Pendekar Hina Kelana Jilid 36-40

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 36-40 Tiba-tiba terdengar orang di luar itu berkata lirih, “Monyet Keenam, apa kau berada di dalam?”
Tiba-tiba terdengar orang di luar itu berkata lirih, “Monyet Keenam, apa kau berada di dalam?”

Seketika perasaan Lu Dayou berubah gembira karena ia mengenali suara tersebut sebagai suara seorang perempuan yang tidak lain adalah Yue Lingshan. Dengan cepat ia menjawab, “Adik Kecil, aku di sini.” Buru-buru ia pun menyalakan kembali pelita di dalam kamar.

Sementara itu Yue Lingshan sudah masuk ke dalam kamar. Gadis itu bertanya, “Bagaimana keadaan Kakak Pertama?”

“Banyak darah yang keluar,” jawab Lu Dayou.

Yue Lingshan meraba dahi Linghu Chong ternyata panas luar biasa.

Tiba-tiba Linghu Chong siuman dan bertanya, “Adik Kecil… apakah itu kau?”

Yue Lingshan menjawab dengan suara lembut, “Benar, Kakak Pertama, ini aku. Bagaimana keadaanmu?”

“Aku merasa lebih… baik,” jawab Linghu Chong lirih.

Tiba-tiba Yue Lingshan mengeluarkan bungkusan kecil dari balik bajunya dan berkata, “Ini adalah kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja. Kata Ayah....”

“Kitab Kabut Lembayung Senja?” sahut Linghu Chong terkejut.

“Benar,” jawab Yue Lingshan. “Ayah berkata di dalam badanmu terdapat enam hawa murni yang aneh. Untuk memusnahkannya harus menggunakan ilmu tenaga dalam paling tinggi dalam perguruan kita, yaitu ilmu Kabut Lembayung Senja... Monyet Keenam, tolong kau bacakan isi kitab ini kepada Kakak Pertama. Bacalah kata demi kata dengan jelas. Tapi awas, kau sendiri tidak boleh ikut mempelajarinya! Kalau sampai Ayah mengetahuinya, tentu kau akan tahu sendiri akibatnya.”

Lu Dayou sangat gembira mendengarnya. Buru-buru ia menyahut, “Aku ini hanya orang bodoh. Mana mungkin aku berani mempelajari ilmu rahasia yang merupakan puncak dari segala ilmu tenaga dalam milik perguruan kita? Sudahlah, kau jangan khawatir. Luar biasa! Demi menolong jiwa Kakak Pertama, Guru berkenan menurunkan kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja. Kali ini Kakak Pertama pasti selamat.”

Yue Lingshan menukas dengan suara berbisik, “Kau jangan beri tahu siapa-siapa. Sebenarnya kitab ini bukan pemberian Ayah. Tapi... tapi aku mencurinya dari bawah bantal Ayah.”

“Apa? Kau... kau telah mencuri kitab pusaka milik Guru?” tanya Lu Dayou tak percaya. “Jika Guru sampai tahu... bagaimana?”

“Bagaimana apanya? Kalau sampai ketahuan apa mungkin aku dibunuh oleh Ayah?” balas Yue Lingshan. “Paling-paling aku hanya dimarahi dan dihajar saja sampai babak belur. Tapi kalau dengan ini Kakak Pertama bisa disembuhkan, tentu Ayah dan Ibu akan senang sehingga persoalan ini tidak lagi dipermasalahkan.”

“Benar juga, benar juga,” kata Lu Dayou. “Yang penting Kakak Pertama harus diselamatkan terlebih dulu. Yang lain urusan belakangan.”

Tiba-tiba Linghu Chong menukas, “Adik Kecil, kembalikan... kembalikan kitab itu pada Guru.”

“Mengapa?” tanya Yue Lingshan heran. “Susah payah aku membawa kitab pusaka ini kemari, menempuh jalan pegunungan yang jauh dan berbahaya di tengah malam gelap gulita. Tapi, kau malah memintaku mengembalikannya. Ini bukan masalah mencuri, tapi masalah hidup dan matimu.”

“Benar kata Adik Kecil,” sahut Lu Dayou ikut mendesak. “Kau tidak perlu mempelajari semuanya. Latih saja secukupnya asal dapat memusnahkan hawa jahat di dalam tubuhmu. Setelah itu kita kembalikan kitab ini kepada Guru. Kelak tentu Guru akan mewariskan kitab ini kepadamu. Kau memang murid pertama perguruan kita. Kepada siapa lagi kitab pusaka ini akan diwariskan kalau bukan kepadamu? Sekarang atau besok apa bedanya? Ini hanya masalah waktu. Apa salahnya kalau kitab ini kau pelajari sekarang?”

“Tidak, tidak… Lebih baik aku mati daripada melanggar perintah Guru,” jawab Linghu Chong. “Guru sudah mengatakan bahwa... bahwa aku belum waktunya belajar ilmu Kabut Lembayung Senja. Maka... maka....” Belum habis ia berkata mendadak nafasnya terasa sesak dan ia pun kembali pingsan.

Yue Lingshan mencoba memeriksa hembusan hidung Linghu Chong. Nafas pemuda itu sangat lemah namun tidak berhenti. Yue Lingshan kemudian berkata, “Aku harus segera kembali sebelum fajar menyingsing. Ayah dan Ibu bisa khawatir apabila mengetahui kepergianku ini. Kakak Keenam, tolong bujuk Kakak Pertama supaya mau mempelajari kitab Kabut Lembayung Senja. Jangan sia-siakan....” Sampai di sini wajahnya mendadak bersemu merah. Gadis itu lalu melanjutkan, “Jangan sia-siakan jerih payahku berlari malam-malam kemari demi dia.”

“Baik, aku akan membujuknya,” kata Lu Dayou. “Adik Kecil, sekarang ini rombongan Guru sudah sampai di mana?”

“Kami bermalam di kuil Kuda Putih,” jawab Yue Lingshan.

“Apa? Bukankah kuil itu berjarak hampir sepuluh Li dari sini?” sahut Dayou. “Adik Kecil berlari pulang-pergi di malam gelap ini menempuh jarak sejauh itu. Kakak Pertama tentu takkan melupakan pengorbananmu ini.”

Mata Yue Lingshan terlihat merah berkaca-kaca. Ia pun berkata, “Aku hanya ingin melihat Kakak Pertama selamat dan kembali pulih. Aku tidak peduli kejadian ini diingat olehnya atau tidak.”

Usai berkata demikian gadis itu lalu menaruh kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja perlahan-lahan di ujung ranjang Linghu Chong. Dipandanginya sejenak wajah si kakak pertama dan selanjutnya ia pun berlari keluar.

Kira-kira dua jam kemudian barulah Linghu Chong siuman dari pingsan. Begitu membuka mata ia langsung berseru, “Adik... Adik Kecil!”

“Adik Kecil sudah pergi,” jawab Dayou.

“Sudah pergi?” sahut Linghu Chong dengan nada keras. Ia kemudian bangkit dan tangannya langsung menarik baju Lu Dayou pada bagian dada.

“Benar, Adik Kecil sudah pergi,” jawab Lu Dayou ketakutan. “Katanya, sebelum fajar menyingsing ia harus berada di sana supaya tidak meresahkan Guru dan Ibu Guru. Sebaiknya kau beristirahat saja.”

Namun Linghu Chong seperti tidak mendengarkan jawaban Lu Dayou. Ia terlihat menggumam sendiri, “Dia sudah pergi? Dia sudah pergi bersama Adik Lin?”

“Adik Kecil bersama rombongan Guru dan Ibu Guru,” lanjut Lu Dayou.

Namun Linghu Chong hanya memandang dengan tatapan kosong sambil tangannya masih mencengkeram baju Lu Dayou.

Lu Dayou kembali berkata dengan suara lirih, “Kakak Pertama, sesungguhnya Adik Kecil sangat peduli pada keselamatanmu. Sebagai seorang gadis belia, di tengah malam segelap ini ia berlari pulang-pergi ke sini dari kuil Kuda Putih yang berjarak sepuluh Li dari sini hanya untuk membantu kesembuhanmu. Betapa dalam perasaannya kepadamu tak dapat dibayangkan. Sebelum pergi ia juga berpesan supaya kau sudi mempelajari kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja ini. Janganlah kau sia-siakan maksud baiknya itu.”

“Dia berkata demikian?” tanya Linghu Chong menegas.

“Mana mungkin aku berani berdusta?” jawab Lu Dayou.

Tangan Linghu Chong yang mencengkeram baju Lu Dayou pun mengendur. Ia tak tahan lagi duduk dan kembali roboh berbaring di atas ranjangnya. Meskipun kepalanya terbentur dengan keras namun tidak terasa sakit.

“Kakak Pertama, biar aku yang membacakan kitab ini untukmu,” kata Lu Dayou yang kemudian mengambil kitab Kabut Lembayung Senja dan membacanya kata demi kata mulai halaman pertama.

“Segala bentuk ilmu silat menggunakan tenaga dalam sebagai landasan. Sesungguhnya jumlah tenaga dalam yang begitu besar adalah karunia dari Langit. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak memahaminya dengan baik, justru mengumbar emosi belaka. Dampak buruk dari belajar ilmu silat adalah membuat manusia menjadi bengis, congkak, kejam, dan licik. Menjadi bengis membuat jiwa menjadi terganggu, dan aliran tenaga menjadi kacau. Bersikap congkak membuat jiwa menjadi kerdil sehingga aliran tenaga menjadi ribut. Bersikap kejam membuat jiwa menjadi kosong, dan aliran tenaga pun menjadi hampa pula. Bersikap licik membuat perilaku menjadi jahat, sehingga aliran tenaga menjadi pendek. Keempat sikap buruk ini bagaikan pisau yang memotong aliran tenaga.”

“Apa yang sedang kau baca?” tanya Linghu Chong.

“Ini adalah bab pertama rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja,” jawab Lu Dayou. Ia kemudian melanjutkan bacaannya. “Dengan berpantang pada keempat sifat buruk tersebut membuat hati kita menjadi lembut. Dengan menahan sikap kejam dan bengis dapat membuat aliran tenaga menjadi lebih tahan lama. Menabuh Tian-Gu, meminum Yu-Jiang, membilas Hua-Chi, dan mengetuk Jin-Liang, lakukan dan lihatlah bagaimana hasilnya….”

Di luar dugaan Linghu Chong justru menjadi gusar. Ia berseru, “Ini adalah ilmu rahasia perguruan kita. Berani membaca tanpa izin sama artinya melanggar peraturan. Ayo, lekas simpan kembali kitab itu!”

“Kakak Pertama, seorang laki-laki sejati harus dapat bertindak sesuai keadaan. Sekarang yang paling penting adalah kesembuhanmu. Urusan lain kita kesampingkan dulu. Biar kulanjutkan....” kata Lu Dayou yang kemudian membacakan bagaimana kelanjutan isi kitab tersebut.

“Tutup mulutmu!” bentak Linghu Chong.

Lu Dayou ketakutan dan berhenti membaca. Ia bertanya, “Kakak Pertama, apakah kau baik-baik saja? Apakah kau merasa sakit?”

“Benar! Sekujur badanku terasa sakit begitu mendengar kau membaca isi kitab pusaka tanpa seizin Guru. Apakah kau ingin menjerumuskan aku menjadi murid durhaka dan tercela?” bentak Linghu Chong.

“Tidak, tidak,” jawab Lu Dayou sambil berhenti membaca. “Mengapa kau sebut dirimu durhaka dan tercela?”

“Di Tebing Perenungan beberapa waktu yang lalu Guru sudah berniat mengajarkan ilmu Kabut Lembayung Senja kepadaku,” jawab Linghu Chong dengan nafas terengah-engah. “Tapi, karena aku dinilai salah mengambil jalan, maka niat tersebut dibatalkan. Guru tidak jadi mengajarkan ilmu itu kepadaku.”

“Tapi, untuk kali ini tujuannya lain, bukan?” ujar Lu Dayou. “Ini bukan mencuri pelajaran, tapi hanya untuk menyembuhkan sakitmu dan menyelamatkan nyawamu.”

“Sebagai seorang murid, apakah nyawa sendiri lebih berharga daripada perintah guru?” balas Linghu Chong.

“Tapi, Guru dan Ibu Guru juga ingin kau sembuh. Ini adalah urusan yang paling penting,” jawab Lu Dayou. “Apalagi... apalagi Adik Kecil sudah berlari jarak jauh di tengah malam hanya untuk mengantarkan kitab ini. Apa kau tega menyia-nyiakan pengorbanannya?”

Linghu Chong merasa sangat terharu namun berusaha keras menahan air mata agar jangan sampai meleleh keluar. Segera ia berpaling sambil menjawab, “Justru itu... sebagai laki-laki sejati apa pantas aku menerima belas kasihan orang lain?”

Usai berkata demikian, tubuhnya pun gemetar dan dalam benaknya terlintas pikiran, “Selama ini aku tidak pernah memegang teguh peraturan. Demi menyelamatkan nyawaku, apa susahnya bagiku untuk memelajari ilmu tertinggi dari perguruan sendiri? Jika dipikir lagi, sesungguhnya aku menolak belajar ilmu Kabut Lembayung Senja adalah karena rasa cemburu terhadap Adik Kecil. Jauh di lubuk hatiku, aku merasa iri melihat perlakuan Adik Kecil terhadap Adik Lin yang penuh perhatian, sedangkan kepadaku begitu dingin. Linghu Chong, Linghu Chong, mengapa kau begitu picik?”

Meskipun demikian, ketika ia berpikir bahwa dalam perjalanan menuju Gunung Songshan pasti Yue Lingshan dan Lin Pingzhi akan berjalan berdampingan sambil mengobrol dan bernyanyi bersama, mau tidak mau membuat air matanya mengalir di pipi.

“Kakak Pertama,” sahut Lu Dayou. “Sejak kecil kau dibesarkan bersama Adik Kecil. Kalian berdua bagaikan... bagaikan saudara kandung.”

Linghu Chong semakin gusar. Dalam hati berkata, “Aku tidak sudi menjadi saudara kandung dengannya.”

Tiba-tiba Lu Dayou kembali membaca lanjutan kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja, “Kakak Pertama, aku akan melanjutkan membaca. Dengarkan baik-baik. Jika kau tidak mampu menghafal, maka aku akan mengulangi beberapa kali. Semua bentuk ilmu silat menggunakan tenaga dalam sebagai dasar. Betapa banyak jumlah tenaga dalam adalah karunia dari Langit…”

“Hentikan!” bentak Linghu Chong dengan suara keras.

Lu Dayou menjawab, “Baiklah, baiklah, Kakak Pertama. Demi kesembuhanmu aku terpaksa melawan dan membantah dirimu. Aku pun berani melanggar larangan perguruan. Kau sama sekali tidak bersalah. Kau tidak ingin mendengarkan, tapi aku tetap memaksamu untuk mendengarkannya. Aku yang memaksa untuk tetap membaca. Bahkan, kau sama sekali tidak pernah menyentuh kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja ini. Kau sama sekali tidak pernah melihat satu huruf sekalipun dalam kitab ini. Jadi, apa ini kesalahanmu? Kau hanya terbaring lemah di atas ranjang. Akulah yang memaksamu untuk mempelajari kitab ini. Jika Guru sampai menghukum, biar aku, Lu Dayou, yang menanggungnya sendiri. Nah, sekarang dengarkanlah, aku akan mengulanginya lagi. Semua bentuk ilmu silat menggunakan tenaga dalam sebagai dasar. Betapa banyak jumlah tenaga dalam adalah karunia dari Langit…”

Linghu Chong berusaha mengabaikan suara Lu Dayou, namun kata demi kata tetap saja meluncur masuk ke dalam telinganya. Ia berusaha memberontak dan merintih keras.

Mendengar itu Lu Dayou pun bertanya, “Kakak Pertama, apa kau baik-baik saja?”

“Tolong... tolong kau ganjal bantalku supaya sedikit lebih tinggi,” pinta Linghu Chong.

“Baik,” jawab Lu Dayou tanpa curiga sedikit pun sambil melangkah mendekati ranjang dan memegang bantal yang dimaksud tersebut.

Tidak disangka-sangka Linghu Chong mengerahkan segenap tenaga dan menotok tepat di titik Tan-Zhong pada dada Lu Dayou. Seketika Lu Dayou pun roboh terkulai di atas ranjang tanpa suara sedikit pun.

“Maaf, Adik Keenam,” kata Linghu Chong sambil tersenyum hambar. “Kau berbaring di sini saja. Beberapa jam lagi totokan pada tubuhmu akan terbuka sendiri.”

Perlahan-lahan Linghu Chong berusaha bangun dari ranjang. Sekilas ia memandang kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja kemudian menghela nafas dan berjalan menuju ke arah pintu. Tangannya meraih sebatang kayu yang dipakai untuk mengunci pintu sebagai tongkat penyangga tubuh.

“Kakak Pertama, kau… kau mau ke mana?” tanya Lu Dayou dengan nada khawatir. Pada umumnya apabila seseorang terkena totokan pada titik Tan-Zhong maka ia akan lumpuh tidak dapat bergerak ataupun bersuara. Namun karena tenaga Linghu Chong sangat lemah, maka ia hanya bisa membuat Lu Dayou tidak bisa menggerakkan tangan dan kaki, namun masih bisa berbicara.

Linghu Chong menoleh dan menjawab, “Adik Keenam, terpaksa aku harus pergi jauh. Makin jauh aku meninggalkan kitab rahasia ilmu Kabut Lembayung Senja semakin baik. Sebentar lagi aku akan mati. Aku tidak mau orang lain menemukan mayatku di samping kitab itu. Aku tidak mau orang lain menuduhku mati setelah mencuri ilmu tanpa izin. Aku tidak mau dipandang rendah oleh Adik Lin.” Usai berkata demikian dada Linghu Chong kembali bergolak dan ia pun muntah darah.

Khawatir tenaganya akan segera habis, Linghu Chong pun memaksakan diri untuk melangkah pergi tanpa menunda-nunda lagi. Sambil menghirup nafas dalam-dalam, ia melangkah maju dengan bantuan batang kayu pengunci pintu sebagai tongkat penyangga tubuh. Perlahan-lahan ia berjalan tertatih-tatih sampai tubuhnya lenyap ditelan kegelapan malam.

Dalam setiap seratus langkah, Linghu Chong beristirahat dan bersandar pada tongkatnya untuk menghirup nafas. Setelah berjalan sejauh hampir satu Li matanya terasa berkunang-kunang. Kepalanya pusing dan pandangannya kabur. Bumi dan langit terasa berputar-putar. Badannya terasa semakin lemah dan hampir saja ia terbanting jatuh.

Tiba-tiba dari arah semak-semak terdengar suara seorang pria merintih kesakitan. Linghu Chong pun bertanya, “Siapa itu?”

Orang itu pun menjawab, “Apakah di situ Saudara Linghu? Ini aku, Tian Boguang. Aduh!”

Linghu Chong terkejut dan bertanya lagi, “Hei, ternyata Saudara... Saudara Tian. Ada apa... ada apa denganmu?”

“Aku sekarat... aku hampir mati,” jawab Tian Boguang. “Tolong aku, Saudara Linghu! Tolong kau bunuh aku dengan pedangmu daripada... daripada aku menderita kesakitan.” Meskipun ia merintih kesakitan namun suaranya terdengar jelas dan lantang.

“Apa... apa kau terluka?” tanya Linghu Chong. Kakinya terasa semakin lemas sehingga tak kuat lagi berdiri dan terbanting roboh.

Mengetahui itu Tian Boguang terkejut pula, “Hei apa kau juga terluka? Siapa... siapa yang melukaimu? Aduh….”

“Panjang ceritanya,” jawab Linghu Chong lemah. “Saudara Tian, kau sendiri... kau sendiri dilukai siapa?”

“Aku... aku tidak tahu,” kata Tian Boguang.

“Bagaimana bisa?” desak Linghu Chong.

“Setelah aku turun dari puncak Huashan beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba aku disergap oleh beberapa orang. Mereka menangkap kedua tangan dan kedua kakiku, lalu mengangkat tubuhku ke atas. Tenaga mereka begitu besar. Aku tidak tahu... aku tidak tahu siapa mereka....”

“Oh, ternyata Enam Dewa Lembah Persik,” ujar Linghu Chong dengan tertawa. “Saudara Tian, bukankah kau satu komplotan dengan mereka?”

“Apa maksudmu?” sahut Tian Boguang heran.

“Mereka... mereka juga memintaku menemui Adik Yilin,” jawab Linghu Chong dengan nafas terengah-engah.

Tian Boguang merangkak keluar dari semak-semak. Ia menggeleng dan menggerutu kesal, “Keparat! Aku tidak ada hubungannya dengan mereka. Mereka bilang datang ke Gunung Huashan untuk mencari seseorang. Mereka bertanya di mana bisa menemukan orang itu. Aku pun bertanya siapa yang mereka cari. Tapi mereka marah-marah dan mengatakan kalau aku ini seorang tawanan, jadi tidak berhak bertanya. Jika aku mampu menangkap mereka barulah aku boleh bertanya. Kata mereka... jika aku berani boleh mencoba menangkap mereka. Jika aku bisa menangkap mereka, baru aku boleh bertanya sedangkan mereka tidak boleh bertanya. Aduh... Jika aku punya kekuatan, maka aku boleh menangkap dan mengangkat mereka, dan setelah itu ganti aku yang boleh bertanya….”

Linghu Chong tertawa terbahak-bahak. Tapi nafasnya langsung sesak dan dadanya terasa sakit.

Tian Boguang kembali bercerita, “Saat itu tubuhku terangkat ke atas dengan wajah menghadap ke bawah. Biarpun memiliki kepandaian setinggi langit juga tidak mampu melepaskan diri dari cengkeraman mereka, apalagi mau menangkap mereka sekaligus. Bagaimana bisa? Huh, ucapan mereka benar-benar seperti tahi kuda!”

“Selanjutnya bagaimana?” tanya Linghu Chong sambil tersenyum.

“Aku berkata pada mereka bahwa aku tidak ingin bertanya apa-apa. Aku pun meronta, ‘Lepaskan! Lepaskan aku!’ Namun salah satu di antara mereka berkata, ‘Kami sudah menangkapmu. Jika kami tidak merobekmu menjadi empat potong, tentu nama besar kami akan jatuh.’

Seseorang lagi berseru, ‘Sesudah dirobek menjadi empat potong, coba lihat apa dia masih bisa berbicara atau tidak?’” Sampai di sini Tian Boguang berhenti dan mengambil nafas.

Linghu Chong menyela, “Saudara Tian, mereka memang suka mengoceh sembarangan dan berdebat untuk urusan yang tidak perlu. Jalan pikiran mereka pun konyol.”

“Huh, persetan dengan mereka!” maki Tian Boguang kemudian melanjutkan cerita, “Salah satu dari mereka berkata, ‘Kita berenam sudah merobek ratusan orang. Memangnya pernah kau dengar ada orang yang sudah robek menjadi empat potong masih bisa bicara?’

Yang tadi menjawab, ‘Mengapa ada orang yang sudah terpotong menjadi empat tidak bisa bicara adalah karena kita tidak bertanya kepadanya. Coba kalau kita bertanya, mana mungkin dia berani diam saja?’

‘Dia sudah terpotong menjadi empat, kenapa dia harus takut? Apa alasan baginya untuk takut? Memangnya kita akan membelah dia menjadi delapan?’ sahut yang lain.

Orang pertama bertanya, ‘Membelah orang menjadi delapan? Ini bukan ilmu yang mudah. Kita dulu menguasai ilmu ini tapi sekarang sudah lupa caranya.’”

Demikianlah Tian Boguang bercerita dengan terputus-putus namun ingatannya sungguh luar biasa dapat menceritakan semua percakapan konyol keenam orang aneh itu dengan lengkap meskipun dirinya sedang terluka cukup parah.

Linghu Chong menanggapi sambil menghela nafas, “Keenam bersaudara itu memang bersifat aneh dan langka. Mereka… mereka juga berbuat sesuatu kepadaku.”

Tian Boguang bertanya dalam keheranan, “Jadi, Saudara Linghu juga dilukai oleh mereka?”

“Begitulah kira-kira,” jawab Linghu Chong sambil kembali menghela nafas.

Tian Boguang melanjutkan, “Dalam keadaan masih terangkat di atas, terus terang aku merasa takut juga. Akhirnya aku pun berteriak, ‘Jika kalian membelah tubuhku menjadi empat potong, aku tidak akan bicara lagi. Meskipun lidahku masih bisa berbicara, hatiku tetap tidak ingin bicara.’

Salah satu dari mereka berkata, ‘Setelah kami membelah tubuhmu menjadi empat, maka lidahmu ada di satu bagian, dan hatimu ada di bagian lain yang terpisah. Mana mungkin antara lidah dan hati masih terjalin hubungan?’

Mendengar itu aku merasa tidak ada gunanya lagi berdebat dengan mereka. Maka, aku pun berteriak, ‘Jika kalian mau bertanya, segeralah kalian bertanya! Awas, sebentar lagi aku akan melepaskan gas beracun!’

Seseorang di antara mereka bertanya kepadaku, ‘Gas beracun apa?’

Aku menjawab, ‘Kentutku busuk bagaikan bangkai. Barangsiapa mencium bau kentutku, dijamin selama tiga hari tiga malam akan kehilangan selera makan. Bahkan, nasi yang kalian makan selama tiga hari sebelumnya akan tertumpah semua. Aku telah memperingatkan kalian semua. Persetan jika kalian terkena gas beracun dariku.’”

Linghu Chong tersenyum lemah, “Ucapanmu sepertinya jitu.”

“Memang,” kata Tian Boguang. “Begitu mendengar ucapanku tadi, mereka langsung menjerit ketakutan dan melepaskan diriku. Tubuhku terbanting di tanah begitu saja, dan aku pun melompat bangkit untuk berdiri. Kulihat keenam orang aneh itu berwajah buruk, dan masing-masing dari mereka memencet hidung untuk menghindari bau kentutku. Saudara Linghu, apakah keenam orang tua itu yang kau sebut Enam Dewa Lembah Persik?”

“Benar sekali,” jawab Linghu Chong. “Aih, sayang sekali aku tidak secerdas Saudara Tian. Sama sekali tidak terpikir olehku bahwa tipuan kentut beracun sangat ampuh. Tipu muslihat Saudara Tian sungguh tidak kalah hebat dibanding siasat kota kosong Zhuge Liang saat menakut-nakuti pasukan Sima Yi pada zaman Tiga Negara dulu.”

Tian Boguang memaki-maki sambil tertawa, kemudian melanjutkan cerita, “Aku sadar keenam orang itu berilmu tinggi. Ditambah lagi golokku tertinggal di puncak Huashan. Maka, aku pun berusaha melarikan diri. Tak kusangka keenam orang itu langsung menghadang di depanku dengan berjajar rapat bagaikan tembok keras sambil tangan mereka masih menutup hidung. Hahaha, tidak seorang pun dari mereka yang berani berdiri di belakangku. Aku pun segera memutar tubuh berbalik arah, namun gerakan keenam orang itu sungguh bagaikan siluman. Entah bagaimana tahu-tahu mereka sudah berdiri menghadang di depanku lagi. Berkali-kali aku memutar badan tetap saja mereka bisa menghadang di depanku. Aku pun mendapat akal, yaitu berjalan mundur menghindari mereka. Namun mereka tetap mengejarku dengan gerak maju selangkah demi selangkah, sampai akhirnya aku terdesak pada batuan gunung dan tidak bisa bergerak lagi. Keenam orang aneh itu bergelak tawa. Seseorang bertanya kepadaku, ‘Dia berada di mana?’

