Pendekar Hina Kelana Jilid 41-45

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 41-45 Beberapa hari kemudian rombongan orang-orang Huashan itu sudah sampai di kota Luoyang dan bermalam di sebuah penginapan yang cukup besar.
Beberapa hari kemudian rombongan orang-orang Huashan itu sudah sampai di kota Luoyang dan bermalam di sebuah penginapan yang cukup besar. Seorang diri Lin Pingzhi mendahului berangkat menuju ke rumah kakeknya.

Sementara itu Yue Buqun dan yang lain sudah mengganti pakaian mereka dengan yang lebih bersih. Sebaliknya, Linghu Chong yang memang sejak awal tanpa persiapan untuk mengikuti perjalanan masih tetap memakai pakaian kotor yang ia gunakan pada pertempuran di kuil tua tempo hari.

Yue Lingshan kemudian datang ke kamar Linghu Chong sambil membawa seperangkat pakaian bersih. Gadis itu berkata, “Kakak Pertama, silakan pakai baju ini!”

“Bukankah ini pakaian Guru?” sahut Linghu Chong. “Mengapa kau berikan kepadaku?”

“Sebentar lagi kita diundang pergi ke rumah keluarga kakek Lin Kecil. Lekas kau ganti pakaianmu dengan pakaian ayah yang lebih bersih ini,” pinta Yue Lingshan.

“Siapa bilang kalau ke rumah orang harus memakai pakaian yang bagus?” sahut Linghu Chong sambil mengamati penampilan Yue Lingshan dari atas ke bawah.

Ternyata hari itu Yue Lingshan berdandan begitu rapi, memakai baju sutera berbungkus kain kapas tipis dan berkain satin warna hijau muda. Wajahnya berbedak dan bergincu tipis sehingga makin menambah kecantikannya. Rambutnya yang hitam pun tersisir rapi mengkilap, dengan tusuk kundai yang berhias bunga dengan untaian mutiara.

Biasanya Yue Lingshan berdandan sedemikian rupa hanya sewaktu merayakan tahun baru. Namun sekarang hanya pergi ke rumah keluarga Lin Pingzhi saja ia sudah tampil secantik ini. Ingin sekali Linghu Chong mengeluarkan kata-kata sindiran, namun kemudian ia berpikir bahwa seorang laki-laki sejati tidak sepantasnya berbuat sedemikian picik.

Sebaliknya, Yue Lingshan merasa rikuh karena dipandangi seperti itu. Ia pun berkata, “Jika kau tidak mau berganti pakaian, ya sudah!”

“Benar. Aku tidak biasa memakai baju baru. Aku pakai ini saja. Terima kasih,” jawab Linghu Chong.

Yue Lingshan tidak ingin adu pendapat lebih lama lagi. Ia pun membawa kembali pakaian tersebut ke kamar sang ayah.

Tidak lama kemudian terdengar suara seseorang yang nyaring dan keras sedang berseru di luar penginapan, “Jauh-jauh Ketua Yue berkunjung kemari, tapi saya tidak melakukan penyambutan sebagaimana mestinya. Sungguh sangat tidak sopan.”

Yue Buqun yakin kalau itu adalah suara Wang Yuanba si Golok Emas Tanpa Tanding. Setelah tersenyum kepada istrinya, ia pun melangkah keluar. Tampak kemudian olehnya seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun yang menyambut dengan penuh hormat. Laki-laki tua itu berwajah kemerah-merahan dan bercahaya, dengan janggut berwarna putih panjang. Sungguh sosok yang terlihat sehat dan berwibawa. Tangan kiri orang tua itu sibuk memainkan dua butir bola emas yang masing-masing sebesar telur angsa. Jika orang lain pada umumnya hanya memainkan bola dari besi atau baja untuk melatih tangannya, namun Wang Yuanba menggunakan bola dari emas murni. Tidak hanya ukurannya yang dua kali lebih besar daripada bola besi yang biasa dijumpai, tetapi harganya juga tentu lebih mahal.

Begitu melihat Yue Buqun keluar dari kamar, segera Wang Yuanba tertawa dan berseru, “Selamat berjumpa! Nama besar Ketua Yue sudah terkenal di dunia persilatan. Hari ini Ketua Yue sudi berkunjung ke Luoyang, sungguh suatu kehormatan bagi kawan-kawan persilatan di daerah tengah sini.” Sambil berkata demikian, Wang Yuanba menyambut tangan Yue Buqun dan menjabatnya dengan penuh rasa gembira. Sikapnya terlihat tulus dan penuh simpati.

Yue Buqun tersenyum dan menjawab, “Kami suami-istri bersama para murid sengaja berkelana keluar dan berkunjung kepada para sahabat untuk mencari pengalaman. Justru tokoh pertama yang kami kunjungi adalah pendekar besar dari daerah tengah ini, Tuan Besar Wang si Golok Emas Tanpa Tanding. Kedatangan kami ini benar-benar terlalu mendadak dan sungguh lancang.”

Dengan suara keras Wang Yuanba berkata, “Julukan Si Golok Emas Tanpa Tanding tidak boleh diucapkan di depan Ketua Yue oleh siapa pun juga. Bagiku ini bukan sanjungan, tapi semacam penghinaan. Jika ada yang berani menyebut julukanku di depan Ketua Yue, sama saja dengan menempatkan diriku dalam masalah besar, hahaha. Ketua Yue sudi menerima cucuku sebagai murid. Budi baik Ketua Yue sungguh sulit dibalas. Mulai saat ini Perguruan Huashan dan Golok Emas adalah satu keluarga. Harap Ketua Yue beserta rombongan berkenan tinggal di rumahku sekurang-kurangnya selama setengah tahun. Siapa pun tidak boleh pergi meninggalkan Luoyang. Nah, Ketua Yue, biarlah kubawakan barang-barangmu!”

“Tidak, tidak! Saya tidak berani menerima penghormatan seperti ini. Mana mungkin kami berani merepotkan Tuan Besar Wang?” sahut Yue Buqun cepat.

Wang Yuanba segera berpaling dan berkata kepada dua orang putranya dan berkata, “Bofen dan Zhongqiang, lekas kalian memberi hormat kepada Paman dan Bibi Yue!”

Wang Bofen dan Wang Zhongqiang segera memenuhi perintah sang ayah. Mereka pun berlutut untuk memberi hormat kepada Yue Buqun suami-istri. Yue Buqun dan Ning Zhongze merasa rikuh. Buru-buru mereka berlutut pula untuk membalas penghormatan.

Yue Buqun berkata, “Sebutan ‘paman’ sama sekali aku tidak berani menerima. Kita ini satu angkatan. Aku adalah guru Lin Pingzhi, sedangkan kalian berdua adalah paman Lin Pingzhi.”

Wang Bofen dan Wang Zhongqiang adalah dua bersaudara yang memiliki nama besar di daerah Henan dan Hubei. Meskipun mereka sangat menghormati Yue Buqun, namun dalam hati sebenarnya merasa rikuh kalau harus memanggil “paman” kepadanya. Mereka memberikan penghormatan dengan berlutut adalah semata-mata karena perintah sang ayah. Maka ketika melihat Yue Buqun dan Ning Zhongze balas berlutut dan memberi hormat, kedua bersaudara itu merasa sangat gembira. Usai saling memberi hormat, keempat orang itu pun kembali berdiri.

Yue Buqun dapat melihat bahwa dua bersaudara di hadapannya sama-sama bertubuh tinggi. Hanya saja, Wang Zhongqiang terlihat lebih gemuk daripada Wang Bofen. Selain itu keduanya sama-sama bertubuh kekar dengan tonjolan otot yang terlihat jelas. Dapat dipastikan, mereka berdua memiliki kekuatan besar, baik itu tenaga dalam maupun tenaga luar.

Yue Buqun kemudian berkata kepada murid-muridnya, “Kalian semua lekas beri hormat kepada Kakek Guru dan kedua Paman Wang. Keluarga Golok Emas memiliki nama besar di antara kaum persilatan di kawasan tengah. Leluhur perguruan kita juga sangat menghormati Keluarga Golok Emas Wang. Kalian sangat beruntung apabila Kakek Guru dan kedua Paman Wang berkenan memberikan beberapa petunjuk. Aku yakin tentu sangat bermanfaat untuk kemajuan ilmu silat kalian.”

“Baik, Guru!” jawab para murid Huashan bersamaan. Serentak mereka pun berlutut di lantai dan memberikan penghormatan kepada Wang Yuanba dan kedua putranya. Wang Yuanba tampak tersenyum membalas hormat sambil berkata, “Adik Yue, kau mengolok-olok kami.” Kedua putranya pun membalas hormat pula.

Lin Pingzhi yang berdiri di sebelah sang kakek segera memperkenalkan para murid Huashan satu per satu. Keluarga Wang sungguh kaya raya. Wang Yuanba sudah mempersiapkan hadiah untuk para murid Huashan. Masing-masing dari mereka menerima empat tahil perak.

Ketika Lin Pingzhi memperkenalkan Yue Lingshan, Wang Yuanba pun tersenyum lebar dan berkata kepada Yue Buqun, “Adik Yue, putrimu ini benar-benar cantik. Apakah Adik Yue sudah mempunyai calon besan?”

“Ah, anak perempuan saya mash kecil. Lagipula anak gadis keluarga persilatan seperti kita ini hanya terkenal suka main golok dan mengayun pedang saja,” jawab Yue Buqun sambil tertawa. “Bicara tentang kepandaian menyulam, menjahit, atau memasak sama sekali dia tidak becus. Mana mungkin ada yang mau mengambil perawan liar seperti dia sebagai menantu?”

“Adik Yue terlalu merendah,” ujar Wang Yuanba. “Seorang pendekar hebat sudah pasti memiliki putri yang hebat pula. Pemuda dari keluarga biasa mana berani coba-coba mendekati putri Adik Yue? Tapi pendapatmu benar juga; anak perempuan memang sudah sepantasnya belajar sedikit keterampilan rumah tangga.”

Sampai di sini suara Wang Yuanba tiba-tiba terdengar serak dan lirih. Yue Buqun menyadari kalau orang tua itu sedang teringat pada putrinya yang telah meninggal, yaitu ibu Lin Pingzhi. Ia pun mengangguk setuju dengan menampilkan wajah prihatin.

Wang Yuanba yang berifat terbuka segera dapat mengatasi perasaannya. Ia pun tertawa dan berkata, “Adik Yue memiliki putri yang cantik dan berbakat. Rasanya akan sangat sulit menemukan pendekar muda yang pantas menjadi pendampingnya.”

Pada saat itu, Lao Denuo muncul dari dalam sambil memapah Linghu Chong. Secara mengejutkan, Linghu Chong tidak berlutut memberi hormat kepada Wang Yuanba dan kedua putranya, melainkan hanya membungkuk saja sambil berkata, “Linghu Chong memberi hormat kepada Kakek Guru Wang dan kedua Paman.”

“Kenapa kau tidak berlutut?” bentak Yue Buqun.

Sebelumnya Wang Yuanba sudah mendengar cerita dari Lin Pingzhi bahwa si kakak pertama sedang menderita luka dalam yang cukup parah. Maka, orang tua itu pun tersenyum dan menjawab, “Keponakan Linghu sedang sakit, tidak perlu baginya untuk terlalu banyak adat. Adik Yue, kabarnya ilmu tenaga dalam Perguruan Huashan adalah yang paling hebat di antara Serikat Pedang Lima Gunung. Maka, kekuatanmu minum arak sudah tentu bagus pula. Oleh karena itu, aku mengundangmu minum beberapa cawan di rumah kami.”

Usai berkata demikian, Wang Yuanba segera menggandeng lengan Yue Buqun lalu keduanya pun melangkah keluar dari penginapan. Ning Zhongze, Wang Bofen, Wang Zhongqiang, dan yang lain mengikuti di belakang. Di luar ternyata sudah tersedia sejumlah kereta dan kuda; kereta untuk rombongan wanita, dan kuda untuk rombongan laki-laki. Jika dihitung baru dua jam sebelumnya Lin Pingzhi mengabarkan kedatangan rombongan Perguruan Huashan di kota Luoyang kepada sang kakek, namun keluarga Wang sudah mampu menyediakan kereta dan kuda sebanyak itu dan menempatkannya di depan penginapan untuk menghormati para tamu. Dari hal ini dapat dilihat betapa besar wibawa dan kekuasaan Wang Yuanba di kota Luoyang.

Akhirnya rombongan pun sampai di rumah keluarga Wang. Tampak sebuah gedung megah dengan pintu besar berwarna merah. Dua buah gelang tembaga terpasang pada tiap-tiap daun pintu dan tergosok bersih hingga terlihat mengkilap. Delapan laki-laki berbadan tegap tampak berdiri rapi di depan pintu dengan sikap penuh hormat. Mereka semua terdiam dengan kedua tangan di balik punggung yang menunjukkan sikap siap menerima perintah majikan.

Begitu masuk ke dalam terlihat sebuah papan besar terpampang pada sebuah belandar. Papan tersebut bertuliskan kalimat: “Turun Tangan Membela Keadilan”, yang merupakan hadiah dari gubernur Henan. Ternyata keluarga Wang bukan hanya terkenal di dunia persilatan, namun juga berhubungan baik dengan pembesar negeri setempat.

Malam itu Wang Yuanba mengadakan jamuan besar-besaran untuk menghormati Yue Buqun dan rombongannya. Ia juga mengundang tokoh-tokoh penting di kota Luoyang seperti kaum pendekar, kaum pengusaha, juga kaum seniman untuk ikut meramaikan acara dan menyambut kedatangan para tamu kehormatan. Linghu Chong selaku murid pertama Yue Buqun terlihat berwajah lesu dan berpenampilan kotor, compang-camping membuat para hadirin sempat bertanya-tanya dalam hati. Namun mereka berusaha memakluminya karena di dunia persilatan banyak tokoh sakti berpenampilan aneh. Bukankah para pemuka Partai Pengemis juga berpakaian kotor? Selain itu sebagai murid pertama Perguruan Huashan sudah tentu Linghu Chong memiliki ilmu silat tinggi, sehingga wajar kalau bersikap sesuka hati. Demikian pikir para hadirin membuat mereka tidak berani berpikiran macam-macam lagi.

Linghu Chong sendiri duduk semeja dengan Wang Bofen. Sudah tiga kali mereka meneguk arak, namun Linghu Chong tetap terlihat murung tanpa tersenyum sedikit pun. Bila Wang Bofen mengajak bicara, pemuda itu hanya menjawab dengan dingin dan cepat, seolah-olah tidak memedulikan si tuan rumah. Wang Bofen pun teringat kejadian di penginapan siang tadi di mana Linghu Chong adalah satu-satunya murid Huashan yang tidak berlutut pada Keluarga Wang, namun tidak menolak saat menerima hadiah empat puluh tahil perak. Hal ini membuatnya kurang senang. Buru-buru Wang Bofen mengganti tema pembicaraan dan kali ini seputar ilmu silat. Namun lagi-lagi Linghu Chong hanya menjawab “ya” atau “tidak” tanpa berkomentar lebih panjang.

Sesungguhnya Linghu Chong tidak bermaksud kurang sopan kepada Wang Bofen. Justru sebaliknya, ia merasa rendah diri melihat kekayaan Keluarga Wang. Sungguh bagaikan langit dan bumi. Apalagi melihat Lin Pingzhi yang mengenakan pakaian serbamahal dan serbabagus, membuatnya semakin rendah diri. Lin Pingzhi yang berwajah tampan dengan pakaian seperti itu sudah pasti terlihat semakin tampan.

Linghu Chong semakin prihatin dan berpikir, “Andai saja Adik Kecil tidak berjodoh dengan Adik Lin, dan memilih bersamaku, apa mungkin ia bisa hidup bahagia bersanding dengan orang miskin seperti aku ini?”

Karena pikirannya terbayang-bayang pada Yue Lingshan, membuat apa yang diucapkan Wang Bofen sama sekali tidak dihiraukannya. Padahal, di wilayah tengah setiap orang persilatan sangat segan kepada Wang Bofen, dan ingin mengambil hati putra Wang Yuanba tersebut. Tapi malam ini ia sangat merasa terhina oleh perlakuan seorang pemuda dekil yang acuh tak acuh kepadanya.

Andai saja tidak teringat pada saudarinya yang telah meninggal, yaitu ibu Lin Pingzhi, tentu Wang Bofen tidak sudi menjamu Linghu Chong yang duduk di sampingnya. Di samping itu ayahnya juga sangat menghormati Perguruan Huashan membuat Wang Bofen berjuang keras menahan amarah ketika menuangkan arak untuk Linghu Chong sambil pura-pura tersenyum.

Meskipun acuh tak acuh jika diajak berbicara, namun Linghu Chong tidak pernah menolak cawan arak yang disuguhkan kepadanya. Tanpa terasa ia sudah meneguk habis empat puluh cawan arak yang disodorkan Wang Bofen. Biasanya Linghu Chong sangat kuat minum. Namun karena saat ini ia sudah kehilangan tenaga dalam, serta pikirannya sedang kalut, maka kekuatannya pun berkurang banyak. Maka, baru saja melewati cawan kelima puluh, ia sudah mulai terlihat pusing.

Diam-diam Wang Bofen berpikir, “Dasar bocah tak tahu diri. Keponakanku adalah adik seperguruanmu, sehingga sudah seharusnya kau memanggilku paman. Baiklah, terserah kau memanggilku apa, tapi berani sekali kau bersikap acuh tak acuh kepadaku? Tidak masalah! Biarlah kucekoki mulutmu sampai mabuk berat, sehingga kau menjadi bahan tertawaan dalam perjamuan malam ini.”

Melihat mata Linghu Chong sudah berwarna merah dan kesadarannya juga semakin menurun, Wang Bofen pun tertawa dan berkata, “Adik Linghu adalah murid nomor satu Perguruan Huashan, seorang pendekar tangguh. Bukan hanya memiliki ilmu silat tinggi, namun kekuatan minumnya juga sangat hebat. Hei, pelayan! Singkirkan cawan kecil ini, dan bawakan mangkuk besar untuk Adik Linghu minum arak!”

Para pelayan pun datang membawa mangkuk dan langsung mengisinya dengan arak. Linghu Chong yang selama ini pantang menolak arak dari siapa saja segera menghabiskan isi mangkuk itu. Dalam waktu singkat, ia telah meneguk habis arak sebanyak enam mangkuk. Dalam keadaan mabuk, pemuda itu menyapu piring dan cangkir di atas meja dengan tangannya sehingga berjatuhan di lantai.

Para hadirin yang duduk semeja dengan Wang Bofen dan Linghu Choing segera berkata, “Pendekar Linghu sudah mabuk. Lekas minum secangkir teh panas sebagai penawar arak.”

“Mana mungkin murid pertama Perguruan Huashan mabuk secepat ini?” kata Wang Bofen. “Mari kita minum lagi, Adik Linghu!”

“Siapa bilang aku mabuk? Ayo kita minum lagi!” jawab Linghu Chong menanggapi. Ia kembali menuang arak semangkuk penuh dan meneguknya. Tampak setengah isi mangkuk itu berceceran membasahi baju pemuda itu.

Tiba-tiba Linghu Chong menggeliat. Mulutnya terbuka, dan mulai muntah-muntah. Dalam sekejap makanan dan minuman yang sudah masuk ke dalam perutnya keluar semua sehingga mengotori meja. Para hadirin yang semenja dengannya pun terkejut dan segera menyingkir. Sementara Wang Bofen hanya tertawa dingin. Dalam hati ia merasa senang karena tujuannya berhasil.

Serentak semua mata dalam ruangan tersebut memandang ke arah Linghu Chong. Demikian pula dengan Yue Buqun dan Ning Zhongze. Mereka berpikir, “Anak ini memang tidak cocok bergaul dengan kalangan atas. Membuat malu saja di depan tamu sebanyak ini.”

Lao Denuo dan Lin Pingzhi bergegas mendekat dan memapah Linghu Chong. “Kakak Pertama, mari kuantar beristirahat di kamar,” kata Lin Pingzhi.

“Aku tidak mabuk... aku tidak mabuk. Aku ingin minum lagi. Ambilkan... ambilkan arak!” sahut Linghu Chong tidak lancar.

“Baiklah! Baiklah!” seru Lin Pingzhi. “Pelayan, tolong ambilkan arak!”

Dengan matanya yang merah, Linghu Chong melirik Lin Pingzhi, dan berkata, “Kau... kau... Lin Kecil, kenapa tidak menemani Adik Kecil? Untuk apa kau memegangi aku?”

Dengan cepat Lao Denuo membujuk, “Kakak Pertama, marilah kembali ke kamar saja. Di sini banyak orang. Sebaiknya kita jangan sembarangan bicara.”

“Kau bilang apa? Sembarangan bicara?” bentak Linghu Chong. “Guru menugasimu mengawasi aku.... Bukti apa yang telah kau temukan?”

Khawatir Linghu Chong berbicara macam-macam lagi, Lao Denuo pun menarik tubuh kakak pertamanya itu dengan bantuan Lin Pingzhi dan membawanya masuk ke dalam kamar dengan agak memaksa. Yue Buqun sendiri terlihat gusar meskipun ia terkenal pandai mengendalikan perasaan.

“Adik Yue,” kata Wang Yuanba sambil tertawa. “Ocehan anak muda yang sedang mabuk untuk apa dihiraukan? Mari kita lanjutkan minum!”

“Dia itu anak desa yang tidak berpengalaman. Hanya membuat malu saja. Mohon Tuan Besar Wang sudi memaafkan,” ujar Yue Buqun sambil memaksa tersenyum.

Setelah acara perjamuan berakhir, Yue Buqun melarang Lao Denuo mendekati Linghu Chong, tetapi cukup mengawasinya secara diam-diam saja.

Siang harinya Linghu Chong baru bangun dari tidur. Semua yang ia ucapkan tadi malam sama sekali tidak teringat olehnya. Yang ia rasakan hanyalah sakit kepala berdenyut-denyut sampai terasa seperti mau pecah. Ia kemudian melangkah keluar kamar. Tidak seorang pun adik seperguruannya yang terlihat. Dari para pelayan ia mendapat berita bahwa guru suami-istri dan adik-adiknya sedang berkumpul bersama murid-murid Keluarga Wang di ruang latihan.

“Untuk apa aku berkumpul bersama mereka? Lebih baik aku keluar saja,” ujar Linghu Chong dalam hati. Ia kemudian berangkat seorang diri.

Luoyang adalah bekas ibu kota kerajaan beberapa dinasti di masa lalu. Di kota itu terdapat banyak bangunan megah meskipun tidak terlalu ramai. Linghu Chong sendiri kurang terpelajar sehingga pengetahuannya tentang sejerah dan kebudayaan kuna juga sangat terbatas. Oleh karena itu, ia sama sekali tidak tertarik meskipun di kota itu banyak terdapat tempat-tempat bersejarah.

Pemuda itu hanya berjalan-jalan tanpa tujuan yang jelas hingga memasuki suatu lorong sempit. Di sebuah kedai kecil dilihatnya tujuh atau delapan orang gelandangan sedang bermain dadu. Ia lantas mendesak mereka untuk ikut bermain dengan bermodalkan beberapa tahil perak pemberian Wang Yuanba kemarin. Tidak sampai petang ia sudah kembali dalam keadaan mabuk, dan pulang dengan langkah sempoyongan.

Hari-hari berikutnya Linghu Chong menghabiskan waktunya dengan bermain dadu dan minum arak bersama kawanan gelandangan tersebut. Jika hari-hari pertama ia selalu menang, namun pada hari keempat ia kalah habis-habisan. Para gelandangan pun melarangnya bertaruh lebih lanjut.

Linghu Chong marah dan kemudian memesan arak. Namun setelah menghabiskan dua poci, pelayan kedai pun mendatanginya dan bertanya, “Hei, anak muda, kau sudah kalah judi. Uangmu sudah habis. Dengan cara apa kau akan membayar arak ini nanti?”

“Hutang dulu. Buatkan bon, besok aku bayar,” jawab Linghu Chong.

“Tidak bisa,” kata si pelayan sambil menggeleng. “Modal kedai kami kecil. Bahkan kenalan ataupun saudara, semuanya juga tidak boleh berhutang.”

Linghu Chong semakin gusar. Ia membentak, “Kurang ajar! Apa kau kira majikanmu ini tidak punya uang, hah?”

“Aku tidak peduli. Tunjukkan uangmu dulu, tidak boleh hutang! Pendek kata, ada uang ada arak,” sahut si pelayan galak.

Linghu Chong mengamati dirinya sendiri. Keadaan tubuh dan pakaiannya yang dekil sudah pasti tidak dapat meyakinkan si pelayan kalau ia seorang berharta. Selain pedang yang tergantung di pinggang, tidak ada lagi harta benda yang ia bawa karena uangnya sudah habis sama sekali. Maka ia pun meletakkan pedang itu di atas meja sambil berkata, “Baiklah, aku gadaikan ini saja!”

Seorang gelandangan yang ingin mengeruk keuntungan dari Linghu Chong buru-buru menukas, “Sini, biar aku bantu menggadaikannya.”

Linghu Chong pun menyerahkan pedang itu kepada si gelandangan. Dengan adanya jaminan itu, si pelayan pun membawakan dua poci arak kepadanya. Beberapa saat kemudian setelah Linghu Chong menghabiskan satu poci, si gelandangan datang dengan membawa uang perak dari pegadaian.

“Pedangmu laku tiga tahil dan empat ons perak,” ujar si gelandangan sambil memberikannya kepada Linghu Chong.

Linghu Chong menimbang-nimbang perak di tangannya yang terasa tidak lebih dari tiga tahil beratnya. Namun ia tidak peduli dan langsung memakainya untuk kembali bermain dadu. Ketika hari petang, uang tiga tahil empat ons tersebut sudah habis untuk membayar arak dan bermain dadu. Linghu Chong berkata pada salah seorang gelandangan yang bernama Chen si Sumbing, “Pinjami aku tiga tahil. Kalau menang akan kukembalikan dua kali lipat.”

“Kalau kau kalah bagaimana?” tanya Chen si Sumbing tertawa menyeringai.

“Kalau kalah akan kukembalikan besok,” jawab Linghu Chong.

“Huh, mana aku tahu kau ini punya uang di rumah atau tidak?” sahut Chen si Sumbing mengejek. “Kalau kau kalah lagi, apa kau akan menjual istrimu, atau adik perempuanmu?”

Kemarahan Linghu Chong meledak dan ia langsung menampar pipi Chen si Sumbing. Dalam keadaan mabuk berat, ia tidak mampu lagi menahan diri. Tangannya pun merampas beberapa tahil perak di depan mata geandangan itu.

“Bangsat! Bocah ini mau merampok!” seru Chen sambil mendekap mulutnya yang berdarah.

Para gelandangan serentak bangkit dan maju mengeroyok Linghu Chong. Mereka menghujani pemuda itu dengan pukulan dan tendangan. Kali ini Linghu Chong benar-benar tidak bisa berkutik. Selain tenaganya yang lemah, ia juga tidak memegang pedang. Hanya sekejap saja tubuhnya sudah babak belur dan hidungnya pun berdarah. Seorang pendekar sakti dikeroyok kaum gelandangan, bagaikan harimau dikeroyok kawanan anjing.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara derap kaki rombongan berkuda. Salah seorang penunggangnya membentak keras, “Minggir! Minggir!” Bersamaan dengan itu ia melecutkan cambuknya mebuat para gelandangan berlari ketakutan.

Linghu Chong sendiri tergeletak tak berdaya di atas tanah. Mendadak terdengar suara seorang perempuan berteriak, “Hei, bukankah ini Kakak Pertama?” Suara yang lembut ini jelas suara Yue Lingshan.

“Coba aku lihat,” sahut seorang pemuda di sebelahnya, yang tidak lain adalah Lin Pingzhi.

Lin Pingzhi pun turun dari kuda untuk memeriksa Linghu Chong. “Kakak Pertama, apa yang terjadi padamu?” tanya pemuda itu.

Linghu Chong menggeleng dan menjawab singkat sambil tersenyum hambar, “Aku mabuk dan kalah judi.”

Lin Pingzhi buru-buru memapah kakak pertamanya itu naik ke atas kuda. Selain itu tampak pula sepupu-sepupu Lin Pingzhi, yaitu dua orang putri Wang Bofen dan dua orang putra Wang Zhongqiang. Rupanya mereka berenam berkuda sejak pagi mengunjungi tempat-tempat terkenal di Kota Luoyang. Pada sore harinya saat perjalanan pulang secara kebetulan menemukan Linghu Chong tersebut. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau akan bertemu Linghu Chong dalam keadaan babak belur di sebuah gang sempit yang kumuh.

Dalam hati keempat sepupu Lin Pingzhi itu merasa heran. Mereka berpikir, “Perguruan Huashan adalah anggota Serikat Pedang Lima Gunung yang sangat dihormati Kakek. Selama beberapa hari ini kami berlatih bersama murid-murid Huashan, ternyata hasilnya luar biasa. Mereka memperlihatkan ilmu silat yang sangat lihai. Bukankah Linghu Chong adalah murid pertama di Huashan? Tapi kenapa ia tidak bisa melawan para gelandangan itu? Apakah ia hanya berpura-pura? Tapi kalau dilihat tubuhnya yang babak belur, jelas ia tidak berpura-pura. Sungguh aneh!”

Setelah dibawa pulang ke kediaman Wang Yuanba, berangsur-angsur Linghu Chong pulih setelah beberapa hari beristirahat. Yue Buqun dan Ning Zhongze sangat marah mendengar ulah murid pertama mereka itu yang kalah berjudi dan juga berkelahi melawan para gelandangan sehingga keduanya tidak mau datang menjenguk.

Pada hari kelima putra bungsu Wang Zhongqiang yang bernama Wang Jiaju, masuk ke dalam kamar Linghu Chong dengan penuh semangat. Ia berkata, “Kakak Linghu, hari ini aku telah membalaskan dendammu. Tujuh orang gelandangan yang mengeroyokmu tempo hari sudah kuberi pelajaran yang setimpal.”

Dengan nada datar Linghu Chong menjawab, “Ah, sebenarnya tidak perlu seperti itu. Peristiwa tempo hari adalah salahku karena aku sedang mabuk. Aku juga yang memulai masalah itu.”

“Mana boleh begitu?” ujar Wang Jiaju. “Kakak Linghu adalah tamu Keluarga Golok Emas Wang, mana boleh sembarangan dipukuli orang di kota Luoyang ini? Jika kami tidak membalas kaum gelandangan itu, ke mana lagi muka Keluarga Golok Emas Wang harus ditaruh?”

Dalam hati Linghu Chong tidak pernah menyukai Keluarga Wang. Kini ia mendengar Wang Jiaju berkali-kali menonjolkan nama besar keluarganya seolah-olah sang kakek adalah penguasa nomor satu dunia persilatan. Dengan kesal ia pun berkata, “Terhadap kaum gelandangan itu apa perlu anggota Keluarga Wang turun tangan?”

Begitu ucapannya keluar, Linghu Chong sadar kalau hal ini akan berakibat kurang baik. Belum sempat ia meminta maaf, Wang Jiaju sudah menyahut dengan wajah kurang senang, “Kakak Linghu, apa maksud ucapanmu? Kalau tempo hari kami tidak menolongmu membubarkan kaum gelandangan itu, apakah kau masih hidup sampai sekarang?”

“Ya, aku memang berhutang budi pada kalian,” ujar Linghu Chong dengan senyum hambar.

Ucapan itu terdengar sebagai ejekan di telinga Wang Jiaju. Anak muda itu pun berkata mencemooh, “Kakak Linghu adalah murid nomor satu di Perguruan Huashan, tapi ternyata tidak mampu menghadapi beberapa gelandangan di kota Luoyang. Hehe, kalau sampai diketahui orang luar bukankah ini sangat memalukan?”

Linghu Chong yang sudah tidak peduli dengan dirinya hanya menjawab enteng, “Aku tidak peduli. Aku merasa tidak punya nama baik di dunia persilatan, untuk apa dipermasalahkan?”

Pada saat itulah dari luar kamar terdengar suara menyahut, “Adik, apa kau sedang berbicara dengan Kakak Linghu?” Ketika pintu terbuka ternyata yang datang adalah putra sulung Wang Zhongqiang, yang bernama Wang Jiajun.

Wang Jiaju menjawab, “Kakak, aku bermaksud baik mewakili dia menghajar kaum gelandangan itu. Eh, ternyata... Pendekar Linghu ini malah menuduhku suka ikut campur masalahnya.”

“Ah, rupanya Adik belum tahu,” kata Wang Jiajun. “Tadi aku mendengar dari Adik Yue, bahwa Kakak Linghu ini sebenarnya sangat sakti. Konon sewaktu kejadian di halaman sebuah kuil Budha Jamu, seorang diri ia bersenjatakan pedang bisa membutakan mata lima belas orang musuh tangguh dalam sekaligus. Ilmu pedangnya sungguh hebat. Hahaha. Sungguh hebat! Hahaha.” Dari suara tawanya jelas terlihat kalau ia sama sekali tidak percaya pada cerita Yue Lingshan.

Wang Jiaju ikut tertawa pula. Ia pun berkata, “Bisa jadi ilmu silat kelima belas musuh tangguh itu kalau dibandingkan dengan kaum gelandangan di kota Luoyang ini masih kalah jauh. Hahahaha!”

Menanggapi ejekan itu Linghu Chong bukannya marah tapi malah ikut tertawa dan kemudian duduk santai di atas kursi sambil memukul-mukul lututnya.

Melihat sikap Linghu Chong yang acuh tak acuh itu diam-diam Wang Jiajun merasa kesal. Sebenarnya ia diutus ayah dan pamannya untuk menanyai Linghu Chong. Baik Wang Bofen ataupun Wang Zhongqiang berpesan kepadanya supaya menggunakan bahasa yang sopan untuk mengorek keterangan karena bagaimanapun juga Linghu Chong adalah tamu Keluarga Wang. Namun melihat raut muka Linghu Chong yang seenaknya membuat Wang Jiajun tidak bisa menahan perasaan lagi. Ia pun bertanya dengan suara lantang, “Saudara Linghu, ada suatu urusan yang ingin kutanyakan padamu.”

“Bicara saja, jangan segan-segan,” sahut Linghu Chong.

Wang Jiajun melanjutkan, “Menurut cerita sepupuku Pingzhi, sebelum ayah dan ibunya meninggal, hanya Saudara Linghu saja yang menunggui Beliau berdua, benar begitu?”

“Benar sekali,” jawab Linghu Chong.

“Lalu apakah wasiat Paman Lin sebelum meninggal juga disampaikan kepada Saudara Linghu untuk diteruskan kepada Sepupu Pingzhi?” tanya Wang Jiajun lebih lanjut.

“Benar, tidak salah,” jawab Linghu Chong.

“Kalau begitu, di mana kitab Pedang Penakluk Iblis milik pamanku itu?”

“Apa katamu?” bentak Linghu Chong sambil melonjak bangun.

Khawatir Linghu Chong menyerang dirinya, Wang Jiajun pun mundur dua langkah, lalu berkata, “Kitab Pedang Penakluk Iblis yang diminta Paman Lin untuk kau serahkan pada Sepupu Pingzhi, kenapa sampai sekarang belum kau lakukan?”

Sungguh gusar perasaan Linghu Chong mendengar tuduhan itu. “Siapa... siapa yang bilang kalau... kitab Pedang Penakluk Iblis ada padaku? Siapa yang bilang... kalau wasiat Paman Lin berupa kitab itu?” teriaknya dengan suara gemetar.

“Jika tidak benar, kenapa kau terlihat begitu khawatir? Cara bicaramu saja sudah gemetaran,” ujar Wang Jiajun sambil tertawa mengejek.

Linghu Chong berusaha menahan diri. Ia pun bertanya, “Saudara Wang berdua, saat ini aku adalah tamu keluarga kalian. Apa yang kau lakukan ini apakah karena disuruh kakekmu, ayahmu, atau kalian sendiri?”

“Aku hanya iseng bertanya, kenapa harus panik?” ujar Wang Jiajun. “Ini tidak ada sangkut pautnya dengan kakek dan ayahku. Hanya saja ilmu Pedang Penakluk Iblis sangat disegani di dunia persilatan. Secara mendadak Paman Lin meninggal dunia dan kitab pusaka yang selalu dibawanya ikut lenyap. Sebagai keluarga terdekat sudah tentu kami ingin mengusutnya.”

“Apakah Adik Lin yang menyuruhmu bertanya kepadaku? Kenapa bukan dia yang bertanya langsung?” desak Linghu Chong.

“Hehe, Sepupu Pingzhi adalah adik seperguruanmu. Mana mungkin dia berani bertanya terus terang kepadamu?” ujar Wang Jiajun sambil tertawa.

Linghu Chong pun berkata sambil tertawa dingin, “Dengan mengandalkan nama besar Keluarga Golok Emas Wang yang termasyhur di kota Luoyang ini, kalian bersama-sama hendak memaksa pengakuanku? Silakan, panggil Lin Pingzhi kemari!”

“Kau adalah tamu kehormatan Keluarga Wang kami. Istilah ‘memaksa pengakuan’ sungguh tidak bisa kami terima,” kata Wang Jiajun. “Kami bersaudara hanya terdorong rasa ingin tahu saja. Kami hanya iseng bertanya. Kalau Saudara Linghu sudi menjawab ya syukur, kalau tidak mau, ya apa boleh buat.”

“Baik. Aku tidak mau menjawab. Kalian boleh pergi,” sahut Linghu Chong ketus.

Wang Jiajun dan Wang Jiaju saling pandang dengan perasaan rikuh. Mereka tidak mengira Linghu Chong begitu kaku dan secepat itu mengakhiri pembicaraan. Setelah berdehem dua kali, Wang Jiajun mencoba membuka suara, “Saudara Linghu, kabarnya dalam sekali serang kau bisa membutakan mata lima belas orang musuh tangguh. Jurus serangan yang kau mainkan tersebut sangat hebat, dan bisa jadi berasal dari kitab Pedang Penakluk Iblis, bukan?”

Betapa terkejut hati Linghu Chong mendengar tuduhan Wang Jiajun. Keringat dingin pun membasahi sekujur tubuhnya saat ia berpikir, “Selama ini aku hanya bisa heran, mengapa Guru, Ibu Guru, dan adik-adikku semuanya tidak berterima kasih kepadaku karena telah aku selamatkan nyawa mereka di halaman kuil tempo hari, tetapi mereka justru menaruh curiga kepadaku? Sekarang semuanya sudah jelas. Ya, aku tahu sekarang! Ternyata mereka yakin kalau aku telah menggelapkan kitab Pedang Penakluk Iblis milik Lin Zhennan. Dikarenakan mereka tidak tahu menahu soal ilmu Sembilan Pedang Dugu, serta aku sendiri juga menolak menceritakan bahwa ilmu tersebut diajarkan oleh Kakek Guru Feng, maka sewaktu menyaksikan ilmu pedangku yang secara tiba-tiba berkembang sedemikian pesat setelah aku diasingkan di puncak Tebing Perenungan, dengan sendirinya mereka mengira aku telah mempelajari ilmu Pedang Penakluk Iblis secara diam-diam. Peristiwa meninggalnya Lin Zhennan dan munculnya Kakek Guru Feng boleh dibilang hampir bersamaan. Mereka tidak tahu menahu mengenai kemunculan Kakek Guru Feng, sedangkan sewaktu Lin Zhennan dan istrinya meninggal, hanya aku seorang diri yang menunggui mereka, dan hal ini hampir setiap orang Huashan mengetahuinya. Dengan sendirinya, setiap orang akan menuduh diriku telah menggelapkan kitab Pedang Penakluk Iblis yang merupakan warisan Lin Zhennan untuk Lin Pingzhi. Sayang sekali, Guru, Ibu Guru, dan Adik Kecil yang telah mengenal sifatku sejak lama mengapa tidak percaya kepadaku? Hm, kalian benar-benar memandang rendah kepada Linghu Chong.”

Melihat wajah Linghu Chong memancarkan kemarahan, Wang Jiajun kembali mendesak, “Nah, ucapanku tadi benar, bukan? Di mana kitab pusaka itu? Kami tidak bermaksud mengincarnya. Kami hanya ingin mengembalikannya kepada yang berhak, yaitu Sepupu Pingzhi. Selesai sudah.”

“Tidak! Aku tidak pernah melihat kitab Pedang Penakluk Iblis,” jawab Linghu Chong gusar. “Paman dan Bibi Lin berturut-turut ditawan dan disiksa oleh orang-orang Perguruan Qingcheng, kemudian oleh Mu Gaofeng si Bungkuk dari Utara. Jika Paman Lin menyimpan kitab tersebut, tentu sejak awal sudah diambil orang-orang itu.”

“Benar juga,” ujar Wang Jiajun. “Kitab Pedang Penakluk Iblis tak ternilai harganya, mana mungkin Paman Lin menyimpannya di saku dan membawanya ke mana-mana? Sudah tentu kitab tersebut disimpan di suatu tempat rahasia. Sebelum mereka wafat, mereka berniat memberitahukan tempat penyimpanannya kepada Sepupu Pingzhi melalui dirimu. Siapa tahu... siapa tahu, hehe....”

“Siapa tahu secara diam-diam kau malah pergi sendiri untuk mengangkangi kitab tersebut?” tukas Wang Jiaju melanjutkan ucapan kakaknya.

Linghu Chong semakin gusar mendengarnya. Sebenarnya ia tidak sudi untuk berdebat lebih lanjut. Namun karena masalah ini sungguh penting, ia pun berusaha menahan diri dan berkata, “Jika benar Paman Lin memiliki kitab pusaka sehebat itu, tentu Beliau menjadi orang yang berjaya di dunia persilatan. Tapi mengapa Beliau bisa dikalahkan dan ditangkap hanya oleh beberapa orang murid Perguruan Qingcheng?”

“Hal ini... hal ini....” sahut Wang Jiaju gelagapan tidak bisa menjawab.

Wang Jiajun yang lebih pintar bicara menyahut, “Itu semua hanya kebetulan. Saudara Linghu sendiri sudah memelajari ilmu Pedang Penakluk Iblis dan mampu mengalahkan lima belas penjahat tangguh, tetapi mengapa melawan kaum gelandangan saja tidak mampu, bahkan dihajar mereka sampai babak belur? Hahahaha, kau memang pandai berpura-pura. Tapi sandiwaramu agak keterlaluan, Saudara Linghu. Mana mungkin seorang murid pertama Perguruan Huashan bisa dihajar kaum gelandangan di kota Luoyang tanpa perlawanan? Tentu di balik itu semua ada penjelasan yang masuk akal. Nah, Saudara Linghu, kami rasa lebih baik kau mengaku saja.”

Biasanya Linghu Chong tidak peduli dengan segala tuduhan dan menjawab seenaknya. Namun apa yang terjadi sudah menempatkan dirinya sebagai pihak tersangka. Sebenarnya ia tidak takut dicurigai oleh Keluarga Golok Emas Wang, tetapi yang ia takutkan adalah dicurigai oleh guru, ibu-guru, dan adik kecilnya. Menanggapi itu, ia pun berkata dengan tegas, “Aku bersumpah selama ini aku, Linghu Chong, belum pernah melihat yang namanya kitab Pedang Penakluk Iblis. Wasiat Paman Lin juga sudah kusampaikan kepada Adik Lin tanpa mengurangi satu kalimat pun. Jika aku ternyata berbohong dan menipu, aku pantas dihukum mati dan menerima kutukan.” Wajahnya terlihat bersungguh-sungguh saat mengucapkan sumpah tersebut.

Wang Jiajun tersenyum dan berkata, “Urusan penting yang menyangkut dunia persilatan tidak cukup diselesaikan hanya dengan bersumpah saja. Apa kau kira dengan bersumpah maka persoalan ini bisa selesai begitu saja? Saudara Linghu terlalu kekanak-kanakan dan menganggap orang lain bodoh.”

“Kalau begitu, bagaimana menurutmu?” tanya Linghu Chong sambil berusaha tetap tenang.

“Maafkan atas kelancangan kami. Namun kami terpaksa harus menggeledah badanmu, Saudara Linghu,” kata Wang Jiaju. Setelah terdiam sejenak, anak muda itu melanjutkan sambil tersenyum mengejek, “Anggap saja kami seperti para gelandangan yang kemarin mengeroyokmu. Bukankah mereka juga menggerayangi badanmu?”

“Huh, kalian mau menggeledahku? Memangnya aku ini seperti maling?” sahut Linghu Chong.

“Mana mungkin kami berani beranggapan demikian?” ujar Wang Jiajun. “Tapi kalau Saudara Linghu benar-benar tidak mengambil kitab itu, kenapa harus takut digeledah? Jika kami tidak menemukannya, itu berarti nama baikmu bisa bebas dari segala tuduhan.”

“Baik,” sahut Linghu Chong sambil mengangguk. “Tapi Adik Lin dan Adik Yue harus dipanggil ke sini biar mereka menjadi saksi.”

Wang Jiajun khawatir mendengar permintaan itu. Jika ia pergi memanggil Lin Pingzhi dan Yue Lingshan, jangan-jangan Linghu Chong akan menyergap Wang Jiaju sendirian. Tapi jika mereka pergi bersama, jangan-jangan Linghu Chong mendapat kesempatan untuk menyembunyikan kitab tersebut. Maka, ia pun menolak, “Kalau Saudara Linghu tidak bersalah, kenapa harus takut digeledah?”

Linghu Chong pun berpikir, “Sebenarnya aku mengizinkan kalian menggeledah diriku adalah untuk membuktikan bahwa diriku tidak bersalah di hadapan Guru, Ibu Guru, atau Adik Kecil. Aku tidak peduli pada tuduhan kalian. Akan tetapi, kalau salah satu dari mereka tidak menyaksikan penggeledahan ini, maka tidak akan kuizinkan tangan kotor kalian menggerayangi badanku.”

Maka, ia pun berkata, “Hanya kalian berdua? Hm, kalian berdua tidak pantas menggeledah badanku.”

Semakin Linghu Chong menolak, maka kedua bersaudara itu semakin yakin kalau kitab Pedang Penakluk Iblis benar-benar ada padanya. Selain itu, mereka berdua juga mengincar pujian dari sang kakek, paman, serta ayah mereka. Bahkan jika kitab tersebut berhasil ditemukan, Lin Pingzhi pasti berterima kasih dan mengizinkan mereka untuk ikut mempelajari ilmu pedang hebat tersebut.

Wang Jiajun telah menyaksikan sendiri bagaimana Linghu Chong dapat dikalahkan para gelandangan tempo hari. Maka ia pun menyimpulkan kalau Linghu Chong hanya hebat dalam permainan pedang, tetapi kurang pandai jika bertarung tangan kosong. Melihat kali ini Linghu Chong tidak bersenjata, Wng Jiajun pun melirik adiknya, kemudian berkata, “Saudara Linghu, kau menolak diajak bicara baik-baik tapi memilih menggunakan kekerasan. Jika sampai terjadi apa-apa tentu akan merusak hubungan baik kita.”

Setelah bicara demikian, Wang Jiajun bersama Wang Jiaju pun mendesak maju. Wang Jiaju mendahului menerjang ke depan sambil membusungkan dada. Linghu Chong mengangkat tangan hendak menolaknya. Tapi Wang Jiaju berteriak, “Hei, kau berani memukul?”

Bersamaan dengan itu tangannya terus maju untuk mengunci pergelangan lawan. Karena Linghu Chong adalah murid pertama Perguruan Huashan, maka Wang Jiaju tidak berani meremehkannya. Ia pun mengerahkan segenap kekuatannya saat mengerahkan jurus Keluarga Wang tersebut.

Linghu Chong lebih berpengalaman dalam pertarungan. Begitu melihat Wang Jiaju menyerang dengan sepenuh hati, ia pun mempersiapkan segala macam jurus untuk menangkisnya. Saat pihak lawan mengunci lengannya, sebenarnya ia dapat memutar lengan tersebut dan melakukan serangan balasan. Namun celakanya, ia tidak memiliki tenaga dalam. Meskipun tangannya bergerak sesuai rencana, namun tiada daya sama sekali sehingga dengan mudah ditangkap oleh Wang Jiaju. Tahu-tahu lengan Linghu Chong dipuntir sampai terdengar bunyi patah.

Wang Jiaju tidak berhenti sampai di situ. Setelah mematahkan lengan kanan Linghu Chong, tengannya pun bergerak mencengkeram bahu lawannya itu sampai lepas dari sendi. “Lekas geledah dia, Kakak!” serunya kepada Wang Jiajun.

Segera Wang Jiajun maju dan menjulurkan sebelah kakinya untuk menahan bagian bawah perut Linghu Chong untuk berjaga-jaga agar tidak balas menendang. Menyusul kemudian ia menjulurkan tangan untuk menggerayangi baju Linghu Chong dan mengeluarkan semua isinya.

“Ini dia!” seru Wang Jiajun ketika menemukan sebuah kitab kecil. “Ini dia! Kitab Pedang Penakluk Iblis milik Paman Lin sudah kita temukan!”

Kedua bersaudara itu segera membuka buku tersebut. Pada halaman pertama terdapat tulisan dalam huruf kuna, berbunyi “Menertawakan Dunia Persilatan”. Namun sayangnya, kedua bersaudara itu tidak paham sastra. Mereka tidak mengerti huruf kuna sehingga tidak dapat membacanya dengan jelas. Ketika dibuka lembar-lembar selanjutnya yang mereka lihat hanyalah simbol-simbol aneh pada setiap halaman. Karena mereka juga tidak paham notasi musik, dan mereka pun sudah terlanjur yakin dengan penemuan mereka, maka keduanya pun kembali berteriak, “Kitab Pedang Penakluk Iblis telah kita temukan!”

“Ayo kita tunjukkan kepada Kakek,” seru Wang Jiajun sambil berlari membawa kitab kecil tersebut.

Wang Jiaju yang belum puas segera menendang pinggang Linghu Chong, sembil memaki, “Dasar maling licik! Tak tahu malu!” Ia kemudian meludahi wajah Linghu Chong dan segera pergi menyusul kakaknya.

Linghu Chong sangat marah atas perlakuan kasar kedua anak muda tadi. Namun ia kemudian berpikir bahwa kakek dan ayah mereka tentu tidak sebodoh itu dan berharap mereka mengetahui kalau kitab tersebut berisi notasi musik sehingga sudi meminta maaf atas kekeliruan ini. Namun yang sangat disesali Linghu Chong adalah bahu dan lengannya yang terkilir dan lepas dari sendi, terasa sakit bukan kepalang. Ia hanya bisa mengeluh, “Tenaga dalamku sudah punah. Melawan beberapa gelandangan saja aku tidak sanggup. Keadaanku sudah mirip orang cacad. Huh, apa artinya hidup seperti ini?”

Ia berbaring di tempat tidurnya sambil menahan sakit. Air matanya meleleh namun segera diusap setelah membayangkan kedua bersaudara itu akan datang kembali untuk minta maaf. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan mereka.

Selang agak lama, terdengar suara langkah kaki dua orang agak terburu-buru sedang menuju ke arah kamar. Jelas kedua bersaudara itu datang kembali. Begitu memasuki kamar, Wang Jiajun pun berkata, “Ayo pergi menemui kakekku!”

“Tidak sudi,” jawab Linghu Chong. “Kakekmu yang harusnya datang kemari meminta maaf padaku. Aku tidak sudi pergi menemuinya.”

Wang Jiajun dan Wang Jiaju tertawa bersamaan. “Hah? Kakek yang mohon maaf padamu? Jangan mimpi! Ayo lekas berangkat!” seru Wang Jiaju.

Kedua bersaudara itu pun menarik baju Linghu Chong, dan menyeretnya keluar dari kamar dengan paksa.

“Huh, Keluarga Golok Emas Wang mengaku sebagai kesatria pembela kebenaran, tapi perbuatan kalian sewenang-wenang seperti ini. Sungguh kotor dan tak tahu malu!” bentak Linghu Chong memaki-maki.

Wang Jiajun pun membalas dengan menampar wajah Linghu Chong sampai bibirnya mengeluarkan darah.

Namun Linghu Chong masih terus memaki. Kedua bersaudara itu tanpa ampun menyeretnya masuk ke dalam sebuah ruangan besar, di mana di dalamnya sudah duduk menunggu Wang Yuanba, Yue Buqun, Ning Zhongze, Wang Bofen, dan Wang Zhongqiang.

Linghu Chong tidak peduli dan masih terus memaki, “Keluarga Golok Emas Wang ternyata rendah dan kotor! Kalian adalah keluarga paling hina dalam dunia persilatan!”

“Tutup mulutmu, Chong’er!” bentak Yue Buqun dengan wajah bengis.

Linghu Chong langsung berhenti berbicara. Namun matanya tetap memandang tajam ke arah Wang Yuanba. Tampak orang tua itu memegang kitab musik Menertawakan Dunia Perilatan pemberian kedua cucunya tadi.

“Keponakan Linghu, dari mana kau peroleh kitab Pedang Penakluk Iblis ini?” tanya Wang Yuanba dengan suara berwibawa.

Linghu Chong terperanjat. Ia kemudian menengadah dan tertawa terbahak-bahak.

“Chong’er, kau bisa bersikap sopan atau tidak? Sesepuh bertanya kepadamu, jawab dengan baik! Di mana tata kramamu?” bantak Yue Buqun.

Linghu Chong menjawab, “Guru, saya sedang terluka parah dan tak bertenaga. Tapi kedua bocah ingusan itu memperlakukan saya dengan sangat kasar. Hehe, apa seperti ini cara Keluarga Wang menghormati tamu?”

“Terhadap tamu yang terhormat kami pasti berlaku sopan dan tak kurang adat,” ujar Wang Zhongqiang. “Tapi kau telah mengingkari wasiat orang dan menyimpan kitab Pedang Penakluk Iblis di balik bajumu sendiri. Perbuatanmu ini jelas-jelas mencuri. Keluarga Golok Emas Wang selalu mengutamakan kebenaran. Dengan kejadian ini, rasanya kami tak perlu menghormatimu lagi.”

Linghu Chong menjawab angkuh, “Kalian dari kakek sampai cucu bersikeras mengatakan kalau kitab itu adalah kitab Pedang Penakluk Iblis. Memangnya kalian pernah melihat secara langsung bagaimana wujud kitab Pedang Penakluk Iblis? Bagaimana kalian bisa yakin kalau kitab tersebut adalah kitab Pedang Penakluk Iblis?”

Wang Zhongqiang terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Kitab ini ditemukan pada dirimu. Saudara Yue telah melihatnya dan berkata bahwa kitab ini bukan milik Perguruan Huashan. Lantas, apa lagi kalau bukan kitab Pedang Penakluk Iblis?”

Karena semakin gusar Linghu Chong pun tertawa dan berkata, “Jika benar kitab tersebut berisi rahasia ilmu Pedang Penakluk Iblis, maka silakan saja kalian pelajari. Semoga kalian bisa mendapatkan banyak petunjuk dari kitab itu. Maka untuk selanjutnya, Keluarga Wang di Luoyang akan disegani di dunia persilatan karena bertambah gelar menjadi Keluarga Golok Emas dan Pedang Emas Wang. Hahahaha!”

“Keponakan Linghu,” sahut Wang Yuanba. “Jika ada kesalahan yang dilakukan kedua cucuku padamu, hendaknya kau jangan membenci mereka. Setiap manusia tentu pernah melakukan kesalahan. Yang baik adalah menyadari kesalahannya dan memperbaikinya. Kau telah menyerahkan kitab pedang ini kepada kami. Demi memandang pada gurumu, mana mungkin kami tega mengusutnya lebih jauh? Untuk selanjutnya, persoalan ini tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Sekarang biar kubetulkan lenganmu yang terkilir.” Usai berkata demikian orang tua itu melangkah maju mendekati Linghu Chong sambil menjulurkan tangannya.

“Tidak perlu! Linghu Chong tidak sudi menerima permainanmu!” jawab Linghu Chong sambil mundur dua langkah.

“Permainan apa?” tanya Wang Yuanba.

“Aku bukan boneka yang tidak punya perasaan,” bentak Linghu Chong. “Lenganku ini tidak dapat kalian perlakukan seenaknya. Ingin dipatahkan lantas dipatahkan, ingin disambung lantas disambung. Huh!” Ia kemudian melangkah ke hadapan Ning Zhongze dan berkata, “Ibu Guru, lenganku ini....”

Ning Zhongze paham maksud Linghu Chong. Dengan menghela nafas panjang ia pun membetulkan ruas lengan dan bahu murid pertama suaminya yang terkilir itu.

Linghu Chong kemudian berkata, “Ibu Guru, kitab tersebut berisi notasi musik kecapi dan seruling. Tapi ternyata Keluarga Wang sudah buta huruf semua dan bersikeras mengatakan kalau kitab tersebut berisi rahasia ilmu Pedang Penakluk Iblis. Sungguh lelucon mahabesar di dunia persilatan.”

“Tuan Wang,” kata Ning Zhongze kemudian. “Apakah kitab itu boleh kulihat?”

“Silakan kalau Nyonya Yue ingin melihatnya,” jawab Wang Yuanba sambil menyodorkan kitab tersebut.

Ning Zhongze menerima kitab itu dan membuka beberapa halaman. Ia kemudian berkata, “Aku sendiri kurang paham tentang musik. Tapi kalau kitab ilmu silat sudah sering kubaca. Kitab ini sama sekali tidak mirip kitab ilmu pedang. Tuan Wang, apakah di rumah ini ada orang yang mahir bermain musik? Jika ada kita bisa menanyakan pendapatnya.”

Wang Yuanba merasa sangsi. Ia khawatir jangan-jangan kitab tersebut memang benar-benar berisi notasi musik. Jika benar demikian, tentu ia akan menderita malu luar biasa. Maka itu, ia hanya termangu-mangu tidak segera menjawab.

Tanpa menghiraukan perasaan sang kakek, Wang Jiaju yang lugu langsung saja menyahut dengan suara lantang penuh rasa bangga, “Kakek, jurutulis kita yang bermarga Yi bukankah pandai meniup seruling? Apa perlu kita panggil dia untuk mencobanya? Sudah jelas kitab ini adalah kitab pedang, mengapa disebut kitab musik segala?”

Wang Yuanba menanggapi, “Ada bermacam-macam jenis kitab di dunia persilatan. Sering ada orang yang sengaja merahasiakan kepandaiannya dengan cara menyamarkan pelajaran ilmu silat dengan cara ditulis seperti notasi musik. Hal seperti ini sebenarnya tidak perlu diherankan.”

Ning Zhongze berkata, “Tapi kalau memang di sini ada Jurutulis Yi yang pandai meniup seruling, apa salahnya kalau kita panggil dia kemari? Tentu dia bisa membedakan antara kitab pedang dan kitab musik.”

Wang Yuanba terpaksa menuruti permintaan Ning Zhongze. Ia pun memerintahkan Wang Jiaju untuk memanggil Jurutulis Yi. Tidak lama kemudian, cucunya itu sudah kembali ditemani seorang laki-laki kurus berusia lima puluhan, berjanggut tipis dan berpenampilan rapih.

“Tuan Yi, coba kau periksa apakah kitab ini berisi notasi musik?” tanya Wang Yuanba memberi perintah.

Jurutulis Yi membolak-balik bagian depan kitab tersebut yang berisi notasi kecapi, kemudian berkata, “Yang ini saya kurang begitu paham.”

Namun begitu membaca bagian belakang yang berisi notasi seruling, wajahnya langsung berseri-seri. Mulutnya tampak bersenandung dan dua jarinya mengetuk-ngetuk di atas meja sesuai irama. Sejenak kemudian pria itu menggeleng-gelengkan kepala dan berkata, “Tidak mungkin! Sungguh tidak mungkin!”

Mulutnya kembali bersenandung. Nadanya meninggi, tiba-tiba menjadi rendah sekali, sampai-sampai suaranya serak tidak bisa diteruskan lagi. Ia mengerutkan kening dan berkata, “Tidak mungkin... Ini sungguh sukar dimengerti... sukar dimengerti....”

“Apa ada yang aneh dengan kitab ini? Apa ada perbedaan dengan kitab musik pada umumnya?” tanya Wang Yuanba dengan nada senang.

Jurutulis Yi kembali membalik-balik halaman yang berisi notasi seruling, kemudian menjawab, “Silakan Tuan melihat sendiri. Musik ini dimulai dengan nada Gong mayor, mendadak berubah menjadi nada Wei minor. Sungguh sangat bertentangan dengan teori umum seni musik. Notasi ini sangat mustahil untuk dimainkan. Kemudian nadanya berubah lagi menjadi Jiao mayor. Sungguh belum pernah saya melihat ada notasi seruling yang aneh seperti ini.”

Linghu Chong menanggapi sambil mencibir, “Huh, kau tidak becus memainkannya, bukan berarti orang lain juga tidak mampu memainkannya.”

“Benar juga ucapanmu,” sahut Jurutulis Yi sambil mengangguk. “Jika di dunia ini ada orang yang sanggup memainkan lagu ini, maka aku sungguh sangat kagum tak terlukiskan. Ya, kecuali... kecuali dia di timur kota....”

“Apa maksud perkataanmu?” sela Wang Yuanba. “Kau bilang notasi lagu seruling dalam kitab ini beda dengan yang biasanya? Kau bilang notasi dalam kitab ini mustahil dimainkan?”

“Ini memang lain dari yang lain! Lain dari yang lain!” jawab Jurutulis Yi. “Yang jelas saya tidak mampu memainkannya. Kecuali dia yang tinggal di timur kota....”

“Kecuali siapa? Seniman di timur kota siapa yang mampu memainkan lagu ini?” sahut Nyonya Yue menegas.

“Saya tidak berani menjamin,” ujar Jurutulis Yi. “Tapi… tapi dia yang bernama Lu Zhuweng, yang tinggal di timur kota pandai meniup seruling dan memetik kecapi. Kepandaiannya dalam meniup seruling sangat jauh di atas saya. Sungguh dia jauh lebih hebat daripada saya! Mungkin dia bisa memainkan lagu ini.”

“Kalau bukan notasi lagu biasa, di dalamnya tentu terdapat suatu rahasia,” kata Wang Yuanba.

Wang Bofen ikut bicara, “Ayah, bukankah ilmu Golok Empat Jalur Enam Laras dari Perguruan Golok Bagua di Zhengzhou juga ditulis di dalam kitab musik?”

Wang Yuanba sempat tertegun. Ia akhirnya paham kalau Wang Bofen sengaja berbohong. Ketua Perguruan Golok Bagua yang bernama Mo Xing masih ada hubungan keluarga dengan Keluarga Golok Emas Wang. Wang Yuanba mengetahui bahwa di dalam perguruan tersebut tidak terdapat ilmu Golok Empat Jalur Enam Laras sebagaimana yang diucapkan putranya tadi. Namun karena Perguruan Huashan tidak mempelajari ilmu golok, mungkin Yue Buqun tidak akan tahu ilmu itu ada atau tidak. Maka dengan licik Wang Yuanba pun membenarkan ucapan putranya, “Benar juga. Beberapa waktu yang lalu Saudara Mo sempat menyinggung hal ini. Menulis pelajaran silat dalam notasi musik adalah hal yang biasa dalam dunia persilatan.”

Linghu Chong pun menyahut, “Kalau benar itu merupakan hal yang biasa, lantas bagaimana wujudnya pelajaran ilmu pedang yang tertulis dalam notasi musik kitab ini? Seperti apa ilmu silat yang ada dalam notasi seruling dan kecapi ini? Mohon Tuan Wang sudi memberi keterangan kepadaku.”

“Mengenai hal ini... hal ini... aih, menantuku sudah meninggal dunia. Rahasia dalam kitab musik ini selain Adik Linghu sudah tidak ada lagi yang tahu,” ujar Wang Yuanba. Orang tua itu rupanya sangat pandai bersilat lidah. Ia bisa berkelit sekaligus memojokkan Linghu Chong.

Linghu Chong semakin gusar. Sebenarnya ia bisa saja membersihkan nama dengan cara berterus terang mengatakan kalau kitab tersebut berisi notasi lagu Menertawakan Dunia Persilatan, tulisan tangan Qu Yang dan Liu Zhengfeng. Namun jika ia sampai berterus terang maka akibatnya akan sangat berbahaya. Bisa jadi dunia persilatan akan mengetahui tentang kematian Fei Bin dari Perguruan Songshan di tangan Tuan Besar Mo ketua Perguruan Hengshan. Juga apabila Yue Buqun mengetahui kalau kitab tersebut adalah peninggalan Qu Yang dari Sekte Iblis, maka kitab tersebut pasti akan segera dihancurkannya. Jika itu terjadi berarti Linghu Chong tidak bisa menjaga wasiat orang dengan baik.

Setelah berpikir demikian, Linghu Chong pun berusaha menahan amarah. Ia hanya berkata, “Tadi Jurutulis Yi mengatakan bahwa di timur kota ada seorang bernama Lu Zhuweng yang pandai bermain musik. Kenapa kita tidak memperlihatkan kitab ini kepadanya dan minta pertimbangan?”

Wang Yuanba menggeleng dan berkata, “Lu Zhuweng bersifat sangat aneh. Tingkah lakunya angin-anginan seperti orang sinting. Terhadap orang lain ia acuh tak acuh. Orang seperti itu mana bisa dipercaya?”

Mendengar itu Nyonya Yue menukas, “Tapi bagaimanapun juga urusan ini harus jelas. Chong’er adalah murid kami, Pingzhi juga murid kami. Kami tidak boleh pilih kasih dan membela salah satu pihak. Untuk mengetahui siapa yang benar, siapa yang salah, maka tidak ada salahnya kalau kita mencoba meminta pertimbangan dari Lu Zhuweng itu.” Karena tidak ingin menyinggung Keluarga Golok Emas Wang, Ning Zhongze secara bijaksana berusaha mengalihkan dengan cara mengatakan kalau masalah ini adalah antara Linghu Chong dengan Lin Pingzhi.

Ning Zhongze kemudian berkata kepada Jurutulis Yi, “Tuan Yi, bagaimana kalau kita kirimkan orang membawa tandu untuk menjemput Lu Zhuweng kemari?”

“Orang tua bernama Lu Zhuweng itu memiliki sifat yang sangat aneh,” jawab Jurutulis Yi. “Jika orang lain minta pertolongannya, ia menolak. Sebaliknya jika ia sudah turut campur, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya.”

“Sifat demikian itu sama dengan sifat kita kaum pendekar,” sahut Ning Zhongze yang kemudian menoleh ke arah suaminya. “Kiranya Lu Zhuweng juga seorang tokoh sepuh dalam dunia persilatan. Kakak, sepertinya kita ini terlalu picik dan sempit wawasan.”

“Lu Zhuweng bukan orang dunia persilatan,” tukas Wang Yuanba sambil tertawa mencibir. “Dia hanya seorang tukang bambu yang kerjanya membuat keranjang dan tikar. Hanya saja karena ia pandai memainkan seruling dan kecapi, serta mahir melukis dan mengukir bambu, membuat para penduduk menaruh hormat kepadanya. Ia hanya pengrajin bambu tua yang cinta terhadap kesenian, namun enggan berbaur dengan masyarakat.”

“Sungguh sayang kalau kami harus melewatkan tokoh seperti dia begitu saja?” ujar Nyonya Yue semakin penasaran. “Tuan Wang, sudilah kiranya mengiringi kami pergi mengunjungi tukang bambu istimewa itu.”

Wang Yuanba tidak bisa menolak lagi. Bersama dengan anak dan cucunya, ia pun berangkat menemani Yue Buqun, Ning Zhongze, Linghu Chong, Lin Pingzhi, Yue Lingshan, dan murid-murid Huashan lainnya. Jurutulis Yi berjalan paling depan sebagai penunjuk arah.

Setelah melalui beberapa jalan lebar dan kecil, akhirnya rombongan tersebut sampai di suatu gang yang agak sempit. Ujung gang tersebut dipenuhi semak-semak bambu yang rimbun dan luas. Pemandangan di sana cukup indah. Terdengar pula alunan suara kecapi yang merdu. Rombongan pun merasa tenteram dan damai seolah berada di dunia lain yang bebas dari bisingnya kota.

“Orang tua bernama Lu Zhuweng itu benar-benar tahu caranya menikmati hidup,” bisik Ning Zhongze kepada sang suami.

Tiba-tiba alunan suara kecapi berhenti. Kemudian terdengar suara seorang tua berkata dari dalam semak bambu, “Gubukku yang kotor ini rupanya kedatangan para tamu terhormat. Apakah ada yang bisa kubantu?”

Jurutulis Yi yang berada paling depan berseru lantang, “Sesepuh Lu, kami datang membawa sebuah kitab berisi notasi musik kecapi dan seruling yang sangat aneh. Kami ingin meminta pendapat Sesepuh Lu.”

“Kau punya sebuah kitab notasi seruling dan kecapi? Wah, kalian terlalu menyanjung si tukang bambu tua,” sahut Lu Zhuweng sambil tertawa dari kejauhan.

Belum sempat Jurutulis Yi menjawab, Wang Jiaju lebih dulu menyahut, “Tuan Besar Wang dari keluarga Golok Emas yang datang berkunjung kemari.”

Mengingat sang kakek adalah tokoh yang sangat terhormat di kota Luoyang, maka ia pun sengaja memamerkan nama besar keluarganya agar Lu Zhuweng segan dan buru-buru keluar menyambut kedatangan mereka. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan.

“Hm, golok emas atau golok perak juga tidak ada artinya jika dibandingkan dengan golok besi tua yang kupakai untuk membelah bambu ini. Tukang bambu tua tidak perlu menemui Tuan Wang, maka Tuan Wang juga tidak perlu menemuiku,” jawab Lu Zhuweng dengan angkuh.

Wang Jiaju gusar mendengarnya. Ia pun berteriak, “Kakek, tukang bambu tua ini tidak tahu adat. Untuk apa bertemu dengannya? Lebih baik kita pulang saja.”

Ning Zhongze buru-buru menukas, “Kita sudah di sini. Tidak ada salahnya kita minta pendapat Sesepuh Lu tentang kitab notasi musik ini.”

Wang Yuanba hanya mendengus saat menyerahkan kitab tersebut kepada Jurutulis Yi. Segera Jurutulis Yi berjalan masuk ke dalam semak bambu yang rimbun itu. Tak lama kemudian terdengar suara Lu Zhuweng berkata, “Baiklah, kau boleh meletakkannya di situ.”

Terdengar Jurutulis Yi bertanya, “Menurut Sesepuh Lu, apakah kitab ini benar-benar berisi catatan notasi musik, atau rahasia ilmu silat yang sengaja disamarkan dalam bentuk notasi musik?”

“Rahasia ilmu silat apanya? Apa kau sudah gila?” sahut Lu Zhuweng. “Sudah jelas ini kitab notasi musik.” Sejenak kemudian terdengar suara petikan kecapi menggema, dan mengalun merdu. Mendengarkan itu, Linghu Chong segera terkenang pada lagu yang dimainkan oleh Qu Yang tempo hari. Lagu ciptaannya masih ada, namun orangnya sudah meninggal, membuat hati Linghu Chong terasa pilu.

Tidak lama kemudian suara kecapi terdengar meninggi, makin keras dan makin tinggi. Suaranya tajam dan melengking. Setelah mencapai nada yang lebih tinggi, terdengar suara seutas senar terputus. Tidak berhenti sampai di sini, suara kecapi terdengar semakin tinggi. Akhirnya kembali terdengar suara seutas senar yang terputus diikuti suara Lu Zhuweng berseru penuh rasa heran, “Aneh sekali! Not kecapi ini sungguh aneh dan sukar dimengerti.”

Mendengar itu Wang Yuanba saling pandang dengan anak dan cucunya. Diam-diam mereka merasa senang.

“Biar kucoba not seruling ini,” ujar Lu Zhuweng. Kemudian terdengar alunan suara seruling yang merdu menawan hati. Namun nadanya lantas menjadi rendah, dan semakin rendah, bahkan sampai-sampai tidak terdengar. Irama seruling tersebut menjadi parau dan tidak enak didengar lagi.

Lu Zhuweng menghela nafas dan berkata, “Adik Yi, kau sendiri pandai meniup seruling. Tentu kau paham kalau nada sedemikian rendah mana mungkin bisa ditiup keluar? Notasi kecapi dan seruling ini tidak palsu, tapi orang yang menggubah lagu ini sepertinya sengaja bermain-main dan bersenda gurau. Sebaiknya kau pulang dulu. Kitab ini akan kupinjam untuk kupelajari lebih mendalam.”

“Baik!” jawab Jurutulis Yi yang kemudian berjalan keluar meninggalkan semak bambu.

Sesampainya di luar, Wang Zhongqiang langsung menyambut, “Mana kitab pedangnya?”

“Kitab pedang?” tanya Jurutulis Yi bingung. “Oh, Lu Zhuweng bilang untuk sementara sebaiknya ditinggalkan di sana saja supaya ia bisa mempelajari lebih lanjut.”

“Hei, lekas kau ambil kembali!” perintah Wang Zhongqiang. “Itu adalah kitab ilmu pedang yang tidak ternilai harganya. Entah berapa orang persilatan yang mengincar untuk memilikinya? Kenapa kau tinggalkan kitab berharga itu pada orang yang tidak pantas?”

“Baik!” jawab Jurutulis Yi. Baru saja ia hendak melangkah kembali menuju semak bambu tersebut, tiba-tiba terdengar suara Lu Zhuweng berkata, “Eh, Bibi, mengapa kau keluar?”

Kontan saja semua merasa heran. Wang Yuanba pun berbisik, “Berapa kira-kira usia Lu Zhuweng itu?”

Jurutulis Yi menjawab, “Saya rasa sudah mendekati delapan puluh tahun.”

Diam-diam semua orang berpikir kalau bibi Lu Zhuweng pasti berusia sekitar seratus tahun.

“Bibi, silakan lihat ini. Kitab ini sungguh aneh,” ujar Lu Zhuweng.

Sang bibi hanya menjawab, “Hm.” Sejenak kemudian terdengar kecapi mulai berbunyi. Mula-mula permainannya sama dengan Lu Zhuweng tadi. Namun kemudian mulai berbeda. Nada kecapi makin lama makin tinggi, namun tidak terputus di tengah jalan. Nadanya berjalan begitu lancar dan mudah.

Linghu Chong merasa terkejut bercampur gembira tak terkatakan. Samar-samar ia teringat permainan Qu Yang pada malam di lereng Pegunungan Hengshan dulu. Suara alunan kecapi kadang terdengar lesu, kadang terdengar anggun dan lembut. Meskipun Linghu Chong tidak tahu menahu soal seni musik, namun ia bisa merasakan kalau lagu yang dibawakan nenek tersebut begitu segar dan menyenangkan. Rasanya begitu berbeda dengan irama yang dimainkan Qu Yang dulu, meskipun memainkan not yang sama. Permainan si nenek terdengar lembut dan tenang, membuat para pendengar dapat menikmati dan menghargai keindahan musik. Mereka merasa dibawa tenggelam ke dalam alunan suara kecapi tersebut, bagaikan berkelana ke tempat yang sangat jauh dalam khayalan.

Selang agak lama, suara kecapi terdengar berangsur-angsur merendah, seperti makin menjauh. Seolah-olah si pemetik kecapi berjalan pergi belasan meter jauhnya, bahkan terasa sudah pergi beberapa Li. Lagu tersebut terdengar makin lirih namun tidak sampai putus. Hanya saja suaranya terlalu rendah dan sukar didengar.

Ketika pada akhirnya suara kecapi telah pudar dan tidak terdengar lagi, langsung disambung dengan suara seruling yang begitu merdu pula. Suara seruling itu terdengar berputar-putar di udara, dan kemudian semakin keras bagaikan si peniup berjalan mendekat. Suaranya begitu bening dan mendayu-dayu, kadang melengking tinggi dan kadang merendah; kadang berbunyi keras dan kadang terdengar lembut. Saat para pendengar mengira suara seruling sudah mencapai nada terendah, ternyata si peniup bisa membuatnya lebih rendah lagi, tetapi tidak serak dan masih terdengar jelas dan merdu.

Berangsur-angsur, beberapa nada tinggi terdengar memecah nada rendah, bagaikan sejumlah mutiara yang jatuh di atas piring kumala dan saling berbenturan satu sama lain. Kemudian suara-suara itu saling bergabung dan bergema, bagaikan suara gemuruh air terjun di pegunungan, yang berkumandang saat membentur sungai kecil di bawahnya. Kemudian suara seruling tersebut terdengar bagaikan berubah menjadi taman indah yang penuh dengan bunga beraneka warna yang semerbak harum menggoda kawanan kupu-kupu yang terbang menari-nari. Selain itu terdengar pula alunan musik yang berkicauan bagaikan nyanyian burung yang memuji keindahan taman bunga tersebut dan menikmati kedamaian alam. Berangsur-angsur pula kawanan burung itu terbang kesana kemari bagaikan tarian sedih daun-daun kering yang berguguran ke tanah sewaktu musim gugur tiba. Hujan pun datang menyapu daun-daun yang berguguran tersebut hingga menimbulkan suara suram dan gemerisik. Demikianlah gambaran para hadirin saat mendegar irama seruling yang muncul untuk menggantikan irama yang lain. Lambat laun macam-macam suara itu berkurang satu per satu dan akhirnya lenyap semua. Suara seruling pun akhirnya berhenti.

Lama setelah suara seruling berhenti barulah semua orang tersadar, bagaikan bangun dari mimpi. Meskipun Wang Yuanba, Yue Buqun, dan yang lain tidak terlalu paham soal musik, namun secara ajaib mereka seperti terlena oleh alunan suara seruling dan kecapi tersebut. Sementara itu, Jurutulis Yi yang paham kesenian merasa jiwanya bagaikan telah bersatu dengan suara musik tadi dan melayang-layang di udara meninggalkan raga.

Ning Zhongze menghela nafas penuh kekaguman. Ia pun berkata, “Sungguh hebat! Sungguh hebat! Apa judul lagu itu tadi, Chong’er?”

Linghu Chong menjawab, “Lagu itu berjudul Menertawakan Dunia Persilatan. Kepandaian nenek itu sungguh luar biasa. Sepertinya di dunia ini sukar menemukan orang lain yang bisa memetik kecapi ataupun meniup seruling seperti dia.”

“Si penggubah lagu ini telah menghasilkan karya yang luar biasa, tetapi diperlukan seorang ahli musik yang luar biasa pula untuk memainkannya, seperti halnya nenek itu,” kata Ning Zhongze. “Aku yakin baru kali ini kau mendengar alunan musik sebagus ini.”

“Justru saya pernah mendengarkan lagu ini dimainkan secara lebih bagus daripada tadi,” kata Linghu Chong.

“Apa benar?” tanya Nyonya Yue tidak percaya. “Mana mungkin di dunia ini ada orang yang lebih pandai daripada nenek itu dalam memainkan kecapi dan seruling?”

Bukannya lebih pandai,” jawab Linghu Chong. “Hanya saja yang pernah saya dengarkan dulu adalah paduan suara dari dua orang pemain sekaligus. Yang satu memetik kecapi, yang satunya meniup seruling. Keduanya memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan secara bersama-sama dan bersahut-sahutan....”

Belum selesai ia berkata mendadak terdengar suara si nenek berkata lirih dari balik semak-semak bambu sambil diiringi tiga petikan senar kecapi, “Seruling dan kecapi dimainkan bersama. Di dunia ini ke mana lagi mencari seseorang yang bisa seperti itu?”

Lalu terdengar suara Lu Zhuweng berseru, “Adik Yi, kitab ini benar-benar berisi notasi kecapi dan seruling. Semua baru saja dimainkan oleh bibiku. Sekarang kau boleh mengambilnya kembali.”

Jurutulis Yi mengiakan lalu masuk kembali ke dalam semak bambu. Begitu keluar ia sudah membawa kitab musik tersebut.

Lu Zhuweng kembali berkata, “Batapa bagusnya lagu ini tiada bandingannya di muka bumi. Kitab ini adalah benda pusaka, jangan sekali-kali jatuh ke tangan orang biasa. Kau sendiri tidak dapat memainkannya jadi jangan coba-coba untuk memaksakan diri. Kalau kau bersikeras tentu akan merugikan dirimu sendiri.”

“Baik! Baik! Aku sama sekali tidak berani,” jawab Jurutulis Yi. Ia kemudian menyerahkan kitab tersebut kepada Wang Yuanba.

Dengan telinga sendiri Wang Yuanba mendengar permainan kecapi dan seruling yang dibawakan oleh sang nenek tadi. Sekarang ia percaya kalau kitab tersebut memang benar-benar berisi notasi musik, bukan pelajaran ilmu silat. Maka, kitab itu pun diserahkannya kepada Linghu Chong sambil berkata, “Keponakan Linghu, kami benar-benar minta maaf.”

Linghu Chong menjawab dengan senyuman sinis. Sebenarnya ia sudah mempersiapkan kata-kata sindiran, namun dilihatnya sang ibu-guru mengedipkan mata tanda tidak setuju. Maka, ia pun mengurungkan niatnya tersebut.

Merasa sangat malu, Wang Yuanba beserta kedua anak dan kedua cucunya mendahului pergi meninggalkan tempat itu, disusul oleh Yue Buqun dan para murid Huashan, kecuali Linghu Chong yang berdiri termangu-mangu memandangi kitab musik yang ada di tangannya.

Ning Zhongze yang hendak menyusul pergi pun bertanya, “Chong’er, kau tidak pulang?”

“Nanti saya akan menyusul pulang. Saya ingin di sini sebentar,” jawab Linghu Chong.

“Jangan terlambat. Hendaknya kau lekas pulang untuk beristirahat,” pesan Nyonya Yue. “Oh ya, lenganmu baru saja terkilir. Kau jangan menggunakannya terlalu keras.”

“Baik!” jawab Linghu Chong singkat. Ibu-gurunya kemudian melangkah pergi menyusul rombongan.

Setelah rombongan Keluarga Wang dan Perguruan Huashan pergi menjauh, suasana menjadi sunyi senyap. Hanya kadangkala terdengar suara batang bambu bergesekan satu sama lain saat tertiup angin sepoi-sepoi. Sambil memandangi kitab lagu Menertawakan Dunia Persilatan, pikiran Linghu Chong pun melayang-layang terkenang bagaimana Qu Yang dan Liu Zhengfeng memainkan lagu tersebut di kejadian malam itu.

“Mereka berdua sangat beruntung bisa bertemu dan mengikat persahabatan, lalu bersama-sama menghasilkan karya agung ini. Meskipun nenek dari balik semak bambu itu sangat mahir bermain musik, namun ia tidak memiliki kawan sepadan yang bisa bermain bersamanya. Kemahiran orang tua bernama Lu Zhuweng itu juga masih di bawahnya. Mungkin lagu Menertawakan Dunia Persilatan akan punah selamanya dan aku tidak dapat lagi mendengar keindahan lagu ini.”

Usai berpikir demikian, ia kembali termangu-mangu. “Paman Liu dan Tetua Qu berasal dari kelompok yang bermusuhan. Yang satunya adalah pemuka perguruan ternama, sementara yang satunya adalah pemuka Sekte Iblis. Yang satu mewakili kelompok aliran lurus, sedangkan yang lain mewakili aliran sesat. Akan tetapi saat mereka membicarakan musik, mereka dapat saling memahami perasaan satu sama lain, dan akhirnya saling mengangkat saudara, bersahabat sehidup semati. Puncak persahabatan mereka adalah terciptanya lagu Menertawakan Dunia Persilatan yang sangat bagus ini. Ketika mereka saling berjabat tangan saat meninggal dunia bersama-sama, keduanya tidak menyesal. Apa yang mereka alami jauh lebih baik daripada nasibku yang sebatang kara. Aku dicurigai oleh guruku, diabaikan oleh Adik Kecil yang kusayangi, bahkan Adik Keenam yang merupakan sahabtku yang paling baik justru mati di tanganku sendiri.” Terkenang pada kematian Lu Dayou membuat hati Linghu Chong kembali berduka. Tanpa terasa ia pun menangis tersedu-sedu. Air matanya menetes melewati dagu dan membasahi kitab musik di tangannya.

Tiba-tiba terdengar suara Lu Zhuweng bertanya dari balik semak bambu, “Sobat kecil, mengapa kau belum pergi? Apa aku boleh bertanya apa yang telah membuatmu sedih?”

“Oh, saya berduka meratapi nasib sendiri yang buruk ini. Saya juga terkenang pada kematian kedua sesepuh yang menggubah lagu indah tadi. Mohon maaf apabila saya mengganggu Kakek. Sekarang saya mohon pamit.” Usai berkata demikian Linghu Chong pun memutar badan hendak melangkah pergi.

“Sobat kecil, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padamu. Apa kau sudi masuk ke dalam untuk mengobrol sebentar dengan orang tua ini?” tanya Lu Zhuweng.

Linghu Chong tertegun tak percaya. Padahal tadi Lu Zhuweng bersikap angkuh kepada Wang Yuanba, tapi sekarang justru berubah ramah terhadap dirinya yang bukan siapa-siapa. Maka, ia pun menjawab, “Sesepuh terlalu memuji. Baiklah, apapun yang ingin Sesepuh tanyakan, pasti akan kujawab semampuku.”

Pemuda itu kemudian melangkah menyusuri jalan setapak masuk ke dalam semak bambu. Jalanan kecil tersebut membelok beberapa kali dan akhirnya sampai di hadapan lima buah gubuk kecil. Di kiri jalan ada dua, di kanan jalan ada tiga. Semuanya terbuat dari bambu. Terlihat seorang kakek melangkah keluar dari dalam gubuk kiri, menjemputnya dengan tertawa.

“Sobat kecil, silakan mampir untuk minum teh,” sapa orang tua itu sangat ramah.

Mendengar suaranya, Linghu Chong yakin kalau dia adalah Lu Zhuweng. Orang tua itu berbadan agak bungkuk, kepalanya hampir botak dengan rambutnya yang hanya beberapa. Tangannya lebar dan kakinya besar. Meskipun sudah tua namun ia terlihat penuh semangat.

Linghu Chong pun berkata, “Saya Linghu Chong menyampaikan hormat kepada Sesepuh.”

Lu Zhuweng tertawa dan menjawab, “Sobat kecil, jangan terlalu banyak adat. Aku hanya kebetulan lebih tua beberapa tahun saja. Mari, silakan masuk!”

Linghu Chong pun melangkah perlahan mengikuti Lu Zhuweng masuk ke dalam pondok kecil itu. Di dalam terdapat meja, kursi, lemari, dan perabotan lainnya yang kesemuanya terbuat dari bambu. Sebuah lukisan yang menggambarkan semak bambu yang lebat pun tergantung di dinding. Goresan pada lukisan tersebut terlihat tebal dan tajam. Pada sebuah meja tampak tertaruh sebuah kecapi dan seruling bambu.

“Sobat kecil, silakan minum!” kata Lu Zhuweng sambil menuangkan secangkir teh dari dalam sebuah poci porselen berwarna hijau.

Dengan penuh hormat Linghu Chong menerima cangkir tersebut.

“Sobat kecil, kitab musik tadi kau peroleh dari mana? Apakah kau sudi memberikan penjelasan?” tanya Lu Zhuweng lebih lanjut.

Linghu Chong terperanjat dengan jantung berdebar-debar. Ia merasa bimbang. Bagaimanapun juga kitab lagu Menertawakan Dunia Persilatan menyimpan sejumlah rahasia sehingga ia bahkan tidak berani berterus terang kepada sang guru dan ibu-guru. Namun ia lantas teringat wasiat Qu Yang dan Liu Zhengfeng supaya mewariskan kitab tersebut kepada ahli musik yang bisa melestarikan lagu gubahan mereka. Kini ia bertemu dengan Lu Zhuweng dan bibinya yang sangat mahir bermain musik. Bahkan, sang bibi telah menunjukkan kemahiran yang luar biasa untuk memainkan lagu sulit tersebut. Hanya saja, keduanya sudah terlalu tua. Linghu Chong sangsi apakah mereka bisa melestarikan lagu tersebut. Namun kalau bukan mereka, siapa lagi yang lebih pantas untuk mewarisi kitab tersebut?

Linghu Chong sendiri sedang sakit parah. Ia khawatir tidak sempat lagi menemukan ahli musik lainnya yang lebih muda. Maka, ia pun berkata, “Kedua sesepuh yang menggubah lagu ini masing-masing memiliki keahlian luar biasa dalam memetik kecapi dan meniup seruling. Mereka berdua mengikat persaudaraan dan menulis kitab musik bersama-sama. Namun sayang sekali, mereka tertimpa musibah sehingga harus meninggal pada hari yang sama. Sebelum menutup mata, kedua sesepuh itu menitipkan kitab peninggalan mereka kepada saya untuk diserahkan kepada ahli musik yang tepat. Mereka berharap lagu dalam kitab ini tidak punah bersama dengan kematian mereka. Tadi saya mendengar bibi dari Sesepuh Lu telah memainkan lagu dalam kitab ini, baik itu dengan kecapi ataupun dengan seruling. Permainan Nenek tadi sungguh luar biasa. Saya pun merasa telah menemukan orang yang tepat untuk menyerahkan kitab musik ini. Sesepuh Lu, mohon bantuannya untuk menyerahkan kitab musik ini kepada Nenek, supaya saya bisa memenuhi wasiat kedua sesepuh yang telah menggubahnya, sehingga mereka berdua bisa tenang di alam sana.” Usai berkata demikian pemuda itu lantas mengulurkan kedua tangannya yang memegang kitab lagu Menertawakan Dunia Persilatan dengan penuh hormat.

Akan tetapi, Lu Zhuweng tidak berani menerima. Ia hanya berkata, “Izinkan aku bertanya dulu kepada Bibi, apakah Beliau sudi menerima atau tidak?”

Sejenak kemudian terdengar suara wanita berkata dari dalam gubuk sebelah, “Tuan Muda Linghu bermaksud baik ingin menyerahkan lagu yang sangat bagus itu kepada kami. Jika aku menolaknya akan terasa kurang hormat, tapi jika menerimanya, aku merasa sangat malu. Tapi jika boleh tahu, siapa nama kedua sesepuh yang telah menggubah lagu indah itu?”

Linghu Chong sempat tertegun mendengar suara si nenek yang tidak seperti suara orang tua. Ia kemudian menjawab, “Tentu saja akan kukatakan. Kedua sesepuh tersebut bernama Paman Liu Zhengfeng dan Tetua Qu Yang.”

“Ah… ternyata mereka berdua,” jawab si nenek dengan nada terkejut.

“Apakah Nenek mengenal mereka?” tanya Linghu Chong.

Wanita itu tidak segera menjawab. Selang agak lama barulah ia berkata, “Liu Zhengfeng adalah tokoh nomor dua dalam Perguruan Hengshan, sedangkan Qu Yang adalah gembong Sekte Iblis. Kedua pihak adalah musuh bebuyutan selama beberapa angkatan, tapi mengapa mereka bisa menggubah lagu bersama-sama? Sungguh sukar dimengerti.”

Meskipun Linghu Chong belum pernah melihat wajah si nenek, namun ditinjau dari suaranya yang lembut, serta permainan musiknya yang indah, ia dapat menduga kalau wanita tersebut tentu seorang tokoh angkatan tua yang baik budi dan welas asih, serta jauh dari persaingan duniawi. Selain itu, ia juga mengetahui asal-usul Qu Yang dan Liu Zhengfeng pertanda wanita tua itu juga seorang anggota dunia persilatan. Maka, tanpa ragu lagi Linghu Chong pun menceritakan semua kisah mulai dari kegagalan upacara Cuci Tangan Baskom Emas yang diadakan Liu Zhengfeng akibat campur tangan Ketua Zuo, disusul dengan pembantaian Keluarga Liu, dan Qu Yang pun muncul untuk menolong sahabatnya itu. Linghu Chong juga mengisahkan permainan indah paduan musik kecapi dan seruling yang dibawakan Liu Zhengfeng bersama Qu Yang dalam keadaan sama-sama terluka di pegunungan sunyi. Sampai akhirnya mereka mati dan mewasiatkan kitab gubahan mereka untuk diserahkan kepada orang yang bisa melestarikannya. Semua diceritakan kecuali tentang kematian Fei Bin dari Perguruan Songshan di tangan Tuan Besar Mo ketua Perguruan Hengshan.

Si nenek mendengarkan kisah tersebut dengan seksama, tanpa bersuara sedikit pun. Setelah usai, ia pun bertanya, “Mengapa Wang Yuanba si Golok Emas menyebut kitab musik ini sebagai kitab ilmu silat?”

Menanggapi itu, Linghu Chong lalu menceritakan kisah kematian Lin Zhennan suami-sitri yang sempat menyampaikan wasiat kepada dirinya untuk diteruskan kepada Lin Pingzhi. Itulah yang menyebabkan kedua sepupu Lin Pingzhi salah paham dan menuduhnya telah menggelapkan kitab ilmu silat peninggalan Lin Zhennan.

Si nenek pun berkata, “Jadi seperti itu yang sebenarnya. Andai saja kau berterus terang kepada guru dan ibu-gurumu, tentu masalah ini bisa menjadi jelas dan segala tuduhan yang dialamatkan kepadamu menjadi lenyap. Tapi anehnya, kepada diriku yang merupakan orang asing bagimu, mengapa kau justru bercerita sejujur-jujurnya? Kenapa bisa demikian?”

“Saya sendiri juga tidak tahu apa sebabnya,” jawab Linghu Chong. “Mungkin sesudah mendengar permainan musik Nenek tadi, seketika timbul rasa hormat dan kagum saya kepada Nenek. Saya sama sekali tidak merasa sangsi ataupun curiga sedikit pun.”

“Kalau begitu, kau merasa sangsi kepada guru dan ibu-gurumu?” tanya si nenek.

“Sama tidak berani berpikir demikian,” sahut Linghu Chong dengan jantung berdebar kencang. “Hanya saja, Guru diam-diam menaruh curiga kepada saya. Tetapi, aih, saya tetap tidak boleh menyalahkan Beliau.”

Si nenek kembali berkata, “Dari suaramu dapat diketahui kalau tenagamu sangat lemah. Seorang pemuda tidak seharusnya demikian. Apakah kau baru saja sakit parah, atau pernah terluka?”

“Benar,” sahut Linghu Chong. “Saya pernah menderita luka yang begitu parah.”
Si nenek kemudian berkata kepada Lu Zhuweng, “Keponakan Zhuweng, tolong kau bawa anak muda itu ke dekat jendelaku. Biar kuperiksa nadinya.”

“Baik, Bibi!” jawab Lu Zhuweng mengiakan. Ia kemudian mengajak Linghu Chong mendekati jendela gubuk tempat si nenek berada. Linghu Chong kemudian menjulurkan lengannya masuk ke bawah kerai bambu yang terpasang pada jendela tersebut. Di balik kerai masih terdapat lagi sehelai tirai sutera halus yang menutupi keberadaan si nenek. Samar-samar Linghu Chong dapat menyaksikan sosok seorang perempuan, namun wajahnya tidak terlihat jelas.

Sejenak kemudian Linghu Chong merasakan ada tiga jari menyentuh pergelangannya. Jari-jari tersebut terasa dingin dan lembut, dan berusaha menekan urat nadi Linghu Chong.

“Aneh, sungguh sangat aneh!” ujar si nenek terkejut. “Coba ganti tangan yang kanan.”

Linghu Chong mematuhinya. Selesai memeriksa kedua lengan pemuda itu, si nenek tidak berkata apa-apa, hanya tertegun tanpa suara.

Linghu Chong tersenyum dan berkata, “Nenek tidak perlu khawatir. Saya sadar kalau umur saya tidak lama lagi. Sudah lama saya tidak peduli lagi pada keadaan ini.”

“Mengapa kau tahu hidupmu tidak akan lama lagi?” tanya Si nenek.

“Tanpa sengaja saya sudah membunuh adik seperguruan sendiri, dan menghilangkan kitab pusaka Awan Lembayung. Saya berharap bisa segera menemukan kitab itu dan menyerahkannya kepada Guru, kemudian bunuh diri menyusul Adik Keenam di alam baka,” jawab Linghu Chong.

“Kitab Awan Lembayung?” sahut si nenek mempertegas. “Ini juga benda yang luar biasa. Lalu, bagaimana ceritanya hingga adik keenammu bisa mati di tanganmu?”

Linghu Chong pun bercerita panjang lebar mulai dari perbuatan Enam Dewa Lembah Persik yang mencoba mengobati lukanya namun justru berakibat fatal. Akibat luka itu, Yue Lingshan pun mencuri kitab Awan Lembayung dari tangan sang ayah dan menitipkannya kepada Lu Dayou supaya dibacakan kepada dirinya. Sepeninggal Yue Lingshan, ia bangun dan menotok Lu Dayou karena tidak berani mendengarkan isi kitab Awan Lembayung tanpa seizin guru. Namun begitu ia kembali ke pondok, ternyata Lu Dayou sudah mati dan kitab pun lenyap. Ia merasa berdosa karena menotok Lu Dayou terlalu keras.

“Bukan kau yang telah membunuh adik keenammu,” ujar si nenek menyimpulkan cerita.

“Bukan saya yang membunuhnya?” tanya Linghu Chong mempertegas.

“Benar, waktu itu tenagamu sangat lemah. Mana mungkin totokanmu bisa menewaskannya?” kata si nenek. “Ada orang lain yang telah membunuhnya.”

“Lalu… siapakah yang telah membunuh Adik Keenam?” kata Linghu Chong lirih, seperti bergumam sendiri.

Si nenek menjawab, “Kematian adik keenammu dan hilangnya kitab Awan Lembayung terjadi bersamaan. Kemungkinan besar, pelakunya adalah orang yang sama.”

Linghu Chong bernafas lega. Beban di hatinya terasa sedikit lebih ringan bagaikan kehilangan sebongkah batu besar yang selama ini menghimpit dadanya. Sebenarnya selama ini ia sempat berpikir demikian. Mana mungkin ia bisa membunuh Lu Dayou dengan totokan tanpa tenaga yang cukup? Ia yakin pasti ada orang lain yang telah membunuhnya, yaitu si pelaku pencurian kitab Awan Lembayung. Akan tetapi sebagai laki-laki sejati tidak sepantasnya menuduh orang lain tanpa bukti dan melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain. Lagipula ia tetap merasa bersalah telah menotok Lu Dayou sehingga adik keenamnya itu bisa dengan mudah dibunuh orang lain.

Di samping itu Linghu Chong merasa semakin pilu melihat kedekatan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi. Ia merasa sangat kecewa dan putus asa. Ingin sekali ia meninggalkan dunia ini untuk selamanya karena sudah tidak ada harapan hidup lagi. Namun, demi mendengar ucapan si nenek tadi, semangatnya kembali bangkit. Rasa penasaran dalam hatinya bergejolak. Ia pun berkata sendiri, “Balas dendam! Aku harus membalas kematian Adik Keenam!”

Si nenek kembali bertanya, “Kau bilang dalam tubuhmu ada enam arus hawa murni yang disalurkan Enam Dewa Lembah Persik. Tapi mengapa aku merasakan ada delapan arus hawa murni yang saling bertarung? Apakah kau bisa menjelaskan?”

Linghu Chong tertawa dan menceritakan bagaimana Biksu Bujie muncul untuk membantunya mengusir keenam arus hawa murni tersebut dengan mengirimkan dua arus hawa murni pula.

Si nenek lalu berkata, “Sifatmu sebenarnya sangat periang. Walaupun denyut nadimu kacau tapi tidak ada tanda-tanda kelemahan dalam jiwamu. Bagaimana kalau aku memetik kecapi dan memainkan sebuah lagu untukmu?”

“Perhatian Nenek kepada saya tentu akan saya terima dengan penuh rasa terima kasih,” jawab Linghu Chong.

Sejenak kemudian suara kecapi kembali terdengar mengalun merdu. Kali ini lagu yang dibawakan si nenek sangat halus dan lembut, bagaikan suara hembusan nafas, atau seperti hembusan angin sepoi-sepoi yang menerpa dedaunan pohon willow di pagi hari.

Sayup-sayup Linghu Chong merasa mengantuk. Dalam hati ia berkata, “Jangan tidur! Jangan tidur! Aku sedang mendengarkan permainan musik seorang sesepuh. Jika sampai tertidur rasanya tidak sopan.” Meski demikian tetap saja matanya terasa semakin berat dan akhirnya tertutup rapat. Tubuhnya pun jatuh terkulai lemas, dan tertidur di lantai. Tidak berhenti sampai di sini, alunan merdu suara kecapi bagaikan merasuk ke dalam mimpinya. Sungguh seperti sebuah tangan lembut yang membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang, dan ia merasa kembali menjadi anak-anak yang tidur lelap di atas pangkuan sang ibu-guru.

Ketika suara kecapi berhenti, Linghu Chong pun membuka mata dalam keadaan terkejut dan buru-buru ia merangkak bangun sambil berkata, “Saya benar-banar tidak tahu aturan. Bukannya memerhatikan permainan kecapi Nenek, malah tertidur di sini. Mohon Nenek jangan tersinggung.”

“Tidak perlu seperti itu,” kata si nenek. “Lagu yang kubawakan tadi memang bisa menenteramkan perasaan dan membuatmu tertidur. Lagu ini kuharapkan bisa membantu tubuhmu mengatur kembali tenaga dalammu dengan baik. Sekarang coba kerahkan sedikit tenaga, apakah rasa muak dan sesak sudah berkurang atau tidak?”

“Terima kasih banyak!” jawab Linghu Chong gembira. Dengan cepat ia duduk bersimpuh sambil mencoba mengerahkan tenaga dalam. Ia merasa kedelapan arus hawa murni kembali saling terjang di dalam tubuhnya, namun rasa sesak karena bergolaknya darah sudah agak berkurang.

Akan tetapi semua itu hanya bertahan sebentar saja. Kepalanya kembali terasa pusing dan badan pun lemas terkapar di atas lantai. Melihat itu Lu Zhuweng segera memapahnya masuk ke dalam pondok. Sesudah ditidurkan beberapa lama, rasa pusing di kepalanya pun lenyap.

“Tenaga dalam Enam Dewa Lembah Persik dan Biksu Bujie sangat tinggi. Hawa murni mereka di dalam tubuhmu sukar diatur oleh suara kecapi yang lemah ini, sehingga kau malah menderita. Sungguh aku merasa tidak enak hati,” kata si nenek dari dalam pondoknya.

“Nenek jangan berkata demikian,” sahut Linghu Chong cepat. “Bisa mendengar lagu yang merdu tadi sungguh sangat bermanfaat untuk saya.”

Tiba-tiba Lu Zhuweng menyodorkan selembar kertas kepadanya. Linghu Chong membaca kertas itu yang ternyata bertuliskan kalimat saran supaya ia meminta diajari lagu tersebut demi kesehatannya.

Hati Linghu Chong tergerak membaca saran Lu Zhuweng. Ia pun berkata, “Kalau Nenek tidak keberatan, saya ingin mempelajari lagu penyembuhan tadi, agar lambat laun saya bisa mengatur hawa murni yang bergejolak di dalam tubuh ini.”

Lu Zhuweng tampak manggut-manggut dengan wajah senang.

Si nenek hanya terdiam. Selang agak lama barulah terdengar suaranya berkata, “Sudah sejauh mana kepandaianmu memetik kecapi? Coba mainkan sebuah lagu.”

Wajah Linghu Chong bersemu merah. Ia menjawab, “Seumur hidup saya belum pernah bermain musik. Sama sekali tidak paham. Rasanya saya ini terlalu lancang minta untuk diajari cara memainkan lagu tadi. Mohon Nenek memaafkan saya.” Ia kemudian berpaling ke arah Lu Zhuweng, “Biarlah saya mohon diri saja.”

“Tunggu dulu,” kata si nenek mencegah Linghu Chong yang sudah membungkuk hendak melangkah pergi. “Sungguh memalukan bahwa kami tidak bisa membalas apa-apa atas kebaikanmu memberikan kitab musik istimewa ini. Sungguh memalukan pula apabila kami tidak bisa berbuat apa-apa terhadap lukamu yang parah ini. Maka, mulai besok kau bisa belajar dasar-dasar memetik kecapi kepada Keponakan Zhuweng. Jika kau punya kesabaran yang cukup dan bisa tinggal agak lama di kota Luoyang ini, maka aku akan… akan mengajarkan lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin kepadamu.” Sampai di sini suaranya berubah lirih bagaikan berbisik.

Begitulah, pada keesokan paginya Linghu Chong datang ke pondok bambu itu untuk mulai belajar memetik kecapi. Lu Zhuweng meminjamkan seperangkat kecapi berwarna coklat dan mulai mengajarkan beberapa teori dasar.

“Ada dua belas nada mayor yang ia perkenalkan, yaitu Huang-Zhong, Da-Lu, Tai-Cu, Jia-Zhong, Gu-Xi, Zhong-Lu, Rui-Bin, Lin-Zhong, Yi-Ze, Nan-Lu, Wu-Yi, dan Yin-Zhong. Semua istilah ini turun-temurun sejak zaman kuna. Konon ceritanya, Kaisar Huang Di telah memerintahkan Lin Lun untuk menyusun skala nada. Terinspirasi oleh nyanyian phoenix, maka diciptakanlah dua belas nada utama. Sebuah kecapi memiliki tujuh senar dan dapat memainkan skala Gong, Shang, Jia, Wei, dan Yu. Senar pertama memainkan nada Huang-Zhong, dan senar ketiga memainkan skala Gong. Kelima nada tersebut adalah Man-Jiao, Qing-Shang, Gong-Diao, Man-Gong, dan Rui-Bin,” ujar Lu Zhuweng memulai latihan.

Meskipun Linghu Chong dapat dikatakan buta sama sekali dalam urusan seni musik, namun karena sifatnya yang cerdas dan juga berbakat membuat ia cepat tanggap jika diajari. Sekali dengar langsung paham. Lu Zhuweng sangat gembira, dan ia kemudian mengajarkan teknik memetik, serta sebuah lagu berjudul Melodi Angkasa Cerah.

Linghu Chong mempelajari lagu itu dengan penuh perhatian. Setelah meniru Lu Zhuweng beberapa kali, ia kemudian mencoba memainkannya sendiri. Meskipun beberapa kali ia salah memainkan not dan jarinya pun terlihat kaku, namun lagu yang ia bawakan boleh dikata cukup merdu dan mampu menggambarkan betapa langit biru sedang cerah dan terang benderang, tanpa adanya awan hitam dan mendung tebal.

Mendengar permainan itu, si nenek terdengar memuji dari dalam pondoknya, “Tuan Muda Linghu sangat berbakat dan cepat tanggap. Mungkin dalam waktu singkat kau sudah bisa mempelajari laguku kemarin, yaitu lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin.”

Lu Zhuweng menyahut, “Bibi, hari ini Adik Linghu baru saja belajar dasar-dasar memetik kecapi, tapi ia sudah bisa membawakan lagu Melodi Langit Cerah dengan cukup baik. Bahkan, ia bisa menggambarkan suasana lagu ini lebih baik daripada aku. Suara kecapi yang ia mainkan berasal dari lubuk hati paling dalam. Ini hanya mungkin terjadi karena Adik Linghu memiliki sifat terbuka dan pikiran merdeka.”

Sementara itu Linghu Chong menjawab dengan rendah hati, “Nenek terlalu memuji. Entah kapan saya bisa memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan seperti permainan Nenek kemarin?”

“Kau… kau ingin memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan?” tanya si nenek.

Linghu Chong menjawab dengan wajah bersemu merah, “Saya sangat kagum mendengar permainan musik Nenek kemarin. Akhirnya saya pun bercita-cita terlalu tinggi ingin belajar lagu itu. Padahal Kakek Zhuweng saja belum mampu memainkan lagu itu, apalagi saya yang masih hijau ini?”

Si nenek tidak bersuara. Selang agak lama barulah terdengar suaranya berkata lirih, “Jika kau bisa memainkan lagu itu, tentu saja hal ini sangat baik….” Demikian suaranya semakin lirih sampai tidak bisa terdengar lagi.

Begitulah, berturut-turut selama dua puluh hari lebih, Linghu Chong selalu datang ke Pondok Bambu Hijau tersebut untuk belajar kecapi. Pada petang harinya baru ia pulang. Makan siang pun dilakukan di tempat Lu Zhuweng. Meskipun makanan di situ hanya berupa tahu dan sayuran, tapi terasa jauh lebih lezat daripada daging ayam yang ada di rumah Keluarga Wang. Lebih-lebih, di tempat itu juga terdapat arak. Meskipun Lu Zhuweng tidak terlalu kuat minum, namun arak yang ia simpan ternyata bagus-bagus. Orang tua itu juga memiliki wawasan luas mengenai arak. Ia mengetahui apa saja jenis arak-arak hebat, juga kapan dan di mana arak-arak itu dibuat. Linghu Chong yang selama ini hanya gemar minum, sekarang mendapatkan banyak pengetahuan baru. Maka, bukan hanya ilmu memetik kecapi yang ia peroleh dari Lu Zhuweng, tetapi juga bermacam-macam pengetahuan mengenai arak. Baginya, ilmu tentang arak ternyata sama luasnya seperti ilmu memetik kecapi.

Apabila Lu Zhuweng sibuk membuat alat-alat bambu, maka si nenek yang memberikan pelajaran kepada Linghu Chong dengan pembatas dinding bambu. Lama-lama Linghu Chong merasa kepandaiannya sudah mengalami banyak kemajuan. Bahkan, seringkali Lu Zhuweng tidak mampu memberi penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan sulit yang diajukan Linghu Chong sehingga si nenek yang memberikan petunjuk.

Meskipun setiap hari berkunjung, namun Linghu Chong belum pernah sama sekali mengetahui wajah si nenek. Suara si nenek terdengar sangat lembut dan tenang, sama sekali tidak mirip suara wanita tua, melainkan lebih mirip suara seorang gadis terpelajar dari keluarga kaya. Linghu Chong menduga si nenek pasti belajar musik sejak kecil sehingga hatinya selalu riang gembira dan suaranya pun tidak berubah meskipun usia bertambah tua.

Pada suatu hari, si nenek mengajarkan sebuah lagu berjudul Kenangan Mengharukan kepada Linghu Chong. Lagu ini adalah lagu kuna yang memiliki irama begitu manis dan berasal dari zaman Dinasti Han. Sesudah mendengarkan si nenek memainkannya beberapa kali, ia pun mulai mencoba memainkan lagu tersebut. Tanpa terasa pikirannya terkenang kepada kejadian di masa lampau saat bersama Yue Lingshan, bermain berdua, bercanda dan bersenang-senang. Kenangan indah saat berlatih pedang bersama di bawah siraman air terjun, juga bagaimana si adik kecil mengantarkan makanan saat ia dikurung di Tebing Perenungan. Kemudian sosok Lin Pingzhi muncul dalam ingatannya. Sejak kedatangan pemuda itu, sikap Yue Lingshan berubah dingin kepadanya. Permainan kecapi menjadi kacau. Tanpa terasa nada yang muncul adalah irama lagu daerah Fujian yang dulu pernah diajarkan Lin Pingzhi kepada Yue Lingshan.

Pikiran Linghu Chong kemudian terkenang perubahan sikap Yue Lingshan sejak munculnya Lin Pingzhi. Karena pikirannya melayang-layang, maka irama kecapi yang dipetiknya pun menjadi agak kacau. Tapi ia segera sadar dan lekas-lekas berhenti.

Si nenek lantaas bertanya ramah ketika Linghu Chong tiba-tiba menghentikan permainan kecapinya, “Sebenarnya caramu memainkan lagu Kenangan Mengharukan sudah sangat baik. Aku yakin ada beberapa kilasan masa lalu yang terlintas di pikiranmu. Akan tetapi, kenapa tiba-tiba nadanya berubah menjadi lagu rakyat daerah Fujian?”

Linghu Chong yang pada dasarnya bersifat terbuka selama ini cukup menderita karena harus memendam perasaan. Maka begitu bertemu si nenek yang telah memperlakukan dirinya dengan penuh perhatian, maka tanpa ragu-ragu ia pun menuturkan isi hatinya yang selama ini menyimpan cinta terhadap Yue Lingshan. Begitu bercerita, ia tidak mampu menahan diri dan terus saja bercerita semua yang ia alami kepada si nenek dari awal sampai akhir. Ia sendiri tidak tahu mengapa bisa bercerita segala rahasia pribadinya kepada si nenek, seolah-olah ia menganggap nenek itu sebagai ibu sendiri. Baru setelah selesai bercerita ia merasa sangat malu.

“Nenek, mohon maaf aku terlalu lancang dan menceritakan hal yang tidak penting,” kata Linghu Chong.

Si nenek menjawab dengan lembut, “Mengenai jodoh memang tidak dapat dipaksakan. Pepatah mengatakan, setiap orang memiliki jodoh sendiri-sendiri dan jangan iri kepada orang lain. Meskipun kali ini Tuan Muda Linghu patah hati, kelak tidak mustahil akan mendapatkan jodoh lain yang lebih cocok.”

“Saya sendiri tidak tahu berapa hari lagi akan mati. Masalah jodoh dan keluarga tidak terlalu saya pikirkan,” jawab Linghu Chong tegas.

Si nenek tidak bicara lagi. Ia lantas memetik kecapi dan memainkan lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin. Hanya sebentar saja mendengarkan lagu itu Linghu Chong sudah mulai mengantuk.

Si nenek lantas menghentikan suara kecapi dan berkata, “Mulai hari ini aku akan mengajarkan lagu ini padamu. Kira-kira dalam waktu sepuluh hari sudah cukup. Selanjutnya kau bisa memainkan lagu ini satu kali setiap hari. Meskipun tidak bisa memulihkan seluruh tenagamu seperti dulu, namun sedikit banyak akan bermanfaat juga bagimu.”

“Baik,” jawab Linghu Chong mengiakan.

Mulai hari itu si nenek lantas memberikan petunjuk tentang seluk-beluk lagu itu serta cara memainkannya. Dengan penuh perhatian Linghu Chong berusaha memahaminya dengan sebaik-baiknya.

Pada suatu hari Linghu Chong bertanya, “Nenek, aku pernah mendengar Tetua Qu berkata bahwa irama lagu Menertawakan Dunia Persilatan berasal dari irama lagu Guang Ling San. Tetapi ternyata lagu Guang Ling San bersumber dari cerita mengenai pembunuhan raja negara Han oleh Nie Zheng. Dahulu, aku pernah mendengar Nenek berkata bahwa irama lagu Menertawakan Dunia Persialatan itu anggun, lembut dan cepat, sama sekali berlawanan dengan sifat Nie Zheng yang gagah berani dan siap mati. Nenek, mohon jelaskan kepadaku mengenai hal ini.”

Si nenek berkata, “Keanggunan yang lembut dari irama itu berasal dari perasaan kakak perempuan Nie Zheng. Mereka berdua kakak beradik memiliki hubungan yang sangat erat. Setelah Nie Zheng gugur, kakaknya mengambil jasadnya dan menyiarkan ketenaran namanya, dari zaman ke zaman. Bahwa kau bisa merasakan adanya sesuatu yang lain dalam irama itu merupakan bukti yang cukup bahwa kau memiliki bakat musik alami.” Setelah berhenti sejenak, dengan suara lirih nenek itu berkata, “Tuan Muda Linghu, kalau kau dan aku bisa tetap bertemu dalam beberapa hari ini, maka kau pasti akan bisa memainkan lagu Menertawakan Dunia Persilatan ini. Akan tetapi, hal ini juga tergantung pada nasibmu.”

Beberapa hari belakangan ini, Linghu Chong tinggal di Pondok Bambu Hijau untuk belajar memainkan kecapi, dan sering mendengar kata-kata lembut si nenek. Ia berpikir bahwa si nenek sudah lanjut usia, dan bahwa ia sendiri tidak tahu berapa lama lagi ia dapat hidup. Ia juga tidak tahu entah berapa lama lagi nasib akan memperbolehkan mereka untuk tetap bersama. Hatinya menjadi sedih, dan ia pun menjawab, “Aku harap Nenek selalu sehat dan panjang umur. Semoga hidup muridmu ini juga bisa diperpanjang untuk sementara waktu dan bisa belajar lebih banyak lagi dari Nenek.”

Si nenek menghela nafas panjang. Dengan suara lembut ia berkata, “Hidup manusia tidak abadi. Takdir sulit dimengerti. Lagu Menertawakan Dunia Persilatan dan Guang Ling San ini sangat berbeda. Ketika Nie Zheng maju menyerang dengan pisau pembunuhnya, irama lagu menjadi penuh duka dan nafsu membunuh. Nie Zheng membunuh Raja Han dan kemudian ia sendiri pun dibunuh oleh para pengawal raja itu. Disini, nada kecapi meninggi; begitu tingginya sehingga kalau lebih tinggi lagi senar kecapi akan putus. Lalu, irama yang penuh duka itu menjadi begitu rendah, sampai aku juga tidak bisa mengeluarkan suaranya dari serulingku. Ini menandakan bagian meninggalnya Nie Zheng. Setelah itu, kecapi dan seruling sekali lagi memainkan irama yang ringan dan riang. Artinya adalah, walaupun sang pahlawan telah wafat, semangat kepahlawanannya tetap abadi. Bunga bermekaran dan berguguran, namun setiap tahun selalu muncul pahlawan laki-laki dan perempuan yang menyanyikan lagu Menertawakan Dunia Persilatan. Dalam dunia manusia, semangat kepahlawanan tidak akan pernah pupus. Dan oleh karena itu, bagian lagu berikutnya ini bagai bunga bermekaran atau busana yang gemerlapan. Menurut catatan sejarah, bukan Nie Zheng yang membunuh Raja Han, melainkan Perdana Menteri Xia Lei, tapi kita tidak perlu terlalu mendalaminya.”

Linghu Chong memukul pahanya dan berkata, “Nenek, penjelasanmu bagus sekali. Bagi seorang pelajar seperti aku ini untuk bisa belajar darimu, tidaklah sia-sia mengalami sepuluh kali lipat lagi penderitaan dan fitnah.”

Si nenek tidak menjawab. Suara kecapinya kembali berkumandang, sekali lagi melayang bebas tanpa beban.

Dua hari kemudian ketika Linghu Chong hendak berangkat belajar main kecapi, tiba-tiba Lao Denuo datang kepadanya setengah terburu-buru sambil berkata, “Kakak Pertama, Guru bilang besok kita akan berangkat.”

Linghu Chong pun terperanjat dan menyahut, “Apa? Besok kita akan pergi dari sini?” Hampir saja ia berkata bahwa pelajaran memetik kecapi belum selesai, tetapi ia berhasil menahan diri untuk tidak mengatakannya.

“Benar,” jawab Lao Denuo. “Ibu Guru menyuruhmu berbenah seperlunya. Kita akan pergi dari sini esok pagi-pagi sekali.”

Linghu Chong mengangguk. Ia lalu bergegas pergi ke Pondok Bambu Hijau dan memberitahukan hal itu kepada si nenek.

“Nenek, besok kami akan meninggalkan Luoyang. Saya mohon pamit melanjutkan perjalanan.”

Si nenek sangat terkejut. Selang agak lama barulah ia berkata dengan suara lirih, “Mengapa begitu terburu-buru? Sementara… lagu ini belum selesai kau pelajari.”

“Saya juga berpikir demikian,” ujar Linghu Chong. “Namun perintah Guru tidak bisa dibantah. Sebagai tamu kami tidak mungkin tinggal di rumah orang selamanya.”

“Benar juga,” kata si nenek.

Hari itu ia kembali memberi pelajaran cara memetik kecapi kepada Linghu Chong seperti hari-hari sebelumnya.

Lebih dari sebulan Linghu Chong setiap hari berkunjung ke Pondok Bambu Hijau. Meskipun belum pernah melihat muka si nenek, tapi dari permainan musik serta suaranya yang lembut saat bercakap-cakap, Linghu Chong dapat merasakan betapa tulus perhatian si nenek kepadanya bagaikan terhadap keluarga sendiri. Hanya saja si nenek agak segan kalau bicara mengenai masalah pribadi. Begitu berbicara beberapa kalimat saja langsung diselinginya dengan soal lain, supaya Linghu Chong tidak menyadarinya.

Di dunia ini, Linghu Chong merasa hanya memiliki empat orang yang begitu baik kepadanya, yaitu sang Yue Buqun suami-istri, Yue Lingshan, dan Lu Dayou. Tetapi sekarang ini Lu Dayou sudah meninggal, Yue Lingshan sudah mengabaikannya semenjak dekat dengan Lin Pingzhi, sedangkan sang guru dan ibu-guru mencurigai kemajuan ilmu silatnya. Oleh sebab itu, dengan sendirinya si nenek dan Lu Zhuweng kini menjadi orang yang paling dekat dengannya menggantikan keempat orang tersebut. Pada hari terakhir itu sebenarnya Linghu Chong beberapa kali ingin menyatakan kepada Lu Zhuweng supaya diizinkan tinggal di Pondok Bambu Hijau untuk bisa belajar main kecapi dan seruling sampai mahir, juga untuk mempelajari ilmu membuat kerajinan bambu. Namun bila terkenang kepada wajah cantik Yue Lingshan, ia merasa berat untuk berpisah dan keinginan untuk tinggal menadak sirna.

“Sekalipun Adik Kecil tidak lagi menghiraukan aku, asalkan setiap hari dapat melihatnya aku sudah merasa puas, meskipun dari belakang, ataupun hanya mendengar suaranya saja,” demikian pikirnya.

Menjelang senja Linghu Chong merasa sangat berat untuk berpisah. Ia mendekati jendela pondok si nenek dan berlutut di sana untuk menyembah beberapa kali.

Samar-samar dari balik kerai bambu si nenek juga tampak berlutut dan membalas hormat. Terdengar wanita itu berkata, “Aku telah mengajarkan cara bermain kecapi padamu untuk membalas kebaikanmu yang telah menghadiahkan lagu bagus kepadaku. Tapi mengapa kau menjalankan penghormatan setinggi ini padaku?”

“Hari ini kita berpisah. Entah sampai kapan saya dapat berkunjung lagi kemari untuk mendengarkan permainan kecapi Nenek. Asalkan Linghu Chong tidak mati, kelak tentu akan datang lagi ke sini untuk mengunjungi Nenek dan Zhuweng,” kata Linghu Chong.

Tiba-tiba dalam benaknya terlintas pikiran, “Mereka berdua sudah berusia lanjut. Entah berapa lama lagi mereka akan hidup di dunia ini? Jika kelak aku bisa datang lagi ke Luoyang sini, apakah aku masih dapat berjumpa dengan mereka atau tidak? Aih, hidup ini sungguh bagaikan mimpi, sulit untuk membedakan mana yang nyata, mana yang semu. Hidup juga seperti tetesan embun. Indah tetapi juga sangat singkat.” Sampai di sini hatinya terasa sangat pilu.

“Tuan Muda Linghu, sebelum berpisah aku ingin berpesan sepatah kata padamu,” kata si nenek.

“Baik, silakan Nenek memberi nasihat,” jawab Linghu Chong. “Nasihat dari Nenek sampai mati pun takkan kulupakan.”

Si nenek terdiam tidak langsung bicara. Selang agak lama, akhirnya ia berkata lirih, “Banyak bahaya dan kepalsuan di dunia persilatan. Hendaknya kau bisa menjaga diri baik-baik.”

“Baik!” jawab Linghu Chong dengan perasaan haru. Ia kemudian membungkuk dan memberi hormat kepada Lu Zhuweng untuk mohon diri. Sejenak kemudian dari dalam gubuk si nenek terdengar alunan suara kecapi berkumandang merdu, membawakan lagu kuna Kenangan Mengharukan.

Esok paginya Yue Buqun beserta rombongan Huashan mohon diri kepada Wang Yuanba dan kedua putranya untuk berangkat dengan menumpang kapal melalui Sungai Luo. Wang Yuanba besarta anak-cucunya mengantar sampai ke dermaga di tepi sungai. Para pembantu juga terlihat mengangkut perbekalan berupa uang perak dan menumpuknya di atas kapal sedemikian rupa. Di atas dermaga, Keluarga Wang juga menggelar acara sarapan pagi sebagai jamuan perpisahan untuk melepas rombongan tersebut.

Hanya Linghu Chong yang terlihat menyendiri. Sejak kejadian Wang Jiajun dan Wang Jiaju mematahkan lengannya, ia tidak berbicara sepatah kata pun terhadap anggota Keluarga Wang. Dalam acara perjamuan tersebut ia memilih memisahkan diri dan memandang orang-orang Keluarga Wang dengan tatapan kosong seolah mereka tidak ada.

Yue Buqun sendiri merasa pusing dengan ulah murid pertamanya itu. Ia paham benar bagaimana sifat Linghu Chong yang bandel. Ia bisa saja memaksa Linghu Chong memberi hormat kepada Keluarga Wang sebelum berpisah, dan Linghu Chong pasti melakukannya. Akan tetapi, penghormatan itu kemungkinan besar akan disusul dengan keributan dan permasalahan baru yang diciptakan Linghu Chong. Oleh sebab itu, Yue Buqun memilih untuk mengucapkan terima kasih kepada Wang Yuanba berkali-kali atas segala kebaikan sang tuan rumah selama ini supaya orang tua itu tidak terlalu menghiraukan wajah masam Linghu Chong.

Saat itu Linghu Chong sedang mengamati tumpukan hadiah di atas kapal yang sebagian besar ditujukan untuk Yue Lingshan. Satu demi satu para perempuan pelayan Keluarga Wang naik ke atas kapal untuk mengantarkan hadiah-hadiah tersebut sampai ke hadapan sang adik kecil.

“Ini ada sedikit kue dan makanan untuk Nona Yue dari Nenek Wang.”

“Ini ada sedikit pakaian dari Nyonya Wang pertama, dan sedikit perhiasan dari Nyonya Wang kedua.”

Segala pemberian dari istri Wang Yuanba, istri Wang Bofen, dan istri Wang Zhongqiang tersebut menunjukkan kalau Yue Lingshan telah dianggap menjadi anggota Keluarga Golok Emas Wang sendiri.

Yue Lingshan pun menjawab sambil bersorak dan tersenyum lebar, “Wah, aku tidak mungkin bisa menghabiskan makanan sebanyak ini! Pakaian dan perhiasan ini juga terlalu banyak untukku. Terima kasih, terima kasih.”

Di tengah kesibukan itu tiba-tiba seorang tua berpakaian kumal naik ke atas kapal dan berseru, “Tuan Muda Linghu!”

Begitu melihat kalau orang tua itu adalah Lu Zhuweng, Linghu Chong pun terkejut bercampur gembira. Buru-buru pemuda itu melangkah maju untuk menyambut kedatangan orang tua tersebut.

“Bibi menyuruhku untuk menyerahkan hadiah kecil ini kepadamu,” kata Lu Zhuweng sambil menyodorkan sebuah benda panjang yang dibungkus kain berwarna biru dengan sulaman bunga.

Linghu Chong membungkuk dan menerima bungkusan itu dengan penuh hormat.

“Atas hadiah yang berharga ini saya mengucapkan banyak terima kasih. Mohon disampaikan kepada Nenek!” Sambil berkata demikian, ia kembali membungkuk dengan penuh hormat.

Wang Jiajun dan Wang Jiaju menyaksikan pemandangan tersebut dengan saksama. Sikap Linghu Chong yang acuh tak acuh terhadap semua anggota Keluarga Golok Emas Wang tetapi sangat menghormati seorang tua berpakaian kumal, membuat kedua bersaudara itu merasa gusar. Andai saja bukan karena memandang Yue Buqun suami-istri dan segenap murid Huashan lainnya, pasti keduanya sudah menyeret Linghu Chong dan memberinya pelajaran demi mengobati sakit hati mereka.

Begitu melihat Lu Zhuweng melangkah di atas papan titian untuk turun kembali ke daratan, kedua bersaudara itu saling pandang dan rencana jahat pun terbesit di benak mereka. Keduanya sengaja menunggu di bawah papan titian untuk kemudian mendesak Lu Zhuweng menggunakan bahu mereka. Mereka yakin kakek tua itu pasti jatuh tercebur ke dalam sungai dengan sedikit saja tenaga mereka. Meskipun air sungai pada dermaga tersebut dangkal, namun itu sudah cukup untuk membuat Linghu Chong kehilangan muka.

Menyadari apa yang akan terjadi, dengan cepat Linghu Chong berseru, “Hei, awas!”

Hampir saja ia melangkah maju untuk menerjang ke arah Wang Jiajun dan Wang Jiaju namun segera teringat kalau dirinya sudah tidak memiliki tenaga dalam sama sekali. Bukannya menolong Lu Zhuweng, tapi mungkin ia sendiri yang akan kesakitan jika memaksakan diri. Andaikan bisa menerjang, tetap saja sia-sia karena kedua bersaudara itu sudah lebih dulu mendorong Lu Zhuweng dengan bahu mereka.

Sementara itu Wang Yuanba juga berteriak, “Jangan!”

Sebagai tokoh kaya dan terpandang di kota Luoyang, jelas ia berbeda pikiran dengan kedua cucunya yang masih hijau dan mudah panas itu. Jika si orang tua sampai mati karena ulah kedua cucunya, tentu pihak yang berwajib akan melakukan penyelidikan mendalam dan ini pasti menghabiskan banyak biaya dan menjadi masalah tak berujung bagi Keluarga Wang. Namun saat itu Wang Yuanba sedang bercakap-cakap dengan Yue Buqun di atas kapal sehingga teriakannya untuk menghentikan Wang Jiajun dan Wang Jiaju sudah terlambat.

Kedua bersaudara itu sudah terlanjur mendorong Lu Zhuweng dengan bahu mereka. Namun anehnya, yang terlempar ke udara justru kedua pemuda itu sendiri. Masing-masing dari mereka jatuh tercebur di kiri dan kanan papan titian. Lu Zhuweng terlihat seperti kantung udara yang mampu mendorong balik Wang Jiajun dan Wang Jiaju yang berusaha mendesaknya. Orang tua itu terlihat tetap berjalan tenang di atas papan titian dan akhirnya sampai di daratan dengan selamat. Sikapnya acuh tak acuh seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

Keadaan menjadi kacau. Beberapa awak kapal segera terjun ke sungai untuk menyeret Wang Jiajun dan Wang Jiaju naik ke atas. Saat itu baru permulaan musim semi. Hanya sebagian salju di sungai yang mencair sehingga air pun terasa sangat dingin. Apalagi kedua anak muda itu tidak bisa berenang dan sudah telanjur minum air sungai sampai beberapa teguk. Tampak mereka menggigil kedinginan dengan wajah merah padam menahan malu luar biasa.

Wang Yuanba yang sangat terkejut buru-buru memeriksa keadaan kedua cucunya. Ia pun tertegun karena lengan kedua cucunya itu terkilir dan semua tulang lengan mereka terlepas dari sendi di bagian bahu, sama seperti apa yang dialami Linghu Chong tempo hari. Wang Jiajun dan Wang Jiaju hanya bisa memaki-maki dengan kata-kata kotor sambil menyeringai kesakitan.

Melihat nasib kedua putranya, Wang Zhongqiang segera melompat dari kapal ke dermaga untuk menghadang di jalur yang akan dilewati Lu Zhuweng. Namun Lu Zhuweng tetap saja berjalan ke depan dengan langkah tenang dan kepala menunduk.

“Orang sakti dari mana ini berani coba-coba pamer kepandaian di Luoyang? Apa kau datang kemari hanya untuk mencari masalah dengan Keluarga Wang?” bentak Wang Zhongqiang.

Tapi Lu Zhuweng tetap saja berjalan ke depan seolah tidak mendengar bentakan itu. Selangkah demi selangkah ia semakin mendekati tempat Wang Zhongqiang berdiri. Setiap orang dapat melihat jarak antara mereka berdua semakin dekat.

Begitu jarak antara keduanya tinggal selangkah, Wang Zhongqiang segera mengulurkan kedua tangan untuk mencengkeram bahu Lu Zhuweng sambil berteriak, “Cukup sudah!”

Namun baru saja jarinya hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba badannya yang tinggi besar itu terlempar ke udara sampai beberapa meter jauhnya. Di tengah teriakan banyak orang, Wang Zhongqiang sempat berputar satu kali di udara, kemudian mendarat dengan kedua kakinya di atas tanah.

Pada umumnya, apabila dua orang saling berbenturan dengan kecepatan tinggi, bisa jadi salah satu dari mereka akan terlempar ke udara. Namun kejadian kali ini sungguh berbeda. Wang Zhongqiang yang berdiri tegak dengan tubuh tinggi besar tiba-tiba saja terlempar ke udara saat ditabrak Lu Zhuweng yang bertubuh kurus dan berjalan dengan langkah perlahan. Bahkan ahli silat papan atas seperti Wang Yuanba dan Yue Buqun sempat terheran-heran menyaksikan kejadian ini.

Sementara itu orang-orang yang tidak paham ilmu silat tampak bertepuk tangan dan bersorak memuji Wang Zhongqiang yang dapat mendarat dengan sempurna setelah berputar satu kali di udara. Mereka mengira Wang Zhongqiang telah menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk melakukan pendaratan.

Wang Yuanba masih tertegun menyadari kemampuan Lu Zhuweng melepas tulang lengan kedua cucunya dengan sangat mudah dan dalam waktu sekejap pula. Memang ia sendiri bisa mematahkan lengan musuh dalam waktu singkat, namun tidak bisa seperti apa yang dilakukan si orang tua kumal itu yang melakukannya dengan cara sangat halus seolah tanpa tenaga. Kini begitu melihat orang tua itu melemparkan Wang Zhongqiang ke udara, perasaannya sama sekali tidak terkejut tetapi berubah menjadi takut dan ngeri. Bagaimana tidak? Ia mengetahui dengan baik kehebatan putra keduanya itu yang tidak hanya mahir dalam memainkan golok cepat ataupun golok lambat, namun juga mahir dalam pertarungan tangan kosong. Tenaga dalam Wang Zhongqiang juga terbilang cukup tinggi, bahkan hampir setara dengan tingkatan yang ia capai pada usia matang. Namun anehnya, hanya dalam satu jurus saja putranya yang bertubuh tinggi besar itu sudah terlempar ke udara menghadapi si orang tua kumal. Sungguh pemandangan yang jarang terjadi.

Melihat putranya bersiap untuk menyerang kembali, Wang Yuanba segera mencegah dengan memanggilnya, “Zhongqiang, kemari!”

Wang Zhongqiang memutar tubuh dan melompat ke papan dermaga dengan enteng. “Tua bangka itu kemungkinan besar bisa ilmu sihir!” katanya sambil meludah kesal.

“Bagaimana keadaanmu? Tidak terluka?” tanya Wang Yuanba dengan suara berbisik.

Wang Zhongqiang menggeleng. Wang Yuanba sengaja tidak mempersoalkan masalah ini lebih lanjut. Ia menyadari kalau kemampuannya masih berada di bawah si orang tua kumal. Andaikan ia meminta bantuan Yue Buqun untuk maju bersama mengeroyok lawan, tentu kemenangan seperti ini bukan kemenangan yang gemilang. Maka jalan keluar terbaik adalah menahan diri dan menganggap kejadian itu tidak pernah ada. Si orang tua kumal telah menunjukkan kebaikan hatinya dengan tidak melukai Wang Zhongqiang, bahkan melemparkan tubuh putranya itu sedemikian rupa sehingga bisa mendarat dengan baik sehingga Keluarga Wang tidak sampai kehilangan muka.

Wang Yuanba melihat si orang tua kumal sudah pergi semakin jauh. Ia pun berpikir, “Kakek itu jelas-jelas kawan Linghu Chong. Karena kedua cucuku telah mematahkan lengan Linghu Chong, kini ia membalas dengan mematahkan lengan kedua cucuku. Selama ini aku menjadi pemuka dunia persilatan di kota Luoyang ini. Mungkinkah pada hari tua aku harus dipermalukan habis-habisan seperti ini?”

Sementara itu Wang Bofen sudah memperbaiki lengan kedua keponakannya yang terkilir tadi sehingga kembali ke ruasnya. Kedua anak muda yang basah kuyup itu kemudian diantar pulang lebih dulu dengan menggunakan tandu.

“Adik Yue, siapa sebenarnya orang tua tadi?” tanya Wang Yuanba kepada Yue Buqun. “Sepertinya mataku yang tua ini sudah mulai kabur sehingga tidak mengenali orang sakti seperti dia.”

Yue Buqun pun berpaling ke arah Linghu Chong dan bertanya, “Chong’er, siapa dia?”

“Dia itulah yang bernama Lu Zhuweng, tukang bambu dari timur kota,” jawab Linghu Chong.

Wang Yuanba dan Yue Buqun bersama mengeluarkan suara, “Oooh!”

Bisa dimaklumi, meskipun tempo hari mereka datang bersama rombongan ke hutan bambu di timur kota, namun hanya Jurutulis Yi yang masuk ke dalam untuk menemui Lu Zhuweng. Saat itu mereka sama sekali tidak mengetahui seperti apa wajah Lu Zhuweng, melainkan hanya mendengar suaranya saja. Itulah sebabnya mereka tidak tahu menahu dengan siapa Wang Zhongqiang tadi berhadapan.

“Barang apa yang ia berikan padamu?” tanya Yue Buqun sambil menunjuk bungkusan panjang tadi.

“Saya sendiri belum tahu,” jawab Linghu Chong sambil membuka bungkusan itu. Maka terlihatlah isi di dalamnya ternyata sebuah kecapi berukuran agak kecil. Kecapi tersebut terlihat sudah berusia tua dan lama tidak terpakai, namun berkesan antik. Pada ujung kecapi terdapat tulisan kuna berbunyi: “Yan Yu”. Selain itu ada pula sebuah kitab kecil yang pada sampulnya bertuliskan “Lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin”. Seketika Linghu Chong terharu dan merasa bersyukur. Matanya pun berkaca-kaca karena sangat gembira.

“Ada apa?” tanya Yue Buqun sambil memandang tajam.

“Nenek itu selain memberikan sebuah kecapi padaku, juga menyertakan sebuah kitab notasi lagunya pula,” jawab Linghu Chong.

Ia kemudian membalik-balik isi buku kecil itu. Pada setiap halaman berisi tulisan yang sangat indah dengan huruf kecil tersusun rapi. Isinya tidak hanya notasi musik kecapi, tetapi juga pelajaran yang disertai petunjuk-petunjuk yang sangat jelas. Pelajaran tersebut juga berlaku umum untuk memainkan kecapi dan tidak terbatas pada lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin saja. Dari tinta tulisan dan kertasnya yang masih baru jelas menunjukkan kalau kitab tersebut baru saja selesai ditulis oleh si nenek. Terkenang pada kebaikan dan perhatian wanita tua itu, Linghu Chong sangat terharu dan air matanya pun berlinang di pipi.

Wang Yuanba dan Yue Buqun sempat melihat lembaran kitab di tangan Linghu Chong tersebut yang penuh dengan simbol-simbol musik dan tulisan aneh. Sekilas mereka teringat pada kitab lagu Menertawakan Dunia Persilatan tempo hari. Meskipun hati mereka masih diliputi rasa curiga, namun mereka yakin kalau itu hanyalah kitab musik biasa sehingga tidak bertanya lebih lanjut kepada Linghu Chong.

Yue Buqun kemudian berkata, “Pendekar sejati tidak pernah memperlihatkan kehebatannya kecuali terpaksa. Siapa sangka Lu Zhuweng si tukang bambu adalah ahli silat papan atas di dunia persilatan? Chong’er, apakah kau tahu dari perguruan mana dia berasal?” Pertanyaan yang ia lontarkan ini disebabkan karena hatinya agak penasaran. Namun demikian, ia yakin kalau Linghu Chong tidak akan berterus terang meskipun tahu dari mana asal usul orang tua itu.

Linghu Chong pun menjawab, “Saya tidak tahu menahu kalau dia juga seorang ahli silat. Saya hanya belajar memetik kecapi darinya.” Sebuah jawaban yang sesuai dengan tebakan Yue Buqun.

Begitulah, Yue Buqun dan Ning Zhongze lantas memberi hormat sebagai tanda perpisahan kepada Wang Yuanba dan kedua putranya. Setelah jangkar diangkat, kapal yang ditumpangi rombongan Perguruan Huashan itu pun berlayar menuju arah utara.

Di atas kapal para murid ramai membicarakan peristiwa tadi. Sebagian memuji-muji kehebatan Lu Zhuweng, dan sebagian lagi mengatakan kalau peristiwa terceburnya Wang Jiajun dan Wang Jiaju hanyalah karena mereka kurang hati-hati, serta kekalahan Wang Zhongqiang juga karena ia tidak menyerang dengan kekuatan penuh. Hanya Linghu Chong seorang diri yang duduk di buritan dan tidak menghiraukan percakapan mereka. Ia asyik membaca kitab berisi notasi kecapi tadi. Karena khawatir mengganggu guru dan ibu-guru, ia tidak berani membunyikan kecapinya sama sekali, melainkan hanya mengira-ngira posisi jari saat memetik.

Setelah melewati jarak cukup jauh, kapal pun menambah kecepatannya. Ning Zhongze tampak berdiri di ujung kapal menikmati hembusan angin. Meskipun pemandangan yang terhampar cukup indah, namun pikiran wanita itu melayang-layang teringat pada peristiwa tadi.

Tiba-tiba terdengar suara Yue Buqun menyapa dari belakang, “Adik, bagaimana pendapatmu tentang orang tua bernama Lu Zhuweng tadi?”

Karena Ning Zhongze ingin sekali menanyakan tentang hal itu, maka ia bukannya menjawab justru balik bertanya, “Kau sendiri bagaimana?”

Yue Buqun menjawab, “Ilmu silat orang tua tadi sungguh aneh. Tanpa menggerakkan tangan dan kaki ia sudah mampu melemparkan ketiga anggota Keluarga Wang. Ilmu silat yang ia gunakan sepertinya bukan berasal dari aliran lurus.”

“Tapi dia begitu baik kepada Chong’er, juga tidak sengaja hendak mencari masalah dengan keluarga Wang,” ujar sang istri.

“Benar. Semoga urusan ini selesai sampai di sini saja. Kalau tidak, bisa-bisa kehormatan Tuan Wang yang sudah ia bangun selama ini akan berakhir dengan buruk,” kata Yue Buqun. Sejenak kemudian ia melanjutkan, “Meskipun kita melanjutkan perjalanan melalui jalur air, namun kita harus tetap waspada.”

“Apakah kau bermaksud akan ada orang yang mencari perkara dengan kita?” tanya Ning Zhongze.

Yue Buqun menggeleng dan berkata, “Keadaan masih belum begitu jelas. Sampai saat ini kita masih belum mengetahui siapa dan dari mana kelima belas musuh bercadar tempo hari itu. Kita berada di tempat terang, musuh ada di tempat gelap. Mengingat kejadian itu, mungkin akan ada rintangan lain yang menunggu perjalanan kita.”

Sejak menjabat sebagai ketua Perguruan Huashan, Yue Buqun belum pernah mengalami kejadian yang begitu mencemaskan seperti ini. Entah mengapa, dalam beberapa bulan terakhir ini ia banyak sekali dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang sepertinya datang dan pergi satu per satu. Sampai sekarang pun ia belum tahu siapa musuh yang telah menyerangnya, dan juga apa yang mereka inginkan. Karena tidak adanya petunjuk yang jelas, hal ini membuat hatinya diliputi perasaan gelisah.

Yue Buqun dan Ning Zhongze kemudian mengingatkan para murid untuk selalu waspada siang dan malam. Namun begitu kapal sampai di perairan dekat desa Zigong, ternyata tidak ada satu kesulitan pun yang mereka temui. Semakin jauh kapal meninggalkan kota Luoyang, semakin berkurang pula beban kegelisahan di hati mereka.

Hari itu kapal sudah memasuki perairan dekat kota Kaifeng. Yue Buqun suami-istri dan para murid langsung membicarakan tokoh-tokoh persilatan di kota itu.

Yue Buqun berkata, “Kaifeng adalah kota yang besar dan ramai, tetapi tidak dengan kehidupan persilatan di kota ini. Para pendekar seperti Pengawal Hua, Sesepuh Hai, serta Tiga Jagoan dari Henan, sepertinya tidak memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, juga tidak memiliki nama besar di dunia persilatan. Lebih baik kita mengunjungi tempat-tempat indah dan situs-situs bersejarah saja. Kunjungan kita di kota ini sebaiknya jangan sampai mengganggu siapa pun.”

Ning Zhongze menyahut, “Kakak, apakah kau lupa ada seorang tokoh ternama di kota Kaifeng sini?”

“Tokoh ternama? Siapa … siapa yang kau maksudkan?” tanya Yue Buqun.

“Mengobati satu orang, bunuh satu orang. Membunuh satu orang, mengobati satu orang. Coba tebak, siapa dia itu?” ucap Nyonya Yue memberi tebakan.

“Aha, dia adalah Si Tabib Sakti Pembunuh alias Ping Yizhi!” jawab Yue Buqun sambil tersenyum. “Tapi dia seorang yang berkelakuan aneh. Kemungkinan besar dia tidak mau menemui kita apabila kita berkunjung kepadanya.”

“Benar juga,” sahut Ning Zhongze. “Sebenarnya kita bisa meminta tolong kepadanya untuk memeriksa luka Chong’er yang sampai sekarang belum pulih dan kita katakan kalau kita kebetulan singgah di kota Kaifeng ini.”

Yue Lingshan menukas, “Ibu, mengapa dia mempunyai julukan Si Tabib Sakti Pembunuh? Mengapa seorang pembunuh bisa menjadi tabib terkenal?”

“Tabib Ping memang seorang tokoh ajaib di dunia persilatan,” tutur Nyonya Yue. “Ilmu pengobatannya bisa dikatakan mahasakti, bahkan bisa menghidupkan orang yang sudah sekarat. Betapapun berat penyakit seseorang asalkan ia mau mengobati pasti akan sembuh kembali. Hanya saja ia mempunyai suatu peraturan yang aneh. Ia bilang hidup manusia di dunia ini sudah ditentukan oleh takdir. Menurutnya, kaisar langit dan raja akhirat sudah menetapkan jumlah manusia yang hidup di muka bumi. Bila dia terlalu banyak menyembuhkan orang maka jumlah orang mati akan berkurang. Tentu akibatnya di dunia ini akan terlalu banyak orang yang hidup dan sedikit orang mati. Kelak jika ia sendiri yang mati tentu sang raja akhirat akan meminta pertanggungjawabannya….”

Sampai di sini para murid pun tertawa geli. Ning Zhongze melanjutkan, “Oleh sebab itu ia mengadakan suatu peraturan, setiap kali menyembuhkan satu orang, maka dia juga harus membunuh satu orang lain sebagai gantinya. Sebaliknya, kalau dia membunuh satu orang tentu dia akan mengobati seorang sakit sebagai gantinya. Konon ia memasang tulisan besar di depan rumahnya yang berbunyi: ‘Mengobati satu, membunuh satu; membunuh satu, mengobati satu; mengobati sejumlah membunuh; itulah keahllianku.’ Menurutnya, dengan cara demikian kaisar langit tidak akan menyalahkan perbuatannya, juga raja akhirat tidak akan merasa rugi.”

Murid-murid pun tertawa bersama dan lebih keras.

Yue Lingshan berkata, “Tabib Ping itu benar-benar lucu. Tapi mengapa namanya sungguh aneh? Yizhi artinya ‘satu jari’? Apakah dia memang hanya memiliki sebuah jari saja?”

“Tidak. Sepertinya Tabib Ping juga memiliki tangan yang normal,” jawab Ning Zhongze yang kemudian berpaling pada sang suami. “Kakak, apakah kau tahu mengapa Tabib Ping memakai nama Yizhi?”

Yue Buqun menjawab, “Tabib Ping memiliki sepuluh jari tangan seperti orang normal. Dia memakai nama Yizhi, maksudnya ialah dalam membunuh orang cukup dengan satu kali totok saja, serta untuk memeriksa nadi orang yang akan disembuhkan cukup dengan memakai satu jari pula.”

“Oh, kiranya demikian,” kata Ning Zhongze. “Jika begitu, ilmu totokannya pasti sangat lihai?”

“Aku tidak tahu. Jarang sekali ada orang yang pernah bertarung melawan Tabib Ping,” jawab Yue Buqun. “Yang jelas setiap orang persilatan mengetahui ilmu pengobatannya sangat hebat. Mereka tidak berani mencari gara-gara dengan Tabib Ping karena khawatir suatu saat harus memerlukan pertolongan darinya apabila terluka atau terkena racun. Namun kalau tidak sangat terpaksa juga mereka tidak berani meminta tolong kepadanya.”

“Mengapa demikian?” tanya Yue Lingshan.

“Bagaimana tidak? Setiap kali seseorang meminta tolong kepadanya untuk melakukan pengobatan, ia lantas meminta orang itu untuk membunuh seorang lainnya sebagai ganti. Apabila orang yang akan dibunuh itu tidak ada hubungan dengan si pasien tadi, tentu tidak akan menjadi masalah. Akan tetapi kalau kebetulan yang hendak dibunuh adalah sanak saudara, atau orang tua, atau sahabat si pasien, bukankah hal ini justru akan membuat masalah jadi runyam?” ujar Yue Buqun.

“Benar, Tabib Ping memang sangat aneh sifatnya,” sahut para murid.

“Jika demikian, kita tidak dapat meminta tolong kepadanya untuk menyembuhkan penyakitmu, Kakak Pertama,” ujar Yue Lingshan.

Sejak tadi Linghu Chong hanya mendengarkan sambil duduk bersandar di pintu kabin. Begitu Yue Lingshan berbicara kepadanya, ia pun tersenyum hambar dan berkata, “Benar juga. Aku khawatir setelah dia menyembuhkan aku, dia lalu menyuruhku untuk membunuh adik kecilku sendiri.”

Para murid kembali bergelak tawa. Yue Lingshan juga tertawa dan berkata, “Tabib Ping tidak kenal aku, untuk apa dia menyuruhmu membunuhku?” Gadis itu lalu berpaling kepada Yue Buqun dan bertanya, “Ayah, sebenarnya Tabib Ping itu tergolong orang baik atau jahat?”

“Melihat sifatnya yang aneh dan tidak menentu itu, boleh dikata dia berada di antara golongan baik dan jahat. Lebih mudahnya, kita katakan saja dia itu orang cerdas yang ganjil. Atau bisa juga dia itu kita sebut agak sinting,” jawab Yue Buqun.

“Ah, di dunia persilatan banyak berkembang cerita yang dibesar-besarkan. Mungkin perihal Tabib Ping juga termasuk dalam hal ini,” kata Yue Lingshan. “Setiba di Kaifeng nanti aku ingin berkunjung pada Tabib Ping itu.”

“Hus!” bentak Yue Buqun dan Ning Zhongze bersamaan. “Jangan mencari gara-gara!”

Melihat ayah dan ibunya berwajah tegas, Yue Lingshan pun bertanya singkat, “Mengapa?”

“Orang aneh seperti itu apa bisa kau kunjungi sesuka hatimu? Begitu kau menemuinya, maka akan ada masalah yang mendatangimu,” jawab Yue Buqun.

“Mengapa masalah akan mendatangiku kalau aku menemui dia? Bukankah aku tidak meminta pengobatan darinya?” desak Yue Lingshan.

“Kedatangan kita ini untuk berpesiar, bukan untuk mencari masalah,” jawab Yue Buqun dengan wajah dingin.

Melihat ayah tampak begitu marah, Yue Lingshan tidak berani bicara lagi. Namun rasa penasaran di hatinya terhadap Ping Yizhi semakin besar.

Keesokan paginya kapal mereka sudah sampai di dermaga Kaifeng. Namun demikian, jarak menuju ke pusat kota tersebut boleh dikatakan masih sangat jauh.

Yue Buqun tampak tersenyum sambil melontarkan pertanyaan, “Tidak jauh dari sini ada suatu tempat di mana leluhur Keluarga Yue kita pernah menjadi pusat perhatian. Tempat itu harus kita kunjungi.”

“Ya, betul! Aku tahu! Aku tahu! Tempat itu pasti kota Zhuxian,” sahut Yue Lingshan sambil tertawa pula. “Di situlah kakek moyang kita Jenderal Yue Fei mengalahkan tentara Kerajaan Jin habis-habisan.”

Yue Fei adalah pahlawan masa lalu dari zaman Dinasti Song Selatan yang sangat dihormati kaum persilatan. Di kota Zhuxian itulah Yue Fei pernah menghancurkan pasukan Kerajaan Jin. Sudah semestinya setiap anggota rombongan ingin mengunjungi tempat itu.

Maka begitu kapal mereka merapat ke dermaga, Yue Lingshan segera mendahului melompat ke daratan sambil berseru, “Ayo, lekas berangkat ke kota Zhuxian, lalu kita makan siang di pusat kota Kaifeng!”

Beramai-ramai semuanya ikut mendarat. Hanya Linghu Chong seorang yang masih tetap duduk di buritan kapal.

“Kakak Pertama, apa kau tidak ikut?” tanya Yue Lingshan.

Setelah kehilangan tenaga dalam Linghu Chong selalu merasa lelah dan berat, sehingga membuatnya malas bergerak terlalu banyak. Maka, kepergian semua orang itu justru menjadi kesempatan baginya untuk belajar lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin. Apalagi melihat Lin Pingzhi berdiri di samping Yue Lingshan membuatnya merasa semakin rikuh dan tidak nyaman. Maka, ia pun menjawab, “Tidak, aku tidak sanggup berjalan terlalu lama.”

“Baiklah, kau beristirahat saja di sini. Di kota nanti akan kubelikan arak enak,” kata Yue Lingshan.

Dengan perasaan pedih Linghu Chong menyaksikan keberangkatan gadis pujaan hatinya itu yang berdampingan dengan Lin Pingzhi diikuti anggota rombongan lainnnya.

“Meskipun lagu Penyebar Kebajikan Pemurni Batin bisa menyembuhkan rasa sakit di dadaku, tapi tidak ada lagi artinya bagiku hidup di dunia ini.” Demikian ia berpikir dalam hati.

Sambil memandangi aliran Sungai Kuning, tiba-tiba pemuda itu merasa segala macam kedukaan dan kesedihan seolah-olah membanjir seperti aliran sungai besar tersebut. Satu demi satu masalah sambung menyambung seperti gelombang Sungai Kuning. Ia merasa dadanya sesak, nafas tersengal-sengal, dan perut pun melilit kesakitan….

Di lain pihak, Yue Lingshan dan Lin Pingzhi merasa sangat gembira. Keduanya berjalan berdampingan paling depan, dan sesekali saling berbisik dan tersenyum lebar, memperlihatkan perasaan masing-masing.

Melihat itu Ning Zhongze pun berbisik kepada sang suami, “Shan’er dan Pingzhi sama-sama masih muda. Laki-laki dan perempuan berjalan berdampingan di tempat sepi mungkin masih bisa dimaklumi. Namun kalau mereka berjalan bersama di kota besar yang ramai seperti ini, apakah tidak menjadi sorotan banyak orang? Mengapa kita tidak mendampingi mereka?”

Yue Buqun menjawab agak bercanda, “Kita sudah tidak muda lagi. Kalau kita berjalan berdampingan tentu tidak menjadi sorotan.”

Ning Zhongze tersenyum dan kemudian mempercepat langkah sehingga berhasil mendampingi Yue Lingshan. Mereka kemudian bertanya pada penduduk tentang arah jalan menuju Zhuxian. Begitu memasuki kota kecil tersebut, mereka menemukan sebuah kuil di tepi jalan, dengan papan di atas pintunya bertuliskan tinta emas berbunyi “Kuil Jenderal Yang”.

Yue Lingshan berkata, “Ayah, aku tahu kuil ini adalah tempat pemujaan Jenderal Yang Zaixing. Beliau terperangkap di dalam Sungai Shang, dan mati dihujani panah oleh pasukan Kerajaan Jin.”

“Benar,” sahut Yue Buqun. “Jenderal Yang adalah tangan kanan Jenderal Yue Fei, leluhur kita. Beliau gugur di medan laga membela tanah air, sungguh membuat banyak orang kagum. Mari kita masuk ke dalam untuk memberikan penghormatan.”

Karena murid-murid yang lain masih tertinggal jauh di belakang, tanpa menunggu lagi mereka berempat pun masuk ke dalam kuil tersebut. Arca Yang Zaixing yang dipuja di tengah kuil itu tampak sangat gagah dan tampan, dengan memakai baju zirah berwarna perak.

Melihat itu Yue Lingshan berpikir, “Jenderal Yang ternyata sangat tampan.” Sekilas ia memandang ke arah Lin Pingzhi untuk membandingkannya dengan arca tersebut.

Tiba-tiba terdengar suara orang berkata dari luar kuil, “Aku berani bertaruh Kuil Jenderal Yang ini dibangun untuk memuja Yang Zaixing.”

Begitu mendengar suara itu, seketika wajah Yue Buqun dan Ning Zhongze berubah pucat. Bersama-sama mereka meraba gagang pedang di pinggang masing-masing. Suara orang tersebut sangat tidak asing di telinga mereka.

Kemudian terdengar suara seseorang lainnya berbicara, “Pada zaman dulu banyak sekali jenderal bermarga Yang. Dari mana kau yakin jenderal yang dipuja di sini adalah Yang Zaixing? Bukankah bisa jadi yang dipuja di sini adalah Jenderal Yang Si Golok Emas? Atau bisa juga anak-anaknya, seperti Jenderal Yang Keenam, atau Jenderal Yang Ketujuh?”

Jenderal Yang Si Golok Emas adalah pahlawan dari zaman Dinasti Song Utara yang memilih bunuh diri daripada menyerah kepada musuh. Sementara Jenderal Yang Keenam dan Jenderal Yang Ketujuh adalah putra-putranya yang gagah berani dan juga gugur di tangan musuh.

Suara lainnya menanggapi, “Anggota keluarga Kakek Yang Si Golok Emas banyak yang menjadi jenderal pula. Dengan demikian akan banyak muncul kemungkinan. Bisa jadi ini adalah kuil untuk Yang Zongbao anak Yang Keenam, atau Yang Wenguang anak Yang Zongbao.”

“Bisa jadi ini kuil untuk Yang Keempat, bukan?” sahut suara lain ikut menanggapi.

“Tidak mungkin! Yang Keempat menyerah kepada musuh. Tidak mungkin arwahnya dihormati seperti ini,” kata suara sebelumnya.

“Berarti secara tidak langsung kau menuduhku akan menyerah kepada musuh karena aku nomor urut empat, begitu?” kata yang lainnya.

“Bisa jadi begitu, karena kau nomor empat. Tapi apa yang terjadi pada Yang Keempat belum tentu terjadi padamu,” kata suara sebelumnya.

“Kau sendiri nomor lima, mengapa tidak menjadi biksu seperti Yang Kelima yang menjadi biksu di Gunung Wutai?” desak suara satunya.

“Kalau aku menjadi biksu, maka kau akan menyerah kepada musuh,” jawab rekannya tadi.

Sejak suara percakapan pertama tadi, Yue Buqun dan Ning Zhongze sudah langsung bisa menebak kalau yang datang di luar kuil adalah orang-orang aneh dari Lembah Persik. Dengan cepat Yue Buqun memberi isyarat. Bersama-sama mereka pun bersembunyi di belakang patung besar Yang Zaixing; ia dan istrinya bersembunyi di sisi kiri, sedangkan Yue Lingshan dan Lin Pingzhi di sisi kanan.

Suara orang-orang aneh itu masih terdengar berdebat di luar kuil. Tidak ada satu pun di antara mereka yang mau mengalah. Diam-diam Yue Lingshan merasa geli dan berusaha menahan diri untuk tidak tertawa. “Apa yang mereka debatkan? Apakah kuil ini untuk Yang Zaixing ataukah untuk Yang Keempat, mengapa mereka tidak masuk saja untuk memeriksa?” pikir gadis itu.

Sementara itu Ning Zhongze mendengarkan pembicaraan mereka dengan saksama, dan akhirnya dapat menyimpulkan kalau itu adalah pembicaraan antara lima orang saja. Ia yakin kalau salah satu dari Enam Dewa Lembah Persik telah mati akibat tusukan pedangnya beberapa waktu silam. Padahal tujuannya meninggalkan Gunung Huashan bersama suami dan para murid adalah untuk menghindari serangan balasan dari kelima orang tua aneh itu. Siapa sangka mereka justru ada di sini? Meskipun kelima orang tua itu tidak mengetahui keberadaan dirinya yang berempat, namun bisa jadi mereka bertemu Lao Denuo dan para murid Huashan lainnya yang sebentar lagi tiba. Membayangkan para murid tentu dalam bahaya besar membuat Ning Zhongze diliputi perasaan cemas.

Sementara itu perdebatan di luar kuil masih saja berlangsung, bahkan semakin panas. Akhirnya, salah seorang dari mereka berkata, “Mengapa kita tidak ke dalam saja untuk memastikan manusia busuk mana yang dipuja di dalam sana?”

Kemudian terdengar langkah kaki kelima orang tua aneh itu yang masing-masing bergegas masuk ke dalam kuil.

“Aha, lihat itu! Di situ jelas tertulis kalimat ‘Kuil Jenderal Yang, Tuan Zaixing’. Jelas ini adalah kuil untuk Yang Zaixing,” teriak salah seorang setelah menemukan suatu tulisan di dalam kuil. Orang itu adalah Dewa Ranting Persik.

Dewa Dahan Persik menggaruk-garuk kepala. Sejenak kemudian ia berkata, “Di situ tertulis Yang Tuan Zai, bukan Yang Zaixing. Aku tahu sekarang! Jenderal Yang memiliki nama Tuan Zai. Nama lengkapnya adalah Yang Tuan Zai. Hm, sungguh nama yang bagus!”

Dewa Ranting Persik tidak terima dan berkata, “Jelas-jelas dia bernama Yang Zaixing. Mana ada orang bernama Yang Tuan Zai?”

Dewa Dahan Persik bersikeras, “Coba kau baca itu baik-baik. Jelas-jelas di situ tertulis nama Yang Tuan Zai, bukan Yang Zaixing.”

Dewa Akar Persik ikut bertanya, “Memangnya kata Xing itu artinya apa kalau bukan bagian dari nama?”

Dewa Daun Persik menjawab, “Xing itu artinya bahagia. Setelah Yang Tuan Zai meninggal, masyarakat di sini membangun kuil untuk menghormatinya. Sudah tentu Jenderal Yang merasa sangat bahagia.”

“Tepat sekali! Tepat sekali!” sahut Dewa Dahan Persik.

“Kuil ini dibangun untuk menghormati Yang Ketujuh. Tebakanku benar lagi! Aku sungguh pintar!” sambung Dewa Bunga Persik.

“Ini jelas-jelas kuil untuk Yang Zaixing, bukan Yang Ketujuh!” seru Dewa Ranting Persik agak marah.

“Ini jelas-jelas kuil untuk Yang Tuan Zai, bukan Yang Ketujuh!” seru Dewa Dahan Persik hampir bersamaan.

Dewa Bunga Persik balas bertanya, “Kakak Ketiga, dalam keluarganya, Yang Zaixing itu anak nomor berapa?”

“Aku tidak tahu,” jawab Dewa Ranting Persik sambil menggeleng.

“Yang Zaixing itu anak nomor tujuh. Maka, ia bisa juga disebut Yang Ketujuh,” ujar Dewa Bunga Persik. “Kakak Kedua, kalau Yang Tuan Zai itu anak ke berapa dalam keluarganya?”

“Aku agak lupa. Dulu aku tahu….” kata Dewa Dahan Persik agak menggumam.

“Aku yang ingat. Yang Tuan Zai juga anak ketujuh, sehingga boleh disebut sebagai Yang Ketujuh,” sahut Dewa Bunga Persik dengan senyum lebar.

Dewa Akar Persik menanggapi, “Jika patung ini untuk Yang Zaixing, jelas bukan untuk Yang Tuan Zai. Jika patung ini untuk Yang Tuan Zai, jelas bukan patung Yang Zaixing. Mana mungkin patung ini menggambarkan dua orang yang berbeda?”

“Kakak Pertama, mungkin aku bisa menjelaskan. Apakah kau tahu apa arti nama ‘Zai’? Zai berarti ‘satu lagi’. Itu artinya patung ini melambangkan dua orang, bukan satu orang. Patung ini bisa untuk Yang Zaixing, juga bisa untuk Yang Tuan Zai.”

“Ah, penjelasan yang masuk akal!” seru keempat Dewa Lembah Persik lainnya.

Tiba-tiba Dewa Ranting Persik berkata, “Kau bilang nama ‘Zai’ bermakna ‘satu lagi’, maka itu berarti Yang Ketujuh memiliki tujuh orang anak pula.”

Dewa Akar Persik menyahut, “Kalau begitu, jika ada orang memiliki nama yang bermakna ‘seribu’, itu berarti dia juga memiliki seribu anak, hah?”

Mendengar perdebatan konyol itu Yue Lingshan nyaris tertawa terbahak-bahak. Untung saja ia masih kuat menahan agar bibirnya tidak terbuka.

Ketika saudara-saudaranya masih melanjutkan perdebatan, terdengar Dewa Ranting Persik berkata, “Wahai, Yang Ketujuh! Jika kau berkati adik keenam kami agar jangan mati, maka aku akan berlutut dan menyembah beberapa kali kepadamu. Biarlah aku berlutut sekarang sebagai pembayaran di muka.”

Usai berkata demikian ia langsung berlutut dan memberikan penghormatan di hadapan arca Yang Zaixing.

Mendengar itu, Yue Buqun dan Ning Zhongze saling pandang. Wajah mereka sama-sama memperlihatkan perasaan lega. Adik Keenam yang dimaksud Dewa Ranting Persik sudah pasti Dewa Buah Persik yang ditusuk pedang oleh Ning Zhongze beberapa bulan yang lalu. Suami istri itu sama-sama berpikir, “Sepertinya orang aneh yang tertusuk pedang itu belum mati. Itu artinya mereka tidak perlu menyimpan dendam kepada kami.”

Dewa Bunga Persik bertanya, “Tapi bagaimana kalau Adik Keenam sampai mati?”

“Kalau Adik Keenam mati, tentu patung ini akan kuhancurkan, lalu akan kukencingi pula,” jawab Dewa Dahan Persik.

“Tapi kalau Adik Keenam benar-benar mati, apa gunanya kau mengencingi, bahkan memberaki patung Yang Ketujuh ini? Percuma saja. Bahkan, kau tadi berlutut dan memberi hormat juga sia-sia,” ujar Dewa Bunga.

“Benar juga,” sahut Dewa Ranting Persik. “Lebih baik aku tunda dulu penghormatan ini. Mari kita pastikan apakah Adik Keenam bisa disembuhkan atau tidak. Jika bisa sembuh, maka kita bisa kembali ke sini untuk memberikan penghormatan. Namun jika Adik Keenam tidak bisa disembuhkan, kita tetap kembali ke sini untuk menghancurkan patung ini, dan mengencinginya.”

“Jika Adik Keenam bisa disembuhkan, berarti ia bisa sembuh meskipun kita tidak menyembah patung ini. Tapi jika tidak bisa disembuhkan, apakah kita kencingi atau tidak, juga tidak ada manfaatnya,” ujar Dewa Akar Persik.

“Wah, kalau Adik Keenam dapat disembuhkan, lalu kita menahan untuk tidak kencing dan tidak berak, apa perut kita tidak akan kembung? Bagaimana kalau kantong kemih kita meledak?” tanya Dewa Daun Persik.

“Ya, betul. Jika kita tidak berak dan tidak kencing, tentu kita akan mati kembung dan kantong kemih meledak,” seru Dewa Dahan Persik kemudian menjerit sedih. Keempat yang lainnya pun ikut menjerit-jerit sedih.

Tiba-tiba Dewa Ranting Persik tertawa terbahak-bahak, “Hahahaha. Jika Adik Keenam bisa disembuhkan, bukankah sia-sia saja kita menangis? Ayo kita tanyakan dulu sejelas-jelasnya, baru kita putuskan untuk menangis atau tidak.”

“Apa yang kau katakan tidak benar. Kalau Adik Keenam bisa disembuhkan, untuk apa kita harus melanjutkan tangisan?” sahut Dewa Bunga Persik.

Begitulah, kelima orang aneh itu melangkah keluar dari kuil dengan cepat sambil mulut mereka tetap berdebat tanpa henti.

Setelah mereka pergi, Yue Buqun berkata lirih, “Apakah orang yang mereka bicarakan bisa sembuh atau tidak, jelas sangat berpengaruh bagi kita. Adik, hendaknya kau tunggu di sini bersama Pingzhi dan Shan’er. Biar aku pergi ke sana untuk memeriksa.”

“Daripada kau sendirian menghadapi bahaya, lebih baik aku ikut saja,” kata Ning Zhongze. Usai berkata demikian ia segera mendahului berlari keluar kuil.

Sudah menjadi kebiasaan apabila Yue Buqun menghadapi masalah besar, maka Ning Zhongze selalu ikut mendampingi. Kalau sang istri sudah bicara demikian, tentu akan sangat sulit untuk membuatnya berubah pikiran. Maka, Yue buqun pun segera menyusul Ning Zhongze tanpa banyak bicara.

Diam-diam pasangan suami-istri Yue itu mengikuti jejak kelima orang aneh dari Lembah Persik tadi sambil tetap menjaga jarak. Dari jauh tampak kelima Dewa Lembah Persik itu berbelok arah ke suatu tanjakan melalui sebuah gang kecil. Sepanjang jalan mereka masih saja terus bertengkar sehingga tidak merasakan keberadaan dua orang pengintai di belakang mereka.

Sesudah menyusuri jalan pegunungan itu, tampak di balik puluhan pohon willow yang rindang terdapat sebuah sungai kecil. Di tepi sungai itu terdapat beberapa rumah. Terdengar suara ribut kelima orang aneh itu menggema begitu masuk ke salah satu rumah tersebut.

“Mari kita berputar ke belakang rumah!” ajak Yue Buqun kepada istrinya. Keduanya lantas mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk menyusup ke balik pepohonan willow yang rindang di belakang rumah tersebut.

Kembali terdengar suara kelima Dewa Lembah Persik berseru keras, “Hei, kau telah membunuh adik keenam kami.”

“Kenapa … kenapa kau membedah dadanya?”

“Keparat, kami harus mencabut nyawamu!”

“Kami harus membedah dadamu juga!”

“Aih, Adik Keenam, sungguh mengerikan kematianmu! Biar kami selamanya tidak akan… tidak akan kencing dan berak lagi agar mati kembung bersamamu!”

Yue Buqun dan Ning Zhongze terkejut mendengarnya. Mereka sama-sama berpikir, “Kenapa ada orang membedah dada adik keenam mereka?”

Perlahan ia dan istrinya merunduk maju. Sampai di bawah jendela, mereka mencoba mengintip ke dalam rumah melalui celah-celah.

Saat itu hari sudah mulai gelap. Di dalam rumah tampak beberapa pelita menyala. Di tengah rumah terdapat sebuah dipan dan di atasnya terbaring seorang lelaki dalam keadaan telanjang bulat. Dadanya telah terbuka, darah pun mengucur deras dan berceceran di mana-mana. Kedua mata orang itu tampak tertutup rapat. Sepertinya ia sudah mati sekian saat. Dari wajahnya dapat dikenali kalau orang itu adalah Dewa Buah Persik yang tempo hari terkena tusukan pedang Nyonya Yue di Gunung Huashan.

Kelima Dewa Lembah Persik lainnya tampak berkerumun di sekitar tubuh adik mereka itu sambil menjerit-jerit dan mencaci maki seorang laki-laki bertubuh pendek dan gemuk.

Laki-laki itu bertubuh pendek, tetapi memiliki kepala yang sangat besar. Kumisnya tipis di kiri dan kanan bibir, serta gerakan wajahnya sangat lucu. Kedua tangannya berlumuran darah. Tangan kanannya pun tampak memegang pisau yang masih meneteskan darah. Dengan mata melotot ia memandang kelima bersaudara yang sedang ribut itu. Sejenak kemudian barulah ia bertanya dengan suaranya yang berat, “Sudah selesai kalian kentut?”

“Sudah. Kau sendiri mau kentut apa?” sahut kelima bersaudara hampir bersamaan.

“Dada saudara kalian ini tertusuk pedang. Dari tempat jauh kalian membawanya kemari dan meminta aku untuk menolong jiwanya,” ujar si pendek gemuk. “Tapi perjalanan kalian terlalu lambat. Lukanya sudah membusuk, urat nadinya juga kacau. Untuk menolong jiwanya tidaklah sulit. Tapi sesudah sembuh ilmu silatnya akan punah. Setengah badan bagian bawah akan lumpuh. Orang cacat begitu apa gunanya disembuhkan?”

“Cacat lebih baik daripada mati,” sahut Dewa Akar Persik.

Si pendek gemuk menjawab dengan gusar, “Huh, kalau mengobati orang ya harus benar-benar sampai sembuh! Kalau orang yang kusembuhkan menjadi cacat lantas ke mana mukaku ini harus ditaruh? Sudahlah, aku tidak jadi mengobati dia, tidak jadi! Lekas kalian gotong pergi mayat hidup ini!”

“Jika kau tidak mampu menyembuhkan adik keenam kami, kenapa kau membedah dadanya?” tanya Dewa Dahan Persik.

“Hm, coba katakan, apa julukanku?” tanya si pendek gemuk dengan nada dingin.

“Bukankah julukanmu adalah Si Tabib Sakti Pembunuh!” sahut Dewa Dahan Persik.

Seketika Yue Buqun dan Ning Zhongze terperanjat dan saling pandang. Masing-masing dari mereka berpikir, “Siapa sangka manusia pendek gemuk yang berwajah lucu ini adalah Si Tabib Sakti Pembunuh sangat termasyhur itu? Aih, jika orang itu bukan Ping Yizhi, mana mungkin kelima orang aneh dari Lembah Persik mati-matian memohon kepadanya untuk menyembuhkan adik keenam mereka?”

Ping Yizhi kembali berkata dengan nada dingin, “Karena julukanku adalah Si Tabib Sakti Pembunuh, maka apa susahnya kalau hanya membunuh satu atau dua orang?”

“Apa susahnya membunuh seseorang?” tanya Dewa Bunga Persik. “Tapi kau cuma pandai membunuh dan tidak becus mengobati orang. Sungguh percuma kau memakai julukan Tabib Sakti segala.”

“Siapa bilang aku tidak becus mengobati orang?” teriak Ping Yizhi gusar, “Aku telah membedah dada mayat hidup ini. Urat nadinya yang putus sudah kusambung pula. Setelah sembuh nanti dia akan sehat seperti sediakala. Ilmu silatnya juga tidak akan punah. Hanya dengan begitu kalian akan tahu kehebatan Si Tabib Pembunuh yang sebenarnya.”

“Aha, ternyata kau dapat menyelamatkan adik keenam kami! Jika begitu kami telah salah memarahimu,” seru lima bersaudara sekaligus dengan perasaan sangat gembira.

“Kalau begitu, kenapa tidak segera kau lanjutkan? Dada Adik Keenam sudah kau bedah, darahnya mengucur terus. Kalau tidak lekas diobati tentu akan terlambat,” sambung Dewa Akar Persik.

“Yang jadi tabib itu kau atau aku?” tanya Ping Yizhi galak.

“Sudah tentu kau, buat apa bertanya lagi?” balas Dewa Akar Persik.

“Kalau begitu dari mana kau tahu apakah akan terlambat atau tidak?” desak Ping Yizhi. “Sesudah membedah dadanya tentu aku siap mengobati dia. Tapi bagaimana aku bisa bekerja kalau kalian berlima setan alas keburu datang dan kemudian ribut tak menentu? Bukankah aku tadi telah menyuruh kalian untuk berpesiar ke Kuil Jenderal Yang, kemudian Kuil Jenderal Niu, dan Kuil Jenderal Zhang selama seharian penuh? Sekarang mengapa kalian cepat kembali?”

“Hei, lekas kau mulai saja! Sekarang justru kau sendiri yang rewel, bukan kami,” sahut Dewa Dahan Persik.

Ping Yizhi melotot sejenak kepadanya. Sejenak kemudian orang itu membentak, “Ambilkan jarum dan benang!”

Kelima bersaudara, serta suami-istri Yue yang berada di luar sampai terkejut oleh suara bentakan yang menggelegar itu. Jantung setiap orang sampai berdebar kencang dibuatnya. Tak lama kemudian muncul seorang wanita tinggi kurus melangkah masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa sebuah nampan kayu. Tanpa bersuara ia lalu menaruh nampan tersebut di atas meja. Wanita itu berusia empat puluhan. Wajahnya pucat bagaikan mayat, telinganya lebar, serta matanya sayu seperti orang sakit-sakitan.

“Kalian telah memintaku menyelamatkan saudara kalian ini. Apakah kalian sudah tahu peraturanku?” tanya Ping Yizhi kemudian.

“Sudah tentu kami tahu,” jawab Dewa Akar Persik. “Tak peduli harus membunuh siapa, silakan kau katakan saja. Sudah pasti kami tidak akan mengecewakanmu.”

“Baiklah jika begitu,” ujar Ping Yizhi sambil mengangguk. “Tapi sekarang aku belum tahu siapa orang yang harus dibunuh. Nanti kalau aku sudah ingat baru akan kukatakan pada kalian. Sekarang kalian harus berdiri di pinggir sana, dilarang mengeluarkan suara. Bersuara sedikit saja aku akan segera berhenti bekerja. Persetan dengan hidup atau mati kawanmu ini. Aku tidak peduli lagi.”

Sejak kecil Enam Dewa Lembah Persik selalu tidur bersama dalam satu kamar, dan makan bersama dalam satu meja, sambil selalu bicara satu sama lain. Meskipun sedang tidur mereka tetap mengigau, jarang diperintah orang sesukanya. Namun sekarang mereka diharuskan diam tanpa suara, kecuali saling pandang saja. Tapi begitu membayangkan sedikit suara saja bisa membuat nyawa adik mereka melayang, membuat mereka bergidik ngeri. Maka, demi menyelamatkan sang adik keenam, tidak ada jalan lain kecuali berdiri dengan mulut tertutup, bahkan bernafas panjang atau kentut juga tidak berani.

Sementara itu Ping Yizhi telah mengambil sebuah jarum besar dari nampan di atas meja. Setelah memasang benang putih bening secukupnya pada pangkal jarum tersebut, ia lalu menjahit dada Dewa Buah Persik yang terbedah itu. Jari-jari tangannya pendek dan tebal seperti wortel, namun gerakannya lincah melebihi anak gadis yang pandai menyulam. Hanya sekejap saja ia sudah selesai menjahit rapat jalur luka sepanjang belasan senti tersebut.

Setelah itu Tabib Ping mengambil berbagai macam obat, baik itu yang berupa serbuk ataupun cairan untuk dibubuhkan pada luka bedah Dewa Buah Persik. Kemudian ia meminumkan beberapa macam cairan obat ke mulut si pasien. Terakhir ia membersihkan noda darah di dada dengan sehelai kain basah.

Sementara itu si wanita tinggi kurus sejak tadi berdiri di samping Ping Yizhi untuk membantu, misalnya mengembalikan jarum atau memberikan obat. Gerak-geriknya juga sangat cepat dan lancar.

Ping Yizhi kemudian memandang ke arah lima Dewa Lembah Persik lainnya. Melihat bibir kelima orang itu bergerak-gerak, seolah ingin lekas-lekas diizinkan bicara, sang tabib pun berkata, “Kawanmu ini belum hidup kembali. Tunggu sesudah dia sadar baru kalian boleh bicara.”

Tentu saja kelima orang tua aneh itu bertambah jengkel. Namun mereka hanya bisa saling pandang dan menyeringai. Ping Yizhi sendiri tidak menghiraukan kelima bersaudara itu. Ia hanya mendengus, kemudian duduk di samping. Sementara si wanita tinggi kurus lantas menyingkirkan nampan yang berisi jarum, benang, pisau bedah, dan peralatan lainnya ke dalam.

Yue Buqun dan Ning Zhongze yang masih mengintip di luar jendela pun menahan nafas. Saat itu keadaan sangat sunyi, sehingga sedikit saja bergerak pasti akan diketahui oleh orang-orang yang berada di dalam rumah.

Selang agak lama, Ping Yizhi berdiri dan berjalan mendekati Dewa Buah Persik. Tiba-tiba saja ia menepuk titik Bai-Hui pada ubun-ubun si pasien yang masih terbaring itu.

“Ah!” seru enam orang bersamaan. Yang lima adalah kelima Dewa Lembah Persik yang menonton, sedangkan yang satu lagi adalah suara si pasien, yaitu Dewa Buah Persik sendiri.

Setelah menjerit kaget, Dewa Buah Persik langsung bangun dan memaki, “Keparat! Mengapa kau pukul kepalaku?”

Ping Yizhi balas memaki, “Keparat, jika aku tidak menyalurkan tenaga dalam ke titik Bai-Hui di kepalamu, apa kau bisa sembuh secepat ini?”

“Keparat! Sembuh cepat atau lambat, bukan urusanmu!” bentak Dewa Buah Persik.

“Keparat! Jika kau tidak sembuh cepat, bagaimana orang-orang bisa tahu kehebatan Si Tabib Sakti Pembunuh? Kau pikir apa aku tidak risih jika kau berlama-lama tidur di rumahku?” bentak Ping Yizhi pula.

“Keparat! Jadi kau anggap aku ini mengganggu? Baik, biar aku pergi sekarang juga. Memangnya aku ingin tinggal di sini?” sahut Dewa Buah Persik. Usai berkata, serentak ia berdiri dan terus melangkah pergi.

Kelima Dewa Lembah Persik yang lain tidak menyangka bahwa adik bungsu mereka bisa sembuh secepat ini dan bisa berjalan keluar kamar dengan langkah cepat pula. Dalam perasaan terkejut bercampur gembira, mereka pun menyusul keluar melewati pintu kamar.

Sementara itu Yue Buqun dan istrinya hanya bisa terkagum-kagum menyaksikan pemandangan itu. Mereka sama-sama berpikir, “Ilmu pengobatan Tabib Ping sungguh menakjubkan. Tenaga dalamnya juga luar biasa. Saat ia menepuk titik Bai-Hui pada kepala pasiennya tadi, ia pasti menyalurkan tenaga dalam tingkat tinggi untuk membuat si pasien bangun seketika.

Ketika Enam Dewa Lembah Persik sudah pergi jauh, Ping Yizhi pun berjalan menuju ruangan lain. Yue Buqun memberi isyarat untuk mengajak istrinya pergi. Keduanya pun melangkah perlahan-lahan. Ketika jarak dengan rumah Tabib Ping sudah agak jauh, mereka pun menambah kecepatan dalam melangkahkan kaki.

“Tenaga dalam Tabib Ping sungguh luar biasa, sedangkan kelakuannya sungguh aneh,” ujar Ning Zhongze di tengah jalan.

Yue Buqun menanggapi, “Karena Enam Dewa Lembah Persik juga berada di kota Kaifeng sini, sebaiknya kita lekas pergi. Tidak ada untungnya kita mencari masalah dengan mereka.”

Ning Zhongze tidak menanggapi lagi ucapan sang suami. Seumur hidup baru beberapa bulan terakhir ini ia merasakan kesialan yang bertubi-tubi. Suaminya adalah ketua Perguruan Huashan, sekaligus tokoh penting dalam Serikat Pedang Lima Gunung yang terhormat, namun terpaksa harus menyingkir kesana kemari. Seolah-olah di dunia ini tiada lagi tempat berteduh yang aman bagi mereka. Di antara dirinya dengan sang suami selalu bertukar pikiran tanpa ada yang ditutup-tutupi. Namun apabila membicarakan masalah ini, buru-buru mereka mengubah bahan pembicaraan karena merasa kejadian meninggalkan perguruan sungguh sangat memalukan. Kini begitu menyaksikan Dewa Buah Persik ternyata masih hidup jelas sangat melegakan hati pasangan suami-istri tersebut. Rasanya bagaikan sebongkah batu besar telah dipindahkan dari kepala mereka.

Tidak lama kemudian keduanya telah tiba kembali di Kuil Jenderal Yang. Tampak Yue Lingshan dan Lin Pingzhi, serta Lao Denuo dan murid-murid Huashan lainnya menunggu dengan perasaan cemas di ruangan belakang.

“Mari kita kembali ke kapal!” ajak Yue Buqun.

Para murid sudah mengetahui kalau Enam Dewa Lembah Persik berada di sekitar situ, sehingga tanpa banyak bertanya mereka pun buru-buru melangkah pergi mengikuti perintah sang guru.

Begitu sampai di atas kapal, Lao Denuo segera berbicara kepada jurumudi supaya segera berangkat. Namun tiba-tiba saja terdengar suara para Dewa Lembah Persik berteriak-teriak dari jauh.

“Linghu Chong! Linghu Chong! Di mana kau?”

Kontan saja wajah Yue Buqun dan murid-muridnya bertambah pucat. Sekejap kemudian terlihat enam orang berjalan cepat sampai ke tepi sungai. Mereka adalah lima orang Dewa Lembah Persik beserta Tabib Ping Yizhi. Karena kelima Dewa Lembah Persik mengenali Yue Buqun suami-istri, mereka pun bersorak-sorak kegirangan. Dalam sekejap kelima orang tua aneh itu sudah mendarat di atas kapal.

Ning Zhongze langsung saja melolos pedangnya dan bersiap menusuk ke arah Dewa Akar Persik. Namun Yue Buqun juga mencabut pedangnya dan menangkis pedang sang istri ke bawah sambil berkata, “Jangan gegabah!”

Saat itu haluan kapal agak tenggelam ketika kelima Dewa Lembah Persik mendarat. Dewa Akar Persik berseru, “Linghu Chong, kau sembunyi di mana? Mengapa tidak lekas keluar?”

“Untuk apa aku bersembunyi? Memangnya aku takut pada kalian?” seru Linghu Chong dengan nada gusar.

Tiba-tiba kapal kembali oleng karena Ping Yizhi si Tabib Sakti Pembunuh telah mendarat pula.

Diam-diam Yue Buqun berpikir, “Mengapa mereka menyusul kemari? Jangan-jangan mereka telah mengetahui perbuatan kami yang mengintip tadi? Orang-orang aneh dari Lembah Persik saja sudah sukar dilayani, apalagi sekarang bertambah dengan si tabib pula. Aih, apakah jiwa kami hari ini akan melayang di kota Kaifeng ini?”

Tiba-tiba Ping Yizhi bertanya dengan sopan dan penuh hormat, “Bolehkah aku bertanya, yang mana Saudara Linghu?”

“Aku Linghu Chong. Bolehkah aku bertanya siapakah nama Tuan yang mulia ini dan ada keperluan apa?” jawab Linghu Chong yang kemudian melangkah maju perlahan-lahan.

Ping Yizhi mengamati pemuda itu dari atas ke bawah, lalu berkata, “Seseorang telah memintaku untuk mengobatimu.” Usai berkata demikian, ia langsung memegang pergelangan tangan Linghu Chong dan memeriksa denyut nadi pemuda itu menggunakan jari telunjuk kanan.

“Hei,” seru Ping Yizhi sambil mengerutkan kening begitu merasakan aliran darah Linghu Chong. Selang sejenak dahinya semakin berkerut dan ia kembali berseru kaget, “Eh!”

Sambil tetap memeriksa, Tabib Ping menengadah pula dengan tatapan kosong sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kiri. “Aneh! Sungguh aneh!” ucapnya.

Sekian lama kemudian ia ganti memegang lengan Linghu Chong yang lain. Namujn begitu jarinya merasakan denyut nadi si pemuda, tiba-tiba saja ia bersin kemudian berkata, “Sangat aneh! Selama hidupku belum pernah menemukan penyakit seaneh ini.”

Dewa Akar Persik yang tidak mampu lagi untuk menahan tidak bicara, langsung bertanya, “Apanya yang aneh? Dia terluka dalam pada saluran jantung. Sudah lama aku menyembuhkan dia dengan hawa murni dari tenaga dalamku.”

“Mengapa kau masih bersikeras kalau bocah ini terluka pada saluran jantung? Sudah jelas ia terluka pada saluran paru-paru. Jika bukan aku yang menyalurkan hawa murni untuk membuka titik pada saluran paru-parunya, mana mungkin dia bisa bertahan hidup sampai sekarang?” tukas Dewa Dahan Persik.

Langsung saja Dewa Ranting Persik, Dewa Daun Persik, dan Dewa Bunga Persik tidak mau kalah dan ikut berdebat. Masing-masing dari mereka menyatakan diri sebagai orang yang paling berjasa mengobati Linghu Chong.

“Kentut! Kentut semuanya!” bentak Ping Yizhi dengan suara lantang.

“Kentut apanya?” sahut Dewa Akar Persik gusar. “Kau yang kentut, atau kami lima saudara yang kentut?”

“Kalian yang kentut!” jawab Tabib Ping. “Jelas-jelas di dalam tubuh Saudara Linghu ini ada dua arus hawa murni yang lebih kuat. Rasa-rasanya itu adalah tenaga dalam yang disalurkan oleh Biksu Bujie. Selain itu ada enam arus hawa murni pula yang lebih lemah. Keenamnya ini yang mungkin berasal dari kalian, manusia-manusia tolol.”

Yue Buqun dan Ning Zhongze saling pandang. Masing-masing mereka berpikir, “Ping Yizhi ini benar-benar luar biasa. Dalam sekali pegang ia langsung dapat mengetahui adanya delapan arus hawa murni di dalam tubuh Chong’er, dan yang lebih hebat lagi ia juga mampu mengetahui asal-usulnya, bahwa dua di antaranya berasal dari Biksu Bujie.”

Terdengar Dewa Dahan Persik berseru gusar, “Mengapa kau bilang tenaga kami berenam lebih lemah daripada si gundul Bujie? Sudah jelas tenaga kami lebih kuat, dia yang lebih lemah!”

“Huh, dasar tak tahu malu!” seru Ping Yizhi. “Dia seorang diri tapi tenaga dalamnya mampu mengatasi tenaga kalian berenam sekaligus. Apakah kalian merasa masih lebih kuat dari dia? Si tua Bujie memang tak punya otak, tapi ilmu silatnya luar biasa.”

Menanggapi itu Dewa Bunga Persik segera menjulurkan sebuah jarinya untuk pura-pura hendak memeriksa nadi Linghu Chong, sambil berkata, “Hm, menurut pemeriksaanku, jelas tenaga dalam kami berenam telah mendesak tenaga si gundul Bujie hingga tak bisa bergerak…. Aih!” Tiba-tiba ia merasa jarinya seperti digigit orang. Buru-buru ia menarik kembali jarinya sambil memaki-maki, “Oh! Aduh! Keparat!”

Ping Yizhi tertawa senang. Semua orang yang melihat yakin kalau si tabib sakti ini diam-diam menyalurkan tenaga dalamnya melalui tubuh Linghu Chong untuk “menyetrum” jari Dewa Bunga Persik.

Setelah berhenti tertawa, wajah Ping Yizhi berubah serius dan ia berkata, “Kalian harus menunggu di kabin kapal sana! Siapa pun dilarang bicara! Aku tidak ingin mendengar sepatah kata apapun dari kalian!”

“Persetan kau!” bentak Dewa Daun Persik tidak setuju. “Memangnya kami ini siapa harus tunduk pada perintahmu?”

Ping Yizhi balas bertanya, “Bukankah kalian sudah bersumpah akan membunuh seseorang untukku?”

“Benar. Kami memang menyanggupi akan membunuh seseorang untukmu, tapi kami tidak berjanji akan menuruti perintahmu,” sahut Dewa Ranting Persik.

“Menuruti perintahku atau tidak memang adalah hak kalian,” kata Tabib Ping. “Tapi bagaimana kalau kalian kusuruh untuk membunuh adik kalian sendiri, Si Dewa Buah Persik? Bagaimana?”

“Hei, mana boleh begitu?” seru kelima Dewa Lembah Persik bersama-sama. “Baru saja kau menyembuhkan dia, mana boleh kau suruh kami membunuhnya?”

“Coba jawab, kalian telah bersumpah apa di hadapanku?” tanya Ping Yizhi.

“Kami bersumpah apabila kau dapat menolong jiwa adik keenam kami, maka kami akan menuruti permintaanmu untuk membunuh satu orang untukmu, tidak peduli siapa pun dia yang harus dibunuh,” jawab Dewa Akar Persik.

“Betul,” kata Ping Yizhi mengangguk. “Dan sekarang apakah aku sudah menyelamatkan nyawa saudara kalian?”

“Sudah!” jawab Dewa Bunga Persik.

“Dia orang atau bukan?” desak Ping Yizhi.

“Tentu saja orang, memangnya kau kira dia siluman?” kata Dewa Daun Persik.

“Bagus. Dan sekarang aku minta kalian pergi membunuh satu orang. Orang itu adalah Dewa Buah Persik!” seru Ping Yizhi mantap.

Seketika kelima Dewa Lembah Persik itu saling pandang dan saling menggeleng karena permintaan Ping Yizhi ini sangat sukar dibayangkan. Mereka merasa permintaan ini tidak masuk akal tapi tidak ada yang mampu membantahnya.

“Tampaknya kalian enggan membunuh Dewa Buah Persik, bukan? Baiklah, sekarang apakah kalian bersedia menuruti perintaahku? Silakan kalian boleh berdiam di kabin kapal sana. Aku suruh kalian duduk tenang dan siapa pun tidak boleh bicara dan bergerak,” kata Ping Yizhi.

Dewa Akar Persik dan keempat adiknya segera menjalankan perintah tersebut. Hanya dalam sekejap mereka sudah duduk tegak di dalam kabin kapal dengan tangan bersimpuh di atas lutut dan tidak berani cerewet lagi.

“Tabib Ping,” sahut Linghu Chong, “konon jika kau menolong seseorang selalu dengan syarat, yaitu bila orang itu sudah disembuhkan, maka orang itu diharuskan membunuh seseorang untukmu. Benarkah demikian?”

“Benar. Memang demikian peraturan yang kutetapkan,” jawab Ping Yizhi.

“Kalau begitu aku tidak sudi membunuh seseorang untukmu. Maka, kau pun tidak perlu bersusah payah mengobati penyakitku,” kata Linghu Chong.

“Huh!” Ping Yizhi mendengus agak kurang percaya. Kembali ia memandangi Linghu Chong dari atas ke bawah, kalau-kalau ada kelainan pada pemuda itu. Selang agak lama barulah ia membuka suara, “Pertama, penyakitmu terlalu berat, aku merasa belum mampu menyembuhkannya. Kedua, andaikan aku dapat menyembuhkanmu, maka sudah ada orang lain yang sanggup membunuh orang untukku. Kau sendiri tidak perlu turun tangan.”

Semenjak Yue Lingshan berhubungan akrab dengan pemuda lain, Linghu Chong yang patah hati merasa telah kehilangan semua gairah hidupnya. Dan sekarang, begitu mendengar sang tabib sakti yang termashur itu pun tidak mampu menyembuhkan penyakitnya, mau tidak mau hatinya merasa semakin sedih.

Yue Buqun dan istrinya kembali berpandangan sambil sama-sama berpikir, “Siapa gerangan orang yang telah meminta tolong Ping Yizhi untuk mengobati Chong’er, sehingga mampu membuat Si Tabib Sakti Pembunuh meninggalkan rumah? Kira-kira ada hubungan apa orang itu dengan Chong’er?”

Ping Yizhi kembali berkata, “Adik Linghu, ada delapan arus hawa murni mendesak-desak di sekujur tubuhmu, yang tak dapat dipadamkan, tak dapat dimusnahkan, tak dapat dijinakkan, juga tak dapat dikalahkan. Yang mana jika dipaksakan justru membuatmu bertambah menderita. Aku telah diminta seseorang untuk mengobati penyakitmu. Bukannya aku melepas tanggung jawab, tapi ini menyangkut hawa murni dan tenaga dalam. Sukar diobati begitu saja, tidak seperti penyakit biasa. Selama melakukan pengobatan belum pernah kutemukan penyakit seaneh ini. Aduh, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Sungguh aku sangat malu.”

Sambil bicara ia mengambil sebuah botol porselen kecil dari balik baju, kemudian menuang sepuluh butir pil berwarna merah tua di tangan. “Ini adalah sepuluh butir pil Meringankan Jantung yang terbuat dari bahan-bahan yang sangat langka. Butuh waktu lama bagiku untuk menciptakan pil ini. Mulai sekarang setiap sepuluh hari boleh kau minum satu butir pil ini, sehingga dapat memperpanjang umurmu paling tidak selama seratus hari.”

“Terima kasih banyak!” jawab Linghu Chong yang menerima pemberian itu dengan sikap penuh hormat.

Ping Yizhi lantas memutar tubuh ke arah tepi sungai. Namun sebelum melompat ke daratan, tiba-tiba ia berpaling lagi dan berkata, “Di dalam botol ini masih ada dua butir, biarlah kuberikan semuanya padamu.” Ia kemudian menjulurkan tangannya yang memegang botol porselen tadi kepada Linghu Chong.

Namun Linghu Chong tidak mau menerima. Ia hanya menjawab, “Obat ini pasti obat bagus, tentu Tuan Tabib memperlakukannya bagaikan pusaka. Khasiatnya yang manjur mungkin lebih baik jika digunakan oleh pasien yang lebih membutuhkan. Maka itu sebaiknya kau simpan kembali saja. Sekalipun aku dapat hidup lebih lama sepuluh hari atau dua puluh hari juga tidak ada manfaatnya lagi, baik untuk diriku sendiri maupun untuk orang lain.”

Sejenak Ping Yizhi melirik Linghu Chong dan mengamat-amati pemuda itu, kemudian bergumam, “Tidak memikirkan hidup atau mati. Benar-benar jiwa seorang laki-laki sejati. Hm, memang pantas… memang pantas…. Aih, sungguh memprihatinkan! Maafkan aku!”

Tabib bertubuh pendek itu terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya yang besar, kemudian melompat turun dari atas kapal dan mendarat di daratan. Dengan langkah cepat ia sudah pergi dan lenyap ditelan kegelapan malam. Ia datang dan pergi sesuka hati, sama sekali tidak menganggap keberadaan seorang tokoh seperti Yue Buqun sang ketua Perguruan Huashan. Tentu saja Yue Buqun diam-diam merasa sangat kesal. Namun saat itu di dalam kapal itu masih duduk lima orang aneh. Untuk mengusir mereka jelas tidak mudah.

Kelima Dewa Lembah Persik masih terlihat duduk diam di kabin kapal dengan tangan di atas lutut dan pandangan mata ke bawah, seolah-olah sedang bermeditasi. Yue Buqun merasa serbasalah. Jika ia memerintahkan jurumudi menjalankan kapal, maka kelima orang aneh itu pasti ikut terbawa serta. Namun jika ia menunda keberangkatan kapal, entah akan memakan waktu berapa lama kelima orang itu duduk di sana. Yang perlu dikhawatirkan pula adalah jika secara tiba-tiba mereka berlima menyerang Ning Zhongze untuk membalas dendam adik bungsu mereka yang terluka. Sementara itu Lao Denuo, Yue Lingshan, dan murid-murid Huashan lainnya telah menyaksikan bagaimana mereka menarik tubuh Cheng Buyou hingga putus menjadi empat potong, sehingga sampai sekarang pun masih terbayang pemandangan yang mengerikan itu. Para murid hanya berani saling pandang dan sama sekali tidak berani melihat ke arah kelima orang aneh tersebut.

Linghu Chong sendiri berjalan mendekati dan bertanya, “Hei, mengapa kalian masih di sini?”

“Kami harus duduk tenang di sini, tidak boleh sembarangan bicara dan bergerak,” jawab Dewa Akar Persik.

“Kami hendak berangkat. Silakan kalian kembali ke daratan saja!” kata Linghu Chong.

“Ping Yizhi berpesan kepada kami supaya duduk tenang di buritan kapal ini. Kalau kami sembarangan bicara dan bergerak, tentu kami akan disuruh membunuh saudara kami sendiri. Sebab itulah kami harus tetap duduk di sini dengan tenang, tidak boleh bicara atau bergerak,” sahut Dewa Ranting Persik.

Sungguh tak tertahan betapa geli perasaan Linghu Chong. Ia pun tertawa dan berkata, “Tabib Ping sundah mendarat sejak tadi. Sekarang kalian sudah boleh bicara dan bergerak.”

“Tidak boleh! Tidak boleh! Jika dia ternyata melihat kami berbicara dan bergerak, lantas bagaimana? Urusan ini bisa runyam,” ujar Dewa Bunga Persik sambil menggeleng.

Pada saat itulah tiba-tiba dari arah daratan terdengar suara seseorang yang agak serak memanggil-manggil, “Hei, di mana kelima siluman jelek itu?”

“Apakah orang itu mencari kita?” sahut Dewa Akar Persik.

“Mana mungkin dia mencari kita? Memangnya kita ini mirip siluman?” tanya Dewa Ranting Persik.

Suara serak kembali terdengar, “Di sini aku membawa satu siluman lagi yang baru saja disembuhkan oleh Tabib Ping. Kalian mau ambil dia atau tidak? Kalau tidak, biar kubuang saja ke sungai saja untuk umpan ikan.”

Mendengar itu, serentak kelima Dewa Persik melompat keluar kapal dan berdiri di tepi sungai. Terlihat wanita setengah baya tinggi kurus yang tadi membantu praktik pengobatan Ping Yizhi sedang berdiri di sana. Tangan kiri wanita itu menjulur lurus ke samping menjinjing sebuah tandu. Di atas tandu itu tampak Dewa Buah Persik rebah telentang. Sungguh tak disangka wanita yang kurus kering seperti berpenyakitan itu ternyata memiliki tenaga sedemikian besar. Ia menjinjing tubuh Dewa Buah Persik yang beratnya lebih dari lima puluh kilo ditambah dengan tandu kayu tersebut, tampak sedikit pun tidak mengalami kesulitan.

Dengan cepat Dewa Akar Persik menanggapi ucapan wanita tadi, “Sudah tentu kami mau, mengapa tidak?”

“Kenapa kau memaki kami? Mengapa kau bilang kami siluman?” gerutu Dewa Ranting Persik.

“Padahal wajahnya juga tidak lebih baik daripada kita,” sahut Dewa Buah Persik yang tergeletak di atas tandu ikut bicara. Setelah diobati dan ditepuk kepalanya oleh Tabib Ping untuk mendapatkan penyaluran tenaga dalam, ia pun pergi begitu saja meninggalkan rumah si tabib. Namun baru menempuh jarak yang tidak terlalu jauh, Dewa Buah Persik jatuh pingsan di tengah jalan karena kehabisan banyak darah. Ia kemudian ditemukan si wanita kurus dan dibawa kembali untuk diobati. Meskipun lukanya belum sembuh benar, namun mulutnya tetap terampil dalam berbicara dan memaki si wanita kurus.

Wanita kurus itu berkata dengan dingin, “Apakah kalian tahu, selama hidup Tabib Ping paling takut dengan apa?”

“Tidak tahu,” jawab kelima Dewa Lembah Persik bersamaan. “Memangnya dia takut apa?”

“Dia paling takut pada istri!” ucap si wanita kurus.

Enam Dewa Lembah Persik pun bergelak tawa mendengar jawaban itu. Mereka berkata, “Tabib Ping yang tidak takut pada langit dan tidak gentar pada bumi ternyata takut istri. Hahaha, sungguh menggelikan!”

“Apanya yang menggelikan? Aku inilah istrinya!” bentak si wanita kurus.

Seketika Enam Dewa Lembah Persik langsung diam, tidak berani bersuara lagi.

Si wanita kurus melanjutkan, “Segala perintahku pasti akan ia turuti. Jika aku ingin membunuh siapa tentu ia akan menyuruh kalian membunuhnya.”

“Ya, ya, Nyonya Ping ingin membunuh siapa?” sahut Enam Dewa Lembah Persik bersamaan.

Wanita kurus itu tidak menjawab, melainkan sorot matanya yang tajam terus menatap ke arah Yue Buqun, lalu Ning Zhongze, Yue Lingshan, dan orang-orang Huashan lainnya. Setiap orang yang dipandanginya pasti merinding dan berkeringat dingin. Mereka sadar, sekali Nyonya Ping menunjuk salah seorang di antara mereka, maka seketika itu pula kelima Dewa Lembah Persik pasti akan melompat maju dan merobek menjadi empat potong. Bahkan tokoh sakti seperti Yue Buqun juga sulit untuk menghindar.

Sorot mata wanita kurus itu perlahan dialihkan kembali ke arah para Dewa Lembah Persik. Jantung keenam orang aneh itu juga ikut berdebar-debar.

“Hm!” wanita itu mendengus.

“Ya, ya,” jawab Enam Dewa Lembah Persik bersama-sama.

“Sekarang aku belum bisa menentukan ingin membunuh siapa,” kata wanita itu. “Tapi Tabib Ping sudah mengatakan bahwa di dalam perahu ini ada seorang tuan muda bermarga Linghu, Linghu Chong yang sangat dihormati olehnya. Maka itu, kalian harus melayani Tuan Muda Linghu dengan sebaik-baiknya sampai Tuan Muda Linghu meninggal dunia. Apa yang dikatakan Tuan Muda Linghu harus kalian kerjakan. Segala perintahnya harus kalian patuhi dan tidak boleh kalian bantah.”

“Melayani sampai dia meninggal dunia?” sahut Enam Dewa Lembah Persik heran.

“Benar! Melayani sampai dia meninggal dunia,” jawab Nyonya Ping. “Tapi umurnya hanya tinggal seratus hari saja. Dalam seratus hari ini kalian harus mematuhi segala perintahnya.”

Mendengar tugas mereka hanya sebatas seratus hari saja, serentak Enam Dewa Lembah Persik bersorak gembira, “Hanya melayani dia seratus hari saja rasanya tidak sukar.”

Tiba-tiba Linghu Chong menyela, “Terhadap maksud baik Tabib Ping sungguh aku merasa sangat berterima kasih. Namun aku tidak berani merepotkan Enam Dewa Lembah Persik. Tolong izinkan mereka mendarat saja, dan sekarang juga aku mohon diri.”

Wajah Nyonya Ping terlihat datar, sedikit pun tidak terlihat senang ataupun gusar. Ia hanya berkata dengan dingin, “Tabib Ping mengatakan bahwa penyakit Tuan Muda Linghu disebabkan oleh keenam orang tolol ini. Bukan saja Tuan Muda Linghu yang akan mati karenanya, bahkan juga membuat Tabib Ping malu karena tidak sanggup menyembuhkan penyakitmu. Akibatnya, Tabib Ping tidak dapat pula bertanggung jawab kepada orang yang memintanya mengobatimu. Untuk ini keenam orang tolol ini harus diberi hukuman yang setimpal. Sebenarnya Tabib Ping hendak menyuruh mereka membunuh salah seorang saudara mereka sendiri sesuai dengan sumpah mereka, tapi sekarang mereka diberi kelonggaran. Mereka hanya dihukum sebagai pelayan Tuan Linghu.” Setelah berhenti sejenak, wanita kurus itu melanjutkan, “Kalau keenam orang tolol ini berani membantah perintahmu, bila sampai terdengar oleh Tabib Ping, maka Tabib Ping segera akan mengambil nyawa salah seorang dari mereka dengan secepatnya.”

Dewa Bunga Persik menyahut, “Karena penyakit Adik Linghu ini gara-gara perbuatan kami, sudah sepantasnya kalau kami merawat dia sebagaimana mestinya. Laki-laki sejati tahu kapan waktunya membalas budi dan dendam.”

“Benar, seorang laki-laki rela berkorban untuk kesulitan kawan. Apalagi hanya merawat penyakit saja, tentu sangat mudah,” sahut Dewa Ranting Persik.

“Lukaku ini telah dirawat orang hingga sembuh. Sudah sepantasnya aku juga merawat orang lain dengan sebaik-baiknya. Tentu semua pihak akan senang,” kata Dewa Buah Persik.

“Aih, sayang sekali kami hanya bisa merawat lukanya selama seratus hari saja. Sungguh pendek waktunya,” ujar Dewa Dahan Persik.

Dewa Akar Persik menanggapi, “Pepatah menagatakan, seribu Li pun akan ditempuh demi mendengar kesulitan kawan. Kami enam bersaudara tidak pernah mengabaikan jika ada kawan yang kesusahan….”

Di tengah berisiknya suara keenam orang tua aneh itu, Nyonya Ping hanya melotot kemudian melangkah pergi.

Dewa Dahan Persik dan Dewa Ranting Persik segera mengangkat tandu yang berisi Dewa Buah Persik tadi dan membawanya melompat ke atas kapal diikuti saudara-saudaranya yang lain.

Dewa Akar Persik lantas berteriak, “Angkat sauh, jalankan kapalnya!”

Linghu Chong menyadari kalau ia tidak mungkin lagi bisa mencegah keenam kakek aneh untuk tidak mengikuti rombongan. Maka ia pun berkata, “Eh, keenam Kakak Persik, boleh saja kalau kalian ikut bersama kami. Tapi terhadap guru dan ibu-guruku kalian harus bersikap sopan dan hormat. Inilah perintahku yang pertama. Jika kalian tidak mau menurut, maka sekarang juga aku menolak pelayanan kalian.”

Dewa Daun Persik menjawab, “Enam Dewa Lembah Persik semuanya adalah laki-laki budiman yang penuh tata krama. Jangankan terhadap guru dan ibu-gurumu, bahkan kepada murid atau cucumu juga kami akan menaruh hormat.”

Diam-diam Linghu Chong merasa geli mendengar sebutan laki-laki budiman yang penuh tata krama tersebut. Segera ia pun berkata kepada Yue Buqun, “Guru, keenam bersaudara ini ingin menumpang kapal kita, entah bagaimana pendapat Guru?”

Yue Buqun berpikir keenam orang itu sekarang sudah tidak mencari perkara lagi dengan Perguruan Huashan. Namun mereka berenam kini berada di atas kapal, tetap saja berbahaya dan perlu diwaspadai. Meskipun sepertinya sulit untuk mengusir mereka, namun setidaknya mereka adalah orang-orang bodoh yang bisa diatasi dengan siasat.

Maka sambil mengangguk Yue Buqun pun menjawab, “Baiklah, boleh saja jika mereka menumpang kapal kita. Hanya saja sifatku ini suka ketenangan. Aku tidak suka mendengar mereka ribut mulut dan berdebat sendiri.”

“Ucapan Tuan Yue ini jelas salah,” kata Dewa Ranting Persik. “Manusia dilahirkan dengan sebuah mulut. Selain berguna untuk makan nasi, mulut juga diperlukan untuk bicara. Untuk apa manusia memiliki sepasang telinga kalau bukan untuk mendengarkan pembicaraan orang lain? Jika sifatmu suka ketenangan, berarti kau telah menyia-nyiakan maksud baik Langit yang menciptakan sebuah mulut dan sepasang telinga untukmu.”

Yue Buqun sadar apabila ia menanggapi, tentu kelima Dewa Lembah Persik yang lain akan ikut melibatkan diri dalam adu pendapat. Jika keenam orang itu berbicara maka perdebatan panjang lebar dan tidak perlu pasti akan sulit dihindari. Maka itu, ia hanya tersenyum kemudian berseru lantang, “Jurumudi, berangkatlah!”

Namun tetap saja hal ini memancing Dewa Daun Persik untuk berkata, “Tuan Yue baru saja membuka mulut untuk memerintahkan si jurumudi berangkat. Jika memang kau suka ketenangan, bukankah seharusnya kau cukup memberi isyarat saja?”

“Jurumudi ada di buritan, sedangkan Tuan Yue ada di lambung kapal. Jika Tuan Yue memberi isyarat, mana mungkin si jurumudi bisa melihatnya? Itu namanya sia-sia,” sahut Dewa Dahan Persik.

“Bukankah dia bisa berjalan ke buritan untuk memberi isyarat kepada si jurumudi?” tanya Dewa Akar Persik.

“Bagaimana kalau si jurumudi ternyata tidak paham bahasa isyarat? Bagaimana kalau si jurumudi ternyata salah mengartikan isyarat ‘mulai berlayar’ menjadi ‘tenggelamkan kapal’? Bukankah ini bencana?” tukas Dewa Bunga Persik.

Begitulah, di tengah perdebatan Enam Dewa Lembah Persik, si jurumudi telah mengangkat sauh dan melanjutkan pelayaran.

Sementara itu, Yue Buqun dan Ning Zhongze sama-sama memandangi Linghu Chong, kemudian beralih memandangi Enam Dewa Lembah Persik. Setelah itu keduanya saling pandang dan sama-sama berpikir, “Ping Yizhi berkata bahwa dirinya telah mendapat perintah dari seseorang untuk mengobati Chong’er. Dari kata-katanya tadi terlihat kalau seseorang yang telah memerintahkannya jelas memiliki kedudukan tinggi di dunia persilatan. Itu sebabnya ia lebih menghormati seorang murid daripada ketua Perguruan Huashan. Sebenarnya siapa orangnya yang telah menyuruh Ping Yizhi? Kalau Biksu Bujie jelas tidak mungkin, karena Ping Yizhi tadi telah menyebutnya sebagai biksu tua yang tidak punya otak.”

Sebenarnya sudah sejak lama Yue Buqun suami-istri berniat memanggil Linghu Chong untuk meminta keterangan yang sejelas-jelasnya. Tak disangka, jumlah kesalahpahaman antara guru dan murid semakin bertambah banyak, sehingga mereka merasa kini bukan saat yang tepat untuk menanyai Linghu Chong.

Sewaktu teringat betapa Ping Yizhi yang merupakan tabib paling hebat di dunia persilatan ternyata tidak mampu menyembuhkan Linghu Chong, bahkan meramalkan bahwa umur murid pertama suaminya tinggal seratus hari membuat Ning Zhongze merasa sangat berduka. Tak terasa air mata pun meleleh di pipi wanita itu.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar