Pada tanggal tiga belas
sampailah rombongan Perguruan Henshan di kaki Gunung Songshan. Dua hari
kemudian, pada tanggal lima belas pagi-pagi sekali Linghu Chong memimpin
rombongan berangkat menuju ke atas gunung. Sampai di pertengahan jalan, di
sebuah gardu istirahat mereka disambut empat orang murid Perguruan Songshan.
Dengan sangat hormat mereka menyapa, “Kami dari Perguruan Songshan mengucapkan
selamat datang dan terima kasih atas kunjungan Ketua Linghu dari Perguruan
Henshan. Para paman dari Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah sejak
kemarin tiba lebih dulu di sini. Dengan kedatangan Ketua Linghu bersama para
kakak dari Perguruan Henshan, kami sungguh mendapatkan kehormatan besar.”
Linghu Chong melanjutkan
perjalanan mendaki ke atas. Rupanya jalur menuju puncak sudah dibersihkan. Di
sepanjang jalan pada setiap beberapa li tampak beberapa murid Songshan
menyambut dengan menyuguhkan teh dan makanan ringan. Cara mereka menyambut tamu
sangat sopan dan teratur. Hal ini menunjukkan betapa rapi persiapan Zuo
Lengchan dan sepertinya ia berusaha menggunakan segala cara untuk mendapatkan
kedudukan sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung.
Dalam perjalanan menuju puncak
tersebut terlihat lagi beberapa murid Songshan datang menyambut sebagai pemandu
rombongan tamu. Mereka memberi hormat sambil berkata, “Para tokoh dan ketua
Perguruan Kulun, Emei, Kongtong, dan Qingcheng juga telah datang di Gunung
Songshan ini untuk ikut menyaksikan upacara pemilihan Ketua Perguruan Lima
Gunung. Ketua Linghu datang pada saat yang tepat. Para tamu yang lain sudah
menunggu di atas sana. Silakan!” Sikap murid-murid Songshan ini sangat angkuh.
Kata-kata mereka pun bernada sombong seakan-akan jabatan Ketua Perguruan Lima
Gunung sudah pasti akan dipegang oleh perguruan mereka.
Setelah naik lagi sekian lama,
terdengar suara gemuruh yang cukup berisik. Tampak dua buah air terjun mengalir
deras ke bawah jurang bagaikan dua ekor naga kahyangan yang terbang
meliuk-liuk. Rombongan pun berhenti sejenak untuk menyaksikan kedua air terjun
tersebut.
Dengan perasaan bangga, murid
Songshan yang menjadi pemandu berkata, “Di atas sana itu yang disebut Puncak
Kemenangan. Ketua Linghu, menurutmu apakah ada tempat di Gunung Henshan yang
bisa dibandingkan dengan tempat ini?”
Linghu Chong menjawab, “Pemandangan
di Gunung Henshan sama indahnya dengan Gunung Songshan ini.”
Orang itu berkata, “Gunung
Songshan disebut sebagai pusat dunia sejak zaman Dinasti Han dan Dinasti Tang.
Songshan juga menjadi kepala dari semua gunung di dunia. Ketua Linghu bisa melihat
sendiri betapa indah pemandangan di sini. Tidak heran kalau raja-raja dari
berbagai dinasti selalu mendirikan ibu kota di kaki Gunung Songshan.” Di balik
ucapannya itu ia hendak mengatakan bahwa Songshan adalah kepala dari semua
gunung di dunia, maka Perguruan Songshan juga selalu menjadi pimpinan dari
semua golongan persilatan.
Linghu Chong tersenyum dan
menjawab, “Kaum persilatan macam kita mana ada hubungan dengan para kaisar dan
pembesar negeri? Apakah Ketua Zuo sering berhubungan dengan para pejabat
kerajaan?”
Seketika muka murid Songshan
itu menjadi merah dan ia tidak berbicara lagi.
Jalanan ke atas untuk
selanjutnya semakin curam. Murid Songshan yang menjadi penunjuk jalan tadi
kembali berkata sambil menunjuk beberapa tempat, “Yang itu adalah Dataran
Lembah Hijau, sedangkan yang itu Puncak Lembah Hijau. Lalu yang ini adalah
Jembatan Besi Besar, sementara yang itu adalah Jembatan Besi Kecil. Nah, kalau
yang di sebelah kanan itu adalah Jurang Sepuluh Ribu, yang kedalamannya luar
biasa.”
Murid Songshan itu kemudian
memungut sebongkah batu dan melemparkannya ke bawah. Begitu batu itu membentur
dinding jurang terdengar suara yang sangat nyaring dan semakin lama semakin
pelan dan akhirnya lenyap. Ini menunjukkan kalau jurang tersebut memang sangat
dalam luar biasa.
Tiba-tiba Yihe menyahut,
“Bolehkah aku bertanya kepada Saudara, berapa jumlah tamu yang akan datang ke
Puncak Songshan?”
“Sekitar dua ribu orang,”
jawab orang itu.
Yihe berkata, “Jika setiap ada
orang yang datang kau menjatuhkan sebongkah batu ke dalam jurang itu, lama-lama
gedung Perguruan Songshan bisa pindah ke sana pula.”
Murid Songshan itu hanya
mendengus tidak menanggapi ucapan Yihe.
Setelah melewati suatu
tikungan, tiba-tiba kabut datang bertaburan. Kemudian di tengah jalan pegunungan
itu tampak belasan laki-laki menghadang dengan senjata di tangan. Salah seorang
di antaranya berseru dengan suara seram, “Apakah Linghu Chong akan datang ke
sini? Kalau melihatnya, harap kawan-kawan sekalian sudi memberitahukan pada
kami.”
Linghu Chong melihat orang
yang sedang berbicara itu bercambang pendek, kaku, dan lebat. Wajahnya sangat
seram, tapi kedua matanya buta. Ketika melihat orang-orang yang lain, ternyata
semua juga buta. Linghu Chong terkesiap dan segera berseru, “Linghu Chong ada
di sini. Saudara ada perlu apa?”
Begitu mendengar “Linghu Chong
ada di sini”, serentak belasan orang buta itu berteriak-teriak mencaci-maki.
Dengan senjata masing-masing mereka menerjang maju sambil berteriak, “Bangsat
keparat Linghu Chong, kau telah membuat kami susah! Hari ini, biarlah kami
mengadu nyawa denganmu!”
Linghu Chong segera teringat
kejadian di sebuah kuil tua saat ia bersama rombongan Perguruan Huashan
diserang lima belas orang berkedok. Dengan menggunakan Ilmu Sembilan Pedang
Dugu yang baru saja dipelajarinya, Linghu Chong berhasil membutakan semua bola
mata para penyerang itu. Tadinya ia tidak tahu asal-usul kelima belas orang
tersebut. Namun kini ia menduga mereka pasti orang-orang suruhan Perguruan
Songshan.
Dilihatnya keadaan di tempat
itu pun cukup berbahaya. Bila kelima belas orang buta tersebut benar-benar
mengadu nyawa dengannya, tentu akan sangat fatal akibatnya. Asalkan ada seorang
saja yang berhasil memeluk dan mendorongnya, maka bukan mustahil ia akan
tergelincir jatuh ke dalam Jurang Sepuluh Ribu dan gugur bersama. Sementara itu
murid-murid Songshan yang menjadi pemandu jalan bersikap acuh tak acuh dengan
bibir sedikit terangkat seakan-akan bersyukur atas apa yang akan terjadi.
Linghu Chong pun memaklumi
karena ia pernah membunuh banyak murid Songshan saat menolong rombongan
Perguruan Henshan di Lembah Tempa Pedang, juga membunuh dua sesepuh yang
merebut jubah biksu berisi naskah Kitab Pedang Penakluk Iblis di Kota Fuzhou.
Maka, dalam pertemuan di Gunung Songshan ini sedikit pun ia tidak boleh lengah.
Oleh karena itu, ia hanya bisa bertanya, “Apakah kawan-kawan buta ini murid
Perguruan Songshan? Jika benar, sudilah kiranya Saudara memberi perintah agar
mereka mau memberi jalan.”
“Bukan, mereka bukan orang
kami,” jawab si pemandu jalan sambil tertawa. “Silakan Ketua Linghu sendiri
yang membereskan mereka.”
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang membentak dengan suara menggelegar, “Biar bapakmu ini yang
membersihkan jalan!” Suara ini ternyata suara Biksu Bujie yang datang bersama
cucu muridnya, yaitu Biksu Bukebujie alias Tian Boguang. Dengan langkah lebar
biksu berbadan tinggi besar itu menerjang maju. Sekali gerak ia langsung
mencengkeram dua orang murid Songshan, lantas melemparkan tubuh mereka ke arah
kawanan orang buta itu sambil berseru, “Ini dia, Linghu Chong telah tiba!”
Serentak kawanan orang buta
itu mengayunkan senjata masing-masing. Mereka membacok dan menebas serabutan.
Untung kedua murid Songshan itu cukup tangkas. Saat tubuh mereka terapung di
udara, mereka sempat mencabut pedang untuk menangkis sambil berteriak, “Kami
orang Songshan. Kita kawan sendiri. Lekas menyingkir!”
Mendengar itu kawanan orang
buta menjadi kelabakan dan kacau-balau. Mereka berusaha menghindar sedapat
mungkin. Namun Bujie sudah lebih dulu menyusul ke depan. Kembali kedua murid
Songshan itu tertangkap olehnya. “Jika kalian tidak menyuruh kawanan buta itu
enyah dari sini, akan kulemparkan tubuh kalian ke jurang!” bentaknya.
Kemudian sang biksu besar pun
mengerahkan tenaga sekuatnya. Kedua murid Songshan itu dilemparkannya ke atas.
Meskipun berat badan mereka masing-masing ada lebih dari seratus kati, tapi
tenaga Biksu Bujie sendiri terlalu kuat. Sekali lempar, kedua orang itu lantas
melayang ke atas beberapa meter tingginya. Tentu saja kedua murid Songshan itu
ketakutan setengah mati. Hampir-hampir sukma mereka terbang meninggalkan raga.
Terdengar suara keduanya menjerit ngeri, karena membayangkan tubuh mereka pasti
hancur lumat begitu terjatuh ke dalam Jurang Sepuluh Ribu yang tak terkira
dalamnya.
Namun sebelum kedua orang itu
jatuh ke bawah, dengan sangat cepat Biksu Bujie kembali menangkap dan
mencengkeram tengkuk mereka lalu mengancam, “Bagaimana? Mau mencoba lagi?”
Salah satu dari mereka berseru
ketakutan, “Ti… tidak! Jang… jangan!”
Seorang lagi agaknya lebih
pintar. Tiba-tiba saja ia berseru, “Hei, Linghu Chong, hendak lari ke mana kau?
Hayo kawan-kawan buta, lekas kejar ke sini. Lekas!”
Mendengar itu kawanan orang
buta pun percaya dan serentak mereka mengejar.
Tian Boguang lantas membentak,
“Hei, bocah tengik! Nama Ketua Linghu mana boleh kau sebut sembarangan begitu?
Ini hadiah untukmu!” Usai berkata ia melayangkan dua pukulan ke wajah orang
itu, kemudian berteriak, “Pendekar Linghu ada di sini! Ketua Linghu ada di
sini! Orang buta mana yang berani, lekas kemari kalau minta diberi pelajaran!”
Sebenarnya kawanan orang buta
itu telah dihasut oleh pihak Songshan agar menuntut balas kepada Linghu Chong.
Maka, dengan sabar mereka menanti di jalan pegunungan. Namun ketika mendengar
jeritan ngeri kedua murid Songshan tadi, mau tidak mau mereka ikut merasa ngeri
juga. Apalagi mereka telah berlari kian-kemari di jalan pegunungan itu dengan
mata buta sehingga tidak tahu di mana sasaran sebenarnya. Akhirnya mereka pun
bingung sendiri dan hanya bisa berdiri termenung di tempat masing-masing.
Linghu Chong, Biksu Bujie,
Tian Boguang, dan murid-murid Perguruan Henshan lainnya segera melewati kawanan
orang buta itu untuk melanjutkan perjalanan ke atas. Tidak lama kemudian
terlihat dua buah batuan gunung mengapit sebuah celah alam sehingga berwujud
bagaikan pintu gerbang. Angin kencang datang meniup keluar dari celah itu
disertai kabut awan.
Biksu Bujie tiba-tiba
membentak, “Hei, kalian yang suka pamer, apa nama tempat ini? Kenapa kalian
berubah jadi pendiam?”
Dengan tersenyum kecut salah
satu murid Songshan tadi menjawab, “Ini namanya Gerbang Menghadap Langit.”
Setelah memutar ke arah barat
laut dan menanjak tidak seberapa jauh, terdapat sebidang tanah lapang di puncak
gunung. Di situ sudah berkumpul ribuan orang. Kedua murid Songshan yang memandu
jalan tadi lantas mendahului naik ke situ untuk melapor. Sejenak kemudian
terdengar suara tetabuhan menyambut kedatangan Linghu Chong dan rombongannya.
Zuo Lengchan mengenakan jubah
kuning kecoklatan tampak datang menyambut disertai dua puluh orang muridnya.
Mereka semua serentak memberi hormat kepada rombongan Perguruan Henshan
tersebut.
Meskipun kedudukan Linghu
Chong saat ini sebagai Ketua Perguruan Henshan, namun ia sudah terbiasa
memanggil “Paman Zuo”. Lagipula ia juga berasal dari angkatan yang lebih muda.
Maka, sambil membalas hormat ia pun berkata, “Keponakan Linghu Chong memberi
hormat kepada Ketua Perguruan Songshan.”
Zuo Lengchan menjawab,
“Meskipun berpisah cukup lama, namun Saudara Linghu tampak bertambah gagah.
Seorang kesatria muda dan tampan menjadi Ketua Perguruan Henshan, sungguh suatu
peristiwa yang jarang ada di dunia persilatan. Selamat!”
Linghu Chong sadar ucapan Zuo
Lengchan itu sebenarnya hanyalah olok-olok belaka. Apalagi ucapan selamat
tersebut dilakukan dengan wajah datar tanpa senyum sedikit pun. Perkataan Zuo
Lengchan itu tidak lain hanya untuk mengejek Linghu Chong sebagai seorang
laki-laki namun memimpin kaum biksuni. Apalagi perkataan “muda dan tampan”
jelas dalam hal ini bermakna kurang baik.
Maka, Linghu Chong pun
menjawab sewajarnya saja, “Ini semua hanyalah wasiat terakhir dari Biksuni
Dingxian. Aku hanya ingin membalas kematian kedua biksuni sepuh. Bila tugas
membalas dendam sudah tercapai, dengan sendirinya aku akan mengundurkan diri
dan menyerahkan jabatan ketua kepada yang lebih bijaksana.” Saat mengucapkan
kalimat ini, Linghu Chong menatap tajam ke arah Zuo Lengchan yang diyakininya
telah membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi di Biara Shaolin. Ia ingin
melihat apakah wajah Zuo Lengchan berubah menjadi marah ataukah malu jika
disindir seperti itu.
Akan tetapi, raut muka Zuo
Lengchan ternyata tidak berubah sedikit pun, bahkan ia berkata, “Serikat Pedang
Lima Gunung selamanya senasib sepenanggungan. Bahkan, untuk selanjutnya kelima
perguruan akan dilebur menjadi satu sehingga masalah sakit hati kedua biksuni
sepuh bukan hanya menjadi urusan Perguruan Henshan belaka, namun juga menjadi
urusan Perguruan Lima Gunung kita. Saudara Linghu sudah membulatkan tekad,
sungguh patut dipuji.” Ia berhenti sejenak kemudian melanjutkan, “Pendeta
Tianmen dari Perguruan Taishan, Tuan Besar Mo dari Perguruan Hengshan, Tuan Yue
dari Perguruan Huashan, serta para undangan lainnya sudah berdatangan semua.
Silakan Saudara Linghu bertemu dengan mereka.”
“Baik,” jawab Linghu Chong.
“Apakah Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin dan Pendeta Chongxu dari
Perguruan Wudang juga sudah datang?”
Dengan acuh tak acuh Zuo
Lengchan menjawab, “Tempat tinggal mereka tidak jauh dari sini. Namun mengingat
kedudukan mereka berdua yang tinggi itu, rasanya tidak akan hadir.” Usai
berkata demikian, ia memandang Linghu Chong dengan tatapan penuh kebencian.
Linghu Chong tercengang, namun
kemudian memakluminya. Tatapan kebencian itu tentu disebabkan oleh rasa cemburu
atas kedatangan Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu secara pribadi ketika
dirinya dilantik menjadi Ketua Perguruan Henshan tempo hari.
Pada saat itu tiba-tiba
terlihat dua orang murid Songshan berlari dari arah bawah gunung. Melihat cara
lari mereka yang terburu-buru, jelas ada suatu urusan penting yang perlu untuk
segera dilaporkan. Para hadirin pun tertarik untuk mengetahui apa yang akan
terjadi. Dalam sekejap saja kedua orang itu sudah berada di hadapan Zuo
Lengchan. Mereka memberi hormat dan berkata, “Guru, Kepala Biara Shaolin
Mahabiksu Fangzheng dan Ketua Perguruan Wudang Pendeta Chongxu bersama
rombongan masing-masing sedang menuju kemari untuk menyampaikan selamat kepada
Perguruan Lima Gunung kita.”
“O, mereka juga hadir? Wah,
sungguh suatu kehormatan besar. Aku harus turun untuk menyambut langsung,” kata
Zuo Lengchan dengan nada datar seolah tidak terlalu peduli. Meskipun demikian,
Linghu Chong dapat melihat tubuh Ketua Perguruan Songshan tersebut agak
bergetar menunjukkan perasaan gembira di dalam hatinya.
Para hadirin pun ikut gempar
begitu mendengar bahwa ketua-ketua Perguruan Shaolin dan Wudang juga hadir di
Puncak Songshan. Serentak mereka ikut di belakang Zuo Lengchan melangkah ke
bawah untuk menyambut.
Linghu Chong bersama murid-murid
Henshan menyisih ke tepi untuk memberi jalan kepada orang sebanyak itu. Tampak
Pendeta Tianmen dari Perguruan Taishan, Tuan Besar Mo dari Perguruan Hengshan,
Xie Feng dari Partai Pengemis, Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng, Tuan Wen si
sarjana, dan tokoh-tokoh persilatan sepuh lainnya ada di antara mereka. Kepada
masing-masing pemimpin aliran itu Linghu Chong mengangkat tangan memberi
hormat.
Akan tetapi, ada dua orang di
antara para hadirin yang tiba-tiba muncul dari balik tembok dan membuat Linghu Chong
gugup gemetar. Mereka tidak lain adalah Yue Buqun dan Ning Zhongze yang datang
bersama murid-murid Perguruan Huashan. Dengan perasaan pilu Linghu Chong
memburu maju, kemudian berlutut dan memberi hormat. “Harap kedua Sesepuh yang
mulia menerima hormat Linghu Chong.” Ia tidak berani lagi memanggil “Guru” dan
“Ibu Guru”, namun caranya memberi hormat masih sama seperti dulu.
Yue Buqun mengelak ke samping
dan menjawab dengan nada dingin, “Untuk apa Ketua Linghu melakukan banyak adat
seperti ini? Bukankah malah terlihat aneh dan lucu?”
Linghu Chong bangkit dan
mundur ke tepi jalan setelah menyembah kedua orang tua asuhnya itu beberapa
kali. Tampak mata Ning Zhongze basah dan merah. Wanita itu berkata, “Kabarnya
kau telah menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan. Untuk selanjutnya asalkan
kau tidak membuat masalah, aku kira masih banyak kesempatan bagimu untuk
membersihkan diri.”
Yue Buqun tertawa dingin,
“Dia? Tidak membuat masalah? Itu bisa terjadi kelak jika matahari terbit dari
barat. Pada hari dia dilantik menjadi Ketua Perguruan Henshan saja sudah
menerima ribuan orang dari golongan hitam, apa ini bukan masalah? Aku juga
mendengar dia membantu Ren Woxing membunuh Dongfang Bubai dan merebut kembali
kedudukan sebagai Ketua Sekte Iblis, apa itu bukan masalah? Seorang ketua
perguruan lurus bersih membantu urusan mahabesar dalam tubuh aliran sesat,
apakah ini bukan masalah namanya?”
“Benar, benar,” jawab Linghu
Chong. Ia tidak ingin berdebat dengan mantan gurunya itu sehingga memilih untuk
mengalihkan pembicaraan, “Dalam pertemuan di Gunung Songshan ini tampaknya
Paman Zuo bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi Perguruan Lima
Gunung. Entah bagaimana pendapat kedua Sesepuh terhadap urusan ini?”
“Pendapatmu sendiri
bagaimana?” Yue Buqun balas bertanya.
“Menurut murid .…”
Yue Buqun tersenyum menyela,
“Istilah ‘murid’ tidak perlu kau pakai lagi. Jika kau masih teringat saat-saat
dirimu berada di Gunung Huashan dulu, hendaknya kau … kau .…” Ucapan Yue Buqun
ini terdengar ramah namun sulit untuk dilanjutkan. Sepertinya ada suatu hal
yang ingin ia sampaikan kepada Linghu Chong.
Sejak diusir dari Perguruan
Huashan, belum pernah Linghu Chong menghadapi sikap ramah Yue Buqun seperti
ini. Seketika ia menjadi senang dan segera menjawab, “Ada perintah apa dari
kedua Sesepuh, murid … eh, saya pasti akan melaksanakannya.”
“Aku tidak punya perintah
apa-apa,” ujar Yue Buqun manggut-manggut. “Hanya saja kaum persilatan seperti
kita sangat mengutamakan budi dan kewajiban. Mengenai bagaimana kau dikeluarkan
dari Perguruan Huashan sesungguhnya bukan karena kami yang berhati kejam dan
tidak dapat memaafkan kesalahanmu, namun karena kau telah melanggar pantangan
besar dalam dunia persilatan. Meskipun sejak kecil kau berada dalam asuhan kami
sehingga hubungan kita seperti ayah dan anak, namun aku harus tetap bertindak
adil tanpa pilih kasih.”
Mendengar sampai di sini, air
mata Linghu Chong berlinang-linang. Dengan tersedu sedan ia berkata, “Budi baik
Guru dan Ibu Guru sukar saya balas meski badan ini hancur lebur sekalipun.”
Yue Buqun menepuk-nepuk bahu
Linghu Chong dengan perlahan, kemudian berkata, “Kita ini guru dan murid harus
beradu senjata saat di Biara Shaolin tempo hari. Sebenarnya beberapa jurus yang
kugunakan untuk melawanmu itu mengandung makna yang dalam dengan harapan agar
kau bisa mengubah pikiranmu dan kembali ke dalam Perguruan Huashan. Namun
sayangnya kau tidak sadar. Sungguh, kejadian itu membuat aku sangat bersedih.”
“Benar, saya pantas mati,”
jawab Linghu Chong dengan menundukkan kepala. “Perbuatanku di Biara Shaolin
tempo hari sungguh sukar dijelaskan. Saya seperti berada dalam pengaruh setan.
Saya ingin dapat kembali mengabdi di bawah pimpinan Guru. Sungguh, inilah
cita-cita saya selama hidup ini.”
Yue Buqun tersenyum menjawab,
“Aku khawatir kata-katamu ini hanya manis di bibir saja. Sekarang ini kau sudah
menjadi Ketua Perguruan Henshan, main perintah sana-sini dengan nyaman, mana
mau kembali menjadi muridku? Lagipula melihat ilmu silatmu saat ini, mana
pantas aku menjadi gurumu?” Usai berkata demikian ia melirik ke arah Ning
Zhongze, istrinya.
Dari nada ucapan Yue Buqun ini
terasa kalau ia tidak keberatan untuk menerima Linghu Chong kembali menjadi
murid Perguruan Huashan. Segera Linghu Chong berlutut dan berkata, “Guru, Ibu
Guru, murid telah banyak berbuat dosa. Untuk selanjutnya, murid berjanji akan
memperbaiki kesalahan-kesalahan dahulu dan patuh kepada ajaran Guru dan Ibu
Guru. Harapan murid hanyalah kesediaan Guru dan Ibu Guru untuk menaruh belas
kasihan dan menerima saya kembali.”
Pada saat itu terdengar suara
banyak orang sedang berdatangan. Para hadirin tampak mengiringi Mahabiksu
Fangzheng dan Pendeta Chongxu naik ke atas. Segera Yue Buqun berkata dengan
suara tertahan, “Lekas kau berdiri. Urusan ini bisa kita rundingkan nanti.”
Linghu Chong sangat senang. Ia
menghormat beberapa kali dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, barulah ia
berdiri.
Dengan perasaan pilu bercampur
senang, Ning Zhongze berkata, “Adik kecilmu dan Adik Lin-mu bulan yang lalu
telah … telah menikah.” Nada ucapannya terdengar khawatir kalau-kalau apa yang
ia katakan itu akan mengecewakan Linghu Chong. Masalahnya, ia menduga maksud
Linghu Chong ingin kembali ke Perguruan Huashan adalah demi Yue Lingshan.
Linghu Chong memang merasa
berduka saat mendengar hal itu, meski sebelumnya sudah mendengar dari cerita
Yilin. Perlahan ia melirik ke arah Yue Lingshan yang berdiri di belakang sang
ibu. Tampak adik seperguruannya itu telah berganti dandanan menjadi seorang
nyonya muda. Pakaiannya agak mewah, namun wajahnya masih sama seperti dulu.
Tidak ada tanda-tanda riang gembira sebagaimana layaknya seorang pengantin
baru. Ketika beradu pandang dengan Linghu Chong, mendadak wajah Yue Lingshan
berubah merah dan kemudian menunduk.
Seketika dada Linghu Chong
seperti dipukul dengan palu godam keras-keras, mata pun terasa
berkunang-kunang. Hampir-hampir ia tidak sanggup berdiri tegak. Sayup-sayup
telinganya mendengar seseorang menyapa, “Ketua Linghu, kau adalah tamu dari
jauh, tapi malah sudah datang lebih dulu. Biara Shaolin adalah tetangga dekat,
tapi si tua ini malah datang terlambat.”
Linghu Chong merasa bahunya
dipapah seseorang. Dengan cepat ia menenangkan diri dan memperhatikan siapa
yang mendekatinya itu. Ternyata orang itu adalah Mahabiksu Fangzheng yang
memandangnya sambil tersenyum simpul. Segera Linghu Chong menjawab, “O,
ternyata Mahabiksu Fangzheng. Terimalah hormat saya!”
“Ya, ya,” jawab Fangzheng.
“Sudahlah, kita tidak perlu
banyak adat lagi,” sahut Zuo Lengchan. “Kalau setiap orang saling memberi
hormat, sampai kapan ribuan orang yang hadir ini bisa tuntas semua? Silakan
para hadirin masuk ke dalam Pelataran Samadi dan duduk di sana.”
Para hadirin beramai-ramai
mengiakan dan kemudian masuk ke dalam ruang yang ditunjuk Zuo Lengchan.
Puncak tertinggi Gunung Songshan
dikenal dengan sebutan Puncak Eji. Di puncak itu dibangun sebuah kuil yang
disebut Pelataran Samadi, yang semula merupakan tempat ibadah Agama Buddha.
Akan tetapi, sejak beberapa ratus tahun terakhir kuil tersebut menjadi tempat
ibadah Agama Tao, kemudian akhirnya menjadi kediaman Ketua Perguruan Songshan.
Meskipun nama Zuo Lengchan mengandung unsur “chan”, namun ia bukan seorang
pengikut Agama Buddha. Ilmu silat Perguruan Songshan sendiri lebih dekat dengan
ajaran Agama Tao.
Para hadirin telah memasuki
Pelataran Samadi. Di dalamnya terdapat pekarangan yang penuh dengan pepohonan
cemara berusia tua, serta sebuah balai yang bercorak Buddha, meskipun di
dalamnya tidak terdapat patung Buddha sama sekali. Balai ini sangat luas, namun
masih belum bisa menandingi kemegahan Balai Kesatria Agung milik Biara Shaolin.
Tidak sampai seribu orang yang masuk ke dalam balai tersebut, keadaan sudah
penuh sesak dan tidak ada lagi tempat untuk berpijak. Sementara itu para
hadirin sisanya hanya bisa berdiri di pekarangan kuil saja.
Dengan suara lantang Zuo
Lengchan membuka pembicaraan, “Hari ini adalah hari berkumpulnya para anggota
Serikat Pedang Lima Gunung. Hari ini kami merasa mendapat kehormatan besar atas
kehadiran para kawan dari berbagai aliran persilatan yang ikut menyaksikan
peristiwa ini. Sungguh, ini di luar dugaan dan kami sama sekali kurang
persiapan. Maka, jika ada kekurangan dalam penyambutan dan pelayanan, harap
para hadirin sudi memaklumi dan memberi maaf.”
Seorang hadirin berteriak,
“Sudahlah, tidak perlu banyak adat! Yang jadi masalah saat ini adalah jumlah
hadirin terlalu banyak, sementara tempatnya terlalu sempit.”
Zuo Lengchan menjawab, “Jika
kita mendaki ke atas sekitar dua ratus langkah, di sana terdapat sebuah tempat
yang luas bernama Panggung Fengshan yang dulu biasa digunakan para kaisar untuk
memuja langit dan bumi. Tempat itu cukup luas untuk menampung kita semua. Namun
sayangnya, kita ini hanyalah rakyat jelata. Kalau kita berunding di sana dan
sampai terdengar oleh kaum terpelajar yang berwawasan luas, tentu mereka akan
mengolok-olok kita sebagai orang-orang tak tahu diri.”
Pada zaman dahulu para kaisar
sering melakukan puji syukur atas keberhasilan pemerintahannya dengan memuja
langit dan bumi di puncak Gunung Taishan, yang kemudian dipindahkan ke Gunung
Songshan. Upacara tersebut juga bertujuan untuk memohon ketentraman negeri.
Namun, saat ini yang ada di Puncak Songshan adalah kaum persilatan yang tidak
tahu menahu soal pemujaan langit dan bumi. Mereka hanya merasa sesak berada di
Pelataran Samadi dan meminta dibawa ke tempat lain yang lebih luas. Jangankan
untuk berbicara, untuk bernapas saja rasanya sudah sangat sulit.
Maka dapat ditebak, para
hadirin pun tidak peduli dengan nilai keramat yang diceritakan Zuo Lengchan
tadi. Beberapa di antara mereka berteriak, “Kita ini tidak sedang merencanakan
pemberontakan terhadap Kaisar. Apa peduli kita dengan tempat keramat atau
tidak? Kalau ada tempat yang luas dan bagus seperti itu tidak digunakan
sekarang lantas mau tunggu sampai kapan? Kalau ada yang mengolok-olok, persetan
dengan mereka!” Bersama itu sebagian dari mereka sudah bergegas mendahului
berlari ke arah yang ditunjuk sang tuan rumah.
Zuo Lengchan pun berkata,
“Baiklah, jika demikian mari kita menuju ke sana!”
Dalam hati Linghu Chong merenung,
“Zuo Lengchan sungguh cermat dalam menjalankan siasatnya. Ia sengaja membuat
para hadirin merasa sesak berada di tempat ini dan memamerkan sebuah tempat
keramat yang lebih luas. Namun, ia sendiri berlagak malu untuk mengajak mereka
ke sana dan membiarkan para hadirin itu saling mendesak sendiri untuk berangkat
ke sana.” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Entah tempat macam apa yang
dipamerkan Zuo Lengchan itu? Dia menyatakan tempat itu biasanya digunakan oleh
para kaisar, dan sekarang dia mengundang para hadirin untuk pergi ke sana.
Jangan-jangan Zuo Lengchan berniat ingin menjadi kaisar pula? Mahabiksu
Fangzheng dan Pendeta Chongxu mengatakan bahwa orang ini memiliki ambisi yang
sangat besar. Setelah melebur Serikat Pedang Lima Gunung, langkah selanjutnya
adalah berusaha mencaplok Sekte Matahari dan Bulan, kemudian menghabiskan pula
Perguruan Shaolin dan Wudang. Hm, dia dan Dongfang Bubai sepertinya memiliki
cita-cita yang sama, panjang umur dan merajai dunia persilatan.”
Tanpa banyak bicara Linghu
Chong lantas mengikuti para hadirin lainnya dan akhirnya sampai di tempat
pemujaan bernama Panggung Fengshan itu. Kembali ia berpikir, “Mendengar ucapan
Guru tadi, sepertinya Beliau memaafkan semua kesalahanku dan mengizinkan aku
kembali ke Huashan. Mengapa Guru tiba-tiba berubah menjadi ramah kepadaku?
Mungkin Beliau telah mendengar kalau tingkah laku dan perbuatanku di Henshan
tetap sopan dan sama sekali tidak menodai nama baik Perguruan meskipun semua
anggotanya kaum perempuan. Adik Kecil dan Adik Lin juga baru saja menikah,
pasti Guru dan Ibu Guru merasa bersalah kepadaku. Mungkin saja Ibu Guru telah
banyak membujuk Guru sehingga Guru akhirnya mengubah sikapnya kepadaku. Hari
ini Zuo Lengchan berniat menjalankan rencananya untuk melebur kelima perguruan
menjadi satu. Selama Guru masih menjadi Ketua Perguruan Huashan, pasti Beliau
akan berusaha sekuat tenaga untuk menentang rencana ini. Beliau bersikap ramah
kepadaku tentu mengharapkan dukunganku demi mempertahankan Perguruan Huashan.
Baiklah, aku akan mengerahkan yang terbaik demi memenuhi harapan Guru,
sekaligus demi menjaga keselamatan Perguruan Henshan.”
Panggung Fengshan terbuat dari
batu kasar dan besar, yang dipahat dan ditata sedemikian rupa sehingga menjadi
rata. Linghu Chong membayangkan saat Sang Kaisar memerintahkan pembangunan
panggung raksasa tersebut, entah berapa banyak tukang batu di zaman dulu yang
dikerahkan. Namun jika diamati dengan seksama, ternyata ada beberapa bagian
yang nampak baru saja dipahat. Meskipun lumut sudah tumbuh di sana, namun
Linghu Chong yakin bahwa panggung batu awalnya dalam keadaan rusak, kemudian
Zuo Lengchan memerintahkan para anak buahnya untuk memperbaiki. Hanya saja, Zuo
Lengchan berusaha menutupinya, dan semakin ditutup-tutupi justru semakin jelas
terlihat.
Di sekitar panggung batu itu
terdapat sebuah lapangan yang sangat luas. Di tempat itu semua orang merasa
nyaman dan segar melihat puncak-puncak gunung yang tak terhitung banyaknya di
bawah Puncak Songshan tersebut. Ditambah lagi hari itu cuaca sedang terang
benderang, tanpa segumpal awan sedikit pun yang melayang di angkasa, sehingga
pemandangan pun tampak semakin jelas. Linghu Chong memandang jauh ke arah utara
dan dapat melihat jalur Sungai Yumen dan Sungai Kuning seperti untaian benang.
Di sebelah barat samar-samar ia dapat melihat kota bersejarah Luoyang,
sedangkan di tenggara ia bisa melihat lapisan-lapisan pegunungan.
Ia kemudian mendengar tiga
orang tua di depannya sedang menunjuk-nunjuk ke arah selatan. Salah seorang
berkata, “Yang itu adalah Puncak Beruang Besar, dan yang di sana adalah Puncak
Beruang Kecil. Dua puncak yang berdekatan itu adalah Puncak Kumala Kembar. Dan
tiga puncak yang berdekatan itu adalah Puncak Tonjolan Tiga.”
Orang tua lainnya berkata,
“Gunung di seberang sana itu adalah Gunung Shaoshi, tempat Biara Shaolin yang
termasyhur itu berada. Tempo hari aku pernah mengunjungi Biara Shaolin dan
merasakan Gunung Shaoshi luar biasa tingginya. Namun jika dipandang dari sini,
ternyata masih jauh di bawah Gunung Songshan.” Ketiga orang tua itu lantas
tertawa bersama.
Melihat penampilan ketiga
orang tua itu, Linghu Chong yakin mereka bukan orang Perguruan Songshan. Namun
ucapan mereka itu jelas mengolok-olok Perguruan Shaolin dan meninggikan derajat
Perguruan Songshan. Linghu Chong juga dapat merasakan ketiga orang tua itu
memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Ia menduga ketiganya adalah undangan
Zuo Lengchan yang sengaja didatangkan untuk membantu bila terjadi sesuatu di
luar rencananya. Sepertinya Zuo Lengchan memang mempersiapkan segalanya dengan
sangat cermat.
Zuo Lengchan sendiri tampak
sedang meminta Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu untuk naik ke atas
panggung batu. Namun dengan tertawa Fangzheng menolak, “Kami berdua orang tua
yang sudah lapuk ini hanya datang sebagai penonton saja. Untuk apa kami harus
naik panggung dan mempermalukan diri sendiri? Nanti malah ditertawakan banyak
orang.”
“Kenapa Mahabiksu berkata
demikian, seperti baru kenal saja?” ujar Zuo Lengchan dengan tertawa pula.
“Para tamu sudah hadir semua,
silakan Ketua Zuo melaksanakan acara utama dan tidak perlu melayani kami berdua
tua bangka,” kata Pendeta Chongxu.
“Baiklah jika demikian,” jawab
Zuo Lengchan. Ia kemudian naik ke atas panggung batu tersebut. Setelah naik
beberapa puluh undak-undakan, kira-kira masih dua-tiga meter di bawah panggung,
ia berhenti kemudian berseru lantang, “Para hadirin yang terhormat!”
Meski lapangan di puncak
gunung itu sangat luas dan para tamu juga tersebar di mana-mana sambil
menikmati pemandangan, namun ucapan Zuo Lengchan itu dapat didengar oleh setiap
orang. Jelas ia berseru sambil mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Maka,
orang-orang pun serentak berbondong-bondong mendekati panggung dan
memperhatikan ucapan sang tuan rumah selanjutnya.
Zuo Lengchan lantas melanjutkan
sambil memberi hormat, “Atas kunjungan kawan-kawan sekalian, sungguh aku sangat
berterima kasih. Sebelum tiba di sini tentunya kawan-kawan sudah mendengar
bahwa hari ini adalah hari bahagia Serikat Pedang Lima Gunung yang akan melebur
menjadi satu.”
Ratusan orang yang berkeliling
di bawah panggung berteriak ramai, “Benar, benar! Selamat! Selamat!”
“Terima kasih!” kata Zuo
Lengchan. “Semuanya, silakan duduk!”
Para hadirin pun serentak
duduk di atas tanah. Para murid tampak duduk di dekat ketua perguruan
masing-masing.
Zuo Lengchan melanjutkan,
“Bahwasanya Serikat Pedang Lima Gunung kami sudah ratusan tahun lamanya
berserikat, selamanya satu napas dan satu haluan laksana satu keluarga. Sudah
sekian tahun pula aku menjabat sebagai ketua perserikatan ini. Sayangnya,
akhir-akhir ini di dunia persilatan telah terjadi banyak peristiwa penting. Aku
dan saudara-saudara tertua dari Serikat Pedang Lima Gunung telah berunding.
Kami akhirnya sepakat, jika Serikat Pedang Lima Gunung tidak dilebur menjadi
satu, maka kelak tentu sangat berat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang
bakal menimpa.”
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang menyahut dengan nada dingin, “Entah Ketua Zuo pernah berunding dengan
saudara tertua dari perguruan mana? Mengapa aku si marga Mo tidak pernah
mengetahuinya?” Orang yang berbicara ini tidak lain adalah Tuan Besar Mo, Ketua
Perguruan Hengshan. Dari nada bicaranya menunjukkan kalau Perguruan Hengshan
tidak sepakat dengan rencana peleburan ini.
Zuo Lengchan menjawab, “Aku
telah mengatakan di dunia persilatan telah terjadi banyak peristiwa penting
sehingga terpaksa Serikat Pedang Lima Gunung harus dilebur menjadi satu. Salah
satu peristiwa penting di antaranya adalah terjadinya saling bunuh dan saling
mencelakai di antara saudara-saudara sesama Serikat Pedang Lima Gunung kita.
Sepertinya banyak yang sudah lupa tentang semangat kesetiakawanan di antara
sesama saudara. Tuan Besar Mo, murid Perguruan Songshan kami, yaitu Adik Fei si
Tapak Songyang Besar telah tewas di luar Kota Hengshan. Ada orang yang
menyaksikan bahwa pelaku pembunuhan itu adalah kau sendiri, benar tidak?”
Tuan Besar Mo terkesiap
mendengarnya. Ia pun berpikir, “Waktu aku membunuh orang bernama Fei Bin itu,
yang ada di sana hanya Adik Liu, Qu Yang, Linghu Chong serta seorang biksuni
cilik dari Perguruan Henshan. Adik Liu dan Qu Yang beserta cucu perempuannya
telah meninggal. Apakah mungkin Linghu Chong yang membocorkan rahasia ini
ketika sedang mabuk-mabukan dan kelepasan bicara? Ataukah biksuni cilik yang
masih hijau itu yang membocorkan rahasia?”
Sementara itu beribu-ribu
pasang mata serentak memperhatikan raut muka Tuan Besar Mo. Namun Ketua
Perguruan Hengshan itu ternyata tenang-tenang saja seperti tidak pernah terjadi
apa-apa. Ia menggeleng dan menjawab, “Tidak mungkin, tidak mungkin. Aku yang
punya kepandaian rendah ini mana bisa membunuh Si Tapak Songyang Besar?”
Zuo Lengchan menjawab dengan
tertawa dingin, “Kalau pertarungan satu lawan satu secara terang-terangan,
tidak mungkin Tuan Besar Mo mampu membunuh Adik Fei. Namun saat itu kau
menyerangnya secara tiba-tiba menggunakan Jurus Pedang Hantu milik perguruanmu
sehingga Adik Fei pun mati tanpa sempat melawan. Kami menemukan mayat Adik Fei
sudah dirusak oleh seseorang untuk mengaburkan bukti. Akan tetapi, bekas tusukan
pedang tipismu tidak bisa begitu saja ditutup-tutupi. Bukankah kebenaran jika
ditutup-tutupi justru akan terlihat semakin nyata?”
Dalam hati Tuan Besar Mo
merasa lega. Ternyata tidak ada yang membocorkan peristiwa itu, sedangkan Zuo
Lengchan melemparkan tuduhan kepadanya juga berdasarkan hasil pemeriksaan mayat
saja. Maka, ia pun memutuskan untuk tidak akan pernah mengakui perbuatan
tersebut.
Maka, sambil menggeleng-geleng
Tuan Besar Mo berkata, “Huh, kau hanya menduga-duga, sama sekali tidak bisa
membuktikannya.” Namun demikian, sejak saat ini permusuhan antara Perguruan
Songshan dan Hengshan tidak bisa dihindari lagi. Bahkan, untuk lolos dari
Gunung Songshan saja tentu akan sulit luar biasa.
Linghu Chong juga terperanjat
mendengar Zuo Lengchan mengorek peristiwa yang terjadi lebih dari setahun yang
lalu itu. Saat itu adalah masa di mana ia dan Yilin bertemu Qu Yang dan Liu
Zhengfeng di tengah hutan dan mendapatkan warisan kitab musik dari mereka
berjudul Menertawakan Dunia Persilatan.
Zuo Lengchan melanjutkan,
“Urusan yang paling penting saat ini adalah peleburan Serikat Pedang Lima
Gunung menjadi satu. Tuan Besar Mo, kita ini sama-sama ketua perguruan,
tentunya harus lebih mengutamakan urusan bersama dan mengesampingkan masalah
pribadi. Apa pun itu asalkan menguntungkan perguruan, sudah sepantasnya harus
didahulukan, sedangkan masalah budi dan dendam harus dihindari. Maka dari itu,
Saudara Mo, urusan yang sudah-sudah tidak perlu kau pikirkan lagi. Adik Fei
memang saudara seperguruanku. Tapi kalau nanti Serikat Pedang Lima Gunung sudah
dilebur, dengan sendirinya Saudara Mo menjadi saudara seperguruanku pula. Yang
sudah meninggal biarlah meninggal, yang masih hidup untuk apa harus saling
bunuh?”
Kata-kata Zuo Lengchan ini
terdengar lembut, namun sebenarnya bernada mengancam. Maksudnya ialah, kalau
Tuan Besar Mo setuju dengan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, maka masalah
terbunuhnya Fei Bin tidak akan pernah diusut lagi dan tidak akan dilakukan
perhitungan pula.
Dengan mata melotot Zuo
Lengchan menatap Tuan Besar Mo dan bertanya, “Bagaimana, Saudara Mo setuju atau
tidak?”
Tuan Besar Mo hanya mendengus
tanpa menjawab.
Dengan senyum yang
dibuat-buat, Zuo Lengchan berkata, “Mengenai masalah peleburan Serikat Pedang
Lima Gunung kita agaknya Perguruan Hengshan sudah setuju. Lalu bagaimana dengan
Perguruan Taishan? Pendeta Tianmen, bagaimana pendapatmu?”
Pendeta Tianmen lantas
berdiri. Dengan suara keras ia berkata, “Sekitar tiga ratus tahun yang lalu
Perguruan Taishan didirikan oleh leluhur kami, Pendeta Dongling. Sungguh
menyesal, aku terlalu bodoh dan kurang bijaksana sehingga tidak mampu
mengembangkan Perguruan Taishan menjadi lebih gemilang. Namun begitu, Perguruan
Taishan yang sudah bersejarah tiga ratus tahunan ini bagaimanapun juga tidak boleh
putus di tanganku. Soal melebur Taishan dengan perguruan-perguruan lain sama
sekali kami tidak dapat menerimanya.”
Tiba-tiba di tengah-tengah
rombongan Taishan berdiri seorang pendeta berjenggot putih yang kemudian
berseru, “Ucapan Keponakan Tianmen ini kurang tepat. Perguruan Taishan kita
memiliki lebih dari empat ratus anggota. Janganlah karena memikirkan
kepentingan dirimu sendiri lantas mengorbankan kepentingan banyak orang.”
Wajah pendeta berjenggot itu
tampak kurus kering dan keriput, tapi suaranya ternyata keras dan kuat,
pertanda ia memiliki tenaga dalam yang melimpah. Di antara para hadirin ada
yang mengenalinya dan lantas berbisik-bisik pada teman di dekatnya, “Dia
bernama Pendeta Yujizi, masih terhitung paman perguruan Pendeta Tianmen.”
Pendeta Tianmen yang berwajah
merah bercahaya begitu mendengar kata-kata Yujizi itu, seketika mukanya
bertambah merah. Segera ia pun berseru, “Paman Guru, apa artinya ucapanmu ini?
Sejak aku menjabat sebagai Ketua Perguruan Taishan, dalam hal apa aku pernah mengabaikan
kepentingan golongan kita? Aku menolak peleburan Serikat Pedang Lima Gunung
justru demi mempertahankan Perguruan Taishan kita. Bagaimana aku bisa disebut
lebih suka mementingkan urusan pribadi?”
Yujizi terkekeh-kekeh dan
berkata, “Peleburan kelima perguruan menjadi satu, akan membuat Perguruan Lima
Gunung kita menjadi semakin berwibawa. Itu berarti setiap murid Perguruan Lima
Gunung juga akan ikut merasakan manfaatnya. Namun sebaliknya, jabatanmu sebagai
Ketua Perguruan Taishan mau tidak mau menjadi lenyap, bukan?”
Pendeta Tianmen semakin gusar.
Ia pun berteriak murka, “Jadi kau menuduh aku hanya memikirkan kepentingan
pribadi saja, begitu?” Sekejap kemudian ia mengeluarkan sebilah pedang pendek
berwarna hitam legam dari balik bajunya dan berseru, “Ini, mulai saat ini aku
tidak sudi menjadi ketua lagi! Kalau kau menginginkannya, kau boleh
mengambilnya!”
Meskipun pedang pendek itu
tidak menarik sedikit pun, namun benda ini merupakan pusaka yang diwariskan
turun-temurun oleh Pendeta Dongling, pendiri Perguruan Taishan. Selama tiga
ratus tahun benda ini selalu menjadi tanda pengenal ketua.
Tampak Yujizi maju selangkah
dan mencibir, “Hm, apa kau benar-benar rela meninggalkan kedudukanmu?”
“Kenapa tidak?” jawab Tianmen
gusar.
“Baik, kau bisa serahkan itu
padaku!” kata Yujizi. Mendadak sebelah tangannya menjulur ke depan, tahu-tahu
pedang pendek di tangan Tianmen itu telah dirampas olehnya.
Tianmen sama sekali tidak
mengira kalau Yujizi benar-benar akan merampas pedang pusakanya. Ia tertegun
oleh perbuatan sang paman guru. Tanpa berpikir lagi tangannya lantas melolos
pedang panjang yang tergantung di pinggang.
Namun dengan cepat Yujizi
sudah melompat mundur, dan pada saat itu dua sosok bayangan lantas berkelebat
pula. Rupanya dua pendeta tua lainnya telah berdiri menghadang di depan Tianmen
dengan pedang terhunus. Secara bersamaan mereka membentak, “Tianmen, kau berani
melawan angkatan yang lebih tua? Apakah kau sudah lupa pada tata tertib
perguruan kita?”
Kedua pendeta tua itu adalah
dua orang paman guru Tianmen lainnya yang seangkatan dengan Yujizi. Mereka
bernama Yuqingzi dan Yuyinzi.
Pendeta Tianmen gemetar
menahan marah. “Paman Guru berdua tentu menyaksikan sendiri, apa … apa yang
telah diperbuat oleh Paman … Paman Guru Yuji tadi?” teriaknya.
Yuyinzi menjawab, “Kami memang
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa kau telah menyerahkan jabatan
Ketua Perguruan Taishan kepada Kakak Yuji. Kau sendiri rela mengundurkan diri
dan memberikan tempatmu kepada orang yang lebih bijaksana. Sungguh tindakanmu
ini patut dipuji.”
Yuqingzi ikut bicara, “Kakak
Yuji adalah paman perguruanmu. Sekarang dia telah menjabat sebagai ketua pula.
Tapi kau berani menggunakan senjata dan bersikap kasar kepadanya. Ini namanya
perbuatan durhaka kepada orang tua.”
Tianmen sadar kedua paman
perguruannya itu sudah sepaham dengan Yujizi dan berusaha memojokkannya. Dengan
perasaan semakin gusar ia berteriak, “Aku tadi bicara dalam keadaan marah.
Pikiranku sedang kacau. Padahal kedudukan Ketua Perguruan Taishan kita mana
boleh diserahkan begitu saja kepada setiap orang? Seandainya akan kuberikan
pada orang lain juga sama sekali tidak … huh, keparat! Sama sekali tidak akan
kuberikan kepada Paman Yuji.” Karena tidak kuasa menahan marah, dari mulutnya
pun keluar kata-kata kasar.
“Lihat, perkataan seperti itu
apa pantas diucapkan seorang ketua?” sahut Yuyinzi.
Tiba-tiba seorang pendeta
setengah umur di tengah rombongan Taishan berteriak, “Ketua perguruan kita
selama ini adalah guruku. Kalian ini sebenarnya hendak main gila atau apa?”
Pendeta yang baru saja bicara ini bernama Jianchu, murid Tianmen nomor dua.
Menyusul seorang pendeta
lainnya juga berdiri dan berseru, “Kakak Tianmen telah menyerahkan jabatannya
kepada guruku. Peristiwa ini telah disaksikan beribu-ribu pasang mata dan
telinga yang hadir di Gunung Songshan ini. Mana mungkin persoalan ini bisa
dipalsukan? Dengan jelas Kakak Tianmen tadi menyatakan, ‘mulai saat ini aku
tidak sudi menjadi ketua lagi. Kalau kau menginginkannya, kau boleh
mengambilnya.’ Coba katakan, betul tidak?” Pendeta yang satu ini jelas murid
dari Yujizi.
Seketika itu orang-orang
Taishan menjadi ribut sendiri. Mereka terpecah menjadi dua bagian. Bagian yang
lebih sedikit mendukung Tianmen, sementara yang lebih banyak berteriak-teriak,
“Ketua lama mengundurkan diri, ketua baru pegang pimpinan! Ketua lama lekas
mundur, biar ketua baru menggantikannya!”
Tianmen memang murid tertua
dalam angkatannya dan juga memiliki pengaruh besar dalam Perguruan Taishan.
Akan tetapi, sekitar enam atau tujuh orang pamannya diam-diam bersekongkol
untuk menyingkirkan dirinya. Dari kedua ratus orang Taisahan yang datang ke
Gunung Songshan itu, sebanyak lebih dari seratus enam puluh orang mendukung
pihak Yujizi.
Yujizi sendiri lantas
mengangkat tinggi-tinggi pedang pendek yang dirampasnya dari Tianmen tadi
sambil berteriak, “Ini adalah pusaka Leluhur Dongling. Wasiat guru besar kita
berbunyi: ‘melihat pedang ini sama dengan melihat Dongling’. Menurut kalian
pantas atau tidak kalau kita taat kepada wasiat leluhur kita?”
“Benar, tepat sekali ucapan
Ketua!” serentak ratusan anak buahnya berteriak.
Ada juga yang berteriak,
“Murid murtad Tianmen berani melawan pimpinan dan tidak tunduk kepada
peraturan. Dia harus ditangkap dan dihukum!”
Melihat suasana seperti itu,
Linghu Chong menduga ini semua tentu sudah diatur sedemikian rupa oleh Zuo
Lengchan. Watak Pendeta Tianmen terkenal berangasan. Jika sedang marah ia suka
mengeluarkan kata-kata yang tidak disadarinya sehingga justru membuatnya masuk
perangkap lawan. Kini pihak lawan sedang di atas angin. Tianmen sendiri bukan
seorang yang pintar menghadapi kejadian-kejadian luar biasa seperti itu,
sehingga dirinya hanya bisa marah-marah, namun tidak tahu harus berbuat apa.
Ketika Linghu Chong memandang
ke kalangan orang-orang Perguruan Huashan, dilihatnya sang guru berdiri
berpeluk tangan. Raut muka Yue Buqun pun terlihat datar. Linghu Chong lantas
berpikir, “Tentu Guru tidak dapat menyetujui tindakan Yujizi dan kawan-kawannya
itu. Namun Beliau tampaknya tidak ingin ikut campur persoalan orang lain, dan
memilih menunggu untuk melihat gelagat selanjutnya. Biarlah aku menunggu pula
dan mengikuti perintah Guru.”
Sementara itu Yujizi telah
memberi isyarat. Serentak sekitar seratus enam puluh orang murid Perguruan
Taishan yang menjadi begundalnya berpencar dengan pedang terhunus. Seketika
yang masih tersisa, yang jumlahnya tidak lebih dari lima puluh orang pun
terkepung di tengah-tengah. Yang terkepung ini tentu saja murid-murid Pendeta
Tianmen.
Dengan perasaan murka Tianmen
membentak, “Apakah kalian benar-benar ingin berkelahi? Baiklah, silakan maju!”
Dengan suara lantang Yujizi
berteriak, “Dengarkan, Tianmen! Selaku Ketua Perguruan Taishan, kuperintahkan
dirimu untuk membuang senjata dan menyerahkan diri! Apakah kau berani
membangkang di depan pedang pusaka peninggalan Guru Besar kita ini?”
“Huh, siapa yang mengakuimu
sebagai Ketua Perguruan Taishan?” jawab Tianmen gusar.
Yujizi kembali berseru,
“Dengarkan, murid-murid Tianmen! Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan
kalian. Asalkan kalian meletakkan senjata dan menggabungkan diri, maka
kesalahan kalian tidak akan diusut. Jika tidak, tentu kalian pasti akan
menerima ganjaran setimpal.”
Dengan suara keras Pendeta
Jianchu menyahut, “Asalkan kau mau bersumpah di bawah pedang pusaka Guru Besar
bahwa kau tidak akan menghancurkan Perguruan Taishan yang dibangun dengan susah
payah, maka tidak menjadi soal bila kau menjabat sebagai ketua kita. Namun,
baru sekejap saja kau mengaku sebagai ketua, serentak kau hendak menjual
Perguruan Taishan kita kepada Perguruan Songshan. Kau sungguh sangat berdosa
terhadap Guru Besar di alam baka. Kau pasti akan dikutuk oleh setiap orang yang
mengaku dirinya sebagai anggota Perguruan Taishan.”
Yuyinzi memaki, “Bocah kurang
ajar! Kau pikir dirimu siapa berani mengoceh di hadapan orang tua angkatan
‘Yu’? Apa jeleknya jika Serikat Pedang Lima Gunung dilebur menjadi satu?
Bukankah Perguruan Songshan sendiri nanti juga ikut hilang terlebur di
dalamnya? Perguruan Lima Gunung itu sudah menunjukkan kalau Taishan ada di
dalamnya. Lantas, apa jeleknya peleburan ini?”
Tianmen menjawab kasar, “Hm,
diam-diam kalian telah main gila dan menjual diri kepada Zuo Lengchan. Huh,
pendek kata, bila perlu kalian bisa membunuhku, tapi aku tidak akan tunduk
kepada Perguruan Songshan. Jangan harap!”
Yujizi berteriak, “Kalian
tidak mau tunduk kepada perintah pedang pusaka Guru Besar, jangan menyesal bila
sebentar nanti kalian semua akan mampus tak terkubur!”
Tianmen berseru pula, “Setiap
murid Taishan yang setia, hari ini biarlah kita bertempur mati-matian sampai
titik darah penghabisan di Puncak Songshan ini!”
“Benar, bertempur sampai titik
darah penghabisan!” teriak murid-murid Tianmen yang berdiri di sekitarnya.
Meski jumlah mereka jauh lebih sedikit, namun tekad mereka bulat, sedikit pun
tidak gentar.
Apabila Yujizi memberi komando
agar anak buahnya menyerang, rasanya sukar juga membunuh habis anak buah
Tianmen ini. Selain itu, beribu-ribu kesatria yang hadir, terutama tokoh-tokoh
seperti Mahabiksu Fangzheng atau Pendeta Chongxu tentu tidak akan tinggal diam
menyaksikan pembunuhan besar-besaran di antara sesama golongan tersebut.
Maka Yujizi, Yuyinzi, dan
Yuqingzi serta para pendukung mereka hanya bisa saling pandang saja dengan
perasaan ragu-ragu. Dalam hati mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak.
Tiba-tiba jauh di sebelah kiri
sana terdengar suara seseorang berseru dengan nada bermalas-malasan, “Seumur
hidup aku yang tua ini sudah banyak menjelajahi dunia. Jumlah kesatria dan
pahlawan yang pernah kutemui juga tak terhitung banyaknya. Namun, babi yang
suka menjilat kembali ludah sendiri dalam waktu singkat baru kali ini kulihat.”
Pandangan semua orang beralih
ke arah datangnya suara itu. Terlihat di sana seorang laki-laki berbaju kain
kasar berdiri bersandar pada sebongkah batu cadas. Tangan kirinya memegang dan
mengibas-kibaskan sebuah caping. Sepasang matanya kecil, tubuhnya jangkung,
sikapnya pun acuh tak acuh.
Para hadirin tidak kenal
asal-usul orang bertubuh jangkung itu, juga tidak paham ucapannya tersebut
ditujukan kepada siapa. Terdengar si jangkung kembali berkata, “Huh, sudah
jelas kau telah menyerahkan jabatan ketua kepada orang lain, memangnya apa yang
sudah kau katakan tadi hanya kentut belaka? Kalau begitu, sebaiknya kau jangan
memakai nama ‘tian’, tetapi diganti menjadi ‘kentut’ saja.”
Mendengar orang itu mendukung
pihaknya, Yujizi dan yang lain segera bergelak tawa terbahak-bahak.
Semakin gusar Tianmen
menjawab, “Ini urusan Perguruan Taishan kami, tidak perlu orang luar ikut
campur!”
Namun si jangkung masih
berbicara dengan sikap malas, “Setiap urusan yang kuanggap tidak adil pasti aku
akan ikut campur. Hari ini adalah hari bahagia peleburan Serikat Pedang Lima
Gunung, tapi kau sengaja membuat masalah di sini dan mengacaukan suasana baik
ini. Sungguh keterlaluan!”
Tiba-tiba pandangan semua
orang terasa kabur. Ternyata si jangkung melompat maju dengan kecepatan yang
sukar dilukiskan ke tengah kalangan orang-orang Taishan itu. Capingnya
terangkat dan serentak ia menghantam ke atas kepala Tianmen.
Tianmen tidak menangkis
serangan si jangkung, namun pedangnya lantas menusuk ke dada orang itu. Di luar
dugaan si jangkung menjatuhkan diri ke bawah, menerobos dengan sangat cepat
melalui selangkangan Tianmen. Ketika ia berbalik, sebelah kakinya pun mendepak,
dan dengan tepat titik nadi di punggung Tianmen tertendang olehnya.
Beberapa gerakan itu sungguh
teramat cepat dan caranya juga lain daripada yang lain. Kontan semua orang
terperangah. Dalam keadaan yang tidak terduga-duga Pendeta Tianmen telah
dibekuk olehnya.
Melihat sang guru mengalami
kekalahan, serentak beberapa murid mengangkat pedang dan menusuk si jangkung.
Tapi orang bertubuh jangkung itu bergelak tawa dan kemudian menyodorkan
punggung Tianmen ke depan sebagai perisai. Tentu saja murid-murid Tianmen
kelabakan dan lekas-lekas menarik kembali pedang masing-masing.
“Lekas buang senjata kalian,
atau kupenggal putus kepala guru kalian ini!” bentak si jangkung sambil
menjambak rambut Tianmen dan mengancam hendak memuntir kepala pendeta itu.
Dalam keadaan seperti itu,
percuma saja Tianmen memiliki kepandaian tinggi, namun sama sekali tidak bisa
berkutik di tangan musuh. Wajahnya yang merah kini berubah pucat pasi.
“Caramu menyerang secara licik
itu bukanlah perbuatan seorang kesatria sejati. Siapakah namamu, wahai Tuan
yang terhormat?” ujar Pendeta Jianchu.
“Plak”, tiba-tiba si jangkung
menampar muka Tianmen satu kali. Masih dengan sikap bermalas-malasan ia
menjawab, “Siapa berani kurang ajar padaku, segera kuhajar gurunya!”
Melihat sang guru dianiaya, murid-murid
Tianmen saling merasa khawatir sekaligus murka. Kalau serentak mereka menusuk
dengan pedang masing-masing, bukan mustahil si jangkung seketika akan penuh
tertancap pedang bagaikan seekor landak. Namun mereka tidak berani sembarangan
bertindak mengingat keselamatan sang guru berada di tangan musuh. Karena gusar
seorang pendeta muda pun berteriak, “Kau binatang ….”
“Plak”, kembali Tianmen
ditampar oleh si jangkung. “Itu untuk muridmu yang pintar mengucapkan kata-kata
kotor!” ujarnya.
Pada saat itulah tiba-tiba
Tianmen berteriak satu kali. Si jangkung terkejut dan bermaksud melepaskan
cengkeramannya, tapi sudah terlambat. Tianmen telah memutar kepalanya sehingga
kini ia berhadapan muka dengan si jangkung. Darah menyembur keluar dari mulut
Tianmen dan langsung membasahi wajah si jangkung pula. Pada saat yang sama
Tianmen secepat kilat mencekik leher orang itu dengan kedua tangan sekuat
tenaga. Terdengar suara “krak” satu kali, yaitu bunyi tulang leher si jangkung
telah dipatahkan mentah-mentah olehnya.
Ketika Tianmen mengayunkan
tangannya, orang itu terlempar ke belakang dan jatuh menggelepar. Setelah
berkelojotan beberapa kali, ia kemudian tak bergerak lagi. Semua orang ngeri
melihatnya. Tubuh Tianmen yang tinggi besar, kini tampak bertambah gagah, dengan
wajah berlumuran darah menyeramkan.
Sejenak kemudian, tiba-tiba
Tianmen membentak keras. Tubuhnya sempoyongan kemudian roboh di tanah tak
bergerak lagi.
Rupanya ketika tadi ia
tertangkap dan tertotok oleh si jangkung, kemudian jatuh ke dalam cengkeraman
orang itu, seketika hatinya merasa sangat malu bercampur murka. Ditambah lagi
dengan tamparan dua kali membuatnya merasa terhina di hadapan banyak orang.
Karena rasa gusar sudah memenuhi dada, ia pun rela mengorbankan nyawa sendiri.
Ia kemudian mengerahkan segenap tenaga dalam untuk menjebol saluran darah yang
tersumbat sehingga dapat bergerak bebas. Kemudian dengan sisa-sisa tenaga ia
pun membinasakan si jangkung, dan akhirnya nyawa sendiri ikut melayang karena
urat nadinya telah terputus akibat pengerahan tenaga dalam yang dipaksakan
tadi.
“Guru!” serentak murid-murid
Tianmen berteriak memanggil dan memburu maju. Namun Tianmen sudah tidak
bernapas lagi, jantung pun sudah berhenti. Serentak murid-muridnya hanya dapat
menangis sedih di sekeliling jasad pendeta itu.
Di tengah keributan itu,
tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru, “Ketua Zuo, kau sengaja mengundang
orang macam Burung Hantu Laut Timur untuk menangani Pendeta Tianmen. Caramu ini
apa tidak keterlaluan?”
Semua orang berpaling dan melihat
yang berbicara itu ternyata seorang kakek buruk rupa yang dikenal bernama He
Sanqi. Ia seorang pendekar tua yang sehari-hari berjualan bakmi pangsit di
berbagai kota besar, antara lain pernah muncul Kota Hengshan saat Upacara Cuci
Tangan Liu Zhengfeng dulu.
Tentang asal usul si jangkung
yang dibinasakan Pendeta Tianmen itu tak ada seorang pun yang tahu. Hanya He
Sanqi seorang yang mengenalnya sebagai Burung Hantu Laut Timur. Sementara itu
para hadirin lainnya tidak ada yang tahu siapa itu Burung Hantu Laut Timur.
Menanggapi tuduhan itu Zuo
Lengchan menjawab, “Kata-katamu sungguh aneh dan lucu. Baru hari ini aku
bertemu dengan Saudara Ji yang gugur itu, namun mengapa kau mengatakan aku
sengaja mengundang dia untuk menghadapi Pendeta Tianmen?”
He Sanqi berkata, “Ketua Zuo
mungkin belum lama kenal dengan Si Burung Hantu Laut Timur. Namun kau tentu
sudah lama mengenal gurunya yang berjuluk Bintang Maut Halus Polos, bukan?”
Ucapan He Sanqi itu sangat
menggemparkan para hadirin yang mendengarnya. Linghu Chong langsung teringat
pada saat Yue Lingshan masih kecil dan suka menangis, maka ibunya sering
menakut-nakuti dengan berkata, “Sudahlah, jangan menangis! Bintang Maut Halus
Polos suka menangkap dan memakan anak kecil yang suka menangis.” Waktu itu Yue
Lingshan langsung berhenti menangis, sedangkan Linghu Chong bertanya, “Ibu
Guru, siapa itu Bintang Maut Halus Polos?” Ning Zhongze menjawab, “Dia itu
seorang yang sangat jahat, suka menculik anak kecil. Wajahnya rata dan halus
tanpa memiliki hidung, hanya dua buah lubangnya saja.”
Terkenang pada kejadian di
masa lalu itu, tanpa terasa Linghu Chong memandang ke arah Yue Lingshan.
Dilihatnya sang adik kecil sedang memandang jauh ke arah puncak-puncak gunung
di bawah Puncak Songshan seperti sedang melamun. Wajahnya tampak murung
memikirkan sesuatu. Sepertinya ucapan He Sanqi tentang Bintang Maut Halus Polos
tadi tidak diperhatikan olehnya, atau mungkin apa yang terjadi di masa lalu pun
sudah terlupakan semua.
Melihat itu Linghu Chong
menjadi heran. Ia merenung, “Adik Kecil baru saja menikah dengan Adik Lin yang
dicintainya itu. Seharusnya ia merasa gembira dan bahagia, tapi entah ada
urusan apa yang membuat hatinya murung? Jangan-jangan pasangan pengantin ini
baru saja bertengkar?”
Ia kemudian memandang Lin
Pingzhi yang berdiri di samping Yue Lingshan. Raut muka lelaki muda itu
terlihat sangat aneh. Seperti tertawa, tapi bukan tertawa, seperti marah, tapi
juga bukan marah. Kembali Linghu Chong terkejut, “Aneh, sikap macam apa itu?
Rasa-rasanya aku seperti pernah melihat raut muka yang demikian ini. Namun,
entah di mana aku pernah melihatnya?”
Sementara itu terdengar Zuo
Lengchan berkata, “Pendeta Yujizi, pertama-tama aku mengucapkan selamat atas
jabatanmu sebagai Ketua Perguruan Taishan yang baru. Mengenai peleburan Serikat
Pedang Lima Gunung seperti yang kuuraikan tadi, entah bagaimana pendapat
Pendeta?”
Melihat Zuo Lengchan
mengalihkan pembicaraan dan tidak menjawab pertanyaan He Sanqi tadi, maka jelas
sudah kalau ia memiliki hubungan baik dengan Bintang Maut Halus Polos, meskipun
hal itu tidak diakuinya secara terang-terangan. Tokoh berjuluk Bintang Maut
Halus Polos itu telah memiliki nama besar sejak tiga puluh tahun yang lalu,
namun hanya sedikit saja yang pernah berjumpa atau bertarung dengannya. Tidak
jelas pula ia berasal dari aliran mana. Namun jika melihat sifat dan perbuatan
muridnya tadi, maka dapat diperkirakan ia berasal dari golongan hitam.
Dengan mengacungkan pedang
pendek di tangannya, Yujizi berseri-seri menjawab, “Mengenai peleburan Serikat
Pedang Lima Gunung menjadi satu, kuanggap cara ini sangat bermanfaat bagi
kelima perguruan kita dan sama sekali tidak ada jeleknya. Hanya manusia serakah
yang mementingkan diri sendiri seperti Tianmen saja yang tidak setuju atas
peleburan ini, sedangkan setiap orang yang berpandangan jauh pasti akan setuju.
Ketua Zuo, sebagai Ketua Perguruan Taishan, aku menyatakan bahwa perguruan kami
dengan suara bulat menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung kita menjadi
Perguruan Lima Gunung. Segenap anggota Perguruan Taishan menyatakan taat di
bawah kepemimpinanmu demi perkembangan dan kejayaan kita bersama. Apabila ada
orang yang hendak merintangi peleburan ini, maka Perguruan Taishan adalah yang
pertama-tama akan menghadapinya.”
Menyusul kemudian ratusan
orang Taishan ikut bersorak menyatakan setuju. “Perguruan Taishan sepenuhnya
mendukung peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Jika ada yang berusaha
menentangnya, kami dari Taishan yang pertama-tama akan menghadapinya.” Serentak
suara teriakan mereka pun menggelegar berkumandang sampai jauh.
Mendengar teriakan itu Linghu
Chong berpikir, “Aneh, kenapa teriakan mereka satu sama lain serupa dan
bersamaan? Sepertinya mereka sudah dilatih untuk ini sebelumnya. Apalagi kalau
melihat cara bicara Yujizi yang begitu hormat kepada Zuo Lengchan, jelas
sebelumnya mereka juga sudah bersekongkol dan yang pasti Yujizi tentu telah
banyak menerima kebaikan dari Zuo Lengchan.”
Sementara itu murid-murid
Pendeta Tianmen yang sedang berduka atas kematian guru mereka yang mengenaskan
memilih diam tak bersuara dengan tatapan penuh kebencian. Mereka hanya bisa
mengepalkan tangan, menggertakkan gigi, atau mengutuk dalam hati.
Zuo Lengchan kembali berseru,
“Perguruan Hengshan dan Taishan telah menyatakan setuju atas peleburan ini.
Sepertinya ini memang menjadi cita-cita banyak orang demi kebahagiaan bersama.
Maka itu, Perguruan Songshan kami dengan sendirinya juga mengikuti suara orang
banyak dan siap meleburkan diri.”
Dalam hati Linghu Chong
mengejek, “Huh, ucapanmu sungguh manis seolah-olah tidak tahu-menahu masalah
ini. Kau berpura-pura mengikuti pendapat banyak orang untuk ikut meleburkan
diri. Padahal, biang keladi semua ini tidak lain adalah kau sendiri.”
Terdengar Zuo Lengchan
melanjutkan, “Di antara kelima perguruan sudah ada tiga yang setuju untuk
meleburkan diri. Sekarang tinggal Perguruan Henshan dan Huashan saja yang belum
menyampaikan pendapat. Entah bagaimana pendapat kalian? Ketua Perguruan Henshan
yang terdahulu, yaitu mendiang Biksuni Dingxian pernah beberapa kali berunding
denganku mengenai peleburan ini. Waktu itu Beliau juga sangat setuju, begitu
pula Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi juga setuju.”
Tiba-tiba dari tengah
rombongan Perguruan Henshan berteriak seorang perempuan bersuara lembut, “Ketua
Zuo, ucapanmu ini sangat tidak benar. Sebelum Guru dan kedua Bibi kami wafat,
Beliau bertiga justru menentang keras masalah peleburan Serikat Pedang Lima
Gunung ini. Justru Beliau bertiga meninggal dunia secara berturut-turut adalah
karena sangat menentang peleburan ini. Namun mengapa kau malah memutarbalikan
kenyataan?”
Semua hadirin pun serentak
berpaling ke arah datangnya suara. Ternyata yang berteriak itu seorang gadis
cantik berwajah bulat, yang tidak lain adalah Zheng E. Ia termasuk murid
Perguruan Henshan dari golongan paling muda sehingga kurang begitu dikenal oleh
para hadirin di tempat itu.
Dengan suara lantang Zuo
Lengchan menjawab, “Guru kalian mempunyai ilmu silat tinggi dan wawasan luas
bagai samudera, pandangannya juga jauh ke depan dan perhitungannya cermat.
Beliau adalah tokoh paling hebat dalam Serikat Pedang Lima Gunung kita. Seumur
hidup aku sangat kagum kepada Beliau. Namun, sungguh sayang Beliau telah
meninggal di Biara Shaolin tempo hari. Andai saja Beliau masih hidup, maka
jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung hari ini rasanya tidak perlu diperebutkan
lagi. Kita pasti sepakat untuk menyerahkannya kepada Biksuni Dingxian.”
Ketua Perguruan Songshan itu
diam sejenak, lalu melanjutkan, “Dahulu sewaktu aku berunding tentang peleburan
Serikat Pedang Lima Gunung dengan Biksuni Dingxian bertiga, secara tegas aku
juga pernah menyatakan apabila peleburan Serikat Pedang Lima Gunung benar-benar
terjadi, maka terhadap jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung sudah pasti akan
kuminta Biksuni Dingxian yang memegangnya. Saat itu Biksuni Dingxian dengan
rendah hati telah menolak usulanku. Namun setelah aku mendesak Beliau dengan
sungguh-sungguh, akhirnya Biksuni Dingxian tidak menolak lagi. Tapi, aih,
sungguh patut disayangkan, seorang kesatria wanita yang belum merampungkan
darmabakti itu harus mendahului kita semua meninggal dunia di Biara Shaolin.
Sungguh kematiannya membuatku sedih dan berduka.”
Sebanyak dua kali ia menyebut
nama Biara Shaolin, seolah-olah hendak mengingatkan para hadirin bahwa kematian
Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi itu adalah perbuatan pihak Biara Shaolin.
Andai saja pembunuhnya bukan orang Shaolin, tetap saja perguruan tersebut harus
bertanggung jawab, karena tempat terjadinya peristiwa itu adalah tempat suci
yang diagungkan di dunia persilatan namun seorang tokoh besar seperti Biksuni
Dingxian bisa mati di sana.
Tiba-tiba terdengar suara
serak dan kasar seseorang berteriak, “Ucapan Ketua Zuo kurang tepat. Dahulu
Biksuni Dingxian pernah berkata kepadaku, bahwa Beliau justru mendukungmu
menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung.”
Zuo Lengchan senang
mendengarnya. Ia berpaling ke arah datangnya suara dan melihat si pembicara itu
ternyata seorang tua berwajah buruk dan aneh. Kepala orang itu kecil lancip,
matanya pun kecil seperti tikus. Zuo Lengchan tidak mengenal siapa orang tua
aneh itu, namun dari bajunya yang berwarna hitam dapat diketahui kalau ia adalah
orang Perguruan Henshan. Di sebelahnya berdiri pula lima orang yang berwajah
serupa, serta penampilan mereka juga mirip. Zuo Lengchan rupanya tidak mengenal
bahwa keenam orang itu adalah Enam Dewa Lembah Persik.
Meski dalam hati merasa
senang, tapi Zuo Lengchan pura-pura bersikap biasa saja. Ia berkata, “Siapakah
nama Saudara yang mulia ini? Memang dahulu Biksuni Dingxian pernah menyarankan
demikian. Tapi kalau dibandingkan dengan Beliau, mana mungkin diriku ini bisa
menyamai?”
Yang baru berbicara tadi
adalah Dewa Akar Persik. Dengan berdehem satu kali, ia lalu menjawab, “Aku
bernama Dewa Akar Persik, dan kelima orang ini adalah adik-adikku.”
“O, aku sudah lama mengagumi
nama besar kalian!” ujar Zuo Lengchan.
“Apa yang menjadikanmu kagum
kepada kami?” tanya Dewa Akar Persik. “Kagum terhadap ilmu silat kami atau
kagum terhadap kecerdasan kami?”
Zuo Lengchan menggerutu dalam
hati, “Sial, ternyata mereka orang-orang dungu yang telah membantai Cheng
Buyou.” Mengingat pujian Dewa Akar Persik tadi ia pun menjawab sambil
tersenyum, “Baik ilmu silat maupun kecerdasan kalian sudah lama aku kagumi.”
“Ilmu silat kami sebenarnya
tidak seberapa,” sela Dewa Dahan Persik. “Bila kami berenam maju sekaligus
memang sedikit lebih unggul daripada Ketua Zuo. Tapi kalau satu lawan satu
rasanya kami masih kalah jauh.”
Dewa Bunga Persik menyahut,
“Namun kalau bicara soal wawasan, jelas kami jauh lebih cerdas daripada
dirimu.”
“Benarkah demikian?” balas Zuo
Lengchan sambil mengerutkan kening.
“Sedikit pun tidak salah,” sahut
Dewa Bunga Persik. “Begitulah yang pernah dikatakan Biksuni Dingxian dahulu.”
“Ya, dahulu sewaktu Biksuni
Dingxian mengobrol dengan Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi mengenai
peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, seringkali Biksuni Dingxian mengatakan
bahwa orang yang paling tepat menjabat sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung
adalah Ketua Zuo dari Perguruan Songshan. Kau percaya atau tidak atas apa yang
dikatakan Biksuni Dingxian itu?”
Zuo Lengchan menjawab, “Itu
karena Biksuni Dingxian terlalu memandang tinggi diriku. Namun sebenarnya aku
sendiri tidak berani menerimanya,”
“Kau jangan senang dahulu,”
kata Dewa Akar Persik. “Masalahnya Biksuni Dingjing berpendapat lain. Beliau
mengatakan bahwa Ketua Zuo memang seorang kesatria, dan jika dibandingkan dengan
para tokoh persilatan pada umumnya, juga termasuk tokoh pilihan. Akan tetapi,
Beliau menganggap kau ini terlalu bernafsu, terlalu mementingkan diri sendiri,
berpikiran sempit, dan kurang lapang dada. Apabila kau diangkat menjadi ketua,
maka yang paling celaka tentu murid-murid Henshan yang terdiri dari kaum wanita
ini.”
“Benar,” sahut Dewa Dahan
Persik. “Maka itu Biksuni Dingxian lantas berkata bahwa calon ketua yang
bijaksana sebenarnya sudah tersedia, yaitu enam orang kesatria sejati di dunia
persilatan. Keenam kesatria ini tidak hanya tinggi dalam ilmu silat, namun juga
cerdas dan berwawasan luas. Menurut Beliau, mereka ini sangat cocok untuk
diangkat menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung.”
“Enam kesatria?” sahut Zuo
Lengchan. “Hm, di manakah keenam orang itu?”
“Aha, mereka tidak lain dan
tidak bukan adalah kami enam bersaudara ini,” jawab Dewa Bunga Persik.
Maka terdengarlah suara gelak
tawa banyak orang bergemuruh begitu mendengar jawaban tersebut. Sebagian besar
para hadirin memang tidak mengenal siapa Enam Dewa Lembah Persik. Namun melihat
wajah mereka yang aneh dan tingkah laku mereka yang lucu itu, bahkan sekarang
mengaku berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi, tentu saja mereka semua
merasa geli.
Dewa Ranting Persik ikut
menyambung, “Dahulu ketika Biksuni Dingxian menyebut ‘keenam kesatria’,
seketika Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi teringat kepada kami, enam
bersaudara. Serentak mereka pun bertepuk tangan dan bersorak setuju. Eh, apa
yang dikatakan Biksuni Dingyi ketika itu, apakah kau masih ingat, saudaraku?”
“Sudah tentu aku masih ingat,”
sahut Dewa Buah Persik. “Di tengah sorak gembira ketiga tokoh itu, Biksuni
Dingyi lantas berkata, ‘Kepandaian Enam Dewa Lembah Persik memang masih di
bawah Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin, juga masih lebih rendah dibanding
Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Tapi jika dibandingkan dengan
tokoh-tokoh Serikat Pedang Lima Gunung pada umumnya boleh dikata tiada seorang
pun yang mampu menandingi mereka, betul tidak?’ Biksuni Dingjing menjawab,
‘Kalau bicara tentang ilmu silat dan pengetahuan, sebenarnya Adik Dingxian
masih di atas Enam Dewa Lembah Persik. Namun sayang, kita ini kaum wanita.
Untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung yang memimpin beribu-ribu pahlawan
dan kesatria rasanya repot juga. Maka dari itu, memang yang paling tepat adalah
kita menyarankan supaya Enam Dewa Lembah Persik saja yang menjadi Ketua
Perguruan Lima Gunung.’”
Dewa Daun Persik menambahkan,
“Saat itu Biksuni Dingxian mengangguk dan berkata, ‘Apabila Serikat Pedang Lima
Gunung benar-benar dilebur sementara Enam Dewa Lembah Persik tidak menjadi
ketua, maka sulit rasanya Perguruan Lima Gunung bisa berkembang dan berjaya.”
Linghu Chong semakin geli
mendengar ocehan keenam orang aneh itu. Ia paham kalau Enam Dewa Lembah Persik
sengaja meledek Zuo Lengchan dan mengacaukan pertemuan ini. Kalau Zuo Lengchan
berani mengarang ucapan orang-orang yang sudah mati, maka tiada salahnya kalau
Enam Dewa Lembah Persik juga membual dan membuat Zuo Lengchan mati kutu.
Di Puncak Songshan saat itu,
selain para murid Perguruan Songshan dan beberapa orang yang sudah bersekongkol
dengan Zuo Lengchan, sisanya boleh dikata tidak setuju dengan peleburan Serikat
Pedang Lima Gunung. Tokoh-tokoh yang berpandangan jauh seperti Mahabiksu Fangzheng
dan Pendeta Chongxu khawatir kalau kekuatan Zuo Lengchan akan bertambah besar,
maka kelak tentu akan menimbulkan bencana bagi dunia persilatan. Ada pula yang
sejak menyaksikan kematian Pendeta Tianmen tadi, timbul perasaan benci dan muak
terhadap sikap Zuo Lengchan yang bengis. Sementara Linghu Chong dan murid-murid
Perguruan Henshan yakin bahwa Zuo Lengchan adalah pembunuh ketiga biksuni
sepuh, sehingga yang mereka inginkan adalah menuntut balas, dan mereka pun
menjadi pihak yang paling tegas memusuhi Perguruan Songshan. Maka mendengar
ocehan Enam Dewa Lembah Persik itu serentak para hadirin banyak yang tersenyum
senang, bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak.
Kemudian terdengar suara
seorang hadirin berseru, “Enam Dewa Lembah Persik, apa yang diucapkan Biksuni
Dingxian bertiga itu, siapa lagi yang mendengarkannya?” Sepertinya yang
berbicara ini adalah begundal Zuo Lengchan.
Dewa Akar Persik menjawab,
“Berpuluh-puluh murid Perguruan Henshan juga ikut mendengarkan. Betul tidak,
Nona Zheng?”
Zheng E menahan geli dan
menjawab, “Betul sekali! Ketua Zuo, kau sendiri yang berkata bahwa guruku
menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Nah, siapa lagi yang mendengar
ucapan Beliau ini? Wahai para kakak dan adik dari Henshan, adakah di antara
kalian yang pernah mendengar ucapan demikian itu dari Guru?”
“Tidak, tidak pernah dengar,”
jawab berpuluh-puluh murid Perguruan Henshan serentak. Ada pula yang berteriak,
“Tentu Ketua Zuo sendiri yang mengarang cerita demikian.” Seorang lagi bahkan
menyambung, “Dibandingkan Ketua Zuo, guru kami jelas lebih mendukung Enam Dewa
Lembah Persik sebagai ketua. Sebagai murid Beliau mana mungkin kami tidak paham
pikiran guru sendiri?”
Di tengah suara gelak tawa
orang banyak itu, terdengar Dewa Ranting Persik berseru keras, “Nah, betul
tidak kata-kata kami? Kami tidak berdusta, bukan? Justru Biksuni Dingxian
kemudian berkata pula, ‘Setelah peleburan lima perguruan kelak, maka yang
menjabat sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung hanya satu orang saja, padahal
Enam Dewa Lembah Persik terdiri dari enam orang. Lantas siapa di antaranya yang
harus diangkat?’ Saudaraku, apa kalian ingat apa jawaban Biksuni Dingjing waktu
itu?”
Dewa Bunga Persik menyahut,
“Beliau mengatakan … mengatakan … oh ya, katanya, ‘Meskipun kelima perguruan
dilebur menjadi satu, tapi kelima gunung yang menjadi tempat kedudukan
masing-masing tidak mungkin bisa dikumpulkan menjadi satu. Lagipula Zuo
Lengchan bukan malaikat dewata, mana mungkin dia mampu memindahkan kelima
gunung menjadi satu? Maka dari itu, Enam Dewa Lembah Persik dapat diminta untuk
membagi diri menjadi lima orang untuk masing-masing menduduki kelima pegunungan
itu. Sisanya, yang seorang lagi bisa diangkat sebagai pemimpin umum.’”
Dewa Daun Persik menyahut,
“Benar sekali! Biksuni Dingyi kemudian menanggapi, ‘Pendapat Kakak memang
tepat. Ayah dan ibu Enam Dewa Lembah Persik ternyata berpandangan jauh ke depan
dan dapat meramalkan bahwa kelak Zuo Lengchan akan melebur Serikat Pedang Lima
Gunung menjadi satu. Maka, mereka sengaja melahirkan keenam bersaudara itu.
Anehnya, kenapa tidak melahirkan lima atau tujuh orang saja, tapi pas enam
orang? Sungguh mengagumkan kepandaian ayah-bunda Enam Dewa Lembah Persik itu.’”
Mendengar sampai ini, suara
tawa para hadirin terdengar semakin ramai.
Sebenarnya Zuo Lengchan telah
mempersiapkan pertemuan ini agar dapat berlangsung secara khidmat dan tertib,
sehingga disegani oleh para kesatria yang hadir. Tak disangka tiba-tiba muncul
enam manusia dungu yang mengacaukan upacara agung ini. Sungguh gusar hati Zuo
Lengchan tak terlukiskan. Namun sebagai tuan rumah terpaksa ia harus bersabar
sedapat mungkin, meski di dalam batin ia mengutuk, “Setelah urusan mahapenting
ini selesai, maka keenam manusia tolol ini akan kubinasakan. Jika tidak, maka
margaku bukan Zuo lagi.”
Sementara itu, Dewa Buah
Persik tiba-tiba menangis keras-keras, “Wah, tidak bisa, tidak bisa seperti
ini! Kami enam bersaudara sejak keluar dari perut ibu selamanya tidak pernah
berpisah satu sama lain. Apabila sekarang kami masing-masing harus memimpin di
setiap perguruan, itu artinya kami harus terpencar di lima tempat yang berbeda.
Ini tidak boleh terjadi, takkan kulakukan!” Tangisannya ini bukan pura-pura,
seakan-akan kedudukan mereka di lima gunung sebagai ketua sudah ditetapkan
dengan pasti.
Dewa Dahan Persik menanggapi,
“Adik Keenam jangan bersedih. Kita semua pasti takkan berpisah. Kau tidak tega
berpisah dengan kakak-kakakmu, kakakmu ini juga tidak tega berpisah denganmu.
Maka, jalan yang paling baik supaya kita tidak diangkat sebagai pemimpin kelima
gunung yang terpisah-pisah jauh itu, terpaksa kita harus menyatakan menolak
peleburan Serikat Pedang Lima Gunung.”
Dewa Akar Persik menyahut,
“Benar, benar! Biarkan Serikat Pedang Lima Gunung tetap seperti sekarang!”
Dewa Buah Persik menyambung,
“Seandainya harus dilebur juga perlu menunggu sampai kelak di dalam Serikat
Pedang Lima Gunung muncul seorang pahlawan sejati, seorang kesatria gagah yang
lebih berwibawa daripada kita berenam, lebih sakti dari kita berenam, dan
didukung banyak orang untuk memimpin Perguruan Lima Gunung. Dengan demikian
barulah kita dapat menyetujui peleburan ini.”
Melihat keenam orang itu masih
saja mengoceh kian kemari, Zuo Lengchan memutuskan untuk mengambil tindakan
tegas dan tepat untuk mengatasi keadaan. Maka, ia pun segera berteriak,
“Sesungguhnya Ketua Perguruan Henshan dijabat kalian enam kesatria ataukah
masih ada orang lain lagi? Apakah urusan Perguruan Henshan telah dikuasakan
kepada kalian?”
Dewa Ranting Persik menyahut,
“Bisa saja kami enam kesatria besar ini menjadi Ketua Perguruan Henshan. Tapi
jika kami menjadi Ketua Henshan, itu berarti kami harus sederajat dengan orang
bermarga Zuo seperti dirimu ini. Untuk itu, hehe, hehe ….”
Dewa Bunga Persik menanggapi,
“Berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan dia sudah tentu akan sangat
menurunkan derajat kami berenam. Sebab itulah jabatan Ketua Perguruan Henshan
terpaksa kami serahkan kepada Tuan Muda Linghu.”
Sungguh tidak terlukiskan
kemarahan Zuo Lengchan di dalam hati. Dengan nada dingin ia berkata kepada
Linghu Chong, “Ketua Linghu, sebagai Ketua Perguruan Henshan, kenapa kau tidak
dapat menertibkan mereka dan membiarkan keenam pendekar ini mengoceh di depan
para kesatria gagah yang hadir di sini? Bukankah hanya membuat malu saja?”
Linghu Chong menjawab, “Keenam
bersaudara ini hanyalah orang-orang yang bersifat polos seperti anak kecil,
namun sesungguhnya mereka adalah manusia-manusia jujur yang tidak suka
mengarang kata-kata dusta. Mereka hanya menguraikan kembali apa yang pernah
diucapkan mendiang ketua kami, Biksuni Dingxian. Sudah tentu ucapan mereka jauh
lebih dapat dipercaya daripada orang luar yang suka bicara omong kosong.”
Zuo Lengchan mendengus, “Hm,
jadi dalam hal peleburan Serikat Pedang Lima Gunung ini hanya Perguruan Henshan
kalian saja yang mempunyai pendirian berbeda?”
Linghu Chong mengangguk dan
berkata, “Dalam hal ini Perguruan Henshan tidak memiliki pendirian tersendiri.
Tuan Yue Ketua Perguruan Huashan adalah guruku yang berbudi. Beliau orang
pertama yang mengajarkan kepandaian padaku. Meski sekarang aku telah masuk
perguruan lain, tapi tetap tidak berani melupakan ajaran-ajaran guruku di masa
lampau.”
“Jika demikian, kau masih
tetap tunduk kepada apa yang dikatakan Tuan Yue dari Perguruan Huashan?” Zuo
Lengchan menegas.
“Benar sekali,” sahut Linghu
Chong. “Perguruan Huashan dan Henshan tetap bahu-membahu dan bergotong royong
satu hati.”
Zuo Lengchan lantas berpaling
ke arah rombongan Perguruan Huashan dan berseru, “Tuan Yue, Ketua Linghu
ternyata tidak melupakan budi baikmu di masa lampau, sungguh aku ikut gembira
dan mengucapkan selamat padamu. Dalam hal peleburan Serikat Pedang Lima Gunung
ini apakah kau mendukung atau menentang, yang jelas Ketua Linghu telah
menyatakan akan mengikuti langkahmu. Lantas bagaimana dengan pendirianmu?”
“Terima kasih atas pertanyaan
Ketua Zuo,” jawab Yue Buqun tenang. “Mengenai urusan peleburan ini aku memang
pernah mempertimbangkannya secara masak-masak. Tapi untuk mengambil suatu
keputusan yang sempurna, sungguh tidaklah mudah.”
Seketika perhatian semua orang
beralih ke arah Yue Buqun. Sebagian besar di antara mereka berpikir, “Perguruan
Hengshan sudah kehilangan wibawa, Perguruan Taishan juga terpecah belah. Kalau
sekarang Perguruan Huashan dan Henshan bersatu, dan ditambah Hengshan yang
menggabungkan diri dengan mereka, tentu akan sanggup menandingi kekuatan
Songshan.”
Terdengar Yue Buqun berkata,
“Perguruan Huashan kami memiliki sejarah lebih dari dua ratus tahun. Kami
memiliki kenangan pahit pernah terpecah belah menjadi Kelompok Pedang dan
Kelompok Tenaga Dalam. Tentu banyak di antara Saudara yang hadir saat ini masih
ingat akan peristiwa menyedihkan itu. Maka, kalau terkenang kepada pertentangan
di antara kalangan sendiri yang kejam di masa lalu, sungguh sampai sekarang aku
masih merasa ngeri ….”
Linghu Chong terkesiap dan
merenung, “Aneh, mengapa hari ini Guru menceritakan peristiwa yang dianggap
memalukan itu? Padahal Beliau biasanya menyimpan rapih masalah Perguruan
Huashan. Mengapa hari ini Beliau menceritakannya di depan banyak orang ini?”
Terdengar Yue Buqun
melanjutkan kata-katanya dengan suara yang melengking nyaring. Linghu Chong
berpikir sang guru tentu sudah berhasil mencapai tingkatan tertinggi dalam
mempelajari ilmu Awan Lembayung. Suaranya terdengar berkumandang jauh
mengalahkan gemuruh ribuan orang yang hadir di situ.
Yue Buqun berkata, “Oleh
karena itu, aku merasa di antara berbagai golongan dan aliran persilatan kita
ini daripada terpecah belah adalah lebih baik jika tergabung menjadi satu.
Selama beratus-ratus, bahkan beribu-ribu tahun entah sudah berapa banyak kaum
persilatan yang menjadi korban saling bunuh-membunuh. Semua itu adalah karena
perbedaan paham atau perselisihan antargolongan. Aku sering berpikir, apabila
dalam dunia persilatan tiada perbedaan aliran dan perguruan, maka semua orang
bagaikan satu keluarga besar saja. Satu sama lain laksana saudara sekandung,
maka dapat dipastikan setiap perselisihan dan pertumpahan darah tentu dapat
dikurangi sampai sembilan puluh persen. Jika demikian yang terjadi, tentu tidak
akan ada lagi para kesatria yang mati muda. Para janda dan anak yatim tanpa
tempat bersandar juga bisa dikurangi.”
Pada umumnya kaum persilatan
memang sering mengalami nasib mati muda dengan meninggalkan anak istri yang
merana. Maka itu, kata-kata Yue Buqun seolah tepat mengenai lubuk hati sebagian
besar para hadirin. Tidak heran jika banyak yang manggut-manggut mendengarnya.
Ada pula yang berbisik, “Yue Buqun berjuluk ‘Si Pedang Buiman’, ternyata ia
memang benar-benar berbudi luhur dan julukannya bukanlah nama kosong.”
“Shanti, shanti!” ujar
Mahabiksu Fangzheng. “Kata-kata Tuan Yue benar-benar bijaksana. Apabila setiap
orang persilatan mempunyai jalan pikiran seperti Tuan Yue, tentu kekacauan di
dunia ini akan hilang sirna tanpa bekas.”
Yue Buqun menanggapi, “Ah,
Mahabiksu terlalu memuji. Sedikit pendapatku yang dangkal ini tentu sebelumnya
sudah menjadi buah pikiran para pemuka agama turun-temurun dari Perguruan
Shaolin. Sebenarnya dengan nama besar dan pengaruh Biara Shaolin, asalkan mau
tampil ke muka dan menyerukan persatuan, maka setiap orang yang berpandangan
jauh pasti akan setuju dan akan menghasilkan banyak manfaat pula selama ratusan
tahun terakhir ini. Namun sumber ilmu silat tiap perguruan tidaklah sama, cara
berlatihnya pun beda, tentu sangat tidak mudah untuk mempersatukan mereka.
Memang seorang budiman lebih mementingkan persahabatan daripada prinsip,
sehingga bisa saja mereka bersahabat meskipun ilmu silat tidaklah sama. Akan
tetapi, sampai sekarang di antara berbagai golongan dan aliran masih terus saja
bertentangan satu sama lain baik secara terang-terangan maupun secara
gelap-gelapan sehingga banyak memakan korban jiwa dan harta. Bahwasanya selama
ini banyak di antara tokoh bijaksana telah menyelami betapa besar bencana yang
ditimbulkan karena perbedaan golongan dan aliran, lalu mengapa kita tidak
bertekad untuk melenyapkannya? Aku benar-benar bingung, sudah sekian lama
merenungkan persoalan ini, baru beberapa hari yang lalu aku sadar dan memahami
di mana letak kunci untuk memecahkan persoalan ini. Karena urusan ini
menyangkut nasib setiap kawan persilatan, aku tidak berani merahasiakan hasil
pemikiranku lagi. Maka itu, segera akan kukemukakan di sini dengan meminta
pertimbangan para hadirin.”
“Silakan bicara, silakan
bicara!” seru banyak orang. “Pendapat Tuan Yue pasti sangat bagus!”
Setelah suasana agak tenang
barulah Yue Buqun kembali berbicara, “Setelah aku merenungkan secara mendalam,
akhirnya kutemukan juga titik persoalannya. Rupanya penyakit kegagalan dari
usaha penghapusan perbedaan golongan dan aliran ini seringkali disebabkan
karena usaha yang tergesa-gesa. Para kesatria berbudi luhur di dunia persilatan
ingin menghilangkapn perbedaan di antara aliran dan golongan, namun mereka
cenderung terburu-buru ingin melihat hasinya. Padahal, jumlah perguruan dan
aliran persilatan yang besar ada puluhan, dan yang kecil mencapai ribuan
banyaknya. Setiap golongan juga sudah memiliki sejarah lama. Kalau secara
sekaligus hendak melenyapkan sejarah masing-masing golongan tentunya ini sangat
sulit seperti mendaki langit.”
“Jadi, menurut pendapat Tuan
Yue adalah tidak mungkin untuk menghapuskan perbedaan golongan dan aliran? Jika
betul demikian, bukankah pendapat Tuan Yue ini sangat mengecewakan harapan
banyak orang?” ujar Zuo Lengchan.
“Walaupun urusan ini sangat
sulit, tapi bukan sama sekali tidak mungkin,” jawab Yue Buqun. “Baru saja aku
menyatakan bahwa titik penyakitnya terletak pada usaha yang tergesa-gesa ingin
cepat selesai, tapi akhirnya malah berantakan. Jadi, caranya yang harus diubah
dan kita semua harus bahu membahu sama-sama berusaha mewujudkannya. Kelak
setelah lima puluh ataupun seratus tahun, pada akhirnya pasti berhasil.”
Zuo Lengchan berkata, “Kalau
perlu lima puluh atau seratus tahun, bukankah para pahlawan dan kesatria yang
hadir sekarang ini hampir semuanya sudah masuk liang kubur?”
Yue Buqun menjawab, “Kita
hanya perlu berusaha sekuat tenaga, soal kelak mendapatkan hasil atau tidak
janganlah terlalu kita pikirkan. Ini namanya leluhur yang menanam pohon,
keturunan yang memetik buahnya. Kita hanya menanam pohon saja, biarlah anak
cucu kita yang mengambil buahnya. Hal seperti ini bukankah perbuatan mulia?
Lagipula, usaha jangka panjang lima puluh atau seratus tahun adalah jangka
waktu secara keseluruhannya. Kalau ingin merasakan sedikit hasilnya mungkin
dalam waktu delapan atau sepuluh tahun juga sudah terlihat nyata.”
Zuo Lengchan bertanya, “Dalam
sepuluh atau delapan tahun sudah akan terlihat hasil yang nyata walaupun hanya
sebagian kecil saja. Hm, ini sungguh bagus. Tapi entah bagaimana cara kita
harus berusaha bersama?”
Yue Buqun tersenyum menjawab,
“Seperti apa yang dilakukan Ketua Zuo sekarang ini adalah perbuatan luhur yang
bermanfaat bagi kaum persilatan pada umumnya. Bahwasanya untuk menghapuskan
perbedaan pandangan di antara berbagai golongan dan aliran secara sekaligus
boleh dikata sukar terlaksana, tapi kalau diusahakan agar perguruan-perguruan
yang tempatnya berdekatan, atau yang ilmu silatnya hampir mirip, atau yang
mempunyai hubungan kekerabatan, maka di antara mereka bisa diadakan
penggabungan, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama perbedaan golongan
dan aliran di dunia persilatan ini tentu akan berkurang sebagian besar. Seperti
halnya peleburan di antara Serikat Pedang Lima Gunung kita menjadi Perguruan
Lima Gunung adalah teladan yang nyata bagi golongan-golongan lain, dan ini akan
menjadi peristiwa besar yang akan terus dibicarakan sepanjang masa.”
Ucapan terakhir Yue Buqun ini
seketika membuat para hadirin gempar. Banyak dari mereka yang berteriak, “O,
ternyata Perguruan Huashan juga setuju Serikat Pedang Lima Gunung dilebur
menjadi satu.”
Linghu Chong sangat terkejut
mendengarnya. Ia berpikir, “Tak kusangka, ternyata Guru juga menyetujui
peleburan ini. Padahal aku terlanjur menyatakan hendak megikuti langkah Beliau.
Apakah aku harus menarik kembali ucapanku tadi?” Dengan perasaan cemas ia
memandang ke arah Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. Dilihatnya kedua
tokoh sepuh itu menggeleng kepadanya dengan wajah agak lesu.
Zuo Lengchan sendiri sejak
awal khawatir kalau Yue Buqun akan menolak peleburan ini. Ia merasa segan
menghadapi Ketua Perguruan Huashan yang terkenal ahli dalam berdebat dan juga
sulit dipaksa untuk melakukan sesuatu. Maka, begitu mendengar keputusan Yue
Buqun seketika hatinya sangat terkejut bercampur gembira. Ia pun berkata,
“Sebenarnya maksud Perguruan Songshan menghendaki peleburan ini hanyalah demi
kepentingan kita bersama. Pepatah mengatakan: ‘Bersatu kita teguh, bercerai
kita runtuh.’ Namun dari uraian Tuan Yue tadi ternyata peleburan Serikat Pedang
Lima Gunung dapat mendatangkan manfaat-manfaat yang begitu besar. Sungguh, aku
merasa seperti pintar mendadak.”
Yue Buqun menjawab, “Setelah
kelima perguruan digabungkan, bila kita ingin memperbesar pengaruh dan mengadu
kekuatan dengan golongan lain, maka akibatnya hanya menimbulkan bencana di
dunia persilatan. Sebab itu, asas tujuan peleburan ini harus mengutamakan
‘hindarkan pertentangan dan akhiri permusuhan’. Menurut dugaanku banyak di
antara kawan persilatan yang khawatir peleburan kita ini pasti akan merugikan
pihak lain. Dalam hal ini aku dapat menyatakan supaya kawan-kawan janganlah
khawatir.”
Banyak di antara para hadirin
menjadi lega mendengar jaminan Yue Buqun itu. Namun ada juga yang masih
ragu-ragu dan kurang percaya.
“Jika demikian, Perguruan
Huashan jelas setuju dengan peleburan?” tanya Zuo Lengchan.
“Benar,” jawab Yue Buqun. Ia
diam sejenak kemudian memandang ke arah Linghu Chong sambil berkata, “Ketua
Linghu dari Perguruan Henshan dulu pernah tinggal di Gunung Huashan. Aku pernah
mempunyai hubungan guru dan murid selama dua puluh tahun lebih dengannya. Sejak
dia meninggalkan Huashan, ternyata selama ini masih ingat akan hubungan baik di
masa lalu dan tetap mengharapkan agar kami dapat berkumpul bersama lagi dalam
satu perguruan yang sama. Dalam hal ini aku tadi telah menyanggupi bahwa kami
pasti akan berkumpul kembali di dalam suatu perguruan dan ini bukanlah hal yang
sulit.” Bicara sampai di sini, wajahnya kemudian menampilkan senyuman manis.
Linghu Chong tergetar namun
kemudian paham. Dalam hati ia berkata, “Ternyata kesanggupan Guru dalam
menerimaku kembali sebagai murid bukanlah untuk kembali ke dalam Perguruan
Huashan, melainkan bergabung ke dalam Perguruan Lima Gunung. Rasanya ini boleh
juga. Lagipula tadi Guru telah menyatakan bahwa setelah dilebur menjadi satu,
asas tujuan Perguruan Lima Gunung adalah menghindari pertentangan dan
mengakhiri permusuhan. Jika nanti Huashan dan Henshan bersekutu, serta ditambah
dengan kekuatan Hengshan dan sebagian Taishan, ini berarti akan lebih besar
pengaruhnya daripada persekutuan Songshan dan para pengkhanat Taishan sehingga
asas yang dikemukakan Guru tadi dapat dijalankan.”
Sementara Linghu Chong terbuai
oleh pikirannya sendiri, terdengar Zuo Lengchan berkata, “Selamat untuk Tuan
Yue dan Ketua Linghu! Mulai hari ini kalian berkumpul kembali dalam suatu
keluarga besar. Ini benar-benar peristiwa yang menggembirakan.”
Menyusul kemudian banyak di
antara para hadirin yang juga bersorak dan bertepuk tangan menyatakan selamat.
Tapi mendadak Dewa Ranting
Persik berteriak, “Tidak, urusan ini tidak baik, sangat tidak baik.”
“Kenapa tidak baik?” tanya
Dewa Dahan Persik.
“Jabatan Ketua Perguruan
Henshan bukankah tadinya adalah hak kita enam bersaudara?” tanya Dewa Ranting
Persik.
“Betul!” serentak Dewa Dahan
Persik dan yang lain ikut menjawab.
“Tapi karena kita segan
menjadi ketua, maka jabatan itu kita serahkan kepada Linghu Chong dengan satu
syarat bahwa dia harus membalaskan sakit hati kematian Biksuni Dingxian
bertiga, betul tidak? Dan kalau tidak melaksanakan tugasnya itu berarti
jabatannya sebagai ketua menjadi batal, betul tidak?” ujar Dewa Ranting Persik.
“Benar sekali!” serentak
kelima saudaranya kembali mengiakan.
“Namun pembunuh ketiga biksuni
sepuh jelas berada di dalam Perguruan Lima Gunung juga,” kata Dewa Ranting
Persik. “Maka menurut pendapatku, kemungkinan besar si pembunuh bermarga Zuo,
atau mungkin You, atau mungkin Zhong. Apabila Linghu Chong bergabung dengan
Perguruan Lima Gunung, itu berarti dia akan menjadi saudara seperguruan dengan
manusia jahanam bermarga Zuo, atau You, atau Zhong, dan itu berarti dia tidak
akan mampu membalaskan sakit hati Biksuni Dingxian bertiga.”
“Benar, sedikit pun tidak
salah,” seru kelima saudaranya.
Nama “Zuo” bermakna “kiri”,
“You” bermakna “kanan’, sedangkan “Zhong” bermakna “tengah”. Meskipun demikian,
Zuo Lengchan jelas merasa tersinggung. Ia berpikir, “Keparat, kalian berenam
berani menghinaku di depan umum. Jika dibiarkan hidup lebih lama tentu semakin
banyak ocehan-ocehan tidak senonoh yang akan kalian lontarkan kepadaku.”
Terdengar Dewa Akar Persik
berkata, “Kalau Linghu Chong tidak membalaskan sakit hati ketiga biksuni sepuh,
berarti dia batal menjadi Ketua Perguruan Henshan, benar tidak? Kalau dia batal
menjadi Ketua Perguruan Henshan berarti dia tidak berwenang lagi mengurusi
Perguruan Henshan, benar tidak? Dan kalau dia tidak berwenang lagi berarti
tidak boleh bicara atas nama Perguruan Henshan dalam soal peleburan ini, benar
tidak?”
Setiap kali ia bertanya,
setiap kali pula kelima adiknya serentak menjawab, “Benar!”
Kini ganti Dewa Dahan Persik
yang bicara, “Tapi jabatan ketua tidak boleh kosong. Bila Linghu Chong tidak
menjadi Ketua Perguruan Henshan, maka sepantasnya diangkat orang lain yang
lebih sesuai, benar tidak? Di dalam Perguruan Henshan bukankah ada enam orang
kesatria yang diakui kehebatannya dan juga kepandaiannya oleh Biksuni Dingxian,
benar tidak? Bahkan tadi Zuo Lengchan juga memuji, ‘Kalian enam bersaudara
berilmu tinggi dan berwawasan luas, sungguh aku merasa kagum.’ – benar tidak?”
“Benar!” jawab kelima
saudaranya. Setiap kali ia bertanya, nadanya semakin keras, begitu pula jawaban
kelima saudaranya juga semakin keras.
Karena merasa lucu, dan juga
mengerti maksud Enam Dewa Lembah Persik yang jelas-jelas sengaja main gila
terhadap Perguruan Songshan, maka sebagian di antara para hadirin ada yang ikut
senang. Bahkan di antara mereka ada yang lantas ikut-ikutan bersuara. Setiap
kali Enam Dewa Lembah Persik bertanya jawab, puluhan hadirin ikut-ikutan
mengiakan.
Ketika Yue Buqun menyetujui
peleburan Serikat Pedang Lima Gunung tadi, diam-diam Linghu Chong merasa cemas
dan bingung. Kini begitu mendengar ocehan Enam Dewa Lembah Persik itu, dalam
hati kecilnya timbul rasa senang seakan-akan keenam orang dungu itu telah menyelesaikan
persoalan sulit baginya. Tapi setelah mengikuti ocehan mereka, hatinya menjadi
terheran-heran. Ia pun berpikir, “Sungguh aneh, biasanya Enam Dewa Lembah
Persik suka berdebat tidak penting dan berbelit-belit, tapi mengapa sekarang
apa yang mereka ucapkan seakan-akan sangat teratur, seperti sudah disiapkan
sebelumnya? Sepertinya tidak ada celah untuk mendebatnya. Ini sama sekali
berbeda dengan kebiasaan mereka yang kacau balau. Sungguh perubahan yang aneh.
Apakah mungkin di belakang mereka ada orang pandai yang memberi petunjuk?”
Terdengar suara Dewa Bunga
Persik berkata, “Bahwasanya di dalam Perguruan Henshan ada enam kesatria yang
berilmu silat tinggi dan berwawasan luas. Siapakah mereka berenam ini, kalian
bukan orang bodoh, tentu sudah tahu, benar tidak?”
Ratusan hadirin serentak
menjawab dengan tertawa, “Benar! Kami tahu!”
Dewa Bunga Persik menyambung,
“Di dunia ini salah dan benar ditentukan suara terbanyak, ditentukan pendapat
umum, yang sesuai dengan rasa keadilan dan hati nurani.”
“Benar!” jawab para hadirin
serentak.
“Siapakah keenam kesatria
besar itu? Coba katakan!” seru Dewa Bunga Persik.
“Siapa lagi kalau bukan
kalian, Enam Dewa Lembah Persik!” teriak ratusan orang dengan suara bergemuruh.
“Itu dia!” seru Dewa Akar
Persik. “Dengan demikian, jabatan Ketua Perguruan Henshan ini terpaksa kami
berenam tidak berani menolaknya. Demi untuk melaksanakan tugas yang suci ini
sesuai dengan harapan banyak orang, cocok dengan pilihan umum, sesuai dengan
kehendak bapak mertua. Saat air pasang parit akan terbentuk, saat air surut
batu karang akan terlihat, menggedor gunung yang tinggi, maka pintu gerbang
akan terbuka ….”
Karena kata-katanya yang
melantur itu, para hadirin sampai terpingkal-pingkal menahan geli. Sebaliknya,
orang-orang Perguruan Songshan terlihat sangat kesal dan banyak di antaranya
lantas membentak, “Persetan! Kalian berenam keparat sengaja mengacau di sini.
Lekas enyah semua dari sini!”
“Aneh, sungguh aneh!” jawab
Dewa Ranting Persik. “Kalian Perguruan Songshan dengan segala daya upaya
berusaha hendak melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Sekarang kami
para kesatria Henshan telah sudi berkunjung ke Gunung Songshan ini, tapi kalian
malah mengusir kami untuk pergi. Bila kami enam kesatria besar ini angkat kaki
dari sini, segera para kesatria kecil, para pahlawan betina Perguruan Henshan
yang lain juga akan ikut pergi dari sini. Lantas, peleburan Serikat Pedang Lima
Gunung akan macet di tengah jalan, akan mati dalam kandungan, dan … dan …
keguguran pula. Baiklah kalau begitu. Kawan-kawan Perguruan Henshan sekalian,
karena kita sudah tidak diperlukan lagi, marilah kita pergi saja dari sini.
Biarkan mereka mengadakan peleburan empat perguruan saja. Kalau Zuo Lengchan
ingin menjadi Ketua Perguruan Empat Gunung, ya biarkan saja. Perguruan Henshan
kita tidak sudi ikut campur.”
Pada dasarnya Yihe, Yiqing,
dan yang lain sudah teramat benci kepada Zuo Lengchan. Maka begitu mendengar
ajakan Dewa Ranting Persik itu, serentak mereka mengiakan dan berseru, “Benar,
mari kita pergi saja dari sini!”
Begitu mendengar ini, Zuo
Lengchan menjadi kelabakan. Ia berpikir, “Kalau Perguruan Henshan pergi,
berarti Perguruan Lima Gunung akan tinggal Perguruan Empat Gunung saja. Padahal
sejak dahulu di dunia ini yang dikenal adalah Serikat Pedang Lima Gunung, bukan
Serikat Pedang Empat Gunung. Jika hanya empat perguruan yang bergabung dan aku
menjadi ketua, rasanya juga tidak gemilang, malah akan ditertawakan dunia
persilatan.”
Membayangkan itu Zuo Lengchan
segera berkata kepada Linghu Chong, “Ketua Linghu, orang persilatan seperti
kita sangat mengutamakan perkataan. Tadi kau telah menyatakan akan mengikuti
langkah Tuan Yue, tentunya kau akan pegang teguh ucapanmu ini, bukan?”
Linghu Chong memandang ke arah
Yue Buqun. Dilihatnya sang guru sedang manggut-manggut kepadanya dengan sikap
simpatik dan sangat mengharapkan. Sebaliknya ketika ia memandang ke arah
Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, kedua tokoh itu tampak
menggeleng-geleng kepala.
Di tengah kebimbangan itu,
terdengar Yue Buqun berkata, “Chong’er, hubungan kita seperti ayah dan anak.
Ibu-gurumu juga merindukanmu. Apakah kau tidak ingin berhubungan baik lagi
dengan kami seperti dulu?”
Seketika Linghu Chong
meneteskan air mata haru. Tanpa pikir panjang ia lantas berseru, “Guru dan Ibu
Guru, memang itulah yang kuharap-harapkan. Bila kalian setuju peleburan ini,
maka murid hanya menurut saja, tidak ada yang lain.” Ia diam sejenak, kemudian
melanjutkan, “Namun, bagaimana dengan sakit hati ketiga biksuni sepuh ….”
“Kau jangan khawatir,” seru Yue
Buqun menukas. “Mengenai kematian ketiga biksuni sepuh memang patut disesalkan
oleh setiap kaum persilatan. Selanjutnya, sesudah kelima perguruan kita
bergabung, maka urusan Perguruan Henshan sudah tentu menjadi urusanku juga.
Tugas utama kita sekarang tidak lain adalah mencari tahu siapa pembunuh ketiga
biksuni sepuh, lalu dengan tenaga gabungan kelima perguruan kita, serta meminta
bantuan kawan-kawan persilatan yang hadir saat ini. Biarpun si pembunuh
memiliki kepandaian setinggi langit juga akan kita cincang sampai hancur lebur.
Chong’er, kukatakan lagi janganlah kau khawatir. Sekalipun pembunuhnya adalah
tokoh penting dalam Perguruan Lima Gunung juga takkan kita ampuni.”
Kata-kata Yue Buqun itu
diucapkan dengan gagah dan tegas. Serentak murid-murid Perguruan Henshan pun
bersorak memuji. Yihe lantas berseru, “Ucapan Tuan Yue memang benar. Bila kau
dapat tampil ke muka untuk membalaskan sakit hati ketiga biksuni sepuh kami,
maka segenap keluarga Perguruan Henshan akan sangat berhutang budi.”
“Aku jamin, dalam waktu tiga
tahun apabila aku tidak mampu membalaskan sakit hati ketiga biksuni sepuh,
biarlah kawan-kawan persilatan boleh menganggapku sebagai manusia rendah, orang
yang tidak tahu malu,” seru Yue Buqun lantang.
Ucapan ini semakin menimbulkan
rasa senang murid-murid Henshan. Mereka bersorak gembira. Selain itu banyak
juga para hadirin dari golongan lain yang ikut bertepuk tangan dan memuji.
Menyaksikan itu, Linghu Chong
berpikir, “Aku telah bertekad untuk menuntut balas kematian ketiga biksuni sepuh,
tapi susah rasanya menetapkan batas waktu. Meskipun banyak yang mencurigai Zuo
Lengchan sebagai pembunuhnya, tapi bagaimana cara membuktikannya? Seandainya
dia dapat dibekuk dan ditanyai, apakah mungkin dia mau mengaku terus terang?
Tapi mengapa Guru berbicara begitu tegas dan pasti? Ah, tentu Beliau sudah tahu
siapa pembunuh mereka dengan bukti-bukti yang nyata. Maka itu, dalam waktu tiga
tahun Guru yakin akan dapat membereskannya.”
Semula Linghu Chong khawatir
murid-murid Perguruan Henshan menentang pendiriannya yang mengikuti langkah Yue
Buqun terhadap peleburan kelima perguruan. Sekarang begitu melihat mereka
bersorak gembira, tanpa ada yang membantah, hatinya menjadi lega. Segera ia
berseru, “Sungguh baik jika demikian. Guruku, Tuan Yue, sudah menyatakan,
asalkan sudah jelas siapa pembunuh ketiga biksuni sepuh, sekalipun pembunuh itu
adalah tokoh penting dalam Perguruan Lima Gunung juga takkan diampuni. Nah,
Ketua Zuo, kau menyetujui ucapan ini atau tidak?”
Dengan nada dingin Zuo
Lengchan menjawab, “Ucapan ini sangat bagus, mengapa aku tidak setuju?”
“Bagus,” seru Linghu Chong.
“Nah, para kesatria yang hadir di sini telah mendengar semua, apabila biang
keladi pembunuh ketiga biksuni sepuh nanti telah diketahui, tidak peduli siapa
pun dia dan apa pun kedudukannya, maka setiap orang berhak untuk
membinasakannya.”
Serentak sebagian besar di
antara para hadirin bersorak menyatakan setuju.
Setelah suara ramai itu agak
mereda, Zuo Lengchan pun berseru, “Nah, di antara kelima perguruan, Taishan di
timur, Hengshan di selatan, Huashan di barat, Henshan di utara, dan Songshan di
tengah, semua telah menyatakan persetujuannya. Maka, sejak hari ini di dunia
persilatan takkan ada lagi nama Serikat Pedang Lima Gunung, yang ada hanyalah
Perguruan Lima Gunung. Dengan demikian, segenap anggota kelima perguruan kita
dengan sendirinya juga menjadi murid atau anggota Perguruan Lima Gunung.”
Usai berkata, ketika ia
mengangkat sebelah tangan, serentak terdengar suara riuh gemuruh petasan
bergema di angkasa Pegunungan Songshan sebagai tanda merayakan berdirinya
“Perguruan Lima Gunung” secara resmi. Para hadirin saling pandang dengan
tersenyum. Mereka berpikir, “Zuo Lengchan telah merencanakan ini semua dengan
seksama. Mau atau tidak mau, Serikat Pedang Lima Gunung harus tetap dilebur
entah bagaimanapun caranya. Andai saja ada yang menentangnya, sudah tentu akan
terjadi banjir darah di Puncak Songshan ini.”
Begitulah, puncak gunung yang
biasanya sunyi itu seketika penuh dengan remukan kertas bertebaran. Asap tampak
mengepul memenuhi udara, serta suara petasan yang makin lama makin riuh
sehingga bicara berhadapan pun tidak lagi terdengar. Selang agak lama barulah
suara petasan mulai mereda.
Lalu di antara para hadirin
ada yang menghampiri Zuo Lengchan untuk mengucapkan selamat. Tampaknya
orang-orang ini adalah undangan atau sekutu Perguruan Songshan sendiri. Karena
melihat peleburan Serikat Pedang Lima Gunung telah berjalan lancar, pengaruh
Zuo Lengchan juga bertambah besar, maka mereka pun mendahului memberikan
sanjung puji kepada sang tuan rumah. Tidak henti-hentinya Zuo Lengchan
mengucapkan kata-kata rendah hati, namun tidak urung wajahnya yang dingin kaku
seperti es itu menampilkan senyum kepuasan.
Tiba-tiba terdengar Dewa Akar
Persik berseru, “Karena peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi Perguruan
Lima Gunung sudah terjadi, maka kami, Enam Dewa Lembah Persik, terpaksa ikut
mendukungnya. Ini namanya orang bijaksana tahu ke mana angin bertiup.”
Zuo Lengchan berpikir, “Sejak
keenam keparat ini datang ke sini, hanya kata-kata inilah yang pantas
didengar.”
Sementara itu Dewa Dahan
Persik juga berseru, “Pada umumnya setiap perguruan tentu memiliki seorang
ketua. Lalu Ketua Perguruan Lima Gunung ini harus dipegang siapa? Kalau para
hadirin sepakat mengangkat kami Enam Dewa Lembah Persik sebagai ketua, terpaksa
kami pun harus menerimanya.”
“Menurut kata-kata Tuan Yue
tadi bahwa penggabungan ini adalah demi kepentingan dunia persilatan umumnya
dan tidak untuk keuntungan pribadi,” seru Dewa Ranting Persik pula. “Jika demikian
halnya, maka tugas seorang ketua sungguh sangat berat. Namun apa hendak dikata,
mau tidak mau kami enam bersaudara harus bekerja sekuat tenaga.”
“Memang benar. Karena para
hadirin begini simpatik kepada kami, mana boleh kami tidak bekerja mati-matian
demi kawan-kawan persilatan pada umumnya?” sambung Dewa Daun Persik sambil
menghela napas panjang.
Keenam bersaudara ini
bercakap-cakap sendiri seakan-akan mereka benar-benar telah diangkat sebagai
ketua oleh pilihan banyak orang. Seorang tinggi besar berbaju kuning dari
Perguruan Songshan berteriak gemas, “Hei, siapa pula yang hendak mengangkat
kalian menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung? Huh, seperti orang gila, tidak tahu
malu?” Orang ini tidak lain adalah Ding Mian si Tapak Penahan Menara, adik seperguruan
Zuo Lengchan nomor dua.
Serentak orang-orang Songshan
lainnya juga ikut memaki, “Persetan! Omong kosong melulu! Huh, kalau bukan hari
ini hari yang baik, jangan harap kalian dapat turun dari sini dengan kaki
utuh!”
Ding Mian kemudian berseru
kepada Linghu Chong, “Ketua Linghu, keenam orang tolol ini mengacau terus dari
tadi. Kenapa kau diam saja?”
Mendengar itu Dewa Bunga
Persik langsung menyahut, “Hah, kenapa kau panggil Linghu Chong sebagai ‘Ketua
Linghu’? Jadi, kau mengakui dia sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung? Bukankah
tadi Zuo Lengchan sudah menyatakan bahwa Songshan, Taishan, Henshan, Hengshan,
dan Huashan sudah dihapus dari dunia persilatan? Maka, dengan sendirinya
istilah ketua yang kau sebut tadi tentu dimaksudkan untuk Ketua Perguruan Lima
Gunung.”
Dewa Buah Persik menyambung,
“Meskipun kami lebih unggul setingkat dibandingkan Linghu Chong, tapi jika dia
yang menjabat sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung rasanya boleh juga. Kalau
memang yang lebih baik seperti kami tidak kalian terima sebagai ketua, terpaksa
yang lebih rendah juga boleh.”
Dewa Akar Persik kemudian
berteriak keras-keras, “Nah, Perguruan Songshan telah mengusulkan Linghu Chong
sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung, bagaimana pendapat para hadirin sekalian?”
“Setuju!” teriak ratusan orang
dengan suara nyaring dan merdu. Jelas mereka adalah murid-murid Perguruan
Henshan.
Hanya karena Ding Mian salah
bicara, ucapannya itu lantas menjadi bumerang yang langsung dilempar balik oleh
Enam Dewa Lembah Persik. Seketika ia menjadi serbasalah dan kebingungan. Dengan
suara gelagapan ia berseru, “Tidak, ti… tidak! Bu… bukan … bukan begitu
maksudku.”
“Bukan begitu maksudmu?” sahut
Dewa Dahan Persik. “Jika demikian tentu kau anggap kami Enam Dewa Lembah Persik
lebih cocok menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung? Wah, ternyata Saudara sangat
mencintai kami enam bersaudara dan tidak ingin jabatan ketua jatuh ke tangan
orang lain. Untuk ini kami terpaksa tidak bisa menolak lagi dan mau tidak mau
harus menerimanya.”
“Begini saja,” sambung Dewa
Ranting Persik. “Kami akan memegang jabatan ketua selama setahun. Kalau segala
urusan sudah berjalan lancar, barulah kami serahkan kedudukan penting ini
kepada tokoh lain, bagaimana?”
“Betul, betul! Ini namanya
mengambil jalan tengah, sifat pemimpin bijaksana!” teriak kelima saudaranya
yang lain.
Sungguh tidak terkira rasa
kesal yang memenuhi dada Zuo Lengchan. Dengan nada dingin ia berseru, “Kalian
berenam sudah terlalu banyak mengoceh, seakan-akan para kesatria yang hadir di
Gunung Songshan ini tak berharga sama sekali. Boleh tidak kalau orang lain juga
diberi kesempatan bicara?”
“Boleh, sudah tentu boleh,
kenapa tidak boleh?” jawab Dewa Bunga Persik. “Ada kata-kata segera diucapkan,
ada kentut segera dilepaskan!”
Seketika suasana menjadi sunyi
senyap begitu mendengar kata-kata Dewa Bunga Persik itu. Maklum saja, siapa pun
tidak mau membuka suara supaya tidak dianggap kentut.
Selang sejenak barulah Zuo
Lengchan berbicara, “Para hadirin sekalian, silakan kemukakan pandangan
masing-masing! Mengenai ocehan keenam orang sinting ini tidak perlu digubris
lagi!”
Serentak Enam Dewa Lembah
Persik menghirup napas panjang-panjang, lalu hidung mereka sama-sama
mendengus-dengus dan mulut pun berkata, “Nyaring benar kentutnya. Tapi
untungnya, tidak terlalu bau!”
Seorang tua kurus dari
Perguruan Songshan tampil ke muka dan berseru, “Serikat Pedang Lima Gunung
senasib sepenanggungan. Yang terakhir kali menjabat sebagai ketua perserikatan
adalah Ketua Zuo. Nama besar Beliau cukup terkenal, wibawanya juga cukup
disegani. Kalau sekarang kelima perguruan telah dilebur, dengan sendirinya
Ketua Zuo pantas menjadi pemimpin kita. Kalau dijabat orang lain, kukira sukar
diterima oleh banyak orang.” Orang yang berbicara ini juga adik seperguruan Zuo
Lengchan yang bernama Lu Bai, yang dulu bersama Ding Mian dan Fei Bin terlibat
dalam pembantaian keluarga Liu Zhengfeng pada Upacara Cuci Tangan Baskom Emas.
“Tidak benar, kurang tepat!”
seru Dewa Bunga Persik. “Peleburan kelima perguruan menjadi satu adalah
peristiwa besar dan merupakan sejarah baru. Oleh karena itu, jabatan ketua juga
harus diisi oleh orang yang baru pula. Harus benar-benar orang yang baru.”
“Benar,” sambung Dewa Buah
Persik. “Jika Zuo Lengchan tetap menjadi ketua, itu berarti ganti botol tanpa
mengganti isinya. Jika demikian, lantas apa gunanya Serikat Pedang Lima Gunung
dilebur menjadi satu?”
“Benar sekali. Ini sama
seperti membuka toko baru, tapi menjual barang lama. Mana bisa laku?” sambung
Dewa Ranting Persik. “Aku rasa Ketua Perguruan Lima Gunung dapat dijabat oleh
siapa saja, kecuali Zuo Lengchan tidak boleh menjabatnya.”
“Menurut pendapatku, paling
baik kalau jabatan ketua ini kita jabat secara bergiliran. Setiap orang menjadi
ketua satu hari. Semuanya mendapat bagian, tua dan muda tidak ada satu pun yang
dirugikan. Ini baru namanya adil, tidak pilih kasih, tidak pandang bulu, barang
baik, harga pas! Memangnya kalian pikir peleburan kelima perguruan adalah
peristiwa main-main?” seru Dewa Daun Persik.
“Usulanmu ini sungguh teramat
bagus!” sambut Dewa Akar Persik. “Dan yang pantas menjadi ketua pertama adalah
anggota yang berusia paling muda. Maka, aku mengusulkan adik cilik Qin Juan
dari Perguruan Henshan sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung yang pertama pada
hari ini!”
“Setuju!” seru murid-murid
Henshan bersama-sama. Mereka tahu apa yang diucapkan Enam Dewa Lembah Persik
ini memang sengaja untuk menggagalkan rencana licik Zuo Lengchan. Bahkan, Qin
Juan ikut bersorak-sorak pula. Selain itu ribuan hadirin yang senang pada
keributan ikut-ikutan berteriak setuju, sehingga Puncak Songshan seketika
berubah menjadi ramai kembali.
Seorang pendeta tua dari
Taishan tampil dan berseru, “Ketua Perguruan Lima Gunung harus dijabat oleh
seorang yang pandai dan bijaksana, seorang tokoh terkemuka yang punya nama baik
dan pengaruh besar. Mana bisa jabatan sepenting itu diduduki secara bergiliran?
Sungguh pikiran kalian ini seperti anak kecil!” Suara orang ini begitu keras
dan lantang, jelas disertai tenaga dalam tingkat tinggi, sehingga di tengah
ribut-ribut itu tetap terdengar dengan jelas oleh setiap hadirin.
Dewa Ranting Persik
menanggapi, “Orang pandai bijaksana dan terkemuka yang memiliki nama baik dan
pengaruh besar? Kukira hanya seorang tokoh persilatan yang memenuhi syarat ini,
yaitu Kepala Biara Shaolin, Mahabiksu Fangzheng.”
Sejak tadi jika Enam Dewa
Lembah Persik berbicara selalu menimbulkan gelak tawa banyak orang. Rupanya
para hadirin menganggap mereka berenam bagaikan pelawak saja. Tapi, begitu Dewa
Ranting Persik menyebut nama Mahabiksu Fangzheng, seketika suasana menjadi
sunyi senyap, setiap orang tidak berani bersuara. Maklum saja, Mahabiksu
Fangzheng adalah tokoh yang dihormati dan disegani oleh setiap kaum persilatan.
Ilmu silatnya tinggi, sikapnya tulus dan welas asih, dan selalu mengutamakan
keadilan dalam menyelesaikan perkara di dunia persilatan. Selain itu, Biara
Shaolin juga telah mencapai puncak kejayaan dan menjadi perguruan nomor satu di
dunia persilatan. Maka apa yang diucapkan oleh Dewa Ranting Persik kali ini
tidak ada yang salah di telinga para hadirin, dan tidak ada seorang pun yang
berani menertawakannya.
Dewa Akar Persik pun
berteriak, “Apakah Kepala Biara Shaolin Mahabiksu Fangzheng terhitung tokoh
yang pandai dan bijaksana, serta memiliki nama baik dan pengaruh besar?”
“Benar!” teriak ribuan hadirin
bersamaan.
“Bagus!” sambut Dewa Akar
Persik. “Itu artinya Mahabiksu Fangzheng telah disetujui dengan suara bulat
oleh para hadirin. Jika demikian, maka jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung
mulai hari ini kita serahkan untuk dipegang Mahabiksu Fangzheng.”
“Omong kosong!” teriak
sebagian besar orang-orang Perguruan Songshan dan Taishan. “Mahabiksu Fangzheng
adalah Ketua Perguruan Shaolin, ada sangkut paut apa dengan Perguruan Lima
Gunung kita?”
Dewa Ranting Persik menyahut,
“Bukankah tadi pendeta tua itu mengatakan jabatan ketua harus dipegang oleh
seorang tokoh berbudi luhur dan bijaksana, yang memiliki nama baik dan pengaruh
besar? Sekarang kita telah mendapatkan pilihan yang tepat dan sesuai dengan
syarat tersebut, yaitu Mahabiksu Fangzheng. Memangnya kalian berani menyangkal
kalau Beliau tidak memenuhi syarat-syarat itu? Memangnya kalian berani
mengatakan Mahabiksu Fangzheng tidak berbudi luhur, tidak bijaksana, tidak
memiliki nama baik, dan tidak memiliki pengaruh besar? Aduh, coba jawab kalau kalian
ingin kami sikat lebih dulu. Barangsiapa berani menyangkal Mahabiksu Fangzheng
bahwa Beliau tidak memenuhi syarat-syarat tadi, harus berhadapan dengan Enam
Dewa Lembah Persik lebih dulu.”
Dewa Dahan Persik menambahkan,
“Mahabiksu Fangzheng sudah menjadi Ketua Perguruan Shaolin selama puluhan
tahun. Lantas, kenapa Beliau tidak boleh menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung?
Apakah menurut kalian kedudukan Shaolin lebih rendah daripada Lima Gunung?
Hanya orang gila yang tidak bisa menerima Mahabiksu Fangzheng sebagai ketua.”
Mendengar itu Yujizi dari
Taishan menanggapi, “Mahabiksu Fangzheng memang seorang tokoh yang harus
dihormati oleh siapa pun juga. Tetapi yang kita pilih sekarang adalah Ketua
Perguruan Lima Gunung, sedangkan Mahabiksu Fangzheng adalah tamu kehormatan,
mana boleh Beliau diikutsertakan dalam urusan ini?”
Dewa Dahan Persik balas
bertanya, “Jadi maksudmu, Mahabiksu Fangzheng tidak dapat dipilih menjadi ketua
karena Biara Shaolin kau anggap tak ada sangkut pautnya dengan Perguruan Lima
Gunung, begitu?”
“Benar!” jawab Yujizi.
Dewa Dahan Persik menyahut,
“Mengapa Perguruan Shaolin tidak punya sangkut paut dengan Perguruan Lima
Gunung? Aku justru mengatakan sangat besar sangkut pautnya. Coba katakan,
Perguruan Lima Gunung terdiri dari lima perguruan apa?”
“Ah, Saudara ini sudah tahu
sengaja bertanya,” ujar Yujizi. “Perguruan Lima Gunung jelas terdiri dari
Perguruan Songshan, Hengshan, Taishan, Henshan, dan Huashan.”
“Salah, salah besar!” sahut
Dewa Bunga Persik dan Dewa Buah Persik bersamaan. “Tadi Zuo Lengchan telah
menyatakan bahwa setelah Serikat Pedang Lima Gunung dilebur, maka nama
Perguruan Taishan, Songshan, dan lainnya sudah tidak lagi ada. Tapi mengapa
sekarang kau menyebut-nyebut nama kelima perguruan itu?”
Dewa Daun Persik menyambung,
“Ini tandanya dia tidak pernah melupakan golongannya sendiri. Dia sudah cinta
mati terhadap perguruannya. Begitu ada kesempatan, tentu dia akan membangkitkan
kembali kebesaran Perguruan Taishan.”
Para hadirin banyak yang
tertawa geli. Dalam hati mereka berpikir, “Keenam orang tua ini terlihat
sinting, tapi begitu ada yang salah bicara sedikit saja, mereka langsung
mendebatnya sampai pihak lawan mati kutu.”
Para hadirin jelas tidak tahu
kalau Enam Dewa Lembah Persik sejak mulai bisa bicara sudah gemar berdebat dan
bantah-membantah di antara sesama saudara. Selama puluhan tahun pekerjaan
mereka hanya berdebat melulu. Kini keenam kepala digunakan sekaligus, enam
mulut terbuka bersama, siapa orangnya yang tidak kewalahan menghadapi mereka?
Yujizi tampak tersipu malu
oleh bantahan Enam Dewa Lembah Persik tadi. Terpaksa ia berkata, “Huh,
Perguruan Lima Gunung punya enam anggota istimewa seperti kalian, sungguh
sial!”
Dewa Bunga Persik langsung
menanggapi, “Apa? Kau bilang Perguruan Lima Gunung sungguh sial? Itu artinya
kau tidak ingin bergabung dengan Perguruan Lima Gunung?”
Dewa Buah Persik menyambung,
“Perguruan Lima Gunung baru saja didirikan pada hari pertama ini sudah kau
sumpahi dengan ucapan sial segala. Padahal, kita semua mengharapkan Perguruan Lima
Gunung akan berkembang dan berjaya di dunia persilatan, sejajar dengan Shaolin
dan Wudang. Pendeta Yuji, mengapa hatimu begitu jahat dan suka menyumpahi?”
“Benar, itu membuktikan
Pendeta Yuji menghendaki kegagalan pendirian Perguruan Lima Gunung kita.
Kakinya ada di Lima Gunung, tapi hatinya masih merindukan Taishan. Mana boleh
kita mengampuni orang yang punya maksud jahat seperti ini? Dia tidak boleh
berada di dalam perguruan kita.” ujar Dewa Daun Persik.
Kaum persilatan setiap saat
bisa mati dalam pertarungan, sehingga pada umumnya memang sangat tabu terhadap
kata-kata yang bersifat menyumpahi. Karena itu, banyak di antara hadirin yang
sepaham dengan Enam Dewa Lembah Persik lantas menganggap Yujizi memang tidak
sepantasnya mengatakan Perguruan Lima Gunung sial pada hari pertama diresmikan.
Zuo Lengchan juga diam-diam kurang suka dengan ucapan Yujizi tadi. Namun, ia
sadar sekutunya itu sedang terdesak dan salah bicara.
Yujizi sendiri merasa telah
telanjur salah bicara, sehingga ia menjadi bungkam dengan memendam amarah.
Segera Dewa Dahan Persik
berseru, “Kami mengatakan Perguruan Shaolin memiliki hubungan besar dengan
Perguruan Songshan, tapi Pendeta Yuji justru bilang tiada sangkut pautnya.
Sebenarnya bagaimana? Kau yang salah atau kami yang betul?”
Dewa Dahan Persik berkata,
“Aku berkata Perguruan Shaolin dan Songshan memiliki hubungan besar, tapi
Pendeta Yuji mengatakan tidak ada sangkut paut sama sekali. Mana yang benar?”
Yujizi menjawab gemas, “Kalau
kau suka mengatakan ada sangkut pautnya, maka anggap saja kau yang benar.”
“Hahaha, segala urusan di
dunia ini memang tidak bisa mengingkari satu hal, yaitu kebenaran,” kata Dewa
Dahan Persik. “Coba katakan, Biara Shaolin terletak di gunung apa, dan
Perguruan Songshan terletak di gunung apa?”
Dewa Bunga Persik menjawab,
“Biara Shaolin terletak di Gunung Shaoshi dan Perguruan Songshan terletak di
Gunung Taishi. Kedua gunung sama-sama berada dalam lingkungan Pegunungan
Songshan, betul tidak? Lantas, kenapa Pendeta Yuji mengatakan Perguruan Shaolin
tidak punya sangkut paut dengan Perguruan Songshan?”
Perkataan ini benar-benar
masuk akal sehingga para hadirin mengangguk-angguk setuju begitu mendengarnya.
Dewa Ranting Persik menyambung
kembali, “Tuan Yue telah mengatakan bahwa setelah peleburan ini, kelak akan
banyak berkurang pertentangan di antara sesama kaum persilatan. Maka itu,
Beliau menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Beliau mengatakan pula
bahwa yang ilmu silatnya mendekati satu sama lain atau yang tempatnya
berdekatan sebaiknya saling bergabung. Bicara tentang tempat yang berdekatan
kukira hanya Perguruan Shaolin dan Songshan yang sama-sama terletak di
lingkungan pegunungan yang sama. Kalau Perguruan Shaolin dan Songshan tidak
bergabung, maka apa yang dikatakan Tuan Yue tadi bukankah seperti … seperti
kentut belaka?”
Perkataan Dewa Ranting Persik
lagi-lagi masuk akal, tapi sekaligus mustahil pula jika Perguruan Songshan dan
Shaolin bergabung. Maka, hadirin pun menanggapinya dengan gelak tawa namun
tidak berani keras-keras.
Mendengar itu Linghu Chong
berpikir, “Sungguh mengherankan. Enam Dewa Lembah Persik memang pintar
menirukan ucapan orang, tapi anehnya, mengapa sejak tadi selalu tepat sasaran?
Sebenarnya, siapakah orang pintar yang berada di balik mereka ini?”
Dewa Akar Persik berkata,
“Mahabiksu Fangzheng adalah tokoh pilihan. Tadinya kami ingin meminta Beliau
menjadi ketua, tapi ada yang mengatakan kalau Shaolin tidak ada hubungan dengan
Lima Gunung. Maka, jika terjadi penggabungan antara Perguruan Shaolin dan Lima
Gunung menjadi Perguruan Shaolin Lima Gunung, tidak ada orang yang pantas
menjadi ketua selain Mahabiksu Fangzheng. Kami Enam Dewa Lembah Persik tunduk
kepada Mahabiksu Fangzheng. Memangnya ada di antara para hadirin yang tidak mau
tunduk?”
“Jika ada yang tidak tunduk,
silakan tampil ke muka dan boleh mencoba adu tenaga melawan kami, Enam Dewa
Lembah Persik,” sambung Dewa Bunga Persik. “Bila dapat mengalahkan Enam Dewa
Lembah Persik, baru kemudian silakan coba-coba dengan Mahabiksu Fangzheng.
Kalau Mahabiksu Fangzheng juga dikalahkan, masih ada jago-jago Biara Shaolin
yang lain seperti para biksu sakti dari Balai Damo, Balai Lohan, Halaman Jielu,
Bangsal Cangge, dan sebagainya. Bila tokoh-tokoh simpanan Biara Shaolin itu
juga kalah, maka silakan bertanding pula dengan Pendeta Chongxu dari Perguruan
Wudang .…”
“Lho, kenapa Pendeta Chongxu
dari Perguruan Wudang kau bawa-bawa, saudaraku?” tanya Dewa Buah Persik.
“Ketua Perguruan Wudang dan
Kepala Biara Shaolin adalah sahabat karib yang berhubungan erat, bukan begitu?”
ujar Dewa Bunga Persik. “Kalau Perguruan Shaolin dikalahkan orang, mustahil
Pendeta Chongxu hanya berpangku tangan, benar tidak?”
“Benar sekali, benar sekali!”
sahut Dewa Daun Persik. “Kalau Pendeta Chongxu juga kalah, maka silakan
bertanding melawan Enam Dewa Lembah Persik.”
Dewa Akar Persik menyahut,
“Hei, pertandingan melawan kita Enam Dewa Lembah Persik bukankah sudah
dilakukan, kenapa diulangi?”
Dewa Daun Persik menjawab,
“Tadi memang sudah. Tapi kita hanya kalah satu kali apa lantas menyerah begitu
saja? Tentu saja kita harus tetap melabrak si keparat itu mati-matian sampai
darah penghabisan.”
Kembali terdengar suara gelak
tawa para hadirin riuh bergemuruh, bahkan ada yang bersuit pula.
Yujizi semakin gusar
dibuatnya. Ia melompat maju dengan menekan gagang pedang. “Hei, Enam Setan
Lembah Persik, aku Yujizi yang pertama-tama tidak tunduk dan hendak mencoba
kemampuan kalian!”
Dewa Akar Persik menjawab,
“Ah, kita ini sama-sama anggota Perguruan Lima Gunung. Bila berkelahi bukankah
hanya akan saling bunuh-membunuh?”
“Jangan banyak bicara! Dewa
benci dan setan jijik pada ocehan kalian,” kata Yujizi. “Jika kalian
dilenyapkan dari Perguruan Lima Gunung, kami akan merasa lebih aman dan
tenteram.”
“Hei, hei, mengapa kau menekan
gagang pedang? Apa kau tinggal menariknya keluar, lalu wus-wus-wus-wus-wus-wus,
kau penggal kepala kami berenam?” sahut Dewa Dahan Persik.
Yujizi hanya mendengus tanpa
menjawab, seakan-akan membenarkan pertanyaan itu.
Dewa Ranting Persik berkata,
“Hari ini Perguruan Lima Gunung baru saja diresmikan dan kau sudah berniat
membunuh kami berenam dari Henshan. Lantas, bagaimana kita dapat bekerja sama
bahu membahu pada waktu-waktu yang akan datang?”
Yujizi merasa perkataan ini
ada benarnya juga. Jika ia membunuh keenam orang itu, maka orang-orang Henshan
lainnya tentu akan menuntut balas. Maka, ia pun menarik napas menahan marah,
lalu berkata, “Jika kalian sudah tahu perlu adanya kerja sama yang baik, maka
ocehan-ocehan kalian yang mengganggu urusan mahapenting ini hendaknya jangan
diulangi lagi.” Usai berkata demikian ia lantas menarik keluar pedangnya
setengah jalan, lalu memasukkannya kembali ke dalam sarung.
Dewa Daun Persik bertanya,
“Tapi bagaimana kalau ucapan-ucapan kami ternyata bermanfaat untuk masa depan
Perguruan Lima Gunung dan dunia persilatan pada umumnya?”
Yujizi mencibir, “Huh, rasanya
kalian tidak mungkin mengemukakan ucapan-ucapan baik dan bermanfaat.”
Dewa Bunga Persik menyahut,
“Apakah membicarakan siapa yang pantas menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung
bukan masalah penting bagi kita dan kawan persilatan pada umumnya? Dari tadi
kami telah menyarankan seorang tokoh terkemuka dan berpengaruh besar untuk
menjadi ketua tapi kau malah tidak setuju. Kau ini terlalu mementingkan diri
sendiri dan mati-matian mendukung calonmu yang telah memberikan uang suap
sebanyak tiga ribu tahil emas dan empat perempuan cantik kepadamu itu.”
Yujizi menjadi gusar dan
berteriak, “Omong kosong! Siapa pula yang pernah memberi tiga ribu tahil emas
dan empat perempuan cantik kepadaku?”
Dewa Bunga Persik menjawab,
“Hei, aku salah bicara ya? Mungkin aku salah menyebut jumlahnya. Bisa jadi
bukan tiga ribu tahil, tapi empat ribu tahil. Kalau bukan empat perempuan
cantik tentu tiga atau lima. Siapa yang memberikannya kepadamu mana mungkin kau
sendiri tidak tahu dan pura-pura bertanya? Siapa calon ketuamu, dia itulah yang
telah menyuapmu.”
Yujizi melolos kembali
pedangnya dan membentak, “Jika kau mengoceh lagi, maka akan segera kubuat kau
mandi darah di sini!”
Dewa Bunga Persik justru terbahak-bahak
sambil melangkah maju membusungkan dada. “Dengan siasat keji dan licik kau
telah membunuh ketua perguruanmu sendiri, sekarang kau hendak mencelakai orang
lagi? Kalau memang berani cobalah membuatku mandi darah di sini. Pendeta
Tianmen sudah kau korbankan, dan sekarang kau hendak membunuh sesama anggota
Perguruan Lima Gunung pula, hah? Rupanya membunuh sesama kawan sendiri memang
keahlianmu yang istimewa. Sekarang kau bisa mencoba cara yang sama kepadaku,”
ujarnya kemudian. Sambil berbicara ia terus melangkah mendekati Yujizi.
“Berhenti!” bentak Yujizi
sambil mengacungkan pedangnya ke depan. “Satu langkah lagi kau tetap maju maka
aku tidak perlu segan-segan lagi!”
“Haha, memangnya dari tadi kau
segan kepadaku?” ejek Dewa Bunga Persik. “Puncak Songshan ini bukan milikmu. Ke
mana aku suka, ke sana pula aku bebas melangkah pergi. Memangnya kau punya hak
apa merintangi aku?” Usai berkata demikian ia kembali melangkah maju sehingga
jaraknya dengan Yujizi hanya tinggal beberapa jengkal saja.
Melihat wajah Dewa Bunga
Persik yang buruk seperti kuda dengan gigi yang kuning menyeringai, membuat
rasa muak Yujizi bertambah hebat. Tanpa pikir panjang pedangnya lantas menusuk
ke dada orang itu dengan cepat.
Segera Dewa Bunga Persik
mengelak sambil memaki, “Pengkhianat busuk, kau ben… benar-benar ingin
berkelahi?”
Yujizi telah menguasai ilmu
pedang Taishan dengan sempurna. Serangan pertamanya tadi langsung disusul
serangan kedua yang lebih cepat dan lihai. Ketika Dewa Bunga Persik berbicara,
ia telah melancarkan serangan susulan sebanyak empat kali. Semakin menyerang
semakin cepat pula gerak pedang pendeta tua itu. Dewa Bunga Persik hanya mampu
berteriak-teriak dengan tangan dan kaki bergerak serabutan. Ketika tangannya
hendak meraih tongkat besi yang tergantung di pinggang, pedang Yujizi ternyata
lebih dulu menusuk bahu kirinya. Namun, pada saat yang sama tiba-tiba pedang
Yujizi terpental ke udara, menyusul tubuhnya terangkat ke atas pula. Ternyata
kedua tangan dan kedua kakinya masing-masing telah dipegang oleh Dewa Akar
Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, dan Dewa Daun Persik.
Keadaannya kali ini bagaikan seekor kelinci yang ditangkap empat ekor elang.
Apa yang terjadi sungguh
teramat cepat. Sekejap kemudian sekelebat bayangan kuning langsung melayang
pula dengan disertai kilatan sinar pedang. Rupanya seseorang telah mengayunkan
pedangnya ke arah kepala Dewa Ranting Persik. Namun Dewa Buah Persik yang
berjaga di samping saudaranya itu segera menangkis dengan tongkat besi di
tangannya. Orang berbaju kuning itu lantas mengalihkan serangannya ke dada Dewa
Akar Persik. Tapi Dewa Bunga Persik juga sudah bersiaga dan menangkis serangan
tersebut. Begitu diperhatikan, ternyata si penyerang berbaju kuning itu tidak
lain adalah Ketua Perguruan Songshan sendiri, Zuo Lengchan.
Sejak tadi Zuo Lengchan sudah
tahu kalau Enam Dewa Lembah Persik memiliki kepandaian yang tinggi, meskipun
tingkah laku dan ucapan mereka ugal-ugalan. Ia teringat peristiwa setahun yang
lalu saat salah seorang sekutunya yang bernama Cheng Buyou dari Kelompok Pedang
tewas dirobek keenam orang aneh itu menjadi empat potong di Gunung Huashan.
Maka, begitu melihat Yujizi tertangkap pula, ia berpikir harus segera
menolongnya karena terlambat sedikit saja tentu akan sangat berbahaya. Sebagai tuan
rumah sebenarnya Zuo Lengchan tidak pantas turun tangan secara langsung. Namun
menghadapi detik-detik berbahaya seperti itu terpaksa ia harus menyelamatkan
nyawa Yujizi. Dua kali ia menyerang Dewa Ranting Persik dan Dewa Akar Persik
dengan jurus-jurus mematikan, namun selalu dapat ditangkis oleh Dewa Bunga
Persik dan Dewa Buah Persik. Sungguh rapih cara kerja sama Enam Dewa Lembah
Persik. Jika empat orang menangkap lawan, maka dua orang sisanya berjaga di
samping untuk melindungi.
Sementara itu, nyawa Yujizi
sendiri bagaikan telur di ujung tanduk. Zuo Lengchan harus mendesak mundur Dewa
Bunga Persik dan Dewa Buah Persik, dan untuk itu sedikitnya harus melancarkan
lebih dari lima-enam jurus. Jika harus menunggu selama itu, maka tubuh Yujizi
tentu sudah ditarik-robek oleh keempat Dewa Persik lainnya.
Sungguh tidak disangka,
tiba-tiba saja terdengar suara Yujizi menjerit keras-keras dan tubuhnya
terbanting ke tanah dengan kepala di bawah. Tampak Dewa Akar Persik dan Dewa
Ranting Persik masing-masing memegang sepotong lengan putus, Dewa Dahan Persik
memegang sepotong kaki putus, sedangkan Dewa Daun Persik memegang sebelah kaki
yang masih bersatu dengan tubuh dan kepala Yujizi.
Rupanya Zuo Lengchan merasa
tidak mampu memaksa Enam Dewa Lembah Persik melepaskan Yujizi dalam waktu
sesingkat itu. Terpaksa ia mengambil tindakan tegas dengan cara memotong kedua
lengan dan sebelah kaki sekutunya itu sehingga Enam Dewa Lembah Persik tidak
dapat merobeknya menjadi empat potong. Ini bagaikan memotong kaki yang dipatuk
ular berbisa supaya racun tidak menjalar ke seluruh tubuh. Meski terpaksa harus
kehilangan tiga anggota badan, namun setidaknya nyawa Yujizi dapat
diselamatkan, karena Enam Dewa Lembah Persik tidak mungkin mengganggu seorang
yang sudah cacat.
Selesai melaksanakan tindakan
mahacepat itu, Zuo Lengchan mengundurkan diri ke tepi sambil mendengus sinis.
“Hei, Zuo Lengchan,” seru Dewa
Ranting Persik, “kau telah memberi suap berupa emas dan perempuan cantik kepada
Yujizi dan menyuruhnya untuk mendukungmu menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung.
Tapi sekarang mengapa kau berbalik membuntungi kaki dan kedua tangannya? Apakah
kau bermaksud melenyapkan saksi, hah?”
“Hahaha, ia khawatir kita akan
merobek Yujizi menjadi empat potong, maka itu ia lebih dulu memotong anggota
badan Yujizi. Padahal dia telah salah duga,” sambung Dewa Akar Persik.
“Benar. Kau berlagak pintar
sendiri, haha, sungguh lucu, sungguh menggelikan,” kata Dewa Buah Persik. “Kami
menangkap Yujizi untuk mengajaknya bercanda. Hanya untuk menakut-nakuti saja.
Padahal, hari ini adalah hari bahagia berdirinya Perguruan Lima Gunung, mana
mungkin kami berani main bunuh-membunuh segala?”
“Walaupun Yujizi berniat
membunuhku, tapi mengingat kami adalah sesama anggota Perguruan Lima Gunung,
mana mungkin kami tega membunuhnya?” sambung Dewa Bunga Persik. “Dia bersikap
kejam kepada kami, tapi kami tetap bersikap baik kepadanya.”
Dewa Akar Persik berkata,
“Kami hanya ingin melemparkan tubuhnya ke udara, lalu kami akan menangkapnya
kembali. Kami hanya ingin bergurau dan menakut-nakuti dia saja. Sebaliknya, Zuo
Lengchan ternyata bertindak begitu kejam dan gegabah. Sungguh tolol!”
Dewa Daun Persik menarik kaki
Yujizi dan menyeret tubuh pendeta malang yang berlumuran darah itu ke hadapan
Zuo Lengchan dan melepaskannya. Dengan menggeleng-geleng ia berkata, “Zuo
Lengchan, kau benar-benar sangat kejam. Orang baik-baik seperti Yujizi ini
mengapa tega kau buntungi kaki dan kedua lengannya? Sekarang dia hanya memiliki
satu kaki saja, lantas bagaimana caranya bisa bertahan hidup?”
Zuo Lengchan sudah tentu
sangat gemas. Gusar hatinya tiada terkira. Padahal kalau tadi ia tidak
mengambil tindakan tegas, tentu tubuh Yujizi sudah tertarik-robek menjadi empat
potong. Tapi sekarang malah dirinya yang dianggap kejam. Namun demikian, untuk
membela diri juga tidak ada dasarnya, terpaksa ia hanya mendengus tanpa
menjawab.
Dewa Akar Persik segera
menyambung, “Kalau Zuo Lengchan mau membunuh harusnya sekali tebas ia memenggal
kepala Yujizi saja. Tapi ia justru menyiksanya dengan cara membuntungi kaki dan
kedua lengannya. Kini Yujizi mati tak hendak, hidup tak mau. Cara yang dipakai
Zuo Lengchan sungguh keji dan tidak berbudi.”
Dewa Dahan Persik menambahkan,
“Kita ini sama-sama anggota Perguruan Lima Gunung. Ada persoalan apa pun harus dapat
dirundingkan secara baik-baik. Mengapa harus memakai cara sekejam ini? Sedikit
pun tidak punya rasa setia kawan. Sungguh tidak bijaksana.”
Mendengar itu, Ding Mian
berteriak membela kakak seperguruannya, “Kalian berenam terkenal suka merobek
badan orang. Tindakan Ketua Zuo tadi justru bermaksud menyelamatkan jiwa
Pendeta Yuji. Tapi mengapa kalian malah memutarbalikkan persoalan?”
Dewa Ranting Persik
menanggapi, “Jelas sekali kami hanya bercanda dengan Yujizi, tapi Zuo Lengchan
justru salah sangka. Kenapa dia tidak bisa membedakan orang yang sedang
bercanda dengan yang sungguh-sungguh? Betapa bodohnya Zuo Lengchan ini!”
“Seorang laki-laki sejati
berani berbuat berani bertanggung jawab,” sambung Dewa Daun Persik. “Zuo
Lengchan sudah membuntungi Yujizi maka harus berani mengakui perbuatannya. Tapi
kalian malah memakai macam-macam alasan untuk menutupi niat kejinya. Sedikit
pun tidak punya keberanian untuk bertanggung jawab. Sungguh pengecut! Padahal
ribuan mata para hadirin di sini telah menyaksikan sendiri apa yang dia
lakukan. Apa masih mau menyangkal?”
Dewa Bunga Persik berseru,
“Manusia tak berbudi, tidak setia kawan, goblok juga pengecut! Apakah mungkin
jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung kita boleh diduduki orang seperti ini? Huh,
Zuo Lengchan, kau jangan bermimpi di siang bolong!” Begitu selesai berbicara,
kelima saudaranya ikut menggeleng-gelengkan kepala.
Sebenarnya banyak di antara
para hadirin yang duduk di dekat Panggung Fengshan memiliki pandangan tajam
dapat memaklumi maksud baik Zuo Lengchan. Kalau tadi Ketua Songshan itu tidak
bertindak cepat tentu jiwa Yujizi sudah melayang dengan tubuh robek menjadi
empat bagian. Diam-diam mereka memuji kehebatan ilmu pedang Zuo Lengchan dan
kecepatannya mengambil keputusan. Namun karena apa yang dikatakan Enam Dewa
Lembah Persik cukup berdasar, sulit bagi orang lain untuk menyanggahnya. Maka,
para hadirin yang mengetahui maksud hati Zuo Lengchan hanya bisa terdiam,
sedangkan mereka yang tidak tahu duduk permasalahannya tampak menampilkan wajah
tidak puas dan menganggap Ketua Perguruan Songshan itu bertindak terlalu
gegabah.
Yang paling hafal watak Enam
Dewa Lembah Persik tentu saja Linghu Chong. Ia pun merenung, “Aneh, mengapa
enam bersaudara ini tiba-tiba berubah pintar dan setiap kata-kata mereka selalu
tepat mengenai titik kelemahan Zuo Lengchan? Padahal biasanya mereka suka
gila-gilaan dan mengoceh omong kosong. Siapa sebenarnya orang pintar yang
berdiri di balik mereka berenam?”
Usai berpikir demikian Linghu
Chong perlahan-lahan mendekati Enam Dewa Lembah Persik untuk memeriksa apakah
di sekitar mereka terdapat orang pintar yang memberikan petunjuk. Namun
dilihatnya keenam bersaudara itu berkumpul menjadi satu dan di sekitar mereka
tak ada orang lain lagi. Malah mereka tampak sibuk membalut luka di bahu kiri
Dewa Bunga Persik yang tertusuk pedang Yujizi tadi.
Ketika berpaling lagi,
tiba-tiba Linghu Chong mendengar suara bisikan yang sangat lirih, “Kakak Chong,
apakah kau sedang mencari diriku?” Suara tersebut sangat lirih bagaikan nyamuk
mendenging masuk ke dalam telinga.
Seketika perasaan Linghu Chong
terkejut bercampur senang. Meski sangat lirih, tapi ia dapat langsung mengenali
pemilik suara tersebut yang tidak lain adalah Ren Yingying. Begitu memandang ke
sekeliling, tampak olehnya seorang laki-laki berewok dengan badan agak gemuk
berdiri bersandar pada sepotong batu besar sambil menggaruk-garuk kepala
bermalas-malasan.
Laki-laki berewok macam ini
sedikitnya ada seratus atau dua ratus orang di antara ribuan hadirin yang
berkumpul di tempat itu, sehingga cenderung tidak menarik perhatian. Namun
mendadak dari sorot mata laki-laki ini Linghu Chong melihat kilasan senyuman
yang licik tapi menawan. Begitu senangnya tanpa terasa kakinya pun berjalan
mendekati orang itu.
Seketika suara Ren Yingying
kembali terdengar, “Jangan kemari, nanti penyamaranku terbongkar!” Begitu lirih
suara ini bagaikan sehelai benang sutra, tapi masuk ke telinga Linghu Chong
sehingga terdengar jelas olehnya.
Linghu Chong pun menghentikan
langkah dan berpikir, “Ternyata kau menguasai ilmu menyalurkan suara ke dalam
pikiran orang lain.” Seketika ia pun terkesiap dan berpikir, “Ternyata
kata-kata Enam Dewa Lembah Persik tadi adalah hasil bisikanmu. Pantas saja
keenam orang dungu itu mampu berbicara tentang budi, kesetiaan, dan kebijaksanaan
segala. Entah ilmu apa yang kau pergunakan untuk menyalurkan suaramu ke dalam
pikiran mereka, namun aku yakin ini adalah ilmu rahasia pelajaran dari ayahmu.”
Usai berpikir demikian Linghu
Chong tak kuasa menahan gembira dan berteriak keras, “Kata-kata Tujuh Dewa
Lembah Persik memang benar dan masuk akal. Tadinya aku mengira mereka hanya
berjumlah enam. Tak disangka, ternyata ada seorang lagi anggota ketujuh yang
paling pintar dan cerdik di antara mereka, juga seorang yang paling cantik
pula. Dia adalah Dewi Kuntum Persik.”
Mendengar ucapan Linghu Chong
itu beberapa di antara para hadirin terkejut dan menoleh ke arahnya, namun
mereka tidak paham atas apa yang baru saja ia katakan.
Terdengar Ren Yingying kembali
menyalurkan suaranya, “Ini adalah saat-saat yang sangat gawat. Kau adalah Ketua
Perguruan Henshan, sehingga tidak pantas lagi bicara seenaknya seperti dulu.
Zuo Lengchan sedang terdesak. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untukmu
merebut jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung.”
Linghu Chong tercengang sadar.
Ia kemudian merenung, “Yingying nekad menyamar untuk bisa datang ke Gunung
Songshan ini demi untuk membantuku menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Padahal
ia adalah putri Ketua Sekte Matahari dan Bulan yang merupakan musuh bebuyutan golongan
putih di sini. Jika karena kebodohanku penyamarannya sampai terbongkar, entah
bagaimana nasibnya, tentu aku takkan bisa memaafkan diri sendiri. Ia telah
menempuh bahaya sedemikian besar hanya demi aku. Perasaannya kepadaku begitu
mendalam. Aku benar-benar … benar-benar tak tahu bagaimana membalasnya.”
Kemudian terdengar Dewa Akar
Persik berkata, “Tokoh besar seperti Mahabiksu Fangzheng tidak bisa kalian
terima sebagai ketua. Yujizi sekarang hanya tinggal memiliki satu kaki. Zuo
Lengchan sendiri jelas tidak berbudi dan berwatak keji. Maka mereka tidak bisa
menduduki tempat terhormat itu. Sekarang biarlah kita memilih seorang kesatria
muda yang ilmu pedangnya nomor satu di dunia untuk menjadi pimpinan kita. Kalau
ada yang tidak setuju, silakan maju untuk meminta petunjuk kepadanya.” Bicara
sampai di sini tangan kirinya lalu terangkat dan menunjuk ke arah Linghu Chong.
“Inilah dia Pendekar Linghu!”
sambung Dewa Bunga Persik, “Dia adalah Ketua Perguruan Henshan yang juga
memiliki hubungan dekat dengan Tuan Yue dari Perguruan Huashan. Dia juga
bersahabat karib dengan Tuan Besar Mo dari Perguruan Hengshan. Di antara
Serikat Pedang Lima Gunung jelas ada tiga perguruan yang pasti akan
mendukungnya.”
Dewa Ranting Persik
menambahkan, “Para pendeta dari Perguruan Taishan juga tidak bodoh semua.
Sebagian besar di antara mereka pasti juga akan mendukung Pendekar Linghu.”
Dewa Buah Persik menyambung,
“Perguruan Lima Gunung awalnya bernama Serikat Pedang Lima Gunung, yaitu
perserikatan lima perguruan pedang. Maka, barangsiapa memiliki ilmu pedang
paling hebat tentunya ia berhak menjadi ketua.”
“Nah, Zuo Lengchan, jika kau
setuju, silakan maju untuk mencoba ilmu pedang Pendekar Linghu. Yang menang,
dialah yang berhak menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Ini namanya bertanding
pedang untuk merebut kedudukan!” seru Dewa Daun Persik.
Di antara para hadirin selain
para anggota Serikat Pedang Lima Gunung dan tamu-tamu kehormatan seperti
Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, sisanya adalah orang-orang persilatan
yang datang untuk menonton keramaian. Sebenarnya mereka paling tidak suka
mendengarkan pidato panjang lebar dan bertele-tele. Hanya saja, ucapan-ucapan
Enam Dewa Lembah Persik yang jenaka dan menggelikan telah membuat mereka bisa
menerima perdebatan itu dan mengikutinya dengan senang. Andai saja semua orang
berbicara seperti Yue Buqun tadi, tentu mereka akan merasa bosan setengah mati
dan pulang sebelum acara selesai. Selain itu, peristiwa kematian Pendeta
Tianmen dan bagaimana Yujizi kehilangan kaki dan kedua lengan telah membuat
para hadirin merasa ngeri. Maka, begitu mendengar Dewa Daun Persik mengemukakan
“bertanding pedang untuk merebut kedudukan” serentak para hadirin pun bersorak
gembira menyatakan setuju. Mereka berpikir kini saatnya mengubah kengerian dalam
hati menjadi perasaan semangat untuk menyaksikan pertandingan sengit di antara
tokoh-tokoh tertinggi yang dijagokan oleh pihak masing-masing.
Sementara itu Linghu Chong
berpikir, “Aku telah berjanji kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu
untuk merintangi ambisi Zuo Lengchan menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Maka,
sebaiknya aku harus membantu Guru menjadi ketua. Beliau terkenal baik budi dan
bijaksana tentu akan dapat diterima oleh semua pihak. Padahal, selain Beliau
rasanya tiada lagi tokoh dalam Serikat Pedang Lima Gunung yang sesuai untuk
menjabat kedudukan penting ini.”
Karena berpikir demikian,
segera Linghu Chong berseru, “Di hadapan kita sudah tersedia seorang tokoh yang
paling cocok untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, mengapa kalian semua
lupa? Siapa lagi di antara kita yang bisa menandingi Tuan Yue si Pedang Budiman
dari Perguruan Huashan? Ilmu silat Tuan Yue tinggi, pengetahuannya luas,
orangnya berbudi dan bijaksana. Semua ini sudah kita ketahui bersama. Maka,
segenap anggota Perguruan Henshan kami dengan tulus menyarankan agar Tuan Yue
diangkat sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung.”
Serentak murid-murid Huashan
bersorak gembira dan menyatakan setuju.
Seorang tokoh Songshan
menanggapi, “Ilmu silat Tuan Yue memang tinggi. Tapi kalau dibandingkan dengan
Ketua Zuo masih kalah setingkat. Selain itu, Ketua Zuo juga telah memimpin
Serikat Pedang Lima Gunung selama bertahun-tahun. Maka, menurut pendapatku
hanya Ketua Zuo yang paling tepat untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Di
samping itu bisa disediakan empat kursi wakil ketua yang masing-masing diisi
oleh Tuan Yue, Tuan Besar Mo, Pendekar Linghu, dan Pendeta … Pendeta Yuqingzi
atau Pendeta Yuyinzi, terserah kepada pilihan orang-orang Taishan sendiri.”
Dewa Ranting Persik menyahut,
“Yujizi belum mati, hanya kehilangan dua lengan dan sebelah kaki saja. Lantas
mengapa kalian menyingkirkan dia begitu saja?”
Dewa Daun Persik berkata,
“Lebih baik bertanding saja untuk merebut jabatan ketua. Pertandingan pedang
adalah cara yang paling adil. Siapa yang menang, dia yang menjadi ketua!”
Beribu-ribu hadirin serentak
ikut-ikutan berteriak, “Benar, benar! Bertanding pedang saja untuk menentukan
ketua!”
Linghu Chong berpikir Zuo
Lengchan harus dijatuhkan lebih dulu supaya pihak Songshan putus harapan dan
sukar untuk mencalonkan diri lagi sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung. Maka
dengan pedang terhunus ia lantas maju ke tengah dan berseru, “Tuan Zuo, sesuai
kehendak banyak orang, marilah kita berdua memulai pertandingan ini!”
Dalam hati Linghu Chong
berpikir, “Kalau bicara ilmu pedang, rasanya aku masih sanggup mengatasi Zuo
Lengchan. Namun kalau bertanding ilmu pukulan, jelas aku sukar menghadapi Jurus
Tapak Es Mahadingin andalannya. Ketua Ren saja hampir kehilangan nyawa saat
melawannya di Biara Shaolin tempo hari. Setelah berhasil mengalahkan Zuo
Lengchan, maka aku akan mengalah dalam pertandingan melawan Guru. Kalau Paman
Mo ikut serta dalam pertandingan ini juga belum tentu bisa menang melawan Guru.
Sementara itu pihak Taishan sudah kehilangan dua orang jagonya; yang satu
tewas, yang satu lagi kehilangan lengan dan sebelah kaki. Namun seandainya
dalam bertanding ilmu pedang aku tidak bisa mengalahkan Zuo Lengchan, paling
tidak aku harus bertahan ribuan jurus supaya tenaganya terkuras habis dan dalam
pertandingan selanjutnya, peluang Guru untuk menjadi juara akan terbuka lebar.”
Maka, Linghu Chong segera
mengayunkan pedangnya dan berseru, “Tuan Zuo, setiap anggota Serikat Pedang
Lima Gunung mahir memainkan pedang. Sekarang biarlah pedang menentukan siapa
yang kalah, siapa yang menang.” Dengan ucapan ini ia sudah menutup jalan Zuo
Lengchan agar tidak mengajaknya bertanding ilmu pukulan.
Mendengar itu para hadirin
semakin ramai bersorak-sorak menyatakan setuju dan berteriak-teriak minta pertandingan
lekas dimulai.
“Pendekar Linghu benar!
Silakan adu pedang! Yang menang menjadi ketua, yang kalah mendengar perintah.
Ini baru namanya adil.”
“Tuan Zuo, lekaslah jawab
tantangannya! Apa kau takut kalah?”
“Bicara terus seharian, apa
tidak bosan? Ayo mulai bertarung saja!” demikian para hadirin berteriak-teriak.
Suasana di Puncak Songshan itu
semakin ramai, dan teriakan-teriakan para hadirin terdengar semakin nyaring.
Bahkan, orang-orang berpengalaman yang biasanya bersikap tenang dan hati-hati
juga tidak bisa menahan diri untuk ikut bersorak. Tidak hanya itu, orang-orang
yang diundang Zuo Lengchan untuk menjadi sekutu pihak Songshan juga ikut
berteriak-teriak. Para hadirin yang berjumlah ribuan itu sebenarnya tidak
peduli siapa yang akan menjadi ketua dan mereka juga tidak ingin ikut campur.
Namun pertandingan adu senjata adalah peristiwa seru yang ingin mereka
saksikan. Mereka semua berharap bisa menonton beberapa pertarungan yang
mendebarkan.
Karena mendapat dukungan
banyak orang, Linghu Chong merasa senang dan melanjutkan, “Bagaimana, Tuan Zuo?
Jika kau enggan bertanding pedang denganku, tiada salahnya apabila kau
mengumumkan di depan umum bahwa kau mengundurkan diri dari pencalonan Ketua
Perguruan Lima Gunung ini. Para jago lainnya silakan bertanding!”
“Hayo maju! Hayo bertanding!!”
demikian suara para hadirin kembali berteriak-teriak. “Yang tidak berani
bertanding bukanlah kesatria, tapi pengecut!” sambung yang lain.
Zuo Lengchan dan orang-orang
Songshan lainnya terdiam tidak menjawab sepatah kata pun. Mereka sadar kalau
ilmu pedang Linghu Chong sangat tinggi, namun juga tidak pantas jika menolak
tantangannya. Di tengah keadaan yang menegangkan itu tiba-tiba terdengar suara
seseorang yang melengking nyaring berkumandang, “Jika para hadirin sudah
menghendaki pemilihan Ketua Perguruan Lima Gunung ditentukan melalui
pertandingan adu pedang, maka kita tidak dapat mengabaikan harapan banyak
orang.” Orang yang berbicara ini tidak lain adalah Yue Buqun.
“Ucapan Tuan Yue tidak salah!”
sambut banyak orang. “Ayo bertanding! Lekas dimulai!”
“Bertanding untuk merebut
kedudukan memang suatu cara yang lazim,” lanjut Yue Buqun, “Hanya saja, tujuan
peleburan Serikat Pedang Lima Gunung ini sebenarnya untuk mengurangi
pertengkaran serta mencari kedamaian di antara sesama kawan persilatan. Sebab
itu kalau pertandingan dilangsungkan, sebaiknya cukup dibatasi hanya pada
persentuhan saja. Begitu sudah jelas siapa yang menang siapa yang kalah harus
segera dihentikan. Sama sekali tidak boleh melukai apalagi mencelakai jiwa
lawan. Seperti meninggalnya Pendeta Tianmen dan terlukanya Pendeta Yuji tadi
sungguh sangat kusesalkan.”
Karena apa yang dikatakan Yue
Buqun cukup masuk akal, seketika suasana menjadi sunyi hening. Sejenak kemudian
barulah seorang hadirin berteriak, “Pertandingan dibatasi memang baik, namun
senjata tak punya mata. Bila ada yang terluka atau binasa, anggap saja dirinya
sedang sial dan jangan menyalahkan pihak lain.”
“Benar!” sambung seorang lagi.
“Kalau takut mati dan takut terluka, lebih baik tinggal di rumah dan meniduri
istrinya saja. Untuk apa susah-susah hadir ke sini?”
Maka bergemuruhlah suara tawa
banyak orang.
Yue Buqun menyahut, “Namun
demikian, aku rasa pertandingan nanti harus tetap berlangsung secara
persahabatan. Aku mempunyai beberapa pendapat yang mungkin bisa digunakan.
Untuk itu mohon pertimbangan para hadirin sekalian.”
“Ah, mau bicara apa lagi?
Lekas bertarung saja!” teriak seorang hadirin.
“Jangan mengacau! Dengarkan
dulu apa yang hendak diuraikan Tuan Yue!” seru seorang lain.
“Siapa yang mengacau? Kau
pulang saja, tidur dengan ibumu sana!” jawab orang yang pertama tadi.
Seketika terjadilah perang
mulut dengan kata-kata kotor di antara kedua pihak tersebut.
“Terhadap siapa-siapa yang
memenuhi syarat untuk ikut bertanding, perlu ditetapkan suatu peraturan ….”
seru Yue Buqun lantang dengan disertai tenaga dalam melimpah sehingga
menenggelamkan suara perang mulut di antara para hadirin. Setelah suasana lebih
tenang, ia melanjutkan, “Pertandingan ini adalah untuk menentukan Ketua
Perguruan Lima Gunung, bukan menentukan gelar ‘pendekar nomor satu di muka
bumi’. Oleh sebab itu, yang boleh bertanding hanya terbatas pada anggota
Perguruan Lima Gunung saja. Orang luar biarpun memiliki kepandaian setinggi
langit harus bisa menahan diri untuk tidak ikut serta.”
“Betul, betul! Kalau bukan
anggota Perguruan Lima Gunung dilarang ikut bertanding!” seru banyak orang.
“Tidak setuju! Kita tetap ikut
bertarung untuk menentukan siapa pendekar nomor satu di dunia!” seru salah
seorang hadirin. Orang ini jelas hanya ingin memancing keributan sehingga para
hadirin yang lain tidak ada yang menghiraukannya.
“Mengenai jalannya
pertandingan nanti harus dilakukan dalam suasana persahabatan. Untuk ini,
silakan Tuan Zuo memberikan tanggapan,” kata Yue Buqun kemudian.
“Kukira Tuan Yue tentu sudah
punya cara-cara yang baik. Silakan dilanjut saja,” sahut Zuo Lengchan dengan
nada kaku.
Yue Buqun berkata, “Akan
sangat baik jika kita meminta Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin, Pendeta
Chongxu dari Perguruan Wudang, Ketua Xie dari Partai Pengemis, Pendeta Yu dari
Perguruan Qingcheng, dan para tamu kehormatan lainnya agar sudi menjadi juri.
Siapa yang menang dan siapa yang kalah kita percayakan kepada para juri. Kita
hanya menentukan kalah dan menang saja, bukan menentukan hidup dan mati.”
“Shantih, shantih!” ujar
Mahabiksu Fangzheng bersabda. “Hanya menentukan kalah dan menang, bukan
menentukan mati dan hidup. Kalimat ini sudah cukup menghapuskan kemungkinan
terjadinya pertumpahan darah. Entah bagaimana pendapat Tuan Zuo?”
Zuo Lengchan menjawab,
“Mahabiksu memikirkan perguruan kami, sudah tentu kami akan mematuhi. Aku rasa
dari setiap perguruan dalam Serikat Pedang Lima Gunung masing-masing hanya
boleh menampilkan seorang jago saja. Kalau tidak, nanti beratus-ratus orang
tentu ingin bertanding semua. Lalu, sampai kapan baru bisa selesai?”
Di antara para hadirin tentu
saja banyak yang ingin menonton keramaian. Bagi mereka, kalau pertandingan
hanya dilakukan di antara lima jago dari kelima perguruan saja tentu terasa
kurang seru. Tapi murid-murid Songshan yang berjumlah ratusan sudah bersorak
mendukung usulan ketuanya, terpaksa para hadirin tidak berani menentang dan mau
tidak mau ikut berteriak setuju.
Tiba-tiba Dewa Ranting Persik
berseru, “Nanti dulu! Ketua Perguruan Taishan adalah Yujizi, apakah kita
membiarkan seorang yang sudah buntung seperti dia ikut dalam pertandingan?”
Dewa Daun Persik menyahut,
“Biarpun sudah buntung, tapi dia masih memiliki satu kaki. Bukankah dia masih
bisa meloncat-loncat dan menyepak-nyepak?”
Maka kembali terdengar suara
gelak tawa banyak orang bergemuruh keras.
Yuyinzi menjadi gusar
mendengarnya, “Kalian berenam setan alas sudah membuat kakak seperguruanku
cacat, sekarang berani mengolok-oloknya pula. Baiklah, aku harus membuntungi
tangan dan kaki kalian semuanya. Ayo, kalau berani coba maju untuk bertanding
satu lawan satu dengan pendeta tua ini!” Usai berkata ia lantas maju ke depan
dengan pedang terhunus. Tubuhnya yang tinggi kurus dengan jubah berkibar-kibar membuatnya
tampak gagah berwibawa. Melihat pemandangan itu, tidak sedikit para hadirin
yang bersorak-sorak ramai.
“Apakah kau mewakili Perguruan
Taishan dalam perebutan juara ini?” tanya Dewa Ranting Persik.
“Apakah kau dipilih oleh
kawan-kawanmu atau kau sendiri yang ingin tampil ke muka?” sambung Dewa Daun
Persik.
“Peduli apa denganmu?” sahut
Yuyinzi gusar.
“Tentu saja peduli,” jawab
Dewa Daun Persik. “Tidak hanya peduli, bahkan sangat peduli. Sebab kalau kau
yang mewakili Perguruan Taishan dalam pertandingan ini, bila nanti kau kalah,
maka Perguruan Taishan tidak boleh mengajukan jago lain.”
Yuyinzi menyahut, “Kalau orang
kedua dari perguruan kami tampil untuk bertanding, lantas kalian mau apa?”
Tiba-tiba seorang tokoh
Taishan lainnya berseru, “Kami tidak pernah menunjuk Adik Yuyin sebagai jago,
sehingga dia bukan jago yang mewakili pihaik Taishan. Kalau Adik Yuyin kalah,
maka dengan sendirinya Perguruan Taishan masih bisa mengajukan jago pilihan
lain.” Yang berbicara ini adalah Yuqingzi, kakak seperguruan Yuyinzi.
“Haha, tentu jago Perguruan
Taishan yang lain itu adalah kau, bukan?” kata Dewa Bunga Persik setengah
mengejek.
“Benar, memangnya kakekmu yang
akan maju?” jawab Yuqingzi ketus.
“Nah, nah, coba lihatlah, para
hadirin! Kembali orang-orang Taishan ribut-ribut sendiri!” seru Dewa Buah
Persik. “Baru saja Pendeta Tianmen tewas, kemudian Pendeta Yuji terluka parah,
sekarang Pendeta Yuqing dan Pendeta Yuyin sudah bertengkar sendiri dan berebut
menjadi pemimpin Perguruan Taishan selanjutnya.”
“Omong kosong!” bentak
Yuyinzi. Sementara Yuqingzi hanya tertawa dingin tanpa bicara.
“Sebenarnya pihak Perguruan
Taishan akan diwakili oleh siapa dalam pertandingan ini?” tanya Dewa Bunga
Persik selanjutnya.
“Aku!” seru Yuyinzi dan
Yuqingzi bersamaan.
“Aneh, kenapa kalian tidak mau
saling mengalah?” ujar Dewa Akar Persik. “Baiklah, kalian bisa saling gebrak
lebih dulu, biar kita tahu siapa yang lebih tangguh. Percuma bertengkar dengan
mulut, tentukan dengan berkelahi saja!”
Dengan perasaan gusar Yuqingzi
melangkah maju dan berseru kepada Yuyinzi, “Adik, kau mundur saja! Jangan
menjadi bahan tertawaan orang!”
“Kenapa aku akan ditertawakan
orang?” tanya Yuyinzi. “Kakak Yuji terluka parah. Aku hanya ingin menuntut
balas untuknya.”
“Tujuanmu hendak menuntut balas
atau ingin berebut kedudukan ketua?” sahut Yuqingzi menegas.
“Apa? Hanya dengan sedikit
kepandaian kita ini mana mungkin pantas menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung?”
ujar Yuyinzi. “Kukira kau hanya mimpi di siang bolong. Segenap anggota
Perguruan Taishan kita sudah jelas mendukung Ketua Zuo dari Songshan. Untuk apa
kita berdua ikut-ikut mempermalukan diri sendiri depan umum?”
“Jika demikian silakan kau
mundur saja. Sebagai yang paling tua saat ini, pimpinan Perguruan Taishan aku
yang pegang,” kata Yuqingzi.
“Meski kau terhitung paling
tua di antara orang-orang Taishan saat ini, tapi segala perbuatan dan tingkah
lakumu sukar diterima orang. Apa kau kira anggota-anggota perguruan kita mau
tunduk begitu saja kepadamu?” tanya Yuyinzi.
“Apa artinya ucapanmu ini?”
bentak Yuqingzi bengis. “Kau berani kurang ajar kepada orang yang lebih tua?
Apakah kau lupa pada pasal pertama dari tata tertib perguruan kita?”
“Hahaha, apa kau lupa saat ini
kita adalah sama-sama anggota Perguruan Lima Gunung?” ujar Yuyinzi. “Kita masuk
Perguruan Lima Gunung pada hari, bulan, tahun, dan waktu yang sama. Atas dasar
apa kau anggap dirimu lebih tua daripada aku? Tata tertib Perguruan Lima Gunung
juga belum disusun, atas dasar apa pula kau tunjuk pasal satu atau pasal berapa
segala? Sedikit-sedikit kau suka menonjolkan undang-undang Perguruan Taishan
untuk menindas kawan sendiri. Namun sayangnya, sekarang ini Perguruan Taishan
sudah dihapus. Yang ada hanyalah Perguruan Lima Gunung.”
Dewa Daun Persik menyela,
“Berdirinya Perguruan Lima Gunung dan hilangnya Perguruan Taishan adalah
sesuatu yang baik. Tapi, mengapa Yuyinzi berkata ‘namun sayangnya’? Apakah
kalian berniat memecah belah Perguruan Lima Gunung dan membangkitkan kembali
Perguruan Taishan? Yuyinzi, coba jelaskan, mengapa kau tadi mengatakan ‘namun
sayangnya’?”
Seketika Yuyinzi terdiam tak
bisa menjawab, begitu pula dengan Yuqingzi.
Lebih dari seribu orang
hadirin sama-sama berteriak, “Hayolah, berkelahi saja! Kenapa bicara melulu?
Habis berhantam baru jelas siapa yang lebih hebat!”
Pedang yang ada di tangan
Yuqingzi tampak bergetar karena terdorong rasa gusar di hatinya. Meskipun ia
terhitung lebih tua, namun memiliki kebiasaan buruk suka bermabuk-mabukan dan
gemar main perempuan, sehingga ilmu pedangnya masih kalah bagus dibandingkan
dengan Yuyinzi.
Dengan dileburnya Serikat
Pedang Lima Gunung menjadi Perguruan Lima Gunung, baik Yuqingzi maupun Yuyinzi
sama-sama tidak berani bermimpi menjadi ketua, sebab mereka sadar kepandaian
mereka masih kalah jauh dibandingkan Zuo Lengchan. Mereka merasa sudah puas
bila sekembalinya ke Gunung Taishan nanti dapat diangkat menjadi pemimpin
cabang menggantikan Tianmen yang sudah tewas, atau Yujizi yang sudah cacat itu.
Namun, sekarang di bawah hasutan banyak hadirin mereka berdua sampai-sampai
bertengkar sendiri. Yuqingzi tidak berani sembarangan menyerang, juga tidak
rela menyerah kepada sang adik di depan umum. Karena itu, seketika ia menjadi
serbasalah dan terlihat rikuh. Di sisi lain, Zuo Lengchan tampaknya juga lebih
menyukai Yuyinzi dan menghendakinya menjadi pemimpin cabang Taishan. Yuqingzi
membayangkan betapa malunya jika nanti ia berada di bawah perintah Yuyinzi.
Maka itu, ia semakin bersikukuh untuk tidak mundur barang selangkah pun juga.
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang melengking tajam berkata, “Huh, kalian berdua sama sekali belum
menguasai intisari ilmu pedang Perguruan Taishan, tapi sudah berani menebalkan
muka untuk bertengkar di sini. Buang-buang waktu saja!”
Begitu semua orang berpaling
ke arah datangnya suara, tampak oleh mereka seorang pemuda berbadan tinggi
dengan wajah tampan tapi agak pucat. Bibirnya tersungging menampilkan senyuman
sinis pula. Salah seorang hadirin yang mengenalnya lantas berseru, “Itu menantu
baru Tuan Yue dari Perguruan Huashan!”
Pemuda berwajah tampan yang
berseru tajam tadi memang Lin Pingzhi orangnya.
Linghu Chong terkejut
melihatnya, dan berpikir, “Adik Lin biasanya sangat pendiam. Kalau bicara juga
selalu berhati-hati. Tak disangka, entah kenapa sifatnya sekarang banyak
berubah dan ia berani mengolok-olok orang lain di depan umum?”
Namun demikian, diam-diam
Linghu Chong sangat senang melihat Lin Pingzhi mengejek Yuyinzi dan Yuqingzi,
karena ia menganggap mereka berdua adalah para pendeta pengkhianat yang bersama
Yujizi telah mengakibatkan kematian Pendeta Tianmen.
Terdengar Yuyinzi menjawab,
“Kalau aku belum menguasai intisari ilmu pedang Perguruan Taishan sama sekali,
memangnya Saudara menguasainya? Kalau begitu Saudara boleh coba-coba memainkan
beberapa jurus ilmu pedang Perguruan Taishan agar dapat disaksikan para
kesatria yang hadir di sini.” Berulang-ulang ia sengaja mengucapkan kata-kata
“Perguruan Taishan” dengan nada keras. Tujuannya ialah hendak mengolok-olok Lin
Pingzhi yang merupakan murid Perguruan Huashan tapi berani ikut campur
menanggapi ilmu silat perguruan lain.
Tak disangka Lin Pingzhi malah
menyeringai, “Ilmu silat Perguruan Taishan sangat luas dan mendalam, mana bisa
dipahami oleh murid pengkhianat seperti dirimu, yang tega mencelakai sesama
anggota perguruan sendiri dan bersekongkol dengan orang luar ….”
“Ping’er!” bentak Yue Buqun
tiba-tiba. “Pendeta Yuyin adalah sesepuhmu, kau jangan kurang ajar!”
“Baik,” jawab Lin Pingzhi
lantas berhenti bicara.
Dengan gusar Yuyinzi berkata
kepada Yue Buqun, “Tuan Yue, bagus sekali murid didikanmu dan menantu
kesayanganmu ini. Sampai-sampai dia berani sembarangan mengoceh dan menilai
ilmu silat Perguruan Taishan kami.”
“Dari mana kau tahu dia
sembarangan mengoceh?” tiba-tiba seorang perempuan ikut menyela. Begitu
melangkah ke depan tampak seorang nyonya muda mengenakan gaun panjang menyapu
lantai muncul di samping Lin Pingzhi. Perempuan muda ini memakai sanggul
berhiaskan setangkai bunga kecil berwarna merah, dengan ikat pinggang
melambai-lambai tertiup angin. Ia tidak lain adalah Yue Lingshan, putri tunggal
Yue Buqun yang juga istri Lin Pingzhi.
“Dengan ilmu pedang Taishan
aku ingin mencoba kepandaianmu dan meminta petunjuk darimu,” ujar Yue Lingshan
sambil memegang gagang pedangnya yang melintang di balik punggung.
Yuyinzi mengenali asal-usul
nyonya muda ini, serta teringat bahwa Yue Buqun telah menyetujui peleburan
Serikat Pedang Lima Gunung dan cukup dihormati oleh Zuo Lengchan, maka ia pun
tidak berani sembarangan bertindak kasar. Dengan tersenyum ia menjawab, “Aku
sungguh menyesal karena tidak sempat hadir untuk menyampaikan selamat atas
pernikahan Nona Yue. Apakah karena ini Nona Yue marah kepadaku? Tentang ilmu
pedang Perguruan Huashan kalian memang sangat kukagumi. Tapi mengenai murid
Huashan juga mahir ilmu pedang Taishan, wah, sungguh baru kali ini aku
mendengarnya.”
Dengan menarik alisnya yang
lentik, serta raut muka yang menghina, Yue Lingshan berkata, “Ayahku ingin
menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Maka dengan sendirinya setiap ilmu pedang
dari kelima perguruan harus dipelajarinya. Kalau tidak, bagaimana Beliau bisa
memimpin Perguruan Lima Gunung kelak?”
Ucapan Yue Lingshan ini
seketika membuat para kesatria yang hadir menjadi gempar. Segera ada yang
berteriak, “Apa? Tuan Yue ingin menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung?”
Ada pula yang berseru, “Apakah
mungkin Tuan Yue juga mahir ilmu pedang Taishan, Songshan, Hengshan, dan
Henshan?”
Yue Buqun berseru, “Ah, anak
perempuanku suka membual saja. Omongan anak kecil janganlah dianggap
sungguh-sungguh.”
Namun Yue Lingshan berkata
lagi, “Paman Guru Zuo, jika kau mampu mengalahkan kami dengan ilmu pedang
keempat perguruan yang lain, dengan sendirinya kami akan tunduk dan
mengangkatmu sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung. Sebaliknya, kalau kau hanya
mampu mengandalkan ilmu pedang Perguruan Songshan melulu, sekalipun kau dapat
mengalahkan seluruh sainganmu, paling-paling hanya ilmu pedang perguruanmu saja
yang kemudian terkenal.”
Para hadirin berpikir apa yang
dikatakan Yue Lingshan memang tidak salah. Kalau ada yang mahir memainkan ilmu
pedang dari kelima perguruan, sudah tentu orang inilah yang paling cocok untuk
menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Akan tetapi, ilmu pedang setiap aliran
adalah hasil ciptaan tokoh-tokoh perguruan masing-masing dari angkatan tua
turun-temurun selama ratusan tahun. Jangankan mahir kesemua ilmu pedang
aliran-aliran itu, mempelajari ilmu pedang aliran sendiri saja sangat sukar
untuk sampai pada tingkat mendalam secara keseluruhan.
Zuo Lengchan sendiri diam-diam
berpikir, “Mengapa anak perempuan Yue Buqun ini berani bicara demikian? Di
balik ini semua tentu ada maksud dan tujuan tertentu. Jangan-jangan Yue Buqun
memang benar-benar ingin berebut jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung denganku.”
Terdengar Yuyinzi berkata,
“Wah, ternyata Tuan Yue telah mahir menyelami intisari ilmu pedang Serikat
Pedang Lima Gunung. Ini benar-benar suatu peristiwa besar yang belum pernah
terjadi dalam sejarah dunia persilatan. Maka, biarlah aku meminta Nona Yue
memberikan beberapa petunjuk tentang ilmu pedang Perguruan Taishan.”
“Baik!” jawab Yue Lingshan
yang kemudian segera melolos pedangnya.
Melihat itu Yuyinzi sangat
gusar dan berpikir, “Dengan ayahmu saja aku lebih tua satu angkatan, kenapa
anak perempuan ingusan sepertimu berani angkat senjata di depanku?” Semula ia
menyangka Yue Buqun tentu akan mencegah perbuatan anak perempuannya itu, sebab
di antara tokoh-tokoh Huashan hanya Yue Buqun dan istrinya saja yang pantas
menjadi lawannya.
Tak disangka, Yue Buqun hanya
menggeleng-geleng saja, kemudian berkata dengan nada menyesal, “Benar-benar
anak perempuan yang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi. Pendeta Yuqing
dan Pendeta Yuyin adalah tokoh-tokoh papan atas Perguruan Taishan. Apa kau
hendak mencari penyakit jika bermaksud melawan dengan ilmu pedang Taishan
mereka.”
Ketika Yuyinzi melirik,
dilihatnya pedang di tangan kanan Yue Lingshan menuding miring ke bawah,
sementara jari-jari tangan kiri perempuan itu bertekuk-tekuk seperti sedang
menghitung. Setelah menghitung satu sampai lima, tangannya lalu mengepal dan
kemudian jari-jemarinya membuka satu per satu mulai dari ibu jari sampai
kelingking. Setelah kelima jarinya terbuka, ibu jarinya kembali menekuk, dan
seterusnya. Kontan saja Yuyinzi terkejut heran dan berpikir, “Hei, darimana
anak ini paham jurus Jalur Daizong?”
Jurus Jalur Daizong adalah
salah satu ilmu andalan Perguruan Taishan yang paling tinggi. Intisari jurus
ini tidak terletak kepada serangan pedang di tangan kanan, tetapi pada tangan
kiri yang memperhitungkan letak tempat musuh, perawakan musuh, panjang atau
pendek senjata yang digunakan musuh, letak matahari, arah angin, serta
bermacam-macam faktor lainnya pula. Perhitungannya sangat rumit, namun apabila
tepat, sekali serang tentu mengenai sasaran dan sangat mematikan. Sekitar tiga
puluh tahun yang lalu Yuyinzi pernah mendengar jurus ini dari gurunya. Namun ia
sadar bahwa dirinya tidak sanggup menyelami jurus yang memakai perhitungan
rumit tersebut. Maka itu, sampai saat ini ia tidak pernah mempelajarinya dengan
sungguh-sungguh.
Di sisi lain, sang guru juga
tidak terlalu memaksanya. Sepertinya sang guru sendiri juga tidak terlalu mahir
menggunakan jurus Jalur Daizong tersebut dan ia hanya berkata, “Jurus Jalur
Daizhong ini sangat sulit dipelajari. Sepertinya memang tidak praktis, tapi
kekuatannya tak tertandingi. Kalau kau tidak sungguh-sungguh, maka kau tidak
akan berjodoh dengan jurus hebat ini. Saudara-saudaramu yang lain tidak
seteliti dirimu, sehingga peluang mereka mempelajari jurus Jalur Daizhong lebih
kecil lagi. Sayang sekali, jurus perguruan kita yang luas dan mendalam ini
harus berakhir dan tidak bisa diwariskan lagi ke angkatan selanjutnya.”
Karena sang guru tidak
mengharuskan dirinya berlatih jurus yang sukar itu, tentu saja Yuyinzi merasa
kebetulan. Sejak itu ia juga tidak pernah melihat ada orang Taishan yang bisa
memainkan jurus rumit tersebut. Tak disangka, setelah berlalu puluhan tahun,
tiba-tiba jurus itu kini hendak dimainkan oleh seorang nyonya muda yang berasal
dari perguruan lain. Seketika pemandangan ini membuat hatinya gelisah, dan
keringat dingin bercucuran pula.
Yuyinzi belum pernah mendengar
gurunya mengajarkan cara mengalahkan jurus ini, sehingga ia tidak tahu
bagaimana harus menghadapinya. Ia hanya berpikir bahwa orang lain tidak ada
yang mempelajarinya, sehingga ia merasa tidak perlu untuk mempelajari cara
untuk mengalahkannya. Akan tetapi, kejadian di dunia sungguh mendadak dan tidak
terduga sama sekali. Dalam keadaan terdesak tiba-tiba terlintas akal di
benaknya, “Bila aku cepat berganti tempat, lalu lompat ke sini dan loncat ke
sana, dengan sendirinya perhitungannya akan meleset.”
Maka, Yuyinzi pun segera
bergeser ke kanan tiga langkah, lalu putar balik dan menyerang dengan jurus
Terang Bulan Tanpa Mega. Namun ketika tusukannya belum mencapai sasaran segera
ia bergeser dan menyerang pula dengan jurus Gunung Tinggi Menjulang di Angkasa
secara cepat. Pedangnya menikam maju dan mundur dengan amat gencar. Dilihatnya
Yue Lingshan masih tegak berdiri di tempat semula, dengan tangan kiri tetap
menghitung-hitung. Jika Yuyinzi bergerak, Yue Lingshan hanya memiringkan
badannya mengikuti ke mana gerakan pedang pendeta tua itu, semakin lama semakin
cepat.
Pola serangan Yuyinzi ini
dikenal dengan sebutan Delapan Belas Tikungan Taishan. Gerakan ini diciptakan
oleh seorang sesepuh Taishan pada masa dahulu yang terilhami dari banyaknya
tikungan di Gunung Taishan yang rumit seperti usus kambing. Setiap lima langkah
berbelok sekali, setiap sepuluh langkah berputar sekali. Sungguh berbahaya.
Ilmu pedang ciptaan sesepuh itu pun disusun berdasarkan gambaran medan berat di
Gunung Taishan tersebut. Jika delapan belas tikungan di Gunung Taishan semakin
lama semakin berbahaya, begitu pula dengan jurus pedang ciptaannya juga semakin
lama semakin ganas. Meskipun demikian, semua serangan Yuyinzi ini seolah
mengarah ke titik-titik berbahaya pada tubuh Yue Lingshan, namun kesemuanya
tidak ada yang mematikan.
Dalam setiap gerakannya,
sepasang mata Yuyinzi terus menerus memandang jari-jemari tangan kiri Yue
Lingshan yang membuka dan menekuk tanpa henti. Seketika ia pun teringat pesan
gurunya bahwa jurus Jalur Daizhong boleh dibilang sebagai leluhur ilmu pedang
Taishan. Sekali menikam akan mengenai sasaran dengan telak dan membunuh lawan
tanpa memerlukan jurus kedua. Kalau ilmu pedang seseorang sudah mencapai
tingkatan ini, boleh dibilang ia telah melampaui keduniawian dan menjadi orang
suci. Sang guru pun berterus terang bahwa dirinya tidak mengetahui seluk beluk
jurus Jalur Daizhong secara mendalam, sehingga mempelajarinya jauh lebih mudah
dikatakan daripada dilakukan. Teringat akan hal itu membuat keringat dingin
Yuyinzi kembali mengalir. Oleh karena itu serangannya tadi tidak ada yang
mematikan, karena takut kalau-kalau Yue Lingshan juga melancarkan serangan maut
kepadanya.
Delapan Belas Tikungan Taishan
ini dibagi menjadi Delapan Belas Lambat, dan Delapan Belas Cepat. Setelah
delapan belas gerakan menikung secara lambat tiba-tiba berubah cepat dalam
waktu singkat. Setiap langkah semakin cepat. Jurus ini diciptakan berdasarkan
jalan setapak di Pegunungan Taishan yang rumit, berliku-liku, dan berubah-ubah
dengan cepat. Semakin lama semakin curam tanjakannya, sehingga orang yang di
belakang bisa melihat alas kaki orang yang mendaki di depan, sedangkan orang
yang di depan bisa melihat ubun-ubun orang yang di belakang.
Linghu Chong khawatir melihat
Yue Lingshan tidak menangkis ataupun menghindari serangan Yuyinzi, namun tetap
berdiri seperti sedang menghitung-hitung dengan tangan kirinya. Hampir-hampir
ia berteriak, “Adik Kecil, hati-hati!” Tetapi kata-katanya ini hanya tertahan
di tenggorokan, sulit untuk diucapkan.
Sementara itu, Yuyinzi hampir
saja menyelesaikan pola serangannya. Namun demikian, sejak awal ia sudah
memutuskan untuk tidak bersungguh-sungguh menyerang Yue Lingshan dan ujung
pedangnya selalu berjarak beberapa senti dari kulit nyonya muda itu.
Tiba-tiba Yue Lingshan memutar
pedangnya dengan cepat dan kasar. Beruntun ia melancarkan lima kali serangan
berturut-turut.
“Jurus Pedang Lima Raksasa!”
seru Yuqingzi yang masih berdiri di samping.
Gunung Taishan memiliki lima
pohon cemara tua. Konon, cemara-cemara tua itu hidup sejak zaman Dinasti Qin
dan diberi nama Lima Cemara Raksasa. Kelima pohon tersebut memiliki cabang dan
ranting yang terlihat saling lengket, dengan dedaunan rimbun yang saling
menutupi. Kakak seperguruan dari guru Yuqingzi dan Yuyinzi mendapat ilham
berkat melihat pemandangan kelima cemara tua itu sehingga kemudian menciptakan
Jurus Pedang Lima Raksasa. Gerakan-gerakan dalam jurus pedang ini tampak
sederhana namun mengandung perubahan-perubahan yang menakjubkan. Lebih dari dua
puluh tahun yang lalu Yuqingzi pernah mempelajari jurus pedang tersebut sampai
cukup mendalam. Maka, ketika Yue Lingshan tiba-tiba memainkan jurus ini ia
langsung dapat menilai gerak serangan nyonya muda itu. Apa yang dimainkan Yue
Lingshan ternyata tidak sama persis dengan apa yang pernah ia pelajari, namun
berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Merasa sangat terkejut, tanpa sadar
kakinya pun melangkah maju supaya bisa melihat dengan lebih jelas.
Sementara itu, mendengar jurus
serangannya dikenali, seketika Yue Lingshan memiringkan tubuhnya ke samping,
lantas pedangnya menusuk Yuqingzi pula sambil berseru, “Apakah ini juga ilmu
pedang Perguruan Taishan kalian?”
Segera Yuqingzi menangkis
dengan pedangnya sambil menjawab, “Kenapa tidak? Ini adalah jurus Bangau
Hinggap di Mata Air. Tapi ....” Meskipun dapat menangkis, tetap saja Yugingzi
tergetar hatinya dan keringat dingin pun bercucuran pula. Apa yang dimainkan
Yue Lingshan sedikit berbeda dengan yang pernah ia pelajari, namun tampak lebih
mematikan. Hampir saja dadanya tertembus pedang nyonya muda itu.
Terdengar Yue Lingshan
berseru, “Bagus jika kau pun mengetahuinya!” Sekejap kemudian pedangnya
berbalik menebas ke arah Yuyinzi.
“Itu jurus Batu Menghadang
Kuda,” seru Yuqingzi kembali berteriak. “Tapi, apa yang kau mainkan itu ...
agak keliru ... salah ….”
“Ternyata kau hafal juga nama
jurus pedang ini,” ujar Yue Lingshan.
Tiba-tiba pedangnya bergerak
dengan cepat sebanyak dua kali. Terdengar Yuyinzi menjerit, paha kanannya telah
tertusuk. Pada saat yang sama Yuqingzi tertusuk pula pada bagian lutut
kanannya. Pendeta tua itu tampak sempoyongan, akhirnya sebelah kakinya tertekuk
dan tubuhnya jatuh dalam keadaan berlutut ke tanah. Lekas-lekas ia menahan
tubuhnya dengan menusukkan pedang ke bawah. Namun, terlalu keras ia menggunakan
tenaga sehingga ujung pedangnya secara kebetulan bertumpu pada sebongkah batu
dan akhirnya patah menjadi dua. Meskipun demikian, mulutnya masih sempat
menggumam, “Jurus ... Jurus Tiga Kebahagiaan!”
Yue Lingshan tertawa dingin
dan menyarungkan kembali pedangnya di balik punggung.
Sementara itu para penonton
sudah bersorak gemuruh. Sungguh luar biasa, seorang nyonya muda berparas jelita
telah mengalahkan dua tokoh sepuh Perguruan Taishan hanya dalam beberapa jurus,
bahkan menggunakan jurus pedang lawan-lawannya sendiri. Ilmu pedangnya yang
sedemikian hebat membuat para penonton berteriak-teriak memuji. Seketika
bergemalah suara ribuan para hadirin tersebut bagaikan membelah gunung.
Zuo Lengchan saling pandang
dengan beberapa kawannya dalam perasaan sangsi dan heran. Orang-orang Songshan
itu berpikir, “Yang dimainkan anak perempuan ini memang benar-benar ilmu pedang
Taishan yang hebat dan jarang terlihat. Walaupun permainannya tampak kurang
murni, namun jurus-jurus serangan yang ganas dan terlatih itu pasti bukan hasil
pemikiran perempuan ini. Kemungkinan besar itu semua adalah hasil pendalaman
Yue Buqun. Padahal, untuk mendalami ilmu pedang setinggi ini entah diperlukan waktu
berapa lama? Dari sini dapat dibayangkan betapa matang rencana dan maksud
tujuan Yue Buqun dalam menghadapi persoalan ini.”
Yuyinzi tampak belum percaya
pada kekalahannya. Ia berteriak, “Kau ... kau ... Ini bukan Jurus Jalur Daizong
yang asli!”
Setelah terluka barulah
Yuyinzi menyadari kalau yang dimainkan Yue Lingshan tadi bukan benar-benar
Jurus Jalur Daizong. Jika benar Jurus Jalur Daizhong seharusnya bisa menang
hanya dalam sekali serang saja, sehingga untuk apa harus repot-repot
menggunakan jurus Lima Pedang Raksasa, Bangau Hinggap di Mata Air, Batu
Menghadang Kuda, serta Tiga Kebahagiaan segala?
Semua jurus yang dilancarkan
Yue Lingshan tersebut sudah dipelajari selama puluhan tahun oleh Yuqingzi dan
Yuyinzi dan telah dihafal luar kepala oleh mereka. Sehingga, tanpa berpikir
panjang kedua pendeta Taishan itu pun menggunakan jurus-jurus penangkal untuk
mengalahkannya. Justru di sinilah letak perangkap Yue Lingshan, yaitu ia
tiba-tiba saja mengubah jurus-jurusnya sehingga kedua lawannya itu pun masuk ke
dalam jebakan dan kalah telak.
Yuqingzi dan Yuyinzi boleh
dikatakan terluka karena salah mengambil langkah. Kalau saja yang dimainkan Yue
Lingshan adalah jurus pedang Perguruan Huashan, tidak mungkin mereka berdua
bisa masuk perangkap dan kalah secepat itu. Yang lebih mengesalkan lagi adalah
nyonya muda ini telah mengubah bagian-bagian kunci dalam jurus-jurus pedang
Taishan yang ia mainkan tadi. Akan tetapi, apa pun alasannya yang ia mainkan
benar-benar ilmu pedang Taishan asli yang membuat Yuqingzi dan Yuyinzi marah
bercampur malu, terkejut bercampur kecewa, heran bercampur kesal yang tak
terlukiskan.
Di sisi lain, Linghu Chong
juga merasa bingung melihat bagaimana Yue Lingshan merobohkan kedua lawannya.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang berbisik di belakangnya, “Tuan Muda Linghu,
apakah kau yang telah mengajarkan jurus-jurus itu kepada Nona Yue?” Ketika ia
berpaling, ternyata yang berbisik itu adalah Tian Boguang. Menanggapi
pertanyaan tersebut ia hanya menggelengkan kepala.
Tian Boguang tersenyum
berkata, “Dahulu ketika kau bertarung denganku di Puncak Huashan, aku ingat kau
pernah menggunakan jurus Bangau Hinggap … apa tadi, namun waktu itu kau belum
menguasainya dengan baik.”
Linghu Chong diam tak menjawab
karena pikirannya hanyut dalam kebingungan. Begitu tadi Yue Lingshan memulai
pertarungan, ia segera sadar bahwa apa yang dimainkan adik kecilnya itu adalah
ilmu pedang Taishan yang terukir pada dinding gua rahasia di Puncak Huashan
yang pernah dilihatnya dulu. Meskipun demikian, ia tidak pernah menceritakan
penemuannya itu kepada orang lain. Juga ketika meninggalkan Tebing Perenungan
ia pun sempat menutup mulut gua rahasia tersebut menggunakan batu besar.
“Bagaimana Adik Kecil dapat
menemukan gua itu? Ah, kalau aku bisa menemukan gua itu, mengapa Adik Kecil
tidak dapat menemukannya? Apalagi aku secara tidak sengaja telah menemukan
lorong sempit menuju gua rahasia itu, sehingga kemungkinan Adik Kecil
menemukannya tentu lebih besar pula,” pikirnya.
Pada dinding gua rahasia
tersebut telah terukir bermacam-macam gambar jurus dan ilmu silat Serikat
Pedang Lima Gunung serta bagaimana para Tetua Sekte Iblis telah mematahkannya.
Linghu Chong kembali berpikir, “Aneh sekali. Meskipun aku hafal jurus-jurus
yang terukir pada dinding gua itu dengan baik, namun aku tidak mengenali
nama-namanya. Tapi mengapa Adik Kecil dapat mengenalnya dengan baik, serta
mempergunakannya dengan bagus pula? Serangannya tadi berturut-turut, mengalir
seperti air, seperti kusir kereta yang mengemudi dengan lancar karena sudah menghafal
jalan. Sungguh mengagumkan.”
Ketika mendengar Yuqingzi
menyebut jurus pamungkas yang dipakai Yue Lingshan tadi dengan nama “Tiga
Kebahagiaan”, seketika Linghu Chong teringat pernah diajak sang guru
mengunjungi Gunung Taishan beberapa tahun silam. Setelah melewati Gua Air,
mereka berjumpa jalanan pegunungan yang curam dan diberi nama Jalur Tiga
Kebahagiaan. Maksudnya ialah, jalur ini memiliki panjang tiga li, dan setelah
melewatinya tentu hati akan merasa begitu bahagia. Tak disangka, jalur curam tersebut
menjadi ilham terciptanya sebuah ilmu pedang yang ampuh.
Lamunan Linghu Chong seketika
buyar begitu melihat seorang tua kurus berpenampilan dekil maju ke tengah dan
berkata, “Tuan Yue telah mendalami setiap ilmu pedang kelima perguruan, sungguh
peristiwa besar yang belum pernah terjadi di dunia persilatan. Seumur hidup aku
si tua telah berlatih ilmu pedang Perguruan Hengshan, tapi ada beberapa bagian
yang belum kumengerti. Sungguh kebetulan jika hari ini aku bisa meminta
petunjuk kepada Tuan Yue.” Tangan kirinya memegang sebuah rebab tua yang
mengkilap karena sering digosok, dan tangan kanannya secara perlahan
mengeluarkan sebilah pedang tipis dari dalam rebab tersebut. Orang tua kurus
dekil ini tidak lain adalah Tuan Besar Mo, Ketua Perguruan Hengshan.
Yue Lingshan memberi hormat
dan berkata, “Mohon Paman Guru Mo sudi memaafkan, keponakan telah sembarangan
belajar beberapa jurus pedang Perguruan Hengshan. Mohon Paman Guru Mo sudi
memberi beberapa petunjuk seperlunya.”
Sebenarnya Tuan Besar Mo tadi mengatakan:
“sungguh kebetulan jika hari ini aku bisa meminta petunjuk kepada Tuan Yue”
adalah dengan maksud untuk menantang Yue Buqun. Siapa sangka ternyata Yue
Lingshan yang menerima tantangan tersebut, bahkan menyatakan hendak menggunakan
ilmu pedang Perguruan Hengshan pula.
Tuan Besar Mo memiliki nama
besar di dunia persilatan. Apalagi Zuo Lengchan tadi sempat menyebutkan bahwa
salah seorang adik seperguruannya, yaitu Fei Bin si Tapak Songyang Besar telah
tewas di tangan orang tua dekil ini. Sebagian para hadirin pun berpikir, “Yue
Lingshan berhasil mengalahkan dua jago sepuh Perguruan Taishan sekaligus
menggunakan jurus pedang mereka. Apakah ia juga mampu mengalahkan Tuan Besar Mo
menggunakan jurus pedang Hengshan?”
Tampak Tuan Besar Mo berkata
dengan tersenyum, “Bagus sekali, bagus sekali! Hebat, hebat!”
“Jika aku bukan tandingan
Paman Guru Mo, maka Ayah yang akan maju,” jawab Yue Lingshan.
Tuan Besar Mo menjawab, “Kau
ini tandinganku, kau ini tandinganku.”
Usai berkata demikian
pedangnya yang tipis itu perlahan-lahan menjulur ke depan. Tiba-tiba ia sedikit
menyendal pedangnya dan seketika terdengar suara mendengung-dengung. Menyusul
kemudian pedangnya kembali bergerak menimbulkan dengung dua kali.
Segera Yue Lingshan menangkis.
Namun pedang Tuan Besar Mo berkelebat cepat bagaikan hantu, tahu-tahu sudah
mengitar ke belakang Yue Lingshan. Lekas-lekas Yue Lingshan memutar tubuh, lalu
terdengar suara mendengung lagi dua kali di telinganya. Tampak beberapa helai
rambut melayang di udara dan jatuh ke tanah. Ia segera sadar bahwa itu adalah
rambutnya yang terpotong oleh pedang Tuan Besar Mo.
Yue Lingshan sangat terkejut
bukan main. Diam-diam ia berpikir, “Paman Guru Mo tidak ingin mencelakaiku.
Kalau ia bersungguh-sungguh, tentu serangan tadi sudah membunuhku. Ah, ini
sungguh kebetulan. Berarti aku bisa menyerang tanpa harus khawatir celaka
olehnya.” Maka Yue Lingshan pun segera melancarkan serangan ke arah dahi dan
perut Tuan Besar Mo tanpa menghiraukan gerakan pedang lawannya itu.
Tuan Besar Mo terkesiap oleh
dua serangan tersebut. Ia pun berpikir, “Hah? Ini adalah jurus Quanming Furong
dan Hexiang Zige. Dua jurus ini adalah andalan Perguruan Hengshan. Darimana
anak perempuan ini mempelajarinya?”
Gunung Hengshan memiliki dua
puluh tujuh puncak, dan lima di antaranya yang paling tinggi adalah Furong,
Zige, Shilin, Tianzhu, dan Zhurong. Jurus-jurus pedang Hengshan pada umumnya
dikelompokkan dengan menggunakan nama-nama puncak tersebut. Misalnya Jurus
Pedang Furong mengandung tiga puluh enam jurus, sementara Jurus Pedang Zige
mengandung empat puluh delapan jurus. Dengan memadukan jurus pedang dari
kelompok yang berbeda tersebut akan tercipta suatu kekuatan yang dahsyat dan
mengerikan.
Jurus Quanming Furong dan
Hexiang Zige masing-masing mengandung bagian-bagian mendalam dari kelompok
Pedang Furong dan Pedang Zige, yang kemudian dilebur dan disederhanakan menjadi
satu, sebagai jurus menyerang sekaligus bertahan. Kekuatannya begitu besar dan
menjadi salah satu dari lima jurus paling hebat dalam Perguruan Hengshan, yang
disebut dengan istilah “Lima Pedang Sakti Hengshan”.
Dalam pertandingan kali ini
Tuan Besar Mo dan Yue Lingshan sama-sama bergerak cepat, membuat para hadirin
hanya bisa mendengar suara mereka saja, tanpa tahu siapa yang saat ini
menyerang dan siapa yang saat ini bertahan, serta tidak tahu pula berapa jurus
yang sudah dilewati kedua orang itu.
Di Puncak Songshan ini Tuan
Besar Mo telah hadir dengan perhitungan matang. Sebenarnya ia sama sekali tidak
berhasrat menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, karena hatinya sadar ia bukan
tandingan Zuo Lengchan atau Linghu Chong. Akan tetapi, sebagai Ketua Perguruan
Hengshan ia merasa tidak boleh tunduk begitu saja dan harus tetap menjaga
kehormatan perguruannya. Maka, ia pun tampil dalam pertandingan ini setidaknya
untuk mengalahkan jago Perguruan Taishan dan Huashan.
Sebenarnya Tuan Besar Mo ingin
memberi pelajaran Yuqingzi dan Yuyinzi yang telah terlibat pembunuhan Pendeta
Tianmen. Tak disangka, mereka sudah roboh lebih dulu oleh Yue Lingshan. Kini, lawannya
yang tersisa hanya tinggal Yue Buqun saja.
Dalam pertandingan tiga babak
di Biara Shaolin dulu, Tuan Besar Mo menyaksikan sendiri bagaimana kehebatan
ilmu pedang Yue Buqun saat menghadapi Linghu Chong. Ia dapat menyimpulkan bahwa
Yue Buqun sepertinya tidak lebih hebat darinya sehingga dalam pertandingan di
Puncak Songshan kali ini ia yakin tidak akan kalah melawan Ketua Perguruan
Huashan tersebut. Akan tetapi, tak disangka yang maju adalah putri Yue Buqun
yang ternyata mampu memainkan jurus pedang Perguruan Hengshan. Dan yang lebih
mengerikan lagi, ternyata Yue Lingshan mampu memainkan salah satu intisari
jurus pedang Hengshan, yaitu satu jurus mengandung satu kelompok jurus. Mau
tidak mau timbul perasaan cemas dan ngeri di dalam hatinya.
Dahulu kala ketika Serikat
Pedang Lima Gunung bersatu menghadapi serangan sepuluh gembong Sekte Iblis di
Puncak Huashan, saat itu kakek guru Tuan Besar Mo ikut bertempur dan tewas di
sana. Guru Tuan Besar Mo sendiri masih sangat muda namun telah mempelajari semua
kelompok jurus ilmu pedang Hengshan. Meskipun demikian, apa yang ia pelajari
hanya garis besarnya saja, yaitu jurus yang mencakup kelompok jurus, misalnya
jurus Quanming Furong dan jurus Hexiang Zige tersebut. Dengan demikian, Tuan
Besar Mo pun tidak mendapatkan penjelasan rinci dari gurunya mengenai
jurus-jurus itu. Tapi anehnya, mengapa Yue Lingshan yang berasal dari perguruan
lain kini mampu memainkan kedua jurus tersebut? Dari mana sebenarnya nyonya
muda ini mendapatkan pelajaran? Hanya saja, Yue Lingshan belum memahami
jurus-jurus tersebut secara mendalam. Jika tidak, mana mungkin Tuan Besar Mo
yang pikirannya sempat kacau masih bisa bertahan sampai saat ini?