Aku balas bertanya, ‘Siapa yang kalian cari?’

Mereka serentak berkata, ‘Kau telah kami kepung. Kami yang bertanya padamu. Kau hanya boleh menjawab, tidak boleh bertanya.’

Seorang dari mereka berkata, ‘Jika kau bisa mengepung kami, maka kau berhak mengajukan pertanyaan kepada kami.’

Seorang lainnya menukas, ‘Dia hanya sendirian, mana mungkin bisa mengepung kita berenam?’

Yang pertama tadi menjawab, ‘Bisa saja. Jika kepandaiannya sangat tinggi, dia bisa mengalahkan kita.’

Yang kedua menjawab, ‘Itu namanya dia mengalahkan kita, bukan mengepung kita.’

Yang pertama berkata, ‘Tapi, bisa saja dia menggiring kita masuk ke dalam gua, kemudian menutup mulut gua dengan batu besar sehingga kita terkurung di dalamnya. Bukankah itu artinya dia mengepung kita?’

Yang kedua menjawab, ‘Tetap tidak sama! Itu namanya terkurung, bukan terkepung.’

Yang pertama tetap tidak mau kalah dan berkata, ‘Bisa saja dia memeluk kita menjadi satu. Itu namanya dia bisa mengepung kita.’

Yang kedua berkata, ‘Tidak mungkin! Pertama, di dunia ini mana ada orang yang memiliki lengan panjang sehingga bisa memeluk kita berenam? Kedua, andaikan ada jenis manusia berlengan panjang, maka orang ini tidak termasuk golongan itu. Ketiga, andaikan orang ini berlengan panjang, tetap saja itu bukan mengepung, tapi memeluk.’

Yang pertama mengerutkan dahi untuk melanjutkan perdebatan. Ia tidak mau mengakui kekalahan dan tetap berpikir keras untuk beberapa waktu. Akhirnya ia pun tertawa dan berkata, ‘Aha, aku tahu! Jika dia kentut terus-menerus sehingga kita tidak bisa lari dan menghindar, bukankah itu berarti dia bisa mengepung kita?’

Serentak keempat orang lainnya yang tidak ikut berdebat bertepuk tangan dan berseru, ‘Betul sekali! Orang ini bisa mengepung kita dengan kentut.’

Mendengar itu segera terpikir olehku bahwa mereka benar-benar takut pada kentut. Maka aku pun bersiap lari sambil mengancam, ‘Aku akan mengepung kalian sekarang!’

Tadinya aku mengira bahwa mereka tidak akan berani mengejarku. Namun, siapa sangka gerakan keenam orang tua itu sungguh cepat. Baru beberapa langkah aku mencoba kabur, tahu-tahu sudah dibekuk lagi oleh mereka. Tanpa ampun aku didorong supaya duduk di atas sebongkah batu. Tubuhku ditekan oleh mereka kuat-kuat. Sedemikian kuatnya mereka mendudukkan tubuhku di atas batu sehingga sekalipun aku bisa kentut juga tidak akan menimbulkan bau yang busuk.”

Mendengar itu Linghu Chong tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi setelah itu ia merasa darah di rongga dadanya kembali bergolak sehingga membuatnya berhenti tertawa seketika.

Tian Boguang melanjutkan ceritanya, “Setelah aku didudukkan dengan paksa di atas batu, salah seorang dari mereka bertanya, ‘Dari mana datangnya kentut?’

Salah satunya lagi menjawab, ‘Dari perut melalui usus besar dan keluar melalui lubang pantat. Itu berarti melalui kita sebaiknya menotok titik Shang-Yang, He-Gu, Qu-Chi, dan Ying-Xiang.’

Usai berkata demikian ia langsung menotok sekaligus keempat titik tersebut dengan gerakan sederhana. Belum pernah aku melihat ilmu menotok yang sangat cepat dan jitu seperti ini. Sungguh membuatku sangat kagum. Setelah itu mereka berenam sama-sama menghela nafas lega, kemudian berkata, ‘Tukang kentut sialan ini sudah tidak mampu kentut lagi.’

Orang yang menotok diriku menyahut, ‘Hei, di mana orang itu? Jika kau tetap tidak mau mengatakannya, maka aku tidak akan membuka totokan ini supaya selamanya kau tidak bisa kentut. Coba bayangkan, perutmu akan kembung sampai mati.’

Dalam hati aku menduga kedatangan enam orang aneh berilmu tinggi tersebut ke Huashan sini tentu mencari seorang yang berilmu tinggi pula. Aku yakin keenam orang itu tidak mencari guru dan ibu-gurumu karena mereka berdua sedang tidak berada di Gunung Huashan. Sekalipun Beliau berdua berada di sini, tentu keenam orang itu bisa menemukan dengan mudah di Gedung Kebajikan. Akhirnya aku menarik kesimpulan bahwa orang yang sedang mereka cari pasti tokoh sakti lainnya yang sulit ditemukan, yaitu paman dari gurumu, yaitu Sesepuh Feng Qingyang.”

Mendengar itu jantung Linghu Chong berdebar kencang. Ia pun bertanya, “Apakah kau beri tahukan kepada mereka?”

Tian Boguang terlihat gusar dan menjawab, “Huh, kau pikir Tian Boguang ini manusia macam apa? Aku telah berjanji padamu bahwa aku tidak akan membocorkan di mana keberadaan Sesepuh Feng. Apa kau kira bajingan seperti aku tidak bisa memegang janji?”

“Maafkan aku, maafkan aku salah bicara! Mohon Saudara Tian jangan tersinggung,” ujar Linghu Chong.

“Jika kau berani menghina lagi, putus sudah hubungan kita,” kata Tian Boguang. “Untuk selanjutnya jangan pernah lagi menganggapku sebagai sahabat!”

Linghu Chong terdiam dan berpikir, “Huh, siapa pula yang menganggapmu sahabat? Kau ini maling cabul yang sangat kejam. Dunia persilatan membencimu. Hanya saja kau beberapa kali tidak mau membunuhku. Anggap saja aku sedang berhutang budi.”

Dalam kegelapan Tian Boguang tidak dapat melihat raut muka Linghu Chong. Karena yang diajak bicara hanya terdiam, ia pun melanjutkan ceritanya, “Keenam siluman itu terus saja mendesakku. Aku sangat kesal dan berteriak keras, ‘Aku tahu di mana orang itu berada, tapi aku tidak sudi mengatakannya kepada kalian. Sedemikian banyaknya puncak di Huashan ini, jika aku tidak mau bicara, maka selamanya aku tetap tidak mau bicara.’

Keenam orang itu menjadi gusar. Mereka pun menyiksa dan menganiaya diriku, namun aku tetap bertahan. Aduh... Saudara Linghu, ilmu silat mereka sungguh tinggi dan aneh. Sebaiknya lekas kau beri tahu Sesepuh Feng supaya Beliau bersiap siaga. Meskipun ilmu pedang Beliau sangat hebat, namun lebih baik mempersiapkan diri daripada diserang tiba-tiba.”

Tian Boguang hanya menyebutkan bahwa keenam orang aneh itu telah menyiksa dan menganiaya dirinya, namun Linghu Chong dapat membayangkan tentu yang dilakukan adalah berbagai penyiksaan kejam sebagaimana luka dalam dan penderitaan yang kini ia rasakan. Padahal, Enam Dewa Lembah Persik mempunyai niat baik untuk mengobati luka pada tubuhnya, namun hasilnya justru penderitaan. Apalagi terhadap Tian Boguang yang ingin mereka paksa untuk mengatakan sesuatu, tentu cara yang mereka gunakan benar-benar kejam.

Menyadari hal itu Linghu Chong merasa sangat kasihan pada Tian Boguang dan ia pun berkata, “Saudara Tian benar-benar seorang laki-laki sejati yang memegang janji. Kau lebih memilih mati daripada membocorkan keberadaan Kakek Guru Feng. Namun sesungguhnya orang yang dicari oleh Enam Dewa Lembah Persik adalah aku, bukan Kakek Guru Feng.”

Tian Boguang gemetar dan bertanya dengan nada terkejut, “Apa? Mereka mencarimu? Ada urusan apa mereka mencarimu?”

Linghu Chong menjawab, “Tujuan mereka sama denganmu. Mereka disuruh Adik Yilin untuk membawaku kepadanya.”

Tian Boguang tersentak kaget. Mulutnya menganga lebar namun tidak berbicara sama sekali, kecuali merintih kesakitan. Selang agak lama baruah ia berkata, “Andai saja aku tahu kalau yang dicari mereka adalah dirimu, tentu aku akan mengatakannya. Kemudian mereka bisa menangkapmu dan aku tinggal ikut di belakang saja. Dengan demikian aku tidak perlu mati keracunan di sini.... Eh, aneh juga, jika kau berhasil ditangkap dan disiksa oleh mereka, kenapa kau tidak dibawa menemui biksuni cilik itu?”

Linghu Chong menghela napas dan berkata, “Terlalu panjang ceritanya. Saudara Tian, kau bilang akan mati keracunan di sini, apa maksudmu?”

“Bukankah aku pernah mengatakannya kepadamu, bahwa ada seseorang yang menotok titik kematian dan meracuni tubuhku?” sahut Tian Boguang. “Dengan cara itu dia dapat menyuruhku untuk membawamu menemui biksuni cilik dalam sebulan ini. Jika tugas ini dapat kulaksanakan maka aku akan mendapatkan obat penawar darinya. Namun, ternyata aku tidak mampu mengajakmu menemui biksuni cilik, bahkan aku juga kalah bertarung melawanmu. Lebih sial lagi, aku bertemu dan disiksa oleh keenam siluman itu. Kalau dihitung-hitung, racun itu akan kambuh dalam sepuluh hari lagi.”

Linghu Chong menyahut, “Kalau begitu di mana Adik Yilin berada? Kalau kita berangkat sekarang apa masih mencukupi waktunya?”

Tian Boguang sangat gembira. Ia bertanya, “Apa kau mau pergi bersamaku?”

Linghu Chong menjawab, “Sudah beberapa kali kau mengampuni jiwaku. Meskipun tingkah lakumu buruk, namun aku tidak akan membiarkanmu mati mengenaskan terkena racun. Sebelum ini kau memaksaku dengan kekerasan, sudah tentu aku tidak sudi menurutinya. Tapi kini keadaannya sudah berbeda. Aku sendiri juga sudah berubah pikiran.”

Tian Boguang berkata, “Saat ini biksuni cilik berada di daerah Shanxi. Aih... kalau kita dalam keadaan sehat tentu bisa sampai di sana dalam waktu enam atau tujuh hari dengan mengendarai kuda. Tapi, kalau kita seperti ini, lebih baik lupakan saja.”

“Aku sedang menunggu ajal di Gunung Huashan sini. Jadi, apa salahnya kalau aku sekarang ikut bersamamu?” tanya Linghu Chong. “Siapa tahu Langit memberkati kita dan tiba-tiba kita menemukan kereta bagus dan kuda cepat di bawah gunung. Lalu dalam waktu kurang dari sepuluh hari kita sudah sampai di Shanxi.”

Tian Boguang tertawa, “Hahahaha. Selama hidup aku sudah berbuat kejahatan tak terhitung banyaknya terhadap orang-orang tak berdosa. Mana mungkin Langit sudi memberkati aku? Kecuali para dewa sudah buta.”

“Barangsiapa yang bertobat tentu mendapat ampunan,” kata Linghu Chong. “Pada akhirnya semua orang juga mati. Tiada salahnya kita mencoba.”

“Benar juga! Apa bedanya mati di atas gunung atau mati di tengah jalan?” seru Tian Boguang sambil bertepuk tangan. “Aku rasa yang paling penting kita harus turun gunung dahulu untuk mencari makanan enak. Sejak keadaanku menjadi seperti ini, yang bisa kumakan hanyalah biji-bijian mentah di semak-semak. Aku benar-benar merindukan makanan matang. Apa kau sanggup berdiri, Saudara Linghu? Mari kubantu.”

Tian Boguang mengulurkan tangan padahal ia sendiri tidak bisa bangun. Linghu Chong berusaha mengulurkan tangannya pula namun sedikit pun ia tidak mempunyai tenaga. Keduanya saling berusaha keras namun sama-sama tak berdaya. Semakin mengerahkan tenaga justru semakin lemas. Akhirnya, mereka pun tertawa terbahak-bahak.

“Seumur hidup aku malang melintang di dunia persilatan tanpa teman, tanpa kawan. Sekarang ini bisa mati bersama Saudara Linghu sungguh menyenangkan juga,” kata Tian Boguang.

Linghu Chong menanggapi sambil tertawa, “Kelak jika guruku menemukan mayat kita berdua, tentu Beliau berpikir kita bertempur mati-matian hingga akhirnya gugur bersama. Siapa sangka sebelum ajal kita malah mempererat persaudaraan.”

“Saudara Linghu, mari kita berjabat tangan sebelum mati bersama,” ujar Tian Boguang sambil tetap mengulurkan sebelah tangannya.

Linghu Chong terdiam ragu-ragu melihat Tian Boguang yang sungguh-sungguh ingin menjalin persaudaraan sebelum ajal tiba. Bagaimanapun juga Tian Boguang seorang penjahat besar di dunia persilatan, sedangkan ia sendiri berasal dari perguruan ternama. Mana mungkin ia menerima ajakan persaudaraan Tian Boguang? Memang Tian Boguang beberapa kali mengampuni nyawanya saat bertanding kala itu. Namun untuk menjalin persahabatan dengan penjahat tersebut membuat Linghu Chong merasa ragu-ragu. Kebimbangan itulah yang membuat Linghu Chong mengulurkan tangannya namun terhenti di tengah jalan.

Melihat itu Tian Boguang hanya berpikir bahwa linghu Chong sudah kehabisan tenaga untuk menyambut uluran tangannya. Ia pun berkata dengan suara keras, “Saudara Linghu, aku telah menganggapmu sebagai saudara. Meskipun kita tidak lahir bersamaan, tapi kita bisa mati pada hari yang sama. Jika kau mati lebih dulu karena lukamu yang parah, maka aku pun bersumpah tidak ingin hidup sendirian lagi.”

Linghu Chong tertegun mendengar ucapan Tian Boguang yang sepertinya benar-benar tulus. Tanpa ragu lagi ia pun mengulurkan tangannya meraih tangan Tian Boguang dan tertawa, “Hahahaha. Saudara Tian, kita mati bersama. Kita tidak akan kesepian di alam sana.”

Belum tuntas pemuda itu berbicara, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki mendengus dan kemudian berkata, “Huh, murid pertama Perguruan Huashan dari Kelompok Tenaga Dalam ternyata sedemikian sesatnya, sampai-sampai mau bersahabat dengan seorang maling cabul.”

“Siapa kau?” bentak Tian Boguang.

Linghu Chong menggerutu di dalam hati, “Aku tidak takut mati sekarang karena luka-lukaku yang parah ini. Tapi kalau aku mati dengan mencemarkan nama baik Guru, ini sungguh mengerikan.”

Dalam kegelapan samar-samar terlihat seorang laki-laki berdiri tegap sambil menghunus pedang yang berkilauan di bawah cahaya bintang.

Orang itu berkata, “Linghu Chong, saat ini kau masih punya kesempatan untuk menarik kata-katamu tadi. Ambil pedangku ini dan gunakan untuk membunuh maling cabul itu. Dengan demikian, tentu nama baikmu tidak akan tercemar dan tidak akan ada seorang pun yang menyalahkanmu.” Usai berkata demikian ia langsung melemparkan pedangnya dan segera menancap di atas tanah.

Dari bentuk pedang tersebut Linghu Chong dapat mengenalinya sebagai senjata Perguruan Songshan. Maka ia pun bertanya, “Siapakah Tuan dari Perguruan Songshan yang terhormat ini?”

“Hm, tajam juga penglihatanmu. Namaku Di Xiu dari Perguruan Songshan,” jawab orang itu.

“Oh, ternyata Kakak Di. Selama ini kita jarang bertemu sehingga kurang mengenal satu sama lain,” sahut Linghu Chong. “Entah ada keperluan apa kiranya kau datang berkunjung ke Gunung Huashan sini?”

Di Xiu menjawab, “Aku ditugasi Paman Ketua untuk memeriksa keadaan di sini. Kami ingin tahu apa benar berita yang kami terima bahwa murid Perguruan Huashan suka melakukan perbuatan yang kurang baik. Tak kusangka, hehe, begitu sampai di sini aku langsung melihat dan mendengar ucapanmu yang tulus dan sungguh-sungguh untuk menjalin persahabatan dengan maling cabul ini.”

Mendengar itu Tian Boguang pun memaki, “Kau bangsat keparat! Kau kira Perguruan Songshan lebih baik dariku? Mengapa kau tidak bercermin dulu sebelum menunjuk hidung orang lain?”

Di Xiu langsung maju dan menendang kepala Tian Boguang sambil memaki, “Anjing! Sebentar lagi mampus masih berani mengumbar mulut, hah?” Meskipun demikian, Tian Boguang justru semakin gencar memaki dengan kata-kata kotor dan kasar. Kalau saja Di Xiu mau membunuh Tian Boguang tentu sangat mudah baginya. Hanya saja ia memang ingin menghina Linghu Chong terlebih dulu.

“Linghu Chong, kau telah mengikat persahabatan dengan maling cabul ini. Tentu kau tidak akan membunuh dia, bukan?” demikian ia bertanya.

Linghu Chong menjadi gusar dan membentak, “Aku membunuhnya atau tidak apa pedulimu? Jika kau benar-benar berani, maka kau boleh membunuh aku lebih dulu. Kalau takut kau boleh enyah dari Gunung Huashan sekarang juga.”

“Jadi, kau memang tidak mau membunuhnya? Itu berarti sudah jelas kau mengakui penjahat cabul ini sebagai sahabatmu, begitu?” desak Di Xiu menegaskan.

“Apa urusanmu aku berteman dengan siapa?” sahut Linghu Chong. “Terserah diriku bersahabat dengan siapa pun daripada berteman denganmu.”

“Hahahaha. Bagus sekali, bagus sekali!” sorak Tian Boguang dengan tertawa.

“Huh, jangan harap kau bisa memancing kemarahanku sehingga membunuh kalian sekarang juga. Di dunia ini mana ada urusan semudah itu?” kata Di Xiu. “Aku justru ingin menelanjangi kalian berdua dan kuikat menjadi satu, serta kutotok titik bisu kalian. Kemudian aku akan mempertontonkan kalian berdua di depan umum. Akan kukatakan pada semua orang di dunia persilatan bahwa aku telah menangkap basah pasangan mesum yang sedang berbuat cabul. Hahaha, gurumu Yue Buqun yang sok suci, sok bersih, sok berbudi, entah bagaimana dia menyembunyikan wajah setelah menyaksikan pertunjukan kalian berdua? Apa setelah itu dia masih berani memakai julukan si Pedang Budiman atau tidak?”

Ucapan ini membuat kemarahan Linghu Chong meledak dan mebuatnya kehilangan kesadaran.

Di sisi lain Tian Boguang memaki, “Bangsat, kepa....” Belum habis ucapannya tahu-tahu pinggangnya terkena tendangan Di Xiu.

Di Xiu tertawa menyeringai, kemudian mendekati Linghu Chong dan berniat melucuti pakaian pemuda itu. Tiba-tiba terdengar suara lembut seorang perempuan menyapa di belakangnya, “Hei, apa yang sedang dilakukan Kakak ini?”

Di Xiu terkejut dan langsung menoleh. Samar-samar ia dapat melihat seorang perempuan yang tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Ia pun balas bertanya, “Kau sendiri ada urusan apa?”

Tian Boguang luar biasa gembira karena mengenali suara perempuan itu yang tidak lain adalah suara Yilin. “Biksuni cilik... ternyata kau datang sendiri. Sungguh suatu kebetulan. Bangsat ini... bangsat ini hendak membunuh Kakak Linghu-mu.” Tadinya ia hendak berkata, “Bajingan ini hendak membunuhku.” Namun, karena berpikir Yilin tidak peduli kepadanya, maka ia pun segera menggantinya menjadi “Kakak Linghu-mu”.

Maka begitu mendengar keterangan tersebut, Yilin langsung merasa khawatir. Tanpa membuang-buang waktu ia pun maju ke depan sambil bertanya, “Apa benar... apa benar ini Kakak Linghu?”

Menyadari Yilin begitu polos tanpa berusaha melindungi diri, Di Xiu pun mengulurkan tangan berusaha menotok titik nadi biksuni itu. Namun belum sempat ujung jarinya menyentuh kain baju Yilin, tiba-tiba saja ia merasa seseorang telah mencengkeram kain bajunya di bagian tengkuk. Menyusul kemudian tubuh laki-laki itu terangkat setinggi beberapa kaki dari permukaan tanah.

Dalam keadaan bingung, Di Xiu meronta-ronta namun orang yang mengangkat tubuhnya itu ternyata memiliki tenaga yang sangat kuat. Ia mencoba menyerang ke belakang menggunakan siku kanan namun hanya mengenai tempat kosong. Menyusul kemudian kaki kirinya menendang ke belakang namun sia-sia. Tangannya berusaha meraba ke belakang namun orang itu balas mencekik lehernya dengan menggunakan tangan yang berukuran sangat besar. Seketika, Di Xiu merasa sesak nafas dan kehilangan daya perlawanan.

Sementara itu Linghu Chong perlahan-lahan siuman dari pingsan. Samar-samar ia mendengar suara seorang gadis memanggil dengan nada khawatir, “Kakak Linghu, Kakak Linghu!”

Begitu membuka mata ia melihat wajah Yilin yang putih dan cantik diterangi cahaya bintang, tepat berada di hadapannya.

Tiba-tiba terdengar pula suara seorang pria yang sangat keras bertanya, “Hei, Lin’er, apa bocah kurus kering penyakitan ini yang bernama Linghu Chong, yang sering kau ceritakan itu?”

Linghu Chong menoleh ke arah suara dan melihat seorang biksu bertubuh tinggi dan gemuk yang berdiri tegak bagaikan menara raksasa. Ukuran tinggi biksu itu kurang lebih tujuh kaki, dengan tangan kiri terpentang lurus ke samping sedang mencekik dan mengangkat leher Di Xiu. Sulit memastikan apakah murid Perguruan Songshan itu masih bernafas atau tidak.

Yilin menyahut, “Ayah, dia ini memang yang bernama Kakak Linghu. Tapi, dia bukan penyakitan.” Sambil bicara demikian ia sama sekali tidak memalingkan pandangan sedetik pun dari wajah Linghu Chong, dengan tatapan penuh perhatian. Ingin sekali ia mengusap wajah pemuda itu namun tidak berani sama sekali.

Linghu Chong sendiri sangat heran mendengar Yilin memanggil biksu itu sebagai ayah. Dalam hati ia bertanya-tanya, “Kau ini seorang biksuni, bagaimana mungkin memanggil biksu besar itu sebagai ayah? Seorang biksu memiliki anak itu sudah aneh, apalagi anaknya juga menjadi biksuni. Sungguh bertambah aneh.”

Biksu bertubuh besar itu tertawa, “Hahahaha. Linghu Chong yang kau rindukan siang dan malam aku kira seorang pemuda gagah dan tampan, tak tahunya hanya seorang laki-laki kurus dan tidak becus melawan bajingan yang menyiksa dirinya. Huh, menggeletak seperti orang penyakitan! Tidak sudi aku punya menantu seperti dia. Lebih baik kita pulang saja, lupakan bocah ini!”

Yilin menjadi malu dan gugup. Ia berkata, “Siapa juga yang rindu padanya siang dan malam? Ayah memang suka omong kosong. Kalau mau pergi, silakan pergi sendiri! Kalau kau tidak mau... tidak mau....” ucapannya terhenti sampai di sini karena malu untuk menyebut “menantu laki-laki seperti dia.”

Linghu Chong sendiri tersinggung mendengar ucapan sang biksu tadi. Ia pun menyahut, “Kalau mau pergi silakan pergi saja. Memangnya siapa yang menahanmu di sini?”

Namun di sisi lain, Tian Boguang kelabakan dan berteriak, “Kau tidak boleh pergi! Kau tidak boleh pergi!”

Linghu Chong bertanya, “Mengapa dia tidak boleh pergi?”

“Biksu ini harus membuka totokan pada titik kematianku, juga harus menyerahkan obat penawar pada racun ganas yang ada di tubuhku. Kalau dia pergi, maka nyawaku akan melayang sia-sia,” jawab Tian Boguang.

Linghu Chong menukas, “Kenapa kau harus takut? Apa kau sudah lupa kalau kita akan mati bersama? Begitu racun dalam tubuhmu bekerja, maka aku akan langsung menggorok leherku ini.”

Mendengar itu biksu besar pun tertawa dengan suara menggelegar dan bergema di segenap pegunungan, “Hahahaha. Bagus sekali! Bagus sekali! Ternyata bocah ini berjiwa kesatria. Lin’er, aku cocok dengan sifatnya. Hanya saja, aku masih ingin tahu apakah dia suka minum arak atau tidak?”

Belum sempat Yilin menjawab, Linghu Chong sudah menukas, “Sudah tentu aku suka minum arak. Aku ini rakus arak, pagi minum, siang minum, malam minum, dalam tidur pun aku mimpi minum arak. Andai saja kau melihatku minum, pasti kau akan gemetar ketakutan, karena sebagai biksu pasti kau terikat banyak pantangan, tidak boleh minum arak, tidak boleh makan daging, tidak boleh membunuh orang, tidak boleh bohong, tidak boleh ini, tidak boleh itu, tidak boleh anu.”

Biksu besar itu berkata. “Lin’er, coba kau katakan padanya, siapa namaku!” Usai berkata demikian ia kembali tertawa menggelegar bagaikan halilintar.

Yilin tersenyum dan menjawab, “Kakak Linghu, ayahku ini bergelar Biksu Bujie. Artinya ialah ‘tidak berpantang’. Meskipun seorang biksu, namun Ayah tidak mau terikat semua pantangan dalam agama Buddha. Hendaknya kau jangan tertawa. Ayah tidak pantang makan daging, suka minum arak, bahkan membunuh dan mencuri juga bisa dilakukannya. Termasuk pula... termasuk pula mempunyai seorang anak seperti aku ini.” Biksuni muda itu tertawa geli dengan wajah merona merah.

Linghu Chong juga tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha. Biksu seperti ini yang aku suka. Menyenangkan!” Sambil berkata demikian ia mencoba berdiri dengan susah payah. Namun sedikit pun tidak ada tenaga.

Dengan cepat Yilin membantu memapah pemuda itu. Meskipun tubuhnya kecil, namun ia pernah belajar silat sehingga mengangkat tubuh Linghu Chong bukan urusan sulit.

Linghu Chong melanjutkan, “Paman Biksu, kalau seperti itu kegemaranmu, mengapa kau memakai jubah? Mengapa tidak menjadi orang awam saja?”

Biksu Bujie menjawab, “Aha, ada suatu hal yang perlu kau tahu. Karena aku punya sifat terbuka, maka akan kuceritakan kepadamu. Aku menjadi biksu adalah karena tertarik pada seorang biksuni cantik, sama seperti dirimu….”

“Ayah, kau bicara omong kosong lagi,” tukas Yilin menyela. Wajahnya berubah menjadi merah karena malu. Untungnya malam itu cukup gelap sehingga tidak seorang pun yang bisa melihatnya dengan jelas.

Biksu Bujie melanjutkan, “Laki-laki sejati selalu bertindak jujur dan terbuka. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Biarpun dimaki dan ditertawakan orang lain, peduli apa? Aku, Biksu Bujie, adalah laki-laki sejati yang selalu berkata benar. Apa pula yang harus kutakuti?”

“Betul sekali!” seru Linghu Chong dan Tian Boguang bersamaan.

Biksu Bujie gembira mendengar pujian mereka. Ia pun semakin bersemangat melanjutkan cerita. “Hehe, biksuni cantik yang kucintai itu, tentu saja ibunya.” Sambil berkata demikian ia menunjuk ke arah Yilin.

“Hm, ternyata orang tua Adik Yilin adalah pasangan biksu dan biksuni,” demikian pikir Linghu Chong.

“Sebelumnya aku ini seorang tukang jagal,” lanjut Bujie. “Aku mencintai ibunya, tapi ibunya tidak menghiraukan aku. Aku merasa tidak punya pilihan lagi sehingga memutuskan untuk menjadi biksu. Aku mengira dengan cara menjadi biksu maka aku dapat mendekatinya, karena menurutku kaum biksu dan biksuni bagaikan satu keluarga. Seorang biksuni tidak dapat mencintai tukang jagal, namun mungkin saja bisa mencintai biksu.”

“Huh, Ayah melantur lagi,” Yilin menukas. “Ayah ini sudah tua tapi masih juga bercerita seperti anak kecil.”

“Memangnya aku salah bicara?” sahut Bujie. Ia kemudian melanjutkan cerita, “Aku baru tahu kalau seorang biksu ternyata tidak boleh bergaul dengan wanita, termasuk dengan para biksuni. Usaha untuk mendekati ibunya jadi berantakan. Aku semakin sulit mendekati ibunya. Aku pun menyesal dan tidak mau menjadi biksu lagi. Namun guruku justru mengatakan bahwa sifatku yang buruk ini hanya bisa diredam jika aku tetap menjadi biksu. Beliau pun menolak keinginanku untuk kembali menjadi orang awam. Entah bagaimana sebabnya, ibunya justru bersimpati padaku. Dia jatuh hati pada kesungguhanku. Maka... maka kemudian lahirlah biksuni cilik ini. Nah, Linghu Chong, sekarang ini sudah jauh lebih bebas daripada zaman dahulu. Kalau kau menyukai seorang biksuni cilik seperti anakku ini, maka kau tidak perlu menjadi biksu seperti aku.”

Linghu Chong merasa serba salah. Ia pun berpikir, “Saat Adik Yilin jatuh ke tangan Tian Boguang, aku berjuang sekuat tenaga untuk membebaskannya. Ia seorang biksuni penganut agama Buddha dari Perguruan Henshan. Mana mungkin ia jatuh hati pada laki-laki awam seperti aku ini? Mungkin karena saat itu pertama kalinya ia bertemu laki-laki dewasa sehingga akhirnya nekad mengirim Tian Boguang dan Enam Dewa Lembah Persik untuk membawa diriku pergi kepadanya. Demi nama baik Perguaruan Huashan dan Henshan, maka aku harus menjauhi dia. Aku tidak mau jika aku mati nanti Guru dan Ibu Guru kecewa kepadaku, serta Adik Kecil memandang rendah kepadaku.”

Di sisi lain Yilin merasa sangat malu. Ia berkata, “Ayah jangan begitu. Kakak Linghu sudah punya pilihan sendiri. Mana mungkin dia sudi melirik perempuan lain? Mulai sekarang... Ayah jangan mengulangi lagi perkataan seperti tadi. Apa kau tidak malu jika nanti ditertawakan orang?”

“Apa? Bocah ini sudah punya pilihan lain? Kurang ajar!” bentak Bujie dengan nada marah. Biksu besar itu lantas mencengkeram dada Linghu Chong dengan tangan kanannya yang kekar. Linghu Chong sendiri tidak mampu melawan ataupun menghindar, sehingga kain bajunya di bagian dada dicengkeram oleh Bujie dan tubuhnya pun terangkat ke atas.

Dengan demikian biksu bertubuh besar itu sudah mengangkat dua orang sekaligus di kedua tangannya. Leher Di Xiu masih tetap dicengkeram menggunakan tangan kiri, sedangkan Linghu Chong diangkat menggunakan tangan kanan. Jika dilihat dari kejauhan, Biksu Bujie bagaikan sedang membawa dua keranjang dan pikulan. Sejak tadi Linghu Chong tidak memiliki daya untuk melawan, dan kini dalam keadaan melayang di udara, ia bagaikan beras terbungkus karung.

“Ayah, lepaskan Kakak Linghu!” seru Yilin. “Kalau tidak, aku akan marah sekarang!”

Sungguh aneh, begitu mendengar ancaman putrinya itu, Bujie terlihat ketakutan dan langsung menaruh Linghu Chong ke tanah. Namun demikian, mulutnya masih saja menggerutu, “Biksuni cantik mana lagi yang dia sukai? Sungguh kurang ajar!”

Bujie berkata demikian karena ia sendiri mencintai seorang biksuni. Jadi, wajar saja kalau ia menganggap wanita tercantik di dunia tentu berasal dari golongan biksuni.

Yilin menjawab pertanyaan ayahnya itu, “Gadis pilihan Kakak Linghu adalah adik seperguruannya sendiri, bernama Nona Yue Lingshan.”

Mendengar itu Bujie menggeram keras-keras sehingga telinga semua orang yang mendengarnya sampai terasa mendengung. “Nona bermarga Yue, katamu? Keparat! Jika dia bukan seorang biksuni, lantas apa yang menarik darinya sehingga bocah ini sampai terpikat? Lain kali jika bertemu dengannya tentu akan kucekik sampai mampus perempuan itu.”

Melihat sikap Bujie seperti itu Linghu Chong merasa gelisah. Ia berpikir, “Biksu Bujie ini ternyata seorang kasar dan bodoh seperti Enam Dewa Lembah Persik. Dia juga seorang yang sangat memegang ucapan. Sungguh berbahaya kalau dia sampai bertemu Adik Kecil.”

Sementara itu Yilin juga ikut resah. Ia pun berseru mengalihkan pembicaraan, “Ayah, Kakak Linghu ini sedang terluka parah. Lekas kau sembuhkan dia. Yang lain urusan nanti. Kita tidak punya banyak waktu.”

Biksu Bujie terlihat sangat penurut terhadap putrinya itu. “Betul sekali! Kita harus segera menyembuhkannya,” katanya sambil kemudian melemparkan tubuh Di Xiu ke belakang. Terdengar suara tubuh murid Songshan itu menggelinding masuk ke dalam semak-semak.

Bujie kemudian bertanya dengan suara keras kepada Linghu Chong, “Bagaimana kau bisa terluka?”

“Dadaku terkena pukulan orang, tapi rasanya tidak apa-apa....” jawab Linghu Chong.

Bujie yang kasar dan tidak sabaran segera menukas, “Dadamu terluka? Pasti urat nadi bagian dada yang rusak. Jalur Ren.”

“Enam Dewa....” lanjut Linghu Chong.

“Mana ada titik nadi pada Jalur Ren yang bernama Enam Dewa?” Bujie kembali menukas. “Ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan sangat buruk, pantas kalau kau begitu payah. Ada satu titik dalam berbagai titik nadi pada tubuh manusia yang disebut titik Lembah Terpadu, yang terletak pada saluran tangan ke ginjal, tepatnya di antara jempol dan jari telunjuk. Tapi untuk baiknya, biar kuobati terlebih dulu lukamu pada Jalur Ren.

“Bukan, bukan… maksudku Enam Lembah….” seru Linghu Chong.

“Apa maksudmu Enam Lembah?” tukas Biksu Bujie. “Di antara berbagai jenis titik nadi terdapat Tangan Tiga Li, Kaki Empat Li, Yin-Ling-Quan, dan Si-Kong-Zhu. Tapi di mana letak titik Enam Lembah? Sekarang lebih baik kau diam saja dan hentikan omong kosongmu itu.” Bicara sampai di sini tangan Bujie lalu bekerja menotok titik bisu pada tubuh Linghu Chong.

“Aku akan mengirimkan tenaga dalam tingkat tinggu pada Jalur Ren di tubuhmu, melalui titik Cheng-Jiang, Tian-Tu, Tan-Zhong, Jiu-Wei, Ju-Yue, Zhong-Wan, Qi-Hai, Shi-Men, Guan-Yuan, dan Zhong-Ji. Lukamu akan segera sembuh. Aku berani bertaruh dalam tujuh atau delapan hari kau akan kembali sehat dan segar bagai mentimun,” kata Bujie sambil mengulurkan kedua telapak tangannya yang lebar seperti kipas. Tangan yang kiri diletakkan di titik Cheng-Jiang pada dagu Linghu Chong, dan tangan kanan diletakkan di titik Zhong-Ji pada bagian bawah perut Linghu Chong.

Seketika hawa hangat menyusup masuk ke dalam tubuh Linghu Chong melalui kedua titik tersebut. Biksu Bujie terkejut begitu merasakan hawa murni yang ia salurkan berbenturan dengan enam arus tenaga milik Enam Dewa Lembah Persik. Hampir saja kedua tangan Bujie terlepas dari tubuh Linghu Chong, sehingga membuat biksu bertubuh besar itu berteriak kaget.

“Ada apa, Ayah?” tanya Yilin dengan perasaan cemas.

Bujie menjawab, “Di dalam tubuhnya ada beberapa arus tenaga yang aneh... Satu, dua, tiga, empat... Ada empat arus hawa murni. Eh, tidak, ada satu lagi. Jumlahnya ada lima.... Aha, ada satu lagi. Sialan, jadi seluruhnya ada enam arus. Baiklah, kita lihat siapa yang lebih kuat? Apakah enam arus tenaga dalam tubuh bocah ini, ataukah kedua arus tenaga milikku? Jangan-jangan ada lagi. Hahaha, ramai sekali! Sungguh menarik! Ayo, keluarlah kalian semua! Hm, ternyata cuma enam saja. Kau pikir Biksu Bujie takut pada kalian, hah?”

Kedua tangan Bujie menahan kedua titik nadi di dada dan punggung Linghu Chong erat-erat dan dari ubun-ubun biksu besar itu mengepul asap putih. Awalnya ia masih bisa bicara seenaknya. Namun, karena ia semakin banyak menghimpun dan menyalurkan tenaga, lama-lama mulutnya tidak lagi mampu membuka suara.

Waktu pun berlalu. Hari sudah mulai terang. Asap yang mengepul di kepala Bujie bertambah tebal. Akhirnya biksu besar itu mengangkat kedua tangannya sambil tertawa terbahak-bahak. Tapi mendadak ia jatuh terguling di atas tanah dan tawanya pun terhenti.

Yilin terkejut dan berseru, “Ayah... Ayah!” Biksuni muda itu mencoba memapah ayahnya bangun. Namun tubuh Bujie berat bagaikan kerbau. Baru saja terangkat bangun tahu-tahu sudah jatuh terduduk sehingga Yilin ikut tertarik jatuh.

Biksu Bujie tampak terengah-engah dengan pakaian basah kuyup oleh keringat. Mulutnya terus-menerus memaki, “Keparat! Sungguh keparat!”

Mendengar itu Yilin sedikit agak lega. Ia pun bertanya, “Ayah, Ayah tidak apa-apa?”

“Keparat!” seru Bujie dengan napas terengah-engah. “Di dalam tubuh... bocah ini... ada enam hawa murni yang sangat kuat. Tapi, tenaga dalam yang kukerahkan tadi sudah bisa menahannya ke bawah... Hehe, kau bisa tenang. Bocah ini takkan mati. Dia takkan mati, pasti takkan mati!”

Yilin sangat senang. Ketika menoleh dilihatnya Linghu Chong sudah bisa berdiri perlahan-lahan.

Melihat itu Tian Boguang tertawa, “Hahahaha. Tenaga dalam Biksu memang sangat hebat. Hanya sebentar saja sudah bisa menyembuhkan luka Saudara Linghu.”

Bujie merasa senang mendengar pujian itu. Ia pun menyahut, “Kejahatanmu ini sebenarnya sudah melampaui batas. Seharusnya dalam sekali remas aku bisa mencabut nyawamu. Tapi, mengingat kau sudah berjasa menemukan si bocah Linghu Chong, maka jiwamu kuampuni. Lekas, pergilah dari sini!”

Tian Boguang terlihat gusar dan memaki keras, “Biksu keparat! Ucapanmu benar-benar tidak bisa dipercaya. Kau sudah berjanji jika aku bisa menemukan Linghu Chong dalam satu bulan, maka kau akan membuka totokan pada titik mautku, serta memberikan obat penawar racun ganasmu kepadaku. Kenapa sekarang hendak kau ingkari? Kalau kau tidak menepati ucapanmu, maka kau ini memang seorang biksu busuk yang rendah melebihi binatang!”

Menghadapi cacian itu Bujie justru tertawa, “Hahahaha. Bocah ini rupanya takut mati. Kau takut Biksu Bujie ini tidak menepati janji, hah? Ini, kau ambil obat ini!”

Usai berkata demikian Bujie merogoh sakunya dan mengeluarkan sebotol obat yang diminta Tian Boguang. Karena tenaganya banyak terkuras habis, ia pun gemetar sehingga botol porselen kecil itu jatuh di atas pangkuannya. Dengan cepat Yilin memungut botol itu dan membuka sumbatnya.

“Berikan tiga biji kepadanya,” sahut Bujie. “Sekarang makan satu, tiga hari lagi makan satu, dan tiga hari berikutnya makan lagi satu. Jika selanjutnya kau mati dibunuh orang sudah bukan tenggung jawabku.”

Tian Boguang menerima tiga butir obat tersebut dari tangan Yilin sambil berkata, “Biksu besar, kau sudah memaksaku meminum racun, dan sekarang kau berikan obat penawar kepadaku. Sudah bagus aku tidak memaki dirimu. Jadi, kau tidak perlu mengharap aku berterima kasih kepadamu. Tapi, bagaimana dengan totokanmu pada titik mautku?”

“Totokan itu sudah terbuka dengan sendirinya setelah tujuh hari. Jika aku benar-benar menotok titik mautmu, memangnya kau masih bisa hidup sampai sekarang?” kata Bujie sambil tertawa terbahak-bahak.

Tian Boguang memang sudah merasakan kalau totokan pada tubuhnya sudah terbuka. Kini setelah mendengar penjelasan Bujie membuat hatinya merasa lega. Ia pun memaki sambil tersenyum, “Dasar kau biksu pembohong!” Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong dan berkata, “Saudara Linghu, aku paham tentu ada yang hendak kau bicarakan dengan biksuni cilik ini. Baiklah, untuk itu aku pergi saja. Sampai jumpa!” Bicara sampai di sini Tian Boguang pun merangkap tangan memberi hormat dan kemudian bersiap melangkah menyusuri jalanan menuju ke bawah.

“Tunggu dulu, Saudara Tian!” cegah Linghu Chong.

“Ada apa?” tanya Tian Boguang.

“Kau sudah beberapa kali sudi mengalah padaku. Bagiku, kau benar-benar seorang sahabat sejati,” ujar Linghu Chong. “Hanya saja, ada yang ingin kukatakan kepadamu. Kalau kau tidak mau mendengar saranku, maka lebih baik persahabatan kita putus sampai di sini.”

“Sudahlah, kau tidak perlu menjelaskan. Aku sudah paham maksudmu,” kata Tian Boguang sambil tertawa. “Kau ingin aku berhenti memerkosa lagi, bukan? Baiklah, aku menuruti permintaanmu. Aku akan berhenti memerkosa wanita baik-baik. Di dunia ini masih banyak pelacur yang bisa memuaskan nafsu birahiku. Hahahaha. Saudara Linghu, tentunya kau masih ingat pengalaman indah sewaktu di Wisma Kumala tempo hari, bukan?”

Mendengar nama rumah pelacuran itu disebut, wajah Linghu Chong dan Yilin langsung bersemu merah. Tian Boguang sendiri tertawa terbahak-bahak. Ia hendak melangkah pergi tapi tiba-tiba kakinya kembali lemas. Ia kemudian jatuh terguling-guling di tanah. Setelah berhenti ia pun menghimpun tenaga untuk duduk di tanah. Segera diambilnya sebutir obat penawar dan langsung ditelannya. Seketika perutnya terasa sakit pertanda obat itu sedang bekerja. Laki-laki itu kemudian duduk dengan badan lemas tanpa tenaga. Namun demikian, hatinya merasa gembira karena menyadari bahwa obat itu sedang bekerja membersihkan racun di dalam tubuhnya. Sedikit pun ia tidak mengeluh, melainkan menunggu dengan sabar.

Linghu Chong sendiri merasa sakitnya berkurang setelah mendapat bantuan Biksu Bujie tadi. Segala perasaan mual akibat hawa murni Enam Dewa Lembah Persik telah lenyap semua. Ia merasa tenaganya terkumpul untuk bangkit dan berjalan. Dengan sangat gembira Linghu Chong pun melangkah maju dan memberi hormat sambil membungkuk, “Terima kasih banyak atas pertolongan Mahabiksu tadi, yang telah menyelamatkan nyawa saya.”

“Tidak perlu berterima kasih,” jawab Bujie sambil bergelak tawa. “Sekarang kita sudah menjadi keluarga. Kau adalah menantuku, dan aku adalah mertuamu.”

Yilin merasa malu mendengarnya. “Ayah, jangan sembarangan bicara lagi,” sahutnya.

“Hei, bicara sembarangan bagaimana? Bukankah siang dan malam kau senantiasa merindukan bocah ini?” tanya Bujie heran. “Memangnya kau tidak ingin menikah dengannya? Apa kau tidak ingin melahirkan seorang biksuni cantik, hah?”

“Ayah!” seru Yilin dengan perasaan sangat malu. “Siapa yang... siapa yang....”

Pada saat itu tiba-tiba muncul seorang pria dan seorang gadis muda. Mereka tidak lain adalah ayah dan anak dari Perguruan Huashan, yaitu Yue Buqun dan Yue Lingshan.

Melihat itu Linghu Chong gembira dan menyapa, “Guru, Adik Kecil, kalian telah kembali! Mana Ibu Guru?”

Yue Buqun memandang Linghu Chong dengan seksama. Melihat keadaan murid pertamanya itu sudah jauh lebih sehat daripada kemarin membuat hatinya merasa gembira. Namun demikian, sedikit pun ia tidak bertanya, melainkan memberi salam kepada Bujie, “Mohon maaf, mungkin aku belum pernah mendengar siapa gerangan nama biksu yang terhormat ini. Entah bersemayam di kuil mana, serta ada keperluan apa sehingga berkunjung ke tempat kami yang kotor ini?”

“Aku... aku bernama Biksu Bujie. Aku datang ke tempatmu yang kotor ini untuk... untuk mencari menantu,” sahut Bujie sambil menunjuk ke arah Linghu Chong. Bagaimanapun juga Bujie adalah mantan tukang jagal yang kurang mengerti basa-basi di antara kaum terpelajar. Mendengar ucapan Yue Buqun mengenai “tempat yang kotor” tadi, dengan serta merta ia pun menirukan begitu saja tanpa memahami maksud di balik kalimat tersebut.

Yue Buqun yang tidak tahu-menahu soal Biksu Bujie mengira ucapan “mencari menantu” tersebut ditujukan untuk menyindir dirinya. Dalam hati ia sangat tersinggung namun sikapnya yang sabar membuat raut mukanya terlihat tetap tenang. Ia hanya berkata, “Ah, biksu ini suka bercanda.”

Yilin juga maju memberi hormat kepada Yue Buqun. Menanggapi itu Yue Buqun pun menjawab dengan tersenyum, “Keponakan Yilin tidak perlu terlalu sungkan. Apakah kedatanganmu ke sini atas perintah dari gurumu?”

Dengan muka bersemu merah Yilin menjawab gugup, “Tidak. Saya ke sini... saya ke sini....”

Yue Buqun kemudian menoleh ke arah Tian Boguang dan langsung menegur, “Hei, Tian Boguang, besar juga nyalimu, ya?”

“Tidak juga,” jawab Tian Boguang. “Aku merasa cocok dengan muridmu. Aku kemari demi membawakan dua guci besar berisi arak bagus untuk kami minum bersama sepuas-puasnya.”

Wajah Yue Buqun tampak semakin bengis. Ia bertanya, “Mana araknya?”

“Sudah lama kami habiskan di atas Tebing Perenungan,” sahut Tian Boguang.

Yue Buqun menoleh ke arah Linghu Chong dan bertanya, “Apa benar demikian?”

Linghu Chong menjawab, “Masalah ini cukup panjang, Guru. Biarlah nanti saya ceritakan dengan jelas.”

“Sudah berapa lama Tian Boguang berada di Gunung Huashan sini?” Yue Buqun kembali mendesak.

“Kira-kira lima belas hari.”

“Selama itu?”

“Benar, Guru.”

“Mengapa tidak kau laporkan kepadaku?”

“Waktu itu Guru dan Ibu Guru tidak berada di sini.”

“Lantas di mana?”

“Guru dan Ibu Guru sedang berada di Chang’an untuk mencari Tuan Tian.”

Yue Buqun mendengus dan berkata, “Huh, Tuan Tian? Tuan Tian? Bukankah kau tahu kalau kejahatannya sudah setinggi gunung? Mengapa kau tidak membunuhnya? Jikapun kau tidak mampu mengalahkannya, kau seharusnya mati di tangannya, bukan malah bergaul dengan bajingan ini?”

Tian Boguang ikut bicara sambil tetap duduk di atas tanah, “Aku yang tidak mau membunuhnya. Lantas dia harus berbuat apa? Memangnya jika tidak bisa membunuhku lantas dia harus bunuh diri di hadapanku, begitu?”

“Di depanku kau tidak punya hak bicara!” bentak Yue Buqun. Ia kembali menoleh ke arah Linghu Chong dan berkata, “Sekarang bunuh dia!”

Mendengar itu Yue Lingshan menyahut, “Ayah, Kakak Pertama sedang terluka parah. Mana mungkin dia sanggup bertempur melawan Tian Boguang?”

“Apa yang kau takutkan? Aku ada di sini. Mana mungkin jahanam ini kubiarkan mencelakai kakak pertamamu?” ujar Yue Buqun.

Ketua Huashan itu sangat kenal watak Linghu Chong yang cerdik dan banyak akal. Ia yakin sebenarnya Linghu Chong membenci Tian Boguang dan karena tidak mampu mengalahkan penjahat itu dengan adu kekuatan, maka langkah yang ditempuh adalah dengan adu kepandaian. Apalagi saat itu Tian Boguang sedang terluka dan tidak bisa bangun, membuat Yue Buqun semakin yakin kalau itu semua akibat perbuatan muridnya tersebut. Maka begitu mengira Linghu Chong hanya pura-pura menjalin persahabatan dengan Tian Boguang untuk mencari celah membunuh penjahat itu, Yue Buqun pun hanya pura-pura marah terhadap Linghu Chong. Jika Tian Boguang hari ini sampai mati, maka itu tidak hanya bermanfaat bagi keamanan dan ketertiban dunia persilatan, tapi juga bisa meningkatkan nama baik muridnya. Dalam keadaan seperti itu, meskipun Tian Boguang mampu bertahan dari serangan Linghu Chong, tentu tidak mampu menghadapi serangannya.

Namun, tidak disangka-sangka Linghu Chong justru menjawab, “Guru, Saudara Tian ini sudah berjanji kepadaku bahwa dia tidak akan memerkosa wanita baik-baik lagi. Saya yakin dia pasti akan memegang janjinya....”

Yue Buqun membentak, “Dari mana kau tahu kalau dia pasti memegang janji? Terhadap penjahat ini apa kau masih juga bicara soal kepercayaan segala? Apa kau lupa sudah berapa banyak nyawa orang yang tidak berdosa sudah melayang di tangannya? Kalau binatang seperti ini kau biarkan hidup, apa gunanya kau belajar silat? Shan’er, lekas kau berikan pedangmu kepada Kakak Pertama!”

“Baik!,” jawab Yue Lingshan yang kemudian mencabut dan menyerahkan pedangnya kepada Linghu Chong.

Linghu Chong benar-benar merasa serbasalah. Ia sama sekali tidak berani membantah perintah gurunya, namun ia juga telah menjalin persahabatan dengan Tian Boguang. Di lain pihak, Tian Boguang sendiri sudah berjanji akan berhenti melakukan kejahatan lagi. Meskipun Tian Boguang sudah banyak melakukan kejahatan, namun ia seorang laki-laki yang selalu memegang kata-kata dan menepati janji. Jika sekarang harus membunuhnya tentu hal ini merupakan perbuatan kotor dan rendah.

Linghu Chong menerima pedang Yue Lingshan dan kemudian melangkah sempoyongan ke arah Tian Boguang. Namun begitu mendekati sasaran tiba-tiba ia pura-pura kehabisan tenaga sehingga jatuh terguling-guling di tanah dan pedangnya tanpa ampun menusuk betis sendiri.

Kejadian yang tak terduga itu membuat Yilin dan Yue Lingshan menjerit ngeri. Bersama-sama mereka mendekati Linghu Chong. Namun langkah Yilin langsung terhenti begitu ia teringat bahwa sebagai seorang biksuni tidak pantas baginya memperlihatkan rasa suka kepada lawan jenis di depan orang lain.

Maka hanya Yue Lingshan saja yang terus menghampiri Linghu Chong. “Kakak Pertama, kau kenapa?”

Linghu Chong diam tidak menjawab. Kedua matanya tertutup rapat.

Dengan hati-hati Yue Lingshan mencabut pedang yang menancap pada betis kakak pertamanya itu. Seketika darah pun mengucur keluar. Segera ia mengeluarkan obat dan membubuhkannya ke bagian luka tersebut.

Sewaktu berpaling, Yue Lingshan sempat melihat wajah Yilin terlihat cemas dalam memandangi Linghu Chong. Jantung Yue Lingshan pun berdebar dan ia berpikir, “Ah, biksuni cilik ini ternyata menaruh perhatian besar kepada Kakak Pertama.”

Yue Lingshan lalu bangkit dan menghunus pedang sambil berkata, “Ayah, biar aku yang membunuh penjahat ini.”

“Kalau kau yang membunuh bajingan itu, sama artinya kau mencemarkan nama baikmu sendiri,” seru Yue Buqun. “Mana, berikan pedangmu padaku!”

Ucapan Yue Buqun tersebut sangat beralasan. Tian Boguang adalah penjahat besar dan pemerkosa yang terkenal di dunia persilatan. Jika sampai terdengar kabar bahwa Nona Yue dari Huashan membunuh Tian Boguang, tentu akan muncul berbagai berita kurang sedap yang tentunya akan menjatuhkan nama baik Yue Lingshan sendiri.

Mendengar perintah sang ayah, Yue Lingshan pun menyerahkan pedangnya. Namun, Yue Buqun tidak meraihnya, melainkan mengibaskan lengan baju untuk menangkap pedang tersebut.

“Jangan!” seru Biksu Bujie sambil melepas sepasang sepatunya dan memegang erat di kedua tangan untuk berjaga-jaga.

Pada detik berikutnya, Yue Buqun mengibaskan lengan bajunya, dan pedang pun meluncur deras bagaikan anak panah ke arah Tian Boguang yang hanya berjarak seratus kaki di hadapannya. Hal ini sudah diperkirakan oleh Bujie. Segera biksu besar itu melemparkan kedua sepatunya sekuat tenaga. Meskipun kedua sepatu tersebut lebih ringan sedangkan pedang lebih berat, juga pedang meluncur lebih dulu, entah bagaimana kedua sepatu bisa menyusul dan mengait kedua sisi gagang pedang. Akibatnya, pedang pun bisa berbelok sehingga meleset sekitar dua puluh kaki dari sasaran. Pedang tersebut akhirnya menancap di tanah dengan kedua sepatu masih menempel di kedua sisi gagangnya.

“Wah, seharusnya tidak begini!” seru Bujie. “Lin’er, ayahmu ini terlalu banyak membuang tenaga untuk menyembuhkan si menantu tadi. Andai saja tenagaku masih penuh, seharusnya pedang itu bisa berputar sejenak tepat di depan guru si menantu, baru kemudian jatuh ke tanah. Dengan begitu baru bisa membuatnya terkejut. Wah, ini gagal, sungguh gagal! Aku sungguh malu!”

Melihat wajah Yue Buqun yang tampak kecewa, segera Yilin berbisik kepada ayahnya, “Ayah, jangan bicara lagi!” Ia kemudian melangkah maju dan memungut kedua sepatu Bujie, kemudian mencabut pedang dari tanah sambil berpikir, “Kakak Linghu tidak ingin membunuh Tian Boguang. Kalau aku mengembalikan pedang ini kepada Nona Yue, dan Nona Yue tetap membunuh Tian Boguang, apakah Kakak Linghu tidak akan kecewa kepadaku?”

Saat Yue Buqun mengibaskan lengan baju untuk melemparkan pedang, ia sangat yakin kalau lemparannya ini mampu menusuk jantung Tian Boguang secara jitu. Siapa sangka Biksu Bujie campur tangan dan mampu membelokkan serangannya hanya dengan melemparkan sepasang sepatu? Biksu itu juga menyebut dirinya sebagai ayah dari Yilin dan menyebut Linghu Chong sebagai menantu. Tentu saja ini sangat tidak masuk akal bagi Yue Buqun. Meskipun ucapannya seperti biksu gila, namun kekuatannya sungguh luar biasa. Ia juga berkata baru saja mengobati Linghu Chong dengan mengerahkan tenaga dalam. Jika benar demikian, bukankah ini lebih mengagumkan lagi?

Yue Buqun yakin kalau ia mengerahkan tenaga dalam Kabut Lembayung Senja, maka Biksu Bujie tidak akan mampu menandinginya. Akan tetapi sebagai seorang ahli silat papan atas, pantang baginya melakukan serangan kedua terhadap musuh yang tingkatan ilmunya lebih rendah apabila serangan pertama gagal. Maka, ketua Perguruan Huashan itu pun memberi hormat sambil berkata dengan suara datar, “Aku sungguh kagum dengan kekuatan lemparan Mahabiksu. Jika hari ini Mahabiksu sudah bertekad melindungi jahanam cabul itu, maka aku memutuskan untuk tidak turun tangan lagi.”

Mendengar ucapan itu, Yilin merasa lega dan ia pun berjalan ke arah Yue Lingshan kemudian mengulurkan pedang sambil berkata, “Kakak, ini pedangmu….”

Yue Lingshan mendengus saat menerima pedang itu. Tanpa melihat sedikit pun, ia memutar dan menyarungkan pedangnya dengan gerakan indah dan rapi.

“Gerakan yang luar biasa, Nona!” puji Biksu Bujie sambil tertawa keras. Ia kemudian menoleh ke arah Linghu Chong, “Menantuku, lebih baik kita berangkat sekarang saja. Adik perguruanmu itu sangat cantik. Kalau kau terus-menerus bersamanya, aku sangat khawatir.”

Linghu Chong menjawab, “Mahabiksu agaknya memang suka bercanda. Mohon kata-kata yang bisa mencemarkan nama baik Perguruan Henshan dan Huashan jangan diulangi lagi.”

“Apa maksudmu?” tanya Bujie heran. “Susah payah aku menemukanmu, bahkan menyelamatkan nyawamu, tapi sekarang kau menolak menikahi putriku, hah?”

Dengan muka merah padam Linghu Chong menjawab, “Seumur hidup, Linghu Chong tidak akan berani melupakan budi baik Mahabiksu. Tapi Perguruan Henshan memiliki peraturan yang sangat ketat. Bila Mahabiksu bercanda seperti itu lagi, tentu akan membuat rikuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi.”

Bujie menoleh kepada Yilin. “Eh, Lin’er, apa-apaan calon menantuku ini? Aku sungguh... aku sungguh tidak paham,” ucapnya sambil menggaruk-garuk kepala.

Yilin menutup wajah dengan kedua tangan kemudian berkata sambil menangis, “Ayah jangan bicara lagi! Dia adalah dia, aku adalah aku. Ada sangkut-paut apa antara aku dan... dan dia?” Usai berkata demikian biksuni muda itu pun berlari menuruni jalan setapak ke arah kaki gunung.

Bujie termangu-mangu dalam kebingungan. Selang agak lama barulah ia berkata, “Aneh, sungguh aneh! Bila tidak bertemu susah payah berusaha mencari. Tapi kalau sudah bertemu malah ditinggal pergi. Ah, dia benar-benar mirip ibunya. Perasaan biksuni memang sukar ditebak.” Biksu bertubuh besar itu kemudian bergegas pergi menyusul putrinya.

Tian Boguang yang lolos dari maut perlahan-lahan bangkit berdiri. Ia lalu berkata, “Selama gunung masih menghijau dan sungai masih mengalir, semoga kita masih bisa berjumpa lagi, Saudara Linghu!” Perlahan ia memutar tubuh dan berjalan turun gunung dengan langkah sempoyongan.

Setelah Tian Boguang pergi jauh, barulah Yue Buqun membuka suara, “Chong’er, kau sungguh baik pada jahanam itu. Kau lebih suka melukai diri sendiri daripada membunuhnya.”

Linghu Chong tersipu malu. Pandangan gurunya yang jeli tidak bisa dikelabui begitu saja dengan tindakan sandiwara tadi. Maka, ia pun menjawab, “Guru, meskipun perbuatan orang bermarga Tian itu tidak baik, tapi ia sudah berjanji untuk berubah. Dan lagi, sudah beberapa kali saya dikalahkan olehnya, namun dia selalu memberi ampun tanpa mengambil nyawa saya.”

“Hm, terhadap bangsat berhati binatang itu kau masih juga bicara tentang budi baik segala. Cepat atau lambat, kelak kau sendiri yang akan menyesal,” ujar Yue Buqun. Melihat muridnya yang terluka parah namun masih bisa bertahan hidup sampai saat ini membuat hatinya merasa gembira. Namun saat melihat Linghu Chong pura-pura menusuk betis sendiri jelas terlihat baginya kalau itu semua hanya sandiwara. Karena sejak kecil Yue Buqun sudah hafal sifat Linghu Chong yang suka berbohong membuatnya enggan bertanya ini itu lebih jauh. Apalagi yang telah diucapkan Linghu Chong kepada Biksu Bujie tadi sungguh tepat sesuai dengan harapannya, membuat ketua Perguruan Huashan itu memilih untuk menunda urusan Tian Boguang lain waktu.

Setelah diam sejenak, Yue Buqun lantas bertanya sambil mengulurkan tangan, “Lalu, di mana kitab itu?”

Linghu Chong langsung tanggap kalau kedatangan gurunya bersama si adik kecil tidak lain adalah untuk urusan kitab rahasia ilmu Awan Lembayung. Sepertinya perbuatan Yue Lingshan sudah diketahui sang ayah, dan ini sesuai dengan harapan Linghu Chong.

Maka pemuda itu pun menjawab, “Kitab itu ada pada Adik Keenam. Demi untuk menyelamatkan nyawa saya, Adik Kecil telah mengambil kitab pusaka tersebut. Mohon Guru jangan menyalahkan Adik Kecil. Saya sendiri tanpa seizin Guru tidak berani menyentuh kitab tersebut, apalagi membaca dan mempelajarinya.”

Wajah Yue Buqun berubah menjadi ramah. Ia pun berkata dengan tersenyum, “Begitulah seharusnya. Bukannya aku tidak mau mengajarimu, tapi perguruan kita sedang menghadapi masalah gawat. Aku tidak punya cukup waktu untuk memberimu petunjuk. Bila membiarkanmu berlatih sendiri tentu akan sangat berbahaya.” Setelah diam sejenak, ia melanjutkan, “Biksu bernama Bujie tadi bersifat polos tapi tenaga dalamnya sangat bagus. Apakah dia telah memusnahkan enam arus hawa murni aneh dalam tubuhmu? Bagaimana keadaanmu sekarang?”

Linghu Chong menjawab, “Rasa mual dan sesak di dada sudah lenyap. Berbagai macam rasa sakit yang biasanya panas seperti dibakar juga sudah lenyap. Hanya saja, sekujur badan saya terasa lemas, sedikit pun tidak bertenaga.”

“Itu sudah wajar. Orang yang baru sembuh dari luka parah sudah pasti masih lemas,” ujar Yue Buqun. “Budi baik Biksu Bujie kelak harus kita balas.”

“Baik, Guru!” jawab Linghu Chong.

Yue Buqun sendiri sebenarnya khwatir Enam Dewa Lembah Persik kembali datang menyerang. Namun menyadari tidak ada tanda-tanda kehadiran enam orang aneh itu membuat perasaannya sedikit lega. Meskipun demikian, ia tidak berani mengambil risiko untuk tetap tinggal di Gunung Huashan. Setelah berpikir demikian ia lantas berkata, “Mari kita jemput Dayou untuk bersama-sama menuju ke Gunung Songshan. Apakah kau sanggup menempuh perjalanan jauh, Chong’er?”

“Sanggup, Guru!” jawab Linghu Chong gembira.

Maka berangkatlah Yue Buqun, Linghu Chong, dan Yue Lingshan kembali ke pondok tempat Lu Dayou berada. Yue Lingshan berjalan paling depan dan begitu sampai di depan pondok, tangannya langsung mendorong pintu. Tiba-tiba gadis itu menjerit ngeri. Yue Buqun dan Linghu Chong bergegas memeriksa ke dalam. Mereka melihat Lu Dayou tergeletak di lantai tak bergerak sedikit pun.

“Jangan takut, Adik Kecil,” kata Linghu Chong sambil terenyum. “Aku yang telah menotoknya.”

“Kau membuatku takut,” sahut Yue Lingshan. “Mengapa kau totok Monyet Keenam?”

Linghu Chong menjawab, “Karena aku tidak mau membaca kitab pusaka, ia pun bermaksud baik, yaitu membacakan kitab itu kepadaku. Namun aku tidak mau mendengarkan dan terpaksa menotoknya sehingga ia jatuh lemas. Tapi mengapa dia....”

“Hei!” tiba-tiba terdengar suara Yue Buqun berseru. Diperiksanya nafas dan urat nadi Lu Dayou kemudian berkata dengan perasaan heran bercampur terkejut, “Kenapa dia sudah... dia sudah mati? Chong’er, urat nadi mana yang kau totok?”

Jantung Linghu Chong berdebar kencang begitu mendengar Lu Dayou telah meninggal. Ia pun menghampiri dengan badan gemetar dan langkah terhuyung-huyung.

“Saya... saya....” katanya dengan suara gemetar. Dirabanya tubuh Lu Dayou ternyata sudah dingin dan kaku. Jelas kalau sudah cukup lama ia mati. Tak kuasa menahan perasaan, Linghu Chong pun menjerit dan menangis, “Adik... Adik Keenam, apa kau benar-benar meninggal?”

“Lalu, di mana kitabnya?” tanya Yue Buqun.

Linghu Chong memandang sedih dengan air mata berlinang-linang. Kitab Awan Lembayung ternyata sudah tidak ada lagi di dalam kamar itu. “Benar juga. Di mana kitab itu?” Demikian ia bertanya kepada diri sendiri. Diperiksanya baju Lu Dayou namun tidak juga ia temukan. “Tadi... tadi sewaktu saya menotok Adik Keenam, kitab pusaka itu jelas masih terdapat di atas meja. Mengapa... mengapa sekarang bisa hilang?”

Yue Lingshan ikut mencari ke segenap penjuru pondok, baik itu di ranjang, di dekat meja dan bangku, di balik pintu, namun kitab Awan Lembayung benar-benar lenyap.

Dengan hilangnya kitab Awan Lembayung yang merupakan kitab pusaka tertinggi dalam Perguruan Huashan tentu saja membuat Yue Buqun gelisah. Ia memeriksa jasad Lu Dayou ternyata sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda luka. Selain itu ia juga memeriksa sekitar pondok termasuk di atap juga tidak terdapat tanda-tanda kedatangan orang lain.

“Tidak ada tanda-tanda orang lain datang. Sepertinya juga bukan Enam Dewa Lembah Persik ataupun Biksu Bujie yang mengambilnya.” Demikian pikiran yang terlintas dalam benak Yue Buqun. Ia kemudian bertanya dengan nada bengis, “Chong’er, sebenarnya titik nadi mana yang telah kau totok?”

Linghu Chong pun berlutut di hadapan sang guru, kemudian menjawab, “Dalam keadaan terluka tadi, saya khawatir kurang kuat menotoknya. Maka, yang saya totok adalah titik Tan-Zhong... tak tahunya malah membuat... membuat Adik Keenam celaka.”

Usai berkata demikian Linghu Chong langsung mencabut pedang yang masih tergantung di pinggang Lu Dayou untuk mencoba bunuh diri. Namun belum sampai mengenai leher, Yue Buqun langsung menyentil sehingga pedang itu terlempar keluar menembus jendela.

“Boleh saja kalau kau ingin bunuh diri,” kata Yue Buqun. “Tapi kau harus lebih dulu menemukan kitab rahasia Awan Lembayung. Di mana kau sembunyikan kitab itu?”

Linghu Chong semakin sedih karena dirinya dicurigai. Setelah diam sejenak ia lalu berkata, “Guru, kitab pusaka itu pasti telah dicuri orang. Bagaimanapun juga saya berjanji akan mencari dan menemukannya kembali tak kurang satu halaman pun.”

Yue Buqun yang sedang kalut menjawab, “Jika isi kitab itu sampai dihafal atau disalin orang lain tentu tidak ada nilainya lagi sebagai kitab pusaka perguruan kita, meskipun kau berhasil menemukannya.” Setelah diam sejenak ia kembali bicara dengan nada lebih ramah, “Chong’er, jika kau mengambil kitab itu lebih baik kembalikan saja. Aku berjanji tidak akan memarahimu.”

Linghu Chong terperanjat mendengar tuduhan gurunya. Ia memandangi mayat Lu Dayou dengan tatapan kosong, kemudian berkata dengan suara lantang, “Guru, bila ada sepuluh orang yang membacanya biar sepuluh orang itu kubunuh. Bila ada seratus orang juga keseratusnya akan kubunuh. Dan bila Guru masih juga sangsi, silakan bunuh saja saya dengan sekali hantam. Saya tidak akan melawan.”

Yue Buqun menggeleng dan berkata, “Berdirilah. Bila kau sudah mengaku tidak, tentu bukan kau pelakunya. Aku percaya kepadamu. Apalagi selama ini kau sangat akrab dengan Dayou, tentu kau tidak sengaja membunuhnya pula. Tapi... tapi di mana kitab itu berada? Siapa pencuri sebenarnya?” Usai berkata demikian Yue Buqun termangu-mangu memandang keluar jendela.

“Ayah, ini semua salahku,” kata Yue Lingshan. “Aku yang berbuat lancang mengambil kitab pusaka Ayah. Ternyata Kakak Pertama tidak mau membacanya dan sekarang nyawa Kakak Keenam melayang gara-gara masalah ini. Biarlah... biarlah aku yang pergi mencari kitab itu!”

Yue Buqun berkata, “Coba kita cari sekali lagi di sekitar sini.”

Bersama-sama mereka bertiga mencari di sekitar pondok namun hasilnya tetap saja nihil. Bukan hanya kitab yang tidak ditemukan, mereka juga tidak menemukan jejak musuh ataupun petunjuk lainnya sama sekali. Akhirnya Yue Buqun berkata, “Kejadian ini jangan sampai tersiar keluar, kecuali aku saja yang memberi tahu ibumu. Mari kita kubur jasad Lu Dayou dan lekas tinggalkan tempat ini!”

Linghu Chong kembali memandangi wajah jenazah Lu Dayou yang pucat dengan perasaan semakin pedih. Dalam hati ia berpikir, “Adik Keenam adalah sahabatku yang paling baik. Siapa sangka aku salah totok sehingga menewaskan dia? Aku sama sekali tidak habis pikir mengapa aku tega melakukannya? Andaikan aku dalam keadaan sehat juga tidak mungkin tega membunuhnya dengan pukulan. Apa karena di dalam tubuhku terdapat hawa murni sesat milik Enam Dewa Lembah Persik sehingga aku tidak bisa menguasai tenagaku sendiri? Jika benar Adik Keenam meninggal karena aku, lalu mengapa kitab rahasia Awan Lembayung ikut menghilang tanpa bekas? Ini benar-benar aneh dan sulit dimengerti. Sekarang Guru mencurigai aku. Tidak ada gunanya memberi penjelasan untuk memohon belas kasihan. Yang penting aku harus mengusut masalah ini sampai tuntas, baru kemudian bunuh diri menemani Adik Keenam.”

Sambil mengusap air mata, Linghu Chong mengambil cangkul dan mulai menggali liang kubur untuk memakamkan Lu Dayou. Dalam keadaan seperti ini ia tidak bisa menggali dengan baik. Tangannya gemetar, nafasnya pun tersengal-sengal. Baru setelah Yue Lingshan turun tangan membantu, jenazah Lu Dayou dapat dimakamkan secara sederhana.

Ketiganya kemudian menuju kuil Kuda Putih untuk bergabung dengan rombongan Huashan lainnya. Sesampainya di sana Ning Zhongze menyambut gembira melihat Linghu Chong sudah pulih dari sakit. Namun begitu mendengar berita buruk yang dibawa sang suami, hatinya langsung sedih dan air mata pun berlinangan. Meskipun kitab rahasia Awan Lembayung adalah benda pusaka, namun semua isinya sudah dihafal luar kepala oleh sang suami. Ning Zhongze tidak terlalu mementingkan apakah suaminya tetap memiliki kitab tersebut atau tidak. Yang ia tangisi adalah perihal Lu Dayou yang jenaka, periang, dan disukai murid-murid lainnya namun mengapa harus meninggal secara mengenaskan seperti itu.

Para murid lainnya tidak tahu menahu atas apa yang telah terjadi. Mereka hanya bisa menyaksikian wajah sang guru, ibu guru, kakak pertama, dan si adik kecil yang semua murung sehingga membuat mereka tidak berani bertanya ini itu dan berbuat ribut.

Yue Buqun kemudian menyuruh Lao Denuo menyewa dua kereta, satu untuk Ning Zhongze dan Yue Lingshan, sedangkan satu lagi untuk Linghu Chong yang tenaganya masih lemah. Rombongan dari Perguruan Huashan tersebut lalu melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Gunung Songshan.

Beberapa jam kemudian mereka pun tiba di Kota Weilin. Saat itu hari sudah mulai gelap. Mereka berusaha mencari tempat bermalam, namun di kota kecil itu hanya ada satu penginapan saja dan itu pun sudah penuh dengan tamu. Karena dalam rombongan terdapat beberapa murid perempuan sehingga tidak pantas untuk bermalam di sembarang tempat. Terpaksa Yue Buqun memerintahkan untuk melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya.

Baru saja berjalan satu Li, kereta yang ditumpangi Ning Zhongze dan Yue Lingshan rusak karena poros rodanya patah. Linghu Chong pun menawarkan keretanya sedangkan dirinya memilih berjalan kaki bersama yang lain. Baru saja pemuda itu mencoba turun, tiba-tiba Shi Daizi menunjuk ke arah timur laut dan berkata, “Guru, di tepi hutan sana ada kuil. Bagaimana kalau kita bermalam di sana?”

Ning Zhongze menyela, “Dalam rombongan kita ada beberapa murid perempuan, dan mungkin mereka merasa rikuh.”

Yue Buqun berkata, “Daizi, sebaiknya kau pergi dulu ke sana. Jika biksu yang menghuni kuil itu menolak, maka kau jangan memaksanya.”

Shi Daizi mengangguk kemudian berlari melaksanakan perintah sang guru. Tak lama kemudian ia sudah kembali lagi sambil berseru lantang, “Guru, kuil itu ternyata sudah tua dan rusak. Tidak ada penghuninya.”

Mendengar laporan itu, tanpa diperintah Tao Jun, Ying Luobai, Shu Qi, dan beberapa murid termuda segera berlari mendahului ke sana untuk membersihkan kuil tersebut.

Beberapa saat kemudian Yue Buqun, Ning Zhongze, dan yang lain tiba di halaman kuil. Saat itu langit sedang mendung sehingga keadaan terlihat begitu gelap.

“Untung ada kuil rusak ini. Jika tidak, kita bisa terjebak di tengah jalan karena hujan deras mungkin akan segera turun,” ujar Ning Zhongze.

Begitu memasuki ruangan kuil, tampak sebuah patung Buddha berwajah biru ada di sana. Patung tersebut menggambarkan seorang laki-laki dengan mantel tersampir di bahu sedang memegang rumput obat. Tidak salah lagi, itu adalah arca Buddha Jamu yang bernama Shennong. Konon semasa hidupnya, Shennong pernah mencicipi ratusan tumbuhan herbal untuk menguji kandungan obat di dalamnya. Beramai-ramai Yue Buqun dan rombongannya memberi hormat kepada arca tersebut.

Tidak lama kemudian hujan deras pun turun dari langit disertai kilat yang menyambar-nyambar dan juga suara guntur menggelegar. Kuil tua itu sudah sangat rusak. Hampir di mana-mana air bocoran menetes dan menggenangi lantai. Gao Genming, Liang Fa, dan tiga orang murid perempuan bergegas menyiapkan makan malam, sementara murid-murid yang lain bingung mencari tempat kering untuk menghindari kebocoran.

“Hujan musim ini cepat sekali datangnya. Bisa-bisa panen kali ini mengalami kegagalan,” ujar Ning Zhongze.

Sementara itu Linghu Chong duduk di sudut ruangan dengan bersandar pada tiang penyangga lonceng besar. Sepasang matanya memandangi air hujan yang mengucur deras dari atas talang yang rusak, sambil berpikir, “Andai saja Adik Keenam ada di sini, tentu suasana akan terasa gembira. Hanya Adik Keenam yang bisa menceritakan lelucon segar.”

Sejak Lu Dayou meninggal, Linghu Chong lebih suka menyendiri. Jarang sekali ia mengajak bicara Yue Lingshan. Apalagi jika melihat Yue Lingshan bersama Lin Pingzhi, ia lebih suka menghindar sejauh mungkin. Dalam hati ia berkata, “Adik Kecil sengaja mencuri kitab rahasia Awan Lembayung meskipun ia tahu akan dimarahi Guru. Semua itu dilakukannya demi untuk menolongku. Pengorbanannya begitu besar. Aku hanya ingin melihatnya hidup bahagia. Karena aku sudah bertekad bunuh diri setelah kitab pusaka itu ditemukan, maka aku tidak boleh mendekati Adik Kecil lagi. Dia dan Adik Lin begitu serasi. Semoga Adik Kecil bisa melupakan semua kenangan bersamaku, sehingga bila aku mati nanti, jangan sampai ia meneteskan air mata sedikit pun untukku.”

Meskipun berpikir demikian, namun setiap kali melihat Yue Lingshan dan Lin Pingzhi berjalan bersama dan mengobrol dengan gembira tetap saja membuat hati Linghu Chong terasa pedih. Juga ketika kedua muda-mudi itu sibuk mengerjakan urusan masing-masing, pada saat mereka bertemu dan saling beradu pandang, masing-masing menampilkan senyuman penuh makna.

Baik Yue Lingshan ataupun Lin Pingzhi mengira sikap mereka tidak ada yang memerhatikan. Siapa sangka semua gerak-gerik tersebut tidak lepas dari pandangan Linghu Chong? Dengan hati semakin pedih ia bermaksud memalingkan muka ke arah lain namun tetap saja tak kuasa dan kembali melirik setiap kali Yue Lingshan lewat di depannya.

Setelah makan malam, setiap orang dalam rombongan tersebut berangkat tidur. Hujan di luar belum juga reda. Kadang gerimis, kadang kembali deras, tanpa berhenti sekejap pun. Linghu Chong sendiri tidak bisa tidur. Pikirannya yang kalut membuat matanya tetap terjaga. Suasana terasa hening, hanya terdengar suara nafas dan dengkuran saudara-saudaranya yang sahut-menyahut di malam itu.

Tiba-tiba terdengar suara ramai derap kaki kuda dari arah tenggara. Paling tidak ada belasan kuda sedang berpacu menyusuri jalanan dan terdengar semakin dekat.

Jantung Linghu Chong berdebar kencang. “Mengapa malam-malam hujan begini ada rombongan berkuda melaju begitu cepat? Apakah mereka sedang menuju ke sini?” Demikian pikirnya sambil kemudian bangkit perlahan untuk duduk.

Pada saat itu terdengar Yue Buqun membentak perlahan, “Semua jangan bersuara!”

Tak lama kemudian rombongan berkuda itu lewat di jalanan depan kuil. Murid-murid Huashan yang terbangun segera mempersiapkan senjata masing-masing. Namun mereka kemudian bernafas lega setelah suara rombongan tersebut terdengar pergi menjauh. Baru saja mereka hendak melanjutkan tidur, tiba-tiba suara derap kaki kuda kembali terdengar. Sepertinya rombongan tersebut telah berputar balik dan kini mereka telah berhenti tepat di depan kuil.

Salah seorang penunggang kuda berteriak lantang dan nyaring, “Apakah Tuan Yue dari Perguruan Huashan berada di dalam kuil? Kami ingin menanyakan suatu urusan kepada Beliau.”

Linghu Chong selaku murid pertama sudah biasa maju untuk menangani persoalan ataupun mewakili gurunya menyambut tamu. Maka tanpa diperintah, ia pun membuka pintu kuil dan berjalan keluar sambil menjawab, “Tengah malam begini ada keperluan apa Saudara-saudara datang kemari?”

Di luar tampak lima belas orang penunggang kuda berjajar membentuk busur yang mengepung halaman kuil. Sekitar enam orang dari mereka terlihat membawa lampu ting dan serentak menyorotkannya ke arah wajah Linghu Chong. Sudah tentu Linghu Chong merasa silau dibuatnya. Perbuatan ini tergolong kasar dan tidak sopan. Sudah dapat ditebak kalau kelima belas orang itu datang dengan maksud tidak baik. Apalagi, Linghu Chong dapat melihat mereka semua memakai cadar berwarna hitam yang menutupi mulut dan hidung masing-masing. Melihat itu Linghu Chong pun berpikir, “Orang-orang ini kalau bukan wajahnya yang sudah dikenal, bisa juga supaya tidak diingat-ingat oleh kami.”

Sementara itu, salah seorang penunggang kuda dari sebelah kiri berteriak, “Kami harap Tuan Yue sudi keluar menemui kami!”

“Tuan-tuan ini siapa?” sahut Linghu Chong. “Tolong beri tahukan marga dan nama Tuan yang mulia agar bisa kulaporkan kepada Guru.”

“Kau tidak perlu bertanya siapa kami,” jawab orang itu. “Katakan saja kepada gurumu bahwa kami mendengar Perguruan Huashan telah mendapatkan kitab Pedang Penakluk Iblis milik Biro Ekspedisi Fuwei. Oleh karena itu, kami ingin meminjam dan melihatnya sebentar.”

Linghu Chong menjawab dengan gusar, “Perguruan kami memiliki ilmu kebanggaan sendiri, untuk apa kami menginginkan ilmu silat pihak lain? Namun apabila kami benar-benar memilikinya, tentu kami tidak akan memberikannya kepada Tuan apabila Tuan memintanya dengan cara seperti ini. Berani sekali kalian memandang rendah terhadap Perguruan Huashan kami!”

Orang itu tertawa terbahak-bahak diikuti keempat belas kawannya. Suara mereka begitu keras berkumandang seperti halilintar, pertanda masing-masing memiliki tenaga dalam yang sangat bagus. Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Lagi-lagi kami harus berhadapan dengan musuh yang berilmu tinggi. Hanya saja, tidak jelas dari mana asal-usul mereka?”

Di tengah suara gelak tawa itu terdengar salah seorang penunggang kuda berteriak lantang, “Kami mendengar bocah bermarga Lin dari Biro Ekspedisi Fuwei telah bergabung dengan Perguruan Huashan. Tuan Yue sendiri bergelar Si Pedang Budiman sudah pasti memiliki ilmu pedang sakti yang jarang ada tandingannya. Tentu saja ia tidak tertarik mengincar kitab Pedang Penakluk Iblis. Sementara kami hanyalah kaum keroco di dunia persilatan yang tidak punya nama besar. Sudah tentu kami sangat menginginkan untuk melihat kitab tersebut. Jadi, kami minta Tuan Yue supaya sudi untuk memperlihatkannya.”

Suara orang itu dapat terdengar jelas di tengah gelak tawa teman-temannya, pertanda ia memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi, dan mungkin lebih tinggi daripada kawan-kawannya.

“Sebenarnya siapakah Tuan ini? Mengapa....” demikian Linghu Chong bertanya namun langsung terhenti karena menyadari suaranya telah tenggelam di tengah gelak tawa orang-orang bercadar itu. Dalam hati ia berpikir, “Apakah aku sudah kehilangan semua tenaga dalamku yang kulatih selama bertahun-tahun? Mengapa aku tidak bisa mengerahkan tenaga dalam sama sekali?”

Sebenarnya sejak meninggalkan Gunung Huashan di sepanjang jalan ia pernah beberapa kali melatih inti tenaga dalam perguruannya. Namun tiap kali mengerahkan tenaga selalu saja nafasnya mendadak terputus-putus dan hawa murni dalam tubuhnya bergolak tanpa bisa dikuasai. Begitu mencoba mengendalikan hawa murni tersebut, segera ia merasa muak dan pusing kepala. Kalau tidak berhenti berlatih bisa-bisa ia jatuh pingsan. Setiap kali berlatih tenaga dalam selalu saja berakhir seperti ini.

Karena itu ia mencoba untuk meminta petunjuk kepada sang guru, namun Yue Buqun hanya memandangnya dengan sorot mata dingin tanpa menjawab. Menyadari hal itu ia hanya bisa berpikir, “Mungkin Guru masih curiga kepadaku dan menuduhku menyembunyikan kitab rahasia Awan Lembayung. Tidak ada gunanya bagiku untuk mencari-cari alasan. Lagipula hidupku akan segera berakhir, apa gunanya aku menyusahkan diri sendiri?”

Sejak kejadian itu Linghu Chong tidak pernah lagi berlatih tenaga dalam. Siapa sangka kini saat ia mencoba menghimpun tenaga untuk berteriak, ternyata suaranya tenggelam di balik suara gelak tawa kelima belas orang bercadar tersebut.

Sejenak kemudian terdengar suara Yue Buqun dari dalam kuil, “Kalian adalah tokoh-tokoh persilatan ternama, mengapa begitu rendah hati mengaku sebagai kaum keroco? Selama ini Yue Buqun tidak pernah berkata bohong. Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Keluarga Lin benar-benar tidak ada padaku.”

Ucapan Yue Buqun tersebut disertai ilmu Awan Lembayung sehingga bisa berkumandang di tengah gelak tawa para penunggang kuda. Baik di dalam maupun di luar kuil, setiap orang dapat mendengar suaranya dengan jelas dan keras. Apalagi gaya bicara Yue Buqun begitu santai dan tenang, seperti bercakap-cakap dengan orang di sampingnya. Jelas gaya bicara ini sangat berbeda dengan si penunggang kuda yang tadi berteriak dengan suara lantang.

Terdengar penunggang kuda lain yang bertanya dengan suara serak, “Kalau kau tidak memegang kitab tersebut, lalu ke mana perginya?”

“Atas dasar apa kau mengajukan pertanyaan demikian? Apa kau merasa pantas mendapat jawaban atas pertanyaanmu itu?” balas Yue Buqun.

“Apapun yang menjadi masalah di dunia persilatan, setiap orang berhak mengetahuinya,” jawab orang itu. Tapi Yue Buqun hanya mendengus tidak menjawab.

“Hai, orang bermarga Yue, apa kau mau menyerahkan kitab itu atau tidak?” teriak orang itu dengan suara keras. “Jika kau tidak mau menyerahkannya maka kami yang akan main kasar dan merebutnya dengan paksa.”

Melihat gelagat yang kurang baik, Ning Zhongze segera membisiki murid-muridnya, “Para murid perempuan segera berkumpul menjadi satu! Masing-masing punggung bertemu punggung. Murid laki-laki siapkan pedang!”

Sekejap kemudian terdengar suara logam berdering dari dalam kuil pertanda para murid telah mencabut pedang masing-masing. Linghu Chong yang masih berdiri di ambang pintu pun mencoba mencabut pedang. Namun belum sampai pedangnya keluar dari sarung, dua orang bercadar sudah turun dari kuda untuk menerjang ke arahnya. Linghu Chong pun berkelit ke samping menghindari serangan. Tapi seorang bercadar membentak, “Minggir!” Bersamaan dengan itu sebelah kakinya menendang tubuh pemuda itu sampai jatuh berguling-guling sejauh beberapa meter.

Kali ini perasaan Linghu Chong semakin cemas dan kebingungan. Ia berpikir, “Tendangan orang itu tidak begitu keras, tapi mengapa aku tidak mampu menahannya? Kenapa kakiku tidak punya kekuatan sama sekali?”

Ia berusaha bangkit untuk duduk, namun tiba-tiba terasa darah di antara rongga dada dan perut kembali bergolak hebat. Sekitar delapan arus hawa murni berputar-putar dalam tubuhnya, saling tumbuk, saling terjang kian kemari. Akibatnya, ia merasa tubuhnya begitu lemah dan terasa sangat tersiksa. Menggerakkan satu jari saja rasanya sudah tidak mampu lagi.

Linghu Chong tercengang. Mulutnya terbuka namun sedikit pun tidak mampu bersuara. Ia merasa lumpuh bagaikan diserang mantra sihir. Otaknya terus menerus bekerja, namun ototnya sama sekali tidak mampu digerakkan sedikit pun.

Pada saat itu terdengar suara senjata beradu di berbagai penjuru. Rupanya Yue Buqun, Ning Zhongze, dan Lao Denuo menerjang keluar dari kuil menghadapi delapan orang bercadar. Sementara itu, tujuh orang bercadar lainnya menyerbu masuk ke dalam kuil untuk menyerang para murid Huashan. Maka kemudian terdengarlah suara bentakan orang-orang itu disertai teriakan para murid perempuan berkali-kali. Sejumlah lampu ting berserakan di atas tanah, membiaskan bayangan dan kilatan senjata berkelebat ke sana-sini.

Beberapa detik kemudian terdengar suara jeritan perempuan dari dalam kuil. Linghu Chong bertambah gelisah mendengarnya. Orang-orang bercadar itu jelas laki-laki semua, berarti suara jeritan itu berasal dari salah seorang adik seperguruannya yang terluka. Dilihatnya pula pertarungan yang terjadi di luar kuil. Tampak Yue Buqun sibuk bertarung melawan empat orang musuh, sementara Ning Zhongze menghadapi dua orang sekaligus. Linghu Chong paham betapa guru dan ibu-gurunya memiliki ilmu pedang sangat tinggi sehingga menghadapi musuh lebih dari satu bukan merupakan hal yang sulit bagi mereka. Meskipun dikeroyok, mereka masih bisa menguasai diri.

Di sisi lain terlihat Lao Denuo menghadapi dua orang musuh bercadar yang masing-masing menggunakan senjata golok besar. Dari suara benturan senjata, Linghu Chong dapat merasakan bahwa kedua orang itu memiliki tenaga yang sangat kuat. Apabila pertarungan itu memakan waktu lama, tentu Lao Denuo akan terdesak dan kehabisan tenaga. Meskipun tidak bisa melihat secara langsung, namun Linghu Chong dapat membayangkan betapa dahsyat pertarungan antara tiga orang dari Huashan melawan delapan musuh tersebut.

Sementara itu para murid Huashan yang berada di dalam kuil menghadapi tujuh orang bercadar. Meskipun jumlah para murid lebih banyak, namun tidak seorang pun dari mereka yang memiliki ilmu silat lumayan. Maka suara jeritan pun terdengar semakin banyak, sahut menyahut membuat Linghu Chong semakin ngeri mendengarnya. Mungkin saja beberapa adik seperguruannya telah terbunuh.

Dalam keadaan gelisah itu Linghu Chong berdoa, “Semoga Langit memberiku kekuatan. Aku berharap bisa mengerahkan tenaga sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat agar bisa masuk ke dalam kuil dan melindungi Adik Kecil. Aku rela meskipun tubuhku akan dicincang musuh dan hancur seperti debu.”

Sekuat tenaga ia meronta dan berusaha mengerahkan tenaga dalam lagi. Tiba-tiba enam hawa murni menerjang naik ke dada, disusul kemudian dua arus hawa murni lainnya berusaha menekan keenam hawa tersebut ke bawah. Linghu Chong merasa sekujur tubuhnya ringan dan hampa, seolah-olah isi perutnya sudah hilang entah ke mana, begitu pula kulit dan dagingnya seolah lenyap tanpa bekas.

“Celaka, ternyata seperti ini!” seru Linghu Chong dalam hati.

Pemuda itu akhirnya menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Pada mulanya Enam Dewa Lembah Persik menyalurkan tenaga dalam masing-masing untuk mengobati luka Linghu Chong akibat pukulan Cheng Buyou. Akan tetapi luka tersebut tidak sembuh, justru keenam arus hawa murni mereka bersarang di tubuh Linghu Chong dan menimbulkan banyak masalah. Kemudian muncul Biksu Bujie mencoba menyalurkan dua arus tenaga dalam untuk mengusir enam hawa murni liar tersebut. Linghu Chong merasa kedua arus hawa murni yang disalurkan Biksu Bujie berhasil memusnahkan enam arus hawa murni milik Enam Dewa Lembah Persik. Akan tetapi ternyata tidak demikian. Ketika Linghu Chong mengerahkan tenaga dalam, langsung saja enam hawa murni liar bergolak, disusul kemudian dua arus hawa lainnya muncul untuk menghadapi. Hal ini mengakibatkan tenaga dalam Perguruan Huashan yang dilatih olehnya sejak kecil menjadi lenyap entah ke mana. Ia benar-benar merasa bagaikan orang yang lumpuh atau orang awam yang tidak pernah belajar ilmu silat sama sekali.

Begitu memahami apa yang sebenarnya terjadi, Linghu Chong menjadi sedih. Air matanya pun berlinang di pipi. Dalam hati ia berpikir, “Kenapa nasibku begini malang? Sedikit pun aku tidak bisa mengerahkan tenaga dalam, seperti lenyap tak bersisa. Malam ini perguruanku diserang musuh, tapi sebagai murid pertama aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa berbaring di tanah seperti orang tak berguna, menyaksikan guru dan ibu-guru dipermalukan musuh, serta adik-adikku dibantai satu per satu. Sungguh sia-sia rasanya lahir sebagai manusia. Lebih baik aku masuk ke sana dan mati bersama Adik Kecil.”

Linghu Chong sadar, sedikit saja ia mengerahkan tenaga tentu kedelapan arus hawa murni di dalam tubuhnya akan kembali bergolak dan membuatnya tidak bisa bergerak bagaikan seonggok daging beku. Maka, ia pun mencoba menahan napas, membiarkan arus hawa murni itu kembali ke bawah lambung. Tanpa berani mengerahkan tenaga dalam sedikit pun, pemuda itu mencoba menggerakkan tangan dan kakinya. Dengan cara demikian ia bisa bangkit perlahan-lahan dan masuk ke dalam kuil selangkah demi selangkah sambil mencabut pedangnya dengan gerakan perlahan pula.

Begitu masuk ke dalam kuil, Linghu Chong langsung mencium bau anyir darah. Dua buah lampu ting diletakkan di atas altar arca oleh para penyerang itu untuk menerangi seisi ruangan. Musuh yang berjumlah tujuh orang tersebut mampu mengalahkan murid-murid Huashan yang jumlahnya puluhan. Liang Fa, Shi Daizi, dan Gao Genming masih bertahan menghadapi mereka walau tubuh sendiri berlumuran darah. Beberapa orang murid tampak tergeletak, entah masih hidup atau sudah mati.

Sementara itu Yue Lingshan dan Lin Pingzhi bersama-sama menghadapi satu orang bercadar. Rambut Yue Lingshan begitu kusut, sementara Lin Pingzhi memegang pedang dengan tangan kiri karena lengan kanannya telah terluka. Musuh yang mereka hadapi bersenjata tombak pendek dan terlihat sangat lihai memainkannya. Sebanyak tiga kali Lin Pingzhi menyerang dengan jurus Cemara Tua Menyambut Tamu tapi hanya mengenai tempat kosong. Sebaliknya, tombak pendek musuh justru membuatnya kewalahan. Rumbai-rumbai warna merah pada tombak pendek sempat mengejutkan penglihatan pemuda itu, sehingga bahu kanannya pun terkena tusukan lawan.

“Lin Kecil, lekas kau balut lukamu dahulu!” seru Yue Lingshan sambil menyerang dua kali kemudian melangkah mundur.

“Tidak apa-apa,” jawab Lin Pingzhi sambil tetap menusuk, namun langkahnya sudah terlihat sempoyongan

Orang bercadar itu tertawa panjang. Batang tombaknya tiba-tiba menyabet dari samping dan tepat memukul pinggang Yue Lingshan. Kontan saja gadis itu jatuh tersungkur dan pedangnya terlepas dari genggaman.

Linghu Chong sangat terkejut. Ia pun menerjang maju tanpa peduli lagi keselamatan diri sendiri. Sekuat tenaga pedangnya menusuk ke depan namun baru di tengah jalan hawa murni dalam tubuhnya kembali bergolak. Seketika tangannya terasa lemas dan pedang pun terjatuh ke lantai.

Musuh bercadar sudah bersiap-siap untuk menghindari serangan Linghu Chong sambil kemudian membalas dengan tusukan tombak pendeknya. Namun begitu melihat serangan Linghu Chong tiba-tiba terhenti di tengah jalan membuat orang itu sempat merasa bingung. Tanpa pikir panjang, ia pun menendang tubuh Linghu Chong hingga terpental keluar kuil dan jatuh tepat di atas genangan air becek. Di bawah siraman air hujan yang masih lebat, seluruh muka dan mulut Linghu Chong penuh dengan lumpur. Ia merasa sulit untuk bangkit kembali.

Di sisi lain Lao Denuo sudah roboh pula terkena totokan musuh. Dua lawannya tadi kemudian ikut mengeroyok Yue Buqun dan Ning Zhongze. Tak lama kemudian dua orang bercadar keluar pula dari dalam kuil untuk ikut bergabung. Kini, Yue Buqun menghadapi tujuh musuh, sedangkan Ning Zhongze menghadapi tiga orang bercadar.

Tak lama kemudian terdengar suara jeritan Ning Zhongze dan salah seorang musuhnya. Rupanya mereka berdua sama-sama terluka di bagian kaki. Si pria bercadar yang terluka itu mundur ke belakang sehingga lawan yang dihadapi Nyonya Yue berkurang satu. Namun demikian luka di kaki wanita itu membuat kekuatannya banyak menurun. Beberapa jurus kemudian, musuh yang lain berhasil memukulkan senjatanya pada bahu Ning Zhongze sampai jatuh terkapar. Segera dua orang bergelak tawa sambil menotok beberapa titik nadi penting di punggung Nyonya Yue agar tidak bisa bangun lagi untuk melawan.

Selanjutnya dari dalam kuil murid-murid Huashan dikeluarkan dalam keadaan terluka. Satu per satu dari mereka dirobohkan ke tanah oleh orang-orang bercadar itu. Rupanya kawanan penyerang hanya melukai dan menotok para murid saja. Tidak satu pun dari mereka yang kehilangan nyawa di malam itu.

Kelima belas orang bercadar kemudian mengepung di sekeliling Yue Buqun. Delapan di antaranya bertarung menghadapi sang ketua Huashan dari segala penjuru, sementara tujuh sisanya memegang lampu ting untuk memberi penerangan.

Meskipun Yue Buqun memiliki ilmu silat tingkat tinggi, namun kedelapan orang yang mengepungnya juga bukan orang sembarangan. Ditambah lagi, tujuh buah lampu ting disorotkan kepadanya sehingga matanya menjadi silau dan susah melihat dengan jelas. Yue Buqun sadar bahwa malam itu Perguruan Huashan sedang di ambang kehancuran, namun sedikit pun ia pantang menyerah begitu saja. Dengan perasaan tetap tenang ia memutar pedang dan bertahan rapat. Bila lampu menyorot mukanya, dengan cekatan ia memandang ke bawah sehingga matanya tidak silau lagi.

“Yue Buqun, kau menyerah atau tidak?” teriak salah seorang penyerang.

“Biarpun mati si marga Yue pantang menyerah,” jawab Yue Buqun. “Kalau mau bunuh silakan bunuh saja.”

“Kau tidak mau menyerah? Baik, akan kutebas saja sebelah lengan istrimu,” kata orang itu sambil mengangkat goloknya tingg-tinggi. Di bawah sorot cahaya lampu, golok orang itu terlihat mengkilap berkilauan dan siap mengayun ke bawah memotong lengan Ning Zhongze.

Melihat itu Yue Buqun berkata dalam hati, “Adik, tak akan kubiarkan mereka memotong lenganmu. Tapi jika aku menyerah dan membuang senjata, aku pasti akan dipermalukan pula. Mana mungkin kubiarkan nama besar Perguruan Huashan yang sudah bertahan ratusan tahun akan hancur begitu saja di tanganku?”

Yue Buqun kemudian menarik napas panjang. Warna ungu pada mukanya semakin menebal. Serentak pedangnya menebas ke arah pria yang mengancam istrinya. Pria bercadar itu mencoba menangkis dengan goloknya. Namun serangan Yue Buqun sudah disertai tenaga dalam Awan Lembayung sehingga golok dan pedang yang berbenturan itu berbalik mengenai lengan si pria bercadar sendiri. Akibatnya, lengan kanan pria itu pun putus terpotong pada dua tempat.

Di tengah jeritan pria yang kehilangan sebelah lengannya itu, pedang Yue Buqun masih terus berkelebat dan menusuk kaki salah seorang musuh lainnya. Kontan saja pria yang tertusuk itu mencaci maki sambil mundur beberapa langkah.

Kini musuh yang mengepung tinggal enam orang namun keadaan Yue Buqun belum dikatakan unggul. Mereka bergerak maju serentak, dan salah seorang berhasil memukulkan senjatanya berupa bandul besi pada punggung Yue Buqun. Seketika Yue Buqun membalas dengan mengerahkan tiga kali tusukan. Musuh-musuhnya pun melompat mundur. Sekejap kemudian, darah segar terlihat menyembur keluar dari mulut sang ketua Huashan.

Melihat itu para penyerang bersorak sambil tertawa, “Lihat, si tua Yue Buqun sudah terluka. Ia terlalu letih sehingga mampus dengan sendirinya.”

Karena yakin sudah pasti menang, keenam orang bercadar memperlebar kepungan mereka sehingga Yue Buqun kesulitan untuk melakukan serangan mendadak. Dari kelima belas orang bercadar itu ada tiga orang yang terluka. Yang satu terluka cukup parah karena kehilangan sebelah lengan, sedangkan yang dua hanya terkena tusukan ringan. Mereka berdua masih bisa membantu menyorotkan lampu ting secara liar ke arah wajah Yue Buqun.

Dari logat bicara para pengepung itu, Yue Buqun dapat menebak bahwa mereka berasal dari berbagai daerah yang berbeda. Selain itu ilmu silat mereka juga berbeda-beda dan sepertinya bukan berasal dari satu perguruan yang sama. Hanya saja, mereka sangat kompak bahu-membahu dalam membangun serangan pertanda kelompok ini sudah lama terbentuk.

“Dari mana orang-orang ini berasal?” tanya Yue Buqun dalam hati. Yang lebih mengherankan lagi baginya adalah kelima belas orang bercadar itu rata-rata berilmu silat tinggi. Yue Buqun benar-benar heran mengapa ia sama sekali tidak mengenali salah satu dari mereka. Ia yakin tidak pernah bertarung dengan seorang pun dari mereka sebelum malam ini ataupun memiliki dendam pribadi dengannya. Hanya satu hal yang sudah pasti, kawanan penyerang itu mencari masalah dengan Perguruan Huashan hanya untuk mengincar kitab Pedang Penakluk Iblis.

Sambil berpikir dan terus berpikir, Yue Buqun mengayunkan pedangnya tanpa henti. Setiap kali ilmu Awan Lembayung dikerahkan, ujung pedangnya pun memancarkan sinar kemilauan. Setelah melewati belasan jurus kemudian, bahu salah seorang bercadar tertusuk sehingga senjata orang itu yang berwujud pentungan baja terlepas jatuh. Seorang kawannya yang sejak tadi berada di luar kalangan maju menyerang dengan bersenjata golok berkait. Ujung senjatanya yang melengkung itu digunakannya untuk mengincar dan mengait pedang Yue Buqun. Namun Yue Buqun sendiri sangat sulit dikalahkan. Semakin bertempur semakin ia bersemangat. Tanpa diduga-duga, tangan kiri ketua Perguruan Huashan itu menghantam ke belakang mengenai dada seorang lawan hingga patah tulang rusuknya dua buah. Tongkat baja yang dipegang orang itu sampai tergetar jatuh.

Namun orang itu benar-benar nekad. Sambil menahan rasa sakit di bagian rusuk yang patah tadi, ia menerjang maju ke bawah dan mendekap kaki kiri Yue Buqun. Tentu saja sang ketua Huashan sangat terkejut. Tanpa pikir panjang Yue Buqun langsung menusukkan pedang ke arah punggung penyerangnya itu dari atas. Namun, dari arah samping dua bilah golok sudah menangkisnya.

Karena tidak mampu menggunakan senjatanya, Yue Buqun pun berusaha menendang dagu orang yang mendekap kaki kirinya tadi. Namun, orang itu memiliki keterampilan bergulat lumayan bagus. Ia lebih dulu menangkap kaki kanan Yue Buqun dan membantingnya ke samping. Seketika tubuh Yue Buqun pun tertarik ke depan. Meskipun memiliki ilmu silat tingkat tinggi, namun Yue Buqun tidak mampu menjaga keseimbangannya sehingga tubuhnya pun jatuh terbanting ke tanah. Sekejap kemudian, golok, tombak pendek, palu godam, pedang, dan berbagai macam senjata musuh lainnya sudah bersama-sama mengancam di titik-titik mematikan seperti kepala, wajah, leher, dan dada.

Yue Buqun menghela napas panjang dan melepaskan pedangnya. Ia kemudian memejamkan mata untuk menyambut ajal. Namun yang ia rasakan kemudian adalah kesemutan pada daerah pinggang, rusuk, tenggorokan, dan dada. Rupanya musuh tidak membunuhnya, tetapi hanya menotok beberapa titik nadi untuk melumpuhkannya.

Dua orang bercadar maju dan memapah bangun tubuh Yue Buqun. Terdengar suara seorang tua di antara kawanan musuh berkata, “Ilmu silat Tuan Yue si Pedang Budiman memang bukan nama kosong. Ilmu silatmu benar-benar luar biasa. Kami lima belas orang mengeroyokmu dan berhasil menjatuhkanmu setelah beberapa di antara kami roboh dan terluka. Hehe, sungguh mengagumkan! Bila satu lawan satu melawanmu sudah pasti aku tidak mungkin menang. Tapi kalau dipikir-pikir jumlah kami hanya lima belas, sedangkan dalam rombongan Huashan kalian terdapat lebih dari dua puluh orang. Jadi, malam ini kami tidak sepenuhnya main keroyok. Kami yang berjumlah lebih sedikit ternyata mampu menangkap orang-orang Huashan yang berjumlah lebih banyak. Apalagi tubuh kalian masih utuh semua, tidak ada yang kehilangan anggota badan. Jadi, pertempuran ini kami menangkan dengan tidak mudah. Betul tidak, kawan-kawan?”

“Benar sekali, benar sekali! Ini bukan kemenangan yang mudah!” sahut orang-orang bercadar yang lain di belakangnya.

Pria tua itu melanjutkan, “Tuan Yue, kami tidak ada dendam dan tidak pernah terlibat permusuhan apapun denganmu. Kami hanya ingin meminjam kitab Pedang Penakluk Iblis saja. Lagipula kitab tersebut juga bukan milik Perguruan Huashan kalian. Segala macam tipu muslihat kau lancarkan. Kau pancing tuan muda dari Keluarga Lin masuk perguruanmu, pertanda kau juga mengincar kitab pedang itu. Apa yang kau lakukan sungguh terang-terangan. Begitu kawan-kawan dunia persilatan mendengar tentang ini, mereka jadi penasaran dan bertanya-tanya. Nah, Tuan Yue, lebih baik kau serahkan saja kitab itu kepada kami, dengan demikian nama baikmu bisa tetap terjaga.”

Yue Buqun semakin gusar mendengar tuduhan itu. Ia menjawab, “Aku sudah jatuh ke tangan kalian, mengapa masih saja bicara omong kosong? Kalau mau bunuh silakan bunuh saja. Bagaimana kepribadian si marga Yue ini sudah cukup dikenal setiap orang persilatan. Mudah saja kalian membunuhku, tapi jangan harap bisa merusak nama baikku. Jangan mimpi!”

“Apa susahnya merusak nama baikmu?” seru salah seorang bercadar lainnya sambil bergelak tawa. “Istrimu, putrimu, dan murid-murid perempuanmu, semuanya cantik-cantik. Mereka bisa kami bawa dan kami bagi-bagi sebagai istri muda. Dengan demikian, dapat dijamin namamu akan semakin tersohor di dunia persilatan, hahaha!”

Ucapan tersebut diikuti oleh gelak tawa penuh penghinaan para penyerang bercadar lainnya. Mendengar itu tubuh Yue Buqun sampai gemetar menahan marah. Ia melihat beberapa pria bercadar mendorong tubuh para murid laki-laki dan perempuan yang kesemuanya dalam keadaan tertotok. Di antara para murid itu ada yang wajahnya berlumuran darah, ada pula yang kakinya terluka.

“Tuan Yue,” sahut si orang tua bercadar. “Kau boleh menduga-duga dari mana asal-usul kami. Kami bukan kaum kesatria atau pahlawan dari perguruan ternama. Kami tidak memiliki pantangan terhadap apa yang boleh dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan. Beberapa kawanku ini gemar paras cantik. Main perempuan adalah pekerjaan sehari-hari. Bila mereka sampai mengganggu istri dan putrimu, bagaimanapun juga aku minta maaf.”

“Kau tidak perlu mengancam!” kata Yue Buqun. “Jika kalian masih saja tidak percaya, silakan geledah badan kami semua! Coba lihat, apa kitab Pedang Penakluk Iblis ada pada kami atau tidak?”

“Lebih baik kau keluarkan sendiri saja kitab itu,” ujar seorang bercadar lainnya. “Bila kami harus menggeledah kalian semua, bagaimana dengan istri dan putrimu? Tentu hal ini akan kurang sedap dipandang, bukan? Hahahaha.”

Merasa tidak tahan, Lin Pingzhi tiba-tiba berteriak, “Semua permasalahan ini berawal dariku. Keluarga Lin kami di Fujian tidak punya kitab Pedang Penakluk Iblis atau apa. Terserah kalian mau percaya atau tidak!” Usai berkata demikian ia meraih sebatang tongkat besi yang terjatuh di tanah tadi dan menghantamkannya ke dahi sendiri. Namun totokan di kedua lengan membuat tenaganya begitu lemah sehingga pukulan tersebut hanya membuat luka lecet saja tidak sampai menghancurkan kepala. Meskipun demikian setiap orang dapat membaca apa yang ia lakukan. Jelas-jelas pemuda itu berniat bunuh diri untuk membuktikan bahwa kitab pedang Penakluk Iblis benar-benar tidak pernah ada.

“Hehe, Tuan Muda Lin ternyata cukup setia kawan,” ujar orang tua tadi. “Kami adalah teman baik mendiang ayahmu. Yue Buqun telah membunuh ayahmu untuk mendapatkan kitab Pedang Penakluk Iblis. Itu sebabnya kami berada di sini adalah untuk menuntut keadilan. Percuma saja gurumu bergelar Si Pedang Budiman, padahal dia sama sekali tidak berbudi. Sepertinya lebih baik jika kau menjadi murid kami saja. Aku jamin kau akan memperoleh kepandaian yang lebih dari cukup untuk malang melintang di dunia persilatan.”

“Keparat kalian!” bentak Lin Pingzhi. “Ayahku mati dibunuh Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng dan Mu Gaofeng si Bungkuk dari Utara. Berani sekali kau memfitnah guruku? Lin Pingzhi bangga menjadi murid Huashan. Apa kau pikir aku akan memohon-mohon untuk menjadi murid manusia rendah macam dirimu demi menyelamatkan nyawa?”

“Jawaban bagus!” teriak Liang Fa. “Perguruan Huashan kita....”

“Perguruan Huashan apanya?” sahut salah seorang bercadar lainnya menyela. Ia kemudian mengayunkan goloknya ke arah leher Liang Fa sampai putus. Kepala Liang Fa pun terlempar dan darah menyembur dengan deras.

Murid-murid Huashan lainnya menjerit ngeri. Kakak ketiga mereka yang bertubuh jangkung itu tewas dalam waktu yang sangat cepat. Yue Buqun sendiri termangu-mangu memikirkan dari mana sebenarnya kawanan bercadar itu berasal. Berdasarkan ucapan si orang tua, sepertinya kawanan itu berasal dari golongan hitam di dunia persilatan. Mungkin juga mereka adalah tokoh penting dalam Sekte Iblis. Meskipun Yue Buqun tidak mengenal semua tokoh hebat di dunia persilatan, baik itu dari golongan putih ataupun golongan hitam, namun paling tidak ia pernah mendengar sesuatu tentang mereka. Orang yang memenggal kepala Liang Fa terlihat begitu mantap tanpa ragu sedikit pun; suatu kekejian yang jarang ada di dunia persilatan. Memang apabila seseorang berlatih ilmu silat, maka kemungkinan terluka atau terbunuh adalah hal yang biasa. Akan tetapi, memenggal kepala pihak yang sudah tertawan adalah hal yang sangat jarang terjadi.

Sementara itu, setelah memenggal kepala Liang Fa, orang bercadar tadi bergelak tawa seperti orang gila dan kemudian berjalan mendekati Ning Zhongze. Ia mengayun-ayunkan goloknya yang berlumuran darah hanya beberapa jengkal di atas kepala Nyonya Yue.

“Jangan... jangan bunuh ibuku!” jerit Yue Lingshan ketakutan dan nyaris jatuh pingsan.

Sebaliknya, Ning Zhongze tetap menunjukkan keberanian dan sama sekali tidak terlihat gentar. Ia justru merasa kebetulan jika mati malam itu karena bisa bebas dari penghinaan yang berlarut-larut. Maka, ia pun memaki, “Bangsat, kalau kau memang berani, bunuh saja aku!”

Tiba-tiba dari arah timur laut terdengar suara derap kaki kuda berjumlah puluhan ekor melaju dengan cepat.

“Hei, siapa itu? Coba kalian lihat!” seru si tua bercadar.

“Baik!” jawab dua orang kawannya yang segera memacu kuda melaksanakan perintah. Tak lama kemudian terdengar suara benturan senjata. Rupanya para pendatang berkuda itu terlibat pertempuran melawan kedua orang bercadar tadi. Disusul kemudian terdengar suara jeritan orang terluka jatuh dari kuda. Meskipun demikian, kedua orang bercadar memilih mundur karena jumlah penunggang kuda yang baru tiba jauh lebih banyak.

Yue Buqun dan istrinya, serta para murid merasa gembira karena melihat adanya kedatangan rombongan yang mungkin dapat menyelamatkan nyawa mereka. Samar-samar dari kejauhan tampak empat puluh lebih penunggang kuda melaju ke arah mereka. Lumpur terlihat bercipratan di sana-sini dan akhirnya rombongan itu pun berhenti di depan kuil.

“Hei, ternyata kawan-kawan dari Perguruan Huashan ada di sini. Bukankah itu Saudara Yue?” seru salah seorang penunggang kuda.

Yue Buqun memandang orang itu dengan saksama dan kemudian wajahnya terlihat serbasalah. Ternyata yang datang menyapa dirinya adalah Lu Bai si Tapak Bangau, yaitu adik seperguruan Zuo Lengchan, ketua Perguruan Songshan yang tempo hari membawa Panji Pancawarna ke Gunung Huashan untuk membantu Feng Buping menuntut hak. Di sebelah kanannya tampak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Yue Buqun mengenalinya sebagai adik seperguruan Zuo Lengchan nomor dua, yaitu Ding Mian si Tapak Penahan Menara. Di sebelah kiri Lu Bai terlihat pula pemimpin para murid Huashan dari Kelompok Pedang, yaitu Feng Buping. Orang-orang Taishan dan Hengshan yang kemarin ikut mengawal kali ini terlihat bertambah banyak. Karena cahaya lampu ting tidak mampu menerangi seluruh wajah para penunggang kuda itu, membuat Yue Buqun agak kesulitan untuk mengenali siapa saja dari mereka yang ikut serta.

“Saudara Yue,” Lu Bai menyapa, “Tempo hari kau menolak Panji Pancawarna yang merupakan perintah dari Ketua Zuo, hal ini membuat Beliau tidak senang. Itu mengapa Beliau kini mengutus Kakak Ding dan Adik Tang untuk mengunjungimu ke Gunung Huashan sekali lagi dengan membawa Panji Pancawarna pula. Siapa sangka di tengah malam gelap gulita ini kita justru berjumpa di sini? Sungguh mengejutkan!”

Yue Buqun hanya terdiam tanpa menjawab sedikit pun.

Si orang tua bercadar menyahut sambil memberi hormat, “Rupanya Pendekar Ding, Pendekar Lu, dan Pendekar Tang dari Perguruan Songshan yang hadir di sini. Sungguh suatu kehormatan bisa berjumpa para pendekar sekalian.”

“Ah, Saudara terlalu memuji. Dan, siapakah nama Saudara yang mulia ini? Mengapa tidak sudi memperlihatkan wajah yang asli?” balas Tang Ying’e, adik seperguruan nomor tujuh ketua Songshan.

“Kami ini hanyalah orang-orang tanpa nama dari golongan hitam,” jawab si orang tua bercadar. “Jika julukan kami yang jelek sampai terdengar tentu hanya akan mengotori telinga para pendekar sekalian. Baiklah, demi memandang kepada para pendekar sekalian, sudah tentu kami tidak berani berbuat kasar lagi kepada Nyonya Yue dan putrinya. Hanya saja, ada satu urusan yang ingin kami mintakan keadilan pada para pendekar sekalian, sesuai hukum dunia persilatan.”

“Urusan apa? Tidak ada salahnya bila kau sebutkan supaya kami juga ikut mengetahuinya,” tanya Tang Ying’e.

Orang tua itu berkata, “Baiklah, konon Tuan Yue yang bergelar Si Pedang Budiman ini setiap hari selalu berbicara tentang budi pekerti, keadilan, dan kebajikan. Kabarnya, ia juga sangat taat pada aturan dunia persilatan. Akan tetapi, akhir-akhir ini telah terjadi suatu peristiwa. Kiranya para pendekar sekalian sudah mendengar perihal Biro Ekspedisi Fuwei di Kota Fuzhou telah dihancurkan orang, serta pemiliknya yang bernama Lin Zhennan beserta istri juga mati terbunuh.”

“Benar. Konon kabarnya yang berbuat adalah Perguruan Qingcheng dari Szechwan,” jawab Tang Ying’e.

Si orang tua bercadar menggeleng beberapa kali dan berkata, “Meskipun berita yang tersiar di dunia persilatan seperti itu, tapi belum tentu merupakan suatu kebenaran. Baiklah, kita bicara terang-terangan saja. Setiap orang di dunia persilatan mengetahui kalau keluarga Lin memiliki pusaka turun-temurun berupa kitab ilmu Pedang Penakluk Iblis. Barangsiapa menguasainya, tentu akan merajai dunia persilatan. Itulah sebabnya mengapa Lin Zhennan dan istrinya terbunuh adalah karena ada pihak yang mengincar kitab pusaka tersebut.”

“Memangnya seperti apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Tang Ying’e.

“Kami tidak mengetahui dengan pasti siapa yang telah membunuh Lin Zhennan dan istrinya,” jawab si orang tua. “Hanya saja, kami mendengar bahwa Tuan Yue alias Si Pedang Budiman ini telah menggunakan tipu muslihat licik, supaya putra Lin Zhennan dengan sukarela mau bergabung menjadi murid Perguruan Huashan. Kau tahu apa maksudku? Tentu saja Kitab Pedang Penakluk Iblis dengan sendirinya akan ikut masuk ke dalam Perguruan Huashan. Kami memikirkan masak-masak hal ini dan akhirnya menyimpulkan bahwa Yue Buqun telah menjalankan tipu muslihat. Dia tidak mampu menguasai kitab pusaka itu dengan kekerasan, sehingga berusaha mendapatkannya dengan cara licik. Coba pikir, seberapa luas pengalaman si bocah Lin? Setelah menjadai murid Huashan, bukankah ia menjadi lebih mudah dipermainkan oleh si musang tua bermarga Yue ini sehingga suatu saat bocah ini akan mempersembahkan Kitab Pedang Penakluk Iblis tanpa diminta.”

“Pendapatmu mungkin kurang tepat,” ujar Tang Ying’e. “Perguruan Huashan memiliki ilmu pedang sendiri yang sangat bagus. Apalagi ilmu tenaga dalam Awan Lembayung yang dimiliki Tuan Yue juga tiada duanya. Jadi, untuk apa lagi harus mengincar ilmu pedang pihak lain?”

Si orang tua bergelak tawa kemudian menjawab, “Rupanya Pendekar Tang menggunakan jiwa kesatria untuk menilai manusia rendah ini. Menurutku, ilmu pedang bagus macam apa yang dimiliki Yue Buqun? Sejak perpecahan di Perguruan Huashan dahulu, sejak itu pula Kelompok Tenaga Dalam menguasai perguruan. Mereka pun sibuk berlatih tenaga dalam sehingga ilmu pedang mereka menjadi terlalu rendah dan tidak ada nilainya. Kaum persilatan hanya segan terhadap nama besar Perguruan Huashan, dan mengira Tuan Yue benar-benar memiliki kehebatan tinggi. Padahal sesungguhnya, hehehe...”

Sesudah tertawa mengejek beberapa kali, orang tua itu melanjutkan, “Sebagai ketua Perguruan Huashan, sudah seharusnya ilmu pedang Tuan Yue sangat luar biasa. Namun, lihatlah yang terjadi kini. Dia bisa meringkuk di tangan kami yang hanya kaum keroco di dunia persilatan. Padahal, kami tidak memakai racun, tidak memakai senjata rahasia. Selain itu kami bisa menang juga bukan karena jumlah kami yang lebih banyak. Kami telah meringkus guru dan semua murid Huashan tanpa kecuali. Maka, dapat dibayangkan betapa rendah tingkat kepandaian orang-orang Huashan ini. Kami memenangkan pertempuran secara adil. Dari itu saja para pendekar sekalian bisa membayangkan seperti apa ilmu silat Yue Buqun dan orang-orang Huashan lainnya. Namun tentu saja Yue Buqun menyadari kekurangannya. Itulah sebabnya mengapa Yue Buqun mengincar ilmu Pedang Penakluk Iblis untuk menutupi agar nama baiknya yang kosong melompong tidak terbongkar. Akan tetapi, di hadapan kami ia tidak bisa menutupi kebusukannya.”

“Uraianmu cukup masuk akal,” ujar Tang Ying’e sambil mengangguk.

“Kami hanyalah kaum keroco dari golongan hitam yang tiada harganya sama sekali jika dibandingkan dengan para pendekar besar sekalian dari perguruan ternama. Kami juga tidak terlalu berminat terhadap Kitab Pedang Penakluk Iblis,” lanjut si orang tua bercadar. “Hanya saja, dalam sepuluh tahun terakhir ini kami seringkali menerima kebaikan dari Lin Zhennan. Berbagai macam hadiah dari Beliau telah kami terima. Itu sebabnya setiap kali kereta barang Biro Ekspedisi Fuwei melewati daerah kekuasaan kami, tidak seorang pun di antara kami yang berani mengganggunya. Namun kami kemudian mendengar kematian Ketua Lin, serta kehancuran keluarga dan perusahannya gara-gara Kitab Pedang Penakluk Iblis. Hal ini jelas membuat kami merasa penasaran. Maka, kami pun ke sini untuk membuat perhitungan dengan Yue Buqun.”

Orang tua itu berhenti sejenak untuk memandangi rombongan berkuda di hadapannya, kemudian melanjutkan, “Yang datang di sini malam ini tampaknya tokoh-tokoh ternama dari dunia persilatan. Di antara para pendekar sekalian terdapat para kesatria sepuh kebanggan Serikat Pedang Lima Gunung. Sementara Perguruan Huashan sendiri juga merupakan salah satu anggota perserikatan. Untuk itu, kami serahkan kepada para pendekar sekalian untuk bagaimana baiknya menyelesaikan perkara ini.”

“Saudara ternyata sangat baik hati. Baiklah, kami terima maksud baikmu,” kata Tang Ying’e. “Bagaimana pendapat Kakak Ding dan Kakak Lu mengenai hal ini?”

Ding Mian menjawab, “Menurut pesan Ketua Zuo, kedudukan ketua Perguruan Huashan harus dipegang oleh Tuan Feng. Sekarang ini Yue Buqun ternyata melakukan perbuatan yang rendah dan memalukan. Untuk ini, biarlah Tuan Feng sendiri yang melakukan pembersihan di dalam perguruannya.”

“Benar, keputusan Pendekar Ding sungguh tepat,” sahut anggota rombongan berkuda lainnya. “Ini adalah masalah internal Perguruan Huashan, maka biarlah ketua Huashan sendiri yang mengatasinya. Ini juga menghindarkan tuduhan dunia persilatan kepada kami apabila terlalu mencampuri urusan rumah tangga pihak lain.”

Segera Feng Buping melompat turun dari kudanya. Setelah memberi hormat kepada para hadirin, ia pun berkata, “Sungguh aku sangat berterima kasih atas penghargaan kalian padaku. Sejak lama Perguruan Huashan dikangkangi oleh Yue Buqun. Banyak terdengar ketidakpuasan, sampai akhirnya nama besar Huashan pun jatuh habis-habisan. Bahkan, sekarang Yue Buqun juga tenggelam dalam lumpur kejahatan, antara lain ia membunuh seseorang untuk merebut kitab pusakanya, serta memaksa anak orang itu untuk menjadi muridnya. Benar-benar perbuatan rendah. Sebenarnya kepandaianku tidak seberapa. Aku juga merasa tidak pantas menjadi ketua. Namun demi mengingat jerih payah para leluhur yang telah berjuang mendirikan Perguruan Huashan, sudah tentu aku tidak terima begitu saja perguruan ini hancur di tangan murid durhaka seperti Yue Buqun. Aku akan berjuang sekuat tenaga untuk mengatasi masalah ini. Oleh karena itu, mohon nasihat dan pengawasan dari para sahabat sekalian, supaya aku bisa menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.”

Saat itu hujan belum benar-benar reda, hanya tinggal gerimis saja. Di bawah cahaya obor, wajah Feng Buping terlihat berseri-seri. Ia melanjutkan, “Dosa Yue Buqun sudah terlalu besar dan tidak bisa diampuni lagi. Kita harus tegakkan aturan perguruan tanpa ragu-ragu. Adik Cong, bersihkan perguruan kita dari murid durhaka ini. Bunuh Yue Buqun beserta istrinya!”

Seorang laki-laki berusia lima puluhan mengiakan dan segera menghunus pedangnya mendekati Yue Buqun. Ia berkata, “Orang bermarga Yue, kau telah merusak nama baik perguruan kita. Hari ini kau harus menerima hukuman yang setimpal.”

Yue Buqun menghirup nafas panjang, dan menjawab, “Bagus sekali, bagus sekali. Demi untuk merebut jabatan ketua, kalian dari Kelompok Pedang tidak segan-segan berbuat keji. Cong Buqi, hari ini kalian boleh membunuhku. Tapi kelak di alam sana apa kalian masih punya muka untuk menemui para leluhur?”

Orang bernama Cong Buqi itu tertawa dan menjawab, “Orang yang banyak berbuat kejahatan pasti akan menuai karma. Meskipun kau tidak kubunuh tetap saja akan mati di tangan orang lain. Jika demikian, tentu kurang baik, bukan?”

“Adik Cong,” bentak Feng Buping. “Tidak ada gunanya banyak bicara. Cepat laksanakan hukuman!”

“Baik!” jawab Cong Buqi. Ia pun mengangkat pedangnya siap memenggal kepala Yue Buqun. Di bawah cahaya obor pedangnya terlihat berkilau mengerikan.

“Tunggu dulu!” seru Ning Zhongze tiba-tiba mencegah. “Kami tidak tahu menahu di mana kitab Pedang Penakluk Iblis berada. Menangkap pencuri harus ada barang buktinya. Kalau menuduh tanpa bukti itu merupakan fitnah. Sungguh bukan sifat kesatria.”

“Benar juga!” jawab Cong Buqi. Ia kemudian berjalan mendekati Nyonya Yue sambil menyeringai, “Bagus sekali. Menangkap pencuri harus disertai bukti. Aku rasa kemungkinan besar kitab Pedang Penakluk Iblis disembunyikan di dalam bajumu. Biar aku geledah supaya kau tidak menuduh kami melakukan tuduhan fitnah.” Usai berkata demikian, laki-laki itu menjulurkan tangan untuk menggerayangi baju Ning Zhongze.

Nyonya Yue yang terluka dan juga tertotok hanya bisa memandang tajam tangan Cong Buqi yang semakin mendekat, tanpa bisa bergerak sedikit pun. Sungguh suatu hal yang sangat memalukan apabila seujung jari saja ia tersentuh oleh laki-laki itu. Dalam keadaan yang sangat genting, Ning Zhongze kemudian berseru ke arah Ding Mian, “Saudara Ding dari Perguruan Songshan!”

“Ada apa?” tanya Ding Mian tanpa menduga sebelumnya.

“Kakak seperguruanmu adalah Ketua Zuo yang merupakan pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung. Beliau seorang panutan di dunia persilatan. Perguruan Huashan kami adalah bagian dari perserikatan. Apakah yang akan kau sampaikan kepada Beliau jika kau membiarkan seorang wanita dilecehkan manusia rendah ini di hadapanmu?”

Ding Mian tampak kebingungan dan menjawab gugup, “Masalah ini....”

Tanpa memberi kesempatan, Ning Zhongze melanjutkan, “Mereka menuduh suamiku sebagai murid durhaka tanpa ada bukti yang nyata. Justru mereka adalah dua pengkhianat dari Perguruan Huashan. Asalkan salah satu dari mereka bisa mengalahkan suamiku, maka kami bersedia menyerahkan jabatan ketua Huashan secara sukarela. Mati pun kami tidak menyesal. Tapi kalau seperti ini, bagaimanapun juga tindakan mereka tidak pantas diterima oleh ribuan kesatria dunia persilatan yang mengutamakan kebenaran dan keadilan.”

Usai berkata demikian Ning Zhongze meludahi Cong Buqi wajah Cong Buqi. Karena Cong Buqi tepat berada di hadapannya serta tidak menduga sama sekali, mau tidak mau air ludah wanita itu mendarat tepat di antara kedua matanya.

“Perempuan bangsat!” bentak Cong Buqi dengan sangat marah.

Sebaliknya, Ning Zhongze membalas, “Kaum pengkhianat dari Kelompok Pedang semuanya tidak becus. Sebenarnya suamiku tidak perlu turun tangan. Cukup aku, seorang wanita saja sudah bisa membinasakan kalian dengan mudah, andai saja tubuhku tidak tertotok seperti ini.”

“Baiklah!” seru Ding Mian menanggapi. Ia pun menjalankan kudanya mendekati Ning Zhongze dan kemudian berputar sehingga kini berada di belakang wanita itu. Laki-laki bertubuh besar itu langsung melecutkan cambuknya tiga kali ke arah punggung Ning Zhongze. Seketika, Nyonya Yue berjingkat gemetar pertanda tiga totokan di tubuhnya terbuka.

Setelah mampu menguasai tubuhnya, Ning Zhongze pun meraih pedangnya yang tergeletak di tanah. Ia paham maksud Ding Mian adalah mengizinkan dirinya bertanding melawan Cong Buqi. Hasil akhir pertandingan nanti bukan hanya menentukan hidup mati Keluarga Yue, tapi juga bagaimana kelanjutan Perguruan Huashan. Jika ia bisa mengalahkan Cong Buqi, maka keadaan genting bisa berubah menjadi keselamatan. Sebaliknya, jika Cong Buqi yang unggul maka tidak akan ada harapan lagi. Akan tetapi, baru saja memasang kuda-kuda, kaki Ning Zhongze mendadak terasa sakit dan lemas. Hampir saja ia jatuh berlutut. Rupanya luka di kaki wanita tersebut cukup parah sehingga kesulitan untuk bangkit dan berdiri dengan tegak.

“Hahahaha!” terdengar suara Cong Buqi bergelak tawa. “Kau menyebut dirimu bukan wanita lemah. Tapi sekarang kau berpura-pura terluka segala. Lalu untuk apa menantang bertanding segala? Jika aku menang juga bukan kemenangan yang gemilang....”

“Awas!” seru Nyonya Yue tanpa menunggu lebih lanjut sambil menusukkan pedangnya dengan sangat cepat sebanyak tiga kali. Dalam setiap tusukan, ia mengerahkan segenap tenaga sampai pedangnya menimbulkan suara berdesing. Setiap tusukan selalu lebih dahsyat daripada tusukan sebelumnya, dan kesemuanya mengarah ke tiga titik mematikan di tubuh lawan.

“Bagus!” sahut Cong Buqi sambil mundur dua langkah untuk menghindar. Sebenarnya Ning Zhongze masih bisa memburunya. Namun luka di kaki membuatnya terpaksa berdiri di tempat semula tanpa berani mengambil risiko.

Cong Buqi maju dan membalas serangan sebanyak tiga kali hingga pedangnya berdesing pula. Ning Zhongze mengelak dan melancarkan gerakan untuk menangkis ketiga serangan itu. Menyusul kemudian ia pun membalas dengan menusuk ke arah perut Cong Buqi. Dan begitulah, kedua orang itu saling menyerang silih berganti.

Yue Buqun yang tidak dapat bergerak hanya bisa menyaksikan istrinya bertarung melawan musuh dengan menanggung luka di kaki. Sebaliknya, gerakan pedang Cong Buqi terlihat begitu lincah dan memiliki lebih banyak ragam perubahan. Setelah melewati sepuluh jurus, gerakan Ning Zhongze semakin terganggu dan pedangnya menjadi lebih lambat. Bagaimanapun juga dalam hal pengerahan tenaga, Kelompok Tenaga Dalam tentu lebih unggul. Akan tetapi, luka di kaki membuat wanita itu tidak mampu mengerahkan tenaga dalam dengan lancar, sehingga mau tidak mau pedang Cong Buqi lebih memimpin keadaan.

Yue Buqun semakin gelisah melihat istrinya mempercepat irama permainan pedangnya. “Kelompok Pedang memiliki lebih banyak jurus pedang dan lebih bagus permainannya daripada Kelompok Tenaga Dalam kita. Menyerang lawan dari pihak mereka dengan mengandalkan keterampilan bermain pedang sama artinya dengan bunuh diri.” Demikian pikir Yue Buqun.

Sebenarnya Nyonya Yue juga menyadari hal ini. Namun karena luka di kaki yang cukup parah serta keadaannya yang baru saja ditotok musuh sehingga tidak sempat mengobati diri sendiri, bahkan saat ini pun pendarahan pada luka tersebut masih belum berhenti, sehingga ia tidak mampu mengumpulkan tenaga dalam untuk menghadapi lawan. Oleh karena itu, Ning Zhongze merasa tidak mempunyai pilihan lain kecuali terus menyerang tanpa henti, meskipun kekuatan pedangnya semakin lama semakin berkurang.

Di lain pihak, setelah berlalu belasan jurus selanjutnya, Cong Buqi mulai mengetahui kelemahan Ning Zhongze tersebut. Laki-laki itu hanya tersenyum gembira, dan ia pun sengaja memperlambat irama permainannya dan ganti melancarkan jurus bertahan yang rapat untuk semakin menguras tenaga wanita itu.

Linghu Chong yang mengamati pertandingan dengan seksama dapat melihat ilmu pedang Cong Buqi sangat mengandalkan teknik dan jurus, tanpa disertai tenaga dalam sedikit pun. Hal ini jelas berbeda dengan ajaran gurunya yang lebih mengutamakan tenaga dalam daripada jurus pedang. “Pantas saja Perguruan Huashan terpecah menjadi Kelompok Tenaga Dalam dan Kelompok Pedang. Kedua pihak benar-benar menggunakan prinsip yang saling berlawanan,” pikir pemuda itu.

Perlahan-lahan Linghu Chong merangkak bangkit. Dipungutnya sebilah pedang yang kebetulan tergeletak di dekatnya. Dalam hati ia berkata, “Perguruan Huashan sudah kalah. Ibu Guru bukan tandingan laki-laki itu. Tapi aku tidak akan membiarkan bajingan itu melecehkan kehormatan Ibu Guru dan juga Adik Kecil. Baiklah, lebih baik dengan pedang ini aku bunuh Ibu Guru dan Adik Kecil untuk menjaga kehormatan Huashan, baru kemudian aku bunuh diri memotong leherku sendiri.”

Sementara itu permainan Ning Zhongze tampak semakin kacau dan tidak teratur. Akhirnya ia nekad menusuk ke depan menggunakan ilmu kebanggaannya, yaitu Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Meskipun Nyonya Yue sedang terluka cukup parah, namun gerakan jurus tersebut tetap saja terlihat menakutkan.

Cong Buqi terkejut dan segera melompat mundur dengan sangat cepat. Beruntung ia bisa menghindari serangan maut tersebut. Andai saja Ning Zhongze dalam keadaan sehat, tentu pihak lawan tidak akan mempunyai kesempatan untuk menghindar. Sebaliknya, Ning Zhongze sendiri baru saja menguras segenap tenaga untuk melancarkan jurus tersebut sehingga kini wajahnya terlihat pucat dan nafasnya terengah-engah. Bahkan untuk menyangga keseimbangan tubuh, pedang pun digunakan sebagai tongkat.

“Nyonya Yue, ada apa denganmu? Apa kau sudah kehabisan tenaga? Sekarang, izinkan aku menggeledah tubuhmu,” ujar Cong Buqi sambil melangkah maju dan mengangkat tangan kiri dalam keadaan terbuka. Selangkah demi selangkah laki-laki itu makin mendekati Ning Zhongze.

Nyonya Yue sendiri berusaha mengangkat pedangnya dan melanjutkan pertarungan. Akan tetapi, ia merasa berat luar biasa, sedikit pun tidak ada tenaga lagi.

“Tunggu dulu!” teriak Linghu Chong tiba-tiba. Perlahan-lahan pemuda itu melangkah ke depan Ning Zhongze dan kemudian berkata, “Ibu Guru!” Usai menyapa demikian ia mengacungkan pedang siap menusuk sang ibu-guru sampai mati.

Nyonya Yue tampak tersenyum gembira memahami maksud murid pertama suaminya itu. Ia mengangguk-angguk dan berkata, “Anak pintar!” Perasaan lega membuatnya tak kuasa berdiri lagi dan ia pun jatuh terduduk di atas tanah berlumpur.

Melihat itu Cong Buqi membentak, “Apa yang kau lakukan? Enyah kau!” Bersamaan dengan itu ia pun menusuk ke arah tenggorokan Linghu Chong.

Linghu Chong sendiri menyadari bahwa dirinya tidak mampu mengerahkan tenaga dalam sama sekali. Apabila ia menangkis serangan tersebut, maka pedangnya sendiri yang akan terpukul jatuh. Maka, yang ia lakukan justru mengacungkan pedang ke arah tenggorokan Cong Buqi pula. Dapat dibayangkan hasil akhir kejadian ini adalah kedua pihak mati bersama. Tusukan Linghu Chong ini sama sekali tidak memiliki kekuatan dahsyat. Akan tetapi, teknik yang sangat memesona tersebut adalah bagian dari ilmu Sembilan Pedang Dugu.

Tentu saja hal ini membuat Cong Buqi kelabakan. Ia sama sekali tidak menduga seorang bocah kotor akan melancarkan serangan balasan seperti ini. Tanpa pikir panjang, laki-laki itu langsung menjatuhkan diri ke samping dan bergulingan di tanah sampai beberapa meter jauhnya untuk menghindari pedang Linghu Chong. Terlambat sedetik saja, mungkin nyawanya sudah melayang.

Para hadirin menyaksikan keadaan Cong Buqi dengan tatapan prihatin. Cong Buqi pun melompat bangkit dengan berlumuran lumpur di sekujur tubuh dan wajahnya. Beberapa orang tidak kuasa menahan tawa melihatnya. Namun setelah menyadari bahwa Cong Buqi tidak punya pilihan lain, mereka pun langsung berhenti tertawa.

Akan tetapi, Cong Buqi sudah terlanjur malu. Ia pun melompat dengan cepat dan menerjang ke arah Linghu Chong.

Linghu Chong kini menyadari bagaimana ia harus menghadapi lawan. “Aku tidak boleh mengerahkan tenaga dalam sedikit pun karena hanya akan mencelakakan diriku sendiri. Aku harus menghadapi serangannya dengan menggunakan ilmu pedang seperti yang diajarkan Kakek Guru Feng,” pikir pemuda itu.

Linghu Chong sudah mulai akrab dengan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Ia tidak akan menggunakan jurus-jurus tersebut secara terang-terangan apabila tidak dalam keadaan genting dan mendesak. Kali ini dalam keadaan di antara hidup dan mati, entah bagaimana berbagai kilatan pikiran terlintas dalam benaknya, dan kesemuanya adalah cara-cara mematahkan jurus pedang, sebagaimana yang pernah diajarkan Feng Qingyang dulu. Maka begitu Cong Buqi menerjang seperti orang gila, Linghu Chong langsung menjemputnya dengan ujung pedang diacungkan miring ke depan. Sasarannya adalah perut lawan.

Cong Buqi kembali terkejut. Berdasarkan pengalaman, apabila ia melancarkan serangan seperti itu maka pihak musuh selalu berusaha menghindar atau menangkis. Oleh karena itu, ia tidak pernah memperhatikan bagian perutnya yang terbuka tanpa perlindungan. Namun kali ini ia bertemu lawan yang aneh. Bukannya menangkis, Linghu Chong justru membalas serangan tersebut dengan mengacungkan pedang ke arah perutnya.

Sebelum kakinya mendarat di tanah, Cong Buqi pun mengubah haluan serangan untuk menghindari bahaya. Dalam keadaan melayang di udara ia menebaskan pedang ke bawah untuk menjatuhkan pedang Linghu Chong. Namun Linghu Chong sudah melakukan gerakan antisipasi dengan lebih dulu menggeser pedang dan mengacungkannya ke atas, sehingga tebasan Cong Buqi hanya mengenai tempat kosong.

Keadaan selanjutnya sungguh di luar dugaan. Kini pedang Linghu Chong sudah mengarah ke dada lawan. Tadinya Cong Buqi berniat menjatuhkan pedang pemuda itu, siapa sangka justru kini ia yang berada dalam bahaya karena tidak menduga sama sekali kalau Linghu Chong justru melakukan gerakan seperti itu. Cong Buqi pun berteriak ngeri karena tidak mampu lagi menghindari maut di depan mata saat tubuhnya melayang jatuh menuju ujung pedang si pemuda.

Melihat adik seperguruannya dalam bahaya, Feng Buping segera melompat maju dan berhasil menangkap punggung Cong Buqi. Namun tindakannya sudah terlambat. Pedang Linghu Chong sudah lebih dulu menusuk bahu Cong Buqi.

Tanpa pikir lagi Feng Buping langsung mencabut pedang untuk menebas tengkuk Linghu Chong. Dalam keadaan biasa, Linghu Chong tentu akan melompat mundur dan membalas serangan. Namun Linghu Chong paham bahwa untuk melompat mundur dalam keadaan seperti itu harus mengerahkan tenaga dalam, dan itu akan mencelakakan diri sendiri. Tanpa ada pilihan lain, Linghu Chong pun menarik pedangnya dari bahu Cong Buqi untuk kemudian menusuk ke arah ulu hati Feng Buping. Gerakan ini juga bagian dari ilmu Sembilan Pedang Dugu. Sepertinya ini juga serangan bunuh diri yang dilakukan Linghu Chong. Akan tetapi, jika diperhitungkan maka pedang Linghu Chong akan lebih dulu menusuk perut lawan daripada pedang Feng Buping mengenai dirinya. Memang serangan mereka berdua hanya selisih satu detik, namun hasil akhirnya sungguh mencengangkan.

Tentu saja Feng Buping terkejut bukan main karena mengetahui meskipun si pemuda tidak bisa menghindari serangannya namun secara tiba-tiba melancarkan tusukan jitu ke arah ulu hatinya. “Sungguh serangan luar biasa!” pikir Feng Buping sambil melompat mundur beberapa langkah. Setelah menghirup nafas panjang, ia lalu menerjang maju dengan melancarkan tujuh serangan beruntun. Setiap serangan selalu lebih gencar daripada serangan sebelumnya. Kali ini Linghu Chong merasa seperti menghadapi terjangan angin badai.

Akan tetapi, Linghu Chong sendiri sudah tidak memikirkan hidup dan mati. Yang ada dalam pikirannya hanyalah segala teknik pedang yang pernah diajarkan Feng Qingyang tempo hari. Terkadang ia juga teringat pada gambar-gambar jurus yang terukir pada dinding gua di puncak Huashan. Berbekal jurus-jurus tersebut ia menyerang Feng Buping sekenanya dan sesuka hatinya. Tak terasa sudah enam puluh jurus terlewati, namun sekejap pun pedang mereka tidak pernah berbenturan. Baik itu gerakan menyerang ataupun bertahan, semua terlihat indah dan mengagumkan.

Menyaksikan pertandingan dahsyat tersebut, para hadirin hanya bisa terkagum-kagum dalam hati. Hampir semua orang dapat mendengar dengan jelas suara nafas Linghu Chong yang terengah-engah, pertanda ia sama sekali tidak memiliki tenaga dalam untuk melawan. Meskipun demikian, pemuda itu tetap mampu melahirkan gaya-gaya serangan baru yang tidak terduga sebelumnya. Gerakan-gerakan yang dilancarkannya benar-benar sukar ditebak oleh setiap orang. Setiap kali Feng Buping melancarkan serangan, entah bagaimana Linghu Chong mampu menghadapi dengan serangan balik pula; sama sekali tidak ada gerakan menangkis atau sejenisnya.

Feng Buping juga menyadari kalau Linghu Chong sama sekali tidak memiliki tenaga dalam. Maka, selain berusaha melukai tubuh Linghu Chong, ia juga berusaha memukul jatuh pedang milik pemuda itu. Maka, serangannya pun kemudian disertai dengan tenaga dalam yang sangat kuat.

Menyaksikan itu beberapa hadirin yang menonton dari jarak dekat mulai merasa kurang senang. Seorang pendeta dari Taishan pun menyindir, “Si paman dari Kelompok Pedang memiliki tenaga dalam lebih hebat, sedangkan si keponakan dari Kelompok Tenaga Dalam justru memiliki permainan pedang lebih bagus. Apa-apaan ini? Apakah kalian sudah bertukar seenaknya?”

Wajah Feng Buping bersemu merah mendengar ejekan itu. Ia pun melancarkan serangan yang semakin gencar dan lebih cepat dari sebelumnya, bagaikan hujan deras dan angin kencang. Bagaimanapun juga ia adalah pendekar terbaik dalam Kelompok Pedang di Perguruan Huashan. Sudah tentu ilmu pedangnya boleh dikata sangat memukau dan nyaris sempurna.

Linghu Chong sendiri sudah tidak memiliki tenaga cadangan untuk menghindar. Sisa-sisa tenaga yang ia miliki hanya digunakan untuk menjaga tubuhnya agar tetap berdiri tegak. Oleh sebab itu, ia kehilangan banyak kesempatan untuk melancarkan serangan yang bisa mengakhiri pertandingan. Di samping itu, ia sendiri juga belum benar-benar lancar dalam memainkan ilmu Sembilan Pedang Dugu sehingga mau tidak mau hatinya merasa gentar juga. Meskipun demikian, dalam pertarungan tersebut masih sulit ditentukan siapa yang menang, siapa yang kalah.

Setelah melewati tiga puluh jurus berikutnya, Linghu Chong menyadari apabila dirinya melancarkan serangan yang aneh dan sesuka hati, pihak lawan justru semakin sukar untuk mengatasi. Namun jika ia melancarkan jurus pedang Huashan, atau jurus-jurus Serikat Pedang Lima Gunung lainnya, maka dengan mudah Feng Buping dapat menghadapinya. Bahkan pada suatu kesempatan, hampir saja Feng Buping berhasil memenggal lengan kanannya. “Sungguh mengerikan!” Demikian pikir pemuda itu.

Dalam keadaan genting, Linghu Chong teringat nasihat Feng Qingyang, “Pedangmu tidak jelas arah serangannya, tentu musuhmu tidak dapat pula mengatasinya. Tanpa jurus untuk mengalahkan jurus adalah puncak kesempurnaan dari segala ilmu pedang.”

Tak terasa sudah lebih dari dua ratus jurus terlewati. Pemahaman Linghu Chong terhadap intisari ilmu Sembilan Pedang Dugu semakin baik dan semakin mendalam. Tak peduli betapa mengerikan gaya serangan yang dilancarkan Feng Buping tetap saja ia mampu melihat celah kelemahannya. Maka, serangan lawan pun dibalas dengan serangan pula, sehingga membuat Feng Buping yang masih sayang nyawa terpaksa membatalkan serangannya atau bergerak mundur untuk menjaga diri.

Setelah berlalu beberapa jurus berikutnya, rasa percaya diri Linghu Chong semakin meningkat. Ia terus-menerus teringat pada ajaran Feng Qingyang, “Tanpa jurus mengalahkan jurus.” Oleh sebab itu, ia selalu menghirup nafas dan menyerang sesuka hati tanpa arah yang jelas. Tanpa direncanakan tiba-tiba ia menusuk miring ke depan. Gerakannya ini seperti enteng tak bertenaga. Ini bukan bagian dari jurus pedang perguruan mana pun, juga bukan bagian dari ilmu Sembilan Pedang Dugu. Ujung pedangnya seperti mengarah ke timur, seperti mengarah ke barat, tidak menentu – bahkan, ia sendiri juga tidak tahu hendak mengarah ke mana.

“Jurus pedang apa pula ini?” tanya Feng Buping dalam hati. Karena tidak tahu bagaimana caranya mengatasi serangan tersebut, terpaksa ia hanya memutar pedangnya dengan kencang untuk melindungi tubuh bagian atas.

Karena gerakan Linghu Chong sama sekali tidak baku dan bisa berubah sesuai keadaan, maka begitu bagian atas tubuh lawan tertutup rapat, ia pun membelokkan ujung pedangnya mengarah ke bawah pinggang. Feng Buping yang tidak menduga sama sekali pun terkejut dan terpaksa melompat mundur.

Linghu Chong sendiri tidak sanggup untuk ikut melompat. Meskipun tidak menggunakan tenaga dalam sama sekali, namun menggerakkan pedang seperti tadi benar-benar menguras habis kekuatannya. Nafas pemuda itu terdengar payah dan tangan kirinya tampak memegangi dada.

Melihat keadaan lawan, Feng Buping ingin segera mengakhiri pertarungan. Ia pun menerjang maju dan melancarkan serangan ke arah dada, perut, dan pinggang Linghu Chong. Namun yang diserang sama sekali tidak menghindar, tetapi balas menyerang ke arah mata kiri Feng Buping. Tentu saja Feng Buping menjerit kaget dan kembali melompat mundur menyelamatkan diri.

Menyaksikan pertarungan tersebut seorang pendeta dari Perguruan Taishan memuji, “Sungguh aneh! Sungguh aneh! Ilmu pedang yang benar-benar hebat!”

Feng Buping sangat tersinggung karena pujian tersebut sudah tentu ditujukan kepada Linghu Chong. “Aku adalah pemimpin Kelompok Pedang yang berniat merebut Perguruan Huashan. Jika aku tidak bisa mengalahkan murid Kelompok Tenaga Dalam, tentu bukan hanya cita-citaku yang kandas, tetapi aku juga harus kembali mengasingkan diri karena sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu siapa pun di dunia persilatan.” Demikian ia berpikir. “Keadaan sudah sangat mendesak. Tidak ada lagi yang perlu aku sembunyikan!”

Sambil memekik lantang, Feng Buping pun menerjang maju kemudian menebaskan pedangnya dari samping secara cepat luar biasa. Secara bersamaan ia menyerang lima kali sehingga pedangnya mengeluarkan bunyi angin yang menderu kencang. Ia menebaskan pedangnya semakin cepat, dan bunyi angin pun terdengar semakin kencang pula.

Inilah yang disebut jurus Pedang Kilat Angin Puyuh yang diciptakan Feng Buping sewaktu ia mengasingkan diri di puncak Gunung Zhongtiao selama lima belas tahun. Setiap serangan dalam jurus ini selalu lebih dahsyat daripada serangan sebelumnya, serta suara angin yang ditimbulkan juga semakin kencang dari sebelumnya. Jurus ini merupakan jurus tertinggi yang dimiliki Feng Buping. Dengan berbekal ilmu pedang yang berjumlah seratus delapan jurus serangan tersebut, ia tidak hanya bercita-cita merebut kedudukan ketua Perguruan Huashan, tetapi juga ingin menjadi pemimpin Serikat Pedang Lima Gunung. Sebenarnya ia tidak ingin buru-buru memamerkan ilmu pedang tersebut dalam pertandingan kali ini, namun kini sudah terlanjur. Apabila kelak ia bertarung melawan ahli silat papan atas yang pernah mendengarnya, tentu jurus ini bukan menjadi senjata andalan lagi. Pihak lawan pasti sudah mempersiapkan jurus tertentu untuk menghadapinya. Akan tetapi, keadaan kali ini sudah begitu mendesak dan tidak ada gunanya untuk disembunyikan lagi. Jika ia tidak mampu mengalahkan seorang Linghu Chong, maka ia akan kehilangan muka untuk selama-lamanya. Maka, jurus pedang andalan ini pun menjadi usaha terakhir baginya untuk meraih kemenangan.

Daya tekanan jurus Pedang Kilat Angin Puyuh ini sungguh luar biasa. Tenaga yang terpancar dari ujung pedang Feng Buping perlahan-lahan semakin luas. Para hadirin merasa kedinginan dan muka masing-masing terasa sakit serta tidak nyaman karena tersapu angin pedang tersebut. Selangkah demi selangkah mereka pun mundur untuk menghindar.

Kali ini para penonton dari Perguruan Songshan, Taishan, dan Hengshan, serta pasangan suami-istri Yue Buqun tidak lagi berani memandang rendah terhadap Feng Buping. Mereka tidak hanya mengagumi kehebatan jurus pedang tersebut, tapi juga angin dahsyat yang ditimbulkan olehnya. “Feng Buping tidak hanya mengandalkan jurus pedang untuk memenangkan pertarungan. Tadinya ia bukan tokoh ternama di dunia persilatan. Siapa sangka ilmu pedangnya begitu luar biasa?” Demikian para hadirin berkata dalam hati.

Cahaya obor yang dipegang para hadirin tampak bergoyang-goyang bahkan sebagian ada yang padam terkena angin pedang Feng Buping. Di mata para hadirin, pertarungan mengerikan itu bagaikan menyaksikan sebuah perahu kecil yang diombang-ambingkan badai dan ombak samudera. Meskipun badai bertiup kencang dan ombak bergulung tinggi, namun perahu itu hanya naik turun mengikuti irama gelombang saja. Perahu sama sekali tidak bisa ditenggelamkan oleh badai dan ombak dahsyat tersebut.

Begitulah yang sedang dialami Linghu Chong. Semakin cepat Feng Buping melancarkan serangan, semakin membuat Linghu Chong memahami intisari Sembilan Pedang Dugu sebagaimana yang diajarkan Feng Qingyang dulu. Semakin mereka bertarung, semakin baik pemahaman Linghu Chong. Semakin ia mampu mengatasi jurus pedang lawan, semakin besar pula rasa percaya dirinya. Justru dalam keadaan ini Linghu Chong tidak ingin buru-buru menyelesaikan pertarungan, melainkan terus mengamati setiap serangan musuh dengan saksama.

Ilmu Pedang Kilat Angin Puyuh hanya meliputi seratus delapan jurus saja. Setelah dimainkan semuanya dalam waktu sebentar ternyata sudah habis. Feng Buping merasa gelisah karena tidak mampu membuat Linghu Chong menyerah kalah. Ia pun membentak-bentak murka dan menyerang dengan lebih sengit lagi untuk memancing Linghu Chong menangkis serangannya.

Linghu Chong agak ngeri juga melihat pihak lawan sudah bertingkah habis-habisan untuk memenangkan pertarungan. Khawatir pertarungan ini berlarut-larut, ia pun melancarkan empat serangan ke arah lawan. Tiba-tiba bertutut-turut kedua lengan dan kedua paha Feng Buping tertusuk semua. Tusukan tersebut membuat Feng Buping terkejut dan pedangnya sampai jatuh ke tanah.

Dikarenakan tenaga Linghu Chong yang lemah, maka keempat tusukan tersebut hanya menggores kulit lawan. Namun demikian, hal itu sudah cukup membuat Feng Buping kehilangan harga diri. Dengan wajah pucat pasi, pemimpin Kelompok Pedang tersebut berseru, “Sudahlah, sudah cukup!”

Ia kemudian berjalan menghampiri Ding Mian, Lu Bai, dan Tang Ying’e. Sambil memberi hormat, ia pun berkata, “Saudara bertiga dari Songshan, tolong sampaikan kepada Ketua Zuo bahwa aku sangat berterima kasih atas bantuan Beliau. Hanya sayang... hanya sayang kepandaianku belum cukup. Aku sungguh malu… sungguh malu….”

Feng Buping tidak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Sekali lagi ia memberi hormat, kemudian bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Namun setelah belasan langkah, ia menoleh ke belakang dan bertanya, “Anak Muda, ilmu pedangmu sungguh hebat dan lihai. Aku mengaku kalah. Tapi, sepertinya jurus-jurusmu yang menakjubkan tadi bukan hasil didikan Yue Buqun. Jika diizinkan, tolong beri tahu siapa namamu, dan siapa pula pendekar besar yang telah mengajarimu, supaya aku tidak penasaran terhadap siapa dan apa yang telah mengalahkanku.”

Linghu Chong menjawab, “Namaku Linghu Chong. Aku murid pertama dari Pendekar Yue Buqun yang budiman. Aku bisa menang juga karena belas kasihan dari Tuan yang sudi mengalah. Mengenai hal ini rasanya tidak perlu untuk dibanggakan.”

Feng Buping menghela nafas panjang, yang terdengar seolah ingin menunjukkan kegelisahan hatinya yang penuh rasa kecewa dan patah semangat. Perlahan ia melangkah pergi dan akhirnya hilang ditelan kegelapan malam.

Ding Mian, Lu Bai, dan Tang Ying’e hanya saling pandang satu sama lain. Masing-masing dari mereka berpikir, “Ilmu pedang kami mungkin tidak sebagus Feng Buping, sehingga tidak ada gunanya jika kami maju menghadapi Linghu Chong. Apabila kami bertiga maju bersama-sama, bisa jadi Linghu Chong dapat dikalahkan. Namun, di sini banyak para pendekar dari perguruan lain. Main keroyok hanya akan mendatangkan masalah baru yang dapat berpengaruh buruk bagi nama baik Perguruan Songshan.”

Karena sama-sama berpikir demikian, mereka bertiga pun mengangguk-anggukkan kepala. Ding Mian kemudian berkata dengan suara keras, “Keponakan Linghu, ilmu pedangmu benar-benar hebat, membuat kami semua bertambah pengalaman. Sampai jumpa di lain kesempatan!”

“Ayo jalan!” seru Tang Ying’e yang kemudian melecutkan cambuknya. Kudanya pun berlari meninggalkan tempat itu, diikuti seluruh rombongan Serikat Pedang Lima Gunung lainnya. Hanya dalam waktu singkat mereka sudah menghilang di kegelapan malam. Yang terdengar sayup-sayup hanya derap kaki kuda yang makin lama makin menjauh.

Kini yang tertinggal hanyalah orang-orang Huashan dan kelima belas laki-laki bercadar tadi. Si orang tua tertawa lalu berkata, “Pendekar muda Linghu, kami sungguh-sungguh kagum melihat ilmu pedangmu yang luar biasa hebat. Kepandaian Yue Buqun masih berada sangat jauh di bawahmu. Seharusnya kau yang menjadi ketua Perguruan Huashan.”

Linghu Chong diam tidak menjawab. Hanya nafasnya yang terengah-engah terdengar jelas oleh para penjahat itu.

“Melihat kepandaianmu tadi kami seharusnya tahu diri dan mundur teratur,” lanjut si orang tua. “Tapi kami sudah terlanjur mengganggu Perguruan Huashan kalian. Jika kami mundur maka suatu hari nanti giliran kalian yang akan membalas kami. Untuk itu, kami harus mencabut rumput sampai ke akar-akarnya. Tidak ada jalan lain, kami terpaksa harus mengeroyokmu bersama-sama.”

Usai berkata demikian, orang tua itu memberi isyarat dan keempat belas kawannya langsung ikut mengepung rapat Linghu Chong membentuk suatu lingkaran. Obor-obor yang ditinggalkan rombongan Ding Mian masih berserakan di tanah dan belum padam. Samar-samar Linghu Chong bisa melihat tubuh bagian bawah kelima belas orang bercadar itu yang masing-masing menggunakan senjata berbeda-beda.

Mau tidak mau timbul rasa khawatir dalam hati Linghu Chong. Dalam pertarungan melawan Feng Buping tadi memang ia tidak menggunakan tenaga dalam, tapi tetap saja membuatnya sangat letih dan kelelahan. Dengan berbekal ilmu Sembilan Pedang Dugu ia berhasil mengalahkan semua jurus pedang yang dikerahkan Feng Buping. Akan tetapi, saat ini yang ia hadapi adalah lima belas orang musuh dengan senjata berbeda-beda, sehingga tentu saja memiliki jurus yang berbeda-beda pula. Apabila mereka nanti maju bersama-sama, tentu akan sulit untuk mengalahkan mereka satu per satu meskipun dengan mengandalkan ilmu Sembilan Pedang Dugu. Andaikan Linghu Chong masih memiliki tenaga dalam rasanya juga percuma, karena kelima belas orang itu mengepung rapat dirinya dari segala arah.

Dalam keadaan putus asa itu Linghu Chong menghela nafas dan memandang ke arah Yue Lingshan. Ia merasa mungkin ini adalah untuk yang terakhir kalinya ia dapat memandang wajah gadis yang sangat ia cintai itu. Ternyata tatapan mata Yue Lingshan kepadanya juga menunjukkan wajah penuh rasa cemas dan khawatir. Sungguh senang perasaan Linghu Chong tak terkatakan. Dalam saat-saat terakhir ia masih sempat melihat adik kecilnya itu menunjukkan kasih sayang kepadanya.

Akan tetapi, ketika Linghu Chong melirik ke samping, tampak samar-samar tangan Yue Lingshan bergenggaman erat dengan tangan seorang pemuda, yang tidak lain adalah Lin Pingzhi. Seketika Linghu Chong merasa hatinya disayat-sayat. Semangat bertempurnya patah. Rasanya ia ingin membuang senjata dan membiarkan kelima belas senjata lawan menghabisi nyawanya.

Di lain pihak, kelima belas orang bercadar ternyata tidak berani mendahului serangan karena masing-masing tidak ingin bernasib seperti Feng Buping. Mereka hanya maju selangkah demi selangkah dan semakin rapat mengepung Linghu Chong.

Dalam kegelapan itu Linghu Chong samar-samar dapat melihat lima belas pasang mata para pengepungnya yang berkedip-kedip bagaikan binatang buas sedang mengincar mangsa. Penuh dengan tatapan keji dan sikap bermusuhan. Menyaksikan itu membuat dirinya teringat sesuatu.

“Aku ingat, dalam ilmu Sembilan Pedang Dugu ada satu jurus yang bernama Cara Mengalahkan Senjata Rahasia. Tak peduli berapa pun banyaknya senjata rahasia atau anak panah yang berhamburan, aku bisa mengatasinya tanpa masalah. Semua bisa disapu secara bersamaan.”

Sekejap kemudian terdengar suara si orang tua berseru memberi perintah, “Maju semua! Habisi dia!”

Tanpa pikir lagi Linghu Chong pun menggerakkan pedangnya secara melingkar mengelilingi dirinya. Ia membayangkan lima belas pasang mata yang mengepungnya bagaikan tiga puluh senjata rahasia yang sedang berhamburan. Sekejap kemudian terdengar suara jerit kesakitan orang-orang bercadar itu, serta suara senjata berjatuhan di tanah. Rupanya dengan memainkan jurus Cara Mengalahkan Senjata Rahasia, Linghu Chong berhasil membutakan tiga puluh biji mata para pengepungnya secara sekaligus.

Jurus Cara Mengalahkan Senjata Rahasia dalam ilmu Sembilan Pedang Dugu memang dapat menyapu bersih semua jenis senjata rahasia ataupun anak panah yang dilepaskan musuh, berapa pun banyaknya. Jurus ini sangat sulit karena membutuhkan tusukan yang jitu. Sekali menusuk harus bisa menjatuhkan senjata yang dilemparkan. Jika tidak, tentu senjata rahasia itu akan terus menerjang maju. Linghu Chong sendiri belum terlalu lihai dalam memainkan jurus ini. Akan tetapi, untuk menusuk mata musuh tentu lebih mudah daripada menusuk senjata rahasia yang melayang kencang. Itulah sebabnya, ia dapat membutakan semua mata kelima belas orang bercadar itu dengan sangat jitu.

Setelah melakukan serangan yang luar biasa itu, Linghu Chong melangkah sempoyongan melewati para pengepungnya yang menjerit-jerit kesakitan. Setelah berada di dekat kuil tua, ia langsung memegangi ambang pintu dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Menyusul kemudian pedangnya pun terlepas dari genggaman.

Ketika menoleh ke belakang, tampak kelima belas penjahat bercadar itu kelabakan sambil menutupi mata masing-masing. Darah segar merembes keluar melalui sela-sela jari tangan mereka. Ada yang berjongkok merintih, ada yang berlari-lari seperti lalat tak berkepala, ada pula yang berguling-guling di dalam kubangan lumpur. Andai saja mereka tetap bersikap tenang, tentu Linghu Chong dapat mereka habisi seperti daging cincang. Namun, semua itu dapat dimaklumi. Bagaimanapun tingginya ilmu kesaktian seseorang, apabila kehilangan penglihatan secara tiba-tiba, tentu akan membuatnya gentar dan tidak sanggup lagi melanjutkan pertarungan.

Dalam keadaan genting, Linghu Chong berniat melancarkan serangan lanjutan. Akan tetapi ia merasa kasihan bercampur ngeri melihat pemandangan tersebut.

Di sisi lain, Yue Buqun juga merasa heran bercampur gembira. Ia pun membentak, “Chong’er, cepat putuskan urat kaki mereka! Setelah itu kita bisa periksa dan tanyai asal-usul mereka.”

“Baik... baik....” jawab Linghu Chong sambil berjongkok meraih pedangnya. Tidak disangka tenaganya kali ini sudah benar-benar habis. Tubuhnya semakin gemetar dan tangannya tidak kuat lagi mengangkat pedang.

Sementara itu si tua berseru, “Kawan-kawan, lekas pungut senjata masing-masing dengan tangan kanan, dan raih ikat pinggang kawan terdekat dengan tangan kiri! Kita pergi meninggalkan tempat ini. Dengarkan arah suaraku!”

Keempat belas kawannya semula tidak tahu harus berbuat apa. Maka begitu mendengar teriakan tersebut, mereka langsung berjongkok dan meraba-raba tanah. Masing-masing segera memungut senjata yang mereka temukan, tidak peduli itu milik siapa. Ada yang memungut lebih dari satu, ada pula yang tidak menemukan apa-apa di tanah. Kemudian mereka pun saling memegang ikat pinggang kawan yang ada di dekat masing-masing sehingga membentuk satu barisan, di mana si orang tua berada di urutan paling depan. Dengan langkah tak menentu mereka pun berjalan menembus kegelapan malam gerimis.

Selain Ning Zhongze dan Linghu Chong, semua anggota Perguruan Huashan dalam keadaan tertotok tanpa bisa bergerak sedikit pun. Ning Zhongze dalam keadaan terluka cukup parah di bagian kaki sehingga tidak mampu berjalan, sedangkan Linghu Chong sendiri kehabisan tenaga dan hanya terbaring lemah di atas tanah berlumpur. Maka itu, orang-orang Huashan tersebut hanya bisa memandang kelima belas musuh pergi tanpa bisa berbuat apa-apa.

Setelah musuh menjauh, keadaan menjadi begitu sepi. Yang terdengar kini hanyalah suara nafas orang-orang Huashan di halaman kuil tua tersebut. Tiba-tiba terdengar Yue Buqun berkata, “Pendekar Linghu, mengapa kau tidak segera membuka totokan kami? Apa kami harus memohon belas kasihanmu supaya sudi menolong kami?”

Kontan saja Linghu Chong terkejut. Ia berkata dengan suara gemetar, “Guru... Guru, mengapa.... mengapa Guru bercanda seperti itu? Saya akan... saya akan segera membuka totokan Guru.”

Segera ia merangkak bangun dan melangkah gontai mendekati Yue Buqun. “Guru... mana... mana titik nadi yang harus dibuka?”

Yue Buqun merasa sangat gusar tak terkatakan. Teringat kembali olehnya bagaimana Linghu Chong bersandiwara di lereng Gunung Huashan untuk membebaskan Tian Boguang. Kali ini ia pun mengira Linghu Chong sengaja melepaskan kelima belas penjahat bercadar tadi, serta sengaja mengulur waktu untuk tidak segera membuka totokan pada tubuhnya. Dengan bengis ia menjawab, “Tidak perlu lagi.”

Usai berkata demikian Yue Buqun mengerahkan tenaga dalam Awan Lembayung sekuat-kuatnya untuk membuka titik nadi yang tertotok itu. Sejak tadi ia diam-diam sudah berusaha membuka totokan tersebut namun sulit sekali. Orang bercadar yang menotoknya sungguh memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Beberapa titik nadi Yue Buqun yang ditotok olehnya adalah titik nadi utama, yaitu Yu-Zhen, Tan-Zhong, Ju-Zhui, Jian-Zhen, dan Zhi-Tang. Setiap kali ia mengerahkan tenaga untuk membuka totokan tersebut, entah bagaimana ada suatu penghalang yang membendung di titik-titik tersebut, yang akhirnya mengurangi kekuatan ilmu Awan Lembayung.

Linghu Chong sendiri ingin sekali membantu sang guru membuka totokan tersebut, namun tidak memiliki tenaga sama sekali. Berkali-kali ia mencoba mengangkat lengan, namun setiap kali mengerahkan tenaga selalu saja yang ia rasakan adalah sakit luar biasa, mata berkunang-kunang, telinga berdengung, dan hampir saja jatuh pingsan. Terpaksa ia hanya duduk di samping Yue Buqun dan menunggu sang guru membuka sendiri totokannya.

Ning Zhongze tampak masih terbaring lemah di atas tanah. Dalam pertarungan melawan Cong Buqi tadi ia mengalami kecelakaan dalam mengalirkan tenaga dalam untuk mengerahkan Jurus Tunggal Pedang Ning Tanpa Tanding. Akibatnya, kini ia tidak hanya kesulitan menghimpun tenaga, tapi bahkan tidak mampu menggerakkan tangan untuk merawat luka di kaki.

Menjelang fajar tiba barulah hujan berhenti. Keadaan sudah mulai terang. Dari kepala Yue Buqun tampak asap putih mengepul, pertanda ia masih berjuang mengerahkan tenaga dalam untuk membuka totokan musuh. Mukanya yang bersemu ungu pun terlihat semakin tandas. Akhirnya ia menjerit singkat pertanda semua totokan pada tubuhnya telah terbuka. Dengan cepat ia melompat bangun dan segera bekerja membuka satu per satu totokan pada tubuh murid-muridnya. Ada yang ditepuk, ada pula yang diremas. Hanya sekejap saja mereka pun terbebas dari siksaan sepanjang malam tersebut.

Terakhir ia memapah istrinya. Setelah Ning Zhongze bangun dalam keadaan terduduk, ia pun mengalirkan tenaga dalam untuk melancarkan aliran darah sang istri. Setelah itu, Yue Lingshan mendekat dan mengobati luka pada kaki ibunya tersebut.

Teringat pada kejadian yang nyaris merenggut nyawa mereka tadi malam, membuat para murid Huashan masih saja gemetar. Mereka bersyukur karena merasa seperti mendapat hidup baru. Namun begitu melihat mayat Liang Fa yang tanpa kepala, mau tidak mau membuat mereka berlinang air mata. Bahkan, beberapa murid perempuan sampai menangis meraung-raung. Masing-masing dari murid-murid Huashan tersebut berpikir, “Untunglah, Kakak Pertama dapat mengalahkan para penjahat itu. Kalau tidak, entah bagaimana nasib kita ini?”

Saat itu Linghu Chong masih tergeletak di atas tanah berlumpur. Gao Genming segera membantunya bangun. Yue Buqun tampak memandangi murid pertamanya itu dengan tatapan dingin. Ia bertanya, “Apa kau tahu asal-usul kelima belas orang bercadar itu?”

“Saya... saya tidak kenal mereka,” jawab Linghu Chong.

“Kau tidak kenal mereka? Apa mereka bukan teman-temanmu?” desak Yue Buqun.

“Saya belum pernah bertemu mereka, kecuali tadi malam,” jawab Linghu Chong gugup.

“Jika demikian, mengapa kau tidak mematuhi perintahku untuk menahan mereka? Mengapa kau tidak memutus urat kaki mereka?” tanya Yue Buqun kembali.

“Saya sudah... tidak punya tenaga. Seluruh tubuh terasa... terasa lemas. Bahkan sekarang… sekarang pun….” jawab Linghu Chong sambil mencoba berdiri, namun kesulitan.

“Kau sungguh pandai berpura-pura,” ujar Yue Buqun.

Linghu Chong gemetar dan berkeringat dingin. Ia segera berlutut di hadapan sang guru. “Sejak kecil saya sudah yatim piatu. Atas budi baik Guru dan Ibu Guru, saya telah dirawat sampai besar, bagaikan putra sendiri... Selama ini saya memang bukan murid yang baik. Tetapi… tetapi saya tidak berani... tidak berani membantah perintah Guru dan Ibu Guru.”

“Tidak berani?” sahut Yue Buqun sambil mencibir. “Hm, lantas ilmu pedangmu tadi kau peroleh dari mana? Apakah hasil didikan dewa mimpi, atau mendadak jatuh dari langit?”

Berulang kali Linghu Chong menyembah, kemudian menjawab, “Saya pantas dihukum mati. Tapi orang yang mengajari saya mengharuskan saya untuk berjanji tidak akan memberitahukan kepada siapa pun juga tentang asal-usul ilmu pedang ini. Terpaksa, saya tidak bisa memberi tahu Guru dan Ibu Guru tentang siapa orang itu.”

“Tentu saja, tentu saja. Ilmu silatmu sekarang sudah setinggi langit, pantas kalau kau sudah tidak memandang pada guru dan ibu-gurumu lagi. Mana mungkin ilmu pedang Huashan yang remeh ini bisa dibandingkan dengan ilmu pedangmu yang mahasakti itu?” sahut Yue Buqun. “Orang tua bercadar tadi benar. Kau memang lebih pantas menjadi ketua Perguruan Huashan.”

Linghu Chong tidak berani menjawab. Ia hanya menyembah sambil pikirannya bergejolak, “Jika aku berterus terang mengenai ilmu Sembilan Pedang Dugu, tentu Guru dan Ibu Guru akan memaafkanku. Tapi seorang laki-laki sejati harus bisa memegang janji. Seorang penjahat cabul bernama Tian Boguang saja tidak bersedia membocorkan keberadaan Kakek Guru Feng meskipun disiksa sedemikian beratnya oleh Enam Dewa Lembah Persik. Apalagi aku, yang telah menerima budi baik dari Beliau. Aku tidak boleh mengkhianati kepercayaan Kakek Guru Feng. Rasa hormatku kepada Guru dan Ibu Guru tulus dari hati. Langit menjadi saksi. Biarlah aku menanggung beban ini untuk sementara waktu.”

Maka ia kemudian berkata, “Guru dan Ibu Guru, sama sekali saya tidak bermaksud membangkang perintah Guru berdua. Namun saya sudah terlanjur berjanji untuk tidak mengatakannya. Berilah saya waktu untuk meminta izin kepada sesepuh yang telah mengajari saya itu supaya bisa menceritakan semua yang terjadi kepada Guru berdua. Jika sudah demikian, saya tidak perlu takut lagi untuk menceritakan dengan sejelas-jelasnya.”

“Baiklah! Sekarang kau boleh bangun,” kata Yue Buqun.

Linghu Chong menyembah tiga kali, kemudian mencoba untuk bangkit. Akan tetapi, baru saja sebelah kakinya menjejak tanah, tubuhnya kembali gemetar dan ia pun jatuh terduduk. Lin Pingzhi yang ada di dekatnya segera membantunya bangun.

“Hm, ilmu pedangmu hebat, tapi sandiwaramu jauh lebih hebat,” ujar Yue Buqun.

Linghu Chong hanya terdiam tak berani menjawab. Dalam benaknya terlintas pikiran, “Selamanya aku tidak akan pernah melupakan budi baik Guru. Biarlah untuk kali ini Guru menyalahkanku. Tapi suatu hari nanti, kebenaran pasti akan terungkap. Kejadian ini memang sangat aneh dan ganjil. Aku bisa memaklumi kesalahpahaman Guru terhadapku.”

Ning Zhongze menanggapi masalah ini dengan suara lembut, “Jika bukan karena ilmu pedang Chong’er yang hebat tadi, mungkin Perguruan Huashan kita sudah musnah. Mungkin saat ini para murid perempuan juga sudah menderita karena dilecehkan oleh para penjahat itu. Entah siapa sesepuh yang telah mengajari Chong’er ilmu pedang bagus, yang jelas kita semua sudah ikut merasakan manfaatnya. Mengenai kawanan penjahat bercadar itu, suatu hari nanti pasti kita dapat mengetahui asal-usul mereka. Mana mungkin mereka adalah teman-teman Chong’er? Bukankah mereka hendak mencincang tubuh Chong’er bersama-sama? Bukankah Chong’er telah membutakan mata mereka semua?”

“Anak ini punya banyak akal,” kata Yue Buqun yang seolah-olah tidak menghiraukan setiap perkataan istrinya tadi.

Sementara itu murid-murid Huashan lainnya telah berbagi tugas. Sebagian ada yang memasak makanan, sebagian ada yang membersihkan ruangan kuil, dan ada pula yang memakamkan jenazah Liang Fa. Setelah sarapan pagi mereka semua mengganti pakaian masing-masing yang telah basah dan kotor. Setelah itu mereka tinggal menunggu perintah Yue Buqun sambil bertanya-tanya dalam hati, “Apakah kita masih perlu melanjutkan perjalanan ke Gunung Songshan? Bukankah Feng Buping sudah dikalahkan Kakak Pertama? Apa mungkin dia masih berani mencari masalah dengan kita?”

Ternyata Yue Buqun masih meminta pertimbangan sang istri. “Adik, menurut pendapatmu, kita sebaiknya ke mana?”

Ning Zhongze masih ingat kalau tujuan mereka turun gunung sebenarnya bukan untuk meminta keadilan kepada Zuo Lengchan di Gunung Songshan, melainkan untuk mengungsi menghindari serangan balas dendam Enam Dewa Lembah Persik. Maka, wanita itu pun menjawab, “Kita memang sudah tidak perlu lagi pergi ke Gunung Songshan. Tapi kita sudah terlanjur turun gunung, rasanya tidak perlu buru-buru pulang ke Huashan.”

“Benar juga. Kita tidak ada kepentingan mendesak lainnya,” jawab Yue Buqun. “Tidak ada salahnya kalau kita pergi berpesiar supaya para murid bertambah pengalaman.”

“Bagus sekali! Ayah....” seru Yue Lingshan gembira. Namun begitu teringat Liang Fa yang baru saja terbunuh, ia langsung terdiam tanpa melanjutkan kata-kata, melainkan hanya bertepuk satu kali saja.

“Hm, sepertinya kau senang sekali begitu mendengar kita akan pergi berpesiar. Baiklah, untuk saat ini kau boleh bersenang-senang,” ujar Yue Buqun tersenyum. “Shan’er, coba katakan ke mana sebaiknya kita pergi?” Sambil berkata demikian, ia kemudian menoleh ke arah Lin Pingzhi.

Yue Lingshan menjawab, “Ayah, apabila kita ingin bersenang-senang, sebaiknya kita berpesiar yang jauh sekalian. Makin jauh makin baik. Jangan buru-buru pulang. Bagaimana kalau kita pergi ke... kita pergi ke rumah Lin Kecil. Memang Kakak Kedua dan aku pernah pergi ke Fuzhou. Tetapi saat itu kami sedang dalam tugas penyamaran. Tentu saja kami tidak sempat bersenang-senang. Lin Kecil pernah bilang buah lengkeng Fujian besar-besar dan manis-manis. Di sana juga ada jeruk segar, pohon banyan, serta bunga bakung.”

Nyonya Yue menggeleng dan berkata, “Provinsi Fujian jaraknya terlalu jauh dari sini. Dari mana kita punya biaya untuk rombongan sebanyak ini? Jangan-jangan kita harus menjadi anggota Partai Pengemis dan meniru cara mereka berkelana sambil meminta-minta.”

Lin Pingzhi ikut bicara, “Guru dan Ibu Guru, bagaimana kalau kita pergi ke Provinsi Henan? Jaraknya hanya dua hari perjalanan dari sini. Kakek saya tinggal di Kota Luoyang.”

Ning Zhongze menjawab, “Benar juga. Kakekmu dari pihak ibu bukankah Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding?”

“Ayah dan Ibu sudah meninggal. Saya ingin mengunjungi Kakek dan Nenek untuk memberitahukan hal itu secara rinci,” kata Lin Pingzhi. “Apabila Guru dan Ibu Guru, serta kakak-kakak sekalian sudi ikut mampir ke rumah Kakek dan tinggal di sana beberapa hari, tentu Beliau akan merasa mendapatkan kehormatan besar. Baru setelah itu kita bisa melanjutkan perjalanan ke Fujian. Mengenai biaya tidak perlu khawatir. Saya pernah mengambil benda-benda berharga yang dirampas Perguruan Qingcheng dari Biro Ekspedisi Fuwei kami di cabang Changsa.”

Meskipun Ning Zhongze telah menusuk Dewa Buah Persik, namun tetap saja hatinya dicekam ketakutan sewaktu teringat bagaimana orang-orang aneh dari Lembah Persik itu mementang dan mengangkat tubuhnya ke udara. Ia masih teringat bagaimana kematian Cheng Buyou yang mengerikan, dengan mayat terbelah menjadi empat dan isi perut berhamburan di mana-mana. Kejadian tersebut telah menjadi mimpi buruk yang selalu menghantui wanita itu. Ia tidak pernah lupa kalau perjalanan ke Gunung Songshan hanyalah untuk mengalihkan perhatian saja. Kini begitu melihat Lin Pingzhi mengajak semua orang untuk pergi ke Fujian setelah mendapat isyarat dari Yue Buqun, Ning Zhongze pun merasa melanjutkan perjalanan adalah pilihan yang lebih baik daripada kembali ke Huashan. Di samping itu, ia dan suami juga belum pernah mengunjungi daerah selatan, sehingga tidak ada salahnya untuk pergi ke sana.

Berpikir demikian, Ning Zhongze pun tersenyum senang dan berkata, “Kakak, Pingzhi telah menyatakan siap menanggung makanan dan tempat tinggal. Bagaimana kalau kita menerima ajakannya?”

Yue Buqun tersenyum dan menjawab, “Kakek Pingzhi adalah Si Golok Emas Tanpa Tanding yang sangat terpandang. Sudah lama aku ingin berkenalan dengan Beliau, namun sampai saat ini belum juga terkabulkan. Selain itu di daerah Fujian juga terdapat Biara Shaolin Cabang Selatan yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ternama. Baiklah, aku setuju untuk pergi ke Luoyang dan Fujian. Jika di sana kita dapat menjalin persahabatan dengan beberapa kawan baru, maka perjalanan ini tidak sia-sia.”

Mendengar ucapan sang guru bahwa rombongan akan melanjutkan perjalanan ke Luoyang dan Fujian untuk berwisata membuat murid-murid Huashan pun bersorak gembira, terutama Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Hanya Linghu Chong yang terlihat murung. Pemuda itu berpikir, “Untuk apa Guru dan Ibu Guru memutuskan pergi ke Luoyang dan Fujian yang jaraknya ribuan Li dari sini? Aku tahu, pasti tujuan ke Luoyang adalah untuk menemui kakek dan nenek Adik Lin, supaya Adik Lin dan Adik Kecil bisa dijodohkan di sana. Setelah itu rombongan ini menuju ke Fujian. Bisa jadi, mereka berdua kemudian dinikahkan di sana... Aku hanya seorang yatim piatu. Tanpa sanak, tanpa saudara. Mana bisa dibandingkan dengan seorang majikan muda Biro Ekspedisi Fuwei yang kantor cabangnya tersebar di mana-mana? Apalagi kakeknya yang bernama Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding sangat dihormati Guru. Kali ini rombongan kami hendak menemuinya, untuk apa aku ikut serta?”

Perasaan Linghu Chong semakin kesal melihat adik-adik seperguruannya yang bergembira ria seolah-olah sudah melupakan kematian Liang Fa yang mengenaskan. Ia kemudian berpikir, “Nanti kalau bermalam di suatu penginapan, biarlah aku meloloskan diri tengah malam. Mana mungkin aku bisa ikut perjalanan yang menggunakan biaya dari Adik Lin, serta tinggal di rumahnya sambil menahan perasaan sedih saat mengucapkan selamat kepada Adik Lin dan Adik Kecil?”

Maka, sewaktu rombongan Huashan tersebut melanjutkan perjalanan, dengan semangat lesu dan badan lemas Linghu Chong melangkah gontai di belakang. Karena jalannya makin lama makin lambat, ia akhirnya tertinggal jauh. Mendekati tengah hari keadaannya bertambah payah. Ia tidak tahan lagi dan duduk beristirahat di atas batu di tepi jalan dengan nafas tersengal-sengal. Tiba-tiba Lao Denuo datang berlari padanya. “Kakak Pertama, bagaimana keadaanmu? Apa kau lelah? Biar aku temani.”

“Terima kasih banyak,” jawab Linghu Chong.

“Ibu Guru telah menyewa sebuah kereta di kota sana dan sebentar lagi akan datang ke sini menjemputmu,” lanjut Lao Denuo.

Linghu Chong merasa sangat terharu. Dadanya terasa hangat membayangkan meski sang guru menaruh curiga kepadanya, namun ibu-guru ternyata masih tetap bersikap baik dan penuh perhatian. Benar juga. Tidak lama kemudian datang sebuah kereta yang ditarik keledai ke tempat itu. Linghu Chong segera masuk ke dalamnya didampingi Lao Denuo.

Sejak itu, Lao Denuo selalu mendampingi dan menyertai Linghu Chong kemana pun juga. Bahkan, saat bermalam di penginapan pun mereka tidur dalam kamar yang sama. Selama dua hari mereka tidak pernah berpisah. Tentu saja ini membuat Linghu Chong merasa terharu dan berterima kasih atas perhatian adik keduanya tersebut.

“Saat Adik Lao bergabung dengan Perguruan Huashan, ia sudah berpengalaman dan memiliki beberapa macam ilmu silat. Selain itu usianya juga jauh lebih tua dariku. Biasanya dia sangat jarang berbicara denganku. Siapa sangka sekarang ia menjadi saudaraku yang paling dekat dan paling memerhatikanku? Adik-adik yang lain pasti tidak berani berbicara denganku karena takut kepada Guru yang telah memarahiku di depan kuil tua tempo hari. Sekarang aku tahu siapa yang tulus kepadaku dan siapa yang tidak. Benar juga kata pepatah, jarak yang jauh akan mengukur kekuatan kuda. Ternyata ini juga berlaku untuk isi hati manusia.”

Apa yang dipikirkan Linghu Chong ternyata tidak benar. Tak disangka pada malam ketiga tanpa sengaja ia mendengar adik perguruannya yang paling kecil, yaitu Shu Qi, berbisik di luar kamar kepada Lao Denuo, “Kakak Kedua, Guru menyuruhku bertanya kepadamu apakah hari ini Kakak Pertama memperlihatkan gerak-gerik yang mencurigakan?”

Terdengar Lao Denuo menjawab dengan suara berbisik, “Ssst, jangan keras-keras! Kita keluar saja.”

Keringat dingin pun mengalir membasahi dahi Linghu Chong. Hanya dari pembicaraan tersebut sudah cukup baginya untuk membuat kesimpulan bahwa sang guru benar-benar curiga kepadanya. Ternyata Lao Denuo selama ini bersama dirinya hanyalah karena menjalankan perintah sang guru untuk mengawasinya secara diam-diam.

Saat itu Shu Qi sudah mengendap-endap pergi, sementara Lao Denuo mendekati ranjang untuk memeriksa apakah Linghu Chong telah tertidur atau belum. Sebenarnya Linghu Chong ingin sekali bangun dan membentak adik keduanya itu, namun ia kemudian sadar kalau Lao Denuo hanya menjalankan tugas dari sang guru. Maka, ia pun menahan diri dan pura-pura tidur nyenyak.

Lao Denuo kemudian melangkah keluar kamar. Linghu Chong yakin kalau kepergiannya adalah untuk menyampaikan laporan kepada sang guru. Pemuda itu kembali berpikir, “Hm, aku tidak berbuat salah. Sekalipun kalian berjumlah seratus atau dua ratus orang mengawasiku siang dan malam, aku tidak takut. Tidak ada yang perlu kusembunyikan.”

Karena perasaannya sedang dirundung kemarahan membuat dadanya terasa sesak dan nafas menjadi kacau. Dengan sendirinya, sedikit tenaga dalam pun mengalir keluar untuk mengatasi keadaan. Akan tetapi, dengan munculnya aliran tenaga dalam ini justru membuat Linghu Chong semakin menderita. Ia pun meremas bantal dengan nafas terengah-engah. Selang agak lama, rasa sakit perlahan sirna.

Perlahan-lahan pemuda itu bangkit untuk duduk. Tangannya hendak meraih baju dan sepatu, sambil berpikir, “Jika Guru sudah tidak menganggapku sebagai murid dan menempatkan orang untuk mengawasiku seperti maling, lalu untuk apa aku masih berada di sini? Mungkin lebih baik aku pergi saja. Aku tidak peduli apakah kelak Guru akan mengerti yang sebenarnya terjadi atau tidak.”

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang berbicara di luar kamar, “Ssst, jangan berisik!”

Lalu suara lain menjawab, “Benar, sepertinya Kakak Pertama sudah bangun.”

Meskipun kedua suara itu diucapkan dengan nada berbisik, namun karena keadaan sudah tengah malam, ditambah lagi dengan pendengaran Linghu Chong yang terlatih, membuat pemuda itu dapat mengenali bahwa beberapa adik seperguruannya sedang ditugasi untuk mengintai di luar, serta menjaga apabila dirinya melarikan diri.

Sungguh Linghu Chong semakin kesal. Tangannya terkepal sampai mengeluarkan bunyi yang terdengar jelas di tengah gelap malam. Ia pun berpikir, “Jika saat ini aku pergi meninggalkan rombongan, justru aku akan dituduh benar-benar melakukan dosa. Baik, bakilah kalau begitu! Aku tidak akan pergi. Terserah kalian berbuat apa saja kepadaku, aku tidak peduli.”

Ia kemudian berteriak-teriak, “Pelayan! Pelayan! Ambilkan aku arak!”

Beberapa lama kemudian barulah muncul seorang pelayan membawakan sebotol arak. Linghu Chong lalu meminum arak itu sepuas-puasnya sampai mabuk tak sadarkan diri. Esok paginya sewaktu Lao Denuo memapah tubuhnya untuk menaiki kereta, ia masih dalam keadaan setengah sadar, sambil mulutnya tetap berteriak-teriak, “Berikan aku arak! Berikan aku arak yang banyak!”


DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar