Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 16-20

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli Jilid 16-20 Tempat yang berkedut-kedut seperti diterobos tikus itu tercatat sebagai "Hwe-cong-hiat” pada lukisan itu. Waktu ia melirik sang paman,
Jilid 16
Tempat yang berkedut-kedut seperti diterobos tikus itu tercatat sebagai "Hwe-cong-hiat” pada lukisan itu. Waktu ia melirik sang paman, terlihat Po-ting-te sedang memerhatikan gambar Siau-yang-keng yang khusus harus dilatihnya dan tergantung di depannya itu, jari manis sang paman tampak sedang bergerak perlahan.

Toan Ki coba mengikuti tanda-tanda yang tercatat di atas gambar itu. Aneh juga, karena pikirannya dicurahkan untuk mengikuti garis-garis yang menghubungkan Hiat-to satu dan lain menurut gambar, sekonyong-konyong hawa murni dalam tubuhnya ikut berjalan menurut perasaannya, mula-mula hawa itu timbul dari lengan naik ke atas bahu dan terus mengalir ke pundak.

Dan meski cuma sedikit hawa murni itu teralir, namun rasa Toan Ki yang mual tadi lantas longgar. Nyata tanpa sengaja ia telah tarik hawa murni itu ke urat nadi Sam-jiu. Tetapi karena cara menjalankan hawa murni itu sebenarnya semacam Lwekang yang sangat tinggi, Toan Ki tidak paham seluk-beluknya secara tepat, baru sebentar ia kerahkan tenaganya, seketika ia menjerit. Untunglah sebelum hawa dalam badan itu tersesat, karena mendengar teriakannya, segera Po-ting-te bertanya, "Kenapa Ki-ji?”

"Dalam badanku terasa penuh terisi hawa yang bergolak dan menerjang kian kemari, rasanya sangat menderita, waktu kuikut garis-garis merah pada lukisanmu itu, hawa lantas mengalir masuk ke dalam perut, tetapi, aduuuuh ... tapi hawa dalam perut makin lama makin penuh dan sekarang rasa perutku seakan meledak!” demikian tutur Toan Ki sambil meringis.

Perasaan Toan Ki itu hanya dapat dirasakan oleh si penderita sendiri, ia merasa perutnya melembung dan seakan-akan meledak, tapi bagi penglihatan orang lain toh keadaannya biasa saja tiada sesuatu yang aneh.

Namun Po-ting-te cukup paham tentang segala kemungkinan bagi orang yang melatih Lwekang. Perasaan perut melembung akan meledak itu umumnya cuma bisa terjadi pada orang yang berlatih Lwekang berpuluh tahun lamanya, tapi selamanya Toan Ki tidak pernah belajar silat, dari mana bisa terjadi begitu?

Ia pikir tentu gara-gara racun yang mengeram di dalam tubuhnya itu. Karena itu, Po-ting-te menjadi khawatir kalau-kalau racun akan mengamuk hingga hawa jahat telanjur masuk ke jantung, untuk melenyapkannya tentu akan susah.

Biasanya Po-ting-te dapat bertindak tegas dan cepat ambil keputusan. Tapi kejadian di depan matanya sekarang menyangkut baik buruk selama hidup Toan Ki. Kalau sedikit ayal, mungkin akan membahayakan jiwa anak muda itu. Dalam keadaan kepepet, biarpun akibatnya mungkin celaka, terpaksa harus dicobanya juga. Maka katanya, "Ki-ji, biar kuajarkan padamu tentang memutarkan hawa menuju ke pusat.”

Habis ini, segera ia mengajarkan penuntun ilmu itu kepada Toan Ki sambil tangan sendiri tetap berlatih menurut gambar.

Sambil mendengarkan petunjuk sang paman, satu kata demi kata dituruti Toan Ki untuk melaksanakannya. Inti Lwekang keluarga Toan dari Tayli itu memang sangat hebat, selesai Toan Ki melakukan petunjuk sang paman, hawa yang bergolak tadi juga sudah dapat ditarik masuk ke pusat. Maka terasalah badannya makin segar, rasanya enteng seakan-akan melayang ke udara.

Melihat wajah pemuda itu berseri-seri girang, Po-ting-te malah menyangka sang keponakan terlalu dalam keracunan dan kelak akan sukar disembuhkan lagi. Maka diam-diam ia sangat menyesal.

Meski Koh-eng Taysu sejak tadi tetap duduk menghadap dinding, tapi percakapan kedua orang dapat diikutinya semua. Setelah selesai mendengar Po-ting-te mengajarkan kepandaiannya kepada Toan Ki, segera ia berkata, "Thian-tim, ketahuilah bahwa segala apa sudah takdir Ilahi, maka engkau tidak perlu khawatir bagi orang lain, yang penting sekarang lekas kau latih Siau-yang-kiam saja!”

Po-ting-te mengiakan dan memusatkan kembali perhatiannya untuk melatih Siau-yang-kiam yang diwajibkan di antara Lak-meh-kiam-hoat itu.

Dalam pada itu hawa murni dalam tubuh Toan Ki yang sangat padat itu sudah tentu tak dapat dipusatkan seluruhnya dalam waktu singkat, cuma penuntun dasar yang diterimanya dari Po-ting-te itu dapat berjalan dengan lancar dan semakin cepat.

Begitulah ketujuh orang yang berada di dalam pondok itu masing-masing melatih ilmunya sendiri-sendiri, tanpa terasa hari sudah malam dan subuh sudah tiba pula.

Menjelang pagi itulah Toan Ki merasa kaki-tangannya enteng leluasa tidak tersisa sedikit pun hawa yang akan meledak seperti kemarin itu. Ia coba berdiri dan melemaskan otot.

Ia lihat sang paman dan kelima padri saleh itu masih asyik melatih ilmu pedang masing-masing.

Ia tidak berani membuka pintu untuk keluar, pula tidak berani bersuara mengganggu keenam orang itu, saking iseng ia coba mengikuti gambar di depan sang paman yang melukiskan letak urat nadi dengan ilmu pedang Siau-yang-kiam itu, tatkala perhatiannya terhadap gambar itu terpusat, tiba-tiba terasa suatu arus hawa murni

membanjir keluar dari perutnya terus menerjang ke bahu.

Yang paling aneh adalah bila pikiran Toan Ki dicurahkan pada titik urat nadi dalam gambar itu, segera hawa murni yang mengalir dalam tubuh lantas menyusup ke sana, jadi dari bahu ke lengan dan dari lengan ke jari.

Tapi Toan Ki tidak dapat menjalankan Lwekangnya untuk mengatur hawa murni itu, maka ketika hawa murni menerjang ke ujung jari, ia terasa seperti bengkak hendak pecah, maka pikirnya, "Ah, biarkan arus hawa ini putar kembali saja.”

Aneh juga, begitu pikirannya, begitu pula hawa murni itu lantas mengalir kembali ke perut.

Kiranya tanpa terasa Toan Ki telah berhasil memperoleh inti dasar ilmu Lwekang yang tinggi, tapi ia sendiri sama sekali tidak tahu. Ia hanya merasa arus hawa yang mengalir kian kemari di lengan itu dapat dimainkan sesukanya.

Kemudian ia lihat Thian-siang Taysu di antara ketiga padri Bo-ni-tong itu paling ramah tamah, ia coba melongok gambar "Siau-im-keng-meh-toh” yang wajib dilatih padri itu.

Ia lihat titik nadi gambar itu dimulai dari "Kek-coan-hiat” di bawah ketiak terus menurun sampai di "Siauciong-hiat” di ujung jari kecil. Kembali satu per satu ia mengikuti garis Hiat-to itu hingga arus hawa murni dalam tubuhnya kembali mengalir lagi seperti tadi menurut perasaannya.

Ternyata dalam waktu singkat saja Toan Ki sudah dapat menembus semua urat nadi lengan. Dan karena Lakmeh atau enam nadi itu dapat ditembus, semangatnya menjadi segar malah.

Dalam isengnya ia terus memeriksa pula gambar lain yang sedang dilatih Thian-in dan lain-lain, namun ia menjadi pusing melihat garis-garis merah, biru, hitam dan lain-lain yang ruwet itu. Pikirnya, "Ah, begini sulit ilmu pedang itu, mana dapat aku ingat seluruhnya?”

Lalu pikirnya pula, "Aneh, kenapa kedua padri kecil itu tidak mengantarkan makanan kemari? Biarlah diamdiam aku mengeluyur keluar untuk mencari makanan.”

Tapi pada saat itu juga hidungnya lantas mencium semacam bau wangi yang halus, menyusul terdengarlah suara orang bernyanyi dalam pujian Buddha, suara itu hanya sayup-sayup saja, sebentar terdengar sebentar tidak.

"Siancay, Siancay! Tay-lun-beng-ong telah tiba, bagaimana dengan latihan kalian?” demikian Koh-eng Taysu berkata dengan gegetun.

"Meski belum masak betul-betul, namun sudah cukup untuk menghadapi musuh,” sahut Thian-som.

"Thian-in,” kata Koh-eng pula, "aku tidak suka bergerak, bolehlah kau undang Beng-ong bicara ke ruang Boni-tong ini.”

Thian-in mengiakan dan keluar.

Segera Thian-koan menyiapkan lima kasuran tikar dan dijajarkan menjadi satu baris. Ia sendiri lantas menduduki kasuran pertama, Thian-siang kedua, Po-ting-te keempat, Thian-som kelima dan ketiga yang luang itu disediakan untuk Thian-in. Toan Ki tidak punya tempat duduk, terpaksa ia berdiri di belakang Po-ting-te.

Tahu musuh tangguh bakal tiba, lekas-lekas Koh-eng dan Thian-koan berlima menghafalkan sekali lagi petunjuk Kiam-hoat dalam gambar, lalu lukisan cepat digulung dan ditaruh di depan Koh-eng.

"Ki-ji,” kata Po-ting-te, "sebentar bila terjadi pertarungan sengit, tentu di ruangan ini akan penuh hawa pedang yang tajam dan bisa jadi akan membahayakan dirimu, sedangkan paman tak dapat melindungimu, maka lebih baik kau keluar saja sana!”

Toan Ki menjadi terharu, pikirnya, "Dari percakapan paman dan lain-lain, agaknya ilmu silat Tay-lun-beng-ong teramat lihai, sedangkan ilmu pedang paman ini baru saja dilatih, entah mampu atau tidak melawan musuh, dan kalau terjadi apa-apa, lantas bagaimana baiknya?”

Maka katanya segera, "Pekhu, aku ... aku ingin tinggal di sini, kukha ... kukhawatirkan pertempuran nanti ....”

Bicara sampai di sini, suaranya menjadi parau dan tak lancar.

Hati Po-ting-te terharu juga, pikirnya, "Anak ini ternyata sangat berbakti kepada orang tua.”

"Ki-ji,” tiba-tiba Koh-eng buka suara, "boleh kau duduk di depanku sini, betapa lihainya Tay-lun-beng-ong juga takkan mengganggu seujung rambutmu!”

Meski nada Koh-eng Taysu itu tetap dingin saja tanpa perasaan, namun dari kalimat ucapannya itu kentara sekali rasa angkuhnya.

Cepat Toan Ki mengiakan dan mendekati Koh-eng Taysu, ia tidak berani memandang muka padri itu, ia duduk bersila dengan menghadap dinding.

Tubuh Koh-eng jauh lebih tinggi daripada Toan Ki, maka badan pemuda itu hampir teraling seluruhnya.

Po-ting-te menjadi girang dan terima kasih, tadi ketika Koh-eng mencukur rambutnya dengan ilmu sakti, kepandaian itu sudah cukup untuk ditonjolkan dalam dunia persilatan. Sekarang Toan Ki berada di bawah perlindungannya, sudah tentu tidak perlu khawatir lagi.

Selang agak lama, terdengar suara Thian-in Hongtiang lagi berkata di luar, "Atas kunjungan Beng-ong, silakan masuk ruang Bo-ni-tong ini!”

Lalu suara seorang menyahut, "Harap Hongtiang suka menunjukkan jalan!”

Mendengar suara orang yang halus dan ramah tamah itu, Toan Ki yakin Tay-lun-beng-ong itu pasti bukan seorang yang kejam dan buas. Dari suara langkah orang di luar, kedengarannya berjumlah belasan orang banyaknya.

Kemudian terdengar suara pintu didorong oleh Thian-in sambil berkata, "Silakan Beng-ong masuk!”

"Maaf!” sahut Tay-lun-beng-ong sambil melangkah masuk. Lalu ia memberi hormat kepada Koh-eng Taysu dan berkata, "Wanpwe Ciumoti dari negeri Turfan, dengan ini memberi hormat kepada Cianpwe Taysu.”

Diam-diam Toan Ki membatin, "Kiranya nama asli Tay-lun-beng-ong ini adalah Ciumoti.”

Maka menyahutlah Koh-eng Taysu, "Beng-ong datang dari jauh, maafkan tidak kuberi sambutan yang pantas.”

Dan sesudah saling mengucapkan kata-kata merendah pula, kemudian Thian-in menyilakan duduk Tay-lun-

beng-ong alias Ciumoti itu.

Diam-diam Toan Ki ingin tahu macam apakah Tay-lun-beng-ong yang disegani itu. Perlahan ia menoleh sedikit dan melirik dari samping Koh-eng Taysu. Ia lihat di sebelah sana duduk seorang padri berjubah kuning, usianya belum ada setengah abad, sederhana dandanannya, tapi mukanya bercahaya bagai permata kemilauan.

Baru sekejap saja lantas timbul rasa suka dan kagum Toan Ki. Waktu memandang pula ke luar pintu, ternyata di luar sana berdiri 8 atau 9 lelaki berperawakan berbeda-beda dan wajah berlainan, tapi kebanyakan bengis menakutkan, tidak seperti orang Tiongkok umumnya. Terang mereka pengiring Tay-lun-beng-ong yang dibawanya dari daerah barat.

Kemudian dengan merangkap tangan dan memberi hormat, Ciumoti berkata, "Buddha berkata, tiada hidup takkan mati, tiada kotor takkan bersih. Bakatku terlalu bodoh dan belum dapat memahami suka duka dan mati hidup manusia. Cuma selama hidupku mempunyai seorang kawan karib, yaitu orang she Buyung dari Koh-soh di negeri Song. Aku berkenalan dengan dia di negeri Thian-tiok, di sana kami bertukar pikiran tentang ilmu silat dan pedang. Buyung-siansing itu ternyata sangat luas pengetahuannya, tiada sesuatu ilmu silat di dunia ini yang tak dipahaminya, berkat petunjuknya dalam beberapa hari, segala pertanyaanku selama hidup yang tak terjawab telah dipecahkannya dalam sekejap. Tak terduga orang pandai itu justru berumur pendek, kini Buyung-siansing telah pulang ke nirwana. Karena itu ada sesuatu permohonanku yang tidak pantas, sukalah para Tianglo menaruh belas kasihan padaku.”

Sudah tentu Thian-in paham apa maksud tujuan di balik ucapan itu. Jawabnya segera, "Beng-ong dapat bersahabat dengan Buyung-siansing, itu berarti ada jodoh, dan bila masa jodoh itu sudah habis, guna apa mesti dipaksakan lagi? Buyung-siansing sudah lama wafat, mengapa terhadap ilmu silat di dunia fana ini mesti disayangkan? Tindakan Beng-ong ini apa tidak berlebihan?”

"Nasihat Hongtiang memang benar juga,” sahut Ciumoti. "Cuma dasar berwatak rada bandel, meskipun sudah sekian lama lalu kebaikan persahabatan dahulu sukar untuk dilupakan. Dahulu ketika Buyung-siansing bicara tentang Kiam-hoat di dunia ini, ia yakin ‘Lak-meh-sin-kiam’ Thian-liong-si ini adalah nomor satu dari segala ilmu pedang, ia menyatakan sangat menyesal karena selama hidupnya tidak sempat melihat ilmu pedang sakti itu.”

"Tempat kami ini terpencil di daerah perbatasan selatan, namun juga mendapat perhatian Buyung-siansing, sungguh kami merasa sangat bangga,” sahut Thian-in. "Tetapi pada waktu hidupnya mengapa Buyung-siansing tidak datang sendiri untuk meminjam lihat Kiam-keng (kitab ilmu pedang) kami ini?”

Tiba-tiba Ciumoti menghela napas panjang dan wajah berubah sedih, sejenak kemudian baru ia berkata, "Buyung-siansing sendiri tahu bahwa kitab itu adalah pusaka kalian, meskipun mohon lihat dengan terus terang juga tak mungkin diizinkan. Ia bilang keluarga Toan dari Tayli diagungkan sebagai raja, namun tidak melupakan setia kawan dunia Kangouw, cinta negeri dan sayang rakyat, maka ia tidak boleh melakukan pencurian atau main ambil secara paksa.”

"Terima kasih atas pujian Buyung-siansing itu,” ujar Thian-in. "Dan bila Buyung-siansing benar menghargai keluarga Toan dari Tayli, Beng-ong adalah sobat karibnya, seharusnya juga dapat memaklumi jiwanya itu.”

"Ya, namun tempo dulu aku sudah telanjur omong besar bahwa aku ini Koksu (imam negara) dari Turfan, bukan sanak dan lain kadang dari keluarga Toan di Tayli, jika Buyung-siansing merasa sungkan untuk memintanya sendiri, biarlah aku akan mewakilinya. Sekali seorang laki-laki sejati sudah buka suara, biarpun mati atau hidup tak boleh menyesal. Dari itulah janjiku kepada Buyung-siansing itu tidak boleh kujilat kembali.”

Habis berkata, ia terus tepuk tangan tiga kali. Maka masuklah dua laki-laki sambil menggotong sebuah peti kayu cendana dan ditaruh di lantai. Waktu lengan baju Ciumoti mengebas, tanpa disentuh tutup peti itu lantas terbuka sendiri. Maka tertampaklah sinar kemilauan, di dalam peti terdapat sebuah kotak emas kecil. Segera Ciumoti ambil kotak emas itu.

"Kita sama-sama orang beragama, masakah masih tamak terhadap benda mestika segala?” diam-diam Thian-in membatin. "Apalagi keluarga Toan diagungkan sebagai raja di negeri Tayli, dengan harta pusaka kumpulannya selama ratusan tahun masakah masih kekurangan?”

Ciumoti lantas membuka tutup kotak emas itu, apa yang dikeluarkan dari kotak itu ternyata tiga jilid kitab lama. Ketika ia balik-balik halaman kitab itu, sekilas Thian-in dan lain-lain dapat melihat isi kitab itu ada gambar juga ada tulisan, semuanya tulisan tangan dengan tinta merah.

Tiba-tiba Ciumoti termangu-mangu memandangi ketiga kitab itu dengan air mata berlinang-linang, sikapnya sangat menyesal dan berduka luar biasa. Keruan Thian-in dan lain-lain menjadi heran.

Koh-eng Taysu lantas berkata, "Beng-ong terkenang kepada sahabat yang sudah meninggal, batin belum bersih dari keduniawian, apa tidak malu disebut sebagai padri saleh?”

"Taysu mahapintar dan mahasakti, sudah tentu tak mampu kusamai,” sahut Tay-lun-beng-ong. "Cuma ketiga jilid kunci ilmu silat ini adalah tulisan tangan Buyung-siansing yang menguraikan tentang titik pokok ke-72 jenis Kungfu khas Siau-lim-pay, diuraikan pula tentang cara melatihnya dan cara mematahkannya.”

Semua orang terkejut oleh keterangan itu, pikir mereka, "Ilmu silat Siau-lim-pay termasyhur di seluruh dunia, konon sejak Siau-lim-pay didirikan, kecuali pada permulaan dinasti Song pernah ada seorang padri sakti yang berhasil melatih ke-36 jenis ilmu itu, selamanya tiada orang kedua lagi yang melebihinya. Tapi Buyung-

siansing ini dapat memahami kunci ke-72 jenis ilmu silat Siau-lim-pay yang lihai, bahkan cara bagaimana mematahkan ilmu silat itu pun dapat dipecahkannya, hal ini benar-benar sukar untuk dimengerti.”

Maka berkata pula Tay-lun-beng-ong, "Buyung-siansing telah menghadiahkan ketiga jilid kitab ini kepadaku, sesudah kubaca, sungguh tidak sedikit kuperoleh manfaatnya. Kini aku bersedia menukar ketiga jilid kitab ini dengan Lak-meh-kiam-keng kalian. Bila para Taysu setuju hingga kudapat memenuhi janji kepada sahabat lama, sungguh aku terasa terima kasih tak terhingga.”

Thian-in terdiam, pikirnya dalam hati, "Apa yang tercatat di dalam kitab-kitab itu bila benar ke-72 jenis ilmu tunggal Siau-lim-si, maka sesudah kami memperolehnya bukan saja ilmu silat Thian-liong-si bakal sejajar dengan nama Siau-lim-si, bahkan mungkin lebih tinggi daripada mereka. Sebab Thian-liong-si dapat memahami seluruh Kungfu Siau-lim-si, sebaliknya ilmu silat kami tak diketahui oleh Siau-lim-si.”

Lalu Tay-lun-beng-ong menyambung lagi, "Dan pada waktu kalian menyerahkan kitab pusaka kepadaku, silakan menyalin dulu turunannya, dengan begitu, pertama Taysu berbuat baik kepadaku, untuk budi kebaikan itu takkan kulupakan sampai tua, sebaliknya tidak merugikan pihak Taysu, kedua, sesudah kuterima kitab pusaka kalian, akan kubungkus rapat-rapat, sekali-sekali takkan kuintip isinya dan akan kusampaikan sendiri kitab pusaka ke hadapan makam Buyung-siansing dan kubakar di sana, dengan demikian ilmu sakti kuil kalian ini takkan tersiar di luar. Ketiga, ilmu sakti ke-72 jenis Siau-lim-pay ini, di antaranya seperti ‘Ciam-hoa-ci’, ‘Bu-siang-jiat-ci’ dan ‘To-lo-yap-ci’ sangat berguna juga untuk bahan perbandingan dengan It-yang-ci kalian.”

Cara berkata Ciumoti itu sangat enak didengar dan menarik, masuk di akal pula, maka Po-ting-te dan Thiansiang Taysu sangat tertarik. Cuma di atas mereka masih ada Hongtiang dan sang Susiok, maka mereka pun tidak enak untuk mengutarakan pikiran mereka.

Segera Tay-lun-beng-ong melanjutkan lagi, "Mungkin usiaku masih muda dan pengalaman cetek, apa yang kukatakan barusan belum tentu dapat dipercaya para Taysu. Maka tentang ketiga jenis Ci-hoat (ilmu jari) tadi boleh juga kuberi pertunjukan sekadarnya sekarang.”

Segera ia berbangkit dan berkata pula, "Cuma apa yang kupahami ini masih sangat cetek dan kasar, bila ada kesalahan, mohon para Taysu suka memberi petunjuk. Sekarang aku mulai dengan Ciam-hoa-ci.”

Habis itu, ia menggunakan jari jempol dan telunjuk kanan dengan gaya seakan-akan memetik setangkai bunga, dengan wajah tersenyum kelima jari tangan kiri kemudian menjentik perlahan ke kanan.

Di antara semua orang yang berada di dalam ruangan itu, kecuali Toan Ki, yang lain-lain adalah ahli Ci-hoat kelas wahid. Maka mereka dapat melihat betapa indah dan lemah lembutnya gaya gerakan itu.

Setelah menjentik belasan kali, tiba-tiba Tay-lun-beng-ong mengangkat lengan baju kanan, menyusul ia meniup ke muka lengan baju sendiri, dalam sekejap saja bertebaranlah berpotong-potong kain kecil sebesar mata uang hingga lengan bajunya berwujud belasan lubang bundar.

Kiranya jentikan ilmu "Ciam-hoa-ci” tadi telah mengenai lengan baju sendiri dari jauh, tenaganya lembut, tapi merusak baju, semula tertampak bajunya tiada kurang suatu apa pun, tapi sekali ditiup angin, barulah kentara betapa sakti kepandaian padri itu.

Thian-in, Thian-koan dan Po-ting-te saling pandang sekejap, dalam hati mereka diam-diam terperanjat. Dengan ilmu It-yang-ci untuk melubangi baju seperti itu tidaklah sulit bagi mereka, tapi untuk mencapai tingkatan selihai lawan, mau tak mau mereka harus mengaku masih kalah setingkat.

"Sekianlah,” kata Ciumoti dengan tersenyum. "Tenaga jari Ciam-hoa-ci barusan terang jauh di bawah Hian-toh Taysu dari Siau-lim-si. Dan tentang ‘To-lo-yap-ci’ tentu saja selisih lebih jauh lagi.”

Habis berkata, cepat ia berputar mengitari peti kayu yang berada di lantai tadi dan menutuk beruntun-runtun dengan sepuluh jarinya, maka tertampaklah potongan kayu bertebaran dan dalam sekejap peti itu sudah berwujud seonggok bubuk kayu.

Sebenarnya Po-ting-te dan lain-lain tidak heran oleh kepandaian orang meremukkan peti kayu menjadi bubuk itu, tapi demi tampak engsel dan sebagainya dari logam yang berada di peti itu pun hancur berkeping-keping oleh tenaga jarinya, mau tak mau mereka terkejut juga.

Lalu berkatalah Ciumoti, "Caraku menggunakan To-lo-yap-ci ini masih sangat dangkal, diharap Taysu jangan menertawakannya.”

Sembari berkata kedua tangannya sembari dimasukkan lengan baju sendiri. Mendadak tumpukan bubuk kayu itu menari-nari di udara seakan-akan didalangi orang dengan sesuatu alat yang tak kelihatan.

Waktu Po-ting-te dan lain-lain memandang Tay-lun-beng-ong, padri itu kelihatan tetap bersenyum simpul, jubahnya sedikit pun tidak bergerak, nyata tenaga jarinya dilontarkan dari dalam lengan bajunya hingga tidak kelihatan wujudnya.

"Hah, inilah Bu-siang-jiat-ci (tutukan maut tak kelihatan)! Sungguh hebat, kagum, kagum!” demikian seru Thian-siang Taysu tak tahan.

"Ah, Taysu terlalu memuji,” ujar Ciumoti. "Padahal bubuk kayunya tampak bergerak, itu berarti masih kelihatan wujudnya. Untuk bisa mencapai tingkatan sesuai dengan namanya hingga tanpa kelihatan, rasanya perlu berlatih selama hidup.”

"Apakah di dalam kitab pusaka tinggalan Buyung-siansing terdapat cara-cara mematahkan ‘Bu-siang-jiat-ci’ itu?” tanya Thian-siang.

"Ada,” sahut Ciumoti. "Ilmu pemecahannya memakai nama seperti gelaran Taysu.”

Thian-siang termenung sejenak, katanya kemudian, "Ehm, namanya Thian-siang-ci-hoat, Thian-siang mengalahkan Bu-siang, sungguh pintar sekali.”

Setelah menyaksikan pertunjukan ketiga macam tenaga jari sakti dari Ciumoti itu, Thian-in, Thian-koan, dan Thian-som menjadi tertarik juga. Mereka tahu ketiga jilid kitab pusaka itu benar-benar memuat ke-72 jenis ilmu silat Siau-lim-si yang termasyhur di seluruh dunia, apakah mesti terima tawaran tukar-menukar dengan "Lak-meh-sin-kiam”, sungguh hal ini sangat meragukan.

Maka berkatalah Thian-in, "Susiok, jauh-jauh Beng-ong berkunjung kemari, suatu tanda betapa teguh maksud tujuannya ini. Lantas bagaimana kita harus bertindak, harap Susiok suka memberi petunjuk.”

"Thian-in, apa tujuan kita belajar silat dan berlatih diri?” tanya Koh-eng Taysu tiba-tiba.

Sama sekali Thian-in tidak menduga bakal ditanya demikian oleh sang Susiok, ia terkesiap, tapi segera jawab, "Demi membela agama dan negara.”

"Bila kita kedatangan orang jahat dan kita tidak dapat menginsafkannya dengan jalan Buddha dan terpaksa mesti turun tangan membasminya, untuk mana harus menggunakan ilmu apa?” tanya Koh-eng pula.

"Jika sudah terpaksa, harus menggunakan It-yang-ci,” sahut Thian-in.

"Dan dalam hal It-yang-ci, sampai tingkat ke berapa telah berhasil kau yakinkan?” tanya Koh-eng.

"Tecu terlalu bodoh, pada waktu latihan kurang giat, maka sampai sekarang baru mencapai tingkatan kelima,”

jawab Thian-in dengan berkeringat.

"Kalau menurut pendapatmu, It-yang-ci keluarga Toan di Tayli ini bila dibandingkan Ciam-hoa-ci, To-lo-yap-ci dan Bu-siang-jiat-ci dari Siau-lim-si itu, manakah yang lebih bagus dan mana lebih jelek?”

"Ilmu tutukan itu sama-sama bagus dan bergantung keuletan masing-masing,” sahut Thian-in.

"Benar, dan kalau It-yang-ci kita terlatih sampai tingkatan tertinggi, lalu bagaimana?”

"Dalamnya sukar dijajaki, Tecu tidak berani sembarangan omong!”

"Bila misalnya kau dapat hidup seabad lagi, dapat meyakinkannya sampai tingkat ke berapa?”

Keringat dingin di jidat Thian-in mulai berketes-ketes, jawabnya dengan gemetar, "Tecu tak dapat menjawab.”

"Dapatkah mencapai tingkat teratas?” tanya Koh-eng.

"Pasti tak dapat,” sahut Thian-in.

Maka Koh-eng Taysu tidak bicara lagi.

Akhirnya Thian-in berkata pula, "Petunjuk Susiok memang tepat. Sedangkan It-yang-ci sendiri saja kita tak mampu meyakinkannya hingga sempurna, untuk apa mesti mengambil kepandaian orang lain lagi? Beng-ong datang dari jauh, biarlah kami sekadar memenuhi kewajiban sebagai tuan rumah.”

Dengan ucapannya ini, tegasnya ia telah menolak tawaran Tay-lun-beng-ong tadi.

Ciumoti menghela napas, katanya kemudian, "Ai, semuanya gara-gara mulutku yang usil, kalau tidak, tentunya tidaklah sulit seperti sekarang ini. Tapi ada juga sepatah kataku yang mungkin kurang sopan, bila Lak-meh-sinkiam itu benar-benar sebagus seperti apa yang dikatakan Buyung-siansing, sekalipun kuil kalian memiliki lukisan pusakanya, namun bukan mustahil belum ada seorang pun yang berhasil meyakinkannya. Dan kalau ada yang dapat meyakinkannya berarti ilmu pedang itu tidak sebagus seperti apa yang dikagumi Buyungsiansing.”

"Sebenarnya ada sesuatu yang kurasakan tidak mengerti, bolehkah Beng-ong memberi penjelasan?” tanya Koh-eng.

"Coba katakan?” sahut Ciumoti.

"Tentang kuil kami memiliki Lak-meh-sin-kiam-keng itu, sekalipun anggota keluarga Toan kami juga tiada yang tahu, tapi dari manakah Buyung-siansing bisa mengetahuinya?” tanya Koh-eng.

"Hal itu dahulu tidak dijelaskan oleh Buyung-siansing,” kata Ciumoti. "Tapi menurut dugaanku, tentu ada hubungannya dengan Yan-king Taycu dari keluarga Toan.”

Thian-in mengangguk-angguk dan ikut bertanya, "Jadi Yan-king Taycu kenal Buyung-siansing?”

"Ya, pernah Buyung-siansing memberi petunjuk beberapa jurus ilmu silat padanya, tapi menolak menerimanya sebagai murid.”

"Sebab apa menolak?” tanya Koh-eng Taysu.

"Itu urusan pribadi Buyung-siansing, tidak enak banyak kutanya,” sahut Ciumoti. Di balik kata-katanya ini seakan-akan juga minta Koh-eng jangan banyak bertanya.

Tapi Koh-eng justru berkata pula, "Yan-king Taycu itu adalah keturunan keluarga Toan-si kami, segala tindak tanduknya di luar, Thian-liong-si dan kepala keluarga Toan berhak mengurusnya.”

"Benar,” sahut Ciumoti dengan tawar.

Segera Thian-in Hongtiang ikut bicara, "Selama belasan tahun Susiok kami tidak menemui orang luar, tapi mengingat Beng-ong adalah padri saleh zaman ini, barulah Susiok mau menemuimu. Sekarang sudah selesai, silakanlah!”

Sembari berkata ia terus berdiri sebagai tanda menyilakan tamunya pergi.

Namun Ciumoti menjawab, "Bila Lak-meh-sin-kiam cuma pujian kosong belaka, mengapa kalian memandangnya begitu penting hingga mesti mengorbankan persahabatan Thian-liong-si dengan Tay-lun-si dan antara negara Tayli dengan Turfan?”

"Apakah Beng-ong maksudkan, bila kami tidak meluluskan permintaanmu, Tayli dan Turfan akan perang?” tanya Thian-in.

Sebagai kepala negara, sudah tentu Po-ting-te paling tertarik oleh tanya jawab terakhir itu.

Perlahan Ciumoti berkata, "Sudah lama Kokcu kami kagum pada negeri Tayli yang makmur, sudah lama beliau ingin mengadakan perburuan ke sini. Tapi kupikir tindakan itu pasti akan banyak ambil korban jiwa dan harta, maka selama beberapa tahun aku selalu berusaha mencegahnya.”

Sudah tentu Thian-in dan lain-lain paham akan kata-kata orang yang bersifat mengancam itu. Sebab Ciumoti adalah Koksu kerajaan Turfan. Seperti juga Tayli, rakyat Turfan juga memeluk agama Buddha dan Ciumoti itu sangat dipercaya rajanya, perang atau damai banyak bergantung kepada kekuasaannya. Kini kalau cuma urusan sejilid kitab hingga kedua negara mesti terlibat dalam peperangan, hal ini benar-benar tidak perlu. Tapi bila sedikit digertak lantas menyerah mentah-mentah, bukankah sangat merosotkan kehormatan Thian-liong-si dan kerajaan Tayli?

Maka berkatalah Koh-eng Taysu, "Jika Beng-ong bertekad harus mendapatkan kitab kami ini, mengapa aku mesti pelit. Beng-ong bersedia menukar dengan ilmu silat Siau-lim-si, kami pun tidak berani menerimanya. Meski sudah berpuluh tahun aku menyepi, namun kutahu juga kepandaian Beng-ong dari Tay-lun-si itu jauh lebih hebat daripada ke-72 jenis ilmu Siau-lim-pay.”

Ciumoti merangkap kedua tangannya dan berkata, "Apakah maksud Taysu supaya kupertunjukkan sedikit kepandaianku yang jelek ini?”

"Beng-ong mengatakan bahwa Lak-meh-sin-kiam-keng kami cuma pujian kosong belaka dan tidak berguna dipraktikkan, maka biarlah kami belajar kenal beberapa jurus dengan Beng-ong,” demikian sahut Koh-eng. "Apakah benar seperti apa yang dikatakan Beng-ong bahwa Lak-meh-kiam-hoat kami ini hanya bernama kosong dan tidak berguna, lalu untuk apa lagi mesti kami sayangkan? Dengan rela akan kami serahkan kitab yang diminta Beng-ong.”

Diam-diam Ciumoti terkesiap oleh jawaban itu, ia pikir dahulu waktu kubicara tentang "Lak-meh-sin-kiam” dengan Buyung-siansing, keduanya berpendapat Kiam-hoat itu memang sangat bagus, tapi mungkin susah diyakinkan oleh tenaga manusia. Kini mendengar ucapan Koh-eng, agaknya bukan Koh-eng saja yang dapat memainkan Kiam-hoat itu, bahkan kelima kawannya yang lain juga bisa.

Segera ia menjawab, "Jika Taysu sekalian sudi memberi petunjuk dengan Kiam-hoat yang hebat itu, sungguh aku merasa sangat beruntung sekali.”

"Senjata apa yang dipakai Beng-ong, silakan mengeluarkannya,” kata Thian-in segera.

Tiba-tiba Ciumoti bertepuk tangan, maka masuklah laki-laki tinggi besar yang menunggu di luar, Ciumoti berkata beberapa patah dalam bahasanya dan laki-laki itu pun mengangguk-angguk, lalu keluar dan membawa masuk seikat dupa kepada Ciumoti, kemudian laki-laki itu undurkan diri pula keluar.

Semua orang terasa heran untuk apakah dupa itu. Dupa itu adalah benda lemah dan mudah patah, masakah dapat digunakan sebagai senjata?

Tertampak Ciumoti lolos sebatang dupa, lalu tangan lain meraup segenggam bubuk kayu terus dikepal hingga mengeras, dupa itu lantas ditancapkan di tengahnya dan ditaruh di lantai. Dengan cara yang sama ia jajarkan enam batang dupa dalam jarak kira-kira belasan senti satu sama lain. Menyusul ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya terus menampar ke depan, serentak ujung keenam batang dupa itu lantas menyala tersulut.

Keruan Thian-in dan lain-lain terkejut, betapa tinggi tenaga dalam padri asing ini sungguh sudah mencapai tingkatan yang susah diukur. Tapi Thian-in dan Po-ting-te lantas mengendus pula bau belerang terbakar, maka tahulah mereka. Kiranya pada pucuk dupa itu terdapat obat bakar, sekali Ciumoti menggosok obat bakar itu dengan tenaga dalamnya, segera dupa-dupa itu menyala. Meski perbuatan itu tidak mudah dilakukan, namun Po-ting-te merasa dirinya masih mampu melakukannya juga.

Sesudah menyala, asap dupa lantas mengepul menjadi enam jalur. Ciumoti duduk sambil kedua tangan terpentang mencakup ke depan, sekali ia kerahkan tenaga dalamnya, keenam jalur asap itu lantas berkisar menuju ke arah Koh-eng dan Po-ting-te berenam.

Kiranya ilmu Ciumoti ini disebut "Hwe-yam-to” atau golok kobaran api. Meski tanpa wujud dan tak dapat diraba, tapi lihainya tidak kepalang untuk membinasakan lawan.

Namun maksud tujuan Ciumoti sekarang cuma ingin mendapat kitab pusaka dan tiada niat membunuh orang, maka hanya enam batang dupa dinyalakan untuk menunjukkan ke mana arah tenaga serangannya tertuju,

pertama sebagai tanda ia yakin pasti lebih unggul daripada lawan-lawannya, kedua sebagai tanda rasa welas asihnya yang tidak ingin membunuh orang, melainkan cuma saling ukur kepandaian masing-masing.

Begitulah, ketika enam jalur asap itu sampai di depan Thian-in dan lain-lain, mendadak asap itu lantas berhenti dan tidak menyambar maju lagi.

Sungguh kejut Thian-in dan lain-lain bukan buatan. Menggunakan tenaga dalam untuk mendesak majunya asap tidaklah sulit, tapi memakai tenaga dalam untuk menghentikannya, terang kepandaian ini berpuluh kali lebih sukar daripada yang duluan.

Thian-som tidak mau unjuk lemah, sekali jari kecil kiri terangkat, "cus”, sejalur hawa putih terpancar dari Siauciong-hiat ke arah asap yang berada di depannya. Karena tolakan tenaga dalam Thian-som, dengan cepat tali asap itu lantas menyambar kembali ke arah Ciumoti. Tapi ketika mendekat, waktu tenaga "Hwe-yam-to” yang dikerahkan Ciumoti diperkeras lagi, jalur asap itu lantas berhenti dan tidak mampu maju pula.

"Ehm, memang hebat,” kata Ciumoti sambil mengangguk. "Ternyata di dalam Lak-meh-sin-kiam memang ada ‘Siau-ciong-kiam’ seperti ini.”

Setelah kedua orang saling gempur dengan tenaga dalam, Thian-som merasa bila dirinya tetap duduk, daya tekan ilmu pedangnya itu akan sukar dilancarkan. Segera ia berdiri dan melangkah tiga tindak ke kiri, dengan tenaga dalamnya ia serang lebih kuat dari sana.

Segera Ciumoti angkat tangan kiri dan tenaga serangan itu tertahan. Thian-koan ikut bertindak juga, sekali jari tengahnya menegak, "cus”, ia pun menusuk dengan "Tiong-ciong-kiam”.

"Bagus, inilah Tiong-ciong-kiam-hoat!” seru Ciumoti sambil menangkis. Meski satu lawan dua, namun sama sekali tak tampak terdesak.

Toan Ki duduk di depan Koh-eng, ia dapat menoleh ke kanan dan miring ke kiri untuk mengikuti pertarungan hebat yang jarang terlihat dalam Bu-lim itu. Meski dia tidak paham ilmu silat, tapi tahu juga bahwa para Hwesio itu sedang bertanding pedang dengan Lwekang mereka, lihai dan bahaya pertandingan Lwekang ini jauh lebih hebat daripada bertanding dengan senjata tajam.

Ia lihat jurus ilmu pedang dan golok yang dikeluarkan Ciumoti, Thian-som dan Thian-koan itu sangat lambat. Setelah belasan jurus, tiba-tiba pikirannya tergerak, "He, bukankah Tiong-ciong-kiam yang dimainkan Thiankoan Taysu itu tiada ubahnya seperti apa yang kubaca dalam gambar tadi?”

Perlahan ia buka lukisan Tiong-ciong-kiam-hoat yang memang terletak di depannya itu. Ia cocokkan antara gerakan hawa putih yang menyambar kian kemari itu dengan petunjuk dalam gambar, nyata ilmu pedang itu memang sama.

Sungguh girang Toan Ki bukan buatan. Segera ia mengikuti Siau-tik-kiam-hoat yang dimainkan Thian-som itu. Ilmu pedang ini pun sama dengan gambar, cuma Tiong-ciong-kiam-hoat itu lingkupnya lebih luas dan daya tekannya lebih keras, sebaliknya Siau-tik-kiam lebih lincah, menyusup kian kemari dengan macam-macam perubahan yang rumit.

Melihat kedua Sutenya sama sekali tidak lebih unggul mengeroyok Ciumoti, Thian-in menjadi khawatir latihan mereka belum masak, jangan-jangan permainan pedang mereka keburu dipahami Tay-lun-beng-ong yang mahapintar itu. Segera ia berseru, "Thian-siang dan Thian-tim Sute, marilah kita turun tangan!”

Berbareng Thian-in acungkan jari telunjuknya, ia keluarkan Siang-yang-kiam-hoat. Menyusul Thian-siang juga memainkan "Siau-ciong-kiam” dengan jari kecil kanan. Sedang Po-ting-te menyerang dengan "Koan-ciongkiam”, yaitu dengan jari manis. Tiga arus hawa pedang yang hebat serentak menerjang ketiga jalur asap musuh.

Sudah tentu yang paling untung adalah Toan Ki, melihat "Siang-yang-kiam” yang dilontarkan Thian-in itu lebih kuat daripada Thian-som berdua, cepat ia membuka gambar ilmu pedang itu, tapi ia menjadi heran pula ketika melihat gerak ilmu pedang sang paman sebaliknya sangat lambat dan berat.

Memang di antara jari-jari tangan umumnya, jari telunjuk paling lincah dan hidup, sebaliknya jari manis kaku dan lamban. Maka Siang-yang-kiam mengutamakan kegesitan dan kelincahan, sebaliknya Koan-ciong-kiam lambat dan berat gerak-geriknya.

Saking asyiknya Toan Ki mengikuti ilmu pedang itu sambil berpaling ke sini dan menoleh ke sana, tanpa terasa suatu waktu kepalanya menempel di depan hidung Koh-eng Taysu. Ia merasa risi ketika kuduk seakan-akan ditiup-tiup karena napas orang tua itu. Tanpa sengaja ia mendongak, tapi apa yang dilihatnya membuatnya melongo kaget.

Ternyata wajah yang dilihatnya itu aneh luar biasa, separuh muka sebelah kiri merah bercahaya, daging penuh, kulit gilap, mirip muka anak kecil. Tapi separuh muka yang sebelah kanan kurus kering tinggal kulit membungkus tulang. Kecuali kulitnya yang kuning hangus itu, sedikit pun tiada dagingnya hingga tulang pipinya menonjol mirip tengkorak.

Dalam kagetnya cepat Toan Ki menoleh dan tidak berani memandang lagi, hati terasa berdebar-debar pula. Ia tahu muka Koh-eng Taysu itu pasti akibat meyakinkan "Koh-eng-sin-kang” ilmu Buddha subur dan kering,

makanya wajahnya separuh "Koh” (kering) dan separuh "Eng” (subur).

Tiba-tiba Koh-eng Taysu membisikinya, "Kesempatan bagus jangan dibuang, lekas memerhatikan ilmu pedang!”

Toan Ki tersadar, ia mengangguk dan cepat mencurahkan perhatiannya untuk mengikuti ilmu pedang Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te serta dicocokkan dengan gambar Kiam-boh yang bersangkutan.

Setelah ketiga jenis Kiam-hoat itu selesai dipelajarinya, sementara itu permainan ilmu pedang Thian-som dan Thian-koan sudah mengulang kedua kalinya. Kini tanpa membandingkan dengan gambarnya, Toan Ki dapat memahami di mana letak kebagusan Lak-meh-kiam-hoat itu. Ia terasa garis-garis yang terlukis pada gambar itu adalah barang mati, tapi hawa putih yang dipancarkan dengan tenaga dalam itu benar-benar tiada habis-habis perubahannya dan dapat dikerahkan pergi datang dengan hidup, kalau dibandingkan apa yang terlukis dalam gambar, terang lebih ruwet tapi lebih padat.

Setelah mengikuti pula sebentar, terlihat Kiam-hoat yang dimainkan Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te juga sudah selesai. Tiba-tiba jari kecil Thian-siang menjentik pula dengan jurus "Hun-hoa-hut-liu” atau membelai bunga menyingkap daun Liu. Nyata untuk kedua kalinya ia mainkan ilmu pedangnya pula.

Menyusul Thian-in dan Po-ting-te juga mengadakan perubahan pada permainan ilmu pedang mereka yang sudah selesai itu. Tapi mendadak di depan tubuh Ciumoti bersuara mencicit, daya tekan "Hwe-yam-to” ternyata bertambah hebat hingga tenaga dalam dari gerakan pedang kelima lawannya tertolak kembali semua.

Kiranya semula Ciumoti cuma bertahan saja dengan tujuan mengikuti permainan Lak-meh-sin-kiam kelima orang lawan itu hingga selesai, habis itu barulah mengadakan serangan balasan. Dan sekali ia sudah balas menyerang, kelima jalur asap putih segera menari dan beterbangan dengan hidup sekali, sedang jalur asap keenam tetap berhenti kira-kira satu meter di belakang tubuh Koh-eng Taysu.

Koh-eng Taysu sengaja hendak melihat sampai di mana kekuatan bertahan musuh. Namun Ciumoti sadar juga bila terlalu lama menahan jalur asap yang keenam itu, tenaga dalamnya yang terbuang akan terlalu banyak. Maka kini ia mulai pusatkan tekanannya ke jalur asap keenam itu hingga sedikit demi sedikit mulai mendesak maju ke belakang kepala Koh-eng.

Toan Ki menjadi khawatir, cepat katanya, "Thaysuhu, awas jalur asap musuh sedang menyerang padamu.”

Koh-eng mengangguk, ia terus membentang lukisan "Siau-siang-kiam”, yaitu bagian dari Lak-meh-sin-kiam menurut gambar yang harus dimainkannya itu di depan Toan Ki.

Pemuda itu tahu maksud baik Koh-eng Taysu. Maka dengan memusatkan perhatian, segera ia membaca isi gambar itu. Ia lihat ilmu pedang Siau-siang-kiam dalam lukisan itu hanya sederhana saja garis-garis petunjuknya, tapi memiliki tenaga mahakuat yang tiada taranya.

Sambil membaca lukisan itu, Toan Ki tidak lupa jalur asap musuh yang mengancam Koh-eng tadi. Ketika ia menoleh pula, ia lihat jalur asap itu tinggal beberapa senti saja di belakang kepala Koh-eng. Ia menjadi kaget dan berseru, "Awas!”

Mendadak Koh-eng membalik tangan ke belakang, kedua jari jempol menahan ke depan berbareng, dengan suara mencicit dua kali, sekaligus ia serang dada kanan dan pundak kiri Ciumoti.

Kiranya serangan musuh tadi tak ditangkisnya, sebaliknya Koh-eng melakukan serangan kilat di luar dugaan musuh. Ia memperhitungkan Hwe-yam-to musuh agak lambat majunya, untuk bisa mengenai dirinya masih diperlukan sementara waktu lagi, tapi kalau ia mendahului menyerang, tentu musuh akan kerepotan.

Ciumoti sendiri dapat menduga kemungkinan itu, maka sebelumnya ia sudah siap untuk menjaga kalau mendadak diserang oleh Koh-eng Taysu yang merupakan lawan paling kuat. Tapi yang ia duga cuma jurus serangan Siau-yang-kiam yang lihai dan tidak menyangka Koh-eng sekaligus dapat menyerang dengan dua pedang pada sasaran dua tempat.

Cepat ia kerahkan tenaga yang sudah disiapkan itu untuk menangkis tenaga tusukan yang mengarah dadanya, menyusul kakinya mengentak, buru-buru ia melompat mundur. Tapi betapa pun cepatnya tetap kalah cepat daripada hawa pedang yang tak kelihatan itu, "cret”, tahu-tahu jubah bagian pundak terobek dan darah merembes keluar.

Saat lain Koh-eng Taysu menarik kembali jarinya dan hawa pedang ikut mengkeret kembali, maka patahlah keenam batang dupa sekaligus.

Berbareng Thian-in, Po-ting-te dan lain-lain ikut menarik kembali juga hawa pedang mereka, perasaan khawatir mereka baru sekarang dapat terasa longgar.

Ciumoti melangkah maju lagi, katanya, "Ilmu sakti Koh-eng Taysu memang bukan main hebatnya, aku terasa kagum tak terhingga. Tapi tentang Lak-meh-sin-kiam itu, haha, kiranya cuma omong kosong belaka.”

"Kenapa omong kosong, silakan memberi penjelasan,” kata Thian-in.

"Dahulu yang dikagumi Buyung-siansing adalah Kiam-hoat (ilmu permainan pedang) dan bukan Kiam-tin (barisan pedang) dari Lak-meh-sin-kiam,” sahut Ciumoti. "Walaupun benar Kiam-tin Thian-liong-si barusan ini sangat kuat dan hebat, tapi kalau diukur juga tidak lebih daripada Lo-han-kiam-tin dari Siau-lim-si dan Kungoan-kiam-tin dari Kun-lun-pay. Agaknya belum dapat dikatakan Kiam-tin yang tiada bandingannya di dunia ini.”

Dengan menekankan Kiam-tin dan bukan Kiam-hoat, Ciumoti anggap dirinya sekaligus telah menandingi keenam lawan, sebaliknya pihak lawan tiada seorang pun yang mampu menggunakan Lak-meh-sin-kiam sebagaimana dirinya memainkan Hwe-yam-to itu.

Thian-in terasa apa yang dikatakan orang memang benar, ia menjadi bungkam tak bisa menjawab. Namun Thian-som lantas menjengek, katanya, "Biar Kiam-tin atau Kiam-hoat, namun pertandingan tadi Beng-ong yang menang atau pihak Thian-liong-si kami yang menang?”

Ciumoti tidak menjawab, ia pejamkan mata dan berpikir sejenak, selang agak lama, lalu jawabnya, "Babak pertama kalian memang lebih unggul, tapi babak kedua ini aku pasti akan menang.”

Thian-in terkejut, tanyanya, "Jadi Beng-ong masih ingin bertanding lagi?”

"Apa boleh buat,” sahut Ciumoti. "Seorang laki-laki harus dapat dipercaya. Sekali aku sudah berjanji pada Buyung-siansing, mana boleh mundur setengah jalan?”

"Lalu, dengan andalan apa Beng-ong yakin pasti akan menang?” tanya Thian-in.

Ciumoti tersenyum, sahutnya, "Kalian adalah gembong-gembong persilatan, masakah masih belum dapat menerkanya? Terimalah seranganku!”

Sembari berkata, kedua tangannya terus mendorong ke depan dengan perlahan.

Koh-eng, Thian-in, Po-ting-te dan lain-lain seketika merasa terdesak oleh dua arus tenaga dalam yang kuat dari arah yang berlainan. Thian-in dan lain-lain terasa daya tekan musuh itu tidak dapat ditahan dengan Lak-mehsin-kiam, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk menangkis, hanya Koh-eng Taysu saja tetap pakai kedua jari jempol untuk menyambut tenaga musuh dengan ilmu "Siau-yang-kiam” dari Lak-meh-sin-kiam itu.

Namun setelah melontarkan tenaga serangan itu, segera Ciumoti menarik kembali lagi serangannya dan berkata, "Maaf!”

Thian-in saling pandang sekejap dengan Po-ting-te, keduanya sama-sama paham bahwa ilmu Hwe-yam-to padri asing itu terang lebih unggul daripada Lak-meh-sin-kiam mereka. Sekali bergerak Ciumoti mampu mengeluarkan berbagai tenaga yang berlainan, maka sekalipun Siau-yang-kiam yang dilontarkan Koh-eng Susiok itu mendesak lebih kuat juga tak mampu mengalahkan dia.

Pada saat itu juga, tiba-tiba tertampak asap mengepul di depan Koh-eng Taysu, asap itu mengepul menjadi empat jurusan dan mengepung ke arah Ciumoti.

Terhadap Hwesio yang duduk menghadap dinding itu Ciumoti memang sangat jeri, kini mendadak tampak ada asap hitam menyerang ke arahnya, seketika ia menjadi bingung apa maksud orang, ia pun keluarkan Hwe-yamto-hoat untuk bertahan dari empat jurusan dan tidak balas menyerang, di samping berjaga-jaga kalau Thian-in dan lain-lain ikut mengerubut, diam-diam ia perhatikan serangan apa yang hendak dilakukan Koh-eng Taysu.

Namun yang kelihatan hanya asap hitam makin lama makin tebal, daya serangan Koh-eng bertambah hebat. Diam-diam Ciumoti menjadi heran, "Cara menyerangnya dengan sekuat tenaga ini apakah dapat bertahan lama? Koh-eng Taysu adalah seorang padri terkemuka di zaman ini, kenapa menggunakan cara keras seperti ini?”

Ia menduga Koh-eng Taysu pasti tidak mungkin bertindak sembrono, tentu di balik serangan itu ada pula muslihat lain, maka dengan waswas ia menantikan segala kemungkinan.

Selang tak lama, mendadak keempat jalur asap itu terpencar lagi, satu menjadi dua dan dua menjadi empat, dalam sekejap saja jalur asap berubah menjadi 16 jalur dan merubung ke arah Ciumoti.

"Hanya kekuatan panah yang sudah hampir jatuh, apa artinya?” demikian pikir Ciumoti sambil mengerahkan Hwe-yam-to-hoat untuk menahan setiap jalur asap lawan.

Dan begitu tenaga kedua pihak saling bentur, tiba-tiba jalur-jalur asap itu bertebaran memenuhi ruangan hingga seperti kabut tebal.

Namun sedikit pun Ciumoti tidak gentar, ia pun mengerahkan segenap kekuatannya untuk melindungi seluruh tubuhnya. Lambat laun kabut asap itu mulai menipis, Thian-in berlima kelihatan berlutut di lantai dengan sikap

sungguh-sungguh, bahkan wajah Thian-koan dan Thian-som tampak mengunjuk rasa sedih.

Ciumoti tertegun sejenak, segera ia menjadi sadar, "Wah, celaka! Kiranya si tua Koh-eng ini merasa tak mampu menandingi aku, maka Lak-meh-sin-kiam-boh lantas dibakar olehnya.”

Ternyata lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu memang telah terbakar oleh tenaga dalam It-yang-ci yang dipancarkan Koh-eng Taysu itu. Ia khawatir Kiam-boh itu akan direbut Ciumoti, maka untuk mengelabui lawan ia sengaja menyerangnya dengan kabut asap, ketika kabut asap lenyap, sementara itu Lak-meh-sin-kiamboh juga sudah terbakar habis.

Thian-in dan kawan-kawannya adalah tokoh ahli It-yang-ci, maka begitu melihat asap hitam tadi, mereka lantas tahu sebab musababnya. Mereka tahu sang Susiok lebih suka membakar kitab pusaka sendiri daripada benda itu jatuh di tangan musuh. Dan dengan demikian, permusuhan Thian-liong-si dengan Tay-lun-beng-ong menjadi tak bisa diselesaikan dengan mudah.

Kejut dan gusar Ciumoti tak terkatakan, biasanya ia sangat mengagulkan kecerdasannya, tapi kini telah dua kali kecundang di bawah tangannya Koh-eng Taysu. Dan kalau Lak-meh-sin-kiam-boh sudah terbakar, perjalanannya ini menjadi sia-sia belaka tanpa hasil, sebaliknya malah mengikat permusuhan dengan Thianliong-si.

Segera ia berkata sambil memberi hormat, "Buat apa Koh-eng Taysu mesti bertindak sekeras ini? Aku merasa tidak enak mengakibatkan musnahnya kitab pusaka kalian, untung kitab itu tak dapat dilatih oleh tenaga seorang saja, musnah atau tidak memang juga sama, sekarang kumohon diri.”

Dan sebelum Koh-eng dan lain-lain memberi jawaban, sedikit ia putar tubuh, sekonyong-konyong pergelangan tangan Po-ting-te dipegangnya, lalu katanya pula, "Kokcu (kepala negara) kami sudah lama mengagumi nama kebesaran Po-ting-te dan sangat ingin berkenalan, maka sekarang juga silakan ikut padaku pergi ke Turfan.”

Kejadian ini benar-benar di luar dugaan dan sangat mengejutkan, sergapan mendadak itu ternyata sama sekali tak dapat dihindari oleh Po-ting-te yang berilmu silat tinggi itu, apalagi Kim-na-jiu-hoat atau ilmu cara menangkap dan memegang Ciumoti itu sangat aneh, sekali Hiat-to pergelangan tangan terpegang, biarpun dengan cepat Po-ting-te mengerahkan tenaga dalam untuk melepaskan diri, namun sama sekali tidak berhasil.

Dalam keadaan begitu, keselamatan Po-ting-te setiap waktu akan terancam, maka orang lain menjadi serbasulit untuk menolongnya. Meski Thian-in dan lain-lain merasa tindakan Ciumoti itu terlalu rendah, sangat merosotkan pamornya sebagai tokoh ternama, tapi mereka cuma marah belaka tanpa berdaya.

Maka tertawalah Koh-eng Taysu dengan terbahak-bahak, katanya kemudian, "Sebelum ini dia memang benar Po-ting-te, tapi kini ia sudah meninggalkan takhta dan menjadi padri, gelarnya Thian-tim. Nah, Thian-tim, jika kepala negara Turfan sudah mengundangmu, tiada alangannya ikut berkunjung ke sana.”

Dalam keadaan terpaksa, mau tak mau Po-ting-te mengiakan. Ia tahu maksud sang Susiok. Kalau dirinya dalam kedudukannya sebagai raja Tayli ditawan musuh, tentu Ciumoti akan pandang dirinya sebagai tawanan penting. Tapi kalau dirinya sudah turun takhta dan kini sudah menjadi Hwesio, maka apa yang ditawan Ciumoti sekarang tidak lebih hanya seorang Hwesio biasa dari Thian-liong-si saja, boleh jadi dirinya akan segera dibebaskan.

Akan tetapi Ciumoti tidak mudah diakali. Sebelumnya ia sudah menyelidiki dan tahu di dalam Thian-liong-si itu kecuali Koh-eng Taysu, di antara padri-padri angkatan "Thian” cuma ada empat orang, tapi kini tiba-tiba bertambah lagi seorang Thian-tim, tenaga dalamnya juga tidak lebih lemah daripada keempat padri yang lain, pula dari wajahnya yang kereng dan sikapnya yang agung, begitu melihat segera Ciumoti menduga dia pastilah Po-ting-te.

Ketika mendengar Koh-eng Taysu bilang Po-ting-te sudah turun takhta dan menjadi Hwesio, diam-diam Ciumoti berpikir pula, "Ya, konon setiap raja Tayli bila sudah lanjut usia tentu mengundurkan diri untuk kemudian menjadi padri, maka kini kalau Po-ting-te juga menyucikan diri ke Thian-liong-si sini, hal ini pun tidak mengherankan. Tapi umumnya bila seorang raja menjadi Hwesio tentu diadakan upacara keagamaan secara besar-besaran, tidak mungkin dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui umum.”

Karena itu, segera katanya, "Baik Po-ting-te sudah menjadi Hwesio atau belum, pendek kata aku ingin mengundangnya berkunjung ke Turfan untuk menemui kepala negara kami.”

Sembari berkata terus saja Po-ting-te diseretnya keluar.

"Nanti dulu!” seru Thian-in mendadak, sekali melompat, bersama Thian-koan mereka mengadang di ambang pintu.

"Tiada maksudku membikin susah Po-ting-te, tapi kalau kalian terlalu mendesak, terpaksa tidak dapat kujamin keselamatannya lagi,” kata Ciumoti. Berbareng tangannya bersiap-siap mengancam di punggung Po-ting-te.

Thian-in cukup kenal betapa lihainya orang, sekali Po-ting-te sudah dicengkeram urat nadinya, pasti tak berdaya lagi untuk melawan. Maka ia menjadi bungkam, tapi tetap mengadang di tempatnya.

"Kedatanganku ke sini tidak membawa hasil apa-apa, sungguh malu terhadap mendiang Buyung-siansing, beruntung sekarang dapat mengundang Po-ting-hongya, tidaklah hilang sama sekali arti perjalananku ini, maka sukalah kalian memberi jalan,” kata Ciumoti pula.

Namun Thian-in dan Thian-koan masih ragu, mereka pikir Po-ting-te adalah kepala negara Tayli, mana boleh digondol lari oleh musuh?

Ciumoti menjadi tidak sabar, serunya, "Kabarnya para padri Thian-liong-si sini sangat bijaksana, kenapa menghadapi urusan kecil ini mesti bingung seperti anak kecil?”

Dalam pada itu yang paling khawatir adalah Toan Ki demi melihat sang paman ditawan musuh. Semula ia menduga sang paman tentu dapat melepaskan diri dari tangan musuh, siapa tahu makin lama Ciumoti makin garang. Thian-in dan lain-lain tampak cemas dan gusar, tapi tak bisa berbuat apa-apa, apalagi setindak demi setindak Ciumoti mulai melangkah keluar lagi.

Tanpa pikir lagi Toan Ki berteriak, "Hai, lepaskan pamanku!”

Segera ia melangkah keluar dari aling-aling Koh-eng Taysu.

Sejak tadi Ciumoti sudah mengetahui juga di depan Koh-eng ada duduk seorang lagi yang tak diketahui siapa, pula tidak paham apa maksud Koh-eng menyuruh seorang duduk di depannya, kini melihat orang itu bertindak keluar, ia menjadi heran, tanyanya segera, "Siapakah engkau?”

"Tak perlu kau tanya siapa aku, lepaskan pamanku,” sahut Toan Ki sambil ulur tangannya hendak menarik tangan Po-ting-te yang lain.

Segera Po-ting-te menjabat juga tangan Toan Ki yang diulurkan sambil berkata, "Ki-ji, jangan urus diriku, lekas pulang dan minta ayahmu segera naik takhta menggantikan aku. Kini aku sudah menjadi seorang Hwesio tua yang tiada artinya, buat apa dipikirkan?”

Dan karena tangan bergandeng tangan, seketika tubuh Po-ting-te bergetar, segera ia merasakan daya sedot "Cuhap-sin-kang” dari tubuh Toan Ki. Dan pada saat yang sama Ciumoti juga merasakan tenaga murninya terus merembes keluar.

Dalam hal Lwekang Ciumoti lebih tinggi daripada Po-ting-te, ia menyangka Po-ting-te menggunakan semacam ilmu gaib untuk mengisap tenaga dalamnya, cepat ia himpun kekuatan untuk saling berebut hawa murni

dengan Po-ting-te.

Kalau Po-ting-te tertawan oleh Ciumoti adalah karena sama sekali tidak menduga padri asing itu bakal bertindak secara pengecut, tapi tenaga dalam dan ilmu silat Po-ting-te sedikit pun tidak berkurang, maka ketika mendadak terasa kedua tangan sendiri berbareng timbul dua arus tenaga mahakuat dan saling betot, segera timbul akalnya untuk "meminjam tenaga orang untuk melawan tenaga yang lain”, ia gunakan ilmu itu untuk mempertemukan kedua arus tenaga yang hebat itu.

Dan begitu kedua tenaga itu saling bentrok, Po-ting-te yang berada di tengah itu jadi bebas dari tekanan tenagatenaga itu dan terhindarlah dia dari tawanan Ciumoti. Cepat ia melompat mundur sambil menarik Toan Ki, dalam hati diam-diam ia bersyukur hari ini selamat berkat pertolongan keponakannya itu.

Dalam pada itu kejut Ciumoti sungguh tak terkatakan, pikirnya, "Ternyata dunia persilatan di Tionggoan telah muncul pula seorang jago kelas wahid, mengapa aku sama sekali tidak tahu? Usia orang ini paling banyak cuma 20-an, mengapa sudah setinggi ini kepandaiannya?”

Tadi Ciumoti mendengar Toan Ki memanggil Po-ting-te sebagai paman, ia menjadi lebih ragu lagi, sebab selamanya belum didengarnya bahwa di antara angkatan muda keluarga Toan di Tayli terdapat seorang tokoh kelas satu begini? Sungguh tak tersangka olehnya bahwa sergapannya yang sudah berhasil menawan Po-ting-te itu mendadak digagalkan oleh seorang pemuda tak terkenal, tentu saja membuatnya sangat penasaran.

Maka dengan mengangguk perlahan ia pun berkata, "Selama ini aku menyangka Toan-si di Tayli ini khusus hanya meyakinkan ilmu keturunan leluhur dan tidak mempelajari ilmu kepandaian dari luar, siapa tahu angkatan mudanya yang gagah begini ternyata sudi berkawan dengan iblis dari Sing-siok-hay untuk mempelajari ‘Hoa-kang-tay-hoat’ yang hebat itu. Aneh, sungguh aneh!”

Nyata biarpun Ciumoti seorang cerdik pandai juga telah salah sangka Cu-hap-sin-kang yang dimiliki Toan Ki itu sebagai Hoa-kang-tay-hoat.

Dengan tertawa dingin Po-ting-te menjawab, "Sudah lama kudengar Tay-lun-beng-ong adalah seorang saleh dan mempunyai pengetahuan yang luas, tapi mengapa bisa menarik kesimpulan yang lucu ini? Sing-siok Lomo (iblis tua dari Sing-siok-hay) banyak melakukan kejahatan, mana boleh keturunan keluarga Toan kami mengadakan hubungan dengan dia?”

Selagi Ciumoti tercengang oleh jawaban itu, tiba-tiba Toan Ki ikut berkata, "Engkau adalah tamu, maka Thianliong-si menyambutmu dengan hormat, tapi secara licik engkau membokong pamanku, mengingat kita sesama murid Buddha, maka kami mengalah sedapat mungkin, sebaliknya engkau semakin garang, seorang alim masakah sekasar seperti engkau ini?”

Diam-diam semua orang ikut senang mendengar Toan Ki mendamprat Ciumoti, berbareng mereka pun waspada kalau-kalau dari malu Ciumoti menjadi gusar dan mendadak melontarkan serangan kepada pemuda itu.

Tak tersangka Ciumoti tetap tenang-tenang saja, katanya, "Sungguh hari ini aku sangat beruntung dapat berkenalan dengan seorang tokoh muda. Sudilah memberi petunjuk barang beberapa jurus agar menambah pengalamanku.”

Tapi dengan terus terang Toan Ki menjawab, "Aku tidak mahir ilmu silat, aku tidak pernah belajar apa-apa.”

Ciumoti terbahak-bahak, sudah tentu ia tidak percaya, katanya, "Pandai, sungguh pandai. Biarlah kumohon diri saja!”

Dan sedikit tubuh bergerak, di mana lengan bajunya mengebas, tahu-tahu tangannya menyusup keluar, sekaligus empat tipu serangan Hwe-yam-to terus dilontarkan ke arah Toan Ki.

Toan Ki sama sekali tidak paham cara bagaimana bertempur dengan ilmu silat mahatinggi itu, maka ketika diserang musuh dengan tipu yang lihai, ia sendiri belum lagi menyadari. Syukur Po-ting-te dan Thian-som segera menolongnya dari samping, berbareng mereka memapak serangan Ciumoti itu dengan jari mereka. Cuma begitu membentur tenaga dalam Ciumoti yang mahakuat itu, tubuh mereka lantas tergeliat, bahkan Thian-som terus tumpah darah segar.

Melihat Thian-som tumpah darah, barulah Toan Ki sadar bahwa barusan Ciumoti telah membokongnya. Ia menjadi gusar, ia tuding padri itu sambil memaki, "Kau Hwesio asing yang tidak kenal aturan ya!”

Dan karena dia menuding sekuatnya, pikirannya bekerja, hawa murni pun mengalir, dengan sendirinya lantas keluar satu jurus Kiam-hoat dari "Siau-yang-kiam.”

Lwekang Toan Ki sekarang sudah tiada bandingannya di dunia ini, sejak ia duduk di depan Koh-eng Taysu dan membaca gambar Lak-meh-sin-kiam-boh serta cara bergeraknya, ketika tanpa sengaja jarinya menuding, tanpa disadarinya gerakan itu tepat seperti apa yang dilihatnya dalam gambar, maka terdengarlah suara "cus”, serangkum tenaga dalam yang mahakuat dengan gaya "Kim-ciam-to-jiat” atau jarum emas menghindarkan maut, langsung menutuk ke arah Ciumoti.

Sama sekali Ciumoti tidak menyangka tenaga dalam pemuda itu bisa sedemikian kuatnya, bahkan jurus tutukan "Kim-ciam-to-jiat” itu tampak sangat cekatan dan merupakan serangan Kiam-hoat yang paling tinggi. Dalam kagetnya cepat ia keluarkan Hwe-yam-to-hoat, ia menangkis dengan tapak tangan.

Serangan Toan Ki itu ternyata tidak melulu mengejutkan Ciumoti saja, bahkan Koh-eng, Thian-in dan lain-lain juga merasa heran, di antaranya yang paling heran sudah tentu adalah Po-ting-te dan Toan Ki sendiri. Pikir Toan Ki, "Sungguh aneh sekali? Aku cuma menuding sekenanya, mengapa Hwesio ini menangkis dengan sungguh-sungguh? Eh, barangkali tudinganku tadi gayanya mirip dengan sesuatu tipu serangan dan Hwesio ini menyangka aku mahir Lak-meh-sin-kiam. Hahaha, jika demikian, biarlah aku menggertaknya lagi.”

Segera Toan Ki berseru, "Siau-yang-kiam barusan masih belum apa-apa! Lihatlah sekarang kumainkan Kiamhoat dari Tiong-ciong-kiam!”

Berbareng jari tengahnya menuding. Gayanya memang tepat, tapi sekali ini ternyata tidak membawa tenaga dalam yang kuat.

Ketika melihat pemuda itu menutuk lagi, cepat Ciumoti siapkan tenaganya untuk menyambut, tak terduga serangan Toan Ki ternyata tak membawa kekuatan apa-apa. Semula ia terkejut sebab mengira serangan pemuda itu mungkin hanya pancingan belaka, tetapi sesudah tutukan kedua kalinya tetap kosong tak terisi, barulah Ciumoti bergirang, "Memangnya aku tidak percaya di dunia ini ada orang mahir memainkan Siau-yang-kiam dan Tiong-ciong-kiam sekaligus, dan nyatanya bocah ini memang cuma main gertak saja hingga aku ditipu.”

Dasar watak Ciumoti memang tinggi hati, dan orang yang tinggi hati tentu dengki. Kedatangannya ke Thianliong-si tidak berhasil apa-apa, bahkan telah kecundang beberapa kali, ia pikir kalau tidak balas unjuk gigi sedikit, tentu nama baik Tay-lun-beng-ong akan tercemar.

Segera telapak tangan kirinya memotong ke kanan dan ke kiri beberapa kali, lebih dulu ia tutup jalur bantuan Po-ting-te dan lain-lain dengan tenaga dalamnya, menyusul tangan kanan terus memotong ke pundak kanan Toan Ki. Tipu serangan "Pek-hong-koan-jit” atau pelangi putih menembus sinar matahari, adalah salah satu jurus paling bagus Hwe-yam-to-hoat, ia yakin bahu Toan Ki pasti akan terbelah olehnya.

Melihat itu, Po-ting-te, Thian-in dan Thian-som berseru khawatir, "Awas!”

Berbareng jari mereka terus menutuk serentak ke arah Ciumoti.

Serangan serentak mereka itu adalah serangan yang memaksa musuh harus menolong diri sendiri lebih dulu. Tak tersangka lebih dulu Ciumoti sudah membungkus bagian bahaya tubuhnya dengan tenaga dalam yang kuat,

sedang serangannya kepada Toan Ki tetap dilontarkan tanpa menghiraukan ancaman Po-ting-te bertiga.

Ketika mendengar seruan kaget Po-ting-te bertiga tadi, Toan Ki tahu gelagat tentu tidak menguntungkan, tanpa pikir tangan kanan dan kiri terus menutuk ke depan sekuatnya, dalam khawatirnya itu, hawa murni dalam tubuh dengan sendirinya bergolak, maka sekaligus Siau-ciong-kiam di tangan kiri dan Siau-tik-kiam di tangan kanan dilontarkan untuk menangkis Hwe-yam-to-hoat musuh, begitu kuat tenaganya hingga mampu balas menghantam Ciumoti dengan daya tekan yang hebat.

Keruan Ciumoti kelabakan, tanpa pikir ia bertahan sekuatnya.

Setelah beberapa kali menutuk, lamat-lamat Toan Ki bisa merasakan bahwa terlebih dulu harus timbul sesuatu hasrat, habis itu barulah mengerahkan tenaga dan menutuk, dengan demikian tenaga dalam dan hawa murninya baru dapat bekerja serentak. Namun mengapa bisa begitu, dengan sendirinya ia bingung.

Begitulah dalam sekejap saja Toan Ki menutuk berulang-ulang menurut perasaannya yang timbul dari apa yang dilihatnya pada gambar Lak-meh-sin-kiam itu. Jari bekerja dengan cepat dan indah hingga makin lama Ciumoti makin heran dan terkesiap. Sekuatnya ia kerahkan tenaga dalam untuk melawan Lak-meh-sin-kiam yang lihai itu, seketika hawa pedang sambar-menyambar dengan tajamnya.

Selang sebentar, Ciumoti merasakan tenaga dalam lawan makin lama makin kuat, perubahan Kiam-hoatnya juga tiada habis-habisnya dan sukar diraba. Makin lama Ciumoti tambah heran dan menyesal telah gegabah merecoki Thian-liong-si, tahu-tahu kini muncul seorang tokoh muda selihai ini. Sekonyong-konyong ia menyerang tiga kali, lalu berseru, "Berhenti dulu!”

Namun meski Toan Ki mahir Lak-meh-sin-kiam, ia tak dapat menguasai hawa murni dalam tubuhnya, maka ketika lawan berseru minta berhenti, seketika ia menjadi bingung cara menarik kembali tenaga dalamnya, terpaksa jarinya diangkat ke atas hingga menuding ke atap rumah. Berbareng ia berpikir, "Biarlah aku tidak keluarkan tenaga lagi, coba apa yang hendak ia katakan.”

Hanya sekilas saja Ciumoti yang mahapintar itu sudah dapat melihat sikap bingung Toan Ki itu, caranya menarik kembali hawa murninya tampak kerepotan, kentara bingung dan masih hijau. Sedikit tergerak pikirannya, segera Ciumoti melompat maju terus menjotos ke muka Toan Ki.

Bahwa Toan Ki berhasil memperoleh pelajaran Lak-meh-sin-kiam yang hebat itu adalah disebabkan secara kebetulan saja dan ada jodoh, tapi mengenai ilmu silat yang paling umum sekalipun sebenarnya ia tidak paham. Maka ketika jotosan Ciumoti itu tiba, biarpun serangan ini sangat sederhana dan mudah dihindari, namun bagi Toan Ki malah sukar ditangkis.

Segala kepandaian di dunia ini lazimnya dipelajari mulai dari yang cetek, kemudian menuju yang dalam, tidak mungkin hanya memahami yang dalam, tapi malah tidak bisa yang cetek, hanya ilmu silat Toan Ki itulah merupakan suatu kecuali besar.

Ketika melihat dirinya dijotos, walaupun serangan itu sangat sederhana, tapi ia justru kelabakan cara menangkisnya. Keruan kesempatan itu tidak diabaikan Ciumoti, mendadak ia hentikan jotosannya di tengah jalan dan menyampuk tangan Toan Ki ke samping, menyusul dada pemuda itu lantas dijambretnya bagian "Sinhong-hiat.” Tanpa ampun lagi antero tubuh Toan Ki terasa lemas linu tak bisa berkutik.

Walaupun Ciumoti dapat melihat di antara ilmu silat Toan Ki itu terdapat banyak titik kelemahannya, tapi tak terduga olehnya bahwa secara begitu gampang pemuda itu dapat ditangkapnya. Ia khawatir Toan Ki sengaja tertawan dan masih ada tipu muslihat lain, maka begitu mencengkeram Sin-hong-hiat dada pemuda itu, menyusul ia menutuk pula "Tan-tiong”, "Tay-tui” dan beberapa Hiat-to penting lainnya.

Tapi pada saat yang sama, Ciumoti juga terasa tenaga murni dalam tubuh sendiri terus merembes keluar melalui telapak tangan kanan yang mencengkeram dada Toan Ki itu.

Cepat ia pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri sambil menyurut mundur beberapa tindak, lalu katanya, "Siausicu (tuan kecil) ini sudah hafal benar ilmu Lak-meh-sin-kiam, sedangkan Kiam-boh itu sudah dibakar oleh Koh-eng Taysu ....”

Sambil bicara, ia megap-megap juga, sebab sekali mulutnya mengap, tak tertahan lagi hawa murninya lantas merembes keluar, terpaksa ia bicara dengan cepat dan terputus-putus, "Namun Siausicu ini sama ... sama saja seperti Kiam-boh hidup, biarlah kubawa ke ... ke kuburan Buyung-siansing untuk dibakar hidup-hidup di sana, bukankah sa ... sama juga ....”

Dan karena khawatir kelemahannya diketahui Koh-eng dan kawan-kawannya, cepat Ciumoti keluarkan serangan Hwe-yam-to-hoat lagi beberapa kali, sekali melompat keluarlah dia dari ruang Bo-ni-tong itu. Ketika Po-ting-te, Thian-in dan lain-lain hendak mengejar, namun mereka dipaksa mundur kembali oleh serangan Ciumoti yang hebat itu.

Begitu sampai di luar, segera Ciumoti lemparkan Toan Ki kepada kesembilan laki-laki yang berjaga di luar sambil membentak, "Lekas berangkat!”

Segera dua laki-laki di antaranya berlari maju menyambut tubuh Toan Ki dan digondol lari melalui jalan yang tidak semestinya seperti mereka datang tadi.

Ciumoti sendiri lantas merasa tenaga murninya tidak merembes keluar lagi begitu terpisah dengan tubuh Toan Ki, ia tetap melontarkan serangan Hwe-yam-to-hoat yang hebat ke pintu keluar Bo-ni-tong, seketika Po-ting-te dan lain-lain menjadi tertahan di dalam dan sukar membobol jaringan golok musuh yang tak berwujud itu.

Setelah mendengar derap kuda begundalnya sudah pergi agak jauh dengan menggondol Toan Ki, maka tertawalah Ciumoti, katanya, "Haha, Kiam-boh kertas terbakar, kini dapat Kiam-boh yang hidup malah. Buyung-siansing tentu takkan merasa kesepian lagi di alam baka, beliau segera akan mendapat teman.”

Dan sekali tangannya memotong, terdengarlah suara gemuruh, dua pilar Bo-ni-tong dipatahkan olehnya, menyusul tertampaklah bayangan orang berkelebat, secepat angin ia menghilang dari pandangan mata.

Ketika Po-ting-te dan Thian-som memburu keluar, namun Ciumoti sudah pergi jauh.

"Hayo, lekas kita kejar!” seru Po-ting-te. Segera ia mendahului berlari ke depan. Cepat Thian-som ikut di belakangnya untuk mengejar musuh.

Dalam keadaan tak dapat berkutik karena Hiat-to tertutuk, Toan Ki merasa dirinya ditaruh di atas kuda dengan tengkurap hingga kepala terjulur ke bawah. Karena itu ia dapat melihat sibuknya kaki kuda bekerja, debu bertebaran memenuhi mukanya.

Ia dengar beberapa laki-laki itu sedang membentak-bentak dalam bahasa asing, entah apa yang dipercakapkan. Ia coba menghitung kaki kuda, seluruhnya ada 40, itu berarti ada 10 penunggang kuda.

Setelah belasan li jauhnya, sampailah mereka di suatu simpang jalan. Terdengar Ciumoti berkata beberapa patah, lalu lima penunggang kuda mengambil jalan ke kiri, sedangkan Ciumoti sendiri bersama laki-laki yang menggondol Toan Ki serta tiga orang lain lagi membelok ke kanan.

Beberapa li pula, kembali ada simpang jalan lagi, segera Ciumoti membagi diri mereka menjadi dua rombongan pula.

Toan Ki tahu Ciumoti sengaja hendak memencarkan perhatian pengejarnya agar bingung ke mana harus mengejar mereka.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba Ciumoti melompat turun dari kudanya, ia ambil seutas sabuk kulit untuk mengikat pinggang Toan Ki, lalu tubuh pemuda itu dijinjingnya terus dibawa menuju ke lereng bukit. Sedangkan kedua begundalnya melarikan kuda mereka ke jurusan lain.

Diam-diam Toan Ki mengeluh, "Wah, celaka! Jika demikian, sekalipun Pekhu mengerahkan pasukan besar untuk mengejar, paling banyak cuma kesembilan lelaki itu yang dapat ditangkap kembali, tapi sukar menemukan aku.”

Jilid 17
Meski tangannya menjinjing seorang, namun tindakan Ciumoti tidak menjadi lambat. Makin lama makin jauh dan makin cepat jalannya. Dalam waktu beberapa jam lamanya ia selalu berkeliaran di antara lereng gunung yang sunyi.

Toan Ki melihat sang surya sudah mendoyong ke ufuk barat dan menyorot dari sebelah kiri, maka tahulah dia bahwa Ciumoti membawanya menuju ke utara.

Petangnya, Ciumoti angkat tubuh Toan Ki untuk diletakkan di atas dahan pohon, ia ikat sabuk kulit itu pada ranting pohon, sama sekali ia tidak ajak bicara pemuda itu, bahkan memandang pun tidak, hanya sambil berdiri mungkur ia sodorkan beberapa potong roti kering padanya, ia pun membuka Hiat-to lengan kiri Toan Ki agar pemuda itu dapat bergerak untuk makan.

Dengan tangan kiri yang sudah dapat bergerak itu, Toan Ki pikir hendak menyerangnya dengan Siau-tik-kiam, siapa duga sekali Hiat-to besar tertutuk, hawa murni seluruhnya ikut macet, maka jari tangannya cuma dapat bergerak saja dan tak bertenaga sedikit pun.

Begitulah, selama beberapa hari Ciumoti terus menjinjingnya ke utara. Beberapa kali Toan Ki memancing pembicaraan orang dan tanya mengapa dirinya ditawan serta untuk apa menuju ke utara? Namun tetap Ciumoti tidak menjawab.

Setelah belasan hari, mereka berada di luar wilayah Tayli, Toan Ki merasa arah yang ditempuh Ciumoti berganti menuju ke timur-laut, tapi tetap tidak mengambil jalan raya, sebaliknya selalu menjelajahi lereng gunung dan hutan belukar, cuma tanahnya kian lama kian datar, sungai pun semakin banyak, setiap hari hampir beberapa kali menyeberang sungai.

Cara perjalanan Ciumoti dengan menjinjing Toan Ki seakan-akan orang mencangking hewan saja, sudah tentu sangat mengherankan orang yang berlalu-lalang di sampingnya. Sampai akhirnya Toan Ki sendiri merasa bosan juga setiap kali berjumpa dengan orang di tengah jalan.

Sungguh dongkol Toan Ki tak terkatakan. Dahulu ketika ia ditawan oleh adik perempuannya, yaitu Bok Wanjing, walaupun setiap hari ia dihajar dan disiksa, banyak penderitaan yang dirasakannya, tapi rasanya tidak kesal seperti ditawan Ciumoti sekarang.

Setelah belasan hari lagi, Toan Ki mendengar logat bicara orang yang berlalu-lalang mulai ramah tamah dan enak didengar, diam-diam ia membatin, "Ah, tentu tempat ini adalah daerah Kanglam (selatan sungai Yangce). Ia membawa diriku ke kuburan Buyung-siansing, rasanya tidak lama lagi sudah akan tiba di tempat tujuannya. Ilmu silat padri asing ini sedemikian lihai, sampai Pekhu berenam juga tak mampu merobohkan dia. Sekarang aku berada dalam cengkeramannya, terpaksa aku menyerah pada nasib, masakah ada harapan buat lolos?”

Berpikir begitu, hatinya menjadi lapang malah, tanpa pikir lagi ia mendongak untuk memandang keadaan sekitarnya. Tatkala itu adalah pergantian antara musim semi dan musim panas, hawa sejuk pemandangan indah, angin meniup silir-semilir memabukkan orang.

Sudah lebih sebulan Toan Ki menjadi "barang cangkingan” Ciumoti, hal itu sudah terbiasa baginya. Kini melihat pemandangan alam yang indah permai itu, hatinya menjadi gembira, tanpa merasa ia pun bernyanyinyanyi kecil sambil menikmati pemandangan danau yang indah di pinggir jalan.

"Huh, ajal sudah dekat, masih begini iseng?” jengek Ciumoti.

"Manusia mana di dunia ini yang takkan mati?” sahut Toan Ki dengan tertawa. "Paling banyak engkau cuma hidup lebih lama buat beberapa tahun, apa bedanya kelak?”

Ciumoti tidak gubris padanya lagi. Ia coba tanya orang di mana letaknya "Som-hap-ceng.” Tapi meski sudah beberapa orang ditanya, tetap tiada seorang pun yang tahu di mana kampung itu.

"Tidak pernah kudengar dusun yang bernama Som-hap-ceng, barangkali engkau salah dengar, Hwesio,” demikian sahut seorang tua.

"Jika begitu, apakah tahu seorang hartawan she Buyung, di mana rumahnya?” tanya Ciumoti.

"Di kota Sohciu sini banyak orang she Tan, she Li dan she lain, semua hartawan besar, tapi tidak pernah terdengar ada hartawan she Buyung,” sahut orang tua itu.

Sedang Ciumoti bingung, tiba-tiba didengarnya suara seorang sedang berkata di jalan kecil di tepi danau sana, "Kabarnya orang she Buyung itu tinggal di Yan-cu-oh kira-kira tiga puluh li di barat kota, mari kita menuju ke sana!”

"Ya, sudah sampai di tempatnya, kita harus berhati-hati!” demikian sahut seorang lain.

Suara percakapan kedua orang itu sangat perlahan, maka Toan Ki tidak mendengar, sebaliknya Lwekang Ciumoti sangat tinggi, ia dapat mendengar dengan jelas. Diam-diam ia heran apakah orang sengaja bicara padanya?

Ketika Ciumoti berpaling, ia lihat seorang berperawakan gagah berpakaian berkabung, seorang lagi kurus kecil mirip pencoleng. Tapi sekilas pandang saja dapatlah diketahui Ciumoti bahwa kedua orang itu memiliki ilmu silat tinggi. Belum lagi ia ambil keputusan apa mesti tanya kedua orang itu atau tidak, mendadak Toan Ki berseru, "Hai, Ho-siansing, Ho-siansing!”

Kiranya laki-laki kurus kecil bermuka jelek itu tak-lain tak-bukan adalah Kim-sui-poa Cui Pek-khe, si Mesin Hitung Emas. Dan laki-laki yang lain adalah murid keponakannya, Tui-hun-jiu Ko Gan-ci.

Sesudah kedua tokoh itu meninggalkan Tayli, dengan semangat yang berkobar-kobar mereka hendak membalaskan dendam Kwa Pek-hwe. Walaupun mereka juga tahu sukar untuk melawan orang she Buyung, tapi sakit hati itu harus dibalas betapa pun akibatnya, maka akhirnya mereka tiba juga di Koh-soh.

Sebelumnya mereka telah menyelidiki dan mendapat tahu tempat tinggal keluarga Buyung, yaitu Yan-cu-oh, dan secara kebetulan tiba pada waktu yang sama dengan Ciumoti dan Toan Ki.

Ketika mendadak mendengar seruan Toan Ki tadi, Cui Pek-khe tercengang sejenak, tapi segera ia melompat ke depan Ciumoti dan berkata dengan heran, "He, Siauongcu (putra pangeran kecil), kiranya engkau? Eh, Toahwesio, lekas melepaskan Kongcuya ini, apa kau tahu siapa dia?”

Sudah tentu Ciumoti tidak pandang sebelah mata kepada kedua orang itu, tapi karena dia lagi bingung mengenai tempat tinggal Buyung-siansing, kini kebetulan orang ini mengetahui tempatnya, maka ia pun tidak marah terhadap ucapan Cui Pek-khe. Ia taruh Toan Ki ke tanah membiarkan pemuda itu berdiri sendiri, lalu melepaskan Hiat-to kakinya, kemudian berkata, "Aku hendak pergi ke rumah keluarga Buyung, harap kalian berdua suka menunjukkan jalannya.”

Pengetahuan dan pengalaman Cui Pek-khe sangat luas, tapi meski dipikir toh tak teringat olehnya siapa gerangan Hwesio ini. Maka tanyanya, "Numpang tanya, siapakah gelaran suci Taysu? Mengapa membikin susah Siauongcu ini dan untuk keperluan apa hendak pergi ke rumah keluarga Buyung?”

"Banyak omong tiada gunanya, nanti tentu akan tahu sendiri,” sahut Ciumoti.

"Apakah Taysu sobat baik Buyung-siansing?” tanya Cui Pek-khe pula.

"Benar, makanya kalau Ho-siansing mengetahui di mana letak Som-hap-ceng tempat tinggal Buyung-siansing itu, harap memberitahukan jalannya,” sahut Ciumoti.

Tadi ia dengar Toan Ki menyerukan "Ho-siansing” kepada Cui Pek-khe, maka ia menyangka tokoh Ko-san-pay itu benar-benar she Ho.

Geli-geli dongkol Cui Pek-khe, sambil menggaruk kepala ia coba tanya Toan Ki, "Bagaimana baiknya, Siauongcu?”

Toan Ki menjadi sulit juga oleh pertanyaan itu. Ia pikir ilmu silat Ciumoti itu teramat tinggi, di dunia ini mungkin tiada seorang pun yang mampu melawannya, apalagi cuma kedua tokoh Ko-san-pay ini, terang bukan tandingannya, kalau berani berusaha buat menolongnya, paling-paling cuma mengantarkan nyawa saja, lebih baik memperingatkan mereka saja agar lekas melarikan diri. Maka cepat katanya, "Taysu ini seorang diri telah mengalahkan pamanku dan kelima tokoh tertinggi dari Tayli, akhirnya aku pun tertawan olehnya. Katanya dia sobat kental Buyung-siansing, maka aku hendak dibakarnya hidup-hidup di depan kuburan Buyung-siansing untuk memenuhi sesuatu janjinya. Kalian berdua selamanya tiada sangkut paut apa-apa dengan keluarga Buyung, maka silakan menunjukkan jalannya saja, lalu bolehlah kalian pergi.”

Mendengar Hwesio itu telah mengalahkan Po-ting-te dan jago-jago lain di Tayli, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci menjadi kaget. Lebih-lebih ketika mendengar pula bahwa padri ini sobat baik orang she Buyung.

Namun meskipun lahiriah Cui Pek-khe itu jelek, tapi ia kesatria. Ia pikir sudah belasan tahun dirinya bersembunyi di Tin-lam-onghu, untuk itu belum pernah ia membalas sesuatu kebaikan apa-apa. Kini Siauongcu berada dalam kesulitan, mana boleh dirinya tinggal diam? Betapa pun sekarang sudah berada di Koh-soh, keselamatan jiwa sendiri sudah tak terpikir, biarpun akan mati di tangan musuh atau orang lain kan sama saja.

Berpikir begitu, sekali tangan bergerak, segera ia menarik keluar sebuah Swipoa bersinar emas kemilau, ia angkat tinggi-tinggi senjatanya itu dan dikocak hingga mengeluarkan suara gemerencing yang ramai. Katanya, "Toahwesio, kau bilang Buyung-siansing adalah sobat baikmu, sebaliknya Siauongcu ini adalah kawan karibku. Maka lebih baik kau lepaskan dia saja!”

Melihat sang Susiok sudah siap, Ko Gan-ci cepat melolos juga ruyung lemas yang melilit di pinggangnya.

"Hehe, apakah kalian mengajak berkelahi?” jengek Ciumoti.

"Sekalipun tahu takkan mampu menandingimu, namun apa boleh buat, betapa pun aku ingin mencoba, mati atau hidup ... auuuh!” mendadak Cui Pek-khe mengaduh sebelum selesai ucapannya.

Kiranya mendadak Ciumoti telah sambar ruyung yang dipegang Ko Gan-ci itu, sekali sabet, tahu-tahu Swipoa emas Cui Pek-khe itu kena terlilit, ketika ruyung bergerak pula, kedua macam senjata itu mencelat berbareng ke tengah danau sebelah kanan.

Tampaknya kedua senjata itu sekejap lagi akan kecemplung ke dalam danau, tak tersangka tenaga yang dikeluarkan Ciumoti itu ternyata sangat aneh dan tepat, ujung ruyung itu mendadak menjungkat ke atas dan tepat melilit pada suatu ranting pohon Liu di tepi danau itu. Ranting pohon Liu itu sangat lemas, digantungi lagi dengan sebuah Swipoa emas, maka tiada hentinya ranting berguncang naik turun, air danau pun beriak karena Swipoa emas itu menyentuh air.

Ko Gan-ci itu berjuluk "Tui-hun-jiu” atau si Penguber Nyawa, suatu tanda betapa cepat gerak-geriknya, apalagi ruyung itu adalah senjata andalan perguruan yang terkenal, siapa sangka hanya sekali gebrak saja sudah dirampas musuh, bahkan cara bagaimana Ciumoti mendekat dan merebut senjata, cara bagaimana melilit Swipoa emas lalu melompat kembali ke tempat semula, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci sama sekali tidak jelas melihatnya.

Sambil merangkap kedua tangan kemudian Ciumoti berkata dengan suara lemah lembut, "Harap kedua tuan ini sudi menunjukkan jalannya.”

Cui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-ci dan bingung apa yang harus mereka lakukan. Maka Ciumoti berkata pula, "Jika kalian tidak suka mengajak kami ke sana, silakan menunjukkan arahnya saja, biar aku mencarinya sendiri ke sana.”

Melihat ilmu silat si Hwesio begitu tinggi, tapi sikapnya ramah tamah, Cui Pek-khe berdua menjadi ragu dan serbasalah, hendak main kasar toh orang bersikap sopan, hendak mengajaknya bicara secara baik-baik, terang putra pangeran Tayli ditawan olehnya.

Untunglah pada saat itu terdengar suara debur air, dari ujung danau sana tampak tiba sebuah sampan didayung oleh seorang gadis kecil berbaju hijau, sambil mendayung sembari bernyanyi dengan gembiranya, lagunya indah, suaranya merdu, hingga makin menambah permainya suasana danau.

Sudah lama Toan Ki mengagumi keindahan alam Kanglam dari syair gubahan pujangga yang pernah dibacanya. Kini dihadapi pemandangan permai dengan nyanyian merdu, semangatnya seakan-akan terbang ke awang-awang dan lupa daratan bahwa dirinya waktu itu sedang terancam bahaya, serentak ia memandang ke

arah si gadis. Ia lihat kedua tangan si gadis putih bersih bagai batu kemala yang bening tembus.

Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci ikut tertarik juga dan memandang si gadis. Hanya Ciumoti saja tetap membuta dan membudek, katanya, "Jika kalian tidak sudi memberi tahu letak Som-hap-ceng, biarlah kumohon diri saja.”

Saat itu sampan si gadis sudah dekat menepi. Maka ucapan Ciumoti itu dapat didengarnya, tiba-tiba ia menyela, "Taysu ini hendak pergi ke Som-hap-ceng, entah ada keperluan apa?”

Suara gadis itu ternyata sangat nyaring dan manis hingga bagi yang dengar akan timbul rasa nikmat tak terkatakan. Usia gadis ini ternyata baru belasan tahun, wajah lemah lembut, dandanan serasi. Diam-diam Toan Ki memuji, "Wanita daerah Kanglam sungguh tak tersangka secantik ini.”

Maka menjawablah Ciumoti, "Siauceng (padri kecil) hendak pergi ke Som-hap-ceng, apakah nona sudi menunjukkan jalannya?”

"Nama Som-hap-ceng jarang diketahui orang luar, dari mana Thaysuhu mengetahuinya?” tanya gadis itu dengan tersenyum.

"Siauceng adalah sobat lama Buyung-siansing, kini sengaja datang berziarah ke kuburannya sekadar memenuhi janji masa dulu,” sahut Ciumoti.

Gadis itu termenung sejenak, katanya, "Wah, agak tidak kebetulan. Kemarin dulu Buyung-kongcu baru bepergian, kalau Thaysuhu datang lebih dulu tiga hari, tentu dapat berjumpa dengan Kongcu.”

"Sungguh menyesal tidak sempat berkenalan dengan Kongcu, namun jauh-jauh Siauceng datang dari negeri Turfan, biarlah aku berkunjung ke makam Buyung-siansing sekadar memberi penghormatan terakhir.”

"Jika Thaysuhu adalah sobat baik Buyung-loya, marilah silakan minum dulu ke tempat kami, kemudian akan kusampaikan maksudmu, mau?”

"Apa hubungan nona dengan Buyung-siansing dan cara bagaimana harus kusebut secara hormat?” tanya Ciumoti.

"Ah, aku cuma dayang yang melayani Kongcu memetik Khim dan meniup seruling,” sahut si gadis dengan

tersenyum manis. "Namaku A Pik, maka janganlah Thaysuhu sungkan-sungkan, panggil saja aku A Pik.”

"O, baiklah,” kata Ciumoti dengan hormat.

Lalu si A Pik berkata, "Jalan dari sini ke Yan-cu-oh harus melalui lintas air danau, marilah kuantar dengan sampan ini.”

Setiap kata yang ditanyakan oleh A Pik kedengarannya begitu luwes dan simpati hingga membuat orang tidak enak untuk menolak.

Maka berkatalah Ciumoti, "Jika begitu, terpaksa membikin repot nona.”

Berbareng ia terus gandeng tangan Toan Ki dan melompat ke atas sampan dengan enteng. Sampan itu hanya ambles ke bawah sedikit dan sama sekali tidak terguncang.

A Pik tersenyum kepada Ciumoti dan Toan Ki, maksudnya seakan-akan memuji kehebatan kepandaian orang.

Lalu Ko Gan-ci membisiki Cui Pek-khe, "Bagaimana, Susiok?”

Sebenarnya kedatangannya ingin menuntut balas pada orang she Buyung, tapi kedudukan mereka kini menjadi serbasalah dan sangat lucu kelihatannya.

"Jika tuan-tuan sudah datang di Sohciu, bila tiada urusan penting lain, marilah silakan mampir juga ke tempat kami untuk minum-minum,” demikian kata A Pik lagi dengan tertawa. "Jangan tuan-tuan ragu terhadap sampan kecil ini, biarpun bertambah lagi beberapa orang juga tidak nanti tenggelam.”

Perlahan A Pik mendayung sampannya, ketika lewat di bawah pohon Liu tadi, tiba-tiba ia ambil Kim-sui-poa dan ruyung yang tergantung di ranting pohon itu. Sekenanya ia ketik-ketik biji Swipoa hingga menerbitkan suara "crang-creng” yang nyaring.

