Shangguan. Mengapa
Tetua Jia tidak ikut datang?”
“Tetua Jia telah gugur melawan
musuh sebagai wujud pengabdian dan balas budinya kepada Ketua yang mahabijak,”
jawab Shangguan Yun.
“O, kiranya demikian,” kata
orang itu. “Jika begitu Tetua Shangguan tentu akan segera naik pangkat.”
“Bila mendapat anugerah Ketua,
tentu kebaikan Saudara takkan kulupakan,” ujar Shangguan Yun.
Mendengar ucapan Shangguan Yun
yang berjanji akan memberi hadiah kepadanya, orang itu terlihat senang, kemudian
berkata, “Kalau begitu aku yang harus lebih dulu berterima kasih kepada Tetua
Shangguan.”
Ia kemudian melirik ke arah
Linghu Chong yang telentang di atas usungan. Sambil tertawa ia berkata, “Apakah
bocah ini yang digandrungi Nona Ren? Tadinya kukira dia setampan Pan An atau
Song Yu dalam cerita dongeng, tak tahunya cuma begini saja. Tetua Balai Naga
Hijau Shangguan, silakan ikut denganku.”
Shangguan Yun menjawab, “Ketua
belum mengangkat derajatku, janganlah Saudara buru-buru memanggil demikian kepadaku.
Kalau sampai Ketua atau Pengurus Yang mendengar ini, aku bisa celaka.”
Orang itu meringis dan
menjulurkan lidah, kemudian tidak bicara lagi. Ia lantas mendahului berjalan di
depan. Dari gapura itu menuju ke pintu gerbang harus melalui sebuah jalan balok
batu yang lurus. Setelah memasuki pintu gerbang, dua orang berbaju ungu yang
lain mengantar mereka ke ruang belakang. Kepada Shangguan Yun ia berkata,
“Pengurus Yang berkenan menemuimu, silakan tunggu di sini.”
“Baik,” jawab Shangguan Yun
sambil berdiri tegak dengan kedua tangan lurus ke bawah.
Cukup lama mereka menunggu
tapi orang yang disebut “Pengurus Yang” itu belum juga terlihat datang. Selama
itu pula Shangguan Yun tetap berdiri tegak dan tidak berani mengambil tempat
duduk.
Dalam hati Linghu Chong
berpikir, “Kedudukan Tuan Shangguan di dalam sekte ini cukup tinggi, boleh
dikata hanya satu-dua tingkat saja di bawah ketua. Namun di atas Tebing Kayu
Hitam ini ternyata hampir setiap orang tidak menghargainya, seakan-akan seorang
pelayan juga lebih terhormat daripada dia. Lalu siapa pula Pengurus Yang itu?
Kemungkinan besar pasti Yang Lianting. Padahal dia hanya seorang ‘pengurus
rumah tangga’ saja, tetapi seorang Tetua Balai Macan Putih yang termasyhur
ternyata harus berdiri menunggunya dengan penuh hormat. Huh, Dongfang Bubai
sungguh keterlaluan!”
Selang agak lama barulah
terdengar suara langkah orang datang ke tempat itu. Dari suara kakinya yang
dangkal menunjukkan kalau orang ini tidak memiliki tenaga dalam yang kuat.
Kemudian terdengar orang itu berdehem satu kali, lalu muncul dari balik pintu.
Ketika Linghu Chong melirik,
dilihatnya pria itu berusia kurang dari tiga puluh. Ia memakai jubah satin
berwarna merah gelap, badannya kekar, mukanya berewok, sikapnya pun terlihat
gagah. Jika orang awam yang melihat tentu mengira dia menguasai ilmu silat
tinggi.
Kembali Linghu Chong merenung,
“Menurut cerita Yingying, orang ini sangat disayang oleh Dongfang Bubai,
mungkin pula keduanya mempunyai hubungan istimewa. Tadinya kukira dia pasti
seorang bocah berwajah manis yang suka bersikap manja, ternyata seorang
laki-laki kekar begini. Apakah orang ini bukan Yang Lianting.”
Terdengar orang itu berkata,
“Tetua Shangguan, kau telah berjasa besar dengan berhasil menangkap Linghu
Chong, untuk ini Ketua merasa sangat senang.” Orang itu bertubuh gagah tapi
ternyata bersuara sangat merdu dan enak didengar.
Shangguan Yun membungkuk dan
menjawab, “Semua ini berkat restu dari Ketua yang mahaagung dan petunjuk dari
Pengurus Yang yang bijaksana. Hamba hanya sekadar menjalankan titah.”
Linghu Chong terkejut dalam
hati, “Hah, orang ini benar-benar Yang Lianting!”
Yang Lianting berjalan
mendekati usungan dan memandangi Linghu Chong. Dengan sengaja Linghu Chong
membuka mulutnya setengah menganga dan sorot mata buram sehingga mirip seperti
orang yang benar-benar terluka parah.
“Orang ini tampaknya setengah
sekarat. Apa benar dia ini Linghu Chong? Apa kau tidak keliru?” tanya Yang
Lianting.
“Tidak mungkin keliru, hamba
menyaksikan sendiri dia dilantik sebagai Ketua Perguruan Henshan,” jawab
Shangguan Yun. “Itu karena tiga jalan darahnya yang penting telah tertotok tiga
kali oleh Tetua Jia dan terkena pukulanku dua kali pula. Lukanya sangat parah.
Jangan-jangan dalam waktu setahun belum bisa pulih.”
“Bagus, bagus!” puji Yang
Lianting. “Kau telah memukul kekasih Nona Ren sampai seperti ini. Hati-hati,
dia akan datang membunuhmu.”
“Hamba hanya setia kepada
Ketua,” jawab Shangguan Yun. “Hamba tidak peduli meskipun harus celaka di
tangan orang, yang penting hamba bisa mati demi Ketua, ini merupakan cita-cita
tertinggi hamba seumur hidup.’
“Tentu saja,” jawab Yang
Lianting. “Jasamu ini tentu akan kulaporkan kepada Ketua dan kau akan
mendapatkan ganjaran semestinya. Tetua Balai Angin Guntur telah berkhianat.
Apakah kau sudah mengetahui urusan ini?”
“Hamba tidak jelas duduk
persoalannya dan berencana meminta petunjuk Pengurus Yang. Apabila Ketua dan
Pengurus Yang memberikan perintah, hamba siap mengorbankan jiwa raga demi
terlaksananya tugas tersebut. Sedikit pun hamba tidak akan membantah meski
harus mati seribu kali,” jawab Shangguan Yun.
Yang Lianting lantas duduk di
atas kursi sambil menghela napas, lalu berkata, “Si tua Tong Baixiong makin tua
makin menjadi. Dia suka berlagak sebagai orang kepercayaan Ketua dan memandang
sebelah mata kepada orang lain. Akhir-akhir ini dia bahkan bersekongkol dan
berkomplot dengan maksud memberontak kepada Ketua. Memang sudah lama kulihat
tingkahnya yang mencurigakan itu, tapi siapa sangka dia malah tambah berani?
Akhir-akhir ini bahkan bersekongkol dengan pengkhianat besar Ren Woxing.”
“Dia … dia berkomplot dengan …
dengan orang bermarga Ren itu?” Shangguan Yun menegas dengan suara agak
gemetar.
“Tetua Shangguan, kenapa kau
jadi ketakutan begini?” tanya Yang Lianting. “Ren Woxing itu bukan manusia yang
bertangan enam dan berkepala tiga. Dahulu Ketua pernah membuatnya tak berdaya.
Jika dia masih tetap hidup sampai sekarang, itu semua karena kebaikan hati
Ketua. Kalau sekarang dia berani datang lagi ke Tebing Kayu Hitam ini, hm, apa
dia tidak takut disembelih seperti ayam?”
“Ya, ya. Entah bagaimana Tong
Baixiong itu bersekongkol dengan dia?” Shangguan Yun bertanya dengan
tergagap-gagap.
Yang Lianting menjawab, “Tong
Baixiong telah mengadakan pertemuan rahasia dengan Ren Woxing dan seorang pengkhianat
lainnya, yaitu Xiang Wentian. Ketika dia kembali ke sini dan kutanyakan
perbuatannya itu, ternyata Tong Baixiong mengakuinya dengan terus terang.”
“Dia mengaku terus terang,
jelas tuduhan padanya bukanlah fitnah,” ujar Shangguan Yun.
“Kutegur dia mengapa tidak
melapor kepada Ketua tentang pertemuannya dengan Ren Woxing dan Xiang Wentian,
dia menjawab bahwa Ren Woxing telah memperlakukannya bagaikan teman lama, maka
ia pun mengatakan pada pertemuan itu hanyalah pertemuan persahabatan saja. Kukatakan
padanya, ‘Munculnya Ren Woxing jelas hendak memusuhi Ketua, hal ini tentu kau
sudah tahu. Tapi mengapa kau anggap musuh sebagai sahabat?’ – Dia menjawab,
‘Mungkin Ketua yang salah dan bukan orang lain yang salah terhadap Ketua!’”
“Tua bangka kurang ajar!”
gerutu Shangguan Yun. “Keluhuran budi Ketua setinggi langit. Beliau sangat baik
dan murah hati terhadap sesama kawan, mana bisa berbuat salah kepada orang
lain? Pasti orang itu yang berbuat kurang ajar kepada Ketua.” Bagi pendengaran
Yang Lianting, ucapan Shangguan Yun ini tentu ditujukan kepada Ketua Dongfang,
tapi bagi Linghu Chong dan yang lain, ucapan itu sengaja untuk mengambil hati
Ketua Ren.
Terdengar Shangguan Yun
melanjutkan, “Hamba sudah bertekad akan mengabdi sepenuh jiwa raga kepada Ketua.
Bila ada orang yang berani berbuat kurang sopan kepada Ketua, baik dalam kata
maupun perbuatan, maka Shangguan Yun yang pertama-tama akan menghadapinya.”
Kata-kata Shangguan Yun itu
jelas menyindir Yang Lianting, namun yang disindir tidak mengetahui sama
sekali, sebaliknya malah menanggapi dengan tertawa, “Bagus, bila semua saudara
dalam agama kita bisa meniru kesetiaan Tetua Shangguan, tentu tidak ada hal
yang tidak bisa diatasi. Tentunya Tetua Shangguan sudah lelah, silakan
beristirahat saja.”
“Tapi, tapi hamba ingin
menghadap Ketua,” kata Shangguan Yun dengan bingung. “Setiap kali melihat wajah
emas Ketua, hamba merasa lebih bersemangat untuk bekerja lebih baik. Tenaga dan
kekuatan hamba pun rasanya meningkat pesat bagaikan berlatih selama sepuluh tahun.”
“Ketua sangat sibuk, mungkin
tidak ada waktu untuk menerima dirimu,” ujar Yang Lianting.
Shangguan Yun lantas merogoh
sakunya dan mengeluarkan belasan butir mutiara. Kepada Yang Lianting ia
mendekat dan berbisik, “Pengurus Yang, delapan belas butir mutiara ini adalah
hasil yang kuperoleh dalam dinas luar kali ini. Semuanya kupersembahkan kepada
Pengurus Yang dengan harapan Pengurus Yang sudi menghadapkan hamba kepada
Ketua. Bila Ketua senang hati, bisa jadi Beliau akan menaikkan pangkat hamba.
Jika demikian, tentu bantuan Pengurus Yang takkan kulupakan pula.”
“Aih, kita ini orang sendiri,
mengapa harus banyak adat begini?” ujar Yang Lianting meringis. “Baiklah, aku
terima. Terima kasih banyak.” Tiba-tiba ia pun berbisik pula, “Di hadapan Ketua
nanti tentu Beliau akan kubujuk agar mengangkatmu sebagai Tetua Balai Naga
Hijau.”
Shangguan Yun membungkuk
berkali-kali, kemudian berkata, “Bila hamba mendapatkan kedudukan itu, selama
hidup tentu takkan lupa kepada budi baik Pengurus Yang.”
“Silakan kau tunggu sebentar
di sini, bila Ketua sudah longgar kesibukannya, kau akan segera dipanggil
masuk,” kata Yang Lianting sambil memasukkan mutiara-mutiara tadi ke dalam
sakunya.
Shangguan Yun menjawab, “Baik,
baik, baik.” Ia lalu merunduk-runduk beberapa langkah ke belakang. Yang
Lianting sendiri lantas bangkit dari kursi dan melangkah ke dalam dengan lagak
seperti tuan besar.
Selang agak lama, seorang
pelayan berbaju ungu tampak keluar, lalu berseru lantang, “Ketua yang
mahaagung, mahabijaksana, memerintahkan Tetua Balai Macan Putih Shangguan Yun
menghadap dengan membawa tawanan!”
Shangguan Yun menjawab,
“Terima kasih atas kesediaan Ketua. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi,
merajai dunia persilatan!” Ia kemudian berjalan mengikuti pelayan itu ke
ruangan dalam dengan disusul oleh Ren Woxing bertiga yang mengusung Linghu
Chong.
Di sepanjang jalan di serambi
samping tampak berbaris para penjaga dengan bersenjata tombak. Perjalanan
rombongan itu seluruhnya melintasi tiga buah pintu besi, kemudian menyusuri lagi
sebuah serambi panjang yang dijaga oleh beberapa ratus penjaga yang berbaris di
kanan-kiri dengan senjata golok disilangkan ke atas. Rombongan Shangguan Yun
itu menerobos lewat di bawah barisan golok tersebut. Kalau saja para penjaga
itu serentak mengayunkan goloknya, tentu mereka semua langsung kehilangan
kepala.
Tokoh-tokoh yang sudah kenyang
pengalaman seperti Ren Woxing dan Xiang Wentian sudah tentu memandang sebelah
mata terhadap barisan penjaga seperti itu. Mereka hanya kesal karena harus
merendahkan diri demi bisa berhadapan dengan Dongfang Bubai. Linghu Chong
berpikir, “Dongfang Bubai benar-benar ketat dalam menjaga dirinya. Sanjung puji
yang disampaikan anak buahnya jelas bukan karena hormat kepadanya, tapi hanya
karena takut belaka.”
Setelah menerobos barisan
golok itu, sampailah mereka di depan sebuah pintu yang bertirai tebal.
Shangguan Yun menyingkap tirai tebal itu lantas melangkah ke dalam. Tiba-tiba
muncul sinar putih berkilatan. Ternyata ada delapan batang tombak dari
kanan-kiri menusuk ke arahnya. Empat tombak mengancam di depan dada, sedangkan
empat lainnya mengancam di dekat punggung. Masing-masing tombak itu hanya
berjarak beberapa senti saja dari tubuh Shangguan Yun.
Linghu Chong terkejut dan
segera meraba pedang yang tersembunyi di balik pembalut yang membungkus
pahanya. Tapi dilihatnya Shangguan Yun tetap berdiri tegak tanpa melawan,
sebaliknya lantas berseru lantang, “Hamba Shangguan Yun, Tetua Balai Macan
Putih mohon bertemu Ketua yang mahaagung dan mahabijaksana, ahli ilmu sastra
yang berwatak kesatria!”
Terdengar suara orang berseru
dari dalam ruang balairung, “Masuk!”
Serentak kedelapan penjaga
bertombak itu menyingkir ke samping. Baru sekarang Linghu Chong paham, bahwa
tusukan tombak-tombak tadi hanya untuk menakut-nakuti saja. Bila yang datang
memang orang bermaksud jahat tentu akan langsung menangkis tusukan-tusukan itu
dan rencananya pun terungkap sudah.
Setelah memasuki balairung,
Linghu Chong terkesiap menyaksikan ruangan yang luar biasa panjangnya itu.
Lebar balairung itu paling-paling cuma sepuluh meter, tapi panjangnya mencapai
ratusan meter. Di ujung balairung terdapat sebuah panggung dan di atasnya duduk
seorang pria tua berjenggot. Tentunya orang itu yang bernama Dongfang Bubai.
Balairung itu tidak
berjendela, dan hanya diterangi lilin-lilin besar di dinding samping. Sementara
itu di samping panggung yang diduduki Dongfang Bubai terdapat dua api unggun
yang sebentar terang sebentar gelap. Karena jaraknya cukup jauh, cahaya yang
remang-remang itu membuat orang sukar melihat dengan jelas wajah sang ketua.
Tampak Shangguan Yun berlutut
dan menyampaikan sembah, “Ketua seorang terpelajar berbudi luhur, kesatria
rendah hati, adil dan bijaksana, cahaya agama suci kita, pelindung rakyat
jelata. Hamba Tetua Balai Macan Putih Shangguan Yun menghaturkan sembah untuk
Ketua.”
Tiba-tiba pelayan berbaju ungu
di samping Dongfang Bubai membentak, “Di hadapan Ketua mengapa anak buahmu
tidak berlutut?”
Ren Woxing merenung, “Saat
yang tepat belum datang. Kalau aku harus berlutut sekarang apa salahnya? Tunggu
sampai aku membetot dagingmu dan membeset kulitmu sebentar lagi!” Sejenak
kemudian ia pun berlutut dan segera diikuti oleh Xiang Wentian dan Ren
Yingying.
Shangguan Yun berkata, “Anak
buah hamba ini siang dan malam selalu mendambakan kapan bisa melihat wajah emas
Ketua. Hari ini Ketua sudi berbaik hati mengizinkan hamba menghadap, ini
merupakan berkah bagi anak buah hamba dan para leluhurnya selama delapan belas
keturunan. Maka itu, anak buah hamba menjadi gemetar lupa daratan sehingga
tidak segera berlutut. Mohon Ketua memberi ampun.”
Yang Lianting yang berdiri di
samping Dongfang Bubai berkata, “Bagaimana kisah pertempuran Tetua Jia melawan
musuh hingga akhirnya gugur dalam tugas, coba ceritakan kepada Ketua!”
Shangguan Yun menjawab, “Tetua
Jia dan hamba senantiasa setia kepada Ketua. Beberapa tahun belakangan ini,
kami berdua telah mendapatkan kenaikan pangkat dari Ketua, sungguh budi baik
ini tidak mungkin kami dapat membalasnya. Maka, begitu kami diberi kepercayaan
mengemban tugas mahapenting ini, seketika darah kami bergolak. Kami berdua
yakin Ketua telah menyusun rencana hebat, sehingga siapa pun yang dikirim untuk
menangkap Linghu Chong pasti akan berhasil. Oleh karena itu, kami berdua tidak
merasa bimbang sama sekali ….”
Mendengar basa-basi Shangguan
Yun itu, dalam hati Linghu Chong menggerutu, “Menjijikkan! Menjijikkan! Julukan
Shangguan Yun adalah Pendekar Elang, tapi kenapa dia pandai menjilat seperti
ini? Sungguh memalukan! Sungguh memalukan!”
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar suara orang berteriak keras di belakang mereka, “Adik Dongfang,
apakah benar kau memerintahkan orang-orang ini untuk menangkapku?” Suara orang
itu serak-serak tua, tapi disertai tenaga dalam tingkat tinggi sehingga
terdengar berkumandang memekakkan telinga. Linghu Chong menduga dia tentu Tong
Baixiong, Tetua Balai Angin Guntur.
Benar juga, segera Yang
Lianting menanggapi, “Tong Baixiong, di Balairung Budi Luhur ini mana boleh kau
berteriak-teriak sesukamu? Di hadapan Ketua mengapa pula kau berdiri tanpa
berlutut? Berani sekali kau tidak memuji keagungan Ketua?”
Tong Baixiong mendongak dan
bergelak tertawa, “Hahaha, sewaktu aku bersahabat dengan Adik Dongfang kau ada
di mana, bocah? Ketika aku dan Adik Dongfang bersama-sama menempuh bahaya, merasakan
pahit getir perjuangan, orang semacam kau ini bahkan belum lahir. Beraninya kau
bicara begitu padaku?”
Linghu Chong mencoba melirik
ke arah Tong Baixiong. Dilihatnya orang tua itu melotot dengan beringas.
Rambutnya yang putih tergerai, janggutnya yang panjang tampak berwarna
keperak-perakan. Darah yang melumuri wajahnya telah mengering, membuatnya
tampak semakin menakutkan. Kaki dan tangannya diborgol dengan rantai yang
sangat panjang. Karena perasaan gusarnya itu dia bicara dengan menggerak-gerakkan
kedua tangannya, sehingga rantai yang diseretnya ikut bergemerincing.
Tadinya Ren Woxing hanya
berlutut di tempatnya tanpa bergerak. Kini begitu mendengar suara
gemerencingnya rantai, seketika terbayang kembali pengalaman ketika disiksa di
kamar tahanan di bawah Danau Barat dulu. Darahnya bergolak hebat, badannya
sampai gemetar. Segera ia bermaksud mengambil tindakan.
Namun lantas terdengar Yang
Lianting berkata, “Di hadapan Ketua berani berkata demikian, kau benar-benar
kurang ajar! Diam-diam kau bersekongkol dengan pengkhianat besar Ren Woxing,
apakah kau masih tidak menyadari dosamu ini, hah?”
“Ketua Ren adalah pemimpin
agama kita terdahulu,” jawab Tong Baixiong, “Beliau mendapat penyakit berat
sehingga terpaksa harus mengundurkan diri dan segala tugas kepemimpinan
diserahkan kepada Adik Dongfang. Dari mana kau bisa mengatakan Ketua Ren adalah
pengkhianat besar? Adik Dongfang, coba kau katakan sendiri dengan tegas, apa
benar Ketua Ren mengkhianati agama kita? Atas dasar apa?”
Yang Lianting menyahut,
“Setelah penyakit Ren Woxing sembuh, seharusnya dia cepat kembali ke dalam
Sekte, bukannya malah mendatangi Biara Shaolin, dan berkomplot dengan Ketua
Perguruan Shaolin, Wudang, Songshan, dan lain-lain. Apakah perbuatannya ini
bukan pengkhianatan namanya? Kenapa dia tidak segera menghadap Ketua dan
mendengarkan petunjuk-petunjuk Beliau?”
“Hahahaha!” Tong Baixiong
terbahak-bahak. “Ketua Ren adalah bekas atasan Adik Dongfang, baik ilmu silat
maupun pengetahuannya belum tentu di bawah Adik Dongfang. Betul tidak, Adik
Dongfang?”
Tapi Yang Lianting menyela,
“Kau jangan berlagak tua di sini! Ketua selalu memperlakukan setiap bawahan
dengan murah hati dan penuh penghargaan. Besok di hadapan sidang terbuka di
depan altar, jika kau bersedia bertobat di hadapan para saudara dan memperbaiki
kesalahanmu, serta mengucapkan sumpah setia kepada Ketua, mungkin Ketua masih
mau mengampunimu. Kalau tidak, hm, bagaimana akibatnya tentu kau tahu sendiri.”
“Haha, orang bermarga Tong
sudah mendekati usia delapan puluh tahun. Hidupku sudah cukup lama, mengapa
harus takut menanggung akibat segala?” jawab Tong Baixiong dengan tertawa.
Tiba-tiba Yang Lianting
berteriak, “Bawa mereka masuk!”
Pelayan berbaju ungu menjawab,
“Baik!” dan kemudian terdengar suara gemerencing yang ramai. Tampak belasan
orang digiring ke dalam balairung. Ada laki-laki, ada perempuan, ada orang tua,
ada anak-anak pula.
Begitu melihat orang-orang
itu, seketika raut muka Tong Baixiong berubah hebat. Ia membentak dengan murka,
“Yang Lianting, laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab.
Mengapa kau menangkap anak-cucuku?” Suaranya yang keras menggelegar itu
memekakkan telinga semua orang sampai mendengung-dengung.
Linghu Chong melihat tubuh
Dongfang Bubai agak bergetar. Ia pun berpikir, “Ternyata orang ini masih punya
hati nurani juga. Melihat Tong Baixiong kesusahan, ia terbawa perasaan dan
tampak agak gemetar.”
“Tong Baixiong, coba kau
sebutkan bagaimana bunyi pasal ketiga Ajaran Ketua?” kata Yang Lianting.
“Cih!” Tong Baixiong meludah
tidak menjawab.
“Coba siapa di antara anggota
keluarga Tong yang mengetahui pasal ketiga Ajaran Ketua? Coba uraikan!” seru
Yang Lianting.
Seorang bocah laki-laki
berusia sepuluh tahun lantas berkata, “Pasal ketiga Ajaran Ketua yang
mahaagung, ahli sastra dan ahli silat, berbunyi: Terhadap musuh harus kejam,
babat rumput harus sampai ke akar-akarnya. Laki-perempuan, tua-muda, tidak
seorang pun boleh disisakan hidup.”
“Bagus, bagus! Anak manis,
apakah kesepuluh pasal Ajaran Ketua dapat kau hafal di luar kepala?” tanya Yang
Lianting.
“Dapat!” jawab anak kecil itu.
“Satu hari saja tidak menghafalkan petuah Ketua rasanya tidak dapat tidur,
tidak enak makan. Setelah membaca petuah Ketua seketika bersemangat dan giat
belajar.”
“Bagus. Siapa yang mengajarkan
hal-hal demikian padamu?” tanya Yang Lianting.
“Ayahku,” jawab si bocah
sambil menunjuk laki-laki di sampingnya.
“Kalau yang itu siapa?” tanya
Yang Lianting sambil menunjuk Tong Baixiong.
“Kakek!” seru anak itu.
“Kakekmu tidak mau membaca
Ajaran Ketua, tidak mau menurut perintah Ketua, malah membangkang pada Ketua.
Bagaimana menurutmu?” desak Yang Lianting.
“Kakek bersalah,” jawab bocah
itu. “Setiap orang harus memahami Ajaran Ketua dan menurut segala perintah
Ketua.”
“Nah, kau dengar sendiri,”
kata Yang Lianting terhadap Tong Baixiong, “cucumu hanya bocah berusia sepuluh
tahun saja bisa bilang begitu. Sebaliknya, kau sudah tua bangka, mengapa malah
berbuat begitu bodoh?”
“Aku hanya bicara sebentar
dengan orang bermarga Ren dan Xiang. Mereka memintaku melawan Ketua, tapi aku
menolak ajakan mereka,” kata Tong Baixiong. “Selamanya Tong Baixiong bicara apa
adanya dan tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.” Begitu
menyaksikan belasan anggota keluarganya berada di tangan musuh, nada bicaranya
pun berubah agak lunak.
“Jika sejak tadi kau bicara
demikian tentu urusan menjadi lebih mudah diselesaikan,” ujar Yang Lianting.
“Dan sekarang apa kau sudah mengakui kesalahanmu?”
“Aku tidak bersalah, aku tidak
mengkhianati agama kita. Lebih dari itu, aku tidak memberontak pada Ketua,”
jawab Tong Baixiong.
“Kalau kau tetap tidak mau
mengaku salah, terpaksa aku tidak bisa menolongmu,” ujar Yang Lianting dengan
menghela napas. “Penjaga, bawa anggota keluarganya ke tempat tahanan! Mulai
sekarang jangan memberi mereka makanan barang sesuap, atau minuman barang
seteguk selamanya.”
Beberapa pelayan berbaju ungu
menjawab, “Baik!” kemudian mereka hendak menggiring para tawanan itu.
“Nanti dulu!” teriak Tong
Baixiong keras-keras, lalu berkata kepada Yang Lianting, “Baik, aku mengaku
salah. Untuk itu aku mohon Ketua sudi memberi ampun.” Meskipun mulutnya berkata
demikian, namun tatapan matanya tetap berkilat-kilat menahan amarah.
“Hm, tadi kau bilang apa? Kau
bilang pernah sehidup-semati dengan Ketua, saat aku saja belum lahir. Betul,
tidak?” tanya Yang Lianting.
Dengan menahan perasaannya
Tong Baixiong menjawab, “Ya, aku salah bicara.”
“Kau salah bicara? Hanya
begini saja persoalannya?” kata Yang Lianting mengejek. “Di hadapan Ketua
mengapa kau tidak berlutut?”
“Ketua dan aku adalah saudara
angkat. Selama puluhan tahun kami berdiri sama tinggi, duduk sama rendah,”
jawab Tong Baixiong. Mendadak ia berseru pula, “Adik Dongfang, kau menyaksikan
sendiri saudara tuamu ini disiksa habis-habisan. Mengapa kau tidak buka mulut,
tidak bicara sepatah kata pun juga? Jika kau ingin saudara tuamu ini berlutut
padamu, tentu akan kulakukan asal kau bicara sedikit saja. Kalau pun harus mati
untukmu, sama sekali saudara tuamu ini takkan mengerutkan kening.”
Namun Dongfang Bubai masih
saja duduk tak bergerak. Seketika suasana di balairung menjadi sunyi senyap.
Pandangan semua orang dialihkan kepada Dongfang Bubai untuk mendengarkan apa
yang hendak dikatakannya. Akan tetapi, sampai sekian lama dia tetap diam saja.
“Adik Dongfang,” Tong Baixiong
berteriak lagi, “selama beberapa tahun ini betapa susahnya aku ingin menemuimu.
Kau telah mengasingkan diri untuk menyempurnakan pelatihan Kitab Bunga Mentari.
Tapi apakah kau tahu para kawan lama di dalam Sekte telah banyak yang
tercerai-berai meninggalkan kita? Bencana besar sedang mengancam agama kita,
apa kau tahu?”
Tetap saja Dongfang Bubai diam
tak bersuara. Maka Tong Baixiong berseru lagi, “Asal kau sendiri yang bicara,
maka aku akan segera berlutut padamu. Tidak masalah jika kau menyiksaku, atau
bahkan membunuhku sekalipun. Tapi aku tidak rela jika Sekte Matahari dan Bulan
yang namanya mengguncangkan dunia persilatan selama ratusan tahun akan segera
hancur. Untuk ini kau ikut bertanggung jawab dan ikut menanggung dosa besar
pula. Mengapa kau diam saja? Apakah kau mengalami sesat jalan dalam berlatih
sehingga tidak bisa bicara?”
“Omong kosong!” bentak Yang
Lianting. “Berlutut!”
Dua pelayan berbaju ungu
segera menendang belakang lutut Tong Baixiong untuk memaksanya bersimpuh. Tapi
mendadak terdengar suara jeritan dua kali. Kedua pelayan itu terpental sendiri
ke belakang dengan tulang kaki patah dan muntah darah. Sungguh hebat tenaga
dalam Tong Baixiong itu.
“Adik Dongfang, aku ingin
mendengar sepatah kata darimu saja, habis itu mati pun aku rela,” seru Tong
Baixiong lagi. “Sudah lebih dari tiga tahun kau tidak pernah berbicara. Banyak
kawan-kawan dalam agama kita yang curiga.”
Yang Lianting menjadi gusar,
“Curiga apa?”
“Curiga kemungkinan Ketua
telah dikerjai orang, dibuat bisu,” jawab Tong Baixiong dengan suara keras.
“Kenapa dia tidak pernah bicara? Ya, kenapa dia tidak pernah bicara?”
“Mulut emas Ketua mana boleh
sembarangan berbicara dengan kaum pengkhianat semacam dirimu?” ejek Yang
Lianting. “Penjaga, bawa dia pergi!”
Delapan pelayan berbaju ungu
serentak mengiakan dan berlari maju. Mendadak Tong Baixiong berteriak-teriak,
“Adik Dongfang, aku ingin lihat siapa yang membuatmu tidak bisa bicara?”
Bersama itu ia lantas memburu ke arah Dongfang Bubai sambil menyeret rantai
borgol di kaki dan tangannya. Para pelayan mengetahui ilmu silat Tong Baixiong
sangat tinggi, sehingga tidak ada yang berani mendekatinya.
“Tangkap dia! Tangkap dia!”
teriak Yang Lianting.
Tapi para penjaga bertombak
hanya berteriak-teriak saja di ambang pintu dan tidak seorang pun yang berani
masuk ke dalam balairung. Maklum, menurut peraturan tidak seorang pun anggota
Sekte Matahari dan Bulan diperbolehkan masuk ke ruang tersebut dengan membawa
senjata. Yang melanggar tentu dihukum mati.
Melihat gelagat kurang baik
itu, terlihat Dongfang Bubai berdiri dan bermaksud masuk ke ruang belakang.
“Jangan pergi dulu, Adik
Dongfang, jangan pergi!” seru Tong Baixiong sambil memburu maju lebih cepat.
Namun kedua kakinya terborgol, gerak-geriknya tidak leluasa. Karena terburu-buru
ingin memburu maju, mendadak ia tersandung dan jatuh terguling. Namun tanpa
menyerah ia terus saja menubruk ke depan sehingga jaraknya dengan Dongfang
Bubai sekarang tinggal belasan meter saja.
Yang Lianting menjadi
khawatir, dan berteriak, “Pengkhianat! Kurang ajar! Berani kau mencelakai
Ketua? Penjaga, aku perintahkan kalian masuk ke dalam balairung untuk
menangkapnya!”
Melihat gerak-gerik Dongfang
Bubai yang agak aneh dan sangat kikuk itu, Ren Woxing merasa curiga, sedangkan
Tong Baixiong sudah tidak mampu memburu ke depan lagi. Maka, ia segera merogoh
tiga keping uang logam dari sakunya, untuk kemudian dilemparkan ke arah
Dongfang Bubai. Melihat itu Ren Yingying berkata pula kepada Xiang Wentian dan
Linghu Chong, “Kita bergerak sekarang!”
Linghu Chong lantas melompat
bangun. Dari dalam kain pembalutnya ia menarik keluar sebilah pedang. Xiang
Wentian juga mengeluarkan senjata-senjata yang disembunyikan di atas usungan
dan membagikannya kepada Ren Yingying serta Ren Woxing. Kemudian ia menarik tali
usungan sekuatnya sampai lepas. Ternyata tali yang dipakai untuk mengikat
kerangka usungan tersebut adalah seutas cambuk. Dengan ilmu meringankan tubuh
masing-masing keempatnya lantas menyerbu maju.
Terdengar Dongfang Bubai
menjerit. Dahinya terluka dan mengucurkan darah akibat terkena uang logam yang
dilemparkan Ren Woxing tadi. Untungnya, jarak lemparan tadi cukup jauh sehingga
tidak terlalu keras mengenai dahinya, hanya membuat kulit kepala sedikit
terkelupas. Hal ini cukup aneh karena Dongfang Bubai terkenal memiliki ilmu
silat tak terkalahkan, tapi mengapa sekeping uang logam saja tidak mampu ia
hindari?
Ren Woxing tertawa berteriak,
“Hahaha, Dongfang Bubai ini palsu!”
Pada saat yang sama Xiang
Wentian menyabetkan cambuknya membelit kedua kaki Yang Lianting. Sekali tarik
orang itu lantas terguling tanpa ampun.
Sementara itu, Dongfang Bubai
masih terus berlari ke depan sambil mendekap dahinya yang terluka. Dengan cepat
Linghu Chong melompat ke depannya. Sambil menodongkan ujung pedang ia
membentak, “Berhenti!”
Namun Dongfang Bubai yang
sedang berlari cepat itu tidak sempat lagi menahan tubuhnya, bahkan terus saja
menerjang ke ujung pedang. Segera Linghu Chong menarik kembali pedangnya itu.
Ren Woxing sendiri sudah menerjang pula. Sekali cengkeram ia menangkap tengkuk
Dongfang Bubai dan menyeret laki-laki tua itu ke tengah balairung.
“Saudara-saudar sekalian,
dengarlah!” teriak Ren Woxing. “Keparat ini memalsukan Dongfang Bubai dan
merusak Sekte Matahari dan Bulan kita. Hendaknya kalian semua memeriksa dengan
jelas cecunguk keparat ini.”
Ternyata wajah orang itu
memang sangat mirip dengan Dongfang Bubai yang asli. Namun raut mukanya yang
pucat ketakutan jelas berbeda dengan sifat Dongfang Bubai yang tenang dan
percaya diri. Kontan para penjaga pun saling pandang dengan mulut ternganga.
“Siapa kau? Kalau tidak
mengaku terus terang biar kuhancurkan sekalian batok kepalamu,” bentak Ren
Woxing.
Orang itu gemetar seluruh
badannya. Giginya berkerutan karena menahan takut. Dengan suara terputus-putus
ia menjawab, “Ham… ham… ba… ber… na… ma….” tapi sampai sekian lama ia tetap
tidak mampu menyambung ucapannya itu.
Xiang Wentian telah menotok
beberapa titik di tubuh Yang Lianting dan menyeret tubuhnya ke tengah balairung
pula. Ia lalu membentak, “Sebenarnya siapa nama orang ini?”
Dengan angkuh Yang Lianting
menjawab, “Hm, kau ini cuma seekor kutu, ada hak apa berani bertanya padaku?
Aku mengenalmu sebagai pengkhianat besar Xiang Wentian. Sudah lama kau dipecat.
Berani sekali kau kembali lagi ke Tebing Kayu Hitam ini?”
“Tujuanku ke Tebing Kayu Hitam
ini adalah untuk membereskanmu, keparat!” bentak Xiang Wentian sambil
mengayunkan sebelah tangannya. Kontan tulang kaki kiri Yang Lianting patah
dibuatnya.
Tak disangka, meskipun ilmu
silat Yang Lianting tidak tinggi, tapi sifatnya sangat keras kepala. Ia tidak
menjerit kesakitan, sebaliknya malah membentak, “Jika berani, hayo bunuh saja
aku! Main siksa seperti ini apa terhitung perbuatan kaum gagah?”
“Membunuhmu? Hm, apa benar
begitu enak?” ejek Xiang Wentian. Kembali ia memukul tulang kaki kanan Yang
Lianting sampai patah pula. Menyusul kemudian ia menurunkan tubuh Yang Lianting
sehingga berdiri tegak di atas lantai.
Kedua tulang kering Yang
Lianting sudah patah, sehingga ketika berdiri tulang-tulangnya itu menusuk
kulit. Bagaimana sakitnya tentu tidak bisa dibayangkan. Namun demikian, ia sama
sekali tidak bersuara meski wajahnya pucat pasi.
“Laki-laki hebat, aku takkan
menyiksamu lagi,” kata Xiang Wentian sambil mengacungkan ibu jari ke muka Yang
Lianting. Sebagai gantinya ia meninju perut Dongfang Bubai palsu sambil
bertanya, “Siapa namamu?”
Orang itu menjerit kesakitan,
kemudian menjawab dengan gemetar, “Hamba … hamba ber… bernama Bao … Bao … Bao
….”
“Jadi kau bermarga Bao?” sahut
Xiang Wentian menegas.
“Iya … ya! Hamba bermarga …
bermarga … Bao … Bao ….” namun ia tetap tidak sanggup mengatakan nama
lengkapnya sampai sekian lama.
Tiba-tiba Linghu Chong dan
yang lain mencium bau pesing. Ternyata dari bawah celana orang bermarga Bao itu
mengalir cairan berwarna kekuning-kuningan. Begitulah, karena sangat ketakutan
Dongfang Bubai palsu itu sampai terkencing-kencing di celana.
“Kita tidak boleh menunda
lagi. Sekarang yang paling penting adalah mencari Dongfang Bubai asli,” kata
Ren Woxing. Segera ia mengangkat orang bermarga Bao itu dan berseru kepada para
anggota Sekte, “Kalian sudah menyaksikan sendiri, orang ini adalah Dongfang
Bubai palsu. Dia telah mengacau agama kita. Sekarang juga kita harus
menyelidiki duduk perkaranya sampai jelas. Aku adalah Ren Woxing, ketua kalian
yang terdahulu. Apakah kalian masih kenal padaku?”
Para penjaga yang berada di
situ adalah pemuda-pemuda berumur dua puluhan. Selama ini mereka belum pernah
melihat Ren Woxing, sehingga wajar kalau tidak kenal kepadanya.
Sejak Dongfang Bubai menjabat
sebagai ketua, orang-orang kepercayaannya dapat meraba isi hatinya, sehingga
masing-masing saling memperingatkan agar tidak menyebut-nyebut nama Ketua Ren
lagi. Seolah-olah Sekte Matahari dan Bulan yang sudah berusia ratusan tahun
hanya diketuai oleh Dongfang Bubai seorang. Oleh sebab itulah nama Ren Woxing
pun tidak pernah didengar oleh para anggota muda.
Kini para penjaga itu hanya
ternganga dan saling pandang mendengar ucapan Ren Woxing tadi. Tidak seorang
pun yang berani menjawab. Melihat itu Shangguan Yun berseru, “Kemungkinan besar
Dongfang Bubai sudah dibunuh Yang Lianting dan para begundalnya. Ketua Ren ini
adalah ketua kita. Mulai sekarang kita harus setia mengabdi kepada Ketua Ren.”
Usai berkata ia segera mendahului berlutut kepada Ren Woxing, dan berseru,
“Terimalah sembah bakti hamba, semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia
persilatan!”
Melihat Shangguan Yun yang
merupakan tokoh berkedudukan tinggi dalam agama berlutut menyembah Ren Woxing,
juga setelah menyaksikan ada orang memalsukan Dongfang Bubai, sementara Yang
Lianting yang biasanya berkuasa sekarang tidak berkutik dengan kedua kaki
patah, maka beberapa anggota yang lain pun serentak berlutut dan berseru pula,
“Semoga Ketua panjang umur dan merajai dunia persilatan!” Mereka ini adalah
kaum pencari muka yang pandai menjilat. Menyusul kemudian para penjaga muda pun
serentak ikut berlutut menyembah dengan berseru, “Semoga Ketua panjang umur dan
merajai dunia persilatan!” Kalimat ini biasa mereka ucapkan sehari-hari
sehingga sudah hafal di luar kepala.
Ren Woxing terbahak-bahak
puas, kemudian berkata, “Kalian harus menjaga rapat setiap jalan di sekeliling
Tebing Kayu Hitam ini. Siapa pun dilarang naik-turun!”
Para penjaga itu mengiakan
dengan suara bergemuruh. Xiang Wentian lalu memerintahkan para pelayan berbaju
ungu untuk membuka borgol Tong Baixiong.
Tong Baixiong sangat
mengkhawatirkan keselamatan Dongfang Bubai. Begitu bebas ia segera mencengkeram
tengkuk Yang Lianting dan membentak, “Tentu kau telah membunuh Adik … Adik
Dongfang, kau … kau ….” karena sangat bernafsu sampai-sampai tenggorokannya
seperti tersumbat, air mata pun berlinang-linang.
Yang Lianting benar-benar
berkepala batu. Ia justru memejamkan mata tidak memedulikan pertanyaan itu.
Kontan Tong Baixiong menjadi murka dan langsung menempeleng keras pelipis orang
bermarga Yang itu sambil membentak, “Di mana Adik Dongfang?”
“Perlahan sedikit!” seru Xiang
Wentian mengingatkan Tong Baixiong.
Namun sudah terlambat.
Meskipun pukulan itu hanya menggunakan sepertiga tenaga, namun Yang Lianting
langsung pingsan dibuatnya. Tong Baixiong menghentak-hentakkan badan Yang
Lianting, namun kedua bola mata pria itu tampak melotot putih seperti orang
mati.
Ren Woxing berseru kepada para
pelayan berbaju ungu, “Siapa di antara kalian yang tahu di mana keberadaan
Dongfang Bubai? Siapa yang memberi laporan lebih dulu akan mendapat hadiah
besar!” Namun meski pertanyaan itu diulangi tiga kali, tetap saja tidak seorang
pun yang menjawab.
Seketika hati Ren Woxing
menjadi dingin. Maklum saja, selama dikurung belasan tahun di bawah Danau
Barat, siang dan malam ia tekun berlatih dengan tujuan bila kelak dapat
meloloskan diri tentu akan balas menyiksa Dongfang Bubai habis-habisan. Baginya
tidak ada lagi yang lebih menyenangkan dibanding membalaskan sakit hati di
dada. Siapa sangka setelah tiba di Tebing Kayu Hitam ternyata Dongfang Bubai
yang dijumpainya adalah palsu belaka. Sepertinya Dongfang Bubai yang asli sudah
tidak hidup lagi di dunia fana. Kalau tidak, dengan kecerdasan dan ilmu silat
Dongfang Bubai yang luar biasa itu mana sudi ia membiarkan Yang Lianting
berbuat sesuka hati, bahkan menggunakan orang lain sebagai duplikatnya?
Ren Woxing memandangi kawanan
pelayan berbaju ungu yang berdiri di seputar balairung itu. Terlihat sebagian
di antara mereka menunjukkan sikap ketakutan, tapi ada pula yang terlihat
culas. Dalam keadaan kecewa, sikap Ren Woxing menjadi sangat berangasan.
Tiba-tiba ia membentak, “Kalian sudah tahu Dongfang Bubai ini palsu, tapi
kalian tetap saja bersekongkol dengan Yang Lianting untuk menipu
saudara-saudara lain dalam agama. Dosa kalian ini terlalu besar dan tidak bisa
diampuni!”
Usai berkata tubuhnya langsung
melayang ke depan. Kemudian terdengar empat kali tangannya menampar kepala
orang. Kontan empat orang pelayan berbaju ungu langsung roboh binasa. Melihat
itu para pelayan yang lain menjadi ketakutan. Sambil menjerit mereka menyingkir
ke belakang.
“Kalian hendak lari? Mau lari
ke mana?” bentak Ren Woxing dengan menyeringai seram. Dipungutnya rantai borgol
yang baru dilepaskan dari tubuh Tong Baixiong tadi, lalu dengan sekuat tenaga
ia melemparkan rantai tersebut ke arah kawanan pelayan itu. Seketika darah dan
daging pun berhamburan di udara. Kembali ada tujuh atau delapan pelayan yang
binasa.
Ren Woxing terbahak-bahak dan
berteriak, “Pengikut-pengikut Dongfang Bubai satu pun takkan kubiarkan hidup!”
Melihat kelakuan ayahnya yang
mengerikan itu, Ren Yingying segera maju untuk memegangi tangan Ren Woxing
sambil berkata, “Sabar, Ayah!”
Tiba-tiba di antara kawanan
pelayan berbaju ungu itu ada yang melangkah maju satu orang kemudian berlutut,
“Lapor Ketua, sebenarnya Ketu… eh, Dongfang Bubai belum mati!”
Ren Woxing senang bukan
kepalang mendengarnya. Ia pun memburu maju dan memegang bahu pelayan itu sambil
menegas, “Apa betul Dongfang Bubai belum mati?”
“Iya … Auuh!” orang itu
berteriak kesakitan kemudian roboh tak sadarkan diri. Rupanya karena hatinya
terguncang Ren Woxing terlalu keras mencengkeram bahu pelayan itu,
sampai-sampai membuatnya pingsan.
Karena pelayan tersebut tidak
juga siuman, terpaksa Ren Woxing berpaling kepada para pelayan yang lain dan
bertanya, “Di mana Dongfang Bubai berada? Lekas tunjukkan jalannya! Sedikit
terlambat saja kalian semua akan kubunuh!”
Seorang pelayan yang lain
menyembah dan berkata, “Lapor Ketua, tempat tinggal Dongfang Bubai sangat
rahasia, dan yang tahu hanya Yang Lianting seorang. Sebaiknya kita sadarkan
pengkhianat bermarga Yang itu, tentu dia dapat membawa Ketua ke sana.”
“Lekas ambilkan air dingin!”
bentak Ren Woxing.
Kawanan pelayan itu sudah
terlatih dan sangat cekatan. Dalam sekejap saja air dingin yang diminta Ren
Woxing sudah datang dan langsung disiramkan ke muka Yang Lianting.
Perlahan-lahan laki-laki itu siuman dan membuka matanya.
Xiang Wentian segera berkata,
“Orang bermarga Yang, aku menghargai dirimu sebagai laki-laki berhati keras.
Maka itu, kau takkan kusiksa lagi. Saat ini semua jalan keluar-masuk Tebing
Kayu Hitam sudah ditutup. Bagaimanapun juga Dongfang Bubai takkan bisa lolos
dari sini kecuali dia punya sayap. Maka itu, lebih baik kau bawa kami pergi
mencarinya. Seorang laki-laki sejati untuk apa harus main sembunyi? Bukankah
lebih baik kalau kita bereskan masalah ini sehingga semua orang bisa tenang?”
Yang Lianting menyeringai,
“Ketua Dongfang tiada tandingnya di muka bumi ini. Justru lebih bagus kalau
kalian ingin mengantarkan nyawa dengan segera. Baiklah, akan kuantarkan kalian
menemui Beliau.”
Xiang Wentian lantas berkata
kepada Shangguan Yun, “Saudara Shangguan, mari kita gotong keparat ini menemui
Dongfang Bubai.” Usai berkata ia lantas mengangkat tubuh Yang Lianting dan
menaruhnya di atas usungan.
“Baik,” jawab Shangguan Yun.
Keduanya pun mengangkat usungan itu.
“Jalan ke dalam!” kata Yang
Lianting.
Xiang Wentian dan Shangguan
Yun mendahului berjalan di depan dengan menggotong Yang Lianting. Ren Woxing,
Linghu Chong, Ren Yingying, dan Tong Baixiong mengikuti dari belakang.
Rombongan itu masuk ke
belakang balairung dan melalui sebuah serambi yang panjang. Kemudian mereka
sampai di sebuah taman bunga dan memasuki sebuah rumah batu kecil di ujung
barat.
“Dorong dinding sebelah kiri!”
seru Yang Lianting.
Ketika Tong Baixiong mendorong
dengan tangannya, ternyata dinding itu bisa bergerak menjadi semacam pintu
rahasia. Di dalamnya terdapat pula sebuah pintu besi. Dari bajunya Yang
Lianting mengeluarkan serenceng anak kunci dan menyerahkannya kepada Tong
Baixiong. Pintu besi itu pun dibuka, dan di dalamnya ternyata ada sebuah lorong
bawah tanah.
Lorong itu terus menurun ke
bawah, dengan diterangi lampu minyak remang-remang yang terpasang di dinding.
Dalam hati Ren Woxing berpikir, “Dongfang Bubai telah mengurungku di dasar
danau. Tak disangka dia pun terkena karma sehingga dikurung pula di bawah
tanah. Tampaknya lorong ini pun tidak lebih baik daripada tempat kurunganku
dulu.”
Tidak disangka, setelah
melalui beberapa tikungan, tiba-tiba di ujung depan sana memancar suasana
terang benderang. Semua orang pun mencium bau harum bunga yang semerbak.
Seketika napas mereka terasa segar.
Keluar dari lorong di bawah
tanah itu ternyata mereka sudah berada di dalam sebuah taman bunga kecil yang
sangat indah. Bunga mekar beraneka warna, pepohonan bambu dan cemara tumbuh
menghijau segar. Di tengah taman terdapat sebuah kolam dengan beberapa pasang belibis
sedang berenang kian-kemari dan beberapa ekor bangau putih berdiri di tepi.
Tidak seorang pun yang menduga
bahwa di balik lorong yang gelap tadi ternyata ada kediaman seindah ini.
Sungguh mereka kagum bukan kepalang. Setelah mengitari sebuah gunung-gunungan,
tampak di depan terbentang sebidang taman bunga yang keseluruhannya dipenuhi
bunga mawar berwarna merah tua dan merah muda sedang mekar-mekarnya, seakan
berlomba memamerkan kecantikan masing-masing. Sungguh pemandangan yang indah
tiada tara.
Ren Yingying melirik ke arah
Linghu Chong. Dilihatnya pemuda itu tersenyum simpul, tampaknya sangat senang.
“Bagus tidak tempat ini?” katanya dengan suara lirih.
Linghu Chong menjawab,
“Setelah kita mendepak Dongfang Bubai, mari kita tinggal beberapa bulan di
sini. Nanti kau ajari aku memetik kecapi. Betapa bahagia jika bisa seperti
itu.”
“Apakah ucapanmu ini
sungguh-sungguh?” tanya Ren Yingying.
“Tentu saja sungguh-sungguh,”
jawab Linghu Chong. “Hanya saja aku khawatir terlalu bodoh sehingga membuat
Nenek marah-marah dan menghukumku.”
Ren Yingying mendengus tapi
kemudian tersenyum manis karena hatinya merasa senang.
Sementara itu Xiang Wentian
dan Shangguan Yun sedang mengusung Yang Lianting ke dalam sebuah pondok kecil
yang indah. Segera Linghu Chong dan Ren Yingying ikut masuk ke situ. Begitu
melangkah ke dalam, seketika mereka mencium bau harum bunga menusuk hidung.
Dilihatnya pada dinding kamar tergantung sebuah lukisan tiga orang wanita, dan
di kursi terdapat alat menyulam.
Linghu Chong merasa heran dan
berpikir, “Ini adalah kamar perempuan. Apakah Dongfang Bubai tinggal di kamar
seperti ini? Ataukah mungkin ini tempat tinggal gundik kesayangannya sehingga
ia senantiasa tenggelam di tempat seperti ini dan lupa mengurusi pekerjaan
Sekte?”
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang di dalam kamar bertanya, “Adik Lian, siapakah yang kau bawa kemari?”
Suara itu seperti suara lelaki, tapi juga mirip suara wanita. Suaranya
terdengar nyaring tajam, membuat bulu roma berdiri bagi siapa saja yang
mendengarnya.
Yang Lianting menjawab, “Aku
membawa teman lamamu ke sini. Dia ingin bertemu denganmu.”
“Mengapa kau membawanya
kemari?” ujar suara di dalam itu. “Tempat ini hanya boleh didatangi seorang
saja. Selain dirimu, siapa pun tidak akan kutemui.” Kalimat yang terakhir ini
diucapkan dengan nada manja seperti ucapan kaum wanita, namun jelas suaranya
adalah suara seorang laki-laki.
Ren Woxing, Xiang Wentian, Ren
Yingying, Tong Baixiong, dan Shangguan Yun sudah sangat mengenal Dongfang
Bubai. Suara itu jelas suara sang ketua, namun nadanya sangat aneh, seperti
pemain sandiwara laki-laki yang memerankan perempuan dengan suara yang
dibuat-buat. Kontan mereka saling pandang dengan mulut ternganga.
“Apa daya, kalau aku tidak
membawanya kemari, maka aku yang akan dibunuh olehnya,” jawab Yang Lianting
menghela napas. “Sebelum mati biarkan aku melihatmu sekali lagi. Jika tidak,
tentu aku akan menyesal selamanya.”
“Hah, siapa yang berani mati
membuatmu susah? Apakah dia Ren Woxing? Cepat suruh dia masuk ke sini!” seru
orang di dalam kamar itu dengan suara melengking.
Mendengar dirinya dicurigai
sebagai orang yang berada di balik semua ini, mau tidak mau Ren Woxing dalam
hati memuji kecerdasan Dongfang Bubai. Ia memberi isyarat agar semua orang
masuk ke dalam dengan berhati-hati. Lebih dulu Shangguan Yun menyingkap tirai
yang bersulam gambar bunga indah, lalu menggotong Yang Lianting ke dalam
bersama Xiang Wentian. Yang lain berjalan pelan di belakang mereka.
Ternyata kamar tersebut
tertata sangat rajin dan indah dengan hiasan berwarna-warni. Bau harum semerbak
menusuk hidung mereka semua. Pada sudut timur kamar terdapat sebuah meja rias,
di sampingnya duduk seseorang dengan baju berwarna merah muda. Tangan kirinya
memegang bingkai sulaman, sedangkan tangan kanan memegang sebatang jarum.
Melihat orang-orang sebanyak itu masuk, ia mendongak dengan perasaan heran.
Namun rasa heran orang itu masih kalah besar dibanding perasaan heran Ren
Woxing dan yang lainnya.
Kecuali Linghu Chong, semua
orang jelas mengenali orang berbaju merah muda itu tak lain dan tak bukan
adalah Dongfang Bubai sendiri, yang selama belasan tahun ini menduduki jabatan
Ketua Sekte Matahari dan Bulan dengan gelar “jago silat nomor satu di dunia”.
Hanya saja sekarang ini kumis dan jenggotnya sudah dicukur bersih. Yang lebih
mengherankan lagi adalah ia memakai bedak dan gincu segala. Baju yang
dipakainya pun bentuknya tidak laki-laki juga tidak perempuan. Warnanya juga
terlalu mencolok sekalipun dipakai oleh gadis jelita semacam Ren Yingying.
Sungguh sukar dipercaya bahwa
seorang kesatria yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, seorang tokoh
mahaagung, ternyata hidupnya bersembunyi di dalam kamar wanita dan pekerjaannya
menyulam. Benar-benar luar biasa kalau tidak menyaksikannya dengan mata kepala
sendiri.
Tadinya hati Ren Woxing
dipenuhi perasaan dendam yang menyala-nyala. Namun begitu melihat keadaan
Dongfang Bubai itu, mau tidak mau ia merasa geli juga. “Dongfang Bubai, apa kau
sudah sinting?” bentaknya.
“O, ternyata benar Ren
Woxing!” jawab Dongfang Bubai dengan suara melengking. “Memang sudah kuduga
yang datang pasti dirimu. Eh, Adik Lian, kenapa … kenapa kau ini? Apa dia yang
melukai dirimu?” Segera ia melesat ke samping Yang Lianting kemudian mengangkat
pria itu dan perlahan-lahan membaringkannya di atas tempat tidur.
Seprei tempat tidur itu
bersulam indah dan berbau sangat wangi. Dengan wajah penuh kasih sayang
Dongfang Bubai bertanya, “Ah, kau pasti sangat kesakitan? Hm, cuma tulang kaki
yang patah, tidak apa-apa, jangan khawatir. Segera akan kusambung kembali.”
Dengan hati-hati ia membukakan sepatu Yang Lianting, lalu mencopot kaus
kakinya, kemudian menyelimutinya pula. Pemandangan ini mirip seorang istri
setia sedang melayani sang suami.
Ren Woxing dan yang lain
ternganga heran bercampur geli. Semuanya ingin tertawa namun tertahan di dalam
perut. Apalagi suasana di kamar tidur yang dihias mewah tersebut terlihat gelap
dan menyeramkan.
Sementara itu Dongfang Bubai
telah mengeluarkan sehelai saputangan sutra berwarna hijau. Perlahan-lahan ia
mengusap keringat dan kotoran di wajah Yang Lianting. Dilayani semanis itu,
bukannya berterima kasih, Yang Lianting justru marah-marah dan mendamprat,
“Musuh besar di depan mata, buat apa kau masih mengurusiku seperti nenek-nenek
segala? Kalau kau sudah membereskan mereka barulah kita bermesra-mesraan.”
Dongfang Bubai hanya tersenyum
dan menjawab, “Baik, baik! Kau jangan marah, tentu kakimu terlalu sakit bukan?
Aih, hatiku ikut pedih!”
Ren Woxing dan yang lain
terhitung sudah kenyang makan asam garam kehidupan, namun pemandangan aneh yang
mereka hadapi saat ini sungguh sukar dimengerti. Di dunia ini memang banyak
terjadi hubungan kelamin tidak sehat, misalnya seorang pria suka meniduri bocah
laki-laki tanggung, ataupun hubungan seksual antara sesama jenis kelamin. Namun
seorang ketua sekte yang terhormat seperti Dongfang Bubai rela berdandan wanita
dan bersikap layaknya seorang istri setia, tentu dia sudah gila. Bahkan Yang
Lianting menghardik dan membentaknya dengan kasar, namun ia tetap melayani
dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang, membuat semua orang terheran-heran
sekaligus merasa muak pula.
Tong Baixiong tidak tahan
melihatnya. Ia melangkah maju dan berseru, “Adik Dongfang, kau … kau ini sedang
apa?”
Dongfang Bubai mengangkat
kepalanya dan bertanya dengan wajah cemberut, “Apakah kau termasuk orang yang
mencelakai Adik Lian-ku?”
“Adik Dongfang, mengapa kau
terima dipermainkan orang bermarga Yang ini?” balas Tong Baixiong. “Dia telah
menyuruh seorang tolol untuk memalsukan dirimu. Dia juga memberi perintah serta
main kuasa sesuka hati. Apakah kau sudah mengetahui itu semua?”
“Tentu saja aku tahu,” jawab
Dongfang Bubai. “Justru demi kebaikanku inilah Adik Lian sedemikian rajin
mengurus segalanya. Dia tahu aku malas mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang
membosankan itu, maka dia sengaja mengerjakannya untukku. Lantas, apa
jeleknya?”
“Orang ini hendak membunuhku,
apakah kau pun tahu?” tanya Tong Baixiong sambil menuding Yang Lianting.
“Aku tidak tahu,” sahut
Dongfang Bubai sambil menggeleng perlahan. “Tapi kalau Adik Lian mau
membunuhmu, tentu kau yang bersalah. Lalu mengapa kau tidak membiarkan dirimu
dibunuh saja olehnya?”
Tong Baixiong tercengang
bingung. Namun ia lantas mendongak dan bergelak tawa. Suara tawanya penuh rasa
penasaran dan sedih. Ia kemudian berkata, “Jadi, kalau dia ingin membunuhku,
maka kau lantas membiarkan dia membunuh sesukanya, begitu?”
“Benar. Apa yang ingin
dilakukan oleh Adik Lian tentu akan kuusahakan agar keinginannya tercapai. Di
dunia ini hanya dia seorang yang benar-benar baik padaku, maka aku pun akan
selalu berbuat baik kepadanya,” kata Dongfang Bubai. “Kakak Tong, kita pernah
hidup bersama senasib sepenanggungan. Selama ini kita bersahabat dengan akrab.
Hanya saja, tidak seharusnya kau menyinggung Adik Lian.”
Dengan wajah merah padam Tong
Baixiong berteriak, “Tadinya kukira kau sudah sinting, tapi ternyata kau cukup
sadar dan masih ingat kalau kita adalah sahabat karib dan punya hubungan akrab
di masa lampau.”
“Ya. Jika kau bersalah padaku,
aku masih bisa menerima. Tapi kalau kau bersalah kepada Adik Lian, hal ini yang
tidak bisa kubiarkan,” kata Dongfang Bubai.
“Dan sekarang aku sudah
menyinggung dia, lantas kau mau apa?” teriak Tong Baixiong. “Keparat ini hendak
membunuhku. Hm, kukira dia tidak akan mampu.”
Perlahan-lahan Dongfang Bubai
membelai rambut Yang Lianting dan bertanya dengan suara lembut, “Adik Lian,
apakah kau ingin aku membunuhnya?”
Yang Lianting marah dan
membentak, “Lekas kerjakan! Jangan banyak tanya seperti nenek-nenek, membuat
kesal saja!”
“Baik,” sahut Dongfang Bubai
dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Tong Baixiong dan berkata, “Kakak
Tong, mulai hari ini kita putus hubungan dan putus persaudaraan. Tolong jangan
kau salahkan tindakanku ini!”
Ketika berangkat dari
balairung tadi Tong Baixiong sempat merampas sebilah golok dari seorang
penjaga. Kini mendengar ucapan Dongfang Bubai itu, tanpa terasa ia mundur dua
langkah dan bersiap siaga sambil menghunus golok tersebut. Ia cukup kenal
betapa lihai ilmu silat sang ketua. Meski sekarang penampilannya aneh, namun
tetap tidak boleh dipandang ringan.
Dongfang Bubai menyeringai dan
berkata, “Aih, ini sungguh sulit bagiku. Kakak Tong, aku masih ingat kejadian
dahulu ketika kau menyelamatkan diriku dari keroyokan Tujuh Macan Ludong di
Gunung Taising. Waktu itu aku sudah terluka parah. Bila kau tidak datang
membantu tentu aku takkan hidup lagi sampai hari ini.”
“Hm, rupanya kau belum lupa
akan peristiwa lama itu,” sahut Tong Baixiong.
“Mana bisa lupa? Bahkan
hal-hal lain pun aku masih ingat dengan baik,” ujar Dongfang Bubai. “Misalnya,
ketika pertama kali aku menjadi ketua, Tetua Luo menolak mematuhi perintahku.
Tapi dengan sekali tebas, kau langsung membinasakan Tetua Luo, sehingga sejak
saat itu para saudara yang lain menjadi segan kepadaku. Kau benar-benar
saudaraku yang paling baik.”
Tong Baixiong melirik sekejap
ke arah Ren Woxing, lalu menjawab, “Aku yang salah. Mungkin pada waktu itu aku
sudah pikun.”
“Kau tidak salah, kau pun
tidak pikun, tapi kau memang sangat baik padaku,” kata Dongfang Bubai. “Aku
bertemu denganmu saat usiaku sebelas tahun. Waktu itu keluargaku sangat miskin,
dan engkaulah yang selalu membantu kehidupan kami. Bahkan, kau pula yang
membayar ongkos pemakaman ayah dan ibuku ketika mereka meninggal
berturut-turut.”
“Urusan-urusan yang sudah
berlalu untuk apa dibicarakan lagi?” ujar Tong Baixiong.
“Aih, Kakak Tong, bukannya aku
ini tidak punya hati nurani dan melupakan kebaikanmu di masa lampau,” jawab
Dongfang Bubai, “masalahnya kau telah bersalah kepada Adik Lian. Dia ingin
membunuhmu, terpaksa aku tidak punya jalan lain.”
“Sudahlah, sudahlah!” seru
Tong Baixiong.
Tiba-tiba sesosok bayangan
merah muda berkelebat. Menyusul kemudian terdengar suara golok yang dipegang
Tong Baixiong jatuh ke lantai. Tubuh orang tua itu lantas terhuyung-huyung,
mulutnya terbuka lebar, tapi tidak mampu bersuara. Sekejap kemudian tubuhnya
jatuh ke depan dan untuk selanjutnya tidak bergerak lagi.
Meskipun robohnya Tong
Baixiong itu terjadi sangat cepat, namun Ren Woxing dan yang lain dapat melihat
dengan jelas pada titik di tengah kedua alis, kedua pelipis, dan di bawah
hidungnya terdapat suatu titik merah kecil yang mengalirkan sedikit darah.
Ternyata keempat titik merah itu akibat tusukan jarum sulam yang dipegang
Dongfang Bubai. Gerakan Dongfang Bubai sendiri sangat cepat dan sama sekali
tidak terduga sebelumnya.
Menyaksikan kejadian luar
biasa ini, mau tidak mau Ren Woxing dan yang lain tanpa terasa mundur dua-tiga
langkah. Linghu Chong memegang tangan Ren Yingying dan menarik gadis itu di
belakangnya. Seketika suasana menjadi sunyi senyap dan bernapas pun mereka
tidak berani keras-keras. Semua orang tahu ilmu silat Dongfang Bubai teramat
tinggi, tapi sama sekali mereka tidak menduga bisa sedemikian hebatnya. Hanya
dengan sebatang jarum kecil saja dan dengan kecepatan luar biasa ia dapat
sekaligus menusuk empat titik mematikan pada wajah Tong Baixiong. Padahal, baru
saja ia menguraikan bermacam-macam kebaikan orang tua itu, namun dalam sekejap
pula sahabatnya di masa lampau tersebut sudah binasa di tangannya. Betapa culas
dan keji perbuatan Dongfang Bubai sungguh membuat orang merinding.
Perlahan-lahan Ren Woxing
mencabut pedangnya dan berkata, “Dongfang Bubai, aku mengucapkan selamat karena
kau telah berhasil menguasai ilmu silat dalam Kitab Bunga Mentari.”
“Terima kasih, Ketua Ren.
Kitab Bunga Mentari adalah pemberianmu. Senantiasa aku ingat kebaikanmu,” jawab
Dongfang Bubai.
“Apa benar? Maka itu kau
mengurung aku di bawah Danau Barat supaya tidak pernah melihat cahaya matahari
lagi,” ujar Ren Woxing.
“Aku tidak membinasakan
dirimu, bukan?” balas Dongfang Bubai. “Coba kalau aku menyuruh Empat Sekawan
dari Jiangnan tidak mengantar air dan makanan untukmu, apa bisa kau bertahan
hidup sepuluh hari atau setengah bulan, apalagi sampai sekarang?”
“O, jadi caramu memperlakukan
diriku masih lumayan, begitu?” sahut Ren Woxing.
“Tentu saja,” jawab Dongfang
Bubai. “Aku sengaja mengatur masa pensiunmu di Hangzhou. Bukankah menurut kata
orang, di langit ada kahyangan, di bumi ada Hangzhou? Pemandangan Danau Barat
dan Wisma Meizhuang adalah yang paling indah di Kota Hangzhou.”
“Hm, kau memberiku pensiun
dalam penjara di dasar danau yang gelap gulita itu. Wah, aku malah harus
berterima kasih padamu. Haha!!” kata Ren Woxing.
Dongfang Bubai menghela napas
dan berkata, “Ketua Ren, aku tidak pernah melupakan semua kebaikanmu padaku.
Tadinya aku hanya seorang pembantu Tetua Balai Angin Guntur, bawahan Kakak
Tong. Kemudian kau menaruh perhatian padaku dan setiap tahun menaikkan
pangkatku. Bahkan, kau juga memberikan pusaka berharga, Kitab Bunga Mentari
kepadaku, serta menunjuk diriku sebagai penggantimu kelak. Semua budi baikmu
ini takkan kulupakan seumur hidup.”
Linghu Chong melirik mayat
Tong Baixiong dan berpikir, “Tadi kau terus-menerus memuji kebaikan Tetua Tong
kepadamu, namun mendadak kau membinasakannya. Sekarang kau hendak mengulangi
kelicikanmu itu pada Ketua Ren, mana mungkin Beliau bisa kau tipu dengan cara
yang sama?”
Meskipun demikian, gerakan
Dongfang Bubai sangat cepat luar biasa. Tadi ia sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda hendak menyerang sehingga Tong Baixiong juga tidak sempat menjaga
diri. Maka, Linghu Chong terpaksa mengangkat dan mengarahkan pedangnya ke dada
orang itu. Asalkan sedikit saja Dongfang Bubai bergerak, ia akan segera mendahului
menusuk. Jika tidak menyerang lebih dulu, tentu akan sulit mencegah orang itu
menjatuhkan korban lagi di dalam kamar.
Menyadari keadaan yang gawat
tersebut, Ren Woxing, Xiang Wentian, Shangguan Yun, dan Ren Yingying juga
memusatkan seluruh perhatian terhadap setiap gerak-gerik Dongfang Bubai untuk
menghadapi kemungkinan serangannya yang sangat mendadak.
Terdengar Dongfang Bubai
berkata lagi, “Saat itu aku hanya ingin menjadi ketua, ingin berumur panjang,
dan merajai dunia persilatan. Siang malam aku memeras otak untuk memikirkan
cara merebut kedudukanmu dan menumpas begundalmu. Saudara Xiang, rencanaku ini
ternyata tidak luput dari pandanganmu yang tajam. Di dalam Sekte Matahari dan
Bulan, selain Ketua Ren dan aku, dirimu termasuk tokoh istimewa pula.”
Xiang Wentian menggenggam
gagang cambuknya erat-erat. Ia menahan napas dengan tegang dan tidak berani
menanggapi ucapan Dongfang Bubai itu karena takut perhatiannya terbagi.
Dongfang Bubai menghela napas,
lalu melanjutkan, “Ketika awal menjadi ketua, aku pun merasa sangat bersemangat
dan ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat. Tapi pujian bahwa aku ahli sastra
dan berwatak kesatria sebenarnya keterlaluan. Kemudian aku mempelajari ilmu
dalam Kitab Bunga Mentari. Lambat laun dapatlah ketemukan makna hidup yang
sebenarnya. Aku pun sibuk berlatih tenaga dalam sehingga beberapa tahun
kemudian akhirnya aku dapat memahami jalan untuk menempuh kehidupan abadi.”
Mendengarkan uraian Dongfang
Bubai dengan suaranya yang melengking itu, apa yang dikatakannya cukup masuk di
akal pula. Jelas hal ini menunjukkan otaknya dalam keadaan sehat. Namun
demikian, dengan penampilannya yang aneh itu mau tidak mau membuat orang lain
merasa ngeri dan merinding.
Perlahan-lahan sinar mata
Dongfang Bubai beralih ke arah Ren Yingying, kemudian ia bertanya, “Nona Ren,
selama ini bagaimana caraku memperlakukan dirimu?”
“Kau sangat baik padaku,”
jawab Ren Yingying.
“Sangat baik kukira juga
tidak. Hanya saja aku senantiasa sangat mengagumi dirimu,” ujar Dongfang Bubai
dengan menghela napas. “Seseorang yang dilahirkan sebagai wanita seratus kali
lebih beruntung daripada menjadi lelaki busuk. Apalagi kau begini cantik,
begini molek, muda, dan lincah. Bila aku dapat bertukar tempat denganmu, hm,
jangankan cuma jabatan Ketua Sekte Matahari dan Bulan, sekalipun menjadi kaisar
juga aku lepaskan.”
Linghu Chong tertawa dan
menjawab, “Bila kau bertukar tempat dengan Nona Ren, itu berarti aku harus
menikah dengan siluman tua semacam dirimu. Wah, untuk hal ini aku harus
pikir-pikir dua belas kali lebih dulu.”
Ren Woxing dan yang lain
terkejut mendengar ucapan Linghu Chong itu. Dongfang Bubai sendiri
memandanginya dengan mata melotot, alisnya semakin menegak. Dengan wajah sangat
gusar ia bertanya, “Siapa kau? Berani kau bicara begitu padaku? Apa kau ingin
isi perutmu aku keluarkan?”
Dasar sifat Linghu Chong
memang pemberani, meski sudah tahu keadaan begitu berbahaya juga tidak
membuatnya gentar. Dengan tertawa ia malah mengolok-olok lagi, “Apakah kau ini
seorang laki-laki gagah atau seorang perempuan cantik, entahlah. Tapi yang
paling membuatku jijik adalah seorang laki-laki yang memakai baju perempuan.”
“Aku bertanya padamu, siapa
kau?” jerit Dongfang Bubai dengan suara melengking.
“Aku bernama Linghu Chong!”
Mendengar itu Dongfang Bubai
menjadi lebih lunak dan sambil tersenyum ia berkata, “Ah, ternyata kau ini yang
bernama Linghu Chong. Sudah lama aku ingin melihatmu. Kabarnya Nona Ren sangat
kasmaran kepadamu. Untukmu dia rela mengorbankan jiwa dan raganya. Tadinya
kukira betapa gagah dan tampan kekasih idamannya itu. Tapi, hm, ternyata cuma
begini saja. Dibandingkan Adik Lian-ku, masih terlalu jauh.”
“Aku memang orang biasa saja.
Bagiku yang penting adalah dapat mencintai dengan hati yang tulus dan murni,”
jawab Linghu Chong tenang. “Mengenai bocah tampan bermarga Yang ini, meski
gagah dan ganteng, tapi sayang, dia terlalu mata keranjang. Suka memetik bunga
di sana dan mencabut rumput di sini. Di mana-mana suka bermain cinta dengan
wanita cantik dan laki-laki tampan ….”
“Keparat, apa katamu? Omong
kosong!” mendadak Dongfang Bubai menggeram dengan wajah merah padam. Tiba-tiba
seberkas bayangan merah muda berkelebat secepat kilat. Rupanya Dongfang Bubai
telah menerjang maju. Dengan jarum sulam di tangan ia menusuk ke arah wajah
Linghu Chong.
Linghu Chong memang sengaja
memanas-manasi Dongfang Bubai untuk memancing amarahnya. Setiap jago silat yang
dibakar amarah tentu akan berkurang pula pemusatan perhatiannya. Linghu Chong
sendiri sudah bersiaga dan segera menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan
lawan. Tusukan pedang ini sangat cepat, arahnya tepat pula. Kalau Dongfang
Bubai tidak menarik diri tentu lehernya akan tertembus pedang. Namun pada saat
yang sama tahu-tahu Linghu Chong merasa pipi kirinya terasa sakit seperti
digigit nyamuk. Sekejap kemudian pedangnya terasa agak bergetar pula.
Ternyata gerak serangan
Dongfang Bubai benar-benar sukar dibayangkan kecepatannya. Pada detik secepat
itu jarumnya telah menusuk satu kali di pipi Linghu Chong. Menyusul kemudian ia
menarik kembali tangannya untuk menangkis tusukan pedang lawan menggunakan
jarum tersebut. Untung tusukan pedang Linghu Chong juga teramat cepat dengan
arah yang tepat pula sehingga lawan terpaksa harus menyelamatkan diri lebih
dulu. Akibatnya, tusukan jarum Dongfang Bubai tadi agak melenceng. Seharusnya
yang dituju adalah titik Renzhong di bawah hidung Linghu Chong, namun yang
terkena justru pipi pemuda itu.
Meskipun demikian, hanya
dengan menggunakan sebatang jarum kecil yang ringan Dongfang Bubai mampu
menangkis pedang Linghu Chong sehingga tergetar ke samping, membuat semua orang
menjerit kagum. Betapa tinggi ilmu silat Dongfang Bubai sungguh sukar
dibayangkan.
Linghu Chong juga terkesiap.
Ia pun sadar hari ini telah berjumpa seorang lawan tangguh yang belum pernah
ditemuinya selama hidup. Bila lawan diberi kesempatan menyerang lagi bisa-bisa
keselamatan jiwanya akan terancam. Maka tanpa pikir panjang, ia pun mendahului
menyerang sebanyak empat kali, yang kesemuanya menusuk ke tempat mematikan di
tubuh musuh.
“Hei, hebat juga ilmu
pedangmu!” seru Dongfang Bubai heran sambil memuji pula. Bersamaan jarumnya
juga bekerja empat kali. Semua serangan Linghu Chong itu dapat ditangkis
olehnya.
Linghu Chong sama sekali tidak
menemukan celah kelemahan pada jurus-jurus Dongfang Bubai. Tiba-tiba ia
menggertak nyaring, disusul pedangnya menebas dari atas ke arah kepala lawan.
Namun Dongfang Bubai segera mengacungkan jarumnya ke atas pula. Tebasan pedang
itu pun lagi-lagi tertangkis oleh jarum sulam, tidak sanggup melaju ke bawah.
Linghu Chong merasa tangannya
linu dan pegal oleh getaran tenaga lawan. Tiba-tiba bayangan merah muda kembali
berkelebat. Kali ini Dongfang Bubai menusukkan jarumnya ke arah mata kiri
Linghu Chong. Dalam keadaan demikian Linghu Chong tidak sempat menghindar
maupun menangkis. Maka, ia pun menusukkan pedangnya ke mata kiri Dongfang Bubai
dengan tidak kalah cepat pula. Serangan semacam ini adalah serangan gugur
bersama musuh.
Serangan yang dipakai Linghu
Chong tersebut biasanya dipakai kaum rendahan dan tidak lazim digunakan oleh
jago silat mana pun juga. Namun Linghu Chong tidak pernah menganggap dirinya
seorang jago silat, sertal Ilmu Sembilan Pedang Dugu sendiri juga tidak
memiliki jurus serangan yang tetap. Semuanya tergantung keadaan dan menurut
kemauan pemakainya. Lantaran sudah terdesak itulah, maka tanpa pikir lagi
Linghu Chong pun melancarkan serangan yang sama dengan musuhnya. Begitulah, ia
segera merasa alis kirinya terasa sakit, sedangkan Dongfang Bubai juga melompat
ke samping untuk menghindari tusukan pedangnya.
Ternyata alis kiri Linghu
Chong telah terkena tusukan jarum sulam. Tadinya Dongfang Bubai mengincar mata
kirinya namun karena mata sendiri juga terancam, maka ia pun sedikit mengelak
sehingga serangannya pun meleset hanya mengenai alis lawan. Karena kaget dan
khawatir, Linghu Chong segera melancarkan serangan-serangan gencar pula. Meski
tidak diberi kesempatan untuk melancarkan balasan, Dongfang Bubai mampu
menghindar kian kemari dengan sangat gesit dan lincah. “Ilmu pedang bagus!
Pendekar pedang hebat!” serunya.
Melihat keadaan bertambah
gawat, Ren Woxing dan Xiang Wentian segera ikut menerjang maju. Tiga tokoh
sakti telah bertempur bersama-sama. Andai kata beribu-ribu prajurit menghadang
juga tidak akan mampu menandingi ketiga orang itu. Namun yang mereka hadapi
kali ini adalah jago silat nomor satu di dunia. Dengan bersenjata sebatang
jarum saja Dongfang Bubai dapat menyelinap ke sana kemari dengan gerakan
secepat kilat. Sedikit pun tidak ada tanda-tanda dirinya akan terdesak kalah.
Shangguan Yun segera ikut
mencabut goloknya dan maju membantu. Keadaan kini menjadi empat lawan satu.
Pada saat paling sengit, tiba-tiba Shangguan Yun menjerit. Goloknya terpental
jatuh, disusul tubuhnya terjungkal sambil tangannya menutup mata kanan. Rupanya
sebelah matanya itu telah tertusuk oleh jarum Dongfang Bubai.
Ren Woxing dan Xiang Wentian
tidak memberi kesempatan Dongfang Bubai untuk melakukan serangan balasan. Hal
ini dimanfaatkan Linghu Chong untuk menghidupkan permainan pedangnya. Ia pun
mengincar tempat-tempat mematikan di tubuh musuh. Akan tetapi, Dongfang Bubai
benar-benar gesit luar biasa. Ia bergerak ke sana dan melayang ke sini dengan
enteng bagaikan hantu. Meskipun tusukan Linghu Chong selalu mengarah ke titik
kelemahannya, tapi gerak tubuh Dongfang Bubai terlalu cepat, sehingga pada
detik-detik terakhir selalu saja ia dapat menghindarkan diri.
Sejenak kemudian, tiba-tiba
Xiang Wentian menjerit perlahan, menyusul kemudian Linghu Chong juga berteriak
tertahan. Rupanya tubuh kedua orang itu sama-sama terkena tusukan jarum
Dongfang Bubai.
Sementara itu meskipun Jurus
Penyedot Bintang milik Ren Woxing sangat ampuh, namun gerak tubuh Dongfang
Bubai terlalu cepat sehingga sukar sekali untuk memegangnya. Menghisap tenaga
lawan melalui senjata juga tidak mungkin dilakukan, karena yang dipegang
Dongfang Bubai adalah sebatang jarum sulam, sehingga akan sangat sulit pula
untuk dapat menyentuhnya.
Tidak lama kemudian, justru
Ren Woxing yang berteriak perlahan. Dada dan tenggorokannya terkena tusukan
jarum pula. Untung saat itu Linghu Chong sedang menyerang dengan gencar
sehingga Dongfang Bubai terpaksa harus membela diri, maka tusukan jarumnya pun
kurang dalam dan kurang bertenaga.
Tiga orang sakti mengerubut
Dongfang Bubai sendirian, namun tidak ada yang mampu menyentuh baju orang itu
sedikit pun. Justru ketiganya malah terkena tusukan jarum lawan. Menyaksikan
itu, Ren Yingying menjadi khawatir. Bila jarum itu berbisa, tentu akibatnya
sangat mengerikan. Ia berpikir, “Tampaknya dalam pertempuran satu lawan tiga
ini Dongfang Bubai tetap lebih unggul. Kalau aku ikut maju mungkin malah
mengganggu dan mempercepat kekalahan.”
Pertempuran semakin seru. Ren
Woxing, Linghu Chong, dan Xiang Wentian semakin gusar. Ketiganya mengerahkan
tenaga dalam pada senjata masing-masing. Akan tetapi, Dongfang Bubai sama
sekali tetap tidak tersentuh sedikit pun oleh serangan mereka.
Sekilas Ren Yingying melirik
Yang Lianting yang telah bangun dan duduk di tepi ranjang sedang mengikuti
pertarungan sengit itu. Tiba-tiba Ren Yingying mendapat akal. Perlahan-lahan ia
mendekat, dan secara mendadak ia mengangkat pedang pendeknya untuk kemudian
ditusukkan tepat di bahu kanan Yang Lianting.
“Aaah!” seru Yang Lianting
kesakitan karena serangan tak terduga itu. Ren Yingying kembali menusukkan
pedang pendeknya pada paha laki-laki itu. Rupanya Yang Lianting dapat meraba
maksud dan tujuan Ren Yingying yaitu ingin ia menjerit untuk memecah perhatian
Dongfang Bubai. Menyadari hal itu, ia pun tidak menjerit lagi dan menahan sakit
sebisa-bisanya.
“Kau mau menjerit atau tidak?
Akan kupotong jari tanganmu satu per satu!” ancam Ren Yingying sambil
mengayunkan pedangnya. Dalam sekejap sepotong jari Yang Lianting putus
seketika. Di luar dugaan, Yang Lianting sungguh keras kepala. Meskipun terluka
di bahu dan paha, serta jarinya putus pula, namun sedikit pun ia tidak
bersuara.
Namun demikian, jeritan yang
pertama tadi sudah terlanjur didengar oleh Dongfang Bubai. Ia sempat melirik
dan melihat Ren Yingying mendekati dan sedang menyiksa Yang Lianting. Dengan
perasaan khawatir dan hati gelisah, tanpa pikir panjang ia pun menerjang Ren
Yingying sambil memaki, “Siluman betina!”
Ren Yingying segera mengelak
ke samping. Ia tidak tahu apakah gerakan demikian dapat menghindarkan diri dari
tusukan jarum Dongfang Bubai. Sementara itu dengan kecepatan luar biasa pula
pedang Linghu Chong dan Ren Woxing menusuk ke punggung Dongfang Bubai secara
bersamaan.
Xiang Wentian menyabetkan
cambuknya ke atas kepala Yang Lianting. Ternyata Dongfang Bubai sama sekali
tidak memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Ia tidak peduli pada tusukan
pedang Linghu Chong dan Ren Woxing, sebaliknya malah menusukkan jarumnya ke
dada Xiang Wentian demi untuk menyelamatkan nyawa Yang Lianting.
Kontan sekujur tubuh Xiang
Wentian terasa kesemutan. Cambuk pun jatuh ke lantai. Pada saat itu pula pedang
Linghu Chong dan Ren Woxing telah menusuk punggung Dongfang Bubai tembus ke
dada. Dengan tubuh gemetar Dongfang Bubai jatuh menubruk badan Yang Lianting.
Ren Woxing sangat gembira. Ia
menarik pedangnya, lalu menodong tengkuk Dongfang Bubai sambil membentak,
“Dongfang Bubai, akhirnya sekarang kau jatuh di tanganku!”
Sementara itu Ren Yingying
belum pulih dari rasa takut. Kedua kakinya terasa lemas, tubuh pun sempoyongan
hendak roboh. Segera Linghu Chong memapah gadis itu. Dilihatnya satu titik di
pipi kiri si nona meneteskan sedikit darah segar. Namun Ren Yingying justru
berkata, “Kau terluka di sana-sini.” Usai berkata ia mengusap muka Linghu Chong
dengan lengan bajunya. Terlihat bintik-bintik darah memenuhi lengan baju gadis
itu. Meskipun tidak bercermin Linghu Chong sadar wajahnya penuh titik luka
akibat tusukan jarum lawan.
Ia kemudian menoleh ke arah
Xiang Wentian dan berkata, “Kakak, kau baik-baik saja?”
Dengan meringis menahan sakit
Xiang Wentian menjawab, “Aku tidak akan … tidak akan mati semudah ini.”
Kemudian dilihatnya kedua luka
di punggung Dongfang Bubai mengucurkan darah dengan derasnya. Jelas luka
lawannya itu sangat parah. Namun demikian Dongfang Bubai tidak peduli dan
berkata, “Adik Lian, Adik Lian, kawanan manusia jahat ini telah menyiksamu.
Kejam sekali mereka!”
Yang Lianting justru menjawab
dengan marah-marah, “Biasanya kau suka sombong. Katanya ilmu silatmu tiada
tandingannya di seluruh dunia. Tapi mengapa sekarang kau tidak mampu membunuh
keparat-keparat ini?”
“Aku … aku .…” sahut Dongfang
Bubai lirih.
“Aku apa?” bentak Yang
Lianting.
“Aku … aku sudah berbuat
sekuat tenaga, namun ilmu silat me… mereka rata-rata sangat … sangat tinggi,”
jawab Dongfang Bubai dengan suara lemah. Mendadak ia sempoyongan lalu terguling
di lantai.
Khawatir lawan akan melompat
bangun dan menyerang lagi, segera Ren Woxing mengayunkan pedangnya sehingga
paha kiri Dongfang Bubai tertusuk.
“Ketua Ren,” kata Dongfang
Bubai dengan menyeringai, “akhirnya kau yang menang. Aku sudah kalah.”
“Dan namamu yang hebat itu
tentunya harus diganti, bukan?” sahut Ren Woxing dengan terbahak-bahak.
Maksudnya ialah, nama “Bubai” bermakna “tak terkalahkan”.
“Aku tidak akan mengganti
namaku,” ujar Dongfang Bubai sambil menggeleng. “Aku sudah kalah dan takkan
hidup lagi di dunia ini. Coba … coba kalau bertempur satu lawan satu, pasti kau
takkan bisa mengalahkan aku.”
Ren Woxing tertegun, kemudian
menjawab, “Benar, ilmu silatmu memang lebih tinggi daripada aku. Aku kagum padamu.”
“Linghu Chong,” ujar Dongfang
Bubai kemudian, “ilmu pedangmu memang sangat tinggi. Tapi kalau satu lawan satu
kau pun bukan tandinganku.”
“Betul,” jawab Linghu Chong.
“Kami berempat mengeroyokmu sekaligus juga tidak dapat menang. Hanya karena
rasa khawatirmu pada orang bermarga Yang itu sehingga perhatianmu terpecah.
Akhirnya kami pun bisa merobohkanmu. Ilmu silatmu sungguh luar biasa dan kau
pantas disebut sebagai ‘jago silat nomor satu di dunia’. Aku benar-benar sangat
kagum padamu.”
“Kalian berdua bicara
demikian, menunjukkan kalau kalian benar-benar kesatria sejati,” ujar Dongfang
Bubai tersenyum. “Aih, sungguh menyebalkan. Aku telah menguasai ilmu dalam
Kitab Bunga Mentari itu, aku juga telah meramu dan minum obat berdasarkan resep
dalam kitab itu supaya awet muda dan berumur panjang. Sedikit demi sedikit
kumis dan janggutku menjadi rontok. Suaraku berubah, watakku pun berubah pula.
Aku tidak suka lagi pada perempuan. Ketujuh gundikku telah kubunuh semua.
Kemudian aku … aku mencurahkan perhatian kepada Yang Lianting si laki-laki ini.
Bukankah ini sangat aneh? Menguasai ilmu Kitab Bunga Mentari entah mendatangkan
kebahagiaan ataukah kesialan? Andai aku terlahir sebagai wanita tentu akan
sangat baik. Ketua Ren, aku … aku akan segera mati. Aku ingin memohon se…
sesuatu padamu, harap kau sudi … sudi mengabulkannya.”
“Permintaan apa?” tanya Ren
Woxing.
“Tolong kau ampuni jiwa Yang
Lianting. Usir saja dia pergi dari Tebing Kayu Hitam ini,” jawab Dongfang
Bubai.
“Mana bisa begitu?” jawab Ren
Woxing. “Aku justru akan mencincang dagingnya, akan kubinasakan dia dalam waktu
seratus hari. Hari ini kupotong jari tangannya, esok pagi kutebas jari kakinya
dan ….”
“Kau … kau sangat kejam!”
tiba-tiba Dongfang Bubai berteriak sambil melompat bangun dan menubruk ke arah
Ren Woxing.
Walaupun dalam keadaan terluka
parah, namun tubrukan ini tetap sangat dahsyat. Ren Woxing sempat menyongsong
serangan itu dengan tusukan pedang sehingga menembus dada Dongfang Bubai sampai
ke punggung. Namun pada saat yang sama Dongfang Bubai sempat menyentilkan
jarinya. Jarum yang dipegangnya pun melesat ke depan dan menancap di bola mata
sebelah kanan Ren Woxing.
Ren Woxing melepaskan
pedangnya dan mundur sambil berteriak kaget. Punggungnya menubruk dinding
sampai roboh. Ren Yingying buru-buru menghampiri. Dilihatnya jarum itu tampak
dari luar hanya sebagian kecil saja karena hampir seluruhnya telah menancap ke
dalam bola mata sang ayah. Untung kekuatan Dongfang Bubai tadi sudah sangat
lemah. Kalau tidak, bukan mustahil jarum itu akan terus menembus ke otak dan
jiwa Ren Woxing pun ikut melayang sia-sia. Namun demikian, mata kanan Ren
Woxing ini jelas sudah rusak, sehingga ia pun menjadi seorang buta sebelah.
Ren Yingying berusaha mencabut
jarum tersebut namun jarinya kesulitan untuk memegang pangkalnya. Ia pun
bergegas mencari bingkai sulam yang dibuang Dongfang Bubai tadi. Dari situ ia
melolos seutas benang, kemudian dengan hati-hati benang itu disusupkannya ke
dalam lubang jarum. Maka, dengan memegang kedua ujung benang itu, jarum tersebut
dapat dicabut keluar. Ren Woxing menjerit. Jarum itu telah tercabut sepenuhnya
dan tergantung di bawah benang dengan membawa beberapa tetes darah.
Dengan sangat murka Ren Woxing
mengayunkan sebelah kakinya. Tubuh Dongfang Bubai ditendangnya keras-keras
hingga terlempar dan tepat menghantam kepala Yang Lianting. Tendangan yang
disertai kemarahan itu sungguh luar biasa. Kepala Dongfang Bubai dan kepala
Yang Lianting beradu sampai pecah dan otak masing-masing hancur berhamburan.
Ren Woxing akhirnya dapat
membalaskan dendamnya yang telah terpendam sekian lama dan merebut kembali
kedudukannya sebagai Ketua Sekte Matahari dan Bulan. Akan tetapi, karena
kehilangan sebelah mata, rasa senang dan marah pun bercampur menjadi satu. Ia
menengadah dan bergelak tawa sekeras-kerasnya hingga atap rumah ikut bergetar.
Suaranya menggelegar bernada marah.
Shangguan Yun yang juga
kehilangan sebelah mata segera menyembah, “Selamat untuk Ketua yang telah
berhasil membalas dendam. Sejak kini agama kita kembali di bawah pimpinan
Ketua, tentu akan semakin berjaya di delapan penjuru. Semoga Ketua panjang
umur, hidup abadi, dan merajai dunia persilatan.”
“Hahaha, omong kosong! Apanya
yang hidup abadi?” ujar Ren Woxing mengejek. Tiba-tiba hatinya tergetar. Ia
membayangkan jika dirinya benar-benar bisa hidup abadi dan merajai dunia
persilatan, tentu akan sangat menyenangkan. Ini sungguh suatu kebahagiaan dalam
hidup. Membayangkan hal itu membuatnya kembali bergelak tawa. Kali ini ia
tertawa dengan puas dan senang.
Xiang Wentian yang dadanya
terkena tusukan jarum Dongfang Bubai mengalami kesemutan beberapa saat, baru
kemudian bisa pulih kembali. Setelah tangan dan kakinya bisa bergerak, ia pun
ikut berseru, “Selamat, Ketua! Selamat, Ketua!”
“Kau berjasa besar dalam
membinasakan pengkhianat ini, Adik Xiang,” kata Ren Woxing dengan tertawa. Ia
kemudian berpaling kepada Linghu Chong, “Jasa dan bantuan Chong’er juga tidak
sedikit jumlahnya.”
Linghu Chong memandang sejenak
ke arah Ren Yingying. Dilihatnya gadis itu pucat pasi karena masih terbayang
betapa mengerikan pertempuran hidup mati yang baru saja mereka alami tadi.
“Kalau bukan karena Yingying telah mengerjai Yang Lianting, mungkin tidak mudah
bagi kita untuk bisa mengalahkan Dongfang Bubai,” ujar Linghu Chong kemudian.
“Untungnya dia tidak menggunakan jarum berbisa.”
Ren Yingying tergetar
mendengarnya. Dengan suara lirih ia berkata, “Sudahlah, tidak perlu dibicarakan
lagi. Dia ini bukan manusia, tapi siluman. Sewaktu kecil aku sering
digendongnya dan diajak pergi berjalan-jalan ke gunung, memetik buah dan
sebagainya. Siapa sangka ia akhirnya bernasib seperti ini?”
Ren Woxing lantas merogoh
sejilid kitab tipis yang sudah usang dari balik baju Dongfang Bubai.
Dipegangnya kitab itu sambil berkata dalam hati, “Ini yang disebut ‘Kitab Bunga
Mentari’. Di sini tertulis bahwa untuk mempelajari ilmu sakti ini harus
mengangkat pisau dan mengebiri diri sendiri, serta meracik obat untuk panjang
umur dan hidup abadi. Huh, aku si tua boleh disebut bodoh, tapi tidak mungkin
percaya pada omong kosong ini.” Ia kemudian tertawa dalam hati tapi kemudian
berpikir, “Ah, ilmu silat yang tertulis dalam kitab ini memang sangat ampuh.
Setiap orang persilatan tentu akan tertarik bila membacanya. Untung waktu itu
aku telah mempelajari Jurus Penyedot Bintang. Jika tidak, bukan mustahil aku
pun akan tertarik untuk mempelajari ilmu dalam kitab ini.”
Kembali ia menendang mayat
Dongfang Bubai, lalu berkata, “Hahaha, meskipun kau licin seperti setan tapi
ternyata kau tidak tahu apa maksud dan tujuanku memberikan kitab ini kepadamu.
Ambisimu besar, semangatmu menyala-nyala, dan berhasrat naik ke atas. Apa kau
kira aku tidak tahu watakmu itu? Hahahahaha!”
Hati Linghu Chong terguncang.
Baru sekarang ia tahu ternyata tujuan Ren Woxing memberikan Kitab Bunga Mentari
kepada Dongfang Bubai bukanlah timbul dari niat yang baik. Keduanya sama-sama
menyimpan rencana dan maksud tertentu. Dilihatnya mata kanan Ren Woxing yang
terluka itu masih meneteskan darah, ditambah lagi ia terbahak-bahak dengan
mulut lebar, membuat wajahnya menjadi semakin beringas dan menyeramkan.
Tiba-tiba Ren Woxing meraba
selangkangan Dongfang Bubai dan ia tidak menemukan sepasang bola kemaluan pada
mayat musuhnya itu. Dengan tertawa semakin menggila ia berkata, “Kitab Bunga
Mentari ini sangat tepat bila dipelajari kaum kasim, hahahaha.” Usai berkata
demikian ia meremas-remas kitab tersebut dan menggosok-gosoknya dengan kedua
tangan. Ketika kedua telapaknya terbuka, kertas-kertas kecil pun berhamburan.
Kitab Bunga Mentari yang sudah tua dan lapuk itu pun hancur di tangannya.
Ren Yingying menghela napas
lega melihat kitab tersebut musnah. Meskipun ia tidak mengetahui isi pikiran
ayahnya dan juga tidak mengetahui pokok-pokok ilmu silat dalam Kitab Bunga
Mentari, namun melihat wujud Dongfang Bubai yang berubah menjadi wanita
jadi-jadian, membuatnya dapat menduga pasti ilmu dalam kitab tersebut adalah
ilmu sesat, Maka gadis itu lantas berkata, “Benda celaka seperti itu memang
sebaiknya dihancurkan saja.”
Linghu Chong tersenyum
berkata, “Apa kau takut aku mempelajarinya?”
“Huh, omong kosong!” sahut Ren
Yingying dengan muka merah. Ia lantas mengeluarkan obat dan menaburkannya pada
mata Ren Woxing dan Shangguan Yun yang telah buta sebelah.
Wajah semua orang rata-rata
dihiasi bintik-bintik luka akibat tusukan jarum. Ren Yingying bercermin dan
melihat satu goresan kecil di pipinya. Meskipun diobati dan bisa sembuh, namun
tusukan Dongfang Bubai itu akan tetap membekas seumur hidup. Membayangkan hal
itu membuatnya menjadi murung.
Linghu Chong berkata, “Kau
memiliki segala keberuntungan yang membuat semua manusia dan siluman merasa
iri. Goresan sekecil ini tidak akan mengurangi keberuntunganmu. Sudahlah,
jangan bersedih.”
“Keberuntungan apa?” sahut Ren
Yingying.
“Kau ini cantik sekaligus
sangat pintar. Ilmu silatmu juga tinggi,” jawab Linghu Chong. “Selain itu,
ayahmu seorang ketua aliran persilatan besar. Kau juga dihormati banyak orang
di dunia persilatan. Dan yang paling penting, kau terlahir sebagai wanita asli
sampai-sampai membuat seorang Dongfang Bubai iri kepadamu.”
Ren Yingying tersenyum
mendengarnya. Seketika ia pun lupa kepada goresan kecil di pipinya itu.
Begitulah, kelima orang yang
selamat tersebut lantas meninggalkan kamar Dongfang Bubai dan kembali ke
balairung. Ren Woxing memberikan perintah agar semua tokoh Sekte Matahari dan
Bulan datang menghadap. Begitu duduk di atas singgasana, ia tertawa dan
berkata, “Dongfang Bubai memang pintar, bisa menikmati hidupnya sebagai seorang
ketua yang dipuja. Dengan duduk tinggi di atas panggung seperti ini, juga
jaraknya yang cukup jauh dari bawahan yang datang menghadap, dengan sendirinya
akan timbul rasa takut dan segan dalam hati mereka. Hm, apa nama ruangan ini?”
Shangguan Yun menjawab, “Lapor
kepada Ketua yang bijaksana, ruangan ini bernama Balairung Budi Luhur. Ini
diambil dari pujian kami kepadanya, yaitu ‘seorang ahli sastra yang berbudi
luhur, ahli silat yang rendah hati’.”
Ren Woxing tertawa
mendengarnya, “Hahaha, menjadi ahli sastra dan ahli silat sekaligus, sungguh
muluk-muluk.” Sejenak kemudian ia pun berkata kepada Linghu Chong, “Chong’er,
kemarilah!”
Linghu Chong lantas berjalan
mendekatinya.
“Chong’er,” kata Ren Woxing,
“ketika di Hangzhou dulu aku pernah mengajakmu supaya masuk ke dalam agama
kami. Waktu itu aku masih lemah dan baru lepas dari kesulitan. Apa pun yang
kukatakan tentu tidak bisa membuatmu percaya begitu saja. Tapi sekarang aku
benar-benar telah duduk kembali di atas singgasana. Maka, urusan pertama yang
akan kubahas tidak lain tetap persoalan yang dulu .…” sampai di sini ia lantas
menepuk-nepuk tempat duduknya dan melanjutkan, “tempat ini cepat atau lambat
tentu akan kau duduki pula. Hahahahaha!”
“Ketua,” jawab Linghu Chong,
“Kebaikan Yingying padaku tak terhitung banyaknya. Apa yang kau kehendaki atas
diriku tidak pantas jika kutolak. Hanya saja aku sudah terlanjur berjanji
kepada orang lain akan menyelesaikan suatu urusan penting. Oleh karena itu
tentang persoalan masuk ke dalam aliranmu terpaksa tidak dapat kupenuhi.”
Kedua alis Ren Woxing menegak.
Dengan suara dingin ia berkata, “Kau tentu cukup tahu apa akibatnya bagi orang
yang tidak tunduk pada keinginanku, bukan?”
Ren Yingying segera mendekati
Linghu Chong dan memegang tangannya. Gadis itu pun berkata, “Ayah, hari ini
adalah hari bahagiamu karena kau berhasil menduduki kembali singgasanamu.
Kenapa Ayah harus ribut untuk urusan kecil seperti ini? Tentang bagaimana dia
bisa bergabung ke dalam agama kita biarlah dibicarakan kelak saja.”
Ren Woxing memiringkan wajah
ke kanan sehingga mata kirinya terlihat memandang tajam kedua muda-mudi itu.
“Hm, Yingying, sekarang yang kau inginkan hanya suami dan tidak peduli lagi
pada ayah, begitu?”
Xiang Wentian ikut bicara,
“Ketua, Adik Linghu ini seorang kesatria muda yang keras hati. Biarlah nanti
aku yang memberi pengertian kepadanya ….”
Belum selesai ia bicara,
tiba-tiba terdengar suara belasan orang berseru di luar balairung, “Kami, para
tetua balai, wakil tetua balai, pengurus lima cabang dupa, wakil pengurus lima
cabang dupa, dengan ini menyampaikan sembah bakti kepada Ketua yang bijaksana,
murah hati, ahli sastra berwatak kesatria yang melindungi rakyat jelata, cahaya
agama suci kita. Semoga Ketua panjang umur, hidup abadi, merajai dunia
persilatan.”
“Masuklah!” bentak Ren Woxing.
Sebanyak belasan laki-laki
kekar melangkah masuk ke dalam balairung. Serentak mereka berlutut dan
menyembah secara berjajar-jajar. Ketika Ren Woxing menjabat sebagai ketua yang
dahulu, saat itu ia menyapa para anggota Sekte Matahari dan Bulan dengan
sebutan “saudara”, dan pada saat bertemu dengannya mereka cukup memberi hormat
saja. Kini melihat orang-orang itu berlutut dan menyembah kepadanya, ia pun
bangkit dan berkata, “Tidak perlu ....” Akan tetapi tiba-tiba terpikir olehnya,
“Rasanya tidak ada salahnya kalau aku menerima sembah mereka. Seorang pimpinan
harus berwibawa dan menetapkan peraturan-peraturan ketat. Dulu aku terlalu
lunak dan percaya kepada bawahan sehingga berhasil dijebak mentah-mentah oleh
Dongfang Bubai. Hm, peraturan menyembah pimpinan seperti ini tidak ada salahnya
untuk diteruskan.”
Tidak lama kemudian, kembali
satu rombongan lain masuk dan menyembah pula. Kali ini Ren Woxing tidak berdiri
lagi dari tempat duduknya. Sembah dan pujian muluk-muluk itu diterimanya dengan
senang hati sambil kepalanya manggut-manggut.
Sementara itu, Linghu Chong
sudah mengundurkan diri sampai ke ambang pintu balairung. Kini ia berdiri pada
jarak yang cukup jauh dengan singgasana Sang Ketua. Cahaya lilin yang
remang-remang membuat wajah Ren Woxing tampak samar-samar. Tiba-tiba timbul
suatu pikiran dalam benak Linghu Chong, “Yang duduk di atas singgasana itu Ren
Woxing atau Dongfang Bubai? Memangnya ada perbedaan apa di antara mereka?”
Kemudian terdengar para
anggota Sekte di dalam balairung itu ramai memberikan sanjung puji kepada Sang Ketua.
Rupanya di antara mereka banyak yang ketakutan karena selama belasan tahun ini
mengabdi kepada Dongfang Bubai. Kalau sekarang Ren Woxing tiba-tiba mengusut
perbuatan mereka dan menagih hutang, tentu ini sangat berbahaya. Sebagian lagi
mungkin adalah orang baru, yang sama sekali tidak kenal siapa Ren Woxing. Namun
mereka sudah terbiasa menyanjung dan memuji Dongfang Bubai serta Yang Lianting
agar terhindar dari bahaya dan bisa naik pangkat. Maka, seperti biasa mereka
pun berteriak-teriak memuji untuk menarik perhatian sang ketua baru.
Saat itu sang surya sudah
muncul di ufuk timur. Sinarnya yang lembut menembus ke dalam balairung sehingga
terlihat bayangan punggung ratusan anggota Sekte yang berlutut sedang
menyerukan sanjung puji memuakkan.
Linghu Chong berpikir,
“Yingying sangat baik padaku. Kalau dia memintaku masuk ke dalam Sekte Matahari
dan Bulan, mana mungkin aku bisa menolaknya? Tapi lebih dulu aku harus pergi ke
Gunung Songshan demi perjanjianku dengan Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu,
yaitu untuk mencegah Zuo Lengchan melebur dan menguasai Serikat Pedang Lima
Gunung. Setelah itu aku akan memilih seorang murid wanita yang pantas untuk
menggantikan kedudukanku sebagai Ketua Perguruan Henshan. Kalau aku sudah tidak
punya ikatan, tentu urusan masuk Sekte bisa dibicarakan lagi. Lagipula kelak
aku akan menjadi menantu Ketua Ren, sehingga bersujud kepadanya setiap hari
jelas bukan masalah. Akan tetapi, kalau setiap hari harus mengucap sanjung puji
‘ahli sastra berwatak kesatria’, ‘cahaya agama suci’, ‘pelindung rakyat
jelata’, sungguh menjijikkan. Kalau seorang laki-laki setiap hari mengucapkan
sanjung puji seperti itu, apa masih bisa disebut kesatria? Tadinya aku kira ini
semua hanya ulah Dongfang Bubai dan Yang Lianting untuk menekan anak buah
mereka. Namun, kini kulihat Ketua Ren ternyata sangat menikmati sanjung puji
macam ini tanpa merasa muak.”
Sejenak kemudian ia berpikir
kembali, “Beberapa waktu yang lalu di Puncak Huashan aku melihat ukiran ilmu
silat para Tetua Sekte Matahari dan Bulan. Jelas dalam sekte ini banyak
terdapat orang-orang sakti dan perkasa. Pada zaman ini yang aku kenal adalah
Kakak Xiang, Shangguan Yun, Jia Bu, Tong Baixiong, serta Empat Sekawan dari
Jiangnan. Mereka adalah orang-orang hebat, tapi apa semuanya tunduk begitu saja
pada peraturan menjijikkan ini? Para kesatria ini dipaksa berlutut merendahkan
diri dan mengumandangkan kata-kata pujian yang mungkin saja hati mereka sedang
berontak. Mengucapkan sanjung puji seperti ini benar-benar menjijikkan. Apakah
para kesatria ini masih pantas disebut kesatria?”
Kemudian terdengar suara Ren
Woxing berkumandang dari ujung balairung, “Tentang segala perbuatan kalian di
bawah kepemimpinan Dongfang Bubai, diam-diam aku telah menyelidiki dan kucatat
pula satu per satu dengan jelas. Namun aku seorang ketua yang murah hati. Aku
tidak akan mengusut kejadian yang sudah-sudah, juga tidak akan menagih hutang
lama. Apa yang kulihat hanyalah perbuatan kalian di masa depan. Asalkan untuk
selanjutnya kalian setia dan berbakti kepadaku sampai mati, maka aku akan
memperlakukan kalian dengan penuh kemakmuran dan kekayaan.”
Mendengar itu serentak para
anggota Sekte mengucapkan sanjung puji beraneka ragam sehingga suasana menjadi
bergemuruh. Mereka mengatakan bahwa Sang Ketua sangat murah hati, adil dan
bijaksana. Ada yang memuji hati Ketua lapang bagai luasnya samudera, ada yang
mengatakan Ketua mahaagung memang tidak pantas melakukan perbuatan rendah.
Mereka pun serentak berjanji akan selalu setia pada Ketua, meski harus lebur
melewati lautan api juga rela demi kejayaan Sekte Matahari dan Bulan.
Ren Woxing menunggu sampai
semua puji-pujian itu selesai. Setelah keadaan berangsur-angsur menjadi hening,
ia pun melanjutkan, “Tapi bila ada seseorang yang berani membangkang dan
berkhianat, maka dosa yang sudah-sudah akan diperhitungkan semua. Ada satu
orang berbuat salah, maka segenap keluarganya harus ikut bertanggung jawab dan
dihukum mati semua.”
Serentak para anggota Sekte
berseru, “Kami akan selalu setia kepada Ketua.”
Linghu Chong terkesiap melihat
pemandangan itu. Diam-diam ia berpikir, “Apa yang dilakukan Ketua Ren ini tidak
ada bedanya dengan Dongfang Bubai, menegakkan wibawa melalui ancaman kekerasan.
Meski dari luar orang-orang ini terlihat tunduk, tapi dalam hati mereka tentu
memberontak. Lalu dari mana mereka mampu mengucapkan kata ‘setia’?”
Menyusul kemudian ada anggota
Sekte yang membongkar dosa-dosa Dongfang Bubai. Katanya, bekas ketua itu suka
marah-marah jika mendengar nasihat baik, dan lebih memilih percaya kepada Yang
Lianting, serta ia juga suka main bunuh seenaknya. Ada pula yang mengadu,
katanya Dongfang Bubai suka melakukan korupsi, menumpuk kekayaan demi
kepentingan diri sendiri. Ada lagi yang mengoceh, katanya Dongfang Bubai suka
bertindak ceroboh, menyerahkan Lencana Kayu Hitam kepada sembarang orang, dan
memaksa para anggota menelan Pil Penghancur Otak. Ada juga yang mengatakan
kalau Dongfang Bubai sangat rakus. Setiap kali makan ia menyembelih tiga ekor
sapi, lima babi, dan sepuluh domba.
Mendengar itu Linghu Chong
berpikir, “Mereka benar-benar suka menjilat. Kalau Dongfang Bubai dikatakan
rakus dan suka makan, apa mungkin seorang diri bisa menghabiskan hewan
sembelihan sebanyak itu? Dia seorang ketua aliran besar. Mungkin ia menyembelih
banyak hewan adalah untuk sesama kawan. Apa ini dianggap suatu kejahatan?”
Semakin lama para anggota
semakin banyak yang melontarkan tuduhan kepada Dongfang Bubai. Tuduhan yang
mereka ucapkan pun terdengar sepele dan tidak masuk akal. Ada yang memaki
Dongfang Bubai suka berubah-ubah sikap, kadang tertawa kadang menangis tanpa
sebab. Ada yang memakinya suka berpakaian mewah dan enggan menerima penghadapan
anggota. Ada yang memakinya sebagai orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Bahkan
ada pula yang memakinya tidak memiliki kepandaian apa-apa, dan ilmu silat yang
ia miliki hanya omong kosong belaka untuk menakut-nakuti para anggota.
Mendengar itu Linghu Chong
berpikir, “Kalian seenaknya memaki dan menuduh Dongfang Bubai, padahal kalian
sendiri yang tidak tahu apa-apa. Baru saja kami berlima mati-matian menghadapi
kehebatan Dongfang Bubai bagaikan bisa lolos dari lubang jarum. Apabila
Dongfang Bubai disebut tidak memiliki kehebatan apa-apa, maka di dunia ini
tidak ada lagi orang hebat. Sungguh omong kosong yang keterlaluan!”
Yang paling menggelikan adalah
seseorang yang memaki Dongfang Bubai sebagai manusia cabul, suka main perempuan
dan memerkosa anak istri para anggota Sekte.
Linghu Chong kembali berpikir,
“Dongfang Bubai sudah merelakan dirinya menjadi banci berpakaian wanita. Dia
tidak suka lagi pada perempuan dan lebih suka melayani laki-laki. Mana bisa
kalian seenaknya menuduh dia sebagai manusia cabul?” Mendengar laporan lucu ini
ia tak kuasa lagi menahan geli sampai akhirnya terbahak-bahak sehingga suaranya
berkumandang memenuhi balairung. Semua orang terkesiap dan menoleh ke arahnya
dengan mata melotot gusar.
Melihat pemuda itu mulai
berbuat onar, Ren Yingying segera menarik tangannya dan berkata, “Mereka sedang
membicarakan urusan Dongfang Bubai. Tidak ada yang menarik di sini. Mari kita
turun ke bawah saja.”
“Benar juga. Jangan-jangan
ayahmu menjadi marah dan kepalaku dipenggal,” ujar Linghu Chong sambil
menjulurkan lidah. Segera mereka keluar dari balairung dan turun ke bawah
menggunakan keranjang kerekan.
Keduanya duduk bersanding di
dalam keranjang bambu. Awan putih tampak mengambang di sekeliling mereka.
Dibandingkan dengan suasana di dalam balairung tadi, Linghu Chong merasa saat
ini bagaikan berada di dunia lain. Ia pun berpikir, “Apa yang baru kami alami
rasanya seperti mimpi belaka. Bagaimanapun juga, aku tidak akan sudi lagi naik
ke atas Tebing Kayu Hitam ini.”
“Apa yang sedang kau
renungkan, Kakak Chong?” tanya Ren Yingying tiba-tiba.
“Apakah kau mau pergi
bersamaku?” kata Linghu Chong.
Muka Ren Yingying menjadi
merah. Dengan tergagap ia menjawab, “Tapi kita … kita .…”
“Kita apa?” desak Linghu
Chong.
Ren Yingying menunduk dan
menjawab, “Kita belum … belum menikah. Mana boleh aku ikut pergi denganmu?”
“Bukankah dahulu kita pernah
berkelana berdua di dunia persilatan?” ujar Linghu Chong.
“Yang dahulu itu karena
terpaksa. Justru karena kebersamaan kita itu timbul banyak omongan-omongan
iseng di dunia persilatan,” kata Ren Yingying. “Apalagi tadi Ayah mengatakan
bahwa aku … aku hanya memikirkan dirimu dan tidak mau Ayah lagi. Kalau sekarang
aku benar-benar ikut pergi bersamamu tentu Ayah akan bertambah marah. Setelah
mengalami penderitaan-penderitaan selama belasan tahun agaknya watak Ayah
mengalami perubahan. Aku harus melayaninya dengan baik untuk meredam
kemarahannya. Asalkan hatiku dan hatimu tidak berubah, asalkan umur kita masih
panjang, untuk selanjutnya kita masih bisa bertemu lagi.” Kata-kata terakhir
itu diucapkannya dengan lirih, hampir-hampir tak terdengar.
Kebetulan waktu itu segumpal
awan putih melayang tiba sehingga mereka seperti terbungkus di dalamnya.
Meskipun duduk bersanding, namun karena suasana remang-remang, jarak keduanya
pun seperti sangat jauh. Sesampainya di bawah tebing dan keluar dari keranjang
bambu, Ren Yingying bertanya dengan suara berat, “Apakah kau akan langsung
berangkat?”
“Ya,” jawab Linghu Chong. “Zuo
Lengchan telah mengundang segenap anggota Serikat Pedang Lima Gunung untuk
berkumpul pada tanggal lima belas bulan tiga, dalam acara memilih Ketua
Perguruan Lima Gunung. Ambisinya sangat besar dan dapat mengancam keselamatan
dunia persilatan. Maka itu, pertemuan di Gunung Songshan ini harus kuhadiri.”
Ren Yingying mengangguk dan
berkata, “Kakak Chong, ilmu pedangmu lebih hebat daripada Zuo Lengchan, tapi
kau harus berhati-hati terhadap tipu muslihatnya.”
“Ya,” jawab Linghu Chong.
Ren Yingying menyambung,
“Sebenarnya aku ingin pergi juga, tapi aku seorang perempuan aliran sesat. Jika
aku pergi ke Gunung Songshan bersamamu tentu hanya akan merintangi urusanmu.”
Ia diam sejenak, kemudian melanjutkan dengan nada cemas, “Bila nanti kau
berhasil menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, namamu akan termasyhur di seluruh
dunia, sedangkan golongan putih dan hitam selamanya tidak pernah bersatu.
Kurasa urusan kita akan … akan lebih sulit.”
Linghu Chong memegang tangan
Ren Yingying erat-erat dan menjawab halus, “Kau masih belum percaya padaku?”
“Tentu saja aku percaya,”
sahut Ren Yingying dengan tersenyum. Selang sejenak ia berkata lagi dengan nada
khawatir, “Namun semakin tinggi ilmu silat seseorang, semakin besar pula
namanya di dunia persilatan. Hal seperti ini sering pula mengubah wataknya. Dia
sendiri mungkin tidak sadar, tapi sikapnya telah berbeda dengan masa-masa
sebelumnya. Paman Dongfang seperti itu. Aku khawatir Ayah juga bisa seperti itu.”
Linghu Chong tersenyum
menanggapi, “Ayahmu tidak akan menjadi seperti Dongfang Bubai. Bukankah Kitab
Bunga Mentari sudah dicabik-cabiknya hingga hancur berkeping-keping? Kalau pun
ingin belajar juga terlambat.”
“Aku tidak bicara soal ilmu
silat, tapi sedang membicarakan watak manusia.” jawab Ren Yingying, “Meskipun
Paman Dongfang tidak mempelajari Kitab Bunga Mentari, tetap saja ia memberontak
dan merebut kedudukan Ketua Sekte Matahari dan Bulan apabila menemukan
kesempatan.”
“Kau jangan khawatir, Yingying,”
kata Linghu Chong. “Orang lain mungkin seperti itu, tapi aku pasti tidak.
Sifatku suka berterus terang, tidak bisa berpura-pura. Andaikan aku menjadi
sombong dan besar kepala, tapi di hadapanmu akan tetap seperti sekarang.”
“Baguslah kalau begitu,” ujar
Ren Yingying. “Maksudmu, seperti sekarang itu seperti apa?”
Linghu Chong menjawab dengan
sungguh-sungguh, “Untuk seribu tahun, seribu musim semi, selamanya Linghu Chong
akan selalu menjadi cucumu yang manis.”
Ren Yingying tersenyum manis
dan berkata, “Kalau begitu aku adalah perempuan paling beruntung di dunia.
Terlahir menjadi seorang berwajah cantik dan berusia muda tidaklah penting.
Yang paling penting adalah Ren Yingying bisa seribu tahun seribu musim semi
berada di sisi Pendekar Besar Linghu.”
Linghu Chong terdiam sejenak,
kemudian teringat sesuatu dan berkata, “Semua orang di dunia persilatan telah
mengetahui hubungan kita. Kawan-kawan yang kau asingkan di salah satu pulau di
laut selatan apakah bisa kau maafkan?”
Ren Yingying tersenyum menjawab,
“Aku akan mengirim orang untuk membawa mereka kembali ke sini.”
Linghu Chong menarik tubuh
gadis itu lebih dekat, dan perlahan-lahan memeluk pinggangnya. “Sekarang aku
mohon diri padamu. Setelah urusan penting di Gunung Songshan beres, aku akan
segera datang mencarimu. Setelah itu kita berdua takkan berpisah lagi.”
Sorot mata Ren Yingying
berbinar-binar, memancarkan perasaan gembira. Dengan suara berat ia berkata,
“Semoga usahamu berhasil dengan baik dan bisa secepatnya kembali kemari. Siang
dan malam aku … aku akan selalu menunggumu di sini.”
“Baiklah,” kata Linghu Chong
sambil perlahan-lahan mencium pipi gadis itu.
Wajah Ren Yingying langsung
merah merona. Dengan tersipu malu ia mendorong perlahan. Linghu Chong bergelak
tawa kemudian berjalan mendekati kudanya. Sekali lompat ia langsung hinggap di
atas kuda itu dan memacunya meninggalkan markas Sekte Matahari dan Bulan
tersebut.
Beberapa hari kemudian Linghu
Chong sampai di Gunung Henshan. Para murid yang ditugasi menjaga kaki gunung
segera mengirim laporan ke atas. Beramai-ramai para murid lainnya turun
menyambut kedatangan sang ketua dengan gembira. Tidak lama kemudian para
anggota laki-laki yang tinggal di Lembah Tongyuan juga berdatangan menyambut
pula.
Linghu Chong menanyakan
keadaan para jagoan itu selama keepergiannya. Zu Qianqiu menjawab, “Para murid
laki-laki semuanya hidup prihatin, giat berlatih dengan tertib. Tak seorang pun
yang berani datang ke biara induk.”
Linghu Chong menjawab senang,
“Syukur kalau begitu.”
Yihe tertawa menyahut, “Memang
benar mereka tidak pernah datang ke biara induk. Tapi soal hidup prihatin, apa
benar demikian?”
Linghu Chong terkejut dan
bertanya, “Apa maksudmu?”
Yihe menjawab, “Sepanjang
hari, siang dan malam aku mendengar suara gaduh dari arah Lembah Tongyuan.
Ramai sekali suara mereka.”
Linghu Chong tertawa
menanggapi, “Hahaha, menyuruh kawan-kawan ini duduk diam tidaklah mudah.”
Linghu Chong kemudian
bercerita tentang keberhasilan Ren Woxing merebut kembali kedudukannya sebagai
Ketua Sekte Matahari dan Bulan. Para jagoan sangat gembira mendengarnya. Suara
sorak-sorai mereka bergemuruh menggetarkan lembah. Dalam hati mereka
membayangkan, jika Ren Woxing menjadi ketua lagi, itu berarti Ren Yingying pun
mendapat kedudukan penting pula di dalam Sekte. Ini berarti keadaan akan
menjadi lebih baik untuk semua orang.
Linghu Chong akhirnya sampai
di Puncak Xianxing. Yang pertama kali ia lakukan di biara induk adalah
menyampaikan sembah bakti di depan altar ketiga biksuni sepuh. Pertemuan di
Gunung Songshan pada tanggal lima belas bulan tiga sudah semakin dekat. Bersama
murid-murid tertua seperti Yihe dan Yiqing, ia membicarakan undangan Zuo
Lengchan tersebut. Mereka memutuskan untuk pergi ke Henan terlebih dulu sebelum
menuju Gunung Songshan. Yihe dan yang lain tidak setuju apabila mereka harus
melibatkan para jagoan yang tinggal di Lembah Tongyuan untuk membantu melawan
pihak Songshan. Meskipun para jagoan itu bisa menambah kekuatan mereka, namun
hal itu justru akan menjadi bahan olok-olok bagi pihak Henshan sendiri.
Yihe berkata, “Kakak Ketua,
ilmu pedangmu lebih tinggi daripada Zuo Lengchan, maka untuk menjadi Ketua
Perguruan Lima Gunung bukanlah hal yang sulit. Akan tetapi, para jagoan di
Lembah Tongyuan bisa merepotkan kita.”
Linghu Chong tersenyum berkata,
“Tujuan kita adalah mencegah Zuo Lengchan supaya tidak mencaplok keempat
perguruan lain. Aku sama sekali tidak pantas menjadi Ketua Perguruan Henshan,
apalagi menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Apabila kalian menghendaki untuk
tidak mengajak para jagoan itu, maka kita tidak akan mengajak mereka.”
Ia kemudian berjalan menuju
Lembah Tongyuan untuk berunding dengan Ji Wushi, Zu Qianqiu, dan Lao Touzi.
Ternyata ketiga orang itu juga tidak setuju apabila rombongan mereka ikut serta
ke Gunung Songshan. Ketiganya meminta Linghu Chong memimpin para murid
perempuan untuk berangkat lebih dulu, sementara mereka akan memberi pengertian
kepada para jagoan lainnya sambil menghimpun kekuatan dan menunggu kabar. Nanti
apabila pihak Perguruan Songshan berusaha menekan Perguruan Henshan dengan
mengandalkan kekuatan mereka yang lebih besar, maka para jagoan yang jumlahnya
ribuan pun akan berangkat memberikan bantuan.
Malam itu, Linghu Chong minum
arak bersama para jagoan di Lembah Tongyuan tersebut. Keberangkatan menuju ke
Gunung Songshan telah direncanakan esok paginya. Namun, Linghu Chong sendiri
ternyata tidur pulas sampai bangun kesiangan. Terpaksa, keberangkatan menuju
Gunung Songshan harus ditunda sehari kemudian. Esok paginya barulah ia memimpin
para murid perempuan berangkat menuju ke sana.
Beberapa hari kemudian
sampailah mereka di sebuah kota dan beristirahat dalam sebuah kuil bobrok yang
cukup besar. Zheng E dan enam murid lain meronda di luar menghadapi kemungkinan
serangan licik pihak Songshan. Namun tidak lama kemudian Zheng E dan Qin Juan
berlari memasuki kuil sambil berteriak, “Kakak Ketua, cepat kemari dan lihatlah
itu!” Keduanya melapor dengan wajah menahan geli.
Yihe bertanya, “Ada apa
sebenarnya?”
Qin Juan menjawab cekikikan,
“Kakak, sebaiknya kau lihat sendiri saja.”
Linghu Chong dan yang lain
segera keluar dan mengikuti kedua murid muda tersebut yang membawa mereka
menuju ke sebuah penginapan. Mereka langsung melihat enam orang
bertumpuk-tumpuk seperti batu bata di sebuah rumah kecil di sisi barat rumah
penginapan tersebut. Mereka tidak lain adalah Enam Dewa Lembah Persik yang
tidak bisa berkutik karena tubuh mereka masing-masing tertotok.
Linghu Chong sangat terkejut
melihatnya. Segera ia menarik turun Dewa Akar Persik yang berada paling atas di
tumpukan itu. Dilihatnya segumpal biji buah persik menyumpal mulut Dewa Akar
Persik.
Begitu Linghu Chong
mengeluarkan sumpalan itu, seketika Dewa Akar Persik langsung memaki-maki,
“Nenekmu, semua keluargamu akan kubuat menderita, anak turunmu sampai delapan
belas keturunan akan kusiksa, kau ….”
Linghu Chong tertawa berkata,
“Kakak Akar Persik, aku tidak berbuat salah kepadamu, bukan?”
“Aku tidak memakimu! Jangan
ikut campur!” bentak Dewa Akar Persik. “Anjing itu, jika kelak aku melihatnya,
akan kurobek tubuhnya menjadi delapan, enam belas, tiga puluh empat .…”
“Siapa yang kau caci maki
itu?” tanya Linghu Chong.
“Nenekmu, jika aku tidak
mencaci maki dia, lantas siapa lagi yang sedang kumaki ini?” sahut orang tua
itu galak.
Linghu Chong kemudian menarik
turun Dewa Bunga Persik dan mengeluarkan sumpalan di mulutnya. Rupanya Dewa
Bunga Persik sudah tidak tahan untuk tidak ikut bicara. Saat sumpalan di
mulutnya baru tertarik separuh, ia sudah menggumam tak keruan. Maka, begitu
mulutnya terbebas sepenuhnya, ia langsung saja berkata, “Kakak Pertama, yang
kau katakan tadi salah. Delapan potong dikalikan dua jadi enam belas, dikalikan
dua lagi jadi tiga puluh dua. Kenapa kau tadi bilang jadi tiga puluh empat?”
“Terserah aku mau merobeknya
menjadi tiga puluh empat atau berapa. Apa aku tadi berkata akan selalu
membaginya dua? Terserah aku jika membaginya dua lalu menambah dua sobekan
lagi,” jawab Dewa Akar Persik tidak mau kalah.
Dewa Bunga Persik berkata,
“Kenapa kau membaginya dua lantas menambah dua sobekan lagi? Apa alasannya?”
Totokan pada tubuh mereka
belum lagi lepas, namun begitu ada kesempatan berbicara mereka langsung saja
mengoceh memperdebatkan hal-hal yang tidak penting.
Linghu Chong bertanya,
“Berhenti bertengkar! Sebenarnya ada kejadian apa?”
Dewa Bunga Persik berkata,
“Kedua biksu sinting itu, Bujie dan Bukebujie, kedelapan belas leluhur mereka
adalah biksu sinting semua.”
Linghu Chong kembali tertawa
bertanya, “Mengapa kau memaki mereka?”
Dewa Akar Persik menjawab,
“Jika bukan memaki mereka lantas aku memaki siapa? Kau pergi tanpa pamit dan
kami mendengar itu semua dari Zu Qianqiu. Bagaimana mungkin kami enam
bersaudara tidak ikut pergi ke Gunung Songshan untuk melihat keramaian? Tentu
saja kami memutuskan untuk menyusul. Tapi di tengah jalan kami bertemu si biksu
sinting Bukebujie. Dia mengajak kami minum dan bercerita tentang enam ekor
anjing yang mati disengat serangga. Kami tertarik pada ceritanya sehingga tidak
menyadari kalau Biksu Bujie bersembunyi di dekat kami dan langsung melumpuhkan
kami dengan totokan. Biksu Bujie berkata, kalau kami ikut ke Gunung Songshan
tentu hanya akan mengacaukan rencana Ketua Linghu saja. Huh, dari mana dia tahu
kalau kami akan mengacaukan rencanamu?”
Linghu Chong memaklumi apa
yang terjadi dan tertawa menjawab, “Sebenarnya saat ini Enam Dewa Lembah Persik
sudah menang, dan Biksu Bujie kalah. Jika kalian bertemu Biksu Bujie dan Biksu
Bukebujie masalah ini tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Kalian juga tidak perlu
bertarung melawan mereka. Sebaliknya, kalau para kesatria di dunia persilatan
bertanya tentang hal ini, tentu mereka tidak bisa mengingkari kekalahan kedua
biksu itu di tangan Enam Dewa Lembah Persik.”
Dewa Akar Persik dan Dewa
Bunga Persik mengangguk lalu menjawab, “Untuk selanjutnya jika bertemu dengan dua
biksu sinting itu kami tidak akan mengungkit masalah ini lagi sehingga mereka
berdua tidak akan kehilangan muka.”
Linghu Chong tertawa menjawab,
“Yang paling penting saat ini adalah membuka totokan kalian, enam bersaudara.
Kalian pasti sangat menderita sekarang.” Usai berkata ia lantas membuka totokan
pada tubuh Dewa Bunga Persik dan menutup pintu supaya suara perdebatan mereka
tidak sampai terdengar dari luar.
Zheng E terkekeh dan bertanya,
“Kakak Ketua, apa yang sedang mereka lakukan?”
Qin Juan menjawab, “Mereka
sedang membangun kuil.”
Dewa Bunga Persik langsung
memaki dari dalam, “Biksuni cilik sembarangan! Kenapa kau bilang kami sedang
membangun kuil?”
Qin Juan tertawa menjawab,
“Hei, aku bukan biksuni!”
Dewa Akar Persik berkata, “Kau
hidup bersama para biksuni, jadi kau pun termasuk biksuni.”
Qin Juan menjawab, “Kakak
Ketua juga hidup bersama kami, tapi dia bukan biksuni.”
Zheng E menambahkan, “Kalian
juga hidup bersama kami, tapi kalian juga bukan biksuni.”
Dewa Akar Persik dan Dewa
Bunga Persik terdiam tidak bisa membalas. Keduanya sama-sama bingung mencari
alasan yang tepat untuk melawan perkataan kedua murid muda itu.
Linghu Chong dan para murid
perempuan lantas menunggu di luar sampai sekian lama, namun Enam Dewa Lembah
Persik tidak juga muncul keluar. Linghu Chong lalu membuka pintu dan melihat
Dewa Bunga Persik mondar-mandir dengan sikap malu-malu, sementara kelima
saudaranya masih dalam keadaan tertotok. Linghu Chong bergelak tawa dan segera
membuka totokan kelima orang tua aneh tersebut, kemudian buru-buru melangkah
keluar kamar.
Tidak lama kemudian terdengar
suara berisik dari dalam rumah kecil itu. Linghu Chong tertawa senang dan
melangkah menjauhi penginapan tersebut. Beberapa puluh langkah selanjutnya ia
melewati jalan yang membelah suatu lahan pertanian. Satu pohon persik tampak
tumbuh subur dengan ranting-ranting dipenuhi bunga bermekaran. Melihat itu ia
berpikir, “Pohon bunga persik memang sangat indah dan memesona, tapi Enam Dewa
Lembah Persik hanya bisa membuat gaduh dan berisik saja. Nama julukan mereka
sama sekali berbeda dengan kenyataan pohon bunga persik.”
Seorang diri ia berjalan
santai sambil berpikir keenam orang tua bersaudara itu pasti baru saja selesai
bertengkar sekarang, dan berniat mengajak mereka minum arak bersama. Tiba-tiba
ia mendengar langkah kaki di belakangnya, dan satu suara perempuan menyapa
dengan lembut, “Kakak Linghu!”
Linghu Chong menoleh dan
melihat rupanya Yilin yang datang menghampirinya.
Biksuni muda itu berkata,
“Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”
“Tentu saja boleh,” jawab
Linghu Chong. “Tanya urusan apa?”
Yilin bertanya, “Menurutmu
siapa yang lebih baik, Nona Ren ataukah adik kecilmu?”
Linghu Chong terkesiap. Dengan
agak rikuh ia menjawab, “Mengapa tiba-tiba kau bertanya masalah ini?”
“Kakak Yihe dan Kakak Yiqing
yang menyuruhku bertanya ini kepadamu,” jawab Yilin.
Linghu Chong bertambah heran,
lalu menjawab dengan tersenyum, “Mereka adalah kaum biarawati, mengapa bertanya
hal-hal demikian?”
Yilin menunduk dan berkata,
“Kakak Linghu, aku tidak pernah bercerita kepada orang lain tentang hubunganmu
dengan adik kecilmu. Namun Kakak Yihe pernah melukai Nona Yue sehingga antara
kedua pihak timbul perselisihan. Waktu itu Kakak Yizhen dan Kakak Yiling pergi
untuk mengantarkan obat luka, namun mereka ditolak oleh pihak Huashan, bahkan
diusir pula. Hal ini sengaja tidak kami ceritakan kepadamu supaya kau tidak
tersinggung. Kemudian ketika Kakak Yu Sao dan Kakak Yiwen pergi ke Gunung
Huashan untuk menyampaikan berita pelantikanmu sebagai Ketua Perguruan Henshan,
mereka telah ditahan di sana.”
Linghu Chong terkejut dan
bertanya, “Hah? Dari mana kau mendapat kabar ini?”
“Dari Tian … eh, Bukebujie
yang melapor padaku,” jawab Yilin dengan malu-malu.
“Tian Boguang?” sahut Linghu
Chong.
“Benar,” jawab Yilin, “ketika
kau ke Tebing Kayu Hitam, para kakak telah menyuruhnya ke Gunung Huashan untuk
mencari berita.”
Linghu Chong mengangguk,
“Dengan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, Tian Boguang memang tepat jika
disuruh menyelidiki sesuatu. Dan kedua kakakmu itu apakah bisa dijumpai
olehnya?”
“Bisa. Namun penjagaan
Perguruan Huashan terlalu ketat, dia tidak sanggup menolong mereka. Syukurlah
kedua kakak tidak menderita. Aku juga telah menulis pesan kepadanya supaya
jangan main kekerasan dan memusuhi Perguruan Huashan supaya tidak membuatmu
marah,” ujar Yilin.
Linghu Chong tersenyum
berkata, “Kau menulis surat kepadanya? Kau sudah benar-benar pantas menjadi
seorang guru.”
Wajah Yilin merona, lalu ia
menjawab, “Aku tinggal di Puncak Xianxing, sedangkan dia tinggal di Lembah
Tongyuan. Cara yang paling baik tentu saja melalui surat. Aku lalu meminta
tolong Nenek Fu mengantarkan surat itu ke sana.”
“Aku hanya bercanda,” sahut
Linghu Chong menggoda. “Lantas, apa yang dilaporkan Tian Boguang?”
Yilin menjawab dengan
ragu-ragu, “Katanya di sana ia kebetulan melihat suatu perayaan. Sepertinya
gurumu sedang menikahkan putrinya ….”
Tiba-tiba wajah Linghu Chong
berubah hebat begitu mendengarnya. Seketika Yilin terkejut dan segera menutup
mulutnya. Linghu Chong terlihat sangat susah. Napasnya memburu dan
tenggorokannya seperti tersumbat. Sekuat tenaga ia berkata, “Teruskan …
teruskan ceritamu. Aku tidak … apa-apa.”
Yilin menjawab lirih, “Kakak
Linghu, kau jangan bersedih. Kakak Yihe dan Kakak Yiqing juga mengatakan
meskipun Nona Ren adalah orang aliran sesat, tapi dia sangat cantik jelita dan
memiliki ilmu silat tinggi. Ia juga mencintaimu dengan sepenuh hati. Dalam
setiap hal Nona Ren sepuluh kali lebih baik daripada Nona Yue.”
“Untuk apa aku bersedih?” ujar
Linghu Chong dengan tersenyum getir. “Bila Adik Kecil mendapatkan jodoh yang
baik, aku justru ikut merasa gembira. Apakah Tian … Tian Boguang juga melihat
adik kecilku?”
“Tian Boguang hanya melihat
suasana begitu ramai di sana. Puncak Huashan dihias segala rupa. Banyak
tamu-tamu dari berbagai golongan datang memberi selamat, sedangkan Tuan Yue
ternyata sama sekali tidak memberi tahu Perguruan Henshan kita. Sepertinya kita
telah dipandang sebagai musuh olehnya.”
Linghu Chong
mengangguk-angguk. Lalu Yilin melanjutkan, “Kakak Yu Sao dan Kakak Yiwen dengan
maksud baik menyampaikan undangan kepada Perguruan Huashan. Tidak masalah kalau
mereka tidak mau mengirim utusan untuk mengucapkan selamat kepadamu sebagai
ketua baru. Tapi, mengapa juga mereka harus menahan utusan kita. Maka menurut
pendapat Kakak Yihe dan Kakak Yiqing, kita juga tidak perlu segan-segan lagi
terhadap Perguruan Huashan yang tidak tahu aturan itu. Kelak kalau kita bertemu
mereka di Gunung Songshan, secara tegas kita akan bertanya di depan umum kepada
mereka dan menyuruh mereka membebaskan Kakak Yiwen dan Kakak Yu Sao. Kalau
tidak, maka kita akan turun tangan lebih dulu untuk mengambil tindakan.”
Kembali Linghu Chong hanya
mengangguk-angguk saja.
Melihat sikap Linghu Chong
yang linglung itu, Yilin menghela napas dan menambahkan, “Kakak Linghu,
hendaknya kau berhati-hati.” Usai berkata ia lantas berjalan meninggalkannya.
Melihat Yilin pergi semakin
lama semakin jauh, tiba-tiba Linghu Chong berseru, “Adik Yilin!”
Yilin berhenti dan menoleh ke belakang.
Linghu Chong bertanya padanya,
“Yang menikah dengan Adik Kecil apakah … apakah ….”
Yilin mengangguk. “Benar,
laki-laki itu bermarga Lin.”
Dengan langkah cepat ia pun
berbalik menghampiri Linghu Chong lalu memegang lengan baju pemuda itu sambil
berkata, “Kakak Linghu, orang bermarga Lin itu tidak ada apa-apanya jika
dibandingkan denganmu. Nona Yue memang ceroboh sehingga salah memilih suami.
Para kakak khawatir kau bersedih, sehingga hal ini tetap dirahasiakan sampai
sekarang. Akan tetapi, Enam Dewa Lembah Persik mengatakan kalau ayahku dan Tian
Boguang ada di dekat sini. Meskipun seandainya Tian Boguang tidak bercerita
kepadamu, saat tiba di Gunung Songshan nanti juga kemungkinan besar kita akan
bertemu dengan Nona Yue serta suaminya. Jika kau tiba-tiba melihat dandanan
Nona Yue telah berubah menjadi seorang pengantin baru, bisa jadi kau akan …
akan bingung dan urusan menjadi runyam. Menurut pendapat para kakak, akan
sangat baik jika Nona Ren berada di sampingmu. Para kakak juga menyuruhku agar
menasihatimu supaya jangan memikirkan Nona Yue yang tidak punya pendirian itu.”
Linghu Chong tersenyum getir.
Ia merasa bersyukur atas perhatian para murid Henshan terhadapnya. Pantas saja
selama perjalanan ini mereka sangat baik dalam memberikan pelayanan. “Rupanya
mereka khawatir hatiku berduka,” pikirnya. Tiba-tiba terasa pada telapak
tangannya tertetes beberapa titik air. Ia terkejut dan berpaling, ternyata air
mata Yilin yang berlinang-linang. “Hei, kenapa … kenapa kau menangis?”
Yilin menjawab, “Aku … aku
tidak tega melihat kau bersedih. Kakak Linghu, jika kau ingin menangis, silakan
menangis saja sepuasnya.”
“Hahaha, kenapa aku harus
menangis?” ujar Linghu Chong sambil bergelak tawa. “Linghu Chong seorang pemuda
bandel, sampai-sampai Guru dan Ibu Guru mengusirku dari Huashan. Mana mungkin
hanya karena … hanya karena … hahahaha!”
Sambil tertawa ia lantas
berlari cepat ke depan. Sekali berlari ia tidak berhenti sehingga tanpa terasa
sudah melewati lima puluh li jauhnya. Sampai di suatu tempat yang sepi, hatinya
terasa sedih tak tertahankan lagi. Ia pun menjatuhkan diri di tanah rumput dan
menangis sekeras-kerasnya.
Setelah menangis sekian lama
barulah hatinya terasa lega. Ia pun berpikir, “Bila aku kembali sekarang tentu
kedua mataku tampak merah sembap. Hal ini bisa menjadi bahan tertawaan Yihe dan
yang lain. Lebih baik aku kembali kalau hari sudah gelap saja.” Tapi lantas
terpikir pula olehnya, “Tentu mereka sedang mencariku dan merasa khawatir bila
tidak bisa menemukan aku. Sedih atau gembira adalah hal yang biasa. Seorang
laki-laki sejati ingin menangis ya menangis, ingin tertawa ya tertawa.
Bagaimana aku mati-matian mencintai Adik Kecil juga sudah diketahui semua
orang. Sekarang dia menikah dengan orang lain, bila aku tidak bersedih malah
orang lain akan menuduh perasaanku palsu.”
Segera ia berlari kembali ke
kuil bobrok tempat rombongannya menginap tadi. Dilihatnya Yihe, Yiqing, dan
yang lain sedang sibuk mencari-cari dirinya. Melihat sang ketua pulang, para
murid perempuan itu menjadi lega dan gembira. Namun melihat matanya yang merah
dan sembap, semua orang pun diam tidak ada yang berani bertanya.
Linghu Chong melihat di atas
meja sudah tersedia arak dan makanan. Malam itu ia minum sepuas-puasnya sampai
mabuk berat, kemudian ia pun tertidur pulas di atas meja.