Jilid 16
Tempat yang berkedut-kedut
seperti diterobos tikus itu tercatat sebagai "Hwe-cong-hiat” pada lukisan
itu. Waktu ia melirik sang paman, terlihat Po-ting-te sedang memerhatikan
gambar Siau-yang-keng yang khusus harus dilatihnya dan tergantung di depannya
itu, jari manis sang paman tampak sedang bergerak perlahan.
Toan Ki coba mengikuti
tanda-tanda yang tercatat di atas gambar itu. Aneh juga, karena pikirannya
dicurahkan untuk mengikuti garis-garis yang menghubungkan Hiat-to satu dan lain
menurut gambar, sekonyong-konyong hawa murni dalam tubuhnya ikut berjalan
menurut perasaannya, mula-mula hawa itu timbul dari lengan naik ke atas bahu
dan terus mengalir ke pundak.
Dan meski cuma sedikit hawa
murni itu teralir, namun rasa Toan Ki yang mual tadi lantas longgar. Nyata
tanpa sengaja ia telah tarik hawa murni itu ke urat nadi Sam-jiu. Tetapi karena
cara menjalankan hawa murni itu sebenarnya semacam Lwekang yang sangat tinggi,
Toan Ki tidak paham seluk-beluknya secara tepat, baru sebentar ia kerahkan
tenaganya, seketika ia menjerit. Untunglah sebelum hawa dalam badan itu
tersesat, karena mendengar teriakannya, segera Po-ting-te bertanya,
"Kenapa Ki-ji?”
"Dalam badanku terasa
penuh terisi hawa yang bergolak dan menerjang kian kemari, rasanya sangat
menderita, waktu kuikut garis-garis merah pada lukisanmu itu, hawa lantas
mengalir masuk ke dalam perut, tetapi, aduuuuh ... tapi hawa dalam perut makin
lama makin penuh dan sekarang rasa perutku seakan meledak!” demikian tutur Toan
Ki sambil meringis.
Perasaan Toan Ki itu hanya
dapat dirasakan oleh si penderita sendiri, ia merasa perutnya melembung dan
seakan-akan meledak, tapi bagi penglihatan orang lain toh keadaannya biasa saja
tiada sesuatu yang aneh.
Namun Po-ting-te cukup paham
tentang segala kemungkinan bagi orang yang melatih Lwekang. Perasaan perut
melembung akan meledak itu umumnya cuma bisa terjadi pada orang yang berlatih
Lwekang berpuluh tahun lamanya, tapi selamanya Toan Ki tidak pernah belajar
silat, dari mana bisa terjadi begitu?
Ia pikir tentu gara-gara racun
yang mengeram di dalam tubuhnya itu. Karena itu, Po-ting-te menjadi khawatir
kalau-kalau racun akan mengamuk hingga hawa jahat telanjur masuk ke jantung,
untuk melenyapkannya tentu akan susah.
Biasanya Po-ting-te dapat
bertindak tegas dan cepat ambil keputusan. Tapi kejadian di depan matanya
sekarang menyangkut baik buruk selama hidup Toan Ki. Kalau sedikit ayal,
mungkin akan membahayakan jiwa anak muda itu. Dalam keadaan kepepet, biarpun
akibatnya mungkin celaka, terpaksa harus dicobanya juga. Maka katanya,
"Ki-ji, biar kuajarkan padamu tentang memutarkan hawa menuju ke pusat.”
Habis ini, segera ia
mengajarkan penuntun ilmu itu kepada Toan Ki sambil tangan sendiri tetap
berlatih menurut gambar.
Sambil mendengarkan petunjuk
sang paman, satu kata demi kata dituruti Toan Ki untuk melaksanakannya. Inti
Lwekang keluarga Toan dari Tayli itu memang sangat hebat, selesai Toan Ki
melakukan petunjuk sang paman, hawa yang bergolak tadi juga sudah dapat ditarik
masuk ke pusat. Maka terasalah badannya makin segar, rasanya enteng seakan-akan
melayang ke udara.
Melihat wajah pemuda itu
berseri-seri girang, Po-ting-te malah menyangka sang keponakan terlalu dalam
keracunan dan kelak akan sukar disembuhkan lagi. Maka diam-diam ia sangat
menyesal.
Meski Koh-eng Taysu sejak tadi
tetap duduk menghadap dinding, tapi percakapan kedua orang dapat diikutinya
semua. Setelah selesai mendengar Po-ting-te mengajarkan kepandaiannya kepada
Toan Ki, segera ia berkata, "Thian-tim, ketahuilah bahwa segala apa sudah
takdir Ilahi, maka engkau tidak perlu khawatir bagi orang lain, yang penting
sekarang lekas kau latih Siau-yang-kiam saja!”
Po-ting-te mengiakan dan
memusatkan kembali perhatiannya untuk melatih Siau-yang-kiam yang diwajibkan di
antara Lak-meh-kiam-hoat itu.
Dalam pada itu hawa murni
dalam tubuh Toan Ki yang sangat padat itu sudah tentu tak dapat dipusatkan
seluruhnya dalam waktu singkat, cuma penuntun dasar yang diterimanya dari
Po-ting-te itu dapat berjalan dengan lancar dan semakin cepat.
Begitulah ketujuh orang yang
berada di dalam pondok itu masing-masing melatih ilmunya sendiri-sendiri, tanpa
terasa hari sudah malam dan subuh sudah tiba pula.
Menjelang pagi itulah Toan Ki
merasa kaki-tangannya enteng leluasa tidak tersisa sedikit pun hawa yang akan
meledak seperti kemarin itu. Ia coba berdiri dan melemaskan otot.
Ia lihat sang paman dan kelima
padri saleh itu masih asyik melatih ilmu pedang masing-masing.
Ia tidak berani membuka pintu
untuk keluar, pula tidak berani bersuara mengganggu keenam orang itu, saking
iseng ia coba mengikuti gambar di depan sang paman yang melukiskan letak urat
nadi dengan ilmu pedang Siau-yang-kiam itu, tatkala perhatiannya terhadap
gambar itu terpusat, tiba-tiba terasa suatu arus hawa murni
membanjir keluar dari perutnya
terus menerjang ke bahu.
Yang paling aneh adalah bila
pikiran Toan Ki dicurahkan pada titik urat nadi dalam gambar itu, segera hawa
murni yang mengalir dalam tubuh lantas menyusup ke sana, jadi dari bahu ke
lengan dan dari lengan ke jari.
Tapi Toan Ki tidak dapat
menjalankan Lwekangnya untuk mengatur hawa murni itu, maka ketika hawa murni
menerjang ke ujung jari, ia terasa seperti bengkak hendak pecah, maka pikirnya,
"Ah, biarkan arus hawa ini putar kembali saja.”
Aneh juga, begitu pikirannya,
begitu pula hawa murni itu lantas mengalir kembali ke perut.
Kiranya tanpa terasa Toan Ki
telah berhasil memperoleh inti dasar ilmu Lwekang yang tinggi, tapi ia sendiri
sama sekali tidak tahu. Ia hanya merasa arus hawa yang mengalir kian kemari di
lengan itu dapat dimainkan sesukanya.
Kemudian ia lihat Thian-siang
Taysu di antara ketiga padri Bo-ni-tong itu paling ramah tamah, ia coba
melongok gambar "Siau-im-keng-meh-toh” yang wajib dilatih padri itu.
Ia lihat titik nadi gambar itu
dimulai dari "Kek-coan-hiat” di bawah ketiak terus menurun sampai di
"Siauciong-hiat” di ujung jari kecil. Kembali satu per satu ia mengikuti
garis Hiat-to itu hingga arus hawa murni dalam tubuhnya kembali mengalir lagi
seperti tadi menurut perasaannya.
Ternyata dalam waktu singkat
saja Toan Ki sudah dapat menembus semua urat nadi lengan. Dan karena Lakmeh
atau enam nadi itu dapat ditembus, semangatnya menjadi segar malah.
Dalam isengnya ia terus
memeriksa pula gambar lain yang sedang dilatih Thian-in dan lain-lain, namun ia
menjadi pusing melihat garis-garis merah, biru, hitam dan lain-lain yang ruwet
itu. Pikirnya, "Ah, begini sulit ilmu pedang itu, mana dapat aku ingat
seluruhnya?”
Lalu pikirnya pula,
"Aneh, kenapa kedua padri kecil itu tidak mengantarkan makanan kemari?
Biarlah diamdiam aku mengeluyur keluar untuk mencari makanan.”
Tapi pada saat itu juga
hidungnya lantas mencium semacam bau wangi yang halus, menyusul terdengarlah
suara orang bernyanyi dalam pujian Buddha, suara itu hanya sayup-sayup saja,
sebentar terdengar sebentar tidak.
"Siancay, Siancay!
Tay-lun-beng-ong telah tiba, bagaimana dengan latihan kalian?” demikian Koh-eng
Taysu berkata dengan gegetun.
"Meski belum masak
betul-betul, namun sudah cukup untuk menghadapi musuh,” sahut Thian-som.
"Thian-in,” kata Koh-eng
pula, "aku tidak suka bergerak, bolehlah kau undang Beng-ong bicara ke
ruang Boni-tong ini.”
Thian-in mengiakan dan keluar.
Segera Thian-koan menyiapkan
lima kasuran tikar dan dijajarkan menjadi satu baris. Ia sendiri lantas
menduduki kasuran pertama, Thian-siang kedua, Po-ting-te keempat, Thian-som kelima
dan ketiga yang luang itu disediakan untuk Thian-in. Toan Ki tidak punya tempat
duduk, terpaksa ia berdiri di belakang Po-ting-te.
Tahu musuh tangguh bakal tiba,
lekas-lekas Koh-eng dan Thian-koan berlima menghafalkan sekali lagi petunjuk
Kiam-hoat dalam gambar, lalu lukisan cepat digulung dan ditaruh di depan
Koh-eng.
"Ki-ji,” kata Po-ting-te,
"sebentar bila terjadi pertarungan sengit, tentu di ruangan ini akan penuh
hawa pedang yang tajam dan bisa jadi akan membahayakan dirimu, sedangkan paman
tak dapat melindungimu, maka lebih baik kau keluar saja sana!”
Toan Ki menjadi terharu,
pikirnya, "Dari percakapan paman dan lain-lain, agaknya ilmu silat
Tay-lun-beng-ong teramat lihai, sedangkan ilmu pedang paman ini baru saja
dilatih, entah mampu atau tidak melawan musuh, dan kalau terjadi apa-apa,
lantas bagaimana baiknya?”
Maka katanya segera,
"Pekhu, aku ... aku ingin tinggal di sini, kukha ... kukhawatirkan
pertempuran nanti ....”
Bicara sampai di sini,
suaranya menjadi parau dan tak lancar.
Hati Po-ting-te terharu juga,
pikirnya, "Anak ini ternyata sangat berbakti kepada orang tua.”
"Ki-ji,” tiba-tiba
Koh-eng buka suara, "boleh kau duduk di depanku sini, betapa lihainya
Tay-lun-beng-ong juga takkan mengganggu seujung rambutmu!”
Meski nada Koh-eng Taysu itu
tetap dingin saja tanpa perasaan, namun dari kalimat ucapannya itu kentara
sekali rasa angkuhnya.
Cepat Toan Ki mengiakan dan
mendekati Koh-eng Taysu, ia tidak berani memandang muka padri itu, ia duduk
bersila dengan menghadap dinding.
Tubuh Koh-eng jauh lebih
tinggi daripada Toan Ki, maka badan pemuda itu hampir teraling seluruhnya.
Po-ting-te menjadi girang dan
terima kasih, tadi ketika Koh-eng mencukur rambutnya dengan ilmu sakti,
kepandaian itu sudah cukup untuk ditonjolkan dalam dunia persilatan. Sekarang
Toan Ki berada di bawah perlindungannya, sudah tentu tidak perlu khawatir lagi.
Selang agak lama, terdengar
suara Thian-in Hongtiang lagi berkata di luar, "Atas kunjungan Beng-ong,
silakan masuk ruang Bo-ni-tong ini!”
Lalu suara seorang menyahut,
"Harap Hongtiang suka menunjukkan jalan!”
Mendengar suara orang yang
halus dan ramah tamah itu, Toan Ki yakin Tay-lun-beng-ong itu pasti bukan
seorang yang kejam dan buas. Dari suara langkah orang di luar, kedengarannya
berjumlah belasan orang banyaknya.
Kemudian terdengar suara pintu
didorong oleh Thian-in sambil berkata, "Silakan Beng-ong masuk!”
"Maaf!” sahut
Tay-lun-beng-ong sambil melangkah masuk. Lalu ia memberi hormat kepada Koh-eng
Taysu dan berkata, "Wanpwe Ciumoti dari negeri Turfan, dengan ini memberi
hormat kepada Cianpwe Taysu.”
Diam-diam Toan Ki membatin,
"Kiranya nama asli Tay-lun-beng-ong ini adalah Ciumoti.”
Maka menyahutlah Koh-eng
Taysu, "Beng-ong datang dari jauh, maafkan tidak kuberi sambutan yang
pantas.”
Dan sesudah saling mengucapkan
kata-kata merendah pula, kemudian Thian-in menyilakan duduk Tay-lun-
beng-ong alias Ciumoti itu.
Diam-diam Toan Ki ingin tahu
macam apakah Tay-lun-beng-ong yang disegani itu. Perlahan ia menoleh sedikit
dan melirik dari samping Koh-eng Taysu. Ia lihat di sebelah sana duduk seorang
padri berjubah kuning, usianya belum ada setengah abad, sederhana dandanannya,
tapi mukanya bercahaya bagai permata kemilauan.
Baru sekejap saja lantas
timbul rasa suka dan kagum Toan Ki. Waktu memandang pula ke luar pintu,
ternyata di luar sana berdiri 8 atau 9 lelaki berperawakan berbeda-beda dan
wajah berlainan, tapi kebanyakan bengis menakutkan, tidak seperti orang
Tiongkok umumnya. Terang mereka pengiring Tay-lun-beng-ong yang dibawanya dari
daerah barat.
Kemudian dengan merangkap
tangan dan memberi hormat, Ciumoti berkata, "Buddha berkata, tiada hidup
takkan mati, tiada kotor takkan bersih. Bakatku terlalu bodoh dan belum dapat
memahami suka duka dan mati hidup manusia. Cuma selama hidupku mempunyai seorang
kawan karib, yaitu orang she Buyung dari Koh-soh di negeri Song. Aku berkenalan
dengan dia di negeri Thian-tiok, di sana kami bertukar pikiran tentang ilmu
silat dan pedang. Buyung-siansing itu ternyata sangat luas pengetahuannya,
tiada sesuatu ilmu silat di dunia ini yang tak dipahaminya, berkat petunjuknya
dalam beberapa hari, segala pertanyaanku selama hidup yang tak terjawab telah
dipecahkannya dalam sekejap. Tak terduga orang pandai itu justru berumur
pendek, kini Buyung-siansing telah pulang ke nirwana. Karena itu ada sesuatu
permohonanku yang tidak pantas, sukalah para Tianglo menaruh belas kasihan
padaku.”
Sudah tentu Thian-in paham apa
maksud tujuan di balik ucapan itu. Jawabnya segera, "Beng-ong dapat
bersahabat dengan Buyung-siansing, itu berarti ada jodoh, dan bila masa jodoh
itu sudah habis, guna apa mesti dipaksakan lagi? Buyung-siansing sudah lama
wafat, mengapa terhadap ilmu silat di dunia fana ini mesti disayangkan?
Tindakan Beng-ong ini apa tidak berlebihan?”
"Nasihat Hongtiang memang
benar juga,” sahut Ciumoti. "Cuma dasar berwatak rada bandel, meskipun
sudah sekian lama lalu kebaikan persahabatan dahulu sukar untuk dilupakan.
Dahulu ketika Buyung-siansing bicara tentang Kiam-hoat di dunia ini, ia yakin
‘Lak-meh-sin-kiam’ Thian-liong-si ini adalah nomor satu dari segala ilmu
pedang, ia menyatakan sangat menyesal karena selama hidupnya tidak sempat
melihat ilmu pedang sakti itu.”
"Tempat kami ini
terpencil di daerah perbatasan selatan, namun juga mendapat perhatian
Buyung-siansing, sungguh kami merasa sangat bangga,” sahut Thian-in.
"Tetapi pada waktu hidupnya mengapa Buyung-siansing tidak datang sendiri
untuk meminjam lihat Kiam-keng (kitab ilmu pedang) kami ini?”
Tiba-tiba Ciumoti menghela
napas panjang dan wajah berubah sedih, sejenak kemudian baru ia berkata,
"Buyung-siansing sendiri tahu bahwa kitab itu adalah pusaka kalian,
meskipun mohon lihat dengan terus terang juga tak mungkin diizinkan. Ia bilang
keluarga Toan dari Tayli diagungkan sebagai raja, namun tidak melupakan setia
kawan dunia Kangouw, cinta negeri dan sayang rakyat, maka ia tidak boleh
melakukan pencurian atau main ambil secara paksa.”
"Terima kasih atas pujian
Buyung-siansing itu,” ujar Thian-in. "Dan bila Buyung-siansing benar
menghargai keluarga Toan dari Tayli, Beng-ong adalah sobat karibnya, seharusnya
juga dapat memaklumi jiwanya itu.”
"Ya, namun tempo dulu aku
sudah telanjur omong besar bahwa aku ini Koksu (imam negara) dari Turfan, bukan
sanak dan lain kadang dari keluarga Toan di Tayli, jika Buyung-siansing merasa
sungkan untuk memintanya sendiri, biarlah aku akan mewakilinya. Sekali seorang
laki-laki sejati sudah buka suara, biarpun mati atau hidup tak boleh menyesal.
Dari itulah janjiku kepada Buyung-siansing itu tidak boleh kujilat kembali.”
Habis berkata, ia terus tepuk
tangan tiga kali. Maka masuklah dua laki-laki sambil menggotong sebuah peti
kayu cendana dan ditaruh di lantai. Waktu lengan baju Ciumoti mengebas, tanpa
disentuh tutup peti itu lantas terbuka sendiri. Maka tertampaklah sinar
kemilauan, di dalam peti terdapat sebuah kotak emas kecil. Segera Ciumoti ambil
kotak emas itu.
"Kita sama-sama orang
beragama, masakah masih tamak terhadap benda mestika segala?” diam-diam
Thian-in membatin. "Apalagi keluarga Toan diagungkan sebagai raja di
negeri Tayli, dengan harta pusaka kumpulannya selama ratusan tahun masakah
masih kekurangan?”
Ciumoti lantas membuka tutup
kotak emas itu, apa yang dikeluarkan dari kotak itu ternyata tiga jilid kitab
lama. Ketika ia balik-balik halaman kitab itu, sekilas Thian-in dan lain-lain
dapat melihat isi kitab itu ada gambar juga ada tulisan, semuanya tulisan
tangan dengan tinta merah.
Tiba-tiba Ciumoti
termangu-mangu memandangi ketiga kitab itu dengan air mata berlinang-linang,
sikapnya sangat menyesal dan berduka luar biasa. Keruan Thian-in dan lain-lain
menjadi heran.
Koh-eng Taysu lantas berkata,
"Beng-ong terkenang kepada sahabat yang sudah meninggal, batin belum
bersih dari keduniawian, apa tidak malu disebut sebagai padri saleh?”
"Taysu mahapintar dan
mahasakti, sudah tentu tak mampu kusamai,” sahut Tay-lun-beng-ong. "Cuma
ketiga jilid kunci ilmu silat ini adalah tulisan tangan Buyung-siansing yang
menguraikan tentang titik pokok ke-72 jenis Kungfu khas Siau-lim-pay, diuraikan
pula tentang cara melatihnya dan cara mematahkannya.”
Semua orang terkejut oleh
keterangan itu, pikir mereka, "Ilmu silat Siau-lim-pay termasyhur di
seluruh dunia, konon sejak Siau-lim-pay didirikan, kecuali pada permulaan
dinasti Song pernah ada seorang padri sakti yang berhasil melatih ke-36 jenis
ilmu itu, selamanya tiada orang kedua lagi yang melebihinya. Tapi Buyung-
siansing ini dapat memahami
kunci ke-72 jenis ilmu silat Siau-lim-pay yang lihai, bahkan cara bagaimana
mematahkan ilmu silat itu pun dapat dipecahkannya, hal ini benar-benar sukar
untuk dimengerti.”
Maka berkata pula
Tay-lun-beng-ong, "Buyung-siansing telah menghadiahkan ketiga jilid kitab
ini kepadaku, sesudah kubaca, sungguh tidak sedikit kuperoleh manfaatnya. Kini
aku bersedia menukar ketiga jilid kitab ini dengan Lak-meh-kiam-keng kalian.
Bila para Taysu setuju hingga kudapat memenuhi janji kepada sahabat lama,
sungguh aku terasa terima kasih tak terhingga.”
Thian-in terdiam, pikirnya
dalam hati, "Apa yang tercatat di dalam kitab-kitab itu bila benar ke-72
jenis ilmu tunggal Siau-lim-si, maka sesudah kami memperolehnya bukan saja ilmu
silat Thian-liong-si bakal sejajar dengan nama Siau-lim-si, bahkan mungkin
lebih tinggi daripada mereka. Sebab Thian-liong-si dapat memahami seluruh
Kungfu Siau-lim-si, sebaliknya ilmu silat kami tak diketahui oleh Siau-lim-si.”
Lalu Tay-lun-beng-ong
menyambung lagi, "Dan pada waktu kalian menyerahkan kitab pusaka kepadaku,
silakan menyalin dulu turunannya, dengan begitu, pertama Taysu berbuat baik
kepadaku, untuk budi kebaikan itu takkan kulupakan sampai tua, sebaliknya tidak
merugikan pihak Taysu, kedua, sesudah kuterima kitab pusaka kalian, akan
kubungkus rapat-rapat, sekali-sekali takkan kuintip isinya dan akan kusampaikan
sendiri kitab pusaka ke hadapan makam Buyung-siansing dan kubakar di sana,
dengan demikian ilmu sakti kuil kalian ini takkan tersiar di luar. Ketiga, ilmu
sakti ke-72 jenis Siau-lim-pay ini, di antaranya seperti ‘Ciam-hoa-ci’,
‘Bu-siang-jiat-ci’ dan ‘To-lo-yap-ci’ sangat berguna juga untuk bahan
perbandingan dengan It-yang-ci kalian.”
Cara berkata Ciumoti itu
sangat enak didengar dan menarik, masuk di akal pula, maka Po-ting-te dan
Thiansiang Taysu sangat tertarik. Cuma di atas mereka masih ada Hongtiang dan
sang Susiok, maka mereka pun tidak enak untuk mengutarakan pikiran mereka.
Segera Tay-lun-beng-ong
melanjutkan lagi, "Mungkin usiaku masih muda dan pengalaman cetek, apa
yang kukatakan barusan belum tentu dapat dipercaya para Taysu. Maka tentang
ketiga jenis Ci-hoat (ilmu jari) tadi boleh juga kuberi pertunjukan sekadarnya
sekarang.”
Segera ia berbangkit dan
berkata pula, "Cuma apa yang kupahami ini masih sangat cetek dan kasar,
bila ada kesalahan, mohon para Taysu suka memberi petunjuk. Sekarang aku mulai
dengan Ciam-hoa-ci.”
Habis itu, ia menggunakan jari
jempol dan telunjuk kanan dengan gaya seakan-akan memetik setangkai bunga,
dengan wajah tersenyum kelima jari tangan kiri kemudian menjentik perlahan ke
kanan.
Di antara semua orang yang
berada di dalam ruangan itu, kecuali Toan Ki, yang lain-lain adalah ahli
Ci-hoat kelas wahid. Maka mereka dapat melihat betapa indah dan lemah lembutnya
gaya gerakan itu.
Setelah menjentik belasan
kali, tiba-tiba Tay-lun-beng-ong mengangkat lengan baju kanan, menyusul ia
meniup ke muka lengan baju sendiri, dalam sekejap saja bertebaranlah
berpotong-potong kain kecil sebesar mata uang hingga lengan bajunya berwujud
belasan lubang bundar.
Kiranya jentikan ilmu
"Ciam-hoa-ci” tadi telah mengenai lengan baju sendiri dari jauh, tenaganya
lembut, tapi merusak baju, semula tertampak bajunya tiada kurang suatu apa pun,
tapi sekali ditiup angin, barulah kentara betapa sakti kepandaian padri itu.
Thian-in, Thian-koan dan
Po-ting-te saling pandang sekejap, dalam hati mereka diam-diam terperanjat.
Dengan ilmu It-yang-ci untuk melubangi baju seperti itu tidaklah sulit bagi
mereka, tapi untuk mencapai tingkatan selihai lawan, mau tak mau mereka harus
mengaku masih kalah setingkat.
"Sekianlah,” kata Ciumoti
dengan tersenyum. "Tenaga jari Ciam-hoa-ci barusan terang jauh di bawah
Hian-toh Taysu dari Siau-lim-si. Dan tentang ‘To-lo-yap-ci’ tentu saja selisih
lebih jauh lagi.”
Habis berkata, cepat ia
berputar mengitari peti kayu yang berada di lantai tadi dan menutuk
beruntun-runtun dengan sepuluh jarinya, maka tertampaklah potongan kayu
bertebaran dan dalam sekejap peti itu sudah berwujud seonggok bubuk kayu.
Sebenarnya Po-ting-te dan
lain-lain tidak heran oleh kepandaian orang meremukkan peti kayu menjadi bubuk
itu, tapi demi tampak engsel dan sebagainya dari logam yang berada di peti itu
pun hancur berkeping-keping oleh tenaga jarinya, mau tak mau mereka terkejut
juga.
Lalu berkatalah Ciumoti,
"Caraku menggunakan To-lo-yap-ci ini masih sangat dangkal, diharap Taysu
jangan menertawakannya.”
Sembari berkata kedua
tangannya sembari dimasukkan lengan baju sendiri. Mendadak tumpukan bubuk kayu
itu menari-nari di udara seakan-akan didalangi orang dengan sesuatu alat yang
tak kelihatan.
Waktu Po-ting-te dan lain-lain
memandang Tay-lun-beng-ong, padri itu kelihatan tetap bersenyum simpul,
jubahnya sedikit pun tidak bergerak, nyata tenaga jarinya dilontarkan dari
dalam lengan bajunya hingga tidak kelihatan wujudnya.
"Hah, inilah
Bu-siang-jiat-ci (tutukan maut tak kelihatan)! Sungguh hebat, kagum, kagum!”
demikian seru Thian-siang Taysu tak tahan.
"Ah, Taysu terlalu
memuji,” ujar Ciumoti. "Padahal bubuk kayunya tampak bergerak, itu berarti
masih kelihatan wujudnya. Untuk bisa mencapai tingkatan sesuai dengan namanya
hingga tanpa kelihatan, rasanya perlu berlatih selama hidup.”
"Apakah di dalam kitab
pusaka tinggalan Buyung-siansing terdapat cara-cara mematahkan
‘Bu-siang-jiat-ci’ itu?” tanya Thian-siang.
"Ada,” sahut Ciumoti.
"Ilmu pemecahannya memakai nama seperti gelaran Taysu.”
Thian-siang termenung sejenak,
katanya kemudian, "Ehm, namanya Thian-siang-ci-hoat, Thian-siang
mengalahkan Bu-siang, sungguh pintar sekali.”
Setelah menyaksikan
pertunjukan ketiga macam tenaga jari sakti dari Ciumoti itu, Thian-in,
Thian-koan, dan Thian-som menjadi tertarik juga. Mereka tahu ketiga jilid kitab
pusaka itu benar-benar memuat ke-72 jenis ilmu silat Siau-lim-si yang
termasyhur di seluruh dunia, apakah mesti terima tawaran tukar-menukar dengan
"Lak-meh-sin-kiam”, sungguh hal ini sangat meragukan.
Maka berkatalah Thian-in,
"Susiok, jauh-jauh Beng-ong berkunjung kemari, suatu tanda betapa teguh
maksud tujuannya ini. Lantas bagaimana kita harus bertindak, harap Susiok suka
memberi petunjuk.”
"Thian-in, apa tujuan
kita belajar silat dan berlatih diri?” tanya Koh-eng Taysu tiba-tiba.
Sama sekali Thian-in tidak
menduga bakal ditanya demikian oleh sang Susiok, ia terkesiap, tapi segera
jawab, "Demi membela agama dan negara.”
"Bila kita kedatangan
orang jahat dan kita tidak dapat menginsafkannya dengan jalan Buddha dan
terpaksa mesti turun tangan membasminya, untuk mana harus menggunakan ilmu
apa?” tanya Koh-eng pula.
"Jika sudah terpaksa,
harus menggunakan It-yang-ci,” sahut Thian-in.
"Dan dalam hal
It-yang-ci, sampai tingkat ke berapa telah berhasil kau yakinkan?” tanya
Koh-eng.
"Tecu terlalu bodoh, pada
waktu latihan kurang giat, maka sampai sekarang baru mencapai tingkatan
kelima,”
jawab Thian-in dengan
berkeringat.
"Kalau menurut
pendapatmu, It-yang-ci keluarga Toan di Tayli ini bila dibandingkan
Ciam-hoa-ci, To-lo-yap-ci dan Bu-siang-jiat-ci dari Siau-lim-si itu, manakah
yang lebih bagus dan mana lebih jelek?”
"Ilmu tutukan itu sama-sama
bagus dan bergantung keuletan masing-masing,” sahut Thian-in.
"Benar, dan kalau
It-yang-ci kita terlatih sampai tingkatan tertinggi, lalu bagaimana?”
"Dalamnya sukar dijajaki,
Tecu tidak berani sembarangan omong!”
"Bila misalnya kau dapat
hidup seabad lagi, dapat meyakinkannya sampai tingkat ke berapa?”
Keringat dingin di jidat
Thian-in mulai berketes-ketes, jawabnya dengan gemetar, "Tecu tak dapat
menjawab.”
"Dapatkah mencapai
tingkat teratas?” tanya Koh-eng.
"Pasti tak dapat,” sahut
Thian-in.
Maka Koh-eng Taysu tidak
bicara lagi.
Akhirnya Thian-in berkata
pula, "Petunjuk Susiok memang tepat. Sedangkan It-yang-ci sendiri saja
kita tak mampu meyakinkannya hingga sempurna, untuk apa mesti mengambil
kepandaian orang lain lagi? Beng-ong datang dari jauh, biarlah kami sekadar
memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah.”
Dengan ucapannya ini, tegasnya
ia telah menolak tawaran Tay-lun-beng-ong tadi.
Ciumoti menghela napas,
katanya kemudian, "Ai, semuanya gara-gara mulutku yang usil, kalau tidak,
tentunya tidaklah sulit seperti sekarang ini. Tapi ada juga sepatah kataku yang
mungkin kurang sopan, bila Lak-meh-sinkiam itu benar-benar sebagus seperti apa
yang dikatakan Buyung-siansing, sekalipun kuil kalian memiliki lukisan
pusakanya, namun bukan mustahil belum ada seorang pun yang berhasil
meyakinkannya. Dan kalau ada yang dapat meyakinkannya berarti ilmu pedang itu
tidak sebagus seperti apa yang dikagumi Buyungsiansing.”
"Sebenarnya ada sesuatu
yang kurasakan tidak mengerti, bolehkah Beng-ong memberi penjelasan?” tanya
Koh-eng.
"Coba katakan?” sahut
Ciumoti.
"Tentang kuil kami
memiliki Lak-meh-sin-kiam-keng itu, sekalipun anggota keluarga Toan kami juga
tiada yang tahu, tapi dari manakah Buyung-siansing bisa mengetahuinya?” tanya
Koh-eng.
"Hal itu dahulu tidak
dijelaskan oleh Buyung-siansing,” kata Ciumoti. "Tapi menurut dugaanku,
tentu ada hubungannya dengan Yan-king Taycu dari keluarga Toan.”
Thian-in mengangguk-angguk dan
ikut bertanya, "Jadi Yan-king Taycu kenal Buyung-siansing?”
"Ya, pernah
Buyung-siansing memberi petunjuk beberapa jurus ilmu silat padanya, tapi
menolak menerimanya sebagai murid.”
"Sebab apa menolak?”
tanya Koh-eng Taysu.
"Itu urusan pribadi Buyung-siansing,
tidak enak banyak kutanya,” sahut Ciumoti. Di balik kata-katanya ini
seakan-akan juga minta Koh-eng jangan banyak bertanya.
Tapi Koh-eng justru berkata
pula, "Yan-king Taycu itu adalah keturunan keluarga Toan-si kami, segala
tindak tanduknya di luar, Thian-liong-si dan kepala keluarga Toan berhak
mengurusnya.”
"Benar,” sahut Ciumoti
dengan tawar.
Segera Thian-in Hongtiang ikut
bicara, "Selama belasan tahun Susiok kami tidak menemui orang luar, tapi
mengingat Beng-ong adalah padri saleh zaman ini, barulah Susiok mau menemuimu.
Sekarang sudah selesai, silakanlah!”
Sembari berkata ia terus
berdiri sebagai tanda menyilakan tamunya pergi.
Namun Ciumoti menjawab,
"Bila Lak-meh-sin-kiam cuma pujian kosong belaka, mengapa kalian
memandangnya begitu penting hingga mesti mengorbankan persahabatan
Thian-liong-si dengan Tay-lun-si dan antara negara Tayli dengan Turfan?”
"Apakah Beng-ong
maksudkan, bila kami tidak meluluskan permintaanmu, Tayli dan Turfan akan
perang?” tanya Thian-in.
Sebagai kepala negara, sudah
tentu Po-ting-te paling tertarik oleh tanya jawab terakhir itu.
Perlahan Ciumoti berkata,
"Sudah lama Kokcu kami kagum pada negeri Tayli yang makmur, sudah lama
beliau ingin mengadakan perburuan ke sini. Tapi kupikir tindakan itu pasti akan
banyak ambil korban jiwa dan harta, maka selama beberapa tahun aku selalu
berusaha mencegahnya.”
Sudah tentu Thian-in dan
lain-lain paham akan kata-kata orang yang bersifat mengancam itu. Sebab Ciumoti
adalah Koksu kerajaan Turfan. Seperti juga Tayli, rakyat Turfan juga memeluk
agama Buddha dan Ciumoti itu sangat dipercaya rajanya, perang atau damai banyak
bergantung kepada kekuasaannya. Kini kalau cuma urusan sejilid kitab hingga
kedua negara mesti terlibat dalam peperangan, hal ini benar-benar tidak perlu.
Tapi bila sedikit digertak lantas menyerah mentah-mentah, bukankah sangat
merosotkan kehormatan Thian-liong-si dan kerajaan Tayli?
Maka berkatalah Koh-eng Taysu,
"Jika Beng-ong bertekad harus mendapatkan kitab kami ini, mengapa aku
mesti pelit. Beng-ong bersedia menukar dengan ilmu silat Siau-lim-si, kami pun
tidak berani menerimanya. Meski sudah berpuluh tahun aku menyepi, namun kutahu
juga kepandaian Beng-ong dari Tay-lun-si itu jauh lebih hebat daripada ke-72
jenis ilmu Siau-lim-pay.”
Ciumoti merangkap kedua
tangannya dan berkata, "Apakah maksud Taysu supaya kupertunjukkan sedikit
kepandaianku yang jelek ini?”
"Beng-ong mengatakan
bahwa Lak-meh-sin-kiam-keng kami cuma pujian kosong belaka dan tidak berguna
dipraktikkan, maka biarlah kami belajar kenal beberapa jurus dengan Beng-ong,”
demikian sahut Koh-eng. "Apakah benar seperti apa yang dikatakan Beng-ong
bahwa Lak-meh-kiam-hoat kami ini hanya bernama kosong dan tidak berguna, lalu
untuk apa lagi mesti kami sayangkan? Dengan rela akan kami serahkan kitab yang
diminta Beng-ong.”
Diam-diam Ciumoti terkesiap
oleh jawaban itu, ia pikir dahulu waktu kubicara tentang
"Lak-meh-sin-kiam” dengan Buyung-siansing, keduanya berpendapat Kiam-hoat
itu memang sangat bagus, tapi mungkin susah diyakinkan oleh tenaga manusia.
Kini mendengar ucapan Koh-eng, agaknya bukan Koh-eng saja yang dapat memainkan
Kiam-hoat itu, bahkan kelima kawannya yang lain juga bisa.
Segera ia menjawab, "Jika
Taysu sekalian sudi memberi petunjuk dengan Kiam-hoat yang hebat itu, sungguh
aku merasa sangat beruntung sekali.”
"Senjata apa yang dipakai
Beng-ong, silakan mengeluarkannya,” kata Thian-in segera.
Tiba-tiba Ciumoti bertepuk
tangan, maka masuklah laki-laki tinggi besar yang menunggu di luar, Ciumoti
berkata beberapa patah dalam bahasanya dan laki-laki itu pun mengangguk-angguk,
lalu keluar dan membawa masuk seikat dupa kepada Ciumoti, kemudian laki-laki
itu undurkan diri pula keluar.
Semua orang terasa heran untuk
apakah dupa itu. Dupa itu adalah benda lemah dan mudah patah, masakah dapat
digunakan sebagai senjata?
Tertampak Ciumoti lolos
sebatang dupa, lalu tangan lain meraup segenggam bubuk kayu terus dikepal
hingga mengeras, dupa itu lantas ditancapkan di tengahnya dan ditaruh di
lantai. Dengan cara yang sama ia jajarkan enam batang dupa dalam jarak
kira-kira belasan senti satu sama lain. Menyusul ia menggosok-gosok kedua
telapak tangannya terus menampar ke depan, serentak ujung keenam batang dupa
itu lantas menyala tersulut.
Keruan Thian-in dan lain-lain
terkejut, betapa tinggi tenaga dalam padri asing ini sungguh sudah mencapai
tingkatan yang susah diukur. Tapi Thian-in dan Po-ting-te lantas mengendus pula
bau belerang terbakar, maka tahulah mereka. Kiranya pada pucuk dupa itu
terdapat obat bakar, sekali Ciumoti menggosok obat bakar itu dengan tenaga
dalamnya, segera dupa-dupa itu menyala. Meski perbuatan itu tidak mudah
dilakukan, namun Po-ting-te merasa dirinya masih mampu melakukannya juga.
Sesudah menyala, asap dupa
lantas mengepul menjadi enam jalur. Ciumoti duduk sambil kedua tangan
terpentang mencakup ke depan, sekali ia kerahkan tenaga dalamnya, keenam jalur
asap itu lantas berkisar menuju ke arah Koh-eng dan Po-ting-te berenam.
Kiranya ilmu Ciumoti ini
disebut "Hwe-yam-to” atau golok kobaran api. Meski tanpa wujud dan tak
dapat diraba, tapi lihainya tidak kepalang untuk membinasakan lawan.
Namun maksud tujuan Ciumoti
sekarang cuma ingin mendapat kitab pusaka dan tiada niat membunuh orang, maka
hanya enam batang dupa dinyalakan untuk menunjukkan ke mana arah tenaga
serangannya tertuju,
pertama sebagai tanda ia yakin
pasti lebih unggul daripada lawan-lawannya, kedua sebagai tanda rasa welas
asihnya yang tidak ingin membunuh orang, melainkan cuma saling ukur kepandaian
masing-masing.
Begitulah, ketika enam jalur
asap itu sampai di depan Thian-in dan lain-lain, mendadak asap itu lantas
berhenti dan tidak menyambar maju lagi.
Sungguh kejut Thian-in dan
lain-lain bukan buatan. Menggunakan tenaga dalam untuk mendesak majunya asap
tidaklah sulit, tapi memakai tenaga dalam untuk menghentikannya, terang
kepandaian ini berpuluh kali lebih sukar daripada yang duluan.
Thian-som tidak mau unjuk
lemah, sekali jari kecil kiri terangkat, "cus”, sejalur hawa putih
terpancar dari Siauciong-hiat ke arah asap yang berada di depannya. Karena
tolakan tenaga dalam Thian-som, dengan cepat tali asap itu lantas menyambar
kembali ke arah Ciumoti. Tapi ketika mendekat, waktu tenaga "Hwe-yam-to”
yang dikerahkan Ciumoti diperkeras lagi, jalur asap itu lantas berhenti dan
tidak mampu maju pula.
"Ehm, memang hebat,” kata
Ciumoti sambil mengangguk. "Ternyata di dalam Lak-meh-sin-kiam memang ada
‘Siau-ciong-kiam’ seperti ini.”
Setelah kedua orang saling
gempur dengan tenaga dalam, Thian-som merasa bila dirinya tetap duduk, daya
tekan ilmu pedangnya itu akan sukar dilancarkan. Segera ia berdiri dan
melangkah tiga tindak ke kiri, dengan tenaga dalamnya ia serang lebih kuat dari
sana.
Segera Ciumoti angkat tangan
kiri dan tenaga serangan itu tertahan. Thian-koan ikut bertindak juga, sekali
jari tengahnya menegak, "cus”, ia pun menusuk dengan
"Tiong-ciong-kiam”.
"Bagus, inilah Tiong-ciong-kiam-hoat!”
seru Ciumoti sambil menangkis. Meski satu lawan dua, namun sama sekali tak
tampak terdesak.
Toan Ki duduk di depan
Koh-eng, ia dapat menoleh ke kanan dan miring ke kiri untuk mengikuti
pertarungan hebat yang jarang terlihat dalam Bu-lim itu. Meski dia tidak paham
ilmu silat, tapi tahu juga bahwa para Hwesio itu sedang bertanding pedang
dengan Lwekang mereka, lihai dan bahaya pertandingan Lwekang ini jauh lebih
hebat daripada bertanding dengan senjata tajam.
Ia lihat jurus ilmu pedang dan
golok yang dikeluarkan Ciumoti, Thian-som dan Thian-koan itu sangat lambat.
Setelah belasan jurus, tiba-tiba pikirannya tergerak, "He, bukankah
Tiong-ciong-kiam yang dimainkan Thiankoan Taysu itu tiada ubahnya seperti apa
yang kubaca dalam gambar tadi?”
Perlahan ia buka lukisan
Tiong-ciong-kiam-hoat yang memang terletak di depannya itu. Ia cocokkan antara
gerakan hawa putih yang menyambar kian kemari itu dengan petunjuk dalam gambar,
nyata ilmu pedang itu memang sama.
Sungguh girang Toan Ki bukan buatan.
Segera ia mengikuti Siau-tik-kiam-hoat yang dimainkan Thian-som itu. Ilmu
pedang ini pun sama dengan gambar, cuma Tiong-ciong-kiam-hoat itu lingkupnya
lebih luas dan daya tekannya lebih keras, sebaliknya Siau-tik-kiam lebih
lincah, menyusup kian kemari dengan macam-macam perubahan yang rumit.
Melihat kedua Sutenya sama
sekali tidak lebih unggul mengeroyok Ciumoti, Thian-in menjadi khawatir latihan
mereka belum masak, jangan-jangan permainan pedang mereka keburu dipahami
Tay-lun-beng-ong yang mahapintar itu. Segera ia berseru, "Thian-siang dan
Thian-tim Sute, marilah kita turun tangan!”
Berbareng Thian-in acungkan
jari telunjuknya, ia keluarkan Siang-yang-kiam-hoat. Menyusul Thian-siang juga
memainkan "Siau-ciong-kiam” dengan jari kecil kanan. Sedang Po-ting-te
menyerang dengan "Koan-ciongkiam”, yaitu dengan jari manis. Tiga arus hawa
pedang yang hebat serentak menerjang ketiga jalur asap musuh.
Sudah tentu yang paling untung
adalah Toan Ki, melihat "Siang-yang-kiam” yang dilontarkan Thian-in itu
lebih kuat daripada Thian-som berdua, cepat ia membuka gambar ilmu pedang itu,
tapi ia menjadi heran pula ketika melihat gerak ilmu pedang sang paman
sebaliknya sangat lambat dan berat.
Memang di antara jari-jari
tangan umumnya, jari telunjuk paling lincah dan hidup, sebaliknya jari manis
kaku dan lamban. Maka Siang-yang-kiam mengutamakan kegesitan dan kelincahan,
sebaliknya Koan-ciong-kiam lambat dan berat gerak-geriknya.
Saking asyiknya Toan Ki
mengikuti ilmu pedang itu sambil berpaling ke sini dan menoleh ke sana, tanpa
terasa suatu waktu kepalanya menempel di depan hidung Koh-eng Taysu. Ia merasa
risi ketika kuduk seakan-akan ditiup-tiup karena napas orang tua itu. Tanpa
sengaja ia mendongak, tapi apa yang dilihatnya membuatnya melongo kaget.
Ternyata wajah yang dilihatnya
itu aneh luar biasa, separuh muka sebelah kiri merah bercahaya, daging penuh,
kulit gilap, mirip muka anak kecil. Tapi separuh muka yang sebelah kanan kurus
kering tinggal kulit membungkus tulang. Kecuali kulitnya yang kuning hangus
itu, sedikit pun tiada dagingnya hingga tulang pipinya menonjol mirip
tengkorak.
Dalam kagetnya cepat Toan Ki
menoleh dan tidak berani memandang lagi, hati terasa berdebar-debar pula. Ia
tahu muka Koh-eng Taysu itu pasti akibat meyakinkan "Koh-eng-sin-kang”
ilmu Buddha subur dan kering,
makanya wajahnya separuh
"Koh” (kering) dan separuh "Eng” (subur).
Tiba-tiba Koh-eng Taysu
membisikinya, "Kesempatan bagus jangan dibuang, lekas memerhatikan ilmu
pedang!”
Toan Ki tersadar, ia
mengangguk dan cepat mencurahkan perhatiannya untuk mengikuti ilmu pedang
Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te serta dicocokkan dengan gambar Kiam-boh
yang bersangkutan.
Setelah ketiga jenis Kiam-hoat
itu selesai dipelajarinya, sementara itu permainan ilmu pedang Thian-som dan
Thian-koan sudah mengulang kedua kalinya. Kini tanpa membandingkan dengan
gambarnya, Toan Ki dapat memahami di mana letak kebagusan Lak-meh-kiam-hoat
itu. Ia terasa garis-garis yang terlukis pada gambar itu adalah barang mati,
tapi hawa putih yang dipancarkan dengan tenaga dalam itu benar-benar tiada
habis-habis perubahannya dan dapat dikerahkan pergi datang dengan hidup, kalau
dibandingkan apa yang terlukis dalam gambar, terang lebih ruwet tapi lebih
padat.
Setelah mengikuti pula
sebentar, terlihat Kiam-hoat yang dimainkan Thian-in, Thian-siang dan
Po-ting-te juga sudah selesai. Tiba-tiba jari kecil Thian-siang menjentik pula
dengan jurus "Hun-hoa-hut-liu” atau membelai bunga menyingkap daun Liu.
Nyata untuk kedua kalinya ia mainkan ilmu pedangnya pula.
Menyusul Thian-in dan
Po-ting-te juga mengadakan perubahan pada permainan ilmu pedang mereka yang sudah
selesai itu. Tapi mendadak di depan tubuh Ciumoti bersuara mencicit, daya tekan
"Hwe-yam-to” ternyata bertambah hebat hingga tenaga dalam dari gerakan
pedang kelima lawannya tertolak kembali semua.
Kiranya semula Ciumoti cuma
bertahan saja dengan tujuan mengikuti permainan Lak-meh-sin-kiam kelima orang
lawan itu hingga selesai, habis itu barulah mengadakan serangan balasan. Dan
sekali ia sudah balas menyerang, kelima jalur asap putih segera menari dan
beterbangan dengan hidup sekali, sedang jalur asap keenam tetap berhenti
kira-kira satu meter di belakang tubuh Koh-eng Taysu.
Koh-eng Taysu sengaja hendak
melihat sampai di mana kekuatan bertahan musuh. Namun Ciumoti sadar juga bila
terlalu lama menahan jalur asap yang keenam itu, tenaga dalamnya yang terbuang
akan terlalu banyak. Maka kini ia mulai pusatkan tekanannya ke jalur asap
keenam itu hingga sedikit demi sedikit mulai mendesak maju ke belakang kepala
Koh-eng.
Toan Ki menjadi khawatir,
cepat katanya, "Thaysuhu, awas jalur asap musuh sedang menyerang padamu.”
Koh-eng mengangguk, ia terus
membentang lukisan "Siau-siang-kiam”, yaitu bagian dari Lak-meh-sin-kiam
menurut gambar yang harus dimainkannya itu di depan Toan Ki.
Pemuda itu tahu maksud baik
Koh-eng Taysu. Maka dengan memusatkan perhatian, segera ia membaca isi gambar
itu. Ia lihat ilmu pedang Siau-siang-kiam dalam lukisan itu hanya sederhana
saja garis-garis petunjuknya, tapi memiliki tenaga mahakuat yang tiada taranya.
Sambil membaca lukisan itu,
Toan Ki tidak lupa jalur asap musuh yang mengancam Koh-eng tadi. Ketika ia
menoleh pula, ia lihat jalur asap itu tinggal beberapa senti saja di belakang
kepala Koh-eng. Ia menjadi kaget dan berseru, "Awas!”
Mendadak Koh-eng membalik
tangan ke belakang, kedua jari jempol menahan ke depan berbareng, dengan suara
mencicit dua kali, sekaligus ia serang dada kanan dan pundak kiri Ciumoti.
Kiranya serangan musuh tadi
tak ditangkisnya, sebaliknya Koh-eng melakukan serangan kilat di luar dugaan
musuh. Ia memperhitungkan Hwe-yam-to musuh agak lambat majunya, untuk bisa
mengenai dirinya masih diperlukan sementara waktu lagi, tapi kalau ia
mendahului menyerang, tentu musuh akan kerepotan.
Ciumoti sendiri dapat menduga
kemungkinan itu, maka sebelumnya ia sudah siap untuk menjaga kalau mendadak
diserang oleh Koh-eng Taysu yang merupakan lawan paling kuat. Tapi yang ia duga
cuma jurus serangan Siau-yang-kiam yang lihai dan tidak menyangka Koh-eng
sekaligus dapat menyerang dengan dua pedang pada sasaran dua tempat.
Cepat ia kerahkan tenaga yang
sudah disiapkan itu untuk menangkis tenaga tusukan yang mengarah dadanya,
menyusul kakinya mengentak, buru-buru ia melompat mundur. Tapi betapa pun
cepatnya tetap kalah cepat daripada hawa pedang yang tak kelihatan itu,
"cret”, tahu-tahu jubah bagian pundak terobek dan darah merembes keluar.
Saat lain Koh-eng Taysu
menarik kembali jarinya dan hawa pedang ikut mengkeret kembali, maka patahlah
keenam batang dupa sekaligus.
Berbareng Thian-in, Po-ting-te
dan lain-lain ikut menarik kembali juga hawa pedang mereka, perasaan khawatir
mereka baru sekarang dapat terasa longgar.
Ciumoti melangkah maju lagi,
katanya, "Ilmu sakti Koh-eng Taysu memang bukan main hebatnya, aku terasa
kagum tak terhingga. Tapi tentang Lak-meh-sin-kiam itu, haha, kiranya cuma
omong kosong belaka.”
"Kenapa omong kosong,
silakan memberi penjelasan,” kata Thian-in.
"Dahulu yang dikagumi
Buyung-siansing adalah Kiam-hoat (ilmu permainan pedang) dan bukan Kiam-tin
(barisan pedang) dari Lak-meh-sin-kiam,” sahut Ciumoti. "Walaupun benar
Kiam-tin Thian-liong-si barusan ini sangat kuat dan hebat, tapi kalau diukur
juga tidak lebih daripada Lo-han-kiam-tin dari Siau-lim-si dan Kungoan-kiam-tin
dari Kun-lun-pay. Agaknya belum dapat dikatakan Kiam-tin yang tiada
bandingannya di dunia ini.”
Dengan menekankan Kiam-tin dan
bukan Kiam-hoat, Ciumoti anggap dirinya sekaligus telah menandingi keenam
lawan, sebaliknya pihak lawan tiada seorang pun yang mampu menggunakan
Lak-meh-sin-kiam sebagaimana dirinya memainkan Hwe-yam-to itu.
Thian-in terasa apa yang
dikatakan orang memang benar, ia menjadi bungkam tak bisa menjawab. Namun
Thian-som lantas menjengek, katanya, "Biar Kiam-tin atau Kiam-hoat, namun
pertandingan tadi Beng-ong yang menang atau pihak Thian-liong-si kami yang
menang?”
Ciumoti tidak menjawab, ia
pejamkan mata dan berpikir sejenak, selang agak lama, lalu jawabnya,
"Babak pertama kalian memang lebih unggul, tapi babak kedua ini aku pasti
akan menang.”
Thian-in terkejut, tanyanya,
"Jadi Beng-ong masih ingin bertanding lagi?”
"Apa boleh buat,” sahut
Ciumoti. "Seorang laki-laki harus dapat dipercaya. Sekali aku sudah
berjanji pada Buyung-siansing, mana boleh mundur setengah jalan?”
"Lalu, dengan andalan apa
Beng-ong yakin pasti akan menang?” tanya Thian-in.
Ciumoti tersenyum, sahutnya,
"Kalian adalah gembong-gembong persilatan, masakah masih belum dapat
menerkanya? Terimalah seranganku!”
Sembari berkata, kedua
tangannya terus mendorong ke depan dengan perlahan.
Koh-eng, Thian-in, Po-ting-te
dan lain-lain seketika merasa terdesak oleh dua arus tenaga dalam yang kuat
dari arah yang berlainan. Thian-in dan lain-lain terasa daya tekan musuh itu
tidak dapat ditahan dengan Lak-mehsin-kiam, maka mereka menggunakan kedua
tangan untuk menangkis, hanya Koh-eng Taysu saja tetap pakai kedua jari jempol
untuk menyambut tenaga musuh dengan ilmu "Siau-yang-kiam” dari
Lak-meh-sin-kiam itu.
Namun setelah melontarkan
tenaga serangan itu, segera Ciumoti menarik kembali lagi serangannya dan
berkata, "Maaf!”
Thian-in saling pandang
sekejap dengan Po-ting-te, keduanya sama-sama paham bahwa ilmu Hwe-yam-to padri
asing itu terang lebih unggul daripada Lak-meh-sin-kiam mereka. Sekali bergerak
Ciumoti mampu mengeluarkan berbagai tenaga yang berlainan, maka sekalipun
Siau-yang-kiam yang dilontarkan Koh-eng Susiok itu mendesak lebih kuat juga tak
mampu mengalahkan dia.
Pada saat itu juga, tiba-tiba
tertampak asap mengepul di depan Koh-eng Taysu, asap itu mengepul menjadi empat
jurusan dan mengepung ke arah Ciumoti.
Terhadap Hwesio yang duduk
menghadap dinding itu Ciumoti memang sangat jeri, kini mendadak tampak ada asap
hitam menyerang ke arahnya, seketika ia menjadi bingung apa maksud orang, ia
pun keluarkan Hwe-yamto-hoat untuk bertahan dari empat jurusan dan tidak balas
menyerang, di samping berjaga-jaga kalau Thian-in dan lain-lain ikut
mengerubut, diam-diam ia perhatikan serangan apa yang hendak dilakukan Koh-eng
Taysu.
Namun yang kelihatan hanya
asap hitam makin lama makin tebal, daya serangan Koh-eng bertambah hebat.
Diam-diam Ciumoti menjadi heran, "Cara menyerangnya dengan sekuat tenaga
ini apakah dapat bertahan lama? Koh-eng Taysu adalah seorang padri terkemuka di
zaman ini, kenapa menggunakan cara keras seperti ini?”
Ia menduga Koh-eng Taysu pasti
tidak mungkin bertindak sembrono, tentu di balik serangan itu ada pula muslihat
lain, maka dengan waswas ia menantikan segala kemungkinan.
Selang tak lama, mendadak
keempat jalur asap itu terpencar lagi, satu menjadi dua dan dua menjadi empat,
dalam sekejap saja jalur asap berubah menjadi 16 jalur dan merubung ke arah
Ciumoti.
"Hanya kekuatan panah
yang sudah hampir jatuh, apa artinya?” demikian pikir Ciumoti sambil
mengerahkan Hwe-yam-to-hoat untuk menahan setiap jalur asap lawan.
Dan begitu tenaga kedua pihak
saling bentur, tiba-tiba jalur-jalur asap itu bertebaran memenuhi ruangan
hingga seperti kabut tebal.
Namun sedikit pun Ciumoti
tidak gentar, ia pun mengerahkan segenap kekuatannya untuk melindungi seluruh
tubuhnya. Lambat laun kabut asap itu mulai menipis, Thian-in berlima kelihatan
berlutut di lantai dengan sikap
sungguh-sungguh, bahkan wajah
Thian-koan dan Thian-som tampak mengunjuk rasa sedih.
Ciumoti tertegun sejenak,
segera ia menjadi sadar, "Wah, celaka! Kiranya si tua Koh-eng ini merasa
tak mampu menandingi aku, maka Lak-meh-sin-kiam-boh lantas dibakar olehnya.”
Ternyata lukisan
Lak-meh-sin-kiam-boh itu memang telah terbakar oleh tenaga dalam It-yang-ci
yang dipancarkan Koh-eng Taysu itu. Ia khawatir Kiam-boh itu akan direbut
Ciumoti, maka untuk mengelabui lawan ia sengaja menyerangnya dengan kabut asap,
ketika kabut asap lenyap, sementara itu Lak-meh-sin-kiamboh juga sudah terbakar
habis.
Thian-in dan kawan-kawannya
adalah tokoh ahli It-yang-ci, maka begitu melihat asap hitam tadi, mereka
lantas tahu sebab musababnya. Mereka tahu sang Susiok lebih suka membakar kitab
pusaka sendiri daripada benda itu jatuh di tangan musuh. Dan dengan demikian,
permusuhan Thian-liong-si dengan Tay-lun-beng-ong menjadi tak bisa diselesaikan
dengan mudah.
Kejut dan gusar Ciumoti tak
terkatakan, biasanya ia sangat mengagulkan kecerdasannya, tapi kini telah dua
kali kecundang di bawah tangannya Koh-eng Taysu. Dan kalau Lak-meh-sin-kiam-boh
sudah terbakar, perjalanannya ini menjadi sia-sia belaka tanpa hasil,
sebaliknya malah mengikat permusuhan dengan Thianliong-si.
Segera ia berkata sambil
memberi hormat, "Buat apa Koh-eng Taysu mesti bertindak sekeras ini? Aku
merasa tidak enak mengakibatkan musnahnya kitab pusaka kalian, untung kitab itu
tak dapat dilatih oleh tenaga seorang saja, musnah atau tidak memang juga sama,
sekarang kumohon diri.”
Dan sebelum Koh-eng dan lain-lain
memberi jawaban, sedikit ia putar tubuh, sekonyong-konyong pergelangan tangan
Po-ting-te dipegangnya, lalu katanya pula, "Kokcu (kepala negara) kami
sudah lama mengagumi nama kebesaran Po-ting-te dan sangat ingin berkenalan,
maka sekarang juga silakan ikut padaku pergi ke Turfan.”
Kejadian ini benar-benar di
luar dugaan dan sangat mengejutkan, sergapan mendadak itu ternyata sama sekali
tak dapat dihindari oleh Po-ting-te yang berilmu silat tinggi itu, apalagi
Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara menangkap dan memegang Ciumoti itu sangat aneh,
sekali Hiat-to pergelangan tangan terpegang, biarpun dengan cepat Po-ting-te
mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan diri, namun sama sekali tidak
berhasil.
Dalam keadaan begitu,
keselamatan Po-ting-te setiap waktu akan terancam, maka orang lain menjadi
serbasulit untuk menolongnya. Meski Thian-in dan lain-lain merasa tindakan
Ciumoti itu terlalu rendah, sangat merosotkan pamornya sebagai tokoh ternama,
tapi mereka cuma marah belaka tanpa berdaya.
Maka tertawalah Koh-eng Taysu
dengan terbahak-bahak, katanya kemudian, "Sebelum ini dia memang benar
Po-ting-te, tapi kini ia sudah meninggalkan takhta dan menjadi padri, gelarnya
Thian-tim. Nah, Thian-tim, jika kepala negara Turfan sudah mengundangmu, tiada
alangannya ikut berkunjung ke sana.”
Dalam keadaan terpaksa, mau
tak mau Po-ting-te mengiakan. Ia tahu maksud sang Susiok. Kalau dirinya dalam
kedudukannya sebagai raja Tayli ditawan musuh, tentu Ciumoti akan pandang
dirinya sebagai tawanan penting. Tapi kalau dirinya sudah turun takhta dan kini
sudah menjadi Hwesio, maka apa yang ditawan Ciumoti sekarang tidak lebih hanya
seorang Hwesio biasa dari Thian-liong-si saja, boleh jadi dirinya akan segera
dibebaskan.
Akan tetapi Ciumoti tidak
mudah diakali. Sebelumnya ia sudah menyelidiki dan tahu di dalam Thian-liong-si
itu kecuali Koh-eng Taysu, di antara padri-padri angkatan "Thian” cuma ada
empat orang, tapi kini tiba-tiba bertambah lagi seorang Thian-tim, tenaga
dalamnya juga tidak lebih lemah daripada keempat padri yang lain, pula dari
wajahnya yang kereng dan sikapnya yang agung, begitu melihat segera Ciumoti
menduga dia pastilah Po-ting-te.
Ketika mendengar Koh-eng Taysu
bilang Po-ting-te sudah turun takhta dan menjadi Hwesio, diam-diam Ciumoti
berpikir pula, "Ya, konon setiap raja Tayli bila sudah lanjut usia tentu
mengundurkan diri untuk kemudian menjadi padri, maka kini kalau Po-ting-te juga
menyucikan diri ke Thian-liong-si sini, hal ini pun tidak mengherankan. Tapi
umumnya bila seorang raja menjadi Hwesio tentu diadakan upacara keagamaan
secara besar-besaran, tidak mungkin dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui
umum.”
Karena itu, segera katanya,
"Baik Po-ting-te sudah menjadi Hwesio atau belum, pendek kata aku ingin
mengundangnya berkunjung ke Turfan untuk menemui kepala negara kami.”
Sembari berkata terus saja
Po-ting-te diseretnya keluar.
"Nanti dulu!” seru
Thian-in mendadak, sekali melompat, bersama Thian-koan mereka mengadang di
ambang pintu.
"Tiada maksudku membikin
susah Po-ting-te, tapi kalau kalian terlalu mendesak, terpaksa tidak dapat
kujamin keselamatannya lagi,” kata Ciumoti. Berbareng tangannya bersiap-siap
mengancam di punggung Po-ting-te.
Thian-in cukup kenal betapa
lihainya orang, sekali Po-ting-te sudah dicengkeram urat nadinya, pasti tak
berdaya lagi untuk melawan. Maka ia menjadi bungkam, tapi tetap mengadang di
tempatnya.
"Kedatanganku ke sini
tidak membawa hasil apa-apa, sungguh malu terhadap mendiang Buyung-siansing,
beruntung sekarang dapat mengundang Po-ting-hongya, tidaklah hilang sama sekali
arti perjalananku ini, maka sukalah kalian memberi jalan,” kata Ciumoti pula.
Namun Thian-in dan Thian-koan
masih ragu, mereka pikir Po-ting-te adalah kepala negara Tayli, mana boleh
digondol lari oleh musuh?
Ciumoti menjadi tidak sabar,
serunya, "Kabarnya para padri Thian-liong-si sini sangat bijaksana, kenapa
menghadapi urusan kecil ini mesti bingung seperti anak kecil?”
Dalam pada itu yang paling
khawatir adalah Toan Ki demi melihat sang paman ditawan musuh. Semula ia
menduga sang paman tentu dapat melepaskan diri dari tangan musuh, siapa tahu
makin lama Ciumoti makin garang. Thian-in dan lain-lain tampak cemas dan gusar,
tapi tak bisa berbuat apa-apa, apalagi setindak demi setindak Ciumoti mulai
melangkah keluar lagi.
Tanpa pikir lagi Toan Ki
berteriak, "Hai, lepaskan pamanku!”
Segera ia melangkah keluar
dari aling-aling Koh-eng Taysu.
Sejak tadi Ciumoti sudah mengetahui
juga di depan Koh-eng ada duduk seorang lagi yang tak diketahui siapa, pula
tidak paham apa maksud Koh-eng menyuruh seorang duduk di depannya, kini melihat
orang itu bertindak keluar, ia menjadi heran, tanyanya segera, "Siapakah
engkau?”
"Tak perlu kau tanya
siapa aku, lepaskan pamanku,” sahut Toan Ki sambil ulur tangannya hendak
menarik tangan Po-ting-te yang lain.
Segera Po-ting-te menjabat
juga tangan Toan Ki yang diulurkan sambil berkata, "Ki-ji, jangan urus
diriku, lekas pulang dan minta ayahmu segera naik takhta menggantikan aku. Kini
aku sudah menjadi seorang Hwesio tua yang tiada artinya, buat apa dipikirkan?”
Dan karena tangan bergandeng
tangan, seketika tubuh Po-ting-te bergetar, segera ia merasakan daya sedot
"Cuhap-sin-kang” dari tubuh Toan Ki. Dan pada saat yang sama Ciumoti juga
merasakan tenaga murninya terus merembes keluar.
Dalam hal Lwekang Ciumoti lebih
tinggi daripada Po-ting-te, ia menyangka Po-ting-te menggunakan semacam ilmu
gaib untuk mengisap tenaga dalamnya, cepat ia himpun kekuatan untuk saling
berebut hawa murni
dengan Po-ting-te.
Kalau Po-ting-te tertawan oleh
Ciumoti adalah karena sama sekali tidak menduga padri asing itu bakal bertindak
secara pengecut, tapi tenaga dalam dan ilmu silat Po-ting-te sedikit pun tidak
berkurang, maka ketika mendadak terasa kedua tangan sendiri berbareng timbul
dua arus tenaga mahakuat dan saling betot, segera timbul akalnya untuk
"meminjam tenaga orang untuk melawan tenaga yang lain”, ia gunakan ilmu
itu untuk mempertemukan kedua arus tenaga yang hebat itu.
Dan begitu kedua tenaga itu
saling bentrok, Po-ting-te yang berada di tengah itu jadi bebas dari tekanan
tenagatenaga itu dan terhindarlah dia dari tawanan Ciumoti. Cepat ia melompat
mundur sambil menarik Toan Ki, dalam hati diam-diam ia bersyukur hari ini
selamat berkat pertolongan keponakannya itu.
Dalam pada itu kejut Ciumoti
sungguh tak terkatakan, pikirnya, "Ternyata dunia persilatan di Tionggoan
telah muncul pula seorang jago kelas wahid, mengapa aku sama sekali tidak tahu?
Usia orang ini paling banyak cuma 20-an, mengapa sudah setinggi ini
kepandaiannya?”
Tadi Ciumoti mendengar Toan Ki
memanggil Po-ting-te sebagai paman, ia menjadi lebih ragu lagi, sebab selamanya
belum didengarnya bahwa di antara angkatan muda keluarga Toan di Tayli terdapat
seorang tokoh kelas satu begini? Sungguh tak tersangka olehnya bahwa
sergapannya yang sudah berhasil menawan Po-ting-te itu mendadak digagalkan oleh
seorang pemuda tak terkenal, tentu saja membuatnya sangat penasaran.
Maka dengan mengangguk
perlahan ia pun berkata, "Selama ini aku menyangka Toan-si di Tayli ini
khusus hanya meyakinkan ilmu keturunan leluhur dan tidak mempelajari ilmu
kepandaian dari luar, siapa tahu angkatan mudanya yang gagah begini ternyata
sudi berkawan dengan iblis dari Sing-siok-hay untuk mempelajari
‘Hoa-kang-tay-hoat’ yang hebat itu. Aneh, sungguh aneh!”
Nyata biarpun Ciumoti seorang
cerdik pandai juga telah salah sangka Cu-hap-sin-kang yang dimiliki Toan Ki itu
sebagai Hoa-kang-tay-hoat.
Dengan tertawa dingin
Po-ting-te menjawab, "Sudah lama kudengar Tay-lun-beng-ong adalah seorang
saleh dan mempunyai pengetahuan yang luas, tapi mengapa bisa menarik kesimpulan
yang lucu ini? Sing-siok Lomo (iblis tua dari Sing-siok-hay) banyak melakukan
kejahatan, mana boleh keturunan keluarga Toan kami mengadakan hubungan dengan
dia?”
Selagi Ciumoti tercengang oleh
jawaban itu, tiba-tiba Toan Ki ikut berkata, "Engkau adalah tamu, maka
Thianliong-si menyambutmu dengan hormat, tapi secara licik engkau membokong
pamanku, mengingat kita sesama murid Buddha, maka kami mengalah sedapat
mungkin, sebaliknya engkau semakin garang, seorang alim masakah sekasar seperti
engkau ini?”
Diam-diam semua orang ikut
senang mendengar Toan Ki mendamprat Ciumoti, berbareng mereka pun waspada
kalau-kalau dari malu Ciumoti menjadi gusar dan mendadak melontarkan serangan
kepada pemuda itu.
Tak tersangka Ciumoti tetap
tenang-tenang saja, katanya, "Sungguh hari ini aku sangat beruntung dapat
berkenalan dengan seorang tokoh muda. Sudilah memberi petunjuk barang beberapa
jurus agar menambah pengalamanku.”
Tapi dengan terus terang Toan
Ki menjawab, "Aku tidak mahir ilmu silat, aku tidak pernah belajar
apa-apa.”
Ciumoti terbahak-bahak, sudah
tentu ia tidak percaya, katanya, "Pandai, sungguh pandai. Biarlah kumohon
diri saja!”
Dan sedikit tubuh bergerak, di
mana lengan bajunya mengebas, tahu-tahu tangannya menyusup keluar, sekaligus
empat tipu serangan Hwe-yam-to terus dilontarkan ke arah Toan Ki.
Toan Ki sama sekali tidak
paham cara bagaimana bertempur dengan ilmu silat mahatinggi itu, maka ketika
diserang musuh dengan tipu yang lihai, ia sendiri belum lagi menyadari. Syukur
Po-ting-te dan Thian-som segera menolongnya dari samping, berbareng mereka
memapak serangan Ciumoti itu dengan jari mereka. Cuma begitu membentur tenaga dalam
Ciumoti yang mahakuat itu, tubuh mereka lantas tergeliat, bahkan Thian-som
terus tumpah darah segar.
Melihat Thian-som tumpah
darah, barulah Toan Ki sadar bahwa barusan Ciumoti telah membokongnya. Ia
menjadi gusar, ia tuding padri itu sambil memaki, "Kau Hwesio asing yang
tidak kenal aturan ya!”
Dan karena dia menuding
sekuatnya, pikirannya bekerja, hawa murni pun mengalir, dengan sendirinya
lantas keluar satu jurus Kiam-hoat dari "Siau-yang-kiam.”
Lwekang Toan Ki sekarang sudah
tiada bandingannya di dunia ini, sejak ia duduk di depan Koh-eng Taysu dan
membaca gambar Lak-meh-sin-kiam-boh serta cara bergeraknya, ketika tanpa
sengaja jarinya menuding, tanpa disadarinya gerakan itu tepat seperti apa yang
dilihatnya dalam gambar, maka terdengarlah suara "cus”, serangkum tenaga
dalam yang mahakuat dengan gaya "Kim-ciam-to-jiat” atau jarum emas
menghindarkan maut, langsung menutuk ke arah Ciumoti.
Sama sekali Ciumoti tidak
menyangka tenaga dalam pemuda itu bisa sedemikian kuatnya, bahkan jurus tutukan
"Kim-ciam-to-jiat” itu tampak sangat cekatan dan merupakan serangan
Kiam-hoat yang paling tinggi. Dalam kagetnya cepat ia keluarkan
Hwe-yam-to-hoat, ia menangkis dengan tapak tangan.
Serangan Toan Ki itu ternyata
tidak melulu mengejutkan Ciumoti saja, bahkan Koh-eng, Thian-in dan lain-lain
juga merasa heran, di antaranya yang paling heran sudah tentu adalah Po-ting-te
dan Toan Ki sendiri. Pikir Toan Ki, "Sungguh aneh sekali? Aku cuma
menuding sekenanya, mengapa Hwesio ini menangkis dengan sungguh-sungguh? Eh, barangkali
tudinganku tadi gayanya mirip dengan sesuatu tipu serangan dan Hwesio ini
menyangka aku mahir Lak-meh-sin-kiam. Hahaha, jika demikian, biarlah aku
menggertaknya lagi.”
Segera Toan Ki berseru,
"Siau-yang-kiam barusan masih belum apa-apa! Lihatlah sekarang kumainkan
Kiamhoat dari Tiong-ciong-kiam!”
Berbareng jari tengahnya
menuding. Gayanya memang tepat, tapi sekali ini ternyata tidak membawa tenaga
dalam yang kuat.
Ketika melihat pemuda itu
menutuk lagi, cepat Ciumoti siapkan tenaganya untuk menyambut, tak terduga
serangan Toan Ki ternyata tak membawa kekuatan apa-apa. Semula ia terkejut
sebab mengira serangan pemuda itu mungkin hanya pancingan belaka, tetapi
sesudah tutukan kedua kalinya tetap kosong tak terisi, barulah Ciumoti
bergirang, "Memangnya aku tidak percaya di dunia ini ada orang mahir
memainkan Siau-yang-kiam dan Tiong-ciong-kiam sekaligus, dan nyatanya bocah ini
memang cuma main gertak saja hingga aku ditipu.”
Dasar watak Ciumoti memang
tinggi hati, dan orang yang tinggi hati tentu dengki. Kedatangannya ke
Thianliong-si tidak berhasil apa-apa, bahkan telah kecundang beberapa kali, ia
pikir kalau tidak balas unjuk gigi sedikit, tentu nama baik Tay-lun-beng-ong
akan tercemar.
Segera telapak tangan kirinya
memotong ke kanan dan ke kiri beberapa kali, lebih dulu ia tutup jalur bantuan
Po-ting-te dan lain-lain dengan tenaga dalamnya, menyusul tangan kanan terus
memotong ke pundak kanan Toan Ki. Tipu serangan "Pek-hong-koan-jit” atau
pelangi putih menembus sinar matahari, adalah salah satu jurus paling bagus
Hwe-yam-to-hoat, ia yakin bahu Toan Ki pasti akan terbelah olehnya.
Melihat itu, Po-ting-te,
Thian-in dan Thian-som berseru khawatir, "Awas!”
Berbareng jari mereka terus
menutuk serentak ke arah Ciumoti.
Serangan serentak mereka itu
adalah serangan yang memaksa musuh harus menolong diri sendiri lebih dulu. Tak
tersangka lebih dulu Ciumoti sudah membungkus bagian bahaya tubuhnya dengan
tenaga dalam yang kuat,
sedang serangannya kepada Toan
Ki tetap dilontarkan tanpa menghiraukan ancaman Po-ting-te bertiga.
Ketika mendengar seruan kaget
Po-ting-te bertiga tadi, Toan Ki tahu gelagat tentu tidak menguntungkan, tanpa
pikir tangan kanan dan kiri terus menutuk ke depan sekuatnya, dalam khawatirnya
itu, hawa murni dalam tubuh dengan sendirinya bergolak, maka sekaligus
Siau-ciong-kiam di tangan kiri dan Siau-tik-kiam di tangan kanan dilontarkan
untuk menangkis Hwe-yam-to-hoat musuh, begitu kuat tenaganya hingga mampu balas
menghantam Ciumoti dengan daya tekan yang hebat.
Keruan Ciumoti kelabakan,
tanpa pikir ia bertahan sekuatnya.
Setelah beberapa kali menutuk,
lamat-lamat Toan Ki bisa merasakan bahwa terlebih dulu harus timbul sesuatu
hasrat, habis itu barulah mengerahkan tenaga dan menutuk, dengan demikian tenaga
dalam dan hawa murninya baru dapat bekerja serentak. Namun mengapa bisa begitu,
dengan sendirinya ia bingung.
Begitulah dalam sekejap saja
Toan Ki menutuk berulang-ulang menurut perasaannya yang timbul dari apa yang
dilihatnya pada gambar Lak-meh-sin-kiam itu. Jari bekerja dengan cepat dan
indah hingga makin lama Ciumoti makin heran dan terkesiap. Sekuatnya ia
kerahkan tenaga dalam untuk melawan Lak-meh-sin-kiam yang lihai itu, seketika
hawa pedang sambar-menyambar dengan tajamnya.
Selang sebentar, Ciumoti
merasakan tenaga dalam lawan makin lama makin kuat, perubahan Kiam-hoatnya juga
tiada habis-habisnya dan sukar diraba. Makin lama Ciumoti tambah heran dan
menyesal telah gegabah merecoki Thian-liong-si, tahu-tahu kini muncul seorang
tokoh muda selihai ini. Sekonyong-konyong ia menyerang tiga kali, lalu berseru,
"Berhenti dulu!”
Namun meski Toan Ki mahir
Lak-meh-sin-kiam, ia tak dapat menguasai hawa murni dalam tubuhnya, maka ketika
lawan berseru minta berhenti, seketika ia menjadi bingung cara menarik kembali
tenaga dalamnya, terpaksa jarinya diangkat ke atas hingga menuding ke atap
rumah. Berbareng ia berpikir, "Biarlah aku tidak keluarkan tenaga lagi,
coba apa yang hendak ia katakan.”
Hanya sekilas saja Ciumoti
yang mahapintar itu sudah dapat melihat sikap bingung Toan Ki itu, caranya
menarik kembali hawa murninya tampak kerepotan, kentara bingung dan masih
hijau. Sedikit tergerak pikirannya, segera Ciumoti melompat maju terus menjotos
ke muka Toan Ki.
Bahwa Toan Ki berhasil
memperoleh pelajaran Lak-meh-sin-kiam yang hebat itu adalah disebabkan secara
kebetulan saja dan ada jodoh, tapi mengenai ilmu silat yang paling umum
sekalipun sebenarnya ia tidak paham. Maka ketika jotosan Ciumoti itu tiba,
biarpun serangan ini sangat sederhana dan mudah dihindari, namun bagi Toan Ki
malah sukar ditangkis.
Segala kepandaian di dunia ini
lazimnya dipelajari mulai dari yang cetek, kemudian menuju yang dalam, tidak
mungkin hanya memahami yang dalam, tapi malah tidak bisa yang cetek, hanya ilmu
silat Toan Ki itulah merupakan suatu kecuali besar.
Ketika melihat dirinya
dijotos, walaupun serangan itu sangat sederhana, tapi ia justru kelabakan cara
menangkisnya. Keruan kesempatan itu tidak diabaikan Ciumoti, mendadak ia
hentikan jotosannya di tengah jalan dan menyampuk tangan Toan Ki ke samping,
menyusul dada pemuda itu lantas dijambretnya bagian "Sinhong-hiat.” Tanpa
ampun lagi antero tubuh Toan Ki terasa lemas linu tak bisa berkutik.
Walaupun Ciumoti dapat melihat
di antara ilmu silat Toan Ki itu terdapat banyak titik kelemahannya, tapi tak
terduga olehnya bahwa secara begitu gampang pemuda itu dapat ditangkapnya. Ia
khawatir Toan Ki sengaja tertawan dan masih ada tipu muslihat lain, maka begitu
mencengkeram Sin-hong-hiat dada pemuda itu, menyusul ia menutuk pula "Tan-tiong”,
"Tay-tui” dan beberapa Hiat-to penting lainnya.
Tapi pada saat yang sama,
Ciumoti juga terasa tenaga murni dalam tubuh sendiri terus merembes keluar
melalui telapak tangan kanan yang mencengkeram dada Toan Ki itu.
Cepat ia pegang pergelangan
tangan kanan dengan tangan kiri sambil menyurut mundur beberapa tindak, lalu
katanya, "Siausicu (tuan kecil) ini sudah hafal benar ilmu
Lak-meh-sin-kiam, sedangkan Kiam-boh itu sudah dibakar oleh Koh-eng Taysu ....”
Sambil bicara, ia megap-megap
juga, sebab sekali mulutnya mengap, tak tertahan lagi hawa murninya lantas
merembes keluar, terpaksa ia bicara dengan cepat dan terputus-putus,
"Namun Siausicu ini sama ... sama saja seperti Kiam-boh hidup, biarlah
kubawa ke ... ke kuburan Buyung-siansing untuk dibakar hidup-hidup di sana,
bukankah sa ... sama juga ....”
Dan karena khawatir
kelemahannya diketahui Koh-eng dan kawan-kawannya, cepat Ciumoti keluarkan
serangan Hwe-yam-to-hoat lagi beberapa kali, sekali melompat keluarlah dia dari
ruang Bo-ni-tong itu. Ketika Po-ting-te, Thian-in dan lain-lain hendak
mengejar, namun mereka dipaksa mundur kembali oleh serangan Ciumoti yang hebat
itu.
Begitu sampai di luar, segera
Ciumoti lemparkan Toan Ki kepada kesembilan laki-laki yang berjaga di luar
sambil membentak, "Lekas berangkat!”
Segera dua laki-laki di
antaranya berlari maju menyambut tubuh Toan Ki dan digondol lari melalui jalan
yang tidak semestinya seperti mereka datang tadi.
Ciumoti sendiri lantas merasa
tenaga murninya tidak merembes keluar lagi begitu terpisah dengan tubuh Toan
Ki, ia tetap melontarkan serangan Hwe-yam-to-hoat yang hebat ke pintu keluar
Bo-ni-tong, seketika Po-ting-te dan lain-lain menjadi tertahan di dalam dan
sukar membobol jaringan golok musuh yang tak berwujud itu.
Setelah mendengar derap kuda
begundalnya sudah pergi agak jauh dengan menggondol Toan Ki, maka tertawalah
Ciumoti, katanya, "Haha, Kiam-boh kertas terbakar, kini dapat Kiam-boh
yang hidup malah. Buyung-siansing tentu takkan merasa kesepian lagi di alam
baka, beliau segera akan mendapat teman.”
Dan sekali tangannya memotong,
terdengarlah suara gemuruh, dua pilar Bo-ni-tong dipatahkan olehnya, menyusul
tertampaklah bayangan orang berkelebat, secepat angin ia menghilang dari
pandangan mata.
Ketika Po-ting-te dan
Thian-som memburu keluar, namun Ciumoti sudah pergi jauh.
"Hayo, lekas kita kejar!”
seru Po-ting-te. Segera ia mendahului berlari ke depan. Cepat Thian-som ikut di
belakangnya untuk mengejar musuh.
Dalam keadaan tak dapat
berkutik karena Hiat-to tertutuk, Toan Ki merasa dirinya ditaruh di atas kuda
dengan tengkurap hingga kepala terjulur ke bawah. Karena itu ia dapat melihat
sibuknya kaki kuda bekerja, debu bertebaran memenuhi mukanya.
Ia dengar beberapa laki-laki
itu sedang membentak-bentak dalam bahasa asing, entah apa yang dipercakapkan.
Ia coba menghitung kaki kuda, seluruhnya ada 40, itu berarti ada 10 penunggang
kuda.
Setelah belasan li jauhnya,
sampailah mereka di suatu simpang jalan. Terdengar Ciumoti berkata beberapa
patah, lalu lima penunggang kuda mengambil jalan ke kiri, sedangkan Ciumoti
sendiri bersama laki-laki yang menggondol Toan Ki serta tiga orang lain lagi
membelok ke kanan.
Beberapa li pula, kembali ada
simpang jalan lagi, segera Ciumoti membagi diri mereka menjadi dua rombongan
pula.
Toan Ki tahu Ciumoti sengaja
hendak memencarkan perhatian pengejarnya agar bingung ke mana harus mengejar
mereka.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba
Ciumoti melompat turun dari kudanya, ia ambil seutas sabuk kulit untuk mengikat
pinggang Toan Ki, lalu tubuh pemuda itu dijinjingnya terus dibawa menuju ke
lereng bukit. Sedangkan kedua begundalnya melarikan kuda mereka ke jurusan
lain.
Diam-diam Toan Ki mengeluh,
"Wah, celaka! Jika demikian, sekalipun Pekhu mengerahkan pasukan besar
untuk mengejar, paling banyak cuma kesembilan lelaki itu yang dapat ditangkap
kembali, tapi sukar menemukan aku.”
Jilid 17
Meski tangannya menjinjing
seorang, namun tindakan Ciumoti tidak menjadi lambat. Makin lama makin jauh dan
makin cepat jalannya. Dalam waktu beberapa jam lamanya ia selalu berkeliaran di
antara lereng gunung yang sunyi.
Toan Ki melihat sang surya
sudah mendoyong ke ufuk barat dan menyorot dari sebelah kiri, maka tahulah dia
bahwa Ciumoti membawanya menuju ke utara.
Petangnya, Ciumoti angkat
tubuh Toan Ki untuk diletakkan di atas dahan pohon, ia ikat sabuk kulit itu
pada ranting pohon, sama sekali ia tidak ajak bicara pemuda itu, bahkan
memandang pun tidak, hanya sambil berdiri mungkur ia sodorkan beberapa potong
roti kering padanya, ia pun membuka Hiat-to lengan kiri Toan Ki agar pemuda itu
dapat bergerak untuk makan.
Dengan tangan kiri yang sudah
dapat bergerak itu, Toan Ki pikir hendak menyerangnya dengan Siau-tik-kiam,
siapa duga sekali Hiat-to besar tertutuk, hawa murni seluruhnya ikut macet,
maka jari tangannya cuma dapat bergerak saja dan tak bertenaga sedikit pun.
Begitulah, selama beberapa
hari Ciumoti terus menjinjingnya ke utara. Beberapa kali Toan Ki memancing
pembicaraan orang dan tanya mengapa dirinya ditawan serta untuk apa menuju ke
utara? Namun tetap Ciumoti tidak menjawab.
Setelah belasan hari, mereka
berada di luar wilayah Tayli, Toan Ki merasa arah yang ditempuh Ciumoti
berganti menuju ke timur-laut, tapi tetap tidak mengambil jalan raya,
sebaliknya selalu menjelajahi lereng gunung dan hutan belukar, cuma tanahnya
kian lama kian datar, sungai pun semakin banyak, setiap hari hampir beberapa
kali menyeberang sungai.
Cara perjalanan Ciumoti dengan
menjinjing Toan Ki seakan-akan orang mencangking hewan saja, sudah tentu sangat
mengherankan orang yang berlalu-lalang di sampingnya. Sampai akhirnya Toan Ki
sendiri merasa bosan juga setiap kali berjumpa dengan orang di tengah jalan.
Sungguh dongkol Toan Ki tak
terkatakan. Dahulu ketika ia ditawan oleh adik perempuannya, yaitu Bok Wanjing,
walaupun setiap hari ia dihajar dan disiksa, banyak penderitaan yang
dirasakannya, tapi rasanya tidak kesal seperti ditawan Ciumoti sekarang.
Setelah belasan hari lagi,
Toan Ki mendengar logat bicara orang yang berlalu-lalang mulai ramah tamah dan
enak didengar, diam-diam ia membatin, "Ah, tentu tempat ini adalah daerah
Kanglam (selatan sungai Yangce). Ia membawa diriku ke kuburan Buyung-siansing,
rasanya tidak lama lagi sudah akan tiba di tempat tujuannya. Ilmu silat padri
asing ini sedemikian lihai, sampai Pekhu berenam juga tak mampu merobohkan dia.
Sekarang aku berada dalam cengkeramannya, terpaksa aku menyerah pada nasib,
masakah ada harapan buat lolos?”
Berpikir begitu, hatinya
menjadi lapang malah, tanpa pikir lagi ia mendongak untuk memandang keadaan
sekitarnya. Tatkala itu adalah pergantian antara musim semi dan musim panas,
hawa sejuk pemandangan indah, angin meniup silir-semilir memabukkan orang.
Sudah lebih sebulan Toan Ki
menjadi "barang cangkingan” Ciumoti, hal itu sudah terbiasa baginya. Kini
melihat pemandangan alam yang indah permai itu, hatinya menjadi gembira, tanpa
merasa ia pun bernyanyinyanyi kecil sambil menikmati pemandangan danau yang
indah di pinggir jalan.
"Huh, ajal sudah dekat,
masih begini iseng?” jengek Ciumoti.
"Manusia mana di dunia
ini yang takkan mati?” sahut Toan Ki dengan tertawa. "Paling banyak engkau
cuma hidup lebih lama buat beberapa tahun, apa bedanya kelak?”
Ciumoti tidak gubris padanya
lagi. Ia coba tanya orang di mana letaknya "Som-hap-ceng.” Tapi meski
sudah beberapa orang ditanya, tetap tiada seorang pun yang tahu di mana kampung
itu.
"Tidak pernah kudengar
dusun yang bernama Som-hap-ceng, barangkali engkau salah dengar, Hwesio,”
demikian sahut seorang tua.
"Jika begitu, apakah tahu
seorang hartawan she Buyung, di mana rumahnya?” tanya Ciumoti.
"Di kota Sohciu sini
banyak orang she Tan, she Li dan she lain, semua hartawan besar, tapi tidak pernah
terdengar ada hartawan she Buyung,” sahut orang tua itu.
Sedang Ciumoti bingung,
tiba-tiba didengarnya suara seorang sedang berkata di jalan kecil di tepi danau
sana, "Kabarnya orang she Buyung itu tinggal di Yan-cu-oh kira-kira tiga
puluh li di barat kota, mari kita menuju ke sana!”
"Ya, sudah sampai di
tempatnya, kita harus berhati-hati!” demikian sahut seorang lain.
Suara percakapan kedua orang
itu sangat perlahan, maka Toan Ki tidak mendengar, sebaliknya Lwekang Ciumoti
sangat tinggi, ia dapat mendengar dengan jelas. Diam-diam ia heran apakah orang
sengaja bicara padanya?
Ketika Ciumoti berpaling, ia
lihat seorang berperawakan gagah berpakaian berkabung, seorang lagi kurus kecil
mirip pencoleng. Tapi sekilas pandang saja dapatlah diketahui Ciumoti bahwa
kedua orang itu memiliki ilmu silat tinggi. Belum lagi ia ambil keputusan apa
mesti tanya kedua orang itu atau tidak, mendadak Toan Ki berseru, "Hai,
Ho-siansing, Ho-siansing!”
Kiranya laki-laki kurus kecil
bermuka jelek itu tak-lain tak-bukan adalah Kim-sui-poa Cui Pek-khe, si Mesin
Hitung Emas. Dan laki-laki yang lain adalah murid keponakannya, Tui-hun-jiu Ko
Gan-ci.
Sesudah kedua tokoh itu
meninggalkan Tayli, dengan semangat yang berkobar-kobar mereka hendak
membalaskan dendam Kwa Pek-hwe. Walaupun mereka juga tahu sukar untuk melawan
orang she Buyung, tapi sakit hati itu harus dibalas betapa pun akibatnya, maka
akhirnya mereka tiba juga di Koh-soh.
Sebelumnya mereka telah
menyelidiki dan mendapat tahu tempat tinggal keluarga Buyung, yaitu Yan-cu-oh,
dan secara kebetulan tiba pada waktu yang sama dengan Ciumoti dan Toan Ki.
Ketika mendadak mendengar
seruan Toan Ki tadi, Cui Pek-khe tercengang sejenak, tapi segera ia melompat ke
depan Ciumoti dan berkata dengan heran, "He, Siauongcu (putra pangeran
kecil), kiranya engkau? Eh, Toahwesio, lekas melepaskan Kongcuya ini, apa kau
tahu siapa dia?”
Sudah tentu Ciumoti tidak
pandang sebelah mata kepada kedua orang itu, tapi karena dia lagi bingung
mengenai tempat tinggal Buyung-siansing, kini kebetulan orang ini mengetahui
tempatnya, maka ia pun tidak marah terhadap ucapan Cui Pek-khe. Ia taruh Toan
Ki ke tanah membiarkan pemuda itu berdiri sendiri, lalu melepaskan Hiat-to
kakinya, kemudian berkata, "Aku hendak pergi ke rumah keluarga Buyung,
harap kalian berdua suka menunjukkan jalannya.”
Pengetahuan dan pengalaman Cui
Pek-khe sangat luas, tapi meski dipikir toh tak teringat olehnya siapa gerangan
Hwesio ini. Maka tanyanya, "Numpang tanya, siapakah gelaran suci Taysu?
Mengapa membikin susah Siauongcu ini dan untuk keperluan apa hendak pergi ke
rumah keluarga Buyung?”
"Banyak omong tiada
gunanya, nanti tentu akan tahu sendiri,” sahut Ciumoti.
"Apakah Taysu sobat baik
Buyung-siansing?” tanya Cui Pek-khe pula.
"Benar, makanya kalau
Ho-siansing mengetahui di mana letak Som-hap-ceng tempat tinggal
Buyung-siansing itu, harap memberitahukan jalannya,” sahut Ciumoti.
Tadi ia dengar Toan Ki
menyerukan "Ho-siansing” kepada Cui Pek-khe, maka ia menyangka tokoh
Ko-san-pay itu benar-benar she Ho.
Geli-geli dongkol Cui Pek-khe,
sambil menggaruk kepala ia coba tanya Toan Ki, "Bagaimana baiknya,
Siauongcu?”
Toan Ki menjadi sulit juga
oleh pertanyaan itu. Ia pikir ilmu silat Ciumoti itu teramat tinggi, di dunia
ini mungkin tiada seorang pun yang mampu melawannya, apalagi cuma kedua tokoh
Ko-san-pay ini, terang bukan tandingannya, kalau berani berusaha buat
menolongnya, paling-paling cuma mengantarkan nyawa saja, lebih baik
memperingatkan mereka saja agar lekas melarikan diri. Maka cepat katanya,
"Taysu ini seorang diri telah mengalahkan pamanku dan kelima tokoh
tertinggi dari Tayli, akhirnya aku pun tertawan olehnya. Katanya dia sobat
kental Buyung-siansing, maka aku hendak dibakarnya hidup-hidup di depan kuburan
Buyung-siansing untuk memenuhi sesuatu janjinya. Kalian berdua selamanya tiada
sangkut paut apa-apa dengan keluarga Buyung, maka silakan menunjukkan jalannya
saja, lalu bolehlah kalian pergi.”
Mendengar Hwesio itu telah
mengalahkan Po-ting-te dan jago-jago lain di Tayli, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci
menjadi kaget. Lebih-lebih ketika mendengar pula bahwa padri ini sobat baik
orang she Buyung.
Namun meskipun lahiriah Cui
Pek-khe itu jelek, tapi ia kesatria. Ia pikir sudah belasan tahun dirinya
bersembunyi di Tin-lam-onghu, untuk itu belum pernah ia membalas sesuatu
kebaikan apa-apa. Kini Siauongcu berada dalam kesulitan, mana boleh dirinya tinggal
diam? Betapa pun sekarang sudah berada di Koh-soh, keselamatan jiwa sendiri
sudah tak terpikir, biarpun akan mati di tangan musuh atau orang lain kan sama
saja.
Berpikir begitu, sekali tangan
bergerak, segera ia menarik keluar sebuah Swipoa bersinar emas kemilau, ia
angkat tinggi-tinggi senjatanya itu dan dikocak hingga mengeluarkan suara
gemerencing yang ramai. Katanya, "Toahwesio, kau bilang Buyung-siansing
adalah sobat baikmu, sebaliknya Siauongcu ini adalah kawan karibku. Maka lebih
baik kau lepaskan dia saja!”
Melihat sang Susiok sudah
siap, Ko Gan-ci cepat melolos juga ruyung lemas yang melilit di pinggangnya.
"Hehe, apakah kalian
mengajak berkelahi?” jengek Ciumoti.
"Sekalipun tahu takkan
mampu menandingimu, namun apa boleh buat, betapa pun aku ingin mencoba, mati
atau hidup ... auuuh!” mendadak Cui Pek-khe mengaduh sebelum selesai ucapannya.
Kiranya mendadak Ciumoti telah
sambar ruyung yang dipegang Ko Gan-ci itu, sekali sabet, tahu-tahu Swipoa emas
Cui Pek-khe itu kena terlilit, ketika ruyung bergerak pula, kedua macam senjata
itu mencelat berbareng ke tengah danau sebelah kanan.
Tampaknya kedua senjata itu
sekejap lagi akan kecemplung ke dalam danau, tak tersangka tenaga yang
dikeluarkan Ciumoti itu ternyata sangat aneh dan tepat, ujung ruyung itu
mendadak menjungkat ke atas dan tepat melilit pada suatu ranting pohon Liu di
tepi danau itu. Ranting pohon Liu itu sangat lemas, digantungi lagi dengan sebuah
Swipoa emas, maka tiada hentinya ranting berguncang naik turun, air danau pun
beriak karena Swipoa emas itu menyentuh air.
Ko Gan-ci itu berjuluk
"Tui-hun-jiu” atau si Penguber Nyawa, suatu tanda betapa cepat
gerak-geriknya, apalagi ruyung itu adalah senjata andalan perguruan yang
terkenal, siapa sangka hanya sekali gebrak saja sudah dirampas musuh, bahkan
cara bagaimana Ciumoti mendekat dan merebut senjata, cara bagaimana melilit
Swipoa emas lalu melompat kembali ke tempat semula, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci
sama sekali tidak jelas melihatnya.
Sambil merangkap kedua tangan
kemudian Ciumoti berkata dengan suara lemah lembut, "Harap kedua tuan ini
sudi menunjukkan jalannya.”
Cui Pek-khe saling pandang
dengan Ko Gan-ci dan bingung apa yang harus mereka lakukan. Maka Ciumoti
berkata pula, "Jika kalian tidak suka mengajak kami ke sana, silakan
menunjukkan arahnya saja, biar aku mencarinya sendiri ke sana.”
Melihat ilmu silat si Hwesio
begitu tinggi, tapi sikapnya ramah tamah, Cui Pek-khe berdua menjadi ragu dan
serbasalah, hendak main kasar toh orang bersikap sopan, hendak mengajaknya
bicara secara baik-baik, terang putra pangeran Tayli ditawan olehnya.
Untunglah pada saat itu
terdengar suara debur air, dari ujung danau sana tampak tiba sebuah sampan
didayung oleh seorang gadis kecil berbaju hijau, sambil mendayung sembari
bernyanyi dengan gembiranya, lagunya indah, suaranya merdu, hingga makin
menambah permainya suasana danau.
Sudah lama Toan Ki mengagumi
keindahan alam Kanglam dari syair gubahan pujangga yang pernah dibacanya. Kini
dihadapi pemandangan permai dengan nyanyian merdu, semangatnya seakan-akan
terbang ke awang-awang dan lupa daratan bahwa dirinya waktu itu sedang terancam
bahaya, serentak ia memandang ke
arah si gadis. Ia lihat kedua
tangan si gadis putih bersih bagai batu kemala yang bening tembus.
Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci ikut
tertarik juga dan memandang si gadis. Hanya Ciumoti saja tetap membuta dan
membudek, katanya, "Jika kalian tidak sudi memberi tahu letak
Som-hap-ceng, biarlah kumohon diri saja.”
Saat itu sampan si gadis sudah
dekat menepi. Maka ucapan Ciumoti itu dapat didengarnya, tiba-tiba ia menyela,
"Taysu ini hendak pergi ke Som-hap-ceng, entah ada keperluan apa?”
Suara gadis itu ternyata
sangat nyaring dan manis hingga bagi yang dengar akan timbul rasa nikmat tak
terkatakan. Usia gadis ini ternyata baru belasan tahun, wajah lemah lembut,
dandanan serasi. Diam-diam Toan Ki memuji, "Wanita daerah Kanglam sungguh
tak tersangka secantik ini.”
Maka menjawablah Ciumoti,
"Siauceng (padri kecil) hendak pergi ke Som-hap-ceng, apakah nona sudi
menunjukkan jalannya?”
"Nama Som-hap-ceng jarang
diketahui orang luar, dari mana Thaysuhu mengetahuinya?” tanya gadis itu dengan
tersenyum.
"Siauceng adalah sobat
lama Buyung-siansing, kini sengaja datang berziarah ke kuburannya sekadar
memenuhi janji masa dulu,” sahut Ciumoti.
Gadis itu termenung sejenak,
katanya, "Wah, agak tidak kebetulan. Kemarin dulu Buyung-kongcu baru
bepergian, kalau Thaysuhu datang lebih dulu tiga hari, tentu dapat berjumpa
dengan Kongcu.”
"Sungguh menyesal tidak
sempat berkenalan dengan Kongcu, namun jauh-jauh Siauceng datang dari negeri
Turfan, biarlah aku berkunjung ke makam Buyung-siansing sekadar memberi
penghormatan terakhir.”
"Jika Thaysuhu adalah
sobat baik Buyung-loya, marilah silakan minum dulu ke tempat kami, kemudian
akan kusampaikan maksudmu, mau?”
"Apa hubungan nona dengan
Buyung-siansing dan cara bagaimana harus kusebut secara hormat?” tanya Ciumoti.
"Ah, aku cuma dayang yang
melayani Kongcu memetik Khim dan meniup seruling,” sahut si gadis dengan
tersenyum manis. "Namaku
A Pik, maka janganlah Thaysuhu sungkan-sungkan, panggil saja aku A Pik.”
"O, baiklah,” kata
Ciumoti dengan hormat.
Lalu si A Pik berkata,
"Jalan dari sini ke Yan-cu-oh harus melalui lintas air danau, marilah
kuantar dengan sampan ini.”
Setiap kata yang ditanyakan
oleh A Pik kedengarannya begitu luwes dan simpati hingga membuat orang tidak
enak untuk menolak.
Maka berkatalah Ciumoti,
"Jika begitu, terpaksa membikin repot nona.”
Berbareng ia terus gandeng
tangan Toan Ki dan melompat ke atas sampan dengan enteng. Sampan itu hanya
ambles ke bawah sedikit dan sama sekali tidak terguncang.
A Pik tersenyum kepada Ciumoti
dan Toan Ki, maksudnya seakan-akan memuji kehebatan kepandaian orang.
Lalu Ko Gan-ci membisiki Cui
Pek-khe, "Bagaimana, Susiok?”
Sebenarnya kedatangannya ingin
menuntut balas pada orang she Buyung, tapi kedudukan mereka kini menjadi
serbasalah dan sangat lucu kelihatannya.
"Jika tuan-tuan sudah
datang di Sohciu, bila tiada urusan penting lain, marilah silakan mampir juga
ke tempat kami untuk minum-minum,” demikian kata A Pik lagi dengan tertawa.
"Jangan tuan-tuan ragu terhadap sampan kecil ini, biarpun bertambah lagi
beberapa orang juga tidak nanti tenggelam.”
Perlahan A Pik mendayung
sampannya, ketika lewat di bawah pohon Liu tadi, tiba-tiba ia ambil Kim-sui-poa
dan ruyung yang tergantung di ranting pohon itu. Sekenanya ia ketik-ketik biji
Swipoa hingga menerbitkan suara "crang-creng” yang nyaring.
Mendengar beberapa suara
nyaring itu, dengan girang Toan Ki berkata, "He, apakah nona sedang
memetik lagu ‘Jay-song-cu’ (memetik biji arbei)?”
Kiranya biji Swipoa yang
dipetik si A Pik telah mengeluarkan suara yang berbeda-beda hingga berwujud
irama musik lagu ‘Jay-song-cu’ yang merdu.
Dengan tersenyum A Pik
menjawab, "Ah, kiranya Kongcu juga pandai seni suara, maukah memetik
barang satu lagu juga?”
Melihat gadis itu lincah kekanak-kanakan,
ramah tamah menarik, sahut Toan Ki dengan tertawa, "Ya, tapi aku tidak
dapat memetik Swipoa.”
Lalu ia menoleh kepada Cui
Pek-khe, katanya, "Ho-siansing, Swipoamu telah digunakan orang sebagai
alat musik yang bagus.”
"Ya, benar!” sahut Cui Pek-khe
dengan senyum ewa, "nona sungguh seorang seniwati, alat hitungku yang
kasar itu sekali berada di tangan nona, jadilah segera sebuah alat musik yang
bagus.”
"Ai, ai, maafkan, jadi
ini milik tuan?” seru A Pik gugup. "Wah, alangkah bagusnya Swipoamu ini.
Ehm, tentu tuan ini seorang hartawan, sampai Swipoa juga terbuat dari emas.
Ho-siansing, ini kukembalikan.”
Sambil berkata, terus saja A
Pik angsurkan Swipoa yang dipegangnya itu. Tapi Cui Pek-khe berdiri di tepi
danau, dengan sendirinya tidak sampai menerimanya.
Ia merasa berat bila
kehilangan kawan setianya yang selalu dibawanya itu. Maka dengan ringan ia
lompat ke haluan sampan untuk menerima Swipoa itu. Kemudian ia berpaling dan
melotot sekali ke arah Ciumoti. Namun wajah padri itu tetap tersenyum simpul
dengan welas asih, sedikit pun tidak marah.
Setelah Swipoa dikembalikan ke
pemiliknya, kini tinggal ruyung itu yang masih dipegang si A Pik. Ketika tangan
kanannya memegang batang ruyung dan sekali diusap dari atas ke bawah, karena
gesekan kuku jarinya dengan ruas ruyung itu, maka terbitlah macam-macam suara
nyaring yang menarik hingga mirip orang memetik harpa.
Ternyata senjata yang pernah
melayani berbagai jago Bu-lim itu setelah berada di tangan A Pik telah berubah
menjadi semacam alat musik lagi.
"Bagus, bagus!” saking
senangnya Toan Ki berteriak-teriak. "Sungguh pintar sekali nona, ayolah
silakan memetiknya satu lagu.”
Tapi A Pik lantas berkata
kepada Ko Gan-ci, "Mungkin ruyung ini milik tuan ini bukan? Aku
sembarangan mengambilnya, sungguh terlalu tidak tahu aturan, mohon dimaafkan.
Marilah tuan, silakan naik juga ke atas sampan, sebentar akan kusuguh dengan
santapan enak.”
Sebenarnya Ko Gan-ci merasa
dendam karena gurunya dibunuh orang she Buyung, tapi menghadapi seorang nona
cilik yang selalu tersenyum manis dan kekanak-kanakan, betapa pun rasa dendam
dalam hatinya juga tidak mungkin dilampiaskan atas diri gadis itu. Pikirnya,
"Dia bersedia membawa kami ke tempat tinggal orang she Buyung, inilah yang
sangat kami inginkan, bagaimanapun juga aku harus membunuh beberapa orang
mereka untuk membalas sakit hati Suhu.”
Karena itu, ia mengangguk
menerima tawaran A Pik, lalu melompat ke atas perahu.
Dengan hati-hati dan
menghormat A Pik menggulung ruyung itu dan dikembalikan kepada Gan-ci. Sekali
dayung bekerja, segera sampan meluncur ke arah barat.
Cui Pek-khe saling menukar
isyarat mata beberapa kali dengan Ko Gan-ci. Diam-diam mereka pikir, "Hari
ini kita telah masuk gua harimau, entah bakal mati atau hidup. Menghadapi
keluarga Buyung yang kejam dan si nona yang kelihatan lemah lembut ini, betapa
pun kita harus waspada, jangan sampai masuk perangkap musuh.”
Begitulah sampan si A Pik
terus meluncur ke depan, setelah membelok kian kemari, akhirnya masuklah sampan
itu ke tengah danau yang luas. Sepanjang mata memandang, danau itu seakan-akan
tanpa ujung dan merapat dengan langit. Keruan Ko Gan-ci bertambah waswas,
pikirnya, "Danau besar ini tentulah Thay-oh adanya. Aku dan Cui-susiok
tidak dapat berenang, bila nona cilik ini membalik sampannya, pasti kami berdua
akan kelelap ke dasar danau sebagai umpan ikan, jangankan lagi bicara hendak
menuntut balas bagi Suhu.”
Rupanya Cui Pek-khe juga
mempunyai firasat yang sama. Ia pikir kalau dayung sampan dapat dipegang
sendiri, bila nona itu hendak tenggelamkan sampannya tentu akan lebih sulit.
Maka segera katanya, "Nona, marilah kubantu mendayung, engkau cukup
menunjukkan arah saja.”
"Ai, mana boleh jadi
begitu,” sahut A Pik tertawa. "Kalau diketahui Kongcuya, wah, tentu aku
akan didamprat tidak menghormati tuan tamu.”
Melihat orang tidak mau, rasa
curiga Cui Pek-khe semakin bertambah, katanya pula dengan tertawa, "Haha,
bicara terus terang, sebenarnya kami ingin nona memperdengarkan ilmu kepandaian
memetik sesuatu lagu dengan ruyung lemas kawanku itu.”
"Ilmu kepandaian apa?”
ujar A Pik tertawa. "Kalau diketahui A Cu, pasti dia akan mencemoohkan aku
suka pamer di depan tetamu.”
Tapi Cui Pek-khe terus
mengambil ruyung Gan-ci dan diserahkan kepada A Pik, katanya, "Ini,
petiklah lekas!”
Sembari berkata, terus saja ia
ambil dayung sampan dari tangan si gadis.
"Baiklah, dan sekalian
Kim-sui-poamu juga pinjamkan aku sebentar,” kata A Pik.
Diam-diam Pek-khe menjadi
khawatir, "Dia telah ambil senjata kami, jangan-jangan ada tipu muslihat
apaapa?”
Namun karena sudah telanjur,
terpaksa ia pun menyerahkan Swipoa emasnya itu.
Tapi Swipoa itu lantas ditaruh
di atas geladak sampan oleh A Pik, sambil duduk ia tarik batang ruyung dengan
tangan kiri, ujung ruyung itu diinjak dengan kaki kanan hingga ruyung lemas itu
tertarik lempeng, lalu menarilah kelima jari kanannya menggesek-gesek di atas
ruyung hingga menerbitkan macam-macam nada suara yang nyaring merdu melebihi
Pi-pe (alat musik Tionghoa mirip gitar).
Sambil menggesek ruyung,
terkadang jari A Pik juga sempat memainkan biji Swipoa yang terletak di
depannya itu, suara "crang-cring” dari biji Swipoa itu berselang-seling
dengan suara "trang-tring” gesekan ruyung hingga kedengarannya sangat
menarik. Sampai di puncaknya, saking gembiranya A Pik bernyanyi pula mengiringi
irama musik yang dimainkannya dengan merdu itu.
Mendengar suara si gadis yang
mengalun empuk itu, sungguh sukma Toan Ki seakan-akan terombang-ambing di
angkasa dan seperti orang linglung. Ia gegetun mengapa baru sekarang dirinya
sempat pesiar ke Kanglam, ia kagum pula Buyung-kongcu mempunyai seorang dayang
sepandai itu, maka dapatlah dibayangkan tokoh macam apa majikan dayang ini.
Selesai A Pik membawakan satu
lagu, kemudian ia pun kembalikan Swipoa dan ruyung itu kepada Pek-khe berdua.
Katanya dengan tertawa, "Memalukan, tidak enak didengar, harap jangan
ditertawai tuan tamu. Nah, dayunglah ke sana, ya benar sana!”
Pek-khe menurut dan mendayung
sampan itu ke suatu muara sungai kecil, di permukaan air situ tampak banyak
tumbuh daun teratai yang lebat. Coba kalau tiada petunjuk si A Pik, tentu tiada
yang tahu bahwa di situ ada jalannya.
Setelah mendayung pula
sebentar, kemudian A Pik berkata, "Beloklah ke sana!”
Pada permukaan air tempat baru
ini ternyata penuh tumbuh daun lengkak dengan buahnya yang kemerahmerahan. A
Pik memetik beberapa buah lengkak yang merah itu, ia berikan Ko Gan-ci tiga
buah, kemudian memetik pula bagi yang lain.
Meski kedua tangan Toan Ki
dapat bergerak, tapi setelah Hiat-to ditutuk orang, sedikit pun ia tak bertenaga,
untuk mengupas kulit lengkak terasa tidak kuat.
Maka berkatalah A Pik dengan
tertawa, "Rupanya Kongcuya bukan orang Kanglam, maka tidak biasa mengupas
lengkak. Biarlah aku mengupasnya untukmu.”
Segera ia mengupas beberapa
biji dan diserahkan kepada Toan Ki. Melihat daging lengkak itu putih bersih,
ketika dimakan rasanya manis gurih, dengan tertawa Toan Ki berkata, "Rasa
lengkak ini enak dan tidak membosankan, mirip sekali dengan nyanyian nona
tadi.”
Muka A Pik sedikit bersemu
merah, sahutnya dengan tersenyum, "Membandingkan nyanyianku dengan
lengkak, baru pertama kali ini kudengar. Terima kasih, Kongcu!”
Dan belum selesai sampan itu
menyusuri rawa lengkak itu, A Pik telah menunjuk arah lain lagi yang penuh
tumbuh rumput lalang yang lebat.
Mau tak mau akhirnya Ciumoti
jadi waswas juga, diam-diam ia mengingat baik-baik jalan yang dilalui perahu
itu, agar nanti kembalinya tidak kesasar.
Tapi rawa-rawa daun teratai,
lengkak dan rumput lalang itu pada hakikatnya serupa saja tak ada perbedaannya,
apalagi tumbuh-tumbuhan air itu setiap waktu bisa berubah bila tertiup angin
hingga dalam sekejap saja keadaan sudah berlainan daripada semula.
Ciumoti, Cui Pek-khe dan Ko
Gan-ci telah berusaha juga mengikuti kerling mata si A Pik untuk mengetahui
cara bagaimana gadis itu mengenali jalannya, namun tampaknya gadis itu acuh tak
acuh saja, sambil memetik
lengkak sembari bermain air
dan memberi petunjuk tanpa pikir, seakan-akan jalanan air yang bersimpang-siur
itu sudah sangat hafal baginya.
Begitulah setelah sampan itu
didayung berliku-liku kian kemari selama dua jam, lewat tengah hari, dari jauh
tertampaklah pohon Liu melambai-lambai dengan rindangnya dan di balik pohon
tertampak ujung emper rumah.
"Itulah dia, sudah
sampai,” seru A Pik segera. "Ho-siansing, telah setengah hari membikin
capek padamu, terima kasih.”
Ia dengar Toan Ki memanggil
Pek-khe sebagai Ho-siansing, maka ia pun menirukannya.
Dengan tertawa getir Pek-khe
menjawab, "Asal bisa makan lengkak sambil mendengarkan nyanyianmu, biarpun
aku disuruh mendayung selama setahun-dua tahun juga mau.”
"Hah, apa susahnya jika
engkau benar-benar senang makan lengkak dan suka mendengarkan nyanyianku,” seru
A Pik sambil bertepuk tangan dan tertawa. "Untuk mana asal engkau tinggal
saja di lembah danau ini dan selama hidup ini jangan meninggalkan sini.”
Pek-khe kaget oleh ucapan,
"selama hidup tinggal di lembah danau ini”, ia coba melirik gadis itu, ia
lihat A Pik tetap tersenyum simpul saja seperti tidak punya maksud apa-apa di
balik kata-katanya itu. Namun begitu hati Pek-khe menjadi kebat-kebit juga.
Segera A Pik mengambil
pengayuh dari tangan Pek-khe dan mendayung sampannya ke tepian yang penuh pohon
Liu itu. Sesudah dekat, tertampaklah sebuah tangga kayu menjulur dari tepian ke
dalam air. A Pik menambat perahunya pada ranting pohon serta mendahului
mendarat.
Ketika semua orang ikut
mendarat, terlihatlah di sana-sini ada beberapa buah gubuk yang dibangun di
tengah sebuah pulau kecil atau semenanjung. Gubuk-gubuk itu kecil mungil dan
cukup indah.
"Apakah di sini ini
Som-hap-ceng dari Yan-cu-oh?” tanya Ciumoti.
"Bukan,” sahut A Pik
menggeleng kepala. "Tempat ini adalah kediamanku yang dibangun oleh
Kongcu, jelek dan sederhana, sebenarnya tidak pantas untuk menerima tamu. Cuma
Toasuhu ini menyatakan ingin berziarah ke makam Buyung-loya, untuk itu aku sendiri
tidak berani mengambil keputusan, maka terpaksa silakan tuantuan tunggu
sementara di sini, biarlah kubicarakan dulu dengan Enci A Cu.”
Mendengar itu Ciumoti
mendongkol dan menarik muka. Betapa tinggi dan diagungkan kedudukannya sebagai
Hou-kok-hoat-ong atau imam negara di negeri Turfan. Jangankan di negerinya
sendiri dia sangat dihormati oleh kepala negara Turfan, sekalipun pemerintah
Song, Tayli dan negara tetangga lain juga pasti menyambut kedatangannya dengan
penuh penghormatan.
Apalagi dia adalah sobat lama
Buyung-siansing, kini ia datang sendiri buat ziarah, kalau Buyung-kongcu
bepergian karena memang sebelumnya tidak tahu, itulah tak dapat disalahkan,
tetapi seorang dayang seperti A Pik ini, tamu agung tidak dibawa ke ruang tamu
untuk dihormati sebagaimana mestinya, sebaliknya malah dibawa ke suatu gubuk
tempat tinggal kaum pelayan, keruan Ciumoti merasa terhina.
Tapi demi terlihat sikap A Pik
tetap kekanak-kanakan dan lugas, sedikit pun tidak mengunjuk maksud merendahkan
dia, maka ia pikir mengapa mesti merecoki urusan begini dengan seorang pelayan
kecil.
Kemudian Cui Pek-khe bertanya,
"Siapakah Enci A Cu yang kau katakan itu?”
"A Cu ialah A Cu, dia
cuma lebih tua sebulan daripadaku, ia sok berlagak sebagai Enci (kakak) orang,”
demikian sahut A Pik dengan tertawa. "Ya, apa boleh buat, terpaksa aku
harus memanggil dia Enci. Habis, siapa suruh dia lahir sebulan lebih dulu?
Namun engkau tidak perlu memanggilnya sebagai Enci, kalau tidak, tentu lagaknya
akan semakin garang.”
Sembari bicara, dengan
lincahnya A Pik terus menyilakan keempat tamunya itu masuk ke pondoknya.
Toan Ki melihat di dalam gubuk
itu tergantung sebuah papan kecil yang bertuliskan "Khim-im-siau-tiok”
atau pondok mungil suara harpa. Gaya tulisannya sangat bagus.
Setelah masuk, A Pik silakan
semua orang berduduk, kemudian disuguhkannya air teh dan beberapa macam makanan
kecil. Tehnya wangi, makanannya sedap, keruan tiada hentinya Toan Ki memuji.
"Silakan Kongcu
menghabiskannya, persediaan masih cukup,” demikian kata A Pik.
Sambil melangsir penganan ke
dalam perut, terus-menerus Toan Ki memberi pujian tiada habis-habisnya.
Sebaliknya Ciumoti, Pek-khe dan Gan-ci bertiga tidak berani menyentuh minuman
dan makanan itu, sebab khawatir di dalam makanan itu ditaruh racun.
Diam-diam Toan Ki menjadi
curiga juga, pikirnya, "Ciumoti ini mengaku sebagai sobat lama
Buyung-siansing, tapi kenapa berlaku sehati-hati ini? Pula cara orang keluarga
Buyung menyambut kedatangannya juga rada tidak beres.”
Ciumoti ternyata sangat sabar,
ia menunggu hingga Toan Ki sudah habis minum dan selesai mencicipi semua
penganan yang disuguhkan itu dengan pujian setinggi langit, kemudian barulah
dia berkata, "Dan sekarang harap nona suka memberitahukan kepada Enci A Cu
seperti kau katakan tadi.”
"Tempat pondok A Cu itu
dari sini masih berpuluh li jauhnya, hari ini terang tidak keburu ke sana lagi,
biarlah tuan-tuan berempat tinggal semalam di sini, esok pagi akan kubawa
kalian ke "Thing-hiang-siau-tiok” (pondok kecil yang wangi).”
"Tahu begitu, mengapa
nona tidak sejak tadi membawa kami langsung ke sana?” tanya Ciumoti dengan
mendongkol.
"Kenapa mesti
terburu-buru?” sahut A Pik. "Selama ini aku tiada teman mengobrol, rasanya
terlalu sunyi. Kini kedatangan tamu sebanyak ini, sudah tentu aku ingin kalian
suka tinggal barang sehari untuk meramaikan suasana pondokku ini.”
Sejak tadi Ko Gan-ci hanya
diam saja. Kini mendadak ia berbangkit dan membentak, "Di mana tempat
tinggal anggota keluarga Buyung? Kedatanganku ke sini bukan untuk minta makan
dan minum serta mengobrol denganmu, tapi kami datang buat membunuh musuh.
Sekali orang she Ko sudah berani datang kemari, memangnya aku pun tidak pikir
akan keluar dari sini dengan hidup. Maka lekas kau laporkan sana, nona, katakan
aku anak murid Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, hari ini sengaja datang untuk
menuntut balas sakit hati Suhuku.”
Habis berkata, sekali ruyung
menyabet, terdengarlah suara gedubrakan yang keras disertai hancurnya sebuah
meja dan kursi.
Namun sedikit pun A Pik tidak
kaget, juga tidak marah, katanya dengan tenang, "Sudah banyak orang
Kangouw yang gagah perkasa datang hendak mencari Kongcu, setiap bulannya paling
sedikit ada beberapa rombongan. Di antaranya banyak juga berlagak garang dan
kasar seperti Ko-toaya ini ....”
Belum selesai ucapannya,
tiba-tiba dari ruangan belakang muncul seorang kakek pendek kecil berjenggot
dan berambut putih bagai perak, kakek itu membawa tongkat, sambil melangkah ia
berkata, "A Pik, siapa yang lagi ribut-ribut di sini?”
Cepat Cui Pek-khe melompat
bangun dan berdiri sejajar dengan Ko Gan-ci sambil membentak, "Suhengku
Kwa Pek-hwe sebenarnya ditewaskan oleh siapa?”
Toan Ki melihat kakek itu rada
bungkuk, mukanya penuh keriput, usianya kalau tiada seabad, paling sedikit juga
lebih 80 tahun.
Maka terdengarlah kakek itu
berkata dengan suara yang serak, "Kwa Pek-hwe? Ehm, manusia dapat hidup
sampai Pek-hwe (seratus tahun), sudah tiba waktunya juga untuk mati!”
Memangnya Ko Gan-ci tidak
sabar lagi dan ingin membalas sakit hati sang Suhu, kini mendengar kata-kata si
kakek yang kasar itu, ia menjadi murka, sekali ruyung bekerja, terus saja ia
sabet punggung kakek itu. Ia khawatir Ciumoti merintangi tindakannya, maka
serangannya sengaja dilontarkan dari jurusan yang tak bisa dialangi padri itu.
Siapa duga Ciumoti cuma ulur
sebelah tangan saja, seketika tangannya seperti timbul daya sedot, ruyung Ko
Gan-ci itu kena ditariknya dari jauh. Lalu katanya, "Ko-tayhiap,
kedatangan kita ini adalah tamu, ada urusan apa hendaknya dibicarakan secara
baik-baik, jangan pakai kekerasan.”
Habis berkata ia remas-remas
ruyung rampasannya itu hingga tergulung menjadi satu, lalu dikembalikan kepada
Gan-ci.
Muka Ko Gan-ci menjadi merah
jengah, ia kikuk apakah mesti menerima kembali senjatanya itu atau tidak. Tapi
demi dipikir tujuan pokok adalah untuk menuntut balas, hinaan sementara waktu
harus berani ditanggungnya. Maka dengan agak malu ia terima kembali ruyung itu.
Lalu Ciumoti berkata kepada si
kakek, "Siapakah nama Sicu yang terhormat ini? Apakah masih famili dengan
Buyung-siansing atau sahabatnya?”
Kakek itu tertawa, sahutnya,
"Aku cuma seorang budak tua Kongcu saja, masakah punya nama terhormat
segala? Kabarnya Thaysuhu adalah sobat baik mendiang Loya kami, entah ada
keperluan apa?”
"Urusanku harus kukatakan
langsung dengan Buyung-kongcu,” sahut Ciumoti.
"Tapi sayang, kemarin
dulu Kongcu baru bepergian, entah kapan baru dapat pulang,” kata si kakek.
"Jika begitu, ke manakah
Kongcu pergi?” tanya Ciumoti.
"Wah, aku lupa,” sahut
kakek itu sambil ketok-ketok jidat sendiri. "Beliau seperti mengatakan
hendak pergi ke negeri He atau Tayli, entah Turfan atau negeri mana lagi.”
Ciumoti kurang senang oleh
jawaban itu, terang tidak mungkin seorang sekaligus mengunjungi negeri sebanyak
itu, ia tahu budak tua ini sengaja berlagak pikun, maka katanya, "Jika
demikian, aku pun tidak menunggu lagi pulangnya Kongcu, harap Koankeh (kepala
pengurus rumah tangga) suka membawaku bersembahyang ke makam Buyung-siansing
sekadar memenuhi kewajiban sebagai seorang sobat lama.”
"Ah, permintaan ini tidak
berani kuterima, aku pun bukan Koankeh apa segala,” sahut si kakek sambil
goyanggoyang tangan.
"Jika begitu, siapakah
gerangan Koankeh kalian? Dapatkah kutemui dia?” tanya Ciumoti.
"Ehm, baiklah, akan
kupanggilkan Koankeh,” kata si kakek sambil mengangguk. Ia putar masuk ke
belakang dengan langkah sempoyongan sebagaimana lazimnya orang tua sambil
menggerundel panjang-pendek, "Ai, zaman ini memang terlalu banyak orang
jahat, banyak yang menyamar Hwesio dan Tosu untuk menipu orang. Huh, orang tua
seperti aku, pengalaman apa yang tak pernah kulihat, mana dapat aku ditipu!”
Mendengar itu, saking gelinya
Toan Ki tertawa.
Sebaliknya lekas-lekas A Pik
berkata kepada Ciumoti, "Thaysuhu, harap engkau jangan marah, Ui-pepek itu
benar-benar seorang pikun. Ia mengira dirinya sendiri sangat pintar,
kata-katanya memang menyakiti orang.”
Dalam pada itu Cui Pek-khe
lantas menarik Ko Gan-ci ke samping serta membisikinya, "Keledai gundul
ini mengaku sebagai sobat orang she Buyung, tapi orang di sini jelas tidak
pandang dia sebagai tamu terhormat. Ko-sutit, kita jangan sembarangan
bertindak, biarlah kita lihat dulu apa yang akan terjadi.”
Ko Gan-ci mengiakan dan
kembali ke tempatnya tadi. Tapi karena kursinya sendiri telah dihancurkan oleh
sabetan ruyung, ia menjadi tidak punya tempat duduk lagi.
Maka dengan tersenyum ramah A
Pik memberikan kursinya, katanya dengan tersenyum, "Harap Ko-toaya duduk
di kursi ini!”
Gan-ci mengangguk puas,
pikirnya, "Andaikan dapat kubunuh bersih antero anggota keluarga Buyung,
paling sedikit dayang cilik ini akan kuampuni.”
Sementara itu hati Toan Ki
sedang diliputi suatu tanda tanya yang aneh. Ketika si budak tua she Ui tadi
masuk, diam-diam ia merasa ada sesuatu yang kurang beres. Tapi soal apa, ia
sendiri pun tak bisa menjawab. Ia coba memerhatikan alat perabot ruangan itu,
kemudian memandang A Pik, Ciumoti, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci, namun tiada
sesuatu tanda mencurigakan yang dilihatnya. Anehnya nalurinya justru semakin
merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Tidak lama kemudian,
terdengarlah suara tindakan orang, dari belakang muncul seorang laki-laki kurus
setengah umur. Orang ini memiara jenggot macam jenggot kambing, gerak-geriknya
menunjukkan seorang yang cekatan dan pandai mengatur rumah tangga, pakaiannya
juga rajin, jari tengah kiri memakai sebuah cincin berbatu kemala yang besar.
Agaknya inilah dia Koankeh keluarga Buyung.
Orang ini memberi hormat
kepada tamu-tamunya dan berkata, "Hamba Sun Sam menyampaikan salam hormat
kepada tuan-tuan sekalian. Thaysuhu, engkau bermaksud ziarah ke makam Loya
kami, untuk mana kami menyatakan sangat berterima kasih. Tapi Kongcuya sedang
bepergian, tiada orang yang dapat membalas kehormatan Thaysuhu nanti, hal ini
kan kurang pantas. Biarlah kelak kalau Kongcuya pulang, pasti kusampaikan
maksud baik Thaysuhu ini ....”
Sampai di sini, tiba-tiba Toan
Ki mengendus semacam bau harum yang lembut. Seketika pikirannya tergerak, ia
curiga, "Apakah mungkin demikian halnya?”
Kiranya tadi waktu si budak
tua masuk ke situ, Toan Ki lantas mencium semacam bau wangi yang halus sedap.
Bau harum ini lamat-lamat seperti bau harum yang teruar dari badan Bok
Wan-jing, walaupun masih banyak perbedaannya, namun satu hal adalah pasti,
yaitu bau wangi badan anak perawan.
Semula Toan Ki menyangka bau
harum itu timbul dari badan A Pik, maka tidak menaruh perhatian. Tetapi sesudah
budak tua itu pergi, bau wangi itu pun lenyap. Karena itulah maka timbul
perasaan Toan Ki bahwa ada sesuatu yang kurang beres. Sebab mustahil badan
seorang kakek tua bangka begitu bisa mengeluarkan bau harum anak perawan?”
Kemudian ketika Koankeh kurus
yang mengaku bernama Sun Sam itu muncul, kembali Toan Ki mengendus bau harum
yang sama, maka timbul pula pikirannya, "Barangkali di belakang rumah ini
tertanam bunga apaapa yang aneh, siapa saja yang keluar dari ruangan belakang tentu
membawa bau harum yang mengguncangkan sukma itu. Kalau tidak, maka budak tua
itu dan si kurus ini pastilah samaran kaum wanita.”
Meski bau wangi itu
menimbulkan rasa curiga Toan Ki, tapi karena terlalu halus baunya, maka Ciumoti
bertiga sedikit pun tidak tahu.
Sebabnya Toan Ki dapat
membedakan bau harum yang halus itu adalah karena dahulu ia pernah disekap
bersama Bok Wan-jing di dalam kamar batu oleh Jing-bau-khek alias Yan-king
Taycu itu. Maka bau harum khas yang timbul dari badan anak perawan itu susah dirasakan
orang lain, tapi bagi Toan Ki pengalaman dahulu itu sangat berkesan dan jauh
lebih keras daripada bau harum segala macam wangi-wangian lainnya.
Meski ia mencurigai Sun Sam
itu samaran wanita, tapi sesudah dipandang dan diamat-amati, toh tiada sesuatu
tanda yang meyakinkan. Bukan saja gerak-gerik Sun Sam itu memang laku kaum
laki-laki, bahkan mukanya dan suaranya juga persis seperti kaum laki-laki
umumnya.
Tiba-tiba teringat oleh Toan
Ki, "Kalau wanita menyamar sebagai lelaki, biji lehernya sekali-kali tak
mungkin dipalsukan.”
Karena itu, ia coba
memerhatikan leher Sun Sam, namun jenggot kambingnya itu tepat menjulur ke
bawah dan menutupi leher hingga tidak kelihatan apakah ada biji leher atau
tidak.
Toan Ki masih penasaran, ia
berbangkit dan pura-pura menikmati lukisan yang tergantung di dinding sana,
dari samping ia lalu melirik untuk mengincar leher Sun Sam.
Sekali ini dapat dilihatnya
dengan jelas bahwa leher Sun Sam halus lurus tiada sesuatu yang menonjol.
Ketika mengawasi dadanya pula, tampak dada Sun Sam itu montok. Walaupun tanda
ini tidak dapat dipastikan sebagai tanda wanita, tapi seorang laki-laki kurus
tidaklah lazim memiliki dada yang montok.
Dapat membongkar rahasia itu,
Toan Ki merasa sangat senang, pikirnya, "Ini dia, sandiwaranya belum
tamat, biarlah kuikuti terus permainannya.”
Dalam pada itu terdengar
Ciumoti sedang berkata dengan gegetun, "Dahulu aku berkenalan dengan Loya
kalian di negeri Thian-tiok dan saling mengagumi ilmu silat masing-masing, di
sanalah kami mengikat persahabatan yang kekal. Sungguh tidak nyana segala apa di
dunia fana ini memang mudah berubah, orang bodoh seperti aku ini justru masih
diberi hidup, sebaliknya Loya kalian malah sudah mendahului ke nirwana.
Jauh-jauh aku sengaja datang dari Turfan untuk sekadar memberi hormat di
hadapan makam sobat lama, soal ada orang membalas hormat atau tidak, mengapa
mesti dipikirkan? Maka, haraplah Koankeh suka membawaku ke sana.”
Kening Sun Sam tampak
bekernyit, agaknya merasa serbasalah, katanya, "Aku ... aku ....”
"Entah Koankeh merasakan
ada kesulitan apa, silakan memberi penjelasan,” tanya Ciumoti.
"Watak Loya kami, sebagai
sobatnya tentu Thaysuhu cukup tahu,” sahut Sun Sam. "Loya kami paling
tidak suka ada orang berkunjung kepadanya, ia bilang orang yang datang
mencarinya kalau bukan hendak menuntut balas dan membikin rusuh, tentu ingin
mohon belajar dan menjadi muridnya. Yang lebih rendah lagi bisa juga datang
untuk pinjam uang atau bila yang empunya rumah lengah, terus mencuri. Beliau
mengatakan kaum Hwesio dan Nikoh lebih-lebih tak dapat dipercaya. Oo ... maaf ....”
Tiba-tiba ia seperti sadar
telah menyinggung perasaan Ciumoti, maka cepat ia tutup mulut.
Tingkah laku menutup mulut
dengan tangan itu terang lazimnya dilakukan oleh kaum anak gadis, biji matanya
yang hitam pekat mendelik itu pun mengerling sekejap. Meski hanya sekilas saja
tingkah laku demikian, namun Toan Ki yang selalu menaruh perhatian itu dapat
melihatnya, ia bertambah senang lagi, "Ha, Sun Sam ini bukan saja memang
samaran orang perempuan, bahkan adalah seorang nona yang masih sangat muda.”
Ketika ia melirik A Pik, ia
lihat ujung mulut gadis itu tersembul senyuman yang licik. Maka Toan Ki jadi
lebih yakin lagi, pikirnya, "Sun Sam ini terang sama orangnya dengan si
budak tua tadi. Bisa jadi dia ini Enci A Cu yang dikatakan itu.”
Dalam pada itu Ciumoti sedang
berkata, "Memang manusia baik-baik di dunia ini lebih sedikit daripada
orang jahat. Maka kalau Buyung-siansing tidak suka banyak bergaul dengan
khalayak ramai, itu pun jamak.”
"Ya, sebab itulah Loya
kami meninggalkan pesan agar siapa pun yang datang hendak berziarah ke
makamnya, semuanya harus ditolak,” tutur Sun Sam. "Beliau bilang para
keledai gundul itu tidak nanti berniat baik, tentu bermaksud membongkar
kuburannya. Ai, maaf Thaysuhu, keledai gundul yang dimaksudkan Loya kami itu sangat
mungkin bukan ditujukan kepadamu.”
Diam-diam Toan Ki geli oleh
pertunjukan itu, ada pepatah "di hadapan Hwesio memaki keledai gundul”,
sungguh sangat tepat. Pikirnya, "Keledai gundul ini tetap tidak marah sama
sekali, semakin jahat dan semakin licik orangnya, semakin pandai dia berlaku
sabar. Keledai gundul ini benar-benar bukan sembarangan orang.”
Malahan Ciumoti berkata lagi,
"Apa yang dipesan Loya kalian itu memang ada benarnya juga. Pada masa
hidupnya dahulu terlalu banyak mengikat permusuhan, waktu hidupnya musuh tidak
berani padanya, sesudah beliau wafat, bukan mustahil ada yang berusaha
membongkar jenazahnya untuk membalas dendam.”
"Berani mengincar jenazah
Loya kami? Hahaha, jangan mimpi!” ujar Sun Sam dengan tertawa.
"Tapi aku adalah sobat
baik Buyung-siansing, aku hanya ingin memberi hormat di depan makamnya dan
tiada maksud lain, hendaklah Koankeh jangan berprasangka jelek,” kata Ciumoti.
"Sungguh hamba tidak
berani mengambil keputusan, sebab bila pesan Loya dilanggar, nanti kalau Kongcu
pulang dan mengetahui, bukan mustahil hamba akan mendapat ganjaran yang
setimpal,” kata Sun Sam. "Begini sajalah, biarlah kumintakan keputusan
Lothaythay, nanti kuberi tahukan lagi ke sini.”
"Lothaythay (nyonya
besar)? Lothaythay yang mana?” tanya Ciumoti heran.
"Buyung-lothaythay adalah
Enci daripada Loya kami,” sahut Sun Sam. "Setiap tamu yang berkunjung
kemari kebanyakan menghadap untuk menjura dan menghormatinya. Kini Kongcu tidak
di rumah, segala apa harus minta keputusan kepada Lothaythay.”
"Baiklah jika begitu,”
kata Ciumoti. "Harap kau sampaikan kepada Lothaythay bahwa Ciumoti dari
Turfan menyampaikan salam hormat kepada beliau.”
"Ah, engkau sangat baik,
terima kasih, tentu akan kusampaikan,” sahut Sun Sam. Lalu masuklah dia ke
belakang.
Diam-diam Toan Ki membatin,
"Nona ini sangat licin dan kocak, entah apa maksud tujuannya mempermainkan
keledai gundul Ciumoti ini?”
Selang tidak lama,
terdengarlah suara keriang-keriut orang berjalan, dari dalam muncul seorang
nenek. Belum tiba orangnya bau harum yang sedap halus tadi sudah tercium oleh
Toan Ki, diam-diam ia geli, "Hah, sekali ini dia menyamar sebagai nyonya
tua.”
Tertampak nyonya tua itu
memakai Kun (gaun) sutra warna cokelat, tangan memakai gelang kemala, gelung
rambutnya berhias aneka mutiara permata, dandanannya agung terhormat, mukanya
sudah keriput, matanya lamat-lamat seperti sudah kurang penglihatannya. Mau tak
mau Toan Ki harus memuji dalam hati akan kepandaian menyamar orang, bukan saja
samarannya sangat persis, bahkan dapat dilakukan dalam waktu singkat.
Begitulah sambil
beringsut-ingsut dengan tongkatnya nyonya tua itu berjalan ke tengah ruangan,
lalu berkata, "A Pik, apakah sobat baik mendiang datang? Kenapa dia tidak
menjura padaku?”
Sembari berkata, kepalanya
tampak menoleh ke sana-sini seperti lazimnya orang tua yang sudah pikun dan
kurang penglihatannya.
A Pik memberi tanda kepada
Ciumoti dan membisikinya, "Lekas menjura! Sekali engkau sudah menjura,
Lothaythay tentu akan senang dan segala permintaanmu mungkin akan diluluskan.”
Nyonya tua itu lantas
miringkan kepalanya, tangannya terangkat di tepi telinga seperti orang sedang
mendengarkan sesuatu, lalu tanya keras-keras, "A Pik, kau bicara dengan
siapa? Orang sudah menjura belum?”
Maka berkatalah Ciumoti,
"Lothaythay, baik-baikkah engkau? Siauceng memberikan salam hormat.”
Lalu ia membungkuk memberi
hormat, berbareng kedua tangan mengerahkan tenaga hingga terdengar suara
"dak-duk” seperti kepala orang membentur lantai bila bersujud.
Cui Pek-khe saling pandang
dengan Ko Gan-ci, diam-diam mereka terkesiap oleh tenaga dalam si Hwesio yang
hebat itu, kalau bertanding, sudah pasti mereka berdua tidak mampu menangkis
satu jurus serangannya.
Sementara itu si nyonya tua lagi
manggut-manggut dan berkata, "Baik, baik, sangat baik! Orang jahat di
zaman ini memang terlalu banyak, jarang sekali ada orang jujur. Umpama orang
menyembah sengaja membikin lantai bersuara dak-duk untuk mengelabui pandanganku
yang sudah berkurang ini. Ehm, kau ini sangat baik, sangat penurut, keras
sekali caramu menyembah ya.”
Saking gelinya tak tertahan
lagi Toan Ki tertawa mengakak.
Perlahan nyonya tua itu
menoleh dan mendengarkan dengan pandangan yang riyap-riyip, tanyanya, "A
Pik, suara apa tadi? Apa ada orang kentut?”
Sambil berkata, ia terus
mengipas-ngipas di depan hidungnya.
"Bukan orang kentut,
Lothaythay,” sahut A Pik dengan menahan tawa. "Tapi Toan-kongcu ini lagi
tertawa.”
"Toan? Apanya yang
putus?” tanya si nenek.
"Bukan Toan arti putus,
Lothaythay, tapi orang she Toan, Kongcu keluarga Toan,” sahut A Pik
menerangkan.
"Ehm, Kongcu
terus-menerus, yang selalu kau ingat hanya Kongcu saja,” ujar si nenek sambil
manggutmanggut.
"Lothaythay sendiri
masakah tidak selalu terkenang pada Kongcuya?” sahut A Pik dengan muka agak
merah.
"Apa katamu? Kongcuya
ingin makan jenang?” tanya si nenek.
"Ya, Kongcuya ingin makan
jenang, bahkan lebih suka engkau punya kue mangkuk,” sahut si A Pik.
Sudah tentu Toan Ki mengerti
percakapan bercabang kedua orang itu, maka ia jadi lebih yakin lagi si nenek
itu pasti samaran si A Cu.
Kemudian nenek itu memandang
ke arah Toan Ki dan berkata, "Berhadapan dengan orang tua, mengapa kau
tidak menjura?”
"Lothaythay,” sahut Toan
Ki. "Ada sesuatu ingin kubicarakan denganmu, tapi tidak enak bila didengar
orang lain.”
"Kau bilang apa?” tanya
si nenek sambil menjulurkan kepalanya ke depan.
"Begini,” kata Toan Ki.
"Di rumahku ada seorang keponakan perempuan kecil, namanya A Cu, ia pesan
padaku agar menyampaikan beberapa patah kata kepada Lothaythay keluarga
Buyung.”
"Ah, sembrono, sungguh
sembrono!” berulang si nenek menggeleng kepala.
Namun Toan Ki melanjutkan pula
dengan tertawa, "Keponakanku si A Cu itu memang sembrono dan nakal.
Dia suka menyaru seperti
monyet, hari ini menyaru monyet jantan, besok menyamar monyet betina, malahan
pintar main sulap segala. Tapi sering kutangkap dia dan kuhajar bokongnya.”
Kiranya si nenek ini memang
benar samaran si A Cu, teman A Pik. Kepandaiannya menyamar memang pintar luar
biasa, bukan saja wujudnya mirip, bahkan tutur kata dan gerak-geriknya dapat
menirukan dengan tepat dan bagus tanpa cacat sedikit pun. Sebab itulah maka
orang sepintar Ciumoti dan sepengalaman Cui Pek-khe juga kena dikelabui. Siapa
duga dari bau harum yang teruar dari badannya itulah rahasianya dapat dibongkar
oleh Toan Ki.
Keruan saja A Cu sangat
terkejut, namun lahirnya ia tetap tenang saja, katanya kemudian, "Anak
baik, sungguh pintar sekali kau, belum pernah kulihat anak secerdik engkau ini.
Anak baik jangan usil, nanti nenek tentu memberikan kebaikan padamu.”
Toan Ki pikir di balik
kata-kata orang terang meminta agar dia jangan membuka rahasianya, karena
tujuannya adalah untuk melayani si keledai gundul Ciumoti.
Karena pikiran demikian, Toan
Ki lantas menjawab, "Lothaythay jangan khawatir, sekali Cayhe sudah datang
di sini, segala apa aku tentu menurut perintah Lothaythay.”
Dasar A Cu itu memang sangat
nakal, segera katanya pula, "Bagus, anak baik, kau benar-benar anak
penurut sekali. Nah, sekarang lekas menjura tiga kali kepada nenek, pasti nenek
nanti takkan bikin rugi padamu.”
Toan Ki melengak. Kurang ajar,
pikirnya, masakah seorang putra pangeran yang diagungkan dari negeri Tayli
disuruh menjura kepada budak kecil?
Melihat sikap Toan Ki
ragu-ragu dan serbasusah, A Cu tertawa dingin, katanya, "Ada manusia yang
sudah dekat ajalnya, tapi masih sombong dan angkuh. Anak baik, ingin kukatakan
padamu, pasti takkan merugikanmu jika menjura beberapa kali kepada nenekmu
ini.”
Ketika Toan Ki berpaling, ia
lihat A Pik dengan bersenyum simpul sedang melirik padanya, kulit badannya yang
putih bersih itu bagai buah manggis segar yang baru dibuka, ujung mulutnya
terdapat setitik andengandeng kecil menambah kecantikannya yang menggiurkan.
Hati Toan Ki tergerak, segera ia tanya A Pik, "Katamu masih mempunyai
seorang teman Enci A Cu. Apakah dia ... dia secantik molek engkau?”
"Ai, rupaku yang jelek
melebihi siluman ini mana berani kubandingkan Enci A Cu,” sahut A Pik dengan
tersenyum. "Rupaku ini masih belum masuk hitungan, kalau Enci A Cu
mendengar pertanyaanmu ini, pasti dia akan marah. Ketahuilah bahwa Enci A Cu
itu berpuluh kali lebih ayu daripadaku.”
"Apa betul?” Toan Ki
menegas.
"Guna apa aku mendustai
kau?” sahut A Pik tertawa.
"Berpuluh kali lebih
cantik daripadamu, di dunia ini kukira tidak ada lagi,” ujar Toan Ki. "Ya,
kecuali ... kecuali si dewi di dalam gua, secantik dirimu saja sukar dicari
orangnya.”
Wajah A Pik menjadi
kemerah-merahan, katanya dengan malu-malu kucing, "Kau disuruh menjura
kepada Lothaythay, tidak perlu memuji-muji diriku.”
"Wah, pada masa mudanya
Lothaythay pasti juga seorang wanita mahacantik,” kata Toan Ki pula.
"Bicara terus terang, soal rugi atau tidak kepadaku sama sekali tidak
kupikirkan, tapi disuruh menjura kepada wanita mahacantik, aku benar-benar suka
dan rela.”
Habis berkata, benar saja ia
terus berlutut sambil membatin, "Sekali sudah mau menjura, maka harus yang
keras. Memangnya aku sudah pernah menjura beratus kali kepada patung dewi di
dalam gua itu, apa alangannya kalau kini cuma menjura tiga kali kepada wanita
cantik di Kanglam?”
Lalu ia pun menjura tiga kali
hingga kepalanya membentur lantai.
Dalam hati A Cu sangat girang,
pikirnya, "Kongcuya ini terang sudah tahu kalau aku cuma seorang pelayan,
tapi sudi menjura padaku, sungguh susah dicari orangnya.”
Maka katanya kemudian,
"Ehm, anak baik, pintar sekali kau. Cuma sayang aku tidak membawa uang
receh untuk jajanmu ....”
"Sudahlah, asal
Lothaythay jangan lupa, berilah lain kali bila ketemu lagi,” sela A Pik
tiba-tiba.
A Cu melotot sekali pada kawan
itu, lalu ia berpaling dan berkata kepada Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci, "Dan
kedua tamu ini mengapa tidak menjura juga kepada nenek?”
Gan-ci mendengus dengan gusar,
serunya keras-keras, "Kau bisa ilmu silat atau tidak?”
"Eh, kau bilang apa?” A
Cu menegas.
"Kutanya kau bisa ilmu
silat atau tidak?” Gan-ci mengulangi. "Jika berilmu silat tinggi, biarlah
orang she Ko ini terima kematian di bawah tangan Lohujin (nyonya tua). Tapi
kalau bukan orang persilatan, aku pun tidak perlu banyak omong denganmu.”
A Cu menggeleng kepala,
katanya berlagak pilon, "Kau berkata tentang ulat atau lalat apa segala.
Ulat tidak ada di sini, kalau lalat sih banyak. Idiiiih kotor ah!”
Lalu ia pun berpaling kepada
Ciumoti, "Toahwesio, katanya engkau hendak membongkar kuburan
Buyungsiansing, memangnya engkau ingin mencuri benda mestika apa di
kuburannya?”
Ciumoti sudah dapat melihat
juga bahwa nenek itu berlagak sangat pikun dan pura-pura tuli, cuma ia belum
tahu A Cu sebenarnya adalah seorang gadis cilik yang menyaru sebagai seorang
tua. Maka diam-diam ia bertambah waspada, ia pikir, "Buyung-siansing saja sudah
begitu lihai, angkatan tua di rumahnya tentu lebihlebih hebat lagi.”
Maka ia sengaja pura-pura
tidak dengar tentang pertanyaan tadi, tapi menjawab, "Siauceng adalah
sobat baik Buyung-siansing, karena mendengar berita wafatnya, jauh-jauh dari
negeri Turfan datang kemari memberi hormat padanya. Waktu almarhum masih hidup,
Siauceng pernah berjanji akan mengambilkan gambar Lakmeh-sin-kiam-boh dari
keluarga Toan di Tayli untuk dipersembahkan kepada Buyung-siansing. Selama
janji itu belum terpenuhi, sungguh Siauceng merasa sangat malu.”
Mendengar kata-kata
"Lak-meh-sin-kiam-boh”, seketika A Cu terkesiap. Ia tahu ilmu silat itu
bukan sembarangan, dirinya juga belum lama dapat mendengar dari Kongcuya. Ia
saling pandang sekejap dengan A Pik dan sama-sama berpikir si Hwesio itu sudah
mulai bicara acara pokoknya.
Maka sahut A Cu, "Ada apa
tentang Lak-meh-sin-kiam-boh segala?”
"Begini,” tutur Ciumoti.
"Dahulu Buyung-siansing berjanji padaku asal dapat mengambilkan
Lak-meh-sinkiam-boh untuk dibacanya barang beberapa hari, sebagai timbal
baliknya beliau membolehkan kubaca kitabkitabnya beberapa hari di pondok
‘Lang-goan-cui-kok’ di kediaman kalian ini.”
A Cu terkejut, ternyata padri
asing itu kenal nama "Lang-goan-cui-kok” atau pondok air indah, mungkin
apa
yang dikatakan itu memang
benar-benar adanya. Tetapi ia tetap berlagak pilon dan tanya pula, "Kau
bilang ‘Lang-goan-cui-kok’ apa? O, kau kepingin makan kue mangkuk? Itulah
mudah, di rumah kami selalu sedia kue mangkuk.”
Ciumoti benar-benar kewalahan,
ia berpaling dan berkata kepada A Pik, "Lothaythay ini entah benar-benar
sudah pikun atau cuma berlagak pilon. Yang terang sekarang berbagai tokoh dari
aliran persilatan di Tionggoan sedang berkumpul di Siau-lim-si untuk berunding
cara bagaimana menghadapi Buyung-si dari Koh-soh sini. Mengingat Siauceng
pernah bersahabat dengan Buyung-siansing maka sebenarnya bermaksud mencurahkan
sedikit tenagaku yang tak berarti itu untuk membantunya. Tapi Lothaythay
sedemikian sikapnya, sungguh membikin hati orang menjadi dingin.”
A Cu sama sekali tidak gubris
ucapannya itu, ia malah berseru kepada A Pik, "He, A Pik, kau dengar
tidak, hati Toahwesio ini kedinginan, lekaslah kau membuatkan kue mangkuk yang
hangat-hangat untuknya.”
"Gulanya belum beli,
Lothaythay,” sahut A Pik dengan menahan geli.
"Pakailah gula batu,”
kata A Cu.
"Tepungnya habis,
Lothaythay!” sahut A Pik pula.
"Wah, aku benar-benar
sudah pikun, lantas bagaimana baiknya?” ujar A Cu akhirnya.
Dasar anak gadis Sohciu memang
terkenal lincah dan pintar bicara, pula kedua dayang cilik ini sehari-hari
sudah biasa bergurau dan saling berolok-olok, keruan tingkah laku mereka ini
membuat Ciumoti benar-benar mati kutu.
Maksud kedatangannya ke Sohciu
ini memangnya berharap dapat berjumpa dengan Buyung-kongcu untuk berunding
sesuatu urusan penting. Siapa duga orang yang dicari tidak ada, sebaliknya
masih bertemu dengan orang-orang yang mengoceh tak keruan hingga membuatnya
bingung.
Namun Tay-lun-beng-ong ini
memang tokoh yang hebat, sedikit berpikir, segera ia yakin Buyung-lothaythay,
Sun Sam, si budak tua dan A Pik itu telah sengaja merintanginya agar tidak
dapat masuk perpustakaan "Langgoan-cui-kok” untuk membaca.
Kini tidak peduli lagi mereka
berlagak apa pun juga, asalkan sudah ketemukan kata-kata tepat, kelak apakah
mesti pakai kekerasan atau secara halusan, dirinya sendiri sudah lebih dulu di
pihak yang benar.
Maka dengan sabar dan ramah ia
pun berkata, "Lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu sekarang juga sudah kubawa.
Sebab itulah kumohon dapat diperkenankan pergi membaca ke ‘Lang-goan-cui-kok’.”
"Buyung-siansing sudah
wafat kini,” kata A Pik. "Pertama janji lisan itu tak ada bukti. Kedua,
meski Kiam-boh itu sudah dibawa kemari, tapi tiada seorang pun di antara kami
yang paham. Maka sekalipun dahulu ada perjanjian apa-apa, dengan sendirinya
batal.”
Namun A Cu lantas berkata,
"Kiam-boh apakah itu? Di mana? Coba kulihat dulu apakah tulen atau palsu!”
"Toan-kongcu ini telah
hafal seluruh lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu,” sahut Ciumoti sambil menunjuk
Toan Ki. "Kini kubawanya kemari, sama saja seperti kubawa gambar-gambar
aslinya.”
"Huh, kukira Kiam-boh apa
segala, rupanya Thaysuhu cuma bergurau saja,” jengek A Pik.
"Siauceng mana berani
bergurau?” sahut Ciumoti sungguh-sungguh. "Lak-meh-sin-kiam-boh yang asli
itu telah dibakar Koh-eng Taysu di Thian-liong-si, syukur Toan-kongcu ini dapat
menghafalkan seluruh isinya dengan baik.”
"Sekalipun Toan-kongcu
benar-benar hafal, itu pun adalah urusan Toan-kongcu sendiri,” ujar A Pik.
"Dan andaikan perlu pergi ke Lang-goan-cui-kok, yang benar juga
Toan-kongcu yang pantas ke sana. Apa sangkut pautnya dengan Taysu?”
"Untuk memenuhi janjiku
dahulu itu, ingin kubakar Toan-kongcu ini di hadapan makam Buyung-siansing,”
kata Ciumoti.
Keruan Semua orang
terperanjat. Tapi melihat sikap padri itu sungguh-sungguh dan sekali-kali bukan
berkelakar, kejut mereka menjadi lebih hebat.
Maka berkatalah A Cu,
"Hah, bukankah Taysu ini sedang bergurau? Masakah orang baik-baik akan kau
bakar hidup-hidup?”
"Ya, Siauceng hendak
membakarnya, rasanya ia pun takkan mampu membangkang,” sahut Ciumoti dengan
tawar.
Segera A Pik berkata pula,
"Taysu bilang Toan-kongcu telah hafal isi Lak-meh-sin-kiam-boh, jelas
alasanmu ini sengaja dicari-cari saja. Pikirlah betapa lihai ilmu
Lak-meh-sin-kiam itu, kalau benar-benar Toan-kongcu mahir ilmu pedang sakti
itu, masakah dia bisa dikalahkan olehmu?”
"Ya, benar juga ucapanmu
ini,” sahut Ciumoti. "Tapi nona cuma tahu kepalanya tidak tahu ekornya.
Toankongcu ini telah kututuk Hiat-to kelumpuhannya, antero tenaga dalamnya tak
dapat dikeluarkannya.”
Namun A Cu masih menggeleng
kepala, katanya, "Lebih-lebih aku tidak percaya pada alasanmu ini. Untuk
membuktikan kebenarannya, coba kau buka Hiat-to Toan-kongcu dan suruhlah dia
memainkan Lak-meh-kiamhoat itu. Tapi kuyakin 99% engkau pasti bohong.”
Ciumoti manggut-manggut,
sahutnya, "Baiklah, boleh juga dicoba!”
Kiranya waktu datang tadi,
karena kesengsem oleh kecantikan A Pik, pula sangat tertarik oleh nyanyiannya
yang merdu, maka Toan Ki telah memberi pujian kepada dayang itu. Kemudian Toan
Ki sudi pula menjura tiga kali kepada A Cu, hal ini pun memperoleh simpatik
dayang ini. Maka demi mendengar Toan Ki tertutuk oleh Ciumoti, segera kedua
dayang cilik itu sengaja menipu padri itu supaya melepaskan Hiat-to Toan Ki.
Tak tersangka permintaan
mereka itu telah diterima begitu saja oleh Ciumoti. Segera padri itu menepuk
beberapa kali dada, paha dan pundak lalu Toan Ki hingga jalan darahnya lancar
kembali, sedikit Toan Ki mengerahkan hawa murninya, terasalah bergerak dengan
sempurna.
Ia coba menjalankan tenaga
menurut Tiong-ciong-kiam-hoat dari Lak-meh-sin-kiam itu, ia tarik tenaga
dalamnya ke Tiong-ciong-hiat di jari tengah kanan, maka terasalah jari itu
sangat panas, ia tahu asal sekali jarinya menuding ke depan, jadilah sejurus
tusukan pedang yang lihai.
"Toan-kongcu,” demikian
Ciumoti lantas berkata, "Buyung-lothaythay tidak percaya engkau sudah
mahir Lakmeh-sin-kiam, maka silakan engkau mempertunjukkannya. Begini, seperti
aku menebas sebatang ranting pohon ini.”
Habis berkata, dengan telapak
tangan kiri ia terus memotong miring ke depan dengan penuh tenaga dalam yang
hebat. Itulah satu jurus yang lihai dari "Hwe-yam-to”.
Maka terdengarlah suara
"krak” sekali, sebatang ranting pohon yang cukup besar dan berada di
pelataran sana tahu-tahu telah patah sendiri.
Saking kagetnya sampai Cui
Pek-khe dan Ko Gan-ci menjerit. Meski sebelumnya mereka tahu Kungfu padri asing
itu sangat lihai lagi aneh, tapi mereka percaya paling-paling juga cuma
sebangsa ilmu sihir dari kalangan hitam. Tapi kini demi menyaksikan betapa
tinggi Lwekangnya yang digunakan untuk menebas ranting pohon dari jauh itu,
barulah mereka sadar telah salah sangka.
Maka Toan Ki berkata sambil
menggoyang kepala, "Tidak, aku tidak bisa ilmu silat apa-apa, lebih-lebih
tidak tahu tentang Lak-meh atau Cit-meh-kiam-hoat segala. Batang pohon yang
indah itu kenapa kau rusak tanpa sebab?”
"Kenapa Toan-kongcu mesti
merendah diri,” sahut Ciumoti. "Di antara jago-jago Toan-si di Tayli,
engkaulah tokoh nomor satu. Di dunia ini kecuali Buyung-kongcu dan aku si
Hwesio mungkin tiada seberapa orang lagi yang mampu menandingimu. Tapi keluarga
Buyung di Koh-soh ini adalah gudangnya ilmu silat di dunia ini, bila kau mau
pertunjukkan beberapa jurus, bila ada kesalahan, boleh jadi Lothaythay nanti
akan memberi petunjuk seperlunya, bukankah hal ini akan menguntungkanmu?”
"Toahwesio, sepanjang
jalan kau perlakukan aku dengan kasar, kau banting dan menyeret aku ke sini,
untuk itu aku terima saja diperlakukan sesukamu karena aku bukan tandinganmu.
Sebenarnya aku tidak sudi bicara denganmu, namun setiba di sini, aku telah
dapat menikmati pemandangan indah dengan gadis-gadisnya yang cantik, maka rasa
dendamku padamu menjadi terhapus juga. Maka untuk selanjutnya hubungan kita
kuputuskan sampai di sini, masing-masing tidak perlu saling urus.”
Diam-diam A Pik dan A Cu
merasa geli oleh ketolol-tololan Toan Ki itu. Tapi demi mendengar mereka dipuji
cantik, betapa pun mereka sangat senang.
Lalu Ciumoti berkata,
"Kongcu tidak sudi mengunjukkan Lak-meh-sin-kiam, bukankah itu berarti
omonganku tadi cuma bualan belaka?”
"Memangnya mulutmu tidak
bisa dipercaya,” sahut Toan Ki. "Jikalau benar engkau ada janji dengan
Buyungsiansing, mengapa tidak dulu-dulu mengambil Kiam-boh ke Tayli, tapi
menunggu setelah Buyung-siansing meninggal, sesudah tiada saksi, baru kau bikin
rusuh ke sini.
"Hm, kulihat engkau
sebenarnya mempunyai maksud tertentu, kau kagum pada ilmu silat keluarga Buyung
yang hebat, maka sengaja mengarang dongeng yang susah dipercaya untuk menipu
Lothaythay, tujuanmu sebenarnya ingin mengintip kitab pusaka ajaran silat di
kamar perpustakaan keluarga Buyung ini, dengan begitu engkau akan merajai dunia
persilatan.
"Tapi, hah, Ciumoti,
kenapa tidak kau pikir, bahwa nama orang sedemikian gemilangnya di dunia
persilatan, masakah tidak tahu akalmu yang licik ini? Bila cuma mengandalkan
sedikit ocehanmu ini lantas kau kira rahasia ilmu silat keluarga Buyung dapat
kau tipu, wah, mungkin setiap orang di dunia ini bisa menjadi penipu ulung.”
Namun Ciumoti ternyata
menggeleng-geleng kepala, katanya, "Tafsiran Toan-kongcu salah besar.
Meski sudah lama ada janjiku dengan Buyung-siansing, soalnya karena selama ini
Siauceng sedang menyepi untuk meyakinkan ‘Hwe-yam-to’, sudah sembilan tahun
Siauceng tidak pernah keluar rumah, maka tidak sempat pula mengunjungi Tayli.
Bila ‘Hwe-yam-to’ itu tidak berhasil kuyakinkan, mungkin Siauceng tak dapat
keluar lagi dari Thian-liong-si dengan selamat.”
"Toahwesio,” kata Toan Ki
pula, "bicara tentang nama, engkau memang sudah terkenal. Tentang
kedudukan, engkau adalah Hou-kok-hoat-ong negeri Turfan, ilmu silatmu pun sudah
sekian tingginya. Tapi mengapa engkau tidak mau hidup tenteram di rumah dengan
kedudukanmu yang agung itu, sebaliknya malah datang ke sini untuk menipu orang?
Kupikir lebih baik engkau lekas pulang saja.”
"Sudahlah, tak perlu banyak
omong, bila Kongcu tidak sudi unjuk Lak-meh-sin-kiam, janganlah menyalahkan
bila Siauceng berlaku kasar,” kata Ciumoti dongkol.
"Kasar? Engkau memangnya
sudah kasar padaku, masakah masih ada pula yang lebih kasar?” sahut Toan Ki
dengan gusar. "Ya, paling-paling sekali bacok kau matikan aku, kenapa aku
takut?”
"Kongcu mau menurut
kata-kata Siauceng atau tidak?” Ciumoti menegas pula.
"Ya, boleh,” sahut Toan
Ki.
Ciumoti menjadi girang,
katanya, "Jika begitu, silakan unjukkan ilmu pedangmu yang sakti itu.”
"Ilmu pedang sakti? Apa
kau bawa pedang? Boleh dipinjamkan padaku,” sahut Toan Ki.
Sungguh dongkol Ciumoti tidak
kepalang. Serunya tidak sabar lagi, "Rupanya Kongcuya sengaja hendak
menghinaku, ya? Awas serangan!”
Berbareng telapak tangan
kirinya terangkat miring terus memotong ke muka Toan Ki dengan tenaga yang
kuat.
Namun Toan Ki sudah ambil
keputusan bandel. Ia tahu ilmu silat orang teramat tinggi, bertempur atau tidak
tetap dirinya tak bisa menang. Maksud padri itu ingin dirinya memainkan Lak-meh-sin-kiam
untuk membuktikan ucapannya bukan bualan belaka, maka ia justru tidak sudi
memenuhi keinginan orang. Ketika serangan Ciumoti itu tiba, dengan nekat Toan
Ki sama sekali tidak menghindar, juga tidak menangkis.
Keruan Ciumoti menjadi kaget
malah. Sudah pasti ia akan membakar Toan Ki di depan kuburan Buyungsiansing,
maka ia tidak ingin membunuhnya sekarang dengan tenaga dalam serangannya itu.
Cepat ia angkat tangan sedikit ke atas, "sret”, serangkum angin tajam menyambar
lewat di atas kepala Toan Ki hingga secomot rambutnya terkupas.
Cui Pek-khe saling pandang
dengan Ko Gan-ci dengan terperanjat. Begitu pula A Pik dan A Cu tidak kurang
kejutnya menyaksikan ilmu sakti padri itu.
"Apakah Toan-kongcu lebih
suka korbankan jiwa daripada memenuhi permintaan Siauceng?” tanya Ciumoti.
Toan Ki memang sudah tidak
pikirkan mati atau hidup lagi, maka sahutnya dengan tertawa, "Haha,
Toahwesio sama sekali belum hilang dari segala macam pikiran duniawi, mana ada
harganya disebut sebagai padri saleh. Huh, hanya nama kosong belaka.”
Ciumoti tidak meladeni ocehan
Toan Ki lagi, tapi mendadak serangannya ditujukan kepada A Pik sambil berkata,
"Maaf, terpaksa kukorbankan dulu seorang budak keluarga Buyung ini!”
Sungguh kaget A Pik tak
terkatakan oleh serangan mendadak itu, cepat ia berkelit, "brak”, kursi di
belakangnya seketika hancur berkeping-keping oleh tenaga pukulan Ciumoti.
Bahkan golok tangan kanan Ciumoti menyusul memotong pula.
Syukurlah A Pik sempat
jatuhkan diri ke lantai dan menggelundung ke samping dengan cepat, namun begitu
keadaannya pun sangat mengenaskan.
Pada saat lain, mendadak
Ciumoti menggertak sekali, golok tangan untuk ketiga kalinya membacok lagi.
Saking takutnya sampai muka A
Pik menjadi pucat, meski gerak-geriknya sangat cepat, tapi ia bingung juga
menghadapi bacokan tenaga dalam yang tak kelihatan itu.
Hubungan A Cu dengan A Pik
bagai saudara sekandung, melihat kawannya terancam bahaya, tanpa pikir lagi A
Cu terus angkat tongkatnya dan menghantam punggung Ciumoti.
Dalam samarannya baik jalannya
maupun bicaranya, lagak-lagu A Cu memang mirip benar seorang nenek reyot. Tapi
kini dalam keadaan gugup dan buru-buru, gerak tubuhnya menjadi sangat gesit dan
cepat sekali.
Jilid 18
Maka sekilas pandang saja
Ciumoti sudah dapat melihat rahasia A Cu itu, katanya dengan tertawa,
"Haha, masakah di dunia ini ada seorang nenek berumur cuma belasan tahun?
Memangnya kau sangka Hwesio dapat kau bohongi terus?”
Berbareng telapak tangannya
membalik dan menghantam, "krek”, tongkat A Cu itu kontan tergetar patah
menjadi tiga potong. Menyusul serangan Ciumoti dilontarkan pula ke arah A Pik.
Dalam gugup dan khawatirnya,
cepat A Pik sambar meja di sampingnya untuk menangkis serangan orang.
"Prak-prak” dua kali, meja yang terbuat dari kayu gaharu seketika pecah
berantakan, tinggal dua kaki meja yang masih terpegang di tangan A Pik.
Melihat A Pik terdesak mepet
dinding, untuk mundur lagi sudah buntu, hendak lari pun susah, sementara itu
serangan Ciumoti telah dilancarkan pula, Toan Ki tak bisa tinggal diam lagi,
yang ia pikir hanya lekas menolong si gadis, tak terpikir olehnya bahwa diri
sendiri sama sekali bukan tandingan Ciumoti.
Maka cepat jari tengah kanan
terus menuding ke depan, tenaga dalamnya lantas terpancar keluar melalui
"Tiong-ciong-hiat” di ujung jari dengan membawa suara mencicit, itulah
Tiong-ciong-kiam-hoat dari Lak-mehsin-kiam yang lihai.
Sebenarnya Ciumoti tidak
bermaksud membunuh A Pik, tujuannya cuma hendak memancing Toan Ki ikut turun
tangan. Bila dia benar-benar membunuh, mana A Pik mampu menghindari
"Hwe-yam-to” yang tanpa wujud dan lihai luar biasa itu?
Melihat Toan Ki tertipu
olehnya dan turun tangan, segera Ciumoti membalik tangan dan ganti menyerang A
Cu. Begitu hebat tenaganya, di mana angin tebasannya tiba, tertampaklah A Cu
terhuyung-huyung, baju bagian pundak terobek juga, gadis itu menjerit kaget.
Cepat Toan Ki menolong pula,
jari kecil tangan kiri terus menusuk ke depan dengan "Siau-tik-kiam” untuk
menangkis "Hwe-yam-to” musuh.
Dengan demikian, A Cu dan A
Pik terhindar dari bahaya, akan tetapi sebaliknya Toan Ki yang harus melayani
serangan Hwe-yam-to-hoat Ciumoti dengan Lak-meh-sin-kiam.
Pertama Ciumoti sengaja hendak
pamer kepandaiannya, kedua ingin orang lain menyaksikan bahwa Toan Ki
benar-benar mahir "Lak-meh-sin-kiam” yang dikatakan tadi. Maka ia sengaja
mengeluarkan Lwekangnya untuk saling bentrok dengan tenaga dalam Toan Ki hingga
menerbitkan suara mencicit.
Dengan menghimpun tenaga dalam
dari berbagai tokoh kelas wahid yang pernah disedotnya dengan Cu-hapsin-kang,
sebenarnya tenaga Toan Ki sekarang sudah lebih kuat daripada Ciumoti. Celakanya
dia sama sekali tidak mengerti ilmu silat, Kiam-hoat yang dipahaminya di
Thian-liong-si itu juga cuma dihafalkannya begitu saja, sedikit pun tak bisa
digunakannya secara hidup. Maka dengan mudah saja Ciumoti dalam
mempermainkannya dan berulang-ulang memancing tusukan jarinya itu hingga daun
pintu dan jendela berlubang oleh tenaga dalam Toan Ki yang hebat, berbareng ia
pun mengoceh, "Wah, sungguh hebat Lak-mehsin-kiam ini, pantas mendiang
Buyung-siansing memujinya setinggi langit.”
Cui Pek-khe juga ternganga
heran, pikirnya, "Kukira Toan-kongcu ini sama sekali tidak mengerti ilmu
silat, siapa tahu kepandaiannya sehebat ini. Toan-si dari Tayli benar-benar
tidak bernama kosong. Untunglah ketika meneduh di Tin-lam-onghu dahulu aku
tidak pernah berbuat sesuatu yang jahat, kalau tidak, masakah aku dapat keluar
dari istana itu dengan hidup?”
Makin dipikir ia jadi
merinding sampai jidat penuh keringat dingin.
Setelah menempur Toan Ki
sebentar, kalau mau, sebenarnya setiap jurus dan setiap waktu Ciumoti dapat
mematikan pemuda itu, tapi seperti kucing permainkan tikus saja, ia sengaja
menggoda Toan Ki agar mengeluarkan jurus-jurus Lak-meh-sin-kiam.
Tapi sesudah lama, lambat laun
hilanglah rasa memandang rendah Ciumoti, ia merasa Kiam-hoat yang dimainkan
pemuda itu sesungguhnya lain daripada yang lain, cuma entah mengapa, di mana
letak kelihaiannya sama sekali tak dapat digunakan oleh Toan Ki.
Jadi seperti seorang anak
kecil, meski dibekali harta berjuta-juta toh tidak tahu cara bagaimana
menggunakannya.
Setelah bergebrak beberapa
jurus lagi, tiba-tiba pikiran Ciumoti tergerak, "Bila kelak timbul
ilhamnya dan mendadak ia sadar serta memahami kunci kemukjizatan ilmu silatnya
ini, ditambah lagi tenaga dalamnya dan Kiam-hoat yang bagus ini pastilah akan
merupakan lawan tangguh paling lihai bagiku!”
Toan Ki sendiri juga sudah
sadar mati-hidupnya sekarang bergantung di bawah tangan Ciumoti, cepat ia berseru,
"A Cu dan A Pik berdua Cici, lekas kalian melarikan diri, kalau terlambat
mungkin tidak keburu lagi.”
"Mengapa engkau menolong
kami, Toan-kongcu?” hanya A Cu.
"Hwesio ini mengira ilmu
silatnya mahatinggi dan suka malang melintang menghina orang lain. Cuma sayang
aku tidak paham ilmu silat, susah untuk melawannya, maka lekas kalian melarikan
diri!”
"Tapi sudah terlambat!”
seru Ciumoti tiba-tiba dengan tertawa. Ia melangkah maju setindak, jari tangan
kiri terus terjulur hendak menutuk Toan Ki.
Toan Ki menjerit kaget dan
bermaksud menghindar, namun sudah terlambat. Tiga Hiat-to penting pada tubuhnya
sekaligus tertutuk, seketika kaki terasa lemas terus roboh ke lantai. Akan
tetapi ia masih berteriakteriak, "A Cu, A Pik, lekas kalian lari, lekas!”
"Hm, jiwamu sendiri tak
terjamin masih ada pikiran untuk mengurus orang lain?” jengek Ciumoti sambil
kembali ke tempat duduknya. Lalu katanya kepada A Cu, "Nona ini pun tidak
perlu lagi main sandiwara segala. Sebenarnya siapa yang berkuasa di rumah ini, lekas
katakan? Toan-kongcu ini telah hafal Lak-meh-sin-kiamboh dengan lengkap, cuma
ia tidak paham ilmu silat, maka tak dapat menggunakannya. Besok juga anak
kubakar dia di hadapan makam Buyung-siansing, bila Buyung-siansing mengetahui
di alam baka, tentu beliau akan dapat memahami pula bahwa sobat lamanya ini
telah menemui janji dengan baik.”
A Cu tahu di pondok
Khiam-im-cing-sik ini tiada seorang pun yang mampu menandingi si Hwesio. Tapi
segera ia mendapat akal, katanya dengan tertawa, "Baiklah, Toahwesio. Sekarang
kami sudah percaya, kami akan membawa engkau ke makam Loya, tapi perjalanan ke
sana memerlukan satu hari penuh, hari ini sudah tidak keburu lagi, esok
pagi-pagi biarlah kami berdua mengantar sendiri Toahwesio dan Toan-kongcu
berziarah ke makam Loya. Kini kalian berempat silakan mengaso, sebentar harap
makan malam seadanya.”
Habis berkata, ia gandeng
tangan A Pik terus masuk ke ruangan belakang.
Memandangi bayangan kedua
gadis jelita itu, Toan Ki cuma dapat tersenyum getir saja.
Selang satu jam kemudian,
seorang budak laki-laki keluar memberi tahu, "Nona A Pik mengundang
tuan-tuan menghadiri perjamuan sederhana di ‘Thing-uh-ki’!”
Ciumoti menyatakan terima
kasih, segera ia pegang tangan Toan Ki dan mengikuti hamba itu ke belakang
disusul oleh Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci.
Setelah menyusuri sebuah jalan
kecil yang berliku-liku dengan batu kecil berserakan, akhirnya sampailah di
tepi sebuah danau. Di bawah pohon Liu tampak tertambat sebuah perahu kecil.
"Itu di sana!” kata hamba
tadi sambil menuding ke arah sebuah rumah kecil yang dikelilingi air danau.
Sesudah dekat, kiranya
"Thing-uh-ki” (vila mendengarkan hujan) yang dimaksudkan dibangun dengan
dahan pohon Siong yang tak terkupas kulitnya, mungil dan indah seperti buatan
alam.
Setelah mendarat, Toan Ki
melihat A Pik sudah berdiri di depan rumah menanti kedatangan tetamunya. Kini
gadis ini memakai baju hijau pupus, berbedak tipis dengan yanci yang
kemerah-merahan. Di sampingnya berdiri pula seorang gadis cilik lain berusia
sebaya dengan A Pik, berbaju merah dadu, dengan sikap yang lincah dan nakal
sedang memandang Toan Ki dengan tersenyum simpul. Kalau raut muka A Pik
berbentuk bulat telur, adalah gadis jelita ini berbentuk bundar bagai bulan
purnama, bola matanya hitam dengan kerlingannya yang tajam hingga menjadikan
kecantikannya mempunyai daya tarik tersendiri.
Begitu Toan Ki menghampiri,
segera tercium olehnya bau harum yang halus. Tanpa pikir lagi ia menegur dengan
tertawa, "Enci A Cu, sungguh tidak nyana gadis cilik yang cantik seperti
engkau ini ternyata juga pandai memainkan peranan sebagai nenek-nenek!”
Gadis jelita di samping A Pik
itu memang benar A Cu adanya. Ia melirik Toan Ki sekejap, lalu menyahut dengan
tersenyum, "Engkau telah menjura tiga kali padaku, sekarang engkau
menyesal bukan?”
"Tidak, tidak!” sahut
Toan Ki sambil menggeleng kepala. "Aku justru merasa perbuatanku itu cukup
berharga. Cuma terkaanku saja yang agak meleset.”
"Terkaan apa yang
meleset?” tanya A Cu.
"Sejak mula sudah kuduga
bahwa Enci sendiri pasti serupa Enci A Pik, sama-sama gadis cantik yang jarang
terdapat di dunia ini,” ujar Toan Ki. "Cuma dalam anggapanku, kuyakin Enci
pasti tidak banyak berbeda daripada Enci A Pik, siapa tahu sesudah bertemu
muka, ternyata ... ternyata ....”
"Ternyata jauh kalah
dibandingkan A Pik, begitu bukan?” sela A Cu cepat.
Segera A Pik menceletuk juga,
"Ternyata berpuluh kali lebih cantik daripadaku hingga engkau terpesona,
bukan?”
"Bukan, bukan! Salah
semua!” sahut Toan Ki. "Kupikir Tuhan ini memang mahaadil, sudah
menciptakan gadis cantik serupa Enci A Pik, juga menciptakan gadis cantik yang
lain seperti Enci A Cu. Raut muka keduanya sama sekali berbeda, tapi sama-sama
bagus dan sama-sama menariknya, hatiku ingin mengucapkan berbagai pujian
padamu, tapi mulutku justru sukar mengucapkan kata-kata yang tepat.”
"Cis!” semprot A Cu
dengan tertawa. "Engkau ludah mencerocos panjang lebar, tapi bilang sukar
mengucapkan sepatah kata?”
Kalau A Cu bicara dengan
lincah dan mengomel, sebaliknya A Pik lantas berkata dengan lemah lembut,
"Atas kunjungan tuan-tuan ke tempat kami yang sunyi ini, tiada sesuatu
yang dapat kami persembahkan, hanya tersedia sedikit arak tawar dan sekadar
makanan yang terdapat di daerah Kanglam sini.”
Lalu ia persilakan tetamunya
mengambil tempat duduk masing-masing, ia bersama A Cu mengiringinya semeja.
Melihat cangkir, mangkuk dan
alat perkakas yang disediakan itu terdiri dari benda halus semua, diam-diam
Toan Ki memuji. Ketika kemudian pelayan laki-laki menyuguhkan makanan
pengantar, menyusul lantas masakan panas seperti "Leng-pek-he-jin” (udang
goreng sawi putih), "Ho-yap-tang-sun-theng” (rebung muda masak daun
teratai kuah), "Eng-tho-hwe-tui” (buah Tho masak ham), "Bwe-hoa-keh-ting”
(bunga Bwe masak ayam), dan macam-macam lagi, setiap masakannya sangat istimewa
dan lain daripada yang lain, di tengah udang, ikan, daging dan lain-lain
dicampur dengan buah-buahan dan bunga-bungaan, warnanya indah dan masanya
lezat, dengan sendirinya membawa semacam bau harum dan cita rasa yang sedap.
Keruan yang tidak habis-habis
memberi pujian adalah Toan Ki, katanya sambil tidak lupa melangsir makanan di
hadapannya ke dalam mulut, "Ada tempat seindah ini barulah ada manusia
sepandai ini. Ada orang sepandai ini barulah dapat menyuguhkan makanan seenak
ini.”
"Eh, coba terka, makanan
ini masakanku atau masakan A Pik?” tanya A Cu dengan tertawa.
"Eng-tho-hwe-tui dan
Bwe-hoa-keh-ting itu kuyakin Enci yang memasaknya,” sahut Toan Ki tanpa pikir.
"Dan Ho-yap-tang-sun-theng, Leng-pek-he-jin dan lainnya tentulah buatan
Enci A Pik.”
"Ehm, engkau memang
pintar,” seru A Cu dengan tertawa. "Hai, A Pik, cara bagaimana kita harus
memberi hadiah kepada kepandaiannya ini?”
Dengan tersenyum A Pik
menyahut, "Toan-kongcu ingin apa, sudah tentu kita akan menurut saja,
masakah pakai memberi hadiah apa segala, kaum hamba seperti kita masa ada
harganya untuk bicara demikian?”
"Aduh, dasar mulutmu ini
memang pandai memikat hati orang, pantas setiap orang memuji kebaikanmu dan
mengatakan aku jahat,” kata A Cu.
"Yang satu lemah lembut,
yang lain lincah gembira, keduanya sama-sama baik,” ujar Toan Ki dengan
tertawa. "Enci A Pik, di dalam perahu siang tadi engkau telah memetik
sebuah lagu dengan senjata ruyung milik Kotoaya, suara tetabuhan itu sampai
saat ini seakan-akan masih mengiang di telingaku. Bila nona tidak keberatan,
kumohon sudilah engkau memperdengarkan beberapa lagu pula dengan alat tetabuhan
yang sungguh-sungguh, untuk mana andaikan besok aku harus menjadi abu dibakar
oleh Toahwesio ini, rasanya pun takkan kecewa hidupku ini.”
"Jika Kongcu sudi
mendengarkan, sudah tentu akan kumainkan sekadar menghibur tuan tamu,” sahut A
Pik terus berbangkit menuju ke ruangan belakang. Waktu keluar pula ia membawa
sebuah Khim atau kecapi.
Toan Ki heran melihat Khim itu
jauh lebih kecil daripada Khim umumnya, bahkan senarnya juga tidak tujuh, tapi
sembilan senar dengan warna yang berbeda-beda.
A Pik mengambil tempat duduk
di suatu bangku kecil, ia taruh kecapi itu di atas pangkuannya, lalu katanya
kepada Ciumoti, "Harap Toasuhu memberi petunjuk nanti!”
"Ah, jangan sungkan,”
sahut Ciumoti. Dalam hati ia merasa curiga, "Mengapa dia menyatakan hendak
minta petunjuk padaku?”
Dalam pada itu kedua tangan A
Pik yang putih bersih bagai salju itu telah mulai beraksi, kelima jari kiri
menekan perlahan di atas senar, sekali jari tangan kanan memetik, terdengarlah
suara "creng” yang nyaring merdu.
Meski Toan Ki sama sekali
tidak paham ilmu silat, tapi dalam hal "Su-wah-khim-ki” atau seni tulis,
seni lukis, seni musik (Khim) dan seni catur, semuanya ia mahir. Maka begitu
mendengar suara pembukaan yang dipetik A Pik itu, segera ia tahu bahwa
kesembilan senar Khim itu terbuat dari bahan yang berbeda-beda. Ada senar baja,
ada pula senar tembaga, dan ada pula senar benang biasa. Yang keras teramat
keras, yang lemas sangat lemas.
Hanya beberapa kali A Pik
memetik perlahan suara kecapi itu sudah mulai mengalun dengan lambat dan makin
lama makin ulem hingga keempat
pendengarnya itu merasa kelopak matanya menjadi berat, rasanya menjadi kantuk
dan ingin tidur.
Cui Pek-khe adalah tokoh yang
luas pengalamannya dan cerdik, ia kenal betapa liciknya orang Kangouw. Maka
begitu memasuki perkampungan keluarga Buyung, setiap saat ia selalu waspada.
Waktu matanya merasa sepat dan layap-layap akan pulas mendadak ia tersadar,
"Celaka! Rupanya budak setan ini sedang merancang sesuatu muslihat untuk
menggasak kami.”
Segera ia berseru, "Awas,
Ko-hiantit, banyak orang Kangouw berjiwa keji dan banyak tipu muslihatnya yang
serbaaneh, engkau harus hati-hati dan waspada.”
Ko Gan-ci mengangguk dan
menyahut dengan samar-samar, "Benar! Sampai bertemu esok pagi!”
Habis berkata, ia terus
menguap.
Kuapan Ko Gan-ci ini ternyata
membawa daya menular, seketika Cui Pek-khe dan Toan Ki ikut menguap dengan
pikiran mulai melayap-layap, yang terdengar hanya suara Khim yang ulem merdu,
sekelilingnya terasa sunyi senyap, setiap orang merasakan tubuh penat dan ingin
tidur, kalau bisa terus hendak selonjor dan terpulas segera.
Pada saat itulah,
sekonyong-konyong terdengar "cring” sekali, dada Toan Ki serasa diketok
dan "Thian-ti-hiat” di samping ketiak seketika lancar kembali dari tutukan
Ciumoti tadi.
Sungguh girang, dan kejut Toan
Ki tak terkatakan, ia menyangka tutukan Ciumoti tadi kurang keras hingga
Hiat-to yang tertutuk itu tidak buntu seluruhnya, maka setelah lewat sekian
lama jalan darahnya lantas lancar kembali dengan sendirinya.
Tak terduga suara kecapi A Pik
kembali dipetik sekali pula, "cring”, lagi-lagi "Pek-hou-hiat” di
punggung Toan Ki terasa lancar pula dengan sendirinya.
Ketika Toan Ki coba
mengerahkan tenaga dalamnya, ia merasa separuh tubuh bagian atas sudah dapat
bergerak dengan bebas, jalan darah pun lancar tanpa suatu rintangan.
Baru sekarang ia tahu suara
kecapi A Pik itu dapat mengadakan kontak dengan hawa murni dalam tubuh orang
dan mampu melancarkan jalan darah.
Selang sebentar, Hiat-to
bagian kaki yang tertutuk juga terbuka semua mengikuti bunyi kecapi.
Dengan termangu-mangu Toan Ki
memandangi A Pik, hati merasa terima kasih tak terhingga. Ia lihat A Pik masih
terus memetik kecapi dengan penuh perhatian, di sampingnya terdengar suara
orang mendengkur dengan keras, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci sudah tertidur
nyenyak. Sebaliknya Ciumoti masih tetap duduk dengan tenang, tampak jelas
sedang mengerahkan Lwekang untuk melawan suara kecapi si A Pik.
Tidak lama kemudian, Toan Ki
lihat jidat A Pik mulai berkeringat, di atas kepala kabut tipis mulai menguap.
Sebaliknya Ciumoti tetap tenang dengan mengulum senyum dan berseri-seri.
Diam-diam Toan Ki jadi
khawatir, "Bila suara kecapi si A Pik tak dapat mengatasi kekuatan si
Hwesio hingga malah dilukai olehnya, lantas bagaimana baiknya nanti?”
Pada saat yang genting itulah
tiba-tiba terdengar A Cu menyanyi dengan suara yang merdu, lagunya, "Angin
mendesir dingin di sungai Ih, sekali pergi sang pahlawan tak kembali lagi!”
Suara kecapi sangat kalem dan
halus, sebaliknya suara nyanyian gagah penuh semangat, keduanya berbeda irama,
Toan Ki menjadi heran.
Tapi berulang A Cu masih terus
membolak-balik menyanyikan lagu "angin mendesir ...” hingga tiga-empat
kali, Toan Ki lihat tangkai bunga yang tersunting di atas sanggul A Pik tiada
hentinya bergemetar, bibir si gadis yang tadinya merah kini pun mulai pucat.
Hati Toan Ki tergerak,
mendadak ia sadar, "Ah, tahulah aku. Sebabnya A Cu menyanyikan dua kalimat
lagunya itu, maksudnya minta aku menirukan perbuatan Keng Ko, membunuh raja Cin
di zaman Ciongkok. Ya, tenaga dalam A Pik terang bukan tandingan si Hwesio,
kalau bertambah lebih lama lagi mungkin akan terluka dalam parah.”
Diam-diam Toan Ki mulai
menghafalkan kembali Lak-meh-sin-kiam, ia coba menjalankan tenaga dalam dan
terasa lancar tanpa sesuatu rintangan.
Cuma sejak kecil ia mendapat
ajaran falsafah Kongcu dan Buddha yang menyuruh setiap manusia harus berlaku
bajik dan welas asih kepada sesamanya, karena itu ia menjadi ragu untuk
menyerang, ia pikir seorang laki-laki harus bertindak secara terang-terangan,
kalau menyerang orang secara mendadak dan di luar penjagaan, rasanya terlalu
kotor dan rendah.
Tengah Toan Ki ragu itulah,
sekonyong-konyong "creng” sekali, seutas senar kecapi si A Pik putus,
tubuh gadis itu pun tergeliat sedikit, suara nyanyian A Cu pun terhenti
mendadak, sepasang sumpit yang terpegang di tangannya segera siap hendak
ditusukkan ke arah Ciumoti.
Menyusul terdengar pula suara
"cring”, kembali seutas senar kecapi putus. Berbareng Cui Pek-khe dan Ko
Gan-ci berseru kaget, keduanya sama-sama terjaga bangun.
Toan Ki tahu keadaan sangat
mendesak, diam-diam ia bergumam, "Demi menolong orang, terpaksa aku harus
berlaku pengecut sebentar.”
Segera ia angkat tangan kanan,
dengan telunjuk dan jari tengah mengacung ke arah Ciumoti, "cus-cus”,
seketika dua arus kekuatan yang tak kelihatan menusuk dengan cepat.
Itulah jurus serangan
"Siang-yang-kiam” dan "Tiong-ciong-kiam” yang lihai.
Bila Ciumoti lagi bertanding
berhadapan dengan Toan Ki, betapa pun cepatnya serangan itu pasti dapat
dipatahkan olehnya. Tapi kini Ciumoti menyangka Hiat-to pemuda yang telah
ditutuknya, untuk sementara ini pemuda itu terang tidak dapat berbuat apa-apa,
maka antero perhatiannya dicurahkan untuk menempur suara kecapi si A Pik.
Tatkala itu Ciumoti sudah
mulai di atas angin dan A Pik terdesak, ia sudah berusaha mengacaukan suara
kecapi untuk membingungkan pemusatan pikiran A Pik, kemudian suara kecapi
segera akan diperalat olehnya untuk melukai A Cu sekalian.
Sama sekali tak terduga
olehnya bahwa Toan Ki mendadak menyerang dengan Lak-meh-sin-kiam. Dalam
kagetnya Ciumoti bersuit panjang sembari meloncat ke atas, "brak”,
sekaligus lima senar kecapi si A Pik sama putus. Menyusul tertampaklah darah
mengucur di badan Ciumoti. Bu-heng-sin-kiam atau pedang sakti tak berwujud yang
dilontarkan Toan Ki ternyata berhasil menusuk bahu kanannya.
Cepat sekali A Pik tarik A Cu
dan tangan lain menggandeng Toan Ki, sekali kaki mengentak, ketiga orang lantas
melayang keluar melalui jendela pondok di atas air itu dan tepat turun ke dalam
perahu yang tertambat di tepi gili-gili. Segera A Cu menyuruh Toan Ki mendekam
di dalam perahu, ia sendiri sambar pengayuh terus didayung cepat ke tengah
danau.
Maka terdengarlah suara
"blang-blung” yang keras, perahu kecil itu terombang-ambing bagai didampar
ombak
raksasa di tengah samudra, air
danau muncrat ke dalam perahu hingga Toan Ki basah kuyup.
Waktu ia mendongak, ia lihat
Ciumoti berdiri di tepi gili-gili sedang melemparkan meja batu, bangku batu dan
sebagainya, untung A Cu cukup cekatan dan dapat mendayung dengan cepat, pula
Ciumoti telah terkena pedang tanpa wujud Toan Ki tadi hingga lukanya cukup
parah, tenaganya banyak berkurang, maka timpukannya tiada satu pun yang tepat
mengenai perahu itu.
Namun begitu A Cu terkejut
juga oleh ketangkasan si Hwesio. Diam-diam ia bersyukur dapat lolos dari
bahaya. Sekuatnya ia mendayung lebih jauh hingga dapat diduga Ciumoti tidak
dapat menyusul mereka lagi.
"Toan-kongcu,” kata A Pik
kemudian, "terima kasih atas pertolonganmu tadi, kalau tidak, saat ini aku
tentu sudah binasa di tangan Hwesio itu.”
"Akulah yang harus
berterima kasih padamu,” sahut Toan Ki. "Hwesio itu berani berkata berani
berbuat, bukan mustahil aku benar-benar akan dibakar hidup-hidup olehnya.”
"Sudahlah, tidak perlu
lagi terima kasih sini dan terima kasih sana, apakah kita dapat lolos dari
kekejaman padri itu masih belum dapat dipastikan,” ujar A Cu.
Pada saat itu juga Toan Ki
mendengar suara tersiahnya air, ada perahu sedang didayung ke arah sini, segera
katanya, "Benar juga, Hwesio itu sedang mengejar kemari!”
Karena pertarungan Lwekang
tadi, keadaan A Pik sudah sangat lelah, seketika tenaganya belum dapat
dipulihkan, ia bersandar di dinding perahu katanya, "A Cu Cici, marilah
kita menyingkir sementara ke tempat Liok-toaya saja.”
"Ya, terpaksa begitulah,”
sahut A Cu dengan mendongkol. "Sungguh sialan, tentu kita akan ditertawai
Lioktoaya lagi bahwa ilmu silat kita tak berguna, baru ketemu musuh lantas lari
berlindung ke rumahnya. Hidup kita selanjutnya pasti akan selalu dibuat buah
tertawaan olehnya.”
Toan Ki sendiri sejak tenaga
dalamnya bertambah kuat, daya pendengarannya menjadi sangat tajam pula. Ia
dapat mendengar perahu yang sedang mengejar mereka itu makin mendekat. Cepat
saja ia pun sambar pengayuh lain dan bantu mendayung, bertambah tenaga seorang,
daya luncur perahu mereka menjadi seperti anak panah terlepas dari busurnya,
jarak dengan perahu pengejar itu pun makin lama makin jauh.
"Kepandaian Hwesio itu
sungguh luar biasa, kalau kedua Cici yang masih muda belia dikalahkan olehnya,
kenapa mesti dibuat pikiran, apa yang memalukan?” ujar Toan Ki kemudian.
Tiba-tiba dari jauh sana
terdengar suara seruan orang, "Wahai, A Cu dan A Pik! Kembalilah kalian!”
Terang itulah suara Ciumoti,
ucapannya itu terdengar lemah lembut dan bersahabat hingga menimbulkan daya
tarik yang sukar ditahan, rasanya ingin menurut saja apa yang dikatakan itu.
A Cu tertegun juga, pikirnya,
"Dia menyerukan kita kembali ke sana dan menyatakan takkan membikin susah
kita.”
Sembari berkata ia
menghentikan dayungnya dengan pikiran tergerak dan bermaksud memenuhi
permintaan Ciumoti itu.
Bahkan A Pik lantas ikut
menyokong, "Jika begitu, marilah kita putar kembali ke sana!”
Syukur tenaga dalam Toan Ki
sangat kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh seruan Ciumoti yang membawa daya
tarik itu, cepat ia berkata, "Jangan kalian percaya, ia sengaja hendak
menipu kalian!”
Namun suara Ciumoti yang halus
dan enak didengar itu kembali berkumandang pula, "Kedua nona cilik A Cu
dan A Pik, Kongcu kalian telah pulang dan sedang mencari kalian, lekaslah
dayung kembali, lekas kembali!”
"Baiklah!” kata A Cu
tiba-tiba terus angkat pengayuh untuk membelokkan arah perahu.
Toan Ki menjadi khawatir.
Diam-diam ia pikir, "Jika benar Buyung-kongcu sudah pulang, tentu ia
sendiri akan panggil A Cu dan A Pik, kenapa mesti si Hwesio yang memanggilnya?
Jelas suaranya itu adalah semacam ilmu penggoda sukma orang yang sangat lihai.”
Cepat Toan Ki menyobek dua
potong ujung bajunya untuk menyumbat telinganya A Cu, lalu menyumbat pula
telinga A Pik.
Setelah tenangkan diri
sejenak, A Cu berseru kaget, "Wah, hampir saja kita terjebak!”
"Ya, Hwesio itu dapat
menggunakan Liap-hun-tay-hoat (ilmu sakti pencabut sukma, sebangsa hipnotis),
hampir kita masuk perangkapnya,” tukas A Pik.
Segera A Cu mendayung lagi
sekuatnya, katanya, "Toan-kongcu, lekas mendayung, cepat!”
Kedua orang terus mendayung
dengan gotong royong hingga dalam sekejap suara Ciumoti tidak terdengar pula.
Toan Ki lalu memberi tanda agar sumbat telinga kedua nona itu dibuka.
Sambil menepuk dada A Cu
berkata sembari menarik napas lega, "Selamatlah sekarang. Tapi lantas
bagaimana selanjutnya?”
"Enci A Cu,” kata A Pik,
"jika kita berlindung ke tempat Liok-toaya di Siau-thian-jun, bila nanti
si Hwesio juga menyusul ke sana, tentu ia akan bergebrak dengan Liok-toaya
dengan sengit.”
"Benar, dan bila terjadi
begitu, tentu runyam,” sahut A Cu. "Meski ilmu silat Liok-toaya cukup
tinggi, tapi tampaknya bukan tandingan si Hwesio yang aneh dan licin itu. Biar
begini saja, kita terus main kucingkucingan di danau yang luas ini, kita putar
kian kemari menghindari pengejarannya. Kalau lapar, kita bisa petik lengkak dan
ubi teratai untuk tangsel perut, meski harus bertahan sampai 10 hari atau
setengah bulan juga kita sanggup.”
"Baiklah, terserah kepada
keinginanmu,” ujar A Pik dengan tersenyum. "Cuma entah bagaimana dengan
pendapat Toan-kongcu?”
"Haha, justru itulah
melebihi harapanku,” sahut Toan Ki sambil bertepuk tangan kegirangan.
"Pemandangan danau ini indah permai, ditambah ada kawan dua nona cantik,
jangankan cuma setengah bulan, sekalipun selamanya juga aku setuju hidup
demikian, biarpun malaikat dewata juga tidak sebahagia ini!”
A Pik tersenyum geli oleh
banyolan pemuda itu, katanya pula, "Dari sini menuju ke arah tenggara
banyak sekali terdapat anak sungai dan teluk, kecuali nelayan setempat, jarang
yang hafal perjalanan di sekitar sini. Bila kita sudah dapat memasuki
‘Pek-kiok-oh’ (danau beratus muara) itu, betapa pun lihai si Hwesio takkan
dapat menemukan kita lagi.”
Dengan girang terus saja Toan
Ki mendayung lebih giat, tidak lama sampailah mereka di tengah danau yang
banyak terdapat muara sungai. Bila ketemu simpang jalan begitu, terkadang A Cu
dan A Pik perlu berunding lebih dulu barulah dapat menentukan arah mana yang
harus ditempuh.
Dengan begitu perahu mereka
telah meluncur hingga satu-dua jam lamanya. Tiba-tiba bidang Toan Ki mengendus
semacam bau harum bunga yang aneh, waktu tercium mula-mula kepalanya meraba
pening, tapi lantas terasa sangat enak dan segar pula.
"Kedua Cici, bunga apakah
yang harum itu? Kenapa aku tidak pernah mencium bau harum begini di negeri
Tayli kami?” tanya Toan Ki.
Tiba-tiba A Pik membisikinya,
"Jangan kau tanya, kita harus lekas meninggalkan tempat ini.”
Toan Ki heran oleh suara si
nona yang rada gugup dan khawatir itu. Dalam pada itu didengarnya A Cu juga
sedang berkata dengan lirih, "Akulah yang tersesat. Tadi kau bilang lebih
tepat membelok ke kiri, tapi aku berkeras menyatakan ke kanan, dan nyatanya aku
salah jalan. A Pik, jika kau yakin arahmu yang tepat, mengapa engkau menuruti
arahku?”
"Waktu itu aku sendiri
pun ragu, kupikir jangan-jangan arahmu yang benar,” sahut A Pik dengan gegetun.
Kiri semangat A Pik sudah
pulih kembali, ia ambil pengayuh dari tangan A Cu dan menggantikannya
mendayung.
Mendengar percakapan kedua
nona itu, Toan Ki menduga di balik bau harum bunga yang aneh itu tentu terdapat
sesuatu yang membahayakan. Sebenarnya ia ingin tanya, namun A Cu telah
menggoyang tangan untuk mencegahnya supaya jangan bersuara.
Dalam kegelapan Toan Ki tak
jelas melihat air muka kedua nona itu. Tapi dapat diduga keadaan pasti gawat
melebihi bahaya waktu terancam pengejaran Ciumoti tadi.
Tiba-tiba A Cu mendekatkan
mulutnya ke telinganya Toan Ki dan membisikinya, "Toan-kongcu, aku dan A
Pik akan bicara dengan suara keras, tapi engkau jangan ikut campur sepatah kata
pun, paling baik engkau berbaring saja di dalam perahu.”
Toan Ki bingung karena tidak
paham apa maksud nona itu. Namun ia mengangguk dan menurut, ia menyerahkan
pengayuh kepada A Cu dan merebahkan diri di geladak perahu. Ia lihat bintang
berkelip-kelip di tengah cakrawala, hati merasakan semacam keheranan yang tak
terkatakan.
"Adik A Pik,” demikian
terdengar A Cu sedang berkata, "jalan di sini susah dibeda-bedakan, kita
harus hati-
hati, jangan sampai kesasar.”
"Ya,” sahut A Pik,
"Hwesio yang mengejar kita itu tentu tidak bermaksud baik. Sebaliknya
kalau kita sampai tersesat jalan, orang akan menyalahkan kita sengaja datang ke
sini dan tentu akan banyak membawa kesukaran bagi Kongcu.”
Suara percakapan A Pik dan A
Cu itu dilakukan dengan keras seakan-akan sengaja diperdengarkan kepada
seseorang.
Tapi ketika Toan Ki melirik
jauh ke depan, yang terlihat cuma daun lengkak melulu yang menghijau terapung
rapat di permukaan air. Kecuali suara gesekan antara badan perahu dengan daun
tetumbuhan itu, keadaan sunyi senyap tiada sesuatu pun yang mencurigakan, bau
harum bunga yang bukan mawar bukan melati, semacam bau harum yang susah
dilukiskan dan sukar diterka.
Tiba-tiba A Pik bernyanyi
perlahan, suara nyanyiannya terasa mengandung rasa takut. Nyata ia menyanyi
hanya untuk menghilangkan perasaan takutnya.
"Apakah Hwesio itu
mengejar kemari?” demikian Toan Ki bertanya.
"Ssstt!” cepat A Cu
mendekap mulut pemuda itu agar jangan bersuara. Ia celingukan kian kemari,
setelah sekitarnya sunyi senyap barulah dia membisiki telinga Toan Ki,
"Jangan bersuara. Kita telah kesasar ke tempat yang berbahaya, tuan rumah
di sini jauh lebih lihai daripada Hwesio tadi!”
"Sungguh celaka tiga
belas,” demikian pikir Toan Ki, "belum terhindar dari bahaya yang satu,
bahaya yang lain mengancam pula.”
Tapi segera terpikir pula
olehnya, "Ah, kedua nona adik ini belum kenal betapa lihainya Ciumoti, di
dunia ini masakah ada jago lain yang lebih lihai daripada Hwesio itu? Apalagi
di sini adalah tempat bercokolnya orang she Buyung, mana dia boleh membiarkan
seorang tokoh lain hidup berdampingan dengan dirinya?”
Habis nyanyi A Pik tidak
bicara pula, ia menengadah, memandang bintang-bintang di langit. Ia sedang
berusaha membedakan arah berdasarkan kedudukan bintang yang bertaburan di
cakrawala itu sambil mendayung bersama A Cu.
Toan Ki memandang sekitarnya,
keadaan hening sepi, di tengah danau seluas itu melulu perahu mereka saja yang
menyiah air hingga menerbitkan suara gemeresik perlahan. Ia merasa heran
mengapa kedua gadis itu
begitu ketakutan menghadapi
suasana yang cuma sepi ini?
Setelah perahu meluncur lagi
agak jauh dan tiba pula di suatu muara sungai, A Cu dan A Pik bertukar pikiran
ke mana perahu mereka harus menuju.
Padahal dalam pandangan Toan
Ki, ia merasa jalanan air di sini sama saja tanpa sesuatu perbedaan, ia menjadi
heran berdasarkan tanda apa hingga kedua nona itu mengadakan perdebatan?
Sesudah mendayung lagi sekian
lamanya, Toan Ki mendengar napas kedua gadis itu tersengal-sengal. Segera ia
mengambil pengayuh dari tangan A Cu dan menggantikannya mendayung.
Tidak hina kemudian, tiba-tiba
A Pik berseru kaget, "Hai, kita ... kita kembali lagi ke tempat tadi.”
Benar juga, segera Toan Ki
mengendus bau harum bunga yang aneh tadi. Ia menjadi lemas dan kecewa,
tampaknya mereka cuma berputar-putar saja di tengah danau itu, percuma mereka
mendayung dengan susah payah selama setengah malam di situ.
Sementara itu sudah dekat
fajar, ufuk timur mulai remang-remang. Wajah A Pik tampak sedih. Tiba-tiba ia
membuang pengayuh ke atas perahu dan menangis terguguk sambil menutupi mukanya.
A Cu merangkul A Pik dan
menghiburnya, "Kita toh tidak sengaja datang kemari. Sebentar bila bertemu
dengan Ong-hujin, kita katakan saja terus terang, jangan khawatir.”
Walaupun menghibur kawannya,
sebenarnya perasaan sendiri juga kacau dan khawatir.
Pada saat itulah tiba-tiba di
angkasa terdengar suara burung mencicit, dari arah barat sana terbang datang
seekor burung putih mirip bangau. Burung itu terbang mengitari perahu beberapa
kali, kemudian terbang ke arah barat pula dengan perlahan.
A Cu mengangkat pengayuh
dengan menghela napas, katanya, "Sudah diketahui, terpaksa mesti ke sana,
marilah kita ke sana!”
Segera ia mendayung perahunya
mengikuti arah burung tadi.
"Kiranya burung itu
adalah penunjuk jalan yang diutus majikannya,” ujar Toan Ki dengan tertawa.
"Toan-kongcu,” kata A Pik
tiba-tiba, "engkau adalah orang luar dan tidak tahu peraturan di tempat
ini. Sebentar bila sampai di ‘Man-to-san-ceng’, tak peduli apa yang terjadi,
hendaklah engkau menurut perintah saja, biarpun dihina juga engkau jangan
membangkang.”
"Sebab apa?” tanya Toan
Ki. "Apakah tuan rumahnya sangat kasar dan sewenang-wenang? Kita hanya
sesat jalan, kalau perlu kita segera pergi dari sini, dosa apakah kalau cuma
kesasar saja?”
Tiba-tiba mata A Pik
memberambang, katanya, "Toan-kongcu, di dalam persoalan ini banyak hal-hal
yang sukar kujelaskan. Mereka berani berlaku kasar tentu mereka mempunyai
alasannya sendiri. Pendek kata, semua gara-gara Hwesio jahat itu hingga kita diuber-uber
dan kesasar kemari. Kalau tidak, masakah kita bisa masuk ke sini?”
Rupanya sifat A Cu lebih
periang, dengan tertawa ia berkata. "Orang baik tentu diberkahi dengan
rezeki besar. Kalau kita berdua datang kemari, tentu bakal celaka, tapi
Toan-kongcu adalah seorang agung, seorang yang membawa berkah, siapa tahu kita
akan ikut diberkahi dengan keselamatan.”
"Aku justru khawatir bagi
Toan-kongcu, soal kita berdua malah tak kupikirkan,” ujar A Pik.
"Ong-hujin telah menyatakan bila ada lagi orang laki-laki menginjak
Man-to-san-ceng, maka kedua kaki orang itu akan ditebasnya dan kedua matanya
akan dikorek. Enci A Cu, sifat Ong-hujin sudah kau kenal, sekali dia sudah
omong, pasti dilaksanakannya. Kini kita membawa Toan-kongcu ke sini, bukankah
kita yang membikin susah padanya ....”
Berkata sampai di sini, tak
tertahan lagi air matanya bercucuran.
"A Pik,” kata A Cu,
"siapa tahu mendadak timbul rasa welas asih orang, bisa jadi Toan-kongcu
pandai omong dan pintar berdebat hingga dapat mematahkan perasaan baja orang,
lalu kita bertiga dilepas pergi.”
"Sebenarnya tokoh macam
apakah Ong-hujin itu?” tanya Toan Ki.
A Pik memandang A Cu sekejap,
hendak menjawab tapi urung. Sebaliknya A Cu lantas memberi tanda beberapa kali
dengan tangannya, lalu celingukan, kemudian baru berkata, "Tentang diri
Ong-hujin? Wah, betapa tinggi ilmu silatnya boleh dikata sudah mencapai
tingkatan yang sukar diukur, di dunia persilatan sekarang tiada seorang pun
yang dapat menandinginya. Kongcu kami biasanya tidak mau tunduk kepada siapa
pun, hanya Ong-hujin saja yang
paling dikagumi olehnya.”
Meski begitu mulutnya berkata,
tapi mimik wajahnya mengunjuk tanda-tanda yang aneh, mulut merat-merot dan mata
terpicing sambil mengangkat bahu pula. Pendek kata tanda-tanda yang menyatakan
apa yang dikatakan itu sama sekali tidak dapat dipercaya melainkan buatan
belaka sekadar menyenangkan hati orang.
Keruan Toan Ki heran,
pikirnya, "Masakah bicara di tengah perahu yang sekelilingnya cuma air
belaka juga khawatir didengar orang? Apakah Ong-hujin itu begitu sakti sehingga
memiliki telinga yang mampu mendengar dari jauh?”
Ia lihat burung putih tadi
telah terbang kembali dan mengitar pula di atas perahu mereka seperti tidak
sabar menunggu lagi, setelah berputar lagi dua kali, kembali burung itu
mendahului terbang ke depan. Setelah perahu didayung lagi mengikuti arah burung
putih itu, kini jalanan air itu penuh dengan teluk dan muara sungai yang
berliku-liku.
Akhirnya perahu mereka tiba di
depan sebaris pagar bambu. Pagar bambu itu jarang-jarang anyamannya sebagaimana
umumnya dipakai kaum nelayan untuk mengurung ikan.
Sesudah dekat dengan pagar
bambu itu, tampaknya perahu mereka teralang dan tak dapat meluncur maju lagi.
Tak terduga begitu haluan
perahu membentur pagar bambu itu, seketika pagarnya ambruk ke bawah air hingga
perahu dapat meluncur terus.
Kiranya pagar bambu itu
dipasang dengan pesawat rahasia yang bisa dibukatutupkan.
Setelah melintasi beberapa
rintangan pagar bambu lagi, akhirnya tertampaklah di depan sana pohon Liu
melambai-lambai di tepi pantai, dari jauh kelihatan pula di tepi pantai penuh
tumbuh bunga kamelia yang kemerah-merahan bercerminkan air danau.
Melihat itu, tak tertahan lagi
Toan Ki berseru heran dengan perlahan.
"Ada apa?” tanya A Cu.
"Itu adalah San-teh-hoa
(bunga kamelia) di negeri Tayli kami, mengapa di tengah danau ini tumbuh juga
jenis bunga ini?” sahut Toan Ki sambil menunjuk pohon kembang itu.
"Oya? Tapi mungkin
San-teh-hoa di Tayli tidak dapat menandingi San-teh-hoa di tempat kami ini,”
kata A Cu. "Tempat ini bernama Man-to-san-ceng, bunga mantolo di sini
terhitung nomor satu di dunia, betapa pun bunga keluaran Tayli kalian juga
takkan mampu menandinginya.”
Kiranya nama lain dari
San-teh-hoa atau bunga kamelia adalah kembang mantolo, yaitu berasal dari kata
Mandala dalam bahasa Sanskerta. Dan kembang mantolo yang paling terkenal adalah
keluaran provinsi Hunlam, orang menyebutnya sebagai "Tin-teh” atau bunga
kamelia dari Hunlam.
Oleh karena itulah Toan Ki
tidak dapat menerima pendapat A Cu tadi, bahwa kamelia Tayli tak dapat
menandingi bunga yang tumbuh di Man-to-san-ceng atau perkampungan bunga mantolo
ini. Pikirnya, "Pemandangan alam di daerah Kanglam memang harus diakui
indah permai dan sukar ditandingi Tayli. Tapi bicara tentang bunga kamelia yang
merupakan bunga pusaka negeri kami kuyakin tiada tempat lain yang dapat
melebihinya.”
Sebenarnya ia bermaksud
menyanggah ucapan A Cu tadi, tapi dilihatnya gadis itu sedang memicingkan mata
dan memerotkan mulut pula sebagai tanda jangan banyak bicara, maka Toan Ki
urung buka suara. Ia pikir Man-to-san-ceng itu sudah di depan mata, lebih baik
jangan sembarangan bicara.
Dalam pada itu A Cu telah
mendayung perahunya menuju ke semak bunga kamelia itu. Sampai di tepi pantai,
Toan Ki melihat sepanjang mata memandang di situ hanya bunga kamelia belaka
yang berwarna merah dan putih, sebuah rumah pun tidak tertampak.
Ia dibesarkan di negeri Tayli
yang terkenal sebagai negeri kembang kamelia, maka ia tidak heran oleh bunga
San-teh yang berserakan itu. Bahkan ia merasa bunga kamelia sebanyak itu tiada
satu pun terdiri dari jenis yang berharga.
Setelah merapatkan perahunya
ke gili-gili, segera A Cu berseru dengan suara nyaring dan penuh hormat,
"Hamba A Cu dan A Pik dari keluarga Buyung dalam menghindari kejaran musuh
secara tidak sengaja telah tersesat ke sini, sungguh dosa kami pantas dihukum
mati, mohon kemurahan hati Ong-hujin sudilah mengingat ketidaksengajaan kami
dan memberi ampun, untuk mana hamba berdua akan sangat berterima kasih.”
Akan tetapi biar A Cu sudah
gembar-gembor sendiri, di balik semak-semak pohon sana tetap tiada suara
sahutan orang.
Nona itu berseru lagi,
"Dan orang yang datang bersama kami ini adalah Toan-kongcu yang tak kami
kenal sebelumnya, ia adalah tamu asing dan juga tidak kenal-mengenal dengan
Kongcu kami, tiada sangkut paut apaapa dengan kesasaran kami ini.”
Segera A Pik ikut berkata
juga, "Kedatangan orang she Toan ini ke tempat kami sebenarnya tidak punya
maksud baik melainkan hendak membikin onar pada Kongcu kami. Tak terduga secara
kebetulan ia ikut kesasar kemari.”
Toan Ki menjadi heran,
pikirnya, "Kenapa mereka menegaskan aku adalah musuh Buyung-kongcu, apa
barangkali tuan rumah di sini sangat benci kepada Buyung-kongcu, asal aku
mengaku sebagai musuh orang she Buyung itu lantas aku takkan dipersulit di
sini?”
Tidak beberapa lama, tiba-tiba
di tengah hutan kembang kamelia itu terdengar suara tindakan orang, kemudian
muncul seorang pelayan kecil berbaju hijau, tangan membawa segebung karangan
bunga, usianya lebih tua satu-dua tahun daripada A Cu dan A Pik. Sampai di tepi
pantai, dengan tertawa dayang itu berkata dengan tersenyum, "A Cu, A Pik,
kalian benar-benar bernyali besar sekali dan berani ngelayap ke sini. Karena
itu Hujin memerintahkan muka kalian masing-masing harus disilang dengan pisau
agar wajah kalian yang cantik ayu terusak!”
Namun A Cu jadi lega malah
demi tampak sikap dayang yang bicara itu. Sahutnya dengan tertawa, "Enci
Yu Cau, Hujin tidak berada di rumah bukan?”
"Hm, Hujin justru
mengatakan bahwa kalian berani membawa laki-laki asing ke sini, maka kedua kaki
orang itu harus segera dipotong,” demikian sahut si dayang yang dipanggil
dengan nama Yu Cau itu. Tapi belum selesai ia omong sudah lantas menutup mulut
dengan tangan dan tertawa cekikikan.
"Enci Yu Cau,” A Pik ikut
bicara sambil tepuk dada, "jangan engkau menakut-nakuti orang. Sebenarnya
sungguh-sungguh atau tidak ucapanmu itu?”
"A Pik,” ujar A Cu dengan
tertawa, "jangan gampang digertak olehnya. Kalau Hujin ada di rumah
masakah budak ini berani main gila seperti ini? Adik Yu Cau, katakanlah, ke
manakah Hujin pergi?”
"Huh, berapakah umurmu
sekarang, berani kau panggil aku sebagai adik?” sahut Yu Cau dengan tertawa.
"Kau memang siluman cilik cerdik, dengan tepat dapat kau terka Hujin tidak
berada di rumah.”
Ia merandek sejenak, tiba-tiba
ia menghela napas, lalu meneruskan, "A Cu dan A Pik, syukurlah kalian
dapat berkunjung kemari pula, sungguh aku ingin menahan kalian agar dapat
tinggal barang beberapa hari di sini, cuma ....”
"Ya, sudah tentu kami pun
suka tinggal sementara denganmu di sini,” sahut A Pik. "Enci Yu Cau,
sebaiknya engkau dapat datang ke tempat kami saja. Untuk mana kami siap
tiga-hari-tiga malam tidak tidur selalu menemanimu.”
Tengah bicara, tiba-tiba dari
semak-semak bunga sana terdengar suara keresekan, kemudian muncul pula seorang
dayang cilik dengan tertawa, dayang ini pun berseru girang, "Hai, A Cu dan
A Pik, nona kami mengundang kalian ke tempatnya sana.”
"He, kiranya adik Hong
Le,” sahut A Cu dengan tertawa. "Terima kasih atas kebaikan nona kalian.
Sampaikanlah bahwa Kongcu kami sedang bepergian, kedatangan kami ke sini
sungguh-sungguh karena sesat jalan. Harap dimaafkan.”
"Bagus,” kata Hong Le
setengah mengomel, "nona kami mengundang kalian, tapi kalian menolak.
Baiklah, dan kalian juga jangan mengharapkan Pek-ih-sucia (penunjuk jalan
berbaju putih, maksudnya burung putih tadi) akan membawa kalian keluar dari
sini.”
A Cu saling pandang sekejap
dengan A Pik, sikap mereka tampak serbasalah. Kemudian A Pik membuka suara,
"Enci Hong Le, engkau sendiri tentu tahu, mana kami berani menolak
undangan nonamu? Akan tetapi bila nanti kebetulan Hujin pulang, lantas ...
bagaimana ....”
"Hujin sedang pergi ke
tempat yang jauh, kemarin beliau berangkat, tidak mungkin pulang dengan cepat,”
sahut Hong Le atau si burung kenari kuning. "Ayolah ikut ke sana, masakan
kalian tidak tahu isi hati nona kami?”
"Baiklah, marilah A Pik,
terpaksa kita menempuh bahaya lagi,” ujar A Cu.
Kedua gadis itu lantas
melangkah ke gili-gili. Kata A Pik kepada Toan Ki, "Toan Ki, Toan-kongcu,
harap menunggu sebentar di sini, kami pergi menemui tuan rumahnya, segera kami
kembali.”
Toan Ki mengiakan dan
menyaksikan kepergian keempat gadis cilik yang lincah dan riang gembira itu.
Sesudah sekian lama duduk di
dalam perahu, Toan Ki menjadi iseng, pikirnya, "Biarlah aku mendarat untuk
melihat bunga mantolo yang ditanam di sini, ingin kulihat apakah ada
jenis-jenis yang bagus atau tidak?”
Terus saja ia melangkah ke
pantai dan menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Ia lihat di antara
tetumbuhan bunga selebat itu, kecuali bunga kamelia, sama sekali tiada jenis
bunga lain lagi. Akan tetapi bunga kamelia itu juga terdiri dari jenis-jenis
yang umum tiada sesuatu yang bernilai tinggi, satu-satunya keistimewaannya
adalah dalam hal jumlah. Memang jumlahnya sangat banyak.
Tengah Toan Ki memandang kian
kemari, tiba-tiba hidungnya mengendus bau harum pula. Harum bunga itu sebentar
keras sebentar halus hingga sukar diraba dari mana datangnya, bau harum itu
serupa bau harum aneh yang diciumnya selama di dalam perahu itu.
Diam-diam Toan Ki heran,
pikirnya, "Di sini tidak tampak ada jenis bunga lain lagi kecuali kamelia,
apakah mungkin di antara kamelia sebanyak ini terdapat sejenis yang dapat
mengeluarkan bau harum yang aneh ini?”
Tertarik oleh rasa ingin tahu,
terus saja Toan Ki mengusut lebih jauh mengikuti arah datangnya bau harum itu.
Setelah berpuluh meter jauhnya, ia lihat jenis-jenis kamelia yang mekar bertambah
banyak, terkadang juga ada satu-dua jenis yang bernilai lumayan.
Tidak lama pula, sedang Toan
Ki asyik memerhatikan bunga kamelia yang luar biasa jumlahnya itu, mendadak bau
harum yang aneh itu lenyap sama sekali.
Meski Toan Ki sudah menyusuri
ke sana dan ke sini bau harum itu tetap tak terendus lagi. Ia pikir,
"Sudahlah, aku harus lekas kembali ke sana, sebentar kalau A Cu dan A Pik
kembali dan melihat aku tiada berada di sana, tentu mereka akan khawatir.”
Segera ia putar tubuh hendak
kembali ke arah datangnya tadi. Akan tetapi celaka, ia mengeluh. Kiranya sudah
sekian jauh ia menyusur kian kemari di antara hutan bunga itu, ia lupa memberi
tanda pada jalan yang dilaluinya itu. Kini hendak balik ke tempat perahunya
berlabuh terang menjadi sulit.
Ia coba membedakan arah
menurut keyakinannya sendiri, pikirnya asal dapat mencapai tepi danau, urusan
tentu akan menjadi mudah.
Tak tersangka makin jauh ia
berjalan, makin tak keruan jurusan yang dipilihnya itu. Mendadak didengarnya
ada suara orang bicara di sisi kiri hutan bunga sana, segera dapat dikenali
itulah suara A Cu. Pikir Toan Ki dengan girang, "Biarlah kutunggu sebentar
di sini, bila mereka selesai bicara, tentu dapat aku ikut kembali ke tempat
tadi bersama mereka.”
Ia dengar A Cu sedang berkata,
"Kesehatan Kongcu sangat baik, nafsu makannya juga bertambah. Selama dua
bulan ini beliau tekun mempelajari ‘Pak-kau-pang-hoat’ (ilmu pentung penggebuk
anjing) dari Kay-pang, mungkin sedang menyiapkan diri untuk mengukur kepandaian
dengan tokoh Kay-pang.”
Toan Ki menjadi ragu mendengar
percakapan itu, pikirnya, "A Cu sedang membicarakan urusan Kongcu mereka,
tidaklah pantas kalau diam-diam aku mendengarkan di sini. Aku harus menyingkir
yang jauh. Tapi juga tidak boleh terlalu jauh, sebab sebentar bila mereka
selesai bicara dan berangkat, jangan-jangan aku malah tidak tahu.”
Dan pada saat itulah,
tiba-tiba Toan Ki mendengar suara seorang perempuan menghela napas dengan
perlahan. Begitu mendengar suara helaan napas itu, seketika tubuh Toan Ki
terguncang, hati berdebar dan muka berubah merah. Pikirnya, "Suara orang
menghela napas itu sungguh enak sekali didengar, mengapa di dunia ini terdapat
suara semerdu itu?”
Sementara itu didengarnya
suara yang halus dan merdu tadi sedang tanya pula, "Kepergiannya sekali
ini menuju ke manakah?”
Ketika mendengar suara helaan
napas tadi perasaan Toan Ki sudah terguncang, kini demi mendengar pula
ucapannya, darah seluruh tubuh terasa bergolak, tapi hati timbul semacam rasa
getir dan kecut, rasa kagum dan iri yang tak terkatakan. Pikirnya, "Yang
ditanyakannya terang adalah Buyung-kongcu. Ternyata sedemikian besar
perhatiannya kepada Buyung-kongcu hingga selalu dirindukan olehnya. Wahai,
Buyung-kongcu, betapa bahagianya hidupmu ini!”
Terdengar A Cu sedang
menyahut, "Waktu Kongcu hendak berangkat, beliau menyatakan hendak pergi
ke Lokyang untuk menjumpai jago-jago Kay-pang. Malahan Lu-toako dan
Pau-siansing juga ikut pergi, harap nona jangan khawatir.”
"Pada waktu Kongcu kalian
berlatih Pak-kau-pang-hoat, apakah ada sesuatu kesukaran atau rintangan?” tanya
suara wanita itu.
"Tidak,” sahut A Pik. "Kongcu
dapat memainkan Pak-kau-pang-hoat dengan sangat lancar dan cepat sekali ....”
"Hai, salah besar!”
tiba-tiba wanita itu berseru, "apa betul dia memainkannya dengan sangat
cepat?”
"Ya, kenapa dikatakan
salah malah?” tanya A Pik heran.
"Sudah tentu salah,” kata
perempuan itu. "Pak-kau-pang-hoat itu mengutamakan keuletan, makin lambat
makin baik, bila perlu dapat dipercepat dan segera diperlambat lagi. Tapi kalau
terus-menerus dimainkan dengan cepat, tentu sukar mengerahkan kelihaian ilmu
pentung itu. Ai, apakah ... apakah kalian dapat menyampaikan sedikit pesan
kepada Kongcu?”
"Tapi sekarang Kongcu
berada di mana, kami sama sekali tidak tahu, bukan mustahil saat ini beliau
sudah selesai pula bertemu dengan tokoh-tokoh Kay-pang,” demikian sahut A Cu.
"Nona, apakah terlalu cepat memainkan Pak-kau-pang-hoat benar-benar tidak
boleh?”
"Sudah tentu tidak boleh,
masakah perlu kujelaskan lagi!” sahut si nona. "Mengapa ... mengapa waktu
akan berangkat dia tidak ... tidak datang menemui atau dulu?”
Sembari berkata ia pun
mengentak kaki dengan rasa khawatir dan cemas.
Toan Ki menjadi heran,
pikirnya, "Biasanya nama Koh-soh Buyung sangat dihormati dan disegani,
tapi dari ucapan nona ini, agaknya ilmu silat Buyung-kongcu itu seakan-akan
memerlukan petunjuknya. Apa mungkin seorang nona muda belia seperti ini
mempunyai kepandaian setinggi langit?”
Ia dengar si nona sedang
berjalan mondar-mandir, suatu tanda betapa gelisah perasaannya waktu itu.
Tiba-tiba terdengar nona itu berkata lagi dengan perlahan, "Tempo hari
kuminta dia mempelajari ilmu gerak langkah itu, tapi dia justru tidak mau
belajar, coba kalau dia sudah paham ‘Leng-po-wi-poh’ itu ....”
Mendadak mendengar kalimat
"Leng-po-wi-poh” atau langkah indah si dewi cantik, seketika Toan Ki kaget
dan tanpa terasa berseru sekali, cepat ia dekap mulut sendiri, namun sudah
terlambat.
"Siapa itu?” segera
terdengar nona itu menegur.
Tahu tak bisa menyembunyikan
diri, terpaksa Toan Ki berdehem lebih dulu, lalu menjawab, "Cayhe bernama
Toan Ki, karena terpesona oleh keindahan bunga kamelia sekitar sini hingga
tanpa sengaja kesasar kemari, mohon diberi maaf.”
"A Cu, apakah dia itu
Siangkong yang datang bersama kalian itu?” tanya nona itu kepada A Cu dengan
perlahan.
"Benar Kohnio (nona),”
sahut A Cu cepat. "Orang ini adalah Sutaycu (pelajar tolol), jangan nona
mengurusnya.
Biarlah sekarang juga kami
mohon diri saja.”
"Nanti dulu,” kata si
nona, "tunggu kutulis sepucuk surat untuk menerangkan tanda-tanda rahasia
Pak-kaupang-hoat itu dan harap kalian segera berusaha untuk disampaikan kepada
Kongcu kalian.”
"Hal ini ... Hujin pernah
menyatakan ....” sahut A Cu dengan ragu.
"Menyatakan apa? Jadi
kalian cuma menurut kata-kata Hujin dan tidak mau menurut perintahku?” ucap
nona itu dengan nada marah.
Cepat A Cu menjawab,
"Mana kami berani membangkang perintah nona. Asal saja tidak diketahui
Hujin, sudah tentu kami akan menurut. Apalagi kalau ada faedahnya bagi Kongcu
kami.”
"Baiklah, mari kalian
ikut aku ke kamar,” kata nona itu.
Terpaksa A Cu mengiakan.
Dalam pada itu Toan Ki tambah
kesengsem sejak mendengar suara helaan napas yang penuh daya tarik itu. Kini
mendengar si nona akan pergi, ia pikir sekali si nona sudah pergi, mungkin
selamanya takkan dapat melihatnya lagi, hal itu bukankah akan dibuat penyesalan
selama hidup? Meski nanti akan dikatai orang karena kelakuannya yang sembrono,
paling-paling juga cuma didamprat saja, betapa pun aku harus melihat muka
aslinya.
Karena pikiran itu, segera
Toan Ki berseru sambil melangkah keluar, "Enci A Pik, harap tinggal di
sini untuk menemani aku, ya?”
Mendengar Toan Ki berjalan
keluar, nona itu berseru kejut dan cepat membalik ke sana. Waktu Toan Ki
menerobos keluar dari semak-semak, yang terlihat olehnya cuma seorang wanita
berbaju putih mulus dan berdiri mungkur, perawakannya ramping, rambut panjang
terurai sampai di punggung dan hanya diikat oleh seutas benang sutra warna
perak. Cukup melihat bayangan belakang si gadis saja Toan Ki yakin gadis itu
pasti sangat cantik laksana dewi kahyangan dan anggun. Segera ia memberi hormat
dari jauh sambil berkata, "Terimalah hormatku nona!”
"A Cu,” tiba-tiba gadis
itu mengentak kaki, "gara-garamu membawa semua orang ke sini. Aku tidak
ingin bertemu dengan laki-laki luar yang tiada sesuatu hubungan.”
Habis berkata, terus saja ia
berjalan cepat ke depan, hanya sekejap saja bayangan gadis itu sudah menghilang
di balik semak-semak bunga sana.
Dengan tersenyum A Pik menoleh
dan berkata kepada Toan Ki, "Toan-kongcu, tabiat nona ini sangat angkuh,
kini kebetulan malah, marilah kita pergi dari sini.”
"Ya, berkat pertolongan
Toan-kongcu yang melepaskan kami dari kesukaran,” A Cu ikut berkata dengan
tertawa. "Kalau Toan-kongcu tidak muncul, tentu Ong-kohnio akan suruh kami
antar surat segala dan jiwa kami ini menjadi berbahaya akibatnya.”
Semula sebenarnya Toan Ki
merasa khawatir akan diomeli A Cu dan A Pik karena secara sembrono telah berani
unjuk diri hingga membikin nona Ong kurang senang.
Tak tersangka kedua dayang
cilik itu malah memberi pujian padanya, keruan Toan Ki menjadi bingung malah.
Segera mereka bertiga kembali
ke perahu mereka. A Cu angkat pengayuh hendak mulai mendayung lagi. Tapi belum
sampai perahu meluncur, tiba-tiba A Pik berkata, "Enci A Cu, tanpa diberi
petunjuk jalan oleh Pek-ihsucia, betapa pun kita sukar keluar dari sini.
Terpaksa kita harus menunggu dulu surat Ong-kohnio. Kita cuma terdesak oleh
keadaan dan bukan sengaja datang ke sini, andaikan diketahui Ong-hujin juga tak
dapat menyalahkan kita.”
"Ya, semuanya gara-gara
si Hwesio busuk itu ....” demikian sahut A Cu dengan menyesal.
Belum selesai ucapannya,
tiba-tiba dari jauh terdengar suara suitan nyaring panjang bagai naga
meringkik.
Demi mendengar suara suitan
aneh itu, seketika wajah A Cu dan A Pik berubah pucat. Begitu pula Toan Ki
terkejut. Pikirnya, "He, suara suitan ini sudah kukenal dengan baik. Wah,
celaka, itulah dia muridku Lam-haygok-sin yang datang. Tetapi, ah, salah, bukan
dia, bukan dia!”
Sebagaimana diketahui, ketika
mula-mula Toan Ki bertemu dengan Lam-hay-gok-sin ia pernah dengar suara
ringkikan naga seperti tadi. Tapi kemudian waktu Lam-hay-gok-sin berada di
depannya, kembali suara suitan nyaring itu terdengar pula, karena itu,
Lam-hay-gok-sin lantas buru-buru menyusul ke arah datangnya suara itu. Maka
dapat dipastikan suara suitan itu bukan suara Lam-hay-gok-sin, tapi suara
seorang lain lagi.
Biasanya sifat A Cu sangat
lincah dan periang, kini demi mendengar suara suitan itu, seketika badan
gemetar ketakutan.
"Toan-kongcu,” kata A Pik
dengan bisik-bisik, "Ong-hujin telah pulang, terpaksa kita terserah pada
nasib masing-masing. Tapi sebaiknya engkau berlaku kasar kepada kami, lebih
kasar dan lebih kurang sopan kepada kami akan lebih baik bagimu.”
Akan tetapi Toan Ki tidak
mungkin disuruh berlaku kasar terhadap kedua dara cilik itu. Sejak dia
meninggalkan rumah, sudah banyak pengalaman dan bahaya yang dihadapinya. Ia
pikir bila aku ditakdirkan harus mati, biarlah kuterima nasib saja, masakah aku
diharuskan berbuat tidak sopan kepada dua nona cilik?
Karena itu, segera ia
menjawab, "Lebih baik mati secara sopan daripada hidup dengan kurang ajar.
Enci A Cu, engkau menyebut aku sebagai Sutaycu, dan memang begitulah sifat
ketolol-tololan seorang Sutaycu seperti diriku ini.”
A Cu hanya melototinya sambil
menghela napas gegetun.
Pada saat itulah dari jauh
tertampak sebuah perahu meluncur tiba secepat terbang, hanya sekejap saja sudah
mendekat.
Tampak jelas perahu itu sangat
besar dengan ujung berbentuk kepala naga dan mulutnya terpentang lebar dengan
rupa sangat menakutkan.
Sesudah kapal itu lebih dekat
lagi, mendadak Toan Ki menjerit kaget. Ia lihat di ujung tanduk kepala naga
kapal itu tergantung tiga buah kepala manusia yang darahnya masih
berketes-ketes, nyata kepala manusia itu baru saja dipenggal.
"Rupanya di tengah jalan Ong-hujin
memergoki musuh dan lantas dibunuhnya, makanya pulang lebih cepat daripada
rencananya. Ai, dasar nasib kita lagi jelek,” demikian ujar A Cu perlahan.
Sementara itu kapal berkepala
naga itu sudah merapat dengan gili-gili. A Cu dan A Pik bangkit berdiri dengan
kepala menunduk, sikapnya sangat menghormat.
Berulang-ulang A Pik memberi
tanda kepada Toan Ki dengan maksud menyuruh pemuda itu pun ikut berdiri.
Namun Toan Ki menggeleng
kepala, katanya dengan tertawa, "Biarlah tuan rumahnya muncul dulu, tentu
aku akan bangkit menghormatinya. Seorang laki-laki masakah mesti merendahkan
derajat sendiri?”
Tiba-tiba suara seorang wanita
berkata dari dalam kapal itu, "Lelaki dari manakah berani sembarangan
masuk ke Man-to-san-ceng ini? Apakah tidak pernah dengar bahwa setiap laki-laki
yang berani masuk ke sini pasti akan ditebas kedua kakinya?”
Suara wanita itu sangat
kereng, nyaring dan merdu, pula enak didengar.
Segera Toan Ki menjawab,
"Cayhe bernama Toan Ki, Cayhe tersesat kemari tanpa sengaja, harap suka
dimaafkan!”
Wanita itu cuma mendengus
sekali dan tidak menggubrisnya.
Sesudah kapal itu berlabuh,
dari dalam anjungan kapal muncul dua dayang muda berbaju hijau, yang seorang
lantas melompat menyambar ketiga kepala manusia yang tergantung di tanduk naga
itu, dengan enteng ia turun kembali ke geladak kapal sambil menjinjing ketiga
buah kepala manusia itu. Gerakannya cepat dan gayanya indah.
Melihat kedua dayang itu
menghunus pedang, diam-diam Toan Ki membatin, "Kaum hambanya saja begini
lihai, apalagi majikannya? Biarlah, toh kepalaku cuma sebuah saja, kalau mau
boleh mereka penggal sekalian.”
Dalam pada itu terdengar
wanita di dalam kapal itu berkata pula, "Hm, A Cu dan A Pik ini memang
kepala batu dan berani sembarangan datang kemari lagi, dasar majikanmu si bocah
Buyung Hok itu juga tidak pernah berbuat baik, selalu main gila dan berbuat
hal-hal yang jahat.”
"Lapor Hujin,” sahut A
Pik tiba-tiba, "hamba tidak sengaja datang kemari, tapi kesasar waktu
diuber musuh dan tanpa sengaja masuk ke sini lagi. Kongcu kami sedang
bepergian, maka tiada sangkut-pautnya dengan beliau.”
Karena urusan sudah kadung
begini, dara yang tampaknya lemah lembut itu menjadi berani mendebat dengan
tegas.
Kemudian dari dalam kapal itu
muncul berpasang-pasang gadis berbaju hijau yang lain, semuanya berdandan
dayang dan menghunus pedang. Seluruhnya yang keluar itu ada delapan pasang,
ditambah dengan kedua
dayang yang pertama tadi,
jumlah seluruhnya menjadi 18 orang.
Mereka berbaris menjadi dua
baris dengan sikap kereng, habis itu, barulah dari dalam kapal keluar seorang
wanita berpakaian istana.
Begitu melihat wajah wanita
itu, terus saja Toan Ki berseru kaget, seketika ia melongo dan merasa seperti
di dalam mimpi.
Kiranya wanita itu berpakaian
sutra putih mulus, dandanannya ternyata mirip benar dengan patung dewi yang
telah dilihatnya dalam gua di Tayli itu. Bedanya cuma wanita ini sudah setengah
umur, sebaliknya patung dewi itu adalah seorang gadis jelita berusia belasan
tahun.
Dalam kejutnya Toan Ki coba
mengamat-amati wanita cantik itu pula. Ia melihat wajahnya benar-benar seperti
patung dewi di dalam gua itu, kecuali perbedaan dalam umur, wajahnya juga sudah
mulai berkerut, tapi makin dipandang makin mirip seakan-akan saudara kembar
dengan patung cantik di dalam gua itu.
A Cu dan A Pik menjadi
khawatir melihat Toan Ki memandangi Ong-hujin itu dengan mata tanpa berkedip,
kelakuannya itu benar-benar sangat kurang ajar, tiada ubahnya seperti seorang
pemuda yang mata keranjang.
Berulang-ulang mereka memberi
isyarat agar Toan Ki jangan menatap begitu rupa kepada Ong-hujin itu tapi
sepasang mata Toan Ki itu seakan-akan sudah tak berkuasa dan terpaku pada wajah
Ong-hujin.
Segera Ong-hujin itu menjadi
gusar juga, katanya kepada kaum hambanya, "Orang ini sangat kurang ajar,
sebentar sesudah potong kedua kakinya, harus korek pula kedua matanya dan iris
lidahnya.”
Salah seorang dayangnya yang
berbadan lencir dan berkulit badan hitam manis lantas mengiakan.
Diam-diam Toan Ki gelisah
juga, pikirnya, "Kalau aku dibunuh, paling-paling juga mati akhirnya. Tapi
kalau kedua kakiku dipotong lebih dulu, mataku dikorek, dan lidahku diiris
hingga mati tidak hidup celaka, wah, rasa derita ini tentu sangat berat.”
Baru sekarang timbul rasa
takutnya. Ia coba berpaling memandang A Cu dan A Pik, ia lihat wajah kedua dara
itu pun pucat pasi seperti mayat dan berdiri terpaku bagai patung.
Setelah Ong-hujin mendarat,
menyusul dari dalam kapalnya berjalan keluar pula dua dayang berbaju hijau yang
lain, tangan mereka memegang seutas tali sutra dan menyeret keluar dua orang
laki-laki.
Toan Ki melihat salah seorang
laki-laki yang terikat tali dan diseret keluar itu bermuka putih bersih dan
cakap seperti putra keluarga hartawan. Seorang lagi segera dapat dikenalinya
sebagai Cin Goan-cun yang bergelar "Nau-kang-ong” atau si Raja Pengamuk
Sungai itu.
Waktu mengeroyok Bok Wan-jing
dahulu, lagak Cin Goan-cun luar biasa garangnya. Tapi kini kedua tangannya
terikat oleh tali sutra, kepala menunduk dengan lesu seperti orang sudah pasrah
nasib.
Toan Ki menjadi heran, orang
ini selamanya tinggal di Hunlam, mengapa sekarang kena ditangkap ke sini oleh
Ong-hujin.
Sementara itu terdengar
Ong-hujin sedang bertanya kepada Cin Goan-cun, "Sudah terang kau orang
Tayli, mengapa tidak mengaku?”
"Aku memang orang Hunlam,
tapi kampung halamanku tidak berada di bawah kekuasaan negeri Tayli,” sahut Cin
Goan-cun.
"Hm, berapa jauh jarak
tempat tinggalmu dengan Tayli?” tanya Ong-hujin pula.
"Lebih dari empat ratus
li jauhnya,” sahut Cin Goan-cun.
"Belum ada lima ratus li,
engkau termasuk pula orang Tayli,” kata Ong-hujin. "Harus dipendam
hidup-hidup di bawah bunga mantolo sebagai rabuk.”
"Aku salah apa?” teriak
Cin Goan-cun penasaran. "Silakan memberi penjelasan, kalau tidak mati pun
aku tidak rela.”
"Hm,” jengek Ong-hujin,
"aku tidak peduli kau salah apa! Asal orang Tayli atau orang she Toan,
sekali kebentur di tanganku, tentu ikan kupendam hidup-hidup. Meski kau bukan
orang Tayli, tapi orang tetangga Tayli, bukankah sama juga?”
Sungguh gemas Toan Ki tak
terkatakan, pikirnya, "Aha, kiranya akulah yang kau maksudkan, mengapa
mesti main sandiwara segala? Biarlah aku mengaku lebih dulu dan tidak perlu kau
tanya padaku.”
Karena itu, segera ia
berteriak keras-keras, "Ini dia orangnya, aku inilah orang Tayli tulen dan
she Toan pula. Kalau engkau mau kubur aku hidup-hidup, silakan kerjakan!”
"Dari tadi kau sudah
mengaku, katanya Toan Ki namamu,” demikian jengek Ong-hujin. "Hm, orang
she Toan dari Tayli tidak boleh mati secara begitu mudah.”
Habis berkata ia memberi tanda
dan si dayang tadi lantas menyeret pergi Cin Goan-cun yang tak berdaya itu,
entah karena Hiat-to tertutuk atau karena terluka dalam yang parah, yang terang
sama sekali Cin Goan-cun tidak dapat membangkang sedikit pun. Ia cuma dapat
berteriak-teriak saja, "Di dunia ini masakah ada peraturan begini? Orang
Tayli ada berjuta-juta jumlahnya, apakah engkau dapat membunuhnya hingga
habis?”
Akan tetapi ia lantas diseret
ke tengah hutan bunga itu, makin lama makin jauh dan semakin perlahan suaranya
hingga akhirnya tak terdengar lagi.
Kemudian Ong-hujin berpaling
ke arah tawanannya yang lain yang bermuka putih bersih itu, lalu tanyanya,
"Dan apa yang hendak kau katakan?”
Mendadak orang itu tekuk lutut
di hadapan si nyonya dan berulang-ulang memberi sembah, katanya, "Ayahku
adalah pembesar pemerintah pusat, beliau hanya mempunyai seorang putra seperti
diriku ini, maka mohon Hujin memberi ampun. Untuk mana, apa saja permintaan
Hujin pasti akan dipenuhi ayahku.”
"Hm, ayahmu adalah pembesar
negeri, apa kau sangka aku tidak tahu?” jengek Ong-hujin dengan dingin.
"Untuk mengampuni jiwamu tidaklah sukar, asal sesudah pulang segera
istrimu di rumah itu kau bunuh dan esoknya lantas menikah dengan nona Biau yang
berhubungan gelap denganmu di luar nikah itu, tapi harus dengan upacara resmi
dan lengkap memakai emas kawin. Nah, dapat tidak kau laksanakan syarat ini?”
Pemuda bangsawan itu
serbasusah, sahutnya dengan gemetar, "Su ... suruh aku membunuh
istri-kawin sendiri, wah, aku ... aku tidak tega. Menikah secara resmi dengan
nona Biau, orang tuaku tentu ... tentu melarang pula. Bukan aku ... aku ....”
"Seret pergi dan kubur
dia hidup-hidup,” bentak Ong-hujin segera. Dayang yang menuntun tali pengikat
pemuda itu mengiakan sekali, lalu menyeretnya pergi.
Dengan ketakutan cepat pemuda
itu berseru dengan gemetar, "Ba ... baiklah, aku terima syaratmu!”
"Nah, Siau Jui, giring
dia kembali ke kota Sohciu dan saksikan sendiri dia membunuh istrinya, kemudian
dia harus menikah dengan nona Biau, habis itu barulah kau boleh pulang,” pesan
Ong-hujin kepada dayang yang menuntun pemuda itu.
Siau Jui mengiakan lagi dan
menarik pemuda bangsawan itu melangkah ke dalam perahu yang tadi ditumpangi
Toan Ki itu.
"Harap Hujin menaruh
belas kasihan,” demikian pemuda bangsawan itu memohon pula. "Istriku kan
tiada sakit hati apa-apa denganmu dan engkau pun tidak kenal nona Biau, buat
apa engkau mesti membantunya dan memaksa aku membunuh istriku sendiri dan
menikah lagi padanya? Biasa ... biasanya aku pun tidak kenal engkau, apalagi
juga tidak pernah berbuat salah apa-apa kepadamu.”
"Aku tidak peduli kenal
atau tidak,” sahut Ong-hujin dengan gusar. "Jika kau sudah punya istri,
mengapa mesti menggoda anak gadis orang lagi? Dan sekali kau berani main gila
dengan gadis lain, kau harus kawin dengan dia, sekali hal ini kuketahui pasti
akan kuselesaikan seperti ini, apa lagi perbuatanmu ini bukanlah yang pertama
kalinya, apa yang perlu kau sesalkan? Siau Jui, coba katakan, perbuatan ke
berapakah kejahatannya ini?”
"Hamba telah menyelidiki
kota Busik, Kahia dan tempat lain, semuanya tujuh kali terjadi perbuatannya
yang tidak senonoh, belum lagi Siau Lan dan Siau Si yang mengusut ke kota
lain,” sahut dayang itu.
Mendengar memang begitu
ketetapan hukuman yang biasa dijalankan Ong-hujin, pemuda itu cuma dapat
mengeluh saja dan tidak berani membantah pula. Segera Siau Jui mendayung
perahunya dan membawanya pergi.
Jilid 19
Toan Ki melongo kesima
menyaksikan tindak-tanduk Ong-hujin yang aneh dan tidak masuk akal itu. Yang
terpikir dalam benaknya waktu itu hanya "masakah ada peraturan begitu”
atas keputusan si nyonya. Saking penasarannya tanpa terasa ia berseru, "Masakah
ada peraturan begitu?!”
"Hm, mengapa tidak ada?”
jengek Ong-hujin. "Di dunia ini terlalu banyak peraturan begini?”
Sungguh kecewa dan cemas Toan
Ki oleh tindakan Ong-hujin itu. Tempo hari, waktu ia lihat patung dewi cantik
dalam gua di tepi sungai wilayah Tayli itu, begitu kagum dan begitu
kesengsemnya kepada patung cantik itu.
Dan kini, wajah wanita yang
berada di hadapannya ini sungguh mirip benar dengan patung dewi itu, namun
tindak tanduknya ternyata lebih mirip setan iblis yang tak kenal ampun.
Untuk sejenak Toan Ki hanya
menunduk dengan termangu-mangu saja. Kemudian dilihatnya empat dayang Ong-hujin
itu masuk lagi ke dalam kapalnya untuk membawa keluar empat pot besar bunga
yang indah. Melihat itu, seketika semangat Toan Ki berbangkit.
Kiranya keempat pot bunga itu
semuanya adalah bunga kamelia dan terdiri dari jenis-jenis yang terpilih.
Dalam hal kembang kamelia, di
seluruh dunia ini tiada yang bisa melawan kamelia keluaran Tayli, lebih-lebih
yang tertanam di Tin-lam-onghu. Karena itu sejak kecil Toan Ki sudah biasa
dengan bunga kamelia di sekitarnya itu, pada waktu iseng ia pun sering
mendengarkan percakapan belasan tukang kebun membicarakan jenis-jenis bunga
kamelia, sebab itulah tanpa belajar ia pun sangat paham pengetahuan bunga itu.
Tadi ia sudah jauh menyusuri
kebun Man-to-san-ceng itu dan melihat tiada satu jenis bunga Mantolo yang
tumbuh di situ ada harganya untuk dinikmati. Maka kesannya kepada perkampungan
yang ternama "Man-tosan-ceng” ini rada kecewa, sebab dianggapnya nama
tidak sesuai dengan kenyataannya.
Terdengar Ong-hujin sedang
pesan kepada dayang-dayang yang membawakan pot bunga tadi, "Siau Teh,
keempat pot kamelia ‘Moa-gwe’ (bulan purnama) itu tidak mudah mendapatkannya,
maka kalian harus merawatnya baik-baik.”
Dayang yang dipanggil Siau Teh
itu mengiakan.
Toan Ki tertawa geli oleh
ucapan Ong-hujin yang dianggapnya masih hijau itu.
Namun Ong-hujin tidak gubris
padanya, kembali ia pesan si dayang, "Angin danau terlalu keras, bunga itu
pun sudah tersimpan beberapa hari di dalam kapal dan tidak pernah terjemur
sinar matahari, maka lekas kalian menaruhnya di tempat terbuka, dijemur
sebentar dan tambahi sedikit rabuk.”
Kembali Siau Teh mengiakan.
Mendengar itu, Toan Ki
bertambah geli hingga saking tak tahan ia terbahak-bahak, "Hahahaha!”
Karena heran oleh suara
tertawa si pemuda yang agak aneh itu, dengan mendongkol Ong-hujin menegur,
"Apa yang kau tertawakan?”
"Aku tertawa karena
engkau tidak paham tentang bunga kamelia, tapi justru senang tanam bunga ini,”
sahut Toan Ki. "Bunga sebagus itu jatuh dalam tanganmu, itu sama dengan
membakar sangkar untuk memasak burung kenari, sungguh runyam.”
Ong-hujin menjadi gusar,
dampratnya, "Hm, aku tidak paham kamelia, apakah kau yang pintar?”
Tapi segera terpikir olehnya
bukankah baru saja pemuda ini mengaku she Toan dan berasal dari Tayli, jika
begitu bukan mustahil pemuda ini memang paham bunga kamelia.
Walaupun begitu pikirnya,
namun di mulut ia tidak mau kalah, "Tempat ini bernama Man-to-san-ceng
(perkampungan bunga Mantolo atau kembang kamelia), di mana-mana tumbuh bunga
Mantolo dengan subur dan indah permai, bukan?”
"Ya, barang kasar sudah
tentu dapat ditanam secara kasar dan hidup kasar pula, " sahut Toan Ki
dengan tersenyum. "Tetapi bila keempat pot kamelia putih ini dapat kau
tanam hingga hidup subur, biarlah aku tidak she Toan lagi.”
"Wah, celaka!” demikian
pikir A Cu dari A Pik, bahaya sudah di depan mata, pemuda ini malah berani
mengolok-olok Ong-hujin tidak pandai tanam bunga, barangkali pemuda ini ingin
mati lebih cepat?
Kiranya sifat Ong-hujin itu
sangat suka kepada bunga kamelia, untuk mana ia tidak sayang membuang biaya
besar untuk mengumpulkan jenis-jenis yang baik. Akan tetapi bila jenis pilihan
itu sudah ditanam di Man-tosan-ceng, selalu bunga itu mati layu, paling lama
juga cuma tahan setengah atau satu tahun saja. Karena itulah Ong-hujin sangat
kesal oleh kegagalannya menanam bunga itu.
Kini demi mendengar ucapan
Toan Ki, bukannya dia marah sebaliknya menjadi girang malah. Segera ia
melangkah maju dan bertanya, "Menurut pendapatmu keempat pot kameliaku ini
terdapat kesalahan apa? Cara bagaimana untuk bisa menanamnya dengan baik?”
"Jika maksudmu hendak
minta petunjuk padaku, kan ada tata caranya orang minta petunjuk,” demikian
sahut Toan Ki. "Tapi kalau engkau ingin pakai kekerasan untuk memaksa aku
mengaku itulah jangan kau harap dan bila perlu boleh kau tebas dulu kedua
kakiku.”
Ong-hujin menjadi gusar,
serunya, "Untuk menebas kakimu apa susahnya? Siau Si, tebas kaki kirinya
dahulu.”
Pelayan yang dipanggil Siau Si
itu mengiakan dan segera melangkah maju dengan pedang terhunus.
"Jangan, Hujin!” cepat A
Pik mencegah. "Sifat orang ini sangat kepala batu. Bila engkau melukainya,
biarpun mati ia takkan bicara lagi.”
Memangnya maksud Ong-hujin
juga cuma menggertak saja. Maka ia lantas memberi tanda agar Siau Si urungkan
maksudnya.
"Haha, paling baik kalau
kau potong kedua kakiku untuk ditanam di samping keempat pot bunga, tentu akan
merupakan rabuk paling subur dan kelak kamelia putih itu pasti akan mekar
dengan indah. Wah, tentu akan sangat cantik dan baguuus sekali!” demikian Toan
Ki sengaja berolok-olok.
"Tidak perlu membual,”
sahut Ong-hujin dengan mendongkol. "Di mana letak kebaikan dari kejelekan
keempat jenis bunga kameliaku ini, coba katakan lebih dulu. Bila uraianmu
beralasan dan dapat kuterima, mungkin akan kuterima dirimu dengan hormat.”
"Ong-hujin,” segera Toan
Ki berkata, "engkau bilang keempat jenis kamelia ini bernama ‘Moa-gwe’,
sebenarnya engkau salah besar. Satu di antaranya justru bernama
‘Ang-ceng-soh-kwe’ (berdandan sederhana dengan pupur merah) dan satu jenis lagi
bernama ‘Coa-boa-bi-jin-bin’ (mencakar muka orang cantik).”
"Coa-boa-bi-jin-bin?
Kenapa begitu aneh namanya? Jenis yang manakah?” tanya Ong-hujin dengan heran.
"Haha, jika ingin minta
petunjuk padaku, engkau harus pakai aturan sebagaimana mestinya,” sahut Toan Ki
dengan tertawa.
Ong-hujin menjadi kewalahan.
Tapi demi mendengar di antara bunga yang dikumpulkannya itu satu di antaranya
terdapat nama yang aneh menarik, ia menjadi sangat girang. Dengan tersenyum
katanya pula, "Baiklah! Nah, Siau Si, perintahkan kepada koki, suruh menyiapkan
perjamuan di ‘Hun-kin-lau’ untuk menghormati Toan-siansing ini.”
Siau Si mengiakan terus
bertindak pergi.
Untuk sejenak A Cu dan A Pik
hanya saling pandang dengan melongo. Sungguh mimpi pun tak terpikirkan bahwa
Toan Ki bisa lolos dari kematian, bahkan Ong-hujin malah akan menjamunya
sebagai tamu terhormat.
Dalam pada itu Ong-hujin telah
memberi perintah pula kepada pelayan yang menjinjing ketiga buah kepala manusia
itu agar ditanam di tepi kamelia merah di depan rumah "Ang-he-lau”. Segera
pelayan itu mengiakan dan pergi.
Habis itu barulah Ong-hujin
berkata kepada Toan Ki, "Marilah silakan ke kediamanku, Toan-kongcu!”
"Untuk itu tentu akan
mengganggu ketenteraman Hujin, harap dimaafkan,” sahut Toan Ki.
"Atas kunjungan
Toan-kongcu yang serbapandai, sungguh suatu kehormatan bagi Man-to-san-ceng
kami,” kata Ong-hujin pula.
Begitulah di antara nyonya
rumah dan tamunya saling mengucapkan kata-kata merendah sambil berjalan ke
sana.
Suasananya sama sekali sudah
berubah, kalau tadi A Cu dan A Pik kebat-kebit mengkhawatirkan keselamatan Toan
Ki, adalah sekarang mereka menjadi lega dan ikut dari belakang. Tapi mereka
kenal watak Ong-hujin yang susah diraba, sekarang sikapnya ramah tamah,
sebentar lagi bisa berubah menjadi gusar dan kasar. Maka mereka tetap
berkhawatir bagi Toan Ki entah bagaimana jadinya nanti.
Sesudah menyusuri tanaman
bunga yang lebat, akhirnya Ong-hujin membawa Toan Ki sampai di depan sebuah
gedung bertingkat yang kecil mungil. Pada papan di bawah emper rumah itu Toan
Ki melihat tertulis tiga huruf "Hun-kin-lau”. Di sekitar rumah itu pun
penuh tertanam bunga kamelia. Tapi bunga sebanyak itu kalau dibandingkan
kamelia yang terpelihara di Tayli boleh dikatakan tidak berarti, paling-saling
juga cuma kelas tiga atau empat saja. Dibandingkan gedung indah itu sungguh
tidak serasi.
Sebaliknya Ong-hujin merasa
sangat bangga, katanya, "Toan-kongcu, kamelia di negerimu Tayli sangat
banyak, tapi kalau dibandingkan dengan tanamanku ini mungkin masih jauh
ketinggalan.”
Toan Ki mengangguk, sahutnya,
"Kamelia seperti ini memang tiada seorang pun yang mau tanam di Tayli
kami.”
"O, ya?” Ong-hujin
semakin bangga dan berseri-seri.
"Ya,” Toan Ki menegas.
"Seorang petani yang paling bodoh sekalipun di Tayli kami juga tahu bila
menanam bibit bunga yang jelek seperti ini akan merosotkan harga diri.”
"Apa katamu?” seru
Ong-hujin cepat dengan muka berubah. "Jadi kau maksudkan Teh-hoa yang
kutanam ini semuanya bernilai rendah? Ah, engkau ini ke ... keterlaluan.”
"Jika engkau tidak
percaya, terserahlah!” sahut Toan Ki. Ia tuding setangkai Teh-hoa atau kamelia
pancawarna di depan rumah itu dan berkata pula, "Ini, seperti jenis ini
tentu kau pandang sangat berharga bukan? Ya, pagar kemala yang mengelilingi
bunga itulah yang benar-benar barang berharga dan sangat indah.”
Ia hanya mengagumi kebagusan
pagar kemala yang mengelilingi bunga dan tidak memuji bunganya, hal ini sama
seperti memuji keindahan baju seorang wanita, tapi tidak memuji akan kecantikan
orangnya.
Keruan Ong-hujin rada
mendongkol, padahal kamelia pancawarna itu justru dipandangnya sebagai jenis
yang jarang terdapat masakah sekarang dicela oleh pemuda itu.
Tapi Toan Ki lantas berkata
pula, "Numpang tanya Hujin, bunga ini di daerah Kanglam sini disebut
dengan nama apa?”
"Kami tidak tahu apa
namanya yang asli, maka kami menyebutnya Ngo-sik-teh-hoa (kamelia pancawarna),”
sahut Ong-hujin.
"Tapi di Tayli kami
terkenal dengan nama yang hebat, yaitu ‘Loh-te-siucay’ (sastrawan yang masuk
kotak),” kata Toan Ki.
"Huh, begitu jelek
namanya, tentu sengaja kau bikin-bikin sendiri,” ujar Ong-hujin. "Bunga
itu indah dan megah, masa mirip seorang Loh-te-siucay?”
"Silakan Hujin coba
hitung, warna bunga itu seluruhnya ada berapa?” tanya Toan Ki.
"Sudah lama kuhitung,
paling sedikit juga ada belasan warna,” sahut Ong-hujin.
"Tepatnya ada 17 warna,”
tukas Toan Ki. "Di Tayli kami ada sejenis yang disebut ‘Cap-pek-haksu’
(delapan belas sarjana). Itulah jenis yang tiada bandingannya di dunia ini.
Satu pohon dapat mekar 18 tangkai bunga dan setiap tangkai warnanya berbeda,
kalau merah ya merah mulus, bila ungu ya ungu seluruhnya, sama sekali tidak
bercampur warna lain. Bahkan ke-18 tangkai bunga itu bentuknya berbeda-beda
pula dan masing-masing mempunyai keindahan sendiri-sendiri, pada waktu mekar
serentak mekar, kalau layu, seluruhnya layu. Apakah Hujin pernah melihat jenis
bunga begitu.”
Dengan terkesima Ong-hujin
mendengarkan cerita Toan Ki itu, sungguh ia sangat tertarik. Maka sahutnya
dengan menggeleng kepala, "Apa betul di dunia ini ada Teh-hoa sebagus itu?
Dengar saja baru sekarang, apalagi melihatnya!”
"Jenis lain yang
kualitasnya di bawah Cap-pek-haksu itu juga masih ada seperti
‘Pat-sian-kue-hay’ (delapan dewa menyeberang laut), jenis ini adalah delapan
tangkai bunga dengan warna yang berlainan tumbuh pada satu pohon. ‘Cit-sian-li’
(tujuh bidadari) jumlahnya tujuh tangkai, ‘Hong-tim-sam-hiap’ (tiga pendekar
pengembara) ada tiga tangkai, dan ‘Ji Kiau’ (dua wanita ayu zaman Sam Kok)
terdiri dari dua tangkai berwarna merah dan putih. Warna kamelia itu harus
mulus dan murni, bila umpama di antara warna merah terdapat warna putih, maka
itu adalah jenis yang berkualitas rendah.”
Ong-hujin mengangguk dengan
kesengsem, sungguh selama hidupnya belum pernah didengarnya bahwa di antara
bunga kamelia terdapat jenis sebanyak dan sebagus ini.
Maka Toan Ki meneruskan,
"Umpama kita bicara tentang ‘Hong-tim-sam-hiap’, jenis ini lebih istimewa
lagi, ada yang ciamik (tulen) dan ada yang kemik (gadungan). Kalau barang
ciamik, di antara ketiga tangkai itu yang paling besar harus warna ungu, kemudian
warna putih dan yang paling kecil warna merah. Bila umpama bunga merah lebih
besar daripada bunga ungu dan bunga putih, maka itu adalah jenis yang rendah,
nilainya
menjadi jauh berkurang.”
Ong-hujin benar-benar
terpesona oleh cerita Toan Ki itu, katanya dengan gegetun, "Jenis yang
rendahan saja aku tidak pernah melihat, apalagi jenis yang ciamik.”
Sampai di sini, Ong-hujin
sudah percaya benar-benar dan kagum kepada kepandaian Toan Ki yang paham
tentang Teh-hoa atau bunga kamelia itu. Terus saja ia mengajak pemuda itu ke
atas loteng, dan tidak lama perjamuan pun dimulai dengan macam-macam masakan
yang enak dan mahal. Sedang A Cu dan A Pik ada kawan pelayan yang mengawani
makan-minum di ruangan lain.
Sekarang Ong-hujin sudah
sangat menghormat kepada Toan Ki, ia duduk mengiringi makan-minum di depan
pemuda itu. Sesudah tiga cawan arak dihabiskan, lalu Ong-hujin menanya pula,
"Tadi aku telah mendengarkan uraian Kongcu yang panjang lebar tentang
jenis-jenis Teh-hoa, aku menjadi seperti orang bodoh yang mendadak menjadi
pintar. Tapi dari tukang bunga di kota Sohciu yang kubeli keempat pot kamelia
itu, katanya bunga-bunga itu bernama ‘Moa-gwe’, sebaliknya Kongcu mengatakan
satu di antaranya bernama ‘Ang-cengsoh-kwe’ dan yang lain bernama
‘Coa-boa-bi-jin-bin’, entah cara bagaimana membeda-bedakan jenis bunga itu,
dapatlah Kongcu memberi penjelasan?”
"Mudah sekali
membedakannya,” sahut Toan Ki. "Di atas daun bunga putih yang terdapat
bintik-bintik merah, itulah yang bernama ‘Ang-ceng-soh-kwe’ dan daun bunga putih
di atasnya terdapat garis-garis merah yang kecil, itu yang bernama
‘Coa-boa-bi-jin-bin’. Sebaliknya kalau garis-garis merahnya terlalu banyak dan
kasar, namanya menjadi ‘Bi-jin-coa-boa-bin’ (muka si cantik babak-bonyok).
Sebabnya, coba pikirkan, seorang wanita cantik seharusnya lemah lembut dan
sopan santun, jika kebetulan mukanya tercakar luka sedikit, itulah tiada
menjadi soal. Tetapi kalau mukanya selalu bonyok main cakar-cakaran dengan
orang, terang wanita cantik itu suka berkelahi, lantas kecantikan apa yang
dapat dikagumi?”
Sebenarnya Ong-hujin
mendengarkan uraian itu dengan penuh perhatian, tapi mendadak ia lantas menarik
muka dan membentak, "Kurang ajar! Kau berani menyindir aku?”
Toan Ki terkejut, sahutnya
gugup, "Mana Cayhe berani, entah di manakah Cayhe menyinggung perasaan
Hujin?”
"Sebenarnya kau disuruh
siapa ke sini untuk sengaja omong yang tak keruan untuk menghina diriku?”
damprat Ong-hujin. "Siapa bilang wanita akan tidak cantik bila belajar
ilmu silat? Kalau lemah lembut apanya yang baik?”
Toan Ki tertegun sejenak,
sahutnya kemudian, "Tapi apa yang kukatakan tadi cuma berdasarkan kejadian
umum, di antara wanita yang mahir ilmu silat memang juga banyak yang cantik dan
sopan santun.”
Tak terduga ucapan ini bagi
pendengaran Ong-hujin tetap menyinggung perasaannya, tanyanya segera dengan
gusar, "Jadi kau maksudkan aku tidak sopan-santun ya?”
"Sopan atau tidak Hujin
sendiri tentu lebih tahu, mana kuberani sembarangan menarik kesimpulan,” sahut
Toan Ki tegas, akhirnya ia menjadi marah juga hingga tidak sungkan-sungkan
lagi. "Tapi seperti memaksa orang membunuh istri untuk menikah lagi,
tindakan demikian betapa pun tidak mungkin dilakukan oleh orang yang beradab.”
Ong-hujin tidak berkata lagi,
ia tepuk tangan perlahan, segera tiga pelayan berlari ke atas loteng dan
berdiri di situ menunggu perintah.
"Gusur orang ini ke
bawah, suruh dia pikul air dan menyiram bunga,” pesan Ong-hujin.
Ketiga pelayan itu serentak
mengiakan.
"Toan Ki,” kata Ong-hujin
pula. "Kau she Toan dan orang berasal dari Tayli pula, seharusnya sejak
tadi mesti kubunuh. Tetapi bila kau benar-benar paham sifat kehidupan Teh-hoa,
biarlah sementara ini jiwamu kuampuni dan hanya kuhukum kerja paksa menanam dan
merawat Teh-hoa yang tumbuh di kebunku ini, lebih-lebih terhadap keempat
kamelia putih yang baru kubeli ini, harus kau rawatnya dengan baik-baik. Ingin
kukatakan padamu, bila satu di antara keempat pot kamelia putih itu mati,
sebagai hukumannya sebelah tanganmu akan kutebas, kalau mati dua kamelia, dua
tanganmu ditebas semua, empat mati seluruhnya, empat anggota badanmu juga putus
semua.”
"Dan kalau keempat pohon
bunga itu hidup semua?” tanya Toan Ki dengan tertawa.
"Kalau keempat pohon itu
hidup semua, kau harus menanam dan merawat bunga yang lain, terutama jenis
pilihan seperti Cap-pek-haksu, Pat-sian-kue-hay, Cit-nian-li, Ji Kau dan
lain-lain, setiap jenisnya harus kau tanamkan beberapa pohon. Kalau tidak dapat
kau laksanakan, kedua matamu akan kukorek.”
"Lebih baik sekarang juga
kau bunuh aku saja,” sahut Toan Ki. "Aku tidak sudi terima hukuman sehari
dipotong tangannya, lain hari ditebas kakinya, bahkan kedua mata akan dikorek
pula!”
"Dasar kau sudah bosan
hidup ya? Di hadapanku berani sembarang mengoceh?” damprat Ong-hujin.
"Gusur pergi!”
Ketiga pelayan tadi mengiakan
terus melangkah maju, yang dua memegangi lengan Toan Ki dan yang lain
mendorongnya dari belakang serta diseret ke bawah loteng. Ketiga pelayan itu
mahir ilmu silat, Toan Ki menjadi tak bisa berkutik, ia cuma dapat mengeluh
saja di dalam hati.
Sesudah menyeret Toan Ki ke
suatu tempat di dalam taman, segera salah seorang pelayan itu mengambilkan
cangkul dan pelayan lain menyodorkan sebuah ember kepadanya sambil berkata,
"Turutlah perintah Hujin dan tanamlah bunga dengan baik-baik, dengan
demikian jiwamu mungkin masih ada harapan buat hidup terus. Engkau tergolong
orang yang beruntung juga, padahal tiada seorang laki-laki yang dapat hidup
keluar dari sini bila menginjak tanah Man-to-san-ceng ini.”
"Selain menanam dan
merawat tanaman, jangan sekali-kali engkau berkeliaran di dalam taman ini,”
kata pelayan yang lain. "Bila engkau berani sembarangan mendatangi tempat
terlarang, itu berarti engkau mencari mampus sendiri dan tiada seorang pun yang
dapat menolongmu.”
Begitulah pelayan-pelayan itu
memberi pesan dengan wanti-wanti kepada Toan Ki, habis itu barulah mereka
tinggal pergi. Untuk sejenak Toan Ki hanya berdiri menjublek di situ dengan
serbarunyam.
Di negeri Tayli kedudukan Toan
Ki hanya di bawah paman-baginda Po-ting-te dan ayahnya, Tin-lam-ong. Kelak
kalau sang ayah menggantikan sang paman dan naik takhta, itu berarti dengan
sendirinya ia menjadi putra mahkota. Siapa tahu sampai di daerah Kanglam ia
mesti mengalami nasib begini jelek, mula-mula ia hendak dibunuh orang, anggota
badannya akan dipotong dan matanya akan dikorek, bahkan sekarang dipaksa untuk
menjadi tukang kebun.
Syukurlah watak pembawaan Toan
Ki memang ramah tamah terhadap kaum bawakan, sering pula ia bergaul dengan
tukang kebun dan ikut menanam bunga dan mencangkul segala. Kecuali itu sifatnya
juga periang dan dapat berpikir panjang, tidak peduli mengalami kegagalan apa
pun, paling-paling ia cuma lesu setengah hari saja untuk kemudian lantas
gembira pula.
Kini ia pun coba menghibur
diri sendiri, "Ketika di dalam gua tempo hari aku sudah menyembah beratus
kali kepada patung dewi itu sebagai guru. Sekarang Ong-hujin ini wajahnya
serupa dengan Enci Dewi itu, hanya usianya lebih lanjut sedikit, biarlah aku
tetap menganggapnya sebagai Suhuku. Dan kalau Suhu ada perintah, sudah
sepantasnya anak murid mesti melaksanakannya. Apalagi tanam bunga memang juga
pekerjaan iseng kaum pelajar, jauh lebih baik daripada mesti main silat dan
beradu senjata. Lebih-lebih kalau dibandingkan daripada ditawan Ciumoti dan
akan dibakar hidup-hidup di depan kuburan Buyung-siansing, kan lebih enak
menjadi tukang kebun bunga. Cuma sayang jenis bunga yang terdapat di sini
jenisnya terlalu jelek hingga rasanya tidak sesuai kalau mesti dirawat oleh
seorang putra pangeran kerajaan Tayli.”
Begitulah, dengan
bernyanyi-nyanyi kecil sambil memanggul pacul dan menjinjing ember, kemudian
Toan Ki berjalan ke depan sembari berpikir, "Ong-hujin suruh aku menanam
keempat pot kamelia yang baru dibelinya
itu. Ehm, betapa pun keempat
jenis ini terhitung lumayan juga, aku harus mencari suatu tempat yang baik
untuk menanamnya agar bunga dan tempatnya cocok satu sama lain.”
Sambil berjalan ia terus
mengawasi sekitarnya. Mendadak ia terbahak-bahak geli melihat pemandangan di
situ, pikirnya, "Dalam hal menanam Teh-hoa sebenarnya Ong-hujin sama
sekali tidak paham, tapi ia justru sangat suka menanam Teh-hoa di sini dan
menyebut kediamannya ini sebagai Man-to-san-ceng apa segala. Nyata ia tidak
tahu bahwa Teh-hoa suka tempat yang lembap dan takut cahaya matahari. Kalau
ditanam di tempat terbuka, meski tidak mati oleh sinar matahari, tentu juga
sulit mekar bunganya, ditambah lagi diberi rabuk sebanyak-banyaknya, biarpun
bunga dari jenis paling bagus juga akan mati. Sayang, sungguh sayang!”
Segera ia pilih tempat yang
rindang dan menuju ke sana. Sesudah melintasi sebuah gunung-gunungan kecil, ia
dengar gemerciknya air sungai kecil. Di sisi kiri penuh pohon bambu yang
rindang, sekitarnya sunyi senyap.
Tempat itu lembap dan tidak
tercapai oleh sinar matahari, maka Ong-hujin menyangka tidak cocok untuk
ditanami Teh-hoa. Namun kini Toan Ki menjadi girang, katanya sendiri, "Inilah
dia tempat yang cocok sekali!”
Cepat ia berlari kembali ke
tempat tadi dan mengusung keempat pot bunga menjadi dua kali ke bawah pohon
bambu yang rindang itu. Ia hancurkan pot bunga itu, lalu pohon bunga bersama
tanah yang masih melengket di akar pohon ditanamnya ke liang yang telah
digalinya.
Meski Toan Ki tidak pernah
bekerja menanam bunga, tapi pada waktu kecilnya sering menyaksikan pekerjaan
tukang kebun, muka sekarang ia pun menirukan caranya hingga cukup memenuhi
syarat sebagai tukang kebun. Tiada setengah jam lamanya, keempat pot kamelia
putih itu sudah selesai ditanamnya.
Lalu ia berdiri menjauh dan
menikmatinya dari kanan dan kiri, dari sudut sana dan sudut sini. Sesudah
merasa puas barulah ia tepuk-tepuk tangan yang kotor dan pergi mencuci tangan
ke tepi sungai.
Selesai cuci tangan, ia
kembali ke depan bunga yang ditanamnya itu untuk menikmati pula hasil karyanya
itu.
Tengah Toan Ki merasa senang
menyaksikan buah tangannya yang berhasil itu. Tiba-tiba terdengar suara
tindakan orang, ada dua wanita sedang berjalan mendatangi. Terdengar satu di
antaranya lagi berkata, "Di sini keadaan sangat sunyi, tak mungkin
didatangi orang lain lagi ....”
Mendengar suara itu, seketika
hati Toan Ki berdebar-debar. Kiranya itulah suara si nona berbaju putih yang
cuma dilihat bayangan belakangnya siang tadi.
Segera Toan Ki menahan napas,
sedikit pun tidak berani bersuara. Pikirnya, "Dia telah menyatakan tidak
mau menemui laki-laki yang tiada sangkut paut dengan dia, dan aku Toan Ki
dengan sendirinya adalah laki-laki yang tiada sangkut paut apa-apa dengan dia.
Tapi aku ingin mendengar beberapa patah katanya, asal dapat kudengar suaranya
yang merdu bagai musik malaikat dewata itu, rasaku sudah seperti mendapat
rezeki besar. Maka jangan sekali-kali aku dilihat olehnya.”
Dalam pada itu terdengar nona
itu sedang berkata pula, "Siau Si, kabar apa yang kau dengar tantang dia?”
Kecut rasa hati Toan Ki. Ia
tahu si "dia” yang dimaksudkan nona itu tentulah Buyung-kongcu yang nama
lengkapnya menurut Ong-hujin adalah Buyung Hok. Suara si gadis tadi penuh nada
rindu dan penuh perhatian. Diam-diam Toan Ki berpikir, "Bila nona ini
sedemikian menaruh perhatian dan rindu padaku, biarpun aku Toan Ki harus mati
seketika juga rela rasanya.”
Pikiran Toan Ki itu memang
sungguh-sungguh, sedikit pun tidak bergurau. Padahal selama ini wajah si nona
baju putih itu belum dilihatnya, entah cantik entak jelek, namanya juga tidak
diketahui, tentang tabiatnya bajik atau jahat, sifatnya halus atau kasar, sama
sekali ia tidak tahu. Namun sejak mendengar beberapa patah tata ucapan si nona
baju putih di tepi danau, aneh juga ia menjadi jatuh cinta padanya dan merasa
mati pun rela untuknya.
Sebab apa bisa begitu dan
mengapa timbul perasaan demikian, ia sendiri pun tidak dapat memberi
penjelasan. Dan oleh karena itulah, ketika didengarnya sedemikian perhatian si
nona kepada Buyung-kongcu, tak tertahan lagi timbul rasa cemburu dan
penyesalannya.
Sementara itu terdengar Siau
Si lagi tergegap-gegap seperti tidak berani menjawab terus terang. Maka si nona
baju putih berkata pula, "Ayolah, katakanlah padaku! Pasti takkan
kulupakan kebaikanmu.”
"Hamba takut ... takut
didamprat Hujin,” sahut Siau Si akhirnya.
"Budak tolol,” omel si
nona, "asalkan tidak kukatakan kepada Hujin bahwa kau yang memberitahukan
padaku, kan beres? Bila kau tidak mau bicara, sebentar akan kutanya Siau Teh
dan kelak kalau ditanya Hujin, tentu akan kubilang kaulah yang memberitahukan
padaku.”
"Siocia, jangan bikin
susah padaku,” seru Siau Si gugup.
"Habis bagaimana?” ujar
si nona. "Siapa yang menjadi orang kepercayaanku, tentu akan kubela, dan
siapa yang tidak menurut keinginanku apa salahnya kubikin susah dia?”
Siau Si berpikir sejenak, lalu
berkata, "Baiklah, akan kuceritakan padamu, tapi jangan sekali-kali Siocia
mengatakan aku yang membocorkan rahasia ini.”
"Sudahlah, Siau Si,
jangan bertele-tele, lekas katakan, tanggung takkan terjadi apa-apa atas
dirimu,” ujar si nona baju putih.
Siau Si menghela napas dulu,
kemudian katanya, "Kabarnya Piausiauya pergi ke Siau-lim-si.”
"Siau-lim-si? Kenapa A Cu
dan A Pik bilang dia pergi ke Lokyang tempat Kay-pang?” si nona menegas.
Diam-diam Toan Ki heran
mengapa Buyung-kongcu disebut "Piausiauya” atau tuan muda misan. Pikirnya,
"Jadi Buyung-kongcu itu Piauko (kakak misan) si nona. Dengan sendirinya
mereka adalah kawan main sejak kecil, pantas maka ... maka ....”
Dalam pada itu terdengar Siau
Si sedang berkata pula, "Kepergian Hujin kali ini, di tengah perjalanan
telah bertemu dengan Hong-siya dari Yan-cu-oh yang katanya sedang menuju ke
Siau-lim-si untuk memberi bantuan kepada Piausiauya.”
"Untuk apa mereka pergi
ke Siau-lim-si?” tanya si nona.
"Menurut Hong-siya,
katanya Piausiauya telah mengirim berita padanya bahwa kali ini banyak orang
Kangouw dan jago dari berbagai golongan sedang menghadiri apa yang disebut
Enghiong-tay-hwe di Siau-lim-si untuk merundingkan cara bagaimana melawan Buyung-si
dari Koh-soh. Karena buru-buru, Piausiauya lantas berangkat lebih dulu seorang
diri. Kabarnya Yan-cu-oh sudah kirim orang memberi bantuan.”
"Jika Hujin sudah
mendapat kabar itu, mengapa ia malah pulang dan tidak pergi membantu kesukaran
Piausiauya?” tanya si nona.
"Tentang ini hamba ...
hamba tidak tahu,” sahut Siau Si. "Mungkin disebabkan Hujin tidak suka
kepada Piausiauya.”
"Hm, suka atau tidak suka
betapa pun adalah orang sendiri,” kata si nona dengan kurang senang.
"Kalau Buyung-si dari Koh-soh terjungkal di luaran, apakah keluarga Ong
kita tidak ikut malu?”
"Ya, Siocia,” sahut Siau
Si.
"Ya apa?” bentak si gadis
dengan gusar.
Siau Si kaget, sahutnya
gelagapan, "Hamba ... maksudkan kita tentu akan ikut merasa malu.”
Lalu gadis itu berjalan
mondar-mandir di bawah pohon bambu itu seperti sedang memikirkan sesuatu akal.
Tiba-tiba ia lihat pohon kamelia putih yang ditanam Toan Ki dan pot bunga yang
baru saja dipecahkan itu. Ia bersuara heran, segera ia tanya kepada Siau Si,
"Siapakah yang tanam Teh-hoa di sini?”
Tanpa ayal lagi Toan Ki
menyelinap keluar dari tempat sembunyinya, ia memberi hormat dan berkata,
"Cayhe diperintahkan oleh Hujin agar menanam Teh-hoa di sini, bila hal ini
mengganggu Siocia, harap dimaafkan.”
Meski ia membungkuk memberi
hormat, tapi matanya tetap menatap ke depan, sebab khawatir si nona akan
berkata "tidak sudi bertemu dengan laki-laki asing”, lalu putar tubuh dan
tinggal pergi hingga kesempatan untuk melihat muka si jelita tersia-sia lagi.
Tak terduga, begitu sinar
matanya bertemu dengan sinar mata si nona, seketika telinganya serasa
mendengung dan mata seakan-akan gelap, kakinya menjadi lemas pula dan tanpa
merasa bertekuk lutut di hadapan si jelita, bahkan kalau ia tidak bertahan
sekuatnya, hampir saja ia menyembah, namun begitu toh tercetus juga kata-kata
dari mulutnya, "O, Enci Dewi, betapa ... betapa aku merindukan dikau
selama ini!”
Ternyata si nona baju putih
yang berada di depan mata ini sungguh mirip benar dengan patung dewi yang telah
dilihatnya dalam gua di daerah Tayli itu. Ong-hujin yang telah dilihatnya itu
juga mirip patung cantik itu, cuma usianya yang berbeda. Tapi si jelita baju
putih ini, selain dandanannya agak berbeda sedikit, namun baik raut muka, mata,
hidung, bibir, telinga, kulit badan, perawakan, kaki dan tangan, semuanya
mirip, semuanya persis hingga seperti patung dewi itu hidup kembali.
Sungguh Toan Ki merata dirinya
seakan-akan dalam mimpi. Entah sudah beratus kali atau beribu kali ia
merindukan patung dewi itu, kini dengan mata kepala sendiri yang dilihatnya
bukan lagi patung melainkan duplikatnya dalam keadaan hidup, sungguh ia tidak
tahu dirinya sebenarnya berada di mana, di alam baka atau di surga?
Ketika mendengar suara seruan
Toan Ki tadi, ditambah lagi kelakuan aneh pemuda itu, si gadis berseru kaget
juga dan mengira sedang berhadapan dengan seorang sinting, cepat ia melangkah
mundur dan menegur, "Engkau ... engkau ....”
Namun Toan Ki lantas menyela
sambil berbangkit, "Tempo hari Toan Ki sudah diberi kesempatan menyembah
di hadapan patung Enci Dewi, hal itu kuanggap sebagai suatu karunia yang
mahabahagia, tak terduga hari ini dengan mata kepala sendiri dapat kulihat
wajah asli Enci Dewi, nyata di dunia ini memang benar-benar terdapat bidadari
dan bukan omong kosong belaka!”
"Apa ... apa yang dia
maksudkan, Siau Si? Sia ... siapa dia?” tanya si jelita kepada Siau Si.
"Dia adalah si pelajar
tolol yang dibawa kemari oleh A Cu dan A Pik itu,” sahut Siau Si. "Katanya
ia pandai menanam berbagai macam Teh-hoa. Hujin menjadi percaya kepada
obrolannya dan suruh dia tanam bunga di sini.”
"Hai, si tolol, jadi
percakapan kami tadi telah kau dengar semua, ya?” tanya si gadis kepada Toan
Ki.
"Cayhe bernama Toan Ki,
orang berasal dari negeri Tayli dan bukan si tolol,” sahut Toan Ki dengan
tertawa. "Percakapan Enci Dewi dan Enci Siau Si tadi memang telah kudengar
dengan tidak sengaja. Tapi Enci Dewi jangan khawatir, Cayhe pasti takkan membocorkannya
barang sepatah pun dan tanggung Enci Siau Si takkan didamprat oleh Hujin.”
Tiba-tiba si gadis menarik
muka, ia menyemprot, "Siapa sudi mengaku Enci segala denganmu? Kau tidak
mau disebut sebagai pelajar tolol, bilakah pernah kau lihat diriku?”
"Habis, kalau tidak
kupanggil engkau Enci Dewi, lalu memanggil apa?” sahut Toan Ki.
"Aku she Ong, cukup kau
sebut Ong-kohnio saja,” ujar si gadis.
"Ong-kohnio! Ah, tidak
bisa!” kata Toan Ki sambil menggeleng kepala ketolol-tololan. "Nona she
Ong di dunia ini entah betapa banyak jumlahnya, barangkali ada berjuta-juta,
sedangkan Enci Dewi secantik bidadari, mana boleh hanya kupanggil sebagai
Ong-kohnio saja? Akan tetapi panggilan apakah yang paling tepat? Wah, sukar
juga! Umpama kupanggil engkau Ong-siancu (si dewi she Ong), rasanya terlalu
umum dan kurang agung. Misalnya kusebut engkau Man-to-kongcu (putri bunga
kamelia), rasanya juga kurang cocok, banyak terdapat putri raja di dunia ini,
tapi siapakah yang dapat menandingi engkau?”
Melihat pemuda itu berkomat-kamit
tak keruan bicaranya, semakin dipandang semakin ketolol-tololan, yang diucapkan
itu melulu pujian-pujian atas kecantikannya, betapa pun si jelita menjadi
geli-geli girang. Katanya
kemudian dengan tersenyum,
"Rupanya nasibmu masih baik juga, maka ibuku tidak potong kedua kakimu.”
"Wajah ibumu serupa
cantiknya dengan Enci Dewi, hanya tabiatnya yang luar biasa aneh,
sedikit-sedikit suka membunuh orang, rasanya menjadi kurang sesuai dengan
bangunnya yang mirip dewi kahyangan ....”
Mendadak si gadis berkerut
kening, katanya dengan kurang senang, "Lekas pergi menanam bunga saja dari
jangan mengoceh tak keruan di sini, kami masih akan bicara urusan penting
lagi.”
Nyata nadanya menganggap Toan
Ki seperti tukang kebun benar-benar.
Namun Toan Ki tidak ambil
pusing, yang dia harap hanya dapatlah bicara lebih lama sedikit dengan si
jelita dan memandangnya sekejap lagi. Pikirnya, "Untuk bisa memancing dia
bicara denganku secara suka rela terpaksa harus kuajak bicara padanya mengenai
diri Buyung-kongcu, kecuali itu, segala apa tentu takkan menarik perhatiannya
lagi.”
Maka segera Toan Ki berkata,
"Para kesatria dari segala pelosok saat ini sedang berkumpul di
Siau-lim-si untuk berunding cara bagaimana menghadapi Buyung-si dari Koh-soh,
tokoh-tokoh dan jago-jago berbagai golongan dan aliran yang hadir di sana
sungguh tidak sedikit jumlahnya, sebaliknya Buyung-kongcu hanya seorang diri,
kalau secara gegabah ia menempuh bahaya ke sana, rasanya tidaklah menguntungkan
dia.”
Benar juga badan si gadis
tergetar karena ucapan Toan Ki itu. Tapi Toan Ki pura-pura tidak tahu dan tidak
berani memandang wajah si gadis. Hanya dalam hati diam-diam ia mengomel,
"Perhatiannya kepada bocah Buyung Hok itu benar-benar lain daripada yang
lain. Kalau aku memandang wajahnya, mungkin aku sendiri akan menangis saking
irinya.”
Ia lihat baju sutra si gadis
yang panjang itu tiada hentinya bergemetar, suatu tanda betapa hebat guncangan
perasaannya. Lalu terdengar suara si gadis yang merdu melebihi seruling itu
lagi bertanya, "Tentang keadaan di Siau-lim-si itu apakah engkau tahu? Le
... lekas katakan padaku.”
Mendengar permohonan si gadis
yang lemah lembut itu, karena tidak tega hampir-hampir Toan Ki menceritakan apa
yang diketahuinya. Tapi segera terpikir olehnya, "Ah, jangan kuceritakan
sekarang. Kalau selesai kukatakan, sebentar aku tentu akan didesak pergi
menanam bunga pula, dan untuk mengajaknya bicara lagi kelak pasti tidak mudah,
maka sekarang aku harus putar lidah sebisanya, cerita pendek kubikin panjang,
urusan kecil sengaja kubesarkan, setiap hari aku hanya bicara sedikit, sedapat
mungkin akan kutarik sepanjangpanjangnya, agar setiap hari ia mesti mencari dan
mengajak bicara padaku, kalau mencariku dan tidak bertemu, biar dia kelabakan
serupa orang gatal tapi tak bisa menggaruk.”
Setelah ambil keputusan
demikian, ia berdehem perlahan lalu berkata, "Sebenarnya aku sendiri tidak
paham ilmu silat, sejurus pun tidak bisa, biarpun jurus-jurus sederhana seperti
‘Kim-khe-tok-lip’ (ayam emas berdiri dengan kaki tunggal) atau Hek-hou-thau-sim
(harimau kumbang mencuri hati) segala, sama sekali aku tidak paham. Tapi di
rumahku ada seorang sobat baikku bernama Cu Tan-sin berjuluk ‘Pit-hi-sing’ (si
Sastrawan Ahli Tulis). Jangan kau kira dia cuma seorang pelajar yang ketolol-tololan
dan lemah seperti aku, tapi ilmu silatnya, wah, lihai sekali! Satu kali aku
pernah menyaksikan dia melipat kipasnya dan tepat menutuk sekali pada bahu
seorang lawannya, kontan lawannya roboh meringkuk bagai cacing dan tidak
berkutik pula.”
"O, itu adalah ilmu
Tiam-hiat ‘Cing-liang-sian-hoat’ jurus ke-38 yang disebut ‘Tau-kut-sian’
(tutukan kipas penembus tulang), tangkai kipas dipegang terbalik dan menutuk
dengan miring,” demikian kata si gadis. "Rupanya Cu-siansing itu adalah
orang Kun-lun-pay, mungkin anak murid Sam-in-koan. Ilmu silat golongan ini
mengutamakan memakai senjata pit (pensil) dan lebih lihai daripada memakai
senjata kipas.”
Bila uraian si gadis ini
didengar oleh Cu Tan-sin sendiri atau didengar oleh Po-ting-te atau Toan
Cing-sun, tentu mereka akan terkejut mengapa gadis yang masih muda belia ini
begini luas pengetahuannya akan berbagai ilmu silat cabang lain. Bahkan hanya
mendengar cerita Toan Ki sekadarnya saja ia dapat mengatakan dengan tepat
tentang asal usul aliran ilmu silat Cu Tan-sin. Bila Toan Ki paham ilmu silat
dan menyiarkan kepandaian si gadis itu, maka pastilah orang Kangouw akan gempar
oleh peristiwa luar biasa ini.
Namun kini cara uraian si nona
jelita itu hanya sepintas lalu saja seakan-akan membicarakan sesuatu yang umum.
Sebaliknya Toan Ki juga mendengarkan uraian si gadis dengan tawar saja.
"Kemudian bagaimana?”
demikian tanya si gadis pula.
"Kemudian? Wah, ceritanya
terlalu panjang, marilah silakan Siocia duduk di sana, nanti akan kuceritakan
lebih jelas,” demikian Toan Ki sengaja mengulur waktu dan menunjuk satu bangku
batu di bawah pohon bambu sana.
Namun gadis itu menjadi kurang
senang, sahutnya, "Kenapa kau suka bertele-tele dan tidak ceritakan saja
cepat-cepat? Aku tiada waktu untuk mendengarkan ocehanmu.”
"Jika hari ini Siocia
tiada waktu, besok datang lagi juga boleh, dan kalau besok tiada tempo luang
masih dapat mencari aku lagi, asal saja Hujin tidak memotong lidahku, tentu aku
dapat bercerita, apa yang Siocia ingin dengar tentu akan kuceritakan sejelas-jelasnya.”
Si gadis mengentak kaki sekali
dan tidak gubris lagi pada Toan Ki, ia terus berpaling dan tanya Siau Si,
"Lalu Hujin berkata apa lagi?”
"Semula Hujin akan pergi
mencari Kongya-hujin untuk diajak main catur,” tutur Siau Si. "Tapi demi
mendengar Buyung-kongcu pergi ke Siau-lim-si, di tengah jalan beliau lantas
suruh putar haluan kapal untuk pulang.”
"Sebab apa?” tanya si
gadis, tapi sebelum Siau Si menjawab ia sudah bergumam sendiri, "Ya,
tahulah aku, tentu ibu khawatir dimintai bantuan oleh Kongya-hujin, maka ia
pikir lebih baik pura-pura tidak tahu saja.”
"Siocia,” kata Siau Si,
"mungkin Hujin mencari aku, hamba ingin mohon diri saja.”
Si gadis mengangguk, dan
sesudah Siau Si pergi, perlahan ia mendekati bangku batu yang ditunjuk Toan Ki
tadi dan duduk, namun Toan Ki tak disuruhnya duduk, dengan sendirinya pemuda
itu pun tak berani sembarangan duduk di samping si jelita.
Melihat si nona duduk
menyanding bunga kamelia putih yang jaraknya tidak jauh, bunganya indah dan
gadisnya cantik, sungguh perpaduan yang sangat serasi. Tanpa terasa Toan Ki
berkata dengan gegetun, "Dahulu Li Tay-pek suku membandingkan kecantikan
Nyo Kui-hui dengan bunga botan (peony), tapi bila dia beruntung dapat melihat
Siocia sekarang, tentu dia akan tahu betapa indahnya bunga, namun benda mati
mana dapat menandingi si cantik yang hidup.”
"Terus-menerus kau memuji
kecantikanku, padahal aku sendiri tidak tahu apakah diriku betul-betul cantik
atau tidak?” kata si nona.
Toan Ki menjadi heran,
katanya, "Sungguh aneh, nona tidak tahu akan kecantikan sendiri? Apa
barangkali engkau sudah terlalu banyak mendengar pujian serupa, maka sudah
bosan rasanya?”
Si gadis menggeleng kepala
perlahan, sinar matanya mengunjuk rasa penuh kekosongan hati, sahutnya,
"Selama ini tiada seorang pun yang berkata padaku apakah aku ini cantik
atau tidak. Di tengah Man-to-sanceng sini, kecuali ibuku, selebihnya adalah
pelayan dan kaum hamba lainnya. Mereka cuma tahu aku adalah Siocia, siapa
peduli apakah aku cantik atau tidak?”
"Lalu bagaimana dengan
pendapat orang luar?” tanya Toan Ki.
"Orang luar apa
maksudmu?” si gadis menegas.
"Umpamanya engkau keluar
dan orang lain tentu akan melihat kecantikanmu sebagai bidadari, masakah
mereka pun tidak berkata
apa-apa?”
"Selamanya aku tidak
pernah keluar, untuk apa aku keluar? Bahkan ibu juga melarang aku ke
Lang-goan-kok, bila menumpang kapal, daun jendela kapal pun ditutup rapat.”
"Lang-goan-kok? Jadi
benar ada suatu tempat yang bernama demikian? Apa sangat banyak kitab yang
tersimpan di sana?”
"Tidak terlalu banyak,
cuma kira-kira tiga-empat kamar banyaknya.”
"Apakah dia juga ... juga
tidak pernah mengatakan kecantikanmu?” tanya Toan Ki tiba-tiba.
Mendengar Toan Ki menyinggung
Buyung-kongcu, gadis itu menunduk dengan sedih, tiba-tiba dua titik air mata
menggelinding jatuh dari kelopak mata si nona.
Toan Ki tercengang sejenak, ia
tidak berani tanya lagi, tapi juga tidak tahu cara bagaimana harus
menghiburnya.
Selang agak lama barulah si
gadis buka suara perlahan, "Dia justru selalu ... selalu sibuk, setiap
hari, setiap tahun selalu sibuk saja tiada waktu senggang sejenak pun. Bila dia
berada bersama denganku, kalau bukan bicara tentang ilmu silat tentu berunding
urusan rumah tangga. Aku ... aku justru benci pada ilmu silat.”
"Cocok!” seru Toan Ki
mendadak. "Aku juga benci pada ilmu silat! Ayah dan pamanku selalu
menyuruhku belajar silat, tetapi aku tidak mau aku lebih suka minggat dari
rumah.”
"Tapi agar aku bisa
sering berjumpa dengan dia, biarpun dalam hati tidak suka, aku tetap tekun
mempelajarinya, bila di antaranya dia kurang paham aku pasti memberi petunjuk
padanya. Dia suka pada cerita kuno tantang bunuh-membunuh di antara raja satu
dan raja yang lain, terpaksa aku pun mesti membaca untuk menceritakan kembali
padanya.”
"Aneh, mengapa engkau
yang menceritakan padanya? Apa dia sendiri tidak dapat membaca?” tanya Toan Ki.
Gadis itu melototi Toan Ki
sekejap, katanya, "Memangnya kau sangka dia buta huruf?”
"O, tidak, tidak!” sahut
Toan Ki cepat. "Biarlah kukatakan saja dia orang paling baik di dunia ini,
nah, puas?”
Si gadis tersenyum, katanya
pula, "Ia adalah aku punya Piauko (kakak misan), di tempat kami ini,
kecuali Kuku dan Kubo (paman dan bibi, saudara ibu) serta Piauko, selamanya
tiada orang lain yang datang kemari. Tapi sejak ibuku berselisih paham dengan
Kuku, ibu pun melarang Piauko datang ke sini. Maka aku pun tidak tahu apakah
dia terhitung orang yang paling baik di dunia ini atau bukan. Maklum, orang
jahat atau orang baik di dunia ini tiada seorang pun yang pernah kulihat.”
Berkata sampai di sini, si
gadis menjadi sedih, dan mata merah basah.
"Ehm, jadi ibumu adalah
adik Kukumu dan ia ... ia adalah putra Kukumu,” demikian Toan Ki mengulangi.
"Huh, kau benar-tenar
ketolol-tololan,” omel si nona dengan tertawa. "Memangnya Kuku adalah
kakak ibuku dan dia putra Kuku, dengan sendirinya dia adalah Piaukoku.”
Toan Ki merasa senang melihat
si gadis dapat dipancing tertawa, katanya, "Ah, tahulah aku sekarang.
Tentu karena Piaukomu sangat sibuk, tiada waktu buat membaca, maka engkau yang
mewakilinya membaca.”
"Boleh juga dikatakan
begitu,” sahut si gadis dengan tertawa. "Tetapi masih ada satu sebab lain.
Ingin katanya padamu, jago aliran manakah yang mengadakan Enghiong-tay-hwe apa
segala di Siau-lim-si?”
Toan Ki tidak menjawab, sebab
dia sedang kesengsem pada bulu mata si gadis yang panjang hitam dengan setitik
air mata laksana embun di pagi hari itu.
Melihat pemuda itu tidak
menyahut, si gadis menjawil perlahan punggung tangan Toan Ki dan menegur,
"Hai, kenapa engkau?”
Tubuh Toan Ki seakan-akan
terkena aliran listrik, ia melonjak kaget dan berseru, "Oo ....”
Karena tidak terduga-duga, si
gadis ikut kaget juga oleh kelakuan Toan Ki yang lucu itu. "Ada apa?”
tanyanya segera.
Dengan muka merah Toan Ki menjawab,
"Jarimu menyentuh tanganku, Hiat-toku jadi seperti tertutuk olehmu.”
Mata si gadis terbelalak
lebar, ia tidak tahu pemuda itu sedang bergurau, maka katanya dengan
sungguhsungguh, "Di punggung tangan tiada terdapat Hiat-to, yang ada cuma
di telapak tangan, di sini ....”
Sambil berkata ia angkat
tangan sendiri untuk memberi contoh.
Melihat jari-jemari tangan si
gadis yang putih halus dan lentik itu, seketika Toan Ki terlongong-longong.
Akhirnya dengan tergegap-gegap ia tanya, "No ... nona, siapa ... siapakah
namamu?”
"Kelakuanmu benar-benar
aneh,” omel si gadis dengan tersenyum. "Tapi baiklah, tiada alangannya
kukatakan padamu.”
Lalu ia menggores-gores dengan
jari di atas punggung tangan sendiri untuk menulis tiga huruf "Ong
Giokyan.”
Toan Ki rada tercengang oleh
nama orang, pikirnya, "Gadis secantik ini mengapa pakai nama yang begini
umum? Pantasnya ia pakai nama yang romantis dan puitis.”
Tapi sesudah dipikir pula.
Toan Ki ketok-ketok jidat sendiri dan berseru, "Ya, bagus, bagus sekali
namamu ini! Memangnya engkau mirip burung Yan (layang-layang) yang suci murni
dan terbang bebas di angkasa!”
"Nama setiap orang memang
suka cari yang enak didengar dan bermakna baik pula, banyak juga penjahat dan
pengkhianat yang bernama bagus, sebaliknya perbuatannya tidak dapat dipuji.
Engkau sendiri bernama Toan Ki, apa engkau punya Bengki (nama baik) benar baik?
Haha, mungkin sedikit ....”
"Sedikit dogol bukan?”
sambung Toan Ki. Maka tertawalah keduanya dengan terbahak-bahak.
Sebenarnya wajah Ong Giok-yan
senantiasa kelihatan murung, tapi kini ia benar-benar merasa senang dengan muka
berseri-seri.
Diam-diam Toan Ki gegetun,
"Coba bila selama hidupku dapat membuatmu selalu tertawa, rasanya hidupku
ini takkan sia-sia lagi.”
Tak terduga kegembiraan Ong
Giok-yan itu hanya terjadi dalam waktu singkat saja, kembali sorot matanya
tampak sayu menanggung sesuatu pikiran. Katanya dengan perlahan, "Dia ...
dia selalu bersikap sungguhsungguh dan tidak pernah mengobrol iseng padaku. Ai,
Yan-kok, selalu Yan-kok, apa benar begitu pentingnya bagimu?”
Sebagai seorang yang banyak
membaca kitab-kitab kuno, demi mendengar kata-kata "Yan-kok” itu, seketika
beberapa istilah yang didengarnya akhir-akhir ini sekaligus teringat kembali
oleh Toan Ki dan dirangkainya menjadi satu Buyung-si Yan-cu-oh, Som-hap-ceng,
Yan-kok ....
Tanpa terasa lantas tercetus
kata-kata dari mulutnya, "He, jadi Buyung-kongcu ini keturunan Buyung-si
dari suku Sianbi pada zaman Ngo-oh-loan-hoa ? Jadi dia orang asing dan bukan bangsa
Tionghoa?”
"Ya, dia memang anak cucu
keturunan Buyung-si dari Yan-kok (negeri Yan) pada zaman Ngo-oh. Tapi sudah
beratus tahun lamanya, mengapa dia masih belum melupakan peristiwa leluhurnya?
Dia tidak suka menjadi orang Tionghoa dan lebih suka menjadi orang Oh (asing),
bahkan tulisan Tionghoa tak mau dipelajarinya dan kitab Tionghoa tak mau
dibacanya. Pernah satu kali aku minta dia menulis bahasa Tionghoa dan dia
lantas marah-marah.”
Berbicara tentang
Buyung-kongcu, rupanya Ong Giok-yan menjadi begitu kesengsem, ia memandang jauh
ke sana, lalu tuturnya pula dengan penuh pada rindu, "Ia lebih tua sepuluh
tahun daripadaku, selamanya ia pandang aku sebagai adiknya yang masih kecil, ia
sangka aku cuma tahu membaca dan belajar silat, hal-hal lain tidak paham.
Padahal kalau bukan untuk dia, aku benar-benar tidak sudi belajar hal begituan,
aku lebih suka piara ayam, tulis-menulis atau petik Khim.”
"Masakah ia sama ... sama
sekali tidak tahu engkau sangat baik padanya?” tanya Toan Ki dengan suara tak
lampias.
"Sudah tentu ia tahu,
makanya ia sangat baik padaku,” sahut Giok-yan. "Tapi kebaikannya padaku
hanya ... hanya kebaikan seperti saudara sekandung dan tidak lebih dari itu.
Selamanya ia tidak pernah katakan padaku bagaimana perasaannya dan selamanya tidak
pernah pula menanyakan bagaimana isi hatiku.”
Berkata sampai di sini, pipi
si nona menjadi bersemu merah hingga makin menambah kecantikannya yang
menggiurkan.
Sebenarnya Toan Ki ingin
berkelakar dan tanya apa isi hati si gadis, tapi khawatir disemprot, maka
urung, hanya katanya dengan tersenyum, "Engkau kan dapat menolak bicara
tentang ilmu silat dan membaca baginya.
Pula engkau kan dapat
mengutarakan perasaanmu dengan berpantun dan bersyair?”
Ia maksudkan si gadis mestinya
dapat memancing perasaan cinta Buyung-kongcu dengan pantun dan syair
percintaan. Tapi setelah diucapkan, ia menjadi menyesal telah telanjur omong.
Pikirnya, "Wah, kenapa aku begini goblok dan mengajar demikian padanya?”
Sebaliknya Giok-yan menjadi
malu mendengar ajaran Toan Ki itu, cepat sahutnya, "Mana ... mana boleh
begitu? Aku adalah anak gadis yang pegang aturan, bagaimana bila aku dipandang
hina oleh Piauko karena kelakuanku itu?”
"Ya, ya, benar! Aku yang
salah omong!” seru Toan Ki. Diam-diam ia memaki diri sendiri mengapa mengajarkan
seorang gadis suci murni untuk berbuat menyeleweng?
Selamanya Giok-yan tidak
pernah mengutarakan isi hatinya kepada siapa pun. Tapi aneh, setelah bertemu
dengan Toan Ki yang bersifat bebas lepas, entah mengapa ia menjadi menaruh
kepercayaan penuh dan menceritakan segala isi hatinya yang penuh manisnya madu itu.
Bahwa diam-diam ia cinta dan
merindukan sang Piauko, sudah tentu A Cu, A Pik, Siau Si, Siau Teh dan
dayang-dayang lain sama tahu, cuma saja mereka tidak berani membicarakannya.
Setelah Giok-yan mengutarakan
isi hatinya, rasa masygulnya menjadi agak hilang, katanya kemudian, "Sudah
sekian banyak aku mengobrol padamu, tapi belum lagi kita bicara tentang
persoalan pokok, katakanlah, jago dari mana saja yang berkumpul di Siau-lim-si
dan mengapa mereka hendak melabrak Piauko?”
"Ketua Siau-lim-si
bergelar Hian-cu Taysu, beliau mempunyai seorang Sute yang bergelar Hian-pi
Taysu,” tutur Toan Ki. "Hian-pi Taysu itu mahir ilmu Kim-kong-cu (gada
baja raksasa). Tapi entah mengapa Hian-pi Taysu itu telah dibunuh orang dan
cara musuh membinasakannya itu justru menggunakan ilmu ‘Kim-kong-cu’ andalan
Hian-pi Taysu itu. Menurut kesimpulan mereka, cara membunuh orang demikian itu
adalah ciri perbuatan Buyung-si dari Koh-soh yang disebut ‘Ih-pi-ci-to,
hoan-si-pi-sin’ (gunakan caranya untuk dipakai atas dirinya). Sebab itulah
Siau-lim-pay bertekad hendak membalas dendam kepada Buyung-si. Cuma ilmu silat
Buyung-si teramat lihai, mereka khawatir sukar melawannya, maka mengundang
kawan-kawan lain untuk berunding cara bagaimana menghadapi musuh.”
"Masuk di akal juga
ceritamu ini,” kata Giok-yan. "Lalu siaga lagi kecuali tokoh-tokoh
Siau-lim-pay?”
"Masih ada seorang yang
bernama Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, katanya juga tewas di bawah ilmu ruyung
andalannya sendiri yang disebut ‘Leng-coa-siam-keng’ (ular sakti melibat
leher), maka Sute dan muridnya juga
ingin menuntut balas pada
Buyung-si. Kecuali itu, masih ... masih banyak lagi yang aku tidak kenal.”
Sudah tentu ia tidak berani
bilang bahwa Toan-si mereka dari Tayli juga ikut campur dalam urusan itu.
"Aku kenal tabiat Piauko,
bila ia tahu ada orang begitu banyak akan memusuhinya, tanpa menunggu orang
datang padanya, lebih dulu ia akan pergi ke sana,” tutur Giok-yan. "Cuma,
belum tentu ia dapat memahami ilmu silat aliran sebanyak itu. Apalagi mereka
berjumlah banyak, bila mengerubutnya serentak, tentu akan sukar dilawan.”
Bicara sampai di sini,
tiba-tiba terdengar suara orang berlari datang, kiranya Siau Si dan Yu Chau.
Dengan khawatir Yu Chau berseru, "Wah, celaka Siocia! Hujin telah
memerintahkan agar A Cu dan A Pik ....”
Berkata sampai di sini mulut
Yu Chau serasa tersumbat dan tidak sanggup meneruskan lagi.
Maka cepat Siau Si menyambung,
"Mereka hendak dipotong kaki dan tangannya sebagai hukuman atas kesalahan
mereka berani datang ke Man-to-san-ceng ini. Siocia, bag ... bagaimana baiknya
ini?”
"Wah, jika begitu, engkau
harus lekas mencari akal untuk menolong mereka, nona Ong!” seru Toan Ki
khawatir.
Giok-yan juga sangat khawatir,
katanya, "A Cu dan A Pik adalah pelayan pribadi Piauko, kalau mereka
dibikin cacat, bagaimana aku harus bicara dengan Piauko. Mereka berada di mana,
Yu Chau?”
Mendengar Siocia mereka ada
maksud menolong A Cu dan A Pik, segera Yu Chau menyahut, "Hujin
memerintahkan menggusur mereka ke ‘Hoa-pui-pang’ (kamar rabuk bunga). Telah
kumohon kepada nenek galak di sana agar menunda hukumannya setengah jam lagi,
bila sekarang juga Siocia pergi minta ampun kepada Hujin mungkin masih keburu.”
Walaupun Giok-yan tidak yakin
usahanya akan berhasil, tapi tiada jalan lain, terpaksa ia mengangguk, segera
ia bertindak pergi bersama Yu Chau dan Siau Si. Tinggal Toan Ki yang berdiri kesima
di tempatnya sambil memandangi bayangan si gadis yang menghilang di balik
semak-semak bunga sana.
Ketika Giok-yan sampai di
kamar sang ibu, ia lihat ibunya lagi duduk bersila, di depannya dupa mengepul
di dalam Hiolo, terang ibunda bersemadi, betapa pun besarnya urusan juga tidak
dapat mengganggunya. Maka cepat ia berdatang sembah, "Mak, ada sedikit
urusan ingin kubicarakan.”
Perlahan Ong-hujin membuka
mata, dengan wajah kereng ia tanya, "Urusan apa? Kalau ada sangkut pautnya
dengan keluarga Buyung, aku tidak ingin mendengarkan.”
"Mak, A Cu dan A Pik
tidak sengaja datang ke sini, maka sukalah engkau mengampuni mereka,” pinta si
nona.
"Dari mana kau tahu
mereka tidak sengaja?” tanya Ong-hujin. "Hm, tentu kau khawatir Piaukomu
takkan gubris padamu lagi bila kupotong kaki-tangan mereka bukan?”
Dengan mengembeng air mata
Giok-yan menjawab, "Piauko terhitung keponakanmu sendiri, mengapa ibu
membencinya sedemikian rupa? Andaikan Kuku berbuat salah padamu, tidak perlu
Piauko juga dibenci.”
Dengan berani Giok-yan
mengucapkan kata-kata itu, segera ia berdebar-debar karena dirinya berani
membantah sana ibu.
Sinar mata Ong-hujin menyorot
sekilas muka putrinya itu, untuk sejenak ia tidak bicara dan mata lantas
terpejam pula. Dengan menahan napas Giok-yan berdiri terpaku di situ, ia tidak
tahu apa yang sedang dipikirkan ibundanya.
Selang agak lama barulah
Ong-hujin membuka mata pula dan berkata, "Kau tahu Kuku berbuat salah
padaku? Di mana letak kesalahannya? Coba katakan!”
Mendengar pertanyaan yang
bernada tajam dan dingin itu, seketika Giok-yan menjadi bungkam dan takut.
"Cobalah katakan. Usiamu
sekarang juga sudah dewasa, boleh tidak menurut kataku lagi,” demikian ucap
Onghujin.
Tak tertahan lagi air mata
Giok-yan berlinang-linang, sahutnya dengan penasaran dan takut pula, "Mak,
engkau sedemikian benci kepada Kuku, dengan sendirinya lantaran Kuku berdosa
padamu. Akan tetapi apa kesalahannya, selama ini ibu tidak pernah bicara
padaku.”
"Pernah dengar dari orang
lain tidak?” tanya Ong-hujin dengan suara bengis.
"Tidak,” sahut Giok-yan
sambil menggeleng, "Selamanya ibu melarangku keluar Man-to-san-ceng ini,
orang luar juga dilarang masuk kemari, dari siapa dapat kudengarnya?”
Ong-hujin menghela napas lega,
nada suaranya sekarang juga lebih halus, katanya, "Semuanya itu adalah
demi kebaikanmu. Orang jahat di dunia ini terlalu banyak, dibunuh juga tidak
habis-habis. Usiamu masih muda, seorang gadis lebih baik jangan bertemu dengan
orang jahat.”
Ia merandek sejenak, tiba-tiba
teringat sesuatu olehnya, segera ia menyambung, "Seperti si tukang kebun
she Toan itu, ia pandai omong dan pintar putar lidah, pasti bukan orang
baik-baik. Maka kalau dia berani omong sepatah saja padamu, seketika kau
bunuhnya, jangan membiarkan dia omong kedua kalinya.”
Giok-yan terdiam, ia pikir,
"Jangankan cuma sepatah-dua kata, mungkin seratus patah dua ratus kata pun
sudah lebih.”
Melihat putrinya diam saja,
Ong-hujin menegur, "Kenapa? Apa kau tidak tega? Gadis berhati lemah
seperti kau ini, selama hidup entah betapa banyak akan diperdayai orang.”
Lalu ia tepuk tangan dua kali
dan Siau Si segera masuk, Ong-hujin berkata padanya, "Sampaikan perintahku
bahwa siapa pun dilarang bicara dengan orang she Toan itu. Siapa yang melanggar
keduanya akan dipotong.”
Siau Si mengiakan dengan wajah
kaku tanpa perasaan seakan-akan apa yang dikatakan Ong-hujin adalah sesuatu hal
yang sudah biasa serupa orang memotong babi atau menyembelih ayam saja, lalu
mengundurkan diri.
"Nah, pergilah kau!” kata
Ong-hujin kemudian sambil memberi tanda kepada Giok-yan.
Si gadis mengiakan, tapi
sampai dia ambang pintu, ia berhenti dan menoleh, katanya, "Mak, engkau
mengampuni A Cu dan A Pik saja dan peringatkan mereka agar lain kali jangan
lagi datang kemari.”
"Apa yang sudah kukatakan
kapan pernah ketarik kembali? Percumalah meski kau banyak bicara pula,” sahut
Ong-hujin.
Tiba-tiba Giok-yan
menggigit-gigit gigi dan berkata dengan perlahan, "Kutahu sebab ibu benci
pada Kuku dan mengapa pula benci pada Piauko.”
Habis berkata, ia terus putar
tubuh dan bertindak keluar.
"Kembali!” bentak
Ong-hujin mendadak.
Giok-yan tidak berani
membangkang, dengan kepala menunduk ia masuk kembali ke dalam kamar.
Sambil memandangi tubuh
putrinya yang agak gemetar itu, Ong-hujin bertanya, "Apa yang kau ketahui,
Yanji? Coba katakan saja terus terang, tidak perlu membohongi aku.”
"Kutahu ... kutahu ibu
menyesalkan Kuku tidak becus, dan gemas pada Piauko yang kurang berlatih silat
sehingga tidak dapat mengembangkan keturunan Buyung yang tiada tandingannya di
dunia ini,” demikian sahut Giok-yan sambil menggigit bibir.
Ong-hujin menjengek sekali,
katanya, "Hm, anak kecil tahu apa? Ibumu sudah lama tidak she Buyung lagi,
tahu? Peduli apa keluarga Buyung dapat menjagoi dunia atau tidak, aku tidak
pusing lagi.”
"Kutahu ibu menyesal
bukan lelaki sehingga tidak dapat membangun kembali keluarga Buyung, maka ibu
menyalahkan Kuku dan Piauko tidak tekun belajar silat dan cuma bercita-cita
membangun kembali kerajaan Yan.”
"Siapa yang berkata
demikian padamu?” tanya Ong-hujin dengan kereng.
"Tanpa orang mengatakan
juga anak dapat menerka,” sahut Giok-yan.
"Hm, tentu Piaukomu yang
bilang begitu padamu, bukan?”
Giok-yan tidak dusta kepada
sang ibu, tapi juga tidak mengaku. Ia hanya bungkam saja.
Maka Ong-hujin berkata pula,
"Usia Piaukomu lebih tua 10 tahun daripadamu, tapi tidak belajar yang baik,
setiap hari hanya gentayangan kian kemari entah apa yang dikerjakan hingga ilmu
silatnya jauh di bawahmu. Sungguh bikin malu nama baik Buyung-si saja. Selama
ratusan tahun ini betapa tenar nama kebesaran ‘Kohsoh Buyung-si’, akan tetapi
bagaimana dengan ilmu silat Piaukomu itu? Apa dia sesuai menyebut dirinya
keturunan Buyung-si?”
Dengan wajah sebentar merah
sebentar pucat Giok-yan mendengarkan ucapan sang ibu yang ada benarnya juga
itu. Seketika ia tidak dapat menjawab.
Lalu Ong-hujin meneruskan,
"Sekarang katanya dia telah pergi ke Siau-lim-si, tentu budak-budak
ceriwis itu buru-buru datang memberitahukan padamu. Hm, dia berani pergi ke
Siau-lim-si, mustahil takkan dibuat buah tertawaan orang di sana? Bahkan aku
akan berterima kasih, karena dengan begitu orang tentu tidak percaya seorang
keroco begitu adalah anak cucu Buyung-si dari Koh-soh. Lebih baik lagi jika
jiwanya melayang sekalian hingga asal-usulnya sukar diusut.”
"Mak,” kata Giok-yan
tiba-tiba sambil melangkah maju, "harap engkau pergi menolongnya. Betapa
pun Piauko adalah satu-satunya keturunan keluarga Buyung. Bila terjadi apa-apa
atas dirinya maka musnahlah selanjutnya keturunan Buyung-si dari Koh-soh.”
"Hm, musnah? Mereka tidak
pikirkan diriku, buat apa mesti kupikirkan mereka? Sudahlah, pergi sana,
pergi!”
"Mak, Piauko kan ....”
Namun Ong-hujin lantas
membentaknya dengan bengis, "Makin lama kau semakin berani, ya?”
Dengan cemas dan mengembeng
air mata terpaksa Giok-yan bertindak keluar dengan kepala menunduk. Hatinya
bingung dan tak berdaya. Sampai di serambi sana, tiba-tiba didengarnya teguran
seorang dengan suara tertahan, "Bagaimana hasilnya, nona?”
Waktu Giok-yan mendongak,
kiranya Toan Ki. Cepat ia menyahut, "Engkau jang ... jangan bicara lagi
denganku.”
Kiranya sesudah ditinggal
pergi Giok-yan tadi, Toan Ki menjadi seperti kehilangan sesuatu. Dengan
linglung kemudian ia mengikutinya dan menunggu dari jauh. Begitu melihat si
gadis keluar dari kamar Ong-hujin segera ia memapaknya dan tanya.
Melihat wajah Giok-yan
mengunjuk sedih dan putus asa, ia tahu permintaannya tentu ditolak Ong-hujin.
Maka katanya segera, "Seumpama ibumu tidak mau mengabulkan permintaan
nona, kita kan harus mencari akal lain.”
"Kalau ibu sudah menolak
permohonanku, akal apa yang dapat kau gunakan?” sahut si nona. "Piauko
lagi terancam bahaya, tapi dia ... dia tega membiarkannya.”
Dan saking sedihnya, air mata
hampir-hampir menetes.
"O, kiranya Buyung-kongcu
sedang terancam bahaya ....” tiba-tiba Toan Ki teringat sesuatu, cepat ia menyambung
pula, "He, ilmu silatmu kan lebih tinggi daripada Piaukomu, kenapa engkau
sendiri tidak pergi menolongnya?”
Kedua mata si nona terbelalak
lebar, heran seakan-akan tiada sesuatu ucapan lain di dunia ini yang lebih aneh
daripada ucapan Toan Ki itu. Selang agak lama barulah ia berkata, "Cara
bagaimana aku ... aku bisa pergi? Tidak mungkin ibu mengizinkan.”
"Sudah tentu ibumu takkan
mengizinkan, namun engkau sendiri dapat pergi secara diam-diam?” ujar Toan Ki
dengan tersenyum. "Aku sendiri sudah pernah minggat dari rumah, kemudian
waktu kupulang, ayah dan ibu juga cuma mengomel saja padaku.”
Mendengar uraian itu, seketika
Giok-yan seakan-akan orang bodoh yang mendadak menjadi pintar. Katanya dalam
hati, "Benar, mengapa aku tidak pergi secara diam-diam untuk menolong
Piauko, andaikan nanti ibu mendampratku kan nasi sudah menjadi bubur, Piauko
sudah dapat kuselamatkan. Orang ini bilang pernah minggat dari rumahnya,
mengapa aku sendiri tidak pernah berpikir hal ini?”
Melihat si gadis ragu-ragu,
segera Toan Ki menghasut lebih lanjut, "Orang hidup seperti engkau
sebenarnya harus merasa bosan. Apakah engkau akan tinggal di Man-to-san-ceng
ini sampai hari tua dan tidak ingin pergi melihat dunia luar yang indah permai
itu?”
"Apanya yang indah?”
sahut Giok-yan sambil menggeleng. "Yang kupikir hanya untuk membantu
Piauko saja karena dia sedang menghadapi bahaya. Namun aku sendiri belum pernah
melangkah keluar rumah, di mana letak Siau-lim-si juga aku tidak tahu.”
Tanpa diminta lagi segera Toan
Ki mencalonkan diri sebagai "sukarelawan”, katanya cepat, "Akan
kubawa engkau ke sana, segala apa dalam perjalanan biarlah aku yang mengurus
bagimu.”
Namun Giok-yan masih
ragu-ragu. Maka Toan Ki bertanya pula, "Dan bagaimana dengan A Cu dan A
Pik?”
"Ibu juga tidak mau mengampuni
mereka,” sahut si nona.
"Sekali berbuat, jangan
tanggung-tanggung lagi. Bila A Cu dan A Pik dikutungi kaki tangannya tentu
Piaukomu akan menyalahkan dirimu. Marilah kita pergi menolong mereka sekalian
dan kita berempat lantas minggat bersama!”
Giok-yan melelet lidah,
katanya khawatir, "Perbuatan durhaka seperti ini tentu takkan diampuni
ibuku. Nyalimu ini benar-benar setinggi langit.”
Toan Ki tahu si gadis susah
dibujuk kecuali memperalat Piauko yang dicintainya itu. Maka ia sengaja
berkata, "Jika demikian, marilah kita berdua saja segera berangkat,
biarlah A Cu dan A Pik dibikin cacat oleh ibumu. Kelak bila engkau ditanya
Piaukomu, jawablah engkau tidak tahu dan aku pun tidak akan membocorkan rahasia
ini.”
"Mana boleh jadi,” sahut
Giok-yan. "Dengan demikian, berarti aku mendustai Piauko, bukan?”
Tapi sesudah berpikir sejenak,
akhirnya ia mengambil keputusan, katanya tiba-tiba, "Marilah ikut padaku!”
Melihat si nona berjalan ke
arah barat secepat terbang, buru-buru Toan Ki ikut berlari menyusulnya.
Tidak lama Giok-yan sampai di
depan sebuah rumah batu. Dari luar gadis itu berseru, "Peng-mama (ibu
Peng), marilah keluar, ingin kubicara padamu.”
Mata terdengarlah suara orang
tertawa terkekeh, lalu suara seorang berkata dengan serak, "Nona baik, apakah
engkau sengaja datang kemari untuk melihat Peng-mama membuat rabuk bunga?”
Tadi waktu Toan Ki mendengar
laporan Siau Si dan Yu Chau bahwa A Cu dan A Pik telah digusur ke Hoa-puipang
atau kamar rabuk bunga, tatkala itu ia tidak perhatikan tentang istilah itu.
Tapi kini demi mendengar katakata "rabuk bunga” dan diucapkan orang dengan
suara seram itu, mendadak ia terperanjat dan berpikir, "Hoapui-pang apa
maksudnya? Apakah rabuk tanaman bunga? Haya, memang benarlah begitu! Ong-hujin
sangat kejam, suka membunuh orang untuk dijadikan rabuk bunga kamelia. Wah,
untung kedatangan kami tepat waktunya, kalau tidak, tentu kaki dan tangan kedua
dayang itu sudah dipotong untuk dijadikan rabuk.”
Dalam pada itu Giok-yan sedang
berkata lagi, "Peng-mama, engkau dipanggil ibu, hendaklah lekas ke sana.”
"Peng-mama sedang repot,”
sahut suara tadi dari dalam rumah. "Ada urusan penting apakah hingga Hujin
menyuruh Siocia memanggilku ke sini?”
"Kata ibu ....” Giok-yan
tidak meneruskan, tapi lantas melangkah masuk ke dalam rumah batu itu. Segera
terlihat olehnya A Cu dan A Pik terikat kencang pada dua pilar besi, mulut
mereka tersumbat, hanya air mata saja berlinang-linang, tapi tak dapat
bersuara.
Lega hati Toan Ki sesudah
melongok ke dalam rumah dan melihat keadaan A Cu dan A Pik masih baik-baik
tanpa kurang sesuatu apa. Tapi jantungnya kembali berdebar-debar pula ketika
dilihatnya di dalam rumah situ terdapat seorang nenek bungkuk, rambut putih
bagaikan perak, tangan menghunus sebilah pisau jagal, di sampingnya terdapat
baskom air mendidih.
"Peng-mama,” demikian
Giok-yan berkata pula, "ibu ingin tanya mereka tentang suatu hal penting,
maka engkau disuruh melepaskan mereka.”
Ketika nenek itu menoleh,
sekilas Toan Ki dapat melihat kedua siungnya yang kuning dan lancip hingga
mirip hantu yang menakutkan, tanpa merasa ia bergidik.
Ia dengar nenek itu berkata,
"Baiklah, sesudah ditanya, kirim kembali lagi ke sini untuk dipotong kaki
dan tangan mereka.”
Lalu nenek itu pun bergumam
pula, "Peng-mama selamanya tidak suka melihat anak dara cantik, maka kedua
budak ini harus ditebas tangan-kakinya, supaya lebih menarik kalau dipandang.”
Toan Ki menjadi gusar, ia
pikir nenek ini tentu sangat jahat, entah sudah betapa banyak orang yang
dibunuh olehnya. Sayang dirinya tidak bertenaga, kalau tidak, ingin sekali ia
memberi persen beberapa kali tamparan pada nenek jahat itu.
"Siapa itu yang berada di
luar?” tanya Peng-mama mendadak. Nyata biarpun usianya sudah lanjut, namun
pendengarannya masih sangat tajam. Suara napas Toan Ki yang memburu karena
menahan rasa gusar itu segera dapat didengarnya. Ketika ia melongok keluar dan
melihat pemuda itu seketika timbul rasa curiganya, tanyanya, "Siapa kau?”
Jilid 20
"Aku adalah tukang kebun
yang disuruh menanam bunga oleh Hujin,” sahut Toan Ki dengan berlagak tertawa.
"Peng-mama, apakah sudah siap rabuknya?”
"Tunggulah sebentar,
tidak lama lagi akan tersedia,” sahut Peng-mama. Lalu ia berpaling kembar dan
tanya Giok-yan, "Siocia, Buyung-siauya sangat sayang kepada kedua
pelayannya ini, bukan?”
Dasar Giok-yan memang tidak
biasa berdusta, maka jawabnya tanpa pikir, "Ya, makanya lebih baik jangan
engkau melukainya.”
"Dan saat ini Hujin
sedang bersemadi bukan, Siocia?” tanya pula Peng-mama.
"Ya,” sahut Giok-yan.
Tapi segera ia tutup mulut sendiri ketika sadar telah salah omong.
Diam-diam Toan Ki mengeluh,
"Ai, Siocia ini benar-benar lugu luar biasa, berdusta sedikit pun tidak
bisa.”
Untunglah Peng-mama ini
seperti orang tua yang sudah pikun dan tidak memerhatikan kesalahan itu,
terdengar ia berkata pula, "Siocia, tali pengikatnya ini sangat erat,
harap engkau bantu melepaskannya.”
Sembari berkata ia terus
mendekati A Cu yang diringkus di pilar itu untuk melepaskan tali pengikatnya.
Giok-yan mengiakan sambil
mendekatinya. Di luar dugaan, mendadak terdengar suara "krak” sekali, dari
dalam pilar besi itu tahu-tahu menjulur keluar sebatang baja melingkar bulat
hingga tepat pinggang si gadis terkurung.
Keruan Giok-yan menjerit
kaget. Namun gelang baja itu sangat kuat, untuk melepaskan diri terang sangat
sulit.
Toan Ki terkejut juga oleh
kejadian itu, cepat ia memburu masuk dan membentak, "Apa yang kau lakukan?
Lekas lepaskan Siocia!”
Peng-mama terkekeh-kekeh
seram, sahutnya, "Katanya Hujin sedang bersemadi, mengapa kedua budak ini
bisa dipanggil ke sana? Banyak sekali pelayan Hujin, masakah perlu menyuruh
Siocia sendiri memanggil ke sini? Di dalam ini tentu ada apa-apanya, silakan
engkau menunggu dulu di sini, Siocia!”
Kiranya "Hoa-pui-pang”
atau kamar rabuk bunga itu adalah tempat Ong-hujin menghukum atau membunuh
orang. Di dalam rumah batu itu penuh terpasang pesawat rahasia untuk membikin
tawanannya tidak bisa berkutik.
Peng-mama itu dahulunya adalah
seorang begal wanita yang terkenal sangat kejam, entah sudah berapa banyak jiwa
manusia telah menjadi korban keganasannya. Tapi ia telah ditaklukkan oleh
Ong-hujin, dan karena orangnya sangat cerdik dan rajin, maka ia diberi tugas
melaksanakan kekejaman di kamar rabuk ini.
Peng-mama memang sangat
cerdik, ia melihat tingkah laku Giok-yan sangat mencurigakan, ia pun tahu
Onghujin biasanya sangat benci kepada keluarga Buyung. Ia pikir ilmu silat
Siocia sangat tinggi, dirinya pasti bukan tandingannya, bila tidak turut
perintahnya, mungkin gadis itu akan bertindak dengan kekerasan. Karena itulah
dengan muslihatnya ia kurung Giok-yan dengan gelang baja, salah satu pesawat
rahasia yang terpasang pada pilar besi itu.
Maka Giok-yan menjadi gusar,
bentaknya, "Kurang ajar! Kau berani padaku? Lekas lepaskan aku!”
"Siocia,” sahut
Peng-mama, "aku selalu jujur menjalankan tugas, sedikit pun tidak berani
berbuat salah. Maka ingin kutanya Hujin dahulu, bila memang benar beliau suruh
melepaskan kedua budak ini, tentu aku akan menjura pada Siocia untuk minta
maaf.”
Keruan Giok-yan bertambah
gugup, serunya, "Hei, jangan kau tanya Hujin, ibuku tentu akan marah!”
Sebagai seorang yang banyak
pengalamannya, Peng-mama semakin yakin si gadis itu hendak main gila di luar
tahu ibunya. Ia menjadi girang telah berjasa bagi majikannya, maka katanya
pula, "Baiklah! Silakan Siocia tunggu sebentar, segera aku kembali!”
"Engkau lepaskan aku
dahulu!” seru Giok-yan.
Namun Peng-mama tidak gubris
lagi padanya, dengan langkah cepat segera ia hendak bertindak keluar.
Melihat keadaan sudah gawat,
tanpa pikir lagi Toan Ki pentang kedua tangan merintangi kepergian si nenek
sambil berkata dengan tertawa,
"Harap engkau bebaskan Siocia dahulu, kemudian barulah pergi melapor
kepada Hujin. Betapa pun dia adalah putri majikanmu, bila engkau bikin susah
padanya, tentu takkan menguntungkan dirimu sendiri.”
Di luar dugaan, mendadak
Peng-mama membaliki tangannya dan tahu-tahu sebelah tangan Toan Ki kena
dipegang olehnya. Karena urat nadi tergenggam, seketika tubuh Toan Ki menjadi
lumpuh, meski tenaga dalam Toan Ki luar biasa kuatnya, tapi sayang ia tidak
dapat menggunakannya. Maka ia kena diseret oleh Peng-mama ke depan pilar,
ketika nenek itu menekan pesawat rahasia pula, "krak”, dari pilar besi
yang lain mendadak terjulur keluar geleng baja hingga pinggang Toan Ki juga
terjepit.
Tadi begitu tangan Peng-mama
memegang pergelangan tangan Toan Ki, seketika ia merasa tenaga dalamnya tiada
hentinya merembes keluar dan rasanya sangat menderita. Maka sesudah pemuda itu
dikurung oleh gelang baja, segera ia lepaskan pegangannya.
Merana pegangan nenek itu
sudah dikendurkan, dalam gugupnya tanpa pikir Toan Ki terus menyikap leher
Peng-mama dengan kedua tangan sambil berteriak, "Jangan kau pergi!”
Keruan Peng-mama kaget oleh
rangkulan itu, dengan gusar ia membentak, "Lepas, lepaskan!”
Dan karena bersuara, tenaga
dalamnya yang merembes keluar itu semakin santer.
Sejak mendapat pelajaran sang
paman ketika berada di Thian-liong-si, kini Toan Ki sudah paham tentang ilmu
memusatkan hawa murni ke dalam perut. Maka tenaga dalam yang disedotnya itu
segera dapat ditabung ke dalam pusatnya.
Berulang-ulang Peng-mama
meronta, namun sedikit pun tidak sanggup melepaskan diri dari dekapan Toan Ki.
Ia menjadi takut luar biasa dan berteriak-teriak, "Hai, engkau mahir ...
mahir ‘Hoa-kang-tay-hoat’? Lepas ... lepaskan aku.”
Karena leher Peng-mama
didekap, terjadi muka Toan Ki berhadapan dengan muka nenek itu, jaraknya cuma
belasan senti saja, maka ia dapat melihat nenek tua itu sekuatnya berusaha
melepaskan diri dengan meringis, giginya yang kuning penuh gudal dengan
siungnya yang lancip, napasnya kerbau bacin pula. Toan Ki menjadi muak dan
hampir-hampir tumpah.
Tapi ia pun tahu, dalam saat
berbahaya itu, kalau ia lepas tangan, tentu Giok-yan akan mendapat hukuman dari
sang ibu dan ia sendiri bersama A Cu dan A Pik juga tak terhindar dari
kematian. Karena itulah terpaksa ia menahan napas dan pejamkan mata, ia tidak
pandang Peng-mama lagi, tapi membiarkan nenek itu kelabakan
sendiri.
"Kau ... kau mau
melepaskan aku tidak!” teriak Peng-mama pula dengan nada mengancam. Akan
tetapi, napas ada tenaga sudah berkurang.
Seperti diketahui, bila tenaga
dalam Toan Ki semakin bertambah, daya sedot Cu-hap-sin-kang juga semakin kuat.
Dahulu waktu mula-mula ia menyedot tenaga murni tokoh-tokoh seperti Boh-tin,
Boh-tam dan kawannya, waktu yang dibutuhkannya sangat lama, kemudian dapat
menyedot pula antero tenaga murni tokoh kelas satu Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu,
serta sebagian tenaga dalam Po-ting-te, Thian-in, Thian-koan dan lainlain, kini
daya sedot Cu-hap-sin-kang itu boleh dikatakan sudah luar biasa kerasnya, maka
untuk menyedot tenaga dalam Peng-mama hanya diperlukan waktu singkat saja sudah
selesai.
Begitulah, maka tiada seberapa
lama keadaan Peng-mama sudah sangat payah dan lemas lunglai dengan napas
kempas-kempis. Akhirnya terpaksa ia memohon, "Lepaskan aku, lepaskanlah!”
"Baik, buka dulu pesawat
rahasianya!” kata Toan Ki.
Peng-mama mengiakan. Tapi Toan
Ki masih khawatir, ia pegang tangan kiri nenek itu dan membiarkan tangan
kanannya menekan alat rahasia di bawah meja, "krek”, segera gelang baja
yang mengurung pinggang Toan Ki itu mengkeret masuk ke dalam pilar.
Segera Toan Ki perintahkan
Peng-mama membebaskan pula Giok-yan, A Cu dan A Pik.
Namun meski Peng-mama sudah
berusaha membuka pesawat rahasia yang mengurung Ong Giok-yan itu, ternyata
sedikit pun tidak berhasil.
"Kau berani main gila?
Ayo lekas!” bentak Toan Ki.
"Tapi ... tapi tenagaku
sudah habis!” sahut Peng-mama dengan muka muram dan lesu.
Toan Ki coba meraba ke bawah
meja dan menarik sekali alat jeplakannya, perlahan gelang baja yang melingkari
pinggang Giok-yan pun mengkeret masuk ke dalam pilar.
Toan Ki sangat girang, tapi ia
belum mau melepaskan Peng-mama, sambil masih pegang tangan nenek itu, ia
jemput golok dan memotong tali
pengikat A Cu dan A Pik, kemudian kedua dayang itu mengeluarkan sendiri sumbat
mulut mereka, saking girang dan terharunya sampai kedua dayang itu tidak
sanggup bersuara untuk sejenak lamanya.
Giok-yan melototi Toan Ki
dengan sikap terheran-heran, katanya kemudian, "Jadi kau mahir
‘Hoa-kang-tayhoat’? Ilmu yang terkenal kotor itu juga engkau pelajari?”
"Kepandaianku ini bukan
‘Hoa-kang-tay-hoat’ segala, tapi adalah ilmu warisan keluarga Toan kami yang
disebut ‘Thay-yang-yong-swat-kang’ (ilmu sang surya mencairkan salju), yaitu
semacam ilmu perubahan dari campuran It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam, boleh
dikatakan merupakan ilmu lawan dari Hoa-kang-tay-hoat yang jahat itu, maka
tidak dapat disamaratakan,” demikian sahut Toan Ki. Ia pikir tidak mungkin
menceritakan pengalamannya tentang mendapat ilmu Cu-hap-sin-kang yang panjang
dan makan waktu itu, maka sengaja dikarangnya suatu nama sekenanya atas ilmu
itu.
Ternyata Giok-yan percaya
sepenuhnya, katanya dengan tertawa, "Maaf, jika begitu adalah aku sendiri
yang kurang pengalaman. Bahkan tentang It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam dari
keluarga Toan kalian di Tayli juga aku cuma tahu namanya saja, maka kelak masih
diharapkan petunjukmu.”
Bagi Toan Ki, asal si cantik
sudi minta petunjuk padanya, itulah jauh melebihi harapannya, maka cepat
sahutnya, "Asal Siocia suka, segala pertanyaanmu pasti akan kujelaskan
sampai sekecil-kecilnya.”
Sungguh mimpi pun tak diduga
oleh A Cu dan A Pik bahwa pada saat yang genting itu tiba-tiba Toan Ki bisa
datang menolong mereka, bahkan tampak bicara sangat akrab dengan Ong-siocia,
tentu saja mereka lebih-lebih heran. Segera A Cu berkata, "Banyak terima
kasih atas pertolonganmu, Kohnio! Agar rahasia kami tidak sampai bocor, kami
ingin membawa pergi Peng-mama ini.”
Keruan Peng-mama menjadi
khawatir, serunya dengan lemah, "Jang ... jangan ....”
Namun A Cu sudah lantas pencet
pipi nenek itu hingga mulutnya mengap, terus saja ia masukkan sumbat yang
dikeluarkannya dari mulut sendiri tadi ke dalam mulut Peng-mama.
"Haha! Bagus!” seru Toan
Ki dengan tertawa. "Ini namanya ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’, sesuai
dengan istilah ‘senjata makan tuan’ dari keluarga Buyung kalian!”
Tiba-tiba Giok-yan ikut
berkata, "Marilah biar aku ikut pergi bersama kalian untuk melihat
bagaimana ... bagaimana dengan dia.”
A Cu dan A Pik menjadi girang,
mereka tahu siapa yang dimaksudkan si "dia” itu, serta mereka berbareng,
"Jika nona sudi pergi membantunya, itulah paling baik.”
Segera kedua dayang itu
menyeret Peng-mama ke dekat pilar dan menarik alat jeplakan hingga nenek itu
kena dikurung di dalam lingkaran gelang baja Habis itu mereka berempat lantas
menuju ke tepi danau.
Syukurlah sepanjang jalan
mereka tidak dipergoki kawanan dayang yang lain. Sesudah berada di atas perahu,
segera A Cu dan A Pik mendayung dengan cepat meninggalkan Man-to-san-ceng.
Berkat petunjuk Giok-yan, maka
dengan mudah dapatlah mereka keluar dari perairan yang membingungkan itu. Setiba
di luar danau yang bebas, A Cu dan A Pik sendiri sudah dapat mengenali jalanan
air di situ. Sementara itu hari sudah dekat magrib, cuaca sudah remang-remang.
"Nona, dari sini paling
dekat kalau menuju ke pondok hamba, malam ini terpaksa mesti bikin susah nona
menginap semalam di tempat hamba dan besok kita dapat berunding cara bagaimana
harus pergi mencari Kongcu,” demikian kata A Cu.
"Baiklah,” sahut Giok-yan
singkat.
Semakin jauh meninggalkan
Man-to-san-ceng, gadis itu bertambah pendiam tampaknya.
Setelah perahu didayung sekian
lama pula, cuaca sudah mulai gelap, hanya jauh di arah timur sana tampak sinar
api yang berkelip-kelip. Maka berkatalah A Pik, "Tempat yang ada sinar api
itulah Thing-hiang-cing-sik tempat tinggal Enci A Cu.”
Segera perahu didayung ke arah
sinar pelita itu.
Tiba-tiba timbul pikiran Toan
Ki, "Alangkah senangnya bila selama hidup ini dapat berada dalam perahu
seperti sekarang ini dan selamanya takkan mencapai tempat sinar pelita itu!”
Dalam pada itu terdengar Giok-yan
lagi menghela napas perlahan, lalu terdengar A Pik menghiburnya dengan suara
halus, "Harap nona jangan khawatir. Selamanya Kongcu tidak pernah
mengalami kesukaran apa-apa, sekali ini tentu juga akan pulang dengan selamat.”
"Kalau dia pergi ke tempat
orang Kay-pang tentu aku tidak perlu khawatir,” kata Giok-yan. "Tapi
Siau-lim-si itu tidak boleh dipandang remeh. Meski ke-72 macam ilmu Siau-lim-si
telah dipahami semua olehnya, tetapi bila tiba-tiba ada orang menyerangnya
dengan ilmu aneh yang jarang diketahui orang luar, kan berbahaya. Ai ....”
Mendengar ucapan si nona yang
penuh rasa khawatir dan bernada gegetun, seketika timbul rasa cemburu Toan Ki.
Tiba-tiba terpikir olehnya, "Bilamana di dunia ini ada juga seorang gadis
jelita seperti nona ini sedemikian mendalam cintanya padaku, entah betapa rasa
bahagia hidupku ini? Pernah juga Wan-moay mencintaiku, sejak dia tahu aku ini
kakak kandungnya, tentu perasaannya kepadaku sudah berubah sekarang. Dan selama
ini entah dia berada di mana? Tentang nona Ciong? Nona cilik ini masih
kekanak-kanakan dan hijau, kalau terkadang dia terkenang padaku, paling-paling
juga cuma sepintas ingat saja untuk lain saat akan lupa lagi, tidak nanti ia
merindukan kekasihnya setiap saat sebagaimana Ong-kohnio sekarang ini. Dan
entah bagaimana nasib gadis cilik yang digondol lari In Tiong-ho itu? Ayah dan
paman telah menjodohkan aku dengan putri Ko-pepek. Tapi muka nona Ko itu
selamanya belum pernah kukenal, apakah dia cantik atau jelek, apakah tinggi
atau pendek, bundar atau gepeng, sama sekali aku tidak tahu, dengan sendirinya
aku tidak dapat mengenangkan dia dan dia tentu juga takkan merindukan aku.”
Sementara itu perahu mereka
sudah makin mendekati tempat tujuan. Tiba-tiba A Cu membisiki A Pik,
"Lihatlah A Pik, tampaknya agak kurang beres gelagatnya!”
"Ya, kenapa begitu banyak
sinar pelitanya?” sahut A Pik sambil mengangguk. Tapi segera katanya pula
dengan tertawa, "Ah, mungkin di rumahmu sedang diadakan perayaan
Cap-go-meh, maka terang benderang begitu? Atau boleh jadi mereka sedang
menantikan engkau untuk merayakan hari lahirmu?”
Namun A Cu diam saja sambil
terus memerhatikan titik sinar api di kediamannya sana. Kini Toan Ki juga dapat
melihat jelas bahwa pada suatu benua kecil sana terdapat beberapa bangunan
rumah, di antaranya ada dua gedung bersusun dan dari jendela rumah itulah
tampak banyak sinar pelitanya.
"Rumah tinggal A Cu ini
namanya ‘Thing-hiang-cing-sik’, tentu sama indahnya seperti ‘Khim-im-siau-tiok’
tempat tinggal A Pik itu,” demikian pikir Toan Ki.
Kira-kira beberapa ratus meter
sebelum tiba di rumah A Cu itu, mendadak A Cu tidak mendayung lagi, katanya,
"Ong-kohnio, di rumahku kedatangan musuh!”
"Apa katamu? Kedatangan
musuh? Dari mana kau tahu dan siapakah musuhmu?” tanya nona Ong terkejut.
"Musuh macam apa belum
kuketahui,” sahut A Cu. "Namun cobalah engkau menciumnya, bau arak yang
keras
ini pastilah perbuatan kaum
perusuh itu.”
Giok-yan coba mengendus
beberapa kali sekeras-kerasnya, tapi tidak mencium sesuatu bau apa-apa. Begitu
pula Toan Ki dan A Pik juga tidak mengendus sesuatu bau aneh.
Kiranya daya endus A Cu memang
lain daripada orang lain tajamnya, dari tempat jauh ia dapat membedakan sesuatu
bau yang aneh. Maka katanya, "Wah, celaka! Mereka telah mengubrak-abrik
macam-macam sari bunga melati, mawar dan lain-lain yang kukumpulkan dengan
susah payah itu, wah, ludeslah sudah ....”
Begitulah ia mengeluh dan
hampir-hampir menangis.
Toan Ki menjadi heran dari
mana A Cu mengetahui hal itu? Maka ia coba tanya, "Dari mana kau tahu?
Masa matamu begitu tajam hingga dapat melihat tempat jauh?”
"Bukan melihat, tapi aku
dapat mengendusnya,” sahut A Cu. "Ai, dengan hati-hati aku membuat sari
bunga itu, kini pasti telah habis diminum oleh orang-orang jahat itu sebagai
arak.”
"Lantas bagaimana Enci A
Cu?” tanya A Pik. "Kita tetap pergi ke sana melabrak mereka atau
menyingkir saja?”
"Entah musuh lihai atau
tidak ....” sahut A Cu dengan ragu.
"Benar,” sela Toan Ki
tiba-tiba, "kalau lihai, lebih baik kita menghindari saja. Bila cuma kaum
keroco, ayolah kita tabrak mereka biar kapok.”
Memangnya A Cu lagi
mendongkol, mendengar ucapan Toan Ki yang tidak berguna itu, segera ia
mengomel, "Hm, hanya berani pada yang lemah, terhitung orang gagah macam
apa? Dan dari mana kau tahu musuh lihai atau tidak?”
"Hal ini sangat mudah,”
sahut Toan Ki. "Biarlah kupergi ke sana untuk menyelidiki lebih dulu dan
kalian bertiga boleh menunggu saja di dalam perahu, jika gelagatnya jelek,
cepatan kalian melarikan diri dan jangan urus diriku.”
Sungguh ucapan Toan Ki ini
sama sekali di luar dugaan ketiga gadis itu. Mereka melihat tingkah laku pemuda
ini sangat kaku, sedikit pun
tiada tanda-tanda mahir ilmu silat. Akan tetapi nyatanya Peng-mama, penjaga
gudang rabuk bunga yang ganas itu sekali tangannya kena dipegang olehnya terus
tak bisa berkutik, bahkan tenaganya lantas hilang dalam waktu sekejap saja.
Apakah sesungguhnya pemuda ini memiliki ilmu silat mahahebat dan sengaja
berlagak bodoh saja?
Segera Giok-yan berkata,
"Jika engkau pergi ke sana dan dipergoki musuh, lalu engkau dihajar atau
dibunuh, lantas bagaimana?”
"Jika begitu, ya, apa
boleh buat?” sahut Toan Ki sambil angkat pundak. "Tapi biasanya aku selalu
dilindungi Yang Mahakuasa, kalau ada bahaya selalu berubah selamat.”
Di mulut ia berkata demikian,
tapi dalam hati ia merasa biarpun mati bagi gadis jelita seperti dikau juga aku
rela.
Mendadak Giok-yan angkat jari
kiri terus menutuk Thay-yang-hiat di pelipis Toan Ki. Hiat-to itu adalah salah
satu tempat mematikan di tubuh manusia, kalau kena tertutuk seketika akan
terbinasa. Tak peduli betapa tinggi ilmu silat orangnya, tidak mungkin Hiat-to
berbahaya itu dapat ditutup. Namun dalam kegelapan sama sekali Toan Ki tidak
sadar bahwa jiwanya lagi terancam.
Melihat itu, A Pik bersuara
kaget, sebaliknya A Cu diam saja, ia tahu sang Siocia sengaja lagi menjajal
Toan Ki apakah benar-benar tidak mahir ilmu silat atau cuma berlagak pilon?
Ternyata ketika jari Giok-yan
hampir menempel Thay-yang-hiat, tapi Toan Ki tetap tidak berasa, bahkan pemuda
itu berkata, "Kalian bertiga nona muda belia, kalau mesti menghadapi musuh
jahat, rasanya memang kurang baik.”
Maka perlahan Giok-yan tarik
kembali jarinya dan bertanya, "Apa benar-benar engkau tidak pernah belajar
silat?”
"Jika kepandaianku
Thay-yang-yong-swat-kang ini tidak terhitung sebagai ilmu silat, maka aku
benar-benar tidak pernah belajar,” sahut Toan Ki dengan tertawa.
"He, aku mendapat alat,”
tiba-tiba A Cu berkata. "Marilah kita berganti pakaian dahulu, kita pergi
menemui mereka dengan menyamar sebagai kaum nelayan.”
Segera ia menunjuk ke sebelah
timur sana dan berkata pula, "Di situ terdapat beberapa keluarga kaum
nelayan,
semuanya kukenal, marilah kita
ke sana dulu.”
"Bagus, akal bagus!” seru
Toan Ki dengan tertawa.
Segera perahu mereka didayung
ke sana. Rumah kaum nelayan itu berdekatan dengan Thing-hiang-cing-sik, maka A
Cu cukup kenal para tetangga itu.
Lebih dulu A Cu, A Pik dan
Giok-yan minta pinjam beberapa perangkat pakaian keluarga nelayan itu. Sesudah
menyamar sebagai wanita tukang tangkap ikan, lalu datang giliran Toan Ki
menyaru sebagai nelayan setengah umur.
Kepandaian menyamar A Cu
ternyata sangat hebat dan persis sekali. Ia gunakan tepung dan tanah liat
sebagai bahan pembantu untuk mengubah muka mereka. Ia sendiri menyaru sebagai
nenek pula, Giok-yan dan A Pik menjadi wanita nelayan setengah umur. Hanya
sekejap saja wajah mereka sudah berubah jauh daripada usia mereka yang
sebenarnya.
Kemudian A Cu pinjam pula
perahu nelayan, jala, pancing, dan ikan yang masih segar. Dengan perahu
pinjaman itu mereka lantas menuju ke Thing-hiang-cing-sik.
Meski wajah mereka sekarang
sudah sukar dikenali, tetapi suara Toan Ki, Giok-yan dan A Pik tetap tidak
berubah, begitu pula tingkah laku mereka mudah diketahui. Maka berkatalah
Giok-yan dengan tertawa, "A Cu, segala apa nanti terserahlah padamu, kami
terpaksa menjadi orang gagu untuk sementara.”
"Memang begitulah
harapanku, tanggung rahasia kita takkan diketahui musuh,” sahut A Cu dengan
tertawa.
Perlahan perahu mereka
meluncur sampai di depan rumah tinggal A Cu itu. Ternyata sekeliling rumah itu
penuh pohon Yangliu, dari dalam rumah terus-menerus terdengar suara teriakan
dan gelak tawa orang yang kasar dan kotor hingga sangat bertentangan dengan keindahan
rumah dan pemandangan di sekitar rumah.
A Cu menghela napas dengan
mendongkol. Segera A Pik membisikinya, "Jangan resah Enci A Cu, setelah
mengenyahkan musuh akan kubantu membersihkan rumahmu.”
A Cu meremas-remas tangan A
Pik dengan perlahan sebagai tanda terima kasih. Lalu ia membawa Toan Ki bertiga
berputar ke arah dapur di belakang rumah. Di sana tampak koki Lau Koh yang
gendut sedang sibuk hingga mandi keringat, anehnya koki itu terus-menerus
meludahi santapan dalam wajan, lalu mencomot pula
segenggam debu kotoran dan
ditaburkan juga ke dalam wajan.
A Cu merasa heran dan dongkol,
serunya segera, "Hei, Lau Koh, apa yang kau lakukan?”
Keruan Lau Koh berjingkrak
kaget, sahutnya tergegap, "O, aku ... aku ... engkau ....”
"Aku nona A Cu,” kata A
Cu dengan tertawa.
"Hah, kiranya nona A Cu
sudah pulang,” seru Lau Koh dengan girang. "Di depan banyak kedatangan
orang jahat dan aku dipaksa menyediakan daharan, lihatlah!”
Habis berkata ia mengusap
ingusnya dan dibuang ke dalam sayur, bahkan tambah diludahi sekali lagi, lalu
tertawalah koki gendut itu dengan terkekeh-kekeh.
Melihat kelakuan si koki yang
lucu itu, diam-diam A Cu dan A Pik juga geli menahan tawa.
Kiranya musuh yang bikin rusuh
ke rumah A Cu itu telah memerintah dan memanggil Lau Koh ke sini dan ke sana
hingga koki itu sibuk tak keruan, akhirnya disuruhnya pula cepat menyediakan
perjamuan. Karena penasaran, terpaksa Lau Koh membalas dendam dengan menaruh
kotoran di dalam masakan yang dibuatnya itu.
"Idiih, masakanmu begini
kotor,” demikian kata A Cu dengan kening bekernyit.
"O, tidak, tidak! Masakan
untuk nona, tentu sebelumnya kucuci tangan sebersih-bersihnya,” cepat Lau Koh
menyahut. "Tapi masakan untuk orang jahat, sengaja kubikin
sekotor-kotornya.”
"Kelak kalau kulihat
sayur masakanmu, bila teringat perbuatanmu sekarang pasti aku akan merasa
muak,” ujar A Cu.
"Tidak, pasti tidak sama!
Santapan untuk nona, tanggung seratus persen bersih,” sahut Lau Koh agak gugup.
Harus diketahui bahwa meski A
Cu adalah pelayan Buyung-kongcu, tapi di Thing-hiang-cing-sik ia adalah
majikan dan mempunyai pelayan
dan koki sendiri serta tukang kebun dan lain-lain.
Kemudian A Cu tanya, "Ada
berapa orang musuh yang datang?”
"Pertama datang satu
rombongan kira-kira belasan orang jumlahnya, kemudian datang lagi serombongan
lebih 20 orang,” tutur Lau Koh.
"Jadi terdiri dari dua
rombongan? Orang-orang macam apa saja? Bagaimana dandanan mereka? Dari logat
bicara mereka kedengarannya orang dari daerah mana?” tanya A Cu.
"Tampaknya yang satu
rombongan orang utara, kelakuan mereka mirip bandit, dan rombongan yang lain
terang orang Sujoan, semuanya memakai jubah putih, tapi tidak diketahui asal
usulnya,” tutur Lau Koh.
"Mereka ingin mencari siapa?
Apakah sudah melukai kita?” tanya A Cu.
"Kedua gerombolan itu
begitu datang lantas menanyakan di mana Kongcu berada, kami menjawab tidak
tahu, tapi mereka tidak percaya terus menggeledah seluruh isi rumah hingga para
pelayan sama ketakutan dan bersembunyi, hanya aku merasa penasaran melihat
tingkah laku mereka yang tidak kenal aturan itu, maka telah kutegur mereka, mak
....”
Sebenarnya Lau Koh hendak
memaki dengan kata-kata kotor, tapi teringat olehnya sedang bicara dengan A Cu,
maka kata-kata yang sudah setengah diucapkannya itu ditelannya kembali
mentah-mentah.
A Cu dapat melihat mata kiri
Lau Koh matang biru, pipi merah bengap, terang tadi habis dihajar oleh kawanan
perusuh itu, pantas ia masih dendam, maka meludah dari mengingusi masakan yang
akan disajikan kepada kawanan penyatron itu.
Setelah berpikir sejenak,
segera A Cu membawa Giok-yan bertiga keluar dari pintu samping dapur dan menuju
ke ruangan depan. Kira-kira beberapa meter sebelum sampai di samping ruangan
tengah yang dituju, tiba-tiba terdengar suara ribut orang.
Giok-yan adalah gadis yang
tidak pernah keluar rumah, sedang Toan Ki tinggal di daerah selatan yang jauh
terpencil, maka mereka kurang pengalaman dan tidak mendengar sesuatu yang
mencurigakan dari suara orangorang itu.
Akan tetapi A Cu yang pandai
menyamar dan pintar menirukan macam-macam suara dan nada orang itu, begitu
mendengar suara ramai orang-orang itu segera merasa heran, sebab suara ribut
itu kedengarannya sangat kasar, banyak kata-kata di antaranya sukar dimengerti,
biarpun A Cu mahir berbagai bahasa daerah. Malahan logat orang Sujoan sama
sekali tidak terdengar, padahal menurut cerita Lau Koh tadi, katanya salah satu
rombongan orang itu terdiri dari orang Sujoan.
Dengan perlahan A Cu mendekati
jendela panjang ruangan itu, ia robek sedikit kertas jendela dengan kukunya dan
mengintip ke dalam. Ia lihat sinar lilin terang benderang, tapi hanya sebelah
timur saja yang tersorot jelas dan kelihatan balasan laki-laki kasar dan kekar
sedang makan-minum dengan senang dan bebas, mangkuk piring di atas meja tampak
tumpang-siur tak keruan, di sekitar meja pun morat-marit, beberapa orang di
antaranya tampak duduk di atas meja, sumpit yang tersedia juga tak diperlukan
lagi, dengan tangan mereka menyambar paha ayam dan daging terus digerogoti
dengan lahap. Bahkan ada di antaranya terus menggunakan golok mereka untuk
memotong daging dan ikan serta menyunduk dengan ujung golok, lalu dicaplok
begitu saja dengan lahapnya.
Sungguh A Cu sangat gemas
melihat tempatnya yang rajin bersih itu dipakai pesta pora hingga morat-marit
tak keruan macamnya. Ia lihat tingkah laku orang-orang itu sangat kasar, terang
adalah orang dari daerah perbatasan yang kurang beradab.
Sesudah mengintip rombongan
orang kasar itu, kemudian ia memandang pula ke arah lain, semula ia tidak
menaruh perhatian, tapi sesudah dipandang pula, tanpa terasa ia bergidik
sendiri.
Kiranya rombongan lebih 20
orang di sebelah lain semuanya mengenakan jubah putih dan duduk dengan rajin
dan prihatin. Di atas meja mereka cuma tersulut sebatang lilin kecil hingga
tempat yang dicapai cahaya lilin itu cuma satu-dua meter jauhnya, hanya
beberapa orang di antaranya yang berdekatan dengan api lilin itu dapat terlihat
jelas, wajah mereka tampak kurus kering, perawakan juga tinggi kurus, muka kaku
tanpa perasaan hingga lebih mirip mayat hidup belaka.
Makin dipandang A Cu makin
mengirik. Orang-orang itu tetap duduk saja tanpa bergerak dan tidak bersuara,
kalau bukan beberapa orang di antaranya terkadang mengedip mata, mungkin mereka
akan disangka sebagai mayat hidup sungguh-sungguh.
Melihat A Cu terpaku di
tempatnya, segera A Pik mendekatinya, ketika ia memegang tangan kawan itu, ia
merasa tangan A Cu sedingin es, bahkan rada gemetar. Ia menjadi heran, ia pun
mencukit setitik lubang kertas jendela dan ikut mengintip ke dalam. Kebetulan
sorot matanya kebentrok dengan seorang laki-laki yang berwajah kaku dan kurus,
orang itu melototi A Pik sekali serupa setan iblis. Keruan A Pik terkejut dan
menjerit tertahan.
Sedikit suara berisik itu
lantas didengar oleh orang-orang di dalam ruangan, terdengarlah suara
gedubrakan,
daun jendela menjadi jebol dan
berbareng empat orang melompat keluar. Persis yang dua orang adalah jago
perbatasan dan dua orang yang lain adalah manusia aneh dari Sujoan.
"Siapa kalian?” bentak
kedua laki-laki kekar itu segera.
"Kami nelayan di sekitar
sini, kami dapat menangkap beberapa ekor ikan segar dan ingin dijual kepada
tuan rumah di sini. Wah, ikan dan udang yang benar-benar masih sangat segar!”
demikian sahut A Cu dengan bahasa daerah Sujoan sambil menunjukkan ikan dan
udang besar yang sengaja dibawanya itu.
Sebenarnya laki-laki itu tidak
paham bahasa yang diucapkan A Cu itu, tapi demi melihat dandanan A Cu sebagai
wanita nelayan serta ikan dan udang yang dibawanya itu, dengan sendirinya
mereka dapat menangkap maksud perkataannya. Segera salah seorang di antaranya
merampas ikan yang dibawa A Cu sambil berseru, "Ah, kebetulan sekali. Hai,
koki, mana koki! Ini, bawalah ke dapur untuk dimasak sebagai pengiring arak!”
Begitu pula laki-laki yang
lain segera menerima ikan yang dipegang Toan Ki terus dibawa ke dapur.
Kedua tokoh aneh dari Sujoan
yang kurus kering itu melihat A Cu berempat hanya kaum nelayan saja, mereka
tidak urus lebih jauh dan hendak masuk kembali ke dalam.
Ketika kedua orang Sujoan itu
berjalan lewat di samping A Pik, tiba-tiba A Pik mengendus semacam bau bacin
seperti ikan busuk yang memualkan. Saking tak tahan, A Pik angkat sebelah
tangan hendak mendekap hidung.
Karena itu sekilas salah
seorang jago Sujoan itu dapat melihat lengan A Pik yang putih bersih laksana
salju, ia menjadi curiga seketika. Pikirnya, "Masakah seorang wanita
tukang tangkap ikan setengah umur bisa mempunyai lengan sedemikian putih dan
halusnya?”
Langsung ia pegang lengan A
Pik sambil membentak, "Aha, berapakah umurmu, hah?”
Keruan A Pik terkejut, tanpa
pikir ia kipratkan tangannya sambil menjawab, "Apa yang hendak kau
lakukan? Mengapa main pegang-pegang segala?”
Suara A Pik kedengaran nyaring
dan lembut, tenaga kipratannya itu sangat cekatan pula hingga tangan
Sujoankoay-khek atau orang aneh dari Sujoan itu kesemutan, ia terentak hingga
terhuyung-huyung mundur beberapa tindak.
Karena kejadian ini, pecahlah
guci wasiat A Cu, terbongkarlah rahasia penyaruannya. Begitu keempat orang di
luar itu berteriak, lantas saja dari dalam membanjir keluar pula belasan orang
hingga Toan Ki berempat dikepung rapat di tengah.
Segera seorang laki-laki kekar
menarik sekuatnya jenggotnya Toan Ki, untuk menghindar terang Toan Ki tidak
mampu, maka terlepaslah jenggot palsunya itu. Seorang lagi hendak memegang A
Pik, tapi sekali mengegos sambil mendorong, kontan orang itu disengkelit roboh
oleh si gadis. Menyusul seorang lain tiba-tiba membabat dengan pedangnya dari
belakang, cepat A Pik mendakkan tubuh untuk menghindar, tapi ia lupa telah
memakai rambut palsu hingga sanggulnya lebih tinggi beberapa senti daripada
biasanya. "Sreet”, tahu-tahu rambut palsunya yang ubanan itu jatuh tersapu
pedang hingga kelihatanlah rambut asli A Pik yang hitam mengilap.
Keruan suasana menjadi geger
seketika, beramai-ramai kawanan penyatron itu berteriak-teriak, "Hai,
matamata musuh, tangkap mereka!” — "Ya, malah sengaja menyamar hendak
menipu kita!” — "Lekas tangkap mereka dan beri hajaran yang setimpal!”
Namun A Cu lantas balas
membentak dengan gusar, "Tutup mulut kalian! Rumah siapa ini? Siapa yang
menjadi mata-mata?”
Tapi orang-orang itu lantas
menggiring A Cu berempat ke dalam ruangan dan memberi laporan kepada seorang
tua yang berduduk di pojok timur sana, "Yau-cecu, kita telah dapat
menangkap mata-mata yang menyamar sebagai nelayan!”
Di tengah kepungan orang
sebanyak itu, Giok-yan, A Cu, dan A Pik menjadi ragu-ragu. Meski mereka bertiga
mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, tapi mereka kurang pengalaman dan
masih muda, mereka menjadi bingung apakah mesti melabrak perusuh-perusuh ini
atau menunggu sampai nanti bila keadaan sudah terpaksa. Lebih-lebih Toan Ki, ia
tidak mahir ilmu silat, sama sekali ia tidak tahu siapa di antara
perusuh-perusuh itu paling kuat dan siapa lebih lemah. Karena itu mereka
berempat hanya saling pandang saja dengan bingung, terpaksa mereka berdiri di
depan orang tua itu untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan olehnya.
Perawakan orang itu sangat
kekar dan tegap, jenggotnya yang putih itu memanjang sampai di dada, sebelah
tangannya sedang memainkan tiga butir bola besi hingga menerbitkan suara
gemerantang yang nyaring.
Terdengarlah ia bersuara,
"Mata-mata musuh dari manakah kalian ini? Kalian menyamar dengan tingkah
laku yang mencurigakan, kalian pasti bukan manusia baik-baik.”
"Menyamar sebagai nenek
tidak menarik, aku tidak mau lagi A Cu,” tiba-tiba Giok-yan berkata sambil
membuang rambut palsunya serta mengucap muka sendiri hingga rontok semua tepung
dan tamah yang lengket di mukanya itu.
Ketika mendadak seorang nenek
berubah menjadi seorang gadis cantik tak terhingga, seketika laki-laki yang
berada di situ terlongong-longong kesima, untuk sesaat di tengah ruangan itu
menjadi sunyi senyap. Bahkan jago-jago Sujoan mengarahkan sinar mata mereka
kepada Giok-yan.
"Kalian pun buang saja
penyamaranmu,” kata Giok-yan kepada A Cu dan lain-lain. Lalu dengan tertawa
katanya pula kepada A Pik, "Gara-garamu hingga rahasia kita terbongkar.”
Meski sekelilingnya dikepung
rapat oleh laki-laki buas sebanyak itu, namun Giok-yan tetap bicara dengan
sewajarnya saja seperti pandang sebelah mata kepada kawanan perusuh itu.
Segera Toan Ki, A Cu dan A Pik
menurut dan membersihkan samaran mereka. Untuk sejenak semua laki-laki yang
berada di situ sama ternganga, mereka pandang Giok-yan, lalu memandang pula A
Cu dan A Pik, sungguh tak terpikir oleh mereka bahwa di dunia ini ada nona-nona
cantik bagaikan bidadari seperti ini?
Selang agak lama orang tua
yang tegap kekar itu baru membuka suara lagi, "Siapakah kalian? Untuk apa
kalian datang ke sini?”
"Haha, sungguh lucu!”
sahut A Cu dengan tertawa. "Aku inilah pemilik Thing-hiang-cing-sik,
bukannya aku menegur kalian, sebaliknya kalian malah tanya padaku. Bukankah
sangat janggal? Nah, siapakah kalian, untuk apa kalian datang ke sini?”
"O, jadi kau tuan rumah
di sini, itulah bagus sekali,” kata orang tua itu. "Apakah engkau ini Buyung-siocia?
Tentunya Buyung Bok itu ayahmu, bukan?”
"Aku cuma seorang budak
rendahan, masakah punya rezeki sebesar itu untuk menjadi putri Loya?” sahut A
Cu dengan tersenyum. "Siapakah tuan? Ada keperluan apa datang ke sini?”
Mendengar A Cu mengaku sebagai
seorang budak saja, kakek itu separuh tidak percaya, ia pikir sejenak, kemudian
baru berkata, "Jika demikian, silakan panggil keluar majikanmu, nanti akan
kuberi tahukan maksud kedatanganku.”
"Majikanku sedang
bepergian,” sahut A Cu. "Tuan ada keperluan apa, katakan padaku juga sama
saja. Siapakah nama tuan yang terhormat, apakah tidak dapat memberi tahu?”
"Ehm, aku Yau-cecu dari
Cin-keh-ce di Hunciu, namaku Yau Pek-tong adanya,” sahut si kakek.
"O, kiranya Yau-loyacu,
kagum, sudah lama kagum!” ujar A Cu.
"Haha, seorang nona cilik
seperti dirimu bisa tahu apa?” kata Yau Pek-tong dengan tertawa.
Di luar dugaan Ong Giok-yan
lantas menyambung, "Cin-keh-ce di Hunciu terkenal karena
‘Ngo-hou-toan-bunto’. Dahulu Yau Kong-bang menciptakan 64 jurus Toan-bun-to
itu, namun keturunannya telah melupakan lima jurus di antaranya dan kabarnya
tinggal 59 jurus saja yang masih turun-temurun diajarkan anak muridnya.
Yaucecu, engkau sendiri sudah mahir sampai jurus keberapa?”
Sungguh kejut Yau Pek-tong tak
terkatakan, tanpa terasa tercetus jawabannya, "Ngo-hou-toan-bun-to dari
Cinkeh-ce kami memang aslinya ada 64 jurus, dari mana engkau dapat tahu!”
"Begitulah apa yang
tertulis dalam buku, tentunya tidak salah bukan?” sahut Giok-yan dengan tawar.
"Dan kelima jurus yang kurang itu masing-masing adalah Pek-hou-tiau-kang
(harimau putih melompat parit), ‘It-siuhong-sing’ (sekali bersuit keluarlah
angin), ‘Cian-bok-cu-ju’ (memotong dan menubruk dengan bebas),
‘Hiongpa-kun-san’ (merajai di antara gunung-gunung) dan jurus terakhir adalah
‘Hong-siang-seng-say’ (taklukkan gajah dan kalahkan singa), betul tidak?”
Yau Pek-tong mengelus
jenggotnya dengan heran. Tentang kekurangan lima jurus paling bagus dari ilmu
golok perguruan sendiri itu diketahuinya memang sejak dulu tidak diajarkan
lagi, dan tentang kelima jurus apa yang hilang itu pun tiada seorang yang tahu.
Tapi kini nona ini dapat menguraikan secara lancar dan tepat, keruan Yau
Pek-tong terkejut dan curiga, pertanyaan Giok-yan itu pun tak bisa dijawabnya.
Segera seorang laki-laki
setengah umur di antara rombongan jago-jago Sujoan yang aneh itu berkata dengan
suara yang banci, "Ngo-hou-toan-bun-to dari Cin-keh-ce sangat disegani di
daerah Hosiok, baik lebih lima jurus ataupun kurang lima jurus juga tidak
menjadi soal. Numpang tanya ada hubungan apakah nona ini dengan Buyung Hok
Buyung-siansing?”
"Buyung-loyacu adalah aku
punya Kuku, dan siapa nama tuan yang terhormat?” sahut Giok-yan.
"Nona berasal dari
keluarga terpelajar, sekali melihat lantas dapat mengatakan asal usul ilmu
silat Yau-cecu,” kata laki-laki itu dengan dingin. "Maka tentang asal-usul
kami, ingin kuminta nona juga coba-coba menerkanya.”
"Untuk itu coba mengunjuk
sejurus-dua lebih dulu,” sahut Giok-yan. "Kalau cuma berdasarkan beberapa
patah kata saja aku tidak sanggup menerkanya.”
"Benar,” ujar laki-laki
itu sambil mengangguk. Habis itu ia lantas masukkan tangan kanan ke dalam
lengan baju kiri dan tangan kiri menyusup ke dalam lengan baju kanan hingga
mirip orang yang kedinginan. Tapi ketika kemudian kedua tangan dilolos keluar,
tahu-tahu setiap tangan sudah bertambah dengan semacam senjata yang aneh
bentuknya.
Senjata yang dipegang tangan
kiri adalah sebatang Thi-cui (gurdi) sepanjang belasan senti, bagian ujungnya
yang runcing itu melengkung-lengkung seperti keris. Sedangkan tangan kanan
memegang senjata sebatang palu kecil, palu itu berbentuk astakona atau segi
delapan, panjangnya kurang lebih 30 senti. Senjata-senjata yang kecil mungil
itu lebih mirip mainan kanak-kanak, tampaknya kurang berguna dipakai sebagai
alat bertempur.
Karena itu segera beberapa
laki-laki kekar dari rombongan sebelah timur sana lantas bergelak tertawa. Kata
mereka di antaranya, "Hahaha, mainan anak kecil juga dikeluarkan di sini!”
Tapi Giok-yan lantas berkata,
"Ehm, senjatamu ini adalah ‘Lui-kong-hong’ (beledek menyambar), agaknya
tuan ini mahir menggunakan Am-gi dan Ginkang. Menurut catatan di dalam buku,
‘Lui-kong-hong’ adalah senjata tunggal dari Jing-sia-pay dari Sujoan. ‘Jing’
meliputi 18 macam senjata dan ‘Sia’ mencakup 36 tipu serangan. Caranya sangat
aneh dan hebat. Besar kemungkinan tuan she Suma, bukan?”
Wajah laki-laki itu sebenarnya
selalu membeku tanpa perasaan, tapi demi mendengar uraian Giok-yan itu,
seketika wajahnya berubah, ia saling pandang dengan kedua pembantu di
kanan-kirinya. Selang sejenak baru ia berkata pula, "Betapa luas
pengetahuan ilmu silat dari Buyung-si di Koh-soh, nyata memang bukan omong
kosong belaka. Cayhe memang she Suma dan bernama Lim. Numpang tanya sekalian
pada nona, apa benarbenar istilah ‘Jing’ meliputi 18 macam senjata dan ‘Sia’
mencakup 36 tipu serangan?”
"Pertanyaanmu ini sangat
kebetulan,” sahut Giok-yan. "Aku justru merasa ‘Jing’ itu meliputi 19 jenis
senjata, sebab di antaranya Po-te-ci (biji tasbih) dan Thi-lian-ci (biji
teratai) tidak dapat dipersamakan, bentuknya memang hampir mirip, tapi cara
menggunakannya berbeda. Sedang mengenai ‘Sia’ yang mencakup 36 tipu serangan
itu, kukira tiga serangan ‘Boh-kah’ (memecahkan perisai), ‘Boh-tun’ (memecahkan
tameng), dan ‘Boh-pay’ (memecahkan utar-utar) satu-sama-lain tidak banyak
bedanya, maka lebih baik dihapuskan, hingga tinggal 33 jurus saja, supaya lebih
sempurna.”
Suma Lim terlongong-longong
mendengarkan cerita Ong Giok-yan itu. Padahal dalam ilmu silat perguruannya
itu, sebagian belum pernah lengkap dipelajarinya, dan bagian lain justru sangat
diandalkan olehnya. Tapi kini gadis semuda ini berani memberi komentar tentang
ilmu silat perguruannya itu, keruan ia menjadi gusar dan menyangka orang
keluarga Buyung sengaja hendak menghina padanya.
Namun watak Suma Lim sangat
sabar, ia dapat menahan perasaannya, maka katanya, "Banyak terima kasih
atas petunjuk nona, sungguh aku seperti orang bodoh yang menjadi pintar
sekarang.”
Dan sesudah berpikir sejenak,
timbul suatu akalnya, segera ia berkata kepada pembantu di sisi kiri,
"Cu-sute, boleh coba kau minta sedikit pengajaran kepada nona ini.”
Sutenya yang she Cu itu adalah
seorang laki-laki setengah umur bermuka jelek karena seantero mukanya burik,
kecuali jubahnya yang putih mulus itu, kepalanya juga memakai ubel-ubel putih
hingga mirip orang sedang berkabung. Di bawah sinar lilin yang remang-remang
itu tampaknya menjadi tambah seram.
Kiranya nama lengkap laki-laki
ini Cu Po-kun, sebelum masuk perguruan Jing-sia-pay ia sudah pernah belajar
silat. Usianya sebenarnya balasan tahun lebih tua daripada Suma Lim, tapi
karena masuk perguruan lebih belakang, maka urut-urutannya menjadi lebih muda
daripada Suheng yang kini menjabat ketua perguruan itu.
Tentang asal usul ilmu silat
yang dipelajari Cu Po-kun sebelum masuk Jing-sia-pay, karena selama ini dia
bungkam saja dan tidak pernah dipamerkan, maka Suma Lim sendiri pun tidak
jelas, beberapa kali ia pernah tanya, tapi Cu Po-kun selalu menjawab dengan samar-samar.
Yang terang bagi Sama Lim adalah ilmu silat Cu Po-kun itu sangat tinggi dan
pasti tidak di bawah dirinya.
Sekarang ia sengaja suruh Cu
Po-kun bergebrak dengan Ong Giok-yan, taktiknya memang sangat bagus. Pertama,
kalau si nona dapat membongkar rahasia Cu Po-kun, itu berarti akan terjawablah
teka-teki sang Sute yang belum terpecahkan selama ini.
Maka Cu Po-kun lantas berdiri,
ia pun memberi hormat sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam lengan baju,
ketika tangan terlolos keluar, tahu-tahu sudah memegang sepasang senjata gurdi
dan palu atau Lui-konghong serupa apa yang dikeluarkan Suma Lim tadi.
"Silakan nona memberi
petunjuk,” demikian katanya segera.
Semua orang menjadi heran,
kalau dengan mudah senjata Suma Lim dapat ditebak dengan jitu oleh si nona,
kini senjata Cu Po-kun juga serupa dengan Suma Lim, masakah suruh orang menebak
lagi?
Maka Giok-yan lantas berkata,
"Jika tuan juga memakai senjata ‘Lui-kong-hong’, dengan sendirinya juga
berasal dari Jing-sia-pay.”
Namun Suma Lim lantas memberi
penjelasan, "Cu-sute sebelum masuk perguruan kami sudah belajar ilmu silat
aliran lain. Dan dari aliran manakah asal usulnya itulah kami ingin menguji
ketajaman pandangan nona.”
Ini benar-benar persoalan
sulit pikir Giok-yan. Dan belum lagi ia membuka suara, tiba-tiba Yau Pek-tong
mendahului buka suara, "Suma-ciangbun, apa artinya caramu minta si nona
mengenali Kungfu asli Sutemu itu? Bukankah hal ini terlalu janggal?”
"Terlalu janggal
bagaimana?” tanya Suma Lim dengan tercengang.
"Habis, muka Sutemu penuh
lubang-lubang, ukirannya sangat bagus dan rata, muka aslinya dengan sendirinya
sukar diterka,” kata Yau Pek-tong dengan tertawa.
Mendengar Cecu mereka
mengolok-olok muka Cu Po-kun yang bopeng itu, seketika bergelak tawalah
orangorang dari Cin-keh-ce hingga riuh rendah.
Pada saat itulah, tiba-tiba
terdengar suara mendenging, secepat kilat sebuah senjata rahasia kecil lembut
menyambar ke arah dada Yau Pek-tong.
Kiranya watak Cu Po-kun itu
sangat keji dan culas, biasanya paling benci kalau ada orang menertawakan
mukanya yang burik itu. Apalagi kini Yau Pek-tong mengolok-oloknya di muka
wanita cantik, keruan bencinya sampai tujuh turunan, tanpa pikir lagi segera ia
arahkan gurdinya ke dada Yau Pek-tong, sekali jarinya memijat ujung gurdi,
terus saja sebatang Am-gi atau senjata gelap menyambar ke depan.
Meski Yau Pek-tong juga sudah
menduga bahwa olok-oloknya itu pasti akan menimbulkan serangan lawan, tapi tak
tersangka olehnya serangan Cu Po-kun bisa begitu cepat datangnya. Dalam
gugupnya ia tidak sempat mencabut golok buat menangkis, terpaksa tangan kirinya
menyambar tatakan lilin di atas meja untuk menyampuk Am-gi itu.
"Creng”, Am-gi itu
mencelat ke atas dan menancap di belandar, kiranya Am-gi itu adalah sebatang
jarum yang panjangnya cuma beberapa senti saja. Dan ternyata jarum sekecil itu
membawa tenaga yang sangat besar, tangan Yau Pek-tong sampai pegal dan
kesemutan hingga tatakan lilin itu terbentur jatuh ke lantai dan menerbitkan
suara gemerantang nyaring.
Seketika gempar gerombolan
Cin-keh-ce itu. Mereka berkaok-kaok dan mencaci-maki kalang kabut dari yang
halus sampai yang paling kasar. Tapi kawanan orang Jing-sia-pay tetap bersikap
dingin dan bungkam saja
terhadap teriakan dan makian
pihak Cin-keh-ce dianggap seperti tidak mendengar dari tidak melihat saja.
Sungguh tak terduga oleh Yau
Pek-tong bahwa tatakan lilin seantap itu dapat terlepas dari cekalannya hanya
terbentur oleh sebatang jarum selembut itu. Kalau menurut peraturan Bu-lim itu
berarti dirinya telah kalah satu jurus lebih dulu. Pikirnya dalam hati,
"Ilmu silat lawan tampaknya agak aneh, seumpama mesti bertempur dengan
mereka juga harus berhadapan secara terang-terangan. Tapi menurut uraian nona
cilik itu tadi katanya Jing-sia-pay mempunyai 18 macam jenis serangan, mungkin
maksudnya 18 jenis Am-gi, untuk ini aku harus berlaku hati-hati supaya tidak
kecundang lagi.”
Segera ia hentikan teriakan
begundalnya, lalu katanya dengan tertawa, "Kepandaian saudara Cu barusan
sungguh sangat bagus dan teramat keji pula! Apa namanya kepandaianmu ini?”
Tapi Cu Po-kun cuma tertawa
dingin saja tanpa menjawab. Sebaliknya orang-orang Cin-keh-ce lantas
berteriak-teriak lagi. Satu di antaranya berbadan segendut babi menggembor,
"Namanya tidak punya muka!”
"Hahaha! Sungguh tepat,
sungguh jitu! Memang orangnya tidak punya muka, nama ini benar-benar sesuai
sekali!” demikian seorang lagi yang bermuka mirip monyet menanggapi.
Teranglah ucapan orang
Cin-keh-ce itu sengaja digunakan untuk menyindir muka Cu Po-kun yang burik
bagai sarang tawon itu.
Giok-yan menggeleng kepala,
katanya kemudian dengan suara lembut, "Yau-cecu, ini terang engkau yang
salah!”
"Salah apa?” tanya
Pek-tong melengak.
"Setiap manusia jarang
yang tidak punya cacat badan, baik besar maupun kecil cacat itu,” sahut
Giok-yan. "Umpama waktu kecil terjatuh mungkin akan mengakibatkan kakinya
patah dan menjadi pincang. Dalam pertempuran, siapa berapi menjamin takkan
kehilangan sebelah kaki atau sebelah matanya. Maka kalau di antara kawan Bu-lim
ada yang badan terdapat sesuatu cacat sebenarnya adalah soal jamak bukan?”
Terpaksa Yau Pek-tong
membenarkan.
"Dan tentang Cu-ya ini,
karena waktu kecilnya menderita sesuatu penyakit sehingga mengakibatkan mukanya
cacat, apanya yang perlu ditertawakan?” kata Giok-yan lebih lanjut.
"Seorang laki-laki sejati yang harus
diutamakan pertama adalah
kepribadiannya, jiwa yang bersih. Kedua adalah perbuatannya, amal bakti bagi
sesamanya, dan ketiga mengenai ilmu silatnya atau ilmu sastranya. Orang
laki-laki tidak bersolek seperti wanita, tentang bagus atau tidak mukanya, apa
alangannya?”
Uraian Giok-yan yang terus
terang dan wajar ini membikin Yau Pek-tong tak bisa menjawab. Akhirnya ia
terbahak-bahak dan berkata, "Hahaha, ada benarnya juga kata-kata nona
cilik ini. Haha, jika demikian, jadi aku yang salah menertawakan Cu-heng!”
Giok-yan tersenyum, katanya,
"Loyacu berani mengaku salah secara terus terang, suara tanda jiwa
kesatria Loyacu pantas dipuji.”
Sampai di sini, tiba-tiba ia
berpaling kepada Cu Po-kun dan berkata dengan menggeleng kepala, "Tidak,
cukup, percumalah itu!”
Nada ucapannya sangat ramah
dan penuh simpati mirip seorang kakak sedang memberi nasihat kepada adiknya.
Sudah tentu ucapan terakhir si
nona bukan saja membingungkan orang lain, bahkan Cu Po-kun juga melongo tidak
paham apa maksud perkataan Giok-yan itu.
Tadi ia merasa sangat senang
dan berterima kasih kepada si nona oleh karena selama hidupnya yang paling
disesalkan adalah mukanya yang burik itu, kini gadis itu membela orang yang
cacat dan katanya yang penting bagi seorang pria adalah jiwa pribadi dan
tingkah lakunya.
Tapi sekarang didengarnya pula
gadis itu berkata "tidak cukup dan percumalah”, entah apa yang
dimaksudkannya? Apa mungkin maksudnya aku punya ‘Thian-ong-po-sim-ciam’ belum
sempurna dan percuma kalau digunakan? Demikian pikir Cu Po-kun.
Padahal ia yakin
‘Thian-ong-po-sim-ciam’ atau Jarum Raja Langit yang jumlah seluruhnya ada 12
batang itu kalau sekali dibidikkan pasti jiwa si tua bangka Yau Pek-tong sudah
melayang sejak tadi. Ia pikir setiap saat aku toh dapat menghabiskan nyawanya,
sementara ini biarlah aku tidak gubris padanya, supaya tidak sampai rahasiaku
terbongkar di hadapan Suheng Suma Lim.
Karena pikiran itu, ia
pura-pura bodoh dan tanya Giok-yan, "Apa artinya yang nona katakan itu?”
"Kumaksudkan kau punya
‘Thian-ong-po-sim-ciam’ benar-benar semacam Am-gi yang sangat ganas, tetapi
....”
Belum selesai Giok-yan bicara,
serentak Suma Lim dan ketiga tokoh Jing-sia-pay yang lain berseru kaget,
"Hah, apa? Thian-ong-po-sim-ciam?”
Cu Po-kun sendiri juga
tergetar dan air muka berubah tapi cepat ia tenangkan diri dan menjawab,
"Salah pandangan nona ini, bukan Thian-ong-po-sim-ciam, tapi Am-gi andalan
Jing-sia-pay kami yang disebut ‘Jinghong-ciam’ (jarum tawon hijau).”
"Bentuk Jing-hong-ciam
memang demikian adanya,” sahut Giok-yan dengan tertawa. "Caramu membidik
Thian-ong-po-sim-ciam juga serupa dengan cara menggunakan Jing-hong-ciam. Tapi
dasar dari Am-gi masingmasing terletak pada tenaga yang digunakannya dan daya
menyambarnya. Seperti melempar pisau Siau-limpay mempunyai tenaga lemparan
Siau-lim-pay sendiri, Hoa-san-pay juga mempunyai gaya sendiri yang tidak sama.
Tentang caramu ....”
"Nona cilik tahu apa?
Hendaknya jangan banyak omong hingga mencari kematian sendiri, tiba-tiba Cu
Po-kun menyela dengan bengis. Sekilas sinar matanya penuh nafsu membunuh, gurdi
baja terangkat di depan dada, asal palu mengetok sekali pada ujung gurdi,
seketika jarum bajanya akan menyambar ke arah Giok-yan.
Namun demikian, biarpun ia
sangat keji, demi melihat si gadis yang cantik molek, pula tadi orang telah
membela cacat mukanya, seketika ia tidak tega turun tangan jahat untuk membunuh
Giok-yan.
Namun Giok-yan menghadapinya
dengan tersenyum saja, katanya, "Engkau tidak tega membunuhku, terima
kasih atas kebaikanmu. Tapi andaikan kau berani turun tangan, rasanya juga
percuma. Jing-sia-pay dan Honglay-pay bermusuhan turun-temurun, usahamu sekarang
sudah pernah dicoba oleh Ciangbunjin angkatan ketujuh golongan kalian, yaitu
Hay-hong-cu Totiang. Kepintarannya dan ilmu silatnya kurasa tidak berada di
bawahmu.”
Toan Ki, A Cu, A Pik, Yau
Pek-tong, Suma Lim dari lain-lain menyaksikan gurdi Cu Po-kun sudah diarahkan
pada Giok-yan, akan tetapi tampaknya agak takut-takut. Padahal tadi waktu ia
menyerang Yau Pek-tong, betapa cepat dan kuat sambaran senjata rahasianya
sungguh jarang ada bandingannya, terang di dalam gurdi itu terpasang pegas yang
daya jepretnya sangat keras. Untung Yau Pek-tong cukup gesit hingga terhindar
dari maut. Tapi kini kalau Cu Po-kun juga membidikkan Am-gi seperti tadi,
apakah gadis jelita seperti Giok-yan ini sanggup menghindar?
Namun menghadapi ancaman
elmaut Giok-yan ternyata anggap sepi saja, bahkan seenaknya ia menceritakan
pula rahasia besar Bu-lim tentang permusuhan Jing-sia-pay dan Hong-lay-pay,
keruan seketika tokoh-tokoh Jing-sia-pay menjadi curiga dan sama melototi Cu
Po-kun, pikir mereka, "Jangan-jangan Cu-sute ini orang Hong-lay-pay yang
menjadi musuh bebuyutan kita dan sengaja menyusup ke dalam Jing-sia-pay kita?
Akan
tetapi mengapa logat suaranya
orang Sujoan dan tiada tanda logat orang Soatang?”
Kiranya Hong-lay-pay itu
berada di daerah Soatang-poan-to (semenanjung Santung), dan sudah ratusan tahun
lamanya bermusuhan dengan Jing-sia-pay di Sujoan, awal mula permusuhan itu
adalah karena berdebat tentang ilmu silat hingga akhirnya jadi bunuh-membunuh.
Tapi karena ilmu silat kedua pihak sama kuatnya, masingmasing mempunyai keunggulan
sendiri-sendiri, maka kedua pihak sama-sama belum terkalahkan, sebaliknya telah
banyak memakan korban.
Hay-hong-cu yang disebut
Giok-yan tadi adalah seorang tokoh kenamaan Hong-lay-pay, ia merasa ilmu silat
kedua pihak sama kuatnya, untuk mengalahkan lawan terang tidak mungkin. Jalan
satu-satunya adalah mempelajari juga ilmu silat pihak lawan, dengan demikian
lawan dapat dikalahkan.
Karena itulah ia kirim salah
seorang murid pilihannya untuk menyelundup ke dalam Jing-sia-pay. Akan tetapi
sebelum murid itu cukup sempurna mempelajari ilmu silat Jing-sia-pay, ia keburu
diketahui dan dihukum mati oleh ketua Jing-sia-pay.
Karena kejadian itu,
permusuhan kedua pihak semakin mendalam dan kewaspadaan masing-masing pihak pun
tambah tinggi, khawatir kalau pihak lawan menyelundupkan mata-mata ke dalam
perguruan sendiri.
Maka selama berpuluh tahun ini
Jing-sia-pay menetapkan peraturan tidak mau menerima orang dari daerah utara
sebagai murid, bahkan sampai akhirnya penerimaan anak murid hanya terbatas pada
orang Sujoan sendiri saja.
"Jing-hong-ciam” yang
dikatakan itu adalah Am-gi khas golongan Jing-sia-pay, sebaliknya
"Thian-ong-po-simciam” yang disebut Giok-yan itu adalah senjata andalan
Hong-lay-pay.
Sebagai murid Jing-sia-pay,
senjata yang dibidikkan Cu Po-kun itu dengan sendirinya adalah Jing-hong-ciam,
tapi Giok-yan justru bilang itu adalah Thian-ong-po-sim-ciam, keruan hal itu
membikin jago-jago Jing-sia-pay terkejut dan curiga. Sebab sama halnya dengan
Jing-sia-pay, dalam Hong-lay-pay juga ada peraturan yang melarang menerima anak
murid dari daerah lain, kecuali orang Soatang sendiri. Sedang Cu Po-kun adalah
keturunan keluarga Cu yang terkenal di kabupaten Khekoan di Sujoan Barat, mana
bisa dia menjadi murid Hong-lay-pay?
Maksud Suma Lim menyuruh Cu
Po-kun maju menghadapi Giok-yan juga cuma timbul dari rasa ingin tahu asal usul
Cu-sute itu dan bukan timbul dari niat jahat. Maka ia benar-benar tidak
mengerti mengapa senjata rahasia Cu-sute itu adalah senjata andalan
Hong-lay-pay yang merupakan musuh besar itu?
Kalau ada orang yang paling
kaget, maka orang itu adalah Cu Po-kun sendiri, yaitu karena rahasia pribadinya
kena dibongkar oleh Giok-yan.
Kirinya guru Cu Po-kun yang
pertama bernama To-leng-cu, seorang tokoh terkemuka dari Hong-lay-pay. Pada waktu
mudanya To-leng-cu pernah juga dihajar orang Jing-sia-pay, maka dengan
mati-matian ia mencari jalan untuk membalas dendam. Akhirnya ia mendapat satu
akal.
Ia suruh seorang kawannya
menyaru sebagai begal besar dan menggerayangi keluarga Cu di Khekoan, tuan
rumahnya diringkus serta akan memerkosa anak istrinya. Sementara itu To-leng-cu
sudah menunggu di luar rumah, pada saat yang paling genting itulah baru ia muncul
dan pura-pura menolong keluarga Cu serta mengenyahkan penjahat itu.
Sudah tentu tuan rumah sangat
berterima kasih dan menganggapnya sebagai dewa penolong. To-leng-cu sengaja
berlagak sebagai imam bisu, ia memberi isyarat bahwa bukan mustahil kawanan
begal itu akan datang kembali, keruan tuan rumahnya ketakutan setengah mati dan
minta tolong supaya To-leng-cu suka tinggal sementara waktu di rumah keluarga
Cu.
Padahal sebelumnya To-leng-cu
sudah menyelidiki dan mendapat tahu putra keluarga Cu, yaitu Cu Po-kun
mempunyai bangun tubuh dan bakat yang bagus, semula ia pura-pura keberatan,
tapi kemudian setelah dimohon pula akhirnya ia terima undangan tuan rumah dan
tinggal di situ.
Maju setindak, pada suatu
kesempatan lain ia lantas memancing agar Cu Po-kun mengangkatnya sebagai guru.
Dan nyata, Cu Po-kun memang sangat pintar, bakatnya sangat menonjol, belajarnya
juga giat maka kemajuannya sangat pesat. Tiada seberapa tahun, jadilah Cu
Po-kun seorang tokoh pilihan Hong-lay-pay.
To-leng-cu itu kecuali bermaksud
membalas dendam kepada Jing-sia-pay, sebenarnya tiada niat jahat lain. Ia pun
sangat sabar dan telaten, sedari mulai sampai akhir ia tetap pura-pura bisu dan
tidak pernah bicara sepatah kata pun.
Pada waktu memberi pelajaran
pada Cu Po-kun juga dilakukan dengan isyarat-isyarat tangan dan bila perlu
dengan tulisan, sebab itulah meski ia tinggal bersama Cu Po-kun selama sepuluh
tahun, si murid tetap tidak pernah mendengar sepatah kata sang guru yang
berlogat Soatang.
Ketika Cu Po-kun sudah tamat
belajar, To-leng-cu lantas menuliskan sebab musabab tentang dirinya memondok di
rumah keluarga Cu serta minta keputusan si murid. Sudah tentu mengenai muslihat
kawannya disuruh menyamar sebagai begal dan dirinya pura-pura menolong itu sama
sekali tidak disinggungnya.
Oleh karena selama sepuluh
tahun itu To-leng-cu sangat berbudi padanya, boleh dikatakan segenap ilmu silat
Hong-lay-pay telah diturunkan padanya, karena terima kasihnya, setelah
mengetahui maksud tujuan sang guru, segera Cu Po-kun terima tugas dengan baik
dan masuk Jing-sia-pay sebagai murid Suma Wi.
Suma Wi adalah ayah Suma Lim
yang menjadi ketua Jing-sia-pay sekarang. Tatkala itu usia Cu Po-kun sudah
tidak muda lagi, sebenarnya Suma Wi tidak mau menerimanya. Tapi keluarga Cu
adalah hartawan berpengaruh di Sujoan Barat, betapa pun Jing-sia-pay juga ingin
menambah nama baik dengan dukungan golongan berpengaruh, maka akhirnya ia pun
menerimanya.
Di dalam memberi pelajaran,
Suma Wi dapat mengetahui juga bahwa Cu Po-kun sudah menguasai dasar ilmu silat
yang lumayan, beberapa kali ia coba tanya, tapi Po-kun memberi jawaban bahwa
kepandaiannya itu diperoleh dari guru silat pasaran yang diundang ke rumah oleh
orang tua. Suma Wi pikir hartawan besar seperti keluarga Cu memang bukan
mustahil ada beberapa penjaga rumah yang berilmu silat, maka ia pun tidak tanya
lebih jauh.
Cu Po-kun sendiri sebelum
masuk Jing-sia-pay lebih dulu sudah diberi petunjuk oleh To-leng-cu tentang
ilmu silat Jing-sia-pay mana yang harus diperhatikan dan diselami secara
mendalam. Apalagi setiap tahun baru atau hari raya ia suka memberi
sumbangan-sumbangan kepada sang guru dan para saudara seperguruan, bila Suhu
ada kesukaran apa-apa, berkat keluarganya yang berharta dan berpengaruh, segala
apa dapat dibereskannya dengan baik olehnya.
Karena itulah Suma Wi merasa
tidak enak sendiri, dalam hal pelajaran ia berikan apa semestinya, maka apa
yang dipahami Cu Po-kun boleh dikatakan tiada berbeda daripada Suma Lim yang
merupakan putra tunggal Suma Wi itu.
Sebenarnya tiga-empat tahun
yang lalu To-leng-cu telah minta pada Po-kun agar pura-pura ingin berkelana
untuk menambah pengalaman, lalu datang ke Hong-lay-pay untuk mempertunjukkan
ilmu silat Jing-sia-pay yang telah dipelajarinya itu. Dengan begitu supaya
Hong-lay-pay bisa menyelami kepandaian musuh untuk kemudian dapat membasminya
habis-habisan.
Namun sejak Cu Po-kun menjadi
murid Jing-sia-pay, ia merasa Suma Wi memandangnya tidak berbeda serupa putra
sendiri, kalau dia disuruh membasmi Jing-sia-pay dengan tangan sendiri dan
membunuh keluarga Suma, betapa pun ia tidak tega.
Maka diam-diam ia ambil
keputusan kalau nanti Suma Wi sudah wafat barulah ia tega melaksanakan niat
Toleng-cu itu. Mengenai Suma Lim karena Suheng ini lumrah saja terhadapnya dan
tiada sesuatu yang luar biasa, kalau membunuhnya terasa tidak menjadi soal.
Sebab itulah rencana To-leng-cu menjadi tertunda lagi beberapa tahun.
Beberapa kali To-leng-cu
pernah mendesaknya, tapi selalu Po-kun memberi alasan belum sempurna
mempelajari kepandaian Jing-sia-pay, belum lengkap apa yang dipahaminya, kalau
buru-buru turun tangan, mungkin akan gagal setengah jalan. Karena itu, dengan
sendirinya To-leng-cu tidak berani memaksa dan terpaksa bersabar terus.
Sampai pertengahan tahun yang
lalu, tiba-tiba terjadilah sesuatu di luar dugaan. Suma Wi telah dibinasakan
orang di dekat Pek-te-sia dengan "Boh-goat-cui”, salah satu di antara
ke-36 macam Kungfu Jing-sia-pay sendiri. Telinganya pecah dan otaknya terluka
hingga tewas.
Apa yang disebut
"Boh-goat-cui” itu tidak berwujud gurdi sungguh-sungguh, tapi kelima jari
tangan disatukan hingga lancip tampaknya terus dijujukan untuk menyerang
telinga musuh dengan tenaga dalam yang dahsyat.
Ketika Suma Lim dan Cu Po-kun
mendapat kabar kematian Suma Wi itu, siang malam mereka memburu ke tempat
kejadian, yaitu Pek-te-sia. Ketika memeriksa luka sang guru, ternyata bekas
ditewaskan dengan ilmu "Boh-goat-cui” atap Gurdi Perusak Bulan, padahal
ilmu itu adalah Kungfu andalan Jing-sia-pay sendiri.
Keruan kejut dan berduka kedua
orang itu. Setelah mereka berunding, mereka berpendapat kecuali Suma Wi sendiri
yang mahir menggunakan "Boh-goat-cui” cuma Suma Lim dan Cu Po-kun sendiri,
ditambah lagi dua tokoh tua Jing-sia-pay yang lain. Tapi pada waktu peristiwa
terbunuhnya Sama Wi itu keempat orang yang mahir "Boh-goat-cui” itu sedang
berada di rumah dan berkumpul menjadi satu hingga tiada seorang pun yang mungkin
dicurigai. Dan jika begitu pembunuh Suma Wi itu selain Buyung-si dari Koh-soh
yang terkenal "Ihpi-ci-to, hoan-si-pi-sin”, terang tiada orang lain lagi.
Sebab itulah segenap anggota
Jing-sia-pay telah dikerahkan serentak untuk mengaduk ke Koh-soh dan hendak bikin
perhitungan dengan Buyung-si.
Sebelum berangkat, diam-diam
Cu Po-kun tanya kepada To-leng-cu apakah matinya Suma Wi itu adalah perbuatan
orang Hong-lay-pay? Tapi To-leng-cu memberi jawaban tertulis, "Ilmu silat
Suma Wi setingkat dengan aku. Kalau aku harus menyergap dia tentu kugunakan
Thian-ong-po-sim-ciam baru dapat membinasakan dia. Kalau main keroyok, kita
harus pakai Tiat-koay-tin (barisan tongkat besi)”.
Po-kun pikir keterangan
To-leng-cu itu memang benar. Tatkala itu diketahuinya ilmu silat kedua guru itu
memang setingkat, siapa pun tak bisa mengalahkan pihak yang lain. Kalau hendak
membunuh Suma Wi dengan "Boh-goat-cui”, jangankan To-leng-cu memang tidak
mahir ilmu itu, sekalipun mahir juga takkan mampu melawan kekuatan Suma Wi.
Karena itu, tanpa sangsi lagi Cu Po-kun lantas ikut ke Koh-soh untuk menuntut
balas.
Setiba di Koh-soh, setelah
tanya ke sini-sana, akhirnya dapatlah mereka sampai di Thing-hiang-cing-sik.
Tak
tersangka lebih dulu kawanan
bandit dari Cin-keh-ce itu sudah berada di situ. Orang-orang Jing-sia-pay
mempunyai disiplin yang sangat keras, kalau tidak diperintah pemimpin tiada
serang pun yang berani sembarangan bicara atau bertindak. Maka demi melihat
kelakuan orang-orang Cin-keh-ce yang kasar itu, mereka sangat memandang hina
tingkah laku yang tidak patut itu.
Tujuan kedatangan Jing-sia-pay
adalah membalas sakit hati, maka terhadap setiap benda di dalam
Thing-hiangcing-sik sama sekali tidak diusik sedikit pun, santapan yang mereka
makan juga ialah ransum yang mereka bawa sendiri. Dengan demikian mereka
menjadi selamat malah, sebab mereka tidak ikut merasakan kelezatan ingus dan
ludah serta kotoran yang ditaburkan oleh si koki gendut alias Lau Koh, yang
kenyang makan kotoran adalah orang-orang Cin-keh-ce.
Siapa duga kemudian datanglah
Giok-yan berempat hingga rahasia Cu Po-kun sekaligus terbongkar. Segera timbul
maksudnya membunuh si nona untuk menutup mulutnya, tapi sedikit ayal lantas
terlambat, kata-kata "Thian-ong-po-sim-ciam” sudah keburu didengar oleh
Suma Lim, sekalipun umpamanya Giok-yan dapat dibunuh olehnya juga tiada faedah
baginya, paling-paling malahan akan menandakan rasa takutnya karena rahasianya
terbongkar.
Kemudian didengarnya pula
Giok-yan mengatakan, "Usahamu ini dahulu sudah pernah dilakukan oleh ketua
angkatan ketujuh kalian, Hay-hong-cu, kepintarannya pasti tidak di bawahmu,
tapi dia toh juga gagal.”
Pula gadis itu mengatakan,
"Tidak cukup, percumalah!”
Apakah maksudnya ilmu silat
Jing-sia-pay yang kupelajari dari Suma Wi ini masih kurang cukup dan belum
meliputi seluruh ilmu silat Jing-sia-pay? Atau masuknya ke Jing-sia-pay sudah
dicurigai, cuma Suhu tidak mau membongkar rahasiaku ini? Dan sekarang sesudah
orang-orang Jing-sia-pay mengetahui aku adalah mata-mata musuh, lalu apa yang
mereka akan perbuat atas diriku? Sejak kini pastilah namaku akan runtuh di
dunia persilatan dan sukar menancapkan kaki lagi di kalangan Kangouw!
Begitulah makin dipikir makin
risau hati Cu Po-kun. Ketika berpaling, ia lihat Suma Lim dan lain-lain sedang
melotot padanya dengan tangan sedekap di dalam lengan baju masing-masing.
"Hm, jadi Cu-ya
sebenarnya adalah orang Hong-lay-pay! Hm, bagus, bagus sekali!” demikian
terdengar Suma Lim bersuara mengejek dengan dingin.
Ia tidak menyebut Po-kun
sebagai Cu-sute lagi, tapi memanggilnya Cu-ya atau tuan Cu, ini berarti ia
tidak anggap Po-kun sebagai saudara seperguruan lagi.
Tentu saja Cu Po-kun menjadi
serbasusah, kalau mengaku, terang, salah, bila tidak mengaku, lebih-lebih
salah, jadi serbasalah.
Maka Suma Lim berkata pula,
"Jadi maksud tujuanmu menyelundup ke Jing-sia-pay adalah ingin mempelajari
ilmu ‘Bok-goat-cui’, sesudah pintar akan dipakai untuk membunuh ayahku. Hm,
manusia berhati binatang seperti dirimu ini sungguh teramat kejam!”
Habis berkata, ketika kedua
tangannya terpentang, masing-masing tangan tahu-tahu sudah bertambah semacam
senjata.
Menurut pikiran Suma Lim, jika
ilmu silat perguruan sendiri sudah berhasil dicolong oleh Po-kun, dengan
sendirinya pasti telah diajarkan pula kepada jago-jago Hong-lay-pay. Walaupun
waktu ayahnya terbunuh, Cu Po-kun berada Sengtoh, yaitu di tempat tinggal
Jing-sia-pay, bukan mustahil semua itu adalah tipu muslihat Pokun untuk mengelabui
mata orang Jing-sia-pay.
Begitulah muka Cu Po-kun
tampak merah padam. Sebabnya dia menyelundup ke dalam Jing-sia-pay sebenarnya
memang bertujuan jahat, selama ini sesungguhnya sedikit pun ia tidak pernah
membocorkan ilmu silat Jing-sia-pay. Namun urusan sudah telanjur begini, cara
bagaimana ia bisa membela diri? Tampaknya segera bakal terjadi suatu
pertarungan mati-matian, mungkin sukar menghindarkan malapetaka yang akan
menimpa dirinya. Ia pikir andaikan jiwanya mesti melayang dibunuh Suma Lim dan
kawan-kawannya, dasar dirinya memang bermaksud jahat, rasanya juga pantas
mendapat ganjaran seperti itu.
Karena itulah ia coba keraskan
hati dan menjawab, "Suma-suhu bukan aku yang mencelakainya ....”
"Sudah tentu bukan
tanganmu berdiri yang menewaskannya,” bentak Suma Lim. "Tapi secara tidak
langsung, apa bedanya dengan kau sendiri yang turun tangan?”
Lalu ia berkata kepada kedua
kakek tinggi kurus di sampingnya, "Kiang-susiok dan Beng-susiok, terhadap
murid murtad seperti ini, tidak perlu kita bicara tentang peraturan Bu-lim
lagi, marilah kita maju bersama.”
Kedua kakek itu mengangguk,
kedua tangan mereka lantas dilolos keluar dari lengan baju, semuanya tangan
kiri memegang gurdi dan tangan kanan memegang palu, dari kanan-kiri mereka
terus mendesak maju.
Cepat Po-kun mundur beberapa
langkah dan mepetkan punggung di suatu pilar dalam ruangan itu untuk
menghindarkan serangan dari belakang.