Mendengar beberapa suara nyaring itu, dengan girang Toan Ki berkata, "He, apakah nona sedang memetik lagu ‘Jay-song-cu’ (memetik biji arbei)?”

Kiranya biji Swipoa yang dipetik si A Pik telah mengeluarkan suara yang berbeda-beda hingga berwujud irama musik lagu ‘Jay-song-cu’ yang merdu.

Dengan tersenyum A Pik menjawab, "Ah, kiranya Kongcu juga pandai seni suara, maukah memetik barang satu lagu juga?”

Melihat gadis itu lincah kekanak-kanakan, ramah tamah menarik, sahut Toan Ki dengan tertawa, "Ya, tapi aku tidak dapat memetik Swipoa.”

Lalu ia menoleh kepada Cui Pek-khe, katanya, "Ho-siansing, Swipoamu telah digunakan orang sebagai alat musik yang bagus.”

"Ya, benar!” sahut Cui Pek-khe dengan senyum ewa, "nona sungguh seorang seniwati, alat hitungku yang kasar itu sekali berada di tangan nona, jadilah segera sebuah alat musik yang bagus.”

"Ai, ai, maafkan, jadi ini milik tuan?” seru A Pik gugup. "Wah, alangkah bagusnya Swipoamu ini. Ehm, tentu tuan ini seorang hartawan, sampai Swipoa juga terbuat dari emas. Ho-siansing, ini kukembalikan.”

Sambil berkata, terus saja A Pik angsurkan Swipoa yang dipegangnya itu. Tapi Cui Pek-khe berdiri di tepi danau, dengan sendirinya tidak sampai menerimanya.

Ia merasa berat bila kehilangan kawan setianya yang selalu dibawanya itu. Maka dengan ringan ia lompat ke haluan sampan untuk menerima Swipoa itu. Kemudian ia berpaling dan melotot sekali ke arah Ciumoti. Namun wajah padri itu tetap tersenyum simpul dengan welas asih, sedikit pun tidak marah.

Setelah Swipoa dikembalikan ke pemiliknya, kini tinggal ruyung itu yang masih dipegang si A Pik. Ketika tangan kanannya memegang batang ruyung dan sekali diusap dari atas ke bawah, karena gesekan kuku jarinya dengan ruas ruyung itu, maka terbitlah macam-macam suara nyaring yang menarik hingga mirip orang memetik harpa.

Ternyata senjata yang pernah melayani berbagai jago Bu-lim itu setelah berada di tangan A Pik telah berubah menjadi semacam alat musik lagi.

"Bagus, bagus!” saking senangnya Toan Ki berteriak-teriak. "Sungguh pintar sekali nona, ayolah silakan memetiknya satu lagu.”

Tapi A Pik lantas berkata kepada Ko Gan-ci, "Mungkin ruyung ini milik tuan ini bukan? Aku sembarangan mengambilnya, sungguh terlalu tidak tahu aturan, mohon dimaafkan. Marilah tuan, silakan naik juga ke atas sampan, sebentar akan kusuguh dengan santapan enak.”

Sebenarnya Ko Gan-ci merasa dendam karena gurunya dibunuh orang she Buyung, tapi menghadapi seorang nona cilik yang selalu tersenyum manis dan kekanak-kanakan, betapa pun rasa dendam dalam hatinya juga tidak mungkin dilampiaskan atas diri gadis itu. Pikirnya, "Dia bersedia membawa kami ke tempat tinggal orang she Buyung, inilah yang sangat kami inginkan, bagaimanapun juga aku harus membunuh beberapa orang mereka untuk membalas sakit hati Suhu.”

Karena itu, ia mengangguk menerima tawaran A Pik, lalu melompat ke atas perahu.

Dengan hati-hati dan menghormat A Pik menggulung ruyung itu dan dikembalikan kepada Gan-ci. Sekali dayung bekerja, segera sampan meluncur ke arah barat.

Cui Pek-khe saling menukar isyarat mata beberapa kali dengan Ko Gan-ci. Diam-diam mereka pikir, "Hari ini kita telah masuk gua harimau, entah bakal mati atau hidup. Menghadapi keluarga Buyung yang kejam dan si nona yang kelihatan lemah lembut ini, betapa pun kita harus waspada, jangan sampai masuk perangkap musuh.”

Begitulah sampan si A Pik terus meluncur ke depan, setelah membelok kian kemari, akhirnya masuklah sampan itu ke tengah danau yang luas. Sepanjang mata memandang, danau itu seakan-akan tanpa ujung dan merapat dengan langit. Keruan Ko Gan-ci bertambah waswas, pikirnya, "Danau besar ini tentulah Thay-oh adanya. Aku dan Cui-susiok tidak dapat berenang, bila nona cilik ini membalik sampannya, pasti kami berdua akan kelelap ke dasar danau sebagai umpan ikan, jangankan lagi bicara hendak menuntut balas bagi Suhu.”

Rupanya Cui Pek-khe juga mempunyai firasat yang sama. Ia pikir kalau dayung sampan dapat dipegang sendiri, bila nona itu hendak tenggelamkan sampannya tentu akan lebih sulit. Maka segera katanya, "Nona, marilah kubantu mendayung, engkau cukup menunjukkan arah saja.”

"Ai, mana boleh jadi begitu,” sahut A Pik tertawa. "Kalau diketahui Kongcuya, wah, tentu aku akan didamprat tidak menghormati tuan tamu.”

Melihat orang tidak mau, rasa curiga Cui Pek-khe semakin bertambah, katanya pula dengan tertawa, "Haha, bicara terus terang, sebenarnya kami ingin nona memperdengarkan ilmu kepandaian memetik sesuatu lagu dengan ruyung lemas kawanku itu.”

"Ilmu kepandaian apa?” ujar A Pik tertawa. "Kalau diketahui A Cu, pasti dia akan mencemoohkan aku suka pamer di depan tetamu.”

Tapi Cui Pek-khe terus mengambil ruyung Gan-ci dan diserahkan kepada A Pik, katanya, "Ini, petiklah lekas!”

Sembari berkata, terus saja ia ambil dayung sampan dari tangan si gadis.

"Baiklah, dan sekalian Kim-sui-poamu juga pinjamkan aku sebentar,” kata A Pik.

Diam-diam Pek-khe menjadi khawatir, "Dia telah ambil senjata kami, jangan-jangan ada tipu muslihat apaapa?”

Namun karena sudah telanjur, terpaksa ia pun menyerahkan Swipoa emasnya itu.

Tapi Swipoa itu lantas ditaruh di atas geladak sampan oleh A Pik, sambil duduk ia tarik batang ruyung dengan tangan kiri, ujung ruyung itu diinjak dengan kaki kanan hingga ruyung lemas itu tertarik lempeng, lalu menarilah kelima jari kanannya menggesek-gesek di atas ruyung hingga menerbitkan macam-macam nada suara yang nyaring merdu melebihi Pi-pe (alat musik Tionghoa mirip gitar).

Sambil menggesek ruyung, terkadang jari A Pik juga sempat memainkan biji Swipoa yang terletak di depannya itu, suara "crang-cring” dari biji Swipoa itu berselang-seling dengan suara "trang-tring” gesekan ruyung hingga kedengarannya sangat menarik. Sampai di puncaknya, saking gembiranya A Pik bernyanyi pula mengiringi irama musik yang dimainkannya dengan merdu itu.

Mendengar suara si gadis yang mengalun empuk itu, sungguh sukma Toan Ki seakan-akan terombang-ambing di angkasa dan seperti orang linglung. Ia gegetun mengapa baru sekarang dirinya sempat pesiar ke Kanglam, ia kagum pula Buyung-kongcu mempunyai seorang dayang sepandai itu, maka dapatlah dibayangkan tokoh macam apa majikan dayang ini.

Selesai A Pik membawakan satu lagu, kemudian ia pun kembalikan Swipoa dan ruyung itu kepada Pek-khe berdua. Katanya dengan tertawa, "Memalukan, tidak enak didengar, harap jangan ditertawai tuan tamu. Nah, dayunglah ke sana, ya benar sana!”

Pek-khe menurut dan mendayung sampan itu ke suatu muara sungai kecil, di permukaan air situ tampak banyak tumbuh daun teratai yang lebat. Coba kalau tiada petunjuk si A Pik, tentu tiada yang tahu bahwa di situ ada jalannya.

Setelah mendayung pula sebentar, kemudian A Pik berkata, "Beloklah ke sana!”

Pada permukaan air tempat baru ini ternyata penuh tumbuh daun lengkak dengan buahnya yang kemerahmerahan. A Pik memetik beberapa buah lengkak yang merah itu, ia berikan Ko Gan-ci tiga buah, kemudian memetik pula bagi yang lain.

Meski kedua tangan Toan Ki dapat bergerak, tapi setelah Hiat-to ditutuk orang, sedikit pun ia tak bertenaga, untuk mengupas kulit lengkak terasa tidak kuat.

Maka berkatalah A Pik dengan tertawa, "Rupanya Kongcuya bukan orang Kanglam, maka tidak biasa mengupas lengkak. Biarlah aku mengupasnya untukmu.”

Segera ia mengupas beberapa biji dan diserahkan kepada Toan Ki. Melihat daging lengkak itu putih bersih, ketika dimakan rasanya manis gurih, dengan tertawa Toan Ki berkata, "Rasa lengkak ini enak dan tidak membosankan, mirip sekali dengan nyanyian nona tadi.”

Muka A Pik sedikit bersemu merah, sahutnya dengan tersenyum, "Membandingkan nyanyianku dengan lengkak, baru pertama kali ini kudengar. Terima kasih, Kongcu!”

Dan belum selesai sampan itu menyusuri rawa lengkak itu, A Pik telah menunjuk arah lain lagi yang penuh tumbuh rumput lalang yang lebat.

Mau tak mau akhirnya Ciumoti jadi waswas juga, diam-diam ia mengingat baik-baik jalan yang dilalui perahu itu, agar nanti kembalinya tidak kesasar.

Tapi rawa-rawa daun teratai, lengkak dan rumput lalang itu pada hakikatnya serupa saja tak ada perbedaannya, apalagi tumbuh-tumbuhan air itu setiap waktu bisa berubah bila tertiup angin hingga dalam sekejap saja keadaan sudah berlainan daripada semula.

Ciumoti, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci telah berusaha juga mengikuti kerling mata si A Pik untuk mengetahui cara bagaimana gadis itu mengenali jalannya, namun tampaknya gadis itu acuh tak acuh saja, sambil memetik

lengkak sembari bermain air dan memberi petunjuk tanpa pikir, seakan-akan jalanan air yang bersimpang-siur itu sudah sangat hafal baginya.

Begitulah setelah sampan itu didayung berliku-liku kian kemari selama dua jam, lewat tengah hari, dari jauh tertampaklah pohon Liu melambai-lambai dengan rindangnya dan di balik pohon tertampak ujung emper rumah.

"Itulah dia, sudah sampai,” seru A Pik segera. "Ho-siansing, telah setengah hari membikin capek padamu, terima kasih.”

Ia dengar Toan Ki memanggil Pek-khe sebagai Ho-siansing, maka ia pun menirukannya.

Dengan tertawa getir Pek-khe menjawab, "Asal bisa makan lengkak sambil mendengarkan nyanyianmu, biarpun aku disuruh mendayung selama setahun-dua tahun juga mau.”

"Hah, apa susahnya jika engkau benar-benar senang makan lengkak dan suka mendengarkan nyanyianku,” seru A Pik sambil bertepuk tangan dan tertawa. "Untuk mana asal engkau tinggal saja di lembah danau ini dan selama hidup ini jangan meninggalkan sini.”

Pek-khe kaget oleh ucapan, "selama hidup tinggal di lembah danau ini”, ia coba melirik gadis itu, ia lihat A Pik tetap tersenyum simpul saja seperti tidak punya maksud apa-apa di balik kata-katanya itu. Namun begitu hati Pek-khe menjadi kebat-kebit juga.

Segera A Pik mengambil pengayuh dari tangan Pek-khe dan mendayung sampannya ke tepian yang penuh pohon Liu itu. Sesudah dekat, tertampaklah sebuah tangga kayu menjulur dari tepian ke dalam air. A Pik menambat perahunya pada ranting pohon serta mendahului mendarat.

Ketika semua orang ikut mendarat, terlihatlah di sana-sini ada beberapa buah gubuk yang dibangun di tengah sebuah pulau kecil atau semenanjung. Gubuk-gubuk itu kecil mungil dan cukup indah.

"Apakah di sini ini Som-hap-ceng dari Yan-cu-oh?” tanya Ciumoti.

"Bukan,” sahut A Pik menggeleng kepala. "Tempat ini adalah kediamanku yang dibangun oleh Kongcu, jelek dan sederhana, sebenarnya tidak pantas untuk menerima tamu. Cuma Toasuhu ini menyatakan ingin berziarah ke makam Buyung-loya, untuk itu aku sendiri tidak berani mengambil keputusan, maka terpaksa silakan tuantuan tunggu sementara di sini, biarlah kubicarakan dulu dengan Enci A Cu.”

Mendengar itu Ciumoti mendongkol dan menarik muka. Betapa tinggi dan diagungkan kedudukannya sebagai Hou-kok-hoat-ong atau imam negara di negeri Turfan. Jangankan di negerinya sendiri dia sangat dihormati oleh kepala negara Turfan, sekalipun pemerintah Song, Tayli dan negara tetangga lain juga pasti menyambut kedatangannya dengan penuh penghormatan.

Apalagi dia adalah sobat lama Buyung-siansing, kini ia datang sendiri buat ziarah, kalau Buyung-kongcu bepergian karena memang sebelumnya tidak tahu, itulah tak dapat disalahkan, tetapi seorang dayang seperti A Pik ini, tamu agung tidak dibawa ke ruang tamu untuk dihormati sebagaimana mestinya, sebaliknya malah dibawa ke suatu gubuk tempat tinggal kaum pelayan, keruan Ciumoti merasa terhina.

Tapi demi terlihat sikap A Pik tetap kekanak-kanakan dan lugas, sedikit pun tidak mengunjuk maksud merendahkan dia, maka ia pikir mengapa mesti merecoki urusan begini dengan seorang pelayan kecil.

Kemudian Cui Pek-khe bertanya, "Siapakah Enci A Cu yang kau katakan itu?”

"A Cu ialah A Cu, dia cuma lebih tua sebulan daripadaku, ia sok berlagak sebagai Enci (kakak) orang,” demikian sahut A Pik dengan tertawa. "Ya, apa boleh buat, terpaksa aku harus memanggil dia Enci. Habis, siapa suruh dia lahir sebulan lebih dulu? Namun engkau tidak perlu memanggilnya sebagai Enci, kalau tidak, tentu lagaknya akan semakin garang.”

Sembari bicara, dengan lincahnya A Pik terus menyilakan keempat tamunya itu masuk ke pondoknya.

Toan Ki melihat di dalam gubuk itu tergantung sebuah papan kecil yang bertuliskan "Khim-im-siau-tiok” atau pondok mungil suara harpa. Gaya tulisannya sangat bagus.

Setelah masuk, A Pik silakan semua orang berduduk, kemudian disuguhkannya air teh dan beberapa macam makanan kecil. Tehnya wangi, makanannya sedap, keruan tiada hentinya Toan Ki memuji.

"Silakan Kongcu menghabiskannya, persediaan masih cukup,” demikian kata A Pik.

Sambil melangsir penganan ke dalam perut, terus-menerus Toan Ki memberi pujian tiada habis-habisnya. Sebaliknya Ciumoti, Pek-khe dan Gan-ci bertiga tidak berani menyentuh minuman dan makanan itu, sebab khawatir di dalam makanan itu ditaruh racun.

Diam-diam Toan Ki menjadi curiga juga, pikirnya, "Ciumoti ini mengaku sebagai sobat lama Buyung-siansing, tapi kenapa berlaku sehati-hati ini? Pula cara orang keluarga Buyung menyambut kedatangannya juga rada tidak beres.”

Ciumoti ternyata sangat sabar, ia menunggu hingga Toan Ki sudah habis minum dan selesai mencicipi semua penganan yang disuguhkan itu dengan pujian setinggi langit, kemudian barulah dia berkata, "Dan sekarang harap nona suka memberitahukan kepada Enci A Cu seperti kau katakan tadi.”

"Tempat pondok A Cu itu dari sini masih berpuluh li jauhnya, hari ini terang tidak keburu ke sana lagi, biarlah tuan-tuan berempat tinggal semalam di sini, esok pagi akan kubawa kalian ke "Thing-hiang-siau-tiok” (pondok kecil yang wangi).”

"Tahu begitu, mengapa nona tidak sejak tadi membawa kami langsung ke sana?” tanya Ciumoti dengan mendongkol.

"Kenapa mesti terburu-buru?” sahut A Pik. "Selama ini aku tiada teman mengobrol, rasanya terlalu sunyi. Kini kedatangan tamu sebanyak ini, sudah tentu aku ingin kalian suka tinggal barang sehari untuk meramaikan suasana pondokku ini.”

Sejak tadi Ko Gan-ci hanya diam saja. Kini mendadak ia berbangkit dan membentak, "Di mana tempat tinggal anggota keluarga Buyung? Kedatanganku ke sini bukan untuk minta makan dan minum serta mengobrol denganmu, tapi kami datang buat membunuh musuh. Sekali orang she Ko sudah berani datang kemari, memangnya aku pun tidak pikir akan keluar dari sini dengan hidup. Maka lekas kau laporkan sana, nona, katakan aku anak murid Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, hari ini sengaja datang untuk menuntut balas sakit hati Suhuku.”

Habis berkata, sekali ruyung menyabet, terdengarlah suara gedubrakan yang keras disertai hancurnya sebuah meja dan kursi.

Namun sedikit pun A Pik tidak kaget, juga tidak marah, katanya dengan tenang, "Sudah banyak orang Kangouw yang gagah perkasa datang hendak mencari Kongcu, setiap bulannya paling sedikit ada beberapa rombongan. Di antaranya banyak juga berlagak garang dan kasar seperti Ko-toaya ini ....”

Belum selesai ucapannya, tiba-tiba dari ruangan belakang muncul seorang kakek pendek kecil berjenggot dan berambut putih bagai perak, kakek itu membawa tongkat, sambil melangkah ia berkata, "A Pik, siapa yang lagi ribut-ribut di sini?”

Cepat Cui Pek-khe melompat bangun dan berdiri sejajar dengan Ko Gan-ci sambil membentak, "Suhengku Kwa Pek-hwe sebenarnya ditewaskan oleh siapa?”

Toan Ki melihat kakek itu rada bungkuk, mukanya penuh keriput, usianya kalau tiada seabad, paling sedikit juga lebih 80 tahun.

Maka terdengarlah kakek itu berkata dengan suara yang serak, "Kwa Pek-hwe? Ehm, manusia dapat hidup sampai Pek-hwe (seratus tahun), sudah tiba waktunya juga untuk mati!”

Memangnya Ko Gan-ci tidak sabar lagi dan ingin membalas sakit hati sang Suhu, kini mendengar kata-kata si kakek yang kasar itu, ia menjadi murka, sekali ruyung bekerja, terus saja ia sabet punggung kakek itu. Ia khawatir Ciumoti merintangi tindakannya, maka serangannya sengaja dilontarkan dari jurusan yang tak bisa dialangi padri itu.

Siapa duga Ciumoti cuma ulur sebelah tangan saja, seketika tangannya seperti timbul daya sedot, ruyung Ko Gan-ci itu kena ditariknya dari jauh. Lalu katanya, "Ko-tayhiap, kedatangan kita ini adalah tamu, ada urusan apa hendaknya dibicarakan secara baik-baik, jangan pakai kekerasan.”

Habis berkata ia remas-remas ruyung rampasannya itu hingga tergulung menjadi satu, lalu dikembalikan kepada Gan-ci.

Muka Ko Gan-ci menjadi merah jengah, ia kikuk apakah mesti menerima kembali senjatanya itu atau tidak. Tapi demi dipikir tujuan pokok adalah untuk menuntut balas, hinaan sementara waktu harus berani ditanggungnya. Maka dengan agak malu ia terima kembali ruyung itu.

Lalu Ciumoti berkata kepada si kakek, "Siapakah nama Sicu yang terhormat ini? Apakah masih famili dengan Buyung-siansing atau sahabatnya?”

Kakek itu tertawa, sahutnya, "Aku cuma seorang budak tua Kongcu saja, masakah punya nama terhormat segala? Kabarnya Thaysuhu adalah sobat baik mendiang Loya kami, entah ada keperluan apa?”

"Urusanku harus kukatakan langsung dengan Buyung-kongcu,” sahut Ciumoti.

"Tapi sayang, kemarin dulu Kongcu baru bepergian, entah kapan baru dapat pulang,” kata si kakek.

"Jika begitu, ke manakah Kongcu pergi?” tanya Ciumoti.

"Wah, aku lupa,” sahut kakek itu sambil ketok-ketok jidat sendiri. "Beliau seperti mengatakan hendak pergi ke negeri He atau Tayli, entah Turfan atau negeri mana lagi.”

Ciumoti kurang senang oleh jawaban itu, terang tidak mungkin seorang sekaligus mengunjungi negeri sebanyak itu, ia tahu budak tua ini sengaja berlagak pikun, maka katanya, "Jika demikian, aku pun tidak menunggu lagi pulangnya Kongcu, harap Koankeh (kepala pengurus rumah tangga) suka membawaku bersembahyang ke makam Buyung-siansing sekadar memenuhi kewajiban sebagai seorang sobat lama.”

"Ah, permintaan ini tidak berani kuterima, aku pun bukan Koankeh apa segala,” sahut si kakek sambil goyanggoyang tangan.

"Jika begitu, siapakah gerangan Koankeh kalian? Dapatkah kutemui dia?” tanya Ciumoti.

"Ehm, baiklah, akan kupanggilkan Koankeh,” kata si kakek sambil mengangguk. Ia putar masuk ke belakang dengan langkah sempoyongan sebagaimana lazimnya orang tua sambil menggerundel panjang-pendek, "Ai, zaman ini memang terlalu banyak orang jahat, banyak yang menyamar Hwesio dan Tosu untuk menipu orang. Huh, orang tua seperti aku, pengalaman apa yang tak pernah kulihat, mana dapat aku ditipu!”

Mendengar itu, saking gelinya Toan Ki tertawa.

Sebaliknya lekas-lekas A Pik berkata kepada Ciumoti, "Thaysuhu, harap engkau jangan marah, Ui-pepek itu benar-benar seorang pikun. Ia mengira dirinya sendiri sangat pintar, kata-katanya memang menyakiti orang.”

Dalam pada itu Cui Pek-khe lantas menarik Ko Gan-ci ke samping serta membisikinya, "Keledai gundul ini mengaku sebagai sobat orang she Buyung, tapi orang di sini jelas tidak pandang dia sebagai tamu terhormat. Ko-sutit, kita jangan sembarangan bertindak, biarlah kita lihat dulu apa yang akan terjadi.”

Ko Gan-ci mengiakan dan kembali ke tempatnya tadi. Tapi karena kursinya sendiri telah dihancurkan oleh sabetan ruyung, ia menjadi tidak punya tempat duduk lagi.

Maka dengan tersenyum ramah A Pik memberikan kursinya, katanya dengan tersenyum, "Harap Ko-toaya duduk di kursi ini!”

Gan-ci mengangguk puas, pikirnya, "Andaikan dapat kubunuh bersih antero anggota keluarga Buyung, paling sedikit dayang cilik ini akan kuampuni.”

Sementara itu hati Toan Ki sedang diliputi suatu tanda tanya yang aneh. Ketika si budak tua she Ui tadi masuk, diam-diam ia merasa ada sesuatu yang kurang beres. Tapi soal apa, ia sendiri pun tak bisa menjawab. Ia coba memerhatikan alat perabot ruangan itu, kemudian memandang A Pik, Ciumoti, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci, namun tiada sesuatu tanda mencurigakan yang dilihatnya. Anehnya nalurinya justru semakin merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Tidak lama kemudian, terdengarlah suara tindakan orang, dari belakang muncul seorang laki-laki kurus setengah umur. Orang ini memiara jenggot macam jenggot kambing, gerak-geriknya menunjukkan seorang yang cekatan dan pandai mengatur rumah tangga, pakaiannya juga rajin, jari tengah kiri memakai sebuah cincin berbatu kemala yang besar. Agaknya inilah dia Koankeh keluarga Buyung.

Orang ini memberi hormat kepada tamu-tamunya dan berkata, "Hamba Sun Sam menyampaikan salam hormat kepada tuan-tuan sekalian. Thaysuhu, engkau bermaksud ziarah ke makam Loya kami, untuk mana kami menyatakan sangat berterima kasih. Tapi Kongcuya sedang bepergian, tiada orang yang dapat membalas kehormatan Thaysuhu nanti, hal ini kan kurang pantas. Biarlah kelak kalau Kongcuya pulang, pasti kusampaikan maksud baik Thaysuhu ini ....”

Sampai di sini, tiba-tiba Toan Ki mengendus semacam bau harum yang lembut. Seketika pikirannya tergerak, ia curiga, "Apakah mungkin demikian halnya?”

Kiranya tadi waktu si budak tua masuk ke situ, Toan Ki lantas mencium semacam bau wangi yang halus sedap. Bau harum ini lamat-lamat seperti bau harum yang teruar dari badan Bok Wan-jing, walaupun masih banyak perbedaannya, namun satu hal adalah pasti, yaitu bau wangi badan anak perawan.

Semula Toan Ki menyangka bau harum itu timbul dari badan A Pik, maka tidak menaruh perhatian. Tetapi sesudah budak tua itu pergi, bau wangi itu pun lenyap. Karena itulah maka timbul perasaan Toan Ki bahwa ada sesuatu yang kurang beres. Sebab mustahil badan seorang kakek tua bangka begitu bisa mengeluarkan bau harum anak perawan?”

Kemudian ketika Koankeh kurus yang mengaku bernama Sun Sam itu muncul, kembali Toan Ki mengendus bau harum yang sama, maka timbul pula pikirannya, "Barangkali di belakang rumah ini tertanam bunga apaapa yang aneh, siapa saja yang keluar dari ruangan belakang tentu membawa bau harum yang mengguncangkan sukma itu. Kalau tidak, maka budak tua itu dan si kurus ini pastilah samaran kaum wanita.”

Meski bau wangi itu menimbulkan rasa curiga Toan Ki, tapi karena terlalu halus baunya, maka Ciumoti bertiga sedikit pun tidak tahu.

Sebabnya Toan Ki dapat membedakan bau harum yang halus itu adalah karena dahulu ia pernah disekap bersama Bok Wan-jing di dalam kamar batu oleh Jing-bau-khek alias Yan-king Taycu itu. Maka bau harum khas yang timbul dari badan anak perawan itu susah dirasakan orang lain, tapi bagi Toan Ki pengalaman dahulu itu sangat berkesan dan jauh lebih keras daripada bau harum segala macam wangi-wangian lainnya.

Meski ia mencurigai Sun Sam itu samaran wanita, tapi sesudah dipandang dan diamat-amati, toh tiada sesuatu tanda yang meyakinkan. Bukan saja gerak-gerik Sun Sam itu memang laku kaum laki-laki, bahkan mukanya dan suaranya juga persis seperti kaum laki-laki umumnya.

Tiba-tiba teringat oleh Toan Ki, "Kalau wanita menyamar sebagai lelaki, biji lehernya sekali-kali tak mungkin dipalsukan.”

Karena itu, ia coba memerhatikan leher Sun Sam, namun jenggot kambingnya itu tepat menjulur ke bawah dan menutupi leher hingga tidak kelihatan apakah ada biji leher atau tidak.

Toan Ki masih penasaran, ia berbangkit dan pura-pura menikmati lukisan yang tergantung di dinding sana, dari samping ia lalu melirik untuk mengincar leher Sun Sam.

Sekali ini dapat dilihatnya dengan jelas bahwa leher Sun Sam halus lurus tiada sesuatu yang menonjol. Ketika mengawasi dadanya pula, tampak dada Sun Sam itu montok. Walaupun tanda ini tidak dapat dipastikan sebagai tanda wanita, tapi seorang laki-laki kurus tidaklah lazim memiliki dada yang montok.

Dapat membongkar rahasia itu, Toan Ki merasa sangat senang, pikirnya, "Ini dia, sandiwaranya belum tamat, biarlah kuikuti terus permainannya.”

Dalam pada itu terdengar Ciumoti sedang berkata dengan gegetun, "Dahulu aku berkenalan dengan Loya kalian di negeri Thian-tiok dan saling mengagumi ilmu silat masing-masing, di sanalah kami mengikat persahabatan yang kekal. Sungguh tidak nyana segala apa di dunia fana ini memang mudah berubah, orang bodoh seperti aku ini justru masih diberi hidup, sebaliknya Loya kalian malah sudah mendahului ke nirwana. Jauh-jauh aku sengaja datang dari Turfan untuk sekadar memberi hormat di hadapan makam sobat lama, soal ada orang membalas hormat atau tidak, mengapa mesti dipikirkan? Maka, haraplah Koankeh suka membawaku ke sana.”

Kening Sun Sam tampak bekernyit, agaknya merasa serbasalah, katanya, "Aku ... aku ....”

"Entah Koankeh merasakan ada kesulitan apa, silakan memberi penjelasan,” tanya Ciumoti.

"Watak Loya kami, sebagai sobatnya tentu Thaysuhu cukup tahu,” sahut Sun Sam. "Loya kami paling tidak suka ada orang berkunjung kepadanya, ia bilang orang yang datang mencarinya kalau bukan hendak menuntut balas dan membikin rusuh, tentu ingin mohon belajar dan menjadi muridnya. Yang lebih rendah lagi bisa juga datang untuk pinjam uang atau bila yang empunya rumah lengah, terus mencuri. Beliau mengatakan kaum Hwesio dan Nikoh lebih-lebih tak dapat dipercaya. Oo ... maaf ....”

Tiba-tiba ia seperti sadar telah menyinggung perasaan Ciumoti, maka cepat ia tutup mulut.

Tingkah laku menutup mulut dengan tangan itu terang lazimnya dilakukan oleh kaum anak gadis, biji matanya yang hitam pekat mendelik itu pun mengerling sekejap. Meski hanya sekilas saja tingkah laku demikian, namun Toan Ki yang selalu menaruh perhatian itu dapat melihatnya, ia bertambah senang lagi, "Ha, Sun Sam ini bukan saja memang samaran orang perempuan, bahkan adalah seorang nona yang masih sangat muda.”

Ketika ia melirik A Pik, ia lihat ujung mulut gadis itu tersembul senyuman yang licik. Maka Toan Ki jadi lebih yakin lagi, pikirnya, "Sun Sam ini terang sama orangnya dengan si budak tua tadi. Bisa jadi dia ini Enci A Cu yang dikatakan itu.”

Dalam pada itu Ciumoti sedang berkata, "Memang manusia baik-baik di dunia ini lebih sedikit daripada orang jahat. Maka kalau Buyung-siansing tidak suka banyak bergaul dengan khalayak ramai, itu pun jamak.”

"Ya, sebab itulah Loya kami meninggalkan pesan agar siapa pun yang datang hendak berziarah ke makamnya, semuanya harus ditolak,” tutur Sun Sam. "Beliau bilang para keledai gundul itu tidak nanti berniat baik, tentu bermaksud membongkar kuburannya. Ai, maaf Thaysuhu, keledai gundul yang dimaksudkan Loya kami itu sangat mungkin bukan ditujukan kepadamu.”

Diam-diam Toan Ki geli oleh pertunjukan itu, ada pepatah "di hadapan Hwesio memaki keledai gundul”, sungguh sangat tepat. Pikirnya, "Keledai gundul ini tetap tidak marah sama sekali, semakin jahat dan semakin licik orangnya, semakin pandai dia berlaku sabar. Keledai gundul ini benar-benar bukan sembarangan orang.”

Malahan Ciumoti berkata lagi, "Apa yang dipesan Loya kalian itu memang ada benarnya juga. Pada masa hidupnya dahulu terlalu banyak mengikat permusuhan, waktu hidupnya musuh tidak berani padanya, sesudah beliau wafat, bukan mustahil ada yang berusaha membongkar jenazahnya untuk membalas dendam.”

"Berani mengincar jenazah Loya kami? Hahaha, jangan mimpi!” ujar Sun Sam dengan tertawa.

"Tapi aku adalah sobat baik Buyung-siansing, aku hanya ingin memberi hormat di depan makamnya dan tiada maksud lain, hendaklah Koankeh jangan berprasangka jelek,” kata Ciumoti.

"Sungguh hamba tidak berani mengambil keputusan, sebab bila pesan Loya dilanggar, nanti kalau Kongcu pulang dan mengetahui, bukan mustahil hamba akan mendapat ganjaran yang setimpal,” kata Sun Sam. "Begini sajalah, biarlah kumintakan keputusan Lothaythay, nanti kuberi tahukan lagi ke sini.”

"Lothaythay (nyonya besar)? Lothaythay yang mana?” tanya Ciumoti heran.

"Buyung-lothaythay adalah Enci daripada Loya kami,” sahut Sun Sam. "Setiap tamu yang berkunjung kemari kebanyakan menghadap untuk menjura dan menghormatinya. Kini Kongcu tidak di rumah, segala apa harus minta keputusan kepada Lothaythay.”

"Baiklah jika begitu,” kata Ciumoti. "Harap kau sampaikan kepada Lothaythay bahwa Ciumoti dari Turfan menyampaikan salam hormat kepada beliau.”

"Ah, engkau sangat baik, terima kasih, tentu akan kusampaikan,” sahut Sun Sam. Lalu masuklah dia ke belakang.

Diam-diam Toan Ki membatin, "Nona ini sangat licin dan kocak, entah apa maksud tujuannya mempermainkan keledai gundul Ciumoti ini?”

Selang tidak lama, terdengarlah suara keriang-keriut orang berjalan, dari dalam muncul seorang nenek. Belum tiba orangnya bau harum yang sedap halus tadi sudah tercium oleh Toan Ki, diam-diam ia geli, "Hah, sekali ini dia menyamar sebagai nyonya tua.”

Tertampak nyonya tua itu memakai Kun (gaun) sutra warna cokelat, tangan memakai gelang kemala, gelung rambutnya berhias aneka mutiara permata, dandanannya agung terhormat, mukanya sudah keriput, matanya lamat-lamat seperti sudah kurang penglihatannya. Mau tak mau Toan Ki harus memuji dalam hati akan kepandaian menyamar orang, bukan saja samarannya sangat persis, bahkan dapat dilakukan dalam waktu singkat.

Begitulah sambil beringsut-ingsut dengan tongkatnya nyonya tua itu berjalan ke tengah ruangan, lalu berkata, "A Pik, apakah sobat baik mendiang datang? Kenapa dia tidak menjura padaku?”

Sembari berkata, kepalanya tampak menoleh ke sana-sini seperti lazimnya orang tua yang sudah pikun dan kurang penglihatannya.

A Pik memberi tanda kepada Ciumoti dan membisikinya, "Lekas menjura! Sekali engkau sudah menjura, Lothaythay tentu akan senang dan segala permintaanmu mungkin akan diluluskan.”

Nyonya tua itu lantas miringkan kepalanya, tangannya terangkat di tepi telinga seperti orang sedang mendengarkan sesuatu, lalu tanya keras-keras, "A Pik, kau bicara dengan siapa? Orang sudah menjura belum?”

Maka berkatalah Ciumoti, "Lothaythay, baik-baikkah engkau? Siauceng memberikan salam hormat.”

Lalu ia membungkuk memberi hormat, berbareng kedua tangan mengerahkan tenaga hingga terdengar suara "dak-duk” seperti kepala orang membentur lantai bila bersujud.

Cui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-ci, diam-diam mereka terkesiap oleh tenaga dalam si Hwesio yang hebat itu, kalau bertanding, sudah pasti mereka berdua tidak mampu menangkis satu jurus serangannya.

Sementara itu si nyonya tua lagi manggut-manggut dan berkata, "Baik, baik, sangat baik! Orang jahat di zaman ini memang terlalu banyak, jarang sekali ada orang jujur. Umpama orang menyembah sengaja membikin lantai bersuara dak-duk untuk mengelabui pandanganku yang sudah berkurang ini. Ehm, kau ini sangat baik, sangat penurut, keras sekali caramu menyembah ya.”

Saking gelinya tak tertahan lagi Toan Ki tertawa mengakak.

Perlahan nyonya tua itu menoleh dan mendengarkan dengan pandangan yang riyap-riyip, tanyanya, "A Pik, suara apa tadi? Apa ada orang kentut?”

Sambil berkata, ia terus mengipas-ngipas di depan hidungnya.

"Bukan orang kentut, Lothaythay,” sahut A Pik dengan menahan tawa. "Tapi Toan-kongcu ini lagi tertawa.”

"Toan? Apanya yang putus?” tanya si nenek.

"Bukan Toan arti putus, Lothaythay, tapi orang she Toan, Kongcu keluarga Toan,” sahut A Pik menerangkan.

"Ehm, Kongcu terus-menerus, yang selalu kau ingat hanya Kongcu saja,” ujar si nenek sambil manggutmanggut.

"Lothaythay sendiri masakah tidak selalu terkenang pada Kongcuya?” sahut A Pik dengan muka agak merah.

"Apa katamu? Kongcuya ingin makan jenang?” tanya si nenek.

"Ya, Kongcuya ingin makan jenang, bahkan lebih suka engkau punya kue mangkuk,” sahut si A Pik.

Sudah tentu Toan Ki mengerti percakapan bercabang kedua orang itu, maka ia jadi lebih yakin lagi si nenek itu pasti samaran si A Cu.

Kemudian nenek itu memandang ke arah Toan Ki dan berkata, "Berhadapan dengan orang tua, mengapa kau tidak menjura?”

"Lothaythay,” sahut Toan Ki. "Ada sesuatu ingin kubicarakan denganmu, tapi tidak enak bila didengar orang lain.”

"Kau bilang apa?” tanya si nenek sambil menjulurkan kepalanya ke depan.

"Begini,” kata Toan Ki. "Di rumahku ada seorang keponakan perempuan kecil, namanya A Cu, ia pesan padaku agar menyampaikan beberapa patah kata kepada Lothaythay keluarga Buyung.”

"Ah, sembrono, sungguh sembrono!” berulang si nenek menggeleng kepala.

Namun Toan Ki melanjutkan pula dengan tertawa, "Keponakanku si A Cu itu memang sembrono dan nakal.

Dia suka menyaru seperti monyet, hari ini menyaru monyet jantan, besok menyamar monyet betina, malahan pintar main sulap segala. Tapi sering kutangkap dia dan kuhajar bokongnya.”

Kiranya si nenek ini memang benar samaran si A Cu, teman A Pik. Kepandaiannya menyamar memang pintar luar biasa, bukan saja wujudnya mirip, bahkan tutur kata dan gerak-geriknya dapat menirukan dengan tepat dan bagus tanpa cacat sedikit pun. Sebab itulah maka orang sepintar Ciumoti dan sepengalaman Cui Pek-khe juga kena dikelabui. Siapa duga dari bau harum yang teruar dari badannya itulah rahasianya dapat dibongkar oleh Toan Ki.

Keruan saja A Cu sangat terkejut, namun lahirnya ia tetap tenang saja, katanya kemudian, "Anak baik, sungguh pintar sekali kau, belum pernah kulihat anak secerdik engkau ini. Anak baik jangan usil, nanti nenek tentu memberikan kebaikan padamu.”

Toan Ki pikir di balik kata-kata orang terang meminta agar dia jangan membuka rahasianya, karena tujuannya adalah untuk melayani si keledai gundul Ciumoti.

Karena pikiran demikian, Toan Ki lantas menjawab, "Lothaythay jangan khawatir, sekali Cayhe sudah datang di sini, segala apa aku tentu menurut perintah Lothaythay.”

Dasar A Cu itu memang sangat nakal, segera katanya pula, "Bagus, anak baik, kau benar-benar anak penurut sekali. Nah, sekarang lekas menjura tiga kali kepada nenek, pasti nenek nanti takkan bikin rugi padamu.”

Toan Ki melengak. Kurang ajar, pikirnya, masakah seorang putra pangeran yang diagungkan dari negeri Tayli disuruh menjura kepada budak kecil?

Melihat sikap Toan Ki ragu-ragu dan serbasusah, A Cu tertawa dingin, katanya, "Ada manusia yang sudah dekat ajalnya, tapi masih sombong dan angkuh. Anak baik, ingin kukatakan padamu, pasti takkan merugikanmu jika menjura beberapa kali kepada nenekmu ini.”

Ketika Toan Ki berpaling, ia lihat A Pik dengan bersenyum simpul sedang melirik padanya, kulit badannya yang putih bersih itu bagai buah manggis segar yang baru dibuka, ujung mulutnya terdapat setitik andengandeng kecil menambah kecantikannya yang menggiurkan. Hati Toan Ki tergerak, segera ia tanya A Pik, "Katamu masih mempunyai seorang teman Enci A Cu. Apakah dia ... dia secantik molek engkau?”

"Ai, rupaku yang jelek melebihi siluman ini mana berani kubandingkan Enci A Cu,” sahut A Pik dengan tersenyum. "Rupaku ini masih belum masuk hitungan, kalau Enci A Cu mendengar pertanyaanmu ini, pasti dia akan marah. Ketahuilah bahwa Enci A Cu itu berpuluh kali lebih ayu daripadaku.”

"Apa betul?” Toan Ki menegas.

"Guna apa aku mendustai kau?” sahut A Pik tertawa.

"Berpuluh kali lebih cantik daripadamu, di dunia ini kukira tidak ada lagi,” ujar Toan Ki. "Ya, kecuali ... kecuali si dewi di dalam gua, secantik dirimu saja sukar dicari orangnya.”

Wajah A Pik menjadi kemerah-merahan, katanya dengan malu-malu kucing, "Kau disuruh menjura kepada Lothaythay, tidak perlu memuji-muji diriku.”

"Wah, pada masa mudanya Lothaythay pasti juga seorang wanita mahacantik,” kata Toan Ki pula. "Bicara terus terang, soal rugi atau tidak kepadaku sama sekali tidak kupikirkan, tapi disuruh menjura kepada wanita mahacantik, aku benar-benar suka dan rela.”

Habis berkata, benar saja ia terus berlutut sambil membatin, "Sekali sudah mau menjura, maka harus yang keras. Memangnya aku sudah pernah menjura beratus kali kepada patung dewi di dalam gua itu, apa alangannya kalau kini cuma menjura tiga kali kepada wanita cantik di Kanglam?”

Lalu ia pun menjura tiga kali hingga kepalanya membentur lantai.

Dalam hati A Cu sangat girang, pikirnya, "Kongcuya ini terang sudah tahu kalau aku cuma seorang pelayan, tapi sudi menjura padaku, sungguh susah dicari orangnya.”

Maka katanya kemudian, "Ehm, anak baik, pintar sekali kau. Cuma sayang aku tidak membawa uang receh untuk jajanmu ....”

"Sudahlah, asal Lothaythay jangan lupa, berilah lain kali bila ketemu lagi,” sela A Pik tiba-tiba.

A Cu melotot sekali pada kawan itu, lalu ia berpaling dan berkata kepada Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci, "Dan kedua tamu ini mengapa tidak menjura juga kepada nenek?”

Gan-ci mendengus dengan gusar, serunya keras-keras, "Kau bisa ilmu silat atau tidak?”

"Eh, kau bilang apa?” A Cu menegas.

"Kutanya kau bisa ilmu silat atau tidak?” Gan-ci mengulangi. "Jika berilmu silat tinggi, biarlah orang she Ko ini terima kematian di bawah tangan Lohujin (nyonya tua). Tapi kalau bukan orang persilatan, aku pun tidak perlu banyak omong denganmu.”

A Cu menggeleng kepala, katanya berlagak pilon, "Kau berkata tentang ulat atau lalat apa segala. Ulat tidak ada di sini, kalau lalat sih banyak. Idiiiih kotor ah!”

Lalu ia pun berpaling kepada Ciumoti, "Toahwesio, katanya engkau hendak membongkar kuburan Buyungsiansing, memangnya engkau ingin mencuri benda mestika apa di kuburannya?”

Ciumoti sudah dapat melihat juga bahwa nenek itu berlagak sangat pikun dan pura-pura tuli, cuma ia belum tahu A Cu sebenarnya adalah seorang gadis cilik yang menyaru sebagai seorang tua. Maka diam-diam ia bertambah waspada, ia pikir, "Buyung-siansing saja sudah begitu lihai, angkatan tua di rumahnya tentu lebihlebih hebat lagi.”

Maka ia sengaja pura-pura tidak dengar tentang pertanyaan tadi, tapi menjawab, "Siauceng adalah sobat baik Buyung-siansing, karena mendengar berita wafatnya, jauh-jauh dari negeri Turfan datang kemari memberi hormat padanya. Waktu almarhum masih hidup, Siauceng pernah berjanji akan mengambilkan gambar Lakmeh-sin-kiam-boh dari keluarga Toan di Tayli untuk dipersembahkan kepada Buyung-siansing. Selama janji itu belum terpenuhi, sungguh Siauceng merasa sangat malu.”

Mendengar kata-kata "Lak-meh-sin-kiam-boh”, seketika A Cu terkesiap. Ia tahu ilmu silat itu bukan sembarangan, dirinya juga belum lama dapat mendengar dari Kongcuya. Ia saling pandang sekejap dengan A Pik dan sama-sama berpikir si Hwesio itu sudah mulai bicara acara pokoknya.

Maka sahut A Cu, "Ada apa tentang Lak-meh-sin-kiam-boh segala?”

"Begini,” tutur Ciumoti. "Dahulu Buyung-siansing berjanji padaku asal dapat mengambilkan Lak-meh-sinkiam-boh untuk dibacanya barang beberapa hari, sebagai timbal baliknya beliau membolehkan kubaca kitabkitabnya beberapa hari di pondok ‘Lang-goan-cui-kok’ di kediaman kalian ini.”

A Cu terkejut, ternyata padri asing itu kenal nama "Lang-goan-cui-kok” atau pondok air indah, mungkin apa

yang dikatakan itu memang benar-benar adanya. Tetapi ia tetap berlagak pilon dan tanya pula, "Kau bilang ‘Lang-goan-cui-kok’ apa? O, kau kepingin makan kue mangkuk? Itulah mudah, di rumah kami selalu sedia kue mangkuk.”

Ciumoti benar-benar kewalahan, ia berpaling dan berkata kepada A Pik, "Lothaythay ini entah benar-benar sudah pikun atau cuma berlagak pilon. Yang terang sekarang berbagai tokoh dari aliran persilatan di Tionggoan sedang berkumpul di Siau-lim-si untuk berunding cara bagaimana menghadapi Buyung-si dari Koh-soh sini. Mengingat Siauceng pernah bersahabat dengan Buyung-siansing maka sebenarnya bermaksud mencurahkan sedikit tenagaku yang tak berarti itu untuk membantunya. Tapi Lothaythay sedemikian sikapnya, sungguh membikin hati orang menjadi dingin.”

A Cu sama sekali tidak gubris ucapannya itu, ia malah berseru kepada A Pik, "He, A Pik, kau dengar tidak, hati Toahwesio ini kedinginan, lekaslah kau membuatkan kue mangkuk yang hangat-hangat untuknya.”

"Gulanya belum beli, Lothaythay,” sahut A Pik dengan menahan geli.

"Pakailah gula batu,” kata A Cu.

"Tepungnya habis, Lothaythay!” sahut A Pik pula.

"Wah, aku benar-benar sudah pikun, lantas bagaimana baiknya?” ujar A Cu akhirnya.

Dasar anak gadis Sohciu memang terkenal lincah dan pintar bicara, pula kedua dayang cilik ini sehari-hari sudah biasa bergurau dan saling berolok-olok, keruan tingkah laku mereka ini membuat Ciumoti benar-benar mati kutu.

Maksud kedatangannya ke Sohciu ini memangnya berharap dapat berjumpa dengan Buyung-kongcu untuk berunding sesuatu urusan penting. Siapa duga orang yang dicari tidak ada, sebaliknya masih bertemu dengan orang-orang yang mengoceh tak keruan hingga membuatnya bingung.

Namun Tay-lun-beng-ong ini memang tokoh yang hebat, sedikit berpikir, segera ia yakin Buyung-lothaythay, Sun Sam, si budak tua dan A Pik itu telah sengaja merintanginya agar tidak dapat masuk perpustakaan "Langgoan-cui-kok” untuk membaca.

Kini tidak peduli lagi mereka berlagak apa pun juga, asalkan sudah ketemukan kata-kata tepat, kelak apakah mesti pakai kekerasan atau secara halusan, dirinya sendiri sudah lebih dulu di pihak yang benar.

Maka dengan sabar dan ramah ia pun berkata, "Lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu sekarang juga sudah kubawa. Sebab itulah kumohon dapat diperkenankan pergi membaca ke ‘Lang-goan-cui-kok’.”

"Buyung-siansing sudah wafat kini,” kata A Pik. "Pertama janji lisan itu tak ada bukti. Kedua, meski Kiam-boh itu sudah dibawa kemari, tapi tiada seorang pun di antara kami yang paham. Maka sekalipun dahulu ada perjanjian apa-apa, dengan sendirinya batal.”

Namun A Cu lantas berkata, "Kiam-boh apakah itu? Di mana? Coba kulihat dulu apakah tulen atau palsu!”

"Toan-kongcu ini telah hafal seluruh lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu,” sahut Ciumoti sambil menunjuk Toan Ki. "Kini kubawanya kemari, sama saja seperti kubawa gambar-gambar aslinya.”

"Huh, kukira Kiam-boh apa segala, rupanya Thaysuhu cuma bergurau saja,” jengek A Pik.

"Siauceng mana berani bergurau?” sahut Ciumoti sungguh-sungguh. "Lak-meh-sin-kiam-boh yang asli itu telah dibakar Koh-eng Taysu di Thian-liong-si, syukur Toan-kongcu ini dapat menghafalkan seluruh isinya dengan baik.”

"Sekalipun Toan-kongcu benar-benar hafal, itu pun adalah urusan Toan-kongcu sendiri,” ujar A Pik. "Dan andaikan perlu pergi ke Lang-goan-cui-kok, yang benar juga Toan-kongcu yang pantas ke sana. Apa sangkut pautnya dengan Taysu?”

"Untuk memenuhi janjiku dahulu itu, ingin kubakar Toan-kongcu ini di hadapan makam Buyung-siansing,” kata Ciumoti.

Keruan Semua orang terperanjat. Tapi melihat sikap padri itu sungguh-sungguh dan sekali-kali bukan berkelakar, kejut mereka menjadi lebih hebat.

Maka berkatalah A Cu, "Hah, bukankah Taysu ini sedang bergurau? Masakah orang baik-baik akan kau bakar hidup-hidup?”

"Ya, Siauceng hendak membakarnya, rasanya ia pun takkan mampu membangkang,” sahut Ciumoti dengan tawar.

Segera A Pik berkata pula, "Taysu bilang Toan-kongcu telah hafal isi Lak-meh-sin-kiam-boh, jelas alasanmu ini sengaja dicari-cari saja. Pikirlah betapa lihai ilmu Lak-meh-sin-kiam itu, kalau benar-benar Toan-kongcu mahir ilmu pedang sakti itu, masakah dia bisa dikalahkan olehmu?”

"Ya, benar juga ucapanmu ini,” sahut Ciumoti. "Tapi nona cuma tahu kepalanya tidak tahu ekornya. Toankongcu ini telah kututuk Hiat-to kelumpuhannya, antero tenaga dalamnya tak dapat dikeluarkannya.”

Namun A Cu masih menggeleng kepala, katanya, "Lebih-lebih aku tidak percaya pada alasanmu ini. Untuk membuktikan kebenarannya, coba kau buka Hiat-to Toan-kongcu dan suruhlah dia memainkan Lak-meh-kiamhoat itu. Tapi kuyakin 99% engkau pasti bohong.”

Ciumoti manggut-manggut, sahutnya, "Baiklah, boleh juga dicoba!”

Kiranya waktu datang tadi, karena kesengsem oleh kecantikan A Pik, pula sangat tertarik oleh nyanyiannya yang merdu, maka Toan Ki telah memberi pujian kepada dayang itu. Kemudian Toan Ki sudi pula menjura tiga kali kepada A Cu, hal ini pun memperoleh simpatik dayang ini. Maka demi mendengar Toan Ki tertutuk oleh Ciumoti, segera kedua dayang cilik itu sengaja menipu padri itu supaya melepaskan Hiat-to Toan Ki.

Tak tersangka permintaan mereka itu telah diterima begitu saja oleh Ciumoti. Segera padri itu menepuk beberapa kali dada, paha dan pundak lalu Toan Ki hingga jalan darahnya lancar kembali, sedikit Toan Ki mengerahkan hawa murninya, terasalah bergerak dengan sempurna.

Ia coba menjalankan tenaga menurut Tiong-ciong-kiam-hoat dari Lak-meh-sin-kiam itu, ia tarik tenaga dalamnya ke Tiong-ciong-hiat di jari tengah kanan, maka terasalah jari itu sangat panas, ia tahu asal sekali jarinya menuding ke depan, jadilah sejurus tusukan pedang yang lihai.

"Toan-kongcu,” demikian Ciumoti lantas berkata, "Buyung-lothaythay tidak percaya engkau sudah mahir Lakmeh-sin-kiam, maka silakan engkau mempertunjukkannya. Begini, seperti aku menebas sebatang ranting pohon ini.”

Habis berkata, dengan telapak tangan kiri ia terus memotong miring ke depan dengan penuh tenaga dalam yang hebat. Itulah satu jurus yang lihai dari "Hwe-yam-to”.

Maka terdengarlah suara "krak” sekali, sebatang ranting pohon yang cukup besar dan berada di pelataran sana tahu-tahu telah patah sendiri.

Saking kagetnya sampai Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci menjerit. Meski sebelumnya mereka tahu Kungfu padri asing itu sangat lihai lagi aneh, tapi mereka percaya paling-paling juga cuma sebangsa ilmu sihir dari kalangan hitam. Tapi kini demi menyaksikan betapa tinggi Lwekangnya yang digunakan untuk menebas ranting pohon dari jauh itu, barulah mereka sadar telah salah sangka.

Maka Toan Ki berkata sambil menggoyang kepala, "Tidak, aku tidak bisa ilmu silat apa-apa, lebih-lebih tidak tahu tentang Lak-meh atau Cit-meh-kiam-hoat segala. Batang pohon yang indah itu kenapa kau rusak tanpa sebab?”

"Kenapa Toan-kongcu mesti merendah diri,” sahut Ciumoti. "Di antara jago-jago Toan-si di Tayli, engkaulah tokoh nomor satu. Di dunia ini kecuali Buyung-kongcu dan aku si Hwesio mungkin tiada seberapa orang lagi yang mampu menandingimu. Tapi keluarga Buyung di Koh-soh ini adalah gudangnya ilmu silat di dunia ini, bila kau mau pertunjukkan beberapa jurus, bila ada kesalahan, boleh jadi Lothaythay nanti akan memberi petunjuk seperlunya, bukankah hal ini akan menguntungkanmu?”

"Toahwesio, sepanjang jalan kau perlakukan aku dengan kasar, kau banting dan menyeret aku ke sini, untuk itu aku terima saja diperlakukan sesukamu karena aku bukan tandinganmu. Sebenarnya aku tidak sudi bicara denganmu, namun setiba di sini, aku telah dapat menikmati pemandangan indah dengan gadis-gadisnya yang cantik, maka rasa dendamku padamu menjadi terhapus juga. Maka untuk selanjutnya hubungan kita kuputuskan sampai di sini, masing-masing tidak perlu saling urus.”

Diam-diam A Pik dan A Cu merasa geli oleh ketolol-tololan Toan Ki itu. Tapi demi mendengar mereka dipuji cantik, betapa pun mereka sangat senang.

Lalu Ciumoti berkata, "Kongcu tidak sudi mengunjukkan Lak-meh-sin-kiam, bukankah itu berarti omonganku tadi cuma bualan belaka?”

"Memangnya mulutmu tidak bisa dipercaya,” sahut Toan Ki. "Jikalau benar engkau ada janji dengan Buyungsiansing, mengapa tidak dulu-dulu mengambil Kiam-boh ke Tayli, tapi menunggu setelah Buyung-siansing meninggal, sesudah tiada saksi, baru kau bikin rusuh ke sini.

"Hm, kulihat engkau sebenarnya mempunyai maksud tertentu, kau kagum pada ilmu silat keluarga Buyung yang hebat, maka sengaja mengarang dongeng yang susah dipercaya untuk menipu Lothaythay, tujuanmu sebenarnya ingin mengintip kitab pusaka ajaran silat di kamar perpustakaan keluarga Buyung ini, dengan begitu engkau akan merajai dunia persilatan.

"Tapi, hah, Ciumoti, kenapa tidak kau pikir, bahwa nama orang sedemikian gemilangnya di dunia persilatan, masakah tidak tahu akalmu yang licik ini? Bila cuma mengandalkan sedikit ocehanmu ini lantas kau kira rahasia ilmu silat keluarga Buyung dapat kau tipu, wah, mungkin setiap orang di dunia ini bisa menjadi penipu ulung.”

Namun Ciumoti ternyata menggeleng-geleng kepala, katanya, "Tafsiran Toan-kongcu salah besar. Meski sudah lama ada janjiku dengan Buyung-siansing, soalnya karena selama ini Siauceng sedang menyepi untuk meyakinkan ‘Hwe-yam-to’, sudah sembilan tahun Siauceng tidak pernah keluar rumah, maka tidak sempat pula mengunjungi Tayli. Bila ‘Hwe-yam-to’ itu tidak berhasil kuyakinkan, mungkin Siauceng tak dapat keluar lagi dari Thian-liong-si dengan selamat.”

"Toahwesio,” kata Toan Ki pula, "bicara tentang nama, engkau memang sudah terkenal. Tentang kedudukan, engkau adalah Hou-kok-hoat-ong negeri Turfan, ilmu silatmu pun sudah sekian tingginya. Tapi mengapa engkau tidak mau hidup tenteram di rumah dengan kedudukanmu yang agung itu, sebaliknya malah datang ke sini untuk menipu orang? Kupikir lebih baik engkau lekas pulang saja.”

"Sudahlah, tak perlu banyak omong, bila Kongcu tidak sudi unjuk Lak-meh-sin-kiam, janganlah menyalahkan bila Siauceng berlaku kasar,” kata Ciumoti dongkol.

"Kasar? Engkau memangnya sudah kasar padaku, masakah masih ada pula yang lebih kasar?” sahut Toan Ki dengan gusar. "Ya, paling-paling sekali bacok kau matikan aku, kenapa aku takut?”

"Kongcu mau menurut kata-kata Siauceng atau tidak?” Ciumoti menegas pula.

"Ya, boleh,” sahut Toan Ki.

Ciumoti menjadi girang, katanya, "Jika begitu, silakan unjukkan ilmu pedangmu yang sakti itu.”

"Ilmu pedang sakti? Apa kau bawa pedang? Boleh dipinjamkan padaku,” sahut Toan Ki.

Sungguh dongkol Ciumoti tidak kepalang. Serunya tidak sabar lagi, "Rupanya Kongcuya sengaja hendak menghinaku, ya? Awas serangan!”

Berbareng telapak tangan kirinya terangkat miring terus memotong ke muka Toan Ki dengan tenaga yang kuat.

Namun Toan Ki sudah ambil keputusan bandel. Ia tahu ilmu silat orang teramat tinggi, bertempur atau tidak tetap dirinya tak bisa menang. Maksud padri itu ingin dirinya memainkan Lak-meh-sin-kiam untuk membuktikan ucapannya bukan bualan belaka, maka ia justru tidak sudi memenuhi keinginan orang. Ketika serangan Ciumoti itu tiba, dengan nekat Toan Ki sama sekali tidak menghindar, juga tidak menangkis.

Keruan Ciumoti menjadi kaget malah. Sudah pasti ia akan membakar Toan Ki di depan kuburan Buyungsiansing, maka ia tidak ingin membunuhnya sekarang dengan tenaga dalam serangannya itu. Cepat ia angkat tangan sedikit ke atas, "sret”, serangkum angin tajam menyambar lewat di atas kepala Toan Ki hingga secomot rambutnya terkupas.

Cui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-ci dengan terperanjat. Begitu pula A Pik dan A Cu tidak kurang kejutnya menyaksikan ilmu sakti padri itu.

"Apakah Toan-kongcu lebih suka korbankan jiwa daripada memenuhi permintaan Siauceng?” tanya Ciumoti.

Toan Ki memang sudah tidak pikirkan mati atau hidup lagi, maka sahutnya dengan tertawa, "Haha, Toahwesio sama sekali belum hilang dari segala macam pikiran duniawi, mana ada harganya disebut sebagai padri saleh. Huh, hanya nama kosong belaka.”

Ciumoti tidak meladeni ocehan Toan Ki lagi, tapi mendadak serangannya ditujukan kepada A Pik sambil berkata, "Maaf, terpaksa kukorbankan dulu seorang budak keluarga Buyung ini!”

Sungguh kaget A Pik tak terkatakan oleh serangan mendadak itu, cepat ia berkelit, "brak”, kursi di belakangnya seketika hancur berkeping-keping oleh tenaga pukulan Ciumoti. Bahkan golok tangan kanan Ciumoti menyusul memotong pula.

Syukurlah A Pik sempat jatuhkan diri ke lantai dan menggelundung ke samping dengan cepat, namun begitu keadaannya pun sangat mengenaskan.

Pada saat lain, mendadak Ciumoti menggertak sekali, golok tangan untuk ketiga kalinya membacok lagi.

Saking takutnya sampai muka A Pik menjadi pucat, meski gerak-geriknya sangat cepat, tapi ia bingung juga menghadapi bacokan tenaga dalam yang tak kelihatan itu.

Hubungan A Cu dengan A Pik bagai saudara sekandung, melihat kawannya terancam bahaya, tanpa pikir lagi A Cu terus angkat tongkatnya dan menghantam punggung Ciumoti.

Dalam samarannya baik jalannya maupun bicaranya, lagak-lagu A Cu memang mirip benar seorang nenek reyot. Tapi kini dalam keadaan gugup dan buru-buru, gerak tubuhnya menjadi sangat gesit dan cepat sekali.

Jilid 18
Maka sekilas pandang saja Ciumoti sudah dapat melihat rahasia A Cu itu, katanya dengan tertawa, "Haha, masakah di dunia ini ada seorang nenek berumur cuma belasan tahun? Memangnya kau sangka Hwesio dapat kau bohongi terus?”

Berbareng telapak tangannya membalik dan menghantam, "krek”, tongkat A Cu itu kontan tergetar patah menjadi tiga potong. Menyusul serangan Ciumoti dilontarkan pula ke arah A Pik.

Dalam gugup dan khawatirnya, cepat A Pik sambar meja di sampingnya untuk menangkis serangan orang. "Prak-prak” dua kali, meja yang terbuat dari kayu gaharu seketika pecah berantakan, tinggal dua kaki meja yang masih terpegang di tangan A Pik.

Melihat A Pik terdesak mepet dinding, untuk mundur lagi sudah buntu, hendak lari pun susah, sementara itu serangan Ciumoti telah dilancarkan pula, Toan Ki tak bisa tinggal diam lagi, yang ia pikir hanya lekas menolong si gadis, tak terpikir olehnya bahwa diri sendiri sama sekali bukan tandingan Ciumoti.

Maka cepat jari tengah kanan terus menuding ke depan, tenaga dalamnya lantas terpancar keluar melalui "Tiong-ciong-hiat” di ujung jari dengan membawa suara mencicit, itulah Tiong-ciong-kiam-hoat dari Lak-mehsin-kiam yang lihai.

Sebenarnya Ciumoti tidak bermaksud membunuh A Pik, tujuannya cuma hendak memancing Toan Ki ikut turun tangan. Bila dia benar-benar membunuh, mana A Pik mampu menghindari "Hwe-yam-to” yang tanpa wujud dan lihai luar biasa itu?

Melihat Toan Ki tertipu olehnya dan turun tangan, segera Ciumoti membalik tangan dan ganti menyerang A Cu. Begitu hebat tenaganya, di mana angin tebasannya tiba, tertampaklah A Cu terhuyung-huyung, baju bagian pundak terobek juga, gadis itu menjerit kaget.

Cepat Toan Ki menolong pula, jari kecil tangan kiri terus menusuk ke depan dengan "Siau-tik-kiam” untuk menangkis "Hwe-yam-to” musuh.

Dengan demikian, A Cu dan A Pik terhindar dari bahaya, akan tetapi sebaliknya Toan Ki yang harus melayani serangan Hwe-yam-to-hoat Ciumoti dengan Lak-meh-sin-kiam.

Pertama Ciumoti sengaja hendak pamer kepandaiannya, kedua ingin orang lain menyaksikan bahwa Toan Ki benar-benar mahir "Lak-meh-sin-kiam” yang dikatakan tadi. Maka ia sengaja mengeluarkan Lwekangnya untuk saling bentrok dengan tenaga dalam Toan Ki hingga menerbitkan suara mencicit.

Dengan menghimpun tenaga dalam dari berbagai tokoh kelas wahid yang pernah disedotnya dengan Cu-hapsin-kang, sebenarnya tenaga Toan Ki sekarang sudah lebih kuat daripada Ciumoti. Celakanya dia sama sekali tidak mengerti ilmu silat, Kiam-hoat yang dipahaminya di Thian-liong-si itu juga cuma dihafalkannya begitu saja, sedikit pun tak bisa digunakannya secara hidup. Maka dengan mudah saja Ciumoti dalam mempermainkannya dan berulang-ulang memancing tusukan jarinya itu hingga daun pintu dan jendela berlubang oleh tenaga dalam Toan Ki yang hebat, berbareng ia pun mengoceh, "Wah, sungguh hebat Lak-mehsin-kiam ini, pantas mendiang Buyung-siansing memujinya setinggi langit.”

Cui Pek-khe juga ternganga heran, pikirnya, "Kukira Toan-kongcu ini sama sekali tidak mengerti ilmu silat, siapa tahu kepandaiannya sehebat ini. Toan-si dari Tayli benar-benar tidak bernama kosong. Untunglah ketika meneduh di Tin-lam-onghu dahulu aku tidak pernah berbuat sesuatu yang jahat, kalau tidak, masakah aku dapat keluar dari istana itu dengan hidup?”

Makin dipikir ia jadi merinding sampai jidat penuh keringat dingin.

Setelah menempur Toan Ki sebentar, kalau mau, sebenarnya setiap jurus dan setiap waktu Ciumoti dapat mematikan pemuda itu, tapi seperti kucing permainkan tikus saja, ia sengaja menggoda Toan Ki agar mengeluarkan jurus-jurus Lak-meh-sin-kiam.

Tapi sesudah lama, lambat laun hilanglah rasa memandang rendah Ciumoti, ia merasa Kiam-hoat yang dimainkan pemuda itu sesungguhnya lain daripada yang lain, cuma entah mengapa, di mana letak kelihaiannya sama sekali tak dapat digunakan oleh Toan Ki.

Jadi seperti seorang anak kecil, meski dibekali harta berjuta-juta toh tidak tahu cara bagaimana menggunakannya.

Setelah bergebrak beberapa jurus lagi, tiba-tiba pikiran Ciumoti tergerak, "Bila kelak timbul ilhamnya dan mendadak ia sadar serta memahami kunci kemukjizatan ilmu silatnya ini, ditambah lagi tenaga dalamnya dan Kiam-hoat yang bagus ini pastilah akan merupakan lawan tangguh paling lihai bagiku!”

Toan Ki sendiri juga sudah sadar mati-hidupnya sekarang bergantung di bawah tangan Ciumoti, cepat ia berseru, "A Cu dan A Pik berdua Cici, lekas kalian melarikan diri, kalau terlambat mungkin tidak keburu lagi.”

"Mengapa engkau menolong kami, Toan-kongcu?” hanya A Cu.

"Hwesio ini mengira ilmu silatnya mahatinggi dan suka malang melintang menghina orang lain. Cuma sayang aku tidak paham ilmu silat, susah untuk melawannya, maka lekas kalian melarikan diri!”

"Tapi sudah terlambat!” seru Ciumoti tiba-tiba dengan tertawa. Ia melangkah maju setindak, jari tangan kiri terus terjulur hendak menutuk Toan Ki.

Toan Ki menjerit kaget dan bermaksud menghindar, namun sudah terlambat. Tiga Hiat-to penting pada tubuhnya sekaligus tertutuk, seketika kaki terasa lemas terus roboh ke lantai. Akan tetapi ia masih berteriakteriak, "A Cu, A Pik, lekas kalian lari, lekas!”

"Hm, jiwamu sendiri tak terjamin masih ada pikiran untuk mengurus orang lain?” jengek Ciumoti sambil kembali ke tempat duduknya. Lalu katanya kepada A Cu, "Nona ini pun tidak perlu lagi main sandiwara segala. Sebenarnya siapa yang berkuasa di rumah ini, lekas katakan? Toan-kongcu ini telah hafal Lak-meh-sin-kiamboh dengan lengkap, cuma ia tidak paham ilmu silat, maka tak dapat menggunakannya. Besok juga anak kubakar dia di hadapan makam Buyung-siansing, bila Buyung-siansing mengetahui di alam baka, tentu beliau akan dapat memahami pula bahwa sobat lamanya ini telah menemui janji dengan baik.”

A Cu tahu di pondok Khiam-im-cing-sik ini tiada seorang pun yang mampu menandingi si Hwesio. Tapi segera ia mendapat akal, katanya dengan tertawa, "Baiklah, Toahwesio. Sekarang kami sudah percaya, kami akan membawa engkau ke makam Loya, tapi perjalanan ke sana memerlukan satu hari penuh, hari ini sudah tidak keburu lagi, esok pagi-pagi biarlah kami berdua mengantar sendiri Toahwesio dan Toan-kongcu berziarah ke makam Loya. Kini kalian berempat silakan mengaso, sebentar harap makan malam seadanya.”

Habis berkata, ia gandeng tangan A Pik terus masuk ke ruangan belakang.

Memandangi bayangan kedua gadis jelita itu, Toan Ki cuma dapat tersenyum getir saja.

Selang satu jam kemudian, seorang budak laki-laki keluar memberi tahu, "Nona A Pik mengundang tuan-tuan menghadiri perjamuan sederhana di ‘Thing-uh-ki’!”

Ciumoti menyatakan terima kasih, segera ia pegang tangan Toan Ki dan mengikuti hamba itu ke belakang disusul oleh Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci.

Setelah menyusuri sebuah jalan kecil yang berliku-liku dengan batu kecil berserakan, akhirnya sampailah di tepi sebuah danau. Di bawah pohon Liu tampak tertambat sebuah perahu kecil.

"Itu di sana!” kata hamba tadi sambil menuding ke arah sebuah rumah kecil yang dikelilingi air danau.

Sesudah dekat, kiranya "Thing-uh-ki” (vila mendengarkan hujan) yang dimaksudkan dibangun dengan dahan pohon Siong yang tak terkupas kulitnya, mungil dan indah seperti buatan alam.

Setelah mendarat, Toan Ki melihat A Pik sudah berdiri di depan rumah menanti kedatangan tetamunya. Kini gadis ini memakai baju hijau pupus, berbedak tipis dengan yanci yang kemerah-merahan. Di sampingnya berdiri pula seorang gadis cilik lain berusia sebaya dengan A Pik, berbaju merah dadu, dengan sikap yang lincah dan nakal sedang memandang Toan Ki dengan tersenyum simpul. Kalau raut muka A Pik berbentuk bulat telur, adalah gadis jelita ini berbentuk bundar bagai bulan purnama, bola matanya hitam dengan kerlingannya yang tajam hingga menjadikan kecantikannya mempunyai daya tarik tersendiri.

Begitu Toan Ki menghampiri, segera tercium olehnya bau harum yang halus. Tanpa pikir lagi ia menegur dengan tertawa, "Enci A Cu, sungguh tidak nyana gadis cilik yang cantik seperti engkau ini ternyata juga pandai memainkan peranan sebagai nenek-nenek!”

Gadis jelita di samping A Pik itu memang benar A Cu adanya. Ia melirik Toan Ki sekejap, lalu menyahut dengan tersenyum, "Engkau telah menjura tiga kali padaku, sekarang engkau menyesal bukan?”

"Tidak, tidak!” sahut Toan Ki sambil menggeleng kepala. "Aku justru merasa perbuatanku itu cukup berharga. Cuma terkaanku saja yang agak meleset.”

"Terkaan apa yang meleset?” tanya A Cu.

"Sejak mula sudah kuduga bahwa Enci sendiri pasti serupa Enci A Pik, sama-sama gadis cantik yang jarang terdapat di dunia ini,” ujar Toan Ki. "Cuma dalam anggapanku, kuyakin Enci pasti tidak banyak berbeda daripada Enci A Pik, siapa tahu sesudah bertemu muka, ternyata ... ternyata ....”

"Ternyata jauh kalah dibandingkan A Pik, begitu bukan?” sela A Cu cepat.

Segera A Pik menceletuk juga, "Ternyata berpuluh kali lebih cantik daripadaku hingga engkau terpesona,

bukan?”

"Bukan, bukan! Salah semua!” sahut Toan Ki. "Kupikir Tuhan ini memang mahaadil, sudah menciptakan gadis cantik serupa Enci A Pik, juga menciptakan gadis cantik yang lain seperti Enci A Cu. Raut muka keduanya sama sekali berbeda, tapi sama-sama bagus dan sama-sama menariknya, hatiku ingin mengucapkan berbagai pujian padamu, tapi mulutku justru sukar mengucapkan kata-kata yang tepat.”

"Cis!” semprot A Cu dengan tertawa. "Engkau ludah mencerocos panjang lebar, tapi bilang sukar mengucapkan sepatah kata?”

Kalau A Cu bicara dengan lincah dan mengomel, sebaliknya A Pik lantas berkata dengan lemah lembut, "Atas kunjungan tuan-tuan ke tempat kami yang sunyi ini, tiada sesuatu yang dapat kami persembahkan, hanya tersedia sedikit arak tawar dan sekadar makanan yang terdapat di daerah Kanglam sini.”

Lalu ia persilakan tetamunya mengambil tempat duduk masing-masing, ia bersama A Cu mengiringinya semeja.

Melihat cangkir, mangkuk dan alat perkakas yang disediakan itu terdiri dari benda halus semua, diam-diam Toan Ki memuji. Ketika kemudian pelayan laki-laki menyuguhkan makanan pengantar, menyusul lantas masakan panas seperti "Leng-pek-he-jin” (udang goreng sawi putih), "Ho-yap-tang-sun-theng” (rebung muda masak daun teratai kuah), "Eng-tho-hwe-tui” (buah Tho masak ham), "Bwe-hoa-keh-ting” (bunga Bwe masak ayam), dan macam-macam lagi, setiap masakannya sangat istimewa dan lain daripada yang lain, di tengah udang, ikan, daging dan lain-lain dicampur dengan buah-buahan dan bunga-bungaan, warnanya indah dan masanya lezat, dengan sendirinya membawa semacam bau harum dan cita rasa yang sedap.

Keruan yang tidak habis-habis memberi pujian adalah Toan Ki, katanya sambil tidak lupa melangsir makanan di hadapannya ke dalam mulut, "Ada tempat seindah ini barulah ada manusia sepandai ini. Ada orang sepandai ini barulah dapat menyuguhkan makanan seenak ini.”

"Eh, coba terka, makanan ini masakanku atau masakan A Pik?” tanya A Cu dengan tertawa.

"Eng-tho-hwe-tui dan Bwe-hoa-keh-ting itu kuyakin Enci yang memasaknya,” sahut Toan Ki tanpa pikir. "Dan Ho-yap-tang-sun-theng, Leng-pek-he-jin dan lainnya tentulah buatan Enci A Pik.”

"Ehm, engkau memang pintar,” seru A Cu dengan tertawa. "Hai, A Pik, cara bagaimana kita harus memberi hadiah kepada kepandaiannya ini?”

Dengan tersenyum A Pik menyahut, "Toan-kongcu ingin apa, sudah tentu kita akan menurut saja, masakah pakai memberi hadiah apa segala, kaum hamba seperti kita masa ada harganya untuk bicara demikian?”

"Aduh, dasar mulutmu ini memang pandai memikat hati orang, pantas setiap orang memuji kebaikanmu dan mengatakan aku jahat,” kata A Cu.

"Yang satu lemah lembut, yang lain lincah gembira, keduanya sama-sama baik,” ujar Toan Ki dengan tertawa. "Enci A Pik, di dalam perahu siang tadi engkau telah memetik sebuah lagu dengan senjata ruyung milik Kotoaya, suara tetabuhan itu sampai saat ini seakan-akan masih mengiang di telingaku. Bila nona tidak keberatan, kumohon sudilah engkau memperdengarkan beberapa lagu pula dengan alat tetabuhan yang sungguh-sungguh, untuk mana andaikan besok aku harus menjadi abu dibakar oleh Toahwesio ini, rasanya pun takkan kecewa hidupku ini.”

"Jika Kongcu sudi mendengarkan, sudah tentu akan kumainkan sekadar menghibur tuan tamu,” sahut A Pik terus berbangkit menuju ke ruangan belakang. Waktu keluar pula ia membawa sebuah Khim atau kecapi.

Toan Ki heran melihat Khim itu jauh lebih kecil daripada Khim umumnya, bahkan senarnya juga tidak tujuh, tapi sembilan senar dengan warna yang berbeda-beda.

A Pik mengambil tempat duduk di suatu bangku kecil, ia taruh kecapi itu di atas pangkuannya, lalu katanya kepada Ciumoti, "Harap Toasuhu memberi petunjuk nanti!”

"Ah, jangan sungkan,” sahut Ciumoti. Dalam hati ia merasa curiga, "Mengapa dia menyatakan hendak minta petunjuk padaku?”

Dalam pada itu kedua tangan A Pik yang putih bersih bagai salju itu telah mulai beraksi, kelima jari kiri menekan perlahan di atas senar, sekali jari tangan kanan memetik, terdengarlah suara "creng” yang nyaring merdu.

Meski Toan Ki sama sekali tidak paham ilmu silat, tapi dalam hal "Su-wah-khim-ki” atau seni tulis, seni lukis, seni musik (Khim) dan seni catur, semuanya ia mahir. Maka begitu mendengar suara pembukaan yang dipetik A Pik itu, segera ia tahu bahwa kesembilan senar Khim itu terbuat dari bahan yang berbeda-beda. Ada senar baja, ada pula senar tembaga, dan ada pula senar benang biasa. Yang keras teramat keras, yang lemas sangat lemas.

Hanya beberapa kali A Pik memetik perlahan suara kecapi itu sudah mulai mengalun dengan lambat dan makin

lama makin ulem hingga keempat pendengarnya itu merasa kelopak matanya menjadi berat, rasanya menjadi kantuk dan ingin tidur.

Cui Pek-khe adalah tokoh yang luas pengalamannya dan cerdik, ia kenal betapa liciknya orang Kangouw. Maka begitu memasuki perkampungan keluarga Buyung, setiap saat ia selalu waspada. Waktu matanya merasa sepat dan layap-layap akan pulas mendadak ia tersadar, "Celaka! Rupanya budak setan ini sedang merancang sesuatu muslihat untuk menggasak kami.”

Segera ia berseru, "Awas, Ko-hiantit, banyak orang Kangouw berjiwa keji dan banyak tipu muslihatnya yang serbaaneh, engkau harus hati-hati dan waspada.”

Ko Gan-ci mengangguk dan menyahut dengan samar-samar, "Benar! Sampai bertemu esok pagi!”

Habis berkata, ia terus menguap.

Kuapan Ko Gan-ci ini ternyata membawa daya menular, seketika Cui Pek-khe dan Toan Ki ikut menguap dengan pikiran mulai melayap-layap, yang terdengar hanya suara Khim yang ulem merdu, sekelilingnya terasa sunyi senyap, setiap orang merasakan tubuh penat dan ingin tidur, kalau bisa terus hendak selonjor dan terpulas segera.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar "cring” sekali, dada Toan Ki serasa diketok dan "Thian-ti-hiat” di samping ketiak seketika lancar kembali dari tutukan Ciumoti tadi.

Sungguh girang, dan kejut Toan Ki tak terkatakan, ia menyangka tutukan Ciumoti tadi kurang keras hingga Hiat-to yang tertutuk itu tidak buntu seluruhnya, maka setelah lewat sekian lama jalan darahnya lantas lancar kembali dengan sendirinya.

Tak terduga suara kecapi A Pik kembali dipetik sekali pula, "cring”, lagi-lagi "Pek-hou-hiat” di punggung Toan Ki terasa lancar pula dengan sendirinya.

Ketika Toan Ki coba mengerahkan tenaga dalamnya, ia merasa separuh tubuh bagian atas sudah dapat bergerak dengan bebas, jalan darah pun lancar tanpa suatu rintangan.

Baru sekarang ia tahu suara kecapi A Pik itu dapat mengadakan kontak dengan hawa murni dalam tubuh orang dan mampu melancarkan jalan darah.

Selang sebentar, Hiat-to bagian kaki yang tertutuk juga terbuka semua mengikuti bunyi kecapi.

Dengan termangu-mangu Toan Ki memandangi A Pik, hati merasa terima kasih tak terhingga. Ia lihat A Pik masih terus memetik kecapi dengan penuh perhatian, di sampingnya terdengar suara orang mendengkur dengan keras, Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci sudah tertidur nyenyak. Sebaliknya Ciumoti masih tetap duduk dengan tenang, tampak jelas sedang mengerahkan Lwekang untuk melawan suara kecapi si A Pik.

Tidak lama kemudian, Toan Ki lihat jidat A Pik mulai berkeringat, di atas kepala kabut tipis mulai menguap. Sebaliknya Ciumoti tetap tenang dengan mengulum senyum dan berseri-seri.

Diam-diam Toan Ki jadi khawatir, "Bila suara kecapi si A Pik tak dapat mengatasi kekuatan si Hwesio hingga malah dilukai olehnya, lantas bagaimana baiknya nanti?”

Pada saat yang genting itulah tiba-tiba terdengar A Cu menyanyi dengan suara yang merdu, lagunya, "Angin mendesir dingin di sungai Ih, sekali pergi sang pahlawan tak kembali lagi!”

Suara kecapi sangat kalem dan halus, sebaliknya suara nyanyian gagah penuh semangat, keduanya berbeda irama, Toan Ki menjadi heran.

Tapi berulang A Cu masih terus membolak-balik menyanyikan lagu "angin mendesir ...” hingga tiga-empat kali, Toan Ki lihat tangkai bunga yang tersunting di atas sanggul A Pik tiada hentinya bergemetar, bibir si gadis yang tadinya merah kini pun mulai pucat.

Hati Toan Ki tergerak, mendadak ia sadar, "Ah, tahulah aku. Sebabnya A Cu menyanyikan dua kalimat lagunya itu, maksudnya minta aku menirukan perbuatan Keng Ko, membunuh raja Cin di zaman Ciongkok. Ya, tenaga dalam A Pik terang bukan tandingan si Hwesio, kalau bertambah lebih lama lagi mungkin akan terluka dalam parah.”

Diam-diam Toan Ki mulai menghafalkan kembali Lak-meh-sin-kiam, ia coba menjalankan tenaga dalam dan terasa lancar tanpa sesuatu rintangan.

Cuma sejak kecil ia mendapat ajaran falsafah Kongcu dan Buddha yang menyuruh setiap manusia harus berlaku bajik dan welas asih kepada sesamanya, karena itu ia menjadi ragu untuk menyerang, ia pikir seorang laki-laki harus bertindak secara terang-terangan, kalau menyerang orang secara mendadak dan di luar penjagaan, rasanya terlalu kotor dan rendah.

Tengah Toan Ki ragu itulah, sekonyong-konyong "creng” sekali, seutas senar kecapi si A Pik putus, tubuh gadis itu pun tergeliat sedikit, suara nyanyian A Cu pun terhenti mendadak, sepasang sumpit yang terpegang di tangannya segera siap hendak ditusukkan ke arah Ciumoti.

Menyusul terdengar pula suara "cring”, kembali seutas senar kecapi putus. Berbareng Cui Pek-khe dan Ko Gan-ci berseru kaget, keduanya sama-sama terjaga bangun.

Toan Ki tahu keadaan sangat mendesak, diam-diam ia bergumam, "Demi menolong orang, terpaksa aku harus berlaku pengecut sebentar.”

Segera ia angkat tangan kanan, dengan telunjuk dan jari tengah mengacung ke arah Ciumoti, "cus-cus”, seketika dua arus kekuatan yang tak kelihatan menusuk dengan cepat.

Itulah jurus serangan "Siang-yang-kiam” dan "Tiong-ciong-kiam” yang lihai.

Bila Ciumoti lagi bertanding berhadapan dengan Toan Ki, betapa pun cepatnya serangan itu pasti dapat dipatahkan olehnya. Tapi kini Ciumoti menyangka Hiat-to pemuda yang telah ditutuknya, untuk sementara ini pemuda itu terang tidak dapat berbuat apa-apa, maka antero perhatiannya dicurahkan untuk menempur suara kecapi si A Pik.

Tatkala itu Ciumoti sudah mulai di atas angin dan A Pik terdesak, ia sudah berusaha mengacaukan suara kecapi untuk membingungkan pemusatan pikiran A Pik, kemudian suara kecapi segera akan diperalat olehnya untuk melukai A Cu sekalian.

Sama sekali tak terduga olehnya bahwa Toan Ki mendadak menyerang dengan Lak-meh-sin-kiam. Dalam kagetnya Ciumoti bersuit panjang sembari meloncat ke atas, "brak”, sekaligus lima senar kecapi si A Pik sama putus. Menyusul tertampaklah darah mengucur di badan Ciumoti. Bu-heng-sin-kiam atau pedang sakti tak berwujud yang dilontarkan Toan Ki ternyata berhasil menusuk bahu kanannya.

Cepat sekali A Pik tarik A Cu dan tangan lain menggandeng Toan Ki, sekali kaki mengentak, ketiga orang lantas melayang keluar melalui jendela pondok di atas air itu dan tepat turun ke dalam perahu yang tertambat di tepi gili-gili. Segera A Cu menyuruh Toan Ki mendekam di dalam perahu, ia sendiri sambar pengayuh terus didayung cepat ke tengah danau.

Maka terdengarlah suara "blang-blung” yang keras, perahu kecil itu terombang-ambing bagai didampar ombak

raksasa di tengah samudra, air danau muncrat ke dalam perahu hingga Toan Ki basah kuyup.

Waktu ia mendongak, ia lihat Ciumoti berdiri di tepi gili-gili sedang melemparkan meja batu, bangku batu dan sebagainya, untung A Cu cukup cekatan dan dapat mendayung dengan cepat, pula Ciumoti telah terkena pedang tanpa wujud Toan Ki tadi hingga lukanya cukup parah, tenaganya banyak berkurang, maka timpukannya tiada satu pun yang tepat mengenai perahu itu.

Namun begitu A Cu terkejut juga oleh ketangkasan si Hwesio. Diam-diam ia bersyukur dapat lolos dari bahaya. Sekuatnya ia mendayung lebih jauh hingga dapat diduga Ciumoti tidak dapat menyusul mereka lagi.

"Toan-kongcu,” kata A Pik kemudian, "terima kasih atas pertolonganmu tadi, kalau tidak, saat ini aku tentu sudah binasa di tangan Hwesio itu.”

"Akulah yang harus berterima kasih padamu,” sahut Toan Ki. "Hwesio itu berani berkata berani berbuat, bukan mustahil aku benar-benar akan dibakar hidup-hidup olehnya.”

"Sudahlah, tidak perlu lagi terima kasih sini dan terima kasih sana, apakah kita dapat lolos dari kekejaman padri itu masih belum dapat dipastikan,” ujar A Cu.

Pada saat itu juga Toan Ki mendengar suara tersiahnya air, ada perahu sedang didayung ke arah sini, segera katanya, "Benar juga, Hwesio itu sedang mengejar kemari!”

Karena pertarungan Lwekang tadi, keadaan A Pik sudah sangat lelah, seketika tenaganya belum dapat dipulihkan, ia bersandar di dinding perahu katanya, "A Cu Cici, marilah kita menyingkir sementara ke tempat Liok-toaya saja.”

"Ya, terpaksa begitulah,” sahut A Cu dengan mendongkol. "Sungguh sialan, tentu kita akan ditertawai Lioktoaya lagi bahwa ilmu silat kita tak berguna, baru ketemu musuh lantas lari berlindung ke rumahnya. Hidup kita selanjutnya pasti akan selalu dibuat buah tertawaan olehnya.”

Toan Ki sendiri sejak tenaga dalamnya bertambah kuat, daya pendengarannya menjadi sangat tajam pula. Ia dapat mendengar perahu yang sedang mengejar mereka itu makin mendekat. Cepat saja ia pun sambar pengayuh lain dan bantu mendayung, bertambah tenaga seorang, daya luncur perahu mereka menjadi seperti anak panah terlepas dari busurnya, jarak dengan perahu pengejar itu pun makin lama makin jauh.

"Kepandaian Hwesio itu sungguh luar biasa, kalau kedua Cici yang masih muda belia dikalahkan olehnya, kenapa mesti dibuat pikiran, apa yang memalukan?” ujar Toan Ki kemudian.

Tiba-tiba dari jauh sana terdengar suara seruan orang, "Wahai, A Cu dan A Pik! Kembalilah kalian!”

Terang itulah suara Ciumoti, ucapannya itu terdengar lemah lembut dan bersahabat hingga menimbulkan daya tarik yang sukar ditahan, rasanya ingin menurut saja apa yang dikatakan itu.

A Cu tertegun juga, pikirnya, "Dia menyerukan kita kembali ke sana dan menyatakan takkan membikin susah kita.”

Sembari berkata ia menghentikan dayungnya dengan pikiran tergerak dan bermaksud memenuhi permintaan Ciumoti itu.

Bahkan A Pik lantas ikut menyokong, "Jika begitu, marilah kita putar kembali ke sana!”

Syukur tenaga dalam Toan Ki sangat kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh seruan Ciumoti yang membawa daya tarik itu, cepat ia berkata, "Jangan kalian percaya, ia sengaja hendak menipu kalian!”

Namun suara Ciumoti yang halus dan enak didengar itu kembali berkumandang pula, "Kedua nona cilik A Cu dan A Pik, Kongcu kalian telah pulang dan sedang mencari kalian, lekaslah dayung kembali, lekas kembali!”

"Baiklah!” kata A Cu tiba-tiba terus angkat pengayuh untuk membelokkan arah perahu.

Toan Ki menjadi khawatir. Diam-diam ia pikir, "Jika benar Buyung-kongcu sudah pulang, tentu ia sendiri akan panggil A Cu dan A Pik, kenapa mesti si Hwesio yang memanggilnya? Jelas suaranya itu adalah semacam ilmu penggoda sukma orang yang sangat lihai.”

Cepat Toan Ki menyobek dua potong ujung bajunya untuk menyumbat telinganya A Cu, lalu menyumbat pula telinga A Pik.

Setelah tenangkan diri sejenak, A Cu berseru kaget, "Wah, hampir saja kita terjebak!”

"Ya, Hwesio itu dapat menggunakan Liap-hun-tay-hoat (ilmu sakti pencabut sukma, sebangsa hipnotis), hampir kita masuk perangkapnya,” tukas A Pik.

Segera A Cu mendayung lagi sekuatnya, katanya, "Toan-kongcu, lekas mendayung, cepat!”

Kedua orang terus mendayung dengan gotong royong hingga dalam sekejap suara Ciumoti tidak terdengar pula. Toan Ki lalu memberi tanda agar sumbat telinga kedua nona itu dibuka.

Sambil menepuk dada A Cu berkata sembari menarik napas lega, "Selamatlah sekarang. Tapi lantas bagaimana selanjutnya?”

"Enci A Cu,” kata A Pik, "jika kita berlindung ke tempat Liok-toaya di Siau-thian-jun, bila nanti si Hwesio juga menyusul ke sana, tentu ia akan bergebrak dengan Liok-toaya dengan sengit.”

"Benar, dan bila terjadi begitu, tentu runyam,” sahut A Cu. "Meski ilmu silat Liok-toaya cukup tinggi, tapi tampaknya bukan tandingan si Hwesio yang aneh dan licin itu. Biar begini saja, kita terus main kucingkucingan di danau yang luas ini, kita putar kian kemari menghindari pengejarannya. Kalau lapar, kita bisa petik lengkak dan ubi teratai untuk tangsel perut, meski harus bertahan sampai 10 hari atau setengah bulan juga kita sanggup.”

"Baiklah, terserah kepada keinginanmu,” ujar A Pik dengan tersenyum. "Cuma entah bagaimana dengan pendapat Toan-kongcu?”

"Haha, justru itulah melebihi harapanku,” sahut Toan Ki sambil bertepuk tangan kegirangan. "Pemandangan danau ini indah permai, ditambah ada kawan dua nona cantik, jangankan cuma setengah bulan, sekalipun selamanya juga aku setuju hidup demikian, biarpun malaikat dewata juga tidak sebahagia ini!”

A Pik tersenyum geli oleh banyolan pemuda itu, katanya pula, "Dari sini menuju ke arah tenggara banyak sekali terdapat anak sungai dan teluk, kecuali nelayan setempat, jarang yang hafal perjalanan di sekitar sini. Bila kita sudah dapat memasuki ‘Pek-kiok-oh’ (danau beratus muara) itu, betapa pun lihai si Hwesio takkan dapat menemukan kita lagi.”

Dengan girang terus saja Toan Ki mendayung lebih giat, tidak lama sampailah mereka di tengah danau yang banyak terdapat muara sungai. Bila ketemu simpang jalan begitu, terkadang A Cu dan A Pik perlu berunding lebih dulu barulah dapat menentukan arah mana yang harus ditempuh.

Dengan begitu perahu mereka telah meluncur hingga satu-dua jam lamanya. Tiba-tiba bidang Toan Ki mengendus semacam bau harum bunga yang aneh, waktu tercium mula-mula kepalanya meraba pening, tapi lantas terasa sangat enak dan segar pula.

"Kedua Cici, bunga apakah yang harum itu? Kenapa aku tidak pernah mencium bau harum begini di negeri Tayli kami?” tanya Toan Ki.

Tiba-tiba A Pik membisikinya, "Jangan kau tanya, kita harus lekas meninggalkan tempat ini.”

Toan Ki heran oleh suara si nona yang rada gugup dan khawatir itu. Dalam pada itu didengarnya A Cu juga sedang berkata dengan lirih, "Akulah yang tersesat. Tadi kau bilang lebih tepat membelok ke kiri, tapi aku berkeras menyatakan ke kanan, dan nyatanya aku salah jalan. A Pik, jika kau yakin arahmu yang tepat, mengapa engkau menuruti arahku?”

"Waktu itu aku sendiri pun ragu, kupikir jangan-jangan arahmu yang benar,” sahut A Pik dengan gegetun.

Kiri semangat A Pik sudah pulih kembali, ia ambil pengayuh dari tangan A Cu dan menggantikannya mendayung.

Mendengar percakapan kedua nona itu, Toan Ki menduga di balik bau harum bunga yang aneh itu tentu terdapat sesuatu yang membahayakan. Sebenarnya ia ingin tanya, namun A Cu telah menggoyang tangan untuk mencegahnya supaya jangan bersuara.

Dalam kegelapan Toan Ki tak jelas melihat air muka kedua nona itu. Tapi dapat diduga keadaan pasti gawat melebihi bahaya waktu terancam pengejaran Ciumoti tadi.

Tiba-tiba A Cu mendekatkan mulutnya ke telinganya Toan Ki dan membisikinya, "Toan-kongcu, aku dan A Pik akan bicara dengan suara keras, tapi engkau jangan ikut campur sepatah kata pun, paling baik engkau berbaring saja di dalam perahu.”

Toan Ki bingung karena tidak paham apa maksud nona itu. Namun ia mengangguk dan menurut, ia menyerahkan pengayuh kepada A Cu dan merebahkan diri di geladak perahu. Ia lihat bintang berkelip-kelip di tengah cakrawala, hati merasakan semacam keheranan yang tak terkatakan.

"Adik A Pik,” demikian terdengar A Cu sedang berkata, "jalan di sini susah dibeda-bedakan, kita harus hati-

hati, jangan sampai kesasar.”

"Ya,” sahut A Pik, "Hwesio yang mengejar kita itu tentu tidak bermaksud baik. Sebaliknya kalau kita sampai tersesat jalan, orang akan menyalahkan kita sengaja datang ke sini dan tentu akan banyak membawa kesukaran bagi Kongcu.”

Suara percakapan A Pik dan A Cu itu dilakukan dengan keras seakan-akan sengaja diperdengarkan kepada seseorang.

Tapi ketika Toan Ki melirik jauh ke depan, yang terlihat cuma daun lengkak melulu yang menghijau terapung rapat di permukaan air. Kecuali suara gesekan antara badan perahu dengan daun tetumbuhan itu, keadaan sunyi senyap tiada sesuatu pun yang mencurigakan, bau harum bunga yang bukan mawar bukan melati, semacam bau harum yang susah dilukiskan dan sukar diterka.

Tiba-tiba A Pik bernyanyi perlahan, suara nyanyiannya terasa mengandung rasa takut. Nyata ia menyanyi hanya untuk menghilangkan perasaan takutnya.

"Apakah Hwesio itu mengejar kemari?” demikian Toan Ki bertanya.

"Ssstt!” cepat A Cu mendekap mulut pemuda itu agar jangan bersuara. Ia celingukan kian kemari, setelah sekitarnya sunyi senyap barulah dia membisiki telinga Toan Ki, "Jangan bersuara. Kita telah kesasar ke tempat yang berbahaya, tuan rumah di sini jauh lebih lihai daripada Hwesio tadi!”

"Sungguh celaka tiga belas,” demikian pikir Toan Ki, "belum terhindar dari bahaya yang satu, bahaya yang lain mengancam pula.”

Tapi segera terpikir pula olehnya, "Ah, kedua nona adik ini belum kenal betapa lihainya Ciumoti, di dunia ini masakah ada jago lain yang lebih lihai daripada Hwesio itu? Apalagi di sini adalah tempat bercokolnya orang she Buyung, mana dia boleh membiarkan seorang tokoh lain hidup berdampingan dengan dirinya?”

Habis nyanyi A Pik tidak bicara pula, ia menengadah, memandang bintang-bintang di langit. Ia sedang berusaha membedakan arah berdasarkan kedudukan bintang yang bertaburan di cakrawala itu sambil mendayung bersama A Cu.

Toan Ki memandang sekitarnya, keadaan hening sepi, di tengah danau seluas itu melulu perahu mereka saja yang menyiah air hingga menerbitkan suara gemeresik perlahan. Ia merasa heran mengapa kedua gadis itu

begitu ketakutan menghadapi suasana yang cuma sepi ini?

Setelah perahu meluncur lagi agak jauh dan tiba pula di suatu muara sungai, A Cu dan A Pik bertukar pikiran ke mana perahu mereka harus menuju.

Padahal dalam pandangan Toan Ki, ia merasa jalanan air di sini sama saja tanpa sesuatu perbedaan, ia menjadi heran berdasarkan tanda apa hingga kedua nona itu mengadakan perdebatan?

Sesudah mendayung lagi sekian lamanya, Toan Ki mendengar napas kedua gadis itu tersengal-sengal. Segera ia mengambil pengayuh dari tangan A Cu dan menggantikannya mendayung.

Tidak hina kemudian, tiba-tiba A Pik berseru kaget, "Hai, kita ... kita kembali lagi ke tempat tadi.”

Benar juga, segera Toan Ki mengendus bau harum bunga yang aneh tadi. Ia menjadi lemas dan kecewa, tampaknya mereka cuma berputar-putar saja di tengah danau itu, percuma mereka mendayung dengan susah payah selama setengah malam di situ.

Sementara itu sudah dekat fajar, ufuk timur mulai remang-remang. Wajah A Pik tampak sedih. Tiba-tiba ia membuang pengayuh ke atas perahu dan menangis terguguk sambil menutupi mukanya.

A Cu merangkul A Pik dan menghiburnya, "Kita toh tidak sengaja datang kemari. Sebentar bila bertemu dengan Ong-hujin, kita katakan saja terus terang, jangan khawatir.”

Walaupun menghibur kawannya, sebenarnya perasaan sendiri juga kacau dan khawatir.

Pada saat itulah tiba-tiba di angkasa terdengar suara burung mencicit, dari arah barat sana terbang datang seekor burung putih mirip bangau. Burung itu terbang mengitari perahu beberapa kali, kemudian terbang ke arah barat pula dengan perlahan.

A Cu mengangkat pengayuh dengan menghela napas, katanya, "Sudah diketahui, terpaksa mesti ke sana, marilah kita ke sana!”

Segera ia mendayung perahunya mengikuti arah burung tadi.

"Kiranya burung itu adalah penunjuk jalan yang diutus majikannya,” ujar Toan Ki dengan tertawa.

"Toan-kongcu,” kata A Pik tiba-tiba, "engkau adalah orang luar dan tidak tahu peraturan di tempat ini. Sebentar bila sampai di ‘Man-to-san-ceng’, tak peduli apa yang terjadi, hendaklah engkau menurut perintah saja, biarpun dihina juga engkau jangan membangkang.”

"Sebab apa?” tanya Toan Ki. "Apakah tuan rumahnya sangat kasar dan sewenang-wenang? Kita hanya sesat jalan, kalau perlu kita segera pergi dari sini, dosa apakah kalau cuma kesasar saja?”

Tiba-tiba mata A Pik memberambang, katanya, "Toan-kongcu, di dalam persoalan ini banyak hal-hal yang sukar kujelaskan. Mereka berani berlaku kasar tentu mereka mempunyai alasannya sendiri. Pendek kata, semua gara-gara Hwesio jahat itu hingga kita diuber-uber dan kesasar kemari. Kalau tidak, masakah kita bisa masuk ke sini?”

Rupanya sifat A Cu lebih periang, dengan tertawa ia berkata. "Orang baik tentu diberkahi dengan rezeki besar. Kalau kita berdua datang kemari, tentu bakal celaka, tapi Toan-kongcu adalah seorang agung, seorang yang membawa berkah, siapa tahu kita akan ikut diberkahi dengan keselamatan.”

"Aku justru khawatir bagi Toan-kongcu, soal kita berdua malah tak kupikirkan,” ujar A Pik. "Ong-hujin telah menyatakan bila ada lagi orang laki-laki menginjak Man-to-san-ceng, maka kedua kaki orang itu akan ditebasnya dan kedua matanya akan dikorek. Enci A Cu, sifat Ong-hujin sudah kau kenal, sekali dia sudah omong, pasti dilaksanakannya. Kini kita membawa Toan-kongcu ke sini, bukankah kita yang membikin susah padanya ....”

Berkata sampai di sini, tak tertahan lagi air matanya bercucuran.

"A Pik,” kata A Cu, "siapa tahu mendadak timbul rasa welas asih orang, bisa jadi Toan-kongcu pandai omong dan pintar berdebat hingga dapat mematahkan perasaan baja orang, lalu kita bertiga dilepas pergi.”

"Sebenarnya tokoh macam apakah Ong-hujin itu?” tanya Toan Ki.

A Pik memandang A Cu sekejap, hendak menjawab tapi urung. Sebaliknya A Cu lantas memberi tanda beberapa kali dengan tangannya, lalu celingukan, kemudian baru berkata, "Tentang diri Ong-hujin? Wah, betapa tinggi ilmu silatnya boleh dikata sudah mencapai tingkatan yang sukar diukur, di dunia persilatan sekarang tiada seorang pun yang dapat menandinginya. Kongcu kami biasanya tidak mau tunduk kepada siapa

pun, hanya Ong-hujin saja yang paling dikagumi olehnya.”

Meski begitu mulutnya berkata, tapi mimik wajahnya mengunjuk tanda-tanda yang aneh, mulut merat-merot dan mata terpicing sambil mengangkat bahu pula. Pendek kata tanda-tanda yang menyatakan apa yang dikatakan itu sama sekali tidak dapat dipercaya melainkan buatan belaka sekadar menyenangkan hati orang.

Keruan Toan Ki heran, pikirnya, "Masakah bicara di tengah perahu yang sekelilingnya cuma air belaka juga khawatir didengar orang? Apakah Ong-hujin itu begitu sakti sehingga memiliki telinga yang mampu mendengar dari jauh?”

Ia lihat burung putih tadi telah terbang kembali dan mengitar pula di atas perahu mereka seperti tidak sabar menunggu lagi, setelah berputar lagi dua kali, kembali burung itu mendahului terbang ke depan. Setelah perahu didayung lagi mengikuti arah burung putih itu, kini jalanan air itu penuh dengan teluk dan muara sungai yang berliku-liku.

Akhirnya perahu mereka tiba di depan sebaris pagar bambu. Pagar bambu itu jarang-jarang anyamannya sebagaimana umumnya dipakai kaum nelayan untuk mengurung ikan.

Sesudah dekat dengan pagar bambu itu, tampaknya perahu mereka teralang dan tak dapat meluncur maju lagi.

Tak terduga begitu haluan perahu membentur pagar bambu itu, seketika pagarnya ambruk ke bawah air hingga perahu dapat meluncur terus.

Kiranya pagar bambu itu dipasang dengan pesawat rahasia yang bisa dibukatutupkan.

Setelah melintasi beberapa rintangan pagar bambu lagi, akhirnya tertampaklah di depan sana pohon Liu melambai-lambai di tepi pantai, dari jauh kelihatan pula di tepi pantai penuh tumbuh bunga kamelia yang kemerah-merahan bercerminkan air danau.

Melihat itu, tak tertahan lagi Toan Ki berseru heran dengan perlahan.

"Ada apa?” tanya A Cu.

"Itu adalah San-teh-hoa (bunga kamelia) di negeri Tayli kami, mengapa di tengah danau ini tumbuh juga jenis bunga ini?” sahut Toan Ki sambil menunjuk pohon kembang itu.

"Oya? Tapi mungkin San-teh-hoa di Tayli tidak dapat menandingi San-teh-hoa di tempat kami ini,” kata A Cu. "Tempat ini bernama Man-to-san-ceng, bunga mantolo di sini terhitung nomor satu di dunia, betapa pun bunga keluaran Tayli kalian juga takkan mampu menandinginya.”

Kiranya nama lain dari San-teh-hoa atau bunga kamelia adalah kembang mantolo, yaitu berasal dari kata Mandala dalam bahasa Sanskerta. Dan kembang mantolo yang paling terkenal adalah keluaran provinsi Hunlam, orang menyebutnya sebagai "Tin-teh” atau bunga kamelia dari Hunlam.

Oleh karena itulah Toan Ki tidak dapat menerima pendapat A Cu tadi, bahwa kamelia Tayli tak dapat menandingi bunga yang tumbuh di Man-to-san-ceng atau perkampungan bunga mantolo ini. Pikirnya, "Pemandangan alam di daerah Kanglam memang harus diakui indah permai dan sukar ditandingi Tayli. Tapi bicara tentang bunga kamelia yang merupakan bunga pusaka negeri kami kuyakin tiada tempat lain yang dapat melebihinya.”

Sebenarnya ia bermaksud menyanggah ucapan A Cu tadi, tapi dilihatnya gadis itu sedang memicingkan mata dan memerotkan mulut pula sebagai tanda jangan banyak bicara, maka Toan Ki urung buka suara. Ia pikir Man-to-san-ceng itu sudah di depan mata, lebih baik jangan sembarangan bicara.

Dalam pada itu A Cu telah mendayung perahunya menuju ke semak bunga kamelia itu. Sampai di tepi pantai, Toan Ki melihat sepanjang mata memandang di situ hanya bunga kamelia belaka yang berwarna merah dan putih, sebuah rumah pun tidak tertampak.

Ia dibesarkan di negeri Tayli yang terkenal sebagai negeri kembang kamelia, maka ia tidak heran oleh bunga San-teh yang berserakan itu. Bahkan ia merasa bunga kamelia sebanyak itu tiada satu pun terdiri dari jenis yang berharga.

Setelah merapatkan perahunya ke gili-gili, segera A Cu berseru dengan suara nyaring dan penuh hormat, "Hamba A Cu dan A Pik dari keluarga Buyung dalam menghindari kejaran musuh secara tidak sengaja telah tersesat ke sini, sungguh dosa kami pantas dihukum mati, mohon kemurahan hati Ong-hujin sudilah mengingat ketidaksengajaan kami dan memberi ampun, untuk mana hamba berdua akan sangat berterima kasih.”

Akan tetapi biar A Cu sudah gembar-gembor sendiri, di balik semak-semak pohon sana tetap tiada suara sahutan orang.

Nona itu berseru lagi, "Dan orang yang datang bersama kami ini adalah Toan-kongcu yang tak kami kenal sebelumnya, ia adalah tamu asing dan juga tidak kenal-mengenal dengan Kongcu kami, tiada sangkut paut apaapa dengan kesasaran kami ini.”

Segera A Pik ikut berkata juga, "Kedatangan orang she Toan ini ke tempat kami sebenarnya tidak punya maksud baik melainkan hendak membikin onar pada Kongcu kami. Tak terduga secara kebetulan ia ikut kesasar kemari.”

Toan Ki menjadi heran, pikirnya, "Kenapa mereka menegaskan aku adalah musuh Buyung-kongcu, apa barangkali tuan rumah di sini sangat benci kepada Buyung-kongcu, asal aku mengaku sebagai musuh orang she Buyung itu lantas aku takkan dipersulit di sini?”

Tidak beberapa lama, tiba-tiba di tengah hutan kembang kamelia itu terdengar suara tindakan orang, kemudian muncul seorang pelayan kecil berbaju hijau, tangan membawa segebung karangan bunga, usianya lebih tua satu-dua tahun daripada A Cu dan A Pik. Sampai di tepi pantai, dengan tertawa dayang itu berkata dengan tersenyum, "A Cu, A Pik, kalian benar-benar bernyali besar sekali dan berani ngelayap ke sini. Karena itu Hujin memerintahkan muka kalian masing-masing harus disilang dengan pisau agar wajah kalian yang cantik ayu terusak!”

Namun A Cu jadi lega malah demi tampak sikap dayang yang bicara itu. Sahutnya dengan tertawa, "Enci Yu Cau, Hujin tidak berada di rumah bukan?”

"Hm, Hujin justru mengatakan bahwa kalian berani membawa laki-laki asing ke sini, maka kedua kaki orang itu harus segera dipotong,” demikian sahut si dayang yang dipanggil dengan nama Yu Cau itu. Tapi belum selesai ia omong sudah lantas menutup mulut dengan tangan dan tertawa cekikikan.

"Enci Yu Cau,” A Pik ikut bicara sambil tepuk dada, "jangan engkau menakut-nakuti orang. Sebenarnya sungguh-sungguh atau tidak ucapanmu itu?”

"A Pik,” ujar A Cu dengan tertawa, "jangan gampang digertak olehnya. Kalau Hujin ada di rumah masakah budak ini berani main gila seperti ini? Adik Yu Cau, katakanlah, ke manakah Hujin pergi?”

"Huh, berapakah umurmu sekarang, berani kau panggil aku sebagai adik?” sahut Yu Cau dengan tertawa. "Kau memang siluman cilik cerdik, dengan tepat dapat kau terka Hujin tidak berada di rumah.”

Ia merandek sejenak, tiba-tiba ia menghela napas, lalu meneruskan, "A Cu dan A Pik, syukurlah kalian dapat berkunjung kemari pula, sungguh aku ingin menahan kalian agar dapat tinggal barang beberapa hari di sini, cuma ....”

"Ya, sudah tentu kami pun suka tinggal sementara denganmu di sini,” sahut A Pik. "Enci Yu Cau, sebaiknya engkau dapat datang ke tempat kami saja. Untuk mana kami siap tiga-hari-tiga malam tidak tidur selalu menemanimu.”

Tengah bicara, tiba-tiba dari semak-semak bunga sana terdengar suara keresekan, kemudian muncul pula seorang dayang cilik dengan tertawa, dayang ini pun berseru girang, "Hai, A Cu dan A Pik, nona kami mengundang kalian ke tempatnya sana.”

"He, kiranya adik Hong Le,” sahut A Cu dengan tertawa. "Terima kasih atas kebaikan nona kalian. Sampaikanlah bahwa Kongcu kami sedang bepergian, kedatangan kami ke sini sungguh-sungguh karena sesat jalan. Harap dimaafkan.”

"Bagus,” kata Hong Le setengah mengomel, "nona kami mengundang kalian, tapi kalian menolak. Baiklah, dan kalian juga jangan mengharapkan Pek-ih-sucia (penunjuk jalan berbaju putih, maksudnya burung putih tadi) akan membawa kalian keluar dari sini.”

A Cu saling pandang sekejap dengan A Pik, sikap mereka tampak serbasalah. Kemudian A Pik membuka suara, "Enci Hong Le, engkau sendiri tentu tahu, mana kami berani menolak undangan nonamu? Akan tetapi bila nanti kebetulan Hujin pulang, lantas ... bagaimana ....”

"Hujin sedang pergi ke tempat yang jauh, kemarin beliau berangkat, tidak mungkin pulang dengan cepat,” sahut Hong Le atau si burung kenari kuning. "Ayolah ikut ke sana, masakan kalian tidak tahu isi hati nona kami?”

"Baiklah, marilah A Pik, terpaksa kita menempuh bahaya lagi,” ujar A Cu.

Kedua gadis itu lantas melangkah ke gili-gili. Kata A Pik kepada Toan Ki, "Toan Ki, Toan-kongcu, harap menunggu sebentar di sini, kami pergi menemui tuan rumahnya, segera kami kembali.”

Toan Ki mengiakan dan menyaksikan kepergian keempat gadis cilik yang lincah dan riang gembira itu.

Sesudah sekian lama duduk di dalam perahu, Toan Ki menjadi iseng, pikirnya, "Biarlah aku mendarat untuk melihat bunga mantolo yang ditanam di sini, ingin kulihat apakah ada jenis-jenis yang bagus atau tidak?”

Terus saja ia melangkah ke pantai dan menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Ia lihat di antara tetumbuhan bunga selebat itu, kecuali bunga kamelia, sama sekali tiada jenis bunga lain lagi. Akan tetapi bunga kamelia itu juga terdiri dari jenis-jenis yang umum tiada sesuatu yang bernilai tinggi, satu-satunya keistimewaannya adalah dalam hal jumlah. Memang jumlahnya sangat banyak.

Tengah Toan Ki memandang kian kemari, tiba-tiba hidungnya mengendus bau harum pula. Harum bunga itu sebentar keras sebentar halus hingga sukar diraba dari mana datangnya, bau harum itu serupa bau harum aneh yang diciumnya selama di dalam perahu itu.

Diam-diam Toan Ki heran, pikirnya, "Di sini tidak tampak ada jenis bunga lain lagi kecuali kamelia, apakah mungkin di antara kamelia sebanyak ini terdapat sejenis yang dapat mengeluarkan bau harum yang aneh ini?”

Tertarik oleh rasa ingin tahu, terus saja Toan Ki mengusut lebih jauh mengikuti arah datangnya bau harum itu. Setelah berpuluh meter jauhnya, ia lihat jenis-jenis kamelia yang mekar bertambah banyak, terkadang juga ada satu-dua jenis yang bernilai lumayan.

Tidak lama pula, sedang Toan Ki asyik memerhatikan bunga kamelia yang luar biasa jumlahnya itu, mendadak bau harum yang aneh itu lenyap sama sekali.

Meski Toan Ki sudah menyusuri ke sana dan ke sini bau harum itu tetap tak terendus lagi. Ia pikir, "Sudahlah, aku harus lekas kembali ke sana, sebentar kalau A Cu dan A Pik kembali dan melihat aku tiada berada di sana, tentu mereka akan khawatir.”

Segera ia putar tubuh hendak kembali ke arah datangnya tadi. Akan tetapi celaka, ia mengeluh. Kiranya sudah sekian jauh ia menyusur kian kemari di antara hutan bunga itu, ia lupa memberi tanda pada jalan yang dilaluinya itu. Kini hendak balik ke tempat perahunya berlabuh terang menjadi sulit.

Ia coba membedakan arah menurut keyakinannya sendiri, pikirnya asal dapat mencapai tepi danau, urusan tentu akan menjadi mudah.

Tak tersangka makin jauh ia berjalan, makin tak keruan jurusan yang dipilihnya itu. Mendadak didengarnya ada suara orang bicara di sisi kiri hutan bunga sana, segera dapat dikenali itulah suara A Cu. Pikir Toan Ki dengan girang, "Biarlah kutunggu sebentar di sini, bila mereka selesai bicara, tentu dapat aku ikut kembali ke tempat tadi bersama mereka.”

Ia dengar A Cu sedang berkata, "Kesehatan Kongcu sangat baik, nafsu makannya juga bertambah. Selama dua bulan ini beliau tekun mempelajari ‘Pak-kau-pang-hoat’ (ilmu pentung penggebuk anjing) dari Kay-pang, mungkin sedang menyiapkan diri untuk mengukur kepandaian dengan tokoh Kay-pang.”

Toan Ki menjadi ragu mendengar percakapan itu, pikirnya, "A Cu sedang membicarakan urusan Kongcu mereka, tidaklah pantas kalau diam-diam aku mendengarkan di sini. Aku harus menyingkir yang jauh. Tapi juga tidak boleh terlalu jauh, sebab sebentar bila mereka selesai bicara dan berangkat, jangan-jangan aku malah tidak tahu.”

Dan pada saat itulah, tiba-tiba Toan Ki mendengar suara seorang perempuan menghela napas dengan perlahan. Begitu mendengar suara helaan napas itu, seketika tubuh Toan Ki terguncang, hati berdebar dan muka berubah merah. Pikirnya, "Suara orang menghela napas itu sungguh enak sekali didengar, mengapa di dunia ini terdapat suara semerdu itu?”

Sementara itu didengarnya suara yang halus dan merdu tadi sedang tanya pula, "Kepergiannya sekali ini menuju ke manakah?”

Ketika mendengar suara helaan napas tadi perasaan Toan Ki sudah terguncang, kini demi mendengar pula ucapannya, darah seluruh tubuh terasa bergolak, tapi hati timbul semacam rasa getir dan kecut, rasa kagum dan iri yang tak terkatakan. Pikirnya, "Yang ditanyakannya terang adalah Buyung-kongcu. Ternyata sedemikian besar perhatiannya kepada Buyung-kongcu hingga selalu dirindukan olehnya. Wahai, Buyung-kongcu, betapa bahagianya hidupmu ini!”

Terdengar A Cu sedang menyahut, "Waktu Kongcu hendak berangkat, beliau menyatakan hendak pergi ke Lokyang untuk menjumpai jago-jago Kay-pang. Malahan Lu-toako dan Pau-siansing juga ikut pergi, harap nona jangan khawatir.”

"Pada waktu Kongcu kalian berlatih Pak-kau-pang-hoat, apakah ada sesuatu kesukaran atau rintangan?” tanya suara wanita itu.

"Tidak,” sahut A Pik. "Kongcu dapat memainkan Pak-kau-pang-hoat dengan sangat lancar dan cepat sekali ....”

"Hai, salah besar!” tiba-tiba wanita itu berseru, "apa betul dia memainkannya dengan sangat cepat?”

"Ya, kenapa dikatakan salah malah?” tanya A Pik heran.

"Sudah tentu salah,” kata perempuan itu. "Pak-kau-pang-hoat itu mengutamakan keuletan, makin lambat makin baik, bila perlu dapat dipercepat dan segera diperlambat lagi. Tapi kalau terus-menerus dimainkan dengan cepat, tentu sukar mengerahkan kelihaian ilmu pentung itu. Ai, apakah ... apakah kalian dapat menyampaikan sedikit pesan kepada Kongcu?”

"Tapi sekarang Kongcu berada di mana, kami sama sekali tidak tahu, bukan mustahil saat ini beliau sudah selesai pula bertemu dengan tokoh-tokoh Kay-pang,” demikian sahut A Cu. "Nona, apakah terlalu cepat memainkan Pak-kau-pang-hoat benar-benar tidak boleh?”

"Sudah tentu tidak boleh, masakah perlu kujelaskan lagi!” sahut si nona. "Mengapa ... mengapa waktu akan berangkat dia tidak ... tidak datang menemui atau dulu?”

Sembari berkata ia pun mengentak kaki dengan rasa khawatir dan cemas.

Toan Ki menjadi heran, pikirnya, "Biasanya nama Koh-soh Buyung sangat dihormati dan disegani, tapi dari ucapan nona ini, agaknya ilmu silat Buyung-kongcu itu seakan-akan memerlukan petunjuknya. Apa mungkin seorang nona muda belia seperti ini mempunyai kepandaian setinggi langit?”

Ia dengar si nona sedang berjalan mondar-mandir, suatu tanda betapa gelisah perasaannya waktu itu. Tiba-tiba terdengar nona itu berkata lagi dengan perlahan, "Tempo hari kuminta dia mempelajari ilmu gerak langkah itu, tapi dia justru tidak mau belajar, coba kalau dia sudah paham ‘Leng-po-wi-poh’ itu ....”

Mendadak mendengar kalimat "Leng-po-wi-poh” atau langkah indah si dewi cantik, seketika Toan Ki kaget dan tanpa terasa berseru sekali, cepat ia dekap mulut sendiri, namun sudah terlambat.

"Siapa itu?” segera terdengar nona itu menegur.

Tahu tak bisa menyembunyikan diri, terpaksa Toan Ki berdehem lebih dulu, lalu menjawab, "Cayhe bernama Toan Ki, karena terpesona oleh keindahan bunga kamelia sekitar sini hingga tanpa sengaja kesasar kemari, mohon diberi maaf.”

"A Cu, apakah dia itu Siangkong yang datang bersama kalian itu?” tanya nona itu kepada A Cu dengan perlahan.

"Benar Kohnio (nona),” sahut A Cu cepat. "Orang ini adalah Sutaycu (pelajar tolol), jangan nona mengurusnya.

Biarlah sekarang juga kami mohon diri saja.”

"Nanti dulu,” kata si nona, "tunggu kutulis sepucuk surat untuk menerangkan tanda-tanda rahasia Pak-kaupang-hoat itu dan harap kalian segera berusaha untuk disampaikan kepada Kongcu kalian.”

"Hal ini ... Hujin pernah menyatakan ....” sahut A Cu dengan ragu.

"Menyatakan apa? Jadi kalian cuma menurut kata-kata Hujin dan tidak mau menurut perintahku?” ucap nona itu dengan nada marah.

Cepat A Cu menjawab, "Mana kami berani membangkang perintah nona. Asal saja tidak diketahui Hujin, sudah tentu kami akan menurut. Apalagi kalau ada faedahnya bagi Kongcu kami.”

"Baiklah, mari kalian ikut aku ke kamar,” kata nona itu.

Terpaksa A Cu mengiakan.

Dalam pada itu Toan Ki tambah kesengsem sejak mendengar suara helaan napas yang penuh daya tarik itu. Kini mendengar si nona akan pergi, ia pikir sekali si nona sudah pergi, mungkin selamanya takkan dapat melihatnya lagi, hal itu bukankah akan dibuat penyesalan selama hidup? Meski nanti akan dikatai orang karena kelakuannya yang sembrono, paling-paling juga cuma didamprat saja, betapa pun aku harus melihat muka aslinya.

Karena pikiran itu, segera Toan Ki berseru sambil melangkah keluar, "Enci A Pik, harap tinggal di sini untuk menemani aku, ya?”

Mendengar Toan Ki berjalan keluar, nona itu berseru kejut dan cepat membalik ke sana. Waktu Toan Ki menerobos keluar dari semak-semak, yang terlihat olehnya cuma seorang wanita berbaju putih mulus dan berdiri mungkur, perawakannya ramping, rambut panjang terurai sampai di punggung dan hanya diikat oleh seutas benang sutra warna perak. Cukup melihat bayangan belakang si gadis saja Toan Ki yakin gadis itu pasti sangat cantik laksana dewi kahyangan dan anggun. Segera ia memberi hormat dari jauh sambil berkata, "Terimalah hormatku nona!”

"A Cu,” tiba-tiba gadis itu mengentak kaki, "gara-garamu membawa semua orang ke sini. Aku tidak ingin bertemu dengan laki-laki luar yang tiada sesuatu hubungan.”

Habis berkata, terus saja ia berjalan cepat ke depan, hanya sekejap saja bayangan gadis itu sudah menghilang di balik semak-semak bunga sana.

Dengan tersenyum A Pik menoleh dan berkata kepada Toan Ki, "Toan-kongcu, tabiat nona ini sangat angkuh, kini kebetulan malah, marilah kita pergi dari sini.”

"Ya, berkat pertolongan Toan-kongcu yang melepaskan kami dari kesukaran,” A Cu ikut berkata dengan tertawa. "Kalau Toan-kongcu tidak muncul, tentu Ong-kohnio akan suruh kami antar surat segala dan jiwa kami ini menjadi berbahaya akibatnya.”

Semula sebenarnya Toan Ki merasa khawatir akan diomeli A Cu dan A Pik karena secara sembrono telah berani unjuk diri hingga membikin nona Ong kurang senang.

Tak tersangka kedua dayang cilik itu malah memberi pujian padanya, keruan Toan Ki menjadi bingung malah.

Segera mereka bertiga kembali ke perahu mereka. A Cu angkat pengayuh hendak mulai mendayung lagi. Tapi belum sampai perahu meluncur, tiba-tiba A Pik berkata, "Enci A Cu, tanpa diberi petunjuk jalan oleh Pek-ihsucia, betapa pun kita sukar keluar dari sini. Terpaksa kita harus menunggu dulu surat Ong-kohnio. Kita cuma terdesak oleh keadaan dan bukan sengaja datang ke sini, andaikan diketahui Ong-hujin juga tak dapat menyalahkan kita.”

"Ya, semuanya gara-gara si Hwesio busuk itu ....” demikian sahut A Cu dengan menyesal.

Belum selesai ucapannya, tiba-tiba dari jauh terdengar suara suitan nyaring panjang bagai naga meringkik.

Demi mendengar suara suitan aneh itu, seketika wajah A Cu dan A Pik berubah pucat. Begitu pula Toan Ki terkejut. Pikirnya, "He, suara suitan ini sudah kukenal dengan baik. Wah, celaka, itulah dia muridku Lam-haygok-sin yang datang. Tetapi, ah, salah, bukan dia, bukan dia!”

Sebagaimana diketahui, ketika mula-mula Toan Ki bertemu dengan Lam-hay-gok-sin ia pernah dengar suara ringkikan naga seperti tadi. Tapi kemudian waktu Lam-hay-gok-sin berada di depannya, kembali suara suitan nyaring itu terdengar pula, karena itu, Lam-hay-gok-sin lantas buru-buru menyusul ke arah datangnya suara itu. Maka dapat dipastikan suara suitan itu bukan suara Lam-hay-gok-sin, tapi suara seorang lain lagi.

Biasanya sifat A Cu sangat lincah dan periang, kini demi mendengar suara suitan itu, seketika badan gemetar ketakutan.

"Toan-kongcu,” kata A Pik dengan bisik-bisik, "Ong-hujin telah pulang, terpaksa kita terserah pada nasib masing-masing. Tapi sebaiknya engkau berlaku kasar kepada kami, lebih kasar dan lebih kurang sopan kepada kami akan lebih baik bagimu.”

Akan tetapi Toan Ki tidak mungkin disuruh berlaku kasar terhadap kedua dara cilik itu. Sejak dia meninggalkan rumah, sudah banyak pengalaman dan bahaya yang dihadapinya. Ia pikir bila aku ditakdirkan harus mati, biarlah kuterima nasib saja, masakah aku diharuskan berbuat tidak sopan kepada dua nona cilik?

Karena itu, segera ia menjawab, "Lebih baik mati secara sopan daripada hidup dengan kurang ajar. Enci A Cu, engkau menyebut aku sebagai Sutaycu, dan memang begitulah sifat ketolol-tololan seorang Sutaycu seperti diriku ini.”

A Cu hanya melototinya sambil menghela napas gegetun.

Pada saat itulah dari jauh tertampak sebuah perahu meluncur tiba secepat terbang, hanya sekejap saja sudah mendekat.

Tampak jelas perahu itu sangat besar dengan ujung berbentuk kepala naga dan mulutnya terpentang lebar dengan rupa sangat menakutkan.

Sesudah kapal itu lebih dekat lagi, mendadak Toan Ki menjerit kaget. Ia lihat di ujung tanduk kepala naga kapal itu tergantung tiga buah kepala manusia yang darahnya masih berketes-ketes, nyata kepala manusia itu baru saja dipenggal.

"Rupanya di tengah jalan Ong-hujin memergoki musuh dan lantas dibunuhnya, makanya pulang lebih cepat daripada rencananya. Ai, dasar nasib kita lagi jelek,” demikian ujar A Cu perlahan.

Sementara itu kapal berkepala naga itu sudah merapat dengan gili-gili. A Cu dan A Pik bangkit berdiri dengan kepala menunduk, sikapnya sangat menghormat.

Berulang-ulang A Pik memberi tanda kepada Toan Ki dengan maksud menyuruh pemuda itu pun ikut berdiri.

Namun Toan Ki menggeleng kepala, katanya dengan tertawa, "Biarlah tuan rumahnya muncul dulu, tentu aku akan bangkit menghormatinya. Seorang laki-laki masakah mesti merendahkan derajat sendiri?”

Tiba-tiba suara seorang wanita berkata dari dalam kapal itu, "Lelaki dari manakah berani sembarangan masuk ke Man-to-san-ceng ini? Apakah tidak pernah dengar bahwa setiap laki-laki yang berani masuk ke sini pasti akan ditebas kedua kakinya?”

Suara wanita itu sangat kereng, nyaring dan merdu, pula enak didengar.

Segera Toan Ki menjawab, "Cayhe bernama Toan Ki, Cayhe tersesat kemari tanpa sengaja, harap suka dimaafkan!”

Wanita itu cuma mendengus sekali dan tidak menggubrisnya.

Sesudah kapal itu berlabuh, dari dalam anjungan kapal muncul dua dayang muda berbaju hijau, yang seorang lantas melompat menyambar ketiga kepala manusia yang tergantung di tanduk naga itu, dengan enteng ia turun kembali ke geladak kapal sambil menjinjing ketiga buah kepala manusia itu. Gerakannya cepat dan gayanya indah.

Melihat kedua dayang itu menghunus pedang, diam-diam Toan Ki membatin, "Kaum hambanya saja begini lihai, apalagi majikannya? Biarlah, toh kepalaku cuma sebuah saja, kalau mau boleh mereka penggal sekalian.”

Dalam pada itu terdengar wanita di dalam kapal itu berkata pula, "Hm, A Cu dan A Pik ini memang kepala batu dan berani sembarangan datang kemari lagi, dasar majikanmu si bocah Buyung Hok itu juga tidak pernah berbuat baik, selalu main gila dan berbuat hal-hal yang jahat.”

"Lapor Hujin,” sahut A Pik tiba-tiba, "hamba tidak sengaja datang kemari, tapi kesasar waktu diuber musuh dan tanpa sengaja masuk ke sini lagi. Kongcu kami sedang bepergian, maka tiada sangkut-pautnya dengan beliau.”

Karena urusan sudah kadung begini, dara yang tampaknya lemah lembut itu menjadi berani mendebat dengan tegas.

Kemudian dari dalam kapal itu muncul berpasang-pasang gadis berbaju hijau yang lain, semuanya berdandan dayang dan menghunus pedang. Seluruhnya yang keluar itu ada delapan pasang, ditambah dengan kedua

dayang yang pertama tadi, jumlah seluruhnya menjadi 18 orang.

Mereka berbaris menjadi dua baris dengan sikap kereng, habis itu, barulah dari dalam kapal keluar seorang wanita berpakaian istana.

Begitu melihat wajah wanita itu, terus saja Toan Ki berseru kaget, seketika ia melongo dan merasa seperti di dalam mimpi.

Kiranya wanita itu berpakaian sutra putih mulus, dandanannya ternyata mirip benar dengan patung dewi yang telah dilihatnya dalam gua di Tayli itu. Bedanya cuma wanita ini sudah setengah umur, sebaliknya patung dewi itu adalah seorang gadis jelita berusia belasan tahun.

Dalam kejutnya Toan Ki coba mengamat-amati wanita cantik itu pula. Ia melihat wajahnya benar-benar seperti patung dewi di dalam gua itu, kecuali perbedaan dalam umur, wajahnya juga sudah mulai berkerut, tapi makin dipandang makin mirip seakan-akan saudara kembar dengan patung cantik di dalam gua itu.

A Cu dan A Pik menjadi khawatir melihat Toan Ki memandangi Ong-hujin itu dengan mata tanpa berkedip, kelakuannya itu benar-benar sangat kurang ajar, tiada ubahnya seperti seorang pemuda yang mata keranjang.

Berulang-ulang mereka memberi isyarat agar Toan Ki jangan menatap begitu rupa kepada Ong-hujin itu tapi sepasang mata Toan Ki itu seakan-akan sudah tak berkuasa dan terpaku pada wajah Ong-hujin.

Segera Ong-hujin itu menjadi gusar juga, katanya kepada kaum hambanya, "Orang ini sangat kurang ajar, sebentar sesudah potong kedua kakinya, harus korek pula kedua matanya dan iris lidahnya.”

Salah seorang dayangnya yang berbadan lencir dan berkulit badan hitam manis lantas mengiakan.

Diam-diam Toan Ki gelisah juga, pikirnya, "Kalau aku dibunuh, paling-paling juga mati akhirnya. Tapi kalau kedua kakiku dipotong lebih dulu, mataku dikorek, dan lidahku diiris hingga mati tidak hidup celaka, wah, rasa derita ini tentu sangat berat.”

Baru sekarang timbul rasa takutnya. Ia coba berpaling memandang A Cu dan A Pik, ia lihat wajah kedua dara itu pun pucat pasi seperti mayat dan berdiri terpaku bagai patung.

Setelah Ong-hujin mendarat, menyusul dari dalam kapalnya berjalan keluar pula dua dayang berbaju hijau yang lain, tangan mereka memegang seutas tali sutra dan menyeret keluar dua orang laki-laki.

Toan Ki melihat salah seorang laki-laki yang terikat tali dan diseret keluar itu bermuka putih bersih dan cakap seperti putra keluarga hartawan. Seorang lagi segera dapat dikenalinya sebagai Cin Goan-cun yang bergelar "Nau-kang-ong” atau si Raja Pengamuk Sungai itu.

Waktu mengeroyok Bok Wan-jing dahulu, lagak Cin Goan-cun luar biasa garangnya. Tapi kini kedua tangannya terikat oleh tali sutra, kepala menunduk dengan lesu seperti orang sudah pasrah nasib.

Toan Ki menjadi heran, orang ini selamanya tinggal di Hunlam, mengapa sekarang kena ditangkap ke sini oleh Ong-hujin.

Sementara itu terdengar Ong-hujin sedang bertanya kepada Cin Goan-cun, "Sudah terang kau orang Tayli, mengapa tidak mengaku?”

"Aku memang orang Hunlam, tapi kampung halamanku tidak berada di bawah kekuasaan negeri Tayli,” sahut Cin Goan-cun.

"Hm, berapa jauh jarak tempat tinggalmu dengan Tayli?” tanya Ong-hujin pula.

"Lebih dari empat ratus li jauhnya,” sahut Cin Goan-cun.

"Belum ada lima ratus li, engkau termasuk pula orang Tayli,” kata Ong-hujin. "Harus dipendam hidup-hidup di bawah bunga mantolo sebagai rabuk.”

"Aku salah apa?” teriak Cin Goan-cun penasaran. "Silakan memberi penjelasan, kalau tidak mati pun aku tidak rela.”

"Hm,” jengek Ong-hujin, "aku tidak peduli kau salah apa! Asal orang Tayli atau orang she Toan, sekali kebentur di tanganku, tentu ikan kupendam hidup-hidup. Meski kau bukan orang Tayli, tapi orang tetangga Tayli, bukankah sama juga?”

Sungguh gemas Toan Ki tak terkatakan, pikirnya, "Aha, kiranya akulah yang kau maksudkan, mengapa mesti main sandiwara segala? Biarlah aku mengaku lebih dulu dan tidak perlu kau tanya padaku.”

Karena itu, segera ia berteriak keras-keras, "Ini dia orangnya, aku inilah orang Tayli tulen dan she Toan pula. Kalau engkau mau kubur aku hidup-hidup, silakan kerjakan!”

"Dari tadi kau sudah mengaku, katanya Toan Ki namamu,” demikian jengek Ong-hujin. "Hm, orang she Toan dari Tayli tidak boleh mati secara begitu mudah.”

Habis berkata ia memberi tanda dan si dayang tadi lantas menyeret pergi Cin Goan-cun yang tak berdaya itu, entah karena Hiat-to tertutuk atau karena terluka dalam yang parah, yang terang sama sekali Cin Goan-cun tidak dapat membangkang sedikit pun. Ia cuma dapat berteriak-teriak saja, "Di dunia ini masakah ada peraturan begini? Orang Tayli ada berjuta-juta jumlahnya, apakah engkau dapat membunuhnya hingga habis?”

Akan tetapi ia lantas diseret ke tengah hutan bunga itu, makin lama makin jauh dan semakin perlahan suaranya hingga akhirnya tak terdengar lagi.

Kemudian Ong-hujin berpaling ke arah tawanannya yang lain yang bermuka putih bersih itu, lalu tanyanya, "Dan apa yang hendak kau katakan?”

Mendadak orang itu tekuk lutut di hadapan si nyonya dan berulang-ulang memberi sembah, katanya, "Ayahku adalah pembesar pemerintah pusat, beliau hanya mempunyai seorang putra seperti diriku ini, maka mohon Hujin memberi ampun. Untuk mana, apa saja permintaan Hujin pasti akan dipenuhi ayahku.”

"Hm, ayahmu adalah pembesar negeri, apa kau sangka aku tidak tahu?” jengek Ong-hujin dengan dingin. "Untuk mengampuni jiwamu tidaklah sukar, asal sesudah pulang segera istrimu di rumah itu kau bunuh dan esoknya lantas menikah dengan nona Biau yang berhubungan gelap denganmu di luar nikah itu, tapi harus dengan upacara resmi dan lengkap memakai emas kawin. Nah, dapat tidak kau laksanakan syarat ini?”

Pemuda bangsawan itu serbasusah, sahutnya dengan gemetar, "Su ... suruh aku membunuh istri-kawin sendiri, wah, aku ... aku tidak tega. Menikah secara resmi dengan nona Biau, orang tuaku tentu ... tentu melarang pula. Bukan aku ... aku ....”

"Seret pergi dan kubur dia hidup-hidup,” bentak Ong-hujin segera. Dayang yang menuntun tali pengikat pemuda itu mengiakan sekali, lalu menyeretnya pergi.

Dengan ketakutan cepat pemuda itu berseru dengan gemetar, "Ba ... baiklah, aku terima syaratmu!”

"Nah, Siau Jui, giring dia kembali ke kota Sohciu dan saksikan sendiri dia membunuh istrinya, kemudian dia harus menikah dengan nona Biau, habis itu barulah kau boleh pulang,” pesan Ong-hujin kepada dayang yang menuntun pemuda itu.

Siau Jui mengiakan lagi dan menarik pemuda bangsawan itu melangkah ke dalam perahu yang tadi ditumpangi Toan Ki itu.

"Harap Hujin menaruh belas kasihan,” demikian pemuda bangsawan itu memohon pula. "Istriku kan tiada sakit hati apa-apa denganmu dan engkau pun tidak kenal nona Biau, buat apa engkau mesti membantunya dan memaksa aku membunuh istriku sendiri dan menikah lagi padanya? Biasa ... biasanya aku pun tidak kenal engkau, apalagi juga tidak pernah berbuat salah apa-apa kepadamu.”

"Aku tidak peduli kenal atau tidak,” sahut Ong-hujin dengan gusar. "Jika kau sudah punya istri, mengapa mesti menggoda anak gadis orang lagi? Dan sekali kau berani main gila dengan gadis lain, kau harus kawin dengan dia, sekali hal ini kuketahui pasti akan kuselesaikan seperti ini, apa lagi perbuatanmu ini bukanlah yang pertama kalinya, apa yang perlu kau sesalkan? Siau Jui, coba katakan, perbuatan ke berapakah kejahatannya ini?”

"Hamba telah menyelidiki kota Busik, Kahia dan tempat lain, semuanya tujuh kali terjadi perbuatannya yang tidak senonoh, belum lagi Siau Lan dan Siau Si yang mengusut ke kota lain,” sahut dayang itu.

Mendengar memang begitu ketetapan hukuman yang biasa dijalankan Ong-hujin, pemuda itu cuma dapat mengeluh saja dan tidak berani membantah pula. Segera Siau Jui mendayung perahunya dan membawanya pergi.

Jilid 19
Toan Ki melongo kesima menyaksikan tindak-tanduk Ong-hujin yang aneh dan tidak masuk akal itu. Yang terpikir dalam benaknya waktu itu hanya "masakah ada peraturan begitu” atas keputusan si nyonya. Saking penasarannya tanpa terasa ia berseru, "Masakah ada peraturan begitu?!”

"Hm, mengapa tidak ada?” jengek Ong-hujin. "Di dunia ini terlalu banyak peraturan begini?”

Sungguh kecewa dan cemas Toan Ki oleh tindakan Ong-hujin itu. Tempo hari, waktu ia lihat patung dewi cantik dalam gua di tepi sungai wilayah Tayli itu, begitu kagum dan begitu kesengsemnya kepada patung cantik itu.

Dan kini, wajah wanita yang berada di hadapannya ini sungguh mirip benar dengan patung dewi itu, namun tindak tanduknya ternyata lebih mirip setan iblis yang tak kenal ampun.

Untuk sejenak Toan Ki hanya menunduk dengan termangu-mangu saja. Kemudian dilihatnya empat dayang Ong-hujin itu masuk lagi ke dalam kapalnya untuk membawa keluar empat pot besar bunga yang indah. Melihat itu, seketika semangat Toan Ki berbangkit.

Kiranya keempat pot bunga itu semuanya adalah bunga kamelia dan terdiri dari jenis-jenis yang terpilih.

Dalam hal kembang kamelia, di seluruh dunia ini tiada yang bisa melawan kamelia keluaran Tayli, lebih-lebih yang tertanam di Tin-lam-onghu. Karena itu sejak kecil Toan Ki sudah biasa dengan bunga kamelia di sekitarnya itu, pada waktu iseng ia pun sering mendengarkan percakapan belasan tukang kebun membicarakan jenis-jenis bunga kamelia, sebab itulah tanpa belajar ia pun sangat paham pengetahuan bunga itu.

Tadi ia sudah jauh menyusuri kebun Man-to-san-ceng itu dan melihat tiada satu jenis bunga Mantolo yang tumbuh di situ ada harganya untuk dinikmati. Maka kesannya kepada perkampungan yang ternama "Man-tosan-ceng” ini rada kecewa, sebab dianggapnya nama tidak sesuai dengan kenyataannya.

Terdengar Ong-hujin sedang pesan kepada dayang-dayang yang membawakan pot bunga tadi, "Siau Teh, keempat pot kamelia ‘Moa-gwe’ (bulan purnama) itu tidak mudah mendapatkannya, maka kalian harus merawatnya baik-baik.”

Dayang yang dipanggil Siau Teh itu mengiakan.

Toan Ki tertawa geli oleh ucapan Ong-hujin yang dianggapnya masih hijau itu.

Namun Ong-hujin tidak gubris padanya, kembali ia pesan si dayang, "Angin danau terlalu keras, bunga itu pun sudah tersimpan beberapa hari di dalam kapal dan tidak pernah terjemur sinar matahari, maka lekas kalian menaruhnya di tempat terbuka, dijemur sebentar dan tambahi sedikit rabuk.”

Kembali Siau Teh mengiakan.

Mendengar itu, Toan Ki bertambah geli hingga saking tak tahan ia terbahak-bahak, "Hahahaha!”

Karena heran oleh suara tertawa si pemuda yang agak aneh itu, dengan mendongkol Ong-hujin menegur, "Apa yang kau tertawakan?”

"Aku tertawa karena engkau tidak paham tentang bunga kamelia, tapi justru senang tanam bunga ini,” sahut Toan Ki. "Bunga sebagus itu jatuh dalam tanganmu, itu sama dengan membakar sangkar untuk memasak burung kenari, sungguh runyam.”

Ong-hujin menjadi gusar, dampratnya, "Hm, aku tidak paham kamelia, apakah kau yang pintar?”

Tapi segera terpikir olehnya bukankah baru saja pemuda ini mengaku she Toan dan berasal dari Tayli, jika begitu bukan mustahil pemuda ini memang paham bunga kamelia.

Walaupun begitu pikirnya, namun di mulut ia tidak mau kalah, "Tempat ini bernama Man-to-san-ceng (perkampungan bunga Mantolo atau kembang kamelia), di mana-mana tumbuh bunga Mantolo dengan subur dan indah permai, bukan?”

"Ya, barang kasar sudah tentu dapat ditanam secara kasar dan hidup kasar pula, " sahut Toan Ki dengan tersenyum. "Tetapi bila keempat pot kamelia putih ini dapat kau tanam hingga hidup subur, biarlah aku tidak she Toan lagi.”

"Wah, celaka!” demikian pikir A Cu dari A Pik, bahaya sudah di depan mata, pemuda ini malah berani mengolok-olok Ong-hujin tidak pandai tanam bunga, barangkali pemuda ini ingin mati lebih cepat?

Kiranya sifat Ong-hujin itu sangat suka kepada bunga kamelia, untuk mana ia tidak sayang membuang biaya besar untuk mengumpulkan jenis-jenis yang baik. Akan tetapi bila jenis pilihan itu sudah ditanam di Man-tosan-ceng, selalu bunga itu mati layu, paling lama juga cuma tahan setengah atau satu tahun saja. Karena itulah Ong-hujin sangat kesal oleh kegagalannya menanam bunga itu.

Kini demi mendengar ucapan Toan Ki, bukannya dia marah sebaliknya menjadi girang malah. Segera ia melangkah maju dan bertanya, "Menurut pendapatmu keempat pot kameliaku ini terdapat kesalahan apa? Cara bagaimana untuk bisa menanamnya dengan baik?”

"Jika maksudmu hendak minta petunjuk padaku, kan ada tata caranya orang minta petunjuk,” demikian sahut Toan Ki. "Tapi kalau engkau ingin pakai kekerasan untuk memaksa aku mengaku itulah jangan kau harap dan bila perlu boleh kau tebas dulu kedua kakiku.”

Ong-hujin menjadi gusar, serunya, "Untuk menebas kakimu apa susahnya? Siau Si, tebas kaki kirinya dahulu.”

Pelayan yang dipanggil Siau Si itu mengiakan dan segera melangkah maju dengan pedang terhunus.

"Jangan, Hujin!” cepat A Pik mencegah. "Sifat orang ini sangat kepala batu. Bila engkau melukainya, biarpun mati ia takkan bicara lagi.”

Memangnya maksud Ong-hujin juga cuma menggertak saja. Maka ia lantas memberi tanda agar Siau Si urungkan maksudnya.

"Haha, paling baik kalau kau potong kedua kakiku untuk ditanam di samping keempat pot bunga, tentu akan merupakan rabuk paling subur dan kelak kamelia putih itu pasti akan mekar dengan indah. Wah, tentu akan sangat cantik dan baguuus sekali!” demikian Toan Ki sengaja berolok-olok.

"Tidak perlu membual,” sahut Ong-hujin dengan mendongkol. "Di mana letak kebaikan dari kejelekan keempat jenis bunga kameliaku ini, coba katakan lebih dulu. Bila uraianmu beralasan dan dapat kuterima, mungkin akan kuterima dirimu dengan hormat.”

"Ong-hujin,” segera Toan Ki berkata, "engkau bilang keempat jenis kamelia ini bernama ‘Moa-gwe’, sebenarnya engkau salah besar. Satu di antaranya justru bernama ‘Ang-ceng-soh-kwe’ (berdandan sederhana dengan pupur merah) dan satu jenis lagi bernama ‘Coa-boa-bi-jin-bin’ (mencakar muka orang cantik).”

"Coa-boa-bi-jin-bin? Kenapa begitu aneh namanya? Jenis yang manakah?” tanya Ong-hujin dengan heran.

"Haha, jika ingin minta petunjuk padaku, engkau harus pakai aturan sebagaimana mestinya,” sahut Toan Ki dengan tertawa.

Ong-hujin menjadi kewalahan. Tapi demi mendengar di antara bunga yang dikumpulkannya itu satu di antaranya terdapat nama yang aneh menarik, ia menjadi sangat girang. Dengan tersenyum katanya pula, "Baiklah! Nah, Siau Si, perintahkan kepada koki, suruh menyiapkan perjamuan di ‘Hun-kin-lau’ untuk menghormati Toan-siansing ini.”

Siau Si mengiakan terus bertindak pergi.

Untuk sejenak A Cu dan A Pik hanya saling pandang dengan melongo. Sungguh mimpi pun tak terpikirkan bahwa Toan Ki bisa lolos dari kematian, bahkan Ong-hujin malah akan menjamunya sebagai tamu terhormat.

Dalam pada itu Ong-hujin telah memberi perintah pula kepada pelayan yang menjinjing ketiga buah kepala manusia itu agar ditanam di tepi kamelia merah di depan rumah "Ang-he-lau”. Segera pelayan itu mengiakan dan pergi.

Habis itu barulah Ong-hujin berkata kepada Toan Ki, "Marilah silakan ke kediamanku, Toan-kongcu!”

"Untuk itu tentu akan mengganggu ketenteraman Hujin, harap dimaafkan,” sahut Toan Ki.

"Atas kunjungan Toan-kongcu yang serbapandai, sungguh suatu kehormatan bagi Man-to-san-ceng kami,” kata Ong-hujin pula.

Begitulah di antara nyonya rumah dan tamunya saling mengucapkan kata-kata merendah sambil berjalan ke sana.

Suasananya sama sekali sudah berubah, kalau tadi A Cu dan A Pik kebat-kebit mengkhawatirkan keselamatan Toan Ki, adalah sekarang mereka menjadi lega dan ikut dari belakang. Tapi mereka kenal watak Ong-hujin yang susah diraba, sekarang sikapnya ramah tamah, sebentar lagi bisa berubah menjadi gusar dan kasar. Maka mereka tetap berkhawatir bagi Toan Ki entah bagaimana jadinya nanti.

Sesudah menyusuri tanaman bunga yang lebat, akhirnya Ong-hujin membawa Toan Ki sampai di depan sebuah gedung bertingkat yang kecil mungil. Pada papan di bawah emper rumah itu Toan Ki melihat tertulis tiga huruf "Hun-kin-lau”. Di sekitar rumah itu pun penuh tertanam bunga kamelia. Tapi bunga sebanyak itu kalau dibandingkan kamelia yang terpelihara di Tayli boleh dikatakan tidak berarti, paling-saling juga cuma kelas tiga atau empat saja. Dibandingkan gedung indah itu sungguh tidak serasi.

Sebaliknya Ong-hujin merasa sangat bangga, katanya, "Toan-kongcu, kamelia di negerimu Tayli sangat banyak, tapi kalau dibandingkan dengan tanamanku ini mungkin masih jauh ketinggalan.”

Toan Ki mengangguk, sahutnya, "Kamelia seperti ini memang tiada seorang pun yang mau tanam di Tayli kami.”

"O, ya?” Ong-hujin semakin bangga dan berseri-seri.

"Ya,” Toan Ki menegas. "Seorang petani yang paling bodoh sekalipun di Tayli kami juga tahu bila menanam bibit bunga yang jelek seperti ini akan merosotkan harga diri.”

"Apa katamu?” seru Ong-hujin cepat dengan muka berubah. "Jadi kau maksudkan Teh-hoa yang kutanam ini semuanya bernilai rendah? Ah, engkau ini ke ... keterlaluan.”

"Jika engkau tidak percaya, terserahlah!” sahut Toan Ki. Ia tuding setangkai Teh-hoa atau kamelia pancawarna di depan rumah itu dan berkata pula, "Ini, seperti jenis ini tentu kau pandang sangat berharga bukan? Ya, pagar kemala yang mengelilingi bunga itulah yang benar-benar barang berharga dan sangat indah.”

Ia hanya mengagumi kebagusan pagar kemala yang mengelilingi bunga dan tidak memuji bunganya, hal ini sama seperti memuji keindahan baju seorang wanita, tapi tidak memuji akan kecantikan orangnya.

Keruan Ong-hujin rada mendongkol, padahal kamelia pancawarna itu justru dipandangnya sebagai jenis yang jarang terdapat masakah sekarang dicela oleh pemuda itu.

Tapi Toan Ki lantas berkata pula, "Numpang tanya Hujin, bunga ini di daerah Kanglam sini disebut dengan nama apa?”

"Kami tidak tahu apa namanya yang asli, maka kami menyebutnya Ngo-sik-teh-hoa (kamelia pancawarna),”

sahut Ong-hujin.

"Tapi di Tayli kami terkenal dengan nama yang hebat, yaitu ‘Loh-te-siucay’ (sastrawan yang masuk kotak),” kata Toan Ki.

"Huh, begitu jelek namanya, tentu sengaja kau bikin-bikin sendiri,” ujar Ong-hujin. "Bunga itu indah dan megah, masa mirip seorang Loh-te-siucay?”

"Silakan Hujin coba hitung, warna bunga itu seluruhnya ada berapa?” tanya Toan Ki.

"Sudah lama kuhitung, paling sedikit juga ada belasan warna,” sahut Ong-hujin.

"Tepatnya ada 17 warna,” tukas Toan Ki. "Di Tayli kami ada sejenis yang disebut ‘Cap-pek-haksu’ (delapan belas sarjana). Itulah jenis yang tiada bandingannya di dunia ini. Satu pohon dapat mekar 18 tangkai bunga dan setiap tangkai warnanya berbeda, kalau merah ya merah mulus, bila ungu ya ungu seluruhnya, sama sekali tidak bercampur warna lain. Bahkan ke-18 tangkai bunga itu bentuknya berbeda-beda pula dan masing-masing mempunyai keindahan sendiri-sendiri, pada waktu mekar serentak mekar, kalau layu, seluruhnya layu. Apakah Hujin pernah melihat jenis bunga begitu.”

Dengan terkesima Ong-hujin mendengarkan cerita Toan Ki itu, sungguh ia sangat tertarik. Maka sahutnya dengan menggeleng kepala, "Apa betul di dunia ini ada Teh-hoa sebagus itu? Dengar saja baru sekarang, apalagi melihatnya!”

"Jenis lain yang kualitasnya di bawah Cap-pek-haksu itu juga masih ada seperti ‘Pat-sian-kue-hay’ (delapan dewa menyeberang laut), jenis ini adalah delapan tangkai bunga dengan warna yang berlainan tumbuh pada satu pohon. ‘Cit-sian-li’ (tujuh bidadari) jumlahnya tujuh tangkai, ‘Hong-tim-sam-hiap’ (tiga pendekar pengembara) ada tiga tangkai, dan ‘Ji Kiau’ (dua wanita ayu zaman Sam Kok) terdiri dari dua tangkai berwarna merah dan putih. Warna kamelia itu harus mulus dan murni, bila umpama di antara warna merah terdapat warna putih, maka itu adalah jenis yang berkualitas rendah.”

Ong-hujin mengangguk dengan kesengsem, sungguh selama hidupnya belum pernah didengarnya bahwa di antara bunga kamelia terdapat jenis sebanyak dan sebagus ini.

Maka Toan Ki meneruskan, "Umpama kita bicara tentang ‘Hong-tim-sam-hiap’, jenis ini lebih istimewa lagi, ada yang ciamik (tulen) dan ada yang kemik (gadungan). Kalau barang ciamik, di antara ketiga tangkai itu yang paling besar harus warna ungu, kemudian warna putih dan yang paling kecil warna merah. Bila umpama bunga merah lebih besar daripada bunga ungu dan bunga putih, maka itu adalah jenis yang rendah, nilainya

menjadi jauh berkurang.”

Ong-hujin benar-benar terpesona oleh cerita Toan Ki itu, katanya dengan gegetun, "Jenis yang rendahan saja aku tidak pernah melihat, apalagi jenis yang ciamik.”

Sampai di sini, Ong-hujin sudah percaya benar-benar dan kagum kepada kepandaian Toan Ki yang paham tentang Teh-hoa atau bunga kamelia itu. Terus saja ia mengajak pemuda itu ke atas loteng, dan tidak lama perjamuan pun dimulai dengan macam-macam masakan yang enak dan mahal. Sedang A Cu dan A Pik ada kawan pelayan yang mengawani makan-minum di ruangan lain.

Sekarang Ong-hujin sudah sangat menghormat kepada Toan Ki, ia duduk mengiringi makan-minum di depan pemuda itu. Sesudah tiga cawan arak dihabiskan, lalu Ong-hujin menanya pula, "Tadi aku telah mendengarkan uraian Kongcu yang panjang lebar tentang jenis-jenis Teh-hoa, aku menjadi seperti orang bodoh yang mendadak menjadi pintar. Tapi dari tukang bunga di kota Sohciu yang kubeli keempat pot kamelia itu, katanya bunga-bunga itu bernama ‘Moa-gwe’, sebaliknya Kongcu mengatakan satu di antaranya bernama ‘Ang-cengsoh-kwe’ dan yang lain bernama ‘Coa-boa-bi-jin-bin’, entah cara bagaimana membeda-bedakan jenis bunga itu, dapatlah Kongcu memberi penjelasan?”

"Mudah sekali membedakannya,” sahut Toan Ki. "Di atas daun bunga putih yang terdapat bintik-bintik merah, itulah yang bernama ‘Ang-ceng-soh-kwe’ dan daun bunga putih di atasnya terdapat garis-garis merah yang kecil, itu yang bernama ‘Coa-boa-bi-jin-bin’. Sebaliknya kalau garis-garis merahnya terlalu banyak dan kasar, namanya menjadi ‘Bi-jin-coa-boa-bin’ (muka si cantik babak-bonyok). Sebabnya, coba pikirkan, seorang wanita cantik seharusnya lemah lembut dan sopan santun, jika kebetulan mukanya tercakar luka sedikit, itulah tiada menjadi soal. Tetapi kalau mukanya selalu bonyok main cakar-cakaran dengan orang, terang wanita cantik itu suka berkelahi, lantas kecantikan apa yang dapat dikagumi?”

Sebenarnya Ong-hujin mendengarkan uraian itu dengan penuh perhatian, tapi mendadak ia lantas menarik muka dan membentak, "Kurang ajar! Kau berani menyindir aku?”

Toan Ki terkejut, sahutnya gugup, "Mana Cayhe berani, entah di manakah Cayhe menyinggung perasaan Hujin?”

"Sebenarnya kau disuruh siapa ke sini untuk sengaja omong yang tak keruan untuk menghina diriku?” damprat Ong-hujin. "Siapa bilang wanita akan tidak cantik bila belajar ilmu silat? Kalau lemah lembut apanya yang baik?”

Toan Ki tertegun sejenak, sahutnya kemudian, "Tapi apa yang kukatakan tadi cuma berdasarkan kejadian umum, di antara wanita yang mahir ilmu silat memang juga banyak yang cantik dan sopan santun.”

Tak terduga ucapan ini bagi pendengaran Ong-hujin tetap menyinggung perasaannya, tanyanya segera dengan gusar, "Jadi kau maksudkan aku tidak sopan-santun ya?”

"Sopan atau tidak Hujin sendiri tentu lebih tahu, mana kuberani sembarangan menarik kesimpulan,” sahut Toan Ki tegas, akhirnya ia menjadi marah juga hingga tidak sungkan-sungkan lagi. "Tapi seperti memaksa orang membunuh istri untuk menikah lagi, tindakan demikian betapa pun tidak mungkin dilakukan oleh orang yang beradab.”

Ong-hujin tidak berkata lagi, ia tepuk tangan perlahan, segera tiga pelayan berlari ke atas loteng dan berdiri di situ menunggu perintah.

"Gusur orang ini ke bawah, suruh dia pikul air dan menyiram bunga,” pesan Ong-hujin.

Ketiga pelayan itu serentak mengiakan.

"Toan Ki,” kata Ong-hujin pula. "Kau she Toan dan orang berasal dari Tayli pula, seharusnya sejak tadi mesti kubunuh. Tetapi bila kau benar-benar paham sifat kehidupan Teh-hoa, biarlah sementara ini jiwamu kuampuni dan hanya kuhukum kerja paksa menanam dan merawat Teh-hoa yang tumbuh di kebunku ini, lebih-lebih terhadap keempat kamelia putih yang baru kubeli ini, harus kau rawatnya dengan baik-baik. Ingin kukatakan padamu, bila satu di antara keempat pot kamelia putih itu mati, sebagai hukumannya sebelah tanganmu akan kutebas, kalau mati dua kamelia, dua tanganmu ditebas semua, empat mati seluruhnya, empat anggota badanmu juga putus semua.”

"Dan kalau keempat pohon bunga itu hidup semua?” tanya Toan Ki dengan tertawa.

"Kalau keempat pohon itu hidup semua, kau harus menanam dan merawat bunga yang lain, terutama jenis pilihan seperti Cap-pek-haksu, Pat-sian-kue-hay, Cit-nian-li, Ji Kau dan lain-lain, setiap jenisnya harus kau tanamkan beberapa pohon. Kalau tidak dapat kau laksanakan, kedua matamu akan kukorek.”

"Lebih baik sekarang juga kau bunuh aku saja,” sahut Toan Ki. "Aku tidak sudi terima hukuman sehari dipotong tangannya, lain hari ditebas kakinya, bahkan kedua mata akan dikorek pula!”

"Dasar kau sudah bosan hidup ya? Di hadapanku berani sembarang mengoceh?” damprat Ong-hujin. "Gusur pergi!”

Ketiga pelayan tadi mengiakan terus melangkah maju, yang dua memegangi lengan Toan Ki dan yang lain mendorongnya dari belakang serta diseret ke bawah loteng. Ketiga pelayan itu mahir ilmu silat, Toan Ki menjadi tak bisa berkutik, ia cuma dapat mengeluh saja di dalam hati.

Sesudah menyeret Toan Ki ke suatu tempat di dalam taman, segera salah seorang pelayan itu mengambilkan cangkul dan pelayan lain menyodorkan sebuah ember kepadanya sambil berkata, "Turutlah perintah Hujin dan tanamlah bunga dengan baik-baik, dengan demikian jiwamu mungkin masih ada harapan buat hidup terus. Engkau tergolong orang yang beruntung juga, padahal tiada seorang laki-laki yang dapat hidup keluar dari sini bila menginjak tanah Man-to-san-ceng ini.”

"Selain menanam dan merawat tanaman, jangan sekali-kali engkau berkeliaran di dalam taman ini,” kata pelayan yang lain. "Bila engkau berani sembarangan mendatangi tempat terlarang, itu berarti engkau mencari mampus sendiri dan tiada seorang pun yang dapat menolongmu.”

Begitulah pelayan-pelayan itu memberi pesan dengan wanti-wanti kepada Toan Ki, habis itu barulah mereka tinggal pergi. Untuk sejenak Toan Ki hanya berdiri menjublek di situ dengan serbarunyam.

Di negeri Tayli kedudukan Toan Ki hanya di bawah paman-baginda Po-ting-te dan ayahnya, Tin-lam-ong. Kelak kalau sang ayah menggantikan sang paman dan naik takhta, itu berarti dengan sendirinya ia menjadi putra mahkota. Siapa tahu sampai di daerah Kanglam ia mesti mengalami nasib begini jelek, mula-mula ia hendak dibunuh orang, anggota badannya akan dipotong dan matanya akan dikorek, bahkan sekarang dipaksa untuk menjadi tukang kebun.

Syukurlah watak pembawaan Toan Ki memang ramah tamah terhadap kaum bawakan, sering pula ia bergaul dengan tukang kebun dan ikut menanam bunga dan mencangkul segala. Kecuali itu sifatnya juga periang dan dapat berpikir panjang, tidak peduli mengalami kegagalan apa pun, paling-paling ia cuma lesu setengah hari saja untuk kemudian lantas gembira pula.

Kini ia pun coba menghibur diri sendiri, "Ketika di dalam gua tempo hari aku sudah menyembah beratus kali kepada patung dewi itu sebagai guru. Sekarang Ong-hujin ini wajahnya serupa dengan Enci Dewi itu, hanya usianya lebih lanjut sedikit, biarlah aku tetap menganggapnya sebagai Suhuku. Dan kalau Suhu ada perintah, sudah sepantasnya anak murid mesti melaksanakannya. Apalagi tanam bunga memang juga pekerjaan iseng kaum pelajar, jauh lebih baik daripada mesti main silat dan beradu senjata. Lebih-lebih kalau dibandingkan daripada ditawan Ciumoti dan akan dibakar hidup-hidup di depan kuburan Buyung-siansing, kan lebih enak menjadi tukang kebun bunga. Cuma sayang jenis bunga yang terdapat di sini jenisnya terlalu jelek hingga rasanya tidak sesuai kalau mesti dirawat oleh seorang putra pangeran kerajaan Tayli.”

Begitulah, dengan bernyanyi-nyanyi kecil sambil memanggul pacul dan menjinjing ember, kemudian Toan Ki berjalan ke depan sembari berpikir, "Ong-hujin suruh aku menanam keempat pot kamelia yang baru dibelinya

itu. Ehm, betapa pun keempat jenis ini terhitung lumayan juga, aku harus mencari suatu tempat yang baik untuk menanamnya agar bunga dan tempatnya cocok satu sama lain.”

Sambil berjalan ia terus mengawasi sekitarnya. Mendadak ia terbahak-bahak geli melihat pemandangan di situ, pikirnya, "Dalam hal menanam Teh-hoa sebenarnya Ong-hujin sama sekali tidak paham, tapi ia justru sangat suka menanam Teh-hoa di sini dan menyebut kediamannya ini sebagai Man-to-san-ceng apa segala. Nyata ia tidak tahu bahwa Teh-hoa suka tempat yang lembap dan takut cahaya matahari. Kalau ditanam di tempat terbuka, meski tidak mati oleh sinar matahari, tentu juga sulit mekar bunganya, ditambah lagi diberi rabuk sebanyak-banyaknya, biarpun bunga dari jenis paling bagus juga akan mati. Sayang, sungguh sayang!”

Segera ia pilih tempat yang rindang dan menuju ke sana. Sesudah melintasi sebuah gunung-gunungan kecil, ia dengar gemerciknya air sungai kecil. Di sisi kiri penuh pohon bambu yang rindang, sekitarnya sunyi senyap.

Tempat itu lembap dan tidak tercapai oleh sinar matahari, maka Ong-hujin menyangka tidak cocok untuk ditanami Teh-hoa. Namun kini Toan Ki menjadi girang, katanya sendiri, "Inilah dia tempat yang cocok sekali!”

Cepat ia berlari kembali ke tempat tadi dan mengusung keempat pot bunga menjadi dua kali ke bawah pohon bambu yang rindang itu. Ia hancurkan pot bunga itu, lalu pohon bunga bersama tanah yang masih melengket di akar pohon ditanamnya ke liang yang telah digalinya.

Meski Toan Ki tidak pernah bekerja menanam bunga, tapi pada waktu kecilnya sering menyaksikan pekerjaan tukang kebun, muka sekarang ia pun menirukan caranya hingga cukup memenuhi syarat sebagai tukang kebun. Tiada setengah jam lamanya, keempat pot kamelia putih itu sudah selesai ditanamnya.

Lalu ia berdiri menjauh dan menikmatinya dari kanan dan kiri, dari sudut sana dan sudut sini. Sesudah merasa puas barulah ia tepuk-tepuk tangan yang kotor dan pergi mencuci tangan ke tepi sungai.

Selesai cuci tangan, ia kembali ke depan bunga yang ditanamnya itu untuk menikmati pula hasil karyanya itu.

Tengah Toan Ki merasa senang menyaksikan buah tangannya yang berhasil itu. Tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, ada dua wanita sedang berjalan mendatangi. Terdengar satu di antaranya lagi berkata, "Di sini keadaan sangat sunyi, tak mungkin didatangi orang lain lagi ....”

Mendengar suara itu, seketika hati Toan Ki berdebar-debar. Kiranya itulah suara si nona berbaju putih yang cuma dilihat bayangan belakangnya siang tadi.

Segera Toan Ki menahan napas, sedikit pun tidak berani bersuara. Pikirnya, "Dia telah menyatakan tidak mau menemui laki-laki yang tiada sangkut paut dengan dia, dan aku Toan Ki dengan sendirinya adalah laki-laki yang tiada sangkut paut apa-apa dengan dia. Tapi aku ingin mendengar beberapa patah katanya, asal dapat kudengar suaranya yang merdu bagai musik malaikat dewata itu, rasaku sudah seperti mendapat rezeki besar. Maka jangan sekali-kali aku dilihat olehnya.”

Dalam pada itu terdengar nona itu sedang berkata pula, "Siau Si, kabar apa yang kau dengar tantang dia?”

Kecut rasa hati Toan Ki. Ia tahu si "dia” yang dimaksudkan nona itu tentulah Buyung-kongcu yang nama lengkapnya menurut Ong-hujin adalah Buyung Hok. Suara si gadis tadi penuh nada rindu dan penuh perhatian. Diam-diam Toan Ki berpikir, "Bila nona ini sedemikian menaruh perhatian dan rindu padaku, biarpun aku Toan Ki harus mati seketika juga rela rasanya.”

Pikiran Toan Ki itu memang sungguh-sungguh, sedikit pun tidak bergurau. Padahal selama ini wajah si nona baju putih itu belum dilihatnya, entah cantik entak jelek, namanya juga tidak diketahui, tentang tabiatnya bajik atau jahat, sifatnya halus atau kasar, sama sekali ia tidak tahu. Namun sejak mendengar beberapa patah tata ucapan si nona baju putih di tepi danau, aneh juga ia menjadi jatuh cinta padanya dan merasa mati pun rela untuknya.

Sebab apa bisa begitu dan mengapa timbul perasaan demikian, ia sendiri pun tidak dapat memberi penjelasan. Dan oleh karena itulah, ketika didengarnya sedemikian perhatian si nona kepada Buyung-kongcu, tak tertahan lagi timbul rasa cemburu dan penyesalannya.

Sementara itu terdengar Siau Si lagi tergegap-gegap seperti tidak berani menjawab terus terang. Maka si nona baju putih berkata pula, "Ayolah, katakanlah padaku! Pasti takkan kulupakan kebaikanmu.”

"Hamba takut ... takut didamprat Hujin,” sahut Siau Si akhirnya.

"Budak tolol,” omel si nona, "asalkan tidak kukatakan kepada Hujin bahwa kau yang memberitahukan padaku, kan beres? Bila kau tidak mau bicara, sebentar akan kutanya Siau Teh dan kelak kalau ditanya Hujin, tentu akan kubilang kaulah yang memberitahukan padaku.”

"Siocia, jangan bikin susah padaku,” seru Siau Si gugup.

"Habis bagaimana?” ujar si nona. "Siapa yang menjadi orang kepercayaanku, tentu akan kubela, dan siapa yang tidak menurut keinginanku apa salahnya kubikin susah dia?”

Siau Si berpikir sejenak, lalu berkata, "Baiklah, akan kuceritakan padamu, tapi jangan sekali-kali Siocia mengatakan aku yang membocorkan rahasia ini.”

"Sudahlah, Siau Si, jangan bertele-tele, lekas katakan, tanggung takkan terjadi apa-apa atas dirimu,” ujar si nona baju putih.

Siau Si menghela napas dulu, kemudian katanya, "Kabarnya Piausiauya pergi ke Siau-lim-si.”

"Siau-lim-si? Kenapa A Cu dan A Pik bilang dia pergi ke Lokyang tempat Kay-pang?” si nona menegas.

Diam-diam Toan Ki heran mengapa Buyung-kongcu disebut "Piausiauya” atau tuan muda misan. Pikirnya, "Jadi Buyung-kongcu itu Piauko (kakak misan) si nona. Dengan sendirinya mereka adalah kawan main sejak kecil, pantas maka ... maka ....”

Dalam pada itu terdengar Siau Si sedang berkata pula, "Kepergian Hujin kali ini, di tengah perjalanan telah bertemu dengan Hong-siya dari Yan-cu-oh yang katanya sedang menuju ke Siau-lim-si untuk memberi bantuan kepada Piausiauya.”

"Untuk apa mereka pergi ke Siau-lim-si?” tanya si nona.

"Menurut Hong-siya, katanya Piausiauya telah mengirim berita padanya bahwa kali ini banyak orang Kangouw dan jago dari berbagai golongan sedang menghadiri apa yang disebut Enghiong-tay-hwe di Siau-lim-si untuk merundingkan cara bagaimana melawan Buyung-si dari Koh-soh. Karena buru-buru, Piausiauya lantas berangkat lebih dulu seorang diri. Kabarnya Yan-cu-oh sudah kirim orang memberi bantuan.”

"Jika Hujin sudah mendapat kabar itu, mengapa ia malah pulang dan tidak pergi membantu kesukaran Piausiauya?” tanya si nona.

"Tentang ini hamba ... hamba tidak tahu,” sahut Siau Si. "Mungkin disebabkan Hujin tidak suka kepada Piausiauya.”

"Hm, suka atau tidak suka betapa pun adalah orang sendiri,” kata si nona dengan kurang senang. "Kalau Buyung-si dari Koh-soh terjungkal di luaran, apakah keluarga Ong kita tidak ikut malu?”

"Ya, Siocia,” sahut Siau Si.

"Ya apa?” bentak si gadis dengan gusar.

Siau Si kaget, sahutnya gelagapan, "Hamba ... maksudkan kita tentu akan ikut merasa malu.”

Lalu gadis itu berjalan mondar-mandir di bawah pohon bambu itu seperti sedang memikirkan sesuatu akal. Tiba-tiba ia lihat pohon kamelia putih yang ditanam Toan Ki dan pot bunga yang baru saja dipecahkan itu. Ia bersuara heran, segera ia tanya kepada Siau Si, "Siapakah yang tanam Teh-hoa di sini?”

Tanpa ayal lagi Toan Ki menyelinap keluar dari tempat sembunyinya, ia memberi hormat dan berkata, "Cayhe diperintahkan oleh Hujin agar menanam Teh-hoa di sini, bila hal ini mengganggu Siocia, harap dimaafkan.”

Meski ia membungkuk memberi hormat, tapi matanya tetap menatap ke depan, sebab khawatir si nona akan berkata "tidak sudi bertemu dengan laki-laki asing”, lalu putar tubuh dan tinggal pergi hingga kesempatan untuk melihat muka si jelita tersia-sia lagi.

Tak terduga, begitu sinar matanya bertemu dengan sinar mata si nona, seketika telinganya serasa mendengung dan mata seakan-akan gelap, kakinya menjadi lemas pula dan tanpa merasa bertekuk lutut di hadapan si jelita, bahkan kalau ia tidak bertahan sekuatnya, hampir saja ia menyembah, namun begitu toh tercetus juga kata-kata dari mulutnya, "O, Enci Dewi, betapa ... betapa aku merindukan dikau selama ini!”

Ternyata si nona baju putih yang berada di depan mata ini sungguh mirip benar dengan patung dewi yang telah dilihatnya dalam gua di daerah Tayli itu. Ong-hujin yang telah dilihatnya itu juga mirip patung cantik itu, cuma usianya yang berbeda. Tapi si jelita baju putih ini, selain dandanannya agak berbeda sedikit, namun baik raut muka, mata, hidung, bibir, telinga, kulit badan, perawakan, kaki dan tangan, semuanya mirip, semuanya persis hingga seperti patung dewi itu hidup kembali.

Sungguh Toan Ki merata dirinya seakan-akan dalam mimpi. Entah sudah beratus kali atau beribu kali ia merindukan patung dewi itu, kini dengan mata kepala sendiri yang dilihatnya bukan lagi patung melainkan duplikatnya dalam keadaan hidup, sungguh ia tidak tahu dirinya sebenarnya berada di mana, di alam baka atau di surga?

Ketika mendengar suara seruan Toan Ki tadi, ditambah lagi kelakuan aneh pemuda itu, si gadis berseru kaget juga dan mengira sedang berhadapan dengan seorang sinting, cepat ia melangkah mundur dan menegur, "Engkau ... engkau ....”

Namun Toan Ki lantas menyela sambil berbangkit, "Tempo hari Toan Ki sudah diberi kesempatan menyembah di hadapan patung Enci Dewi, hal itu kuanggap sebagai suatu karunia yang mahabahagia, tak terduga hari ini dengan mata kepala sendiri dapat kulihat wajah asli Enci Dewi, nyata di dunia ini memang benar-benar terdapat bidadari dan bukan omong kosong belaka!”

"Apa ... apa yang dia maksudkan, Siau Si? Sia ... siapa dia?” tanya si jelita kepada Siau Si.

"Dia adalah si pelajar tolol yang dibawa kemari oleh A Cu dan A Pik itu,” sahut Siau Si. "Katanya ia pandai menanam berbagai macam Teh-hoa. Hujin menjadi percaya kepada obrolannya dan suruh dia tanam bunga di sini.”

"Hai, si tolol, jadi percakapan kami tadi telah kau dengar semua, ya?” tanya si gadis kepada Toan Ki.

"Cayhe bernama Toan Ki, orang berasal dari negeri Tayli dan bukan si tolol,” sahut Toan Ki dengan tertawa. "Percakapan Enci Dewi dan Enci Siau Si tadi memang telah kudengar dengan tidak sengaja. Tapi Enci Dewi jangan khawatir, Cayhe pasti takkan membocorkannya barang sepatah pun dan tanggung Enci Siau Si takkan didamprat oleh Hujin.”

Tiba-tiba si gadis menarik muka, ia menyemprot, "Siapa sudi mengaku Enci segala denganmu? Kau tidak mau disebut sebagai pelajar tolol, bilakah pernah kau lihat diriku?”

"Habis, kalau tidak kupanggil engkau Enci Dewi, lalu memanggil apa?” sahut Toan Ki.

"Aku she Ong, cukup kau sebut Ong-kohnio saja,” ujar si gadis.

"Ong-kohnio! Ah, tidak bisa!” kata Toan Ki sambil menggeleng kepala ketolol-tololan. "Nona she Ong di dunia ini entah betapa banyak jumlahnya, barangkali ada berjuta-juta, sedangkan Enci Dewi secantik bidadari, mana boleh hanya kupanggil sebagai Ong-kohnio saja? Akan tetapi panggilan apakah yang paling tepat? Wah, sukar juga! Umpama kupanggil engkau Ong-siancu (si dewi she Ong), rasanya terlalu umum dan kurang agung. Misalnya kusebut engkau Man-to-kongcu (putri bunga kamelia), rasanya juga kurang cocok, banyak terdapat putri raja di dunia ini, tapi siapakah yang dapat menandingi engkau?”

Melihat pemuda itu berkomat-kamit tak keruan bicaranya, semakin dipandang semakin ketolol-tololan, yang diucapkan itu melulu pujian-pujian atas kecantikannya, betapa pun si jelita menjadi geli-geli girang. Katanya

kemudian dengan tersenyum, "Rupanya nasibmu masih baik juga, maka ibuku tidak potong kedua kakimu.”

"Wajah ibumu serupa cantiknya dengan Enci Dewi, hanya tabiatnya yang luar biasa aneh, sedikit-sedikit suka membunuh orang, rasanya menjadi kurang sesuai dengan bangunnya yang mirip dewi kahyangan ....”

Mendadak si gadis berkerut kening, katanya dengan kurang senang, "Lekas pergi menanam bunga saja dari jangan mengoceh tak keruan di sini, kami masih akan bicara urusan penting lagi.”

Nyata nadanya menganggap Toan Ki seperti tukang kebun benar-benar.

Namun Toan Ki tidak ambil pusing, yang dia harap hanya dapatlah bicara lebih lama sedikit dengan si jelita dan memandangnya sekejap lagi. Pikirnya, "Untuk bisa memancing dia bicara denganku secara suka rela terpaksa harus kuajak bicara padanya mengenai diri Buyung-kongcu, kecuali itu, segala apa tentu takkan menarik perhatiannya lagi.”

Maka segera Toan Ki berkata, "Para kesatria dari segala pelosok saat ini sedang berkumpul di Siau-lim-si untuk berunding cara bagaimana menghadapi Buyung-si dari Koh-soh, tokoh-tokoh dan jago-jago berbagai golongan dan aliran yang hadir di sana sungguh tidak sedikit jumlahnya, sebaliknya Buyung-kongcu hanya seorang diri, kalau secara gegabah ia menempuh bahaya ke sana, rasanya tidaklah menguntungkan dia.”

Benar juga badan si gadis tergetar karena ucapan Toan Ki itu. Tapi Toan Ki pura-pura tidak tahu dan tidak berani memandang wajah si gadis. Hanya dalam hati diam-diam ia mengomel, "Perhatiannya kepada bocah Buyung Hok itu benar-benar lain daripada yang lain. Kalau aku memandang wajahnya, mungkin aku sendiri akan menangis saking irinya.”

Ia lihat baju sutra si gadis yang panjang itu tiada hentinya bergemetar, suatu tanda betapa hebat guncangan perasaannya. Lalu terdengar suara si gadis yang merdu melebihi seruling itu lagi bertanya, "Tentang keadaan di Siau-lim-si itu apakah engkau tahu? Le ... lekas katakan padaku.”

Mendengar permohonan si gadis yang lemah lembut itu, karena tidak tega hampir-hampir Toan Ki menceritakan apa yang diketahuinya. Tapi segera terpikir olehnya, "Ah, jangan kuceritakan sekarang. Kalau selesai kukatakan, sebentar aku tentu akan didesak pergi menanam bunga pula, dan untuk mengajaknya bicara lagi kelak pasti tidak mudah, maka sekarang aku harus putar lidah sebisanya, cerita pendek kubikin panjang, urusan kecil sengaja kubesarkan, setiap hari aku hanya bicara sedikit, sedapat mungkin akan kutarik sepanjangpanjangnya, agar setiap hari ia mesti mencari dan mengajak bicara padaku, kalau mencariku dan tidak bertemu, biar dia kelabakan serupa orang gatal tapi tak bisa menggaruk.”

Setelah ambil keputusan demikian, ia berdehem perlahan lalu berkata, "Sebenarnya aku sendiri tidak paham ilmu silat, sejurus pun tidak bisa, biarpun jurus-jurus sederhana seperti ‘Kim-khe-tok-lip’ (ayam emas berdiri dengan kaki tunggal) atau Hek-hou-thau-sim (harimau kumbang mencuri hati) segala, sama sekali aku tidak paham. Tapi di rumahku ada seorang sobat baikku bernama Cu Tan-sin berjuluk ‘Pit-hi-sing’ (si Sastrawan Ahli Tulis). Jangan kau kira dia cuma seorang pelajar yang ketolol-tololan dan lemah seperti aku, tapi ilmu silatnya, wah, lihai sekali! Satu kali aku pernah menyaksikan dia melipat kipasnya dan tepat menutuk sekali pada bahu seorang lawannya, kontan lawannya roboh meringkuk bagai cacing dan tidak berkutik pula.”

"O, itu adalah ilmu Tiam-hiat ‘Cing-liang-sian-hoat’ jurus ke-38 yang disebut ‘Tau-kut-sian’ (tutukan kipas penembus tulang), tangkai kipas dipegang terbalik dan menutuk dengan miring,” demikian kata si gadis. "Rupanya Cu-siansing itu adalah orang Kun-lun-pay, mungkin anak murid Sam-in-koan. Ilmu silat golongan ini mengutamakan memakai senjata pit (pensil) dan lebih lihai daripada memakai senjata kipas.”

Bila uraian si gadis ini didengar oleh Cu Tan-sin sendiri atau didengar oleh Po-ting-te atau Toan Cing-sun, tentu mereka akan terkejut mengapa gadis yang masih muda belia ini begini luas pengetahuannya akan berbagai ilmu silat cabang lain. Bahkan hanya mendengar cerita Toan Ki sekadarnya saja ia dapat mengatakan dengan tepat tentang asal usul aliran ilmu silat Cu Tan-sin. Bila Toan Ki paham ilmu silat dan menyiarkan kepandaian si gadis itu, maka pastilah orang Kangouw akan gempar oleh peristiwa luar biasa ini.

Namun kini cara uraian si nona jelita itu hanya sepintas lalu saja seakan-akan membicarakan sesuatu yang umum. Sebaliknya Toan Ki juga mendengarkan uraian si gadis dengan tawar saja.

"Kemudian bagaimana?” demikian tanya si gadis pula.

"Kemudian? Wah, ceritanya terlalu panjang, marilah silakan Siocia duduk di sana, nanti akan kuceritakan lebih jelas,” demikian Toan Ki sengaja mengulur waktu dan menunjuk satu bangku batu di bawah pohon bambu sana.

Namun gadis itu menjadi kurang senang, sahutnya, "Kenapa kau suka bertele-tele dan tidak ceritakan saja cepat-cepat? Aku tiada waktu untuk mendengarkan ocehanmu.”

"Jika hari ini Siocia tiada waktu, besok datang lagi juga boleh, dan kalau besok tiada tempo luang masih dapat mencari aku lagi, asal saja Hujin tidak memotong lidahku, tentu aku dapat bercerita, apa yang Siocia ingin dengar tentu akan kuceritakan sejelas-jelasnya.”

Si gadis mengentak kaki sekali dan tidak gubris lagi pada Toan Ki, ia terus berpaling dan tanya Siau Si, "Lalu Hujin berkata apa lagi?”

"Semula Hujin akan pergi mencari Kongya-hujin untuk diajak main catur,” tutur Siau Si. "Tapi demi mendengar Buyung-kongcu pergi ke Siau-lim-si, di tengah jalan beliau lantas suruh putar haluan kapal untuk pulang.”

"Sebab apa?” tanya si gadis, tapi sebelum Siau Si menjawab ia sudah bergumam sendiri, "Ya, tahulah aku, tentu ibu khawatir dimintai bantuan oleh Kongya-hujin, maka ia pikir lebih baik pura-pura tidak tahu saja.”

"Siocia,” kata Siau Si, "mungkin Hujin mencari aku, hamba ingin mohon diri saja.”

Si gadis mengangguk, dan sesudah Siau Si pergi, perlahan ia mendekati bangku batu yang ditunjuk Toan Ki tadi dan duduk, namun Toan Ki tak disuruhnya duduk, dengan sendirinya pemuda itu pun tak berani sembarangan duduk di samping si jelita.

Melihat si nona duduk menyanding bunga kamelia putih yang jaraknya tidak jauh, bunganya indah dan gadisnya cantik, sungguh perpaduan yang sangat serasi. Tanpa terasa Toan Ki berkata dengan gegetun, "Dahulu Li Tay-pek suku membandingkan kecantikan Nyo Kui-hui dengan bunga botan (peony), tapi bila dia beruntung dapat melihat Siocia sekarang, tentu dia akan tahu betapa indahnya bunga, namun benda mati mana dapat menandingi si cantik yang hidup.”

"Terus-menerus kau memuji kecantikanku, padahal aku sendiri tidak tahu apakah diriku betul-betul cantik atau tidak?” kata si nona.

Toan Ki menjadi heran, katanya, "Sungguh aneh, nona tidak tahu akan kecantikan sendiri? Apa barangkali engkau sudah terlalu banyak mendengar pujian serupa, maka sudah bosan rasanya?”

Si gadis menggeleng kepala perlahan, sinar matanya mengunjuk rasa penuh kekosongan hati, sahutnya, "Selama ini tiada seorang pun yang berkata padaku apakah aku ini cantik atau tidak. Di tengah Man-to-sanceng sini, kecuali ibuku, selebihnya adalah pelayan dan kaum hamba lainnya. Mereka cuma tahu aku adalah Siocia, siapa peduli apakah aku cantik atau tidak?”

"Lalu bagaimana dengan pendapat orang luar?” tanya Toan Ki.

"Orang luar apa maksudmu?” si gadis menegas.

"Umpamanya engkau keluar dan orang lain tentu akan melihat kecantikanmu sebagai bidadari, masakah

mereka pun tidak berkata apa-apa?”

"Selamanya aku tidak pernah keluar, untuk apa aku keluar? Bahkan ibu juga melarang aku ke Lang-goan-kok, bila menumpang kapal, daun jendela kapal pun ditutup rapat.”

"Lang-goan-kok? Jadi benar ada suatu tempat yang bernama demikian? Apa sangat banyak kitab yang tersimpan di sana?”

"Tidak terlalu banyak, cuma kira-kira tiga-empat kamar banyaknya.”

"Apakah dia juga ... juga tidak pernah mengatakan kecantikanmu?” tanya Toan Ki tiba-tiba.

Mendengar Toan Ki menyinggung Buyung-kongcu, gadis itu menunduk dengan sedih, tiba-tiba dua titik air mata menggelinding jatuh dari kelopak mata si nona.

Toan Ki tercengang sejenak, ia tidak berani tanya lagi, tapi juga tidak tahu cara bagaimana harus menghiburnya.

Selang agak lama barulah si gadis buka suara perlahan, "Dia justru selalu ... selalu sibuk, setiap hari, setiap tahun selalu sibuk saja tiada waktu senggang sejenak pun. Bila dia berada bersama denganku, kalau bukan bicara tentang ilmu silat tentu berunding urusan rumah tangga. Aku ... aku justru benci pada ilmu silat.”

"Cocok!” seru Toan Ki mendadak. "Aku juga benci pada ilmu silat! Ayah dan pamanku selalu menyuruhku belajar silat, tetapi aku tidak mau aku lebih suka minggat dari rumah.”

"Tapi agar aku bisa sering berjumpa dengan dia, biarpun dalam hati tidak suka, aku tetap tekun mempelajarinya, bila di antaranya dia kurang paham aku pasti memberi petunjuk padanya. Dia suka pada cerita kuno tantang bunuh-membunuh di antara raja satu dan raja yang lain, terpaksa aku pun mesti membaca untuk menceritakan kembali padanya.”

"Aneh, mengapa engkau yang menceritakan padanya? Apa dia sendiri tidak dapat membaca?” tanya Toan Ki.

Gadis itu melototi Toan Ki sekejap, katanya, "Memangnya kau sangka dia buta huruf?”

"O, tidak, tidak!” sahut Toan Ki cepat. "Biarlah kukatakan saja dia orang paling baik di dunia ini, nah, puas?”

Si gadis tersenyum, katanya pula, "Ia adalah aku punya Piauko (kakak misan), di tempat kami ini, kecuali Kuku dan Kubo (paman dan bibi, saudara ibu) serta Piauko, selamanya tiada orang lain yang datang kemari. Tapi sejak ibuku berselisih paham dengan Kuku, ibu pun melarang Piauko datang ke sini. Maka aku pun tidak tahu apakah dia terhitung orang yang paling baik di dunia ini atau bukan. Maklum, orang jahat atau orang baik di dunia ini tiada seorang pun yang pernah kulihat.”

Berkata sampai di sini, si gadis menjadi sedih, dan mata merah basah.

"Ehm, jadi ibumu adalah adik Kukumu dan ia ... ia adalah putra Kukumu,” demikian Toan Ki mengulangi.

"Huh, kau benar-tenar ketolol-tololan,” omel si nona dengan tertawa. "Memangnya Kuku adalah kakak ibuku dan dia putra Kuku, dengan sendirinya dia adalah Piaukoku.”

Toan Ki merasa senang melihat si gadis dapat dipancing tertawa, katanya, "Ah, tahulah aku sekarang. Tentu karena Piaukomu sangat sibuk, tiada waktu buat membaca, maka engkau yang mewakilinya membaca.”

"Boleh juga dikatakan begitu,” sahut si gadis dengan tertawa. "Tetapi masih ada satu sebab lain. Ingin katanya padamu, jago aliran manakah yang mengadakan Enghiong-tay-hwe apa segala di Siau-lim-si?”

Toan Ki tidak menjawab, sebab dia sedang kesengsem pada bulu mata si gadis yang panjang hitam dengan setitik air mata laksana embun di pagi hari itu.

Melihat pemuda itu tidak menyahut, si gadis menjawil perlahan punggung tangan Toan Ki dan menegur, "Hai, kenapa engkau?”

Tubuh Toan Ki seakan-akan terkena aliran listrik, ia melonjak kaget dan berseru, "Oo ....”

Karena tidak terduga-duga, si gadis ikut kaget juga oleh kelakuan Toan Ki yang lucu itu. "Ada apa?” tanyanya segera.

Dengan muka merah Toan Ki menjawab, "Jarimu menyentuh tanganku, Hiat-toku jadi seperti tertutuk olehmu.”

Mata si gadis terbelalak lebar, ia tidak tahu pemuda itu sedang bergurau, maka katanya dengan sungguhsungguh, "Di punggung tangan tiada terdapat Hiat-to, yang ada cuma di telapak tangan, di sini ....”

Sambil berkata ia angkat tangan sendiri untuk memberi contoh.

Melihat jari-jemari tangan si gadis yang putih halus dan lentik itu, seketika Toan Ki terlongong-longong. Akhirnya dengan tergegap-gegap ia tanya, "No ... nona, siapa ... siapakah namamu?”

"Kelakuanmu benar-benar aneh,” omel si gadis dengan tersenyum. "Tapi baiklah, tiada alangannya kukatakan padamu.”

Lalu ia menggores-gores dengan jari di atas punggung tangan sendiri untuk menulis tiga huruf "Ong Giokyan.”

Toan Ki rada tercengang oleh nama orang, pikirnya, "Gadis secantik ini mengapa pakai nama yang begini umum? Pantasnya ia pakai nama yang romantis dan puitis.”

Tapi sesudah dipikir pula. Toan Ki ketok-ketok jidat sendiri dan berseru, "Ya, bagus, bagus sekali namamu ini! Memangnya engkau mirip burung Yan (layang-layang) yang suci murni dan terbang bebas di angkasa!”

"Nama setiap orang memang suka cari yang enak didengar dan bermakna baik pula, banyak juga penjahat dan pengkhianat yang bernama bagus, sebaliknya perbuatannya tidak dapat dipuji. Engkau sendiri bernama Toan Ki, apa engkau punya Bengki (nama baik) benar baik? Haha, mungkin sedikit ....”

"Sedikit dogol bukan?” sambung Toan Ki. Maka tertawalah keduanya dengan terbahak-bahak.

Sebenarnya wajah Ong Giok-yan senantiasa kelihatan murung, tapi kini ia benar-benar merasa senang dengan muka berseri-seri.

Diam-diam Toan Ki gegetun, "Coba bila selama hidupku dapat membuatmu selalu tertawa, rasanya hidupku ini takkan sia-sia lagi.”

Tak terduga kegembiraan Ong Giok-yan itu hanya terjadi dalam waktu singkat saja, kembali sorot matanya tampak sayu menanggung sesuatu pikiran. Katanya dengan perlahan, "Dia ... dia selalu bersikap sungguhsungguh dan tidak pernah mengobrol iseng padaku. Ai, Yan-kok, selalu Yan-kok, apa benar begitu pentingnya bagimu?”

Sebagai seorang yang banyak membaca kitab-kitab kuno, demi mendengar kata-kata "Yan-kok” itu, seketika beberapa istilah yang didengarnya akhir-akhir ini sekaligus teringat kembali oleh Toan Ki dan dirangkainya menjadi satu Buyung-si Yan-cu-oh, Som-hap-ceng, Yan-kok ....

Tanpa terasa lantas tercetus kata-kata dari mulutnya, "He, jadi Buyung-kongcu ini keturunan Buyung-si dari suku Sianbi pada zaman Ngo-oh-loan-hoa ? Jadi dia orang asing dan bukan bangsa Tionghoa?”

"Ya, dia memang anak cucu keturunan Buyung-si dari Yan-kok (negeri Yan) pada zaman Ngo-oh. Tapi sudah beratus tahun lamanya, mengapa dia masih belum melupakan peristiwa leluhurnya? Dia tidak suka menjadi orang Tionghoa dan lebih suka menjadi orang Oh (asing), bahkan tulisan Tionghoa tak mau dipelajarinya dan kitab Tionghoa tak mau dibacanya. Pernah satu kali aku minta dia menulis bahasa Tionghoa dan dia lantas marah-marah.”

Berbicara tentang Buyung-kongcu, rupanya Ong Giok-yan menjadi begitu kesengsem, ia memandang jauh ke sana, lalu tuturnya pula dengan penuh pada rindu, "Ia lebih tua sepuluh tahun daripadaku, selamanya ia pandang aku sebagai adiknya yang masih kecil, ia sangka aku cuma tahu membaca dan belajar silat, hal-hal lain tidak paham. Padahal kalau bukan untuk dia, aku benar-benar tidak sudi belajar hal begituan, aku lebih suka piara ayam, tulis-menulis atau petik Khim.”

"Masakah ia sama ... sama sekali tidak tahu engkau sangat baik padanya?” tanya Toan Ki dengan suara tak lampias.

"Sudah tentu ia tahu, makanya ia sangat baik padaku,” sahut Giok-yan. "Tapi kebaikannya padaku hanya ... hanya kebaikan seperti saudara sekandung dan tidak lebih dari itu. Selamanya ia tidak pernah katakan padaku bagaimana perasaannya dan selamanya tidak pernah pula menanyakan bagaimana isi hatiku.”

Berkata sampai di sini, pipi si nona menjadi bersemu merah hingga makin menambah kecantikannya yang menggiurkan.

Sebenarnya Toan Ki ingin berkelakar dan tanya apa isi hati si gadis, tapi khawatir disemprot, maka urung, hanya katanya dengan tersenyum, "Engkau kan dapat menolak bicara tentang ilmu silat dan membaca baginya.

Pula engkau kan dapat mengutarakan perasaanmu dengan berpantun dan bersyair?”

Ia maksudkan si gadis mestinya dapat memancing perasaan cinta Buyung-kongcu dengan pantun dan syair percintaan. Tapi setelah diucapkan, ia menjadi menyesal telah telanjur omong. Pikirnya, "Wah, kenapa aku begini goblok dan mengajar demikian padanya?”

Sebaliknya Giok-yan menjadi malu mendengar ajaran Toan Ki itu, cepat sahutnya, "Mana ... mana boleh begitu? Aku adalah anak gadis yang pegang aturan, bagaimana bila aku dipandang hina oleh Piauko karena kelakuanku itu?”

"Ya, ya, benar! Aku yang salah omong!” seru Toan Ki. Diam-diam ia memaki diri sendiri mengapa mengajarkan seorang gadis suci murni untuk berbuat menyeleweng?

Selamanya Giok-yan tidak pernah mengutarakan isi hatinya kepada siapa pun. Tapi aneh, setelah bertemu dengan Toan Ki yang bersifat bebas lepas, entah mengapa ia menjadi menaruh kepercayaan penuh dan menceritakan segala isi hatinya yang penuh manisnya madu itu.

Bahwa diam-diam ia cinta dan merindukan sang Piauko, sudah tentu A Cu, A Pik, Siau Si, Siau Teh dan dayang-dayang lain sama tahu, cuma saja mereka tidak berani membicarakannya.

Setelah Giok-yan mengutarakan isi hatinya, rasa masygulnya menjadi agak hilang, katanya kemudian, "Sudah sekian banyak aku mengobrol padamu, tapi belum lagi kita bicara tentang persoalan pokok, katakanlah, jago dari mana saja yang berkumpul di Siau-lim-si dan mengapa mereka hendak melabrak Piauko?”

"Ketua Siau-lim-si bergelar Hian-cu Taysu, beliau mempunyai seorang Sute yang bergelar Hian-pi Taysu,” tutur Toan Ki. "Hian-pi Taysu itu mahir ilmu Kim-kong-cu (gada baja raksasa). Tapi entah mengapa Hian-pi Taysu itu telah dibunuh orang dan cara musuh membinasakannya itu justru menggunakan ilmu ‘Kim-kong-cu’ andalan Hian-pi Taysu itu. Menurut kesimpulan mereka, cara membunuh orang demikian itu adalah ciri perbuatan Buyung-si dari Koh-soh yang disebut ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’ (gunakan caranya untuk dipakai atas dirinya). Sebab itulah Siau-lim-pay bertekad hendak membalas dendam kepada Buyung-si. Cuma ilmu silat Buyung-si teramat lihai, mereka khawatir sukar melawannya, maka mengundang kawan-kawan lain untuk berunding cara bagaimana menghadapi musuh.”

"Masuk di akal juga ceritamu ini,” kata Giok-yan. "Lalu siaga lagi kecuali tokoh-tokoh Siau-lim-pay?”

"Masih ada seorang yang bernama Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, katanya juga tewas di bawah ilmu ruyung andalannya sendiri yang disebut ‘Leng-coa-siam-keng’ (ular sakti melibat leher), maka Sute dan muridnya juga

ingin menuntut balas pada Buyung-si. Kecuali itu, masih ... masih banyak lagi yang aku tidak kenal.”

Sudah tentu ia tidak berani bilang bahwa Toan-si mereka dari Tayli juga ikut campur dalam urusan itu.

"Aku kenal tabiat Piauko, bila ia tahu ada orang begitu banyak akan memusuhinya, tanpa menunggu orang datang padanya, lebih dulu ia akan pergi ke sana,” tutur Giok-yan. "Cuma, belum tentu ia dapat memahami ilmu silat aliran sebanyak itu. Apalagi mereka berjumlah banyak, bila mengerubutnya serentak, tentu akan sukar dilawan.”

Bicara sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara orang berlari datang, kiranya Siau Si dan Yu Chau. Dengan khawatir Yu Chau berseru, "Wah, celaka Siocia! Hujin telah memerintahkan agar A Cu dan A Pik ....”

Berkata sampai di sini mulut Yu Chau serasa tersumbat dan tidak sanggup meneruskan lagi.

Maka cepat Siau Si menyambung, "Mereka hendak dipotong kaki dan tangannya sebagai hukuman atas kesalahan mereka berani datang ke Man-to-san-ceng ini. Siocia, bag ... bagaimana baiknya ini?”

"Wah, jika begitu, engkau harus lekas mencari akal untuk menolong mereka, nona Ong!” seru Toan Ki khawatir.

Giok-yan juga sangat khawatir, katanya, "A Cu dan A Pik adalah pelayan pribadi Piauko, kalau mereka dibikin cacat, bagaimana aku harus bicara dengan Piauko. Mereka berada di mana, Yu Chau?”

Mendengar Siocia mereka ada maksud menolong A Cu dan A Pik, segera Yu Chau menyahut, "Hujin memerintahkan menggusur mereka ke ‘Hoa-pui-pang’ (kamar rabuk bunga). Telah kumohon kepada nenek galak di sana agar menunda hukumannya setengah jam lagi, bila sekarang juga Siocia pergi minta ampun kepada Hujin mungkin masih keburu.”

Walaupun Giok-yan tidak yakin usahanya akan berhasil, tapi tiada jalan lain, terpaksa ia mengangguk, segera ia bertindak pergi bersama Yu Chau dan Siau Si. Tinggal Toan Ki yang berdiri kesima di tempatnya sambil memandangi bayangan si gadis yang menghilang di balik semak-semak bunga sana.

Ketika Giok-yan sampai di kamar sang ibu, ia lihat ibunya lagi duduk bersila, di depannya dupa mengepul di dalam Hiolo, terang ibunda bersemadi, betapa pun besarnya urusan juga tidak dapat mengganggunya. Maka cepat ia berdatang sembah, "Mak, ada sedikit urusan ingin kubicarakan.”

Perlahan Ong-hujin membuka mata, dengan wajah kereng ia tanya, "Urusan apa? Kalau ada sangkut pautnya dengan keluarga Buyung, aku tidak ingin mendengarkan.”

"Mak, A Cu dan A Pik tidak sengaja datang ke sini, maka sukalah engkau mengampuni mereka,” pinta si nona.

"Dari mana kau tahu mereka tidak sengaja?” tanya Ong-hujin. "Hm, tentu kau khawatir Piaukomu takkan gubris padamu lagi bila kupotong kaki-tangan mereka bukan?”

Dengan mengembeng air mata Giok-yan menjawab, "Piauko terhitung keponakanmu sendiri, mengapa ibu membencinya sedemikian rupa? Andaikan Kuku berbuat salah padamu, tidak perlu Piauko juga dibenci.”

Dengan berani Giok-yan mengucapkan kata-kata itu, segera ia berdebar-debar karena dirinya berani membantah sana ibu.

Sinar mata Ong-hujin menyorot sekilas muka putrinya itu, untuk sejenak ia tidak bicara dan mata lantas terpejam pula. Dengan menahan napas Giok-yan berdiri terpaku di situ, ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan ibundanya.

Selang agak lama barulah Ong-hujin membuka mata pula dan berkata, "Kau tahu Kuku berbuat salah padaku? Di mana letak kesalahannya? Coba katakan!”

Mendengar pertanyaan yang bernada tajam dan dingin itu, seketika Giok-yan menjadi bungkam dan takut.

"Cobalah katakan. Usiamu sekarang juga sudah dewasa, boleh tidak menurut kataku lagi,” demikian ucap Onghujin.

Tak tertahan lagi air mata Giok-yan berlinang-linang, sahutnya dengan penasaran dan takut pula, "Mak, engkau sedemikian benci kepada Kuku, dengan sendirinya lantaran Kuku berdosa padamu. Akan tetapi apa kesalahannya, selama ini ibu tidak pernah bicara padaku.”

"Pernah dengar dari orang lain tidak?” tanya Ong-hujin dengan suara bengis.

"Tidak,” sahut Giok-yan sambil menggeleng, "Selamanya ibu melarangku keluar Man-to-san-ceng ini, orang luar juga dilarang masuk kemari, dari siapa dapat kudengarnya?”

Ong-hujin menghela napas lega, nada suaranya sekarang juga lebih halus, katanya, "Semuanya itu adalah demi kebaikanmu. Orang jahat di dunia ini terlalu banyak, dibunuh juga tidak habis-habis. Usiamu masih muda, seorang gadis lebih baik jangan bertemu dengan orang jahat.”

Ia merandek sejenak, tiba-tiba teringat sesuatu olehnya, segera ia menyambung, "Seperti si tukang kebun she Toan itu, ia pandai omong dan pintar putar lidah, pasti bukan orang baik-baik. Maka kalau dia berani omong sepatah saja padamu, seketika kau bunuhnya, jangan membiarkan dia omong kedua kalinya.”

Giok-yan terdiam, ia pikir, "Jangankan cuma sepatah-dua kata, mungkin seratus patah dua ratus kata pun sudah lebih.”

Melihat putrinya diam saja, Ong-hujin menegur, "Kenapa? Apa kau tidak tega? Gadis berhati lemah seperti kau ini, selama hidup entah betapa banyak akan diperdayai orang.”

Lalu ia tepuk tangan dua kali dan Siau Si segera masuk, Ong-hujin berkata padanya, "Sampaikan perintahku bahwa siapa pun dilarang bicara dengan orang she Toan itu. Siapa yang melanggar keduanya akan dipotong.”

Siau Si mengiakan dengan wajah kaku tanpa perasaan seakan-akan apa yang dikatakan Ong-hujin adalah sesuatu hal yang sudah biasa serupa orang memotong babi atau menyembelih ayam saja, lalu mengundurkan diri.

"Nah, pergilah kau!” kata Ong-hujin kemudian sambil memberi tanda kepada Giok-yan.

Si gadis mengiakan, tapi sampai dia ambang pintu, ia berhenti dan menoleh, katanya, "Mak, engkau mengampuni A Cu dan A Pik saja dan peringatkan mereka agar lain kali jangan lagi datang kemari.”

"Apa yang sudah kukatakan kapan pernah ketarik kembali? Percumalah meski kau banyak bicara pula,” sahut Ong-hujin.

Tiba-tiba Giok-yan menggigit-gigit gigi dan berkata dengan perlahan, "Kutahu sebab ibu benci pada Kuku dan mengapa pula benci pada Piauko.”

Habis berkata, ia terus putar tubuh dan bertindak keluar.

"Kembali!” bentak Ong-hujin mendadak.

Giok-yan tidak berani membangkang, dengan kepala menunduk ia masuk kembali ke dalam kamar.

Sambil memandangi tubuh putrinya yang agak gemetar itu, Ong-hujin bertanya, "Apa yang kau ketahui, Yanji? Coba katakan saja terus terang, tidak perlu membohongi aku.”

"Kutahu ... kutahu ibu menyesalkan Kuku tidak becus, dan gemas pada Piauko yang kurang berlatih silat sehingga tidak dapat mengembangkan keturunan Buyung yang tiada tandingannya di dunia ini,” demikian sahut Giok-yan sambil menggigit bibir.

Ong-hujin menjengek sekali, katanya, "Hm, anak kecil tahu apa? Ibumu sudah lama tidak she Buyung lagi, tahu? Peduli apa keluarga Buyung dapat menjagoi dunia atau tidak, aku tidak pusing lagi.”

"Kutahu ibu menyesal bukan lelaki sehingga tidak dapat membangun kembali keluarga Buyung, maka ibu menyalahkan Kuku dan Piauko tidak tekun belajar silat dan cuma bercita-cita membangun kembali kerajaan Yan.”

"Siapa yang berkata demikian padamu?” tanya Ong-hujin dengan kereng.

"Tanpa orang mengatakan juga anak dapat menerka,” sahut Giok-yan.

"Hm, tentu Piaukomu yang bilang begitu padamu, bukan?”

Giok-yan tidak dusta kepada sang ibu, tapi juga tidak mengaku. Ia hanya bungkam saja.

Maka Ong-hujin berkata pula, "Usia Piaukomu lebih tua 10 tahun daripadamu, tapi tidak belajar yang baik, setiap hari hanya gentayangan kian kemari entah apa yang dikerjakan hingga ilmu silatnya jauh di bawahmu. Sungguh bikin malu nama baik Buyung-si saja. Selama ratusan tahun ini betapa tenar nama kebesaran ‘Kohsoh Buyung-si’, akan tetapi bagaimana dengan ilmu silat Piaukomu itu? Apa dia sesuai menyebut dirinya keturunan Buyung-si?”

Dengan wajah sebentar merah sebentar pucat Giok-yan mendengarkan ucapan sang ibu yang ada benarnya juga itu. Seketika ia tidak dapat menjawab.

Lalu Ong-hujin meneruskan, "Sekarang katanya dia telah pergi ke Siau-lim-si, tentu budak-budak ceriwis itu buru-buru datang memberitahukan padamu. Hm, dia berani pergi ke Siau-lim-si, mustahil takkan dibuat buah tertawaan orang di sana? Bahkan aku akan berterima kasih, karena dengan begitu orang tentu tidak percaya seorang keroco begitu adalah anak cucu Buyung-si dari Koh-soh. Lebih baik lagi jika jiwanya melayang sekalian hingga asal-usulnya sukar diusut.”

"Mak,” kata Giok-yan tiba-tiba sambil melangkah maju, "harap engkau pergi menolongnya. Betapa pun Piauko adalah satu-satunya keturunan keluarga Buyung. Bila terjadi apa-apa atas dirinya maka musnahlah selanjutnya keturunan Buyung-si dari Koh-soh.”

"Hm, musnah? Mereka tidak pikirkan diriku, buat apa mesti kupikirkan mereka? Sudahlah, pergi sana, pergi!”

"Mak, Piauko kan ....”

Namun Ong-hujin lantas membentaknya dengan bengis, "Makin lama kau semakin berani, ya?”

Dengan cemas dan mengembeng air mata terpaksa Giok-yan bertindak keluar dengan kepala menunduk. Hatinya bingung dan tak berdaya. Sampai di serambi sana, tiba-tiba didengarnya teguran seorang dengan suara tertahan, "Bagaimana hasilnya, nona?”

Waktu Giok-yan mendongak, kiranya Toan Ki. Cepat ia menyahut, "Engkau jang ... jangan bicara lagi denganku.”

Kiranya sesudah ditinggal pergi Giok-yan tadi, Toan Ki menjadi seperti kehilangan sesuatu. Dengan linglung kemudian ia mengikutinya dan menunggu dari jauh. Begitu melihat si gadis keluar dari kamar Ong-hujin segera ia memapaknya dan tanya.

Melihat wajah Giok-yan mengunjuk sedih dan putus asa, ia tahu permintaannya tentu ditolak Ong-hujin. Maka katanya segera, "Seumpama ibumu tidak mau mengabulkan permintaan nona, kita kan harus mencari akal lain.”

"Kalau ibu sudah menolak permohonanku, akal apa yang dapat kau gunakan?” sahut si nona. "Piauko lagi terancam bahaya, tapi dia ... dia tega membiarkannya.”

Dan saking sedihnya, air mata hampir-hampir menetes.

"O, kiranya Buyung-kongcu sedang terancam bahaya ....” tiba-tiba Toan Ki teringat sesuatu, cepat ia menyambung pula, "He, ilmu silatmu kan lebih tinggi daripada Piaukomu, kenapa engkau sendiri tidak pergi menolongnya?”

Kedua mata si nona terbelalak lebar, heran seakan-akan tiada sesuatu ucapan lain di dunia ini yang lebih aneh daripada ucapan Toan Ki itu. Selang agak lama barulah ia berkata, "Cara bagaimana aku ... aku bisa pergi? Tidak mungkin ibu mengizinkan.”

"Sudah tentu ibumu takkan mengizinkan, namun engkau sendiri dapat pergi secara diam-diam?” ujar Toan Ki dengan tersenyum. "Aku sendiri sudah pernah minggat dari rumah, kemudian waktu kupulang, ayah dan ibu juga cuma mengomel saja padaku.”

Mendengar uraian itu, seketika Giok-yan seakan-akan orang bodoh yang mendadak menjadi pintar. Katanya dalam hati, "Benar, mengapa aku tidak pergi secara diam-diam untuk menolong Piauko, andaikan nanti ibu mendampratku kan nasi sudah menjadi bubur, Piauko sudah dapat kuselamatkan. Orang ini bilang pernah minggat dari rumahnya, mengapa aku sendiri tidak pernah berpikir hal ini?”

Melihat si gadis ragu-ragu, segera Toan Ki menghasut lebih lanjut, "Orang hidup seperti engkau sebenarnya harus merasa bosan. Apakah engkau akan tinggal di Man-to-san-ceng ini sampai hari tua dan tidak ingin pergi melihat dunia luar yang indah permai itu?”

"Apanya yang indah?” sahut Giok-yan sambil menggeleng. "Yang kupikir hanya untuk membantu Piauko saja karena dia sedang menghadapi bahaya. Namun aku sendiri belum pernah melangkah keluar rumah, di mana letak Siau-lim-si juga aku tidak tahu.”

Tanpa diminta lagi segera Toan Ki mencalonkan diri sebagai "sukarelawan”, katanya cepat, "Akan kubawa engkau ke sana, segala apa dalam perjalanan biarlah aku yang mengurus bagimu.”

Namun Giok-yan masih ragu-ragu. Maka Toan Ki bertanya pula, "Dan bagaimana dengan A Cu dan A Pik?”

"Ibu juga tidak mau mengampuni mereka,” sahut si nona.

"Sekali berbuat, jangan tanggung-tanggung lagi. Bila A Cu dan A Pik dikutungi kaki tangannya tentu Piaukomu akan menyalahkan dirimu. Marilah kita pergi menolong mereka sekalian dan kita berempat lantas minggat bersama!”

Giok-yan melelet lidah, katanya khawatir, "Perbuatan durhaka seperti ini tentu takkan diampuni ibuku. Nyalimu ini benar-benar setinggi langit.”

Toan Ki tahu si gadis susah dibujuk kecuali memperalat Piauko yang dicintainya itu. Maka ia sengaja berkata, "Jika demikian, marilah kita berdua saja segera berangkat, biarlah A Cu dan A Pik dibikin cacat oleh ibumu. Kelak bila engkau ditanya Piaukomu, jawablah engkau tidak tahu dan aku pun tidak akan membocorkan rahasia ini.”

"Mana boleh jadi,” sahut Giok-yan. "Dengan demikian, berarti aku mendustai Piauko, bukan?”

Tapi sesudah berpikir sejenak, akhirnya ia mengambil keputusan, katanya tiba-tiba, "Marilah ikut padaku!”

Melihat si nona berjalan ke arah barat secepat terbang, buru-buru Toan Ki ikut berlari menyusulnya.

Tidak lama Giok-yan sampai di depan sebuah rumah batu. Dari luar gadis itu berseru, "Peng-mama (ibu Peng), marilah keluar, ingin kubicara padamu.”

Mata terdengarlah suara orang tertawa terkekeh, lalu suara seorang berkata dengan serak, "Nona baik, apakah engkau sengaja datang kemari untuk melihat Peng-mama membuat rabuk bunga?”

Tadi waktu Toan Ki mendengar laporan Siau Si dan Yu Chau bahwa A Cu dan A Pik telah digusur ke Hoa-puipang atau kamar rabuk bunga, tatkala itu ia tidak perhatikan tentang istilah itu. Tapi kini demi mendengar katakata "rabuk bunga” dan diucapkan orang dengan suara seram itu, mendadak ia terperanjat dan berpikir, "Hoapui-pang apa maksudnya? Apakah rabuk tanaman bunga? Haya, memang benarlah begitu! Ong-hujin sangat kejam, suka membunuh orang untuk dijadikan rabuk bunga kamelia. Wah, untung kedatangan kami tepat waktunya, kalau tidak, tentu kaki dan tangan kedua dayang itu sudah dipotong untuk dijadikan rabuk.”

Dalam pada itu Giok-yan sedang berkata lagi, "Peng-mama, engkau dipanggil ibu, hendaklah lekas ke sana.”

"Peng-mama sedang repot,” sahut suara tadi dari dalam rumah. "Ada urusan penting apakah hingga Hujin menyuruh Siocia memanggilku ke sini?”

"Kata ibu ....” Giok-yan tidak meneruskan, tapi lantas melangkah masuk ke dalam rumah batu itu. Segera terlihat olehnya A Cu dan A Pik terikat kencang pada dua pilar besi, mulut mereka tersumbat, hanya air mata saja berlinang-linang, tapi tak dapat bersuara.

Lega hati Toan Ki sesudah melongok ke dalam rumah dan melihat keadaan A Cu dan A Pik masih baik-baik tanpa kurang sesuatu apa. Tapi jantungnya kembali berdebar-debar pula ketika dilihatnya di dalam rumah situ terdapat seorang nenek bungkuk, rambut putih bagaikan perak, tangan menghunus sebilah pisau jagal, di sampingnya terdapat baskom air mendidih.

"Peng-mama,” demikian Giok-yan berkata pula, "ibu ingin tanya mereka tentang suatu hal penting, maka engkau disuruh melepaskan mereka.”

Ketika nenek itu menoleh, sekilas Toan Ki dapat melihat kedua siungnya yang kuning dan lancip hingga mirip hantu yang menakutkan, tanpa merasa ia bergidik.

Ia dengar nenek itu berkata, "Baiklah, sesudah ditanya, kirim kembali lagi ke sini untuk dipotong kaki dan tangan mereka.”

Lalu nenek itu pun bergumam pula, "Peng-mama selamanya tidak suka melihat anak dara cantik, maka kedua budak ini harus ditebas tangan-kakinya, supaya lebih menarik kalau dipandang.”

Toan Ki menjadi gusar, ia pikir nenek ini tentu sangat jahat, entah sudah betapa banyak orang yang dibunuh olehnya. Sayang dirinya tidak bertenaga, kalau tidak, ingin sekali ia memberi persen beberapa kali tamparan pada nenek jahat itu.

"Siapa itu yang berada di luar?” tanya Peng-mama mendadak. Nyata biarpun usianya sudah lanjut, namun pendengarannya masih sangat tajam. Suara napas Toan Ki yang memburu karena menahan rasa gusar itu segera dapat didengarnya. Ketika ia melongok keluar dan melihat pemuda itu seketika timbul rasa curiganya, tanyanya, "Siapa kau?”

Jilid 20
"Aku adalah tukang kebun yang disuruh menanam bunga oleh Hujin,” sahut Toan Ki dengan berlagak tertawa. "Peng-mama, apakah sudah siap rabuknya?”

"Tunggulah sebentar, tidak lama lagi akan tersedia,” sahut Peng-mama. Lalu ia berpaling kembar dan tanya Giok-yan, "Siocia, Buyung-siauya sangat sayang kepada kedua pelayannya ini, bukan?”

Dasar Giok-yan memang tidak biasa berdusta, maka jawabnya tanpa pikir, "Ya, makanya lebih baik jangan engkau melukainya.”

"Dan saat ini Hujin sedang bersemadi bukan, Siocia?” tanya pula Peng-mama.

"Ya,” sahut Giok-yan. Tapi segera ia tutup mulut sendiri ketika sadar telah salah omong.

Diam-diam Toan Ki mengeluh, "Ai, Siocia ini benar-benar lugu luar biasa, berdusta sedikit pun tidak bisa.”

Untunglah Peng-mama ini seperti orang tua yang sudah pikun dan tidak memerhatikan kesalahan itu, terdengar ia berkata pula, "Siocia, tali pengikatnya ini sangat erat, harap engkau bantu melepaskannya.”

Sembari berkata ia terus mendekati A Cu yang diringkus di pilar itu untuk melepaskan tali pengikatnya.

Giok-yan mengiakan sambil mendekatinya. Di luar dugaan, mendadak terdengar suara "krak” sekali, dari dalam pilar besi itu tahu-tahu menjulur keluar sebatang baja melingkar bulat hingga tepat pinggang si gadis terkurung.

Keruan Giok-yan menjerit kaget. Namun gelang baja itu sangat kuat, untuk melepaskan diri terang sangat sulit.

Toan Ki terkejut juga oleh kejadian itu, cepat ia memburu masuk dan membentak, "Apa yang kau lakukan? Lekas lepaskan Siocia!”

Peng-mama terkekeh-kekeh seram, sahutnya, "Katanya Hujin sedang bersemadi, mengapa kedua budak ini bisa dipanggil ke sana? Banyak sekali pelayan Hujin, masakah perlu menyuruh Siocia sendiri memanggil ke sini? Di dalam ini tentu ada apa-apanya, silakan engkau menunggu dulu di sini, Siocia!”

Kiranya "Hoa-pui-pang” atau kamar rabuk bunga itu adalah tempat Ong-hujin menghukum atau membunuh orang. Di dalam rumah batu itu penuh terpasang pesawat rahasia untuk membikin tawanannya tidak bisa berkutik.

Peng-mama itu dahulunya adalah seorang begal wanita yang terkenal sangat kejam, entah sudah berapa banyak jiwa manusia telah menjadi korban keganasannya. Tapi ia telah ditaklukkan oleh Ong-hujin, dan karena orangnya sangat cerdik dan rajin, maka ia diberi tugas melaksanakan kekejaman di kamar rabuk ini.

Peng-mama memang sangat cerdik, ia melihat tingkah laku Giok-yan sangat mencurigakan, ia pun tahu Onghujin biasanya sangat benci kepada keluarga Buyung. Ia pikir ilmu silat Siocia sangat tinggi, dirinya pasti bukan tandingannya, bila tidak turut perintahnya, mungkin gadis itu akan bertindak dengan kekerasan. Karena itulah dengan muslihatnya ia kurung Giok-yan dengan gelang baja, salah satu pesawat rahasia yang terpasang pada pilar besi itu.

Maka Giok-yan menjadi gusar, bentaknya, "Kurang ajar! Kau berani padaku? Lekas lepaskan aku!”

"Siocia,” sahut Peng-mama, "aku selalu jujur menjalankan tugas, sedikit pun tidak berani berbuat salah. Maka ingin kutanya Hujin dahulu, bila memang benar beliau suruh melepaskan kedua budak ini, tentu aku akan menjura pada Siocia untuk minta maaf.”

Keruan Giok-yan bertambah gugup, serunya, "Hei, jangan kau tanya Hujin, ibuku tentu akan marah!”

Sebagai seorang yang banyak pengalamannya, Peng-mama semakin yakin si gadis itu hendak main gila di luar tahu ibunya. Ia menjadi girang telah berjasa bagi majikannya, maka katanya pula, "Baiklah! Silakan Siocia tunggu sebentar, segera aku kembali!”

"Engkau lepaskan aku dahulu!” seru Giok-yan.

Namun Peng-mama tidak gubris lagi padanya, dengan langkah cepat segera ia hendak bertindak keluar.

Melihat keadaan sudah gawat, tanpa pikir lagi Toan Ki pentang kedua tangan merintangi kepergian si nenek

sambil berkata dengan tertawa, "Harap engkau bebaskan Siocia dahulu, kemudian barulah pergi melapor kepada Hujin. Betapa pun dia adalah putri majikanmu, bila engkau bikin susah padanya, tentu takkan menguntungkan dirimu sendiri.”

Di luar dugaan, mendadak Peng-mama membaliki tangannya dan tahu-tahu sebelah tangan Toan Ki kena dipegang olehnya. Karena urat nadi tergenggam, seketika tubuh Toan Ki menjadi lumpuh, meski tenaga dalam Toan Ki luar biasa kuatnya, tapi sayang ia tidak dapat menggunakannya. Maka ia kena diseret oleh Peng-mama ke depan pilar, ketika nenek itu menekan pesawat rahasia pula, "krak”, dari pilar besi yang lain mendadak terjulur keluar geleng baja hingga pinggang Toan Ki juga terjepit.

Tadi begitu tangan Peng-mama memegang pergelangan tangan Toan Ki, seketika ia merasa tenaga dalamnya tiada hentinya merembes keluar dan rasanya sangat menderita. Maka sesudah pemuda itu dikurung oleh gelang baja, segera ia lepaskan pegangannya.

Merana pegangan nenek itu sudah dikendurkan, dalam gugupnya tanpa pikir Toan Ki terus menyikap leher Peng-mama dengan kedua tangan sambil berteriak, "Jangan kau pergi!”

Keruan Peng-mama kaget oleh rangkulan itu, dengan gusar ia membentak, "Lepas, lepaskan!”

Dan karena bersuara, tenaga dalamnya yang merembes keluar itu semakin santer.

Sejak mendapat pelajaran sang paman ketika berada di Thian-liong-si, kini Toan Ki sudah paham tentang ilmu memusatkan hawa murni ke dalam perut. Maka tenaga dalam yang disedotnya itu segera dapat ditabung ke dalam pusatnya.

Berulang-ulang Peng-mama meronta, namun sedikit pun tidak sanggup melepaskan diri dari dekapan Toan Ki. Ia menjadi takut luar biasa dan berteriak-teriak, "Hai, engkau mahir ... mahir ‘Hoa-kang-tay-hoat’? Lepas ... lepaskan aku.”

Karena leher Peng-mama didekap, terjadi muka Toan Ki berhadapan dengan muka nenek itu, jaraknya cuma belasan senti saja, maka ia dapat melihat nenek tua itu sekuatnya berusaha melepaskan diri dengan meringis, giginya yang kuning penuh gudal dengan siungnya yang lancip, napasnya kerbau bacin pula. Toan Ki menjadi muak dan hampir-hampir tumpah.

Tapi ia pun tahu, dalam saat berbahaya itu, kalau ia lepas tangan, tentu Giok-yan akan mendapat hukuman dari sang ibu dan ia sendiri bersama A Cu dan A Pik juga tak terhindar dari kematian. Karena itulah terpaksa ia menahan napas dan pejamkan mata, ia tidak pandang Peng-mama lagi, tapi membiarkan nenek itu kelabakan

sendiri.

"Kau ... kau mau melepaskan aku tidak!” teriak Peng-mama pula dengan nada mengancam. Akan tetapi, napas ada tenaga sudah berkurang.

Seperti diketahui, bila tenaga dalam Toan Ki semakin bertambah, daya sedot Cu-hap-sin-kang juga semakin kuat. Dahulu waktu mula-mula ia menyedot tenaga murni tokoh-tokoh seperti Boh-tin, Boh-tam dan kawannya, waktu yang dibutuhkannya sangat lama, kemudian dapat menyedot pula antero tenaga murni tokoh kelas satu Ui-bi-ceng dan Ciok-jing-cu, serta sebagian tenaga dalam Po-ting-te, Thian-in, Thian-koan dan lainlain, kini daya sedot Cu-hap-sin-kang itu boleh dikatakan sudah luar biasa kerasnya, maka untuk menyedot tenaga dalam Peng-mama hanya diperlukan waktu singkat saja sudah selesai.

Begitulah, maka tiada seberapa lama keadaan Peng-mama sudah sangat payah dan lemas lunglai dengan napas kempas-kempis. Akhirnya terpaksa ia memohon, "Lepaskan aku, lepaskanlah!”

"Baik, buka dulu pesawat rahasianya!” kata Toan Ki.

Peng-mama mengiakan. Tapi Toan Ki masih khawatir, ia pegang tangan kiri nenek itu dan membiarkan tangan kanannya menekan alat rahasia di bawah meja, "krek”, segera gelang baja yang mengurung pinggang Toan Ki itu mengkeret masuk ke dalam pilar.

Segera Toan Ki perintahkan Peng-mama membebaskan pula Giok-yan, A Cu dan A Pik.

Namun meski Peng-mama sudah berusaha membuka pesawat rahasia yang mengurung Ong Giok-yan itu, ternyata sedikit pun tidak berhasil.

"Kau berani main gila? Ayo lekas!” bentak Toan Ki.

"Tapi ... tapi tenagaku sudah habis!” sahut Peng-mama dengan muka muram dan lesu.

Toan Ki coba meraba ke bawah meja dan menarik sekali alat jeplakannya, perlahan gelang baja yang melingkari pinggang Giok-yan pun mengkeret masuk ke dalam pilar.

Toan Ki sangat girang, tapi ia belum mau melepaskan Peng-mama, sambil masih pegang tangan nenek itu, ia

jemput golok dan memotong tali pengikat A Cu dan A Pik, kemudian kedua dayang itu mengeluarkan sendiri sumbat mulut mereka, saking girang dan terharunya sampai kedua dayang itu tidak sanggup bersuara untuk sejenak lamanya.

Giok-yan melototi Toan Ki dengan sikap terheran-heran, katanya kemudian, "Jadi kau mahir ‘Hoa-kang-tayhoat’? Ilmu yang terkenal kotor itu juga engkau pelajari?”

"Kepandaianku ini bukan ‘Hoa-kang-tay-hoat’ segala, tapi adalah ilmu warisan keluarga Toan kami yang disebut ‘Thay-yang-yong-swat-kang’ (ilmu sang surya mencairkan salju), yaitu semacam ilmu perubahan dari campuran It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam, boleh dikatakan merupakan ilmu lawan dari Hoa-kang-tay-hoat yang jahat itu, maka tidak dapat disamaratakan,” demikian sahut Toan Ki. Ia pikir tidak mungkin menceritakan pengalamannya tentang mendapat ilmu Cu-hap-sin-kang yang panjang dan makan waktu itu, maka sengaja dikarangnya suatu nama sekenanya atas ilmu itu.

Ternyata Giok-yan percaya sepenuhnya, katanya dengan tertawa, "Maaf, jika begitu adalah aku sendiri yang kurang pengalaman. Bahkan tentang It-yang-ci dan Lak-meh-sin-kiam dari keluarga Toan kalian di Tayli juga aku cuma tahu namanya saja, maka kelak masih diharapkan petunjukmu.”

Bagi Toan Ki, asal si cantik sudi minta petunjuk padanya, itulah jauh melebihi harapannya, maka cepat sahutnya, "Asal Siocia suka, segala pertanyaanmu pasti akan kujelaskan sampai sekecil-kecilnya.”

Sungguh mimpi pun tak diduga oleh A Cu dan A Pik bahwa pada saat yang genting itu tiba-tiba Toan Ki bisa datang menolong mereka, bahkan tampak bicara sangat akrab dengan Ong-siocia, tentu saja mereka lebih-lebih heran. Segera A Cu berkata, "Banyak terima kasih atas pertolonganmu, Kohnio! Agar rahasia kami tidak sampai bocor, kami ingin membawa pergi Peng-mama ini.”

Keruan Peng-mama menjadi khawatir, serunya dengan lemah, "Jang ... jangan ....”

Namun A Cu sudah lantas pencet pipi nenek itu hingga mulutnya mengap, terus saja ia masukkan sumbat yang dikeluarkannya dari mulut sendiri tadi ke dalam mulut Peng-mama.

"Haha! Bagus!” seru Toan Ki dengan tertawa. "Ini namanya ‘Ih-pi-ci-to, hoan-si-pi-sin’, sesuai dengan istilah ‘senjata makan tuan’ dari keluarga Buyung kalian!”

Tiba-tiba Giok-yan ikut berkata, "Marilah biar aku ikut pergi bersama kalian untuk melihat bagaimana ... bagaimana dengan dia.”

A Cu dan A Pik menjadi girang, mereka tahu siapa yang dimaksudkan si "dia” itu, serta mereka berbareng, "Jika nona sudi pergi membantunya, itulah paling baik.”

Segera kedua dayang itu menyeret Peng-mama ke dekat pilar dan menarik alat jeplakan hingga nenek itu kena dikurung di dalam lingkaran gelang baja Habis itu mereka berempat lantas menuju ke tepi danau.

Syukurlah sepanjang jalan mereka tidak dipergoki kawanan dayang yang lain. Sesudah berada di atas perahu, segera A Cu dan A Pik mendayung dengan cepat meninggalkan Man-to-san-ceng.

Berkat petunjuk Giok-yan, maka dengan mudah dapatlah mereka keluar dari perairan yang membingungkan itu. Setiba di luar danau yang bebas, A Cu dan A Pik sendiri sudah dapat mengenali jalanan air di situ. Sementara itu hari sudah dekat magrib, cuaca sudah remang-remang.

"Nona, dari sini paling dekat kalau menuju ke pondok hamba, malam ini terpaksa mesti bikin susah nona menginap semalam di tempat hamba dan besok kita dapat berunding cara bagaimana harus pergi mencari Kongcu,” demikian kata A Cu.

"Baiklah,” sahut Giok-yan singkat.

Semakin jauh meninggalkan Man-to-san-ceng, gadis itu bertambah pendiam tampaknya.

Setelah perahu didayung sekian lama pula, cuaca sudah mulai gelap, hanya jauh di arah timur sana tampak sinar api yang berkelip-kelip. Maka berkatalah A Pik, "Tempat yang ada sinar api itulah Thing-hiang-cing-sik tempat tinggal Enci A Cu.”

Segera perahu didayung ke arah sinar pelita itu.

Tiba-tiba timbul pikiran Toan Ki, "Alangkah senangnya bila selama hidup ini dapat berada dalam perahu seperti sekarang ini dan selamanya takkan mencapai tempat sinar pelita itu!”

Dalam pada itu terdengar Giok-yan lagi menghela napas perlahan, lalu terdengar A Pik menghiburnya dengan suara halus, "Harap nona jangan khawatir. Selamanya Kongcu tidak pernah mengalami kesukaran apa-apa, sekali ini tentu juga akan pulang dengan selamat.”

"Kalau dia pergi ke tempat orang Kay-pang tentu aku tidak perlu khawatir,” kata Giok-yan. "Tapi Siau-lim-si itu tidak boleh dipandang remeh. Meski ke-72 macam ilmu Siau-lim-si telah dipahami semua olehnya, tetapi bila tiba-tiba ada orang menyerangnya dengan ilmu aneh yang jarang diketahui orang luar, kan berbahaya. Ai ....”

Mendengar ucapan si nona yang penuh rasa khawatir dan bernada gegetun, seketika timbul rasa cemburu Toan Ki. Tiba-tiba terpikir olehnya, "Bilamana di dunia ini ada juga seorang gadis jelita seperti nona ini sedemikian mendalam cintanya padaku, entah betapa rasa bahagia hidupku ini? Pernah juga Wan-moay mencintaiku, sejak dia tahu aku ini kakak kandungnya, tentu perasaannya kepadaku sudah berubah sekarang. Dan selama ini entah dia berada di mana? Tentang nona Ciong? Nona cilik ini masih kekanak-kanakan dan hijau, kalau terkadang dia terkenang padaku, paling-paling juga cuma sepintas ingat saja untuk lain saat akan lupa lagi, tidak nanti ia merindukan kekasihnya setiap saat sebagaimana Ong-kohnio sekarang ini. Dan entah bagaimana nasib gadis cilik yang digondol lari In Tiong-ho itu? Ayah dan paman telah menjodohkan aku dengan putri Ko-pepek. Tapi muka nona Ko itu selamanya belum pernah kukenal, apakah dia cantik atau jelek, apakah tinggi atau pendek, bundar atau gepeng, sama sekali aku tidak tahu, dengan sendirinya aku tidak dapat mengenangkan dia dan dia tentu juga takkan merindukan aku.”

Sementara itu perahu mereka sudah makin mendekati tempat tujuan. Tiba-tiba A Cu membisiki A Pik, "Lihatlah A Pik, tampaknya agak kurang beres gelagatnya!”

"Ya, kenapa begitu banyak sinar pelitanya?” sahut A Pik sambil mengangguk. Tapi segera katanya pula dengan tertawa, "Ah, mungkin di rumahmu sedang diadakan perayaan Cap-go-meh, maka terang benderang begitu? Atau boleh jadi mereka sedang menantikan engkau untuk merayakan hari lahirmu?”

Namun A Cu diam saja sambil terus memerhatikan titik sinar api di kediamannya sana. Kini Toan Ki juga dapat melihat jelas bahwa pada suatu benua kecil sana terdapat beberapa bangunan rumah, di antaranya ada dua gedung bersusun dan dari jendela rumah itulah tampak banyak sinar pelitanya.

"Rumah tinggal A Cu ini namanya ‘Thing-hiang-cing-sik’, tentu sama indahnya seperti ‘Khim-im-siau-tiok’ tempat tinggal A Pik itu,” demikian pikir Toan Ki.

Kira-kira beberapa ratus meter sebelum tiba di rumah A Cu itu, mendadak A Cu tidak mendayung lagi, katanya, "Ong-kohnio, di rumahku kedatangan musuh!”

"Apa katamu? Kedatangan musuh? Dari mana kau tahu dan siapakah musuhmu?” tanya nona Ong terkejut.

"Musuh macam apa belum kuketahui,” sahut A Cu. "Namun cobalah engkau menciumnya, bau arak yang keras

ini pastilah perbuatan kaum perusuh itu.”

Giok-yan coba mengendus beberapa kali sekeras-kerasnya, tapi tidak mencium sesuatu bau apa-apa. Begitu pula Toan Ki dan A Pik juga tidak mengendus sesuatu bau aneh.

Kiranya daya endus A Cu memang lain daripada orang lain tajamnya, dari tempat jauh ia dapat membedakan sesuatu bau yang aneh. Maka katanya, "Wah, celaka! Mereka telah mengubrak-abrik macam-macam sari bunga melati, mawar dan lain-lain yang kukumpulkan dengan susah payah itu, wah, ludeslah sudah ....”

Begitulah ia mengeluh dan hampir-hampir menangis.

Toan Ki menjadi heran dari mana A Cu mengetahui hal itu? Maka ia coba tanya, "Dari mana kau tahu? Masa matamu begitu tajam hingga dapat melihat tempat jauh?”

"Bukan melihat, tapi aku dapat mengendusnya,” sahut A Cu. "Ai, dengan hati-hati aku membuat sari bunga itu, kini pasti telah habis diminum oleh orang-orang jahat itu sebagai arak.”

"Lantas bagaimana Enci A Cu?” tanya A Pik. "Kita tetap pergi ke sana melabrak mereka atau menyingkir saja?”

"Entah musuh lihai atau tidak ....” sahut A Cu dengan ragu.

"Benar,” sela Toan Ki tiba-tiba, "kalau lihai, lebih baik kita menghindari saja. Bila cuma kaum keroco, ayolah kita tabrak mereka biar kapok.”

Memangnya A Cu lagi mendongkol, mendengar ucapan Toan Ki yang tidak berguna itu, segera ia mengomel, "Hm, hanya berani pada yang lemah, terhitung orang gagah macam apa? Dan dari mana kau tahu musuh lihai atau tidak?”

"Hal ini sangat mudah,” sahut Toan Ki. "Biarlah kupergi ke sana untuk menyelidiki lebih dulu dan kalian bertiga boleh menunggu saja di dalam perahu, jika gelagatnya jelek, cepatan kalian melarikan diri dan jangan urus diriku.”

Sungguh ucapan Toan Ki ini sama sekali di luar dugaan ketiga gadis itu. Mereka melihat tingkah laku pemuda

ini sangat kaku, sedikit pun tiada tanda-tanda mahir ilmu silat. Akan tetapi nyatanya Peng-mama, penjaga gudang rabuk bunga yang ganas itu sekali tangannya kena dipegang olehnya terus tak bisa berkutik, bahkan tenaganya lantas hilang dalam waktu sekejap saja. Apakah sesungguhnya pemuda ini memiliki ilmu silat mahahebat dan sengaja berlagak bodoh saja?

Segera Giok-yan berkata, "Jika engkau pergi ke sana dan dipergoki musuh, lalu engkau dihajar atau dibunuh, lantas bagaimana?”

"Jika begitu, ya, apa boleh buat?” sahut Toan Ki sambil angkat pundak. "Tapi biasanya aku selalu dilindungi Yang Mahakuasa, kalau ada bahaya selalu berubah selamat.”

Di mulut ia berkata demikian, tapi dalam hati ia merasa biarpun mati bagi gadis jelita seperti dikau juga aku rela.

Mendadak Giok-yan angkat jari kiri terus menutuk Thay-yang-hiat di pelipis Toan Ki. Hiat-to itu adalah salah satu tempat mematikan di tubuh manusia, kalau kena tertutuk seketika akan terbinasa. Tak peduli betapa tinggi ilmu silat orangnya, tidak mungkin Hiat-to berbahaya itu dapat ditutup. Namun dalam kegelapan sama sekali Toan Ki tidak sadar bahwa jiwanya lagi terancam.

Melihat itu, A Pik bersuara kaget, sebaliknya A Cu diam saja, ia tahu sang Siocia sengaja lagi menjajal Toan Ki apakah benar-benar tidak mahir ilmu silat atau cuma berlagak pilon?

Ternyata ketika jari Giok-yan hampir menempel Thay-yang-hiat, tapi Toan Ki tetap tidak berasa, bahkan pemuda itu berkata, "Kalian bertiga nona muda belia, kalau mesti menghadapi musuh jahat, rasanya memang kurang baik.”

Maka perlahan Giok-yan tarik kembali jarinya dan bertanya, "Apa benar-benar engkau tidak pernah belajar silat?”

"Jika kepandaianku Thay-yang-yong-swat-kang ini tidak terhitung sebagai ilmu silat, maka aku benar-benar tidak pernah belajar,” sahut Toan Ki dengan tertawa.

"He, aku mendapat alat,” tiba-tiba A Cu berkata. "Marilah kita berganti pakaian dahulu, kita pergi menemui mereka dengan menyamar sebagai kaum nelayan.”

Segera ia menunjuk ke sebelah timur sana dan berkata pula, "Di situ terdapat beberapa keluarga kaum nelayan,

semuanya kukenal, marilah kita ke sana dulu.”

"Bagus, akal bagus!” seru Toan Ki dengan tertawa.

Segera perahu mereka didayung ke sana. Rumah kaum nelayan itu berdekatan dengan Thing-hiang-cing-sik, maka A Cu cukup kenal para tetangga itu.

Lebih dulu A Cu, A Pik dan Giok-yan minta pinjam beberapa perangkat pakaian keluarga nelayan itu. Sesudah menyamar sebagai wanita tukang tangkap ikan, lalu datang giliran Toan Ki menyaru sebagai nelayan setengah umur.

Kepandaian menyamar A Cu ternyata sangat hebat dan persis sekali. Ia gunakan tepung dan tanah liat sebagai bahan pembantu untuk mengubah muka mereka. Ia sendiri menyaru sebagai nenek pula, Giok-yan dan A Pik menjadi wanita nelayan setengah umur. Hanya sekejap saja wajah mereka sudah berubah jauh daripada usia mereka yang sebenarnya.

Kemudian A Cu pinjam pula perahu nelayan, jala, pancing, dan ikan yang masih segar. Dengan perahu pinjaman itu mereka lantas menuju ke Thing-hiang-cing-sik.

Meski wajah mereka sekarang sudah sukar dikenali, tetapi suara Toan Ki, Giok-yan dan A Pik tetap tidak berubah, begitu pula tingkah laku mereka mudah diketahui. Maka berkatalah Giok-yan dengan tertawa, "A Cu, segala apa nanti terserahlah padamu, kami terpaksa menjadi orang gagu untuk sementara.”

"Memang begitulah harapanku, tanggung rahasia kita takkan diketahui musuh,” sahut A Cu dengan tertawa.

Perlahan perahu mereka meluncur sampai di depan rumah tinggal A Cu itu. Ternyata sekeliling rumah itu penuh pohon Yangliu, dari dalam rumah terus-menerus terdengar suara teriakan dan gelak tawa orang yang kasar dan kotor hingga sangat bertentangan dengan keindahan rumah dan pemandangan di sekitar rumah.

A Cu menghela napas dengan mendongkol. Segera A Pik membisikinya, "Jangan resah Enci A Cu, setelah mengenyahkan musuh akan kubantu membersihkan rumahmu.”

A Cu meremas-remas tangan A Pik dengan perlahan sebagai tanda terima kasih. Lalu ia membawa Toan Ki bertiga berputar ke arah dapur di belakang rumah. Di sana tampak koki Lau Koh yang gendut sedang sibuk hingga mandi keringat, anehnya koki itu terus-menerus meludahi santapan dalam wajan, lalu mencomot pula

segenggam debu kotoran dan ditaburkan juga ke dalam wajan.

A Cu merasa heran dan dongkol, serunya segera, "Hei, Lau Koh, apa yang kau lakukan?”

Keruan Lau Koh berjingkrak kaget, sahutnya tergegap, "O, aku ... aku ... engkau ....”

"Aku nona A Cu,” kata A Cu dengan tertawa.

"Hah, kiranya nona A Cu sudah pulang,” seru Lau Koh dengan girang. "Di depan banyak kedatangan orang jahat dan aku dipaksa menyediakan daharan, lihatlah!”

Habis berkata ia mengusap ingusnya dan dibuang ke dalam sayur, bahkan tambah diludahi sekali lagi, lalu tertawalah koki gendut itu dengan terkekeh-kekeh.

Melihat kelakuan si koki yang lucu itu, diam-diam A Cu dan A Pik juga geli menahan tawa.

Kiranya musuh yang bikin rusuh ke rumah A Cu itu telah memerintah dan memanggil Lau Koh ke sini dan ke sana hingga koki itu sibuk tak keruan, akhirnya disuruhnya pula cepat menyediakan perjamuan. Karena penasaran, terpaksa Lau Koh membalas dendam dengan menaruh kotoran di dalam masakan yang dibuatnya itu.

"Idiih, masakanmu begini kotor,” demikian kata A Cu dengan kening bekernyit.

"O, tidak, tidak! Masakan untuk nona, tentu sebelumnya kucuci tangan sebersih-bersihnya,” cepat Lau Koh menyahut. "Tapi masakan untuk orang jahat, sengaja kubikin sekotor-kotornya.”

"Kelak kalau kulihat sayur masakanmu, bila teringat perbuatanmu sekarang pasti aku akan merasa muak,” ujar A Cu.

"Tidak, pasti tidak sama! Santapan untuk nona, tanggung seratus persen bersih,” sahut Lau Koh agak gugup.

Harus diketahui bahwa meski A Cu adalah pelayan Buyung-kongcu, tapi di Thing-hiang-cing-sik ia adalah

majikan dan mempunyai pelayan dan koki sendiri serta tukang kebun dan lain-lain.

Kemudian A Cu tanya, "Ada berapa orang musuh yang datang?”

"Pertama datang satu rombongan kira-kira belasan orang jumlahnya, kemudian datang lagi serombongan lebih 20 orang,” tutur Lau Koh.

"Jadi terdiri dari dua rombongan? Orang-orang macam apa saja? Bagaimana dandanan mereka? Dari logat bicara mereka kedengarannya orang dari daerah mana?” tanya A Cu.

"Tampaknya yang satu rombongan orang utara, kelakuan mereka mirip bandit, dan rombongan yang lain terang orang Sujoan, semuanya memakai jubah putih, tapi tidak diketahui asal usulnya,” tutur Lau Koh.

"Mereka ingin mencari siapa? Apakah sudah melukai kita?” tanya A Cu.

"Kedua gerombolan itu begitu datang lantas menanyakan di mana Kongcu berada, kami menjawab tidak tahu, tapi mereka tidak percaya terus menggeledah seluruh isi rumah hingga para pelayan sama ketakutan dan bersembunyi, hanya aku merasa penasaran melihat tingkah laku mereka yang tidak kenal aturan itu, maka telah kutegur mereka, mak ....”

Sebenarnya Lau Koh hendak memaki dengan kata-kata kotor, tapi teringat olehnya sedang bicara dengan A Cu, maka kata-kata yang sudah setengah diucapkannya itu ditelannya kembali mentah-mentah.

A Cu dapat melihat mata kiri Lau Koh matang biru, pipi merah bengap, terang tadi habis dihajar oleh kawanan perusuh itu, pantas ia masih dendam, maka meludah dari mengingusi masakan yang akan disajikan kepada kawanan penyatron itu.

Setelah berpikir sejenak, segera A Cu membawa Giok-yan bertiga keluar dari pintu samping dapur dan menuju ke ruangan depan. Kira-kira beberapa meter sebelum sampai di samping ruangan tengah yang dituju, tiba-tiba terdengar suara ribut orang.

Giok-yan adalah gadis yang tidak pernah keluar rumah, sedang Toan Ki tinggal di daerah selatan yang jauh terpencil, maka mereka kurang pengalaman dan tidak mendengar sesuatu yang mencurigakan dari suara orangorang itu.

Akan tetapi A Cu yang pandai menyamar dan pintar menirukan macam-macam suara dan nada orang itu, begitu mendengar suara ramai orang-orang itu segera merasa heran, sebab suara ribut itu kedengarannya sangat kasar, banyak kata-kata di antaranya sukar dimengerti, biarpun A Cu mahir berbagai bahasa daerah. Malahan logat orang Sujoan sama sekali tidak terdengar, padahal menurut cerita Lau Koh tadi, katanya salah satu rombongan orang itu terdiri dari orang Sujoan.

Dengan perlahan A Cu mendekati jendela panjang ruangan itu, ia robek sedikit kertas jendela dengan kukunya dan mengintip ke dalam. Ia lihat sinar lilin terang benderang, tapi hanya sebelah timur saja yang tersorot jelas dan kelihatan balasan laki-laki kasar dan kekar sedang makan-minum dengan senang dan bebas, mangkuk piring di atas meja tampak tumpang-siur tak keruan, di sekitar meja pun morat-marit, beberapa orang di antaranya tampak duduk di atas meja, sumpit yang tersedia juga tak diperlukan lagi, dengan tangan mereka menyambar paha ayam dan daging terus digerogoti dengan lahap. Bahkan ada di antaranya terus menggunakan golok mereka untuk memotong daging dan ikan serta menyunduk dengan ujung golok, lalu dicaplok begitu saja dengan lahapnya.

Sungguh A Cu sangat gemas melihat tempatnya yang rajin bersih itu dipakai pesta pora hingga morat-marit tak keruan macamnya. Ia lihat tingkah laku orang-orang itu sangat kasar, terang adalah orang dari daerah perbatasan yang kurang beradab.

Sesudah mengintip rombongan orang kasar itu, kemudian ia memandang pula ke arah lain, semula ia tidak menaruh perhatian, tapi sesudah dipandang pula, tanpa terasa ia bergidik sendiri.

Kiranya rombongan lebih 20 orang di sebelah lain semuanya mengenakan jubah putih dan duduk dengan rajin dan prihatin. Di atas meja mereka cuma tersulut sebatang lilin kecil hingga tempat yang dicapai cahaya lilin itu cuma satu-dua meter jauhnya, hanya beberapa orang di antaranya yang berdekatan dengan api lilin itu dapat terlihat jelas, wajah mereka tampak kurus kering, perawakan juga tinggi kurus, muka kaku tanpa perasaan hingga lebih mirip mayat hidup belaka.

Makin dipandang A Cu makin mengirik. Orang-orang itu tetap duduk saja tanpa bergerak dan tidak bersuara, kalau bukan beberapa orang di antaranya terkadang mengedip mata, mungkin mereka akan disangka sebagai mayat hidup sungguh-sungguh.

Melihat A Cu terpaku di tempatnya, segera A Pik mendekatinya, ketika ia memegang tangan kawan itu, ia merasa tangan A Cu sedingin es, bahkan rada gemetar. Ia menjadi heran, ia pun mencukit setitik lubang kertas jendela dan ikut mengintip ke dalam. Kebetulan sorot matanya kebentrok dengan seorang laki-laki yang berwajah kaku dan kurus, orang itu melototi A Pik sekali serupa setan iblis. Keruan A Pik terkejut dan menjerit tertahan.

Sedikit suara berisik itu lantas didengar oleh orang-orang di dalam ruangan, terdengarlah suara gedubrakan,

daun jendela menjadi jebol dan berbareng empat orang melompat keluar. Persis yang dua orang adalah jago perbatasan dan dua orang yang lain adalah manusia aneh dari Sujoan.

"Siapa kalian?” bentak kedua laki-laki kekar itu segera.

"Kami nelayan di sekitar sini, kami dapat menangkap beberapa ekor ikan segar dan ingin dijual kepada tuan rumah di sini. Wah, ikan dan udang yang benar-benar masih sangat segar!” demikian sahut A Cu dengan bahasa daerah Sujoan sambil menunjukkan ikan dan udang besar yang sengaja dibawanya itu.

Sebenarnya laki-laki itu tidak paham bahasa yang diucapkan A Cu itu, tapi demi melihat dandanan A Cu sebagai wanita nelayan serta ikan dan udang yang dibawanya itu, dengan sendirinya mereka dapat menangkap maksud perkataannya. Segera salah seorang di antaranya merampas ikan yang dibawa A Cu sambil berseru, "Ah, kebetulan sekali. Hai, koki, mana koki! Ini, bawalah ke dapur untuk dimasak sebagai pengiring arak!”

Begitu pula laki-laki yang lain segera menerima ikan yang dipegang Toan Ki terus dibawa ke dapur.

Kedua tokoh aneh dari Sujoan yang kurus kering itu melihat A Cu berempat hanya kaum nelayan saja, mereka tidak urus lebih jauh dan hendak masuk kembali ke dalam.

Ketika kedua orang Sujoan itu berjalan lewat di samping A Pik, tiba-tiba A Pik mengendus semacam bau bacin seperti ikan busuk yang memualkan. Saking tak tahan, A Pik angkat sebelah tangan hendak mendekap hidung.

Karena itu sekilas salah seorang jago Sujoan itu dapat melihat lengan A Pik yang putih bersih laksana salju, ia menjadi curiga seketika. Pikirnya, "Masakah seorang wanita tukang tangkap ikan setengah umur bisa mempunyai lengan sedemikian putih dan halusnya?”

Langsung ia pegang lengan A Pik sambil membentak, "Aha, berapakah umurmu, hah?”

Keruan A Pik terkejut, tanpa pikir ia kipratkan tangannya sambil menjawab, "Apa yang hendak kau lakukan? Mengapa main pegang-pegang segala?”

Suara A Pik kedengaran nyaring dan lembut, tenaga kipratannya itu sangat cekatan pula hingga tangan Sujoankoay-khek atau orang aneh dari Sujoan itu kesemutan, ia terentak hingga terhuyung-huyung mundur beberapa tindak.

Karena kejadian ini, pecahlah guci wasiat A Cu, terbongkarlah rahasia penyaruannya. Begitu keempat orang di luar itu berteriak, lantas saja dari dalam membanjir keluar pula belasan orang hingga Toan Ki berempat dikepung rapat di tengah.

Segera seorang laki-laki kekar menarik sekuatnya jenggotnya Toan Ki, untuk menghindar terang Toan Ki tidak mampu, maka terlepaslah jenggot palsunya itu. Seorang lagi hendak memegang A Pik, tapi sekali mengegos sambil mendorong, kontan orang itu disengkelit roboh oleh si gadis. Menyusul seorang lain tiba-tiba membabat dengan pedangnya dari belakang, cepat A Pik mendakkan tubuh untuk menghindar, tapi ia lupa telah memakai rambut palsu hingga sanggulnya lebih tinggi beberapa senti daripada biasanya. "Sreet”, tahu-tahu rambut palsunya yang ubanan itu jatuh tersapu pedang hingga kelihatanlah rambut asli A Pik yang hitam mengilap.

Keruan suasana menjadi geger seketika, beramai-ramai kawanan penyatron itu berteriak-teriak, "Hai, matamata musuh, tangkap mereka!” — "Ya, malah sengaja menyamar hendak menipu kita!” — "Lekas tangkap mereka dan beri hajaran yang setimpal!”

Namun A Cu lantas balas membentak dengan gusar, "Tutup mulut kalian! Rumah siapa ini? Siapa yang menjadi mata-mata?”

Tapi orang-orang itu lantas menggiring A Cu berempat ke dalam ruangan dan memberi laporan kepada seorang tua yang berduduk di pojok timur sana, "Yau-cecu, kita telah dapat menangkap mata-mata yang menyamar sebagai nelayan!”

Di tengah kepungan orang sebanyak itu, Giok-yan, A Cu, dan A Pik menjadi ragu-ragu. Meski mereka bertiga mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi, tapi mereka kurang pengalaman dan masih muda, mereka menjadi bingung apakah mesti melabrak perusuh-perusuh ini atau menunggu sampai nanti bila keadaan sudah terpaksa. Lebih-lebih Toan Ki, ia tidak mahir ilmu silat, sama sekali ia tidak tahu siapa di antara perusuh-perusuh itu paling kuat dan siapa lebih lemah. Karena itu mereka berempat hanya saling pandang saja dengan bingung, terpaksa mereka berdiri di depan orang tua itu untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan olehnya.

Perawakan orang itu sangat kekar dan tegap, jenggotnya yang putih itu memanjang sampai di dada, sebelah tangannya sedang memainkan tiga butir bola besi hingga menerbitkan suara gemerantang yang nyaring.

Terdengarlah ia bersuara, "Mata-mata musuh dari manakah kalian ini? Kalian menyamar dengan tingkah laku yang mencurigakan, kalian pasti bukan manusia baik-baik.”

"Menyamar sebagai nenek tidak menarik, aku tidak mau lagi A Cu,” tiba-tiba Giok-yan berkata sambil membuang rambut palsunya serta mengucap muka sendiri hingga rontok semua tepung dan tamah yang lengket di mukanya itu.

Ketika mendadak seorang nenek berubah menjadi seorang gadis cantik tak terhingga, seketika laki-laki yang berada di situ terlongong-longong kesima, untuk sesaat di tengah ruangan itu menjadi sunyi senyap. Bahkan jago-jago Sujoan mengarahkan sinar mata mereka kepada Giok-yan.

"Kalian pun buang saja penyamaranmu,” kata Giok-yan kepada A Cu dan lain-lain. Lalu dengan tertawa katanya pula kepada A Pik, "Gara-garamu hingga rahasia kita terbongkar.”

Meski sekelilingnya dikepung rapat oleh laki-laki buas sebanyak itu, namun Giok-yan tetap bicara dengan sewajarnya saja seperti pandang sebelah mata kepada kawanan perusuh itu.

Segera Toan Ki, A Cu dan A Pik menurut dan membersihkan samaran mereka. Untuk sejenak semua laki-laki yang berada di situ sama ternganga, mereka pandang Giok-yan, lalu memandang pula A Cu dan A Pik, sungguh tak terpikir oleh mereka bahwa di dunia ini ada nona-nona cantik bagaikan bidadari seperti ini?

Selang agak lama orang tua yang tegap kekar itu baru membuka suara lagi, "Siapakah kalian? Untuk apa kalian datang ke sini?”

"Haha, sungguh lucu!” sahut A Cu dengan tertawa. "Aku inilah pemilik Thing-hiang-cing-sik, bukannya aku menegur kalian, sebaliknya kalian malah tanya padaku. Bukankah sangat janggal? Nah, siapakah kalian, untuk apa kalian datang ke sini?”

"O, jadi kau tuan rumah di sini, itulah bagus sekali,” kata orang tua itu. "Apakah engkau ini Buyung-siocia? Tentunya Buyung Bok itu ayahmu, bukan?”

"Aku cuma seorang budak rendahan, masakah punya rezeki sebesar itu untuk menjadi putri Loya?” sahut A Cu dengan tersenyum. "Siapakah tuan? Ada keperluan apa datang ke sini?”

Mendengar A Cu mengaku sebagai seorang budak saja, kakek itu separuh tidak percaya, ia pikir sejenak, kemudian baru berkata, "Jika demikian, silakan panggil keluar majikanmu, nanti akan kuberi tahukan maksud kedatanganku.”

"Majikanku sedang bepergian,” sahut A Cu. "Tuan ada keperluan apa, katakan padaku juga sama saja. Siapakah nama tuan yang terhormat, apakah tidak dapat memberi tahu?”

"Ehm, aku Yau-cecu dari Cin-keh-ce di Hunciu, namaku Yau Pek-tong adanya,” sahut si kakek.

"O, kiranya Yau-loyacu, kagum, sudah lama kagum!” ujar A Cu.

"Haha, seorang nona cilik seperti dirimu bisa tahu apa?” kata Yau Pek-tong dengan tertawa.

Di luar dugaan Ong Giok-yan lantas menyambung, "Cin-keh-ce di Hunciu terkenal karena ‘Ngo-hou-toan-bunto’. Dahulu Yau Kong-bang menciptakan 64 jurus Toan-bun-to itu, namun keturunannya telah melupakan lima jurus di antaranya dan kabarnya tinggal 59 jurus saja yang masih turun-temurun diajarkan anak muridnya. Yaucecu, engkau sendiri sudah mahir sampai jurus keberapa?”

Sungguh kejut Yau Pek-tong tak terkatakan, tanpa terasa tercetus jawabannya, "Ngo-hou-toan-bun-to dari Cinkeh-ce kami memang aslinya ada 64 jurus, dari mana engkau dapat tahu!”

"Begitulah apa yang tertulis dalam buku, tentunya tidak salah bukan?” sahut Giok-yan dengan tawar. "Dan kelima jurus yang kurang itu masing-masing adalah Pek-hou-tiau-kang (harimau putih melompat parit), ‘It-siuhong-sing’ (sekali bersuit keluarlah angin), ‘Cian-bok-cu-ju’ (memotong dan menubruk dengan bebas), ‘Hiongpa-kun-san’ (merajai di antara gunung-gunung) dan jurus terakhir adalah ‘Hong-siang-seng-say’ (taklukkan gajah dan kalahkan singa), betul tidak?”

Yau Pek-tong mengelus jenggotnya dengan heran. Tentang kekurangan lima jurus paling bagus dari ilmu golok perguruan sendiri itu diketahuinya memang sejak dulu tidak diajarkan lagi, dan tentang kelima jurus apa yang hilang itu pun tiada seorang yang tahu. Tapi kini nona ini dapat menguraikan secara lancar dan tepat, keruan Yau Pek-tong terkejut dan curiga, pertanyaan Giok-yan itu pun tak bisa dijawabnya.

Segera seorang laki-laki setengah umur di antara rombongan jago-jago Sujoan yang aneh itu berkata dengan suara yang banci, "Ngo-hou-toan-bun-to dari Cin-keh-ce sangat disegani di daerah Hosiok, baik lebih lima jurus ataupun kurang lima jurus juga tidak menjadi soal. Numpang tanya ada hubungan apakah nona ini dengan Buyung Hok Buyung-siansing?”

"Buyung-loyacu adalah aku punya Kuku, dan siapa nama tuan yang terhormat?” sahut Giok-yan.

"Nona berasal dari keluarga terpelajar, sekali melihat lantas dapat mengatakan asal usul ilmu silat Yau-cecu,” kata laki-laki itu dengan dingin. "Maka tentang asal-usul kami, ingin kuminta nona juga coba-coba menerkanya.”

"Untuk itu coba mengunjuk sejurus-dua lebih dulu,” sahut Giok-yan. "Kalau cuma berdasarkan beberapa patah kata saja aku tidak sanggup menerkanya.”

"Benar,” ujar laki-laki itu sambil mengangguk. Habis itu ia lantas masukkan tangan kanan ke dalam lengan baju kiri dan tangan kiri menyusup ke dalam lengan baju kanan hingga mirip orang yang kedinginan. Tapi ketika kemudian kedua tangan dilolos keluar, tahu-tahu setiap tangan sudah bertambah dengan semacam senjata yang aneh bentuknya.

Senjata yang dipegang tangan kiri adalah sebatang Thi-cui (gurdi) sepanjang belasan senti, bagian ujungnya yang runcing itu melengkung-lengkung seperti keris. Sedangkan tangan kanan memegang senjata sebatang palu kecil, palu itu berbentuk astakona atau segi delapan, panjangnya kurang lebih 30 senti. Senjata-senjata yang kecil mungil itu lebih mirip mainan kanak-kanak, tampaknya kurang berguna dipakai sebagai alat bertempur.

Karena itu segera beberapa laki-laki kekar dari rombongan sebelah timur sana lantas bergelak tertawa. Kata mereka di antaranya, "Hahaha, mainan anak kecil juga dikeluarkan di sini!”

Tapi Giok-yan lantas berkata, "Ehm, senjatamu ini adalah ‘Lui-kong-hong’ (beledek menyambar), agaknya tuan ini mahir menggunakan Am-gi dan Ginkang. Menurut catatan di dalam buku, ‘Lui-kong-hong’ adalah senjata tunggal dari Jing-sia-pay dari Sujoan. ‘Jing’ meliputi 18 macam senjata dan ‘Sia’ mencakup 36 tipu serangan. Caranya sangat aneh dan hebat. Besar kemungkinan tuan she Suma, bukan?”

Wajah laki-laki itu sebenarnya selalu membeku tanpa perasaan, tapi demi mendengar uraian Giok-yan itu, seketika wajahnya berubah, ia saling pandang dengan kedua pembantu di kanan-kirinya. Selang sejenak baru ia berkata pula, "Betapa luas pengetahuan ilmu silat dari Buyung-si di Koh-soh, nyata memang bukan omong kosong belaka. Cayhe memang she Suma dan bernama Lim. Numpang tanya sekalian pada nona, apa benarbenar istilah ‘Jing’ meliputi 18 macam senjata dan ‘Sia’ mencakup 36 tipu serangan?”

"Pertanyaanmu ini sangat kebetulan,” sahut Giok-yan. "Aku justru merasa ‘Jing’ itu meliputi 19 jenis senjata, sebab di antaranya Po-te-ci (biji tasbih) dan Thi-lian-ci (biji teratai) tidak dapat dipersamakan, bentuknya memang hampir mirip, tapi cara menggunakannya berbeda. Sedang mengenai ‘Sia’ yang mencakup 36 tipu serangan itu, kukira tiga serangan ‘Boh-kah’ (memecahkan perisai), ‘Boh-tun’ (memecahkan tameng), dan ‘Boh-pay’ (memecahkan utar-utar) satu-sama-lain tidak banyak bedanya, maka lebih baik dihapuskan, hingga tinggal 33 jurus saja, supaya lebih sempurna.”

Suma Lim terlongong-longong mendengarkan cerita Ong Giok-yan itu. Padahal dalam ilmu silat perguruannya itu, sebagian belum pernah lengkap dipelajarinya, dan bagian lain justru sangat diandalkan olehnya. Tapi kini gadis semuda ini berani memberi komentar tentang ilmu silat perguruannya itu, keruan ia menjadi gusar dan menyangka orang keluarga Buyung sengaja hendak menghina padanya.

Namun watak Suma Lim sangat sabar, ia dapat menahan perasaannya, maka katanya, "Banyak terima kasih atas petunjuk nona, sungguh aku seperti orang bodoh yang menjadi pintar sekarang.”

Dan sesudah berpikir sejenak, timbul suatu akalnya, segera ia berkata kepada pembantu di sisi kiri, "Cu-sute, boleh coba kau minta sedikit pengajaran kepada nona ini.”

Sutenya yang she Cu itu adalah seorang laki-laki setengah umur bermuka jelek karena seantero mukanya burik, kecuali jubahnya yang putih mulus itu, kepalanya juga memakai ubel-ubel putih hingga mirip orang sedang berkabung. Di bawah sinar lilin yang remang-remang itu tampaknya menjadi tambah seram.

Kiranya nama lengkap laki-laki ini Cu Po-kun, sebelum masuk perguruan Jing-sia-pay ia sudah pernah belajar silat. Usianya sebenarnya balasan tahun lebih tua daripada Suma Lim, tapi karena masuk perguruan lebih belakang, maka urut-urutannya menjadi lebih muda daripada Suheng yang kini menjabat ketua perguruan itu.

Tentang asal usul ilmu silat yang dipelajari Cu Po-kun sebelum masuk Jing-sia-pay, karena selama ini dia bungkam saja dan tidak pernah dipamerkan, maka Suma Lim sendiri pun tidak jelas, beberapa kali ia pernah tanya, tapi Cu Po-kun selalu menjawab dengan samar-samar. Yang terang bagi Sama Lim adalah ilmu silat Cu Po-kun itu sangat tinggi dan pasti tidak di bawah dirinya.

Sekarang ia sengaja suruh Cu Po-kun bergebrak dengan Ong Giok-yan, taktiknya memang sangat bagus. Pertama, kalau si nona dapat membongkar rahasia Cu Po-kun, itu berarti akan terjawablah teka-teki sang Sute yang belum terpecahkan selama ini.

Maka Cu Po-kun lantas berdiri, ia pun memberi hormat sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam lengan baju, ketika tangan terlolos keluar, tahu-tahu sudah memegang sepasang senjata gurdi dan palu atau Lui-konghong serupa apa yang dikeluarkan Suma Lim tadi.

"Silakan nona memberi petunjuk,” demikian katanya segera.

Semua orang menjadi heran, kalau dengan mudah senjata Suma Lim dapat ditebak dengan jitu oleh si nona, kini senjata Cu Po-kun juga serupa dengan Suma Lim, masakah suruh orang menebak lagi?

Maka Giok-yan lantas berkata, "Jika tuan juga memakai senjata ‘Lui-kong-hong’, dengan sendirinya juga berasal dari Jing-sia-pay.”

Namun Suma Lim lantas memberi penjelasan, "Cu-sute sebelum masuk perguruan kami sudah belajar ilmu silat aliran lain. Dan dari aliran manakah asal usulnya itulah kami ingin menguji ketajaman pandangan nona.”

Ini benar-benar persoalan sulit pikir Giok-yan. Dan belum lagi ia membuka suara, tiba-tiba Yau Pek-tong mendahului buka suara, "Suma-ciangbun, apa artinya caramu minta si nona mengenali Kungfu asli Sutemu itu? Bukankah hal ini terlalu janggal?”

"Terlalu janggal bagaimana?” tanya Suma Lim dengan tercengang.

"Habis, muka Sutemu penuh lubang-lubang, ukirannya sangat bagus dan rata, muka aslinya dengan sendirinya sukar diterka,” kata Yau Pek-tong dengan tertawa.

Mendengar Cecu mereka mengolok-olok muka Cu Po-kun yang bopeng itu, seketika bergelak tawalah orangorang dari Cin-keh-ce hingga riuh rendah.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara mendenging, secepat kilat sebuah senjata rahasia kecil lembut menyambar ke arah dada Yau Pek-tong.

Kiranya watak Cu Po-kun itu sangat keji dan culas, biasanya paling benci kalau ada orang menertawakan mukanya yang burik itu. Apalagi kini Yau Pek-tong mengolok-oloknya di muka wanita cantik, keruan bencinya sampai tujuh turunan, tanpa pikir lagi segera ia arahkan gurdinya ke dada Yau Pek-tong, sekali jarinya memijat ujung gurdi, terus saja sebatang Am-gi atau senjata gelap menyambar ke depan.

Meski Yau Pek-tong juga sudah menduga bahwa olok-oloknya itu pasti akan menimbulkan serangan lawan, tapi tak tersangka olehnya serangan Cu Po-kun bisa begitu cepat datangnya. Dalam gugupnya ia tidak sempat mencabut golok buat menangkis, terpaksa tangan kirinya menyambar tatakan lilin di atas meja untuk menyampuk Am-gi itu.

"Creng”, Am-gi itu mencelat ke atas dan menancap di belandar, kiranya Am-gi itu adalah sebatang jarum yang panjangnya cuma beberapa senti saja. Dan ternyata jarum sekecil itu membawa tenaga yang sangat besar, tangan Yau Pek-tong sampai pegal dan kesemutan hingga tatakan lilin itu terbentur jatuh ke lantai dan menerbitkan suara gemerantang nyaring.

Seketika gempar gerombolan Cin-keh-ce itu. Mereka berkaok-kaok dan mencaci-maki kalang kabut dari yang halus sampai yang paling kasar. Tapi kawanan orang Jing-sia-pay tetap bersikap dingin dan bungkam saja

terhadap teriakan dan makian pihak Cin-keh-ce dianggap seperti tidak mendengar dari tidak melihat saja.

Sungguh tak terduga oleh Yau Pek-tong bahwa tatakan lilin seantap itu dapat terlepas dari cekalannya hanya terbentur oleh sebatang jarum selembut itu. Kalau menurut peraturan Bu-lim itu berarti dirinya telah kalah satu jurus lebih dulu. Pikirnya dalam hati, "Ilmu silat lawan tampaknya agak aneh, seumpama mesti bertempur dengan mereka juga harus berhadapan secara terang-terangan. Tapi menurut uraian nona cilik itu tadi katanya Jing-sia-pay mempunyai 18 macam jenis serangan, mungkin maksudnya 18 jenis Am-gi, untuk ini aku harus berlaku hati-hati supaya tidak kecundang lagi.”

Segera ia hentikan teriakan begundalnya, lalu katanya dengan tertawa, "Kepandaian saudara Cu barusan sungguh sangat bagus dan teramat keji pula! Apa namanya kepandaianmu ini?”

Tapi Cu Po-kun cuma tertawa dingin saja tanpa menjawab. Sebaliknya orang-orang Cin-keh-ce lantas berteriak-teriak lagi. Satu di antaranya berbadan segendut babi menggembor, "Namanya tidak punya muka!”

"Hahaha! Sungguh tepat, sungguh jitu! Memang orangnya tidak punya muka, nama ini benar-benar sesuai sekali!” demikian seorang lagi yang bermuka mirip monyet menanggapi.

Teranglah ucapan orang Cin-keh-ce itu sengaja digunakan untuk menyindir muka Cu Po-kun yang burik bagai sarang tawon itu.

Giok-yan menggeleng kepala, katanya kemudian dengan suara lembut, "Yau-cecu, ini terang engkau yang salah!”

"Salah apa?” tanya Pek-tong melengak.

"Setiap manusia jarang yang tidak punya cacat badan, baik besar maupun kecil cacat itu,” sahut Giok-yan. "Umpama waktu kecil terjatuh mungkin akan mengakibatkan kakinya patah dan menjadi pincang. Dalam pertempuran, siapa berapi menjamin takkan kehilangan sebelah kaki atau sebelah matanya. Maka kalau di antara kawan Bu-lim ada yang badan terdapat sesuatu cacat sebenarnya adalah soal jamak bukan?”

Terpaksa Yau Pek-tong membenarkan.

"Dan tentang Cu-ya ini, karena waktu kecilnya menderita sesuatu penyakit sehingga mengakibatkan mukanya cacat, apanya yang perlu ditertawakan?” kata Giok-yan lebih lanjut. "Seorang laki-laki sejati yang harus

diutamakan pertama adalah kepribadiannya, jiwa yang bersih. Kedua adalah perbuatannya, amal bakti bagi sesamanya, dan ketiga mengenai ilmu silatnya atau ilmu sastranya. Orang laki-laki tidak bersolek seperti wanita, tentang bagus atau tidak mukanya, apa alangannya?”

Uraian Giok-yan yang terus terang dan wajar ini membikin Yau Pek-tong tak bisa menjawab. Akhirnya ia terbahak-bahak dan berkata, "Hahaha, ada benarnya juga kata-kata nona cilik ini. Haha, jika demikian, jadi aku yang salah menertawakan Cu-heng!”

Giok-yan tersenyum, katanya, "Loyacu berani mengaku salah secara terus terang, suara tanda jiwa kesatria Loyacu pantas dipuji.”

Sampai di sini, tiba-tiba ia berpaling kepada Cu Po-kun dan berkata dengan menggeleng kepala, "Tidak, cukup, percumalah itu!”

Nada ucapannya sangat ramah dan penuh simpati mirip seorang kakak sedang memberi nasihat kepada adiknya.

Sudah tentu ucapan terakhir si nona bukan saja membingungkan orang lain, bahkan Cu Po-kun juga melongo tidak paham apa maksud perkataan Giok-yan itu.

Tadi ia merasa sangat senang dan berterima kasih kepada si nona oleh karena selama hidupnya yang paling disesalkan adalah mukanya yang burik itu, kini gadis itu membela orang yang cacat dan katanya yang penting bagi seorang pria adalah jiwa pribadi dan tingkah lakunya.

Tapi sekarang didengarnya pula gadis itu berkata "tidak cukup dan percumalah”, entah apa yang dimaksudkannya? Apa mungkin maksudnya aku punya ‘Thian-ong-po-sim-ciam’ belum sempurna dan percuma kalau digunakan? Demikian pikir Cu Po-kun.

Padahal ia yakin ‘Thian-ong-po-sim-ciam’ atau Jarum Raja Langit yang jumlah seluruhnya ada 12 batang itu kalau sekali dibidikkan pasti jiwa si tua bangka Yau Pek-tong sudah melayang sejak tadi. Ia pikir setiap saat aku toh dapat menghabiskan nyawanya, sementara ini biarlah aku tidak gubris padanya, supaya tidak sampai rahasiaku terbongkar di hadapan Suheng Suma Lim.

Karena pikiran itu, ia pura-pura bodoh dan tanya Giok-yan, "Apa artinya yang nona katakan itu?”

"Kumaksudkan kau punya ‘Thian-ong-po-sim-ciam’ benar-benar semacam Am-gi yang sangat ganas, tetapi

....”

Belum selesai Giok-yan bicara, serentak Suma Lim dan ketiga tokoh Jing-sia-pay yang lain berseru kaget, "Hah, apa? Thian-ong-po-sim-ciam?”

Cu Po-kun sendiri juga tergetar dan air muka berubah tapi cepat ia tenangkan diri dan menjawab, "Salah pandangan nona ini, bukan Thian-ong-po-sim-ciam, tapi Am-gi andalan Jing-sia-pay kami yang disebut ‘Jinghong-ciam’ (jarum tawon hijau).”

"Bentuk Jing-hong-ciam memang demikian adanya,” sahut Giok-yan dengan tertawa. "Caramu membidik Thian-ong-po-sim-ciam juga serupa dengan cara menggunakan Jing-hong-ciam. Tapi dasar dari Am-gi masingmasing terletak pada tenaga yang digunakannya dan daya menyambarnya. Seperti melempar pisau Siau-limpay mempunyai tenaga lemparan Siau-lim-pay sendiri, Hoa-san-pay juga mempunyai gaya sendiri yang tidak sama. Tentang caramu ....”

"Nona cilik tahu apa? Hendaknya jangan banyak omong hingga mencari kematian sendiri, tiba-tiba Cu Po-kun menyela dengan bengis. Sekilas sinar matanya penuh nafsu membunuh, gurdi baja terangkat di depan dada, asal palu mengetok sekali pada ujung gurdi, seketika jarum bajanya akan menyambar ke arah Giok-yan.

Namun demikian, biarpun ia sangat keji, demi melihat si gadis yang cantik molek, pula tadi orang telah membela cacat mukanya, seketika ia tidak tega turun tangan jahat untuk membunuh Giok-yan.

Namun Giok-yan menghadapinya dengan tersenyum saja, katanya, "Engkau tidak tega membunuhku, terima kasih atas kebaikanmu. Tapi andaikan kau berani turun tangan, rasanya juga percuma. Jing-sia-pay dan Honglay-pay bermusuhan turun-temurun, usahamu sekarang sudah pernah dicoba oleh Ciangbunjin angkatan ketujuh golongan kalian, yaitu Hay-hong-cu Totiang. Kepintarannya dan ilmu silatnya kurasa tidak berada di bawahmu.”

Toan Ki, A Cu, A Pik, Yau Pek-tong, Suma Lim dari lain-lain menyaksikan gurdi Cu Po-kun sudah diarahkan pada Giok-yan, akan tetapi tampaknya agak takut-takut. Padahal tadi waktu ia menyerang Yau Pek-tong, betapa cepat dan kuat sambaran senjata rahasianya sungguh jarang ada bandingannya, terang di dalam gurdi itu terpasang pegas yang daya jepretnya sangat keras. Untung Yau Pek-tong cukup gesit hingga terhindar dari maut. Tapi kini kalau Cu Po-kun juga membidikkan Am-gi seperti tadi, apakah gadis jelita seperti Giok-yan ini sanggup menghindar?

Namun menghadapi ancaman elmaut Giok-yan ternyata anggap sepi saja, bahkan seenaknya ia menceritakan pula rahasia besar Bu-lim tentang permusuhan Jing-sia-pay dan Hong-lay-pay, keruan seketika tokoh-tokoh Jing-sia-pay menjadi curiga dan sama melototi Cu Po-kun, pikir mereka, "Jangan-jangan Cu-sute ini orang Hong-lay-pay yang menjadi musuh bebuyutan kita dan sengaja menyusup ke dalam Jing-sia-pay kita? Akan

tetapi mengapa logat suaranya orang Sujoan dan tiada tanda logat orang Soatang?”

Kiranya Hong-lay-pay itu berada di daerah Soatang-poan-to (semenanjung Santung), dan sudah ratusan tahun lamanya bermusuhan dengan Jing-sia-pay di Sujoan, awal mula permusuhan itu adalah karena berdebat tentang ilmu silat hingga akhirnya jadi bunuh-membunuh. Tapi karena ilmu silat kedua pihak sama kuatnya, masingmasing mempunyai keunggulan sendiri-sendiri, maka kedua pihak sama-sama belum terkalahkan, sebaliknya telah banyak memakan korban.

Hay-hong-cu yang disebut Giok-yan tadi adalah seorang tokoh kenamaan Hong-lay-pay, ia merasa ilmu silat kedua pihak sama kuatnya, untuk mengalahkan lawan terang tidak mungkin. Jalan satu-satunya adalah mempelajari juga ilmu silat pihak lawan, dengan demikian lawan dapat dikalahkan.

Karena itulah ia kirim salah seorang murid pilihannya untuk menyelundup ke dalam Jing-sia-pay. Akan tetapi sebelum murid itu cukup sempurna mempelajari ilmu silat Jing-sia-pay, ia keburu diketahui dan dihukum mati oleh ketua Jing-sia-pay.

Karena kejadian itu, permusuhan kedua pihak semakin mendalam dan kewaspadaan masing-masing pihak pun tambah tinggi, khawatir kalau pihak lawan menyelundupkan mata-mata ke dalam perguruan sendiri.

Maka selama berpuluh tahun ini Jing-sia-pay menetapkan peraturan tidak mau menerima orang dari daerah utara sebagai murid, bahkan sampai akhirnya penerimaan anak murid hanya terbatas pada orang Sujoan sendiri saja.

"Jing-hong-ciam” yang dikatakan itu adalah Am-gi khas golongan Jing-sia-pay, sebaliknya "Thian-ong-po-simciam” yang disebut Giok-yan itu adalah senjata andalan Hong-lay-pay.

Sebagai murid Jing-sia-pay, senjata yang dibidikkan Cu Po-kun itu dengan sendirinya adalah Jing-hong-ciam, tapi Giok-yan justru bilang itu adalah Thian-ong-po-sim-ciam, keruan hal itu membikin jago-jago Jing-sia-pay terkejut dan curiga. Sebab sama halnya dengan Jing-sia-pay, dalam Hong-lay-pay juga ada peraturan yang melarang menerima anak murid dari daerah lain, kecuali orang Soatang sendiri. Sedang Cu Po-kun adalah keturunan keluarga Cu yang terkenal di kabupaten Khekoan di Sujoan Barat, mana bisa dia menjadi murid Hong-lay-pay?

Maksud Suma Lim menyuruh Cu Po-kun maju menghadapi Giok-yan juga cuma timbul dari rasa ingin tahu asal usul Cu-sute itu dan bukan timbul dari niat jahat. Maka ia benar-benar tidak mengerti mengapa senjata rahasia Cu-sute itu adalah senjata andalan Hong-lay-pay yang merupakan musuh besar itu?

Kalau ada orang yang paling kaget, maka orang itu adalah Cu Po-kun sendiri, yaitu karena rahasia pribadinya kena dibongkar oleh Giok-yan.

Kirinya guru Cu Po-kun yang pertama bernama To-leng-cu, seorang tokoh terkemuka dari Hong-lay-pay. Pada waktu mudanya To-leng-cu pernah juga dihajar orang Jing-sia-pay, maka dengan mati-matian ia mencari jalan untuk membalas dendam. Akhirnya ia mendapat satu akal.

Ia suruh seorang kawannya menyaru sebagai begal besar dan menggerayangi keluarga Cu di Khekoan, tuan rumahnya diringkus serta akan memerkosa anak istrinya. Sementara itu To-leng-cu sudah menunggu di luar rumah, pada saat yang paling genting itulah baru ia muncul dan pura-pura menolong keluarga Cu serta mengenyahkan penjahat itu.

Sudah tentu tuan rumah sangat berterima kasih dan menganggapnya sebagai dewa penolong. To-leng-cu sengaja berlagak sebagai imam bisu, ia memberi isyarat bahwa bukan mustahil kawanan begal itu akan datang kembali, keruan tuan rumahnya ketakutan setengah mati dan minta tolong supaya To-leng-cu suka tinggal sementara waktu di rumah keluarga Cu.

Padahal sebelumnya To-leng-cu sudah menyelidiki dan mendapat tahu putra keluarga Cu, yaitu Cu Po-kun mempunyai bangun tubuh dan bakat yang bagus, semula ia pura-pura keberatan, tapi kemudian setelah dimohon pula akhirnya ia terima undangan tuan rumah dan tinggal di situ.

Maju setindak, pada suatu kesempatan lain ia lantas memancing agar Cu Po-kun mengangkatnya sebagai guru. Dan nyata, Cu Po-kun memang sangat pintar, bakatnya sangat menonjol, belajarnya juga giat maka kemajuannya sangat pesat. Tiada seberapa tahun, jadilah Cu Po-kun seorang tokoh pilihan Hong-lay-pay.

To-leng-cu itu kecuali bermaksud membalas dendam kepada Jing-sia-pay, sebenarnya tiada niat jahat lain. Ia pun sangat sabar dan telaten, sedari mulai sampai akhir ia tetap pura-pura bisu dan tidak pernah bicara sepatah kata pun.

Pada waktu memberi pelajaran pada Cu Po-kun juga dilakukan dengan isyarat-isyarat tangan dan bila perlu dengan tulisan, sebab itulah meski ia tinggal bersama Cu Po-kun selama sepuluh tahun, si murid tetap tidak pernah mendengar sepatah kata sang guru yang berlogat Soatang.

Ketika Cu Po-kun sudah tamat belajar, To-leng-cu lantas menuliskan sebab musabab tentang dirinya memondok di rumah keluarga Cu serta minta keputusan si murid. Sudah tentu mengenai muslihat kawannya disuruh menyamar sebagai begal dan dirinya pura-pura menolong itu sama sekali tidak disinggungnya.

Oleh karena selama sepuluh tahun itu To-leng-cu sangat berbudi padanya, boleh dikatakan segenap ilmu silat Hong-lay-pay telah diturunkan padanya, karena terima kasihnya, setelah mengetahui maksud tujuan sang guru, segera Cu Po-kun terima tugas dengan baik dan masuk Jing-sia-pay sebagai murid Suma Wi.

Suma Wi adalah ayah Suma Lim yang menjadi ketua Jing-sia-pay sekarang. Tatkala itu usia Cu Po-kun sudah tidak muda lagi, sebenarnya Suma Wi tidak mau menerimanya. Tapi keluarga Cu adalah hartawan berpengaruh di Sujoan Barat, betapa pun Jing-sia-pay juga ingin menambah nama baik dengan dukungan golongan berpengaruh, maka akhirnya ia pun menerimanya.

Di dalam memberi pelajaran, Suma Wi dapat mengetahui juga bahwa Cu Po-kun sudah menguasai dasar ilmu silat yang lumayan, beberapa kali ia coba tanya, tapi Po-kun memberi jawaban bahwa kepandaiannya itu diperoleh dari guru silat pasaran yang diundang ke rumah oleh orang tua. Suma Wi pikir hartawan besar seperti keluarga Cu memang bukan mustahil ada beberapa penjaga rumah yang berilmu silat, maka ia pun tidak tanya lebih jauh.

Cu Po-kun sendiri sebelum masuk Jing-sia-pay lebih dulu sudah diberi petunjuk oleh To-leng-cu tentang ilmu silat Jing-sia-pay mana yang harus diperhatikan dan diselami secara mendalam. Apalagi setiap tahun baru atau hari raya ia suka memberi sumbangan-sumbangan kepada sang guru dan para saudara seperguruan, bila Suhu ada kesukaran apa-apa, berkat keluarganya yang berharta dan berpengaruh, segala apa dapat dibereskannya dengan baik olehnya.

Karena itulah Suma Wi merasa tidak enak sendiri, dalam hal pelajaran ia berikan apa semestinya, maka apa yang dipahami Cu Po-kun boleh dikatakan tiada berbeda daripada Suma Lim yang merupakan putra tunggal Suma Wi itu.

Sebenarnya tiga-empat tahun yang lalu To-leng-cu telah minta pada Po-kun agar pura-pura ingin berkelana untuk menambah pengalaman, lalu datang ke Hong-lay-pay untuk mempertunjukkan ilmu silat Jing-sia-pay yang telah dipelajarinya itu. Dengan begitu supaya Hong-lay-pay bisa menyelami kepandaian musuh untuk kemudian dapat membasminya habis-habisan.

Namun sejak Cu Po-kun menjadi murid Jing-sia-pay, ia merasa Suma Wi memandangnya tidak berbeda serupa putra sendiri, kalau dia disuruh membasmi Jing-sia-pay dengan tangan sendiri dan membunuh keluarga Suma, betapa pun ia tidak tega.

Maka diam-diam ia ambil keputusan kalau nanti Suma Wi sudah wafat barulah ia tega melaksanakan niat Toleng-cu itu. Mengenai Suma Lim karena Suheng ini lumrah saja terhadapnya dan tiada sesuatu yang luar biasa, kalau membunuhnya terasa tidak menjadi soal. Sebab itulah rencana To-leng-cu menjadi tertunda lagi beberapa tahun.

Beberapa kali To-leng-cu pernah mendesaknya, tapi selalu Po-kun memberi alasan belum sempurna mempelajari kepandaian Jing-sia-pay, belum lengkap apa yang dipahaminya, kalau buru-buru turun tangan, mungkin akan gagal setengah jalan. Karena itu, dengan sendirinya To-leng-cu tidak berani memaksa dan terpaksa bersabar terus.

Sampai pertengahan tahun yang lalu, tiba-tiba terjadilah sesuatu di luar dugaan. Suma Wi telah dibinasakan orang di dekat Pek-te-sia dengan "Boh-goat-cui”, salah satu di antara ke-36 macam Kungfu Jing-sia-pay sendiri. Telinganya pecah dan otaknya terluka hingga tewas.

Apa yang disebut "Boh-goat-cui” itu tidak berwujud gurdi sungguh-sungguh, tapi kelima jari tangan disatukan hingga lancip tampaknya terus dijujukan untuk menyerang telinga musuh dengan tenaga dalam yang dahsyat.

Ketika Suma Lim dan Cu Po-kun mendapat kabar kematian Suma Wi itu, siang malam mereka memburu ke tempat kejadian, yaitu Pek-te-sia. Ketika memeriksa luka sang guru, ternyata bekas ditewaskan dengan ilmu "Boh-goat-cui” atap Gurdi Perusak Bulan, padahal ilmu itu adalah Kungfu andalan Jing-sia-pay sendiri.

Keruan kejut dan berduka kedua orang itu. Setelah mereka berunding, mereka berpendapat kecuali Suma Wi sendiri yang mahir menggunakan "Boh-goat-cui” cuma Suma Lim dan Cu Po-kun sendiri, ditambah lagi dua tokoh tua Jing-sia-pay yang lain. Tapi pada waktu peristiwa terbunuhnya Sama Wi itu keempat orang yang mahir "Boh-goat-cui” itu sedang berada di rumah dan berkumpul menjadi satu hingga tiada seorang pun yang mungkin dicurigai. Dan jika begitu pembunuh Suma Wi itu selain Buyung-si dari Koh-soh yang terkenal "Ihpi-ci-to, hoan-si-pi-sin”, terang tiada orang lain lagi.

Sebab itulah segenap anggota Jing-sia-pay telah dikerahkan serentak untuk mengaduk ke Koh-soh dan hendak bikin perhitungan dengan Buyung-si.

Sebelum berangkat, diam-diam Cu Po-kun tanya kepada To-leng-cu apakah matinya Suma Wi itu adalah perbuatan orang Hong-lay-pay? Tapi To-leng-cu memberi jawaban tertulis, "Ilmu silat Suma Wi setingkat dengan aku. Kalau aku harus menyergap dia tentu kugunakan Thian-ong-po-sim-ciam baru dapat membinasakan dia. Kalau main keroyok, kita harus pakai Tiat-koay-tin (barisan tongkat besi)”.

Po-kun pikir keterangan To-leng-cu itu memang benar. Tatkala itu diketahuinya ilmu silat kedua guru itu memang setingkat, siapa pun tak bisa mengalahkan pihak yang lain. Kalau hendak membunuh Suma Wi dengan "Boh-goat-cui”, jangankan To-leng-cu memang tidak mahir ilmu itu, sekalipun mahir juga takkan mampu melawan kekuatan Suma Wi. Karena itu, tanpa sangsi lagi Cu Po-kun lantas ikut ke Koh-soh untuk menuntut balas.

Setiba di Koh-soh, setelah tanya ke sini-sana, akhirnya dapatlah mereka sampai di Thing-hiang-cing-sik. Tak

tersangka lebih dulu kawanan bandit dari Cin-keh-ce itu sudah berada di situ. Orang-orang Jing-sia-pay mempunyai disiplin yang sangat keras, kalau tidak diperintah pemimpin tiada serang pun yang berani sembarangan bicara atau bertindak. Maka demi melihat kelakuan orang-orang Cin-keh-ce yang kasar itu, mereka sangat memandang hina tingkah laku yang tidak patut itu.

Tujuan kedatangan Jing-sia-pay adalah membalas sakit hati, maka terhadap setiap benda di dalam Thing-hiangcing-sik sama sekali tidak diusik sedikit pun, santapan yang mereka makan juga ialah ransum yang mereka bawa sendiri. Dengan demikian mereka menjadi selamat malah, sebab mereka tidak ikut merasakan kelezatan ingus dan ludah serta kotoran yang ditaburkan oleh si koki gendut alias Lau Koh, yang kenyang makan kotoran adalah orang-orang Cin-keh-ce.

Siapa duga kemudian datanglah Giok-yan berempat hingga rahasia Cu Po-kun sekaligus terbongkar. Segera timbul maksudnya membunuh si nona untuk menutup mulutnya, tapi sedikit ayal lantas terlambat, kata-kata "Thian-ong-po-sim-ciam” sudah keburu didengar oleh Suma Lim, sekalipun umpamanya Giok-yan dapat dibunuh olehnya juga tiada faedah baginya, paling-paling malahan akan menandakan rasa takutnya karena rahasianya terbongkar.

Kemudian didengarnya pula Giok-yan mengatakan, "Usahamu ini dahulu sudah pernah dilakukan oleh ketua angkatan ketujuh kalian, Hay-hong-cu, kepintarannya pasti tidak di bawahmu, tapi dia toh juga gagal.”

Pula gadis itu mengatakan, "Tidak cukup, percumalah!”

Apakah maksudnya ilmu silat Jing-sia-pay yang kupelajari dari Suma Wi ini masih kurang cukup dan belum meliputi seluruh ilmu silat Jing-sia-pay? Atau masuknya ke Jing-sia-pay sudah dicurigai, cuma Suhu tidak mau membongkar rahasiaku ini? Dan sekarang sesudah orang-orang Jing-sia-pay mengetahui aku adalah mata-mata musuh, lalu apa yang mereka akan perbuat atas diriku? Sejak kini pastilah namaku akan runtuh di dunia persilatan dan sukar menancapkan kaki lagi di kalangan Kangouw!

Begitulah makin dipikir makin risau hati Cu Po-kun. Ketika berpaling, ia lihat Suma Lim dan lain-lain sedang melotot padanya dengan tangan sedekap di dalam lengan baju masing-masing.

"Hm, jadi Cu-ya sebenarnya adalah orang Hong-lay-pay! Hm, bagus, bagus sekali!” demikian terdengar Suma Lim bersuara mengejek dengan dingin.

Ia tidak menyebut Po-kun sebagai Cu-sute lagi, tapi memanggilnya Cu-ya atau tuan Cu, ini berarti ia tidak anggap Po-kun sebagai saudara seperguruan lagi.

Tentu saja Cu Po-kun menjadi serbasusah, kalau mengaku, terang, salah, bila tidak mengaku, lebih-lebih salah, jadi serbasalah.

Maka Suma Lim berkata pula, "Jadi maksud tujuanmu menyelundup ke Jing-sia-pay adalah ingin mempelajari ilmu ‘Bok-goat-cui’, sesudah pintar akan dipakai untuk membunuh ayahku. Hm, manusia berhati binatang seperti dirimu ini sungguh teramat kejam!”

Habis berkata, ketika kedua tangannya terpentang, masing-masing tangan tahu-tahu sudah bertambah semacam senjata.

Menurut pikiran Suma Lim, jika ilmu silat perguruan sendiri sudah berhasil dicolong oleh Po-kun, dengan sendirinya pasti telah diajarkan pula kepada jago-jago Hong-lay-pay. Walaupun waktu ayahnya terbunuh, Cu Po-kun berada Sengtoh, yaitu di tempat tinggal Jing-sia-pay, bukan mustahil semua itu adalah tipu muslihat Pokun untuk mengelabui mata orang Jing-sia-pay.

Begitulah muka Cu Po-kun tampak merah padam. Sebabnya dia menyelundup ke dalam Jing-sia-pay sebenarnya memang bertujuan jahat, selama ini sesungguhnya sedikit pun ia tidak pernah membocorkan ilmu silat Jing-sia-pay. Namun urusan sudah telanjur begini, cara bagaimana ia bisa membela diri? Tampaknya segera bakal terjadi suatu pertarungan mati-matian, mungkin sukar menghindarkan malapetaka yang akan menimpa dirinya. Ia pikir andaikan jiwanya mesti melayang dibunuh Suma Lim dan kawan-kawannya, dasar dirinya memang bermaksud jahat, rasanya juga pantas mendapat ganjaran seperti itu.

Karena itulah ia coba keraskan hati dan menjawab, "Suma-suhu bukan aku yang mencelakainya ....”

"Sudah tentu bukan tanganmu berdiri yang menewaskannya,” bentak Suma Lim. "Tapi secara tidak langsung, apa bedanya dengan kau sendiri yang turun tangan?”

Lalu ia berkata kepada kedua kakek tinggi kurus di sampingnya, "Kiang-susiok dan Beng-susiok, terhadap murid murtad seperti ini, tidak perlu kita bicara tentang peraturan Bu-lim lagi, marilah kita maju bersama.”

Kedua kakek itu mengangguk, kedua tangan mereka lantas dilolos keluar dari lengan baju, semuanya tangan kiri memegang gurdi dan tangan kanan memegang palu, dari kanan-kiri mereka terus mendesak maju.

Cepat Po-kun mundur beberapa langkah dan mepetkan punggung di suatu pilar dalam ruangan itu untuk menghindarkan serangan dari belakang.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar