Pendekar Hina Kelana Jilid 101-105

Chin Yung/Jin Yong, Baca Cersil Mandarin Online: Pendekar Hina Kelana Jilid 101-105 Pada tanggal tiga belas sampailah rombongan Perguruan Henshan di kaki Gunung Songshan.
Pada tanggal tiga belas sampailah rombongan Perguruan Henshan di kaki Gunung Songshan. Dua hari kemudian, pada tanggal lima belas pagi-pagi sekali Linghu Chong memimpin rombongan berangkat menuju ke atas gunung. Sampai di pertengahan jalan, di sebuah gardu istirahat mereka disambut empat orang murid Perguruan Songshan. Dengan sangat hormat mereka menyapa, “Kami dari Perguruan Songshan mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kunjungan Ketua Linghu dari Perguruan Henshan. Para paman dari Perguruan Taishan, Hengshan, dan Huashan sudah sejak kemarin tiba lebih dulu di sini. Dengan kedatangan Ketua Linghu bersama para kakak dari Perguruan Henshan, kami sungguh mendapatkan kehormatan besar.”

Linghu Chong melanjutkan perjalanan mendaki ke atas. Rupanya jalur menuju puncak sudah dibersihkan. Di sepanjang jalan pada setiap beberapa li tampak beberapa murid Songshan menyambut dengan menyuguhkan teh dan makanan ringan. Cara mereka menyambut tamu sangat sopan dan teratur. Hal ini menunjukkan betapa rapi persiapan Zuo Lengchan dan sepertinya ia berusaha menggunakan segala cara untuk mendapatkan kedudukan sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung.

Dalam perjalanan menuju puncak tersebut terlihat lagi beberapa murid Songshan datang menyambut sebagai pemandu rombongan tamu. Mereka memberi hormat sambil berkata, “Para tokoh dan ketua Perguruan Kulun, Emei, Kongtong, dan Qingcheng juga telah datang di Gunung Songshan ini untuk ikut menyaksikan upacara pemilihan Ketua Perguruan Lima Gunung. Ketua Linghu datang pada saat yang tepat. Para tamu yang lain sudah menunggu di atas sana. Silakan!” Sikap murid-murid Songshan ini sangat angkuh. Kata-kata mereka pun bernada sombong seakan-akan jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung sudah pasti akan dipegang oleh perguruan mereka.

Setelah naik lagi sekian lama, terdengar suara gemuruh yang cukup berisik. Tampak dua buah air terjun mengalir deras ke bawah jurang bagaikan dua ekor naga kahyangan yang terbang meliuk-liuk. Rombongan pun berhenti sejenak untuk menyaksikan kedua air terjun tersebut.

Dengan perasaan bangga, murid Songshan yang menjadi pemandu berkata, “Di atas sana itu yang disebut Puncak Kemenangan. Ketua Linghu, menurutmu apakah ada tempat di Gunung Henshan yang bisa dibandingkan dengan tempat ini?”

Linghu Chong menjawab, “Pemandangan di Gunung Henshan sama indahnya dengan Gunung Songshan ini.”

Orang itu berkata, “Gunung Songshan disebut sebagai pusat dunia sejak zaman Dinasti Han dan Dinasti Tang. Songshan juga menjadi kepala dari semua gunung di dunia. Ketua Linghu bisa melihat sendiri betapa indah pemandangan di sini. Tidak heran kalau raja-raja dari berbagai dinasti selalu mendirikan ibu kota di kaki Gunung Songshan.” Di balik ucapannya itu ia hendak mengatakan bahwa Songshan adalah kepala dari semua gunung di dunia, maka Perguruan Songshan juga selalu menjadi pimpinan dari semua golongan persilatan.

Linghu Chong tersenyum dan menjawab, “Kaum persilatan macam kita mana ada hubungan dengan para kaisar dan pembesar negeri? Apakah Ketua Zuo sering berhubungan dengan para pejabat kerajaan?”

Seketika muka murid Songshan itu menjadi merah dan ia tidak berbicara lagi.

Jalanan ke atas untuk selanjutnya semakin curam. Murid Songshan yang menjadi penunjuk jalan tadi kembali berkata sambil menunjuk beberapa tempat, “Yang itu adalah Dataran Lembah Hijau, sedangkan yang itu Puncak Lembah Hijau. Lalu yang ini adalah Jembatan Besi Besar, sementara yang itu adalah Jembatan Besi Kecil. Nah, kalau yang di sebelah kanan itu adalah Jurang Sepuluh Ribu, yang kedalamannya luar biasa.”

Murid Songshan itu kemudian memungut sebongkah batu dan melemparkannya ke bawah. Begitu batu itu membentur dinding jurang terdengar suara yang sangat nyaring dan semakin lama semakin pelan dan akhirnya lenyap. Ini menunjukkan kalau jurang tersebut memang sangat dalam luar biasa.

Tiba-tiba Yihe menyahut, “Bolehkah aku bertanya kepada Saudara, berapa jumlah tamu yang akan datang ke Puncak Songshan?”

“Sekitar dua ribu orang,” jawab orang itu.

Yihe berkata, “Jika setiap ada orang yang datang kau menjatuhkan sebongkah batu ke dalam jurang itu, lama-lama gedung Perguruan Songshan bisa pindah ke sana pula.”

Murid Songshan itu hanya mendengus tidak menanggapi ucapan Yihe.

Setelah melewati suatu tikungan, tiba-tiba kabut datang bertaburan. Kemudian di tengah jalan pegunungan itu tampak belasan laki-laki menghadang dengan senjata di tangan. Salah seorang di antaranya berseru dengan suara seram, “Apakah Linghu Chong akan datang ke sini? Kalau melihatnya, harap kawan-kawan sekalian sudi memberitahukan pada kami.”

Linghu Chong melihat orang yang sedang berbicara itu bercambang pendek, kaku, dan lebat. Wajahnya sangat seram, tapi kedua matanya buta. Ketika melihat orang-orang yang lain, ternyata semua juga buta. Linghu Chong terkesiap dan segera berseru, “Linghu Chong ada di sini. Saudara ada perlu apa?”

Begitu mendengar “Linghu Chong ada di sini”, serentak belasan orang buta itu berteriak-teriak mencaci-maki. Dengan senjata masing-masing mereka menerjang maju sambil berteriak, “Bangsat keparat Linghu Chong, kau telah membuat kami susah! Hari ini, biarlah kami mengadu nyawa denganmu!”

Linghu Chong segera teringat kejadian di sebuah kuil tua saat ia bersama rombongan Perguruan Huashan diserang lima belas orang berkedok. Dengan menggunakan Ilmu Sembilan Pedang Dugu yang baru saja dipelajarinya, Linghu Chong berhasil membutakan semua bola mata para penyerang itu. Tadinya ia tidak tahu asal-usul kelima belas orang tersebut. Namun kini ia menduga mereka pasti orang-orang suruhan Perguruan Songshan.

Dilihatnya keadaan di tempat itu pun cukup berbahaya. Bila kelima belas orang buta tersebut benar-benar mengadu nyawa dengannya, tentu akan sangat fatal akibatnya. Asalkan ada seorang saja yang berhasil memeluk dan mendorongnya, maka bukan mustahil ia akan tergelincir jatuh ke dalam Jurang Sepuluh Ribu dan gugur bersama. Sementara itu murid-murid Songshan yang menjadi pemandu jalan bersikap acuh tak acuh dengan bibir sedikit terangkat seakan-akan bersyukur atas apa yang akan terjadi.

Linghu Chong pun memaklumi karena ia pernah membunuh banyak murid Songshan saat menolong rombongan Perguruan Henshan di Lembah Tempa Pedang, juga membunuh dua sesepuh yang merebut jubah biksu berisi naskah Kitab Pedang Penakluk Iblis di Kota Fuzhou. Maka, dalam pertemuan di Gunung Songshan ini sedikit pun ia tidak boleh lengah. Oleh karena itu, ia hanya bisa bertanya, “Apakah kawan-kawan buta ini murid Perguruan Songshan? Jika benar, sudilah kiranya Saudara memberi perintah agar mereka mau memberi jalan.”

“Bukan, mereka bukan orang kami,” jawab si pemandu jalan sambil tertawa. “Silakan Ketua Linghu sendiri yang membereskan mereka.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang membentak dengan suara menggelegar, “Biar bapakmu ini yang membersihkan jalan!” Suara ini ternyata suara Biksu Bujie yang datang bersama cucu muridnya, yaitu Biksu Bukebujie alias Tian Boguang. Dengan langkah lebar biksu berbadan tinggi besar itu menerjang maju. Sekali gerak ia langsung mencengkeram dua orang murid Songshan, lantas melemparkan tubuh mereka ke arah kawanan orang buta itu sambil berseru, “Ini dia, Linghu Chong telah tiba!”

Serentak kawanan orang buta itu mengayunkan senjata masing-masing. Mereka membacok dan menebas serabutan. Untung kedua murid Songshan itu cukup tangkas. Saat tubuh mereka terapung di udara, mereka sempat mencabut pedang untuk menangkis sambil berteriak, “Kami orang Songshan. Kita kawan sendiri. Lekas menyingkir!”

Mendengar itu kawanan orang buta menjadi kelabakan dan kacau-balau. Mereka berusaha menghindar sedapat mungkin. Namun Bujie sudah lebih dulu menyusul ke depan. Kembali kedua murid Songshan itu tertangkap olehnya. “Jika kalian tidak menyuruh kawanan buta itu enyah dari sini, akan kulemparkan tubuh kalian ke jurang!” bentaknya.

Kemudian sang biksu besar pun mengerahkan tenaga sekuatnya. Kedua murid Songshan itu dilemparkannya ke atas. Meskipun berat badan mereka masing-masing ada lebih dari seratus kati, tapi tenaga Biksu Bujie sendiri terlalu kuat. Sekali lempar, kedua orang itu lantas melayang ke atas beberapa meter tingginya. Tentu saja kedua murid Songshan itu ketakutan setengah mati. Hampir-hampir sukma mereka terbang meninggalkan raga. Terdengar suara keduanya menjerit ngeri, karena membayangkan tubuh mereka pasti hancur lumat begitu terjatuh ke dalam Jurang Sepuluh Ribu yang tak terkira dalamnya.

Namun sebelum kedua orang itu jatuh ke bawah, dengan sangat cepat Biksu Bujie kembali menangkap dan mencengkeram tengkuk mereka lalu mengancam, “Bagaimana? Mau mencoba lagi?”

Salah satu dari mereka berseru ketakutan, “Ti… tidak! Jang… jangan!”

Seorang lagi agaknya lebih pintar. Tiba-tiba saja ia berseru, “Hei, Linghu Chong, hendak lari ke mana kau? Hayo kawan-kawan buta, lekas kejar ke sini. Lekas!”

Mendengar itu kawanan orang buta pun percaya dan serentak mereka mengejar.

Tian Boguang lantas membentak, “Hei, bocah tengik! Nama Ketua Linghu mana boleh kau sebut sembarangan begitu? Ini hadiah untukmu!” Usai berkata ia melayangkan dua pukulan ke wajah orang itu, kemudian berteriak, “Pendekar Linghu ada di sini! Ketua Linghu ada di sini! Orang buta mana yang berani, lekas kemari kalau minta diberi pelajaran!”

Sebenarnya kawanan orang buta itu telah dihasut oleh pihak Songshan agar menuntut balas kepada Linghu Chong. Maka, dengan sabar mereka menanti di jalan pegunungan. Namun ketika mendengar jeritan ngeri kedua murid Songshan tadi, mau tidak mau mereka ikut merasa ngeri juga. Apalagi mereka telah berlari kian-kemari di jalan pegunungan itu dengan mata buta sehingga tidak tahu di mana sasaran sebenarnya. Akhirnya mereka pun bingung sendiri dan hanya bisa berdiri termenung di tempat masing-masing.

Linghu Chong, Biksu Bujie, Tian Boguang, dan murid-murid Perguruan Henshan lainnya segera melewati kawanan orang buta itu untuk melanjutkan perjalanan ke atas. Tidak lama kemudian terlihat dua buah batuan gunung mengapit sebuah celah alam sehingga berwujud bagaikan pintu gerbang. Angin kencang datang meniup keluar dari celah itu disertai kabut awan.

Biksu Bujie tiba-tiba membentak, “Hei, kalian yang suka pamer, apa nama tempat ini? Kenapa kalian berubah jadi pendiam?”

Dengan tersenyum kecut salah satu murid Songshan tadi menjawab, “Ini namanya Gerbang Menghadap Langit.”

Setelah memutar ke arah barat laut dan menanjak tidak seberapa jauh, terdapat sebidang tanah lapang di puncak gunung. Di situ sudah berkumpul ribuan orang. Kedua murid Songshan yang memandu jalan tadi lantas mendahului naik ke situ untuk melapor. Sejenak kemudian terdengar suara tetabuhan menyambut kedatangan Linghu Chong dan rombongannya.

Zuo Lengchan mengenakan jubah kuning kecoklatan tampak datang menyambut disertai dua puluh orang muridnya. Mereka semua serentak memberi hormat kepada rombongan Perguruan Henshan tersebut.

Meskipun kedudukan Linghu Chong saat ini sebagai Ketua Perguruan Henshan, namun ia sudah terbiasa memanggil “Paman Zuo”. Lagipula ia juga berasal dari angkatan yang lebih muda. Maka, sambil membalas hormat ia pun berkata, “Keponakan Linghu Chong memberi hormat kepada Ketua Perguruan Songshan.”

Zuo Lengchan menjawab, “Meskipun berpisah cukup lama, namun Saudara Linghu tampak bertambah gagah. Seorang kesatria muda dan tampan menjadi Ketua Perguruan Henshan, sungguh suatu peristiwa yang jarang ada di dunia persilatan. Selamat!”

Linghu Chong sadar ucapan Zuo Lengchan itu sebenarnya hanyalah olok-olok belaka. Apalagi ucapan selamat tersebut dilakukan dengan wajah datar tanpa senyum sedikit pun. Perkataan Zuo Lengchan itu tidak lain hanya untuk mengejek Linghu Chong sebagai seorang laki-laki namun memimpin kaum biksuni. Apalagi perkataan “muda dan tampan” jelas dalam hal ini bermakna kurang baik.

Maka, Linghu Chong pun menjawab sewajarnya saja, “Ini semua hanyalah wasiat terakhir dari Biksuni Dingxian. Aku hanya ingin membalas kematian kedua biksuni sepuh. Bila tugas membalas dendam sudah tercapai, dengan sendirinya aku akan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan ketua kepada yang lebih bijaksana.” Saat mengucapkan kalimat ini, Linghu Chong menatap tajam ke arah Zuo Lengchan yang diyakininya telah membunuh Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi di Biara Shaolin. Ia ingin melihat apakah wajah Zuo Lengchan berubah menjadi marah ataukah malu jika disindir seperti itu.

Akan tetapi, raut muka Zuo Lengchan ternyata tidak berubah sedikit pun, bahkan ia berkata, “Serikat Pedang Lima Gunung selamanya senasib sepenanggungan. Bahkan, untuk selanjutnya kelima perguruan akan dilebur menjadi satu sehingga masalah sakit hati kedua biksuni sepuh bukan hanya menjadi urusan Perguruan Henshan belaka, namun juga menjadi urusan Perguruan Lima Gunung kita. Saudara Linghu sudah membulatkan tekad, sungguh patut dipuji.” Ia berhenti sejenak kemudian melanjutkan, “Pendeta Tianmen dari Perguruan Taishan, Tuan Besar Mo dari Perguruan Hengshan, Tuan Yue dari Perguruan Huashan, serta para undangan lainnya sudah berdatangan semua. Silakan Saudara Linghu bertemu dengan mereka.”

“Baik,” jawab Linghu Chong. “Apakah Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin dan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang juga sudah datang?”

Dengan acuh tak acuh Zuo Lengchan menjawab, “Tempat tinggal mereka tidak jauh dari sini. Namun mengingat kedudukan mereka berdua yang tinggi itu, rasanya tidak akan hadir.” Usai berkata demikian, ia memandang Linghu Chong dengan tatapan penuh kebencian.

Linghu Chong tercengang, namun kemudian memakluminya. Tatapan kebencian itu tentu disebabkan oleh rasa cemburu atas kedatangan Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu secara pribadi ketika dirinya dilantik menjadi Ketua Perguruan Henshan tempo hari.

Pada saat itu tiba-tiba terlihat dua orang murid Songshan berlari dari arah bawah gunung. Melihat cara lari mereka yang terburu-buru, jelas ada suatu urusan penting yang perlu untuk segera dilaporkan. Para hadirin pun tertarik untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Dalam sekejap saja kedua orang itu sudah berada di hadapan Zuo Lengchan. Mereka memberi hormat dan berkata, “Guru, Kepala Biara Shaolin Mahabiksu Fangzheng dan Ketua Perguruan Wudang Pendeta Chongxu bersama rombongan masing-masing sedang menuju kemari untuk menyampaikan selamat kepada Perguruan Lima Gunung kita.”

“O, mereka juga hadir? Wah, sungguh suatu kehormatan besar. Aku harus turun untuk menyambut langsung,” kata Zuo Lengchan dengan nada datar seolah tidak terlalu peduli. Meskipun demikian, Linghu Chong dapat melihat tubuh Ketua Perguruan Songshan tersebut agak bergetar menunjukkan perasaan gembira di dalam hatinya.

Para hadirin pun ikut gempar begitu mendengar bahwa ketua-ketua Perguruan Shaolin dan Wudang juga hadir di Puncak Songshan. Serentak mereka ikut di belakang Zuo Lengchan melangkah ke bawah untuk menyambut.

Linghu Chong bersama murid-murid Henshan menyisih ke tepi untuk memberi jalan kepada orang sebanyak itu. Tampak Pendeta Tianmen dari Perguruan Taishan, Tuan Besar Mo dari Perguruan Hengshan, Xie Feng dari Partai Pengemis, Yu Canghai dari Perguruan Qingcheng, Tuan Wen si sarjana, dan tokoh-tokoh persilatan sepuh lainnya ada di antara mereka. Kepada masing-masing pemimpin aliran itu Linghu Chong mengangkat tangan memberi hormat.

Akan tetapi, ada dua orang di antara para hadirin yang tiba-tiba muncul dari balik tembok dan membuat Linghu Chong gugup gemetar. Mereka tidak lain adalah Yue Buqun dan Ning Zhongze yang datang bersama murid-murid Perguruan Huashan. Dengan perasaan pilu Linghu Chong memburu maju, kemudian berlutut dan memberi hormat. “Harap kedua Sesepuh yang mulia menerima hormat Linghu Chong.” Ia tidak berani lagi memanggil “Guru” dan “Ibu Guru”, namun caranya memberi hormat masih sama seperti dulu.

Yue Buqun mengelak ke samping dan menjawab dengan nada dingin, “Untuk apa Ketua Linghu melakukan banyak adat seperti ini? Bukankah malah terlihat aneh dan lucu?”

Linghu Chong bangkit dan mundur ke tepi jalan setelah menyembah kedua orang tua asuhnya itu beberapa kali. Tampak mata Ning Zhongze basah dan merah. Wanita itu berkata, “Kabarnya kau telah menjabat sebagai Ketua Perguruan Henshan. Untuk selanjutnya asalkan kau tidak membuat masalah, aku kira masih banyak kesempatan bagimu untuk membersihkan diri.”

Yue Buqun tertawa dingin, “Dia? Tidak membuat masalah? Itu bisa terjadi kelak jika matahari terbit dari barat. Pada hari dia dilantik menjadi Ketua Perguruan Henshan saja sudah menerima ribuan orang dari golongan hitam, apa ini bukan masalah? Aku juga mendengar dia membantu Ren Woxing membunuh Dongfang Bubai dan merebut kembali kedudukan sebagai Ketua Sekte Iblis, apa itu bukan masalah? Seorang ketua perguruan lurus bersih membantu urusan mahabesar dalam tubuh aliran sesat, apakah ini bukan masalah namanya?”

“Benar, benar,” jawab Linghu Chong. Ia tidak ingin berdebat dengan mantan gurunya itu sehingga memilih untuk mengalihkan pembicaraan, “Dalam pertemuan di Gunung Songshan ini tampaknya Paman Zuo bermaksud melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi Perguruan Lima Gunung. Entah bagaimana pendapat kedua Sesepuh terhadap urusan ini?”

“Pendapatmu sendiri bagaimana?” Yue Buqun balas bertanya.

“Menurut murid .…”

Yue Buqun tersenyum menyela, “Istilah ‘murid’ tidak perlu kau pakai lagi. Jika kau masih teringat saat-saat dirimu berada di Gunung Huashan dulu, hendaknya kau … kau .…” Ucapan Yue Buqun ini terdengar ramah namun sulit untuk dilanjutkan. Sepertinya ada suatu hal yang ingin ia sampaikan kepada Linghu Chong.

Sejak diusir dari Perguruan Huashan, belum pernah Linghu Chong menghadapi sikap ramah Yue Buqun seperti ini. Seketika ia menjadi senang dan segera menjawab, “Ada perintah apa dari kedua Sesepuh, murid … eh, saya pasti akan melaksanakannya.”

“Aku tidak punya perintah apa-apa,” ujar Yue Buqun manggut-manggut. “Hanya saja kaum persilatan seperti kita sangat mengutamakan budi dan kewajiban. Mengenai bagaimana kau dikeluarkan dari Perguruan Huashan sesungguhnya bukan karena kami yang berhati kejam dan tidak dapat memaafkan kesalahanmu, namun karena kau telah melanggar pantangan besar dalam dunia persilatan. Meskipun sejak kecil kau berada dalam asuhan kami sehingga hubungan kita seperti ayah dan anak, namun aku harus tetap bertindak adil tanpa pilih kasih.”

Mendengar sampai di sini, air mata Linghu Chong berlinang-linang. Dengan tersedu sedan ia berkata, “Budi baik Guru dan Ibu Guru sukar saya balas meski badan ini hancur lebur sekalipun.”

Yue Buqun menepuk-nepuk bahu Linghu Chong dengan perlahan, kemudian berkata, “Kita ini guru dan murid harus beradu senjata saat di Biara Shaolin tempo hari. Sebenarnya beberapa jurus yang kugunakan untuk melawanmu itu mengandung makna yang dalam dengan harapan agar kau bisa mengubah pikiranmu dan kembali ke dalam Perguruan Huashan. Namun sayangnya kau tidak sadar. Sungguh, kejadian itu membuat aku sangat bersedih.”

“Benar, saya pantas mati,” jawab Linghu Chong dengan menundukkan kepala. “Perbuatanku di Biara Shaolin tempo hari sungguh sukar dijelaskan. Saya seperti berada dalam pengaruh setan. Saya ingin dapat kembali mengabdi di bawah pimpinan Guru. Sungguh, inilah cita-cita saya selama hidup ini.”

Yue Buqun tersenyum menjawab, “Aku khawatir kata-katamu ini hanya manis di bibir saja. Sekarang ini kau sudah menjadi Ketua Perguruan Henshan, main perintah sana-sini dengan nyaman, mana mau kembali menjadi muridku? Lagipula melihat ilmu silatmu saat ini, mana pantas aku menjadi gurumu?” Usai berkata demikian ia melirik ke arah Ning Zhongze, istrinya.

Dari nada ucapan Yue Buqun ini terasa kalau ia tidak keberatan untuk menerima Linghu Chong kembali menjadi murid Perguruan Huashan. Segera Linghu Chong berlutut dan berkata, “Guru, Ibu Guru, murid telah banyak berbuat dosa. Untuk selanjutnya, murid berjanji akan memperbaiki kesalahan-kesalahan dahulu dan patuh kepada ajaran Guru dan Ibu Guru. Harapan murid hanyalah kesediaan Guru dan Ibu Guru untuk menaruh belas kasihan dan menerima saya kembali.”

Pada saat itu terdengar suara banyak orang sedang berdatangan. Para hadirin tampak mengiringi Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu naik ke atas. Segera Yue Buqun berkata dengan suara tertahan, “Lekas kau berdiri. Urusan ini bisa kita rundingkan nanti.”

Linghu Chong sangat senang. Ia menghormat beberapa kali dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, barulah ia berdiri.

Dengan perasaan pilu bercampur senang, Ning Zhongze berkata, “Adik kecilmu dan Adik Lin-mu bulan yang lalu telah … telah menikah.” Nada ucapannya terdengar khawatir kalau-kalau apa yang ia katakan itu akan mengecewakan Linghu Chong. Masalahnya, ia menduga maksud Linghu Chong ingin kembali ke Perguruan Huashan adalah demi Yue Lingshan.

Linghu Chong memang merasa berduka saat mendengar hal itu, meski sebelumnya sudah mendengar dari cerita Yilin. Perlahan ia melirik ke arah Yue Lingshan yang berdiri di belakang sang ibu. Tampak adik seperguruannya itu telah berganti dandanan menjadi seorang nyonya muda. Pakaiannya agak mewah, namun wajahnya masih sama seperti dulu. Tidak ada tanda-tanda riang gembira sebagaimana layaknya seorang pengantin baru. Ketika beradu pandang dengan Linghu Chong, mendadak wajah Yue Lingshan berubah merah dan kemudian menunduk.

Seketika dada Linghu Chong seperti dipukul dengan palu godam keras-keras, mata pun terasa berkunang-kunang. Hampir-hampir ia tidak sanggup berdiri tegak. Sayup-sayup telinganya mendengar seseorang menyapa, “Ketua Linghu, kau adalah tamu dari jauh, tapi malah sudah datang lebih dulu. Biara Shaolin adalah tetangga dekat, tapi si tua ini malah datang terlambat.”

Linghu Chong merasa bahunya dipapah seseorang. Dengan cepat ia menenangkan diri dan memperhatikan siapa yang mendekatinya itu. Ternyata orang itu adalah Mahabiksu Fangzheng yang memandangnya sambil tersenyum simpul. Segera Linghu Chong menjawab, “O, ternyata Mahabiksu Fangzheng. Terimalah hormat saya!”

“Ya, ya,” jawab Fangzheng.

“Sudahlah, kita tidak perlu banyak adat lagi,” sahut Zuo Lengchan. “Kalau setiap orang saling memberi hormat, sampai kapan ribuan orang yang hadir ini bisa tuntas semua? Silakan para hadirin masuk ke dalam Pelataran Samadi dan duduk di sana.”

Para hadirin beramai-ramai mengiakan dan kemudian masuk ke dalam ruang yang ditunjuk Zuo Lengchan.

Puncak tertinggi Gunung Songshan dikenal dengan sebutan Puncak Eji. Di puncak itu dibangun sebuah kuil yang disebut Pelataran Samadi, yang semula merupakan tempat ibadah Agama Buddha. Akan tetapi, sejak beberapa ratus tahun terakhir kuil tersebut menjadi tempat ibadah Agama Tao, kemudian akhirnya menjadi kediaman Ketua Perguruan Songshan. Meskipun nama Zuo Lengchan mengandung unsur “chan”, namun ia bukan seorang pengikut Agama Buddha. Ilmu silat Perguruan Songshan sendiri lebih dekat dengan ajaran Agama Tao.

Para hadirin telah memasuki Pelataran Samadi. Di dalamnya terdapat pekarangan yang penuh dengan pepohonan cemara berusia tua, serta sebuah balai yang bercorak Buddha, meskipun di dalamnya tidak terdapat patung Buddha sama sekali. Balai ini sangat luas, namun masih belum bisa menandingi kemegahan Balai Kesatria Agung milik Biara Shaolin. Tidak sampai seribu orang yang masuk ke dalam balai tersebut, keadaan sudah penuh sesak dan tidak ada lagi tempat untuk berpijak. Sementara itu para hadirin sisanya hanya bisa berdiri di pekarangan kuil saja.

Dengan suara lantang Zuo Lengchan membuka pembicaraan, “Hari ini adalah hari berkumpulnya para anggota Serikat Pedang Lima Gunung. Hari ini kami merasa mendapat kehormatan besar atas kehadiran para kawan dari berbagai aliran persilatan yang ikut menyaksikan peristiwa ini. Sungguh, ini di luar dugaan dan kami sama sekali kurang persiapan. Maka, jika ada kekurangan dalam penyambutan dan pelayanan, harap para hadirin sudi memaklumi dan memberi maaf.”

Seorang hadirin berteriak, “Sudahlah, tidak perlu banyak adat! Yang jadi masalah saat ini adalah jumlah hadirin terlalu banyak, sementara tempatnya terlalu sempit.”

Zuo Lengchan menjawab, “Jika kita mendaki ke atas sekitar dua ratus langkah, di sana terdapat sebuah tempat yang luas bernama Panggung Fengshan yang dulu biasa digunakan para kaisar untuk memuja langit dan bumi. Tempat itu cukup luas untuk menampung kita semua. Namun sayangnya, kita ini hanyalah rakyat jelata. Kalau kita berunding di sana dan sampai terdengar oleh kaum terpelajar yang berwawasan luas, tentu mereka akan mengolok-olok kita sebagai orang-orang tak tahu diri.”

Pada zaman dahulu para kaisar sering melakukan puji syukur atas keberhasilan pemerintahannya dengan memuja langit dan bumi di puncak Gunung Taishan, yang kemudian dipindahkan ke Gunung Songshan. Upacara tersebut juga bertujuan untuk memohon ketentraman negeri. Namun, saat ini yang ada di Puncak Songshan adalah kaum persilatan yang tidak tahu menahu soal pemujaan langit dan bumi. Mereka hanya merasa sesak berada di Pelataran Samadi dan meminta dibawa ke tempat lain yang lebih luas. Jangankan untuk berbicara, untuk bernapas saja rasanya sudah sangat sulit.

Maka dapat ditebak, para hadirin pun tidak peduli dengan nilai keramat yang diceritakan Zuo Lengchan tadi. Beberapa di antara mereka berteriak, “Kita ini tidak sedang merencanakan pemberontakan terhadap Kaisar. Apa peduli kita dengan tempat keramat atau tidak? Kalau ada tempat yang luas dan bagus seperti itu tidak digunakan sekarang lantas mau tunggu sampai kapan? Kalau ada yang mengolok-olok, persetan dengan mereka!” Bersama itu sebagian dari mereka sudah bergegas mendahului berlari ke arah yang ditunjuk sang tuan rumah.

Zuo Lengchan pun berkata, “Baiklah, jika demikian mari kita menuju ke sana!”

Dalam hati Linghu Chong merenung, “Zuo Lengchan sungguh cermat dalam menjalankan siasatnya. Ia sengaja membuat para hadirin merasa sesak berada di tempat ini dan memamerkan sebuah tempat keramat yang lebih luas. Namun, ia sendiri berlagak malu untuk mengajak mereka ke sana dan membiarkan para hadirin itu saling mendesak sendiri untuk berangkat ke sana.” Sejenak kemudian ia kembali berpikir, “Entah tempat macam apa yang dipamerkan Zuo Lengchan itu? Dia menyatakan tempat itu biasanya digunakan oleh para kaisar, dan sekarang dia mengundang para hadirin untuk pergi ke sana. Jangan-jangan Zuo Lengchan berniat ingin menjadi kaisar pula? Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu mengatakan bahwa orang ini memiliki ambisi yang sangat besar. Setelah melebur Serikat Pedang Lima Gunung, langkah selanjutnya adalah berusaha mencaplok Sekte Matahari dan Bulan, kemudian menghabiskan pula Perguruan Shaolin dan Wudang. Hm, dia dan Dongfang Bubai sepertinya memiliki cita-cita yang sama, panjang umur dan merajai dunia persilatan.”

Tanpa banyak bicara Linghu Chong lantas mengikuti para hadirin lainnya dan akhirnya sampai di tempat pemujaan bernama Panggung Fengshan itu. Kembali ia berpikir, “Mendengar ucapan Guru tadi, sepertinya Beliau memaafkan semua kesalahanku dan mengizinkan aku kembali ke Huashan. Mengapa Guru tiba-tiba berubah menjadi ramah kepadaku? Mungkin Beliau telah mendengar kalau tingkah laku dan perbuatanku di Henshan tetap sopan dan sama sekali tidak menodai nama baik Perguruan meskipun semua anggotanya kaum perempuan. Adik Kecil dan Adik Lin juga baru saja menikah, pasti Guru dan Ibu Guru merasa bersalah kepadaku. Mungkin saja Ibu Guru telah banyak membujuk Guru sehingga Guru akhirnya mengubah sikapnya kepadaku. Hari ini Zuo Lengchan berniat menjalankan rencananya untuk melebur kelima perguruan menjadi satu. Selama Guru masih menjadi Ketua Perguruan Huashan, pasti Beliau akan berusaha sekuat tenaga untuk menentang rencana ini. Beliau bersikap ramah kepadaku tentu mengharapkan dukunganku demi mempertahankan Perguruan Huashan. Baiklah, aku akan mengerahkan yang terbaik demi memenuhi harapan Guru, sekaligus demi menjaga keselamatan Perguruan Henshan.”

Panggung Fengshan terbuat dari batu kasar dan besar, yang dipahat dan ditata sedemikian rupa sehingga menjadi rata. Linghu Chong membayangkan saat Sang Kaisar memerintahkan pembangunan panggung raksasa tersebut, entah berapa banyak tukang batu di zaman dulu yang dikerahkan. Namun jika diamati dengan seksama, ternyata ada beberapa bagian yang nampak baru saja dipahat. Meskipun lumut sudah tumbuh di sana, namun Linghu Chong yakin bahwa panggung batu awalnya dalam keadaan rusak, kemudian Zuo Lengchan memerintahkan para anak buahnya untuk memperbaiki. Hanya saja, Zuo Lengchan berusaha menutupinya, dan semakin ditutup-tutupi justru semakin jelas terlihat.

Di sekitar panggung batu itu terdapat sebuah lapangan yang sangat luas. Di tempat itu semua orang merasa nyaman dan segar melihat puncak-puncak gunung yang tak terhitung banyaknya di bawah Puncak Songshan tersebut. Ditambah lagi hari itu cuaca sedang terang benderang, tanpa segumpal awan sedikit pun yang melayang di angkasa, sehingga pemandangan pun tampak semakin jelas. Linghu Chong memandang jauh ke arah utara dan dapat melihat jalur Sungai Yumen dan Sungai Kuning seperti untaian benang. Di sebelah barat samar-samar ia dapat melihat kota bersejarah Luoyang, sedangkan di tenggara ia bisa melihat lapisan-lapisan pegunungan.

Ia kemudian mendengar tiga orang tua di depannya sedang menunjuk-nunjuk ke arah selatan. Salah seorang berkata, “Yang itu adalah Puncak Beruang Besar, dan yang di sana adalah Puncak Beruang Kecil. Dua puncak yang berdekatan itu adalah Puncak Kumala Kembar. Dan tiga puncak yang berdekatan itu adalah Puncak Tonjolan Tiga.”

Orang tua lainnya berkata, “Gunung di seberang sana itu adalah Gunung Shaoshi, tempat Biara Shaolin yang termasyhur itu berada. Tempo hari aku pernah mengunjungi Biara Shaolin dan merasakan Gunung Shaoshi luar biasa tingginya. Namun jika dipandang dari sini, ternyata masih jauh di bawah Gunung Songshan.” Ketiga orang tua itu lantas tertawa bersama.

Melihat penampilan ketiga orang tua itu, Linghu Chong yakin mereka bukan orang Perguruan Songshan. Namun ucapan mereka itu jelas mengolok-olok Perguruan Shaolin dan meninggikan derajat Perguruan Songshan. Linghu Chong juga dapat merasakan ketiga orang tua itu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Ia menduga ketiganya adalah undangan Zuo Lengchan yang sengaja didatangkan untuk membantu bila terjadi sesuatu di luar rencananya. Sepertinya Zuo Lengchan memang mempersiapkan segalanya dengan sangat cermat.

Zuo Lengchan sendiri tampak sedang meminta Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu untuk naik ke atas panggung batu. Namun dengan tertawa Fangzheng menolak, “Kami berdua orang tua yang sudah lapuk ini hanya datang sebagai penonton saja. Untuk apa kami harus naik panggung dan mempermalukan diri sendiri? Nanti malah ditertawakan banyak orang.”

“Kenapa Mahabiksu berkata demikian, seperti baru kenal saja?” ujar Zuo Lengchan dengan tertawa pula.

“Para tamu sudah hadir semua, silakan Ketua Zuo melaksanakan acara utama dan tidak perlu melayani kami berdua tua bangka,” kata Pendeta Chongxu.

“Baiklah jika demikian,” jawab Zuo Lengchan. Ia kemudian naik ke atas panggung batu tersebut. Setelah naik beberapa puluh undak-undakan, kira-kira masih dua-tiga meter di bawah panggung, ia berhenti kemudian berseru lantang, “Para hadirin yang terhormat!”

Meski lapangan di puncak gunung itu sangat luas dan para tamu juga tersebar di mana-mana sambil menikmati pemandangan, namun ucapan Zuo Lengchan itu dapat didengar oleh setiap orang. Jelas ia berseru sambil mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Maka, orang-orang pun serentak berbondong-bondong mendekati panggung dan memperhatikan ucapan sang tuan rumah selanjutnya.

Zuo Lengchan lantas melanjutkan sambil memberi hormat, “Atas kunjungan kawan-kawan sekalian, sungguh aku sangat berterima kasih. Sebelum tiba di sini tentunya kawan-kawan sudah mendengar bahwa hari ini adalah hari bahagia Serikat Pedang Lima Gunung yang akan melebur menjadi satu.”

Ratusan orang yang berkeliling di bawah panggung berteriak ramai, “Benar, benar! Selamat! Selamat!”

“Terima kasih!” kata Zuo Lengchan. “Semuanya, silakan duduk!”

Para hadirin pun serentak duduk di atas tanah. Para murid tampak duduk di dekat ketua perguruan masing-masing.

Zuo Lengchan melanjutkan, “Bahwasanya Serikat Pedang Lima Gunung kami sudah ratusan tahun lamanya berserikat, selamanya satu napas dan satu haluan laksana satu keluarga. Sudah sekian tahun pula aku menjabat sebagai ketua perserikatan ini. Sayangnya, akhir-akhir ini di dunia persilatan telah terjadi banyak peristiwa penting. Aku dan saudara-saudara tertua dari Serikat Pedang Lima Gunung telah berunding. Kami akhirnya sepakat, jika Serikat Pedang Lima Gunung tidak dilebur menjadi satu, maka kelak tentu sangat berat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang bakal menimpa.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyahut dengan nada dingin, “Entah Ketua Zuo pernah berunding dengan saudara tertua dari perguruan mana? Mengapa aku si marga Mo tidak pernah mengetahuinya?” Orang yang berbicara ini tidak lain adalah Tuan Besar Mo, Ketua Perguruan Hengshan. Dari nada bicaranya menunjukkan kalau Perguruan Hengshan tidak sepakat dengan rencana peleburan ini.

Zuo Lengchan menjawab, “Aku telah mengatakan di dunia persilatan telah terjadi banyak peristiwa penting sehingga terpaksa Serikat Pedang Lima Gunung harus dilebur menjadi satu. Salah satu peristiwa penting di antaranya adalah terjadinya saling bunuh dan saling mencelakai di antara saudara-saudara sesama Serikat Pedang Lima Gunung kita. Sepertinya banyak yang sudah lupa tentang semangat kesetiakawanan di antara sesama saudara. Tuan Besar Mo, murid Perguruan Songshan kami, yaitu Adik Fei si Tapak Songyang Besar telah tewas di luar Kota Hengshan. Ada orang yang menyaksikan bahwa pelaku pembunuhan itu adalah kau sendiri, benar tidak?”

Tuan Besar Mo terkesiap mendengarnya. Ia pun berpikir, “Waktu aku membunuh orang bernama Fei Bin itu, yang ada di sana hanya Adik Liu, Qu Yang, Linghu Chong serta seorang biksuni cilik dari Perguruan Henshan. Adik Liu dan Qu Yang beserta cucu perempuannya telah meninggal. Apakah mungkin Linghu Chong yang membocorkan rahasia ini ketika sedang mabuk-mabukan dan kelepasan bicara? Ataukah biksuni cilik yang masih hijau itu yang membocorkan rahasia?”

Sementara itu beribu-ribu pasang mata serentak memperhatikan raut muka Tuan Besar Mo. Namun Ketua Perguruan Hengshan itu ternyata tenang-tenang saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ia menggeleng dan menjawab, “Tidak mungkin, tidak mungkin. Aku yang punya kepandaian rendah ini mana bisa membunuh Si Tapak Songyang Besar?”

Zuo Lengchan menjawab dengan tertawa dingin, “Kalau pertarungan satu lawan satu secara terang-terangan, tidak mungkin Tuan Besar Mo mampu membunuh Adik Fei. Namun saat itu kau menyerangnya secara tiba-tiba menggunakan Jurus Pedang Hantu milik perguruanmu sehingga Adik Fei pun mati tanpa sempat melawan. Kami menemukan mayat Adik Fei sudah dirusak oleh seseorang untuk mengaburkan bukti. Akan tetapi, bekas tusukan pedang tipismu tidak bisa begitu saja ditutup-tutupi. Bukankah kebenaran jika ditutup-tutupi justru akan terlihat semakin nyata?”

Dalam hati Tuan Besar Mo merasa lega. Ternyata tidak ada yang membocorkan peristiwa itu, sedangkan Zuo Lengchan melemparkan tuduhan kepadanya juga berdasarkan hasil pemeriksaan mayat saja. Maka, ia pun memutuskan untuk tidak akan pernah mengakui perbuatan tersebut.

Maka, sambil menggeleng-geleng Tuan Besar Mo berkata, “Huh, kau hanya menduga-duga, sama sekali tidak bisa membuktikannya.” Namun demikian, sejak saat ini permusuhan antara Perguruan Songshan dan Hengshan tidak bisa dihindari lagi. Bahkan, untuk lolos dari Gunung Songshan saja tentu akan sulit luar biasa.

Linghu Chong juga terperanjat mendengar Zuo Lengchan mengorek peristiwa yang terjadi lebih dari setahun yang lalu itu. Saat itu adalah masa di mana ia dan Yilin bertemu Qu Yang dan Liu Zhengfeng di tengah hutan dan mendapatkan warisan kitab musik dari mereka berjudul Menertawakan Dunia Persilatan.

Zuo Lengchan melanjutkan, “Urusan yang paling penting saat ini adalah peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Tuan Besar Mo, kita ini sama-sama ketua perguruan, tentunya harus lebih mengutamakan urusan bersama dan mengesampingkan masalah pribadi. Apa pun itu asalkan menguntungkan perguruan, sudah sepantasnya harus didahulukan, sedangkan masalah budi dan dendam harus dihindari. Maka dari itu, Saudara Mo, urusan yang sudah-sudah tidak perlu kau pikirkan lagi. Adik Fei memang saudara seperguruanku. Tapi kalau nanti Serikat Pedang Lima Gunung sudah dilebur, dengan sendirinya Saudara Mo menjadi saudara seperguruanku pula. Yang sudah meninggal biarlah meninggal, yang masih hidup untuk apa harus saling bunuh?”

Kata-kata Zuo Lengchan ini terdengar lembut, namun sebenarnya bernada mengancam. Maksudnya ialah, kalau Tuan Besar Mo setuju dengan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, maka masalah terbunuhnya Fei Bin tidak akan pernah diusut lagi dan tidak akan dilakukan perhitungan pula.

Dengan mata melotot Zuo Lengchan menatap Tuan Besar Mo dan bertanya, “Bagaimana, Saudara Mo setuju atau tidak?”

Tuan Besar Mo hanya mendengus tanpa menjawab.

Dengan senyum yang dibuat-buat, Zuo Lengchan berkata, “Mengenai masalah peleburan Serikat Pedang Lima Gunung kita agaknya Perguruan Hengshan sudah setuju. Lalu bagaimana dengan Perguruan Taishan? Pendeta Tianmen, bagaimana pendapatmu?”

Pendeta Tianmen lantas berdiri. Dengan suara keras ia berkata, “Sekitar tiga ratus tahun yang lalu Perguruan Taishan didirikan oleh leluhur kami, Pendeta Dongling. Sungguh menyesal, aku terlalu bodoh dan kurang bijaksana sehingga tidak mampu mengembangkan Perguruan Taishan menjadi lebih gemilang. Namun begitu, Perguruan Taishan yang sudah bersejarah tiga ratus tahunan ini bagaimanapun juga tidak boleh putus di tanganku. Soal melebur Taishan dengan perguruan-perguruan lain sama sekali kami tidak dapat menerimanya.”

Tiba-tiba di tengah-tengah rombongan Taishan berdiri seorang pendeta berjenggot putih yang kemudian berseru, “Ucapan Keponakan Tianmen ini kurang tepat. Perguruan Taishan kita memiliki lebih dari empat ratus anggota. Janganlah karena memikirkan kepentingan dirimu sendiri lantas mengorbankan kepentingan banyak orang.”

Wajah pendeta berjenggot itu tampak kurus kering dan keriput, tapi suaranya ternyata keras dan kuat, pertanda ia memiliki tenaga dalam yang melimpah. Di antara para hadirin ada yang mengenalinya dan lantas berbisik-bisik pada teman di dekatnya, “Dia bernama Pendeta Yujizi, masih terhitung paman perguruan Pendeta Tianmen.”

Pendeta Tianmen yang berwajah merah bercahaya begitu mendengar kata-kata Yujizi itu, seketika mukanya bertambah merah. Segera ia pun berseru, “Paman Guru, apa artinya ucapanmu ini? Sejak aku menjabat sebagai Ketua Perguruan Taishan, dalam hal apa aku pernah mengabaikan kepentingan golongan kita? Aku menolak peleburan Serikat Pedang Lima Gunung justru demi mempertahankan Perguruan Taishan kita. Bagaimana aku bisa disebut lebih suka mementingkan urusan pribadi?”

Yujizi terkekeh-kekeh dan berkata, “Peleburan kelima perguruan menjadi satu, akan membuat Perguruan Lima Gunung kita menjadi semakin berwibawa. Itu berarti setiap murid Perguruan Lima Gunung juga akan ikut merasakan manfaatnya. Namun sebaliknya, jabatanmu sebagai Ketua Perguruan Taishan mau tidak mau menjadi lenyap, bukan?”

Pendeta Tianmen semakin gusar. Ia pun berteriak murka, “Jadi kau menuduh aku hanya memikirkan kepentingan pribadi saja, begitu?” Sekejap kemudian ia mengeluarkan sebilah pedang pendek berwarna hitam legam dari balik bajunya dan berseru, “Ini, mulai saat ini aku tidak sudi menjadi ketua lagi! Kalau kau menginginkannya, kau boleh mengambilnya!”

Meskipun pedang pendek itu tidak menarik sedikit pun, namun benda ini merupakan pusaka yang diwariskan turun-temurun oleh Pendeta Dongling, pendiri Perguruan Taishan. Selama tiga ratus tahun benda ini selalu menjadi tanda pengenal ketua.

Tampak Yujizi maju selangkah dan mencibir, “Hm, apa kau benar-benar rela meninggalkan kedudukanmu?”

“Kenapa tidak?” jawab Tianmen gusar.

“Baik, kau bisa serahkan itu padaku!” kata Yujizi. Mendadak sebelah tangannya menjulur ke depan, tahu-tahu pedang pendek di tangan Tianmen itu telah dirampas olehnya.

Tianmen sama sekali tidak mengira kalau Yujizi benar-benar akan merampas pedang pusakanya. Ia tertegun oleh perbuatan sang paman guru. Tanpa berpikir lagi tangannya lantas melolos pedang panjang yang tergantung di pinggang.

Namun dengan cepat Yujizi sudah melompat mundur, dan pada saat itu dua sosok bayangan lantas berkelebat pula. Rupanya dua pendeta tua lainnya telah berdiri menghadang di depan Tianmen dengan pedang terhunus. Secara bersamaan mereka membentak, “Tianmen, kau berani melawan angkatan yang lebih tua? Apakah kau sudah lupa pada tata tertib perguruan kita?”

Kedua pendeta tua itu adalah dua orang paman guru Tianmen lainnya yang seangkatan dengan Yujizi. Mereka bernama Yuqingzi dan Yuyinzi.

Pendeta Tianmen gemetar menahan marah. “Paman Guru berdua tentu menyaksikan sendiri, apa … apa yang telah diperbuat oleh Paman … Paman Guru Yuji tadi?” teriaknya.

Yuyinzi menjawab, “Kami memang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa kau telah menyerahkan jabatan Ketua Perguruan Taishan kepada Kakak Yuji. Kau sendiri rela mengundurkan diri dan memberikan tempatmu kepada orang yang lebih bijaksana. Sungguh tindakanmu ini patut dipuji.”

Yuqingzi ikut bicara, “Kakak Yuji adalah paman perguruanmu. Sekarang dia telah menjabat sebagai ketua pula. Tapi kau berani menggunakan senjata dan bersikap kasar kepadanya. Ini namanya perbuatan durhaka kepada orang tua.”

Tianmen sadar kedua paman perguruannya itu sudah sepaham dengan Yujizi dan berusaha memojokkannya. Dengan perasaan semakin gusar ia berteriak, “Aku tadi bicara dalam keadaan marah. Pikiranku sedang kacau. Padahal kedudukan Ketua Perguruan Taishan kita mana boleh diserahkan begitu saja kepada setiap orang? Seandainya akan kuberikan pada orang lain juga sama sekali tidak … huh, keparat! Sama sekali tidak akan kuberikan kepada Paman Yuji.” Karena tidak kuasa menahan marah, dari mulutnya pun keluar kata-kata kasar.

“Lihat, perkataan seperti itu apa pantas diucapkan seorang ketua?” sahut Yuyinzi.

Tiba-tiba seorang pendeta setengah umur di tengah rombongan Taishan berteriak, “Ketua perguruan kita selama ini adalah guruku. Kalian ini sebenarnya hendak main gila atau apa?” Pendeta yang baru saja bicara ini bernama Jianchu, murid Tianmen nomor dua.

Menyusul seorang pendeta lainnya juga berdiri dan berseru, “Kakak Tianmen telah menyerahkan jabatannya kepada guruku. Peristiwa ini telah disaksikan beribu-ribu pasang mata dan telinga yang hadir di Gunung Songshan ini. Mana mungkin persoalan ini bisa dipalsukan? Dengan jelas Kakak Tianmen tadi menyatakan, ‘mulai saat ini aku tidak sudi menjadi ketua lagi. Kalau kau menginginkannya, kau boleh mengambilnya.’ Coba katakan, betul tidak?” Pendeta yang satu ini jelas murid dari Yujizi.

Seketika itu orang-orang Taishan menjadi ribut sendiri. Mereka terpecah menjadi dua bagian. Bagian yang lebih sedikit mendukung Tianmen, sementara yang lebih banyak berteriak-teriak, “Ketua lama mengundurkan diri, ketua baru pegang pimpinan! Ketua lama lekas mundur, biar ketua baru menggantikannya!”

Tianmen memang murid tertua dalam angkatannya dan juga memiliki pengaruh besar dalam Perguruan Taishan. Akan tetapi, sekitar enam atau tujuh orang pamannya diam-diam bersekongkol untuk menyingkirkan dirinya. Dari kedua ratus orang Taisahan yang datang ke Gunung Songshan itu, sebanyak lebih dari seratus enam puluh orang mendukung pihak Yujizi.

Yujizi sendiri lantas mengangkat tinggi-tinggi pedang pendek yang dirampasnya dari Tianmen tadi sambil berteriak, “Ini adalah pusaka Leluhur Dongling. Wasiat guru besar kita berbunyi: ‘melihat pedang ini sama dengan melihat Dongling’. Menurut kalian pantas atau tidak kalau kita taat kepada wasiat leluhur kita?”

“Benar, tepat sekali ucapan Ketua!” serentak ratusan anak buahnya berteriak.

Ada juga yang berteriak, “Murid murtad Tianmen berani melawan pimpinan dan tidak tunduk kepada peraturan. Dia harus ditangkap dan dihukum!”

Melihat suasana seperti itu, Linghu Chong menduga ini semua tentu sudah diatur sedemikian rupa oleh Zuo Lengchan. Watak Pendeta Tianmen terkenal berangasan. Jika sedang marah ia suka mengeluarkan kata-kata yang tidak disadarinya sehingga justru membuatnya masuk perangkap lawan. Kini pihak lawan sedang di atas angin. Tianmen sendiri bukan seorang yang pintar menghadapi kejadian-kejadian luar biasa seperti itu, sehingga dirinya hanya bisa marah-marah, namun tidak tahu harus berbuat apa.

Ketika Linghu Chong memandang ke kalangan orang-orang Perguruan Huashan, dilihatnya sang guru berdiri berpeluk tangan. Raut muka Yue Buqun pun terlihat datar. Linghu Chong lantas berpikir, “Tentu Guru tidak dapat menyetujui tindakan Yujizi dan kawan-kawannya itu. Namun Beliau tampaknya tidak ingin ikut campur persoalan orang lain, dan memilih menunggu untuk melihat gelagat selanjutnya. Biarlah aku menunggu pula dan mengikuti perintah Guru.”

Sementara itu Yujizi telah memberi isyarat. Serentak sekitar seratus enam puluh orang murid Perguruan Taishan yang menjadi begundalnya berpencar dengan pedang terhunus. Seketika yang masih tersisa, yang jumlahnya tidak lebih dari lima puluh orang pun terkepung di tengah-tengah. Yang terkepung ini tentu saja murid-murid Pendeta Tianmen.

Dengan perasaan murka Tianmen membentak, “Apakah kalian benar-benar ingin berkelahi? Baiklah, silakan maju!”

Dengan suara lantang Yujizi berteriak, “Dengarkan, Tianmen! Selaku Ketua Perguruan Taishan, kuperintahkan dirimu untuk membuang senjata dan menyerahkan diri! Apakah kau berani membangkang di depan pedang pusaka peninggalan Guru Besar kita ini?”

“Huh, siapa yang mengakuimu sebagai Ketua Perguruan Taishan?” jawab Tianmen gusar.

Yujizi kembali berseru, “Dengarkan, murid-murid Tianmen! Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan kalian. Asalkan kalian meletakkan senjata dan menggabungkan diri, maka kesalahan kalian tidak akan diusut. Jika tidak, tentu kalian pasti akan menerima ganjaran setimpal.”

Dengan suara keras Pendeta Jianchu menyahut, “Asalkan kau mau bersumpah di bawah pedang pusaka Guru Besar bahwa kau tidak akan menghancurkan Perguruan Taishan yang dibangun dengan susah payah, maka tidak menjadi soal bila kau menjabat sebagai ketua kita. Namun, baru sekejap saja kau mengaku sebagai ketua, serentak kau hendak menjual Perguruan Taishan kita kepada Perguruan Songshan. Kau sungguh sangat berdosa terhadap Guru Besar di alam baka. Kau pasti akan dikutuk oleh setiap orang yang mengaku dirinya sebagai anggota Perguruan Taishan.”

Yuyinzi memaki, “Bocah kurang ajar! Kau pikir dirimu siapa berani mengoceh di hadapan orang tua angkatan ‘Yu’? Apa jeleknya jika Serikat Pedang Lima Gunung dilebur menjadi satu? Bukankah Perguruan Songshan sendiri nanti juga ikut hilang terlebur di dalamnya? Perguruan Lima Gunung itu sudah menunjukkan kalau Taishan ada di dalamnya. Lantas, apa jeleknya peleburan ini?”

Tianmen menjawab kasar, “Hm, diam-diam kalian telah main gila dan menjual diri kepada Zuo Lengchan. Huh, pendek kata, bila perlu kalian bisa membunuhku, tapi aku tidak akan tunduk kepada Perguruan Songshan. Jangan harap!”

Yujizi berteriak, “Kalian tidak mau tunduk kepada perintah pedang pusaka Guru Besar, jangan menyesal bila sebentar nanti kalian semua akan mampus tak terkubur!”

Tianmen berseru pula, “Setiap murid Taishan yang setia, hari ini biarlah kita bertempur mati-matian sampai titik darah penghabisan di Puncak Songshan ini!”

“Benar, bertempur sampai titik darah penghabisan!” teriak murid-murid Tianmen yang berdiri di sekitarnya. Meski jumlah mereka jauh lebih sedikit, namun tekad mereka bulat, sedikit pun tidak gentar.

Apabila Yujizi memberi komando agar anak buahnya menyerang, rasanya sukar juga membunuh habis anak buah Tianmen ini. Selain itu, beribu-ribu kesatria yang hadir, terutama tokoh-tokoh seperti Mahabiksu Fangzheng atau Pendeta Chongxu tentu tidak akan tinggal diam menyaksikan pembunuhan besar-besaran di antara sesama golongan tersebut.

Maka Yujizi, Yuyinzi, dan Yuqingzi serta para pendukung mereka hanya bisa saling pandang saja dengan perasaan ragu-ragu. Dalam hati mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak.

Tiba-tiba jauh di sebelah kiri sana terdengar suara seseorang berseru dengan nada bermalas-malasan, “Seumur hidup aku yang tua ini sudah banyak menjelajahi dunia. Jumlah kesatria dan pahlawan yang pernah kutemui juga tak terhitung banyaknya. Namun, babi yang suka menjilat kembali ludah sendiri dalam waktu singkat baru kali ini kulihat.”

Pandangan semua orang beralih ke arah datangnya suara itu. Terlihat di sana seorang laki-laki berbaju kain kasar berdiri bersandar pada sebongkah batu cadas. Tangan kirinya memegang dan mengibas-kibaskan sebuah caping. Sepasang matanya kecil, tubuhnya jangkung, sikapnya pun acuh tak acuh.

Para hadirin tidak kenal asal-usul orang bertubuh jangkung itu, juga tidak paham ucapannya tersebut ditujukan kepada siapa. Terdengar si jangkung kembali berkata, “Huh, sudah jelas kau telah menyerahkan jabatan ketua kepada orang lain, memangnya apa yang sudah kau katakan tadi hanya kentut belaka? Kalau begitu, sebaiknya kau jangan memakai nama ‘tian’, tetapi diganti menjadi ‘kentut’ saja.”

Mendengar orang itu mendukung pihaknya, Yujizi dan yang lain segera bergelak tawa terbahak-bahak.

Semakin gusar Tianmen menjawab, “Ini urusan Perguruan Taishan kami, tidak perlu orang luar ikut campur!”

Namun si jangkung masih berbicara dengan sikap malas, “Setiap urusan yang kuanggap tidak adil pasti aku akan ikut campur. Hari ini adalah hari bahagia peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, tapi kau sengaja membuat masalah di sini dan mengacaukan suasana baik ini. Sungguh keterlaluan!”

Tiba-tiba pandangan semua orang terasa kabur. Ternyata si jangkung melompat maju dengan kecepatan yang sukar dilukiskan ke tengah kalangan orang-orang Taishan itu. Capingnya terangkat dan serentak ia menghantam ke atas kepala Tianmen.

Tianmen tidak menangkis serangan si jangkung, namun pedangnya lantas menusuk ke dada orang itu. Di luar dugaan si jangkung menjatuhkan diri ke bawah, menerobos dengan sangat cepat melalui selangkangan Tianmen. Ketika ia berbalik, sebelah kakinya pun mendepak, dan dengan tepat titik nadi di punggung Tianmen tertendang olehnya.

Beberapa gerakan itu sungguh teramat cepat dan caranya juga lain daripada yang lain. Kontan semua orang terperangah. Dalam keadaan yang tidak terduga-duga Pendeta Tianmen telah dibekuk olehnya.

Melihat sang guru mengalami kekalahan, serentak beberapa murid mengangkat pedang dan menusuk si jangkung. Tapi orang bertubuh jangkung itu bergelak tawa dan kemudian menyodorkan punggung Tianmen ke depan sebagai perisai. Tentu saja murid-murid Tianmen kelabakan dan lekas-lekas menarik kembali pedang masing-masing.

“Lekas buang senjata kalian, atau kupenggal putus kepala guru kalian ini!” bentak si jangkung sambil menjambak rambut Tianmen dan mengancam hendak memuntir kepala pendeta itu.

Dalam keadaan seperti itu, percuma saja Tianmen memiliki kepandaian tinggi, namun sama sekali tidak bisa berkutik di tangan musuh. Wajahnya yang merah kini berubah pucat pasi.

“Caramu menyerang secara licik itu bukanlah perbuatan seorang kesatria sejati. Siapakah namamu, wahai Tuan yang terhormat?” ujar Pendeta Jianchu.

“Plak”, tiba-tiba si jangkung menampar muka Tianmen satu kali. Masih dengan sikap bermalas-malasan ia menjawab, “Siapa berani kurang ajar padaku, segera kuhajar gurunya!”

Melihat sang guru dianiaya, murid-murid Tianmen saling merasa khawatir sekaligus murka. Kalau serentak mereka menusuk dengan pedang masing-masing, bukan mustahil si jangkung seketika akan penuh tertancap pedang bagaikan seekor landak. Namun mereka tidak berani sembarangan bertindak mengingat keselamatan sang guru berada di tangan musuh. Karena gusar seorang pendeta muda pun berteriak, “Kau binatang ….”

“Plak”, kembali Tianmen ditampar oleh si jangkung. “Itu untuk muridmu yang pintar mengucapkan kata-kata kotor!” ujarnya.

Pada saat itulah tiba-tiba Tianmen berteriak satu kali. Si jangkung terkejut dan bermaksud melepaskan cengkeramannya, tapi sudah terlambat. Tianmen telah memutar kepalanya sehingga kini ia berhadapan muka dengan si jangkung. Darah menyembur keluar dari mulut Tianmen dan langsung membasahi wajah si jangkung pula. Pada saat yang sama Tianmen secepat kilat mencekik leher orang itu dengan kedua tangan sekuat tenaga. Terdengar suara “krak” satu kali, yaitu bunyi tulang leher si jangkung telah dipatahkan mentah-mentah olehnya.

Ketika Tianmen mengayunkan tangannya, orang itu terlempar ke belakang dan jatuh menggelepar. Setelah berkelojotan beberapa kali, ia kemudian tak bergerak lagi. Semua orang ngeri melihatnya. Tubuh Tianmen yang tinggi besar, kini tampak bertambah gagah, dengan wajah berlumuran darah menyeramkan.

Sejenak kemudian, tiba-tiba Tianmen membentak keras. Tubuhnya sempoyongan kemudian roboh di tanah tak bergerak lagi.

Rupanya ketika tadi ia tertangkap dan tertotok oleh si jangkung, kemudian jatuh ke dalam cengkeraman orang itu, seketika hatinya merasa sangat malu bercampur murka. Ditambah lagi dengan tamparan dua kali membuatnya merasa terhina di hadapan banyak orang. Karena rasa gusar sudah memenuhi dada, ia pun rela mengorbankan nyawa sendiri. Ia kemudian mengerahkan segenap tenaga dalam untuk menjebol saluran darah yang tersumbat sehingga dapat bergerak bebas. Kemudian dengan sisa-sisa tenaga ia pun membinasakan si jangkung, dan akhirnya nyawa sendiri ikut melayang karena urat nadinya telah terputus akibat pengerahan tenaga dalam yang dipaksakan tadi.

“Guru!” serentak murid-murid Tianmen berteriak memanggil dan memburu maju. Namun Tianmen sudah tidak bernapas lagi, jantung pun sudah berhenti. Serentak murid-muridnya hanya dapat menangis sedih di sekeliling jasad pendeta itu.

Di tengah keributan itu, tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru, “Ketua Zuo, kau sengaja mengundang orang macam Burung Hantu Laut Timur untuk menangani Pendeta Tianmen. Caramu ini apa tidak keterlaluan?”

Semua orang berpaling dan melihat yang berbicara itu ternyata seorang kakek buruk rupa yang dikenal bernama He Sanqi. Ia seorang pendekar tua yang sehari-hari berjualan bakmi pangsit di berbagai kota besar, antara lain pernah muncul Kota Hengshan saat Upacara Cuci Tangan Liu Zhengfeng dulu.

Tentang asal usul si jangkung yang dibinasakan Pendeta Tianmen itu tak ada seorang pun yang tahu. Hanya He Sanqi seorang yang mengenalnya sebagai Burung Hantu Laut Timur. Sementara itu para hadirin lainnya tidak ada yang tahu siapa itu Burung Hantu Laut Timur.

Menanggapi tuduhan itu Zuo Lengchan menjawab, “Kata-katamu sungguh aneh dan lucu. Baru hari ini aku bertemu dengan Saudara Ji yang gugur itu, namun mengapa kau mengatakan aku sengaja mengundang dia untuk menghadapi Pendeta Tianmen?”

He Sanqi berkata, “Ketua Zuo mungkin belum lama kenal dengan Si Burung Hantu Laut Timur. Namun kau tentu sudah lama mengenal gurunya yang berjuluk Bintang Maut Halus Polos, bukan?”

Ucapan He Sanqi itu sangat menggemparkan para hadirin yang mendengarnya. Linghu Chong langsung teringat pada saat Yue Lingshan masih kecil dan suka menangis, maka ibunya sering menakut-nakuti dengan berkata, “Sudahlah, jangan menangis! Bintang Maut Halus Polos suka menangkap dan memakan anak kecil yang suka menangis.” Waktu itu Yue Lingshan langsung berhenti menangis, sedangkan Linghu Chong bertanya, “Ibu Guru, siapa itu Bintang Maut Halus Polos?” Ning Zhongze menjawab, “Dia itu seorang yang sangat jahat, suka menculik anak kecil. Wajahnya rata dan halus tanpa memiliki hidung, hanya dua buah lubangnya saja.”

Terkenang pada kejadian di masa lalu itu, tanpa terasa Linghu Chong memandang ke arah Yue Lingshan. Dilihatnya sang adik kecil sedang memandang jauh ke arah puncak-puncak gunung di bawah Puncak Songshan seperti sedang melamun. Wajahnya tampak murung memikirkan sesuatu. Sepertinya ucapan He Sanqi tentang Bintang Maut Halus Polos tadi tidak diperhatikan olehnya, atau mungkin apa yang terjadi di masa lalu pun sudah terlupakan semua.

Melihat itu Linghu Chong menjadi heran. Ia merenung, “Adik Kecil baru saja menikah dengan Adik Lin yang dicintainya itu. Seharusnya ia merasa gembira dan bahagia, tapi entah ada urusan apa yang membuat hatinya murung? Jangan-jangan pasangan pengantin ini baru saja bertengkar?”

Ia kemudian memandang Lin Pingzhi yang berdiri di samping Yue Lingshan. Raut muka lelaki muda itu terlihat sangat aneh. Seperti tertawa, tapi bukan tertawa, seperti marah, tapi juga bukan marah. Kembali Linghu Chong terkejut, “Aneh, sikap macam apa itu? Rasa-rasanya aku seperti pernah melihat raut muka yang demikian ini. Namun, entah di mana aku pernah melihatnya?”

Sementara itu terdengar Zuo Lengchan berkata, “Pendeta Yujizi, pertama-tama aku mengucapkan selamat atas jabatanmu sebagai Ketua Perguruan Taishan yang baru. Mengenai peleburan Serikat Pedang Lima Gunung seperti yang kuuraikan tadi, entah bagaimana pendapat Pendeta?”

Melihat Zuo Lengchan mengalihkan pembicaraan dan tidak menjawab pertanyaan He Sanqi tadi, maka jelas sudah kalau ia memiliki hubungan baik dengan Bintang Maut Halus Polos, meskipun hal itu tidak diakuinya secara terang-terangan. Tokoh berjuluk Bintang Maut Halus Polos itu telah memiliki nama besar sejak tiga puluh tahun yang lalu, namun hanya sedikit saja yang pernah berjumpa atau bertarung dengannya. Tidak jelas pula ia berasal dari aliran mana. Namun jika melihat sifat dan perbuatan muridnya tadi, maka dapat diperkirakan ia berasal dari golongan hitam.

Dengan mengacungkan pedang pendek di tangannya, Yujizi berseri-seri menjawab, “Mengenai peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu, kuanggap cara ini sangat bermanfaat bagi kelima perguruan kita dan sama sekali tidak ada jeleknya. Hanya manusia serakah yang mementingkan diri sendiri seperti Tianmen saja yang tidak setuju atas peleburan ini, sedangkan setiap orang yang berpandangan jauh pasti akan setuju. Ketua Zuo, sebagai Ketua Perguruan Taishan, aku menyatakan bahwa perguruan kami dengan suara bulat menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung kita menjadi Perguruan Lima Gunung. Segenap anggota Perguruan Taishan menyatakan taat di bawah kepemimpinanmu demi perkembangan dan kejayaan kita bersama. Apabila ada orang yang hendak merintangi peleburan ini, maka Perguruan Taishan adalah yang pertama-tama akan menghadapinya.”

Menyusul kemudian ratusan orang Taishan ikut bersorak menyatakan setuju. “Perguruan Taishan sepenuhnya mendukung peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Jika ada yang berusaha menentangnya, kami dari Taishan yang pertama-tama akan menghadapinya.” Serentak suara teriakan mereka pun menggelegar berkumandang sampai jauh.

Mendengar teriakan itu Linghu Chong berpikir, “Aneh, kenapa teriakan mereka satu sama lain serupa dan bersamaan? Sepertinya mereka sudah dilatih untuk ini sebelumnya. Apalagi kalau melihat cara bicara Yujizi yang begitu hormat kepada Zuo Lengchan, jelas sebelumnya mereka juga sudah bersekongkol dan yang pasti Yujizi tentu telah banyak menerima kebaikan dari Zuo Lengchan.”

Sementara itu murid-murid Pendeta Tianmen yang sedang berduka atas kematian guru mereka yang mengenaskan memilih diam tak bersuara dengan tatapan penuh kebencian. Mereka hanya bisa mengepalkan tangan, menggertakkan gigi, atau mengutuk dalam hati.

Zuo Lengchan kembali berseru, “Perguruan Hengshan dan Taishan telah menyatakan setuju atas peleburan ini. Sepertinya ini memang menjadi cita-cita banyak orang demi kebahagiaan bersama. Maka itu, Perguruan Songshan kami dengan sendirinya juga mengikuti suara orang banyak dan siap meleburkan diri.”

Dalam hati Linghu Chong mengejek, “Huh, ucapanmu sungguh manis seolah-olah tidak tahu-menahu masalah ini. Kau berpura-pura mengikuti pendapat banyak orang untuk ikut meleburkan diri. Padahal, biang keladi semua ini tidak lain adalah kau sendiri.”

Terdengar Zuo Lengchan melanjutkan, “Di antara kelima perguruan sudah ada tiga yang setuju untuk meleburkan diri. Sekarang tinggal Perguruan Henshan dan Huashan saja yang belum menyampaikan pendapat. Entah bagaimana pendapat kalian? Ketua Perguruan Henshan yang terdahulu, yaitu mendiang Biksuni Dingxian pernah beberapa kali berunding denganku mengenai peleburan ini. Waktu itu Beliau juga sangat setuju, begitu pula Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi juga setuju.”

Tiba-tiba dari tengah rombongan Perguruan Henshan berteriak seorang perempuan bersuara lembut, “Ketua Zuo, ucapanmu ini sangat tidak benar. Sebelum Guru dan kedua Bibi kami wafat, Beliau bertiga justru menentang keras masalah peleburan Serikat Pedang Lima Gunung ini. Justru Beliau bertiga meninggal dunia secara berturut-turut adalah karena sangat menentang peleburan ini. Namun mengapa kau malah memutarbalikan kenyataan?”

Semua hadirin pun serentak berpaling ke arah datangnya suara. Ternyata yang berteriak itu seorang gadis cantik berwajah bulat, yang tidak lain adalah Zheng E. Ia termasuk murid Perguruan Henshan dari golongan paling muda sehingga kurang begitu dikenal oleh para hadirin di tempat itu.

Dengan suara lantang Zuo Lengchan menjawab, “Guru kalian mempunyai ilmu silat tinggi dan wawasan luas bagai samudera, pandangannya juga jauh ke depan dan perhitungannya cermat. Beliau adalah tokoh paling hebat dalam Serikat Pedang Lima Gunung kita. Seumur hidup aku sangat kagum kepada Beliau. Namun, sungguh sayang Beliau telah meninggal di Biara Shaolin tempo hari. Andai saja Beliau masih hidup, maka jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung hari ini rasanya tidak perlu diperebutkan lagi. Kita pasti sepakat untuk menyerahkannya kepada Biksuni Dingxian.”

Ketua Perguruan Songshan itu diam sejenak, lalu melanjutkan, “Dahulu sewaktu aku berunding tentang peleburan Serikat Pedang Lima Gunung dengan Biksuni Dingxian bertiga, secara tegas aku juga pernah menyatakan apabila peleburan Serikat Pedang Lima Gunung benar-benar terjadi, maka terhadap jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung sudah pasti akan kuminta Biksuni Dingxian yang memegangnya. Saat itu Biksuni Dingxian dengan rendah hati telah menolak usulanku. Namun setelah aku mendesak Beliau dengan sungguh-sungguh, akhirnya Biksuni Dingxian tidak menolak lagi. Tapi, aih, sungguh patut disayangkan, seorang kesatria wanita yang belum merampungkan darmabakti itu harus mendahului kita semua meninggal dunia di Biara Shaolin. Sungguh kematiannya membuatku sedih dan berduka.”

Sebanyak dua kali ia menyebut nama Biara Shaolin, seolah-olah hendak mengingatkan para hadirin bahwa kematian Biksuni Dingxian dan Biksuni Dingyi itu adalah perbuatan pihak Biara Shaolin. Andai saja pembunuhnya bukan orang Shaolin, tetap saja perguruan tersebut harus bertanggung jawab, karena tempat terjadinya peristiwa itu adalah tempat suci yang diagungkan di dunia persilatan namun seorang tokoh besar seperti Biksuni Dingxian bisa mati di sana.

Tiba-tiba terdengar suara serak dan kasar seseorang berteriak, “Ucapan Ketua Zuo kurang tepat. Dahulu Biksuni Dingxian pernah berkata kepadaku, bahwa Beliau justru mendukungmu menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung.”

Zuo Lengchan senang mendengarnya. Ia berpaling ke arah datangnya suara dan melihat si pembicara itu ternyata seorang tua berwajah buruk dan aneh. Kepala orang itu kecil lancip, matanya pun kecil seperti tikus. Zuo Lengchan tidak mengenal siapa orang tua aneh itu, namun dari bajunya yang berwarna hitam dapat diketahui kalau ia adalah orang Perguruan Henshan. Di sebelahnya berdiri pula lima orang yang berwajah serupa, serta penampilan mereka juga mirip. Zuo Lengchan rupanya tidak mengenal bahwa keenam orang itu adalah Enam Dewa Lembah Persik.

Meski dalam hati merasa senang, tapi Zuo Lengchan pura-pura bersikap biasa saja. Ia berkata, “Siapakah nama Saudara yang mulia ini? Memang dahulu Biksuni Dingxian pernah menyarankan demikian. Tapi kalau dibandingkan dengan Beliau, mana mungkin diriku ini bisa menyamai?”

Yang baru berbicara tadi adalah Dewa Akar Persik. Dengan berdehem satu kali, ia lalu menjawab, “Aku bernama Dewa Akar Persik, dan kelima orang ini adalah adik-adikku.”

“O, aku sudah lama mengagumi nama besar kalian!” ujar Zuo Lengchan.

“Apa yang menjadikanmu kagum kepada kami?” tanya Dewa Akar Persik. “Kagum terhadap ilmu silat kami atau kagum terhadap kecerdasan kami?”

Zuo Lengchan menggerutu dalam hati, “Sial, ternyata mereka orang-orang dungu yang telah membantai Cheng Buyou.” Mengingat pujian Dewa Akar Persik tadi ia pun menjawab sambil tersenyum, “Baik ilmu silat maupun kecerdasan kalian sudah lama aku kagumi.”

“Ilmu silat kami sebenarnya tidak seberapa,” sela Dewa Dahan Persik. “Bila kami berenam maju sekaligus memang sedikit lebih unggul daripada Ketua Zuo. Tapi kalau satu lawan satu rasanya kami masih kalah jauh.”

Dewa Bunga Persik menyahut, “Namun kalau bicara soal wawasan, jelas kami jauh lebih cerdas daripada dirimu.”

“Benarkah demikian?” balas Zuo Lengchan sambil mengerutkan kening.

“Sedikit pun tidak salah,” sahut Dewa Bunga Persik. “Begitulah yang pernah dikatakan Biksuni Dingxian dahulu.”

“Ya, dahulu sewaktu Biksuni Dingxian mengobrol dengan Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi mengenai peleburan Serikat Pedang Lima Gunung, seringkali Biksuni Dingxian mengatakan bahwa orang yang paling tepat menjabat sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung adalah Ketua Zuo dari Perguruan Songshan. Kau percaya atau tidak atas apa yang dikatakan Biksuni Dingxian itu?”

Zuo Lengchan menjawab, “Itu karena Biksuni Dingxian terlalu memandang tinggi diriku. Namun sebenarnya aku sendiri tidak berani menerimanya,”

“Kau jangan senang dahulu,” kata Dewa Akar Persik. “Masalahnya Biksuni Dingjing berpendapat lain. Beliau mengatakan bahwa Ketua Zuo memang seorang kesatria, dan jika dibandingkan dengan para tokoh persilatan pada umumnya, juga termasuk tokoh pilihan. Akan tetapi, Beliau menganggap kau ini terlalu bernafsu, terlalu mementingkan diri sendiri, berpikiran sempit, dan kurang lapang dada. Apabila kau diangkat menjadi ketua, maka yang paling celaka tentu murid-murid Henshan yang terdiri dari kaum wanita ini.”

“Benar,” sahut Dewa Dahan Persik. “Maka itu Biksuni Dingxian lantas berkata bahwa calon ketua yang bijaksana sebenarnya sudah tersedia, yaitu enam orang kesatria sejati di dunia persilatan. Keenam kesatria ini tidak hanya tinggi dalam ilmu silat, namun juga cerdas dan berwawasan luas. Menurut Beliau, mereka ini sangat cocok untuk diangkat menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung.”

“Enam kesatria?” sahut Zuo Lengchan. “Hm, di manakah keenam orang itu?”

“Aha, mereka tidak lain dan tidak bukan adalah kami enam bersaudara ini,” jawab Dewa Bunga Persik.

Maka terdengarlah suara gelak tawa banyak orang bergemuruh begitu mendengar jawaban tersebut. Sebagian besar para hadirin memang tidak mengenal siapa Enam Dewa Lembah Persik. Namun melihat wajah mereka yang aneh dan tingkah laku mereka yang lucu itu, bahkan sekarang mengaku berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi, tentu saja mereka semua merasa geli.

Dewa Ranting Persik ikut menyambung, “Dahulu ketika Biksuni Dingxian menyebut ‘keenam kesatria’, seketika Biksuni Dingjing dan Biksuni Dingyi teringat kepada kami, enam bersaudara. Serentak mereka pun bertepuk tangan dan bersorak setuju. Eh, apa yang dikatakan Biksuni Dingyi ketika itu, apakah kau masih ingat, saudaraku?”

“Sudah tentu aku masih ingat,” sahut Dewa Buah Persik. “Di tengah sorak gembira ketiga tokoh itu, Biksuni Dingyi lantas berkata, ‘Kepandaian Enam Dewa Lembah Persik memang masih di bawah Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin, juga masih lebih rendah dibanding Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang. Tapi jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh Serikat Pedang Lima Gunung pada umumnya boleh dikata tiada seorang pun yang mampu menandingi mereka, betul tidak?’ Biksuni Dingjing menjawab, ‘Kalau bicara tentang ilmu silat dan pengetahuan, sebenarnya Adik Dingxian masih di atas Enam Dewa Lembah Persik. Namun sayang, kita ini kaum wanita. Untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung yang memimpin beribu-ribu pahlawan dan kesatria rasanya repot juga. Maka dari itu, memang yang paling tepat adalah kita menyarankan supaya Enam Dewa Lembah Persik saja yang menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung.’”

Dewa Daun Persik menambahkan, “Saat itu Biksuni Dingxian mengangguk dan berkata, ‘Apabila Serikat Pedang Lima Gunung benar-benar dilebur sementara Enam Dewa Lembah Persik tidak menjadi ketua, maka sulit rasanya Perguruan Lima Gunung bisa berkembang dan berjaya.”

Linghu Chong semakin geli mendengar ocehan keenam orang aneh itu. Ia paham kalau Enam Dewa Lembah Persik sengaja meledek Zuo Lengchan dan mengacaukan pertemuan ini. Kalau Zuo Lengchan berani mengarang ucapan orang-orang yang sudah mati, maka tiada salahnya kalau Enam Dewa Lembah Persik juga membual dan membuat Zuo Lengchan mati kutu.

Di Puncak Songshan saat itu, selain para murid Perguruan Songshan dan beberapa orang yang sudah bersekongkol dengan Zuo Lengchan, sisanya boleh dikata tidak setuju dengan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Tokoh-tokoh yang berpandangan jauh seperti Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu khawatir kalau kekuatan Zuo Lengchan akan bertambah besar, maka kelak tentu akan menimbulkan bencana bagi dunia persilatan. Ada pula yang sejak menyaksikan kematian Pendeta Tianmen tadi, timbul perasaan benci dan muak terhadap sikap Zuo Lengchan yang bengis. Sementara Linghu Chong dan murid-murid Perguruan Henshan yakin bahwa Zuo Lengchan adalah pembunuh ketiga biksuni sepuh, sehingga yang mereka inginkan adalah menuntut balas, dan mereka pun menjadi pihak yang paling tegas memusuhi Perguruan Songshan. Maka mendengar ocehan Enam Dewa Lembah Persik itu serentak para hadirin banyak yang tersenyum senang, bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak.

Kemudian terdengar suara seorang hadirin berseru, “Enam Dewa Lembah Persik, apa yang diucapkan Biksuni Dingxian bertiga itu, siapa lagi yang mendengarkannya?” Sepertinya yang berbicara ini adalah begundal Zuo Lengchan.

Dewa Akar Persik menjawab, “Berpuluh-puluh murid Perguruan Henshan juga ikut mendengarkan. Betul tidak, Nona Zheng?”

Zheng E menahan geli dan menjawab, “Betul sekali! Ketua Zuo, kau sendiri yang berkata bahwa guruku menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Nah, siapa lagi yang mendengar ucapan Beliau ini? Wahai para kakak dan adik dari Henshan, adakah di antara kalian yang pernah mendengar ucapan demikian itu dari Guru?”

“Tidak, tidak pernah dengar,” jawab berpuluh-puluh murid Perguruan Henshan serentak. Ada pula yang berteriak, “Tentu Ketua Zuo sendiri yang mengarang cerita demikian.” Seorang lagi bahkan menyambung, “Dibandingkan Ketua Zuo, guru kami jelas lebih mendukung Enam Dewa Lembah Persik sebagai ketua. Sebagai murid Beliau mana mungkin kami tidak paham pikiran guru sendiri?”

Di tengah suara gelak tawa orang banyak itu, terdengar Dewa Ranting Persik berseru keras, “Nah, betul tidak kata-kata kami? Kami tidak berdusta, bukan? Justru Biksuni Dingxian kemudian berkata pula, ‘Setelah peleburan lima perguruan kelak, maka yang menjabat sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung hanya satu orang saja, padahal Enam Dewa Lembah Persik terdiri dari enam orang. Lantas siapa di antaranya yang harus diangkat?’ Saudaraku, apa kalian ingat apa jawaban Biksuni Dingjing waktu itu?”

Dewa Bunga Persik menyahut, “Beliau mengatakan … mengatakan … oh ya, katanya, ‘Meskipun kelima perguruan dilebur menjadi satu, tapi kelima gunung yang menjadi tempat kedudukan masing-masing tidak mungkin bisa dikumpulkan menjadi satu. Lagipula Zuo Lengchan bukan malaikat dewata, mana mungkin dia mampu memindahkan kelima gunung menjadi satu? Maka dari itu, Enam Dewa Lembah Persik dapat diminta untuk membagi diri menjadi lima orang untuk masing-masing menduduki kelima pegunungan itu. Sisanya, yang seorang lagi bisa diangkat sebagai pemimpin umum.’”

Dewa Daun Persik menyahut, “Benar sekali! Biksuni Dingyi kemudian menanggapi, ‘Pendapat Kakak memang tepat. Ayah dan ibu Enam Dewa Lembah Persik ternyata berpandangan jauh ke depan dan dapat meramalkan bahwa kelak Zuo Lengchan akan melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Maka, mereka sengaja melahirkan keenam bersaudara itu. Anehnya, kenapa tidak melahirkan lima atau tujuh orang saja, tapi pas enam orang? Sungguh mengagumkan kepandaian ayah-bunda Enam Dewa Lembah Persik itu.’”

Mendengar sampai ini, suara tawa para hadirin terdengar semakin ramai.

Sebenarnya Zuo Lengchan telah mempersiapkan pertemuan ini agar dapat berlangsung secara khidmat dan tertib, sehingga disegani oleh para kesatria yang hadir. Tak disangka tiba-tiba muncul enam manusia dungu yang mengacaukan upacara agung ini. Sungguh gusar hati Zuo Lengchan tak terlukiskan. Namun sebagai tuan rumah terpaksa ia harus bersabar sedapat mungkin, meski di dalam batin ia mengutuk, “Setelah urusan mahapenting ini selesai, maka keenam manusia tolol ini akan kubinasakan. Jika tidak, maka margaku bukan Zuo lagi.”

Sementara itu, Dewa Buah Persik tiba-tiba menangis keras-keras, “Wah, tidak bisa, tidak bisa seperti ini! Kami enam bersaudara sejak keluar dari perut ibu selamanya tidak pernah berpisah satu sama lain. Apabila sekarang kami masing-masing harus memimpin di setiap perguruan, itu artinya kami harus terpencar di lima tempat yang berbeda. Ini tidak boleh terjadi, takkan kulakukan!” Tangisannya ini bukan pura-pura, seakan-akan kedudukan mereka di lima gunung sebagai ketua sudah ditetapkan dengan pasti.

Dewa Dahan Persik menanggapi, “Adik Keenam jangan bersedih. Kita semua pasti takkan berpisah. Kau tidak tega berpisah dengan kakak-kakakmu, kakakmu ini juga tidak tega berpisah denganmu. Maka, jalan yang paling baik supaya kita tidak diangkat sebagai pemimpin kelima gunung yang terpisah-pisah jauh itu, terpaksa kita harus menyatakan menolak peleburan Serikat Pedang Lima Gunung.”

Dewa Akar Persik menyahut, “Benar, benar! Biarkan Serikat Pedang Lima Gunung tetap seperti sekarang!”

Dewa Buah Persik menyambung, “Seandainya harus dilebur juga perlu menunggu sampai kelak di dalam Serikat Pedang Lima Gunung muncul seorang pahlawan sejati, seorang kesatria gagah yang lebih berwibawa daripada kita berenam, lebih sakti dari kita berenam, dan didukung banyak orang untuk memimpin Perguruan Lima Gunung. Dengan demikian barulah kita dapat menyetujui peleburan ini.”

Melihat keenam orang itu masih saja mengoceh kian kemari, Zuo Lengchan memutuskan untuk mengambil tindakan tegas dan tepat untuk mengatasi keadaan. Maka, ia pun segera berteriak, “Sesungguhnya Ketua Perguruan Henshan dijabat kalian enam kesatria ataukah masih ada orang lain lagi? Apakah urusan Perguruan Henshan telah dikuasakan kepada kalian?”

Dewa Ranting Persik menyahut, “Bisa saja kami enam kesatria besar ini menjadi Ketua Perguruan Henshan. Tapi jika kami menjadi Ketua Henshan, itu berarti kami harus sederajat dengan orang bermarga Zuo seperti dirimu ini. Untuk itu, hehe, hehe ….”

Dewa Bunga Persik menanggapi, “Berdiri sama tinggi duduk sama rendah dengan dia sudah tentu akan sangat menurunkan derajat kami berenam. Sebab itulah jabatan Ketua Perguruan Henshan terpaksa kami serahkan kepada Tuan Muda Linghu.”

Sungguh tidak terlukiskan kemarahan Zuo Lengchan di dalam hati. Dengan nada dingin ia berkata kepada Linghu Chong, “Ketua Linghu, sebagai Ketua Perguruan Henshan, kenapa kau tidak dapat menertibkan mereka dan membiarkan keenam pendekar ini mengoceh di depan para kesatria gagah yang hadir di sini? Bukankah hanya membuat malu saja?”

Linghu Chong menjawab, “Keenam bersaudara ini hanyalah orang-orang yang bersifat polos seperti anak kecil, namun sesungguhnya mereka adalah manusia-manusia jujur yang tidak suka mengarang kata-kata dusta. Mereka hanya menguraikan kembali apa yang pernah diucapkan mendiang ketua kami, Biksuni Dingxian. Sudah tentu ucapan mereka jauh lebih dapat dipercaya daripada orang luar yang suka bicara omong kosong.”

Zuo Lengchan mendengus, “Hm, jadi dalam hal peleburan Serikat Pedang Lima Gunung ini hanya Perguruan Henshan kalian saja yang mempunyai pendirian berbeda?”

Linghu Chong mengangguk dan berkata, “Dalam hal ini Perguruan Henshan tidak memiliki pendirian tersendiri. Tuan Yue Ketua Perguruan Huashan adalah guruku yang berbudi. Beliau orang pertama yang mengajarkan kepandaian padaku. Meski sekarang aku telah masuk perguruan lain, tapi tetap tidak berani melupakan ajaran-ajaran guruku di masa lampau.”

“Jika demikian, kau masih tetap tunduk kepada apa yang dikatakan Tuan Yue dari Perguruan Huashan?” Zuo Lengchan menegas.

“Benar sekali,” sahut Linghu Chong. “Perguruan Huashan dan Henshan tetap bahu-membahu dan bergotong royong satu hati.”

Zuo Lengchan lantas berpaling ke arah rombongan Perguruan Huashan dan berseru, “Tuan Yue, Ketua Linghu ternyata tidak melupakan budi baikmu di masa lampau, sungguh aku ikut gembira dan mengucapkan selamat padamu. Dalam hal peleburan Serikat Pedang Lima Gunung ini apakah kau mendukung atau menentang, yang jelas Ketua Linghu telah menyatakan akan mengikuti langkahmu. Lantas bagaimana dengan pendirianmu?”

“Terima kasih atas pertanyaan Ketua Zuo,” jawab Yue Buqun tenang. “Mengenai urusan peleburan ini aku memang pernah mempertimbangkannya secara masak-masak. Tapi untuk mengambil suatu keputusan yang sempurna, sungguh tidaklah mudah.”

Seketika perhatian semua orang beralih ke arah Yue Buqun. Sebagian besar di antara mereka berpikir, “Perguruan Hengshan sudah kehilangan wibawa, Perguruan Taishan juga terpecah belah. Kalau sekarang Perguruan Huashan dan Henshan bersatu, dan ditambah Hengshan yang menggabungkan diri dengan mereka, tentu akan sanggup menandingi kekuatan Songshan.”

Terdengar Yue Buqun berkata, “Perguruan Huashan kami memiliki sejarah lebih dari dua ratus tahun. Kami memiliki kenangan pahit pernah terpecah belah menjadi Kelompok Pedang dan Kelompok Tenaga Dalam. Tentu banyak di antara Saudara yang hadir saat ini masih ingat akan peristiwa menyedihkan itu. Maka, kalau terkenang kepada pertentangan di antara kalangan sendiri yang kejam di masa lalu, sungguh sampai sekarang aku masih merasa ngeri ….”

Linghu Chong terkesiap dan merenung, “Aneh, mengapa hari ini Guru menceritakan peristiwa yang dianggap memalukan itu? Padahal Beliau biasanya menyimpan rapih masalah Perguruan Huashan. Mengapa hari ini Beliau menceritakannya di depan banyak orang ini?”

Terdengar Yue Buqun melanjutkan kata-katanya dengan suara yang melengking nyaring. Linghu Chong berpikir sang guru tentu sudah berhasil mencapai tingkatan tertinggi dalam mempelajari ilmu Awan Lembayung. Suaranya terdengar berkumandang jauh mengalahkan gemuruh ribuan orang yang hadir di situ.

Yue Buqun berkata, “Oleh karena itu, aku merasa di antara berbagai golongan dan aliran persilatan kita ini daripada terpecah belah adalah lebih baik jika tergabung menjadi satu. Selama beratus-ratus, bahkan beribu-ribu tahun entah sudah berapa banyak kaum persilatan yang menjadi korban saling bunuh-membunuh. Semua itu adalah karena perbedaan paham atau perselisihan antargolongan. Aku sering berpikir, apabila dalam dunia persilatan tiada perbedaan aliran dan perguruan, maka semua orang bagaikan satu keluarga besar saja. Satu sama lain laksana saudara sekandung, maka dapat dipastikan setiap perselisihan dan pertumpahan darah tentu dapat dikurangi sampai sembilan puluh persen. Jika demikian yang terjadi, tentu tidak akan ada lagi para kesatria yang mati muda. Para janda dan anak yatim tanpa tempat bersandar juga bisa dikurangi.”

Pada umumnya kaum persilatan memang sering mengalami nasib mati muda dengan meninggalkan anak istri yang merana. Maka itu, kata-kata Yue Buqun seolah tepat mengenai lubuk hati sebagian besar para hadirin. Tidak heran jika banyak yang manggut-manggut mendengarnya. Ada pula yang berbisik, “Yue Buqun berjuluk ‘Si Pedang Buiman’, ternyata ia memang benar-benar berbudi luhur dan julukannya bukanlah nama kosong.”

“Shanti, shanti!” ujar Mahabiksu Fangzheng. “Kata-kata Tuan Yue benar-benar bijaksana. Apabila setiap orang persilatan mempunyai jalan pikiran seperti Tuan Yue, tentu kekacauan di dunia ini akan hilang sirna tanpa bekas.”

Yue Buqun menanggapi, “Ah, Mahabiksu terlalu memuji. Sedikit pendapatku yang dangkal ini tentu sebelumnya sudah menjadi buah pikiran para pemuka agama turun-temurun dari Perguruan Shaolin. Sebenarnya dengan nama besar dan pengaruh Biara Shaolin, asalkan mau tampil ke muka dan menyerukan persatuan, maka setiap orang yang berpandangan jauh pasti akan setuju dan akan menghasilkan banyak manfaat pula selama ratusan tahun terakhir ini. Namun sumber ilmu silat tiap perguruan tidaklah sama, cara berlatihnya pun beda, tentu sangat tidak mudah untuk mempersatukan mereka. Memang seorang budiman lebih mementingkan persahabatan daripada prinsip, sehingga bisa saja mereka bersahabat meskipun ilmu silat tidaklah sama. Akan tetapi, sampai sekarang di antara berbagai golongan dan aliran masih terus saja bertentangan satu sama lain baik secara terang-terangan maupun secara gelap-gelapan sehingga banyak memakan korban jiwa dan harta. Bahwasanya selama ini banyak di antara tokoh bijaksana telah menyelami betapa besar bencana yang ditimbulkan karena perbedaan golongan dan aliran, lalu mengapa kita tidak bertekad untuk melenyapkannya? Aku benar-benar bingung, sudah sekian lama merenungkan persoalan ini, baru beberapa hari yang lalu aku sadar dan memahami di mana letak kunci untuk memecahkan persoalan ini. Karena urusan ini menyangkut nasib setiap kawan persilatan, aku tidak berani merahasiakan hasil pemikiranku lagi. Maka itu, segera akan kukemukakan di sini dengan meminta pertimbangan para hadirin.”

“Silakan bicara, silakan bicara!” seru banyak orang. “Pendapat Tuan Yue pasti sangat bagus!”

Setelah suasana agak tenang barulah Yue Buqun kembali berbicara, “Setelah aku merenungkan secara mendalam, akhirnya kutemukan juga titik persoalannya. Rupanya penyakit kegagalan dari usaha penghapusan perbedaan golongan dan aliran ini seringkali disebabkan karena usaha yang tergesa-gesa. Para kesatria berbudi luhur di dunia persilatan ingin menghilangkapn perbedaan di antara aliran dan golongan, namun mereka cenderung terburu-buru ingin melihat hasinya. Padahal, jumlah perguruan dan aliran persilatan yang besar ada puluhan, dan yang kecil mencapai ribuan banyaknya. Setiap golongan juga sudah memiliki sejarah lama. Kalau secara sekaligus hendak melenyapkan sejarah masing-masing golongan tentunya ini sangat sulit seperti mendaki langit.”

“Jadi, menurut pendapat Tuan Yue adalah tidak mungkin untuk menghapuskan perbedaan golongan dan aliran? Jika betul demikian, bukankah pendapat Tuan Yue ini sangat mengecewakan harapan banyak orang?” ujar Zuo Lengchan.

“Walaupun urusan ini sangat sulit, tapi bukan sama sekali tidak mungkin,” jawab Yue Buqun. “Baru saja aku menyatakan bahwa titik penyakitnya terletak pada usaha yang tergesa-gesa ingin cepat selesai, tapi akhirnya malah berantakan. Jadi, caranya yang harus diubah dan kita semua harus bahu membahu sama-sama berusaha mewujudkannya. Kelak setelah lima puluh ataupun seratus tahun, pada akhirnya pasti berhasil.”

Zuo Lengchan berkata, “Kalau perlu lima puluh atau seratus tahun, bukankah para pahlawan dan kesatria yang hadir sekarang ini hampir semuanya sudah masuk liang kubur?”

Yue Buqun menjawab, “Kita hanya perlu berusaha sekuat tenaga, soal kelak mendapatkan hasil atau tidak janganlah terlalu kita pikirkan. Ini namanya leluhur yang menanam pohon, keturunan yang memetik buahnya. Kita hanya menanam pohon saja, biarlah anak cucu kita yang mengambil buahnya. Hal seperti ini bukankah perbuatan mulia? Lagipula, usaha jangka panjang lima puluh atau seratus tahun adalah jangka waktu secara keseluruhannya. Kalau ingin merasakan sedikit hasilnya mungkin dalam waktu delapan atau sepuluh tahun juga sudah terlihat nyata.”

Zuo Lengchan bertanya, “Dalam sepuluh atau delapan tahun sudah akan terlihat hasil yang nyata walaupun hanya sebagian kecil saja. Hm, ini sungguh bagus. Tapi entah bagaimana cara kita harus berusaha bersama?”

Yue Buqun tersenyum menjawab, “Seperti apa yang dilakukan Ketua Zuo sekarang ini adalah perbuatan luhur yang bermanfaat bagi kaum persilatan pada umumnya. Bahwasanya untuk menghapuskan perbedaan pandangan di antara berbagai golongan dan aliran secara sekaligus boleh dikata sukar terlaksana, tapi kalau diusahakan agar perguruan-perguruan yang tempatnya berdekatan, atau yang ilmu silatnya hampir mirip, atau yang mempunyai hubungan kekerabatan, maka di antara mereka bisa diadakan penggabungan, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama perbedaan golongan dan aliran di dunia persilatan ini tentu akan berkurang sebagian besar. Seperti halnya peleburan di antara Serikat Pedang Lima Gunung kita menjadi Perguruan Lima Gunung adalah teladan yang nyata bagi golongan-golongan lain, dan ini akan menjadi peristiwa besar yang akan terus dibicarakan sepanjang masa.”

Ucapan terakhir Yue Buqun ini seketika membuat para hadirin gempar. Banyak dari mereka yang berteriak, “O, ternyata Perguruan Huashan juga setuju Serikat Pedang Lima Gunung dilebur menjadi satu.”

Linghu Chong sangat terkejut mendengarnya. Ia berpikir, “Tak kusangka, ternyata Guru juga menyetujui peleburan ini. Padahal aku terlanjur menyatakan hendak megikuti langkah Beliau. Apakah aku harus menarik kembali ucapanku tadi?” Dengan perasaan cemas ia memandang ke arah Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu. Dilihatnya kedua tokoh sepuh itu menggeleng kepadanya dengan wajah agak lesu.

Zuo Lengchan sendiri sejak awal khawatir kalau Yue Buqun akan menolak peleburan ini. Ia merasa segan menghadapi Ketua Perguruan Huashan yang terkenal ahli dalam berdebat dan juga sulit dipaksa untuk melakukan sesuatu. Maka, begitu mendengar keputusan Yue Buqun seketika hatinya sangat terkejut bercampur gembira. Ia pun berkata, “Sebenarnya maksud Perguruan Songshan menghendaki peleburan ini hanyalah demi kepentingan kita bersama. Pepatah mengatakan: ‘Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.’ Namun dari uraian Tuan Yue tadi ternyata peleburan Serikat Pedang Lima Gunung dapat mendatangkan manfaat-manfaat yang begitu besar. Sungguh, aku merasa seperti pintar mendadak.”

Yue Buqun menjawab, “Setelah kelima perguruan digabungkan, bila kita ingin memperbesar pengaruh dan mengadu kekuatan dengan golongan lain, maka akibatnya hanya menimbulkan bencana di dunia persilatan. Sebab itu, asas tujuan peleburan ini harus mengutamakan ‘hindarkan pertentangan dan akhiri permusuhan’. Menurut dugaanku banyak di antara kawan persilatan yang khawatir peleburan kita ini pasti akan merugikan pihak lain. Dalam hal ini aku dapat menyatakan supaya kawan-kawan janganlah khawatir.”

Banyak di antara para hadirin menjadi lega mendengar jaminan Yue Buqun itu. Namun ada juga yang masih ragu-ragu dan kurang percaya.

“Jika demikian, Perguruan Huashan jelas setuju dengan peleburan?” tanya Zuo Lengchan.

“Benar,” jawab Yue Buqun. Ia diam sejenak kemudian memandang ke arah Linghu Chong sambil berkata, “Ketua Linghu dari Perguruan Henshan dulu pernah tinggal di Gunung Huashan. Aku pernah mempunyai hubungan guru dan murid selama dua puluh tahun lebih dengannya. Sejak dia meninggalkan Huashan, ternyata selama ini masih ingat akan hubungan baik di masa lalu dan tetap mengharapkan agar kami dapat berkumpul bersama lagi dalam satu perguruan yang sama. Dalam hal ini aku tadi telah menyanggupi bahwa kami pasti akan berkumpul kembali di dalam suatu perguruan dan ini bukanlah hal yang sulit.” Bicara sampai di sini, wajahnya kemudian menampilkan senyuman manis.

Linghu Chong tergetar namun kemudian paham. Dalam hati ia berkata, “Ternyata kesanggupan Guru dalam menerimaku kembali sebagai murid bukanlah untuk kembali ke dalam Perguruan Huashan, melainkan bergabung ke dalam Perguruan Lima Gunung. Rasanya ini boleh juga. Lagipula tadi Guru telah menyatakan bahwa setelah dilebur menjadi satu, asas tujuan Perguruan Lima Gunung adalah menghindari pertentangan dan mengakhiri permusuhan. Jika nanti Huashan dan Henshan bersekutu, serta ditambah dengan kekuatan Hengshan dan sebagian Taishan, ini berarti akan lebih besar pengaruhnya daripada persekutuan Songshan dan para pengkhanat Taishan sehingga asas yang dikemukakan Guru tadi dapat dijalankan.”

Sementara Linghu Chong terbuai oleh pikirannya sendiri, terdengar Zuo Lengchan berkata, “Selamat untuk Tuan Yue dan Ketua Linghu! Mulai hari ini kalian berkumpul kembali dalam suatu keluarga besar. Ini benar-benar peristiwa yang menggembirakan.”

Menyusul kemudian banyak di antara para hadirin yang juga bersorak dan bertepuk tangan menyatakan selamat.

Tapi mendadak Dewa Ranting Persik berteriak, “Tidak, urusan ini tidak baik, sangat tidak baik.”

“Kenapa tidak baik?” tanya Dewa Dahan Persik.

“Jabatan Ketua Perguruan Henshan bukankah tadinya adalah hak kita enam bersaudara?” tanya Dewa Ranting Persik.

“Betul!” serentak Dewa Dahan Persik dan yang lain ikut menjawab.

“Tapi karena kita segan menjadi ketua, maka jabatan itu kita serahkan kepada Linghu Chong dengan satu syarat bahwa dia harus membalaskan sakit hati kematian Biksuni Dingxian bertiga, betul tidak? Dan kalau tidak melaksanakan tugasnya itu berarti jabatannya sebagai ketua menjadi batal, betul tidak?” ujar Dewa Ranting Persik.

“Benar sekali!” serentak kelima saudaranya kembali mengiakan.

“Namun pembunuh ketiga biksuni sepuh jelas berada di dalam Perguruan Lima Gunung juga,” kata Dewa Ranting Persik. “Maka menurut pendapatku, kemungkinan besar si pembunuh bermarga Zuo, atau mungkin You, atau mungkin Zhong. Apabila Linghu Chong bergabung dengan Perguruan Lima Gunung, itu berarti dia akan menjadi saudara seperguruan dengan manusia jahanam bermarga Zuo, atau You, atau Zhong, dan itu berarti dia tidak akan mampu membalaskan sakit hati Biksuni Dingxian bertiga.”

“Benar, sedikit pun tidak salah,” seru kelima saudaranya.

Nama “Zuo” bermakna “kiri”, “You” bermakna “kanan’, sedangkan “Zhong” bermakna “tengah”. Meskipun demikian, Zuo Lengchan jelas merasa tersinggung. Ia berpikir, “Keparat, kalian berenam berani menghinaku di depan umum. Jika dibiarkan hidup lebih lama tentu semakin banyak ocehan-ocehan tidak senonoh yang akan kalian lontarkan kepadaku.”

Terdengar Dewa Akar Persik berkata, “Kalau Linghu Chong tidak membalaskan sakit hati ketiga biksuni sepuh, berarti dia batal menjadi Ketua Perguruan Henshan, benar tidak? Kalau dia batal menjadi Ketua Perguruan Henshan berarti dia tidak berwenang lagi mengurusi Perguruan Henshan, benar tidak? Dan kalau dia tidak berwenang lagi berarti tidak boleh bicara atas nama Perguruan Henshan dalam soal peleburan ini, benar tidak?”

Setiap kali ia bertanya, setiap kali pula kelima adiknya serentak menjawab, “Benar!”

Kini ganti Dewa Dahan Persik yang bicara, “Tapi jabatan ketua tidak boleh kosong. Bila Linghu Chong tidak menjadi Ketua Perguruan Henshan, maka sepantasnya diangkat orang lain yang lebih sesuai, benar tidak? Di dalam Perguruan Henshan bukankah ada enam orang kesatria yang diakui kehebatannya dan juga kepandaiannya oleh Biksuni Dingxian, benar tidak? Bahkan tadi Zuo Lengchan juga memuji, ‘Kalian enam bersaudara berilmu tinggi dan berwawasan luas, sungguh aku merasa kagum.’ – benar tidak?”

“Benar!” jawab kelima saudaranya. Setiap kali ia bertanya, nadanya semakin keras, begitu pula jawaban kelima saudaranya juga semakin keras.

Karena merasa lucu, dan juga mengerti maksud Enam Dewa Lembah Persik yang jelas-jelas sengaja main gila terhadap Perguruan Songshan, maka sebagian di antara para hadirin ada yang ikut senang. Bahkan di antara mereka ada yang lantas ikut-ikutan bersuara. Setiap kali Enam Dewa Lembah Persik bertanya jawab, puluhan hadirin ikut-ikutan mengiakan.

Ketika Yue Buqun menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung tadi, diam-diam Linghu Chong merasa cemas dan bingung. Kini begitu mendengar ocehan Enam Dewa Lembah Persik itu, dalam hati kecilnya timbul rasa senang seakan-akan keenam orang dungu itu telah menyelesaikan persoalan sulit baginya. Tapi setelah mengikuti ocehan mereka, hatinya menjadi terheran-heran. Ia pun berpikir, “Sungguh aneh, biasanya Enam Dewa Lembah Persik suka berdebat tidak penting dan berbelit-belit, tapi mengapa sekarang apa yang mereka ucapkan seakan-akan sangat teratur, seperti sudah disiapkan sebelumnya? Sepertinya tidak ada celah untuk mendebatnya. Ini sama sekali berbeda dengan kebiasaan mereka yang kacau balau. Sungguh perubahan yang aneh. Apakah mungkin di belakang mereka ada orang pandai yang memberi petunjuk?”

Terdengar suara Dewa Bunga Persik berkata, “Bahwasanya di dalam Perguruan Henshan ada enam kesatria yang berilmu silat tinggi dan berwawasan luas. Siapakah mereka berenam ini, kalian bukan orang bodoh, tentu sudah tahu, benar tidak?”

Ratusan hadirin serentak menjawab dengan tertawa, “Benar! Kami tahu!”

Dewa Bunga Persik menyambung, “Di dunia ini salah dan benar ditentukan suara terbanyak, ditentukan pendapat umum, yang sesuai dengan rasa keadilan dan hati nurani.”

“Benar!” jawab para hadirin serentak.

“Siapakah keenam kesatria besar itu? Coba katakan!” seru Dewa Bunga Persik.

“Siapa lagi kalau bukan kalian, Enam Dewa Lembah Persik!” teriak ratusan orang dengan suara bergemuruh.

“Itu dia!” seru Dewa Akar Persik. “Dengan demikian, jabatan Ketua Perguruan Henshan ini terpaksa kami berenam tidak berani menolaknya. Demi untuk melaksanakan tugas yang suci ini sesuai dengan harapan banyak orang, cocok dengan pilihan umum, sesuai dengan kehendak bapak mertua. Saat air pasang parit akan terbentuk, saat air surut batu karang akan terlihat, menggedor gunung yang tinggi, maka pintu gerbang akan terbuka ….”

Karena kata-katanya yang melantur itu, para hadirin sampai terpingkal-pingkal menahan geli. Sebaliknya, orang-orang Perguruan Songshan terlihat sangat kesal dan banyak di antaranya lantas membentak, “Persetan! Kalian berenam keparat sengaja mengacau di sini. Lekas enyah semua dari sini!”

“Aneh, sungguh aneh!” jawab Dewa Ranting Persik. “Kalian Perguruan Songshan dengan segala daya upaya berusaha hendak melebur Serikat Pedang Lima Gunung menjadi satu. Sekarang kami para kesatria Henshan telah sudi berkunjung ke Gunung Songshan ini, tapi kalian malah mengusir kami untuk pergi. Bila kami enam kesatria besar ini angkat kaki dari sini, segera para kesatria kecil, para pahlawan betina Perguruan Henshan yang lain juga akan ikut pergi dari sini. Lantas, peleburan Serikat Pedang Lima Gunung akan macet di tengah jalan, akan mati dalam kandungan, dan … dan … keguguran pula. Baiklah kalau begitu. Kawan-kawan Perguruan Henshan sekalian, karena kita sudah tidak diperlukan lagi, marilah kita pergi saja dari sini. Biarkan mereka mengadakan peleburan empat perguruan saja. Kalau Zuo Lengchan ingin menjadi Ketua Perguruan Empat Gunung, ya biarkan saja. Perguruan Henshan kita tidak sudi ikut campur.”

Pada dasarnya Yihe, Yiqing, dan yang lain sudah teramat benci kepada Zuo Lengchan. Maka begitu mendengar ajakan Dewa Ranting Persik itu, serentak mereka mengiakan dan berseru, “Benar, mari kita pergi saja dari sini!”

Begitu mendengar ini, Zuo Lengchan menjadi kelabakan. Ia berpikir, “Kalau Perguruan Henshan pergi, berarti Perguruan Lima Gunung akan tinggal Perguruan Empat Gunung saja. Padahal sejak dahulu di dunia ini yang dikenal adalah Serikat Pedang Lima Gunung, bukan Serikat Pedang Empat Gunung. Jika hanya empat perguruan yang bergabung dan aku menjadi ketua, rasanya juga tidak gemilang, malah akan ditertawakan dunia persilatan.”

Membayangkan itu Zuo Lengchan segera berkata kepada Linghu Chong, “Ketua Linghu, orang persilatan seperti kita sangat mengutamakan perkataan. Tadi kau telah menyatakan akan mengikuti langkah Tuan Yue, tentunya kau akan pegang teguh ucapanmu ini, bukan?”

Linghu Chong memandang ke arah Yue Buqun. Dilihatnya sang guru sedang manggut-manggut kepadanya dengan sikap simpatik dan sangat mengharapkan. Sebaliknya ketika ia memandang ke arah Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, kedua tokoh itu tampak menggeleng-geleng kepala.

Di tengah kebimbangan itu, terdengar Yue Buqun berkata, “Chong’er, hubungan kita seperti ayah dan anak. Ibu-gurumu juga merindukanmu. Apakah kau tidak ingin berhubungan baik lagi dengan kami seperti dulu?”

Seketika Linghu Chong meneteskan air mata haru. Tanpa pikir panjang ia lantas berseru, “Guru dan Ibu Guru, memang itulah yang kuharap-harapkan. Bila kalian setuju peleburan ini, maka murid hanya menurut saja, tidak ada yang lain.” Ia diam sejenak, kemudian melanjutkan, “Namun, bagaimana dengan sakit hati ketiga biksuni sepuh ….”

“Kau jangan khawatir,” seru Yue Buqun menukas. “Mengenai kematian ketiga biksuni sepuh memang patut disesalkan oleh setiap kaum persilatan. Selanjutnya, sesudah kelima perguruan kita bergabung, maka urusan Perguruan Henshan sudah tentu menjadi urusanku juga. Tugas utama kita sekarang tidak lain adalah mencari tahu siapa pembunuh ketiga biksuni sepuh, lalu dengan tenaga gabungan kelima perguruan kita, serta meminta bantuan kawan-kawan persilatan yang hadir saat ini. Biarpun si pembunuh memiliki kepandaian setinggi langit juga akan kita cincang sampai hancur lebur. Chong’er, kukatakan lagi janganlah kau khawatir. Sekalipun pembunuhnya adalah tokoh penting dalam Perguruan Lima Gunung juga takkan kita ampuni.”

Kata-kata Yue Buqun itu diucapkan dengan gagah dan tegas. Serentak murid-murid Perguruan Henshan pun bersorak memuji. Yihe lantas berseru, “Ucapan Tuan Yue memang benar. Bila kau dapat tampil ke muka untuk membalaskan sakit hati ketiga biksuni sepuh kami, maka segenap keluarga Perguruan Henshan akan sangat berhutang budi.”

“Aku jamin, dalam waktu tiga tahun apabila aku tidak mampu membalaskan sakit hati ketiga biksuni sepuh, biarlah kawan-kawan persilatan boleh menganggapku sebagai manusia rendah, orang yang tidak tahu malu,” seru Yue Buqun lantang.

Ucapan ini semakin menimbulkan rasa senang murid-murid Henshan. Mereka bersorak gembira. Selain itu banyak juga para hadirin dari golongan lain yang ikut bertepuk tangan dan memuji.

Menyaksikan itu, Linghu Chong berpikir, “Aku telah bertekad untuk menuntut balas kematian ketiga biksuni sepuh, tapi susah rasanya menetapkan batas waktu. Meskipun banyak yang mencurigai Zuo Lengchan sebagai pembunuhnya, tapi bagaimana cara membuktikannya? Seandainya dia dapat dibekuk dan ditanyai, apakah mungkin dia mau mengaku terus terang? Tapi mengapa Guru berbicara begitu tegas dan pasti? Ah, tentu Beliau sudah tahu siapa pembunuh mereka dengan bukti-bukti yang nyata. Maka itu, dalam waktu tiga tahun Guru yakin akan dapat membereskannya.”

Semula Linghu Chong khawatir murid-murid Perguruan Henshan menentang pendiriannya yang mengikuti langkah Yue Buqun terhadap peleburan kelima perguruan. Sekarang begitu melihat mereka bersorak gembira, tanpa ada yang membantah, hatinya menjadi lega. Segera ia berseru, “Sungguh baik jika demikian. Guruku, Tuan Yue, sudah menyatakan, asalkan sudah jelas siapa pembunuh ketiga biksuni sepuh, sekalipun pembunuh itu adalah tokoh penting dalam Perguruan Lima Gunung juga takkan diampuni. Nah, Ketua Zuo, kau menyetujui ucapan ini atau tidak?”

Dengan nada dingin Zuo Lengchan menjawab, “Ucapan ini sangat bagus, mengapa aku tidak setuju?”

“Bagus,” seru Linghu Chong. “Nah, para kesatria yang hadir di sini telah mendengar semua, apabila biang keladi pembunuh ketiga biksuni sepuh nanti telah diketahui, tidak peduli siapa pun dia dan apa pun kedudukannya, maka setiap orang berhak untuk membinasakannya.”

Serentak sebagian besar di antara para hadirin bersorak menyatakan setuju.

Setelah suara ramai itu agak mereda, Zuo Lengchan pun berseru, “Nah, di antara kelima perguruan, Taishan di timur, Hengshan di selatan, Huashan di barat, Henshan di utara, dan Songshan di tengah, semua telah menyatakan persetujuannya. Maka, sejak hari ini di dunia persilatan takkan ada lagi nama Serikat Pedang Lima Gunung, yang ada hanyalah Perguruan Lima Gunung. Dengan demikian, segenap anggota kelima perguruan kita dengan sendirinya juga menjadi murid atau anggota Perguruan Lima Gunung.”

Usai berkata, ketika ia mengangkat sebelah tangan, serentak terdengar suara riuh gemuruh petasan bergema di angkasa Pegunungan Songshan sebagai tanda merayakan berdirinya “Perguruan Lima Gunung” secara resmi. Para hadirin saling pandang dengan tersenyum. Mereka berpikir, “Zuo Lengchan telah merencanakan ini semua dengan seksama. Mau atau tidak mau, Serikat Pedang Lima Gunung harus tetap dilebur entah bagaimanapun caranya. Andai saja ada yang menentangnya, sudah tentu akan terjadi banjir darah di Puncak Songshan ini.”

Begitulah, puncak gunung yang biasanya sunyi itu seketika penuh dengan remukan kertas bertebaran. Asap tampak mengepul memenuhi udara, serta suara petasan yang makin lama makin riuh sehingga bicara berhadapan pun tidak lagi terdengar. Selang agak lama barulah suara petasan mulai mereda.

Lalu di antara para hadirin ada yang menghampiri Zuo Lengchan untuk mengucapkan selamat. Tampaknya orang-orang ini adalah undangan atau sekutu Perguruan Songshan sendiri. Karena melihat peleburan Serikat Pedang Lima Gunung telah berjalan lancar, pengaruh Zuo Lengchan juga bertambah besar, maka mereka pun mendahului memberikan sanjung puji kepada sang tuan rumah. Tidak henti-hentinya Zuo Lengchan mengucapkan kata-kata rendah hati, namun tidak urung wajahnya yang dingin kaku seperti es itu menampilkan senyum kepuasan.

Tiba-tiba terdengar Dewa Akar Persik berseru, “Karena peleburan Serikat Pedang Lima Gunung menjadi Perguruan Lima Gunung sudah terjadi, maka kami, Enam Dewa Lembah Persik, terpaksa ikut mendukungnya. Ini namanya orang bijaksana tahu ke mana angin bertiup.”

Zuo Lengchan berpikir, “Sejak keenam keparat ini datang ke sini, hanya kata-kata inilah yang pantas didengar.”

Sementara itu Dewa Dahan Persik juga berseru, “Pada umumnya setiap perguruan tentu memiliki seorang ketua. Lalu Ketua Perguruan Lima Gunung ini harus dipegang siapa? Kalau para hadirin sepakat mengangkat kami Enam Dewa Lembah Persik sebagai ketua, terpaksa kami pun harus menerimanya.”

“Menurut kata-kata Tuan Yue tadi bahwa penggabungan ini adalah demi kepentingan dunia persilatan umumnya dan tidak untuk keuntungan pribadi,” seru Dewa Ranting Persik pula. “Jika demikian halnya, maka tugas seorang ketua sungguh sangat berat. Namun apa hendak dikata, mau tidak mau kami enam bersaudara harus bekerja sekuat tenaga.”

“Memang benar. Karena para hadirin begini simpatik kepada kami, mana boleh kami tidak bekerja mati-matian demi kawan-kawan persilatan pada umumnya?” sambung Dewa Daun Persik sambil menghela napas panjang.

Keenam bersaudara ini bercakap-cakap sendiri seakan-akan mereka benar-benar telah diangkat sebagai ketua oleh pilihan banyak orang. Seorang tinggi besar berbaju kuning dari Perguruan Songshan berteriak gemas, “Hei, siapa pula yang hendak mengangkat kalian menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung? Huh, seperti orang gila, tidak tahu malu?” Orang ini tidak lain adalah Ding Mian si Tapak Penahan Menara, adik seperguruan Zuo Lengchan nomor dua.

Serentak orang-orang Songshan lainnya juga ikut memaki, “Persetan! Omong kosong melulu! Huh, kalau bukan hari ini hari yang baik, jangan harap kalian dapat turun dari sini dengan kaki utuh!”

Ding Mian kemudian berseru kepada Linghu Chong, “Ketua Linghu, keenam orang tolol ini mengacau terus dari tadi. Kenapa kau diam saja?”

Mendengar itu Dewa Bunga Persik langsung menyahut, “Hah, kenapa kau panggil Linghu Chong sebagai ‘Ketua Linghu’? Jadi, kau mengakui dia sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung? Bukankah tadi Zuo Lengchan sudah menyatakan bahwa Songshan, Taishan, Henshan, Hengshan, dan Huashan sudah dihapus dari dunia persilatan? Maka, dengan sendirinya istilah ketua yang kau sebut tadi tentu dimaksudkan untuk Ketua Perguruan Lima Gunung.”

Dewa Buah Persik menyambung, “Meskipun kami lebih unggul setingkat dibandingkan Linghu Chong, tapi jika dia yang menjabat sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung rasanya boleh juga. Kalau memang yang lebih baik seperti kami tidak kalian terima sebagai ketua, terpaksa yang lebih rendah juga boleh.”

Dewa Akar Persik kemudian berteriak keras-keras, “Nah, Perguruan Songshan telah mengusulkan Linghu Chong sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung, bagaimana pendapat para hadirin sekalian?”

“Setuju!” teriak ratusan orang dengan suara nyaring dan merdu. Jelas mereka adalah murid-murid Perguruan Henshan.

Hanya karena Ding Mian salah bicara, ucapannya itu lantas menjadi bumerang yang langsung dilempar balik oleh Enam Dewa Lembah Persik. Seketika ia menjadi serbasalah dan kebingungan. Dengan suara gelagapan ia berseru, “Tidak, ti… tidak! Bu… bukan … bukan begitu maksudku.”

“Bukan begitu maksudmu?” sahut Dewa Dahan Persik. “Jika demikian tentu kau anggap kami Enam Dewa Lembah Persik lebih cocok menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung? Wah, ternyata Saudara sangat mencintai kami enam bersaudara dan tidak ingin jabatan ketua jatuh ke tangan orang lain. Untuk ini kami terpaksa tidak bisa menolak lagi dan mau tidak mau harus menerimanya.”

“Begini saja,” sambung Dewa Ranting Persik. “Kami akan memegang jabatan ketua selama setahun. Kalau segala urusan sudah berjalan lancar, barulah kami serahkan kedudukan penting ini kepada tokoh lain, bagaimana?”

“Betul, betul! Ini namanya mengambil jalan tengah, sifat pemimpin bijaksana!” teriak kelima saudaranya yang lain.

Sungguh tidak terkira rasa kesal yang memenuhi dada Zuo Lengchan. Dengan nada dingin ia berseru, “Kalian berenam sudah terlalu banyak mengoceh, seakan-akan para kesatria yang hadir di Gunung Songshan ini tak berharga sama sekali. Boleh tidak kalau orang lain juga diberi kesempatan bicara?”

“Boleh, sudah tentu boleh, kenapa tidak boleh?” jawab Dewa Bunga Persik. “Ada kata-kata segera diucapkan, ada kentut segera dilepaskan!”

Seketika suasana menjadi sunyi senyap begitu mendengar kata-kata Dewa Bunga Persik itu. Maklum saja, siapa pun tidak mau membuka suara supaya tidak dianggap kentut.

Selang sejenak barulah Zuo Lengchan berbicara, “Para hadirin sekalian, silakan kemukakan pandangan masing-masing! Mengenai ocehan keenam orang sinting ini tidak perlu digubris lagi!”

Serentak Enam Dewa Lembah Persik menghirup napas panjang-panjang, lalu hidung mereka sama-sama mendengus-dengus dan mulut pun berkata, “Nyaring benar kentutnya. Tapi untungnya, tidak terlalu bau!”

Seorang tua kurus dari Perguruan Songshan tampil ke muka dan berseru, “Serikat Pedang Lima Gunung senasib sepenanggungan. Yang terakhir kali menjabat sebagai ketua perserikatan adalah Ketua Zuo. Nama besar Beliau cukup terkenal, wibawanya juga cukup disegani. Kalau sekarang kelima perguruan telah dilebur, dengan sendirinya Ketua Zuo pantas menjadi pemimpin kita. Kalau dijabat orang lain, kukira sukar diterima oleh banyak orang.” Orang yang berbicara ini juga adik seperguruan Zuo Lengchan yang bernama Lu Bai, yang dulu bersama Ding Mian dan Fei Bin terlibat dalam pembantaian keluarga Liu Zhengfeng pada Upacara Cuci Tangan Baskom Emas.

“Tidak benar, kurang tepat!” seru Dewa Bunga Persik. “Peleburan kelima perguruan menjadi satu adalah peristiwa besar dan merupakan sejarah baru. Oleh karena itu, jabatan ketua juga harus diisi oleh orang yang baru pula. Harus benar-benar orang yang baru.”

“Benar,” sambung Dewa Buah Persik. “Jika Zuo Lengchan tetap menjadi ketua, itu berarti ganti botol tanpa mengganti isinya. Jika demikian, lantas apa gunanya Serikat Pedang Lima Gunung dilebur menjadi satu?”

“Benar sekali. Ini sama seperti membuka toko baru, tapi menjual barang lama. Mana bisa laku?” sambung Dewa Ranting Persik. “Aku rasa Ketua Perguruan Lima Gunung dapat dijabat oleh siapa saja, kecuali Zuo Lengchan tidak boleh menjabatnya.”

“Menurut pendapatku, paling baik kalau jabatan ketua ini kita jabat secara bergiliran. Setiap orang menjadi ketua satu hari. Semuanya mendapat bagian, tua dan muda tidak ada satu pun yang dirugikan. Ini baru namanya adil, tidak pilih kasih, tidak pandang bulu, barang baik, harga pas! Memangnya kalian pikir peleburan kelima perguruan adalah peristiwa main-main?” seru Dewa Daun Persik.

“Usulanmu ini sungguh teramat bagus!” sambut Dewa Akar Persik. “Dan yang pantas menjadi ketua pertama adalah anggota yang berusia paling muda. Maka, aku mengusulkan adik cilik Qin Juan dari Perguruan Henshan sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung yang pertama pada hari ini!”

“Setuju!” seru murid-murid Henshan bersama-sama. Mereka tahu apa yang diucapkan Enam Dewa Lembah Persik ini memang sengaja untuk menggagalkan rencana licik Zuo Lengchan. Bahkan, Qin Juan ikut bersorak-sorak pula. Selain itu ribuan hadirin yang senang pada keributan ikut-ikutan berteriak setuju, sehingga Puncak Songshan seketika berubah menjadi ramai kembali.

Seorang pendeta tua dari Taishan tampil dan berseru, “Ketua Perguruan Lima Gunung harus dijabat oleh seorang yang pandai dan bijaksana, seorang tokoh terkemuka yang punya nama baik dan pengaruh besar. Mana bisa jabatan sepenting itu diduduki secara bergiliran? Sungguh pikiran kalian ini seperti anak kecil!” Suara orang ini begitu keras dan lantang, jelas disertai tenaga dalam tingkat tinggi, sehingga di tengah ribut-ribut itu tetap terdengar dengan jelas oleh setiap hadirin.

Dewa Ranting Persik menanggapi, “Orang pandai bijaksana dan terkemuka yang memiliki nama baik dan pengaruh besar? Kukira hanya seorang tokoh persilatan yang memenuhi syarat ini, yaitu Kepala Biara Shaolin, Mahabiksu Fangzheng.”

Sejak tadi jika Enam Dewa Lembah Persik berbicara selalu menimbulkan gelak tawa banyak orang. Rupanya para hadirin menganggap mereka berenam bagaikan pelawak saja. Tapi, begitu Dewa Ranting Persik menyebut nama Mahabiksu Fangzheng, seketika suasana menjadi sunyi senyap, setiap orang tidak berani bersuara. Maklum saja, Mahabiksu Fangzheng adalah tokoh yang dihormati dan disegani oleh setiap kaum persilatan. Ilmu silatnya tinggi, sikapnya tulus dan welas asih, dan selalu mengutamakan keadilan dalam menyelesaikan perkara di dunia persilatan. Selain itu, Biara Shaolin juga telah mencapai puncak kejayaan dan menjadi perguruan nomor satu di dunia persilatan. Maka apa yang diucapkan oleh Dewa Ranting Persik kali ini tidak ada yang salah di telinga para hadirin, dan tidak ada seorang pun yang berani menertawakannya.

Dewa Akar Persik pun berteriak, “Apakah Kepala Biara Shaolin Mahabiksu Fangzheng terhitung tokoh yang pandai dan bijaksana, serta memiliki nama baik dan pengaruh besar?”

“Benar!” teriak ribuan hadirin bersamaan.

“Bagus!” sambut Dewa Akar Persik. “Itu artinya Mahabiksu Fangzheng telah disetujui dengan suara bulat oleh para hadirin. Jika demikian, maka jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung mulai hari ini kita serahkan untuk dipegang Mahabiksu Fangzheng.”

“Omong kosong!” teriak sebagian besar orang-orang Perguruan Songshan dan Taishan. “Mahabiksu Fangzheng adalah Ketua Perguruan Shaolin, ada sangkut paut apa dengan Perguruan Lima Gunung kita?”

Dewa Ranting Persik menyahut, “Bukankah tadi pendeta tua itu mengatakan jabatan ketua harus dipegang oleh seorang tokoh berbudi luhur dan bijaksana, yang memiliki nama baik dan pengaruh besar? Sekarang kita telah mendapatkan pilihan yang tepat dan sesuai dengan syarat tersebut, yaitu Mahabiksu Fangzheng. Memangnya kalian berani menyangkal kalau Beliau tidak memenuhi syarat-syarat itu? Memangnya kalian berani mengatakan Mahabiksu Fangzheng tidak berbudi luhur, tidak bijaksana, tidak memiliki nama baik, dan tidak memiliki pengaruh besar? Aduh, coba jawab kalau kalian ingin kami sikat lebih dulu. Barangsiapa berani menyangkal Mahabiksu Fangzheng bahwa Beliau tidak memenuhi syarat-syarat tadi, harus berhadapan dengan Enam Dewa Lembah Persik lebih dulu.”

Dewa Dahan Persik menambahkan, “Mahabiksu Fangzheng sudah menjadi Ketua Perguruan Shaolin selama puluhan tahun. Lantas, kenapa Beliau tidak boleh menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung? Apakah menurut kalian kedudukan Shaolin lebih rendah daripada Lima Gunung? Hanya orang gila yang tidak bisa menerima Mahabiksu Fangzheng sebagai ketua.”

Mendengar itu Yujizi dari Taishan menanggapi, “Mahabiksu Fangzheng memang seorang tokoh yang harus dihormati oleh siapa pun juga. Tetapi yang kita pilih sekarang adalah Ketua Perguruan Lima Gunung, sedangkan Mahabiksu Fangzheng adalah tamu kehormatan, mana boleh Beliau diikutsertakan dalam urusan ini?”

Dewa Dahan Persik balas bertanya, “Jadi maksudmu, Mahabiksu Fangzheng tidak dapat dipilih menjadi ketua karena Biara Shaolin kau anggap tak ada sangkut pautnya dengan Perguruan Lima Gunung, begitu?”

“Benar!” jawab Yujizi.

Dewa Dahan Persik menyahut, “Mengapa Perguruan Shaolin tidak punya sangkut paut dengan Perguruan Lima Gunung? Aku justru mengatakan sangat besar sangkut pautnya. Coba katakan, Perguruan Lima Gunung terdiri dari lima perguruan apa?”

“Ah, Saudara ini sudah tahu sengaja bertanya,” ujar Yujizi. “Perguruan Lima Gunung jelas terdiri dari Perguruan Songshan, Hengshan, Taishan, Henshan, dan Huashan.”

“Salah, salah besar!” sahut Dewa Bunga Persik dan Dewa Buah Persik bersamaan. “Tadi Zuo Lengchan telah menyatakan bahwa setelah Serikat Pedang Lima Gunung dilebur, maka nama Perguruan Taishan, Songshan, dan lainnya sudah tidak lagi ada. Tapi mengapa sekarang kau menyebut-nyebut nama kelima perguruan itu?”

Dewa Daun Persik menyambung, “Ini tandanya dia tidak pernah melupakan golongannya sendiri. Dia sudah cinta mati terhadap perguruannya. Begitu ada kesempatan, tentu dia akan membangkitkan kembali kebesaran Perguruan Taishan.”

Para hadirin banyak yang tertawa geli. Dalam hati mereka berpikir, “Keenam orang tua ini terlihat sinting, tapi begitu ada yang salah bicara sedikit saja, mereka langsung mendebatnya sampai pihak lawan mati kutu.”

Para hadirin jelas tidak tahu kalau Enam Dewa Lembah Persik sejak mulai bisa bicara sudah gemar berdebat dan bantah-membantah di antara sesama saudara. Selama puluhan tahun pekerjaan mereka hanya berdebat melulu. Kini keenam kepala digunakan sekaligus, enam mulut terbuka bersama, siapa orangnya yang tidak kewalahan menghadapi mereka?

Yujizi tampak tersipu malu oleh bantahan Enam Dewa Lembah Persik tadi. Terpaksa ia berkata, “Huh, Perguruan Lima Gunung punya enam anggota istimewa seperti kalian, sungguh sial!”

Dewa Bunga Persik langsung menanggapi, “Apa? Kau bilang Perguruan Lima Gunung sungguh sial? Itu artinya kau tidak ingin bergabung dengan Perguruan Lima Gunung?”

Dewa Buah Persik menyambung, “Perguruan Lima Gunung baru saja didirikan pada hari pertama ini sudah kau sumpahi dengan ucapan sial segala. Padahal, kita semua mengharapkan Perguruan Lima Gunung akan berkembang dan berjaya di dunia persilatan, sejajar dengan Shaolin dan Wudang. Pendeta Yuji, mengapa hatimu begitu jahat dan suka menyumpahi?”

“Benar, itu membuktikan Pendeta Yuji menghendaki kegagalan pendirian Perguruan Lima Gunung kita. Kakinya ada di Lima Gunung, tapi hatinya masih merindukan Taishan. Mana boleh kita mengampuni orang yang punya maksud jahat seperti ini? Dia tidak boleh berada di dalam perguruan kita.” ujar Dewa Daun Persik.

Kaum persilatan setiap saat bisa mati dalam pertarungan, sehingga pada umumnya memang sangat tabu terhadap kata-kata yang bersifat menyumpahi. Karena itu, banyak di antara hadirin yang sepaham dengan Enam Dewa Lembah Persik lantas menganggap Yujizi memang tidak sepantasnya mengatakan Perguruan Lima Gunung sial pada hari pertama diresmikan. Zuo Lengchan juga diam-diam kurang suka dengan ucapan Yujizi tadi. Namun, ia sadar sekutunya itu sedang terdesak dan salah bicara.

Yujizi sendiri merasa telah telanjur salah bicara, sehingga ia menjadi bungkam dengan memendam amarah.

Segera Dewa Dahan Persik berseru, “Kami mengatakan Perguruan Shaolin memiliki hubungan besar dengan Perguruan Songshan, tapi Pendeta Yuji justru bilang tiada sangkut pautnya. Sebenarnya bagaimana? Kau yang salah atau kami yang betul?”

Dewa Dahan Persik berkata, “Aku berkata Perguruan Shaolin dan Songshan memiliki hubungan besar, tapi Pendeta Yuji mengatakan tidak ada sangkut paut sama sekali. Mana yang benar?”

Yujizi menjawab gemas, “Kalau kau suka mengatakan ada sangkut pautnya, maka anggap saja kau yang benar.”

“Hahaha, segala urusan di dunia ini memang tidak bisa mengingkari satu hal, yaitu kebenaran,” kata Dewa Dahan Persik. “Coba katakan, Biara Shaolin terletak di gunung apa, dan Perguruan Songshan terletak di gunung apa?”

Dewa Bunga Persik menjawab, “Biara Shaolin terletak di Gunung Shaoshi dan Perguruan Songshan terletak di Gunung Taishi. Kedua gunung sama-sama berada dalam lingkungan Pegunungan Songshan, betul tidak? Lantas, kenapa Pendeta Yuji mengatakan Perguruan Shaolin tidak punya sangkut paut dengan Perguruan Songshan?”

Perkataan ini benar-benar masuk akal sehingga para hadirin mengangguk-angguk setuju begitu mendengarnya.

Dewa Ranting Persik menyambung kembali, “Tuan Yue telah mengatakan bahwa setelah peleburan ini, kelak akan banyak berkurang pertentangan di antara sesama kaum persilatan. Maka itu, Beliau menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung. Beliau mengatakan pula bahwa yang ilmu silatnya mendekati satu sama lain atau yang tempatnya berdekatan sebaiknya saling bergabung. Bicara tentang tempat yang berdekatan kukira hanya Perguruan Shaolin dan Songshan yang sama-sama terletak di lingkungan pegunungan yang sama. Kalau Perguruan Shaolin dan Songshan tidak bergabung, maka apa yang dikatakan Tuan Yue tadi bukankah seperti … seperti kentut belaka?”

Perkataan Dewa Ranting Persik lagi-lagi masuk akal, tapi sekaligus mustahil pula jika Perguruan Songshan dan Shaolin bergabung. Maka, hadirin pun menanggapinya dengan gelak tawa namun tidak berani keras-keras.

Mendengar itu Linghu Chong berpikir, “Sungguh mengherankan. Enam Dewa Lembah Persik memang pintar menirukan ucapan orang, tapi anehnya, mengapa sejak tadi selalu tepat sasaran? Sebenarnya, siapakah orang pintar yang berada di balik mereka ini?”

Dewa Akar Persik berkata, “Mahabiksu Fangzheng adalah tokoh pilihan. Tadinya kami ingin meminta Beliau menjadi ketua, tapi ada yang mengatakan kalau Shaolin tidak ada hubungan dengan Lima Gunung. Maka, jika terjadi penggabungan antara Perguruan Shaolin dan Lima Gunung menjadi Perguruan Shaolin Lima Gunung, tidak ada orang yang pantas menjadi ketua selain Mahabiksu Fangzheng. Kami Enam Dewa Lembah Persik tunduk kepada Mahabiksu Fangzheng. Memangnya ada di antara para hadirin yang tidak mau tunduk?”

“Jika ada yang tidak tunduk, silakan tampil ke muka dan boleh mencoba adu tenaga melawan kami, Enam Dewa Lembah Persik,” sambung Dewa Bunga Persik. “Bila dapat mengalahkan Enam Dewa Lembah Persik, baru kemudian silakan coba-coba dengan Mahabiksu Fangzheng. Kalau Mahabiksu Fangzheng juga dikalahkan, masih ada jago-jago Biara Shaolin yang lain seperti para biksu sakti dari Balai Damo, Balai Lohan, Halaman Jielu, Bangsal Cangge, dan sebagainya. Bila tokoh-tokoh simpanan Biara Shaolin itu juga kalah, maka silakan bertanding pula dengan Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang .…”

“Lho, kenapa Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang kau bawa-bawa, saudaraku?” tanya Dewa Buah Persik.

“Ketua Perguruan Wudang dan Kepala Biara Shaolin adalah sahabat karib yang berhubungan erat, bukan begitu?” ujar Dewa Bunga Persik. “Kalau Perguruan Shaolin dikalahkan orang, mustahil Pendeta Chongxu hanya berpangku tangan, benar tidak?”

“Benar sekali, benar sekali!” sahut Dewa Daun Persik. “Kalau Pendeta Chongxu juga kalah, maka silakan bertanding melawan Enam Dewa Lembah Persik.”

Dewa Akar Persik menyahut, “Hei, pertandingan melawan kita Enam Dewa Lembah Persik bukankah sudah dilakukan, kenapa diulangi?”

Dewa Daun Persik menjawab, “Tadi memang sudah. Tapi kita hanya kalah satu kali apa lantas menyerah begitu saja? Tentu saja kita harus tetap melabrak si keparat itu mati-matian sampai darah penghabisan.”

Kembali terdengar suara gelak tawa para hadirin riuh bergemuruh, bahkan ada yang bersuit pula.

Yujizi semakin gusar dibuatnya. Ia melompat maju dengan menekan gagang pedang. “Hei, Enam Setan Lembah Persik, aku Yujizi yang pertama-tama tidak tunduk dan hendak mencoba kemampuan kalian!”

Dewa Akar Persik menjawab, “Ah, kita ini sama-sama anggota Perguruan Lima Gunung. Bila berkelahi bukankah hanya akan saling bunuh-membunuh?”

“Jangan banyak bicara! Dewa benci dan setan jijik pada ocehan kalian,” kata Yujizi. “Jika kalian dilenyapkan dari Perguruan Lima Gunung, kami akan merasa lebih aman dan tenteram.”

“Hei, hei, mengapa kau menekan gagang pedang? Apa kau tinggal menariknya keluar, lalu wus-wus-wus-wus-wus-wus, kau penggal kepala kami berenam?” sahut Dewa Dahan Persik.

Yujizi hanya mendengus tanpa menjawab, seakan-akan membenarkan pertanyaan itu.

Dewa Ranting Persik berkata, “Hari ini Perguruan Lima Gunung baru saja diresmikan dan kau sudah berniat membunuh kami berenam dari Henshan. Lantas, bagaimana kita dapat bekerja sama bahu membahu pada waktu-waktu yang akan datang?”

Yujizi merasa perkataan ini ada benarnya juga. Jika ia membunuh keenam orang itu, maka orang-orang Henshan lainnya tentu akan menuntut balas. Maka, ia pun menarik napas menahan marah, lalu berkata, “Jika kalian sudah tahu perlu adanya kerja sama yang baik, maka ocehan-ocehan kalian yang mengganggu urusan mahapenting ini hendaknya jangan diulangi lagi.” Usai berkata demikian ia lantas menarik keluar pedangnya setengah jalan, lalu memasukkannya kembali ke dalam sarung.

Dewa Daun Persik bertanya, “Tapi bagaimana kalau ucapan-ucapan kami ternyata bermanfaat untuk masa depan Perguruan Lima Gunung dan dunia persilatan pada umumnya?”

Yujizi mencibir, “Huh, rasanya kalian tidak mungkin mengemukakan ucapan-ucapan baik dan bermanfaat.”

Dewa Bunga Persik menyahut, “Apakah membicarakan siapa yang pantas menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung bukan masalah penting bagi kita dan kawan persilatan pada umumnya? Dari tadi kami telah menyarankan seorang tokoh terkemuka dan berpengaruh besar untuk menjadi ketua tapi kau malah tidak setuju. Kau ini terlalu mementingkan diri sendiri dan mati-matian mendukung calonmu yang telah memberikan uang suap sebanyak tiga ribu tahil emas dan empat perempuan cantik kepadamu itu.”

Yujizi menjadi gusar dan berteriak, “Omong kosong! Siapa pula yang pernah memberi tiga ribu tahil emas dan empat perempuan cantik kepadaku?”

Dewa Bunga Persik menjawab, “Hei, aku salah bicara ya? Mungkin aku salah menyebut jumlahnya. Bisa jadi bukan tiga ribu tahil, tapi empat ribu tahil. Kalau bukan empat perempuan cantik tentu tiga atau lima. Siapa yang memberikannya kepadamu mana mungkin kau sendiri tidak tahu dan pura-pura bertanya? Siapa calon ketuamu, dia itulah yang telah menyuapmu.”

Yujizi melolos kembali pedangnya dan membentak, “Jika kau mengoceh lagi, maka akan segera kubuat kau mandi darah di sini!”

Dewa Bunga Persik justru terbahak-bahak sambil melangkah maju membusungkan dada. “Dengan siasat keji dan licik kau telah membunuh ketua perguruanmu sendiri, sekarang kau hendak mencelakai orang lagi? Kalau memang berani cobalah membuatku mandi darah di sini. Pendeta Tianmen sudah kau korbankan, dan sekarang kau hendak membunuh sesama anggota Perguruan Lima Gunung pula, hah? Rupanya membunuh sesama kawan sendiri memang keahlianmu yang istimewa. Sekarang kau bisa mencoba cara yang sama kepadaku,” ujarnya kemudian. Sambil berbicara ia terus melangkah mendekati Yujizi.

“Berhenti!” bentak Yujizi sambil mengacungkan pedangnya ke depan. “Satu langkah lagi kau tetap maju maka aku tidak perlu segan-segan lagi!”

“Haha, memangnya dari tadi kau segan kepadaku?” ejek Dewa Bunga Persik. “Puncak Songshan ini bukan milikmu. Ke mana aku suka, ke sana pula aku bebas melangkah pergi. Memangnya kau punya hak apa merintangi aku?” Usai berkata demikian ia kembali melangkah maju sehingga jaraknya dengan Yujizi hanya tinggal beberapa jengkal saja.

Melihat wajah Dewa Bunga Persik yang buruk seperti kuda dengan gigi yang kuning menyeringai, membuat rasa muak Yujizi bertambah hebat. Tanpa pikir panjang pedangnya lantas menusuk ke dada orang itu dengan cepat.

Segera Dewa Bunga Persik mengelak sambil memaki, “Pengkhianat busuk, kau ben… benar-benar ingin berkelahi?”

Yujizi telah menguasai ilmu pedang Taishan dengan sempurna. Serangan pertamanya tadi langsung disusul serangan kedua yang lebih cepat dan lihai. Ketika Dewa Bunga Persik berbicara, ia telah melancarkan serangan susulan sebanyak empat kali. Semakin menyerang semakin cepat pula gerak pedang pendeta tua itu. Dewa Bunga Persik hanya mampu berteriak-teriak dengan tangan dan kaki bergerak serabutan. Ketika tangannya hendak meraih tongkat besi yang tergantung di pinggang, pedang Yujizi ternyata lebih dulu menusuk bahu kirinya. Namun, pada saat yang sama tiba-tiba pedang Yujizi terpental ke udara, menyusul tubuhnya terangkat ke atas pula. Ternyata kedua tangan dan kedua kakinya masing-masing telah dipegang oleh Dewa Akar Persik, Dewa Dahan Persik, Dewa Ranting Persik, dan Dewa Daun Persik. Keadaannya kali ini bagaikan seekor kelinci yang ditangkap empat ekor elang.

Apa yang terjadi sungguh teramat cepat. Sekejap kemudian sekelebat bayangan kuning langsung melayang pula dengan disertai kilatan sinar pedang. Rupanya seseorang telah mengayunkan pedangnya ke arah kepala Dewa Ranting Persik. Namun Dewa Buah Persik yang berjaga di samping saudaranya itu segera menangkis dengan tongkat besi di tangannya. Orang berbaju kuning itu lantas mengalihkan serangannya ke dada Dewa Akar Persik. Tapi Dewa Bunga Persik juga sudah bersiaga dan menangkis serangan tersebut. Begitu diperhatikan, ternyata si penyerang berbaju kuning itu tidak lain adalah Ketua Perguruan Songshan sendiri, Zuo Lengchan.

Sejak tadi Zuo Lengchan sudah tahu kalau Enam Dewa Lembah Persik memiliki kepandaian yang tinggi, meskipun tingkah laku dan ucapan mereka ugal-ugalan. Ia teringat peristiwa setahun yang lalu saat salah seorang sekutunya yang bernama Cheng Buyou dari Kelompok Pedang tewas dirobek keenam orang aneh itu menjadi empat potong di Gunung Huashan. Maka, begitu melihat Yujizi tertangkap pula, ia berpikir harus segera menolongnya karena terlambat sedikit saja tentu akan sangat berbahaya. Sebagai tuan rumah sebenarnya Zuo Lengchan tidak pantas turun tangan secara langsung. Namun menghadapi detik-detik berbahaya seperti itu terpaksa ia harus menyelamatkan nyawa Yujizi. Dua kali ia menyerang Dewa Ranting Persik dan Dewa Akar Persik dengan jurus-jurus mematikan, namun selalu dapat ditangkis oleh Dewa Bunga Persik dan Dewa Buah Persik. Sungguh rapih cara kerja sama Enam Dewa Lembah Persik. Jika empat orang menangkap lawan, maka dua orang sisanya berjaga di samping untuk melindungi.

Sementara itu, nyawa Yujizi sendiri bagaikan telur di ujung tanduk. Zuo Lengchan harus mendesak mundur Dewa Bunga Persik dan Dewa Buah Persik, dan untuk itu sedikitnya harus melancarkan lebih dari lima-enam jurus. Jika harus menunggu selama itu, maka tubuh Yujizi tentu sudah ditarik-robek oleh keempat Dewa Persik lainnya.

Sungguh tidak disangka, tiba-tiba saja terdengar suara Yujizi menjerit keras-keras dan tubuhnya terbanting ke tanah dengan kepala di bawah. Tampak Dewa Akar Persik dan Dewa Ranting Persik masing-masing memegang sepotong lengan putus, Dewa Dahan Persik memegang sepotong kaki putus, sedangkan Dewa Daun Persik memegang sebelah kaki yang masih bersatu dengan tubuh dan kepala Yujizi.

Rupanya Zuo Lengchan merasa tidak mampu memaksa Enam Dewa Lembah Persik melepaskan Yujizi dalam waktu sesingkat itu. Terpaksa ia mengambil tindakan tegas dengan cara memotong kedua lengan dan sebelah kaki sekutunya itu sehingga Enam Dewa Lembah Persik tidak dapat merobeknya menjadi empat potong. Ini bagaikan memotong kaki yang dipatuk ular berbisa supaya racun tidak menjalar ke seluruh tubuh. Meski terpaksa harus kehilangan tiga anggota badan, namun setidaknya nyawa Yujizi dapat diselamatkan, karena Enam Dewa Lembah Persik tidak mungkin mengganggu seorang yang sudah cacat.

Selesai melaksanakan tindakan mahacepat itu, Zuo Lengchan mengundurkan diri ke tepi sambil mendengus sinis.

“Hei, Zuo Lengchan,” seru Dewa Ranting Persik, “kau telah memberi suap berupa emas dan perempuan cantik kepada Yujizi dan menyuruhnya untuk mendukungmu menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Tapi sekarang mengapa kau berbalik membuntungi kaki dan kedua tangannya? Apakah kau bermaksud melenyapkan saksi, hah?”

“Hahaha, ia khawatir kita akan merobek Yujizi menjadi empat potong, maka itu ia lebih dulu memotong anggota badan Yujizi. Padahal dia telah salah duga,” sambung Dewa Akar Persik.

“Benar. Kau berlagak pintar sendiri, haha, sungguh lucu, sungguh menggelikan,” kata Dewa Buah Persik. “Kami menangkap Yujizi untuk mengajaknya bercanda. Hanya untuk menakut-nakuti saja. Padahal, hari ini adalah hari bahagia berdirinya Perguruan Lima Gunung, mana mungkin kami berani main bunuh-membunuh segala?”

“Walaupun Yujizi berniat membunuhku, tapi mengingat kami adalah sesama anggota Perguruan Lima Gunung, mana mungkin kami tega membunuhnya?” sambung Dewa Bunga Persik. “Dia bersikap kejam kepada kami, tapi kami tetap bersikap baik kepadanya.”

Dewa Akar Persik berkata, “Kami hanya ingin melemparkan tubuhnya ke udara, lalu kami akan menangkapnya kembali. Kami hanya ingin bergurau dan menakut-nakuti dia saja. Sebaliknya, Zuo Lengchan ternyata bertindak begitu kejam dan gegabah. Sungguh tolol!”

Dewa Daun Persik menarik kaki Yujizi dan menyeret tubuh pendeta malang yang berlumuran darah itu ke hadapan Zuo Lengchan dan melepaskannya. Dengan menggeleng-geleng ia berkata, “Zuo Lengchan, kau benar-benar sangat kejam. Orang baik-baik seperti Yujizi ini mengapa tega kau buntungi kaki dan kedua lengannya? Sekarang dia hanya memiliki satu kaki saja, lantas bagaimana caranya bisa bertahan hidup?”

Zuo Lengchan sudah tentu sangat gemas. Gusar hatinya tiada terkira. Padahal kalau tadi ia tidak mengambil tindakan tegas, tentu tubuh Yujizi sudah tertarik-robek menjadi empat potong. Tapi sekarang malah dirinya yang dianggap kejam. Namun demikian, untuk membela diri juga tidak ada dasarnya, terpaksa ia hanya mendengus tanpa menjawab.

Dewa Akar Persik segera menyambung, “Kalau Zuo Lengchan mau membunuh harusnya sekali tebas ia memenggal kepala Yujizi saja. Tapi ia justru menyiksanya dengan cara membuntungi kaki dan kedua lengannya. Kini Yujizi mati tak hendak, hidup tak mau. Cara yang dipakai Zuo Lengchan sungguh keji dan tidak berbudi.”

Dewa Dahan Persik menambahkan, “Kita ini sama-sama anggota Perguruan Lima Gunung. Ada persoalan apa pun harus dapat dirundingkan secara baik-baik. Mengapa harus memakai cara sekejam ini? Sedikit pun tidak punya rasa setia kawan. Sungguh tidak bijaksana.”

Mendengar itu, Ding Mian berteriak membela kakak seperguruannya, “Kalian berenam terkenal suka merobek badan orang. Tindakan Ketua Zuo tadi justru bermaksud menyelamatkan jiwa Pendeta Yuji. Tapi mengapa kalian malah memutarbalikkan persoalan?”

Dewa Ranting Persik menanggapi, “Jelas sekali kami hanya bercanda dengan Yujizi, tapi Zuo Lengchan justru salah sangka. Kenapa dia tidak bisa membedakan orang yang sedang bercanda dengan yang sungguh-sungguh? Betapa bodohnya Zuo Lengchan ini!”

“Seorang laki-laki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab,” sambung Dewa Daun Persik. “Zuo Lengchan sudah membuntungi Yujizi maka harus berani mengakui perbuatannya. Tapi kalian malah memakai macam-macam alasan untuk menutupi niat kejinya. Sedikit pun tidak punya keberanian untuk bertanggung jawab. Sungguh pengecut! Padahal ribuan mata para hadirin di sini telah menyaksikan sendiri apa yang dia lakukan. Apa masih mau menyangkal?”

Dewa Bunga Persik berseru, “Manusia tak berbudi, tidak setia kawan, goblok juga pengecut! Apakah mungkin jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung kita boleh diduduki orang seperti ini? Huh, Zuo Lengchan, kau jangan bermimpi di siang bolong!” Begitu selesai berbicara, kelima saudaranya ikut menggeleng-gelengkan kepala.

Sebenarnya banyak di antara para hadirin yang duduk di dekat Panggung Fengshan memiliki pandangan tajam dapat memaklumi maksud baik Zuo Lengchan. Kalau tadi Ketua Songshan itu tidak bertindak cepat tentu jiwa Yujizi sudah melayang dengan tubuh robek menjadi empat bagian. Diam-diam mereka memuji kehebatan ilmu pedang Zuo Lengchan dan kecepatannya mengambil keputusan. Namun karena apa yang dikatakan Enam Dewa Lembah Persik cukup berdasar, sulit bagi orang lain untuk menyanggahnya. Maka, para hadirin yang mengetahui maksud hati Zuo Lengchan hanya bisa terdiam, sedangkan mereka yang tidak tahu duduk permasalahannya tampak menampilkan wajah tidak puas dan menganggap Ketua Perguruan Songshan itu bertindak terlalu gegabah.

Yang paling hafal watak Enam Dewa Lembah Persik tentu saja Linghu Chong. Ia pun merenung, “Aneh, mengapa enam bersaudara ini tiba-tiba berubah pintar dan setiap kata-kata mereka selalu tepat mengenai titik kelemahan Zuo Lengchan? Padahal biasanya mereka suka gila-gilaan dan mengoceh omong kosong. Siapa sebenarnya orang pintar yang berdiri di balik mereka berenam?”

Usai berpikir demikian Linghu Chong perlahan-lahan mendekati Enam Dewa Lembah Persik untuk memeriksa apakah di sekitar mereka terdapat orang pintar yang memberikan petunjuk. Namun dilihatnya keenam bersaudara itu berkumpul menjadi satu dan di sekitar mereka tak ada orang lain lagi. Malah mereka tampak sibuk membalut luka di bahu kiri Dewa Bunga Persik yang tertusuk pedang Yujizi tadi.

Ketika berpaling lagi, tiba-tiba Linghu Chong mendengar suara bisikan yang sangat lirih, “Kakak Chong, apakah kau sedang mencari diriku?” Suara tersebut sangat lirih bagaikan nyamuk mendenging masuk ke dalam telinga.

Seketika perasaan Linghu Chong terkejut bercampur senang. Meski sangat lirih, tapi ia dapat langsung mengenali pemilik suara tersebut yang tidak lain adalah Ren Yingying. Begitu memandang ke sekeliling, tampak olehnya seorang laki-laki berewok dengan badan agak gemuk berdiri bersandar pada sepotong batu besar sambil menggaruk-garuk kepala bermalas-malasan.

Laki-laki berewok macam ini sedikitnya ada seratus atau dua ratus orang di antara ribuan hadirin yang berkumpul di tempat itu, sehingga cenderung tidak menarik perhatian. Namun mendadak dari sorot mata laki-laki ini Linghu Chong melihat kilasan senyuman yang licik tapi menawan. Begitu senangnya tanpa terasa kakinya pun berjalan mendekati orang itu.

Seketika suara Ren Yingying kembali terdengar, “Jangan kemari, nanti penyamaranku terbongkar!” Begitu lirih suara ini bagaikan sehelai benang sutra, tapi masuk ke telinga Linghu Chong sehingga terdengar jelas olehnya.

Linghu Chong pun menghentikan langkah dan berpikir, “Ternyata kau menguasai ilmu menyalurkan suara ke dalam pikiran orang lain.” Seketika ia pun terkesiap dan berpikir, “Ternyata kata-kata Enam Dewa Lembah Persik tadi adalah hasil bisikanmu. Pantas saja keenam orang dungu itu mampu berbicara tentang budi, kesetiaan, dan kebijaksanaan segala. Entah ilmu apa yang kau pergunakan untuk menyalurkan suaramu ke dalam pikiran mereka, namun aku yakin ini adalah ilmu rahasia pelajaran dari ayahmu.”

Usai berpikir demikian Linghu Chong tak kuasa menahan gembira dan berteriak keras, “Kata-kata Tujuh Dewa Lembah Persik memang benar dan masuk akal. Tadinya aku mengira mereka hanya berjumlah enam. Tak disangka, ternyata ada seorang lagi anggota ketujuh yang paling pintar dan cerdik di antara mereka, juga seorang yang paling cantik pula. Dia adalah Dewi Kuntum Persik.”

Mendengar ucapan Linghu Chong itu beberapa di antara para hadirin terkejut dan menoleh ke arahnya, namun mereka tidak paham atas apa yang baru saja ia katakan.

Terdengar Ren Yingying kembali menyalurkan suaranya, “Ini adalah saat-saat yang sangat gawat. Kau adalah Ketua Perguruan Henshan, sehingga tidak pantas lagi bicara seenaknya seperti dulu. Zuo Lengchan sedang terdesak. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untukmu merebut jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung.”

Linghu Chong tercengang sadar. Ia kemudian merenung, “Yingying nekad menyamar untuk bisa datang ke Gunung Songshan ini demi untuk membantuku menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Padahal ia adalah putri Ketua Sekte Matahari dan Bulan yang merupakan musuh bebuyutan golongan putih di sini. Jika karena kebodohanku penyamarannya sampai terbongkar, entah bagaimana nasibnya, tentu aku takkan bisa memaafkan diri sendiri. Ia telah menempuh bahaya sedemikian besar hanya demi aku. Perasaannya kepadaku begitu mendalam. Aku benar-benar … benar-benar tak tahu bagaimana membalasnya.”

Kemudian terdengar Dewa Akar Persik berkata, “Tokoh besar seperti Mahabiksu Fangzheng tidak bisa kalian terima sebagai ketua. Yujizi sekarang hanya tinggal memiliki satu kaki. Zuo Lengchan sendiri jelas tidak berbudi dan berwatak keji. Maka mereka tidak bisa menduduki tempat terhormat itu. Sekarang biarlah kita memilih seorang kesatria muda yang ilmu pedangnya nomor satu di dunia untuk menjadi pimpinan kita. Kalau ada yang tidak setuju, silakan maju untuk meminta petunjuk kepadanya.” Bicara sampai di sini tangan kirinya lalu terangkat dan menunjuk ke arah Linghu Chong.

“Inilah dia Pendekar Linghu!” sambung Dewa Bunga Persik, “Dia adalah Ketua Perguruan Henshan yang juga memiliki hubungan dekat dengan Tuan Yue dari Perguruan Huashan. Dia juga bersahabat karib dengan Tuan Besar Mo dari Perguruan Hengshan. Di antara Serikat Pedang Lima Gunung jelas ada tiga perguruan yang pasti akan mendukungnya.”

Dewa Ranting Persik menambahkan, “Para pendeta dari Perguruan Taishan juga tidak bodoh semua. Sebagian besar di antara mereka pasti juga akan mendukung Pendekar Linghu.”

Dewa Buah Persik menyambung, “Perguruan Lima Gunung awalnya bernama Serikat Pedang Lima Gunung, yaitu perserikatan lima perguruan pedang. Maka, barangsiapa memiliki ilmu pedang paling hebat tentunya ia berhak menjadi ketua.”
“Nah, Zuo Lengchan, jika kau setuju, silakan maju untuk mencoba ilmu pedang Pendekar Linghu. Yang menang, dialah yang berhak menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Ini namanya bertanding pedang untuk merebut kedudukan!” seru Dewa Daun Persik.
Di antara para hadirin selain para anggota Serikat Pedang Lima Gunung dan tamu-tamu kehormatan seperti Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu, sisanya adalah orang-orang persilatan yang datang untuk menonton keramaian. Sebenarnya mereka paling tidak suka mendengarkan pidato panjang lebar dan bertele-tele. Hanya saja, ucapan-ucapan Enam Dewa Lembah Persik yang jenaka dan menggelikan telah membuat mereka bisa menerima perdebatan itu dan mengikutinya dengan senang. Andai saja semua orang berbicara seperti Yue Buqun tadi, tentu mereka akan merasa bosan setengah mati dan pulang sebelum acara selesai. Selain itu, peristiwa kematian Pendeta Tianmen dan bagaimana Yujizi kehilangan kaki dan kedua lengan telah membuat para hadirin merasa ngeri. Maka, begitu mendengar Dewa Daun Persik mengemukakan “bertanding pedang untuk merebut kedudukan” serentak para hadirin pun bersorak gembira menyatakan setuju. Mereka berpikir kini saatnya mengubah kengerian dalam hati menjadi perasaan semangat untuk menyaksikan pertandingan sengit di antara tokoh-tokoh tertinggi yang dijagokan oleh pihak masing-masing.

Sementara itu Linghu Chong berpikir, “Aku telah berjanji kepada Mahabiksu Fangzheng dan Pendeta Chongxu untuk merintangi ambisi Zuo Lengchan menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Maka, sebaiknya aku harus membantu Guru menjadi ketua. Beliau terkenal baik budi dan bijaksana tentu akan dapat diterima oleh semua pihak. Padahal, selain Beliau rasanya tiada lagi tokoh dalam Serikat Pedang Lima Gunung yang sesuai untuk menjabat kedudukan penting ini.”

Karena berpikir demikian, segera Linghu Chong berseru, “Di hadapan kita sudah tersedia seorang tokoh yang paling cocok untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, mengapa kalian semua lupa? Siapa lagi di antara kita yang bisa menandingi Tuan Yue si Pedang Budiman dari Perguruan Huashan? Ilmu silat Tuan Yue tinggi, pengetahuannya luas, orangnya berbudi dan bijaksana. Semua ini sudah kita ketahui bersama. Maka, segenap anggota Perguruan Henshan kami dengan tulus menyarankan agar Tuan Yue diangkat sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung.”

Serentak murid-murid Huashan bersorak gembira dan menyatakan setuju.

Seorang tokoh Songshan menanggapi, “Ilmu silat Tuan Yue memang tinggi. Tapi kalau dibandingkan dengan Ketua Zuo masih kalah setingkat. Selain itu, Ketua Zuo juga telah memimpin Serikat Pedang Lima Gunung selama bertahun-tahun. Maka, menurut pendapatku hanya Ketua Zuo yang paling tepat untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Di samping itu bisa disediakan empat kursi wakil ketua yang masing-masing diisi oleh Tuan Yue, Tuan Besar Mo, Pendekar Linghu, dan Pendeta … Pendeta Yuqingzi atau Pendeta Yuyinzi, terserah kepada pilihan orang-orang Taishan sendiri.”

Dewa Ranting Persik menyahut, “Yujizi belum mati, hanya kehilangan dua lengan dan sebelah kaki saja. Lantas mengapa kalian menyingkirkan dia begitu saja?”

Dewa Daun Persik berkata, “Lebih baik bertanding saja untuk merebut jabatan ketua. Pertandingan pedang adalah cara yang paling adil. Siapa yang menang, dia yang menjadi ketua!”

Beribu-ribu hadirin serentak ikut-ikutan berteriak, “Benar, benar! Bertanding pedang saja untuk menentukan ketua!”

Linghu Chong berpikir Zuo Lengchan harus dijatuhkan lebih dulu supaya pihak Songshan putus harapan dan sukar untuk mencalonkan diri lagi sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung. Maka dengan pedang terhunus ia lantas maju ke tengah dan berseru, “Tuan Zuo, sesuai kehendak banyak orang, marilah kita berdua memulai pertandingan ini!”

Dalam hati Linghu Chong berpikir, “Kalau bicara ilmu pedang, rasanya aku masih sanggup mengatasi Zuo Lengchan. Namun kalau bertanding ilmu pukulan, jelas aku sukar menghadapi Jurus Tapak Es Mahadingin andalannya. Ketua Ren saja hampir kehilangan nyawa saat melawannya di Biara Shaolin tempo hari. Setelah berhasil mengalahkan Zuo Lengchan, maka aku akan mengalah dalam pertandingan melawan Guru. Kalau Paman Mo ikut serta dalam pertandingan ini juga belum tentu bisa menang melawan Guru. Sementara itu pihak Taishan sudah kehilangan dua orang jagonya; yang satu tewas, yang satu lagi kehilangan lengan dan sebelah kaki. Namun seandainya dalam bertanding ilmu pedang aku tidak bisa mengalahkan Zuo Lengchan, paling tidak aku harus bertahan ribuan jurus supaya tenaganya terkuras habis dan dalam pertandingan selanjutnya, peluang Guru untuk menjadi juara akan terbuka lebar.”

Maka, Linghu Chong segera mengayunkan pedangnya dan berseru, “Tuan Zuo, setiap anggota Serikat Pedang Lima Gunung mahir memainkan pedang. Sekarang biarlah pedang menentukan siapa yang kalah, siapa yang menang.” Dengan ucapan ini ia sudah menutup jalan Zuo Lengchan agar tidak mengajaknya bertanding ilmu pukulan.

Mendengar itu para hadirin semakin ramai bersorak-sorak menyatakan setuju dan berteriak-teriak minta pertandingan lekas dimulai.

“Pendekar Linghu benar! Silakan adu pedang! Yang menang menjadi ketua, yang kalah mendengar perintah. Ini baru namanya adil.”

“Tuan Zuo, lekaslah jawab tantangannya! Apa kau takut kalah?”

“Bicara terus seharian, apa tidak bosan? Ayo mulai bertarung saja!” demikian para hadirin berteriak-teriak.

Suasana di Puncak Songshan itu semakin ramai, dan teriakan-teriakan para hadirin terdengar semakin nyaring. Bahkan, orang-orang berpengalaman yang biasanya bersikap tenang dan hati-hati juga tidak bisa menahan diri untuk ikut bersorak. Tidak hanya itu, orang-orang yang diundang Zuo Lengchan untuk menjadi sekutu pihak Songshan juga ikut berteriak-teriak. Para hadirin yang berjumlah ribuan itu sebenarnya tidak peduli siapa yang akan menjadi ketua dan mereka juga tidak ingin ikut campur. Namun pertandingan adu senjata adalah peristiwa seru yang ingin mereka saksikan. Mereka semua berharap bisa menonton beberapa pertarungan yang mendebarkan.

Karena mendapat dukungan banyak orang, Linghu Chong merasa senang dan melanjutkan, “Bagaimana, Tuan Zuo? Jika kau enggan bertanding pedang denganku, tiada salahnya apabila kau mengumumkan di depan umum bahwa kau mengundurkan diri dari pencalonan Ketua Perguruan Lima Gunung ini. Para jago lainnya silakan bertanding!”

“Hayo maju! Hayo bertanding!!” demikian suara para hadirin kembali berteriak-teriak. “Yang tidak berani bertanding bukanlah kesatria, tapi pengecut!” sambung yang lain.

Zuo Lengchan dan orang-orang Songshan lainnya terdiam tidak menjawab sepatah kata pun. Mereka sadar kalau ilmu pedang Linghu Chong sangat tinggi, namun juga tidak pantas jika menolak tantangannya. Di tengah keadaan yang menegangkan itu tiba-tiba terdengar suara seseorang yang melengking nyaring berkumandang, “Jika para hadirin sudah menghendaki pemilihan Ketua Perguruan Lima Gunung ditentukan melalui pertandingan adu pedang, maka kita tidak dapat mengabaikan harapan banyak orang.” Orang yang berbicara ini tidak lain adalah Yue Buqun.

“Ucapan Tuan Yue tidak salah!” sambut banyak orang. “Ayo bertanding! Lekas dimulai!”

“Bertanding untuk merebut kedudukan memang suatu cara yang lazim,” lanjut Yue Buqun, “Hanya saja, tujuan peleburan Serikat Pedang Lima Gunung ini sebenarnya untuk mengurangi pertengkaran serta mencari kedamaian di antara sesama kawan persilatan. Sebab itu kalau pertandingan dilangsungkan, sebaiknya cukup dibatasi hanya pada persentuhan saja. Begitu sudah jelas siapa yang menang siapa yang kalah harus segera dihentikan. Sama sekali tidak boleh melukai apalagi mencelakai jiwa lawan. Seperti meninggalnya Pendeta Tianmen dan terlukanya Pendeta Yuji tadi sungguh sangat kusesalkan.”

Karena apa yang dikatakan Yue Buqun cukup masuk akal, seketika suasana menjadi sunyi hening. Sejenak kemudian barulah seorang hadirin berteriak, “Pertandingan dibatasi memang baik, namun senjata tak punya mata. Bila ada yang terluka atau binasa, anggap saja dirinya sedang sial dan jangan menyalahkan pihak lain.”

“Benar!” sambung seorang lagi. “Kalau takut mati dan takut terluka, lebih baik tinggal di rumah dan meniduri istrinya saja. Untuk apa susah-susah hadir ke sini?”

Maka bergemuruhlah suara tawa banyak orang.

Yue Buqun menyahut, “Namun demikian, aku rasa pertandingan nanti harus tetap berlangsung secara persahabatan. Aku mempunyai beberapa pendapat yang mungkin bisa digunakan. Untuk itu mohon pertimbangan para hadirin sekalian.”

“Ah, mau bicara apa lagi? Lekas bertarung saja!” teriak seorang hadirin.

“Jangan mengacau! Dengarkan dulu apa yang hendak diuraikan Tuan Yue!” seru seorang lain.

“Siapa yang mengacau? Kau pulang saja, tidur dengan ibumu sana!” jawab orang yang pertama tadi.

Seketika terjadilah perang mulut dengan kata-kata kotor di antara kedua pihak tersebut.

“Terhadap siapa-siapa yang memenuhi syarat untuk ikut bertanding, perlu ditetapkan suatu peraturan ….” seru Yue Buqun lantang dengan disertai tenaga dalam melimpah sehingga menenggelamkan suara perang mulut di antara para hadirin. Setelah suasana lebih tenang, ia melanjutkan, “Pertandingan ini adalah untuk menentukan Ketua Perguruan Lima Gunung, bukan menentukan gelar ‘pendekar nomor satu di muka bumi’. Oleh sebab itu, yang boleh bertanding hanya terbatas pada anggota Perguruan Lima Gunung saja. Orang luar biarpun memiliki kepandaian setinggi langit harus bisa menahan diri untuk tidak ikut serta.”

“Betul, betul! Kalau bukan anggota Perguruan Lima Gunung dilarang ikut bertanding!” seru banyak orang.

“Tidak setuju! Kita tetap ikut bertarung untuk menentukan siapa pendekar nomor satu di dunia!” seru salah seorang hadirin. Orang ini jelas hanya ingin memancing keributan sehingga para hadirin yang lain tidak ada yang menghiraukannya.

“Mengenai jalannya pertandingan nanti harus dilakukan dalam suasana persahabatan. Untuk ini, silakan Tuan Zuo memberikan tanggapan,” kata Yue Buqun kemudian.

“Kukira Tuan Yue tentu sudah punya cara-cara yang baik. Silakan dilanjut saja,” sahut Zuo Lengchan dengan nada kaku.

Yue Buqun berkata, “Akan sangat baik jika kita meminta Mahabiksu Fangzheng dari Biara Shaolin, Pendeta Chongxu dari Perguruan Wudang, Ketua Xie dari Partai Pengemis, Pendeta Yu dari Perguruan Qingcheng, dan para tamu kehormatan lainnya agar sudi menjadi juri. Siapa yang menang dan siapa yang kalah kita percayakan kepada para juri. Kita hanya menentukan kalah dan menang saja, bukan menentukan hidup dan mati.”

“Shantih, shantih!” ujar Mahabiksu Fangzheng bersabda. “Hanya menentukan kalah dan menang, bukan menentukan mati dan hidup. Kalimat ini sudah cukup menghapuskan kemungkinan terjadinya pertumpahan darah. Entah bagaimana pendapat Tuan Zuo?”

Zuo Lengchan menjawab, “Mahabiksu memikirkan perguruan kami, sudah tentu kami akan mematuhi. Aku rasa dari setiap perguruan dalam Serikat Pedang Lima Gunung masing-masing hanya boleh menampilkan seorang jago saja. Kalau tidak, nanti beratus-ratus orang tentu ingin bertanding semua. Lalu, sampai kapan baru bisa selesai?”

Di antara para hadirin tentu saja banyak yang ingin menonton keramaian. Bagi mereka, kalau pertandingan hanya dilakukan di antara lima jago dari kelima perguruan saja tentu terasa kurang seru. Tapi murid-murid Songshan yang berjumlah ratusan sudah bersorak mendukung usulan ketuanya, terpaksa para hadirin tidak berani menentang dan mau tidak mau ikut berteriak setuju.

Tiba-tiba Dewa Ranting Persik berseru, “Nanti dulu! Ketua Perguruan Taishan adalah Yujizi, apakah kita membiarkan seorang yang sudah buntung seperti dia ikut dalam pertandingan?”

Dewa Daun Persik menyahut, “Biarpun sudah buntung, tapi dia masih memiliki satu kaki. Bukankah dia masih bisa meloncat-loncat dan menyepak-nyepak?”

Maka kembali terdengar suara gelak tawa banyak orang bergemuruh keras.

Yuyinzi menjadi gusar mendengarnya, “Kalian berenam setan alas sudah membuat kakak seperguruanku cacat, sekarang berani mengolok-oloknya pula. Baiklah, aku harus membuntungi tangan dan kaki kalian semuanya. Ayo, kalau berani coba maju untuk bertanding satu lawan satu dengan pendeta tua ini!” Usai berkata ia lantas maju ke depan dengan pedang terhunus. Tubuhnya yang tinggi kurus dengan jubah berkibar-kibar membuatnya tampak gagah berwibawa. Melihat pemandangan itu, tidak sedikit para hadirin yang bersorak-sorak ramai.

“Apakah kau mewakili Perguruan Taishan dalam perebutan juara ini?” tanya Dewa Ranting Persik.

“Apakah kau dipilih oleh kawan-kawanmu atau kau sendiri yang ingin tampil ke muka?” sambung Dewa Daun Persik.

“Peduli apa denganmu?” sahut Yuyinzi gusar.

“Tentu saja peduli,” jawab Dewa Daun Persik. “Tidak hanya peduli, bahkan sangat peduli. Sebab kalau kau yang mewakili Perguruan Taishan dalam pertandingan ini, bila nanti kau kalah, maka Perguruan Taishan tidak boleh mengajukan jago lain.”

Yuyinzi menyahut, “Kalau orang kedua dari perguruan kami tampil untuk bertanding, lantas kalian mau apa?”

Tiba-tiba seorang tokoh Taishan lainnya berseru, “Kami tidak pernah menunjuk Adik Yuyin sebagai jago, sehingga dia bukan jago yang mewakili pihaik Taishan. Kalau Adik Yuyin kalah, maka dengan sendirinya Perguruan Taishan masih bisa mengajukan jago pilihan lain.” Yang berbicara ini adalah Yuqingzi, kakak seperguruan Yuyinzi.

“Haha, tentu jago Perguruan Taishan yang lain itu adalah kau, bukan?” kata Dewa Bunga Persik setengah mengejek.

“Benar, memangnya kakekmu yang akan maju?” jawab Yuqingzi ketus.

“Nah, nah, coba lihatlah, para hadirin! Kembali orang-orang Taishan ribut-ribut sendiri!” seru Dewa Buah Persik. “Baru saja Pendeta Tianmen tewas, kemudian Pendeta Yuji terluka parah, sekarang Pendeta Yuqing dan Pendeta Yuyin sudah bertengkar sendiri dan berebut menjadi pemimpin Perguruan Taishan selanjutnya.”

“Omong kosong!” bentak Yuyinzi. Sementara Yuqingzi hanya tertawa dingin tanpa bicara.

“Sebenarnya pihak Perguruan Taishan akan diwakili oleh siapa dalam pertandingan ini?” tanya Dewa Bunga Persik selanjutnya.

“Aku!” seru Yuyinzi dan Yuqingzi bersamaan.

“Aneh, kenapa kalian tidak mau saling mengalah?” ujar Dewa Akar Persik. “Baiklah, kalian bisa saling gebrak lebih dulu, biar kita tahu siapa yang lebih tangguh. Percuma bertengkar dengan mulut, tentukan dengan berkelahi saja!”

Dengan perasaan gusar Yuqingzi melangkah maju dan berseru kepada Yuyinzi, “Adik, kau mundur saja! Jangan menjadi bahan tertawaan orang!”

“Kenapa aku akan ditertawakan orang?” tanya Yuyinzi. “Kakak Yuji terluka parah. Aku hanya ingin menuntut balas untuknya.”

“Tujuanmu hendak menuntut balas atau ingin berebut kedudukan ketua?” sahut Yuqingzi menegas.

“Apa? Hanya dengan sedikit kepandaian kita ini mana mungkin pantas menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung?” ujar Yuyinzi. “Kukira kau hanya mimpi di siang bolong. Segenap anggota Perguruan Taishan kita sudah jelas mendukung Ketua Zuo dari Songshan. Untuk apa kita berdua ikut-ikut mempermalukan diri sendiri depan umum?”

“Jika demikian silakan kau mundur saja. Sebagai yang paling tua saat ini, pimpinan Perguruan Taishan aku yang pegang,” kata Yuqingzi.

“Meski kau terhitung paling tua di antara orang-orang Taishan saat ini, tapi segala perbuatan dan tingkah lakumu sukar diterima orang. Apa kau kira anggota-anggota perguruan kita mau tunduk begitu saja kepadamu?” tanya Yuyinzi.

“Apa artinya ucapanmu ini?” bentak Yuqingzi bengis. “Kau berani kurang ajar kepada orang yang lebih tua? Apakah kau lupa pada pasal pertama dari tata tertib perguruan kita?”

“Hahaha, apa kau lupa saat ini kita adalah sama-sama anggota Perguruan Lima Gunung?” ujar Yuyinzi. “Kita masuk Perguruan Lima Gunung pada hari, bulan, tahun, dan waktu yang sama. Atas dasar apa kau anggap dirimu lebih tua daripada aku? Tata tertib Perguruan Lima Gunung juga belum disusun, atas dasar apa pula kau tunjuk pasal satu atau pasal berapa segala? Sedikit-sedikit kau suka menonjolkan undang-undang Perguruan Taishan untuk menindas kawan sendiri. Namun sayangnya, sekarang ini Perguruan Taishan sudah dihapus. Yang ada hanyalah Perguruan Lima Gunung.”

Dewa Daun Persik menyela, “Berdirinya Perguruan Lima Gunung dan hilangnya Perguruan Taishan adalah sesuatu yang baik. Tapi, mengapa Yuyinzi berkata ‘namun sayangnya’? Apakah kalian berniat memecah belah Perguruan Lima Gunung dan membangkitkan kembali Perguruan Taishan? Yuyinzi, coba jelaskan, mengapa kau tadi mengatakan ‘namun sayangnya’?”

Seketika Yuyinzi terdiam tak bisa menjawab, begitu pula dengan Yuqingzi.

Lebih dari seribu orang hadirin sama-sama berteriak, “Hayolah, berkelahi saja! Kenapa bicara melulu? Habis berhantam baru jelas siapa yang lebih hebat!”

Pedang yang ada di tangan Yuqingzi tampak bergetar karena terdorong rasa gusar di hatinya. Meskipun ia terhitung lebih tua, namun memiliki kebiasaan buruk suka bermabuk-mabukan dan gemar main perempuan, sehingga ilmu pedangnya masih kalah bagus dibandingkan dengan Yuyinzi.

Dengan dileburnya Serikat Pedang Lima Gunung menjadi Perguruan Lima Gunung, baik Yuqingzi maupun Yuyinzi sama-sama tidak berani bermimpi menjadi ketua, sebab mereka sadar kepandaian mereka masih kalah jauh dibandingkan Zuo Lengchan. Mereka merasa sudah puas bila sekembalinya ke Gunung Taishan nanti dapat diangkat menjadi pemimpin cabang menggantikan Tianmen yang sudah tewas, atau Yujizi yang sudah cacat itu. Namun, sekarang di bawah hasutan banyak hadirin mereka berdua sampai-sampai bertengkar sendiri. Yuqingzi tidak berani sembarangan menyerang, juga tidak rela menyerah kepada sang adik di depan umum. Karena itu, seketika ia menjadi serbasalah dan terlihat rikuh. Di sisi lain, Zuo Lengchan tampaknya juga lebih menyukai Yuyinzi dan menghendakinya menjadi pemimpin cabang Taishan. Yuqingzi membayangkan betapa malunya jika nanti ia berada di bawah perintah Yuyinzi. Maka itu, ia semakin bersikukuh untuk tidak mundur barang selangkah pun juga.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang melengking tajam berkata, “Huh, kalian berdua sama sekali belum menguasai intisari ilmu pedang Perguruan Taishan, tapi sudah berani menebalkan muka untuk bertengkar di sini. Buang-buang waktu saja!”

Begitu semua orang berpaling ke arah datangnya suara, tampak oleh mereka seorang pemuda berbadan tinggi dengan wajah tampan tapi agak pucat. Bibirnya tersungging menampilkan senyuman sinis pula. Salah seorang hadirin yang mengenalnya lantas berseru, “Itu menantu baru Tuan Yue dari Perguruan Huashan!”

Pemuda berwajah tampan yang berseru tajam tadi memang Lin Pingzhi orangnya.

Linghu Chong terkejut melihatnya, dan berpikir, “Adik Lin biasanya sangat pendiam. Kalau bicara juga selalu berhati-hati. Tak disangka, entah kenapa sifatnya sekarang banyak berubah dan ia berani mengolok-olok orang lain di depan umum?”

Namun demikian, diam-diam Linghu Chong sangat senang melihat Lin Pingzhi mengejek Yuyinzi dan Yuqingzi, karena ia menganggap mereka berdua adalah para pendeta pengkhianat yang bersama Yujizi telah mengakibatkan kematian Pendeta Tianmen.

Terdengar Yuyinzi menjawab, “Kalau aku belum menguasai intisari ilmu pedang Perguruan Taishan sama sekali, memangnya Saudara menguasainya? Kalau begitu Saudara boleh coba-coba memainkan beberapa jurus ilmu pedang Perguruan Taishan agar dapat disaksikan para kesatria yang hadir di sini.” Berulang-ulang ia sengaja mengucapkan kata-kata “Perguruan Taishan” dengan nada keras. Tujuannya ialah hendak mengolok-olok Lin Pingzhi yang merupakan murid Perguruan Huashan tapi berani ikut campur menanggapi ilmu silat perguruan lain.

Tak disangka Lin Pingzhi malah menyeringai, “Ilmu silat Perguruan Taishan sangat luas dan mendalam, mana bisa dipahami oleh murid pengkhianat seperti dirimu, yang tega mencelakai sesama anggota perguruan sendiri dan bersekongkol dengan orang luar ….”

“Ping’er!” bentak Yue Buqun tiba-tiba. “Pendeta Yuyin adalah sesepuhmu, kau jangan kurang ajar!”

“Baik,” jawab Lin Pingzhi lantas berhenti bicara.

Dengan gusar Yuyinzi berkata kepada Yue Buqun, “Tuan Yue, bagus sekali murid didikanmu dan menantu kesayanganmu ini. Sampai-sampai dia berani sembarangan mengoceh dan menilai ilmu silat Perguruan Taishan kami.”

“Dari mana kau tahu dia sembarangan mengoceh?” tiba-tiba seorang perempuan ikut menyela. Begitu melangkah ke depan tampak seorang nyonya muda mengenakan gaun panjang menyapu lantai muncul di samping Lin Pingzhi. Perempuan muda ini memakai sanggul berhiaskan setangkai bunga kecil berwarna merah, dengan ikat pinggang melambai-lambai tertiup angin. Ia tidak lain adalah Yue Lingshan, putri tunggal Yue Buqun yang juga istri Lin Pingzhi.

“Dengan ilmu pedang Taishan aku ingin mencoba kepandaianmu dan meminta petunjuk darimu,” ujar Yue Lingshan sambil memegang gagang pedangnya yang melintang di balik punggung.

Yuyinzi mengenali asal-usul nyonya muda ini, serta teringat bahwa Yue Buqun telah menyetujui peleburan Serikat Pedang Lima Gunung dan cukup dihormati oleh Zuo Lengchan, maka ia pun tidak berani sembarangan bertindak kasar. Dengan tersenyum ia menjawab, “Aku sungguh menyesal karena tidak sempat hadir untuk menyampaikan selamat atas pernikahan Nona Yue. Apakah karena ini Nona Yue marah kepadaku? Tentang ilmu pedang Perguruan Huashan kalian memang sangat kukagumi. Tapi mengenai murid Huashan juga mahir ilmu pedang Taishan, wah, sungguh baru kali ini aku mendengarnya.”

Dengan menarik alisnya yang lentik, serta raut muka yang menghina, Yue Lingshan berkata, “Ayahku ingin menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Maka dengan sendirinya setiap ilmu pedang dari kelima perguruan harus dipelajarinya. Kalau tidak, bagaimana Beliau bisa memimpin Perguruan Lima Gunung kelak?”

Ucapan Yue Lingshan ini seketika membuat para kesatria yang hadir menjadi gempar. Segera ada yang berteriak, “Apa? Tuan Yue ingin menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung?”

Ada pula yang berseru, “Apakah mungkin Tuan Yue juga mahir ilmu pedang Taishan, Songshan, Hengshan, dan Henshan?”

Yue Buqun berseru, “Ah, anak perempuanku suka membual saja. Omongan anak kecil janganlah dianggap sungguh-sungguh.”

Namun Yue Lingshan berkata lagi, “Paman Guru Zuo, jika kau mampu mengalahkan kami dengan ilmu pedang keempat perguruan yang lain, dengan sendirinya kami akan tunduk dan mengangkatmu sebagai Ketua Perguruan Lima Gunung. Sebaliknya, kalau kau hanya mampu mengandalkan ilmu pedang Perguruan Songshan melulu, sekalipun kau dapat mengalahkan seluruh sainganmu, paling-paling hanya ilmu pedang perguruanmu saja yang kemudian terkenal.”

Para hadirin berpikir apa yang dikatakan Yue Lingshan memang tidak salah. Kalau ada yang mahir memainkan ilmu pedang dari kelima perguruan, sudah tentu orang inilah yang paling cocok untuk menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung. Akan tetapi, ilmu pedang setiap aliran adalah hasil ciptaan tokoh-tokoh perguruan masing-masing dari angkatan tua turun-temurun selama ratusan tahun. Jangankan mahir kesemua ilmu pedang aliran-aliran itu, mempelajari ilmu pedang aliran sendiri saja sangat sukar untuk sampai pada tingkat mendalam secara keseluruhan.

Zuo Lengchan sendiri diam-diam berpikir, “Mengapa anak perempuan Yue Buqun ini berani bicara demikian? Di balik ini semua tentu ada maksud dan tujuan tertentu. Jangan-jangan Yue Buqun memang benar-benar ingin berebut jabatan Ketua Perguruan Lima Gunung denganku.”

Terdengar Yuyinzi berkata, “Wah, ternyata Tuan Yue telah mahir menyelami intisari ilmu pedang Serikat Pedang Lima Gunung. Ini benar-benar suatu peristiwa besar yang belum pernah terjadi dalam sejarah dunia persilatan. Maka, biarlah aku meminta Nona Yue memberikan beberapa petunjuk tentang ilmu pedang Perguruan Taishan.”

“Baik!” jawab Yue Lingshan yang kemudian segera melolos pedangnya.

Melihat itu Yuyinzi sangat gusar dan berpikir, “Dengan ayahmu saja aku lebih tua satu angkatan, kenapa anak perempuan ingusan sepertimu berani angkat senjata di depanku?” Semula ia menyangka Yue Buqun tentu akan mencegah perbuatan anak perempuannya itu, sebab di antara tokoh-tokoh Huashan hanya Yue Buqun dan istrinya saja yang pantas menjadi lawannya.

Tak disangka, Yue Buqun hanya menggeleng-geleng saja, kemudian berkata dengan nada menyesal, “Benar-benar anak perempuan yang tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi. Pendeta Yuqing dan Pendeta Yuyin adalah tokoh-tokoh papan atas Perguruan Taishan. Apa kau hendak mencari penyakit jika bermaksud melawan dengan ilmu pedang Taishan mereka.”

Ketika Yuyinzi melirik, dilihatnya pedang di tangan kanan Yue Lingshan menuding miring ke bawah, sementara jari-jari tangan kiri perempuan itu bertekuk-tekuk seperti sedang menghitung. Setelah menghitung satu sampai lima, tangannya lalu mengepal dan kemudian jari-jemarinya membuka satu per satu mulai dari ibu jari sampai kelingking. Setelah kelima jarinya terbuka, ibu jarinya kembali menekuk, dan seterusnya. Kontan saja Yuyinzi terkejut heran dan berpikir, “Hei, darimana anak ini paham jurus Jalur Daizong?”

Jurus Jalur Daizong adalah salah satu ilmu andalan Perguruan Taishan yang paling tinggi. Intisari jurus ini tidak terletak kepada serangan pedang di tangan kanan, tetapi pada tangan kiri yang memperhitungkan letak tempat musuh, perawakan musuh, panjang atau pendek senjata yang digunakan musuh, letak matahari, arah angin, serta bermacam-macam faktor lainnya pula. Perhitungannya sangat rumit, namun apabila tepat, sekali serang tentu mengenai sasaran dan sangat mematikan. Sekitar tiga puluh tahun yang lalu Yuyinzi pernah mendengar jurus ini dari gurunya. Namun ia sadar bahwa dirinya tidak sanggup menyelami jurus yang memakai perhitungan rumit tersebut. Maka itu, sampai saat ini ia tidak pernah mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.

Di sisi lain, sang guru juga tidak terlalu memaksanya. Sepertinya sang guru sendiri juga tidak terlalu mahir menggunakan jurus Jalur Daizong tersebut dan ia hanya berkata, “Jurus Jalur Daizhong ini sangat sulit dipelajari. Sepertinya memang tidak praktis, tapi kekuatannya tak tertandingi. Kalau kau tidak sungguh-sungguh, maka kau tidak akan berjodoh dengan jurus hebat ini. Saudara-saudaramu yang lain tidak seteliti dirimu, sehingga peluang mereka mempelajari jurus Jalur Daizhong lebih kecil lagi. Sayang sekali, jurus perguruan kita yang luas dan mendalam ini harus berakhir dan tidak bisa diwariskan lagi ke angkatan selanjutnya.”

Karena sang guru tidak mengharuskan dirinya berlatih jurus yang sukar itu, tentu saja Yuyinzi merasa kebetulan. Sejak itu ia juga tidak pernah melihat ada orang Taishan yang bisa memainkan jurus rumit tersebut. Tak disangka, setelah berlalu puluhan tahun, tiba-tiba jurus itu kini hendak dimainkan oleh seorang nyonya muda yang berasal dari perguruan lain. Seketika pemandangan ini membuat hatinya gelisah, dan keringat dingin bercucuran pula.

Yuyinzi belum pernah mendengar gurunya mengajarkan cara mengalahkan jurus ini, sehingga ia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Ia hanya berpikir bahwa orang lain tidak ada yang mempelajarinya, sehingga ia merasa tidak perlu untuk mempelajari cara untuk mengalahkannya. Akan tetapi, kejadian di dunia sungguh mendadak dan tidak terduga sama sekali. Dalam keadaan terdesak tiba-tiba terlintas akal di benaknya, “Bila aku cepat berganti tempat, lalu lompat ke sini dan loncat ke sana, dengan sendirinya perhitungannya akan meleset.”

Maka, Yuyinzi pun segera bergeser ke kanan tiga langkah, lalu putar balik dan menyerang dengan jurus Terang Bulan Tanpa Mega. Namun ketika tusukannya belum mencapai sasaran segera ia bergeser dan menyerang pula dengan jurus Gunung Tinggi Menjulang di Angkasa secara cepat. Pedangnya menikam maju dan mundur dengan amat gencar. Dilihatnya Yue Lingshan masih tegak berdiri di tempat semula, dengan tangan kiri tetap menghitung-hitung. Jika Yuyinzi bergerak, Yue Lingshan hanya memiringkan badannya mengikuti ke mana gerakan pedang pendeta tua itu, semakin lama semakin cepat.

Pola serangan Yuyinzi ini dikenal dengan sebutan Delapan Belas Tikungan Taishan. Gerakan ini diciptakan oleh seorang sesepuh Taishan pada masa dahulu yang terilhami dari banyaknya tikungan di Gunung Taishan yang rumit seperti usus kambing. Setiap lima langkah berbelok sekali, setiap sepuluh langkah berputar sekali. Sungguh berbahaya. Ilmu pedang ciptaan sesepuh itu pun disusun berdasarkan gambaran medan berat di Gunung Taishan tersebut. Jika delapan belas tikungan di Gunung Taishan semakin lama semakin berbahaya, begitu pula dengan jurus pedang ciptaannya juga semakin lama semakin ganas. Meskipun demikian, semua serangan Yuyinzi ini seolah mengarah ke titik-titik berbahaya pada tubuh Yue Lingshan, namun kesemuanya tidak ada yang mematikan.

Dalam setiap gerakannya, sepasang mata Yuyinzi terus menerus memandang jari-jemari tangan kiri Yue Lingshan yang membuka dan menekuk tanpa henti. Seketika ia pun teringat pesan gurunya bahwa jurus Jalur Daizhong boleh dibilang sebagai leluhur ilmu pedang Taishan. Sekali menikam akan mengenai sasaran dengan telak dan membunuh lawan tanpa memerlukan jurus kedua. Kalau ilmu pedang seseorang sudah mencapai tingkatan ini, boleh dibilang ia telah melampaui keduniawian dan menjadi orang suci. Sang guru pun berterus terang bahwa dirinya tidak mengetahui seluk beluk jurus Jalur Daizhong secara mendalam, sehingga mempelajarinya jauh lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Teringat akan hal itu membuat keringat dingin Yuyinzi kembali mengalir. Oleh karena itu serangannya tadi tidak ada yang mematikan, karena takut kalau-kalau Yue Lingshan juga melancarkan serangan maut kepadanya.

Delapan Belas Tikungan Taishan ini dibagi menjadi Delapan Belas Lambat, dan Delapan Belas Cepat. Setelah delapan belas gerakan menikung secara lambat tiba-tiba berubah cepat dalam waktu singkat. Setiap langkah semakin cepat. Jurus ini diciptakan berdasarkan jalan setapak di Pegunungan Taishan yang rumit, berliku-liku, dan berubah-ubah dengan cepat. Semakin lama semakin curam tanjakannya, sehingga orang yang di belakang bisa melihat alas kaki orang yang mendaki di depan, sedangkan orang yang di depan bisa melihat ubun-ubun orang yang di belakang.

Linghu Chong khawatir melihat Yue Lingshan tidak menangkis ataupun menghindari serangan Yuyinzi, namun tetap berdiri seperti sedang menghitung-hitung dengan tangan kirinya. Hampir-hampir ia berteriak, “Adik Kecil, hati-hati!” Tetapi kata-katanya ini hanya tertahan di tenggorokan, sulit untuk diucapkan.

Sementara itu, Yuyinzi hampir saja menyelesaikan pola serangannya. Namun demikian, sejak awal ia sudah memutuskan untuk tidak bersungguh-sungguh menyerang Yue Lingshan dan ujung pedangnya selalu berjarak beberapa senti dari kulit nyonya muda itu.

Tiba-tiba Yue Lingshan memutar pedangnya dengan cepat dan kasar. Beruntun ia melancarkan lima kali serangan berturut-turut.

“Jurus Pedang Lima Raksasa!” seru Yuqingzi yang masih berdiri di samping.

Gunung Taishan memiliki lima pohon cemara tua. Konon, cemara-cemara tua itu hidup sejak zaman Dinasti Qin dan diberi nama Lima Cemara Raksasa. Kelima pohon tersebut memiliki cabang dan ranting yang terlihat saling lengket, dengan dedaunan rimbun yang saling menutupi. Kakak seperguruan dari guru Yuqingzi dan Yuyinzi mendapat ilham berkat melihat pemandangan kelima cemara tua itu sehingga kemudian menciptakan Jurus Pedang Lima Raksasa. Gerakan-gerakan dalam jurus pedang ini tampak sederhana namun mengandung perubahan-perubahan yang menakjubkan. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu Yuqingzi pernah mempelajari jurus pedang tersebut sampai cukup mendalam. Maka, ketika Yue Lingshan tiba-tiba memainkan jurus ini ia langsung dapat menilai gerak serangan nyonya muda itu. Apa yang dimainkan Yue Lingshan ternyata tidak sama persis dengan apa yang pernah ia pelajari, namun berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Merasa sangat terkejut, tanpa sadar kakinya pun melangkah maju supaya bisa melihat dengan lebih jelas.

Sementara itu, mendengar jurus serangannya dikenali, seketika Yue Lingshan memiringkan tubuhnya ke samping, lantas pedangnya menusuk Yuqingzi pula sambil berseru, “Apakah ini juga ilmu pedang Perguruan Taishan kalian?”

Segera Yuqingzi menangkis dengan pedangnya sambil menjawab, “Kenapa tidak? Ini adalah jurus Bangau Hinggap di Mata Air. Tapi ....” Meskipun dapat menangkis, tetap saja Yugingzi tergetar hatinya dan keringat dingin pun bercucuran pula. Apa yang dimainkan Yue Lingshan sedikit berbeda dengan yang pernah ia pelajari, namun tampak lebih mematikan. Hampir saja dadanya tertembus pedang nyonya muda itu.

Terdengar Yue Lingshan berseru, “Bagus jika kau pun mengetahuinya!” Sekejap kemudian pedangnya berbalik menebas ke arah Yuyinzi.

“Itu jurus Batu Menghadang Kuda,” seru Yuqingzi kembali berteriak. “Tapi, apa yang kau mainkan itu ... agak keliru ... salah ….”

“Ternyata kau hafal juga nama jurus pedang ini,” ujar Yue Lingshan.

Tiba-tiba pedangnya bergerak dengan cepat sebanyak dua kali. Terdengar Yuyinzi menjerit, paha kanannya telah tertusuk. Pada saat yang sama Yuqingzi tertusuk pula pada bagian lutut kanannya. Pendeta tua itu tampak sempoyongan, akhirnya sebelah kakinya tertekuk dan tubuhnya jatuh dalam keadaan berlutut ke tanah. Lekas-lekas ia menahan tubuhnya dengan menusukkan pedang ke bawah. Namun, terlalu keras ia menggunakan tenaga sehingga ujung pedangnya secara kebetulan bertumpu pada sebongkah batu dan akhirnya patah menjadi dua. Meskipun demikian, mulutnya masih sempat menggumam, “Jurus ... Jurus Tiga Kebahagiaan!”

Yue Lingshan tertawa dingin dan menyarungkan kembali pedangnya di balik punggung.

Sementara itu para penonton sudah bersorak gemuruh. Sungguh luar biasa, seorang nyonya muda berparas jelita telah mengalahkan dua tokoh sepuh Perguruan Taishan hanya dalam beberapa jurus, bahkan menggunakan jurus pedang lawan-lawannya sendiri. Ilmu pedangnya yang sedemikian hebat membuat para penonton berteriak-teriak memuji. Seketika bergemalah suara ribuan para hadirin tersebut bagaikan membelah gunung.

Zuo Lengchan saling pandang dengan beberapa kawannya dalam perasaan sangsi dan heran. Orang-orang Songshan itu berpikir, “Yang dimainkan anak perempuan ini memang benar-benar ilmu pedang Taishan yang hebat dan jarang terlihat. Walaupun permainannya tampak kurang murni, namun jurus-jurus serangan yang ganas dan terlatih itu pasti bukan hasil pemikiran perempuan ini. Kemungkinan besar itu semua adalah hasil pendalaman Yue Buqun. Padahal, untuk mendalami ilmu pedang setinggi ini entah diperlukan waktu berapa lama? Dari sini dapat dibayangkan betapa matang rencana dan maksud tujuan Yue Buqun dalam menghadapi persoalan ini.”

Yuyinzi tampak belum percaya pada kekalahannya. Ia berteriak, “Kau ... kau ... Ini bukan Jurus Jalur Daizong yang asli!”

Setelah terluka barulah Yuyinzi menyadari kalau yang dimainkan Yue Lingshan tadi bukan benar-benar Jurus Jalur Daizong. Jika benar Jurus Jalur Daizhong seharusnya bisa menang hanya dalam sekali serang saja, sehingga untuk apa harus repot-repot menggunakan jurus Lima Pedang Raksasa, Bangau Hinggap di Mata Air, Batu Menghadang Kuda, serta Tiga Kebahagiaan segala?

Semua jurus yang dilancarkan Yue Lingshan tersebut sudah dipelajari selama puluhan tahun oleh Yuqingzi dan Yuyinzi dan telah dihafal luar kepala oleh mereka. Sehingga, tanpa berpikir panjang kedua pendeta Taishan itu pun menggunakan jurus-jurus penangkal untuk mengalahkannya. Justru di sinilah letak perangkap Yue Lingshan, yaitu ia tiba-tiba saja mengubah jurus-jurusnya sehingga kedua lawannya itu pun masuk ke dalam jebakan dan kalah telak.

Yuqingzi dan Yuyinzi boleh dikatakan terluka karena salah mengambil langkah. Kalau saja yang dimainkan Yue Lingshan adalah jurus pedang Perguruan Huashan, tidak mungkin mereka berdua bisa masuk perangkap dan kalah secepat itu. Yang lebih mengesalkan lagi adalah nyonya muda ini telah mengubah bagian-bagian kunci dalam jurus-jurus pedang Taishan yang ia mainkan tadi. Akan tetapi, apa pun alasannya yang ia mainkan benar-benar ilmu pedang Taishan asli yang membuat Yuqingzi dan Yuyinzi marah bercampur malu, terkejut bercampur kecewa, heran bercampur kesal yang tak terlukiskan.

Di sisi lain, Linghu Chong juga merasa bingung melihat bagaimana Yue Lingshan merobohkan kedua lawannya. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berbisik di belakangnya, “Tuan Muda Linghu, apakah kau yang telah mengajarkan jurus-jurus itu kepada Nona Yue?” Ketika ia berpaling, ternyata yang berbisik itu adalah Tian Boguang. Menanggapi pertanyaan tersebut ia hanya menggelengkan kepala.

Tian Boguang tersenyum berkata, “Dahulu ketika kau bertarung denganku di Puncak Huashan, aku ingat kau pernah menggunakan jurus Bangau Hinggap … apa tadi, namun waktu itu kau belum menguasainya dengan baik.”

Linghu Chong diam tak menjawab karena pikirannya hanyut dalam kebingungan. Begitu tadi Yue Lingshan memulai pertarungan, ia segera sadar bahwa apa yang dimainkan adik kecilnya itu adalah ilmu pedang Taishan yang terukir pada dinding gua rahasia di Puncak Huashan yang pernah dilihatnya dulu. Meskipun demikian, ia tidak pernah menceritakan penemuannya itu kepada orang lain. Juga ketika meninggalkan Tebing Perenungan ia pun sempat menutup mulut gua rahasia tersebut menggunakan batu besar.

“Bagaimana Adik Kecil dapat menemukan gua itu? Ah, kalau aku bisa menemukan gua itu, mengapa Adik Kecil tidak dapat menemukannya? Apalagi aku secara tidak sengaja telah menemukan lorong sempit menuju gua rahasia itu, sehingga kemungkinan Adik Kecil menemukannya tentu lebih besar pula,” pikirnya.

Pada dinding gua rahasia tersebut telah terukir bermacam-macam gambar jurus dan ilmu silat Serikat Pedang Lima Gunung serta bagaimana para Tetua Sekte Iblis telah mematahkannya. Linghu Chong kembali berpikir, “Aneh sekali. Meskipun aku hafal jurus-jurus yang terukir pada dinding gua itu dengan baik, namun aku tidak mengenali nama-namanya. Tapi mengapa Adik Kecil dapat mengenalnya dengan baik, serta mempergunakannya dengan bagus pula? Serangannya tadi berturut-turut, mengalir seperti air, seperti kusir kereta yang mengemudi dengan lancar karena sudah menghafal jalan. Sungguh mengagumkan.”

Ketika mendengar Yuqingzi menyebut jurus pamungkas yang dipakai Yue Lingshan tadi dengan nama “Tiga Kebahagiaan”, seketika Linghu Chong teringat pernah diajak sang guru mengunjungi Gunung Taishan beberapa tahun silam. Setelah melewati Gua Air, mereka berjumpa jalanan pegunungan yang curam dan diberi nama Jalur Tiga Kebahagiaan. Maksudnya ialah, jalur ini memiliki panjang tiga li, dan setelah melewatinya tentu hati akan merasa begitu bahagia. Tak disangka, jalur curam tersebut menjadi ilham terciptanya sebuah ilmu pedang yang ampuh.

Lamunan Linghu Chong seketika buyar begitu melihat seorang tua kurus berpenampilan dekil maju ke tengah dan berkata, “Tuan Yue telah mendalami setiap ilmu pedang kelima perguruan, sungguh peristiwa besar yang belum pernah terjadi di dunia persilatan. Seumur hidup aku si tua telah berlatih ilmu pedang Perguruan Hengshan, tapi ada beberapa bagian yang belum kumengerti. Sungguh kebetulan jika hari ini aku bisa meminta petunjuk kepada Tuan Yue.” Tangan kirinya memegang sebuah rebab tua yang mengkilap karena sering digosok, dan tangan kanannya secara perlahan mengeluarkan sebilah pedang tipis dari dalam rebab tersebut. Orang tua kurus dekil ini tidak lain adalah Tuan Besar Mo, Ketua Perguruan Hengshan.

Yue Lingshan memberi hormat dan berkata, “Mohon Paman Guru Mo sudi memaafkan, keponakan telah sembarangan belajar beberapa jurus pedang Perguruan Hengshan. Mohon Paman Guru Mo sudi memberi beberapa petunjuk seperlunya.”

Sebenarnya Tuan Besar Mo tadi mengatakan: “sungguh kebetulan jika hari ini aku bisa meminta petunjuk kepada Tuan Yue” adalah dengan maksud untuk menantang Yue Buqun. Siapa sangka ternyata Yue Lingshan yang menerima tantangan tersebut, bahkan menyatakan hendak menggunakan ilmu pedang Perguruan Hengshan pula.

Tuan Besar Mo memiliki nama besar di dunia persilatan. Apalagi Zuo Lengchan tadi sempat menyebutkan bahwa salah seorang adik seperguruannya, yaitu Fei Bin si Tapak Songyang Besar telah tewas di tangan orang tua dekil ini. Sebagian para hadirin pun berpikir, “Yue Lingshan berhasil mengalahkan dua jago sepuh Perguruan Taishan sekaligus menggunakan jurus pedang mereka. Apakah ia juga mampu mengalahkan Tuan Besar Mo menggunakan jurus pedang Hengshan?”

Tampak Tuan Besar Mo berkata dengan tersenyum, “Bagus sekali, bagus sekali! Hebat, hebat!”

“Jika aku bukan tandingan Paman Guru Mo, maka Ayah yang akan maju,” jawab Yue Lingshan.

Tuan Besar Mo menjawab, “Kau ini tandinganku, kau ini tandinganku.”

Usai berkata demikian pedangnya yang tipis itu perlahan-lahan menjulur ke depan. Tiba-tiba ia sedikit menyendal pedangnya dan seketika terdengar suara mendengung-dengung. Menyusul kemudian pedangnya kembali bergerak menimbulkan dengung dua kali.

Segera Yue Lingshan menangkis. Namun pedang Tuan Besar Mo berkelebat cepat bagaikan hantu, tahu-tahu sudah mengitar ke belakang Yue Lingshan. Lekas-lekas Yue Lingshan memutar tubuh, lalu terdengar suara mendengung lagi dua kali di telinganya. Tampak beberapa helai rambut melayang di udara dan jatuh ke tanah. Ia segera sadar bahwa itu adalah rambutnya yang terpotong oleh pedang Tuan Besar Mo.

Yue Lingshan sangat terkejut bukan main. Diam-diam ia berpikir, “Paman Guru Mo tidak ingin mencelakaiku. Kalau ia bersungguh-sungguh, tentu serangan tadi sudah membunuhku. Ah, ini sungguh kebetulan. Berarti aku bisa menyerang tanpa harus khawatir celaka olehnya.” Maka Yue Lingshan pun segera melancarkan serangan ke arah dahi dan perut Tuan Besar Mo tanpa menghiraukan gerakan pedang lawannya itu.

Tuan Besar Mo terkesiap oleh dua serangan tersebut. Ia pun berpikir, “Hah? Ini adalah jurus Quanming Furong dan Hexiang Zige. Dua jurus ini adalah andalan Perguruan Hengshan. Darimana anak perempuan ini mempelajarinya?”

Gunung Hengshan memiliki dua puluh tujuh puncak, dan lima di antaranya yang paling tinggi adalah Furong, Zige, Shilin, Tianzhu, dan Zhurong. Jurus-jurus pedang Hengshan pada umumnya dikelompokkan dengan menggunakan nama-nama puncak tersebut. Misalnya Jurus Pedang Furong mengandung tiga puluh enam jurus, sementara Jurus Pedang Zige mengandung empat puluh delapan jurus. Dengan memadukan jurus pedang dari kelompok yang berbeda tersebut akan tercipta suatu kekuatan yang dahsyat dan mengerikan.

Jurus Quanming Furong dan Hexiang Zige masing-masing mengandung bagian-bagian mendalam dari kelompok Pedang Furong dan Pedang Zige, yang kemudian dilebur dan disederhanakan menjadi satu, sebagai jurus menyerang sekaligus bertahan. Kekuatannya begitu besar dan menjadi salah satu dari lima jurus paling hebat dalam Perguruan Hengshan, yang disebut dengan istilah “Lima Pedang Sakti Hengshan”.

Dalam pertandingan kali ini Tuan Besar Mo dan Yue Lingshan sama-sama bergerak cepat, membuat para hadirin hanya bisa mendengar suara mereka saja, tanpa tahu siapa yang saat ini menyerang dan siapa yang saat ini bertahan, serta tidak tahu pula berapa jurus yang sudah dilewati kedua orang itu.

Di Puncak Songshan ini Tuan Besar Mo telah hadir dengan perhitungan matang. Sebenarnya ia sama sekali tidak berhasrat menjadi Ketua Perguruan Lima Gunung, karena hatinya sadar ia bukan tandingan Zuo Lengchan atau Linghu Chong. Akan tetapi, sebagai Ketua Perguruan Hengshan ia merasa tidak boleh tunduk begitu saja dan harus tetap menjaga kehormatan perguruannya. Maka, ia pun tampil dalam pertandingan ini setidaknya untuk mengalahkan jago Perguruan Taishan dan Huashan.

Sebenarnya Tuan Besar Mo ingin memberi pelajaran Yuqingzi dan Yuyinzi yang telah terlibat pembunuhan Pendeta Tianmen. Tak disangka, mereka sudah roboh lebih dulu oleh Yue Lingshan. Kini, lawannya yang tersisa hanya tinggal Yue Buqun saja.

Dalam pertandingan tiga babak di Biara Shaolin dulu, Tuan Besar Mo menyaksikan sendiri bagaimana kehebatan ilmu pedang Yue Buqun saat menghadapi Linghu Chong. Ia dapat menyimpulkan bahwa Yue Buqun sepertinya tidak lebih hebat darinya sehingga dalam pertandingan di Puncak Songshan kali ini ia yakin tidak akan kalah melawan Ketua Perguruan Huashan tersebut. Akan tetapi, tak disangka yang maju adalah putri Yue Buqun yang ternyata mampu memainkan jurus pedang Perguruan Hengshan. Dan yang lebih mengerikan lagi, ternyata Yue Lingshan mampu memainkan salah satu intisari jurus pedang Hengshan, yaitu satu jurus mengandung satu kelompok jurus. Mau tidak mau timbul perasaan cemas dan ngeri di dalam hatinya.

Dahulu kala ketika Serikat Pedang Lima Gunung bersatu menghadapi serangan sepuluh gembong Sekte Iblis di Puncak Huashan, saat itu kakek guru Tuan Besar Mo ikut bertempur dan tewas di sana. Guru Tuan Besar Mo sendiri masih sangat muda namun telah mempelajari semua kelompok jurus ilmu pedang Hengshan. Meskipun demikian, apa yang ia pelajari hanya garis besarnya saja, yaitu jurus yang mencakup kelompok jurus, misalnya jurus Quanming Furong dan jurus Hexiang Zige tersebut. Dengan demikian, Tuan Besar Mo pun tidak mendapatkan penjelasan rinci dari gurunya mengenai jurus-jurus itu. Tapi anehnya, mengapa Yue Lingshan yang berasal dari perguruan lain kini mampu memainkan kedua jurus tersebut? Dari mana sebenarnya nyonya muda ini mendapatkan pelajaran? Hanya saja, Yue Lingshan belum memahami jurus-jurus tersebut secara mendalam. Jika tidak, mana mungkin Tuan Besar Mo yang pikirannya sempat kacau masih bisa bertahan sampai saat ini?

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar